Pedang Tanduk Naga 2
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong Bagian 2
bagaimana mengejar jejak Ban Hong Liong-li untuk menanyakan siapa pembunuh
suhunya. Cepat disimpannya golok emas itu lalu ia ayunkan tubuh meluncur ke bawah,
Dibawah dasar lembah itu terdapat banyak pohon siong dan tumbuh-tumbuhan
rotan, Dengan ketangkasan macam seekor kera, ia berpindah dari satu kelain
pohon dengan cepat sekali, Akhirnya berhasillah ia tiba di kaki puncak.
Hentikan langkah memandang keempat penjuru, dilihatnya lembah yang penuh
salju itu masih berkilau-kilauan memancarkan cahaya putih mengkilik.
Setelah puas memandang, ia segera menentukan arah menuju ke barat daya, ia
memutuskan untuk menempuh perjalanan siang dan malam agar cepat dapat
menyusul Ban Hong Liong-li.
Entah berapa banyak lembah dan jurang, gunung dan hutan yang telah dilintasinya
dengan cepat. Setelah lari beberapa waktu, ketegangan hatinyapun mulai mengendap. Serempak
banyak persoalan yang memenuhi benaknya...
Bagaimana peristiwa pembunuhan suhunya itu sampai terjadi" Apakah didalam
kuil atau didalam kamarnya atau di guha Kiu-kiok-tong "
Yang mampu membunuh suhunya tentu seorang yang tinggi kepandaiannya dan
ilmu ginkangnya tentu amat sempurna. Tetapi siapakah pembunuh itu "
Dan lagi, mengapa sam-susiokcou atau paman kakek guru yang ketiga juga tak
tampak pada pemakaman di lapangan Ka-lok-jang " Ataukah orangtua itu juga
dicelakai orang " Tetapi mengapa di makam Ki-lok-jang hanya didirikan sebuah makam baru untuk
suhunya. Mengapa tidak didirikan lagi sebuah makam untuk paman kakek-gurunya
yang ketiga " Seketika timbul rasa sesal mengapa ia tak minta keterangan dulu kepada paman
kakek-guru yang kedua. Bagaimana keadaan suhunya ketika berada dalam guha tempo hari" Kawanan Ma
Toa-kong itu kemana saja perginya"
Dan siapakah wanita Biau yang mati dalam guha itu"
Sesungguhnya ia ingin pulang ke kuil untuk minta keterangan kepada suhunya,
Tetapi ternyata suhunya telah dibunuh orang, lalu satunya orang yang dapat
memberi keterangan hanyalah Ban Hong Liong-li.
Dia tak percaya kalau Ban Hong Liong-li yang membunuh suhunya, Tetapi Ban Hong
Liong-li tentu tahu tentang golok emas itu dan siapa pemiliknya...
Teringat akan kematian suhunya, hati Gin Liong makin tegang dan ingin sekali
lekas2 menyusul Ban Hong Liong-li.
Dia ingin berteriak sekuat-kuatnya tetapi ia kuatir Ban Hong Liong-li sudah
berada seratusan li jauhnya. Setelah melintasi beberapa puncak gunung salju dan beberapa hutan belantara,
iapun berpaling kebelakang, puncak Hwe-sian-hong tampak tegak menjulang ke
langit dengan megah dan perkasa.
Teringat juga ia bahwa pada saat itu tentulah paderi kuil Leng-hun-si sudah
tidur. Sedang paman kakek-guru yang kedua mungkin masih mondar mandir di halaman
kuil. Sumoaynya yang bertubuh lemah tentu akan berduka sekali apabila
mengetahui suhunya telah terbunuh dan dia (Gin Liong) sedang melakukan
pengejaran kepada Ban Hong Liong-li.
Ah, apabila teringat akan hal itu, berlinang-linanglah air mata Gin Liong, Dia
tak mau mengingat hal itu, tak mau.
Sekonyong-konyong pandang matanya gelap dan angin dingin berhembus. Ketika
memandang ke depan ternyata dia harus melintasi sebuah hutan pohon siong lagi.
Menghampiri hutan itu tiba2 hatinya tergetar, hentikan langkah dan terlongong.
Memperhatikan dengan seksama, tampak dalam hutan pohon siong yang pandak
tumbuhnya, terdapat sebuah rumah pondok kecil. Pondok itu memancarkan sinar
penerangan yang terang. Kemudian ia melihat pula ditengah hutan pohon siong itu terdapat dinding rumah
yang puing runtuhan dinding, Diatas tanah masih bertebaran kutungan ranting
pohon. Heran Gin Liong dbuatnya. Mengapa ditempat hutan belantara yang jarang
dijelajah manusia, terdapat sebuah rumah pondok kecil yang memancarkan sinar
penerangan terang sekali.
Melongok dari jendela, penerangan api itu mantap sekali, sedikitpun tidak
bergoyang-goyang. Rupanya tentu bukan dari lampu atau lilin. Didalam ruang
pondok, sunyi senyap tiada kedengaran suara apa2.
Timbullah keinginan tahu dalam hati Gin Liong, Setelah melengkapi kedua tangan
dengan saluran tenaga-dalam, pe-lahan2 segera ia ayunkan langkah menghampiri.
Kerucuk. . . . terdengar suara macam orang meneguk air, Suara itu memancar diri
samping Gin Liong. Dengan terkejut Gin Liong berputar tubuh seraya luruskan kedua tangan kemuka
dada. Dan serempak pandang matanya mengeliar kearah suara orang minum air
tadi, seketika ia hampir memetik kaget.
Dibawah sebatang pohon siong yang tak berapa tinggi lebih kurang terpisah
beberapa meter dari tempat ia berdiri seorang pengemis tua tampak duduk
sembari minum arak. Dia mengenakan pakaian yang kumal, rambutnya putih, pipi kempot dan tubuh
kurus kering seperti tulang terbungkus kulit, sepasang mata yang berbentuk
segitiga, memancarkan sinar yang berkilat-kilat tajam, sepasang tangannya yang
kotor tengah mencekal sebuah buli2 arak yang besar, selesai minum seteguk, bau
arak yang harum segera berhamburan dibawa angin ke empat penjuru.
Sudah tentu Gin Liong tak pernah menyangka bahwa ditempat yang sesunyi itu
terdapat seorang pengemis tua. seketika teganglah hati pemuda ita. Diam2 diapun
bersiap-siap untuk menghadapi setiap gerakan pengemis tua yang akan mencelakai
dirinya. Setelah minum seteguk, pengemis yang kakinya telanjang tak bersepatu itu,
menyumbat kembali mulut buli2 arak. Sambil setengah pejamkan kedua matanya,
tangannya menggosok-gosok kotoran busuk yang melekat pada sela2 jari kakinya,
sedikitpun dia tak mengacuhkan Gin Liong yang berada dihadapannya.
Melihat pengemis itu bertelanjang kaki mampu menempuh tempat yang penuh
bertutup salju dingin, timbullah dugaan Gin Liong bahwa pengemis itu tentu
memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Tiba2 ia teringat akan urusannya mengejar Ban Hong Liong-li, maka segera Gin
Liong hendak berputar tubuh tinggalkan tempat itu. ia tak mau menunda waktu
hanya karena ingin mengetahui siapa pengemis tua itu.
Tetapi baru ia berputar tubuh, kejutnya makin besar sehingga ia sampai menyurut
mundur dua langkah. Pada bayangan gelap dari ujung dari sisa puing2 tembok rumah pondok itu, lebih
kurang hanya setombak jauhnya dari tempat ia berdiri, tampak menggunduk
sebuah bayangan hitam yang bulat bentuknya.
Setelah tenangkan ketegangan hati dan memandang dengan seksama, barulah Gin
Liong mengetahui bahwa gunduk bayangan hitam itu bukan lain adalah seorang
paderi bertubuh gemuk, telinga besar, mulut pesegi, hidung mekar, mata besar dan
kepala bundar seperti kepala harimau.
Paderi gemuk itu tengah duduk bersila, Kain jubahnya yang berwarna kelabu telah
menutup kedua kakinya, sepasang matanya, berkilat2 memandang Gin Liong
dengan sorot yang dingin.
Tetapi Gin Liong mempunyai kesan bahwa walaupun tampaknya paderi itu
menyeramkan sekali tetapi dari sorot matanya, jelas tak mengandung maksud jahat
kepadanya. Sebagai gantinya, kini timbullah rasa heran dalam hati Gin Liong mengapa ia
bertemu dengan seorang pengemis dan seorang paderi yang pada waktu tengah
malam buta, duduk ditempat hutan belantara yang sedemikian sunyi senyap.
"Adakah kedua orang itu tengah mengadu kesaktian ditempat ini?" diam2 timbul
pertanyaan dalam hati Gin Liong, iapun menduga bahwa salah satu dari kedua
orang itu mungkin pemilik dari rumah pondok itu.
Memikirkan rumah pondok, tanpa terasa matanya pun beralih mencurah ke
sebelah muka. Dilihatnya bahwa penerangan benderang yang menembus keluar
dari jendela rumah pondok itu, kini berhias dengan warna kabut yang lemah.
Makin terperanjatlah hati Gin Liong, "Adakah didalam rumah pondok itu terdapat
suatu benda pusaka ?" pikirnya.
Teringat akan soal benda pusaka, segera ia menduga bahwa jika benar demikian,
tentu disekitar rumah pondok itu akan terdapat beberapa orang lagi, Bukan hanya
paderi gemuk dan pengemis tua itu saja.
Untuk membuktikan dugaannya, iapun segera keliarkan pandang matanya
kesekeliling sekitar rumah pondok.
Dan dugaannya memang benar, Pertama-tama dia segera melihat seorang nenek
tua yang buta kedua matanya.
Nenek buta itu mengenakan baju dari kain blacu, panjang sampai menutupi kedua
lututnya, celananya terlampau besar bagi kedua kakinya yang kecil, Nenek itu
memegang sebatang tongkat Thiat-ho-ciang atau tongkat yang tangkai menyerupai
bentuk burung bangau, terbuat daripada besi. Warnanya hitam mengkilap.
8. Orang tua dalam pondok
Nenek itu berdiri diam dibawah tembok rumah pondok yang sudah separoh rubuh.
Lalu dibawah sebatang pohon siong yang aneh bentuknya dan tumbuh kira2 lima
tombak dari rumah pondok itu, tampak pula seorang lelaki berumur sekitar 40-an
tahun. Dia memakai kopiah kulit warna hitam dan mantel kulit yang masih berbulu.
Mukanya penuh dengan brewok, Tubuhnya yang tinggi besar, tengah disandarkan
pada pohon siong itu. Diapun setengah memejamkan mata, mulutnya yang agak perot, menimbulkan
kesan yang menyeramkan orang, Sinar matanya berkilat-kilat mencurah pada Gin
Liong. "Masih ada pula beberapa orang lagi, Tetapi karena bersembunyi dibalik pohon
yang gelap, sukarlah untuk mengetahui bagaimana wajah mereka yang jelas.
Makin meningkatlah keheranan Gin Liong. Gerangan benda apakah yang berada
dalam rumah pondok itu sehingga mengundang kedatangan sekian banyak orang2
persilatan kesitu. Mau tak mau timbul juga rasa ingin tahu dalam hati Gin Liong.
Sejak turun gunung, memang belum pernah Gin Liong berkelana dalam dunia
persilatan. Dan sudah tentu pula ia tak bagaimana berbahayanya suasana dunia
persilatan itu. Ia menurutkan suara hatinya saja, Apa yang diinginkan terus dikenakannya saja,
Maka setelah bersiap-siap mengeluarkan tenaga dalam kelengan dan
menenangkan semangat, dengan langkah pelahan segera ia menuju ke rumah
pondok itu. Tindakan Gin Liong cepat menimbulkan suara berisik di empat penjuru
sekelilingnya. Suara berisik yang berhadapan rasa takut. entah berapa puluh
pasang mata, pun mencurah ruah kepada dirinya.
Bahkan dengan serempak pula, paderi gemuk, pengemis kurus dan lelaki tinggi
besar serta nenek buta itu mulai menggerakkan tubuh mereka.
Dua kemungkinan menyebabkan mereka mulai bergerak itu. Pertama, mereka
gelisah karena tindakan Gin Liong hendak menghampiri rumah pondok itu. Kedua,
terkejut karena melihat ilmu kepandaian Gin Liong yang sedemikian hebatnya.
Gin Liong pun mendengar "juga" akan suara berisik bernada terkejut itu. Demikian
pula iapun dapat memperhatikan betapa dirinya telah dipandang dengan sorot
mata heran2 kejut dari orang2 yang bersembunyi ditempat gelap itu.
Makin keras dugaan Gin Liong bahwa dalam rumah pondok itu tentu terdapat
sesuatu yang berbahaya. Tetapi setitikpun ia tak menyadari bahwa langkah kakinya pada tanah bertutup
salju ditempat itu, hanya meninggalkan bekas2 telapak yang hampir tak kelihatan.
Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu ginkang tinggi.
Namun Gin Liong tak mengacuhkan, sambil siapkan kedua tangan, ia lanjutkan
langkahnya menuju ke rumah pondok itu, Langkah kakinya sedikitpun tak
menimbulkan suara apa2. Suasana sekeliling tempat itu sunyi senyap, tiada tampak suatu gerak yang
mencurigakan yang hendak merintangi langkah Gin Liong.
Lelaki muka brewok, tidak lagi sandarkan diri pada batang pohon tetapi sudah
berdiri tegak, Nenek buta miringkan kepala hendak mencurahkan pendengarannya.
Pengemis kurus dan paderi gemuk sama menyalangkan mata kejut memandang
kearah Gin Liong. Keheranan Gin Liong makin besar dan makin keras keinginannya untuk
menghampiri rumah pondok dan melihat apakah yang sesungguh berada dalam
rumah itu. Setelah melintasi sebuah runtuhan dinding tembok, tiba2 menggigillah hati Gin
Liong dan serempak iapun hentikan langkah.
Dengan pandang terkejut, perhatiannya mencurah kearah dua sosok benda hitam
yang rebah terkapar dimuka jendela.
Dan ketika memandang dengan seksama, ternyata kedua sosok benda hitam itu
adalah dua sosok mayat manusia, Yang sebelah kiri, mayat seorang lelaki tua
berambut putih. Tubuhnya miring menghadap ke dalam rumah sehingga wajahnya
tak kelihatan jelas. Sedang yang sebelah kanan, seorang imam tua bertubuh kurus kering, Alis
mengernyit, mata mendelik dan mulut menganga, wajahnya pucat kekuning-
kuningan. Ujung mulutnya mengumur darah merah warna hitam. Keadaannya
mengerikan sekali. Menilik bahwa kedua sosok mayat itu ditimbuni lapisan salju, tentulah mereka
sudah mati pada beberapa hari yang lalu.
Sekonyong-konyong dari samping kiri yang gelap, menghambur serangkum tawa
dingin bernada mengejek. Gin Liong merasa bahwa tertawa mengejek itu ditujukan pada dirinya. seketika
meluaplah kemarahannya, Dengan tegakkan kepala dan busungkan dada, ia segera
melampaui kedua sosok mayat itu. langsung menuju kemuka jendela rumah
pondok. Tempat2 gelap disekeliling penjuru rumah itu, tampak bayang2 hitam bergerak-
gerak dan percikan sorot mata menghambur
Rupanya mereka terkejut, menyaksikan keberanian anakmuda itu sehingga mereka
serempak berdiri tegak dari tempat persembunyiannya.
Tiba di muka jendela dan melongok ke dalam ruang pondok, kembali hati Gin Liong
bergoncang keras. Diatas sebuah ranjang batu yang berada dalam ruang pondok itu, duduk bersila
dengan mata menunduk kebawah, seorang tua bertubuh kurus kering, dia
mengenakan jubah warna hitam.
Rambut orang tua itu kusut masai, kumisnya hanya beberapa lembar. Dibawah
hidung yang tegak menjulang keatas bernaung sebuah mulut yang agak perot,
pipinya yang kempot mengulum tawa dingin. Wajahnya dingin menakutkan,
angkuh dan bengis. Dimuka ranjang orang tua itu, terdapat sebuah meja kecil yang diberi sebuah
cermin bundar sebesar piring nasi, Ternyata penerangan yang memancar keluar
jendela itu, berasal dari kaca cermin tersebut.
Gin Liong memperhatikan cermin itu, sinarnya menyilaukan mata, silang gemilang
sekali, ia tak tahu apakah cermin itu terbuat daripada tembaga gosok atau perak
ataukah air raksa. Meja kecil itu terpisah dua meter dari tempat Gin Liong berdiri, Asal ulurkan
tangan, ia tentu dapat meraih cermin aneh itu. Walaupun merasa heran tetapi
setitikpun Gin Liong tak mempunyai keinginan untuk mengambil nya.
Kemudian memperhatikan orang tua kurus itu, Gin Liong mengerut dahi, Orangtua
itu seperti sebuah patung yang tak bernyawa, sedikitpun tak bergerak, Bahkan
napasnya pun tak terdengar.
Melihat itu diam2 Gin Liong menghela napas rawan.
"Ah orang tua itu sudah tak bernyawa," katanya dalam hati.
Sekonyong-konyong kedua kelopak mata orang tua itu pelahan-lahan terbuka, Gin
Liong terkejut sekali sehingga menyurut mundur setengah langkah.
Gerakan menyurut mundur dari Gin Liong disambut dengan beberapa pekik kejut
tertahan dari tokoh2 yang bersembunyi disekeliling pondok itu.
Dengan sorot mata yang lembut, orangtua kurus itu memandang sejenak kepada
Gin Liong lalu pejamkan matanya lagi.
Tatapan pandang mata orang tua itu, menghilangkan rasa takut Gin Liong.
Kecemasannya pun lenyap. Gin Liong pun sempat pula menyambar kesan bahwa pada wajah orang tua yang
sedingin es itu ternyata memancarkan sinar mata yang penuh welas asih.
Dan saat itu Gin Liong pun menyimpulkan dugaan bahwa orang2 yang mengepung
secara bersembunyi disekeliling rumah pondok itu tentulah kawanan orang
persilatan yang tamak, yang rakus untuk memburu keuntungan jelas mereka tentu
mengatur siasat hendak merampas kaca cermin yang terletak diatas meja
dihadapan orangtua itu. Menilik kedua mayat yang terkapar di depan jendela itu, Gin Liong menduga bahwa
orang tua dalam pondok itu tentu seorang sakti. Hal itu makin diperkuat dengan
kenyataan bahwa orang2 persilatan yang mengepung pondok itu tak berani
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gegabah mendekati rumah pondok tersebut.
Siapakah gerangan orang tua itu.
Gin Liong menggali ingatannya, tetapi sepanjang yang diketahuinya, diantara
sekian banyak orang-2 aneh yang sakti dalam dunia persilatan seperti yang
dituturkan suhunya, rasanya tiada terdapat orang tua kurus seperti yang berada
dalam pondok itu. Walaupun tak tahu apakah khasiat dari kaca didepan orangtua itu, namun Gin
Liong berani memastikan tentulah kaca itu sebuah pusaka yang tak ternilai
harganya, jika tidak demikian masakan sampai menggerakkan perhatian sekian
banyak tokoh2 persilatan "
Serentak timbullah rasa muak terhadap orang2 persilatan yang berada disekeliling
rumah pondok itu. Serentak Gin Liong berputar tubuh untuk mengamati dengan seksama orang2 yang
mengepung pondok itu. Diam-2 ia darat menghitung bahwa mereka itu tak kurang
dari dua puluh orang jumlahnya.
Tiba-tiba timbul keputusan dalam hati Gin Liong, Karena dia tak mempunyai selera
untuk merampas kaca dan tak perlu membantu orangtua menghadapi kawanan
orang persilatan itu maka lebih baik ia cepat2 tinggalkan tempat itu saja.
Setelah berpaling memandang sejenak kearah orang tua dalam ruang pondok,
iapun segera pesatkan langkah menuju keluar hutan.
Tiba2 dari belakang terdengar suara orang membentak: "Kembali !"
Gin Liong terkejut. Dia tahu yang dipanggil itu adalah dirinya, Serentak ia
berhenti. Dilihatnya wanita tua buta itu tengah menghadap kearahnya. Kedua kelopak
matanya membalik sehingga tampak biji matanya yang keputih-putihan tengah
menengadah memandang ke langit. Rupanya dia tengah mencurahkan
pendengaran. Pengemis kurus, paderi gemuk dan lelaki brewok serta beberapa orang yang
bersembunyi di kegelapan itu, tampak tertawa menyeringai dan memandang
nenek buta itu. Rupanya bukan gerak-gerik Gin liong yang hendak didengarkan nenek buta,
Tongkat kepala burung hong yang dipegangnya, tiba2 digentakkan ketanah dan
berserulah ia sekeras-kerasnya:
"Kusuruh engkau kembali, dengar tidak !"
Melihat wajah nenek buta itu tampak membengis dan galak, diam2 Gin Liong tak
senang, Tetapi mengingat nenek itu sudah berusia tua dan kedua matanya buta,
maka iapun bersikap sabar.
"Nenek, apakah engkau memanggil aku ?" tegurnya.
Rupanya nenek buta itu tahu bahwa dari nada suaranya, Gin Liong itu seorang
pemuda. Tiba2 wajah nenek yang membengis itu tampak reda, Seteiah sejenak tertegun, ia
berkata pula: "Ya, memang kusuruh engkau kembali !"
"Nenek mempunyai keperluan apa kepadaku?" tanya Gin Liong dengan nada
ramah. Mendengar nada perkataan Gin Liong seperti enggan kembali, nenek itu berseru
marah lagi: "Kusuruh engkau kembali, engkau harus kembali, perlu apa banyak tanya !"
Kata2 yang kasar itu tak dapat diterima lagi oleh Gin Liong. ia tak kuasa
menahan kemarahannya. "Kalau mau bilang apa2, bilang saja, Perlu apa harus suruh aku kembali !"
Wajah nenek buta itu seketika berobah. Matanya yang buta seperti berkilat-kiiat
dan tubuhnya gemetar keras karena marah. ia tertawa dingin tak henti-hentinya.
Gin Liong menyadari bahwa tiada gunanya untuk cari perkara dengan nenek buta
buruk muka itu. Dengan mendengus geram ia terus berputar tubuh hendak pergi.
Tetapi baru berputar tubuh, tiba2 nenek buta itu membentaknya: "Budak, berhenti
!" Seiring dengan teriakannya itu. tubuh nenek tua yang buta itu sudah melayang
kehadapan Gin liong. Gin Liong terkejut sekali. Cepat ia berhenti, ia tak menyangka bahwa nenek buta
itu ternyata mahir dalam ilmu Thing-hong-pian-wi atau Mendengar angin menentukan
tempat. Bukan saja mahir tetapi dapat menguasainya dengan hebat sekali.
Tetapi Gin Liong tetap tak puas atau sikap si nenek yang bergitu garang dan tak
memandang orang, Maka Gin Liongpun kerutkan alis dan menegur:
"Tanpa sebab apa2, mengapa engkau menghadang jalanku ?"
Sambil tudingkan ujung tongkat ke rumah pondok, nenek buta itu memberi
perintah: "Ambilkan cermin kaca dalam pondok itu !"
"Hak apa engkau hendak memerintah aku ?" teriak Gin Liong marah sekali.
Nenek buta itu deliki mata dan membentak bengis: "Kalau tidak mengambilkan
kaca itu, serahkan jiwamu !"
Nenek itu menutup kata-katanya dengan menyabat pinggang Gin Liong. Sabetanya
secepat angin mcnderu, sederas hujan mencurah.
Gin liong mendengus geram, Dengan bergeliatan tubuh iapun sudah menyelinap
kebelakang nenek buta itu.
"Tetapi nenek buta itu seperti mempunyai mata terang. Sebelum kaki Gin liong
tegak dibelakangnya, secepat kilat iapun sudah berputar tubuh seraya
menghantamkan tongkatnya kepada Gin Liong.
Gerakan nenek dan tongkatnya igtu benar2 mengejutkan sekali, cepat, ganas dan
dahsyat. Gin Liong benar2 terkejut sekali, Cepat ia gunakan tata-langkah Liong-li-biau
ajaran Ban Hong Liong-li untuk meluncur tiga tombak jauhnya.
Tetapi nenek buta itu memang lihay sekali, secepat menarik pulang tongkatnya ia
terus membentak: "Hai, hendak lari kemana engkau budak !" Oh-liong-jut-tong atau Naga-hitam-ke-
luar-sarang, adalah jurus yang digunakan si nenek buta untuk mengiringkan
gerakan tubuhnya yang menerjang Gin Liong.
"Berhenti !" tiba2 terdengar suara orang membentak nyaring, sesosok tubuh
melayang dan lelaki bermuka brewok itupun sudah melayang tiba.
Nenek itu bergegas menarik tongkatnya, ia deliki mata kearah pendatang itu:
"Brewok, engkau hendak menganggu urusanku lagi ?"
Tongkat kepala burung ho diangkat keatas lalu dengan jurus Thay-san-ya-ting atau
gunung-Thaysan-menindih-puncak, ia menghantam kepala lelaki brewok itu.
Gin Liong yang berada tiga tombak dari tempat kedua orang itu, kerutkan dahi, ia
merasa nenek buta itu terlalu buas, tiap orang hendak dihajarnya.
Lelaki brewok menyurut mundur dan berseru marah: "Nenek buta, siapa yang sudi
mengurusi urusanmu. Aku hendak bertanya kepada budak kecil itu..."
Nenek buta hanya mendengus. Tanpa menunggu orang selesai bicara, ia segera
putar tongkatnya dan menyerang lelaki brewok itu lagi.
"Biarpun engkau hendak berputar lidah memberi seribu alasan tetapi aku tetap tak
percaya!" serunya. "Nenek buta, jangan andalkan kepandaianmu untuk menindas orang, Aku si
Brewok terbang Li Tek-gui tak takut pada siapapun juga !"
Habis berkata ia gerakkan kedua tangannya menyerang nenek buta itu.
Nenek buta itu memperdengarkan tertawa aneh dan tak henti-hentinya
menggeram: "Bagus, bagus, hendak kusuruh engkau si Brewok-terbang kenal akan kelihayanku."
Tiba2 gerakan tongkatnya berobah, Batang tongkat yang berwarna hitam
mengkilap malang melintang menyambar-nyambar seperti petir memecah
angkasa. Brewok~terbang Li Tek-gui tak mau mengalah, ia maju menyerang seraya
memekik-mekik. Makin lama makin gencar serangannya.
"Hai, budak, apakah engkau hendak ngacir pergi ?" tiba2 dari tempat gelap
terdengar seruan orang. Gin Liong tenang2 mengikuti pertempuran itu. Dia tak tahu, kepada siapakah orang
itu menegurnya, Segera ia keliarkan pandang mata kian kemari.
"Ah... ternyata nenek buta itu dengan melengking keras, menyerangnya. Karena
terkejut, Gin Liong menyurut mundur setengah langkah.
9. Tewasnya nenek buta Telinga nenek buta itu memang luar biasa tajamnya, walaupun sedang bertempur
tetapi ia masih dapat menangkap langkah kaki Gin Liong. Tahu bahwa pemuda itu
hanya mundur setengah langkah, nenek buta itu menyadari kalau ia telah tertipu
oleh si Brewok-terbang. Karena marahnya, tubuh nenek buta itu sampai gemetar
keras. 'Bluk!' ia hantamkan tongkat burung hong ke tanah lalu berseru keras:
"Hai, kawanan tikus manakah yang berseru tadi " engkau berani mengacau?"
Nenek buta itu menengadahkan kepala, memasang telinga, siap untuk menyerbu
orang yang berseru tadi. Tetapi sekeliling penjuru sunyi senyap tiada suara sama sekali.
Saat itu Gin Liong pun menyadari bahwa seruan itu ternyata ditujukan pada
dirinya, Marahlah dia seketika. Segera ia curahkan pandang mata kearah suara tadi.
Tampak di tempat itu beberapa sosok bayangan manusia tegak dengan mata
berkilat-kilat, Entah siapakah diantara mereka yang berseru tadi.
Sekonyong-konyong dari arah tiga tombak jauhnya terdengar suara orang tertawa
gelak2. Nadanya amat menghina.
Cepat Gin Liong memandangnya, Tampak Li Tek-gui merentang kedua tangan,
menengadahkan kepala dan tertawa keras, sehingga janggutnya yang penuh
brewok itu ikut ber-guncang2. Entah mengapa dia begitu gembira sekali.
Nenek buta berputar tubuh, deliki mata seraya lintangkan tongkat burung hong
kemuka dada, serunya: "Brewok-terbang, jangan gembira dulu. Pada suatu hari aku tentu akan mencabut
jiwamu anjing itu !"
Nenek itu kerutkan alis dan membalikkan kelopak mata, Gerahamnya
menggemerutuk keras tetapi dia tak melakukan gerakan menyerang, Rupanya ia
lebih kuatir kalau Gin Liong sampai pergi.
Brewok-terbang Li Tek-gui hentikan tawanya lalu berseru dengan nada sarat:
"Nenek buta, aku menertawakan ilmu pendengaranmu yang begitu tinggi tiada
tandingnya dalam dunia persilatan Sekali bertempur dengan orang, engkau tentu
segera mengerti akan jurus permainan lawanmu. Pada hal gerakan tubuh dari
budak kecil yang hendak engkau tahan itu, adalah ajaran dari musuh bebuyutanmu,
wanita hina Ban Hong Liong-li.
"Tutup mulutmu !" seketika Gin Liong membentak marah dan terus secepat kilat
menerjang Brewok terbang Li Tek-gui.
Pada saat Gin Liong menyerbu Li Tek-gui, si nenek butapun meraung dan menyapu
tubuh pemuda itu dengan tongkatnya.
Gin Liong belum sempat berdiri tegak. Terpaksa ia berlincahan menghindar dan
berputar tubuh, setelah menghindari tongkat sinenek buta, ia lanjutkan
serangannya kepada Li Tek-gui.
Tongkatnya menghantam angin, si nenek buta itu tertegun kaget, beberapa sosok
bayangan, berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya, Mereka berteriak
kaget juga. Melihat pemuda itu dapat menghindari tongkat nenek buta dan terus menyerbu
kepadanya, Li Tek-gui gugup.
Pada saat loncat menerjang itu. Gin Liong segera mengangkat tinjunya,
menghantam kearah Li Tek-gui hendak menghindar
Tetapi pada saat itu juga, terdengarlah kesiur angin mendesing kearah muka Gin
Liong. Gin Liong mendengus geram, Selekas mengisar langkah kcsamping ia terus
menghantam tangan kanan Li Tek-gui dan tahu2 jarinya pun bergerak untuk
menjepit senjata rahasia yang hendak menabur kemukanya itu.
Ah, ternyata senjata rahasia itu sebatang Liu-yap-hui-to atau golok terbang
setipis daun Liu. Dan golok tipis itu dilumuri pula dengan racun.
Cepat ia mengangkat muka memandang ke arah tempat gelap yang menjadi
tempat bersembunyi orang yang bicara tadi, Tampak sesosok tubuh orang sedang
membungkuk ke tanah. Gin Liong kerutkan dahi, ia duga tentu orang itu yang melepas senjata rahasia
beracun kepadanya. Ada ubi ada tales. Ada budi harus dibalas.
Setelah mengerahkan tenaga dalam, segera pemuda itu taburkan Liu-yap hui-to
kembali kepada pemiliknya.
Pada lain saat terdengarlah jeritan ngeri dari tempat persembunyian gelap itu.
Nadanya sama dengan suara orang yang bicara tadi, Gin Liong terkesiap. Hampir ia
tak percaya bahwa golok Liu-yap-hui-to yang setipis itu, dapat ia lontarkan
dengan kekuatan yang sedemikian dahsyatnya.
Sosok2 bayangan hitam yang bersembunyi ditempat gelap, hening lelap tiada
suaranya, rupanya mereka kesima menyaksikan kepandaian Gin Liong.
Tiba2 Li Tek-gui melangkah maju dan dengan menggembor keras ia terus
menghantam Gin Liong yang masih termangu-mangu itu.
Serangan itu dilakukan tak terduga-duga dan jaraknya amat dekat. Pada saat Gin
Liong menyadari bahaya, ternyata pukulan sudah tiba dimuka dadanya.
Dalam gugup, pemuda itu terus buang tubuh melayang mundur sampai tiga
tombak dan berada dimuka segunduk runtuhan tembok.
Baru kakinya berdiri tegak, dari sudut tembok itu muncul seseorang dan segera
menghantam tengkuk anak muda itu.
Gin Liong marah sekali, masakan dia selalu diserang secara menggelap, seketika
hawa pembunuhan segera tampil pada dahinya.
Dengan menggembor keras, ia berputar-putar deras dan ayunkan tangan
menghantam. Orang itu menjerit dan muntah darah, pukulan Gin Liong tepat mendarat pada
punggung orang itu sehingga dia rubuh dan berguling-guling sampai dua tombak
jauhnya. Setelah muntah darah lagi, dia menggelepar-gelepar meregang jiwa.
Pada saat orang itu terguling-guling, Brewok-terbang Li Tek-gui pun sudah loncat
kemuka Gin Liong, Dengan diiringgi gemboran keras, ia hantamkanh kedua
tangannya, Anginnya dahsyat sekali.
Karena sudah terlanjur membunuh orang, kesadaran Gin Liong pun sudah hilang,
Dengan menggeram marah, diapun songsongkan kedua tangannya yang telah
disaluri tenaga penuh. Darrr . . . . Terdengar letupan keras, Puing2 tembok beterbangan keempat penjuru, salju pun
berhamburan ke udara. Sekeliling tempat gelap, sosok2 bayangan hitam bergerak-gerak mundur dengan
mengeluarkan teriakan kejut.
Bahkan pengemis kurus, paderi gemuk yang selama itu tetap duduk dibawah
pohon di sudut tembok juga terkejut dan mundur sampai tiga tombak.
Tubuh Li Tek-gui yang tinggi besar, terbang melayang kearah nenek buta yang
berada lima tombak jauhnya.
Kembali Gin Liong tertegun. Seketika ia teringat akan peristiwa di gua Kiu-kiok-
kiong dimana dengan sekali dorongkan kedua tangannya ia berhasil melemparkan
Ok-kwi-tho Go Ceng paderi yang jahat itu kedalam jurang.
Demikian pula pada saat itu, ia memandang hampir tak percaya kepada tubuh Li
Tek-gui yang terlempar karena pukulannya tadi.
Adakah sekarang ia memiliki tenaga yang luar biasa saktinya"
Tampak nenek buta deliki mata dan wajahnya berobah membesi.
"Kawanan tikus, engkau hendak mencelakai aku lagi!" bentaknya bengis, seraya
ayunkan tongkatnya ke tubuh Li Tek-gui.
"Bluk..." Seketika menjeritlah Li Tek-gui ngeri sekali, Tubuhnya yang besar itupun
terbanting sekeras-kerasnya ketanah.
Mendengar jeritan ngeri dari Li Tek-gui itu, nenek buta segera perdengarkan
suara lengking tawa yang aneh. Menusuk telinga dan menyeramkan perasaan.
Ketika memandang ke arah pohon, Gin Liong memperhatikan bahwa pengemis
kurus, paderi gemuk dan sosok2 bayangan yang bersembunyi ditempat gelap itu
menahan napas dan memandang nenek buta.
Mereka terkejut dan ngeri, jelas mereka mendapat kesan bahwa nenek buta itu
seorang nenek yang sakti tetapi amat ganas.
Berhenti tertawa, nenek buta itu menengadahkan mukanya yang buruk dan
balikkan matanya yang putih lalu mengekeh:
"Heh, heh, Brewok-terbang, akhirnya dapat juga kucabut jiwamu !"
Gin Liong hanya memandang tingkah laku nenek buta itu dengan kerutkan alis,
Tiba2 terdengar ayam hutan berkokok sahut menyahut Gin Liong gelagapan. Dia
menyadari kalau sudah terlalu lama tertunda ditempat itu. Dia harus lekas2
pergi. Sekali enjot tubuh, Gin Liong pun terus lari sekencang angin menuju keluar
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hutan, Tetapi nenek buta itu tiba2 melengking geram dan bagaikan segulung asap, iapun
segera melayang menghadang jalan Gin Liong.
"Siapa engkau !" bentaknya marah.
Melihat nenek buta itu berkali-kali menghadang jalan, Gin Liong pun balas
membentak keras: "Bukan urusanmu !"
Nenek buta itu balikkan matanya yang putih lalu menggembor:
"Ho, ternyata engkau tak mau mengambil kaca itu, jangan harap engkau dapat
hidup lagi!" Gin Liong kerutkan alis, Hawa pembunuhan meluap dan berhamburan tawa geram:
"Jangan lagi hanya seorang nenek buta seperti engkau. sekalipun sampai sepuluh
nenek buta lagi, tak mungkin mampu menghalangi aku !"
"Budak kecil bermulut besar Jika tak kuberimu sedikit hajaran engkau tentu belum
tahu rasa." seru nenek buta seraya memutar tongkat kepala burung hong bagaikan
hujan mencurah kepinggang Gin Liong.
Wut!, tiba2 Gin Liong tertawa keras dan melambung beberapa tombak ke udara,
Begitu di udara, ia segera mencabut pedang pusaka Tanduk Naga, seketika
memancarlah sinar merah yang gilang gemilang menyilaukan mata, Tanah
berkabut itu seluas sepuluhan tombak berubah kemerah-merahan warnanya.
Tempat2 gelap segera terang sehingga orang2 yang bersembunyi itu memekik
kaget. Diantar dengan sebuah gemboran keras, Gin Liong memutar pedangnya dalam
jurus Liong li-hui-hoa atau Puteri-naga-menebar-bunga. Begitu percikan sinar
merah segera berhamburan menumpah ke kepala nenek buta.
Nenek buta itu tak gentar bahkan menghambur suara tawa yang aneh, Rambutnya
yang putih mengkilap meregang tegak, matanya yang putih pun membalik. Tongkat
kepala burung hong segera pecah berhamburan menjadi beratus percik sinar,
menyongsong curahan sinar pedang Gin Liong.
Tring, trinp, tring . . . .
Terdengar dering gemerincing suara keras saling beradu beberapa kali, disusul
dengan percik bunga api dan kutungan besi yang berteberan kemana-mana.
Kejut nenek buta itu bukan alang kepalang sehingga wajahnya seperti tak
berdarah. Dengan memekik aneh ia menyurut mundur sampai tiga tombak.
Gin Liong melayang turun ke tanah dan tegak berdiri lintangkan pedang, Dia tak
mau mengejar. Nenek buta itupun berdiri tegak, sepasang kelopak matanya yang putih membeliak.
Tangannya menahan tangkai tongkatnya. Kepala burung-burungan hong sebesar
kepalan tangan telah lenyap.
Nenek buta itu gemetar marah sekali. "Budak hina. dengan mengandalkan pedang
pusaka wanita hina itu engkau berani memapas senjataku."
Mendengar gemboran nenek itu, Gin Liong marah sekali:
"Tutup muIutmu,!" bentaknya, "sekali lagi engkau berani menyebut "wanita hina",
aku tak dapat mengampuni jiwamu lagi."
Nenek buta itu menyeringai seram lalu melengking geram.
"Budak hina yang sombong, aku akan mengadu jiwa dengan engkau !"
Kata2 itu ditutup dengan putaran tongkat yang luar biasa cepat dan dahsyatnya
menyerang Gin Liong. Gin Liong tak gentar, ia mainkan pedang Tanduk Naga untuk menyongsong. Dan
terjadilah pertempuran yang amat seru antara Gin Liong dengan nenek buta itu.
Gerakan kedua orang itu bagai sepasang ular yang bergeliatan menyusup kedalam
air, senjata mereka menderu-deru bagai petir memecah angkasa. Angin sambaran
senjata mereka berhamburan dalam lingkgungan seluas sepuluh tombak.
Sinar pedang Tanduk Naga memancarkan warna merah yang menyilaukan mata
dan hawa dingin yang menusuk tulang.
Sedang tongkatpun menderu-deru sedahsyat gunung rubuh.
Walaupun gerak permainan ilmu pedang Gin Liong itu sangat aneh tetapi pemuda
itu tak mau dituduh merebut kemenangan karena mengandalkan pedang pusaka,
ia hendak mengalahkan lawan dengan ilmu permainan, bukan dengan pedangnya.
Tetapi karena itu, gerakannya terpancang dan sering dikuasai lawan.
Nenek buta itu ternyata seorang tokoh yang sakti dan banyak pengalaman. Tongkat
kepala burung hong, jarang mendapat tanding. Makin lama, malah makin perkasa.
Dan karena sudah bertekad hendak mengadu jiwa, maka permainan tongkat nenek
buta itu luar biasa dahsyatnya.
Saat itu malam makin larut. Angin makin dingin dan kabut pun mulai bertebaran.
Sayup2 ayam hutan berkokok sahut menyahut.
Gin Liong mulai gelisah, Kalau ia terus menerus dilibat dalam pertempuran oleh
nenek buta itu, tentu ia tak dapat cepat2 menyusul jejak Ban Hong Liong-li.
Diam2 ia memutuskan untuk menggunakan ilmu pukulan Hoan-hun-ciang (Awan
bayangan) Sebuah ilmu pukulan istimewa ajaran suhunya yang dahulu pernah
mengangkat nama suhunya menjadi termasyhur.
Dengan menggembor keras, mulailah ia menggunakan kedua tangannya, Tangan
kanan memainkan pedang pusaka Tanduk Naga, tangan kiri melancarkan ilmu
pukulan Hoan-hun-ciang. Telah disebut diatas bahwa nenek buta itu memang kaya akan pengalaman.
Telinganya luar biasa tajamnya sehingga melebihi pandang mata. Dia seorang
tokoh yang ganas dan tergolong aliran Hitam.
Saat itu segera ia merasakan tekanan lawan makin berlipat ganda kerasnya,
wajahnya berobah seketika. Teringat ia akan Giok-bin-su-seng atau Pelajar-
berwajah-kumala Kiong Cu-hun.
Pada saat ia hendak bertanya, tiba2 lawan menggembor keras dan seketika ia
rasakan lengan kanannya kesemutan sakit sekali sehingga tongkat pun tak dapat ia
kuasai lagi, Tongkat itu terbang melayang dan tangannya.
Sudah tentu nenek buta itu tergkejut bukan kepalang, Dengan melengking keras, ia
kebutkan kedua lengan bajunya seraya menyurut mundur sampai lima tombak.
Keringat dingin bercucuran membasahi sekujur tubuh.
Mengingat bahwa sekalipun buta tetapi nenek itu masih dapat meyakinkan ilmu
kepandaian yang begitu sakti, diam2 Gin Liong merasa kagum dan sayang, Maka
setelah dapat menghantam lepas tongkat, iapun tak mau menurunkan tangan jahat
lagi. Sambil lintangkan pedang ia berseru lantang:
"Mengingat usiamu sudah tua dan kedudukanmu sebagai seorang cianpwe
persilatan kuharap persoalan kita ini habis sampai disini saja, Carilah tempat
yang sunyi untuk melewatkan sisa hidup yang tenang, Sampai jumpa...!"
Habis berkata ia terus melambung ke udara. Tetapi pada saat ia bergeliatan
hendak meluncur keluar hutan, tiba2 kakinya disambar angin tajam dari senjata rahasia.
Gin Liong terkejut cepat ia mementang kedua taangan, menekuk kedua kaki dan
dengan gerak Te-hun-tong atau mendaki Tangga-awan, tubuhnya melambung dua
tombak lagi ke atas. Begitu menunduk kebawah, ia terkejut lagi. Dari dua ranting pohon yang tumbuh di
ujung runtuhan tembok, dilihatnya dua buah gerombolan senjata rahasia yang
mengkilap kebiru-hiruan, meluncur ke arah nenek buta yang masih tegak
terlongong-longong. Gin Liong seorang pemuda yang berhati perwira dan benci pada kejahatan. Dia
marah orang hendak menyerang secara menggelap kepada nenek buta, sekalipun
nenek buta itu benci kepadanya.
Dengan menggembor keras, ia segera memutar pedang dan meluncur kebawah.
Tetapi ternyata terlambat Ketika tiba ditanah, terdengar nenek buta itu menjerit
ngeri dan rubuh berguling-guling ketanah. Sesaat kemudian, nenek buta itu tak
berkutik lagi. Rupanya dia telah mati.
Tepat Gin Liong lari menghampiri ketempat si nenek buta, Begitu memandang
keadaan nenek buta itu, seketika menggigillah tubuh pemuda itu.
Mayat si nenek buta penuh dengan taburan hui-to, gin-tan (peluru perak) yang tak
terhitung jumlahnya. Hampir mayat nenek itu bersimbah darah semua.
Gin Liong kerutkan alis, matanya memancarkan sinar kilat dingin. Mulutnya
menyeringai marah. Sambil lintangkan pedang Tanduk Naga ia berseru lantang:
"Siapa yang menggunakan kesempatan selagi nenek itu lengah perhatiannya, telah
melepaskan senjata gelap" silahkan keluar! Aku Siau Gin-liong, akan meminta
pertanggungan jawab dari saudara2 itu !"
Gin Liong memutar tubuh pelahan-hhan seraya sapukan pandang mata kesekeliling
penjuru. Tetapi empat penjuru tempat itu sunyi senyap, tiada penyahutan sama sekali.
Pengemis kurus tenang2 duduk ditanah sambil mencekal buli2 arak dan tangannya
yang satu mengutik-utik lumpur dalam celah2 kakinya. sepasang matanya yang
berbentuk segitiga, memandang tak berkesiap ke arah Gin Liong.
Paderi gemuk pun tetap duduk di tempatnya semula. Alisnya yang tebal mengerut,
matanya yang bundar menyalang lebar. wajahnya mengerut kemarahan,
memandang Gin Liong. Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Kabut malam pun mulai menipis. Dari
tempat2 yang gelap, memancar berpuluh sorot mata kepada pemuda itu. Kini tiada
seorang pun yang menaruh perhatian ke rumah pondok itu.
Melihat sikap pengemis dan paderi itu, marahlah Gin Liong. Segera ia maju
menghampiri ke tempat mereka.
Pengemis kurus itu berobah tegang wajahnya, Sepasang matanya berkilat-kilat
tajam. Sedang paderi gemuk, matanya berkeliaran kian kemari. sikapnya amat
tegang sekali. Gin Liong makin mencurigai kedua orang itu. Sctelah tiba setombak dari tempat
mereka, ia segera balikkan genggaman pedangnya, Memandang kepada kedua
orang itu, ia sedikit membungkukkan tubuh memberi hormat.
"Taysu tentu mengikuti apa yang terjadi ditengah gelanggang, Kiranya tentu tahu
siapakah yang telah membunuh nenek itu secara pengecut tadi !"
Dengan wajah membesi, paderi itu gelengkan kepala, menyahut dengan nada
sarat: "Pinceng tak memperhatikannya."
Gin Liong menahan kemarahannya, ia tertawa dingin lalu berpaling kearah
pengemis kurus, memberi hormat dan bertanya:
"Lo-tian-be sejak tadi duduk disini. Tentulah tahu siapa penyerang pengecut
itu ?" Sepasang mata segitiga dari pengemis kurus memandang lekat2 pada Gin Liong, ia
tak menyahut melainkan gelengkan kepala laki pejamkan mata.
Sikap pengemis itu benar2 hampir membuat dada Gin Liong meledak karena
marah, ia hendak menghardik lagi tetapi sekonyong-konyong ia mendengar sebuah
suara orang mendengus geram dari bawah pohon sebelah kiri.
Tergerak hati Gin Liong seketika, Dengan gunakan gerak Liong-li-biau, tiba2 ia
meluncur kearah tempat itu.
Lima tombak jauhnya ditengah gerumbul pohon2 pendek, tampak membujur
sesosok bayangan yang panjang.
Setelah menghampiri dekat, Gin Liong berhenti dan memandang dengan seksama,
Ah, seorang tojin atau imam yang berjubah kelabu, Hidungnya mancung, dahi lebar
dan memelihara jenggot yang bagus, Dengan sepasang matanya yang bersinar
terang, imam itu memberi kesan yang menyenangkan Mengundang rasa hormat
orang. Gin Liong segera menyimpan pedangnya lalu memberi hormat:
"Wanpwe Siau Gin Liong, mohon hendak bertanya kepada totiang. Apakah lotiang
mengetahui orang yang telah melepaskan senjata gelap kepada nenek itu ?"
Habis berkata kembali Gin Liong membungkuk tubuh memberi hormat, Tetapi
ketika ia mengangkat muka dan memandang ke depan, kejutnya bukan kepalang.
Imam jenggot indah itu sudah lenyap dari pandang mata.
Sebelum tahu apa yang telah terjadi, tiba2 dari arah belakang terdengar dua buah
jeritan ngeri. Gin Liong cepat berputar tubuh. Cepat pandang matanya menuju kearah kearah
pengemis kurus dan paderi gemuk tadi. ia segera menghampiri ke tempat mereka.
Ketika mendekati, kejut Gin Liong seperti disambar petir.
Pengemis kurus itu masih tetap duduk diam tetapi batang lehernya telah terbenam
kedalam dada. Demikian pula dengan paderi gemuk, seolah-olah kepalanya
melekat tanpa leher diatas bahunya.
Keduanya masih menggenggam beberapa batang huito dan beberapa butir gin-tan.
Gin Liong tegang sekali hatinya, jelas kedua orang itu telah dibunuh dengan
tenaga dalam yang sakti sekali. Cepat ia keliarkan matanya. Ternyata sinar penerangan
dalam rumah pondok itu sudah padam.
Tergetar hati Gin Liong. Cepat ia loncat kemuka jendela dan melongok ke dalam,
Ah, ternyata ruang pondok itu gelap gulita dan diatas tempat tidur pun tiada
orang tua itu lagi. juga diatas meja, kaca cermin itupun sudah lenyap.
Serta merta ia berpaling kebelakang, Ternyata sekeliling rumah pondok itu sudah
tak tampak barang sesosok bayangan manusia pun jua.
Hati Gin Liong setegang orang berpacu, Dia benar2 kesima mengalami peristiwa
seaneh ini. Tiba2 terdengar siulan nyaring dan panjang, Kumandangnya bergema sampai ke
awan, Makin lama makin dekat
Tetapi begitu menyusup ke telinga Gin Liong, pemuda itu girang sekali. Cepat ia
melambung ke udara dan melontarkan pandang mata ke sekeliling penjuru.
Pada padang salju yang jauhnya beberapa li, segunduk bayangan merah bergulung-
gulung laksana segumpal awan merah, melintasi jalan di puncak gunung dan
dengan pesat menuju ke tempat Gin Liong.
Menyaksikan benda itu, girang Gin Liong bukan kepalang, ia tak menyangka sama
sekali bahwa Ban Hong Liong-li akan kembali. Maka sambil bergeliatan di udara,
ia segera berseru sekeras-kerasnya :
"Locianpwe, Liong-ji berada disini . . . ."
-ooo0ooo- 10. Salju merekah merah Mendengar teriakan Gin Liong, suitan nyaring itupun berhenti, Bayangan merah itu
memancar sinar mata yang tajam ke arah Gin Liong. Dengan kecepatan laksana
anak panah terlepas dari busur, bayangan merah itu terbang meluncur ke arah Gin
Liong. Melihat bayangan merah yang disangka Ban Hong Liong-li itu lari menuju
ketempatnya, girang sekali hati Gin Liong. Diapun pesatkan larinya menyongsong.
seraya acungkan tangan berseru keras2:
"Locianpwe ... locianpwe . .. .!"
Saat itu dia sudah masuk ke dalam sebuah lembah yang berkabut salju, Dalam
kabut yang memenuhi seluruh lembah itu, samar2 ia melihat beberapa sosok
bayangan imam sedang lari keluar lembah.
Menduga bahwa orang2 itu tentu habis dari rumah pondok tadi, Gin Liong tak
mengacuhkan mereka dan terus lanjutkan larinya.
Setelah melintasi lembah salju, kini ia berhadapan dengan sebuah karang es yang
tingginya sampai belasan tombak. Karang es itu merentang panjang entah sampai
berapa li. Setiba dimuka karang es, Gin Liongpun segera enjot tubuh melambung ke udara,
Berhenti sebentar untuk menjejakkan kakinya kebawah dan dengan meminjam
tenaga jejakan itu tubuhnya melambung naik lagi. Dengan dua tiga kali gerakan
itu, dapatlah ia mencapai puncak karang es.
Ternyata permukaan karang es itu merupakan sebuah dataran es yang amat luas
sekali. Dalam pada itu bayangan merah tadipun makin dekat dan dengan jelas ia dapat
mendengarkan kibaran pakaiannya ditebar angin.
Tiba2 Gin Liong kendorkan laju larinya, ada sesuatu yang mencurigakan hatinya.
Mau lari kemuka, kecurigaan Gin Liong itu berobah menjadi rasa kecewa, Serentak
ia hentikan larinya. Jelas sudah baginya bahwa bayangan merah yang lari menghampiri itu, walaupun
seorang wanita yang mengenakan pakaian orang persilatan dan menyandang
mantel warna merah, tetapi dia bukan Ban Hong Liong-li.
Pada punggung wanita baju merah itu menonjol tangkai pedang berpita merah,
sepasang sepatunyapun merah darah, Rambutnya yang indah dan panjang diikat
dengan tali merah. Dalam hembusan angin, tampak rambut itu berkibar-kibar
memikat mata. Pada saat Gin Liong berhenti dan tegak terlongong-longong, segulung sinar merah
diantara deru angin keras, segera menjelang tiba kehadapannya.
Gumpalan sinar merah itu berputar-putar sekali melingkari Gin Liong. Setelah itu
baru tegak berdiri dihadapan anak muda itu.
Melihat pendatang itu, hati Gin Liong mendebur keras, Orang yang berada
dihadapannya itu menggunakan pakaian serba merah yang menyilaukan pandang
mata, Gin Liong sampai tak berani memandang lekat2.
Kiranya dia seorang nona muda, berumur dua puluhan tahun. wajahnya cantik
jelita, sepasang alis yang melengkung bagai bulan tanggal muda, menaungi dua
buah gundu mata yang bundar dan tajam. Raut wajahnya yang menyerupai buah
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semangka dibelah dua, dihias sebuah mulut yang kecil mungil,
Sambil bercekak pinggang, jelita itu menatap lekat2 pada Gin Liong, Bibirnya
yang semerah delima, mengulum senyum yang memikat jiwa.
Gin Liong merah wajahnya, Darahnya memandang keras, pendatang yang memiliki
ilmu ginkang hebat itu ternyata seorang nona yang cantik jelita.
Rupanya karena melihat Gin Liong ter-longong kesima, nona cantik itu tertawa
mengikik, Sambil goyangkan pinggang, ia berseru: "Adik, apakah tadi engkau yang
memanggil aku ?" Mendengar nona itu menegur dengan kata2 yang ramah, merahlah wajah Gin
Liong. Segera ia tersipu-sipu memberi hormat:
"Karena menempuh perjalanan siang malam, pandang mataku sudah kabur. Dan
karena kabut yang tebal, aku telah keliru memanggil nona, Harap nona suka
maafkan kekhilafanku."
Kembali nona cantik itu tertawa mengikik, sambil mengambil sikap seperti pohon
liu tertiup angin, dengan ramah sekali ia tertawa, serunya:
"Ah, tak apa, tak apa. Harap adik jangan pikirkan soal sekecil itu. Tapi tak
marah kepadamu." Habis berkata dengan mengulum senyum manis, ia menatap Gin Liong sambil
ayunkan langkah maju menghampiri.
Wajahnya yang cantik memikat potongan tubuhnya yang langsing ramping,
langkahnya yang jinak2 merpati, benar2 mempesonakan setiap pria yang
memandangnya. Melihat nona cantik itu sangat genit tingkahnya, Gin Liong merasa muak. Tak
seharusnya dia berdekatan dengan nona semacam itu, ia harus lekas2 menyingkir.
Dengan wajah gelap, Gin Liong berseru:
"Karena masih ada lain urusan yang harus kukerjakan, terpaksa aku tak dapat
lama2 disini..." Pada saat Gin Liong bicara, nona genit itupun hentikan langkah dan tertawa:
"Apakah adik hendak mengejar seorang locianpwe yang berpakaian merah itu ?"
Tergetar hati Gin Liong sehingga wajahnya pun berobah. Buru2 ia bertanya:
"Apakah ketika melintasi gunung, nona melihat seorang pendekar wanita berumur
lebih kurang duapuluh tujuh tahun, berpakaian serba merah?"
Nona cantik itu kenakan alis dan melengking:
"Seorang locianpwe yang masih begitu muda belia itu" Uh, mengelabuhi setan!"
Mendengar nada nona itu mengandung hinaan terhadap Ban Hong Liong-li,
seketika marahlah Gin Liong.
"Kalau nona tak berjumpa, akupun hendak berangkat sekarang."
ia ayunkan langkah melewati samping si nona lalu lari pesat. Tetapi nona cantik
itu cepat melesat dan menghadang di muka Gin Liong.
"Engkau mau apa?" teriak Gin Liong dengan marah.
Nona genit itu melonjak kaget karena suara bentakan Gin Liong yang menggeledek
itu sehingga ia menyurut mundur selangkah.
"Ih, galak sekali, Benar2 hampir aku mati kaget!" serunya, seraya mengusap-usap
buah dadanya seperti orang yang hendak menenangkan dadanya yang berombak
keras. Tanpa melihatnya lagi, Gin Liong terus lanjutkan larinya, Tetapi nona genit itu
tersenyum, Sekali tubuhnya berayun, tahu2 ia sudah menghadang di depan Gin
Liong lagi. Kali ini Gin Liong terkejut sekali. Namun ia lebih dirangsang kemarahan daripada
rasa heran atas kepandaian si nona. Setelah berputar melingkar, iapun lanjutkan
larinya lagi. Tetapi nona genit itu hanya mendengus ia ayunkan tubuh menghadang di muka Gin
Liong lagi seraya berseru angkuh:
"Adik, apabila hari ini kubiarkan engkau lari, Mo-lan Hwa selama-lamanya takkan
memakai gelar Swat-te-biau-hong !"
Swat-te-biau-hong artinya Tanah-salju merekah-merah.
Gin Liong tak dapat menahan kemarahannya lagi, Dengan bengis ia membentak
lagi: "Menyisihlah, siapa yang engkau panggil sebagai adikmu itu!"
ia menutup katanya seraya menampar bahu nona genit itu dan terus menyelinap
hendak loncat. Salju merekah-merah Mo kan Hwa tidak marah malah tertawa mengikik. Tubuhnya
berputar-putar menghindari tamparan Gin Liong dan dengan sebuah gerakan yang
indah serta cepat, ia sudah merintangi gerak loncatan si anak muda lagi.
Gin Liong hentikan gerakannya. wajahnya membesi dan menggeram:
"Kalau nona hendak menghambat perjalananku lugi, jangan salahkan kalau aku
bertindak kurang ajar !"
Sambil kicup-kicupkan sepasang matanya yang bundar, Mo Lan Hwa berseru:
"Ih, mengapa engkau begitu tak tahu adat" Siapa yang memanggil suruh aku
datang tadi?" Merahlah wajah Gin Liong, serentak ia berseru dengan suara bengis:
"Telah kukatakan bahwa aku khilaf maka akupun sudah menghaturkan maaf
kepada nona..." "Huh," cepat Mo Lan Hwa menukas, "apa guna menghaturkan maaf?"
Gin Liong hendak meledak kemarahannya "Kalau maaf tak berguna, lalu apa
kemauanmu?" serunya dengan geram.
Salju-merekah-merah Mo Lan Hwa mendengus marah dan melengking:
"Hm, tidak semudah itu membiarkan engkau ngacir pergi !"
"Coba saja kalau mampu merintangi aku!" teriak Gin Liong makin marah. Bahkan
karena sudah tak kuat menahan kemarahannya, Gin Liong terus menampar muka
nona genit itu. "Hm, lihat saja apakah engkau mampu melarikan diri." seru Mo Lan Hwa seraya
menangkis dengan jurus Giok-hi- hui-soh atau Bidadari-melempar-tali.
11. Sepasang iblis Terdengar sebuah orang pelahan dan tubuh nona genit itu terhuyung-huyung
mundur sampai tiga langkah.
Gin Liong menggunakan tiga bagian dari tenaganya untuk menampar tetapi hanya
dapat membuat Mo Lan Hwa menyurut tiga langkah saja. Segera ia tahu bahwa
ilmu tenaga dalam dan ilmu ginkang nona itu memang hebat.
Ia kerutkan dahi memandang nona genit itu dengan tajam dan berseru:
"Jika engkau masih tetap mengganggu, jangan salahkan aku tak kenal kasihan!"
Habis berkata ia terus berputar tubuh dan angkat kaki.
"Berhenti !" Mo Lan Hwa melengking gugup, "sebelum kita ada yang mati salah
satu, tak seorangpun boleh tinggalkan tempat ini."
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah terjangan, sepasang tangannya
berhamburan menghajar seperti orang kalap.
Gin Liong sudah hilang kesabarannya, serentak ia berputar tubuh dan membentak
keras: "Baik, kalau engkau minta mati, akan kuantarkan engkau ke akhirat!"
Pemuda itu segera ayunkan tangan kanan menghantam. Seketika menderulah
angin pukulan yang dahsyat Salju di tanah berhamburan ke udara sehingga mirip
dengan suasana badai dimusim salju.
Nona genit itu terkejut. Seketika pucatlah wajahnya, serentak berhenti, dia
terus songsongkan kedua tangannya untuk menangkis.
Terdengar sebuah lengking jeritan yang ngeri dan nyaring diiring dengan tubuh Mo
Lan Hwa yang terlempar sampai tiga tombak ke udara lalu melayang jatuh sampai
lima tombak jauhnya. Gin Liong tertegun. Walaupun marah, tetapi ia hanya menggunakan lima bagian
dan tenaga dalamnya, Tetapi akibatnya benar2 diluar dugaan.
Tetapi ia seorang pemuda yang baik hati, sebenarnya ia tak kenal dan mempunyai
dendam permusuhan terhadap nona itu, Mengapa ia harus mencelakainya"
Cepat ia enjot tubuh nona itu. Dilihatnya, sepasang mata Mo Lan Hwa meram,
wajahnya merah padam, dada berombak keras dan napasnya terengah-engah.
Melihat keadaan nona itu tak sadarkan diri, Gin Liong bingung juga, Tetapi
menilik wajahnya yang merah itu, jelas kalau Mo Lan Hwa tak menderita suatu luka dalam
yang berbahaya. "Ah, kalau kugunakan tujuh atau delapan bagian tenaga dalam pukulanku tadi, dia
tentu akan muntah darah," diam2 Gin Liong merasa bersyukur karena tak
melakukan tindakan begitu.
Segera ia meletakkan tubuh nona itu ke tanah lalu mulai menguruti jalan darah
ditubuhnya, Tetapi diluar dugaan, makin diurut, napas nona itu makin lemah.
Sudah tentu Gin Liong terkejut sekali sehingga keringat dingin bercucuran
membasahi tubuhnya Ia hentikan pengurutannya dan mulai merenung ilmu urut yang telah dipelajarinya,
ia merasa bahwa cara pengurutan itu memang sudah benar.
Lalu ia mulai mengurut lagi dengan hati2 dan pelahan-lahan, tak berapa lama, Mo
Lan Hwa tampak membuka mata, Gin Liong girang dan hentikan urutannya. Sambil
mengulap keringat ia bertanya:
"Nona bagaimana keadaanmu?"
Tetapi nona itu pejamkan mata lagi, Gin Liong terkejut, ia merasa terlalu cepat
menghentikan pengurutannya maka buru2 ia lekatkan tangan kanannya ke jalan
darah Gi-hay diperut si nona, ia menunggu dengan penuh perhatian perobahan air
muka nona itu. Tetapi Gin Liong makin gelisah, wajah nona itu makin merah seperti bara dan
napasnya makin terengah-engah. Bibirnya pun mulai agak terbuka. Karena gugup,
Gin Liong menambahkan tenaga murninya seraya bertanya:
"Nona, bagaimana engkau rasakan?"
Dengan masih pejamkan mata, nona itu menyahut lemah: "Dingin... mati
kedinginan..." Gin Liong keliarkan mata memandang kesekeliling, ia mengharap dapat melihat
sebuah gua atau cekung karang es yang dapat dibuat membaringkan nona itu.
Karena perhatiannya tertumpah pada empat penjuru, ia tak tahu bahwa saat itu
diam2 Mo Lan Hwa sudah membuka mata dan tersenyum. Ia memandang dagu
pemuda cakap yang memikat hatinya itu.
Gin Liong yang polos hati, segera melihat bahwa hutan dimana terdapat rumah
pondok tadi, berada diatas puncak sebelah muka dari lembah salju, Saat itu
matahari sudah terbit dan kabutpun menipis, Rumah pondok di puncak salju itupun
segera tampak jelas. "Orang tua kurus itu sudah tak berada dalam pondok, lebih baik kuangkut nona ini
ke pondok itu," pikirnya.
Kemudian ia mengangkat tubuh Mo Lan Hwa lalu dibawanya lari menuju ke
pondok, pikirannya hanya tertuju untuk menolong jiwa si nona yang terkena
pukulannya, setitikpun ia tak mengandung pikiran yang tak senonoh.
Rupanya Mo Lan Hwa yang sesungguhnya sudah siuman, berseru:
"Engkau . . . hendak membawa aku kemana?"
Gin Liong tersentak kaget, Saat itu juga baru ia menyadari bahwa nona itu
mengelabuhinya, jelas nona itu tak menderita luka apa2 dan tak pingsan.
Kesemuanya tadi hanya pura2 saja.
Seketika meluaplah kemarahan Gin Liong.
"Pergi!" ia lemparkan tubuh Mo Lan Hwa ke tanah.
Tindakan Gin Liong itu diluar dugaan Mo Lan Hwa, ia menjerit kaget ketika
tubuhnya terbanting ke tanah.
Gin Liong marah sekali, Tanpa melihat keadaan nona itu ia terus berputar tubuh
dan lari kearah tenggara.
Setelah tenang, Mo Lan Hwa segera melenting bangun, Melihat anak muda itu lari,
ia bingung, Cepat iapun gunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar seraya
berteriak sekuat-kuatnya:
"Hai, manusia kayu! Engkau benar2 sebuah patung!"
Gin Liong mendongkol sekali, ia tak sudi melihat nona genit itu lagi, Tetapi
ternyata Mo Lan Hwa itu memang sakti dalam ilmu ginkang sehingga dia mendapat gelaran
sebagai Tanah-salju-merekah-merah, Karena cepatnya ia berlari, tubuhnya berobah
seperti segumpal asap merah yang menebar diatas salju.
Tampak dua sosok bayangan, yang satu kuning dan yang lain merah, sedang
berkejaran diatas puncak gunung yang tertutup salju putih.
Ging Liong lari mati-matian, Mo Lan Hwa mengejar sepenuh tenaga. Rupanya nona
genit itu tak mau melepaskan anak muda yang cakap itu.
Tiba2 dari arah puncak sebelah muka, terdengar dua buah suitan yang nyaring,
Menyusul dua buah bayangan hitam, bagaikan bintang jatuh dari udara, dari atas
puncak meluncur kebawah. Mo Lan Hwa terkejut dan cepat2 berteriak memanggil Gin Liong: "Manusia kayu,
berhentilah! Manusia kayu berhentilah!"
Sambil berteriak, nona genit itu gunakan jurus Jay-hong-hi-ci atau Cenderawasih-
hinggap-dipohon, melayang ke udara. ia berjumpalitan, dengan kaki diatas dan
kepala di bawah, menukik menyambar Gin Liong.
Rupanya karena sedang berlari cepat, pemuda itu tak memperhatikan kesiur angin
dari gerakan Mo Lan Hwa. Dia tetap lari sekencang-kencangnya.
Kedua sosok bayangan hitam yang meluncur dari puncak tadi segera tegak
ditengah jalan untuk menghadang Gin Liong.
Pada saat itu Mo Lan Hwa sudah berhasil mencapai jarak tiga tombak dibelakang
Gin Liong, "Manusia kayu, mengapa tak mau berhenti. Yang menghadangmu disebelah muka
itu adalah Sepasang iblis dari luar perbatasan!" teriak nona itu dengan nada
cemas. Gin Liong mendengus dalam hati, Peduli apa dengan sepasang iblis itu. Bukankah
ia tak kenal mereka" Dalam pada berpikir itu, Gin Liongpun berpaling kebelakang, Astaga. . . .
ternyata Mo Lan Hwa sudah ulurkan tangan hendak mencengkeram bahunya.
Kejut Gin Liong bukan alang kepalang sehingga ia sampai kucurkan keringat
dingin. Dengan gerak Liong-li-biau, cepat ia menghindar kesamping sampai tiga tombak
jauhnya lalu lanjutkan lari lagi.
Mo Lan Hwa terperanjat sekali, Tangannya yang sudah hampir berhasil
mencengkeram bahu anak muda itu tiba hanya menemui angin kosong.
Cepat ia hentikan gerakan tubuh dan berpaling.
Ah, ternyata Gin Liong sudah berbalik lari ke arah barat
Serempak pada saat itu. dari sebelah muka terdengar suara orang tertawa gelak2.
Nyaring dan menusuk telinga.
Mo Lan Hwa berpaling dan terkejut! Ternyata kedua iblis dari luar perbatasan itu
pun telah berputar diri dan meluncur untuk menghadang Gin Liong lagi.
Cepat Mo Lan Hwa melayang ke udara seraya berseru gopoh: "Manusia kayu, lekas
berhenti! Mereka itu sepasang iblis dari luar perbatasan..."
Sambil berseru, nona itu tetap mengejar Gin Liong, Gin Liong benar2 mendongkol
sekali dan ingin lepaskan diri dari libatan nona genit itu muka ia teruskan
larinya dan tak menghiraukan kedua orang yang di sebut sepasang iblis dari luar
perbatasan itu. Tetapi ia ingin juga mengetahui dimana nona genit itu. Begitu berpaling, ia
terkejut lagi Ternyata nona itu tengah melayang diudara dan meluncur kearahnya.
Diam2 Gin Liong mengeluh, Ternyata nona genit itu memang sakti sekali ilmu
ginkangnya, Rasanya tak mudah untuk lepaskan diri dari kejarannya.
Sesaat tiba di tanah, Mo Lan Hwa cepat berseru gopoh: "Awas, disebelah muka..."
Gin Liong terkejut dan memandang kemuka lagi, "Ah. ternyata kedua orang itu
sudah tiba dihadapannya, "Sumoay, biarlah suheng mewakili engkau meremukkan budak ini...." teriak salah
seorang dan kedua iblis itu seraya menyerang Gin Liong.
Saat itu Gin Liong baru berpaling kemuka, Sebelum tahu bagaimana wajah orang
itu, tiba2 dia sudah diserang, Dengan menggeram marah, cepat ia loncat
menghindar sampai dua tombak jauhnya.
Dalam pada itu, Mo Lan Hwa pun berteriak dan menghantam kearah serangan
orang itu. "Bum . . ." Gumpalan salju muncrat berhamburan ke empat penjuru, Mo Lan Hwa dan orang
yang melepaskan pukulan itu, masing2 terhuyung mundur sampai tiga langkah.
Saat itu Gin Liong dapat melihat jelas bahwa kedua sosok bayangan hitam itu
adalah dua orang lelaki pertengahan umur yang mengenakan pakaian ringkas orang
persilatan warna hitam. Keduanya masing2 menyanggul pedang pada
punggungnya. Lelaki yang berdiri disebelah kiri berwajah persegi alis lebar mata sipit dan
memelihara kumis tipis. Dia memandang dengan mata berkilat-kilat ke wajah Mo
Lan Hwa. Dia adalah Say-pak-jin-mo atau Manusia iblis dari Say-pak (Perbatasan Utara).
Dia
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula yang hendak menyerang secara menggelap kepada Gin Liong.
Lelaki yang disebelah kanan, berwajah segi-tiga, kumis jarung, mata bundar kecil
seperti mata tikus dan alisnya berbentuk menurun, pipinya yang kempot
menyungging senyum menyeringai.
Dia dikenal oleh kaum wanita sebagai Say-pak-ceng-mo atau iblis Cabul dari Say-
pak. Kedua iblis itu tertawa mengekeh.
"Beberapa tahun tak bertemu, ternyata sumoay sekarang semakin cantik.
Terutama dalam ilmu ginkang. sumoay makin mencapai kemajuan yang
mengejutkan. Semalam aku bersama lo-toa berpencaran mengejar, tetapi masih
tak mampu mengejar sumoay," seru Ceng Mo dengan tertawa sinis.
Jin Mo juga tertawa dingin, Sebelum Ceng Mo selesai berkata, ia sudah
menggeram: "Tak kira kalau sumoay ke daerah salju untuk mencari budak muka
putih itu." Habis berkata kedua iblis itu serempak berpaling memandang Gin Liong, pemuda
itu masih tegak berdiri melihat gerak-gerik ketiga orang itu.
Mo Lan Hwa merah wajahnya.
"Tutup mulutmu!" teriaknya geram, "aku melakukan perintah toa-suheng untuk
menyelidiki asal usul orangtua yang membawa kaca cermin itu, jangan kalian
bicara tak keruan begitu!" Berhenti sejenak melontarkan pandang kemarahan kepada kedua iblis, Mo Lan
Hwa melanjutkan pula: "Sudah lama kalian putus hubungan dengan perguruanku. Kalian melanggar pesan
suhu, melakukan perbuatan yang tercela diluaran. Sejak suhu menutup mata,
kalian makin menggila. Jika Ji-suheng tak mengingat pernah sama2 menjadi
saudara seperguruan, masakah kalian saat ini masih bernyawa" Berulang kali
kalian menghadang aku dan mengucapkan kata2 yang tak senonoh, apakah maksud
kalian" Katakanlah sekarang ini. Kalau tetap bertingkah seperti itu, jangan
kalian sesalkan aku tak mau mengingat pernah sama2 dalam satu perguruan."
Rupanya Mo Lan Hwa marah sekali kepada kedua iblis yang ternyata pernah
menjadi suhengnya. Wajah kedua iblis itu tampak memberingas tak sedap dipandang, tiba2 keduanya
tertawa gelak2 untuk menghamburkan kemarahan mereka.
Setelah mendengar percakapan itu, barulah Gin Liong tahu akan hubungan Mo Lan
Hwa dengan kedua iblis itu, Serentak ia merasa bahwa Mo Lan Hwa itu bukan
seorang nona yang cabul melainkan seorang gadis yang lincah dan binal.
Seketika berkurang kesan buruknya terhadap nona itu. Semula ia hendak
tinggalkan mereka selagi Mo Lan Hwa tengah bertengkar dengan kedua bekas
suhengnya, Tetapi setelah tahu persoalannya, dia batalkan rencananya. Dia harus
ikut membantu Mo Lan Hwa apabila nona itu mendapat kesulitan dari kedua iblis.
Setelah puas, kedua iblis itu hentikan tawanya. Wajah mereka tampak membesi.
Matanya berkilat-kilat buas.
Jin Mo deliki mata dan berteriak marah: "Budak perempuan yang tak punya mata!
Besar sekali nyalimu berani memberi nasehat kepada kami berdua saudara, Lebih
baik engkau ikut kepada kami, Jangan kuatir kami tentu takkan mengecewakan
keinginanmu, Kalau tidak, heh, heh...."
Karena marah, tubuh Mo Lan Hwa sampai menggigil keras. Cepat ia menukas:
"Kalau tidak, mau apa engkau ?"
Ia menutup kata-katanya dengan kebutkan lengan kanan dan tiba2 tangannya
sudah bertambah dengan sebatang pedang yang berkilat-kilat memancarkan hawa
dingin. Melihat itu Ceng Mo tertawa hina, Matanya yang seperti mata tikus itu, segera
memandang kearah Gin Liong yang berdiri pada jarak dua tombak jauhnya.
"Tidak mudah engkau hendak melarikan diri bersama budak laki itu!" serunya.
Gin Liong tertegun. Mengapa dirinya dibawa-bawa dalam persoalan Mo Lan Hwa.
Dia tak kenal Mo Lan Hwa, tak tahu kedua iblis itu.
Karena marahnya, ia hamburkan tertawa dingin. Mo Lan Hwapun merah mukanya,
ia mencuri kesempatan untuk melontar senyum kepada pemuda itu lalu
melambainya: "Adik, kemarilah! Masakan kita berdua tak mampu menghajar kedua manusia jahat
ini!" Mendengar itu makin marahlah kedua iblis. Mereka iri dan cemburu kepada Gin
Liong karena Mo Lan Hwa yang cantik itu lebih suka kepada Gin Liong daripada
kepada mereka. Mereka tergila-gila dengan kecantikan Mo Lan Hwa. Dan rasa iri itu segera
meningkat dan meledakkan kemarahan mereka.
"Dadaku mau meletus nih!" seru mereka seraya berhamburan menerjang Mo Lan
Hwa. Jin Mo menggunakan jurus Ji-hung-hi-cu atau Sepasang-naga bermain-mustika,
menutuk kedua mata si nona. Ceng Mo gunakan jurus Koay bong-bi tong atau Ular
naga-mencari-sarang. Dia tusukkan jarinya ke bawah buah dada si nona, serangan
itu dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa.
Mo Lan Hwa tertawa dingin. Setelah menghindar kesamping dari tutukan jari Ceng
Mo, segera ia taburkan pedangnya untuk membabat tangan Jin Mo yang hendak
menutuk matanya. Menghindar seraya menyerang itu, dilakukan Mo Lan Hwa dalam saat dan gerak
yang hampir serempak sehingga kedua iblis itu menjerit kaget dan hentikan
serangannya. Bahkan Gia Liong sendiripun terkejut dan kagum melihat gerakan si nona yang
sedemikian lihaynya, Tanpa disadari, ia berseru memuji: "Bagus...."
Mendengar pujian anakmuda itu, girang Mo Lan Hwa bukan kepalang, ia mencuri
kesempatan untuk memandang Gin Liong dengan senyum mesra.
Kebalikannya kedua iblis itu makin marah, Wajah mereka berobah membesi bengis
lalu menghampiri Gin Liong, Dengan mengertek geraham sehingga terdengar suara
giginya saling bergosok keras, kedua iblis itu membentak:
"Budak hina. rasanya engkau memang sudah bosan hidup. Maka lebih dulu hendak
kucabut nyawamu baru nanti membereskan budak perempuan yang tak tahu malu
itu!" Kemudian sambil menyalurkan tenaga dalam pada lengannya, mereka mulai maju
menghampiri Gin Liong. Melihat itu Mo Lan Hwa cepat berseru: "Adik, hati-hatilah! Lekas cabut pedangmu,
Mereka sakti sekali, engkau bukan lawannya!"
Tanpa sebab dirinya telah dipukul oleh Jin Mo tadi, sebenarnya Gin Liong sudah
marah. Kini melihat kedua iblis itu hendak menyerangnya lagi, dia segera tertawa
menghina. Sengaja ia hamburkan sebuah tertawa yang nyaring dan panjang sehingga
kumandangnya bergema jauh sampai ke awan.
Mo Lan Hwa terkejut. Saat itu ia rasakan darahnya mendebur keras demi tergetar
oleh nada tertawa pemuda itu. setitikpun ia tak mengira bahwa pemuda yang
berwajah cakap itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sedemikian dahsyat
Kedua iblis itu adalah tokoh2 yang berpengalaman dalam dunia persilatan.
Mendengar hamburan tawa Gin Liong, seketika berobahlah wajah mereka mereka.
12 Tabung tembakau emas Dengan kerahkan seluruh tenaga mereka serempak menghantam. Angin pukulan
mereka menimbulkan desus prahara dan deru yang dahsyat, berhamburan
melanda Gin Liong. Melihat serangan kedua bekas suhengnya itu, Mo Lan Hwa terkejut dan tanpa
disadari ia menjerit kaget.
Gin Liong memang baru pertama kali itu keluar dari gunung, Walaupun ia sudah
mendapat pengalaman dari latihan berkelahi, tetapi ia tak tahu akan keadaan
dunia persilatan yang penuh bahaya.
Cepat ia hentikan tawanya lalu gerakkan kedua tangannya menyongsong serangan
lawan. Tetapi sebelum tenaga pukulannya berkembang, pukulan dahsyat dari kedua iblis
itu sudah melandanya. Bum . . .! angin menderu dahsyat, salju bertebaran keempat
penjuru. Gin Liong terhuyung-huyung sampai tiga langkah kebelakang. Tiba2 Ceng Mo loncat
menerjang hamburan salju dan dengan menggembor sekuatnya, ia menghantam
lagi Gin Liong yang belum berdiri tegak.
Bum .. .! Terdengar letupan keras dan kedua orang itupun tercerai, terhuyung-huyung.
Melihat itu Jin Mo pun tak mau memberi kesempatan ia enjot tubuhnya kemuka
dan lontarkan sebuah hantaman kepada Gin Liong.
Dengan menggeram marah, Gin Liong cepat loncat mundur sampai tiga tombak
jauhnya. Mo Lan Hwa melengking kaget. Cepat ia memutar pedang untuk menusuk tengkuk
Jin Mo. Pada saat Jin Mo terkejut karena sosok bayangan kuning (Gin Liong) yang berada
dihadapannya itu menghilang, tiba2 dari belakang ia merasa disambar oleh setiap
angin yang dingin. Cepat ia memekik dan tundukkan kepala lalu berjongkok ke
tanah. Sret . . . . mantel hitam dari Jin Mo telah tertusuk robek oleh ujung pedang Mo
Lan Hwa. Jin Mo terkejut. Dengan gunakan jurus Keledai-malas-bergelundungan, dia terus
berguling-guling ke tanah sampai dua tombak jauhnya. Kemudian cepat ia
melenting bangun lagi, wajahnya pucat lesi, keringat dingin bercucuran.
Ceng Mo yang beradu pukulan dengan Gin Liong dan terhuyung-huyung pun segera
berdiri tegak. Kedua iblis saling bertukar pandang lalu serempak mencabut pedang
dan terus menyerang Mo Lan Hwa.
"Bunuh dulu budak perempuan ini, baru budak laki itu!" seru mereka.
Jin Mo gunakan jurus Pok-hun-kiau-jit atau Menyiak-awan-melihat-matahari.
pedangnya berhamburan mencurah ke arah leher si nona.
Sedang Ceng Mo memainkan jurus Hek-ie-jong-liong atau Naga-hitam-mendekam-
ditanah, Ujung pedangnya melilit-lilit, menusuk kaki Mo Lan Hwa.
Mo Lan Hwa melengking seraya ayunkan pedangnya kekanan kiri, membentuk
sebuah lingkaran sinar untuk menyambut serangan kedua lawan.
"Berhenti!" tiba2 dari arah tiga tombak jauhnya terdengar suara bentakan
menggeledek. Jin Mo terperanjat dan buru2 hentikan serangannya seraya menyurut mundur
beberapa langkah. Kedua iblis itu serempak berputar tubuh ke belakang lalu memandang kemuka.
Mereka terkesiap ketika melihat wajah Gin Liong memancar hawa pembunuhan
dan tengah melangkah menghampiri. Tangan pemuda itu mencekal sebatang
pedang bersinar merah berkilau, Mirip dengan senjata pusaka dari Ban Hong Liong-
li dahulu. Ternyata yang berseru menyuruh kedua iblis itu berhenti, bukan lain adalah Mo
Lan Hwa sendiri. Melihat pedang Gin Liong, walaupun tak tahu asal usul pedang itu
tetapi ia percaya tentu sebuah pusaka yang hebat.
"Kawanan tikus buduk, menyerang secara gelap bukan laku seorang gagah . . . ."
sambil melangkah maju, Gin Liong memaki.
Kedua iblis itu berobah wajahnya, Tubuh mereka gemetar keras, cepat mereka
menukas dengan menghambur tawa kemarahan. Tawa yang disaluri dengan tenaga
dalam hebat sehingga Mo Lan Hwa sampai mendekap telinganya.
Gin Liong hentikan langkah, membentak: "Dihadapanku engkau berani bertingkah
sedemikian congkak" Hm, lekas siaplah menyambut seranganku."
Gin Liong menutup kata-katanya dengan taburkan pedangnya, Seketika pedang
Tanduk Naga berkembang menjadi suatu lingkaran sinar merah yang gilang
gemilang menyilaukan mata.
Sepasang iblis dari luar perbatasan itu segera hentikan tawanya, Mereka deliki
mata dan mengertak gigi: "Budak tak tahu malu, kalau tak diberi hajaran, engkau memang belum tahu
kelihaian sepasang iblis dari luar perbatasan!"
Mereka segera melepaskan pengikat lehernya serta melemparkan mantel hitamnya
ke tanah. Melihat itu Mo Lan Hwa tertawa, ia tahu bahwa kedua iblis itu sudah ketakutan.
Kalau tidak tentu takkan membuka mantel. Karena bertempur dengan mambuka
mantel berarti kurang sopan atau mengandung keputusan untuk mengadu jiwa.
"Sudah, jangan banyak tingkah, hayo kalian boleh maju semua!" seru Gin Liong.
Kedua iblis itu pun segera menjawab dengan memutar pedang, menyerang Gin
Liong. Jin Mo dikanan dan Ceng Mo dikiri.
Gin Liong hanya mendengus geram. Dengan jurus Jit-gwat-kau-hui atau Matahari-
rembulan-saling-bertemu, dia langsung membabat pedang kedua lawannya.
Sepasang iblis itu melengking aneh, nantikan langkah menarik pedangnya. Jika
yang satu maju, yang lain berhenti. Yang satu diam. Mereka menyerang secara bergilir.
Mencari-cari lubang kesempatan dan berusaha untuk menghindari benturan
dengan pedang anak muda itu.
Gin Liong tertawa dingin. Tiba2 ia merobah gaya permainannya dalam jurus Jiu-
cui- heng-cou atau Air-musim rontok-menghadang-sampan. Dalam bentuk seperti
sebuah busur, sinar pedang Tanduk Naga segera membabat dada orang.
Jin Mo tertawa mengekeh. Cepat ia menarik pulang pedang dan loncat mundur
sampai dua tombak! Tiba2 Gin Liong menarik pedang lalu tubuhnya berputar-putar menyelinap
kebelakang Ceng Mo. Lalu dengan sebuah bentakan menggeledek, ia robah pula
pedangnya dalam jurus Heng-soh-cian-kun (membabat-ribuan-lasykar), Sring . . . .
pedangpun melayang kepinggang Ceng Mo. Cepat dan dahsyatnya bukan buatan.
Serasa terbanglah semangat Ceng Mo dilanda serangan itu. Karena kejutnya ia
sampai memekik lalu berputar tubuh dan tangkiskan pedangnya dalam jurus Hoa-
te-kau-ping atau Menggurat-tanah-mengatur-tentara.
"Tring..." Terdengar bunyi menggerincing tajam dan putuslah pedang Ceng Mo menjadi dua.
Tiba2 Ceng Mo menjerit keras sekali dan rubuh ke tanah.
Gin Liong tertawa dingin lalu maju menghampiri dan mengangkat pedangnya untuk
menyelesaikan nyawa iblis itu.
Melihat itu, Jin Mo terkejut, cepat ia ayunkan tubuh, menggembor keras dan
menusuk dada Gin Liong. Gin Liong pun mengisar langkah kesamping, memutar pedang dalam jurus Gong
jiok-gui-peng atau Burung-gereja-membuka-pintu. menyongsong serangan lawan.
Rupanya Jin Mo tahu bahwa pedang lawan itu sebuah pusaka yang tiada tara
tajamnya. Mengendapkan pedang kebawah, ia ayunkan tangan kiri menghantam
muka Gin Liong. Tetapi terlambat, serempak dengan bunyi menggemerincing keras, pedangnyapun
telah terpapas kutung oleh pedang Tanduk Naga.
Kali ini Jin Mo yang terbang semangatnya, Dia tak sempat memikir untuk melukai
Gin liong lagi, ia segera jatuhkan diri berguling-guiing di tanah dalam jurus
Kiu-te- sip-pat-kun atau Delapan-belas kali-berguling ditanah.
"Hai, tinggalkan nyawamu!" teriak Gin Liong seraya loncat dan membabat kedua
kaki Jin Mo. Pada saat itu tiba2 Mo Lan Hwa menjerit keras sehingga Gin Liong terkejut dan
berpaling. Sebuah benda yang berkilat-kilat meluncur deras kearah Gin Liong, Gin Liong
menggeram, Berkisar tubuh kesamping, ia menghindari luncuran benda itu. Ketika
mengamatinya, ternyata benda itu adalah kutungan pedang dari Ceng Mo telah
menaburkan pedangnya yang hanya tinggal separoh itu kearah Gin Liong, demi
menolong Jin Mo. Gin Liong marah, Dengan menggembor keras. ia hendak memburu Ceng Mo tetapi
tiba2 belakang tengkuk kepalanya disambar angin tajam.
Gin Liong tahu bahwa kali ini tentu Jin Mo yang menyerangnya dari belakang
dengan melontarkan kutungan pedangnya, Cepat pemuda itu tundukkan kepala
dan melayanglah kutung pedang itu melalui atas kepala pemuda itu.
Gin Liong benar2 marah sekali terhadap kedua iblis yang licik itu, Ketika
mengangkat kepala, ternyata kedua iblis itu sudah terbirit-birit melarikan diri,
jaraknya sudah berada sepuluhan tombak jauhnya.
"Adik, lekas kejar! jangan biarkan mereka lolos, Kalau tidak, jangan harap
engkau dapat hidup dengan tenang."
Habis berkata nona itupun terus ayunkan langkah mengejar lebih dahulu.
Gin Liong memang tak mau memberi ampun kepada kedua iblis itu, sebenarnya ia
hendak mengejar mereka tetapi demi mendengar kata2 Mo Lan Hwa, ia malah tak
mau ikut mengejar. "Hm, aku memang sengaja hendak melepaskan manusia itu. Akan kulihat, mereka
dapat berbuat apa terhadapku," serunya geram.
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar itu, Mo Lan Hwa hentikan larinya dan berpaling kearah Gin Liong, ia
marah sehingga wajahnya merah, Ketika mulutnya hendak meluncurkan kata2,
tiba2 terdengar sebuah suara tawa yang nadanya rawan dan aneh.
Gin Liong terkejut Menurutkan arah suara tawa itu, dilihatnya dari belakang
bukit yang jaraknya diantara empat puluhan lombak, muncul sesosok bayangan
menghadang kedua iblis tadi.
Ketika Gin Liong mencurahkan perhatian memandang kemuka, ternyata yang
muncul itu seorang kakek tua renta berumur delapan puluhan tahun, Rambut
pendek tetapi jenggotnya dipelihara panjang, putih mengkilap seperti salju.
Alisnya tebal mata bundar dan kepala besar. Mengenakan ma-kwa (pakaian
mancam) yang menutup kaki.
Kakek itu mencekal sebatang pipa huncwe yang panjangnya sampai satu setengah
meter, Kepala huncwe sebesar kepalan tangan orang.
Berhadapan dengan kakek itu, seketika gemetaran kedua iblis tadi. Serempak
mereka jatuhkan diri berlutut dihadapannya.
Gin Liong kerutkan dahi, Dia merasa pernah kenal dengan kakek itu. Kalau tak
salah dahulu suhunya pernah mengatakan bahwa kakek itu bernama Hok To-Beng
bergelar Kim-yan-tay atau Tabung-tembakau-emas.
Dia salah seorang tokoh dari Swat-Thian Sam-yu atau Tiga Sahabat dari langit
salju, Dia lah yang memiliki ilmu ginkang sakti Menginjak-salju-tanpa-meninggalkan-
jejak. Baru Gin Liong berpikir sampai disitu, tiba2 Mo Lan Hwa berteriak nyaring:
"Toa-suheng, mereka berdua telah menghina aku!"
Dan nona itupun terus lari menghampiri Hok To Beng.
Saat itu tergeraklah pikiran Gin Liong. Suheng dari Mo Lan Hwa atau kakek Hok To
Beng itu kemungkinan tahu siapakah kakek kurus dalam pondok itu. Paling tidak,
Hok To Beng tentu tahu siapakah orangtua jenggot indah yang berwibawa sebagai
seorang dewa itu. Dengan memiliki harapan itu, Gin Liong sarungkan pedangnya lalu bergegas
menghampiri ketempat Hok To Beng.
Belum tiba ditempat itu, Gin Liong sudah mendengar kedua iblis membela diri:
"Sudah banyak tahun siaute berdua tak pernah berkunjung untuk menghaturkan
selamat kepada toa-suheng. Sungguh hati kami amat menyesal. Tadi siaute berdua
bertemu dengan Mo sumoay. Belum sempat siaute menanyakan keadaan toa-
suheng, Mo sumoay sudah marah2 dan mendamprat.
Mo Lan Hoa deliki mata dan melengking marah:
"Tutup mulutmu! jangan ngaco belo tak keruan jual kebohongan. Apa yang kalian
bicarakan ketika semalam berada dalam kota" Apakah kalian pernah menanyakan
kesehatan toa-suheng" Dan tadipun, apa saja yang kalian ocehkan dihadapanku ?"
Kemudian nona itu menunjuk kearah Gin Liong yang sedang mendatangi katanya
pula: "Tanyakanlah kepada adikmu itu, apakah kalian tadi pernah bertanya tentang diri
toa-suheng" Hm..."
Orang tua rambut pendek kerutkan dahi, ia gerakkan pipa huncwe untuk
menyentuh lembut Mo Lan Hwa seraya berkata:
"Sudahlah, sudahlah. Katakan lebih dulu urusanmu baru nanti giliran mereka!"
Kemudian Hok To Beng acungkan pipanya kearah Gin Liong yang saat itu sudah tiba
dan berada satu tombak jauhnya, bertanya pula kepada Mo Lan Hwa:
"Kapan engkau mendapatkan seorang adik laki budak itu " siapakah she dan
namanya" Dimana tempat tinggalnya dan berapakah umurnya" Cobalah engkau
terangkan lebih dahulu."
Habis mencurahkan hujan pertanyaan, orang tua rambut pendek itu menengadah
memandang langit dan pasang telinganya untuk mendengarkan keterangan Mo Lan
Hwa. Sama sekali tak mengacuhkan kepada kedua iblis yang masih berlutut ditanah
itu. Gin Liong mendapat kesan bahwa rambut pendek Hok To Beng itu seorang tua
yang tak mempedulikan segala adat peraturan Dengan mempunyai seorang toa-
suheng semacam itu, sudah tentu Mo Lan Hwa menjadi seorang nona yang suka
membawa kemauan sendiri dan bebas tingkah lakunya!
Tampak Mo Lan Hwa melongo, wajahnya merah jengah. Sepasang biji matanya
yang besar, berkeliaran Tiba2 ia tertawa lalu melambai Gin Liong.
"Adik, kemarilah," serunya, "cobalah engkau tuturkan satu demi satu kepada toa-
suheng." Gin Liong terpaksa tertawa walaupun seperti orang meringis, Demi hendak
mengetahui asal usul orang tua kurus dan orang tua jenggot indah itu, terpaksa
ia tebalkan muka menghampiri.
Melihat perawakan Gin Liong dan sepasang matanya yang bundar bersinar, diam2
orang tua rambut pendek itu terkejut.
"Bakat yang luar biasa bagusnya. Kelak anak ini tentu menjadi tokoh persilatan
yang cemerlang di angkasa persilatan," diam2 Hok Tek Bong menimbang dalam
hati. Tetapi karena melihat wajah toa-suhengnya mendadak berobah, berdebarlah hati
Mo Lan Hwa. Tetapi ia bersikap setenang mungkin.
Berhenti pada jarak lima langkah dari orang tua rambut pendek, Gin Liongpun
memberi hormat. "Siau Gin Liong menghaturkan hormat kepada lo-cianpwe," serunya disertai
dengan membungkuk tubuh. Tiba2 Hok To Beng tertawa gembira, Nada tawanya amat sedap didengar setelah
berhenti tertawa, dia mengelus-elus jenggotnya yang putih dan berseru gembira:
"Saudara, apakah engkau adik lelaki dari siaumoay ku " Aku adalah toa-suhengnya
Mengapa engkau menyebut locianpwe kepadaku" Yang benar, engkau sebut saja
lo-koko." Habis berkata ia tertawa gelak2.
Sudah tentu Mo Lan Hwa girang sekali,
Dia tahu kalau toa-suhengnya suka pada pemuda itu. Maka segera ia berkata
kepada Gin Liong: "Adik, lekaslah engkau ceritakan apa yang terjadi tadi..."
"Toa-suheng." tiba2 kedua iblis yang masih berlutut di tanah mendahului membuka
suara, "budak itu bukan adik lelaki dari Mo sumoay ..."
"Tutup mulut!" bentak orang tua rambut pendek. Suaranya seperti halilintar
menyambar sehingga Gin Liong pun sampai tergetar jantungnya.
Seketika kedua iblis itu pucat wajahnya dan keringat dinginpun bercucuran
membasahi tubuh mereka, Dengan pandang mata penuh dendam, mereka
memandang Mo Lan Hwa dan Gin Liong.
Orang tua rambut pendek itu melanjutkan kata-katanya: "Segala tingkah lakumu
yang tak senonoh diluaran aku tahu semua. Sebelum menutup mata, suhu telah
memberi pesan kepadaku supaya mencabut ilmu kepandaian kalian, Tetapi sampai
sebegitu jauh, aku masih belum sampai hati."
Habis berkata ia kiblatkan pipanya kemuka kedua orang itu sehingga mereka
pejamkan mata, gemetar dan kucurkan keringat dingin. Mereka diam mematung
tak berani berkutik sama sekali.
"Sudah banyak kali aku menerima teguran dari beberapa kawan yang menuduh aku
sengaja memelihara murid khianat dan tak mau memikirkan keselamatan dunia
persilatan. Hm, hari ini, sekali lagi kuberi kalian ampun..."
Mendengar itu menjeritlah Mo Lan Hwa seraya lari kesamping toa-suhengnya.
Memegang lengan orang tua itu dan berseru dengan gopoh:
"Toa-suheng, kali ini janganlah memberi ampun mereka, Kalau tidak, bagaimana
engkau hendak memberi pertanggungan jawab kepada Hong dan Cui berdua lo-
koko nanti..." Gin Liong cepat dapat menduga bahwa yang disebut Hong (Gila) dan Cui (pemabuk)
lo-koko oleh Mo Lan Hwa itu tentulah kedua tokoh yang lain dari Swat-san Sam-yu,
Lengkapnya mereka bernama Hong-lian-sian dan Cui-sian-ong.
Dan Gin Liong pun cepat dapat menduga bahwa orang tua rambut pendek yang
berada dihadapannya itu pasti Kim-yan-tay atau Tabung-tembakau-emas yang
paling aneh wataknya diantara Swat-thian Sam-yu.
Memang ketiga tokoh dari Swat-thian Sam-yu itu gemar berkelana keseluruh
penjuru. Mereka termasyhur dengan ilmu ginkangnya yang sakti.
Serentak Gin Liong pun teringat akan nyanyian yang tersebar dalam dunia
persilatan. Dalam ilmu ginkang. Swat-thian Sam-yu paling menjagoi.
Hong-tian-siu Kakek Gila, terbang diatas rumput.
Kim-yan-tay si Tabung-tembakau-mas menginjak salju tanpa bekas.
Cui-sian-ong si Dewa Pemabuk, melintas sungai dengan sebatang rumput ilalang...
Teringat akan syair itu, tergetarlah hati Gin Liong. Sedang Mo Lan Hwa tetap
mencekal lengan toa-suhengnya, menghendaki supaya toa-suhengnya jangan
melepaskan kedua iblis. Kim-yan-tay Hok To Beng bungkam. Hanya matanya yang berkilat-kilat memancar
sinar. Rupanya dia masih ragu2 untuk mengambil keputusan.
Pipa tabung tembakau yang berada ditangannya, pelahan-lahan bergerak dimuka
kedua iblis, Asal orang tua itu sekali menutuk, kedua iblis ilu pasti akan rubuh
berlumuran darah. Kedua iblis itu berlutut tegak. Wajahnya tegang dan cemas. Matanya berkilat-
kilat mengikuti pipa tabung tembakau. Keringat dingin bercucuran deras membasahi
mukanya. Tiba2 Hok To Beng menggeleng kepala dan menghela napas pelahan. Rupanya ia
merasa tak enak untuk menarik kembali ucapannya tadi.
"Kalian boleh pergi." katanya dengan nada berat "kalau kelak masih berani
melakukan kejahatan lagi, jangan sesalkan aku tak ingat pernah menjadi saudara
seperguruan dengan kalian."
Kemudian jago tua itu menengadah memandang langit, Tampaknya ia seperti
minta maaf kepada arwah suhunya yang berada di alam baka karena tak
melakukan perintahnya. Melihat toa-suhengnya benar2 melepaskan kedua iblis itu, karena marah, Mo Lan
Hwa sampai menggigil keras.
Kedua iblis itupun segera meniarap ketanah dan serempak berseru:
"Terima kasih atas kemurahan hati toa-suheng. Siaute berdua mohon diri."
Setelah bangun, kedua iblis itu masih menyempatkan diri untuk memandang
dengan sorot mata penuh dendam kepada Gin Liong, Mo Lan Hwa dan Hok To
Beng. Gin Liong terkejut. Menilik muka dan sorot mata kedua iblis itu, rupanya mereka
masih penasaran. Gin Liong pun tak mau melepaskan pandang matanya kearah
langsung kedua iblis itu.
Sekonyong-konyong, baru setombak kedua iblis itu melangkah, mereka berhenti
dan secepat kilat berputar tubuh seraya mendorongkan kedua tangan sekuat-
kuatnya. Serentak angin pukulan yang dahsyat melanda kearih Gin Liong bertiga, Tetapi
karena Gin Liong sudah memperhatikan gerak gerik kedua orang itu, maka cepat
iapun segera menggembor keras:
"Kawanan tikus, kalian hendak cari mampus..."
Kata2 itu diserempaki dengan menyongsongkan kedua tangannya kemuka. Dalam
pada itu Hok To Beng pun kebaskan sepasang lengan bajunya, menggembor keras
dan melambung ke udara. "Bum . . ." Terdengar letupan dahsyat dan deru angin menghamburkan salju, Disusul dengan
derap kaki terhuyung-huyungpun susul menyusul terdengar.
Ketika Gin Liong memandang seksama, dilihatnya Menginjak-salju-tanpa-bekas Hok
To Beng sudah melayang di udara dan bagaikan burung garuda dia menukik kearah
kedua iblis yang terhuyung-huyung kebelakang itu.
"Manusia berhati serigala kalian ini..." teriak Hok To Beng.
Sinar emas berkelebat dan terdengarlah dua buah jeritan yang menyeramkan.
Darah berhamburan ke udara dan rubuhlah kedua iblis itu ke tanah untuk selama-
lamanya. Ketika Gin Liong berpaling, ia terkejut sekali Ternyata Mo Lan Hwa telah rubuh
di tanah salju, Cepat ia loncat menghampiri dan mengangkat tubuh nona itu,
Dilihatnya wajah nona itu pucat seperti kertas mata meram napas lemah.
13 Angin bertiup petir menyambar
Gin Liong tahu bahwa kali ini, Mo Lan Hwa memang benar2 pingsan sungguh, ia
bingung, lalu merogoh kedalam bajunya.
Saat itu Hok To Bengpun sudah melayang tiba dan berjongkok memeriksa, Setelah
meraba dada sumoaynya, Hok To Beng agak tenang.
Mengangkat muka, dilihatnya Gin Liong sedang sibuk merogohi bajunya.
"Eh, cari apa engkau ?" tegurnya.
"Katak salju," sahut Gin Liong.
Hok To Beng terkesiap, serunya gopoh: "Engkau taruh dimana ?"
"Entah bagaimana, tahu2 binatang itu jatuh," sahut Gin Liong hambar.
"Jatuh dimana ?" Hok To Beng makin tegang.
Gin Liong segera menerangkan:
"Semalam aku menderita luka, karena tak dapat mengambil air, katak salju itu
terpaksa kumasukkan dalam mulut..."
"Tolol engkau," Hok To Beng tertawa, "sudah tentu binatang itu meluncur masuk
kedalam perutmu, Ai, mengapa dicari lagi?"
Gin Liong terbeliak, Saat itu baru ia menyadari apa sebab tenaga dalamnya tiba2
berobah hebat sekali, Sekali dorongkan tangan ia mampu membuat si Jenggot-
terbang mencelat sampai beberapa tombak.
"Sudahlah, siau-hengte," Hok To Beng menghiburnya, "siaumoayku hanya pingsan
karena menderita rasa kejut yang berasal dari angin pukulan kedua iblis itu.
Asal engkau mau menyalurkan tenaga dalam dengan telapak tangan pada perutnya, dia
tentu akan siuman." Merah wajah Gin Liong tetapi apa boleh buat. Terpaksa ia melakukan hal itu juga.
Sesaat tangan Gin Liong melekat pada perut Mo Lan Hwa. nona itu segera
terdengar menghela napas panjang dan membuka mata.
Melihat dirinya berada dalam pelukan Gin Liong, merahlah wajah nona itu.
Jantungnya mendebur keras, sepasang matanya memandang mesra pada wajan
pemuda tampan itu. Mulutnya pun merekah senyum manis, rupanya ia mengharap
agar pemuda itu jangan melepaskan tangannya.
Darah Gin Liongpnn menggelora keras, jantung berdebar-debar, Pada saat ia
hendak mendorong tubuh si nona supaya bangun, tiba2 nona itu memekik dan
terus melenting berdiri. Gin Liong terkesiap, Ah, ternyata Mo Lan Hwa dengan wajah tersipu-sipu malu
tengah lari menghampiri Hok To Beng yang berdiri setombak jauhnya dari tempat
mereka. Ternyata sejak tadi Hok To Beng mengawasi kedua anak muda itu sambil mengelus-
elus jenggot dan tersenyum simpul.
Gin Liong pun cepat berbangkit.
Sambil menubruk dada Hok To Beng, Mo Lan Hwa menggentak-gentakkan kaki din
memekik-mekik manja: "Toa-suheng tak suka kepadaku..."
Sambil memegang bahu nona itu Hok To Beng tertawa gelak2.
"Jangan ribut, jangan ribut, Siapa bilang aku tak sayang kepadamu ?"
"Tadi aku pingsan mengapa engkau tak menolong?" masih nona itu menjerit
manja. Hok To Beng tertawa gelak2 pula.
"Sudah ada seorang adik yang menolong, mengapa toa-suheng harus ikut
campur?" Mendengar itu merahlah selembar wajah Mo Lan Hwa. Cepat ia susupkan
kepalanya ke dada Hok To Beng.
"Kalau aku mengurus dirimu, kedua manusia berhati serigala itu tentu dapat
melarikan diri," kata Hok To Beng menghiburnya.
Mendengar itu baru Mo Lan Hwa lepaskan diri dari dada toa-suhengnya dan
memandang ke-arah mayat kedua iblis, ia bersyukur karena iblis perusak wanita
itu sudah mati. Karena hari sudah petang, Hok To Beng menyerahkan pedang milik Mo Lan Hwa
kepada nona supaya disimpannya.
Gin Liong menghampiri memberi hormat kepada Hok To Beng, Tetapi pada saat ia
hendak membuka mulut, Mo Lan Hwa tertawa geli.
Gin Liong terkesiap sehingga kehilangan kata2 yang hendak diucapkan Melihat itu
Lan Hwa makin tertawa geli.
"Mau apa engkau ini " Mengapa tampaknya begitu resmi itu?" seru si nona.
Hok To Beng tertawa gelak2, serunya:
"Rupanya sian-hengte tentu berasal dari perguruan yang termasyhur sehingga dia
masih kukuh dengan tata cara, membedakan yang tua dengan muda. Tidak seperti
lo-koko yang begini liar. Mau bilang apa terus bilang, mau berbuat apa, pun
terus
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbuat saja. Asal sesuai dengan garis kebenaran, aku tak peduli dengan segala
macam peraturan raja."
Berhenti sejenak tiba2 ia bertanya: "Siau-hengte, maukah engkau memberi tahu
nama perguruanmu ?" Walaupun tahu bahwa memang tokoh2 aneh dalam dunia persilatan itu tak
menghiraukan soal tata cara adat istiadat tetapi ia belum tahu benar akan
peribadi Hok To Beng, Maka ia tak berani sembarangan berkata, Setelah memberi hormat ia
berkata: "Wanpwe..." "Ih, apa-apaan itu wanpwe " Lo-koko tetap lo-koko, harus dipanggil lo-koko.
Siau- hengte pun tetap harus disebut siau-hengte, Mengapa engkau masih berkukuh
menyebut cianpwe dan wanpwe begitu macam ?" tiba2 Lan Hwa meIengking.
Mendengar itu merahlah muka Gin Liong, ia hendak balas menyemprot nona itu
tetapi tiba2 Hok To Beng menukas dengan tertawa gelak-gelak:
"Siau-hengte, bersikaplah wajar saja. Tak perlu terlalu menghormat Lo-koko tak
mempersoalkan urusan begitu."
Teringat Gin Liong akan pesan suhunya. Bila berhadapan dengan tokoh2 aneh
dalam dunia persilatan harus hati2 dan menghormat. Paling baik turuti saja
mereka. "Baiklah, lo-koko," serunya sesaat kemudian, "siaute akan menurut perintah lo-
koko." Hok To Beng pun tertawa gelak2, ia puas melihat sikap Gin Liong yang cepat dapat
menyesuaikan keadaan. Bukan kepalang girang Mo Lan Hwa. Karuan bibir merekah tawa maka tampaklah
baris giginya yang putih seperti untaian mutiara,
"Adik, beritahukan nama perguruanmu kepada lo-koko," segera ia berseru.
Dengan wajah serius, berkatalah Gin Liong.
"Aku menerima pelajaran silat dari guruku Liau Ceng taysu, kepala kuil Leng-hun-
si di puncak Hwe-sian-hong!"
Menginjak-salju-tanpa-bekas Hok To Beng kerutkan alis, merenung, Pipa
huncwenya bergetar2. Rupanya jago tua itu sedang menggali ingatan tentang diri
Liau Ceng taysu. Melihat wajah toa-suhengnya, tahulah Mo Lan Hwa bahwa suhu dari Gin Liong itu
tentu seorang paderi yang tak terkenal. Apabila memang seorang tokoh terkenal
tentu dengan mudah toa-suhengnya dapat mengenali. Karena boleh dikata, hampir
semua tokoh2 persilatan yang ternama, Hok To Beng itu mengenalnya, Apalagi
hanya didaerah puncak Hwe-sian-hong gunung Tiang-pek-san yang begitu dekat.
Kuatir kalau Gin Liong gelisah, cepat2 Mo Lan Hwa berseru: "Toa-suheng, aku
sudah teringat." Hok To Beng terkesiap, serunya: "Siapa ?"
"Toa-suheng, mengapa makin tua engkau makin linglung," seru Mo Lan Hwa
dengan nada sok tahu, "apakah engkau lupa ketika naik ke Hwe-sian-hong,
bertemu dengan seorang paderi tua yang mengenakan jubah?"
Sesungguhnya Gin Liong tak peduli ketika metihat kedua orang itu tak kenal
kepada suhunya. Tetapi demi mendengar ucapan Mo Lan Hwa, hampir ia tak dapat
menahan gelinya. "Ih, ada2 saja nona itu. paderi tentu memakai jubah, masakan pakai pakaian
makwa seperti orang biasa," pikirnya.
Mo Lan Hwa memang hendak membingungkan pikiran toa-suhengnya agar jangan
melanjutkan pemikirannya untuk mengingat-ingat nama Liau Ceng taysu itu.
"Ah, aku benar2 tak ingat lagi," seru Hok To seraya gelengkan kepala.
Ucapan toa-suhengnya itu benar2 membuat si nona bingung, ia tahu bahwa Gin
Liong memandangnya lekat2 sehingga ia tak leluasa memberi isyarat mata kepada
toa-suhengnya. "Ah, makin tua engkau memang makin limbung," akhirnya sekenanya saja nona itu
berkata, "apakah engkau lupa akan lo-siansu yang wajahnya merah segar, alisnya
tebal dan mata jernih, memelihara jenggot yang begini panjang ...."
Nona itu segera ulurkan tangannya, ditempelkan ke dadanya sendiri selaku
menunjukkan ukuran panjang jenggot lo-siansu atau paderi tua itu.
Gin Liong terpaksa tertawa, Cepat ia menyeletuk: "Ah, mungkin yang kalian jumpai
itu susiok couw-ku..."
Hok To Beng tak marah karena diolok-olok sinona. ia malah tertawa sambil me-
ngurut2 jenggotnya. Kemudian berseru kepada Gin Liong: "Ya, ya, lo-koko memang
sudah tua sehingga tak tahu siapakah gurumu itu."
Gin Liong hanya tertawa saja.
Tiba2 Hok To Beng berpaling dan bertanya kepada Mo Lan Hwa: "Siau-moay,
apakah engkau sudah memperoleh kabar?"
"Sebelum tiba di tempatnya, aku sudah dihadang kedua iblis itu." Mo Lan Hwa
bersungut-sungut. "Kalau begitu, bariklah kita sama2 pergi kesana," Hok To Beng tersenyum. Lalu
berpaling kearah Gin Liong.
"Siau-hengte, pernah engkau mendengar bahwa lebih kurang sebulan yang lalu,
dirumah pondok dalam tanah lapang disebelah depan ito, muncul seorang tua
membawa kaca cermin?" tanyanya.
Gin Liong menyahut: "Belum, tetapi..."
"Kalau begitu, ayolah kita sama2 melihat kesana !"ajak Hek To Beng.
"Tidak, semalam aku sudah kesana..."
Hek To Beng terkesiap. Lalu bergegas tanya: "Bagaimana caramu pergi kesana?"
"Sebenarnya aku tak sengaja ketempat itu. Aku tak tahu bahwa tempat itu
merupakan sebuah tanah lapang yang tak terurus. Dan tak tahu bahwa disitu
terdapat sebuah rumah pondok berisi seorang tua membawa cermin, Karena
kebetulan jalan melalui hutan kecil itu, baru kutahu tentang pondok dan orang
tua kurus itu," Gin Liong memberi keterangan.
"Ih, ketahuilah." seru Mo Lan Hwa terkejut, "tiga tombak sekeliling pondok itu,
sangat berbahaya sekali. Orang tua pembawa kaca itu dapat melepaskan pukulan
maut." Gin Liong gelengkan kepala.
"Terdorong oleh keinginan tahu, aku tetap menghampiri jendela pondok, Tetapi
ternyata tak mendapat bahaya apa2" kata Gin Liong,
Rupanya Hok To Beng kurang pergcaya, Tetapi ia percaya Gin Liong itu bukan
seorang pemuda yang suka bohong, Maka bertanyalah ia untuk menyelidik:
"Siau-hengte, apa lagi yang engkau lihat dalam pondok itu?"
Tanpa ragu2 Gin Liong menjawab. "Diatas meja yang berada dihadapan orang tua
kurus itu, terdapat sebuah cermin yang gilang gemilang menyilaukan mata !"
"Adik tolol," tiba2 Mo Lan Hwa menyeletuk," itulah kaca wasiat Te-kia (Kaca
Bumi) dari seorang paderi sakti yang hidup tiga ratus tahun yang lalu, Segala benda
pusaka yang tertanam di tanah, asal pada malam hari disorot dengan sinar kaca
wasiat itu, tentu benda dalam tanah itu akan memancarkan sinarnya keluar, jika
engkau sudah menghampiri ke jendela, mengapa engkau tak mengambil kaca
wasiat itu ?" Gin Liong tersenyum dan geleng2 kepala.
"Siau-hengte," Hok To Bengpun ikut berkata, "kalau saat itu engkau mengambilnya,
tentu saat ini engkau, mendapat julukan adik tolol dari tacimu itu."
Mo Lan Hwa merah mukanya, ia hanya cibirkan bibirnya dan tak berkata apa2 lagi.
"Lo-koko. siapakah orangtua kurus itu?" tiba2 Gin Liong bertanya.
Hok To Beng gelengkan kepala: "Selama belum melihat sendiri orang itu, aku tak
berani memastikan dirinya siapa, Nanti apabila sudah melihatnya, baru kita
ketahui orang itu, Tetapi kurasa tak mungkin paderi sakti pemilik kaca itu."
Gin Liong kecewa. "Ah, semalam dia sudah pergi."
"Benarkah begitu, adik?" teriak Mo Lan Hwa dengan nada tegang.
Gin Liong mengangguk. "Apa yang dikatakan siau-hengte kemungkinan benar," kata Hok To Beng, "ketika
aku datang kemari, diatas puncak disebelah muka itu aku bertemu dengan
beberapa tokoh persilatan. Tampak mereka lagi bergegas-gegas menuju keluar
gunung." "Toa-suheng, kita akan meninjau ke pondok itu atau tidak ?" tanya Mo Lan Hwa.
"Sekarang tiada gunanya," Hok To Beng gelengkan kepala, kemudian ia
memandang kelangit, katanya pula, "sekarang hampir tengah hari. Dengan ilmu lari
cepat yang kita miliki, kiranya kita masih dapat mencapai kota kecil di bawah
gunung untuk makan siang."
Karena kuatir Gin Liong akan pergi maka cepat2 Mo Lan Hwa berseru: "Ya, baiklah,
aku memang hendak berlomba lari degngan adik."
Gin Liong tertawa hambar.
"Ilmu ginkang taci sudah termasyhur di Say-gwa (luar perbatasan). Sedang, Sedang
ilmu ginkang lo-koko tiada tandingnya dalam dunia persilatan. Mana aku mampu
menandingi" Ah, aku menyerah saja."
Mendengar dirinya dipanggil taci, hampir Mo Lan Hwa tak percaya
pendengarannya. "Adik, engkau menyebut aku taci?" serunya menegas.
Gin Liong terkesiap lalu menyahut: "Engkau memanggil aku adik, apakah tak
selayaknya aku menyebutmu taci ?"
Mo Lan Hwa mengangguk gembira, serunya:
"Ya, memang selayaknya begitu."
Rupanya karena dilanda luap kegembiraan, nona itu tak tahu harus berkata apa.
Tiba2 ia berputar tubuh dan mencekal lengan kanan Hok To Beng dan diguncang-
guncangnya. "Toa-suheng, layak atau tidak kalau adik itu menyebut aku taci?"
Hok To Beng juga gembira sekali, ia tertawa gelak2: "Ya, ya, memang selayaknya."
"Toa-suheng, mari, kita cepat ke kota itu. Nanti engkau boleh minum beberapa
cawan lagi," seru Mo Lan Hwa.
"Bagus. hari ini aku boleh mabuk lagi," Hok To Beng pun tertawa girang, Tiba2 ia
enjot tubuhnya sampai beberapa tombak di udara, sekali mengebut lengan baju,
diapun meluncur pesat sekali.
Melihat bagaimana dengan dua kali gerakan saja, Hok To Beng sudah berada
dimuka lembah salju, diam2 Gin Liong memuji.
"Ah, tak kecewa dia mendapat gelaran nama yang indah "Menginjak-salju-tanpa-
jejak, ilmu ginkangnya memang luar biasa hebatnya."
"Adik tolol, mengapa diam saja" Lekaslah kejar, kalau terlambat sedikit saja.
engkau pasti takkan melihat bayangan lo-koko lagi," tiba2 Mo Lan Hwa menegur.
Dan ia sendiripun terus meluncur kemuka, cepatnya seperti anak panah terlepas
dari busur. Yang tampak hanya segulung asap merah yang bertebaran diatas
permukaan salju tanah, juga nona itu layak mendapat gelar nama sebagai Swat-te-
biau-hong atau Tanah-salju-bertebar-merah.
"Hm, jika saat ini tak kucoba ilmu ginkang Angin-meniup-petir-menyambar ajaran
suhu, apabila turun gunung aku tentu tak mempunyai kesempatan untuk
mencobanya lagi, diam2 Gin Liong menimang.
Setelah mengerahkan seluruh hawa murni, segera ia meluncur kemuka, pikirannya
hanya tertumpah pada ilmu lari itu dan sesaat kemudian ia mendengar angin
menderu-deru disisi telinganya.
Karena kuatir Gin Liong akan tertinggal jauh maka Mo Lan Hwa sengaja tak mau
pesatkan larinya. Tak henti-hentinya ia berpaling. Tetapi setiap kali berpaling
ia terkejut karena Gin Liong telah mengejarnya dengan pesat.
Melihat itu Mo Lan Hwa segera menambah kecepatannya. Saat itu segera ia
melihat dibawah kaki bukit, melingkar-lingkar seperti ular panjang, Orang
berjalan hilir mudik. Melihat Mo Lan Hwa menambah kecepatan, Gin Liong pun tersenyum. Tetapi
ketika memandang Hok To Beng, ia agak terbeliak, Tubuh Hok To Beng sudah
meluncar turun ke kaki bukit.
Sebagai seorang pemuda sudah tentu Gin Liong masih berdarah panas, seketika
timbul nafsunya untuk memenangkan perlombaan itu. jika tadi ia menggunakan
gerak ilmu lari Angin meniup, saat itu segera ia robah menjadi gerak Petir-
menyambar Tubuh pemuda itu segera berobah seperti segulung asap yang meluncur seperti
terbang. Ada suatu ciri aneh dalam gerak lari Petir-menyambar itu. Bahwa
sepasang kaki Gin Liong mengeluarkan suara desis mirip kumandang petir.
Mo Lan Hwa yang tengah lari se-kencang2nya terkejut ketika mendengar dari arah
belakang seperti bunyi mendesis-desis, ia berpaling dan kejutnya makin bertambah
ketika melihat segumpal asap warna kuning tengah meluncur terbang.
Karena heran ia memandang dengan seksama, Tetapi tiba2 gumpalan asap kuning
itupun sudah lenyap dari pandang mata.
Mo Lan Hwa memandang kemuka lagi, Ah. hampir ia tak percaya pada matanya
ketika dilihatnya gumpal asap kuning itu sudah mengejar dibelakang tuo-
suhengnya. Hok To Beng pun mendengar juga suara mendesis itu. Dia terkejut dan cepat
berpaling kebelakang. Ah, ternyata Gin Liong sudah berada dibelakangnya. Diam2
ia meragukan diri tokoh yang menjadi suhu dari Gin Liong.
Segera ia pindahkan pipanya ke tangan kiri dan diam2 kerahkan tenaga, siap
dihantamkan kebelakang. Saat itu Gin Liong makin mendekati jaraknya dengan Hok To Beng tidak lagi
ratusan tombak tetapi hanya puluhan tombak saja, juga dengan jalanan di kaki bukit hanya
terpisah tak sampai satu li.
Gin Liong tersenyum dan makin mendekati Hok To Beng.
Gerakan dari Gin Liong yang menimbulkan suara desis itu makin terdengar jelas
oleh Hok To Beng, Sekonyong-konyong setelah memperhitungkan jaraknya, Hok To
Beng meggembar keras dan secepat kilat mencengkeram siku lengan kanan Gin
Liong, Gin Liong terkejut Segera ia gunakan gerak Liong-li-biau, menghindar dan terus
melanjut turun kebawah gunung,
cengkeramannya luput, Hok To Beng. makin terkejut, serunya: "Siau-hengte,
engkau memang...." Dia terus loncat menerkam. Demikian keduanya segera seperti orang terkam
menerkam, jaraknya hanya satu meter, Sepintas pandang menyerupai dua ekor
burung rajawali yang tengah bertarung hebat, meluncur dari udara.
Menilik nada teriakan Hok To Beng itu, tahulah Gin Liong bahwa tokoh itu tidak
mengandung perasaan dengki terhadapnya Ketegangan hatinya pun mereda.
Mo Lan Hwa yang masih berada pada jarak seratusan tombak tampak pucat
wajahnya ketika melihat gerak gerik toa-suhengnya.
"Toa-suheng, jangan..." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersumbat
oleh air mata yang bercucuran
Mendengar teriakan nona itu, Sin Liong terkesiap, ia lambatkan larinya dan
membiarkan bahunya dijamah oleh Hok To Beng.
Setelah keduanya berdiri tegak, dengan wajah keheranan, Hok To Beng berulang
menepuk-nepuk bahu Gin Liong.
"Siau-hengte, bilanglah sejujurnya..." Tiba2 Hok To Beng tak melanjutkan kata-
katanya karena dilihatnya Gin Liong berpaling memandang kelereng gunung dan
seketika wajahnya berobah lalu berteriak: "Taci, pelahan-lahan saja..."
Gin Liong pun terus menyelinap lari keatas lereng. Hok To Beng terkejut dan ikut
berpaling, Kejutnya bukan kepalang. Mo Lan Hwa yang lari secepat angin tidak mau
mengurangi kecepatannya ketika saat itu tiba di kaki bukit.
Gin Liong pun sudah melayang tiba lalu dengan apungkan tubuh melambung dan
menyambar pinggang Mo Lan Hwa terus dibawa turun dari lereng.
Hok To Beng maju menyambuti dengan hati2 sekali. Melihat toa-suhengnya, Mo
Lan Hwa segera susupkan kepala ke dada Hok To Beng dan menangis manja.
Hok To Beng mengelus-elus kepala sumoay-nya dengan perasaan cemas. ia duga
tentu terjadi sesuatu dengan Mo Lan Hwa, Tetapi pada lain kilas, ia menyadari
apa yang menyebabkan sumoay-nya menangis. Segera ia tertawa gelak2.
Gin Liong terbeliak mematung. Dia merasa tadi Mo Lan Hwa amat gembira ketika ia
memanggilnya dengan sebutan taci, Tetapi kini setelah ia memberi pertolongan
agar nona itu jangan sampai menderita bahaya, mengapa malah tak senang dan
menangis. Tiba2 pula Gin Liong teringat sumoaynya yang ketika ditinggali pergi masih sakit
dan tidur dipembaringan. Teringat akan diri Ki Yok Lan mengganggu hatinya, Diam2
ia berjanji kepada dirinya sendiri, tak boleh sekali-kali salah langkah sehingga
mencelakai orang, Dan selagi belum berlarut-larut, ia harus segera meninggalkan
Hok To Beng dan Mo Lan Hwa.
Saat itu Hok To Beng berhenti tertawa lalu pelahan-lahan mendorong Mo Lan Hwa
kesamping, mengusap airmata gadis itu dan menghiburnya:
"Siaumoay, apakah engkau kuatir kalau aku akan mencelakai adikmu itu" Ha,
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sumoay tolol, aku bertiga dengan engkohmu si Gila dan engkohmu si pemabuk itu,
tak boleh mengganggu bocah itu!"
Mo Lan Hwa girang sekali, Sejenak memandang Gin Liong, ia tertawa gembira.
Gin Liong tersipu-sipu merah dan terpaksa ikut tertawa, Melihat itu Hok To Beng
pun tertawa gelak2. Kemudian menatap Gin Liong dan berseru dengan serius:
"Siau-hengte, bilanglah terus terang, jangan membohongi lo-koko. siapakah
sesungguhnya gurumu itu?"
Dengan wajah serius, Gin Liong pun menjawab:
"Masakan aku berani membohongi lo-koko. Guruku memang benar2 kepala dari
kuil Leng-hun-si..."
"Aku maksudkan seseorang, apakah siau-hengte tentu tahu!" tukas Hok To Beng.
"Jika tahu masakan aku tak mau mengatakan," kata Gin Liong.
Sejenak memancarkan sinar kilat pada pandang matanya, Hok To Beng menatap
lekat2 pada wajah Gin Liong yang cakap, Rupanya ia hendak menyelidiki apakah
Gin Liong itu bohong atau tidak.
"Seorang tunas muda yang menggempar dunia persilatan dengan nama Pelajar-
wajah-kumala Kiong Cu Hun, tahukah siau-hengte?"
Seketika berobahlah wajah Gin Liong. Air matanya berderai-derai turun. Lalu
dengan nada menghormat ia berkata:
"Memang dia adalah guruku."
Hok To Beng mengelus-elus jenggotnya dan tertawa gelak2.
"Seorang jago muda yang cemerlang, karena berkecimpung dalam dunia yang
penuh debu2 dosa akhirnya masuk kedalam biara, seharusnya aku si manusia tua
yang tak mati2 ini, harus mengikuti jejaknya masuk kedalam biara untuk
mensucikan diri." Kemudian ia berkata pula kepada Gin Liong, "Dengan gurumu sudah hampir
sepuluh tahun tak bertemu, Lusa aku tentu akan memerlukan berkunjung..."
Tiba2 Hok To Beng tak melanjutkan kata-katanya, karena ia melihat Gin Liong
masih berlinang-linang air mata. Cepat ia menghiburnya: "Siau-hengte..."
Rupanya Gin Liong tak kuasa menahan luapan kesedihannya, Dengan air mata
bercucuran ia berkata: "Beberapa hari yang lalu, guruku telah dibunuh oleh orang jahat, Lo-koko takkan
bertemu lagi selama-lamanya."
Bukan kepalang kejut Hok To Beng mendengar keterangan itu. Seketika seri
wajahnya berobah tegang, serunya:
"Siapakah seorang yang memiliki ilmu sedemikian saktinya, sekalipun empat
serangkai Bu-lim-su-ih yang termasyhur itu, juga sukar untuk mencelakai gurumu."
Hok To Beng berhenti sejenak lalu melanjutkan kata-katanya pula:
"Siau-hengte, kurasa pembunuh itu tentu orang yang dekat dengan suhumu. Entah
siapakah yang menyaksikan peristiwa itu dan apakah terdapat bukti2 yang dapat
menjadi bahan mencari jejak pembunuh itu, harap siau-hengte mengatakan
dengan terus terang, Mudah-mudahan aku dapat membantu untuk memecahkan
jejak rahasia dari pembunuh gelap itu."
Tiba2 Mo Lan Hwwa mengambil sapu tangan dan mengusap air mata Gin Liong,
Pemuda itu merasa sungkan sekali.
Tiba2 ia mencabut sebatang badik emas yang terselip dalam pinggangnya, katanya:
"Inilah senjata yang ditinggalkan oleh pembunuh gelap itu."
Menyambuti badik emas itu, wajah Hok To Beng agak berobah.
"Inilah badik Kim-wan-to yang dapat memotong besi seperti memotong tanah,
Rambut yang ditiup kearah mata badik itu tentu putus, Yang menggunakan badik
semacam ini kebanyakan orang2 persilatan dari daerah Biau."
Gin Liong tergetar hatinya, Dia baru sadar bahwa Hok To Beng, pendekar yang aneh
dalam dunia persilatan itu, memang mempunyai pengetahuan dan pengalaman
yang amat luas. Mo Lan Hwa yang ikut memeriksa, segera menuding kearah empat buah huruf
pada batang badik golok emas itu, serunya:
"Toa-suheng, lihatlah, apa artinya keempat huruf itu?"
Hok To Beng kerutkan dahi dan berkata: "Mungkin nama dari seorang wanita Biau."
Kembali hati Gin Liong tergetar keras, Dia makin kagum atas penilaian yang tajam
dari Hok To Beng. Tiba2 Mo Lan Hwa melengking gembira: "O, Wulanasa, sungguh sebuah nama yang
indah!" Segera Sin Liong memberi keterangan: "Itulah Ban Hong liong-li lo cianpwe..."
Mendengar itu Hok To Beng berobah wajahnya, serunya gopoh:
"Ban Hong Liong-li" Kemarin sebelum mata hari terbenam aku masih berjumpa
dengan dia di kota kecil muka itu. Budak itu memang ter-gila2 dengan Kwan Cu-hun
tetapi karena cinta dia menjadi dendam..."
Mendengar itu memancarkan mata Gin Liong, cepat ia menukas:
"Lo-koko, apakah saat ini Ban Hong liong-li masih berada dikota kecil itu ?"
"Entah apa masih disitu...."
Terhadap urusan Gin Liong, Mo Lan Hwa menaruh perhatian istimewa.
Petaka Kerajaan Air 2 Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah Langkah Manusia Beracun 1
bagaimana mengejar jejak Ban Hong Liong-li untuk menanyakan siapa pembunuh
suhunya. Cepat disimpannya golok emas itu lalu ia ayunkan tubuh meluncur ke bawah,
Dibawah dasar lembah itu terdapat banyak pohon siong dan tumbuh-tumbuhan
rotan, Dengan ketangkasan macam seekor kera, ia berpindah dari satu kelain
pohon dengan cepat sekali, Akhirnya berhasillah ia tiba di kaki puncak.
Hentikan langkah memandang keempat penjuru, dilihatnya lembah yang penuh
salju itu masih berkilau-kilauan memancarkan cahaya putih mengkilik.
Setelah puas memandang, ia segera menentukan arah menuju ke barat daya, ia
memutuskan untuk menempuh perjalanan siang dan malam agar cepat dapat
menyusul Ban Hong Liong-li.
Entah berapa banyak lembah dan jurang, gunung dan hutan yang telah dilintasinya
dengan cepat. Setelah lari beberapa waktu, ketegangan hatinyapun mulai mengendap. Serempak
banyak persoalan yang memenuhi benaknya...
Bagaimana peristiwa pembunuhan suhunya itu sampai terjadi" Apakah didalam
kuil atau didalam kamarnya atau di guha Kiu-kiok-tong "
Yang mampu membunuh suhunya tentu seorang yang tinggi kepandaiannya dan
ilmu ginkangnya tentu amat sempurna. Tetapi siapakah pembunuh itu "
Dan lagi, mengapa sam-susiokcou atau paman kakek guru yang ketiga juga tak
tampak pada pemakaman di lapangan Ka-lok-jang " Ataukah orangtua itu juga
dicelakai orang " Tetapi mengapa di makam Ki-lok-jang hanya didirikan sebuah makam baru untuk
suhunya. Mengapa tidak didirikan lagi sebuah makam untuk paman kakek-gurunya
yang ketiga " Seketika timbul rasa sesal mengapa ia tak minta keterangan dulu kepada paman
kakek-guru yang kedua. Bagaimana keadaan suhunya ketika berada dalam guha tempo hari" Kawanan Ma
Toa-kong itu kemana saja perginya"
Dan siapakah wanita Biau yang mati dalam guha itu"
Sesungguhnya ia ingin pulang ke kuil untuk minta keterangan kepada suhunya,
Tetapi ternyata suhunya telah dibunuh orang, lalu satunya orang yang dapat
memberi keterangan hanyalah Ban Hong Liong-li.
Dia tak percaya kalau Ban Hong Liong-li yang membunuh suhunya, Tetapi Ban Hong
Liong-li tentu tahu tentang golok emas itu dan siapa pemiliknya...
Teringat akan kematian suhunya, hati Gin Liong makin tegang dan ingin sekali
lekas2 menyusul Ban Hong Liong-li.
Dia ingin berteriak sekuat-kuatnya tetapi ia kuatir Ban Hong Liong-li sudah
berada seratusan li jauhnya. Setelah melintasi beberapa puncak gunung salju dan beberapa hutan belantara,
iapun berpaling kebelakang, puncak Hwe-sian-hong tampak tegak menjulang ke
langit dengan megah dan perkasa.
Teringat juga ia bahwa pada saat itu tentulah paderi kuil Leng-hun-si sudah
tidur. Sedang paman kakek-guru yang kedua mungkin masih mondar mandir di halaman
kuil. Sumoaynya yang bertubuh lemah tentu akan berduka sekali apabila
mengetahui suhunya telah terbunuh dan dia (Gin Liong) sedang melakukan
pengejaran kepada Ban Hong Liong-li.
Ah, apabila teringat akan hal itu, berlinang-linanglah air mata Gin Liong, Dia
tak mau mengingat hal itu, tak mau.
Sekonyong-konyong pandang matanya gelap dan angin dingin berhembus. Ketika
memandang ke depan ternyata dia harus melintasi sebuah hutan pohon siong lagi.
Menghampiri hutan itu tiba2 hatinya tergetar, hentikan langkah dan terlongong.
Memperhatikan dengan seksama, tampak dalam hutan pohon siong yang pandak
tumbuhnya, terdapat sebuah rumah pondok kecil. Pondok itu memancarkan sinar
penerangan yang terang. Kemudian ia melihat pula ditengah hutan pohon siong itu terdapat dinding rumah
yang puing runtuhan dinding, Diatas tanah masih bertebaran kutungan ranting
pohon. Heran Gin Liong dbuatnya. Mengapa ditempat hutan belantara yang jarang
dijelajah manusia, terdapat sebuah rumah pondok kecil yang memancarkan sinar
penerangan terang sekali.
Melongok dari jendela, penerangan api itu mantap sekali, sedikitpun tidak
bergoyang-goyang. Rupanya tentu bukan dari lampu atau lilin. Didalam ruang
pondok, sunyi senyap tiada kedengaran suara apa2.
Timbullah keinginan tahu dalam hati Gin Liong, Setelah melengkapi kedua tangan
dengan saluran tenaga-dalam, pe-lahan2 segera ia ayunkan langkah menghampiri.
Kerucuk. . . . terdengar suara macam orang meneguk air, Suara itu memancar diri
samping Gin Liong. Dengan terkejut Gin Liong berputar tubuh seraya luruskan kedua tangan kemuka
dada. Dan serempak pandang matanya mengeliar kearah suara orang minum air
tadi, seketika ia hampir memetik kaget.
Dibawah sebatang pohon siong yang tak berapa tinggi lebih kurang terpisah
beberapa meter dari tempat ia berdiri seorang pengemis tua tampak duduk
sembari minum arak. Dia mengenakan pakaian yang kumal, rambutnya putih, pipi kempot dan tubuh
kurus kering seperti tulang terbungkus kulit, sepasang mata yang berbentuk
segitiga, memancarkan sinar yang berkilat-kilat tajam, sepasang tangannya yang
kotor tengah mencekal sebuah buli2 arak yang besar, selesai minum seteguk, bau
arak yang harum segera berhamburan dibawa angin ke empat penjuru.
Sudah tentu Gin Liong tak pernah menyangka bahwa ditempat yang sesunyi itu
terdapat seorang pengemis tua. seketika teganglah hati pemuda ita. Diam2 diapun
bersiap-siap untuk menghadapi setiap gerakan pengemis tua yang akan mencelakai
dirinya. Setelah minum seteguk, pengemis yang kakinya telanjang tak bersepatu itu,
menyumbat kembali mulut buli2 arak. Sambil setengah pejamkan kedua matanya,
tangannya menggosok-gosok kotoran busuk yang melekat pada sela2 jari kakinya,
sedikitpun dia tak mengacuhkan Gin Liong yang berada dihadapannya.
Melihat pengemis itu bertelanjang kaki mampu menempuh tempat yang penuh
bertutup salju dingin, timbullah dugaan Gin Liong bahwa pengemis itu tentu
memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Tiba2 ia teringat akan urusannya mengejar Ban Hong Liong-li, maka segera Gin
Liong hendak berputar tubuh tinggalkan tempat itu. ia tak mau menunda waktu
hanya karena ingin mengetahui siapa pengemis tua itu.
Tetapi baru ia berputar tubuh, kejutnya makin besar sehingga ia sampai menyurut
mundur dua langkah. Pada bayangan gelap dari ujung dari sisa puing2 tembok rumah pondok itu, lebih
kurang hanya setombak jauhnya dari tempat ia berdiri, tampak menggunduk
sebuah bayangan hitam yang bulat bentuknya.
Setelah tenangkan ketegangan hati dan memandang dengan seksama, barulah Gin
Liong mengetahui bahwa gunduk bayangan hitam itu bukan lain adalah seorang
paderi bertubuh gemuk, telinga besar, mulut pesegi, hidung mekar, mata besar dan
kepala bundar seperti kepala harimau.
Paderi gemuk itu tengah duduk bersila, Kain jubahnya yang berwarna kelabu telah
menutup kedua kakinya, sepasang matanya, berkilat2 memandang Gin Liong
dengan sorot yang dingin.
Tetapi Gin Liong mempunyai kesan bahwa walaupun tampaknya paderi itu
menyeramkan sekali tetapi dari sorot matanya, jelas tak mengandung maksud jahat
kepadanya. Sebagai gantinya, kini timbullah rasa heran dalam hati Gin Liong mengapa ia
bertemu dengan seorang pengemis dan seorang paderi yang pada waktu tengah
malam buta, duduk ditempat hutan belantara yang sedemikian sunyi senyap.
"Adakah kedua orang itu tengah mengadu kesaktian ditempat ini?" diam2 timbul
pertanyaan dalam hati Gin Liong, iapun menduga bahwa salah satu dari kedua
orang itu mungkin pemilik dari rumah pondok itu.
Memikirkan rumah pondok, tanpa terasa matanya pun beralih mencurah ke
sebelah muka. Dilihatnya bahwa penerangan benderang yang menembus keluar
dari jendela rumah pondok itu, kini berhias dengan warna kabut yang lemah.
Makin terperanjatlah hati Gin Liong, "Adakah didalam rumah pondok itu terdapat
suatu benda pusaka ?" pikirnya.
Teringat akan soal benda pusaka, segera ia menduga bahwa jika benar demikian,
tentu disekitar rumah pondok itu akan terdapat beberapa orang lagi, Bukan hanya
paderi gemuk dan pengemis tua itu saja.
Untuk membuktikan dugaannya, iapun segera keliarkan pandang matanya
kesekeliling sekitar rumah pondok.
Dan dugaannya memang benar, Pertama-tama dia segera melihat seorang nenek
tua yang buta kedua matanya.
Nenek buta itu mengenakan baju dari kain blacu, panjang sampai menutupi kedua
lututnya, celananya terlampau besar bagi kedua kakinya yang kecil, Nenek itu
memegang sebatang tongkat Thiat-ho-ciang atau tongkat yang tangkai menyerupai
bentuk burung bangau, terbuat daripada besi. Warnanya hitam mengkilap.
8. Orang tua dalam pondok
Nenek itu berdiri diam dibawah tembok rumah pondok yang sudah separoh rubuh.
Lalu dibawah sebatang pohon siong yang aneh bentuknya dan tumbuh kira2 lima
tombak dari rumah pondok itu, tampak pula seorang lelaki berumur sekitar 40-an
tahun. Dia memakai kopiah kulit warna hitam dan mantel kulit yang masih berbulu.
Mukanya penuh dengan brewok, Tubuhnya yang tinggi besar, tengah disandarkan
pada pohon siong itu. Diapun setengah memejamkan mata, mulutnya yang agak perot, menimbulkan
kesan yang menyeramkan orang, Sinar matanya berkilat-kilat mencurah pada Gin
Liong. "Masih ada pula beberapa orang lagi, Tetapi karena bersembunyi dibalik pohon
yang gelap, sukarlah untuk mengetahui bagaimana wajah mereka yang jelas.
Makin meningkatlah keheranan Gin Liong. Gerangan benda apakah yang berada
dalam rumah pondok itu sehingga mengundang kedatangan sekian banyak orang2
persilatan kesitu. Mau tak mau timbul juga rasa ingin tahu dalam hati Gin Liong.
Sejak turun gunung, memang belum pernah Gin Liong berkelana dalam dunia
persilatan. Dan sudah tentu pula ia tak bagaimana berbahayanya suasana dunia
persilatan itu. Ia menurutkan suara hatinya saja, Apa yang diinginkan terus dikenakannya saja,
Maka setelah bersiap-siap mengeluarkan tenaga dalam kelengan dan
menenangkan semangat, dengan langkah pelahan segera ia menuju ke rumah
pondok itu. Tindakan Gin Liong cepat menimbulkan suara berisik di empat penjuru
sekelilingnya. Suara berisik yang berhadapan rasa takut. entah berapa puluh
pasang mata, pun mencurah ruah kepada dirinya.
Bahkan dengan serempak pula, paderi gemuk, pengemis kurus dan lelaki tinggi
besar serta nenek buta itu mulai menggerakkan tubuh mereka.
Dua kemungkinan menyebabkan mereka mulai bergerak itu. Pertama, mereka
gelisah karena tindakan Gin Liong hendak menghampiri rumah pondok itu. Kedua,
terkejut karena melihat ilmu kepandaian Gin Liong yang sedemikian hebatnya.
Gin Liong pun mendengar "juga" akan suara berisik bernada terkejut itu. Demikian
pula iapun dapat memperhatikan betapa dirinya telah dipandang dengan sorot
mata heran2 kejut dari orang2 yang bersembunyi ditempat gelap itu.
Makin keras dugaan Gin Liong bahwa dalam rumah pondok itu tentu terdapat
sesuatu yang berbahaya. Tetapi setitikpun ia tak menyadari bahwa langkah kakinya pada tanah bertutup
salju ditempat itu, hanya meninggalkan bekas2 telapak yang hampir tak kelihatan.
Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu ginkang tinggi.
Namun Gin Liong tak mengacuhkan, sambil siapkan kedua tangan, ia lanjutkan
langkahnya menuju ke rumah pondok itu, Langkah kakinya sedikitpun tak
menimbulkan suara apa2. Suasana sekeliling tempat itu sunyi senyap, tiada tampak suatu gerak yang
mencurigakan yang hendak merintangi langkah Gin Liong.
Lelaki muka brewok, tidak lagi sandarkan diri pada batang pohon tetapi sudah
berdiri tegak, Nenek buta miringkan kepala hendak mencurahkan pendengarannya.
Pengemis kurus dan paderi gemuk sama menyalangkan mata kejut memandang
kearah Gin Liong. Keheranan Gin Liong makin besar dan makin keras keinginannya untuk
menghampiri rumah pondok dan melihat apakah yang sesungguh berada dalam
rumah itu. Setelah melintasi sebuah runtuhan dinding tembok, tiba2 menggigillah hati Gin
Liong dan serempak iapun hentikan langkah.
Dengan pandang terkejut, perhatiannya mencurah kearah dua sosok benda hitam
yang rebah terkapar dimuka jendela.
Dan ketika memandang dengan seksama, ternyata kedua sosok benda hitam itu
adalah dua sosok mayat manusia, Yang sebelah kiri, mayat seorang lelaki tua
berambut putih. Tubuhnya miring menghadap ke dalam rumah sehingga wajahnya
tak kelihatan jelas. Sedang yang sebelah kanan, seorang imam tua bertubuh kurus kering, Alis
mengernyit, mata mendelik dan mulut menganga, wajahnya pucat kekuning-
kuningan. Ujung mulutnya mengumur darah merah warna hitam. Keadaannya
mengerikan sekali. Menilik bahwa kedua sosok mayat itu ditimbuni lapisan salju, tentulah mereka
sudah mati pada beberapa hari yang lalu.
Sekonyong-konyong dari samping kiri yang gelap, menghambur serangkum tawa
dingin bernada mengejek. Gin Liong merasa bahwa tertawa mengejek itu ditujukan pada dirinya. seketika
meluaplah kemarahannya, Dengan tegakkan kepala dan busungkan dada, ia segera
melampaui kedua sosok mayat itu. langsung menuju kemuka jendela rumah
pondok. Tempat2 gelap disekeliling penjuru rumah itu, tampak bayang2 hitam bergerak-
gerak dan percikan sorot mata menghambur
Rupanya mereka terkejut, menyaksikan keberanian anakmuda itu sehingga mereka
serempak berdiri tegak dari tempat persembunyiannya.
Tiba di muka jendela dan melongok ke dalam ruang pondok, kembali hati Gin Liong
bergoncang keras. Diatas sebuah ranjang batu yang berada dalam ruang pondok itu, duduk bersila
dengan mata menunduk kebawah, seorang tua bertubuh kurus kering, dia
mengenakan jubah warna hitam.
Rambut orang tua itu kusut masai, kumisnya hanya beberapa lembar. Dibawah
hidung yang tegak menjulang keatas bernaung sebuah mulut yang agak perot,
pipinya yang kempot mengulum tawa dingin. Wajahnya dingin menakutkan,
angkuh dan bengis. Dimuka ranjang orang tua itu, terdapat sebuah meja kecil yang diberi sebuah
cermin bundar sebesar piring nasi, Ternyata penerangan yang memancar keluar
jendela itu, berasal dari kaca cermin tersebut.
Gin Liong memperhatikan cermin itu, sinarnya menyilaukan mata, silang gemilang
sekali, ia tak tahu apakah cermin itu terbuat daripada tembaga gosok atau perak
ataukah air raksa. Meja kecil itu terpisah dua meter dari tempat Gin Liong berdiri, Asal ulurkan
tangan, ia tentu dapat meraih cermin aneh itu. Walaupun merasa heran tetapi
setitikpun Gin Liong tak mempunyai keinginan untuk mengambil nya.
Kemudian memperhatikan orang tua kurus itu, Gin Liong mengerut dahi, Orangtua
itu seperti sebuah patung yang tak bernyawa, sedikitpun tak bergerak, Bahkan
napasnya pun tak terdengar.
Melihat itu diam2 Gin Liong menghela napas rawan.
"Ah orang tua itu sudah tak bernyawa," katanya dalam hati.
Sekonyong-konyong kedua kelopak mata orang tua itu pelahan-lahan terbuka, Gin
Liong terkejut sekali sehingga menyurut mundur setengah langkah.
Gerakan menyurut mundur dari Gin Liong disambut dengan beberapa pekik kejut
tertahan dari tokoh2 yang bersembunyi disekeliling pondok itu.
Dengan sorot mata yang lembut, orangtua kurus itu memandang sejenak kepada
Gin Liong lalu pejamkan matanya lagi.
Tatapan pandang mata orang tua itu, menghilangkan rasa takut Gin Liong.
Kecemasannya pun lenyap. Gin Liong pun sempat pula menyambar kesan bahwa pada wajah orang tua yang
sedingin es itu ternyata memancarkan sinar mata yang penuh welas asih.
Dan saat itu Gin Liong pun menyimpulkan dugaan bahwa orang2 yang mengepung
secara bersembunyi disekeliling rumah pondok itu tentulah kawanan orang
persilatan yang tamak, yang rakus untuk memburu keuntungan jelas mereka tentu
mengatur siasat hendak merampas kaca cermin yang terletak diatas meja
dihadapan orangtua itu. Menilik kedua mayat yang terkapar di depan jendela itu, Gin Liong menduga bahwa
orang tua dalam pondok itu tentu seorang sakti. Hal itu makin diperkuat dengan
kenyataan bahwa orang2 persilatan yang mengepung pondok itu tak berani
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gegabah mendekati rumah pondok tersebut.
Siapakah gerangan orang tua itu.
Gin Liong menggali ingatannya, tetapi sepanjang yang diketahuinya, diantara
sekian banyak orang-2 aneh yang sakti dalam dunia persilatan seperti yang
dituturkan suhunya, rasanya tiada terdapat orang tua kurus seperti yang berada
dalam pondok itu. Walaupun tak tahu apakah khasiat dari kaca didepan orangtua itu, namun Gin
Liong berani memastikan tentulah kaca itu sebuah pusaka yang tak ternilai
harganya, jika tidak demikian masakan sampai menggerakkan perhatian sekian
banyak tokoh2 persilatan "
Serentak timbullah rasa muak terhadap orang2 persilatan yang berada disekeliling
rumah pondok itu. Serentak Gin Liong berputar tubuh untuk mengamati dengan seksama orang2 yang
mengepung pondok itu. Diam-2 ia darat menghitung bahwa mereka itu tak kurang
dari dua puluh orang jumlahnya.
Tiba-tiba timbul keputusan dalam hati Gin Liong, Karena dia tak mempunyai selera
untuk merampas kaca dan tak perlu membantu orangtua menghadapi kawanan
orang persilatan itu maka lebih baik ia cepat2 tinggalkan tempat itu saja.
Setelah berpaling memandang sejenak kearah orang tua dalam ruang pondok,
iapun segera pesatkan langkah menuju keluar hutan.
Tiba2 dari belakang terdengar suara orang membentak: "Kembali !"
Gin Liong terkejut. Dia tahu yang dipanggil itu adalah dirinya, Serentak ia
berhenti. Dilihatnya wanita tua buta itu tengah menghadap kearahnya. Kedua kelopak
matanya membalik sehingga tampak biji matanya yang keputih-putihan tengah
menengadah memandang ke langit. Rupanya dia tengah mencurahkan
pendengaran. Pengemis kurus, paderi gemuk dan lelaki brewok serta beberapa orang yang
bersembunyi di kegelapan itu, tampak tertawa menyeringai dan memandang
nenek buta itu. Rupanya bukan gerak-gerik Gin liong yang hendak didengarkan nenek buta,
Tongkat kepala burung hong yang dipegangnya, tiba2 digentakkan ketanah dan
berserulah ia sekeras-kerasnya:
"Kusuruh engkau kembali, dengar tidak !"
Melihat wajah nenek buta itu tampak membengis dan galak, diam2 Gin Liong tak
senang, Tetapi mengingat nenek itu sudah berusia tua dan kedua matanya buta,
maka iapun bersikap sabar.
"Nenek, apakah engkau memanggil aku ?" tegurnya.
Rupanya nenek buta itu tahu bahwa dari nada suaranya, Gin Liong itu seorang
pemuda. Tiba2 wajah nenek yang membengis itu tampak reda, Seteiah sejenak tertegun, ia
berkata pula: "Ya, memang kusuruh engkau kembali !"
"Nenek mempunyai keperluan apa kepadaku?" tanya Gin Liong dengan nada
ramah. Mendengar nada perkataan Gin Liong seperti enggan kembali, nenek itu berseru
marah lagi: "Kusuruh engkau kembali, engkau harus kembali, perlu apa banyak tanya !"
Kata2 yang kasar itu tak dapat diterima lagi oleh Gin Liong. ia tak kuasa
menahan kemarahannya. "Kalau mau bilang apa2, bilang saja, Perlu apa harus suruh aku kembali !"
Wajah nenek buta itu seketika berobah. Matanya yang buta seperti berkilat-kiiat
dan tubuhnya gemetar keras karena marah. ia tertawa dingin tak henti-hentinya.
Gin Liong menyadari bahwa tiada gunanya untuk cari perkara dengan nenek buta
buruk muka itu. Dengan mendengus geram ia terus berputar tubuh hendak pergi.
Tetapi baru berputar tubuh, tiba2 nenek buta itu membentaknya: "Budak, berhenti
!" Seiring dengan teriakannya itu. tubuh nenek tua yang buta itu sudah melayang
kehadapan Gin liong. Gin Liong terkejut sekali. Cepat ia berhenti, ia tak menyangka bahwa nenek buta
itu ternyata mahir dalam ilmu Thing-hong-pian-wi atau Mendengar angin menentukan
tempat. Bukan saja mahir tetapi dapat menguasainya dengan hebat sekali.
Tetapi Gin Liong tetap tak puas atau sikap si nenek yang bergitu garang dan tak
memandang orang, Maka Gin Liongpun kerutkan alis dan menegur:
"Tanpa sebab apa2, mengapa engkau menghadang jalanku ?"
Sambil tudingkan ujung tongkat ke rumah pondok, nenek buta itu memberi
perintah: "Ambilkan cermin kaca dalam pondok itu !"
"Hak apa engkau hendak memerintah aku ?" teriak Gin Liong marah sekali.
Nenek buta itu deliki mata dan membentak bengis: "Kalau tidak mengambilkan
kaca itu, serahkan jiwamu !"
Nenek itu menutup kata-katanya dengan menyabat pinggang Gin Liong. Sabetanya
secepat angin mcnderu, sederas hujan mencurah.
Gin liong mendengus geram, Dengan bergeliatan tubuh iapun sudah menyelinap
kebelakang nenek buta itu.
"Tetapi nenek buta itu seperti mempunyai mata terang. Sebelum kaki Gin liong
tegak dibelakangnya, secepat kilat iapun sudah berputar tubuh seraya
menghantamkan tongkatnya kepada Gin Liong.
Gerakan nenek dan tongkatnya igtu benar2 mengejutkan sekali, cepat, ganas dan
dahsyat. Gin Liong benar2 terkejut sekali, Cepat ia gunakan tata-langkah Liong-li-biau
ajaran Ban Hong Liong-li untuk meluncur tiga tombak jauhnya.
Tetapi nenek buta itu memang lihay sekali, secepat menarik pulang tongkatnya ia
terus membentak: "Hai, hendak lari kemana engkau budak !" Oh-liong-jut-tong atau Naga-hitam-ke-
luar-sarang, adalah jurus yang digunakan si nenek buta untuk mengiringkan
gerakan tubuhnya yang menerjang Gin Liong.
"Berhenti !" tiba2 terdengar suara orang membentak nyaring, sesosok tubuh
melayang dan lelaki bermuka brewok itupun sudah melayang tiba.
Nenek itu bergegas menarik tongkatnya, ia deliki mata kearah pendatang itu:
"Brewok, engkau hendak menganggu urusanku lagi ?"
Tongkat kepala burung ho diangkat keatas lalu dengan jurus Thay-san-ya-ting atau
gunung-Thaysan-menindih-puncak, ia menghantam kepala lelaki brewok itu.
Gin Liong yang berada tiga tombak dari tempat kedua orang itu, kerutkan dahi, ia
merasa nenek buta itu terlalu buas, tiap orang hendak dihajarnya.
Lelaki brewok menyurut mundur dan berseru marah: "Nenek buta, siapa yang sudi
mengurusi urusanmu. Aku hendak bertanya kepada budak kecil itu..."
Nenek buta hanya mendengus. Tanpa menunggu orang selesai bicara, ia segera
putar tongkatnya dan menyerang lelaki brewok itu lagi.
"Biarpun engkau hendak berputar lidah memberi seribu alasan tetapi aku tetap tak
percaya!" serunya. "Nenek buta, jangan andalkan kepandaianmu untuk menindas orang, Aku si
Brewok terbang Li Tek-gui tak takut pada siapapun juga !"
Habis berkata ia gerakkan kedua tangannya menyerang nenek buta itu.
Nenek buta itu memperdengarkan tertawa aneh dan tak henti-hentinya
menggeram: "Bagus, bagus, hendak kusuruh engkau si Brewok-terbang kenal akan kelihayanku."
Tiba2 gerakan tongkatnya berobah, Batang tongkat yang berwarna hitam
mengkilap malang melintang menyambar-nyambar seperti petir memecah
angkasa. Brewok~terbang Li Tek-gui tak mau mengalah, ia maju menyerang seraya
memekik-mekik. Makin lama makin gencar serangannya.
"Hai, budak, apakah engkau hendak ngacir pergi ?" tiba2 dari tempat gelap
terdengar seruan orang. Gin Liong tenang2 mengikuti pertempuran itu. Dia tak tahu, kepada siapakah orang
itu menegurnya, Segera ia keliarkan pandang mata kian kemari.
"Ah... ternyata nenek buta itu dengan melengking keras, menyerangnya. Karena
terkejut, Gin Liong menyurut mundur setengah langkah.
9. Tewasnya nenek buta Telinga nenek buta itu memang luar biasa tajamnya, walaupun sedang bertempur
tetapi ia masih dapat menangkap langkah kaki Gin Liong. Tahu bahwa pemuda itu
hanya mundur setengah langkah, nenek buta itu menyadari kalau ia telah tertipu
oleh si Brewok-terbang. Karena marahnya, tubuh nenek buta itu sampai gemetar
keras. 'Bluk!' ia hantamkan tongkat burung hong ke tanah lalu berseru keras:
"Hai, kawanan tikus manakah yang berseru tadi " engkau berani mengacau?"
Nenek buta itu menengadahkan kepala, memasang telinga, siap untuk menyerbu
orang yang berseru tadi. Tetapi sekeliling penjuru sunyi senyap tiada suara sama sekali.
Saat itu Gin Liong pun menyadari bahwa seruan itu ternyata ditujukan pada
dirinya, Marahlah dia seketika. Segera ia curahkan pandang mata kearah suara tadi.
Tampak di tempat itu beberapa sosok bayangan manusia tegak dengan mata
berkilat-kilat, Entah siapakah diantara mereka yang berseru tadi.
Sekonyong-konyong dari arah tiga tombak jauhnya terdengar suara orang tertawa
gelak2. Nadanya amat menghina.
Cepat Gin Liong memandangnya, Tampak Li Tek-gui merentang kedua tangan,
menengadahkan kepala dan tertawa keras, sehingga janggutnya yang penuh
brewok itu ikut ber-guncang2. Entah mengapa dia begitu gembira sekali.
Nenek buta berputar tubuh, deliki mata seraya lintangkan tongkat burung hong
kemuka dada, serunya: "Brewok-terbang, jangan gembira dulu. Pada suatu hari aku tentu akan mencabut
jiwamu anjing itu !"
Nenek itu kerutkan alis dan membalikkan kelopak mata, Gerahamnya
menggemerutuk keras tetapi dia tak melakukan gerakan menyerang, Rupanya ia
lebih kuatir kalau Gin Liong sampai pergi.
Brewok-terbang Li Tek-gui hentikan tawanya lalu berseru dengan nada sarat:
"Nenek buta, aku menertawakan ilmu pendengaranmu yang begitu tinggi tiada
tandingnya dalam dunia persilatan Sekali bertempur dengan orang, engkau tentu
segera mengerti akan jurus permainan lawanmu. Pada hal gerakan tubuh dari
budak kecil yang hendak engkau tahan itu, adalah ajaran dari musuh bebuyutanmu,
wanita hina Ban Hong Liong-li.
"Tutup mulutmu !" seketika Gin Liong membentak marah dan terus secepat kilat
menerjang Brewok terbang Li Tek-gui.
Pada saat Gin Liong menyerbu Li Tek-gui, si nenek butapun meraung dan menyapu
tubuh pemuda itu dengan tongkatnya.
Gin Liong belum sempat berdiri tegak. Terpaksa ia berlincahan menghindar dan
berputar tubuh, setelah menghindari tongkat sinenek buta, ia lanjutkan
serangannya kepada Li Tek-gui.
Tongkatnya menghantam angin, si nenek buta itu tertegun kaget, beberapa sosok
bayangan, berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya, Mereka berteriak
kaget juga. Melihat pemuda itu dapat menghindari tongkat nenek buta dan terus menyerbu
kepadanya, Li Tek-gui gugup.
Pada saat loncat menerjang itu. Gin Liong segera mengangkat tinjunya,
menghantam kearah Li Tek-gui hendak menghindar
Tetapi pada saat itu juga, terdengarlah kesiur angin mendesing kearah muka Gin
Liong. Gin Liong mendengus geram, Selekas mengisar langkah kcsamping ia terus
menghantam tangan kanan Li Tek-gui dan tahu2 jarinya pun bergerak untuk
menjepit senjata rahasia yang hendak menabur kemukanya itu.
Ah, ternyata senjata rahasia itu sebatang Liu-yap-hui-to atau golok terbang
setipis daun Liu. Dan golok tipis itu dilumuri pula dengan racun.
Cepat ia mengangkat muka memandang ke arah tempat gelap yang menjadi
tempat bersembunyi orang yang bicara tadi, Tampak sesosok tubuh orang sedang
membungkuk ke tanah. Gin Liong kerutkan dahi, ia duga tentu orang itu yang melepas senjata rahasia
beracun kepadanya. Ada ubi ada tales. Ada budi harus dibalas.
Setelah mengerahkan tenaga dalam, segera pemuda itu taburkan Liu-yap hui-to
kembali kepada pemiliknya.
Pada lain saat terdengarlah jeritan ngeri dari tempat persembunyian gelap itu.
Nadanya sama dengan suara orang yang bicara tadi, Gin Liong terkesiap. Hampir ia
tak percaya bahwa golok Liu-yap-hui-to yang setipis itu, dapat ia lontarkan
dengan kekuatan yang sedemikian dahsyatnya.
Sosok2 bayangan hitam yang bersembunyi ditempat gelap, hening lelap tiada
suaranya, rupanya mereka kesima menyaksikan kepandaian Gin Liong.
Tiba2 Li Tek-gui melangkah maju dan dengan menggembor keras ia terus
menghantam Gin Liong yang masih termangu-mangu itu.
Serangan itu dilakukan tak terduga-duga dan jaraknya amat dekat. Pada saat Gin
Liong menyadari bahaya, ternyata pukulan sudah tiba dimuka dadanya.
Dalam gugup, pemuda itu terus buang tubuh melayang mundur sampai tiga
tombak dan berada dimuka segunduk runtuhan tembok.
Baru kakinya berdiri tegak, dari sudut tembok itu muncul seseorang dan segera
menghantam tengkuk anak muda itu.
Gin Liong marah sekali, masakan dia selalu diserang secara menggelap, seketika
hawa pembunuhan segera tampil pada dahinya.
Dengan menggembor keras, ia berputar-putar deras dan ayunkan tangan
menghantam. Orang itu menjerit dan muntah darah, pukulan Gin Liong tepat mendarat pada
punggung orang itu sehingga dia rubuh dan berguling-guling sampai dua tombak
jauhnya. Setelah muntah darah lagi, dia menggelepar-gelepar meregang jiwa.
Pada saat orang itu terguling-guling, Brewok-terbang Li Tek-gui pun sudah loncat
kemuka Gin Liong, Dengan diiringgi gemboran keras, ia hantamkanh kedua
tangannya, Anginnya dahsyat sekali.
Karena sudah terlanjur membunuh orang, kesadaran Gin Liong pun sudah hilang,
Dengan menggeram marah, diapun songsongkan kedua tangannya yang telah
disaluri tenaga penuh. Darrr . . . . Terdengar letupan keras, Puing2 tembok beterbangan keempat penjuru, salju pun
berhamburan ke udara. Sekeliling tempat gelap, sosok2 bayangan hitam bergerak-gerak mundur dengan
mengeluarkan teriakan kejut.
Bahkan pengemis kurus, paderi gemuk yang selama itu tetap duduk dibawah
pohon di sudut tembok juga terkejut dan mundur sampai tiga tombak.
Tubuh Li Tek-gui yang tinggi besar, terbang melayang kearah nenek buta yang
berada lima tombak jauhnya.
Kembali Gin Liong tertegun. Seketika ia teringat akan peristiwa di gua Kiu-kiok-
kiong dimana dengan sekali dorongkan kedua tangannya ia berhasil melemparkan
Ok-kwi-tho Go Ceng paderi yang jahat itu kedalam jurang.
Demikian pula pada saat itu, ia memandang hampir tak percaya kepada tubuh Li
Tek-gui yang terlempar karena pukulannya tadi.
Adakah sekarang ia memiliki tenaga yang luar biasa saktinya"
Tampak nenek buta deliki mata dan wajahnya berobah membesi.
"Kawanan tikus, engkau hendak mencelakai aku lagi!" bentaknya bengis, seraya
ayunkan tongkatnya ke tubuh Li Tek-gui.
"Bluk..." Seketika menjeritlah Li Tek-gui ngeri sekali, Tubuhnya yang besar itupun
terbanting sekeras-kerasnya ketanah.
Mendengar jeritan ngeri dari Li Tek-gui itu, nenek buta segera perdengarkan
suara lengking tawa yang aneh. Menusuk telinga dan menyeramkan perasaan.
Ketika memandang ke arah pohon, Gin Liong memperhatikan bahwa pengemis
kurus, paderi gemuk dan sosok2 bayangan yang bersembunyi ditempat gelap itu
menahan napas dan memandang nenek buta.
Mereka terkejut dan ngeri, jelas mereka mendapat kesan bahwa nenek buta itu
seorang nenek yang sakti tetapi amat ganas.
Berhenti tertawa, nenek buta itu menengadahkan mukanya yang buruk dan
balikkan matanya yang putih lalu mengekeh:
"Heh, heh, Brewok-terbang, akhirnya dapat juga kucabut jiwamu !"
Gin Liong hanya memandang tingkah laku nenek buta itu dengan kerutkan alis,
Tiba2 terdengar ayam hutan berkokok sahut menyahut Gin Liong gelagapan. Dia
menyadari kalau sudah terlalu lama tertunda ditempat itu. Dia harus lekas2
pergi. Sekali enjot tubuh, Gin Liong pun terus lari sekencang angin menuju keluar
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hutan, Tetapi nenek buta itu tiba2 melengking geram dan bagaikan segulung asap, iapun
segera melayang menghadang jalan Gin Liong.
"Siapa engkau !" bentaknya marah.
Melihat nenek buta itu berkali-kali menghadang jalan, Gin Liong pun balas
membentak keras: "Bukan urusanmu !"
Nenek buta itu balikkan matanya yang putih lalu menggembor:
"Ho, ternyata engkau tak mau mengambil kaca itu, jangan harap engkau dapat
hidup lagi!" Gin Liong kerutkan alis, Hawa pembunuhan meluap dan berhamburan tawa geram:
"Jangan lagi hanya seorang nenek buta seperti engkau. sekalipun sampai sepuluh
nenek buta lagi, tak mungkin mampu menghalangi aku !"
"Budak kecil bermulut besar Jika tak kuberimu sedikit hajaran engkau tentu belum
tahu rasa." seru nenek buta seraya memutar tongkat kepala burung hong bagaikan
hujan mencurah kepinggang Gin Liong.
Wut!, tiba2 Gin Liong tertawa keras dan melambung beberapa tombak ke udara,
Begitu di udara, ia segera mencabut pedang pusaka Tanduk Naga, seketika
memancarlah sinar merah yang gilang gemilang menyilaukan mata, Tanah
berkabut itu seluas sepuluhan tombak berubah kemerah-merahan warnanya.
Tempat2 gelap segera terang sehingga orang2 yang bersembunyi itu memekik
kaget. Diantar dengan sebuah gemboran keras, Gin Liong memutar pedangnya dalam
jurus Liong li-hui-hoa atau Puteri-naga-menebar-bunga. Begitu percikan sinar
merah segera berhamburan menumpah ke kepala nenek buta.
Nenek buta itu tak gentar bahkan menghambur suara tawa yang aneh, Rambutnya
yang putih mengkilap meregang tegak, matanya yang putih pun membalik. Tongkat
kepala burung hong segera pecah berhamburan menjadi beratus percik sinar,
menyongsong curahan sinar pedang Gin Liong.
Tring, trinp, tring . . . .
Terdengar dering gemerincing suara keras saling beradu beberapa kali, disusul
dengan percik bunga api dan kutungan besi yang berteberan kemana-mana.
Kejut nenek buta itu bukan alang kepalang sehingga wajahnya seperti tak
berdarah. Dengan memekik aneh ia menyurut mundur sampai tiga tombak.
Gin Liong melayang turun ke tanah dan tegak berdiri lintangkan pedang, Dia tak
mau mengejar. Nenek buta itupun berdiri tegak, sepasang kelopak matanya yang putih membeliak.
Tangannya menahan tangkai tongkatnya. Kepala burung-burungan hong sebesar
kepalan tangan telah lenyap.
Nenek buta itu gemetar marah sekali. "Budak hina. dengan mengandalkan pedang
pusaka wanita hina itu engkau berani memapas senjataku."
Mendengar gemboran nenek itu, Gin Liong marah sekali:
"Tutup muIutmu,!" bentaknya, "sekali lagi engkau berani menyebut "wanita hina",
aku tak dapat mengampuni jiwamu lagi."
Nenek buta itu menyeringai seram lalu melengking geram.
"Budak hina yang sombong, aku akan mengadu jiwa dengan engkau !"
Kata2 itu ditutup dengan putaran tongkat yang luar biasa cepat dan dahsyatnya
menyerang Gin Liong. Gin Liong tak gentar, ia mainkan pedang Tanduk Naga untuk menyongsong. Dan
terjadilah pertempuran yang amat seru antara Gin Liong dengan nenek buta itu.
Gerakan kedua orang itu bagai sepasang ular yang bergeliatan menyusup kedalam
air, senjata mereka menderu-deru bagai petir memecah angkasa. Angin sambaran
senjata mereka berhamburan dalam lingkgungan seluas sepuluh tombak.
Sinar pedang Tanduk Naga memancarkan warna merah yang menyilaukan mata
dan hawa dingin yang menusuk tulang.
Sedang tongkatpun menderu-deru sedahsyat gunung rubuh.
Walaupun gerak permainan ilmu pedang Gin Liong itu sangat aneh tetapi pemuda
itu tak mau dituduh merebut kemenangan karena mengandalkan pedang pusaka,
ia hendak mengalahkan lawan dengan ilmu permainan, bukan dengan pedangnya.
Tetapi karena itu, gerakannya terpancang dan sering dikuasai lawan.
Nenek buta itu ternyata seorang tokoh yang sakti dan banyak pengalaman. Tongkat
kepala burung hong, jarang mendapat tanding. Makin lama, malah makin perkasa.
Dan karena sudah bertekad hendak mengadu jiwa, maka permainan tongkat nenek
buta itu luar biasa dahsyatnya.
Saat itu malam makin larut. Angin makin dingin dan kabut pun mulai bertebaran.
Sayup2 ayam hutan berkokok sahut menyahut.
Gin Liong mulai gelisah, Kalau ia terus menerus dilibat dalam pertempuran oleh
nenek buta itu, tentu ia tak dapat cepat2 menyusul jejak Ban Hong Liong-li.
Diam2 ia memutuskan untuk menggunakan ilmu pukulan Hoan-hun-ciang (Awan
bayangan) Sebuah ilmu pukulan istimewa ajaran suhunya yang dahulu pernah
mengangkat nama suhunya menjadi termasyhur.
Dengan menggembor keras, mulailah ia menggunakan kedua tangannya, Tangan
kanan memainkan pedang pusaka Tanduk Naga, tangan kiri melancarkan ilmu
pukulan Hoan-hun-ciang. Telah disebut diatas bahwa nenek buta itu memang kaya akan pengalaman.
Telinganya luar biasa tajamnya sehingga melebihi pandang mata. Dia seorang
tokoh yang ganas dan tergolong aliran Hitam.
Saat itu segera ia merasakan tekanan lawan makin berlipat ganda kerasnya,
wajahnya berobah seketika. Teringat ia akan Giok-bin-su-seng atau Pelajar-
berwajah-kumala Kiong Cu-hun.
Pada saat ia hendak bertanya, tiba2 lawan menggembor keras dan seketika ia
rasakan lengan kanannya kesemutan sakit sekali sehingga tongkat pun tak dapat ia
kuasai lagi, Tongkat itu terbang melayang dan tangannya.
Sudah tentu nenek buta itu tergkejut bukan kepalang, Dengan melengking keras, ia
kebutkan kedua lengan bajunya seraya menyurut mundur sampai lima tombak.
Keringat dingin bercucuran membasahi sekujur tubuh.
Mengingat bahwa sekalipun buta tetapi nenek itu masih dapat meyakinkan ilmu
kepandaian yang begitu sakti, diam2 Gin Liong merasa kagum dan sayang, Maka
setelah dapat menghantam lepas tongkat, iapun tak mau menurunkan tangan jahat
lagi. Sambil lintangkan pedang ia berseru lantang:
"Mengingat usiamu sudah tua dan kedudukanmu sebagai seorang cianpwe
persilatan kuharap persoalan kita ini habis sampai disini saja, Carilah tempat
yang sunyi untuk melewatkan sisa hidup yang tenang, Sampai jumpa...!"
Habis berkata ia terus melambung ke udara. Tetapi pada saat ia bergeliatan
hendak meluncur keluar hutan, tiba2 kakinya disambar angin tajam dari senjata rahasia.
Gin Liong terkejut cepat ia mementang kedua taangan, menekuk kedua kaki dan
dengan gerak Te-hun-tong atau mendaki Tangga-awan, tubuhnya melambung dua
tombak lagi ke atas. Begitu menunduk kebawah, ia terkejut lagi. Dari dua ranting pohon yang tumbuh di
ujung runtuhan tembok, dilihatnya dua buah gerombolan senjata rahasia yang
mengkilap kebiru-hiruan, meluncur ke arah nenek buta yang masih tegak
terlongong-longong. Gin Liong seorang pemuda yang berhati perwira dan benci pada kejahatan. Dia
marah orang hendak menyerang secara menggelap kepada nenek buta, sekalipun
nenek buta itu benci kepadanya.
Dengan menggembor keras, ia segera memutar pedang dan meluncur kebawah.
Tetapi ternyata terlambat Ketika tiba ditanah, terdengar nenek buta itu menjerit
ngeri dan rubuh berguling-guling ketanah. Sesaat kemudian, nenek buta itu tak
berkutik lagi. Rupanya dia telah mati.
Tepat Gin Liong lari menghampiri ketempat si nenek buta, Begitu memandang
keadaan nenek buta itu, seketika menggigillah tubuh pemuda itu.
Mayat si nenek buta penuh dengan taburan hui-to, gin-tan (peluru perak) yang tak
terhitung jumlahnya. Hampir mayat nenek itu bersimbah darah semua.
Gin Liong kerutkan alis, matanya memancarkan sinar kilat dingin. Mulutnya
menyeringai marah. Sambil lintangkan pedang Tanduk Naga ia berseru lantang:
"Siapa yang menggunakan kesempatan selagi nenek itu lengah perhatiannya, telah
melepaskan senjata gelap" silahkan keluar! Aku Siau Gin-liong, akan meminta
pertanggungan jawab dari saudara2 itu !"
Gin Liong memutar tubuh pelahan-hhan seraya sapukan pandang mata kesekeliling
penjuru. Tetapi empat penjuru tempat itu sunyi senyap, tiada penyahutan sama sekali.
Pengemis kurus tenang2 duduk ditanah sambil mencekal buli2 arak dan tangannya
yang satu mengutik-utik lumpur dalam celah2 kakinya. sepasang matanya yang
berbentuk segitiga, memandang tak berkesiap ke arah Gin Liong.
Paderi gemuk pun tetap duduk di tempatnya semula. Alisnya yang tebal mengerut,
matanya yang bundar menyalang lebar. wajahnya mengerut kemarahan,
memandang Gin Liong. Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Kabut malam pun mulai menipis. Dari
tempat2 yang gelap, memancar berpuluh sorot mata kepada pemuda itu. Kini tiada
seorang pun yang menaruh perhatian ke rumah pondok itu.
Melihat sikap pengemis dan paderi itu, marahlah Gin Liong. Segera ia maju
menghampiri ke tempat mereka.
Pengemis kurus itu berobah tegang wajahnya, Sepasang matanya berkilat-kilat
tajam. Sedang paderi gemuk, matanya berkeliaran kian kemari. sikapnya amat
tegang sekali. Gin Liong makin mencurigai kedua orang itu. Sctelah tiba setombak dari tempat
mereka, ia segera balikkan genggaman pedangnya, Memandang kepada kedua
orang itu, ia sedikit membungkukkan tubuh memberi hormat.
"Taysu tentu mengikuti apa yang terjadi ditengah gelanggang, Kiranya tentu tahu
siapakah yang telah membunuh nenek itu secara pengecut tadi !"
Dengan wajah membesi, paderi itu gelengkan kepala, menyahut dengan nada
sarat: "Pinceng tak memperhatikannya."
Gin Liong menahan kemarahannya, ia tertawa dingin lalu berpaling kearah
pengemis kurus, memberi hormat dan bertanya:
"Lo-tian-be sejak tadi duduk disini. Tentulah tahu siapa penyerang pengecut
itu ?" Sepasang mata segitiga dari pengemis kurus memandang lekat2 pada Gin Liong, ia
tak menyahut melainkan gelengkan kepala laki pejamkan mata.
Sikap pengemis itu benar2 hampir membuat dada Gin Liong meledak karena
marah, ia hendak menghardik lagi tetapi sekonyong-konyong ia mendengar sebuah
suara orang mendengus geram dari bawah pohon sebelah kiri.
Tergerak hati Gin Liong seketika, Dengan gunakan gerak Liong-li-biau, tiba2 ia
meluncur kearah tempat itu.
Lima tombak jauhnya ditengah gerumbul pohon2 pendek, tampak membujur
sesosok bayangan yang panjang.
Setelah menghampiri dekat, Gin Liong berhenti dan memandang dengan seksama,
Ah, seorang tojin atau imam yang berjubah kelabu, Hidungnya mancung, dahi lebar
dan memelihara jenggot yang bagus, Dengan sepasang matanya yang bersinar
terang, imam itu memberi kesan yang menyenangkan Mengundang rasa hormat
orang. Gin Liong segera menyimpan pedangnya lalu memberi hormat:
"Wanpwe Siau Gin Liong, mohon hendak bertanya kepada totiang. Apakah lotiang
mengetahui orang yang telah melepaskan senjata gelap kepada nenek itu ?"
Habis berkata kembali Gin Liong membungkuk tubuh memberi hormat, Tetapi
ketika ia mengangkat muka dan memandang ke depan, kejutnya bukan kepalang.
Imam jenggot indah itu sudah lenyap dari pandang mata.
Sebelum tahu apa yang telah terjadi, tiba2 dari arah belakang terdengar dua buah
jeritan ngeri. Gin Liong cepat berputar tubuh. Cepat pandang matanya menuju kearah kearah
pengemis kurus dan paderi gemuk tadi. ia segera menghampiri ke tempat mereka.
Ketika mendekati, kejut Gin Liong seperti disambar petir.
Pengemis kurus itu masih tetap duduk diam tetapi batang lehernya telah terbenam
kedalam dada. Demikian pula dengan paderi gemuk, seolah-olah kepalanya
melekat tanpa leher diatas bahunya.
Keduanya masih menggenggam beberapa batang huito dan beberapa butir gin-tan.
Gin Liong tegang sekali hatinya, jelas kedua orang itu telah dibunuh dengan
tenaga dalam yang sakti sekali. Cepat ia keliarkan matanya. Ternyata sinar penerangan
dalam rumah pondok itu sudah padam.
Tergetar hati Gin Liong. Cepat ia loncat kemuka jendela dan melongok ke dalam,
Ah, ternyata ruang pondok itu gelap gulita dan diatas tempat tidur pun tiada
orang tua itu lagi. juga diatas meja, kaca cermin itupun sudah lenyap.
Serta merta ia berpaling kebelakang, Ternyata sekeliling rumah pondok itu sudah
tak tampak barang sesosok bayangan manusia pun jua.
Hati Gin Liong setegang orang berpacu, Dia benar2 kesima mengalami peristiwa
seaneh ini. Tiba2 terdengar siulan nyaring dan panjang, Kumandangnya bergema sampai ke
awan, Makin lama makin dekat
Tetapi begitu menyusup ke telinga Gin Liong, pemuda itu girang sekali. Cepat ia
melambung ke udara dan melontarkan pandang mata ke sekeliling penjuru.
Pada padang salju yang jauhnya beberapa li, segunduk bayangan merah bergulung-
gulung laksana segumpal awan merah, melintasi jalan di puncak gunung dan
dengan pesat menuju ke tempat Gin Liong.
Menyaksikan benda itu, girang Gin Liong bukan kepalang, ia tak menyangka sama
sekali bahwa Ban Hong Liong-li akan kembali. Maka sambil bergeliatan di udara,
ia segera berseru sekeras-kerasnya :
"Locianpwe, Liong-ji berada disini . . . ."
-ooo0ooo- 10. Salju merekah merah Mendengar teriakan Gin Liong, suitan nyaring itupun berhenti, Bayangan merah itu
memancar sinar mata yang tajam ke arah Gin Liong. Dengan kecepatan laksana
anak panah terlepas dari busur, bayangan merah itu terbang meluncur ke arah Gin
Liong. Melihat bayangan merah yang disangka Ban Hong Liong-li itu lari menuju
ketempatnya, girang sekali hati Gin Liong. Diapun pesatkan larinya menyongsong.
seraya acungkan tangan berseru keras2:
"Locianpwe ... locianpwe . .. .!"
Saat itu dia sudah masuk ke dalam sebuah lembah yang berkabut salju, Dalam
kabut yang memenuhi seluruh lembah itu, samar2 ia melihat beberapa sosok
bayangan imam sedang lari keluar lembah.
Menduga bahwa orang2 itu tentu habis dari rumah pondok tadi, Gin Liong tak
mengacuhkan mereka dan terus lanjutkan larinya.
Setelah melintasi lembah salju, kini ia berhadapan dengan sebuah karang es yang
tingginya sampai belasan tombak. Karang es itu merentang panjang entah sampai
berapa li. Setiba dimuka karang es, Gin Liongpun segera enjot tubuh melambung ke udara,
Berhenti sebentar untuk menjejakkan kakinya kebawah dan dengan meminjam
tenaga jejakan itu tubuhnya melambung naik lagi. Dengan dua tiga kali gerakan
itu, dapatlah ia mencapai puncak karang es.
Ternyata permukaan karang es itu merupakan sebuah dataran es yang amat luas
sekali. Dalam pada itu bayangan merah tadipun makin dekat dan dengan jelas ia dapat
mendengarkan kibaran pakaiannya ditebar angin.
Tiba2 Gin Liong kendorkan laju larinya, ada sesuatu yang mencurigakan hatinya.
Mau lari kemuka, kecurigaan Gin Liong itu berobah menjadi rasa kecewa, Serentak
ia hentikan larinya. Jelas sudah baginya bahwa bayangan merah yang lari menghampiri itu, walaupun
seorang wanita yang mengenakan pakaian orang persilatan dan menyandang
mantel warna merah, tetapi dia bukan Ban Hong Liong-li.
Pada punggung wanita baju merah itu menonjol tangkai pedang berpita merah,
sepasang sepatunyapun merah darah, Rambutnya yang indah dan panjang diikat
dengan tali merah. Dalam hembusan angin, tampak rambut itu berkibar-kibar
memikat mata. Pada saat Gin Liong berhenti dan tegak terlongong-longong, segulung sinar merah
diantara deru angin keras, segera menjelang tiba kehadapannya.
Gumpalan sinar merah itu berputar-putar sekali melingkari Gin Liong. Setelah itu
baru tegak berdiri dihadapan anak muda itu.
Melihat pendatang itu, hati Gin Liong mendebur keras, Orang yang berada
dihadapannya itu menggunakan pakaian serba merah yang menyilaukan pandang
mata, Gin Liong sampai tak berani memandang lekat2.
Kiranya dia seorang nona muda, berumur dua puluhan tahun. wajahnya cantik
jelita, sepasang alis yang melengkung bagai bulan tanggal muda, menaungi dua
buah gundu mata yang bundar dan tajam. Raut wajahnya yang menyerupai buah
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semangka dibelah dua, dihias sebuah mulut yang kecil mungil,
Sambil bercekak pinggang, jelita itu menatap lekat2 pada Gin Liong, Bibirnya
yang semerah delima, mengulum senyum yang memikat jiwa.
Gin Liong merah wajahnya, Darahnya memandang keras, pendatang yang memiliki
ilmu ginkang hebat itu ternyata seorang nona yang cantik jelita.
Rupanya karena melihat Gin Liong ter-longong kesima, nona cantik itu tertawa
mengikik, Sambil goyangkan pinggang, ia berseru: "Adik, apakah tadi engkau yang
memanggil aku ?" Mendengar nona itu menegur dengan kata2 yang ramah, merahlah wajah Gin
Liong. Segera ia tersipu-sipu memberi hormat:
"Karena menempuh perjalanan siang malam, pandang mataku sudah kabur. Dan
karena kabut yang tebal, aku telah keliru memanggil nona, Harap nona suka
maafkan kekhilafanku."
Kembali nona cantik itu tertawa mengikik, sambil mengambil sikap seperti pohon
liu tertiup angin, dengan ramah sekali ia tertawa, serunya:
"Ah, tak apa, tak apa. Harap adik jangan pikirkan soal sekecil itu. Tapi tak
marah kepadamu." Habis berkata dengan mengulum senyum manis, ia menatap Gin Liong sambil
ayunkan langkah maju menghampiri.
Wajahnya yang cantik memikat potongan tubuhnya yang langsing ramping,
langkahnya yang jinak2 merpati, benar2 mempesonakan setiap pria yang
memandangnya. Melihat nona cantik itu sangat genit tingkahnya, Gin Liong merasa muak. Tak
seharusnya dia berdekatan dengan nona semacam itu, ia harus lekas2 menyingkir.
Dengan wajah gelap, Gin Liong berseru:
"Karena masih ada lain urusan yang harus kukerjakan, terpaksa aku tak dapat
lama2 disini..." Pada saat Gin Liong bicara, nona genit itupun hentikan langkah dan tertawa:
"Apakah adik hendak mengejar seorang locianpwe yang berpakaian merah itu ?"
Tergetar hati Gin Liong sehingga wajahnya pun berobah. Buru2 ia bertanya:
"Apakah ketika melintasi gunung, nona melihat seorang pendekar wanita berumur
lebih kurang duapuluh tujuh tahun, berpakaian serba merah?"
Nona cantik itu kenakan alis dan melengking:
"Seorang locianpwe yang masih begitu muda belia itu" Uh, mengelabuhi setan!"
Mendengar nada nona itu mengandung hinaan terhadap Ban Hong Liong-li,
seketika marahlah Gin Liong.
"Kalau nona tak berjumpa, akupun hendak berangkat sekarang."
ia ayunkan langkah melewati samping si nona lalu lari pesat. Tetapi nona cantik
itu cepat melesat dan menghadang di muka Gin Liong.
"Engkau mau apa?" teriak Gin Liong dengan marah.
Nona genit itu melonjak kaget karena suara bentakan Gin Liong yang menggeledek
itu sehingga ia menyurut mundur selangkah.
"Ih, galak sekali, Benar2 hampir aku mati kaget!" serunya, seraya mengusap-usap
buah dadanya seperti orang yang hendak menenangkan dadanya yang berombak
keras. Tanpa melihatnya lagi, Gin Liong terus lanjutkan larinya, Tetapi nona genit itu
tersenyum, Sekali tubuhnya berayun, tahu2 ia sudah menghadang di depan Gin
Liong lagi. Kali ini Gin Liong terkejut sekali. Namun ia lebih dirangsang kemarahan daripada
rasa heran atas kepandaian si nona. Setelah berputar melingkar, iapun lanjutkan
larinya lagi. Tetapi nona genit itu hanya mendengus ia ayunkan tubuh menghadang di muka Gin
Liong lagi seraya berseru angkuh:
"Adik, apabila hari ini kubiarkan engkau lari, Mo-lan Hwa selama-lamanya takkan
memakai gelar Swat-te-biau-hong !"
Swat-te-biau-hong artinya Tanah-salju merekah-merah.
Gin Liong tak dapat menahan kemarahannya lagi, Dengan bengis ia membentak
lagi: "Menyisihlah, siapa yang engkau panggil sebagai adikmu itu!"
ia menutup katanya seraya menampar bahu nona genit itu dan terus menyelinap
hendak loncat. Salju merekah-merah Mo kan Hwa tidak marah malah tertawa mengikik. Tubuhnya
berputar-putar menghindari tamparan Gin Liong dan dengan sebuah gerakan yang
indah serta cepat, ia sudah merintangi gerak loncatan si anak muda lagi.
Gin Liong hentikan gerakannya. wajahnya membesi dan menggeram:
"Kalau nona hendak menghambat perjalananku lugi, jangan salahkan kalau aku
bertindak kurang ajar !"
Sambil kicup-kicupkan sepasang matanya yang bundar, Mo Lan Hwa berseru:
"Ih, mengapa engkau begitu tak tahu adat" Siapa yang memanggil suruh aku
datang tadi?" Merahlah wajah Gin Liong, serentak ia berseru dengan suara bengis:
"Telah kukatakan bahwa aku khilaf maka akupun sudah menghaturkan maaf
kepada nona..." "Huh," cepat Mo Lan Hwa menukas, "apa guna menghaturkan maaf?"
Gin Liong hendak meledak kemarahannya "Kalau maaf tak berguna, lalu apa
kemauanmu?" serunya dengan geram.
Salju-merekah-merah Mo Lan Hwa mendengus marah dan melengking:
"Hm, tidak semudah itu membiarkan engkau ngacir pergi !"
"Coba saja kalau mampu merintangi aku!" teriak Gin Liong makin marah. Bahkan
karena sudah tak kuat menahan kemarahannya, Gin Liong terus menampar muka
nona genit itu. "Hm, lihat saja apakah engkau mampu melarikan diri." seru Mo Lan Hwa seraya
menangkis dengan jurus Giok-hi- hui-soh atau Bidadari-melempar-tali.
11. Sepasang iblis Terdengar sebuah orang pelahan dan tubuh nona genit itu terhuyung-huyung
mundur sampai tiga langkah.
Gin Liong menggunakan tiga bagian dari tenaganya untuk menampar tetapi hanya
dapat membuat Mo Lan Hwa menyurut tiga langkah saja. Segera ia tahu bahwa
ilmu tenaga dalam dan ilmu ginkang nona itu memang hebat.
Ia kerutkan dahi memandang nona genit itu dengan tajam dan berseru:
"Jika engkau masih tetap mengganggu, jangan salahkan aku tak kenal kasihan!"
Habis berkata ia terus berputar tubuh dan angkat kaki.
"Berhenti !" Mo Lan Hwa melengking gugup, "sebelum kita ada yang mati salah
satu, tak seorangpun boleh tinggalkan tempat ini."
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah terjangan, sepasang tangannya
berhamburan menghajar seperti orang kalap.
Gin Liong sudah hilang kesabarannya, serentak ia berputar tubuh dan membentak
keras: "Baik, kalau engkau minta mati, akan kuantarkan engkau ke akhirat!"
Pemuda itu segera ayunkan tangan kanan menghantam. Seketika menderulah
angin pukulan yang dahsyat Salju di tanah berhamburan ke udara sehingga mirip
dengan suasana badai dimusim salju.
Nona genit itu terkejut. Seketika pucatlah wajahnya, serentak berhenti, dia
terus songsongkan kedua tangannya untuk menangkis.
Terdengar sebuah lengking jeritan yang ngeri dan nyaring diiring dengan tubuh Mo
Lan Hwa yang terlempar sampai tiga tombak ke udara lalu melayang jatuh sampai
lima tombak jauhnya. Gin Liong tertegun. Walaupun marah, tetapi ia hanya menggunakan lima bagian
dan tenaga dalamnya, Tetapi akibatnya benar2 diluar dugaan.
Tetapi ia seorang pemuda yang baik hati, sebenarnya ia tak kenal dan mempunyai
dendam permusuhan terhadap nona itu, Mengapa ia harus mencelakainya"
Cepat ia enjot tubuh nona itu. Dilihatnya, sepasang mata Mo Lan Hwa meram,
wajahnya merah padam, dada berombak keras dan napasnya terengah-engah.
Melihat keadaan nona itu tak sadarkan diri, Gin Liong bingung juga, Tetapi
menilik wajahnya yang merah itu, jelas kalau Mo Lan Hwa tak menderita suatu luka dalam
yang berbahaya. "Ah, kalau kugunakan tujuh atau delapan bagian tenaga dalam pukulanku tadi, dia
tentu akan muntah darah," diam2 Gin Liong merasa bersyukur karena tak
melakukan tindakan begitu.
Segera ia meletakkan tubuh nona itu ke tanah lalu mulai menguruti jalan darah
ditubuhnya, Tetapi diluar dugaan, makin diurut, napas nona itu makin lemah.
Sudah tentu Gin Liong terkejut sekali sehingga keringat dingin bercucuran
membasahi tubuhnya Ia hentikan pengurutannya dan mulai merenung ilmu urut yang telah dipelajarinya,
ia merasa bahwa cara pengurutan itu memang sudah benar.
Lalu ia mulai mengurut lagi dengan hati2 dan pelahan-lahan, tak berapa lama, Mo
Lan Hwa tampak membuka mata, Gin Liong girang dan hentikan urutannya. Sambil
mengulap keringat ia bertanya:
"Nona bagaimana keadaanmu?"
Tetapi nona itu pejamkan mata lagi, Gin Liong terkejut, ia merasa terlalu cepat
menghentikan pengurutannya maka buru2 ia lekatkan tangan kanannya ke jalan
darah Gi-hay diperut si nona, ia menunggu dengan penuh perhatian perobahan air
muka nona itu. Tetapi Gin Liong makin gelisah, wajah nona itu makin merah seperti bara dan
napasnya makin terengah-engah. Bibirnya pun mulai agak terbuka. Karena gugup,
Gin Liong menambahkan tenaga murninya seraya bertanya:
"Nona, bagaimana engkau rasakan?"
Dengan masih pejamkan mata, nona itu menyahut lemah: "Dingin... mati
kedinginan..." Gin Liong keliarkan mata memandang kesekeliling, ia mengharap dapat melihat
sebuah gua atau cekung karang es yang dapat dibuat membaringkan nona itu.
Karena perhatiannya tertumpah pada empat penjuru, ia tak tahu bahwa saat itu
diam2 Mo Lan Hwa sudah membuka mata dan tersenyum. Ia memandang dagu
pemuda cakap yang memikat hatinya itu.
Gin Liong yang polos hati, segera melihat bahwa hutan dimana terdapat rumah
pondok tadi, berada diatas puncak sebelah muka dari lembah salju, Saat itu
matahari sudah terbit dan kabutpun menipis, Rumah pondok di puncak salju itupun
segera tampak jelas. "Orang tua kurus itu sudah tak berada dalam pondok, lebih baik kuangkut nona ini
ke pondok itu," pikirnya.
Kemudian ia mengangkat tubuh Mo Lan Hwa lalu dibawanya lari menuju ke
pondok, pikirannya hanya tertuju untuk menolong jiwa si nona yang terkena
pukulannya, setitikpun ia tak mengandung pikiran yang tak senonoh.
Rupanya Mo Lan Hwa yang sesungguhnya sudah siuman, berseru:
"Engkau . . . hendak membawa aku kemana?"
Gin Liong tersentak kaget, Saat itu juga baru ia menyadari bahwa nona itu
mengelabuhinya, jelas nona itu tak menderita luka apa2 dan tak pingsan.
Kesemuanya tadi hanya pura2 saja.
Seketika meluaplah kemarahan Gin Liong.
"Pergi!" ia lemparkan tubuh Mo Lan Hwa ke tanah.
Tindakan Gin Liong itu diluar dugaan Mo Lan Hwa, ia menjerit kaget ketika
tubuhnya terbanting ke tanah.
Gin Liong marah sekali, Tanpa melihat keadaan nona itu ia terus berputar tubuh
dan lari kearah tenggara.
Setelah tenang, Mo Lan Hwa segera melenting bangun, Melihat anak muda itu lari,
ia bingung, Cepat iapun gunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar seraya
berteriak sekuat-kuatnya:
"Hai, manusia kayu! Engkau benar2 sebuah patung!"
Gin Liong mendongkol sekali, ia tak sudi melihat nona genit itu lagi, Tetapi
ternyata Mo Lan Hwa itu memang sakti dalam ilmu ginkang sehingga dia mendapat gelaran
sebagai Tanah-salju-merekah-merah, Karena cepatnya ia berlari, tubuhnya berobah
seperti segumpal asap merah yang menebar diatas salju.
Tampak dua sosok bayangan, yang satu kuning dan yang lain merah, sedang
berkejaran diatas puncak gunung yang tertutup salju putih.
Ging Liong lari mati-matian, Mo Lan Hwa mengejar sepenuh tenaga. Rupanya nona
genit itu tak mau melepaskan anak muda yang cakap itu.
Tiba2 dari arah puncak sebelah muka, terdengar dua buah suitan yang nyaring,
Menyusul dua buah bayangan hitam, bagaikan bintang jatuh dari udara, dari atas
puncak meluncur kebawah. Mo Lan Hwa terkejut dan cepat2 berteriak memanggil Gin Liong: "Manusia kayu,
berhentilah! Manusia kayu berhentilah!"
Sambil berteriak, nona genit itu gunakan jurus Jay-hong-hi-ci atau Cenderawasih-
hinggap-dipohon, melayang ke udara. ia berjumpalitan, dengan kaki diatas dan
kepala di bawah, menukik menyambar Gin Liong.
Rupanya karena sedang berlari cepat, pemuda itu tak memperhatikan kesiur angin
dari gerakan Mo Lan Hwa. Dia tetap lari sekencang-kencangnya.
Kedua sosok bayangan hitam yang meluncur dari puncak tadi segera tegak
ditengah jalan untuk menghadang Gin Liong.
Pada saat itu Mo Lan Hwa sudah berhasil mencapai jarak tiga tombak dibelakang
Gin Liong, "Manusia kayu, mengapa tak mau berhenti. Yang menghadangmu disebelah muka
itu adalah Sepasang iblis dari luar perbatasan!" teriak nona itu dengan nada
cemas. Gin Liong mendengus dalam hati, Peduli apa dengan sepasang iblis itu. Bukankah
ia tak kenal mereka" Dalam pada berpikir itu, Gin Liongpun berpaling kebelakang, Astaga. . . .
ternyata Mo Lan Hwa sudah ulurkan tangan hendak mencengkeram bahunya.
Kejut Gin Liong bukan alang kepalang sehingga ia sampai kucurkan keringat
dingin. Dengan gerak Liong-li-biau, cepat ia menghindar kesamping sampai tiga tombak
jauhnya lalu lanjutkan lari lagi.
Mo Lan Hwa terperanjat sekali, Tangannya yang sudah hampir berhasil
mencengkeram bahu anak muda itu tiba hanya menemui angin kosong.
Cepat ia hentikan gerakan tubuh dan berpaling.
Ah, ternyata Gin Liong sudah berbalik lari ke arah barat
Serempak pada saat itu. dari sebelah muka terdengar suara orang tertawa gelak2.
Nyaring dan menusuk telinga.
Mo Lan Hwa berpaling dan terkejut! Ternyata kedua iblis dari luar perbatasan itu
pun telah berputar diri dan meluncur untuk menghadang Gin Liong lagi.
Cepat Mo Lan Hwa melayang ke udara seraya berseru gopoh: "Manusia kayu, lekas
berhenti! Mereka itu sepasang iblis dari luar perbatasan..."
Sambil berseru, nona itu tetap mengejar Gin Liong, Gin Liong benar2 mendongkol
sekali dan ingin lepaskan diri dari libatan nona genit itu muka ia teruskan
larinya dan tak menghiraukan kedua orang yang di sebut sepasang iblis dari luar
perbatasan itu. Tetapi ia ingin juga mengetahui dimana nona genit itu. Begitu berpaling, ia
terkejut lagi Ternyata nona itu tengah melayang diudara dan meluncur kearahnya.
Diam2 Gin Liong mengeluh, Ternyata nona genit itu memang sakti sekali ilmu
ginkangnya, Rasanya tak mudah untuk lepaskan diri dari kejarannya.
Sesaat tiba di tanah, Mo Lan Hwa cepat berseru gopoh: "Awas, disebelah muka..."
Gin Liong terkejut dan memandang kemuka lagi, "Ah. ternyata kedua orang itu
sudah tiba dihadapannya, "Sumoay, biarlah suheng mewakili engkau meremukkan budak ini...." teriak salah
seorang dan kedua iblis itu seraya menyerang Gin Liong.
Saat itu Gin Liong baru berpaling kemuka, Sebelum tahu bagaimana wajah orang
itu, tiba2 dia sudah diserang, Dengan menggeram marah, cepat ia loncat
menghindar sampai dua tombak jauhnya.
Dalam pada itu, Mo Lan Hwa pun berteriak dan menghantam kearah serangan
orang itu. "Bum . . ." Gumpalan salju muncrat berhamburan ke empat penjuru, Mo Lan Hwa dan orang
yang melepaskan pukulan itu, masing2 terhuyung mundur sampai tiga langkah.
Saat itu Gin Liong dapat melihat jelas bahwa kedua sosok bayangan hitam itu
adalah dua orang lelaki pertengahan umur yang mengenakan pakaian ringkas orang
persilatan warna hitam. Keduanya masing2 menyanggul pedang pada
punggungnya. Lelaki yang berdiri disebelah kiri berwajah persegi alis lebar mata sipit dan
memelihara kumis tipis. Dia memandang dengan mata berkilat-kilat ke wajah Mo
Lan Hwa. Dia adalah Say-pak-jin-mo atau Manusia iblis dari Say-pak (Perbatasan Utara).
Dia
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula yang hendak menyerang secara menggelap kepada Gin Liong.
Lelaki yang disebelah kanan, berwajah segi-tiga, kumis jarung, mata bundar kecil
seperti mata tikus dan alisnya berbentuk menurun, pipinya yang kempot
menyungging senyum menyeringai.
Dia dikenal oleh kaum wanita sebagai Say-pak-ceng-mo atau iblis Cabul dari Say-
pak. Kedua iblis itu tertawa mengekeh.
"Beberapa tahun tak bertemu, ternyata sumoay sekarang semakin cantik.
Terutama dalam ilmu ginkang. sumoay makin mencapai kemajuan yang
mengejutkan. Semalam aku bersama lo-toa berpencaran mengejar, tetapi masih
tak mampu mengejar sumoay," seru Ceng Mo dengan tertawa sinis.
Jin Mo juga tertawa dingin, Sebelum Ceng Mo selesai berkata, ia sudah
menggeram: "Tak kira kalau sumoay ke daerah salju untuk mencari budak muka
putih itu." Habis berkata kedua iblis itu serempak berpaling memandang Gin Liong, pemuda
itu masih tegak berdiri melihat gerak-gerik ketiga orang itu.
Mo Lan Hwa merah wajahnya.
"Tutup mulutmu!" teriaknya geram, "aku melakukan perintah toa-suheng untuk
menyelidiki asal usul orangtua yang membawa kaca cermin itu, jangan kalian
bicara tak keruan begitu!" Berhenti sejenak melontarkan pandang kemarahan kepada kedua iblis, Mo Lan
Hwa melanjutkan pula: "Sudah lama kalian putus hubungan dengan perguruanku. Kalian melanggar pesan
suhu, melakukan perbuatan yang tercela diluaran. Sejak suhu menutup mata,
kalian makin menggila. Jika Ji-suheng tak mengingat pernah sama2 menjadi
saudara seperguruan, masakah kalian saat ini masih bernyawa" Berulang kali
kalian menghadang aku dan mengucapkan kata2 yang tak senonoh, apakah maksud
kalian" Katakanlah sekarang ini. Kalau tetap bertingkah seperti itu, jangan
kalian sesalkan aku tak mau mengingat pernah sama2 dalam satu perguruan."
Rupanya Mo Lan Hwa marah sekali kepada kedua iblis yang ternyata pernah
menjadi suhengnya. Wajah kedua iblis itu tampak memberingas tak sedap dipandang, tiba2 keduanya
tertawa gelak2 untuk menghamburkan kemarahan mereka.
Setelah mendengar percakapan itu, barulah Gin Liong tahu akan hubungan Mo Lan
Hwa dengan kedua iblis itu, Serentak ia merasa bahwa Mo Lan Hwa itu bukan
seorang nona yang cabul melainkan seorang gadis yang lincah dan binal.
Seketika berkurang kesan buruknya terhadap nona itu. Semula ia hendak
tinggalkan mereka selagi Mo Lan Hwa tengah bertengkar dengan kedua bekas
suhengnya, Tetapi setelah tahu persoalannya, dia batalkan rencananya. Dia harus
ikut membantu Mo Lan Hwa apabila nona itu mendapat kesulitan dari kedua iblis.
Setelah puas, kedua iblis itu hentikan tawanya. Wajah mereka tampak membesi.
Matanya berkilat-kilat buas.
Jin Mo deliki mata dan berteriak marah: "Budak perempuan yang tak punya mata!
Besar sekali nyalimu berani memberi nasehat kepada kami berdua saudara, Lebih
baik engkau ikut kepada kami, Jangan kuatir kami tentu takkan mengecewakan
keinginanmu, Kalau tidak, heh, heh...."
Karena marah, tubuh Mo Lan Hwa sampai menggigil keras. Cepat ia menukas:
"Kalau tidak, mau apa engkau ?"
Ia menutup kata-katanya dengan kebutkan lengan kanan dan tiba2 tangannya
sudah bertambah dengan sebatang pedang yang berkilat-kilat memancarkan hawa
dingin. Melihat itu Ceng Mo tertawa hina, Matanya yang seperti mata tikus itu, segera
memandang kearah Gin Liong yang berdiri pada jarak dua tombak jauhnya.
"Tidak mudah engkau hendak melarikan diri bersama budak laki itu!" serunya.
Gin Liong tertegun. Mengapa dirinya dibawa-bawa dalam persoalan Mo Lan Hwa.
Dia tak kenal Mo Lan Hwa, tak tahu kedua iblis itu.
Karena marahnya, ia hamburkan tertawa dingin. Mo Lan Hwapun merah mukanya,
ia mencuri kesempatan untuk melontar senyum kepada pemuda itu lalu
melambainya: "Adik, kemarilah! Masakan kita berdua tak mampu menghajar kedua manusia jahat
ini!" Mendengar itu makin marahlah kedua iblis. Mereka iri dan cemburu kepada Gin
Liong karena Mo Lan Hwa yang cantik itu lebih suka kepada Gin Liong daripada
kepada mereka. Mereka tergila-gila dengan kecantikan Mo Lan Hwa. Dan rasa iri itu segera
meningkat dan meledakkan kemarahan mereka.
"Dadaku mau meletus nih!" seru mereka seraya berhamburan menerjang Mo Lan
Hwa. Jin Mo menggunakan jurus Ji-hung-hi-cu atau Sepasang-naga bermain-mustika,
menutuk kedua mata si nona. Ceng Mo gunakan jurus Koay bong-bi tong atau Ular
naga-mencari-sarang. Dia tusukkan jarinya ke bawah buah dada si nona, serangan
itu dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa.
Mo Lan Hwa tertawa dingin. Setelah menghindar kesamping dari tutukan jari Ceng
Mo, segera ia taburkan pedangnya untuk membabat tangan Jin Mo yang hendak
menutuk matanya. Menghindar seraya menyerang itu, dilakukan Mo Lan Hwa dalam saat dan gerak
yang hampir serempak sehingga kedua iblis itu menjerit kaget dan hentikan
serangannya. Bahkan Gia Liong sendiripun terkejut dan kagum melihat gerakan si nona yang
sedemikian lihaynya, Tanpa disadari, ia berseru memuji: "Bagus...."
Mendengar pujian anakmuda itu, girang Mo Lan Hwa bukan kepalang, ia mencuri
kesempatan untuk memandang Gin Liong dengan senyum mesra.
Kebalikannya kedua iblis itu makin marah, Wajah mereka berobah membesi bengis
lalu menghampiri Gin Liong, Dengan mengertek geraham sehingga terdengar suara
giginya saling bergosok keras, kedua iblis itu membentak:
"Budak hina. rasanya engkau memang sudah bosan hidup. Maka lebih dulu hendak
kucabut nyawamu baru nanti membereskan budak perempuan yang tak tahu malu
itu!" Kemudian sambil menyalurkan tenaga dalam pada lengannya, mereka mulai maju
menghampiri Gin Liong. Melihat itu Mo Lan Hwa cepat berseru: "Adik, hati-hatilah! Lekas cabut pedangmu,
Mereka sakti sekali, engkau bukan lawannya!"
Tanpa sebab dirinya telah dipukul oleh Jin Mo tadi, sebenarnya Gin Liong sudah
marah. Kini melihat kedua iblis itu hendak menyerangnya lagi, dia segera tertawa
menghina. Sengaja ia hamburkan sebuah tertawa yang nyaring dan panjang sehingga
kumandangnya bergema jauh sampai ke awan.
Mo Lan Hwa terkejut. Saat itu ia rasakan darahnya mendebur keras demi tergetar
oleh nada tertawa pemuda itu. setitikpun ia tak mengira bahwa pemuda yang
berwajah cakap itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sedemikian dahsyat
Kedua iblis itu adalah tokoh2 yang berpengalaman dalam dunia persilatan.
Mendengar hamburan tawa Gin Liong, seketika berobahlah wajah mereka mereka.
12 Tabung tembakau emas Dengan kerahkan seluruh tenaga mereka serempak menghantam. Angin pukulan
mereka menimbulkan desus prahara dan deru yang dahsyat, berhamburan
melanda Gin Liong. Melihat serangan kedua bekas suhengnya itu, Mo Lan Hwa terkejut dan tanpa
disadari ia menjerit kaget.
Gin Liong memang baru pertama kali itu keluar dari gunung, Walaupun ia sudah
mendapat pengalaman dari latihan berkelahi, tetapi ia tak tahu akan keadaan
dunia persilatan yang penuh bahaya.
Cepat ia hentikan tawanya lalu gerakkan kedua tangannya menyongsong serangan
lawan. Tetapi sebelum tenaga pukulannya berkembang, pukulan dahsyat dari kedua iblis
itu sudah melandanya. Bum . . .! angin menderu dahsyat, salju bertebaran keempat
penjuru. Gin Liong terhuyung-huyung sampai tiga langkah kebelakang. Tiba2 Ceng Mo loncat
menerjang hamburan salju dan dengan menggembor sekuatnya, ia menghantam
lagi Gin Liong yang belum berdiri tegak.
Bum .. .! Terdengar letupan keras dan kedua orang itupun tercerai, terhuyung-huyung.
Melihat itu Jin Mo pun tak mau memberi kesempatan ia enjot tubuhnya kemuka
dan lontarkan sebuah hantaman kepada Gin Liong.
Dengan menggeram marah, Gin Liong cepat loncat mundur sampai tiga tombak
jauhnya. Mo Lan Hwa melengking kaget. Cepat ia memutar pedang untuk menusuk tengkuk
Jin Mo. Pada saat Jin Mo terkejut karena sosok bayangan kuning (Gin Liong) yang berada
dihadapannya itu menghilang, tiba2 dari belakang ia merasa disambar oleh setiap
angin yang dingin. Cepat ia memekik dan tundukkan kepala lalu berjongkok ke
tanah. Sret . . . . mantel hitam dari Jin Mo telah tertusuk robek oleh ujung pedang Mo
Lan Hwa. Jin Mo terkejut. Dengan gunakan jurus Keledai-malas-bergelundungan, dia terus
berguling-guling ke tanah sampai dua tombak jauhnya. Kemudian cepat ia
melenting bangun lagi, wajahnya pucat lesi, keringat dingin bercucuran.
Ceng Mo yang beradu pukulan dengan Gin Liong dan terhuyung-huyung pun segera
berdiri tegak. Kedua iblis saling bertukar pandang lalu serempak mencabut pedang
dan terus menyerang Mo Lan Hwa.
"Bunuh dulu budak perempuan ini, baru budak laki itu!" seru mereka.
Jin Mo gunakan jurus Pok-hun-kiau-jit atau Menyiak-awan-melihat-matahari.
pedangnya berhamburan mencurah ke arah leher si nona.
Sedang Ceng Mo memainkan jurus Hek-ie-jong-liong atau Naga-hitam-mendekam-
ditanah, Ujung pedangnya melilit-lilit, menusuk kaki Mo Lan Hwa.
Mo Lan Hwa melengking seraya ayunkan pedangnya kekanan kiri, membentuk
sebuah lingkaran sinar untuk menyambut serangan kedua lawan.
"Berhenti!" tiba2 dari arah tiga tombak jauhnya terdengar suara bentakan
menggeledek. Jin Mo terperanjat dan buru2 hentikan serangannya seraya menyurut mundur
beberapa langkah. Kedua iblis itu serempak berputar tubuh ke belakang lalu memandang kemuka.
Mereka terkesiap ketika melihat wajah Gin Liong memancar hawa pembunuhan
dan tengah melangkah menghampiri. Tangan pemuda itu mencekal sebatang
pedang bersinar merah berkilau, Mirip dengan senjata pusaka dari Ban Hong Liong-
li dahulu. Ternyata yang berseru menyuruh kedua iblis itu berhenti, bukan lain adalah Mo
Lan Hwa sendiri. Melihat pedang Gin Liong, walaupun tak tahu asal usul pedang itu
tetapi ia percaya tentu sebuah pusaka yang hebat.
"Kawanan tikus buduk, menyerang secara gelap bukan laku seorang gagah . . . ."
sambil melangkah maju, Gin Liong memaki.
Kedua iblis itu berobah wajahnya, Tubuh mereka gemetar keras, cepat mereka
menukas dengan menghambur tawa kemarahan. Tawa yang disaluri dengan tenaga
dalam hebat sehingga Mo Lan Hwa sampai mendekap telinganya.
Gin Liong hentikan langkah, membentak: "Dihadapanku engkau berani bertingkah
sedemikian congkak" Hm, lekas siaplah menyambut seranganku."
Gin Liong menutup kata-katanya dengan taburkan pedangnya, Seketika pedang
Tanduk Naga berkembang menjadi suatu lingkaran sinar merah yang gilang
gemilang menyilaukan mata.
Sepasang iblis dari luar perbatasan itu segera hentikan tawanya, Mereka deliki
mata dan mengertak gigi: "Budak tak tahu malu, kalau tak diberi hajaran, engkau memang belum tahu
kelihaian sepasang iblis dari luar perbatasan!"
Mereka segera melepaskan pengikat lehernya serta melemparkan mantel hitamnya
ke tanah. Melihat itu Mo Lan Hwa tertawa, ia tahu bahwa kedua iblis itu sudah ketakutan.
Kalau tidak tentu takkan membuka mantel. Karena bertempur dengan mambuka
mantel berarti kurang sopan atau mengandung keputusan untuk mengadu jiwa.
"Sudah, jangan banyak tingkah, hayo kalian boleh maju semua!" seru Gin Liong.
Kedua iblis itu pun segera menjawab dengan memutar pedang, menyerang Gin
Liong. Jin Mo dikanan dan Ceng Mo dikiri.
Gin Liong hanya mendengus geram. Dengan jurus Jit-gwat-kau-hui atau Matahari-
rembulan-saling-bertemu, dia langsung membabat pedang kedua lawannya.
Sepasang iblis itu melengking aneh, nantikan langkah menarik pedangnya. Jika
yang satu maju, yang lain berhenti. Yang satu diam. Mereka menyerang secara bergilir.
Mencari-cari lubang kesempatan dan berusaha untuk menghindari benturan
dengan pedang anak muda itu.
Gin Liong tertawa dingin. Tiba2 ia merobah gaya permainannya dalam jurus Jiu-
cui- heng-cou atau Air-musim rontok-menghadang-sampan. Dalam bentuk seperti
sebuah busur, sinar pedang Tanduk Naga segera membabat dada orang.
Jin Mo tertawa mengekeh. Cepat ia menarik pulang pedang dan loncat mundur
sampai dua tombak! Tiba2 Gin Liong menarik pedang lalu tubuhnya berputar-putar menyelinap
kebelakang Ceng Mo. Lalu dengan sebuah bentakan menggeledek, ia robah pula
pedangnya dalam jurus Heng-soh-cian-kun (membabat-ribuan-lasykar), Sring . . . .
pedangpun melayang kepinggang Ceng Mo. Cepat dan dahsyatnya bukan buatan.
Serasa terbanglah semangat Ceng Mo dilanda serangan itu. Karena kejutnya ia
sampai memekik lalu berputar tubuh dan tangkiskan pedangnya dalam jurus Hoa-
te-kau-ping atau Menggurat-tanah-mengatur-tentara.
"Tring..." Terdengar bunyi menggerincing tajam dan putuslah pedang Ceng Mo menjadi dua.
Tiba2 Ceng Mo menjerit keras sekali dan rubuh ke tanah.
Gin Liong tertawa dingin lalu maju menghampiri dan mengangkat pedangnya untuk
menyelesaikan nyawa iblis itu.
Melihat itu, Jin Mo terkejut, cepat ia ayunkan tubuh, menggembor keras dan
menusuk dada Gin Liong. Gin Liong pun mengisar langkah kesamping, memutar pedang dalam jurus Gong
jiok-gui-peng atau Burung-gereja-membuka-pintu. menyongsong serangan lawan.
Rupanya Jin Mo tahu bahwa pedang lawan itu sebuah pusaka yang tiada tara
tajamnya. Mengendapkan pedang kebawah, ia ayunkan tangan kiri menghantam
muka Gin Liong. Tetapi terlambat, serempak dengan bunyi menggemerincing keras, pedangnyapun
telah terpapas kutung oleh pedang Tanduk Naga.
Kali ini Jin Mo yang terbang semangatnya, Dia tak sempat memikir untuk melukai
Gin liong lagi, ia segera jatuhkan diri berguling-guiing di tanah dalam jurus
Kiu-te- sip-pat-kun atau Delapan-belas kali-berguling ditanah.
"Hai, tinggalkan nyawamu!" teriak Gin Liong seraya loncat dan membabat kedua
kaki Jin Mo. Pada saat itu tiba2 Mo Lan Hwa menjerit keras sehingga Gin Liong terkejut dan
berpaling. Sebuah benda yang berkilat-kilat meluncur deras kearah Gin Liong, Gin Liong
menggeram, Berkisar tubuh kesamping, ia menghindari luncuran benda itu. Ketika
mengamatinya, ternyata benda itu adalah kutungan pedang dari Ceng Mo telah
menaburkan pedangnya yang hanya tinggal separoh itu kearah Gin Liong, demi
menolong Jin Mo. Gin Liong marah, Dengan menggembor keras. ia hendak memburu Ceng Mo tetapi
tiba2 belakang tengkuk kepalanya disambar angin tajam.
Gin Liong tahu bahwa kali ini tentu Jin Mo yang menyerangnya dari belakang
dengan melontarkan kutungan pedangnya, Cepat pemuda itu tundukkan kepala
dan melayanglah kutung pedang itu melalui atas kepala pemuda itu.
Gin Liong benar2 marah sekali terhadap kedua iblis yang licik itu, Ketika
mengangkat kepala, ternyata kedua iblis itu sudah terbirit-birit melarikan diri,
jaraknya sudah berada sepuluhan tombak jauhnya.
"Adik, lekas kejar! jangan biarkan mereka lolos, Kalau tidak, jangan harap
engkau dapat hidup dengan tenang."
Habis berkata nona itupun terus ayunkan langkah mengejar lebih dahulu.
Gin Liong memang tak mau memberi ampun kepada kedua iblis itu, sebenarnya ia
hendak mengejar mereka tetapi demi mendengar kata2 Mo Lan Hwa, ia malah tak
mau ikut mengejar. "Hm, aku memang sengaja hendak melepaskan manusia itu. Akan kulihat, mereka
dapat berbuat apa terhadapku," serunya geram.
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar itu, Mo Lan Hwa hentikan larinya dan berpaling kearah Gin Liong, ia
marah sehingga wajahnya merah, Ketika mulutnya hendak meluncurkan kata2,
tiba2 terdengar sebuah suara tawa yang nadanya rawan dan aneh.
Gin Liong terkejut Menurutkan arah suara tawa itu, dilihatnya dari belakang
bukit yang jaraknya diantara empat puluhan lombak, muncul sesosok bayangan
menghadang kedua iblis tadi.
Ketika Gin Liong mencurahkan perhatian memandang kemuka, ternyata yang
muncul itu seorang kakek tua renta berumur delapan puluhan tahun, Rambut
pendek tetapi jenggotnya dipelihara panjang, putih mengkilap seperti salju.
Alisnya tebal mata bundar dan kepala besar. Mengenakan ma-kwa (pakaian
mancam) yang menutup kaki.
Kakek itu mencekal sebatang pipa huncwe yang panjangnya sampai satu setengah
meter, Kepala huncwe sebesar kepalan tangan orang.
Berhadapan dengan kakek itu, seketika gemetaran kedua iblis tadi. Serempak
mereka jatuhkan diri berlutut dihadapannya.
Gin Liong kerutkan dahi, Dia merasa pernah kenal dengan kakek itu. Kalau tak
salah dahulu suhunya pernah mengatakan bahwa kakek itu bernama Hok To-Beng
bergelar Kim-yan-tay atau Tabung-tembakau-emas.
Dia salah seorang tokoh dari Swat-Thian Sam-yu atau Tiga Sahabat dari langit
salju, Dia lah yang memiliki ilmu ginkang sakti Menginjak-salju-tanpa-meninggalkan-
jejak. Baru Gin Liong berpikir sampai disitu, tiba2 Mo Lan Hwa berteriak nyaring:
"Toa-suheng, mereka berdua telah menghina aku!"
Dan nona itupun terus lari menghampiri Hok To Beng.
Saat itu tergeraklah pikiran Gin Liong. Suheng dari Mo Lan Hwa atau kakek Hok To
Beng itu kemungkinan tahu siapakah kakek kurus dalam pondok itu. Paling tidak,
Hok To Beng tentu tahu siapakah orangtua jenggot indah yang berwibawa sebagai
seorang dewa itu. Dengan memiliki harapan itu, Gin Liong sarungkan pedangnya lalu bergegas
menghampiri ketempat Hok To Beng.
Belum tiba ditempat itu, Gin Liong sudah mendengar kedua iblis membela diri:
"Sudah banyak tahun siaute berdua tak pernah berkunjung untuk menghaturkan
selamat kepada toa-suheng. Sungguh hati kami amat menyesal. Tadi siaute berdua
bertemu dengan Mo sumoay. Belum sempat siaute menanyakan keadaan toa-
suheng, Mo sumoay sudah marah2 dan mendamprat.
Mo Lan Hoa deliki mata dan melengking marah:
"Tutup mulutmu! jangan ngaco belo tak keruan jual kebohongan. Apa yang kalian
bicarakan ketika semalam berada dalam kota" Apakah kalian pernah menanyakan
kesehatan toa-suheng" Dan tadipun, apa saja yang kalian ocehkan dihadapanku ?"
Kemudian nona itu menunjuk kearah Gin Liong yang sedang mendatangi katanya
pula: "Tanyakanlah kepada adikmu itu, apakah kalian tadi pernah bertanya tentang diri
toa-suheng" Hm..."
Orang tua rambut pendek kerutkan dahi, ia gerakkan pipa huncwe untuk
menyentuh lembut Mo Lan Hwa seraya berkata:
"Sudahlah, sudahlah. Katakan lebih dulu urusanmu baru nanti giliran mereka!"
Kemudian Hok To Beng acungkan pipanya kearah Gin Liong yang saat itu sudah tiba
dan berada satu tombak jauhnya, bertanya pula kepada Mo Lan Hwa:
"Kapan engkau mendapatkan seorang adik laki budak itu " siapakah she dan
namanya" Dimana tempat tinggalnya dan berapakah umurnya" Cobalah engkau
terangkan lebih dahulu."
Habis mencurahkan hujan pertanyaan, orang tua rambut pendek itu menengadah
memandang langit dan pasang telinganya untuk mendengarkan keterangan Mo Lan
Hwa. Sama sekali tak mengacuhkan kepada kedua iblis yang masih berlutut ditanah
itu. Gin Liong mendapat kesan bahwa rambut pendek Hok To Beng itu seorang tua
yang tak mempedulikan segala adat peraturan Dengan mempunyai seorang toa-
suheng semacam itu, sudah tentu Mo Lan Hwa menjadi seorang nona yang suka
membawa kemauan sendiri dan bebas tingkah lakunya!
Tampak Mo Lan Hwa melongo, wajahnya merah jengah. Sepasang biji matanya
yang besar, berkeliaran Tiba2 ia tertawa lalu melambai Gin Liong.
"Adik, kemarilah," serunya, "cobalah engkau tuturkan satu demi satu kepada toa-
suheng." Gin Liong terpaksa tertawa walaupun seperti orang meringis, Demi hendak
mengetahui asal usul orang tua kurus dan orang tua jenggot indah itu, terpaksa
ia tebalkan muka menghampiri.
Melihat perawakan Gin Liong dan sepasang matanya yang bundar bersinar, diam2
orang tua rambut pendek itu terkejut.
"Bakat yang luar biasa bagusnya. Kelak anak ini tentu menjadi tokoh persilatan
yang cemerlang di angkasa persilatan," diam2 Hok Tek Bong menimbang dalam
hati. Tetapi karena melihat wajah toa-suhengnya mendadak berobah, berdebarlah hati
Mo Lan Hwa. Tetapi ia bersikap setenang mungkin.
Berhenti pada jarak lima langkah dari orang tua rambut pendek, Gin Liongpun
memberi hormat. "Siau Gin Liong menghaturkan hormat kepada lo-cianpwe," serunya disertai
dengan membungkuk tubuh. Tiba2 Hok To Beng tertawa gembira, Nada tawanya amat sedap didengar setelah
berhenti tertawa, dia mengelus-elus jenggotnya yang putih dan berseru gembira:
"Saudara, apakah engkau adik lelaki dari siaumoay ku " Aku adalah toa-suhengnya
Mengapa engkau menyebut locianpwe kepadaku" Yang benar, engkau sebut saja
lo-koko." Habis berkata ia tertawa gelak2.
Sudah tentu Mo Lan Hwa girang sekali,
Dia tahu kalau toa-suhengnya suka pada pemuda itu. Maka segera ia berkata
kepada Gin Liong: "Adik, lekaslah engkau ceritakan apa yang terjadi tadi..."
"Toa-suheng." tiba2 kedua iblis yang masih berlutut di tanah mendahului membuka
suara, "budak itu bukan adik lelaki dari Mo sumoay ..."
"Tutup mulut!" bentak orang tua rambut pendek. Suaranya seperti halilintar
menyambar sehingga Gin Liong pun sampai tergetar jantungnya.
Seketika kedua iblis itu pucat wajahnya dan keringat dinginpun bercucuran
membasahi tubuh mereka, Dengan pandang mata penuh dendam, mereka
memandang Mo Lan Hwa dan Gin Liong.
Orang tua rambut pendek itu melanjutkan kata-katanya: "Segala tingkah lakumu
yang tak senonoh diluaran aku tahu semua. Sebelum menutup mata, suhu telah
memberi pesan kepadaku supaya mencabut ilmu kepandaian kalian, Tetapi sampai
sebegitu jauh, aku masih belum sampai hati."
Habis berkata ia kiblatkan pipanya kemuka kedua orang itu sehingga mereka
pejamkan mata, gemetar dan kucurkan keringat dingin. Mereka diam mematung
tak berani berkutik sama sekali.
"Sudah banyak kali aku menerima teguran dari beberapa kawan yang menuduh aku
sengaja memelihara murid khianat dan tak mau memikirkan keselamatan dunia
persilatan. Hm, hari ini, sekali lagi kuberi kalian ampun..."
Mendengar itu menjeritlah Mo Lan Hwa seraya lari kesamping toa-suhengnya.
Memegang lengan orang tua itu dan berseru dengan gopoh:
"Toa-suheng, kali ini janganlah memberi ampun mereka, Kalau tidak, bagaimana
engkau hendak memberi pertanggungan jawab kepada Hong dan Cui berdua lo-
koko nanti..." Gin Liong cepat dapat menduga bahwa yang disebut Hong (Gila) dan Cui (pemabuk)
lo-koko oleh Mo Lan Hwa itu tentulah kedua tokoh yang lain dari Swat-san Sam-yu,
Lengkapnya mereka bernama Hong-lian-sian dan Cui-sian-ong.
Dan Gin Liong pun cepat dapat menduga bahwa orang tua rambut pendek yang
berada dihadapannya itu pasti Kim-yan-tay atau Tabung-tembakau-emas yang
paling aneh wataknya diantara Swat-thian Sam-yu.
Memang ketiga tokoh dari Swat-thian Sam-yu itu gemar berkelana keseluruh
penjuru. Mereka termasyhur dengan ilmu ginkangnya yang sakti.
Serentak Gin Liong pun teringat akan nyanyian yang tersebar dalam dunia
persilatan. Dalam ilmu ginkang. Swat-thian Sam-yu paling menjagoi.
Hong-tian-siu Kakek Gila, terbang diatas rumput.
Kim-yan-tay si Tabung-tembakau-mas menginjak salju tanpa bekas.
Cui-sian-ong si Dewa Pemabuk, melintas sungai dengan sebatang rumput ilalang...
Teringat akan syair itu, tergetarlah hati Gin Liong. Sedang Mo Lan Hwa tetap
mencekal lengan toa-suhengnya, menghendaki supaya toa-suhengnya jangan
melepaskan kedua iblis. Kim-yan-tay Hok To Beng bungkam. Hanya matanya yang berkilat-kilat memancar
sinar. Rupanya dia masih ragu2 untuk mengambil keputusan.
Pipa tabung tembakau yang berada ditangannya, pelahan-lahan bergerak dimuka
kedua iblis, Asal orang tua itu sekali menutuk, kedua iblis ilu pasti akan rubuh
berlumuran darah. Kedua iblis itu berlutut tegak. Wajahnya tegang dan cemas. Matanya berkilat-
kilat mengikuti pipa tabung tembakau. Keringat dingin bercucuran deras membasahi
mukanya. Tiba2 Hok To Beng menggeleng kepala dan menghela napas pelahan. Rupanya ia
merasa tak enak untuk menarik kembali ucapannya tadi.
"Kalian boleh pergi." katanya dengan nada berat "kalau kelak masih berani
melakukan kejahatan lagi, jangan sesalkan aku tak ingat pernah menjadi saudara
seperguruan dengan kalian."
Kemudian jago tua itu menengadah memandang langit, Tampaknya ia seperti
minta maaf kepada arwah suhunya yang berada di alam baka karena tak
melakukan perintahnya. Melihat toa-suhengnya benar2 melepaskan kedua iblis itu, karena marah, Mo Lan
Hwa sampai menggigil keras.
Kedua iblis itupun segera meniarap ketanah dan serempak berseru:
"Terima kasih atas kemurahan hati toa-suheng. Siaute berdua mohon diri."
Setelah bangun, kedua iblis itu masih menyempatkan diri untuk memandang
dengan sorot mata penuh dendam kepada Gin Liong, Mo Lan Hwa dan Hok To
Beng. Gin Liong terkejut. Menilik muka dan sorot mata kedua iblis itu, rupanya mereka
masih penasaran. Gin Liong pun tak mau melepaskan pandang matanya kearah
langsung kedua iblis itu.
Sekonyong-konyong, baru setombak kedua iblis itu melangkah, mereka berhenti
dan secepat kilat berputar tubuh seraya mendorongkan kedua tangan sekuat-
kuatnya. Serentak angin pukulan yang dahsyat melanda kearih Gin Liong bertiga, Tetapi
karena Gin Liong sudah memperhatikan gerak gerik kedua orang itu, maka cepat
iapun segera menggembor keras:
"Kawanan tikus, kalian hendak cari mampus..."
Kata2 itu diserempaki dengan menyongsongkan kedua tangannya kemuka. Dalam
pada itu Hok To Beng pun kebaskan sepasang lengan bajunya, menggembor keras
dan melambung ke udara. "Bum . . ." Terdengar letupan dahsyat dan deru angin menghamburkan salju, Disusul dengan
derap kaki terhuyung-huyungpun susul menyusul terdengar.
Ketika Gin Liong memandang seksama, dilihatnya Menginjak-salju-tanpa-bekas Hok
To Beng sudah melayang di udara dan bagaikan burung garuda dia menukik kearah
kedua iblis yang terhuyung-huyung kebelakang itu.
"Manusia berhati serigala kalian ini..." teriak Hok To Beng.
Sinar emas berkelebat dan terdengarlah dua buah jeritan yang menyeramkan.
Darah berhamburan ke udara dan rubuhlah kedua iblis itu ke tanah untuk selama-
lamanya. Ketika Gin Liong berpaling, ia terkejut sekali Ternyata Mo Lan Hwa telah rubuh
di tanah salju, Cepat ia loncat menghampiri dan mengangkat tubuh nona itu,
Dilihatnya wajah nona itu pucat seperti kertas mata meram napas lemah.
13 Angin bertiup petir menyambar
Gin Liong tahu bahwa kali ini, Mo Lan Hwa memang benar2 pingsan sungguh, ia
bingung, lalu merogoh kedalam bajunya.
Saat itu Hok To Bengpun sudah melayang tiba dan berjongkok memeriksa, Setelah
meraba dada sumoaynya, Hok To Beng agak tenang.
Mengangkat muka, dilihatnya Gin Liong sedang sibuk merogohi bajunya.
"Eh, cari apa engkau ?" tegurnya.
"Katak salju," sahut Gin Liong.
Hok To Beng terkesiap, serunya gopoh: "Engkau taruh dimana ?"
"Entah bagaimana, tahu2 binatang itu jatuh," sahut Gin Liong hambar.
"Jatuh dimana ?" Hok To Beng makin tegang.
Gin Liong segera menerangkan:
"Semalam aku menderita luka, karena tak dapat mengambil air, katak salju itu
terpaksa kumasukkan dalam mulut..."
"Tolol engkau," Hok To Beng tertawa, "sudah tentu binatang itu meluncur masuk
kedalam perutmu, Ai, mengapa dicari lagi?"
Gin Liong terbeliak, Saat itu baru ia menyadari apa sebab tenaga dalamnya tiba2
berobah hebat sekali, Sekali dorongkan tangan ia mampu membuat si Jenggot-
terbang mencelat sampai beberapa tombak.
"Sudahlah, siau-hengte," Hok To Beng menghiburnya, "siaumoayku hanya pingsan
karena menderita rasa kejut yang berasal dari angin pukulan kedua iblis itu.
Asal engkau mau menyalurkan tenaga dalam dengan telapak tangan pada perutnya, dia
tentu akan siuman." Merah wajah Gin Liong tetapi apa boleh buat. Terpaksa ia melakukan hal itu juga.
Sesaat tangan Gin Liong melekat pada perut Mo Lan Hwa. nona itu segera
terdengar menghela napas panjang dan membuka mata.
Melihat dirinya berada dalam pelukan Gin Liong, merahlah wajah nona itu.
Jantungnya mendebur keras, sepasang matanya memandang mesra pada wajan
pemuda tampan itu. Mulutnya pun merekah senyum manis, rupanya ia mengharap
agar pemuda itu jangan melepaskan tangannya.
Darah Gin Liongpnn menggelora keras, jantung berdebar-debar, Pada saat ia
hendak mendorong tubuh si nona supaya bangun, tiba2 nona itu memekik dan
terus melenting berdiri. Gin Liong terkesiap, Ah, ternyata Mo Lan Hwa dengan wajah tersipu-sipu malu
tengah lari menghampiri Hok To Beng yang berdiri setombak jauhnya dari tempat
mereka. Ternyata sejak tadi Hok To Beng mengawasi kedua anak muda itu sambil mengelus-
elus jenggot dan tersenyum simpul.
Gin Liong pun cepat berbangkit.
Sambil menubruk dada Hok To Beng, Mo Lan Hwa menggentak-gentakkan kaki din
memekik-mekik manja: "Toa-suheng tak suka kepadaku..."
Sambil memegang bahu nona itu Hok To Beng tertawa gelak2.
"Jangan ribut, jangan ribut, Siapa bilang aku tak sayang kepadamu ?"
"Tadi aku pingsan mengapa engkau tak menolong?" masih nona itu menjerit
manja. Hok To Beng tertawa gelak2 pula.
"Sudah ada seorang adik yang menolong, mengapa toa-suheng harus ikut
campur?" Mendengar itu merahlah selembar wajah Mo Lan Hwa. Cepat ia susupkan
kepalanya ke dada Hok To Beng.
"Kalau aku mengurus dirimu, kedua manusia berhati serigala itu tentu dapat
melarikan diri," kata Hok To Beng menghiburnya.
Mendengar itu baru Mo Lan Hwa lepaskan diri dari dada toa-suhengnya dan
memandang ke-arah mayat kedua iblis, ia bersyukur karena iblis perusak wanita
itu sudah mati. Karena hari sudah petang, Hok To Beng menyerahkan pedang milik Mo Lan Hwa
kepada nona supaya disimpannya.
Gin Liong menghampiri memberi hormat kepada Hok To Beng, Tetapi pada saat ia
hendak membuka mulut, Mo Lan Hwa tertawa geli.
Gin Liong terkesiap sehingga kehilangan kata2 yang hendak diucapkan Melihat itu
Lan Hwa makin tertawa geli.
"Mau apa engkau ini " Mengapa tampaknya begitu resmi itu?" seru si nona.
Hok To Beng tertawa gelak2, serunya:
"Rupanya sian-hengte tentu berasal dari perguruan yang termasyhur sehingga dia
masih kukuh dengan tata cara, membedakan yang tua dengan muda. Tidak seperti
lo-koko yang begini liar. Mau bilang apa terus bilang, mau berbuat apa, pun
terus
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbuat saja. Asal sesuai dengan garis kebenaran, aku tak peduli dengan segala
macam peraturan raja."
Berhenti sejenak tiba2 ia bertanya: "Siau-hengte, maukah engkau memberi tahu
nama perguruanmu ?" Walaupun tahu bahwa memang tokoh2 aneh dalam dunia persilatan itu tak
menghiraukan soal tata cara adat istiadat tetapi ia belum tahu benar akan
peribadi Hok To Beng, Maka ia tak berani sembarangan berkata, Setelah memberi hormat ia
berkata: "Wanpwe..." "Ih, apa-apaan itu wanpwe " Lo-koko tetap lo-koko, harus dipanggil lo-koko.
Siau- hengte pun tetap harus disebut siau-hengte, Mengapa engkau masih berkukuh
menyebut cianpwe dan wanpwe begitu macam ?" tiba2 Lan Hwa meIengking.
Mendengar itu merahlah muka Gin Liong, ia hendak balas menyemprot nona itu
tetapi tiba2 Hok To Beng menukas dengan tertawa gelak-gelak:
"Siau-hengte, bersikaplah wajar saja. Tak perlu terlalu menghormat Lo-koko tak
mempersoalkan urusan begitu."
Teringat Gin Liong akan pesan suhunya. Bila berhadapan dengan tokoh2 aneh
dalam dunia persilatan harus hati2 dan menghormat. Paling baik turuti saja
mereka. "Baiklah, lo-koko," serunya sesaat kemudian, "siaute akan menurut perintah lo-
koko." Hok To Beng pun tertawa gelak2, ia puas melihat sikap Gin Liong yang cepat dapat
menyesuaikan keadaan. Bukan kepalang girang Mo Lan Hwa. Karuan bibir merekah tawa maka tampaklah
baris giginya yang putih seperti untaian mutiara,
"Adik, beritahukan nama perguruanmu kepada lo-koko," segera ia berseru.
Dengan wajah serius, berkatalah Gin Liong.
"Aku menerima pelajaran silat dari guruku Liau Ceng taysu, kepala kuil Leng-hun-
si di puncak Hwe-sian-hong!"
Menginjak-salju-tanpa-bekas Hok To Beng kerutkan alis, merenung, Pipa
huncwenya bergetar2. Rupanya jago tua itu sedang menggali ingatan tentang diri
Liau Ceng taysu. Melihat wajah toa-suhengnya, tahulah Mo Lan Hwa bahwa suhu dari Gin Liong itu
tentu seorang paderi yang tak terkenal. Apabila memang seorang tokoh terkenal
tentu dengan mudah toa-suhengnya dapat mengenali. Karena boleh dikata, hampir
semua tokoh2 persilatan yang ternama, Hok To Beng itu mengenalnya, Apalagi
hanya didaerah puncak Hwe-sian-hong gunung Tiang-pek-san yang begitu dekat.
Kuatir kalau Gin Liong gelisah, cepat2 Mo Lan Hwa berseru: "Toa-suheng, aku
sudah teringat." Hok To Beng terkesiap, serunya: "Siapa ?"
"Toa-suheng, mengapa makin tua engkau makin linglung," seru Mo Lan Hwa
dengan nada sok tahu, "apakah engkau lupa ketika naik ke Hwe-sian-hong,
bertemu dengan seorang paderi tua yang mengenakan jubah?"
Sesungguhnya Gin Liong tak peduli ketika metihat kedua orang itu tak kenal
kepada suhunya. Tetapi demi mendengar ucapan Mo Lan Hwa, hampir ia tak dapat
menahan gelinya. "Ih, ada2 saja nona itu. paderi tentu memakai jubah, masakan pakai pakaian
makwa seperti orang biasa," pikirnya.
Mo Lan Hwa memang hendak membingungkan pikiran toa-suhengnya agar jangan
melanjutkan pemikirannya untuk mengingat-ingat nama Liau Ceng taysu itu.
"Ah, aku benar2 tak ingat lagi," seru Hok To seraya gelengkan kepala.
Ucapan toa-suhengnya itu benar2 membuat si nona bingung, ia tahu bahwa Gin
Liong memandangnya lekat2 sehingga ia tak leluasa memberi isyarat mata kepada
toa-suhengnya. "Ah, makin tua engkau memang makin limbung," akhirnya sekenanya saja nona itu
berkata, "apakah engkau lupa akan lo-siansu yang wajahnya merah segar, alisnya
tebal dan mata jernih, memelihara jenggot yang begini panjang ...."
Nona itu segera ulurkan tangannya, ditempelkan ke dadanya sendiri selaku
menunjukkan ukuran panjang jenggot lo-siansu atau paderi tua itu.
Gin Liong terpaksa tertawa, Cepat ia menyeletuk: "Ah, mungkin yang kalian jumpai
itu susiok couw-ku..."
Hok To Beng tak marah karena diolok-olok sinona. ia malah tertawa sambil me-
ngurut2 jenggotnya. Kemudian berseru kepada Gin Liong: "Ya, ya, lo-koko memang
sudah tua sehingga tak tahu siapakah gurumu itu."
Gin Liong hanya tertawa saja.
Tiba2 Hok To Beng berpaling dan bertanya kepada Mo Lan Hwa: "Siau-moay,
apakah engkau sudah memperoleh kabar?"
"Sebelum tiba di tempatnya, aku sudah dihadang kedua iblis itu." Mo Lan Hwa
bersungut-sungut. "Kalau begitu, bariklah kita sama2 pergi kesana," Hok To Beng tersenyum. Lalu
berpaling kearah Gin Liong.
"Siau-hengte, pernah engkau mendengar bahwa lebih kurang sebulan yang lalu,
dirumah pondok dalam tanah lapang disebelah depan ito, muncul seorang tua
membawa kaca cermin?" tanyanya.
Gin Liong menyahut: "Belum, tetapi..."
"Kalau begitu, ayolah kita sama2 melihat kesana !"ajak Hek To Beng.
"Tidak, semalam aku sudah kesana..."
Hek To Beng terkesiap. Lalu bergegas tanya: "Bagaimana caramu pergi kesana?"
"Sebenarnya aku tak sengaja ketempat itu. Aku tak tahu bahwa tempat itu
merupakan sebuah tanah lapang yang tak terurus. Dan tak tahu bahwa disitu
terdapat sebuah rumah pondok berisi seorang tua membawa cermin, Karena
kebetulan jalan melalui hutan kecil itu, baru kutahu tentang pondok dan orang
tua kurus itu," Gin Liong memberi keterangan.
"Ih, ketahuilah." seru Mo Lan Hwa terkejut, "tiga tombak sekeliling pondok itu,
sangat berbahaya sekali. Orang tua pembawa kaca itu dapat melepaskan pukulan
maut." Gin Liong gelengkan kepala.
"Terdorong oleh keinginan tahu, aku tetap menghampiri jendela pondok, Tetapi
ternyata tak mendapat bahaya apa2" kata Gin Liong,
Rupanya Hok To Beng kurang pergcaya, Tetapi ia percaya Gin Liong itu bukan
seorang pemuda yang suka bohong, Maka bertanyalah ia untuk menyelidik:
"Siau-hengte, apa lagi yang engkau lihat dalam pondok itu?"
Tanpa ragu2 Gin Liong menjawab. "Diatas meja yang berada dihadapan orang tua
kurus itu, terdapat sebuah cermin yang gilang gemilang menyilaukan mata !"
"Adik tolol," tiba2 Mo Lan Hwa menyeletuk," itulah kaca wasiat Te-kia (Kaca
Bumi) dari seorang paderi sakti yang hidup tiga ratus tahun yang lalu, Segala benda
pusaka yang tertanam di tanah, asal pada malam hari disorot dengan sinar kaca
wasiat itu, tentu benda dalam tanah itu akan memancarkan sinarnya keluar, jika
engkau sudah menghampiri ke jendela, mengapa engkau tak mengambil kaca
wasiat itu ?" Gin Liong tersenyum dan geleng2 kepala.
"Siau-hengte," Hok To Bengpun ikut berkata, "kalau saat itu engkau mengambilnya,
tentu saat ini engkau, mendapat julukan adik tolol dari tacimu itu."
Mo Lan Hwa merah mukanya, ia hanya cibirkan bibirnya dan tak berkata apa2 lagi.
"Lo-koko. siapakah orangtua kurus itu?" tiba2 Gin Liong bertanya.
Hok To Beng gelengkan kepala: "Selama belum melihat sendiri orang itu, aku tak
berani memastikan dirinya siapa, Nanti apabila sudah melihatnya, baru kita
ketahui orang itu, Tetapi kurasa tak mungkin paderi sakti pemilik kaca itu."
Gin Liong kecewa. "Ah, semalam dia sudah pergi."
"Benarkah begitu, adik?" teriak Mo Lan Hwa dengan nada tegang.
Gin Liong mengangguk. "Apa yang dikatakan siau-hengte kemungkinan benar," kata Hok To Beng, "ketika
aku datang kemari, diatas puncak disebelah muka itu aku bertemu dengan
beberapa tokoh persilatan. Tampak mereka lagi bergegas-gegas menuju keluar
gunung." "Toa-suheng, kita akan meninjau ke pondok itu atau tidak ?" tanya Mo Lan Hwa.
"Sekarang tiada gunanya," Hok To Beng gelengkan kepala, kemudian ia
memandang kelangit, katanya pula, "sekarang hampir tengah hari. Dengan ilmu lari
cepat yang kita miliki, kiranya kita masih dapat mencapai kota kecil di bawah
gunung untuk makan siang."
Karena kuatir Gin Liong akan pergi maka cepat2 Mo Lan Hwa berseru: "Ya, baiklah,
aku memang hendak berlomba lari degngan adik."
Gin Liong tertawa hambar.
"Ilmu ginkang taci sudah termasyhur di Say-gwa (luar perbatasan). Sedang, Sedang
ilmu ginkang lo-koko tiada tandingnya dalam dunia persilatan. Mana aku mampu
menandingi" Ah, aku menyerah saja."
Mendengar dirinya dipanggil taci, hampir Mo Lan Hwa tak percaya
pendengarannya. "Adik, engkau menyebut aku taci?" serunya menegas.
Gin Liong terkesiap lalu menyahut: "Engkau memanggil aku adik, apakah tak
selayaknya aku menyebutmu taci ?"
Mo Lan Hwa mengangguk gembira, serunya:
"Ya, memang selayaknya begitu."
Rupanya karena dilanda luap kegembiraan, nona itu tak tahu harus berkata apa.
Tiba2 ia berputar tubuh dan mencekal lengan kanan Hok To Beng dan diguncang-
guncangnya. "Toa-suheng, layak atau tidak kalau adik itu menyebut aku taci?"
Hok To Beng juga gembira sekali, ia tertawa gelak2: "Ya, ya, memang selayaknya."
"Toa-suheng, mari, kita cepat ke kota itu. Nanti engkau boleh minum beberapa
cawan lagi," seru Mo Lan Hwa.
"Bagus. hari ini aku boleh mabuk lagi," Hok To Beng pun tertawa girang, Tiba2 ia
enjot tubuhnya sampai beberapa tombak di udara, sekali mengebut lengan baju,
diapun meluncur pesat sekali.
Melihat bagaimana dengan dua kali gerakan saja, Hok To Beng sudah berada
dimuka lembah salju, diam2 Gin Liong memuji.
"Ah, tak kecewa dia mendapat gelaran nama yang indah "Menginjak-salju-tanpa-
jejak, ilmu ginkangnya memang luar biasa hebatnya."
"Adik tolol, mengapa diam saja" Lekaslah kejar, kalau terlambat sedikit saja.
engkau pasti takkan melihat bayangan lo-koko lagi," tiba2 Mo Lan Hwa menegur.
Dan ia sendiripun terus meluncur kemuka, cepatnya seperti anak panah terlepas
dari busur. Yang tampak hanya segulung asap merah yang bertebaran diatas
permukaan salju tanah, juga nona itu layak mendapat gelar nama sebagai Swat-te-
biau-hong atau Tanah-salju-bertebar-merah.
"Hm, jika saat ini tak kucoba ilmu ginkang Angin-meniup-petir-menyambar ajaran
suhu, apabila turun gunung aku tentu tak mempunyai kesempatan untuk
mencobanya lagi, diam2 Gin Liong menimang.
Setelah mengerahkan seluruh hawa murni, segera ia meluncur kemuka, pikirannya
hanya tertumpah pada ilmu lari itu dan sesaat kemudian ia mendengar angin
menderu-deru disisi telinganya.
Karena kuatir Gin Liong akan tertinggal jauh maka Mo Lan Hwa sengaja tak mau
pesatkan larinya. Tak henti-hentinya ia berpaling. Tetapi setiap kali berpaling
ia terkejut karena Gin Liong telah mengejarnya dengan pesat.
Melihat itu Mo Lan Hwa segera menambah kecepatannya. Saat itu segera ia
melihat dibawah kaki bukit, melingkar-lingkar seperti ular panjang, Orang
berjalan hilir mudik. Melihat Mo Lan Hwa menambah kecepatan, Gin Liong pun tersenyum. Tetapi
ketika memandang Hok To Beng, ia agak terbeliak, Tubuh Hok To Beng sudah
meluncar turun ke kaki bukit.
Sebagai seorang pemuda sudah tentu Gin Liong masih berdarah panas, seketika
timbul nafsunya untuk memenangkan perlombaan itu. jika tadi ia menggunakan
gerak ilmu lari Angin meniup, saat itu segera ia robah menjadi gerak Petir-
menyambar Tubuh pemuda itu segera berobah seperti segulung asap yang meluncur seperti
terbang. Ada suatu ciri aneh dalam gerak lari Petir-menyambar itu. Bahwa
sepasang kaki Gin Liong mengeluarkan suara desis mirip kumandang petir.
Mo Lan Hwa yang tengah lari se-kencang2nya terkejut ketika mendengar dari arah
belakang seperti bunyi mendesis-desis, ia berpaling dan kejutnya makin bertambah
ketika melihat segumpal asap warna kuning tengah meluncur terbang.
Karena heran ia memandang dengan seksama, Tetapi tiba2 gumpalan asap kuning
itupun sudah lenyap dari pandang mata.
Mo Lan Hwa memandang kemuka lagi, Ah. hampir ia tak percaya pada matanya
ketika dilihatnya gumpal asap kuning itu sudah mengejar dibelakang tuo-
suhengnya. Hok To Beng pun mendengar juga suara mendesis itu. Dia terkejut dan cepat
berpaling kebelakang. Ah, ternyata Gin Liong sudah berada dibelakangnya. Diam2
ia meragukan diri tokoh yang menjadi suhu dari Gin Liong.
Segera ia pindahkan pipanya ke tangan kiri dan diam2 kerahkan tenaga, siap
dihantamkan kebelakang. Saat itu Gin Liong makin mendekati jaraknya dengan Hok To Beng tidak lagi
ratusan tombak tetapi hanya puluhan tombak saja, juga dengan jalanan di kaki bukit hanya
terpisah tak sampai satu li.
Gin Liong tersenyum dan makin mendekati Hok To Beng.
Gerakan dari Gin Liong yang menimbulkan suara desis itu makin terdengar jelas
oleh Hok To Beng, Sekonyong-konyong setelah memperhitungkan jaraknya, Hok To
Beng meggembar keras dan secepat kilat mencengkeram siku lengan kanan Gin
Liong, Gin Liong terkejut Segera ia gunakan gerak Liong-li-biau, menghindar dan terus
melanjut turun kebawah gunung,
cengkeramannya luput, Hok To Beng. makin terkejut, serunya: "Siau-hengte,
engkau memang...." Dia terus loncat menerkam. Demikian keduanya segera seperti orang terkam
menerkam, jaraknya hanya satu meter, Sepintas pandang menyerupai dua ekor
burung rajawali yang tengah bertarung hebat, meluncur dari udara.
Menilik nada teriakan Hok To Beng itu, tahulah Gin Liong bahwa tokoh itu tidak
mengandung perasaan dengki terhadapnya Ketegangan hatinya pun mereda.
Mo Lan Hwa yang masih berada pada jarak seratusan tombak tampak pucat
wajahnya ketika melihat gerak gerik toa-suhengnya.
"Toa-suheng, jangan..." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersumbat
oleh air mata yang bercucuran
Mendengar teriakan nona itu, Sin Liong terkesiap, ia lambatkan larinya dan
membiarkan bahunya dijamah oleh Hok To Beng.
Setelah keduanya berdiri tegak, dengan wajah keheranan, Hok To Beng berulang
menepuk-nepuk bahu Gin Liong.
"Siau-hengte, bilanglah sejujurnya..." Tiba2 Hok To Beng tak melanjutkan kata-
katanya karena dilihatnya Gin Liong berpaling memandang kelereng gunung dan
seketika wajahnya berobah lalu berteriak: "Taci, pelahan-lahan saja..."
Gin Liong pun terus menyelinap lari keatas lereng. Hok To Beng terkejut dan ikut
berpaling, Kejutnya bukan kepalang. Mo Lan Hwa yang lari secepat angin tidak mau
mengurangi kecepatannya ketika saat itu tiba di kaki bukit.
Gin Liong pun sudah melayang tiba lalu dengan apungkan tubuh melambung dan
menyambar pinggang Mo Lan Hwa terus dibawa turun dari lereng.
Hok To Beng maju menyambuti dengan hati2 sekali. Melihat toa-suhengnya, Mo
Lan Hwa segera susupkan kepala ke dada Hok To Beng dan menangis manja.
Hok To Beng mengelus-elus kepala sumoay-nya dengan perasaan cemas. ia duga
tentu terjadi sesuatu dengan Mo Lan Hwa, Tetapi pada lain kilas, ia menyadari
apa yang menyebabkan sumoay-nya menangis. Segera ia tertawa gelak2.
Gin Liong terbeliak mematung. Dia merasa tadi Mo Lan Hwa amat gembira ketika ia
memanggilnya dengan sebutan taci, Tetapi kini setelah ia memberi pertolongan
agar nona itu jangan sampai menderita bahaya, mengapa malah tak senang dan
menangis. Tiba2 pula Gin Liong teringat sumoaynya yang ketika ditinggali pergi masih sakit
dan tidur dipembaringan. Teringat akan diri Ki Yok Lan mengganggu hatinya, Diam2
ia berjanji kepada dirinya sendiri, tak boleh sekali-kali salah langkah sehingga
mencelakai orang, Dan selagi belum berlarut-larut, ia harus segera meninggalkan
Hok To Beng dan Mo Lan Hwa.
Saat itu Hok To Beng berhenti tertawa lalu pelahan-lahan mendorong Mo Lan Hwa
kesamping, mengusap airmata gadis itu dan menghiburnya:
"Siaumoay, apakah engkau kuatir kalau aku akan mencelakai adikmu itu" Ha,
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sumoay tolol, aku bertiga dengan engkohmu si Gila dan engkohmu si pemabuk itu,
tak boleh mengganggu bocah itu!"
Mo Lan Hwa girang sekali, Sejenak memandang Gin Liong, ia tertawa gembira.
Gin Liong tersipu-sipu merah dan terpaksa ikut tertawa, Melihat itu Hok To Beng
pun tertawa gelak2. Kemudian menatap Gin Liong dan berseru dengan serius:
"Siau-hengte, bilanglah terus terang, jangan membohongi lo-koko. siapakah
sesungguhnya gurumu itu?"
Dengan wajah serius, Gin Liong pun menjawab:
"Masakan aku berani membohongi lo-koko. Guruku memang benar2 kepala dari
kuil Leng-hun-si..."
"Aku maksudkan seseorang, apakah siau-hengte tentu tahu!" tukas Hok To Beng.
"Jika tahu masakan aku tak mau mengatakan," kata Gin Liong.
Sejenak memancarkan sinar kilat pada pandang matanya, Hok To Beng menatap
lekat2 pada wajah Gin Liong yang cakap, Rupanya ia hendak menyelidiki apakah
Gin Liong itu bohong atau tidak.
"Seorang tunas muda yang menggempar dunia persilatan dengan nama Pelajar-
wajah-kumala Kiong Cu Hun, tahukah siau-hengte?"
Seketika berobahlah wajah Gin Liong. Air matanya berderai-derai turun. Lalu
dengan nada menghormat ia berkata:
"Memang dia adalah guruku."
Hok To Beng mengelus-elus jenggotnya dan tertawa gelak2.
"Seorang jago muda yang cemerlang, karena berkecimpung dalam dunia yang
penuh debu2 dosa akhirnya masuk kedalam biara, seharusnya aku si manusia tua
yang tak mati2 ini, harus mengikuti jejaknya masuk kedalam biara untuk
mensucikan diri." Kemudian ia berkata pula kepada Gin Liong, "Dengan gurumu sudah hampir
sepuluh tahun tak bertemu, Lusa aku tentu akan memerlukan berkunjung..."
Tiba2 Hok To Beng tak melanjutkan kata-katanya, karena ia melihat Gin Liong
masih berlinang-linang air mata. Cepat ia menghiburnya: "Siau-hengte..."
Rupanya Gin Liong tak kuasa menahan luapan kesedihannya, Dengan air mata
bercucuran ia berkata: "Beberapa hari yang lalu, guruku telah dibunuh oleh orang jahat, Lo-koko takkan
bertemu lagi selama-lamanya."
Bukan kepalang kejut Hok To Beng mendengar keterangan itu. Seketika seri
wajahnya berobah tegang, serunya:
"Siapakah seorang yang memiliki ilmu sedemikian saktinya, sekalipun empat
serangkai Bu-lim-su-ih yang termasyhur itu, juga sukar untuk mencelakai gurumu."
Hok To Beng berhenti sejenak lalu melanjutkan kata-katanya pula:
"Siau-hengte, kurasa pembunuh itu tentu orang yang dekat dengan suhumu. Entah
siapakah yang menyaksikan peristiwa itu dan apakah terdapat bukti2 yang dapat
menjadi bahan mencari jejak pembunuh itu, harap siau-hengte mengatakan
dengan terus terang, Mudah-mudahan aku dapat membantu untuk memecahkan
jejak rahasia dari pembunuh gelap itu."
Tiba2 Mo Lan Hwwa mengambil sapu tangan dan mengusap air mata Gin Liong,
Pemuda itu merasa sungkan sekali.
Tiba2 ia mencabut sebatang badik emas yang terselip dalam pinggangnya, katanya:
"Inilah senjata yang ditinggalkan oleh pembunuh gelap itu."
Menyambuti badik emas itu, wajah Hok To Beng agak berobah.
"Inilah badik Kim-wan-to yang dapat memotong besi seperti memotong tanah,
Rambut yang ditiup kearah mata badik itu tentu putus, Yang menggunakan badik
semacam ini kebanyakan orang2 persilatan dari daerah Biau."
Gin Liong tergetar hatinya, Dia baru sadar bahwa Hok To Beng, pendekar yang aneh
dalam dunia persilatan itu, memang mempunyai pengetahuan dan pengalaman
yang amat luas. Mo Lan Hwa yang ikut memeriksa, segera menuding kearah empat buah huruf
pada batang badik golok emas itu, serunya:
"Toa-suheng, lihatlah, apa artinya keempat huruf itu?"
Hok To Beng kerutkan dahi dan berkata: "Mungkin nama dari seorang wanita Biau."
Kembali hati Gin Liong tergetar keras, Dia makin kagum atas penilaian yang tajam
dari Hok To Beng. Tiba2 Mo Lan Hwa melengking gembira: "O, Wulanasa, sungguh sebuah nama yang
indah!" Segera Sin Liong memberi keterangan: "Itulah Ban Hong liong-li lo cianpwe..."
Mendengar itu Hok To Beng berobah wajahnya, serunya gopoh:
"Ban Hong Liong-li" Kemarin sebelum mata hari terbenam aku masih berjumpa
dengan dia di kota kecil muka itu. Budak itu memang ter-gila2 dengan Kwan Cu-hun
tetapi karena cinta dia menjadi dendam..."
Mendengar itu memancarkan mata Gin Liong, cepat ia menukas:
"Lo-koko, apakah saat ini Ban Hong liong-li masih berada dikota kecil itu ?"
"Entah apa masih disitu...."
Terhadap urusan Gin Liong, Mo Lan Hwa menaruh perhatian istimewa.
Petaka Kerajaan Air 2 Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah Langkah Manusia Beracun 1