Pencarian

Pembakaran Kuil Thian Lok 4

Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan tikus.
Ketika ujung pedang Gu Liong telah meluncur dekat sekali, tiba-tiba Cin Pau
miringkan kepala hingga pedang itu menyerempet dekat sekali dengan kulit
lehernya dan secepat kilat tangan kanannya menyergap. Sebelum Gu Liong tahu apa
yang terjadi, ia merasa tangan kanannya kaku dan pedang itu telah terampas oleh
Cin Pau. "Kau masih mau menyombongkan kepandaian ?" kata Cin Pau sambil tersenyum dan
kembali ia patahkan pedang itu dengan mudah seperti ketika ia mematahkan cambuk
tadi, dan melempar dua potongan pedang itu ke atas tanah.
Gu Liong marah sekali akan tetapi ia tak berdaya dan hanya berdiri melotot
dengan muka merah. "Pergilah, kau pergilah dan jangan ganggu kami," kata Hwee Lian dengan gugup
ketika melihat betapa orang-orang telah mulai berkumpul menonton peristiwa itu.
Ia kuatir kalau-kalau perkara ini akan menjadi besar. Ia takut kalau suhengnya
mendapat malu dan kuatir kalau-kalau pemuda baju putih itu akan mengalami
celaka. Setelah memandang Hwee Lian, Cin Pau lalu meninggalkan tempat itu. Akan tetapi,
baru saja ia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba Siauw Eng tertawa nyaring dan
mengejarnya. "Orang she Ong ! Kau sombong sekali. Kau hanya dapat mengalahkan seorang yang
masih dangkal kepandaiannya, kalau kau memang gagah, cobalah kau lawan aku !"
Sambil berkata demikian, Siauw Eng mencabut pedangnya. Ternyata karena melihat
betapa peristiwa itu terlihat oleh banyak orang, maka kalau ia tidak
memperlihatkan keberanian dan kegagahannya, namanya yang telah mulai dikenal di
Tiang-an akan jatuh dan orang-orang akan menganggapnya takut menghadapi pemuda
baju putih itu. "Enci Siauw Eng .... !" Hwee Lian menegur. "Perlu apa mencari perkara dengan
orang yang tak kita kenal!"
"Ha, Hwee Lian, kau mau kenal dia " Ketahuilah, dia ini adalah Ong Cin Pau,
seorang pemuda sombong yang pernah bertempur dengan aku, akan tetapi masih belum
selesai dan sekarang aku ingin menyelesaikan pertempuran dulu itu. Jangan kau
coba-coba maju, ia lihai sekali !" Siauw Eng tertawa menyindir dan menghampiri
Cin Pau. "Siapa mau bertempur melawan kau yang sombong ini ?" Cin Pau berkata marah,
karena ia merasa serba salah. Melayani gadis ini bukanlah kehendaknya, akan
tetapi kalau didiamkan saja, tentu gadis ini akan makin kurang ajar saja.
Baru saja Siauw Eng hendak maju menerjang, tiba-tiba terdengar suara orang
berseru, "Gak siocia, tahan dulu !"
Koleksi Kang Zusi Ternyata yang datang itu adalah Can Kok yang telah mendapat kabar dengan cepat
betapa pemuda itu dengan mudah telah mengalahkan Gu Liong dengan tangan kosong.
Perwira yang cerdik ini merasa bahwa pemuda yang lihai itu perlu sekali didekati
agar jangan sampai dapat bersekutu dengan Un Kong Sian, bahkan kalau mungkin
menariknya dipihaknya. "Can-lociangkun, mengapa kau menahanku ?" tanya Siauw Eng penasaran karena
memang gadis ini tidak takut kepada semua perwira kawan ayahnya.
"Enghiong ini adalah orang sendiri, jangan kalian saling bertempur !"
Dan pada saat itu, datang Gak Song Ki, Gan Hok dan Kim-i Lokai yang hendak
menuju ke rumah Can Kok mengadakan perundingan tentang penyerbuan kuil Thian Lok
Si. Tentu saja mereka heran melihat ramai-ramai itu dan segera menghampiri.
Ketika melihat mereka, Can Kok segera memberi isyarat dengan mata dan berkata,
"Telah terjadi sedikit salah paham," katanya sambil tertawa. "Sahabat muda yang
gagah ini adalah seorang hiapkek muda yang gagah perkasa dan kita bahkan perlu
sekali mendapat bantuan akan tetapi di tengah jalan telah timbul perselisihan
faham dengan para anak muda. Sudahlah, hal ini tidak ada artinya, mari kita
bicara dengan baik di rumahku. Ong-taihiap, silakan mampir di rumahku lagi, kita
merundingkan sesuatu yang amat penting."
Semua orang merasa heran mendengar ucapan Can-ciangkun ini, bahkan Siauw Eng
lalu memperhatikan. "Aku tidak ada waktu, hendak mencari orang," kata Cin Pau.
"Hal ini dapat ditunda, Ong-taihiap, dan pula, aku berjanji akan membantumu
kelak mendapatkan orang itu. Kau adalah seorang gagah dan kami bersama hendak
pergi menyerbu dan membasmi penjahat-penjahat, apakah kau tidak suka membantu ?"
Mendengar ucapan ini, Cin Pau tertarik sekali dan ia lalu pergi mengikuti
rombongan yang beramai-ramai menuju ke rumah Can Kok. Gan Hok lalu menyuruh
kedua muridnya pulang dan Siauw Eng juga disuruh pulang oleh ayahnya karena
perwira-perwira ini tidak mau membawa anak-anak muda ini ke dalam perundingan
besar yang hendak diadakan.
Ternyata bahwa ketiga orang perwira, Gak Song Ki, Gan Hok, dan Can Kok, telah
mendatangkan orang-orang gagah yang sanggup membantu mereka menyerbu kuil Thian
Lok Si. Sekalian orang gagah itu pada hari itu, hari yang telah ditetapkan untuk
mengadakan pertemuan, berkumpul di rumah Can Kok untuk mengadakan perundingan.
Setelah rombongan itu tiba di rumah Can Kok, mereka lalu masuk ke ruang dalam di
mana telah berkumpul banyak orang gagah yang datang hendak membantu. Selain Kim-
i Lokai yang kosen, masih terdapat tiga orang lain yang perlu disebutkan karena
memiliki ilmu kepandaian tinggi, yakni seorang tua berpakaian piauwsu yang
bernama Pauw Su Kam, kakak seperguruan Can Kok yang menjadi piauwsu kenamaan di
Shantung, dan dua orang bersaudara dari Kongsan yang berjuluk Kongsan hengte,
ahli siangto atau sepasang golok yang lihai. Yang lain-lain adalah orang-orang
gagah kenalan mereka sehingga jumlah para tamu semua ada delapan orang.
Melihat banyaknya orang-orang gagah yang berkumpul, Cin Pau menduga-duga apakah
yang hendak mereka lakukan dan siapakah pula penjahat-penjahat yang hendak
diserbu itu. Setelah memperkenalkan Ong Cin Pau kepada semua orang, Can Kok lalu berkata
kepada Cin Pau, "Ong taihiap, kau tentu belum tahu penjahat-penjahat mana yang hendak kami
serbu. Ketahuilah bahwa kuil Thian Lok Si yang ternama itu sekarang menjadi
sarang penjahat yang berbahaya dan perlu dibasmi oleh karena mereka itu kini
mengadakan persekutuan hendak memberontak terhadap kerajaan."
Cin Pau memandang heran. Ia pernah mendengar nama kuil ini dari ibunya, bahkan
dulu ibunya dan Un Kong Sian telah tertolong oleh ketua kuil itu yang bernama
Pek Seng Hwesio. Tak tertahan lagi ia menyatakan keheranannya dan berkata,
Koleksi Kang Zusi "Akan tetapi, Can-ciangkun, kalau tidak salah, kuil itu terkenal suci dan
diketuai oleh seorang Hwesio yang saleh dan berilmu tinggi."
Can Kok tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Memang dulupun kami
berpikir demikian, ketika kuil itu masih dipimpin dan diketuai oleh Pek Seng
Hwesio. Akan tetapi setelah hwesio tua itu pergi merantau, hwesio-hwesio di kuil
itu kena pengaruh orang jahat dan akhirnya kini merupakan ancaman bagi
kerajaan." "Oh, jadi Pek Seng Hwesio sudah pergi meninggalkan kuil itu ?" Cin Pau berkata
lagi tanpa disengaja hingga tentu saja ucapan ini membuka rahasianya bahwa ia
pernah mendengar nama ini. Can Kok merasa curiga, akan tetapi ia amat cerdik dan
berhati-hati. "Ong-taihiap yang memiliki kegagahan dan menjunjung tinggi keadilan, tentu sudi
membantu kami membasmi penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak itu,
bukan ?" Dengan suara tetap dan berterus terang, Cin Pau berkata,
"Untuk membasmi kejahatan, aku Cin Pau selalu bersiap-siap, akan tetapi tentang
segala macam pemberontakan, aku tak mau ikut campur !"
Kata-kata ini diucapkan tetap dan keras sekali oleh karena ia teringat bahwa
kakeknya juga dihukum mati karena dianggap memberontak.
Pauw Su Kam, suheng Can Kok yang menjadi piauwsu kenamaan di Shantung, mempunyai
adat yang agak keras dan sombong, maka tentu saja ia merasa penasaran dan tidak
senang melihat betapa Can Kok agaknya terlalu mengalah dan menghormati anak muda
itu. "Can sute," katanya sambil mengerling kepada Cin Pau, "Kalau orang tidak mau
membantu, mengapa harus memaksa-maksa " Mungkin saudara muda ini merasa jerih
menghadapi nama Thian Lok Si yang tersohor !"
Cin Pau merasa akan sindiran ini, maka dengan suara tenang dan dingin ia
berkata, "Sudah banyak orang sombong kujumpai di kota ini !"
Biarpun ucapan ini tidak ditujukan langsung kepada Pauw Su Kam, namun semua
orang dapat merasai ketegangan yang timbul antara pemuda baju putih itu dan Pauw
Su kam. Akan tetapi, Can Kok terlampau cerdik untuk menderita kerugian karena
permusuhan pada saat ia membutuhkan banyak tenaga bantuan itu, maka sambil
tertawa ia lalu menjura kepada Cin Pau.
"Ong taihiap, kami menghaturkan banyak terima kasih atas kesanggupan untuk
membantu kami. Memang yang hendak kami basmi adalah segerombolan penjahat yang berkedok di
balik jubah-jubah hwesio."
Kemudian Can Kok lalu menawarkan arak wangi kepada semua tamunya.
Gak Song Ki yang diam-diam memperhatikan Cin Pau, merasa kagum menyaksikan
keberanian pemuda itu dan karena iapun mendengar betapa dengan tangan kosong
pemuda ini telah mengalahkan Gu Liong yang bersenjata pedang, maka ia mulai
membanding-bandingkan kepandaian pemuda ini dengan kepandaian puterinya sendiri,
Siauw Eng. Gadis ini sebetulnya ingin sekali ikut dalam penyerbuan ini dan
membasmi para penjahat, namun oleh karena Gak-ciangkun amat sayang kepada
puterinya, biarpun tahu bahwa ilmu kerpandaian puterinya amat tinggi bahkan
lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka ia melarang.
Adapun Gan Hok yang merasa amat penasaran dan mendongkol mendengar betapa
muridnya kena dikalahkan dengan mudah, diam-diam lalu mengadakan pembicaraan
dengan supeknya, yakni Kim-i Lokai yang ia banggakan dan andalkan untuk membalas
penghinaan pemuda baju putih itu atas diri muridnya.
Kim-i Lokai adalah seorang tokoh yang sudah masuk hitungan kelas tinggi, maka
tentu saja karena dibakar hatinya oleh Gan Hok yang menyatakan bahwa dihinanya
Gu Liong berarti tidak saja menghina juga Gan Hok akan tetapi juga berarti tidak
memandang muka Kim-i Lokai, menjadi panas juga dan setelah meneguk tiga cawan
arak wangi, ia lalu berdiri dan berkata kepada tuan rumah, Koleksi Kang Zusi
"Can-ciangkun, maafkan lohu yang miskin dan tua. Melihat banyak orang gagah
berkumpul di ruangan yang luas ini, hati lohu merasa amat gembira, dan
kegembiraan ini mendatangkan kehendak yang bukan-bukan dihatiku. Memang lohu
mempunyai semacam penyakit, yakni apabila bertemu dengan orang-orang gagah
segolongan, lalu menjadi gatal tangan dan ingin sekali menyaksikan dan mengukur
kepandaian kawan-kawan lain. Maksud lohu ini mengandung dua hal, pertama untuk
saling kenal terlebih baik lagi karena peribahasa menyatakan bahwa sebelum
bertempur orang tak dapat menjadi kenalan baik. Adapun kedua, adalah hal yang
lebih utama lagi, yaitu oleh karena kita sedang menghadapi musuh-musuh penjahat
tangguh dan lihai, sedangkan kawan-kawan kita adalah orang-orang baru yang belum
diketahui sampai di mana tingkat kepandaiannya, maka perlu sekali kita saling
mengukur tenaga untuk dapat mengetahui kekuatan sendiri !"
Can Kok tersenyum dan menjura sambil berkata, "Lo-enghiong berkata benar ! Lalu
apakah kehendak lo-enghiong sekarang ?"
"Aku tak perlu sungkan-sungkan lagi demi kebaikan pihak kita sendiri. Biarlah
aku yang tua menjadi alat pengukur dan para saudara yang merasa perlu
memperlihatkan kepandaian dan yang belum dikenal baik dipersilakan maju untuk
menghadapi lohu agar dapat disaksikan oleh semua kawan-kawan !"
Sambil berkata demikian, Kim-i Lokai lalu bertindak dengan tenang ke tengah
ruangan yang luas itu. Biarpun ucapannya ini ditujukan kepada semua orang, namun kedua matanya
memandang ke arah Cin Pau.
Bagian 12. Kepiawaian Murid Bu Eng Cu
Cin Pau adalah seorang yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dari
suhunya ia pernah pula mendengar nama Kim-i Lokai, hingga sudah sepatutnya kalau
ia berdiam diri dan tidak mau menyombongkan kepandaian, terutama untuk
menghadapi seorang tokoh besar seperti Kim-i Lokai adalah hal yang bukan tidak
berbahaya. Akan tetapi, betapapun juga, ia masih amat muda dan darahnya masih
menggelora penuh keberanian yang terdorong oleh nafsu mudanya. Maka mendengar
ini, ia segera bergerak hendak berdiri dari tempat duduknya.
Akan tetapi, ternyata ia kalah dulu oleh tuan rumah sendiri. Can Kok maklum akan
maksud Kim-i Lokai yang hendak membalaskan rasa malu yang diderita oleh murid
Gan Hok, maka untuk menjaga jangan sampai ia dianggap licik dan juga untuk
mendemonstrasikan ilmu tombaknya, ia lalu mendahului orang lain dan melompat
kehadapan Kim-i Lokai. "Lo-enghioang," katanya sambil tertawa dan menjura, "aku merasa girang dan
berterima kasih sekali kepada kau orang tua yang bermaksud baik dan yang
membantu meramaikan pertemuan ini. Akan tetapi sebagai tuan rumah, sebelum orang
lain memperlihatkan ilmu kepandaiannya yang tinggi, terlebih dulu biarlah aku
memperlihatkan kebodohanku. Tidak tahu dengan cara bagaimanakah lo-enghiong
hendak mengukur kebodohanku ?"
Kim-i Lokai tercengang karena tidak disangkanya bahwa tuan rumah ini maju
sendiri, maka ia lalu tersenyum-senyum dan memutar-mutar kedua matanya. "Can-
ciangkun sendiri hendak maju " Baik, baik ! Telah lama lohu mendengar ilmu
tombak cagak dari ciangkun yang amat tersohor, maka harap ciangkun suka
memperlihatkan kepandaian itu, biar lohu mengimbanginya dengan tongkat ini !"
Ketika mendengar ucapan ini, Can Kok merasa gembira sekali oleh karena memang
selain ilmu permainan tombak cagak ini, ia tidak tahu harus memamerkan
kepandaian apa. Segera ia menyuruh pelayan mengambil kongce (tombak bercagak)
"Silakan menyerang dan jangan sungkan-sungkan, Can-ciangkun!" kata Kim-i Lokai
sambil memelintangkan tongkat pada dadanya.
Can Kok segera menyerang dengan kongcenya dan ketika ia mulai bersilat dan
melakukan penyerbuan, para tamu diam-diam memuji oleh karena permainan tombak
cagak dari perwira ini benar-benar lihai dan kuat. Harus diketahui bahwa
semenjak dikalahkan oleh hwesio muka hitam di kuil Thian Lok Si hingga ia merasa
terhina dan malu sekali, Can Kok lalu melatih diri dan memperdalam ilmu silatnya
sampai bertahun-tahun sehingga kalau dibandingkan dengan dulu sebelum dikalahkan
oleh hwesio itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat jauh sekali. Tenaga yang
disalurkan pada senjata itupun besar Koleksi Kang Zusi
sekali sehingga tiap kali ia menusuk dengan senjatanya ujung tombak itu sampai
menggetar dan apabila ia memukulkan tombaknya, maka terdengar bersiutnya angin
pukulan. Kalau permainan kongce dari Can Kok ini telah mengagumkan para penonton, adalah
permainan tongkat Pengemis Tua Baju Emas membuat hati Cin Pau berdebar. Kalau
yang menyerbu kuil itu orang-orang segagah ini, pasti kuil itu akan dapat
dihancurkan, pikirnya. Permainan tongkat kakek pengemis itu benar-benar hebat
karena biarpun yang digerakkan hanya sebatang tongkat kayu yang kecil, akan
tetapi tiap kali tombak Can Kok yang bertenaga besar itu terbentur oleh ujung
tongkat, tombak itu selalu terpental hingga Can kok beberapa kali mengeluarkan
seruan kaget. Namun perwira ini masih tetap menyerang terus walaupun sedikit
juga serangannya tak berarti bagi pengemis yang kosen itu.
Setelah melayani Can Kok sampai tiga puluh jurus lebih, Kim-i Lokai melompat
mundur dengan cepat dan berkata, "Cukup, cukup !" Can-ciangkun cukup gagah untuk
menyerbu ke kuil Thian Lok Si !"
Can Kok merasa puas, karena biarpun ia tidak dapat mengalahkan pengemis lihai
itu, namun ia tidak sampai tercela permainan tombaknya. Semua penonton juga
menganggap demikian, akan tetapi Cin Pau yang lebih tajam dan lebih tahu akan
gerakan-gerakan Kim-i Lokai, dapat melihat betapa dengan luar biasa cepatnya,
ketika hendak melompat mundur tadi, ujung tongkat kakek itu telah menerobos di
antara sinar kongce dan menyabet ujung lengan baju Can Kok. Dan ketika Cin Pau
memperhatikan ujung lengan baju itu, benar saja di situ terdapat sebuah lubang
bekas tusukan tongkat. Kim-i Lokai setelah memberi "tanda' pada ujung lengan baju Can Kok tanpa memberi
tahu itu, lalu tertawa girang dan setelah Can Kok mengundurkan diri, ia lalu
berkata lagi kepada semua tamu, "Cuwi yang hendak maju, silakanlah. Jangan malu
atau sungkan terhadap kawan segolongan sendiri!"
Lagak Kim-i Lokai seakan-akan seorang guru yang menghadapi sekian banyak
muridnya dan yang hendak diujinya seorang demi seorang. Cin Pau maklum bahwa
pengemis tua ini merupakan lawan yang tangguh sekali, akan tetapi ia tetap
hendak maju dan mencoba kepandaian kakek itu.
Sekali lagi Cin pau didahului orang lain, yakni seorang di antara Kongsan hengte
yang bernama Lu Kiam. Setelah menjura dan memperkenalkan diri kepada Kim-i Lokai
ia lalu mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang poan-koan pit atau
senjata berbentuk pit (pena bulu) yang lihai sekali oleh karena sepasang senjata
ini khusus dibuat untuk menyerang dan menotok jalan darah lawan.
Orang yang dapat mempergunakan sepasang poan-koan pit tentu seorang yang telah
memiliki lweekang tinggi dan telah paham sekali akan jalan darah dan bagian
kelemahan lawan hingga baru mengeluarkan sepasang senjata ini saja sudah dapat
diduga bahwa Lu Kiam bukanlah orang sembarangan.
Kim-i Lokai tertawa terbahak-bahak. "Memang, harimau hanya berkawan singa dan
ular samudera selalu berkawan dengan naga. Sicu adalah kawan baik Can-ciangkun,


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka tentu saja ilmu kepandaian sicu takkan mengecewakan. Lu-sicu, jangan
sungkan-sungkan, majulah !"
"Mohon pengajaran !" kata Lu Kiam merendah dan ia lalu mulai bersilat. Kedua
tangannya memegang poan-koan pit bergerak-gerak bagaikan seorang penari ulung
sedangkan kedua kakinya berjingkit dan berpindah-pindah dengan amat cepat dan
gesitnya. Kembali permainan silat ini mendatangkan rasa kagum, bahkan Kim-i
Lokai sendiri berkali-kali memuji, "Bagus, bagus !"
Pengemis tua itu terpaksa mempergunakan ginkangnya yang hebat untuk
menghindarkan diri dari totokan lawan yang gesit ini. Kalau sampai ia kena
tertotok, ia akan mendapat malu hebat sekali, biarpun pertandingan itu hanya
pertandingan persahabatan saja. Maka tongkatnya lalu digerakkan cepat sekali dan
kemana saja poan-koan pit menotok, selalu bertemu dengan ujung tongkat yang
menangkisnya dengan tenaga penuh hingga tiap kali ujung poan-koan pit terbentur
ujung tongkat, Lu Kiam merasa betapa tangannya kesemutan dan kalau ia tidak
mengerahkan tenaga, tentu poan-koan pitnya akan terpukul jatuh. Ia maklum bahwa
ilmu kepandaian pengemis tua yang aneh ini masih lebih tinggi setingkat dengan
kepandaiannya sendiri, maka setelah bertempur sampai empat puluh jurus tanpa
dapat mendesak, ia tahu diri dan melompat ke belakang dengan cepatnya.
"Maaf, maaf, aku yang bodoh telah memperlihatkan kejelekkan kepandaianku,"
katanya sambil menjura. "Siapa bilang permainanmu jelek ?" kata Kim-i Lokai dengan gembira. "Lohu berani
tanggung bahwa penjahat-penjahat Thian Lok Si akan kacau balau terserang oleh
dua batang poan-koan pit yang lihai itu. Kau hebat sekali, Lu-sicu !"
Koleksi Kang Zusi Setelah berkata demikian, Kim-i Lokai lalu memandang kepada orang kedua dari
Kongsan Hengte yang bernama Lu Siang. Berbeda dengan adiknya, Lu Siang ini
bertubuh tinggi kurus sedangkan adiknya itu pendek gemuk, dan muka Lu Siang ini
kepucat-pucatan seperti orang sakit, akan tetapi sepasang matanya berpengaruh.
Cin Pau dapat menduga bahwa orang gagah itu tentulah seorang ahli lweekeh yang
memiliki ilmu lweekang yang tinggi sekali.
Melihat betapa adiknya tak berdaya menghadapi pengemis tua itu, Lu Siang lalu
melompat dari tempat duduknya. Gerakannya ini tidak kentara, akan tetapi tahu-
tahu tubuhnya telah melayang dan berdiri di depan Kim-i Lokai. Cin Pau kagum
sekali melihat ginkang ini. Ternyata yang berkumpul ini bukanlah orang-orang
sembarangan, pikirnya makin tertarik.
Begitu berada di depan pengemis tua itu, Lu Siang lalu menjura memberi hormat.
Akan tetapi gerakan memberi hormat ini bukanlah gerakan sembarangan akan tetapi
adalah gerakan yang dalam ilmu silat disebut Raja Monyet Menghormat Dewata (Ce
Thian Pai Hud) dan ini adalah gerakan dari ahli ilmu lweekeh yang melakukan
serangan atau pukulan lweekang dari jauh dalam bentuk pemberian hormat.
Akan tetapi, oleh karena yang dihadapinya bukan musuh dan hanya seorang yang
hendak mencoba ilmu kepandaiannya, Lu Siang juga tidak begitu gegabah untuk
mengisi tenaga pukulan dalam gerakan ini, dan hanya merupakan gerakan pemberian
hormat biasa saja. Akan tetapi, otomatis ia telah memperlihatkan bahwa ia adalah
ahli lweekeh yang jempolan.
Melihat cara pemberian hormat Lu Siang, Kim-i Lokai tidak mau tinggal diam dan
ia memperlihatkan bahwa ia kenal pula gerakan ini, maka sekali gus ia membalas
hormat orang dengan gerakan Menolak Gunung Menarik Awan. Tangan kanannya dengan
jari terbuka ditaruh di depan dada sebagai penolakan pukulan lawan dan tangan
kirinya membalas dengan gerakan pukulan yang juga dilancarkan hanya dengan
tenaga lweekang dan memukul dari jauh. Lu Siang merasa terkejut sekali oleh
karena memang gerakan inilah yang menjadi gerakan untuk menahan dan membalas
serangan gerakannya tadi.
Dalam hormat-menghormati ini, kedua orang itu telah memperlihatkan dua macam
gerakan yang lihai dan yang takkan dapat dimengerti oleh ahli silat sembarangan
saja. Akan tetapi, Cin Pau tahu akan gerakan-gerakan mereka itu hingga diam-diam
ia memuji pula. "Sicu, janganlah berlaku sungkan-sungkan dan marilah kita bermain-main sebentar
menambah pengetahuan !" kata Kim-i Lokai sambil tertawa.
"Lo-enghiong, jangan kau orang tua tertawakan aku yang rendah pengetahuan !"
kata Lu Siang sambil melepaskan ikat pinggangnya yang berwarna hitam. Setelah
ikat pinggangnya itu berada di dalam tangannya, ternyata bahwa itu bukanlah ikat
pinggang biasa, akan tetapi sebuah senjata joan pian atau cambuk lemas yang
panjangnya tidak kurang dari tiga kaki. Memang tepat sekali bagi seorang ahli
lweekeh untuk mempergunakan joan pian yang lemas ini oleh karena tenaga
lweekangnya dapat disalurkan pada senjata itu hingga cambuk itu bisa menjadi
lemas untuk membelit senjata musuh atau menyabet, dan dapat pula dibuat kaku
untuk menusuk atau menotok jalan darah.
"Bagus, sicu majulah !" kata Kim-i Lokai dengan hati-hati karena ia maklum bahwa
lawannya kali ini memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dibuat gegabah. Lu
Siang lalu bergerak dengan joan piannya setelah disentakkan mengeluarkan bunyi
keras bagaikan sebatang cambuk gembala, lalu joan pian itu menyambar ke arah
leher Kim-i Lokai. Pengemis tua itu cepat mengangkat tongkatnya dan sebentar
kemudian kedua orang itu bertempur seru sekali hingga bayangan mereka kadang-
kadang menjadi satu dan sukar dibedakan satu dengan yang lain.
Setelah adu kepandaian ini berlangsung seratus jurus dengan amat hebatnya dan
keadaan mereka seakan-akan berimbang, keduanya lalu melompat mundur dan Lu Siang
dengan muka merah menjura sambil berkata, "Siauwte yang bodoh telah menerima
pelajaran, terima kasih, lo-enghiong." Ternyata bahwa tadi ia telah kena
dikurung hebat oleh tongkat pengemis tua yang lihai itu hingga ia tidak malu-
malu untuk mengaku kalah.
Pengemis tua itu tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berseri.
"Ah, Can-ciangkun," katanya kepada Can Kok. "Sekarang lohu tidak kuatir lagi.
Dengan adanya para orang gagah ini di pihak kita, kita tak usah kuatirkan
perlawanan para penjahat gundul di Thian Lok Si."
Can Kok dengan girang lalu berkata kepada Cin Pau, "Ong-taihiap, tinggal kau
yang belum memperlihatkan kepandaianmu."
Koleksi Kang Zusi Cin Pau lalu bangkit berdiri dan berjalan dengan langkah perlahan ke tengah
ruang itu. Akan tetapi, pada saat itu, Pauw Su Kam, suheng dari Can Kok, piauwsu
dari Shantung itu, juga berdiri dan berkata kepada Kim-i Lokai.
"Lo-enghiong, kau telah terlalu banyak menghadapi kawan-kawan yang gagah hingga
kuatir kau orang tua terlampau lelah. Biarlah siauwte yang kasar dan bodoh
mencoba kepandaian "taihiap" ini!" Terang sekali bahwa Pauw Su Kam ini merasa
kurang senang dan tidak puas bahwa Can Kok, sutenya itu, terlalu menghormat
kepada Cin Pau hingga menyebutnya taihiap atau pendekar besar.
Cin Pau dapat menduga bahwa orang sombong ini tentu sedang mencari perkara
dengan dia, dan orang itu tentu berusaha menjatuhkannya dengan membuatnya malu.
Oleh karena itu ia berlaku hati-hati sekali.
Sambil tertawa Kim-i Lokai mengundurkan diri dan berkata,
"Baik, baik, dengan majunya jiwi, berarti sekali gus lohu dapat menyaksikan
tingkat kepandaian jiwi."
Akan tetapi ketika pengemis tua ini menyaksikan betapa setelah menggulung lengan
bajunya, kedua lengan orang she Pauw ini kelihatan merah sekali ia menjadi
terkejut karena tahu bahwa orang ini memiliki ilmu pukulan Ang se ciang atau
Tangan Pasir Merah yang lihai.
Cin Pau juga melihat ini dan tahulah ia mengapa orang ini demikian sombongnya
karena agaknya mengandalkan kedua tangannya yang berbahaya. Orang yang memiliki
tangan pasir merah ini memang berbahaya sekali pukulannya, karena jangankan
tubuh kena pukul oleh kedua tangan ini, baru tertangkis saja dapat membuat
lengan lawan menjadi bengkak-bengkak dan tulangnya patah.
Tadi ia telah diperkenalkan dengan semua orang, maka Cin Pau yang masih ingat
akan nama orang ini dan tahu bahwa dia adalah suheng dari tuan rumah, dengan
sikap hormat berkata, "Pauw piauwsu tentu ingin mengajak siauwte bermain dengan tangan kosong,
bukan ?" Ucapan ini sekali gus menyatakan bahwa ia telah tahu akan kelihaian
kedua tangan lawan dan juga menyatakan bahwa ia tidak gentar menghadapinya.
Pauw Su Kam tersenyum dan berkata dengan sikap tinggi hati, "Memang betul, Ong-
taihiap !" Ia sengaja menyebut "taihiap" dengan suara mengandung ejekan.
"Biarpun hanya main-main, akan tetapi senjata tajam kalau digunakan bisa
mendatangkan bahaya karena seperti kata orang, senjata tidak bermata."
"Siauwte setuju dengan pendapatmu," kata Cin Pau sederhana, "Kau majulah dan
mari kita bermain-main sebentar !"
Kali ini semua orang menonton dengan penuh perhatian, karena ingin menyaksikan
ilmu kepandaian pemuda baju putih yang masih sangat muda ini. Hampir semua orang
menduga bahwa kali ini Cin Pau tentu akan roboh di tangan Pauw piauwsu yang
lihai. Pauw Su Kam ingin segera menjatuhkan lawannya yang muda ini dan sekali
gus mengangkat tinggi namanya, maka begitu berseru ia lalu menyerang dengan
tendangan pancingan yang disusul oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada dan
pukulan tangan kiri ke arah pundak Cin Pau. Akan tetapi, dengan mudah pemuda itu
melompat dan mengelakkan diri dari serangan itu dan selanjutnya ia lalu
mengeluarkan ginkangnya yang tinggi tingkatnya, berkelebat ke sana ke mari
menghindarkan diri dari serangan yang datangnya bertubi-tubi itu. Maka
melongolah semua orang ketika menyaksikan betapa tubuh anak muda itu kini
berobah menjadi bayangan putih yang luar biasa gesitnya hingga seakan-akan
seekor garuda putih terbang menyambar-nyambar hingga membikin Pauw Su Kam tak
berdaya mendekatinya. Melihat gerak gerik pemuda ini, tercenganglah Can Kok oleh karena selama
hidupnya ia baru sekali menyaksikan gerak gerik ini, yaitu ketika hwesio muka
hitam dulu menjatuhkannya. Akan tetapi pemuda ini lebih cepat lagi gerakannya.
Juga Kim-i Lokai merasa kagum sekali dan memandang dengan penuh perhatian. Tak
pernah disangkanya bahwa ginkang dari pemuda itu sedemikian lihainya hingga
diam-diam ia mengakui bahwa dia sendiri belum tentu dapat melebihi pemuda itu
dalam hal kegesitan. Pauw Su Kam terus menyerang dan setelah ia menyerang dengan Ang se-ciang selama
tiga puluh jurus lebih, peninglah kepalanya karena pemuda itu benar-benar
merupakan bayang-bayang atau uap putih saja yang tiap kali diserbunya tiba-tiba
lenyap dari depannya dan tahu-tahu telah berada di kanan, kiri, atau bahkan di
belakangnya. Baru menghadapi lawan yang selalu mengelak saja, ia sudah menjadi
pening, apalagi kalau sampai lawan itu balas menyerang.
Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba Pauw Su Kam lalu berhenti menyerang dan ketika melihat Cin Pau juga
berdiri di depannya tak bergerak, tiba-tiba ia lalu memukul dengan kedua
tangannya ke arah dada Cin Pau. Ini adalah pukulan maut yang tak layak
dikeluarkan di dalam adu kepandaian itu, karena memang pukulan yang dihandalkan
ini hanya digunakan untuk menjatuhkan seorang musuh dengan maksud membunuh.
Angin pukulan Ang se-ciang ini saja sudah cukup membuat lawan jatuh dengan
menderita luka di dalam tubuh, apalagi kalau sampai tangan itu mengenai tubuh
lawan dengan tepat. Cin Pau merasa mendongkol dan marah melihat hal ini karena tak disangkanya bahwa
lawan ini menggunakan tangan maut untuk mengalahkannya. Ia lalu berpikir bahwa
kalau kali ini tidak memperlihatkan kepandaian, selanjutnya ia tentu akan
dipandang ringan dan rendah. Ia sengaja tidak berkelit dan menanti datangnya
pukulan. "Celaka !" Kim-i Lokai berseru karena biarpun ia juga ingin mengalahkan pemuda
itu untuk membalas penghinaan terhadap cucu muridnya, akan tetapi ia tidak
bermaksud membunuh pemuda ini, sedangkan pukulan yang dilancarkan oleh Pauw Su
Kam itu ia tahu dapat mendatangkan bahaya maut.
Akan tetapi, segera seruan kaget ini disusul dengan seruan kagum ketika ia
melihat betapa dengan dua tangan terulur ke depan dan jari-jari terbuka. Cin Pau
menggunakan lweekang yang tinggi untuk mengembalikan tenaga pukulan Ang se-ciang
yang hebat itu. Cin Pau maklum bahwa biarpun tenaga lweekangnya telah terlatih
cukup dan tidak akan kalah oleh tenaga lawan, akan tetapi kalau ia menggunakan
lengan tangan untuk menangkis, tentu tulang lengannya akan terpukul oleh tenaga
Ang se-ciang dan mungkin tulangnya akan patah karena kalah kalau dibandingkan
dengan tulang lawan yang "berisi", akan tetapi kalau ia menggunakan telapak
tangan yang berisi daging dan urat serta dapat mengeluarkan tenaga lweekang
sepenuhnya itu, ia boleh menangkis dengan hati tenteram. Benar saja, ketika dua
tenaga raksasa bertemu, dengan khikangnya Cin Pau dapat menutup jalan darahnya
dan hanya terhuyung mundur tiga langkah. Akan tetapi sebaliknya, Pauw Su Kam
yang tak menduga akan mendapat benturan tenaga yang lebih besar dari pada
tenaganya sendiri itu, terpental sampai setombak lebih dan jatuh terduduk di
atas lantai. Ia terkejut sekali, akan tetapi karena tidak menderita luka apa-apa, ia merasa
tunduk betul terhadap Cin Pau. Dengan muka merah ia lalu menjura dan berkata,
"Ong-taihiap memang patut dikagumi.
Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada dugaanku semula."
"Ang se-ciangmu juga lihai sekali, Pauw piauwsu !" kata Cin Pau merendahkan
diri. "Hebat, hebat ! Harus kuberi selamat !" tiba-tiba Lu Siang berkata dan
menghampiri Cin pau sambil menjura dengan gerakan Ce Thian Pai Hud tadi. Kali
ini ia mengisi tenaga dalam gerakannya hingga Cin Pau yang maklum dirinya
dicoba, lalu balas menjura sambil mengerahkan khikangnya. Lu Siang merasa betapa
tenaganya terbentur kembali dan kedua pundaknya sampai merasa linu, maka ia lalu
berkata, "Memang lihai sekali, aku mengaku kalah !"
Hanya beberapa orang saja yang tahu akan percobaan tenaga ini, di antaranya Kim-
i Lokai. Pengemis tua ini tidak mau kalah, dengan tertawa ia lalu datang
menghampiri dengan secawan arak di tangan.
"Ong sicu, kau pantas dihormat dengan secawan arak wangi !" katanya sambil
menyerahkan cawan itu kepada Cin Pau dengan tubuh membungkuk.
Cin Pau lalu menerima cawan itu dan alangkah kagetnya ketika merasa betapa
tangan yang memberikan cawan itu menekan dengan kekuatan yang luar biasa
beratnya. Ia lalu mengerahkan tenaganya dan membuat telapak tangannya yang
menerima cawan menjadi lemas bagaikan kapas hingga tenaga tekanan Kim-i Lokai
menjadi lenyap dan tiada berguna lagi. Pengemis tua itu melepaskan cawannya dan
tertawa bergelak. Ia merasa senang sekali, tidak saja girang karena mendapat
kawan kuat dalam penyerbuan kuil Thian Lok Si, akan tetapi juga girang bahwa
tadi ia tidak sampai bentrok dengan pemuda ini. Kalau sampai mencoba
kepandaiannya dan tak dapat memenangkan pemuda ini, alangkah akan malunya.
Sedangkan ia masih merasa sangsi apakah ia akan dapat mengalahkan pemuda yang
lihai ini. "Sicu, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu benar-benar membuat lohu
merasa kagum,' katanya. "Lo-enghiong, tongkatmu membuat siauwte merasa kagum dan takluk sekali." Cin Pau
menjawab sejujurnya, "terutama ketika kau membuat gerakan melobangi ujung lengan
baju Can-ciangkun tadi. Hebat dan cepat sekali gerakan itu !"
Koleksi Kang Zusi Mendengar ucapan itu, Can Kok terkejut dan melihat ujung lengan bajunya yang
benar-benar bolong, maka mukanya jadi pucat. Orang telah membolongi ujung lengan
bajunya dan ia sama sekali tidak tahu.
Kalau orang itu seorang musuh dan menghendaki jiwanya, tentu ia akan mati
sebelum ia ketahui diserang secara bagaimana.
Sebaliknya, Kim-i Lokai makin kagum saja mendapat kenyataan bahwa pemuda ini
dapat melihat gerakannya tadi, padahal ia percaya bahwa tak seorang pun dapat
melihatnya. Dari kenyataan ini saja dapat diketahui bahwa pemuda baju putih ini
memang murid seorang berilmu tinggi.
Bagian 13. Penyelidikan di Kuil Thian Lok Si
Pada saat orang-orang memuji Cin pau, tiba-tiba dari luar berkelebat bayangan-
bayangan orang dan biarpun Cin Pau dan Kim-i Lokai bermata tajam, namun mereka
berdua inipun tidak melihat dengan jelas gerakan orang-orang yang baru datang
dan tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri dua orang tosu tua.
Ketika Gak Song Ki melihat dua orang tosu ini, dengan girang sekali ia lalu
menjatuhkan diri berlutut dan berseru, "Suhu dan Supek !"
Maka tahulah mereka bahwa yang datang ini adalah dua orang tokoh Gobi-san yang
terkenal, yakni Cin Can Cu dan Bok San Cu. Semua orang, juga Cin Pau lalu
menjura dan memberi hormat kepada dua orang tosu lihai ini. Ketika Cin Pau
mendengar bahwa kedua orang tosu ini adalah kedua guru Siauw Eng, maka ia
menjadi kagum. Tak heran apabila gadis itu lihai karena guru-gurunya juga begini
tinggi ilmu kepandaiannya.
Ternyata bahwa kedatangan kedua tokoh Gobi-san inipun atas undangan dan
permohonan Gak Song Ki untuk membantu dia melakukan tugas yang diperintahkan
oleh kaisar, yakni membasmi kuil Thian Lok Si. Oleh karena ia maklum bahwa
hwesio-hwesio di Thian Lok Si memang berkepandaian tinggi, maka ia lalu minta
pertolongan mereka. Pada waktu itu, memang terjadi sedikit pertentangan antara para tosu dan para
hwesio, yakni pemeluk agama To dan Agama Buddha, hingga ketika mendengar betapa
hwesio-hwesio di Thian Lok Si berubah jahat dan bersekutu hendak memberontak,
kedua orang tosu itu menjadi marah dan segera datang untuk membantu Gak Song Ki


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membasmi kuil itu. Pada masa itu, tidak sedikit terdapat hwesio-hwesio yang
jahat, karena banyak orang-orang jahat dengan berkedok menjadi pendeta dan
menggunduli rambutnya, masih tetap melakukan kejahatan mereka sehingga hal ini
tentu saja menodai nama para hwesio umumnya.
Dengan datangnya dua orang sakti ini, maka pihak para perwira yang hendak
menjalankan perintah kaisar itu menjadi kuat sekali, apalagi di pihak mereka
terdapat juga Cin Pau yang biarpun masih muda, akan tetapi sudah boleh
diandalkan karena kepandaiannya yang tinggi itu.
Penyerbuan kuil Thian Lok Si akan dilakukan pada keesokkan harinya, dan Gak Song
Ki segera minta kepada kedua orang tosu itu untuk bermalam di gedungnya. Hal ini
diterima baik oleh dua orang tokoh Gobi-san itu yang ingin sekali melihat murid
mereka Siauw Eng. Karena makin tertarik dan suka kepada Cin Pau, Gak-ciangkun lalu membujuk-bujuk
agar supaya pemuda itu suka pula mampir dan bermalam di rumahnya. Cin Pau tak
dapat menolak, terutama karena ia ingin bercakap-cakap dengan kedua orang
pendekar tua dari Gobi-san itu, katanya. Padahal, di lubuk hatinya ada suara
yang hanya didengarnya sendiri, yang berbisik bahwa ia ingin bertemu atau
melihat wajah Siauw Eng, dara jelita yang sombong dan galak itu.
Ketika mendengar tentang kedatangan dua orang suhunya, Siauw Eng menjadi girang
sekali dan ia berlari-lari menyambut kedatangan kedua orang tosu itu. Dengan
girang sekali ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang suhunya
yang juga memandangnya dengan bangga dan senang. Mereka lalu beramai-ramai masuk
ke dalam dan ketika dara itu bertemu pandang dengan Cin Pau, mulutnya bergerak
seperti hendak menegur karena ia merasa heran sekali, akan tetapi ia tidak
mengeluarkan kata-kata sesuatu, hanya dari pandang matanya Cin Pau tahu bahwa
gadis itu tidak marah. Bahkan bibir yang manis itu kemudian tersenyum kepadanya,
seolah-olah mereka telah menjadi kenalan lama yang baik hubungannya.
Koleksi Kang Zusi Ketika ditanya, Cin Pau mengaku bahwa ia adalah murid Bu Eng Cu Tiauw It Lojin.
Ia tidak mau memberitahu bahwa iapun murid Beng Hong Tosu, karena ia maklum
bahwa nama ini tentu akan dihubungkan pula dengan keluarga Khu dan Ma yang
menjadi muridnya, dan juga dengan Un Kong Sian. Dalam keadaan seperti ini dan
karena berada di kota raja, ia harus berlaku hati-hati dan jangan menimbulkan
kecurigaan di kalangan perwira. Bukan karena ia takut, akan tetapi karena ia
tidak mau menghadapi kesulitan-kesulitan baru.
Kedua orang tosu itu pernah bertemu dengan Bu Eng Cu dan telah tahu kelihaian
orang sakti itu, maka mereka menyatakan kagumnya dan memuji Cin Pau sebagai
seorang pemuda yang berbakat dan beruntung menjadi murid orang pandai itu.
Ketika melihat betapa pemuda baju putih itu mendapat penghargaan dari Cin San Cu
dan Bok San Cu, makin kagumlah hati Gak Song Ki, bahkan pandangan Siauw Eng
terhadap Cin Pau mulai berubah dan tidak berani memandang rendah lagi.
Ketika diperkenalkan kepada ibu Siauw Eng, Cin Pau merasa suka melihat nyonya
yang cantik jelita dan halus tutur sapanya itu hingga menimbulkan hormatnya.
Sebaliknya, Souw Kwei Lan atau ibu Siauw Eng yang telah menjadi nyonya Gak Song
Ki, memandang wajah yang tampan itu dengan heran karena ia seakan-akan pernah
melihat dan kenal wajah ini, akan tetapi tak dapat mengingat lagi di mana dan
kapan. Tentu saja ia sama sekali tak dapat menduga bahwa pemuda tampan yang
duduk di depannya dengan muka tunduk ini adalah putera tunggal Ong Lin Hwa dan
Khu Tiong. Sementara itu, Siauw Eng mendengarkan pembicaraan ayahnya dengan kedua suhunya
dengan penuh perhatian. Ia merasa penasaran sekali mengapa ayahnya melarang ia
untuk ikut menyerbu kuil itu dan membantu membasmi para penjahat. Di dalam hati
gadis yang selalu dimanja ini timbul pemberontakan hebat. Belum pernah
kehendaknya tak terpenuhi, bahkan ketika berada di atas puncak Gobi-san, kedua
suhunyapun amat memanjakannya, maka ia diam-diam mengambil keputusan untuk
meninjau sendiri dan menyelidiki keadaan kuil itu.
Demikianlah, ketika semua orang sedang bercakap-cakap, diam-diam ia pergi ke
kamarnya, kemudian mengambil jalan dari pintu belakang ia lalu naik ke atas
punggung kuda putihnya dan pergi meninggalkan kota. Ia telah diberitahu letak
kuil Thian Lok Si dan pada senja hari itu ia membalapkan kudanya menuju ke kuil
itu. Ia tidak tahu bahwa ketika beberapa lama ia pergi meninggalkan ruang tamu, Cin
Pau merasa tidak senang lagi duduk di situ dan Gak Song Ki menganggap bahwa
pemuda itu tentu telah lelah dan ingin beristirahat, maka ia lalu
mengantarkannya ke sebuah kamar yang disediakan untuknya. Begitu berada di dalam
kamar seorang diri, timbul keinginan di dalam hati pemuda ini untuk menyelidiki
keadaan kuil Thian Lok Si yang hendak diserbu itu. Ia tidak merasa heran
mendengar bahwa pendeta-pendeta di situ menjadi jahat, karena seringkali ia
mendengar adanya hwesio-hwesio yang berjalan sesat dan menjadi penjahat.Bahkan,
kedua saikong yang dijumpainya dengan Siauw Eng itu, yakni Pek Lek Hoatsu dan
Ban Lek Hoatsu, bukankah mereka itupun dua orang pendeta yang jahat sekali "
Akan tetapi yang amat membuatnya penasaran ialah justru karena kuil itu pernah
menolong ibunya, mengapa kini menjadi sarang penjahat " Diam-diam ia merasa
ragu-ragu dan kini timbul pikirannya hendak menyelidiki pula. Tadi di dalam
percakapan, secara tidak langsung ia telah bertanya tentang letak kuil itu yang
berada di dusun tak berapa jauh dari Tiang-an.
Setelah mengambil keputusan tetap ia lalu melompat keluar dari jendela kamarnya,
menutup daun jendela dari luar, lalu pergi tanpa diketahui orang, menuju ke kuil
itu. Ia tidak tahu bahwa belum lama Siauw Eng telah pergi pula ke sana
menunggang kuda. Siauw Eng adalah seorang gadis yang berhati tabah sekali. Ia telah seringkali
bermain-main dan berburu binatang di dalam hutan-hutan di sekitar Tiang-an, baik
seorang diri maupun bertiga bersama Gu Liong dan Gu Hwee Lian maka ia kenal baik
jalan yang melalui hutan itu.
Setelah tiba di luar dusun Ma-cin-kiang di mana kuil Thian Lok Si berada, ia
lalu turun dari kudanya dan mengikat kendali kuda pada sebatang pohon. Ia lalu
melanjutkan perjalanannya dengan berlari cepat.
Dari jauh telah nampak bangunan kuil yang besar itu di bawah sinar bulan
purnama. Hatinya agak berdebar ketika menyaksikan bangunan yang besar dan megah
itu. Teringat akan penuturan ayahnya bahwa di dalam kuil ini berdiam puluhan
hwesio yang berilmu tinggi.
Dengan hati-hati Siauw Eng lalu mengambil jalan memutar dan kini ia berdiri di
bawah dinding kuil yang tinggi dan yang mengitari bangunan besar itu. Karena di
situ sunyi, maka ia lau mengenjot tubuhnya dan melayang naik ke atas dinding.
Dari tempat itu ia memeriksa ke dalam sambil berjongkok. Tak Koleksi Kang Zusi
tampak seorangpun hwesio di situ dan yang terdengar hanyalah suara hwesio-hwesio
membaca liamkeng sebagaimana biasanya terdengar dari kelenteng-kelenteng. Ia
tidak berani berlaku sembrono, maka setelah yakin betul bahwa tidak ada orang
yang melihatnya, ia lalu melompat turun dengan ringan hingga tak menerbitkan
suara. Dengan jalan perlahan dan bersembunyi di belakang pohon-pohon yang tumbuh
di situ. Ia menghampiri bangunan besar itu dari belakang.
Tiba-tiba ia mendekam di belakang sebatang pohon besar ketika melihat dua tubuh
hwesio yang gemuk keluar dari pintu sambil bercakap-cakap. Kedua orang hwesio
ini ternyata membawa keranjang berisi sisa-sisa tangkai hio (dupa) yang terpakai
siang tadi oleh para pengunjung kuil dan membuangnya sisa-sisa biting itu ke
dalam sebuah keranjang sampah besar yang tersedia di belakang kuil. Kemudian
mereka berjalan kembali ke arah pintu sambil bercakap-cakap.
"Kata suhu mungkin besok mereka datang menyerbu," kata seorang di antara mereka.
Terdengar tarikan napas panjang. "Mereka itu menghendaki apa " Kalau Pek Seng
Lo-suhu berada di sini, tentu ia akan marah sekali dan takkan membiarkan mereka
berbuat kurang ajar !"
"Memang, Sian Kong Suhu terlalu sabar dan mengalah."
"Ia selalu nampak berduka."
"Kasihan ......."
Kedua orang hwesio ini masuk ke dalam kuil itu melalui pintu belakang hingga
Siauw Eng tak mendengar percakapan mereka lebih lanjut lagi. Ia lalu menghampiri
pintu itu, akan tetapi ketika melihat betapa di balik pintu itu terdengar suara
orang-orang bercakap-cakap, ia tidak berani masuk, lalu melompat naik ke atas
genteng. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak genteng, tiba-tiba sesosok bayangan
hitam melompat pula dan seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam telah berdiri
di depannya. Hwesio ini mukanya buruk dan nampak galak dan jahat sekali.
"Kau siapa dan apa kehendakmu datang malam-malam di atas kuil kami ?" bentak
hwesio itu dengan wajah bengis.
"Hwesio jahat !" Siauw Eng balas membentak sambil menyerang dengan pedangnya.
Gadis ini baru melihat muka ini saja sudah tidak meragukan lagi bahwa hwesio ini
tentulah seorang jahat dan mungkin yang memimpin kejahatan di dalam kuil ini,
karena ia mendengar dari ayahnya bahwa hwesio-hwesio itu dipimpin oleh seorang
hwesio jahat yang tidak saja memberontak, akan tetapi juga melakukan segala
macam kejahatan seperti merampok, memeras, mengganggu wanita, dan lain-lain. Ia
tidak tahu bahwa ayahnya juga hanya mendengar saja dari Can Kok yang suka sekali
memburukkan nama kuil ini.
Melihat serangan yang hebat itu, hwesio muka hitam itu lalu mengelak cepat dan
membalas dengan serangan tangan kosong. Akan tetapi, Siauw Eng terlampau gesit
untuk dapat dilawan dengan tangan kosong saja sehingga lambat laun hwesio muka
hitam itu merasa sibuk juga. Pada saat itu terdengar bentakan halus,
"Nona, mengapa kau mengacau di tempat suci ini ?"
Kaget sekali hati Siauw Eng, karena pada saat ujung pedangnya telah mengancam
leher muka hitam itu tiba-tiba pedangnya tersampok ke samping oleh tenaga yang
kuat sekali dan tidak tahunya tiba-tiba telah muncul seorang hwesio yang belum
terlalu tua, akan tetapi yang bersikap lemah lembut. Hwesio inilah yang
mempergunakan lengan bajunya untuk menyampok pedang Siauw Eng tadi.
Siauw Eng tercengang karena keadaan hwesio yang baru datang ini jauh sekali
bedanya dengan hwesio tadi yang kini telah berdiri di pinggir dengan tak
bergerak. Hwesio ini bermuka halus dan bersih, bahkan dapat disebut tampan.
Sepasang matanya bersinar lembut dan seperti orang berduka dan menderita tekanan
batin. Jubahnya berwarna putih bersih.
"Nona, kau siapakah dan mengapa malam-malam kau datang membikin ribut di tempat
pinceng ?" Koleksi Kang Zusi "Aku .... aku ...... ingin melihat sampai di mana kejahatan hwesio-hwesio di
kuil Thian Lok Si !" Akhirnya Siauw Eng dapat juga menjawab karena keberaniannya
timbul kembali. Terdengar hwesio muka hitam itu mengertak giginya hingga berkerutan, akan tetapi
hwesio yang halus tutur sapanya ini hanya tersenyum sedih. "Nona, baik dan buruk
hanya sebutan orang, demikianpun bajik atau jahat, tergantung dari mereka yang
memandang dan menganggapnya. Adakalanya seorang yang betul-betul baik dianggap
jahat, sebaliknya yang jahat dianggap baik. Ini tidak aneh, memang demikianlah
sifat dunia !" Ucapan ini menikam hati Siauw Eng betul-betul, karena ia merasa betapa ucapan
ini amat tepat. "Suhu ini ....... siapakah .........?" tanyanya gagap.
"Pinceng yang mengepalai dan memimpin kuil Thian Lok Si, disebut Sian Kong
Hosiang. Kau yang begini muda, mudah sekali mendengar bujukan orang yang sengaja
memburukkan nama kuil ini. Akan tetapi tidak apalah, kalau kau memang tetap
hendak mempergunakan kekerasan dan tidak percaya omongan pinceng, boleh kau
lakukan apa yang kau suka. Hanya ingatlah, bahwa kepandaian di dunia ini tidak
ada batasnya, adapun tentang kepandaianmu, biarpun kau telah mendapat latihan
dari Gobi-san yang cukup sempurna, namun pengalamanmu masih jauh dari pada
cukup." Siauw Eng yang tadinya merasa ragu-ragu dan tidak mau menyerang hwesio yang
kelihatan baik dan halus tutur sapanya ini, akan tetapi ketika ia mendengar
ucapan terakhir dari hwesio itu, timbul pula marahnya dan timbul pula
kesombongannya. Bagaimana hwesio ini berani menyatakan bahwa kepandaiannya masih
belum mencukupi " "Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani berkedok jubah hwesio
memimpin kejahatan !" teriaknya dan tanpa pikir panjang lagi ia lalu menikam ke
arah ulu hati hwesio itu dengan gerak tipu Pek Tiauw Pok Cui atau Rajawali Putih
Sambar Air, sebuah tipu serangan dari ilmu pedangnya Pek Tiauw Kiamhwat.
"Hm, ganas dan sombong !" Sian Kong Hosiang yang bukan lain ialah Un Kong Sian
sendiri itu mengelak cepat dan dengan ujung lengan bajunya ia mengebut cepat ke
arah pergelangan tangan Siauw Eng. Akan tetapi, gadis itu telah memiliki ilmu
silat cukup tinggi, maka biarpun kebutan ini cepat dan kuat, namun ia dapat
menarik kembali tangannya hingga terhindar daripada kebutan. Siauw Eng dengan
penasaran terus menyerang bertubi-tubi dan Sian Kong Hosiang hanya mengelak saja
sambil tersenyum sabar. "Sute, mengapa kau mengalah saja " Robohkan perempuan kejam dan jahat ini !"
kata hwesio muka hitam dengan suara marah. Akan tetapi Sian Kong Hosiang hanya
tersenyum saja. "Sabar, Lokai, anak ini masih belum tahu apa-apa !" Dan dengan cepatnya ujung
lengan bajunya menangkis pedang Siauw Eng hingga gadis itu merasa telapak
tangannya tergetar. Dengan nekad ia menyerang terus akan tetapi ia seakan-akan
menghadapi bayangannya sendiri, sama sekali tak mampu melukai atau
menjatuhkannya. Ternyata ilmu kepandaian hwesio yang halus tutur sapanya itu masih lebih tinggi
dari pada kepandaiannya sendiri. Siauw Eng mulai menjadi gugup setelah menyerang
selama lima puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak, dan pada suatu saat
ketika ia menyerang dengan ganas ke arah lambung hwesio itu, tahu-tahu ujung
lengan baju Sian Kong Hosiang yang panjang itu telah membelit pedangnya dan
sekali betot saja pedangnya telah kena rampas.
Siauw Eng berdiri bingung dan malu, akan tetapi Sian Kong Hosiang lalu
melemparkan pedang itu dengan gagangnya lebih dulu ke arah Siauw Eng. "Terimalah
kembali pedangmu dan kau pulanglah, nona !" kata hwesio itu. Suaranya tetap
halus dan sabar dan sedikitpun tidak mengandung ejekan hingga Siauw Eng merasa
malu dan menyesal. Tanpa mengeluarkan kata-kata sesuatu ia lalu melompat pergi
dari genteng kuil dan lari secepatnya menuju ke kota.
Akan tetapi baru saja ia melompat turun dari genteng, sesosok bayangan putih
telah menghampirinya dari depan dan menegur, "Kau pulang dari manakah ?"
Siauw Eng terkejut dan berhenti. Ternyata bahwa orang itu adalah Cin Pau yang
juga pergi dengan maksud menyelidiki keadaan kuil Thian Lok Si.
Koleksi Kang Zusi "Kau Cin Pau ?" kata Siauw Eng dengan heran.
Berdebarlah hati Cin Pau karena gadis ini memanggil namamya seakan-akan mereka
telah lama menjadi kenalan baik. Maka iapun melenyapkan rasa sungkan dan malu,
lalu menjawab, "Siauw Eng, tak kusangka kau berada pulka di sini. Aku bermaksud menyelidiki
kuil Thian Lok SI." "Jangan !" Dia berbahaya dan lihai sekali !" jawab nona itu.
"Siapa dia ?" tanya Cin Pau heran.
"Ketahuilah, baru saja akupun pergi menyelidiki kuil Thian Lok Si dan bertemu
dengan seorang hwesio jahat seperti setan. Akan tetapi dia ini belum dapat
dikatakan tinggi ilmu silatnya karena mungkin kau atau aku dapat menghadapinya,
akan tetapi ketuanya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya. Mungkin
guru-guruku baru setanding untuk menghadapinya."
Dengan singkat Siauw Eng menceritakan pengalamannya dan diam-diam Cin Pau
terkejut juga, karena kalau hwesio itu dapat menghadapi Siauw Eng dengan tangan
kosong selama lima puluh jurus bahkan telah merampas dan mengembalikan pedang
gadis ini, tentu ia memiliki kepandaian yang tak boleh dibuat gegabah.
Keduanya lalu mencari kuda Siauw Eng dan segera kembali ke kota raja. Di
sepanjang jalan mereka bercakap-cakap seakan-akan mereka telah menjadi kenalan
baik dan melihat sikap Siauw Eng yang sama sekali tidak malu-malu itu, diam-diam
Cin Pau mempunyai anggapan lain. Kalau dulunya ia menganggap Siauw Eng sombong
dan galak, sekarang dianggapnya gadis itu jujur dan sopan, bahkan menarik hati
sekali. Bagian 14. Penyerangan ke Kuil Thian Lok Si
Setelah Siauw Eng pergi, Sian Kon Hosiang menghela napas dan berkata kepada
hwesio muka hitam itu, "Lokoai, sungguh jahat sekali perwira she Can itu. Ia
telah menghasut semua orang gagah untuk memusuhi kita."
Dengan muka bersungut-sungut si muka hitam itu berkata, "Salahmu sendiri, sute.
Telah berkali-kali kukatakan bahwa manusia jahat seperti Can Kok itu harus
dilenyapkan dari muka bumi agar jangan membuat kekacauan lagi, akan tetapi kau
selalu melarang. Dia menaruh dendam semenjak kukalahkan dulu ketika ia
mengejarmu dan karena ia agaknya tahu pula bahwa kau adalah pemuda yang dulu
dikejar-kejarnya, maka tentu saja ia takkan berhenti sebelum menghancurkan kita
sebagai pembalasan dendam. Kalau kau suka, malam ini juga aku dapat pergi ke
rumahnya dan menghabiskan nyawanya yang kotor itu."
Sian Kong Hosiang menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, "Bukan
demikianlah jalan keluar yang harus diambil oleh orang-orang yang membersihkan
batin seperti kita, Lokoai !"
"Ah, kau lebih sabar dan sulit dari pada Pek Seng Suhu !" Sambil bersungut-


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungut akan tetapi tidak berani membantah, si muka hitam lalu mengiringkan
sutenya itu melompat turun dari atas genteng.
"Besok kalau mereka datang menyerang, apakah kau juga tidak hendak melawan ?"
"Bagaimana besok sajalah. Kita hanya membela diri dan baru turun tangan apabila
mereka mengganggu," jawab Sian Kong Hosiang dengan sabar akan tetapi tetap.
Hwesio muka hitam yang disebut Lokoai ini memang adalah hwesio yang dulu
mengalahkan Can Kok. Dia mempunyai riwayat hidup yang cukup menarik. Sebelum ia menggunduli kepalanya
dan masuk menjadi hwesio, namanya adalah Li Song Ek dan ia terkenal sebagai
seorang perampok yang kejam dan ganas serta memiliki ilmu silat tinggi.
Pada suatu hari, di dalam hutan yang menjadi daerah operasinya, kebetulan sekali
lewat Bu Eng Cu Tiauw It Lojin. Li Song Ek tidak kenal kepada orang tua ini dan
turun tangan merampoknya, akan tetapi ia ternyata telah menemui batu. Dengan
mudah saja Bu Eng Cu telah menjatuhkannya. Kepala Koleksi Kang Zusi
perampok yang bermuka hitam dan yang amat menyombongkan kepandaian sendiri ini
tentu saja merasa penasaran sekali mengapa seorang kakek dengan tangan kosong
mudah saja menjatuhkannya dalam dua tiga jurus. Berkali-kali, ia bangun dan
menyerang lagi, akan tetapi kesudahannya hebat. Tiap kali ia menyerang selalu ia
terjungkal. Akhirnya dia menyerah dan berlutut di depan Bu Eng Cu Tiauw It
Lojin, mohon menjadi muridnya.
Bu Eng Cu Tiauw It Lojin kasihan melihat orang kasar yang telah menjalani cara
hidup sesat ini. Ia melihat bahwa orang ini pada hakekatnya jujur dan tidak
jahat, bahkan memiliki bakat cukup baik dalam ilmu silat. Maka ia lalu
mengajukan syarat bahwa apabila Li Song Ek mau bertobat dan suka menjadi hwesio,
ia mau mengampuninya dan memberi pelajaran silat. Karena hatinya telah tetap dan
bulat hendak menebus dosa, pada saat itu juga Li Song Ek membubarkan semua anak
buahnya dan dengan pedang lalu mencukur rambutnya hingga gundul plontos.
Kemudian ia ikut Bu Eng Cu merantau sambil menerima latihan ilmu silat dari
kakek sakti itu. Bu Eng Cu tidak hanya memberi latihan ilmu silat, akan tetapi juga ilmu batin
untuk membersihkan batin bekas kepala perampok itu. Benar saja, Li Song Ek
menjadi sadar dari pada segala dosa yang pernah diperbuatnya, maka setelah ia
diperkenankan melakukan perjalanan merantau seorang diri, ia lalu mempergunakan
ilmu kepandaiannya untuk menolong orang. Oleh karena mukanya buruk dan hitam
sedangkan tubuhnya agak bongkok, maka orang-orang memberi julukan kepadanya Sin-
jiu Lokoai atau Setan Tua Tangan Sakti. Ia suka sekali dengan julukan ini hingga
selanjutnya ia memperkenalkan diri dengan nama baru ini dan namanya sendiri
telah dilupakan. Biarpun perangainya telah berubah, namun sifat kersa dan tak mau kalah di dalam
hatinya tetap belum lenyap. Setiap kali ia mendengar ada orang pandai, tentu ia
ingin mencoba kepandaian orang itu.
Pada suatu hari, ia tiba di kuil Thian Lok Si. Para hwesio menyambutnya dengan
ramah tamah dan baik, dan kepadanya lalu dihidangkan makanan dan masakan dari
sayur tanpa daging. Hal ini membuat Sin-jiu Lokoai merasa tak puas.
"Mana daging dan arak " Saudara-saudara harap jangan terlalu kikir, betapapun
juga aku adalah seorang tamu yang harus dihormati sepantasnya. Kalau saudara-
saudara datang ke tempatku, biarpun aku hanya mempunyai seekor ayam atau seekor
babi, tentu akan kupotong dan dagingnya kusuguhkan kepada saudara-saudara.
Adapun tentang arak wangi, kalau aku tidak punya uang, aku bisa berhutang kepada
warung arak." Para hwesio yang menyambutnya saling pandang dengan melongo. Selama hidup,
mereka belum pernah melihat hwesio yang seaneh ini.
"Saudara yang baik," kata seorang di antara mereka, "Kami di sini tidak memiliki
babi atau ayam." "Ha, ha, ha, jangan kau membohong, itu tak baik bagi seorang hwesio. Bukan
ayamkah yang berjalan di sana itu ?" Ia lalu menuding ke arah pekarangan depan
di mana memang terdapat dua ekor ayam gemuk sedang makan cacing.
"Itu bukan ayam kami, itu adalah ayam tetangga," kata hwesio tadi.
"Meminjam ayam tetangga untuk menghormati tamu apa salahnya " Besok kan dapat
diganti dengan uang !" Sambil berkata demikian, Lokoai lalu memungut batu kecil
dan sekali ia mengayunkan tangannya, seekor ayam roboh berkelonjotan dan mati
seketika itu juga. Ternyata bahwa batu kecil itu telah menyambar lehernya hingga
leher ayam itu hampir putus, seperti disembeli dengan pisau tajam saja. "Nah,
itu sudah ada daging ayam harap saudara jangan berlaku kikir dan suka memasakkan
daging ayam itu untuk saudaramu yang kelaparan ini !"
Kejadian ini membuat semua hwesio yang berada di situ menjadi tak senang dan
juga kuatir. "Saudara, bagaimana seorang suci berlaku seperti ini " Apakah kau
lupa bahwa Sang Buddha menyintai segala benda di dunia ini dan kita sekali-kali
tidak boleh mengganggunya hanya untuk kesenangan diri sendiri saja " Apalagi
membunuh nyawa ayam untuk dimakan dagingnya. Dan minum arak lagi. Bukankah arak
itu minuman yang bisa mengotorkan pikiran dan batin " Saudaraku yang baik,
bagaimana kau masih belum insaf dan sadar ?"
Tiba-tiba Lokoai tertawa tergelak-gelak. "Ha, ha, ha, ini semua memang masih
bodoh ! Kenapakah hwesio tidak boleh makan daging dan minum arak " Kita ini
bermulut, berperut, dan mempunyai rasa yang ingin menikmati kelezatan makanan.
Mengapa berpura-pura alim di luar akan tetapi di dalam hati Koleksi Kang Zusi
mengilar melihat dan mengenangkan makanan lezat " Aku tak dapat begitu, biarpun
kepalaku telah menjadi gundul. Kalau aku suka, aku makan saja, karena hal itu
baik bagi mulut dan perut. Kalian tidak suka, sudahlah, aku sendiri masih
sanggup untuk menghabiskan seekor ayam saja."
"Omitohud ..." tiba-tiba terdengar suara perlahan dan halus dan seorang hwesio
tua keluar dari dalam. Hwesio ini adalah Pek Seng Hwesio yang menjadi ketua dari Thian Lok Si. "Sungguh
picik dan sempit pandangan saudara ini, akan tetapi hal itu dapat dimaafkan
karena kau masih bodoh."
Lokoai ketika melihat seorang hwesio tua yang bersikap lemah lembut keluar dan
datang-datang menganggapnya picik dan sempit pandangan serta menyebutnya masih
bodoh, segera melompat berdiri dengan marah. "Kau ini siapa, datang-datang
berani memaki padaku " Aku Sin-jiu Lokoai tidak biasa menerima hinaan orang."
"Pantas, pantas ....." kata Pek Seng Hwesio, "jadi saudara yang bernama Sin-jiu
Lokoai " Pinceng adalah Pek Seng Hwesio, ketua dari kuil ini."
"Mengapa kau menyebutku picik dan bodoh ?" tanya Lokoai dengan marah sekali.
"Nah, nah ...... seorang hwesio yang masih bisa marah-marah seperti kau,
bukankah itu bodoh "
Memang nafsu itu berantai, satu timbul lalu membangkitkan yang lain ! Nafsumu
yang serakah akan makanan barang berjiwa itulah yang membangkitkan dan
membesarkan nafsu amarah yang kini berkobar di dadamu. Pelajaran sang Buddha
berdasarkan cinta kasih, cinta kasih yang suci murni terhadap segala benda di
dunia ini, dan pelajaran memutuskan diri dari belenggu karma yang yang
menimbulkan segala kesengsaraan dunia. Apakah nafsumu masih begitu tebal dan kau
masih begitu senang terbelenggu oleh rantai-rantai emas dari karma " Bagaimana
kau dapat mengendalikan nafsu-nafsumu apabila kau masih menuruti segala
keinginan makan enak dan minum arak ?"
"Pek Seng Hwesio," kata Lokoai dengan mata bersinar, "telah lama aku mendengar
tentang kelihaianmu, tidak tahunya kau hanya lihai dalam hal memutar lidah.
Ingin kulihat apakah kedua tanganmu juga selihai lidahmu !" Sambil berkata
demikian, setan tua itu lalu melompat maju, menerjang dengan sebuah pukulan
kilat ke arah dada Pek Seng Hwesio.
Akan tetapi hwesio tua itu tidak berkelit sama sekali, hanya mengangkat tangan
kirinya dan ketika pukulan tiba, ia menyambut pukulan itu dengan telapak
tangannya, dan sungguh aneh ! Menurut lazimnya, kalau dipukul sekeras-kerasnya,
orang itu tentu akan terpental ke belakang, akan tetapi kali ini sebaliknya.
Bukan Pek Seng Hwesio yang terpental, akan tetapi bahkan tubuh Sin-jiu Lokoai
yang mencelat ke belakang seakan-akan ia dilempar oleh tenaga raksasa. Ternyata
bahwa Pek Seng Hwesio telah menggunakan tenaga lweekang yang tinggi dan
dipusatkan di telapak tangannya hingga ketika kepalan tangan Lokoai tiba, ia
lalu mendorong si muka hitam itu sambil mengembalikan tenaga pukulan.
Sin-jiu Lokoai yang hanya merasa betapa telapak tangan Pek Seng Hwesio lunak
sekali dan tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang tanpa dapat di tahan lagi,
menjadi terheran-heran dan penasaran sekali. Setelah bangkit kembali, ia lalu
menubruk maju pula. Akan tetapi, kembali ia kena didorong roboh ke belakang.
Sampai tiga kali ia menyerang dan tiga kali pula ia terguling hingga akhirnya ia
insaf bahwa ilmu kepandaian Pek Seng Hwesio benar-benar sangat tinggi, maka
serta merta ia lalu menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Semenjak saat itu, Lokoai lalu tinggal di dalam kuil Thian Lok Si dan menjadi
murid Pek Seng Hwesio. Tentu saja ilmu silatnya maju pesat, juga batinnya menjadi lebih bersih serta
wataknya menjadi agak lunak, tidak sekeras dulu walaupun harus diakui bahwa
sifatnya yang berangasan dan kasar itu tidak mudah lenyap.
Ketika Can Kok dulu mengejar Un Kong Sian dan Lin Hwa, perwira ini roboh dengan
mudah ditangan Lokoai. Dan setelah Pek Seng Hwesio menerima Un Kong Sian sebagai
murid yang tersayang, Lokoai masih tetap berada di situ, bahkan ia merasa amat
sayang pula kepada Un Kong Sian yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi
darinya. Kemudian Pek Seng Hwesio melakukan perjalanan merantau ke barat dan menyerahkan
pimpinan kuil ke dalam tangan Un Kong Sian yang telah mengganti nama menjadi
Sian Kong Hosiang, dan Lokoai masih tetap berada di situ membantu sutenya.
Biarpun ia menjadi saudara tua dalam perguruan, namun Lokoai yang maklum bahwa
ilmu kepandaian Sian Kong Hosiang lebih tinggi darinya, lagi pula dalam segala
hal, hwesio muda ini lebih pintar dan lebih terpelajar, maka ia selalu menurut
dan tak pernah membantah.
Koleksi Kang Zusi Demikian pun, dalam menghadapi serangan Siauw Eng dan menghadapi kemungkinan
serbuan para perwira di bawah pimpinan Can Kok, Lokoai selalu menurut kehendak
dan keputusan Sian Kong Hosiang.
****** Ketika Siauw Eng dan Cin Pau tiba di rumah Gak Song Ki menjelang fajar, Gak Song
Ki dengan heran dan kuatir bertanya dari mana mereka datang. Siauw Eng terus
terang menuturkan pengalamannya di kuil Thian Lok Si hingga dengan mengerutkan
jidat Gak Song Ki menegur,
"Siauw Eng, lain kali kau janganlah suka berlaku lancang dan membawa kemauan
sendiri. Masih untung bahwa kau tidak mengalami bencana dalam perjalanan malam
tadi. Kalau sampai kau mendapat celaka dalam tangan hwesio jahat itu, apakah
bukan berarti kau membikin susah orang tuamu ?"
Siauw Eng menundukkan kepala saja dan menerima salah, karena memang ia telah
terlalu memandang ringan hwesio-hwesio di Thian Lok Si.
"Biarlah, kami berdua yang nanti akan membalaskan penasaran hatimu, Siauw Eng,"
kata Bok San Cu yang selalu memanjakan muridnya.
Kemudian Gak Song Ki, Bok San Cu, Cin San Cu dan Cin Pau lalu menuju ke rumah
Can Kok di mana telah berkumpul orang-orang gagah lainnya. Setelah itu, mereka beramai lalu berangkat ke kuil Thian Lok Si, diiringkan oleh
sepasukan tentara di bawah pimpinan Can Kok, sebanyak seratus orang.
Di sepanjang jalan, rakyat yang melihat pasukan tentara kerajaan ini menyingkir
ketakutan oleh karena mereka sudah sering mendengar bahwa semenjak terjadinya
pemberontakan petani, banyak penangkapan telah diadakan dan dilakukan oleh
tentara kerajaan dengan tuduhan bekas pemberontak.
Ketika pasukan itu tiba di depan kuil, semua orang yang sedang bersembahyang di
kuil itu pada lari dengan takut, meninggalkan kuil itu.
Sin-jiu Lokoai mengepalai para hwesio melakukan penjagaan dan Lokoai ini sendiri
maju menyambut para perwira dengan muka gagah dan tak gentar sedikitpun. Pada
saat itu, Sian Kong Hosiang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya hingga
yang bertugas mewakilinya dan memimpin para hwesio adalah si muka hitam. Hwesio
di Thian Lok Si berjumlah enampuluh tiga orang dan semuanya sedikit banyak
memiliki kepandaian ilmu silat hingga mereka telah bersiap sedia menghadapi
segala kemungkinan. Semua hwesio ini memang mempunyai perasaan tidak puas dan
tidak suka kepada kaisar, dan rata-rata mereka bersimpati kepada para petani
yang dulu memberontak karena mereka maklum bahwa kaisar dan kaki tangannya
hanyalah serombongan orang-orang yang menghisap rakyat jelata belaka.
Can Kok mencabut keluar surat perintah dari kaisar dan dengan suara nyaring lalu
berkata, "Atas nama Kaisar yang mulia, kuil Thian Lok Si harus ditutup dan semua
hwesio yang berada di sini harus menyerah untuk menjadi tawanan !"
Lokoai melangkah maju dan menuding dengan tangannya, "Can-ciangkun, kau dulu
membuat onar di sini dan pernah berusaha menghina dan membikin kotor tempat suci
ini, apakah sekarang kau hendak mengulang perbuatan rendah itu lagi ?"
"Hwesio jahat, jangan kau sombong. Beranikah kau membantah perintah kaisar ?"
tiba-tiba Pauw Su Kam melompat ke depan sambil menggerak-gerakkan kedua
tangannya hendak memukul.
"Siapa yang hendak membantah perintah " Akan tetapi, kami tidak mau begitu saja
menyerah menjadi tawanan sebelum dibuktikan kesalahan kami !"
"Kau telah memberontak, berlaku jahat dan menipu rakyat, masih hendak minta
bukti lagi ?" bentak Can Kok sambil mencabut pedangnya dan memberi tanda kepada
anak buahnya yang segera maju mengurung.
"Itu adalah fitnahan belaka, dan aku tahu fitnahan ini datang dari mulutmu yang
kotor dan jahat !" kata Lokoai dengan marah.
Koleksi Kang Zusi "Bangsat gundul !" Pauw Su Kam menubruk maju dan memukul dengan ilmu Ang se-
ciang ke arah dada Lokoai. Akan tetapi sambil tertawa menghina, Lokoai lalu
menangkis dengan dorongan dari samping hingga tubuh Pauw Su Kam terhuyung-
huyung. Dari gerakan ini saja dapat dibuktikan kelihaian setan tua bermuka hitam
itu. Dan gerakan pertama ini pula yang mencetuskan perang hebat di antara
hwesio-hwesio Thian Lok Si dan aparat tentara kerajaan.
Kedua pihak menerjang maju dan sebentar saja ramailah kuil itu dengan suara
senjata beradu dan orang-orang berteriak memaki serta kaki tangan bergerak
dengan maksud merobohkan lawan. Lokoai mengamuk bagaikan seekor naga hitam dan
setelah ia dikeroyok oleh Pauw Su Kam, Can Kok dan Kongsan Hengte, barulah empat
orang ini dapat menahan amukannya dan mereka bertempur dengan hebat sekali.
Lokoai mempergunakan sebuah tongkat besi yang diputar hebat dan mengandung
tenaga luar biasa besarnya hingga tiap kali senjata lawan bertemu dengan
tongkatnya, lawannya itu merasa betapa tangan mereka menjadi sakit. Akan tetapi,
oleh karena keempat pengeroyok inipun bukanlah lawan-lawan yang rendah ilmu
silatnya, maka Lokoai harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga
diri, terutama dari kedua saudara dari Kongsan itu yang memainkan poan-koan pit
dan joan-pian secara luar biasa sekali.
Seratus orang anggauta tentara kerajaan lalu menyerbu ke dalam, disambut oleh
enam puluh tiga orang hwesio dari Thian Lok Si hingga terjadilah perang yang
amat dahsyat. Biarpun jumlah para hwesio itu kalah banyak, namun berkat
perlawanan mereka yang penuh semangat dan ilmu silat mereka yang cukup baik,
maka keadaan menjadi seimbang dan boleh dibilang setiap orang hwesio menghadapi
dua orang pengeroyok. Ketika melihat betapa empat orang kawan mereka dapat menahan amukan Lokoai, maka
Gak Song Ki lalu lari ke dalam untuk melakukan penggeledahan, diikuti oleh Cin
San Cu, Bok San Cu, Kim-i Lokai, dan Cin Pau, sedangkan orang-orang gagah lain
lalu mengamuk membantu para tentara untuk membasmi hwesio-hwesio itu.
Kalau saja Cin Pau tidak ikut dengan Gak Song Ki menyerbu ke dalam, tentu ia
akan merasa heran sekali melihat betapa kadang-kadang Lokai mengeluarkan jurus-
jurus ilmu silat yang sama betul dengan ilmu silat yang ia pelajari dari suhunya
Tiauw It Lojin. Akan tetapi, oleh karena iapun ingin sekali melihat apa yang
berada di dalam kuil itu dan yang menjadi kejahatan kuil ini, maka ia ikut masuk
ke dalam. Pada saat itu, atas bantuan para orang gagah, pihak hwesio terdesak hebat dan
telah mulai jatuh korban-korban di pihak mereka. Can Kok lalu memberi aba-aba
dan beberapa orang anak buahnya yang telah mendapat tugas khusus lalu lari ke
belakang dan mulai menyalakan api membakar kuil Thian Lok Si bagian belakang.
Beberapa orang hwesio hendak menghalangi perbuatan kejam ini, akan tetapi mereka
ini roboh di bawah sabetan pedang para tentara kerajaan hingga makin banyaklah
kurban yang roboh mandi darah.
Pada saat Gak Song Ki dan kawan-kawannya berada di ruang tengah, tiba-tiba
terdengar suara halus, "Omitohud ! Alangkah kejam kalian ini. Terpaksa pinceng turun tangan !" Dan
berkelebatlah bayangan Sian Kong Hosiang dengan sebatang pedang di tangan.
Cin San Cu dan Bok San Cu, dibantu oleh Kim-i Lokai, lalu maju menyerang dan
mereka ini terkejut sekali menyaksikan kehebatan gerakan pedang hwesio ini.
Dengan mengeroyok tiga, masih saja mereka tak dapat mendesak Sian Kong Hosiang
yang memainkan pedangnya secara luar biasa cepatnya hingga sinar pedangnya
berubah menjadi sinar putih menyilau mata yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Gak Song Ki ikut pula mengeroyok, akan tetapi sekali saja pedangnya terbentur
oleh sinar pedang Sian Kong Hosiang, ia menjerit dan pedangnya terpental jauh,
terlepas dari tangannya. Ia lalu mengambil pedang itu lagi, akan tetapi berdiri
bengong saja tidak berani mengeroyok lagi.
Adapun Cin Pau, pada saat melihat wajah hwesio itu, hatinya berdebar dan ia


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri diam seperti patung. Di manakah ia pernah melihat wajah yang tampan dan
halus ini ?" Kemudian, ketika ia melihat gerakan pedang Sian Kong Hosiang, ia
makin terkejut. Itulah Kui Hwa Koan Kiam-hwat dari Beng Hong Tosu. Kalau begitu
hwesio ini tentu murid Beng Hong Tosu, dan ... wajah itu .... tiba-tiba ia
teringat dan hampir saja Cin Pau memekik karena girang dan heran, juga terkejut.
Kalau begitu, hwesio ini tentulah Un Kong Sian.
Koleksi Kang Zusi "Ong taihiap, lekas bantu mereka !" kata Gak Song Ki melihat betapa pemuda itu
masih berdiri saja dengan bengong. Cin Pau lalu mencabut pedangnya dan melompat
ke dalam kalangan pertempuran.
Ketika Sian Kong Hosiang melihat seorang pemuda baju putih melompat dengan
gerakan dari cabang persilatannya, ia menjadi sangat terkejut. Terlebih lagi
herannya ketika melihat bahwa pemuda itu memegang pedang Pek Kim Kiam, pedang
suhunya. "Kau siapa ?" bentaknya sambil memutar pedang menangkis desakan ketiga orang
lawannya. Akan tetapi, Cin Pau bahkan menjawab dengan sebuah pertanyaan pula. "Apakah suhu
ini murid Beng Hong Tosu ?"
"Dari mana kau curi pedang guruku itu ?" bentak Sian Kong Hosiang dan mendengar
suara ini, tidak ragu-ragu lagi hati Cin Pau karena inilah suara Un Kong Sian,
"ayahnya" yang dulu amat disayanginya itu.
"Apakah kau Un Kong Sian ?"" tanyanya lagi sambil menggunakan Pek Kim Kiam
menangkis tiga pasang senjata mereka yang mengeroyok Sian Kong Hosiang.
"Gilakah kau ?"" Bok San Cu berseru ketika melihat betapa Cin Pau menangkis
serangannya terhadap hwesio itu.
"Siapa .... siapa kau yang tahu namaku ....." Hwesio itu memandang dengan mata
terbelalak. "Ayah ..." Tiba-tiba Cin Pau berseru keras sekali dan melompat ke arah hwesio
itu, lalu berdiri di dekatnya menghadapi ketiga orang pengeroyoknya.
"Cin Pau ... kau ... ?"?" suara Sian Kong Hosiang mengandung sedu tertahan
karena terharunya, akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk berkata banyak-
banyak, karena Kim-i Lokai , Cin San Cu dan Bok san Cu mendesak hebat dengan
marah sekali. "Jangan kuatir, ayah, mari kita bereskan ketiga orang penjilat kaisar ini !"
kata Cin Pau dengan gagah dan sambil tersenyum ia lalu memainkan pedangnya
dengan ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hwat secara cepat sekali hingga Sian Kong
Hosiang yang melihat ini menjadi heran dan kagum. Timbul kegembiraan di hati
hwesio ini. Sambil memperdengarkan suara ketawanya yang sudah bertahun-tahun tak
pernah keluar dari mulutnya, ia berkata,
"Cin Pau ... benar ... kau Cin Pau ... !" Lalu ia mainkan pedangnya demikian
hebatnya hingga kedua orang tua dan muda ini dengan cepat membuat Kim-i Lokai,
Cin San Cu dan Bok San Cu menjadi terkejut dan terpaksa melompat mundur karena
tidak kuat menghadapi dua batang pedang yang dimainkan sedemikian cepat dan
gesitnya. Sedangkan Gak Song Ki yang melihat dan mendengar pernyataan Cin Pau
itu, berdiri bengong dan terheran-heran. "Siapakah pemuda ini ?" Pikirnya sambil
menduga-duga. Pada saat itu, dari luar menyerbu masuk Kongsan Hengte, Pauw Su Kam, dan Can
Kok. Mereka ini segera maju mengurung Sian Kong Hosiang dan Cin Pau hingga kedua
orang ini terpaksa berlaku hati-hati dan mengeluarkan kepandaian karena
pengeroyoknya yang berjumlah tujuh orang ini terdiri dari orang-orang yang
berilmu tinggi. Apalagi Kim-i Lokai, dan kedua orang tokoh dari Gobi-san, mereka
ini merupakan lawan-lawan berat yang sukar dirobohkan.
"Cin Pau, mari kita pergi, jangan melayani orang-orang sesat ini !" Sian Kong
Hosiang berkata dan biarpun pada saat itu Cin Pau ingin mengamuk dan membasmi
musuh-musuh yang mencelakakan ayah angkatnya ini akan tetapi suara Sian Kong
Hosiang yang berpengaruh dan halus itu tak kuasa ia membantahnya. Akan tetapi,
ketujuh orang pengeroyoknya tidak mau melepaskan mereka begitu saja.
"Pemberontak-pemberontak rendah ! Kalian hendak lari ke mana ?" seru Pauw Su Kam
dengan garang dan ia maju sambil memainkan pedangnya. Orang ini timbul
kegalakkan dan keberaniannya oleh karena melihat bahwa ia maju mengurung dengan
enam orang lainnya yang tinggi ilmu kepandaiannya, maka ia pikir bahwa bertujuh
ia takkan takut dikalahkan.
Tidak tahunya Cin Pau amat sebal melihat lagaknya ini dan sambil berseru keras,
sebuah tendangan pemuda itu tak dapat dielakkan lagi mampir di dadanya hingga
sambil menjerit keras orang she Pauw Koleksi Kang Zusi
ini roboh bergulingan dan tak dapat bangun lagi. Ternyata ujung kaki Cin Pau
telah berhasil mematahkan sebuah tulang iganya hingga walaupun hal itu tidak
membahayakan jiwanya, namun terpaksa akan membuat ia tak dapat meninggalkan
pembaringan sedikitnya sebulan.
"Mari, ayah !" Cin Pau mengajak dan kedua orang ini sambil memutar pedangnya
lalu melompat keluar dari kuil Thian Lok Si.
Ketika tiba di luar, alangkah terkejut dan sedih hati Sian Kong Hosiang melihat
betapa kuilnya yang besar dan megah telah mulai terbakar sedangkan di halaman
depan sedikitnya tiga puluh orang hwesio telah rebah mandi darah, terluka berat
atau tewas. Sisanya masih melakukan perlawanan dengan nekat dan penuh semangat
hingga korban yang roboh di pihak penyerbu juga tidak kalah banyaknya.
"Omitohud !" Sian Kong Hosiang mengeluh dan ketika beberapa orang tentara
mencoba untuk datang menghalangi mereka, ia menyampok dengan ujung lengan baju
kirinya hingga tiga orang penyerbu itu bagaikan kena disapu angin puyuh,
berguling-guling di atas lantai saling tubruk dengan kawan sendiri, yang lain-
lain tidak berani maju lagi. Dan pada saat itu, Sian Kong Hosiang melihat tubuh
Sin-jiu Lokoai yang menggeletak dengan tubuh penuh luka dan telah tewas.
"Lokoai .... !" teriaknya dan cepat sekali Sian Kong Hosiang lalu menyambar
jenazah suhengnya ini. Kemudian dengan suara keras ia berteriak,
"Saudaraku sekalian ! Lari tinggalkan tempat ini, jangan menambah-nambah dosa
lagi dan habisi pertempuran kejam ini !" Sambil berkata demikian, Sian Kong
Hosiang lalu melompat jauh, diikuti oleh Cin Pau. Tubuh Lokoai masih terpondong
oleh hwesio itu. Sedangkan semua hwesio yang mendengar perintah Sian Kong Hosiang ini, lalu
melarikan diri secepatnya, meninggalkan tempat itu.
Sungguh mengerihkan sekali keadaan di luar dan di halaman depan kuil Thian Lok
Si. Mayat manusia bertumpuk malang-melintang, sedangkan kuil itu sendiri mulai
dimakan api dengan hebatnya, yang bergulung-gulung ke atas mengeluarkan bunyi
berkerotokan karena bambu pecah. Para tentara yang masih berada di situ,
sebagian menolong dan merawat kawan-kawan yang terluka atau binasa, sebagian
pula berdiri bersorak-sorak menyoraki kuil yang dimakan api. Tidak kurang pula
di antaranya yang diam-diam mengumpulkan benda-benda berharga dari dalam kuil.
Orang-orang kampung semenjak tadi telah menyingkir jauh-jauh dan bersembunyi,
hampir tak berani bernapas.
Bagian 15. Putera-Puteri Pemberontak
Ternyata bahwa ketika menghadapi keempat pengeroyoknya yang perkasa itu,
akhirnya Sin-jiu Lokai Li Song Ek tidak kuat melawan lebih lama lagi, lebih-
lebih ketika di antara orang-orang gagah yang tadi membantu tentara lalu maju
mengeroyoknya pula. Akhirnya, setelah menjatuhkan beberapa orang, ia lalu
menjadi kurban keroyokan banyak senjata dan roboh dengan tubuh penuh luka.
Can Kok merasa gembira sekali karena dapat membalas dendam, biarpun ia masih
merasa penasaran dan tidak puas melihat betapa Un Kong Sian masih dapat
melarikan diri. Yang membuat mereka penasaran dan heran adalah Cin Pau, pemuda
baju putih yang tadinya diharapkan untuk membantu itu ternyata bahkan membantu
Sian Kong Hosiang. Hanya Gak Song Ki sendiri yang diam-diam merasa menyesal dengan terjadinya
pembakaran kuil ini dan ia merasa kasihan kepada Sian Kong Hosiang, karena dari
sikap hwesio itu ia merasa ragu-ragu untuk percaya bahwa hwesio itu adalah
seorang jahat. Dan yang membuat ia termenung bagaikan menghadapi teka teki
adalah ketika mendengar betapa Cin Pau menyebut "ayah" kepada hwesio itu. Ia
mendengar dari Can Kok bahwa Sian Kong Hosiang adalah Un Kong Sian, sute dari
kedua pemberontak Khu Tiong dan Ma Gi, akan tetapi sepanjang pengetahuannya, Un
Kong Sian tidak punya anak bahkan telah bercerai dari isterinya, mengapa
sekarang orang she Un itu tahu-tahu telah mempunyai seorang putera yang demikian
lihainya " Koleksi Kang Zusi Can Kok memang telah dapat mengetahui rahasia Un Kong Sian, yakni dengan jalan
"membeli" seorang hwesio dari kuil Thian Lok Si dan juga ia telah mencari keterangan pada
janda Un Kong Sian, yakni Bi Nio yang sudah diceraikan dan yang telah kembali ke
rumah orang tuanya. Dengan hati girang karena merasa berhasil dalam usahanya membasmi kuil Thian Lok
Si, Can Kok dan kawan-kawannya lalu kembali ke kota raja untuk membuat laporan
kepada kaisar. Peristiwa pembakaran kuil Thian Lok Si itu takkan dapat dilupakan oleh penduduk
di sekeliling daerah itu, yang dianggapnya perbuatan biadab yang amat kejam.
Setelah para tentara itu pergi sambil membawa kurban-kurban dari pihak mereka,
barulah para penduduk berani keluar. Akan tetapi mereka tidak berani mencoba
untuk memadamkan api yang mengamuk dan membakar kuil, hanya mereka lalu
bergotong royong menolong para hwesio yang terluka serta menguburkan mereka yang
telah tewas. Sedangkan sisa para hwesio yang terluput dari pada kebinasaan, melarikan diri
cerai berai mencari tempat perlindungan sendiri-sendiri. Mereka ini hanya dapat
menyesali nasib dan termenung memikirkan dosa apakah yang telah mereka perbuat
pada penjelmaan di waktu dahulu hingga kini mereka mengalami bencana sebesar
itu. ****** Sian Kong Hosiang mengajak Cin pau melarikan diri ke dalam sebuah hutan di luar
kota Tiang-an, dan setelah mereka berhenti berlari dan berdiri di bawah pohon,
Sian Kong Hosiang lalu memeluk Cin Pau dan berkata,
"Anak muda, betulkah kau Cin Pau putera Lin Hwa ?"
"Cin Pau menjatuhkan diri berlutut dan menjawab, "Betul ayah, telah beberapa
hari aku mencarimu di Tiang-an hingga terbujuk oleh Can-ciangkun untuk membantu
menyerbu kuil Thian Lok Si yang katanya menjadi sarang penjahat." Dengan singkat
Cin Pau lalu menuturkan pengalamannya hingga berulang-ulang Sian Kong Hosiang
menghela napas panjang. "Memang Can Kok berhati jahat dan menaruh dendam besar, padahal kuil Thian Lok
Si tidak pernah bersalah kepadanya." Kemudian ia menuturkan kepada Cin Pau
tentang pengalamannya dulu ketika melarikan diri dengan ibu pemuda itu dan
bersembunyi di kuil Thian Lok Si dan betapa Can Kok mendapat hajaran dari Lokoai
yang sekarang telah menjadi mayat itu. Kemudian mereka berdua lalu menggali
lubang di dalam hutan itu dan menguburkan jenazah Lokoai yang malang itu.
Setelah penguburan itu selesai, Cin Pau lalu menyatakan bahwa maksudnya mencari
Sian Kong Hosiang ialah untuk menanyakan di mana adanya kuburan ayahnya dan Ma
Gi yang tewas karena keroyokan para perwira.
"Eh, jadi kau telah diberitahu oleh ibumu bahwa aku bukan ayahmu sejati ?" kata
Sian Kong Hosiang. "Kalau begitu, mengapa kau masih menyebut ayah kepadaku ?"
"Aku lebih suka menyebut ayah kepadamu, karena kau seorang yang mulia dan
menurut ibuku, budimu tak kurang besarnya dari pada seorang ayah sejati."
Sian Kong Hosiang menghela napas dengan terharu, karena tak disangkanya bahwa
pertolongan yang dulu ia berikan kepada Lin Hwa masih terus diingat dan disimpan
dalam hati janda yang malang itu.
"Kuburan ayahmu dan Ma suheng berada di dalam hutan ketiga dari tempat ini, dan
aku seringkali mengunjunginya. Jenazah kedua suhengku itu dikubur oleh dua orang
pengembala yang baik hati, akan tetapi aku tidak membuka rahasia mereka karena
kuatir kalau sampai diketahui orang tentang kedua makam itu, tentu akan
diganggu. Sampai sekarang seorang di antara kedua pengembala itu masih belum
tahu jenazah siapa yang mereka kubur dan pengembala ini masih berada di sekitar
tempat itu." Pada keesokkan harinya, setelah bermalam di dalam hutan untuk bersembunyi karena
kuatir kalau-kalau para perwira masih mengejar dan mencari mereka, mereka lalu
pergi ke dalam hutan di mana terdapat makam Khu Tiong dan Ma Gi.
Koleksi Kang Zusi Cin Pau lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kuburan itu dan menangis
keras dengan sedihnya. Karena Sian Kong Hosiang sendiri tidak tahu yang mana
makam Khu Tiong dan yang mana Ma Gi, maka Cin Pau lalu menangisi kedua kuburan
itu dengan sedih, "Ayah, kepada siapakah aku harus membalas dendam ini " Kakekku terbunuh
sekeluarganya, ayah binasa dikeroyok, ibu hidup menderita, semua ini karena
perbuatan perwira-perwira itu. Yang manakah yang harus ku balas " Apakah aku
harus membasmi setiap orang perwira kerajaaan " Katakanlah, ayah, hatiku
bingung, pikiranku gelap, agaknya aku takkan merasa puas sebelum membalas dendam
ini !" Sian Kong Hosiang termenung, "Cin Pau, jangan menurutkan hati panas dan nafsu
menggelora. Kau tentu telah mendengar riwayat kakek dan ayahmu dari ibumu.
Kakekmu dan kakek keluarga Ma dua orang sastrawan besar itu telah menulis kitab
yang menggerakkan hati rakyat hingga tercetuslah pemberontakan kaum petani.
Mereka berdua itu dikhianati oleh Pangeran Gu Mo Tek dan ayahmu serta pamanmu Ma
Gi telah bertindak melakukan pembalasan dendam dengan membunuh pangeran Gu Mo
Tek yang berhati palsu itu, bahkan telah membunuh pula dua orang putera pangeran
itu. Siapa lagi yang menaruh dendam dan siapa lagi yang harus balas-membalas"
Anakku, janganlah kita dibawa hanyut oleh karma yang selalu mencari kurban. Coba
saja kau bayangkan, kalau saja balas membalas ini tidak diakhiri, tentu akan
berlarut-larut terus, bahkan keturunanmu sendiri kelak akan tersangkut dan
terbawa-bawa. Dan apakah gunanya semua itu " Lihatlah, pembakaran kuil Thian Lok
Si agaknyapun menjadi sebuah akibat dari pada peristiwa keluarga Khu dan Ma itu,
dan kalau seandainya sekarang semua hwesio membalas dendam kepada semua
penyerbu, kemudian keturunan semua penyerbu itu membalas pula, bukankah hal
balas membalas ini takkan ada akhirnya ?"
Cin Pau tak dapat berkata apa-apa lagi, hanya menubruk ayah angkatnya sambil
menangis. Kemudia ia berlutut lagi di depan kedua makam itu sambil mendekam tak
bergerak. Sian Kong Hosiang mendiamkan saja karena pada saat seperti itu, lebih
baik Cin Pau menghabiskan rasa dukanya dan tak perlu diganggu agar rasa
penasaran dan kebencian serta dendam yang mulai bertumbuh dihati anak muda ini,
akan lenyap dengan sendirinya.
Akan tetapi, tanpa disangka-sangka, pada saat itu terdengar suara kaki kuda
mendatangi. Cin Pau seakan-akan tidak mendengar suara ini, akan tetapi Sian Kong
Hosiang telah berdiri dan berlaku waspada, karena disangkanya bahwa yang datang
itu tentulah rombongan perwira yang mengejar dan mencari mereka.
Akan tetapi ketika penunggang-penunggang kuda itu muncul dari satu tikungan,
ternyata bahwa mereka itu adalah tiga orang penunggang kuda yang masih muda-
muda, seorang pemuda dan dua orang gadis cantik yang sama sekali tidak dikenal
oleh hwesio ini. "Cin Pau ! Mengapa kau menangis di sini ?" tiba-tiba seorang di antara kedua
orang gadis itu, yang berpakaian merah dan berwajah cantik jelita sekali, turun
dari kudanya dan berlari menghampiri Cin Pau yang masih berlutut.
Mendengar suara ini, Cin Pau cepat melompat bangun dengan muka merah dan mata
bernyala-nyala. "Kau ... " Apakah kau datang hendak melanjutkan kekejaman ayahmu, kekejaman
segala perwira " Apakah kau hendak menawan dan membunuhku " Boleh, boleh ! Kalian bertiga, putera
puteri perwira yang kaya raya dan gagah, majulah dan mari kita mengadu jiwa di
depan makam orang tuaku !" sambil berkata demikian Cin Pau mencabut pedangnya
Pek Kin Kiam dan melintangkan pedang itu di dadanya.
Siauw Eng memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat.
"Cin Pau ..... apakah kau sudah menjadi gila ?" tanyanya sambil memandang muka
pemuda yang telah banyak berobah semenjak kemarin itu. Wajah ini sekarang nampak
kusut dan mengandung kedukaan besar. "Aku masih terheran-heran mendengar cerita
ayah bahwa kau telah membantu penjahat di kuil Thian Lok Si. Aku tidak sengaja
mencarimu, dan mengajak kedua saudara Gu ini untuk melihat dua makam yang pernah
kulihat ini dan yang menimbulkan keheranan di dalam hatiku. Mengapa kau bersikap
begini, Cin Pau " Kau ... kau anak siapakah dan kuburan siapakah ini ?"
Sian Kong Hosiang hendak mencegah, akan tetapi Cin Pau yang sudah marah dan
gelap pikirannya itu lalu berkata dengan suara gagah, "Inilah kuburan ayahku dan
pamanku, kuburan orang-orang gagah Khu Tiong dan Ma Gi. Akulah putera Khu Tiong
yang telah terbunuh mati oleh para perwira biadab, mungkin ayahmu Gak Song Ki
itupun ikut pula bercampur tangan dan membunuh ayahku. Sekarang Koleksi Kang
Zusi mereka membasmi kuil Thian Lok Si menghina ayah angkatku ini, dan kau datang
hendak ..... mengadu jiwa dengan aku ?"
Makin pucatlah wajah Siauw Eng, sedangkan Hwee Lian mengeluarkan seruan tertahan
dan wajahnya juga pucat sekali. Sebaliknya Gu Liong ketika mendengar bahwa


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda baju putih ini adalah putera Khu Tiong, musuh besar yang telah membunuh
ayahnya itu, menjadi marah sekali dan memandang penuh kebencian.
Sementara itu, Sian Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras dan dari kedua mata
hwesio ini mengalirlah air mata. Ia memandang kepada Siauw Eng dengan mata
terbelalak dan mulut celangap, kemudian ia melangkah maju mendekati gadis itu
dan sambil menuding ia berkata gagap,
"Kau ..... kau ...... mukamu sama benar dengan Souw Kwei Lan ..... katakanlah,
apakah kau anak Souw Kwei Lan .... " Apakah Gak Song Ki ayah tirimu .... ?"
Wajah Sian Kong Hosiang menjadi pucat sekali hingga tidak hanya ketiga orang
muda itu yang kaget, akan tetapi bahkan Cin Pau juga terkejut sekali dan heran.
Sebaliknya, Siauw Eng tak terasa lagi mundur dua tindak menghadapi pertanyaan
hwesio ini. Ketika ia memandang, teringatlah ia bahwa hwesio ini adalah kepala
hwesio di kuil Thian Lok Si, maka ia makin terkejut sekali.
Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan bibir gemetar. "Be ..... benar, ibuku
adalah Souw Kwei Lan ! Akan tetapi ..... omongan apakah yang kau ucapkan tentang ayah tiri " Gak Song
Ki adalah ayahku, ayah sejati."
"Omitohud ...... Nasib ...... kau kejam, kau telah mempermainkan anak-anak
ini ..... Nona, ketika malam kemarin kau datang menyerbu, persamaanmu dengan
wajah Kwei Lan telah berkesan di dalam hatiku.
Kau .... kau ...." hwesio itu memandang ke arah dua makam itu dengan wajah
pucat, "kau adalah puteri tunggal dari suhengku Ma Gi. Seorang di antara dua
orang yang kini terkubur di dalam tanah ini adalah ayahmu sejati. Kau adalah
anak Ma Gi !" "Gila !" Siauw Eng cepat bagaikan kilat mencabut pedangnya dan menusuk ke arah
dada Sian Kong Hosiang. Ia merasa begitu terhina hingga ia lupa diri dan
menyerang. Akan tetapi, Cin Pau cepat menggunakan pedangnya menangkis tusukan
ini, karena kalau ia tidak cepat-cepat menangkis tentu pedang Siauw Eng telah
bersarang ke dalam dada Sian Kong Hosiang yang di dalam keharuannya yang besar
tak berdaya untuk menggerakkan tubuh dan bagaikan buta menghadapi tusukan itu.
"Siauw Eng ! Jangan kau mengganggu ayahku !"
"Apa .... " Ayahmu lagi ..... ?"
"Ayahku yang sejati adalah yang berada di dalam kuburan ini bersama .....
bersama .... ayahmu. Dan dia ini adalah ayah angkatku."
"Kau gila ! Dia inipun gila ! Kalian semua orang-orang gila !! Aku .....aku
adalah anak Gak Song Ki ...
aku ... aku bukan anak pemberontak !" Dengan wajahnya yang pucat, Siauw Eng
mulai menangis. "Tenang dan sabarlah, nona. Bukan dengan sengaja pinceng melukai hatimu dan
rahasia ini tidak sengaja terbuka di sini. Memang sudah menjadi kehendak Thian
agaknya. Kau pulanglah dan tanyakanlah hal ini kepada ibumu. Betapun juga, dia
tentu akan menceritakan kepadamu sejelasnya."
"Tidak ...... tidak ....." kata Siauw Eng sambil menggeleng-gelengkan kepala dan
memandang kepada Sian Kong Hosiang, tidak ..... kau bohong ! Katakanlah bahwa
kau membohong, kau menipuku .....
katakanlah bahwa hal ini tidak benar ........"
"Kau memang anak Ma suheng, tak bisa salah lagi," kata Sian Kong Hosiang dengan
suara tetap. Dengan isak tertahan Siauw eng lalu lari ke arah kudanya, melompat cepat dan
membedal kuda itu bagaikan gila. Sementara itu, Hwee Lian dan Gu Liong untuk
beberapa lama tidak dapat berkata sesuatu. Berita ini terlampau mengejutkan hati
mereka. Kenyataan bahwa mereka telah mendapatkan makam dari kedua musuh besar
keluarga mereka tak berarti penting lagi, bahkan kenyataan bahwa Cin Pau pemuda
baju putih itu adalah putera pemberontak Khu Tiong juga tidak sangat penting.
Akan tetapi Koleksi Kang Zusi
berita bahwa Siauw Eng adalah puteri Ma Gi, sungguh-sungguh merupakan berita
mengejutkan dan hebat. Sungguh sebuah hal yang sama sekali tak pernah
dilupakannya, tak pernah diduga-duga.
Gu Liong lalu majukan kudanya dengan pedang terangkat, siap menggempur Cin Pau,
akan tetapi Hwee Lian berseru, "Suheng, jangan !" Dan ketika Gu Liong menahan
kudanya memandang, ternyata bahwa Hwee Lian telah mengucurkan air mata sambil
menatap wajah Cin Pau. "Kau ... kau musuh besar keluargaku," katanya setengah berbisik akan tetapi
cukup terdengar oleh Cin Pau yang menjadi bingung. Sebelum ia sempat bertanya,
kedua saudara itu telah membalapkan kuda mereka meninggalkan tempat itu.
Cin Pau berdiri termangu-mangu dengan hati tidak karuan. Kenyataan atau dugaan
bahwa Siauw Eng adalah puteri tunggal Ma Gi, jadi seorang yang bernasib sama
dengan dia sendiri, kecuali bahwa ibu gadis itu telah kawin lagi dengan seorang
perwira sedangkan ibunya sendiri mengasingkan diri di puncak Kunlun-san, membuat
perasaaan dan pikirannya terhadap Siauw Eng berubah sama sekali.
Tadinya, semenjak pertemuannya dengan Un Kong Sian yang kini telah menjadi Sian
Kong Hosiang, ia merasa benci kepada Gak Song Ki dan otomatis ia pun menaruh
hati tak senang kepada Siauw Eng yang dianggapnya sebagai puteri seorang perwira
berarti menjadi musuhnya pula. Akan tetapi sekarang ia merasa iba, suka,
dan ....... girang bahwa Siauw Eng bukan puteri perwira akan tetapi bahkan
puteri Ma Gi, sahabat baik dan saudara seperguruan ayahnya. Cucu Ma Eng,
sasterawan tua yang menjadi kawan baik kakeknya Khu Liok itu. Dengan demikian,
maka keturunan keluarga Khu dan Ma yang terakhir adalah dia dan Siauw Eng, atau
Khu Cin Pau dan Ma Siauw Eng.
"Cin Pau, tak salah lagi, nona tadi tentulah puteri Ma Gi. Adatnya keras dan
tabah seperti ayahnya. Sebagai keturunan terakhir dari keluarga Ma, dia harus kita bela. Kalau sampai
para perwira mengetahui bahwa dia anak Ma Gi, tentu dia akan mengalami bencana.
Kenalkah kau kepada dua orang saudara tadi ?"
"Mereka adalah Gu liong dan Gu Hwee Lian !"
"Apa ?" Sian Kong Hosiang membelalakkan matanya. "Tak heran mereka membencimu
setelah mengetahui bahwa kau putera Khu Tiong. Mereka itu adalah keturunan kedua
saudara Gu, putera pangeran Gu Mo Tek yang terbunuh oleh kedua suhengku !"
"Begitukah ?"" Cin Pau juga menjadi kaget sekali karena tak disangkanya bahwa di
depan kuburan ayahnya dan Ma Gi tadi telah berkumpul empat putera puteri dari ke
empat orang yang saling bermusuhan itu. Alangkah anehnya. Akan tetapi ia segera
ingat akan nasib Siauw Eng, maka segera ia berkata, "Ayah, kalau begitu, aku
hendak menyusul adik Siauw Eng !"
"Baik, kau pergilah dan kalau perlu, kau bela dia dan bawa ke sini !" kata Sian
Kong Hosiang. Cin Pau lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu sedangkan Sian
Kong Hosiang lalu menuju ke dusun Ma Cin Kiang untuk melihat bekas kuilnya dan
seberapa dapat mencari para hwesio yang melarikan diri.
****** Siauw Eng membalapkan kudanya secepat mungkin hingga kuda itu berlari cepat
bagaikan sedang berkejaran dengan angin. Disepanjang jalan, air mata Siauw Eng
mengucur deras sekali. Benarkah ia anak pemberontak, anak Ma Gi yang kabarnya
memberontak dan bahkan menjadi pembunuh ayah Gu Liong dan Gu Hwee Lian " Dia
anak orang yang selama ini menimbulkan jijik dan bencinya karena menurut semua
orang, kedua orang pemberontak itu telah membunuh pangeran Gu Mo Tek, kakek Gu
Liong dan Hwee Lian, dan yang menjadi orang buruan pemerintah "
Akan tetapi, mengapa ibunya menjadi isteri Gak Song Ki " Dan Gak Song Ki telah
dianggapnya seperti ayah sendiri, betapa tidak " Gak Song Ki demikian baik budi
dan mulia terhadapnya, begitu mencinta dan menyayang. Dan ayahnya ini dimaki-
maki oleh Cin Pau yang kalau benar-benar ia anak Ma Gi, adalah putera kawan baik
ayahnya itu. Ah, dia tidak percaya. Tak mungkin dia anak seorang pemberontak
rendah. Koleksi Kang Zusi Orang di kota Tiang-an terkejut sekali melihat Siauw Eng melarikan kudanya
hingga hampir saja menubruk beberapa orang yang sedang berjalan di jalan raya.
Mereka semua mengenal Siauw Eng , mengenal Gobi Ang Sianli yang gagah dan cantik
jelita, mengenal puteri perwira Gak Song Ki ini yang disohorkan menjadi kembang
kota Tiang-an. Bahkan kaisar sendiri telah mendengar namanya dan di dalam hati,
kaisar ini ingin sekali menyaksikan kecantikannya. Semua pangeran muda di kota
raja kenal padanya dan mengagumi tiada habisnya. Untung ia memiliki kepandaian
tinggi dan menjadi puteri Gak-ciangkun yang terkenal gagah dan disegani orang,
kalau tidak, tentu telah banyak datang orang dan pemuda menggodanya.
Ketika tiba di depan gedung orang tuanya, Siauw Eng melompat turun dari kudanya
dan membiarkan kuda yang terengah-engah dan penuh peluh tubuhnya itu begitu
saja, hingga seorang pelayan segera menghampiri untuk merawat kuda itu. Siauw
Eng berlari masuk ke dalam rumah dengan pipi masih basah air mata. Ia langsung
menuju ke kamar ibunya. Kwei Lan ketika itu sedang duduk di dalam kamar dan menyulam. Nyonya yang cantik
ini sudah agak tua dan karena ia hidup serba kecukupan dan cukup berbahagia,
melihat puterinya telah dewasa, berkepandaian tinggi dan cantik jelita, juga
suaminya amat mencintainya, maka hatinya menjadi tenteram dan beruntung hingga
ia menjadi agak gemuk. Kerjanya tiap hari hanya menyulam saja dengan hati
senang. Alangkah terkejutnya ketika melihat puterinya masuk ke dalam kamar sambil
berlari-lari dan ketika ia bertemu pandang dengan Siauw Eng, terlepaslah kain
yang sedang disulamnya. Pandangan mata puterinya begitu aneh dan liar
menakutkan. "Eng-ji, kau kenapakah ?" tegurnya sambil berdiri.
"Ibu ..... !" Siauw Eng maju menubruk dan memeluk ibunya. Tak tertahan pula
gadis ini menangis sesenggukan di dalam pelukan ibunya.
"Eh, eh anak nakal ! Kau kenapakah " Apakah kau berkelahi dengan orang " Siapa
yang mengganggumu?" Siauw Eng menekan desakan sedu sedan yang membuatnya sukar membuka mulut.
Kemudian ia menarik tangan ibunya dan mereka berdua duduk di atas pembaringan.
Dengan kedua tangan masih memegangi tangan ibunya, ia lalu bertanya,
"Ibu, sayangkah kau kepadaku ?"
"Eh, eh," kata ibunya sambil tersenyum, akan tetapi kedua matanya memandang
penuh kecemasan, "pertanyaan apakah ini " Sudah tentu aku sayang kepadamu, anak bodoh !"
"Kalau ibu sayang kepadaku, jawablah, segala pertanyaanku terus terang."
"Tentu saja, pertanyaan apakah ?"
"Ibu, siapakah sebenarnya Khu Tiong dan Ma Gi ?"
Bukan main terkejutnya nyonya ini mendapat pertanyaan demikian dari puterinya.
Siauw Eng merasa betapa kedua tangan ibunya tiba-tiba menjadi dingin dan nyonya
itu segera menarik kedua tangannya dari pegangan Siauw Eng. "Kedua orang itu "
Mereka adalah dua orang pemberontak yang telah mendapat hukuman, bukankah kau
pernah mendengar tentang mereka ?" Kwei Lan berhasil membuat suaranya terdengar
wajar dan tidak gemetar. "Ibu, apakah ayahku yang sekarang ini, ayahku perwira Gak Song Ki ini, adalah
ayahku yang sejati?"
Kini nyonya itu tak kuasa menahan getaran yang membuat ia menjadi pucat.
"Eng-ji, setan manakah yang telah memasuki pikiranmu " Tentu saja ia adalah
ayahmu sejati. Apakah kau hendak menghina ibumu sendiri ?"
Koleksi Kang Zusi "Ibu .... bebar-benarkah kau tega menipu anakmu sendiri " Ibu .... aku .....
tadi .... aku telah mendapatkan kuburan mereka, kuburan Khu Tiong dan Ma Gi !"
"Apa .... !!?"" Berita ini benar-benar mengagetkan hati nyonya itu sehingga tak
terasa pula ia berdiri dengan kedua kaki menggigil.
Siauw Eng menubruk ibunya dan membawa ibunya duduk di atas pembaringan. "Ibu,
ampunkan anakmu. Aku tidak bermaksud buruk, aku hanya menuntut hakku untuk
mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Ceritakanlah, ibu, tentu ada hubungan
sesuatu antara kau dan ..... Ma Gi. Orang bilang bahwa Ma Gi adalah ayahku,
betulkah ini ?""
Kwei Lan mendengar ucapan anaknya ini bagaikan mendengar suara yang turun dari
angkasa raya, yang membuatnya serasa dalam mimpi. "Ceritakanlah, anakku,
ceritakanlah semua apa yang telah terjadi dan apa pula yang kau lihat di kuburan
itu," katanya dengan bibir gemetar dan wajah pucat, sedangkan kedua matanya
memandang jauh. Sambil menangis dan dengan suara terputus-putus Siauw Eng lalu menceritakan
betapa ia bertemu dengan Cin Pau yang mengaku menjadi putera Khu Tiong dan di
Pendekar Cacad 17 Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk Pendekar Gila 3
^