Pembakaran Kuil Thian Lok 3
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Gobi)," kata kepala kampung itu dengan suara keras hingga semua orang kampung
bersorak girang menyatakan persetujuan mereka. Siauw Eng dengan muka kemerah-
merahan dan mata berseri-seri menjawab,
"Kalau memang kalian hendak menyebutku demikian baiklah mulai sekarang aku
memakai julukan Gobi Ang Sianli." Kembali semua orang bersorak dan pada malam
hari itu semua orang dalam keadaan pesta pora dan semua mendapat bagian daging
harimau yang mereka benci itu. Bahkan, untuk membalas sakit hati anak-anak, anak
kecilpun diberi makan sedikit daging harimau. Akan tetapi, Siauw Eng yang
mendengar bahwa harimau itu telah banyak makan manusia, menjadi jijik dan tidak
mau ikut makan. Ketika ketiga orang pemburu yang bertemu dengan Siauw Eng di dalam hutan
menceritakan kepada kepala kampung bahwa nona pendekar itu hendak membasmi Ci
Lui, ia menjadi pucat sekali dan segera menghadap Siauw Eng.
"Lihiap," katanya dengan gemetar, "Kuharap lihiap jangan sampai mengganggu orang
she Ci itu sungguhpun tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hatiku
selain melihat manusia itu mampus sekarang juga."
Siauw Eng memandang heran. "Eh, kau ini aneh sekali, lopek. Kau ingin melihat
dia mampus akan tetapi melarang orang mengganggunya, bukankah ini bertentangan
sekali ?" "Lihiap, orang itu datang dari kota raja dan agaknya ia berpengaruh sekali di
sana. Kalau sampai ia diganggu dan kemudian hal ini terdengar oleh para
pembesar, bukankah kampung kita akan mendapat hukuman berat ?"
Siauw Eng tertawa dan menjawab, "Lopek, jangan kuatir. Ketahuilah, aku sendiri
adalah orang yang tinggal di ibukota Tiang-an dan bahkan ayahku adalah seorang
perwira, seorang komandan yang memimpin pasukan besar, maka apakah yang harus
ditakutkan menghadapi seorang penipu rendah seperti orang she Ci itu ?"
Mendengar ini, kepala kampung segera berlutut dengan hormatnya, "Ah, tidak
tahunya lihiap adalah puteri seorang pembesar tinggi."
Biarpun hatinya merasa bangga dan senang, namun Siauw Eng merasa tak enak juga
melihat kepala kampung yang tua itu berlutut di depannya.
"Sudahlah, lopek. Besok pagi saja antarkan aku menemui orang itu, hendak kulihat
sampai di mana kebusukkannya."
Berita tentang kenyataan bahwa nona baju merah yang gagah perkasa itu puteri
seorang pembesar tinggi, membuat semua orang makin tunduk menghormat dan kagum.
Koleksi Kang Zusi Pada keesokkan harinya, dengan diantar oleh serombongan pemburu karena kepala
kampung sendiri tidak berani mengantarnya, Siauw Eng dengan langkah gagah menuju
ke dusun di mana tinggal Ci Lui yang memiliki sebuah rumah gedung besar.
Orang she Ci ini keluar sendiri menyambut kedatangan serombongan pemburu yang
disangkanya hendak memberi hadiah hasil buruan seperti biasanya karena memang
banyak orang yang menjilat dan berusaha mengambil hatinya. Akan tetapi ia heran
sekali melihat bahwa rombongan pemburu itu tidak membawa hasil buruan, dan
melihat pula bahwa mereka itu mengikuti seorang nona baju merah yang
bersikapgagah dan wajahnya cantik luar biasa.
Sebaliknya Siauw Eng yang mendapat bisikan bahwa orang tinggi besar yang keluar
dari gedung itu adalah Ci Lui sendiri, lalu melangkah maju dengan tindakan kaki
lebar dan setelah berdiri di depan Ci Lui, ia menuding,
"Kau kah manusia jahanam yang bernama Ci Lui ?"
Bukan main marah dan terkejutnya Cilui mendengar betapa nona cantik ini datang-
datang memakinya manusia jahanam. Matanya yang bundar itu bergerak-gerak
berputar-putar dan sambil bertolak pinggang ia membentak,
"Perempuan hina dina yang mau mampus. Siapa kau dan dari mana kau datang " Hai,
kalian membawa orang liar ini dari manakah " Dan apa maksud kalian " Awas, hal
ini tentu akan kulaporkan kepada kota raja dan kalian tentu akan dihukum sebagai
pemberontak-pemberontak jahat !"
Semua pemburu ketakutan dan menundukkan kepala tanpa berani bergerak. Akan
tetapi Siauw Eng memperdengarkan suara sindiran sambil tertawa.
"Gertak samabal segala bajungan kecil mana dapat menakutkan aku " Eh, keparat,
kalau kau memang benar seorang utusan Kaisar dari kota raja, kenalkah kau kepada
seorang perwira bernama Gak Song Ki?"
Ci Lui tertawa dan membelalakkan matanya. "Mengapa tidak kenal " Aku kenal baik
Gak-ciangkun itu. Bukankah ia yang tinggal di sebelah selatan kota dan memiliki rumah gedung yang
bercat kuning ?" Siauw Eng terkejut juga, akan tetapi dengan suara gagah ia bertanya lagi, "Kalau
kau kenal baik dengan Gak Ciangkun, tentu kau tahu pula bahwa dia mempunyai
seorang puteri yang gagah ?"
"Puterinya ...... ?" Ci Lui ragu-ragu dan bingung. "O, ya, ya ........ aku tentu
saja kenal puterinya itu yang gagah."
"Hm, bangsat rendah pembohong tolol. Akulah puteri Gak ciangkun yang datang
hendak menghukummu !" kata Siauw Eng sambil mencabut pedangnya.
"Bagus ! Kau perampok wanita dari mana dan siapakah namamu ?" teriak Ci Lui
dengan marah pula dan ketika tangannya meraba ke belakang punggung, iapun telah
mengeluarkan sebatang pedang tajam.
"Dengarlah baik-baik. Aku adalah Gak Siauw Eng yang berjuluk Gobi Ang Sianli !"
Sambil berkata demikian, secepat kilat Siauw Eng lalu maju menyerang yang dapat
ditangkis oleh Ci Lui dan dibalas dengan serangan hebat. Dan keduanya lalu
bertempur dengan seru dan mati-matian.
Ci Lui sebetulnya adalah seorang penjahat yang berkepandaian tinggi. Ia pernah
menjadi perampok dan belum lama ini ia bergelandangan di kota raja, bercampur
gaul dengan semua buaya dan penjahat, bahkan pernah menjadi tukang pukul seorang
pangerandi kota raja. Oleh karena ini, sedikit banyak ia kenal atau tahu tentang
para pembesar dan perwira di kota raja. Ilmu silatnya cukup lihai, terutama ia
telah mempelajari ilmu pedang Thai kek yang boleh juga, biarpun hanya
dipelajarinya secara menjiplak dan bukan langsung dari seorang tokoh Thai Kek.
Akan tetapi, kini ia menghadapi Siauw Eng, anak murid Gobi tulen yang baru saja
turun gunung setelah mendapat gemblengan hebat bertahun-tahun di bawah pimpinan
ayahnya yang gagah, kemudian hampir lima tahun di bawah pimpinan Cin San Cu dan
Bok San Cu. Setelah mencoba dengan dengan segala tenaga dan kepandaiannya untuk
mendesak Siauw Eng, akhirnya Ci Lui terpaksa mengakui Koleksi Kang Zusi
kelihaian gadis baju merah itu dan ia terdesak hebat tanpa dapat melakukan
serangan balasan lagi. Siauw Eng mempercepat gerakan pedangnya dan dengan teriakan keras, "Lepaskan
telinga kananmu ?" pedangnya menyambar dan Cilui menjerit kesakitan ketika ujung pedang Siauw
Eng membabat dan membikin daun telinganya putus.
Sambil mendekap telinga kanan yang kini tidak berdaun lagi serta mengeluarkan
banyak darah itu, Ci Lui menyerang lagi dengan nekad dan mati-matian, akan
tetapi sebuah tendangan kilat telah membuat pedangnya terlepas dari pegangan dan
tendangan kedua membuat ia tak kuasa berdiri karena sambungan lututnya kena
tendang. Siauw Eng menggerak-gerakan pedangnya dan berkata,
Sekarang kau mengakulah bahwa kau hanya seorang penipu rendah dan bahwa kau sama
sekali bukan seorang utusan Kaisar. Baru aku mau mengampuni jiwamu."
Sementara itu, semua orang kampung yang melihat bahwa musuh besar yang diam-diam
mereka benci itu telah mendapat hajaran hebat, makin lama makin banyak berkumpul
dan orang-orang dusun lain juga berdatangan berikut kepala-kepala kampung
mereka. Mereka ini lalu berseru dan berteriak-teriak,
"Bunuh saja penipu ini !"
"Nah, kau mendengar itu " Ayoh membuat pengakuan !" bentak Siauw Eng lagi.
Terpaksa Ci Lui lalu merayap berdiri dan berkata dengan suara lemah. "Aku ......
aku memang bukan utusan siapa-siapa ........"
Orang-orang berteriak marah dan para pemburu mengangkat tombak hendak menyerang
Ci Lui, akan tetapi Siauw Eng mengangkat tangan ke atas mencegah, "Jangan bunuh
dia, aku telah memberi janjiku
!" "Lihiap, dia terlalu jahat, pantas mendapat hukuman mati !" teriak seorang
kepala kampung dengan marah.
"Hukumannya terlalu ringan !" teriak orang lain.
"Siauw Eng lalu membentak Ci Lui, "Kau tidak lekas minggat dari sini ?"
Mendengar ini, sambil memegang tempat di mana telinganya tadi berdiri, Ci Lui
lalu berkata kepada Siauw Eng, "Lain kali kita bertemu pula !" Lalu ia melarikan
diri secepatya meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang berkumpul dari beberapa dusun itu dengan girang sekali lalu
berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Siauw Eng dan setelah gadis gagah
ini memberi nasehat agar harta benda Ci Lui dibagi-bagi di antara mereka dengan
adil dan memperlakukan serta menolong bekas isteri-isteri penipu itu dengan baik
pula, lalu pergi meninggalkan dusun itu. Benar sebagaimana ramalan ketiga orang
pemburu yang dulu bertemu dengan Siauw Eng, nama gadis ini sebagai Gobi Ang
Sianli, dipuji-puji dan dikenang oleh para penduduk dusun-dusun di daerah itu
sampai beberapa turunan. Bagian 08. Pemuda Berbaju Putih
Beberapa pekan kemudian, Siauw Eng mulai melalui kota-kota besar hingga
menggembirakan hatinya karena sudah lama sekali ia tidak pernah melihat kota-
kota besar dengan rumah-rumah dan bangunan-bangunan indah. Akan tetapi, berbeda
dengan ketika ia melewati dusun-dusun, kini hampir semua mata memandangnya
dengan kagum dan bahkan pandangan mata orang-orang muda yang melihatnya di dalam
kota membuat ia mendongkol sekali oleh karena pandangan itu mengandung maksud
kurang ajar. Ia sama sekali tidak tahu bahwa hal itu bukanlah semata-mata
salahnya para pemuda itu, akan tetapi oleh karena kecantikannya memang menyolok
mata sekali. Pada masa itu, sukar sekali melihat gadis cantik oleh karena para gadis jarang
meninggalkan kamar dan apabila mereka keluar selalu tentu naik joli yang
menutupi seluruh tubuh mereka. Banyak juga Koleksi Kang Zusi
wanita-wanita kangouw yang melakukan perjalanan, akan tetapi belum pernah ada
wanita secantik Siauw Eng yang berjalan di jalan umum dan terlihat oleh setiap
orang. Ketika pertama kali memasuki kota dan dipandang sedemikian rupa oleh orang-orang
yang bertemu di jalan, memang ia merasa bangga dan senang, akan tetapi lambat
laun karena terlalu banyak orang memandangnya, dengan kagum, ia menjadi jemu dan
bosan. Maka ia lalu buru-buru mencari sebuah hotel di tengah kota. Seorang pelayan yang
telah agak tua usianya menyambutnya dan pelayan yang peramah ini lalu
mempersilakannya memilih kamar. Ketika melihat betapa pandang mata pelayan tua
ini sama saja dengan orang-orang di kota, Siauw Eng tidak tahan lagi untuk tidak
menegur. "Eh, Lopek ! Kau ini sudah tua akan tetapi pandangan matamu sama saja dengan
orang-orang lelaki muda yang kurang ajar. Agaknya semua lelaki di dalam kota ini
memang kurang ajar dan tidak sopan."
Mula-mula pelayan itu terkejut mendengar teguran ini, akan tetapi ia lalu
tersenyum geli dan sambil membongkok-bongkokkan tubuhnya ia berkata, "Maaf, li-
enghiong (pendekar wanita), memang kau ini luar biasa sekali. Aku memang kagum
padamu, akan tetapi jangan salah sangka, lihiap, kekagumanku berbeda dengan
kekaguman orang lain. Biarpun aku juga kagum melihat lihiap yang cantik seperti
bidadari ini, akan tetapi aku lebih mengagumi keberanian dan kegagahanmu."
Siauw Eng senang mendengar omongan pelayan yang suka ngobrol ini, maka setelah
ia mendapatkan sebuah kamar yang menyenangkan, lalu ia bertanya lagi, "Bagaimana
kau dapat mengagumi keberanian dan kegagahanku kalau kau belum menyaksikannya
sendiri ?" "Li-enghiong, dengan berjalan seorang diri dan membiarkan dirimu yang cantik
jelita ini kelihatan oleh umum, sudah termasuk keberanian luar biasa sekali.
Jangankan diperlihatkan kepada umum, sedangkan yang disimpan-simpan juga
didatangi dan dicuri orang."
Siauw Eng terkejut dan heran karena ia tidak mengerti apa maksudnya.
Kemudian dengan suara perlahan dan dengan muka menunjukkan ketakutan, pelayan
tua itu lalu menceritakan bahwa di dalam kota itu telah terjadi kejahatan-
kejahatan mengerikan, yakni bahwa telah beberapa pekan ini kota itu diganggu
oleh seorang Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pekerjaannya mengganggu
anak bini orang secara kejam sekali. Dua orang gadis telah tewas dipenggal
lehernya karena gadis itu berteriak minta tolong ketika ia datang di malam hari
untuk mengganggu. Bukan main marahnya hati Siauw Eng mendengar penuturan ini, akan tetapi ia tidak
berkata sesuatu. Setelah hari menjadi malam, Siauw Eng lalu mengenakan pakaian ringkas dan dengan
hati-hati ia membuka jendela kamarnya dan melompat naik ke atas genteng. Ia
bermaksud untuk mencari dan membekuk penjahat yang telah membuatnya marah sekali
itu. Penjahat semacam itu harus dihukum mati pikirnya dengan gemas.
Malam itu kebetulan malam terang bulan dan langit bersih dari awan hingga
keadaan cukup terang. Ketika ia sedang berlari-lari di atas genteng rumah-rumah orang dengan gerakan
demikian gesit dan ringan bagaikan seekor kucing, tiba-tiba ia melihat di atas
genteng agak jauh dari situ berkelebat bayangan putih yang gesit sekali.
Berdebarlah hati Siauw Eng karena ia merasa pasti bahwa itulah penjahat yang
dicari-carinya. Karena gemasnya ia lalu mencabut pedangnya dan mempercepat
gerakannya mengejar bayangan itu. Ia merasa heran mengapa penjahat itu demikian
beraninya, memakai pakaian warna putih, tidak seperti penjahat biasa yang lebih
sering mengenakan pakaian warna hitam.
Akan tetapi, gerakan bayangan putih itu cepat sekali hingga sebentar saja lenyap
dari pandangan matanya. Siauw Eng merasa penasaran dan mencari-cari. Tiba-tiba
bayangan itu muncul lagi di atas rumah lain yang tak berapa jauh letaknya dari
tempat di mana ia berada, maka Siauw Eng lalu melompat dan mengejar. Tadinya
Siauw Eng hendak mengintai dan melihat apa yang akan dilakukan oleh bayangan itu
untuk mendapat kepastian bahwa bayangan itu memang benar penjahat yang
dicarinya, akan tetapi melihat bahwa bayangan itu gesit sekali gerakkannya, maka
ia kini ingin menyusul dan langsung menyerang.
Bayangan putih itu agaknya telah melihatnya, karena ia berpaling dan kemudian
melarikan diri cepat sekali menuju ke luar kota. Siauw Eng merasa penasaran dan
mengejar. Ketika orang yang dikejarnya melompat turun, iapun melompat turun dan
mengerahkan ilmu jalan cepat terus mengejar. Setelah tiba Koleksi Kang Zusi
di luar kota dan berada di jalan dekat sawah, tiba-tiba bayangan itu berhenti
dan menanti Siauw Eng sambil bertolak pinggang. Siauw Eng mempercepat larinya
dan mempererat pegangan pedangnya, dan setelah tiba dihadapan bayangan itu, ia
melihat dengan tercengang bahwa orang itu adalah seorang laki-laki yang masih
muda dan yang mempunyai wajah cakap dan tampan sekali. Pakaiannya berwarna putih
dan sederhana sekali, sedangkan kakinya mengenakan sepatu berlapis besi di
bawahnya. Rambutnya diikat ke atas dengan sehelai kain putih, dan pada ikat pinggangnya
yang berwarna kuning itu tergantung sebuah kantung piauw. Di punggungnya nampak
gagang pedang beronce benang merah emas. Sungguh seorang pemuda yang tampan dan
gagah. Akan tetapi Siauw Eng tidak mempedulikan ketampanan atau kegagahan orang,
segera langsung menyerang dengan pedangnya dan membentak,
"Bangsat rendah. Bersedialah untuk mampus untuk menebus dosamu !"
Melihat sambaran Pedang Siauw Eng yang amat berbahaya itu, pemuda baju putih ini
cepat mengelak dan berkata perlahan. "Hm, garang sekali !"
Siauw Eng cepat menyerang lagi dan karena gerakan pedangnya memang cepat dan
luar biasa, pemuda itu lalu mencabut pedangnya pula dan sebentar saja keduanya
lalu bertarung dengan hebat.
Siauw Eng terkejut sekali karena setelah bertempur belasan jurus, ia mendapat
kenyataan bahwa ilmu pedang lawannya ini tinggi dan luar biasa sekali hingga
sama sekali ia tidak dapat mendesak. Maka ia lalu berseru keras dan mengeluarkan
ilmu pedang Sin Coa Kiam hwat yang mempunyai gerakan-gerakan lihai dan tak
terduga, seakan-akan serangan ular yang bersembunyi dibawah rumput.
Pemuda itu mengeluarkan seruan kagum. Ia tidak menyangka bahwa gadis muda
berpakaian merah ini demikian lihai, sedangkan tadinya ia memandang rendah.
Ketika tadi berlari-larian di atas genteng, ia mendapat kenyataan bahwa orang
baju merah yang mengejarnya itu walaupun memiliki ginkang yang cukup sempurna,
namun masih belum dapat mengatasi ginkangnya sendiri, maka ia memandang rendah
dan sengaja menanti. Tak diduganya sama sekali bahwa orang berbaju itu adalah
seorang anak gadis jelita yang begini kosen. Oleh karena ia memang hendak
mencoba kepandaian orang, maka setelah melihat bahwa ilmu pedang Siauw Eng
benar-benar tangguh dan kalau dilawan tentu akan sukar menjatuhkannya, maka
tiba-tiba pemuda itu berkata,
"Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk berlatih pedang dengan kau !"
Pedangnya lalu diputar hebat sekali sehingga mengeluarkan cahaya berkilauan dan
memaksa Siauw Eng melompat mundur dengan kaget, akan tetapi saat itu digunakan
oleh pemuda tadi untuk melompat pergi.
"Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana ?"
"Mulutmu busuk sekali, datang-datang mengobral makian !" jawab pemuda itu sambil
menoleh dan terus berlari menegur.
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangsat kurang ajar, pengecut hina dina," Siauw Eng memaki lagi sambil terus
mengejar. Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan memutar tubuh. "Apa " Kau boleh memaki sesuka
hatimu, akan tetapi makian pengecut hina dina itu tak dapat kuterima !" katanya
marah sambil menangkis serangan Siauw Eng dengan pedangnya.
"Memang kau pengecut hina dina ! Beraninya hanya mengganggu wanita lemah dan
kalau bertemu wanita gagah lalu melarikan diri !" bentak Siauw Eng sambil terus
menyerang lagi. "Eh, eh, nona galak. Tahan dulu ! Kau ini memaki siapakah ?"
"Memaki kau, siapa lagi ?"
"Apa salahku ?"
"Kau penjahat Jai-hwa-cat tak tahu diri. Sudah menjadi penjahat masih berpura-
pura lagi." "Eh, eh, buka dulu lebar-lebar matamu dan lihat sedang berhadapan dengan siapa "
Aku Ong Cin Pau selama hidupku belum pernah mengganggu wanita, apalagi menjadi
Jai-hwa-cat "Bohong ! Buktikan kalau kau memang bukan Jai-hwa-cat !" seru Siauw Eng.
Koleksi Kang Zusi Tentu saja pemuda itu tak dapat membuktikannya, maka ia lalu tertawa dan menjawab, "Kau berlagak pintar akan tetapi sebenarnya
goblok sekali ! Coba kau sekarang yang buktikan kalau aku benar-benar seorang
penjahat busuk." "Buktinya kau gentayangan di malam buta di atas rumah orang," jawab Siauw Eng.
"Dan kau sendiri juga berkeliaran di atas rumah orang pada waktu yang sama."
Marah sekali gadis itu. "Kau ....... kau pandai memutar lidah. Kau penjahat
busuk hina dina !" Sambil memaki-maki dengan marah sekali Siauw Eng lalu menyerang lagi dengan
hebatnya, akan tetapi pemuda itu melawan dengan baiknya dan ternyata bahwa ilmu
pedangnya tinggi dan lihai sekali.
"Sudahlah, kau gadis bodoh kurang pengalaman yang bisanya hanya menuduh orang
secara membuta. Apa kaukira kau sendiri saja yang cukup gagah dan berani menangkap penjahat "
Aku tidak mempunyai banyak waktu lagi !" Kemudian ia lalu melompat cepat dan
ketika Siauw Eng mengejar, pemuda itu lari masuk ke dalam sebuah hutan.
Siauw Eng merasa penasaran sekali. Menurut kebiasaan orang-orang gagah, juga
menurut nasehat guru-gurunya, seorang lawan yang telah lari ke dalam hutan tak
boleh dikejar, oleh karena hal ini berbahaya sekali. Akan tetapi Siauw Eng yang
marah dan penasaran tidak memperdulikan pantangan ini dan terus mengejar masuk
ke dalam hutan. ****** Pemuda yang berpakaian serba putih, berwajah tampan dan berkepandaian tinggi itu
memang benar Ong Cin Pau, putera Lin Hwa dan mendiang Khu Tiong yang telah
diambil murid oleh Bu Eng Cu Tiauw It Lojin si Tanpa Bayangan dan di bawa ke
tempat pertapaannya, yakni di sebuah bukit di pegunungan Kunlun-san sebelah
utara. Lin Hwa, ibu Cin Pau, setelah berpisah dari Kong Sian dengan hati patah dan
hancur, lalu kembali ke Kunlun-san dan akhirnya dapat mencari tempat tinggal Bu
Eng Cu dan diperkenankan tinggal bertapa di sebuah gua, mendekati puteranya dan
hidup mengasingkan diri di puncak Kunlun-san itu. Cin Pau mendapat gemblengan
ilmu silat dari Tiauw It Lojin selama belasan tahun, dari usia empat tahun
sampai tujuh belas tahun. Dan ketika ia telah berusia tujuh belas tahun, ibunya
yang kini telah menjadi seorang pertapa itu, lalu menceritakan kepadanya tentang
riwayat hidupnya yang penuh penderitaan.
Bukan main hancurnya hati Cin Pau mendengar penuturan ini. Tadinya ia masih
menyangka bahwa ayahnya adalah Kong Sian yang baik hati itu dan yang tetap
dianggapnya sebagai ayah sendiri.
"Kong Sian bukanlah ayahmu, pau-ji (anak Pau), dia itu adalah pamanmu karena ia
adalah sute dari ayahmu. Akan tetapi dia baik sekali, anakku, dialah orang
termulia dalam dunia ini setelah ayahmu. Kita berhutang budi kepadanya dan boleh
dibilang bahwa kita dapat hidup sampai sekarang ini berkat jasa dan
pertolongannya." Kemudian dengan panjang lebar Lin Hwa menceritakan betapa Un
Kong Sian telah membelanya mati-matian ketika dikejar oleh para perwira
kerajaan. "Dimana dia sekarang, ibu " Mengapa pula ia yang begitu baik telah meninggalkan
kita di sini ?" Ibunya tersenyum. "Tentu saja dia harus pergi, anak bodoh. Dia mempunyai rumah
tangga sendiri di Tiang-an, di rumahnya menunggu seorang ibu yang sudah tua dan
seorang isteri yang setia."
"Dan di mana makam ayah dan Ma susiok yang terbinasa oleh perwira-perwira
kerajaan itu, ibu ?"
"Aku sendiri juga tdak tahu, anakku. Dulu ayahmu dan saudara seperguruannya itu
dikepung dalam sebuah hutan di luar kota raja. Hal ini kiraku hanya Un Kong Sian
yang dapat memberi keterangan karena dia itu tahu akan segala peristiwa dengan
jelas." Cin Pau termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata, "Ibu, anak mau turun gunung !"
Ibunya terkejut, "Eh, mengapa begitu tiba-tiba " Hendak ke mana ?"
Koleksi Kang Zusi "Beritahukan kepadaku, ibu, kepada siapa aku harus menuntut balas atas kematian
ayah dan Ma-susiok!" katanya dengan gagah.
Ibunya menghela napas dan menjawab, "Tidak ada gunanya segala balas membalas
itu, nak. Dulu ibumu memang merasa penasaran sekali dan ingin menghancurkan
setiap perwira kerajaan. Akan tetapi sekarang aku dapat melihat bahwa tak baik
menuruti hawa nafsu. Perwira kerajaan demikian banyaknya dan aku tidak tahu
senjata dan tangan siapa yang melayangkan nyawa ayahmu. Tidak mungkin dan tidak
seharusnya kalau kita menaruh dendam kepada setiap perwira kerajaan, karena
masih kuingat bahwa di antara para perwira itu, banyak pula yang gagah dan
budiman. Kakekmu dan kakek she Ma dikhianati oleh pangeran Gu Mo Tek hingga
keluarga kita dan keluarga Ma hancur binasa oleh para perwira yang hanya
menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar yang juga hanya karena sudah
seharusnya membasmi mereka yang memberontak terhadapnya. Jadi pada hakekatnya,
sakit hati hanyalah terhadap pangeran Gu saja dan ayah serta susiokmu telah
berhasil membalas dendam itu dengan membunuh pangeran Gu Mo Tek. Kalau kuingat-
ingat, aku merasa menyesal sekali mengapa ayah dan susiokmu itu juga membunuh
kedua putera pangeran Gu karena kuanggap mereka tidak berdosa." Kembali Lin Hwa
menghela napas dan diam-diam ia merasa khawatir karena ia maklum pula bahwa pada
waktu peristiwa itu terjadi, isteri kedua putera pangeran itu, yang seorang
telah mempunyai anak dan yang kedua telah mengandung.
Mendengar kata-kata ibunya yang panjang lebar itu, Cin Pau menundukkan kepalanya
dan biarpun ia masih muda, namun ia telah menerima banyak pelajaran batin baik
dari ibunya maupun dari suhunya, maka pandangannya luas dan ia dapat membenarkan
pendapat ibunya ini. "Kalau begitu, biarlah anak turun gunung untuk mencari makam ayah dan untuk
menghaturkan terima kasih kepada ........ Un Kong Sian susiok !"
"Memang seharusnya kau pergi mencari makam ayahmu, nak, dan kalau sudah tahu di
mana tempatnya, kelak akupun ingin sekali melihatnya. Akan tetapi, kau harus
mendapat perkenan dari suhumu lebih dulu."
Cin Pau lalu kembali ke tempat pertapaan Tiauw It Lojin untuk minta perkenan
dari gurunya ini. Tiauw It Lojin tersenyum dan pertapa yang sudah tua ini lalu berkata, "Cin Pau,
memang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung. Akan tetapi, kau harus
mampir dulu di tempat pertapaan Beng Hong Tosu di puncak selatan itu. Dulu aku
pernah berjanji bahwa apabila kau telah tamat belajar di sini, kau akan ku kirim
kepadanya untuk menerima satu dua macam pelajaran darinya. Ketahuilah, Beng Hong
Tosu adalah suhu dari mendiang ayahmu. Ia seorang jago Kunlun yang tinggi ilmu
silatnya." Cin Pau sudah pernah melihat Beng Hong Tosu, karena selain dulu ketika masih
kecil dan datang bersama ibunya ia pernah melihat pendeta itu, juga telah dua
kali semenjak ia tinggal di pegunungan Kunlun, tosu itu datang mengunjungi Tiauw
It Lojin untuk bermain catur.
Setelah berpamit dari suhunya dan ibunya, Cin Pau lalu turun gunung,
mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk berjalan cepat dan melompati jurang-
jurang hingga sebentar saja ia sudah nampak mendaki puncak yang berada di
sebelah selatan puncak tempat tinggal gurunya. Ketika ia tiba di lereng bukit
itu, dari jauh ia melihat bayangan Beng Hong Tosu berlari cepat dan sebentar
saja pendeta tua itu telah berada dihadapannya. Cin Pau cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan Beng Hong Tosu yang ketika melihatnya lalu tertawa-tawa. Ia
membungkuk dan menggunakan kedua tangannya memegang pundak pemuda itu untuk
membangunkannya. Cin Pau tiba-tiba merasa betapa kedua tangan itu seakan-akan
bukit yang menindih pundaknya, maka tahulah dia bahwa kakek pendeta ini sedang
menguji tenaganya. Dengan cepat ia lalu mengerahkan iweekangnya untuk melawan
tekanan hebat itu dan tiba-tiba ia merasa tenaga tarikan yang amat hebat hingga
tubuhnya hampir saja tertarik berdiri. Akan tetapi karena ia tidak mau membikin
malu suhunya yang telah menggemblengnya dengan sungguh-sungguh, ia lalu
mengerahkan khikangnya dan mempertahankan diri dengan ilmu Ban Kin Cui (Beratkan
Tubuh Selaksa Kati). Menghadapi Cin Pau yang mengeluarkan ilmu ini hingga tubuhnya tiba-tiba menjadi
berat seakan-akan berakar pada tanah. Beng Hong Tosu merasa girang sekali. Ia
lalu mengerahkan kepandaiannya dan berkata, "Anak baik, berdirilah kau !"
Bukan main hebatnya tenaga dari tokoh Kunlun-san ini, karena benar-benar tubuh
Cin Pau terangkat naik ke atas, akan tetapi tetap saja tubuh pemuda itu masih
berada dalam keadaan berlutut seperti tadi.
Koleksi Kang Zusi "Bu Eng Cu benar-benar tidak menyia-nyiakan waktu baik. Pinto tak dapat
mengajarmu dalam hal iweekang dan khikang, kau sudah cukup kuat. Ayoh berdirilah
dan coba kau melawan pinto!"
Karena maklum bahwa pendeta sakti ini sedang mengujinya, maka tanpa ragu-ragu
lagi Cin Pau lalu berdiri dan setelah berkata, "Maaf !" ia lalu menyerang dengan
pukulan berbahaya. Beng Hong Tosu lalu mengelak dan membalas dengan pukulan-
pukulan terlihai dari cabang Kunlun.
Biarpun keduanya berada di puncak pegunungan Kunlun, akan tetapi asal dan dasar
ilmu silat Beng Hong Tosu dan Tiauw It Lojin jauh berbeda. Memang, banyak orang
mengira bahwa cabang persilatan Kunlun-pai atau cabang silat Kunlun hanya ada
sebuah saja. Pegunungan Kunlun-san adalah sebuah pegunungan yang daerahnya luas
sekali sampai ratusan bahkan ribuan mil persegi, dan di atas puncak-puncak
banyak bukit itu tinggal banyak sekali orang-orang sakti yang mengasingkan diri
atau bertapa. Memang, kuil tempat tinggal Beng Hong Tosu telah terkenal dan dianggap sebagai
tempat pusat cabang persilatan Kunlun, akan tetapi selain di situ, masih banyak
sekali guru-guru besar yang diam-diam mengajarkan ilmu silat kepada murid-
muridnya, seperti halnya Bu Eng Cu Tiauw It Lojin itu.
Dalam hal ilmu silat tangan kosong, pelajaran Tiauw It Lojin masih menang
setingkat dengan ilmu kepandaian Beng Hong Tosu dan hal ini terasa benar oleh
Beng Hong Tosu ketika ia menghadapi serangan-serangan Cin Pau. Pemuda ini telah
mempelajari ilmu keraskan tangan latihan Bu Eng Cu yang disebut Cin Kang Kim Ko
Jiu dan yang membuat tangannya selain kuat, juga memiliki tenaga pukulan lihai
sekali, terutama sekali pelajaran Coat Meh Hoat semacam ilmu tiam hwat atau
totokan jalan darah yang mirip dengan ilmu totok dari Butong-pai, amat
mengejutkan hati Beng Hong Tosu.
Hanya berkat pengalaman dan kelihaian iweekangnya saja maka Beng Hong Tosu dapat
mempertahankan diri terhadap serangan-serangan Cion Pau.
"Bagus, bagus, lihai sekali !" Berkali-kali Beng Hong memuji dan tiba-tiba
tubuhnya berjungkir balik di udara dan melompat kebelakang agak jauh.
"Cukup, sekarang marilah kita bermain pedang !" katanya.
Cin Pau tak membantah dan mencabut pedangnya, yakni pedang ibunya yang diberikan
kepadanya ketika ia hendak berangkat. Beng Hong Tosu yang tidak membawa pedang,
lalu mematahkan sebatang ranting dari pohon yang tumbuh di situ dan melawan Cin
Pau dengan ranting itu. Kalau dalam ilmu pukulan tangan kosong, kepandaian Cin
Pau boleh dibilang lebih lihai dari pada Beng Hong Tosu, adalah dalam hal ilmu
pedang, pemuda ini tertinggal jauh sekali. Ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam hoat
dari Beng Hong Tosu bukan main lihainya, hingga biarpun yang dipegangnya bukan
pedang tulen, akan tetapi hanya sebatang ranting saja, namun setelah bertempur
belasan jurus saja, Cin Pau telah menjadi pening karena ujung ranting kakek itu
seakan-akan telah berubah menjadi puluhan batang yang menyerangnya dari segala
jurusan. Baiknya Cin Pau memiliki ilmu ginkang yang tinggi karena suhunya yang
berjuluk si Tanpa Bayangan itu memang ahli ginkang yang luar biasa, kalau tidak
tentu ia telah kena dirobohkan oleh serangan-serangan ranting yang hebat
ini.Akhirnya ia tak dapat menahan lagi dan buru-buru melempar pedangnya ke atas
tanah dan maju berlutut, "Teecu mohon diberi petunjuk,"
katanya. Beng Hong Tosu tertawa senang dan ia lalu mengajak pemuda itu ke kuilnya.
"Cin Pau, dalam hal lain-lain kepandaian, pinto yang bodoh tak berani
mengajarmu, hanya mungkin dalam hal ilmu pedang, pinto dapat menambah
pengetahuanmu sedikit saja."
Semenjak saat itu, Cin Pau menerima latihan ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat
yang luar biasa itu dari Beng Hong Tosu. Dulu ayahnya, yakni mendiang Khu Tiong,
Ma Gi dan juga Un Kong Sian juga mempelajari ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat
ini, akan tetapi selama belasan tahun ini, ilmu pedang tersebut telah mengalami
banyak sekali perubahan karena Beng Hong Tosu sebagai penciptanya, tiap kali
menghadapi lawan tangguh tentu dapat melihat kekurangan-kekurangan ilmu
pedangnya dan oleh karenanya ia lalu mengadakan perubahan di mana perlu hingga
dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu, Kui Hwa Koan Kiam-hoat mengalami
kemajuan hebat dan juga jauh lebih lihai.
Cin Pau telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi hingga ilmu pedang itu
dapat dipelajari dengan cepat. Dia hanya memerlukan waktu dua bulan untuk
memahami ilmu pedang itu dan telah dapat memainkannya dengan baik sekali, hanya
hanya perlu latihan-latihan lebih lanjut.
Koleksi Kang Zusi Bukan main girang hati Beng Hong Tosu dan ketika Cin Pau memohon diri untuk
melanjutkan maksudnya merantau mencari makam ayahnya, tosu tua itu mengeluarkan
sebilah pedang yang berkilauan dan putih cahayanya, memberikan pedang itu kepada
Cin Pau sambil berkata, "Muridku, kau terimalah Pek Kim Kiam ini dan pergunakanlah untuk membela
keadilan dan membasmi kejahatan. Kaulah muridku yang terakhir dan terpandai,
maka kau berhak menerima pedang ini dan apabila pinto telah meninggal dunia yang
kotor ini, dengan pedang ini berhak menyebut diri menjadi ketua Kunlun-pai yang
kudirikan." Cin Pau menerima pedang itu dengan girang sekali karena pedang Pek Kim Kiam ini
memang dibuat khusus untuk bermain ilmu pedang Kui Hwa Koan hingga berat dan
ukurannya tepat sekali dan enak dipakai.
"Pedang ibumu biar kau tinggalkan saja di sini karena sekarang juga pinto hendak
mengunjungi suhumu dan ibumu. Biarpun telah mengasingkan diriakan tetapi seorang
wanita gagah seperti ibumu itu tidak boleh ditinggal oleh pedangnya."
Cin Pau lalu berlutut dan setelah menghaturkan terima kasih kepada suhunya yang
kedua ini, ia lalu melanjutkan perjalanannya turun gunung, Semenjak kecilnya,
Cin Pau diberi pakaian putih oleh ibunya yang biarpun tidak memberitahukan
tentang kematian ayah anak itu, namun diam-diam ia menganggap bahwa puteranya
telah berkabung untuk kematian ayahnya. Akan tetapi, warna putih itu akhirnya
menjadi warna kesukaan Cin Pau dan anak ini tidak mau dibuatkan pakaian dari
lain warna. Sekarang setelah dewasa, pakaiannya pun tetap putih dan berpotongan
sederhana sekali. Pada suatu senja, ketika Cin Pau berjalan cepat untuk keluar dari sebuah hutan
dan mencari penginapan di dusun atau kota terdekat, tiba-tiba matanya yang tajam
melihat bayangan dua orang yang bergerak cepat sekali memasuki hutan. Ia lalu
cepat bersembunyi di balik pohon dan ketika bayangan itu lewat, ternyata bahwa
mereka ini adalah dua orang saikong atau pendeta yang bermuka jahat dan kejam.
Seorang di antaranya adalah tua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar dan
mukanya yang penuh berewok dengan sepasang mata lebar itu membuat ia kelihatan
seperti seekor barongsai mengerikan. Seorang lagi adalah seorang tinggi kurus
yang bermuka pucat, juga berjubah lebar seperti seorang pendeta perantau. Di
punggung masing-masing nampak gagang pedang dan pakaian mereka yang mewah dan
terbuat dari kain indah dan mahal itu cukup mendatangkan kesan kurang baik pada
diri kedua orang pertama itu.
Cin Pau menjadi curiga dan diam-diam ia mengikuti mereka memasuki hutan kembali.
Akan tetapi ia berlaku amat hati-hati karena mereka berdua ini memiliki ilmu
kepandaian tinggi, dapat dilihat dan diduga dengan mudah dari gerak gerik mereka
yang gesit dan kuat. Ternyata bahwa kedua orang saikong itu menuju ke sebuah gua
yang besar, di dalam hutan itu. Tiba-tiba ia mendengar mereka berbicara tentang
"memetik bunga" dan tahulah dia bahwa kedua orang saikong itu adalah orang-orang
jahat yang mempunyai kebiasaan buruk dan kejam, yaitu mengganggu anak bini
orang. Mereka ini adalah penjahat-penjahat yang biasa disebut Jai Hwa Cat, maka
bukan main marahnya.
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, oleh karena belum melihat bukti dan baru mendengar pembicaraan
belaka ia tidak mau berlaku lancang dan bergerak maka ia terus mengintai.
Setelah hari mulai menjadi gelap, kedua orang saikong itu keluar dari gua dan
berlari cepat menuju ke kota di luar hutan itu. Cin Pau tetap mengejar dengan
diam-diam. Ia melihat dua orang saikong itu melompat naik ke sebuah rumah gedung. Cin Pau
juga melompat, akan tetapi pada saat ia melompat ke atas, seorang di antara
kedua pendeta cabul itu menengok hingga dapat melihatnya. Mereka berdua berseru
keras dan dengan cepat menerjang maju dan bermaksud membinasakan pemuda itu
dengan sekali serang. Akan tetapi, dengan memutar pedang Pek Kim Kiamnya, Cin
Pau menangkis dan membentak keras,
"Jai Hwa Cat terkutuk !"
Mendengar bentakan ini, kedua saikong itu terkejut sekali oleh karena tak pernah
mereka mengira bahwa ada orang yang telah mengetahui rahasia mereka. Pula,
melihat betapa gerakan pedang pemuda ini sangat lihainya, mereka lalu menyerang
lagi dengan keras dan mempergunakan kesempatan pada saat Cin Pau mengelak ke
samping, lalu melompat jauh dan melarikan diri. Cin Pau mengejar, akan tetapi
tangan kedua penjahat itu bergerak hingga empat buah benda hitam yang cepat
sekali terbangnya, melayang dan menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang
berbahaya dari pemuda itu. Cin Pau adalah murid seorang ahli senjata rahasia,
maka tentu saja menghadapi serangan Koleksi Kang Zusi
piauw ini ia tidak gentar sama sekali, dan ketika ia mengulurkan kedua
tangannya, maka dua batang piauw telah disambutnya dengan baik. Yang dua lagi
dapat ia elakkan dan jatuh berkerontongan di atas genteng. Tanpa membuang waktu
lagi, ia lalu menyambitkan dua batang piauw itu ke arah dua bayangan saikong
yang melarikan diri sambil berseru,
"Makanlah senjata busukmu sendiri !"
Akan tetapi, kedua orang saikong itu dapat mengelak sambil melompat turun dari
atas genteng. Biarpun malam itu bulan bercahaya terang, akan tetapi, di bawah
penuh dengan bayangan pohon dan rumah hingga menjadi gelap dan sebentar saja
kedua orang saikong yang cerdik dan yang sengaja melarikan diri melalui jalan
bawah, telah lenyap dari pandangan mata.
Dan ketika Cin Pau sedang mencari-cari di atas genteng, tiba-tiba ia dikejar
Siauw Eng hingga keduanya bertempur, dan ketika Cin Pau mencari kedua orang
penjahat ke dalam hutan, dengan berani sekali gadis itupun mengejar ke dalam
hutan pula. Hal ini telah dituturkan di bagian depan.
Bagian 09. Jai Hwa Cat Tulen
Cin Pau tidak mau melayani Siauw Eng terlebih lama lagi karena ia anggap gadis
itu sombong sekali, biarpun diam-diam ia harus mengakui bahwa dara baju merah
itu luar biasa cantiknya bahkan lebih cantik dari pada ibunya sendiri yang
tadinya ia anggap sebagai wanita tercantik di dunia ini. Namun ia mencoba untuk
mengusir bayangan dara baju merah itu, dan sambil berlari cepat ia bersungut-
sungut, "Gadis sombong dan galak !"
Pemuda itu langsung menuju ke gua yang sore tadi telah di lihatnya karena ia
merasa yakin bahwa kedua orang penjahat itu tentu telah kembali ke sarangnya.
Benar saja, ketika ia tiba di luar gua. Ia melihat cahaya api di dalam gua itu
dan ternyata bahwa kedua orang saikong itu telah membuat api unggun di dalam
gua. Oleh karena berpikir bahwa kurang leluasa untuk bertempur di dalam hutan yang
gelap, dikeroyok oleh dua orang yang cukup kosen dan memiliki ilmu kepandaian
tinggi, maka Cin Pau menahan marahnya dan bersabar menanti sampai pagi. Ia tidak
tahu bahwa gadis baju merah yang galak itu telah mencari-carinya di dalam hutan
dengan pedang di tangan. Memang Siauw Eng merasa penasaran dan marah sekali karena dia yang telah
mendapat pujian dan julukan Bidadari Merah dari Gobi-san itu, kini tidak dapat
menjatuhkan seorang bangsat kecil. Kalau aku tak dapat merobohkannya namaku
tentu akan jatuh rendah sekali, pikirnya, sama sekali tak ingat bahwa peristiwa
pertempurannya melawan pemuda baju putih yang disangkanya penjahat cabul itu tak
terlihat oleh siapapun juga.
Menjelang pagi, setelah cuaca menjadi terang, tiba-tiba Siauw Eng yang sudah
lelah melihat Cin Pau di dekat sebuah gua bersembunyi di balik sebatang pohon
besar. Terang sekali bahwa pemuda itupun melihat kedatangannya, akan tetapi
pemuda itu sama sekali tak mau mempedulikannya dan menganggapnya seperti daun
kering saja. "Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana ?" teriak Siauw Eng keras dan melompat
ke depan gua untuk menghampiri Cin Pau. Pada saat itu, tiba-tiba dari dalam gua
melompat keluar dua bayangan orang yang berseru,
"Ha, ha, ha, bidadari cantik dan liar datang menyerahkan diri. Bagus, bagus,
sute," berkata saikong yang tinggi besar dan bermuka seperti barongsai. Saikong
kedua yang tinggi kurus tersenyum dan sambil memandang kepada Siauw Eng dengan
kagum, ia berkata, "Biarlah kutangkap kuda betina liar ini untukmu, suheng !"
Bukan main kaget dan marahnya Siauw Eng melihat betapa tiba-tiba saja muncul dua
orang pertapa yang bicaranya tidak keruan ini.
"Eh, kalian ini siapakah dan bangsa apa " Pakaianmu seperti orang pertapa akan
tetapi lagakmu kasar melebihi siluman !" Memang Siauw Eng terlalu manja dan
sombong hingga keheranannya pun luar Koleksi Kang Zusi
biasa sekali. Ia tak pernah merasa takut menghadapi siapapun juga oleh karena
belum pernah kehendaknya tak terlaksana karena semenjak kecil kemauannya selalu
dipenuhi oleh ayah bundanya yang amat mencintanya.
Kedua orang saikong itu sebetulnya bukanlah penjahat-penjahat sembarangan, akan
tetapi adalah orang-orang yang telah menggemparkan kalangan Kang ouw karena
kejahatan dan kelihaian mereka.
Yang tinggi besar dan bercambang bauk seperti muka singa itu adalah Pit Lek
Hoatsu, saikong cabul dan jahat yang dulu pernah mengganggu Lin Hwa dan Un Kong
Sian dan akhirnya dapat diusir karena takut menghadapi Pek Seng Hwesio ketua
kuil Thian Lok Si. Ternyata bahwa selama itu, Pit lek Hoatsu tidak mau merobah
cara hidupnya yang penuh kedosaan itu. Dan kini kebetulan sekali ia melakukan
perjalanan dikawani seorang adik seperguruan yang tidak kalah jahatnya, yakni
saikong tinggi kurus itu yang bernama Ban Lek Hoatsu. Ketika lewat di kota itu,
mereka tidak lewatkan kesempatan untuk menjalankan kebiasaan mereka yang
terkutuk. Melihat munculnya seorang darah muda yang demikian cantiknya, kedua saikong itu
seolah-olah melihat seorang bidadari turun dari kayangan. Timbul kegembiraan Ban
Lek Hoatsu untuk menangkap gadis ini yang dianggapnya hanya seorang pendekar
wanita biasa yang berkepandaian rendah saja.
Maka sambil menyeringai menjemukan, saikong tinggi kurus ini menerjang maju
dengan tangan kosong, menubruk dan menggunakan gerak tipu Harimau lapar tubruk
kambing, langsung kedua tangannya terulur ke depan hendak menangkap tangan Siauw
Eng yang memegang pedang dan menerkam pundak gadis itu.
"Siluman tua !" Siauw Eng memaki marah dan tanpa mengelak ia lalu menghadapi
serangan itu dengan gerak tipu Kilat Menyambar Membakar Pohon, pedangnya
bergerak dari kanan ke kiri dan menyabet ke arah kedua tangan lawan yang
menyerang secara ganas itu.
"Awas, sute .... !" Pit Lek Hoatsu terpaksa berseru kaget karena benar-benar ia
merasa terkejut melihat gerakan gadis baju merah yang luar biasa cepatnya itu.
Sementara itu, hanya dengan menggulingkan diri ke atas tanah dan menarik kedua
lengannya saja yang membuat Ban Lek Hoatsu dapat menyelamatkan kedua lengannya
dari pedang Siauw Eng. Saikong tinggi kurus ini lalu melompat berdiri dengan
keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia menjadi marah dan penasaran, akan
tetapi maklum pula bahwa dara baju merah ini bukanlah makanan lunak yang mudah
dikalahkannya dan dirampasnya begitu saja. Maka sambil berseru keras ia mencabut
pokiamnya yang terselip dipunggung dan pada saat Siauw Eng telah maju menyerang,
ia lalu menangkis dan balas menyerang sambil memaki,
"Kuda liar ! kalau aku tak bisa menangkapmu hidup-hidup, biarlah aku sembeli kau
dan panggang dagingmu untuk mengisi perut !"
Hinaan ini membuat seluruh muka Siauw Eng menjadi merah dan ia balas memaki,
"Siluman keparat ! Hari ini aku Gobi Ang Sianli mengirim nyawamu yang rendah dan kotor ke neraka
jahanam !" Kemudian ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sin
Coa Kiam hoat atai Ilmu Pedang Ular Sakti. Ban Lek Hoatsu melawan dengan hebat
dan diam-diam pendeta cabul ini terkejut sekali karena ia dapat melihat bahwa
ilmu pedang itu adalah ilmu pedang yang ternama dan lihai sekali dari partai
Gobi-san. Ia merasa menyesal karena tanpa disengaja ia telah bentrok dengan
seorang anak murid Gobi-pai yang lihai. Akan tetapi oleh karena sudah kepalang,
dan pula lebih baik ia binasakan saja anak perempuan ini dari pada nanti
rahasianya dibongkar dan dirinya dibenci oleh kaum persilatan dari Gobi-san,
maka ia lalu memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya.
Sementara itu, Pit Lek Hoatsu yang juga terkejut melihat kelihaian ilmu pedang
dara baju merah itu, segera melompat dan bersiap membantu sutenya, akan tetapi
tiba-tiba dari balik pohon berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang
pemuda tampan berpakaian putih telah berdiri di depannya. Pit Lek Hoatsu marah
sekali ketika melihat bahwa pemuda ini adalah pengejarnya malam tadi, maka tanpa
banyak cakap ia lalu menerjang dengan pedangnya.
Pendeta-pendeta cabul ! Sungguh kalian harus malu terhadap sang Buddha !" Cin
Pau menegur marah dan kata-kata ini membuka mata Siauw Eng bahwa yang menjadi
penjahat pemetik bunga sebenarnya adalah dua orang saikong ini dan bukan si
pemuda baju putih yang tampan. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa girang
mendapat kenyataan ini, dan kebenciannya terhadap lawan yang dihadapinya
bertambah. Ia lalu merobah-robah ilmu pedangnya, sebentar memainkan Sin Coa Kiam
hoat dan pedangnya menyerang dari bawah dengan ganas dan lihainya, sebentar lagi
ditukar dengan Pek Tauw Kiam hoat hingga tubuhnya yang ringan itu melompat
tinggi dan melakukan serangan dari atas seakan-akan seekor rajawali menyambar
korbannya. Namun ilmu kepandaian Ban Lek cukup lihai dan ditambah pula dengan
pengalamannya yang puluhan tahun lamanya itu, ia dapat menghadapi Siauw Koleksi
Kang Zusi Eng yang masih hijau dengan baiknya dan bahkan melakukan serangan balasan yang
tak kalah hebatnya. Adapun Pit lek Hoatsu yang menghadapi Cin Pau, segera mengeluh di dalam hatinya,
oleh karena kalau ilmu pedang Siauw Eng telah membuat ia kagum, adalah ilmu
kepandaian pemuda baju putih ini membuatnya terkejut dan heran sekali. Ia
seperti mengenal ilmu pedang ini yang mirip dengan ilmu pedang dari Kunlun-pai,
akan tetapi gerakan-gerakannya tidak begini cepat dan perubahannya tidak begini
hebat. Apa pula, pemuda ini agaknya memiliki ginkang dan lweekang yang tidak
berada di bawah kepandaiannya sendiri, bahkan dalam hal ilmu meringankan tubuh,
pemuda ini telah mencapai puncak kesempurnaan hingga tubuhnya berkelebat
bagaikan kilat menyambar. Sebetulnya Cin Pau sedang menyerang lawannya dengan
menggunakan ilmu pedangnya Kui Hwa Koan Kiam Hoat yang telah mengalami banyak
perobahan dan kemajuan itu, apalagi karena yang memainkan adalah seorang pemuda
yang memiliki ginkang tinggi dan yang memegang pedang Pek Kim Kiam lagi, maka
tentu saja kehebatannya luar biasa pula dan setelah bertempur puluhan jurus, Pit
Lek Hoatsu menjadi terdesak hebat.
Oleh karena dia sendiri masih belum dapat mendesak dara baju merah biarpun ia
telah mengerahkan tenaga dan kepandaian, maka ketika melihat betapa suhengnya
yang lihai itu bahkan terdesak oleh pemuda baju putih, Ban Lek Hoatsu menjadi
kuatir sekali. Kedua orang saikong ini diam-diam merasa heran mengapa dalam
dunia persilatan bisa muncul orang-orang muda yang luar biasa ilmu kepandaiannya
ini. Pit Lek Hoatsu maklum bahwa apabila ia terus menghadapi pemuda baju putih itu
dengan pedangnya, akhirnya ia akan mendapat celaka, maka tiba-tiba ia berseru
keras sambil mengambil sesuatu dengan tangan kirinya dari kantong jubahnya yang
lebar. "Rebahlah !" saikong itu membentak dan ketika ia menggerakkan tangan kirinya,
tiba-tiba sehelai jala terbuka dan menyerbu ke arah kepala Cin Pau dengan cepat
sekali. Pemuda ini terkejut, akan tetapi ia lalu menggerakkan pedangnya,
membacok ke arah jala itu dan akibatnya membuat ia berseru perlahan karena
ternyata bahwa jala yang terbuat dari pada kawat baja yang halus dan lemas itu
tak dapat terbacok putus, bahkan lalu mengecil dan menggulung pedangnya. Jala
kecil ini bekerja sendiri karena di dalamnya telah dipasangi kawat-kawat halus
yang berada di jari tangan Pit Lek Hoatsu hingga dapat digerakkan sebagai
semacam senjata yang berguna dan yang dapat merampas senjata lawan.
Untung sekali Cin Pau memiliki ilmu tenaga lweekang yang sudah sempurna hingga
ia tidak menjadi gugup dan dengan cepat ia mengirim sebuah tendangan Lui Kik ke
arah lambung lawan dan berbareng mengerahkan tenaga untuk mencabut kembali
pedangnya yang terlilit jala. Usahanya berhasil dan pedangnya terlepas lagi
karena dengan terkejut Pit lek Hoatsu terpaksa melompat ke belakang untuk
menghindarkan diri dari tendangan maut itu.
Merasa tak kuat menghadapi Cin Pau yang gesit, Pit lek Hoatsu lalu berseru,
"Sute, mari kita pergi!"
Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak ke arah Cin Pau dan
segenggam bubuk pasir hitam menyerang ke arah muka, dada, dan perut Cin Pau.
Pemuda itu mencium bau amis, maka cepat ia menahan napas dan mengelak karena
maklum bahwa senjata rahasia ini tentu berbisa.
"Penjahat curang !" tegurnya ketika melihat betapa Pit lek Hoatsu menggunakan
kesempatan itu untuk melompat pergi dengan cepat. Cin Pau lalu mengirim serangan
dengan biji-biji caturnya, yakni semacam kepandaian melepas senjata rahasia yang
aneh akan tetapi kelihaiannya tak kalah dengan senjata rahasia yang tajam,
karena biji-biji catur yang dilepaskannya ini selalu menyerang jalan-jalan darah
lawan dan Cin Pau telah mempelajari sampai sempurna betul cara melepas dengan
sistim "seratus kali sambit, seratus kali kena."
Untuk menerjang Pit Lek Hoatsu, Cin Pau hanya melepas dua biji catur yang
disambitkan ke arah jalan darah hoat sit hiat dan pek twi hiat. Akan tetapi, Pit
Lek Hoatsu benar-benar lihai sekali. Memang benar bahwa sambitan Cin Pau cepat
sekali datangnya dan tak dapat dikelit lagi, akan tetapi dengan cerdik sekali
Pit Lek Hoatsu menggerakkan tubuh dan mengerahkan lweekangnya sehingga biarpun
biji-biji catur itu mengenai tubuhnya, akan tetapi tidak tepat menghantam jalan
darah, hanya mengenai daging tubuhnya saja dan mental kembali karena ia telah
mengerahkan lweekang yang membuat tubuhnya seakan-akan menjadi kebal.
Cin Pau terkejut sekali karena ia tidak tahu akan akal cerdik ini dan menyangka
bahwa saikong jahat itu sudah demikian tinggi ilmunya hingga dapat menutup jalan
darah dan dapat menahan sambitan caturnya yang jitu. Maka ketika melihat saikong
itu melompat pergi, dia tak mau mengejar. Sebaliknya Koleksi Kang Zusi
melihat betapa gadis baju merah yang galak itu masih bertempur ramai dengan
saikong tinggi kurus tanpa dapat mendesak, ia lalu menyerbu dan membantu.
Akan tetapi, Siauw Eng yang merasa penasaran karena belum juga dapat mengalahkan
lawannya sedangkan ia melihat betapa pemuda baju putih itu telah mengusir
lawannya, lalu berseru, "Jangan membantu ! Aku tidak minta dibantu !"
Cin Pau tercengang, maka ia lalu urungkan niatnya hendak membantu, bahkan lalu
memasukkan pedang di sarung pedangnya dan pergi duduk sambil menonton di bawah
sebatang pohon besar. Siauw Eng menggertakkan giginya dan memainkan jurus paling berbahaya dari Sin
Coa Kiam hoat dan Pek Tiauw Kiam Hoat hingga benar saja ia dapat mendesak Ban
Lek Hoatsu. Akan tetapi ini hanya karena saikong itu telah bersiap untuk
menyusul suhengnya dan pergi dari tempat berbahaya itu.
Namun Siauw Eng tidak memberi kesempatan dan agaknya sudah maklum akan maksud
lawannya. Ia ingin melebihi pemuda baju putih itu yang hanya dapat mengusir
lawannya. Ia ingin menjatuhkan lawannya yang satu ini agar dapat melebihi hasil
pemuda baju putih. Ban Lek Hoatsu menjadi penasaran dan marah. Sambil berseru keras tangan kirinya
bergerak dan sehelai sabuk sutera yang berwarna hitam meluncur ke depan bagaikan
seekor ular sungai. Sabuk ini seakan-akan hidup dan meluncur menuju ke leher
Siauw Eng dengan kecepatan luar biasa dan gerakan melenggak-lenggok, Siauw Eng
cepat menyabet dengan pedangnya, akan tetapi seperti halnya dengan Cin Pau tadi,
sabuk hitam itu bahkan melibat ujung pedang di tangan Siauw Eng, dan sebelum
gadis itu sampai menarik kembali pedangnya, pedang di tangan Ban Lek Hoatsu
telah menikam dadanya. Keadaannya benar-benar berbahaya sekali, akan tetapi
Siauw Eng telah mendapat gemblengan hebat dari dua orang tokoh Gobi-san, maka
akan percuma saja ia belajar sampai bertahun-tahun kalau menghadapi serangan
semacam ini saja ia dapat dirobohkan. Dengan seruan keras sekali ia melepaskan
pedangnya dan kemudian menggunakan kedua tangannya mencengkeram ke depan, tangan
kanan ke dada lawan dan tangan kiri ke pergelangan tangan lawan yang memegang
pedang. Cin Pau kagum sekali karena dalam keadaan berbahaya itu, si nona masih
dapat mengeluarkan gerakan Eng Jiauw kang yang luar biasa itu.
"Celakalah sekarang saikong itu," diam-diam ia berbisik.
Akan tetapi ia terlampau memandang rendah kepada Ban Lek Hoatsu, karena biarpun
menghadapi jalan buntu ini, saikong itu masih mempunyai senjata yang luar biasa
ampuhnya dan yang jarang digunakan, karena kepandaian ini merupakan semacam ilmu
sihir yang jahat. Ketika melihat betapa lawannya menggunakan Eng Jiauw Kang yang
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbahaya, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari mulutnya menyembur uap hitam
yang menyambar ke arah muka Siauw Eng.
"Lekas buang diri ke belakang !" tiba-tiba Cin Pau berseru karena ia maklum akan
bahayanya uap itu. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa memang di kalangan
persilatan terdapat berbagai ilmu hitam yang jahat dan yang sering digunakan
oleh para penjahat menghadapi lawan mereka. Hoatsut semacam ini memang amat
berbahaya hingga sukar dilawan, maka tanpa terasa lagi ia mengeluarkan seruan
itu karena terkejut dan kuatir kalau-kalau dara baju merah itu dapat celaka.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw Eng pernah mendapat pelajaran dari Bok
Sam Cu tentang hoatsut. Gadis itupun berseru keras dan sambil menarik kembali
pedangnya yang kini mudah terlepas dari libatan sabuk sutera hitam, ia lalu
menjatuhkan diri berjungkir balik ke belakang. Kesempatan ini digunakan oleh Ban
Lek Hoatsu untuk melompat pergi.
"Bangsat rendah jangan lari !" bentak Siauw Eng dengan gemas dan ia melompat
pula mengejar. "Tak perlu mengejar mereka !" tiba-tiba bayangan putih berkelebat dan Cin Pau
sudah berdiri di depannya. "Mereka itu berbahaya sekali."
Siauw Eng memandang gemas. "Kau penakut !" katanya, "orang-orang macam mereka
itu harus dibinasakan."
"Kau sombong sekali," jawab Cin Pau. "Akan tetapi berani sekali. Baru saja kau
hampir mendapat celaka di tangan saikong kurus kering itu dan sekarang masih
hendak mengejar. Sungguh berani.
Berani, bodoh, dan sombong !"
Koleksi Kang Zusi "Apa katamu ?" "Aku kata kau berani, akan tetapi bodoh dan sombong ?"
"Berani benar kau memaki orang !"
"Tidak lebih berani dari pada kau yang mencaci maki aku sesuka hatimu malam
tadi. Pembalasan ku ini masih belum ada sepersepuluhnya."
Wajah Siauw Eng memerah. Ia pandang wajah yang tampan dan gagah itu dengan
gemas. Tak biasa orang berlaku kasar kepadanya dan terutama pandang mata pemuda
yang agaknya acuh tak acuh kepadanya itu menimbulkan benci di dalam hatinya. Ia
sudah terlalu sering dan sudah biasa melihat pandang mata kagum dari mata laki-
laki, terutama laki-laki muda seperti yang berdiri dihadapannya ini.
"Kau licik dan memilih lawan yang lebih lemah. Kalau aku yang menghadapi saikong
brewok itu, pasti ia telah mampus di tanganku sejak tadi !" katanya.
Cin Pau tersenyum. Ia maklum bahwa ucapan gadis ini tidak benar, karena
kepandaian saikong berewok itu lebih sedikit dari pada kepandaian saikong kurus
kering, akan tetapi ia tidak mau membantah karena tahu pula bahwa memang watak
gadis ini tidak mau dikalahkan orang.
"Pantas saja kalau kau gagah, bukankah kau sudah mempunyai julukan " Apa
julukanmu tadi " Aku mendengar bidadari-bidadari begitu ..... "
Dengan cemberut Siauw Eng berkata, "Kau ini selain licik juga bodoh dan singkat
ingatan. Baru mendengar sudah lupa. Julukanku Gobi Ang sianli !"
"Hm, kalau begitu kau anak murid Gobi-pai, pantas saja lihai." Agak senang juga
hati Siauw Eng mendapat pujian bahwa ia lihai, biarpun ucapan itu dikeluarkan
sepintas lalu saja oleh pemuda itu.
"Kau juga lihai," akhirnya ia mengaku juga, "tentu kau sudah mempunyai julukan
pula." Cin Pau tersenyum lagi, kemudian mengangkat pundaknya yang bidang. "Orang
semacam aku mana pantas memakai julukan " Aku tidak mempunyai gelar sesuatu, dan
namaku sedehana saja, yakni Ong Cin Pau."
"Siapa yang menanyakan namamu ?"
Cin pau melengak dan mukanya menjadi merah. Alangkah sombongnya orang ini,
pikirnya dengan mendongkol. "Tidak ada yang tanya," jawabnya cemberut, "kau
tanya julukan maka aku memberitahukan namaku."
Untuk beberapa saat keduanya berdiri diam, seorang memandang ke kiri, seorang ke
kanan, seakan-akan di depan masing-masing tidak ada orang. Melihat sikap acuh
tak acuh dari Cin Pau, Siauw Eng kecewa dan penasaran. Baru kali ini selama
hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang angkuh dan sombong.
"Mengapa kau tidak tanya namaku ?"
Cin Pau menjadi terheran-heran mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini. Bukan
main kukoainya (ganjilnya) dara baju merah yang cantik jelita dan gagah ini.
"Mengapa mesti bertanyakan namamu " Untuk apa ?" jawab Cin Pau sembarangan, tak
mau kalah angkuh. Siauw Eng menghela napas panjang. "Alangkah baiknya kalau kau ..... tidak
sesombong itu !" Kemudian ia membalikkan tubuh dan berjalan pergi, akan tetapi tiba-tiba ia
berhenti dan menengok sambil berkata, "Betul-betul kau tidak ingin mengetahui
namaku ?" Koleksi Kang Zusi Cin Pau menggelengkan kepalanya, biarpun hatinya ingin sekali mengetahui nama
dara yang lucu dan galak ini. "Untuk apa ?" katanya.
"Hah, bodoh. Tentu saja untuk diketahui dan diingat. Apalagi gunanya nama " Aku
sudah tahu namamu, maka tak baik kalau aku tidak memberitahukan namaku pula. Aku
she Gak bernama Siauw Eng. Nah, kita sudah seimbang sekarang, tidak saling
menghutangkan !" Setelah berkata demikian, Siauw Eng lalu berlari cepat
meninggalkan hutan itu. Pelayan hotel menjadi terheran-heran melihat nona baju
merah itu masih hidup dan kembali dalam keadaan selamat.
"Li-enghiong, kau benar-benar sehat-sehat saja dan tidak apa-apa ?" tanyanya
dengan heran. "Kami seluruh pengurus hotel merasa terkejut dan khawatir melihat bahwa jendela
kamarmu terbuka dan kau tidak kelihatan berada di kamar. Kami menyangka bahwa
kau tentu menjadi kurban siluman-siluman jai hwa cat itu. Tidak tahunya, setelah
kami hilang akal, kau datang. Aneh,...aneh !"
Siauw Eng tersenyum manis dan berkata, "Jangan khawatir lopeh. Mulai sekarang
takkan ada gangguan jai hwa cat lagi !"
Pelayan tua itu memandangnya dengan mata terbelalak. "Apa " Kau sudah berhasil
mengusirnya, li-enghiong ?" Dan ketika Siauw Eng menganggukkan kepala, pelayan
tua itu melemparkan sapunya dan berlari-lari keluar sambil berteriak-teriak,
"Jai hwa cat sudah diusir pergi ! Penjahat itu sudah dibunuh oleh li-
enghiong .... oleh ...." Tiba-tiba ia teringat bahwa ia belum mengetahui nama
Siauw Eng, maka selagi orang-orang di jalan memandangnya dengan bengong ia
berlari pula memasuki hotel dan menyerbu kamar Siauw Eng sambil bertanya,
"Mohon tanya, lihiap, siapakah nama lihiap yang mulia ?"
Siauw Eng tersenyum girang dan berkata, "Sebut saja Gobi Ang Sianli!"
Kembali pelayan tua itu berlari keluar dan berteriak-teriak dengan muka girang
dan suara keras. "Jai hwa cat telah diusir pergi pendekar wanita yang bermalam di hotel kami.
Sudah dibasmi oleh Gobi Ang sianli, Bidadari merah dari Gobi-san ! Mulai
sekarang kota kita takkan terganggu lagi. Hidup Gobi Ang Sianli !"
Sambil berteriak-teriak, pelayan itu berlari-lari ke seluruh penjuru kota hingga
sebentar saja semua orang tahu akan hal ini dan semua orang lalu berkerumun
mengunjungi hotel itu untuk menyaksikan pendekar wanita yang telah menolong kota
mereka itu. Melihat hal ini, Siauw Eng menjadi malu sendiri di dalam hatinya, oleh karena
sesungguhnya bukan dia sendiri yang mengusir kedua pendeta cabul itu dan kalau
saja tidak bertemu dengan Cin Pau, banyak sekali kemungkinan ia akan menderita
celaka di dalam tangan kedua saikong yang kosen itu. Ketika pelayan tua itu
datang dan minta supaya ia suka keluar menemui semua penduduk yang sudah berdiri
dan berkumpul di depan hotel, Siauw Eng lalu berkemas dan mengikatkan buntalan
pakaiannya di punggung. Kemudian ia hendak membayar uang sewa kamar, akan tetapi
dengan sungguh-sungguh pelayan tua itu menolaknya.
Dengan diiringkan oleh pelayan yang membongkok-bongkok dengan hormat dan girang,
Siauw Eng keluar dari hotel dan benar saja, di luar telah berkumpul banyak
sekali orang. Ketika ia muncul, semua orang memandang dengan bengong karena tak
mereka sangka bahwa pendekar wanita yang menolong mereka adalah seorang gadis
muda yang telah membuat mereka lupa bahwa mereka datang hendak menghaturkan
terima kasih dan kini mereka hanya berdiri dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga ! "Tentu dia seorang bidadari tulen !" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita
tua berseru dan seruan ini menyadarkan semua orang. Orang-orang yang berdiri di
depan lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh semua orang yang di belakang
dan mereka menghaturkan terima kasih kepada Gobi Ang Sianli.
Siauw Eng merasa tidak enak sekali dan baru kali ini ia merasa tidak enak
dihormati dan dipuja seperti itu.
Koleksi Kang Zusi "Dengarlah, cuwi sekalian ! Bukan aku saja yang menghalau penjahat-penjahat itu,
masih ada lagi seorang pendekar muda bernama Ong Cin Pau. Kepadanyalah
seharusnya cuwi mengucapkan terima kasih !"
Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat merupakan bayangan merah dan tahu-
tahu ia telah lenyap dari situ. Semua orang merasa kagum sekali dan di antara
sekian banyak orang itu terdapat seorang pemuda baju putih yang tersenyum-
senyum. Akan tetapi Siauw Eng tidak melihatnya karena ia tadi bersembunyi di
belakang orang banyak, bahkan ikut pula berlutut.
Bagian 10. Puteri Gak-ciangkun
Siauw Eng melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena ia sudah merasa rindu
sekali kepada ibunya. Ia tidak mau menunda-nunda perjalanannya dan tidak mampir-
mampir di kota lagi, akan tetapi terus saja melewati kota-kota dan dusun-dusun
kecuali kalau malam hari tiba.
Karena perjalanan yang dilakukan terus menerus ini, beberapa hari kemudian,
tibalah ia di sebuah hutan di luar kota Tiang-an. Hati Siauw Eng berdebar girang
karena ia ingat hutan ini yang tidak berobah keadaannya. Ketika ia masih kecil
sebelum pergi ke Gobi belajar ilmu silat, ayahnya seringkali mengajaknya ke
hutan ini untuk memburu binatang hutan. Di sebelah barat kota Tiang-an memang
banyak terdapat hutan dan ketika ia memasuki hutan pertama yang baru beberapa
kali didatangi ayahnya dulu karena jauhnya, Siauw Eng memperlambat larinya
sambil melihat-lihat. Beda sekali keadaan hutan-hutan di timur ini dengan di
sebelah barat, beda pohon-pohonnya, bahkan berbeda pula suara-suara burung yang
berkicau di pohon-pohon itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara kerbau menguak dan kemudian mendengar suara suling
bambu. Ia menjadi terkejut dan heran. Ia tidak tahu bahwa memang terdapat
beberapa buah dusun di dekat hutan itu sebelah selatan. Ketika ia menghampiri,
ternyata di satu tempat yang banyak rumput hijaunya, nampak seorang laki-laki
berusia kurang lebih tiga puluh tahun duduk di bawah sebatang pohon besar.
Tiga ekor kerbau sedang makan rumput di dekatnya dan orang itu meniup sulingnya
dengan asyik. Siauw Eng merasa tertegun karena di sebelah kanan orang itu terdapat dua
gundukan tanah yang jelas sekali menyatakan bahwa di bawah tanah itu ada dua
orang manusia dikubur. Pakaian orang itu sederhana saja dan mudah dilihat bahwa
dia adalah seorang petani yang hidup berbahagia. Hal ini dapat dilihat dari
tubuhnya yang sehat dan wajahnya yang berseri.
Ketika petani yang meniup sulingnya itu melihat Siauw Eng, tiba-tiba ia
menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan terkejut dan heran, akan
tetapi mata Siauw Eng yang tajam itu masih dapat melihat sinar kagum dari kedua
mata yang jujur itu. "Sahabat teruskan tiupan sulingmu, merdu benar bunyinya," kata Siauw Eng sambil
tersenyum manis. Petani itu makin gugup dan bingung, karena kecantikan Siauw Eng yang muncul
dengan tiba-tiba itu membuatnya heran sekali dan tak dapat mengeluarkan kata-
kata. Kemudian, setelah ia melihat sikap gagah dan pedang yang tergantung di
pinggang Siauw Eng ia lalu berdiri dan menjurah dengan hormat sekali. "Lihiap,
tentulah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa."
Siauw Eng tersenyum lagi. "Bagaimana kau bisa tahu ?"
"Lihiap membawa-bawa pedang dan berani seorang diri melalui hutan yang banyak
terdapat binatang buas ini."
"Kau cerdik, sahabat. Akan tetapi aku tidak mengerti mengapa kau sendirian pun
berani berada seorang diri di sini dengan enak-enak dan ayem, apakah kau juga
memiliki ilmu kepandaian tinggi hingga tidak takut akan binatang liar."
"Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali mencangkul tanah dan meniup
suling, akan tetapi apa yang aku takutkan " Aku tidak berada seorang diri, dan
selama saudaraku, tanduk baja mengawaniku di sini, aku tak takut kepada binatang
apapun juga !" Siauw Eng memandang ke sekelilingnya untuk mencari dan melihat kawan petani yang
diandalkan dan yang bernama Tanduk Baja itu, akan tetapi ia tidak melihat orang
lain disitu. Koleksi Kang Zusi "Mana kawanmu yang gagah itu ?" tanyanya.
Petani itu dengan bangga lalu menghampiri seekor di antara ketiga kerbaunya yang
sedang makan rumput dan sambil menepuk-nepuk punggung kerbau yang besar itu ia
berkata, "Inilah dia, Saudaraku Tanduk Baja ! Telah dua kali ia menghadapi
harimau dan dengan tanduknya merobek-robek perut harimau itu. Dengan adanya dia
di sini, apakah yang aku takutkan ?"
Siauw Eng memandang kagum dan memang kerbau jantan itu nampak kuat sekali.
Sepasang tanduknya besar dan runcing bagaikan dua batang tombak. Ia mengangguk-
angguk dengan kagum, kemudian ia menunjuk ke arah dua buah kuburan itu.
"Apakah ini makam keluargamu ?"
Petani itu menggelengkan kepala. "Bukan, lihiap, akan tetapi akulah, kedua
tanganku inilah yang dulu menanam jenazah-jenazah mereka yang rebah di sini
dengan mandi darah. Ah, masih ngeri aku melihat betapa tubuh mereka mandi darah
dalam keadaan yang membuat bulu tengkukku masih berdiri kengerian kalau
terbayang pula. Mereka juga orang-orang gagah seperti kau, lihiap."
"Bagaimana kau bisa tahu " Dan siapakah mereka ini ?"
"Entahlah, ketika itu, belasan tahun yang lalu, aku dan seorang kawanku yang
sekarang tinggal di kota raja, sedang menggembala kerbau kami dan tiba-tiba
ketika kami tiba di sini, kami melihat jenazah kedua orang laki-laki yang
sekarang berada di bawah tanah ini. Tangan mereka masih menggenggam pedang dan
tubuh mereka hancur, penuh bekas bacokan senjata tajam dan tusukan anak panah.
Aku tidak tahu siapa mereka itu menimbulkan rasa iba di hati kami, maka kami
lalu mengubur kedua jenazah ini. Dan ternyata Thian memang adil, lihiap.
Semenjak aku dan kawanku mengubur jenazah-jenazah ini, keadaan kami mendadak
menjadi baik sekali. Sawah yang kami tanami menghasilkan banyak padi dan gandum,
jauh lebih banyak dari pada hasil di sawah orang lain dan sekarang aku sudah
memiliki tiga ekor kerbau dan sepetak sawah. Dan kawanku itu" Ia telah membuka
sebuah rumah makan yang lumayan di kota raja. Bukankah ini berarti pembalasan
budi dari kedua jenazah yang tak kami kenal ini
?" Mendengar penuturan itu, diam-diam Siauw Eng teraruh juga. Alangkah buruknya
nasib kedua orang ini, binasa di tempat asing dan dikubur oleh dua orang
penggembala kerbau, tidak diketahui oleh sanak keluarga mereka.
"Hatimu jujur dan mulia, sahabat. Sudah sepantasnya hidupmu bahagia." Setelah
memuji, Siauw Eng lalu meninggalkan tempat itu, sedikitpun tak pernah mengira
bahwa sebuah dari pada kuburan ini adalah kuburan ayahnya sendiri, Ma Gi !
Ia melanjutkan perjalanannya dengan hati gembira dan tak lama lagi ia akan tiba
di hutan terakhir dan yang terdekat dengan kota Tiang-an Tiba-tiba ia mendengar
suara kuda meringkik dan orang bercakap-cakap. Ia berjalan terus dan tak lama
kemudian ia melihat dua orang penunggang kuda yang gagah sekali. Kuda yang
mereka tunggangi adalah kuda-kuda besar dan bagus yang tentu saja mahal harganya
berpelana indah dan memakai kerincingan hingga tiap kali kuda itu menggerakkan
tubuhnya agak keras, berbunyilah kerincingan itu menimbulkan kegembiraan.
Penunggang-penunggangnya juga orang gagah sekali.
Seorang di anataranya adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan
tampan wajahnya. Rambutnya yang hitam dan halus itu diikat dengan sutera biru dihias dengan
hiasan rambut dari permata indah. Pakaiannya dari sutera dari sutera jambon yang
dihiasi renda kuning emas. Pedangnya dengan sarung pedang terukir bagus,
tergantung dipinggangnya dan sepatunya dari kulit yang mengkilat. Dandanan
seorang kongcu yang cakap, tampan, dan kaya raya. Kawannya juga mengagumkan
sekali, yakni seorang gadis muda yang cantik dan lembut sinar matanya. Rambutnya
dikepang dua dan dihias pita merah, sedangkan pakaiannya terbuat dari dari pada
sutera hijau dan merah yang indah sekali potongannya. Dia atas rambutnya terhias
bunga-bunga emas dan mutiara, sedangkan sebatang pedang terselip dipunggungnya.
"Lihat sumoi, binatang she Ma lewat di sana. Biar aku bikin mampus dia !" Sambil
berkata demikian pemuda yang gagah itu lalu mengambil anak panah dan menarik
gendewanya, membidik ke arah semak belukar dan melepaskan anak panah itu yang
dengan cepatnya meluncur ke dalam semak-semak.
Koleksi Kang Zusi Siauw Eng merasa heran sekali dan ketika ia memandang, ternyata anak panah itu
telah menancap dan menembus tubuh seekor kelinci putih yang mati pada saat itu
juga. Pemuda yang lihai anak panahnya itu, melompat turun dari kudanya sambil
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa riang, kemudian ia mengambil bangkai kelinci yang dipanahnya tadi,
mengangkat tinggi ke atas dan berkata kepada kawannya sambil tertawa,
"Sumoi, lihatlah binatang she Ma ini. Kalau aku bertemu dengan dia, akan
kubeginikanlah. Lihat, binatang she Ma sekarang telah mampus, menggerakkan
ekornyapun tidak mampu lagi. Ha, ha, ha!"
Gadis yang cantik itupun tertawa. Kebetulan pada saat itu di atas terbang
serombongan burung pipit.
"Suheng, sekarang aku akan menjatuhkan binatang she Khu !" Setelah berkata
demikian gadis cantik itu merogoh saku dan mengayunkan tangannya ke atas. Sebuah
benda putih berkilau meluncur ke atas dan tepat sekali menyerbu ke arah
gerombolan burung yang terbang lewat dan jatuhlah seekor burung dari atas,
tertancap dadanya oleh sebatang piauw yang berwarna putih karena terbuat dari
pada perak. Melihat jarak yang jauh dan tinggi itu, maka diam-diam Siauw Eng mengagumi
kepandaian melempar gin-pauw (piauw perak) gadis itu.
Gadis itu turun dari kuda dan memungut kurban piauwnya, lalu mengangkatnya ke
atas sambil berkata, "Beginilah nasib binatang she Khu kalau bertemu denganku !" katanya kepada
pemuda itu. Keduanya tertawa-tawa sambil memaki-maki orang-orang she Ma dan she
Khu. Siauw Eng merasa heran sekali mengapa kedua orang muda yang gagah dan kaya ini
demikian benci kepada orang-orang she Ma dan she Khu sehingga mereka
mengumpamakan binatang-binatang buruan mereka sebagai orang-orang yang
dibencinya itu. Ia tidak tahu bahwa kedua orang ini semenjak kecil memang telah
dijejali rasa benci, dendam dan permusuhan terhadap dua keluarga Ma dan Khu,
selalu diajar untuk membenci dua nama itu oleh ibu mereka. Mereka adalah putera
puteri keluarga Gu. Pemuda itu bernama Gu Liong, putera tunggal nyonya janda Gu Keng Siu yang tidak
mau kawin lagi. Sedangkan gadis itu adalah Gu Hwee Lian, puteri nyonya janda Gu Leng Siu yang
kawin lagi dengan Gan Hok, perwira berpangkat Touwtong di kota Lok-keng.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, nyonya Gu Keng Siu yang merasa
sakit hati karena kematian suaminya di tangan keluarga Ma dan Khu, lalu menyuruh
putera tunggalnya untuk belajar silat kepada Gan Hok yang menjadi suami nyonya
Leng Siu dan menjadi ayah tiri Gu Hwee Lian. Oleh karena ini, maka Gu Liong dan
Gu Hwee Lian menjadi saudara seperguruan dan mendapat latihan ilmu silat dari
Gan Hok yang berilmu tinggi.
Semenjak kecil, ibu mereka dan juga Gan Hok, menanamkan bibit permusuhan dalam
hati kedua anak muda ini dan menceritakan betapa ayah mereka, yakni putera
pangeran Gu Leng Siu dan Gu Keng Siu, juga kakek mereka pangeran Gu Mo Tek,
telah menjadi korban keganasan dua orang pemberontak bershe Khu dan Ma dan bahwa
sudah menjadi kewajiban mereka untuk membasmi setiap keturunan kedua keluarga
itu. Karena itulah, maka tiap kali berburu binatang, kedua anak muda ini sambil
berkelakar memaki-maki nama Khu dan Ma untuk melampiaskan rasa sakit hati dan
dendam mereka karena tidak tahu di mana adanya keturunan kedua orang keluarga
itu dan mereka ini harus membalas kepada siapa.
Biarpun Siauw Eng sama sekali tidak tahu tentang hal ini dan tak pernah
mendengar tentang nama keluarga Khu dan Ma itu, namun ia merasa kurang senang
melihat kelakuan kedua orang muda yang memaki-maki dan menghina dua keluarga tak
terkenal itu. Ia lalu melompat keluar mendekati mereka.
"Eh, kalian ini apakah sudah miring otakmu " Kelinci disebut she Ma dan burung
she Khu, kalau bukan orang yang berotak miring tak nanti bicara tidak keruan
seperti kalian berdua !" tegurnya.
Gu Liong dan Gu Hwee Lian terkejut dan memandang. Mulut Gu Liong terbuka dan
kedua matanya menatap dengan penuh kekaguman. Sedangkan Hwee Lian juga memandang
kagum karena sikap Siauw Eng memang gagah sekali. Akan tetapi teguran Siauw Eng
itu setidaknya membuat kedua anak muda ini marah juga, terutama sekali Gu Liong.
Kalau saja yang memaki dia gila itu bukan seorang dara muda yang demikian cantik
jelitanya, tentu ia sudah menggunakan kepalan menghajar orang itu.
Koleksi Kang Zusi Sebaliknya, Hwee Lian agaknya tidak mempedulikan teguran Siauw Eng, karena
kembali gadis ini mengambil piauw peraknya dan ketika pada saat itu ia melihat
seekor kelinci berlari keluar dari semak, cepat piauwnya menyambar dan ia
berkata, "Nah, seorang keturunan Ma mampus lagi."
Siauw Eng cepat membungkuk dan tahu-tahu ia telah memungut batu kerikil yang
dilemparkannya ke depan. Gerakkannya ini cepat sekali dan tahu-tahu batu
kerikilnya telah membentur gin-piauw yang melayang ke arah perut kelinci itu
hingga senjata tersebut menyerong arahnya dan tidak mengenai kelinci.
Gu Liong dan Hwee Lian terkejut dan marah melihat kelancangan nona baju merah
ini. "Siapakah kau yang berlancang tangan dan datang-datang selain memaki kami
juga berani mengganggu dan memukul gin-pauwku ?" tegur Hwee Lian dengan muka
merah. "Kelinci diburu untuk dimakan dagingnya, bukan untuk main-main. Dan kalau kalian
benar-benar membenci orang-orang she Ma dan Khu carilah mereka dan ajak
bertanding, tidak memusuhi binatang-binatang yang tak berdosa. Perbuatan kalian
ini hanya menunjukkan sikap penakut saja. Tidak dapat dan tidak berani
menghadapi orangnya lalu memuaskan nafsunya kepada binatang-binatang tak
berdaya. Hih, tak tahu malu !"
Sepasang mata Hwee Lian yang bersinar lembut itu mengeras dan ia menjadi marah
sekali. Sambil menuding kepada Siauw Eng, ia menegur, "Kau ini orang lancang dan
bermulut panjang, mengapa mencampuri urusan orang lain. Kalau kau merasa gagah
perkasa dan ingin menjadi pembela segala kelinci dan burung, kau majulah ! Aku
hendak membunuh kelinci dan burung sebanyak yang kusukai, hendak menyebut mereka
dengan nama apa saja, apa perdulimu ?"
Siauw Eng adalah seorang yang selain keras hati, juga mau menang sendiri saja.
Maka mendengar ucapan Hwee Lian dan melihat betapa dua orang yang berpakaian
indah itu menjadi marah, ia tersenyum menghina dan berkata,
"Pendeknya, aku melarang kalian memaki-maki di depanku !"
Gu Liong tertawa mengejek, "Hm, kau hendak membela keluarga Ma dan Khu ?"
"Siapa sudi membela mereka " Aku tidak kenal mereka !" jawab Siauw Eng marah.
Gu Hwee Lian tertawa penuh olok-olok, "Kalau begitu, kau tentu menjadi pembela
kelinci dan burung !"
Kedua saudara Gu itu tertawa geli sambil memandang Siauw Eng hingga dara baju
merah itu menjadi marah sekali. Dicabutnya pedang dari pinggangnya dan sambil
menuding dengan tangan kiri ia membentak,
"Dua manusia rendah, kau berdua majulah ! Jangan hanya berani menghina segala
binatang kecil tak berdaya, hendak kulihat apakah kepandaian kalian sebagus
pakaian yang kalian pakai !"
Gu Liong dan Gu Hwee Lian adalah murid Gan Hok yang berilmu tinggi dan mereka
telah mendapat latihan silat semenjak kecil, maka selain lihai, mereka inipun
berhati tabah sekali. Kini melihat tantangan Siauw Eng, tentu saja mereka tidak
menampik dan serentak mereka lalu mencabut pedang masing-masing dan maju.
"Majulah bersama dan jangan ragu-ragu !" ejek Siauw Eng melihat betapa kedua
orang itu merasa agak ragu-ragu untuk maju mengeroyok.
"Sombong !" seru Hwee Lian yang segera melompat maju dan menyerang dengan gerak
tipu Hong Ciu Pai Hio atau Angin Meniup Dahan Tua.
"Bagus !" kata Siauw Eng dan ia tiba-tiba merendahkan tubuh dan dari bawah
secepat kilat pedangnya menyambar ke arah pergelangan Hwee Lian yang sedang
menyerangnya. Inilah sebuah gerak tipu dari Sin Coa Kiamhwat yang disebut Ular
Menyambar Burung yang tak terduga dan hebat sekali, karena dalam keadaan
diserang, Siauw Eng telah membalas dengan serangan pula yang tak kalah hebatnya.
Hwee Lian terkejut sekali karena hampir saja pergelangan tangannya kena dibabat.
Ia cepat menarik kembali tangannya dan membacok dari atas ke arah kepala Siauw
Eng yang masih merendah dan membongkok. Siauw Eng tertawa dan mengelak cepat dan
ketika pedang Hwee Lian lewat menyambar Koleksi Kang Zusi
di dekat kepalanya, ia lalu menggunakan punggung pedangnya untuk memukul pedang
itu ke bawah. Kembali Hwee Lian terkejut bahkan kali ini ia mengeluarkan seruan tertahan
karena kalau ia tidak memegang erat-erat pedangnya tentu pedang itu telah kena
dihantam terlepas dari pegangannya.
Ia lalu melompat mundur dan kini menghadapi Siauw Eng dengan hati-hati sekali
karena maklum bahwa ilmu silat dara baju merah ini benar-benar tinggi sekali.
"Ha, ha, ha, jangan kau berani melawan nenek besarmu seorang diri saja. Majulah
berdua dengan suhengmu itu !" Siauw Eng mengejek sambil tertawa.
"Sumoi jangan takut, aku membantumu !" Gu Liong berkata dan mencabut pedang
terus maju mengeroyok. Akan tetapi dengan tak gentar sedikitpun, Siauw Eng
menghadapi mereka dan memainkan ilmu pedangnya yang hebat dan luar biasa itu
hingga biarpun dikeroyok dua, akan tetapi kedua orang saudara Gu itu terdesak
hebat dan tubuh mereka terancam sinar pedang Siauw Eng yang bergulung-gulung.
Baiknya Siauw Eng hanya ingin menggoda mereka saja dan tidak bermaksud
mencelakainya, karena kalau kedua orang ini menjadi musuh-musuh yang dibenci,
tentu sebentar saja mereka telah roboh mandi darah.
Pada saat itu, dari jauh datang dua orang penunggang kuda lain dan setelah
dekat, mereka segera melompat turun dari kuda dan seorang di antara mereka
berseru, "Tahan dulu !"
Hwee Lian dan Gu Liong melompat mundur dengan hati lega karena itu adalah suara
Gan Hok, ayah tiri Hwee Lian atau guru mereka berdua. Ternyata Gan Hok datang
bersama seorang tua gundul yang berpakaian seperti pengemis karena penuh
tambalan. Pengemis ini bukanlah orang sembarangan, akan tetapi adalah supek (uwa
guru) Gan Hok sendiri yang bernama Kim-i Lokai (Pengemis Tua Baju Emas). Bajunya
itu biarpun tambal-tambalan, akan tetapi tambalannya dijahit dengan benang emas,
maka ia mendapat julukan Pengemis Tua Baju Emas. Ilmu kepandaiannya tinggi
sekali dan ia merupakan tokoh besar di daerah utara.
Siauw Eng melihat kedatangan seorang setengah tua yang gagah dan seorang
pengemis tua yang aneh, juga melompat mundur dengan pedang melintang di dada.
Hwee Lian segera menubruk ayahnya dan berkata dengan manja.
"Ayah, orang ini kurang ajar sekali !"
"Dia membela keluarga Khu dan Ma !" kata Gu Liong.
Tiba-tiba pengemis itu tertawa lebar. "Memang, kaum persilatan sekarang telah
terdesak oleh yang muda-muda. Nona baju merah, ilmu pedangmu tadi hebat sekali,
marilah kita main-main sebentar !"
Sambil berkata demikian, pengemis itu maju sambil memegang tongkat bengkok.
Siauw Eng yang tabah dan berani tentu saja tidak menampik tantangan orang, maka
ia lalu maju menyerang. Ia maklum bahwa pengemis ini tentu tinggi kepandaiannya,
maka datang-datang ia menyerang sambil mengeluarkan ilmu silatnya Pek Tiauw Kiam
sut yang hebat. "Ha, ha, ha ternyata kau anak murid Gobi-pai !" Kim I Lokai tertawa sambil
menangkis dengan tongkatnya. Tangkisan ini berat dan kuat sekali hingga Siauw
Eng merasa betapa telapak tangannya sakit. Akan tetapi oleh karena ia memang
keras hati dan nekad, biarpun maklum bahwa kepandaian kakek pengemis ini lebih
tinggi dari tingkat kepandaiannya sendiri, namun ia tidak mau mengalah dan
sambil menggertakkan gigi, ia terus menyerang lagi lebih hebat. Kakek pengemis
itu mempertahankan diri dengan gerakan-gerakan tongkatnya yang diputar bagaikan
sebatang pedang juga, akan tetapi walaupun tongkat itu hanya terbuat dari pada
sebatang kayu yang kecil, namun karena digerakkan oleh tenaga Iweekang yang
besar, kehebatannya tidak kalah dengan pedang asli.
Sebentar saja, biarpun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, Siauw Eng
terdesak mundur dan terkurung oleh tongkat itu. Tiba-tiba kakek pengemis itu
melompat ke belakang dan berkata,
"Bagus, kau tak mengecewakan menjadi anak murid Gobi-pai ! Bagaimana dengan Bok
San Cu " Apakah ia baik-baik, saja ?"
Koleksi Kang Zusi Siauw Eng terkejut karena kakek yang lihai ini agaknya kenal dengan suhunya,
maka ia lalu menjawab dengan pertanyaan.
"Tidak tahu siapakah locianpwee yang lihai " Dan mengapa kenal kepada suhu ?"
Kakek itu tertawa bergelak-gelak. "Tentu saja aku kenal dengan Bok Sam Cu dan
Cin Sam Cu. Dan kalau mereka berdua itu mendengar bahwa kau telah berani melawan
Kim I Lokai, tentu kau akan mendapat teguran karena telah berani mengangkat
pedang terhadap seorang sahabat baik mereka! Ha, ha, ha !"
Siauw Eng terkejut karena ia pernah mendengar nama ini dari kedua orang suhunya,
maka buru-buru ia menjura sambil menyimpan pedangnya. "Mohon maaf sebanyaknya,
karena teecu tidak tahu bahwa teecu berhadapan dengan locianpwee yang pernah
disebut-sebut oleh dua suhuku. Akan tetapi, mengapa pula locianpwee membela dua
orang anak kurang ajar itu ?"
Pada saat itu, Gan Hok melangkah maju dan bertanya, "Jadi nona adalah murid
Gobi-san " Apakah nona she Gak ?"
Kembali Siauw Eng terkejut dan cepat menjawab, "Memang benar, ayahku adalah Gak
Song Ki !" Gan Hok tertawa girang dan segera menjura, "Aha, memang kalau belum bertempur
takkan mengenal. Maaf, pantas saja kau gagah sekali, Gak siocia. Ayah bundamu seringkali bicara
tentang dirimu. Liong-ji Hwee Lian, ayoh kalian minta maaf kepada Gak siocia !"
Hwee Lian dan Gu Liong juga terkejut sekali ketika mendengar bahwa nona baju
merah yang lihai ini adalah puteri Gak Song Ki yang seringkali mereka dengar
namanya itu, maka buru-buru mereka berdua lalu menjura dan mohon maaf, bahkan
Hwee Lian lalu memeluk Siauw Eng sambil berkata,
"Cici yang gagah, kau maafkanlah aku dan suhengku ini !"
Biarpun hatinya merasa senang sekali melihat mereka itu kini bersikap baik
sekali kepadanya, akan tetapi Siauw Eng menjadi heran dan tidak mengerti.
Melihat hal ini, Gan Hok lalu menjelaskan,
"Ketahuilah, Gak-siocia. Aku adalah seorang rekan dan kawan sejabat ayahmu,
berkedudukan sebagai towtong di kota Lok-keng yang tak jauh letaknya dari kota
raja. Aku dan ayahmu telah saling mengenal semenjak muda, hingga boleh dibilang
kita adalah sahabat-sahabat baik. Akhir-akhir ini ayahmu dan aku seringkali
datang dan saling berkunjung, maka kami mendengar pula tentang puterinya yang
belajar silat di Gobi-san. Hwee Lian ini adalah puteriku dan Gu Liong adalah
kemenakan dan juga muridku, maka kau maafkanlah mereka yang telah berani berlaku
kurang ajar karena tidak mengenalmu. Kau hendak kemana, nona " Apakah hendak
kembali ke rumah orang tuamu " Kebetulan sekali kami juga hendak ke kota raja !"
Demikianlah, dengan hati girang Siauw Eng lalu menuturkan bahwa ia memang baru
saja turun gunung dan hendak pulang, maka beramai-ramai mereka lalu menuju ke
kota raja. Gan Hok memang tidak tahu bahwa Siauw Eng bukan puteri Gak Song Ki
sendiri, oleh karena anak ini terlahir di rumah perwira she Gak itu dan semua
orang menyangka bahwa anak ini adalah puteri tulen perwira itu. Apalagi orang
lain, bahkan Siauw Eng sendiri tidak tahu bahwa Gak Song Ki adalah ayah tirinya.
Kedatangan rombongan ini disambut oleh Gak Song Ki dan Kwei Lan dengan girang
sekali. Gak Song Ki teramat bangga melihat puterinya yang selain cantik jelita
seperti ibunya juga telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan Kwei Lan
ketika bertemu dengan anak tunggalnya, lalu memeluknya sambil menangis penuh
keharuan hati, nyonya cantik ini hidup bahagia dengan suaminya yang amat
menyintanya, akan tetapi ketika ia memeluk Siauw Eng untuk sesaat terbayanglah
wajah ayah anak ini, yaitu Ma Gi, hingga air matanya mengucur makin deras.
Gan Hok menuturkan tentang pertempuran kedua orang muridnya dengan Siauw Eng
sehingga semua orang tertawa dan Gak Song Ki merasa bangga sekali akan
puterinya, terutama ketika Gan Hok dan juga Kim I Lokai yang lihai itu memuji-
mujinya. Kemudian, Siauw Eng pergi ke kamar dengan ibunya, sedangkan Hwee Lian
dan Gu Liong yang sudah seringkali datang ke rumah itu, tanpa malu-malu lagi
lalu bermain di taman bunga yang luas dari gedung Gak-ciangkun itu. Adapun Gan
Hok, Gak Song Ki, dan Kim I Lokai lalu mengadakan perundingan yang agaknya
penting sekali. Koleksi Kang Zusi Memang di antara perwira-perwira ini terdapat urusan yang amat pentingnya. Telah
beberapa lama mereka mendapat kisikan dan pemberitahuan dari seorang perwira
lain bernama Can Kok bahwa kuil Thian Lok Si yang tersohor dan besar itu telah
menjadi sarang pemberontak dan bahwa kawan-kawan keluarga Khu dan Ma serta
keturunan mereka telah bersembunyi di kuil itu. Gak Song Ki dan Gan Hok sendiri
pernah melakukan penyelidikan di kuil itu akan tetapi oleh karena tidak terdapat
sesuatu yang mencurigakan, mereka tak menaruh perhatian lagi atas tuduhan Can
Kok itu. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, tiba-tiba saja datang perintah rahasia
dari Kaisar sendiri yang memerintahkan agar Gan Hok dan Gak Song Ki membasmi
hwesio-hwesio di Thian Lok Si karena semua anggauta kuil itu dianggap sebagai
pemberontak. Ternyata bahwa Can Kok yang dulu ketika mengejar Un Kong Sian dan Lin Hwa, telah
dijatuhkan oleh hwesio di Thian Lok Si dan menerima hinaan, merasa sakit hati
sekali dan selamanya ia tak dapat melupakan sakit hati ini. Dicarinya akal untuk
membalas dendam, akan tetapi oleh karena ia maklum akan kelihaian para hwesio di
Thian Lok Si, maka ia tidak berani berlaku sembrono dan kasar. Diam-diam ia
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"membeli" seorang hwesio di dalam kuil itu untuk mencari tahu tentang segala
rahasia yang ada. Namun, memang kepala kuil itu, Pek Seng Hwesio, adalah seorang
hwesio suci yang tak pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka sukar
sekali bagi Can Kok untuk menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan.
Akan tetapi, kecurigaannya timbul kembali ketika ia mendengar bahwa seorang
pemuda bernama Un Kong Sian, putera seorang nyonya janda congtok dan yang
menjadi sute dari Khu Tiong dan Ma Gi, dua orang muda pemberontak itu, telah
masuk menjadi hwesio di Thian Lok Si. Can Kok menjadi girang oleh karena pemuda
itu masih mempunyai hubungan saudara seperguruan dengan keluarga Khu dan Ma,
maka setelah pemuda itu kini masuk menjadi hwesio, ia mempunyai alasan untuk
memfitnah kuil itu. Akan tetapi, fitnahannya tak berhasil dan kawan-kawan perwira lain tidak ada
yang mau mendengarnya, karena mereka maklum bahwa ketua Thian Lok Si, Pek Seng
Hwesio adalah seorang berilmu tinggi yang tak boleh dibuat gegabah. Bertahun-
tahun Can Kok menahan marahnya dan akhirnya, setelah Pek Seng Hwesio
meninggalkan kuil itu untuk melakukan perjalanannya ke barat dan menyerahkan
pimpinan kuil ke tangan muridnya yakni Un Kong Sian yang telah menjadi Sian Kong
Hosiang, timbul lagi harapan di hati Can Kok.
Perwira ini lalu memulai siasatnya ke tempat yang lebih tinggi lagi, yakni
kepada pembesar-pembesar atasan yang dekat dengan Kaisar dan membuat Kaisar itu
akhirnya mengeluarkan perintah rahasia untuk membasmi dan membakar kuil Thian
Lok Si. Kini bukan main girang hati Can Kok. Ia lalu mengadakan hubungan dengan Gak Song
Ki dan Gan Hok, dan ketiga orang perwira ini masing-masing berusaha mengumpulkan
tenaga dan pembantu yang berilmu tinggi karena mereka tidak berani secara
sembrono melakukan penyerbuan. Gan Hok berhasil mendatangkan supeknya, yakni Kim
I Lokai yang kini mengadakan perundingan dengan Gak Song Ki.
Menurut pendapat Kim I Lokai yang juga telah tahu akan kelihaian hwesio-hwesio
di kuil Thian Lok Si, lebih baik untuk mengumpulkan orang-orang gagah dari
seluruh golongan sehingga serbuan itu sekaligus mendatangkan hasil baik dan
tidak menjatuhkan pamor dan nama serta kegagahan perwira-perwira kerajaan.
Sementara itu, setelah melepaskan rindunya kepada ibunya, Siauw Eng juga lalu
menyusul kedua saudara Gu di taman bunga dan ketiga orang anak muda ini menjadi
kawan-kawan baik. Bagian 11. Perwira Can Kok
Cin Pau melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan pikiran masih penuh dengan
bayangan Siauw Eng. Biarpun ia merasa gemas dan mendongkol menyaksikan
kesombongan dan lagak Siauw Eng, namun ia tidak bisa membenci dara yang manis
jelita itu dan diam-diam ia merasa heran sekali mengapa bayangan wajah gadis itu
selalu terbayang saja di depan matanya. Ia telah mengeraskan hati dan berusaha
sekuatnya untuk mengusir bayangan itu, akan tetapi baru saja ia berhasil
mengusir bayangan itu, sebentar lagi sudah datang pula membayang dengan senyuman
yang manis. "Bodoh, gadis sombong dan galak macam itu tiada harganya untuk dikenang !" ia
mencela dirinya sendiri dan berlari secepatnya menuju ke kota raja.
Koleksi Kang Zusi Malam hari itu ia bermalam dalam sebuah rumah penginapan besar di Tiang-an. Ia
bertanya kepada pelayan, apakah pelayan itu tahu di mana rumah keluarga Un Kong
Sian, dan pelayan itu menyatakan tidak tahu. Cin Pau sama sekali tidak mengira
bahwa Can Kok yang lihai telah menaruh banyak mata-mata hingga di hotel itupun
terdapat mata-matanya, hingga pertanyaan Cin Pau ini terdengar oleh mata-mata
itu, yang segera menyampaikan kepada Can Kok bahwa ada seorang pemuda baju putih
yang membawa pedang bertanya tentang rumah keluarga Un Kong Sian yang dicurigai.
Pada keesokan harinya, Cin Pau berhasil mendapat keterangan dari seorang
penduduk tua di kota raja dan ia lalu mencari rumah gedung yang dulu ditinggali
oleh Un Kong Sian. Akan tetapi, ternyata gedung itu telah menjadi milik orang
lain dan dari penghuni baru ini ia mendengar keterangan bahwa ibu Un Kong Sian atau nyonya janda congtok telah meninggal dunia dan
tentang diri Un Kong Sian, tak ada seorang pun mengetahui di mana tempat
tinggalnya atau kemana perginya.
Dengan kecewa dan sedih, Cin Pau meninggalkan gedung itu. Ketika ia tiba kembali
di hotelnya, tiba-tiba pelayan hotel memberitahu di luar ada seorang tamu yang
mencarinya. Cin Pau merasa heran ketika keluar dan melihat seorang laki-laki
berpakaian pelayan pembesar berdiri di ruang depan dan menjura kepadanya.
"Kalau sicu ingin mengetahui tentang keluarga Un, silahkan ikut siauwte ke rumah
kediaman majikanku," katanya.
Tanpa banyak cakap, dengan hati girang Cin Pau lalu mengikuti pelayan itu ke
sebuah rumah gedung yang cukup besar. Ketika ia dipersilakan masuk, ternyata
bahwa di dalam ruang yang besar telah berkumpul banyak orang-orang yang
kelihatan gagah perkasa. Tuan rumahnya adalah seorang perwira tua yang masih
gagah dan yang menyambutnya dengan perhatian.Tuan rumah ini bukan lain ialah Can
Kok, perwira yang menaruh dendam hati terhadap kuil Thian Lok Si itu. Ia lalu
mengajak Cin Pau memasuki sebuah kamar dan setelah duduk berhadapan, ia lalu
bertanya, "Anak muda, kau mencari Un Kong Sian ada perlu apakah dan kau bersangkut paut
apakah dengan dia ?" Cin Pau telah mendengar penuturan ibunya dan tahu bahwa keadaan Un Kong Sian
yang telah membantu kedua keluarga Khu dan Ma itu mungkin selalu dicurigai oleh
para perwira, maka dengan hati-hati ia menjawab, "Un Kong Sian adalah sahabat
biasa saja dan karena kebetulan siauwte lewat di Tiang-an, maka siauwte ingin
sekali bertemu dengan dia. Apakah ciangkun mengetahui di mana tempat tinggalnya.
"Aku memang kenal baik dengan Un Kong Sian, akan tetapi entah di mana dia
sekarang, karena semenjak ia menjual gedungnya, ia tak pernah muncul lagi di
kota ini. Apakah ..... apakah kedatanganmu ini ada hubungannya dengan keluarga
Khu dan Ma " Siapakah namamu " Sambil mengeluarkan pertanyaan ini, Can Kok
memandang tajam sekali. Diam-diam Cin Pau merasa terkejut sekali, akan tetapi oleh karena ia telah
berjaga diri, maka ia pura-pura memperlihatkan muka tidak senang ketika
menjawab, "Ciangkun, apakah maksud kata-katamu ini
" Apa itu keluarga Khu atau Ma " Aku tidak mengerti sama sekali. Aku, Ong Cin
Pau hanya ingin mencari seorang sahabat, kalau ciangkun tahu tempatnya, tolong
beritahu, kalau tidak tahu, biarlah aku pergi mencari sendiri".
Sambil berkata demikian, Cin Pau lalu berdiri dan hendak keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba Can Kok berdiri dan menjura. "Maaf dan jangan salah paham, anak muda.
Aku tidak bermaksud buruk. Silakan duduk dan bertemu dengan orang-orang gagah
yang kebetulan berkumpul di rumahku."
Melihat sikap manis ini, Cin Pau juga menghilangkan tarikan muka marah. Akan
tetapi, ia merasa harus berhati-hati sekali karena ia tahu bahwa orang di
depannya ini adalah seorang cerdik dan yang tentu sedang menyelidiki hal dan
rahasia Un Kong Sian, maka ia tidak berani menerima undangan itu dan segera
pamit keluar. Can Kok juga tidak menahan, akan tetapi diam-diam ia memberi
isyarat kepada orang-orangnya untuk mengikuti pemuda baju putih ini, karena
betapa pun juga, ia masih menaruh hati curiga.
Koleksi Kang Zusi Dengan hati kecewa dan gemas, Cin Pau keluar dari gedung Can-ciangkun dan hendak
kembali kehotelnya. Ia telah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan kota
raja oleh karena tidak ada artinya tinggal lebih lama di situ sedangkan Un Kong
Sian yang dicari-carinya tidak berada di Tiang-an.
Ketika ia sedang berjalan dengan hati ruwet, tiba-tiba ia mendengar suara yang
nyaring dan merdu memanggil namanya, "Ong Cin Pau ........ !"
Pemuda itu cepat berpaling dan ternyata bahwa yang memanggilnya itu adalah Siauw
Eng. Dara jelita itu kini makin cantik dan gagah karena ia menunggang kuda putih
yang besar dan pakaiannya yang masih tetap berwarna merah itu kini terbuat
daripada sutera mahal sehingga jauh lebih indah daripada pakaiannya yang dulu.
Juga di rambut kepalanya terhias mutiara dan emas sedangkan pedang yang
tergantung di pinggangnya kinipun memakai ronce-ronce benang emas dan sarung
pedangnya terukir indah. Di kanan kiri Siauw Eng terdapat dua orang penunggang
kuda lain, seorang pemuda dan seorang gadis yang cakap dan cantik serta
berpakaian mewah. Sekali pandang saja tahulah Cin Pau bahwa mereka ini adalah
keluarga kaya dan bangsawan tinggi. Maka ia merasa sebal dan membuang muka
sambil melanjutkan langkahnya.
"Eh, Cin Pau ......... orang she Ong. Tidak kenalkah kau kepadaku lagi " Aku
adalah Gobi Ang Sianli. Aku adalah Siauw Eng !" kata gadis itu dengan suara penasaran sekali.
Karena Siauw Eng memajukan kudanya mengejar dan menghadang di depannya, Cin Pau
terpaksa berhenti dan menegur,
"Kau berobah sekali. Puteri pangerankah kau ?" Hatinya sebal menyebut pangeran,
karena teringat kepada pangeran Gu Mo Tek yang telah menghancurkan keluarganya.
Siauw Eng tersenyum. "Bukan, aku hanya seorang puteri perwira. Ayahku adalah
Gak-ciangkun !" Cin Pau sudah menduga bahwa nona baju merah ini tentu puteri seorang pembesar,
maka hatinya menjadi makin tawar.
"Hm," katanya tak acuh. "Pantas saja kau sombong dan keras kepala !"
Siauw Eng tercengang. Tadinya ia merasa gembira dan girang sekali dapat bertemu
dengan pemuda baju putih itu di kota raja, akan tetapi alangkah kecewanya ketika
melihat sikap Cin Pau masih keras dan sama sekali tidak menghargainya itu.
"Apa " Kaulah yang sombong. Kaulah yang keras kepala seperti batu dan besar
kepala seperti kepala kerbau !" Timbul marah dan galaknya.
"Sudahlah ! perlu apa kau menghadang di depanku " Pergi !" Sambil berkata
demikian, Cin Pau dengan mendongkol sekali hendak mendorong kuda itu ke sisi,
akan tetapi tiba-tiba sebatang cambuk panjang menyabet dari belakang mengenai
punggungnya. Ia cepat membalikkan tubuh dan melihat bahwa yang mencambuknya
adalah pemuda yang berpakaian mewah dan kawan Siauw Eng tadi.
"Jembel kurang ajar ! Kau berani berlaku jasar terhadap Gak-moi ! Kau harus
dihajar !" seru Gu Liong yang merasa marah sekali karena nona yang ia puja-puja
dan kagumi itu kini diperlakukan secara kurang ajar sekali oleh seorang pemuda
biasa yang berpakaian putih dan sederhana.
Ia lalu mengangkat cambuknya dan menyabet lagi, akan tetapi dengan tenang Cin
Pau mengulurkan tangan dan sekali tangannya bergerak, cambuk itu telah dapat
dirampasnya dan ketika jari-jari tangannya ditekuk, "krek!" cambuk itu patah
menjadi dua. Dengan tak acuh Cin Pau melemparkan cambuk itu ke atas tanah.
"Hah, anak-anak bangsawan yang manja dan sombong !" katanya sambil menggerakkan
kakinya hendak pergi dari situ. Akan tetapi Gu Liong yang sudah menjadi marah
sekali lalu melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya.
"Kau hendak lari ke mana " Kau belum kenal kepada Gu Liong ! Rasakan tajamnya
pedangku !" Ia lalu menyerang dengan hebat hingga Cin Pau yang tadinya menahan
sabar, menjadi naik darah juga dan ia segera mengelak ke samping dan mengirim
pukulan ke arah lambung Gu Liong. Akan tetapi, Gu Liong Koleksi Kang Zusi
juga bukan seorang pemuda yang lemah. Sambil berseru keras, ia mengelak dan
membalas dengan serangan pedangnya yang bertubi-tubi dan kesemuanya ditujukan
dengan maksud membunuh. "Suheng, jangan ............!" tiba-tiba Hwee Lian berseru sambil melompat turun
dari kudanya pula. Gadis ini merasa kuatir kalau-kalau Gu Liong akan mencelakai orang dan ia merasa
kasihan kepada pemuda yang sederhana dan tampan ini. Memang, Hwee Lian tidak
puas dan tidak suka melihat lagak pemuda-pemuda yang biasanya mengambil hati dan
bermuka-muka di depan gadis-gadis manis, terutama sekali ia merasa jijik dan
muak melihat betapa para pemuda bangsawan berusaha mengambil hati Siauw Eng yang
cantik jelita dan gagah itu dengan sikap mereka yang merendah dan menjijikkan.
Kini melihat sikap Cin Pau yang acuh tak acuh dan seakan-akan tidak tunduk
kepada Siauw Eng, ia merasa kagum sekali.
Cin Pau mengerling kepada gadis yang mencegah Gu Liong tadi dan ia melihat
betapa sinar mata yang lembut ditujukan kepadanya dengan hati iba. Hal ini
meredakan marahnya dan menghalangi maksudnya hendak menghajar Gu Liong yang
nekad. Ia suka kepada gadis yang lembut dan halus itu, maka ia tidak mau
mencelakakan Gu Liong yang disangkanya saudara gadis itu. Ketika Gu Liong
menyerang dengan sebuah tusukan ke arah lehernya, Cin Pau tidak mau mengelak
hingga terdengar jerit tertahan dari Hwee Lian, akan tetapi Siauw Eng yang lebih
tinggi ilmu silatnya, hanya memandang dengan tersenyum. Diam-diam ia kagum
sekali melihat betapa dengan tangan kosong Cin Pau menghadapi Gu Liong dan
Sepasang Naga Penakluk Iblis 10 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Kisah Si Rase Terbang 12
Gobi)," kata kepala kampung itu dengan suara keras hingga semua orang kampung
bersorak girang menyatakan persetujuan mereka. Siauw Eng dengan muka kemerah-
merahan dan mata berseri-seri menjawab,
"Kalau memang kalian hendak menyebutku demikian baiklah mulai sekarang aku
memakai julukan Gobi Ang Sianli." Kembali semua orang bersorak dan pada malam
hari itu semua orang dalam keadaan pesta pora dan semua mendapat bagian daging
harimau yang mereka benci itu. Bahkan, untuk membalas sakit hati anak-anak, anak
kecilpun diberi makan sedikit daging harimau. Akan tetapi, Siauw Eng yang
mendengar bahwa harimau itu telah banyak makan manusia, menjadi jijik dan tidak
mau ikut makan. Ketika ketiga orang pemburu yang bertemu dengan Siauw Eng di dalam hutan
menceritakan kepada kepala kampung bahwa nona pendekar itu hendak membasmi Ci
Lui, ia menjadi pucat sekali dan segera menghadap Siauw Eng.
"Lihiap," katanya dengan gemetar, "Kuharap lihiap jangan sampai mengganggu orang
she Ci itu sungguhpun tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hatiku
selain melihat manusia itu mampus sekarang juga."
Siauw Eng memandang heran. "Eh, kau ini aneh sekali, lopek. Kau ingin melihat
dia mampus akan tetapi melarang orang mengganggunya, bukankah ini bertentangan
sekali ?" "Lihiap, orang itu datang dari kota raja dan agaknya ia berpengaruh sekali di
sana. Kalau sampai ia diganggu dan kemudian hal ini terdengar oleh para
pembesar, bukankah kampung kita akan mendapat hukuman berat ?"
Siauw Eng tertawa dan menjawab, "Lopek, jangan kuatir. Ketahuilah, aku sendiri
adalah orang yang tinggal di ibukota Tiang-an dan bahkan ayahku adalah seorang
perwira, seorang komandan yang memimpin pasukan besar, maka apakah yang harus
ditakutkan menghadapi seorang penipu rendah seperti orang she Ci itu ?"
Mendengar ini, kepala kampung segera berlutut dengan hormatnya, "Ah, tidak
tahunya lihiap adalah puteri seorang pembesar tinggi."
Biarpun hatinya merasa bangga dan senang, namun Siauw Eng merasa tak enak juga
melihat kepala kampung yang tua itu berlutut di depannya.
"Sudahlah, lopek. Besok pagi saja antarkan aku menemui orang itu, hendak kulihat
sampai di mana kebusukkannya."
Berita tentang kenyataan bahwa nona baju merah yang gagah perkasa itu puteri
seorang pembesar tinggi, membuat semua orang makin tunduk menghormat dan kagum.
Koleksi Kang Zusi Pada keesokkan harinya, dengan diantar oleh serombongan pemburu karena kepala
kampung sendiri tidak berani mengantarnya, Siauw Eng dengan langkah gagah menuju
ke dusun di mana tinggal Ci Lui yang memiliki sebuah rumah gedung besar.
Orang she Ci ini keluar sendiri menyambut kedatangan serombongan pemburu yang
disangkanya hendak memberi hadiah hasil buruan seperti biasanya karena memang
banyak orang yang menjilat dan berusaha mengambil hatinya. Akan tetapi ia heran
sekali melihat bahwa rombongan pemburu itu tidak membawa hasil buruan, dan
melihat pula bahwa mereka itu mengikuti seorang nona baju merah yang
bersikapgagah dan wajahnya cantik luar biasa.
Sebaliknya Siauw Eng yang mendapat bisikan bahwa orang tinggi besar yang keluar
dari gedung itu adalah Ci Lui sendiri, lalu melangkah maju dengan tindakan kaki
lebar dan setelah berdiri di depan Ci Lui, ia menuding,
"Kau kah manusia jahanam yang bernama Ci Lui ?"
Bukan main marah dan terkejutnya Cilui mendengar betapa nona cantik ini datang-
datang memakinya manusia jahanam. Matanya yang bundar itu bergerak-gerak
berputar-putar dan sambil bertolak pinggang ia membentak,
"Perempuan hina dina yang mau mampus. Siapa kau dan dari mana kau datang " Hai,
kalian membawa orang liar ini dari manakah " Dan apa maksud kalian " Awas, hal
ini tentu akan kulaporkan kepada kota raja dan kalian tentu akan dihukum sebagai
pemberontak-pemberontak jahat !"
Semua pemburu ketakutan dan menundukkan kepala tanpa berani bergerak. Akan
tetapi Siauw Eng memperdengarkan suara sindiran sambil tertawa.
"Gertak samabal segala bajungan kecil mana dapat menakutkan aku " Eh, keparat,
kalau kau memang benar seorang utusan Kaisar dari kota raja, kenalkah kau kepada
seorang perwira bernama Gak Song Ki?"
Ci Lui tertawa dan membelalakkan matanya. "Mengapa tidak kenal " Aku kenal baik
Gak-ciangkun itu. Bukankah ia yang tinggal di sebelah selatan kota dan memiliki rumah gedung yang
bercat kuning ?" Siauw Eng terkejut juga, akan tetapi dengan suara gagah ia bertanya lagi, "Kalau
kau kenal baik dengan Gak Ciangkun, tentu kau tahu pula bahwa dia mempunyai
seorang puteri yang gagah ?"
"Puterinya ...... ?" Ci Lui ragu-ragu dan bingung. "O, ya, ya ........ aku tentu
saja kenal puterinya itu yang gagah."
"Hm, bangsat rendah pembohong tolol. Akulah puteri Gak ciangkun yang datang
hendak menghukummu !" kata Siauw Eng sambil mencabut pedangnya.
"Bagus ! Kau perampok wanita dari mana dan siapakah namamu ?" teriak Ci Lui
dengan marah pula dan ketika tangannya meraba ke belakang punggung, iapun telah
mengeluarkan sebatang pedang tajam.
"Dengarlah baik-baik. Aku adalah Gak Siauw Eng yang berjuluk Gobi Ang Sianli !"
Sambil berkata demikian, secepat kilat Siauw Eng lalu maju menyerang yang dapat
ditangkis oleh Ci Lui dan dibalas dengan serangan hebat. Dan keduanya lalu
bertempur dengan seru dan mati-matian.
Ci Lui sebetulnya adalah seorang penjahat yang berkepandaian tinggi. Ia pernah
menjadi perampok dan belum lama ini ia bergelandangan di kota raja, bercampur
gaul dengan semua buaya dan penjahat, bahkan pernah menjadi tukang pukul seorang
pangerandi kota raja. Oleh karena ini, sedikit banyak ia kenal atau tahu tentang
para pembesar dan perwira di kota raja. Ilmu silatnya cukup lihai, terutama ia
telah mempelajari ilmu pedang Thai kek yang boleh juga, biarpun hanya
dipelajarinya secara menjiplak dan bukan langsung dari seorang tokoh Thai Kek.
Akan tetapi, kini ia menghadapi Siauw Eng, anak murid Gobi tulen yang baru saja
turun gunung setelah mendapat gemblengan hebat bertahun-tahun di bawah pimpinan
ayahnya yang gagah, kemudian hampir lima tahun di bawah pimpinan Cin San Cu dan
Bok San Cu. Setelah mencoba dengan dengan segala tenaga dan kepandaiannya untuk
mendesak Siauw Eng, akhirnya Ci Lui terpaksa mengakui Koleksi Kang Zusi
kelihaian gadis baju merah itu dan ia terdesak hebat tanpa dapat melakukan
serangan balasan lagi. Siauw Eng mempercepat gerakan pedangnya dan dengan teriakan keras, "Lepaskan
telinga kananmu ?" pedangnya menyambar dan Cilui menjerit kesakitan ketika ujung pedang Siauw
Eng membabat dan membikin daun telinganya putus.
Sambil mendekap telinga kanan yang kini tidak berdaun lagi serta mengeluarkan
banyak darah itu, Ci Lui menyerang lagi dengan nekad dan mati-matian, akan
tetapi sebuah tendangan kilat telah membuat pedangnya terlepas dari pegangan dan
tendangan kedua membuat ia tak kuasa berdiri karena sambungan lututnya kena
tendang. Siauw Eng menggerak-gerakan pedangnya dan berkata,
Sekarang kau mengakulah bahwa kau hanya seorang penipu rendah dan bahwa kau sama
sekali bukan seorang utusan Kaisar. Baru aku mau mengampuni jiwamu."
Sementara itu, semua orang kampung yang melihat bahwa musuh besar yang diam-diam
mereka benci itu telah mendapat hajaran hebat, makin lama makin banyak berkumpul
dan orang-orang dusun lain juga berdatangan berikut kepala-kepala kampung
mereka. Mereka ini lalu berseru dan berteriak-teriak,
"Bunuh saja penipu ini !"
"Nah, kau mendengar itu " Ayoh membuat pengakuan !" bentak Siauw Eng lagi.
Terpaksa Ci Lui lalu merayap berdiri dan berkata dengan suara lemah. "Aku ......
aku memang bukan utusan siapa-siapa ........"
Orang-orang berteriak marah dan para pemburu mengangkat tombak hendak menyerang
Ci Lui, akan tetapi Siauw Eng mengangkat tangan ke atas mencegah, "Jangan bunuh
dia, aku telah memberi janjiku
!" "Lihiap, dia terlalu jahat, pantas mendapat hukuman mati !" teriak seorang
kepala kampung dengan marah.
"Hukumannya terlalu ringan !" teriak orang lain.
"Siauw Eng lalu membentak Ci Lui, "Kau tidak lekas minggat dari sini ?"
Mendengar ini, sambil memegang tempat di mana telinganya tadi berdiri, Ci Lui
lalu berkata kepada Siauw Eng, "Lain kali kita bertemu pula !" Lalu ia melarikan
diri secepatya meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang berkumpul dari beberapa dusun itu dengan girang sekali lalu
berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Siauw Eng dan setelah gadis gagah
ini memberi nasehat agar harta benda Ci Lui dibagi-bagi di antara mereka dengan
adil dan memperlakukan serta menolong bekas isteri-isteri penipu itu dengan baik
pula, lalu pergi meninggalkan dusun itu. Benar sebagaimana ramalan ketiga orang
pemburu yang dulu bertemu dengan Siauw Eng, nama gadis ini sebagai Gobi Ang
Sianli, dipuji-puji dan dikenang oleh para penduduk dusun-dusun di daerah itu
sampai beberapa turunan. Bagian 08. Pemuda Berbaju Putih
Beberapa pekan kemudian, Siauw Eng mulai melalui kota-kota besar hingga
menggembirakan hatinya karena sudah lama sekali ia tidak pernah melihat kota-
kota besar dengan rumah-rumah dan bangunan-bangunan indah. Akan tetapi, berbeda
dengan ketika ia melewati dusun-dusun, kini hampir semua mata memandangnya
dengan kagum dan bahkan pandangan mata orang-orang muda yang melihatnya di dalam
kota membuat ia mendongkol sekali oleh karena pandangan itu mengandung maksud
kurang ajar. Ia sama sekali tidak tahu bahwa hal itu bukanlah semata-mata
salahnya para pemuda itu, akan tetapi oleh karena kecantikannya memang menyolok
mata sekali. Pada masa itu, sukar sekali melihat gadis cantik oleh karena para gadis jarang
meninggalkan kamar dan apabila mereka keluar selalu tentu naik joli yang
menutupi seluruh tubuh mereka. Banyak juga Koleksi Kang Zusi
wanita-wanita kangouw yang melakukan perjalanan, akan tetapi belum pernah ada
wanita secantik Siauw Eng yang berjalan di jalan umum dan terlihat oleh setiap
orang. Ketika pertama kali memasuki kota dan dipandang sedemikian rupa oleh orang-orang
yang bertemu di jalan, memang ia merasa bangga dan senang, akan tetapi lambat
laun karena terlalu banyak orang memandangnya, dengan kagum, ia menjadi jemu dan
bosan. Maka ia lalu buru-buru mencari sebuah hotel di tengah kota. Seorang pelayan yang
telah agak tua usianya menyambutnya dan pelayan yang peramah ini lalu
mempersilakannya memilih kamar. Ketika melihat betapa pandang mata pelayan tua
ini sama saja dengan orang-orang di kota, Siauw Eng tidak tahan lagi untuk tidak
menegur. "Eh, Lopek ! Kau ini sudah tua akan tetapi pandangan matamu sama saja dengan
orang-orang lelaki muda yang kurang ajar. Agaknya semua lelaki di dalam kota ini
memang kurang ajar dan tidak sopan."
Mula-mula pelayan itu terkejut mendengar teguran ini, akan tetapi ia lalu
tersenyum geli dan sambil membongkok-bongkokkan tubuhnya ia berkata, "Maaf, li-
enghiong (pendekar wanita), memang kau ini luar biasa sekali. Aku memang kagum
padamu, akan tetapi jangan salah sangka, lihiap, kekagumanku berbeda dengan
kekaguman orang lain. Biarpun aku juga kagum melihat lihiap yang cantik seperti
bidadari ini, akan tetapi aku lebih mengagumi keberanian dan kegagahanmu."
Siauw Eng senang mendengar omongan pelayan yang suka ngobrol ini, maka setelah
ia mendapatkan sebuah kamar yang menyenangkan, lalu ia bertanya lagi, "Bagaimana
kau dapat mengagumi keberanian dan kegagahanku kalau kau belum menyaksikannya
sendiri ?" "Li-enghiong, dengan berjalan seorang diri dan membiarkan dirimu yang cantik
jelita ini kelihatan oleh umum, sudah termasuk keberanian luar biasa sekali.
Jangankan diperlihatkan kepada umum, sedangkan yang disimpan-simpan juga
didatangi dan dicuri orang."
Siauw Eng terkejut dan heran karena ia tidak mengerti apa maksudnya.
Kemudian dengan suara perlahan dan dengan muka menunjukkan ketakutan, pelayan
tua itu lalu menceritakan bahwa di dalam kota itu telah terjadi kejahatan-
kejahatan mengerikan, yakni bahwa telah beberapa pekan ini kota itu diganggu
oleh seorang Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pekerjaannya mengganggu
anak bini orang secara kejam sekali. Dua orang gadis telah tewas dipenggal
lehernya karena gadis itu berteriak minta tolong ketika ia datang di malam hari
untuk mengganggu. Bukan main marahnya hati Siauw Eng mendengar penuturan ini, akan tetapi ia tidak
berkata sesuatu. Setelah hari menjadi malam, Siauw Eng lalu mengenakan pakaian ringkas dan dengan
hati-hati ia membuka jendela kamarnya dan melompat naik ke atas genteng. Ia
bermaksud untuk mencari dan membekuk penjahat yang telah membuatnya marah sekali
itu. Penjahat semacam itu harus dihukum mati pikirnya dengan gemas.
Malam itu kebetulan malam terang bulan dan langit bersih dari awan hingga
keadaan cukup terang. Ketika ia sedang berlari-lari di atas genteng rumah-rumah orang dengan gerakan
demikian gesit dan ringan bagaikan seekor kucing, tiba-tiba ia melihat di atas
genteng agak jauh dari situ berkelebat bayangan putih yang gesit sekali.
Berdebarlah hati Siauw Eng karena ia merasa pasti bahwa itulah penjahat yang
dicari-carinya. Karena gemasnya ia lalu mencabut pedangnya dan mempercepat
gerakannya mengejar bayangan itu. Ia merasa heran mengapa penjahat itu demikian
beraninya, memakai pakaian warna putih, tidak seperti penjahat biasa yang lebih
sering mengenakan pakaian warna hitam.
Akan tetapi, gerakan bayangan putih itu cepat sekali hingga sebentar saja lenyap
dari pandangan matanya. Siauw Eng merasa penasaran dan mencari-cari. Tiba-tiba
bayangan itu muncul lagi di atas rumah lain yang tak berapa jauh letaknya dari
tempat di mana ia berada, maka Siauw Eng lalu melompat dan mengejar. Tadinya
Siauw Eng hendak mengintai dan melihat apa yang akan dilakukan oleh bayangan itu
untuk mendapat kepastian bahwa bayangan itu memang benar penjahat yang
dicarinya, akan tetapi melihat bahwa bayangan itu gesit sekali gerakkannya, maka
ia kini ingin menyusul dan langsung menyerang.
Bayangan putih itu agaknya telah melihatnya, karena ia berpaling dan kemudian
melarikan diri cepat sekali menuju ke luar kota. Siauw Eng merasa penasaran dan
mengejar. Ketika orang yang dikejarnya melompat turun, iapun melompat turun dan
mengerahkan ilmu jalan cepat terus mengejar. Setelah tiba Koleksi Kang Zusi
di luar kota dan berada di jalan dekat sawah, tiba-tiba bayangan itu berhenti
dan menanti Siauw Eng sambil bertolak pinggang. Siauw Eng mempercepat larinya
dan mempererat pegangan pedangnya, dan setelah tiba dihadapan bayangan itu, ia
melihat dengan tercengang bahwa orang itu adalah seorang laki-laki yang masih
muda dan yang mempunyai wajah cakap dan tampan sekali. Pakaiannya berwarna putih
dan sederhana sekali, sedangkan kakinya mengenakan sepatu berlapis besi di
bawahnya. Rambutnya diikat ke atas dengan sehelai kain putih, dan pada ikat pinggangnya
yang berwarna kuning itu tergantung sebuah kantung piauw. Di punggungnya nampak
gagang pedang beronce benang merah emas. Sungguh seorang pemuda yang tampan dan
gagah. Akan tetapi Siauw Eng tidak mempedulikan ketampanan atau kegagahan orang,
segera langsung menyerang dengan pedangnya dan membentak,
"Bangsat rendah. Bersedialah untuk mampus untuk menebus dosamu !"
Melihat sambaran Pedang Siauw Eng yang amat berbahaya itu, pemuda baju putih ini
cepat mengelak dan berkata perlahan. "Hm, garang sekali !"
Siauw Eng cepat menyerang lagi dan karena gerakan pedangnya memang cepat dan
luar biasa, pemuda itu lalu mencabut pedangnya pula dan sebentar saja keduanya
lalu bertarung dengan hebat.
Siauw Eng terkejut sekali karena setelah bertempur belasan jurus, ia mendapat
kenyataan bahwa ilmu pedang lawannya ini tinggi dan luar biasa sekali hingga
sama sekali ia tidak dapat mendesak. Maka ia lalu berseru keras dan mengeluarkan
ilmu pedang Sin Coa Kiam hwat yang mempunyai gerakan-gerakan lihai dan tak
terduga, seakan-akan serangan ular yang bersembunyi dibawah rumput.
Pemuda itu mengeluarkan seruan kagum. Ia tidak menyangka bahwa gadis muda
berpakaian merah ini demikian lihai, sedangkan tadinya ia memandang rendah.
Ketika tadi berlari-larian di atas genteng, ia mendapat kenyataan bahwa orang
baju merah yang mengejarnya itu walaupun memiliki ginkang yang cukup sempurna,
namun masih belum dapat mengatasi ginkangnya sendiri, maka ia memandang rendah
dan sengaja menanti. Tak diduganya sama sekali bahwa orang berbaju itu adalah
seorang anak gadis jelita yang begini kosen. Oleh karena ia memang hendak
mencoba kepandaian orang, maka setelah melihat bahwa ilmu pedang Siauw Eng
benar-benar tangguh dan kalau dilawan tentu akan sukar menjatuhkannya, maka
tiba-tiba pemuda itu berkata,
"Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk berlatih pedang dengan kau !"
Pedangnya lalu diputar hebat sekali sehingga mengeluarkan cahaya berkilauan dan
memaksa Siauw Eng melompat mundur dengan kaget, akan tetapi saat itu digunakan
oleh pemuda tadi untuk melompat pergi.
"Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana ?"
"Mulutmu busuk sekali, datang-datang mengobral makian !" jawab pemuda itu sambil
menoleh dan terus berlari menegur.
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangsat kurang ajar, pengecut hina dina," Siauw Eng memaki lagi sambil terus
mengejar. Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan memutar tubuh. "Apa " Kau boleh memaki sesuka
hatimu, akan tetapi makian pengecut hina dina itu tak dapat kuterima !" katanya
marah sambil menangkis serangan Siauw Eng dengan pedangnya.
"Memang kau pengecut hina dina ! Beraninya hanya mengganggu wanita lemah dan
kalau bertemu wanita gagah lalu melarikan diri !" bentak Siauw Eng sambil terus
menyerang lagi. "Eh, eh, nona galak. Tahan dulu ! Kau ini memaki siapakah ?"
"Memaki kau, siapa lagi ?"
"Apa salahku ?"
"Kau penjahat Jai-hwa-cat tak tahu diri. Sudah menjadi penjahat masih berpura-
pura lagi." "Eh, eh, buka dulu lebar-lebar matamu dan lihat sedang berhadapan dengan siapa "
Aku Ong Cin Pau selama hidupku belum pernah mengganggu wanita, apalagi menjadi
Jai-hwa-cat "Bohong ! Buktikan kalau kau memang bukan Jai-hwa-cat !" seru Siauw Eng.
Koleksi Kang Zusi Tentu saja pemuda itu tak dapat membuktikannya, maka ia lalu tertawa dan menjawab, "Kau berlagak pintar akan tetapi sebenarnya
goblok sekali ! Coba kau sekarang yang buktikan kalau aku benar-benar seorang
penjahat busuk." "Buktinya kau gentayangan di malam buta di atas rumah orang," jawab Siauw Eng.
"Dan kau sendiri juga berkeliaran di atas rumah orang pada waktu yang sama."
Marah sekali gadis itu. "Kau ....... kau pandai memutar lidah. Kau penjahat
busuk hina dina !" Sambil memaki-maki dengan marah sekali Siauw Eng lalu menyerang lagi dengan
hebatnya, akan tetapi pemuda itu melawan dengan baiknya dan ternyata bahwa ilmu
pedangnya tinggi dan lihai sekali.
"Sudahlah, kau gadis bodoh kurang pengalaman yang bisanya hanya menuduh orang
secara membuta. Apa kaukira kau sendiri saja yang cukup gagah dan berani menangkap penjahat "
Aku tidak mempunyai banyak waktu lagi !" Kemudian ia lalu melompat cepat dan
ketika Siauw Eng mengejar, pemuda itu lari masuk ke dalam sebuah hutan.
Siauw Eng merasa penasaran sekali. Menurut kebiasaan orang-orang gagah, juga
menurut nasehat guru-gurunya, seorang lawan yang telah lari ke dalam hutan tak
boleh dikejar, oleh karena hal ini berbahaya sekali. Akan tetapi Siauw Eng yang
marah dan penasaran tidak memperdulikan pantangan ini dan terus mengejar masuk
ke dalam hutan. ****** Pemuda yang berpakaian serba putih, berwajah tampan dan berkepandaian tinggi itu
memang benar Ong Cin Pau, putera Lin Hwa dan mendiang Khu Tiong yang telah
diambil murid oleh Bu Eng Cu Tiauw It Lojin si Tanpa Bayangan dan di bawa ke
tempat pertapaannya, yakni di sebuah bukit di pegunungan Kunlun-san sebelah
utara. Lin Hwa, ibu Cin Pau, setelah berpisah dari Kong Sian dengan hati patah dan
hancur, lalu kembali ke Kunlun-san dan akhirnya dapat mencari tempat tinggal Bu
Eng Cu dan diperkenankan tinggal bertapa di sebuah gua, mendekati puteranya dan
hidup mengasingkan diri di puncak Kunlun-san itu. Cin Pau mendapat gemblengan
ilmu silat dari Tiauw It Lojin selama belasan tahun, dari usia empat tahun
sampai tujuh belas tahun. Dan ketika ia telah berusia tujuh belas tahun, ibunya
yang kini telah menjadi seorang pertapa itu, lalu menceritakan kepadanya tentang
riwayat hidupnya yang penuh penderitaan.
Bukan main hancurnya hati Cin Pau mendengar penuturan ini. Tadinya ia masih
menyangka bahwa ayahnya adalah Kong Sian yang baik hati itu dan yang tetap
dianggapnya sebagai ayah sendiri.
"Kong Sian bukanlah ayahmu, pau-ji (anak Pau), dia itu adalah pamanmu karena ia
adalah sute dari ayahmu. Akan tetapi dia baik sekali, anakku, dialah orang
termulia dalam dunia ini setelah ayahmu. Kita berhutang budi kepadanya dan boleh
dibilang bahwa kita dapat hidup sampai sekarang ini berkat jasa dan
pertolongannya." Kemudian dengan panjang lebar Lin Hwa menceritakan betapa Un
Kong Sian telah membelanya mati-matian ketika dikejar oleh para perwira
kerajaan. "Dimana dia sekarang, ibu " Mengapa pula ia yang begitu baik telah meninggalkan
kita di sini ?" Ibunya tersenyum. "Tentu saja dia harus pergi, anak bodoh. Dia mempunyai rumah
tangga sendiri di Tiang-an, di rumahnya menunggu seorang ibu yang sudah tua dan
seorang isteri yang setia."
"Dan di mana makam ayah dan Ma susiok yang terbinasa oleh perwira-perwira
kerajaan itu, ibu ?"
"Aku sendiri juga tdak tahu, anakku. Dulu ayahmu dan saudara seperguruannya itu
dikepung dalam sebuah hutan di luar kota raja. Hal ini kiraku hanya Un Kong Sian
yang dapat memberi keterangan karena dia itu tahu akan segala peristiwa dengan
jelas." Cin Pau termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata, "Ibu, anak mau turun gunung !"
Ibunya terkejut, "Eh, mengapa begitu tiba-tiba " Hendak ke mana ?"
Koleksi Kang Zusi "Beritahukan kepadaku, ibu, kepada siapa aku harus menuntut balas atas kematian
ayah dan Ma-susiok!" katanya dengan gagah.
Ibunya menghela napas dan menjawab, "Tidak ada gunanya segala balas membalas
itu, nak. Dulu ibumu memang merasa penasaran sekali dan ingin menghancurkan
setiap perwira kerajaan. Akan tetapi sekarang aku dapat melihat bahwa tak baik
menuruti hawa nafsu. Perwira kerajaan demikian banyaknya dan aku tidak tahu
senjata dan tangan siapa yang melayangkan nyawa ayahmu. Tidak mungkin dan tidak
seharusnya kalau kita menaruh dendam kepada setiap perwira kerajaan, karena
masih kuingat bahwa di antara para perwira itu, banyak pula yang gagah dan
budiman. Kakekmu dan kakek she Ma dikhianati oleh pangeran Gu Mo Tek hingga
keluarga kita dan keluarga Ma hancur binasa oleh para perwira yang hanya
menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar yang juga hanya karena sudah
seharusnya membasmi mereka yang memberontak terhadapnya. Jadi pada hakekatnya,
sakit hati hanyalah terhadap pangeran Gu saja dan ayah serta susiokmu telah
berhasil membalas dendam itu dengan membunuh pangeran Gu Mo Tek. Kalau kuingat-
ingat, aku merasa menyesal sekali mengapa ayah dan susiokmu itu juga membunuh
kedua putera pangeran Gu karena kuanggap mereka tidak berdosa." Kembali Lin Hwa
menghela napas dan diam-diam ia merasa khawatir karena ia maklum pula bahwa pada
waktu peristiwa itu terjadi, isteri kedua putera pangeran itu, yang seorang
telah mempunyai anak dan yang kedua telah mengandung.
Mendengar kata-kata ibunya yang panjang lebar itu, Cin Pau menundukkan kepalanya
dan biarpun ia masih muda, namun ia telah menerima banyak pelajaran batin baik
dari ibunya maupun dari suhunya, maka pandangannya luas dan ia dapat membenarkan
pendapat ibunya ini. "Kalau begitu, biarlah anak turun gunung untuk mencari makam ayah dan untuk
menghaturkan terima kasih kepada ........ Un Kong Sian susiok !"
"Memang seharusnya kau pergi mencari makam ayahmu, nak, dan kalau sudah tahu di
mana tempatnya, kelak akupun ingin sekali melihatnya. Akan tetapi, kau harus
mendapat perkenan dari suhumu lebih dulu."
Cin Pau lalu kembali ke tempat pertapaan Tiauw It Lojin untuk minta perkenan
dari gurunya ini. Tiauw It Lojin tersenyum dan pertapa yang sudah tua ini lalu berkata, "Cin Pau,
memang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung. Akan tetapi, kau harus
mampir dulu di tempat pertapaan Beng Hong Tosu di puncak selatan itu. Dulu aku
pernah berjanji bahwa apabila kau telah tamat belajar di sini, kau akan ku kirim
kepadanya untuk menerima satu dua macam pelajaran darinya. Ketahuilah, Beng Hong
Tosu adalah suhu dari mendiang ayahmu. Ia seorang jago Kunlun yang tinggi ilmu
silatnya." Cin Pau sudah pernah melihat Beng Hong Tosu, karena selain dulu ketika masih
kecil dan datang bersama ibunya ia pernah melihat pendeta itu, juga telah dua
kali semenjak ia tinggal di pegunungan Kunlun, tosu itu datang mengunjungi Tiauw
It Lojin untuk bermain catur.
Setelah berpamit dari suhunya dan ibunya, Cin Pau lalu turun gunung,
mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk berjalan cepat dan melompati jurang-
jurang hingga sebentar saja ia sudah nampak mendaki puncak yang berada di
sebelah selatan puncak tempat tinggal gurunya. Ketika ia tiba di lereng bukit
itu, dari jauh ia melihat bayangan Beng Hong Tosu berlari cepat dan sebentar
saja pendeta tua itu telah berada dihadapannya. Cin Pau cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan Beng Hong Tosu yang ketika melihatnya lalu tertawa-tawa. Ia
membungkuk dan menggunakan kedua tangannya memegang pundak pemuda itu untuk
membangunkannya. Cin Pau tiba-tiba merasa betapa kedua tangan itu seakan-akan
bukit yang menindih pundaknya, maka tahulah dia bahwa kakek pendeta ini sedang
menguji tenaganya. Dengan cepat ia lalu mengerahkan iweekangnya untuk melawan
tekanan hebat itu dan tiba-tiba ia merasa tenaga tarikan yang amat hebat hingga
tubuhnya hampir saja tertarik berdiri. Akan tetapi karena ia tidak mau membikin
malu suhunya yang telah menggemblengnya dengan sungguh-sungguh, ia lalu
mengerahkan khikangnya dan mempertahankan diri dengan ilmu Ban Kin Cui (Beratkan
Tubuh Selaksa Kati). Menghadapi Cin Pau yang mengeluarkan ilmu ini hingga tubuhnya tiba-tiba menjadi
berat seakan-akan berakar pada tanah. Beng Hong Tosu merasa girang sekali. Ia
lalu mengerahkan kepandaiannya dan berkata, "Anak baik, berdirilah kau !"
Bukan main hebatnya tenaga dari tokoh Kunlun-san ini, karena benar-benar tubuh
Cin Pau terangkat naik ke atas, akan tetapi tetap saja tubuh pemuda itu masih
berada dalam keadaan berlutut seperti tadi.
Koleksi Kang Zusi "Bu Eng Cu benar-benar tidak menyia-nyiakan waktu baik. Pinto tak dapat
mengajarmu dalam hal iweekang dan khikang, kau sudah cukup kuat. Ayoh berdirilah
dan coba kau melawan pinto!"
Karena maklum bahwa pendeta sakti ini sedang mengujinya, maka tanpa ragu-ragu
lagi Cin Pau lalu berdiri dan setelah berkata, "Maaf !" ia lalu menyerang dengan
pukulan berbahaya. Beng Hong Tosu lalu mengelak dan membalas dengan pukulan-
pukulan terlihai dari cabang Kunlun.
Biarpun keduanya berada di puncak pegunungan Kunlun, akan tetapi asal dan dasar
ilmu silat Beng Hong Tosu dan Tiauw It Lojin jauh berbeda. Memang, banyak orang
mengira bahwa cabang persilatan Kunlun-pai atau cabang silat Kunlun hanya ada
sebuah saja. Pegunungan Kunlun-san adalah sebuah pegunungan yang daerahnya luas
sekali sampai ratusan bahkan ribuan mil persegi, dan di atas puncak-puncak
banyak bukit itu tinggal banyak sekali orang-orang sakti yang mengasingkan diri
atau bertapa. Memang, kuil tempat tinggal Beng Hong Tosu telah terkenal dan dianggap sebagai
tempat pusat cabang persilatan Kunlun, akan tetapi selain di situ, masih banyak
sekali guru-guru besar yang diam-diam mengajarkan ilmu silat kepada murid-
muridnya, seperti halnya Bu Eng Cu Tiauw It Lojin itu.
Dalam hal ilmu silat tangan kosong, pelajaran Tiauw It Lojin masih menang
setingkat dengan ilmu kepandaian Beng Hong Tosu dan hal ini terasa benar oleh
Beng Hong Tosu ketika ia menghadapi serangan-serangan Cin Pau. Pemuda ini telah
mempelajari ilmu keraskan tangan latihan Bu Eng Cu yang disebut Cin Kang Kim Ko
Jiu dan yang membuat tangannya selain kuat, juga memiliki tenaga pukulan lihai
sekali, terutama sekali pelajaran Coat Meh Hoat semacam ilmu tiam hwat atau
totokan jalan darah yang mirip dengan ilmu totok dari Butong-pai, amat
mengejutkan hati Beng Hong Tosu.
Hanya berkat pengalaman dan kelihaian iweekangnya saja maka Beng Hong Tosu dapat
mempertahankan diri terhadap serangan-serangan Cion Pau.
"Bagus, bagus, lihai sekali !" Berkali-kali Beng Hong memuji dan tiba-tiba
tubuhnya berjungkir balik di udara dan melompat kebelakang agak jauh.
"Cukup, sekarang marilah kita bermain pedang !" katanya.
Cin Pau tak membantah dan mencabut pedangnya, yakni pedang ibunya yang diberikan
kepadanya ketika ia hendak berangkat. Beng Hong Tosu yang tidak membawa pedang,
lalu mematahkan sebatang ranting dari pohon yang tumbuh di situ dan melawan Cin
Pau dengan ranting itu. Kalau dalam ilmu pukulan tangan kosong, kepandaian Cin
Pau boleh dibilang lebih lihai dari pada Beng Hong Tosu, adalah dalam hal ilmu
pedang, pemuda ini tertinggal jauh sekali. Ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam hoat
dari Beng Hong Tosu bukan main lihainya, hingga biarpun yang dipegangnya bukan
pedang tulen, akan tetapi hanya sebatang ranting saja, namun setelah bertempur
belasan jurus saja, Cin Pau telah menjadi pening karena ujung ranting kakek itu
seakan-akan telah berubah menjadi puluhan batang yang menyerangnya dari segala
jurusan. Baiknya Cin Pau memiliki ilmu ginkang yang tinggi karena suhunya yang
berjuluk si Tanpa Bayangan itu memang ahli ginkang yang luar biasa, kalau tidak
tentu ia telah kena dirobohkan oleh serangan-serangan ranting yang hebat
ini.Akhirnya ia tak dapat menahan lagi dan buru-buru melempar pedangnya ke atas
tanah dan maju berlutut, "Teecu mohon diberi petunjuk,"
katanya. Beng Hong Tosu tertawa senang dan ia lalu mengajak pemuda itu ke kuilnya.
"Cin Pau, dalam hal lain-lain kepandaian, pinto yang bodoh tak berani
mengajarmu, hanya mungkin dalam hal ilmu pedang, pinto dapat menambah
pengetahuanmu sedikit saja."
Semenjak saat itu, Cin Pau menerima latihan ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat
yang luar biasa itu dari Beng Hong Tosu. Dulu ayahnya, yakni mendiang Khu Tiong,
Ma Gi dan juga Un Kong Sian juga mempelajari ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat
ini, akan tetapi selama belasan tahun ini, ilmu pedang tersebut telah mengalami
banyak sekali perubahan karena Beng Hong Tosu sebagai penciptanya, tiap kali
menghadapi lawan tangguh tentu dapat melihat kekurangan-kekurangan ilmu
pedangnya dan oleh karenanya ia lalu mengadakan perubahan di mana perlu hingga
dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu, Kui Hwa Koan Kiam-hoat mengalami
kemajuan hebat dan juga jauh lebih lihai.
Cin Pau telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi hingga ilmu pedang itu
dapat dipelajari dengan cepat. Dia hanya memerlukan waktu dua bulan untuk
memahami ilmu pedang itu dan telah dapat memainkannya dengan baik sekali, hanya
hanya perlu latihan-latihan lebih lanjut.
Koleksi Kang Zusi Bukan main girang hati Beng Hong Tosu dan ketika Cin Pau memohon diri untuk
melanjutkan maksudnya merantau mencari makam ayahnya, tosu tua itu mengeluarkan
sebilah pedang yang berkilauan dan putih cahayanya, memberikan pedang itu kepada
Cin Pau sambil berkata, "Muridku, kau terimalah Pek Kim Kiam ini dan pergunakanlah untuk membela
keadilan dan membasmi kejahatan. Kaulah muridku yang terakhir dan terpandai,
maka kau berhak menerima pedang ini dan apabila pinto telah meninggal dunia yang
kotor ini, dengan pedang ini berhak menyebut diri menjadi ketua Kunlun-pai yang
kudirikan." Cin Pau menerima pedang itu dengan girang sekali karena pedang Pek Kim Kiam ini
memang dibuat khusus untuk bermain ilmu pedang Kui Hwa Koan hingga berat dan
ukurannya tepat sekali dan enak dipakai.
"Pedang ibumu biar kau tinggalkan saja di sini karena sekarang juga pinto hendak
mengunjungi suhumu dan ibumu. Biarpun telah mengasingkan diriakan tetapi seorang
wanita gagah seperti ibumu itu tidak boleh ditinggal oleh pedangnya."
Cin Pau lalu berlutut dan setelah menghaturkan terima kasih kepada suhunya yang
kedua ini, ia lalu melanjutkan perjalanannya turun gunung, Semenjak kecilnya,
Cin Pau diberi pakaian putih oleh ibunya yang biarpun tidak memberitahukan
tentang kematian ayah anak itu, namun diam-diam ia menganggap bahwa puteranya
telah berkabung untuk kematian ayahnya. Akan tetapi, warna putih itu akhirnya
menjadi warna kesukaan Cin Pau dan anak ini tidak mau dibuatkan pakaian dari
lain warna. Sekarang setelah dewasa, pakaiannya pun tetap putih dan berpotongan
sederhana sekali. Pada suatu senja, ketika Cin Pau berjalan cepat untuk keluar dari sebuah hutan
dan mencari penginapan di dusun atau kota terdekat, tiba-tiba matanya yang tajam
melihat bayangan dua orang yang bergerak cepat sekali memasuki hutan. Ia lalu
cepat bersembunyi di balik pohon dan ketika bayangan itu lewat, ternyata bahwa
mereka ini adalah dua orang saikong atau pendeta yang bermuka jahat dan kejam.
Seorang di antaranya adalah tua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar dan
mukanya yang penuh berewok dengan sepasang mata lebar itu membuat ia kelihatan
seperti seekor barongsai mengerikan. Seorang lagi adalah seorang tinggi kurus
yang bermuka pucat, juga berjubah lebar seperti seorang pendeta perantau. Di
punggung masing-masing nampak gagang pedang dan pakaian mereka yang mewah dan
terbuat dari kain indah dan mahal itu cukup mendatangkan kesan kurang baik pada
diri kedua orang pertama itu.
Cin Pau menjadi curiga dan diam-diam ia mengikuti mereka memasuki hutan kembali.
Akan tetapi ia berlaku amat hati-hati karena mereka berdua ini memiliki ilmu
kepandaian tinggi, dapat dilihat dan diduga dengan mudah dari gerak gerik mereka
yang gesit dan kuat. Ternyata bahwa kedua orang saikong itu menuju ke sebuah gua
yang besar, di dalam hutan itu. Tiba-tiba ia mendengar mereka berbicara tentang
"memetik bunga" dan tahulah dia bahwa kedua orang saikong itu adalah orang-orang
jahat yang mempunyai kebiasaan buruk dan kejam, yaitu mengganggu anak bini
orang. Mereka ini adalah penjahat-penjahat yang biasa disebut Jai Hwa Cat, maka
bukan main marahnya.
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, oleh karena belum melihat bukti dan baru mendengar pembicaraan
belaka ia tidak mau berlaku lancang dan bergerak maka ia terus mengintai.
Setelah hari mulai menjadi gelap, kedua orang saikong itu keluar dari gua dan
berlari cepat menuju ke kota di luar hutan itu. Cin Pau tetap mengejar dengan
diam-diam. Ia melihat dua orang saikong itu melompat naik ke sebuah rumah gedung. Cin Pau
juga melompat, akan tetapi pada saat ia melompat ke atas, seorang di antara
kedua pendeta cabul itu menengok hingga dapat melihatnya. Mereka berdua berseru
keras dan dengan cepat menerjang maju dan bermaksud membinasakan pemuda itu
dengan sekali serang. Akan tetapi, dengan memutar pedang Pek Kim Kiamnya, Cin
Pau menangkis dan membentak keras,
"Jai Hwa Cat terkutuk !"
Mendengar bentakan ini, kedua saikong itu terkejut sekali oleh karena tak pernah
mereka mengira bahwa ada orang yang telah mengetahui rahasia mereka. Pula,
melihat betapa gerakan pedang pemuda ini sangat lihainya, mereka lalu menyerang
lagi dengan keras dan mempergunakan kesempatan pada saat Cin Pau mengelak ke
samping, lalu melompat jauh dan melarikan diri. Cin Pau mengejar, akan tetapi
tangan kedua penjahat itu bergerak hingga empat buah benda hitam yang cepat
sekali terbangnya, melayang dan menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang
berbahaya dari pemuda itu. Cin Pau adalah murid seorang ahli senjata rahasia,
maka tentu saja menghadapi serangan Koleksi Kang Zusi
piauw ini ia tidak gentar sama sekali, dan ketika ia mengulurkan kedua
tangannya, maka dua batang piauw telah disambutnya dengan baik. Yang dua lagi
dapat ia elakkan dan jatuh berkerontongan di atas genteng. Tanpa membuang waktu
lagi, ia lalu menyambitkan dua batang piauw itu ke arah dua bayangan saikong
yang melarikan diri sambil berseru,
"Makanlah senjata busukmu sendiri !"
Akan tetapi, kedua orang saikong itu dapat mengelak sambil melompat turun dari
atas genteng. Biarpun malam itu bulan bercahaya terang, akan tetapi, di bawah
penuh dengan bayangan pohon dan rumah hingga menjadi gelap dan sebentar saja
kedua orang saikong yang cerdik dan yang sengaja melarikan diri melalui jalan
bawah, telah lenyap dari pandangan mata.
Dan ketika Cin Pau sedang mencari-cari di atas genteng, tiba-tiba ia dikejar
Siauw Eng hingga keduanya bertempur, dan ketika Cin Pau mencari kedua orang
penjahat ke dalam hutan, dengan berani sekali gadis itupun mengejar ke dalam
hutan pula. Hal ini telah dituturkan di bagian depan.
Bagian 09. Jai Hwa Cat Tulen
Cin Pau tidak mau melayani Siauw Eng terlebih lama lagi karena ia anggap gadis
itu sombong sekali, biarpun diam-diam ia harus mengakui bahwa dara baju merah
itu luar biasa cantiknya bahkan lebih cantik dari pada ibunya sendiri yang
tadinya ia anggap sebagai wanita tercantik di dunia ini. Namun ia mencoba untuk
mengusir bayangan dara baju merah itu, dan sambil berlari cepat ia bersungut-
sungut, "Gadis sombong dan galak !"
Pemuda itu langsung menuju ke gua yang sore tadi telah di lihatnya karena ia
merasa yakin bahwa kedua orang penjahat itu tentu telah kembali ke sarangnya.
Benar saja, ketika ia tiba di luar gua. Ia melihat cahaya api di dalam gua itu
dan ternyata bahwa kedua orang saikong itu telah membuat api unggun di dalam
gua. Oleh karena berpikir bahwa kurang leluasa untuk bertempur di dalam hutan yang
gelap, dikeroyok oleh dua orang yang cukup kosen dan memiliki ilmu kepandaian
tinggi, maka Cin Pau menahan marahnya dan bersabar menanti sampai pagi. Ia tidak
tahu bahwa gadis baju merah yang galak itu telah mencari-carinya di dalam hutan
dengan pedang di tangan. Memang Siauw Eng merasa penasaran dan marah sekali karena dia yang telah
mendapat pujian dan julukan Bidadari Merah dari Gobi-san itu, kini tidak dapat
menjatuhkan seorang bangsat kecil. Kalau aku tak dapat merobohkannya namaku
tentu akan jatuh rendah sekali, pikirnya, sama sekali tak ingat bahwa peristiwa
pertempurannya melawan pemuda baju putih yang disangkanya penjahat cabul itu tak
terlihat oleh siapapun juga.
Menjelang pagi, setelah cuaca menjadi terang, tiba-tiba Siauw Eng yang sudah
lelah melihat Cin Pau di dekat sebuah gua bersembunyi di balik sebatang pohon
besar. Terang sekali bahwa pemuda itupun melihat kedatangannya, akan tetapi
pemuda itu sama sekali tak mau mempedulikannya dan menganggapnya seperti daun
kering saja. "Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana ?" teriak Siauw Eng keras dan melompat
ke depan gua untuk menghampiri Cin Pau. Pada saat itu, tiba-tiba dari dalam gua
melompat keluar dua bayangan orang yang berseru,
"Ha, ha, ha, bidadari cantik dan liar datang menyerahkan diri. Bagus, bagus,
sute," berkata saikong yang tinggi besar dan bermuka seperti barongsai. Saikong
kedua yang tinggi kurus tersenyum dan sambil memandang kepada Siauw Eng dengan
kagum, ia berkata, "Biarlah kutangkap kuda betina liar ini untukmu, suheng !"
Bukan main kaget dan marahnya Siauw Eng melihat betapa tiba-tiba saja muncul dua
orang pertapa yang bicaranya tidak keruan ini.
"Eh, kalian ini siapakah dan bangsa apa " Pakaianmu seperti orang pertapa akan
tetapi lagakmu kasar melebihi siluman !" Memang Siauw Eng terlalu manja dan
sombong hingga keheranannya pun luar Koleksi Kang Zusi
biasa sekali. Ia tak pernah merasa takut menghadapi siapapun juga oleh karena
belum pernah kehendaknya tak terlaksana karena semenjak kecil kemauannya selalu
dipenuhi oleh ayah bundanya yang amat mencintanya.
Kedua orang saikong itu sebetulnya bukanlah penjahat-penjahat sembarangan, akan
tetapi adalah orang-orang yang telah menggemparkan kalangan Kang ouw karena
kejahatan dan kelihaian mereka.
Yang tinggi besar dan bercambang bauk seperti muka singa itu adalah Pit Lek
Hoatsu, saikong cabul dan jahat yang dulu pernah mengganggu Lin Hwa dan Un Kong
Sian dan akhirnya dapat diusir karena takut menghadapi Pek Seng Hwesio ketua
kuil Thian Lok Si. Ternyata bahwa selama itu, Pit lek Hoatsu tidak mau merobah
cara hidupnya yang penuh kedosaan itu. Dan kini kebetulan sekali ia melakukan
perjalanan dikawani seorang adik seperguruan yang tidak kalah jahatnya, yakni
saikong tinggi kurus itu yang bernama Ban Lek Hoatsu. Ketika lewat di kota itu,
mereka tidak lewatkan kesempatan untuk menjalankan kebiasaan mereka yang
terkutuk. Melihat munculnya seorang darah muda yang demikian cantiknya, kedua saikong itu
seolah-olah melihat seorang bidadari turun dari kayangan. Timbul kegembiraan Ban
Lek Hoatsu untuk menangkap gadis ini yang dianggapnya hanya seorang pendekar
wanita biasa yang berkepandaian rendah saja.
Maka sambil menyeringai menjemukan, saikong tinggi kurus ini menerjang maju
dengan tangan kosong, menubruk dan menggunakan gerak tipu Harimau lapar tubruk
kambing, langsung kedua tangannya terulur ke depan hendak menangkap tangan Siauw
Eng yang memegang pedang dan menerkam pundak gadis itu.
"Siluman tua !" Siauw Eng memaki marah dan tanpa mengelak ia lalu menghadapi
serangan itu dengan gerak tipu Kilat Menyambar Membakar Pohon, pedangnya
bergerak dari kanan ke kiri dan menyabet ke arah kedua tangan lawan yang
menyerang secara ganas itu.
"Awas, sute .... !" Pit Lek Hoatsu terpaksa berseru kaget karena benar-benar ia
merasa terkejut melihat gerakan gadis baju merah yang luar biasa cepatnya itu.
Sementara itu, hanya dengan menggulingkan diri ke atas tanah dan menarik kedua
lengannya saja yang membuat Ban Lek Hoatsu dapat menyelamatkan kedua lengannya
dari pedang Siauw Eng. Saikong tinggi kurus ini lalu melompat berdiri dengan
keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia menjadi marah dan penasaran, akan
tetapi maklum pula bahwa dara baju merah ini bukanlah makanan lunak yang mudah
dikalahkannya dan dirampasnya begitu saja. Maka sambil berseru keras ia mencabut
pokiamnya yang terselip dipunggung dan pada saat Siauw Eng telah maju menyerang,
ia lalu menangkis dan balas menyerang sambil memaki,
"Kuda liar ! kalau aku tak bisa menangkapmu hidup-hidup, biarlah aku sembeli kau
dan panggang dagingmu untuk mengisi perut !"
Hinaan ini membuat seluruh muka Siauw Eng menjadi merah dan ia balas memaki,
"Siluman keparat ! Hari ini aku Gobi Ang Sianli mengirim nyawamu yang rendah dan kotor ke neraka
jahanam !" Kemudian ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sin
Coa Kiam hoat atai Ilmu Pedang Ular Sakti. Ban Lek Hoatsu melawan dengan hebat
dan diam-diam pendeta cabul ini terkejut sekali karena ia dapat melihat bahwa
ilmu pedang itu adalah ilmu pedang yang ternama dan lihai sekali dari partai
Gobi-san. Ia merasa menyesal karena tanpa disengaja ia telah bentrok dengan
seorang anak murid Gobi-pai yang lihai. Akan tetapi oleh karena sudah kepalang,
dan pula lebih baik ia binasakan saja anak perempuan ini dari pada nanti
rahasianya dibongkar dan dirinya dibenci oleh kaum persilatan dari Gobi-san,
maka ia lalu memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya.
Sementara itu, Pit Lek Hoatsu yang juga terkejut melihat kelihaian ilmu pedang
dara baju merah itu, segera melompat dan bersiap membantu sutenya, akan tetapi
tiba-tiba dari balik pohon berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang
pemuda tampan berpakaian putih telah berdiri di depannya. Pit Lek Hoatsu marah
sekali ketika melihat bahwa pemuda ini adalah pengejarnya malam tadi, maka tanpa
banyak cakap ia lalu menerjang dengan pedangnya.
Pendeta-pendeta cabul ! Sungguh kalian harus malu terhadap sang Buddha !" Cin
Pau menegur marah dan kata-kata ini membuka mata Siauw Eng bahwa yang menjadi
penjahat pemetik bunga sebenarnya adalah dua orang saikong ini dan bukan si
pemuda baju putih yang tampan. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa girang
mendapat kenyataan ini, dan kebenciannya terhadap lawan yang dihadapinya
bertambah. Ia lalu merobah-robah ilmu pedangnya, sebentar memainkan Sin Coa Kiam
hoat dan pedangnya menyerang dari bawah dengan ganas dan lihainya, sebentar lagi
ditukar dengan Pek Tauw Kiam hoat hingga tubuhnya yang ringan itu melompat
tinggi dan melakukan serangan dari atas seakan-akan seekor rajawali menyambar
korbannya. Namun ilmu kepandaian Ban Lek cukup lihai dan ditambah pula dengan
pengalamannya yang puluhan tahun lamanya itu, ia dapat menghadapi Siauw Koleksi
Kang Zusi Eng yang masih hijau dengan baiknya dan bahkan melakukan serangan balasan yang
tak kalah hebatnya. Adapun Pit lek Hoatsu yang menghadapi Cin Pau, segera mengeluh di dalam hatinya,
oleh karena kalau ilmu pedang Siauw Eng telah membuat ia kagum, adalah ilmu
kepandaian pemuda baju putih ini membuatnya terkejut dan heran sekali. Ia
seperti mengenal ilmu pedang ini yang mirip dengan ilmu pedang dari Kunlun-pai,
akan tetapi gerakan-gerakannya tidak begini cepat dan perubahannya tidak begini
hebat. Apa pula, pemuda ini agaknya memiliki ginkang dan lweekang yang tidak
berada di bawah kepandaiannya sendiri, bahkan dalam hal ilmu meringankan tubuh,
pemuda ini telah mencapai puncak kesempurnaan hingga tubuhnya berkelebat
bagaikan kilat menyambar. Sebetulnya Cin Pau sedang menyerang lawannya dengan
menggunakan ilmu pedangnya Kui Hwa Koan Kiam Hoat yang telah mengalami banyak
perobahan dan kemajuan itu, apalagi karena yang memainkan adalah seorang pemuda
yang memiliki ginkang tinggi dan yang memegang pedang Pek Kim Kiam lagi, maka
tentu saja kehebatannya luar biasa pula dan setelah bertempur puluhan jurus, Pit
Lek Hoatsu menjadi terdesak hebat.
Oleh karena dia sendiri masih belum dapat mendesak dara baju merah biarpun ia
telah mengerahkan tenaga dan kepandaian, maka ketika melihat betapa suhengnya
yang lihai itu bahkan terdesak oleh pemuda baju putih, Ban Lek Hoatsu menjadi
kuatir sekali. Kedua orang saikong ini diam-diam merasa heran mengapa dalam
dunia persilatan bisa muncul orang-orang muda yang luar biasa ilmu kepandaiannya
ini. Pit Lek Hoatsu maklum bahwa apabila ia terus menghadapi pemuda baju putih itu
dengan pedangnya, akhirnya ia akan mendapat celaka, maka tiba-tiba ia berseru
keras sambil mengambil sesuatu dengan tangan kirinya dari kantong jubahnya yang
lebar. "Rebahlah !" saikong itu membentak dan ketika ia menggerakkan tangan kirinya,
tiba-tiba sehelai jala terbuka dan menyerbu ke arah kepala Cin Pau dengan cepat
sekali. Pemuda ini terkejut, akan tetapi ia lalu menggerakkan pedangnya,
membacok ke arah jala itu dan akibatnya membuat ia berseru perlahan karena
ternyata bahwa jala yang terbuat dari pada kawat baja yang halus dan lemas itu
tak dapat terbacok putus, bahkan lalu mengecil dan menggulung pedangnya. Jala
kecil ini bekerja sendiri karena di dalamnya telah dipasangi kawat-kawat halus
yang berada di jari tangan Pit Lek Hoatsu hingga dapat digerakkan sebagai
semacam senjata yang berguna dan yang dapat merampas senjata lawan.
Untung sekali Cin Pau memiliki ilmu tenaga lweekang yang sudah sempurna hingga
ia tidak menjadi gugup dan dengan cepat ia mengirim sebuah tendangan Lui Kik ke
arah lambung lawan dan berbareng mengerahkan tenaga untuk mencabut kembali
pedangnya yang terlilit jala. Usahanya berhasil dan pedangnya terlepas lagi
karena dengan terkejut Pit lek Hoatsu terpaksa melompat ke belakang untuk
menghindarkan diri dari tendangan maut itu.
Merasa tak kuat menghadapi Cin Pau yang gesit, Pit lek Hoatsu lalu berseru,
"Sute, mari kita pergi!"
Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak ke arah Cin Pau dan
segenggam bubuk pasir hitam menyerang ke arah muka, dada, dan perut Cin Pau.
Pemuda itu mencium bau amis, maka cepat ia menahan napas dan mengelak karena
maklum bahwa senjata rahasia ini tentu berbisa.
"Penjahat curang !" tegurnya ketika melihat betapa Pit lek Hoatsu menggunakan
kesempatan itu untuk melompat pergi dengan cepat. Cin Pau lalu mengirim serangan
dengan biji-biji caturnya, yakni semacam kepandaian melepas senjata rahasia yang
aneh akan tetapi kelihaiannya tak kalah dengan senjata rahasia yang tajam,
karena biji-biji catur yang dilepaskannya ini selalu menyerang jalan-jalan darah
lawan dan Cin Pau telah mempelajari sampai sempurna betul cara melepas dengan
sistim "seratus kali sambit, seratus kali kena."
Untuk menerjang Pit Lek Hoatsu, Cin Pau hanya melepas dua biji catur yang
disambitkan ke arah jalan darah hoat sit hiat dan pek twi hiat. Akan tetapi, Pit
Lek Hoatsu benar-benar lihai sekali. Memang benar bahwa sambitan Cin Pau cepat
sekali datangnya dan tak dapat dikelit lagi, akan tetapi dengan cerdik sekali
Pit Lek Hoatsu menggerakkan tubuh dan mengerahkan lweekangnya sehingga biarpun
biji-biji catur itu mengenai tubuhnya, akan tetapi tidak tepat menghantam jalan
darah, hanya mengenai daging tubuhnya saja dan mental kembali karena ia telah
mengerahkan lweekang yang membuat tubuhnya seakan-akan menjadi kebal.
Cin Pau terkejut sekali karena ia tidak tahu akan akal cerdik ini dan menyangka
bahwa saikong jahat itu sudah demikian tinggi ilmunya hingga dapat menutup jalan
darah dan dapat menahan sambitan caturnya yang jitu. Maka ketika melihat saikong
itu melompat pergi, dia tak mau mengejar. Sebaliknya Koleksi Kang Zusi
melihat betapa gadis baju merah yang galak itu masih bertempur ramai dengan
saikong tinggi kurus tanpa dapat mendesak, ia lalu menyerbu dan membantu.
Akan tetapi, Siauw Eng yang merasa penasaran karena belum juga dapat mengalahkan
lawannya sedangkan ia melihat betapa pemuda baju putih itu telah mengusir
lawannya, lalu berseru, "Jangan membantu ! Aku tidak minta dibantu !"
Cin Pau tercengang, maka ia lalu urungkan niatnya hendak membantu, bahkan lalu
memasukkan pedang di sarung pedangnya dan pergi duduk sambil menonton di bawah
sebatang pohon besar. Siauw Eng menggertakkan giginya dan memainkan jurus paling berbahaya dari Sin
Coa Kiam hoat dan Pek Tiauw Kiam Hoat hingga benar saja ia dapat mendesak Ban
Lek Hoatsu. Akan tetapi ini hanya karena saikong itu telah bersiap untuk
menyusul suhengnya dan pergi dari tempat berbahaya itu.
Namun Siauw Eng tidak memberi kesempatan dan agaknya sudah maklum akan maksud
lawannya. Ia ingin melebihi pemuda baju putih itu yang hanya dapat mengusir
lawannya. Ia ingin menjatuhkan lawannya yang satu ini agar dapat melebihi hasil
pemuda baju putih. Ban Lek Hoatsu menjadi penasaran dan marah. Sambil berseru keras tangan kirinya
bergerak dan sehelai sabuk sutera yang berwarna hitam meluncur ke depan bagaikan
seekor ular sungai. Sabuk ini seakan-akan hidup dan meluncur menuju ke leher
Siauw Eng dengan kecepatan luar biasa dan gerakan melenggak-lenggok, Siauw Eng
cepat menyabet dengan pedangnya, akan tetapi seperti halnya dengan Cin Pau tadi,
sabuk hitam itu bahkan melibat ujung pedang di tangan Siauw Eng, dan sebelum
gadis itu sampai menarik kembali pedangnya, pedang di tangan Ban Lek Hoatsu
telah menikam dadanya. Keadaannya benar-benar berbahaya sekali, akan tetapi
Siauw Eng telah mendapat gemblengan hebat dari dua orang tokoh Gobi-san, maka
akan percuma saja ia belajar sampai bertahun-tahun kalau menghadapi serangan
semacam ini saja ia dapat dirobohkan. Dengan seruan keras sekali ia melepaskan
pedangnya dan kemudian menggunakan kedua tangannya mencengkeram ke depan, tangan
kanan ke dada lawan dan tangan kiri ke pergelangan tangan lawan yang memegang
pedang. Cin Pau kagum sekali karena dalam keadaan berbahaya itu, si nona masih
dapat mengeluarkan gerakan Eng Jiauw kang yang luar biasa itu.
"Celakalah sekarang saikong itu," diam-diam ia berbisik.
Akan tetapi ia terlampau memandang rendah kepada Ban Lek Hoatsu, karena biarpun
menghadapi jalan buntu ini, saikong itu masih mempunyai senjata yang luar biasa
ampuhnya dan yang jarang digunakan, karena kepandaian ini merupakan semacam ilmu
sihir yang jahat. Ketika melihat betapa lawannya menggunakan Eng Jiauw Kang yang
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbahaya, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari mulutnya menyembur uap hitam
yang menyambar ke arah muka Siauw Eng.
"Lekas buang diri ke belakang !" tiba-tiba Cin Pau berseru karena ia maklum akan
bahayanya uap itu. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa memang di kalangan
persilatan terdapat berbagai ilmu hitam yang jahat dan yang sering digunakan
oleh para penjahat menghadapi lawan mereka. Hoatsut semacam ini memang amat
berbahaya hingga sukar dilawan, maka tanpa terasa lagi ia mengeluarkan seruan
itu karena terkejut dan kuatir kalau-kalau dara baju merah itu dapat celaka.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw Eng pernah mendapat pelajaran dari Bok
Sam Cu tentang hoatsut. Gadis itupun berseru keras dan sambil menarik kembali
pedangnya yang kini mudah terlepas dari libatan sabuk sutera hitam, ia lalu
menjatuhkan diri berjungkir balik ke belakang. Kesempatan ini digunakan oleh Ban
Lek Hoatsu untuk melompat pergi.
"Bangsat rendah jangan lari !" bentak Siauw Eng dengan gemas dan ia melompat
pula mengejar. "Tak perlu mengejar mereka !" tiba-tiba bayangan putih berkelebat dan Cin Pau
sudah berdiri di depannya. "Mereka itu berbahaya sekali."
Siauw Eng memandang gemas. "Kau penakut !" katanya, "orang-orang macam mereka
itu harus dibinasakan."
"Kau sombong sekali," jawab Cin Pau. "Akan tetapi berani sekali. Baru saja kau
hampir mendapat celaka di tangan saikong kurus kering itu dan sekarang masih
hendak mengejar. Sungguh berani.
Berani, bodoh, dan sombong !"
Koleksi Kang Zusi "Apa katamu ?" "Aku kata kau berani, akan tetapi bodoh dan sombong ?"
"Berani benar kau memaki orang !"
"Tidak lebih berani dari pada kau yang mencaci maki aku sesuka hatimu malam
tadi. Pembalasan ku ini masih belum ada sepersepuluhnya."
Wajah Siauw Eng memerah. Ia pandang wajah yang tampan dan gagah itu dengan
gemas. Tak biasa orang berlaku kasar kepadanya dan terutama pandang mata pemuda
yang agaknya acuh tak acuh kepadanya itu menimbulkan benci di dalam hatinya. Ia
sudah terlalu sering dan sudah biasa melihat pandang mata kagum dari mata laki-
laki, terutama laki-laki muda seperti yang berdiri dihadapannya ini.
"Kau licik dan memilih lawan yang lebih lemah. Kalau aku yang menghadapi saikong
brewok itu, pasti ia telah mampus di tanganku sejak tadi !" katanya.
Cin Pau tersenyum. Ia maklum bahwa ucapan gadis ini tidak benar, karena
kepandaian saikong berewok itu lebih sedikit dari pada kepandaian saikong kurus
kering, akan tetapi ia tidak mau membantah karena tahu pula bahwa memang watak
gadis ini tidak mau dikalahkan orang.
"Pantas saja kalau kau gagah, bukankah kau sudah mempunyai julukan " Apa
julukanmu tadi " Aku mendengar bidadari-bidadari begitu ..... "
Dengan cemberut Siauw Eng berkata, "Kau ini selain licik juga bodoh dan singkat
ingatan. Baru mendengar sudah lupa. Julukanku Gobi Ang sianli !"
"Hm, kalau begitu kau anak murid Gobi-pai, pantas saja lihai." Agak senang juga
hati Siauw Eng mendapat pujian bahwa ia lihai, biarpun ucapan itu dikeluarkan
sepintas lalu saja oleh pemuda itu.
"Kau juga lihai," akhirnya ia mengaku juga, "tentu kau sudah mempunyai julukan
pula." Cin Pau tersenyum lagi, kemudian mengangkat pundaknya yang bidang. "Orang
semacam aku mana pantas memakai julukan " Aku tidak mempunyai gelar sesuatu, dan
namaku sedehana saja, yakni Ong Cin Pau."
"Siapa yang menanyakan namamu ?"
Cin pau melengak dan mukanya menjadi merah. Alangkah sombongnya orang ini,
pikirnya dengan mendongkol. "Tidak ada yang tanya," jawabnya cemberut, "kau
tanya julukan maka aku memberitahukan namaku."
Untuk beberapa saat keduanya berdiri diam, seorang memandang ke kiri, seorang ke
kanan, seakan-akan di depan masing-masing tidak ada orang. Melihat sikap acuh
tak acuh dari Cin Pau, Siauw Eng kecewa dan penasaran. Baru kali ini selama
hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang angkuh dan sombong.
"Mengapa kau tidak tanya namaku ?"
Cin Pau menjadi terheran-heran mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini. Bukan
main kukoainya (ganjilnya) dara baju merah yang cantik jelita dan gagah ini.
"Mengapa mesti bertanyakan namamu " Untuk apa ?" jawab Cin Pau sembarangan, tak
mau kalah angkuh. Siauw Eng menghela napas panjang. "Alangkah baiknya kalau kau ..... tidak
sesombong itu !" Kemudian ia membalikkan tubuh dan berjalan pergi, akan tetapi tiba-tiba ia
berhenti dan menengok sambil berkata, "Betul-betul kau tidak ingin mengetahui
namaku ?" Koleksi Kang Zusi Cin Pau menggelengkan kepalanya, biarpun hatinya ingin sekali mengetahui nama
dara yang lucu dan galak ini. "Untuk apa ?" katanya.
"Hah, bodoh. Tentu saja untuk diketahui dan diingat. Apalagi gunanya nama " Aku
sudah tahu namamu, maka tak baik kalau aku tidak memberitahukan namaku pula. Aku
she Gak bernama Siauw Eng. Nah, kita sudah seimbang sekarang, tidak saling
menghutangkan !" Setelah berkata demikian, Siauw Eng lalu berlari cepat
meninggalkan hutan itu. Pelayan hotel menjadi terheran-heran melihat nona baju
merah itu masih hidup dan kembali dalam keadaan selamat.
"Li-enghiong, kau benar-benar sehat-sehat saja dan tidak apa-apa ?" tanyanya
dengan heran. "Kami seluruh pengurus hotel merasa terkejut dan khawatir melihat bahwa jendela
kamarmu terbuka dan kau tidak kelihatan berada di kamar. Kami menyangka bahwa
kau tentu menjadi kurban siluman-siluman jai hwa cat itu. Tidak tahunya, setelah
kami hilang akal, kau datang. Aneh,...aneh !"
Siauw Eng tersenyum manis dan berkata, "Jangan khawatir lopeh. Mulai sekarang
takkan ada gangguan jai hwa cat lagi !"
Pelayan tua itu memandangnya dengan mata terbelalak. "Apa " Kau sudah berhasil
mengusirnya, li-enghiong ?" Dan ketika Siauw Eng menganggukkan kepala, pelayan
tua itu melemparkan sapunya dan berlari-lari keluar sambil berteriak-teriak,
"Jai hwa cat sudah diusir pergi ! Penjahat itu sudah dibunuh oleh li-
enghiong .... oleh ...." Tiba-tiba ia teringat bahwa ia belum mengetahui nama
Siauw Eng, maka selagi orang-orang di jalan memandangnya dengan bengong ia
berlari pula memasuki hotel dan menyerbu kamar Siauw Eng sambil bertanya,
"Mohon tanya, lihiap, siapakah nama lihiap yang mulia ?"
Siauw Eng tersenyum girang dan berkata, "Sebut saja Gobi Ang Sianli!"
Kembali pelayan tua itu berlari keluar dan berteriak-teriak dengan muka girang
dan suara keras. "Jai hwa cat telah diusir pergi pendekar wanita yang bermalam di hotel kami.
Sudah dibasmi oleh Gobi Ang sianli, Bidadari merah dari Gobi-san ! Mulai
sekarang kota kita takkan terganggu lagi. Hidup Gobi Ang Sianli !"
Sambil berteriak-teriak, pelayan itu berlari-lari ke seluruh penjuru kota hingga
sebentar saja semua orang tahu akan hal ini dan semua orang lalu berkerumun
mengunjungi hotel itu untuk menyaksikan pendekar wanita yang telah menolong kota
mereka itu. Melihat hal ini, Siauw Eng menjadi malu sendiri di dalam hatinya, oleh karena
sesungguhnya bukan dia sendiri yang mengusir kedua pendeta cabul itu dan kalau
saja tidak bertemu dengan Cin Pau, banyak sekali kemungkinan ia akan menderita
celaka di dalam tangan kedua saikong yang kosen itu. Ketika pelayan tua itu
datang dan minta supaya ia suka keluar menemui semua penduduk yang sudah berdiri
dan berkumpul di depan hotel, Siauw Eng lalu berkemas dan mengikatkan buntalan
pakaiannya di punggung. Kemudian ia hendak membayar uang sewa kamar, akan tetapi
dengan sungguh-sungguh pelayan tua itu menolaknya.
Dengan diiringkan oleh pelayan yang membongkok-bongkok dengan hormat dan girang,
Siauw Eng keluar dari hotel dan benar saja, di luar telah berkumpul banyak
sekali orang. Ketika ia muncul, semua orang memandang dengan bengong karena tak
mereka sangka bahwa pendekar wanita yang menolong mereka adalah seorang gadis
muda yang telah membuat mereka lupa bahwa mereka datang hendak menghaturkan
terima kasih dan kini mereka hanya berdiri dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga ! "Tentu dia seorang bidadari tulen !" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita
tua berseru dan seruan ini menyadarkan semua orang. Orang-orang yang berdiri di
depan lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh semua orang yang di belakang
dan mereka menghaturkan terima kasih kepada Gobi Ang Sianli.
Siauw Eng merasa tidak enak sekali dan baru kali ini ia merasa tidak enak
dihormati dan dipuja seperti itu.
Koleksi Kang Zusi "Dengarlah, cuwi sekalian ! Bukan aku saja yang menghalau penjahat-penjahat itu,
masih ada lagi seorang pendekar muda bernama Ong Cin Pau. Kepadanyalah
seharusnya cuwi mengucapkan terima kasih !"
Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat merupakan bayangan merah dan tahu-
tahu ia telah lenyap dari situ. Semua orang merasa kagum sekali dan di antara
sekian banyak orang itu terdapat seorang pemuda baju putih yang tersenyum-
senyum. Akan tetapi Siauw Eng tidak melihatnya karena ia tadi bersembunyi di
belakang orang banyak, bahkan ikut pula berlutut.
Bagian 10. Puteri Gak-ciangkun
Siauw Eng melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena ia sudah merasa rindu
sekali kepada ibunya. Ia tidak mau menunda-nunda perjalanannya dan tidak mampir-
mampir di kota lagi, akan tetapi terus saja melewati kota-kota dan dusun-dusun
kecuali kalau malam hari tiba.
Karena perjalanan yang dilakukan terus menerus ini, beberapa hari kemudian,
tibalah ia di sebuah hutan di luar kota Tiang-an. Hati Siauw Eng berdebar girang
karena ia ingat hutan ini yang tidak berobah keadaannya. Ketika ia masih kecil
sebelum pergi ke Gobi belajar ilmu silat, ayahnya seringkali mengajaknya ke
hutan ini untuk memburu binatang hutan. Di sebelah barat kota Tiang-an memang
banyak terdapat hutan dan ketika ia memasuki hutan pertama yang baru beberapa
kali didatangi ayahnya dulu karena jauhnya, Siauw Eng memperlambat larinya
sambil melihat-lihat. Beda sekali keadaan hutan-hutan di timur ini dengan di
sebelah barat, beda pohon-pohonnya, bahkan berbeda pula suara-suara burung yang
berkicau di pohon-pohon itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara kerbau menguak dan kemudian mendengar suara suling
bambu. Ia menjadi terkejut dan heran. Ia tidak tahu bahwa memang terdapat
beberapa buah dusun di dekat hutan itu sebelah selatan. Ketika ia menghampiri,
ternyata di satu tempat yang banyak rumput hijaunya, nampak seorang laki-laki
berusia kurang lebih tiga puluh tahun duduk di bawah sebatang pohon besar.
Tiga ekor kerbau sedang makan rumput di dekatnya dan orang itu meniup sulingnya
dengan asyik. Siauw Eng merasa tertegun karena di sebelah kanan orang itu terdapat dua
gundukan tanah yang jelas sekali menyatakan bahwa di bawah tanah itu ada dua
orang manusia dikubur. Pakaian orang itu sederhana saja dan mudah dilihat bahwa
dia adalah seorang petani yang hidup berbahagia. Hal ini dapat dilihat dari
tubuhnya yang sehat dan wajahnya yang berseri.
Ketika petani yang meniup sulingnya itu melihat Siauw Eng, tiba-tiba ia
menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan terkejut dan heran, akan
tetapi mata Siauw Eng yang tajam itu masih dapat melihat sinar kagum dari kedua
mata yang jujur itu. "Sahabat teruskan tiupan sulingmu, merdu benar bunyinya," kata Siauw Eng sambil
tersenyum manis. Petani itu makin gugup dan bingung, karena kecantikan Siauw Eng yang muncul
dengan tiba-tiba itu membuatnya heran sekali dan tak dapat mengeluarkan kata-
kata. Kemudian, setelah ia melihat sikap gagah dan pedang yang tergantung di
pinggang Siauw Eng ia lalu berdiri dan menjurah dengan hormat sekali. "Lihiap,
tentulah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa."
Siauw Eng tersenyum lagi. "Bagaimana kau bisa tahu ?"
"Lihiap membawa-bawa pedang dan berani seorang diri melalui hutan yang banyak
terdapat binatang buas ini."
"Kau cerdik, sahabat. Akan tetapi aku tidak mengerti mengapa kau sendirian pun
berani berada seorang diri di sini dengan enak-enak dan ayem, apakah kau juga
memiliki ilmu kepandaian tinggi hingga tidak takut akan binatang liar."
"Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali mencangkul tanah dan meniup
suling, akan tetapi apa yang aku takutkan " Aku tidak berada seorang diri, dan
selama saudaraku, tanduk baja mengawaniku di sini, aku tak takut kepada binatang
apapun juga !" Siauw Eng memandang ke sekelilingnya untuk mencari dan melihat kawan petani yang
diandalkan dan yang bernama Tanduk Baja itu, akan tetapi ia tidak melihat orang
lain disitu. Koleksi Kang Zusi "Mana kawanmu yang gagah itu ?" tanyanya.
Petani itu dengan bangga lalu menghampiri seekor di antara ketiga kerbaunya yang
sedang makan rumput dan sambil menepuk-nepuk punggung kerbau yang besar itu ia
berkata, "Inilah dia, Saudaraku Tanduk Baja ! Telah dua kali ia menghadapi
harimau dan dengan tanduknya merobek-robek perut harimau itu. Dengan adanya dia
di sini, apakah yang aku takutkan ?"
Siauw Eng memandang kagum dan memang kerbau jantan itu nampak kuat sekali.
Sepasang tanduknya besar dan runcing bagaikan dua batang tombak. Ia mengangguk-
angguk dengan kagum, kemudian ia menunjuk ke arah dua buah kuburan itu.
"Apakah ini makam keluargamu ?"
Petani itu menggelengkan kepala. "Bukan, lihiap, akan tetapi akulah, kedua
tanganku inilah yang dulu menanam jenazah-jenazah mereka yang rebah di sini
dengan mandi darah. Ah, masih ngeri aku melihat betapa tubuh mereka mandi darah
dalam keadaan yang membuat bulu tengkukku masih berdiri kengerian kalau
terbayang pula. Mereka juga orang-orang gagah seperti kau, lihiap."
"Bagaimana kau bisa tahu " Dan siapakah mereka ini ?"
"Entahlah, ketika itu, belasan tahun yang lalu, aku dan seorang kawanku yang
sekarang tinggal di kota raja, sedang menggembala kerbau kami dan tiba-tiba
ketika kami tiba di sini, kami melihat jenazah kedua orang laki-laki yang
sekarang berada di bawah tanah ini. Tangan mereka masih menggenggam pedang dan
tubuh mereka hancur, penuh bekas bacokan senjata tajam dan tusukan anak panah.
Aku tidak tahu siapa mereka itu menimbulkan rasa iba di hati kami, maka kami
lalu mengubur kedua jenazah ini. Dan ternyata Thian memang adil, lihiap.
Semenjak aku dan kawanku mengubur jenazah-jenazah ini, keadaan kami mendadak
menjadi baik sekali. Sawah yang kami tanami menghasilkan banyak padi dan gandum,
jauh lebih banyak dari pada hasil di sawah orang lain dan sekarang aku sudah
memiliki tiga ekor kerbau dan sepetak sawah. Dan kawanku itu" Ia telah membuka
sebuah rumah makan yang lumayan di kota raja. Bukankah ini berarti pembalasan
budi dari kedua jenazah yang tak kami kenal ini
?" Mendengar penuturan itu, diam-diam Siauw Eng teraruh juga. Alangkah buruknya
nasib kedua orang ini, binasa di tempat asing dan dikubur oleh dua orang
penggembala kerbau, tidak diketahui oleh sanak keluarga mereka.
"Hatimu jujur dan mulia, sahabat. Sudah sepantasnya hidupmu bahagia." Setelah
memuji, Siauw Eng lalu meninggalkan tempat itu, sedikitpun tak pernah mengira
bahwa sebuah dari pada kuburan ini adalah kuburan ayahnya sendiri, Ma Gi !
Ia melanjutkan perjalanannya dengan hati gembira dan tak lama lagi ia akan tiba
di hutan terakhir dan yang terdekat dengan kota Tiang-an Tiba-tiba ia mendengar
suara kuda meringkik dan orang bercakap-cakap. Ia berjalan terus dan tak lama
kemudian ia melihat dua orang penunggang kuda yang gagah sekali. Kuda yang
mereka tunggangi adalah kuda-kuda besar dan bagus yang tentu saja mahal harganya
berpelana indah dan memakai kerincingan hingga tiap kali kuda itu menggerakkan
tubuhnya agak keras, berbunyilah kerincingan itu menimbulkan kegembiraan.
Penunggang-penunggangnya juga orang gagah sekali.
Seorang di anataranya adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan
tampan wajahnya. Rambutnya yang hitam dan halus itu diikat dengan sutera biru dihias dengan
hiasan rambut dari permata indah. Pakaiannya dari sutera dari sutera jambon yang
dihiasi renda kuning emas. Pedangnya dengan sarung pedang terukir bagus,
tergantung dipinggangnya dan sepatunya dari kulit yang mengkilat. Dandanan
seorang kongcu yang cakap, tampan, dan kaya raya. Kawannya juga mengagumkan
sekali, yakni seorang gadis muda yang cantik dan lembut sinar matanya. Rambutnya
dikepang dua dan dihias pita merah, sedangkan pakaiannya terbuat dari dari pada
sutera hijau dan merah yang indah sekali potongannya. Dia atas rambutnya terhias
bunga-bunga emas dan mutiara, sedangkan sebatang pedang terselip dipunggungnya.
"Lihat sumoi, binatang she Ma lewat di sana. Biar aku bikin mampus dia !" Sambil
berkata demikian pemuda yang gagah itu lalu mengambil anak panah dan menarik
gendewanya, membidik ke arah semak belukar dan melepaskan anak panah itu yang
dengan cepatnya meluncur ke dalam semak-semak.
Koleksi Kang Zusi Siauw Eng merasa heran sekali dan ketika ia memandang, ternyata anak panah itu
telah menancap dan menembus tubuh seekor kelinci putih yang mati pada saat itu
juga. Pemuda yang lihai anak panahnya itu, melompat turun dari kudanya sambil
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa riang, kemudian ia mengambil bangkai kelinci yang dipanahnya tadi,
mengangkat tinggi ke atas dan berkata kepada kawannya sambil tertawa,
"Sumoi, lihatlah binatang she Ma ini. Kalau aku bertemu dengan dia, akan
kubeginikanlah. Lihat, binatang she Ma sekarang telah mampus, menggerakkan
ekornyapun tidak mampu lagi. Ha, ha, ha!"
Gadis yang cantik itupun tertawa. Kebetulan pada saat itu di atas terbang
serombongan burung pipit.
"Suheng, sekarang aku akan menjatuhkan binatang she Khu !" Setelah berkata
demikian gadis cantik itu merogoh saku dan mengayunkan tangannya ke atas. Sebuah
benda putih berkilau meluncur ke atas dan tepat sekali menyerbu ke arah
gerombolan burung yang terbang lewat dan jatuhlah seekor burung dari atas,
tertancap dadanya oleh sebatang piauw yang berwarna putih karena terbuat dari
pada perak. Melihat jarak yang jauh dan tinggi itu, maka diam-diam Siauw Eng mengagumi
kepandaian melempar gin-pauw (piauw perak) gadis itu.
Gadis itu turun dari kuda dan memungut kurban piauwnya, lalu mengangkatnya ke
atas sambil berkata, "Beginilah nasib binatang she Khu kalau bertemu denganku !" katanya kepada
pemuda itu. Keduanya tertawa-tawa sambil memaki-maki orang-orang she Ma dan she
Khu. Siauw Eng merasa heran sekali mengapa kedua orang muda yang gagah dan kaya ini
demikian benci kepada orang-orang she Ma dan she Khu sehingga mereka
mengumpamakan binatang-binatang buruan mereka sebagai orang-orang yang
dibencinya itu. Ia tidak tahu bahwa kedua orang ini semenjak kecil memang telah
dijejali rasa benci, dendam dan permusuhan terhadap dua keluarga Ma dan Khu,
selalu diajar untuk membenci dua nama itu oleh ibu mereka. Mereka adalah putera
puteri keluarga Gu. Pemuda itu bernama Gu Liong, putera tunggal nyonya janda Gu Keng Siu yang tidak
mau kawin lagi. Sedangkan gadis itu adalah Gu Hwee Lian, puteri nyonya janda Gu Leng Siu yang
kawin lagi dengan Gan Hok, perwira berpangkat Touwtong di kota Lok-keng.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, nyonya Gu Keng Siu yang merasa
sakit hati karena kematian suaminya di tangan keluarga Ma dan Khu, lalu menyuruh
putera tunggalnya untuk belajar silat kepada Gan Hok yang menjadi suami nyonya
Leng Siu dan menjadi ayah tiri Gu Hwee Lian. Oleh karena ini, maka Gu Liong dan
Gu Hwee Lian menjadi saudara seperguruan dan mendapat latihan ilmu silat dari
Gan Hok yang berilmu tinggi.
Semenjak kecil, ibu mereka dan juga Gan Hok, menanamkan bibit permusuhan dalam
hati kedua anak muda ini dan menceritakan betapa ayah mereka, yakni putera
pangeran Gu Leng Siu dan Gu Keng Siu, juga kakek mereka pangeran Gu Mo Tek,
telah menjadi korban keganasan dua orang pemberontak bershe Khu dan Ma dan bahwa
sudah menjadi kewajiban mereka untuk membasmi setiap keturunan kedua keluarga
itu. Karena itulah, maka tiap kali berburu binatang, kedua anak muda ini sambil
berkelakar memaki-maki nama Khu dan Ma untuk melampiaskan rasa sakit hati dan
dendam mereka karena tidak tahu di mana adanya keturunan kedua orang keluarga
itu dan mereka ini harus membalas kepada siapa.
Biarpun Siauw Eng sama sekali tidak tahu tentang hal ini dan tak pernah
mendengar tentang nama keluarga Khu dan Ma itu, namun ia merasa kurang senang
melihat kelakuan kedua orang muda yang memaki-maki dan menghina dua keluarga tak
terkenal itu. Ia lalu melompat keluar mendekati mereka.
"Eh, kalian ini apakah sudah miring otakmu " Kelinci disebut she Ma dan burung
she Khu, kalau bukan orang yang berotak miring tak nanti bicara tidak keruan
seperti kalian berdua !" tegurnya.
Gu Liong dan Gu Hwee Lian terkejut dan memandang. Mulut Gu Liong terbuka dan
kedua matanya menatap dengan penuh kekaguman. Sedangkan Hwee Lian juga memandang
kagum karena sikap Siauw Eng memang gagah sekali. Akan tetapi teguran Siauw Eng
itu setidaknya membuat kedua anak muda ini marah juga, terutama sekali Gu Liong.
Kalau saja yang memaki dia gila itu bukan seorang dara muda yang demikian cantik
jelitanya, tentu ia sudah menggunakan kepalan menghajar orang itu.
Koleksi Kang Zusi Sebaliknya, Hwee Lian agaknya tidak mempedulikan teguran Siauw Eng, karena
kembali gadis ini mengambil piauw peraknya dan ketika pada saat itu ia melihat
seekor kelinci berlari keluar dari semak, cepat piauwnya menyambar dan ia
berkata, "Nah, seorang keturunan Ma mampus lagi."
Siauw Eng cepat membungkuk dan tahu-tahu ia telah memungut batu kerikil yang
dilemparkannya ke depan. Gerakkannya ini cepat sekali dan tahu-tahu batu
kerikilnya telah membentur gin-piauw yang melayang ke arah perut kelinci itu
hingga senjata tersebut menyerong arahnya dan tidak mengenai kelinci.
Gu Liong dan Hwee Lian terkejut dan marah melihat kelancangan nona baju merah
ini. "Siapakah kau yang berlancang tangan dan datang-datang selain memaki kami
juga berani mengganggu dan memukul gin-pauwku ?" tegur Hwee Lian dengan muka
merah. "Kelinci diburu untuk dimakan dagingnya, bukan untuk main-main. Dan kalau kalian
benar-benar membenci orang-orang she Ma dan Khu carilah mereka dan ajak
bertanding, tidak memusuhi binatang-binatang yang tak berdosa. Perbuatan kalian
ini hanya menunjukkan sikap penakut saja. Tidak dapat dan tidak berani
menghadapi orangnya lalu memuaskan nafsunya kepada binatang-binatang tak
berdaya. Hih, tak tahu malu !"
Sepasang mata Hwee Lian yang bersinar lembut itu mengeras dan ia menjadi marah
sekali. Sambil menuding kepada Siauw Eng, ia menegur, "Kau ini orang lancang dan
bermulut panjang, mengapa mencampuri urusan orang lain. Kalau kau merasa gagah
perkasa dan ingin menjadi pembela segala kelinci dan burung, kau majulah ! Aku
hendak membunuh kelinci dan burung sebanyak yang kusukai, hendak menyebut mereka
dengan nama apa saja, apa perdulimu ?"
Siauw Eng adalah seorang yang selain keras hati, juga mau menang sendiri saja.
Maka mendengar ucapan Hwee Lian dan melihat betapa dua orang yang berpakaian
indah itu menjadi marah, ia tersenyum menghina dan berkata,
"Pendeknya, aku melarang kalian memaki-maki di depanku !"
Gu Liong tertawa mengejek, "Hm, kau hendak membela keluarga Ma dan Khu ?"
"Siapa sudi membela mereka " Aku tidak kenal mereka !" jawab Siauw Eng marah.
Gu Hwee Lian tertawa penuh olok-olok, "Kalau begitu, kau tentu menjadi pembela
kelinci dan burung !"
Kedua saudara Gu itu tertawa geli sambil memandang Siauw Eng hingga dara baju
merah itu menjadi marah sekali. Dicabutnya pedang dari pinggangnya dan sambil
menuding dengan tangan kiri ia membentak,
"Dua manusia rendah, kau berdua majulah ! Jangan hanya berani menghina segala
binatang kecil tak berdaya, hendak kulihat apakah kepandaian kalian sebagus
pakaian yang kalian pakai !"
Gu Liong dan Gu Hwee Lian adalah murid Gan Hok yang berilmu tinggi dan mereka
telah mendapat latihan silat semenjak kecil, maka selain lihai, mereka inipun
berhati tabah sekali. Kini melihat tantangan Siauw Eng, tentu saja mereka tidak
menampik dan serentak mereka lalu mencabut pedang masing-masing dan maju.
"Majulah bersama dan jangan ragu-ragu !" ejek Siauw Eng melihat betapa kedua
orang itu merasa agak ragu-ragu untuk maju mengeroyok.
"Sombong !" seru Hwee Lian yang segera melompat maju dan menyerang dengan gerak
tipu Hong Ciu Pai Hio atau Angin Meniup Dahan Tua.
"Bagus !" kata Siauw Eng dan ia tiba-tiba merendahkan tubuh dan dari bawah
secepat kilat pedangnya menyambar ke arah pergelangan Hwee Lian yang sedang
menyerangnya. Inilah sebuah gerak tipu dari Sin Coa Kiamhwat yang disebut Ular
Menyambar Burung yang tak terduga dan hebat sekali, karena dalam keadaan
diserang, Siauw Eng telah membalas dengan serangan pula yang tak kalah hebatnya.
Hwee Lian terkejut sekali karena hampir saja pergelangan tangannya kena dibabat.
Ia cepat menarik kembali tangannya dan membacok dari atas ke arah kepala Siauw
Eng yang masih merendah dan membongkok. Siauw Eng tertawa dan mengelak cepat dan
ketika pedang Hwee Lian lewat menyambar Koleksi Kang Zusi
di dekat kepalanya, ia lalu menggunakan punggung pedangnya untuk memukul pedang
itu ke bawah. Kembali Hwee Lian terkejut bahkan kali ini ia mengeluarkan seruan tertahan
karena kalau ia tidak memegang erat-erat pedangnya tentu pedang itu telah kena
dihantam terlepas dari pegangannya.
Ia lalu melompat mundur dan kini menghadapi Siauw Eng dengan hati-hati sekali
karena maklum bahwa ilmu silat dara baju merah ini benar-benar tinggi sekali.
"Ha, ha, ha, jangan kau berani melawan nenek besarmu seorang diri saja. Majulah
berdua dengan suhengmu itu !" Siauw Eng mengejek sambil tertawa.
"Sumoi jangan takut, aku membantumu !" Gu Liong berkata dan mencabut pedang
terus maju mengeroyok. Akan tetapi dengan tak gentar sedikitpun, Siauw Eng
menghadapi mereka dan memainkan ilmu pedangnya yang hebat dan luar biasa itu
hingga biarpun dikeroyok dua, akan tetapi kedua orang saudara Gu itu terdesak
hebat dan tubuh mereka terancam sinar pedang Siauw Eng yang bergulung-gulung.
Baiknya Siauw Eng hanya ingin menggoda mereka saja dan tidak bermaksud
mencelakainya, karena kalau kedua orang ini menjadi musuh-musuh yang dibenci,
tentu sebentar saja mereka telah roboh mandi darah.
Pada saat itu, dari jauh datang dua orang penunggang kuda lain dan setelah
dekat, mereka segera melompat turun dari kuda dan seorang di antara mereka
berseru, "Tahan dulu !"
Hwee Lian dan Gu Liong melompat mundur dengan hati lega karena itu adalah suara
Gan Hok, ayah tiri Hwee Lian atau guru mereka berdua. Ternyata Gan Hok datang
bersama seorang tua gundul yang berpakaian seperti pengemis karena penuh
tambalan. Pengemis ini bukanlah orang sembarangan, akan tetapi adalah supek (uwa
guru) Gan Hok sendiri yang bernama Kim-i Lokai (Pengemis Tua Baju Emas). Bajunya
itu biarpun tambal-tambalan, akan tetapi tambalannya dijahit dengan benang emas,
maka ia mendapat julukan Pengemis Tua Baju Emas. Ilmu kepandaiannya tinggi
sekali dan ia merupakan tokoh besar di daerah utara.
Siauw Eng melihat kedatangan seorang setengah tua yang gagah dan seorang
pengemis tua yang aneh, juga melompat mundur dengan pedang melintang di dada.
Hwee Lian segera menubruk ayahnya dan berkata dengan manja.
"Ayah, orang ini kurang ajar sekali !"
"Dia membela keluarga Khu dan Ma !" kata Gu Liong.
Tiba-tiba pengemis itu tertawa lebar. "Memang, kaum persilatan sekarang telah
terdesak oleh yang muda-muda. Nona baju merah, ilmu pedangmu tadi hebat sekali,
marilah kita main-main sebentar !"
Sambil berkata demikian, pengemis itu maju sambil memegang tongkat bengkok.
Siauw Eng yang tabah dan berani tentu saja tidak menampik tantangan orang, maka
ia lalu maju menyerang. Ia maklum bahwa pengemis ini tentu tinggi kepandaiannya,
maka datang-datang ia menyerang sambil mengeluarkan ilmu silatnya Pek Tiauw Kiam
sut yang hebat. "Ha, ha, ha ternyata kau anak murid Gobi-pai !" Kim I Lokai tertawa sambil
menangkis dengan tongkatnya. Tangkisan ini berat dan kuat sekali hingga Siauw
Eng merasa betapa telapak tangannya sakit. Akan tetapi oleh karena ia memang
keras hati dan nekad, biarpun maklum bahwa kepandaian kakek pengemis ini lebih
tinggi dari tingkat kepandaiannya sendiri, namun ia tidak mau mengalah dan
sambil menggertakkan gigi, ia terus menyerang lagi lebih hebat. Kakek pengemis
itu mempertahankan diri dengan gerakan-gerakan tongkatnya yang diputar bagaikan
sebatang pedang juga, akan tetapi walaupun tongkat itu hanya terbuat dari pada
sebatang kayu yang kecil, namun karena digerakkan oleh tenaga Iweekang yang
besar, kehebatannya tidak kalah dengan pedang asli.
Sebentar saja, biarpun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, Siauw Eng
terdesak mundur dan terkurung oleh tongkat itu. Tiba-tiba kakek pengemis itu
melompat ke belakang dan berkata,
"Bagus, kau tak mengecewakan menjadi anak murid Gobi-pai ! Bagaimana dengan Bok
San Cu " Apakah ia baik-baik, saja ?"
Koleksi Kang Zusi Siauw Eng terkejut karena kakek yang lihai ini agaknya kenal dengan suhunya,
maka ia lalu menjawab dengan pertanyaan.
"Tidak tahu siapakah locianpwee yang lihai " Dan mengapa kenal kepada suhu ?"
Kakek itu tertawa bergelak-gelak. "Tentu saja aku kenal dengan Bok Sam Cu dan
Cin Sam Cu. Dan kalau mereka berdua itu mendengar bahwa kau telah berani melawan
Kim I Lokai, tentu kau akan mendapat teguran karena telah berani mengangkat
pedang terhadap seorang sahabat baik mereka! Ha, ha, ha !"
Siauw Eng terkejut karena ia pernah mendengar nama ini dari kedua orang suhunya,
maka buru-buru ia menjura sambil menyimpan pedangnya. "Mohon maaf sebanyaknya,
karena teecu tidak tahu bahwa teecu berhadapan dengan locianpwee yang pernah
disebut-sebut oleh dua suhuku. Akan tetapi, mengapa pula locianpwee membela dua
orang anak kurang ajar itu ?"
Pada saat itu, Gan Hok melangkah maju dan bertanya, "Jadi nona adalah murid
Gobi-san " Apakah nona she Gak ?"
Kembali Siauw Eng terkejut dan cepat menjawab, "Memang benar, ayahku adalah Gak
Song Ki !" Gan Hok tertawa girang dan segera menjura, "Aha, memang kalau belum bertempur
takkan mengenal. Maaf, pantas saja kau gagah sekali, Gak siocia. Ayah bundamu seringkali bicara
tentang dirimu. Liong-ji Hwee Lian, ayoh kalian minta maaf kepada Gak siocia !"
Hwee Lian dan Gu Liong juga terkejut sekali ketika mendengar bahwa nona baju
merah yang lihai ini adalah puteri Gak Song Ki yang seringkali mereka dengar
namanya itu, maka buru-buru mereka berdua lalu menjura dan mohon maaf, bahkan
Hwee Lian lalu memeluk Siauw Eng sambil berkata,
"Cici yang gagah, kau maafkanlah aku dan suhengku ini !"
Biarpun hatinya merasa senang sekali melihat mereka itu kini bersikap baik
sekali kepadanya, akan tetapi Siauw Eng menjadi heran dan tidak mengerti.
Melihat hal ini, Gan Hok lalu menjelaskan,
"Ketahuilah, Gak-siocia. Aku adalah seorang rekan dan kawan sejabat ayahmu,
berkedudukan sebagai towtong di kota Lok-keng yang tak jauh letaknya dari kota
raja. Aku dan ayahmu telah saling mengenal semenjak muda, hingga boleh dibilang
kita adalah sahabat-sahabat baik. Akhir-akhir ini ayahmu dan aku seringkali
datang dan saling berkunjung, maka kami mendengar pula tentang puterinya yang
belajar silat di Gobi-san. Hwee Lian ini adalah puteriku dan Gu Liong adalah
kemenakan dan juga muridku, maka kau maafkanlah mereka yang telah berani berlaku
kurang ajar karena tidak mengenalmu. Kau hendak kemana, nona " Apakah hendak
kembali ke rumah orang tuamu " Kebetulan sekali kami juga hendak ke kota raja !"
Demikianlah, dengan hati girang Siauw Eng lalu menuturkan bahwa ia memang baru
saja turun gunung dan hendak pulang, maka beramai-ramai mereka lalu menuju ke
kota raja. Gan Hok memang tidak tahu bahwa Siauw Eng bukan puteri Gak Song Ki
sendiri, oleh karena anak ini terlahir di rumah perwira she Gak itu dan semua
orang menyangka bahwa anak ini adalah puteri tulen perwira itu. Apalagi orang
lain, bahkan Siauw Eng sendiri tidak tahu bahwa Gak Song Ki adalah ayah tirinya.
Kedatangan rombongan ini disambut oleh Gak Song Ki dan Kwei Lan dengan girang
sekali. Gak Song Ki teramat bangga melihat puterinya yang selain cantik jelita
seperti ibunya juga telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan Kwei Lan
ketika bertemu dengan anak tunggalnya, lalu memeluknya sambil menangis penuh
keharuan hati, nyonya cantik ini hidup bahagia dengan suaminya yang amat
menyintanya, akan tetapi ketika ia memeluk Siauw Eng untuk sesaat terbayanglah
wajah ayah anak ini, yaitu Ma Gi, hingga air matanya mengucur makin deras.
Gan Hok menuturkan tentang pertempuran kedua orang muridnya dengan Siauw Eng
sehingga semua orang tertawa dan Gak Song Ki merasa bangga sekali akan
puterinya, terutama ketika Gan Hok dan juga Kim I Lokai yang lihai itu memuji-
mujinya. Kemudian, Siauw Eng pergi ke kamar dengan ibunya, sedangkan Hwee Lian
dan Gu Liong yang sudah seringkali datang ke rumah itu, tanpa malu-malu lagi
lalu bermain di taman bunga yang luas dari gedung Gak-ciangkun itu. Adapun Gan
Hok, Gak Song Ki, dan Kim I Lokai lalu mengadakan perundingan yang agaknya
penting sekali. Koleksi Kang Zusi Memang di antara perwira-perwira ini terdapat urusan yang amat pentingnya. Telah
beberapa lama mereka mendapat kisikan dan pemberitahuan dari seorang perwira
lain bernama Can Kok bahwa kuil Thian Lok Si yang tersohor dan besar itu telah
menjadi sarang pemberontak dan bahwa kawan-kawan keluarga Khu dan Ma serta
keturunan mereka telah bersembunyi di kuil itu. Gak Song Ki dan Gan Hok sendiri
pernah melakukan penyelidikan di kuil itu akan tetapi oleh karena tidak terdapat
sesuatu yang mencurigakan, mereka tak menaruh perhatian lagi atas tuduhan Can
Kok itu. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, tiba-tiba saja datang perintah rahasia
dari Kaisar sendiri yang memerintahkan agar Gan Hok dan Gak Song Ki membasmi
hwesio-hwesio di Thian Lok Si karena semua anggauta kuil itu dianggap sebagai
pemberontak. Ternyata bahwa Can Kok yang dulu ketika mengejar Un Kong Sian dan Lin Hwa, telah
dijatuhkan oleh hwesio di Thian Lok Si dan menerima hinaan, merasa sakit hati
sekali dan selamanya ia tak dapat melupakan sakit hati ini. Dicarinya akal untuk
membalas dendam, akan tetapi oleh karena ia maklum akan kelihaian para hwesio di
Thian Lok Si, maka ia tidak berani berlaku sembrono dan kasar. Diam-diam ia
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"membeli" seorang hwesio di dalam kuil itu untuk mencari tahu tentang segala
rahasia yang ada. Namun, memang kepala kuil itu, Pek Seng Hwesio, adalah seorang
hwesio suci yang tak pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran, maka sukar
sekali bagi Can Kok untuk menjatuhkan tuduhan yang bukan-bukan.
Akan tetapi, kecurigaannya timbul kembali ketika ia mendengar bahwa seorang
pemuda bernama Un Kong Sian, putera seorang nyonya janda congtok dan yang
menjadi sute dari Khu Tiong dan Ma Gi, dua orang muda pemberontak itu, telah
masuk menjadi hwesio di Thian Lok Si. Can Kok menjadi girang oleh karena pemuda
itu masih mempunyai hubungan saudara seperguruan dengan keluarga Khu dan Ma,
maka setelah pemuda itu kini masuk menjadi hwesio, ia mempunyai alasan untuk
memfitnah kuil itu. Akan tetapi, fitnahannya tak berhasil dan kawan-kawan perwira lain tidak ada
yang mau mendengarnya, karena mereka maklum bahwa ketua Thian Lok Si, Pek Seng
Hwesio adalah seorang berilmu tinggi yang tak boleh dibuat gegabah. Bertahun-
tahun Can Kok menahan marahnya dan akhirnya, setelah Pek Seng Hwesio
meninggalkan kuil itu untuk melakukan perjalanannya ke barat dan menyerahkan
pimpinan kuil ke tangan muridnya yakni Un Kong Sian yang telah menjadi Sian Kong
Hosiang, timbul lagi harapan di hati Can Kok.
Perwira ini lalu memulai siasatnya ke tempat yang lebih tinggi lagi, yakni
kepada pembesar-pembesar atasan yang dekat dengan Kaisar dan membuat Kaisar itu
akhirnya mengeluarkan perintah rahasia untuk membasmi dan membakar kuil Thian
Lok Si. Kini bukan main girang hati Can Kok. Ia lalu mengadakan hubungan dengan Gak Song
Ki dan Gan Hok, dan ketiga orang perwira ini masing-masing berusaha mengumpulkan
tenaga dan pembantu yang berilmu tinggi karena mereka tidak berani secara
sembrono melakukan penyerbuan. Gan Hok berhasil mendatangkan supeknya, yakni Kim
I Lokai yang kini mengadakan perundingan dengan Gak Song Ki.
Menurut pendapat Kim I Lokai yang juga telah tahu akan kelihaian hwesio-hwesio
di kuil Thian Lok Si, lebih baik untuk mengumpulkan orang-orang gagah dari
seluruh golongan sehingga serbuan itu sekaligus mendatangkan hasil baik dan
tidak menjatuhkan pamor dan nama serta kegagahan perwira-perwira kerajaan.
Sementara itu, setelah melepaskan rindunya kepada ibunya, Siauw Eng juga lalu
menyusul kedua saudara Gu di taman bunga dan ketiga orang anak muda ini menjadi
kawan-kawan baik. Bagian 11. Perwira Can Kok
Cin Pau melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan pikiran masih penuh dengan
bayangan Siauw Eng. Biarpun ia merasa gemas dan mendongkol menyaksikan
kesombongan dan lagak Siauw Eng, namun ia tidak bisa membenci dara yang manis
jelita itu dan diam-diam ia merasa heran sekali mengapa bayangan wajah gadis itu
selalu terbayang saja di depan matanya. Ia telah mengeraskan hati dan berusaha
sekuatnya untuk mengusir bayangan itu, akan tetapi baru saja ia berhasil
mengusir bayangan itu, sebentar lagi sudah datang pula membayang dengan senyuman
yang manis. "Bodoh, gadis sombong dan galak macam itu tiada harganya untuk dikenang !" ia
mencela dirinya sendiri dan berlari secepatnya menuju ke kota raja.
Koleksi Kang Zusi Malam hari itu ia bermalam dalam sebuah rumah penginapan besar di Tiang-an. Ia
bertanya kepada pelayan, apakah pelayan itu tahu di mana rumah keluarga Un Kong
Sian, dan pelayan itu menyatakan tidak tahu. Cin Pau sama sekali tidak mengira
bahwa Can Kok yang lihai telah menaruh banyak mata-mata hingga di hotel itupun
terdapat mata-matanya, hingga pertanyaan Cin Pau ini terdengar oleh mata-mata
itu, yang segera menyampaikan kepada Can Kok bahwa ada seorang pemuda baju putih
yang membawa pedang bertanya tentang rumah keluarga Un Kong Sian yang dicurigai.
Pada keesokan harinya, Cin Pau berhasil mendapat keterangan dari seorang
penduduk tua di kota raja dan ia lalu mencari rumah gedung yang dulu ditinggali
oleh Un Kong Sian. Akan tetapi, ternyata gedung itu telah menjadi milik orang
lain dan dari penghuni baru ini ia mendengar keterangan bahwa ibu Un Kong Sian atau nyonya janda congtok telah meninggal dunia dan
tentang diri Un Kong Sian, tak ada seorang pun mengetahui di mana tempat
tinggalnya atau kemana perginya.
Dengan kecewa dan sedih, Cin Pau meninggalkan gedung itu. Ketika ia tiba kembali
di hotelnya, tiba-tiba pelayan hotel memberitahu di luar ada seorang tamu yang
mencarinya. Cin Pau merasa heran ketika keluar dan melihat seorang laki-laki
berpakaian pelayan pembesar berdiri di ruang depan dan menjura kepadanya.
"Kalau sicu ingin mengetahui tentang keluarga Un, silahkan ikut siauwte ke rumah
kediaman majikanku," katanya.
Tanpa banyak cakap, dengan hati girang Cin Pau lalu mengikuti pelayan itu ke
sebuah rumah gedung yang cukup besar. Ketika ia dipersilakan masuk, ternyata
bahwa di dalam ruang yang besar telah berkumpul banyak orang-orang yang
kelihatan gagah perkasa. Tuan rumahnya adalah seorang perwira tua yang masih
gagah dan yang menyambutnya dengan perhatian.Tuan rumah ini bukan lain ialah Can
Kok, perwira yang menaruh dendam hati terhadap kuil Thian Lok Si itu. Ia lalu
mengajak Cin Pau memasuki sebuah kamar dan setelah duduk berhadapan, ia lalu
bertanya, "Anak muda, kau mencari Un Kong Sian ada perlu apakah dan kau bersangkut paut
apakah dengan dia ?" Cin Pau telah mendengar penuturan ibunya dan tahu bahwa keadaan Un Kong Sian
yang telah membantu kedua keluarga Khu dan Ma itu mungkin selalu dicurigai oleh
para perwira, maka dengan hati-hati ia menjawab, "Un Kong Sian adalah sahabat
biasa saja dan karena kebetulan siauwte lewat di Tiang-an, maka siauwte ingin
sekali bertemu dengan dia. Apakah ciangkun mengetahui di mana tempat tinggalnya.
"Aku memang kenal baik dengan Un Kong Sian, akan tetapi entah di mana dia
sekarang, karena semenjak ia menjual gedungnya, ia tak pernah muncul lagi di
kota ini. Apakah ..... apakah kedatanganmu ini ada hubungannya dengan keluarga
Khu dan Ma " Siapakah namamu " Sambil mengeluarkan pertanyaan ini, Can Kok
memandang tajam sekali. Diam-diam Cin Pau merasa terkejut sekali, akan tetapi oleh karena ia telah
berjaga diri, maka ia pura-pura memperlihatkan muka tidak senang ketika
menjawab, "Ciangkun, apakah maksud kata-katamu ini
" Apa itu keluarga Khu atau Ma " Aku tidak mengerti sama sekali. Aku, Ong Cin
Pau hanya ingin mencari seorang sahabat, kalau ciangkun tahu tempatnya, tolong
beritahu, kalau tidak tahu, biarlah aku pergi mencari sendiri".
Sambil berkata demikian, Cin Pau lalu berdiri dan hendak keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba Can Kok berdiri dan menjura. "Maaf dan jangan salah paham, anak muda.
Aku tidak bermaksud buruk. Silakan duduk dan bertemu dengan orang-orang gagah
yang kebetulan berkumpul di rumahku."
Melihat sikap manis ini, Cin Pau juga menghilangkan tarikan muka marah. Akan
tetapi, ia merasa harus berhati-hati sekali karena ia tahu bahwa orang di
depannya ini adalah seorang cerdik dan yang tentu sedang menyelidiki hal dan
rahasia Un Kong Sian, maka ia tidak berani menerima undangan itu dan segera
pamit keluar. Can Kok juga tidak menahan, akan tetapi diam-diam ia memberi
isyarat kepada orang-orangnya untuk mengikuti pemuda baju putih ini, karena
betapa pun juga, ia masih menaruh hati curiga.
Koleksi Kang Zusi Dengan hati kecewa dan gemas, Cin Pau keluar dari gedung Can-ciangkun dan hendak
kembali kehotelnya. Ia telah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan kota
raja oleh karena tidak ada artinya tinggal lebih lama di situ sedangkan Un Kong
Sian yang dicari-carinya tidak berada di Tiang-an.
Ketika ia sedang berjalan dengan hati ruwet, tiba-tiba ia mendengar suara yang
nyaring dan merdu memanggil namanya, "Ong Cin Pau ........ !"
Pemuda itu cepat berpaling dan ternyata bahwa yang memanggilnya itu adalah Siauw
Eng. Dara jelita itu kini makin cantik dan gagah karena ia menunggang kuda putih
yang besar dan pakaiannya yang masih tetap berwarna merah itu kini terbuat
daripada sutera mahal sehingga jauh lebih indah daripada pakaiannya yang dulu.
Juga di rambut kepalanya terhias mutiara dan emas sedangkan pedang yang
tergantung di pinggangnya kinipun memakai ronce-ronce benang emas dan sarung
pedangnya terukir indah. Di kanan kiri Siauw Eng terdapat dua orang penunggang
kuda lain, seorang pemuda dan seorang gadis yang cakap dan cantik serta
berpakaian mewah. Sekali pandang saja tahulah Cin Pau bahwa mereka ini adalah
keluarga kaya dan bangsawan tinggi. Maka ia merasa sebal dan membuang muka
sambil melanjutkan langkahnya.
"Eh, Cin Pau ......... orang she Ong. Tidak kenalkah kau kepadaku lagi " Aku
adalah Gobi Ang Sianli. Aku adalah Siauw Eng !" kata gadis itu dengan suara penasaran sekali.
Karena Siauw Eng memajukan kudanya mengejar dan menghadang di depannya, Cin Pau
terpaksa berhenti dan menegur,
"Kau berobah sekali. Puteri pangerankah kau ?" Hatinya sebal menyebut pangeran,
karena teringat kepada pangeran Gu Mo Tek yang telah menghancurkan keluarganya.
Siauw Eng tersenyum. "Bukan, aku hanya seorang puteri perwira. Ayahku adalah
Gak-ciangkun !" Cin Pau sudah menduga bahwa nona baju merah ini tentu puteri seorang pembesar,
maka hatinya menjadi makin tawar.
"Hm," katanya tak acuh. "Pantas saja kau sombong dan keras kepala !"
Siauw Eng tercengang. Tadinya ia merasa gembira dan girang sekali dapat bertemu
dengan pemuda baju putih itu di kota raja, akan tetapi alangkah kecewanya ketika
melihat sikap Cin Pau masih keras dan sama sekali tidak menghargainya itu.
"Apa " Kaulah yang sombong. Kaulah yang keras kepala seperti batu dan besar
kepala seperti kepala kerbau !" Timbul marah dan galaknya.
"Sudahlah ! perlu apa kau menghadang di depanku " Pergi !" Sambil berkata
demikian, Cin Pau dengan mendongkol sekali hendak mendorong kuda itu ke sisi,
akan tetapi tiba-tiba sebatang cambuk panjang menyabet dari belakang mengenai
punggungnya. Ia cepat membalikkan tubuh dan melihat bahwa yang mencambuknya
adalah pemuda yang berpakaian mewah dan kawan Siauw Eng tadi.
"Jembel kurang ajar ! Kau berani berlaku jasar terhadap Gak-moi ! Kau harus
dihajar !" seru Gu Liong yang merasa marah sekali karena nona yang ia puja-puja
dan kagumi itu kini diperlakukan secara kurang ajar sekali oleh seorang pemuda
biasa yang berpakaian putih dan sederhana.
Ia lalu mengangkat cambuknya dan menyabet lagi, akan tetapi dengan tenang Cin
Pau mengulurkan tangan dan sekali tangannya bergerak, cambuk itu telah dapat
dirampasnya dan ketika jari-jari tangannya ditekuk, "krek!" cambuk itu patah
menjadi dua. Dengan tak acuh Cin Pau melemparkan cambuk itu ke atas tanah.
"Hah, anak-anak bangsawan yang manja dan sombong !" katanya sambil menggerakkan
kakinya hendak pergi dari situ. Akan tetapi Gu Liong yang sudah menjadi marah
sekali lalu melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya.
"Kau hendak lari ke mana " Kau belum kenal kepada Gu Liong ! Rasakan tajamnya
pedangku !" Ia lalu menyerang dengan hebat hingga Cin Pau yang tadinya menahan
sabar, menjadi naik darah juga dan ia segera mengelak ke samping dan mengirim
pukulan ke arah lambung Gu Liong. Akan tetapi, Gu Liong Koleksi Kang Zusi
juga bukan seorang pemuda yang lemah. Sambil berseru keras, ia mengelak dan
membalas dengan serangan pedangnya yang bertubi-tubi dan kesemuanya ditujukan
dengan maksud membunuh. "Suheng, jangan ............!" tiba-tiba Hwee Lian berseru sambil melompat turun
dari kudanya pula. Gadis ini merasa kuatir kalau-kalau Gu Liong akan mencelakai orang dan ia merasa
kasihan kepada pemuda yang sederhana dan tampan ini. Memang, Hwee Lian tidak
puas dan tidak suka melihat lagak pemuda-pemuda yang biasanya mengambil hati dan
bermuka-muka di depan gadis-gadis manis, terutama sekali ia merasa jijik dan
muak melihat betapa para pemuda bangsawan berusaha mengambil hati Siauw Eng yang
cantik jelita dan gagah itu dengan sikap mereka yang merendah dan menjijikkan.
Kini melihat sikap Cin Pau yang acuh tak acuh dan seakan-akan tidak tunduk
kepada Siauw Eng, ia merasa kagum sekali.
Cin Pau mengerling kepada gadis yang mencegah Gu Liong tadi dan ia melihat
betapa sinar mata yang lembut ditujukan kepadanya dengan hati iba. Hal ini
meredakan marahnya dan menghalangi maksudnya hendak menghajar Gu Liong yang
nekad. Ia suka kepada gadis yang lembut dan halus itu, maka ia tidak mau
mencelakakan Gu Liong yang disangkanya saudara gadis itu. Ketika Gu Liong
menyerang dengan sebuah tusukan ke arah lehernya, Cin Pau tidak mau mengelak
hingga terdengar jerit tertahan dari Hwee Lian, akan tetapi Siauw Eng yang lebih
tinggi ilmu silatnya, hanya memandang dengan tersenyum. Diam-diam ia kagum
sekali melihat betapa dengan tangan kosong Cin Pau menghadapi Gu Liong dan
Sepasang Naga Penakluk Iblis 10 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Kisah Si Rase Terbang 12