Pendekar Elang Salju 11
Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 11
meletus dan lebur bagai asap!
Tentu saja yang paling terkejut adalah Maharaja Agung!
"Mereka adalah siluman-siluman berilmu tinggi di atas Enam Senopati, langsung
tewas saat jaring-jaring itu mengenainya," pikirnya, lalu ia berteriak lantang,
"Cepat menghindar!"
Tapi, seruan itu datangnya sudah terlambat. Saat para siluman dan bangsa makhluk
halus yang ada di sekitar tempat itu terpana oleh fenomena jaring gaib, wilayah
sekitar mereka telah terkepung jaring-jaring maut tanpa mereka sadari.
Anehnya, jaring-jaring itu bergerak merapat dengan cepat.
Srepp! Srepp! Duashh ... blubb! Duashh ... blubb! Duashh ... blubb!
Berulang kali terdengar letupan keras disertai dengan kepulan asap kelabu
membumbung bersamaan dengan surutnya air bah akibat Ilmu 'Banjir Bandang
Semesta' yang digunakan Si Topeng Tengkorak Baja.
Slupp! Slupp! Air bah bagai ditarik masuk ke dalam tanah oleh tangan-tangan gaib. Tujuh helaan
napas kemudian, tanah di sekitar ajang pertarungan antara manusia dengan makhluk
alam gaib kembali ke asal, meski tidak meninggalkan akibat dari sergapan dahsyat
yang memporakporandakan daerah yang dilaluinya.
Meski telah hilang, tapi tidak begitu kering, karena ada genangan air di sana-
sini! Bersamaan dengan lenyap air bah, lenyap pula siluman terakhir yang berusaha
bertahan mati-matian dari kungkungan jaring maut, dialah Senopati Kala Hitam,
yang sebelumnya saling baku hantam dengan Arjuna Sasrabahu.
Duashh ... blubb! Tubuh Si Topeng Tengkorak Baja menggigil menahan amarah dan ketakutan yang
menyatu. Keretekan giginya menyiratkan puncak kemarahan Sang Maharaja Agung
terhadap Paksi Jaladara yang telah menghancurkan segenap prajurit tangguhnya
lewat penyatuan Sepasang Mutiara Langit.
"Grrrh, pemuda keparat! Kaulah biang dari kegagalan mendirikan kerajaanku di
atas bumi!" teriaknya sambil sambil menarik nafas panjang, kemudian tubuhnya
berjongkok posisi merangkak di atas tanah, sementara ke dua tangan menapak-
menekankan ke bawah dengan hentakan keras.
Blammm ... ! Jddduarrr .... !!
Kembali Si Topeng Tengkorak Baja berniat menggunakan tiga ilmu tertangguhnya
sekaligus, tapi kali ini langsung digunakan tingkat pamungkas yang bernama Ilmu
'Kuasa Iblis Tiga Jagad'. Ilmu ini sebenarnya merupakan tiga ilmu sakti
terpisah, yaitu Ilmu 'Banjir Bandang Semesta', Pukulan 'Tinju Neraka Iblis Dasar
Langit' dan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia', namun oleh Si Topeng
Tengkorak Baja, digabung menjadi sebuah ilmu tunggal yang bisa menggetarkan
Jagad Manusia, Jagad Gaib dan Jagad Alihan yang berada di perbatasan antara alam
gaib dan alam manusia. Meski posisi tubuh tetap seperti saat menggunakan 'Tenaga Sakti Katak Merah
Penghancur Dunia', tapi pancaran dahsyat sudah begitu kentara. Kilatan cahaya
coklat kehitaman, gumpalan bola api raksasa bercampur dengan hawa katak merah
raksasa. Bahkan suara raungan katak terdengar berulang kali memekakkan telinga.
Wossshhh ... wooossh ... !!
Ngroookk ... ngroookk ... !!
Sementara itu, di dalam bola cahaya putih merah yang masih menebarkan jaring-
jaring maut, Si Elang Salju membuka matanya sambil berkata, "Iblis laknat! Niat
burukmu terhadap umat manusia harus kau pupus sampai disini!"
Begitu selesai berkata, entah dari mana datangnya, di tangan Paksi sudah
terbentuk sebuah busur putih keperakan lengkap dengan anak panah merah menyala
dengan ukiran kepala elang yang siap dilepaskan.
Swosh ... swoshhh ... !! Sedikit dengan sedikit jaring-jaring putih merah terhisap masuk ke dalam busur
dan anak panah yang ada di tangan Paksi Jaladara, Ketua Muda Istana Elang.
Srepp ... swoshh ... ! Sebentar kemudian, setelah jaring-jaring itu telah terserap seluruhnya, membuat
busur perak dan anak panah merah semakin memancarkan cahaya cemerlang sarat
keagungan dimana cahaya itu bisa menggetarkan hati Maharaja Agung yang sedang
menghimpun pamungkas Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad'!
"Apa ini ... kenapa ... kenapa hatiku merasa takut! Ada rasa gentar di dalam
hatiku!" pikirnya. "Setan! Aku harus mengenyahkan pemuda itu sekarang juga!"
Berbareng dengan niat tercetus, sebuah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa
terhembus keluar lewat suara keras, disusul dua tangan silih berganti
melontarkan gumpalan bola api raksasa bertubi-tubi menuju bola putih merah yang
melindungi Si Elang Salju.
Nggrrokkk ... nggrrokkk ... woshh ... jwoshh ... srokkk ... !
Si Elang Salju yang sudah siap dengan busur dan anak panah, segera melepaskan
rentangan tali sambil mendesis pelan, "Musnahlah biang kejahatan di bumi!"
Twanngg ... serrr ... !! Begitu dilepas dari busur langsung melesat cepat, dan saat anak panah keluar
dari dalam bola cahaya, bentuknya berubah meraksasa dan melesat dengan kecepatan
kilat disertai suara mengaung bagai ribuan lebah mengamuk.
Ngggooooonggg .... !! Jrasss!!
Tanpa basa-basi langsung membelah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa
menjadi dua, mengurai dan selanjutnya meledak keras.
Jderr ... ! Glarrr ... ! Setelah itu dengan mudah menembus gumpalan-gumpalan api diikuti dengan ledakan
nyaring membahana. Darrr ... dharrr ... dherrr ... !
Pecah berhamburan bagai kembang api di langit.
Tentu saja Maharaja Agung kaget bukan alang kepalang!
"Mustahil! Ini tidak mungkin terjadi!" teriaknya melihat Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga
Jagad' rontok satu demi satu.
Dan pada akhirnya ... Crapp! "Aaaah ... " Jerit kematian yang paling mengerikan pun terdengar, menyeruak keras bagai
menyobek-nyobek lapisan langit ke tujuh dan bumi ke delapan.
Bleggaarrr ... !! Jdharrr ... ! Dhuarr ... !!
Bersamaan dengan suara jerit kematian, terdengar beruntun tiga kali berturut-
turut saat panah merah raksasa itu menembus dada Sang Maharaja Agung dari
Kerajaan Iblis Dasar Langit, yang tentu saja langsung pecah berhamburan karena
tidak kuasa menerima daya hancur pemusnah iblis.
Ledakan itu ternyata mengguncang di tiga tempat yang berbeda!
Pertama di atas bumi, di Jagad Manusia yang berhubungan secara langsung. Sebuah
kubangan kawah raksasa selebar puluhan tombak terbentuk seketika, tepat dimana
sebelumnya Si Topeng Tengkorak Baja atau Sang Maharaja Agung berdiri dengan
segala kesombongan dan keangkuhan.
Kedua, Jagad Alihan pun mengalami guncangan dashyat hingga memporakporandakan
tatanan kehidupan yang ada di sana.
Dan yang terakhir, Jagad Gaib juga mengalami hal yang tidak berbeda.
Justru yang paling parah terjadi di Kerajaan Iblis Dasar Langit. Negeri alam
gaib itu hancur berkeping-keping karena Sang Penguasa Tunggal telah tewas di
atas muka bumi karena berbuat angkara murka, menebar maut dimana-mana. Seluruh
penghuni istana, tidak peduli ia bayi setan, setan kecil, siluman besar bahkan
bahkan para bangsawan makhluk gaib sejenisnya hancur luluh tanpa bentuk. Seluruh
penghuni alam gaib musnah, termasuk juga Sang Permaisuri, Nyai Ratu Danayi
sendiri mengalami nasib yang tak kalah mengenaskan. Ia tewas dengan tubuh
tergencet reruntuhan pilar-pilar istana yang selama hidup dihuninya.
Tentu saja bencana di alam gaib dikarenakan adanya Sepasang Mutiara Bumi
Dasawarna yang pecah akibat terbebas dari kekangan kekuatan iblis yang selama
ribuan tahun menutupi daya gaibnya. Sepuluh larik cahaya warna-warni semburat
keluar dari Gedung Pusaka Kerajaan, yang setiap lesatannya memancarkan cahaya
yang bisa meluluhlantakkan segala macam bangunan yang ada di istana Kerajaan
Iblis Dasar Langit. Begitu ledakan pertama terjadi, bola cahaya putih dan merah langsung membesar,
membentuk kubah raksasa yang melindungi orang-orang yang ada di sekitar tempat
itu. Brakk! Brakk! Dharr ... !
Beberapa saat kemudian terdengar benturan keras dari benda-benda yang menabrak
dinding pelindung. Tak lama kemudian, ledakan berhenti.
Bola cahaya pelindung sedikit demi sedikit menipis dan pada akhirnya hilang tak
berbekas. Yang tersisa hanyalah Paksi Jaladara yang berdiri gagah dengan busur
perak di tangan kanan dan anak panah merah berukir kepala elang di tangan kiri.
"Syukurlah ... kebatilan akhirnya musnah dari muka bumi ini," pikir Paksi
Jaladara, lalu katanya lagi, "Mutiara Langit Putih! Mutiara Langit Merah!
Kembalilah ke asalmu!"
Busur putih perak dan anak panah merah bergetar sebentar, kemudian mengabur,
berubah menjadi gumpalan cahaya kemilau merah dan putih.
Srepp! Srepp! Cahaya putih langsung melesat masuk ke dalam Rajah Elang Putih sedang cahaya
merah langsung melesat masuk ke ubun-ubun bayi merah anak Wanengpati. Begitu
Sepasang Mutiara Langit kembali ke majikannya masing-masing, dari atas langit
terdengar suara menderu-deru.
Werr ... werrr ... ! Pelan-pelan namun pasti, awan hitam akibat Gerhana Matahari Kegelapan menghilang
dan dalam waktu singkat menghilang sama sekali dan nantinya akan muncul seribu
tahun kemudian. Akhirnya ... Sang surya kembali menyinari dunia!
-o0o- "Bagaimana keadaan kalian?" tanya Paksi Jaladara setelah sampai di dekat tempat
perlindungan. "Kami baik-baik saja, Ketua! Hanya mengalami luka dalam ... " kata Jin Kura-Kura
sambil berusaha duduk bersila.
Ayu Parameswari, Rintani dan Seto Kumolo yang tadi telah memaksakan diri
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi' sudah setengah pingsan saat terjadi
ledakan besar akibat benturan terakhir tadi. Setelah mengurut beberapa bagian
dari tubuh tiga orang itu, mereka tersadar sepenuhnya.
Semuanya selamat meski mengalami luka dalam yang tidak ringan, hanya saja
Sepasang Raja Tua tewas dalam pertarungan kali ini!
Sore itu ... Setelah pemakaman Sepasang Raja Tua selesai, mereka berkumpul di salah satu
kediaman Juragan Padmanaba, karena kediaman Ki Dalang Kandha Buwana sudah hancur
karena pertempuran tadi siang.
"Kakang Gineng, apakah hanya cara itu saja mengobati luka yang diderita oleh
Nawara?" tanya Paksi Jaladara dengan cemas. "Aku sudah berulang kali menyalurkan
hawa salju, tapi ia masih seluruh tubuhnya merah membara."
Sebab, gadis bersulam rajawali itu terkena jurus 'Air Liur Kuda Binal' secara
tidak sengaja. Meski tidak tewas, tapi kondisinya sudah antara hidup dan mati!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Sembilan
"Tanpa perlu saya jawab pun, saya rasa Den Paksi bisa menyimpulkan sendiri
terhadap racun yang mengeram dalam tubuh Nawara," tutur Gineng bijak.
Paksi Jaladara yang duduk di sebuah balai hanya mendesah, sedang Gineng berdiri
di sampingnya juga sulit mengungkapkan sesuatu yang dianggapnya tabu saat itu.
Sedang di samping kiri dan kanan berdiri Retno Palupi dan Nawala, saudara kembar
Nawara yang hanya saling pandang tidak mengerti percakapan dari dua pemuda di
hadapannya. "Memangnya cara apa yang bisa menyembuhkan Nawara, Kakang Paksi?"
"Ini ... " Suara Paksi tercekat di tenggorokan, sebab sulit sekali ia mengatakan sebuah hal
yang mungkin saja akan menyinggung harga diri kekasihnya, walau sebenarnya ia
pun mengetahui bahwa gadis berbaju biru itu sudah membuka pintu hatinya untuk
diduakan oleh pemuda berbaju putih ini.
"Paksi, memangnya dengan cara bagaimana Nawara bisa sehat kembali?" tanya Nawala
dengan nada ditekan. Pemuda itu sangat khawatir dengan kondisi fisik Nawara yang merah matang seperti
mangga masak itu. "Aku ... aku tidak bisa mengatakannya," kata Paksi kemudian, "Lebih baik Kakang
Gineng saja yang berbicara."
Dua pasang mata Nawala dan Retno Palupi langsung beralih ke Gineng. Mereka
berdua tahu bahwa Gineng adalah murid Tabib Sakti Berjari Sebelas, tentu saja
tentang racun dan penawarnya sedikit banyak ia mengetahuinya.
"Kakang Gineng, bisakah kau katakan padaku bagaimana menawarkan racun aneh ini?"
tanya Nawala kemudian. Sambil menghela napas panjang, akhirnya Gineng berkata, "Sebenarnya yang bisa
menawarkan racun pembangkit birahi ini hanya orang-orang yang memiliki tenaga
unik saja, seperti orang yang memiliki 'Hawa Inti Salju' misalnya ... "
"Lho, bukankah Kakang Paksi menguasai ilmu ini," tukas Gadis Naga Biru heran.
"Lalu apa masalahnya?"
Sedang Paksi hanya diam saja, sambil terus mengalirkan 'Hawa Inti Salju' ke
dalam raga Nawara lewat telapak tangan kanan.
"Masalahnya bukan pada 'Hawa Inti Salju'nya, tapi ... "
"Tapi apa?" "Tapi proses penyembuhannya yang bermasalah," lanjut Gineng kemudian.
"Bermasalah bagaimana" Langsung ngomong saja pada pokok permasalahannya gimana,
sih" Berbelit-belit amat!" kata Retno Palupi jengkel.
"Baiklah! Untuk menyembuhkan racun birahi yang berhawa panas atau berunsur api
membutuhkan lawan jenis yang memiliki hawa es atau berunsur salju, dan untuk
menyembuhkannya mereka ... " kata Gineng agak tersendat, lalu ia memandang
Paksi, dan dibalas dengan anggukan lemah, " ... mereka harus dalam keadaan
telanjang bulat dan melakukan posisi layaknya hubungan suami istri."
"Hah?" "Apa!?" sahut Nawala, kaget.
Suasana di dalam ruangan kembali sunyi. Yang terdengar hanyalah napas halus dari
mereka semua yang ada ditempat itu.
"Ya! Hanya itu caranya memunahkan racun birahi ini," sahut Gineng, memecah
kesunyian. Nawala terduduk lesu, sambil memandangi Nawara yang tertotok tak berdaya. Memang
gadis itu sengaja di totok agar ia tidak melakukan perbuatan yang bisa
mempermalukannya seumur hidup, sementara yang bisa dilakukan Nawara adalah
mendesis-desis seperti cacing kepanasan, meski jika diajak bicara ia normal.
"Kalau begitu ... lakukan saja ... " kata Gadis Naga Biru, "Kakang Paksi, aku
harap Kakang bisa menyelamatkan nyawa Nawara."
"Tapi Nimas, itu artinya ... "
"Jangan khawatir, aku sudah punya pemecahan masalahnya," kata gadis itu.
"Benarkah?" kata Paksi sambil bangkit berdiri, kemudian memegang tangan kanan
Gadis Naga Biru, sedang tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Nawara.
"Sebelum aku jawab pertanyaan Kakang, aku ada sebuah pertanyaan dan sebuah
permintaan untukmu."
"Apa hubungannya?"
"Sangat erat!" "Baik, apa yang Nimas tanyakan," ucap Paksi Jaladara tanpa pikir panjang.
"Hanya satu pertanyaan untukmu, Kakang mencintai Nawara?"
Pertanyaan itu bagai sambaran petir yang menghantam kepala Paksi dengan telak.
Pemuda itu hanya menunduk sambil menghela napas pelan, "Apa pertanyaan ini harus
kujawab?" "Ya dan harus!"
"Kau tidak membenciku dengan jawaban yang aku berikan nanti!"
"Tidak sama sekali!" sahut Retno Palupi dengan tenang, seolah gadis itu sudah
tahu jawaban apa yang akan dilontarkan dari mulut Paksi Jaladara.
"Sebenarnya, aku ... aku juga menyukai dan menyayangi Nawara seperti halnya
diriku menyukai dan menyayangimu, Nimas," ucap Paksi pada akhirnya, "Jujur saja,
saat berjumpa pertama kali dengan kalian berdua, jantungku berdebar keras.
Namun, aku menyadari bahwa maksud hatiku untuk mendapatkan kalian berdua
sekaligus tidak bakalan mungkin terjadi. Hingga pada akhirnya Nimas-lah yang
pertama kali mengungkapkan isi hatiku. Meski dalam hati kecilku sendiri, aku
masih mengharapkan kalian berdua. Aku takut Nimas nantinya menganggapku serakah
atau tamak, tapi itulah sebenarnya yang ada dalam hatiku."
Tegas dan tidak bertele-tele Paksi Jaladara mengatakan seluruh isi hatinya pada
Retno Palupi, Gineng dan Nawala. Pemuda itu sudah siap jika dua gadis yang sama-
sama dicintainya akan membenci dirinya seumur hidupnya.
Bukannya marah besar, justru gadis berbaju biru itu memeluk erat Paksi Jaladara!
"Terima kasih atas kejujuranmu, Kakang!" ucap Retno Palupi dengan isak tangis
bahagia, "Selama Kakang bisa adil terhadap kami berdua, Retno tidak akan
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyesalinya, Kang!"
"Benar?" Gadis itu hanya mengangguk pasti.
Tiba-tiba Nawala bangkit berdiri.
"Paksi, sebenarnya ... Nawara juga mencintaimu. Hanya saja ia lebih baik
memendam rasa cintanya padamu karena sudah ada Retno Palupi di hatimu," kata
Nawala sambil mendekati Paksi, "Itu adalah hal yang menjadi sebab kenapa selama
beberapa hari belakangan ini saudaraku seperti memiliki banyak masalah."
"Apa yang kau ucapkan itu hal yang sebenarnya, Nawala?"
"Leherku sebagai jaminan!" kata tegas Nawala.
Tiba-tiba saja, Ayu Parameswari masuk ke dalam bilik sambil berkata, "Kisah
cinta segi tiga Ketua Paksi dengan dua gadis secantik bidadari ini sekarang
tidak lagi bermasalah. Bukanlah mereka berdua juga punya perasaan yang sama
dengan Ketua?" lanjut Ayu sambil memeluk erat lengan Nawala. "Dan aku yakin,
semua sudah bisa menerima apa-adanya."
"Lalu ... bagaimana dengan dirimu?" tanya Nawala sambil mencubit hidung mancung
Ayu. "Kalau hal itu ... tidak ada yang perlu ditanyakan. Semua sudah jelas!" kata Ayu
diplomatis. Paksi dan Retno hanya tersenyum simpul melihat cara Nawala mengungkapkan isi
hatinya. Benar-benar unik! "Nah, sekarang ... apa permintaan yang tadi Nimas ingin katakan padaku?" tanya
Paksi Jaladara. "Katakan saja, Retno. Jika hal itu bisa menyelamatkan jiwa saudara kembarku, aku
akan melakukan apa saja," kata Nawala.
"Kau tidak akan bisa melakukannya, Nawala," kata Retno Palupi melepas
pelukannya, berjalan ke arah balai dan duduk menyebelahi Nawara yang tertotok,
lalu tangan kanan meraih kedua tangan Paksi dan masing-masing diletakkan di
telapak tangan Nawara dan dirinya.
"Kenapa aku tidak bisa!?" tanya Nawala heran.
"Karena permintaanku pada Kakang Paksi adalah ... menikahi kami berdua sekarang
ini! Di tempat ini pula dan malam ini juga!" kata tegas Retno Palupi. "Kakang
bersedia, bukan?" Paksi Jaladara terlonjak kaget.
Nawala dan Ayu saling pandang.
Gineng justru tersenyum lebar, dalam otaknya berkata, "Benar-benar gadis yang
luar biasa! Dia bisa menyelesaikan suatu masalah rumit yang menyangkut urusan
hati semudah membalik telapak tangan. Benar, hanya itu jalan satu-satunya, sebab
hanya dengan jalan melakukan pernikahan yang bisa menghindarkan seorang gadis
dari aib yang menimpanya."
"Nimas serius?" tanya Si Elang Salju, meyakinkan.
"Aku serius! Benar-benar serius!"
Pemuda entah bagaimana langsung merasakan sekujur kepalanya gatal.
"Kau tidak mau!?" tanya Retno lebih lanjut.
"Aduh ... gimana, ya?"
"Jarang lho ada orang seberuntung Den Paksi," seloroh Gineng yang disambut
dengan gelak tawa oleh Ayu dan Nawala.
"Bukan begitu, Kang! Masa' belum apa-apa sudah dapat dua istri sekaligus," kata
Paksi Jaladara sambil nyengir kuda.
"Hua-ha-ha-ha!"
Tawa Gineng langsung meledak melihat gaya khas cengiran Paksi yang memang sedari
dulu mau tidak mau pasti memancing tawanya, karena cengiran itu lebih mirip
monyet gondrong kesambet batu daripada cengir kuda yang paling jelek sekalipun!
Sambil menggaryuk-garuk kepalanya, Paksi Jaladara justru duduk menyebelahi
Nawara dan berkata, "Nimas Nawara, apa kau setuju dengan usul gila Nimas Retno?"
Paksi sudah mengubah panggilan terhadap Nawara begitu mengetahui perasaan gadis
itu yang sesungguhnya, meski lewat mulut Nawala.
Nawara hanya tersipu-sipu malu, sulit sekali mengungkapkan apa yang ada di
hatinya. "Bagaimana" Jika kau malu berbicara, kedipkan saja matamu dua kali jika kau
setuju"' sergah Retno Palupi.
Karena memang gadis bersulam rajawali itu tertotok, sehingga tidak bisa berkata
sepatah pun. "Retno brengsek! Kenapa mengatakan hal seperti ini di hadapan semua orang?"
pikir Nawara, "Bikin aku malu saja. Duhh ... pasti mukamu merah padam, nih."
Kemudian gadis itu mengedipkan matanya ... dua kali!
Retno Palupi langsung merangkul Nawara yang tertotok, sambil membisiki sesuatu
ke telinga gadis itu, "Kalau begitu, nanti malam Kakang Paksi 'kita bantai'
habis-habisan, kau setuju?"
Nawara hanya tersenyum kecil mendengar 'rencana licik' gadis berbaju biru itu.
Justru senyuman itu membuat Paksi curiga.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya heran setelah melihat Retno melepas
rangkulannya ke Nawara. "Ah ... ini urusan perempuan! Laki-laki tidak boleh tahu!" kata Retno cepat.
Setelah diperoleh kata sepakat, bahwa memang cara itu satu-satunya yang bisa
menyelamatkan selembar nyawa Nawara, sebab jika sampai tengah malam proses
penyembuhan ajaib yang amat sangat langka itu tidak lakukan, bisa dipastikan
nyawa gadis itu sebagai taruhannya. Hanya karena aliran 'Hawa Inti Salju' saja
yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.
Ki Dalang Kandha Buwana, Juragan Padmanaba, Bidadari Berhati Kejam dan semua
orang yang terlibat dalam permasalahan akibat bencana Gerhana Matahari Kegelapan
hanya terpana, kemudian tersenyum simpul mengetahui proses penyembuhan yang
hanya akan dan hanya oleh Paksi yang bisa melakukannya.
Sebab diantara mereka, hanya pemuda itulah yang memiliki 'Hawa Inti Salju' dan
yang pasti ... mereka berdua, bertiga dengan Retno Palupi saling mencintai satu
sama lain! Benar-benar jalinan kasih yang langka!
Saat itu pula, Nawala dan Ayu Parameswari langsung berangkat ke Pesanggrahan
Gunung Gamping, dan menemui salah satu sesepuh yang kini menggantikan kedudukan
Panembahan Wicaksono Aji yang bernama Begawan Wali Bumi, yang sebenarnya masih
terhitung saudara seperguruan, meski lain guru. Jika Panembahan Wicaksono Aji
adalah murid Pertapa Gunung Gamping, maka Begawan Wali Bumi adalah murid dari
adik kandung dari Pertapa Gunung Gamping yang bernama Pertapa Sakti Dari Tanah
Tandus yang hanya memiliki dua murid, yaitu Begawan Wali Bumi dan Begawan Rikma
Seta. Karena kekosongan yang ada di Pesanggrahan Gunung Gamping, Begawan Wali Bumi
membagi tugas dengan Begawan Rikma Seta dimana salah satu dari mereka harus
memimpin Pesanggrahan Gunung Gamping tinggalan mendiang Panembahan Wicaksono
Aji, dan akhirnya diputuskan bahwa yang menjaga dan memimpin Pesanggrahan Tanah
Tandus adalah Begawan Rikma Seta, sedang Pesanggrahan Gunung Gamping dipimpin
oleh Begawan Wali Bumi. Begawan Wali Bumi memang usianya tidak jauh beda dengan Panembahan Wicaksono
Aji, hanya selisih beberapa bulan saja, tapi dari bentuk raut muka dan postur
tubuh, seperti masih berusia empat puluhan tahun saja.
Setelah mengutarakan maksud kedatangan pasangan muda ini sebagai utusan dari Ki
Dalang Kandha Buwana dari Padukuhan Songsong Bayu, Begawan Wali Bumi langsung
berangkat bersama dengan murid Naga Sakti Berkait dan Nini Naga Bara Merah.
Ketika sampai di Padukuhan Songsong Bayu waktu sudah merembang petang bahkan
bisa dikatakan malam karena pancaran sinar matahari sore sudah tidak terlihat
lagi, tiga orang beda usianya langsung menemui ki dalang kandha buwana dan
juragan padmanaba. "Begitu rupanya," kata Begawan Wali Bumi dengan arif bijaksana, "Jika memang
hanya itu jalan satu-satunya yang harus ditempuh, aku sebagai orang tua justru
bangga dengan mereka berdua ... "
"Bertiga, Bapa Begawan," ralat Juragan Padmanaba.
"Bertiga?" tanya heran Begawan Wali Bumi, " ... lalu siapa orang yang ketiga?"
"Saya, Kakek Begawan."
Sebuah suara merdu menyeruak.
Begitu mendengar suara yang sangat akrab di telinga, kakek itu langsung
membalikkan badan. Mukanya langsung mengulas senyum kecil melihat sesosok gadis
berbaju biru laut yang berdiri di ambang bilik. Kakek arif itu tahu betul, bawah
cuma satu orang yang memanggil dengan sebutan 'Kakek Begawan' saja di muka bumi
ini. Siapa lagi jika bukan gadis bengal anak dari Ki Dirga Tirta!
"Rupanya, kau gadis nakal!" ucap Begawan Wali Bumi.
"Bapa Begawan kenal dengan Retno Palupi?" tanya heran Ki Dalang Kandha Buwana
alias Kakek Pemikul Gunung.
"Bukan hanya kenal, tapi bocah bengal itu sudah membuat aku susah tidur gara-
gara ia pergi tanpa pamit dari Wisma Samudera," tutur Begawan Wali Bumi, "bahkan
sampai-sampai Si Dirga Tirta menyuruh Wisnu Jelantik untuk mencarinya."
"Lho, memangnya kenapa kau pergi tanpa pamit, Nimas Retno?" tanya Paksi yang
tiba-tiba saja keluar. Melihat pemuda berbaju putih berikat kepala merah, begawan yang sidik paningal
(bermata hati tajam) langsung berdiri, kemudian ia menghormat dengan sedikit
membungkuk, "Terimalah salam hormat hamba, Kanjeng Pangeran!"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh
Tentu saja perkataan Begawan Wali Bumi yang menyebut diri Paksi sebagai 'Kanjeng
Pangeran' membuat Retno Palupi, Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba
terlonjak kaget. Tidak mungkin jika seorang pertapa yang waskita seperti Begawan
Wali Bumi salah bicara. Namun yang paling terkejut justrulah Paksi Jaladara sendiri!
Sebab dirinya tahu betul, ia adalah rakyat biasa yang secara kebetulan mendapat
anugrah sebagai pewaris dari ketua suatu aliran putih yang bernama Istana Elang
dan sekarang ia secara resmi menjabat sebagai Ketua.
"Bapa Begawan ini ada-ada saja," kata Paksi setelah keterkejutannya hilang,
"Saya hanya manusia biasa seperti halnya Bapa Begawan. Tidak ada sejarah dalam
hidup saya kalau saya ini keturunan bangsawan."
Begawan Wali Bumi yang memiliki indra ke tujuh tidak bisa dibohongi begitu saja,
sebab dari wajah dan seluruh tubuh pemuda itu terpancar aura keagungan keturunan
seorang raja. Akan tetapi melihat raut muka kejujuran yang terpancar dari wajah
itu, membuat Begawan Wali Bumi berpikir, "Aneh! Jelas sekali ia masih keturunan
raja besar, tapi kenapa ia berkata bahwa dirinya cuma rakya jelata" Pasti ada
suatub rahasia yang tersembunyi dari semua ini."
Lahirnya ia berkata, "Maaf kalau saya salah bicara Nakmas ... "
"Paksi Jaladara, Bapa Panembahan."
"Nakmas Paksi, maaf jika salah bicara."
Akhirnya, pada sore itu juga dilaksanakan upacara pernikahan antara Paksi
Jaladara, Retno Palupi dan Nawara sekaligus dimana Begawan Wali Bumi ditunjuk
sebagai juru nikah bagi tiga muda-mudi itu (jaman dulu, nikah umur tujuh belas
sampai sembilan belas tahun adalah hal biasa, justru luar biasa kalau ada orang
yang masih perawan atau perjaka belum menikah pada maksimal usia dua puluh
tahun, sehingga sebutan perawan kasep dan perjaka gabuk langsung nangkring
dengan sendirinya). Karena harus menikahkan satu pria dengan dua gadis sekaligus, Begawan Wali Bumi
cukup kesulitan, dan akhirnya dibuat kesepakatan dengan tiga muda-mudi itu.
Paksi Jaladara menikah lebih dahulu dengan Retno Palupi, dan setelah upacara
pernikahan mereka berdua selesai, barulah Paksi Jaladara melangsungkan
pernikahan dengan Nawara.
Tanpa ada halangan sedikit pun, pernikahan yang dipimpin oleh Begawan Wali Bumi
akhirnya berakhir pula! Bergiliran, tiga orang itu menerima ucapan selamat dari semua yang hadir di
tempat itu. Gineng, Nawala, dan Joko Keling ingin sekali belajar pada pemuda berbaju putih
itu bagaimana caranya menampilkan kewajaran di tengah kehangatan dua kekasih
yang kini secara resmi telah menjadi istrinya, ingin belajar bagaimana Paksi
bisa menerima cinta dua gadis cantik sekaligus yang secara fisik tersedia nyata
dan sempurna di depan hidungnya itu.
Benar-benar jenis pemuda yang beruntung soal gadis, bukan"
Dewa Cadas Pangeran duduk tenang dan Simo Bangak justru banyak berdiam diri
menyaksikan ritual sakral itu. Tidak ada ulah konyol yang dilakukan oleh bocah
bermata harimau itu. Begitu selesai, Simo Bangak yang sedari awal harus menahan
mulutnya untuk diam tanpa kata, akhirnye keluar juga suaranya.
"Wah ... kalau begini caranya, Istana Elang cepat ramai."
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Bayangin aja, Paman Shang! Nikah dengan dua gadis sekaligus pastilah luar
biasa, setahun kemudian pasti keluar dua orok, dua tahun lagi keluar dua orok
lagi. Jika sepuluh tahun lagi, Istana Elang pasti seperti taman bayi," ucap Simo
Bangak dengan tangan kanan dan kiri sambil menghitung satu sama lain. "Kalau
dihitung-hitung, yah ... anak Ketua pasti dua puluhan orangan-lah!"
"Bocah sinting! Aku heran sama kamu! Kalau urusan beranak-pinak cepat sekali kau
nyambungnya," timpal Joko Keling, lalu sambungnya, "Namun jika urusan lain,
sampai pantatmu jebol juga tidak pernah kau pikirkan secuil pun."
"He-he-heh, sebab ngomongin yang begituan memang tidak pernah ada habisnya,"
sahut Simo Bangak sambil cengar-cengir.
Semua tertawa mendengar celotehan bocah umur sembilan tahunan itu.
-o0o- Sebelum proses penyembuhan dimulai, Gineng dan Paksi Jaladara sempat berbicara
dua mata di depan bilik yang ditempati Nawara dan Retno.
"Den Paksi ... "
"Maaf, Kakang Gineng! Lebih baik kakang langsung memanggil namaku saja."
"Tapi ... tapi ... "
"Saya mohon, Kakang!"
Setelah menghela napas panjang, Gineng pun berkata, "Baiklah, Den ... eh
Paksi ... untuk proses penyembuhan kali ini kau harus hati-hati sekali. Salah
sedikit nyawa istrimu melayang."
"Benar, Kakang! Aku sendiri juga sedikit khawatir dengan hal ini! Penyembuhan
kali ini benar-benar beresiko tinggi," ucap Paksi. "Salah-salah justru aku
sendiri yang mencelakakan Nimas Nawara. Bisalah Kakang memberiku petunjuk
tambahan." "Menurut Kitab Pengobatan ini ... " kata Gineng sambil membuka kitab tebal yang
ada didepannya, " ... disini tertulis : 'alirkan hawa dari gerbang, resapkan
dari atas gunung dan sedot api dari langit. Semua mengalir seperti sungai'! Itu
artinya bahwa proses penyembuhan ini harus menggunakan kekuatan hawa inti
keperjakaan, bukan cairan keperjakaan dan tulisan 'resapkan di atas gunung'
adalah mengalirnya 'Hawa Inti Salju' dari bagian dada dan makna dari 'sedot api
dari langit', dimana hal ini kita harus menghisap hawa beracun ini dari mulut
penderita kemudian dibuang keluar. Dan yang terakhir, 'semua mengalir seperti
sungai' adalah tidak satu benda pun yang menghalangi proses pengobatan ini."
"Lalu ... bagaimana dengan totokan?"
"Seperti yang tertulis, semua harus tanpa halangan." tegas Gineng lebih lanjut,
"Kau paham, Paksi?"
Pemuda itu hanya mengangguk pelan.
"Ingat! Kau harus mengutamakan pengobatan ini agar nyawa istrimu selamat!" kata
Gineng, "Konsentrasikan dan kontrol sisi jiwa mudamu, Paksi!"
"Terima kasih, Kakang! Aku berusaha sebaik-baiknya." kata Si Elang Salju dengan
tegas. Itulah percakapan singkat antara Paksi jaladara dengan gineng, sebelum pemuda
itu masuk ke dalam bilik.
Begitu Paksi masuk, Retno Palupi yang saat sedang ngobrol dengan Nawara langsung
menghambur ke dalam pelukan suaminya, dengan sedikit menyeret ke dekat Nawara
tergeletak, terus berkata, "Bagaimana, Kakang" Kita mulai sekarang!?"
Wajah cantik Nawara masih seperti sebelumnya, bahkan lebih merah dari yang
sudah-sudah. "Nimas Retno, pengobatan terhadap Nimas Nawara harus dilakukan sekarang."
"Lakukanlah, Kakang Paksi. Aku akan menunggu di bilik depan," kata Retno sambil
mencium lembut pipi suaminya.
"Terima kasih, Nimas," kata Paksi sambil membalas memeluk mesra istrinya.
Retno membisiki sesuatu telinga Nawara, yang justru membuat seraut wajah yang
sudah merah semakin memerah.
"Apa yang kau lakukan, Nimas?"
Retno Palupi hanya tersenyum saja, sambil berjalan pergi ke bilik depan yang
dipisahkan oleh pintu anyaman rotan.
Memang ruangan di kediaman Juragan Padmanaba cukup luas, bahkan terdapat dua
bilik yang terbuat dari tembok bata yang saling terhubung satu sama lain dengan
hanya memiliki satu pintu keluar saja. Saat ini Retno Palupi berada di bilik
depan sedang Nawara dan Paksi berada di bilik belakang. Karena mereka bertiga
sudah resmi sebagai suami istri, maka Paksi hanya mengunci pintu depan saja,
sedang pintu tengah yang menghubungkan dua ruangan hanya terpisah oleh pintu
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anyaman rotan yang bisa digeser ke samping kiri atau kanan.
Jadi Retno Palupi bisa masuk ke bilik belakang kapan saja!
"Nimas, apa kau sudah siap?" tanya Paksi pada Nawara, istrinya.
Nawara hanya mengangguk pelan.
Dada gadis itu berdebar-debar keras saat sang suami menyentuh lembut rambut
hitamnya, kemudian turun ke pipi yang kemerah-merahan, kemudian ke leher
jenjangnya. Saat berada di atas gundukan dadanya yang membusung kencang, tangan
Paksi sedikit penyusup ke dalam, melepaskan pengait baju dari dalam, sedang
tangan kiri melepas ikat pinggang gadis itu.
Srett! Begitu ikat pinggang Nawara terlepas, terpampanglah di depan mata Paksi sebentuk
tubuh menawan seorang gadis yang berkulit kemerah-merahan akibat terkena jurus
'Air Liur Kuda Binal'. Paksi berusaha keras menahan diri, agar ia tidak
menjerumuskan nasib gadis yang kini sedang tergolek lemah di atas balai. Dengan
lembut Paksi melepas baju luar Nawara. Begitu terlepas, sebentuk pemandangan
indah semakin terpampang di depan mata pemuda. Meski masih dililit dengan
sebentuk baju dalam putih tipis, tapi tidak menyembunyikan dada bulat indah dan
menggairahkan dengan ujung-ujung bukit yang terlihat menyembul.
"Aku harus bisa menahan diri," gumam Paksi.
Kemudian dengan tangan sedikit gemetar, Paksi melepas baju dalam yang membalut
dada padat menggelembung itu.
Srett! Kali ini, benar-benar keindahan yang sulit sekali dielakkan oleh Paksi. Hampir
saja ia menubruk benda bulat menantang yang ada didepan hidunga dan tinggal
dilahap olehnya. Sedang Nawara sendiri, dengan melihat perbuatan Paksi terhadapnya, bagaikan api
disiram minyak. Muka gadis itu semakin memerah, bahkan terlihat uap merah tipis
yang keluar dari ubun-ubunnya. Jelas sekali, bahwa Nawara sendiri juga dalam
situasi yang genting karena amukan birahi dari racun yang mengeram dalam dirinya
semakin bergolak. Yang bisa dilakukan oleh gadis itu hanya mendesis dan mendesis
saja, sebab totokan yang dilakukan Paksi memang belum dilepaskan.
"Tidak! Aku harus bertahan!" gumam Paksi sedikit lebih keras. "Waktuku tidak
banyak lagi." Sementara itu, dibilik satunya, Retno Palupi melihat semua yang dilakukan oleh
suaminya, Paksi Jaladara.
"Kasihan sekali, Kakang Paksi! Dia harus bisa menahan amukan birahi yang
menyiksa batinnya," pikir gadis itu dengan trenyuh melihat perjuangan Paksi
dalam mempertahankan niatnya menyembuhkan Nawara. "Kali ini lebih berat saat
bertarung melawan Topeng Tengkorak Baja. Karena Kakang Paksi harus bertarung
melawan nafsunya sendiri."
Kali ini tangan Paksi beralih ke celana putih yang masih melekat di kaki Nawara.
"Nimas, kau masih sanggup bertahan"' tanya Paksi sambil melepas celana luar dan
dalam gadis itu secara bersamaan.
Nawara hanya bisa mengangguk pelan.
"Kakang ... mati pun aku ... rela," kata Nawara di antara suara desisan.
"Tidak, Nimas! Kau harus bertahan hidup! Demi aku! Demi Retno!" kata Paksi
memberi semangat. "Dan demi cinta kita!"
Nawara mengangguk pelan sambil berkata, "Aku akan ... berusaha ... Kakang ... "
Srett! Begitu celana luar dalam Nawara terlepas, konsentrasi Paksi hampir saja pecah
berantakan, sebab di depan matanya terpampang indah sebentuk gerbang istana
kenikmatan dengan sedikit rekahan tipis kemerah-merahan yang licin mengkilat.
Memang tadi ia telah menyuruh Retno untuk membersihkan 'tempat itu', karena
dalam rangkaian pengobatan yang ingin dilakukannya, haruslah bersih tanpa
halangan sedikit pun! Dengan kesadaran yang sangat tinggi, pemuda lulusan dari Lembah Badai itu
akhirnya bisa mengontrol gejolak yang datang menggelora.
Begitu melihat gadis cantik itu telanjang bulat, Paksi segera melepas baju dan
celananya. Tidak seperti melepas baju istrinya, pemuda itu begitu cepat
melakukan kegiatan ini. Tentu saja cepat, sebab memang baru pertama kalinya ia
melakukan perbuatan yang dianggapnya aneh ini terhadap seorang gadis.
Srett! Paksi pun telah telanjang bulat tanpa sehelai benang pun, bahkan ikat kepala
merah yang biasanya bertengger di kepalanya telah dilepas. Tubuh pemuda itu
terlihat kekar berotot, meski tidak bertonjolan keluar seperti halnya Dewa Cadas
Pangeran. Sambil mengambil posisi semadi, pemuda itu memejamkan mata untuk
mengerahkan 'Hawa Inti Salju'. Tidak seperti dalam sebuha pertarungan dimana
kekuatan saljunya dialirkan ke seluruh tubuh, namun kekuatan 'Hawa Inti Salju'
kali ini dialirkan melalui pusar, terus turun ke bawah hingga menerobos ke dalam
pilar tunggal penyangga langitnya yang berdiri kokoh setinggi pusar dan tegak
menantang siap tarung. 'Hawa Inti Salju' terus mengalir hingga semuanya
berkumpul di bagian ujung pilar yang kini memancarkan cahaya putih keperakan.
Wess ... ! Begitu 'Hawa Inti Salju' sudah berada diujung pilar, Paksi segera membuka mata.
Meski sudah diarahkan ke bagian yang ditentukan, namun selimut putih keperakan
ternyata melingkupi seluruh tubuh telanjang pemuda itu.
"Kau benar-benar siap, Nimas?"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Satu
Nawara hanya mengangguk pelan. Mata gadis itu sedari awal langsung mengarah ke
bagian terpenting dari tubuh Paksi yang tegak menantang mengajak perang.
Paksi sedikit merenggangkan kaki Nawara, lalu ditekuk membentuk siku.
Sett! Sebuah rekahan kemerahan sedikit terkuak berada diantara dua belahan paha gadis
itu. Ingin sekali Paksi bermain-main di tempat itu sebentar, tapi niat itu
diurungkan karena hal itu justru akan memperlama proses penyembuhan yang ingin
dilakukannya. Pemuda itu segera berjongkok diantara kedua belahan paha indah
Nawara yang sudah terpentang, sambil mengarahkan ujung pilar tunggalnya ke liang
gerbang istana kenikmatan.
Srett! Ujung pilar tunggal Paksi sedikit menerobos gerbang istana kenikmatan.
Nawara langsung mengernyit saat ujung pilar milik Paksi yang cukup besar
mendesak-desak maju, berusaha menjebol pintu gerbang miliknya.
"Sakit?" tanya Paksi.
"Teruskan, Kakang!" desis Nawara, tapi lebih mirip dengan desah nikmat.
Paksi segera mendorong maju pilar tunggalnya sedikit.
Sett! "Ughh ... !" Kepala Nawara langsung oleh ke kiri kanan saat benda tumpul itu meski hanya
masuk ujung kepalanya saja.
Paksi yang melihat ujung pilar tunggalnya sudah masuk sepenuhnya menghela napas
lega karena tahap pertama sudah berhasil. Memang yang dibutuhkan dalam
penyembuhan akibat racun 'Air Liur Kuda Binal' hanya sebagian saja dari ujung
pilar tunggal penyangga langit memasuki pintu gerbang istana kenikmatan, sebab
jika dimasukkan seluruhnya justru akan mempercepat peredaran racun menuju
jantung. Itulah sebabnya mengapa Gineng menekankan agar Paksi mengontrol jiwa
mudanya yang meledak-ledak.
Pada tahap pertama, Paksi telah sukses!
Begitu masuk, sebentuk hawa sejuk langsung menerobos masuk ke dalam tubuh Nawara
dan berkumpul di depan pintu gerbang istana kenikmatan.
Cesss!! Paksi kemudian membungkuk maju dalam posisi memeluk kosong sambil meletakkan dua
tangannya ke sepasang bukit kembar Nawara yang tegak menantang.
Krepp! Lagi-lagi pemuda itu hampir lepas kendali, apa lagi saat syaraf-syaraf
ditangannya bersentuhan dengan sebuah benda bulat kecil yang sudah mengeras
ditopang sebentuk bulatan besar yang kenyal, namun dengan sekuatnya ia bertahan.
"Nimas, kita masuk ke dalam tahap selanjutnya," bisik Paksi ke telinga Nawara,
"Aku akan melepaskan totokan yang ada di tubuh Nimas. Begitu terlepas, usahakan
Nimas bisa meredam gejolak birahi yang datang menggelora."
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Kakang," desis Nawara semakin keras.
Dada kencangnya ditangkupi tangan pemuda yang dicintainya, tentu saja rasa
nikmat langsung menjalar saat itu juga.
"Baik! Aku akan melakukannya sekarang," bisik Paksi.
Dengan tingkatan hawa tenaga dalam yang miliki Paksi, pemuda itu sanggup
membuyarkan totokan aliran darah yang dilakukan olehnya sendiri dengan cara apa
pun. Memang totokan aliran darah berbeda dengan totokan jalan darah. Jika yang
ditotok adalah jalan darah, gadis itu pasti sudah mati tadi siang karena
pembuluh darahnya pecah akibat tidak kuat menahan desakan racun birahi.
Buhh ... ! Tiupan angin dingin langsung menerpa aliran darah di atas dada sedikit di bawah
pundak kiri kanan. Begitu totokan aliran darah lepas, sontak Nawara yang sudah
dalam birahi tinggi langsung memeluk erat Paksi yang kini ada di atas tubuhnya
sambil pinggul memutar-mutar dengan cepat. Gerakannya begitu liar tak
terkendali. Bahkan suara dengusan keras disertai hembusan hawa panas langsung
menerpa wajah Paksi yang kaget melihat perubahan yang tidak disangka-sangkanya
itu. Paksi susah payah mempertahankan diri saat melihat serangan maut yang
dilancarkan Nawara. Jika dalam keadaan biasa, tentu pemuda itu akan menikmati
apa saja yang dilakukan Nawara, tapi kini keadaannya berbeda.
"Nimas, sadar! Sadar!" teriak Paksi sambil berusaha mempertahankan posisi semula
dengan cara mundur-mundur, tapi karena desakan-desakan yang dilancarkan gadis
itu justru membuat pilar tunggalnya sedikit lebih masuk ke dalam, apalagi begitu
kedua kaki Nawara dengan sigap langsung menjepit pinggulnya dalam satu tarikan
cepat, pilar tunggal penyangga langit langsung terbenam mendekati setengahnya!
Srett! Slepp! "Ugggh ... " Nawara langsung mendesah, menggelinjang, menggeliat liar berusaha melampiaskan
birahi yang terus menghentak-hentak seluruh tubuhnya. Sampai-sampai balai bambu
yang ditempatinya berderit-derit mau patah saking kerasnya gerakan birahi gadis
itu. kepala gadis itu oleh ke kanan kiri dengan punggung melengkung ke depan,
hingga membuat Paksi sulit mempertahankan posisi ke dua tangan yang mendekap
erat dada kenyal istrinya.
Paksi sudah kewalahan menghadapi tingkah Nawara yang seperti kesetanan.
"Nimas Retno, bantu aku!" kata Paksi pada akhirnya.
Pemuda itu semakin khawatir saja, karena saat ini ia belum bisa melepaskan
muntahan 'Hawa Inti Salju' seluruhnya, dikarenakan gerakan Nawara yang semakin
menggila dan terus menggila dalam menggoyang pinggulnya, seakan ingin benda
tumpul yang kini telah masuk hampir setengahnya menghunjam dalam-dalam di
gerbang istana kenikmatan.
Retno yang melihat kejadian yang semakin mengkhawatirkan bagi keselamatan Nawara
itu, tanpa malu-malu lagi, langsung berlari mendekat, menghampiri dua tubuh
bugil yang kini sedang dalam posisi tumpang tindih dan tanpa pikir panjang
tangan kiri memegang kepala Nawara yang bergerak-gerak liar sedang tangan kanan
berusaha menghentikan goyang ngebor gadis yang sedang diamuk birahi tinggi.
Crepp! Srett! Meski hanya sekejap saja, Paksi langsung memuntahkan kekuatan hawa inti
keperjakaan lewat pilar tunggal penyangga langit yang sudah masuk setengahnya ke
dalam gerbang istana kenikmatan Nawara.
Cesss! Terdengar bunyi desisan seperti api disiram air saat muntahan hawa inti
keperjakaan bertemu dengan racun birahi yang ada di dalam tubuh gadis yang kini
dalam dekapannya. Asap putih tipis terlihat mengepul dari bawah tubuh Nawara.
Beberapa saat kemudian, tubuh Nawara sedikit melemas, Paksi segera menambah
muntahan hawa inti keperjakaan ke dalam tubuh istrinya.
Wess! Cesss!! Begitu hawa racun birahi di desak keluar dari bawah, bagian perut Nawara
terlihat berwarna kemerah-merahan. Warna ini terus berjalan maju dan begitu
sampai di dekat dada, Paksi segera mengerahkan 'Hawa Inti Salju' lewat tangannya
yang mendekap erat dada montok Nawara.
Wrett ... cesss! Lagi-lagi terdengar desisan nyaring.
Begitu melihat Nawara sudah sedikit tenang, Retno Palupi melepaskan pegangan ke
dua tangannya. Bukannya kembali ke bilik depan, malah gadis itu duduk bertopang
dagu di meja kecil yang ada ditempat itu, menonton perbuatan suaminya.
"Baru kali aku membantu laki-laki memperkosa seorang gadis," gumamnya lirih.
"Dan melihatnya dengan jelas pula!"
Tentu saja gumaman lirih itu didengar Paksi yang sedang mengalirkan 'Hawa Inti
Salju'. "Brengsek benar istriku ini, masa dibilangnya aku sedang memperkosa gadis?"
pikir Paksi. "Sudah begitu, malah menonton lagi, bukannya bantuin ... "
Hawa racun dari jurus 'Air Liur Kuda Binal' kini telah berjalan naik dan
sekarang tepat berada di tenggorokan Nawara. Dengan masih terus mengalirkan hawa
inti keperjakaan dari bawah yang menerobos gerbang istana kenikmatan, terus maju
hingga mencapai rongga dada dan akhirnya sampailah pada tahap terakhir di bagian
leher. Terlihat bibir Nawara terbuka-tutup seperti mengundang pemuda yang kini
menindihnya untuk melumat sebentuk bibir merah merekah.
Begitu melihat pancaran hawa merah yang ada ditenggorokan istrinya, dengan
sigap, Paksi membungkuk dan ...
Plekk! Bibir ketemu bibir! Pipi Paksi terlihat kempot saat ia berusaha menyedot hawa racun. Begitu ia racun
berhasil ia sedot, langsung melepas bibir dan menengok ke kanan sambil meniup.
Buhh ... ! Sebentuk asap kemerah-merahan bergulung-gulung terlontar dari mulut Paksi dan
kemudian membumbung ke atas, menerobos langit-langit kamar dan hilang dari
pandangan. Melihat hasilnya, Paksi tersenyum dan dengan semangat ia mengulangi
apa yang dilakukannya. Berulangkali pemuda itu menguras asap racun yang ada di
dalam tubuh Nawara lewat mulutnya dan dihembuskan keluar. Hingga pada kali ke
lima belas, tidak ada lagi pancaran hawa merah yang ada di dalam tubuh istrinya.
Tubuh gadis itu kembali ke bentuk semula, putih mulus tanpa cacat dan tentu saja
... menggiurkan! Nawara benar-benar telah bebas dari racun birahi yang hampir saja merenggut
nyawanya! Begitu racun birahi terakhir telah hilang, Nawara langsung jatuh tertidur
kelelahan. Bagaimanapun juga, racun birahi sangat menguras tenaga, baik tenaga
luar mau pun tenaga dalam. Hanya karena pasokan 'Hawa Inti Salju' dari luar saja
yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.
Namun Paksi belum juga mencabut pilar tunggalnya dari dalam gerbang istana
kenikmatan Nawara, seakan sedang menunggu sesuatu terjadi.
Sriing ... ! Saat melihat tubuh tidur Nawara diselimuti cahaya putih tipis keperakan, Paksi
tersenyum tipis. Lalu bangkit dari posisi memeluk, melepas tangan dari atas dada
kencang istrinya dengan lembut, terus duduk tegak dalam posisi berada diantara
dua bongkahan paha mulus istrinya.
"Hemm, 'Hawa Inti Salju' sedang mengadakan pembersihan tahap lanjut, " gumam
Paksi, lalu ia dengan penuh kelembutan, pemuda itu undur diri. Sedikit demi
sedikit ia menarik keluar pilar tunggal penyangga langit yang pada awalnya sudah
terbenam mendekati setengahnya agar tidak membangunkan Nawara yang terlelap.
Lepp! Begitu lembut pemuda itu menarik diri, seakan-akan Nawara terbuat dari kaca yang
mudah pecah. Begitu berhasil di tarik keluar, Paksi langsung mundur ke belakang
sambil menghela napas lega.
"Fyuhhh ... akhirnya berhasil juga," katanya sambil menyeka keringat sebesar
biji jagung yang menetes di dahi sambil bangkit dari atas balai.
Retno Palupi dengan sigap mengambil selimut tebal dan menyelimuti tubuh
telanjang Nawara sambil berkata lembut, "Bagaimana, Kakang" Nawara bisa
diselamatkan?" "Dia selamat, Nimas!"
"Tapi, kenapa masih diselimuti cahaya putih ini?" tanya Retno Palupi memandangi
seraut wajah milik Nawara.
"Kali ini tahap terakhir dari 'Hawa Inti Salju' sedang bekerja dari dalam,"
terang Paksi. Pemuda itu seolah tidak sadar bahwa dia sedang berdiri telanjang bulat dan kini
mata nakal Retno Palupi berulang kali melirik ke bagian bawah pusar, seakan
berkata, 'kapan giliranku"'
"Lebih baik kita ke bilik depan, biarkan saja Nawara tidur nyenyak untuk proses
pemulihan dirinya," ajak Retno Palupi sambil melingkarkan lengan kiri ke
pinggang Paksi. "Baik, aku sendiri juga lelah."
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam delapan sembilan langkah, keduanya telah sampai di bilik depan.
Sementara di luar sana, hawa malam berubah menjadi semakin dingin menusuk
tulang. "Kenapa hawa malam ini rasanya berbeda dari sebelumnya," gumam Juragan
Padmanaba. "Mungkin Paksi sedang mengerahkan 'Hawa Inti Salju' untuk proses pengobatan kali
ini," jawab Kakek Pemikul Gunung, "Wajar saja jika hawa semakin dingin daripada
biasanya." Juragan Padmanaba hanya menghembuskan napas panjang, mengepulkan asap tembakau
dari dalam mulutnya, "Heh, kalau dipikir-pikir ... pemuda itu benar-benar
beruntung sekali." "Beruntung bagaimana maksudmu?"
"Lihat saja sendiri! Belum pernah dalam sejarah hidupku menjumpai pemuda yang
bisa bersikap wajar terhadap dua orang yang mencintainya sekaligus dan kini
ketiga-tiganya justru terikat dalam ikatan perkawinan. Seolah apa yang
dijalaninya memang sudah seharusnya terjadi," kata Juragan Padmanaba panjang
lebar. "Aku sendiri juga heran, Kakang! Kok ya ada pemuda dengan segudang keberuntungan
seperti Paksi itu," tutur Ki Dalang Kandha Buwana, "Andaikata aku tidak
menjumpai sendiri dengan mata kepalaku, mungkin seumur hidupku tidak akan pernah
menjumpai kejadian seunik dan semenarik ini. Sudah ganteng, berilmu tinggi,
punya jabatan ketua persilatan dan kini justru menikah dengan dua gadis
sekaligus dalam satu malam. Kalau dipikir-pikir dengan otak tuaku ini, pemuda
itu pasti bukan orang sembarangan, Kakang."
"Aku pun juga berpikir begitu. Ingat ucapan Begawan Wali Bumi, dia menyebut
Paksi sebagai Kanjeng Pangeran. Apa tidak aneh itu?"
"Benar juga! Aku juga sempat berpikir, mungkin Paksi itu seorang bangsawan
kerajaan atau setidaknya putra raja yang sedang dalam penyamaran untuk
mendarmabaktikan ilmunya pada sesama," kata Ki Dalang Kandha Buwana, lalu
menyeruput wedang jahe yang masih mengepul.
"Kau sendiri sebagai dalang tentu tahu makna dari hidup dan kehidupan yang sudah
digariskan oleh Hyang Widhi, Dimas Kandha! Semua serba misterius. Penuh teka-
teki!" Ki Dalang Kandha Buwana mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui apa yang
diucapkan oleh sang besan.
"Bagaimana menurutmu dengan cucu kita?"
"Si Kelana Raditya?"
"I ... ya! Memangnya cucu kita siapa lagi jika bukan Kelana Raditya," kata Kakek
Pemikul Gunung, "Aku memiliki keyakinan bahwa cucu kita ini kelak akan menjadi
seorang tokoh besar."
"Semoga saja begitu, Dimas Kandha. Hanya tergantung bagaimana kita saja mengisi
hati dan pikiran kelana dengan hal-hal yang baik dan benar."
"Tapi ngonong-ngomong, apa Kakang padmanaba tidak ada rencana untuk menikah
lagi, misalnya ... "
"Menikah lagi" Dengan siapa?"
"Yah ... dengan perempuan, toh!"
"Lha i ya ... tapi siapa?"
"Lho, bukankah Yu Suminah, janda desa sebelah kabarnya naksir Kakang?"
"Naksir gundulmu itu!"
Begitulah orang tua, jika sudah berusia menanjak naik, yang diomongin pasti
tidak jauh dari urusan anak muda!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Dua
Di dalam bilik ... "Lebih baik Kakang duduk dulu di atas balai itu," kata Retno Palupi sambil
mengambil kain kuning yang cukup besar dari atas meja kecil dan sebuah kuali
kecil dari tembaga berisi air.
"Lho, memangnya Nimas mau kemana?" tanya Paksi sambil duduk di atas balai dengan
tenang, kemudian bersandar di tembok.
"Aku mau ambil kain buat bersihkan 'burung elang'-mu yang nakal itu." kata Retno
dalam senyuman genit. Begitu mendengar kata 'burung elang', selebar wajah Paksi pucat pasi. Dengan
sigap yang mendekap ke bawah perut, tapi tangannya tidak cukup besar untuk
menutupi benda bulat memanjang itu.
"Nimas, kenapa kau tidak mengingatkan aku tentang hal ini!?"
"Sudahlah ... toh dari tadi aku juga sudah melihatnya," sergah Retno Palupi
sambil menggeser sebuah kursi kecil ke depan, kemudian ia duduk disitu dengan
jarak setengah jangkauan dari Paksi yang sedang menutupi benda keramatnya.
"Lepaskan ... "
"Apanya yang dilepaskan?" tanya Paksi heran.
"Tanganmu itu," kata si gadis baju biru laut sambil memegang kedua tangan Paksi,
dengan maksud melepaskan dekapan.
Dengan ragu-ragu Paksi melepas dekapan pada bagian bawah perutnya. Sebentuk
benda bulat memanjang dengan urat-urat bertonjolan terlihat berdiri tegak
mendekati pusar, kokoh bagai tonggak kayu!
"Belepotan darah begitu masa' mau dibiarkan saja," kata Retno Palupi sambil
tangan kanan memasukkan kain kuning ke dalam kuali tembaga yang berisi air,
sedang tangan kiri meraih pilar tunggal penyangga langit milik Paksi.
Rupanya, saat terjadi desakan hawa racun yang mengalir dalam tubuh Nawara
terbebas dari totokan, hingga tubuh gadis itu bergerak-gerak liar tidak
terkendali, dan tanpa sengaja pula selaput dara kebanggaan gadis itu pecah dan
mengalirkan darah keperawanan akibat diterobos oleh sebentuk benda tumpul bulat
memanjang. Untunglah bahwa Nawara sendiri sudah secara resmi menikah dengan Paksi Jaladara,
sehingga dengan pecahnya selaput dara membuat Nawara bisa berbangga hati
mempersembahkan keperawanan miliknya hanya satu orang yang kini secara resmi
menjadi suaminya (jaman dulu yang namanya keperawanan gadis teramat sangat
dijunjung tinggi, lebih tinggi dari keperjakaan sorang laki-laki!).
Paksi Jaladara! Paksi mengeluh atau lebih tepatnya mendesah nikmat saat syaraf-syaraf yang ada
di pilar tunggal penyangga langitnya tersentuh tangan lembut istrinya. Dengan
telaten, Retno membersihkan darah perawan Nawara yang masih menempel. Sebentar
kemudian benda bulat memanjang itu telah bersih dari ceceran darah.
"Nah ... dengan begini kan enak," ucap Retno sambil tersenyum.
Sambil memandang wajah tampan suaminya, tangan kiri Retno perlahan bergerak ke
atas dan ke bawah dengan lembut, dari ujung ke pangkal kemudian balik lagi dari
pangkal ke ujung. Terlihat oleh Retno, betapa Paksi tersenyum rawan menikmati
perpaduan antara gesekan dan remasan jari lembut istrinya di tempat itu.
"Kakang, boleh aku cium?" tanya Retno saat melihat suaminya mendesah sambil
memejamkan mata. Dengan tetap bersandar di tembok dan duduk di atas balai, Paksi mengangguk
pelan, sambil membuka bibirnya sedikit untuk menerima ciuman istrinya, tapi
ternyata Paksi salah paham kali ini. Pemuda itu langsung terlonjak kaget begitu
merasakan suatu ruang hangat melingkupi bagian atas pilar tunggal penyangga
langitnya! "Nimas ... " Hanya itu saja yang terdengar, selebihnya hanya desahan napas yang tak beraturan
keluar. Perlahan-lahan pilar tunggal penyangga langit yang sudah membesar justru
semakin membesar saja. Beberapa saat kemudian Paksi melepaskan diri.
"Nimas ... sudah ... " ucap Paksi sambil mengangkat bangun tubuh Retno, lalu
dijatuhkan dalam pelukannya, tapi gadis itu meronta lemah.
"Aku mau minum dulu," kata Retno sambil mengambil wedang jahe, lalu meminum
seteguk dua, terus diangsurkan ke suaminya. "Mau minum?" tanya Retno menawarkan
wedang jahenya. Paksi membuka bibir sedikit dengan maksud ingin minum, tapi bukannya dari gelas
bambu, justru dari bibir Retno Palupi!
Retno Palupi langsung gelagapan, dan hampir saja ia tersedak, jika tidak buru-
buru menelan wedang jahenya, bahkan sebagian menetes membasahi baju birunya
(sampai sekarang Retno Palupi masih dalam pakaian lengkap, entah apa yang
terjadi beberapa saat lagi). Kali ini ciuman Paksi lebih panjang dan lebih lama
dari ciuman pertamanya dengan Retno, bahkan kini gadis itu membuka diri dan
menyambut bibir Paksi dengan ganas. Retno begitu menikmati pagutan liar dan
lilitan lidah Paksi di dalam rongga mulut hingga membuat gadis itu memejamkan
mata, meresapi setiap nuansa indah yang dialami untuk pertama kali.
Mereka berciuman cukup lama, sampai akhirnya pagutan Paksi terlepas dan menjauh
dari bibir merah merekah.
"Aku lebih suka minum dari situ," kata Paksi sambil tangan kanannya mengusap
lembut bibir merah sang istri.
Lalu pemuda itu menggeser tubuh istrinya sedikit ke samping sehingga mereka
duduk berhadapan dengan posisi dua kaki Retno menumpang di atas paha Paksi,
dengan posisi ini, Paksi memeluk pinggang istrinya, lalu melanjutkan aksi ciuman
dimulai dari leher jenjang Retno yang putih mulus bak pualam.
"Aaahh ... " Retno mendesah kecil sambil merangkul erat saat lidah suaminya
menyapu leher, sehingga gadis itu mulai terbawa suasana romantis yang diciptakan
oleh mereka berdua. Puas menyerang leher Retno, Si Elang Salju kembali melumat bibir merah yang
sedikit terbuka mengeluarkan suara desah, dengan pagutan ganas dan liar. Pemuda
itu begitu lihai memainkan lidahnya di rongga mulut yang kini ditutupi dengan
mulutnya. Jelas sekali bahwa ilmu silat lidah Paksi sama ampuhnya dengan ilmu silatnya!
Tentu saja yang semua yang dilakukan Paksi, Retno Palupi dan Nawara hanyalah
suatu bawaan alam, tidak ada yang mengajari dan tidak ada waktu untuk belajar
hal-hal seperti itu. Semua serba alami dan apa-adanya, tidak ada yang mengada-
ada dan tidak ada yang dibuat-buat. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui
bagaimana mereka bisa melakukan hal menarik yang memang baru pertama kalinya
mereka lakukan. Semua berjalan sesuai dengan kehendak alam!
Sesuai kodrat yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa!
Perlahan-lahan tangan kanan Paksi yang semula memeluk pinggang lalu naik ke atas
depan, menyentuh sebentuk dada padat menggelembung yang masih tertutup baju.
Diremasnya dengan lembut dada kenyal-padat sebelah kanan.
"Ughh ... " Kembali Retno mendesah merasakan nikmat saat ujung-ujung jari tangan Paksi
mempermainkan sebentuk benda bulat kecil yang ada di atas gumpalan padat
menggelembung dari luar. Bersamaan dengan itu, Retno makin liar membalas ciuman
Paksi ke arah telinga pemuda itu.
Melihat istrinya membalas perlakuannya dengan tidak kalah liar, kembali pemuda
itu menyerang leher hingga membuat merinding bulu tengkuk sang gadis.
"Iiih ... " Bahkan, saat tangan kanan pemuda itu mulai menyusup ke balik baju atas Retno
yang entah kapan, ikat pinggang gadis itu sudah luruh dan jatuh ke lantai,
mungkin saat ia menarik istrinya dalam pelukan, ia melepas ikat pinggang. Tangan
Paksi meraba-raba dada montok itu dengan lembut dan penuh perasaan kasih.
Kembali tubuh gadis itu berkelejat liar saat jemari Paksi mempermainkan tonjolan
dada kanan dari dalam. "Oooh ... ssshh ... "
Retno hanya bisa mendongakkan kepala ke atas, menikmati lumatan dan remasan yang
dilakukan oleh suaminya. "Nimas, bajunya kulepas saja, ya?"
Pelukan Paksi sedikit merenggang, diikuti dengan Paksi membuka pengait baju yang
dikenakan istrinya, bahkan Retno sendiri turut membantu apa yang dilakukan
suaminya. Setelah semua pengait dan baju biru gadis terbebas, kemudian dilepas
dari tubuh tinggi langsing Retno Palupi hingga sepasang payudara putih mulus
padat kencang yang masih terbungkus sebentuk baju dalam tipis warna biru muda
yang seolah-olah tak mampu menampungnya. Tidak ada yang berbeda antara kemulusan
tubuh Retno dan Nawara, semua sama, baik bentuk, ukuran dan warna kulit tidak
berbeda sedikit pun. "Dua istriku benar-benar sempurna," pikir Paksi sambil memandangi wujud setengah
telanjang istrinya. "Dadamu indah sekali, Nimas!" ujarnya begitu sebentuk benda bulat besar yang
tadi sempat diremas-remas.
"Kakang, jangan dipandangi begitu! Aku kan malu," ucap Retno sambil menutupi
dadanya dengan dua tangan bersilangan.
"Kenapa harus malu" Lihat ... aku saja sudah tidak memakai apa-apa sedang Nimas
masih setengah komplit," kata Paksi dengan kedua tangan direntangkan, kemudian
memeluk Retno yang malu-malu kucing sambil bibirnya menghujani leher, pipi, dan
bibir gadis itu dengan ciuman menggelora.
"Ooohh ... " Kali ini punggung Retno dijadikan sasaran gerilya sepasang tangan kekar yang
kini telah merengkuhnya hangat. Saat tangan kiri Paksi mulai merayap di bagian
tulang belakang dan bersamaan itu pula, telusuran lidah perlahan turun dari
leher, terus turun ke bawah mendekati gumpalan padat menggelembung yang masih
terbungkus rapat. Tess! Tiba-tiba Retno yang saat itu sedang menikmati resapan dan jalaran nikmat di
bagian atas dada bawah pundak merasakan kekangan yang mengekang sepasang dada
montoknya melonggar, lalu jatuh ke pangkuan.
Bebas lepas tanpa rintangan!
Ternyata Paksi telah melepas pengait baju dalam tipis yang membungkus ketat dada
membusung itu. Kini tubuh bagian atas Retno Palupi sudah bersih sepenuhnya,
hanya tinggal celana luar dalam yang masih tersisa. Apalagi saat bibir pemuda
itu dengan penuh gairah menggebu-gebu semakin turun ke bawah dan akhirnya ...
melumat kedua ujung-ujung bukit kembar yang mulai mengeras dengan sendirinya
secara bergantian. Di antara hisapan dan gigitan mesra, sukma Gadis Naga Biru bagai melayang ringan
di awan saat tangan kiri suaminya mengelus-elus pada bagian paha, melingkar-
lingkar membentuk bulatan tak beraturan, sehingga napas gadis itu semakin
memburu, pelukan semakin kuat dan ia mulai merasakan bagian gerbang istana
kenikmatannya mulai basah.
"Oooh ... Kakang ... "
Retno hanya pasrah dan membiarkan bibir dan tangan suaminya menjelajahi setiap
lekuk dari tubuh sintalnya. Sesukanya, karena memang gadis itu sangat menikmati
sentuhan lembut Paksi. Bahkan tanpa sadar tangan Retno memegang tangan Paksi
seolah-olah membantunya untuk memuaskan dahaga birahi yang semakin meninggi.
Semakin menggelinjang kegelian!
Tiba-tiba, Paksi melakukan gerakan yang aneh. Ia melepas bibir dan tangannya
dari tubuh sintal itu, mendorong rebah tubuh setengah telanjang ke atas balai.
Setelah itu ia mengangkat sepasang kaki Retno ke atas pundak, sehingga posisi
Retno terlihat mengambang dengan pundak menyentuh empuknya kasur randu.
Gadis itu hanya diam saja melihat apa yang dikerjakan suaminya, lebih lagi saat
mengetahui bahwa Paksi berniat melepas celana luar dalam yang masih dipakainya,
gadis itu berinisiatif mengaitkan sepasang pahanya ke pundak Paksi. Baru
berjalan sampai setengah, tiba-tiba saja Paksi dengan menerobos diantara celah
longgar, melakukan jurus yang luar biasa mengagetkan bagi Retno Palupi.
Bermimpi saja tidak pernah!
Mulut dan lidah Paksi dibenamkan diantara kedua buah paha dan langsung menerjang
cepat ke arah pintu gerbang istana kenikmatan, terus melumat bibir yang ternyata
telah bersih dari rimbunnya rumput ilalang dan kini sudah sangat membasah.
"Akhhh ... Kakang ... auw ... oh ... " bibir Retno langsung meracau tak karuan,
mulai menggeliat menahan geli yang teramat manakala bibir dan lidah suaminya
menjalar ke arah sekitar pangkal paha. Geliatan tubuh gadis itu kesambet ratusan
tawon saja. Tubuh gadis itu meliuk, melengkung ke atas dan meregang merasakan rangsangan
terhebat saat lidah Paksi yang panas mulai menyusuri bagian dinding dalam,
bahkan saat benda bukat kecil kemerahan digigit dengan sedikit keras, gadis
langsung menggeliat dan hampir saja cekalan Paksi pada kedua belah paha istrinya
terlepas karena gerakan liar Retno Palupi yang semakin lama semakin menggila.
Gerbang istana yang semula sudah basah, kini semakin basah!
Yang jelas Retno merasakan adanya desakan yang semakin menggebu ingin keluar dan
menuntut sebuah penyelesaian. Lidah panas semakin menyusup ke dalam, dan kembali
tubuh sintal itu terlonjak dan pinggang semakin terangkat naik saat lidah panas
mulai mengais-ngais bibir gerbang istana kenikmatan.
Dan pada akhirnya ... "Aaaah ... . " Jeritan kecil nan panjang terdengar untuk pertama kalinya di dalam bilik
pengantin itu. Tubuh Retno terlihat mengejang beberapa saat, mata membeliak lebar, tangan
mencengkeram tepi balai dengan kuat, kemudian melemas disertai desahan napas
berat. Rupanya Retno Palupi sudah sampai pada titik puncak asmara pertamanya.
Untunglah dinding-dinding bilik terbuat dari batu bata, sehingga semua lenguhan
dan jeritan tidak akan terdengar sama sekali dari luar.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selang beberapa saat, setelah puas bermain-main di tempat itu dan mengantar
Retno ke titik puncak asmara pertamanya, Paksi melepas pegangan kaki, lalu tubuh
Retno turun dengan pelan dan bersamaan itu pula, tangan Paksi mulai menarik
lepas celana luar dalam istrinya, melewati mata kaki dan kini mereka berdua
sudah seperti bayi yang baru lahir ke dunia.
Sekarang tubuh sintal dan putih Retno sudah benar-benar telanjang total!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Tiga - (TAMAT)
"Enak, Nimas?" Gadis Naga Biru masih terlentang dengan posisi menantang mengangguk lemas, lalu
berkata, "Kakang benar-benar nakal."
"Ini hanya balas dendam saja, kok."
Paksi mendekatkan tubuhnya ke tubuh mulus istrinya dari atas dan kembali melumat
bibir merah merekah yang langsung disambuti pula dengan sepenuh jiwa. Darah
Retno seperti terkesiap ketika merasakan dada bidang Paksi menempel erat ke
sepasang dada padatnya. Ada sensasi hebat yang melanda jiwa gadis itu, ketika
dada yang kekar itu merapat dengan tubuhnya.
"Ohh, baru kali ini kurasakan dekapan sepenuhnya lelaki yang kucintai ini,"
pikir Retno. Tangannya Paksi tidak tinggal diam, turut meremas dan memelintir buah dada
montok Retno yang mengakibatkan makin lama makin membengkak dan yang semakin
kenyal saja. Retno membalas perlakukan Paksi dengan mengurut dan meremas-remas
punggung pemuda yang kini secara resmi telah menjadi suaminya.
Tanpa menunggu lama lagi, Paksi berdiri di antara kedua belah paha istrinya yang
terbuka dan siap-siap melakukan serangan akhir.
"Nimas ... " kata Paksi ragu-ragu.
"Kita lakukan sekarang, Kakang." jawab Retno lirih.
Paksi segera mengarahkan ujung pilar tunggal penyangga langit yang telah siap
tarung, lalu digesek-gesekkan di depan pintu gerbang yang membentuk segaris
merah merekah yang sudah sedikit terbuka dan basah.
Sett! "Uuugh ... " Retno hanya mendesah ujung pilar tunggal baru menempel pada sisi luar gerbang.
Tubuh Retno Palupi terlihat agak melengkung, pinggangnya dicoba ditarik sedikit
ke atas untuk mengurangi tekanan ujung pilar tunggal penyangga langit.
Tangan kiri Paksi menuntun pilar tunggal penyangga langitnya agar tetap berada
pada bibir gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, lalu membungkuk sambil
mencium telinga kiri Retno Palupi, terdengar Paksi Jaladara berkata perlahan,
"Nimas ... kita lakukan sekarang?"
Tidak suara sedikit pun dari mulut Retno, hanya kepala terlihat mengangguk
pelan, dengan pandangan mata sayu menatap ke arah gerbang istana kenikmatannya
yang sedang didesak oleh pilar tunggal penyangga langit dan mulutnya terkatup
rapat seakan-akan menahan rasa ngilu.
Bagaimana pun juga, gadis itu masih perawan!
Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda itu segera menekan benda tumpul yang kini
baru menemeple kepalanya saja sedikit ke dalam gerbang istana yang telah basah
oleh cairan, bersamaan itu pula kedua tangan Retno Palupi mencoba menahan
tekanan Paksi Jaladara. Sett! Tiba-tiba Gadis Naga Biru berteriak kecil, "Aduhh ... pelan-pelan ... sakit,
Kang!" Terdengar keluhan dari mulutnya dengan wajah agak meringis menahan kesakitan.
Kedua kaki Retno Palupi yang mengangkang itu terlihat menggelinjang dan
menggeletar. Baru bagian kepala saja terbenam sempurna dan menyentuh dinding-dinding bagian
dalam. Dari luar, gadis itu melihat kedua bibir gerbang istana kenikmatan
menjepit erat kepala pilar tunggal penyangga langit milik si Elang Salju,
sehingga belahan bibir terkuak, sedikit tertekan masuk serta membungkus ketat
kepala pilar tunggal tersebut.
Paksi Jaladara menghentikan tekanan sambil menggumam, "Masih sakit, Nimas
Retno?" "Aagghh ... jangan terlalu dipaksakan, Kang. Aku merasa ... akan ...
terbelah ... niiiih ... sakiiiitttt ... " Retno Palupi menjawab dengan badan
terus menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan, sambil merangkulkan kedua
tangannya di punggung Paksi Jaladara dengan erat.
Beberapa saat kemudian, Retno sudah agak tenang.
"Nimas Retno ... Kakang masukkan lagi, ya" dan katakana kalau Nimas Retno merasa
sakit," sahut Paksi Jaladara dan tanpa menunggu jawaban Retno Palupi, segera
saja Paksi Jaladara melanjutkan tahap lanjut dengan cara menarik dan menekan
pilar tunggal penyangga langitnya ke dalam gerbang istana kenikmatan Retno
Palupi yang sempat tertunda, tetapi sekarang dilakukannya dengan lebih pelan
dari sebelumnya. Karena sudah licin, pelan namun pasti pilar tunggal Paksi
sedikit demi sedikit masuk ke dalam. Ketika baru masuk seperempat bagian, Paksi
merasakan sesuatu yang menghadang di tengah jalan.
Selaput dara! Berulang kali paksi mencoba menerobos, tapi seperti terpental balik.
"Nimas, ini ... "
"Sedikit lebih keras, Kang! Tidak ... apa-apa ... " ucap Retno sambil meringis
memejamkan mata, merasakan antara sakit dan nikmat.
Paksi sedikit menarik keluar, lalu dengan sedikit sentakan keras, benda bulat
panjang itu meluncur cepat.
Sett! Cress! Selaput dara robek, dan benda bulat tumpul itu langsung terbenam sekitar
setengahnya. Darah keperawanan Retno Palupi sedikit mengalir, menerobos keluar melalui celah-
celah benda bulat tumpul yang menyumbat penuh gerbang istana milik si gadis.
"Aaaaaghh ... !"
Pada saat yang sama, terdengar keluhan panjang dari mulut Retno Palupi sambil
kedua tangan semakin erat memeluk Paksi Jaladara dengan pinggangnya terus
bergerak-gerak liar. Beberapa saat kemudian, wajah cantik Retno Palupi meringis,
tetapi tidak terdengar lagi keluhan dari mulutnya, hanya kedua bibir terkatup
erat dengan bibir bawahnya terlihat menggetar.
Paksi segera melumat bibir istrinya dengan lembut, seakan berusaha meredakan
rasa sakit yang mendera. Kemudian Paksi Jaladara bertanya lagi, "Nimas ... masih sakit?"
Retno Palupi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil kedua tangannya
meremas bahu Paksi. "Teruskan lagi ... " kata Retno sambil memandang seraut wajah tampan yang
terlihat khawatir. Gadis itu tersenyum, dan dibalas dengan senyuman pula oleh Paksi. Sambil
memandang istrinya segera kembali menekan pilar tunggal penyangga langitnya
lebih dalam, berusaha masuk ke dalam gerbang istana kenikmatan.
Secara pelahan-lahan namun pasti, pilar tunggal penyangga langit terus menguak
dan menerobos masuk ke dalam sarang, seperti halnya sebilah keris dengan
sarungnya. Ketika benda bulat tumpul telah terbenam hampir tiga perempat di
dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, terlihat gadis itu pasrah dan
sekarang kedua tangannya tidak lagi menahan tubuh Paksi Jaladara, akan tetapi
sekarang justru kedua tangannya mencengkeram dengan kuat pada tepi kasur empuk.
"Lagi ... " Paksi Jaladara menekan lebih dalam lagi.
Sett! Kembali terlihat wajah Retno Palupi meringis antara menahan sakit dan nikmat,
kedua pahanya terlihat menggeletar, tetapi karena Retno Palupi tidak mengeluh
maka Paksi Jaladara meneruskan saja tusukan pilar tunggal penyangga langitnya
dan tiba-tiba saja ... Bleeees! Paksi Jaladara menekan seluruh berat badannya dan pantatnya menghentak dengan
kuat ke depan. Pada saat yang bersamaan kembali terdengar keluhan panjang dari mulut Retno
Palupi. "Aduuuuh ... sakittt ... "
Kedua tangan Retno mencengkeram tepi balai dengan kuat dan badannya melengkung
ke depan serta kedua kakinya terangkat ke atas menahan tekanan pilar tunggal
penyangga langit Paksi Jaladara di dalam gerbang istana yang langsung menabrak
bagian paling ujung dan terdalam dari gerbang istana kenikmatan.
Paksi Jaladara mendiamkan pilar tunggal penyangga langitnya terbenam di dalam
lubang gerbang istana kenikmatan sejenak, agar tidak menambah sakit yang
dirasakan istrinya, lalu pemuda itu memeluk erat istrinya sambil berbisik,
"Nimas ... apa perlu kita tunda?"
"Jangan ... teruskan saja ... Kakang ... "
Baru saja Paksi bergerak, Retno Palupi dengan mata terpejam hanya menggelengkan
kepalanya sedikit seraya mendesah panjang.
"Aaggggghh .. sakit!"
"Kalau begini terus, kapan selesainya" Aku harus nekat, nih?" pikir Paksi.
Paksi segera mencium wajah Retno Palupi dan melumat bibirnya dengan ganas.
Tangan kanannya meremas-remas dada kenyal padat dengan harapan bisa mengurangi
rasa sakit yang menyengat di bagian bawah. Setelah itu, Paksi Jaladara bergerak
pelan cepat naik turun, sambil badannya mendekap tubuh indah Retno Palupi dalam
pelukan. Tak selang lama kemudian, badan Retno Palupi bergetar hebat dan mulutnya
terdengar keluhan panjang.
"Aaduuh ... oooohh ... sssssssshh ... ssssshh ... "
Kedua kaki Retno Palupi bergerak melingkar dengan ketat pinggul Paksi Jaladara,
menekan dan mengejang. Retno Palupi mengalami titik puncak asmara yang hebat dan
berkepanjangan meski baru beberapa kali Paksi melakukan aksi naik turun. Selang
sesaat badan Retno Palupi terkulai lemas dengan kedua kakinya tetap melingkar
pada pinggul Paksi Jaladara yang masih tetap berayun-ayun itu.
Suatu pemandangan yang sangat erotis sekali, suatu pertarungan yang diam-diam
yang diikuti oleh penaklukkan di satu pihak dan penyerahan total di lain pihak!
Retno Palupi kemudian diangkat dan didudukkan pada pangkuan dengan kedua kaki
indah Retno Palupi terkangkang di samping paha Paksi Jaladara dan tentu saja
pilar tunggal penyangga langitnya masih tetap di tempat semula. Kedua tangan
Paksi Jaladara memegang pinggang Retno Palupi dan membantu Retno Palupi
menggenjot pilar tunggal yang masih tegak perkasa secara teratur, setiap kali
pilar tunggal penyangga langit Paksi Jaladara masuk, terlihat gerbang istana
kenikmatannya ikut masuk ke dalam dan cairan putih terbentuk di pinggir bibir
gerbang. Retno pun melakukan hal yang sama untuk mengimbangi permainan dari suaminya,
dengan menggerak-gerakkan pinggulnya. Kali ini tidak ada desisan dan rintihan
kesakitan, yang ada hanyalah lenguhan nikmat yang berulang kali menikam bagian
terdalam dari miliknya. Sett! Sett! Ketika pilar tunggal ditarik keluar, terlihat gerbang istana mengembang dan
menjepit pilar tunggal. Mereka berdua melakukan posisi ini cukup lama. Retno
Palupi benar-benar dalam keadaan yang sangat nikmat, desahan sudah berubah
menjadi erangan dan erangan sudah berubah menjadi teriakan.
"Oooohhmm ... !"
Paksi Jaladara melepas pelukan pinggang, lalu meremas-remasnya sepasang bukit
kembar yang bergoyang-goyang naik turun. Tak lama kemudian badan Retno Palupi
bergetar lagi, kedua tangannya mencengkeram kuat pundak Paksi, seakan berusaha
menancapkan kuku-kuku tajamnya, dari mulutnya terdengar erangan lirih, "Aahh ...
aahh ... ssssshh ... sssssshh!"
Retno Palupi mencapai titik puncak asmara untuk ketiga kalinya!
Sementara badan Retno Palupi bergetar-getar dalam titik puncak asmara, Paksi
Jaladara tetap menekan cepat-rapat pilar tunggal ke dalam lubang gerbang istana
kenikmatan, sambil pinggulnya membuat gerakan memutar sehingga pilar tunggal
yang berada di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi ikut berputar-putar,
mengebor gerbang istana kenikmatan sampai ke sudut-sudutnya.
Sett! Sett! Gerakan pinggul Paksi Jaladara bertambah cepat dan cepat. Terlihat pilar tunggal
dengan cepat keluar masuk di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, tiba-
tiba ... "Ooohh ... oohh!"
Dengan erangan yang cukup keras dan diikuti oleh badannya yang terlonjak-lonjak,
Paksi Jaladara menekan habis pinggulnya dalam-dalam, sehingga pilar tunggal
penyangga langitnya terbenam habis ke dalam lubang gerbang istana kenikmatan,
pinggul Paksi Jaladara terkedut-kedut sementara pilar tunggalnya menyemprotkan
hawa keperjakaannya di dalam gerbang istana, sambil kedua tangannya mendekap
badan Retno Palupi erat-erat.
Dari mulut Retno Palupi terdengar suara keluhan yang sama.
"Aaaagh ... ssssssh ... sssssshh ... hhmm ... hhmm!"
Setelah berpelukan dengan erat selama beberapa saat, Paksi Jaladara kemudian
merebahkan tubuh Retno Palupi di atas badannya dengan tanpa melepaskan pilar
tunggal dari sarangnya. Retno Palupi tersenyum. Paksi Jaladara juga tersenyum.
TAMAT Bagaimana dengan Nawara" Apakah ia bisa tersadar kembali dari tidur panjangnya"
Belum lagi ritual perebutan gelar Pendekar Nomor Satu Rimba Persilatan dimulai,
Pendekar Gila Nyawa justru kedapatan tewas di kediamannya di Bukit Tambal Sulam
dengan sebuah tusukan pedang. Siapakah tokoh misterius yang bisa menewaskan
Pendekar Gila Nyawa dalam satu tusukan pedang saja"
Lalu, bagaimana dengan Pangeran Nawa Prabancana alias Si Topeng Tengkorak Emas,
apakah ia juga ikut hancur bersamaan dengan hancurnya Kerajaan Iblis Dasar
Langit" Semuanya akan terjawab dalam jilid 2 : DUEL JAGO-JAGO PERSILATAN!
Petaka Kuil Tua 2 Wiro Sableng 153 Misteri Bunga Noda Undangan Berdarah 2
meletus dan lebur bagai asap!
Tentu saja yang paling terkejut adalah Maharaja Agung!
"Mereka adalah siluman-siluman berilmu tinggi di atas Enam Senopati, langsung
tewas saat jaring-jaring itu mengenainya," pikirnya, lalu ia berteriak lantang,
"Cepat menghindar!"
Tapi, seruan itu datangnya sudah terlambat. Saat para siluman dan bangsa makhluk
halus yang ada di sekitar tempat itu terpana oleh fenomena jaring gaib, wilayah
sekitar mereka telah terkepung jaring-jaring maut tanpa mereka sadari.
Anehnya, jaring-jaring itu bergerak merapat dengan cepat.
Srepp! Srepp! Duashh ... blubb! Duashh ... blubb! Duashh ... blubb!
Berulang kali terdengar letupan keras disertai dengan kepulan asap kelabu
membumbung bersamaan dengan surutnya air bah akibat Ilmu 'Banjir Bandang
Semesta' yang digunakan Si Topeng Tengkorak Baja.
Slupp! Slupp! Air bah bagai ditarik masuk ke dalam tanah oleh tangan-tangan gaib. Tujuh helaan
napas kemudian, tanah di sekitar ajang pertarungan antara manusia dengan makhluk
alam gaib kembali ke asal, meski tidak meninggalkan akibat dari sergapan dahsyat
yang memporakporandakan daerah yang dilaluinya.
Meski telah hilang, tapi tidak begitu kering, karena ada genangan air di sana-
sini! Bersamaan dengan lenyap air bah, lenyap pula siluman terakhir yang berusaha
bertahan mati-matian dari kungkungan jaring maut, dialah Senopati Kala Hitam,
yang sebelumnya saling baku hantam dengan Arjuna Sasrabahu.
Duashh ... blubb! Tubuh Si Topeng Tengkorak Baja menggigil menahan amarah dan ketakutan yang
menyatu. Keretekan giginya menyiratkan puncak kemarahan Sang Maharaja Agung
terhadap Paksi Jaladara yang telah menghancurkan segenap prajurit tangguhnya
lewat penyatuan Sepasang Mutiara Langit.
"Grrrh, pemuda keparat! Kaulah biang dari kegagalan mendirikan kerajaanku di
atas bumi!" teriaknya sambil sambil menarik nafas panjang, kemudian tubuhnya
berjongkok posisi merangkak di atas tanah, sementara ke dua tangan menapak-
menekankan ke bawah dengan hentakan keras.
Blammm ... ! Jddduarrr .... !!
Kembali Si Topeng Tengkorak Baja berniat menggunakan tiga ilmu tertangguhnya
sekaligus, tapi kali ini langsung digunakan tingkat pamungkas yang bernama Ilmu
'Kuasa Iblis Tiga Jagad'. Ilmu ini sebenarnya merupakan tiga ilmu sakti
terpisah, yaitu Ilmu 'Banjir Bandang Semesta', Pukulan 'Tinju Neraka Iblis Dasar
Langit' dan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia', namun oleh Si Topeng
Tengkorak Baja, digabung menjadi sebuah ilmu tunggal yang bisa menggetarkan
Jagad Manusia, Jagad Gaib dan Jagad Alihan yang berada di perbatasan antara alam
gaib dan alam manusia. Meski posisi tubuh tetap seperti saat menggunakan 'Tenaga Sakti Katak Merah
Penghancur Dunia', tapi pancaran dahsyat sudah begitu kentara. Kilatan cahaya
coklat kehitaman, gumpalan bola api raksasa bercampur dengan hawa katak merah
raksasa. Bahkan suara raungan katak terdengar berulang kali memekakkan telinga.
Wossshhh ... wooossh ... !!
Ngroookk ... ngroookk ... !!
Sementara itu, di dalam bola cahaya putih merah yang masih menebarkan jaring-
jaring maut, Si Elang Salju membuka matanya sambil berkata, "Iblis laknat! Niat
burukmu terhadap umat manusia harus kau pupus sampai disini!"
Begitu selesai berkata, entah dari mana datangnya, di tangan Paksi sudah
terbentuk sebuah busur putih keperakan lengkap dengan anak panah merah menyala
dengan ukiran kepala elang yang siap dilepaskan.
Swosh ... swoshhh ... !! Sedikit dengan sedikit jaring-jaring putih merah terhisap masuk ke dalam busur
dan anak panah yang ada di tangan Paksi Jaladara, Ketua Muda Istana Elang.
Srepp ... swoshh ... ! Sebentar kemudian, setelah jaring-jaring itu telah terserap seluruhnya, membuat
busur perak dan anak panah merah semakin memancarkan cahaya cemerlang sarat
keagungan dimana cahaya itu bisa menggetarkan hati Maharaja Agung yang sedang
menghimpun pamungkas Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga Jagad'!
"Apa ini ... kenapa ... kenapa hatiku merasa takut! Ada rasa gentar di dalam
hatiku!" pikirnya. "Setan! Aku harus mengenyahkan pemuda itu sekarang juga!"
Berbareng dengan niat tercetus, sebuah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa
terhembus keluar lewat suara keras, disusul dua tangan silih berganti
melontarkan gumpalan bola api raksasa bertubi-tubi menuju bola putih merah yang
melindungi Si Elang Salju.
Nggrrokkk ... nggrrokkk ... woshh ... jwoshh ... srokkk ... !
Si Elang Salju yang sudah siap dengan busur dan anak panah, segera melepaskan
rentangan tali sambil mendesis pelan, "Musnahlah biang kejahatan di bumi!"
Twanngg ... serrr ... !! Begitu dilepas dari busur langsung melesat cepat, dan saat anak panah keluar
dari dalam bola cahaya, bentuknya berubah meraksasa dan melesat dengan kecepatan
kilat disertai suara mengaung bagai ribuan lebah mengamuk.
Ngggooooonggg .... !! Jrasss!!
Tanpa basa-basi langsung membelah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa
menjadi dua, mengurai dan selanjutnya meledak keras.
Jderr ... ! Glarrr ... ! Setelah itu dengan mudah menembus gumpalan-gumpalan api diikuti dengan ledakan
nyaring membahana. Darrr ... dharrr ... dherrr ... !
Pecah berhamburan bagai kembang api di langit.
Tentu saja Maharaja Agung kaget bukan alang kepalang!
"Mustahil! Ini tidak mungkin terjadi!" teriaknya melihat Ilmu 'Kuasa Iblis Tiga
Jagad' rontok satu demi satu.
Dan pada akhirnya ... Crapp! "Aaaah ... " Jerit kematian yang paling mengerikan pun terdengar, menyeruak keras bagai
menyobek-nyobek lapisan langit ke tujuh dan bumi ke delapan.
Bleggaarrr ... !! Jdharrr ... ! Dhuarr ... !!
Bersamaan dengan suara jerit kematian, terdengar beruntun tiga kali berturut-
turut saat panah merah raksasa itu menembus dada Sang Maharaja Agung dari
Kerajaan Iblis Dasar Langit, yang tentu saja langsung pecah berhamburan karena
tidak kuasa menerima daya hancur pemusnah iblis.
Ledakan itu ternyata mengguncang di tiga tempat yang berbeda!
Pertama di atas bumi, di Jagad Manusia yang berhubungan secara langsung. Sebuah
kubangan kawah raksasa selebar puluhan tombak terbentuk seketika, tepat dimana
sebelumnya Si Topeng Tengkorak Baja atau Sang Maharaja Agung berdiri dengan
segala kesombongan dan keangkuhan.
Kedua, Jagad Alihan pun mengalami guncangan dashyat hingga memporakporandakan
tatanan kehidupan yang ada di sana.
Dan yang terakhir, Jagad Gaib juga mengalami hal yang tidak berbeda.
Justru yang paling parah terjadi di Kerajaan Iblis Dasar Langit. Negeri alam
gaib itu hancur berkeping-keping karena Sang Penguasa Tunggal telah tewas di
atas muka bumi karena berbuat angkara murka, menebar maut dimana-mana. Seluruh
penghuni istana, tidak peduli ia bayi setan, setan kecil, siluman besar bahkan
bahkan para bangsawan makhluk gaib sejenisnya hancur luluh tanpa bentuk. Seluruh
penghuni alam gaib musnah, termasuk juga Sang Permaisuri, Nyai Ratu Danayi
sendiri mengalami nasib yang tak kalah mengenaskan. Ia tewas dengan tubuh
tergencet reruntuhan pilar-pilar istana yang selama hidup dihuninya.
Tentu saja bencana di alam gaib dikarenakan adanya Sepasang Mutiara Bumi
Dasawarna yang pecah akibat terbebas dari kekangan kekuatan iblis yang selama
ribuan tahun menutupi daya gaibnya. Sepuluh larik cahaya warna-warni semburat
keluar dari Gedung Pusaka Kerajaan, yang setiap lesatannya memancarkan cahaya
yang bisa meluluhlantakkan segala macam bangunan yang ada di istana Kerajaan
Iblis Dasar Langit. Begitu ledakan pertama terjadi, bola cahaya putih dan merah langsung membesar,
membentuk kubah raksasa yang melindungi orang-orang yang ada di sekitar tempat
itu. Brakk! Brakk! Dharr ... !
Beberapa saat kemudian terdengar benturan keras dari benda-benda yang menabrak
dinding pelindung. Tak lama kemudian, ledakan berhenti.
Bola cahaya pelindung sedikit demi sedikit menipis dan pada akhirnya hilang tak
berbekas. Yang tersisa hanyalah Paksi Jaladara yang berdiri gagah dengan busur
perak di tangan kanan dan anak panah merah berukir kepala elang di tangan kiri.
"Syukurlah ... kebatilan akhirnya musnah dari muka bumi ini," pikir Paksi
Jaladara, lalu katanya lagi, "Mutiara Langit Putih! Mutiara Langit Merah!
Kembalilah ke asalmu!"
Busur putih perak dan anak panah merah bergetar sebentar, kemudian mengabur,
berubah menjadi gumpalan cahaya kemilau merah dan putih.
Srepp! Srepp! Cahaya putih langsung melesat masuk ke dalam Rajah Elang Putih sedang cahaya
merah langsung melesat masuk ke ubun-ubun bayi merah anak Wanengpati. Begitu
Sepasang Mutiara Langit kembali ke majikannya masing-masing, dari atas langit
terdengar suara menderu-deru.
Werr ... werrr ... ! Pelan-pelan namun pasti, awan hitam akibat Gerhana Matahari Kegelapan menghilang
dan dalam waktu singkat menghilang sama sekali dan nantinya akan muncul seribu
tahun kemudian. Akhirnya ... Sang surya kembali menyinari dunia!
-o0o- "Bagaimana keadaan kalian?" tanya Paksi Jaladara setelah sampai di dekat tempat
perlindungan. "Kami baik-baik saja, Ketua! Hanya mengalami luka dalam ... " kata Jin Kura-Kura
sambil berusaha duduk bersila.
Ayu Parameswari, Rintani dan Seto Kumolo yang tadi telah memaksakan diri
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi' sudah setengah pingsan saat terjadi
ledakan besar akibat benturan terakhir tadi. Setelah mengurut beberapa bagian
dari tubuh tiga orang itu, mereka tersadar sepenuhnya.
Semuanya selamat meski mengalami luka dalam yang tidak ringan, hanya saja
Sepasang Raja Tua tewas dalam pertarungan kali ini!
Sore itu ... Setelah pemakaman Sepasang Raja Tua selesai, mereka berkumpul di salah satu
kediaman Juragan Padmanaba, karena kediaman Ki Dalang Kandha Buwana sudah hancur
karena pertempuran tadi siang.
"Kakang Gineng, apakah hanya cara itu saja mengobati luka yang diderita oleh
Nawara?" tanya Paksi Jaladara dengan cemas. "Aku sudah berulang kali menyalurkan
hawa salju, tapi ia masih seluruh tubuhnya merah membara."
Sebab, gadis bersulam rajawali itu terkena jurus 'Air Liur Kuda Binal' secara
tidak sengaja. Meski tidak tewas, tapi kondisinya sudah antara hidup dan mati!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Sembilan
"Tanpa perlu saya jawab pun, saya rasa Den Paksi bisa menyimpulkan sendiri
terhadap racun yang mengeram dalam tubuh Nawara," tutur Gineng bijak.
Paksi Jaladara yang duduk di sebuah balai hanya mendesah, sedang Gineng berdiri
di sampingnya juga sulit mengungkapkan sesuatu yang dianggapnya tabu saat itu.
Sedang di samping kiri dan kanan berdiri Retno Palupi dan Nawala, saudara kembar
Nawara yang hanya saling pandang tidak mengerti percakapan dari dua pemuda di
hadapannya. "Memangnya cara apa yang bisa menyembuhkan Nawara, Kakang Paksi?"
"Ini ... " Suara Paksi tercekat di tenggorokan, sebab sulit sekali ia mengatakan sebuah hal
yang mungkin saja akan menyinggung harga diri kekasihnya, walau sebenarnya ia
pun mengetahui bahwa gadis berbaju biru itu sudah membuka pintu hatinya untuk
diduakan oleh pemuda berbaju putih ini.
"Paksi, memangnya dengan cara bagaimana Nawara bisa sehat kembali?" tanya Nawala
dengan nada ditekan. Pemuda itu sangat khawatir dengan kondisi fisik Nawara yang merah matang seperti
mangga masak itu. "Aku ... aku tidak bisa mengatakannya," kata Paksi kemudian, "Lebih baik Kakang
Gineng saja yang berbicara."
Dua pasang mata Nawala dan Retno Palupi langsung beralih ke Gineng. Mereka
berdua tahu bahwa Gineng adalah murid Tabib Sakti Berjari Sebelas, tentu saja
tentang racun dan penawarnya sedikit banyak ia mengetahuinya.
"Kakang Gineng, bisakah kau katakan padaku bagaimana menawarkan racun aneh ini?"
tanya Nawala kemudian. Sambil menghela napas panjang, akhirnya Gineng berkata, "Sebenarnya yang bisa
menawarkan racun pembangkit birahi ini hanya orang-orang yang memiliki tenaga
unik saja, seperti orang yang memiliki 'Hawa Inti Salju' misalnya ... "
"Lho, bukankah Kakang Paksi menguasai ilmu ini," tukas Gadis Naga Biru heran.
"Lalu apa masalahnya?"
Sedang Paksi hanya diam saja, sambil terus mengalirkan 'Hawa Inti Salju' ke
dalam raga Nawara lewat telapak tangan kanan.
"Masalahnya bukan pada 'Hawa Inti Salju'nya, tapi ... "
"Tapi apa?" "Tapi proses penyembuhannya yang bermasalah," lanjut Gineng kemudian.
"Bermasalah bagaimana" Langsung ngomong saja pada pokok permasalahannya gimana,
sih" Berbelit-belit amat!" kata Retno Palupi jengkel.
"Baiklah! Untuk menyembuhkan racun birahi yang berhawa panas atau berunsur api
membutuhkan lawan jenis yang memiliki hawa es atau berunsur salju, dan untuk
menyembuhkannya mereka ... " kata Gineng agak tersendat, lalu ia memandang
Paksi, dan dibalas dengan anggukan lemah, " ... mereka harus dalam keadaan
telanjang bulat dan melakukan posisi layaknya hubungan suami istri."
"Hah?" "Apa!?" sahut Nawala, kaget.
Suasana di dalam ruangan kembali sunyi. Yang terdengar hanyalah napas halus dari
mereka semua yang ada ditempat itu.
"Ya! Hanya itu caranya memunahkan racun birahi ini," sahut Gineng, memecah
kesunyian. Nawala terduduk lesu, sambil memandangi Nawara yang tertotok tak berdaya. Memang
gadis itu sengaja di totok agar ia tidak melakukan perbuatan yang bisa
mempermalukannya seumur hidup, sementara yang bisa dilakukan Nawara adalah
mendesis-desis seperti cacing kepanasan, meski jika diajak bicara ia normal.
"Kalau begitu ... lakukan saja ... " kata Gadis Naga Biru, "Kakang Paksi, aku
harap Kakang bisa menyelamatkan nyawa Nawara."
"Tapi Nimas, itu artinya ... "
"Jangan khawatir, aku sudah punya pemecahan masalahnya," kata gadis itu.
"Benarkah?" kata Paksi sambil bangkit berdiri, kemudian memegang tangan kanan
Gadis Naga Biru, sedang tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Nawara.
"Sebelum aku jawab pertanyaan Kakang, aku ada sebuah pertanyaan dan sebuah
permintaan untukmu."
"Apa hubungannya?"
"Sangat erat!" "Baik, apa yang Nimas tanyakan," ucap Paksi Jaladara tanpa pikir panjang.
"Hanya satu pertanyaan untukmu, Kakang mencintai Nawara?"
Pertanyaan itu bagai sambaran petir yang menghantam kepala Paksi dengan telak.
Pemuda itu hanya menunduk sambil menghela napas pelan, "Apa pertanyaan ini harus
kujawab?" "Ya dan harus!"
"Kau tidak membenciku dengan jawaban yang aku berikan nanti!"
"Tidak sama sekali!" sahut Retno Palupi dengan tenang, seolah gadis itu sudah
tahu jawaban apa yang akan dilontarkan dari mulut Paksi Jaladara.
"Sebenarnya, aku ... aku juga menyukai dan menyayangi Nawara seperti halnya
diriku menyukai dan menyayangimu, Nimas," ucap Paksi pada akhirnya, "Jujur saja,
saat berjumpa pertama kali dengan kalian berdua, jantungku berdebar keras.
Namun, aku menyadari bahwa maksud hatiku untuk mendapatkan kalian berdua
sekaligus tidak bakalan mungkin terjadi. Hingga pada akhirnya Nimas-lah yang
pertama kali mengungkapkan isi hatiku. Meski dalam hati kecilku sendiri, aku
masih mengharapkan kalian berdua. Aku takut Nimas nantinya menganggapku serakah
atau tamak, tapi itulah sebenarnya yang ada dalam hatiku."
Tegas dan tidak bertele-tele Paksi Jaladara mengatakan seluruh isi hatinya pada
Retno Palupi, Gineng dan Nawala. Pemuda itu sudah siap jika dua gadis yang sama-
sama dicintainya akan membenci dirinya seumur hidupnya.
Bukannya marah besar, justru gadis berbaju biru itu memeluk erat Paksi Jaladara!
"Terima kasih atas kejujuranmu, Kakang!" ucap Retno Palupi dengan isak tangis
bahagia, "Selama Kakang bisa adil terhadap kami berdua, Retno tidak akan
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyesalinya, Kang!"
"Benar?" Gadis itu hanya mengangguk pasti.
Tiba-tiba Nawala bangkit berdiri.
"Paksi, sebenarnya ... Nawara juga mencintaimu. Hanya saja ia lebih baik
memendam rasa cintanya padamu karena sudah ada Retno Palupi di hatimu," kata
Nawala sambil mendekati Paksi, "Itu adalah hal yang menjadi sebab kenapa selama
beberapa hari belakangan ini saudaraku seperti memiliki banyak masalah."
"Apa yang kau ucapkan itu hal yang sebenarnya, Nawala?"
"Leherku sebagai jaminan!" kata tegas Nawala.
Tiba-tiba saja, Ayu Parameswari masuk ke dalam bilik sambil berkata, "Kisah
cinta segi tiga Ketua Paksi dengan dua gadis secantik bidadari ini sekarang
tidak lagi bermasalah. Bukanlah mereka berdua juga punya perasaan yang sama
dengan Ketua?" lanjut Ayu sambil memeluk erat lengan Nawala. "Dan aku yakin,
semua sudah bisa menerima apa-adanya."
"Lalu ... bagaimana dengan dirimu?" tanya Nawala sambil mencubit hidung mancung
Ayu. "Kalau hal itu ... tidak ada yang perlu ditanyakan. Semua sudah jelas!" kata Ayu
diplomatis. Paksi dan Retno hanya tersenyum simpul melihat cara Nawala mengungkapkan isi
hatinya. Benar-benar unik! "Nah, sekarang ... apa permintaan yang tadi Nimas ingin katakan padaku?" tanya
Paksi Jaladara. "Katakan saja, Retno. Jika hal itu bisa menyelamatkan jiwa saudara kembarku, aku
akan melakukan apa saja," kata Nawala.
"Kau tidak akan bisa melakukannya, Nawala," kata Retno Palupi melepas
pelukannya, berjalan ke arah balai dan duduk menyebelahi Nawara yang tertotok,
lalu tangan kanan meraih kedua tangan Paksi dan masing-masing diletakkan di
telapak tangan Nawara dan dirinya.
"Kenapa aku tidak bisa!?" tanya Nawala heran.
"Karena permintaanku pada Kakang Paksi adalah ... menikahi kami berdua sekarang
ini! Di tempat ini pula dan malam ini juga!" kata tegas Retno Palupi. "Kakang
bersedia, bukan?" Paksi Jaladara terlonjak kaget.
Nawala dan Ayu saling pandang.
Gineng justru tersenyum lebar, dalam otaknya berkata, "Benar-benar gadis yang
luar biasa! Dia bisa menyelesaikan suatu masalah rumit yang menyangkut urusan
hati semudah membalik telapak tangan. Benar, hanya itu jalan satu-satunya, sebab
hanya dengan jalan melakukan pernikahan yang bisa menghindarkan seorang gadis
dari aib yang menimpanya."
"Nimas serius?" tanya Si Elang Salju, meyakinkan.
"Aku serius! Benar-benar serius!"
Pemuda entah bagaimana langsung merasakan sekujur kepalanya gatal.
"Kau tidak mau!?" tanya Retno lebih lanjut.
"Aduh ... gimana, ya?"
"Jarang lho ada orang seberuntung Den Paksi," seloroh Gineng yang disambut
dengan gelak tawa oleh Ayu dan Nawala.
"Bukan begitu, Kang! Masa' belum apa-apa sudah dapat dua istri sekaligus," kata
Paksi Jaladara sambil nyengir kuda.
"Hua-ha-ha-ha!"
Tawa Gineng langsung meledak melihat gaya khas cengiran Paksi yang memang sedari
dulu mau tidak mau pasti memancing tawanya, karena cengiran itu lebih mirip
monyet gondrong kesambet batu daripada cengir kuda yang paling jelek sekalipun!
Sambil menggaryuk-garuk kepalanya, Paksi Jaladara justru duduk menyebelahi
Nawara dan berkata, "Nimas Nawara, apa kau setuju dengan usul gila Nimas Retno?"
Paksi sudah mengubah panggilan terhadap Nawara begitu mengetahui perasaan gadis
itu yang sesungguhnya, meski lewat mulut Nawala.
Nawara hanya tersipu-sipu malu, sulit sekali mengungkapkan apa yang ada di
hatinya. "Bagaimana" Jika kau malu berbicara, kedipkan saja matamu dua kali jika kau
setuju"' sergah Retno Palupi.
Karena memang gadis bersulam rajawali itu tertotok, sehingga tidak bisa berkata
sepatah pun. "Retno brengsek! Kenapa mengatakan hal seperti ini di hadapan semua orang?"
pikir Nawara, "Bikin aku malu saja. Duhh ... pasti mukamu merah padam, nih."
Kemudian gadis itu mengedipkan matanya ... dua kali!
Retno Palupi langsung merangkul Nawara yang tertotok, sambil membisiki sesuatu
ke telinga gadis itu, "Kalau begitu, nanti malam Kakang Paksi 'kita bantai'
habis-habisan, kau setuju?"
Nawara hanya tersenyum kecil mendengar 'rencana licik' gadis berbaju biru itu.
Justru senyuman itu membuat Paksi curiga.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya heran setelah melihat Retno melepas
rangkulannya ke Nawara. "Ah ... ini urusan perempuan! Laki-laki tidak boleh tahu!" kata Retno cepat.
Setelah diperoleh kata sepakat, bahwa memang cara itu satu-satunya yang bisa
menyelamatkan selembar nyawa Nawara, sebab jika sampai tengah malam proses
penyembuhan ajaib yang amat sangat langka itu tidak lakukan, bisa dipastikan
nyawa gadis itu sebagai taruhannya. Hanya karena aliran 'Hawa Inti Salju' saja
yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.
Ki Dalang Kandha Buwana, Juragan Padmanaba, Bidadari Berhati Kejam dan semua
orang yang terlibat dalam permasalahan akibat bencana Gerhana Matahari Kegelapan
hanya terpana, kemudian tersenyum simpul mengetahui proses penyembuhan yang
hanya akan dan hanya oleh Paksi yang bisa melakukannya.
Sebab diantara mereka, hanya pemuda itulah yang memiliki 'Hawa Inti Salju' dan
yang pasti ... mereka berdua, bertiga dengan Retno Palupi saling mencintai satu
sama lain! Benar-benar jalinan kasih yang langka!
Saat itu pula, Nawala dan Ayu Parameswari langsung berangkat ke Pesanggrahan
Gunung Gamping, dan menemui salah satu sesepuh yang kini menggantikan kedudukan
Panembahan Wicaksono Aji yang bernama Begawan Wali Bumi, yang sebenarnya masih
terhitung saudara seperguruan, meski lain guru. Jika Panembahan Wicaksono Aji
adalah murid Pertapa Gunung Gamping, maka Begawan Wali Bumi adalah murid dari
adik kandung dari Pertapa Gunung Gamping yang bernama Pertapa Sakti Dari Tanah
Tandus yang hanya memiliki dua murid, yaitu Begawan Wali Bumi dan Begawan Rikma
Seta. Karena kekosongan yang ada di Pesanggrahan Gunung Gamping, Begawan Wali Bumi
membagi tugas dengan Begawan Rikma Seta dimana salah satu dari mereka harus
memimpin Pesanggrahan Gunung Gamping tinggalan mendiang Panembahan Wicaksono
Aji, dan akhirnya diputuskan bahwa yang menjaga dan memimpin Pesanggrahan Tanah
Tandus adalah Begawan Rikma Seta, sedang Pesanggrahan Gunung Gamping dipimpin
oleh Begawan Wali Bumi. Begawan Wali Bumi memang usianya tidak jauh beda dengan Panembahan Wicaksono
Aji, hanya selisih beberapa bulan saja, tapi dari bentuk raut muka dan postur
tubuh, seperti masih berusia empat puluhan tahun saja.
Setelah mengutarakan maksud kedatangan pasangan muda ini sebagai utusan dari Ki
Dalang Kandha Buwana dari Padukuhan Songsong Bayu, Begawan Wali Bumi langsung
berangkat bersama dengan murid Naga Sakti Berkait dan Nini Naga Bara Merah.
Ketika sampai di Padukuhan Songsong Bayu waktu sudah merembang petang bahkan
bisa dikatakan malam karena pancaran sinar matahari sore sudah tidak terlihat
lagi, tiga orang beda usianya langsung menemui ki dalang kandha buwana dan
juragan padmanaba. "Begitu rupanya," kata Begawan Wali Bumi dengan arif bijaksana, "Jika memang
hanya itu jalan satu-satunya yang harus ditempuh, aku sebagai orang tua justru
bangga dengan mereka berdua ... "
"Bertiga, Bapa Begawan," ralat Juragan Padmanaba.
"Bertiga?" tanya heran Begawan Wali Bumi, " ... lalu siapa orang yang ketiga?"
"Saya, Kakek Begawan."
Sebuah suara merdu menyeruak.
Begitu mendengar suara yang sangat akrab di telinga, kakek itu langsung
membalikkan badan. Mukanya langsung mengulas senyum kecil melihat sesosok gadis
berbaju biru laut yang berdiri di ambang bilik. Kakek arif itu tahu betul, bawah
cuma satu orang yang memanggil dengan sebutan 'Kakek Begawan' saja di muka bumi
ini. Siapa lagi jika bukan gadis bengal anak dari Ki Dirga Tirta!
"Rupanya, kau gadis nakal!" ucap Begawan Wali Bumi.
"Bapa Begawan kenal dengan Retno Palupi?" tanya heran Ki Dalang Kandha Buwana
alias Kakek Pemikul Gunung.
"Bukan hanya kenal, tapi bocah bengal itu sudah membuat aku susah tidur gara-
gara ia pergi tanpa pamit dari Wisma Samudera," tutur Begawan Wali Bumi, "bahkan
sampai-sampai Si Dirga Tirta menyuruh Wisnu Jelantik untuk mencarinya."
"Lho, memangnya kenapa kau pergi tanpa pamit, Nimas Retno?" tanya Paksi yang
tiba-tiba saja keluar. Melihat pemuda berbaju putih berikat kepala merah, begawan yang sidik paningal
(bermata hati tajam) langsung berdiri, kemudian ia menghormat dengan sedikit
membungkuk, "Terimalah salam hormat hamba, Kanjeng Pangeran!"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh
Tentu saja perkataan Begawan Wali Bumi yang menyebut diri Paksi sebagai 'Kanjeng
Pangeran' membuat Retno Palupi, Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba
terlonjak kaget. Tidak mungkin jika seorang pertapa yang waskita seperti Begawan
Wali Bumi salah bicara. Namun yang paling terkejut justrulah Paksi Jaladara sendiri!
Sebab dirinya tahu betul, ia adalah rakyat biasa yang secara kebetulan mendapat
anugrah sebagai pewaris dari ketua suatu aliran putih yang bernama Istana Elang
dan sekarang ia secara resmi menjabat sebagai Ketua.
"Bapa Begawan ini ada-ada saja," kata Paksi setelah keterkejutannya hilang,
"Saya hanya manusia biasa seperti halnya Bapa Begawan. Tidak ada sejarah dalam
hidup saya kalau saya ini keturunan bangsawan."
Begawan Wali Bumi yang memiliki indra ke tujuh tidak bisa dibohongi begitu saja,
sebab dari wajah dan seluruh tubuh pemuda itu terpancar aura keagungan keturunan
seorang raja. Akan tetapi melihat raut muka kejujuran yang terpancar dari wajah
itu, membuat Begawan Wali Bumi berpikir, "Aneh! Jelas sekali ia masih keturunan
raja besar, tapi kenapa ia berkata bahwa dirinya cuma rakya jelata" Pasti ada
suatub rahasia yang tersembunyi dari semua ini."
Lahirnya ia berkata, "Maaf kalau saya salah bicara Nakmas ... "
"Paksi Jaladara, Bapa Panembahan."
"Nakmas Paksi, maaf jika salah bicara."
Akhirnya, pada sore itu juga dilaksanakan upacara pernikahan antara Paksi
Jaladara, Retno Palupi dan Nawara sekaligus dimana Begawan Wali Bumi ditunjuk
sebagai juru nikah bagi tiga muda-mudi itu (jaman dulu, nikah umur tujuh belas
sampai sembilan belas tahun adalah hal biasa, justru luar biasa kalau ada orang
yang masih perawan atau perjaka belum menikah pada maksimal usia dua puluh
tahun, sehingga sebutan perawan kasep dan perjaka gabuk langsung nangkring
dengan sendirinya). Karena harus menikahkan satu pria dengan dua gadis sekaligus, Begawan Wali Bumi
cukup kesulitan, dan akhirnya dibuat kesepakatan dengan tiga muda-mudi itu.
Paksi Jaladara menikah lebih dahulu dengan Retno Palupi, dan setelah upacara
pernikahan mereka berdua selesai, barulah Paksi Jaladara melangsungkan
pernikahan dengan Nawara.
Tanpa ada halangan sedikit pun, pernikahan yang dipimpin oleh Begawan Wali Bumi
akhirnya berakhir pula! Bergiliran, tiga orang itu menerima ucapan selamat dari semua yang hadir di
tempat itu. Gineng, Nawala, dan Joko Keling ingin sekali belajar pada pemuda berbaju putih
itu bagaimana caranya menampilkan kewajaran di tengah kehangatan dua kekasih
yang kini secara resmi telah menjadi istrinya, ingin belajar bagaimana Paksi
bisa menerima cinta dua gadis cantik sekaligus yang secara fisik tersedia nyata
dan sempurna di depan hidungnya itu.
Benar-benar jenis pemuda yang beruntung soal gadis, bukan"
Dewa Cadas Pangeran duduk tenang dan Simo Bangak justru banyak berdiam diri
menyaksikan ritual sakral itu. Tidak ada ulah konyol yang dilakukan oleh bocah
bermata harimau itu. Begitu selesai, Simo Bangak yang sedari awal harus menahan
mulutnya untuk diam tanpa kata, akhirnye keluar juga suaranya.
"Wah ... kalau begini caranya, Istana Elang cepat ramai."
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Bayangin aja, Paman Shang! Nikah dengan dua gadis sekaligus pastilah luar
biasa, setahun kemudian pasti keluar dua orok, dua tahun lagi keluar dua orok
lagi. Jika sepuluh tahun lagi, Istana Elang pasti seperti taman bayi," ucap Simo
Bangak dengan tangan kanan dan kiri sambil menghitung satu sama lain. "Kalau
dihitung-hitung, yah ... anak Ketua pasti dua puluhan orangan-lah!"
"Bocah sinting! Aku heran sama kamu! Kalau urusan beranak-pinak cepat sekali kau
nyambungnya," timpal Joko Keling, lalu sambungnya, "Namun jika urusan lain,
sampai pantatmu jebol juga tidak pernah kau pikirkan secuil pun."
"He-he-heh, sebab ngomongin yang begituan memang tidak pernah ada habisnya,"
sahut Simo Bangak sambil cengar-cengir.
Semua tertawa mendengar celotehan bocah umur sembilan tahunan itu.
-o0o- Sebelum proses penyembuhan dimulai, Gineng dan Paksi Jaladara sempat berbicara
dua mata di depan bilik yang ditempati Nawara dan Retno.
"Den Paksi ... "
"Maaf, Kakang Gineng! Lebih baik kakang langsung memanggil namaku saja."
"Tapi ... tapi ... "
"Saya mohon, Kakang!"
Setelah menghela napas panjang, Gineng pun berkata, "Baiklah, Den ... eh
Paksi ... untuk proses penyembuhan kali ini kau harus hati-hati sekali. Salah
sedikit nyawa istrimu melayang."
"Benar, Kakang! Aku sendiri juga sedikit khawatir dengan hal ini! Penyembuhan
kali ini benar-benar beresiko tinggi," ucap Paksi. "Salah-salah justru aku
sendiri yang mencelakakan Nimas Nawara. Bisalah Kakang memberiku petunjuk
tambahan." "Menurut Kitab Pengobatan ini ... " kata Gineng sambil membuka kitab tebal yang
ada didepannya, " ... disini tertulis : 'alirkan hawa dari gerbang, resapkan
dari atas gunung dan sedot api dari langit. Semua mengalir seperti sungai'! Itu
artinya bahwa proses penyembuhan ini harus menggunakan kekuatan hawa inti
keperjakaan, bukan cairan keperjakaan dan tulisan 'resapkan di atas gunung'
adalah mengalirnya 'Hawa Inti Salju' dari bagian dada dan makna dari 'sedot api
dari langit', dimana hal ini kita harus menghisap hawa beracun ini dari mulut
penderita kemudian dibuang keluar. Dan yang terakhir, 'semua mengalir seperti
sungai' adalah tidak satu benda pun yang menghalangi proses pengobatan ini."
"Lalu ... bagaimana dengan totokan?"
"Seperti yang tertulis, semua harus tanpa halangan." tegas Gineng lebih lanjut,
"Kau paham, Paksi?"
Pemuda itu hanya mengangguk pelan.
"Ingat! Kau harus mengutamakan pengobatan ini agar nyawa istrimu selamat!" kata
Gineng, "Konsentrasikan dan kontrol sisi jiwa mudamu, Paksi!"
"Terima kasih, Kakang! Aku berusaha sebaik-baiknya." kata Si Elang Salju dengan
tegas. Itulah percakapan singkat antara Paksi jaladara dengan gineng, sebelum pemuda
itu masuk ke dalam bilik.
Begitu Paksi masuk, Retno Palupi yang saat sedang ngobrol dengan Nawara langsung
menghambur ke dalam pelukan suaminya, dengan sedikit menyeret ke dekat Nawara
tergeletak, terus berkata, "Bagaimana, Kakang" Kita mulai sekarang!?"
Wajah cantik Nawara masih seperti sebelumnya, bahkan lebih merah dari yang
sudah-sudah. "Nimas Retno, pengobatan terhadap Nimas Nawara harus dilakukan sekarang."
"Lakukanlah, Kakang Paksi. Aku akan menunggu di bilik depan," kata Retno sambil
mencium lembut pipi suaminya.
"Terima kasih, Nimas," kata Paksi sambil membalas memeluk mesra istrinya.
Retno membisiki sesuatu telinga Nawara, yang justru membuat seraut wajah yang
sudah merah semakin memerah.
"Apa yang kau lakukan, Nimas?"
Retno Palupi hanya tersenyum saja, sambil berjalan pergi ke bilik depan yang
dipisahkan oleh pintu anyaman rotan.
Memang ruangan di kediaman Juragan Padmanaba cukup luas, bahkan terdapat dua
bilik yang terbuat dari tembok bata yang saling terhubung satu sama lain dengan
hanya memiliki satu pintu keluar saja. Saat ini Retno Palupi berada di bilik
depan sedang Nawara dan Paksi berada di bilik belakang. Karena mereka bertiga
sudah resmi sebagai suami istri, maka Paksi hanya mengunci pintu depan saja,
sedang pintu tengah yang menghubungkan dua ruangan hanya terpisah oleh pintu
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anyaman rotan yang bisa digeser ke samping kiri atau kanan.
Jadi Retno Palupi bisa masuk ke bilik belakang kapan saja!
"Nimas, apa kau sudah siap?" tanya Paksi pada Nawara, istrinya.
Nawara hanya mengangguk pelan.
Dada gadis itu berdebar-debar keras saat sang suami menyentuh lembut rambut
hitamnya, kemudian turun ke pipi yang kemerah-merahan, kemudian ke leher
jenjangnya. Saat berada di atas gundukan dadanya yang membusung kencang, tangan
Paksi sedikit penyusup ke dalam, melepaskan pengait baju dari dalam, sedang
tangan kiri melepas ikat pinggang gadis itu.
Srett! Begitu ikat pinggang Nawara terlepas, terpampanglah di depan mata Paksi sebentuk
tubuh menawan seorang gadis yang berkulit kemerah-merahan akibat terkena jurus
'Air Liur Kuda Binal'. Paksi berusaha keras menahan diri, agar ia tidak
menjerumuskan nasib gadis yang kini sedang tergolek lemah di atas balai. Dengan
lembut Paksi melepas baju luar Nawara. Begitu terlepas, sebentuk pemandangan
indah semakin terpampang di depan mata pemuda. Meski masih dililit dengan
sebentuk baju dalam putih tipis, tapi tidak menyembunyikan dada bulat indah dan
menggairahkan dengan ujung-ujung bukit yang terlihat menyembul.
"Aku harus bisa menahan diri," gumam Paksi.
Kemudian dengan tangan sedikit gemetar, Paksi melepas baju dalam yang membalut
dada padat menggelembung itu.
Srett! Kali ini, benar-benar keindahan yang sulit sekali dielakkan oleh Paksi. Hampir
saja ia menubruk benda bulat menantang yang ada didepan hidunga dan tinggal
dilahap olehnya. Sedang Nawara sendiri, dengan melihat perbuatan Paksi terhadapnya, bagaikan api
disiram minyak. Muka gadis itu semakin memerah, bahkan terlihat uap merah tipis
yang keluar dari ubun-ubunnya. Jelas sekali, bahwa Nawara sendiri juga dalam
situasi yang genting karena amukan birahi dari racun yang mengeram dalam dirinya
semakin bergolak. Yang bisa dilakukan oleh gadis itu hanya mendesis dan mendesis
saja, sebab totokan yang dilakukan Paksi memang belum dilepaskan.
"Tidak! Aku harus bertahan!" gumam Paksi sedikit lebih keras. "Waktuku tidak
banyak lagi." Sementara itu, dibilik satunya, Retno Palupi melihat semua yang dilakukan oleh
suaminya, Paksi Jaladara.
"Kasihan sekali, Kakang Paksi! Dia harus bisa menahan amukan birahi yang
menyiksa batinnya," pikir gadis itu dengan trenyuh melihat perjuangan Paksi
dalam mempertahankan niatnya menyembuhkan Nawara. "Kali ini lebih berat saat
bertarung melawan Topeng Tengkorak Baja. Karena Kakang Paksi harus bertarung
melawan nafsunya sendiri."
Kali ini tangan Paksi beralih ke celana putih yang masih melekat di kaki Nawara.
"Nimas, kau masih sanggup bertahan"' tanya Paksi sambil melepas celana luar dan
dalam gadis itu secara bersamaan.
Nawara hanya bisa mengangguk pelan.
"Kakang ... mati pun aku ... rela," kata Nawara di antara suara desisan.
"Tidak, Nimas! Kau harus bertahan hidup! Demi aku! Demi Retno!" kata Paksi
memberi semangat. "Dan demi cinta kita!"
Nawara mengangguk pelan sambil berkata, "Aku akan ... berusaha ... Kakang ... "
Srett! Begitu celana luar dalam Nawara terlepas, konsentrasi Paksi hampir saja pecah
berantakan, sebab di depan matanya terpampang indah sebentuk gerbang istana
kenikmatan dengan sedikit rekahan tipis kemerah-merahan yang licin mengkilat.
Memang tadi ia telah menyuruh Retno untuk membersihkan 'tempat itu', karena
dalam rangkaian pengobatan yang ingin dilakukannya, haruslah bersih tanpa
halangan sedikit pun! Dengan kesadaran yang sangat tinggi, pemuda lulusan dari Lembah Badai itu
akhirnya bisa mengontrol gejolak yang datang menggelora.
Begitu melihat gadis cantik itu telanjang bulat, Paksi segera melepas baju dan
celananya. Tidak seperti melepas baju istrinya, pemuda itu begitu cepat
melakukan kegiatan ini. Tentu saja cepat, sebab memang baru pertama kalinya ia
melakukan perbuatan yang dianggapnya aneh ini terhadap seorang gadis.
Srett! Paksi pun telah telanjang bulat tanpa sehelai benang pun, bahkan ikat kepala
merah yang biasanya bertengger di kepalanya telah dilepas. Tubuh pemuda itu
terlihat kekar berotot, meski tidak bertonjolan keluar seperti halnya Dewa Cadas
Pangeran. Sambil mengambil posisi semadi, pemuda itu memejamkan mata untuk
mengerahkan 'Hawa Inti Salju'. Tidak seperti dalam sebuha pertarungan dimana
kekuatan saljunya dialirkan ke seluruh tubuh, namun kekuatan 'Hawa Inti Salju'
kali ini dialirkan melalui pusar, terus turun ke bawah hingga menerobos ke dalam
pilar tunggal penyangga langitnya yang berdiri kokoh setinggi pusar dan tegak
menantang siap tarung. 'Hawa Inti Salju' terus mengalir hingga semuanya
berkumpul di bagian ujung pilar yang kini memancarkan cahaya putih keperakan.
Wess ... ! Begitu 'Hawa Inti Salju' sudah berada diujung pilar, Paksi segera membuka mata.
Meski sudah diarahkan ke bagian yang ditentukan, namun selimut putih keperakan
ternyata melingkupi seluruh tubuh telanjang pemuda itu.
"Kau benar-benar siap, Nimas?"
-o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Satu
Nawara hanya mengangguk pelan. Mata gadis itu sedari awal langsung mengarah ke
bagian terpenting dari tubuh Paksi yang tegak menantang mengajak perang.
Paksi sedikit merenggangkan kaki Nawara, lalu ditekuk membentuk siku.
Sett! Sebuah rekahan kemerahan sedikit terkuak berada diantara dua belahan paha gadis
itu. Ingin sekali Paksi bermain-main di tempat itu sebentar, tapi niat itu
diurungkan karena hal itu justru akan memperlama proses penyembuhan yang ingin
dilakukannya. Pemuda itu segera berjongkok diantara kedua belahan paha indah
Nawara yang sudah terpentang, sambil mengarahkan ujung pilar tunggalnya ke liang
gerbang istana kenikmatan.
Srett! Ujung pilar tunggal Paksi sedikit menerobos gerbang istana kenikmatan.
Nawara langsung mengernyit saat ujung pilar milik Paksi yang cukup besar
mendesak-desak maju, berusaha menjebol pintu gerbang miliknya.
"Sakit?" tanya Paksi.
"Teruskan, Kakang!" desis Nawara, tapi lebih mirip dengan desah nikmat.
Paksi segera mendorong maju pilar tunggalnya sedikit.
Sett! "Ughh ... !" Kepala Nawara langsung oleh ke kiri kanan saat benda tumpul itu meski hanya
masuk ujung kepalanya saja.
Paksi yang melihat ujung pilar tunggalnya sudah masuk sepenuhnya menghela napas
lega karena tahap pertama sudah berhasil. Memang yang dibutuhkan dalam
penyembuhan akibat racun 'Air Liur Kuda Binal' hanya sebagian saja dari ujung
pilar tunggal penyangga langit memasuki pintu gerbang istana kenikmatan, sebab
jika dimasukkan seluruhnya justru akan mempercepat peredaran racun menuju
jantung. Itulah sebabnya mengapa Gineng menekankan agar Paksi mengontrol jiwa
mudanya yang meledak-ledak.
Pada tahap pertama, Paksi telah sukses!
Begitu masuk, sebentuk hawa sejuk langsung menerobos masuk ke dalam tubuh Nawara
dan berkumpul di depan pintu gerbang istana kenikmatan.
Cesss!! Paksi kemudian membungkuk maju dalam posisi memeluk kosong sambil meletakkan dua
tangannya ke sepasang bukit kembar Nawara yang tegak menantang.
Krepp! Lagi-lagi pemuda itu hampir lepas kendali, apa lagi saat syaraf-syaraf
ditangannya bersentuhan dengan sebuah benda bulat kecil yang sudah mengeras
ditopang sebentuk bulatan besar yang kenyal, namun dengan sekuatnya ia bertahan.
"Nimas, kita masuk ke dalam tahap selanjutnya," bisik Paksi ke telinga Nawara,
"Aku akan melepaskan totokan yang ada di tubuh Nimas. Begitu terlepas, usahakan
Nimas bisa meredam gejolak birahi yang datang menggelora."
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Kakang," desis Nawara semakin keras.
Dada kencangnya ditangkupi tangan pemuda yang dicintainya, tentu saja rasa
nikmat langsung menjalar saat itu juga.
"Baik! Aku akan melakukannya sekarang," bisik Paksi.
Dengan tingkatan hawa tenaga dalam yang miliki Paksi, pemuda itu sanggup
membuyarkan totokan aliran darah yang dilakukan olehnya sendiri dengan cara apa
pun. Memang totokan aliran darah berbeda dengan totokan jalan darah. Jika yang
ditotok adalah jalan darah, gadis itu pasti sudah mati tadi siang karena
pembuluh darahnya pecah akibat tidak kuat menahan desakan racun birahi.
Buhh ... ! Tiupan angin dingin langsung menerpa aliran darah di atas dada sedikit di bawah
pundak kiri kanan. Begitu totokan aliran darah lepas, sontak Nawara yang sudah
dalam birahi tinggi langsung memeluk erat Paksi yang kini ada di atas tubuhnya
sambil pinggul memutar-mutar dengan cepat. Gerakannya begitu liar tak
terkendali. Bahkan suara dengusan keras disertai hembusan hawa panas langsung
menerpa wajah Paksi yang kaget melihat perubahan yang tidak disangka-sangkanya
itu. Paksi susah payah mempertahankan diri saat melihat serangan maut yang
dilancarkan Nawara. Jika dalam keadaan biasa, tentu pemuda itu akan menikmati
apa saja yang dilakukan Nawara, tapi kini keadaannya berbeda.
"Nimas, sadar! Sadar!" teriak Paksi sambil berusaha mempertahankan posisi semula
dengan cara mundur-mundur, tapi karena desakan-desakan yang dilancarkan gadis
itu justru membuat pilar tunggalnya sedikit lebih masuk ke dalam, apalagi begitu
kedua kaki Nawara dengan sigap langsung menjepit pinggulnya dalam satu tarikan
cepat, pilar tunggal penyangga langit langsung terbenam mendekati setengahnya!
Srett! Slepp! "Ugggh ... " Nawara langsung mendesah, menggelinjang, menggeliat liar berusaha melampiaskan
birahi yang terus menghentak-hentak seluruh tubuhnya. Sampai-sampai balai bambu
yang ditempatinya berderit-derit mau patah saking kerasnya gerakan birahi gadis
itu. kepala gadis itu oleh ke kanan kiri dengan punggung melengkung ke depan,
hingga membuat Paksi sulit mempertahankan posisi ke dua tangan yang mendekap
erat dada kenyal istrinya.
Paksi sudah kewalahan menghadapi tingkah Nawara yang seperti kesetanan.
"Nimas Retno, bantu aku!" kata Paksi pada akhirnya.
Pemuda itu semakin khawatir saja, karena saat ini ia belum bisa melepaskan
muntahan 'Hawa Inti Salju' seluruhnya, dikarenakan gerakan Nawara yang semakin
menggila dan terus menggila dalam menggoyang pinggulnya, seakan ingin benda
tumpul yang kini telah masuk hampir setengahnya menghunjam dalam-dalam di
gerbang istana kenikmatan.
Retno yang melihat kejadian yang semakin mengkhawatirkan bagi keselamatan Nawara
itu, tanpa malu-malu lagi, langsung berlari mendekat, menghampiri dua tubuh
bugil yang kini sedang dalam posisi tumpang tindih dan tanpa pikir panjang
tangan kiri memegang kepala Nawara yang bergerak-gerak liar sedang tangan kanan
berusaha menghentikan goyang ngebor gadis yang sedang diamuk birahi tinggi.
Crepp! Srett! Meski hanya sekejap saja, Paksi langsung memuntahkan kekuatan hawa inti
keperjakaan lewat pilar tunggal penyangga langit yang sudah masuk setengahnya ke
dalam gerbang istana kenikmatan Nawara.
Cesss! Terdengar bunyi desisan seperti api disiram air saat muntahan hawa inti
keperjakaan bertemu dengan racun birahi yang ada di dalam tubuh gadis yang kini
dalam dekapannya. Asap putih tipis terlihat mengepul dari bawah tubuh Nawara.
Beberapa saat kemudian, tubuh Nawara sedikit melemas, Paksi segera menambah
muntahan hawa inti keperjakaan ke dalam tubuh istrinya.
Wess! Cesss!! Begitu hawa racun birahi di desak keluar dari bawah, bagian perut Nawara
terlihat berwarna kemerah-merahan. Warna ini terus berjalan maju dan begitu
sampai di dekat dada, Paksi segera mengerahkan 'Hawa Inti Salju' lewat tangannya
yang mendekap erat dada montok Nawara.
Wrett ... cesss! Lagi-lagi terdengar desisan nyaring.
Begitu melihat Nawara sudah sedikit tenang, Retno Palupi melepaskan pegangan ke
dua tangannya. Bukannya kembali ke bilik depan, malah gadis itu duduk bertopang
dagu di meja kecil yang ada ditempat itu, menonton perbuatan suaminya.
"Baru kali aku membantu laki-laki memperkosa seorang gadis," gumamnya lirih.
"Dan melihatnya dengan jelas pula!"
Tentu saja gumaman lirih itu didengar Paksi yang sedang mengalirkan 'Hawa Inti
Salju'. "Brengsek benar istriku ini, masa dibilangnya aku sedang memperkosa gadis?"
pikir Paksi. "Sudah begitu, malah menonton lagi, bukannya bantuin ... "
Hawa racun dari jurus 'Air Liur Kuda Binal' kini telah berjalan naik dan
sekarang tepat berada di tenggorokan Nawara. Dengan masih terus mengalirkan hawa
inti keperjakaan dari bawah yang menerobos gerbang istana kenikmatan, terus maju
hingga mencapai rongga dada dan akhirnya sampailah pada tahap terakhir di bagian
leher. Terlihat bibir Nawara terbuka-tutup seperti mengundang pemuda yang kini
menindihnya untuk melumat sebentuk bibir merah merekah.
Begitu melihat pancaran hawa merah yang ada ditenggorokan istrinya, dengan
sigap, Paksi membungkuk dan ...
Plekk! Bibir ketemu bibir! Pipi Paksi terlihat kempot saat ia berusaha menyedot hawa racun. Begitu ia racun
berhasil ia sedot, langsung melepas bibir dan menengok ke kanan sambil meniup.
Buhh ... ! Sebentuk asap kemerah-merahan bergulung-gulung terlontar dari mulut Paksi dan
kemudian membumbung ke atas, menerobos langit-langit kamar dan hilang dari
pandangan. Melihat hasilnya, Paksi tersenyum dan dengan semangat ia mengulangi
apa yang dilakukannya. Berulangkali pemuda itu menguras asap racun yang ada di
dalam tubuh Nawara lewat mulutnya dan dihembuskan keluar. Hingga pada kali ke
lima belas, tidak ada lagi pancaran hawa merah yang ada di dalam tubuh istrinya.
Tubuh gadis itu kembali ke bentuk semula, putih mulus tanpa cacat dan tentu saja
... menggiurkan! Nawara benar-benar telah bebas dari racun birahi yang hampir saja merenggut
nyawanya! Begitu racun birahi terakhir telah hilang, Nawara langsung jatuh tertidur
kelelahan. Bagaimanapun juga, racun birahi sangat menguras tenaga, baik tenaga
luar mau pun tenaga dalam. Hanya karena pasokan 'Hawa Inti Salju' dari luar saja
yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.
Namun Paksi belum juga mencabut pilar tunggalnya dari dalam gerbang istana
kenikmatan Nawara, seakan sedang menunggu sesuatu terjadi.
Sriing ... ! Saat melihat tubuh tidur Nawara diselimuti cahaya putih tipis keperakan, Paksi
tersenyum tipis. Lalu bangkit dari posisi memeluk, melepas tangan dari atas dada
kencang istrinya dengan lembut, terus duduk tegak dalam posisi berada diantara
dua bongkahan paha mulus istrinya.
"Hemm, 'Hawa Inti Salju' sedang mengadakan pembersihan tahap lanjut, " gumam
Paksi, lalu ia dengan penuh kelembutan, pemuda itu undur diri. Sedikit demi
sedikit ia menarik keluar pilar tunggal penyangga langit yang pada awalnya sudah
terbenam mendekati setengahnya agar tidak membangunkan Nawara yang terlelap.
Lepp! Begitu lembut pemuda itu menarik diri, seakan-akan Nawara terbuat dari kaca yang
mudah pecah. Begitu berhasil di tarik keluar, Paksi langsung mundur ke belakang
sambil menghela napas lega.
"Fyuhhh ... akhirnya berhasil juga," katanya sambil menyeka keringat sebesar
biji jagung yang menetes di dahi sambil bangkit dari atas balai.
Retno Palupi dengan sigap mengambil selimut tebal dan menyelimuti tubuh
telanjang Nawara sambil berkata lembut, "Bagaimana, Kakang" Nawara bisa
diselamatkan?" "Dia selamat, Nimas!"
"Tapi, kenapa masih diselimuti cahaya putih ini?" tanya Retno Palupi memandangi
seraut wajah milik Nawara.
"Kali ini tahap terakhir dari 'Hawa Inti Salju' sedang bekerja dari dalam,"
terang Paksi. Pemuda itu seolah tidak sadar bahwa dia sedang berdiri telanjang bulat dan kini
mata nakal Retno Palupi berulang kali melirik ke bagian bawah pusar, seakan
berkata, 'kapan giliranku"'
"Lebih baik kita ke bilik depan, biarkan saja Nawara tidur nyenyak untuk proses
pemulihan dirinya," ajak Retno Palupi sambil melingkarkan lengan kiri ke
pinggang Paksi. "Baik, aku sendiri juga lelah."
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam delapan sembilan langkah, keduanya telah sampai di bilik depan.
Sementara di luar sana, hawa malam berubah menjadi semakin dingin menusuk
tulang. "Kenapa hawa malam ini rasanya berbeda dari sebelumnya," gumam Juragan
Padmanaba. "Mungkin Paksi sedang mengerahkan 'Hawa Inti Salju' untuk proses pengobatan kali
ini," jawab Kakek Pemikul Gunung, "Wajar saja jika hawa semakin dingin daripada
biasanya." Juragan Padmanaba hanya menghembuskan napas panjang, mengepulkan asap tembakau
dari dalam mulutnya, "Heh, kalau dipikir-pikir ... pemuda itu benar-benar
beruntung sekali." "Beruntung bagaimana maksudmu?"
"Lihat saja sendiri! Belum pernah dalam sejarah hidupku menjumpai pemuda yang
bisa bersikap wajar terhadap dua orang yang mencintainya sekaligus dan kini
ketiga-tiganya justru terikat dalam ikatan perkawinan. Seolah apa yang
dijalaninya memang sudah seharusnya terjadi," kata Juragan Padmanaba panjang
lebar. "Aku sendiri juga heran, Kakang! Kok ya ada pemuda dengan segudang keberuntungan
seperti Paksi itu," tutur Ki Dalang Kandha Buwana, "Andaikata aku tidak
menjumpai sendiri dengan mata kepalaku, mungkin seumur hidupku tidak akan pernah
menjumpai kejadian seunik dan semenarik ini. Sudah ganteng, berilmu tinggi,
punya jabatan ketua persilatan dan kini justru menikah dengan dua gadis
sekaligus dalam satu malam. Kalau dipikir-pikir dengan otak tuaku ini, pemuda
itu pasti bukan orang sembarangan, Kakang."
"Aku pun juga berpikir begitu. Ingat ucapan Begawan Wali Bumi, dia menyebut
Paksi sebagai Kanjeng Pangeran. Apa tidak aneh itu?"
"Benar juga! Aku juga sempat berpikir, mungkin Paksi itu seorang bangsawan
kerajaan atau setidaknya putra raja yang sedang dalam penyamaran untuk
mendarmabaktikan ilmunya pada sesama," kata Ki Dalang Kandha Buwana, lalu
menyeruput wedang jahe yang masih mengepul.
"Kau sendiri sebagai dalang tentu tahu makna dari hidup dan kehidupan yang sudah
digariskan oleh Hyang Widhi, Dimas Kandha! Semua serba misterius. Penuh teka-
teki!" Ki Dalang Kandha Buwana mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui apa yang
diucapkan oleh sang besan.
"Bagaimana menurutmu dengan cucu kita?"
"Si Kelana Raditya?"
"I ... ya! Memangnya cucu kita siapa lagi jika bukan Kelana Raditya," kata Kakek
Pemikul Gunung, "Aku memiliki keyakinan bahwa cucu kita ini kelak akan menjadi
seorang tokoh besar."
"Semoga saja begitu, Dimas Kandha. Hanya tergantung bagaimana kita saja mengisi
hati dan pikiran kelana dengan hal-hal yang baik dan benar."
"Tapi ngonong-ngomong, apa Kakang padmanaba tidak ada rencana untuk menikah
lagi, misalnya ... "
"Menikah lagi" Dengan siapa?"
"Yah ... dengan perempuan, toh!"
"Lha i ya ... tapi siapa?"
"Lho, bukankah Yu Suminah, janda desa sebelah kabarnya naksir Kakang?"
"Naksir gundulmu itu!"
Begitulah orang tua, jika sudah berusia menanjak naik, yang diomongin pasti
tidak jauh dari urusan anak muda!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Dua
Di dalam bilik ... "Lebih baik Kakang duduk dulu di atas balai itu," kata Retno Palupi sambil
mengambil kain kuning yang cukup besar dari atas meja kecil dan sebuah kuali
kecil dari tembaga berisi air.
"Lho, memangnya Nimas mau kemana?" tanya Paksi sambil duduk di atas balai dengan
tenang, kemudian bersandar di tembok.
"Aku mau ambil kain buat bersihkan 'burung elang'-mu yang nakal itu." kata Retno
dalam senyuman genit. Begitu mendengar kata 'burung elang', selebar wajah Paksi pucat pasi. Dengan
sigap yang mendekap ke bawah perut, tapi tangannya tidak cukup besar untuk
menutupi benda bulat memanjang itu.
"Nimas, kenapa kau tidak mengingatkan aku tentang hal ini!?"
"Sudahlah ... toh dari tadi aku juga sudah melihatnya," sergah Retno Palupi
sambil menggeser sebuah kursi kecil ke depan, kemudian ia duduk disitu dengan
jarak setengah jangkauan dari Paksi yang sedang menutupi benda keramatnya.
"Lepaskan ... "
"Apanya yang dilepaskan?" tanya Paksi heran.
"Tanganmu itu," kata si gadis baju biru laut sambil memegang kedua tangan Paksi,
dengan maksud melepaskan dekapan.
Dengan ragu-ragu Paksi melepas dekapan pada bagian bawah perutnya. Sebentuk
benda bulat memanjang dengan urat-urat bertonjolan terlihat berdiri tegak
mendekati pusar, kokoh bagai tonggak kayu!
"Belepotan darah begitu masa' mau dibiarkan saja," kata Retno Palupi sambil
tangan kanan memasukkan kain kuning ke dalam kuali tembaga yang berisi air,
sedang tangan kiri meraih pilar tunggal penyangga langit milik Paksi.
Rupanya, saat terjadi desakan hawa racun yang mengalir dalam tubuh Nawara
terbebas dari totokan, hingga tubuh gadis itu bergerak-gerak liar tidak
terkendali, dan tanpa sengaja pula selaput dara kebanggaan gadis itu pecah dan
mengalirkan darah keperawanan akibat diterobos oleh sebentuk benda tumpul bulat
memanjang. Untunglah bahwa Nawara sendiri sudah secara resmi menikah dengan Paksi Jaladara,
sehingga dengan pecahnya selaput dara membuat Nawara bisa berbangga hati
mempersembahkan keperawanan miliknya hanya satu orang yang kini secara resmi
menjadi suaminya (jaman dulu yang namanya keperawanan gadis teramat sangat
dijunjung tinggi, lebih tinggi dari keperjakaan sorang laki-laki!).
Paksi Jaladara! Paksi mengeluh atau lebih tepatnya mendesah nikmat saat syaraf-syaraf yang ada
di pilar tunggal penyangga langitnya tersentuh tangan lembut istrinya. Dengan
telaten, Retno membersihkan darah perawan Nawara yang masih menempel. Sebentar
kemudian benda bulat memanjang itu telah bersih dari ceceran darah.
"Nah ... dengan begini kan enak," ucap Retno sambil tersenyum.
Sambil memandang wajah tampan suaminya, tangan kiri Retno perlahan bergerak ke
atas dan ke bawah dengan lembut, dari ujung ke pangkal kemudian balik lagi dari
pangkal ke ujung. Terlihat oleh Retno, betapa Paksi tersenyum rawan menikmati
perpaduan antara gesekan dan remasan jari lembut istrinya di tempat itu.
"Kakang, boleh aku cium?" tanya Retno saat melihat suaminya mendesah sambil
memejamkan mata. Dengan tetap bersandar di tembok dan duduk di atas balai, Paksi mengangguk
pelan, sambil membuka bibirnya sedikit untuk menerima ciuman istrinya, tapi
ternyata Paksi salah paham kali ini. Pemuda itu langsung terlonjak kaget begitu
merasakan suatu ruang hangat melingkupi bagian atas pilar tunggal penyangga
langitnya! "Nimas ... " Hanya itu saja yang terdengar, selebihnya hanya desahan napas yang tak beraturan
keluar. Perlahan-lahan pilar tunggal penyangga langit yang sudah membesar justru
semakin membesar saja. Beberapa saat kemudian Paksi melepaskan diri.
"Nimas ... sudah ... " ucap Paksi sambil mengangkat bangun tubuh Retno, lalu
dijatuhkan dalam pelukannya, tapi gadis itu meronta lemah.
"Aku mau minum dulu," kata Retno sambil mengambil wedang jahe, lalu meminum
seteguk dua, terus diangsurkan ke suaminya. "Mau minum?" tanya Retno menawarkan
wedang jahenya. Paksi membuka bibir sedikit dengan maksud ingin minum, tapi bukannya dari gelas
bambu, justru dari bibir Retno Palupi!
Retno Palupi langsung gelagapan, dan hampir saja ia tersedak, jika tidak buru-
buru menelan wedang jahenya, bahkan sebagian menetes membasahi baju birunya
(sampai sekarang Retno Palupi masih dalam pakaian lengkap, entah apa yang
terjadi beberapa saat lagi). Kali ini ciuman Paksi lebih panjang dan lebih lama
dari ciuman pertamanya dengan Retno, bahkan kini gadis itu membuka diri dan
menyambut bibir Paksi dengan ganas. Retno begitu menikmati pagutan liar dan
lilitan lidah Paksi di dalam rongga mulut hingga membuat gadis itu memejamkan
mata, meresapi setiap nuansa indah yang dialami untuk pertama kali.
Mereka berciuman cukup lama, sampai akhirnya pagutan Paksi terlepas dan menjauh
dari bibir merah merekah.
"Aku lebih suka minum dari situ," kata Paksi sambil tangan kanannya mengusap
lembut bibir merah sang istri.
Lalu pemuda itu menggeser tubuh istrinya sedikit ke samping sehingga mereka
duduk berhadapan dengan posisi dua kaki Retno menumpang di atas paha Paksi,
dengan posisi ini, Paksi memeluk pinggang istrinya, lalu melanjutkan aksi ciuman
dimulai dari leher jenjang Retno yang putih mulus bak pualam.
"Aaahh ... " Retno mendesah kecil sambil merangkul erat saat lidah suaminya
menyapu leher, sehingga gadis itu mulai terbawa suasana romantis yang diciptakan
oleh mereka berdua. Puas menyerang leher Retno, Si Elang Salju kembali melumat bibir merah yang
sedikit terbuka mengeluarkan suara desah, dengan pagutan ganas dan liar. Pemuda
itu begitu lihai memainkan lidahnya di rongga mulut yang kini ditutupi dengan
mulutnya. Jelas sekali bahwa ilmu silat lidah Paksi sama ampuhnya dengan ilmu silatnya!
Tentu saja yang semua yang dilakukan Paksi, Retno Palupi dan Nawara hanyalah
suatu bawaan alam, tidak ada yang mengajari dan tidak ada waktu untuk belajar
hal-hal seperti itu. Semua serba alami dan apa-adanya, tidak ada yang mengada-
ada dan tidak ada yang dibuat-buat. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui
bagaimana mereka bisa melakukan hal menarik yang memang baru pertama kalinya
mereka lakukan. Semua berjalan sesuai dengan kehendak alam!
Sesuai kodrat yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa!
Perlahan-lahan tangan kanan Paksi yang semula memeluk pinggang lalu naik ke atas
depan, menyentuh sebentuk dada padat menggelembung yang masih tertutup baju.
Diremasnya dengan lembut dada kenyal-padat sebelah kanan.
"Ughh ... " Kembali Retno mendesah merasakan nikmat saat ujung-ujung jari tangan Paksi
mempermainkan sebentuk benda bulat kecil yang ada di atas gumpalan padat
menggelembung dari luar. Bersamaan dengan itu, Retno makin liar membalas ciuman
Paksi ke arah telinga pemuda itu.
Melihat istrinya membalas perlakuannya dengan tidak kalah liar, kembali pemuda
itu menyerang leher hingga membuat merinding bulu tengkuk sang gadis.
"Iiih ... " Bahkan, saat tangan kanan pemuda itu mulai menyusup ke balik baju atas Retno
yang entah kapan, ikat pinggang gadis itu sudah luruh dan jatuh ke lantai,
mungkin saat ia menarik istrinya dalam pelukan, ia melepas ikat pinggang. Tangan
Paksi meraba-raba dada montok itu dengan lembut dan penuh perasaan kasih.
Kembali tubuh gadis itu berkelejat liar saat jemari Paksi mempermainkan tonjolan
dada kanan dari dalam. "Oooh ... ssshh ... "
Retno hanya bisa mendongakkan kepala ke atas, menikmati lumatan dan remasan yang
dilakukan oleh suaminya. "Nimas, bajunya kulepas saja, ya?"
Pelukan Paksi sedikit merenggang, diikuti dengan Paksi membuka pengait baju yang
dikenakan istrinya, bahkan Retno sendiri turut membantu apa yang dilakukan
suaminya. Setelah semua pengait dan baju biru gadis terbebas, kemudian dilepas
dari tubuh tinggi langsing Retno Palupi hingga sepasang payudara putih mulus
padat kencang yang masih terbungkus sebentuk baju dalam tipis warna biru muda
yang seolah-olah tak mampu menampungnya. Tidak ada yang berbeda antara kemulusan
tubuh Retno dan Nawara, semua sama, baik bentuk, ukuran dan warna kulit tidak
berbeda sedikit pun. "Dua istriku benar-benar sempurna," pikir Paksi sambil memandangi wujud setengah
telanjang istrinya. "Dadamu indah sekali, Nimas!" ujarnya begitu sebentuk benda bulat besar yang
tadi sempat diremas-remas.
"Kakang, jangan dipandangi begitu! Aku kan malu," ucap Retno sambil menutupi
dadanya dengan dua tangan bersilangan.
"Kenapa harus malu" Lihat ... aku saja sudah tidak memakai apa-apa sedang Nimas
masih setengah komplit," kata Paksi dengan kedua tangan direntangkan, kemudian
memeluk Retno yang malu-malu kucing sambil bibirnya menghujani leher, pipi, dan
bibir gadis itu dengan ciuman menggelora.
"Ooohh ... " Kali ini punggung Retno dijadikan sasaran gerilya sepasang tangan kekar yang
kini telah merengkuhnya hangat. Saat tangan kiri Paksi mulai merayap di bagian
tulang belakang dan bersamaan itu pula, telusuran lidah perlahan turun dari
leher, terus turun ke bawah mendekati gumpalan padat menggelembung yang masih
terbungkus rapat. Tess! Tiba-tiba Retno yang saat itu sedang menikmati resapan dan jalaran nikmat di
bagian atas dada bawah pundak merasakan kekangan yang mengekang sepasang dada
montoknya melonggar, lalu jatuh ke pangkuan.
Bebas lepas tanpa rintangan!
Ternyata Paksi telah melepas pengait baju dalam tipis yang membungkus ketat dada
membusung itu. Kini tubuh bagian atas Retno Palupi sudah bersih sepenuhnya,
hanya tinggal celana luar dalam yang masih tersisa. Apalagi saat bibir pemuda
itu dengan penuh gairah menggebu-gebu semakin turun ke bawah dan akhirnya ...
melumat kedua ujung-ujung bukit kembar yang mulai mengeras dengan sendirinya
secara bergantian. Di antara hisapan dan gigitan mesra, sukma Gadis Naga Biru bagai melayang ringan
di awan saat tangan kiri suaminya mengelus-elus pada bagian paha, melingkar-
lingkar membentuk bulatan tak beraturan, sehingga napas gadis itu semakin
memburu, pelukan semakin kuat dan ia mulai merasakan bagian gerbang istana
kenikmatannya mulai basah.
"Oooh ... Kakang ... "
Retno hanya pasrah dan membiarkan bibir dan tangan suaminya menjelajahi setiap
lekuk dari tubuh sintalnya. Sesukanya, karena memang gadis itu sangat menikmati
sentuhan lembut Paksi. Bahkan tanpa sadar tangan Retno memegang tangan Paksi
seolah-olah membantunya untuk memuaskan dahaga birahi yang semakin meninggi.
Semakin menggelinjang kegelian!
Tiba-tiba, Paksi melakukan gerakan yang aneh. Ia melepas bibir dan tangannya
dari tubuh sintal itu, mendorong rebah tubuh setengah telanjang ke atas balai.
Setelah itu ia mengangkat sepasang kaki Retno ke atas pundak, sehingga posisi
Retno terlihat mengambang dengan pundak menyentuh empuknya kasur randu.
Gadis itu hanya diam saja melihat apa yang dikerjakan suaminya, lebih lagi saat
mengetahui bahwa Paksi berniat melepas celana luar dalam yang masih dipakainya,
gadis itu berinisiatif mengaitkan sepasang pahanya ke pundak Paksi. Baru
berjalan sampai setengah, tiba-tiba saja Paksi dengan menerobos diantara celah
longgar, melakukan jurus yang luar biasa mengagetkan bagi Retno Palupi.
Bermimpi saja tidak pernah!
Mulut dan lidah Paksi dibenamkan diantara kedua buah paha dan langsung menerjang
cepat ke arah pintu gerbang istana kenikmatan, terus melumat bibir yang ternyata
telah bersih dari rimbunnya rumput ilalang dan kini sudah sangat membasah.
"Akhhh ... Kakang ... auw ... oh ... " bibir Retno langsung meracau tak karuan,
mulai menggeliat menahan geli yang teramat manakala bibir dan lidah suaminya
menjalar ke arah sekitar pangkal paha. Geliatan tubuh gadis itu kesambet ratusan
tawon saja. Tubuh gadis itu meliuk, melengkung ke atas dan meregang merasakan rangsangan
terhebat saat lidah Paksi yang panas mulai menyusuri bagian dinding dalam,
bahkan saat benda bukat kecil kemerahan digigit dengan sedikit keras, gadis
langsung menggeliat dan hampir saja cekalan Paksi pada kedua belah paha istrinya
terlepas karena gerakan liar Retno Palupi yang semakin lama semakin menggila.
Gerbang istana yang semula sudah basah, kini semakin basah!
Yang jelas Retno merasakan adanya desakan yang semakin menggebu ingin keluar dan
menuntut sebuah penyelesaian. Lidah panas semakin menyusup ke dalam, dan kembali
tubuh sintal itu terlonjak dan pinggang semakin terangkat naik saat lidah panas
mulai mengais-ngais bibir gerbang istana kenikmatan.
Dan pada akhirnya ... "Aaaah ... . " Jeritan kecil nan panjang terdengar untuk pertama kalinya di dalam bilik
pengantin itu. Tubuh Retno terlihat mengejang beberapa saat, mata membeliak lebar, tangan
mencengkeram tepi balai dengan kuat, kemudian melemas disertai desahan napas
berat. Rupanya Retno Palupi sudah sampai pada titik puncak asmara pertamanya.
Untunglah dinding-dinding bilik terbuat dari batu bata, sehingga semua lenguhan
dan jeritan tidak akan terdengar sama sekali dari luar.
Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selang beberapa saat, setelah puas bermain-main di tempat itu dan mengantar
Retno ke titik puncak asmara pertamanya, Paksi melepas pegangan kaki, lalu tubuh
Retno turun dengan pelan dan bersamaan itu pula, tangan Paksi mulai menarik
lepas celana luar dalam istrinya, melewati mata kaki dan kini mereka berdua
sudah seperti bayi yang baru lahir ke dunia.
Sekarang tubuh sintal dan putih Retno sudah benar-benar telanjang total!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Enam Puluh Tiga - (TAMAT)
"Enak, Nimas?" Gadis Naga Biru masih terlentang dengan posisi menantang mengangguk lemas, lalu
berkata, "Kakang benar-benar nakal."
"Ini hanya balas dendam saja, kok."
Paksi mendekatkan tubuhnya ke tubuh mulus istrinya dari atas dan kembali melumat
bibir merah merekah yang langsung disambuti pula dengan sepenuh jiwa. Darah
Retno seperti terkesiap ketika merasakan dada bidang Paksi menempel erat ke
sepasang dada padatnya. Ada sensasi hebat yang melanda jiwa gadis itu, ketika
dada yang kekar itu merapat dengan tubuhnya.
"Ohh, baru kali ini kurasakan dekapan sepenuhnya lelaki yang kucintai ini,"
pikir Retno. Tangannya Paksi tidak tinggal diam, turut meremas dan memelintir buah dada
montok Retno yang mengakibatkan makin lama makin membengkak dan yang semakin
kenyal saja. Retno membalas perlakukan Paksi dengan mengurut dan meremas-remas
punggung pemuda yang kini secara resmi telah menjadi suaminya.
Tanpa menunggu lama lagi, Paksi berdiri di antara kedua belah paha istrinya yang
terbuka dan siap-siap melakukan serangan akhir.
"Nimas ... " kata Paksi ragu-ragu.
"Kita lakukan sekarang, Kakang." jawab Retno lirih.
Paksi segera mengarahkan ujung pilar tunggal penyangga langit yang telah siap
tarung, lalu digesek-gesekkan di depan pintu gerbang yang membentuk segaris
merah merekah yang sudah sedikit terbuka dan basah.
Sett! "Uuugh ... " Retno hanya mendesah ujung pilar tunggal baru menempel pada sisi luar gerbang.
Tubuh Retno Palupi terlihat agak melengkung, pinggangnya dicoba ditarik sedikit
ke atas untuk mengurangi tekanan ujung pilar tunggal penyangga langit.
Tangan kiri Paksi menuntun pilar tunggal penyangga langitnya agar tetap berada
pada bibir gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, lalu membungkuk sambil
mencium telinga kiri Retno Palupi, terdengar Paksi Jaladara berkata perlahan,
"Nimas ... kita lakukan sekarang?"
Tidak suara sedikit pun dari mulut Retno, hanya kepala terlihat mengangguk
pelan, dengan pandangan mata sayu menatap ke arah gerbang istana kenikmatannya
yang sedang didesak oleh pilar tunggal penyangga langit dan mulutnya terkatup
rapat seakan-akan menahan rasa ngilu.
Bagaimana pun juga, gadis itu masih perawan!
Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda itu segera menekan benda tumpul yang kini
baru menemeple kepalanya saja sedikit ke dalam gerbang istana yang telah basah
oleh cairan, bersamaan itu pula kedua tangan Retno Palupi mencoba menahan
tekanan Paksi Jaladara. Sett! Tiba-tiba Gadis Naga Biru berteriak kecil, "Aduhh ... pelan-pelan ... sakit,
Kang!" Terdengar keluhan dari mulutnya dengan wajah agak meringis menahan kesakitan.
Kedua kaki Retno Palupi yang mengangkang itu terlihat menggelinjang dan
menggeletar. Baru bagian kepala saja terbenam sempurna dan menyentuh dinding-dinding bagian
dalam. Dari luar, gadis itu melihat kedua bibir gerbang istana kenikmatan
menjepit erat kepala pilar tunggal penyangga langit milik si Elang Salju,
sehingga belahan bibir terkuak, sedikit tertekan masuk serta membungkus ketat
kepala pilar tunggal tersebut.
Paksi Jaladara menghentikan tekanan sambil menggumam, "Masih sakit, Nimas
Retno?" "Aagghh ... jangan terlalu dipaksakan, Kang. Aku merasa ... akan ...
terbelah ... niiiih ... sakiiiitttt ... " Retno Palupi menjawab dengan badan
terus menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan, sambil merangkulkan kedua
tangannya di punggung Paksi Jaladara dengan erat.
Beberapa saat kemudian, Retno sudah agak tenang.
"Nimas Retno ... Kakang masukkan lagi, ya" dan katakana kalau Nimas Retno merasa
sakit," sahut Paksi Jaladara dan tanpa menunggu jawaban Retno Palupi, segera
saja Paksi Jaladara melanjutkan tahap lanjut dengan cara menarik dan menekan
pilar tunggal penyangga langitnya ke dalam gerbang istana kenikmatan Retno
Palupi yang sempat tertunda, tetapi sekarang dilakukannya dengan lebih pelan
dari sebelumnya. Karena sudah licin, pelan namun pasti pilar tunggal Paksi
sedikit demi sedikit masuk ke dalam. Ketika baru masuk seperempat bagian, Paksi
merasakan sesuatu yang menghadang di tengah jalan.
Selaput dara! Berulang kali paksi mencoba menerobos, tapi seperti terpental balik.
"Nimas, ini ... "
"Sedikit lebih keras, Kang! Tidak ... apa-apa ... " ucap Retno sambil meringis
memejamkan mata, merasakan antara sakit dan nikmat.
Paksi sedikit menarik keluar, lalu dengan sedikit sentakan keras, benda bulat
panjang itu meluncur cepat.
Sett! Cress! Selaput dara robek, dan benda bulat tumpul itu langsung terbenam sekitar
setengahnya. Darah keperawanan Retno Palupi sedikit mengalir, menerobos keluar melalui celah-
celah benda bulat tumpul yang menyumbat penuh gerbang istana milik si gadis.
"Aaaaaghh ... !"
Pada saat yang sama, terdengar keluhan panjang dari mulut Retno Palupi sambil
kedua tangan semakin erat memeluk Paksi Jaladara dengan pinggangnya terus
bergerak-gerak liar. Beberapa saat kemudian, wajah cantik Retno Palupi meringis,
tetapi tidak terdengar lagi keluhan dari mulutnya, hanya kedua bibir terkatup
erat dengan bibir bawahnya terlihat menggetar.
Paksi segera melumat bibir istrinya dengan lembut, seakan berusaha meredakan
rasa sakit yang mendera. Kemudian Paksi Jaladara bertanya lagi, "Nimas ... masih sakit?"
Retno Palupi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil kedua tangannya
meremas bahu Paksi. "Teruskan lagi ... " kata Retno sambil memandang seraut wajah tampan yang
terlihat khawatir. Gadis itu tersenyum, dan dibalas dengan senyuman pula oleh Paksi. Sambil
memandang istrinya segera kembali menekan pilar tunggal penyangga langitnya
lebih dalam, berusaha masuk ke dalam gerbang istana kenikmatan.
Secara pelahan-lahan namun pasti, pilar tunggal penyangga langit terus menguak
dan menerobos masuk ke dalam sarang, seperti halnya sebilah keris dengan
sarungnya. Ketika benda bulat tumpul telah terbenam hampir tiga perempat di
dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, terlihat gadis itu pasrah dan
sekarang kedua tangannya tidak lagi menahan tubuh Paksi Jaladara, akan tetapi
sekarang justru kedua tangannya mencengkeram dengan kuat pada tepi kasur empuk.
"Lagi ... " Paksi Jaladara menekan lebih dalam lagi.
Sett! Kembali terlihat wajah Retno Palupi meringis antara menahan sakit dan nikmat,
kedua pahanya terlihat menggeletar, tetapi karena Retno Palupi tidak mengeluh
maka Paksi Jaladara meneruskan saja tusukan pilar tunggal penyangga langitnya
dan tiba-tiba saja ... Bleeees! Paksi Jaladara menekan seluruh berat badannya dan pantatnya menghentak dengan
kuat ke depan. Pada saat yang bersamaan kembali terdengar keluhan panjang dari mulut Retno
Palupi. "Aduuuuh ... sakittt ... "
Kedua tangan Retno mencengkeram tepi balai dengan kuat dan badannya melengkung
ke depan serta kedua kakinya terangkat ke atas menahan tekanan pilar tunggal
penyangga langit Paksi Jaladara di dalam gerbang istana yang langsung menabrak
bagian paling ujung dan terdalam dari gerbang istana kenikmatan.
Paksi Jaladara mendiamkan pilar tunggal penyangga langitnya terbenam di dalam
lubang gerbang istana kenikmatan sejenak, agar tidak menambah sakit yang
dirasakan istrinya, lalu pemuda itu memeluk erat istrinya sambil berbisik,
"Nimas ... apa perlu kita tunda?"
"Jangan ... teruskan saja ... Kakang ... "
Baru saja Paksi bergerak, Retno Palupi dengan mata terpejam hanya menggelengkan
kepalanya sedikit seraya mendesah panjang.
"Aaggggghh .. sakit!"
"Kalau begini terus, kapan selesainya" Aku harus nekat, nih?" pikir Paksi.
Paksi segera mencium wajah Retno Palupi dan melumat bibirnya dengan ganas.
Tangan kanannya meremas-remas dada kenyal padat dengan harapan bisa mengurangi
rasa sakit yang menyengat di bagian bawah. Setelah itu, Paksi Jaladara bergerak
pelan cepat naik turun, sambil badannya mendekap tubuh indah Retno Palupi dalam
pelukan. Tak selang lama kemudian, badan Retno Palupi bergetar hebat dan mulutnya
terdengar keluhan panjang.
"Aaduuh ... oooohh ... sssssssshh ... ssssshh ... "
Kedua kaki Retno Palupi bergerak melingkar dengan ketat pinggul Paksi Jaladara,
menekan dan mengejang. Retno Palupi mengalami titik puncak asmara yang hebat dan
berkepanjangan meski baru beberapa kali Paksi melakukan aksi naik turun. Selang
sesaat badan Retno Palupi terkulai lemas dengan kedua kakinya tetap melingkar
pada pinggul Paksi Jaladara yang masih tetap berayun-ayun itu.
Suatu pemandangan yang sangat erotis sekali, suatu pertarungan yang diam-diam
yang diikuti oleh penaklukkan di satu pihak dan penyerahan total di lain pihak!
Retno Palupi kemudian diangkat dan didudukkan pada pangkuan dengan kedua kaki
indah Retno Palupi terkangkang di samping paha Paksi Jaladara dan tentu saja
pilar tunggal penyangga langitnya masih tetap di tempat semula. Kedua tangan
Paksi Jaladara memegang pinggang Retno Palupi dan membantu Retno Palupi
menggenjot pilar tunggal yang masih tegak perkasa secara teratur, setiap kali
pilar tunggal penyangga langit Paksi Jaladara masuk, terlihat gerbang istana
kenikmatannya ikut masuk ke dalam dan cairan putih terbentuk di pinggir bibir
gerbang. Retno pun melakukan hal yang sama untuk mengimbangi permainan dari suaminya,
dengan menggerak-gerakkan pinggulnya. Kali ini tidak ada desisan dan rintihan
kesakitan, yang ada hanyalah lenguhan nikmat yang berulang kali menikam bagian
terdalam dari miliknya. Sett! Sett! Ketika pilar tunggal ditarik keluar, terlihat gerbang istana mengembang dan
menjepit pilar tunggal. Mereka berdua melakukan posisi ini cukup lama. Retno
Palupi benar-benar dalam keadaan yang sangat nikmat, desahan sudah berubah
menjadi erangan dan erangan sudah berubah menjadi teriakan.
"Oooohhmm ... !"
Paksi Jaladara melepas pelukan pinggang, lalu meremas-remasnya sepasang bukit
kembar yang bergoyang-goyang naik turun. Tak lama kemudian badan Retno Palupi
bergetar lagi, kedua tangannya mencengkeram kuat pundak Paksi, seakan berusaha
menancapkan kuku-kuku tajamnya, dari mulutnya terdengar erangan lirih, "Aahh ...
aahh ... ssssshh ... sssssshh!"
Retno Palupi mencapai titik puncak asmara untuk ketiga kalinya!
Sementara badan Retno Palupi bergetar-getar dalam titik puncak asmara, Paksi
Jaladara tetap menekan cepat-rapat pilar tunggal ke dalam lubang gerbang istana
kenikmatan, sambil pinggulnya membuat gerakan memutar sehingga pilar tunggal
yang berada di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi ikut berputar-putar,
mengebor gerbang istana kenikmatan sampai ke sudut-sudutnya.
Sett! Sett! Gerakan pinggul Paksi Jaladara bertambah cepat dan cepat. Terlihat pilar tunggal
dengan cepat keluar masuk di dalam gerbang istana kenikmatan Retno Palupi, tiba-
tiba ... "Ooohh ... oohh!"
Dengan erangan yang cukup keras dan diikuti oleh badannya yang terlonjak-lonjak,
Paksi Jaladara menekan habis pinggulnya dalam-dalam, sehingga pilar tunggal
penyangga langitnya terbenam habis ke dalam lubang gerbang istana kenikmatan,
pinggul Paksi Jaladara terkedut-kedut sementara pilar tunggalnya menyemprotkan
hawa keperjakaannya di dalam gerbang istana, sambil kedua tangannya mendekap
badan Retno Palupi erat-erat.
Dari mulut Retno Palupi terdengar suara keluhan yang sama.
"Aaaagh ... ssssssh ... sssssshh ... hhmm ... hhmm!"
Setelah berpelukan dengan erat selama beberapa saat, Paksi Jaladara kemudian
merebahkan tubuh Retno Palupi di atas badannya dengan tanpa melepaskan pilar
tunggal dari sarangnya. Retno Palupi tersenyum. Paksi Jaladara juga tersenyum.
TAMAT Bagaimana dengan Nawara" Apakah ia bisa tersadar kembali dari tidur panjangnya"
Belum lagi ritual perebutan gelar Pendekar Nomor Satu Rimba Persilatan dimulai,
Pendekar Gila Nyawa justru kedapatan tewas di kediamannya di Bukit Tambal Sulam
dengan sebuah tusukan pedang. Siapakah tokoh misterius yang bisa menewaskan
Pendekar Gila Nyawa dalam satu tusukan pedang saja"
Lalu, bagaimana dengan Pangeran Nawa Prabancana alias Si Topeng Tengkorak Emas,
apakah ia juga ikut hancur bersamaan dengan hancurnya Kerajaan Iblis Dasar
Langit" Semuanya akan terjawab dalam jilid 2 : DUEL JAGO-JAGO PERSILATAN!
Petaka Kuil Tua 2 Wiro Sableng 153 Misteri Bunga Noda Undangan Berdarah 2