Petaka Kuil Tua 2
Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua Bagian 2
lain lagi yang memiliki beberapa persamaan.
Tak aneh kalau Panji dan Kenanga pun menjadi ragu.
"Hm..., mungkinkah ada orang lain yang melakukan semua kejahatan di desa ini..."
Pemuda yang kutemui di luar desa ini jelas sangat sakti, Paman. Jadi, bagaimana
langkah kita selanjutnya...?" ujar Panji yang akhirnya menyerahkan keputusan di
tangan Ki Dungkala. Karena biar bagaimanapun juga, lelaki gagah itulah yang
berkuasa di desa ini.
"Kalau kita harus menunggu penjahat itu kembali beraksi, jelas sangat berbahaya,
Panji. Kau sudah dengar sendiri ceritaku, bukan" Di depan mataku sendiri ia
dapat membunuh, tanpa dapat kuketahui kapan dan siapa yang melakukannya. Selain
itu, ia tidak setiap hari melakukan aksinya. Kalau melihat dari korban-korban
terdahulu, jelas Wintarsalah yang patut dicurigai. Sebab, orang-orang yang
menjadi korban pembunuhan itu adalah mereka yang berani menentang keinginan
pemuda kaya itu. Tidak
jarang mereka disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh.
Aku jadi belum bisa memutuskan, langkah apa yang seharusnya kita ambil
sekarang...," desah lelaki gagah itu.
Raut wajahnya kelihatan kecewa sekali.
"Hm..., rasanya tidak terlalu sulit, Paman. Kita tinggal mencari saja, siapa
yang saat ini berani menentang pemuda kaya itu. Dengan demikian, kita bisa
melakukan pengintaian kalau-kalau penjahat itu akan datang melakukan aksinya.
Setelah itu, kita bisa menyergapnya bersama-sama...," usul Panji setelah
berpikir beberapa saat lamanya.
Wajah Ki Dungkala yang semula kelam, kini berubah cerah. Lelaki gagah itu
tampaknya menyambut baik usul Pendekar Naga Putih.
"Benar, Paman. Menurutku, hanya itulah satu-satunya jalan agar kita dapat
menangkap basah pembunuh keji itu...," timpal Kenanga, mendukung usul
kekasihnya. "Yah..., rasanya usul itu cukup baik. Malam ini sebaiknya kalian berdua menginap
di rumahku. Besok baru kita mencari tahu, siapa penduduk yang saat ini diincar
Wintarsa...," ujar Ki Dungkala mengajak Panji dan Kenanga untuk bermalam di
rumahnya. Panji yang mendengar tawaran Ki Dungkala tersenyum lebar. Pemuda tampan itu
menatap wajah kekasihnya sekilas, seolah hendak meminta persetujuan. Meskipun Ki
Dungkala menawarkan kebaikan terhadap mereka berdua, tapi Panji tahu kalau
lelaki gagah itu masih menaruh kecurigaan terhadap mereka berdua. Maka, ketika
melihat Kenanga menyerahkan keputusan kepadanya, Panji segera menerima tawaran
Ki Dungkala. "Baiklah, Paman. Maaf kalau kami telah mere-potkanmu...," ujar Panji yang segera
mengikuti langkah lelaki gagah itu menuju tempat tinggalnya.
"Kalian kembalilah ke pos mulut desa. Bergabunglah dengan penjaga-penjaga di
sana...," perintah Ki Dungkala kepada empat orang anak buahnya. Setelah itu,
barulah lelaki itu mengajak Panji dan Kenanga ke rumahnya.
*** Malam semakin larut. Bulan sepotong tampak tersembul memancarkan sinarnya yang
temaram. Hembusan angin bersilir lembut, membuat dedaunan bergemerisik perlahan. Suara
burung malam terdengar saling bersahutan mendirikan bulu roma.
Saat itu, di tengah kepekatan malam, tampak sesosok bayangan putih bergerak
dengan kecepatan yang mengagumkan. Tubuhnya berloncatan dari atap rumah yang
satu ke atap lainnya. Terkadang sosok bayangan putih itu bergerak dari pohon ke
pohon, ketika tidak melintasi sebuah rumah pun. Melihat dari gerakannya yang
demikian gesit dan ringan, jelas sosok bayangan putih itu seorang tokoh
persilatan yang berkepandaian tinggi.
Tok, tok, tok...!
Terdengar suara kentongan peronda desa yang dipukul berkali-kali. Sosok bayangan
putih itu tampaknya tidak ingin berpapasan dengan para peronda. Buktinya ia
langsung melesat mengambil jalan lain, agar tidak terlihat para peronda yang
tengah mengitari desa ini.
Sosok bayangan putih itu bergerak ke arah selatan desa, berlawanan arah dengan
jalan yang dilalui para
peronda. Dengan lincahnya, tubuhnya berloncatan tanpa menimbulkan suara sedikit
pun. Sehingga, tidak membuat ketenangan penduduk terganggu oleh suara
langkahnya. "Hm...," tiba-tiba sosok bayangan putih itu merandek ketika melihat tiga sosok
tubuh yang bergerak beberapa tombak di bawahnya. Saat itu, ia sendiri tengah
ber-tengger di atas sebatang pohon besar. Sehingga, ketiga sosok bayangan itu
sama sekali tidak mengetahui kehadirannya.
Pada saat ketiga sosok tubuh itu bergerak semakin jauh, bayangan putih itu
langsung meluncur turun dan membayangi ketiga sosok tubuh itu dari kejauhan.
Tampak sosok bayangan putih itu menghentikan langkahnya, dan bersembunyi di
balik sebatang pohon.
Dilihatnya dua di antara ketiga orang itu tampak bergerak ke depan, setelah
mengenakan topeng dari kain hitam untuk menutupi wajahnya. Sedangkan sosok
bayangan yang satunya lagi berdiri seperti menanti hasil pekerjaan temannya.
"Hm...."
Sosok bayangan putih itu bergumam perlahan. Tubuhnya disembunyikan, menanti
kedatangan kedua sosok bayangan hitam yang sepertinya hendak melakukan kejahatan
itu. "Mana mungkin ada orang baik datang malam-malam dengan mengenakan topeng pada
wajahnya," pikir sosok bayangan putih yang terus mengintai itu.
Rupanya si pengintai itu tidak menunggu lama.
Beberapa saat kemudian, sosok bayangan hitam itu pun sudah kembali. Salah
seorang di antaranya tampak
memondong sosok tubuh ramping yang telah tidak sadarkan diri. Meskipun demikian,
sosok bayangan putih itu belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk menghadang.
Bahkan, tubuhnya disembunyikan saat ketika sosok tubuh itu melintas beberapa
langkah di depannya. Kemudian, melesat pergi setelah ketiga sosok tubuh penculik
itu berada cukup jauh dari tempatnya sembunyi. Kemudian, ia melesat dan lenyap
dari tempat itu.
Sedangkan ketiga sosok tubuh itu terus bergerak menerobos kegelapan malam. Tidak
lama kemudian, mereka mengambil sebatang obor, yang mereka tinggalkan di satu
tempat. Namun, sebelum mereka kembali bergerak, tiba-tiba terdengar teguran
bernada halus, tapi membuat ketiga sosok tubuh itu berjingkat kaget.
"Hm..., ternyata kalian masih juga berani melakukan kejahatan seperti ini...!"
ujar sosok tubuh yang mengenakan jubah panjang berwarna putih. Wajahnya yang
tampan menyiratkan perbawa yang menggetarkan jantung. Terutama sekali tatapan
matanya yang mencorong tajam, laksana mata naga yang sedang marah!
"Kau..."!" desis lelaki brewok berpakaian serba hitam yang menatap pemuda tampan
di depannya dengan mata terbelalak lebar. Ia kaget bagaikan melihat hantu di
siang hari bolong. Suaranya terdengar bergetar menyiratkan kegentaran. Jelas,
sosok pemuda tampan berjubah putih yang menghadangnya itu telah dikenalnya.
Bukan hanya lelaki brewok bertubuh kekar itu saja yang menjadi terkejut. Dua
orang lainnya pun tidak kalah
kaget ketika melihat dan mengenali si penghadang berjubah putih itu. Jelas,
mereka bertiga telah mengenali penghadang itu.
"Ya, aku...," ucap pemuda tampan berjubah putih itu.
Ia kemudian melangkah maju menghampiri salah satu dari mereka. Seorang pemuda
tampan pesolek. "Kau pastilah yang bernama Wintarsa, bukan...?"
"Bangsat! Dari mana kau tahu namaku..."! Dan, mengapa kau masih juga mencampuri
urusanku..."!"
bentak pemuda yang ternyata Wintarsa itu dengan wajah berang. Meskipun begitu,
ia tidak bisa menyembunyikan kegentaran yang terpancar di wajahnya. Kelihatan
sekali kalau ia merasa cemas dan hendak mencari jalan untuk lolos.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang tak lain dari Panji itu, kelihatan agak
heran melihat tingkah Wintarsa yang tampak cemas dan gentar.
"Hm..., pemuda itu benar-benar aneh" Dengan kesaktiannya yang sangat tinggi,
mengapa ia harus merasa gentar?" gumam Panji dalam hati. Kali ini Pendekar Naga
Putih berjanji untuk dapat menangkap pemuda tampan pesolek itu hidup-hidup dan
menyerahkannya kepada Ki Dungkala.
Wintarsa pun rupanya tidak ingin menunggu lama.
Cepat ia memerintahkan lelaki brewok yang bernama Surgala, dan temannya untuk
segera mengeroyok pemuda tampan berjubah putih itu.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang lelaki berseragam hitam itu langsung
menghunus senjata dan mengepung Panji. Sedangkan pemuda tampan berjubah
putih itu melangkah terus tanpa mempe-dulikan kedua tukang pukul Wintarsa yang
siap menerjangnya. Pendekar Naga Putih rupanya lebih tertarik kepada Wintarsa,
ketimbang kedua orang tukang pukul itu.
"Haaat...!"
Lelaki brewok bertubuh kekar itu berseru keras memulai serangannya. Pedang di
tangan kanannya berputaran menimbulkan suara berdesing tajam.
Demikian pula tukang pukul yang satunya lagi, mereka langsung saja mengeroyok
Panji dengan serangan-serangan yang ganas dan kuat.
Namun kali ini Panji tidak ingin berlama-lama. Ketika serangan kedua batang
pedang itu tiba, pemuda itu langsung menggeser tubuhnya dan mengirimkan serangan
balasan yang cepat dan kuat. Sehingga, kedua pengeroyoknya itu terpaksa melompat
mundur karena tidak ingin celaka.
Tapi, gerakan kedua orang tukang pukul Win-tarsa itu jelas kalah jauh dalam hal
kecepatan dan kekuatan.
Sehingga, Panji tidak memerlukan waktu yang lama untuk merobohkan lawan-
lawannya. Dalam lima jurus saja pukulan dan tendangan Pendekar Naga Putih telah
membuat kedua orang pengeroyoknya terjungkal tewas.
Rupanya Panji kali ini tidak ingin memberi hati kepada orang-orang jahat itu.
Maka, ia langsung saja menurunkan tangan kejam kepada tukang-tukang pukul
Wintarsa yang ternyata masih belum jera untuk berbuat jahat
"Keparat...!" Wintarsa membentak marah ketika melihat dua orang tukang pukulnya
menggeletak tanpa nyawa. Tanpa banyak cakap lagi, pemuda pesolek itu
langsung melepaskan tubuh ramping yang ada dalam pondongannya. Kemudian
senjatanya dihunus, siap untuk bertempur!
Panji sudah menggeser langkahnya dengan sepasang mata tak lepas dari wajah
Wintarsa. Sadar kalau lawannya tidak bisa dipandang ringan, Panji langsung
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Sebentar saja, tubuh Pendekar Naga Putih telah
terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan.
Wintarsa yang melihat tubuh lawannya tampak terselimut sinar putih keperakan,
menjadi terkejut bukan main. Namun, karena merasa tidak ada jalan untuk lolos,
maka pemuda itu segera memutar pedangnya dengan sepenuh tenaga. Terbentuklah
lingkaran putih yang bergulung-gulung menimbulkan suara menderu-deru.
"Haaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh Wintarsa melayang ke arah Panji. Pedang
di tangannya bergerak-gerak dan meliuk mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Bettt! Bettt! Berkali-kali pedang di tangan Wintarsa bergerak kian kemari mengancam tubuh
Panji. Namun, semua itu dengan mudah dapat dielakkan pemuda berjubah putih itu.
Serangan Wintarsa sama sakali tidak membayangkan kekuatan maupun kecepatan yang
hebat, bahkan terlihat sangat lambat bagi Panji. Tentu saja kenyataan itu
membuat Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya.
"Hm..., mengapa gerakannya terkesan biasa dan tidak berbahaya" Mungkinkah ia
sengaja menyembunyikan
kepandaiannya dan berpura-pura bodoh" Tapi..., rasanya tidak mungkin. Melihat
dari wajah dan gerakannya, ia tampak sungguh-sungguh" Lalu, mengapa ia tidak
langsung mengeluarkan kesaktiannya yang hebat itu...?"
gumam Panji yang benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan ketika melihat gerakan
Wintarsa yang jauh dari apa yang dibayangkannya.
Merasa penasaran, Panji tidak berusaha menghindari sebuah tebasan pedang yang
dilakukan Wintarsa dengan gerakan mendatar, mengancam perutnya. Hanya dengan
sedikit egosan, Pendekar Naga Putih langsung menggerakkan tangan kanannya,
menangkis pedang yang mengancam tubuhnya.
Plakkk! Sengaja Panji memperlambat gerakannya ketika menangkis bacokan pedang lawan.
Bahkan tenaganya tidak dikerahkan terlalu banyak. Karena melihat serangan
Wintarsa tampaknya tidak terlalu berbahaya.
Dan, apa yang dilihatnya benar-benar membuat hati Panji menjadi penasaran bukan
main! Tangkisannya membuat tubuh Wintarsa terpelanting ke belakang.
Seolah-olah pemuda itu memang tak sanggup mengimbangi kekuatan tangkisan Panji.
"Kurang ajar...! Mengapa kekuatannya tidak sehebat beberapa hari yang lalu..."
Apakah ia sengaja hendak mempermainkan aku...?" desis Panji, geram. Maka, tanpa
menunggu lawannya bangkit, Pendekar Naga Putih langsung melesat dan mengirimkan
totokan guna melumpuhkan Wintarsa.
"Heh..."!"
Plak, plak... Desss...!
"Akh...!"
Panji terkejut bukan kepalang ketika serangannya hampir tiba, tahu-tahu muncul
sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangannya. Bahkan, sebuah
pukulannya sempat menghantam dada Pendekar Naga Putih. Sehingga, membuat tubuh
Panji terpental balik.
Untunglah pemuda tampan itu sempat mengatur keseimbangan tubuhnya. Dengan
berputaran di udara, Panji dapat mendarat ringan di atas tanah dengan kedua
kakinya. Panji menatap tajam sosok tinggi kurus di depannya.
Keadaan malam yang gelap dan rambut yang menyembunyikan wajahnya, membuat Panji
tidak bisa mengenali orang yang telah menyelamatkan Wintarsa.
Sedangkan sosok tinggi kurus yang tampak gesit dan lincah itu bergerak ke kanan,
tanpa berusaha untuk membantu Wintarsa bangkit. Cepat Panji menggeser langkahnya
ketika melihat sosok tinggi kurus itu mulai membuka jurus serangannya.
*** 6 Tanpa memberikan peringatan sedikit pun, sosok tinggi kurus berjubah putih itu
langsung menerjang Panji.
Gerakannya nampak demikian cepat laksana kilat Bahkan decitan angin yang
ditimbulkan lontaran pukulannya terdengar sangat tajam dan menyakitkan telinga.
Jelas, sosok tinggi kurus berjubah putih itu memang merupakan lawan yang sangat
tangguh bagi Pendekar Naga Putih.
Melihat lawannya sudah mulai menyerang, Panji langsung mempersiapkan jurus
andalannya. Sekali pandang saja, Pendekar Naga Putih langsung tahu kalau
lawannya ini tidak bisa dipandang enteng. Itu sebabnya Panji tidak mau mengambil
resiko, dan langsung menggunakan jurus 'Naga Sakti'nya untuk menghadapi serangan
lawan. Sebentar saja, keduanya telah terlibat dalam sebuah pertarungan yang
sengit dan mendebarkan.
Panji bertempur sambil mengawasi permainan jurus lawan. Pendekar Naga Putih
terkejut ketika mengetahui jurus-jurus yang dimainkan sosok tinggi kurus itu
mempunyai kesamaan dengan jurus-jurus yang dimainkan Wintarsa sewaktu pertama
kali bertarung dengannya.
Bedanya, gerakan sosok tinggi kurus itu tampak sangat teratur, dan memiliki
kekuatan yang jauh lebih hebat dari Wintarsa.
Karena terus memikirkan perihal lawannya, pikiran Panji jadi terpecah. Sehingga
ia tidak bisa lagi menghindari sebuah tamparan lawannya. Meskipun berusaha
mengelak, tetap saja bahunya terkena hantaman lawan.
Bukkk! "Akh...!"
Panji mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung limbung karena tamparan itu sangat
kuat, dan sanggup menghancurkan sebuah batu karang yang besar. Untungnya, tubuh
pemuda itu telah terlindungi lapisan kabut bersinar putih keperakan. Kalau
tidak, bukan mustahil bahunya akan remuk akibat tamparan lawan.
"Yeaaah...!"
Sosok tinggi kurus berjubah putih itu sepertinya sangat bernafsu merobohkan
Panji secepat mungkin. Tanpa memberikan kesempatan kepada lawannya untuk mem-
perbaiki kuda-kuda, sosok tinggi kurus itu langsung menyusuli serangannya dengan
serangan-serangan yang berbahaya dan bisa mendatangkan kematian! Apalagi yang
diincarnya adalah bagian-bagian jalan darah kematian di tubuh Panji. Sudah
barang tentu pemuda tampan berjubah putih itu tidak mau menyerahkan nyawanya
begitu saja. "Hiaaah...!"
Sambil mengempos semangat dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga mukjizatnya,
Pendekar Naga Putih menggerakkan kedua tangannya untuk memapaki serangan lawan.
Plak! Plak! Bentrokan pun tak dapat dihindari lagi. Kedua pasangan lengan yang sama-sama
terlindungi tenaga sakti tingkat tinggi itu saling berbenturan keras. Akibatnya,
Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua tubuh mereka sama-sama terdorong mundur sejauh empat langkah. Jelas, dalam
bentrokan itu keduanya
terlihat sama kuat.
Begitu kedua kakinya kembali menginjak tanah dengan kokoh, sosok tinggi kurus
itu kembali melesat dengan serangan yang lebih habat lagi. Jurus yang kali ini
digunakannya tampak berbeda dari yang pertama.
Meskipun demikian, kehebatannya jauh berbeda di atas jurus-jurus pertama tadi.
Sehingga, Pendekar Naga Putih benar-benar harus menguras semua ilmunya untuk
menundukkan lawan yang sangat misterius itu.
"Hmh...!" Panji mendengus gusar melihat kehebatan dan kekuatan lawan. Cepat
pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus pamungkas dari rangkaian terakhir 'Ilmu
Silat Naga Sakti'.
"Yeaaah...!"
Diiringi 'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji melesat dengan kecepatan menggetarkan
ke arah lawannya. Angin dingin bertiup semakin keras mengiringi setiap gerakan
yang dilakukan Pendekar Naga Putih.
Wueeet...! Wueeet...!
Dua buah sambaran cakar Pendekar Naga Putih berhasil dielakkan lawannya dengan
menggeser tubuh ke kanan, seraya merendahkan kuda-kudanya. Tapi, serangan Panji
tidak berhenti sampai di situ saja. Kaki dan tangannya terus bergerak dengan
lontaran serangan yang susul-menyusul, disertai tiupan angin dingin yang menusuk
tulang laksana badai salju!
Rupanya gempuran Pendekar Naga Putih kali ini cukup membuat lawannya kerepotan.
Berkali-kali cakaran serta tamparan Panji nyaris mengenai tubuh lawannya. Hanya
karena lawan memiliki ilmu langkah-langkah aneh sajalah,
yang membuatnya masih dapat menghindar dari sergapan Panji. Meskipun demikian,
kelihatan sekali kalau sosok tinggi kurus itu mulai terdesak oleh serangan-
serangan Pendekar Naga Putih.
Entah sudah berapa belas kali dua pasang lengan mereka saling berbenturan keras.
Dan setiap berbenturan, tubuh keduanya tampak terdorong ke belakang. Jelas kalau
tenaga yang mereka miliki berimbang. Sehingga, meskipun pertarungan sudah
berlangsung selama delapan puluh jurus, belum ada tanda-tanda salah seorang di
antara mereka akan keluar sebagai pemenang. Tampaknya memerlukan waktu yang
cukup lama untuk mendapatkan kepastian siapa pemenang dalam pertarungan itu.
Sekitar arena pertarungan terlihat sudah porak-poranda bagaikan tersapu badai
topan yang mengerikan.
Belasan batang pohon tampak saling tumpang tindih berpatahan. Bahkan ada
beberapa di antaranya yang tercabut hingga ke akar-akarnya. Dedaunan pohon sudah
menumpuk bagaikan anak bukit. Jelas, pertarungan kedua tokoh sakti itu telah
membuat alam di sekitarnya rusak.
Sementara itu, Wintarsa sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Bahkan
kedua mayat tukang pukul pemuda itu pun ikut lenyap. Jelas, pemuda tampan
pesolek itu telah mengambil kesempatan untuk melarikan diri selagi Panji
bertarung dengan sosok tinggi kurus berjubah putih itu. Sedangkan yang masih
tertinggal di tempat itu hanyalah sosok tubuh gadis desa yang semula hendak
diculik Wintarsa.
Minat Wintarsa untuk memiliki gadis yang diincarnya itu sepertinya lenyap ketika
dipergoki pemuda berjubah
putih, yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi.
Sehingga, ia meninggalkannya begitu saja di bawah sebatang pohon kecil.
Untungnya pertarungan kedua orang sakti itu telah bergeser jauh dari tempat
semula. Maka, terhindarlah sosok gadis desa yang tengah tergolek tak sadarkan diri itu
dari pukulan-pukulan yang dilontarkan dalam pertempuran maut itu.
Saat itu kokok ayam jantan telah terdengar sesekali.
Pertanda sebentar lagi fajar akan segera muncul.
Hembusan angin malam tampak terasa semakin bertambah dingin. Bulan yang muncul
separuh, seperti resah menyaksikan pertarungan yang belum juga usai itu.
"Yeaaah...!"
Panji yang semula sudah berhasil mendesak, kembali dibuat terkejut dan kagum
oleh keuletan lawannya.
Bahkan kali ini sosok tinggi kurus itu tampak mulai dapat menguasai pertempuran.
Dan Panji malah terdesak oleh gempuran-gempuran lawan. Amukan sosok tinggi kurus
itu sepertinya terpengaruh oleh suara kokoh ayam jantan yang mulai terdengar
menyambut datangnya fajar.
Plak! Plak! Plak...!
Kedua pasang lengan kembali saling berbenturan keras. Tubuh mereka kembali
terdorong mundur sejauh delapan langkah. Jelas, kedua tokoh itu sudah mulai
merasa lelah, setelah bertarung selama hampir dua ratus jurus.
Panji yang kembali tengah mempersiapkan, ilmunya, tersentak kaget ketika melihat
lawannya bergerak seperti mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Cepat pemuda
itu melompat mundur ketika sosok tinggi kurus itu
mengibaskan lengannya yang menimbulkan asap merah muda berbau harum.
"Hiaaah...!"
Sadar kalau asap itu pastilah merupakan racun ganas, Panji langsung mendorongkan
sepasang telapak tangannya dengan pukulan jarak jauh. Seketika itu juga, ber-
hembuslah angin dingin yang sangat kuat, membuat asap berwarna merah muda itu
langsung buyar dan menipis.
Namun, saat itu sosok lawannya ternyata telah lenyap dari arena pertarungan.
Tentu saja hal itu membuat hati Pendekar Naga Putih menjadi penasaran.
"Kurang ajar! Ke mana perginya sosok misterius itu...?" geram Panji sambil
mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Namun, yang dilihatnya
hanyalah sosok tubuh gadis desa yang masih menggeletak pingsan.
"Pendekar Naga Putih...! Kau harus meninggalkan desa ini secepatnya...! Kalau
tidak, bencana yang lebih hebat dan lebih mengerikan akan datang kepada seluruh
penduduk Desa Margaluyu...!" tiba-tiba terdengar suara tanpa wujud. Suara itu
bagaikan datang dari empat penjuru. Panji sendiri merasa sulit untuk mengetahui
asal suara itu. Tapi, ia tahu kalau suara itu pasti berasal dari sosok tinggi
kurus berjubah putih yang menjadi lawannya barusan.
"Hm..., menurutku kau adalah seorang pengecut, Kisanak! Sangat kusesalkan kalau
kepandaianmu yang tinggi itu digunakan untuk jalan sesat! Kalau benar-benar
jantan, kutantang kau bertarung sampai salah seorang di antara kita menggeletak
jadi mayat...!" Panji yang merasa
jengkel, langsung saja berseru menyahuti suara tanpa wujud itu. Namun, setelah
menanti agak lama, tak terdengar jawaban sepatah kata pun.
Pendekar Naga Putih yakin kalau lawannya tadi benar-benar telah meninggalkan
tempat itu. Kemudian, kakinya segera melangkah mendekati sosok gadis desa yang
masih tergeletak pingsan. Hanya dengan mengusap bagian jalan darah untuk
melancarkan peredaran darah di tubuh gadis itu, tampak sosok ramping itu
mengeluh dan menggeliat perlahan. Terlihat gadis itu mulai sadar dari
pingsannya. "Kau siapa..." Mengapa aku berada di tempat ini...?"
tanya dara cantik berambut panjang sebahu itu seraya menatap wajah tampan di
hadapannya dengan wajah pucat ketakutan.
Panji mencoba tersenyum dengan maksud untuk membuat hati gadis itu menjadi
tenang. Kemudian ia menerangkan dengan nada perlahan bahwa gadis itu baru saja
ditolong dari cengkeraman pemuda yang dipanggil dengan nama Tuan Muda Wintarsa.
"Ya! Aku ingat sekarang. Ada dua orang lelaki berpakaian hitam memasuki kamarku,
dan menyergapku.
Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Lalu, ke manakah mereka sekarang?"
tanya gadis cantik itu sambil mengedarkan pandang matanya ke sekitar tempat itu.
Namun, di sekelilingnya yang terlihat hanyalah kegelapan yang menyeramkan.
Menyadari keadaan itu, gadis itu pun melangkah agak terburu-buru mendekati
pemuda tampan yang menjadi penolongnya. Tanpa sadar ia memegang lengan Panji
dengan wajah agak pucat.
"Aku..., takut..," kata gadis itu tanpa malu-malu lagi.
Bahkan tubuhnya semakin dirapatkan ke tubuh Panji.
"Tidak ada yang perlu ditakuti lagi, Nisanak. Sekarang, marilah kau kuantar
pulang...," ujar Panji seraya melangkah perlahan. Sedangkan gadis desa yang
cantik itu hanya mengangguk. Kemudian ia mengikuti Panji tanpa melepaskan
pegangan tangannya pada lengan pemuda itu.
*** Panji tertegun dengan wajah geram ketika tiba di tempat kediaman gadis cantik
yang ditolongnya. Di dalam rumah itu dilihatnya dua sosok mayat laki-laki dan
perempuan berusia setengah baya yang kepalanya retak.
Melihat dari ceceran darah yang masih agak basah, Panji dapat menduga kalau
pembunuhan itu belum lama terjadi.
"Hm..., mungkinkah semua ini perbuatan kedua orang lelaki berpakaian hitam yang
menjadi tukang pukul Wintarsa" Kejam sekali kalau mereka sampai membunuh kedua
orang tua ini, hanya karena hendak menculik putrinya...," desis Panji. Dalam
hati, Pendekar Naga Putih merasa bersyukur telah melenyapkan 'kedua orang tukang
pukul Wintarsa itu.
"Ayah..., Ibu...!"
Gadis cantik yang ditolong Panji menangis dengan hati hancur melihat keadaan
orangtuanya. Panji tersadar dari lamunannya, segera kakinya melangkah dan
menghibur gadis desa yang tengah dirundung malang itu. Ia bahkan membiarkan
gadis itu menumpahkan air mata di dada bidangnya.
"Tahukah kau, siapa kira-kira yang telah membunuh kedua orangtuamu...?" tanya
Panji ketika isak tangis gadis
itu sudah mulai reda. Meskipun telah dapat menduga, tapi Panji ingin meyakini
dugaannya. "Siapa lagi kalau bukan manusia jahat yang bernama Wintarsa itu"! Ia memang
sudah lama mengincarku! Tapi, ayah dan ibuku tidak mau membiarkan aku jatuh ke
dalam pelukannya. Mungkin hal itu diketahuinya, dan merasa dendam terhadap ayah
dan ibuku. Dua orang yang menculikku, pastilah tukang-tukang pukulnya yang galak
dan kejam!" jawab gadis desa itu dengan nada menyiratkan dendam yang dalam.
Kemudian, tangisnya kembali meledak ketika teringat bahwa dirinya kini sudah
tidak mempunyai siapa-siapa lagi.
"Harap kau bisa tabah dalam menghadapi semua ini, Nisanak. Aku akan melaporkan
kejadian ini kepada Ki Dungkala. Pemuda jahat yang bernama Wintarsa itu memang
harus ditangkap, agar tidak lagi berani mengganggu gadis-gadis dan penduduk di
desa ini...," ujar Panji, menenangkan hati gadis cantik itu.
"Tapi, selama ini tidak pernah ada orang yang berani menentang Wintarsa dan
keluarganya. Bahkan kepala desa sendiri tidak berani berbuat apa-apa. Sudah
banyak orang yang menjadi korban kejahatan pemuda itu, tapi tak satu pun yang
berani melaporkannya. Sebab, apabila ada yang berani melapor, sudah pasti akan
mengalami kematian, tanpa ada yang tahu siapa pelakunya...," bantah gadis cantik
itu di antara isak tangisnya.
"Hm..., pada waktu-waktu yang lalu memang belum ada orang berani menentangnya.
Tapi percayalah, Nisanak. Aku akan menghentikan kejahatan pemuda bejat itu untuk
selamanya...!" janji Panji dengan suara yang
tegas dan mantap.
Wajah gadis desa yang cantik itu terangkat, seperti hendak mengetahui kebenaran
ucapan pemuda tampan berjubah putih yang telah menyelamatkannya itu.
"Betulkah itu, Kakang...?" tanyanya seraya menatap tepat di kedua bola mata
Panji yang memang sedang menatap wajah gadis desa yang cantik itu.
"Tentu saja benar. Dan, besok aku dan Ki Dungkala akan mendatangi keluarga Ki
Sama Tungga. Aku akan membalaskan dendam semua orang desa yang telah disakiti
dan dibunuhnya...," lanjut Panji lagi.
"Terima kasih, Kakang...," ucap gadis cantik itu.
Hati gadis cantik itu merasa senang mendengar janji penolongnya. Ia pun kembali
merebahkan wajahnya ke dada Panji. Tentu saja Panji agak sedikit bingung melihat
sikap gadis desa itu. Tapi, karena tidak ingin menyinggung perasaan, Panji
terpaksa mendiamkannya.
Tanpa terasa saat itu malam telah berganti pagi.
Meskipun cuaca masih agak gelap, namun para penduduk desa telah banyak
berdatangan ke rumah tempat di mana terjadi pembunuhan. Kedatangan orang-orang
desa itu tentu saja atas pemberitahuan Panji. Pemuda itu kemudian meminta agar
para tetangga yang berdekatan, mau membantu dan mengurus kedua mayat orangtua
gadis yang ditolongnya. Sedangkan ia sendiri hendak melaporkan kejadian itu
kepada Ki Dungkala.
Kedatangan Panji disambut Ki Dungkala dengan wajah menyiratkan kecurigaan.
Namun, ketika Panji menceritakan kejadian yang dialaminya semalam, lelaki gagah
itu langsung saja memintanya untuk membawa ke
tempat kejadian.
Orang-orang desa yang berkerumun langsung menyisih ketika kepala keamanan desa
mereka tiba. Setelah memeriksa kedua mayat yang menjadi korban pembunuhan itu,
Ki Dungkala mengajak Panji menjauhi orang-orang desa, dan meminta keterangan
lebih rinci dari pemuda itu.
"Hm..., jadi benar bahwa orang yang kau hadang semalam itu adalah Wintarsa"
Lalu, siapa pula laki-laki tinggi kurus berjubah putih yang bertarung denganmu
dan menyelamatkan pemuda jahat itu...?" tanya Ki Dungkala setelah mendengar
cerita Panji lebih lengkap dan jelas.
Ada bayang kecurigaan pada sepasang mata lelaki gagah itu, yang membuat Panji
memakluminya. Selain ia merupakan orang asing di Desa Margaluyu, Ki Dungkala pun
belum mengenalnya sama sekali.
"Ki Dungkala, kuharap kau suka melenyapkan kecurigaanmu...," ujar Kenanga. Gadis
ini juga menangkap sorot kecurigaan di mata lelaki gagah itu. Ia mengatakan itu,
karena tidak suka melihat kekasihnya dicurigai. "Perlu kau ketahui, Ki. Pemuda
yang berdiri di hadapanmu ini adalah seorang pendekar besar yang telah
menggemparkan rimba persilatan. Jadi, kecurigaanmu jelas tidak beralasan...."
"Ah..."!" Ki Dungkala nampak terkejut sekali ketika mendengar perkataan Kenanga.
Lelaki gagah itu memandangi sosok Panji secara lebih teliti. Sepasang mata Ki
Dungkala semakin membelalak ketika mendapati ciri-ciri yang sering didengarnya
terdapat pada seorang pendekar muda yang mendatangkan
kekaguman di hatinya selama ini.
"Kau..., benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih..."!" ucap Ki Dungkala
dengan suara bergetar penuh harapan.
"Begitulah orang-orang memberikan julukan kepadaku, Paman...," jawab Panji.
Pendekar Naga Putih kini merasa tidak perlu lagi menyembunyikan jati dirinya.
Apalagi nama besarnya memang sangat dibutuhkan untuk melenyapkan kecurigaan Ki
Dungkala terhadap dirinya.
Sadar bahwa yang dihadapinya adalah benar Pendekar Naga Putih, Ki Dungkala
langsung saja menjatuhkan tubuhnya dan bersimpuh di depan Panji. Tentu saja
Panji tidak ingin mendapatkan kehormatan yang berlebihan itu.
Apalagi saat itu beberapa warga desa dan anak buah Ki Dungkala tengah menatap
penuh keheranan. Kemudian, segera tubuh lelaki gagah itu diangkatnya.
"Maafkan sikapku yang telah lancang menuduhmu secara tak langsung, Pendekar Naga
Putih. Aku benar-benar bodoh tidak bisa melihat siapa sesungguhnya orang yang
berada bersamaku. Dengan kehadiranmu di desa ini, bukan mustahil kalau teror
yang selama ini meresahkan penduduk desa akan segera berakhir...," ujar Ki
Dungkala. Dari kata-katanya, dapat dipastikan kalau lelaki gagah itu
mengharapkan bantuan Pendekar Naga Putih untuk menenteramkan desanya.
"Harapanku pun demikian, Paman. Sekarang sebaiknya kita segera mendatangi
kediaman keluarga Ki Sama Tungga. Biarlah mayat kedua orang tua itu anak buahmu
yang mengurusnya...," usul Panji yang merasa tidak enak
melihat pandangan beberapa warga desa yang tampak masih keheranan melihat sikap
kepala keamanan desa mereka.
Setelah berpesan kepada warga desa dan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat
itu, Ki Dungkala langsung membawa Panji ke tempat kediaman Ki Sama Tungga.
*** 7 Kedatangan Ki Dungkala, Panji, dan Kenanga tidak mendapat sambutan baik dari
pihak Ki Sama Tungga.
Bahkan mereka harus menunggu agak lama untuk menemui juragan yang kaya raya itu.
Meskipun demikian, ketiganya berusaha menahan diri dan menyabarkan hatinya yang
mulai jengkel. Setelah terasa pegal duduk menanti di ruang tengah, muncullah seorang lelaki
tinggi kurus yang berusia sekitar lima puluh tahun lebih. Rambutnya digelung ke
atas dan diikat dengan pita berwarna biru. Wajah dan sinar matanya mengesankan
keangkuhan. Jelas, lelaki tinggi kurus yang bernama Ki Sama Tungga itu merupakan
seorang yang tinggi hati, dan memandang rendah orang lain yang tidak sederajat
dengannya. "Hm..., kau rupanya Dungkala...," sambut Ki Sama Tungga, angkuh.
Sepertinya juragan kaya itu menganggap Ki Dungkala bukanlah seorang tamu
penting. Kecuali Kepala Desa Margaluyu, tampaknya tidak ada lagi yang dihormati
Ki Sama Tungga. Tentu saja, Ki Dungkala yang memang baru pertama kali berkunjung
ke rumah keluarga kaya itu menjadi jengkel.
Namun, lelaki gagah itu ternyata dapat menekan kejengkelannya, dan mampu
bersikap wajar.
Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, Juragan. Perkenalkan kedua orang sahabatku, Panji dan Kenanga," ujar Ki
Dungkala memperkenalkan
kedua orang muda yang datang bersamanya. Ketiganya bangkit dan membungkukkan
tubuh sedikit menghormati tuan rumah. Kemudian, mereka kembali duduk setelah Ki
Sama Tungga mempersilakan.
"Ada keperluan apa kau datang sepagi ini, Dungkala?"
tanya Ki Sama Tungga seraya mengisap pipa tembakau di tangan kanannya. Sikapnya
terlihat sangat angkuh dan tanpa basa-basi.
"Maaf, Juragan. Sebenarnya kami ingin bertemu dengan Tuan Muda Wintarsa, karena
suatu keperluan yang sangat penting. Untuk itu, kumohon agar kami dapat
dipertemukan dengannya...," sahut Ki Dungkala tanpa mempedulikan sikap angkuh Ki
Sama Tungga. Lelaki gagah itu langsung saja ke pokok persoalan. Karena ucapan Ki
Sama Tungga pun tanpa basa-basi.
"Hm..., ada keperluan apa kau ingin berjumpa dengan putraku" Sekarang ia tidak
berada di rumah, sejak kemarin ia belum kembali dari rumah pamannya di
kadipaten. Jadi, maaf kalau kedatanganmu sia-sia. Tunggulah beberapa hari lagi,
mungkin ia sudah kembali...," jawab Ki Sama Tungga seraya menyipitkan sepasang
matanya seperti tidak senang dengan permintaan Ki Dungkala yang dianggapnya
terlalu lancang.
"Juragan...," tandas Ki Dungkala yang sepertinya tidak mau lagi berbasa-basi.
"Malam tadi telah terjadi penculikan dan pembunuhan di Selatan desa ini. Dan,
pemuda ini memergoki penculik dan pembunuh itu.
Apakah Juragan tidak ingin mengetahui, siapa penculik dan pembunuh itu...?"
"Dungkala...!" desis Ki Sama Tungga yang segera
bangkit dari tempat duduknya dengan wajah gelap.
"Seharusnya kau laporkan semua itu kepada Ki Samparan, dan bukan kepadaku!
Mengapa aku harus memusingkan segala persoalan yang tidak ada sangkut pautnya
dengan diriku" Cepatlah pergi dari sini, sebelum aku bertindak kasar, atau
mengadukan perbuatanmu ini kepada Ki Samparan agar kau dipecat karena telah
berani datang dengan sikap tidak sopan ke tempatku...!" bentak Ki Sama Tungga,
marah. Tapi, Ki Dungkala tidak kalah gertak. Lelaki gagah itu ikut pula bangkit dengan
wajah merah padam. Ia memang sudah lama merasa tidak suka dengan keluarga kaya
yang sombong itu. Maka, sekarang ia ingin menumpahkan semua ketidaksenangannya
itu. Selain merasa tersinggung karena tidak dipandang oleh Ki Sama Tungga, ia
pun merasa bertanggung jawab penuh atas kejadian, yang menimpa warga desanya.
Apalagi sekarang ia mendapat dukungan dari Pendekar Naga Putih. Maka, Ki
Dungkala seperti harimau yang tumbuh sayap. Ia tidak lagi merasa takut atau
segan kepada juragan yang sangat sombong itu.
"Ki Sama Tungga...!" geram Ki Dungkala yang tidak lagi menyebut Ki Sama Tungga
dengan sebutan juragan.
"Ketahuilah, bahwa orang yang telah melakukan penculikan dan pembunuhan itu
adalah putramu! Untuk itu, aku datang kemari hendak menangkapnya, agar lain kali
tidak lagi berbuat sesuka hatinya! Sekarang juga kami ingin membawa Wintarsa.
Kalau tidak, rumah ini terpaksa kami geledah!"
"Keparat kau, Dungkala! Berani kau berbuat kurang sopan di rumahku ini! Kau
memang pantas diberi
pelajaran...!" geram Ki Sama Tungga. Laki-laki tinggi kurus itu sangat marah
ketika mendengar tuduhan Ki Dungkala terhadap putra tunggal yang sangat
disayanginya. Setelah berkata demikian, Ki Sama Tungga bertepuk tangan tiga kali. Sebentar
saja, telah bermunculan belasan orang berseragam hitam yang merupakan tukang
pukul keluarga kaya itu.
"Lemparkan mereka keluar! Beri pelajaran kepada keamanan desa yang tidak becus
itu...!" perintah Ki Sama Tungga sambil melangkah meninggalkan ruangan itu.
Tanpa diperintah dua kali, tiga belas orang lelaki kekar yang menjadi tukang
pukul keluarga Ki Sama Tungga, langsung saja berlompatan mengepung Ki Dungkala,
Panji dan Kenanga.
Ki Dungkala sudah mencabut pedangnya, siap untuk bertarung mati-matian.
Sedangkan Panji, sejak pertama kali melihat orang yang bernama Ki Sama Tungga
itu, ingatannya langsung tertuju kepada sosok tinggi kurus berjubah putih yang
semalam bertarung dengannya.
Maka, ketika dilihatnya Ki Sama Tungga hendak meninggalkan tempat itu, Panji
langsung melayang hendak mencegahnya. Sekali lompatan saja, tubuh Pendekar Naga
Putih telah melayang, dan mendarat tepat di depan Ki Sama Tungga.
Lelaki tinggi kurus itu langsung terkejut melihat pemuda tampan berjubah putih
yang datang bersama Ki Dungkala tahu-tahu telah menghadang jalannya.
Kemarahan Ki Sama Tungga seketika meledak,
"Mau apa kau, Pemuda Asing"! Kau kira bisa berbuat
sesukamu di tempat ini..." Lebih baik menyingkirlah, sebelum kesabaranku
hilang...!" ujar Ki Sama Tungga bernada mengancam.
Namun, Panji tetap tidak mempedulikannya. Pemuda itu malah melangkah dua tindak
ke depan, dan meneliti sosok di depannya.
"Hm..., pertarungan kita semalam belum usai, Ki Sama Tungga. Tidakkah kau ingin
melanjutkannya sekarang...?" ujar Panji sambil menatap tajam wajah lelaki tua di
depannya. Sadar kalau orang yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi,
Pendekar Naga Putih segera menyiapkan kuda-kuda yang kokoh.
"Keparat! Kau rupanya sudah gila, Anak Muda! Apa maksud ucapanmu itu, aku sama
sekali tidak mengerti...?"
bentak Ki Sama Tungga, heran. Jelas, lelaki tinggi kurus itu tidak mengerti apa
yang diucapkan Panji.
"Huh! Tidak perlu berpura-pura lagi, Ki Sama Tungga.
Sebaiknya bersiaplah untuk menerima seranganku! Jangan salahkan aku, kalau kau
sampai celaka...!" ujar Panji seraya membuka jurusnya untuk memancing Ki Sama
Tungga agar mempersiapkan ilmunya.
"Bedebah! Kau pikir hanya kau saja yang memiliki kepandaian! Nah, sambutlah
seranganku...!" bentak Ki Sama Tungga karena merasa jengkel atas sikap pemuda
tampan berjubah putih itu. Tubuh tinggi kurus itu meluruk ke arah Panji sambil
melancarkan totokan dengan ujung pipanya yang panjangnya satu setengah jengkal
itu. Bettt! Bettt...!
Totokan ujung pipa yang datang bertubi-tubi itu dielakkan Pendekar Naga Putih
tanpa banyak mengalami
kesukaran. Namun, Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya ketika melihat
gerakan lawannya. Meskipun serangan Ki Sama Tungga cukup kuat dan berbahaya,
namun menurutnya masih terlalu lamban. Gerakan Ki Sama Tungga sama sekali sangat
jauh berbeda dengan gerakan lawannya semalam. Tentu saja Panji menduga kalau
orang tua itu masih hendak menyembunyikan kepandaian guna mengecohnya.
"Hm..., keluarkan seluruh kesaktianmu, Ki Sama Tungga. Kalau tidak, kau akan
menyesal...!" pancing Panji memanasi lawan, dan mulai membalas serangan orang
tua itu dengan tamparan dan tendangan kilat yang menggetarkan hati lawan. Namun,
Panji kembali menjadi heran ketika melihat Ki Sama Tungga benar-benar kerepotan
menghadapi serangannya yang cepat dan susul-menyusul itu.
Desss...! Sebuah tendangan yang dilontarkan Panji dengan mengerahkan sebagian dari
tenaganya, menghantam telak tubuh Ki Sama Tungga. Untunglah Panji sempat
mengurangi kekuatan tendangannya, ketika merasakan betapa tubuh lawan tidak
mempunyai perlindungan sama sekali. Tentu saja, Pendekar Naga Putih semakin tak
mengerti, mengapa orang tua itu lebih suka terkena tendangan ketimbang
mempergunakan kesaktiannya untuk melawan.
"Hm..., sudah kukatakan, keluarkan seluruh kemampuanmu, Ki Sama Tungga. Kalau
tidak, kau pasti bisa terbunuh oleh pukulan mautku!" ancam Panji lagi.
Walau bagaimanapun, Pendekar Naga Putih merasa tidak
enak untuk menjatuhkan lawan yang sepertinya tidak mau melayaninya bertarung
dengan sungguh-sungguh.
"Bocah sombong! Hanya sebuah tendangan tak berarti seperti itu kau sudah
menganggap dirimu menang" Huh!
Lihatlah, aku bisa membuatmu menangis minta ampun atas kesalahan dan
kelancanganmu kepadaku...!" geram Ki Sama Tungga. "Yeaaat...!"
Diiringi sebuah pekikan nyaring, Ki Sama Tungga menerjang Panji. Pipa di
tangannya berputaran cepat membentuk gulungan sinar hitam yang menderu-deru.
Meskipun demikian, Panji tetap saja kecewa. Sebab, serangan itu tidaklah sehebat
dugaannya. Bahkan masih terhitung lamban bagi ukurannya. Sehingga, dengan mudah
ia dapat mengelakkannya, bahkan langsung melontarkan serangan balasan yang
diiringi hembusan hawa dingin menusuk tulang!
Plakkk! Desss...!
Untuk kedua kalinya, telapak tangan Panji bersarang di tubuh Ki Sama Tungga.
Akibatnya, tubuh lelaki tinggi kurus itu terjungkal hingga satu tombak lebih ke
belakang, la tampak terhuyung ketika mencoba bangkit berdiri. Dari sudut
bibirnya mengalir darah segar. Bahkan wajahnya tampak agak pucat. Jelas, Ki Sama
Tungga tidak mampu untuk menahan serbuan hawa dingin yang meresap ke dalam
tubuhnya. "Gila...! Mungkin sosok tinggi kurus berjubah putih yang kuhadapi semalam bukan
Ki Sama Tungga" Kalau begitu, siapa dia" Mengapa Wintarsa diselamatkannya..."
Dan, mengapa ilmu silatnya sangat mirip dengan pemuda pesolek itu...?" gumam
Panji. Pendekar Naga Putih merasa ragu ketika untuk kedua kalinya Ki Sama Tungga sama
sekali tidak bisa mengelakkan pukulannya. Bahkan tampaknya lelaki tua itu
menderita luka dalam yang cukup parah.
"Mengapa kau berhenti, Pemuda Setan"! Apakah kau kira aku sudah menyerah
kalah...?" geram Ki Sama Tungga yang sepertinya masih hendak melanjutkan
pertarungan. "Sebentar, Ki Sama Tungga, aku hendak bertanya.
Kuharap kau mau menjawabnya dengan jujur. Benarkah kau belum pernah bertemu
denganku sebelum ini" Dan, benarkah kau belum pernah bertarung denganku
sebelumnya...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih mulai ragu setelah melihat ilmu silat yang dimiliki Ki Sama
Tungga sama sekali tidak berbahaya baginya. Meskipun ilmu silat lelaki tua itu
cukup tinggi, tapi jelas tidak bisa disamakan dengan kesaktian sosok tinggi
kurus berjubah putih yang semalam bertarung dengannya. Hal itu membuat Panji
menjadi bimbang.
"Hm..., aku memang belum pernah bertarung dan berjumpa denganmu sebelum ini,
Anak Muda! Tapi, hal itu bukan berarti aku takut menghadapimu! Aku benar-benar
tidak mengerti dengan perkataanmu yang aneh itu...?" jawab Ki Sama Tungga
bersungguh-sungguh.
Panji pun tahu kalau orang tua itu tidak mem-bohonginya. Lagi pula, untuk apa
lelaki tua itu menyembunyikan kesaktiannya, dan mau menerima pukulan yang
membuatnya terluka dalam"
"Hm..., baiklah. Aku percaya dengan jawabanmu.
Sekarang aku minta agar kau menyerahkan putramu yang bernama Wintarsa itu.
Karena ia telah melakukan pembunuhan serta penculikan. Meskipun aku berhasil
memergokinya saat hendak melarikan seorang gadis, tapi ia telah melakukan
pembunuhan terhadap orangtua gadis yang diculiknya itu. Apakah kau memang hendak
membela putramu yang nyata-nyata telah berbuat jahat itu...?" ujar Panji.
Pemuda tampan berjubah putih ini kini ganti mencari Wintarsa. Karena sangat
diyakininya kalau Ki Sama Tungga bukanlah orang yang dimaksudkan.
"Benar, Ki Sama Tungga! Sebaiknya kau serahkan putramu yang jahat itu! Ia telah
terlalu banyak melakukan kejahatan di desa ini! Kuharap kau mau menyerahkannya
kepada kami...!"
Ki Dungkala yang rupanya sudah berhasil menundukkan lawan-lawannya bersama
Kenanga, ikut menimpali ucapan Panji. Kini lelaki tinggi kurus itu telah
terkepung oleh ketiga lawannya, yang mempunyai tujuan sama.
Yaitu, hendak menangkap putra tunggalnya.
"Hm..., sejahat apa pun Wintarsa, ia tetap putraku.
Karena itu aku harus membelanya dengan taruhan nyawaku! Mungkin ia memang
seringkali berbuat jahat, tapi kalau sampai telah banyak membunuh orang, aku
tidak percaya. Untuk itu, aku tidak akan sudi menyerahkan putraku kepada
kalian...!"
Ki Sama Tungga tetap berkeras hendak melindungi putranya. Dari sorot matanya
yang tajam, Ki Dungkala, Panji, dan Kenanga tahu kalau Ki Sama Tungga
bersungguh-sungguh, dan tidak bisa dibujuk kecuali dengan
jalan kekerasan.
"Hm..., kalau kau tetap berkeras, kami akan memaksamu! Dan, kau pun akan
mendapat hukuman berat karena telah melindungi seorang pembunuh keji seperti
putramu itu...!" geram Ki Dungkala.
Sambil berkata demikian, lelaki gagah itu segera memutar pedangnya dan menerjang
Ki Sama Tungga.
Sebentar saja, keduanya telah terlibat dalam sebuah pertarungan yang sengit.
"Kenanga, kau tetaplah di sini mengawasi pertarungan.
Aku akan mencari Wintarsa yang mungkin tengah bersembunyi di salah satu ruangan
di rumah besar ini...," ujar Panji.
Tanpa menunggu jawaban kekasihnya, Pendekar Naga Putih segera berkelebat cepat
dari tempat itu. Kenanga sendiri hanya mengangguk, meskipun Panji tidak sempat
lagi melihat anggukan kepalanya. Dara jelita itu mengikuti jalannya pertarungan,
dan siap turun tangan bila Ki Dungkala terdesak oleh lawannya.
Pertarungan antara Ki Dungkala dan Ki Sama Tungga memang terlihat seru. Keduanya
tampak sama-sama gesit, dan memiliki tenaga sakti yang hampir berimbang.
Kalaupun Ki Sama Tungga masih lebih unggul sedikit dalam hal kecepatan gerak dan
kekuatan tenaga dalam, tapi luka dalam akibat pukulan Panji telah membuat
gerakannya sedikit terhambat. Sehingga, kelebihannya yang hanya sedikit itu
telah tertutup.
"Haittt...!"
Ki Dungkala yang memang merasa tidak suka dan ingin memberi pelajaran kepada
juragan yang sombong itu,
menerjang dengan seluruh kepandaian yang dimilikinya.
Maka, tidaklah mengherankan bila dalam tiga puluh jurus, Ki Dungkala terlihat
mulai berada di atas angin. Gerakan lelaki gagah itu terlihat penuh semangat dan
memiliki perhitungan yang matang. Sehingga, lawannya yang memang sudah tidak
tenang pikirannya itu semakin kerepotan dalam menghadapi serangannya.
Memasuki jurus yang keempat puluh tiga, gerakan Ki Sama Tungga terlihat semakin
lamban. Jelas kekuatan serta kegesitan lelaki tinggi kurus itu sudah mulai
berkurang. Sehingga, Ki Dungkala berhasil menyarangkan sebuah tendangan keras ke
lambung lawannya.
Bukkk! "Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Sama Tungga langsung terjengkang memuntahkan darah
segar. Meskipun demikian, jurangan kaya itu masih berusaha bangkit untuk
melanjutkan pertarungan. Tapi, Ki Dungkala sepertinya tidak ingin memberikan
kesempatan lagi kepada lawannya. Saat itu juga, ia langsung melesat dengan
babatan pedangnya yang mengancam tubuh Ki Sama Tungga.
"Akh..."!"
Lelaki tinggi kurus yang biasanya sombong itu memucat wajahnya. Sadar kalau
tidak mungkin dapat selamat dari pedang lawan, Ki Sama Tungga hanya bisa pasrah
menerima kematian di tangan kepala keamanan desa itu.
Tapi, pada saat kematian hampir menjemput Ki Sama Tungga, tiba-tiba melesat
sesosok bayangan dari samping.
Dan langsung memapaki datangnya serangan pedang Ki Dungkala! Dan...
Plak! "Aaakh...!"
Hebat sekali akibat tangkisan sosok bayangan yang baru muncul itu. Bukan saja ia
telah berhasil menyelamatkan nyawa Ki Sama Tungga dari kematian, tetapi tubuh Ki
Dungkala terpelanting deras menghantam dinding di belakangnya.
"Paman...!" seru Kenanga terkejut melihat perubahan yang sama sekali tidak
diduganya itu. Cepat gadis jelita itu berlari memburu tubuh Ki Dungkala yang tampak tengah
terduduk sambil memuntahkan darah segar. Kemudian, kepalanya menoleh ke arah
sosok bayangan yang telah menyelamatkan nyawa Ki Sama Tungga. Wajah Kenanga
tampak menegang ketika melihat dan mengenali sosok yang berdiri angker di
depannya. *** 8 "Kau..."!" desis Kenanga, terkejut.
Urat syaraf dara jelita itu seketika menjadi tegang ketika melihat seraut wajah
menyeramkan, tengah menatapnya dengan sorot mata semerah darah!
"Wintarsa..."!" Ki Dungkala pun tidak kalah terkejutnya ketika melihat siapa
orang yang telah memapaki serangan pedangnya tadi.
Lelaki gagah itu benar-benar tidak percaya kalau yang mematahkan serangannya
adalah Wintarsa, pemuda yang dikenalnya dengan baik. Yang membuat Ki Dungkala
heran, bagaimana Wintarsa mampu menghalau serangannya. Padahal setahunya,
kepandaian pemuda itu tidak terlalu tinggi. Meskipun untuk mengalahkannya
Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidaklah begitu mudah, namun Ki Dungkala yakin kalau ia masih dapat menang
melawan Wintarsa. Tapi, mengapa ia dengan mudah terluka oleh pemuda itu hanya
dengan sekali gebrak saja" Padahal, pemuda pesolek itu hanya menangkis
serangannya, tanpa menyarangkan pukulan ke tubuhnya. Kenyataan ini, membuat Ki
Dungkala tak habis pikir.
"Hmrrr...! Kalian berdua telah berani melukai ayahku!
Untuk itu, kalian harus mampus di tanganku...!" geram Wintarsa dengan suara yang
mampu membuat jantung seorang lelaki penakut copot.
"Benarkah dia adalah Wintarsa yang selama ini kukenal...?" gumam Ki Dungkala
yang merasa bulu tengkuknya meremang melihat tatapan mata yang terasa bagaikan
mengiris-iris jantungnya itu. Sebab, wajah pemuda itu berubah jauh dari
biasanya. Suaranya pun terdengar menyeramkan seperti suara iblis pencabut nyawa.
Tentu saja hal ini membuat Ki Dungkala menjadi gemetar.
Melihat sikap dan perbawa yang menyeramkan terpancar dari wajah pemuda itu,
Kenanga segera teringat akan peristiwa beberapa waktu yang lalu, di luar Desa
Margaluyu. Ia pun sempat melihat bagaimana Panji kerepotan menghadapi pemuda itu
yang sepertinya telah kerasukan setan. Sadar kalau keadaan mereka sangat
berbahaya, dara jelita itu pun bangkit sambil menghunus pedangnya.
"Yeaaarkh....!"
Wintarsa yang sepertinya telah berubah menjadi iblis haus darah itu, kembali
menggeram dengan suara aneh.
Pemuda itu melangkah perlahan menghampiri Kenanga yang berdiri di depan Ki
Dungkala. Dan, ketika Wintarsa melompat menerjang dengan ganasnya, Kenanga
segera memutar Pedang Sinar Rembulan. Seketika itu, terbentuklah gulungan sinar
putih keperakan yang berpendar menyilaukan mata.
Bettt. .! Sinar putih keperakan berkeredep ketika Kenanga membabatkan senjatanya untuk
menyambut datangnya serangan lawan. Tapi, bukan main terkejutnya hati dara
jelita itu ketika melihat Wintarsa menyambut mata
pedangnya dengan telapak tangan!
Plakkk! "Aihhh..."!"
Hati dara jelita itu bukan main kaget ketika tamparan telapak tangan Wintarsa
membuat senjatanya hampir terlepas dari genggaman tangan. Sedangkan telapak
tangan pemuda itu telah berputar cepat dan meluncur ke arah tenggorokannya.
Cepat Kenanga melempar tubuhnya ke belakang, dan berputaran beberapa kali,
sebelum men-daratkan kedua kakinya di tanah.
Wintarsa yang telah kerasukan setan itu, rupanya tidak ingin memberi kesempatan
kepada lawannya untuk mempersiapkan jurus baru. Tubuh pemuda aneh itu kembali
meluncur dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya, yang menimbulkan suara
berdecitan tajam.
Jelas, serangan pemuda itu sangat berbahaya dan mematikan!
Trang...! Kenanga yang mencoba memapaki cengkeraman Wintarsa dengan sabetan pedangnya,
kembali terkejut setengah mati. Sebab, Wintarsa sama sekali tidak berusaha
menyelamatkan tangannya. Malah sengaja menyambut datangnya sambaran pedang
dengan cengkeramannya.
Untunglah pedang dara jelita itu bukan senjata sembarangan. Kalau tidak, mungkin
sudah patah-patah akibat cengkeraman yang sangat kuat dari lawannya.
Sebentar saja, dara jelita itu terdesak deh gem-puran-gempuran Wintarsa yang
aneh, namun sangat berbahaya itu.
"Haiiit...!"
Pada saat Kenanga tengah sibuk mempertahankan dirinya dari gempuran Wintarsa,
tiba-tiba terdengar pekikan nyaring yang disusul masuknya sesosok bayangan putih
bersinar putih keperakan ke dalam kancah pertarungan. Begitu tiba, sosok
bayangan bersinar putih keperakan yang tak lain dari Panji itu, langsung
memapaki serangan Wintarsa.
Plak, plak.... Desss...!
Kedatangan Panji yang secara tiba-tiba itu di luar perhitungan Wintarsa.
Sehingga, pemuda itu tidak sempat lagi mengelak. Dan, sebuah pukulan telapak
tangan Panji pun singgah di dada pemuda aneh itu. Akibatnya, tubuh Wintarsa
terdorong mundur sejauh satu tombak. Terlihat dari sudut bibirnya menetes darah
segar. Jelas, pukulan yang sangat kuat itu telah membuat Wintarsa menderita.
"Hm..., akhirnya kau muncul juga, Wintarsa! Sekarang kita tentukan, siapa yang
akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan kari ini...," desis Panji dingin.
Pendekar Naga Putih kemudian menyilangkan kedua lengannya di depan dada dengan
kedua mata terpejam.
Dan sebentar kemudian, muncullah sinar kuning keemasan yang menyelimuti sebelah
kanan tubuh pemuda itu. Sedangkan tubuh bagian kirinya, diselimuti lapisan kabut
bersinar putih keperakan. Jelas, Pendekar Naga Putih telah menggabungkan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'
dengan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Sehingga, tubuhnya mengeluarkan dua buah
sinar yang mempunyai dua unsur berbeda. Panas dan dingin!
Sinar kuning keemasan yang terpancar dari sebelah kanan tubuh Panji tampak
menimbulkan pengaruh bagi Wintarsa. Terbukti pemuda itu melangkah mundur seraya
menghalangi pandangan matanya dengan sepasang lengannya. Jelas, Wintarsa merasa
agak terganggu dengan sinar kuning keemasan itu.
"Hm...," Panji yang melihat tingkah laku Wintarsa, yang merasa terganggu dengan
sinar tenaga jelmaan Pedang Naga Langit itu, segera dapat menduga kalau ada
sesuatu yang tidak beres dalam diri pemuda itu. Maka, untuk meyakinkan dirinya,
Pendekar Naga Putih bergerak maju dengan menggunakan jurus-jurus andalannya yang
sangat terkenal.
"Haaat...!"
Kali ini Panji lebih dahulu membuka serangan.
Sepasang tangannya bergerak cepat dengan cakar naga yang siap mengoyak tubuh
lawannya. Wintarsa tampak tidak lagi seganas semula. Kelihatan sekali kalau pemuda itu
selalu menghindari gempuran tangan kanan Panji. Ia selalu bermain di sebelah
kiri lawannya. Seolah serangan tangan kanan pemuda itu sanggup membuat
kesaktiannya lenyap.
Panji bukan tidak mengetahui hal itu. Maka, ia pun semakin mempergencar
serangan-serangannya. Sepasang lengannya bergerak cepat dan sukar diikuti mata
biasa. Tubuh pemuda itu sendiri berkelebat cepat laksana seekor naga yang tengah
bermain-main di angkasa.
Plakkk! Tusukan jari tangan kanan Wintarsa yang meluncur ke tenggorokan Panji, langsung
dipapaki dengan tangan kanannya. Akibatnya, kedua lengan itu saling berbenturan
keras. Kali ini, tubuh Wintarsa tampak terhuyung-huyung. Keadaan itu
dipergunakan Panji untuk mengirimkan hantaman telapak tangan kanannya. Tak ayal
lagi, pukulannya telak menghajar tubuh Wintarsa.
Desss...! Akibatnya benar-benar mengejutkan sekali! Tubuh pemuda tampan pesolek itu
terjengkang dan berkelojotan bagaikan ayam disembelih! Sekujur tubuhnya
mengeluarkan sinar kuning keemasan. Jelas, kekuatan 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi' seperti terserap ke dalam tubuh pemuda itu. Lama-kelamaan sinar kuning
keemasan itu semakin mengecil, kemudian lenyap sama sekali setelah berdiam agak
lama di sekitar kepala Wintarsa. Pemuda itu pun menggeletak tak sadarkan diri.
"Hm..., jelas ada sesuatu yang tidak beres dalam diri pemuda itu. Entah apa! Aku
belum begitu jelas. Tapi, mungkin ia memerlukan sedikit pengobatan. Sebaiknya
kita bawa saja dia ke dalam...," ujar Panji sambil menghampiri dan mengangkat
tubuh Wintarsa.
Sementara itu, Ki Dungkala, Ki Sama Tungga, dan Kenanga sama sekali belum bisa
mengeluarkan kata-kata.
Sepertinya mereka masih merasa terkesima dengan kejadian yang baru saja
disaksikan tadi. Mereka hanya bisa mengangguk dan mengikuti langkah Panji.
*** "Wintarsa, ceritakanlah! Dari mana kau mempelajari ilmu-ilmu aneh yang sangat
berbahaya itu" Menurut keterangan ayahmu, ia sama sekali tidak pernah mengajar-
kan dan memiliki ilmu seperti itu" Dan, benarkah kau yang telah melakukan
pembunuhan-pembunuhan di desa ini...?" tanya Panji setelah Wintarsa sadar dari
pingsannya. Sebelumnya, pemuda tampan berjubah putih itu telah menanyakan kepada Ki Sama
Tungga yang tampaknya telah sadar akan kekeliruannya selama ini.
Ki Dungkala, Kenanga, dan Ki Sama Tungga duduk berkumpul di tempat itu. Mereka
ingin mendengar penjelasan dari pemuda pesolek itu.
"Hhh..., sebelumnya aku memang jahat, dan sangat sombong. Aku sering menyakiti
para penduduk desa yang berani menentang kemauanku. Banyak gadis-gadis dan istri
orang yang kuganggu. Hal itu mungkin dikarenakan ayah selalu menuruti apa yang
menjadi kehendakku.
Tapi..., mengenai pembunuhan-pembunuhan yang kau tanyakan itu, aku sama sekali
tidak pernah melakukannya.
Mungkin ada satu-dua orang yang pernah tewas oleh tukang-tukang pukulku."
Wintarsa menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. Pemuda itu merasakan
dadanya agak sesak, walaupun tadi telah diobati oleh Pendekar Naga Putih.
"Semua itu kuakui sebagai kesalahanku. Sedangkan mengenai ilmu-ilmu itu,
kupelajari dari sebuah sumur tua yang terdapat di belakang kuil tua di sebelah
Barat desa ini. Kuil rusak itu sudah lama tidak terpakai lagi. Ketika itu aku
tengah beristirahat bersama kedua orang pengawalku, setelah berburu di hutan.
Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa tertarik dengan sebuah sumur tua di belakang kuil itu.
Karena dasar sumur itu terlihat dari atas, aku merasa penasaran, dan langsung
turun ke dalamnya."
Wintarsa kembali menghentikan ceritanya. Ditatapnya wajah orang-orang yang
berada di sekelilingnya, seakan ingin mengetahui tanggapan mereka akan
ceritanya. "Ternyata sumur tua itu berlubang pada dindingnya, dan mirip sebuah gua. Aku pun
langsung masuk ke dalamnya. Di sana aku menemukan gambar-gambar orang yang
tengah bersilat, lalu aku mempelajarinya. Dan sejak saat itu, aku hampir setiap
hari datang untuk mempelajari ilmu silat yang ada di dalam gua itu," Wintarsa
kembali menghentikan ceritanya, dan menarik napas dalam-dalam mengenang
peristiwa itu. "Hm..., gambar-gambar itu jelas peninggalan seorang tokoh sakti. Sayang, kau
mempelajarinya tidak berurutan.
Sehingga, hawa sakti yang kau himpun, telah merusak syaraf di kepalamu.
Untunglah, masih belum terlambat untuk menyembuhkanmu. Kalau tidak, mungkin kau
akan tewas bila jalan darah di kepalamu telah pecah akibat terlalu sering
melatih ilmu yang salah itu...," jelas Panji.
Pendekar Naga Putih kini mulai mengerti mengapa ilmu silat pemuda itu menjadi
sangat hebat bila kesadaran-nya lenyap. Rupanya hal itu disebabkan tersumbatnya
aliran darah di kepalanya, sehingga membuat ingatan pemuda itu lenyap, dan
berganti ingatan tentang ilmu silat yang dipelajarinya secara terbalik.
"Hm..., tahulah aku sekarang, siapa yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan
di desa ini...," tiba-
tiba Ki Dungkala bergumam, membuat yang lainnya segera menoleh ke arahnya.
"Apa maksud Paman...?" tanya Panji seraya mengerutkan keningnya ketika mendengar
ucapan Ki Dungkala.
"Panji, coba kau katakan, apakah Wintarsa bisa berubah menjadi gila seterusnya"
Dan mungkinkah ia akan melakukan pembunuhan-pembunuhan, apabila ia telah
mempelajari ilmu itu selama bertahun-tahun...?" tanya Ki Dungkala sebelum
menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih.
"Begitulah kira-kira, Paman. Perbuatan yang selama ini dilakukannya kebanyakan
didorong oleh pengaruh ilmu sesat itu. Sebab, menurutku Wintarsa tidak jahat.
Mungkin ia melakukan kejahatan-kejahatan itu setelah mempelajari ilmu yang
ditemukannya di dasar sumur tua di belakang kuil itu. Jadi, apabila Wintarsa
telah lima tahun lebih mempelajarinya, bisa jadi ia akan berubah gila.
Kendatipun ia masih bisa mengenali orang, dan berbicara seperti biasa. Kegilaan
yang kumaksudkan di sini adalah timbulnya pikiran-pikiran jahat akibat semakin
tingginya tenaga sakti yang dipelajarinya. Sebab, bila kita mempelajari ilmu
tenaga dalam secara terbalik, akan merusak jaringan syaraf pada otak kita...,"
tutur Panji yang membuat Ki Dungkala mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, marilah kalian ikuti aku. Sebab, yang mempelajari ilmu itu
mungkin bukan hanya Wintarsa seorang. Ada lagi orang lain yang telah
mempelajarinya, sebelum Wintarsa menjadi pemuda dewasa seperti sekarang ini.
Semula aku tidak begitu memperhatikannya
ketika ia seringkali pergi dan sampai menginap berhari-hari di kuil tua itu. Dua
tahun belakangan ini, ia seringkali menyepi di satu tempat. Diam-diam aku pernah
mengintainya. Dan, ia memang tengah melatih ilmu silatnya secara sembunyi-
sembunyi. Karena ia seperti merahasiakannya, maka aku pun tidak berani mem-
bicarakannya. Hanya saja tingkah dan sikapnya memang agak aneh. Mungkin karena
ia memiliki dasar yang lebih kuat ketimbang Wintarsa, maka ia tidak terlalu
merasakan perubahan itu...," jelas Ki Dungkala.
Panji dan yang lainnya menjadi tegang mendengar penjelasan kepala keamanan desa
itu. Orang yang diceritakan Ki Dungkala itu jelas lebih berbahaya daripada
Wintarsa. Kalau pemuda itu mempelajarinya baru satu tahun saja sudah sedemikian
hebat, entah bagaimana dengan orang yang diceritakan Ki Dungkala yang telah
mempelajarinya lebih dari lima tahun!
"Hm..., apakah orang itu memiliki tinggi tubuh seperti Ki Sama Tungga...?" tanya
Panji setelah terdiam beberapa saat lamanya.
Rupanya Pendekar Naga Putih kembali teringat kepada sosok tinggi kurus berjubah
putih yang pemah bertarung dengannya. Dan, lawannya itu memang memiliki gerakan
serupa dengan Wintarsa. Bahkan kelihatan jauh lebih kuat dan lebih mantap.
"Yah..., mungkin dia orang yang kau ceritakan itu, Panji. Marilah kalian ikuti aku. Ia ada di suatu tempat yang
tersembunyi. Dan ia sudah berbulan-bulan menyepi di sana. Aku sendiri tidak
tahu, apa yang membuat dia bertindak seperti itu...," ujar Ki Dungkala sambil
bergerak bangkit dan mengajak Panji dan yang lainnya untuk segera mengikutinya.
*** Dengan Ki Dungkala sebagai penunjuk jalan, tidaklah sulit bagi mereka untuk
menemukan tempat yang dimaksud lelaki gagah itu. Tidak berapa lama kemudian,
tibalah mereka di dekat sebuah pondok tua yang berada jauh di bagian Utara Desa
Margaluyu. Bahkan sudah berada di luar desa.
"Hm.., di sinikah orang itu tinggal...?" tanya Panji sambil melangkah mendekati
pondok itu. "Betul. Kuharap kalian semua berhati-hati. Sebab, bukan mustahil kalau dia telah
mengetahui kedatangan kita...," Ki Dungkala mengingatkan dengan wajah sedikit
tegang. Namun, saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan yang
mendirikan bulu roma. Bahkan, suara tawa itu mengandung kekuatan tenaga dalam
yang sangat dahsyat. Sehingga, Panji harus mengerahkan tenaga saktinya guna
melindungi dada dan pendengarannya dari pengaruh suara tawa itu.
"Kalian semua menyingkirlah jauh-jauh...!" seru Panji ketika melihat yang
lainnya tampak limbung, karena mereka tidak sanggup menahan getaran suara tawa
itu. "Ki Samparan, keluarlah! Kami sudah mengetahui bahwa semua yang terjadi di desa
adalah perbuatanmu...!"
teriak Ki Dungkala seraya melangkah mundur menjauhi pondok.
"Ki Samparan..."!" desis Ki Sama Tungga dan Wintarsa bersamaan. Jelas, keduanya
telah mengenal baik orang yang namanya disebut Ki Dungkala tadi.
"Ki Samparan..."! Kau maksudkan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu adalah
Kepala Desa Margaluyu sendiri...?" tanya Panji dengan wajah terkejut.
Karena ia telah mendengar tentang Kepala Desa Margaluyu itu. Tapi, tidak menduga
sama sekali kalau justru orang tua itulah yang melakukan kejahatan di dalam
desanya. Sebab, selama berada di desa itu Panji sama sekali belum pernah
berjumpa dengan Ki Samparan.
Pemuda itu tidak ingat untuk menanyakannya, karena Ki Dungkala pun tidak pernah
menyinggung-nyinggung tentang kepala desanya itu.
"Benar, Panji. Ki Samparanlah yang kumaksudkan...,"
jawab Ki Dungkala yang tampaknya merasa berduka mengingat orang yang selama ini
menteror warga desa justru orang yang seharusnya melindungi penduduk desa itu.
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba hembusan angin bertiup keras
diiringi suara tawa yang menggetarkan jantung. Begitu hembusan angin itu lenyap,
muncullah sesosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan jubah panjang berwarna
putih. Sosok itu berdiri angker menatapi wajah-wajah di hadapannya.
"Hm..., apa maksudmu membawa mereka kemari, Dungkala" Apakah kau hendak
mengandalkan Pendekar Naga Putih untuk menghentikan kesenanganku...?" tegur
lelaki tinggi kurus berusia sekitar enam puluh tahun itu.
Rambut dan wajahnya tampak tidak terurus, persis seperti
orang gila. Sorot matanya demikian tajam, tertuju kepada Ki Dungkala yang
badannya langsung menjadi gemetar.
"Benar! Akulah yang akan menghentikan kegilaanmu, Ki Samparan! Kau telah
Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersesat terlalu jauh...," ujar Panji yang langsung saja bergerak melindungi Ki
Dungkala, ketika melihat tangan kanan Ki Samparan siap bergerak untuk menghabisi
nyawa kepala keamanan desa itu.
"He he he...! Kalau begitu, kaulah yang lebih dulu harus kukirim ke neraka,
Pendekar Naga Putih..!"
Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Ki Samparan telah melayang dengan pukulan-
pukulan mautnya yang menimbulkan angin bercuitan.
Whuuut! Whuuut!
Cepat Pendekar Naga Putih menyuruh yang lainnya untuk menjauhi tempat itu.
Sedangkan ia sendiri sudah bergerak dengan lompatan ke samping, guna menghindari
serangan yang menebarkan bau amis dan harum yang memabukkan. Jelas, serangan Ki
Samparan mengandung racun yang mematikan.
"Hm...," Panji yang telah mengetahui kelemahan lawan, segera mengerahkan 'Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi'. Sebab, Wintarsa pun lumpuh dengan tenaga mukjizat itu.
Apa yang diduga Panji terbukti. Ki Samparan tampak sangat takut sekali ketika
melihat tubuh pemuda itu mengeluarkan sinar kuning keemasan. Hal itu tidaklah
aneh. Sebab, tenaga mukjizat jelmaan Pedang Naga Langit itu mampu melumpuhkan
ilmu sihir ataupun segala jenis racun yang paling jahat sekalipun.
Dan, karena Ki Samparan maupun Wintarsa tengah menderita keracunan, maka mereka
pun takut melihat sinar keemasan yang membuat tubuh mereka seperti lemas. Sadar
akan kelemahan lawan, Panji tidak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat bagai
kilat, pemuda itu langsung melesat menerjang lawannya.
Whuttt! Plakkk!
"Aaakh...!"
Ki Samparan menjerit kesakitan, karena ia terpaksa harus menangkis serangan
pemuda yang tidak mungkin dapat dielakkannya itu. Tubuh lelaki tua itu terjajar
mundur. Wajahnya tampak agak pucat. Sepasang matanya bergerak liar seperti
hendak mencari jalan untuk selamat.
"Hm..., hendak lari ke mana kau..."!" bentak Panji ketika melihat lawannya
melesat ke arah Ki Dungkala dan yang lainnya. Jelas Ki Samparan hendak mencari
korban yang lebih mudah untuk dilenyapkan.
Namun, lelaki tua itu tidak sempat untuk mencapai sasaran yang ditujunya. Karena
Panji lebih dulu menyambut serangan lelaki tua yang telah gila itu. Merasa tidak
ada jalan lain, Ki Samparan pun segera mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk
melenyapkan Pendekar Naga Putih. Sehingga, keduanya segera terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit.
Sebenarnya, kalau saja Panji tidak mempergunakan tenaga mukjizat itu, rasanya
sangat sulit untuk dapat mengalahkan Ki Samparan. Tapi, karena tenaga mukjizat
yang mengeluarkan sinar kuning keemasan itu mem-pengaruhi kekuatannya, maka Ki
Samparan dengan mudah dapat didesak Panji dengan gempuran-gempuran yang
cepat dan kuat. Apalagi jurus yang digunakan Panji adalah jurus andalan yang
sukar dicari bandingannya. Maka, setelah lewat dari enam puluh jurus, tampak Ki
Samparan mulai kewalahan. Berkali-kali lelaki gila itu berteriak-teriak
kesakitan, saat lengan mereka saling berbenturan keras. Dan ketika Pendekar Naga
Putih mengerahkan tenaganya sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya ke
depan, lelaki tua itu menjerit ngeri.
Blarrr...! Seberkas sinar kuning keemasan yang meluncur keluar dari sepasang telapak tangan
Pendekar Naga Putih, menghajar telak tubuh Ki Samparan. Akibatnya, tubuh tinggi
kurus itu terpental deras sejauh dua tombak lebih.
Tubuhnya terus meluncur menabrak dinding pondok yang kayunya memang telah lapuk.
Cepat Panji berlari memburu ke arah tubuh lawannya.
"Hhh...," Panji hanya bisa menghela napas panjang ketika melihat tubuh Ki
Samparan diam dan tak bergerak-gerak lagi.
Kepala desa yang telah menjadi gila itu tewas akibat hantaman dahsyat yang
mengandung kekuatan mukjizat.
Panji memang terpaksa menghabisi lawannya. Karena ia sadar bahwa tidak ada
kemungkinan lagi untuk menyembuhkan Ki Samparan. Hanya kematianlah jalan yang
terbaik bagi lelaki tua itu.
Ki Dungkala tampak menunduk sedih melihat tubuh Ki Samparan yang sudah tak
bernyawa lagi itu.
"Semoga arwahmu di alam baka dapat tenang, Ki...,"
ucap Ki Dungkala seraya mengangkat tubuh tinggi kurus itu dan membawanya ke
desa. Panji dan yang lainnya mengikuti tanpa berkata-kata.
Mereka pun bersyukur bahwa teror yang selama ini melanda penduduk Desa Margaluyu
telah dapat dilenyapkan.
SELESAI Created ebook by
Scan & Conyert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com Thread Kaskus:
http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Pendekar Pengejar Nyawa 15 Dewi Ular 47 Mahluk Seberang Zaman Tangan Geledek 17
lain lagi yang memiliki beberapa persamaan.
Tak aneh kalau Panji dan Kenanga pun menjadi ragu.
"Hm..., mungkinkah ada orang lain yang melakukan semua kejahatan di desa ini..."
Pemuda yang kutemui di luar desa ini jelas sangat sakti, Paman. Jadi, bagaimana
langkah kita selanjutnya...?" ujar Panji yang akhirnya menyerahkan keputusan di
tangan Ki Dungkala. Karena biar bagaimanapun juga, lelaki gagah itulah yang
berkuasa di desa ini.
"Kalau kita harus menunggu penjahat itu kembali beraksi, jelas sangat berbahaya,
Panji. Kau sudah dengar sendiri ceritaku, bukan" Di depan mataku sendiri ia
dapat membunuh, tanpa dapat kuketahui kapan dan siapa yang melakukannya. Selain
itu, ia tidak setiap hari melakukan aksinya. Kalau melihat dari korban-korban
terdahulu, jelas Wintarsalah yang patut dicurigai. Sebab, orang-orang yang
menjadi korban pembunuhan itu adalah mereka yang berani menentang keinginan
pemuda kaya itu. Tidak
jarang mereka disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh.
Aku jadi belum bisa memutuskan, langkah apa yang seharusnya kita ambil
sekarang...," desah lelaki gagah itu.
Raut wajahnya kelihatan kecewa sekali.
"Hm..., rasanya tidak terlalu sulit, Paman. Kita tinggal mencari saja, siapa
yang saat ini berani menentang pemuda kaya itu. Dengan demikian, kita bisa
melakukan pengintaian kalau-kalau penjahat itu akan datang melakukan aksinya.
Setelah itu, kita bisa menyergapnya bersama-sama...," usul Panji setelah
berpikir beberapa saat lamanya.
Wajah Ki Dungkala yang semula kelam, kini berubah cerah. Lelaki gagah itu
tampaknya menyambut baik usul Pendekar Naga Putih.
"Benar, Paman. Menurutku, hanya itulah satu-satunya jalan agar kita dapat
menangkap basah pembunuh keji itu...," timpal Kenanga, mendukung usul
kekasihnya. "Yah..., rasanya usul itu cukup baik. Malam ini sebaiknya kalian berdua menginap
di rumahku. Besok baru kita mencari tahu, siapa penduduk yang saat ini diincar
Wintarsa...," ujar Ki Dungkala mengajak Panji dan Kenanga untuk bermalam di
rumahnya. Panji yang mendengar tawaran Ki Dungkala tersenyum lebar. Pemuda tampan itu
menatap wajah kekasihnya sekilas, seolah hendak meminta persetujuan. Meskipun Ki
Dungkala menawarkan kebaikan terhadap mereka berdua, tapi Panji tahu kalau
lelaki gagah itu masih menaruh kecurigaan terhadap mereka berdua. Maka, ketika
melihat Kenanga menyerahkan keputusan kepadanya, Panji segera menerima tawaran
Ki Dungkala. "Baiklah, Paman. Maaf kalau kami telah mere-potkanmu...," ujar Panji yang segera
mengikuti langkah lelaki gagah itu menuju tempat tinggalnya.
"Kalian kembalilah ke pos mulut desa. Bergabunglah dengan penjaga-penjaga di
sana...," perintah Ki Dungkala kepada empat orang anak buahnya. Setelah itu,
barulah lelaki itu mengajak Panji dan Kenanga ke rumahnya.
*** Malam semakin larut. Bulan sepotong tampak tersembul memancarkan sinarnya yang
temaram. Hembusan angin bersilir lembut, membuat dedaunan bergemerisik perlahan. Suara
burung malam terdengar saling bersahutan mendirikan bulu roma.
Saat itu, di tengah kepekatan malam, tampak sesosok bayangan putih bergerak
dengan kecepatan yang mengagumkan. Tubuhnya berloncatan dari atap rumah yang
satu ke atap lainnya. Terkadang sosok bayangan putih itu bergerak dari pohon ke
pohon, ketika tidak melintasi sebuah rumah pun. Melihat dari gerakannya yang
demikian gesit dan ringan, jelas sosok bayangan putih itu seorang tokoh
persilatan yang berkepandaian tinggi.
Tok, tok, tok...!
Terdengar suara kentongan peronda desa yang dipukul berkali-kali. Sosok bayangan
putih itu tampaknya tidak ingin berpapasan dengan para peronda. Buktinya ia
langsung melesat mengambil jalan lain, agar tidak terlihat para peronda yang
tengah mengitari desa ini.
Sosok bayangan putih itu bergerak ke arah selatan desa, berlawanan arah dengan
jalan yang dilalui para
peronda. Dengan lincahnya, tubuhnya berloncatan tanpa menimbulkan suara sedikit
pun. Sehingga, tidak membuat ketenangan penduduk terganggu oleh suara
langkahnya. "Hm...," tiba-tiba sosok bayangan putih itu merandek ketika melihat tiga sosok
tubuh yang bergerak beberapa tombak di bawahnya. Saat itu, ia sendiri tengah
ber-tengger di atas sebatang pohon besar. Sehingga, ketiga sosok bayangan itu
sama sekali tidak mengetahui kehadirannya.
Pada saat ketiga sosok tubuh itu bergerak semakin jauh, bayangan putih itu
langsung meluncur turun dan membayangi ketiga sosok tubuh itu dari kejauhan.
Tampak sosok bayangan putih itu menghentikan langkahnya, dan bersembunyi di
balik sebatang pohon.
Dilihatnya dua di antara ketiga orang itu tampak bergerak ke depan, setelah
mengenakan topeng dari kain hitam untuk menutupi wajahnya. Sedangkan sosok
bayangan yang satunya lagi berdiri seperti menanti hasil pekerjaan temannya.
"Hm...."
Sosok bayangan putih itu bergumam perlahan. Tubuhnya disembunyikan, menanti
kedatangan kedua sosok bayangan hitam yang sepertinya hendak melakukan kejahatan
itu. "Mana mungkin ada orang baik datang malam-malam dengan mengenakan topeng pada
wajahnya," pikir sosok bayangan putih yang terus mengintai itu.
Rupanya si pengintai itu tidak menunggu lama.
Beberapa saat kemudian, sosok bayangan hitam itu pun sudah kembali. Salah
seorang di antaranya tampak
memondong sosok tubuh ramping yang telah tidak sadarkan diri. Meskipun demikian,
sosok bayangan putih itu belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk menghadang.
Bahkan, tubuhnya disembunyikan saat ketika sosok tubuh itu melintas beberapa
langkah di depannya. Kemudian, melesat pergi setelah ketiga sosok tubuh penculik
itu berada cukup jauh dari tempatnya sembunyi. Kemudian, ia melesat dan lenyap
dari tempat itu.
Sedangkan ketiga sosok tubuh itu terus bergerak menerobos kegelapan malam. Tidak
lama kemudian, mereka mengambil sebatang obor, yang mereka tinggalkan di satu
tempat. Namun, sebelum mereka kembali bergerak, tiba-tiba terdengar teguran
bernada halus, tapi membuat ketiga sosok tubuh itu berjingkat kaget.
"Hm..., ternyata kalian masih juga berani melakukan kejahatan seperti ini...!"
ujar sosok tubuh yang mengenakan jubah panjang berwarna putih. Wajahnya yang
tampan menyiratkan perbawa yang menggetarkan jantung. Terutama sekali tatapan
matanya yang mencorong tajam, laksana mata naga yang sedang marah!
"Kau..."!" desis lelaki brewok berpakaian serba hitam yang menatap pemuda tampan
di depannya dengan mata terbelalak lebar. Ia kaget bagaikan melihat hantu di
siang hari bolong. Suaranya terdengar bergetar menyiratkan kegentaran. Jelas,
sosok pemuda tampan berjubah putih yang menghadangnya itu telah dikenalnya.
Bukan hanya lelaki brewok bertubuh kekar itu saja yang menjadi terkejut. Dua
orang lainnya pun tidak kalah
kaget ketika melihat dan mengenali si penghadang berjubah putih itu. Jelas,
mereka bertiga telah mengenali penghadang itu.
"Ya, aku...," ucap pemuda tampan berjubah putih itu.
Ia kemudian melangkah maju menghampiri salah satu dari mereka. Seorang pemuda
tampan pesolek. "Kau pastilah yang bernama Wintarsa, bukan...?"
"Bangsat! Dari mana kau tahu namaku..."! Dan, mengapa kau masih juga mencampuri
urusanku..."!"
bentak pemuda yang ternyata Wintarsa itu dengan wajah berang. Meskipun begitu,
ia tidak bisa menyembunyikan kegentaran yang terpancar di wajahnya. Kelihatan
sekali kalau ia merasa cemas dan hendak mencari jalan untuk lolos.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang tak lain dari Panji itu, kelihatan agak
heran melihat tingkah Wintarsa yang tampak cemas dan gentar.
"Hm..., pemuda itu benar-benar aneh" Dengan kesaktiannya yang sangat tinggi,
mengapa ia harus merasa gentar?" gumam Panji dalam hati. Kali ini Pendekar Naga
Putih berjanji untuk dapat menangkap pemuda tampan pesolek itu hidup-hidup dan
menyerahkannya kepada Ki Dungkala.
Wintarsa pun rupanya tidak ingin menunggu lama.
Cepat ia memerintahkan lelaki brewok yang bernama Surgala, dan temannya untuk
segera mengeroyok pemuda tampan berjubah putih itu.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang lelaki berseragam hitam itu langsung
menghunus senjata dan mengepung Panji. Sedangkan pemuda tampan berjubah
putih itu melangkah terus tanpa mempe-dulikan kedua tukang pukul Wintarsa yang
siap menerjangnya. Pendekar Naga Putih rupanya lebih tertarik kepada Wintarsa,
ketimbang kedua orang tukang pukul itu.
"Haaat...!"
Lelaki brewok bertubuh kekar itu berseru keras memulai serangannya. Pedang di
tangan kanannya berputaran menimbulkan suara berdesing tajam.
Demikian pula tukang pukul yang satunya lagi, mereka langsung saja mengeroyok
Panji dengan serangan-serangan yang ganas dan kuat.
Namun kali ini Panji tidak ingin berlama-lama. Ketika serangan kedua batang
pedang itu tiba, pemuda itu langsung menggeser tubuhnya dan mengirimkan serangan
balasan yang cepat dan kuat. Sehingga, kedua pengeroyoknya itu terpaksa melompat
mundur karena tidak ingin celaka.
Tapi, gerakan kedua orang tukang pukul Win-tarsa itu jelas kalah jauh dalam hal
kecepatan dan kekuatan.
Sehingga, Panji tidak memerlukan waktu yang lama untuk merobohkan lawan-
lawannya. Dalam lima jurus saja pukulan dan tendangan Pendekar Naga Putih telah
membuat kedua orang pengeroyoknya terjungkal tewas.
Rupanya Panji kali ini tidak ingin memberi hati kepada orang-orang jahat itu.
Maka, ia langsung saja menurunkan tangan kejam kepada tukang-tukang pukul
Wintarsa yang ternyata masih belum jera untuk berbuat jahat
"Keparat...!" Wintarsa membentak marah ketika melihat dua orang tukang pukulnya
menggeletak tanpa nyawa. Tanpa banyak cakap lagi, pemuda pesolek itu
langsung melepaskan tubuh ramping yang ada dalam pondongannya. Kemudian
senjatanya dihunus, siap untuk bertempur!
Panji sudah menggeser langkahnya dengan sepasang mata tak lepas dari wajah
Wintarsa. Sadar kalau lawannya tidak bisa dipandang ringan, Panji langsung
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Sebentar saja, tubuh Pendekar Naga Putih telah
terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan.
Wintarsa yang melihat tubuh lawannya tampak terselimut sinar putih keperakan,
menjadi terkejut bukan main. Namun, karena merasa tidak ada jalan untuk lolos,
maka pemuda itu segera memutar pedangnya dengan sepenuh tenaga. Terbentuklah
lingkaran putih yang bergulung-gulung menimbulkan suara menderu-deru.
"Haaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh Wintarsa melayang ke arah Panji. Pedang
di tangannya bergerak-gerak dan meliuk mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Bettt! Bettt! Berkali-kali pedang di tangan Wintarsa bergerak kian kemari mengancam tubuh
Panji. Namun, semua itu dengan mudah dapat dielakkan pemuda berjubah putih itu.
Serangan Wintarsa sama sakali tidak membayangkan kekuatan maupun kecepatan yang
hebat, bahkan terlihat sangat lambat bagi Panji. Tentu saja kenyataan itu
membuat Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya.
"Hm..., mengapa gerakannya terkesan biasa dan tidak berbahaya" Mungkinkah ia
sengaja menyembunyikan
kepandaiannya dan berpura-pura bodoh" Tapi..., rasanya tidak mungkin. Melihat
dari wajah dan gerakannya, ia tampak sungguh-sungguh" Lalu, mengapa ia tidak
langsung mengeluarkan kesaktiannya yang hebat itu...?"
gumam Panji yang benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan ketika melihat gerakan
Wintarsa yang jauh dari apa yang dibayangkannya.
Merasa penasaran, Panji tidak berusaha menghindari sebuah tebasan pedang yang
dilakukan Wintarsa dengan gerakan mendatar, mengancam perutnya. Hanya dengan
sedikit egosan, Pendekar Naga Putih langsung menggerakkan tangan kanannya,
menangkis pedang yang mengancam tubuhnya.
Plakkk! Sengaja Panji memperlambat gerakannya ketika menangkis bacokan pedang lawan.
Bahkan tenaganya tidak dikerahkan terlalu banyak. Karena melihat serangan
Wintarsa tampaknya tidak terlalu berbahaya.
Dan, apa yang dilihatnya benar-benar membuat hati Panji menjadi penasaran bukan
main! Tangkisannya membuat tubuh Wintarsa terpelanting ke belakang.
Seolah-olah pemuda itu memang tak sanggup mengimbangi kekuatan tangkisan Panji.
"Kurang ajar...! Mengapa kekuatannya tidak sehebat beberapa hari yang lalu..."
Apakah ia sengaja hendak mempermainkan aku...?" desis Panji, geram. Maka, tanpa
menunggu lawannya bangkit, Pendekar Naga Putih langsung melesat dan mengirimkan
totokan guna melumpuhkan Wintarsa.
"Heh..."!"
Plak, plak... Desss...!
"Akh...!"
Panji terkejut bukan kepalang ketika serangannya hampir tiba, tahu-tahu muncul
sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangannya. Bahkan, sebuah
pukulannya sempat menghantam dada Pendekar Naga Putih. Sehingga, membuat tubuh
Panji terpental balik.
Untunglah pemuda tampan itu sempat mengatur keseimbangan tubuhnya. Dengan
berputaran di udara, Panji dapat mendarat ringan di atas tanah dengan kedua
kakinya. Panji menatap tajam sosok tinggi kurus di depannya.
Keadaan malam yang gelap dan rambut yang menyembunyikan wajahnya, membuat Panji
tidak bisa mengenali orang yang telah menyelamatkan Wintarsa.
Sedangkan sosok tinggi kurus yang tampak gesit dan lincah itu bergerak ke kanan,
tanpa berusaha untuk membantu Wintarsa bangkit. Cepat Panji menggeser langkahnya
ketika melihat sosok tinggi kurus itu mulai membuka jurus serangannya.
*** 6 Tanpa memberikan peringatan sedikit pun, sosok tinggi kurus berjubah putih itu
langsung menerjang Panji.
Gerakannya nampak demikian cepat laksana kilat Bahkan decitan angin yang
ditimbulkan lontaran pukulannya terdengar sangat tajam dan menyakitkan telinga.
Jelas, sosok tinggi kurus berjubah putih itu memang merupakan lawan yang sangat
tangguh bagi Pendekar Naga Putih.
Melihat lawannya sudah mulai menyerang, Panji langsung mempersiapkan jurus
andalannya. Sekali pandang saja, Pendekar Naga Putih langsung tahu kalau
lawannya ini tidak bisa dipandang enteng. Itu sebabnya Panji tidak mau mengambil
resiko, dan langsung menggunakan jurus 'Naga Sakti'nya untuk menghadapi serangan
lawan. Sebentar saja, keduanya telah terlibat dalam sebuah pertarungan yang
sengit dan mendebarkan.
Panji bertempur sambil mengawasi permainan jurus lawan. Pendekar Naga Putih
terkejut ketika mengetahui jurus-jurus yang dimainkan sosok tinggi kurus itu
mempunyai kesamaan dengan jurus-jurus yang dimainkan Wintarsa sewaktu pertama
kali bertarung dengannya.
Bedanya, gerakan sosok tinggi kurus itu tampak sangat teratur, dan memiliki
kekuatan yang jauh lebih hebat dari Wintarsa.
Karena terus memikirkan perihal lawannya, pikiran Panji jadi terpecah. Sehingga
ia tidak bisa lagi menghindari sebuah tamparan lawannya. Meskipun berusaha
mengelak, tetap saja bahunya terkena hantaman lawan.
Bukkk! "Akh...!"
Panji mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung limbung karena tamparan itu sangat
kuat, dan sanggup menghancurkan sebuah batu karang yang besar. Untungnya, tubuh
pemuda itu telah terlindungi lapisan kabut bersinar putih keperakan. Kalau
tidak, bukan mustahil bahunya akan remuk akibat tamparan lawan.
"Yeaaah...!"
Sosok tinggi kurus berjubah putih itu sepertinya sangat bernafsu merobohkan
Panji secepat mungkin. Tanpa memberikan kesempatan kepada lawannya untuk mem-
perbaiki kuda-kuda, sosok tinggi kurus itu langsung menyusuli serangannya dengan
serangan-serangan yang berbahaya dan bisa mendatangkan kematian! Apalagi yang
diincarnya adalah bagian-bagian jalan darah kematian di tubuh Panji. Sudah
barang tentu pemuda tampan berjubah putih itu tidak mau menyerahkan nyawanya
begitu saja. "Hiaaah...!"
Sambil mengempos semangat dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga mukjizatnya,
Pendekar Naga Putih menggerakkan kedua tangannya untuk memapaki serangan lawan.
Plak! Plak! Bentrokan pun tak dapat dihindari lagi. Kedua pasangan lengan yang sama-sama
terlindungi tenaga sakti tingkat tinggi itu saling berbenturan keras. Akibatnya,
Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua tubuh mereka sama-sama terdorong mundur sejauh empat langkah. Jelas, dalam
bentrokan itu keduanya
terlihat sama kuat.
Begitu kedua kakinya kembali menginjak tanah dengan kokoh, sosok tinggi kurus
itu kembali melesat dengan serangan yang lebih habat lagi. Jurus yang kali ini
digunakannya tampak berbeda dari yang pertama.
Meskipun demikian, kehebatannya jauh berbeda di atas jurus-jurus pertama tadi.
Sehingga, Pendekar Naga Putih benar-benar harus menguras semua ilmunya untuk
menundukkan lawan yang sangat misterius itu.
"Hmh...!" Panji mendengus gusar melihat kehebatan dan kekuatan lawan. Cepat
pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus pamungkas dari rangkaian terakhir 'Ilmu
Silat Naga Sakti'.
"Yeaaah...!"
Diiringi 'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji melesat dengan kecepatan menggetarkan
ke arah lawannya. Angin dingin bertiup semakin keras mengiringi setiap gerakan
yang dilakukan Pendekar Naga Putih.
Wueeet...! Wueeet...!
Dua buah sambaran cakar Pendekar Naga Putih berhasil dielakkan lawannya dengan
menggeser tubuh ke kanan, seraya merendahkan kuda-kudanya. Tapi, serangan Panji
tidak berhenti sampai di situ saja. Kaki dan tangannya terus bergerak dengan
lontaran serangan yang susul-menyusul, disertai tiupan angin dingin yang menusuk
tulang laksana badai salju!
Rupanya gempuran Pendekar Naga Putih kali ini cukup membuat lawannya kerepotan.
Berkali-kali cakaran serta tamparan Panji nyaris mengenai tubuh lawannya. Hanya
karena lawan memiliki ilmu langkah-langkah aneh sajalah,
yang membuatnya masih dapat menghindar dari sergapan Panji. Meskipun demikian,
kelihatan sekali kalau sosok tinggi kurus itu mulai terdesak oleh serangan-
serangan Pendekar Naga Putih.
Entah sudah berapa belas kali dua pasang lengan mereka saling berbenturan keras.
Dan setiap berbenturan, tubuh keduanya tampak terdorong ke belakang. Jelas kalau
tenaga yang mereka miliki berimbang. Sehingga, meskipun pertarungan sudah
berlangsung selama delapan puluh jurus, belum ada tanda-tanda salah seorang di
antara mereka akan keluar sebagai pemenang. Tampaknya memerlukan waktu yang
cukup lama untuk mendapatkan kepastian siapa pemenang dalam pertarungan itu.
Sekitar arena pertarungan terlihat sudah porak-poranda bagaikan tersapu badai
topan yang mengerikan.
Belasan batang pohon tampak saling tumpang tindih berpatahan. Bahkan ada
beberapa di antaranya yang tercabut hingga ke akar-akarnya. Dedaunan pohon sudah
menumpuk bagaikan anak bukit. Jelas, pertarungan kedua tokoh sakti itu telah
membuat alam di sekitarnya rusak.
Sementara itu, Wintarsa sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Bahkan
kedua mayat tukang pukul pemuda itu pun ikut lenyap. Jelas, pemuda tampan
pesolek itu telah mengambil kesempatan untuk melarikan diri selagi Panji
bertarung dengan sosok tinggi kurus berjubah putih itu. Sedangkan yang masih
tertinggal di tempat itu hanyalah sosok tubuh gadis desa yang semula hendak
diculik Wintarsa.
Minat Wintarsa untuk memiliki gadis yang diincarnya itu sepertinya lenyap ketika
dipergoki pemuda berjubah
putih, yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi.
Sehingga, ia meninggalkannya begitu saja di bawah sebatang pohon kecil.
Untungnya pertarungan kedua orang sakti itu telah bergeser jauh dari tempat
semula. Maka, terhindarlah sosok gadis desa yang tengah tergolek tak sadarkan diri itu
dari pukulan-pukulan yang dilontarkan dalam pertempuran maut itu.
Saat itu kokok ayam jantan telah terdengar sesekali.
Pertanda sebentar lagi fajar akan segera muncul.
Hembusan angin malam tampak terasa semakin bertambah dingin. Bulan yang muncul
separuh, seperti resah menyaksikan pertarungan yang belum juga usai itu.
"Yeaaah...!"
Panji yang semula sudah berhasil mendesak, kembali dibuat terkejut dan kagum
oleh keuletan lawannya.
Bahkan kali ini sosok tinggi kurus itu tampak mulai dapat menguasai pertempuran.
Dan Panji malah terdesak oleh gempuran-gempuran lawan. Amukan sosok tinggi kurus
itu sepertinya terpengaruh oleh suara kokoh ayam jantan yang mulai terdengar
menyambut datangnya fajar.
Plak! Plak! Plak...!
Kedua pasang lengan kembali saling berbenturan keras. Tubuh mereka kembali
terdorong mundur sejauh delapan langkah. Jelas, kedua tokoh itu sudah mulai
merasa lelah, setelah bertarung selama hampir dua ratus jurus.
Panji yang kembali tengah mempersiapkan, ilmunya, tersentak kaget ketika melihat
lawannya bergerak seperti mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Cepat pemuda
itu melompat mundur ketika sosok tinggi kurus itu
mengibaskan lengannya yang menimbulkan asap merah muda berbau harum.
"Hiaaah...!"
Sadar kalau asap itu pastilah merupakan racun ganas, Panji langsung mendorongkan
sepasang telapak tangannya dengan pukulan jarak jauh. Seketika itu juga, ber-
hembuslah angin dingin yang sangat kuat, membuat asap berwarna merah muda itu
langsung buyar dan menipis.
Namun, saat itu sosok lawannya ternyata telah lenyap dari arena pertarungan.
Tentu saja hal itu membuat hati Pendekar Naga Putih menjadi penasaran.
"Kurang ajar! Ke mana perginya sosok misterius itu...?" geram Panji sambil
mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Namun, yang dilihatnya
hanyalah sosok tubuh gadis desa yang masih menggeletak pingsan.
"Pendekar Naga Putih...! Kau harus meninggalkan desa ini secepatnya...! Kalau
tidak, bencana yang lebih hebat dan lebih mengerikan akan datang kepada seluruh
penduduk Desa Margaluyu...!" tiba-tiba terdengar suara tanpa wujud. Suara itu
bagaikan datang dari empat penjuru. Panji sendiri merasa sulit untuk mengetahui
asal suara itu. Tapi, ia tahu kalau suara itu pasti berasal dari sosok tinggi
kurus berjubah putih yang menjadi lawannya barusan.
"Hm..., menurutku kau adalah seorang pengecut, Kisanak! Sangat kusesalkan kalau
kepandaianmu yang tinggi itu digunakan untuk jalan sesat! Kalau benar-benar
jantan, kutantang kau bertarung sampai salah seorang di antara kita menggeletak
jadi mayat...!" Panji yang merasa
jengkel, langsung saja berseru menyahuti suara tanpa wujud itu. Namun, setelah
menanti agak lama, tak terdengar jawaban sepatah kata pun.
Pendekar Naga Putih yakin kalau lawannya tadi benar-benar telah meninggalkan
tempat itu. Kemudian, kakinya segera melangkah mendekati sosok gadis desa yang
masih tergeletak pingsan. Hanya dengan mengusap bagian jalan darah untuk
melancarkan peredaran darah di tubuh gadis itu, tampak sosok ramping itu
mengeluh dan menggeliat perlahan. Terlihat gadis itu mulai sadar dari
pingsannya. "Kau siapa..." Mengapa aku berada di tempat ini...?"
tanya dara cantik berambut panjang sebahu itu seraya menatap wajah tampan di
hadapannya dengan wajah pucat ketakutan.
Panji mencoba tersenyum dengan maksud untuk membuat hati gadis itu menjadi
tenang. Kemudian ia menerangkan dengan nada perlahan bahwa gadis itu baru saja
ditolong dari cengkeraman pemuda yang dipanggil dengan nama Tuan Muda Wintarsa.
"Ya! Aku ingat sekarang. Ada dua orang lelaki berpakaian hitam memasuki kamarku,
dan menyergapku.
Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Lalu, ke manakah mereka sekarang?"
tanya gadis cantik itu sambil mengedarkan pandang matanya ke sekitar tempat itu.
Namun, di sekelilingnya yang terlihat hanyalah kegelapan yang menyeramkan.
Menyadari keadaan itu, gadis itu pun melangkah agak terburu-buru mendekati
pemuda tampan yang menjadi penolongnya. Tanpa sadar ia memegang lengan Panji
dengan wajah agak pucat.
"Aku..., takut..," kata gadis itu tanpa malu-malu lagi.
Bahkan tubuhnya semakin dirapatkan ke tubuh Panji.
"Tidak ada yang perlu ditakuti lagi, Nisanak. Sekarang, marilah kau kuantar
pulang...," ujar Panji seraya melangkah perlahan. Sedangkan gadis desa yang
cantik itu hanya mengangguk. Kemudian ia mengikuti Panji tanpa melepaskan
pegangan tangannya pada lengan pemuda itu.
*** Panji tertegun dengan wajah geram ketika tiba di tempat kediaman gadis cantik
yang ditolongnya. Di dalam rumah itu dilihatnya dua sosok mayat laki-laki dan
perempuan berusia setengah baya yang kepalanya retak.
Melihat dari ceceran darah yang masih agak basah, Panji dapat menduga kalau
pembunuhan itu belum lama terjadi.
"Hm..., mungkinkah semua ini perbuatan kedua orang lelaki berpakaian hitam yang
menjadi tukang pukul Wintarsa" Kejam sekali kalau mereka sampai membunuh kedua
orang tua ini, hanya karena hendak menculik putrinya...," desis Panji. Dalam
hati, Pendekar Naga Putih merasa bersyukur telah melenyapkan 'kedua orang tukang
pukul Wintarsa itu.
"Ayah..., Ibu...!"
Gadis cantik yang ditolong Panji menangis dengan hati hancur melihat keadaan
orangtuanya. Panji tersadar dari lamunannya, segera kakinya melangkah dan
menghibur gadis desa yang tengah dirundung malang itu. Ia bahkan membiarkan
gadis itu menumpahkan air mata di dada bidangnya.
"Tahukah kau, siapa kira-kira yang telah membunuh kedua orangtuamu...?" tanya
Panji ketika isak tangis gadis
itu sudah mulai reda. Meskipun telah dapat menduga, tapi Panji ingin meyakini
dugaannya. "Siapa lagi kalau bukan manusia jahat yang bernama Wintarsa itu"! Ia memang
sudah lama mengincarku! Tapi, ayah dan ibuku tidak mau membiarkan aku jatuh ke
dalam pelukannya. Mungkin hal itu diketahuinya, dan merasa dendam terhadap ayah
dan ibuku. Dua orang yang menculikku, pastilah tukang-tukang pukulnya yang galak
dan kejam!" jawab gadis desa itu dengan nada menyiratkan dendam yang dalam.
Kemudian, tangisnya kembali meledak ketika teringat bahwa dirinya kini sudah
tidak mempunyai siapa-siapa lagi.
"Harap kau bisa tabah dalam menghadapi semua ini, Nisanak. Aku akan melaporkan
kejadian ini kepada Ki Dungkala. Pemuda jahat yang bernama Wintarsa itu memang
harus ditangkap, agar tidak lagi berani mengganggu gadis-gadis dan penduduk di
desa ini...," ujar Panji, menenangkan hati gadis cantik itu.
"Tapi, selama ini tidak pernah ada orang yang berani menentang Wintarsa dan
keluarganya. Bahkan kepala desa sendiri tidak berani berbuat apa-apa. Sudah
banyak orang yang menjadi korban kejahatan pemuda itu, tapi tak satu pun yang
berani melaporkannya. Sebab, apabila ada yang berani melapor, sudah pasti akan
mengalami kematian, tanpa ada yang tahu siapa pelakunya...," bantah gadis cantik
itu di antara isak tangisnya.
"Hm..., pada waktu-waktu yang lalu memang belum ada orang berani menentangnya.
Tapi percayalah, Nisanak. Aku akan menghentikan kejahatan pemuda bejat itu untuk
selamanya...!" janji Panji dengan suara yang
tegas dan mantap.
Wajah gadis desa yang cantik itu terangkat, seperti hendak mengetahui kebenaran
ucapan pemuda tampan berjubah putih yang telah menyelamatkannya itu.
"Betulkah itu, Kakang...?" tanyanya seraya menatap tepat di kedua bola mata
Panji yang memang sedang menatap wajah gadis desa yang cantik itu.
"Tentu saja benar. Dan, besok aku dan Ki Dungkala akan mendatangi keluarga Ki
Sama Tungga. Aku akan membalaskan dendam semua orang desa yang telah disakiti
dan dibunuhnya...," lanjut Panji lagi.
"Terima kasih, Kakang...," ucap gadis cantik itu.
Hati gadis cantik itu merasa senang mendengar janji penolongnya. Ia pun kembali
merebahkan wajahnya ke dada Panji. Tentu saja Panji agak sedikit bingung melihat
sikap gadis desa itu. Tapi, karena tidak ingin menyinggung perasaan, Panji
terpaksa mendiamkannya.
Tanpa terasa saat itu malam telah berganti pagi.
Meskipun cuaca masih agak gelap, namun para penduduk desa telah banyak
berdatangan ke rumah tempat di mana terjadi pembunuhan. Kedatangan orang-orang
desa itu tentu saja atas pemberitahuan Panji. Pemuda itu kemudian meminta agar
para tetangga yang berdekatan, mau membantu dan mengurus kedua mayat orangtua
gadis yang ditolongnya. Sedangkan ia sendiri hendak melaporkan kejadian itu
kepada Ki Dungkala.
Kedatangan Panji disambut Ki Dungkala dengan wajah menyiratkan kecurigaan.
Namun, ketika Panji menceritakan kejadian yang dialaminya semalam, lelaki gagah
itu langsung saja memintanya untuk membawa ke
tempat kejadian.
Orang-orang desa yang berkerumun langsung menyisih ketika kepala keamanan desa
mereka tiba. Setelah memeriksa kedua mayat yang menjadi korban pembunuhan itu,
Ki Dungkala mengajak Panji menjauhi orang-orang desa, dan meminta keterangan
lebih rinci dari pemuda itu.
"Hm..., jadi benar bahwa orang yang kau hadang semalam itu adalah Wintarsa"
Lalu, siapa pula laki-laki tinggi kurus berjubah putih yang bertarung denganmu
dan menyelamatkan pemuda jahat itu...?" tanya Ki Dungkala setelah mendengar
cerita Panji lebih lengkap dan jelas.
Ada bayang kecurigaan pada sepasang mata lelaki gagah itu, yang membuat Panji
memakluminya. Selain ia merupakan orang asing di Desa Margaluyu, Ki Dungkala pun
belum mengenalnya sama sekali.
"Ki Dungkala, kuharap kau suka melenyapkan kecurigaanmu...," ujar Kenanga. Gadis
ini juga menangkap sorot kecurigaan di mata lelaki gagah itu. Ia mengatakan itu,
karena tidak suka melihat kekasihnya dicurigai. "Perlu kau ketahui, Ki. Pemuda
yang berdiri di hadapanmu ini adalah seorang pendekar besar yang telah
menggemparkan rimba persilatan. Jadi, kecurigaanmu jelas tidak beralasan...."
"Ah..."!" Ki Dungkala nampak terkejut sekali ketika mendengar perkataan Kenanga.
Lelaki gagah itu memandangi sosok Panji secara lebih teliti. Sepasang mata Ki
Dungkala semakin membelalak ketika mendapati ciri-ciri yang sering didengarnya
terdapat pada seorang pendekar muda yang mendatangkan
kekaguman di hatinya selama ini.
"Kau..., benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih..."!" ucap Ki Dungkala
dengan suara bergetar penuh harapan.
"Begitulah orang-orang memberikan julukan kepadaku, Paman...," jawab Panji.
Pendekar Naga Putih kini merasa tidak perlu lagi menyembunyikan jati dirinya.
Apalagi nama besarnya memang sangat dibutuhkan untuk melenyapkan kecurigaan Ki
Dungkala terhadap dirinya.
Sadar bahwa yang dihadapinya adalah benar Pendekar Naga Putih, Ki Dungkala
langsung saja menjatuhkan tubuhnya dan bersimpuh di depan Panji. Tentu saja
Panji tidak ingin mendapatkan kehormatan yang berlebihan itu.
Apalagi saat itu beberapa warga desa dan anak buah Ki Dungkala tengah menatap
penuh keheranan. Kemudian, segera tubuh lelaki gagah itu diangkatnya.
"Maafkan sikapku yang telah lancang menuduhmu secara tak langsung, Pendekar Naga
Putih. Aku benar-benar bodoh tidak bisa melihat siapa sesungguhnya orang yang
berada bersamaku. Dengan kehadiranmu di desa ini, bukan mustahil kalau teror
yang selama ini meresahkan penduduk desa akan segera berakhir...," ujar Ki
Dungkala. Dari kata-katanya, dapat dipastikan kalau lelaki gagah itu
mengharapkan bantuan Pendekar Naga Putih untuk menenteramkan desanya.
"Harapanku pun demikian, Paman. Sekarang sebaiknya kita segera mendatangi
kediaman keluarga Ki Sama Tungga. Biarlah mayat kedua orang tua itu anak buahmu
yang mengurusnya...," usul Panji yang merasa tidak enak
melihat pandangan beberapa warga desa yang tampak masih keheranan melihat sikap
kepala keamanan desa mereka.
Setelah berpesan kepada warga desa dan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat
itu, Ki Dungkala langsung membawa Panji ke tempat kediaman Ki Sama Tungga.
*** 7 Kedatangan Ki Dungkala, Panji, dan Kenanga tidak mendapat sambutan baik dari
pihak Ki Sama Tungga.
Bahkan mereka harus menunggu agak lama untuk menemui juragan yang kaya raya itu.
Meskipun demikian, ketiganya berusaha menahan diri dan menyabarkan hatinya yang
mulai jengkel. Setelah terasa pegal duduk menanti di ruang tengah, muncullah seorang lelaki
tinggi kurus yang berusia sekitar lima puluh tahun lebih. Rambutnya digelung ke
atas dan diikat dengan pita berwarna biru. Wajah dan sinar matanya mengesankan
keangkuhan. Jelas, lelaki tinggi kurus yang bernama Ki Sama Tungga itu merupakan
seorang yang tinggi hati, dan memandang rendah orang lain yang tidak sederajat
dengannya. "Hm..., kau rupanya Dungkala...," sambut Ki Sama Tungga, angkuh.
Sepertinya juragan kaya itu menganggap Ki Dungkala bukanlah seorang tamu
penting. Kecuali Kepala Desa Margaluyu, tampaknya tidak ada lagi yang dihormati
Ki Sama Tungga. Tentu saja, Ki Dungkala yang memang baru pertama kali berkunjung
ke rumah keluarga kaya itu menjadi jengkel.
Namun, lelaki gagah itu ternyata dapat menekan kejengkelannya, dan mampu
bersikap wajar.
Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, Juragan. Perkenalkan kedua orang sahabatku, Panji dan Kenanga," ujar Ki
Dungkala memperkenalkan
kedua orang muda yang datang bersamanya. Ketiganya bangkit dan membungkukkan
tubuh sedikit menghormati tuan rumah. Kemudian, mereka kembali duduk setelah Ki
Sama Tungga mempersilakan.
"Ada keperluan apa kau datang sepagi ini, Dungkala?"
tanya Ki Sama Tungga seraya mengisap pipa tembakau di tangan kanannya. Sikapnya
terlihat sangat angkuh dan tanpa basa-basi.
"Maaf, Juragan. Sebenarnya kami ingin bertemu dengan Tuan Muda Wintarsa, karena
suatu keperluan yang sangat penting. Untuk itu, kumohon agar kami dapat
dipertemukan dengannya...," sahut Ki Dungkala tanpa mempedulikan sikap angkuh Ki
Sama Tungga. Lelaki gagah itu langsung saja ke pokok persoalan. Karena ucapan Ki
Sama Tungga pun tanpa basa-basi.
"Hm..., ada keperluan apa kau ingin berjumpa dengan putraku" Sekarang ia tidak
berada di rumah, sejak kemarin ia belum kembali dari rumah pamannya di
kadipaten. Jadi, maaf kalau kedatanganmu sia-sia. Tunggulah beberapa hari lagi,
mungkin ia sudah kembali...," jawab Ki Sama Tungga seraya menyipitkan sepasang
matanya seperti tidak senang dengan permintaan Ki Dungkala yang dianggapnya
terlalu lancang.
"Juragan...," tandas Ki Dungkala yang sepertinya tidak mau lagi berbasa-basi.
"Malam tadi telah terjadi penculikan dan pembunuhan di Selatan desa ini. Dan,
pemuda ini memergoki penculik dan pembunuh itu.
Apakah Juragan tidak ingin mengetahui, siapa penculik dan pembunuh itu...?"
"Dungkala...!" desis Ki Sama Tungga yang segera
bangkit dari tempat duduknya dengan wajah gelap.
"Seharusnya kau laporkan semua itu kepada Ki Samparan, dan bukan kepadaku!
Mengapa aku harus memusingkan segala persoalan yang tidak ada sangkut pautnya
dengan diriku" Cepatlah pergi dari sini, sebelum aku bertindak kasar, atau
mengadukan perbuatanmu ini kepada Ki Samparan agar kau dipecat karena telah
berani datang dengan sikap tidak sopan ke tempatku...!" bentak Ki Sama Tungga,
marah. Tapi, Ki Dungkala tidak kalah gertak. Lelaki gagah itu ikut pula bangkit dengan
wajah merah padam. Ia memang sudah lama merasa tidak suka dengan keluarga kaya
yang sombong itu. Maka, sekarang ia ingin menumpahkan semua ketidaksenangannya
itu. Selain merasa tersinggung karena tidak dipandang oleh Ki Sama Tungga, ia
pun merasa bertanggung jawab penuh atas kejadian, yang menimpa warga desanya.
Apalagi sekarang ia mendapat dukungan dari Pendekar Naga Putih. Maka, Ki
Dungkala seperti harimau yang tumbuh sayap. Ia tidak lagi merasa takut atau
segan kepada juragan yang sangat sombong itu.
"Ki Sama Tungga...!" geram Ki Dungkala yang tidak lagi menyebut Ki Sama Tungga
dengan sebutan juragan.
"Ketahuilah, bahwa orang yang telah melakukan penculikan dan pembunuhan itu
adalah putramu! Untuk itu, aku datang kemari hendak menangkapnya, agar lain kali
tidak lagi berbuat sesuka hatinya! Sekarang juga kami ingin membawa Wintarsa.
Kalau tidak, rumah ini terpaksa kami geledah!"
"Keparat kau, Dungkala! Berani kau berbuat kurang sopan di rumahku ini! Kau
memang pantas diberi
pelajaran...!" geram Ki Sama Tungga. Laki-laki tinggi kurus itu sangat marah
ketika mendengar tuduhan Ki Dungkala terhadap putra tunggal yang sangat
disayanginya. Setelah berkata demikian, Ki Sama Tungga bertepuk tangan tiga kali. Sebentar
saja, telah bermunculan belasan orang berseragam hitam yang merupakan tukang
pukul keluarga kaya itu.
"Lemparkan mereka keluar! Beri pelajaran kepada keamanan desa yang tidak becus
itu...!" perintah Ki Sama Tungga sambil melangkah meninggalkan ruangan itu.
Tanpa diperintah dua kali, tiga belas orang lelaki kekar yang menjadi tukang
pukul keluarga Ki Sama Tungga, langsung saja berlompatan mengepung Ki Dungkala,
Panji dan Kenanga.
Ki Dungkala sudah mencabut pedangnya, siap untuk bertarung mati-matian.
Sedangkan Panji, sejak pertama kali melihat orang yang bernama Ki Sama Tungga
itu, ingatannya langsung tertuju kepada sosok tinggi kurus berjubah putih yang
semalam bertarung dengannya.
Maka, ketika dilihatnya Ki Sama Tungga hendak meninggalkan tempat itu, Panji
langsung melayang hendak mencegahnya. Sekali lompatan saja, tubuh Pendekar Naga
Putih telah melayang, dan mendarat tepat di depan Ki Sama Tungga.
Lelaki tinggi kurus itu langsung terkejut melihat pemuda tampan berjubah putih
yang datang bersama Ki Dungkala tahu-tahu telah menghadang jalannya.
Kemarahan Ki Sama Tungga seketika meledak,
"Mau apa kau, Pemuda Asing"! Kau kira bisa berbuat
sesukamu di tempat ini..." Lebih baik menyingkirlah, sebelum kesabaranku
hilang...!" ujar Ki Sama Tungga bernada mengancam.
Namun, Panji tetap tidak mempedulikannya. Pemuda itu malah melangkah dua tindak
ke depan, dan meneliti sosok di depannya.
"Hm..., pertarungan kita semalam belum usai, Ki Sama Tungga. Tidakkah kau ingin
melanjutkannya sekarang...?" ujar Panji sambil menatap tajam wajah lelaki tua di
depannya. Sadar kalau orang yang dihadapinya memiliki kepandaian tinggi,
Pendekar Naga Putih segera menyiapkan kuda-kuda yang kokoh.
"Keparat! Kau rupanya sudah gila, Anak Muda! Apa maksud ucapanmu itu, aku sama
sekali tidak mengerti...?"
bentak Ki Sama Tungga, heran. Jelas, lelaki tinggi kurus itu tidak mengerti apa
yang diucapkan Panji.
"Huh! Tidak perlu berpura-pura lagi, Ki Sama Tungga.
Sebaiknya bersiaplah untuk menerima seranganku! Jangan salahkan aku, kalau kau
sampai celaka...!" ujar Panji seraya membuka jurusnya untuk memancing Ki Sama
Tungga agar mempersiapkan ilmunya.
"Bedebah! Kau pikir hanya kau saja yang memiliki kepandaian! Nah, sambutlah
seranganku...!" bentak Ki Sama Tungga karena merasa jengkel atas sikap pemuda
tampan berjubah putih itu. Tubuh tinggi kurus itu meluruk ke arah Panji sambil
melancarkan totokan dengan ujung pipanya yang panjangnya satu setengah jengkal
itu. Bettt! Bettt...!
Totokan ujung pipa yang datang bertubi-tubi itu dielakkan Pendekar Naga Putih
tanpa banyak mengalami
kesukaran. Namun, Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya ketika melihat
gerakan lawannya. Meskipun serangan Ki Sama Tungga cukup kuat dan berbahaya,
namun menurutnya masih terlalu lamban. Gerakan Ki Sama Tungga sama sekali sangat
jauh berbeda dengan gerakan lawannya semalam. Tentu saja Panji menduga kalau
orang tua itu masih hendak menyembunyikan kepandaian guna mengecohnya.
"Hm..., keluarkan seluruh kesaktianmu, Ki Sama Tungga. Kalau tidak, kau akan
menyesal...!" pancing Panji memanasi lawan, dan mulai membalas serangan orang
tua itu dengan tamparan dan tendangan kilat yang menggetarkan hati lawan. Namun,
Panji kembali menjadi heran ketika melihat Ki Sama Tungga benar-benar kerepotan
menghadapi serangannya yang cepat dan susul-menyusul itu.
Desss...! Sebuah tendangan yang dilontarkan Panji dengan mengerahkan sebagian dari
tenaganya, menghantam telak tubuh Ki Sama Tungga. Untunglah Panji sempat
mengurangi kekuatan tendangannya, ketika merasakan betapa tubuh lawan tidak
mempunyai perlindungan sama sekali. Tentu saja, Pendekar Naga Putih semakin tak
mengerti, mengapa orang tua itu lebih suka terkena tendangan ketimbang
mempergunakan kesaktiannya untuk melawan.
"Hm..., sudah kukatakan, keluarkan seluruh kemampuanmu, Ki Sama Tungga. Kalau
tidak, kau pasti bisa terbunuh oleh pukulan mautku!" ancam Panji lagi.
Walau bagaimanapun, Pendekar Naga Putih merasa tidak
enak untuk menjatuhkan lawan yang sepertinya tidak mau melayaninya bertarung
dengan sungguh-sungguh.
"Bocah sombong! Hanya sebuah tendangan tak berarti seperti itu kau sudah
menganggap dirimu menang" Huh!
Lihatlah, aku bisa membuatmu menangis minta ampun atas kesalahan dan
kelancanganmu kepadaku...!" geram Ki Sama Tungga. "Yeaaat...!"
Diiringi sebuah pekikan nyaring, Ki Sama Tungga menerjang Panji. Pipa di
tangannya berputaran cepat membentuk gulungan sinar hitam yang menderu-deru.
Meskipun demikian, Panji tetap saja kecewa. Sebab, serangan itu tidaklah sehebat
dugaannya. Bahkan masih terhitung lamban bagi ukurannya. Sehingga, dengan mudah
ia dapat mengelakkannya, bahkan langsung melontarkan serangan balasan yang
diiringi hembusan hawa dingin menusuk tulang!
Plakkk! Desss...!
Untuk kedua kalinya, telapak tangan Panji bersarang di tubuh Ki Sama Tungga.
Akibatnya, tubuh lelaki tinggi kurus itu terjungkal hingga satu tombak lebih ke
belakang, la tampak terhuyung ketika mencoba bangkit berdiri. Dari sudut
bibirnya mengalir darah segar. Bahkan wajahnya tampak agak pucat. Jelas, Ki Sama
Tungga tidak mampu untuk menahan serbuan hawa dingin yang meresap ke dalam
tubuhnya. "Gila...! Mungkin sosok tinggi kurus berjubah putih yang kuhadapi semalam bukan
Ki Sama Tungga" Kalau begitu, siapa dia" Mengapa Wintarsa diselamatkannya..."
Dan, mengapa ilmu silatnya sangat mirip dengan pemuda pesolek itu...?" gumam
Panji. Pendekar Naga Putih merasa ragu ketika untuk kedua kalinya Ki Sama Tungga sama
sekali tidak bisa mengelakkan pukulannya. Bahkan tampaknya lelaki tua itu
menderita luka dalam yang cukup parah.
"Mengapa kau berhenti, Pemuda Setan"! Apakah kau kira aku sudah menyerah
kalah...?" geram Ki Sama Tungga yang sepertinya masih hendak melanjutkan
pertarungan. "Sebentar, Ki Sama Tungga, aku hendak bertanya.
Kuharap kau mau menjawabnya dengan jujur. Benarkah kau belum pernah bertemu
denganku sebelum ini" Dan, benarkah kau belum pernah bertarung denganku
sebelumnya...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih mulai ragu setelah melihat ilmu silat yang dimiliki Ki Sama
Tungga sama sekali tidak berbahaya baginya. Meskipun ilmu silat lelaki tua itu
cukup tinggi, tapi jelas tidak bisa disamakan dengan kesaktian sosok tinggi
kurus berjubah putih yang semalam bertarung dengannya. Hal itu membuat Panji
menjadi bimbang.
"Hm..., aku memang belum pernah bertarung dan berjumpa denganmu sebelum ini,
Anak Muda! Tapi, hal itu bukan berarti aku takut menghadapimu! Aku benar-benar
tidak mengerti dengan perkataanmu yang aneh itu...?" jawab Ki Sama Tungga
bersungguh-sungguh.
Panji pun tahu kalau orang tua itu tidak mem-bohonginya. Lagi pula, untuk apa
lelaki tua itu menyembunyikan kesaktiannya, dan mau menerima pukulan yang
membuatnya terluka dalam"
"Hm..., baiklah. Aku percaya dengan jawabanmu.
Sekarang aku minta agar kau menyerahkan putramu yang bernama Wintarsa itu.
Karena ia telah melakukan pembunuhan serta penculikan. Meskipun aku berhasil
memergokinya saat hendak melarikan seorang gadis, tapi ia telah melakukan
pembunuhan terhadap orangtua gadis yang diculiknya itu. Apakah kau memang hendak
membela putramu yang nyata-nyata telah berbuat jahat itu...?" ujar Panji.
Pemuda tampan berjubah putih ini kini ganti mencari Wintarsa. Karena sangat
diyakininya kalau Ki Sama Tungga bukanlah orang yang dimaksudkan.
"Benar, Ki Sama Tungga! Sebaiknya kau serahkan putramu yang jahat itu! Ia telah
terlalu banyak melakukan kejahatan di desa ini! Kuharap kau mau menyerahkannya
kepada kami...!"
Ki Dungkala yang rupanya sudah berhasil menundukkan lawan-lawannya bersama
Kenanga, ikut menimpali ucapan Panji. Kini lelaki tinggi kurus itu telah
terkepung oleh ketiga lawannya, yang mempunyai tujuan sama.
Yaitu, hendak menangkap putra tunggalnya.
"Hm..., sejahat apa pun Wintarsa, ia tetap putraku.
Karena itu aku harus membelanya dengan taruhan nyawaku! Mungkin ia memang
seringkali berbuat jahat, tapi kalau sampai telah banyak membunuh orang, aku
tidak percaya. Untuk itu, aku tidak akan sudi menyerahkan putraku kepada
kalian...!"
Ki Sama Tungga tetap berkeras hendak melindungi putranya. Dari sorot matanya
yang tajam, Ki Dungkala, Panji, dan Kenanga tahu kalau Ki Sama Tungga
bersungguh-sungguh, dan tidak bisa dibujuk kecuali dengan
jalan kekerasan.
"Hm..., kalau kau tetap berkeras, kami akan memaksamu! Dan, kau pun akan
mendapat hukuman berat karena telah melindungi seorang pembunuh keji seperti
putramu itu...!" geram Ki Dungkala.
Sambil berkata demikian, lelaki gagah itu segera memutar pedangnya dan menerjang
Ki Sama Tungga.
Sebentar saja, keduanya telah terlibat dalam sebuah pertarungan yang sengit.
"Kenanga, kau tetaplah di sini mengawasi pertarungan.
Aku akan mencari Wintarsa yang mungkin tengah bersembunyi di salah satu ruangan
di rumah besar ini...," ujar Panji.
Tanpa menunggu jawaban kekasihnya, Pendekar Naga Putih segera berkelebat cepat
dari tempat itu. Kenanga sendiri hanya mengangguk, meskipun Panji tidak sempat
lagi melihat anggukan kepalanya. Dara jelita itu mengikuti jalannya pertarungan,
dan siap turun tangan bila Ki Dungkala terdesak oleh lawannya.
Pertarungan antara Ki Dungkala dan Ki Sama Tungga memang terlihat seru. Keduanya
tampak sama-sama gesit, dan memiliki tenaga sakti yang hampir berimbang.
Kalaupun Ki Sama Tungga masih lebih unggul sedikit dalam hal kecepatan gerak dan
kekuatan tenaga dalam, tapi luka dalam akibat pukulan Panji telah membuat
gerakannya sedikit terhambat. Sehingga, kelebihannya yang hanya sedikit itu
telah tertutup.
"Haittt...!"
Ki Dungkala yang memang merasa tidak suka dan ingin memberi pelajaran kepada
juragan yang sombong itu,
menerjang dengan seluruh kepandaian yang dimilikinya.
Maka, tidaklah mengherankan bila dalam tiga puluh jurus, Ki Dungkala terlihat
mulai berada di atas angin. Gerakan lelaki gagah itu terlihat penuh semangat dan
memiliki perhitungan yang matang. Sehingga, lawannya yang memang sudah tidak
tenang pikirannya itu semakin kerepotan dalam menghadapi serangannya.
Memasuki jurus yang keempat puluh tiga, gerakan Ki Sama Tungga terlihat semakin
lamban. Jelas kekuatan serta kegesitan lelaki tinggi kurus itu sudah mulai
berkurang. Sehingga, Ki Dungkala berhasil menyarangkan sebuah tendangan keras ke
lambung lawannya.
Bukkk! "Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Sama Tungga langsung terjengkang memuntahkan darah
segar. Meskipun demikian, jurangan kaya itu masih berusaha bangkit untuk
melanjutkan pertarungan. Tapi, Ki Dungkala sepertinya tidak ingin memberikan
kesempatan lagi kepada lawannya. Saat itu juga, ia langsung melesat dengan
babatan pedangnya yang mengancam tubuh Ki Sama Tungga.
"Akh..."!"
Lelaki tinggi kurus yang biasanya sombong itu memucat wajahnya. Sadar kalau
tidak mungkin dapat selamat dari pedang lawan, Ki Sama Tungga hanya bisa pasrah
menerima kematian di tangan kepala keamanan desa itu.
Tapi, pada saat kematian hampir menjemput Ki Sama Tungga, tiba-tiba melesat
sesosok bayangan dari samping.
Dan langsung memapaki datangnya serangan pedang Ki Dungkala! Dan...
Plak! "Aaakh...!"
Hebat sekali akibat tangkisan sosok bayangan yang baru muncul itu. Bukan saja ia
telah berhasil menyelamatkan nyawa Ki Sama Tungga dari kematian, tetapi tubuh Ki
Dungkala terpelanting deras menghantam dinding di belakangnya.
"Paman...!" seru Kenanga terkejut melihat perubahan yang sama sekali tidak
diduganya itu. Cepat gadis jelita itu berlari memburu tubuh Ki Dungkala yang tampak tengah
terduduk sambil memuntahkan darah segar. Kemudian, kepalanya menoleh ke arah
sosok bayangan yang telah menyelamatkan nyawa Ki Sama Tungga. Wajah Kenanga
tampak menegang ketika melihat dan mengenali sosok yang berdiri angker di
depannya. *** 8 "Kau..."!" desis Kenanga, terkejut.
Urat syaraf dara jelita itu seketika menjadi tegang ketika melihat seraut wajah
menyeramkan, tengah menatapnya dengan sorot mata semerah darah!
"Wintarsa..."!" Ki Dungkala pun tidak kalah terkejutnya ketika melihat siapa
orang yang telah memapaki serangan pedangnya tadi.
Lelaki gagah itu benar-benar tidak percaya kalau yang mematahkan serangannya
adalah Wintarsa, pemuda yang dikenalnya dengan baik. Yang membuat Ki Dungkala
heran, bagaimana Wintarsa mampu menghalau serangannya. Padahal setahunya,
kepandaian pemuda itu tidak terlalu tinggi. Meskipun untuk mengalahkannya
Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidaklah begitu mudah, namun Ki Dungkala yakin kalau ia masih dapat menang
melawan Wintarsa. Tapi, mengapa ia dengan mudah terluka oleh pemuda itu hanya
dengan sekali gebrak saja" Padahal, pemuda pesolek itu hanya menangkis
serangannya, tanpa menyarangkan pukulan ke tubuhnya. Kenyataan ini, membuat Ki
Dungkala tak habis pikir.
"Hmrrr...! Kalian berdua telah berani melukai ayahku!
Untuk itu, kalian harus mampus di tanganku...!" geram Wintarsa dengan suara yang
mampu membuat jantung seorang lelaki penakut copot.
"Benarkah dia adalah Wintarsa yang selama ini kukenal...?" gumam Ki Dungkala
yang merasa bulu tengkuknya meremang melihat tatapan mata yang terasa bagaikan
mengiris-iris jantungnya itu. Sebab, wajah pemuda itu berubah jauh dari
biasanya. Suaranya pun terdengar menyeramkan seperti suara iblis pencabut nyawa.
Tentu saja hal ini membuat Ki Dungkala menjadi gemetar.
Melihat sikap dan perbawa yang menyeramkan terpancar dari wajah pemuda itu,
Kenanga segera teringat akan peristiwa beberapa waktu yang lalu, di luar Desa
Margaluyu. Ia pun sempat melihat bagaimana Panji kerepotan menghadapi pemuda itu
yang sepertinya telah kerasukan setan. Sadar kalau keadaan mereka sangat
berbahaya, dara jelita itu pun bangkit sambil menghunus pedangnya.
"Yeaaarkh....!"
Wintarsa yang sepertinya telah berubah menjadi iblis haus darah itu, kembali
menggeram dengan suara aneh.
Pemuda itu melangkah perlahan menghampiri Kenanga yang berdiri di depan Ki
Dungkala. Dan, ketika Wintarsa melompat menerjang dengan ganasnya, Kenanga
segera memutar Pedang Sinar Rembulan. Seketika itu, terbentuklah gulungan sinar
putih keperakan yang berpendar menyilaukan mata.
Bettt. .! Sinar putih keperakan berkeredep ketika Kenanga membabatkan senjatanya untuk
menyambut datangnya serangan lawan. Tapi, bukan main terkejutnya hati dara
jelita itu ketika melihat Wintarsa menyambut mata
pedangnya dengan telapak tangan!
Plakkk! "Aihhh..."!"
Hati dara jelita itu bukan main kaget ketika tamparan telapak tangan Wintarsa
membuat senjatanya hampir terlepas dari genggaman tangan. Sedangkan telapak
tangan pemuda itu telah berputar cepat dan meluncur ke arah tenggorokannya.
Cepat Kenanga melempar tubuhnya ke belakang, dan berputaran beberapa kali,
sebelum men-daratkan kedua kakinya di tanah.
Wintarsa yang telah kerasukan setan itu, rupanya tidak ingin memberi kesempatan
kepada lawannya untuk mempersiapkan jurus baru. Tubuh pemuda aneh itu kembali
meluncur dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya, yang menimbulkan suara
berdecitan tajam.
Jelas, serangan pemuda itu sangat berbahaya dan mematikan!
Trang...! Kenanga yang mencoba memapaki cengkeraman Wintarsa dengan sabetan pedangnya,
kembali terkejut setengah mati. Sebab, Wintarsa sama sekali tidak berusaha
menyelamatkan tangannya. Malah sengaja menyambut datangnya sambaran pedang
dengan cengkeramannya.
Untunglah pedang dara jelita itu bukan senjata sembarangan. Kalau tidak, mungkin
sudah patah-patah akibat cengkeraman yang sangat kuat dari lawannya.
Sebentar saja, dara jelita itu terdesak deh gem-puran-gempuran Wintarsa yang
aneh, namun sangat berbahaya itu.
"Haiiit...!"
Pada saat Kenanga tengah sibuk mempertahankan dirinya dari gempuran Wintarsa,
tiba-tiba terdengar pekikan nyaring yang disusul masuknya sesosok bayangan putih
bersinar putih keperakan ke dalam kancah pertarungan. Begitu tiba, sosok
bayangan bersinar putih keperakan yang tak lain dari Panji itu, langsung
memapaki serangan Wintarsa.
Plak, plak.... Desss...!
Kedatangan Panji yang secara tiba-tiba itu di luar perhitungan Wintarsa.
Sehingga, pemuda itu tidak sempat lagi mengelak. Dan, sebuah pukulan telapak
tangan Panji pun singgah di dada pemuda aneh itu. Akibatnya, tubuh Wintarsa
terdorong mundur sejauh satu tombak. Terlihat dari sudut bibirnya menetes darah
segar. Jelas, pukulan yang sangat kuat itu telah membuat Wintarsa menderita.
"Hm..., akhirnya kau muncul juga, Wintarsa! Sekarang kita tentukan, siapa yang
akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan kari ini...," desis Panji dingin.
Pendekar Naga Putih kemudian menyilangkan kedua lengannya di depan dada dengan
kedua mata terpejam.
Dan sebentar kemudian, muncullah sinar kuning keemasan yang menyelimuti sebelah
kanan tubuh pemuda itu. Sedangkan tubuh bagian kirinya, diselimuti lapisan kabut
bersinar putih keperakan. Jelas, Pendekar Naga Putih telah menggabungkan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'
dengan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Sehingga, tubuhnya mengeluarkan dua buah
sinar yang mempunyai dua unsur berbeda. Panas dan dingin!
Sinar kuning keemasan yang terpancar dari sebelah kanan tubuh Panji tampak
menimbulkan pengaruh bagi Wintarsa. Terbukti pemuda itu melangkah mundur seraya
menghalangi pandangan matanya dengan sepasang lengannya. Jelas, Wintarsa merasa
agak terganggu dengan sinar kuning keemasan itu.
"Hm...," Panji yang melihat tingkah laku Wintarsa, yang merasa terganggu dengan
sinar tenaga jelmaan Pedang Naga Langit itu, segera dapat menduga kalau ada
sesuatu yang tidak beres dalam diri pemuda itu. Maka, untuk meyakinkan dirinya,
Pendekar Naga Putih bergerak maju dengan menggunakan jurus-jurus andalannya yang
sangat terkenal.
"Haaat...!"
Kali ini Panji lebih dahulu membuka serangan.
Sepasang tangannya bergerak cepat dengan cakar naga yang siap mengoyak tubuh
lawannya. Wintarsa tampak tidak lagi seganas semula. Kelihatan sekali kalau pemuda itu
selalu menghindari gempuran tangan kanan Panji. Ia selalu bermain di sebelah
kiri lawannya. Seolah serangan tangan kanan pemuda itu sanggup membuat
kesaktiannya lenyap.
Panji bukan tidak mengetahui hal itu. Maka, ia pun semakin mempergencar
serangan-serangannya. Sepasang lengannya bergerak cepat dan sukar diikuti mata
biasa. Tubuh pemuda itu sendiri berkelebat cepat laksana seekor naga yang tengah
bermain-main di angkasa.
Plakkk! Tusukan jari tangan kanan Wintarsa yang meluncur ke tenggorokan Panji, langsung
dipapaki dengan tangan kanannya. Akibatnya, kedua lengan itu saling berbenturan
keras. Kali ini, tubuh Wintarsa tampak terhuyung-huyung. Keadaan itu
dipergunakan Panji untuk mengirimkan hantaman telapak tangan kanannya. Tak ayal
lagi, pukulannya telak menghajar tubuh Wintarsa.
Desss...! Akibatnya benar-benar mengejutkan sekali! Tubuh pemuda tampan pesolek itu
terjengkang dan berkelojotan bagaikan ayam disembelih! Sekujur tubuhnya
mengeluarkan sinar kuning keemasan. Jelas, kekuatan 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi' seperti terserap ke dalam tubuh pemuda itu. Lama-kelamaan sinar kuning
keemasan itu semakin mengecil, kemudian lenyap sama sekali setelah berdiam agak
lama di sekitar kepala Wintarsa. Pemuda itu pun menggeletak tak sadarkan diri.
"Hm..., jelas ada sesuatu yang tidak beres dalam diri pemuda itu. Entah apa! Aku
belum begitu jelas. Tapi, mungkin ia memerlukan sedikit pengobatan. Sebaiknya
kita bawa saja dia ke dalam...," ujar Panji sambil menghampiri dan mengangkat
tubuh Wintarsa.
Sementara itu, Ki Dungkala, Ki Sama Tungga, dan Kenanga sama sekali belum bisa
mengeluarkan kata-kata.
Sepertinya mereka masih merasa terkesima dengan kejadian yang baru saja
disaksikan tadi. Mereka hanya bisa mengangguk dan mengikuti langkah Panji.
*** "Wintarsa, ceritakanlah! Dari mana kau mempelajari ilmu-ilmu aneh yang sangat
berbahaya itu" Menurut keterangan ayahmu, ia sama sekali tidak pernah mengajar-
kan dan memiliki ilmu seperti itu" Dan, benarkah kau yang telah melakukan
pembunuhan-pembunuhan di desa ini...?" tanya Panji setelah Wintarsa sadar dari
pingsannya. Sebelumnya, pemuda tampan berjubah putih itu telah menanyakan kepada Ki Sama
Tungga yang tampaknya telah sadar akan kekeliruannya selama ini.
Ki Dungkala, Kenanga, dan Ki Sama Tungga duduk berkumpul di tempat itu. Mereka
ingin mendengar penjelasan dari pemuda pesolek itu.
"Hhh..., sebelumnya aku memang jahat, dan sangat sombong. Aku sering menyakiti
para penduduk desa yang berani menentang kemauanku. Banyak gadis-gadis dan istri
orang yang kuganggu. Hal itu mungkin dikarenakan ayah selalu menuruti apa yang
menjadi kehendakku.
Tapi..., mengenai pembunuhan-pembunuhan yang kau tanyakan itu, aku sama sekali
tidak pernah melakukannya.
Mungkin ada satu-dua orang yang pernah tewas oleh tukang-tukang pukulku."
Wintarsa menghentikan ucapannya untuk mengambil napas. Pemuda itu merasakan
dadanya agak sesak, walaupun tadi telah diobati oleh Pendekar Naga Putih.
"Semua itu kuakui sebagai kesalahanku. Sedangkan mengenai ilmu-ilmu itu,
kupelajari dari sebuah sumur tua yang terdapat di belakang kuil tua di sebelah
Barat desa ini. Kuil rusak itu sudah lama tidak terpakai lagi. Ketika itu aku
tengah beristirahat bersama kedua orang pengawalku, setelah berburu di hutan.
Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa tertarik dengan sebuah sumur tua di belakang kuil itu.
Karena dasar sumur itu terlihat dari atas, aku merasa penasaran, dan langsung
turun ke dalamnya."
Wintarsa kembali menghentikan ceritanya. Ditatapnya wajah orang-orang yang
berada di sekelilingnya, seakan ingin mengetahui tanggapan mereka akan
ceritanya. "Ternyata sumur tua itu berlubang pada dindingnya, dan mirip sebuah gua. Aku pun
langsung masuk ke dalamnya. Di sana aku menemukan gambar-gambar orang yang
tengah bersilat, lalu aku mempelajarinya. Dan sejak saat itu, aku hampir setiap
hari datang untuk mempelajari ilmu silat yang ada di dalam gua itu," Wintarsa
kembali menghentikan ceritanya, dan menarik napas dalam-dalam mengenang
peristiwa itu. "Hm..., gambar-gambar itu jelas peninggalan seorang tokoh sakti. Sayang, kau
mempelajarinya tidak berurutan.
Sehingga, hawa sakti yang kau himpun, telah merusak syaraf di kepalamu.
Untunglah, masih belum terlambat untuk menyembuhkanmu. Kalau tidak, mungkin kau
akan tewas bila jalan darah di kepalamu telah pecah akibat terlalu sering
melatih ilmu yang salah itu...," jelas Panji.
Pendekar Naga Putih kini mulai mengerti mengapa ilmu silat pemuda itu menjadi
sangat hebat bila kesadaran-nya lenyap. Rupanya hal itu disebabkan tersumbatnya
aliran darah di kepalanya, sehingga membuat ingatan pemuda itu lenyap, dan
berganti ingatan tentang ilmu silat yang dipelajarinya secara terbalik.
"Hm..., tahulah aku sekarang, siapa yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan
di desa ini...," tiba-
tiba Ki Dungkala bergumam, membuat yang lainnya segera menoleh ke arahnya.
"Apa maksud Paman...?" tanya Panji seraya mengerutkan keningnya ketika mendengar
ucapan Ki Dungkala.
"Panji, coba kau katakan, apakah Wintarsa bisa berubah menjadi gila seterusnya"
Dan mungkinkah ia akan melakukan pembunuhan-pembunuhan, apabila ia telah
mempelajari ilmu itu selama bertahun-tahun...?" tanya Ki Dungkala sebelum
menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih.
"Begitulah kira-kira, Paman. Perbuatan yang selama ini dilakukannya kebanyakan
didorong oleh pengaruh ilmu sesat itu. Sebab, menurutku Wintarsa tidak jahat.
Mungkin ia melakukan kejahatan-kejahatan itu setelah mempelajari ilmu yang
ditemukannya di dasar sumur tua di belakang kuil itu. Jadi, apabila Wintarsa
telah lima tahun lebih mempelajarinya, bisa jadi ia akan berubah gila.
Kendatipun ia masih bisa mengenali orang, dan berbicara seperti biasa. Kegilaan
yang kumaksudkan di sini adalah timbulnya pikiran-pikiran jahat akibat semakin
tingginya tenaga sakti yang dipelajarinya. Sebab, bila kita mempelajari ilmu
tenaga dalam secara terbalik, akan merusak jaringan syaraf pada otak kita...,"
tutur Panji yang membuat Ki Dungkala mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, marilah kalian ikuti aku. Sebab, yang mempelajari ilmu itu
mungkin bukan hanya Wintarsa seorang. Ada lagi orang lain yang telah
mempelajarinya, sebelum Wintarsa menjadi pemuda dewasa seperti sekarang ini.
Semula aku tidak begitu memperhatikannya
ketika ia seringkali pergi dan sampai menginap berhari-hari di kuil tua itu. Dua
tahun belakangan ini, ia seringkali menyepi di satu tempat. Diam-diam aku pernah
mengintainya. Dan, ia memang tengah melatih ilmu silatnya secara sembunyi-
sembunyi. Karena ia seperti merahasiakannya, maka aku pun tidak berani mem-
bicarakannya. Hanya saja tingkah dan sikapnya memang agak aneh. Mungkin karena
ia memiliki dasar yang lebih kuat ketimbang Wintarsa, maka ia tidak terlalu
merasakan perubahan itu...," jelas Ki Dungkala.
Panji dan yang lainnya menjadi tegang mendengar penjelasan kepala keamanan desa
itu. Orang yang diceritakan Ki Dungkala itu jelas lebih berbahaya daripada
Wintarsa. Kalau pemuda itu mempelajarinya baru satu tahun saja sudah sedemikian
hebat, entah bagaimana dengan orang yang diceritakan Ki Dungkala yang telah
mempelajarinya lebih dari lima tahun!
"Hm..., apakah orang itu memiliki tinggi tubuh seperti Ki Sama Tungga...?" tanya
Panji setelah terdiam beberapa saat lamanya.
Rupanya Pendekar Naga Putih kembali teringat kepada sosok tinggi kurus berjubah
putih yang pemah bertarung dengannya. Dan, lawannya itu memang memiliki gerakan
serupa dengan Wintarsa. Bahkan kelihatan jauh lebih kuat dan lebih mantap.
"Yah..., mungkin dia orang yang kau ceritakan itu, Panji. Marilah kalian ikuti aku. Ia ada di suatu tempat yang
tersembunyi. Dan ia sudah berbulan-bulan menyepi di sana. Aku sendiri tidak
tahu, apa yang membuat dia bertindak seperti itu...," ujar Ki Dungkala sambil
bergerak bangkit dan mengajak Panji dan yang lainnya untuk segera mengikutinya.
*** Dengan Ki Dungkala sebagai penunjuk jalan, tidaklah sulit bagi mereka untuk
menemukan tempat yang dimaksud lelaki gagah itu. Tidak berapa lama kemudian,
tibalah mereka di dekat sebuah pondok tua yang berada jauh di bagian Utara Desa
Margaluyu. Bahkan sudah berada di luar desa.
"Hm.., di sinikah orang itu tinggal...?" tanya Panji sambil melangkah mendekati
pondok itu. "Betul. Kuharap kalian semua berhati-hati. Sebab, bukan mustahil kalau dia telah
mengetahui kedatangan kita...," Ki Dungkala mengingatkan dengan wajah sedikit
tegang. Namun, saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan yang
mendirikan bulu roma. Bahkan, suara tawa itu mengandung kekuatan tenaga dalam
yang sangat dahsyat. Sehingga, Panji harus mengerahkan tenaga saktinya guna
melindungi dada dan pendengarannya dari pengaruh suara tawa itu.
"Kalian semua menyingkirlah jauh-jauh...!" seru Panji ketika melihat yang
lainnya tampak limbung, karena mereka tidak sanggup menahan getaran suara tawa
itu. "Ki Samparan, keluarlah! Kami sudah mengetahui bahwa semua yang terjadi di desa
adalah perbuatanmu...!"
teriak Ki Dungkala seraya melangkah mundur menjauhi pondok.
"Ki Samparan..."!" desis Ki Sama Tungga dan Wintarsa bersamaan. Jelas, keduanya
telah mengenal baik orang yang namanya disebut Ki Dungkala tadi.
"Ki Samparan..."! Kau maksudkan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu adalah
Kepala Desa Margaluyu sendiri...?" tanya Panji dengan wajah terkejut.
Karena ia telah mendengar tentang Kepala Desa Margaluyu itu. Tapi, tidak menduga
sama sekali kalau justru orang tua itulah yang melakukan kejahatan di dalam
desanya. Sebab, selama berada di desa itu Panji sama sekali belum pernah
berjumpa dengan Ki Samparan.
Pemuda itu tidak ingat untuk menanyakannya, karena Ki Dungkala pun tidak pernah
menyinggung-nyinggung tentang kepala desanya itu.
"Benar, Panji. Ki Samparanlah yang kumaksudkan...,"
jawab Ki Dungkala yang tampaknya merasa berduka mengingat orang yang selama ini
menteror warga desa justru orang yang seharusnya melindungi penduduk desa itu.
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba hembusan angin bertiup keras
diiringi suara tawa yang menggetarkan jantung. Begitu hembusan angin itu lenyap,
muncullah sesosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan jubah panjang berwarna
putih. Sosok itu berdiri angker menatapi wajah-wajah di hadapannya.
"Hm..., apa maksudmu membawa mereka kemari, Dungkala" Apakah kau hendak
mengandalkan Pendekar Naga Putih untuk menghentikan kesenanganku...?" tegur
lelaki tinggi kurus berusia sekitar enam puluh tahun itu.
Rambut dan wajahnya tampak tidak terurus, persis seperti
orang gila. Sorot matanya demikian tajam, tertuju kepada Ki Dungkala yang
badannya langsung menjadi gemetar.
"Benar! Akulah yang akan menghentikan kegilaanmu, Ki Samparan! Kau telah
Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersesat terlalu jauh...," ujar Panji yang langsung saja bergerak melindungi Ki
Dungkala, ketika melihat tangan kanan Ki Samparan siap bergerak untuk menghabisi
nyawa kepala keamanan desa itu.
"He he he...! Kalau begitu, kaulah yang lebih dulu harus kukirim ke neraka,
Pendekar Naga Putih..!"
Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Ki Samparan telah melayang dengan pukulan-
pukulan mautnya yang menimbulkan angin bercuitan.
Whuuut! Whuuut!
Cepat Pendekar Naga Putih menyuruh yang lainnya untuk menjauhi tempat itu.
Sedangkan ia sendiri sudah bergerak dengan lompatan ke samping, guna menghindari
serangan yang menebarkan bau amis dan harum yang memabukkan. Jelas, serangan Ki
Samparan mengandung racun yang mematikan.
"Hm...," Panji yang telah mengetahui kelemahan lawan, segera mengerahkan 'Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi'. Sebab, Wintarsa pun lumpuh dengan tenaga mukjizat itu.
Apa yang diduga Panji terbukti. Ki Samparan tampak sangat takut sekali ketika
melihat tubuh pemuda itu mengeluarkan sinar kuning keemasan. Hal itu tidaklah
aneh. Sebab, tenaga mukjizat jelmaan Pedang Naga Langit itu mampu melumpuhkan
ilmu sihir ataupun segala jenis racun yang paling jahat sekalipun.
Dan, karena Ki Samparan maupun Wintarsa tengah menderita keracunan, maka mereka
pun takut melihat sinar keemasan yang membuat tubuh mereka seperti lemas. Sadar
akan kelemahan lawan, Panji tidak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat bagai
kilat, pemuda itu langsung melesat menerjang lawannya.
Whuttt! Plakkk!
"Aaakh...!"
Ki Samparan menjerit kesakitan, karena ia terpaksa harus menangkis serangan
pemuda yang tidak mungkin dapat dielakkannya itu. Tubuh lelaki tua itu terjajar
mundur. Wajahnya tampak agak pucat. Sepasang matanya bergerak liar seperti
hendak mencari jalan untuk selamat.
"Hm..., hendak lari ke mana kau..."!" bentak Panji ketika melihat lawannya
melesat ke arah Ki Dungkala dan yang lainnya. Jelas Ki Samparan hendak mencari
korban yang lebih mudah untuk dilenyapkan.
Namun, lelaki tua itu tidak sempat untuk mencapai sasaran yang ditujunya. Karena
Panji lebih dulu menyambut serangan lelaki tua yang telah gila itu. Merasa tidak
ada jalan lain, Ki Samparan pun segera mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk
melenyapkan Pendekar Naga Putih. Sehingga, keduanya segera terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit.
Sebenarnya, kalau saja Panji tidak mempergunakan tenaga mukjizat itu, rasanya
sangat sulit untuk dapat mengalahkan Ki Samparan. Tapi, karena tenaga mukjizat
yang mengeluarkan sinar kuning keemasan itu mem-pengaruhi kekuatannya, maka Ki
Samparan dengan mudah dapat didesak Panji dengan gempuran-gempuran yang
cepat dan kuat. Apalagi jurus yang digunakan Panji adalah jurus andalan yang
sukar dicari bandingannya. Maka, setelah lewat dari enam puluh jurus, tampak Ki
Samparan mulai kewalahan. Berkali-kali lelaki gila itu berteriak-teriak
kesakitan, saat lengan mereka saling berbenturan keras. Dan ketika Pendekar Naga
Putih mengerahkan tenaganya sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya ke
depan, lelaki tua itu menjerit ngeri.
Blarrr...! Seberkas sinar kuning keemasan yang meluncur keluar dari sepasang telapak tangan
Pendekar Naga Putih, menghajar telak tubuh Ki Samparan. Akibatnya, tubuh tinggi
kurus itu terpental deras sejauh dua tombak lebih.
Tubuhnya terus meluncur menabrak dinding pondok yang kayunya memang telah lapuk.
Cepat Panji berlari memburu ke arah tubuh lawannya.
"Hhh...," Panji hanya bisa menghela napas panjang ketika melihat tubuh Ki
Samparan diam dan tak bergerak-gerak lagi.
Kepala desa yang telah menjadi gila itu tewas akibat hantaman dahsyat yang
mengandung kekuatan mukjizat.
Panji memang terpaksa menghabisi lawannya. Karena ia sadar bahwa tidak ada
kemungkinan lagi untuk menyembuhkan Ki Samparan. Hanya kematianlah jalan yang
terbaik bagi lelaki tua itu.
Ki Dungkala tampak menunduk sedih melihat tubuh Ki Samparan yang sudah tak
bernyawa lagi itu.
"Semoga arwahmu di alam baka dapat tenang, Ki...,"
ucap Ki Dungkala seraya mengangkat tubuh tinggi kurus itu dan membawanya ke
desa. Panji dan yang lainnya mengikuti tanpa berkata-kata.
Mereka pun bersyukur bahwa teror yang selama ini melanda penduduk Desa Margaluyu
telah dapat dilenyapkan.
SELESAI Created ebook by
Scan & Conyert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com Thread Kaskus:
http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Pendekar Pengejar Nyawa 15 Dewi Ular 47 Mahluk Seberang Zaman Tangan Geledek 17