Pencarian

Pendekar Lembah Naga 3

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan berat. Maka timbullah
kecurangannya dan dia lalu membentak, "Hayo maju semua, keroyok dan bunuh
pengacau ini!" Para perampok itu sudah biasa dengan perintah Coa Lok, maka mendengar bentakan
ini mereka lalu mengacungkan senjata masing-masing, siap untuk maju mengeroyok.
Hok Boan yang melihat hal ini, meloncat dan tubuhnya melayang ke dekat pohon di
mana dia, menyimpan pedang dan buntalannya. Sekali sambar dia telah mengambil
pedangnya dan menghunusnya, pedang yang kelihatan masih kasar namun mengeluarkan
sinar menyeramkan, pedang buatan ahli pedang Bhe Coan itu. Dengan pedang
melintang di depan dadanya, Hok Boan membentak dengan suara yang menggetarkan
jantung karena dia membentak dengan pengerahan tenaga khi-kang dari pusar,
"Tahan semua! Dengar baik-baik! Aku datang untuk memimpin kalian dan aku
menjanjikan penghidupan yang baik dan jauh lebih makmur daripada sekarang kepada
kalian! Bukan berarti aku takut kepada kalian. Akan tetapi kalau kalian maju
mengeroyok, terpaksa aku akan membunuh kalian semua dan aku harus susah payah
mengumprulkan anak buah dari dusun-dusun. Biarkan aku berhadapan dengan kepala
kalian dan kita lihat, siapa di antara kami berdua yang lebih patut menjadi
pemimpin kalian, menjadi majikan Padang Bangkai!"
Ucapan itu berpengaruh dan semua perampok menjadi ragu-ragu. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Hok Boan yang cerdik, untuk mencari kedudukan yang
menguntungkan. "Hai, kau si muka berpenyakitan yang berlagak jagoan dengan
tombakmu dan hendak memimpin sekelompok orang gagah ini! Dengar baik-baik! Kalau
benar engkau jagoan, hayo kau maju melawan aku, dan aku akan menghadapi tombakmu
itu dengan ranting ini saja. Pedangku tidak akan kupergunakan. Ha-ha, mukamu
makin pucat dan engkau hanya seorang banci, seorang pengecut, seorang penakut
yang beraninya hanya mengandalkan bantuan banyak anak buah saja. Engkau tidak
patut menjadi pemimpin!"
Sin-jio Coa Lok menjadi pucat saking marahnya. Kehormatannya tersinggung. Dia
bukanlah seorang lemah. Sama sekali bukan. Tombaknya ditakuti banyak orang,
bahkan dia telah dijuluki, Si Tombak Sakti. Kalau tadi dia hendak menggunakan
pengeroyokan adalah karena dia ingin lebih yakin mengalahkan lawan ini.
Sekarang, ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk memperlihatkan
sikap takut. "Mundur semua! Kerbau-kerbau tolol, mundur semua!" bentaknya marah
kepada anak buahnya yang tidak cepat-cepat menyerang lawan sehingga memberi
kesempatan kepada lawan untuk mengejeknya. "Mundur dan lihat tombakku akan
mengeluarkan ususnya yang busuk!"
Perintah ini tidak perlu diulang dua kali karena semua anak buah perampok sudah
melangkah mundur. Mereka ingin sekali melihat apakah kepala mereka itu benar-
benar akan mampu membunuh pemuda sasterawan yang amat berani itu. Janji yang
diucapkan oleh pemuda sasterawan itu menarik hati mereka. Juga mereka telah
terkesan ketika melihat betapa pemuda itu tadi tidak membunuh si brewok tinggi
besar yang menjadi teman mereka, padahal kalau pemuda itu mau, tentu si brewok
itu telah tewas. Pemuda itu tidaklah sekejam dan seganas Si Tombak Sakti, maka
hal ini saja sudah menimbulkan kesan baik di hati mereka.
Sin-jio Coa Lok yang sudah marah sekali itu maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang lawan yang tangguh, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa
takut. Dia terlalu percaya kepada tombaknya, maka dia sudah menubruk dengan
kecepatan kilat, tombaknya digerakkan dan nampaklah sinar terang menyambar-
nyambar ketika tombak itu membuat gerakan bergulung-gulung seperti ombak dahsyat
menerjang ke arah Kui Hok Boan. Orang she Kui ini tidak melanggar janjinya, dia
sudah menyambar ranting yang tadi berada di bawah pohon. Melihat gerakan lawan
yang amat hebat itu, diam-diam dia terkejut dan cepat dia menggerakkan
rantingnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi dia maklum bahwa senjata
rantingnya tidak mungkin dapat dipergunakan untuk menangkis tombak lawan yang
terbuat dari baja kuat itu, maka dia hanya mengandalkan gin-kangnya, mengelak
dari sambaran tombak dan menggerakkan ranting untuk menotok jalan darah lawan di
beberapa bagian dengan kecepatan kilat yang bertubi-tubi. Serangannya itu sudah
merupakan penghambat bagi terjangan Coa Lok karena Si Tombak Sakti itu tentu
saja maklum akan bahayanya totokan-totokan yang biarpun hanya dilakukan dengan
sebatang ranting, namun didorong oleh tenaga sakti yang kuat.
Ilmu tombak yang dimainkan oleh Coa Lok adalah ilmu tombak keturunan yang amat
hebat. Semenjak nenek besarnya, keluarga Coa telah secara turun-temurun
mempelajari ilmu tombak itu dan selama beberapa keturunan, ilmu tombak itu telah
mengangkat tinggi nama keluarga Coa. Sebagai ilmu simpanan keluarga, maka ilmu
tombaknya itu berbeda sifat dan gerakannya dengan ilmu silat yang diajarkan oleh
partai-partai persilatan umum, maka menghadapi ilmu tombak yang tidak dikenalnya
itu, Kui Hok Boan menjadi repot dan kewalahan juga. Ujung tombak itu tergetar-
getar menjadi beberapa batang banyaknya dan setiap batang seolah-olah bergerak
sendiri-sendiri menyerang dari pelbagai jurusan.
Sebaliknya, Kui Hok Boan, anak murid Go-bi-pai itu, biarpun telah mempelajari
permainan delapan belas macam senjata, namun memiliki keahlian dalam permainan
pedang. Padahal, tingkat kepandaiannya kalau dibandingkan dengan Coa Lok hanya
lebih tinggi setingkat saja, maka kini dengan menggunakan sebatang ranting
sebagai senjata, tentu saja kemenangan tingkatnya tidak banyak artinya, karena
kalau lawan menggunakan senjata yang menjadi keahliannya, sebaliknya dia
menggunakan senjata yang sama sekali tidak dapat menonjolkan kepandaiannya.
Betapapun juga, Hok Boan memang patut dipuji. Sampai hampir seratus jurus mereka
bertanding, namun belum juga tombak di tangan Coa Lok mampu merobohkannya,
biarpun kadang-kadang membuat sasterawan itu repot bukan main dengan elakan ke
sana-sini dan nyaris saja perutnya tertembus tombak ketika dia mengelak dan
bajunya yang tertembus dan robek. Dia terkejut sekali dan terdengar suara
tertawa mangejek dari para anak buah perampok yang menonton pertempuran mati-
matian itu. "Ha-ha, kutu buku sombong, bersiaplah kau untuk mampus!" Sin-jio Coa Lok tertawa
mengejek dan menubruk lagi dengan tombaknya, memutar-mutar tombaknya sehingga
lenyaplah mata tombak itu dan berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung
menerjang ke arah Hok Boan.
Hok Boan maklum bahwa kalau dia mempertahankan terus senjata rantingnya,
akhirnya dia akan kalah dan celaka. Dia tidak perlu menjaga kehormatannya ter-
hadap orang-orang tidak terhormat ini, pikirnya. Bahkan omongan besarnya untuk
menghadapi kepala perampok ini dengan sebatang ranting, dapat dia pergunakan
demi keuntungannya, pikirnya pula. Dengan menggunakan ranting sehingga dia
terdesak hebat, kepala perampok ini menjadi lengah oleh bayangan kemenangannya.
Maka dia sengaja memperlambat gerakannya sehingga dia terdesak makin hebat dan
bermain mundur terus. Seperti tidak disengaja, kakinya tergelincir dan dia jatuh
ke atas tanah. "Ha-ha, mampuslah kau...!" Coa Lok mengejar dengan tombaknya. Akan tetapi Hok
Boan terus menggerakkan tubuhnya menggelundung dan menjauh. Ketika Si Tombak
Sakti itu mengejar terus sambil tertawa-tawa dan berusaha menusukkan tombaknya
ke arah tubuh lawan yang bergulingan, tiba-tiba Hok Boan mengeluarkan bentakan
nyaring, tangan kanannya bergerak dan ranting itu meluncur seperti anak panah
menuju ke arah dada Coa Lok!
"Ehhh...! Krekk-krekkk...!" Coa Lok terkejut, cepat menangkis dengan tombaknya
dan mematahkan ranting itu.
Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dari depan. Coa Lok terkejut,
melihat kecurangan lawan namun sudah terlambat karena pedang yang ditangkisnya
itu masih meleset dan mcluncur memasuki perutnya.
"Blessss...!" Pedang itu menembus perutnya, lalu oleh Hok Boan diputar ke atas
sehingga perut kepala perampok itu robek. Kepala perampok itu mengeluarkan
teriakan mengerikan, tombaknya terlepas dan dia roboh terjengkang ketika Hok
Boan mencabut pedang sambil menendangnya.
Para anak buah perampok memandang dengan mata terbelalak ke arah Coa Lok yang
berkelojotan di atas tanah, kemudian memandang kepada Hok Boan yang berdiri
tegak dengan pedang yang berlumuran darah itu di tangan kanan sambil tersenyum.
"Nah, kepala kalian telah mampus. Apakah di antara kalian ada yang ingin
menemaninya ke neraka" Ataukah kalian mau mengangkat aku menjadi pemimpin kalian
yang baru?" tantang Hok Boan.
Para perampok itu saling pandang. Mereka merasa ngeri karena maklum bahwa
sasterawan ini benar-benar amat lihai. Beberapa orang di antara mereka yang
termasuk tokoh-tokohnya lalu menjatuhkan diri berlutut, tentu saja segera
diturut oleh yang lain dan mereka memberi hormat sambil berkata, "Tai-ong... kami mentaati
perintah tai-ong...!"
Kui Hok Boan tersenyum dan menyimpan pedangnya setelah membersihkan darah dari
pedang itu ke atas tubuh Coa Lok yang sudah tidak bergerak lagi. Dia berkata
dengan suara halus namun penuh wibawa. "Kalian tidak akan menyesal mengangkatku
menjadi pemimpin kalian. Aku akan membuat Padang Bangkai ini menjadi tempat yang
indah dan baik, juga makmur setelah kalian membantuku mencari harta pusaka yang
terpendam di sini. Aku dapat menduga bahwa kalian tentulah gerombolan perampok,
bukan" Nah, mulai sekarang kita tidak perlu merampok lagi. Untuk apa melakukan
pekerjaan hina dan memalukan itu kalau kita dapat mencari kekayaan dengan cara
lain yang lebih mudah" Sekarang perintahku yang pertama adalah, kalian tidak
boleh menyebut tai-ong. Aku bukan perampok. Kalian harus menyebutku taihiap
(pendekar besar), mengerti" Namaku Kui Hok Boan dan kalian menyebutku Kui-
taihiap, tidak kurang tidak lebih! Dan ingat, siapa yang berani melanggar pe-
rintahku, akan kulemparkan ke lumpur maut!" Setelah berkata demikian, Hok Boan
menyambar tangan mayat Coa Lok lalu mengerahkan tenaga, melontarkan mayat itu
yang terlempar jauh dan terjatuh ke atas rumput hijau yang menyembunyikan lumpur
di mana kudanya menjadi korban kemarin dulu. Lumpur itu menerima mayat Coa Lok
dan karena mayat itu menimpa lumpur dengan kekuatan besar, seketika mayat itu
lenyap ditelan lumpur. Semua anggauta perampok itu mengangguk-angguk dengan muka pucat. Pemuda
sasterawan ini kelihatan halus, ramah dan tidak kasar, akan tetapi mempunyai
sikap yang menyeramkan dan lebih menakutkan dari sikap Coa Lok yang kasar.
"Sekarang, tunjukkan aku jalan masuk ke dalam Padang Bangkai ini dan kita mulai
dengan mencari harta pusaka yang tersimpan di suatu tempat yang sudah kuselidiki
dari peta yang kudapat."
Tiga puluh orang itu bersorak girang lalu mengantar ketua mereka yang baru
memasuki padang yang luas itu menuju sarang mereka, dusun yang dikelilingi air
itu. Memang tujuan Hok Boan datang ke Padang Bangkai dan Lembah Naga adalah
untuk mencari harta-harta pusaka itu, yang dia dengar dari berita angin di
antara para pasukan kerajaan. Bahkan dia secara teliti melakukan penyelidikan,
mengumpulkan berita-berita itu dan menemukan sebuah peta tua yang menunjukkan di
mana kiranya harta-harta pusaka itu disimpan di kedua tempat yang penuh rahasia
itu. Sesungguhnya berita yang didengarnya dari mulut ke mulut itu bukanlah hanya
dongeng belaka. Harta pusaka itu adalah harta hasil perampokan dan rampasan dari
pasukan-pasukan liar di bawah pimpinan Raja Sabutai ketika raja liar ini
menaklukkan banyak suku bangsa Nomad di sekitar daerah padang dan gurun di
utara. Karena tidak mungkin bagi pasukan itu untuk membawa-bawa harta yang amat
banyak dan berat dalam perjalanan mereka menaklukkan suku-suku lain, maka
sebagian dari harta itu mereka sembunyikan dan mereka tanam di beberapa tempat,
di antaranya di Padang Bangkai dan lebih lagi di Lembah Naga. Raja Sabutai
sendiri tidak tahu akan hal ini, karena pekerjaan itu dilakukan oleh anak
buahnya yang ingin menyembunyikan sebagian dari harta rampasan itu. Dalam perang
dan pertempuran-pertempuran selanjutnya, para penyimpan harta itu sudah gugur
semua dan yang tinggal hanya cerita mereka yang diteruskan oleh teman-teman, dan
akhirnya Hok Boan si petualang itulah yang berhasil menemukan penggambaran
petanya dan yang percaya akan adanya harta itu dan kini benar-benar melakukan
penyelidikan dan pencarian. Orang lain, biarpun percaya akan adanya harta itu,
merasa jerih untuk menyelidiki karena selain tempat itu berada di wilayah
kekuasaan Raja Sabutai, juga di situ banyak terdapat suku-suku liar dan kedua
tempat itupun kabarnya merupakan daerah berbahaya yang tak mungkin dimasuki
orang luar. Dalam waktu setahun saja terjadilah perubahan besar-besaran di Padang Bangkai.
Dusun di tengah padang yang dikelilingi air sungai itu, yang tadinya hanya
terdiri dari rumah-rumah petak sederhana, kini telah berubah menjadi bangunan
besar dan megah, dikelilingi taman bunga dan dipasangi jembatan-jembatan indah
di atas sungai itu. Juga jalan menuju ke Padang Bangkai dibangun dan dibuat
lebar dan tidak berbahaya. Bahkan kini mulai ada penduduk tinggal di luar padang
itu, tidak lagi takut seperti dulu sehingga Padang Bangkai kini bukan lagi
menjadi daerah "angker" yang menyeramkan dan tidak ada orang berani mendekati.
Padang Bangkai kini berubah menjadi sebuah dusun makmur milik Kui-kongcu yang
dikenal sebagai seorang hartawan yang ramah dan manis budi. Semua perubahan ini
diadakan oleh Kui Hok Boan yang ternyata berhasil menemukan harta pusaka itu di
sebuah guha. Harta pusaka yang amat banyak, terdiri dari emas permata yang
mahal. Maka dibangunlah tempat itu, bukan hanya rumah gedung untuk dia sendiri,
juga rumah-rumah petak yang indah untuk para anak buahnya yang tiga puluh orang
banyaknya itu, dan pakaian-pakaian untuk mereka. Bahkan kini para anak buah itu
ada yang mengambil isteri dan membentuk keluarga di Padang Bangkai. Hidup mereka
tentram dan tenang, tidak lagi harus merampok seperti dulu, melainkan
mengusahakan tanah yang subur di daerah itu untuk bercocok tanam. Selain dari
hasil ini, juga secara halus Hok Boan mulai menentukan semacam "pajak" bagi para
penghuni yang tinggal di sekitar Padang Bangkai, dengan dalih bahwa anak buah
Padang Bangkai yang menjamin keselamatan mereka dari gangguan siapapun juga.
Karena sikap Hok Boan yang halus, juga anak buahnya yang tidak boleh menggunakan
kekerasan, maka para penghuni itu dengan suka hati suka menyerahkan sebagian
dari hasil mereka sebagai semacam pajak atau upah menjaga keamanan mereka!
Beberapa kali Hok Boan ingin pergi melakukan penyelidikan ke Lembah Naga karena
memang dia ingin mencari pula harta pusaka yang terpendam di tempat itu. Bahkan
menurut kabar, harta yang berada di situ lebih banyak lagi di samping adanya
sebuah istana di Lembah Naga itu sebagai peninggalan Raja Sabutai.
Akan tetapi, berkali-kali anak buahnya memperingatkan Hok Boan agar jangan
sembarangan menyerbu atau memasuki Lembah Naga. "Mendiang ketua kami yang
dahulu, Coa Lok, dengan keras melarang kami untuk mendekati istana itu, taihiap.
Dan memang kamipun sudah jera untuk memasuki daerah Istana Lembah Naga, setelah
lima orang teman kami tewas secara mengerikan oleh iblis betina itu." Demikian
antara lain anak buahnya memperingatkan.
Hok Boan lalu mendengar cerita mereka tentang wanita cantik bertangan kiri
buntung yang amat hebat kepandaiannya. Betapa mendiang Coa Lok sendiri tidak
mampu mengalahkannya, dan betapa lima orang di antara mereka tewas oleh wanita
cantik itu. "Kepandaiannya seperti iblis, taihiap, gerakannya cepat seperti pandai meng-
hilang saja. Akan tetapi dia tidak pernah mengganggu kami selama ini. Oleh
karena itu, apakah tidak sebaiknya kalau kita juga tidak mengganggunya" Kita
sudah hidup senang dan makmur di sini berkat kebijaksanaan taihiap, dan kami
sudah puas." Biarpun mulutnya tidak berkata apa-apa, namun di dalam hatinya Kui Hok Boan
merasa penasaran sekali. Makin tertariklah hatinya untuk mengunjungi istana itu,
di mana menurut cerita anak buahnya tinggal wanita cantik yang kepandaiannya
seperti iblis betina itu, ditemani oleh lima orang pelayan wanita yang cantik-
cantik pula. Mendengar wanita-wanita cantik, jantung sasterawan muda ini sudah
berdebar tegang dan gembira. Sudah terlalu lama dia kesepian, semenjak dia
meninggalkan Leng Ci yang cantik dan genit. Memang di antara para penghuni dusun
terdapat pula wanita-wanita mudanya, dan dia sudah mengunjungi dan menghibur
dirinya dengan dua tiga orang di antara mereka, akan tetapi hatinya tidak puas.
Mereka adalah wanita-wanita dusun yang sederhana, bodoh dan juga berkulit kasar
dan kehitaman karena kerja berat dan terbakar sinar matahari di sawah ladang.
Karena dia tidak ingin mengganggu ketentraman hidup para anak buahnya, maka dia
mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri saja. Dia tahu bahwa anak buahnya
adalah bekas-bekas perampok yang berjiwa kasar dan ganas. Kini, oleh keadaan
yang makmur dan tentram, anak buahnya itu bagaikan harimau-harimau yang
kekenyangan dan tidur bermalas-malasan. Kalau sampai digerakkan dan bangkit
kembali keganasan mereka, maka akan repot jugalah dia untuk menanggulangi
mereka. Biarkanlah mereka menjadi harimau-harimau jinak karena memang dia tidak
membutuhkan tenaga mereka. Di tempat seperti itu, agaknya tidak akan ada musuh
yang mengganggu. Demikianlah, pada suatu pagi, tanpa diketahui oleh orang lain, diam-diam Kui Hok
Boan memasuki daerah Lembah Naga dari selatan. Daerah yang luas dan indah,
tanahnya subur dan tak lama kemudian, ketika jalan itu mulai menanjak berat, dia
sudah melihat genteng istana dari jauh, kemerahan dan tinggi. Akan tetapi selagi
dia melenggang seenaknya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan merdu, "Hei,
berhenti! Tidak boleh memasuki tempat itu tanpa ijin!"
DENGAN tenang Hok Boan menoleh dan melihat lima orang wanita bermunculan.
Melihat kaki dan tangan mereka yang masih berlepotan lumpur, tahulah dia bahwa
mereka tadi sedang asyik bekerja di sawah ketika mereka melihat kedatangannya
dan menghadang di sini. Wanita-wanita itu tidak sangat cantik, akan tetapi
dibandingkan dengan wanita-wanita dusun, mereka ini jauh lebih bersih menarik.
Bahkan ada seorang di antara mereka, yang berbaju hijau, tentu belum ada tiga
puluh tahun usianya, dan wajahnya manis. Dia sudah menduga bahwa tentu inilah


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka yang disebut pelayan-pelayan dari wanita cantik bertangan buntung itu,
maka dia tersenyum manis dan memasang aksi yang ramah.
Kui Hok Boan memang berwajah tampan. Apalagi pagi hari itu dia sengaja
mengenakan pakaian baru yang indah dan bersih. Ketika melihat pemuda itu
tersenyum dan sikapnya yang sopan dan lemah lembut, lima orang itu tercengang,
kemudian seorang di antara mereka, kebetulan yang muda berbaju hijau itu,
berseru, "Ah, bukankah Kui-taihiap... dari Padang Bangkai...?"
Seperti diketahui, kadang-kadang, untuk keperluan mereka, tentu ada di antara
para pelayan dari istana lembah itu yang turun dari lembah dan pergi ke dusun-
dusun untuk membeli keperluan mereka. Oleh karena, itu maka mereka mendengar
belaka akan semua perubahan yang terjadi di Padang Bangkai. Mereka sudah melapor
kepada majikan mereka, yaitu Liong Si Kwi, bahkan Padang Bangkai telah memiliki
majikan atau pemimpin baru, dan betapa Padang Bangkai kini dibangun dan banyak
penghuni dusun yang berdatangan dan membuka dusun-dusun baru di luar Padang
Bangkai. Akan tetapi Si Kwi tidak mau mencampuri urusan itu. Untuk apa dia
mencampuri urusan para perampok di Padang Bangkai" Biar berganti pimpinan seribu
kalipun tetap saja perampok dan dia tidak sudi berurusan dengan para perampok.
Maka dia hanya berpesan kepada para pelayannya agar jangan berhubungan atau
mencampuri urusan orang Padang Bangkai. Dia tidak akan perduli selama orang-
orang Padang Bangkai tidak mengganggu Lembah Naga.
Akan tetapi, lima pelayan itu telah mendengar bahwa kepala di Padang Bangkai
sekarang adalah seorang pemuda sasterawan yang tampan dan halus, dan yang
disebut Kui-taihiap oleh para anak buah Padang Bangkai dan oleh semua penduduk
dusun di sekitarnya. Dan ketika seorang dua orang di antara mereka pergi
berbelanja, mereka mendengar penuturan para penduduk bahwa majikan Padang
Bangkai itu amat ramah dan baik hati, sama sekali bukan bersikap sebagai kepala
rampok, dan bahwa tidak pernah ada anggauta Padang Bangkai yang mengganggu
dusun-dusun baru itu. A Ciauw, pelayan berbaju hijau itu, sudah pernah satu kali melihat Kui Hok Boan
dari jauh, maka kini dia mengenal pemuda itu. Mendengar teguran A Ciauw, empat
orang temannya memandang penuh perhatian, tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan, sungguhpun majikan mereka sudah berpesan bahwa tidak ada orang luar,
siapapun juga dia itu, yang boleh masuk ke Lembah Naga.
Hok Boan memperlebar senyumnya sehingga nampak giginya yang putih, lalu dia
memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada. "Ah, kiranya cu-
wi (anda sekalian) telah mengenal saya" Saya memang Kui Hok Boan, dari Padang
Bangkai. Karena diantara kita adalah tetangga, maka saya ingin sekali datang
mengunjungi Istana Lembah Naga, untuk berkenalan."
Biarpun hanya A Ciauw seorang saja di antara mereka yang pernah melihat majikan
Padang Bangkai yang disohorkan orang itu, namun mereka semua telah lama
mendengar nama sasterawan muda itu dan kini melihat orangnya dengan sikapnya
yang demikian halus dan ramah, lima orang pelayan itu merasa tidak enak kalau
harus bersikap kasar. Bahkan untuk mengusirnya sekalipun mereka merasa malu
hati. Maka kini mereka hanya saling pandang atau menatap wajah tampan itu dengan
bingung. Akhirnya, A Ciauw yang merasa betapa pandang mata kongcu itu terutama
ditujukan kepadanya dengan amat mesra, dengan kedua pipi berubah merah lalu
menjura dengan hormat dan berkata, "Maafkan kami, Kui-taihiap. Bukan keinginan
kami untuk bersikap kurang hormat kepada taihiap. Akan tetapi kami berlima
hanyalah pelayan-pelayan dari nona kami yang mentaati perintah beliau..."
"Ah, kiranya cici (kakak) berlima adalah pelayan-pelayan dari Istana Lembah
Naga" Sungguh mati, siapa dapat percaya hal ini kalau tidak mendengar sendiri"
Biarpun cici berlima berlepotan lumpur karena habis kerja di ladang, namun
melihat wajah dan sikap kalian... ah, sudahlah, betapapun juga, saya merasa amat
gembira dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian. Sekarang, cici berlima yang
manis, tolonglah antar saya untuk menjumpai dan berkenalan dengan nona majikan
kalian." "Itulah yang kami tidak berani lakukan, taihiap. Bahkan kalau bukan taihiap yang
bertemu dengan kami di sini, tentu sudah sejak tadi kami minta untuk segera
meninggalkan tempat ini. Ketahuilah, Kui-taihiap, bahwa nona majikan kami sudah
berulang kali memesan bahwa tidak boleh orang luar datang memasuki Lembah Naga,
apalagi hendak bertemu dengan beliau. Oleh karena itu, demi kebaikan kita
bersama, taihiap, kami mohon dengan hormat sukalah taihiap kembali saja ke
Padang Bangkai dan kami akan menyampaikan kepada nona majikan kami betapa
baiknya keadaan dan sikap taihiap terhadap kami."
Kui Hok Boan tersenyum dan memainkan matanya, lalu berkata, "Aihh, cici yang
manis, mengapa demikian" Telah setahun saya tinggal di Padang Bangkai dan sudah
banyak saya mendengar tentang nona majikanmu yang kabarnya cantik seperti
bidadari dan juga manis budi. Kami adalah tetangga, kenapa saya tidak boleh
menjumpai dan berkenalan dengan dia" Tidak, sekarang juga saya harus menemuinya,
kalau tidak maka saya Kui Hok Boan tentu akan mati penasaran, setidaknya malam
ini saya tidak akah dapat tidur."
A Ciauw dan teman-temannya menjadi makin khawatir. "Jangan, taihiap, harap
taihiap jangan memaksa, harap taihiap suka kembali saja..."
"Hemm, kalau saya tidak mau kembali, bagaimana" Saya mendengar bahwa lima orang
dayang Istana Lembah Naga memiliki kepandaian tinggi, apalah kalian hendak
menghajar saya dan memaksa saya pergi dari sini?"
"Ah, mana kami berani" Akan tetapi, kalau kami membiarkan saja taihiap memasuki
istana, kami tentu akan mendapat marah besar dari nona majikan kami..."
"Karena itu, jangan kalian biarkan, cobalah kalian menghalangiku. Tentu saja aku
tidak ingin menyusahkan kalian, para enci yang manis." Hok Boan berkata dengan
sikap main-main dan lebih akrab.
A Ciauw dan teman-temannya saling pandang, kemudian A ciauw menarik napas
panjang dan berkata, "Apa boleh buat, Kui-taihiap. Kami hanyalah pelayan yang
harus mentaati perintah nona majikan kami, kalau kami ingin selamat. Maafkan
kami, terpaksa kami akan menghalangi taihiap. Harap saja taihiap menaruh kasihan
kepada kami." A Ciauw sudah memasang kuda-kuda diikuti oleh empat orang
temannya. "Mana aku sampai hati menyusahkan kalian?" jawab Hok Boan dan diapun lalu
menerjang ke depan. Lima orang wanita itu menubruknya dan membuat gerakan
menyerang untuk menangkap atau merobohkan tamu yang nekat ini, akan tetapi tentu
saja mereka itu sama sekali bukan tandingan Kui Hok Boan. Dengan gerakan yang
amat cepat, Hok Boan membagi-bagi totokan dan robohlah lima orang itu dalam
keadaan lemas dan lumpuh tertotok!
Hok Boan tersenyum, lalu menghampiri A Ciauw, berlutut di dekatnya dan berkata,
"Aku menyesal sekali, harap kalian maafkan aku. Akan tetapi hal ini perlu agar
kalian tidak sampai mendapat marah. Kau manis sekali!" berkata demikian, Hok
Boan mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita berbaju hijau itu, tangannya
mengusap dan membelai. A Ciauw tidak mampu bergerak dan hanya mengeluarkan suara
di tenggorokannya seperti orang merintih atau mengeluh, matanya dipejamkan dan
setelah lama pria itu pergi, A Ciauw masih rebah terlentang dengan mata terpejam
dan pikiran melayang jauh entah ke mana!
Sementara itu, dengan ilmu berlari cepat, Hok Boan sudah meninggalkan lima orang
wanita yang dirobohkannya dengan totokan yang untuk beberapa lamanya akan
membuat mereka lumpuh tak berdaya akan tetapi tidak membahayakan keselamatan
nyawa mereka itu. Dia menuju ke istana, akan tetapi ketika mendengar suara anak
kecil tertawa dan suara seorang wanita, dia tertarik dan mengalihkan langkahnya
ke jalan kecil yang menuju ke dinding gunung penuh guha dari mana suara itu tadi
datang. Tak lama kemudian dia melihat seorang anak laki-laki kecil, usianya tentu antara
dua dan tiga tahun, tubuhnya sehat dan kuat, sedang bermain-main di depan guha.
Tak jauh dari situ, nampak seorang wanita dan Kui Hok Boan tercengang dan
terpesona! Dia bukan seorang laki-laki yang hijau, sama sekali bukan. Dia adalah
seorang petualang asmara, seorang kongcu hidung belang dan mata keranjang yang
sudah biasa mempermainkan wanita dan mengobral cintanya di antara banyak sekali
wanita. Dia sudah banyak bertemu, bahkan bercinta dengan wanita-wanita cantik.
Akan tetapi melihat wanita yang duduk di atas batu itu, jantungnya berdebar
keras dan dia tertarik sekali. Usia wanita itu belum ada tiga puluh tahun,
wajahnya manis sekali dan di wajah itu terbayang watak seorang wanita yang
mempunyai harga diri tinggi, yang memandang dunia dengan pandang mata seorang
ratu, agung dan angkuh akan tetapi justeru sikap itulah yang bagi pandang mata
Hok Boan kelihatan begitu menarik dan mempesona. Dia sudah terlalu biasa bertemu
dengan wanita yang "murahan" seperti sikap lima orang pelayan tadi, atau wanita
yang "jual mahal" agar dapat dinilai lebih tinggi. Namun wanita yang duduk di
atas batu depan guha besar itu lain sama sekali, sikapnya wajar dan begitu
agung, tangan kirinya yang buntung sebatas pergelangan itu tidak membuat dia
menjadi buruk, bahkan menimbulkan rasa iba di hati Hok Boan. Wanita itu wajahnya
manis, berbentuk bulat dengan dagu meruncing dan mulut kecil, sepasang matanya
tajam dan dingin namun mengandung kesuraman dan kesayuan. Rambutnya digelung
sederhana dengan hiasan tusuk konde dari perak terukir dan diikat dengan pita
rambut yang berwarna kuning. Pakaiannya juga sederhana bentuknya, akan tetapi
terbuat dari sutera halus dengan baju warna merah darah. Kombinasi warna pakaian
yang menyolok sekali, dan anehnya, kebetulan sekali warna merah memang paling
disuka oleh Hok Boan untuk dipakai oleh wanita! Dia sendiri merasa heran bukan
main mengapa hatinya begitu tergetar dan tertarik sekali melihat wanita yang
memiliki bentuk tubuh yang sudah matang itu, padat dan dengan lekuk lengkung
yang sempurna! Wanita itu bukan lain adalah Liong Si Kwi. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, semenjak wanita ini menemukan Sin Liong yang dia yakin adalah anak
kandungnya sendiri, terjadi perubahan besar pada kehidupannya. Dia tidak lagi
melamun dan terpendam ke dalam kedukaan. Timbul kembali gairah hidupnya, timbul
pula kegembiraannya dan dia bahkan mendatangkan lima orang wanita sebagai
pelayannya, untuk mengurus istana yang besar itu, melayaninya dan menjadi
temannya tinggal di tempat yang sunyi itu. Biarpun Sin Liong masih suka bermain-
main dengan monyet-monyet besar, namun karena tahu bahwa monyet-monyet itu
adalah kawan-kawan pertama Sin Liong semenjak lahir dan setelah dia yakin bahwa
binatang-binatang itu sama sekali tidak pernah mengganggunya, maka diapun tidak
pernah melarang lagi. Kadang-kadang dia sendiri yang menemani Sin Liong bermain-
main dan pagi hari itupun dia menemani anak itu bermain-main, suatu kesibukan
yang mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati wanita itu.
Biarpun Sin Liong belum pernah menerima gemblengan ilmu silat, namun nalurinya
lebih tajam dari manusia biasa. Hal ini agaknya dia dapatkan dari air susu
monyet yang menghidupinya sejak dia masih kecil, maka kedatangan Hok Boan lebih
dulu dia ketahui sebelum ibunya, wanita yang telah digembleng ilmu silat tinggi
itu mengetahui. "Eeehhh...?" Sin Liong mengeluarkan teriakan dan menudingkan telunjuknya ke arah
pria yang melangkah datang hati-hati itu.
Si Kwi cepat meloncat turun dari atas batu dan membalikkan tubuh. Matanya
berkilat bercahaya ketika dia melihat datangnya seorang laki-laki muda tampan
berpakaian sasterawan dan diam-diam dia memperhatikan ke kanan kiri karena dia
merasa heran mengapa lima orang pelayannya membiarkan orang asing ini memasuki
Lembah Naga! Kui Hok Boan sudah lebih dulu menggunakan senjatanya yang biasanya amat ampuh
dalam menghadapi wanita. Dia memainkan matanya, menggerakkan alisnya yang tebal
dan tersenyum manis, lalu menjura dan merangkapkan kedua tangan di depan dada,
memberi hormat dengan sikap sopan sekali.
"Harap nona sudi memaafkan kelancanganku kalau aku mengganggu."
Si Kwi mengerutkan alisnya, tidak menjawab dan dia menoleh ke kanan kiri, merasa
makin heran dan penasaran, bagaimana lima orang pelayannya yang setia itu sama
sekali tidak tahu akan kedatangan orang ini. Melihat wanita yang mempesona itu
mengerutkan ails dan dengan sikap angkuh tidak menjawab kata-katanya melainkan
memandang ke kanan kiri jantung Hok Boan berdebar. Bukan main cantik dan
manisnya wanita ini, pikirnya heran. Sudah banyak dia melihat wanita cantik,
akan tetapi belum pernah ada yang menggerakkan hatinya seperti wanita bertangan
kiri buntung ini! Dia maklum atau dapat menduga apa yang dicari oleh wanita itu,
maka dia kembali menjura dan berkata halus, "Kalau nona mencari lima orang
pembantumu itu, ketahuilah bahwa mereka tadi menghadang dan hendak menghalangiku
untuk datang berkunjung ke Istana Lembah Naga, oleh karena itu secara terpaksa
sekali aku menidurkan mereka secara lembut dengan totokan. Akan tetapi sama
sekali tidak berbahaya, nona, sama sekali tidak berbahaya..."
Sinar mata itu berkilat menatap wajah Hok Boan, sinar mata itu merayap dari atas
ke bawah, dalam sekejap saja telah meneliti keadaan jasmani pemuda itu, lalu
sinar mata yang amat tajam itu kembali menentang wajah Hok Boan. Bibir yang
merah tipis dan manis itu terbuka, bergerak dan terdengar bentakan halus, "Siapa
engkau" Dan apa kehendakmu datang ke tempat ini secara memaksa?" Pertanyaan yang
mendesak dan mengandung tegurang biarpun hati Si Kwi sama sekali tidak merasa
heran kalau pemuda ini dapat menotok roboh lima orang pelayannya karena mereka
itu baru dua tahun dilatih silat. Melihat keadaan pemuda yang lemah lembut ini,
dia menduga bahwa tentu pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Dia sudah
terbiasa akan hal ini. Sebagai orang muda yang berdarah panas, maka setiap
pemuda yang memiliki kepandaian sedikit saja tentu akan bersikap sombong dan
suka berkelahi. Akan tetapi, seorang pemuda yang dapat membawa diri, bersikap
tenang dan halus, tidak menonjolkan kepandaian, pemuda seperti itulah yang
berbahaya, dan biasanya menyembunyikan kepandaian yang hebat. Seperti Cia Bun
Houw misalnya! Teringat ini, kedua pipi Si Kwi menjadi merah dan cepat diusirnya
bayangan pemuda itu dan nama pemuda itu.
Mendengar pertanyaan yang singkat dan penuh teguran itu, kembali Hok Boan
menjura dan menjawab halus, "Sekali lagi harap nona sudi memaafkan aku.
Sesungguhnya, aku Kui Hok Boan sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap
nona atau semua penghuni Istana Lembah Naga. Seperti mungkin nona telah mengenal
namaku..." "Aku tidak mengenal namamu!" Si Kwi memotong cepat dan ketus.
Hok Boan tidak merasa menyesal atau menjadi marah mendengar pemotongan kata-
katanya yang ketus itu. Dia tetap memandang dengan wajah berseri, lalu tersenyum
dan berkata lagi, "Maaf, agaknya aku lupa bahwa penghuni Istana Lembah Naga
tentu saja tidak mengenal nama seorang yang tidak berharga seperti aku ini.
Karena itu, baiklah dalam kesempatan ini aku memperkenalkan namaku. Aku she Kui
bernama Hok Boan dan aku memimpin teman-teman di Padang Bangkai."
"Hemm, kiranya kepala perampok yang baru?"
Hok Boan mengerutkan alisnya. "Nona boleh memandang rendah kepadaku, akan tetapi
harap suka melihat dengan jelas dan dapat membedakan orang. Aku datang ke Padang
Bangkai kurang lebih setahun yang lalu, dalam pertempuran membunuh kepala
perampok Sin-jio Coa Lok dan karena kasihan kepada tiga puluh orang anak buahnya
yang sudah menyerah maka aku memimpin mereka menuju ke jalan benar. Sekarang,
mereka itu bukanlah perampok lagi, nona. Padang Bangkai telah mengalami
perubahan besar dan bukan merupakan tempat angker dan menyeramkan lagi bagi
manusia. Dusun-dusun baru telah mulai dibangun oleh mereka yang berdatangan."
Si Kwi merasa tersindir. Memang dia sudah mendengar dari para pelayannya akan
kemajuan Padang Bangkai dan betapa tempat itu kini mulai ramai dengan para
penduduk baru yang membangun dusun-dusun, Lembah Naga masih saja merupakan
tempat angker yang tidak boleh didatangi orang luar.
"Cukup, tidak perlu engkau memamerkan dan mempropagandakan Padang Bangkai.
Sekarang katakan apa keperluannya datang ke sini!"
Kembali Hok Boan menjura dengan hormat. "Tidak ada keperluan lain kecuali datang
berkunjung sebagai tetangga, sebagai sahabat..."
"Seorang sahabat macam apa engkau ini! Begitu datang telah menotok roboh lima
orang pelayanku." "Akan tetapi mereka yang memaksaku, nona..."
"Hemm, agaknya setelah engkau berhasil merampas Padang Bangkai, engkau hendak
main gila di sini mengandalkan kepandaianmu, ya" Kaukira aku takut menghadapimu.
Kaukira akan mudah saja merampas Istana Lembah Naga seperti yang telah
kaulakukan dengan Padang Bangkai?"
"Eh... ah... bukan begitu, nona..."
"Cerewet! Perlihatkan kepandaianmu!" Si Kwi sudah menghardiknya dan seketika dia
menerjang dengan tamparan tangan kanannya ke arah pipi Hok Boan. Pemuda
sasterawan ini terkejut bukan main. Dia hanya melihat wanita itu menggerakkan
tangan dan tahu-tahu ada angin menyambar dahsyat dan tangan itu telah menyambar
dekat sekali dengan pipinya! Hanya dengan jalan melempar tubuh atas ke belakang
saja dia berhasil menghindarkan diri dari tamparan itu. Angin tamparan itu masih
menyambar pipinya, dingin dan kuat sekali. Bukan main, pikirnya. Pantas saja
wanita ini ditakuti orang, kiranya memiliki gerakan yang sedemikian cepatnya.
Sementara itu, Si Kwi menjadi penasaran juga ketika tamparannya yang dilakukan
cepat tadi dapat dielakkan lawan. Dia merasa gemas dan sambil mengeluarkan
lengking nyaring dia menyerang secara hebat dan bertubi-tubi. Tubuhnya
berkelebatan dan kadang-kadang meloncat tinggi sambil menerkam dan menyerang,
kecepatannya seperti seekor burung walet terbang!
"Eh... ohh... nanti dulu, nona...!" Hok Boan berseru kaget dan mengelak atau
menangkis kalang kabut. Nona itu hanya mempunyai satu tangan kanan saja, akan tetapi tangan kiri yang
buntung itu ternyata dipergunakan pula untuk menyerang, dengan jalan menotok
jalan darah! Yang amat mengagumkan hati Hok Boan adalah kecepatan wanita itu,


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecepatan yang luar biasa dan dia harus mengakui bahwa dalam hal limu gin-kang,
agaknya dia sendiri tidak akan mampu menandingi nona ini. Karena dia berseru dan
berkali-kali menahan, hampir saja sebuah tendangan kilat yang dilakukan selagi
tubuh wanita itu berada di atas mengenai dagunya. Dia terkejut dan mengeluarkan
keringat dingin ketika tubuhnya dia lempar ke belakang sambil berjungkir balik,
membuat salto. "Tahan, nona. Aku bukan musuh..."
"Tidak perduli. Engkau sudah merobohkan lima orang pelayanku, berarti engkau
adalah musuhku!" Si Kwi membentak dan menyerang lagi karena hatinya makin
penasaran melihat betapa serangan-serangannya yang sudah dilakukan sebanyak
belasan jurus itu tidak pernah mengenai sasarannya.
"Baiklah, agaknya engkau berpegang kepada kebiasaan kang-ouw bahwa sebelum
bertanding tidak kenal!" Hok Boan berkata dan mulailah dia membalas serangan Si
Kwi. Pemuda sasterawan ini amat tertarik kepada Si Kwi dan kini dia ingin
mengukur sampai di mana tingkat kepandaian wanita yang amat menyentuh perasaan
hatinya ini. Perkelahian hebat terjadi di depan guha. Melihat ini, Sin Liong mengeluarkan
suara marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, matanya mengeluarkan
sinar berapi dan dia menyeringai, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil
seperti laku seekor monyet kalau marah! Akan tetapi pada saat itu terdengar
teriakan monyet besar dan biang monyet yang selama ini selalu membayangi dan
menjaga Sin Liong, cepat meloncat ke bawah dan menyambar tubuh Sin Long,
dipondongnya dan dibawanya berloncatan naik melalui batu-batu di pinggir guha,
terus dibawanya naik ke atas pohon di mana dia duduk nongkrong sambil memondong
Sin Liong dan diajaknya anak itu menjadi penonton dari tempat yang aman itu.
Lega hati Si Kwi melihat ini. Dia tadi sudah khawatir kalau-kalau Sin Liong yang
masih mempunyai watak liar dan kadang-kadang seperti seekor monyet yang susah
dijinakkan itu akan menjadi marah dan maju membantunya. Hal itu kalau sampai
terjadi, tentu saja membahayakan keselamatan anak itu sendiri. Lawannya ini
seorang yang pandai, dan siapa tahu apa yang akan dilakukan oleh ketua Padang
Bangkai ini terhadap anak itu kalau Sin Liong berani maju membantunya. Kini,
melihat Sin Liong dalam keadaan aman di pohon tinggi, dijaga oleh monyet betina
besar itu, Si Kwi dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gerakan kaki
tangannya dan mulailah dia menyerang dengan hebat. Dia tidak membawa pedang
ataupun senjata rahasianya yang amat lihai, yaitu paku Hek-tok-ting, akan tetapi
karena dia melihat bahwa pemuda sasterawan itupun tidak membawa senjata apapun,
maka dia tidak merasa khawatir.
Liong Si Kwi adalah murid seorang tokoh besar dunia kang-ouw, yaitu mendiang Hek
I Siankouw, bahkan dia menerima banyak gemblengan ilmu silat tinggi pula dari
kekasih gurunya itu, yaitu Hwa Hwa Cinjin. Dari dua orang kakek dan nenek ini
dia menerima ilmu silat gabungan yang diberi nama Im-yang Lian-boan-kung ilmu
yang dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata. Selain itu,
juga Si Kwi pandai sekali main silat dengan siang-kiam, yaitu sepasang pedang
dan kini setelah tangan kirinya buntung, tentu saja dia tidak lagi dapat
memainkan dua pedang, melainkan tinggal sebuah saja yang biasa dimainkan dengan
tangan kanannya. Dan di samping ilmu senjata rahasia Hek-tok-ting, paku beracun
hitam yang amat berbahaya, juga dia adalah seorang ahli ilmu gin-kang. Karena
kecepatan gerakannya inilah maka di waktu dia belum bersembunyi di Istana Lembah
Naga, di dunia kang-ouw dia dijuluki orang Ang-yang-cu (Burung Walet Merah)
karena gerakannya seperti terbang dan pakaiannya selalu berwarna merah.
Kini, dalam keadaan marah dan penasaran, Liong Si Kwi menghadapi Hok Boan dan
mainkan Ilmu Silat Im-yang Lian-hoan-kun yang hebat. Tubuhnya seperti
beterbangan menyambar-nyambar dan dalam serangkaian serangan selama tiga puluh
jurus pertama, Hok Boan yang terkejut dan kagum itu terdesak hebat! Namun,
pemuda sasterawan ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang pandai, ditambah lagi
dengan pengalamannya yang banyak di dunia kang-ouw, maka dia masih berhasil
mempertahankan diri dengan baik. Tentu saja dia tidak dapat mengandalkan
kegesitannya untuk bergerak. Ketika dia menghadapi mendiang Sin-jio Coa Lok, dia
kelihatan amat lincah dan gesit karena dia memang menang gesit dibandingkan
dengan Coa Lok. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Si Kwi, dia kelihatan
lamban! Dia kalah gesit, kalah cepat sehingga tidak mungkin dia dapat
mengimbangi dan menandingi lawan ini kalau dia mengandalkan kecepatan. Maka dia
tidak mau banyak mengelak, khawatir kalau didahului lawan yang lebih cepat. Dia
lebih bersikap tenang dan mengandalkan pertahanannya yang kokoh kuat dengan
jalan menangkis dan hanya kadang kala saja dia mengelak. Setiap tangkisannya
dilakukan dengan pengerahan tenaga karena pemuda yang cerdik ini segera mengerti
bahwa biarpun dalam hal gin-kang dia kalah cepat, namun dalam hal sin-kang dia
menang kuat. Setelah tiga puluh jurus lewat dan selama itu Hok Boan hanya dapat
mempertahankan diri selalu, kini mulailah dia balas menyerang! Dan serangan-
serangan Hok Boan amat kuatnya, mendatangkan angin bersuitan sehingga Si Kwi
harus berhati-hati dan sebaliknya dari lawan, dia mengandalkan kecepatan gerakan
ketika menghadapi serangan pemuda itu. Diam-diam Si Kwi terkejut dan juga kagum.
Sasterawan muda yang bersikap sopan dan halus ini ternyata benar-benar hebat!
Dia teringat akan Cia Bun Houw, pendekar sakti pujaan hatinya yang juga
kelihatan seperti seorang pemuda sasterawan lemah namun sesungguhnya memiliki
kesaktian yang amat luar biasa. Biarpun pemuda ini tentu saja tidak bisa
dibandingkan dengan pendekar muda yang sakti itu, namun keadaan pemuda yang
menjadi ketua Padang Bangkai ini cukup menimbulkan rasa kagum di dalam hatinya.
Seratus jurus lewat dan pertandingan itu bertambah seru. Kalau diam-diam Si Kwi
kagum bukan main dan rasa penasaran di hatinya mulai lenyap karena memang harus
diakuinya bahwa lawan ini berbeda dengan Coa Lok dan memiliki tingkat kepandaian
yang tinggi, sebaliknya Hok Boan juga kagum bukan main dan kekagumannya
diucapkan berkali-kali oleh mulutnya.
"Hebat sekali!"
"Ah, engkau amat cepat, nona!"
Si Kwi tidak memperdulikan pujian-pujian ini, akan tetapi sebenarnya di dalam
hati wanita ini telah timbul semacam perasaan yang aneh. Tadi dia merasa
penasaran dan membenci pemuda ini yang dianggap menghinanya. Akan tetapi kini
lenyap rasa penasaran di hatinya kerena dia mengakui kehebatan pemuda ini, dan
perlahan-lahan rasa bencinya juga menipis mendengar betapa pemuda itu memuji-
mujinya dengan suara bersungguh-sungguh, bukan pujian yang bersifat mengejek.
Apalagi ketika dia melihat munculnya lima orang pelayannya dalam keadaan sehat
dan tidak mengalami cedera.
"Nona, cukuplah. Harap nona suka memaafkan aku, sungguh aku tidak berniat untuk
memusuhi nona. Cukuplah, biar aku mengaku kalah!" berkali-kali Hok Boan berkata,
akan tetapi Si Kwi masih terus mendesaknya. Wanita ini merasa malu ketika lima
orang pelayannya muncul dan melihat pertempuran itu, malu bahwa dia masih juga
belum dapat merobohkan laki-laki ini. Kalau tidak ada lima orang pelayan itu,
agaknya dia akan mempertimbangkan permintaan Kui Hok Boan ini, akan tetapi di
depan para pelayannya, dia tidak ingin dilihat bahwa dia memperoleh kemenangan
karena lawannya telah mengalah dan mengaku kalah padahal sebenarnya tidak
demikian! "A Ciauw, kau cepat ambilkan pedangku!" teriaknya sambil terus menerjang.
Melihat A Ciauw mentaati perintah nona majikannya itu dan berlari-lari menuju ke
istana, hati Hok Boan merasa tidak enak. Dia tidak takut biarpun nona ini
menggunakan pedang, akan tetap hal itu hanya akan membuat permusuhan makin
menjadi-jadi, dan dia sama sekali tidak menghendaki ini. Tidak, dia tidak bisa
bermusuhan dengan nona yang telah mencuri hatinya ini! Diam-diam dia telah jatuh
hati, jatuh cinta kepada Si Kwi dan dia sendiri merasa heran mengapa dia begini
tertarik kepada Si Kwi yang tangan kirinya buntung, dan yang biarpun cantik
manis, namun tidak lebih cantik dari pada kebanyakan wanita yang pernah dijumpai
dan diperolehnya. Dia tidak tahu mengapa dia begitu tertarik dan suka kepada
nona majikan istana lembah itu! Segala sesuatunya pada diri wanita itu menarik
hatinya, bahkan buntungnya tangan kiri itu tidak menimbulkan jijik dan buruk,
sebaliknya malah menimbulkan rasa iba dan juga kagum betapa dengan tangan kiri
buntung nona itu masih demikian hebat!
Kalau sampai nona itu menggunakan pedang, maka tidak mungkin dia membiarkan
dirinya terancam bahaya begitu saja, dan melawan orang yang bersenjata, apalagi
kalau lawan itu selihai nona ini, akan memaksa dia menggunakan tangan besi pula
dan sama sekali dia tidak menghendaki hal ini.
"Nona, mengapa engkau mendesak aku" Aku datang dengan niat baik, biarlah aku
mohon maaf dan mohon diri, lain hari kalau hatimu sudah dingin kembali, aku akan
datang berkunjung lagi. Selamat tinggal, nona." Hok Boan lalu meloncat ke
belakang, jauh sekali lalu melarikan diri dari tempat itu setelah melambaikan
tangannya kepada Si Kwi sambil meninggalkan senyum dan lirikan matanya yang amat
mesra dan memikat. Si Kwi tidak mengejar dan sampai beberapa lamanya dia berdiri bengong memandang
ke arah lenyapnya bayangan sasterawan muda itu. A Ciauw datang membawa pedang,
akan tetapi melihat lawan nonanya sudah pergi, dia lalu berkata, "Memang
sebaiknya kalau dia pergi. Kui-taihiap itu tidak berniat buruk maka tidak baik
kalau sampai dia tewas di sini." Ucapan itu ditujukan kepada teman-temannya atau
kepada diri sendiri. Si Kwi menoleh dan memandang kepada pelayan manis berbaju
hijau itu. Dia sudah menggerakkan bibirnya akan tetapi tidak mengeluarkan kata-
kata, melainkan mengambil pedangnya dari tangan A Ciauw dan mencari-cari Sin
Liong dengan matanya. Akan tetapi di atas pohon itu sudah tidak nampak Sin Liong
yang tadi dipondong monyet besar, maka dia lalu kembali ke istana. Ada rasa malu
di dalam hatinya untuk bicara tentang pria itu dengan para pelayannya, dan
tentang Sin Liong dia tidak khawatir karena kini dia maklum bahwa anak itu
mempunyai dua dunia, yaitu dunia bersama monyet-monyet di atas pohon dan dunia
bersama dia di dalam istana. Dia tidak mengganggu lagi karena yakin bahwa nanti
sebelum malam tiba, Sin Liong tentu akan pulang atau diantar pulang oleh monyet-
monyet itu. Dugaannya benar karena sore hari itu, selagi duduk termenung di
dalam kamarnya, Sin Liong meloncat masuk melalui jendela!
Semenjak peristiwa pertempurannya dengan Hok Boan itu, sering kali Si Kwi nampak
duduk termenung di dalam kamarnya atau kadang-kadang di taman bunga di belakang
istana. Apalagi semenjak hari itu, sering kali ada kiriman dari Padang Bangkai!
Kadang-kadang ada kiriman sutera halus, sepatu baru model terakhir, emas dan
permata berbentuk hiasan rambut, bahkan kadang-kadang ada kiriman masakan yang
masih panas! Mula-mula, ditolaknya kiriman-kiriman yang datang dari Kui Hok Boan
dan sengaja dikirim kepadanya itu, akan tetapi dibacanya surat terlampir yang
berisi sajak-sajak indah yang memuji-muji kecantikannya, menghibur kesunyiannya
dan huruf-huruf indah itu mengandung rasa cinta dan iba yang amat mengharukan
hatinya. Akhirnya, diterimanya juga kiriman-kiriman itu, bahkan beberapa bulan
kemudian, Kui Hok Boan yang datang berkunjung secara resmi itu, diterimanya
sebagai seorang tamu terhormat!
Memang tidak terlalu mengherankah melihat kekerasan hati Liong Si Kwi mencair
itu. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya.
Dia pernah jatuh cinta, pernah merasakan belaian cinta kasih seorang pria
sungguhpun hal itu terjadi di luar kesadaran pria itu. Dia mencinta Cia Bun Houw
dan di dalam batinnya dia sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada pemuda
itu. Namun, setelah Cia Bun Houw meninggalkannya (baca cerita Dewi Maut), dia
melihat kenyataan yang mengerikan dan amat pahit. Cintanya ditolak. Hatinya
hancur luluh. Kemudian, hati itu menjadi dingin membeku. Betapapun juga, dia
adalah seorang wanita normal yang masih muda, yang di balik kebekuannya itu
sebenarnya bernyala api gairah yang besar, bersembunyi kehausan akan belaian
kasih sayang seorang pria. Keadaan di Istana Lembah Naga yang sunyi, jauh dari
dunia ramai, jauh dari kaum pria, sedikit banyak menolong dan menghiburnya,
mempertebal kebekuan hatinya terhadap pria.
Namun, kini muncul Kui Hok Boan, seorang pria yang masih muda, tampang halus dan
juga lihai. Biarpun tidak sesakti Cia Bun Houw, setidaknya merupakah pemuda yang
keadaannya seperti Bun Houw. Apalagi Hok Boan pandai merayu, pandai memuji-muji,
dan dari sinar mata pemuda itu memancar kasih sayang yang besar dan mesra. Maka,
herankah kalau hati wanita itu menjadi terbakar, kalau kebekuan itu mencair dan
jantungnya berdebar penuh gairah" Anehkah itu kalau sebulan kemudian semenjak
kunjungan resmi dari Hok Boan, dia mau pula membalas kunjungan pemuda itu, pergi
ke Padang Bangkai dan mengagumi segala kemajuan yang dicapai oleh daerah itu
dibawah pimpinan Kui Hok Boan" Dan anehkah kalau dia tidak marah, melainkan
tunduk dengan muka merah dan jantung berdebar ketika pada suatu hari Kui Hok
Boan menyatakan cintanya dan mengajukan pinangan kepadanya" Dia tidak mampu
menjawab dan hanya menunduk, kedua pipinya merah sekali, bibirnya tersenyum
malu-malu dan jari tangan kanannya memilin-milin rambutnya yang terlepas dari
sanggul dan berjuntai ke depan dadanya.
"Liong-moi, engkau tahu bahwa lamaranku ini keluar dari hati yang tulus dan
mencintamu, maka harap engkau bersikap jujur untuk menjawabku agar aku tidak
tersiksa dalam kebimbangan." Kui Hok Boan mengulang dan mendesak. Setelah
berkenalan kurang lebih dua bulan saja, dia sudah menyebut moi-moi (adik) kepada
Si Kwi dan wanita itu menyebutnya ko-ko (kakak)!
Jantung di dalam dada Si Kwi berdebar. Sungguh dia sama sekali tidak pernah
mimpi bahwa akan ada seorang pria yang dapat jatuh cinta kepadanya, bahkan yang
akan meminangnya sebagai isteri! Apalagi seorang pria setampan dan selihai Kui
Hok Boan! Tentu saja hatinya menerima pinangan ini dengan rasa gembira dan
terharu, akan tetapi dia bukanlah seorang wanita muda yang sembrono. Dia maklum
bahwa ikatan pernikahan adalah hal yang tidak boleh dipandang ringan, dan
merupakan suatu ikatan selama hidup. Oleh karena itu, sebelum diambil keputusan
untuk mengikatkan diri dalam suatu pernikahan, dia harus bersikap terus terang,
antara kedua fihak harus membuka diri sehingga tidak terdapat rahasia lagi di
antara mereka yang kelak hanya akan menggagalkan ikatan itu. Biarpun hal yang
dikeluarkan itu amat sukar dan membuatnya merasa malu sehingga dia bicara sambil
menundukkan terus mukanya, namun akhirnya dapat juga dia bicara.
"Kui-koko, sobelum aku menjawab, sebaiknya engkaulah yang harus lebih dulu
mempertimbangkan pinanganmu itu dengan baik dan tidak tergesa-gesa karena engkau
belum mengenal betul siapa adanya diriku."
"Liong-moi, apalagi yang harus kupertimbangkan" Biarpun baru dua bulan kita
berkenalan, akan tetapi rasanya aku sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya. Aku
tahu bahwa engkau adalah Liong Si Kwi, akan tetapi aku lebih tahu lagi bahwa
engkau adalah seorang wanita yang hidup sebatangkara di tempat sunyi ini, hidup
ditemani lima orang pelayan dan seorang anak angkat yang diasuh oleh monyet-
monyet itu. Engkau belum mau menceritakan kepadaku mengapa engkau kehilangan
tangan kirimu, akan tetapi agaknya hal itu yang membuat engkau merasa malu dan
menyembunyikan diri di sini. Bagiku, engkau adalah seorang wanita yang pandai
dan yang menimbulkan rasa iba di hatiku, yang membuat aku ingin menghibur hatimu
yang seperti tertekan, melindungi dirimu yang seperti orang putus asa itu. Dan
lebih dari semua itu, aku meminangmu karena aku cinta padamu, moi-moi."
Si Kwi memejamkan matanya. Hatinya terharu sekali. Pernyataan itu dahulu dia
rindukan dari mulut Bun Houw, akan tetapi pernyataan itu tidak kunjung muncul,
dan kini keluar dari mulut Hok Boan! Selama hidupnya, baru sekali ini ada
seorang pria mengaku cinta kepadanya, pengakuan yang dia tahu amat jujur dan
setulus hati. Hampir dia menangis.
"Kui-koko..." katanya dengan suara gemetar. "Engkau belum tahu akan riwayatku,
akan latar belakang hidupku..."
"Aku tidak perduli, moi-moi. Tidak perduli apapun latar belakang hidupmu, apapun
riwayatmu yang telah lalu, yang kucinta bukanlah Liong Si Kwi yang dahulu,
melainkan Liong Si Kwi sekarang ini, yang duduk di depanku ini!"
"Tapi, koko... aku... aku bukanlah seorang perawan seperti yang mungkin kau
duga..." Muka wanita itu menjadi pucat dan dia tidak berani mengangkat muka.
"Hemm, perawan atau bukan bagiku tidak ada bedanya, moi-moi. Akan tetapi...
apakah engkau sudah menikah" Ataukah seorang janda?"
Liong Si Kwi menggeleng kepalanya, lalu mengangkat muka menatap wajah pria itu
penuh selidik dan hatinya girang melihat bahwa pernyataan bahwa dia bukan
perawan itu, agaknya tidak merobah sikap pria itu terhadap dirinya. "Aku tidak
pernah menikah, dan tentu saja bukan janda. Akan tetapi..." kembali dia
menunduk, "Aku bukan perawan, bahkan aku... aku pernah melahirkan anak..."
Hening sejenak setelah kata-kata ini. Akan tetapi Hok Boan tidak terkejut. Bagi
seorang petualang asmara seperti dia, soal perawan atau bukan tidaklah penting,
apalagi kini dia benar-benar jatuh cinta kepada wanita ini. Dan diapun bukan
seorang bodoh. Dia sudah banyak pengalaman sehingga sekali jumpa saja diapun
sudah tahu bahwa Si Kwi bukanlah seorang perawan. Dan dia tidak perduli. Akan
tetapi, mendengar bahwa Si Kwi pernah melahirkan, membuat dia terkejut juga.
Bukan main-main kalau begitu hubungan antara Si Kwi dengan ayah dari anak yang
dilahirkannya itu. "Dan di mana sekarang dia" Ayah dari anak itu" Apakah masih ada ikatan antara
engkau dan dia?" tanyanya meragu.
Si Kwi kembali mengangkat mukanya. Terheran dia, juga girang karena kembali
tidak ada perubahan sikap Hok Boan setelah mendengar bahwa dia pernah
melahirkan! Ah, dia tidak boleh bertindak terlalu jauh. Pria ini hebat, penuh
pengertian dan penyabar! Akan tetapi tentu ada batasnya, maka dia tidak boleh
sekali-kali mengemukakan dugaannya Sin Liong adalah anak kandungnya yang
dibesarkan oleh monyet. Hat itu tentu kelak akan mendatangkan hal-hal yang tidak
enak! Pria ini baik sekali, akan tetapi dia tidak boleh terlalu mendesaknya,


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak boleh mengujinya terlalu berat.
"Dia" Dia masih hidup, entah di mana, akan tetapi, Kui-koko, bagiku dia telah
mati." "Apakah dia mencintamu?"
Si Kwi menggeleng kepalanya keras-keras. "Sama sekali tidak! Seujung rambutpun
tidak!" "Hemm... dan kau" Cintakah kau kepadanya, moi-moi?"
Kembali Si Kwi menggeleng kepala, akan tetapi tidaklah begitu keras. "Tidak,
kukira tidak, aku menganggapnya telah mati."
"Baik sekali, kalau begitu berarti engkau bebas. moi-moi! Dan anak itu?"
"Dia... dia mati ketika terlahir."
"Ah, kalau begitu, tidak ada hal yang memberatkanmu untuk menerima pinanganku,
Liong-moi!" Si Kwi mengangkat mukanya, menatap wajah pemuda itu penuh selidik bercampur
keheranan. "Koko! Engkau sudah mendengar semua itu dan engkau masih melanjutkan
pinanganmu kepadaku" Engkau seorang pemuda sasterawan yang pandai dalam hal bun
dan bu, bahkan kau telah menjadi majikan Padang Bangkai yang terhormat, seorang
pemuda pilihan dan yang akan mudah saja mencari isteri seorang dara cantik yang
jauh lebih baik dari pada aku! Koko, berpikirlah dulu sebelum kelak engkau
menyesal!" "Ha-ha, engkau terlalu merendahkan diri, sayang. Aku sendiri, biarpun belum
menikah dalam usia tiga puluh tahun lebih ini, mana berani mengaku perjaka" Ha-
ha, apa sih artinya perjaka atau... atau bukan" Yang penting adalah kita saling
mencinta. Dan aku cinta padamu, moi-moi, Dengan cintaku ini, aku menerimamu
seperti apa adanya, aku menerimamu dengan keperawananmu, atau dengan
kejandaanmu, dengan segala kebaikanmu berikut semua cacad-cacadmu. Nah, engkau
sudah mendengar semua, Liong-moi, sekarang jawablah, maukah engkau menerima
pinanganku" Bersediakah engkau menjadi isteriku?"
Sepasang mata itu tak dapat menahan lagi air mata yang bercucuran keluar
membasahi kedua pipinya. "Koko... engkau... engkau baik sekali... baik
sekali..." Hok Boan bangkit berdiri dan menghampiri wanita itu yang duduk sambil menangis
dan menundukkan mukanya. Dengan lembut dan mesra, Hok Boan memegang dagu wanita
itu, mengangkat muka yang basah itu menghadap kepadanya, lalu dia bertanya,
"Jawablah, moi-moi, maukah kau...?"
Dengan air mata masih bercucuran, Si Kwi menggerakkan kepalanya mengangguk dan
bibirnya hanya dapat berbisik serak. "Aku mau... aku mau... ah, aku mau,
koko..." "Moi-moi...!" Hok Boan sudah mencium mulut itu, menciumi muka yang basah air
mata itu, kemudian mencium lagi mulut Si Kwi. Si Kwi tersedu, lalu menggerakkan
kedua lengannya, merangkul leher Hok Boan dan menariknya sehingga mereka
berpelukan ketat. Segala menjadi indah kalau cinta sudah berpadu. Cinta tidak membedakan baik
buruk, tidak membedakan derajat atau tingkat. Cinta tidak memandang harta,
kedudukan, kepandaian, kebangsaan, agama, kepercayaan, dan sebagainya lagi.
Semua itu hanyalah pakaian belaka. Bagi cinta, yang mutlak adalah manusianya dan
semua embel-embel itu sudah tercakup di dalamnya. Bagi cinta, yang terpenting
adalah si dia! Apapun adanya dia, bagaimanapun adanya, karena dalam cinta, dia
menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan, dan tanpa si dia yeng dicinta, hidup
menjadi tidak lengkap! Dengan cinta, kita menjadi bijaksana dan kebijaksanaan
itu membuat kita dapat melihat bahwa tidak ada yang tanpa cacad di dunia ini.
Setiap kali kita menilai segi kebaikannya, sudah pasti muncul segi keburukannya
karena baik dan buruk itu adalah saudara kembar, seperti senang dan susah. Tiada
sesuatu yang tanpa cacad, dan si dia yang kita cinta itupun termasuk di dalam
segala sesuatu yang pasti ada cacadnya, itu kebaikannya dan juga ada
keburukannya. *** Padang Bangkai yang kini menjadi tempat yang indah dan tidak berbahaya untuk
dikunjungi orang luar itu terhias meriah. Semua anak buah Padang Bangkai sibuk,
dibantu oleh para penghuni dusun di sekitar tempat itu dan suasana yang gembira
dan meriah diramaikan oleh suara musik itu menandakan bahwa di tempat itu sedang
diadakan pesta. Memang benarlah. Hari itu adalah hari yang gembira, semua orang bergembira
karena hari itu adalah hari pernikahan antara majikan Padang Bangkai, Kui Hok
Boan, dengan penghuni Istana Lembah Naga, Liong Si Kwi!
Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan memperlihatkan kepopulerannya di dunia kang-
ouw dengan mengundang banyak tokoh kang-ouw! Dengan harta pusaka besar yang
ditemukan di Padang Bangkai, tentu saja dia dapat mengadakan pesta besar dengan
mengundang tukang-tukang masak dari selatan. Daerah kaki Pegunungan Khing-an-san
yang biasanya amat sunyi dan jarang dikunjungi orang itu, pada hari itu menjadi
ramai dan sejak kemarin sudah berdatangan tamu-tamu dari selatan yang sebagian
besar adalah orang-orang kang-ouw yang bersikap gagah. Dan memang hanya orang-
orang kang-ouw sajalah yang berani dan sanggup mengadakan perjalanan sejauh dan
sesukar itu. Yang amat menggirangkan dan mengharukan hati Hok Boan adalah ketika dia melihat
munculnya seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam dan bermata lebar. Hwesio
ini adalah Lan Kong Hwesio, seorang tokoh Go-bi-pai. Lan Kong Hwesio masih
terhitung sute dari Kauw Kong Hwesio, guru Hok Boan yang telah meninggal dunia.
Ketika Hok Boan mengirim undangan kepada bekas gurunya, ternyata gurunya itu
telah meninggal dunia dan sebagai wakilnya kini yang datang adalah Lan Kong
Hwesio atau susioknya (paman gurunya). Sebetulnya, kedatangan Lan Kong Hwesio,
tokoh Go-bi-pai yang telah berusia enam puluh lima tahun ini, sama sekali bukan
hanya untuk menghadiri pernikahan bekas murid keponakannya itu. Akan tetapi
sesungguhnya dia berkewajiban untuk menyelidiki, apakah murid Go-bi-pai yang
telah diusir oleh mendiang suhengnya dan tidak boleh mengaku sebagai murid Go-
bi-pai itu telah berubah menjadi baik dan benar-benar tidak lagi mencemarkan
atau menggunakan nama Go-bi-pai.
Dan giranglah hati Lan Kong Hwesio ketika mendapat berita betapa Kui Hok Boan
yang dikenal sebagai Kui-taihiap di daerah Khing-an-san, sama sekali tidak
pernah menyebut Go-bi-pai, dan lebih lagi, nama sasterawan muda itu cukup baik,
bahkan berjasa dalam membangun Padang Bangkai yang tadinya merupakan daerah maut
yang berbahaya itu menjadi daerah terbuka dan maju. Maka hwesio ini memasuki
ruangan pesta dengan hati gembira.
Selain tokoh Go-bi-pai ini, banyak pula terdapat wakil-wakil dari partai-partai
persilatan lain, akan tetapi lebih banyak lagi adalah tokoh-tokoh dari golongan
yang biasanya dinamakan golongan hitam atau golongan sesat! Memang Kui Hok Boan
mempunyai hubungan yang luas sekali di dunia kang-ouw sehingga pesta
pernikahannya itu merupakan pertemuan antara dua golongan yang menamakan dirinya
golongan putih dan golongan hitam sehingga di dalam pesta itu terdapat
ketegangan-ketegangan yang berbahaya.
Namun karena mereka semua menghormat tuan rumah yang menjadi pengantin, dan juga
karena kedua fihak bersikap hati-hati mengingat bahwa mereka bukan berada di
daerah sendiri, melainkan daerah liar yang sebenarnya termasuk wilayah kekuasaan
raja liar Sabutai, maka mereka tidak berani menimbulkan kekacauan dan bersikap
sabar menanti dan berjaga-jaga saja.
Pesta berjalan dengan lancar dan hidangan-hidangan yang dikeluarkan adalah
hidangan-hidangan pilihan karena memang Kui Hok Boan tidak segan-segan
mengeluarkan uang untuk menjamu para tamunya.
Selagi para tamu menikmati hidangan yang disuguhkan, tiba-tiba terdengar suara
hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan kaget itu menjalar ke dalam dan suasana
gembira menjadi geger ketika para tamu melihat puluhan ekor monyet besar kecil
menyerbu tempat pesta dipimpin oleh seorang anak kecil yang usianya belum ada
empat tahun! Anak itu seperti juga monyet-monyet lainnya, berloncatan dengan
gerakan yang amat cekatan dan mereka menyerbu makanan-makanan di atas meja
sedangkah para tamu menjauhkan diri karena kaget dan tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan. Ketika para orang kang-ouw itu pulih kembali ketenangan mereka,
tentu saja mereka menjadi marah ketika melihat bahwa yang menyerbu itu adalah
monyet-monyet liar besar kecil, maka mereka sudah siap untuk menghajar binatang-
binatang itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring, "Cu-wi sekalian harap
jangan turun tangan mengganggu monyet-monyet itu!"
Semua orang terkejut dan menoleh. Yang bicara pengantin wanita yang sudah
bangkit berdiri di samping pengantin pria yang juga sudah berdiri. Dari balik
tirai manik yang bergantungan di depan muka pengantin wanita, nampak sepasang
mata yang tajam bersinar, lalu terdengar suara nyaring yang ditujukan kepada
anak kecil yang masih menikmati makanan di atas meja bersama monyet-monyet itu,
"Liong-ji (anak Liong), hayo kau lekas pergi ajak teman-temanmu! Lekas pergi!"
Anak itu memandang ke arah pengantin wanita, kelihatan penasaran dan marah,
mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya seperti seekor kera marah.
"Sin Liong, lekas pergi ajak teman-temanmu!" Kembali Si Kwi membentak dan sekali
ini di dalam suaranya terkandung kemarahan.
Anak itu menyambar sepotong paha ayam, kemudian meloncat turun, mengeluarkan
teriakan dan berlari keluar, diikuti oleh monyet-monyet besar dan kecil itu.
Lucunya, ada monyet yang menyambar seguci arak, ada pula yang menyambar mangkok
dan sumpit. Melihat lagak monyet-monyet itu para tamu tertawa dan mereka
terheran-heran memandang kepada pengantin wanita. Pengantin itu menyebut anak
yang memimpin monyet-monyet tadi "anak Liong"! Apa artinya ini" Apakah pengantin
itu, yang bagi seorang pengantin usianya sudah tidak muda lagi, telah mempunyai
anak" "Cu-wi sekalian yang mulia," terdengar suara Hok Boan sambil menjura ke arah
para tamu sedangkan Si Kwi sudah duduk kembali sambil menundukkan mukanya.
"Harap cu-wi memaafkan kalau kedatangan rombongan monyet tadi mengejutkan dan
mengganggu cu-wi. Hendaknya diketahui bahwa monyet-monyet itu adalah monyet-
monyet yang tinggal di sekitar tempat ini dan dipimpin oleh seorang anak kecil.
Ketahuilah, memang di sini terjadi hal aneh sekali. Anak itu dua tahun yang lalu
ditemukan oleh isteri saya dalam keadaan luka-luka tergigit ular beracun dan
dirawat oleh monyet-monyet besar. Isteri saya lalu menolongnya dan merawatnya
sampai sembuh, kemudian mengangkatnya sebagai anak dan diberi nama Sin Liong.
Akan tetapi, agaknya karena sejak kecil dirawat oleh monyet-monyet, anak itu
masih suka bermain-main dengan rombongan monyet-monyet dan tidak kami sangka
bahwa hari ini dia mengajak para monyet itu untuk ikut pesta!" Keterangan yang
lucu ini disambut suara ketawa, akan tetapi semua tamu menjadi terheran-heran
dan suasana menjadi berisik karena membicarakan peristiwa aneh ini. Seorang
bocah yang jelas adalah seorang manusia cilik, dirawat oleh monyet-monyet dan
hidup di antara monyet-monyet!
Akan tetapi, dengan cekatan para pelayan telah membereskan tempat-tempat yang
dikacau oleh rombongan monyet tadi, mengganti semua hidangan masakan dan arak.
Pesta dilanjutkan lagi dan kini suasana menjadi lebih gembira karena mereka
memperoleh bahan percakapan yang mengasyikkan, yaitu anak kecil pemimpin monyet-
monyet tadi. Mereka menduga-duga dan mengkhayal menurut perkiraan masing-masing.
"Hemm, anak angkatmu itu perlu dididik yang baik, kalau tidak kelak dia bisa
menjadi binal," bisik Hok Boan kepada isterinya.
Dengan muka masih menunduk, Si Kwi menjawab dengan bisikan pula. "Aku
mengharapkan kebijaksanaanmu untuk mendidiknya."
"Jangan khawatir, anak angkatmu berarti juga anak angkatku. Karena dia anak
angkat kita, maka harus dididik. Bukankah akan memalukan kalau anak angkat kita
berwatak seperti monyet?"
Hok Boan berkelakar, akan tetapi isterinya hanya tersenyum di balik tirai manik
sehingga dia tidak melihat betapa wajah isterinya agak pucat dan betapa jantung
wanita itu berdebar tegang.
Di antara para tamu itu terdapat seorang guru silat dari kota Koan-sun-jiu,
seorang yang bernama Tio Kok Le. Dia mengenal baik Hok Boan maka dia datang
pula, akan tetapi diam-diam dia merasa iri hati melihat kemakmuran hidup Hok
Boan. Dahulu, pernah dia bersama Hok Boan menjadi teman senasib, dalam keadaan
yang kekurangan. Kini, betapa Hok Boan menjadi majikan Padang Bangkai dan
menikah dengan wanita cantik, dapat mengadakan pesta pernikahan yang demikian
mewah, mengundang banyak tokoh kang-ouw, hatinya menjadi iri. Dia tahu pula akan
peristiwa di kota Koan-sui, di mana Hok Boan hampir dikeroyok oleh murid-murid
guru silat yang juga dikenalnya, ketika Hok Boan berani main gila merayu anak
perempuan guru silat itu. Bahkan dialah yang membantu Hok Boan menyembunyikan
diri ketika dikejar-kejar dan membantunya mencari jalan keluar dan lari ke
utara. Dia tahu pula siapakah Kui Hok Boan, tahu bahwa temannya ini adalah bekas
murid Go-bi-pai yang telah diusir karena berjina dengan isteri petani dan
ketahuan oleh gurunya. Kini, melihat keadaan temannya dan melihat pula kehadiran seorang hwesio yang
diketahuinya sebagai seorang tokoh Go-bi-pai, susiok dari temannya itu, dia
memperoleh kesempatan untuk melampiaskan iri hatinya dengan jalan merusak
suasana yang meriah dan tenang itu! Keberaniannya diperbesar karena dia minum
terlalu banyak arak untuk menutupi iri hatinya, dan kini dia bangkit berdiri,
membawa guci dan cawan arak, agak terhuyung menghampiri tempat duduk kedua
mempelai. "Ha-ha-ha, Kui-hiante, apakah engkau sudah lupa kepadaku?" Tio Kok Le berkata
sambil tertawa, berdiri di depan pengantin pria yang masih duduk.
Kui Hok Boan tersenyum, "Tentu saja tidak, Tio-twako. Duduklah dan nikmatilah
hidangan kami seadanya."
"Cukup... cukup... aku hanya ingin memberi selamat kepadamu dengan secawan arak,
Kui-hiante." Biarpun dia agak limbung namun guru silat ini masih dapat
menuangkan arak dalam cawan itu kepada Hok Boan.
Pengantin pria ini maklum bahwa bekas sahabat baiknya ini sudah mabok, maka dia
menerima cawan itu dan berkata, "Terima kasih atas ucapan selamatmu, twako."
lalu dia minum cawan itu sampai kosong.
"Eh, mana walimu, Kui-hiante" Aku ingin memberi selamat kepada walimu."
Hok Boan mengerutkan alisnya. "Tio-twako, agaknya engkau telah lupa bahwa aku
tidak mempunyai ayah bunda lagi."
"Ha-ha-ha, yang kumaksudkan adalah gurumu, hiante."
Makin dalam kerut di antara kedua mata pengantin pria itu. "Tio-twako, kau tahu
aku tidak mempunyai guru."
"Ah, di hari baik begini mengapa membohong, hiante" Engkau adalah murid Go-bi-
pai yang pandai dan terkenal! Engkau adalah Kui-taihiap, jagoan muda Go-bi-pai,
seorang tokoh kang-ouw yang baru di bagian utara ini!" Suaranya meninggi dan
mengeras sehingga kini banyak tamu yang sudah menoleh dan memperhatikan guru
silat itu. "Tio-twako, sudahlah. Bekas suhuku juga telah meninggal dunia. Kembalilah ke
tempat dudukmu, twako, dan terima kasih atas kebaikanmu," Hok Boan membujuk.
Akan tetapi tentu saja Tio Kok Le tidak mau berhenti sampai di situ, karena
memang dia bermaksud untuk mengacau dan membongkar rahasia riwayat pengantin
pria yang menimbulkan iri dalam hatinya itu. Dia menoleh ke arah tempat duduk
hwesio tinggi besar muka hitam itu dan tiba-tiba wajahnya berseri, "Haaa,
bukankah beliau itu Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang menjadi susiokmu,
hiante?" Tio Kok Le lalu menghdmpiri tempat itu sambil membawa guci arak dan
cawan kosong. "Tio-twako, jangan...!" Hok Boan mencoba untuk mencegah, akan tetapi guru silat
itu telah menghampiri Lan Kong Hwesio dengan langkah lebar dan diikuti oleh
pandang mata banyak tamu yang merasa tertarik, dia lalu menjura di depan hwesio
bermuka hitam itu. "Locianpwe, harap locianpwe sudi menerima pemberian selamat saya kepada
locianpwe untuk hari yang berbahagia ini."
Tentu saja pendeta itu tidak menerima suguhan cawan arak itu dan dengan alis
berkerut dia bertanya, "Apakah maksudmu, sicu?"
Para tamu kini memandang ke arah mereka dengan penuh perhatian.
"Ah, bukankah locianpwe ini Lan Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai?" Tio Kok Le
bertanya dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh para tamu yang kini makin
memperhatikan. "Benar, pinceng seorang murid Go-bi-pai, bukan tokoh besar. Habis, mengapa?"
"Ha, kalau begitu saya tidak keliru. Kui Hok Boan adalah murid mendiang Kaw Kong
Hwesio tokoh Go-bi-pai dan pengantin pria adalah keponakan locianpwe. Bukankah
sepantasnya kalau locianpwe saya anggap sebagai walinya dan saya memberi selamat
kepada locianpwe dengan secawan arak?"
Pendeta itu memandang dengan penuh selidik kepada wajah guru silat itu.
"Omitohud, pinceng tidak mengerti apa yang sicu maksudkan dengan sikap ini, akan
tetapi ketahuilah bahwa sudah sejak lama Kui-sicu bukan lagi terhitung murid Go-
bi-pai. Pinceng datang bukan sebagai paman gurunya, melainkan sebagai tamu
biasa, karena itu tidak dapat menerima selamat itu."
"Wah, wah ini namanya penasaran!" Guru silat itu berseru dengan muka merah,
ditujukan kepada para tamu. "Pengantin pria adalah seorang gagah perkasa dan
berkedudukan tinggi sebagai majikan Padang Bangkai dan sudah jelas dia adalah
tokoh Go-bi-pai, kenapa tidak diakui oleh golongan atasan dari Go-bi-pai
sendiri" Locianpwe, agar tidak membikin para tamu yang terdiri dari kaum kang-
ouw menjadi penasaran, sukalah locianpwe memberi tahu apa sebabnya pengantin
pria tidak lagi dianggap sebagai murid Go-bi-pai?"


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Kui Hok Boan menjadi pucat dan dia memandang kepada guru silat itu dengan
marah. Dia tidak tahu mengapa bekas sahabat baiknya itu secara tiba-tiba saja
menyerangnya dengan ucapan seperti itu" Kalau saja dia tidak sedang menjadi
pengantin dan menjadi tuan rumah, tentu sudah diserangnya bekas sahabat yang
kini berkhianat itu, agaknya berusaha untuk mencemarkan namanya di dalam pesta
ini! "Sicu, urusan Go-bi-pai adalah urusan kami sendiri, sicu sebagai orang luar
tidak berhak mencampuri atau bertanya-tanya!" ucapan hwesio itu dilakukan dengan
nada suara menegur dan menggeledek sehingga terdengar oleh semua orang. Diam-
diam Hok Boan kagum dan berterima kasih kepada bekas susioknya itu.
Tio Kok Le menyeringai ketika mendengar bentakan itu. Dia tidak berani main-main
di depan hwesio ini, akan tetapi dia merasa belum puas kalau belum berhasil
menyeret nama teman atau bekas teman yang kini makmur itu ke lumpur penghinaan,
maka dia berkata lantang "Cu-wi sekalian, apakah cu-wi ingin mendengar mengapa
pengantin pria tidak diakui lagi sebagai murid Go-bi-pai" Apakah cu-wi ingin
mendengar apa yang terjadi di kota Koan-sui ketika pengantin pria masih menjadi
sahabat baikku senasib sependeritaan" Ha-ha, cu-wi akan tertawa kegelian
mendengar cerita-cerita saya yang amat lucu..."
"Orang she Tio! Apakah engkau bermaksud mengacau hari baikku ini?" Tiba-tiba
terdengar Hok Boan berteriak karena dia sudah marah sekali.
"Siapa dia she Tio?" Suara ini nyaring merdu dan mengandung getaran sedemikian
hebatnya sehingga mengatasi semua suara yang ada dan memaksa semua muka menoleh
dan memandang ke arah pintu luar.
Sepasang pengantin itu sendiri terheran-heran ketika melihat bahwa tahu-tahu
dari luar berjalan masuk seorang wanita yang amat luar biasa. Wanita ini
kelihatan masih muda sekali, paling banyak dua puluh dua tahun agaknya, wajahnya
mempunyai kecantikan campuran antara wajah orang Han dan wajah orang Mongol.
Kulitnya halus kuning seperti wanita Han. Wajah yang cantik itu dirias dengan
bedak dan yanci, juga bibirnya yang berbentuk indah itu dipermerah lagi dengan
gincu. Rambutnya digelung seperti model gelung puteri kerajaan dan agaknya
rambutnya panjang sekali karena gelung itu malang melintang dan terhias hiasan
rambut dari emas permata. Pakaiannya juga merupakan kombinasi pakaian Han dan
Mongol dan pantasnya dia adalah puteri bangsawan Mongol yang sudah "terpelajar",
yaitu sudah mempelajari kebudayaan Han.
DARI hiasan pakaian, tata rambut dan sikapnya yang angkuh, dengan dagu terangkat
dan dada dibusungkan, dapat diduga bahwa dia tentu tergolong wanita keluarga
bangsawan atau hartawan. Akan tetapi, sebatang pedang yang tergantung di
punggungnya mendatangkan rahasia keanehan meliputi dirinya. Lebih aneh lagi,
wanita cantik ini membawa sebungkus hio (dupa bergagang) yang membuka bagian
gagangnya. Semua mata mengikuti gerakan wanita ini yang melangkah memasuki ruangan pesta
dengan sikap angkuh. Ketika dia menggerakkan tangan kiri yang memegang bungkusan
hio itu, terdengar bunyi gelang-gelangnya berkerincing nyaring. Biarpun dia
cantik manis dan memiliki bentuk tubuh yang padat menggiurkan, namun terdapat
sesuatu yang amat dingin menyelubungi seluruh pribadinya, yang membuat orang-
orang merasa serem dan berhati-hati. Di punggung wanita itu, selain sebatang pe-
dang, juga tergantung sebatang kayu papan seperti salib bentuknya dan setelah
tiba di tengah-tengah ruangan itu, mata yang berbentuk indah, lebar dan bersinar
tajam itu memandang ke kanan kiri, lalu terdengar suaranya yang merdu dan
nyaring seperti tadi. "Siapa di antara kalian yang mempunyai nama keturunan ini?" Tangan kanannya
bergerak ke punggung melalui atas pundaknya dan tahu-tabu dia telah memegang
papan kayu berbentuk salib tadi dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas
kepalanya, membalikkan papan itu sehingga kini dapat terbaca tiga huruf besar
yang tertulis di situ. Di atas papan yang melintang, terdapat tiga huruf yang
berbunyi, CIA-YAP-TIO, tiga macam she (nama keluarga) Bangsa Han.
Semua orang membaca tiga huruf itu, akan tetapi tidak ada yang mengerti apa
maksud wanita itu menanyakan tiga buah nama keturunan atau nama keluarga itu.
"Siapa tadi yang mengaku she Tio?" terdengar lagi dia bertanya, suaranya merdu
sekali, akan tetapi juga nyaring melengking sehingga terdengar oleh mereka yang
duduk di bagian paling sudut dari ruangan pesta itu.
Tio Kok Le yang tadi sedang berada di puncak hendak menyeret turun pengantin
pria yang membuat dia iri hati itu, sudah siap untuk mencemarkan nama Hok Boan
di depan orang banyak, merasa mendongkol sekali dengan kemunculan wanita ini
yang dianggapnya mengganggu dan menggagalkan usahanya melampiaskan isi hatinya.
Akan tetapi, melihat wanita ini cantik dan berpakaian mewah, dia cepat melangkah
maju dengan guci arak masih di tangan, menyeringai dan memandang wanita itu
dengan mata haus. "Sayalah she Tio bernama Kok Le, nona. Apakah saya akan menerima nasib baik
seperti sahabatku Kui Hok Boan itu" Ha-ha, percayalah, mutu diriku tidak kalah
oleh sahabatku itu!" Kok Le adalah manusia kasar, akan tetapi saat itu dia
menjadi lebih kasar lagi karena pengaruh arak.
Akan tetapi suara ketawanya mendadak terhenti ketika tiba-tiba sinar mata wanita
itu menyambar bagaikan kilat kepadanya. Dan wanita itu berseru lagi, "Siapa lagi
yang she Cia, she Yap dan she Tio" Majulah yang merasa mempunyai she itu, jangan
bersikap pengecut dan aku hendak bicara!"
Biarpun wanita itu memperlihatkan sikap luar biasa dan penuh rahasia, namun
nampaknya dia hanyalah seorang wanita muda yang cantik, maka tentu saja tidak
menimbulkan rasa takut kepada orang-orang kang-ouw itu. Terdengar suara tertawa-
tawa dan nampak beberapa orang laki-laki maju dan menghampiri wanita itu. Dua
orang mengaku she Tio dan tiga orang pula mengaku she Yap. Tidak ada seorang pun
she Cia. "Hemm, hanya tiga orang she Tio dan tiga orang she Yap?" Wanita cantik itu
bertanya dengan suara kecewa. "tidak seorangpun she Cia di sini?"
Tidak ada yang menjawab, dan agaknya memang tidak ada, atau kalaupun ada, tentu
orang itu diam saja. Dan memang ada seorang she Cia dan beberapa orang lagi she
Yap dan she Tio yang tidak mau melayani panggilan wanita itu. Enam orang laki-
laki itu kini berdiri menghadapi si wanita, sikap mereka seperti anak-anak yang
akan diberi hadiah, tersenyum-senyum agak malu-malu.
"He, nona manis. Engkau telah memanggil kami berenam di sini, sebenarnya hendak
memberi apakah?" tanya seorang di antara mereka yang bernama keluarga Yap,
orangnya tinggi besar dan kelihatan kuat sekali, di punggungnya terselip
sebatang golok besar. Selain Tio Kok Le dan orang she Yap tinggi besar ini,
empat orang yang lain juga jelas memperlihatkan diri sebagai orang-orang kang-
ouw yang memiliki kepandaian. Bahkan seorang di antara mereka, she Tio yang
bertubuh tinggi kurus, membawa sepasang senjata siang-kek (sepasang tombak
cagak) dan orang yang mahir memainkan senjata ini tentu memiliki ilmu silat yang
sudah tinggi. Akan tetapi, wanita itu mencibirkan bibirnya dan makin tampak nyata sebuah titik
tahi lalat hitam yang menghias dagunya sebelah kiri, menambah manis wajahnya.
Dia tidak menjawab, melainkan mengambil enam batang hio dari dalam bungkusan hio
itu, kemudian menyelipkan sisa bungkusan di ikat pinggangnya.
Dengan sikap tenang sekali dia lalu membuat api dan menyalakan enam batang hio
itu. Gerak-geriknya dilakukan dengan sikap tenang dan dingin sehingga dalam
kesunyian yang mencekam itu semua orang mengikuti semua gerak-geriknya dan di
dalam hati masing-masing semua orang menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh
wanita luar biasa ini. Sementara itu, Kui Hok Boan sudah hendak bangkit dari
tempat duduknya untuk menegur wanita yang aneh dan yang dianggapnya hendak
mengacau pestanya itu, akan tetapi tiba-tiba tangannya disentuh oleh tangan
kanan Si Kwi. Dia menoleh dan melihat isterinya memandang dengan mata terbelalak
ke arah papan salib yang bertuliskan tiga buah nama keluarga itu, bibirnya
berbisik, "Jangan bergerak..."
Kui Hok Boan terheran-heran, akan tetapi melihat sikap isterinya dan melihat wajah isterinya yang tiba-tiba berubah pucat itu, dia merasa serem dan tidak
jadi melakukan sesuatu, hanya menonton saja dengan berdebar dan dengan urat
syaraf siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak wajar.
Kini wanita cantik itu telah selesai membakar enam batang hio. Enam orang she
Tio dan she Yap itu sudah menjadi tidak sabar. Mereka berdiri seperti anak
wayang, menjadi tontonan orang akan tetapi didiamkan saja oleh wanita yang
memanggil mereka, seolah-olah wanita itu sama sekali tidak memandang sebelah
mata kepada mereka. "Heiii! Engkau memanggil kami mau bicara apakah?" bentak orang she Yap yang
tinggi besar itu, nadanya kehilangan kesabaran dan sudah mulai marah.
"Nona yang baik, kalau aku akan kauajak kawin, sebelum sembahyang harus memakai
pakaian pengantin dulu!" Tio Kok Le berkelakar dan terdengar suara tertawa di
sana-sini karena kelakar ini setidaknya mengurangi ketegangan hati mereka yang
penuh dengan dugaan-dugaan.
"Aku akan menyembahyangi roh yang baru saja meninggalkan badannya."
"Eh, dalam pesta pernikahan ini kenapa menyebut-nyebut orang mati" Siapa yang
akan mati dan siapa yang akan kausembahyangi?" tanya Tio Kok Le dengan mulut
masih menyeringai dan menganggap ucapan wanita itu sebagai kelakar belaka.
"Hari ini yang kusembahyangi adalah enam orang, yaitu tiga oreng she Tio dan
tiga orang she Yap. Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mati!"
"Heiii...!" Tio Kok Le membentak marah akan tetapi tiba-tiba nampak sinar-sinar
api menyambar. Orang she Yap yang tinggi besar itu cepat mencabut golok,
demikian pula empat orang lain sudah siap, akan tetapi mereka itu tidak mampu
menghindar ketika ada sinar-sinar api meluncur dan menyambar ke arah mereka.
"Oughhh...!" "Aduhhh...!" "Iiiihkkk...!" Jerit-jerit mengerikan terdengar susul-menyusul dan enam orang itu roboh
terpelanting, berkelojotan sebentar dan tak bergerak lagi. Mereka itu tewas
seketika dengan gagang-gagang hio menancap di ulu hati mereka, menancap sampai
dalam sekali, menembus jantung dan yang nampak hanya sebagian hio yang masih
terbakar dan mengepulkan asap. Senjata-senjata mereka terlempar ke sana-sini dan
guci arak di tangan Tio Kok Le yang masih dipegangnya erat-erat itu tumpah dan
arak wangi berhamburan baunya. Setelah suara berisik dari jerit mereka, jatuhnya
senjata-senjata mereka, lalu disusul robohnya tubuh mereka, disusul pula oleh
teriakan dari para tamu, kini keadaan menjadi sunyi sekali. Sunyi yang
menyeramkan dan semua wajah menjadi pucat, semua mata memandang kepada wanita
itu dengan terbelalak dan kebanyakan dari para tamu merasa ngeri dan jerih.
Menggunakan hio-hio biting sekaligus membunuh enam orang yang tidak lemah, hanya
dengan sekali serang, benar-benar membayangkan tenaga dan kepandaian seperti
iblis! Dan wanita cantik itu sama sekali tidak pernah berkedip menyaksikan hasil
perbuatannya yang mengerikan. Dia hanya mencibirkan bibirnya dan memandang
ketika enam orang itu berkelojotan dan mati, kemudian dengan tenangnya dia
menyimpan salib yang bertuliskan nama she tiga macam itu, diselipkannya di
punggung dengan terbalik sehingga huruf-huruf itu tidak nampak.
Tentu saja kawan-kawan dari enam orang yang dibunuh secara mengerikan itu
menjadi marah. Mereka meloncat dan mencabut senjata mereka. Ada delapan orang
laki-laki yang meloncat dan menerjang wanita cantik itu dengan senjata mereka.
"Siluman betina...!"
"Bunuh iblis keji ini!"
Mereka menyerbu dengan senjata pedang, golok dan sebagainya. Akan tetapi wanita
itu dengan bibir masih tetap mencibir, bersikap tenang saja membiarkan mereka
menerjangnya. Ketika mereka sudah datang dekat, tiba-tiba tangan kanannya yang
sudah mengeluarkan sehelai sabuk merah itu bergerak dan nampak sinar bergulung-
gulung menyambar ke sekeliling tubuhnya. Terdengar bunyi ledakan-ledakan seperti
pecut, delapan kali dan delapan orang itu terhuyung ke belakang, senjata mereka
terlepas dan mereka mengaduh-aduh, memegangi lengan tangan yang tersambar sinar
merah itu, bahkan ada yang terbanting roboh dan ada pula yang lengannya
berdarah, ada yang lepas sambungan tulang siku atau pergelangan tangan! Delapan
orang itu mundur semua dan memandang dengan mata terbelalak.
Wanita itu kini tersenyum mengejek. Senyumnya dimaksudkan untuk mengejek, akan
tetapi tahi lalat hitam di dagu itu benar-benar membuat dia nampak manis sekali
ketika tersenyum, sungguhpun senyum itu dibuat-buat untuk mengejek.
"Untung bahwa kalian bukan orang-orang she Cia, Yap atau Tio, sehingga tidak
perlu aku membunuh kalian!" Setelah berkata demikian, dengan langkah ringan dia
lalu melangkah ke depan, hendak menghampiri sepasang mempelai.
"Omitohud, dari mana datangnya wanita yang begini kejam?"
Seruan itu keluar dari mulut Lan Kong Hwesio dan kakek pendeta besar bermuka
hitam tokoh Go-bi-pai itu sudah berdiri menghadang di depan wanita itu. Lan Kong
Hwesio adalah seorang tokoh Go-bi-pai dan sebagai hwesio, juga seorang ahli
silat tingkat tinggi, tentu saja dia menentang segala bentuk kejahatan dan
kekejaman, apalagi melihat wanita yang seperti iblis ini agaknya mengancam
keselamatan sepasang mempelai.
Melihat hwesio tinggi besar itu menghadang dan menggerakkan ujung lengan baju
yang menyambar dahsyat ke arah pinggangnya, ujung lengan baju yang dapat
dipergunakan untuk menotok sehingga serangan itu dahsyat dan hebat bukan main,
wanita itu mengeluarkan seruan marah dan ujung sabuk merahnya menyambar ke
depan. "Prakkk!" Sabuk merah itu membalik keras, akan tetapi ujung lengan baju Lan Kong
Hwesio juga pecah-pecah! Hwesio tinggi besar itu terkejut bukan main. Kiranya
wanita yang masih amat muda ini telah memiliki tingkat tenaga sin-kang yang amat
hebat, dan ujung sabuk itu merupakan senjata maut. Kalau tadi wanita itu
menghendaki, tentu delapan orang itu sudah menjadi mayat semua!
Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar, yang tentu saja tidak mau mendiamkan
fihak yang jahat merajalela, Lan Kong Hwesio kembali menubruk kedepan. Sekali
ini dia menggunakan jurus pukulan tangan kosong yang amat lihai dari Go-bi-pai,
yang bernama jurus Siang-liong-pai-hud (Sepasang Naga Memuja Buddha). Kedua
tangannya menyambar dari luar, dari kanan kiri dan menyambarlah angin dari dua
jurusan yang amat dahsyat, gerakan ini membuat dua buah ujung lengan baju yang
panjang itu seperti dua ekor ular menotok ke arah leher dan pinggang, atas dan
bawah dengan kecepatan yang sukar diduga mana lebih dulu.
"Plak-plak! Aihh...!" Wanita itu berhasil menangkis dua serangan itu dan
meloncat ke belakang sambil melengking. "Losuhu adalah seorang tokoh Go-bi-pai
yang berjubah pendeta, mengapa begitu kejam untuk menggunakan jurus Siang-liong-
pai-hud untuk membunuh orang?"
Ketika tertangkis tadi, Lan Kong Hwesio merasakan betapa kedua lengannya
tergetar. Dia kaget bukan main, apalagi ketika mendengar ucapan itu. Gadis muda
ini mengenal ilmu silatnya! Padahal, jurus itu merupakan jurus simpanan dan
hanya dikenal oleh tokoh-tokoh Go-bi-pai yang sudah tinggi ilmunya. Seorang
murid dengan tingkatan seperti Kui Hok Boan itupun tentu belum dapat
mengenalnya! Dan melihat betapa wanita itu dapat menangkis dengan tepat, dia
tidak akan heran kalau wanita itu bukan hanya mengenal melainkan juga dapat
memainkan jurus itu! Akan tetapi, mendengar teguran itu, Lan Kong Hwesio menjadi
makin penasaran. "Omitohud...! Gadis muda yang kejam, engkau sendiri tanpa sebab membunuh enam
orang yang tak berdosa, sekarang berani menegur pinceng yang hendak menentang
kejahatahmu?" Sementara itu, para tamu sudah bangkit semua dan kini mengurung gadis itu sambil
meraba gagang senjata masing-masing. Jumlah tamu ada kurang lebih dua ratus
orang dan mereka kelihatan sudah marah semua, baik golongan putih maupun
golongan hitam karena di antara mereka tidak ada yang mengenal wanita muda ini!
Mereka itu, kedua golongan yang biasanya saling bertentangan, sekali ini
mempunyai niat yang sama, yaitu menentang wanita yang telah mengganggu
kesenangan mereka berpesta.
"Losuhu, aku bukan orang gila yang membunuh orang tanpa sebab. Urusanku dengan
semua orang she Cia, Yap dan Tio adalah merupakan urusan pribadi, merupakan
permusuhan dan dendam turun-menurun yang seluas bumi, sedalam lautan dan
setinggi langit. Apakah engkau hendak mencampuri urusan pribadi?"
Mendengar ini, hwesio itu tercengang. Dia menjadi ragu-ragu dan berkali-kali
mengucapkan kata-kata. "Omitohud... omitohud..." untuk memohon kekuatan batin
dari Sang Buddha yang dipujanya.
Sementara itu, para tamu berbeda pendapat dengan Lan Kong Hwesio. Mereka tidak
ragu-ragu lagi dan mereka mulai berteriak-teriak.
"Bunuh siluman ini!"
"Tangkap iblis betina ini!"
"Kurung!" "Serbu...!" Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengangkat kedua tangannya dan terdengarlah
bunyi ledakan keras bertubi-tubi empat kali dan terdengar suara berisik dari
banyak sekali orang di empat penjuru mengurung gedung besar tempat pesta itu.
Semua orang terkejut dan menengok keluar dan nampaklah banyak sekali perajurit
berpakaian seragam dan bersikap gagah telah mengurung tempat itu dengan rapat
seperti tembok benteng yang kokoh kuat!
"Hemm, kalian adalah orang-orang yang telah memasuki wilayah yang mulia Sri
Baginda Raja Sabutai tanpa ijin, dan kini masih ingin berlagak" Tempat ini telah
dikepung oleh tiga ratus orang perajurit-perajurit sri baginda, dan kaliam masih
hendak mengurung aku" Aku adalah utusan sri baginda, hayo kalian semua mundur!
Ataukah kalian ingin dibasmi semua sebagai pelanggar-pelanggar wilayah kami?"


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang terkejut. Tentu saja mereka telah mendengar akan raja liar yang
pernah menggemparkan Tiong-goan dengan serbuan-serbuannya itu (baca cerita Dewi
Maut). Kiranya wanita ini adalah urasan raja itu untuk membasmi mereka! Para
tamu yang berhati kecil menjadi panik, akan tetapi tiba-tiba Si Kwi bangkit
berdiri, mengangkat tangan kanannya ke atas dan berkata dengan suaranya, "Cu-wi,
sekalian, silakan duduk kembali dan harap tenang! Cu-wi adalah tamu-tamu kami
dan kalau ada sesuatu, kamilah yang bertanggung jawab karena kedatangan cu-wi
adalah atas undangan kami!"
Kui Hok Boan terkejut dan kagum menyaksikan keberanian isterinya. Dia sendiri
sudah gemetar saking jerihnya menyaksikan kelihaian wanita itu yang dapat
menandingi susioknya dan yang telah membunuh enam orang secara demikian mudah
dan mengerikan. Tentu saja dia tidak pernah menyangka, karena memang isterinya
belum pernah bercerita kepadanya, betapa isterinya itu pernah membantu suhu dan
subonya yang menjadi kaki tangan Raja Sabutai! Karena itu, Si Kwi mengenal raja
liar itu, juga, melihat tiga huruf yang menjadi nama keturunan tiga orang itu,
Si Kwi segera mengerti siapa yang dimaksudkan dengan tiga huruf she itu. Maka,
dia berani bertindak menenangkan semua tamu dan hendak menghadapi sendiri wanita
yang mengaku utusan Raja Sabutai.
Kini wanita cantik itu sudah melangkah maju, berhadapan dengan Si Kwi. Pengantin
wanita ini segera menjura dan membungkuk rendah sambil berkata, "Kami tidak tahu
akan kunjungan utusan Sri Baginda Sabutai yang terhormat, maka tidak cepat-cepat
menyambut. Harap sudi memaafkan kami."
Wanita itu tersenyum, dan kini senyumnya ramah sekali, membuat wajahnya nampak
makin manis saja. Dia bertepuk tangan tiga kali dan dari luar masuklah seorang
perajurit Mongol yang tinggi besar memanggul sebuah peti hitam berukir indah.
Atas isyarat wanita utusan Raja Sabutai itu, perajurit ini menurunkan peti di
depan kaki sepasang mempelai, lalu mundur lagi dan keluar setelah memberi hormat
dengan berlutut sebelah kaki.
Wanita itu berkata lagi, "Liong-kouwnio, kami diutus oleh Sri Baginda Raja
Sabutai untuk menyampaikan ucapan selamat beliau dan mengirimkan hadiah untuk
sepasang mempelai, harap diterima dengan baik." Dia menuding ke arah peti itu.
Wajah di balik tirai pengantin itu berseri saking girangnya. Sungguh tidak
pernah disangka oleh Si Kwi bahwa Raja Sabutai masih ingat kepadanya, bahkan
masih ingat untuk mengirim hadlah pernikahan. Hal ini selain menggirangkan
hatinya, juga mengejutkan karena menjadi bukti bahwa daerah yang ditempatinya
bersama suaminya ini bukanlah daerah bebas, melainkan milik Raja Sabutai dan
bahwa raja itu agaknya tahu akan segala gerak-geriknya di Lembah Naga dan Padang
Bangkai! "Ahh...!" Dia cepat memberi hormat. "Sungguh mulia sekali sri baginda! Harap
sampaikan permohonan ampun dari kami berdua bahwa kami tidak berani mengundang
sri baginda. Maka harap saja nona yang menjadi utusan beliau suka duduk sebagai
tamu agung kami." Akan tetapi wanita itu menggeleng kepala dan mengibaskan tangannya. "Tugas saya
hanyalah menyampaikan selamat dan hadiah ini. Selain itu, juga kami diutus
menyampaikan pesan sri baginda kepada Liong-kouwnio dan Kui-sicu."
Sepasang mempelai itu saling pandang dengan hati berdebar tegang akan tetapi
mereka sudah mendengarkan lagi suara wanita itu. "Tadinya, sri baginda sudah
akan turun tangan melihat Padang Bangkai ditempati orang tanpa perkenan beliau.
Kalau Liong-kouwnio memang dianggap orang sendiri dan boleh saja mendiami istana
yang kosong itu. Akan tetapi kemudian Kui-sicu muncul dan melihat usaha Kui-sicu
memajukan Padang Bangkai, maka sri baginda memberi ampun, apalagi setelah beliau
mendengar bahwa Kui-sicu hendak menikah dengan Liong-kouwnio. Maka beliau malah
memberi ucapan selamat dan hadiah, dengan pesah agar ji-wi dapat hidup bahagia
di sini dan selalu ingat bahwa daerah ini termasuk daerah kekuasaan sri baginda
dan sewaktu-waktu kalau diperlukan agar ji-wi suka menyerahkan dengan baik-baik
kepada sri baginda."
Si Kwi lalu memegang tangan suaminya dan menariknya sehingga mereka berdua
beelutut. "Harap sampaikan terima kasih kami kepada sri baginda dan tentu kami
akan selalu mentaati perintah beliau."
Wanita itu menggangguk dan menjura ketika sepasang mempelai itu bangkit berdiri
lagi. "Nah, tugasku sudah selesai, saya mohon diri, Kui-sicu dan Liong-kouwnio."
Tanpa menanti jawaban dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan
sepasang mempelai itu menuju keluar. Ketika tiba di tengah-tengah ruangan, dia
berhenti, memandang sekeliling di antara tamu-tamu dan berkata, suaranya nyaring
seperti tadi, penuh tantangan dan ancaman. "Kalau cu-wi sebagai orang-orang
kang-ouw di selatan masih merasa penasaran, dengarlah bahwa aku adalah Kim Hong
Liu-nio. Katakan kepada semua orang she Cia, Yap dan Tio bahwa mereka harus
menjaga kepala mereka baik-baik, karena akan tiba saatnya Kim Hong Liu-nio akan
datang mengambil kepala mereka sampai di dunia ini tidak ada lagi keturunan she
Cia, Yap, dan Tio!" Setelah berkata demikian, wanita cantik yang mengaku bernama
Kim Hong Liu-nio itu melangkah pergi, diikuti oleh pandang mata semua tamu
sampai akhirnya dia lenyap di tengah-tengah pasukan Mongol yang berbaris pergi.
Kini sibuklah Kui Hok Boan menyuruh anak buahnya untuk menyingkirkan mayat-mayat
itu, membersihkan tempat pesta dan melanjutkan pesta. Akan tetapi, suasana pesta
sudah berubah dan para tamu tidak dapat bergembira lagi. Mereka semua menjadi
tegang karena secara tak terduga-duga, di utara muncul seorang wanita yang
demikian lihai, seorang wanita yang tidak saja memiliki tingkat kepandaian yang
tinggi, akan tetapi bahkan juga menjadi utusan dari Raja Sabutai sehingga tentu
saja kedudukan wanita itu amat kuat. Wanita itu telah memperlihatkan kepandaian
di depan hidung mereka tanpa mereka mampu menentangnya, karena wanita itu
dilindungi oleh ratusan orang perajurit Mongol. Hal ini merupakan pukulan bagi
orang-orang kang-ouw ini, baik golongan putih maupun hitam sehingga suasana
pesta tidak lagi gembira. Bahkan sebelum pesta selesai, sudah banyak yang
berpamit kepada sepasang mempelai dan sebelum lewat hari itu, semua tamu telah
meninggalkan Padang Bangkai!
Setelah sepasang mempelai berada berdua saja di kamar malam itu, barulah Si Kwi
memperoleh kesempatan untuk bercerita kepada suaminya yang merasa terheran-
heran. Dia bercerita bahwa suhu dan subonya, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin dan
Hek I Siankouw pernah membantu Raja Sabutai, bahkan membantu kakek dan nenek
iblis yang menjadi guru dari Raja Sabutai, yaitu mendiang Pek-hiat Mo-ko dan
Hek-hiat Mo-li yang tinggal di Istana Lembah Naga. Dan ketika itu dia sendiripun
ikut dengan subonya, tinggal di Lembah Naga sampai tempat itu diserbu oleh para
pendekar sakti yang memimpin pasukan kerajaan.
Kui Hok Boan sudah mendengar sedikit-sedikit tentang penyerbuan itu dari para
anggauta pasukan kerajaan ketika dia menyelidiki tentang keadaan Lembah Naga dan
Padang Bangkai, akan tetapi dia tidak tahu akan keadaan yang sebenarnya, maka
dia merasa tertarik sekali.
"Kiranya Raja Sabutai diam-diam masih memperhatikan tempat kita ini dan
menganggap tempat ini sebagai daerahnya," katanya.
"Tentu saja," jawab isterinya. "Memang tempat ini bukan termasuk daerah
kekuasaan kerajaan di selatan, akan tetapi aku tidak mengira bahwa beliau masih
menaruh minat akan tempat-tempat kita ini."
"Isteriku, tahukah engkau tentang orang-orang she Cia, Yap dan Tio itu?"
Si Kwi mengangguk dan menarik napas panjang. "Yang dimaksudkan adalah tiga orang
pendekar yang memiliki kesaktian hebat. Tak kusangka bahwa Raja Sabutai menaruh
dendam pribadi yang demikian mendalam terhadap mereka. Ataukah, barangkali bukan
Raja Sabutai yang menyuruh Kim Hong Liu-nio itu memusuhi tiga pendekar itu?"
"Tiga pendekar" Siapakah mereka dan mengapa dimusuhi demikian hebat?"
"Pendekar she Cia itu adalah Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai,
pendekar sakti Cia Keng Hong..."
"Ahhh...!" Kui Hok Boan terkejut bukan main sehingga dia tidak melihat betapa
terjadi perubahan pada wajah isterinya ketika menyebutkan nama Cia Bun Houw
tadi. "Kenapa kau terkejut?" Si Kwi bertanya, memandang wajah suaminya.
"Kenalkah kau dengan nama itu?"
"Kenal" Tentu saja orang seperti aku ini tidak mungkin dapat kenal secara
pribadi dengan mereka, akan tetapi aku sudah mendengar nama Cia-taihiap tua dan
muda itu. Ayah dan anak itu merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya
menduduki deretan paling tinggi di dunia kang-ouw."
Si Kwi menggangguk dan menunduk. Memang terlampau tinggi kedudukan Cia Bun Houw,
terlampau tinggi sehingga tentu saja tidak mau memandang kepadanya. Biarlah, dia
yang duduk di tingkat rendah kini bertemu dengan suaminya yang juga mengaku
sebagai seorang yang bertingkat rendah. Teringat akan ini, hatinya gembira dan
dia memegang tangan suaminya. Gerakan ini disambut senyum oleh Hok Boan yang
lalu merangkul. Mereka berangkulan dan berciuman.
"Eh, nanti dulu, isteriku yang manis. Kau lupa untuk menceritakan dua she yang
selanjutnya. She Yap dan Tio" Siapa mereka itu?"
"Yang she Yap itu adalah nona Yap In Hong, seorang pendekar wanita yang luar
biasa lihainya, dan dia itu adalah adik kandung dari pendekar sakti Yap Kun
Liong..." "Wah, aku belum pernah mendengar nama Yap In Hong, akan tetapi nama Yap Kun
Liong, sama tingginya dengan nama ketua Cin-ling-pai! Hebat sekali, mengapa
orang berani memusuhi dua orang pendekar Cia dan Yap itu" Dan yang she Tio?"
"Yang dimaksudkan adalah Tio Sun, juga seorang pendekar muda, putera dari
seorang bekas panglima pengawal kota raja yang bernama Ban-kin-kwi Tio Hok
Gwan." "Wah-wah-wah...! Kakek bertenaga raksasa itupun amat terkenal! Heran sekali,
mengapa mereka dimusuhi orang?"
"Merekalah yang dahulu selalu menentang orang-orang kang-ouw vang membantu Raja
Sabutai, dan mereka pula yang mengobrak-abrik Istana Lembah Naga."
"Kalau begitu, mereka juga termasuk musuh-musuh mendiang gurumu?"
Si Kwi mengangguk. "Jadi termasuk musuh-musuhmu juga?"
Si Kwi menghela napas panjang. "Sudah sejak dahulu aku tidak setuju dengan sepak
terjang subo yang membantu Raja Sabutai. Aku... aku tidak memusuhi mereka...
karena aku tahu bahwa para pendekar itu adalah patriot-patriot sejati, orang-orang gagah yang
berani di fihak yang benar."
"Ah, syukurlah, isteriku! Kalau engkau juga memusuhi mereka, sungguh...
berbahaya sekali. Akan tetapi, membantu merekapun berbahaya! Wanita itu tadi
sungguh amat lihai dan mengerikan. Engkau yang pernah mengenal para pembantu
Raja Sabutai, mengapa tidak mengenal dia?"
"Entah, beberapa tahun yang lalu dia tidak ada, mungkin belum menjadi kaki
tangan Raja Sabutai. Mungkin dia seorang pembantu baru. Bahkan nama Kim Hong
Liu-niopun baru sekarang aku mendengarnya."
Suami isteri pengantin baru ini lalu membicarakan soal mereka dan biarpun siang
tadi terjadi hal yang amat menegangkan, namun penumpahan rasa cinta mereka pada
malam pertama sebagai pengantin baru itu membuat mereka melupakan segala hal
yang buruk dan mengkhawatirkan. Mereka saling mencinta, dan ini sudah cukup bagi
mereka, cukup kuat untuk menghadapi segala bahaya bersama-sama, sehidup semati,
senasib sependeritaan. Kedua orang itu menemukan kebahagiaan mulai malam itu.
Bahkan Kui Hok Boan yang benar-benar mencinta Si Kwi, merasa menyesal kalau dia
teringat akan segala petualangan dan perbuatannya di masa lalu, dan berjanji
kepada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang mencinta dan baik dari
isterinya. Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tidak ada
kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat, dalam
diri manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali waktu
kejahatannya menonjol, ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa demikian" Karena
sesungguhnya, pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh
kehidupan, sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan
jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai, membanding-
bandingkan semua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang selalu
mengejar kesenangan dan menolak kesusahan. Karena perbandingan dan penilaian
ini, maka terciptalah sifat-sifat kebaikan, susah senang, baik jahat, dan
sebagainya. Dan sifat-sifat kebaikan inilah yang menimbulkan adanya kebaikan
tunggal, kebalikan abadi yang menguasai dan menyengsarakan kehidupan, yaitu
kebalikan antara cinta dan benci. Yang menyenangkan atau dianggap menyenangkan
kita cinta, sebaliknya yang kita anggap menyusahkan kita benci. Maka terjadilah
pertentangan, permusuhan kelompok, bangsa, dan perang! Dapatkah kita terbebas
dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan" Mungkin dapat kalau
kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN,
Kedele Maut 5 Sumpah Palapa Karya S D. Djatilaksana Telapak Emas Beracun 2
^