Pencarian

Pendekar Lembah Naga 30

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 30


pangeran tidak mengenal nama pinto akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa
mendiang Gak Song Kam ketua Jeng-hwa-pang adalah sute dari pinto."
Mendengar ini, sebagaian besar di antara para tokoh kang-ouw terkejut. Memang
nama tosu ini tidak terkenal dan hanya beberapa orang saja di antara mereka yang
banyak melakukan perjalanan ke utara melewati Tembok Besar mengenal namanya,
akan tetapi nama Jeng-hwa-pang tentu saja dikenal mereka. Kiranya tosu yang
lihai ini adalah saudara tua dari mendiang ketua Jeng-hwa-pang, maka tentu saja
ilmu kepandaiannya amat tinggi.
Diam-diam Ceng Han Houw mengerti sekarang, Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang itu
tewas di tangan dia dan Sin Liong, maka agaknya tosu ini datang dengan maksud
untuk membalas dendam atas kematian ketua Jeng-hwa-pang itu! Dia sama sekali
tidak merasa takut menghadapi tosu ini, akan tetapi untuk menjaga kewibawaannya,
dia tidak mau begitu saja terjun ke dalam urusan pribadi di tempat itu, apalagi
karena dia sedang menghadapi urusan besar.
"AH, kiranya totiang ingin menguji kepandaianku. Baiklah, akan tetapi kita tidak
boleh melewati peraturan. Cu-wi yang mulia, kami sekarang menunjuk bengcu dari
selatan, yaitu locianpwe Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun
untuk menjadi penguji. Siapa dapat mengalahkan mereka berdua berarti cukup
berharga untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia!"
Mendengar ini, Phang Tek dan Phang Sun lalu melangkah maju. Sementara itu, Han
Houw sendiri bangkit dari kursinya, menghampiri Ciauw Si yang masih berdiri
memandang ke arah ibunya seperti orang terpesona, dan menggandeng tangan Ciauw
Si untuk kembali ke tempat duduknya. Dengan sikap mesra Han Houw berbisik,
"Terima kasih atas bantuanmu, Si-moi."
Mendengar dua orang ini, tahulah tosu dia berhadapan dengan orang-orang pandai.
Dia telah mendengar tentang Lam-hai Sam-lo yang kabarnya kini tinggal dua orang
kakak beradik ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar melainkan merasa
mendongkol karena pangeran itu ternyata tidak mau langsung menghadapinya
melainkan menyuruh dua orang ini dengan alasan untuk mengujinya! Hal ini
dianggapnya sebagai tanda bahwa pangeran itu jerih kepadanya, maka diapun
menghadapi dua orang kakek itu dan memandang dengan sinar mata tajam dari kedua
matanya yang sipit. "Pinto telah mendengar tentang nama besar Lam-hai Sam-lo," katanya dengan nada
suara mengejek, "Pangeran telah memerintahkan kalian maju, apakah ji-wi (kalian
berdua) hendak maju berbareng dan mengeroyok pinto?"
Ucapan ini biarpun hanya merupakan sebuah pertanyaan, namun bernada mengejek dan
merendahkan, maka kedua orang datuk dari selatan itu tentu saja menjadi marah
sekali. Mereka tadi maju hanya untuk memperkenalkan diri kepada para tamu
setelah nama mereka disebut-sebut oleh pangeran, bukan sekali-kali hendak
mengeroyok tosu itu. Kim-liong-ong Phang Sun, kakek berkepala gundul lonjong yang bertubuh kecil
pendek seperti kanak-kanak, yang hanya memakai celana tanpa baju dan kakinyapun
telanjang, sudah meloncat ke depan. Dengan lengan kiri yang dihias gelang emas
tebal dia berkata, suaranya sungguh mengejutkan, karena lantang besar tidak
seperti bentuk tubuhnya, "Tosu bulukan! Tekebur sekali ucapanmu! Menghadapi
seorang tosu bulukan macam engkau, cucukupun akan berani. Sayang aku tidak
pernah punya cucu! Maka biarlah aku mencoba, hendak kulihat apakah kepandaianmu
seluas mulutmu! Twako, mundurlah, biarkan aku yang menghajar manusia sombong
ini!" Hai-liong-ong Phang Tek mengerutkan alisnya, lalu mundur sambil berkata, "Hati-
hati, jangan pandang rendah dia." Hai-liong-ong yang tahu akan kemarahan adiknya
merasa khawatir karena menghadapi seorang lawan tangguh seperti tosu ini,
kemarahan merupakan hal yang amat merugikan dan mengurangi kewaspadaan.
Kini dua orang itu sudah saling berhadapan. Keduanya sama kurusnya, hanya yang
seorang tinggi dan yang lainnya pendek kecil. Semua orang kang-ouw yang hadir di
situ memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang karena mereka semua
mengenal siapa adanya Kim-liong-ong, sedangkan tosu tua itu kurang begitu
dikenal karena memang jarang muncul di dunia kang-ouw. Dan oleh karena yang
hadir dalam pertemuan besar ini merupakan tokoh-tokoh campuran, banyak pula yang
terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat, maka di antara mereka ini sudah ramai
mengadakan pertaruhan! Dan rata-rata menurut anggapan mereka, Kim-liong-ong
menduduki tempat unggul, bahkan ada yang mempertaruhkan uang sejumlah dua kali
lipat menjagoi kakek pendek kecil itu.
Tok-ciang Sian-jin memandang dengan alis berkerut kepada calon lawannya,
kemudian berkata, suaranya halus dan penuh penyesalan, "Kim-liong-ong, engkau
adalah seorang tokoh jauh di selatan sana, sedangkan pinto selamanya berada di
utara. Kiranya sampai kita dua orang tua mati oleh usiapun kita tidak akan dapat
saling berjumpa, apalagi harus saling berkelahi seperti lawan. Oleh karena itu,
pinto menyesal sekali harus berhadapan denganmu, karena sesungguhnya kedatangan
pinto ini hanya ingin menghadapi pangeran..."
"Cukup, Tok-ciang Sian-jin. Kalau engkau takut, masih belum terlambat bagimu
untuk mengundurkan diri!" Kim-liong-ong yang bersama Hai-liong-ong kakaknya itu
memang telah lama menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw, sudah memotong
dengan suara lantang dan sikap merendahkan.
Marahlah tosu itu. Mukanya menjadi merah kini tidak pucat seperti biasanya, dan
biarpun matanya masih sipit, akan tetapi tidak seperti orang mengantuk lagi.
"Engkau hendak menjadi perisai bagi pangeran" Bagus, majulah, orang sombong!"
bentaknya dan diapun sudah menggerakkan jari-jari tangannya dan terdengar bunyi
berkeretakan pada buku-buku jari tangannya dan kedua tangan itu kini nampak
kehijauan. Kiranya kakek ini memang memiliki ilmu yang amat mengerikan, dan
kalau sudah begitu, kedua tangannya merupakan benda-benda yang lebih berbahaya
daripada sepasang senjata tajam, karena kedua tangan itu dari jari-jari tangan
sampai ke siku yang berwarna kehijauan, mengandung hawa beracun yang amat
berbahaya bagi lawan. Itulah sebabnya mengapa dia berani menerima julukan Tok-
ciang (Si Tangan Racun). Akan tetapi, Kim-liong-ong Phang Sun menyeringai melihat ini. Dia sendiri adalah
seorang ahli tentang racun, maka biarpun dia tahu betapa hebat dan berbahayanya
kedua tangan lawan itu, namun dia tidak menjadi gentar.
"Kedua tanganmu itu hanya baik untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bagiku
tidak ada harganya sama sekali, seperti dua batang gagang sapu butut!" dia
mengejek. Tok-ciang Sian-jin menjadi semakin marah. Memang cerdik Kim-liong-ong ini.
Ketika menerima peringatan kakaknya tadi, diapun sadar akan kemarahan yang
membakar hatinya, maka dia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan dan membakar hati
lawan. Dia berhasil, karena tosu itu menjadi semakin marah kini dan dengan
gerengan dahsyat dia telah maju menyerang lawan yang bertubuh pendek kecil itu.
Kini keadaannya menjadi terbalik, bukan Kim-liong-ong yang dicekik kemarahan,
melainkan lawannya. Tok-ciang Sian-jin menyerang dengan kedua tangan terbuka, jari-jari tangannya
mencengkeram dari kanan kiri dan sebelum serangan itu tiba, hawa pukulannya yang
mengandung hawa beracun itu telah menyambar lebih dulu dengan dahsyatnya. Akan
tetapi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek kecil itu
lenyap dari depannya, tubrukan dan cengkeramannya mengenai tempat kosong dan
begitu merasa ada angin menyambar dari kanan, tosu itu cepat membalik dan
menangkis. Kiranya, Kim-liong-ong telah mempergunakan kecepatan gerakannya dan
mengandalkan tubuhnya yang kecil dan gesit itu untuk menyelinap ketika tadi
lawan menyerang, dan cepat memberi pukulan balasan dari arah kanan.
"Dukkk!" Lengan Tok-ciang Sian-jin bertemu dengan gelang emas tebal yang
melingkar di lengan kiri Phang Sun dan akibatnya, Tok-ciang Sin-jin terdorong ke
belakang dan agak terbuyung. Terkejutlah tosu ini dan maklumlah dia bahwa kakek
kecil pendek gundul telanjang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa
kuatnya! Maka diapun lalu menerjang lagi dengan memperlipatgandakan kecepetan
gerakannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan sangat dahsyat.
Kim-liong-ong Phang Sun telah mengeluarkan sebuah bungkusan sambil berloncatan
ke sana-sini, lalu membalurkan bubuk putih ke atas lengannya. Itulah bubuk
penolak racun. Setelah ini, dia dapat menangkis dan mengadu lengan dengan
lawannya, tidak seperti tadi yang mempergunakan gelang emas untuk melindungi
lengannya dari hawa racun yang keluar dari lengan lawan.
Memang tidak percuma kalau Kim-liong-ong menjadi tokoh nomor dua dari Lam-hai
Sam-lo yang ditakuti oleh semua tokoh di dunia selatan. Ilmu kepandaiannya
memang hebat sekali, gerakannya aneh dan cepat, dan biarpun kaki tangan kecil-
kecil, namun setiap gerakan kaki dan tangan itu mengandung hawa pukulan yang
kuat, sehingga bahkan tosu itu sendiri sampai beberapa kali terhuyung kalau
mereka terpaksa mengadu tenaga.
Banyak di antara mereka yang bertaruh menjagoi Kim-liong-ong kecele. Ada yang
bertaruh bahwa dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus tosu itu tentu akan
kalah. Akan tetapi ternyata tosu itu hebat sekali! Dia dapat mengimbangi semua
kelincahan Kim-liong-ong dan setelah bertanding selama lima puluh jurus,
ternyata kakek itu sama sekali tidak kalah, bahkan terdesakpun tidak, sungguhpun
dia sendiri tidak mampu mendesak kakek kecil itu.
Setelah perkelahian itu berlangsung kurang lebih enam puluh jurus, tiba-tiba
Tok-ciang Sian-jin meloncat mundur keluar dari lapangan pertandingan lalu
membalikkan tubuh menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang sejak tadi menonton
dengan penuh perhatian, menjura dan berkata, "Sekarang pinto mengharapkan agar
pangeran sendiri..."
Baru sampai di situ dia bicara, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari
belakang, memukul ke arah lambungnya! Bukan main kagetnya Tok-ciang Sian-jin.
Cepat dia membalik untuk mengelak dan menangkis.
"Plakkk... desss!" Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh, dari mulutnya keluar
darah segar karena biarpun dia berhasil menangkis pukulan Kim-liong-ong, akan
tetapi tangkisannya kurang tepat dan pukulan kakek pendek kecil itu masih
meleset dan mengenai punggungnya. Tosu itu bangkit duduk dan memejamkan mata
untuk mengumpulkan hawa murni dan menahan ini dadanya yang terguncang hebat.
Biarpun dia tidak sampai terluka separah kalau pukulan itu mengenai lambung,
namun dia sampai muntah darah dan tentu saja dia tidak mungkin depat melanjutkan
pertempuran. "Sungguh curang!" bentak Cui Kai Sun dengan lantang. Pemuda gagah murid Siauw-
lim-pai ini menegur marah sekali.
Kim-liong-ong hanya tersenyum mengejek ke arah pemuda itu. Melihat betapa di
antara para orang kang-ouw yang hadir itu banyak yang memperlihatkan muka tidak
senang, Ceng Han Houw cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang halus
namun berwibawa dan terdengar sampai jauh di luar.
"Cu-wi, hendaknya cu-wi bersikap adil! Tidak ada kecurangan terjadi di sini!"
"Siapa bilang tidak curang" Aku tidak hendak membela Tok-ciang Sian-jin, akan
tetapi kami semua melihat tosu itu sedang bicara dengan pangeran ketika Kim-
liong-ong menyerangnya dari belakang secara curang sekali!" Ciu Kai Sun ber-
teriak lagi dan banyak tokoh kang-ouw, teruatama sekali dari golongan bersih,
mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan ucapan pemuda gagah itu.
Akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Itu adalah kesalahan tosu itu
sendiri, pertandingan belum selesai dan..."
"Aku menghitung sendiri bahwa tosu itu telah dapat melayani Kim-liong-ong sampai
lima puluh jurus!" Terdengar suata orang lain membenarkan.
Sekarang Ceng Han Houw tersenyum semakin lebar dan dia mengangkat kedua tangan
ke atas untuk minta para tamu diam. Setelah mereka semua itu tidak berisik lagi,
dia lalu berkata, suaranya jelas dan halus, "Cu-wi sekalian yang sudah lama
berkecimpung di dunia kang-ouw tentu tahu bahwa syarat untuk menjadi orang kang-
ouw bukan hanya tergantung kepada kepandaian silat saja, melainkan juga
membutuhkan kecerdikan dan ketelitian! Memang betul bahwa kami tadi berjanji
kepada siapa yang dapat menandingi isteri saya selama lima puluh jurus, dia
berhak untuk menjadi calon jagoan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang
berjanji tentang lima puluh jurus itu terhadap dua orang pembantu kami, yaitu
Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. Karena tidak ada perjanjjan maka pibu melawan
merekapun tidak terbatas jumlah jurusnya. Tadi dalam keadaan belum ada yang
kalah atau menang, Tok-ciang Sian-jin menghentikan pibu secara sepihak tanpa
memberi tahu kepada Kim-liong-ong, maka kalau dia sampai terpukul, baik dari
belakang maupun dari depan, bawah atau dari atas, hal itu adalah kesalahannya
sendiri karena dia ceroboh dan lengah. Bukankah demikian, cu-wi?"
Ucapan yang dilakukan dengan suara halus dan penuh wibawa itu diikuti oleh
kesunyian yang lengang karena semua tamu saling pandang dan mereka semua mau
tidak mau harus membenarkan pembelaan pangeran itu. Memang tadi pangeran itu
berjanji tentang ujian selama lima puluh jurus dalam menghadapi isteri pangeran
itu, dan terhadap dua orang pembantunya itu dia tidak berjanji apa-apa. Oleh
karena itu, kekalahan Tok-ciang Sian-jin merupakan kekalahan mutlak, walaupun
kekalahan itu adalah akibat dari kelengahannya, bukan akibat dari kalah tinggi
ilmunya dibanding dengan Kim-liong-ong Phang Sun.
"Pinto yang bodoh... pinto kena ditipu orang... pinto mengaku kalah." Tiba-tiba
tosu itu bangkit berdiri, dengan muka pucat dan mata bersinar memandang kepada
pangeran itu, menjura lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu
sambil mengusap darah dari ujung bibirnya. Semua tamu hanya mengikuti langkah
tosu itu dengan pandang mata dan kini tidak ada lagi yang mau mencampuri karena
orang yang bersangkutan sendiri sudah mengakui kebodohannya dan mengaku kalah!
Karena ada yang merasa penasaran, berturut-turut terdapat beberapa orang tokoh
yang belum mengenal betul kepandaian Lam-hai Sam-lo, maju memasuki ujian calon
jagoan nomor satu di dunia. Namun, satu demi satu mereka itu dikalahkan oleh
Kim-liong-ong atau Hai-liong-ong yang maju bergantian. Mereka yang sudah tahu
akan kelihaian Lam-hai Sam-lo, siang-siang sudah kuncup nyalinya dan tidak
berani maju. Setelah tujuh orang calon semua kalah, kini agaknya tidak ada lagi yang berani
maju. Melihat ini, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa penasaran. Tidak
mungkin di antara tokoh kang-ouw tidak ada yang mampu mengalahkan Lam-hai Sam-
lo, pikirnya. Apalagi di situ terdapat tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang belum
bertindak sesuatu. "Siapakah lagi yang akan maju mencoba kemampuannya?" Hai-liong-ong Phang Tek
berkata dengan suaranya yang lantang. Akan tetapi, para tamu hanya saling
pandang dan agaknya tidak ada lagi yang berani maju.
Pangeran Ceng Han Houw bangkit berdiri. "Cu-wi, mengapa cu-wi merasa sungkan"
Saya percaya bahwa di antara cu-wi masih banyak orang pandai! Ataukah hanya
demikian saja kepandaian para tokoh kang-ouw" Sungguh di luar dugaan kami kalau
di dunia kang-ouw ini tidak ada tokoh yang mampu menandingi Lam-hai Sam-lo!"
Ucapan itu halus, namun juga bernada mengejek dan membakar. Semenjak tadi Cia
Giok Keng sudah merah sekali wajahnya dan dia sudah hendak bangkit berdiri. Akan
tetapi adiknya, Cia Bun Houw, memegang lengannya dan berbisik, "Enci, Lam-hai
Sam-lo itu terlalu lihai bagimu."
"Biar!" Cia Giok Keng, wanita berusia setengah abad yang nampak cantik dan gagah
itu, menjawab dengan bisikan mendesis sehingga membuat beberapa orang tamu yang
duduk dekat menengok. "Aku tidak takut. Kalau kalah, biar aku mati di depan mata anak durhaka itu!"
Jelaslah bahwa sumber kemarahan wanita ini adalah melihat puterinya, selain men-
jadi isteri pangeran itu tanpa minta ijin dulu darinya, juga melihat puterinya
itu membantu pangeran yang hendak memberontak itu.
"Enci, itu kurang bijaksana. Apakah engkau ingin semua orang kang-ouw tahu akan
pertentangan antara engkau dan puterimu sendiri" Biarkan aku saja yang maju,
mereka itu bukan lawanmu, melainkan lawanku!"
Sebelum Cia Giok Keng dapat membantah, disetujui oleh isterinya, yaitu Yap In
Hong dan juga Yap Kun Liong yang maklum bahwa dua orang kakek dari selatan, Lam-
hai Sam-lo itu memang lihai sekali, sekali bergerak Cia Bun Houw sudah meloncat
ke depan. Semua tamu terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia
melayang di atas kepala mereka, dari tempat duduk paling belakang dan melayang
menuju ke depan, ke tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun
dengan lagak sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah
ruangan dan berdiri, mereka melihat seorang pria yang amat tampan dan gagah
perkasa, dengan pakaian sederhana akan tetapi memiliki wibawa besar dan sepasang
matanya menyapu ke arah pangeran, banyak di antara para tokoh kang-ouw
mengenalnya dan di samping keheranan mereka, terdengar sorak-sorai menyambut
pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal pendekar sakti Cia Bun Houw, putera
Cin-ling-pai yang tersohor itu" Akan tetapi, banyak alis dikerutkan dengan heran
dan menduga-duga. Isteri pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini
tokoh Cin-ling-pai ini maju! Apa artinya ini" Akan tetapi mereka semua maklum
bahwa kalau pendekar sakti ini maju untuk bertanding, maka akan terjadilah
pertandingan yang amat hebat di tempat itu dan mereka semua merasa beruntung
untuk dapat menyaksikannya.
Wajah Lie Ciauw Si seketika menjadi pucat ketika dia melihat pamannya telah maju
di tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang
nampak gagah penuh wibawa itu. Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum
gembira. Saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Memang untuk inilah dia
mengadakan pertemuan besar itu. Selain untuk menghimpun orang-crang pandai, juga
untuk menonjolkan dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw
juga ingin memancing datangnya keluarga Cin-ling-pai. Kalau dia dapat menarik
mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si telah menjadi


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena kedudukannya
akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik mereka dan
mempengaruhi mereka, dia akan dapat mengalahkan mereka satu demi satu sehingga
dengan demikian dunia kang-ouw akan melihat bahwa dialah jago nomor satu di
dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang terkenal sekali itu tidak ada yang
mampu menandinginya! Maka, melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah
maju, dia memandang dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan
dulu dua orang pembantunya itu "menguji" sampai di mana kehebatan pendekar sakti
ini, apakah memang sehebat apa yang dikabarkan orang.
Ketika pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar,
kedua tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam
penuh wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir
masih tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar
tajam mencorong dan penuh wibawa itu saling pandang, dan seolah-olah mereka
berdua saling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu. Suasana
menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan mencekam hati. Hanya Lie Ciauw Si yang
nampak bergerak, kepalanya saja, kadang-kadang diangkat memandang pamannya,
kadang-kadang menunduk kembali, kedua tangannya meremas-remas ujung bajunya,
jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan.
Akan tetapi suasana yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang
Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sesungguhnya dia
sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu.
"Enghiong dari manakah yang kini maju" Apakah hendak mengajukan diri sebagai
calon jagoan" Harap suka memperkenalkan diri."
Baru setelah mendengar teguran ini, Bun Houw membalikkan tubuhnya dan menghadapi
Kim-liong-ong yang ternyata berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak Bun
Houw menatap mereka berdua dengan sikap keren, kemudian terdengarlah suara yang
lantang dan jelas. "Aku bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!" Baru saja dia
berkata sampai di sini terdengar suara berbisik di antara para tamu yaitu mereka yang baru sekarang melihat pendekar
ini sungguhpun semua telah mendengar nama besarnya, apalagi nama besar Cin-ling-
pai, yang akhir-akhir ini menjadi semakin terkenal setelah ada berita bahwa
keluarga Cin-ling-pai dituduh sebagai pemberontak, bahkan menjadi pelarian-
pelarian pemerintah. Setelah suara berbisik mereda, Bun Houw melanjutkan kata-
katanya. "Kami dari Cin-ling-pal tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di
dunia ini. Oleh karena itu, kedatanganku di sinipun sama sekali bukan hendak
memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi aku
datang justeru untuk menguji sampai di mana hebatnya orang yang berani menyebut
dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"
Terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang
bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena
ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka itu menganggap Bun Houw
sebagai wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum
sesat yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi
mencari kedudukan, harta benda, atau nama besar.
Mendengar ucapan yang penuh wibawa ini, melihat sikap pendekar itu yang keren,
dan melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu
mengerutkan alis dan merekapun menjadi bingung. Akan tetapi Kim-liong-ong yang
berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang.
"Cia Bun Houw, ucapanmu itu sungguh menyimpang daripada maksud dari pertemuan
besar yang diadakan oleh pangeran ini. Lalu dengan siapa engkau hendak
bertanding, kalau jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa?"
Bun Houw yang tadipun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan
kakek kecil pendek ini lalu menjawab, "Dengan siapa saja yang merasa dirinya
jagoan tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo terkenal sebagai datuk-datuk selatan,
akan tetapi hari ini aku melihat betapa seorang di antaranya hanyalah seorang
tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa
hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh
berlaku licik dan curang sesuka hatinya!"
Ucapan ini terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena terdengar suara tertawa
menyambut ucapannya yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-
liong-ong tadi. Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi amat marah.
Nama besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini!
Kini Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, "Orang muda she
Cia yang sombong! Ucapanmu terlalu besar dan engkau menantang Lam-hai Sam-lo.
Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, dengan demikian
engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang terhormat, maka..."
"Cukup!" Bun Houw membentak demikian nyaringnya sehingga mengejutkan semua orang
karena dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang
amat hebat, terbawa khi-kang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan
itu mendatangkan getaran dahsyat. "Tidak ada hubungannya keluarga dengan urusan
ini...! Aku tidak datang membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai Sam-lo
berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani, menggelindinglah pergi
dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan semua ini!" Sambil berkata
demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah Pangeran Ceng Han Houw.
"Paman...!" Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah membuka mulut, akan tetapi
suaranya itu hanya merupakan bisikan dan keburu lengannya disentuh oleh suaminya
yang masih tersenyum-senyum saja.
"Tenang, Si-moi dan kita lihat perkembangannya," bisiknya kembali. Sementara
itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah
sekali. "Cia Bun How, benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama
melawanmu" Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!" kata Phang Tek
yang marah sekali, akan tetapi mengingat akan nama besar Lam-hai Sam-lo, dia
merasa tidak enak dan malu kalau harus menghadapi orang muda ini dengan
pengeroyokan mereka berdua.
"Lam-hai Sam-lo, mengapa banyak cerewet" Jangankan kini tinggal kalian berdua,
biar masih lengkap tiga orangpun aku tidak akan takut melawan kalian. Majulah!"
Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada
mereka ini, sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua kaki terpentang lebar,
tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang matanya mencorong seperti
mata seekor naga, tanda bahwa pada saat itu tenaga sin-kangnya telah naik dari
pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap untuk dipergunakan dalam
setiap gerakan. Dua orang kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw,
juga mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini
masih terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri" Maka Phang Tek lalu
menghadap ke arah pangeran dan berkata, "Harap paduka maafkan kami berdua yang
tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam keadaan seperti ini."
Ceng Han Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap
nampak berseri, lalu berkata tenang, "Seorang yang sakti dan gagah perkasa
seperti Cia-taihiap telah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak
mempertihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih
sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan
menguji kepandaian, mengapa kalian berdua ragu-ragu lagi?"
Diam-diam Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang
masih begitu muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai
sedemikian jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang
sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mulailah dia mengerti mengapa
keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk terhadap pangeran
itu. Kiranya pangeran itu, biarpun masih muda, selain memiliki wajah yang amat
tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang mengagumkan dan tentu memiliki
kepandaian yang tinggi pula! Dan wajah pucat dari Ciauw Si agak berseri ketika
dia mendengar ucapan suaminya itu. Diam-diam dia melirik ke arah ibunya dan dia
melihat ibunya itu berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong.
Tentu saja dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami
ibunya itu. Sedangkan bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya de-
ngan penuh perhatian karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang
menghadapi lawan yang amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak
maju bersama mengeroyoknya.
Sementara itu, dua orang kakek menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran
memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang
sudah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang
menjadi calon lawan majikan mereka.
"Kalau begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap." Setelah
mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak berani
menyebut lain. "Kami akan maju bersama menghadapimu."
"Tak perlu banyak cakap, maju dan mulailah!" jawab Bun Houw tak sabar lagi.
Dua orang kakek itu lalu memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun
Houw dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang
tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali
tidak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka.
Akhirnya dua orang kakek itu mengambil sudut yang mereka anggap paling
menguntungkan, yaitu di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan
Phang Sun di sebelah kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar
mata, keduanya mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari
kanan kiri! "Wuuut... wuuuttt... plak-plak plak-plak!"
Dengan gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri
itu dengan menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga
dia telah berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang
kakek itu agak terhuyung!
Kembali Bun Houw berdiri tegak dan kedua orang lawannya kini berada di depan dan
belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak karena
pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa
tergetar hebat. Dan hal itu tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah
mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sudah dilatih sampai di puncaknya!
Dan kini, biarpun Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak
menjadi gentar, bahkan sama sekali tidak menggerakkan kepalanya karena ketajaman
pendengarannya dapat menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-
olah dia dapat melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi
kekuatannya pada mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti
segala gerak-gerik dua orang lawannya.
Kembali dua orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan
bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka amat dahsyatnya,
semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong Phang Tek
itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih cepat daripada
gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek! Bagaikan seekor singa Phang Tek
menyerang dengan kedua tangan dibentuk seperti cakar dan kedua lengannya itu
bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sesungguhnya orang pertama dari
Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga Liong-jiauw-kun dan Liong-
jiauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya biarpun gerakannya tidak
seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek Kim-liong-ong Phang Sun itu
memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga setiap pukulannya mendatangkan
angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan bunyi bercuitan!
Tingkat kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang
Tek lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa
benar oleh Bun Houw maka diapun tidak berani memandang rendah dan untuk
menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan Thai-
kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya. Ilmu silat ini memang merupakan
ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan mempunyai daya tahan
yang amat kuat sehingga seolah-olah dengan ilmu ini dia dapat menahan serangan
seribu orang lawan! Apalagi pada waktu itu tingkat kepandaian Bun Houw sedang
berada di puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya dan dia amat terlatih. Maka
dengan langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke
sana-sini atau menambah dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan
serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh
itu. Pertandingan itu sudah lewat lima puluh jurus, namun dua orang pengeroyok itu
sama sekali belum pernah dapat menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke
arah pertempuran dengan mata terbelatak karena kagum. Yap Kun Liong memandang
dengan sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang
dengan alis berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian
tingginya sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan
tingkat tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah.
Sedangkan Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik tiga orang yang
bertanding itu dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu
bahwa suaminya tidak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan
andaikata suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi
tentu suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau
setidaknya seorang di antara mereka. Lie Ciauw Si yang biarpun amat lihai namun
juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang dengan bingung. Dia tidak tahu
harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah pamannya yang bertindak atas nama
Cin-ling-pai, sedangkan dua orang pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu
suaminya yang menggantikan dia. Tak dapat dia membayangkan apa yang akan
dilakukan kalau dia yang masih menjadi penguji dan harus berhadapan dengan
pamannya yang sakti itu! Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah
berseri dan beberapa kali dia mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap
gerak-gerik Cia Bun Houw yang memang merupakan seorang pendekar yang sukar
dicari tandingannya. Akan tetapi, diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga.
Dia tahu bahwa dua orang pembantunya itu tidak akan dapat menang, maka mulailah
dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Kenapa adik angkatnya itu
tidak kembali ke situ" Kalau ada Sin Liong, sebelum dia sendiri harus berhadapan
dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk paman isterinya itu, dia
akan menyuruh Sin Liong mewakilinya dan "menguji" pendekar dari Cin-ling-pai
itu! Biarpun dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera
kandung pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum
ada hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka
hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar ini
dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu, dan seandainya di antara
ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, dia dapat pula
mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang tidak
banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang pembantu yang boleh
diharapkan. Oleh karena itulah, maka melihat dua orang pembantunya itu agaknya
terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat kepada Sin Liong dan
mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu.
Ke manakah perginya Sin Liong" Apa yang terjadi dengan dia" Mari kita mengikuti
Sin Liong yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu. Setelah Sin Liong
mendengar bisikan pangeran yang hendak memksa membantunya dan bahwa Bi Cu berada
dalam pengawasan dan kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, tahulah Sin
Liong bahwa kembali kakak angkatnya itu bertindak curang. Tahulah dia bahwa Bi
Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa dia harus membantu
pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu Pangeran itu agar berhasil
menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi bengcu untuk menghimpun tenaga
orang-orang kang-ouw dan membantunya melakukan pemberontakan terhadap kaisar!
Dengan marah sekali Sin Liong lalu berlari masuk meninggalkan tempat itu.
Dengar cepat Sin Liong berlari menuju ke kamar Bi Cu untuk mengajak kekasihnya
itu segera pergi dari tempat itu sekarang juga. Daun pintu kamar Bi Cu tertutup
dan dengan hati harap-harap cemas Sin Liong menghampiri daun pintu ini dan
mendorongnya ke dalam. Kosong! Sunyi sekali dalam rumah ini. Agaknya semua
pelayan dan pengawal sudah berkumpul di depan, nonton keramaian di luar.
"Bi Cu...!" Dia berseru memanggil dan memandang ke sana-sini, lalu berjalan
menuju ke dalam, membukai setiap daun pintu kamar dan ruangang mencari-cari.
Akhirnya dia tiba di lorong yang menuju ke ruangan belakang den ketika dia
memasuki lorong yang lebarnya hanya tiga meter akan tetapi amat panjang itu,
tiba-tiba dia melihat gerakan orang dan tahu-tahu di kedua mulut lorong itu, di
depan dan belakangnya, sudah berdiri puluhan orang pengawal dengan senjata
tombak, pedang dan golok di tangan! Dia telah dikurung di dalam lorong itu dan
tidak ada jalan keluar lagi karena di depan dan belakangnya, di mulut lorong,
masing-masing telah berjaga belasan orang pengawal pilihan yang siap dengan
senjata mereka. Dia seolah-olah seperti seekor harimau yang sudah terkurung dan
terjebak. Sin Liong memandang dengan mata bernyala dan muka merah. "Kembalikan Bi Cu!"
bentaknya. "Kembalikan Bi Cu atau... demi Tuhan, takkan ada seorangpun yang akan
lolos dari tanganku!" Suaranya menggetar saking khawatirnya membayangkan Bi Cu
berada di tangan mereka. Dia maklum bahwa Pangeran Ceng Han Houw hendak
menggunakan Bi Cu untuk memaksanya. Akan tetapi sekali ini dia tidak mungkin mau
dipermainkan, tidak mungkin dia harus mengalah dan memenuhi kehendak pangeran
itu. Biarpun Bi Cu berada di tangan mereka, dia tidak akan mau tunduk dan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerah lagi. Hanya ada dua jalan. Mereka mengembalikan Bi Cu dalam keadaan
utuh dan selamat, atau... kalau mereka mengganggu kekasihnya, dia akan mengamuk
dan membunuh semua orang dalam Istana Lembah Naga itu!
Kedua matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti ketika dia memandang
kepada para pengawal yang menghadang di mulut lorong itu. Dengan berani dia
terus melangkah maju sambil sekali lagi membentak, "Kembalikan Bi Cu!"
Akan tetapi pengawal-pengawal yang berjaga di situ adalah pasukan pengawal
pilihan yang tadinya menjadi pasukan pilihan dari Raja Sabutai. Mereka ini,
sebagai pasukan pilihan, seolah-olah telah menjadi manusia-manusia robot yang
tidak mempunyai keinginan sendiri dan mereka bergerak oleh perintah atasan.
Mereka tadi menerima perintah untuk mencegah pemuda ini pergi ke gudang di
belakang, di mana Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio mengurung gadis tawanan
itu, dan mereka, pasukan pengawal yang jumlahnya tiga puluh orang itu, akan
mentaati perintah ini sampai titik darah terakhir mereka! Maka, mendengar
bentakan-bentakan Sin Liong, mereka itu seolah-olah tidak mendengarnya dan kini
para pengawal yang menghadang di depan telah mengangkat senjata mereka dengan
muka beringas, sedangkan pasukan yang berada di belakang Sin Liong kini sudah
bergerak maju lagi memasuki lorong itu! Sin Liong benar-benar dihimpit dari de-
pan dan belakang. Melihat ini, Sin Liong menjadi semakin marah dan tahulah dia bahwa sekali ini
Pangeran Ceng Han Houw benar-benar memperlihatkan kedoknya dan hendak
menentangnya mati-matian, maka diapun lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan
tubuhnya sudah menerjang ke depan seperti seekor harimau menubruk, tanpa
memperdulikan adanya tombak, golok dan pedang yang menyambut tubuhnya. Dia
mengerahkan seluruh tenaganya yang dihimpunnya selama dia mempelajari ilmu dari
Bu Beng Hud-couw. Ada angin dahsyat menyambar ke depan, menyambut belasan orang
yang menghadangnya itu, disusul oleh kedua tangan Sin Liong sendiri yang
mendorong ke depan. "Bresssss...!" Hebat bukan main tenaga sin-kang yang menyambar keluar dari
gerakan Sin Liong ini. Tombak, golok, pedang beterbangan, terdengar pekik-pekik
kesakitan dan belasan orang itu sudah terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri
seperti setumpuk daun kering diamuk badai! Sin Liong terus meloncat keluar dari
lorong itu, tiba di ruangan belakang yang luas. Di sini dia berdiri tegak,
memandang ke sekelilingnya, mencari-cari Bi Cu. Belasan orang pengawal yang
terpelanting tadi, hanya ada sepuluh orang saja yang sudah bangkit kembali dan
yang lima orang tak dapat bangun. Ditambah oleh lima belas orang lagi, yaitu
para pengawal yang mengejar dari belakang tadi, mereka kini mengurung dan mulai
menerjang dan mengeroyok Sin Liong dari berbagai jurusan. Hujan senjata
menyerang tubuh Sin Liong!
Sin Liong mengamuk! Kedua tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang
sampai ke puncak, menyambar-nyambar dan setiap orang pengeroyok yang terkena
sentuhan tangan ini, bahkan terkena sambaran hawa pukulannya saja, tentu
terpelanting. Setiap senjata yang bertemu dengan lengannya tentu patah-patah
atau beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya. Bagaikan sekelompok nyamuk
menyerang api lilin, para pengawal itu setiap kali maju terpelanting roboh dan
setelah mengamuk dengan hebatnya, laksana seekor naga yang mengejar mustika di
antara awan-awan hitam, semua pengawal itu roboh dan tubuh mereka malang-
melintang memenuhi ruangan itu, merintih-rintih dan mengaduh-aduh. Darah
berceceran di mana-mana dan senjata tajam berserakan. Sin Liong masih sempat
melihat seorang pengawal yang luka terpincang-pincang lari ke belakang, ke
sebuah gudang tua jauh di belakang istana itu. Maka diapun cepat berkelebat dan
menuju ke tempat itu. "Brakkkk!" Sekali terjang daun pintu kayu yang tebal dari gudang itupun pecah
berantakan dan Sin Liong meloncat masuk. Akan tetapi dia terbelalak berdiri di
ambang pintu yang sudah jebol itu, memandang ke dalam. Gudang itu besar, dan
agaknya merupakan gudang yang sudah tidak terpakai lagi karena selain kosong
juga tidak terawat, kotor dan jauh berbeda dengan keadaan di dalam istana yang
serba mewah dan indah. Memang gudang ini telah lama dipergunakan hanya untuk
menyiksa para tawanan ketika Hek-hiat Mo-li tinggal di situ dan karenanya,
setelah Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan istana itu, gudang ini tidak
dipakai dan hanya ditutup. Dan sekarang, tempat itu dipergunakan oleh Hek-hiat
Mo-li dan Kim Hong Liu-nio untuk menahan Bi Cu! Agaknya pengawal yang terluka
dan tadi lari masuk untuk melapor, mengalami nasib sial karena dia sudah
meringkuk di sudut itu tak bergerak-gerak, entah pingsan entah mati. Dan memang
ketika dia selesai melapor bahwa semua pengawal tidak mampu menahan pemuda itu,
Hek-hiat Mo-li telah "menghadiahi" dengan sebuah tendangan yang membuat tulang
iga orang itu remuk-remuk!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Sin Liong ketika dia melihat Bi Cu
terbelenggu pada sebatang tiang kayu di dalam gudang itu dan di sekeliling tiang
itu terdapat tumpukan balok-balok kayu yang sudah disiram minyak dan kini Kim
Hong Liu-nio sudah berdiri dekat sambil memegang sebatang obor yang bernyala,
siap untuk membakar tumpukan kayu yang mengelilingi Bi Cu itu! Dara itu juga
memandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak, akan tetapi suaranya
terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, "Sin Liong...!"
Agaknya baru sekarang dia dapat berseru memanggil nama kekasihnya itu karena
sejak tadi mulutnya diikat dengan sapu tangan yang kini bergantung di lehernya,
tentu sudah dilepaskan oleh Kim Hong Liu-nio. Dan agaknya wanita ini sudah
mempersiapkan diri baik-baik karena selain kedua tangannya sudah mengenakan
sarung tangannya yang dapat menahan senjata tajam, di atas punggungnya yang
menggendong kayu palang salib itu nampak mengepul hio-hio yang terbakar, dan
kini selain tangan kirinya memegang obor, juga tangan kanannya memegang sebatang
pedang yang berkilauan! Dan tidak jauh dari situ berdiri si nenek muka hitam
yang menyeringai mengerikan, bersandar pada tongkat bututnya.
"Heh-heh-heh!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan nampak mulutnya yang tak bergigi
lagi. "Kau bocah bandel, masih mau memamerkan sedikit kepandaian di sini?"
"Hek-hiat Mo-li!" Sin Liong membentak. "Lepaskan Bi Cu!"
"Heh-heh, bocah lancang! Hanya ada dua pilihan untukmu. Engkau kembali ke depan
dan membantu pangeran sampai dia berhasil dengan cita-citanya, atau engkau akan
melihat pacarmu ini dimakan api sampai habis dan engkau sendiri mampus di bawah
tongkatku!" "Nenek iblis!" Sin Liong membentak dan dia sudah meloncat ke depan dan menerjang
nenek itu dengan dahsyatnya!
"Ihh...! Plakk!" Nenek itu meloncat untuk menghindar sambil menyabetkan
tongkatnya yang dapat ditangkis oleh Sin Liong. "Bakar dia!" teriaknya sambil
melawan pemuda yang sudah marah sekali itu. Kim Hong Liu-nio cepat membakar
tumpukan kayu di sekeliling Bi Cu dan apipun berkobarlah.
"Sin Liong...!" Bi Cu menjerit ketika api berkobar mengelilinginya, mendatangkan
hawa panas yang luar biasa. Pilar di mana dia terbelenggu tidak akan cepat
terbakar, dan pembakaran itu memang diatur sedemikian rupa untuk menyiksanya
sehingga sebelum api itu akhirnya menjalar ke pilar, terlebih dulu dia akan
mengalami siksaan luar biasa dikurung api berkobar yang besar dan amat panas.
Sin Liong mengamuk, dan kini Kim Hong Liu-nio juga sudah maju dengan pedangnya,
membantu gurunya mengeroyok Sin Liong. Pedangnya bergerak dengan amat cepatnya,
lenyap bentuk pedang di tangan Kim Hong Liu-nio, berubah menjadi segulung sinar
berkilauan yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan berciutan,
juga tongkat di tangan nenek muka hitam itu berbahaya bukan main, karena
gerakannya didorong oleh sin-kang yang amat hebat.
Sekali ini Sin Liong benar-benar diuji kepandaiannya. Dua orang lawannya terdiri
dari orang-orang yang pandai, terutama sekali nenek hitam itu. Dan celakanya dia
bertanding dengan hati gelisah bukan main melihat api berkobar mengurung Bi Cu.
Sebagian besar perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu, dan setiap ada kesempatan,
dia meninggalkan dua orang lawannya untuk meloncat ke arah api dalam usahanya
untuk menyelamatkan dara itu lebih dulu dari ancaman maut yang mengerikan.
Namun, dua orang lawannya maklum akan niatnya ini dan terus menghadang, bahkan
kelengahan Sin Liong karena perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu membuat dua kali
punggung dan pundaknya kena dihantam tongkat Hek-hiat Mo-li! Kalau saja dia
tidak memiliki kekebalan dan cepat menggunakan Thi-khi-i-beng, tentu dia sudah
roboh oleh dua kali hantaman itu. Dia hanya merasa pening sedikit, akan tetapi
dengan mengeluarkan jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, angin pukulan menyambar dahsyat
dan dua orang lawannya itu terkejut dan cepat mengelak sambil meloncat mundur.
Di lain saat, guru dan murid itu sudah menerjang lagi dan kembali Sin Liong
terdesak hebat karena dia masih terus mencurahkan perhatiannya kepada Bi Cu yang
terus-menerus memanggil namanya.
"Sin Liong... ah, Sin Liong, tolong...!"
Sin Liong tak dapat menahan kegelisahannya dan meloncat ke depan. Kelengahannya
itu dipergunakan oleh Kim Hong Liu-nio untuk menusukkan pedangnya ke arah
lambungnya dari kanan. Untung bagi pemuda ini bahwa dia masih mendengar desir
sambaran pedang ini, maka dia mengelak, sungguhpun perhatiannya masih ke depan,
ke arah api berkobar. "Dess...!" Pukulan tangan kiri dari Kim Hong Liu-nio dengan tepat mengenai
punggungnya, sebuah pukulan yang amat kuatnya.
"Ihhh...!" Kim Hong Liu-nio menjerit karena tangannya itu melekat pada punggung
dan tersedotlah hawa murni dari tubuhnya. Gurunya yang maklum akan keadaan
muridnya, cepat menerjang ke depan, ujung tongkatnya berkelebat depan mata Sin
Liong. Pemuda ini menarik tubuh ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh
Hek-hiat Mo-li untuk menepuk punggungnya dan membentot kembali tangan muridnya!
Setelah terlepas dari pengaruh Thi-khi-i-beng itu, Kim Hong Liu-nio mengamuk dan
menujukan ujung pedangnya ke arah sasaran bagian tubuh yang berbahaya sehingga
kembali Sin Liong terpaksa harus melayani dua orang lawan tangguh itu, sementara
itu hatinya merasa semakin gelisah.
"Brakkk...!" Tiba-tiba jendela di belakang gudang itu pecah berantakan dan
sesosok bayangan yang amat gesit dan ringannya melayang masuk. Itu adalah
bayangan seorang wanita cantik dan Sin Liong segera mengenal bayangan itu yang
bukan lain adalah bayangan Yap In Hong, atau ibu tirinya! Nyonya yang cantik
jelita dan gagah perkasa itu muncul secara demikian tiba-tiba sehingga bukan
hanya mengejutkan Sin Liong, akan tetapi juga membuat Kim Hong Liu-nio dan Hek-
hiat Mo-li menjadi kaget sekali.
Bagaimanakah Yap In Hong dapat tiba-tiba muncul di tempat itu" Perlu diketahul
bahwa rombongan keluarga Cin-ling-pai itu sesungguhnya berada di Lembah Naga,
menghadiri pertemuan besar itu adalah dalam rangka bantuan mereka kepada
pemerintah, yaitu kepada Pangeran Hung Chih yang sudah diberi tugas khusus oleh
kaisar untuk menghadapi usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw dengan cara
halus, kalau mungkin tanpa menimbulkan perpecahan atau perang saudara yang akan
mendatangkan korban besar di antara rakyat.
Oleh karena terikat oleh tugas inilah maka betapapun marahnya hati Cia Giok Keng
melihat puterinya membantu pangeran pemberontak yang menjadi suaminya itu, namun
Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw selalu menyabarkannya. Ketika Cia Bun Houw sudah
maju untuk menentang secara terang-terangan dan dikeroyok oleh kedua orang kakek
Lam-hai Sam-lo dan terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru, diam-diam Yap
In Hong yang mengikuti gerakan mereka maklum bahwa suaminya tidak akan kalah.
Oleh karena itu diapun merasa lega, lalu diam-diam dia berunding dengan kakak
kandungnya, Yap Kun Liong, dan Cia Giok Keng yang menyetujui agar dia menyelidik
dari bagian belakang istana, sementara Yap Kun Liong dan isterinya siap untuk
membantu Cia Bun Houw apabila terjadi sesuatu dan siap pula untuk memberi tanda
yang telah ditunggu-tunggu oleh pasukan besar yang menanti di luar lembah!
Demikianlah mengapa Yap In Hong tahu-tahu berada di gudang itu. Ketika dia
menyelinap ke belakang gudang dan mendengar suara orang berkelahi, dia mengintai
dan betapa kagetnya ketika dia mengenal Sin Liong dikeroyok oleh Hek-hiat Mo-li
dan murid perempuannya, dan melihat pula Bi Cu terkurung api dan dara itu sudah
mulai sesak napas dan tubuhnya basah semua oleh peluh. Dia sudah tidak mampu
berteriak lagi, hanya mengeluh dan merintih! Melihat keadaan dara ini, Yap In
Hong lalu meloncat dengan kecepatan seekor burung terbang, kakinya menendangi
balok-balok terbakar ke kanan kiri sehingga terbukalah jalan baginya untuk
menerobos masuk. Cepat sekali dia sudah menggunakan jari-jari tangannya yang
kecil mungil namun mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu untuk
mematahkan semua belenggu kaki tangan Bi Cu yang sudah lemas dan pingsan itu,
kemudian dia memondohg tubuh dara itu dan sekali meloncat dia telah keluar dari
lingkungan api yang berkobar dan membawa Bi Cu ke sebuah sudut gudang yang luas
itu. Ketika melihat Bi Cu pingsan, dia lalu mendudukkan dara itu dan
menyandarkannya pada dinding, kemudian dia bangkit berdiri dan memandang ke arah
pertempuran. Sinar matanya berubah ketika dia melihat Sin Liong dikeroyok. Tadinya, seperti
juga suaminya, dia merasa benci kepada anak ini yang dianggapnya seorang anak
yang tidak mengenal budi. Akan tetapi kini melihat anak itu dikeroyok dua secara
mati-matian, pandangannya menjadi berubah.
"Hek-hiat Mo-li, sebelum engkau mampus tentu engkau akan menyebar kejahatan saja
di dunia ini! Akulah lawanmu, nenek iblis!" Dia hendak meloncat memasuki
gelanggang pertempuran, akan tetapi Sin Liong cepat berkata,
"Yap-lihiap... aku berterima kasih sekali kepadamu, akan tetapi... harap lihiap
jangan mencampuri, biarkan aku menghadapi mereka ini! Aku ingin membalaskan
kematian kong-kong Cia Keng Hong!" Suaranya mengandung isak karena saking
terharunya melihat Bi Cu diselamatkan oleh ibu tirinya! Dan juga saking marahnya
terhadap dua orang lawannya ini.
Yap In Hong tercengang, karena dia terkejut mendengar ucapan itu dan melihat
jalannya pertempuran. Bocah itu menyebut "kong-kong" kepada ayah mertuanya, dan
selain menyatakan ingin membalas kematian ketua Cin-ling-pai, juga kini gerakan
bocah itu sungguh jauh berbeda! Kini, pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang
amat luar biasa, dan setiap kali dia menerjang, ada hawa pukulan yang luar biasa
dahsyatnya menyambar darinya, membuat dua orang lawannya menjadi terhuyung-
huyung! Yap In Hong adalah seorang wanita sakti yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali, akan tetapi belum pernah dia menyaksikan gerakan seperti yang
dilakukan Sin Liong pada saat itu, dan dia dapat melihat dan merasakan kehebatan
hawa pukulan yang luar biasa itu. Maka diapun lalu berdiri saja dan menonton,
mendekati Bi Cu dan menjaga dara yang masih pingsan itu. Sementara itu, tumpukan
kayu yang terbakar itu karena tadi ditendangi dan terlempar ke sana-sini, mulai
membakar dinding rumah dan pilar!
Tidak mengherankan apabila Yap In Hong pendekar wanita sakti itu tertegun
menyaksikan kehebatan gerakan Sin Liong. Kini, setelah melihat Bi Cu selamat,
Sin Liong menjadi demikian lega dan gembira sehingga dia mampu mencurahkan
seluruh perhatiannya kepada perkelahian itu dan kini diapun tidak mau memberi
hati kepada dua orang lawannya. Dia mempergunakan langkah-langkah Thai-kek Sin-
kun dan dengan gerakan tiba-tiba sekali, dia sudah menerjang dengan jurus dari
ilmu silat mujijat Hok-mo Cap-sha-ciang. Terjangan pertama membuat dua orang
wanita itu terhuyung dan terdengar Kim Hong Liu-nio menjerit kecil karena
pedangnya membalik dan melukai pundaknya sendiri! Mereka berdua maklum kini
bahwa Sin Liong benar-benar tangguh, dan munculnya Yap In Hong yang berhasil
menyelamatkan Bi Cu benar-benar membuat kedua orang itu agak bingung dan gentar.
Maka kini mereka hendak memusatkan tenaga untuk bertahan, maka mereka tidak
berpencar, melainkan berdiri berdampingan menghadapi Sin Liong.
Pemuda ini mengeluarkan pekik yang dahsyat, dibarengi dengan gerakan tubuhnya
mencelat ke depan dan dia sudah mengirim serangan ke dua dari Hok-mo Cap-sha-
ciang. Kedua tangannya dengan jari-jari terpentang bergerak dari atas ke bawah,
dan dua macam tenaga yang berlawanan, yang dari atas panas sekali dan dari bawah
dingin sekali menyambar seolah-olah hendak menghimpit dua orang lawan itu.
"Plak-plak... dessss...!" Hek-hiat Mo-li yang terkejut bukan main menyaksikan
serangan yang luar biasa hebat dan ganasnya itu telah mengerahkan tenaganya dan
dua kali dia menggunakan tongkat dan lengannya untuk menangkis dua tangan Sin
Liong dan akibatnya dia terpental sampai beberapa meter jauhnya dan punggungnya
menabrak dinding gudang! Pada saat Sin Liong melakukan pukulan dahsyat itu dan
Hek-hiat Mo-li melakukan penangkisan, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sudah
menjatuhkan dirinya ke atas lantai, kemudian bagaikan seekor trenggiling dia
menggelundung ke arah Sin Liong dan meloncat sambil menaburkan Hui-tok-san,
yaitu bubuk kuning ke arah muka Sin Liong, diikuti oleh gulungan sinar merah
dari sabuknya yang melakukan totokan ke arah kedua mata pemuda itu dan paling
akhir pedangnya meluncur dari tangan, menusuk ke arah lambung! Sungguh wanita
ini hebat dan berbahaya sekali, menggunakan kesempatan itu untuk melakukan
serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan lawan yang bagaimana
tangguhpun! Akan tetapi pada saat itu, dalam kegembiraannya karena Bi Cu sudah bebas dari
bahaya maut, Sin Liong berada dalam keadaan penuh gairah dan di puncak dari
kewaspadaannya, seluruh tubuhnya menggetar dengan sin-kangnya yang memang luar
biasa kuatnya, sin-kang yang diwariskan kepadanya oleh mendiang Kok Beng Lama,
kemudian digembleng pula oleh mendiang Cia Keng Hong yang menurunkan Thi-khi-i-
beng dan semua itu masih ditambah lagi dengan latihan dari kitab-kitab kuno
peninggalan Bu Beng Hud-couw sehingga pada saat itu, kiranya sukar dicari
bandingannya di dunia persilatan. Maka, melihat gerakan serangan bertubi-tubi
ini, Sin Liong tidak menjadi gugup sama sekali. Dia dapat mengikuti gerak-gerik
lawan ini satu demi satu dan sambaran bubuk kuning ke arah mukanya itu
dibuyarkannya dengan tiupan khi-kang yang kuat sehingga uap kuning itu membuyar
bahkan menyambar kembali ke muka Kim Hong Liu-nio yang tentu saja tidak takut


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghisapnya karena dia telah memakai obat penawar racun Hui-tok-san itu.
Kemudian, totokan ujung sabuk merah ke arah kedua matanya itu hanya dielakkan
dengan miringkan kepala, kemudian tusukan pedang ke arah lambungnya itu cepat
ditangkapnya dengan tangan dan sekali dia mengerahkan tenaga mencengkeram,
pedang ltu dapat dicengkeramnya sampai patah-patah! Kim Hong Liu-nio terkejut
bukan main, hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri! Betapa mungkin
pedangnya yang terbuat dari baja murni itu, yang takkan patah oleh senjata
apapun, kini menjadi patah-patah oleh cengkeraman jari-jari tangan pemuda itu"
Dalam gugupnya, dia menggerakkan tangan kanannya itu memukul setelah membuang
gagang pedang, memukul dengan kerasnya ke arah dada Sin Liong.
"Bukk!" Pukulan itu tepat mengenai sasaran karena memang Sin Liong tidak
mengelak, akan tetapi telapak tangan wanita itu melekat dan seketika tenaga sin-
kang dari telapak langan itu membanjir tersedot oleh tubuh Sin Liong!
"Aihhh...!" Kim Hong Liu-nio sudah diberi tahu subonya bagaimana menghadapi Thi-
khi-i-beng, maka dia cepat menggunakan ujung sabuknya menotok pergelangan tangan
kanannya sendiri sehingga tangan itu lumpuh, kehilangan tenaga dan dengan
sendirinya terlepas dari sedotan karena sudah tidak mengandung tenaga sin-kang,
dan wanita ini lalu melempar diri ke belakang, menggelinding dan pada saat dia
menggelinding itu, nampak sinar api meluncur ke arah perut, leher dan mata Sin
Liong! Itulah tiga hatang hio menyala dan yang dilontarkan secara tepat oleh Kim
Hong Liu-nio! Melihat ini, Sin Liong menjadi marah sekali. Dia teringat akan
kematian ibu kandungnya di tangan wanita ini, maka cepat kedua tangannya
menangkap-nangkapi tiga batang hio itu dan secepat kilat dia melemparkan hio-hio
itu ke arah pemiliknya. Betapapun wanita itu berusaha mengelak, namun dia kalah
cepat oleh luncuran hio yang dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang luar biasa
itu. Terdengar jerit menyayati hati ketika dua di antara tiga batang hio itu mengenai
sasarannya dengan tepat, yaitu, yang pertama menancap di antara kedua mata
wanita itu sedangkan yang ke dua memasuki dada lewat ulu hatinya. Wanita itu
roboh terjengkang dan agaknya hio yang menembus batok kepalanya itu langsung
mengenai pusat otak yang membuat dia tak mampu bergerak lagi dan tak lama
kemudain tewaslah Kim Hong Liu-nio dalam keadaan yang hampir sama namun lebih
mengerikan daripada kematuian mendiang Liong Si Kwi, ibu kandung Sin Liong!
Hek-hiat Mo-li mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang marah dan dia sudah
menubruk dari samping, menghantamkan tongkat butut ke arah belakang kepala Sin
Liong sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Sin Liong yang sejenak
tertegun melihat betapa dia telah berhasil membunuh wanita yang menjadi musuh
besarnya, yang telah membunuh ibu kandungnya itu, cepat berbalik ketika merasa
ada sambaran angin serangan dahsyat itu. Dari angin pukulan itu tahulah Sin
Liong bahwa nenek ini sudah marah sekali dan telah mengerahkan seluruh
tenaganya, agaknya hendak mengadu nyawa dengan dia karena marah melihat muridnya
yang terkasih itu tewas. "Hemm, engkaupun harus mampus untuk pergi menghadap arwah kong-kong!" bentaknya
dan diapun cepat menangkis dan balas menyerang. Karena sekali ini Sin Liong
tidak mau memberi hati lagi, begitu balas menyerang diapun sudah memilih jurus
dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang merupakan ilmu simpanan dan yang belum dikenal
oleh orang lain sehingga betapapun nenek itu hendak mengelak dan menangkis,
tetap saja pukulan aneh itu mengenai dadanya.
"Desss...!" Tubuh nenek itu terlempar lagi ke belakang dan menghantam dinding,
gudang itu seperti tergetar saking kerasnya tubuh nenek itu menumbuk dinding.
Akan tetapi, biarpun pukulan tadi hebat sekali, namun Hek-hiat Mo-li tetap
merangkak bangung maju lagi dan memekik-mekik seperti orang gila sambil
menyerang dengan tongkatnya, agaknya sedikitpun tidak merasakan pukulan dahsyat
itu! Sin Liong merasa terkejut bukan main. Pukulannya tadi hebat sekali, dan dia
sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang pada tangannya. Namun ternyata nenek
tua itu memiliki kekebalan yang luar biasa sekali, agaknya kekebalan yang sudah
melindungi seluruh tubuh bagian dalam sehingga pukulan yang sedemikian
ampuhnyapun tidak dapat melukai luar maupun dalam!
KETIKA tadi Sin Liong merobohkan Kim Hong Liu-nio setelah melakukan serangan
hebat yang membuat guru dan murid itu terdesak hebat, pendekar wanita Yap In
Hong memandang dengan mata terbelalak! Dia merasa heran, terkejut, dan kagum
bukan main. Dia sudah mengenal betul siapa adanya Hek-hiat Mo-li dan betapa
lihainya nenek iblis itu, dan diapun tahu bahwa murid nenek itupun lihai bukan
main. Akan tetapi, dikeroyok dua oleh guru dan murid itu, Sin Liong sama sekali
tidak kelihatan repot, bahkan dalam waktu singkat saja telah berhasil menewaskan
Kim Hong Liu-nio secara demikian luar biasa, menggunakan hio-hio (dupa biting)
yang bernyala yang merupakan senjata rahasia dari lawan itu. Kini tubuh Kim Hong
Liu-nio terlentang tak bernyawa lagi, akan tetapi dua batang hio yang menancap
di dada dan dahi itu masih mengeluarkan asap harum! Dan melihat betapa dalam
gebrakan selanjutnya Hek-hiat Mo-li sudah kena dihantam sedemikian kerasnya,
benar-benar membuat Yap In Hong kagum bukan main! Dia sendiri pernah melawan
nenek ini dan biarpun akhirnya dia berhasil menang, namun harus melalui per-
tandingan yang amat lama, amat melelahkan dan amat berbahaya. Dan kini, dalam
perkelahian yang belum lama, Sin Liong telah mampu membuat tubuh nenek itu
terlempar dua kali! Akan tetapi, melihat wajah pemuda itu terkejut dia mengerti sebabnya. Dia sudah
mengenal kekebalan nenek itu yang dahulu pernah membuat dia repot dan bingung
juga, maka diapun lalu cepat berkata, "Sin Liong, kauhantam kedua telapak
kakinya!" Mendengar ini, mengertilah Sin Liong bahwa nenek itu memiliki kelemahan pada
telapak kakinya. Dan memang benarlah demikian. Di dalam cerita Dewi Maut,
pendekar wanita Yap In Hong pernah bertanding mati-matian dengan nenek ini dan
seandainya dia tidak dapat menemukan rahasia kelemahan nenek ini, yaitu pada
kedua kakinya, belum tentu dia dapat keluar sebagai pemenang. Kini dia membuka
rahasia kelemahan itu kepada Sin Liong.
Mendengar ini, girang hati Sin Liong. Tadi dia sudah kaget sekali menyaksikan
kehebatan ilmu kekebalan nenek ini dan sungguhpun hal itu tidak membuat dia
merasa gentar, namun setidaknya dia menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana
dia akan dapat mengalahkan orang yang tubuhnya kebal seperti itu. Kini,
mendengar petunjuk dari Yap In Hong, dia girang sekali dan cepat dia
menghantamkan kedua tangannya ke arah kedua kaki nenek itu dengan pengerahan
tenaga sin-kangnya. Akan tetapi, betapa terkejutnya hati Yap In Hong dan juga Sin Liong sendiri
ketika nenek itu hanya mengelakkan sebelah kaki saja, dan sambil terkekeh-kekeh
dia menyambut hantaman Sin Liong dengan kakinya! Justeru dengan telapak kakinya
yang dianggap tempat lemah itu.
"Dukkk!" Kembali tubuh nenek itu terlempar ke belakang, akan tetapi Sin Liong
terkejut sekali karena tangannya bertemu dengan benda yang amat keras, yang
agaknya tersembunyi di dalam sepatu yang tebal itu. Kiranya, nenek itu telah
melindungi bagian tubuhnya yang lemah itu, yaitu dua telapak kakinya, dengan
logam, mungkin baja murni yang amat kuat dan tebal dan melindungi kedua telapak
kaki itu dengan disembunyikan di dalam sepatu. Pantas saja sepatu nenek itu amat
tebal! "Heh-heh-heh, Yap In Hong, kaukira masih akan dapat mengalahkan aku dengan
memukul telapak kakiku" Heh-heh!" Nenek itu tertawa girang sekali dan dia sudah
menerjang lagi ke arah Sin Liong dengan lebih dahsyat!
Sin Liong menjadi marah. Dia menyambut terjangan nenek itu dengan kedua
tangannya, tangan kirinya menangkis tongkat dan terus menangkap tongkat itu,
tangan kanan menangkis pukulan tangan kiri lawan dan terus dia mengerahkan Thi-
khi-i-beng sehingga tongkat dan tangan nenek itu tersedot dan melekat.
"Heh-heh, siapa takut Thi-khi-i-beng?" Nenek itu berseru sambil menggerakkan
tubuhnya meliuk seperti ular dan tiba-tiba tongkat dan tangannya dapat terlepas
dari sedotan karena nenek itu menarik kembali sin-kangnya, dan secepat kilat
nenek itu sudah menggerakkan tongkatnya dari jarak yang sedemikian dekatnya
untuk menotok jalan darah maut di leher Sin Liong, di bawah telinga kiri!
"Tok! Prakk!" Nenek itu terkejut bukan main. Totokannya tadi tepat mengenai
sasaran. Biasanya, totokan seperti itu tidak mungkin dapat dilindungi oleh
kekebalan, maka dia sudah girang sekali karena mengira bahwa totokannya tentu
akan merobohkan pemuda itu. Dia tidak tahu bahwa dengan latihannya menurut
kitab-kitab Bu Beng Hud-couw yang aneh, pemuda itu telah dapat membalikkan jalan
darahnya sehingga ketika ujung tongkat itu mengenai jalan darah, yang ditotoknya
hanyalah urat yang pada saat itu berhenti tidak mengalirkan darah karena
darahnya berpindah mengalir melalui tempat lain! Dan pada saat itu juga, dengan
tangannya, Sin Liong menampar ke arah tongkat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang
sehingga tongkat itu patah-patah. Kini Sin Liong menggunakan kecepatan gerakan
tubuhnya, mainkan San-in-kun-hoat dengan kedua tangannya, gerakannya lembut
seperti awan gunung, namun ilmu silat yang dipelajarinya dari ketua Cin-ling-pai
ini hebat sekali sehingga biarpun lembut, jari-jari tangannya mengancam ke arah
mata nenek itu, bagian yang tentu saja tidak mungkin dilindungi oleh
kekebalannya yang amat kuat itu.
"Ihhh...!" Nenek itu mengelak dan menggunakan kedua tengan untok melindungi
mukanya. Inilah yang dikeheridaki oleh Sin Liong. Begitu kedua lengan nenek itu
bergerak melindungi matanya, gerakan sekilat ini sedikit banyak mengurangi
kewaspadaan nenek itu karena matanya terhalang lengan dan nenek itu terlalu
mengandalkan kekebalannya sehingga tidak melindungi tubuh lain. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Sin Liong untuk melakukan gerakan cepat mencengkeram dengan
kedua tangannya, menangkap leher dan baju di bagian dada nenek itu dan sebelum
Hek-hiat Mo-li tahu apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, tiba-tiba Sin
Liong mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan sekuat tenaga dia melemparkan
tubuh nenek itu ke arah api yang sedang berkobar!
"Hiaaattt...!" Bentakan ini disusul lemparan kedua tangan dan tubuh nenek itu
melayang cepat ke arah api!
"Brakkk!" Pilar kayu di mana tadi Bi Cu dibelenggu dan yang kini sudah berkobar-
kObar itu patah-patah tertimpa tubuh Hek-hiat Mo-li, disusul oleh pekik dahsyat
nenek itu karena pakaiannya terjilat api dan mulailah dia terbakar oleh api yang
mulai bernyala di pakaian dan rambutnya! Nenek itu meloncat ke sana-sini,
akhirnya bergulingan dan menjerit-jerit. Namun api makin membesar dan akhirnya
dia berkelojotan dan Sin Liong membuang muka.
Setelah nenek itu tidak bersuara lagi, Sin Liong lalu menghampiri Bi Cu, "Sin
Liong...!" Kebetulan Bi Cu siuman dan mereka saling tubruk dan saling
berangkulan, dipandang oleh Yap In Hong yang menahan senyumnya.
Sin Liong lalu menggandeng tangan kekasihnya, diajaknya berlutut di depan
pendekar wanita itu. "Yap-lihiap telah menyelamatkan nyawa Bi Cu, kami berdua
berterima kasih sekali dan kami takkan melupakan budi kebaikan lihiap," kata Sin
Liong dengan suara terharu.
Yap In Hong tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda yang berlutut di
depannya itu. Baru sekarang dia tahu bahwa pemuda ini benar-benar memiliki
kepandaian yang hebat sekali, dan mulailah dia mengerti mengapa pemuda ini
dahulu mencegah dia dan suaminya ketika hendak membunuh Kim Hong Liu-nio.
Kiranya pemuda ini hendak membunuh sendiri wanita jahat itu, dan tentu ada
alasannya yang amat kuat.
"Sudahlah, Sin Liong, dalam keadaan seperti ini, tidak perlu sungkan-sungkan.
Engkau terus teranglah sekarang, apakah engkau benar-benar hendak membantu
pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw?"
Sin Liong mengangkat muka memandang dan wanita perkasa itu terkejut menyaksikan
sinar mata yang mencorong seperti mata naga itu! "Tidak, lihiap. Bahkan aku akan
membantu untuk menghancurkan usahanya yang busuk itu!"
"Bagus, kalau begitu lekas kita keluar. Tempat ini mulai terbakar dan aku tidak
tahu bagaimana jadinya dengan pertandingan di luar." Yap In Hong lalu cepat
meloncat keluar. Sin Liong yang menggandeng tangan Bi Cu bangkit bersama dara itu, mereka saling
pandang. Ketika Bi Cu melihat tubuh Kim Hong Liu-nio sudah menjadi mayat dan
hio-hio itu masih mengepulkan asap harum, sedangkan tubuh nenek itu menjadi
makin hitam karena terbakar, dia mengeluh dan merangkul Sin Liong,
menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya. Teringatlah dia betapa kalau dia
tidak tertolong, tentu dia akan mati secara mengerikan seperti nenek itu pula.
"Semua sudah berlalu... tenanglah," Sin Liong berkata sambil mendekap dan
mengelus rambut kekasihnya, kemudian mengajaknya keluar dari tempat itu, menuju
keluar, ke tempat pertemuan dengan jalan memutar, tidak lewat dalam istana,
melainkan lewat taman bunga di samping istana. Mereka melihat betapa Yap In Hong
sudah berjalan cepat menuju ke ruangan depan. Mereka lalu melangkah perlahan-
lahan menuju keluar di mana agaknya masih terjadi keributan-keributan.
Ternyata bahwa pertandingan antara Cia Bun Houw yang dikeroyok dua oleh Hai-
liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun berjalan amat seru dan mati-
matian. Ketika Yap In Hong meninggalkan suaminya untuk melakukan penyelidikan ke
belakang istana, dia melihat bahwa suaminya telah mendesak dua orang lawan itu,
maka setelah berunding dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, dia meninggalkan
tempat itu, menyelinap ke belakang tanpa diketahui orang dan di gudang itu dia
sempai menyaksikan Sin Liong menewaskan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio.
Bahkan dia sempat pula menyelamatkan Bi Cu yang terancam maut. Karena ternyata
di belakang istana itu tidak terdapat gerakan apa-apa, dan karena girang bahwa
Sin Liong ternyata berpihak kepada Cin-ling-pai dan menentang pangeran, maka
wanita perkasa itu lalu cepat kembali ke situ. Akan tetapi ternyata, sungguhpun
dia tidak mempergunakan waktu yang terlalu lama meninggalkan tempat itu, setelah
kini dia kembali, pertandingan itu telah berubah lebih menegangkan dan mati-
matian karena dua orang yang mengeroyok suaminya itu setelah terdesak hebat lalu
mengeluarkan senjata masing-masing. Phang Tek sudah mempergunakan senjata
tongkatnya yang hanya sepanjang sebatang pedang dan mainkan tongkat itu seperti
sebatang pedang dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw-kiam yang ganas. Juga adiknya,
Phang Sun, telah mempergunakan sebatang pisau belati berwarna hitam yang
mengetuarkan bau amis. Memang belati di tangan Kim-liong-ong Phang Sun ini
mengandung racun yang amat jahat, sekali gores pada kulit saja sudah cukup untuk
mengirim lawan ke lubang kubur!
Akan tetapi melihat dua orang lawannya yang telah terdesak itu kini menggunakan
senjata, Bun Houw tidak berkata apa-apa. Dia maklum bahwa memang dua orang lawan
itu bukan sekadar menguji kepandaiannya, melainkan kalau mungkin akan
membunuhnya, maka diapun lalu mencabut sebatang pedang. Semua orang menjadi
silau melihat sekilat sinar emas yang kemudian bergulung-gulung. Kiranya itu
adalah Hong-cu-kiam, sebatang pedang tipis yang bisa digulung atau dipakai
sebagai sabuk, pedang yang pernah menggemparkan kolong langit di tangan pendekar
ini. Dengan pedang di tangan, pendekar ini tentu saja seperti seekor harimau tumbuh
sayap. Dua orang kakek dari selatan itu kecele, karena begitu mereka bermain
senjata, melawan pedang pemuda itu sungguh merupakan hal yang amat berbahaya.
Belum sampai lima puluh jurus mereka bertanding, Hai-liong-ong Phang Tek telah
kehilangan tongkatnya yang patah menjadi dua dan Kim-liong-ong Phang Sun terobek
kulit lengan kirinya sehingga mengeluarkan darah. Keduanya terkurung hebat oleh
gulungan sinar pedang dan kalau Bun Houw hendak menurunkan tangan kejam, tentu
mereka dalam saat-saat berikutnya akan roboh! Pada saat itu, Pangeran Ceng Han
Houw bangkit dan melangkah maju sambil berseru, "Tahan senjata...!"
Mendengar ini, sebagai seorang tamu yang tahu aturan, Bun Houw menahan pedangnya
dan lenyaplah sinar gemilang dari pedang itu. Kini pendekar itu berdiri tegak
menghadapi pangeran, pedangnya sudah masuk kembali ke sekeliling pinggangnya,
dililitkan seperti sebatang sabuk! Hanya sedikit peluh di leher pendekar itu
yang menunjukkan bahwa dia telah mengeluarkan banyak tenaga menghadapi dua orang
lawan tangguh tadi, sedangkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo itu berdiri di
pinggiran sambil terengah-engah dan seluruh muka, leher dan baju mereka basah
oleh keringat! Pangeran Ceng Han Houw sudah melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat dan
ramah kepada Cia Bun Houw. "Paman Cia Bun Houw sungguh gagah perkasa dan amat
mengagumkan..." "Maaf, pangeran, saya tidak pernah merasa mempunyai seorang keponakan seperti
Pangeran. Bicaralah yang benar!" Cia Bun Houw memotong dengan suara ketus penuh
teguran. Tentu saja ucapan ini merupakan tamparan hebat, namun Ceng Han Houw
masih tersenyum dengan ramahnya.
"Mungkin saja seorang enghiong gagah perkasa seperti Cia-tahiap tidak menganggap
saya sebagai keponakan, akan tetapi adalah merupakan kenyataan bahwa isteri
saya, Lie Ciauw Si, adalah keponakanmu. Taihiap telah menundukkan dua orang
kakek dari Lam-hai Sam-lo, dengan demikian berarti sudah memenuhi syarat
secukupnya untuk menjadi jago nomer satu di dunia, kecuali kalau ada yang akan
menandingi taihiap. Dengan kepandaian taihiap yang tinggi, maka kami
mengharapkan agar taihiap akan sudi membantu agar kita semua dapat bangkit dan
menentang kelaliman kaisar..."
"Cukup, pangeran! Aku bukan seorang pemberontak!"
"Justeru itulah, Cia-taihiap. Taihiap dan semua anggauta keluarga Cin-ling-pai
bukan pemberontak dan tidak pernah memberontak, akan tetapi apa yang telah
terjadi" Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai yang
gagah perkasa telah dituduh pemberontak oleh kaisar yang tak mengenal budi,
bahkan telah menjadi orang-orang buruan pemerintah. Bukankah hal itu amat


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membikin orang menjadi penasaran?"
"Kami sekarang sudah dibebaskan, dan aku tidak mau bicara tentang itu!" Cia Bun
Houw berkata dengan ketus.
Pada saat itu Lie Ciauw Si juga sudah bangkit dan berkata, "Paman Cia Bun Houw,
hendaknya paman mengetahui bahwa yang menbebaskan keluarga Cin-ling-pai dari
tuduhan pemberontak adalah Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi suamiku
inilah! Dia bermaksud baik, dia hendak menghimpun kekuatan orang-orang gagah,
kaum patriot untuk menentang penindasan..."
"Lie Ciauw Si!" Tiba-tiba terdengar suara Cia Giok Keng yang nyaring, membuat
semua orang menengok ke belakang, "Aku malu melihat engkau menjadi kaki tangan
gerakan pemberontak! Aku malu mendengar kata-katamu yang membelanya! Aku malu
melihat engkau merendahkan diri menjadi isterinya!"
Seketika wajah Ciauw Si menjadi pucat dan dia memandang ke arah ibunya yang
sudah bangkit berdiri dari kursinya itu dengan sinar mata sedih. "Ibu... dia...
dia seorang suami yang baik..."
Cia Giok Keng yang marah sekali itu hendak meninggalkan tempat duduknya dan
menghampiri ke tengah ruangan, akan tetapi lengan tangannya dipegang oleh Yap
Kun Liong dan suaminya ini membujuknya sehingga akirnya dia duduk kembali,
menutupi mukanya dan menangis!
Sementara itu, Cia Bun Houw berkata kepada Pangeran Ceng Han Houw, "Pangeran
kita bicara seperti laki-laki, ataukah engkau hendak menggunakan wanita untuk
membelamu?" Han Houw tersenyum, memengang tangan Ciauw Si dan membujuknya lalu menuntunnya
sehingga akhirnya Ciauw Si kembali duduk di atas kursinya dan menundukkan
mukanya, menyembunyikan air matanya yang menetes keluar. Kemudian pangeran itu
kembali menghampiri Bun Houw dan mereka berdiri berhadapan dan saling memandang.
Pangeran itu tahu bahwa bujukannya yang dibantu isterinya tidak akan berhasil,
maka kini dia hendak mengambil jalan lain yang menguntungkan dia, yaitu hendak
merobohkan orang-orang Cin-ling-pai di depan semua orang kang-ouw agar mereka
semua tahu bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Kemenangannya atas diri
pendekar-pendekar Cin-ling-pai tentu akan membuat para tokoh kang-ouw lain
menjadi tunduk dan pengaruhnya tentu akan menjadi lebih besar sehingga mudah
baginya untuk menguasai mereka.
Setelah dua orang ini saling pandang dengan sinar mata tajam, akhirnya Han Houw
berkata, suaranya lantang karena dimaksudkan agar semua orang mendengarnya,
"Cia-taihiap, kami bermaksud baik dan mengingat akan pertalian kekeluargaan,
akan tetapi taihiap menolaknya. Sekarang, pendekar sakti Cia Bun Houw dari Cin-
ling-pai telah maju ke sini dan mengalahkan dua orang yang menjadi penguji.
Taihiap adalah seorang calon jagoan nomor satu di dunia."
"Aku tidak ingin menjadi jagoan, hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian
orang yang berani mengaku sebagai jago nomor satu di dunia, tidak peduli siapa
adanya dia itu!" Ceng Han Houw tersenyum dan dia memandang ke sekeliling. "Cu-wi tentu telah
mendengarnya. Pendekar Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang amat lihai pada
waktu ini, dan aku mendengar kabar bahwa ilmu kepandaiannya bahkan telah
melampaui tingkat mendiang ayahnya, yaitu ketua dan pendiri dari Cin-ling-pai!
Oleh karena itu, kemunculannya ini dapat diartikan mewakili seluruh Cin-ling-pai
dan dia telah lulus ujian dan mengalahkan kedua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo.
Oleh karena itu, kalau ada di antara para locianpwe dan enghiong yang merasa
pantas untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia, harap suka maju untuk
menghadapi Cia-taihiap!"
Memang pangeran ini cerdik sekali. Dia ingin mengadukan semua orang gagah di
situ, dan nanti pemenang terakhir barulah akan dihadapinya. Hal ini selain tidak
terlalu melelahkan baginya, juga dia dapat sekali pukul merobohkan orang
terpandai dan otomatis menjadi jagoan nomor satu di dunia!
Diam-diam Bun Houw juga mendongkol sekali mendengar ini, akan tetapi karena
pangeran itu adalah tuan rumah, maka tentu saja dia berhak untuk bicara kepada
semua tamunya bahkan berhak untuk mengeluarkan peraturan. Maka diapun diam saja.
Dia yakin bahwa di antara para orang gagah dari golongan bersih tidak akan ada
seorangpun yang sudi untuk memperebutkan julukan yang sombong itu dan tidak akan
ada yang mau menentangnya karena mereka semua melihat bahwa dia maju untuk
menentang pangeran pemberontak itu. Maka, dia hanya ingin tahu tokoh golongan
hitam yang mana yang akan maju. Dia akan menghadapi mereka semua, karena memang
tugasnya bersama keluarga Cin-ling-pai ini membantu Pangeran Hung Chih untuk
menumpas persekutuan hitam yang akan memberontak terhadap pemerintah di bawah
pimpinan pangeran muda ini.
Akan tetapi, ternyata dari golongan hitampun tidak ada yang berani maju! Setelah
mereka semua tadi menyaksikan betapa Cia Bun Houw mampu merobohkan dua orang
dari Lam-hai Sam-lo, para tokoh hitam menjadi gentar sekali dan tidak ada
seorangpun yang berani lancang, maju menghadapi pendekar Cin-ling-pai yang
selain sudah terkenal sekali, kelihaiannya itupun bahkan sudah mereka saksikan
sendiri betapa hebat sepak terjangnya ketika mengalahkan Hai-liong-ong dan Kim-
liong-ong tadi. Maka mereka ingin sekali melihat sang pangeran itu sendiri yang
menghadapi pendekar Cia Bun Houw. Mereka tahu bahwa pangeran muda itu memiliki
ilmu kepandaian tinggi, bahkan telah mengalahkan banyak tokoh-tokoh besar dunia
persilatan, telah berani menantang tokoh-tokoh Siaw-lim-pai malah! Maka, menurut
pendapat mereka, hanya pangeran itulah yang patut untuk menghadapi pendekar Cin-
ling-pai itu. "Pangeran saja yang maju!" tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara mereka.
Seruan ini seperti menyinggung semua perasaan para tamu golongan hitam maka
bisinglah tempat itu dan semua orang menyatakan agar pangeran yang mau
menandingi pendekar Cin-ling-pal itu! Selain mereka menganggap bahwa pangeran
muda ini lawannya, juga mereka semua ingin menyaksikan pertandingan yang tentu
akan berlangsung amat hebatnya itu.
Diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa kecewa. Kenapa tidak ada jagoan lagi
yang berani maju" Apakah orang-orang yang akan dihimpunnya dan dijadikan
pembantu-pembantunya itu hanya terdiri dari orang-orang yang begitu penakut"
Melihat ini, Hai-liong-ong Phang Tek lalu berkata, "Harap paduka pangeran
sendiri yang maju menghadapi Cia-taihiap karena agaknya tidak ada lagi yang
sanggup." Memang kakek inipun ingin melihat sang pangeran merobohkan pendekar
yang telah membikin dia dan adiknya kewalahan dan mendapatkan malu itu dan dia
yang telah tahu akan kelihaian pangeran, merasa yakin bahwa pangeran muda itu
akan sanggup merobohkan lawan tangguh ini.
Ceng Han Houw tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas sehingga suara
bising itupun berhenti. Kemudian terdengar suaranya lantang dan halus, "Pendekar
Cia Bun Houw adalah paman dari isteriku, maka bagaimanapun juga kami masih
terhitung keluarga dekat dan tentu saja tidak sepatutnya kalau aku sebagai mantu
keponakan maju melawannya. Akan tetapi, seperti kita semua ketahui, dalam ilmu
silat tidak harus memandang hubungan apapun, dan untuk menentukan siapa yang
lebih lihai tidak ada jalan lain kecuali mengadu kepandaian silat. Dan sudah
jelas bahwa Cia-taihiap merupakan calon tunggal, maka biarlah saya akan
melayaninya untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul. Tentu saja
saya mengharapkan kelonggaran hati Cia-taihiap dengan memandang muka isteriku!"
Kalimat terakhir ini ditujukan kepada Cia Bun Houw.
Bun Houw memandang tajam, lalu berkata, "Kalau engkau berhasrat untuk menjadi
jagoan nomor satu di dunia, nah, majulah pangeran. Aku ingin mengukur sampai di
mana kelihaian jagoan nomor satu di dunia!"
Dua orang itu telah saling berhadapan dan siap untuk saling serang. Semua mata
tertuju ke arah mereka dan semua hati merasa tegang karena mereka semua maklum
bahwa sekali ini tentu akan terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat.
Bahkan Yap In Hong yang baru saja datang dan duduk di kursinya kini memandang
dengan jantung berdebar tegang, lalu berbisik-bisik dengan kakaknya, Yap Kun
Liong untuk mengatur siasat yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Bagaimanapun juga, Yap In Hong tidak menganggap pertandingan itu sebagai pibu,
maka diapun siap membantu suaminya andaikata suaminya terancam bahaya.
Juga Sin Liong yang sudah tiba di luar ruangan itu bersama Bi Cu, menyelinap di
antara penonton, di bagian paling belakang sehingga tidak nampak jelas dari
dalam, sambil memegang tangan Bi Cu mereka berdua nonton dengan hati tegang
pula. Tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda dan dara yang baru datang ini,
karena semua orang mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang pria yang
saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago dalam medan laga.
Pangeran yang mengenakan pakaian indah, dengan mantel dan topi bulu itu nampak
gagah dan tampan sekali, bulu burung yang menghias topinya berwarna merah biru
dan kuning emas. Senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya dan dia sedikitpun
tidak memperlihatkan wajah gentar, berseri-seri dan sikapnya menunjukkan bahwa
dia percaya penuh akan keunggulannya. Pendekar Cia Bun Houw yang berdiri di
depannya merupakan seorang laki-laki gagah yang berpakaian dan bersikap
sederhana dan keren, sepasang matanya tajam penuh wibawa dan dia menanti
serangan lawan dengan tenang.
"Pangeran...!" Ketegangan itu melunak dan Pangeran Ceng Han Houw menoleh, memandang kepada
isterinya yang tadi memanggilnya dengan suara halus dan menggetar. Dilihatnya
wanita cantik itu memandang kepadanya dan sepasang mata yang indah itu agak
kemerahan dan basah. "Pangeran, ingatlah bahwa dia adalah pamanku..." kata Ciauw Si, hatinya merasa
bingung dan tegang sekali. Wanita ini tahu benar betapa lihainya suaminya. Dia
telah menguji sendiri kehebatan suaminya itu dan dia bahkan mempunyai keyakinan
bahwa pamannya itu sekalipun tidak akan dapat mengalahkan Pangeran Ceng Han
Houw, maka kekhawatirannya tertuju kepada pamannya sehingga dia merasa perlu
untuk mengingatkan suaminya yang berarti minta suaminya agar jangan menurunkan
tangan keras kepada adik ibunya itu.
Ceng Han Houw tersenyum bangga. Perkataan isterinya itu, walaupun diucapkan
perlahan, namun karena suasana sedang tegang dan amat sunyi, ucapan itu
terdengar oleh semua orang dan ucapan isterinya itu saja sudah mengangkatnya
tinggi-tinggi di atas pendekar sakti yang akan menjadi lawannya. Isterinya minta
agar dia berlaku murah kepada pendekar itu, berarti bahwa isterinya menyatakan
kepada semua orang bahwa dia lebih unggul daripada pendekar Cin-ling-pai itu!
"Jangan khawatir isteriku, ini hanya sebuah pibu, bukan perkelahian, tentu saja
aku tidak akan berani kurang ajar dan menyakiti paman sendiri!" jawab Ceng Han
Houw sambil tersenyum lebar.
Bukan main panas rasa hati Bun Houw mendengar ucapan pangeran itu. Dia merasa
direndahkan, dipandang ringan sekali di depan para tokoh kang-ouw. "Pangeran,
luka atau mati sudah jamak terjadi dalam pibu. Nah, kausambutlah ini!" Karena
tidak ingin membiarkan pangeran itu berlagak lebih lanjut, Bun Houw sudah
mengirim serangan dengan pukulan tangan kiri yang ditamparkan ke arah leher
lawan, tamparan yang kelihatannya sembarangan dan ringan saja akan tetapi
sesungguhnya tamparan itu merupakan serangan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat
ampuh. "Harap Cia-taihiap jangan bersikap sungkan lagi," kata sang pangeran yang
menghadapi serangan itu masih sempat bicara, sambil mengelak dengan amat
mudahnya, seolah-olah dengan ucapannya itu dia menegur pendekar Cin-ling-pai itu
bahwa serangannya terlalu lemah dan terlalu sungkan!
Tentu saja Cia Bun Houw dapat merasakan sindiran ini dan diapun lalu mulai
menggerakkan tubuhnya dengan cepat, mengerahkan sin-kang di kedua tangannya dan
pendekar inipun menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia dapat menduga bahwa
pangeran ini bukan sekadar omong kosong atau sombong belaka, melainkan sungguh-
sungguh memiliki kepandaian yang tinggi, maka begitu bergerak, Bun Houw sudah
menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang ampuh itu, dan kedua
lengannya mengandung tenaga dari Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat dan
kuat. Setiap gerakannya mendatangkan angin pukulan yang amat mantep sehingga
setiap kali dielakkan lawan, jari-jari tangannya seolah-olah tergetar ketika
pukulan ditahan, seperti ujung pedang saja!
Gembira sekali rasa hati Han Houw. Inilah yang selalu dinanti-nantikannya. Yaitu
menandingi seorang pendekar yang sudah mencapai puncak ketenarannya, dan
kemudian mengalahkannya! Kemenangan seperti ini akan jauh lebih menyenangkan dan
nikmat daripada melawan tokoh-tokoh biasa saja. Dan kalau saja dia dapat
mengalahkan pendekar dari Cin-ling-pai ini di depan penyaksian demikian
banyaknya orang kang-ouw, sekali ini namanya tentu akan meningkat tinggi dan dia
selain berhak memakai gelar Thian-he Te-it Tai-hiap (Pendekar Sakti Nomor Satu
di Kolong Langit), juga dengan sendirinya dia akan menduduki kursi Bengcu
(Pemimpin Rakyat) dan akan mudah menghimpun dan mengerahkan tenaga orang-orang
dunia kang-ouw untuk niatnya menentang kaisar! Dialah yang patut menjadi kaisar,
bukan Kaisar Ceng Hwa yang sekarang, bukan pula Pangeran Hung Chih. Dialah yang
paling tepat menjadi kaisar! Dan dia merasa yakin akan dapat mengalahkan
pendekar Cin-ling-pai ini, sungguhpun dia maklum bahwa untuk itu dia harus
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Dua orang pria yang berilmu tinggi itu kini bertanding dengan seru. Mata semua
tamu ditujukan untuk mengikuti pertandingan itu, dengan pandang mata penuh
ketegangan dan kekaguman dan hampir tak pernah ada yang berkedip, seolah-olah
merasa sayang untuk melewatkan sedikit gerakan tanpa mereka ikuti dengan
seksama. Memang hebat sekali mereka itu. Setiap pukulan mendatangkan angin keras
dan merupakan pukulan yang ampuh, dapat menghancurkan batu karang. Namun, setiap
serangan dapat dihindarkan masing-masing dengan indah pula, kalau tidak mengelak
dengan gerakan cepat dan tepat, tentu ditangkisnya dan setiap kali dua lengan
mereka saling bertemu, semua orang dapat merasakan pertemuan dua tenaga dahsyat.
Suara "dukk!" yang keras dari bertemunya dua lengan itu seolah-olah menggetarkan
sekeliling tempat itu, dan seolah-olah terasa oleh mereka yang menonton sehingga
makin lama suasana menjadi semakin menegangkan, apalagi karena nampaknya kedua
fihak sama kuatnya dan setiap kali mereka beradu tenaga, keduanya tergetar namun
dapat saling mempertahankan sehingga tidak sampai terhuyung.
Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan oleh kaki tangan Bun Houw adalah ilmu
yang amat tinggi dan memiliki dasar yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh Bun
Houw tanpa kesalahan sedikitpun dan didorong pula oleh tenaga sin-kang dari
Thian-te Sin-ciang, maka amatlah sukarnya menandingi gerakan Bun Houw seperti
itu. Ceng Han Houw, biarpun masih muda, maklum akan lihainya lawan, maka biarpun
sikapnya seperti memandang ringan, dan senyumnya tak pernah meninggalkan
wajahnya, akan tetapi sebetulnya dia berhati-hati sekali dan dia menggerakkan
tubuhnya dan bersilat dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti
Menaklukkan Naga), yaitu satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-
kitab Bu Beng Hud-couw. Akan tetapi, untuk menghadapi langkah-langkah dari Ilmu
Silat Thai-kek Sin-kun yang amat indah dan ampuh itu, diapun harus mempergunakan
langkah-langkah Pat-kwa-po yang juga amat rapi sehingga dia mampu menghindarkan
diri dari setiap kurungan yang diciptakan oleh desakan serangan bertubi-tubi
dari lawannya. Bahkan pangeran ini mampu pula untuk membalas sehingga mereka
berdua bertanding dengan amat rapi dan serunya, masing-masing tidak mau
mengalah. Biarpun mereka berdua tidak memperlihatkan kemarahan atau mengeluarkan
seruan-seruan yang mengejutkan, namun, dari gerakan mereka berdua, para tokoh
kang-ouw yang menjadi penonton itu maklum bahwa kedua orang itu tidak lagi
melakukan pibu biasa sekedar untuk mengukur kepandaian masing-masing, melainkan
berkelahi dengan amat hebatnya, setiap serangan merupakan tangan maut yang haus
darah, dan setiap jurus yang dipergunakan telah diperhitungkan masak-masak
sehingga merupakan jurus yang ampuh.
Diam-diam Yap In Hong dan Yap Kun Liong, dua orang pendekar yang tingkat
kepandaiannya sudah tinggi sekali, tidak banyak selisihnya dengan tingkat
kepandaian Cia Bun Houw, menjadi terkejut bukan main menyaksikan kelihaian
pangeran itu. Beberapa kali pendekar sakti Yap Kun Liong memuji dalam hatinya
melihat betapa pangeran itu dapat menghadapi desakan-desakan yang amat berbahaya
dari adik iparnya itu. Apalagi ilmu langkah sakti Pat-kwa-po yang dimainkan oleh
pangeran itu, sehingga langkah-langkah kakinya teratur rapi dan dapat
dipergunakan untuk menyelamatkan diri terhadap setiap desakan, mengingatkan dia
akan ilmunya sendiri, yaitu Pat-hong Sin-kun yang langkah-langkahnya juga
berdasarkan rahasia Pat-kwa (Delapan Segi). Diam-diam dia harus mengakui bahwa
menghadapi pangeran itu bukanlah hal yang ringan, dan dia sendiri pun tidak
berani memastikan bahwa dia akan menang kalau menghadapi pangeran muda yang
telah menjadi suami dari anak tirinya itu. Yap In Hong juga merasa khawatir,
karena diapun dapat merasakan bahwa menghadapi pangeran itu, dia sendiri tidak
akan mampu menang, dan suaminya agaknya tentu harus menggunakan seluruh
kepandaian dan waktu yang tidak singkat untuk dapat mengatasi pangeran yang
biarpun masih muda namun sudah amat hebat itu. Teringatlah dia akan Sin Liong
dan dia membandingkan pangeran ini dengan Sin Liong. Diam-diam dia merasa heran
dan kagum bagaimana orang-orang yang masih muda itu telah memiliki kepandaian
sehebat itu. Mereka sudah saling serang selama seratus jurus dan belum ada
seorangpun di antara mereka yang menang atau kalah, bahkan belum ada yang nampak
terdesak. Diam-diam Yap In Hong mengerutkan alisnya. Ilmu silat tangan kosong
dari pangeran itu memang kuat bukan main. Kenapa suaminya tidak mengajakanya
bertanding menggunakan senjata saja" Mungkin kalau bersenjata, suaminya akan
dapat lebih unggul, karena ilmu pedang suaminya amat hebat. Dan memang demikian
pula pendapat Bun Houw. Akan tetapi, lawannya hanyalah seorang pemuda, dan tuan
rumah pula dan dia seorang tokoh Cin-ling-pai, bagaimana mungkin dia sudi
menggunakan senjata kalau lawannya itu hanya bertangan kosong saja" Dan sebelum


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanding tangan kosong selesai lalu menantang mengadu senjata, hal itu sama
artinya dengan merasa kewalahan dalam pertandingan tangan kosong itu! Dia merasa
serba salah dan diam-diam diapun kagum bukan main karena mengertilah pendekar
ini bahwa tingkat kepandaian pangeran muda itu sungguh-sungguh luar biasa,
bahkan masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sendiri. Selama hidupnya,
baru sekarang inilah Cia Bun Houw merasa bertemu tanding yang amat kuatnya.
"Hehhh!" Cia Bun Houw membentak dan dia mengirim tamparan dengan Ilmu Thian-te
Sin-ciang sambil mengerahkan seluruh tenaga. Kedua tangannya menyambar dari
kanan dan kiri, mengirim tamparan-tamparan yang sampai mengeluarkan suara
bercuitan saking cepat dan kuatnya. Melihat ini, Ceng Han Houw melangkah mundur
dua tindak, ketika lawannya mengejar dengan langkah ke depan sambil melanjutkan
tamparan-tamparan itu, dia sudah menangkis dengan membuang lengan dari dalam
keluar, ke kanan kiri. "Dukk! Dukk!" Untuk ke sekian kalinya, keduanya tergetar hebat karena sekali ini masing-masing
mengerahkan seluruh tenaga mereka sehingga getaran itu terasa sekali sampai ke
jantung mereka. Keduanya terkejut karena keadaan mereka sungguh amat berbahaya.
Kurang kuat sedikit saja tentu jantung mereka akan terguncang dan setidaknya
mereka akan mengalami luka dalam yang hebat. Baiknya bagi mereka bahwa tingkat
kekuatan sin-kang mereka berimbang sehingga keduanya mengalami getaran seperti
itu. Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut bukan main. Sekarang dia baru percaya bahwa
tokoh Cin-ling-pai ini memang hebat sekali. Pantas saja dahulu Pek-hiat Mo-ko,
suami Hek-hiat Mo-li, sampai tewas di tangan pendekar ini. Mulailah dia merasa
khawatir. Baru pendekar ini saja, sudah begini lihainya, apalagi kalau sampai
semua keluarga Cin-ling-pai maju! Padahal, menurut pendengarannya, isteri
pendekar ini, Yap In Hong, memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan
suaminya, dan bahwa Yap Kun Liong, ayah tiri dari Ciauw Si, juga memiliki ilmu
yang malah lebih matang dan lebih banyak macam ragamnya dibandingkan dengan
pendekar Cia Bun Houw ini. Semua itu telah didengarnya dari penuturan isterinya.
Dia harus dapat mengalahkan pendekar ini lebih dulu sebelum menghadapi yang
lain-lain, kalau memang mereka itu nanti akan maju pula.
Tiba-tiba pangeran muda itu mengeluarkan teriakan lantang dan terkejutlah Bun
Houw ketika melihat betapa lawannya itu mendadak berjungkir balik, dengan kepala
di bawah menjadi kaki dan kedua kakinya di atas, kemudian kaki dan tangan itu
melakukan serangan-serangan dari atas dan bawah secara tangkas sekali dan yang
lebih hebat daripada itu, serangan-serangan dari kaki dan tangan itu mengandung
tenaga yang lebih dahsyat daripada tadi ketika pemuda bangsawan itu masih
berdiri di atas kedua kakinya! Memang itulah hebatnya ilmu simpanan dari
Pangeran Ceng Han Houw. Ilmu inilah yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw,
yang bernama Hok-mo Sin-kun dan memang dia telah melatih diri dengan samadhi
atau siulian yang juga dilakukan dengan berjungkir balik sehingga dia memperoleh
sin-kang yang lebih kuat daripada kalau dia berdiri di atas kedua kakinya!
Bun Houw cepat menangkis dan mengelak dan kembali dia terkejut bukan main karena
selain tangkisan itu membuat lengannya terpental ketika bertemu dengan kaki
lawan, juga dari bawah kedua tangan lawannya mengirim pukulan-pukulan dahsyat
yang amat berbahaya sehingga dia terpaksa melompat dan berjungkir balik ke
belakang! Kesempatan itu dipergunakan oleh Ceng Han Houw untuk membentak nyaring
sekali dan tubuhnya sudah melesat ke depan, tahu-tahu dia sudah membalikkan
tubuhnya lagi dan dia mendesak Bun Houw yang masih belum hilang kagetnya. Kini
dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, pangeran itu menusuk ke
arah kedua mata lawan, sedangkan kaki kanannya diangkat, menggunakan lutut untuk
menghantam perut. Ketika Bun Houw yang terdesak itu mengelak ke belakang, tangan
kiri pangeran itu menghantam ke arah muka.
"Hiaaattt...!" Pangeran itu mendesak dan bermaksud merobohkan Cia Bun Houw.
"Ehhh...!" Bun Houw cepat melempar tubuh ke belakang dan kembali dia berjungkir
balik sampai berturut-turut tiga kali. Gerakannya ini hebat sekali dan dia
berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut. Para tokoh kang-ouw yang menonton
pertandingan itu juga ikut merasa terkejut. Biarpun gerakan pendekar Cin-ling-
pai itu amat indah dan cepat, dan sudah membuat pendekar itu berhasil
menghindarkan diri, namun harus diakui bahwa pendekar itu tadi terdesak hebat
dan nyaris celaka! Sebelum Ceng Han Houw yang merasa penasaran karena serangannya yang hampir
berhasil tadi pada saat terakhir gagal dapat menggunakan ilmunya yang aneh lagi,
tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Ceng Han Houw, akulah lawanmu!" Nampak
bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan pangeran itu telah berdiri seorang
pemuda remaja yang bukan lain adalah Sin Liong! Semua orang terkejut, baik dari
golongan hitam maupun golongan bersih memandang heran. Bukankah Sin Liong ini
adalah pemuda yang tadi diperkenalkan oleh pangeran itu sebagai adik angkatnya,
bahkan diakui sebagai pembantu utamanya" Kenapa sekarang pemuda itu malah muncul
dan menantang pangeran itu"
Peristiwa ini memang amat mengejutkan dan mengherankan. Bun Houw sendiri sampai
terkejut dan terheran, sehingga diapun hanya berdiri di pinggir dan tidak dapat
berkata apapun. Dia masih terkejut oleh serangan-serangan aneh dan hebat dari
pangeran itu tadi, dan kini melihat munculnya Sin Liong secara tiba-tiba yang
menantang pangeran itu, sungguh membuat dia termangu dan tidak mengerti harus
berbuat atau berkata apa. Semua tamu yang menjadi bengong memandang dengan hati
semakin tegang. Lie Ciaw Si sampai bangkit dari tempat duduknya dan memandang
khawatir, akan tetapi dia bertemu dengan sinar mata ibunya dan kembali dia duduk
serba salah. Yap In Hong tersenyum dan Yap Kun Liong juga tersenyum. Pendekar
ini sudah mendengar penuturan singkat dari adiknya tentang sepak-terjang Sin
Liong di belakang istana, dan diam-diam dia merasa kagum sekali. Tadi ketika dia
menyaksikan serangan pangeran itu yang aneh, dengan cara membalik tubuh, dia
tidak merasa heran. Memang dia tahu bahwa di antara kaum sesat banyak terdapat
ilmu-ilmu yang aneh dan sifatnya sesat pula, akan tetapi sebagian besar dari
ilmu-ilmu hitam itu hanya kelihatannya saja menggiriskan, akan tetapi sebetulnya
tidak mengandung dasar yang kuat. Maka terkejutlah dia ketika ilmu yang
dipergunakan oleh pangeran itu tadi telah membuat Bun Houw terdesak hebat dan
nyaris kena dipukul. Maka legalah hatinya melihat adik iparnya itu mampu
membebaskan diri. Dia tadi melihat betapa adik kandungnya sudah bangkit dari
tempat duduknya, siap untuk menolong suaminya yang terdesak, bahkan dia
sendiripun sudah siap untuk turun tangan. Kini, melihat munculnya Sin Liong, dia
menjadi ingin sekali melihat apakah pemuda yang telah dipilih oleh ketua Cin-
ling-pai sebagai pewaris Thi-khi-i-beng ini benar-benar sehebat seperti yang
tadi dia dengar dari adiknya. Diam-diam dia menyangsikan cerita adiknya. Dia
membandingkan keadaan Sin Liong dengan keadaannya sendiri. Mungkinkah bocah itu
dapat mengumpulkan ilmu-ilmu sehebat itu, melebihi In Hong, dia sendiri, atau
Bun Houw" Rasanya tidak mungkin! Bukankah bocah itu hanya mewarisi ilmu-ilmu
yang sesungguhnya merupakan ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai dan dari Kok
Beng Lama" Jadi, tiada bedanya dengan kepandaian Bun Houw" Dan tidak mungkin
pemuda ini dapat memainkan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai atau pemberian mendiang
Kok Beng Lama lebih baik daripada permainan Bun Houw. Andaikata ada perbedaannya
karena bocah itu kabarnya diwarisi Ilmu Thi-khi-i-beng oleh mendiang Cia Keng
Hong kelebihan itupun sebetulnya tidak banyak artinya. Dia sendiripun ahli Thi-
khi-i-beng, akan tetapi dia tidak berani menyatakan bahwa dia lebih lihai
daripada Bun Houw dan dia sendiri masih sangsi apakah dapat mengalahkan pangeran
itu. Dan latihan dari Sin Liong tentu sekali belum matang. Biarpun demikian, ada
harapan dalam hati pendekar Yap Kun Liong ini bahwa siapa tahu, mungkin saja Sin
Liong menemukan sesuatu yang hebat, yang melebihi dia atau Bun Houw. Buktinya,
bukankah pemuda itu dapat merobohkan dan mengalahkan pengeroyokan Hek-hiat Mo-li
dan Kim Hong Liu-nio" Dan bukankah pangeran itupun seorang yang masih amat muda
namun telah menemukan ilmu yang aneh dan amat hebat"
Orang yang paling terkejut dan merasa penasaran adalah pangeran itu sendiri.
Melihat munculnya Sin Liong yang datang-datang menantangnya, dia terkejut bukan
main. Cepat matanya mencari-cari keluar dan dia dapat melihat Bi Cu berdiri di
luar dalam keadaan sehat dan selamat. Seketika jantungnya berdebar tegang dan
hatinya merasa tidak enak. Apa yang telah terjadi dengan suci dan subonya"
Mereka itu bertugas menjaga Bi Cu, akan tetapi mengapa kini Bi Cu telah keluar
dan muncul pula Sin Liong" Jantungnya makin berdebar khawatir ketika dia menduga
bahwa jangan-jangan sucinya dan subonya telah dirobohkan oleh Sin Liong!
Melihat pangeran itu memandang ke arah Bi Cu, kemudian seperti orang mencari-
cari dengan matanya, Sin Liong berkata. "Tidak perlu kaucari lagi dua iblis
betina itu, mereka sudah melayang ke neraka!"
Wajah Han Houw berubah agak pucat, akan tetapi dia lalu menatap wajah Sin Liong
dengan kebencian yang besar. Memang sejak dahulu dia membenci pemuda ini,
membencinya karena timbul dari perasaan iri hati! Sejak Sin Liong masih kecil,
ketika menjadi tawanan kim Hong Liu-nio, dia melihat pemuda yang masih anak-anak
itu demikian berani dan amat gagahnya, hal ini membuat dia kagum sekali, akan
tetapi juga mendatangkan rasa iri yang pertama kalinya. Kemudian, ketika dia
mendengar bahwa bocah yang berwatak gagah itu adalah putera seorang pendekar
besar, cucu ketua Cin-ling-pai, irinya menjadi makin besar. Di samping rasa iri
ini memang ada rasa suka sehingga dia mengambil Sin Liong sebagai saudara
angkat. Akan tetapi semua sifat-sifat baik dari Sin Liong merupakan siksaan
baginya dan membuat perasaan iri hati itu makin menjadi-jadi. Melihat Sin Liong
begitu kuat terhadap wanita, tidak mudah tunduk kepada nafsu, membuat dia
melihat betapa dia sendiri amat lemah terhadap wanita dan hal inipun menimbulkan
iri pula. Kemudian, melihat kepandaian Sin Liong yang melebihi dia, iri hatinya
makin memuncak sehingga beberapa kali dia sudah hendak membunuh pemuda itu.
Kebenciannya amat mendalam, dan sekarang, melihat Sin Liong membangkang terhadap
dia, tidak mau menjadi pembantunya, bahkan menentang dan membunuh sucinya dan
subonya, kebencian yang meracuni hati Ceng Han Houw membuat dia memandang dengan
muka beringas. Akan tetapi, dasar dia amat cerdik, maka dia dapat menekan
perasaannya itu dan tiba-tiba saja pangeran itu tertawa. Semua orang terkejut
melihat wajah beringas itu, dan terheran-heran mendengar betapa pangeran yang
Srigala Iblis 1 Pengemis Binal 20 Asmara Putri Racun Sepasang Rajawali 2
^