Pencarian

Pendekar Lembah Naga 31

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 31


nampak marah itu tiba-tiba malah tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, Cia Sin Liong! Akhirnya, engkau sendiri yang membuka rahasiamu!
Jadi engkau hendak membela ayahmu yang sudah hampir kalah?"
Ucapan ini tentu saja mengejutkan hati semua keluarga Cin-ling-pai, terutama
sekali Cia Bun Houw. Sedangkan Ciauw Si mengerutkan alisnya dan dia merasa heran
menyaksikan perubahan sikap suaminya seperti itu.
"Pangeran Ceng Han Houw! Tak perlu banyak cakap lagi, marilah kau mulai. Akulah
lawanmu, bukan untuk memperebutkan sebutan jagoan atau apa, melainkan untuk
memperebutkan kebenaran, untuk membereskan semua perhitungan antara kita yang
sudah bertumpuk-tumpuk selama ini! Hayo, kalau memang engkau seorang jantan dan
jangan selalu menggunakan kecurangan yang licik!"
"Hei, Liong-te, lupakah engkau bahwa engkau telah mengangkat sumpah menjadi adik
angkatku?" "Cukup! Sumpah itu berkali-kali kaulanggar sendiri dan beberapa kali engkau
hendak mencelakakan aku, dan berkali-kali mengganggu Bi Cu. Kita bukan saudara
angkat lagi, melainkan musuh-musuh besar!"
"Hemm, bukankah engkau masih saudara misan langsung dari isteriku" Isteriku
adalah puteri pendekar wanita Cia Giok Keng keturunan langsung dari locianpwe
Cia Keng Hong, sedangkan engkau juga keturunan langsung dari beliau karena
engkau putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw...?"
"Tutup mulutmu yang kotor!" tiba-tiba terdengar pendekar sakti Cia Bun Houw
membentak dari pinggiran karena pendekar ini marah sekali mendengar ucapan
terakhir yang mengatakan bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya itu.
Pangeran itu tertawa. "Ha-ha, memang dirahasiakan, hemm seluruh dunia kang-ouw
mengira bahwa para pendekar Cin-ling-pai adalah orang-orang gagah sejati yang
suci murni. Akan tetapi..."
"Pangeran...!" Tiba-tiba Lie Ciauw Si berseru dan pangeran itu menoleh kepada
isterinya. "Si-moi, aku tidak berdaya. Lihat, mereka semua memusuhi aku, aku maka terpaksa
aku harus membela diri dan membalas. Aku dikeroyok oleh mereka semua, keluarga
Cin-ling-pai yang gagah dan suci ini, apakah engkau tidak hendak membelaku dan
juga hendak berfihak dengan mereka mengeroyokku sekalian?"
Melihat sinar mata penuh duka dan marah dari suaminya, Ciauw Si menunduk, baru
sekarang dia melihat betapa suaminya memang memiliki watak yang curang dan
licik, apalagi ketika dia melihat betapa Bi Cu ditawan untuk memaksa Sin Liong
dan kini betapa suaminya itu hendak membongkar rahasia pamannya. Akan tetapi,
betapapun juga, dia mencinta suaminya itu! Baik atau buruk pria itu adalah
suaminya, satu-satunya pria di dunia ini yang telah memilikinya lahir batin,
memiliki tubuhnya, cintanya. Mana mungkin dia akan menentang orang yang
dicintainya" Tentu saja kalau suaminya itu hendak memberontak, hendak melakukan
hal-hal yang jahat, dia tidak akan mau membantunya. Namun, apapun yang dilakukan
oleh suaminya itu, dia menilainya bukan sebagai kejahatan, melainkan hanya
sebagai kelemahan batin suaminya yang ingin mencapai kedudukan tertinggi. Maka
kini, melihat betapa suaminya menentang keluarganya sendiri, diapun diam saja,
hanya merasa betapa hatinya tertekan dan terasa sengsara sekali.
"Ceng Han How, manusia pengecut, hayo majulah untuk menentukan siapa di antara
kita yang akan mati dan siapa yang boleh hidup terus!" Sin Liong sudah menantang
lagi. Han Houw tersenyum. "Sin Liong, aku sudah cukup mengenalmu lahir batin. Aku tahu
bahwa engkau tidak akan menyerang seorang yang tidak mau melawan, dan sebelum
aku habis bicara, aku tidak akan melawanmu dan boleh engkau memukul mampus
padaku!" Kemudian pangeran ini memandang ke sekeliling dan suaranya meninggi
sehingga terdengar oleh semua orang, "Cu-wi, cu-wi telah menyaksikan sendiri
bagaimana sifat dan watak orang-orang Cin-ling-pai. Sudah jelas bahwa cucu
wanita ketua Cin-ling-pai telah dengan suka rela menjadi isteriku yang tercinta,
namun keluarga yang agung itu tidak mau menerima kenyataan ini, soolah-olah
mereka merasa sebagai keluarga yang terlalu bersih, terlalu tinggi dan terlalu
agung untuk menerima aku sebagai anggauta keluarga mereka! Padahal, siapakah
yang tidak tahu akan segala rahasia busuk mereka" Tentang petualangan-
petualangan cinta keturunan mereka" Dan yang terakhir, mereka malah merahasiakan
adanya seorang keturunan gelap, seorang anak haram yang terlahir di antara
mereka. Inilah anak itu, Cia Sin Liong, yang terlahir dari seorang ibu yang
sengsara karena setelah mengandung dia, wanita itu tidak dinikah dan
ditinggalkan begitu saja oleh seorang pria yang mengaku sebagai pendekar gagah
perkasa dan suci, Cia Bun Houw!"
"Keparat jahanam!" Cia Bun Houw tak dapat menahan kemarahannya. "Buktikan
tuduhanmu itu, kalau tidak... aku bersumpah untuk menghancurkan mulut busukmu!"
Kini Pangeran Ceng Han Houw tidak tersenyum lagi, melainkan memandang ke arah
Cia Bun Houw dengan sinar mata menantang. "Cia Bun Houw, engkau masih hendak
berlagak sebagai seorang yang bersih dan gagah" Tidak perlu aku banyak bicara,
kalau engkau hendak melihat bukti dari perbuatanmu yang rendah dan hina itu,
tanyalah Cia Sin Liong ini sendiri! Tanyakan apakah dia bukan anak kandungmu!"
Karena dia masih merasa bersih dan melihat tidak mungkinnya dia mempunyai
seorang anak seperti pemuda ini, Cia Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan
pemuda itu juga sedang memandang kepadanya, hendak melihat apa yang menjadi
reaksi dari ayah kandungnya itu mendengar kata-kata serangan Han Houw.
Mereka saling berpandangan dengan tajam dan penuh selidik, dan akhirnya, dengan
suara penuh penasaran Bun Houw bertanya, suaranya seperti membentak nyaring,
"Sin Liong, benarkah bahwa engkau adalah anak kandungku?"
Sin Liong menelan ludahnya. Sebetulnya, tidak ada keinginan di dalam hatinya
untuk mengakui pendekar ini sebagai ayahnya, dia tidak sudi untuk ikut
membonceng ketenaran nama keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, kekerasan hatinya
itu sebagian besar terdorong oleh kenyataan betapa ayah kandungnya itu telah
meninggalkan ibunya dan telah menikah dengan seorang wanita lain. Ketika dia
melihat Yap In Hong, mula-mula dia merasa benci dan iri. Akan tetapi, begitu Yap
In Hong berhasil menyelamatkan nyawa Bi Cu, seketika pandangannya berubah dan
baru dia tahu bahwa Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa dan
bahwa dia dan Bi Cu berhutang budi kepadanya. Kemudian, dia melihat pembongkaran
rahasia itu oleh Pangeran Ceng Han Houw. Tidak mungkin lagi baginya untuk
menyangkal. Menyangkal berarti membohong dan dia tidak mau membohong. Pula,
memang sudah sepatutnya kalau pendekar itu, yang selamanya terkenal sebagai
seorang pria yang gagah perkasa, ditegur secara hebat seperti ini untuk
perbuatan yang amat kejam terhadap seorang wanita bemama Liong Si Kwi, seorang
wanita yang dilupakan dan ditinggalkan begitu saja di Lembah Naga! Dan di
sinilah tempat itu! Di sinilah dia terlahir, dan di sinilah pula ibunya
meninggal dunia. Ibunya yang telah menumpahkan darah ketika dia terlahir, yang
telah disia-siakan oleh pendekar ini. Sudah selayaknya dan sepatutnyalah kalau
kini pendekar itu menebus dosa, mengakui perbuatannya itu di tempat ini pula, di
mana roh ibunya mungkin masih akan dapat mendengarnya. Pikiran ini mendatangkan
ketegasan dan dia lalu memandang ayah kandungnya itu dengan sinar mata tajam
penuh ketegasan dan dia lalu mengangguk.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Bun Houw melihat Sin Liong
mengangguk, yang berarti membenarkan tuduhan pangeran itu! Kemarahannya kini
berpindah kepada Sin Liong dan dia membentak, "Engkau sudah bersekongkol dengan
pangeran jahat itu untuk menjatuhkan fitnah ini kepadaku!" katanya sambil
menerjang dan memukul Sin Liong dengan kemarahan meluap. Akan tetapi dengari
tenang dan cepat Sin Liong sudah mengelak dari serangan dahsyat itu. Pada saat
itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Yap In Hong telah berada di situ dan
pendekar wanita ini sudah menyentuh pundak suaminya.
"Bersikaplah tenang..." bisik isteri ini kepada suaminya, lalu menambahkan lebih
lirih lagi, "...ingat Si Kwi..."
Bisikan isterinya itu membuat wajah Bun Houw seketika berubah pucat sekali. Dia
terhuyung ke belakang dan menatap wajah Sin Liong. Teringatlah dia sekarang.
Mata dan mulut itu! Tak salah lagi!
"Kau... kau... siapakah engkau...siapa nama ibumu...?"
Melihat munculnya Yap In Hong dan mendengar bisikan tadi, biarpun amat lemah
namun dia dapat pula menangkapnya, Sin Liong lalu menjawab, dan hatinya timbul
ingin tahu sekali rahasia apa yang terjadi di balik hubungan ibu kandungnya dan
pendekar ini, "Mendiang ibuku bernama Liong Si Kwi."
Mendengar ini, Cia Bun Houw memejamkan kedua matanya sejenak. Isterinya yang
juga berdiri di sisinya hanya memandang dengan muka agak pucat, akan tetapi Yap
In Hong adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan tidak cengeng. Dia
sudah tahu akan peristiwa yang terjadi antara suaminya dan Liong Si Kwi (baca
cerita Dewi Maut), maka diapun tidak merasa heran mendengar bahwa Si Kwi telah
mempunyai seorang anak dari suaminya, sungguhpun tentu saja hal itu sama sekali
tidak pernah disangkanya, juga tak pernah disangka oleh suaminya sendiri.
"Ha-ha-ha!" suara ketawa Pangeran Ceng Han Houw memecah kesunyian dan terdengar
suaranya lantang, memang disengaja agar terdengar oleh semua orang. "Bagaimana,
pendekar sakti Cia Bun Houw, apakah engkau masih hendak mengatakan aku menuduh
yang bukan-bukan?" Cia Bun Houw adalah seorang yang gagah perkasa. Dia kini merasa yakin bahwa anak
ini memang anaknya yang lahir dari Liong Si Kwi. Kini mengertilah dia, mengapa
mendiang ayahnya begitu sayang kepada anak ini sehingga dididik, bahkan diwarisi
Thi-khi-i-beng, dan mengapa pula mendiang Kok Beng Lama juga begitu sayang
kepada anak ini! Mungkin dua orang kakek itu telah tahu! Padahal, dua orang
kakek itu sebetulnya tidak pernah diberi tahu, hanya mereka memang suka kepada
Sin Liong. Kini Cia Bun Houw yang sudah merasa kepalang, karena semua orang
kang-ouw telah mendengar tentang hal itu, segera memandang ke arah para tamu dan
berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang.
"Cu-wi, aku Cia Bun Houw bukan seorang pengecut! Setelah mendengar bahwa anak
ini adalah anak kandung seorang wanita yang bemama Liong Si Kwi, maka aku dapat
menerima kenyataan bahwa besar sekali kemungkinan anak ini adalah anakku
sendiri! Akan tetapi, bukan sekali-kali aku pernah menodai Liong Si Kwi lalu
kutinggalkan! Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa dua puluh tahun yang lalu,
ketika aku tertawan oleh mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, guru dari
pangeran curang ini, dua kakek dan nenek iblis itu telah meracuni aku dengan
obat perangsang sehingga aku lupa diri. Dan gadis bernama Liong Si Kwi itu
menolongku dari penjara, maka terjadilah hubungan di luar kesadaranku yang
sedang terbius obat perangsang. Sungguh tidak pernah kuduga bahwa hubungan di
luar kesadaran itu akan menghasilkan anak ini. Baru sekarang aku mendengar dan
mengetahuinya. Namun, dengan berani bertanggung jawab kuakui bahwa Cia Sin Liong
ini adalah puteraku!"
Semua orang kang-ouw merasa kagum akan kegagahan Cia Bun Houw dan biarpun ada
beberapa orang dari golongan hitam yang tidak suka kepada para pendekar
mentertawakan, namun pandangan para tamu terhadap Cia Bun Houw sama sekali tidak
merendahkan lagi. Setelah mengeluarkan kata-kata yang merupakan pengakuan gagah
itu, Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan berkata lirih, "Biarlah pada lain
kesempatan kita bicara tentang ini. Sekarang hadapilah manusia curang ini, dan
kalau benar engkau puteraku, engkau harus dapat mengalahkan dia." Di dalam sinar
mata dan suara itu terkandung rasa suka dan kagum yang membuat dua titik air
mata membasahi mata Sin Liong. Dia mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata,
hanya memandang ayah kandungnya dan ibu tirinya itu meninggalkan gelangang dan
kembali ke tempat duduk mereka. Tiba-tiba Sin Liong merasa hatinya lapang bukan
main dan dihadapinya pangeran itu dengan senyum tenang. "Nah, pangeran. Apakah
engkau sudah siap sekarang, ataukah engkau takut melawan aku" Kalau takut, lebih
baik katakan saja dan kaububarkan semua ini, jangan lanjutkan usahamu untuk
memberontak atau menjadi bengcu, apalagi menjadi jagoan nomor satu di dunia.
Lebih baik ganti julukan itu menjadi penjahat licik dan curang nomor satu di
dunia." Sin Liong sengaja mengeluarkan kata-kata ejekan ini untuk membikin panas hati
Han Houw dan memang dia berhasil. Sebelumnya memang Han Houw sudah merasa
kecewa, menyesal dan marah sekali bahwa serangannya terhadap nama Cia Bun Houw
dan keluarga Cin-ling-pai ternyata sama sekali tidak berhasil karena sikap Cia
Bun Houw yang gagah perkasa mengakui semua itu, bahkan pengakuan pendekar itu
malah melontarkan kejahatan ke alamat mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-
li. Dan baru saja, dari seorang pengawal yang berhasil merangkak dalam keadaan
terluka parah ke tempat itu dia mendengar bahwa memang benar seperti yang
diduganya, Sin Liong berhasil menyelamatkan Bi Cu dan selain membunuhi semua
pengawal yang tiga puluh orang banyaknya itu, juga telah membunuh Hek-hiat Mo-li
dan Kim Hong Liu-nio. Hal ini tentu saja menambah kemarahannya dan semua
kemarahan itu ditumpahkan kepada Sin Liong yang dianggapnya menggagalkan semua
rencananya, orang yang dianggapnya sepatutnya membantunya itu kini malah
menentangnya dan hal ini dianggap suatu pengkhianatan!
"CIA SIN LIONG! Di seluruh dunia ini, agaknya hanya kita berdua yang mewarisi
ilmu rahasia dari Bu Beng Hud- couw, akan tetapi jangan kaukira bahwa karena
engkau yang lebih dulu mempelajari ilmu-ilmu dari guru kita itu lalu kauanggap
dirimu lebih pandai. Ingat, sekali ini aku tidak akan mau mengampuni lagi
nyawamu, kecuali kalau engkau sekarang berlutut dan minta ampun, dan selanjutnya
mau membantuku seperti yang sudah-sudah."
"Sin Liong, kalau engkau menyerah kepadanya, aku selamanya tidak mau mengenalmu
lagi!" Sin Liong menoleh dan memandang ke arah Bi Cu yang berseru itu, dia tersenyum
lalu berkata, "Jangan khawatir, Bi Cu, aku tidak akan..." Akan tetapi terpaksa
Sin Liong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Han Houw dengan
kemarahan meluap telah menubruk dan menyerangnya dengan dahsyat.
Bi Cu sampai berteriak kaget "Curang!" ketika melihat serangam yang dilakukan
dengan mendadak selagi Sin Liong masih menoleh kepadanya itu. Akan tetapi
biarpun kelihatannya Sin Liong menoleh dan lengah, sesungguhnya pemuda ini
selalu waspada karena dia sudah cukup mengenal watak pangeran itu yang curang
sekali. Oleh karena itulah ketika Han Houw menyerang dengan tiba-tiba, dia dapat
dengan cepat menghadapinya, menangkis dengan keras dan balas menyerang. Dalam
waktu singkat, dua orang pemuda yang sama lihainya ini sudah saling serang
dengan hebatnya! Perkelahian yang terjadi sekali ini sungguh amat hebat. Baru belasan jurus saja
semua orang tahu bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu yang sama
tingginya dan sama anehnya, akan tetapi pandang mata Bun Houw, Yap Kun Liong dan
In Hong yang tajam dapat melihat betapa dalam beberapa kali pertemuan lengan,
ternyata bahwa dalam hal sin-kang, agaknya Sin Liong masih menang kuat, terbukti
dari tubuh pangeran itu yang selalu tergetar dan terguncang sedangkan tubuh Sin
Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh adu tenaga itu.
Sin Liong bertanding dengan penuh semangat dan dia mengerahkan seluruh tenaga,
mengeluarkan semua kegesitannya. Dia berkelahi bukan semata-mata untuk dirinya
sendiri, melainkan terutama sekali untuk Bi Cu. Sudah beberapa kali kekasihnya
itu hampir tewas oleh pangeran ini, maka kini dia bertindak mewakili kekasihnya
itu untuk mengenyahkan pangeran jahat ini dari permukaan bumi! Selain itu, juga
dia hendak membela ayah kandungnya yang tadi terdesak oleh pangeran ini dan dia
tahu bahwa kalau dilanjutkan, tentu pendekar sakti Cia Bun Houw itu akan kalah
pada akhirnya. Betapapun juga, dia tidak rela melihat orang yang menjadi ayah
kandungnya itu dibikin malu dan dikalahkan di depan umum. Tadi dia telah
mendengar betapa Han Houw membongkar rahasia ayah kandungnya, dan ketika dia
mendengar jawaban Cia Bun Houw, tahulah dia sekarang! Ayah kandungnya itu sama
sekali tidak bersalah! Bahkan ayah kandung itu tidak tahu bahwa dia dilahirkan!
Juga hubungan antara ayah kandungnya dan ibunya adalah hubungan yang dipaksakan
oleh muslihat yang amat curang dari guru Pangeran Ceng Han Houw! Rasa girang
oleh kenyataan bahwa Cia Bun Houw sama sekali tidak menyia-nyiakan ibunya
bercampur dengan perasaan duka dan pahit bahwa dia sesungguhnya adalah seorang
anak haram, seorang anak yang dilahirkan tanpa ayah, dilahirkan dari ibu yang
tidak dinikah dan dilahirkan sebagai akibat hubungan yang tidak disadari oleh
orang yang menjadi ayahnya! Betapa hal ini menusuk hatinya dan kini dia hendak
memperlihatkan dirinya di depan orang banyak bahwa biarpun dia orang rendah,
anak haram, anak yang tidak mengenal ayahnya, adalah orang yang akan mampu
menundukkan pangeran yang amat lihai itu!
Oleh karena inilah Cia Sin Liong menyerang dengan sepenuh tenaga dan
kemampuannya. Pertama-tama dia mempergunakan San-in Kun-hoat yang dipelajarinya
dari kakeknya, dicampur dengan Thian-te Sin-ciang. Melihat betapa pemuda itu
dapat mengombinasikan dua ilmu ini dengan amat baiknya, para anggauta keluarga
Cin-ling-pai memandang dengan girang dan bangga. Pemuda itu sungguh tahu diri
dan agaknya memang ingin menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai maka dia menghadapi
lawan yang tangguh ini dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Hanya Lie Ciauw Si yang
menonton dengan alis berkerut, muka pucat dan bibirnya gemetar. Dia merasa serba
salah. Dia mengkhawatirkan keadaan suaminya, akan tetapi perkelahian itu terjadi
dengan adil, satu lawan satu, maka diapun tidak dapat berbuat apapun. Pula, dia
tahu bahwa suaminya berada di fihak salah dan bahwa suaminya sudah memperlakukan
Sin Liong secara keterlaluan. Masih teringat dia betapa Sin Liong yang mengajak
pangeran itu ke selatan untuk mencarl Ouwyang Bu Sek, karena suaminya ingin
mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek itu kepada Sin Liong demikian
yang didengarnya. Dan kini, setelah suaminya itu memperoleh ilmu yang tinggi,
suaminya malah memperlakukan Sin Liong tidak semestinya, hendak memaksa pemuda
itu membantunya dengan jalan menawan Bi Cu. Tak disangkanya bahwa pangeran yang


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dicintanya itu memiliki watak yang demikian curang dan palsu. Baru sekarang
semua watak buruk itu terungkapkan dan dia merasa berduka dan gelisah sekali.
"Hyaaaattt...!" Sin Liong menyerang seperti seekor naga menyambar dari angkasa.
Tangan kanannya menampar dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, dan dia terus
mendesak lawan, kini dia mempergunakan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang ampuh!
Melihat serangan bertubi-tubi yang dahsyat ini, Ceng Han Houw bersikap tenang
dan dia cepat merendahkan diri dengan menekuk lutut kirinya sampai rendah
sekali, kemudian setelah dia mengelak beberapa kali dan menangkis, diapun balas
menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari bawah yang mengarah lambung dan
pusar lawan. Sin Liong maklum akan bahayanya serangan balasan lawan, maka dia
cepat meloncat dan membalikkan tubuhnya, tubuhnya itu dari atas meluncur turun
dan kedua tangannya membentuk cakar naga menyerang dengan cengkeraman maut ke
arah kepala lawan. Namun, dengan gerakan inilah pangeran itu dapat menggulingkan
tubuhnya ke atas lantai dan menghindarkan cengkeraman itu, karena untuk
ditangkis terlalu besar bahayanya baginya. Setelah dia meloncat bangun, dia
memapaki tubuh Sin Liong yang baru turun itu dengan pukulan bertubi-tubi sambil
memutar tubuh. Itulah jurus yang ampuh dari ilmu Hok-liong Sin-ciang (Tangan
Sakti Penakluk Naga). Sin Liong kini terdesak dan pemuda ini berlompatan dan
memutar-mutar tubuhnya pula, gerakannya seperti seekor naga. Memang pantas
sekali Sin Liong diumpamakan sebagai seekor naga sakti dari Lembah Naga, dan
pangeran itu berusaha menaklukkannya. Akan tetapi naga ini hebat bukan main dan
ilmu penakluk naga itu sama sekali tidak mampu mendesak terus, apalagi
menaklukkan. Sin Liong membalas dengan tamparan-tamparan sakti Thian-te Sin-
ciang sehingga desakan pangeran itu membuyar karena pangeran itu harus
melindungi dirinya baik-baik kalau dia tidak mau kepalanya pecah terkena
sambaran tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh. Demikianlah, dua orang pemuda
itu saling serang, saling desak dan keadaan mereka benar-benar seimbang dan sama
cepatnya, sama gesitnya, sama kuat dan sama-sama menguasai semua gerakan mereka
dengan baik. Juga mereka bertanding dengan kemantapan yang membuat setiap
serangan dan tangkisan atau elakan nampak indah sekali. Semua yang menonton
pertandingan itu tiada hentinya memuji, bahkan kaum tua yang sudah berpengalaman
dan menyaksikan pertandingan itu sampai menahan napas saking kagumnya. Tak
pernah mereka sangka bahwa di dunia persilatan muncul dua orang muda yang
memiliki kepandaian sedemikian hebatnya! Mereka berdua itu benar-benar merupakan
tandingan yang seimbang, baik usianya, gagah dan tampannya, dan pandainya. Tadi
ketika pangeran itu melawan Cia Bun Houw, masih terdapat kepincangan karena Cia
Bun Houw adalah pendekar yang dianggap sudah memiliki banyak sekali pengalaman.
Jangankan sampai dapat mendesak atau bahkan hampir mengalahkan pendekar Cin-
ling-pai itu, baru dapat mengimbangi saja sudah amat mengagumkan.
Dengan terdesaknya Cia Bun Houw, semua tamu dari tingkat atas mulai meragukan
keampuhan Cin-ling-pai sebagai partai persilatan yang terkenal sekali, karena
Cia Bun Houw dianggap mewakili Cin-ling-pai dan merupakan jagoan yang paling
ahli dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Akan tetapi, setelah kini Cia Sin Liong
maju, pemuda yang kini dikenal sebagai putera Cia Bun Houw dan yang kini juga
bersilat dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, bahkan kini memainkan Thai-kek Sin-kun
dengan mahirnya, pandangan mereka terhadap Cin-ling-pai sudah naik lagi.
Ternyata Cin-ling-pai masih mempunyai keturunan terakhir yang amat lihai!
Sin Liong memang sengaja hanya memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari
kakeknya dan Kok Beng Lama saja, karena selain dia hendak memperlihatkan bahwa
apa yang dipelajarinya dari dua orang kakek yang disayangnya itu tidak sia-sia
dan dia dapat menjujung nama mereka dengan ilmu-ilmu yang telah diberikannya
kepadanya itu, juga dia tahu benar bahwa selama pangeran itu tidak mainkan ilmu-
ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw, maka dia akan dapat
menanggulanginya dengan ilmu-ilmu pemberian kakeknya dan Kok Beng Lama, bahkan
akan mampu untuk mengalahkannya. Setiap kali pangeran itu menghujankan pukulan,
kadang-kadang dia bahkan menggunakan Thi-khi-i-beng untuk memunahkan semua
serangan, karena dengan Thi-khi-i-beng, pangeran itu tidak berani melanjutkan
serangannya dan setiap kali tangannya melekat dan tersedot, dia menggunakan ilmu
yang pernah diterimanya dari subonya, yaitu ilmu melemaskan diri mengosongkan
tangan yang tertempel sehingga tidak mengandung sin-kang lagi dan mudah
terlepas. "Anak itu hebat sekali, berbakat baik!" Yap Kun Liong memuji. Cia Giok Keng dan
Yap In Hong, yang juga menonton dengan hati tegang, mengangguk membenarkan.
Pangeran Ceng Han Houw sejak tadi memang tidak mengeluarkan ilmu simpanannya,
karena dia menghendaki agar lawannya itu lebih dulu mengeluarkan ilmu-ilmu yang
dipelajarinya dari Bu Beng Hud-couw di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek itu, akan
tetapi alangkah kecewa dan marahnya ketika dia melihat bahwa Sin Liong hanya
mengeluarkan ilmu-ilmu seperti yang dimainkan oleh Cia Bun Houw tadi. Biarpun
permainan Sin Liong dalam hal ilmu-ilmu itu tidaklah sehebat Bun Houw, akan
tetapi karena Sin Liong memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya dan karena Han
Houw tidak atau belum mengeluarkan ilmu-ilmunya yang dirahasiakan, pangeran itu
kewalahan dan kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan kalah. Oleh karena itu,
gagal memancing Sin Liong mengeluarkan ilmu simpanan lebih dulu untuk
dipelajarinya, Ceng Han Houw tiba-tiba mengeluarkan bentakan aneh dan nyaring
dan tiba-tiba tubuhnya sudah menubruk ke depan dan dia sudah mulai mainkan Ilmu
Hok-liong Sin-ciang yang amat ampuh dan yang tadi telah membuat Bun Houw sendiri
terkejut dan kewalahan itu!
Sin Liong sudah berjaga-jaga karena dia sudah selalu waspada. Menyaksikan
perubahan gerak tubuh lawan, dan melihat betapa dahsyatnya angin pukulan yang
menyambar ke arahnya, maklumlah dia bahwa inilah ilmu simpanan yang dipelajari
pangeran itu di dalam gua-gua dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw! Maka diapun
lalu mencondongkan tubuh atas ke belakang, dan dari mulutnya keluar pula
gerengan seperti seekor naga marah dan kedua tangannya membuat gerakan menyilang
dan dari gerakan ini menyambarlah dua angin pukulan bersilang yang selain amat
kuat dan mampu menangkis serangan Han Houw, juga telah menggulung pukulan itu
dan membalas dengan tamparan yang amat kuatnya pula!
"Uhhh!" Ceng Han Houw terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang dan
sejenak dia berdiri memandang dengan mata terbelalak. Para tokoh kang-ouw yang
menonton dengan asyik tidak tahu bahwa ada dua jurus aneh yang berbeda dengan
tadi telah dikeluarkan oleh masing-masing, namun para tokoh Cin-ling-pai yang
tentu saja tadi mengenal gerakan Sin Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu
Cin-ling-pai, kini tahu bahwa pemuda itu telah menggunakan jurus yang amat aneh,
yaitu ketika dia mencondongkan tubuh ke belakang dan kedua tangannya membuat
gerakan menyilang tadi. Dan kini berturut-turut dua orang pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang aneh,
yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengeluarkan bunyi bersiutan dan bahkan
kadang-kadang nampak asap atau uap tebal mengepul dari kedua tangan mereka! Dan
memang pangeran Ceng Han Houw sudah mainkan Hok-liong Sin-ciang dengan penuh
rasa penasaran sedangkan Sin Liong sudah menghadapinya dengan Hok-mo Cap-sha-
ciang! Dan ternyata bahwa semua serangan pangeran itu dapat dibuyarkan, bahkan
ketika Sin Liong membalas, pangeran itu terhuyung-huyung ke belakang!
"Keparat!" pikir Ceng Han Houw dan kembali dia memekik, sekali ini tubuhnya
seperti berubah kaku dan meluncurlah tubuhnya itu ke depan. Dia menyerang bukan
hanya dengan gerakan tangan atau kaki, melainkan dengan tubuh meloncat atau
meluncur ke depan dalam keadaan kaku dan lurus, dan kedua tangan yang di depan
itu terbuka jari-jarinya dan tidak diketahui apakah dia hendak memukul,
menampar, menusuk atau mencengkeram! Ini merupakan satu di antara jurus-jurus
Hok-liong Sin-ciang yang paling lihai.
Sin Liong agak terkejut menghadapi serangan aneh ini. Tubuh pangeran itu seolah-
olah berubah menjadi sebatang tombak raksasa yang dilontarkan ke arah dadanya!
Akan tetapi, kalau tombak, betapapun besarnya, hanya merupakan benda mati saja
dan tentu dapat dihindarkannya dengan mengelak atau menolak dari samping.
Sedangkan yang meluncur ini adalah seorang manusia, dan bukan manusia
sembarangan, melainkan Ceng Han Houw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi,
tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kecurangan yang membahayakan. Maka Sin Liong
tidak mau mengelak, melainkan dia memasang kuda-kuda dengan kuatnya, lalu dia
bergerak melakukan jurus yang ampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menggerakkan
kedua lengan dari bawah ke atas, seolah-olah dia menyedot tenaga bumi dan
langit, kemudian dengan bentakan nyaring dia menyambut luncuran tubuh lawan itu
dengan kedua tangan didorongkan ke depan, dengan jari-jari terbuka. Inilah yang
dinamakan menyambut keras lawan keras dan untuk ini tentu saja diandalkan kepada
tenaga sepenuhnya. Melihat ini, pangeran itu terkejut. Tak disangkanya lawan
akan menggunakan kekerasan. Dia tadinya mengharapkan Sin Liong untuk mengelak
atau menangkis, dan kalau hal itu terjadi, tentu dia akan lebih mudah untuk me-
rubah gerakan tangan dan dengan demikian dia mengharapkan untuk dapat
mengelabuhi dan memukul lawan. Siapa kira, pemuda itu agaknya nekat menyambutnya
dengan kekerasan juga, dengan dorongan kedua tangannya yang disertai pengerahan
tenaga sin-kang! Apa boleh buat, terpaksa pangeran itupun mengerahkan tenaga
pada kedua lengannya dan membuka lengan untuk menyambut atau menahan dorongan
lawan. Dua pasang telapak tangan yang sama kuatnya bertemu di udara dengan tenaga
sepenuhnya. "Desss...!" bukan main hebatnya pertemuan dua pasang tangan itu. Semua tamu
sampai merasa betapa ada hawa pukulan kuat mengguncang mereka dan bumi seperti
tergetar. Akibat dari pertemuan dua telapak tangan itu ternyata merugikan sang
pangeran. Sin Liong terdorong kuda-kuda kakinya sampai satu meter ke belakang,
kakinya terseret dan membuat guratan dalam sampai hampir dua senti di lantai,
sedangkan mukanya berubah pucat. Akan tetapi lawannya, Pangeran Ceng Han Houw,
yang melakukan adu tenaga dengan tubuh masih meluncur, terpelanting dan
terbanting ke atas tanah.
"Pangeran...!" Ciauw Si mengeluarkan seruan kaget.
Akan tetapi Ceng Han Houw yang terbanting itu sudah bergulingan lalu tahu-tahu
dia sudah meloncat bangun, mengeluarkan teriakan nyaring yang aneh, melengking
tinggi dan setelah itu, dia lalu berjungkir balik. Kepalanya yang kini
menggantikan kedudukan kedua kakinya itu berloncatan mengeluarkan suara duk-duk-
duk, kaki tangannya bergerak-gerak dan dia sudah mulai menyerang Sin Liong
dengan ilmu silatnya yang aneh itu, yaitu Hok-te Sin-kun (Silat Sakti
Membalikkan Bumi). Sin Liong yang mengenal ilmu aneh yang amat berbahaya, yang
tadi hampir mengalahkan ayah kandungnya, cepat bersikap hati-hati dan dia tetap
mempergunakan Hok-mo Cap-sha-ciang untuk menandingi ilmu aneh ini.
Sementara itu, kiranya teriakan melengking yang dikeluarkan oleh pangeran itu
bukan semata-mata teriakan marah, melainkan merupakan suatu tanda bagi para
pembantunya untuk bergerak. Buktinya, begitu dia mengeluarkan teriakan
melengking itu, beberapa orang dari golongan hitam yang tadinya duduk di antara
para tamu, telah bangkit berdiri, para pengawal yang tadinya berjaga-jaga di
luar kini datang dan mengurung tempat itu, dan kedua orang kakek dari Lam-hai
Sam-lo juga sudah meloncat untuk mengeroyok Sin Liong! Akan tetapi, Yap Kun
Liong dan Yap In Hong sudah siap siaga, maka begitu melihat dua orang kakek itu
berloncatan ke medan pertandingan, merekapun dengan loncatan jauh telah berada
di situ. Yap Kun Liong sudah menghadapi Hai-liong-ong Phang Tek sedangkan adik
kandungnya telah menghadapi Kim-liong-ong Phang Sun!
"Hemm, kiranya Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang ini tak lain hanya orang-
orang licik dan curang tukang keroyok seperti tukang-tukang pukul di pasar
saja!" Yap Kun Liong berkata sambil menghadapi Phang Tek dengan senyum mengejek.
"Kau agaknya sudah bosan hidup, bocah tua bangka!" Yap In Hong juga membentak
Phang Sun yang disebutnya bocah tua karena memang tubuh kakek ini seperti anak
kecil. "Saudara-saudara, para pendekar sombong ini sudah mulai mengacau, hayo bangkit
serentak dan menghancurkan mereka sebelum kelak mereka yang akan membasmi kita!"
tiba-tiba terdengar bentakan seorang kakek yang baru muncul dan ternyata dia itu
adalah Kim Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw dari selatan yang perkumpulannya
telah diobrak-abrik oleh Pangeran Hung Chih akan tetapi yang sempat pula
melarikan diri bersama banyak pimpinan Pek-lian-kauw yang pada saat itu
berkumpul pula di situ. Kalau tadi dia tidak nampak adalah karena dia disuruh
bersembunyi dulu oleh Pangeran Ceng Han Houw yang sudah membuat bekas musuh-
musuh ini menjadi sekutunya. Mendengar seruan ini, banyak tokoh kang-ouw dari
golongan hitam yang serentak bangkit dari tempat duduk mereka. Golongan ini
adalah orang-orang yang selalu mengejar keuntungan, dan tentu saja mereka
melihat kesempatan baik untuk memperoleh keuntungan jika mereka membantu
pangeran yang selain lihai juga besar pengaruhnya dan kaya raya itu.
Akan tetapi pada saat itu Cia Bun Houw sudah meloncat maju dan menghadapi ketua
Pek-lian-kauw itu sambil membentak marah, "Pemberontak-pemberontak hina! Cu-wi
yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw tentu tidak akan membiarkan kaum sesat
ini untuk menjebak kita dan untuk memberontak kepada pemerintah. Siapa yang
merasa dirinya gagah, silakan maju membantu pemerintah untuk menghadapi mereka!"
"Bagus! Mari kita basmi penjahat-penjahat pemberontak ini! Siauw-lim-pai takkan
pernah sudi bersahabat dengan kaum pemberontak dan penjahat!" teriakan dengan
suara amat lantang ini dikeluarkan oleh Cui Khai Sun, pemuda Siauw-lim-pai yang
gagah perkasa tadi. Seruannya ini membangkitkan semangat para orang gagah di
situ dan banyak di antara mereka yang bangkit dan siap menghadapi kaum sesat.
Akan tetapi masih banyak yang ragu-ragu dan tetap duduk saja dan tidak ingin
mencampuri urusan itu. Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw yang mengamuk dalam keadaan jungkir balik
itu, selalu dapat disambut oleh sin Liong dengan baik. Melihat betapa banyak
orang gagah yang bangkit dan hendak menentangnya, dia meloncat dalam keadaan
jungkir balik dan menjauhi Sin Liong sambil berkata, "Tahan semua orang yang
hendak melawan kami! Pasukanku berjumlah ribuan orang telah mengurung tempat
ini! Kalian telah terkurung, siapa menyerah dan membantuku akan diampuni, yang
menentang akan dibunuh!"
"Pangeran pemberontak! Engkau dan pasukanmulah yang terkurung! Dengar dan lihat
baik-baik, sepuluh ribu pasukan telah mengurung Lembah Naga!" teriak Bun Houw
pula dan pada saat itu Cia Giok Keng sudah melepaskan sebatang anak panah yang
membumbung tinggi di angkasa dan anak panah api itu mengeluarkan asap tebal di
angkasa. Tiba-tiba terdengar suara tambur dan hiruk-pikuk di empat penjuru,
tanda bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan besar yang kini mulai datang
mengurung dan mendesak! Bukan main kaget dan marahnya Pangeran Ceng Han Houw. Dia meloncat dan menyerang
lagi Sin Liong yang sudah menyambutnya dengan tangkas. Maka perkelahianpun
dimulailah! Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang kakek itu ditandingi Yap Kun
Liong dan Yap In Hong, sedangkan ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin dihadapi Bun
Houw. Orang-orang golongan hitam yang membantu pangeran pemberontak itu
berhadapan dengan orang-orang gagah yang menjadi tamu di situ. Setelah
melepaskan anak panah api yang menjadi tugasnya dan mendengar sambutan
balatentara kerajaan, Cia Giok Keng juga menyerbu dan ikut mengamuk dalam
pertempuran itu, karena jumlah para tokoh sesat yang dibantu oleh pengawal-
pengawal itu jauh lebih banyak daripada jumlah orang gagah yang menentang
pangeran. Pertempuran hebat terjadi di tempat pesta atau tempat pertemuan itu. Sin Liong
dan Pangeran Ceng Han Houw berkelahi di tengah-tengah dan perkelahian mereka itu
amat serunya, dan tidak ada yang mendekat untuk membantu karena keduanya telah
mengeluarkan ilmu silat mereka yang mujijat, yang mereka dapatkan dari Bu Beng
Hud-couw dan merupakan ilmu silat yang luar biasa sekali sehingga membantu
mereka selain bahkan akan mengganggu, juga mungkin pembantunya akan terancam
bahaya oleh yang dibantunya itu sendiri.
Sementara itu, di luar Lembah Naga sudah terjadi perang antara pasukan Lembah
Naga melawan pasukan pemerintah. Akan tetapi karena jumlah pasukan yang datang
nienyerbu itu jauh lebih besar, maka sebentar saja pasukan Lembah Naga itu
terdesak dan terus mundur, dihimpit dari luar dari pasukan kerajaan.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi di ruangan yang luas itupun terjadi
dengan hebatnya. Akan tetapi karena tokoh tokoh besarnya seperti Pangeran Ceng
Han Houw dan dua orang kakek Lam-hai Sam-lo, juga para tokoh Pek-lian-kauw,
menemui tanding yang amat kuat dari pihak keluarga Cin-ling-pai, Siauw-lim-pai
dan tokoh-tokoh kang-ouw lain yang tangguh, maka kaum sesat itupun kehilangan
semangat dan mereka itu banyak yang sudah roboh oleh para orang gagah.
Ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin yang sudah amat tua itu bukanlah lawan dari
Cia Bun Houw. Dalam pertandingan yang kurang dari lima puluh jurus saja, dengan
tamparan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat, pendekar ini telah merobohkan kakek
ini yang tewas seketika karena tidak dapat menahan tamparan dahsyat yang
mengenai dadanya. Cia Ciok Keng yang mengamuk dengan pedang Gin-hwa-kiam yang
bersinar perak telah merobohkan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw.
Juga perkelahian antara Yap In Hong yang melawan Kim-liong-ong Phang Sun
berlangsung dengan luar biasa serunya. Pendekar wanita itu menemui tanding
karena kakek kecil pendek itu memang hebat dan merupakan tokoh yang terkenal
dengan ilmu silat yang tinggi. Namun, karena dasar ilmu silat yang dimiliki
pendekar wanita itu lebih murni dan juga karena hati kakek pendek kecil ini
sudah gentar menyaksikan betapa keadaan kini tanpa diduga-duga telah terbailk,
dan keadaan pangeran yang dibelanya itu terancam bahaya, maka perlahan-lahan
Kim-liong-ong Phang Sun mulai terdesak hebat. Perlahan namun tentu, Yap In Hong
mulai melancarkan lebih banyak serangan, terutama tamparan-tamparan Thain-te
Sin-ciang dan Phang Sun hanya main mundur, mengelak dan menangkis tanpa sempat


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan penyerangan balasan. Dia yang biasanya lihai ini sudah mulai mencari-
cari jalan keluar untuk melarikan diri, namun lawannya terus mengurungnya dengan
serangan-serangan dahsyat dan bertubi-tubi sehingga kakek kecil ini repot
sekali. Tidak demikiain dengan kakaknya, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau Phang Sun
masih dapat melakukan perlawanan, sebaliknya Hai-liong-ong Phang Tek begitu
bergerak melawan Yap Kun Liong segera mendapat kenyataan bahwa lawannya ini
hebat bukan main, tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan Cia Bun Houw! Bahkan
pendekar yang sudah setengah tua ini selain memiliki kematangan dalam gerakan
juga ternyata memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh! Hanya gerakan
gin-kang yang amat tinggi dari Hai-liong-ong Phang Tek, maka dia masih dapat
bertahan akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkin dia akan menang menghadapi
pendekar yang amat lihai ini dan seperti juga Kim-liong-ong Phang Sun, mulailah
orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini untuk mencari kesempatan lari! Ketika dia
melihat kesempatan itu terbuka, yaitu ketika lawannya bergerak agak lambat, dia
menggereng dan dari samping lengan kanannya yang panjang itu menyambar,
tangannya mencengkeram ke arah muka Yap Kun Liong. Ini merupakan gerakan yang
cepat dan dahsyat, akan tetapi hanya untuk menggertak saja dan dia sudah siap
melompat jauh dan melarikan diri kalau lawannya mengelak dan mundur.
Akan tetapi ternyata lawannya tidak mengelak, melainkan mundur sedikit dan
membiarkan pundaknya terbuka tidak terlindung. Melihat ini, tentu saia Hai-
liong-ong Phang Tek tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menang ini.
Tangannya yang masih terbuka seperti cakar harimau itu tiba-tiba mencengkeram ke
arah pundak lawan yang tak terlindung itu.
"Capp...!" Seperti cakar baja kelima jari tangan kanan kakek itu mencengkeram ke
arah pundak dan Yap Kun Liong sama sekali tidak mengelak maupun menangkis,
melainkan membiarkan pundaknya dicengkeram.
"Auhhhh...!" Terdengar Hai-liong-ong Phang Tek berseru kaget sekali ketika dia
merasa betapa cengkeramannya mengenai benda lunak yang melekat dan terus
menyedot sehingga tenaga sin-kang dari tubuhnya menerobos keluar melalui
tangannya itu! Dia berusaha menggunakan tenaga untuk menarik kembali tangannya,
akan tetapi makin dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula sin-kangnya mengalir
dan membanjir keluar! Pucatlah wajah Hai-liong-ong Phang Tek dan tubuhnya
menggigil. Dengan nekat tangan kirinya lalu menghantam, akan tetapi sekali ini
tangan itu ditangkap oleh lawan. Begitu tertangkap, kembali sin-kangnya mengalir
kuat dari pergelangan tangan yang tertangkap itu sehingga makin banyaklah kini
sin-kang yang membanjir keluar itu.
"Aduh... celaka...!" Kakek itu berseru. Teringatlah dia akan Ilmu Thi-khi-i-beng
yang mujijat dan dia menjadi takut bukan main.
"Hemm, kejahatanmu sudah melewati takaran agaknya. Pergilah!" Yap Kun Liong
tiba-tiba menampar dengan tangan kirinya, tepat mengenai belakang telinga lawan
dan Hai-liong-ong Phang Tek mengeluh, tubuhnya terpelanting dan dia tewas di
saat itu juga. Melihat kakaknya roboh, Kim-liong-ong Phang Sun menjadi semakin jerih. Dia
mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat pergi. Akan tetapi
wanita perkasa itu membentak. "Hendak lari ke mana kau?" Dan Yap In Hong
mengejar dengan cepat, tangan kirinya bergerak dan sinar hijau menyambar. Itulah
Siang-tok-swa, senjata rahasia istimewa merupakan pasir hijau yang berbau harum.
Akan tetapi pasir halus ini mengandung racun yang amat berbahaya. Kim-liong-ong
Phang Sun cepat melempar tubuh ke samping lalu bergulingan sehingga sambaran
pasir beracun itu lewat di atas kepalanya, akan tetapi baru saja dia hendak
meloncat bangun, lawannya telah menerjangnya. Kakek kecil pendek ini hendak
mengelak, namun dia kalah cepat dan begitu tangan Yap In Hong mengenai
tengkuknya dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh, robohlah kakek itu dan
nyawanyapun melayang sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai.
Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong dan Cia Giok Keng kini terus mengamuk,
membantu para tokoh kang-ouw golongan bersih untuk menghadapi kaum sesat yang
membantu Pangeran Ceng Han Houw. Biarpun jumlah kaum sesat lebih banyak, namun
dengan bantuan mereka berempat ini mereka menjadi kocar-kacir dan banyak di
antara mereka yang roboh dan tewas. Sementara itu, Lie Ciauw Si masih tetap
duduk seperti patung di kursinya yang tadi, sedikitpun tidak bergerak, tidak
membantu suaminya, juga tidak menentang suaminya. Dia seperti orang kehilangan
semangat menyaksikan keruntuhan cita-cita pria yang dicintanya itu dan diam-diam
dia merasa ikut bersedih untuk suaminya itu. Semenjak tadi dia tidak melihat
yang lain kecuali menonton suaminya yang masih bertanding dengan hebat dan
serunya melawan Sin Liong!
Para tokoh Cin-ling-pai itu setelah merobohkan banyak orang dari golongan hitam
dan kini ikut menonton pertandingan antara Sin Liong dan pangeran itu, mulai
mendekat dan melihat mereka mendekat, Sin Liong berkata, sambil tetap mendesak
lawannya, "Harap cu-wi dari Cin-ling-pai membiarkan saya menghadapi musuh besar
ini sendiri." Mendengar ini, tiga orang itu berhenti dan hanya menonton dengan
penuh kagum. Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya, dan keduanya sudah
mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka untuk saling mendesak dan kalau
mungkin merobohkan lawan. Ceng Han Houw masih mempergunakan ilmunya yang aneh,
dengan berjungkir balik dia berusaha untuk mendesak lawan dengan kedua tangan
dari bawah dan kedua kaki dari atas. Namun, dengan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang,
Sin Liong selalu dapat membuyarkan semua serangannya, bahkan serangan balasan
Sin Liong selalu membuat tubuh yang berjungkir balik itu tergetar dan bergoyang,
bahkan kadang-kadang memaksa pangeran itu untuk berloncatan ke belakang sehingga
kepala yang menyentuh lantai itu mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.
Dengan sekilas pandang saja tahulah Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia telah gagal
total. Para tokoh kang-ouw golongan hitam yang membantunya telah roboh satu demi
satu, para pembantunya yang dipercaya, seperti subo dan sucinya, telah tewas dan
bahkan dua orang Lam-hai Sam-lo telah roboh pula. Dan dari gemuruh suara
pertempuran antara pasukannya dan pasukan pemerintah, dia maklum pula bahwa
pasukannya terus terdesak mundur, karena suara gemuruh itu makin lama makin
dekat juga. Hatinya menjadi sedih dan kecewa, akan tetapi kemarahannya terhadap
Sin Liong mengatasi semua itu. Bocah inilah yang menjadi gara-gara kegagalanku,
demikian pikirnya. Kini dia telah dikurung oleh tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Dia
harus dapat merobohkan Sin Liong lebih dulu, harus dapat menewaskan bocah ini.
Maka, nekatlah Ceng Han Houw. Dengan mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking
tinggi, tubuhnya yang berjungkir balik itu meluncur ke depan dan tiba-tiba tubuh
itu meloncat tinggi kemudian dari atas tubuhnya meluncur turun dan dia menubruk
ke arah Sin Liong seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor kijang!
Tubrukannya ini hebat, cepat dan dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, tenaga yang
dipusatkan kepada dua tangan dan kepalanya karena dia hendak menyerang lawan
dengan kedua tangan dan kepala!
Menghadapi serangan seperti ini, Sin Liong juga terkejut. Inilah serangan yang
hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat, yang tidak memperdulikan
keselamatan diri sendiri, yang ingin mengadu nyawa kalau perlu dengan musuhnya!
Sin Liong maklum bahwa kalau dia menyambut serangan itu dengan kekerasaan pula,
biarpun dia akan dapat merobohkan lawan, akan tetapi dia sendiri terancam bahaya
maut. Tenaga yang dipergunakan Han Houw dalam serangan itu adalah tenaga yang
dipusatkan, ditambah tenaga luncurannya yang kuat, sehingga amat berbahaya kalau
disambut dengan kekerasan. Oleh karena itu, diapun lalu mainkan jurus terakhir
dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang memang khusus diciptakan untuk mempergunakan
tenaga lemas melawan serangan dahsyat yang keras. Sin Liong berdiri tegak,
mengerahkan tenaga "Im" dan mula-mula dia hendak mempergunakan Thi-khi-i-beng,
akan tetapi segera dibatalkan niat ini karena dia maklum bahwa ilmu ini akan
membahayakan dirinya kalau ada tenaga sin-kang yang demikian kuat dan kerasnya
membanjir masuk dengan kekuatan sepenuhnya, bisa merusak seluruh isi perutnya.
Maka dia lalu melakukan jurus terakhir itu, dan pula saat kedua tangan lawan
sudah hampir mengenai dadanya, dia menangkis dari bawah dan pada saat itu,
karena dia menyimpan tenaga, tidak terjadi benturan tenaga dan dia terjengkang
atau sengaja melempar diri ke belakang sehingga dia terlentang dan karena
lawannya meluncur dengan tenaga penuh, maka tubuh pangeran itu meluncur terus di
atasnya tanpa dapat ditahan oleh pangeran itu sendiri. Saat itulah Sin Liong
menggerakkan tangan kanan dari bawah, menghantam ke atas dan ujung-ujung jari
tangannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang telah dengan cepat menampar perut
lawan agak ke atas dekat ulu hati.
"Plaakkk!" Tubuh pangeran itu masih meluncur terus akan tetapi kehilangan
keseimbangan dan akhirnya terbanting ke atas tanah, bergulingan dan tidak ber-
gerak lagi. Dari mulutnya mengalir darah segar dan sepasang matanya mendelik,
napasnya empas-empis. Ternyata dia telah menerima pukulan yang amat hebat dan
tepat sehingga sebelum tubuhnya terbanting, pangeran ini telah pingsan dan dia
telah menderita luka dalam yang amat hebat.
"Pangeran...!" Terdengar suara jeritan dan Lie Ciauw Si telah meloncat dan
menubruk tubuh suaminya sambil menangis. Sin Liong berdiri dengan muka pucat,
memandang kepada pangeran itu. Hatinya penuh dengan penyesalan dan kedukaan.
Betapapun juga, dia teringat akan semua kebaikan pangeran itu dan sekarang,
begitu melihat pangeran itu roboh pingsan dan dia tahu berada dalam keadaan
gawat karena pukulannya tadi amat kuat dan tepat mengenai ulu hati, timbul rasa
terharu dan kasihan dalam hatinya. Dia tahu bahwa sebetulnya banyak terdapat
sifat-sifat baik pada diri pangeran ini, hanya sayang, karena kemanjaan dan
karena ambisi yang luar biasa besarnya maka pangeran itu tidak segan-segan
melakukan segala kecurangan dan kejahatan. Dia menunduk dan memandang kepada Lie
Ciauw Si dengan penuh iba, lalu berkata lirih.
"Piauw-ci... dia... semua ini adalah salahnya sendiri..."
Lie Ciauw Si menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Pemuda ini sudah menduga
bahwa tentu wanita yang amat mencinta pangeran itu akan membenci dan marah
kepadanya. Akan tetapi dia terheran melihat betapa wanita yang pucat dan basah
air mata itu memandangnya tanpa membayangkan kemarahan atau kebencian sama
sekali. "Aku tahu... dan terima kasih atas sikapmu. Engkaulah satu-satunya orang yang
agaknya tidak membencinya, Sin Liong. Biarlah aku membawanya..."
"Silakan, piauw-ci..."
Ciauw Si dengan terisak lalu memondong tubuh itu, kemudian tanpa menoleh lagi
kepada para tokoh Cin-ling-pai dia lalu meloncat dan membawa lari tubuh yang
pingsan itu dari tempat itu.
"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya
dipegang dengan halus oleh suaminya.
"Jangan ganggu dia... pangeran itu tentu akan tewas, sebaiknya biarkan dia
seorang diri dalam kedukaannya..."
Cia Giok Keng lalu menjerit dan menangis di atas dada suaminya yang
merangkulnya. Sementara itu, pertempuran di ruangan itu telah berhenti dan semua
tokoh kang-ouw golongan hitam telah dapat dirobohkan. Di antara para tokoh kang-
ouw yang gagah perkasa dan yang menentang pangeran tadi, terdapat beberapa orang
yang terluka dan kini mereka sedang dirawat oleh teman-teman sendiri.
Dan benar seperti dugaan Pangeran Ceng Han Houw, perang kecil-kecilan itupun
tidak lama berlangsung karena fihak pasukan Lembah Naga jauh kalah kuat dan
sisanya melarikan diri meninggalkan mayat teman-teman mereka. Orang-orang kang-
ouw golongan sesat yang tadi sudah membuang senjata dan menaluk, setelah
menerima peringatan dari komandan-komandan pasukan yang mewakili Pangeran Hung
Chih, lalu dibebaskan. Pangeran Hung Chih sendiri menghampiri tokoh-tokoh Cin-
ling-pai dan dengan senyum lebar menghaturkan terima kasih, terutama sekali
kepada Cia Sin Liong. Ketika dia mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Cia
Bun Houw, dia cepat menjura dan berkata kagum. "Ah, seekor naga sakti tentu
mempunyai turunan seekor naga pula!"
Setelah melakukan pembersihan di lembah itu, Pangeran Hung Chih menyuruh seorang
komandan mengepalai pasukan kecil untuk melakukan penjagaan di Istana Lembali
Naga, kemudian dia memimpin pasukannya kembali ke kota raja. Yap Kun Liong, Cia
Giok Keng, Yap In Hong, dan Cia Bun Houw menitipkan puteranya yang masih kecil
di dalam istana Pangeran Hung Chih. Tentu saja rombongan keluarga Cin-ling-pai
ini juga mengajak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang telah diterima sebagai
keluarga Cin-ling-pai, dan bersama-sama mereka pergi ke kota raja.
Di dalam perjalanan inilah, dalam keadaan gembira karena berhasil melaksanakan
tugas membela negara, Sin Liong menceritakan semua pengalamannya semenjak dia
kecil dan dipelihara oleh monyet-monyet besar di hutan-hutan sekitar Lembah
Naga, didengarkan oleh semua orang dengan rasa penuh keharuan dan kekaguman.
Terutama sekali hati Cia Bun Houw menjadi terharu dan juga bangga. Sama sekali
tidak pernah disangkanya bahwa peristiwa yang terjadi antara dia dan Liong Si
Kwi yang mencintanya pada saat dua puluh tahun yang lalu itu (baca cerita Dewi
Maut), akan menghaslikan seorang anak seperti Sin Liong ini! Tak pernah diduga-
duganya bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki seperti ini, ketemu sesudah
dewasa. Hanya Cia Giok Keng seorang yang mendengarkan dengan wajah lesu dan hati
diliputi kedukaan. Betapapun juga, hati nyonya ini terasa prihatin dan berduka
sekali kalau dia mengingat puterinya. Baru saja hatinya tertusuk dan berduka
dengan peristiwa yang terjadi atas diri puteranya, Lie Seng. Kini, sebelum
perasaan dukanya itu sembuh, dia tertimpa lagi oleh peristiwa ke dua yang
menimpa diri puterinya. Diam-diam dia merasa berduka sekali mengapa dua orang
anaknya, putera dan puterinya, mengalami kesengsaraan dan kemalangan dalam
kehidupan mereka, dalam perjodohan mereka"
Ketika pada malam hari itu terpaksa rombongan harus bermalam di tengah jalan, di
luar daerah kota raja di sebelah dalam Tembok besar, Yap Kun Liong yang mendapat
kesempatan untuk berdua saja dengan isterinya, membiarkan isterinya menangis
ketika mereka membicarakan tentang dua orang anak isterinya itu. Yap Kun Liong,
sebagai seorang pendekar yang sudah mengalami gemblengan hidup yang amat
mendalamg maklum sepenuhnya akan kesengsaraan hati isterinya, oleh karena itu
dia tidak mencela dan tidak menegur isterinya yang membiarkan dirinya terseret
oleh duka. Baru menjelang tengah malam, ketika dia berhasil menghibur isterinya
dan perasaan duka tidak terlalu menghimpit hati isterinya sehingga mengaburkan
kewaspadaan, dia mengajak isterinya bicara dengan hati terbuka.
"Isteriku, sungguhpun aku telah menganggap Seng-ji dan Ciauw Si sebagai anak-
anakku sendiri, akan tetapi selama ini aku tidak berani mencampuri urusan antara
mereka dengan engkau. Sekarang, semuanya itu telah terjadi, marilah kita bicara
dari hati ke hati dengan hati terbuka, dengan kewaspadaan sepenuhnya untuk
melihat peristiwa-peristiwa itu tanpa dicampuri oleh pendapat dari pikiran kita
yang selalu ingin memenangkan diri sendiri dan membenarkan diri sendiri saja.
Marilah kita memandang dengan mata terbuka dan mempelajarinya, menyelidikinya,
di mana letak kesalahannya sehingga perjodohan kedua orang anak kita itu
mengalami kegagalan seperti itu."
Giok Keng mengangguk, kemudian berkata sambil menarik napas panjang. "Apalagi
yang perlu kita selidiki" Sudah jelas bahwa semua kegagalan dan kesengsaran itu
diakibatkan oleh karena mereka itu terburu nafsu, terdorong oleh darah muda dan
mereka salah pilih."
"Isteriku yang baik, bagaimana kau dapat mengatakan bahwa mereka salah pilih.
Pikirlah dengan tenang dan dengan teliti, penuh kebijaksanaan, apa sebabnya
engkau mengatakan bahwa mereka salah pilih?"
"Tentu saja, mereka memilih jodoh tanpa melihat bagaimana keadaan orang yang
mereka pilih. Lie Seng memilih seorang wanita yang sama sekali tidak berharga
menjadi isterinya sehingga mengakibatkan bencana yang demikian hebat dan
mematahkan hatinya, sedangkan Ciauw Si... ahhh... perlukan kukatakan lagi betapa
kelirunya pilihannya itu?"
Tiba-tiba Kun Liong merangkul isterinya. Biarpun usianya sudah lima puluh lebih
dan demikian pula isterinya, namun kedua orang suami isteri ini masih saling
mencinta dan tidak jarang menunjukkan cinta kasih mereka melalui pandang mata,
suara, maupun rangkulan mesra. "Isteriku, katakanlah, apakah engkau cinta
padaku?" Sepasang mata Giok Keng terbelalak, lalu dia merangkul. "Ah, jangan kau main-
main. Perlukah hal itu ditanyakan lagi" Tentu saja aku mencintamu."
"Akupun percaya akan hal itu. Engkau cinta sepenuh hati kepadaku seperti juga
aku cinta padamu, Giok Keng. Nah, seandainya ada orang-orang lain yang me-
ngatakan bahwa pilihanmu terhadap diriku itu keliru, bagaimana pendapatmu?"
"Aku tidak akan perduli! Aku cinta padamu dan aku tidak perduli siappun yang
akan mengatakan bagaimanapun tentang dirimu, tentang hubungan kita."
"Nah, itulah! Dan dua orang anakmu itupun memiliki watak seperti engkau, setia
dan penuh cinta kasih murni, dan aku kagum dan menghormat mereka seperti aku
kagum dan menghormatimu, isteriku!" Kun Liong lalu mencium isterinya.
"Eh, eh, apa maksudmu?" Giok Keng bertanya heran, menatap wajah suaminya melalui
sinar api unggun yang merah.
"Perjodohan adalah urusan dua orang saja, urusan pria dan wanita yang
bersangkutan, urusan hati dan perasaan mereka, dan orang lain, siapapun mereka
itu, baik orang tua sendiri sekalipun, tidak semestinya mencampuri! Orang tua
atau keluarga hanya membantu pelaksanaannya belaka, akan tetapi sedikitpun tidak
boleh mencampurinya, karena sekali mencampuri, hanya akan merusak suasana!
Cobalah kita pikir secara mendalam dan jujur. Andaikata... andaikata keluarga
Cin-ling-pai tidak mencampuri urusan cinta kasih antara Lie Seng dan Sun Eng,
kurasa cinta kasih mereka tidak akan berakhir sedemikian menyedihkan."
Cia Giok Keng diam saja, tak bergerak seperti pulas dalam pelukan suaminya. Akan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi sesungguhnya dia merasa terpukul, tertusuk dan ucapan suaminya itu
mengena benar di hatinya dan terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dengan
diri Lie Seng dan Sun Eng.
"Aku tidak mencela siapa-siapa, tidak mencela keluarga kita yang mencampuri,
karena aku tahu bahwa maksud kalian semua itu baik saja. Akan tetapi baik untuk
siapa" Untuk kalian sendiri tentu saja, bukan untuk Lie Seng dan Sun Eng. Itulah
akibatnya kalau kita sebagai orang-orang tua mencampuri urusan cinta kasih
antara dua orang anak muda."
Hening sejenak. Akhirnya terdengar suara pembelaan Cia Giok Keng, lirih dan
lemah, "Akan tetapi mana mungkin seorang ibu seperti aku mendiamkannya saja
melihat puteranya keliru memilih calon jodoh" Aku ingin melihat puteraku
bahagia..." "Nah, di situlah letak kesalahannya, bukan" Kita ingin melihat putera kita
bahagia, oleh karena itu kita hendak memilihkan jodoh yang tepat untuk putera
kita! Ah, seolah-olah jodoh itu seperti sehelai baju yang dapat kita patut-
patut. Bahkan bajupun tergantung daripada selera, isteriku, dan selera kita
tentu belum tentu sama dengan selera putera kita! Apa yang kita anggap baik
belum tentu baik bagi putera kita, oleh karena itu wajarlah kalau apa yang di-
anggap baik oleh putera kitapun belum tentu baik bagi pandangan kita. Kalau kita
berkata bahwa kita ingin melihat putera kita bahagia, maka dia harus menurut
pilihan kita, bukankah itu berarti bahwa sesungguhnya, di balik semua kata-kata
kita itu, kita sebetulnya ingin melihat hati kita sendiri senang karena putera
kita memilih jodoh yang kita sukai" Kita harus jujur, isteriku. Dalam
perjodohan, yang terutama adalah cinta-mencinta. Itu saja, yang lain tidak masuk
hitungan! Dan cinta kasih, apakah cinta itu mengenal usia, maupun kedudukan,
maupun baik buruk" Cinta adalah cinta dan bagaimana mungkin kita dapat
menyalahkan seseorang, apalagi putera kita sendiri kalau dia jatuh cinta kepada
seseorang" Kalau engkau jatuh cinta kepadaku dan aku jatuh cinta kepadamu,
siapakah yang berhak menyalahkan kita, isteriku?"
Giok Keng termenung. "Jadi... kaupikir... dahulu Lie Seng dan Sun Eng sudah
saling jatuh cinta, maka mereka berdua sudah berhak untuk saling berjodoh, dan
kita, fihak keluarga dan orang-orang tua, sama sekali tidak boleh
mencampurinya?" "Tidakkah begitu menurut kesadaranmu?"
"Ah, engkau mengatakan begitu karena sekarang akibatnya buruk bagi mereka."
"Bukan, isteriku. Aku tidak mengatakan bahwa andaikata dahulu keluarganya tidak
mencampuri, Lie Seng dan Sun Eng akan hidup berbahagia atau tidak sampai
mendapatkan halangan. Soal halangan dan apakah hidup dapat beruntung atau tidak
sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini. Akan tetapi, setelah kita
mencampuri urusan jodoh mereka sehingga akhirnya persoalan menjadi berlarut-
larut dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan, bukankah hal itu menyadarkan
kita bahwa urusan jodoh adalah urusan dua orang dan di mana ada cinta-mencinta
maka perjodohan itu sudah benar, asalkan tidak melanggar suatu hal lain yang
merugikan orang lain" Lie Seng masih bebas, dan Sun Eng pun wanita bebas, mereka
saling mencinta, maka sudah benarlah itu, dan sudah benar pula kalau mereka itu
saling berjodoh. Kita harus dapat melihat kesalahan kita yang telah mencampuri
urusan mereka, lepas dari soal apakah hal itu mendatangkan kerusakan atau
kebaikan." Hening lagi sejenak dan perlahan-lahan, semua ucapan suaminya itu dapat menembus
kekerasan hati Cia Giok Keng dan dapat membuka mata hatinya."Akan tetapi...
bagaimana kalau apa yang terjadi dengan pilihan Ciauw Si itu?"
"Apa salahnya pilihan Ciauw Si" Diapun memilih pangeran itu karena saling
mencinta, dan kita harus menghormatinya bahwa dia memang benar-benar mencinta
pilihan hatinya itu, sampai mati sekalipun! Demikianlah seharusnya orang memilih
jodohnya, berdasarkan cinta, bukan berdasarkan sifat-sifat baik dari yang
dipilih, karena memilih jodoh berdasarkan apakah yang dipilih itu tampan,
cantik, pandai, kaya, berpangkat, berbudi dan sebagainya sama sekali bukan
berdasarkan cinta, melainkan berdasarkan ingin menyenangkan hati sendiri.
Bukankah demikian?" Akhirnya ibu yang merana ini kembali terisak dan merangkul suaminya. "Engkau
benar... mengapa aku hendak mencampuri urusan cinta kasih anak-anakku" Aku tidak
ingat akan pengalamanku sendiri, pengalaman kita..."
"Sudahlah, isteriku. Segala sesuatu telah terjadi, dan betapapun juga, kita
harus bangga mempunyai anak-anak yang demikian tulus cinta kasihnya seperti Lie
Seng dan Ciauw Si." Memang demikianlah adanya. Betapa banyaknya orang tua yang tanpa mereka sadari
sendiri telah melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali menyimpang daripada
cinta kasih dan kebenaran. Kita selalu ingin menyatakan cinta kasih kita kepada
anak-anak kita dengan jalan mengatur sedemikian rupa untuk anak-anak kita, bukan
hanya mengatur pendidikannya, pemeliharaannya, akan tetapi juga kita ingin
mengatur masa depannya, mengatur kesukaannya, bahkan mengatur jodoh mereka! Kita
beranggapan bahwa kalau anak-anak kita itu menurut kepada kita, mereka pasti
akan hidup berbahagia, seolah-olah kehidupan merupakan garis tertentu yang sudah
mati, yang dapat diatur sedemikian rupa menuju kepada kebahagiaan! Seolah-olah
apa yang kita anggap baik den menyenangkan tentu akan baik dan menyenangkan pula
bagi anak-anak kita! Kita lupa bahwa kehidupan itu selalu berubah, bahwa alam--
pikiran dan selera manusia itupun berkembang dan mengalami perubahan-perubahan.
Apa yang kita sendiri senangi di waktu kita masih kanak-kanak akan menjadi
membosankan di kala kita sudah dewasa, dan apa yang menyenangkan kita di waktu
kita dewasa mungkin akan menjadi memuakkan di waktu kita telah tua. Oleh karena
itu, benarkah itu kalau kita memakai ukuran mata kita untuk mengatur kehidupan anak-anak kita yang lebih muda
dan mempunyai selera lain sama sekali dari kita" Benarkah kita mencinta anak-
anak kita kalau kita hanya ingin mereka itu menurut kepada kita, yang pada
hakekatnya menunjukkan bahwa sesungguhnya kita ingin senang sendiri. Ingin
melihat anak-anak kita menuruti kemauan hati kita" Cinta adalah demi si anak,
demi perasaan hati si anak, sekarang, bukan kelak! Bukan masa depan, melainkan
saat demi saat! Maukah kita sebagai orang tua yang bijaksana memberi kebebasan
seluasnya kepada anak-anak kita, dengan memberi petunjuk-petunjuk, bukan
mendikte, melainkan memberi petunjuk dan menjaga, membuka mata batin mereka
kalau mereka itu tanpa mereka sadari menyeleweng, dengan penuh kasih sayang dan
demi kebahagiaan mereka saat demi saat" Hal ini hanya mungkin dilakukan kalau
sudah tidak ada keinginan dalam hati kita untuk menikmati kesenangan diri
sendiri melalui anak kita!
*** Setelah tiba di kota raja, keluarga Cin-ling-pai mengajak Sin Liong dan Bi Cu
untuk ikut ke Cin-ling-pai. "Engkau adalah puteraku, dan Bi Cu adalah calon
mantuku," demikian Cia Bun Houw berkata dengan terus terang kepada mereka, "maka
sebaiknya kalau kalian berdua ikut bersama kami ke Cin-ling-pai. Engkau adalah
keluarga Cin-ling-pai dan berhak tinggal di sana, dan karena semenjak kecil kita
saling berpisah, maka sebaiknya kalau kita sekarang berkumpul."
"Benar, Sin Liong. Ayahmu dan aku ingin membangun kembali Cin-ling-pai. Marilah
ikut bersama kami di sana, ke Cin-ling-san!" Cia Giok Keng juga membujuk.
"Akan tetapi... sri baginda kaisar telah menganugerahkan Lembah Naga kepada
kami..." Sin Liong menjawab agak ragu-ragu.
"Maksudku untuk sementara kalian tinggal di Cin-ling-san sampai kalian menikah.
Kalau kalian sudah menikah, terserah kalau kalian ingin tinggal di Istana Lembah
Naga," kata Bun Houw.
"Apakah tidak terlalu sunyi tinggal di tempat itu?" Cia Giok Keng bertanya.
"Ah, kalau tinggal berdua, mana bisa merasa sunyi?" Yap Kun Liong menyambung
sambil tertawa dan semua orang tertawa, juga Bi Cu tersenyum malu-malu.
"Banyak terima kasih atas kebaikan ayah, ibu dan paman serta bibi berempat. Kami
berdua pasti akan pergi ke Cin-ling-san, akan tetapi sekarang ini kami ingin
pergi ke selatan untuk menengok adik-adik saya Kui Lan dan Kui Lin. Setelah
menengok mereka, kami tentu akan menyusul ke Cin-ling-pai dan selanjutnya
tentang pernikahan, terserah kepada semua orang tua di Cin-ling-pai."
Akhirnya mereka semua setuju dan berangkatlah Sin Liong dan Bi Cu ke kota Su-
couw di Ho-nan. Sesungguhnya, bukanlah semata untuk menengok Lan Lan dan Lin Lin
saja mereka pergi ke Su-couw, melainkan untuk melihat keadaan Kui Hok Boan. Di
tengah perjalanan menuju ke kota raja, Sin Liong telah menceritakan secara terus
terang kepada Bi Cu bahwa dia menduga keras bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu
yang bernama Bhe Coan itu adalah Kui Hok Boan, ayah tirinya sendiri.
"Aku mendengar ketika dia mengigau," demikian antara lain Sin Liong menuturkan.
"Dan agaknya dialah yang membunuh ayahmu."
"Keparat, sungguh jahat jahanam itu! Aku harus membalas kematian ayah!" Bi Cu
berkata dengan marah. "Nanti dulu, Bi Cu, dengarlah dulu baik-baik. Ketahuilah, bahwa ketika dia
mengigau itu, dia berada dalam keadaan tidak sadar dan dia telah berubah
ingatannya." "Ah" Maksudmu, dia..." Bi Cu membuat tanda dengan melintangkan telunjuk di atas
dahinya. "Benar, dia telah mengalami tekanan batin sehingga menjadi gila." Sin Liong lalu
menceritakan tentang semua riwayat Kui Hok Boan, kemudian tentang dua orang
pemuda yang sebenarnya adalah anak-anaknya sendiri akan tetapi yang diakuinya
sebagai keponakan dan betapa dua orang anaknya itu saling bermusuhan dan saling
bunuh sendiri. Semua itu membuat Kui Hok Boan merasa menyesal dan membikin dia
menjadi gila. "Nah, dalam keadaannya seperti sekarang ini, dalam keadaan hidup menderita dan
merana, sampai menjadi gila, apakah engkau masih mempunyai gairah untuk membalas
dendam" Membalas kepada orang yang sudah terhukum sehebat itu karena perbuatan-
perbuatannya sendiri?"
Bi Cu termangu-mangu, kemudian berkata, "Memang tidak enak memusuhi orang sakit,
apalagi sakit gila. Akan tetapi aku masih penasaran sebelum melihat keadaannya
dengan mata sendiri, Sin Liong. Mari kita mengunjunginya dan setelah melihat
keadaannya, baru aku akan memutuskan apakah aku akan membalas kematian ayah
ataukah tidak." Demikianlah, setelah mendapatkan persetujuan para tokoh Cin-ling-pai, Sin Liong
dan Bi Cu lalu berangkat ke selatan. Mereka menunggang dua ekor kuda yang amat
baik karena mereka mendapatkan hadiah dari Pangeran Hung Chih. Pakaian merekapun
serba bersih dan indah. Bukankah mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjasa
menentang dan menggagalkan pemberontakan" Mereka menerima banyak hadiah berupa
pakaian dan uang emas dari pangeran itu, bahkan kaisar sendiri berkenan
menyerahkan Istana Lembah Naga kepada Sin Liong setelah mendengar bahwa pendekar
itu terlahir di dalam istana itu. Raja Sabutai telah dihubungi melalui utusan
dan raja itupun tidak membantah ketika kaisar menentukan bahwa istana itu
diserahkan dan menjadi hak milik yang dilindungi dari Cia Sin Liong!
Tentu saja perjalanan kali ini yang dilakukan oleh Sin Liong dan Bi Cu berbeda
dengan perjalanan-perjalanan yang lalu sebagai orang yang dikejar-kejar oleh
kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw. Kini mereka berdua melakukan perjalanan
dengan santai dengan hati penuh keriangan, karena hati mereka penuh dengan cinta
kasih yang terpancar dari sinar mata mereka yang saling memandang penuh
kelembutan, kata-kata yang penuh kemesraan dan sentuhan-sentuhan yang menggetar.
Mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencinta, melakukan perjalanan
bersama. Kadang-kadang mereka berlumba dengan kuda mereka dan ada kalanya mereka
berjalan kaki sambil bergandengan tangan, menuntun dua ekor kuda itu di belakang
mereka, dan kalau mereka beristirahat, Bi Cu menyandarkan dadanya di pundak atau
dada Sin Liong. Akan tetapi, betapapun meara hubungan antara mereka, dan betapapun besar cinta
kasih mereka, keduanya selalu menjaga diri dan mereka tidak sampai melakukan
pelanggaran dalam hubungan mereka itu. Sebaliknya, seorang wanita yang sejak
kecil hidup sendiri dan tidak malu-malu seperti kebanyakan wanita muda, pernah
dalam keadaan istirahat itu Bi Cu menyatakan terus terang kepada Sin Liong.
"Sin Liong, kita sudah bertunangan secara resmi, direstui oleh ayahmu dan
keluarga Cin-ling-pai."
"Ya, kita beruntung sekali, Bi Cu," jawab Sin Liong sambil mengelus rambut yang
hitam halus dan panjang itu.
"Dan kulihat engkau tidak pernah mencoba untuk membujukku, untuk mengajakku...
eh, menyerahkan diri kepadamu... sungguhpun... hemm, mungkin sekali... ah, tiada
bedanya bagiku, aku merasa bahwa aku telah menjadi milikmu lahir batin. Mengapa,
Sin Liong?" "Ah, kita belum menikah dengan resmi, Bi Cu."
"Hemm, aku tahu, akan tetapi... andaikata engkau minta kepadaku dan aku menuruti
permintaanmu, kita melakukan hubungan sebelum menikah, lalu mengapa?"
"Tidak, hal itu tidak mungkin Bi Cu."
"Mengapa, Sin Liong" Apakah karena engkau tidak menginginkannya?"
Sin Liong mendekap kepala itu penuh kasih sayang. "Tentu saja aku ingin sekali!"
"Kalau begitu, sama dengan aku. Lalu apa halangannya?"
Bukan main, kekasihnya ini sungguh seorang gadis yang jujur dan terbuka, tidak
pura-pura! "Tidak, Bi Cu, karena aku cinta padamu!"
"Mengapa kalau engkau cinta padaku malah engkau tidak menuntut penyerahan diri
dariku?" "Ah, kekasihku, dewiku, betapa polos dan jujurnya engkau. Engkau percaya
sepenuhnya kepadaku, dan justeru karena kepercayaanmu itulah, justeru karena
cinta kita itulah, maka aku tidak akan melakukan hal itu, betapapun besar do-
rongan gairah nafsuku! Aku cinta padamu, Bi Cu, dan karena aku cinta padamu,
maka aku tentu menghormatimu, aku tentu menjaga namamu, aku tentu, akan menjaga
dengan nyawaku untuk tidak merendahkanmu, meremehkanmu. Betapapun juga, kita
hidup di dalam belenggu-belenggu peraturan, kesusilaan, dan kebudayaan.
Belenggu-belengga itu telah menentukan bahwa tidak semestinya hubungan itu
dilakukan sebelum menikah, dan siapa melanggarnya, apalagi wanita, tentu akan
dikutuk dan dipandang rendah! Nah, karena cintaku kepadamu, betapapun besar
keinginan hatiku, harus kujaga agar engkau jangan sampai dikutuk dan dipandang
rendah. Aku sayang kepadamu, aku ingin engkau senang dan hidup bahagia. Kalau
aku membujukmu untuk melakukan hubungan suami isteri, hal itu berarti bahwa aku
hanya ingin mencari senang dan enak sendiri dan membiarkan engkau yang terancam
aib. Mengertikah engkau, Bi Cu?"
Bi Cu bergerak perlahan dan membalik, mengangkat muka ke atas dan merangkul
leher kekasihnya. Sin Liong menunduk dan mereka berciuman sampai napas mereka
terengah-engah dan terpaksa mereka melepaskan ciuman karena sukar untuk
bernapas! "Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku
tidak kuat dan mata gelap!" Sin Liong mendorong dara itu dengan halus dan mereka
bangkit berdiri. Bi Cu tersenyum dan memandang kekasihnya dengan sinar mata
menggoda. "Kalau begitu kenapa" Kalau aku rela, siapa perduli?"
"Ihh, engkau nekat!" Sin Liong tertawa. "Ingat, kebahagiaan itu adalah kita
punya, maka perlu apa kita rusak sendiri" Mengapa kita tidak menahan bersama,
agar kelak setelah tiba saatnya kita berdua akan lebih dapat menikmatinya?"
DEMIKIANLAH, dengan dasar cinta kasih yang mendalam, dua orang muda itu mampu
mempertahankan kemurnian mereka dan tidak sampai menjadi buta oleh nafsu berahi.
Sesungguhnya kasih sayang itu membuat kita menjadi kuat menghadapi apapun juga,
bahkan kuat pula menghadapi godaan setan berupa nafsu berahi yang biasanya tak
terkalahkan oleh manusia itu!
Pada suatu hari, setelah mereka tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan. Mereka
melewati sebuah hutan yang amat luas. Dari pagi sampai matahari hampir naik
menjelang tengah hari, mereka masih berada di dalam hutan. Tiba-tiba mereka
mendengar suara orang-orang bertempur di depan dan mereka lalu membedalkan kuda
mereka menuju ke arah suara hiruk-pikuk itu.
"Bi Cu, jangan kau sembarang bergerak, ya?" Sin Liong memesan dan Bi Cu hanya
mengangguk. Dan tibalah mereka di tempat pertempuran itu. Kiranya ada banyak orang
bertempur. Sedikitnya ada sebelas orang yang berpakaian sebagai piauwsu, yaitu
para pengawal kiriman barang, melawan hampir dua puluh orang-orang yang ber-
pakaian kasar dan mudah diduga bahwa mereka itu tentu perampok-perampok yang
buas. Yang menarik perhatian Bi Cu adalah seorang pemuda yang memainkan sebatang
pedang dengan gagahnya, melawan kepala perampok yang berambut panjang dan
bermuka brewok. Biarpun pemuda yang kelihatannya seperti melakukan perlawanan
mati-matian itu berusaha mati-matian dan gagah perkasa, namun jelas bahwa dia
mulai terdesak hebat oleh sepasang golok kepala perampok yang amat lihai itu.
Melihat wajah pemuda itu, Bi Cu tertarik dan cepat dia mengerling ke arah
gerobak piauwkiok dan begitu dia melihat bendera piauwkiok yang berdasar merah
dengan lukisan garuda berwarna kuning, terkejutlah dia dan dia yang sudah
meloncat turun dari atas kudanya itu memegang lengan Sin Liong.
"Dia itu twako Na Tiong Pek...!"
Sekarang Sin Liong juga mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda tampan
gagah itu. "Benar, dialah itu!"
"Lihat, itu bendera Ui-eng-piauwkiok! Aku harus membantunya, dia sudah ter-
desak!" kata Bi Cu dan dia lalu mengambil sebatang ranting kayu pohon, kemudian
dengan cepat dia sudah meloncat ke depan dan menyerbu ke medan laga sambil
berseru keras.

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Na-twako, jangan khawatir, minggirlah, biarkan aku menghajar babi hutan ini!"
Tongkat di tangannya berkelebat dan membentuk segulung sinar hijau yang
mengejutkan kepala perampok itu sehingga dia meloncat ke belakang karena
gulungan sinar hijau itu dapat menembus sinar goloknya dan hampir saja ujung
ranting itu menusuk hidungnya! Sementara itu, Na Tiong Pek yang sudah terdesak
itu meloncat mundur dengan napas terengah-engah dan dia terkejut dan heran
melihat munculnya seorang dara cantik yang bergerak cepat bukan main seperti
burung terbang saja dan tahu-tahu sudah mendesak kepala perampok itu dengan
sebatang ranting di tangan! Ketika dia melihat wajah dara itu, hampir dia tidak
percaya. "Bi... Bi Cu...!" Dia tergagap, karena biarpun dara itu wajahnya persis Bi Cu,
akan tetapi mana mungkin Bi Cu memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga
hanya dengan sebatang ranting saja mampu menahan sepasang golok di tangan kepala
perampok yang lihai dan yang tadi membuat dia kewalahan"
"Benar, twako, lekas kauhajar anak-anak babi itu dan biarkan aku merobohkan babi
butan yang satu ini!" teriak Bi Cu dengan nada suara gembira sekali dapat
bertemu dengan pemuda ini.
Na Tiong Pek kembali memandang dengan penuh kagum dan dia menoleh, memandang
kepada Sin Liong yang masih berdiri memegangi dua ekor kuda. Agaknya, pemuda itu
datang bersama Bi Cu, akan tetapi dia tidak tahu siapa pemuda itu. Maka, melihat
betapa anak buahnya masih dengan gigihnya melawan para perampok, dia lalu
berteriak nyaring dan mengamuk, menyerang para anak buah perampok itu,
mengeluarkan kegesitan dan kepandaiannya karena dia ingin memamerkan
kepandaiannya kepada Bi Cu, lupa bahwa dia tadi hampir kalah oleh kepala
perampok yang kini ditandingi oleh Bi Cu itu. Dan ternyata bahwa dibandingkan
dengan teman-temannya, yaitu para piauwsu, kepandaian pemuda she Na ini memang
lebih menonjol. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran itu, maka beberapa orang
perampok roboh dan mereka menjadi kacau-balau dan terdesak oleh pemuda yang
mengamuk seperti seekor harimau marah itu.
Sin Liong hanya menonton, akan tetapi tentu saja setiap saat dia siap untuk
melindungi kekasihnya. Dia melihat bahwa gerakan kepala perampok itu hanya
dahsyat dipandang saja, namun hanya merupakan orang kasar yang mengandalkan
tenaga otot, tidak memiliki dasar kepandaian berarti sehingga tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. Begitu bergebrak, dia tahu bahwa kekasihnya itu tidak akan
kalah. Dan memang benar, baru belasan jurus saja Bi Cu yang mempergunakan ilmu
Ngo-lian Pang-hoat yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai, telah dapat
melecut muka kepala perampok itu berkali-kali dan paling akhir malah dia
berhasil menusuk sebelah mata kiri kepala perampok itu sehingga terobek dan
berdarah. Kepala perampok itu merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia lalu
mengeluarkan seruan keras dan meloncat jauh ke belakang terus melarikan diri,
diikuti oleh anak buahnya yang telah mendengar aba-aba lari tadi, sambil
menyeret dan membawa teman-teman mereka yang terluka, memasuki hutan lebat,
diikuti suara tertawa dan sorakan para piauwsu yang merasa gembira memperoleh
kemenangan. Na Tiong Pek cepat menghampiri Bi Cu dan sejenak mereka berdiri saling
berhadapan dan saling pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda tampan itu
ditujukan kepadanya dengan penuh kagum, kekaguman seperti yang dulu sering dia
lihat dari tatapan pandang mata Tiong Pek, tiba-tiba Bi Cu merasa jantungnya
berdebar dan kedua pipinya merah. Apalagi ketika Tiong Pek berkata, "Bi Cu...
alangkah cantiknya engkau sekarang! Dan betapa hebat kepandaianmu, sungguh aku
merasa kagum bukan main!"
Untuk mengalihkan rasa jengah dan malu, Bi Cu tersenyum. "Ah, engkau masih sama
saja seperti dulu, Na-twako. Mari kautemui dia..."
"Siapa?" Tiong Pek menoleh dan memandang kepada pemuda yang menuntun dua ekor
kuda itu. "Hei, lupakah engkau kepadanya" Lihat baik-baik, siapa dia?" Bi Cu berkata lagi
sambil menghampiri Sin Liong, diikuti oleh Tiong Pek.
Kini mereka berhadapan Sin Liong tersenyum. "Saudara Na Tiong Pek, lupakah
engkau kepada Sin Liong?"
"Sin Liong..." Ah, engkaukah ini?" Tiong Pek berseru kaget dan girang. Tak
disangkanya bahwa pemuda itu adalah Sin Liong, anak yang dahulu ditolong oleh
mendiang ayahnya! "Ah, bagaimana kalian dapat datang bersama" Di manakah saja
engkau tingagal selama ini, Bi Cu" Dan bagaimana bisa bersama Sin Liong bertemu
denganku di sini?" Bertubi-tubi pertanyaan itu diajukan kepada Bi Cu.
"Kami... hanya kebetulan saja bertemu dan kami berdua mengadakan perjalanan
bersama menuju ke Ho-nan, ke kota Su-couw."
"Aih, tidak pernah aku bermimpi akan dapat bertemu denganmu di sini, Bi Cu. Dan
kepandaianmu demikian hebat! Dari mana engkau mempelajari ilmu tongkat yang
demikian lihai" Sungguh lucu, begitu bertemu, engkau yang menyelamatkan aku
malah! Haii, teman-teman, lihatlah baik-baik, nona penolong kita ini bukan lain
adalah sumoiku sendiri! Kalau tidak ada dia yang lihai, mungkin barang-barang
kita terampas dan kita belum tentu selamat!" Semua piauwsu memandang dengan
kagum. "Ah, sudahlah jangan banyak sungkan, twako."
"Kita bukan suheng dan sumoi lagi!"
"Terserah, akan tetapi karena aku sudah menjadi murid orang lain, maka biarlah
kusebut engkau Na-twako saja. Bagaimana keadaanmu selama ini, twako" Apakah
engkau sudah berumah tangga?"
Tiong Pek menggeleng kepalanya, dan dia tertawa, ketawanya polos dan Sin Liong
melihat bahwa biarpun pemuda ini masih mempunyai sifat sombong, akan tetapi kini
sudah berubah dan lebih jujur.
"Setelah ditolak olehmu, aku jera untuk mencari jodoh, takut ditolak lagi. Pula,
di mana mencari orang yang melebihimu?"
"Aih, jangan bergurau, twako!" Bi Cu berkata dan mukanya berubah merah lagi.
"Siapa bergurau" Coba tanya Sin Liong ini! Betul tidak ucapanku tadi, Sin Liong"
Mana ada gadis melebihi dia ini" Eh, dan kau sendiri bagaimana, Sin Liong"
Apakah engkau sudah memperoleh jodoh?"
Sin Liong memandang wajah Bi Cu dan melihat dara itu kelihatan malu sekali, Sin
Liong menjawab lirih, "Belum."
"Ha-ha, kita masih sama seperti dulu! Kalau kuingat betapa kita bertiga melawan
para penyerbu itu. Ah... sungguh malang ayah dan ibuku... eh, kau dibawa pergi
wanita sakti itu, lalu apa yang terjadi, Sin Liong?"
"Aku hanya merantau ke segala tempat sampai... kebetulan bertemu dengan Bi Cu
dan kami lewat di sini, kebetulan bertemu denganmu."
"Kita harus rayakan pertemuan kita! Akan tetapi di hutan begini bagaimana kita
bisa merayakannya" Hayo kalian mampir dulu di rumahku, aku masih tinggal di Kun-
ting, di rumah yang dulu. Sumoi... eh, Bi Cu, tidak maukah engkau singgah di
rumahku lagi?" "Tentu saja twako, akan tetapi, aku ada urusan penting sekali, harus pergi ke
Su-couw, nanti kalau aku kembali dari selatan, tentu aku mau mampir..."
"Ke Su-couw" Kau sendiri, atau bersama Sin Liong?"
"Kami berdua ke Su-couw..."
"Kalau begitu, aku akan mengantarmu. Ada urusan apa, Bi Cu" Biar kubantu
engkau!" Tiong Pek memwarkan jasanya. Akan tetapi sebelum mereka melanjutkan
percakapan itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah seorang tosu,
yang menunggang kuda. Pakaiannya seperti tosu, rambutnya seperti tosu, akan
tetapi sikapnya seperti perampok ganas! Pria itu berusia kurang lebih lima puluh
tahun, biarpun jenggot dan kumisnya terpelihara rapi, namun sepasang matanya
melotot liar dan sikapnya kasar. Di belakang tosu ini nampak kepala perampok
yang sebelah matanya masih terluka dan kini dibalut, sehingga nampak lucu
sekali. Sekali lihat saja, mengertilah Bi Cu bahwa agaknya tosu ini merupakan teman si
kepala perampok, maka dia sudah bangkit dan memandang kepada kepala perampok
tadi sambil mengejek. "Eh, babi hutan mata satu berani datang lagi" Apakah masih
kurang merasakan gebukan dan minta lagi?"
Kini tosu itu sudah meloncat turun dari atas kudanya dan melihat caranya
meloncat, Sin Liong maklum bahwa tosu ini memiliki kepandaian yang lumayan. Tosu
itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan berdiri tegak dia membentak,
"Siapa berani melukai muridku?"
Na Tiong Pek mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, maka dengan pedang di tangan dia
sudah meloncat ke depan sambil memaki, "Tosu busuk, kau membela perampok?" Dan
pedangnya sudah menyerang dengan gencar ke arah tubuh tosu itu.
Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika tongkat itu menangkis pedang,
kemudian tiba-tiba tosu itu membentak nyaring dan tongkatnya kini balas
menyerang dan Na Tiong Pek menjadi sibuk sekali, harus berloncatan ke sana-sini
sambil menangkis, dan akhirnya kaki kanannya kena diserampang.
"Tukk!" Dia terguling roboh karena tulang keringnya kena dipukul dan pada saat
itu tongkat panjang sudah menyambar lagi ke arah kepala Tiong Pek.
"Takkk!" Tongkat panjang itu tertangkis oleh ranting di tangan Bi Cu. Kakek itu
memandang dengan penuh perhatian.
"Minggirlah, twako," kata Bi Cu dan Tiong Pek menyeret pedang sambil terpincang-
pincang mendekati Sin Liong.
"Tosu kerbau itu lihai juga..." dia mengomel, akan tetapi Sin Liong tidak
memperdulikannya karena dia mengkhawatirkan kekasihnya yang harus menghadapi
tosu yang dia tahu memiliki kepandaian lumayan itu. Akan tetapi dia maklum akan
kekerasan hati Bi Cu maka dia tidak mau membantu atau menggantikannya karena hal
itu akan menyinggung hati Bi Cu. Dia hanya siap untuk melindungi kekasihnya itu
kalau perlu dan diam-diam mempergunakan jari-jari tangannya meraba dan memainkan
beberapa buah batu kerikil.
Setelah memandang wanita muda yang memegang ranting pohon itu, si tosu menjadi
terkejut dan terheran-heran. "Inikah dia dara yang mengalahkan kamu?" tanyanya
kepada kepala perampok brewok itu.
"Betul, suhu, akan tetapi dia curang, dia menusuk mata!"
"Heh-heh-heh, memang cantiknya bisa menusuk mata. Eh, nona, engkau telah
kesalahan tangan melukai mata muridku, maka kalau engkau mau ikut dengan pinto,
menjadi murid pinto selama satu bulan, pinto mau mengampunimu. Mari pergi
bersama pinto, sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu luka oleh tongkatku."
"Heh, tosu busuk, tosu cabul, mulutmu kotor! Belum tentu engkau dapat
mengalahkan dia!" Na Tiong Pek sudah memaki-maki dengan marah mendengar ucapan
tosu itu. Dan Bi Cu tidak mau melayani tosu itu, terus saja dia sudah menerjang
dan menggunakan ranting di tangannya untuk menyerang dengan totokan-totokan ke
arah jalan darah yang berbahaya.
"Eh, kau hebat juga!" Tosu itu berseru kaget dan cepat mengelak sambil
menggerakkan tongkatnya menangkis. Akan tetapi Bi Cu tidak memberi kesempatan
kepadanya dan terus saja dara ini mainkan ilmu tongkatnya yang amat lincah.
Semenjak dia menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong memang dia memperoleh
kemajuan pesat, terutama sekali kekuatan sin-kang dan kecepatan gerakan
tubuhnya. Akan tetapi, tepat seperti dugaan Sin Liong, tosu itu memang tangguh sekali.
Setelah bertanding selama tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba tosu itu menangkis
dengan keras dan membuat Bi Cu terdorong ke belakang lalu tosu itu membentak.
"Hei, bukankah kau mainkan Ngo-lian Pang-hoat" Masih apamukah mendiang Hwa-i
Sin-kai?" "Beliau adalah guruku! Kau mau apa?"
"Ha-ha-ha!" Tosu itu tertawa bergelak. "Kalau begitu, semestinya kalau aku
bersikap lunak kepadamu. Bahkan andaikata dia masih hidup, tentu pinto akan
mengalah. Akan tetapi dia sudah mati, dan engkau begini cantik, kau jadilah
muridku selama sebulan..."
"Tosu busuk!" Bi Cu sudah menerjang lagi, akan tetapi sekali ini tosu itu
memutar tongkatnya yang panjang, membentuk gulungan sinar yang lebar dan begitu
Bi Cu bertemu dengan gulungan sinar ini, dia terhuyung ke belakang dan nyaris
dia roboh kalau saja tidak cepat meloncat dan berjungkir balik. Akan tetapi pada
saat itu, tangan yang berlengan panjang dari tosu itu menyambar lengannya dalam
cengkeraman yang amat kuat. Selagi Bi Cu terkejut, tiba-tiba tosu itu berteriak
kesakitan dan melepaskan lengan Bi Cu. Tiba-tiba saja, ketika dia tadi memegang
lengan dara itu, sikunya dihantam oleh benda kecil, entah apa dan tiba-tiba
saja, lengannya menjadi kesemutan dan lumpuh!
Melihat bahwa tidak ada apa-apa, dia mengira bahwa hal itu kebetulan saja, maka
dia sudah memutar lagi tongkat panjangnya dan hendak menyerang Bi Cu. Akan
tetapi pada saat itu terdengar bentakan yang amat nyaring, "Tahan senjata! Di
mana ada seorang pendeta suci menyerang seorang gadis remaja?"
Dan muncullah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan demikian gagahnya
sehingga mengagumkan Na Tiong Pek yang memandangnya. Bi Cu mengenal pemuda itu,
sungguhpun hanya sekelebatan saja ketika pemuda ini ikut pula mengamuk di Istana
Lembah Naga. Juga Sin Liong mengenalnya, karena pemuda itu bukan lain adalah Ciu
Khai Sun, pemuda tinggi tegap, gagah dan tampan dari Siauw-lim-pai itu! Akan
tetapi Ciu Khai Sun tidak memperhatikan dara itu, juga tidak melihat Sin Liong
karena semua perhatiannya ditujukan ke arah tosu itu.
Tosu itu mengira bahwa tentu pemuda ini yang tadi berlaku usil dan membuat
pegangannya terlepas, maka dia lalu membentak marah, "Manusia lancang! Berani
kau mencampuri urusan pinto?" Dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menggerakkan
tongkat panjangnya menyerang pemuda itu!
Akan tetapi sekali ini tosu itu kecelik dan dia bertemu dengan batu karang!
Melihat gerakan tongkat panjang itu jagoan Siauw-lim-pai ini menghadapinya
dengan dua tangan kosong saja! Perlu diketahui bahwa ahli-ahli silat Siauw-lim-
pai sebagian besar pandai memainkan toya, maka melihat gerakan tongkat itu Ciu
Khai Sun maklum bahwa biarpun tosu ini memiliki kepandaian lumayan, namun ilmu
tongkat itu belum cukup hebat untuk membuat dia terpaksa mencabut senjata! Dan
memang pemuda tinggi tegap ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, maka dengan
mengerahkan tenaga sin-kang, dia berani menggunakan kedua lengannya untuk
menangkis tongkat lawan dan setiap tangkisannya bahkan membuat lawan itu merasa
telapak tangannya panas dan nyeri!
Terkejutlah tosu itu. Tak disangkanya bahwa di tempat ini dia bertemu dengan
seorang tokoh Siauw-lim-pai yang begini tangguh! Bertempur belasan jurus saja
sudah membuka matanya bahwa yang dilawannya adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai,
maka gentarlah tosu itu. Dia menyerang secara membabi-buta, akan tetapi setelah
lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Ciu Khai Sun mengeluarkan bentakan nyaring,
tangan kirinya menangkis tongkat itu dengan keras dan tangan kanannya menghantam
ke depan. "Krakkk! Bukk...!" Tubuh tosu itu terlempar sampai dua meter dan roboh
terbanting ke atas tanah dengan napas megap-megap karena dadanya terasa sesak.
Melihat itu, kepala perampok brewok itu cepat menyambar tubuh gurunya dan
melarikan diri dengan membalapkan kudanya. Cui Khai Sun tidak mengejar dan Na
Tiong Pek sudah berlari menghampiri dan menjura dengan penuh hormat.
"Bukan main hebat kepandaian enghiong yang perkasa!" Dia memuji. "Saya akan
merasa terhormat sekali berkenalan dengan enghiong. Saya Na Tiong Pek, kepala
piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok di Kun-ting."
Ciu Khai Sun membalas penghormatan itu dengan sederhana. "Aku Cui Khai Sun. Eh,
Na-piauwsu, apa yang terjadi di sini" Siapakah tosu tadi dan siapa pula orang
brewok tadi?" "Mereka itu perampok-perampok jahat! Mula-mula si brewok itu memimpin anak
buahnya merampok kami, dan kemudian setelah para perampok itu dipukul mundur,
muncullah guru si brewok, yaitu tosu tadi. Untung engkau muncul, Ciu-enghlong
dan ternyata engkau adelah seorang pendekar yang jempol!"
Pada saat itu, Sin Liong dan Bi Cu datang mendekat. Ciu Khai Sun menoleh dan
begitu melihat dua orang muda itu, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia
menghadapi Sin Liong dan Bi Cu sambil menjura penuh hormat.
"Aih, kiranya Cia-taihiap berada di sini" Dan yang bertanding dengan tosu tadi
adalah Bhe-lihiap" Ah, kalau begitu aku telah lancang sekali..."
"Engkau telah menyelamatkan aku, Ciu-enghiong..."
"Eh, jangan membuat aku merasa malu, nona. Jangan menyebut enghiong, sungguh
membikin aku merasa malu di depan Cia-taihiap."
"Baiklah, diantara orang sendiri, biarlah kusebut engkau Ciu-twako saja!" kata
Bi Cu yang merasa suka melihat sikap yang begitu jujur dan sederhana dari jagoan
Siauw-lim-pai yang lihai ini. Mereka semua tertawa dan Na Tiong Pek merasa heran
sampai bengong. Apalagi mendengar betapa pandekar yang gagah itu menyebut Sin
Liong dengan "Cia-taihiap"! Tentu saja dia menjadi bingung dan tidak mengerti
sama sekali. "Ciu-twako hendak pergi ke manakah?" Sin Liong bertanya ramah.
"Aku sedang menuju ke rumah pamanku di Su-couw."
"Su-couw" Ah, sungguh kebetulan, kami berduapun hendak pergi ke Su-couw," kata
Sin Liong girang. "Begitulah" Aku sudah merasa heran bertemu dengan ji-wi di sini, tidakkah
semestinya ji-wi pergi ke utara, ke Lembah Naga" Bukankah aku mendengar bahwa
kaisar..." "Tidak, kami masih banyak urusan dan hendak pergi ke Su-couw." kata Sin Liong
memotong ucapan itu. Melihat sikap pendekar ini agaknya tidak suka membicarakan
urusan Lembah Naga, maka jagoan Siauw-lim-pai itupun tidak mau menyebutnya lagi.
"Kalau begitu, kebetulan sekali, kita dapat melakukan perjalanan bersama!"
katanya dengan girang, "Kita dapat pergi bertiga..."


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berempat, Ciu-enghiong. Akupun akan pergi ke sana! Sekarang juga aku akan
mengatur semua piauwsu untuk mengantarkan barang-barang ini sampai ke tempat
tujuan yang sudah tidak jauh lagi dan aku akan ikut bersama kalian ke Su-couw.
Ketahuilah, Ciu-enghiceng, aku baru saja berjumpa kembali dengan dua orang...
eh, sute dan sumoiku ini setelah kami berpisah selama bertahun-tahun."
"Ahh...!" Ciu Khi Sun tentu saja terkejut sekali mendengar bahwa pemuda tampan
ini adalah suheng dari Cia Sin Liong yang sakti dan nona Bhe Bi Cu. "Tentu
saja..." katanya dengan pandang mata terheran-heran.
Sin Liong dan Bi Cu tidak berkata apa-apa dan setelah Tiong Pek membagi-bagi
tugas kepada para piauwsu yang menjadi anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan
ke tempat tujuan, dia lalu memberikan seekor kuda kepada Ciu Khai Sun dan mereka
berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Mereka berjalan
seenaknya saja sambil menikmati keindahan pemandangan di pegunungan itu setelah
keluar dari hutan, karena memang pemandangan alam di daerah perbatasan utara
Propinsi Honan amatlah indahnya.
Pada tengah hari itu mereka berhenti di tepi sebuah danau kecil di lereng gunung
untuk makan siang dari perbekalan masing-masing sambil mengobrol ke barat dan ke
timur. Setelah memberi waktu kepada kuda mereka untuk beristirahat sejenak,
mereka lalu melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, menjelang senja, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan
nampak ada tiga penunggang kuda mengejar mereka. Tadinya mereka tidak menaruh
perhatian, akan tetapi setelah mereka mendengar teriakan-teriakan dari belakang,
Na Tiong Pek mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah si perampok brewok
bersama dua orang yang membalapkan kuda mereka. Jelaslah bahwa tiga orang itu
mengejar mereka berempat!
"Wah, si babi hutan mata satu itu lagi!" kata Na Tiong Pek gembira, menirukan
julukan yang diberikan oleh Bi Cu kepada kepala perampok yang terluka sebelah
matanya. Hatinya sedikitpun tidak merasa khawatir karena di situ terdapat Ciu
Khai Sun, yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, juga tokoh Siauw-lim-pai
pula seperti yang didengarnya dari percakapan mereka. Selain ada Ciu Khai Sun,
juga di situ ada Bi Cu yang sekarang ternyata lebih lihai daripada dia sendiri.
Mengenai diri Sin Liong, dia meragukan apakah pemuda inipun memperoleh kemajuan
seperti Bi Cu! Empat orang muda itu menahan kuda lalu membalikkan kuda mereka menghadapi tiga
orang yang datang dengan cepat itu. Ternyata mereka itu adalah si kepala
perampok yang mata kirinya tertutup balutan kain bersama dua orang kakek, akan
tetapi bukan tosu yang menjadi gurunya dan yang telah dikalahkan oleh Khai Sun
tadi. Mereka ini juga dua kakek tua, dan seorang di antara mereka berpakaian
seperti tosu, mukanya putih dan matanya memandang bengis, di punggungnya
terdapat sebatang pedang panjang. Orang ke dua berpakaian seperti seorang
pengemis, membawa sebatang tongkat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya penuh
senyum. "Hemm, mereka itu adalah Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong." Sin Liong
berkata lirih akan tetapi cukup dapat didengar oleh tiga orang temannya.
"Ahh! Mereka yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat di selatan itu?" Ciu
Khai Sun berkata dengan nada suara kaget. Biarpun dia sendiri belum pernah jumpa
dengan dua orang itu, namun nama besar mereka sudah pernah didengarnya. Kim Lok
Cinjin, tosu muka putih itu adalah sute dari mendiang Kim Hwa Cinjin ketua Pek-
lian-kauw yang tewas di tangan Cia Bun Houw ketika terjadi pertempuran di Lembah
Naga. Sedangkan Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) adalah seorang
pengemis yang berilmu tinggi dan yang menguasai seluruh kai-pang (perkumpulan
pengemis) di seluruh daerah selatan.
"Bi Cu, harap engkau diam saja dan jangan ikut maju," tiba-tiba Sin Liong
berkata kepada kekasihnya.
"Tapi, Sin Liong..." Bi Cu hendak membantah.
"Mereka itu lihai bukan main, dan kejam," kata pula Sin Liong memotong kata-kata
kekasihnya. "Cia-taihiap, biarlah jembel tua itu kuhadapi dan Kim Lok Cinjin yang kabarnya
luar blasa lihainya itu taihiap yang menandinginya."
"Ciu-twako, kuharap twako sekali ini menonton saja, biar aku yang menghadapi
mereka berdua," jawab Sin Liong yang maklum akan bahayanya dua orang lawan itu
dan biarpun dia tahu akan kelihaian pemuda Siauw-lim-pai ini namun dia khawatir
kalau-kalau pemuda itu akan celaka.
Na Tiong Pek mendengarkan percakapan itu dengan heran sampai dia melongo. Sin
Liong hendak menghadapi lawan yang dikabarkan amat lihai itu seorang diri saja,
menghadapi mereka berdua" Apa artinya ini" Dia merasa tidak enak melihat semua
orang mengajukan diri untuk menghadapi musuh, maka diapun berkata, "Sute, aku
akan membantumu!" Sin Liong tersenyum. "Na-twako jangan main-main. Mereka itu datuk-datuk golongan
sesat yang lihai, biarlah kau nonton saja dan siap membantuku kalau aku sampai
terancam bahaya." Kalimat terakhir itu dimaksudkan untuk "mengangkat" orang ini,
akan tetapi Tiong Pek yang belum tahu benar bahwa Sin Liong kini telah menjadi
seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, bahkan yang kini terkenal
dengan sebutan Pendekar Lembah Naga, segera menjawab dengan sungguh-sungguh.
"Baik!" Kini tiga orang itu sudah tiba di situ dan mereka sudah berloncatan turun dengan
sikap mengancam. Melihat ini, Sin Liong menyerahkan kendali kudanya kepada Tiong
Pek yang berada di sebelah kirinya sambil berkata, "Twako, tolong kau pegangkan
kendali kudaku sebentar." Setelah berkata demikian, diapun lalu turun dari
kudanya dan melangkah ke depan menyambut dua orang kakek itu dengan sikap
tenang. "Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong, apakah ji-wi baik-baik saja" Dan ada
keperluan apakah ji-wi mengejar kami?" tanya Sin Liong dengan suara tenang. Dua
orang kakek itu yang tadinya memandang ke arah Ciu Khai Sun yang ditunjuk oleh
si kepala rampok sebagai orang yang mengalahkan gurunya dan kepada Bi Cu sebagai
gadis yang telah melukainya, kini terkejut dan memandang kepada Sin Liong dengan
heran. Tak disangkanya begitu jumpa, pemuda sederhana ini telah mengenal nama
mereka. Mereka kini mengamati pemuda itu dengan penuh perhatian. Kemudian
merekapun mengenal pemuda ini dan Kim Lok Cinjin berseru kaget, "Kau... kau
adalah... adalah bocah bernama Sin Liong itu...?"
Tentu saja Kim Lok Cinjin terkejut karena dia pernah bertemu, bahkan pernah
bergebrak dengan pemuda ini ketika diadakan pemilihan bengcu di selatan, bahkan
Lam-thian Kai-ong juga hadir dan menyaksikan kelihaian anak itu ketika
menghadapi Lam-hai Sam-lo!
"Ah, kalau begitu dia inilah yang menggagalkan gerakan di Istana Lembah Naga!"
teriak pula Lam-thian Kai-ong. Kiranya dua orang inipun telah dihubungi oleh Kim
Hwa Cinjin untuk membantu gerakan Pangeran Ceng Han Houw, akan tetapi mereka
terlambat dan mereka mendengar bahwa gerakan itu gagal sama sekali, banyak orang
kang-ouw golongan hitam tewas dan pasukan Pangeran Ceng Han Houw ditumpas oleh
pasukan pemerintah. Dan kaum kang-ouw golongan hitam atau sesat yang telah
dibebaskan itu mengabarkan bahwa gara-gara kegagalan itu adalah Cia Sin Liong!
"Kim Lok Cinjin, suhengmu telah tewas, demikian pula Lam-hai Sam-lo dan banyak
lagi kaum sesat yang membantu pemberontakan. Pemberontakan telah ditumpas, oleh
karena itu, sebaiknya kalau engkau pergi dan membujuk para anggauta Pek-lian-
kauw agar jangan mencoba-coba untuk memberontak terhadap pemerintah. Dan engkau,
Lam-thian Kai-ong, apakah engkaupun hendak membawa kaum pengemis untuk
memberontak pula?" "Mengapa tidak" Kaum pengemis di kota raja dikejar-kejar, dan Hwa-i Sin-kai juga
dibunuh. Bukankah pemerintah menindas kaum pengemis yang sudah sukar hidupnya?"
kata Lam-thian Kai-ong. "Bohong!" tiba-tiba Bi Cu berteriak, "Hwa-i Sin-kai adalah guruku dan aku tahu
bahwa dia tewas karena difitnah, karena semua itu diatur oleh Kim Hong Liu-nio
yang sekarang sudah tewas pula! Pemerintah tidak pernah memusuhi rakyatnya,
apalagi rakyat miskin."
"Sudahlah, sebaiknya kalian mundur saja sebelum terlambat. Masih banyak
kesempatan bagi kalian untuk kembali ke jalan benar!"
"Cia Sin Liong! Pinto mendengar bahwa engkau adalah keturunan Cin-ling-pai dan
bahwa ilmu kepandaianmu hebat sekali. Dahulu di dalam pemilihan bengcu kita
tidak sempat mengadu ilmu secara memuaskan, sekarang pinto ingin mencoba-coba
ilmumu sebelum mendengarkan bujukanmu itu!" kata Kim Lok Cinjin.
"Akupun ingin mencoba kepandaian orang yang dijuluki Pendekar Lembah Naga!" kata
pula si Raja Pengemis. Sin Liong tersenyum. "Kalian ini orang-orang tua masih saja memiliki nafsu besar
untuk berkelahi. Biarlah aku mengaku kalah tanpa berkelahi, asal kalian suka
mundur dan kembali ke jalan benar," kata Sin Liong sambil menjura. Melihat ini,
Na Tiong Pek mengerutkan alisnya. Tadi dia merasa semakin heran sampai memandang
dengan mata terbelalak mendengar percakapan itu. Tak disangkanya bahwa Sin Liong
telah memperoleh kemajuan sedemikian hebatnya sehingga dikenal sebagai seorang
pendekar yang sakti. Pantas saja Ciu Khai Sun menyebutnya Cia-taihiap! Akan
tetapi mendengar dan melihat sikap Sin Liong yang mengalah itu, sungguh dia
merasa penasaran. Kalau memang benar Sin Liong memiliki kepandaian tinggi,
kenapa dia tidak menyambut tantangan dua orang kakek sesat itu"
Kim Lok Cinjin masih merasa sakit hatinya mendengar akan kematian suhengnya,
yaitu Kim Hwa Cinjin, yang menurut berita tewas di tangan Cia Bun Houw, tokoh
Cin-ling-pai atau ayah dari pemuda yang kini berdiri di depannya itu. Sebagai
seorang tua yang banyak pengalaman, dia tentu tidak akan mau menimpakan
dendamnya kepada pemuda ini, akan tetapi karena kegagalan gerakan pangeran itu
dikabarkan karena pemuda ini, maka dia ingin melampiaskan rasa kecewanya dengan
menghinanya. "Cia Sin Liong, kalau engkau mau berlutut dan minta ampun sebanyak delapan kali
kepadaku, barulah pinto akan menghabiskan segala urusan dan akan pergi
meninggalkanmu." Sin Liong masih tetap tenang, akan tetapi kedua matanya mencorong tanda bahwa
dia mulai marah. "Kim Lok Cinjin, bagi seorang gagah, kalau memang bersalah, aku
akan suka tanpa diminta lagi untuk berlutut minta ampun kepada seorang anak
kecil sekalipun, akan tetapi kalau tidak bersalah, biar menghadapi siapapun,
biar setan atau iblis, aku tidak akan sudi berlutut dan mengalah!"
"Bagus! Itu artinya menantang kami!" kata Si Raja Pengemis yang sudah meng-
gerakkan tongkatnya melakukan penyerangan yang amat cepat dan ganas. Kim Lok
Cinjin yang pernah menyaksikan kelihaian Sin Liong, tidak malu-malu lagi untuk
membantu temannya itu dan dia juga mencabut pedang dan menubruk, melakukan
serangan kilat ke arah Sin Liong.
Sin Liong cepat mengelak sambil berloncatan ke sana-sini. "Hem, kalian memang
sudah tidak dapat diperbaiki lagi," katanya dan diapun balas menyerang dengan
tamparan-tamparan tangannya.
Tongkat butut di tangan Raja Pengemis itu menyambar ganas, namun hanya dengan
miringkan kepalanya, tongkat itu lewat dan luput.
"Darrr!" Batu besar di belakang Sin Liong yang terkena pukulan tongkat itu
pecah! "Singgg...!" Sinar kilat pedang di tangan Kim Lok Cinjin menyambar, namun
kembali serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Sin Liong dengan mudah. Dua
orang kakek itu menjadi semakin marah dan penasaran, mereka lalu memutar senjata
mereka dengan cepat sehingga lenyap bentuk pedang dan tongkat itu, berubah
menjadi dua gulungan sinar hitam dan sinar keemasan yang amat cepat menyambar-
nyambar. Tubuh kedua orang kakek itu sampai lenyap tertutup gulungan sinar
senjata mereka, hanya nampak kaki mereka saja kadang-kadang menginjak tanah dan
berloncatan ke sana-sini. Namun dengan tenangnya Sin Liong menghadapi
pengeroyokan itu dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dia dapat menghindarkan
setiap serangan, dan kedua lengan yang dipenuhi tenaga sin-kang dari Thian-te
Sin-ciang itu, seperti juga kedua lengan Kok Beng Lama dahulu, dapat
dipergunakannya untuk menangkis tongkat dan bahkan menangkis pedang tanpa
terluka! Melihat betapa pemuda itu yang bergerak tenang dikeroyok oleh dua orang kakek
yang demikian lihainya, Na Tiong Pek menjadi gelisah sekali. "Ciu-enghiong,
kenapa engkau tidak membantunya" Sumoi... lebih baik engkau membantu Sin
Liong... dua orang lawannya demikian ganas...!"
"Na-twako, jangan khawatir, Sin Liong tidak akan kalah."
"Saudara Na, apakah engkau tidak dapat melihat betapa Cia-taihiap sudah mulai
mendesak mereka?" Mendengar ucapan kedua orang itu, Tiong Pek membelalakkan mata dan memandang
dengan penuh perhatian ke arah pertempuran, akan tetapi gerakan dua orang kakek
itu terlalu cepat sehingga dia tidak dapat mengikuti dan sama sekali tidak dapat
melihat bagaimana keadaan Sin Liong yang kini juga mulai bergerak dengan cepat
bukan main. Maka, tentu saja ucapan dua orang tadi tidak dapat melenyapkan
Biang Ilmu Hitam 4 Naga Sakti Sungai Kuning Huang Ho Sin-liong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Jembel 16
^