Pencarian

Pendekar Negeri Tayli 5

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 5


menjinggungnja lagi, maka katanja: Gak-lotjianpwe, sebenarnja siapakah nama
engkau orang tua" Dapatkah kau memberitahu agar kelak aku mudah memanggil engkau
bila suamiku sudah mendjadi muridmu.
Aku bernama Gak............ Gak............ ah, keparat! mendadak Lam-hay-gok-
sin memaki sebelum menjabutkan namanja sendiri: Namaku adalah pemberian ajahku,
tapi namaku ini terlalu djelek, ajahku selamanja tidak berbuat sesuatu jang
baik, benar2 andjing keparat!
Hampir2 Bok Wan-djing tertawa geli, pikirnja: Orang ini benar2 lebih durhaka
daripada binatang, masakah ajah sendiri djuga ditjatji-maki. Dan kalau ajahmu
andjing keparat, lalu engkau sendiri apa"
la lihat Lam-hay-gok-sin lagi mondar-mandir kian kembari, tampaknja merasa gopoh
sekali. Tiba2 Wan-djing teringat pada Toan Ki, pikirnja: Entah sekarang dia
sudah turun gunung dengan selamat tidak" Djika dirintangi kawanan ular, apakah
orang suruhan Lam-hay-gok-sin itu bisa melintasi kepungan ular itu"
Pada saat itulah, tiba2 ditengah udara terombang-ambing suara tangisan jang
lirih pelahan, suaranja sangat memilukan, sajup2 seperti seorang wanita lagi
menangis: O, anakku! O, sajangku!
Hanja dua kalimat itu sadja suara tangisan itu sudah membikin perasaan Bok Wan-
djing terguntjang hebat se-akan2 semangat akan meninggalkan raganja.
Fui, mendadak Gok-sin meludah lagi dan berkata: Hm, orang menangisi kematian itu
sudah datang! menjusul ia lantas menggembor: Kau menangisi apa" Lotju sudah lama
menanti disitu! Namun suara itu sajup2 masih terus menangis dengan pilunja: O, anakku, betapa
ibu mengenangkan engkau! Perasaan Bok Wan-djing mendjadi katjau-balau oleh pengaruh suara itu, tanjanja:
Apakah ini sidjahat nomor empat"
Perempuan ini adalah Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio, gelar Ok nja itu berurut
ditempat kedua, tapi pada suatu ketika aku Hiong-sin-ok-sat pasti akan bertukar
gelar dengan dia, demikian sahut Lam-hay-gok-sin.
Baru sekaraqg Bok Wan-djing mengarti seluk-beluknja urut2an Su-ok itu.
Kiranja jang mendjadi antjer2 urutan mereka itu adalah pada huruf Ok itu.
Yap Dji-nio bergelar Bu-ok-put-tjok atau tiada kedjahatan jang tak dilakukannja,
karena huruf Ok itu djatuh pada huruf kedua, maka ia adalah orang djahat nomor
dua didunia ini. Sedang Lam-hay-gok-sin itu berdjuluk Hiong-sin-ok-sat atau
malaikat buas setan djahat, huruf Ok adalah huruf ketiga, maka iapun menurut
urut2an menduduki tempat ke-tiga.
Segera Wan-djing menanja lagi: Lalu, siapakah djulukan orang djahat nomor satu
didjagat ini" Dan siapa pula jang nomor empat itu"
Buat apa kau tanja" Aku tidak tahu! seru Lam-hay-gok-sin marah2.
Tapi mendadak suara seorang wanita jang halus telah menjambungnja: Lotoa kami
berdjuluk Ok-koan-boan-eng dan Losi kami bergelar Kiong-hiong-kek-ok.
Sungguh heran sekali Bok Wan-djing oleh nama2 jang aneh itu, njata, sesuai
dengan urut2an huruf Ok itu, Lotoa atau jang tertua, berdjuluk Ok-koan-boan-eng
atau kedjahatan melebihi takaran, dan Losi, sinomor empat, bergelar Kiong-hiong-
kek-ok atau buas dan kedjam luar biasa. la terkedjut pula oleh betapa tjepat
datangnja Yap Dji-nio itu, kedengarannja tadi masih djauh, tahu2 sekarang sudah
muntjul disitu. Dalam kedjutnja itu segera ia perhatikan wanita itu. la lihat orang mengenakan
badju pandjang warna hidjau muda, rambutnja pandjang terurai, usianja kurang-
lebih 40 tahun, air mukanja tjukup tjantik, tjuma kedua pipinja masing2 terdapat
tiga djalur merah darah seperti bekas tjakaran.
Pada tangannja membopong seorang anak laki2berumur kira2 dua tahun, mungil dan
menjenangkan. Semula Wan-djing sangka Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio itu menurut urut2an masih
diatasnja Lam-hay-gok-sin, teutu orangnja djauh lebih bengis menakutkan, siapa
tahu orangnja ternjata rada tjantik djuga. Karena itu, tanpa merasa ia pandang
orang beberapa kali. Tiba2 Yap Dji-nio tersenjurn kepadanja, seketika Bok Wan-
djing mengkirik, ia merasa diantara senjum wanita itu lapat2 mengandung rasa
sedih dan duka luar biasa hingga bagi siapa jang memandangnja rasanja mendjadi
terharu se-akan2 ikut menangis.
Maka lekas2 ia berpaling kearah lain, ia tidak berani memandang padanja lagi.
Sam-moay, kenapa Toako dan Site masih belum datang" tanja Lam-hay-gok-sin.
Dengan pelahan Yap Dji-nio mendjawab: Sudah terang gamblang kalau kau adalah
Losam, tapi kau mati2an ingin melampaui aku, ja" Tjoba kau panggil lagi sekali
Sam-moay, hm, Entjimu ini tidak mau sungkan2 lagi padamu!
Lam-hay-gok-sin meudjadi gusar, serunja: Tidak sungkan2 lagi, lalu mau apa" Apa
kau mengadjak berkelahi"
Untuk berkelahi tentu tidak kekurangan waktu, emangnja apa aku djeri padamu"
sahut Yap Dji-nio. Benar tidak, Bok Wan-djing"
Mendengar nama sendiri disebut, seketika Bok Wan-djing tergetar, semangatnja
seakan2 me-lajang2 terlepas dan raganja. Dalam terkedjutnja segera ia mendjadi
sadar djuga. Kiranja Yap Dji-nio itu lagi menggunakan ilmu Liap-hun-tay-hoat,
jaitu sematjam hipnotis pada djaman kuno jang lihay, bila sinar mata kedua orang
saling beradu, seketika akan djatuh dibawah pengaruhnja serta menurut segala
perintahnja. Hal ini pernah Bok Wan-djing mendengar dari gurunja. Maka ia tidak
berani semberono lagi, lekas2 pusatkan semangat dan kerahkan Lwekangnja sambil
menarik kain kedoknja untuk menutup mukanja, bahkan kedua mata djuga ditutupnja
sekalian. Bok Wan-djing, terdengar Yap Dji-nio berkata lagi dengan tertawa, paling achir
ini nama djahatmu sangat tersohor, kalau kau angkat saudara dengan kami serta
mendjadi Go-moay (adik kelima) kami, rasanja boleh djuga. Betui tidak, Sam-te"
Tidak! sahut Lam-hay-gok-sin keras2.
Kenapa tidak" tanja Yap Dji-nio dengan ramah.
Dia adalah bininja muridku, mana boleh mendjadi Go-moayku" Toh sudah tjukup
mempunjai seorang Sam-moay seperti kau! demikian sahut Gok-sin.
Mendadak ia membentak kearah lain: Gelinding kemari! Dimana botjah she Toan itu"
Kenapa tidak dibawa kemari"
Kiranja orang jang tadi disuruhnja mentjari Toan Ki itu telah datang.
Maka tertampaklah orang itu mendjawab dari tempat sedjauh belasan tombak dengan
gelagapan: Ham............ hamba sampai diatas karang itu, tapi............ tapi
orangnja sudah menghilang. Hamba telah mentjarinja ke-mana2, tapi
tidak............... tidak ketemu!
Karuan Bok Wan-djing terkedjut, ia mendjadi kuatir djangan2 Toan Ki sudah mati
terdjatuh kedalam djurang.
Segera ia dengar Lam-hay-gok-sin lagi membentak: Apakah disebabkan kau terlambat
datang kesana, maka botjah itu telah mati djatuh kedalam djurang"
Orang itu tidak berani mendekat, djawabannja bertambah gelagapan: Tapi
hamba............ hamba sudah mentjari keseluruh lembah dan tidak menemukan
majatnja, djuga tidak melihat sesuatu tanda bekas darah.
Mustahil! Apa mungin dia mampu terbang kelangit" Kau berani mendustai aku, ja"
bentak Gok-sin dengan murka.
Saking ketakutan, orang itu mendjura mati2an minta ampun sambil bentur2kan
kepalanja keatas batu didepannja hingga mengeluarkan suara kerotokan.
Mendadak terdengar suara menjambernja angin, sesuatu benda antap telah melajang
kesana, plok, seketika orang itu tidak bersuara lagi. Tapi dari suara2 itu, Bok
Wan-djing menduga pasti Lam-hay-gok-sin telah timpukan sepotong batu hingga
membinasakan orang itu. Sebenamja Bok Wan-djing sendiri adalah seorang iblis jang membunuh orang tanpa
berkedip, orang itu tidak mampu menemukan Toan Ki, ia sendiripun gemasnja tidak
kepalang, andaikan Lam-hay-gok-sin tidak binasakan orang itu, ia sendiripun
djuga tidak mau mengampuninja. Sesaat itu pikirannja mendjadi timbul-tenggelam:
Dia sudah menghilang dari karang itu, tapi majatnja tidak kelihatan didasar
djurang, lalu kemana dia telah pergi" Apa mungkin ditelan ular besar" Ah, tidak
mungkin, dia membawa Bong-koh-tju-hap, segala djenis ular tidak berani gariggu
padanja. Ja, tentu dia tedjatuh ditempat jang terpentjil, maka orang itu takbisa
menemukannja, atau mungkin majatnja telah diketemukan orang itu, tapi tidak
berani mengaku terus terang.
Semakin dipikir, ia merasa kemungkinan Toan Ki sudah meninggal. Waktu dia
berpisah dari pemuda itu, ia sudah ambil keputusan: pabila Toan Ki mati, pasti
dia djuga akan menjusulnja. Apalagi sekarang dirinja berada dibawah tjengkeraman
Lam-hay-gok-sin, kalau tidak mati, entah siksaan kedji apa jang akan
dirasakannja. Tapi sebelum melihat majatnja Toan Ki, betapapun toh masih ada
harapan bahwa pemuda itu masih hidup" Karena itulah, iapun tidak rela kalau mati
begitu sadja. Sedang pikiran Bok Wan-djing katjau, tiba2 terdengar anak ketjil dipondongan Yap
Dji-nio itu ber-teriak2 menangis: lbu, ibu, mana ibuku"
Anak baik, bukankah aku inilah ibumu! demikian Yap Dji-nio membudjuknja.
Tapi tangis botjah itu semakin keras malah: Tidak, kau bukan ibuku! Aku minta
ibu, mana ibuku" Pelahan2 Yap Dji-nio men-tepuk2 badan anak itu sambil menina-bobokannja dengan
lagu kanak2. Narnun bukannja diam, sebaliknja tangis anak itu semakin keras.
Tapi Yap Dji-nio tetap menina-bobokannja dengan sabar sambil melagukan: O,
tidurlah anakku................... dan sebagainja.
Lam-hay-gok-sin mendjadi geregatan oleh suara2 jang membisingkan itu, dasar
wataknja memang kasar, ditambah kehilangan tjalon murid kesajangannja, ia
mendjadi lebih gopoh lagi, tiba2 ia inembentak: Kau membudjuk kentut! Kalau mau
isap darahnja, lekas lakukanlah!
Namun Yap Dji-nio tidak gubris padanja, ia masih terus menina-bobokan baji itu.
Sampai mengkirik Bok Wan-djing mendengarnja, makin dipikir makin takut hatinja.
Semula ketika melihat Yap Dji-nio jang bergelar orang djahat nomor dua didunia
ini ternjata membawa seorang baji jang mungil, memangnja ia sudah heran. Kini
mendeagar utjapan Lam-hay-gok-sin itu, djadi Yap Dji-nio itu bakal mengisap
darah anak itu, mau-tak-mau timbul rasa gusarnja serta takut pula. Pikirnja:
Tjara bagaimanakah aku bisa menjelamatkan anak ketjil ini" Tapi bila ingat mati-
hidup Toan Ki masih belum diketahui, terpaksa ia tidak berani pikirkan urusan
orang lain. Namun suara nina-bobo Yap Dji-nio jang penuh rasa kasih-sajang itu, makin lama
makin memuakan perasaannja.
Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, damperatnja: Setiap hari kau
pasti minta korban seorang baji, tapi sengadja kau berlagak welas-asih, sungguh
memuakan dan tidak tahu malu!
Djanganlah kau gembar-gembor hingga bikin kaget anakku! sahut Yap Dji-nio dengan
suara halus. Gok-sin mendjadi murka, mendadak anak dipondongan Yap Dji-nio itu hendak
didjambretnja untuk dibanting mati. Tapi betapapun tjepatnja ternjata masih
kalah tjepat daripada Yap Dji-nio. Hanja sedikit memutar, tjakaran Gok-sin itu
sudah luput. Aija, Sam-te, tanpa sebab apa2, kenapa kau mengganggu anakku ini"
demikian dengan nadanja jang penuh rasa kasih-sajang seorang ibu, Yap Dji-nio
mengomel. Walaupun kedua mata Bok Wan-djing ditutup sendiri dengan kain kedoknja, tetapi
ia dapat mengikuti kedjadian tadi dengan telinganja. la pikir: Yap Dji-nio ini
memang pantas berada diatasnja Lam-hay-gok-sin. Malaikat buaja ini djangan harap
selama hidup mampu melampaui wanita itu.
Benar djuga, sekali djamberat tidak kena, rupanja Lam-hay-gok-sin tahu djuga
kalau bergebrak tentu akan sia2 belaka. Hanja mulutnja jang masih memaki:
Kurangadjar, Lotoa dan Losi kedua anak kura2 ini kenapa sampai saat kini masih
belum datang, aku tidak sabar menunggunja lagi.
Kau tahu tidak bahwa kemarin Losi telah ketemukan musuh di tengah djalan dan
menelan pil pahit" tiba2 Yap Dji-nio menanja.
He, Losi kepergok musuh" Siapa dia" tanja Gok-sin heran.
Tiba2 Yap Dji-nio menuding Bok Wan-djing dan berkata: Budak ini tampaknja tidak
beres, kau sembelih dia dahulu baru kemudian kutjeritakan.
Lam-hay-gok-sin mendjadi ragu2, sahutaja: Dia adalah bini muridku, kalau
kusembelih dia, muridku tentu akan ngambek tak-mau angkat guru padaku.
Djika begitu, biarlah aku jang kerdjakan, udjar Yap Dji-nio dengan tertawa.
Kalau muridmu ngambek, suruh dia mentjari balas padaku. Habis, kedua matanja sih
terlalu menggiurkan bagi siapapun jang melihatnja, aku mendjadi iri tak memiliki
mata sedjeli itu. Biarlah kutjolok dulu kedua bidji matanja!
Sungguh kaget Bok Wan-djing tidak kepalang hingga keringat dingin seketika
membasahi badannja. Sjukurlah ia dengar Lam-hay-gok-sin telah mentjegah:
Djangan! Biar kututuk sadja Hiat-to pingsannja, biar dia tidur selama sehari dua
malam! ~ dan tanpa menunggu djawaban Yap Dji-nio lagi, se-konjong2 orangnja
melompat kesamping Bok Wan-djing dan menutuk dua kali. Seketika Bok Wan-djing
merasa kepalanja pening, lalu tak sadarkan diri lagi............
Entah sudah berapa lama, ketika pelahan2 Bok Wan-djing siuman kembali, ia merasa
badannja sangat dingin, segera terdengar pula serentetan suara tertawa mengikik.
Meski dikatakan tertawa, hakikatnja tiada rasa tawa sedikitpun, tapi lebih mirip
dikatakan suara mengilukan dan beradunja benda logam misalnja sebilah golok jang
di-gosok2kan diatas papan badja.
Bok Wan-djing sangat tjerdik, ia tahu, sekali dirinja bergerak, seketika pasti
akan diketahui pihak lawan, boleh djadi akan mengakibatkan dirinja disiksa. Maka
meski badannja serasa kaku pegal sekali, ia tidak berani sembarangan bergerak.
Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi berkata: Losi, tidak perlu kau
omong gede! Sam-moay telah beritahu padaku bahwa kau telah telan pil pahit dari
orang, buat apa kau masih menjangkal" Sebenarnja kau dikerojok berapa orang
musuh" Suara orang jang mirip logam digosok itu segera mendjawab: Huh, apa jang
diketahui Dji-tji" Aku dikerubut tudjuh orang musuh, semuanja tergolong djago2
kelas satu, sudah tentu, betapa tinggi kepandaianku djuga takbisa sekaligus
membunuh musuh sebanjak itu.
Eh, kiranja Losi jang berdjuluk Kiong-hiong-kek-ok itu djuga sudah datang,
demikian pikir Bok Wan-djing. Sebenarnja ia sangat ingin melihat matjam apakah
Kiong-hiong-kek-ok itu, namua betapapun ia tidak berani sembarangan menarik kain
kedoknja. Terdengar Yap Dji-nio ikut berkata: Ah, Losi memang suka omong besar.
Sudah terang pihak lawan tjuma dua orang, dari mana bisa muntjul lima orang
lagi" Masakah didunia ini terdapat djago pilihan sebanjak itu"
Hm, darimana pula kau mengetahui" Apa kau menjaksikan dengan mata-hidungmu
sendiri" sahut Losi dengan gusar.
Kalau aku tidak menjaksikan sendiri, dengan sendirinja aku takkan tahu, kata Yap
Dji-nio dengan tersenjum. Bukankah kedua orang itu masing2
menggunakan sendjata sebatang pantjing ikan dan jang lain memakai kampak"
Hihihi, kelima orang lain jang kau bikin sendiri itu lalu memakai sendjata apa,
tjoba katakan" Se-konjong2 Losi berbangkit, dengan suara keras ia berkata: Djadi waktu itu kau
berada disana, kenapa kau tidak rnembantu padaku" Kau ingin aku mati ditangari
orang, dan kau senang, ja"
Tapi Yap Dji-nio tetap mendjawabnja dengan senjum atjuh-tak-atjuh: Ah, kenapa
kau merendahkan nama Kiong-hiong-kek-ok In Tiong-ho" Siapa jang tidak kenal
Ginkangmu tiada bandingannja didjagat ini" Kalau kau kalah, emangnja kau tak
bisa lari" Kiranja sidjahat keempat ini bernama In Tiong-ho atau bangau terbang diangkasa,
suatu tanda Ginkang atau ilmu entengi tubuhnja pasti sangat lihay. Ia semakin
gusar demi mendengar utjapan Yap Dji-nio tadi, teriaknja lebih keras: Kalau Losi
terdjungkal ditangan orang, apakah kau ikut bahagia" Hm, apa maksud tudjuan kita
Su-ok berkumpul disini"
Bukankah hendak berunding tjara bagaimana tjari perkara keistana radja di Tayli"
Peristiwa ini bukankah berarti beralamat djelek"
Si-te, demikian Yap Dji-nio berkata pula dengan senjumannja jang tidak berubah,
selamanja aku tidak pernah melihat Ginkang sehebat itu, bangau terbang
diangkasa, sungguh tidak bernama kosong. Wah, bagai asap terapung, seperti
burung melajang, mana bisa kedua manusia itu menjusulmu"
Losi, tiba2 Lam-hay-gok-sin menjela, sebenarnja siapakah jang mengerubuti kau
itu" Apakah kaki-tangan dari istana Tayli"
Ja, 99% pasti dari sana, sahut In Tiong-ho dengan gusar. Aku tidak pertjaja
didaerah Tayli masih ada orang kosen lain lagi ketjuali orang mereka.
Makanja djangan kalian suka anggap enteng mereka, sekarang kalian pertjaja tidak
pada omonganku" udjar Dji-nio.
Dji-tji, kata In Tiong-ho tiba2, sampai saat ini Lotoa masih belum nampak batang
hidungnja, padahal sudah lewat tiga hari daripada waktu jang kita tetapkan,
selamanja iapun tidak pernah langgar djandji, djangan2......
Djangan2 terdjadi apa2, maksudmu" potong Yap Dji-nio.
Fui! Mana bisa djadi, seru Lam-hay-gok-sin dengan gusar. Matjam apakah Lotoa
kita itu, emangnja dia seperti kalian, kalau kalah lantas lari"
Kalau kalah lantas lari, itu namanja tahu gelagat! sahut Yap Dji-nio ku djusteru
kuatir bila dia benar2 dikerojok 7-8 musuh, tapi kepala batu tidak mau kalah,
achirnja tamat riwajatnja sesuai dengan djulukannja Ok-koan-boan-eng (kedjahatan
sudah melebihi takaran)!

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fui! Omong kosong! semprot Lam-hay-gok-sin. Selama hidup Lotoa malang melintang,
pernah dia djeri pada siapa" Sudah belasan tahun ia mendjagoi Tionggoan, masakan
sampai dinegeri Tayli seketjil ini malah terdjungkal"
Wah, kurangadjar, perut lapar lagi! ~ segera ia samber sepotong paha lembu terus
dipanggang diatas api unggun disampingnja.
Tidak lama, bau sedap teruar pelahan2.
Pikir Bok Wan-djing: Dari pertjakapan mereka tadi, tampaknja aku sudah tak
sadarkan diri selama tiga hari disini. Entah Toan-long sudah ada kabar beritanja
tidak" ~ Dan karena sudah empat hari tidak makan apa2, perutaja terasa sangat
lapar, ketika mengendus bau daging panggang, tak tertahan perutnja mengeluarkan
suara keluruk2. Siaumoaymoay, perutmu lapar bukan" tiba2 Yap Dji-nio berkata dengan tertawa.
Sedjak tadi kau sudah sadar, kenapa pura2 diam sadja" Apa kau tidak pingin lihat
bagaimana matjamnja Kiong-hiong-kek-ok In-losi kami"
Lam-hay-gok-sin kenal watak In Tiong-ho paling gemar paras tjantik, bila tahu
Bok Wan-djing luar biasa ajunja, biarpun mati djuga dia ingin mendapatkannja,
berbeda seperti dirinja kalau perlu barulah memperkosa dan membunuh. Maka tjepat
ia sebret sepotong daging paha lembu tadi dan dilemparkan kepada Bok Wan-djing
serta membentak: Ni, makanlah kesana, djauh sedikit, djangan mentjuri dengar
pembitjaraan kami! Bok Wan-djing sengadja kasarkan suara sendiri hingga kedengarannja lutju,
tanjanja: Suamiku sudah datang belum"
Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, sahutnja: Keparat, aku sendiri sudah mentjari
ubek2an kesekitar djurang sana, tapi sedikit pun tidak menemukan djedjak botjah
itu. Dapat dipastikan botjah itu belum mampus, entah telah digondol siapa, aku
sudah menunggu disini tiga hari, biar kutunggu lagi empat hari, dalam tudjuh
hari kalau botjah itu tidak datang. Hm, aku nanti panggang kau untuk dimakan!
Hati Wan-djing sangat terhibur oleh keterangan itu, pikirnja: Lam-hay-gok-sin
ini bukan sembarangan orang, kalau dia sendiri sudah mentjari kesana dan jakin
Toan-long belum mati, rasanja tentu betul. Ai, tjuma entah dia masih ingat
padaku atau tidak dan akan datang kemari untuk menolong diriku"
Segera ia djemput daging panggang jang dilemparkan padanja tadi, pelahan2 ia
berdjalan kebalik karang sana untuk memakannja. Dalam keadaan lapar, ia merasa
sangat letih dan lemas, karena habis kelaparan empat hari, tapi karena itu, luka
dipunggungnja malah sudah sembuh.
la dengar Yap Dji-nio lagi menanja: Sebenarnja dimana letak kebagusan botjah itu
hingga membikin kau sedemikian suka padanja"
Lam-hay-gok-sin ter-bahak2 bangga, sahutnja. Djusteru karena botjah itu sangat
mirip aku, bila beladjar silat dari Lam-hay-pay kami, pasti dia akan berhasil
dan melebihi sang guru malah. Hehe, diantara Su-ok kita, aku Gak-lo.........
Gak-lodji (ia sengadja naikan diri mendjadi dji atau nomor dua dan bukan sam
atau nomor tiga) meski takbisa mentjapai nomor satu, tapi bitjara tentang murid,
rasanja tiada seorang murid2 orang lain jang mampu menandingi muridku.
Sementara itu Bok Wan-djing sudah makin djauh menjingkir dari ketiga manusia
djahat itu, demi mendengar Lam-hay-gok-sin memudji kebagusan bakat Toan Ki
djarang ada bandingannja, diam2 ia merasa senang dan sedih pula, tapi rada geli
djuga: Toan-long hanja seorang sekolahan jang ketolol2an, ilmu silat apa jang
dia miliki" Ketjuali njalinja jang besar, segala apa tidak bisa. Kalau Lam-hay-
pay menerima murid mestika sematjam itu, rasanja Lam-hay-pay sendiri jang bakal
sialan! la tjari suatu tempat terpentjil dan duduk diatas satu batu padas, lalu
menikmati daging panggang tadi. Meski sangat lapar, namun daging panggang itu
masih terlalu banjak baginja, hanja separoh sadja dapat dihabiskannja perutnja
sudah kenjang. Diam2 ia membatin pula: Sampai hari ketudjuh nanti kalau Toan-
long tipis imannja serta mengingkari aku, tidak datang kemari, aku lantas tjari
djalan untuk melarikan diri. ~ berpikir sampai disini, ia mendjadi pilu:
Andaikan aku bisa melarikan diri, lalu bisa mendjadi manusia apa lagi"
Begitulah, dengan rasa tidak tenteram, kembali lewat pula dua hari.
Namun bagi Bok Wan-djing, dua hari itu rasanja lebih lama dari dua tahun.
Siang-malam jang dia harapkan senantiasa adalah dapatlah terdengar sesuatu suara
dari bawah gunung, sekalipun bukan suaranja Toan Ki, paling tidak djuga dapat
menglipurkan hatinja jang lara merana. Lebih2 bilamana sang malam tiba, rasa
deritanja semakin ber-tambah2, perasaannja bergolak mengombak, selalu terpikir
olehnja: Pabila dia benar2 niat mentjari aku, hari pertama atau hari kedua tentu
dia sudah datang kemari. Dan kalau sampai harini masih belum datang, rasanja
tiada mungkin dia kemari lagi.
Meski dia takbisa silat, tapi mempunjai djiwa kesatria, betapapun dia pasti
tidak sudi mengangkat guru pada Lam-hay-gok-sin ini. Narnun terhadap diriku, apa
benar2 dia tak mempunjai rasa kasih sedikitpun"
Begitulah djalan pikiran Bok Wan-djing, kalau hari2 pertama kedua ia masih
menaruh harapan dan menunggu dengan sabar, tapi makin lama makin merana, pesan
gurunja bahwa laki2 didunia ini adalah manusia palsu semua selalu men-denging2
terus ditelinganja. Walaupun perasaannja sendiri selalu menjangkal Toan-long
pasti bukan manusia demikian, namun sesungguhnja iapun tidak berani jakin apakah
sangkalan itu bukan menipu dirinja sendiri"
Sjukur djuga selama beberapa hari ini Lam-hay-gok-sin, Yap Dji-nio dan In Tiong-
ho tidak urus dirinja. Ketiga manusia djahat itu hanja tekun menanti datangnja
Ok-koan-boan-eng, jaitu sidjuara orang djahat di seluruh jagat ini, meski mereka
tidak segopoh Wan-djing, tapi mirip djuga semut ditengah kuali panas, mereka
sudah kesal luar biasa. Meski djarak Bok Wan-djing dengan mereka agak djauh,
namun suara ribut tjetjok mulut mereka sajup2 dapat terdengar dengan djelas.
Sampai malam hari keenam, Bok Wan-djing memikir: Besok adalah hari terachir,
rasanja laki2 palsu itu takkan datang sudah. Biarlah malam nanti aku berusaha
melarikan diri, kalau tidak, sampai pagi besok, untuk lari pasti akan susah.
Djangankan In Tiong-ho jang tersohor Ginkangnja tiada tandingan diseluruh
djagat, tjukup Lam-hay-gok-sin sadja, asal dia sengadja mengedjar, pasti akupun
takbisa lolos. la tjoba berdiri untuk lemaskan otot2nja, ia merasa semangatnja meski masih
lesu, namun tenaga sudah pulih 7-8 bagian. la membatin: Sangat baik bila ketiga
orang itu ribut2 terus dan diam2 aku dapat melarikan diri beberapa ratus tombak
djauhnja, lalu aku akan mentjari sesuatu tempat sembunji seperti gua dan
sebagainja, dengan demikian mereka tentu menjangka aku sudah kabur djauh dan
menguber pergi, kemudian dengan bebas dapatlah aku keluar lagi buat melarikan
diri. Diluar dugaan, meski rentjananja sudah muluk2, beberapa kali sudah bermaksud
angkat kaki, tapi hatinja selalu terkenang pada Toan Ki, ia mendjadi ragu2
kalau2 pemuda itu achirnja benar2 datang mentjarinja, lalu bagaimana" Djika
besok takbisa berdjumpa dengan pemuda itu, mungkin untuk selandjutnja takbisa
saling bertemu lagi. Padahal dia sengadja datang untuk sehidup-semati dengan
aku, tapi aku malah kabur pergi, dan dia tidak sudi mengangkat guru hingga
dibunuh oleh Lam-hay-gok-sin, bila terdjadi demikian, bukankah aku jang berdosa
padanja" ~ Begitulah bolak-balik ia memikir, sampai achirnja fadjar sudah
menjingsing, tetap belum bisa ambil keputusan.
Tapi dengan datangnja fadjar maksud larinja mendjadi batal malah. Toh sudah
terang takbisa melarikan diri, biarlah aku tetap menunggu, boleh dia datang atau
tidak, aku tetap menunggu disini sampai mati. Selagi hatinja terasa hampa sedih
itulah, sekonjong2 terdengar suara gedebukan djatuhnja sesuatu benda ketengah
semak2 rumput. la terkedjut dan heran, apakah itu" Karena ingia tahu, ia tjoba
pasang kuping, tapi tidak mendengar suara2 lain di-semak2 rumput itu, segera ia
merajap kesana untuk memeriksanja.
Ketika sudah dekat, lebih dulu hidungnja lantas mentjium bau anjirnja darah.
Waktu rumput lebat disitu ia pentang kesamping dan melongok, seketika bulu
romanja berdiri semua. Ternjata ditengah semak2 rumput itu tergeletak enam sosok
majat baji dengan gelimpangan tak teratur.
Diantaranja terdapat pula baji jang tempo hari dinina-bobokan oleh Yap Dji-nio
itu. Seketika Bok Wan-djing terkesima. Bila kemudian ia periksa majat baji itu, ia
lihat disamping lehernja terdapat dua baris bekas gigitan hingga berwudjut suatu
lubang ketjil dan tepat diatas urat darah leher. la mendjadi teringat pada apa
jang dikatakan Lam-hay-gok-sin, maka tahulah dia akan duduknja perkara. Kiranja
Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio itu memang benar setiap hari harus mengisap darah
seorang baji. Sudah enam hari dia berada diatas puntjak gunung itu, maka sudah
ada enam baji mendjadi korbannja. Kalau melihat badju jang dipakai baji2 itu
terdiri dari kain kasar sadja, dapat diduga Yap Dji-nio bolehnja mentjulik dari
keluarga pegunungan disekitar Bu-liang-san sadja. Satu diantara enam majat baji
itu terasa masih hangat, tapi kulitnja kisut, darahnja sudah kering terisap.
Tentu itulah majat jang dilemparkan Yap Dji-nio barusan.
Sungguhpun Bok Wan-djing djuga banjak membunuh orang, tapi orang2
Kangouw jang dibunuhnja itu adalah akibat perbuatan sendiri jang ingin melihat
mukanja. Sebaliknja perbuatan kedjam membunuh anak baji demikian, betapapun
djuga membuatnja gusar dan kedjut hingga badannja ikut gemetar.
Se-konjong2 sesosok bajangan hidjau berkelebat, seorang bagai burung tjepatnja
telah melajang turun kebawah gunung. Begitu tjepat bajangan itu hingga mirip
setan hantu. Itulah dia Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio.
Melihat betapa tjepat Ginkang wanita iblis itu, sekalipun gurunja djuga selisih
djauh dengan kepandaian orang, seketika Bok Wan-djing lemas rasanja, ia
mendoprok terduduk dengan matjam2 perasaan bertjampuraduk.
Setelah ter-mangu2 sedjenak, Bok Wan-djing kumpulkan enam majat baji itu
mendjadi satu, lain menguruknja dengan batu pasir seadanja disitu.
Tengah sibuk bekerdja, tiba2 Wan-djing merasa tengkuknja rada silir2
dingin. la dapat bergerak dengan tjepat sekali, begitu kaki kanan menutul,
segera tubuhnja melesat kedepan. Maka terdengarlah suaru ketawa seorang jang
mirip logam digosok dan berkata: Nona tjilik, suamimu telah tinggalkan kau, ia
tidak sudi padamu lagi, marilah ikut aku sadja!.
Siapa lagi dia kalau bukan Kiong-hiong-kek-ok In Tiong-ho, siorang djahat dan
buas luar biasa. Begitu bitjara, terus sadja tangannja merangsang madju hendak
memegang Bok Wan-djing. Plak mendadak dari samping menjelak sebuah tangan hingga tjengkeraman In Tiong-
ho tertangkis. Kiranja penangkis itu adalah Lam-hay-gok-sin, dengan marah2 ia membentak: Losi,
orang Lam-hay-pay kami, dilarang kau main semberono!
Dalam pada itu In Tiong-ho sudah melompat mundur, sahutnja dengan tertawa:
Muridmu tak djadi diterima, dengan sendirinja ia bukan orang Lam-hay-pay lagi.
Baru sekarang Bok Wan-djing dapat melihat djelas perawakan In Tiong-ho itu
ternjata sangat tinggi, tapi sangat kurus pula hingga mirip mirip galah bambu,
raut mukanja sangat menakutkan djuga, bila tertawa, lidahnya se-akan bisa mulur
mengkeret mirip lidah ular.
Darimana kau tahu aku akan gagal menerima murid" demikian Lam-hay-gok-sin lantas
membentak lagi. Apakah karena botjah itu telah terbunuh olehmu" Ja, tentu
demikian halnja! Atau mungkin kaupun sir pada tjalon muridku jang bertulang
bagus itu, lalukau mengumpetkan dia hendak mengangkanginja sebagai muridmu.
Djadi kau jang telah mengatjaukan rentjanaku, biarlah aku tjekik mampus kau
dahulu, urusan belakang! Simalaikat buaja laut selatan ini benar2 kasar dan tidak kenal apa artinja
aturan, tanpa tanja2 lagi apakah beanr2 In Tiong-ho jang menghilangkan tjalon
muridnja atau tidak, terus sadja ia menubruk madju dan menjerang setjara ber-
tubi2. Namun In tiong-ho dapat berkelit dengan gesit dan tjepat sekali sambil
mendjawab: He, he! Muridmu itu bundar atau gepeng, londjong atau tjekak,
selamanja akupun belum kenal, darimana bisa bilang aku jang mengumpetkan dia"
Kentut! damperat Lam-hay-gok-sin. Siapa jang mau pertjaja padamu! Pasti karena
kau habis dihadjar orang, lalu rasa dongkolmu kau lampiaskan atas diri muridku
itu, ja" Muridmu itu laki2 atau perempuan atau bantji" tanja Tiong-ho.
Sudah tentu laki2, guna apa aku menerima murid perempuan" sahut Gok-sin.
Nah, itu dia! seru Tiong-ho. Bukankah kau tahu, In Tiong-ho selamanja hanja suka
wanita, tapi tidak mau lelaki"'
Saat itu Lam-hay-gok-sin lagi menubruk madju pula, mendengar utjapan itu, ia
pikir masuk diakal djuga. Maka mendadak ia mengerem, tubuhnja jang lagi terapung
itu mendadak andjlok kebawah hingga berdiri diatas sebuah batu padas, lalu
membentak lagi: Lantas kemana perginja muridku itu. Kenapa sampai sekarang belum
datang mengangkat guru"
Hehe, urusan Lam-hay-pay kalian peduli apa dengan diriku" kata in Tiong-ho
dengan mengekek. Dasar watak Lam-hay-gok-sin memang kasar, ditambah lagi sudah menunggu selama
tudjuh hari tanpa hasil, ia mendjadi gopoh tak keruan, rasa dongkolnja lagi
meluap, maka kembali ia membentak: Setan alas, kau berani mengedjek aku"
Melihat kedua orang maha djahat itu saling ngotot, Bok Wan-djing tidak mau
sia2kan kesempatan baik itu, segera ia membakar Lam-hay-gok-sin katanja: Ja, ja,
Toan-long pasti telah ditjelakai In Tiong-ho ini, kalau tidak, diatas karang
setjuram itu, mana dapat ia turun" Ginkang In Tiongho ini sangat hebat, pasti
dia jang mandjat keatas karang itu untuk menggondolnja pergi dan dibunuh dilain
tempat agar Lam-hay-pay tidak mempunjai bibit tokoh jang lihay.
Mendadak Lam-hay-gok-sin keplak batok kepalanja sendiri sambil menggembor: Nah,
kau dengar tidak! Bininja muridku djuga bilang begitu, masakan kau jang
dipitenah" Terus sadja Bok Wan-djing pura2 menangis dan berseru: Suhu, kata suamiku, kalau
dia bisa mendapatkan seorang guru seperti engkau, itu adalah suatu redjeki besar
baginja, dia berdjandji pasti akan beladjar sepenuh tenaga demi kedjajaan Lam-
hay-pay, agar nama Lam-hay-gok-sin lebih mengguntjangkan dunia, supaja itu Ok-
koan-boan-eng dan Bu-ok-put-tjok mengiri setengah mati pada engkau orang tua.
Siapa duga si In Tiongho ini djuga tjemburu padamu dan sengadja membunuh tjalon
murid kesajanganmu itu, selandjutnja engkau orang tua takkan mendapatkan murid
sebagus itu lagi. Begitulah, setiap kalimat Bok Wan-djing diutjapkan, setiap kali Lam-hay-gok-sin
menggeblak batok kepala dan mengepal2 dengan geregatan.
Maka Bok Wan-djing menjambung pula: Tulang kepala suamiku terlalu mirip dengan
engkau, ketjerdasannja djuga serupa, tjoba, seorang ahliwaris sebagus dan
sepintar itu, kemana harus ditjari lagi. Tapi In Tiong-ho ini sengadja memusuhi
engkau, mengapa engkau orang tua tidak lekas balaskan sakit hati muridmu itu"
Mendengar sampai disini, sinar mata Gok-sin berubah beringas seketika.
Kembali ia menubruk pula kearah In Tiong-ho.
In Tiong-ho tahu ilmu silat sendiri setingkat lebih rendah dari orang, pula
tidak setolol seperti Gok-sin jang mudah diakali. Sudah terang Bok Wan-djing
sengadja mengadu domba, tapi untuk mendjelaskan padanja terang tidak gampang,
iapun tidak sudi bergebrak dengan dia, maka begitu ditubruk Gok-sin, segera ia
angkat kaki melarikan diri.
Sudah tentu Gok-sin tidak tinggal diam, sekali endjot kakinja, terus sadja ia
mengudak. Nah, dia lari, itu tandanja takut! demikian Wan-djing menambahi minjak pula. Dan
orang takut, itu tandanja salah!
Karuan Lam-hay-gok-sin tambah panas hatinja, ia meng-gerung2 murka: Bajar
kembali djiwa muridku! ~ Dan kedjar mengedjar itu dalam sekedjap sadja sudah
menghilang dibalik gunung sana.
Diam2 Bok Wan-djing bergirang. Sekedjap kemudian, terdengar suara gerungan Lam-
hay-gok-sin makin mendekat lagi, kedua orang itu telah kembali dengan saling
uber. Ginkang In Tiong-ho ternjata djauh lebih tinggi dari Lam-hay-gok-sin,
badannja jang lentjir bagai galah bambu seakan2 ter-guntai2 ke kanan dan ke
kiri, tapi larinja tjepat tidak kepalang, Lam-hay-gok-sin selalu ketinggalan
dalam suatu djarak tertentu.
Ketika sampai didepan Bok Wan-djing, se-konjong2 In Tiong-ho melesat kearah
gadis itu, terus mentjengkeram kepundaknja. Karuan Wan-djing terkedjut, sekali
bergerak, kontan ia papaki orang dengan sebatang panah berbisa. Tapi Ginkang In
Tiong-ho benar2 tiada taranja, entah tjara bagaimana dia bergerak, tahu2
tubuhnja bisa menggeser sedikit hingga panah itu luput mengenainja, sebaliknja
tangannja masih terus mendjulur kemuka sigadis.
Dengan gugup lekas Bok Wan-djing berkelit, namun toh terlambat sedikit, mukanja
terasa segar seketika, kain kedoknja telah disambar oleh In Tiong-ho.
Melihat wadjah Wan-djing jang tjantik molek itu, seketika In Tiong-ho terkesima.
Kemudian dengan menjengir ia berkata: Hebat, sungguh hebat!
Tjantik sekali dara ini. Tjuma kurang genit, belum sempurna... ~ tengah berkata,
kembali Lam-hay-gok-sin sudah memburu tiba, terus menghantam kepunggungnja.
Sekuatnja In Tiong-ho tantjap kakinja ditanah, ia kerahkan tenaga dalam dan
menangkis kebelakang, plak, dua telapak tangan saling bentur dengan keras. Bok
Wan-djing merasa dadanja mendjadi sesak, hampir2 tak bisa bernapas oleh
gentjatan dua tenaga pukulan jang hebat itu, batu pasirpun bertebaran diseputar
situ. Dan dengan memindjam tenaga benturan itu, In Tiong-ho sudah mentjelat
pergi dua tombak djauhnja.
Ni, rasakan lagi tiga kali pukulanku! teriak Gok-sin sengit.
Namun In Tiong-ho mendjawabnja dengan tertawa: Kau tak mampu mengedjar aku,


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebaliknja aku tak ungkulan berkelahi dengan kau. Biarpun kita bertempur tiga-
hari tiga-malam lagi djuga tetap begini sadja!
Begitulah kembali kedua orang itu uber-menguber dengan sengitnja.
Diam2 Bok Wan-djing pikir harus berusaha untuk merintangi In Tiong-ho agar kedua
orang djahat itu saling gendjot berhadapan. Maka ia tunggu waktu In Tiong-ho
memutar kembali lagi, mendadak ia memapak madju sambil geraki tangannja, 6-7
panah berbisa sekaligus dibidikkan sambil berseru: Bajar kembali djiwa suamiku!
In Tiong-ho kenal lihaynja panah2 jang mendenging datangnja itu, tapi semuanja
dapat dihindarinja sambil mengegos atau mendekam kebawah. Tiba2
Bok Wan-djing melolos pedang, be-runtun2 ia menusuk dua kali. Namun In Tiong-ho
tahu maksud gadis itu, ia tidak mau menangkis, hanja berkelit kesamping. Dan
karena sedikit rintangan itu, dibelakang Lam-hay-gok-sin sudah menjusul tiba,
terus menghantam dengan kedua tangannja.
Losam, seru In Tiong-ho achirnja dengan gemas, berulang kali aku mengalah
padamu, emangnja kau sangka aku takut" -- Dan ketika tangannja merogoh
kepinggang, tahu2 sepasang tjakar badja telah dikeluarkan.
Tjakar badja itu pandjangnja masing2 tjuma setengah meteran, diudjung tjakar
berbentuk tangan manusia dengan lima djari terpentang se-akan2
hendak mentjengkeram. Ia mainkan sendjatanja itu dengan rapat, tapi tetap
mendjaga diri sadja tanpa balas menjerang.
Melihat itu, Lam-hay-gok-sin mendjadi senang, serunja: Wah, bagus!
Sepuluh tahun tidak berdjumpa, kiranja kau sudah berhasil melatih sematjam
sendjata aneh. Ni, lihat djuga Lotju punja! -- Sembari bitjara, ia terus buka
rangsel dipunggungnja dan mengeluarkan sematjam sendjata jang lebih aneh.
Melihat kedua orang djahat itu akan main sendjata, Bok Wan-djing pikir akan
pertjuma saja bila dirinja ikut2 bertempur. Segera ia undurkan diri kepinggir.
Ia lihat sendjata jang dikeluarkan Lam-hay-gok-sin itu adalah sebatang gunting
aneh jang pakai garan pandjang, bagian mata gunting berbentuk gigi2 jang tadjam
hingga mirip tjongor buaja. Sedang tangan lain memegang sebuah petjut jang
bergigi djuga serupa ekor buaja. Pabila orang kena digigit sekali oleh mulut
gunting atau kena disabet sekali oleh petjut ekor badja itu, kalau tidak mampus
tentu djuga akan sekarat.
In Tiong-ho melirik heran djuga kepada dua matjam sendjata aneh itu, tapi
mendadak ia geraki tjakar badja sebelah kanan, terus mentjakar kemuka Lam-hay-
gok-sin. Trang, kontan Gok-sin angkat gunting buajanja menangkis hingga tjakar
badja lawan terpental kesamping. Namun In Tiongho tjepat luar biasa, belum
tjakar kanan itu ditarik kembali, lagi2
tjakar sebelah kiri sudah menjelonong kedepan pula.
Krak, se-konjong2 gunting tjongor buaja Lam-hay-gok-sin memutar dan menggunting
kedjari tjakar terbuat dari badja itu, sungguh luar biasa tadjamnja gunting jang
entah terbuat dari bahan apa, tahu2 dua djari dari tjakar In Tiong-ho itu kena
digunting putus, padahal tjakar itu sendiri terbuat dari badja murni jang sangat
kuat. Masih untung bagi In Tiong-ho, ia sempat menarik setjepatnja hingga tjuma
dua djari tjakarnja jang terkutung. Namun begitu, hilangnja dua djari tjakar itu
berarti djuga mengurangi daja gunanja daripada kesepuluh djari sendjatanja jang
hebat itu. Lam-hay-gok-sin ter-bahak2 keras, mendadak petjut ekor buajanja menjabet pula
selagi In Tiong-ho tertegun tadi. Namun tiba2 sesosok bajangan hidjau menjelinap
tiba, itulah dia Yap Dji-nio adanja. Dengan gesit ia menjela ketengah, sekali
tangannja meraup, udjung petjut Gok-sin kena disambernja, terus ditarik
kesamping, kesempatan mana telah digunakan In Tiong-ho untuk melompat kepinggir.
Losam, Losi, urusan apa hingga kalian saling gebrak dengan sendjata"
demikian tanja Yap Dji-nio kemudian. Ketika sekilas dilihatnja wadjah Bok Wan-
djing jang tjantik itu, seketika air mukanja berubah hebat. Biasanja jang paling
dibentji olehnja jalah wanita jang berparas lebih tjantik daripada dirinja. Kini
melihat ketjantikan Bok Wan-djing jang susah dilukiskan itu, seketika ia
terkesiap. Dalam pada itu Wan-djing djuga melihat wanita djahat nomor dua didunia ini sudah
menggondol kembali seorang anak ketjil kira2 berumur 3-4 tahun.
Tahulah dia sekarang, kiranja wanita djahat itu turun gunung tadi jalah pergi
mentjari korban baji lain jang akan diisap darahnja.
Dengan pulangnja Yap Dji-nio, terang pertarungan Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho
tidak bisa berlangsung terus. Ketika melihat sorot mata wanita djahat itu
bersinar aneh, Bok Wan-djing mendjadi mengkirik sendiri dan lekas2 berpaling,
tidak berani memandangnja lagi.
Dalam pada itu terdengar anak dipondongan Yap Dji-nio itu sedang ber-teriak2
menangis: Ajah! Dimana ajah"
Diamlah, San-san sajangku! Ajah sebentar lagi akan datang, diamlah, djangan
menangis, manisku! demikian Yap Dji-nio me-nimang2 dengan kasih-sajang seorang
ibu. Pabila teringat pada majat2 baji jang dilihatnja ditengah semak2 itu, lalu
dibandingkan dengan suara halus jang penuh rasa kasih-sajang Yap Dji-nio ini,
bulu roma Bok Wan-djing seketika menegak semua.
Kemudian terdengar In Tiong-ho berkata dengan tertawa: Dji-tji, Losam telah
berhasil melatih ilmu gunting tjongor buaja dan petjut buntut buaja jang lihay.
Barusan aku telah bergebrak beberapa djurus dengan dia dan aku merasa sulit
melawannja. Selama sepuluh tahun ini, Dji-tji sendiri berhasil mejakinkan ilmu
apa" Dapatlah menandingi kedua matjam sendjata Losam jang aneh ini"
Ternjata sama sekali ia tidak menjinggung tentang Lam-hay-gok-sin menuduh
setjara ngawur bahwa dirinja telah mentjelakai tjalon muridnja, sebaliknja ia
sengadja mengutjapkan pantjingan halus itu untuk mengadu-dombakan Yap Dji-nio
bergebrak dengan Lam-hay-gok-sin.
Yap Dji-nio sendiri ketika naik keatas puntjak tadi, dari djauh ia sudah lihat
tjara bagaimana kedua kawannja itu lagi saling hantam, maka dengan tertawa tawar
sadja ia mendjawab: Ah, selama sepuluh tahun ini aku hanja mengutamakan melatih
Lwekang, soal ilmu pukulan dan main sendjata mendjadi sudah asing malah bagiku,
tentu aku bukan tandingan Losam dan kau lagi.
Djawaban sederhana ini membikin Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho terkesiap djuga.
Pikir mereka: Selamanja dia unggul dalam hal kegesitan dan kelemasan, soal
Lwekangnja malah biasa sadja. Tapi selama 10 tahun ini dia djusteru giat melatih
Lwekang, apa barangkali dia ketemukan guru kosen atau beruntung menemukan
sesuatu kitab pusaka ilmu Lwekang dan sebagainja"
Dan selagi Lam-hay-gok-sin hendak menanja, tiba2 dipinggang gunung sana ada
suara bentakan orang: Perempuan bangsat, untuk apa kau mentjulik anakku" Lekas
kembalikan! -- Baru lenjap suaranja, tahu2 orangnja djuga sudah melajang naik
keatas puntjak dengan tjekatan sekali.
Waktu Bok Wan-djing menegasi, ternjata orang ini tak-lain-tak-bukan adalah Tjo
Tju-bok, itu ketua Bu-liang-kiam. Ia terkedjut, tapi segera mengerti djuga
duduknja perkara: Ja, tentu Yap Dji-nio tidak mendapatkan anak ketjil disekitar
Bu-liang-san ini, achirnja anak ketua Bu-liang-kiam jang diketemukan olehnja
terus digondol lari! Maka terdengar Yap Dji-nio sedang mendjawab: Tjo-siansing, puteramu ini sungguh
lintjah menjenangkan, aku membawanja kesini untuk memain, besok tentu akan
kupulangkan padamu, tak usah kau kuatir! ~ sembari berkata, ia mentjium sekali
dipipi San-san jang ketjil itu, lalu meng-usap2 kepala anak itu dengan
sajangnja. Tjo San-san, anak jang bernasib malang itu, segera ber-teriak2 demi nampak
datangnja sang ajah dan minta digendong. Tjo Tju-bok mendjadi terharu, ia ulur
tangan dan melangkah madju sambil berkata: Anak ketjil jang nakal, tiada apa2nja
jang menarik, silahkan engkau kembalikan padaku sadja!
Haha! tiba2 Lam-hay-gok-sin tertawa, Sekali anak ketjil sudah djatuh ditangan
Bu-ok-put-tjok Yap Sam-nio, biarpun anak radja djuga tidak mungkin dikembalikan
olehnja. Tjo Tju-bok tergetar mendengar utjapan itu, dengan suara gemetar ia tjoba
menanja: Kau.... kau bernama Yap Sam-nio" Habis, pernah... pernah apakah engkau
dengan Yap Dji-nio" -- Rupanja sudah lama ia mendengar nama djahatnja Yap Dji-
nio jang setiap hari mesti mengisap darah segar seorang baji, maka ia mendjadi
kuatir djangan2 Yap Sam-nio jang dikatakan ini adalah saudara atau ipar daripada
Yap Dji-nio serta mempunjai kesukaan jang sama, kan anaknja itu bisa tjelaka" Ia
tidak tahu bahwa Lam-hay-gok-sin jang sengadja menurunkan urut2an wanita djahat
itu dari Dji atau kedua mendjadi Sam atau ketiga, supaja bertukar urut2an dengan
dirinja dalam kedudukan Su-ok itu.
Namun Yap Dji-nio tidak gusar, sebaliknja ia mengikik tawa, lalu menjahut: Ah,
djangan kau pertjaja pada otjehannja. Aku sendirilah Yap Dji-nio! Didunia ini
mana ada lagi Yap Dji-nio jang lain atau Yap Sam-nio segala"
Sekedjapan air muka Tjo Tju-bok mendjadi putjat bagai majat.
Semula waktu dia mengetahui anaknja ditjulik orang, sepenuh tenaga ia terus
mengedjar, meski ditengah djalan ia sudah merasa ilmu silat pentjulik itu masih
djauh diatas dirinja, namun ia masih menaruh harapan semoga wanita pentjulik
jang tak dikenal dan tiada punja permusuhan apa2
dengan dirinja ini mungkin takkan bikin susah puteranja. Siapa duga wanita ini
djusteru adalah Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio, siwanita djahat nomor dua dari dunia
ini. Karuan seketika mulut Tjo Tju-bok ternganga seakan2 tersumbat.
Lihatlah betapa mungilnja anakmu ini, kulitnja halus, dagingnja montok, warnanja
ke-merah2an, sungguh pintar sekali kau memiaranja, tentu banjak kau memberi
makan djamu kuat padanja. Ja, betapapun memang berbeda anak orang terkemuka
daripada anak orang desa jang kurus kurang makan!
demikian Yap Dji-nio berkata sembari me-megang2 dan mengangkat tangan sibotjah
kearah sinar matahari, mulutnja tiada hentinja ber-ketjak2
memudji pula, se-olah2 seorang njonja rumah jang lagi memilih sajur atau ajam
daging bila sedang belandja dipasar.
Melihat sikap wanita djahat jang hampir2 mengiler oleh karena bakal korbannja
jang pilihan itu, Tjo Tju-bok mendjadi kuatir dan gusar sekali.
Walaupun insaf bukan tandingan orang, tapi mengingat sekedjap lagi puteranja
bakal dimakan, tanpa pikir lagi pedangnja terus menusuk kedepan dengan tipu
serangan Yu-hong-tiau-gi atau ada burung Hong datang menghadap, kontan ia tusuk
ketenggorokan Yap Dji-nio.
Namun Yap Dji-nio ganda tersenjum sadja, sedikit ia geser badan Tjo San-san
kedepan, kalau tusukan Tjo Tju-bok itu diteruskan, pasti akan menembus badan
puteranja sendiri. Sjukur ilmu pedangnja sudah mentjapai puntjaknja, belum
sepenuhnja pedang ditusukkan, tjepat ia tarik sedikit, udjung pedang menjendal,
sekali putar, segera tipu serangannja sudah berganti dengan Thian-ma-hing-kong
atau kuda langit terbang diangkasa, tahu2 pundak kanan Yap Dji-nio jang
diarahnja sekarang. Tapi Yap Dji-nio tetap tidak berkelit, kembali tubuh Tjo San-san digeser
kesampaing untuk didjadikan tameng lagi.
Hanja sekedjap sadja ber-turut2 Tjo Tju-bok sudah menusuk lima kali, tapi Yap
Dji-nio hanja melajani dengan seenaknja sadja, selalu ia geser badan Tjo San-san
kearah datangnja tusukan Tjo Tju-bok, sudah tentu, terpaksa ketua Bu-liang-kiam
itu urung menjerang. Dalam pada itu, sesudah diudak Lam-hay-gok-sin, rasa dongkol In Tiongho lagi
belum terlampiaskan, kini melihat kelakuan Tjo Tju-bok, ia mendjadi gemas,
mendadak ia melompat madju, tjakar badja sebelah kiri terus mentjengkeram keatas
kepala Tjo Tju-bok. Namun Tju-bok sempat menangkis dengan pedangnja, trang kedua
sendjata saling beradu, pikir Tjo Tju-bok sekalian hendak mendorong udjung
pedangnja ketenggorokan lawan dengan gerakan sun-tju-tui-tjiu atau mendorong
perahu menurut arus air, tapi mendadak djari tjakar badja lawan bisa mentjakup
hingga batang pedangnja kena digenggam dengan kentjang.
Kiranja sendjata In Tiong-ho itu terpasang alat djeplakan jang sangat praktis,
asal tekan pegasnja, segera djari badjanja mentjengkeram menurut keinginan
pemakainja, hingga mirip benar dengan djari manusia.
Sebagai seorang ketua sesuatu aliran persilatan dalam hal ilmu pedang, Tjo Tju-
bok mempunjai peladjaran jang sangat mendalam, meski kepandaiannja masih kalah
tinggi daripada In Tiong-ho, tapi djuga tidak sampai keok hanja dalam satu-dua
gebrakan sadja. Dalam kagetnja tadi, ia tidak rela kalau lepaskan pedangnja
begitu sadja, tjepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menarik sekuatnja. Tapi pada
saat itu djuga, tjret tjakar badja In Tiong-ho jang lain telah mentjengkeram
pula kepundaknja. Masih untung baginja karena djari tjakar itu sebelumnja sudah terkutung dua oleh
gunting tjongor buajanja Lam-hay-gok-sin, maka lukanja mendjadi lebih enteng,
namun darah segera bertjutjuran djuga, sedang ketiga djari tjakar badja itu
masih tetap mentjengkeram kentjang ditulang pundaknja.
Terus sadja In Tiong-ho melangkah madju menambahi sekali depakan hingga Tjo Tju-
bok ditendang roboh. Hanja sekali-dua gebrakan sadja, ternjata seorang ketua dari suatu aliran
persilatan terkemuka itu sedikitpun tak bisa berkutik. Segera Lam-hay-gok-sin
berseru: Hebat, Losi! Dua djurusmu barusan ini tidak djelek, tidak sampai bikin
malu kawanmu ini! Sebaliknja Yap Dji-nio terus berkata dengan ketawa2: Tjo-tay-tjiangbun, ingin
kutanja padamu, apakah kau melihat Lotoa kami atau tidak"
Siapakah Lotoa kalian" Aku tidak melihatnja! sahut Tju-bok dengan meringis
menahan sakit karena tulang pundaknja masih ditjengkeram oleh tjakar badja.
Kau bilang tidak tahu siapa Lotoa kami, kenapa mendjawab tidak melihatnja" tiba2
Lam-hay-gok-sin menjela. Hm, Sam-moay, lekas kau makan sadja anaknja!
Pagi hari ini aku sudah sarapan, sekarang masih merasa kenjang, sahut Yap Dji-
nio. Tjo-tay-tjiang-bun, bolehlah kau pergi sadja, kami takkan tjabut njawamu!
Djika demikian, Yap ....... Yap Dji-nio, harap kembalikanlah puteraku itu, biar
kutjarikan 3-4 anak lain untukmu. Sungguh aku Tjo Tju-bok, merasa terima kasih
tak terhingga. Ehm, baik djuga! seru Yap Dji-nio dengan ber-seri2. Pergilah kau mentjarikan
delapan anak jang lain. Kami berdjumlah empat orang, masing2
membopong dua, tjukup untuk makananku selama delapan hari. Nah, Losi, bolehlah
kau lepaskan dia! Segera In Tiong-ho kendorkan djari tjakarnja melepaskan Tjo Tju-bok.
Dengan menahan sakit, Tjo Tju-bok berbangkit, lalu memberi hormat kepada Yap
Dji-nio sambil ulur tangan hendak terima kembali puteranja.
Eh, sebagai tokoh kalangan Kangouw, kenapa Tjo-tay-tjiang-bun tidak kenal
aturan" udjar Yap Dji-nio dengan tertawa. Tanpa ditukar delapan orang anak,
masakah demikian gampang aku lantas serahkan kembali puteramu"
Melihat puteranja berada dirangkulan wanita itu, walaupun dalam hati sebenarnja
seribu kali tidak rela, tapi apa daja, kepandaian sendiri djauh dibawah orang,
terpaksa Tjo Tju-bok memanggut dan mendjawab: Baiklah, biar kupergi mentjarikan
delapan anak jang putih gemuk untukmu, harap engkau mendjaga baik2 anakku.
Yap Dji-nio tak mau menggubrisnja lagi, kembali ia ber-njanji2 ketjil menimang
anak dalam pangkuannja itu.
San-san anakku jang baik, sebentar ajah akan datang lagi untuk membawa kau
pulang kerumah! seru Tju-bok kemudian.
Tjo San-san menangis keras2 minta ikut sang ajah sambil me-ronta2
dipangkuan Yap Dji-nio. Dengan rasa berat Tjo Tju-bok pandang beberapa kali pada sang putera, sambil
memegangi luka dipundak, segera ia putar tubuh hendak berangkat.
Apa jang terdjadi itu dapat diikuti Bok Wan-djing. Ia pikir, maksud Tjo Tju-bok
tentu akan perintahkan anak muridnja pergi mentjulik anak ketjil keluarga petani
disekitar Bu-liang-san untuk menukar puteranja sendiri.
Walau hal itu dapat dikatakan demi tjinta-kasih ajah dan anak, soalnja terpaksa,
tapi betapapun djuga adalah terlalu egoistis, terlalu mementingkan diri sendiri,
sebaliknja delapan anak keluarga orang lain jang tak berdosa jang akan mendjadi
korban. Tanpa pikir lagi, segera ia melompat keluar dan menghadang didepan Tjo Tju-bok,
bentaknja: Orang she Tjo, kau kenal malu tidak, hendak merebut anak orang lain
untuk menukar djiwa puteranja sendiri" Apakah kau masih ada muka buat mendjadi
ketua suatu aliran persilatan"
Pertanjaan nona memang tepat, sahut Tju-bok dengan kepala menunduk. Tjo Tju-bok
selandjutnja tiada muka buat tantjap kaki dikalangan Bu-lim lagi, segera aku
akan simpan pedang dan tjutji tangan mengasingkan diri.
Aku melarang kau turun gunung! bentak Wan-djing pula dengan pedang terhunus.
Pada saat itulah, se-konjong2 dari djauh sana berkumandang suara suitan orang
jang njaring. Dengan girang Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berseru: Itu dia,
Lotoa sudah datang! Berbareng kedua orang terus melompat pergi sambil bersuit sahut-menjahut kearah
datangnja suara njaring tadi, hanja sekedjap sadja keduanja sudah menghilang
dibalik batu karang sana.
Sebaliknja Yap Dji-nio masih atjuh-tak-atjuh sambil me-nimang2 anak
dipangkuannja, bahkan ia melirik sekedjap kepada Bok Wan-djing, lalu katanja
dengan tertawa: Nona Bok, ternjata kau masih mempunjai djiwa kesatria pula.
Kontan Wan-djing mengkirik ketika sinar matanja kebentrok dengan pandangan Yap
Dji-nio jang tadjam itu, tjepat ia tenangkan diri sambil genggam pedangnja
kentjang2. Maka dengan tersenjum Yap Dji-nio berkata pula: Sepasang matamu ini sungguh
sangat djeli, aku pingin sekali bisa bertukaran dengan dikau.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemarilah kau biar kutjungkil dulu kedua bidji matamu itu!
Ingin tukar" Boleh djuga! Silahkan kau tjungkil dahulu matamu sendiri, sahut
Wan-djing. Ada lebih baik korek dulu matamu, udjar Dji-nio. Tjo-tay-tjiang-bun, hendaklah
kau membantu aku, tjungkillah bidji mata nona tjilik itu.
Sebenarnja Tjo Tju-bok tidak bermaksud memusuhi Bok Wan-djing, tapi putera
sendiri berada dibawah tjengkeraman orang, terpaksa ia menurut perintah. Begitu
pedang bergerak, segera ia membentak: Nona Bok, lebih baik kau turut pada
perintah Yap Dji-nio sadja, supaja tidak lebih banjak menderita siksaan. ~
Sambil berkata, terus sadja ia menusuk.
Manusia hina! damperat Bok Wan-djing sambil menangkis. Trang, kedua pedang
saling beradu, tapi udjung pedang sigadis tahu2 menjelonong terus kebahu kiri
musuh. Tipu serangannja ini sebenarnja hanja pura2 belaka, maka sesudah tiga djurus, ia
sengadja geser tubuh sedikit, se-konjong2 tiga panah berbisa terus dibidikkan
kebelakang mengarah Yap Dji-nio.
Serangan itu sangat kedji dan diluar dugaan, Bok Wan-djing mengharap bisa
mengenai sasarannja dalam keadaan musuh tidak ber-djaga2.
Djangan melukai puteraku! demikian Tjo Tju-bok, jang mendjerit kuatir.
Diluar dugaan, walaupun meluntjurnja ketiga panah itu tjepat luar biasa, tapi
hanja sekali Yap Dji-nio kebas lengan badjunja, sekaligus panah2 itu sudah
disampok djatuh kesamping. Berbareng itu, sekenanja ia tjopot sebelah sepatu
ketjil jang dipakai Tjo San-san, terus ditimpukkan kepunggung Bok Wan-djing.
Mendengar samberan angin dari belakang, Wan-djing ajuh pedangnja menangkis
kebelakang, namun dengan menjerempet diatas batang pedang, sepatu ketjil itu
tetap meluntjur kedepan, plak, tepat pinggang Bok Wan-djing tertimpuk. Ternjata
Yap Dji-nio telah memakai daja efek dalam sambitannja. Dalam keadaan sudah
terluka, tjepat Bok Wan-djing mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Dalam
pada itu, sepatu kedua sudah disambitkan lagi oleh Yap Dji-nio, sekali ini
dengan tepat mengenai punggung Bok Wan-djing. Mata Wan-djing mendjadi gelap, tak
tertahan lagi ia djatuh mendoprok ketanah.
Kesempatan itu segera akan digunakan Tjo Tju-bok, udjung pedangnja mengantjam
didada sigadis, sedang tangan lain terus diulur hendak mentjukil bidji mata Bok
Wan-djing. Dalam keadaan tak berdaja, Wan-djing hanja mendjerit tertahan sekali: O, Toan-
long! ~ se-konjong2 ia menubruk madju memapak udjung pedang lawan. Njata ia
sudah bertekad daripada menderita siksaan ditjungkil matanja, lebih baik mati
diudjung pedang orang. Sjukurlah pada saat itu, se-konjong2 datang sinar berkilat sekali, tahu2 pedang
jang dipegang Tjo Tju-bok itu mentjelat keudara, begitu hebat daja pental itu
sampai ketua Bu-liang-kiam itu ikut sempojongan kebelakang hampir2 terdjungkal.
Karuan ketiga orang diatas puntjak itu kaget semua. Berbareng mereka menengadah
kearah pedang jang mentjelat keatas itu.
Kiranja pedang itu kena terlilit oleh seutas tali pantjing ikan jang pandjang,
udjung tali pantjing itu adalah sebatang galah bambu, pemegangnja adalah seorang
nelajan jang memakai tjaping dan bermantel idjuk.
Usia nelajan itu kira2 30 tahun, gagah berwibawa dan sedang tertawa2
dingin. Segera Yap Dji-nio dapat mengenalnja sebagai orang jang tempo hari bertempur
dengan In Tiong-ho, ilmu silatnja tidak lemah, tapi kalau dibanding dirinja
masih katjek setingkat, maka ia tidak perlu takut.
Tjuma tak diketahui, apakah seorang kawannja jang lain telah ikut datang atau
tidak" Ketika ia melirik, benar djuga segera tampak seorang laki2 berbadju pendek,
bersepatu rumput, sudah berdiri disebelah kiri sana. Pada pinggang laki2 ini
terikat seutas tali rumput jang kasar, ditengah tali itu terselip sebatang kapak
pendek. Sedang Yap Dji-nio hendak buka suara, tiba2 terdengar pula ada suara keresek
pelahan dibelakangnja. Tjepat ia berpaling. Maka tertampaklah disana-sini
masing2 djuga sudah berdiri pula seorang. Jang disisi sana berdandan sebagai
sastrawan, tangan kanan membawa kipas lempit, tangan kiri menggenggam segulung
buku. Dan jang berdiri disebelah sini adalah seorang laki2 berkaki telandjang,
alisnja tebal, matanja besar, pundaknja memanggul sebatang garuk bergigi lima.
Empat orang itu terbagi diempat djurusan hingga berwudjut mengepung.
Diam2 Yap Dji-nio memikir: Djika ilmu silat keempat orang ini setarap, seorang
diri mungkin aku tak sanggup melawan mereka. Baiknja Lotoa kami berada disekitar
sini, kalau mendengar suaraku, tentu segera datang.
Biarlah orang2 ini kubereskan dahulu, agar kelak kalau menjerbu keraton Tayli
bisa banjak menghemat tenaga.
Tapi sebelum ia bertindak, tiba2 terdengar Tjo Tju-bok bereru: Eh, keempat tokoh
Hi-djiau-keng-dok dari keraton telah datang semua, terimalah hormatku Tjo Tju-
bok dari Bu-liang-kiam ini! ~ sembari berkata ia terus memberi hormat kepada
empat laki2 itu. Hanja sisastrawan tadi jang membalas hormat dengan sopan, sedang ketiga laki2
lainnja tinggal diam sadja tak menggubris.
Tiba2 sinelajan tertawa dingin sambil gojang2kan alat pantjingnja, hingga pedang
Tjo Tju-bok jang masih tergantung dililit tali pantjing itu ber-kilat2 oleh
sinar sang surja. Lalu edjeknja: Huh, Bu-liang-kiam toh terhitung djuga suatu
aliran persilatan terkemuka dinegeri Tayli ini, sungguh tidak njana bahwa
Tjiangbundjinnja djusteru adalah seorang jang begini rendah memalukan. Bagaimana
dengan Toan-kongtju" Dimana dia"
Dalam keadaan putus asa dan sudah bertekad untuk mati, tapi tiba2
datang penolong, memangnja Bok Wan-djing sudah girang, kini mendengar pula orang
menanjakan Toan-kongtju, karuan sadja ia lebih menaruh perhatian.
Maka terdengarlah djawaban Tjo Tju-bok: Toan-kongtju" Ja, beberapa hari jang
lalu aku memang pernah melihat Toan-kongtju, dia ....... dia berada bersama
dengan .... dengan nona ini.
Segera pandangan sinelajan beralih kepada Bok Wan-djing dengan penuh tanda
tanja. Maka kata Wan-djing: Tadinja Toan-kongtju berada diatas puntjak karang sana,
tapi selama beberapa hari ia telah menghilang, mati-hidupnja tidak diketahui.
Nelajan itu meng-amat2inja sedjenak, lalu membentak: Djadi engkau inilah Hiang-
yok-djeh Bok Wan-djing jang terkenal djahat itu" Dimanakah Kongtjuya kami" Lekas
katakan! Semula sebenarnja Bok Wan-djing rada suka pada sinelajan karena kata2nja tadi
sangat memperhatikan dirinja Toan Ki. Tapi kini mendadak dirinja di-bentak2 dan
ditanja seperti pesakitan, se-akan2 dirinja dituduh membikin tjelaka Toan Ki.
Dasar watak Bok Wan-djing memang djuga angkuh, mana ia sudi terima hinaan
seperti itu. Kontan ia balas tertawa dingin dan mendjawab:
Siapakah kau" Berani kau tanja aku dengan sikap demikian"
Nelajan itu mendjadi gusar, katanja: Kau malang-melintang diwilajah Tayli,
membunuh orang se-mena2, memang sudah lama kami ingin mentjari kau. Maka
sekarang kebetulan bisa bertemu disini, djika kau mengaku terus terang dimana
beradanja Toan-kongtju, urusan dapat diachiri dengan mudah, kalau tidak, hm, hm!
Toan Ki sudah dibinasakan oleh kawan perempuan itu, seru Wan-djing tiba2 sambil
menudung Yap Dji-nio, lalu menjambung: Orang itu katanja bernama Kiong-hiong-
kek-ok In Tiong-ho, tubuhnja tinggi kurus bagai galah bambu.....
Nelajan itu sangat terkedjut, bentaknja memotong: Apa benar2 katamu ini" Benar2
orang itu jang membunuh Toan-kongtju"
Diantara empat laki2 itu, sipetani jang membawa patjul garuk itu, wataknja
paling berangasan. Demi mendengar Toan Ki sudah mati, seketika ia menangis
keras2, serunja: Toan-kongtju, biarlah kubalaskan sakit hatimu! ~ berbareng
garuknja terus mematjul keatas kepala Yap Dji-nio.
Namun sekali egos, Yap Dji-nio dapat menghindar, tanjanja dengan tertawa: Apa
engkau inilah Tiam-djong-san-long diantara Hi-djiau-keng-dok itu"
Benar! Rasakan dulu garukku ini! sahut petani itu sambil menjerampang pula
dengan sendjatanja jang chas itu.
Beberapa hari jang lalu Yap Dji-nio pernah menjaksikan sinelajan dan situkang
kaju menempur In Tiong-ho, kini berhadapan sendiri dengan Tiam-djong-san-long
atau sipetani dari pegunungan Tiam-djong, njata memang hebat kedua kali
serangannja tadi. Mendadak Yap Dji-nio ketawa ter-kekeh2. Tapi hanja beberapa kali tertawa, tiba2
suara tawa itu berubah mendjadi menangis sambil sesambatan: Aduh, Hi-djiau-keng-
dok keempat anakku dari Negeri Tayli, kalian telah mati semua dalam usia pendek,
sungguh ibumu ini sedih tak terhingga! O, anak2ku, tunggulah ibumu Yap Dji-nio
ini diachirat! Padahal tokoh2 Hi-djiau-keng-dok atau sinelajan, situkang kaju, sipetani dan
sisastrawan, semuanja berusia setarap dengan Yap Dji-nio.
Tapi kini ia sendiri menjebut sebagai ibu mereka, sambil sesambatan: O, anak2ku
sajang dan sebagainja. Karuan Tiam-djong-san-long mendjadi gusar, ia mainkan
patjul garuknja terlebih kentjang hingga berwudjut segulung kabut putih jang
mengurung rapat lawannja.
Namun Yap Dji-nio sekalipun tidak balas menjerang, ia tetap peluk Tjo San-san
sambil berkelit kian kemari, betapapun kentjang Tiam-djong-san-long memutar
garuknja, tetap tak bisa menjenggol udjung badju lawannja.
Sebaliknja ratap tangis Yap Dji-nio masih tetap berkumandang dengan sedih
memilukan, suaranja makin lamapun makin keras.
Tiba2 hati Bok Wan-djing tergerak, serunja segera: He, dia sedang memanggil
kawan2nja. Kalau Thian-he-su-ok (empat durdjana didunia) datang semua, mungkin
kalian tak sanggup melawannja. Pada saat itulah, sekonjong2 dari balik gunung
sana berkumandang datang suara seruling jang njaring merdu hingga suara tangisan
Yap Dji-nio jang memilukan itu terpengaruh se-akan2 paduan suara dari dua nada
jang tinggi dan rendah. Diam2 Bok Wan-djing terkedjut: Djangan2 orang djahat nomor satu didjagat ini
sudah datang sekarang. Dalam pada itu situkang kaju sudah tjabut kapak pendek dari pinggangnja terus
membentak: Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio memang kau tidak bernama kosong, biarlah
aku Djay-sin-khek (situkang pentjari kaju) beladjar kenal dengan kepandaianmu. ~
Habis berkata, segera ia membuka serangan dengan tjepat.
Ternjata ilmu kepandaian tunggal situkang kaju itu adalah Boan-kin-tjho-tjiat-
tjap-peh-poh atau 18 djurus ilmu permainan kapak pembabat akar, terus sadja ia
mengampak kesini dan kesana, jang diintjar selalu bagian bawah musuh.
Ha, botjah ini hanja mengganggu sadja, ini, boleh kau batjok mati dia!
udjar Yap Dji-nio dengan tertawa sambil sodorkan Tjo San-san kearah datangnja
kapak. Karuan Djay-sin-khek terkedjut, lekas2 ia tarik kembali sendjatanja.
Tak terduga, sedikit ajal itulah dia sendiri harus telan pil pahit, mendadak Yap
Dji-nio ajun kakinja mendepak hingga tepat kena pundaknja.
Sjukur perawakan Djay-sin-khek kekar kuat, hingga depakan itu hanja membuatnja
ter-hujung2 dan tidak sampai terluka.
Dan dengan memperalat anak itu sebagai tameng, Tiam-djong-san-long dan Djay-sin-
khek mendjadi rada repot, diwaktu menjerang mereka mendjadi ragu2. Apalagi dari
samping Tjo Tju-bok bergembar-gembor: Awas anakku!
Djanganlah melukai anakku!
Sedang pertarungan itu berlangsung dengan sengit, terdengar suara seruling tadi
semakin mendekat. Dari balik karang sana telah muntjul seorang laki2 berdjubah
longgar dan bertali pinggang kendor. Kedua tangannja memegang sebuah seruling
kemala sedang ditiup dengan asjiknja.
Bok Wan-djing melihat orang ini berdjenggot tjabang tiga, paras mukanja tampan,
kulit badannja putih bagai saldju, djari2nja jang memegang seruling itu tampak
sama putihnja dengan kulit mukanja.
Nampak datangnja orang itu, dengan langkah tjepat sisastrawan tadi terus
mendekati dan bisik2 berbitjara dengan sikap sangat menghormat.
Tapi orang itu masih terus meniup serulingnja, hanja sinar matanja jang tampak
mengerling kearah Bok Wan-djing.
Kiranja orang ini adalah segolongan dengan keempat tokoh Hi-djiau-keng-dok ini,
demikian Bok Wan-djing membatin.
Dalam pada itu, sambil masih meniup seruling, pelahan2 orang itu lantas
mendekati Yap Dji-nio bertiga jang masih bertempur dengan seru itu. Meski
situkang kaju ajun kapaknja begitu keras dan Tiam-djong-san-long putar garuknja
begitu kentjang, namun orang itu se-akan2 tidak melihatnja sadja, mendadak suara
serulingnja meninggi keras hingga anak telinga semua orang serasa pekak. Dan
sekali djari2 orang itu menutup rapat lubang2 serulingnja dan meniupnja dengan
keras, tahu2 dari udjung seruling itu menjembur keluar serangkum angin tadjam
kemukanja Yap Dji-nio. Dalam kagetnja, Yap Dji-nio tjepat berpaling menghindar, namun pada saat lain,
udjung seruling lawan tahu2 sudah mengantjam tenggorokannja.
Dua kali serangan itu dilakukan dengan ketjepatan dan kegesitan jang
mengedjutkan orang, biarpun Yap Dji-nio dapat berkelit dengan tjepat, tidak
urung ia merasa kerepotan djuga. Dalam seribu kerepotannja itu, ia paksakan diri
mendojongkan badan bagian atas kebelakang untuk menghindari tutukan seruling
jang mengantjam tenggorokan itu.
Tak tersangka, mendadak Koan-bau-khek atau sidjubah longgar itu, gunakan tenaga
dalam terus lepaskan serulingnja menimpuk keulu hati Yap Dji-nio jang sedang
mendojong tubuh itu. Dalam keadaan demikian, Yap Dji-nio tidak berani sembrono lagi, segera ia
lemparkan Tjo San-san ketanah terus ulur tangan hendak merampas seruling orang.
Namun sekali Koan-bau-khek kebas lengan badjunja jang longgar itu, anak itu kena
digulung olehnja, katanja: Serahkan sini! ~
sambil berkata, iapun angsurkan tangan kirinja.
Saat itu tepat Yap Dji-nio baru sadja dapat memegang seruling jang diluntjurkan
pemiliknja itu, seketika ia merasa seruling itu panas seperti habis dibakar, hal
ini benar2 diluar dugaan Yap Dji-nio, pikirnja: Djangan2 diatas seruling ini
dipoles ratjun" ~ maka tjepat ia lepas tangan tak djadi merampasnja.
Dalam pada itu tangan kiri Koan-bau-khek jang diulur tadi tepat dapat merebut
kembali serulingnja itu, sekalian ia terus sodokkan sendjata itu ke bahu Yap
Dji-nio, berbareng lengan badjunja jang menggulung Tjo San-san itu dikipatkan
hingga botjah itu terlempar enteng kearah Tjo Tju Bok.
Dengan ter-sipu2 tjepat Tjo Tju Bok menjanggapi puteranja itu.
Dua gerakan Koan-bau-khek, merebut anak dan menjerang musuh itu, dilakukan
dengan tjepat dan sewadjarnja sadja, tanpa dipaksakan, gajanja indah, sasarannja
djitu, sampai Bok Wan-djing ternganga saking kagumnja.
Yap Dji-nio sendiri, ketika orang menangkap kembali serulingnja tadi, sekilas ia
dapat melihat telapak tengah Koan-bau-khek itu merah membara, ia mendjadi kaget:
Djangan2 dia sudah berhasil mejakinkan Tju-se-djiu (tangan pasir merah) jang
sudah lama menghilang dikalangan Bu-lim itu"
Djika demikian, terang diatas serulingnja bukan dipoles dengan ratjun, tapi
adalah tenaga dalamnja jang lihay itu telah membakar serulingnja hingga panasnja
mirip habis dikeluarkan dari tungku.
Maka tjepat ia mundur beberapa tindak dengan gesit, lalu katanja dengan tertawa:
Wah, ilmu silat saudara sungguh hebat. Tidak njana bahwa diwilajah Tayli ini
masih ada tokoh lihay begini. Numpang tanja siapakah namamu jang terhormat"
Sidjubah longgar hanja tersenjum sadja, sahutnja: Atas kundjungan Dji-nio
kewilajah kami ini, harap maaf kami tidak datang menjambut sebelumnja. Biarpun
negeri Tayli ini hanja negeri ketjil dan rakjatnja miskin, tapi sepantasnja
harus memenuhi djuga sekedar kewadjiban sebagai tuan rumah.
Dalam pada itu Tjo Tju Bok jang sudah mendapatkan kembali puteranja dengan
selamat, dalam girang dan herannja itu, tiba2 teringat seorang olehnja,
pikirnja: Dilihat dari wadjahnja, orang ini memang mirip benar dengan tokoh jang
sering dibuat tjerita itu, tapi beliau mengapa bisa berketjimpung dikalangan
Kangouw lagi" ~ Namun begitu, tak tertahan djuga rasa ingin tahunja, segera ia
menanja: Apakah tuan adalah .... adalah Ko-houya"
Sidjubah longgar itu tidak mendjawab apa benar atau tidak, tapi lantas berkata
kepada Yap Dji-nio: Dimanakah Toan-kongtju kami, bagaimana keadaannja, harap
sukalah memberitahu"
Aku tidak tahu, sahut Dji-nio dengan tertawa dingin. Andaikan tahu djuga takkan
kukatakan. Habis itu, se-konjong2 ia melesat pergi dan melajang turun kebawah gunung.
Nanti dulu! seru sidjubah longgar terus mengudak. Tapi mendadak pandangannja
mendjadi silau, sendjata2 resia musuh bagai hudjan menghambur kearahnja. Tjepat
ia putar serulingnja, sebagian sendjata2
gelap itu dapat dihindari, sebagian lagi kena dipukul djatuh dengan seruling.
Namun tangannja terasa pegal djuga terbentur oleh sambitan sendjata2 gelap jang
kuat itu, diam2 ia membatin : Sungguh hebat perempuan ini.
Sementara itu Yap Dji-nio sudah sempat melajang pergi bagai hantu tjepatnja,
untuk mengedjarnja terang tak keburu lagi. Ketika sendjata2
gelap tadi ditegasi, ternjata terdiri dari matjam2 bentuknja, semuanja adalah
barang2 mainan anak2 ketjil buatan dari logam. Segera Koan-bau-khek teringat:
Ja, barang2 ini tentu diperolehnja dari anak2 jang telah mendjadi korbannja.
Penjakit ini tak dibasmi, entah betapa banjak anak ketjil dinegeri Tayli ini


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan ditjelakai pula! Disebelah sana, sinelajan lantas ajun pantjingnja hingga pedang jang tergubet
oleh tali pantjingnja itu mendadak mentjelat kearah Tjo Tju-bok dengan garan
pedang didepan. Dengan gugup, tjepat Tjo Tju-bok menangkap pedangnja sendiri itu
dengan wadjah merah malu.
Lalu nelajan itu berpaling kepada Bok Wan-djing dan membentaknja dengan bengis:
Sebenarnja bagaimana keadaan Toan-kongtju" Apa benar2 telah ditjelakai oleh In
Tiong-ho" Walaupun dalam hati Bok Wan-djing rada mendongkol karena di-bentak2, tapi
pikirnja: Ilmu silat orang2 ini sangat tinggi, tampaknja mereka adalah kawannja
Toan-long. Biarlah kukatakan apa jang sebenarnja pada mereka agar ber-sama2
mereka bisa mentjari kesekitar djurang sana.
Tapi belum lagi ia membuka suara, tiba2 dibawah gunung sana ada suara teriakan
seorang: Bok-kohnio...... Bok-kohnio...... apakah engkau berada disini"........
Lam-hay-gok-sin, aku sudah datang, djangan engkau bikin susah Bok-kohnio!
Mendengar suara itu, Koan-bau-khek dan kawan2nja itu tampak kegirangan luar
biasa. Berbareng mereka berkata: Itulah Kongtjuya!
Memang benar itulah suaranja Toan Ki. Dengan susah-pajah Bok Wan-djing sudah
menanti selama tudjuh-hari-tudjuh-malam, kini mendadak mendengar suara orang
jang diharapkan itu, saking girang dan kedjutnja, se-konjong2
pandangannja terasa gelap, ia terus djatuh pingsan..........
Dalam keadaan sadar-tak-sadar, ia dengar ada suara orang meneriaki namanja: Bok-
kohnio, Bok-kohnio! Aku sudah berada disini, lekaslah engkau siuman!
Pelahan2 Bok Wan-djing siuman kembali, ia merasa dirinja berada didalam pelukan
orang, seketika ia ingin melompat bangun, tapi lantas teringat olehnja: Ah,
Toan-long jang memeluk aku ini.
Dengan rasa manisnja madu tertjampur masam getir, pelahan2 ia membuka matanja,
segera tampak sepasang mata djeli jang ber-kilau2 sedang memandang padanja,
siapa lagi dia kalau bukan Toan Ki.
Hura, achirnja kau siuman djuga! demikian Toan Ki berseru girang.
Sementara itu Bok Wan-djing tak bisa menahan lagi air matanja jang bertjutjuran
bagai hudjan. Mendadak ia baliki tangannja, plok, kontan ia persen Toan Ki
sekali tamparan. Meski ia menggampar Toan Ki sekali, tapi badannja masih tetap
berada dipangkuan pemuda itu, sesaat itupun tiada tenaga untuk melompat bangun.
Sedjenak Toan Ki melongo sambil me-raba2 pipi jang ditampar itu, kemudian
katanja dengan tertawa: Kenapa engkau selalu suka memukul orang"
Sungguh tiada wanita se-wenang2 seperti kau ini! ~ Habis ini, segera wadjahnja
berubah muram dan menanja: Dimanakah Lam-hay-gok-sin" Kenapa dia tidak menunggu
aku disini" Orang sudah menunggu selama tudjuh-hari-tudjuh-malam apa masih belum tjukup"
sahut Wan-djing. Dia sudah pergi sekarang!
Seketika wadjah Toan Ki berubah girang, serunja: Bagus, bagus! Aku djusteru lagi
kuatir setengah mati. Pabila dia paksa aku mengangkat guru padanja, bukankah
bisa berabe" Dan kalau engkau tidak suka mendjadi muridnja, kenapa datang lagi kesini" tanja
Wan-djing. Eh, lalu engkau bagaimana" sahut Toan Ki. Bukankah engkau berada dibawah
tjengkeramannja. Kalau aku tidak datang kemari, dia tentu akan bikin susah
padamu, mana bisa aku tega tinggal diam"
Rasa Wan-djing mendjadi nikmat, katanja pula: Hm, hatimu ini benar2
djahat, sungguh aku ingin sekali tusuk membinasakan kau. Tjoba katakan, sebab
apa tidak lambat tidak telat kau djusteru datang pada saat sesudah mendapat bala
bantuan dan musuh sudah pergi, lalu pura2 berlagak kesatria hendak menolong aku"
Kenapa selama tudjuh-hari-tudjuh-malam engkau tidak datang mentjari daku"
Toan Ki menghela napas gegetun, sahutnja: Sudah tentu engkau tidak tahu bahwa
selama itu aku berada dibawah pengaruh orang dan tak bisa berkutik.
Padahal siang dan malam aku selalu merindukan dikau, sungguh aku kuatir setengah
mati, tjoba kalau dalam itu aku bisa melepaskan diri, tentu siang2 aku sudah
datang. Nona Bok, apakah lukamu sudah sembuh" Orang djahat itu tidak.... tidak
menganiaja engkau bukan"
Pernah apa aku dengan engkau" Kenapa masih sebut nona apa segala terus-menerus"
omel Wan-djing. Melihat paras sigadis jang ke-marah2an itu mendjadi menambah tjantiknja malah,
perasaan Toan Ki terguntjang hebat. Sesungguhnja selama tudjuh hari ini ia
memang sangat merindukan gadis itu. Tak tertahan lagi ia terus merangkul lebih
kentjang dan berkata: Baiklah, Wan-djing, Wan-djing! Kupanggil demikian padamu,
suka tidak engkau" ~ Habis itu, terus sadja ia tundukkan kepalanja kebawah
hendak mentjium bibir sigadis.
Karuan Bok Wan-djing kaget, ia mendjerit sekali sambil melompat bangun dengan
wadjah merah, serunja: Ada orang luar berada disini" Mana boleh engkau.....
engkau" He! Dimanakah orang2 itu"
Waktu ia memperhatikan, ternjata disekitar situ sudah tidak kelihatan lagi
bajangan Koan-bau-khek alias sidjubah longgar bersama keempat djago Hi-djiau-
keng-dok itu. Siapakah jang berada disini" Apakah Lam-hay-gok-sin" tanja Toan Ki dengan wadjah
menampilkan rasa takut pula.
Sudah berapa lama engkau berada disini" tanja Wan-djing.
Barusan sadja, belum lama, sahut Toan Ki Begitu aku naik kesini, lantas kulihat
engkau rebah tak sadarkan diri disini, ketjuali itu, tiada lagi bajangan seorang
lain. He, Wan-djing, marilah kita lekas pergi, djangan2
nanti akan tertawan pula oleh Lam-hay-gok-sin jang djahat itu!
Baiklah! sahut Wan-djing. Lalu ia berkomat-kamit sendiri: Aneh, hanja sekedjap
sadja mengapa sudah menghilang semua"
Saat itulah tiba2 dari balik batu karang sana terdengar seorang sedang
bersenandung, lalu muntjul seorang jang membawa kipas dan buku, itulah dia
sisastrawan dari empat tokoh Hi-djiau-keng-dok.
Tju-heng! seru Toan Ki bergirang.
Tjepat sastrawan itu masukkan kitab dan kipasnja kedalam badju, lalu memburu
madju dan mendjura kehadapan Toan Ki sambil berkata dengan girang: Kongtjuya,
sjukur engkau dalam keadaan selamat, tadi ketika mendengar utjapan nona ini,
sungguh kami kuatir tak terhingga!
Dengan ramah Toan Ki membalas hormat orang, sahutnja: Djadi kalian sudah bertemu
tadi" Ken.... kenapa baru sekarang kau muntjul" Sungguh sangat kebetulan!
Kami berempat saudara diperintahkan mendjemput Kongtjuya pulang dan bukannja
setjara kebetulan, udjar sisastrawan. Kongtjuya, engkau djuga terlalu gegabah,
seorang diri merantau Kangouw, untunglah kami dapat mentjari kerumah Be Ngo-tek,
lalu menjusul ke Bu-liang-san sini, selama beberapa hari kami benar2 teramat
kuatir. Banjak djuga penderitaan jang kurasakan, sahut Toan Ki tertawa. Paman dan ajah
tentu marah2 bukan" Sudah tentu, sahut sisastrawan. Tjuma diwaktu kami berangkat, kedua djundjungan
sudah reda marahnja, sebaliknja merasa sangat kuatir atas diri Kongtjuya.
Belakangan Sian-tan-hau djuga mendapat berita kedatangan Su-tay-ok-djin ke Tayli
sini, beliau kuatir kalau Kongtjuya dipergoki mereka, maka ia sendiripun ikut
datang mentjari engkau. Su-tay-ok-djin apa"Djadi Ko-sioksiok djuga ikut datang mentjari aku"
Ah, aku mendjadi tak enak, dimanakah beliau sekarang "
Barusan kami berada disini semua, sahut sisastrawan. Ko-houya telah berhasil
mengusir seorang wanita djahat, dan ketika mendengar suara datangnja Kongtjuya,
mereka mendjadi lega dan suruh aku menunggu engkau disini, sedang mereka pergi
menguber si wanita djahat itu. Kongtjuya, marilah sekarang djuga kita pulang
istana agar tidak dibuat pikiran lebih lama oleh kedua tuan besar.
Kiranja sedjak tadi kau.... kau sudah berada disini, udjar Toan Ki kikuk.
Teringat olehnja apa jang dia bitjarakan dengan Bok Wan-djing jang meresap tadi,
tentu telah didengar djuga oleh sastrawan itu, tak tertahan lagi wadjahnja merah
djengah. Tadi aku lagi asjik membatja sjair indah gubahan Ong Djiang Ling jang penuh
semangat itu, maka tanpa sadar bahwa Kongtjuya sudah lama berada disini,
demikian kata sisastrawan dengan maksud menghilangkan rasa malu Toan Ki.
Maka dengan masih rada kikuk2 Toan Ki kemudian berpaling kepada Bok Wan-djing
dan berkata: Bok.... Bok-kohnio, ini adalah Tju Tan-sin, Tju-siko, dia adalah
kawanku jang paling karib.
Segera Tju Tan-sin melangkah madju dan memberi hormat kepada sigadis, katanja:
Terimalah hormat Tju Tan-sin ini, nona!
Dengan ramah Wan-djing membalas hormat, ia mendjadi senang melihat orang begitu
merendah pada dirinja, sahutnja: Tju-siko, engkau sungguh sangat ramah-tamah,
tidak seperti kawan2mu tadi jang kasar bengis itu.
Tju Tan-sin tertawa, katanja: Ketiga saudaraku itu tentunja sedang kuatir karena
mendengar berita buruk atas diri Kongtjuya, maka utjapannja rada kurang sopan,
harap nona suka memaafkan.
Dalam hati diam2 Tju Tan-sin heran djuga, kedjahatan Hiang-yok-djeh paling achir
ini sering didengar olehnja, tak terduga olehnja bahwa tokoh itu ternjata adalah
seorang gadis djelita sedemikian tjantiknja. Ia mendjadi kuatir pula Kongtjuya
jang masih muda dan belum berpengalaman itu akan tenggelam dalam pengaruh
ketjantikan sigadis hingga achirnja merusak nama baik sendiri.
Tju Tan-sin adalah seorang jang lihay, biarpun diam2 ia sudah waspada kepada Bok
Wan-djing, tapi lahirnja ia tidak mengundjukkan sesuatu tanda, bahkan dengan
ketawa2 ia berkata: Kedua tuan besar sangat menguatirkan diri Kongtjuya, maka
sukalah Kongtjuya lekas2 pulang sadja. Pabila Bok-kohnio djuga tiada urusan
lain, silahkan djuga ikut bertamu kerumah Kongtju barang beberapa hari.
Ia menduga melulu kekuatan sendiri mungkin tak bisa mengatasi Bok Wan-djing,
tapi kalau nona itu djuga diadjak pulang, Toan Ki tentu akan merasa senang.
Maka dengan ragu2 Toan Ki menjahut: Tapi tjara bagaimana aku...... aku harus
berkata pada paman dan ajah"
Wadjah Bok Wan-djing mendjadi merah, tjepat ia berpaling kesana.
Tjayhe mendengar bahwa ilmu silat Su-tay-ok-djin itu sangat tinggi, tadi meski
Sian-tan-hou dapat mengenjahkan Yap Dji-nio jang djahat, itu djuga berkat
serangan diluar perhitungan musuh. Demi keselamatan Kongtjuya, marilah kita
lekas berangkat sadja, demikian kata Tju Tan-sin pula.
Bila ingat betapa buasnja Lam-hay-gok-sin, kembali Toan Ki merinding.
Ia manggut dan berkata: Baiklah, mari kita berangkat. Tju-siko, djika musuh
terlalu lihay, lebih baik engkau pergi membantu Ko-sioksiok sadja, biar aku
pulang sendiri bersama nona Bok
Tidak, sahut Tju Tan-sin. Dengan susah pajah achirnja Kongtjuya dapat
diketemukan, sepantasnja biar Tjayhe mengawal engkau pulang. Betapa tinggi
kepandaian nona Bok, memang sudah lama djuga Tjayhe mengagumi.
Tjuma melihat keadaannja, agaknja lukanja masih belum pulih sama sekali, pabila
ditengah djalan nanti kepergok musuh lagi, tentu akan susah, maka lebih baik
Tjayhe mengawal pulang sadja.
Sebenarnja Toan Ki tidak ingin terus pulang, tapi sekali sudah diketemukan Tju
Tan-sin, untuk minggat lagi terang tidak gampang.
Terpaksa ia menurut dan bertiga lantas turun kebawah gunung.
Dalam hati Bok Wan-djing ingin sekali menanja Toan Ki kemana perginja selama
tudjuh-hari-tudjuh-malam, tjuma Tju Tan-sin berada disamping mereka, untuk
bitjara rasanja kurang leluasa, terpaksa ia bersabar sebisanja.
Tan-sin membawa rangsum kering, ditengah djalan ia keluarkan untuk dibagikan
kepada Toan Ki dan Wan-djing.
Sampai dibawah gunung, tertampaklah dibawah pohon tertambat lima ekor kuda
bagus, itulah kuda2 tunggangan rombongan Djay-sin-khek. Segera Tan-sin
membawakan tiga ekor diantaranja, ia silahkan Toan Ki dan Wan-djing naik dulu,
kemudian ia sendiri barulah mentjemplak keatas kuda, terus mengikuti dari
belakang. Malamnja mereka bertiga menginap disuatu hotel ketjil dan masing2
mendiami sebuah kamar. Setelah tutup pintu kamarnja, Bok Wan-djing duduk ter-
mangu2 bertopang dagu menghadapi api lilin diatas medja, pikirannja timbul
tenggelam, girang tertjampur kuatir, pikirnja: Tanpa menghiraukan keselamatan
sendiri Toan-long sudi datang kembali mentjari aku, suatu tanda tjintanja jang
mendalam padaku. Sebaliknja selama beberapa hari ini dalam hatiku selalu
menjumpahi dia berhati palsu segala, njata aku telah keliru menjalahkan dia.
Melihat sikap Tju Tan-sin jang sangat menghormat padanja, agaknja Toan-long kalau bukan putera keluarga
bangsawan, tentu adalah angkatan muda dari tokoh persilatan terkemuka. Seorang
nona seperti aku meski sudah bertunangan dengan dia, tapi begini sadja aku
lantas ikut pulang kerumahnja, betapapun aku merasa likat. Tampaknja ajah dan
pamannja djuga sangat bengis padanja, pabila nanti akupun dihna olehnja, lantas
bagaimana baiknja" Hm, hm, paling2 kulepaskan panah beratjun untuk membunuh
mereka semua, hanja Toan-long seorang jang kubela.
Selagi memikir kelak akan mengganas, tiba2 terdengar suara kelotakan pelahan dua
kali didaun djendela. Tjepat Bok wan-djing kebas tangannja hingga api lilin
tersirap. Maka terdengarlah suara Toan Ki lagi berkata pelahan diluar djendela: Akulah,
nona Bok! Mendengar pemuda itu tengah malam mendatangi kamarnja, hati Wan-djing mendjadi
ber-debar2, dalam kegelapan ia merasa wadjahnja merah membara.
Dengan bisik2 ia lantas tanja: Ada urusan apa"
Bukalah djendelamu, biar kukatakan padamu, sahut Toan Ki.
Tidak, aku takmau buka, udjar sigadis. Sungguh aneh, dengan ilmu silatnja jang
sangat tinggi itu, biasanja ia tidak gentar pada siapapun djuga, tapi kini ia
merasa djeri hanja kepada seorang peladjar jang lemah, sungguh ia sendiripun
tidak tahu apa sebabnja. Toak Ki heran djuga mengapa sigadis takmau membukakan djendelanja, segera ia
membisiki lagi: Djika begitu, lekaslah engkau keluar, kita harus segera
berangkat. Mendengar itu, tjepat Wan-djing bertanja lagi: Sebab apa"
Tju-siko sedang tidur njenjak, djangan kita bikin mendusin dia, aku tidak ingin
pulang! demikian kata Toan Ki.
Wan-djing mendjadi girang. Memangnja ia sedang kuatir tjara bagaimana nanti
kalau bertemu dengan ajah-bunda pemuda itu. Kini diadjak minggat, tentu sadja ia
akur tanpa sjarat. Terus sadja ia membuka djendelanja pelahan2, lalu melompat
keluar. Sssssst! Pelahan2, djangan sampai diketahui Tju-siko! demikian Toan Ki membisik.
Kau tunggu disini, biar kupergi membawakan kuda.
Tapi Wan-djing lantas gojang2 tangannja, sekali ia rangkul pinggang Toan Ki, ia
terus endjot keatas rumah dan melompat keluar tembok sana.
Katanja kemudian: Djangan kita naik kuda, suara derapan kuda akan mengedjutkan
Tjo-sikomu. Benar djuga, tjermat sekali engkau, sahut Toan Ki dengan tertawa.
Maka dengan bergandengan tangan mereka lantas berdjalan kearah timur.
Setelah beberapa li djauhynja tidak mendengar ada orang mengedjarnja, mereka
baru merasa lega. Kata Wan-djing: Sebab apa kau tidak suka pulang!
Begitu pulang, tentu paman dan ajah akan menjekap aku dan dilarang keluar lagi,
sahut Toan Ki. Dan untuk bertemu lagi dengan engkau tentu akan susah pula.
Senang sekali hati Bok Wan-djing mendengar pernjataan itu, katanja: Kau tidak
suka pulang, itulah lebih baik, biarlah sedjak kini kita akan merantau, bukankah
kita bisa hidup bebas tenteram" Dan sekarang ktia harus pergi kemana"
Pertama kita harus menghindari pengedjaran Tju-siko, Ko-siok-siok dan lain2,
sahut Toan Ki. Lalu kita harus menghindari Lam-hay-gok-sin jang buas itu.
Benar, kata wan-djing memanggut. Paling baik kita menudju kebarat-laut, kita
mondok dulu dirumah seorang desa untuk menghindari penguberan, lewat belasan
hari kemudian, kalau luka dipundakku sudah sembuh sama sekali, tentu kita tak
usah kuatir lagi terhadap apapun.
Segera mereka bedua membiluk kearah barat-laut dengan jtepat, ditengah djalan
merekapun tak berani berhenti dan banjak bitjara, harapan mereka adalah semakin
djauh meninggalkan Bu-liang-san, semakin baik.
Sampai fadjar menjingsing, sudah berpuluh li djuga mereka tempuh. Kata Wan-
djing: Musuhku terlalu banjak, kalau kita berdjalan siang hari, tentu akan
menarik perhatian orang. Lebih baik kita mentjari suatu tempat mengaso, siang
hari kita makan-tidur, malam hari meneruskan perdjalanan.
Terhadap urusan2 Kangouw, sedikitpun Toan Ki tidak paham, maka sahutnja: Baiklah
terserah pada keputusanmu.
Nanti sehabis kita sarapan, kau harus mentjeritakan kemana engkau telah pergi
selama tudjuh-hari-tudjuh-malam ini, kata sigadis pula. Tapi kalau kau
membohong, hm, awas............ berkata sampai disini, mendadak ia berseru heran
sambil menunding kedepan.
Ternjata dibawah satu pohon jang rindang, tampak tertambat tiga ekor kuda,
diatas sebuah batu besar berduduk seorang jang sedang membatja kitab sambil
gojang2 kepala asjik bersjair. Siapa lagi dia kalau bukan Tju Tan-sin.
Wah, tjelaka! Segera Toan Ki tarik tangan sigadis hendak diadjak lari kedjurusan
lain. Namun Wan-djing tjukup paham bahwa rentjananja melarikan diri semalam
tentu sudah didengar semua oleh Tju Tan-sin. Sastrawan itu menduga Toan Ki
takbisa Ginkang, tentu larinja takbisa tjepat, maka setelah menentukan arah


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

larinja mereka, lalu naik kuda mengitar djalan lain untuk menghadang didepan.
Maka dengan mengkerut kening Wan-djing berkata: Tolol, sudah diketahui orang,
masakan masih bisa lari lagi" ~ Terus sadja ia mendekati Tju Tan-sin dan
menegur: Wah, pagi-pagi buta sudah asjik membatja disini, senang benar tampaknja!
Tan-sin manggut-manggut sambil tertawa, katanja kepada Toan Ki: Kongtju, tjoba
terkalah sjair apa jang sedang kubatja" ~ Lalu ia keraskan suaranja bersenandung
sebait sjair. Selesai mendengar, segera Toan Ki mendjawab: Bukankah ini bisikan kalbu gubahan
Gui Tin" Tan-sin tertawa, katanja: Pengetahuan Kongtjuya benar-benar sangat luas dan
dalam, sungguh Tan-sin merasa sangat kagum!
Toan Ki dapat memahami maksud sjair orang jang mengatakan sebabnja malam-malam
bersedia menjusul dan mentjari engkau, soalnja karena merasa utang budi dari
ajah dan pamanmu, maka tidak berani mengetjewakan kepertjajaan jang kuterima
dari beliau-beliau itu. Maka Toan Ki mendjadi rikuh untuk minggat lagi, segera
ia adjak Bok Wan-djing ikut pulang.
Entah djalan jang kami arah ini benar tidak menudju ke Tayli" dengan likat Bok
Wan-djing menanja. Toh tiada urusan penting jang lain, ketimur atau kebarat serupa sadja, achirnja
tentu djuga akan sampai di Tayli, sahut Tan-sin.
Kalau kemarin ia memberi Toan Ki menunggang seekor kuda jang paling bagus,
adalah sekarang kuda bagus itu ia tunggangi sendiri untuk mendjaga-djaga kalau
pemuda itu melarikan diri lagi dan dirinja tentu akan dapat mentjandaknja.
Segera Toan Ki mentjemplak keatas kudanja dan berangkat ke djurusan timur.
Kuatir kalau pemuda itu dongkol padanja, sepandjang djalan Tan-sin berusaha
membikin senang hatinja dengan mengadjak bitjara tentang sjair dan sandjak.
Saking asjiknja Toan Ki dibuai oleh sjair dan sandjak, hingga Bok Wan-djing jang
berada disampingnja itu tak terurus. Karuan gadis itu mendongkol, pikirnja:
Peladjar tolol ini, kalau sudah asjik bitjara tentang sjair segala, ia mendjadi
lupa daratan. Tidak lama, sampailah mereka didjalan raja. Kemudian mereka berhenti disuatu
kedai ditepi djalan untuk sarapan pagi sekedarnja. Baru selesai mereka pesan
makanan, tiba-tiba dari luar melangkah masuk pula seorang jang bertubuh tinggi
kurus. Begitu ambil tempat duduk, segera sidjangkung itu menggebrak medja sambil
membentak: Lekas bawakan lima kati arak, tiga kati daging masak, lekas, tjepat!
Mendengar suara orang, tak usah melihat, segerak Bok Wan-djing dapat mengenali
sidjangkung itu pasti In Tiong-ho adanja. Sjukur ia menghadap kedalam hingga
tidak dilihat oleh orang djahat keempat itu. Segera ia gunakan djarinja
mentjelup air kuah untuk menulis namanja In Tiong-ho diatas medja.
Tan-sin terkedjut, segera iapun menulis diatas medja: Lekas berangkat, tak perlu
menunggu aku! Terus sadja Wan-djing berbangkit, ia tarik badju Toan Ki dan diadjak menudju
keruangan belakang. Sedjak masuk tadi, In Tiong-ho lantas duduk menghadap keluar seperti sedang
mengintjar orang lewat. Tapi dia sangat tjerdik, begitu mendengar ada suara
orang bergerak dibelakangnja, ia lantas menoleh dan masih keburu melihat
bajangan Bok Wan-djing menghilang dibalik pintu, segera ia membentak: Siapa itu"
Berhenti! ~ Berbareng ia terus berbangkit dan memburu kebelakang.
Saat itu Tju Tan-sin sedang memegangi semangkok bakmi kuah panas, ia sengadja
mendjerit keras sekali seakan-akan orang kaget, terus sadja semangkok bakmi
panas itu disiramkan kemuka orang.
Memangnja djarak kedua orang sangat dekat, gerakan Tju Tan-sin itu sangat tjepat
pula, tambah lagi sama sekali In Tiong-ho tak menjangka sisastrawan jang lemah
itu mendadak bisa menjerang, pula ruangan kedai itu terlalu sempit untuk
menghindar, masih mendingan djuga ilmu Ginkangnja sudah mentjapai tingkat tiada
taranja, dengan tjepat luar biasa ia masih sempat memutar sedikit tubuhnja
hingga semangkok bakmi panas itu dapat dielakkan sebagian, tinggal isi setengah
mangkok jang tetap menggebjur kemukanja hingga pandangannja seketika mendjadi
kabur. Dalam gusarnja segera In Tiong-ho mentjakar kedada Tju Tan-sin dengan niat
sekaligus binasakan orang. Tak tersangka, begitu Tan-sin gebjurkan mangkok
bakminja tadi, menjusul ia lantas angkat medjanja hingga mangkok pirng
berhamburan kearah In Tiong-ho. Tjrat, kelima djari In Tiong-ho jang mentjakar
itupun menantjap dimuka medja.
Betapapun tinggi ilmu silatnja In Tiong-ho, mendadak diserang ia mendjadi kalang
kabut djuga kerepotan. Lekas-lekas ia kerahkan tenaga dalam untuk melindungi
tubuh sendiri hingga mangkok piring jang menghambur kebadannja itu semuanja
terpental djatuh dan tak melukainja.
Namun begitu, badjunja mendjadi basah lepek djuga oleh siraman kuah bakmi godok
itu. Pada saat lain, terdengarlah ada derapan kuda jang ramai diluar kedai, ada dua
penunggang kuda telah kabur keutara.
Tjepat Tiong-ho mengusap mukanja jang tersiram bakmi tadi, tapi pada saat itu
djuga sekonjong-konjong angin tadjam terasa menjambar, suatu benda keras telah
menutuk kearah dadanja. Lekas-lekas ia tarik napas dalam-dalam hingga dadanja
tertarik mundur belasan senti, berbareng telapak tangan kiri lantas memotong
dari atas, dua djarinja akan dipakai mendjepit kipas orang.
Rudji kipas milik Tju Tan-sin itu terbuat dari badja murni dan merupakan
sendjata jang telah dijakinkan sedjak ketjil, ia dapat memainkannja dengan
tjepat dan sesuka hati. Maka ia menduga dalam keadaan kelabakan terkena siraman
bakmi panas tadi, sekali serang dapatlah merobohkan In Tiong-ho jang lihay itu.
Tak tersangka, bukan sadja In Tiong-ho dapat menghindarkan serangan itu dengan
baik, bahkan kipasnja hendak didjepit pula. Karuan Tan-sin terkedjut, tjepat ia
tarik kembali kipasnja. Bitjara tentang tenaga dalam, Tju Tan-sin masih kalah setingkat daripada
lawannja, tapi kipas itu adalah sendjata kesajangannja, maka sekuatnja ia
menarik, untung djuga tangan In Tiong-ho jang djuga basah oleh kuah bakmi,
djarinja mendjadi litjin hingga kurang kentjang djepitannja, maka dapatlah Tan-
sin merebut kembali kipasnja itu.
Dalam keadaan demikian, mendadak Tan-sin mendapat akal, tjepat ia berteriak-
teriak: Hai, kawan-kawan jang memakai pantjing dan kapak, lekas kalian tutup
pintu, sidjangkung ini takkan mampu lari lagi!
Kiranja Tan-sin pernah mendengar tjeritanja Bu-sian-tio-to atau situkang
pantjing dari danau Bu-sian, sertai Djay-sin-khek, bahwa malam itu mereka telah
kepergok dengan seorang jang djangkung bagai galah bambu, dengan tenaga mereka
berdua barulah sekedar bisa menangkan lawan.
Sebab itulah, sekarang ia sengadja main gertak, ia menggembor pura-pura
memanggil kawan untuk menakutkan lawan itu.
In Tiong-ho tidak menjangka kalau itu hanja gertakan belaka, ia pikir bisa
tjelaka kalau benar-benar sinelajan dan situkang kaju itu muntjul, tentu dirinja
susah untuk meloloskan diri. Ia mendjadi gugup dan tidak mau bertempur lebih
lama, terus sadja ia terdjang keruangan belakang dan melarikan diri melitnasi
pagar tembok. Wah, sudah lari, sidjangkung sudah lari! Lekas kedjar, lekas kedjar!
demikian Tan-sin masih berteriak terus berlari keluar kedai sambil mentjemplak
keatas kudanja, tapi bukan mengedjar sidjangkung, melainkan menjusul Toan Ki
berdua. Saat itu Toan Ki dan Wan-djing sudah melarikan kuda mereka beberapa li djauhnja,
lalu melambatkan kudanja pelahan-pelahan. Tidak lama, terdengar derapan kuda
jang tjepat dari belakang, waktu menoleh, kiranja Tju Tan-sin sudah menjusul
datang. Mereka memberhentikan kuda untuk menunggu, setelah dekat, belum lagi mereka
sempat menanja kawan itu, sekonjong-konjong Wan-djing berseru: Tjelaka, orang
itu sedang mengedjar kemari!
Maka tertampaklah sesosok tubuh jang djangkung sedang memburu datang dengan
tjepat luar biasa, saking tinggi tubuh orang itu hingga mirip galah bambu dalam
permainan Djaylangkung jang tergontai-gontai sempojongan kekanan dan kekiri.
Kedjut Tan-sin tak terhingga, sungguh tak terduga olehnja bahwa Ginkang
sidjangkung bisa begitu hebat. Tjepat ia menjabet beberapa kali dibokong kuda-
kuda tunggangan Toan Ki dan Wan-djing, dalam kagetnja, kuda-kuda itu meringkik
sekali terus membedal kedepan dengan kerasnja. Maka hanja sekedjap sadja In
Tiong-ho sudah djauh ketinggalan dibelakang.
Kira-kira beberapa li lagi, Bok Wan-djing mendengar napas kudanja sudah megap-
megap, terpaksa ia lambatkan larinja membiarkan binatang itu sempat bernapas.
Tapi karena sedikit ajal itu, kembali In Tiong-ho sudah menjusul datang.
Biarpun ketjepatan lari dalam djarak pendek In Tiong-ho tidak bisa memadai kuda,
tapi tenaga djangka lama ternjata tidak terputus-putus, ia masih bisa mengedjar
terus. Tju Tan-sin insaf akal menggertaknja tadi sudah diketahui orang, untuk menakut-
nakuti lagi terang takkan mempan lagi, tampaknja dalam djarak belasan li pula
tentu akan kena disusul olehnja. Padahal asal bisa sampai dikota Tayli,
betapapun besarnja urusan tentu tidak perlu takut. Soalnja tjuma ketiga ekor
kuda mereka, jang sudah pajah, makin lama makin lambat, keadaanpun makin lama
semakin berbahaja. Beberapa li lagi, sekonjong-konjong kuda Toan Ki keserimpet hingga pemuda itu
terbanting djatuh kebawah. Sjukur Bok Wan-djing dapat bertindak tjepat, belum
lagi tubuh Toan Ki menempel tanah, tangan sigadis sudah sempat mendjambret
tengkuk badjunja terus diangkat keatas kuda sendiri.
Terhadap gadis itu sebenarnja Tju Tan-sin mempunjai kesan djelek, tapi ketika
Toan Ki terdjungkal dari kudanja, ia sendiri masih ketinggalan dibelakang untuk
merintangi musuh bila perlu, untuk menolong terang tidak keburu. Sjukur gadis
itu sempat turun tangan dengan tjepat, melihat gerakan Bok Wan-djing jang sebat
itu, mau-tak-mau ia memudji djuga: Bagus!
Belum lenjap suaranja, sekonjong-konjong dari belakang ada angin menjamber,
sepotong sendjata sudah menjerang kearahnja. Tjepat Tan-sin putar kipasnja untuk
menangkis, trang, tjakar badja In Tiong-ho tersampok kesamping, tapi sendjata
aneh itu tidak lantas ditarik kembali oleh In Tiong-ho, sebaliknja ia terus
menggaruk kebawah hingga pantat kuda tertjakar dan terluka.
Saking kesakitan, kuda itu meringkik sekali terus mentjongklang terlebih tjepat
malah, hingga lagi-lagi In Tiong-ho dapat ditinggalkan dibelakang.
Tjelaka! Orang itu sudah mengedjar kemari lagi! demikian seru Bok Wan-djing
dengan kuatir. Waktu Toan Ki menoleh, benar djuga tertampak sesosok tubuh jang
tinggi kurus bagai galah bambu sambil bergentajangan kekanan-kiri sedang
mengedjar dengan tjepat. Namun demikian, kini Toan Ki dan Wan-djing harus bersatu kuda, sedang kuda Tju
Tan-sin terluka pula, dengan sendirinja mereka sangat kuatir.
Hanja Toan Ki jang sama sekali tidak kenal bahaja, ia masih tanja: Wan-djing,
apakah orang itu sangat lihay" Dapatkah Tju-siko melawan dia"
Tidak, biarpun aku bersama dia mengerojokinja djuga takbisa menang, sahut
sigadis. Tiba-tiba timbul suatu akal dalam hatinja, katanja pula: Eh, aku dapat
pura-pura djatuh dari kuda dan merebah ditanah, nanti kalau dia mendekati aku,
dalam keadaan tak tersangka-sangka aku lantas lepaskan panahku, tentu dapat
merobohkan dia. Nah, lekas kau larikan kuda sendirian, tak usah tunggu aku!
Karuan Toan Ki gugup, tanpa pikir lagi sebelah tangannja terus memeluk leher
sigadis dan tangan lain merangkul pinggangnja sambil berkata: Djangan, djangan!
Aku tak membiarkan kau menempuh bahaja itu!
Wan-djing mendjadi djengah, tjepat omelnja: Tolol, kenapa main pegang-pegang"
Lekas lepaskan aku! Kalau dilihat Tju-siko, matjam apa kelakuanmu ini"
O, ja! Maaf, djangan engkau marah! seru Toan Ki kedjut sambil lepaskan
rangkulannja. Engkau adalah suamiku, masakah pakai minta maaf segala" udjar sigadis.
Tengah bitjara, dari djauh tampak In Tiong-ho sedang mendatangi lagi dengan
gajanja jang gentajangan.
Sekilas Toan Ki melihat wadjah Wan-djing mengundjuk rasa kuatir, seketika
timbullah rasa kasih-sajangnja. Saat itulah tiba-tiba sigadis mendjerit
tertahan, tertampak Tju Tan-sin sudah melompat turun dari kudanja dan sedang
memberi tangan suruh mereka lari tjepat. Lalu ia pentang kipasnja menghadang
ditengah djalan hendak menempur In Tiong-ho.
Tak terduga maksud tudjuan In Tiong-ho jalah ingin menawan Bok Wan-djing jang
tjantik itu. Sekonjong-konjong ia membiluk kepinggir sehingga Tju Tan-sin
dilalui, terus mengedjar lebih tjepat kearah Toan Ki berdua.
Terus-menerus Bok Wan-djing mentjambuk kudanja agar berlari lebih tjepat, mulut
binatang itu sudah berbusa, napasnja megap-megap, tapi masih tetap lari mati-
matian. Wan-djing, udjar Toan Ki dengan gegetun, tjoba kalau kuda jang kita tunggangi
ini adalah simawar hitam milikmu itu, djangan harap orang djahat itu mampu
mentjandak kita. Tentu sadja, sahut Wan-djing.
Dan setelah kuda itu membiluk kesuatu bukit, tiba-tiba didepan tampak sebuah
djalan lapang dan lurus, ditepi djalan djuga tanah datar jang luas tanpa sesuatu
tempat jang dapat dibuat sembunji, hanja diudjung barat djalan sana tampak
tetumbuhan rindang menghidjau mengelilingi sebuah telaga ketjil, disisi telaga
sana tampak menongol sebagian dinding berwarna kuning.
Melihat itu, terus sadja Toan Ki bersorak: Hura, lekaslah kita menudju kesana!
Disana adalah djalan buntu, apa tjari mampus menudju kesana" sahut Wan-djing.
Turutlah kataku, tentu kita akan selamat, udjar Toan Ki sambil keprak kudanja
lebih tjepat menudju kesemak-semak pohon jang rindang itu.
Sesudah dekat, ketika Bok Wan-djing menegas, ia lihat dinding tembok jang kuning
itu kiranja adalah sebuah bangunan kuil, diatas papan kuil itu tertulis Djing-
hoa-koan, njata itulah sebuah To-koan atau kuil pemeluk agama To (Tao).
Hanja sepintas sadja Wan-djing memandang kuil itu, sedang dalam hati ia sedang
memikir: Sitolol ini adjak lari kesini, tapi terang menghadapi djalan buntu,
bagaimana baiknja sekarang" Ah, biarlah kusembunji dulu untuk menjerang In
Tiong-ho itu dengan panahku.
Saat itu kuda mereka sudah berlari sampai didepan kuil dan sedang Wan-djing
hendak menoleh kebelakang, sekonjong-konjong sudah terdengar suara ketawa orang
jang terbahak-bahak dibelakang, terang itulah In Tiong-ho adanja.
Sekonjong-konjong Bok Wan-djing merasa kudanja berhenti serentak sambil berdiri
menegak dan meringkik keras, hendak melangkah madju setindak lagi djuga takbisa.
Dalam keadaan hampir merosot dari pelana kuda, tjepat Wan-djing berpaling
kebelakang, ia lihat kedua tangan In Tiong-ho sedang memegangi ekor kudanja,
pantas binatang itu berdjingkrak dan meringkik sebab ekornja diganduli dari
belakang. Tenaga Kiong-hiong-kek-ok ini sungguh mengedjutkan, kuda jang lagi
membedal dengan tjepat itu, ekornja ditarik begitu sadja lantas tak bisa
berkutik sama sekali. Segera terdengar djuga Toan Ki lagi berteriak-teriak: Ibu, Ibu! Lekas kemari,
lekas! Sungguh mendongkol sekali Bok Wan-djing oleh gembar-gembor Toan Ki jang
mentertawakan seperti anak ketjil itu, bentaknja gusar: Tutup mulut, tolol!
In Tiong-ho mendjadi geli djuga, ia terbahak-bahak dan mengedjek: Hahaha, biar
kau panggil nenek-mojangmu djuga pertjuma!
Mendadak Bok Wan-djing ajun tangan kanan kebelakang, sebatang panah terus
menjamber ketenggorokan In Tiong-ho. Tapi sedikit mengegos, dapatlah Tiong-ho
hindarkan serangan itu. Dari demi nampak Wan-djing hendak melompat pergi dari
pelana kuda, tjepat tjakar badja ditangan kirinja terus mentjengkeram kepundak
gadis itu. Tapi Bok Wan-djing sangat tjerdik dan tjekatan, sekonjong-konjong ia merosot
kebawah terus menjelusup kebawah perut kuda.
Dan selagi Tiong-ho melepaskan ekor kuda jang diganduli tadi dengan maksud
hendak melabrak sigadis lebih djauh, ia mendjadi tertegun ketika tiba-tiba
dilihatnja dari dalam kuil itu berdjalan keluar seorang To-koh (imam wanita)
setengah umur dan berparas sangat tjantik, wadjahnja bersenjum-simpul, tangan
kanan membawa sebuah kebut pertapaan.
Melihat To-koh itu, tjepat Toan Ki berlari mendekatinja. Terus sadja To-koh itu
merangkul bahu pemuda itu sambil berkata dengan tertawa: Kembali kau bikin onar
lagi, ada apa bergembar-gembor!
Melihat To-koh setjantik itu sedemikian mesranja terhadap Toan Ki, bahkan tampak
pemuda itupun gunakan tangan kanan memeluk pinggang si Tokoh dengan wadjah
kegirangan, seketika timbul rasa tjemburunja Bok Wan-djing, tak terpikir algi
olehnja bahwa musuh masih berada disitu, ia terus menubruk madju, telapak tangan
lantas membatjok keatas kepala si To-koh sambil membentak: Kau... kau pernah
apanja" Djangan kurang sopan, Wan-djing! tjepat Toan Ki berseru.
Mendengar pemuda itu membela si To-koh, rasa dongkol Wan-djing semakin berkobar,
batjokannja tadi dilontarkan lebih keras lagi.
Tapi dengan tenang sadja To-koh itu angkat kebutnja keatas, sedikit memutar,
tahu-tahu pergelangan tangan Bok Wan-djing kena tergubet oleh benang kebutnja.
Seketika Wan-djing merasa tenaga gubetan kebut itu kuatnja tidak kepalang, tapi


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lunak pula, sedikit To-koh itu kebas kebutnja, kontan Wan-djing terhujung-hujung
kesamping. Dalam gugup dan kalapnja, terus sadja Wan-djing memaki: Engkau adalah Tjut-keh-
lang (orang beragama), kenapa demikian tidak tahu malu!
Semula, ketika tiba-tiba melihat muntjul seorang To-koh jang tjantik, diam-diam
In Tiong-ho sangat girang, pikirnja harini aku benar-benar lagi dirubung dewi
amor, sekali tangkap dua wanita tjantik, biar nanti kugondol pulang semuanja.
Tapi kemudian demi menjaksikan tjara bagaimana To-koh itu mematahkan serangan
Bok Wan-djing dengan mudah. Sebagai seorang djago berpengalaman, hanja sedjurus
itu sadja ia lantas tahu ilmu silat To-koh itu sangat hebat. Segera ia
mentjemplak keatas kudanja Toan Ki tadi, tapi tidak lantas turun tangan.
Terdengar To-koh tadi sedang berkata dengan gusar: Kau sembarangan omong apa,
nona tjilik" Kau kau sendiri pernah apanja"
Aku... aku adalah isterinja Toan-long! demikian Wan-djing mendjawab.
Lekas engkau melepaskan dia!
To-koh itu tertjengan sedjenak, tiba-tiba air mukanja berubah senang berseri-
seri, ia djewer kuping Toan Ki, tanjanja dengan tertawa: Apa betul katanja tadi"
Dapat dikata betul, boleh dibilang tidak pula, sahut Toan Ki.
To-koh itu lantas tjubit sekali dipipi pemuda itu sambil mentjomel: Huh, suruh
kau beladjar silat tidak mau, tapi lebih suka meniru tabiat ajahmu jang senang
roman, ja" Hm, lihatlah kalau aku tidak hadjar kau. ~
Lalu ia berpaling mengamat-amati Bok Wan-djing, kemudian katanja pula: Ehm, nona
ini djuga sangat tjantik, tjuma terlalu liar, perlu dididik pula.
Liar atau tidak peduli apa" semprot Wan-djing dengan gusar. Djika engkau tidak
lekas lepaskan dia, djangan salahkan aku menjerang dengan panah.
Djika kau suka, boleh djuga kau tjoba-tjoba, udjar si To-koh tertawa.
Djangan, Wan-djing! demikian Toan Ki menjela. Kau tahu tidak siapakah beliau"
Namun Bok Wan-djing sudah kadung minum tjuka (tjemburu), ia tak tahan lagi,
begitu ajun tangan, ser-ser, dua panah ketjil terus menjamber kearah si To-koh.
Melihat bidikan panah berbisa sigadis itu, wadjah si To-koh jang tadinja
berseri-seri itu seketika berubah hebat. Sekali kebutnja mengebas, setiap benang
Si Tangan Sakti 5 Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan Raja Sesat Penyebar Racun 1
^