Pencarian

Pendekar Negeri Tayli 4

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 4


toh seumpama aku tidak menolong kau, kaupun akan terbinasa djuga.
Segera Toan Ki pegang batang gurdi, dengan kertak gigi segera hendak
ditjabutnja. Tapi karena tidak biasa, saking kedernja hingga badannja gemetar
malah. Sementara itu diseberang djurang sana terdengar ramai dengan suara
tjatji-maki musuh, tanpa pikir lagi Toan Ki terus mentjabut sekuatnja. Dengan
mu-darah tidak mengutjur terus, namun darah jang merembes keluar hingga muka dan
kepala Toan Ki penuh darah.
Saking kesakitan, Bok Wan-djing mendjerit sekali dan siuman kembali, tapi
menjusul lantas pingsan lagi.
Dengan mati2an Toan Ki berusaha menutup luka sinona agar darah tidak mengutjur
terus, namun darah jang merembes keluar bagai mata air itu benar2 susah
ditjegah. Toan Ki mendjadi kewalahan, ia tjoba bubut sekenanja beberapa tumbuhan
rumput disekitarnja dan dikunjah, kemudian dibubuhkan diatas luka Bok Wan-djing.
Tapi sekali kena diterdjang darah, luluhan rumput itu lantas bujar.
Tiba2 Toan Ki ingat gadis itu adalah djago silat, boleh djadi ia sendiri membawa
obat2 luka. Segera Toan Ki mentjoba rogoh saku sigadis itu. Se-konjong2
tangannja menjentuh sesuatu jang lemas litjin, dalam kagetnja tjepat ia tarik
keluar tangannja. Segera tertampaklah sinar emas berkilat, seekor ular ketjil merajap keluar.
Kiranja adalah Kim-leng-tju. He, Kim-leng-tju, djangan kau gigit aku! seru Toan
Ki kuatir. Menurut djuga ular itu. Padahal Kim-leng-tju tidak paham perkataannja itu.
Soalnja dibadan Toan Ki terdapat kotak kemala pemberian Tjiong Ling jang berisi
barang anti ular berbisa itu. Setiap ular atau serangga beratjun, asal mentjium
bau benda itu, pasti akan tunduk dan ketakutan.
Maka dengan ter-sipu2 Toan Ki masukan tangannja kesaku Bok Wan-djing lagi. Kali
ini tidak menjentuh benda hidup pula, satu persatu ia keluarkan isi badju
sigadis. Mula2 dikeluarkan sebuah sisir emas, lalu sebuah tjermin tembaga ketjil
dan dua potong saputangan warna djambon, ketjuali itu ada pula tiga buah kotak
atau dos ketjil. Melihat barang2 jang biasanja dipakai anak gadis itu, Toan Ki tertegun sedjenak,
baru teringat olehnja kelakuannja jang tidak sopan itu. Orang masih perawan
sutji, masakan tangan sendiri gerajangan disaku orang.
Ia tjoba membuka kotak2 ketjil itu. Kotak pertama ternjata berisi Yantji
(pemerah bibir) jang berbau harum; Kotak kedua berisi bubuk putih dan kotak
ketiga bubuk warna kuning. Ia tjoba mengendusnja, bubuk putih itu tiada bau
apa2, tapi bubuk kuning itu berbau pedas sangat keras hingga tak tertahan ia
bersin. Pikirnja: Entah bubuk2 ini obat luka atau bukan, kalau ratjun, hingga
salah pakai, kan tjelaka malah"
Segera ia pidjat2 tengkuk sinona, tidak lama, pelahan2 nona itu membuka matanja.
Toan Ki sangat girang, tjepatnja tanjanja: Bok-kohnio, obat dalam kotak mana
jang boleh dibubuhkan dilukamu"
Jang merah, sahut Bok Wan-djing singkat, lalu pedjamkan matanja lagi.
Ketika Toan Ki menanja pula, iapun tidak mau mendjawab.
Toan Ki mendjadi heran, sudah terang bubuk merah itu adalah Yantji, manabisa
dipakai mengobati luka" Tapi orang mengatakan demikian, biarlah di-tjoba2 dulu
daripada menggunakannja setjara ngawur.
Segera ia sobek sedikit badju ditempat luka sinona, ia bubuhi sedikit bubukan
Yantji itu. Ketika djari tangan Toan Ki menjentuh luka Bok Wan-djing, nona itu
dalam keadaan tak sadarkan diri toh rada kedjang kesakitan.
Djangan kuatir, biarlah darahmu ditjegah keluar lebih banjak, Toan Ki
menghiburnja. Aneh djuga, Yantji itu ternjata obat mudjarab benar, tjes-pleng, seketika darah
berhenti mengutjur keluar. Selang sebentar, dari luka itu lantas merembes keluar
air kuning berbusa. Melihat keanehan itu Toan Ki menggerundel sendiri: Obat luka
djuga dibikin seperti Yantji, sungguh pikiran anak gadis susah diraba orang.
Setelah tjapek setengah hari, baru sekarang perasaan Toan Ki bisa tenang
kembali. Ia dengar diseberang djurang sana suara berisik tadi sudah berhenti.
Pikirnja: Djangan2 mereka benar2 mandjat kemari melalui bawah djurang" ~ Tjepat
ia merajap ketepi djurang sana dan melongok kebawah. Astaga tjelaka 13,
dugaannja ternjata benar, belasan orang diseberang djurang itu tadi sedang
memberosot kebawah djurang dengan pelahan. Sekali pun djurang itu sangat dalam
tentu djuga ada dasarnja, asal orang2 itu sudah mentjapai dasar djurang, tidak
berapa djam lamanja pasti orang2 itu akan pandjat keatas djurang sebelah sini.
Toan Ki mendjadi bingung, pikirnja: Kalau musuh naik kemari, aku dan Bok-kohnio
hanja bisa terima adjal sadja, bagaimana baiknja sekarang"
Walaupun takbisa silat, tapi menghadapi pilihan antara hidup dan mati, terpaksa
ia berdaja sebisanja. la tjoba periksa sekitarnja, lebih dulu ia memondong Bok
Wan-djing kebalik sebuah batu padas jang menondjol, lalu sibuk mengumpulkan batu
ditepi djurang sana. Memangnja disitu banjak terdapat batu, maka tiada lama,
sudah beratus potong batu2 disiapkan.
Setelah selesai tugasnja, ia lantas duduk disamping Bok Wan-djing untuk
memulihkan semangat. Sepandjang malam ia tidak tidur, sesungguhnja ia sangat
lelah sekali, sedikit pedjamkan mata, rasanja sudah akan terus pulas. Tapi insaf
kalau musuh tidak lama bakal datang, manabisa ia berani tidur" Sajup2 ia
mentjium bau wangi jang teruar dari badan Bok Wan-djing, pikirnja: Nona Bok ini
berdjuluk 'Hiang-yok-djeh', sungguh djanggal djuga bau
harum demikian di-hubung2an dengan olok2 padanja sebagai setan kuntianak.
Tadi waktu mentjoba pernapasan hidung Bok Wan-djing, ia telah sedikit menjingkap
kain kedok mukanja dibawah hidung, tatkala itu ia tidak perhatikan bagaimana
bentuk mulut hidungnja, entah pesek, entah mantjung.
Tapi kini ia tidak berani sembarangan membuka kedok sigadis lagi untuk
melihatnja lebih djelas. Bila di-ingat2 kembali, rasanja kulit muka nona itu
sangat putih, ja, paling tidak, pasti tidak menakutkan.
Dalam keadaan tak sadarkan diri, kalau Toan Ki mau buka kedok sigadis, pasti
takkan diketahui olehnja. Tapi Toan Ki merasa ragu2, ingin melihat mukanja,
takut pula. Pikirnja dengan tak tetap: Tanpa sebab apa2 aku ikut2 menempuh
bahaja dgn dia, tampaknja 9/10 bagian pasti akan gugur ber-sama2. Pabila sampai
saat binasa aku masih belum melihat mukanja jang sebenarnja, bukankah penasaran
sekali" ~ namun dalam hati ketjilnja ia berkuatir pula kalau2 muka sigadis
benar2 sedjelek setan, sebab kalau tidak djelek, kenapa sepandjang masa selalu
berkedok muka" Apalagi berdjuluk Hiang-yok-djeh, sikutianak harum, harumnja
memang tulen, rasanja sedjelek setan djuga takkan palsu. Kalau melihat tindak-
tanduknja jang ganas kedji, rasanja gadis itupun tidak berdjodoh dengan wadjah
tjantik-molek. Karena itu, ia ambil keputusan takkan melihatnja.
Dalam keadaan ragu2 itu, achirnja Toan Ki terpulas saking letihnja.
Entah sudah berapa lamanja, mendadak ia terdjaga bangun dan berlari ketepi
djurang. la lihat ada 5-6 laki2 diam2 sedang mandjat keatas djurang, Tjuma
dinding djurang itu teramat tjuram, tidak mudah untuk mendak keatas, mereka
hanja merajap dgn susah-pajah dengan berpegangan ojot tumbuhan2 ditebing djurang
itu. Diam2 Toan Ki bersjukur musuh belum sampai naik keatas, segera ia ambil sepotong
batu dan disambitkan kebawah sambil berteriak: Djangan naik, kalau tidak,
djangan salahkan aku main kasar!
Djarak orang2 itu masih berpuluh meter dari Toan Ki, untuk menjerang dengan
sendjata resia terang tak sampai, maka demi mendengar antjaman Toan Ki itu,
mereka berhenti sedjenak sambil mendongak, setelah ragu2
sebentar, kembali mereka merajap naik lagi dibawah lindungan batu2 padas jang
menondjol disana-sini itu.
Menimpukan batu dari atas kebawah tidaklah susah, maka beruntun Toan Ki telah
timpukan beberapa potong batu. Segera terdengarlah suara djeritan ngeri dua
kali, dua orang diantaranja kena tertimpuk batu, dan djatuh tergelintjir kebawah
djurang, terang mereka pasti akan hantjur lebur.
Sedjak ketjil Toan Ki melulu radjin mendjalankan ibadah agama, ilmu silat sadja
tidak sudi dilatihnja. Kini untuk pertama kalinja membunuh orang, ia mendjadi
ketakutan sendiri hingga putjat lesi. Semula ia hanja bermaksud menggertak sadja
agar orang2 itu suka pergi, tak terduga dua orang telah terbinasa oleh batunja
itu. la merasa tidak tenteram sekali, walaupun tahu bila orang berhasil mandjat
keatas, dirinja dan Bok Wan-djing jang akan dibunuh oleh mereka.
Dalam pada itu, kuatir kalau diserang lagi dari atas, laki2 jang lain terus
merajap balik kebawah. Ada satu diantaranja agak gugup hingga terpeleset dan
djatuh kebawah djurang lagi.
Toan Ki terkesima sedjenak, kemudian ia kembali kesamping Bok Wan-djing, ia
lihat gadis itu sudah berduduk sambil bersandar dibatu padas.
Kedjut dan girang sekali Toan Ki, tanjanja:
Kau............... kau sudah baik, nona Bok"
Bok Wan-djing tak mendjawabnja, dengan ter-mangu2 ia pandang pemuda itu, sorot
matanja jang memantjar keluar dari balik kedoknja itu tampak bengis tak kenal
ampun. Rebahlah mengaso sadja, biarlah kutjarikan air minum untukmu, demikian Toan Ki
menghiburnja. Ada orang hendak mandjat kemari, bukan" tanja sigadis.
Tak tertahan lagi air mata Toan Ki ber-linang2, katanja dengan terguguk2: Ja,
aku............ aku telah mem...... membunuh dua orang tanpa sengadja.........
dan......... dan seorang pula djatuh binasa ketakutan.
Bok Wan-djing mendjadi heran melihat pemuda itu menangis, tanjanja: Lalu,
kenapa" O, Tuhan maha kasih, tan............ tanpa sebab aku telah membunuh orang,
ti............ tidak ketjil dosaku ini! demikian Toan Ki meratap.
la merandek sedjenak, lalu menjambung lagi: Kalau ketiga orang itu punja anak-
isteri dan orang tua dirumah, bila mendengar berita kematian mereka, tentu
akan............ akan sangat sedih, O, sung............ sungguh aku
berdosa......... aku berdosa!
Baru sekarang Bok Wan-djing paham sebab apa pemuda itu mewek, katanja dengan
tertawa dingin: Hu, kau sendiri toh djuga punja anak isteri dan orang tua"
Orang tua sih aku punja, tapi isteri belum, sahut Toan Ki.
Sekilas Bok Wan-djing memantjarkan sinar mata jang aneh, tapi sorot mata aneh
itu hanja sekedjap sadja lantas lenjap, segera kembali pula sinar matanja jang
tadjam dan dingin itu, katanja: Dan kalau mereka berhasil mandjat kesini, mereka
akan membunuh kau tidak" Membunuh aku tidak"
Ja, mungkin sekali mereka akan membunuh, sahut Toan Ki.
Hm, djadi kau lebih suka dibunuh daripada membunuh, ja" udjar Wan-djing.
Toan Ki merenung sedjenak, kemudian mendjawab: Djika...... djika melulu karena
aku, pasti aku takkan membunuh orang. Tapi.................. tapi aku takbisa
membiarkan kau dibunuh mereka.
Sebab apa" bentak Bok Wan-djing dengan bengis.
Kau pernah menolong aku, dengan sendirinja akupun ingin menolong kau, sahut Toan
Ki. Aku ingin tanja padamu, djika kau berdusta, segera panah didalam lengan badjuku
ini akan mentjabut njawamu, kata sigadis pula sambil sedikit angkat tangannja
mengintjar ketenggorokan Toan Ki.
Eh, sekian banjak orang jang kau bunuh, kiranja panahmu dibidikan dari dalam
lengan badju, udjar Toan Ki.
Tolol, kau takut tidak padaku" tanja sigadis.
Kau toh takkan membunuh aku, kenapa aku takut"
Djika kau bikin marah aku, bukan mustahil nona akan membunuh kau, kata Wan-djing
Djawablah pertanjaanku: kau telah melihat wadjahku atau tidak"
Tidak, sahut Toah Ki menggeleng kepala.
Benar2 tidak" sigadis menegas. Suaranja makin lama makin rendah, kedok
didjidatnja itu tampak basah sebagian, agaknja terlalu keras memakai tenaga,
maka keringat merembes keluar, namun suaranja masih tetap bengis.
Ja, buat apa aku berdusta, demikian sahut Toan Ki pula.
Diwaktu aku pingsan, kenapa kau tidak membuka kedokku"
Jang kupikirkan hanja mengobati luka dibahumu itu, maka tidak memikirkan hal
itu, udjar Toan Ki. Mendadak Bok Wan-djing ingat sesuatu, ia mendjadi gusar dan gugup, dengan napas
ter-sengal2 ia berkata: Djadi............ djadi kau telah melihat............
melihat kulit badanku bagian bahu" Kau membubuhi obat diatas lukaku"
Ja, sahut Toan Ki dengan tertawa. Sungguh tidak njana bahwa Yantjimu itu
ternjata begitu mandjur. Tjoba kau kemari, pajang aku sebentar, pinta sigadis.
Baiklah, sahut Toan Ki. Memangnja kau tak perlu banjak bitjara, lebih baik
mengaso dulu, nanti mentjari djalan buat menjelamatkan diri.
Sembari berkata, terus sadja Toan Ki mendekati sigadis. Tak tersangka, belum
lagi tangannja memegang tangan sigadis, plok, tahu2 pipinja kena dipersen sekali
gamparan. Begitu keras tempilingan itu hingga kepala Toan Ki pusing tudjuh
keliling, tubuhnja ikut berputar.
Ken............ kenapa kau memukul aku" tanja Toan Ki sambil memegangi pipinja.
Bangsat kurangadjar, ternjata kau berani menjentuh badanku dan............ dan
melihat bahuku...... saking gusarnja, terus sadja Bok Wan-djing djatuh pingsan
lagi. Dalam kedjutnja Toan Ki mendjadi lupa orang telah gampar pipinja, tjepat ia
memburu madju untuk membangunkan sigadis. la lihat lukanja mengeluarkan darah
lagi, rupanja waktu menampar Toan Ki tadi, gadis itu banjak mengeluarkan tenaga,
maka lukanja jang mulai merapat itu mendjadi petjah pula.
Toan Ki mendjadi ragu2, sigadis telah marah2 karena kulit badannja dilihat
orang, tapi kalau tak ditolong, mungkin djiwanja akan melajang karena terlalu
banjak mengalirkan darah. Urusan sudah begini, terpaksa lakukan sebisanja,
paling2 nanti dipersen lagi dua kali tamparan.
Demikian pikir Toan Ki. Segera ia sobek kain badju sendiri untuk membersihkan darah disekitar luka
sigadis, ia lihat kulit badan nona itu putih bersih laksana saldju ia tidak
berani lama2 memandangnja, buru2 ia
poles sedikit Yantji tadi keatas luka.
Sekali ini Bok Wan-djing tjepat siuman, dengan sorot matanja jang bengis ia
pelototi Toan Ki. Takut kalau digampar lagi, Toan Ki tidak berani dekat2 gadis
itu. Kembali kau......... kau............ karena merasa bahunja silir2
dingin, Bok Wan-djing tahu pemuda itu telah membubuhi obat diatas lukanja lagi.
Ja, terpaksa, aku......... aku takbisa tinggal diam, sahut Toan Ki sambil angkat
pundak. Saking gugupnja hingga napas Bok Wan-djing ter-sengal2, dalam keadaan lemas, ia
mendjadi susah berbitjara.
Toan Ki mendengar disisi kiri sana ada suara gemertjiknja air, segera ia berlari
kesana dan. mendapatkan sebuah selokan dengan air pegunungan jang djernih. Ia
tjutji bersih kedua tangan sendiri, lain meraup air gunung itu untuk diminum
beberapa tjeguk. Kemudian ia meraup air djernih itu kembali kesamping Bok Wan-
djing, katanja: Bukalah mulutmu, minum air ini!
Setelah banjak mengeluarkan darah, memangnja mulut Bok Wan-djing serasa garing,
segera ia singkap sebagian kain kedoknja hingga tertampak mulutnja.
Tatkala itu sudah lohor, diatas pegunungan itu terang-benderang. Toan Ki melihat
dagu sigadis agak londjong, njata mukanja potongan daun sirih, kulit mukanja
putih halus seperti bahunja, mulutnja jang ketjil mungil dengan bibir tipis,
kedua larik giginja seputih mutiara dan radjin. Hati Toan Ki terguntjang:
Dia...... sesungguhnja seorang gadis tjantik!
Sementara itu air telah merembes djatuh dari selah2 djari tangan Toan Ki, muka
Bok Wan-djing penuh tertjiprat butir2 air hingga mirip rintik embun diatas bunga
teratai dipagi hari. Toan Ki terkesima sedjenak, ia tidak berani lama2 memandang, tjepat berpaling
memandang kearah lain. Lagi, ambilkan lagi! pinta sigadis sehabis minum air ditangan Toan Ki itu.
Ber-turut2 tiga kali Toan Ki meraupkan air gunung itu baru melenjapkan rasa
dahaga sigadis. Kemudian Toan Ki mengintai pula ketepi djurang, ia lihat diseberang sana masih
tinggal beberapa orang dengan busur dan panah lagi mengawasi seberang sini.
Ketika melongok pula kebawah djurang, ia tidak melihat ada orang mandjat keatas.
Tapi dapat diduga musuh pasti takmau sudah, tentu sedang berusaha mentjari
djalan untuk mengedjar kemari.
Tiba2 Toan Ki ingat ratjun Toan-djiong-san jang diminumnja dari Sikong Hian itu
dalam beberapa harini pasti akan bekerdja djuga, andaikan musuh tidak mengedjar
kemari dan mereka berdua tidak mati oleh luka dan ratjun masing2, tentu djuga
akan mati kelaparan diatas bukit jang tandus itu.
Karena itu, dengan lesu.ToanKikembali kesamping Bok Wan-djing lagi, katanja:
Sajang diatas gunung sini tiada tumbuh apa2, kalau ada, akan kupetik beberapa
buah untuk melenjapkan kelaparanmu.
Sudahlah, apa gunanja banjak bitjara jang tidak2" sahut Bok Wan-djing.
Tjoba tjeritakan, bagaimana kau kenal anak dara keluarga Tjiong itu"
Kenapa bcrani sembarangan memalsukan aku untuk menolongnja"
Toan Ki mendjadi malu oleh pertanjaan itu, sahutaja: Memangnja aku tidak pantas


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjamar dirimu untuk menolongnja. Soalnja karena terpaksa, maka harap kau
djangan marah. Bok Wan-djing hanja mendengusi sekali, tidak menjatakan marah, djuga tidak
bilang tidak marah. Maka bertjeritalah Toan Ki tjara bagaimana ia kenal Tjiong Ling di Kiam-oh-kiong
tempo hari ketika dirinja dianiaja orang, dan gadis itu telah menolongnja.
Hm, kalau tidak bisa ilmu silat, kenapa kau banjak ikut tjampur urusan Kangouw"
Apa barangkali kau sudah bosan hidup" djengek Bok Wan-djing selesai mendengarkan
tjerita Toan Ki. Urusan sudah ketelandjur begini, menjesal djuga tak berguna, udjar Toan Ki
gegetun. Tjuma bikin nona ikut susah, aku merasa tidak enak sekali.
Kau bikin susah aku apa" kata sigadis. Permusuhanku dengan orang2 itu adalah aku
sendiri jang berbuat. Sekalipun didunia ini tiada seorang kau, mereka djuga
tetap akan mengerojok aku. Tapi, pabila tiada kau, aku mendjadi boleh takusah
kuatir dan bisa.................. bisa membunuh se-puas2ku daripada mati konjol
diatas karang tandus ini.
Ketika mengutjapkan kata2 boleh takusah kuatir, ia merandek sedjenak, ia merasa
utjapan setjara terus terang menjatakan berkuatir atas diri pemuda itu rada2
kurang patut, maka ia mendjadi djengah. Sjukur ia berkedok hingga mimik
wadjahnja tidak kelihatan. Pula loan Ki tidak memperhatikan nada utjapannja itu
agak aneh, sebaliknja menjangka gadis itu bitjara dalam. Keadaan sedih, maka ia
malah menghiburnja: Sudahlah, asal nona. Mengaso beberapa hari lagi hingga luka
dibahumu sudah sembuh, lalu kita terdjang keluar, belum tentu musuh mampu
menahan nona. Hm, enak sadja kau bitjara, kata Bok Wan-djing dengan mendjengek, melulu itu Oh-
pek-kiam Su An sadja aku hanja bisa bertempur sama kuat dengan dia, apalagi aku
menderita luka................. ~ belum habis utjapannja, se-konjong2 dari
seberang karang sana berkumandang suara suitan jang tadjam mengerikan hingga
seluruh lembah gunung ikut mendenging2.
Mendengar suara suitan aneh itu, tak tertahan lagi Bok Wan-djing tergetar,
katanja dengan suara gemetar: Dia............ dia telah datang!
~ segera tangan Toan Ki dipegangnja erat2.
Suara suitan itu masih terus mendengung hingga lama diangkasa pegunungan dan
sahut menjahut dengan suara kumandang jang makin keras, hingga telinga Toan Ki
se-akan2 pekak. la merasa tangan Bok Wan-djing gemetar tiada hentinja, tentu
gadis itupun sangat ketakutan.
Sedjak Toan Ki kenal gadis itu, biarpun ditengah kerubutan musuh, gadis itu
tetap bisa berlaku tenang, anggap musuh barang sepele sadja. Tapi kini, begitu
suara suitan itu berbunjl, seketika Hiang-yok-djeh jang biasanja ditakuti orang
itu, kini berbalik ketakutan sendiri, maka dapatlah dibajangkan betapa lihay
orang jang datang itu. Sampai lama sekali, pelahan2 suara suitan tadi barulah berhenti.
Siapa orang itu" tanja Toan Ki pelahan.
Sekali orang ini sudah datang, djiwaku pasti takbisa selamat lagi, udjar
sigadis. Maka lebih baik kau tjari djalan buat lari sadja, djangan...... djangan
urus aku lagi. Nona Bok, rupanja kau terlalu menilai rendah orang she Toan ini, sahut Toan Ki
tertawa, Masalah orang she Toan adalah manusia berkwalitet demikian"
Dengan sepasang matanja jang djeli itu, sigadis memandang ter-mangu2
sedjenak pada pemuda itu dengan penuh haru dan pilu, katanja kemudian dengan
suara mesra: Guna apakah kau mesti ikut mati bersama aku"
Kau......... kau tidak mengetahui betapa ganasnja orang itu.
Sedjak kenal belum pernah Toan Ki mendengar gadis itu bitjara dengan suara
demikian halusnja, ia merasa datangnja suara suitan tadi benar2
telah mengubah Hiang-yok-djek mendjadi seorang manusia lain, maka Toan Ki
meudjadi girang malah, sahutnja dengan tersenjum: Nona Bok, aku senang sekali
mendengar suara utjapanmu ini, dengan demikian, barulah benar2
seorang nona jang tjantik molek.
Hm, mendadak Bok Wan-djing mendjengek dan menanja dengan suara bengis: darimana
kau tahu aku tjantik" Djadi kau telah melihat wadjahku, ja" ~
habis berkata, genggaman tangannja terus diperkeras hingga tangan Toan Ki
seperti terdjepit tanggam, saling kesakitan, hampir2 pemuda itu mendjerit.
Aku tidak melihat wadjahmu, sahut Toan Ki kemudian dengan menghela napas, tapi
ketika memberi air minum padamu, aku telah melihat sebagian mukamu, walaupun
hanja sebagian sadja, namun sudah djelas kalau kau pasti seorang tjantik molek
tiada taranja. Betapapun ganasnja Bok Wan-djing, sekali wanita tetap wanita. Dan wanita mana
didunia ini jg tidak suka akan pudjian" Apalagi dipudji berwadjah tjantik"
Maka sekali hati merasa senang, genggamannja lantas dikendorkan, katanja:
Baiklah, lekas kau mentjari suatu tempat untuk bersembunji, tak peduli
menjaksikan apa sadja, sekali2 djangan keluar. Sebentar lagi orang itu sudah
akan naik kesini. Toan Ki terperandjat, serunja: Ja, djangan sampai dia naik kesini!
segera ia belari ketepi djurang, tapi pandangannja mendjadi silau oleh
berkelebataja ba]angan seorang berbadju kuning jang lagi me-lompat2
keatas karang dengan ketjepatan dan gesit luar biasa. Tebing karang itu sangat
tjuram dan litjin, tapi orang itu dapat mendaki bagai ditanah datar sadja, djauh
lebih gesit daripada bangsa kera.
Diam2 Toan Ki berkuatir, segera ia nienggembor: Hai, orang itu! Djangan kau naik
lagi, djika tak menurut, awas akan kutimpuk kau dengan batu!
Orang itu menjambutnja dengan ter-bahak2, lompatannja keatas mendjadi lebih
tjepat malah. Melihat demikian lihaynja orang itu, Bok Wan-djing pun sedemikian takut padanja,
Toan Ki pikir betapapun orang ini harus dirintangi keatas, tapi ia tdak ingin
membunuh orang lagi, segera ia djemput sepotong batu dan ditimpukan kesamping
orang itu. Walaupun batu itu tidak terlalu besar, tapi ditimpukan dari atas, suaranja
tjukup keras menakutkan djuga. Toan Ki terus berseru pula: Hai, kau sudah lihat
tidak" Kalau kutimpukan kekepalamu, pasti djiwamu akan melajang! Maka lekas kau
turun kebawah sadja! Kau botjah ini rupanja sudah bosan hidup, berani main kurangandjar padaku! tiba2
orang itu tertawa dingin Suaranja tidak keras, tapi seutjap sekata dapat
didengar Toan Ki semua. Melihat orang sudah melompat naik lebih dekat lagi, keadaan sudah terpaksa, Toan
Ki segera angkat dua potong batu terus ditimpukan keatas kepala orang itu sambil
pedjamkan kedua matanja, ia tidak berani menjaksikan adegan ngeri atas nasib
orang jang bakal tergelintjir kebawah djurang.
la dengar suara gedebukan batu2 jang menggelundung kebawah itu, menjusul
terdengar pula suara menderu dua kali dibarengi suara tawa pandjang orang itu.
Karuan Toan Ki heran, waktu membuka mata, ia lihat kedua potong batu tadi lagi
melajang ketengah djurang, sebaliknja orang itu baik2 sadja tak kurang suatu
apapun. Sekali ini Toan Ki benar2 kuatir, lekas2 ia memberondongi orang itu dengan
timpukan2 batu lagi. Tapi setiap batu melajang sampai diatas kepalanja, sekali
lengan badju orang itu mengebut, batu ini lantas menjeleweng kesamping dan
djatuh kedjurang, terkadang orang itu malah melompat naik lagi hingga timpukan
batu mendjadi luput. Dalam gugupnja, sekaligus Toan Ki telah berondongi orang itu dengan 30-40 potong
batu. Namun orang itu sedikitpun tidak apa2, bahkan sedjengkalpun takbisa
merintangi madjunja orang itu keatas.
Melihat gelagat bakal tjelaka, lekas2 Toan Ki berlari kembali kesamping Bok Wan-
djing dan berkata dengan suara ter-putus: No......... nona Bok, orang itu
sang........ sangat lihay, ma........... marilah kita lekas lari!
Sudah terlambat! sahut Bok Wan-djing dengan dingin.
Dan selagi Toan Ki hendak bitjara pula, se-konjong2 tubuhnja terasa didorong
oleh suatu tenaga maha besar hingga mentjelat kedepan bagai terbang, bluk,
achirnja ia terbanting didalam semak2 pohon hingga kepala pusing tudjuh
keliling, hampir2 djatuh kelengar. Untung tanah situ banjak tumbuh pohon2
pendek, maka hanja mukanja sadja terbaret letjet sedikit, tapi tidak sampai
terluka berat. Dengan ter-sipu2 ia merangkak bangun, sementara itu tertampak orang berbadju
kuning tadi sudah berdiri didepan Bok Wan-djing.
Kuatir kalau orang itu mentjelakai Bok Wan-djing, tjepat Toan Ki berlari madju
dan menghadang di-tengah2 mereka sambil menanja: Siapakah engkau" Kenapa
menganiaja orang tidak se-mena2"
Le....... lekas kau lari, djangan tinggal disini! seru Bok Wan-djing kuatir.
Hati Toan Ki ber-debar2 djuga, namun ia tenangkan diri sebisanja sambil
memperhatikan pendatang itu. Ternjata buah kepala orang itu besarnja luar biasa,
sebaliknja sepasang matanja bundar ketjil hingga mirip dua bidji kedelai
menjelempit diatas semangka. Namun sinar matanja menjorot tadjam, ketika ia
menatap Toan Ki, tanpa merasa pemuda itu bergidik.
Perawakan orang itu sih sedang sadja, berewoknja pendek kaku seperti sikat
kawat, tapi usianja susah diduga. Kedua tangannja pandjang melampaui lutut,
sedang djarinja pandjang lantjip mirip tjakar.
Waktu mula2 Toan Ki melihat orang itu, ia merasa wadjah orang sangat djelek.
Tapi kini ternjata lain, makin dipandang, semakin terasa perawakan orang itu dan
anggota2 badannja, bahkan dandanannja, semuanja sangat serasi dengan orangnja.
Kemarilah kau, berdiri disampingku! demikian kata Bok Wan-djing pula.
Tapi dia........ dia akan mentjelakai kau" udjar Toan Ki kuatir.
Hm, melulu lagakmu ini, apakah mampu kau menahan sekali hantam dari Lam-hay-gok-
sin" djengek sigadis. Tapi mau-tak-mau ia terharu djuga demi nampak pemuda itu
ingin melindunginja tanpa pikirkan keselamatan sendiri.
Benar djuga, pikir Toan Ki, kalau orang aneh ini hendak enjahkan dirinja memang
tidak perlu susah2, maka ada lebih baik djangan bikin marah padanja. Segera ia
berdiri kesamping Bok Wan-djing dan berkata pula: Apakah tuan jang berdjuluk
Lam-hay-gok-sin" Dalam beberapa hari ini Tjayhe sudah banjak bertemu dengan
berbagai Eng-hiong-Hohan, tapi ilmu silat tuan tampaknja adalah jang paling
lihay. Aku telah timpuk engkau dengan berpuluh potong batu, tapi tiada
sepotongpun jang mengenai kau.
Dasar watak manusia, siapa orangnja jang tidak suka dipudji dan diumpak" Begitu
pula dengan Lam-hay-gok-sin atau simalaikat buaja dari laut selatan ini. Sifat
Lam-hay-gok-sin ini biasanja kedjam tak kenal ampun, tapi demi mendengar Toan Ki
memudji ilmu silatnja sangat lihay, ia mendjadi senang djuga. Ia mengekek tawa
dua kali, lalu berkata: Kepandaianmu tidak berarti, tapi pandanganmu masih boleh
djuga. Baiklah, kau enjahlah, Lotju ampuni djiwamu!
Girang Toan Ki tidak kepalang, sahutnja tjepat: Djika demikian, kau orang tua
djuga ampuni Bok-kohnio sekalian!
Lam-hay-gok-sin itu tidak mendjawab, hanja sepasang matanja jang bundar ketjil
itu mendelik, mendadak ia melangkah madju, sekali kebut, lengan badjunja membuat
Toan Ki ter-hujung2 mundur beberapa tindak, lalu katanja dengan suara bengis:
sekali berani kau melangkah madju, Lotju takkan ampuni djiwamu lagi!
Toan Ki pertjaja orang berani berkata tentu berani berbuat, ia pikir paling
selamat biarlah aku melihat gelagat dulu disini. Maka ia tidak berani
sembarangan bertindak lagi.
Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi berkata pada Bok Wan-djing: Kau
inikah jang bernama Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing"
Benar, sahut sigadis. Sudah lama kudengar nama besar Lam-hay-gok-sin Gah-
loyatju, njata memang tidak bernama kosong. Siaulitju terluka parah, harap maaf
kalau tak bisa memberi hormat pada engkau orang tua!
Mendengar itu, diam2 Toan Ki mendengus didalam hari: Hm, terhadap diriku kau
garang melebihi setan, tak tahunja kau djuga seorang jang tjuma berani pada kaum
lemah tapi djeri pada jang djahat. Melihat orang lebih galak dari kau, terus
sadja kau panggil2 Loyatju!
Sementara itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi mendjengek: Ha, kabarnja kau
mempunjai beberapa djurus djuga, kenapa bisa terluka parah"
Aku dikerojok Su An, Tjin Goan-tjun, Sin Si-nio dan Hui-Sian berempat, dua
kepalanku takbisa lawan delapan tangan mereka, maka aku telah kena dilukai oleh
gurdi badja Sin Si-nio. Brengsek, sungguh tidak kenal malu, orang begitu banjak mengerubut seorang nona!
kata Lam-hay-gok-sin dengan gusar.
Benar itu, memangnja kau orang tua lebih bidjaksana! segera Toan Ki menanggapi.
Djangankan main kerojok, asal lelaki, memangnja djuga tidak pantas berkelahi
dengan wanita. Tapi mereka djusteru mengerubuti seorang nona jang lemah,
terhitung orang gagah matjam apakah itu" Kalau tjerita ini tersiar dikalangan
Kangouw, bukankah akan dibuat buah tertawaan orang"
Lam-hay-gok-sin tidak mendjawab, hanja mengangguk sambil mendelik.
Diam2 Toan Ki bergirang: Aku telah kuntji dia dengan kata2, lalu mengumpaknja
lagi setinggi langit, asalkan dapat terhindar dari kesulitan didepan mata ini.
Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang menanja pula: Sun He-khek dibunuh oleh kau
atau bukan" Benar! sahut Bok Wan-djing.
Dia adalah murid kesajanganku, kau tahu tidak" tanja lagi simalaikat buaja dari
laut selatan. Mendengar itu, diam2 Toan Ki mengeluh: Wah, tjelaka! Bok kohnio telah membunuh
murid kesajangannja, urusan ini mendjadi susah diselesaikan.
Ia dengar Bok Wan-djing lagi mendjawab: Waktu membunuhnja tidak tahu, beberapa
hari kemudian baru tahu. Kau takut padaku tidak" tanja Lam-hay-gok-sin.
Tidak! sahut sigadis tegas.
Lam-hay-gok-sin mendjadi murka, ia menggerung sekali hingga lembah gunung itu
se-akan2 terguntjang. Kau berani tidak takut padaku, besar amat njalimu, ja"
Pengaruh siapakah jang kau andalkan, ha"
Pengaruh engkaulah jang kuandalkan! sahut Bok Wan-djing dingin sadja.
Lam-hay-gok-sin melengak oleh djawaban itu, segera ia membentak: Ngatjo belo!
Pengaruhku apa jang bisa kau andalkan"
Kau orang tua diagungkan didunia persilatan, kepandaianmu tiada bandingannja,
manabisa kau bergebrak dengan seorang perempuan jang terluka parah! sahut
sigadis. Utjapan ini setengahnja mengandung umpakan, tapi memaksa Lam-hay-gok-sin tidak
bisa berbuat apa2. Benar djuga, setelah tertegun sedjenak, malaikat buaja lautan
selatan itu lantas terbahak2, katanja: Benar djuga utjapanmu itu. ~ habis ini,
mendadak ia tarik muka lagi dan berkata: Harini biarlah aku tidak membunuh kau.
Aku ingin tanja kepadamu: Kabarnja senantiasa kau memakai kedok, siapapun
dilarang melihat wadjahmu. Kalau ada orang jang melihatnja, djika kau tidak
bunuh dia, kau harus kawin padanja. Apakah betul kabar ini"
Toan Ki terperandjat oleh pertanjaan itu, ia lihat Bok Wan-djing telah memanggut
sebagai djawaban, karuan ia tambah kedjut dan bersangsi.
Sebab apa kau mengadakan peraturan aneh itu" tanja Lam-hay-gok-sin.
Itu adalah sumpah berat jang telah kuutjapkan dihadapan Suhuku. sahut sinona.
Djika tidak demikian, Suhu takkan mengadjarkan ilmu silat padaku.
Siapakah gurumu itu" tanja Gok-sin. Mengapa begitu aneh dan tidak kenal
peradaban orang hidup. Sahut Wan-djing dengan angkuh: Aku menghormati kau sebagai kaum Tjianpwe tapi
kau gunakan kata2 tidak pantas untuk menghina guruku, itulah tidak patut.
Praak! mendadak Lam-hay-gok-sin menghantam sepotong batu padas disampingnja,
seketika batu krikil berhamburan, muka Toan Ki kesakitan djuga tertjiprat oleh
hantjuran batu kerikil itu. Diam2 ia terkesiap: Sedemikian lihay ilmu silat
orang ini, sekali hantam bikin batu hantjur remuk, kalau badan manusia jang
digendjot, apa mungkin masih bisa hidup"
~ Namun ketika dia memandang kearah Bok Wan-djing, ia lihat gadis itu bersikap
dingin2 sadja, sedikitpun tidak gentar oleh ilmu silat Lam-hay-gok-sin jang
tiada taranja itu. Sementara itu, sesudah melototi Bok Wan-djing sedjenak, kemudian Lam-hay-gok-sin
berkata lagi: Baik, anggap utjapanmu tadi memang benar. Maka sekarang aku ingin
mohon tanja, siapakah gelaran gurumu jang terhormat itu"
Guruku bernama Bu-beng-khek (orang tak bernama), sahut Wan-djing.
Bu-beng-khek" demikian Lam-hay-gok-sin mengulangi nama itu sambil meng-ingat2
kembali. Tidak pernah kudengar nama itu!
Sudah tentu, rasanja kaupun takkan pernah mengenalnja, djengek Bok Wan-djing.
Se-konjong2 Lam-hay-gok-sin itu perkeras suaranja dan membentak: Kematian
muridku Sun He-khek itu apakah disebabkan dia ingin melihat wadjahmu"
Untuk kenal sang murid tiada lebih daripada sang guru, sahut Bok Wan-djing
dengan dingin. Sangat baik djika kau sudah kenal tabiat muridmu itu.
Memangnja Lam-hay-gok-sin tjukup kenal watak murid mestikanja itu adalah seorang
badjul buntung, kalau mati oleh sebab perbuatannja itu memang djuga tidak perlu
heran. Tjuma, menurut peraturan Lam-hay-pay mereka, selamanja satu-guru-satu-
murid, dengan tewasnja Sun He-khek, itu berarti djerih-pajahnja mendidik murid
selama berpuluh tahun itu ikut hanjut kelaut. Maka semakin dipikir semakin
gusar, se-konjong2 ia berteriak sekali: Hauuuuuuh! Aku akan menuntut balas bagi
muridku itu!

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat wadjah orang mendadak berubah beringas menakutkan, begitu murka agaknja
hingga air mukanja ikut berubah se-akan2 merah hangus, Bok Wan-djing dan Toan Ki
mendjadi djeri. Sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa air muka seseorang bisa
berubah begitu hebat dan tjepat.
Tjepat Toan Ki melangkah madju, tapi segera teringat akan antjaman orang tadi,
kembali ia melangkah mundur, lalu berkata: Gak-lotjianpwe, bukankah kau tadi
menjatakan takkan membunuh dia"
Tapi Lam-hay-gok-sin tak menggubris padanja, ia tanja Bok Wan-djing lagi: Dan
muridku itu berhasil melihat wadjahmu tidak"
Tidak! sahut sigadis. Bagus! seru Lam-hay-gok-sin. He-khek sibotjah itu matipun tentu tidak meram,
biarlah aku mewakili dia melihat wadjahmu. Ingin kulihat apakah kau seburuk
setan atau setjantik bidadari!
Kedjut Bok Wan-djing sungguh bukan buatan. la sudah bersumpah
.dihadapan sang guru, kalau sekarang Lam-hay-gok-sin itu memaksa melihat
wadjahnja, sedang dirinja tak mampu membunuhnja, lalu, apakah harus kawin
padanja" Dalam gugupnja, tjepat ia berkata: Kau adalah tokoh terkemuka
dikalangan Bulim, manabisa berbuat serendah dan sekotor ini"
Hm, diantara Sam-sian-su-ok (tiga orang badjik dan empat orang djahat), aku
adalah satu diantara Su-ok itu, kedjahatanku memangnja sudah terkenal di-mana2,
takut apa lagi" sahut Lam-hay-gok-sin dengan tertawa dingin.
Selama hidup Lotju hanja kenal suatu aturan, jalah: tidak membunuh orang jang
tidak mampu membalas, Ketjuali itu, tiada sesuatu kedjahatan lain jang tak
kulakukan. Maka lebih baik kau menurut dan tanggalkan kedokmu sendiri, agar
Lotju tidak perlu repot turun tangan lagi.
Kau benar2 harus............... harus melihatnja" sahut Bok Wan-djing dengan
suara gemetar. Djangan kau banjak tjintjong lagi, djika,terus rewel, sebentar tidak hanja
kedokmu jang kubuka, bahkan antero pakaianmu bisa kulutjuti bulat2, antjam Lam-
hay-gok-sin dengan bengis. Apakah kau tidak mendengar bahwa tahun jang lalu,
dikota Khayhong, dalam semalam sadja Lotju telah memperkosa dan membunuh
sembilan puteri keluarga pembesar dan bangsawan"
Bok Wan-djing insaf urusan harini pasti takbisa dihindarkan lagi, ia tjoba
mengedipi Toan Ki dengan maksud mendesak pemuda itu lekas melarikan diri. Tapi
Toan Ki hanja meng-geleng2 kepala sadja.
Lam-hay-gok-sin sudah tidak sabar lagi, berewoknja jg mirip sikat kawat itu
mendjengket. Huk! sekali bersuara, terus sadja kelima djarinja jang mirip tjakar
ajam itu terus mentjengkeram kedok Bok Wan-djing.
Tanpa pikir lagi Wan-djing tekan pesawat rahasianja, tiga batang panah ketjil
sekaligus menjamber kedepan setjepat kilat dan semuanja tepat niengenai perut
Lam-hay-gok-sin. Tak terduga, blek-blek-blek tiga kali, ketiga panah itu djatuh semua ketanah.
Sedikit Bok Wan-djing bergerak, kembali tiga panah berbisa melesat kedepan, jang
dua batang mengarah dada Lam-hay-gok-sin, jang satu mengintjar mukanja.
Tapi- kedua batang panah jang mengenai dada Lam-hay-gok-sin itu tetap seperti
membentur papan badja sadja, semuanja djatuh ketanah. Bedanja tjuma tidak
menerbitkan suara tjrang-tjreng jang njaring, tapi hanja bersuara blak-blek jang
aneh. Sedang panah ketiga ketika hampir mentjapai sasarannja, tiba2 Lam-hay-gok-sin
ulur dua djarinja dan mendjentik pelahan dibatang panah ketjil itu, kontan panah
itu mentjelat entah kemana!
Hendaklah diketahui bahwa panah berbisa jang dibidikan Bok Wan-djing itu
setjepat kilat, banjak djago2 pilihan telah tewas dibawah panahnja itu sebelum
melihat bajangan panah itu, Sekalipun mata tjeli dan gesit, paling2 djuga tjuma
melompat berkelit sadja. Tapi kini Lam-hay-gok-sin bukan sadja tidak mempan
dipanah, bahkan sempat angkat djarinja mendjentik, sungguh selama hidup Bok Wan-
djing belum pernah mengalami tokoh selihay ini, saking djerinja hampir2 njalinja
petjah, tjepat ia berseru: Nanti dulu, djangan kau main kasar!
Lam-hay-gok-sin tertawa dingin, sahutnja: Menurut aturanku, aku hanja tidak
membunuh orang jang tidak mampu membalas seranganku, tapi kau telah menjerang
aku dengan enam batang panah, itu berarti kau telah mendahului menjerang aku.
Mata aku akan melihat dulu matjam apa wadjahmu, kemudian mentjabut njawaku. Ini
adalah salahmu sendiri jang bergebrak lebih dulu, djangan kau menjalahkan aku
melanggar aturan. Salah, salah! tiba2 Toan Ki menggembor.
Ada apa" tanja Lam-hay-gok-sin menoleh.
Menurut aturan Lotjianpwe, kau tidak membunuh orang jang tidak mampu membalas
seranganmu bukan" Toan Ki menegas.
Benar! sahut Lam-hay-golt-sin dengan mata mendelik.
Ketetapan itu bisa diubah atau tidak" tanja Toan Ki.
Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, sahutnja: Sekali aturan Lotju sudah ditetapkan
tidak bisa di-tawar2 lagi!
Tapi kalau ada jang mengubahnja, matjam apakah orang itu" desakToan Ki.
Orang itu adalah anak kura2 (anak germo) dan keturunan haram! sahut
simalaikatbuaja dari laut selatan.
Bagus, bagus! seru Toan Ki. Tadi belum lagi kau menjerang Bok-kohnio, tapi dia
telah memanah kau, itu bukan balas menjerang, tapi harus disebut menjerang lebih
dulu. Djikalau kau menjerang dia, dalam keadaan terluka parah, pasti dia tidak
mampu membalas sedikitpun. Sebab itulah, hanja bisa dikatakan dia mampu
menjerang, tapi tidak mampu balas menjerang.
Pabila kau membunuh dia, itu berarti kau telah mengubah peraturanmu, dan kalau
kau mengubah aturanmu sendiri, itu berarti kau anak kura2 dan keturunan haram!
Ternjata dalam keadaan kepepet, Toan Ki terus main pokrol bambu. Ia sengadja
pantjing omongan Lam-hay-gok-sin untuk mendjebaknja, lalu berdebat dengan dia
setjara pokrol2an. Karuan Lam-hay-gok-sin menggerung murka bagai guntur kerasnja, sekali melompat,
segera kedua tangan Toan Ki ditjekalnja sambil membentak: Kurangadjar! Kau
berani memaki aku sebagai anak kura2 dan keturunan haram! ~ berbareng tangan
lain diangkat terus hendak mnggablok keatas kepala pemuda itu.
Tapi dengan tenang Toan Ki masih mendjawab: Djika kau mengubah peraturanmu,
tentunja kau harus mengaku sebagai anak kura2, tapi kalau tidak, tentu djuga
bukan. Dan suka atau tidak engkau mendjadi anak kura2, semuanja tergantung pada
engkau akan mengubah peraturanmu atau tidak.
Melihat pemuda itu begitu teguh pendiriannja, biarpun djiwanja terantjam, tapi
sedikitpun tidak gentar, bahkan malah memaki orang anak kura2 terus menerus, Bok
Wan-djing mendjadi kuatir Lam-hay-gok-sin pasti akan murka hingga sekali hantam,
tentu kepala Toan Ki bisa remuk. Saking takutnja, air matanja bertjutjuran, ia
berpaling kearah lain tidak tega menjaksikannja.
Tak terduga Lam-hay-gok-gin mendjadi kesima oleh karena debatan Toan Ki tadi, ia
pikir, kalau sekali gablok kubinasakan dia, itu berarti membunuh seorang jang
tak mampu membalas seranganku, dan bukankah aku benar2 akan mendjadi anak kura2
dan keturunan haram"
Karena itu, tangannja jang terangkat tadi pelahan2 diturunkan kembali,
sebaliknja tangan lain jang mentjekal kedua tangan Toan Ki pelahan2
diperkeras sambil mata mendelik. Begitu kuat remasannja itu hingga Toan Ki
kesakitan tidak kepalang, tulang tangannja sampai berkerutukan seakan2 patah,
hampir2 ia djatuh semaput. Tapi dasar wataknja memang sangat bandel, walaupun
dengan meringis, segera ia berseru; Aku tidak mampu membalas seranganmu,
lekaslah kau membunuh aku sadja!
Huh, aku djusteru tidak mau masuk perangkapmu! Kau ingin aku mendjadi anak kura2
dan keturunan haram, ja" sahut Lam-hay-gok-sin. Habis berkata, tiba2 ia angkat
tubuh pemuda itu dan dibanting ketanah. Karuan mata Toan Ki ber-kunang2, isi
perutnja serasa djungkir balik hantjur luluh.
Aku tidak mau terperangkep! Aku takkan membunuh kalian dua setan tjilik ini!
demikian Lam-hay-gok-sik berkomat-kamit sendiri. Mendadak ia membentak pada Bok
Wan-djing: Buka kain kedokmu!
Wan-djing merasa air mata sendiri ber-linang2 dikedua pipi, tiba2
hatinja tergugah: Dahulu aku pernah menjatakan bahwa selama hidupku ini takkan
menikah, ketjuali kalau aku menangis bagi laki2 itu! ~ Dan karena urusan sudah
mendesak, tanpa pikir lagi segera ia memanggil Toan Ki: Kemarilah kau!
Dengan masih meringis2 kesakitan Toan Ki mendekati sigadis dan menanja: Ada apa"
Engkau adalah laki2 pertama didunia ini jang melihat wadjahku ini!
demikian Bok Wan-djing berbisik sambil berpaling kehadapan pemuda itu, lalu
menjingkap kain kedoknja.
Seketika Toan Ki terguntjang se-akan2 kena aliran listrik. Ternjata apa jang
dilihatnja itu adalah sebuah wadjah tjantik aju bagai bidadari, tjuma agak putih
putjat, tentunja disebabkan selamanja gadis itu menutupi mukanja dengan kedok,
djarang terkena tjahaja matahari. Kedua bibirnja jang tipis mungil itupun ke-
putjat2an. Namun bagi Toan Ki, rasanja gadis itu mendjadi lebih harus
dikasihani, lemah lembut, sama sekali tiada memper sebagal Hiang-yok-djeh jang
membunuh orang tanpa berkesip.
Kemudian Bok Wan-djing menutupkan kedoknja lagi dan berkata pada Lam-hay-gok-
sin: Nah, sekarang djika kau ingin melihat mukaku, kau harus minta idin dulu
kepada suamiku. He, kau sudah bersuami" Gok-sin menegas dengan heran. Siapakah suamimu itu"
Aku pernah bersumpah bahwa laki2 mana jang melihat wadjahku kalau aku tidak
membunuh-dia, aku akan menikah padanja. sahut Wan-djing sambil menundjuk Toan Ki: Dan orang ini telah melihat wadjahku, aku
tidak ingin membunuh dia, terpaksa aku mendjadi isterinja.
Lam-hay-gok-sin tertjengang, ia berpaling dan mengamat-amati Toan Ki Toan Ki
merasai kedua mata orang; jang: besarnja mirip katjang kedelai itu sedang
memandang dirinja, dimulai dari ujung rambut sampai kepangkal kaki, dan dari
djari kaki kembali ke-ubun2, karuan Toan Ki mendjadi risih dan merinding pula,
kuatir kalau orang mendjadi kalap, sekali hantam binasakan dirinja.
Siapa tahu mendadak terdengar mulut Lam-hay-gok-sin tiada hentinja ber-ketjek2
memudji, katanja: Tjk-tjk-tjk-tjk, bagus sekali, bagus sekali!
Tjoba kau menghadap kesini!
Toan Ki tidak berani membangkang, ia menurut dan berputar kehadapan orang.
Ehm, benar2 hebat, benar2 bagus! Sangat mirip aku, sangat mirip aku!
demikian kembali Lam-hay-gok-sin memudji.
Mendengar utjapan jang tak djelas udjung-pangkalnja itu, Bok Wan-djing dan Toan
Ki mendjadi heran, pikir mereka: Ilmu silatmu memang benar tiada bandingannja,
tapi rupamu djelek, bagian manakah jang mirip dengan Toan Ki jang tampan"
Tiba2 Lam-hay-gok-sin melompat kesamping Toan Ki, ia raba2 tulang kepala
belakang pemuda itu, lalu pidjat2 tangan dan kakinja, kemudian meremas2 pula
beberapa kali dipinggangnja.
Karuan Toan Ki merasa geli se-akan2 di-kili2 orang, hampir ia berteriak ketawa.
Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang ter-bahak2 dan berkata: Kau sangat mirip
aku, ja, sangat mirip aku! ~ berbareng tangan Toan Ki digandengnja sambil
berkata pula: Marilah ikut padaku!
Lotjianpwe suruh aku kemana" tanja Toan Ki dengan bingung.
Keistana Gok-sin-kiong dipulau Gok-to, dilautan selatan. sahut Gok-sin.
Aku telah terima kau sebagai murid, lekas kau mendjura padaku!
Hal ini sungguh diluar dugaan Toan Ki, karuan ia kelabakan:
Ini.................. ini..............
Akan tetapi Lam-hay-gok-sin mana mau tahu ini atau itu, saking senangnja sampai
ia ber-djingkrak2 se-akan2 orang putus lotere lima djuta. Lalu katanja: Tangan
dan kakimu pandjang, tulang kepalamu bagian belakang menondjol keluar, tulang
pinggang lemes, pintar dan tjerdik, aku jakin .bakatmu sangat baik, umurmu belum
banjak lagi, benar2suatu bahan pilihan untuk beladjar silat. Lihatlah ini,
bukankah tulang kepalaku ini sama seperti kau" ~ sembari berkata, ia terus
membaliki tubuhnja. Benar djuga, Toan Ki melihat tulang kepala belakang orang memang sangat mirip
dengan dirinja. Buset! Djadi apa jang dimaksudkan sangat mirip aku tadi tidak
lebih hanja disebabkan persamaan dari sekerat tulang kepala belakang sadja!
Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin telah putar tubuh lagi, katanja dengan berseri2:
Lam-hay-pay kita selamanja ada suatu peraturan, jalah setiap turunan hanja satu-
guru-satu-murid, muridku jang sudah mati itu, Sun He-khek, tulang kepalanja
tiada sebagus kau punja, kepandaiannja tiada dua bagian jang diterimanja dari
peladjaranku kini dia sudah mati, biarlah, daripada sekarang bikin repot aku utk
membunuhnja, agar aku bisa menerima kau sebagai murid.
Toan Ki bergidik oleh tjerita itu. Pikirnja, sifat orang ini sedemikian
biadabnja, kalau ada orang jang dipenudjui olehnja, lantas murid sendiri akan
dibunuh supaja bisa terima murid baru lagi. Kalau sekarang aku diterima sebagai
murid, bukan mustahil kelakaku akan dibunuhnja djuga bila dia keternukan orang
lain jang berbakat lebih bagus. Djangankan dirinja memang tidak sudi beladjar
silat, sekalipun mau djuga tidak nanti mengangkat orang demikian sebagai guru.
Tapi Toan Ki djuga insaf bila setjara tegas menolaknja sekarang, seketika
malapetaka pasti akan menimpa dirinja. Tengah ia bingung tak berdaja, se-
konjong2 terdengar Lam-hay-gok-sin itu membentak: Kalian lagi berbuat apa
sembunji2 disitu" Hajo, semuanja gelinding kemari!
Maka tertampaklah dari semak2 pohon sana muntjul tudjuh orang. Su An, Hui Sian,
Tjin Goan-tjun termasuk diantaranja. Menjusul dari sebelah kiri sana djuga
menongol dua orang, mereka adalah Tjo Tju-bok dan Siang-djing dari Bu-liang-
kiam. Kiranja sesudah Lam-hay-gok-sin naik keatas karang itu. Toan Ki tidak bisa
menimpuk batu untuk merintangi mereka lagi, maka kesempatan itu telah digunakan
orang2 itu untuk mandjat keatas. Empat orang lagi diantara rombongn Su An itu
adalah Tjetju2 (gembong2) dari Hok-gu-tjeh, semuanja adalah djagoan terkenal
dari kalangan Hek-to jang kerdjanja merampok dan membegal.
Meski orang2 itu bersembunji ditengah semak2 dengan menahan napas, namun mana
bisa mengalabui telinga Lam-hay-gok-sin jang tadjam" Tapi dasar orang aneh itu
lagi. senang karena memperoleh seorang murid berbakat bagus seperti Toan Ki,
seketika ia tidak mendjadi marah, dengan masih ber-seri2 ia melototi Tjo Tju-bok
dan lain2, lalu membentak: Ada apa kalian naik kesini" Apakah hendak
menghaturkan selamat padaku karena menerima seorang murid bagus"
Dengan tabahkan diri, Djitjetju (gembong kedua) dari Hok-gu-tjeh jang bernama
Tjok Thian-koat mendjawab: Kami ingin menangkap perempuan hina si Hiang-yok-djeh
ini untuk membalaskan sakit hati saudara kami.
Tidak, tidak boleh! seru Gok-sin sambil gojang kepala. Hiang-yok-djeh adalah
isterinja muridku, lekas enjah semua!
Karuan semua orang melongo heran sambil saling pandang.
Tidak, aku tak bisa mengangkat kau sebagai guru, sudah lama aku mempunjai Suhu,
seru Toan Ki tiba2. Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, bentaknja: Siapakah gurumu" Apakah kepandaiannja
bisa lebih tinggi dariku"
Kepandaian guruku itu, kujakin sedikitpun kau tak bisa, sahut Toan Ki.
Tjoba, apakah kau paham intisari dari Kong-yang-thoan" Apa kau pernah beladjar
ilmu Tjiong-ting-kah-kut segala"
Lam-hay-gok-sin garuk2 kepala, sebab dia memang tidak kenal apa itu, Kong-yang-
thoan segala, bahkan dengarpun belum pernah.
Melihat wadjah orang mengudjuk bingung, diam2 Toan Ki geli, ia pikir ilmu silat
orang ini sangat tinggi, tapi otaknja ternjata rada bebal.
Maka katanja lagi: Makanja, kebaikan Lotjianpwe biarlah kuterima dalam hati
sadja, kelak aku akan mengundang guruku untuk tjoba2 bertanding dengan
Lotjianpwe, pabila Lotjianpwe bisa menangkan guruku, barulah, aku akan
mengangkat engkau sebagai Suhu.
Siapa Suhumu" Masakan aku djeri padanja" Hajo, tetapkan, kapan aku bertanding"
teriak Gok-sin gusar. Padahal apa jang diutjapkan Toan Ki itu hanja sekedar untuk mengulur waktu
sadja, siapa duga orang benar2 minta diadakan perdjandjian bertanding.
Karuan ia tak bisa mendjawab.
Tengah bingung tak berdaja, tiba2 dari djauh sana terdengarlah suara kumandang
suitan orang jang pandjang bagai auman naga, suara itu ber-gelombang2 tak ter-
putus2 melintasi lereng2 gunung itu.
Kalau tadi Toan Ki merasa ngeri dan seram oleh suara suitan Lam-hay-gok-sin jang
melengking tadjam itu, adalah suara suitan sekarang ini kedengarannja keras tapi
tenang dan kuat mengguntjangkan lembah gunung, sedikitpun tidak kalah hebatnja
daripada suara Lam-hay-gok-sin tadi.
Mendengar suara itu tiba2 Gok-sin tabok kepala sendiri sambil berseru: Aija,
orang ini sudah tiba, aku tidak sempat banjak bitjara dengan kau lagi. Hajo,
kapan gurumu akan Pi-bu (bertanding silat) dengan aku dan dimana tempatnja" Ajo,
lekas katakan, lekas! Aku.......... aku tidak enak me......... mewakili guruku mengadakan perdjandjian
dengan engkau, sahut Toan Ki ter-gagap2. Apalagi bila sekali engkau sudah pergi,
orang2 ini tentu akan membunuh kami berdua, lalu tjara begaimana aku.........
aku bisa memberitahukan pada guruku" ~
sembari berkata, ia tuding2 Hui-sian dan lain2.
Mendengar itu, tanpa menoleh lagi, Lam-hay-gok-sin membaliki tangan kiri meraup
kebelakang, seketika tangan Tjoh Thian-koat, itu Djitjetju dari Hok-gu-tjeh kena
ditjekalnja, menjusul tangan kanan Gok-sing mendjodjoh pula kebelakang, tjrat,


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelima djarinja menantjap masuk didada Tjoh Thian-koat, kontan terdengar
djeritan ngeri gembong Hok-gu-tjeh itu.
Pabila kemudian tangan kanan Lam-hay-gok-sin ditarik kembali, ditengah tangannja
jang berlumuran darah itu sudah memegang sebuah hati manusia.
Kedua kali gerakan Lam-hay-gok-sin itu tjepatnja bukan main, pertjuma sadja Tjoh
Thian-koat memiliki kepandaian, sedikitpun ternjata takbisa dikeluarkan. Karuan
semua orang jang menjaksikan itu ikut ternganga kesima.
Buah hati manusia tadi oleh Lam-hay-gok-sin segera dimasukan kemulutnja, kruk,
ia gigit sepotong terus dikunjah dengan lezatnja bagai makan ketimun sadja.
Sungguh pedih dan gusar tidak kepalang ketiga Tjetju jang lain dari Hok-gu-tjeh.
Berbareng mereka menggerung murka terus menubruk madju. Akan tetapi sama sekali
Lam-hay-gok-sin tidak berpaling, bahkan mulutnja masih terus makan dengan
enaknja, sedang kaki kanan mendepak tiga kali sekaligus kebelakang, Kontan
tertampak tubuh ketiga Tjetju dari Hok-gu-tjeh itu mentjelat keudara dan djatuh
kedalam djurang semua. Suara djeritan ngeri jang berkumandang diangkasa lembah
pegunungan itu membuat Toan Ki merinding.
Menampak betapa ganas dan buasnja Lam-hay-gok-sin, ilmu silatnja sedemikian
lihay pula, Hui-sian, Tjo Tju-bok dan lain2 mendjadi djeri dan mundur ketakutan.
Sambil mulutnja masih mengunjah sisa hati manusia tadi, setjara samar2
Lam-hay-gok-sin berseru pula: Lotju belum tjukup hanja memakan sebuah hati, aku
masih...... masih inginkan jang kedua, siapa jang larinja paling lambat, dia
itulah akan mendjadi mangsa Lotju.
Mendengar itu, takut Tjo Tju-bok, Siang-djing, Tjin Goan-tjun dan lain2
bukan buatan, hampir2 semangat mereka terbang ke-awang2, tjepatan sadja mereka
berebut melarikan diri, begitu sampai ditepi djurang, tanpa pikir lagi mereka
memberosot kebawah. Hanja Oh-pek-kiam Su An sadja jang masih tinggal disitu dengan mata mendelik
sambil menghunus pedang, katanja dengan gagah berani. Didunia ini ternjata ada
manusia sekedjam dan seganas ini, sungguh melebihi binatang. Pabila aku Su An
djuga takut mati dan melarikan diri, kemanakah mukaku harus ditaruh kalau
berkelana dikangouw lagi" ~ Habis itu, ia sentil batang pedangnja hingga
berbunji mendengung, bukannja mundur, bahkan ia melangkah madju terus membentak:
Awas pedang! ~ tanpa bitjara lagi ia menusuk dada Lam-hay-gok-sin.
Dibawah sinar matahari jang terang-benderang itu, sinar pedang gemilapan
menjilaukan mata, tapi Lam-hay-gok-sin anggap seperti tidak melihatnja sadja, ia
masih asjik menikmati penganannja sendiri jang istimewa itu. Maka udjung pedang
Su An itu tampaknja sudah akan menembus dadanja, segera Su An kerahkan tenaganja
lebih kuat. Krak sekali, ternjata bukan dada Lam-hay-gok-sin jang tertembus,
tapi pedangnja Su An jang patah mendjadi dua.
Sungguh luar biasa, tubuh Lam-hay-gok-sin itu ternjata kebal, tidak mempan
sendjata. Meski pedang Su An itu bukan Pokiam atau pedang pusaka, tapi djuga
tergolong sendjata pilihan jang sangat tadjam. Karuan ia kaget, tjepat ia
melompat mundur sambil melolos pula pedangnja jang lain.
Pedang kedua ini hitam mulus wudjutnja, sedikitpun tidak mengeluarkan sinar
mengkilap. Apakah kau ini Oh-pek-kiam Su An" tiba2 Lam-hay-gok-sin menanja.
Benar, sahut Su An. Orang She Su harini tewas ditangan manusia buas seperti kau,
kelak pasti ada orang jang menuntut balaskan. ~ Ia insaf ilmu sendiri terpaut
sangat djauh dengan lawan itu, pasti bukan tandingan orang. Namun sedikitpun ia
tidak gentar, ia sudah ambil keputusan, pabila achirnja tetap kalah, segera ia
akan bunuh diri terdjun kebawah djurang daripada djatuh ditangan musuh dan
dimakan hatinja. Saat itu Lam-hay-gok-sin baru mendjedjalkan sisa hati manusia tadi kedalam
mulutnja, lalu katanja: Oh-pek-kiam Su An, ehm, sudah lama Lotju mendengar
namamu. Lam-hay-gok-sin djusteru paling suka memakan buah hati Enghiong-hohan
(orang gagah dan kaum kestria), sebab lebih enak daripada manusia pengetjut jang
tak berguna. Hahaha, tentu boleh djuga hati manusia Su An ini!
Habis berkata, se-konjong2 tubuhnja meletjit kedepan setjepat panah.
Segera Su An memapak dengan tusukan pedangnja ketenggorokan lawan. Tapi sedikit
Lam-hay-gok-sin egos kepalanja tahu2 bahu Su An sudah kena ditjengkeramnja.
Seketika Su An merasa separoh tubuhnja kaku pegal, sepenuh sisa tenaga ia ketok
batok kepala orang dengan gagang pedangnja, tak, bukannja kepala lawan jang
petjah, tapi pedangnja jang hitam mulus itu jang terpental dan tangannja petjah
oleh getaran itu. Dalam kedjutnja Su An meronta sebisanja terus hendak menerdjun kebawah djurang,
namun sekali lengannja sudah kena dipegang oleh Lam-hay-gok-sin, mana bisa
terlepas begitu sadja. Tengah keadaan berbahaja, tiba2 diangkasa raja berkumandang datang lagi suara
suitan matjam naga berbunji, menjusul suara seorang telah berkata: Hiong-sin-ok-
sat Gak-losam, apa kau takut" Maka tidak berani kemari"
Suara itu berkumandang dari djauh, tapi kedengarannja orang jang berkata itu
seperti berada didekat situ.
Huh, selama hidup Gak-losam pernah gentar pada siapa sih" Segera kudatang
kesitu! Lam-hay-gok-sin dengan keras. Sembari berkata, tangannja diangkat terus
hendak mentjakar kedada Su An.
Dalam keadaan begitu, Su An hanja pedjamkan mata menunggu adjal sadja.
Untunglah mendadak Toan Ki berseru: Lotjianpwe, hati orang ini berbisa, djangan
kau memakannja! Lam-hay-gok-sin tertegun, tanjanja kemudian: Darimana kau tahu"
Kemarin dulu orang ini berani main gila pada Sin-long-pang, maka Sikong-pangtju
telah tjekoki dia dengan Toan-djiong-san dan Hu-sim-tan (pil pembusuk hati),
demikian Toan Ki sengadja mengotjeh. Dan kemarin dia bermusuhan lagi dengan Bok-
kohnio hingga kena dipanah sekali oleh nona Bok dengan panahnja jang beratjun,
mungkin saat ini ratjun sudah mulai merasuk kedalam hatinja. Apalagi pagi tadi
dia kena digigit pula sekali oleh seekor ular emas ketjil.......
Apakah Kim-leng-tju" sela Lam-hay-gok-sin.
Benar, memang Kim-leng-tju! sahut Toan Ki sembari melepaskan Djin-lengtju dari
pinggangnja, lalu menjambung: Lihat ini, Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju selalu
berada bersama. Bisa bintang ketjil ini teramat lihaynja, sekalipun Lotjianpwe
punja Lwekang sangat tinggi dan tidak takut terkena ratjun, tapi hati orang ini
tentunja siang2 sudah membusuk, tak enak untuk dimakan, djangan2 malah akan
bikin sakit perut Lotjianpwe nanti!
Ada benarnja djuga pikir Lam-hay-gok-sin. Segera ia lemparkan Su An kesamping,
lalu katanja pada Toan Ki: Kau botjah ini meski belum resmi mengangkat guru,
tapi kau sudah mem punjai hati baik terhadap gurumu.
Se-konjong2 suara auman aneh tadi berdjangkit lagi dengan keras dan sahut
menjahut bagai paduan suara ngaungan binatang buas dan benturan logam jang
menjerikan perasaan dan memekakan telinga.
Tjepat Lam-hay-gok-sin mengeluarkan suaranja jang mirip hantu merintih, sekali
melesat, tahu2 melompat turun kebawah djurang.
Kedjut dan girang Toan Ki, pikirnja: Mampus kau sekarang melompat kedalam
djurang! ~ tjepat ia ber-lari2 melongok ketepi djurang, ia lihat si malaikat
buaja dari laut selatan itu lagi berlompatan kebawah, sekali lompat lantas
belasan tombak kebawah, tangannja terus menahan didinding djurang, habis itu
tubuhnja menurun pula kebawah dan begitu seterusnja hingga achirnja bajangannja
lenjap dibawah awan putih jang menutupi angkasa djurang itu.
Toan Ki melelet lidah oleh kepandaian Lam-hay-gok-sin jang susah dibajangkan
itu. Ketika berpaling kembali, ia lihat Su An sudah djemput kembali pedang
hitamnja dan dimasukkan kedalam sarung, lalu katanja sambil Kiongtjhiu dengan
muka djengah: Harini berkat pertolongan Toan-heng, sungguh aku Su An takkan
melupakan budi kebaikan ini.
Tjayhe hanja ngotjeh sekenanja, masih mengharapkan Su-heng djangan marah, sahut
Toan Ki sambil membalas hormat.
Lam-hay-gok-sin Gak Djong-liong ini biasanja tinggal di Ban-gok-to (pulau
berlaksa buaja) dilautan selatan, kali ini tiba-tiba datang ke Tionggoan, tentu
tidak sendirian, mungkin masih banjak begundal jang dibawanja, kata Su An. Konon
orang ini sekali omong pasti dilaksanakannja, maka sekali kalau dia sudah
penudjui Toan-heng, tentu takkan sudahi begini sadja. Kedatangan Tjayhe untuk
meretjoki Tjunhudjin (isterimu) sebenarnja adalah atas permintaan kawan sadja,
maka selandjutnja tentu akan kuanggap selesai. Sekarang djuga biar Tjayhe
menghantar Hianhudjeh (kalian suami-isteri) turun gunung untuk menghindari
gangguan begundalnja Lam-hay-gok-sin.
Toan Ki mendjadi merah djengah mukanja mendengar orang berulang kali menjebut
Hianhudjin dan Hianhudjeh, tjepat ia gojang2 tangan dan berkata dengan tak
lantjar: Ti...... tidak..... bu..... bukan.......
Namun terdengar Bok Wan-djing telah buka suara dengan dingin: Su An, silahkan
kau pergi sadjalah, Huh, keselamatanmu sendiri sadja takbisa didjaga, masih
berlagak gagah perwira segala"
Merah padam Su An oleh olok2 itu, tanpa bitjara lagi ia putar tubuh dan tinggal
pergi. Nanti dulu, Su-heng! tjepat Toan Ki menahan.
Namun Su An sudah ngambek, ia berlari ketepi djurang dan memberosot turun.
Sekilas Toan Ki melihat dilereng gunung depan sana ada setitik benda kuning lagi
bergerak dengan sangat tjepat. Waktu ditegaskan, kiranja adalah Lam-hay-gok-sin,
hanja dalam sekedjap sadja, simalaikat buaja dari laut selatan itu sudah merajap
sampai disana. Toan Ki kembali kesamping Bok Wan-djing dan berkata: Apa jang dikatakan Su-heng
itu bukannja tiada beralasan, buat apa kau mesti bikin menjesal dia"
Bok Wan-djing mendjadi gusar, sahutnja: Baru sadja mendjadi suamiku, kau lantas
ingin memerintah aku, ja" Kalau kubunuh kau, paling2 akupun bunuh diri
mengiringi kau, apanja jang perlu dibuat geger"
Toan Ki tertegun, katanja pula: Hal ini hanja untuk menipu Lam-hay-gok-sin itu
karena keadaan genting tadi, kenapa dianggap sungguhan" Mana dapat aku mendjadi
suami nona" Apa katamu" seru Bok Wan-djing sambil berbangkit dengan ter-hujung2
memegangi dinding batu. Djadi kau tidak sudi padaku" Kau mentjela diriku, bukan"
Melihat nona itu sedemikian gusarnja, tjepat Toan Ki berkata lagi: Harap nona
djaga kesehatanmu lebih penting, soal utjapan main2 tadi, buat apa kau pikirkan
dalam hati" Plok, mendadak Bok Wan-djing melangkah madju dan persen Toan Ki dengan sekali
tempilingan. Tapi badannja terlalu lemas, sekali sempojongan, ia djatuh
kepangkuan pemuda itu. Tjepat Toan Ki pun memeluknja agar tidak roboh.
Karena berada dalam pelukan pemuda itu, teringat pula dirinja sudah diaku
sebagai isteri, Bok Wan-djing merasa badannja mendjadi hangat, rasa gusarnja
ikut berkurang pula beberapa bagian. Lalu katanja: Lekas lepaskan aku!
Toan Ki dukung nona itu berduduk menjandar didinding batu, pikirnja: Perangainja
memang sangat aneh, sesudah terluka parah, mungkin mendjadi lebih gandjil lagi
wataknja. Kini terpaksa ku turuti dia, biar apa jang dia bilang, aku hanja
menurut sadja, toh aku.......... Ia tjoba hitung2
dengan djari, djarak waktu bekerdjanja ratjun Toan-djiong-san sudah dekat, ia
pikir walaupun ratjun itu tidak djadi kumat, rasanja sekali2
dirinja djuga takkan mampu turun dari gunung jang dilingkungi djurang2
tjuram itu dengan hidup. Maka dengan suara halus kemudian ia menghibur Bok Wan-
djing: Sudahlah, djangan kau marah. Jang benar, marilah kita mentjari apa2 jang
dapat kita makan. Diatas bukit tandus begini, apa jang dapat kita makan" sahut Bok Wan-djing.
Biarlah aku mengaso sebentar, kalau sudah tjukup kuat, aku gendong kau turun
kegunung sadja. Mana........ mana boleh, seru Toan Ki sambil gojang2 tangannja. Untuk djalan
sendiri sadja kau belum kuat, mana dapat menggendong aku pula"
Kau lebih suka korbankan djiwa sendiri ketimbang mengingkari aku, kata Wan-
djing. Maka aku, demi Longkun (suamiku), meskipun aku Bok Wan-djing biasanja
membunuh orang tanpa berkesip djuga rela berkorban untuk sang suami.
Kata2nja itu diutjapkan dengan tegas dan pasti, tjuma tidak bisa mengutarakan
perasaannja jang haru mesra itu, dengan sendirinja nadanja mendjadi kaku, agak
tidak sesuai dengan rasa hatinja jang penuh tjinta kasih itu.
Maka djawablah Toan Ki: Banjak terima kasih, biarlah kau mengaso dulu, nanti
kita bitjarakan lagi. ~ Tapi se-konjong2 perutnja terasa kesakitan, tak tertahan
lagi ia mendjerit aduh! Begitu sakit perutnja itu hingga mirip di-sajat2 oleh pisau, ususnja se-akan2
di-potong2. Dengan meringis Toan Ki menahan perutnja, keringatpun berbutir2
merembes2 keluar didjidatnja.
He, ken..... kenapakah kau" tanja Bok Wan-djing kuatir.
Sikong....... Sikong Hian dari Sin-long-pang telah..... telah tjekoki aku dengan
Toan-djiong-san.......... demikian Toan Ki menutur dengan terputus2.
Karuan kedjut Bok Wan-djing bukan buatan, pikirnja: Kabarnja Sin-long-pang
paling pandai menggunakan obat, djika Pangtju mereka sendiri jang memberi
ratjun, mungkin susah ditolong lagi. ~ Ia lihat Toan Ki begitu kesakitan hingga
megap2, hatinja sangat tidak tega, ia tarik pemuda itu berduduk disampingnja dan
menghiburnja: Kuatkanlah perasaanmu! Sekarang sudah baikan belum"
Tapi saking kesakitan sampai mata Toan Ki se-akan2 ber-kunang2, maka dengan
merintih2 ia berkata: Aduh, sakitnja! Ma..... makin lama main sakit!
Sigadis mengusap keringat Toan Ki dengan lengan badjunja, ketika melihat wadjah
pemuda itu putjat pasi, hatinja mendjadi pilu dan air mata ber-linang2, katanja
dengan ter-guguk2; Djang....... djangan kau mati begini sadja! ~ sembari
berkata, ia terus tarik topengnja itu dan menempelkan pipi kanan sendiri kepipi
kiri Toan Ki: Ja, Longkun, kau......... kau djangan mati!
Selama hidup Toan Ki belum pernah berdekatan dengan gadis djelita, apalagi kini
setengah dirangkul Bok Wan-djing, pipi menempel pipi, terdengar pula rajuan
Longkun, Longkun jang meresap, karuan semangat Toan Ki terombang-ambing ketengah
awang2. Kebetulan djuga saat itu sakit perutnja agak reda. Sudah tentu Toan Ki merasa
berat untuk berpisah dari rangkulan sigadis, maka katanja: Selandjutnja kau
djangan lagi memakai topeng, ja"
Djika kau minta begitu, pasti aku akan menurut, sahut Bok Wan-djing.
Dan sekarang perutmu sudah baikan belum"
Sudah agak baik, sahut Toan Ki. Tapi...........
Tapi apa" tanja Wan-djing.
Ta............. tapi kalau kau melepaskan aku, mungkin akan kesakitan lagi.
Tjis, djadi kau hanja pura2 sadja, omel sinona dengan muka merah sambil
mendorong pergi Toan Ki. Sebenarnja Toan Ki adalah seorang laki2 djudjur, karuan ia mendjadi malu djuga.
Ia tidak tahu bahwa tjara bekerdjanja ratjun Toan-djong-san itu, mula2 agak lama
baru berdjangkit kesakitan sekali, kemudian makin djangkit makin kerap hingga
achirnja saking kesakitan tiada henti2nja, orangnja akan mati. Tapi ia salah
sangka karena rajuan Bok Wan-djing tadi jang penuh kasih manisnja madu,
perasaannja terguntjang, maka lupa sakit.
Sebaliknja Bok Wan-djing rada kenal sifat bekerdjanja ratjun itu, kalau pemuda
itu kesakitan terus menerus malah masih bisa ditolong, tapi hanja kesakitan
sebentar lantas berhenti, umumnja tentu terkena ratjun djahat jang susah
disembuhkan, sipenderita pasti akan tersiksa mati-tidak-hidup-tidak, djauh lebih
mengenaskan daripada mati. Dan ketika melihat pemuda itu mengundjuk rasa malu,
ia mendjadi pilu pula, ia pegang tangan Toan Ki dan berkata pula: Kalau kau
mati, Longkun, akupun tidak ingin hidup sendirian, biarlah kita berdua mendjadi
suami-isteri dialam baka nanti.
Tapi Toan Ki tidak ingin gadis itu mati-setia baginja, katanja: Tidak, tidak!
Kau harus membalaskan sakit hatiku dulu, kemudian setiap tahun sekali harus
berziarah kekuburanku. Aku ingin kau bersembahjang dikuburanku selama berpuluh2
tahun, dengan demikian, barulah aku bisa tenteram dialam baka.
Aneh djuga kau ini, udjar Wan-djing. Sesudah mati, apa jang bisa dirasakan lagi"
Aku datang berziarah atau tidak kekuburanmu, apa paedahnja bagimu"
Djika begitu, kau ikut mati bersama aku, lebih2 tiada berguna, sahut Toan Ki. O,
betapa tjantiknja engkau, pabila setiap tahun kau sudi berziarah sekali
kekuburanku, kalau aku mengetahui dialam baka, akan senang djuga hatiku melihat
engkau. Tapi bila kau ikut mati bersama aku, kita sama2 akan mendjadi tulang-
belulang belaka, tentu ini tidak bagus lagi untuk dilihat.
Mendengar dirinja dipudji, senang djuga hati Bok Wan-djing. Tapi segera terpikir
pula olehnja, baru harini mendapatkan seorang suami jang di-idam2kan, sekedjap
lagi orangnja sudah akan mati, tak tertahan lagi air matanja bertjutjuran.
Toan Ki rangkul pinggang sinona jang ramping itu, hatinja terguntjang pula
ketika tangannja menjentuh badan jang halus lunak itu, tak tertahan lagi ia
menunduk dan mengetjup sekali dibibir sigadis. Mendadak ia mengendus bau wangi
semerbak. Ia tidak berani lama2 mentjium, tjepat mendongakan kepalanja
kebelakang dan berkata: Orang menjebut kau Hiang-yok-djeh wanginja memang njata
benar, tapi kalau dialam halus benar2 ada setan wangi sedemikian tjantiknja,
mungkin setiap laki2 didjagat ini lebih suka membunuh diri mendjadi setan untuk
memperoleh seorang setan wangi setjantik kau ini.
Setelah ditjium tadi, hati Bok wan-djing masih dak-dik-duk ber-debar2, pipi
bersemu merah, mukanja jang tadinja ke-putjat2an itu mendjadi lebih tjantik
molek. Katanja kemudian: Kau adalah laki2 satu2nja didunia ini jang pernah


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat wadjahku, setelah kau mati, aku lantas merusak mukaku agar tak dilihat
lagi oleh laki2 kedua. Sebenarnja Toan Ki hendak mentjegah maksudnja itu, tapi aneh djuga, timbul
sematjam rasa tjemburu didalam hatinja, sesungguhnja iapun tidak ingin ada laki2
lain jang bisa melihat lagi wadjah tjantik sigadis itu, maka kata2 jang hampir
diutjapkan itu urung dikeluarkan, sebaliknja terus menanja: Sebab apa dahulu kau
bersumpah sekedji ini. Kau sudah djadi suamiku, tiada halangan djuga kutjeritakan padamu, sahut Wan-
djing. Aku sudah jatim-piatu, begitu lahir lantas dibuang orang ditepi djalan,
beruntung guruku telah menolong diriku dan dengan susah-pajah aku dibesarkan
serta diberi peladjaran ilmu silat setinggi sekarang ini. Kata guruku, setiap
laki2 didunia ini memang berhati palsu, kalau melihat wadjahku, pasti aku akan
digoda dan dipantjing hingga terdjerumus. Sebab itulah sedjak ketjil aku lantas
diberinja kedok penutup muka. Sampai berumur 16 tahun, ketjuali guruku, aku
tidak pernah melihat orang lain. Dua tahun jang lalu, Suhu perintahkan aku turun
gunung untuk menjelesaikan sesuatu urusan........
Djadi tahun ini kau berusia 18 tahun" sela Toan Ki. Aku lebih tua dua tahun.
Wan-djing angguk2, katanja pula: Waktu turun gunung, Suhu suruh aku bersumpah:
pabila ada orang melihat wadjahku, kalau aku tidak membunuh dia, harus aku kawin
padanja. Dan bila orang itu tidak mau peristerikan aku atau sesudah nikah
meninggalkan diriku, maka aku diharuskan membunuh sendiri manusia berhati palsu
itu. Kalau aku tidak turut perintah Suhu ini, sekali diketahui Suhu, beliau
lantas akan membunuh diri dihadapanku.
Toan Ki merinding mendengar sumpah aneh itu, pikirnja: Umumnja orang bersumpah
tentu menjatakan bersedia dibunuh atau ditimpa malapetaka apa.
Tapi gurunja sebaliknja sebaliknja mengantjam hendak membunuh diri.
Sumpah demikian sekali2 tak boleh diingkari.
Betapa besar budi kebaikan Suhu padaku, mana bisa aku membangkang perintahnja
itu" demikian Wan-djing melandjutkan. Apalagi pesannja itu adalah demi
kebaikanku sendiri. Maka tanpa pikir lagi tatkala itu aku lantas menurut dan
bersumpah. Selama dua tahun ini, tugas jang diberikan Suhu padaku itu masih
belum terlaksana, sebaliknja aku telah mengikat permusuhan. Padahal orang2 jang
tewas dibawah pedang dan panahku itu adalah salah mereka sendiri, mereka jang
lebih dulu meretjoki aku hendak menjingkap kedok mukaku.
Toan Ki menghela napas, baru sekarang ia mengarti duduknja perkara, mengapa
seorang gadis djelita begitu bisa mempunjai musuh sedemikian banjak.
Kenapa kau menghela napas" tanja Bok wan-djing.
Ja, mereka melihat kau selalu berada seorang diri, perawakan ramping
menggiurkan, tapi djusteru sepandjang tahun memakai kedok muka, saking ingin
tahu, tentu sadja mereka ingin melihat mukamu sebenarnja tjantik atau djelek,
padahal belum pasti mereka mempunjai maksud djahat. Siapa tahu, karena sedikit
kesalahan itu, djiwa mereka mesti melajang.
Bagiku, sudah pasti aku membunuh mereka, udjar Wan-djing. Kalau tidak, bukankah
aku harus mendjadi isteri manusia2 jang mendjemukan itu" Tjuma akupun tidak
menduga bahwa orang2 itu masih banjak mempunjai sanak-kadang. Satu kubunuh,
lantas berekor dengan beberapa orang sobat-andainja datang mentjari perkara
padaku Sampai achirnja, bahkan Hweshio dan Tosu djuga ikut2 mendjadi musuhku.
Aku pernah tinggal beberapa bulan di Ban-djiat-kok, suami-isteri she Tjiong itu
tjukup menghormati aku, tak terduga Tjiong-hudjin bisa memalsukan namaku, tjoba
bikin marah orang tidak perbuatannja itu" ~ rupanja ia mendjadi letih banjak
bitjara, ia pedjamkan mata mengumpulkan semangat sebentar, kemudian berkata
pula: Semula aku mengira kaupun seperti laki2 lainnja, hanja manusia jang tidak
kenal budi kebaikan. Siapa duga setelah kau berangkat memindjam Oh-bi-kui, kau
masih lari kembali lagi untuk memberi kabar padaku. Inilah sungguh tidak mudah
dilakukan setiap orang. Belakangan ketika Lam-hay-gok-sin ini mendesak terus,
terpaksa aku membiarkan kau melihat wadjahku.
Berkata sampai disini, ia berpaling memandangi Toan Ki dengan sorot mata jang
penuh kasih mesra. Karuan Toan Ki ber-debar2, pikirnja: Apa benar2 dia mendjadi
tjinta padaku" ~ Segera iapun berkata: Sudahlah, keadaan tadi hanja terpaksa,
soal sumpahmu itu boleh djuga takusah mesti ditaati.
Bok Wan-djing mendjadi gusar, Sumpah jang pernah kuutjapkan, manabisa diubah.
katanja dengan bengis. Kalau kau tidak sudi memperisterikan aku, lekas kau
katakan terus terang, biar sekali panah kubinasakan kau, agar aku tidak
melanggar sumpahku. Selagi Toan Ki hendak memberi pendjelasan lagi, se-konjong2 perutnja kesakitan
pula, dengan kedua tangan menahan perut, ia me-rintih2.
Lekas katakan, kau mau memperisterikan aku tidak" tanja Bok Wan-djing lagi.
Per...... perutku sakit....... aduh! sakit sekali! kata Toan Ki.
Sebenarnja kau mau mendjadi suamiku tidak" Wan-djing mendesak terus.
Toan Ki pikir toh begini kesakitan, hidupnja tentu tidak lama lagi, buat apa
pada sebelum mati mesti melukai hati seorang nona. Maka iapun memanggut dan
berkata: Aku....... aku mau memperisterikan kau!
Sebenarnja Bok Wan-djing sudah siapkan panah beratjun ditangan, demi mendengar
djawaban Toan Ki itu, seketika girangnja tak terkatakan, dengn senjum gembira ia
terus merangkul pemuda itu dan berkata: O, suamiku jang baik, biarlah kupidjat
perutmu. Tidak, tidak! djawab Toan Ki tjepat. Kita masih belum menikah, laki2
dan perempuan ada perbatasannja, ini........ ini tidak boleh.
Tergerak pikiran Bok Wan-djing tiba2, katanja: Ja, tentu kau sudah kelaparan,
maka sakitnja mendjadi lebih hebat. Biarlah kupotong sedikit daging keparat itu
untuk dimakan kau. ~ Habis berkata, ia berbangkit dan merajap hendak mendekati
majat Tjoh Thian-koat untuk memotong dagingnja.
Karuan kedjut Toan Ki tidak kepalang, seketika terlupalah sakit perutnja, tjepat
ia menggembor: Djangan, djangan! Daging manusia mana boleh dimakan, biarpun mati
djuga aku tidak mau makan!
Aneh, sebab apa tak boleh dimakan" tanja Wan-djing heran. Bukankah Lam-hay-gok-
sin tadi sudah makan buah hatinja"
Lam-hay-gok-sin itu teramat kedjam dan ganas melebihi binatang, kita
mana.......... mana boleh meniru dia"
Ketika tinggal bersama dengan Suhu digunung, sering kami makan daging harimau,
daging mendjangan. Kalau menurut kau, tentunja tak boleh dimakan djuga" kata
sigadis. Daging2 binatang itu dengan sendirinja boleh dimakan, tapi daging manusia tak
boleh dimakan! sahut Toan Ki.
Apa daging manusia beratjun"
Bukan beratjun, sahut Toan Ki. Tapi kita sama2 adalah manusia.Kau adalah
manusia, akupun manusia, Tjoh Thian-koat itupun manusia.Manusia tak boleh makan
manusia. Sebab apa" tanja sigadis. Kulihat dikala kawanan serigala sedang lapar, mereka
lantas makan serigala jang lain.
Makanja, sahut Toan Ki gegetun. Kalau manusia pun makan manusia, bukankah tiada
ubahnja seperti serigala"
Sedjak ketjil Bok Wan-djing selalu berdampingan dengan sang guru, selamanja
tidak pernah bergaul dengan orang ketiga, watak gurunja sangat aneh pula,
biasanja tidak pernah bitjara tentang urusan keduniawian dengan dia. Sebab
itulah, tentang sopan-santun dan peradaban manusia sedikitpun ia tidak paham.
Kini mendengar Toan Ki bilang manusia tidak boleh makan manusia, ia mendjadi
heran dan ragu2. Kau sembarangan membunuh orang, itupun tidak benar. kata Toan Ki lagi.
Sebaliknja kalau orang lain ada kesukaran, kau harus membantunja. Dengan
demikian barulah sesuai dengan tudjuan orang hidup.
Djika begitu, kalau aku ada kesukaran, orang lain apakah djuga akan membantu
aku" kata sigadis. Tapi kenapa orang jang kudjumpai, ketjuali guruku, setiap
orang selalu ingin membunuh aku, mentjelakai dan menghina aku, selamanja tiada
jang baik2 padaku" Kalau harimau hendak menerkam dan memakan aku, lantas aku
membunuhnja. Begitu pula orang2 itu, mereka hendak membunuh aku, dengan
sendirinja akupun membunuh mereka, apa bedanja"
Pertanjaan ini benar2 membikin Toan Ki bungkam takbisa mendjawab, terpaksa ia
berkata: Kiranja urusan peradaban sedikitpun kau tidak paham, kenapa gurumu
membiarkan kau turun gunung begini sadja"
Suhu bilang kedua urusannja itu betapapun harus diselesaikan dan tidak bisa
menunggu lagi. kata Wan-djing.
Dua urusan apakah itu, dapatkah kau mentjeritakan"
Kau adalah suamiku, dengan sendirinja boleh kutjeritakan, kalau orang lain tentu
tidak. sahut Wan-djing. Suhu suruh aku turun gunung untuk membunuh dua orang.
Aai, sudahlah, sudahlah! tjepat Toan Ki menjela sambil tekap kedua telinganja.
Bitjara kesana-kesini sedjak tadi, kalau bukan makan manusia, tentunja membunuh
orang, auuuuh....... aduh....... ~ kiranja perutnja terasa kesakitan lagi hingga
ia mendjerit pula. Sigadis tjoba meng-urut2 perut Toan Ki dari luar badju. Se-konjong2
tangannja menjentuh sesuatu jang hangat2, didalamnja seperti ada barang jang
ber-gerak2. Apakah ini" tanja sigadis terus merogoh keluar benda itu dari badju
Toan Ki. Kiranja itu adalah sebuah kotak kemala ketjil. Waktu diperhatikan, didalam kotak
terdengar ada suara krok-krok.
Segera Wan-djing bermaksud membuka tutup kotak itu, tapi Toan Ki tjepat
mentjegah: Djangan, nona Tjiong bilang tidak boleh buka kotak ini, Djing-leng-
tju sangat takut pada benda ini, begitu dibuka, tentu dia akan lari.
Tjiong Ling bilang djangan dibuka, aku djusteru ingin membukanja, udjar Bok Wan-
djing. Segera ia buka tutup kotak pelahan hingga tampak satu selah2 ketjil,
waktu diintip dibawah sinar matahari, terlihatlah didalam kotak itu berisi
sepasang katak ketjil jang antero badannja berwarna merah darah.
Begitu katak2 merah itu melihat tjahaja, mendadak terus bersuara wak-wak-wak
beberapa kali, suaranja keras bagai menguaknja kerbau hingga telinga se-akan2
pekak dibuatnja. Karuan Toan Ki dan Bok Wan-djing terkedjut, dan karena itu, hampir2
kotak jang dipegangi Bok Wan-djing itu terdjatuh ketanah. Sungguh tak tersangka
olehnja bhw kedua katak seketjil itu bisa bersuara begitu keras, tjepatan sadja
ia tutup kembali kotak itu. Dan karena kotak ditutup, suara katak itu lantas
berhenti. Eh, ja, ja, tahulah aku! tiba2 Bok Wan-djing berseru. Pernah kudengar tjerita
guruku, katanja binatang ini bernama....... bernama........ ia ingat2 sedjenak,
lalu menjambung....... bernama Tju-hap! Ja, benarlah, ini adalah Bong-koh-tju-
hap (katak kerbau merah), adalah binatang anti segala djenis ular. Ja, ja,
memang benar inilah dianja. Dan entah mengapa bisa berada pada Tjiong Ling......
He, lihatlah! tiba2 Toan Ki berseru.
Ternjata Djing-leng-tju jang melilit dipinggangnja itu tahu2 djatuh ketanah
terus meringkuk dengan lemas, sedikitpun tidak berani bergerak.
Kim-leng-tju jang tadi sudah menjusup ke-semak2 rumput itu, kinipun merajap
keluar dan mendekam dipinggir kaki Bok Wan-djing. Menjusul dari balik batu padas
sanapun merajap keluar lagi beberapa ekor ular ketjil, semuanja meringkuk disitu
tanpa bergerak sedikitpun se-akan2 lagi memberi sembah kepada kotak kemala.
Bok Wan-djing mendjadi girang, katanja: Ha, sepasang katak ketjil ini ternjata
bisa memanggil ular, sungguh menarik sekali, marilah kita tjoba2
lagi! Djangan! tjepat Toan Ki mentjegah, demikian banjak ularnja, apakah tidak
mendjemukan" Kita memegang Tju-hap ini, betapapun banjak ular berbisa djuga kita tidak takut,
udjar Wan-djing. Habis itu, kembali ia buka sedikit kotak kemala segera sepasang
Bong-koh-tju-hap itu menguak lagi dengan ramainja.
Bagus djuga nama binatang ini, suaranja memang mirip banteng menguak, kata Toan
Ki dengan tertawa geli. Kau bilang apa" tanja Bok Wan-djing.
Kiranja suara Toan Ki itu masih kalah kerasnja daripada suara menguaknja katak2
itu, biarpun sigadis berada didepannja djuga tidak djelas mendengarnja.
Toan Ki hanja gojang2 tangannja sambil mendengarkan suara menguak katak2 itu
jang semakin keras, bila diperhatikan, diantara suara wak-wak-wak katak2 itu
terseling pula suara men-desis2.
Tiba2 Wan-djing menarik badju Toan Ki dan menundjuk kekiri. Pandangan Toan Ki
mendjadi silau seketika, belasan ular jang beraneka warnanja gemilapan terkena
sinar matahari sedang merajap tiba dengan tjepat sekali. Bahwasanja katak2 merah
itu bisa memanggil ular memang sudah diduga oleh Toan Ki, tapi hanja dalam
sekedjap itu bisa datang ular2
sebanjak itu, betapapun ia djuga terkedjut. Tjepat ia djemput dua potong batu
untuk persiapan bila perlu.
Tidak lama, dari sebelah kanan datang pula segerombol ular dengan matjam2
warnanja, merah, kuning, hitam, putih, loreng dan sebagainja, jang besar sampai
2-3 meter, jang ketjil hanja belasan senti sadja. Sudah banjak Toan Ki melihat
ular, tapi kalau digabungkan seluruhnja, rasanja tiada 1/10 bagian daripada
djumlah jang dilihatnja sekarang.
Be-ribu2 ular itu merajap sampai didepan kedua muda-mudi itu, lalu mendekam
ditanah tanpa bergerak, kepala mendjulur kebawah dengan djinak, sedikitpun tidak
berani menegak sebagaimana biasanja kalau hendak memagut orang.
Dihadapi ular sebanjak itu dengan bau amis jang memuakan, tanpa terasa Bok -Wan-
djing mendjadi djeri djuga, pikirnja: Tju-hap ini menguak terus, mungkin ular2
lain masih akan membandjir lagi. Untuk memanggil ular adalah gampang, hendak
mengusirnja nanti mungkin susah. ~ maka tjepat ia tutup kembali kotak kemala
itu. Walaupun suara menguak katak2 merah itu sudah berhenti, tapi kawanan ular itu
masih tidak bergerak. Aneh djuga, biarpun sebanjak itu ularnja, namun tiada
seekor pun jang berani mendekati Toan Ki berdua dalam djarak lingkaran kira2
tiga meter. Mari kita tjoba keluar sana! adjak Wan-djing sambil memajang Toan Ki.
Dan baru mereka melangkah satu tindak kedepan, beratus ekor ular didepan mereka
lantas menjingkir kepinggir, biarpun ular jang paling besar dan menakutkan djuga
mengeset mundur dengan djeri.
Waktu mereka melangkah beberapa tindak lagi, kembali kawanan ular itu menjingkir
memberi djalan, Bok Wan-djing mendjadi girang, katanja: Menurut Suhuku, katanja
Bong-koh-tju-hap ini adalah mustika adjaib dari alam semesta ini, beliau djuga
tjuma mengenal namanja, tapi belum pernah melihat wudjutnja. ~ Habis berkata,
tiba2 ia ingat sesuatu, segera tanjanja pada Toan Ki: Dan benda mestika
sedemikian pentingnja, mengapa sidara Tjiong Ling itu bisa rela memberikannja
padamu" Melihat sinar mata sigadis menjorot aneh, tjepat Toan Ki mendjawab: Dia........
dia hanja memindjamkannja padaku. Ia bilang dengan membawa kotak ini, Djing-
leng-tju akan turut pada perintahku. ~ Baru selesai ia berkata, se-konjong2
perutnja kesakitan lagi, begitu melilit sampai batu ditangannja terdjatuh
ketanah, badannja gemetar dan sempojongan.
Lekas2 Bok Wan-djing memajangnja berduduk kesamping batu tadi. Saking menahan
kesakitan, bibir Toan Ki sampai petjah2 digigit sendiri, lengan sigadis jang
dipegangnja matang-biru karena di-remas2.
Sungguh kasih-sajang Bok Wan-djing susah dilukiskan, tiba2 ia ingat sesuatu,
katanja: Longkun, perutmu makin lama semakin sakit, melihat gelagatnja banjak
tjelaka daripada selamatnja.
Ja, aku......... aku tidak......... tidak tahan lagi. demikian Toan Ki me-
rintih2. Lekas........ lekas engkau bunuh aku sadja.
Pernah aku mendengar dari Suhu, katanja ada ratjun sangat lihay jang takbisa
ditolong. kata Wan-djing pula. Tapi kalau memakai ratjun lain untuk menggempur
ratjun itu, hasilnja malah sangat mudjarab. Sekarang kau berani tidak menelan
beberapa buah kepala ular berbisa"
Saat itu jang diharapkan Toan Ki jalah setjepat mungkin mati sadja, maka tanpa
pikir lagi ia mendjawab: Segala apa boleh, lekas beri makan padaku!
Segera Bok Wan-djing mengeluarkan sebilah pisau terus memotong keleher seekor
ular berbisa didepannja. Walaupun disembelih terang2an, namun ular itu sedikitpun tak berani melawan.
Maka dengan mudah sadja ber-turut2 Bok Wan-djing telah memotong tiga buah kepala
ular berbisa jang berbentuk segi tiga, ia siapkan dibibir Toan Ki dan berkata:
Ni, telanlah lekas! Dengan pedjamkan mata, terus sadja Toan Ki telan mentah2 ketiga kepala ular itu.
Ketiga ular jang dipilih Bok Wan-djing itu semuanja adalah ular loreng2
jang paling berbisa. Maka dalam sekedjap sadja Toan Ki merasa perutnja bertambah
melilit bagai di-putir2, ia tidak tahan lagi, ia ber-guling2
ditanah, achirnja hanja berkeledjatan sadja dengan napas senin-kemis.
Karuan Bok Wan-djing sangat terkedjut, tjepat ia periksa nadi pemuda itu, ia
merasa mendenjutnja semakin lemah, ia tahu tjata pengobatannja bukan menolong,
sebaliknja mempertjepat matinja sang suami. Saking pedihnja, air matanja
bertjutjuran, ia rangkul leher Toan Ki dan meratap: O, Longkun, pasti aku akan
mengiringi kepergianmu! Toan Ki hanja gojang2 kepala sadja tak sanggup buka suara lagi.
Tiba2 pisau Bok Wan-djing tjepat bekerdja lagi, tiga buah kepala ular berbisa


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipotongnja pula untuk ditelan sendiri. Tapi mulutnja terlalu sempit untuk
dimasuki kepala ular. Maka pikirnja: Ratjun ular berada pada air liurnja,
biarlah kumengisapnja sadja. ~ segera ia ketjup kepala ular itu dan mengisap
ludahnja jang berbisa. Tapi baru sebuah kepala ular itu diisapnja ia sudah
merasa mata ber-kunang2 dan kepala pusing, achirnja djatuh pingsan.
Melihat sigadis rela berkorban baginja, seketika tak keruan rasa hati Toan Ki,
sungguh tak tersangka olehnja bahwa seorang iblis wanita jang biasanja membunuh
orang tanpa berkedip itu bisa djatuh tjinta sedalam itu kepada dirinja. Segera
ia meronta sekuatnja untuk merangkul Bok Wan-djing, ia merasa perutnja kesakitan
pula, achirnja iapun tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah lewat berapa lamanja, pelahan2 Toan Ki siuman, waktu membuka mata,
ia mendjadi silau oleh tjahaja matahari, kembali ia pedjamkan lagi. Tapi terasa
pangkuannja terangkul sesosok tubuh jang lunak hangat. Ia tjoba memusatkan
pikiran dan membuka mata lagi untuk melihat, ternjata muka Bok Wan-djing jang
putih putjat itu masih bersandar diatas dadanja. Ia membatin: Setelah kami
berdua menudju achirat, ternjata masih berada bersama, suatu tanda bahwa tjerita
tentang alam halus segala bukanlah dongengan belaka.
Tiba2 ia mendengar ditempat agak djauh sana ada suara orang lagi berkata: Djika
binatang2 pandjang ini merintangi djalan kita, marilah kita menggunakan Am-gi!
Tapi seorang lain telah membentaknja: Djangan! Sin-kun suruh kita menawannja
hidup2, kalau kau mentjelakai dia, apakah tidak takut dimarahi Sin-kun"
Waktu Toan Ki memandang kearah datangnja suara2 itu, ia lihat ada empat laki2
berbadju kuning lagi berdiri ditepi djurang situ, tangan mereka membawa tangkai
kaju sedang me-nuding2 dirinja. Tampaknja sangat djeri pada ular2 jang merajap
ditanah situ, maka tidak berani mendekatinja.
Ketika Toan Ki memandang lagi kesekelilingnja, ia lihat dirinja dilingkari
kawanan ular jang lagi me-rajap2, tjahaja sang surja terang-benderang, suasana
demikian tiada ubahnja seperti waktu dirinja mati itu, seketika pikirannja
tergerak: He, djangan2 aku tidak djadi mati" ~ Segera ia merasa badan Bok Wan-
djing jang berada dipangkuannja itu memang masih lunak2 hangat, napasnja
mengeluarkan bau harum jang semerbak, njata, gadis itupun masih selamat tak
kurang suatupun apa. Saking girangnja, terus sadja Toan Ki ber-teriak2: Hura, aku belum mati, aku
belum mati! Keempat laki2 berbadju kuning itu memangnja sudah lama tunggu disitu, soalnja
karena dirintangi kawanan ular, maka tidak berani mendekati.
Ketika mendadak mendengar teriakan Toan Ki, mereka mendjadi kaget djuga.
Dalam pada itu, dengan merengek sekali, Bok Wan-djing djuga sudah siuman, begitu
membuka mata, segera ia menanja dengan pelahan: Longkun, apa kita sudah sampai
diachirat! Tidak, tidak, kau belum mati, akupun tidak mati! Sungguh adjaib sekali bukan"
seru Toan Ki. Sekarang belum mati, kalau ingin mati sebentar lagi masih belum telat!
bentak seorang laki2 badju kuning tadi. Hajo lekas kemari, Sin-kun panggil kau!
Sudah sekarat, kini dapat hidup kembali, tentu sadja girang Toan Ki tidak
kepalang. Mana ia mau gubris gemboran orang itu" Segera ia berkata pula kepada
Bok Wan-djing: Sungguh aneh bin adjaib, kita ternjata tidak djadi mati, bahkan
sakit perutku djuga sudah sembuh. Tjaramu menjerang ratjun dengan ratjun itu
ternjata sangat mandjur. Eh, lukamu sendiri sudah baik belum"
Ketika Wan-djing gerakan badannja, ia merasa luka dipunggungnja kesakitan lagi.
Tapi hal mana tidak mengurangi rasa girangnja jang luar biasa, sahutnja dengan
tertawa: Lukaku bukan keratjunan, maka ratjun ular ini tidak bisa menjembuhkan
luka-luka ini. Ternjata kita berdua tidak mati oleh ratjun ular, tampaknja kita
berdua djauh lebih lihay daripada ular berbisa!
Njata Toan Ki dan Bok Wan-djing jang tidak luas pengetahuannja itu tidak tahu,
bahwa ratjun ular itu baru bisa mentjelakai orang apabila masuk kedalam darah
melalui sesuatu luka. Tapi kalau dimakan kedalam perut, asal diantara mulut,
lidah, tenggorokan dan usus tiada sesuatu luka, ratjun ular itu tiada berbahaja
sama sekali. Sebab itulah, makanja bila orang dipagut ular berbisa, orang berani
mengisap ratjun dari luka pagutan itu tanpa ikut keratjunan.
Kini setjara ngawur kedua muda-mudi itu sembarangan menelan kepala ular dan
mengisap ratjun ular, sebaliknja malah membawa hasil jang diluar dugaan mereka.
Toan-djiong-san jang lihay itu benar2 lenjap digempur oleh ratjun tiga buah
kepala ular jang dimakan Toan Ki itu. Tjuma mereka sudah tak sadarkan diri
selama semalam suntuk, kini sudah mengindjak esok pagi hari kedua.
Sementara itu seorang laki2 badju kuning diantaranja jang berperawakan paling
tinggi disana sedang membentaknja lagi: Hai, kedua botjah itu, lekas kalian
kesini! Pelahan2 Bok Wan-djing berbangkit dari pelukan Toan Ki, dengan wadjah jang masih
bersenjum simpul, mendadak ia samber seekor ular ditanah terus dilemparkan
kearah laki2 itu. Karuan laki2 itu kaget, tjepat ia berkelit. Diluar dugaan, Bok Wan-djing
menjamber dan menimpuk lagi ber-ulang2 dengan ular berbisa disekitarnja itu.
Tentu sadja keempat laki2 itu kelabakan dihudjani ular sebanjak itu, sambil
berteriak kaget diseling tjatji-maki, mereka menghindar kian-kemari sembari ajun
tangkai kaju ditangan mereka untuk menjampok.
Begitu terlepas dari pengaruh Bong-koh-tju-hap, ular2 berbisa itu seketika
bergerak dengan sebat sekali, dua ekor diantaranja jang berbuntut pandjang terus
membelit hingga melilit diatas batang kaju jang disabetkan itu, menjusul terus
meledjit madju untuk memagut. Seketika seorang badju kuning itu kena gigit
mukanja dan tak terlepas lagi.
Sementara itu Bok Wan-djing masih terus melemparkan ular, karuan laki2
berbadju kuning itu semakin kelabakan, se-konjong2 terdengar djeritan ngeri
laki2 jang bertubuh paling tinggi tadi saking gugupnja telah tergelintjir
kedalam djurang. Seorang lagi mendjadi kaget hingga lehernja kena digigit oleh ular berbisa jang
lain. Rupanja ratjun ular ini teramat djahatnja, jang digigit adalah pembuluh
darah besar dileher, kontan sadja laki2 itu menggeletak binasa.
Sisa seorang lagi bertubuh pendek ketjil, tapi gerak-geriknja sangat lintjah dan
gesit. Belasan ular jang ditimpukkan Bok Wan-djing itu dapat dihindarkan semua.
Tapi begitu ular2 itu djatuh ketanah, segera merajap dan menggigit pula kebagian
kakinja. Laki2 itu benar2 hebat djuga, ia bisa menghindar kian-kemari dengan tjekatan
sekali, namun keadaannja makin lama djuga makin bahaja.
Lekas kau turun kebawah, djiwamu lantas diampuni! seru Toan Ki.
Sekali sudah turun tangan, tidak kenal ampun lagi! udjar Bok Wan-djing.
Berbareng empat ular dilemparkannja sekaligus.
Saat itu orang berbadju kuning itu lagi sibuk menghindar pagutan ular ditanah,
ia sudah mundur sampai ditepi djurang, maka timpukan empat ular itu terang
takbisa dihindarkannja. Mendadak serangkum angin keras menjampok dari belakang,
seketika belasan ular disekitar laki2 itu kena tersapu djauh kedepan, menjusul
sesosok bajangan kuning tampak melajang keatas karang, sekali dorong, laki2
badju kuning tadi kena disodok ketempat luang jang ditinggalkan kawanan ular
itu. Orang jang baru melompat naik itu mengekek tawa tiga kali dan berdiri
ditempatnja dengan mata djelilatan, siapa lagi dia kalau bukan Lam-hay-gok-sin.
Ketika laki2 badju kuning itu sudah bisa berdiri tegak dan melihat jang datang
itu adalah malaikat buaja laut selatan, ia ketakutan setengah mati, ia hanja
sanggup menjebut: Sin-kun! ~ pikirnja hendak berlutut, tapi saking ketakutan,
badannja gemetar sedemikian rupa hingga serasa lumpuh, hendak berlututpun
takbisa lagi. Melihat Lam-hay-gok-sin datang kembali, seketika wadjah Toan Ki dan Wan-djing
berubah semua. Kusuruh kau tangkap botjah she Toan ini, kenapa sampai sekian lamanja masih
belum dilakukan" kata Lam-hay-gok-sin pada laki2 badju kuning tadi.
Apa barangkali kau hendak merat ja "
Saking ketakutan, gigi laki2 itu sampai kerutukan, sahutnja dengan tak djelas:
Ham........ hamba ti....... tidak....... ~ sampai disini, ia tidak sanggup lagi
meneruskan saking gemetarnja.
Tiba2 Lam-hay-gok-sin sedikit bergerak, tidak djelas tjara bagaimana dia
melangkah madju, tahu2 dada laki2 itu sudah didjambretnja terus diangkat, ia
ter-kekeh2 iblis beberapa kali, mendadak tangan jang lain terus mendjambat
rambut laki2 itu, sekali puntir, kriut, buah kepala laki2 itu telah dipuntir
potol mentah2. Kontan sadja darah segar muntjrat dengan derasnja hingga membasahi antero tubuh
Lam-hay-gok-sin, tapi sedikitpun iblis aneh itu tidak ambil pusing, bahkan
tampak sangat senang. Kepala andjing! damperatnja malah kepada kepala jang sudah
potol itu, dan sekali lempar, kedua potong majat itu dilemparkannja kedjurang.
Mendadak ia hantamkan tangannja kedepan lagi, dimana angin pukulannja menjamber,
kawanan ular terpaksa menjingkir djauh kepinggir. Dengan langkah lebar ia
bertindak madju. Tjepat Bok Wan-djing menarik Toan Ki hendak menjingkir, tapi
sudah terlambat. Tiba2 Lam-hay-gok-sin ulur tangan kiri kedepan, seketika
lengannja se-akan2 mulur sekali lipat pandjangnja hingga badju tengkuk Bok Wan-
djing kena didjambretnja terus diangkat keatas.
Toan Ki menjangka orang djuga hendak melemparkan sigadis kedjurang, dengan
kuatir ia berteriak: Djangan, djangan! Boleh kau bunuh diriku sadja!
Terhadap kawanan ular jang masih penuh merajap disekitar situ, Lam-hay-gok-sin
agak djeri djuga. Ketika tangannja menghantam pula, dibawah hamburan batu pasit,
kembali belasan ular kena dibinasakan olehnja. Tiba2
ia melompat mundur ketepi djurang sambil mengangkat Bok Wan-djing, kaki kirinja
terangkat tinggi2 keatas, hanja kaki kanan sadja jang berdiri ditepi djurang
dengan gaja Kim-khe-tok-lip atau ajam emas berdiri dengan kaki tunggal, tubuhnja
setengah terguntai2 se-akan2 setiap detik bisa terdjerumus kedjurang bersama
sigadis. Toan Ki tidak tahu kalau orang aneh itu lagi pamer kepandaiannja, ia kuatirkan
djiwa Bok Wan-djing, tjepat ia ber-teriak2 lagi: Awas, hati2, djangan sampai
terpeleset! Sedikitpun Bok Wan-djing takbisa berkutik karena ditjengkeram oleh Lam-hay-gok-
sin. Ia lihat Toan Ki berada ditengah kepungan ular, kawanan ular itu tampak me-
rajap2 madju, tjepat ia lemparkan kotak kemala kepada pemuda itu sambil berseru:
Awas, terimalah ini! Dengan ter-sipu2 Toan Ki menangkap kotak itu dan sjukurlah dapat diterimanja
dengan baik walaupun rada kerepotan. Dan begitu: Bong-koh-tju-hap itu berada
ditangannja, serentak kawanan ular itu mendekam ditanah tak berani bergerak
lagi. Lotjianpwe, su........ sudilah kau melepaskan dia. demikian Toan Ki memohon.
Siantju, kau sangat mirip aku, mau-tidak-mau aku harus menerima kau sebagai
murid. sahut Gok-sin. Tjuma menurut peraturan Lam-hay-pay kita, selamanja hanja
murid jang memohon sang guru menerimanja, tidak pernah sang guru jang mohon si
murid. Makanja aku akan menunggu kau dipuntjak bukit sana...... sembari berkata,
ia tundjuk kearah puntjak paling tinggi jang penuh tertimbun saldju dikedjauhan
sana. Lalu menjambung pula: Bila kau datang memohon aku menerima murid padamu,
aku lantas mengampuni njawa binimu ini. Kalau tidak, ha, ha, kreeek .......... ~
ia sengadja memberi tjontoh tjara bagaimana akan memuntir patah kepalanja Bok
Wan-djing. Habis itu, mendadak ia berputar terus melompat kebawah, tangan kiri menahan
dinding djurang terus memberosot turun sambil menggondol Bok Wan-djing dengan
tjepat luar biasa, Tiap2 kali kalau meluntjurja kebawah agak terlalu tjepat,
mendadak terasa tubuh kedua orang bisa mengerem sedetik untuk kemudian baru
menurun lagi. Agaknja tangan Lam-hay-gok-sin jang menahan didinding djurang itu
jang mengeremnja. Dalam keadaan begitu, djangankan Bok Wan-djing sama sekali takbisa berkutik,
sekalipun bisa djuga tidak berani sembarangan meronta selagi tubuh kedua orang
terampung diudara. Sampai achirnja, gadis itu pedjamkan mata sekalian membiarkan
dirinja dibawah turun. Selang sebentar, terasa tubuhnja mendal sekali, njata mereka sudah sampai
didataran djurang itu. Begitu mengindjak tanah, Lam-hay-gok-sin tidak lantas
berhenti, tapi terus berlari lagi sambil mendjindjing Bok Wan-djing.
Perawakan Lam-hay-gok-sin hanja sedang sadja, sebaliknja perawakan Bok Wan-djing
dikalangan wanita boleh dikata terhitung djangkung, kalau keduanja berdiri
sedjadjar hampir sama tingginja. Tapi Lam-hay-gok-sin dapat mentjengkeram leher
badju gadis itu bagai mendjindjing anak ketjil, sedikitpun tidak membuang
tenaga. Dengan gerakannja jang gesit tangkas itu, sebentar sadja Lam-hay-gok-sin sudah
keluar dari dasar lembah jang penuh batu2 dan kabut itu. Segera ia mendaki pula
kebukit didepannja, karena lereng bukit itu lebih miring, maka mendakinja lebih
mudah. Berada dibawah tjangkingan Lam-hay-gok-sin, diam2 Bok Wan-djing memikir: Aku
masih mempunjai sisa lima batang panah berbisa, kalau saat ini aku menjerangnja,
mungkin bisa gugur bersama. Tapi kemarin aku sudah memanah dia dan tidak mempan
semuanja, Entah badannja benar2 kekal atau karena dia memakai badju lapis badja
jang tak tembus sendjata"
Berpikir begitu, ia tjoba pelahan2 menjentuh punggung orang, tapi terasa lunak2
sadja tiada lapisan badja segala, hanja sadja kulit dagingnja djauh lebih keras
daripada orang biasa, diam2 Wan-djing membatin pula: Tampaknja pembawaan orang
ini memang luar biasa, ilmu silatnja aneh pula. Kalau aku sembarangan turun
tangan, bila sampai dia murka, apa akibatnja susah dibajangkan.
Tiba2 terdengar Lain-hay-gok-sin mengekek tawa dan berkata: Hehe, apa kau hendak
menusuk atau memanah aku" Hm, djangankan harap, aku takkan mati dibunuh dan
takkan luka diserang. Kau adalah bininja muridku, sementara ini aku tidak bikin
susah padamu. Tapi kalau dia tidak datang mengangkat guru padaku, hehe, tatkala
mana ia bukan lagi muridku dan kaupun bukan bini muridku lagi. Setiap kali Lam-
hay-gok-sin melihat nona tjantik, selamanja perkosa dulu bunuh belakang, sekali2
tidak main sungkan lagi. Bok Wan-djing mengkirik oleh utjapan itu, sahutnja: Suamiku sedikitpun takbisa
ilmu silat, diatas djurang setjuram itu, tjara bagalmana ia bisa turun" Tapi
saking kuatirkan diriku, tentu dia akan mati2an datang kemari mengangkat guru
padamu, kalau terpeleset, ia akan djatuh hantjur lebur kedalam djurang. Bila
begitu, kau akan kehilangan seorang murid lagi.
Bahan bagus, kwalitet tinggi begitu, kemana kau bisa tjari lainnja"
Seketika Lam-hay-gok-sin berhenti, katanja: Benar djuga katamu. Aku tidak
pikirkan bahwa Siautju itu takbisa turun gunung.
Se-konjong2 ia bersuit njaring, segera diatas bukit sebelah timur sana ada orang
menjabut. Kata Lam-hay-gok-sin: Pergi keatas karang tandus itu, gendonglah
botjah itu kepadaku, djangan mentjelakai djiwanja!
Kembali orang disebelah sana bersuara pandjang menjahut.
Diam2 Bok Wan-djing sangat tertjengang: Lam-hay-gok-sin ini hanja bitjara biasa
sadja, dan suaranja lantas tersiar kelereng gunung jang djauh itu, kepandaian
setinggi ini, biarpun guruku djuga tidak mampu menandinginja. Sebaliknja
begundainja jang diatas bukit sana terpaksa harus menggembor baru bisa terdengar
dari sini. Selesai memberi perintah, Lam-hay-gok-sin mendjindjing Bok Wan-djing
melandjutkan perdjalanan lagi. Diam2 Wan-djing rada lega, ia tahu sebelum Toan
Ki datang, dirinja takkan berbahaja. Tjuma watak sang suami itu sangat kukuh,
bila dia dipaksa angkat Lam-hay-gok-sin jang buas dan kedjam itu sebagai guru,
mungkin biarpun mati djuga tidak sudi. Pikirnja pula: Terhadapku, rupanja ia
tjuma timbul dari rasa membela keadilan sadja dan bukan karena tjinta-kasih
suami-isteri, boleh djadi dia takkan sudi berkorban bagiku dengan mengangkat
guru sedjahat ini. Ai, baik atau djelek aku harus melihatnja sekali lagi, asal
dia masih selamat tak kurang apa2, tidak terdjatuh kedjurang, barulah aku merasa
lega. Berpikir sampai disini, diam2 ia kedjut. sendiri: He, kenapa aku mendjadi
demikian memperhatikan dia dan mentjintainia sedalam ini" Wahai, Bok Wan-djing,
tidak pernah begini selama hidupmu!
Tengah Bok Wan-djing terombang-ambing oleh pikirannja sendiri, sementara itu
Lam-hay-gok-sin sudah membawanja keatas puntjak sana.
Tenaga Gok-sin ini benar2 kuat luar biasa, tanpa berhenti sedikitpun, ia masih
terus melintasi empat bukit lagi, achirnja baru dia mentjapai puntjak tertinggi
jang dikelilingi lereng2 bukit itu.
Begitu Lam-hay-gok-sin lepaskan Bok Wan-djing, terus sadja ia buka tjelana dan
kentjing disitu. Sungguh gusar Bok Wan-djing tidak kepalang.
la pikir manusia ini benar2 kasar, rendah dan djahat tiada ubahnja seperti
binatang. Tjepat ia menjingkir agak djauh serta memakai kedoknja lagi. la pikir
wadjah sendiri jang tjantik manis ini kalau lebih banjak dipandang olehnja,
bukan mustahil setiap waktu sifat kebinatangannja akan angot, tatkala mana soal
bini murid apa segala tentu tak dipeduli lagi.
Selesai Lam-hay-gok-sin buang air, segera ia herkata: Ehm, bagus djuga kau
memakai kedok lagi. Sebentar ada beberapa orang djahat akan datang, kesemuanja
adalah manusia2 jang tidak kenal aturan, bila wadjahmu jang tjantik itu dilihat
mereka, tentu akan berabe.
Aku adalah isteri murid kesajanganmu, masakah orang lain berani kurang-adjaran


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padaku" udjar Wan-djing.
Tapi beberapa keparat andjing ini terlalu djahat, terlalu buas! sahut Gok-sin
sambil geleng2 kepala dan mengerut kening.
Aku tidak pertjaja, masakah didjagat ini masih ada orang jang lebih galak dan
djahat daripada engkau" udjar Wan-djing dengan tertawa.
Mendadak Lam-hay gok-sin menabok paha sendiri, lalu berseru dengan marah2: Ja,
memang tidak adil! Diantara Su-ok didjagat ini, urutan Lotju adalah nomor tiga.
Sungguh tidak adil, aku harus berusaha mentjapai jang nomor satu!
Diam2 Bok Wan-djing berpikir: Nama Sam-sian-su-ok pemah aku mendengar dari Suhu.
Ketika aku akan membunuh Sun He-khek, akupun pernah menanja djelas wadjah dan
kelakuan gurunja, maka mengetahui begitu suara suitannja terdengar, segera Lam-
hay-gok-sin akan muntjul. Tapi tidak tahu kalau menurut urutan Su-ok itu dia
terhitung nomor tiga. Ternjata didunia ini masih ada jang djauh lebih djahat
dari dia, sungguh susah untuk dimengerti.
Segera Bok Wan-djing menanja: Lalu, siapakah jang nomor satu dan nomor dua"
Buat apa kau tanja" bentak Gok-sin dengan mendelikan matanja jang sebesar
kedelai itu. Apa kau bermaksud mengedjek aku" Djika kau anggap Lotju kurang
djahat, segera kusembelih kau dulu, boleh djadi karena itu akan terus naik
pangkat mendjadi nomor dua! habis berkata, braak, mendadak ia menghantam
sebatang pohon Siong disampingnja. Seketika pohon itu patah bagian tengah dan
ambruk dengan gemuruh. Meski pohon Siong itu tidak terlalu besar, tapi paling sedikit djuga ada
sebulatan mangkok besamja, tapi sekali hantam sudah dipatahkan olehnja, diam2
Bok Wan-djing melelet lidah, Pikirnja: Apa gunanja umpama dapat merebut sebutan
djuara orang djahat diseluruh djagat ini" Tapi oleh orang ini dianggapnja
sebagai suatu noda jang memalukan bila tidak bisa menduduki djuara itu, maka
paling baik aku djangan meng-korek2 boroknja itu, supaja aku tidak telan pil
pahit. Segera ia tidak buka suara lagi, tapi pedjamkan mata sambil bersandar
dibatu padas untuk memulihkan semangat.
Kenapa kau bungkam" Dalam hati kau memandang hina padaku bukan" tiba2
Lam-hay-gok-sin berkata pula.
Tidak, sahut Wan-djing, Aku djusteru lagi berpikir kenapa sebutan orang djahat
nomor satu diseluruh djagat ini bukan dimiliki olehmu, padahal soal kedjahatan
dan kebuasan, sekalipun orang lain mungkin melebihi engkau, namun ilmu silatnja
apa bisa lebih unggul darimu"
Mendadak Lam-hay-gok-sin meludah dgn marah2, katanja: Makanja kami harus
mengulangi bertanding lagi untuk mengoreksi urutan masing2.
Melihat gelagatnja, Bok Wan-djing dapat menduga keempat orang djahat itu pasti
sudah pernah bertanding, agar tidak membikin marah orang, ia pikir djangan
Manusia Penyebar Kutuk 1 Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah Para Ksatria Penjaga Majapahit 5
^