Pencarian

Pendekar Negeri Tayli 9

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 9


katanja sambil berpaling: In-heng, kalau urusan disini sudah selesai, pasti
Tjayhe akan beladjar kenal dengan kepandaianmu.
Bagus, bagus! sahut In Tiong-ho tertawa.Akan djusteru sudah lama ingin membunuh
suaminja untuk mendapatkan isterinja, ingin merebut hartanja serta mendiami
lembahnja ini! Keruan para kesatria bertamah terkesiap. Segera It-hui-tjiong-thian Kim Tay-peng
berkata: Para kesatria kangouw toh belum mati seluruhnja, sekalipun kepandaian
Thian-he-su-ok kalian sangat tinggi, betapapun tak bisa menghindarkan diri dari
keadilan umum. Tiba2 Yap Dji-nio ter-bahak2 dengan suaranja jang merdu, katanja: Kim-siangkong,
aku Yap Dji-nio toh tiada permusuhan apa2 dengan engkau, kenapa aku ikut2
disinggung, ha" Hati Kim Tay-peng tergetar oleh suara ketawa orang jang mengguntjang sukma itu.
Begitu pula Tjo Tju-bok djuga ikut ber-debar2, terutama bila teringat puteranja
sendiri hampir2 mendjadi korban wanita iblis itu, tanpa merasa ia melirik
sekedjap pada tokoh kedua dari Su-ok itu.
Yap Dji-nio sedang ter-kikih2 tawa, katanja pula: He, Tjo-tjiangbun, baik2kah
puteramu itu, tentu mendjadi lebih gemuk dan putih mulus bukan"
Tjo Tju-bok tidak berani membantah, sahutnja tak lampias: Ah, tempo hari ia
telah masuk angin, sampai sekarang masih belum sehat.
O, kasihan! udjar Dji-nio. Biarlah nanti aku mendjenguk puteramu jang baik itu.
Karuan Tjo Tju-bok terkedjut, tjepatan sadja ia gojang2 tangannja dan berkata:
Djang .... djangan, ti... tidak usah! ~ Sudah tentu ia kuatir, kalau orang
benar2 bermaksud baik mendjenguk anaknja sih tak mengapa, tapi kalau digondol
lari lagi untuk diisap darahnja, kan tjelaka!
Melihat suasana begitu, diam2 Po-ting-te membatin: Rupanja kedjahatan Su-ok
memang sudah keterlaluan dan banjak mengikat permusuhan, nanti kalau Ki-dji
sudah diselamatkan, boleh djuga sekalian tjari kesempatan untuk membasminja.
Yan-king Thaytju dari Su-ok ini meski terhitung orang keluarga Toan, tapi
achirnja toh akan tiba djuga hari tamatnja sesuai dengan djulukannja Kedjahatan
sudah melebihi takarannja.
Dan karena melihat pembitjaraan orang2 itu telah menjimpangkan persoalan pokok,
segera Si Pek-hong berbangkit dan bitjara lagi: Tjiong-koktju, djika engkau
sudah menjanggupi akan mengembalikan anakku, baiklah sekarang engkau suruh dia
keluar, biar kami ibu dan anak bisa saling bertemu kembali.
Tjepat Tjiong Ban-siu djuga berbangkit dan menjahut: Baik! ~ mendadak ia menoleh
dan mendelik pada Toan Tjing-sun dengan penuh rasa dendam, katanja pula sambil
menghela napas: Toan Tjing-sun, engkau mempunjai isteri tjantik dan putera
tampan, mengapa engkau masih belum puas dan masih sok bangor" Djikalau hari ini
kau harus menanggung malu didepan umum, itu adalah akibat perbuatanmu sendiri
dan djangan menjalahkan aku orang she Tjiong.
Memangnja waktu mendengar Tjiong Ban-siu bersedia membebaskan Toan Ki begitu
sadja, Toan Tjing-sun sudah bersangsi urusan pasti takkan terdjadi demikian
sederhana, tentu musuh sudah mengatur sesuatu muslihat kedji.
Maka demi mendengar utjapan Ban-siu itu, segera ia mendekati Tjiong-koktju itu
dan mendjawab tegas: Tjiong Ban-siu, kau sendiripun punja anak-isteri, pabila
kau bermaksud membikin tjelaka orang, aku Toan Tjing-sun pasti djuga bisa
membikin kau merasa menjesal selama hidup.
Melihat sikap pangeran Tayli jang gagah perkasa dan agung itu, Tjiong Ban-siu
merasa dirinja semakin djelek, rasa siriknja bertambah me-njala2, segera
teriaknja: Urusan sudah begini, biarpun achirnja Tjiong Ban-siu harus gugur dan
rumah tangga hantjur, betapapun aku akan lawan kau sampai titik darah
penghabisan. Hajolah, kau inginkan puteramu, mari ikut padaku! ~ Habis berkata,
terus sadja ia mendahului bertindak keluar.
Setelah be-ramai2 semua orang ikut Tjiong Ban-siu sampai didepan pagar pohon
jang lebat itu, In Tiong-ho sengadja pamer Ginkang, sekali lompat, segera ia
melintasi pagar pohon jang tinggi itu.
Toan Tjing-sun pikir urusan hari ini terang tak bisa diselesaikan setjara damai,
ada lebih baik sekarang djuga memberi sedikit demonstrasi, agar pihak lawan tahu
gelagat dan mundur teratur. Maka katanja segera: Tiok-sing, penggal beberapa
pohon itu, agar mudah dilalui semua orang!
Djay-sin-khek Siau Tiok-sing, sipentjari kaju, mengia sekali, lalu mengajun
kapaknja, sekali batjok, bagai pisau tipis mengiris tahu sadja, seketika
sebatang pohon ditebang putus didekat pangkalnja. Menjusul Tiam-djong-san-long
hantamkan sebelah tangannja kedepan hingga pohon patah itu mentjelat tersangkut
diantara pohon2 jang lain.
Be-runtun2 tampak kapak bekerdja tjepat pula hingga dalam sekedjap sadja sudah
ada lima batang pohon jang tumbang, maka berwudjutlah sekarang suatu pintu
masuk. Sebenarnja Tjiong Ban-siu menanam dan merawat pagar pohon itu selama ber-tahun2
dengan susah-pajah, tentu sadja ia mendjadi gusar pohon2 itu ditebang dan
dirusak oleh Siau Tiok-sing. Tapi segera terpikir olehnja: Orang2 she Toan dari
Tayli hari ini bakal dibikin malu besar, buat apa aku mesti sibukkan urusan
tetek-bengek ini. ~ Karena itu, tanpa bitjara lagi ia lantas mendahului masuk
melalui pintu pagar pohon jang bobol itu.
Maka tertampaklah segera dibalik pohon2 sana Ui-bi-tjeng dan Djing-bau-khek
masing2 menggunakan tangan kiri sedang menahan udjung tongkat bambu, ubun2 kedua
orang kelihatan mengepulkan kabut putih, terang kedua orang itu sedang mengadu
Lwekang. Mendadak Ui-bi-tjeng mengulur tangan kanan dan menekan sekali diatas papan batu
didepan situ hingga berwudjut suatu dekukan. Menjusul, hanja memikir sedjenak,
Djing-bau-khek djuga ikut menggores satu lingkaran ketjil dengan tongkat bambu
ditangan kanannja itu. Melihat itu segera Po-ting-te mengartilah duduknja perkara. Kiranja Ui-bi Suheng
itu disamping tanding tjatur dengan Yan-king Thaytju, berbareng mengadu Lwekang
pula dengan tokoh utama dari Su-ok itu. Djadi mengadu otak serta tenaga setjara
berbareng, tjara bertanding jang lain dari jang lain ini sesungguhnja sangat
berbahaja. Pantas makanja sudah ditunggu sehari-semalam sang Suheng masih tiada
kabar beritanja, rupanja pertandingan demikian itu sudah berlangsung selama
sehari-semalam dan masih belum ketahuan siapa jang kalah atau menang.
Sepintas lalu Po-ting-te melihat kedudukan diatas papan tjatur itu, kedua pihak
sama2 sedang menghadapi satu langkah sulit jang menentukan, rupanja Ui-bi-tjeng
berada dipihak terdesak, maka mati2an paderi itu sedang mentjari djalan hidup
bagi bidji tjaturnja itu.
Waktu Po-ting-te menengok pula kearah rumah batu, ia lihat keenam murid Ui-bi-
tjeng itu sedang duduk bersila didepan rumah dengan wadjah putjat dan mata
meram, mirip orang jang sudah hampir putus napasnja jang penghabisan. Karuan ia
terkedjut, pikirnja: Apa barangkali keenam murid Suheng ini telah bergebrak dulu
dengan Yan-king Thaytju dan telah terluka parah semua"
Segera ia mendekati mereka, ia tjoba periksa denjut nadi Boh-tam Hwesio, ia
merasa denjut nadinja sangat lemah, seperti bergerak seperti tidak, se-akan2
setiap waktu bisa berhenti berdenjut.
Tjepat Po-ting-te mengeluarkan sebuah botol porselen dan menuang keluar enam
butir pil merah serta didjedjalkan kemulut enam paderi itu masing2
sebutir. Pil itu bernama Hou-pek-wan, sangat mandjur untuk menjembuhkan luka
dalam. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Boh-tam berenam bukanlah terluka dalam,
tapi disebabkan antero hawa murni dalam tubuh mereka telah kering benar2 disedot
oleh Tju-hap-sin-kangnja Toan Ki jang maha lihay itu. Pil itu digunakan tidak
tepat penjakitnja, dengan sendirinja tak berguna.
Dalam pada itu Tjing-sun sedang berseru: Djian-li, kalian berempat tjoba dorong
kepinggir batu besar itu, lepaskan Ki-dji dari dalam situ!
Leng Djian-li berempat mengia, berbareng mereka lantas madju.
Nanti dulu! tiba2 Tjiong Ban-siu mentjegah. Apakah kalian mengetahui siapa2
sadja jang terkurung didalam rumah itu"
Toan Tjing-sun dan djago2nja itu masih belum tahu bahwa Bok Wan-djing djuga
sudah ditawan Yan-king Thaytju serta dikurung bersama Toan Ki didalam satu
kamar, bahkan kedua muda-mudi itu telah ditjekoki pula dengan Im-yang-ho-hap-
san, maka sama sekali mereka tidak tjuriga dan serentak hendak membebaskan Toan
Ki dari pendjara itu tanpa pikirkan apa jang bakal disaksikan hadirin2 jang
lain. Kini demi mendengar utjapan Tjiong Ban-siu itu, Tjing-sun mendjadi
tjuriga, segera damperatnja: Tjiong-koktju, pabila kau berani bikin tjatjat
sedikitpun atas diri puteraku, hendaklah kau ingat bahwa engkau sendiripun punja
anak-isteri. ~ Njata jang dia kuatirkan jalah djangan2 Toan Ki telah disiksa atau
ditjatjatkan sesuatu anggota badannja.
Maka dengan tertawa mengedjek Tjiong Ban-siu mendjawab: Hehe, memang benar, aku
orang she Tjiong djuga punja anak-isteri, tjuma anakku adalah perempuan, untung
aku tidak punja anak laki2, andaikan punja djuga anakku laki2 takkan mungkin
melakukan perbuatan kebinatangan dengan anak perempuanku sendiri.
Kau sembarangan mengotjeh apa" bentak Tjing-sun dengan gusar.
Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing adalah puterimu dari hubungan gelap dengan wanita
lain, bukan" dengan senjum edjek Ban-siu menanja.
Asal-usul nona Bok pribadi, peduli apa engkau mesti iseng dan ikut tjampur"
sahut Tjing-sun dengan gusar.
Hahaha, belum tentu bahwa aku jang iseng suka ikut tjampur urusan, sahut Ban-siu
ter-bahak2. Keluarga Toan kalian meradjai suatu negeri Tayli, dikalangan Kangouw
terlebih gilang-gemilang pula namanja. Tapi kini biarlah para kesatria diseluruh
djagat supaja membuka mata lebar2
untuk menjaksikan bahwa putera dan puteri Toan Tjing-sun sendiri telah berbuat
maksiat diantara sesama saudara sendiri, sungguh dunia sudah terbalik!
Mendengar itu, rasa tjuriga Toan Tjing-sun semakin mendjadi, pikirnja: Apa benar
Djing-dji djuga berada didalam rumah ini dan dia bersama Ki-dji sudah .... sudah
............ ~ Ia tidak berani membajangkan lebih landjut lagi, ia tjotjokkan
utjapan2 Tjiong Ban-siu dari semula hingga sekarang, agaknja berada bersamanja
kedua putera-puterinja didalam satu kamar itu tak usah disangsikan lagi. Karuan
seketika badannja serasa dingin bagai ketjemplung disungai es, diam2 ia
mengeluh: Betapa kedji muslihat musuh ini!
Dalam pada itu Tjiong Ban-siu lantas memberi tanda kepada Lam-hay-gok-sin,
segera mereka berdua mulai hendak mendorong batu besar jang menutupi pintu rumah
itu. Nanti dulu! tjegah Tjing-sun sambil ulur tangan hendak merintangi.
Diluar dugaan, se-konjong2 Yap Dji-nio dan In Tiong-ho berbareng menjerangnja
pula dari samping kanan dan kiri. Terpaksa Tjing-sun angkat tangan menangkis,
sedang Ko Sing-thay serentak pun menjusup madju untuk menangkis serangan In
Tiong-ho. Tak tersangka serangan2 kedua tokoh Su-ok itu hanja pantjingan belaka, tangan
jang satu pura2 mereka serang Toan Tjing-sun, tapi tangan jang lain dipakai
membantu mendorong batu besar penutup pintu itu. Meski batu itu beratnja beribu
kati, tapi dibawah dorongan tenaga bersama dari Tjiong Ban-siu, Yap Dji-nio,
Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berempat, seketika batu itu menggelinding
kesamping. Tindakan mereka itu memangnja sudah direntjanakan, maka sama sekali
Toan Tjing-sun tak mampu merintanginja. Disamping itu Tjing-sun sendiri
sebenarnja djuga ingin lekas2 bisa mengetahui keadaan puteranja, maka tidak
mentjegah sekuat tenaga. Dan begitu batu penutup pintu itu didorong minggir, segera tertampaklah didalam
rumah batu itu gelap gulita belaka, sedikitpun tidak kelihatan pemandangan
didalam rumah. Huh, dua pemuda-pemudi berada sendirian didalam kamar segelap itu, dapat
dibajangkan perbuatan apa jang akan dilakukan mereka! demikian Tjiong Ban-siu
mendjengek. Dan baru lenjap utjapannja itu, tiba2 terlihat dari dalam rumah itu bertindak
keluar seorang pemuda dengan rambut terurai masai, badan bagian atas telandjang,
siapa lagi dia kalau bukan Toan Ki adanja" Bahkan ditangan pemuda itu membawa
pula seorang wanita tak berkutik seperti orang jang tak sadarkan diri.
Melihat itu, alangkah malunja rasa Po-ting-te, Toan Tjing-sun pun menundukkan
kepala, sedangkan Si Pek-hong mengembeng air mata sambil berkemak-kemik: Hukum
karma! Hukum karma! Lekas2 Ko Sing-thay menanggalkan badjunja dengan maksud untuk dipakai Toan Ki,
sedang Oh-pek-kiam Su An mengingat pemuda itu pernah menolong djiwanja, ia
merasa tidak tega kalau Toan Ki dibikin malu didepan orang banjak, maka tjepat
ia melompat madju untuk meng-aling2 didepan pemuda itu.
Keparat! Apa kau sudah bosan hidup, lekas enjah! bentak Lam-hay-gok-sin dengan
gusar. Sebaliknja Tjiong Ban-siu ter-bahak2 sangat senang. Tapi mendadak suara
ketawanja itu berubah mendjadi djeritan kaget jang sangat menjeramkan: He,
mengapa engkau, Ling-dji"
Mendengar suara teriakan seram itu, hati semua orang ikut terkesiap.
Ketika semua orang memperhatikan apa jang terdjadi, tertampak Tjiong Ban-siu
sedang menubruk kehadapan Toan Ki terus hendak merampas wanita jang berada
dipondongan pemuda itu. Maka sekarang dapatlah semua orang melihat djelas wadjah wanita jang dipondong
Toan Ki itu, tampaknja umurnja masih lebih muda daripada Bok Wan-djing, tubuhnja
djuga lebih ketjil mungil, mukanja masih ke-kanak2an, terang bukan Hiang-yok-
djeh jang tersohor itu, tapi adalah Tjiong Ling, itu puteri kesajangannja Tjiong
Ban-siu sendiri. Dalam kaget dan gusarnja, Tjiong Ban-siu tidak mengarti sebab apa mendadak
puteri kesajangannja itu bisa berada didalam rumah itu, dengan tjepat ia terus
sambut puterinja itu dari pondongan Toan Ki. Tak terduga, begitu kedua tangannja
menjentuh badannja Tjiong Ling, se-konjong2
tubuhnja tergetar hebat, hawa murni dalam tubuh se-akan2 hendak terbang
meninggalkan raganja. Waktu itu Toan Ki sendiri belum lagi sadarkan diri, dalam keadaan buram ia
melihat dirinja dirubung orang banjak, lapat2 diantaranja terdapat pula paman
dan kedua orang tua, segera ia lepaskan Tjiong Ling serta berseru memanggil:
Mak, Pekhu, ajah! Dan karena dilepaskannja Tjiong Ling oleh Toan Ki, maka Tju-hap-sin-kang jang
hebat itu tidak djadi menjedot hawa murninja Tjiong Ban-siu.
Oleh karena sudah lama berdiam ditempat gelap, kini Toan Ki mendjadi silau oleh
sinar matahari jang terang benderang itu hingga seketika matanja susah
dipentang. Sebaliknja antero badannja terasa sangat kuat, semangat ber-kobar2,
tulang2 anggota badan terasa enteng se-akan2 bisa terbang sadja.
Dalam pada itu Si Pek-hong sudah lantas mendekati serta merangkul sang putera
dan menanja: Ki-dji, ken kenapa kau"
En ...... entahlah, aku sendiri tidak tahu. Di ..... dimanakah aku berada"
demikian sahut Toan Ki. Sungguh sama sekali tak terpikir oleh Tjiong Ban-siu bahwa muslihatnja jang
hendak bikin malu orang, kini berbalik sendjata makan tuan, puterinja sendiri
jang mendjadi korban malah. Sedikitpun tak terpikir olehnja bahwa wanita jang
dipondong keluar oleh Toan Ki bukanlah Bok Wan-djing, sebaliknja adalah puteri
kesajangannja itu. Setelah tertegun sedjenak, kemudian iapun lepaskan Tjiong Ling ketanah.
Ketika sadar dirinja tjuma memakai pakaian dalam melulu, karuan Tjiong Ling malu
tak terkatakan. Tjepat Ban-siu menanggalkan badju sendiri untuk ditutupkan
diatas badan sang puteri. Menjusul ia lantas persen sekali tamparan dipipi
Tjiong Ling hingga muka gadis itu merah bengap. Tidak malu! Siapa jang suruh kau
berada bersama binatang tjilik itu" demikian Ban-siu memaki.
Tentu sadja Tjiong Ling penuh merasa penasaran, katanja dengan menangis: Aku...
aku.... ~ tapi terang susah untuk mendjelaskan duduknja perkara jang sebenarnja.
Tiba2 terpikir oleh Tjiong Ban-siu: Bukankah Bok Wan-djing terkurung didalam
rumah batu ini, betapapun rasanja dia takkan mampu membuka batu penutup pintu
ini, agaknja dia masih berada didalam situ, biar aku memanggilnja keluar, paling
tidak dia akan menanggung sebagian dari rasa malu puteriku ini.
Karena itu, segera ia ber-teriak2: Bok-kohnio, silahkan lekas keluar!
Namun sampai ber-ulang2 ia berteriak hingga bedjat kerongkongannja sekalipun
tetap tiada sesuatu suara djawaban didalam rumah batu itu.
Dengan tak sabar segera Tjiong Ban-siu mendekati pintu dan tjoba melongok
kedalam, rumah itu tidak luas, maka sekedjap sadja sudah kentara bahwa
didalamnja toh kosong melompong, tiada bajangan seorangpun. Karuan dada Tjiong
Ban-siu hampir2 meledak saking gusarnja, ia putar balik dan segera akan hadjar
lagi puterinja itu sambil membentak: Biar kumampuskan kau budak jang memalukan
ini! Se-konjong2 dari samping ada orang menangkis tamparannja itu, nadi tangannja
terasa kesemutan tersentuh oleh djari orang. Lekas2 Ban-siu tarik kembali
tangannja dan baru dapat diketahuinja bahwa jang menjerangnja dari samping itu
adalah Toan Tjing-sun. Karuan ia tambah gusar, bentaknja: Aku menghadjar anakku
sendiri, peduli apa dengan kau"
Tjing-sun mendjawab dengan ter-senjum2: Tjiong-koktju, rupanja engkau telah
memberi service istimewa kepada puteraku itu, kuatir dia kesepian didalam rumah
itu, sampai2 puteri kesajanganmu engkau suruh mengawaninja, sungguh Tjayhe


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa sangat berterima kasih. Dan karena urusan sudah ketelandjur, nasi sudah
mendjadi bubur, puterimu sudah terhitung anggota keluarga Toan kami, dengan
sendirinja Tjayhe tak bisa tinggal diam lagi.
Apa" Terhitung anggota keluarga Toan kalian" sahut Ban-siu dengan gusar.
Habis, selama beberapa hari puterimu telah melajani anakku si Toan Ki didalam
rumah batu ini, tjoba bajangkan, sepasang muda-mudi berada sendirian ditempat
segelap ini, kelihatan pula badju2 mereka terbuka, lalu perbuatan apa jang telah
mereka lakukan" demikian kata Tjing-sun dengan tertawa. Puteraku adalah
ahliwaris Tin-lam-ong, meski sudah melamar puterinja Sian-tan-hou sebagai
isteri, tapi sebagai seorang tjalon pangeran, apa salahnja kalau punja beberapa
isteri dan selir" Dan dengan demikian, bukankah engkau sudah mendjadi Djinkeh
(besan) dengan aku" Hahaha, hahaaaaah!
Sungguh gusar Tjiong Ban-siu tak tertahan lagi, terus sadja ia merangsang madju
dan beruntun menghantam tiga kali. Namun dengan terbahak2 Tjing-sun dapat
mematahkan setiap serangan orang kalap itu.
Diam2 para kesatria sangat kagum pada pengaruh keluarga Toan jang ternjata tidak
boleh sembarangan dihina itu, Tjiong-koktju hendak menghantjurkan nama baik
mereka, tapi entah dengan tjara bagaimana tahu2
malah puterinja Tjiong-koktju sendiri jang telah ditukar dan dikeram didalam
rumah batu itu. Kiranja kedjadian itu tak-lain-tak-bukan adalah hasil karjanja Hoa Hek-kin
bertiga. Waktu mereka menawan Tjiong Ling kedalam lorong, maksudnja mereka tjuma untuk menghindarkan rahasianja dibongkar
oleh gadis itu. Tapi kemudian sesudah mendengar pertjakapan suami-isteri Tjiong Ban-siu, mereka
tahu nama baik keluarga Toan sedang diudji oleh tipu muslihat jang telah diatur
bersama antara Tjiong Ban-siu dan Yan-king Thaytju. Segera mereka bertiga
berunding dibawah tanah situ dan merasa urusan itu besar sekali sangkut-pautnja
dengan djundjungan mereka, pula waktunja sudah sangat mendesak. Maka menunggu
sesudah Tjiong-hudjin keluar dari kamar itu, segera Pah Thian-sik menerobos
keluar, dengan Ginkangnja jang tinggi ia menjelidiki lebih pasti dimana letak
rumah batu jang ditudju itu. Dan sesudah ditentukan pula arah galian baru,
segera mereka bertiga mempertjepat galian lorong dibawah tanah itu hingga
semalam suntuk, baru pagi hari itu mereka menggali sampai dibawah rumah batu
jang tepat. Ketika Hoa Hek-kin menggangsir keatas lagi dan menerobos kedalam rumah, ia lihat
Toan Ki sedang memegang tangan orang diluar rumah dengan kentjang, wadjahnja
tampak sangat aneh. Sudah tentu tak terpikir oleh Hek-kin bahwa tangan jang
mendjulur dari luar rumah itu adalah tangannja Boh-tin Hwesio, sebaliknja ia
menjangka sebagai tangannja Yan-king Thaytju, maka ia tidak berani mengadjak
bitjara pada Toan Ki, hanja pelahan2 ia tepuk bahu pemuda itu.
Tak terduga olehnja, begitu tangannja menjentuh badannja Toan Ki, seketika tubuh
sendiri tergetar seperti menjenggol besi bakaran panasnja.
Ia mendjadi kuatir pula ketika melihat kedua mata pemuda itu merah membara, maka
sekuatnja ia bermaksud membantu menarik Toan Ki terlepas dari genggaman tangan
orang diluar itu, untuk kemudian melarikan diri melalui lorong dibawah tanah
jang digalinja itu. Siapa sangka, begitu tangannja memegang tangan Toan Ki, seketika hawa murni
dalam tubuh Hoa Hek-kin se-akan2 kabur keluar, saking kagetnja sampai ia
mendjerit. Pah Thian-sik dan Hoan Hua adalah orang2 sangat tjerdik, begitu melihat gelagat
sang kawan kurang beres, tjepat merekapun melompat keatas untuk menarik Hoa Hek-
kin dan dibetot sekuatnja. Dan berkat tenaga gabungan ketiga orang itulah dapat
Hoa Hek-kin terlepas dari sedotan Tju-hap-sin-kang jang lihay itu.
Untunglah tenaga dalam ketiga tokoh pilihan dari Tayli itu djauh lebih tinggi
daripada Boh-tin berenam, pula dapat bertindak tjepat sebelum kasip. Namun
demikian, toh mereka sudah kaget luar biasa hingga mandi keringat dingin. Pikir
mereka: Ilmu sihir Yan-king Thaytju ini sungguh sangat lihay. ~ Dan karena itu
mereka tidak berani menjentuh badannja Toan Ki lagi.
Dan pada saat itu djuga diluar terdengar suara ramai2 datangnja rombongan Po-
ting-te, lalu Tjiong Ban-siu sedang me-njindir2 dengan terbahak2. Tabiat Hoan
Hua sangat djenaka dan banjak akal, tiba2 pikirannja tergerak: Tjiong Ban-siu
ini benar2 djahat, biar kita bergurau padanja agar dia malu sendiri.
Terus sadja mereka mentjopot badju luarnja Tjiong Ling untuk dipakai Bok Wan-
djing, lalu mereka seret Bok Wan-djing kedalam lorong serta menutup kembali
lantai batu jang mereka gali itu hingga tidak kentara sesuatu jang
mentjurigakan. Begitulah setelah Toan Ki telah keluar dari rumah batu itu, oleh karena hawa
murni dari Boh-tin berenam tak dapat dihimpunnja kedalam perut untuk didjalankan
menurut keinginannja, maka enam arus hawa murni jang sangat kuat itu masih terus
bergolak dalam tubuh hingga isi perutnja se-akan2
diterdjang djungkir balik, ia mendjadi sempojongan tak bisa berdiri tegak.
Melihat itu, Po-ting-te menjangka sang keponakan sedang dirangsang ratjun
djahat, tjepat ia tutuk ketiga Hiat-to penting Djin-tiong, Thay-yang dan Leng-
tay-hiat dibadan pemuda itu, walaupun hawa murni itu masih belum bisa disalurkan
ketempat jang semestinja, namun pikiran Toan Ki mendjadi rada djernih, ia sudah
bisa bitjara dengan terang: Pekhu, aku telah kena ratjun Im-yang-ho-hap-san.
Po-ting-te merasa lega keselamatan Toan Ki tidak berbahaja, tapi segera teringat
olehnja pertandingan diantara Ui-bi-tjeng dan Yan-king Thaytju sedang mentjapai
klimaksnja, maka ia tak bisa mengurus Toan Ki lebih djauh, tapi terus mendekati
Ui-bi-tjeng untuk mengikuti pertandingan otak dan Lwekang dari kedua orang itu.
Ia lihat djidat Ui-bi-tjeng penuh keringat berbutir sebesar kedelai, sebaliknja
Yan-king Thaytju tampak tenang2 sadja seperti tidak merasakan apa2. Terang
kekuatan kedua pihak itu sudah kentara njata, mati-hidupnja Ui-bi-tjeng
tergantung dalam sekedjapan itu sadja.
Dalam pada itu karena pikiran Toan Ki sudah djernih kembali, iapun memperhatikan
lagi situasi pertjaturan kedua orang itu. Ia lihat djalan mundur Ui-bi-tjeng itu
sudah buntu, pabila Yan-king Thaytju mendesak madju lagi satu bidji, maka Ui-bi-
tjeng pasti akan menjerah kalah. Benar djuga, ia lihat tongkat bambu Yan-king
Thaytju itu sedang diangkat dan akan menggores diatas batu pula, tempat jang
ditudju itu tepat adalah langkah jang mematikan lawannja, karuan Toan Ki
berkuatir, pikirnja: Biar aku mengatjaunja sekali ini! ~ Dan segera ia ulur
tangannja untuk menahan udjung tongkat orang jang akan digoreskan itu.
Sungguh kedjut Yan-king Thaytju tak terkatakan ketika mendadak merasa tongkatnja
tertahan sesuatu, berbareng lengannja tergetar dan tenaga murninja se-akan2
membandjir keluar tak tertahankan. Waktu ia lirik, ia lihat Toan Ki sedang
menahan tongkatnja itu dengan dua djarinja. Karuan ia tambah kaget dan heran:
Tempo hari waktu menangkap botjah ini, terang sedikitpun dia tak bisa ilmu
silat, paling2 tjuma pandai berkelit dengan gerak langkahnja jang aneh, mengapa
dalam waktu tjuma beberapa hari mendadak ia bisa menggunakan ilmu sihir untuk
menjedot tenaga murni orang seperti ini" Apa barangkali tempo hari ia sengadja
pura2 bodoh dan baru sekarang turun tangan"
Sedangkan Toan Ki sendiri tidak tahu bahwa sesudah makan dua ekor katak merah
itu, dalam tubuhnja telah timbul sematjam Tju-hap-sin-kang jang mempunjai daja
isap luar biasa lihaynja, tentu sadja Yan-king Thaytju lebih2 tidak mengerti
mengapa botjah masih hidjau itu se-konjong2
mendjadi sedemikian saktinja. Segera ia tarik napas dalam2, ia kerahkan tenaga
dalam sekuatnja dan disalurkan ketongkatnja, sekali puntir dan betot, seketika
terlepaslah tongkat itu dari djari tangannja Toan Ki.
Hendaklah diketahui bahwa Lwekang tokoh utama Su-ok itu tinggi sekali, djarang
ada bandingannja didjaman ini. Toan Ki sendiri meski badannja terhimpun tenaga
murni dari Boh-tam berenam jang disedotnja itu, namun dia tak bisa
menggunakannja, sedikitpun ia tak bisa mengerahkan tenaga itu, dengan sendirinja
ia tergetar lepas dari puntiran tongkat lawan, segera ia merasa separoh badannja
itu mendjadi kaku dan hampir djatuh pingsan, untung ia keburu memegang tepi
papan batu besar itu hingga tidak sampai roboh.
Sebaliknja tenaga dalam jang dikerahkan Yan-king Thaytju itu saking besarnja
hingga ada djuga sebagian jang tak keburu ditarik kembali lagi, dalam
terkedjutnja, tanpa sengadja tongkatnja lantas mendelong kebawah dan mentjoret
diatas batu. Tjepat Yan-king Thaytju sadar djuga dan mengeluh, namun sudah
ketelandjur, tongkatnja telah mentjoret setengah lingkaran diatas peta tjatur,
tjuma bukan tempat jang ditudjunja semula, tapi djatuh disisinja. Mestinja akan
bikin buntu djalan lawan, sekarang berbalik djalan sendiri jang tertutup buntu.
Seketika wadjah Yan-king Thaytju berubah.
Sebagai seorang tokoh jang mendjaga gengsi, meski tahu sekali salah langkah, itu
berarti kekalahan total baginja, namun Yan-king Thaytju tidak mau ribut dengan
Ui-bi-tjeng, segera ia berbangkit sebagai tanda menjerah kalah. Tapi kedua
tangannja masih menahan diatas papan batu itu sambil memperhatikan papan tjatur
itu hingga lama sekali. Sebagian besar diantara hadirin itu belum pernah kenal siapa tokoh Djing-bau-
khek ini, melihat sikapnja jang aneh itu, semua orang ikut memperhatikan djuga
apa jang sedang dilakukannja. Ternjata lama Yan-king Thaytju memandangi papan
tjatur, mendadak ia angkat tongkatnja, tanpa berkata lagi ia putar tubuh dan
melangkah pergi dengan tongkatnja jang pandjang dan tindakan jang lebar pula
mirip orang main djangkungan sadja.
Pada saat lain, tiba2 ada angin meniup, papan batu tadi tampak bergojang
sedikit, se-konjong2 batu besar itu petjah berantakan mendjadi belasan potong.
Karuan semua orang ternganga dan saling pandang dengan kesima, sungguh tak
terpikir oleh mereka bahwa Djing-bau-khek jang tidak mirip manusia dan tidak
memper setan itu, ilmu silatnja ternjata sudah mentjapai tarap jang susah diukur
itu. Ui-bi-tjeng sendiri meskipun sudah menangkan babak pertjaturan itu, namun dia
masih duduk tepekur ditempatnja dengan rasa sjukur dan bingung pula. Sjukur
karena pertandingan jang berbahaja itu achirnja telah dimenangkan olehnja, tapi
bingung pula mengapa Yan-king Thaytju jang sudah terang memegang kuntji
kemenangan itu mendadak bisa menjumbat djalan hidup sendiri, bukankah itu
sengadja mengalah" Tapi dalam keadaan demikian, toh tidak masuk akal bahwa orang
sudi mengalah padanja"
Po-ting-te dan Toan Tjing-sun djuga merasa tidak mengerti oleh kedjadian itu.
Akan tetapi mereka tidak ambil pusing lebih djauh, jang terang sekarang Toan Ki
sudah diselamatkan dan Yan-king Thaytju sudah dikalahkan dan sudah pergi, nama
baik keluarga Toan telah dipertahankan, pertarungan ini boleh dikata telah
menang total. Maka segera Toan Tjing-sun meng-olok2 lagi dengan tertawa: Tjiong-
koktju, puteraku pasti bukan manusia jang tipis budi, sekali puterimu sudah
mendjadi selir puteraku, dalam waktu singkat tentu akan kami kirim orang untuk
memapahnja dan kami sekeluarga pasti akan menjambut baik2 dan sajang padanja
seperti anak sendiri, harap engkau djangan kuatirkan urusan ini.
Tjiong Ban-siu adalah seorang kasar, djiwanja sempit dan berangasan, karena tak
tahan di-olok2 dan disindir Toan Tjing-sun, ia mendjadi naik darah lagi, tanpa
tanja apakah Tjiong Ling benar2 telah dinodai Toan Ki atau tidak, terus sadja ia
tjabut golok dari pinggangnja dan membatjok keatas kepala Tjiong Ling sambil
membentak: Kau bikin aku mati gusar sadja, biarlah kumampuskan kau budak hina-
dina ini lebih dulu! Se-konjong2 sesosok bajangan orang melajang tiba dan dengan tjepat luar biasa
Tjiong Ling telah dirangkul terus dibawa kabur beberapa tombak djauhnja. Tjrat,
golok Ban-siu membatjok diatas tanah dan ketika menegasi orang jang menjamber
Tjiong Ling itu, kiranja adalah Kiong-hiong-kek-ok In Tiong-ho.
Kau... kau mau apa" bentak Ban-siu dengan gusar.
Kau sudah tak mau pada puterimu ini, maka hadiahkan sadja padaku dan anggaplah
dia sudah mati kau batjok barusan, sahut In Tiong-ho dengan tjengar-tjengir,
berbareng itu orangnja lantas melesat pergi lagi beberapa tombak djauhnja.
Ia tahu bitjara tentang ilmu silat, djangankan dirinja tak mampu menandingi Po-
ting-te dan Ui-bi-tjeng, sekalipun Toan Tjing-sun atau Ko Sing-thay djuga sudah
lebih unggul daripadanja. Karena itu in Tiong-ho telah ambil keputusan, bila
gelagat djelek, segera Tjiong Ling akan digondolnja lari. Pah Thian-sin jang
diseganinja itu tidak nampak hadir disitu, maka dalam hal Ginkang, terang tiada
seorangpun diantara hadirin itu jang mampu mengedjarnja.
Tjiong Ban-siu djuga tahu Ginkang tokoh keempat dari Su-ok itu sangat lihay,
untuk mengedjar terang tak mampu, saking gemasnja ia tjuma bisa berdjingkrak
sambil memaki kalang-kabut.
Po-ting-te tempo hari sidah menjaksikan In Tiong-ho itu main udak2an dengan Pah
Thian-sik, kini melihat orang menggondol Tjiong Ling dan larinja masih begitu
tjepat dan enteng, terpaksa iapun takbisa berbuat apa2.
Tiba2 timbul suatu akal dalam benak Toan Ki, segera ia berseru: "Gak-losam,
sebagai gurumu, aku memerintahkan kau lekas merebut kembali nona tjilik itu?"
Lam-hay-gok-sin tertjengang sekedjap, tapi segera mendjadi gusar dan
membentak: "Keparat, apa katamu?"
"Kau telah menjembah aku sebagai guru, apakah kau berani menjangkal?"
sahut Toan Ki. "Emangnja apa jang sudah kau katakan sendiri kau anggap seperti
orang kentut sadja?"
Seperti diketahui, biarpun Lam-hay-gok-sin itu sangat djatah dan buas, tapi ada
suatu sifatnja jang terpudji, jaitu apa jang pernah dia djandji atau katakan,
tidak pernah ia mungkir dan pasti ditepati. Ia mengangkat guru pada Toan Ki,
meski hal ini seribu kali hatinja tidak rela, tapi ia djuga tidak menjangkal,
maka dengan mendelik gusar ia membentak pula:
"Apa jang telah kukatakan sudah tentu tetap berlaku. Kau adalah guruku, lantas
mau apa" Hm, djika Lotju sudah geregetan, guru matjammu sekalian kubunuh sadja."
"baiklah djika kau sudah mengaku," udjar Toan Ki. "Sekarang nona Tjiong itu
digondol sidjahat keempat itu, nona itu adalah isteriku, djadi ibu gurumu pula,
maka lekas kau merebutnja kembali. Kalau In Tiong-ho menghina nona itu, sama
artinja menghina ibu gurumu, djika katu tak mampu membelanja, bukankah kau
terlalu memalukan, terlalu pengetjut?"
Lam-hay-gok-sin tertjengang sedjenak, ia pikir benar djuga teguran sang
"guru" itu. Tapi lantas teringat olehnja bahwa Bok Wan-djing djuga mengaku
sebagai isterinja, kenapa nona tjilik she Tjiong ini diaku isterinja pula"
Segera ia tanja: "Kenapa begitu banjak ibu-guruku"
Sebenarnja kau mempunjai berapa orang isteri?"
"Tak perlu kau tanja," sahut Toan Ki. "Jang penting, lekaslah kau melaksanakan
perintahku, bila tidak dapat merebut kembali ibu-gurumu itu, berarti kau tiada
muka buat bertemu lagi dengan kesatria2 didjagat ini, sekian orang gagah disini
telah menjaksikan semua, kalau kau tak mampu menangkan In Tiong-ho, jang
terhitung nomor empat dari Su-ok itu, wah, biarlah pangkatmu diturunkan mendjadi
orang djahat nomor lima. Ja, boleh djadi nomor enam malah!"
Mana Lam-hay-gok-sin sudi terima mentah2 olok2 demikian itu" Suruh dia dibawah
namanja In Tiong-ho, hal ini baginja lebih tjelaka daripada mati.
Karena itu, terus sadja ia menggerung keras2 sambil berlari mengudak kearah In
Tiong-ho dan membentak: "Lepaskan ibu-guruku itu!"
Tjepat In Tiong-ho melajang beberapa tombak pula kedepan sambil berseru: "Gak-
losam, benar2 tolol kau, ditipu orang masakah tidak tahu!"
Keruan amarah Lam-hay-gok-sin semakin berkobar, biasanja ia paling suka mengaku
dirinja paling pintar, masakan dihadapan orang sekian banjak ditjemooh sebagai
orang tolol" Segera ia tantjap gas lebih kentjang untuk mengedjar. Maka dengan
tjepat kedua orang jang saling uber itu sudah melintasi beberapa lereng bukit.
Tjiong Ban-siu jang kehilangan anak perempuan itu, meski dalam kalapnja tadi
puterinja itu hendak dibatjok mati, tapi kini demi digondol lari orang djahat,
betapapun soal hubungan darah-daging, apalagi nanti kalau ditanja sang isteri,
bagaimana dia harus memberi tanggung-djawab" Maka tanpa pikir lagi iapun ikut
mengedjar dengan golok terhunus.
Melihat pelaku utamanja sudah pergi, segera Po-ting-te memberi hormat kepada
para kesatria jang hadir itu, katanja: "Mumpung para hadirin kebetulan
berkundjung ke Tayli sini, marilah silahkan mampir ketempat kami agar Tjayhe
dapat sekedar memenuhi kewadjiban sebagai tuan rumah."
Hui-sian dan lain2 memang berminat untuk berkenalan dengan Toan Tjing-beng,
radja Tayli jang terkenal sebagai "orang utama didunia selatan,"
maka demi diundang setjara ramah, mereka lantas menerima baik undangan itu
dengan tertawa. Hanja Yap Dji-nio jang berkata dengan tersenjum:
"Njonjamu ini kuatir kalau disembelih kalian untuk dimakan, maka lebih baik aku
angkat langkah seribu sadja lebih selamat!" ~ Habis berkata, tanpa pamit lagi ia
lantas menggelojor pergi dengan ter-senjum2.
Po-ting-te pun tidak merintangi kepergian tokoh kedua dari Su-ok itu, ia adjak
para tamu meninggalkan Ban-djiat-kok dan pulang ke Tayli. Boh-tam beranam sudah
terlalu pajah dan lemas, untuk berdiri sadja tak sanggup, maka Leng Djian-li dan
kawan2nja lantas menaikan mereka keatas kuda dan be-ramai2 kembali ke Tin-lam-
ong-hu. Sementara itu Pah Thian-sik bertiga sudah menunggu disitu, mereka lantas
menjambut keluar bersama seorang gadis djelita jang berdandan mewah, siapa lagi
dia kalau bukan Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing!
Dalam pada itu Toan Ki jang sedjak minum "Im-yang-ho-hap-san," ratjun jang masih
mengeram dalam tubuh itu belum lagi dilenjapkan. Kini mendadak melihat Bok Wan-
djing, tanpa kuasa lagi ia pentang kedua tangan terus berlari madju hendak peluk
gadis itu. Sjukurlah, betapapun chilapnja, dalam benaknja masih tetap timbul


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setitik pikiran djernihnja, ketika mendadak sadar perbuatannja jang tidak pantas
itu, seketika ia dapat menahan diri dan berdiri terpaku ditempatnja.
Ternjata Im-yang-ho-hap-san itu bukan sadja sangat lihay karena bekerdjanja
ratjun itu sangat awet, tahan lama, bahkan kedua pihak ~
laki2 dan perempuan ~ jang minum ratjun itu saling menimbulkan daja tarik jang
sangat kuat. Mendingan kalau kedua pihak dipisahkan, tapi bila ketemu kembali,
seketika pikiran kedua orang akan kabur lagi tenggelam dalam perasaan2 jang
tidak senonoh hingga susah mengekang diri.
Melihat sikap kedua muda-mudi itu agak kurang beres, pipi mereka merah membara,
begitu pula mata mereka se-akan2 berapi, terang keratjunan sangat hebat. Tjepat
Po-ting-te bertindak, "tjus-tjus" dua kali, ia menutuk dari djauh dan seketika
Toan Ki dan Wan-djing ditutuk roboh pingsan. Segera Tju Tan-sin mengangkat Toan
Ki dan Si Pek-hong memondong Wan-djing kedalam kamar.
Kemudian para tamu lantas disilahkan masuk kedalam istana itu dan diadakan
perdjamuan setjara meriah. Karena Siau-lim-si dipandang sebagai bintang
tjemerlang dalam dunia persilatan, maka Hui-sian Hwesio disilahkan menduduki
tempat tamu pertama oleh para kesatria itu.
Dalam perdjamuan itu Hoan Hua lalu mentjeritakan hasil karja mereka jang telah
menggali lorong dibawah tanah hingga menembus kedalam rumah batu tempat Toan Ki
dikurung serta menaruh Tjiong Ling jang mereka tawan didalam rumah itu. Sudah
tentu ia tidak mentjeritakan tentang Bok Wan-djing jang ditolong keluar sebagai
gantinja Tjiong Ling. Mendengar itu, para kesatria baru tahu duduknja perkara serta mentertawakan
Tjiong Ban-siu jang sial itu, ingin bikin malu orang, siapa duga sendjata telah
makan tuan malah. Dan oleh karena putera kesajangannja masih keratjunan, Tjing-sun mendjadi murung
dan tjoba tanja apakah sekiranja diantara hadirin itu ada jang bisa menolong.
Namun para kesatria itu hanja saling pandang dengan bingung takbisa berbuat
apa2. Pada saat itulah, dari luar masuk seorang pengawal dan menjerahkan seputjuk
surat kepada Toan Tjing-sun, katanja jang membawakan surat itu adalah seorang
dajang perempuan, didalam sampul itu katanja ada pula resep obat untuk
menjembuhkan putera pangeran jang keratjunan itu.
Sungguh kedjut dan girang Tjing-sun tak terkatakan, tjepat ia membuka sampul
surat itu dan melihat diatas setjarik kertas surat ketjil jang putih bersih itu
tertulis enam huruf ketjil jang indah: "Banjak minum susu manusia segera
sembuh." Tjing-sun mengenali tulisan itu adalah buah tangan Tjiong-hudjin, saking
guntjang perasaannja, tanpa merasa setjawan arak diatas medja telah tersampar
tumplek oleh lengan badjunja.
"Sun-te, resep apakah itu?"tanja Po-ting-te.
Tjing-sun tertegun, djawabnja dengan tergagap2: "Apa" O, kata resep ini, banjak
minum susu manusia, Ki-dji bisa segera sembuh."
Po-ting-te mengangguk, katanja: "Tiada halangannja untuk segera ditjoba. Banjak
minum susu manusia, sekalipun tidak mandjur, tentu djuga tidak berbahaja."
Segera Si Pek-hong berbangkit dan masuk kedalam istana untuk memberi peritnah
pada para abdi-dalam agar lekas2 pergi meminta susu manusia pada para ibu jang
meneteki. Para pesuruh itu memang sangat tjekatan, pula susu manusia djuga bukan barang
jang susah ditjari, maka belum lagi perdjamuan bubar, Toan ki dan Bok Wan-djing
sudah sadar kembali dari keratjunan mereka serta keluar keruangan depan untuk
menemui para tamu. Toan Ki menghaturkan terima kasihnja kepada Ui-bi-tjeng dan Hoa Hek-kin jang
telah menjelamatkan djiwanja itu. Ia menjatakan penjesalannja pula akan
terlukanja Boh-tam berenam. Tatkala itu keenam murid Ui-bi-tjeng itu masih
sangat pajah dan belum dapat bitjara, maka tjara bagaimana mereka mendjadi
begitu, bukan sadja Ui-bi-tjeng tidak tahu duduknja perkara, bahkan Toan Ki
djuga tidak mengarti kalau dirinja jang mendjadi gara2
atas malapetaka jang menimpa murid2 paderi beralis kuning itu.
Kemudian Toan Tjing-sun mengumumkan djuga bahwa Bok Wan-djing adalah puteri
angkatnja. Dalam keadaan begitu, meski Tjin Goan-tjun, Hui-sian dan lain2 saling
bermusuhan dengan gadis wangi itu, namun kini mereka mendjadi tidak enak untuk
bikin onar disitu. Apalagi dihadapan empat tokoh maha sakti seperti Po-ting-te,
ui-bi-tjeng, Toan Tjing-sun dan Ko Sing-thay, betapapun besar njali mereka djuga
tiada seorangpun jang berani berkutik.
Ditengah perdjamuan itu, para hadirin ramai mengobrol ketimur dan kebarat,
kemudian sama menghaturkan selamat pula kepada Toan Tjing-sun suami-isteri dan
Ko Sing-thay karena kedua keluarga itu telah berbesanan.
Seketika suasana tambah semarak dan ramai2 sama mengadjak angkat tjawan.
Bok Wan-djing tjoba melirik Toan ki, ia lihat pemuda itu menunduk dengan lesu,
tanpa terasa teringat olehnja waktu berduaan tinggal bersama didalam rumah batu
itu, maka iapun ikut muram durdja. Ia insaf selama hidupnja ini terang tiada
harapan untuk mendjadi isterinja Toan Ki, tapi demi mendengar pemuda itu sudah
melamar puterinja Ko Sing-thay sebagai isteri, tentu sadja ia pun berduka dan
hantjur perasaannja. Semakin memandang Ko Sing-thay, semakin gemas hatinja,
sungguh ia ingin sekali panah binasakan orang itu sebagai hukumannja mengapa
melahirkan seorang anak perempuan untuk diperisteri oleh kekasihnja itu" Tjuma
ia tahu kepandaian Ko Sing-thay terlalu lihay, untuk memanahnja tidaklah mudah,
maka panah jang sudah disiapkan dalam lengan badju itu tidak lantas dibidikan.
Ia lihat suasana perdjamuan itu semakin memuntjak riang gembiranja, ia kuatir
saking tak tahan dirinja bisa menangis seketika, hal mana tentu akan ditertawai
orang, maka segera ia berbangkit dan menjatakan kepalanja pusing, ingin kembali
kamar sadja. Habis itu, tanpa permisi lagi pada Toan Tjing-sun dan Po-ting-te,
ia terus tinggal masuk kedalam dengan tjepat.
Dengan tersenjum Tjing-sun meminta maaf kepada para hadirin atas kelakuan
puterinja jang kurang adat itu.
Tiba2 datang ber-gegas2 seorang pendjaga dan menjampaikan setjarik kartu nama
kepada Tjing-sun serta melapor: "Ko Gan-tji, Ko-siauya dari Hou-tjut-koan mohon
bertemu dengan Ongya."
Sungguh diluar dugaan Toan Tjing-sun atas kundjungan tamu jang tak diundang itu.
Ia tahu ko Gan-tji itu adalah murid pertama dari Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay,
dikalangan kangouw tjukup harum namanja sebagai pendekar jang budiman,
djulukannja adalah "Tui-hun-djiu" atau sitangan penguber njawa. Konon ilmu
silatnja sangat hebat, tapi selamanja tiada hubungan apa2 dengan keluarga Toan,
lantas untuk keperluan apa djauh2 dia datang kemari mentjari padaku"
Walaupun agak sangsi, namun Tjing-sun berbangkit djuga dan berkata:
"Kiranja Tui-hun-djiu Ko-tayhiap jang datang, aku harus menjambutnja sendiri."
Para kesatria jang hadir disitu djuga pernah mendengar namanja Ko Gan-tji,
diantaranja Hui-sian dan Kim Tay-peng malah sudah kenal, maka beramai2 mereka
lantas ikut menjambut keluar. Hanja Po-ting-te, Ui-bi-tjeng, Tjo Tju-bok dan
Tjin Goan-tjun jang tetap duduk ditempat masing2.
Kalau Po-ting-te dan ui-bi-tjeng tidak keluar menjambut adalah karena mengingat
kedudukan mereka dikalangan Bu-lim memang lebih tinggi dari orang lain,
sebaliknja Tjo Tju-bok dan Tjin Goan-tjun berdua sengadja berlaku angkuh, anggap
diri sendiri adalah tokoh utama dari sesuatu aliran tersendiri. Ko Gan-tji
dipandang mereka masih lebih rendah setingkat, betapapun tenar namanja Ko Gan-
tji djuga masih mempunjai seorang guru, jaitu Kwa Pek-whe.
Ketika Toan Tjing-sun sampai diluar, ia lihat seorang laki2 setengah umur jang
berperawakan tinggi besar sambil menuntun seekor kuda putih jang gagah sedang
menunggu didepan pintu. Laki2 itu memakai badju berkabung, wadjahnja muram,
kedua matanja merah bendul, terang sedang ditimpa kemalangan kematian sanak-
keluarganja. Melihat orang itu, segera Kim Tay-peng melangkah madju dan menjapa:
"Ko-toako, baik2kah engkau!"
Kiranja laki2 memakai badju berkabung inilah Ko gan-tji. Maka djawabnja: "
Kiranja Kim-hiante djuga berada disini."
"Atas kundjungan Ko-tayhiap, maafkan kalau Siaute tidak menjambut lebih dulu,"
demikian Tjing-sun lantas memberi hormat.
Tjepat Ko Gan-tji membalas hormat sambil merendahkan diri, diam2 ia harus
mengagumi keluarga Toan di Tayli jang tersohor bidjaksana itu, njatanja memang
bukan omong kosong. Dan sesudah saling mengutjapkan kata2 saling kagum pula, lalu Tjing-sun membawa
tamunja kedalam serta diperkenalkan kepada Po-ting-te dan lain2.
Segera Tjing-sun memerintahkan pelajan menjediakan pula satu medja untuk
mendjamu Ko Gan-tji. Namun Gan-tji menolak, katanja: "Tjayhe masih berkabung, pula ada urusan penting
lain, tjukup menerima suguhan setjangkir teh sadja!" ~
Habis itu, ia terus meneguk habis setjangkir teh jg telah disediakan, lalu
katanja pula: "Ongya, sudah lama Susiokku mondok didalam istana sini, untuk mana
Tjayhe merasa sangat terima kasih. Kini Tjayhe ada sesuatu urusan hendak bitjara
dengan beliau, sudilah Ongya mengundangnja keluar."
"Susiok dari ko-heng?" Tjing-sun menegas dengan heran. Dalam hati ia merasa
tidak habis mengerti masakan didalam istananja ada seorang tokoh Ko-san-pay
segala" Namun Ko Gan-tji berkata pula: "Susiokku itu suka ganti nama dan mondok disini
sekedar menghindari bahaja, hal mana mungkin tak berani dikatakan terus terang
pada Ongya, sungguh suatu perbuatan jang tidak pantas, maka harap Ongya jang
bidjaksana sukalah memberi maaf." ~ Berbareng ia terus memberi hormat lagi.
Sambil membalas hormat orang, diam2 Tjing-sun sedang memikir dan sesungguhnja ia
tidak ingat siapakah gerangan Susiok orang jang dimaksudkan itu"
Tiba2 Ko Sing-thay berkata kepada seorang pesuruh disampingnja: "Tjoba pergilah
kau kekamar tulis, undanglah Ho-siansing kemari, katakan bahwa Tui-hun-djiu Ko-
tayhiap sedang menunggu, ada urusan penting jang perlu dibitjarakan kepada "Kim-
sui-poa" Tjui-lotjianpwe!"
Pesuruh itu mengia dan selagi hendak bertindak masuk, tiba2 sudah terdengar dari
ruangan belakang ada suara tindakan orang jang berkelotakan, dengan langkah jang
setengah diseret, orang itu lagi berkata: "Sekali ini kau benar2 telah
hantjurkan periuk nasiku ini."
Tengah mereka heran, tertampaklah seorang kakek jang berwadjah djelek dan
berkumis tikus sedang keluar dari belakang dengan ketawa2. Setiap orang dalam
istana kenal H0-siansing adalah djurutulis rendahan merangkap pekerdjaan2
serabutan, jaitu djurutulis jang tempo hari diseret keluar oleh Toan Ki dan
diaku sebagai gurunja untuk menggoda Lam-hay-gok-sin itu.
Keruan Toan Tjing-sun terkedjut, pikirnja: "Apakah benar2 Ho-siansing inilah
Tjui Pek-khe jang dimaksudkan" Kemanakah mukaku ini harus ditaruh bahwa seorang
tokoh terkenal setiap hari berada dihadapanku, tapi aku tak mengetahuinja sama
sekali." ~ Sjukurlah dengan segera Ko Sing-thay telah dapat membuka rahasia itu
hingga para hadirin mengira Tin-lam-ong-hu sudah lama mengetahui beradanja tokoh
Ko-san-pay itu, maka Toan Tjing-sun tidak sampai kehilangan muka.
Ho-siansing itu masih tetap lutju tampaknja, setengah mabuk setengah sadar
dengan matanja jang kerijep2. Tapi demi nampak pakaian berkabung Ko Gan-tji, ia
mendjadi kaget dan menanja: "Ken?"?"?"" kenapakah kau?"
Terus sadja Ko Gan-tji melangkah madju dan mendjura kehadapan sang Susiok sambil
menangis, katanja: "Tjiu-susiok, Su?"" Suhuku telah dibin?".. dibinasakan
orang." Seketika wadjah Ho-siansing itu berubah hebat, muka jang ketawa2 tadi kontan
berubah muram dan waswas. Tanjanja kemudian dengan pelahan:
"Siapakah pembunuhnja?"
"Titdji tidak betjus, sampai sekarang belum mengetahui dengan pasti siapa musuh
pembunuh Suhu itu," demikian tutur Gan-tji dengan menangis.
"Tapi menurut taksiran, besar kemungkinan adalah orang dari keluarga Bujung."
Sekilas wadjah H0-siansing itu mengundjuk rasa djeri demi mendengar nama itu,
namun ia tjepat bisa tenangkan diri dan berkata pula dengan suara berat: "Urusan
ini harus kita bitjarakan setjara mendalam."
Semua orang merasa heran melihat sikap Tjui Pek-khe itu. Mereka tjukup kenal
nama2 Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji, namun paling achir ini Gan-tji djauh lebih
tenar daripada nama sang Susiok. Dan tentang kelihayan keluarga Bujung jang di-
sebut2 itu, mereka sama sekali tidak tahu. Hanja Po-ting-te dan Ui-bi-tjeng
telah saling pandang sekedjap, bahkan pelahan2
Ui-bi-tjeng menghela napas sekali.
Betapa telitinja Tjui Pek-khe itu, ternjata sedikit menghela napas dari Ui-bi-
tjeng itu lantas diketahui olehnja. Dengan sangat hormat tiba2 ia memberi hormat
kepada paderi itu dan berkata: "Dunia Kangouw bakal terantjam mkalapetaka, Taysu
maha welas-asih, sudilah memberi petundjuk djalan jang sempurna."
Tjepat Ui-bi-tjeng membalas hormat orang, sahutnja: "Siantjay, Lolap sudah lama
mengasingkan diri dan tidak pernah ikut tjampur urusan2 Bu-lim di Tionggoan.
Padahal tokoh sakti seperti Tjui-sitju ternjata sudah sekian tahun tinggal
didalam Tin-lam-ong-hu, sedangkan Lolap sama sekali tidak mengetahuinja,
darimana aku berani bitjara tentang urusan Kangouw lagi?"
Tjui pek-khe nampak lemas dan sedih oleh djawaban itu, katanja kepada Gan-tji: "
Ko-hiantit, tjara bagaimana tewasnja Suhengku, tjobalah kau uraikan dengan
djelas dari awal sampai achir."
"Sakit hati terbunuhnja guru senantiasa mengganggu pikiran Siautit, satu hari
sakit hati itu tak terbalas, satu hari pula Siautit akan merasa tidak enak makan
dan tidur. Maka mohon Susiok sekarang djuga sukalah berangkat, biarlah ditengah
djalan nanti Siautit akan menuturkan setjara djelas demi untuk menghemat waktu,"
demikian sahut Ko Gan-tji.
Melihat sikap sang Sutit jang ragu2 itu, Tjui Pek-khe tahu pasti Gan-tji merasa
tidak leluasa untuk bitjara terus terang karena terlalu banjak hadirin disitu.
Namun dalam hati ia sudah ambil keputusan: "Telah sekian lamanja aku mondok
didalam istana pengeran ini tanpa ketahuan djedjakku, siapa duga Ko-houya ini
sebenarnja sudah lama mengetahui samaranku.
Djikalau aku tidak meminta maaf pada Toan-ongya, itu berarti aku telah berbuat
kurang adjar pada keluarga Toan. Apalagi aku masih perlu membalas sakit hati
Suheng terhadap keluarga Bujung, untuk mana melulu tenagaku seorang terang
takkan berhasil, tapi kalau bisa mendapat bantuan dari keluarga Toan ini, pasti
kekuatan pihakku akan berbeda, untuk ini aku tidak boleh berlaku semberono."
Karena pikiran itu, mendadak ia mendjura kehadapan Toan Tjing-sun sambil
menggerung2 menangis. Hal mana tentu sadja diluar dugaan semoa orang. Tjepat Tjing-sun hendak
membangunkan orang. Tak terduga tubuh Tjui Pek-khe ternjata takbisa ditarik
naik, sebaliknja seperti terpaku dilantai, sedikitpun tidak bergeming. Diam2
Tjing-sun membatin: "Bagus kau setan arak ini, begitu lihay kepandaianmu, tapi
selama ini aku telah kau tipu." ~ Segera ia kerahkan tenaga pada kedua tangannja
dan diangkat keatas. Pek-khe tidak bertahan lagi dengan Lwekangnja, tapi lantas berdiri mengikuti
daja tarikan orang. Namun baru sadja berdiri tegak, terasalah tulang seluruh
tubuhnja se-akan2 retak, sakitnja tak terkatakan. Ia tahu Toan Tjing-sun
sengadja hendak menghadjarnja sebagai timpahan perbuatannja itu. Dasarnja
namanja adalah "Pek-khe" atau beratus akal, dan memang otaknja benar2 tjerdas.
Ia pikir bila mengerahkan tenaga untuk melawan, tentu rasa dongkol Tin-lam-ong
itu akan selalu dipendam, boleh djadi malah akan mentjurigai dirinja sengadja
menjelundup kedalam istana pengeran dengan muslihat tertentu.
Sebab itulah, ia antapi dirinja digentjet oleh tenaga dalam orang terus
mendjatuhkan diri duduk kelantai sambil berseru: "Aduh!"
Tjing-sun tersenjum puas dan menarik bangun orang, ketika tangan menempel tubuh
Tjui Pek-khe, sekalian ia hapuskan rasa sesak dalam badan orang dengan
Lweekangnja. "Tin-lam-ongya," kata Pek-khe kemudian, "karena didesak musuh, terpaksa pek-khe
dengan tidak malu2 berlindung dibawah pengaruh Ongya dan beruntung dapat hidup
sampai harini. Untuk mana Pek-khe tidak pernah mengaku terus-terang pada Ongya,
maka sangat mengharapkan kemurahan hati Ongya untuk memaafkan perbuatanku jang
lantjang ini." "Ah, Tjui-heng suka merendah diri sadja," tiba2 Ko Sing-thay menjela sebelum
Toan Tjing-sun mendjawab. "Sudah lama Ongya mengetahui asal-usulmu, tjuma Ongya
sengadja tidak mau bikin malu Tjui-heng. Djangankan Ongya sudah tahu, orang2
lain djuga banjak jang tahu. Misalnja tempo hari waktu Toan-kongtju menerima
tantangan Lam-hay-gok-sin itu, bukankah Tjui-heng jang telah diseretnja keluar
untuk diaku sebagai gurunja" Sebab Toan-kongtju memang tahu, hanja Tjui-heng
sadja jang mampu menandingi iblis itu."
Padahal tempo hari hanja setjara kebetulan sadja Toan Ki telah menjeret keluar
Tjui Pek-khe untuk diaku sebagai gurunja, sebab diantara penghuni istana itu,
hanja wadjah Tjui Pek-khe jang paling djelek dan lutju, makanja diseret keluar
untuk emnggoda Lam-hay-gok-sin. Namun kini bagi pendengaran Tjui Pek-khe,
kedjadian mana dapat dipertjajainja penuh seperti apa jang dikatakan Ko Sing-
thay itu. Lalu Sing-thay melandjutkan lagi: "Dasarnja Ongya memang suka bergaul,
djangankan Tjui-heng memang tiada maksud djahat terhadap negeri Tayli kami,
sekalipun ada, tentu djuga Ongya jang bidjaksana ini akan melajani engkau dengan
segala kebesaran djiwanja. Maka tidak perlu Tjui-heng banjak adat lagi." ~


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dibalik kata2nja ini se-akan2 hendak menjatakan bahwa sjukurlah selama ini
kelakuanmu tidak mengundjukan sesuatu tanda mentjurigakan, kalau ada, tentu
sudah lama kau dibereskan.
"Namun demikian, apa maksud Pek-khe berlindung didalam Onghu, pada sebelum aku
mohon diri, sudah sepantasnja kudjelaskan dulu, kalau tidak, rasanja terlalu
tidak djudjur," demikian kata Tjui Pek-khe. "Tjuma urusan ini banjak pula
menjangkut nama orang lain, maka Tjayhe terpaksa mesti bitjara setjara terus
terang." "Ah, rasanja Tjui-heng tidak ter-gesa2, soal sakit hati adalah sangat penting,
maka biarlah dirundingkan pelahan2 nanti setelah kita selesaikan perdjamuan
ini," udjar Tjing-sun.
Mendengar pertjakapan itu, para hadirin adalah kesatria2 Kangouw jang kenal adat
semua. Maka tjepat2 mereka selesaikan makan-minum itu, lalu sama mohon diri.
Terhadap kawan2 sesama Kangouw, biasanja tangan Tjing-sun sangat terbuka, maka
begitu para tamu hendak mohon diri, segera ada pelajan menjediakan hadiah2 dan
Tjing-sun sendiri jang menjampaikan kepada masing2 tetamu itu. Terhadap tamu2
dari djauh seperti Kim Tay-peng, Su An dan lain2 malah diberi bekal sangu pula.
Dengan tanpa rikuh2 para ksatria itu terus menerima djuga semua pemberian itu
serta menghaturkan terima kasih pada tuan rumah.
Tengah bitjara, tiba2 diluar pintu terdengar suara sabda Budha jang njaring: "O-
mi-to-hud!" Suara itu tidak keras, tapi terdengar sangat djelas seperti diutjapkan
berhadapan sadja. Karuan semua orang terkedjut.
Harus diketahui bahwa istana pengeran itu sangat luas, dari pintu gerbang sampai
diruangan pendopo itu djaraknja ada berpuluh tombak djauhnja, ditengahnja banjak
teraling pula oleh dinding dan pintu lain.
Maka dapat diduga bahwa ilmu "Djian-li-thoan-im" atau mengirim suara dari djarak
ribuan li, jang dimiliki orang diluar itu sesungguhnja sudah mentjapai tingkatan
sangat tinggi. Tjing-sun dapat mendengar bahwa ilmu mengirim suara dari djauh itu adalah dari
aliran Siau-lim-pay, maka ia lantas menegur: "Paderi sakti Siau-lim jang manakah
telah sudi berkundjung kemari, maafkan kalau Toan Tjing-sun tidak menjambut
sebelumnja!" ~ Sembari berkata, segera ia bertindak keluar untuk menjambut.
Sampai diluar, tertampaklah seorang Hwesio kurus kering, berusia antara 50-an,
sedang berdiri disitu. Melihat Tjing-sun, paderi itu lantas merangkap tangan
memberi salam dan berkata: "Phintjeng Hui-tjin dari Siau-lim-si memberi hormat
pada Toan-ongya." Tengah Tjing-sun membalas hormat orang, dari belakang Hui-sian sudah menjusul
tiba dan segera menegur dengan heran: "He, Suheng, engkau djuga datang ke Tayli
sini?" Melihat sang Sute, tiba2 mata Hui-tjin lantas merah memberambang, sahutnja
dengan pedih: "Sute, Suhu sudah wafat!"
Meski sudah mendjadi murid Budha, namun sifat Hui-sian masih mudah terguntjang,
demi mendengar berita buruk itu, terus sadja ia berlari madju memegang tangan
sang Suheng sambil menegas dengan suara gemetar:
"Bet?" betulkah katamu?" ~ Dan belum lagi Hui-tjin mendjawab, air matanja sudah
lantas ber-linang2. "Tidak beruntung kami sedang dirundung malang,maka kami telah berlaku kurang
adat dihadapan Ongya, hendaklah Ongya djangan mentertawai,"
demikian pinta Hui-tjin. "Ah, kenapa Taysu berlaku sungkan2," tjepat Tjing-sun mendjawab. Diam2
iapun membatin: "Guru dari Hui-sian dan Hui-tjin ini adalah Hian-pi Taysu jang
kabarnja sangat hebat ilmu silatnja, djika demikian, djago Siau-lim-pay jang
terkemuka kini telah hilang satu lagi."
Lalu terdengar Hui-sian menanja pula dengan suara parau: "Sakit apakah Suhu
hingga menewaskan beliau" Bukankah selamanja kesehatan beliau sangat baik?"
Melihat didepan istana itu ramai orang berlalu-lalang, banjak kesatria2
Bu-lim jang pergi-datang, maka Hui-tjin berkata pula: "Ongya, Phintjeng
diperintahkan Tjiangbun Supeh untuk menjampaikan surat kepada Ongya sendir serta
Hongya (baginda radja)."
Habis berkata, ia lantas mengeluarkan satu buntalan kertas minjak, ia buka ber-
lapis2 kertas itu dan akhirnja tampaklah seputjuk surat dengan sampul warna
kuning dan segera diserahkan kepada Toan Tjing-sun.
"Kebetulan Hong-heng berada didalam sini, marikah Tjayhe memperkenalkan Taysu
kepadanja," kata Tjing-sun. Segera ia membawa Hui-tjin dan Hui-sian kedalam.
Tatkala itu Po-ting-te sudah undurkan diri dan sedang istirahat diruangan dalam
sambil minum dan mengobrol dengan Ui-bi-tjeng. Melihat datangnja Hui-tjin,
segera mereka berbangkit untuk menjambut.
Setelah Tjing-sun menjerahkan sampul surat jang diterimanja tadi, Poting-te
lantas membuka dan membatjanja. Ia lihat awal surat ini penuh tertulis kalimat2
jang menjatakan kekaguman serta pudjian2 atas nama keluarga Toan mereka,
kemudian ketika sampai pada soal pokok, surat itu menjatakan bahwa Bu-lim bakal
tertimpa malapetaka, maka diharapkan tjampur tangan kedua saudara Toan itu demi
menjelamatkan dunia persilatan umumnja, tentang hal2 jang lebih djelas supaja
tanja kepada Hui-tjin jang membawa surat itu. Penanda tangan surat itu adalah
Tjiangbun Hong Tiang dari Siau-lim-si, Hian-tju.
Po-ting-te membatja habis surat itu sambil berdiri sebagai tanda hormat kepada
Siau-lim-si. Sedang Hui-tjin dan Hui-sian djuga ikut berdiri dengan laku sangat
hormat disamping. Kemudian Po-ting-te mulai berkata: "Silahkan kedua Taysu duduk. Djika Siau-lim
Hongtiang ada panggilan, sebagai sesama orang Bu-lim, asal dapat, tentu aku akan
menurut dan berusaha sekuat tenaga."
Tiba2 Hui-tjin berlutut kehadapan Po-ting-te dan mendjura pula sambil menangis
sedih sekali. Melihat kelakuan sang Suheng itu, meski bingung, mau-tak-mau Hui-
sian ikut berlutut djuga, tjuma tidak mendjura.
Melihat paderi Siau-lim-si itu mendjalankan penghormatan sebesar itu padanja,
diam Po-ting-te merasa urusan agak gandjil, pikirnja: "Djago Siau-lim-si
banjaknja susah dihitung, urusan besar apakah jang takbisa diselesaikan mereka
sendiri hingga perlu meminta bantuanku setjara sungguh2 begini?"
Segera iapun membangunkan Hui-tjin berdua dan berkata pula: "Sesama kaum Bu-lim,
aku tidak berani menerima penghormatan setinggi ini."
"Suhuku tewas sitangan orang she Bujung dari Kohsoh, melulu tenaga Siau-lim-pay
kami rasanja susah membalas sakit hati itu, maka Hongya dimohon sudi tampil
kemuka untuk memimpin situasi jang gawat dalam Bu-lim itu," demikian pinta Hui-
tjin dengan menangis. Kembali mendengar nama "Bujung" disebut, wadjah Po-ting-te rada berubah.
Sebaliknja Hui-sian lantas berteriak sambil menangis: "Djadi Suhu telah
dibinasakan musuh itu, Suheng, marilah kita adu djiwa dengan mereka!"
"Sute", sahut Hui-tjin dengan menarik muka, "dihadapan Hongya, hendaklah kau
bisa berlaku tenang".
Perawakan Hui-tjin kurus ketjil, sebaliknja Hui-sian tinggi kekar, namun takut
djuga dia terhadap sang Suheng, karena tjomelan itu, ia tidak berani buka suara
lagi, tapi masih tetap ter-guguk2 menangis pelahan.
"Silahkan kalian duduk dulu untuk bitjara lebih landjut," kata Po-ting-te
kemudian. "Lebih 20 tahun jang lalu, aku djuga pernah mendengar bahwa di Koh-soh
ada seorang tokoh she Bujung, lengkapnja bernama Bujung Bok.
Dia pernah mengatjau ke Siau-lim-si, apakah sekarang djuga orang itu jang
berbuat?" Dengan mengertak gigi saking gemasnja, Hui-tjin mendjawab: "Siautjeng tjuma tahu
musuh memang she Bujung, namanja apa, itulah kurang djelas."
"Siau-lim-pay adalah suatu aliran tertinggi dikalangan Bu-lim, didjagat ini
siapa jang tidak tunduk pada nama kebesarannja, gurumu Hian-pi Taysu djuga sudah
mentjapai puntjaknja melatih Lwekang dan Gwakang, sebagai seorang Tjut-kehlang
(penganut agama), biasanja ia tidak pernah bermusuhan dengan orang, mengapa kini
bisa dibunuh orang lain?"
Maka menuturlah Hui-tjin dengan air mata ber-linang2: "Suatu hari, selagi
Siautjeng duduk semadhi dikamar sendiri, tiba2 Siautjeng dipanggil Hongtiang
Supeh, sampai disana, djenazah Suhu sudah tampak tertaruh disitu. Kata Supek
djenazah Suhu itu diketemukan orang kampung dikaki gunung, karena dikenal
sebagai paderi Siau-lim-si, segera ada jang mengirim kabar kegeredja, sebab
itulah, tjara bagaimana Suhu ditewaskan musuh dan siapa nama dan tjorak
pembunuhnja, sampai sekarang belum djelas diselidiki."
Ui-bi-tjeng jang sedjak tadi hanja mendengarkan sadja, kini tiba2
menjela: "Bukankah tewasnja Hian-pi Taysu disebabkan dadanja terkena serangan
'Kim-kong-tjo'?" Hui-tjin terkedjut, tjepat tanjanja: "Dugaan Taysu memang tepat, entah
dari......... dari mana Taysu mengetahuinja?"
"Sudah lama kudengar ilmu 'Kim-kong-tjo' dari Hian-pi Taysu adalah terhitung
salah satu ilmu tunggal jang tiada tandingnja diBu-lim, siapa jang terkena
serangan itu, semua tulang iganja akan patah remuk. Ilmu silat demikian memang
lihay sekali, namun sesungguhnja agak terlalu ganas, tidaklah sesuai untuk
dipeladjari oleh kaum Budha kita.''
"Ja, benar, kepandaian begitu sesungguhnja terlalu ganas," tiba2 Toan Ki ikut
menimbrung. Mendengar guru mereka dikritik Ui-bi-tjeng, memangnja Hui-tjin dan Hui-sian
sudah kurang senang, tapi betapapun djuga orang terhitung paderi saleh angkatan
tua, mereka tjuma mendongkol dalam batin sadja. Kini mendengar pemuda hidjau
seperti Toan Ki djuga ikut2 mengotjeh, tanpa merasa mereka sama melototi pemuda
itu. Namun Toan Ki anggap tidak lihat sadja dan tak gubris.
"Darimana Suheng bisa mengetahui Hian-pi Taysu ditewaskan oleh ilmu
'Kim-kong-tjo'?" tiba2 Tjing-sun ikut bertanja.
Ui-bi-tjeng menghela napas, sahutnja: "Ketua Siau-lim-si, Hian-tju Taysu, begitu
melihat djenazah Sutenja, beliau lantas menduga pasti pembunuhnja adalah
keluarga Bujung dari Koh-soh. Toan-djite, orang2 she Bujung itu terkenal
menggunakan utjapan: 'dengan kepandaiannja, gunakan diatas dirinja'. Pernah kau
dengar tidak ungkapan itu."
Tjing-sun menggeleng kepala tanda tidak tahu.
Kemudian Ui-bi-tjeng mengulangi ungkapan kata2 tersohor dari keluarga Bujung
itu, mendadak terkilas rasa djeri pada wadjahnja. Po-ting-te dan Toan Tjing-sun
sudah kenal dengan paderi itu selama berpuluh tahun lamanja, tapi selama itu
tidak pernah melihat dia mengundjuk rasa djeri seperti sekarang. Seperti waktu
paderi itu melawan Yan-king Thaytju setjara mati2-an, meski sudah terang hampir
keok, namun dalam keadaan terdesak itu, sedikitpun ia tidak nampak kuatir,
bahkan tetap bersikap tenang sewadjarnja. Tapi kini belum lihat musuhnja sudah
mengundjuk rasa djeri, maka dapat dibajangkan pihak lawan sesungguhnja bukan
orang sembarangan. Untuk sedjenak keadaan ruangan itu mendjadi hening lelap, selang sebentar,
pelahan2 Ui-bi-tjeng mulai berkata lagi: "Lotjeng mendengar bahwa didunia ini
memang ada seorang tokoh kelas satu bernama Bujung Bok.
Ia sengadja memakai nama 'Bok' (luas), dengan sendirinja ilmu silatnja pasti
sangat luas pejakinannja. Agaknja tidak peduli sesuatu ilmu tunggal jang lihay
dari setiap aliran dan golongan Bu-lim jang manapun pasti dipeladjarinja dengan
masak, bahkan djauh lebih mahir daripada pemiliknja sendiri. Dan jang paling
aneh, setiap kali ia hendak membinasakan lawannja, tentu dia gunakan ilmu silat
andalan dari sang korban itu untuk membunuhnja."
"Ini sungguh susah dimengerti," Toan Ki ikut berkata. "Padahal didunia ini ada
sekian banjak ilmu silat jang ber-beda2, masakah dia dapat mempeladjarinja
dengan lengkap?" "Apa jang dikatakan Toan-kongtju ada benarnja djuga," sahut Ui-bi-tjeng, ilmu
adalah sesuatu jang tiada batasnja, tjara bagaimana orang bisa lengkap
mempeladjarinja semua" Akan tetapi musuh Bujung Bok itu memangnja sangat banjak
dan untuk membalas dendam, sebelum dia mahir mempeladjari ilmu andalan musuh
jang diintjar untuk membinasakannja, dia tidak sembarangan mau turun tangan".
"Ja, akupun pernah mendengar ada seorang tokoh aneh seperti itu di Tionggoan,"
kata Po-ting-te. "Lok-si-samhiong (tiga djago she Lok) dari Hopak mahir
menggunakan Hui-tjui (gurdi terbang), tapi achirnja mereka bertiga tewas semua
terkena Hui-tjui jang mereka andalkan itu. Tjiang-hi Todjin dari Soatang bila
membunuh orang suka memotong dulu anggota badan musuh biar merintih2 setengah
harian, baru dibinasakan olehnja. Tapi Tjiang-hi Todjin sendiri achirnja djuga
mengalami nasib seperti kesukaannja itu, sebabnja Bujung Bok menggunakan.
Ungkapan 'memakai kepandaiannja, digunakan atas dirinja'. itu djusteru tersohor
dari mulutnja Tjiang-hi Todjin itu." ~ Ia merandek sedjenak, lalu menjambung
pula: "Waktu itu, ditengah pasar Tjelam, entah betapa banjak orang merubungi
Tjiang-hi Todjin jang menggeletak ditanah sambil berteriak merintih kesakitan
itu." ~ Bitjara sampai disini, lapat2 terbajang pula olehnja keadaan diwaktu
adjalnja Tjiang-hi Todjin jang mengerikan itu, maka wadjahnja menampilkan rasa
kurang senang pada orang jang membunuh orang setjara kedjam itu.
Tiba2 Tjing-sun djuga ingat sesuatu, katanja: "Djika begitu, gurunja Ko-tayhiap,
Kwa Peh-hwe, kabarnja mahir menggunakan tjambuk, diwaktu membunuh musuh sering
menggunakan tjambuknja untuk melilit leher lawan hingga sesak napasnja dan
achirnja mati. Djangan2 dia............
dia............" ~ tiba2 ia berhenti, ia memanggil seorang pelajan dan memberi
perintah: "Pergilah kebelakang mengundang Tjui-siansing dan Ko-tayhiap kesini,
katakan aku ingin berunding dengan mereka".
Pelajan itu mengia, tapi tampak ragu2 dan tidak lantas bertindak pergi.
Maka dengan tertawa Toan Ki berkata: "Tjui-sian Sing itu sama dengan Ho-siansing
sidjurutulis kantor itu."
Mendengar pendjelasan itu, pelajan itu mengia dan segera bertindak kebelakang.
Maka tidak lama, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji sudah diundang keluar.
"Ko-tayhiap," segera Tjing-sun bitjara, "...ada sesuatu pertanjaan Tjayhe, lebih
dulu harap dimaafkan."
"Ongya tidak usah sungkan2, katakanlah," sahut Gan-tji. "Tolong tanja, gurumu
Kwa-lotjianpwe itu sebab apa ditewaskan orang" Apakah karena terluka oleh
sendjata atau terkena pukulan dan tendangan?" tanja Tjing-sun.
Mendadak wadjah Ko Gan-tji berubah merah djengah, setelah ragu2
sedjenak, achirnja ia mendjawab: "Guruku djusteru tewas........... tewas dibawah
serangan tjambuk dengan tipu 'Leng-tjoa-sian-keng' (ular gesit melilit leher)".
Mendengar keterangan itu, tanpa merasa Po-ting-te, Toan Tjing-sun, Ko Sing-thay
dan lain2 saling pandang sekedjap dengan terkesiap.
Tiba2 Hui-tjin melangkah madju kehadapan Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji, ia memberi
hormat dengan merangkap tangan, lalu berkata: "Ternjata Siautjeng berdua saudara
mempunjai musuh jang sama dengan kalian berdua, pabila manusia she Bujung dari
Koh-soh itu tak dihantjurkan............"
berkata sampai disini ia mendjadi ragu2 apakah sudah jakin pasti dapat membasmi
musuh jang lihay itu, namun achirnja ia kertak gigi dengan penuh dendam, lalu
melandjutkan: "Ja, pendek kata Siautjeng sudah bertekad mengadu djiwa dengan
dia!" "Djadi............ djadi Siau-lim-pay djuga
sudah mengikat permusuhan dengan orang Bujung dari Koh-soh itu?" tanja Ko Gan-
tji dengan mengembeng air mata.
Hui-tjin mengangguk, lalu iapun mentjeritakan dengan ringkas tjara bagaimana
gurunja telah binasa dibawah tangan orang Bujung itu.
Melihat Ko Gan-tji penuh rasa dendam dan berduka, sebaliknja sikap.
Tjui Pek-khe tampak lesu, kepala menunduk dan bungkam sadja, se-akan2
sakit hati sang Suheng jang terbunuh itu sama sekali tak terpikir olehnja, diam2
Po-ting-te merasa heran perbedaan sikap kedua tokoh Kosan-pay itu.
Watak Hui-sian paling tegas dan djudjur, melihat sikap Tjui Pek-khe jang atjuh-
tak-atjuh itu, tak tahan lagi, ia lantas menegur: "Tjui-siansing, kenapa engkau
diam sadja" Apakah engkau takut pada manusia she Bujung itu?"
"Sute, djangan kurang sopan!" tjepat Hui-tjin membentak.
Harus diketahui bahwa sesudah Kwa Pek-hwe meninggal dengan sendirinja Tjui Pek-
khe sudah mendjadi ketua Ko-san-pay jang sekarang. Sedangkan Kosan-pay adalah
tetangga daripada Siau-lim-si. Sebabnja dahulu tjakal-bakal Ko-san-pay dapat
tantjap kaki dan mendirikan partainja itu disamping Siau-lim-pay sudah tentu
orangnja mempunjai sesuatu ilmu kepandaian tersendiri jang lain dari jang lain.
Apalagi nama Kwa Pek-hwe dan Ko Gan-tji paling achir ini sangat tersohor
dikalangan Bu-lim, dengan sendirinja deradjat Tjui Pek-khe dalam dunia
persilatan djuga tidak boleh dipandang rendah.
Tak tersangka, meski ditegur dengan utjapan jang agak menghina, namun Tjui Pek-
khe malah tjelingukan kesana dan kesini seperti maling kesiangan se-akan2 ada
jang sedang mengubernja, sikapnja itu penuh mengundjuk rasa sangat ketakutan.
Tiba2 Ui-bi-tjeng berdehem pelahan sekali, lalu berkata: "Apakah orang
itu............" Baru tertjetus kata2 ...orang itu" dari mulut paderi itu, se-konjong2
Tjui Pek-khe bergemetar dan melompat kelabakan hingga sebuah medja teh
disampingnja tersampar dan terdjungkir balik dengan mangkok dan tjangkir petjah
berantakan. Setelah tenangkan diri dan melihat sorot mata semua orang ditjurahkan kearahnja,
wadjah Tjui Pek-khe mendjadi merah djengah, tjepat katanja dengan gugup:
"Ma........maaf, ma .........


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maafkan!" Mau-tidak-mau Ko Gan-tji mengkerut kening djuga melihat kelakuan sang
Susiok jang takbisa dipudji itu, segera ia membantu membersihkan petjahan
mangkok dan tjangkir itu.
Diam2 Toan Tjing-sun bersungut djuga sungguh tak tersangka olehnja bahwa Tjui
Pek-khe itu ternjata adalah seorang jang demikian penakutnja.
Segera ia berkata pada Ui-bi-tjeng: "Suheng, apa jang hendak engkau katakan?"
"Orang itu .............." Ui-bi-tjeng menghirup setjengguk teh dulu, lalu
menjambung dengan kalem: "aku maksudkan Bujung Bok itu, apakah i rang itu pernah
dilihat oleh Tjui-sitju?"
Mendengar nama "Bujung Bok", mendadak Tjui Pek-khe mendjerit kaget sambil
memegangi medja, sahutnja dengan suara gemetar: "O, ti
............ tidak............ tidak pernah melihatnja."
Melihat sikap orang jang pengetjut itu, segera Hui-sian ikut berteriak:
"Sebenarnja Tjui-siansing pernah melihat Bujung Bok atau tidak?"
Tjui Pek-khe ter-mangu2 memandang djauh kedepan seperti orang kehilangan sukma.
Sampai agak lama baru dia mendjawab dengan suara gelagapan.
"Ti.........tidak........ eh........... eh.......... seperti ti......... tidak
pernah melihatnja. Tjing-sun dan lain2 meng-geleng2 kepala melihat kelakuan tokoh Ko-san-pay itu,
Diam2 Ko Gan-tji djuga merasa malu, sungguh tak tersangka olehnja bahwa sang
Susiok jang biasanja sangat dihormatinja itu ternjata membikin malu sadja
didepan orang banjak. "Lotjeng sendiri pernah djuga mengalami suatu kedjadian, biarlah kutjeritakan
agar bisa dibuat bahan pertimbangan para hadirin," demikian kata Ui-bi-tjeng.
"Peristiwa itu terdjadi pada 43 tahun jang lalu.
Tatkala itu usiaku masih muda, tenaga kuat, belum lama berkelana dikangouw,
namun sedikit2 djuga sudah terkenal. Sungguh waktu itu aku seperti anak banteng
jang tidak kenal harimau, belum kenal apa artinja takut, aku merasa didunia ini
ketjuali guruku tiada orang lain lagi jang kepandaiannja bisa lebih tinggi
dariku. "Tahun itu aku mengawal seorang pembesar negara jang dipensiun kembali kekampung
halamannja bersama keluarganja. Ditengah djalan aku telah ditjegat oleh empat
begal besar. Tudjuan begal2 itu ternjata bukan harta, tapi begitu madju lantas
hendak menggondol puteri kesajangan pembesar itu. Sebagai pemuda jang berdarah
muda, sudah tentu aku tidak bisa mengampuni perbuatan mereka, sekali menjerang
aku lantas gunakan tipu ganas, dengan Kim-kong-tji aku telah membinasakan
keempat begal itu, setiap orang kututuk diulu hatinja, tanpa mendjengek
sedikitpun mereka lantas menggeletak mampus.
"Dan pada saat itulah, kudengar suara derapan kuda jang berdctak2, ada dua
penunggang keledai tampak lewat disampingku. Dasar watak muda, waktu itu aku
sedang mengobral makian pada begal2 jang tidak kenal selatan itu dan sedang
membual dihadapan pembesar jang kukawal itu tentang betapa lihaynja Kim-kong-tji
jang mendjadi andalanku itu, kataku, biar musuh datang lagi sepuluh atau
duapuluh djuga akan kubinasakan satu-persatu dengan Kim-kong-tji, "Tiba2
kudengar salah seorang penunggang keledai itu mendengus sekali, suaranja seperti
kaum wanita, tapi nada dengusan itu penuh mengundjuk rasa hina dan memandang
rendah. Waktu aku menoleh, kiranja penunggang2 keledai itu masing2 adalah
seorang wanita muda jang tjantik, usianja sekitar 32 atau 33 tahun, dan seorang
lagi adalah satu anak ketjil berumur 12-13 tahun jang bermuka putih bersih
menjenangkan. Kedua orang itu sama2 memakai pakaian berkabung warna putih. Kudengar sianak
sedang berkata pada wanita muda itu: "Mak, apanja jang hebat Kim-kong-tji itu,
huh, dasar tukang membual!"
Adapun asal-usul Ui-bi-tjeng sendiri, ketjuali Po-ting-te berdua saudara, orang
lain tiada jang tahu. Tapi ketika dia menggunakan tenaga djari Kim-kong-tji
untuk menggores batu melawan Yan-king Thaytju di Ban-djiat-kok tempo hari,
kedjadian itu telah disaksikan orang banjak serta sudah menggemparkan kalangan
Bu-lim, terutama mengenai Kim-kong-tji-lik jang lihay luar biasa itu. Maka kini
demi mendengar tjeritanja tentang utjapan botjah itu, mereka sama menganggap
anak ketjil itu suka mengotjeh tak karuan sadja.
Tak tersangka Ui-bi-tjeng lantas menghela napas, lalu menjambung tjeritanja:
"Tatkala itu meski aku merasa mendongkol sesudah mendengar utjapan itu, tapi aku
lantas pikir otjehan seorang botjah ingusan buat apa mesti ditjetjokan. Maka aku
hanja mendelik sekali sadja pada anak itu dan tidak menggubris padanja.
Siapa duga wanita muda berbadju putih itu lantas mcngomeli anak itu: Kim-kong-
tji' orang ini adalah adjaran asli dari Tat-mo-ih di Hokkian Siau-lim-si,
sedikitnja sudah ada tiga bagian tjukup masak. Anak ketjil tahu apa" Umpama kau
djuga tidak sedjitu djarinja itu.' ~ Sudah tentu aku tambah kaget dan gusar
pula. Padanal asal-usul perguruanku djarang diketahui orang Kangouw, tapi njonja
muda ini dengan djitu sudah dapat membuka rahasia diriku. Sedang aku punja Kim-
kong-tji dikatakan tjuma mentjapai tiga bagian masak, sudah tentu aku tidak
terima. Ai, sesungguhnja waktu itu aku sendirilah jang masih hidjau, tiga bagian
masak bagiku sebenarnja masih berlebihan, tapi dalam gusarku segera aku
membentak: 'Siapakah she njonja jang terhormat ini" Djika merasa Kim-kong-tji-
lik Tjayhe masih tjetek, marilah tjoba2 memberi petundjuk barang sedjurus-dua"'
"Njonja itu tidak menjahut, sebaliknja anak ketjil itu segera tahan keledainja
terus hendak mendjawab. Namun mata njonja itu tiba2
memberambang dan mengembeng air mata, katanja: 'Pesan apa jang ditinggalkan
ajahmu sebelum wafat" Masakan segera sudah kau lupakan"' -
Anak ketjil itu mendjawab: 'Ja, anak tidak berani melupakannja.' - Habis itu,
keledai mereka lantas dikeprak kedepan dengan tjepat.
"Tapi semakin dipikir, aku semakin penasaran karena sudah di-olok2.
Segera aku melarikan kuda menjusul mereka sambil berseru 'Hail Kau berani
sembarangan mengotjeh untuk mengritik ilmu silat orang, tanpa tjoba2 dulu barang
beberapa djurus, lantas hendak menggelojor pergi begini sadja"' ~
Kuda tungganganku adalah kuda pilihan, maka dalam sekedjap aku sudah melampaui
dan mengadang dihadapan mereka. 'Lihatlah, karena otjehanmu, orang telah marah,'
demikian njonja itu mengomeli anaknja. Rupanja botjah itu sangat penurut dan
berbakti pada orang tua, ia tidak berani memandang padaku lagi. Dan karena
melihat mereka djeri padaku, kupikir tidaklah pantas kalau aku mesti berkelahi
dengan anak ketjil dan wanita, kenapa aku tjetjok urusan sepele dengan mereka"
Tapi kalau mendengar nada utjapan njonja itu tadi, agaknja anak itupun mahir
Kim-kong-tji-lik. Padahal ilmu ini sudah 20 tahun kulatih dengan djerih-pajah, masakah anak
seketjil itu djuga bisa" Ah, tentu bualan belaka! Karena pikiran itu, aku
membentak pula: 'Baiklah, harini biar kulepaskan kalian, tapi selandjutnja kalau
bitjara hendaklah hati2.'
"Njonja muda itu masih tetap tidak memandang sekedjappun padaku, katanja pada
anaknja: 'Nah, apa jang dikatakan paman ini memang benar, selandjutnja kalau kau
bitjara harus hati2!' - Dan djika urusan diachiri sampai disitu sadja, bukankah
kedua pihak sama2 tidak kehilangan muka"
Tapi waktu itu aku masih berdarah muda, ketika aku menarik kuda minggir
kesamping djalan, segera njonja itu keprak keledainja djalan lebih dulu.
Waktu anak itupun keprak keledainja lewat didepanku, dengan tertawa aku ajun
tjambuk menjabet kebokong keledainja sambil berkata: "Tjepat sedikit!"
"Sungguh tak terduga, ketika tjambukku masih djauh dari bebekong keledai orang,
tiba2 terdengar suara 'tjus' sekali, tahu2 anak itu menoleh dan tenaga djarinja
lantas menjamber dari djauh, kontan tjambukku patah mendjadi dua." Sungguh
kagetku bukan buatan. Aku menaksir kalau bitjara tentang tenaga djari, sekali2
aku tidak mampu menandingi anak itu. Tiba2 terdengar njonja muda tadi berkata
djuga: 'Sekali sudah turun tangan, djangan kepalang tanggung lagi!' - Anak itu
mengiakan terus melompat turun dari keledainja, tanpa bitjara lagi ia atjungkan
djarinja terus menutuk kebetis kakiku.
"Perlu diketahui bahwa tubuh anak itu ketjil pendek, pula aku menunggang kuda,
maka djarinja tjuma bisa mentjapai betis kaki sadja.
Tapi gerak serangannja ternjata sangat bagus dan memang benar2 adalah Kim-kong-
tji tulen. Tjepat akupun melompat turun, sedikitpun aku tidak berani ajal dan
menempurnja dengan Kim-kong-tji.
"Dan sesudah bergebrak, semakin lama semakin djeri hatiku. Ilmu djari anak itu
belum dapat dikatakan mahir betul, bahkan terkadang tampak salah menggunakannja,
namun dimana tenaga djarinja sampai, suaranja sungguh mengedjutkan, maka aku
tidak berani menangkisnja berhadapan. Kira2 sampai djurus kesembilan, 'tjus',
terasalah dada-kiriku sakit, tenagakupun hilang semua seketika."
Bitjara sampai disini, pelahan2 Ui-bi-tjeng membuka djubahnja hingga tertampak
tulang iganja jang ber-derek2 kurus itu. Semua orang mendjadi kaget demi melihat
keadaan dada paderi itu. Ternjata tepat diatas djantung didada kiri terdapat
sebuah lubang sedalam dua-tiga senti. Meski lubang bekas luka itu sudah sembuh,
tapi dapat dibajangkan betapa parahnja luka itu dahulu. Anehnja, meski luka itu
terang begitu dalam dan tepat ditempat djantung, toh paderi itu tidak tewas dan
masih hidup sampai sekarang.
Tapi Ui-bi-tjeng lantas tundjukan dada sebelah kanan dan berkata:
"Tjoba silahkan lihat!"
Ternjata dada kanan paderi itu tampak ber-gerak2 terus. Baru sekarang semua
orang tahu bahwa pembawaan tubuh paderi itu ternjata berbeda daripada manusia
umumnja Djantungnja djusteru terletak didada kanan dan tidak disebelah kirinja.
Makanja kena serangan separah itu toh orangnja tidak mati.
Setelah Ui-bi-tjeng mengenakan kembali djubahkan, kemudian katanja pula: "Orang
jang djantungnja tumbuh didada sebelah kanan, umumnja djarang terdapat. Ketika
anak itu melihat aku tidak terbinasa oleh tutukannja itu, segera ia melompat
mundur dengan ter-heran2. Sebaliknja melihat darah mengutjur dari dadaku,
kusangka djiwaku takbisa diselamatkan, aku mendjadi nekad dan memaki:"Bangsat
tjilik, katanja kau mahir Kim-kong-tji, tapi, hm, adakah Kim-kong-tji dari Tat-
mo-ih sudah melukai lawannja, namun orangnja tidak lantas binasa"' - Segera anak
itu melompat madju hendak menjerang aku pula. Tatkala itu aku sudah lemas
dan takbisa melawannja lagi, terpaksa tinggal menunggu adjal sadja. Tak
tersangka tjambuk sinjonja muda itu lantas bekerdja dan dengan pelahan pinggang
anaknja telah dililit terus ditarik kembali dan didudukan diatas keledainja
lagi. Dalam keadaan kesima lapnt2 aku hanja mendengar njonja itu sedang
mengomeli anaknja: 'Keluarga Bujung dari Koh-soh masakah mempunjai keturunan tak
betjus seperti kau ini" Djika Kim-kong-tjimu belum terlatih
sempurna, tidak boleh kau membunuhnja lagi. Biar aku menghukum kau dalam tudjuh
hari............ - Dan hukuman apa sebenarnja dalam tudjuh hari itu, karena aku
lantas djatuh pingsan, maka tidak dapat mendengar lagi.''
"Taysu," tiba2 Kim-suipoa Tjui Pek-khe bertanja, "kemudian... kemudian engkau
pernah berdjumpa lagi tidak dengan mereka'"
"Sungguh memalukan, sedjak itu, Lolap lantas putus asa. aku merasa hanja seorang
anak ketjil sadja sudah melebihi aku, maka sekalipun aku melatih diri selama
hidup djuga takkan mampu melebihinja," demikian sahut Ui-bi-tjeng. "Maka setelah
luka didadaku sembuh, aku lantas meninggalkan Tionggoan dan datang ke Tayli sini
untuk bernaung dibawah lindungan Toan-hongya, beberapa tahun kemudian, aku
lantas tjukur rambut mendjadi Hwesio. Selama ini Lotjeng tenggelam dalam adjaran
Budha, tidak pernah memikirkan lagi hinaan dimasa dulu itu. Tjuma kalau
terkadang ingat, sungguh hatiku masih kebat-kebit, benar2 njaliku sudah petjah
oleh kedjadian dahulu."
Mendengar tjerita itu, semua orang terdiam hingga lama. Rasa memandang hina
mereka kepada Tjui Pek-khe seketika lenjap, Sebab seorang Ui-bi-tjeng jang
begitu sakti djuga takut pada keluarga Bujung di Koh-soh, maka dapatlah
dimengarti bila Tjui Pek-khe djuga demikian djerinja.
Tjui Pek-khe djuga dapat merasakan pikiran orang banjak itu, maka katanja:
"Dengan kedudukan setinggi Ui-bi Taysu toh bersedia mentjeritakan apa jang
dialaminja dahulu, sebaliknja aku Tjui Pek-khe orang matjam apa hingga mesti
takut malu" Biarlah Tjayhe mentjeritakan djuga sebab-musababnja bernaung didalam
istana Tin-lam-ong ini. para hadirin disini toh bukan orang luar kalau Tjayhe
tjeritakan, harap pula para hadirin sebentar suka memberi pendapat masing2".
Habis utjapkan kata2 itu, karena guntjangan perasaan, tenggorokannja mendjadi
terasa kering, terus sadja ia teguk habis semangkok teh jang tersedia untuknja,
habis itu, ia samber pula mangkok teh jang disediakan untuk Ko Gan-tji dan
dituang lagi kedalam kerongkongannja kemudian barulah ia mulai berkata
dengan terputus2: "Kedjadian............ kedjadianku ini sudah............ sudah
18 tahun jang lalu............" bitjara sampai disini, tanpa merasa ia memandang
keluar djendela dengan rasa djeri.
Setelah tenangkan diri, kemudian ia menjambung: 'Dikota Bu-oh terdapat seorang
buaja darat she Djoa jang djahat dan suka menindas rakjat. Ada seorang sobat
Suhengku, antero keluarganja telah dibunuh oleh buaja darat itu."
"Susiok, apakah engkau maksud sidjahanam Djoa Ging-toh itu?" sela Ko Gan-tji.
"Benar," sahut Pek-khe. "Dahulu dikala Suhumu membitjarakan djahanam itu. selalu
ia geregetan ingin bisa membunuhnja. Tjuma gurumu itu adalah seorang jang baik
dan patuh pada peraturan, beberapa kali ia tjoba menggugat kedjahatan Djoa Ging-
toh itu kepada pembesar negeri tapi karena buaja itu pintar menjogok dan banjak
hubungannja dengan kalangan atas, maka pengaduan gurumu itu selalu didep oleh
pembesar2 jang bersangkutan.
Kalau mau, sebenarnja tidak susah bagi gurumu untuk membunuh djahanam orang she
Djoa itu. Tapi selamanja gurumu memang seorang jang alim, tidak suka berbuat
sesuatu diluar hukum. Sebaliknja berbeda dengan aku Tjui Pek-khe ini. dalam hal2
maling, madon, main, pendek kata segala matjam perbuatan 'M', bahkan membunuh
sekalipun aku tidak pantang, semuanja kulakoni.
"Maka pada suatu malam, dikaki aku sudah gemas, diam2 aku (lantas menggerajangi
rumah djahanam she Djoa itu dan sekaligus aku sapu bersih seluruh isi
keluarganja jang lebih 30 djiwa itu. Aku mulai membunuh sedari pintu depan terus
sampai taman bunga dibelakang, dari pendjaga pintu sampai tukang kebon, dari
katjung2 sampai babu2, semuanja kubunuh, tiada satupun kuampuni. Ketika Sampai
ditengah taman belakang, kulihat dibalik djendela sebuah loteng masih tampak ada
sinar pelita. Segera aku pandjat keatas loteng itu dan tendang pintu kamarnja
hingga terpentang. "Kiranja loteng itu adalah sebuah kamar tulis, disekeliling kamar penuh terdapat
rak buku. Tampak sepasang muda-mudi sedang duduk menjanding sebuah medja,
agaknja sedang asjik membatja sesuatu kitab. Pemuda itu kira2 berumur 27-28
tahun, tampan dan ganteng. Usia jang pemudi lebih muda, tjuma mungkur duduknja.
maka mukanja tak kclihatan, tapi dari badjunja jang dipakai serta potongan
tubuhnja jang menggiurkan, dapat dipastikan seorang wanita tjantik. Sekaligus
memangnja aku sudah membunuh puluhan orang, semangatku masih ber-kobar2. Tapi
demi nampak kedua muda-mudi itu, kurangadjar, aku mendjadi rada heran. Sebab
setiap orang dirumah djahanam she Djoa itu adalah kasar dan bengis semua,
mengapa bisa mendadak muntjul sepasang muda-mudi liar jang gagah dan tjantik
itu" Seketika aku mendjadi terkesima malah hingga tidak lantas turun tangan membunuh
mereka." Mendengar sampai disini, diam2 Toan Ki mentjotjokan tjerita Ui-bi-tjeng tadi
dengan Tjui Pek-khe ini. Ui-bi-tjeng bilang waktu bertemu dengan anak ketjil
jang berusia belasan tahun itu adalah 43 tahun jang lalu.
Sedang pemuda jang dilihat Tjui Pek-khe itu berumur hampir 30 tahun dan terdjadi
pada 18 tahun jang lampau. Djika demikian, usia pemuda itu dan sianak ketjil
satu sama lain tidak tjotjok, terang bukan terdiri dari seorang jang sama.
Dalam pada itu Tjui Pek-khe sedang melandjutkan: "Dan karena aku tertegun, maka
terdengarlah pemuda itu lagi berkata: 'Niotju (isteriku) dari sudut Kui-moay
menggeser ketempat Bu-hong, apakah demikian tjaranja?"
Mendengar istilah2 "Kui-moay" dan "Bu-hong", segera Toan Ki paham apa jang
dikatakan itu adalah istilah2 jang terdapat dalam Ih-keng.
Sementara itu Pek-khe sedang menjambung: "Maka tertampaklah siwanita merenung
sedjenak, lalu berkata: 'Pabila djalannja miring kesana masuk dulu kesudut Beng-
ih, dari situ kemudian memutar ke Soan-wi, tjobalah bisa ditembus tidak djalan
ini ?" Toan Ki bertambah kaget oleh istilah2 paling achir -itu, apa jang diuraikan
wanita itu terang adalah ilmu gerak langkah dari "Leng-po-wi-poh'' jang pernah
dipeladjarinja didasar telaga dulu itu Tjuma tempat2
jang dikatakan wanita itu agak mentjeng, tempatnja kurang tepat, Djangan2
wanita itu ada hubungannja dengan patung tjantik dari Entji Dewi itu"
Demikian Toan Ki mendjadi ragu2.
Sudah tentu Tjui Pek-khe tidak tahu pikiran Toan Ki itu, ia meneruskan pula:
"Dan karena kedua orang itu masih sibuk terus membitjarakan entah apa jang
terdapat didalam kitab, aku mendjadi tidak sabar lagi, segera aku membentak:
'Hai, kalian berdua andjing laki-perempuan ini lekas enjah keluar semua!' - Tak
kuduga mereka seperti orang tuli sadja, bentakanku sama sekali tak digubris,
pandangan mereka masih tetap ditjurahkan kedalam kitab mereka. Malah terdengar
pula siwanita lagi berkata dengan lemah-lembut: "Tapi dari sini menudju kesudut
Soan-wi seluruhnja ada sembilan langkah, inilah tidak mungkin ditjapai' - Saking
mendongkol aku lantas membentak lebih keras lagi: 'Hai, lekas enjah, enjah,
enjah keachirat untuk menemui kakek-mojangmu ke-18 keturunan!' ~
Dan baru aku hendak menerdjang madju, se-konjong2 tampak sipemuda bertepuk
tangan sambil berseru dengan tertawa 'Bagus, bagus! hm sama dengan Kun, kakek-


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mojang 18 keturunan he, 9 X 2 sama dengan 18, djadi mesti memutar kesudut Kun, o
ja, benar, benar, djalan ini sangat tepat! ~
Sambil bitjara, tangan pemuda itupun menjambar
sebuah Suipoa seadanja diatas medja itu, dan entah tjara bagaimana, tahu2 tiga
butir bidji Suipoa menjambar kentjang kearahku, seketika aku merasa dada sesak
dan kesakitan, tubuhku se-akan2 terpaku dan takbisa berkutik lagi.
"Habis itu, kedua muda-mudi itu masih tetap tidak gubris padaku, mereka masih
tetap tukar pikiran tentang isi kitab, hal mans aku sedikitpun tidak paham,
hanja perasaanku mendjadi sangat ketakutan. Sebab, hendaklah diketahui bhw
djulukanku jang djelek adalah Kim-suipoa, kemanapun aku pergi selalu membawa
sebuah Suipoa terbuat dari emas, dan ke-77 bidji Suipoa itu setiap saat dapat
kugunakan untuk melukai orang Tjuma tjaraku membidikan bidji Suipoa adalah
berkat bantuan pergas jang terpasang didalam Suipoa, sebaliknja Suipoa jang
dipakai pemuda tadi hanja sebuah Suipoa kaju biasa sadja. Ketika aku menegasi
Suipoa kaju itu, tertampak satu rudji bambu ditengahnja sudah patah, djadi
pemuda itu telah menggunakan tenaga dalamnja untuk mematahkan rudji Suipoa, lalu
gunakan Lwekang jang maha hebat untuk menimpukan bidji Suipoa kearahku, sungguh
ilmu sehebat itu susah untuk dibajangkan.
"Pertjakapan kedua muda-mudi itu ternjata berlangsung terus dan semakin uplek
dengan gembiranja, sebaliknja semakin mendengar aku mendjadi semakin takut.
Pikirku, sudah lebih 30 djiwa dirumah ini kubunuh, sekarang aku djusteru terpaku
takbisa berkutik disitu, takbisa bergerak dan takdapat bitjara pula, djikalau
toh aku mesti membajar djiwaku sendiri karena aku sudah utang djiwa sebegitu
banjak, akan tetapi dengan demikian, tentu Suhengku djuga akan tersangkut. Ada
lebih dua djam aku terpaku disitu, tapi rasanja seperti disiksa selama 20 tahun.
Kira2 sudah hampir pagi, terdengar pemuda itu berkata dengan tertawa: Niotju,
langkah2 ini agaknja harini takbisa kita tembus, biarlah ditunda sadja, marilah
kita pergi!' ~ Wanita itu mendjawab: 'Kim-suipoa Tjui-losu ini telah membantu
engkau memetjahkan satu langkah bagus, sepantasnja engkau mesti memberi apa2
sebagai tanda terima kasih padanja!' - Terkedjut dan girang rasaku. djadi sedjak
mula mereka sudah kenal namaku. Maka terdengar jang lelaki sedang berkata:
'Djika begitu, biarlah djiwanja diberi hidup lebih lama beberapa tahun. Lain
kali kalau ketemu lagi tentu tidak ampun pula!'
"Habis bitjara, mereka menjimpan kembali kitab jang dibatja itu, lalu
bergandengan tangan melajang keluar djendela dengan enteng sekali. Wadjah wanita
itu tetap tak terlihat olehku, tjuma sebelum pergi, tiba2 ia baliki tangan
kirinja, lengan badjunja mengebut pelahan dipunggungku hinqga Hiat-to jang
tertutup terbuka seketika. Waktu kuperiksa dadaku, ternjata badju bagian situ sudah berlubang tiga, dua bidji Suipoa
tepat terdjepit diatas buah dadaku dan bidji Suipoa ketiga persis berada
ditengah2 kedua bidji jang lain Nah, inilah, biar para hadirin periksa hiasan
didadaku ini!" Sembari berkata, ia terus membuka badju. Melihat itu hampir semua orang tertawa
geli. Kiranja dua bidji Suipoa itu tepat sekali mentjlok diatas pentil teteknja
dan di-tengah2 kedua pentil itu mentjlok pula sebidji Suipoa jang lain.
Kedjadian itu sudah belasan tahun jang lalu, tapi bidji2 Suipoa itu ternjata
tidak dilenjapkan dari dadanja.
Tjui Pek-khe gojang2 kepala, ia kantjing kembali badjunja, lalu berkata pula:
"Deritaku sungguh tidak sedikit karena mentjloknja tiga bidji Suipoa ini
didadaku. Sebenarnja aku bermaksud mengoreknja keluar dengan pisau, tapi asal
tersentuh sedikit sadja Hiat-to sendiri, seketika aku djatuh pingsan, untuk mana
harus 12 djam kemudian baru bisa sadar dengan sendirinja. Bila pelahan2 aku
tjoba mengikir atau menggosoknja dengan kertas empelas, namun sakitnja masih
tidak kepalang, sungguh aku seperti disiksa oleh kakek-mojangnja ke-18 turunan!
Rupanja sudah nasibku mesti disiksa begini, pabila hari mendung dan hawa lembab,
ketiga tempat didadaku ini lantas kesakitan seperti di-sajat2!"
Mendengar tjerita Pek-khe jang lutju dan luar biasa itu. semua orang merasa
heran dan geli pula. Maka Pek-khe telah melandjutkan pula sambil menghela napas: "Orang itu
menjatakan bila lain kali ketemukan aku lagi djiwaku takkan diampuni.
Maka djiwaku ini harus kudjaga baik2, djalan jang paling selamat jalah djangan
sampai kepergok lagi dengan dia. Untuk mana terpaksa aku harus kabur djauh2 dan
menjusup kedalam istana pengeran dinegeri Tayli ini.
Kupikir daerah ini djauh terpentjil diselatan, orang Bu-lim dari Tionggoan
djarang jang datang kemari. Umpama achirnja disusul djuga oleh keparat anak
kura2 itu kesini, paling tidak disini ada Ongya dan Ko-houya serta djago lain,
masakah mereka tega berpeluk tangan tidak ikut tjampur dan menjaksikan djiwaku
melajang begitu sadja" Selama ini, karena siksaan tiga bidji Suipoa didada ini,
bila kesakitan, terpaksa aku minum arak se-banjak2nja untuk melupakan rasa
derita jang hebat ini."
Selesai mendengar tjerita Tjui Pek-khe, semua orang berpendapat apa jang
terdjadi itu hampir serupa dengan Ui-bi-tjeng, bedanja tjuma jang seorang
achirnja mendjadi Hwesio dan jang lain mengasingkan diri dengan bersembunji.
"Ho-siansing." tiba2 Toan Ki menanja, karena sudah 'biasa memanggil demikian,
seketika pemuda itu takbisa berganti panggilan lain, "habis darimana engkau
mengetahui kalau suami-isteri jang kau djumpai itu adalah keluarga Bujung dari
Koh-soh?" Pek-khe garuk2 kepala dan mendjawab: "Hal itu adalah taksiran Suhengku, sebab
setelah melihat ketiga bidji Suipoa jang bersarang didadaku ini, Suhengku
berpendapat didunia persilatan tjuma keluarga Bujung sadja jang
'memakai kepandaian orang untuk digunakan atas diri orang itu'. Dan karena kami
jakin tak mampu melawan tokoh2 dari keluarga setan iblis itu, djalan paling
selamat adalah kabur dan mengkeret seperti kura2" - Sampai disini, ia berpaling
dan berkata kepada Toan Tjing-sun: "Nah, Toan-ongya, sekianlah pendjelasanku,
sekarang aku mohon diri untuk segera berangkat ke Koh-soh."
"Kau hendak pergi kesana?" tanja Tjing-sun heran.
"Ja," sahut Pek-khe tegas. "Hubunganku dengan Suheng laksana saudara sekandung.
Sakit hati membunuh saudara itu masakan tidak lekas dibalas"
Gan-tji, marilah kita berangkat!'' - Habis berkata, ia memberi Kiongtjhiu pada
para hadirin, lalu bertindak keluar diikuti oleh Ko Gan-tji.
Tindakan Tjui Pek-khe itu benar2 diluar dugaan semua orang. Semula tampaknja
sangat ketakutan kepada keluarga Bujung itu. Tapi demi bitjara untuk membalas
sakit hati sang Suheng, walaupun insaf kepergiannja ini tidak lebih daripada
menghantarkan njawa, tapi sedikitpun ia tidak gentar lagi. Maka diam2 semua
orang merasa kagum dan tidak enak untuk mentjegah keberangkatannja itu.
Kemudian Hui-tjin Hwesio lantas berdiri dan berkata dengan sangat menghormat:
"Tjiangbun Supek telah memberi pesan bahwa baginda Po-ting-te adalah kaum
Tjianpwe jang diagungkan, dengan sendirinja kami tidak berani bikin repot, tapi
kalau Toan-ongya sudi berkundjung kegeredja kami untuk memberi petundjuk tjara
bagaimana harus menghadapi orang Bujung dari Kohsoh, hal mana berarti Ongya
telah menjelamatkan kaum Bu-lim di Tionggoan dari bentjana. Kata Tjiangbun Supeh
pula bahwa beliau seharusnja berkundjung sendiri kesini untuk meminta
petundjuknja Toan-ongya, tjuma utusan geredja telah banjak dikirim untuk
mengundang para tokoh berbagai aliran terkemuka untuk berkumpul di Siau-lim-si,
sebagai tuan rumah, Supek tidak enak kalau mesti tinggal pergi, maka beliau
terpaksa tinggal dirumah untuk menantikan kedatangan para kesatria."
"Kiranja Siau-lim-si bakal mengadakan Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan besar para
kesatria), itulah kesempatan jang susah ditjari buat menemui tokoh2 Bu-lim dari
Tiong-goan, kalau bisa hadir, menggembirakan djuga hal itu," udjar Tjing-sun
sambil memandang kaka bagindanja untuk memberi keputusan.
Namun dengan kereng Po-ting-te berkata: "Keluarga Toan kami berasal djuga dari
kalangan Bu-lim di Tionggoan, selama ratusan tahun belum pernah lupa pada
sumbernja. Setiap kawan Bu-lim jang datang kewilajah Tayli sini, selalu kami
sambut dengan hormat. Tapi leluhur kami ada suatu pesan agar anak-tjutjunja
dilarang ikut tjampur dalam urusan permusuhan dan bunuh-membunuh dikalangan Bu-
lim. Terhadap ilmu silat dan pribadi Hian-tju Taysu, selamanja Tjing-beng sangat
kagum, sajang maksud baiknja itu bertentangan dengan pesan tinggalan leluhur,
maka terpaksa takbisa kami penuhi dan harap sadja Hian-tju Taysu suka
memaafkan." Hui-tjin sangat ketjewa oleh djawaban itu, sebaliknja Hui-sian lantas bertelut
pula sambil berseru: "Untuk membalas sakit hati Suhu, Hui-sian mohon Sri Baginda
suka memberi idin Tin-lam-ongya pergi ke Siau-lim-si."
Segera Hui-tjin menambahi djuga: "Kehadiran Tin-lam-ongya ke Siau-lim-si
bukanlah untuk bertanding dengan orang Bujung, soalnja tjuma mengenai ilmu silat
musuh itu terlalu luas dan aneh, maka Supeh sengadja mengundang para kesatria
sekedar berkumpul untuk memberi prasaran jang berharga guna mengatasi keganasan
orang Bujung itu. It-yang-tji dari keluarga Toan di Tayli sini adalah salah satu
ilmu tunggal jang tiada bandingannja dalam Bu-lim, dalam pertemuan besar di
Siau-lim-si nanti kalau tiada hadir ahli-waris dari keluarga Toan, itu berarti
belum lengkap dan mungkin takbisa lagi menandingi orang she Bujung itu."
Tiba2 Po-ting-te kebas lengan djubahnja hingga Hui-sian merasa diangkat bangun
oleh suatu tenaga maha besar, sungguh kagumnja tak terkatakan, serunja segera:
"Hongya, kepandaianmu ini su......sudah luar biasa..............."
Sahut Po-ting-te: "Djauh2 kalian datang kemari, silahkan mengaso dan dahar dulu.
Mendengar berita duka gurumu, sungguh Tjayhe ikut merasa menjesal. Tjuma sajang
keluarga Toan telah dipesan leluhur djangan ikut tjampur urusan persengketaan
dalam Bu-lim, terpaksa takbisa terima undanganmu, harap dimaafkan."
Mendengar radja Tayli itu tetap menolak, Hui-tjin dan Hui-sian insaf takkan
berhasil mengubah pendirian orang, maka terpaksa mereka mohon diri buat keluar.
Kini ruangan dalam itu hanja tinggal orang2 keluarga Toan sendiri, maka Tjing-
sun lantas berkata: "Hong-heng, ilmu kepandaian keluarga Bujung itu sedemikian
hebatnja, seharusnja namanja mengguntjangkan dunia, tapi mengapa selama ini
djarang terdengar namanja didalam Bu-lim?"
"Mungkin diantara anggota keluarganja itu tidak sering turun tangan, kalau
terkadang bertengkar dengan orang djuga belum tentu memperkenalkan nama asli
mereka, makanja Siau-lim-pay dan Ko-san-pay djuga tidak tahu siapakah sebenarnja
musuh mereka," demikian sahut Po-ting-te.
"Keputusanmu untuk tidak ikut tjampur persengketaan itu memang sangat tepat,"
Ui-bi-tjeng ikut bitjara, "Kalau sampai urusan ini mendjalar mendjadi besar,
mungkin dunia persilatan akan bandjir darah, entah betapa djiwa manusia akan
mendjadi korban. Tayli selama ini aman tenteram, negeri makmur, rakjat subur,
bila Ongya hadir ke Siau-lim, selandjutnja tentu djuga takkan ter-putus2 orang
Bu-lim akan mentjari perkara ke Tayli sini."
Tengah bitjara, tiba2 seorang pengawal masuk memberitahu: "Lapor Ongya, diluar
ada seorang Totiang (Tosu, imam agama Tao) mohon bertemu. Katanja kawan lama
dari Thian-tay-san."
Tjing-sun sangat girang, katanja: "Hong-heng, tentu Tjiok-djing-tju Toheng jang
telah datang!" - Terus sadja ia menjambut keluar dengan langkah lebar.
Ui-bi-tjeng saling pandang sekedjap dengan Po-ting-te. Tiba2 paderi itu berdiri
dan berkata: "Biarlah Lotjeng menjingkir sadja".
"Apakah rasa marah Suheng dimasa lalu sampai kini masih belum lenjap?"
udjar Po-ting-te dengan tersenjum.
Ui-bi-tjeng hanja membalas tersenjum sadja tanpa mendjawab, lalu ia bertindak
keruangan belakang untuk memeriksa keadaan murid2nja jang parah itu.
Selang tak lama, terdengarlah suara tertawa pandjang jang njaring berkumandang
dari ruangan luar. Segera Po-ting-te berbangkit dan tertampaklah Tjing-sun
membawa masuk seorang Todjin jang berumur antara 50 tahun. Imam itu berdjubah
kuning dan berkopiah kuning, bermuka putih, sikapnja gagah. Ia memberi hormat
kepada Po-ting-te sambil berseru dengan tertawa: "Tjing-beng-heng, selama
beberapa tahun ini engkau hidup djaja dan diagungkan, sungguh hidupmu ini aman
tenteram penuh redjeki".
Po-ting-te membalas hormat dan mendjawab dengan tertawa: "Dan kau Gu-pit-tju
(hidung kerbau, olok2 pada kaum Tosu) ini selalu sibuk kian kemari di Kangouw,
apa kau belum merasa tjapek dan bosan?"
"Hahaha, belum bosan, belum bosan!" sahut Tjiok-djing-tju ter-bahak2.
Lalu ia berpaling pada hadirin jang lain: "Hai, Sing-thay-heng, baik2kah engkau"
Kau, simaling tukang bongkar kuburan, Bagaimana redjekimu sekarang" Wah, tjahaja
muka Hoan-heng tampak ber-seri2, tentu telah bertambah beberapa putera! Tapi
Thian-sik kelihatannja makin kurus tinggal kulit membungkus tulang, kalau
mengandalkan tubuh sekurus ini untuk menangkan gelar Ginkang nomor satu didunia,
rasanja djuga kurang tjerlang tjemerlang. Eh, tukang pantjing, engkau dapat
mengail seekor kura2 atau tidak?"
Begitulah Tjiok-djing-tju telah menegur setiap hadirin jang berada disitu
sebagai kawan lama setjara tidak tjanggung2.
Toan Ki kenal watak sang paman jang ramahtamah, tapi toh tidak pernah melihatnja
bergurau dengan orang. Kini dengan datangnja Todjin itu, seketika suasana disitu
mendjadi riang gembira, bahkan paman pun menjebutnja sebagai "hidung-kerbau",
maka dapat diduga Tjiok-djing-tju ini tentu sifatnja sangat djenaka dan disukai
orang. Segera Tjing-sun berkata: "Ki-dji, lekas madju memberi hormat! Totiang ini
adalah 'Tang-hong-te-it-kiam' Tjiok-djing-tju jang sering kukatakan padamu itu,
betapa tinggi ilmu pedangnja didjaman ini tiada bandingannja."
Toan Ki mendjadi heran, sebab selamanja ia tidak pernah mendengar tentang 'Tang-
hong-te-it-kiam' atau djago pedang nomor satu diwilajah timur. Tapi iapun tidak
enak untuk menanja, ia menurut dan melangkah madju untuk mendjura.
Dengan ketawa2 Tjiok-djing-tju berkata: "Wah, katjang memang tidak meninggalkan
landjarannja, ajahnja gagah, puteranja ternjata djuga ganteng tampan. Sebagai
keturunan keluarga Toan dari Tayli, tentu ilmu silatnja djuga hebat." - Sembari
berkata ia terus ulur kedua tangannja untuk membangunkan Toan Ki dengan maksud
sekalian mendjadjal kepandaiannja.
Karuan jang kuatir adalah Toan Tjing-sun, tjepat ia berseru "Hati2
Hidung-kerbau, puteraku ini tidak pernah beladjar silat apa2!"
Belum lenjap suaranja, tangan Tjiok-djing-tju sudah menjentil tangan Toan Ki,
mendadak perasaannja tergetar, tenaga dalam jang dikerahkannja tadi tahu2 lenjap
sirna seperti lempung ketjemplung laut, bahkan tiba2
terasa dari tangan Toan Ki timbul sematjam daja sedot jang sangat kuat hendak
mengisap tenaga dalamnja setjara paksa.
Tjiok-djing-tju sudah mendjeladjah kemanapun, pengetahuan dan pengalamannja
sangat luas, dalam kedjutnja segera ia menduga "Bukankah ini adalah Hua-kang-
tay-hoat dari aliran Sing-siok-hay di Kun-lun-san"
Keluarga Toan dari Tayli adalah Beng-bu-tjing-pay, kenapa mempeladjari ilmu
sesat jang dikutuk oleh sesama Bu-lim ini?"
Segera iapun kerahkan tenaga, tangannja membalik terus mengeblak punggung tangan
Toan Ki hingga daja lengket tadi terlepas.
Karuan Toan Ki meringis kesakitan se-akan2 tulang tangannja dipatahkan, pikirnja
dengan gusar: "Aku memberi hormat dengan baik padamu, kenapa malah memukul aku?"
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Tjiok-djing-tju telah salah sangka dia
menggunakan "Hua-kang-tay-hoat" atau ilmu melenjapkan kepandaian orang untuk
menjerangnja. Siapa sadja juga terkena sedotan Hua-kang-tay-hoat, seketika
antero kepandaian jang pernah dilatihnja akan lumpuh mendjadi nihil. Tjuma Hua-
kang-tay-hoat memang gunanja untuk melenjapkan ilmu orang hingga sang korban
akan kembali seperti orang biasa, djadi merugikan orang dan tidak membawa untung
bagi diri sendiri. Sebaliknja
"Tju-hap-sin-kang" jang dimiliki Toan Ki tanpa sadar itu mempunjai kasiat
menjedot Lwekang orang untuk memupuk tenaga dalam sendiri, setiap kali djatuh
korban, setiap kali pula tenaga dalam sendiri akan bertambah.
Sebab itulah dalam persentuhan tangan Tjiok-djing-tju dan Toan Ki tadi kontan
ada sebagian ketjil dari tenaga dalam Tjiok-djing-tju telah disedot oleh Toan
Ki. Melihat sikap Tjiok-djing-tju itu agak aneh, Po-ting-te dan lain2
mendjadi heran. Tjing-sun berkuatir djuga kalau putera kesajangannja dilukai
imam itu, tjepat ia mengadang madju dan berkata dengan tertawa:
"Sudah sekian lamanja tidak berdjumpa, sekali ketemu, Hidung-kerbau hendak
memberi hadiah apa kepada puteraku ini?" - Berbareng ia sudah ber-siap2 kalau
imam itu menjerang lagi. Ia tahu Tjiok-djing-tju sangat lihay, asal Toan Ki
terkena serangannja, kalau tidak mati djuga tentu terluka parah.
Maka terdengar Tjiok-djing-tju mendjawab dengan tertawa dingin "Huh, It-yang-tji
dari keluarga Toan sudah termasjhur diseluruh djagat, buat apa mesti
mempeladjari lagi ilmu sesat dari iblis tua Sing-siok-hay?"
Pendekar Muka Buruk 22 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Dewi Ular 3
^