Pencarian

Pendekar Pedang Sakti 22

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Bagian 22


mana dibarengi melayangnya dengan seutas laso yang
panjang dan berwarna hitam legam, menyamber kearah Lie
Siauw Hiong dan kawan-kawannya bagaikan ular yang
keluar dari dalam sarangnya.
Gouw Leng Hong dengan sebat segera menarik sebelah
kakinya, kemudian tangannya diputar dan pedangnya
dengan separuh melingkar telah dipergunakan untuk
menyampok laso Kinlungo yang datang menyamber
kejurusannya. Lie Siauw Hiong dan kawan-kawannya yang melihat
Kinlungo sudah mulai turun tangan, merekapun segera
mencari tempat masing-masing dan bersiap sedia untuk
menempur musuh. Tatkala itu Lie Siauw Hiong dengan menghunus
pedangnya lalu menolehkan kepalanya pada Sun Ie Tiong
dan Kim Ie sambil memanggutkan kepalanya, kemudian
segera membalikkan tubuhnya dan mencelat kehadapan
pendeta asing yang menjadi kepalanya, yang dengan tak
sungkan-sungkan lagi ia lalu tusuk dengan pedangnya.
Jurus serangan pemuda itu sungguh aneh sekali. Karena
pedang Bwee-hiang-kiam itu bagaikan pecut yang lemas,
ujungnya yang membentuk lingkaran bergerak kekiri-
kekanan, atas dan bawah, menyerang dengan ganasnya
kearah empat jalan darah yang berbahaya didadanya
Mitopos. Pendeta asing itu sama sekali tidak mengira, bahwa
lawannya dapat mengeluarkan serangan yang seaneh dan
luar biasa itu, maka sambil mengeluarkan suara "Ih" lekas-
lekas ia miringkan pundaknya, hingga dengan begitu ia
berhasil dapat meluputkan serangan Lie Siauw Hiong yang
maha dahsyat itu. Selanjutnya dengan mengambil
kesempatan selagi badannya Lie Siauw Hiong masih
bergoncang, Mitopos telah pergunakan sepasang tangannya
untuk memukul kepada pemuda kita, hingga tangan yang
kurus kecil itu sama sekali tidak disangka akan mampu
menerbitkan angin yang menderu-deru, diwaktu serangannya diarahkan pada jalan darah Sin-teng dan Hian-
kie sipemuda. Biar bagaimana cepatpun Lie Siauw Hiong berkelit, tidak
urung dia tak keburu menarik kembali pedangnya, oleh
karena itu, ia terpaksa menangkis serangan lawannya itu
dengan tangan kirinya, sehingga beradunya tiga telapak
tangan itu menerbitkan suara yang keras sekali, berbareng
dengan mana Lie Siauw Hiong sampai mundur dua
langkah jauhnya. Diam-diam Lie Siauw Hiong berkata pada dirinya
sendiri: "Si Mitopos ini sungguh tidak kecewa menjadi
kepala dari kelima orang aneh dari kaum bhagawat.
Tenaga-dalamnya cukup tangguh dan ternyata lebih tinggi
setingkat jika dibandingkan dengan Kinlungo sendiri."
Dengan menundukkan kepalanya, ia melihat sinar
pedang Bwee-hiang-kiamnya berkilau-kilau memancarkan
sinar dingin, kemudian dengan sepasang mata yang berapi-
api ia telah menabaskan pedangnya keatas dan kebawah,
membabat kepala Mitopos. Buru-buru Mitopos memutar badannya, dan selagi ia
berbuat demikian, tiba-tiba tangannya telah mencekal
sebilah sabit kecil, yang ternyata bukan terbuat dari pada
logam atau batu, sinarnya mengkeredep-keredep dan
entahlah gegamannya itu terbuat dari bahan apa.
Dari serangan Lie Siauw Hiong ini, Mitopos seakan-
akan timbal perasaan tidak enak yang bersarang pada
dirinya, .. karena dia rasakan seluruh jalan darahnya
senantiasa dibawah ancaman totokan pedang Lie Siauw
Hiong, hanya dia tak mengetahui jalan darah yang mana
yang hendak diserang oleh pemuda kita itu.
Tak usah dikatakan lagi betapa lihaynya jurus tersehut,
karena jurus yang dipergunakan oleh Lie Siauw Hiong itu
adalah bukan lain daripada pelajaran Tay-yan-sip-seknya
Peng Hoan Siangjin yang disebut jurus 'Hong-seng-put-sip',
atau gerak yang tidak putus-putusnya.
Begitulah deugan cepat Mitopos telah memutarkan
badannya, dengan sabit ditangannya ia telah membabat
kekiri kanan tubuh Lie Siauw Hiong, dengan ujung sabit itu
ia telah mencoba akan menotok jalan darah Co-bok-hiat
dikepala kiri pemuda kita, sedangkan dengan gagang
sabitnya dia hendak coba menotok jalan darah 'Yu-kiong-
hiat' disebelah kanan kepala pemuda itu.
Jurus yang digunakannya ini adalah timbul dengan
sewajarnya saja, tapi jurus ini justeru mengandung
kehebatan yang tepat sekali, karena dengan jurus ini, berarti
bahwa ia sudah menutup jalan mundurnya pemuda
lawannya itu. Siapa sangka Lie Siauw Hiong dengan berseru keras,
badannya sudah berputar begitu rupa, sehingga ia dapat
melejit dari babatan kiri dan kanan sabit musuhnya, dan
bersamaan dengan itu, dengan lincahnya ia sudah
menyerang Unjenporo, orang keempat diantara Po-lo-ngo-
kie. Sewaktu Lie Siauw Hiong telah mulai bertempur dengan
Mitopos, ternyata yang lainnyapun sudah mulai bergebrak
pula. Diantara kelima ahli silat asing itu, orang ketiga yang
bernama Katar tatkala melihat Sun Ie Tiong memandangnya dengan tersenyum dingin, ia menjadi
murka sekali, maka sambil melangkah maju ia berhasrat
untuk menempur si-pemuda itu.
Siapa tahu waktu dia melampau Kim Ie, tahu-tahu Katar
telah ditotok jalan darah 'Tong-bun-hiat' diiganya dengan
cara yang amat ganasnya. Oleh karena itu, dengan tergopoh-gopoh Katar telah
mengelitkan dirinya, sedang didalam hati tak pernah ia
menyangka, bahwa didunia ini ada orang yang dapat
berlaku demikian tidak tahu malunya, menyerang orang
tanpa berkata-kata lagi, maka dengan menggereng keras
telah membalikkan badannya dan memukul pada Kim Ie
yang telah menyerangnya dengan secara menggelap itu, dan
bersama dengan itu, diapun telah menghunus pula
pedangnya dan dengan berbareng pula telah membacok
lawannya dengan sekaligus.
Sun Ie Tiong yang menampak semua orang sudah mulai
turun tangan, ia lalu tertawa terbahak-bahak, kemudian
mementilkan pedangnya dengan rnengeluarkan suara "ting"
yang nyaring dan berseru: "Marilah siapa yang berani
melawanku?" Sudah itu ia menyerang Cindu Arhat dengan
pedangnya itu. Cindu Arhat yang diantara mereka berlima menempati
kedudukan kedua, dengan pedangnya ia menangkis
serangan lawan itu, hingga kini dalam gelanggang
pertempuran itu hanya ketinggalan Unjenporo yang belum
mendapatkan lawan, maka dengan tidak sabaran dan tanpa
memperdulikan lagi peraturan yang berlaku dikalangan
Rimba Persilatan, ia segera menjotos punggung Sun Ie
Tiong dari sebelah belakang ..
Justeru bertepatan dengan kejadian tersebut, Lie Siauw
Hiong yang dengan lincah dapat menerobos dari babatan
Mitopos dari kiri dan kanan, kebetulan ia melihat
penyerang secara membokong dari Unjenporo, maka
secepat kilat ia telah menusukkan pedangnya untuk
membebaskan bokongan ahli silat asing itu terhadap Sun Ie
Tiong. Demikianlah, dikatakan lambat tapi kenyataannya cepat
sekali, karena ketika baru saja Unjenporo mengajukan
serangannya, pedang Lie Siauw Hiong yang tajam disertai
tenaganya yang keras telah menyerang sampai, sehingga
Unjenporo tidak berani melanjutkan serangannya dan
dengan segera menarik kembali serangan itu, akan
kemudian tanpa menolehkan kepalanya lagi ia telah
menyabetkan pedangnya kearah belakangnya.
Tapi Lie Siauw Hiong dengan tangkasnya lalu menyabet
pulang pergi, sehingga ia berhasil dapat menangkis
serangan para lawannya, kemudian dengan gerakan sama
tangkasnya ia telah menyerang pada Mitopos dan
Unjenporo dengan sekaligus.
Diseberang sana, Gouw Leng Hong yang mendapat
lawan Kinlungo, keadaannya sudah tentu saja jauh berbeda
dengan yang lain-lainnya, karena Kinlungo biarpun
diantara kelima saudaranya terhitung yang paling kecil, tapi
karena dia adalah murid mas dari gurunya, tentu saja
pelajaran yang didapatkan dari gurunya adalah yang paling
sempurna sendiri, maka pada ia datang bersama twa-
suhengnya dan mengira, bahwa di Tiong-goan ini kecuali
Lie Siauw Hiong seorang, yang lain tidak usah
dikuatirkannya lagi, hingga barusan waktu dia melihat
Gouw Leng Hong maju menyerangnya, dia hanya
mengganda tertawa dingin saja. Begitulah dengan lasonya
dia telah mencoba menyerang dan melilit pedang lawannya,
samhil berbareng menyabet keatas dan membabat kebawah
dengan lasonya yang panjang itu, dengan berhasrat untuk
menghina serta mempermainkan pihak lawanya itu.
Tapi dia mana sangka, bahwa ilmu pedang yang dipakai
oleh Gouw Leng Hong itu adalah menggunakan ilmu
keturunan pedang leluhurnya, yakni dengan jurus 'Kwie-
ong-pa-ho', sehingga pedangnya dengan leluasa dapat
menerobos lilitan lasonya, malah ujung pedangnya dengan
cepat sudah hampir menusuk jalan darah dipahanya.
Dia sama sekali tidak menyangka, bahwa serangan
Gouw Leng Hong begitu cepat dan ganas, sehingga ia harus
berlompat tiga kali dengan berturut-turut barulah ia dapat
membebaskan dirinya dari pada serangan pemuda
lawannya itu. Tempo dahulu Gouw Ciauw In ayah Leng Hong dengan
jurus yang dipakainya telah melawan tiga orang musuhnya
di Yong Kwan yang disebut 'Tiang-pak-sam-eng' atau tiga
elang dari pegunungan Tiang-pek, dengan jurus mana ia
telah berhasil melukai seorang lawannya, sehingga yang
seorang lagi terpaksa melarikan diri, dan kini anaknya
dengan menggunakan tipu yang sama telah menyerang
Kinlungo, dan karena pada beberapa waktu yang lalu Leng
Hong telah mendapat pelajaran gaib, maka tidaklah heran
jika kepandaiannya jauh melampaui kepandaian ayahnya
dahulu. Kinlungo lalu mengangkat kepalanya memandang pada
Gouw Leng Hong, yang ternyata berwajah amat tampan
dan masih muda belia, sedangkan ditangannya menghunus
pedang yang dilintangkan didepan dadanya. Dengan
lawannya ini baru saja beberapa bulan dia tak berjumpa,
tapi ternyata pemuda lawannya ini sudah maju sedemikian
pesatnya. Oleh karena itu, lalu dia sapukan matanya memandang
keempat penjuru. Dia lihat jie-suhengnya sedang bertempur
dengan Sun Ie Tiong, dengan kedua pedang mereka saling
gulung-menggulung bagaikan sepasang naga yang sedang
bertempur dalam lautan yang terbuka. Pertempuran itu
cukup hebat dan terbukti dengan pedang yang berkelebat-
kelebat memancarkan sinarnya yang berkilau-kilauan,
sehingga mata yang memandangnya terasa kabur.
Dalam hati ia merasa terkejut sekali, hingga diam-diam
dia berpikir: "Permainan pedang jie-suheng diantara kita
berlima, hanya dialah yang tergolong paling pandai, tapi
mengapakah dia belum berhasil dapat menjatuhkan
lawannya" Apakah barangkali keempat lawan ini semuanya
tergolong dalam tingkat atas?"
Dugaan Kinlungo ini memang sedikitpun tidak meleset,
karena sesungguhnyalah bahwa keempat orang itu pada
saat ini didaerah Tiong-goan tergolong sebagai orang-orang
gagah memiliki kepandaian yang paling hebat.
Diantara Poo-loo-ngo-kie kecuali yang memegang sabit
Mitopos dan Kinlungo yang menggunakan laso, Cindu
Arhatlah Ceng-Tu yang terhitung paling menonjol dalam
permainan pedang. Karena dengan mengandalkan sebatang
pedangnya ini, didaerahnya sendiri, yaitu Thian-tiok, dia
pernah mengalahkan delapanbelas jago-jago pedang
kenamaan, sehingga namanya disekitar Thian-tiok dan
Tibet, setiap orang yang pandai menggunakan pedang pasti
akan mengetahui sampai dimana Kelihayan Cindu Arhat
itu. Tapi pada saat ini Sun Ie Tiong baru saja dapat
mempelajari ilmu pedang Pang Hoan Siangjin yang
bernama 'Hui-pek-kiam-sek', hingga Cindu Arhat sekalipun
telah menyerang lawannya bagaikan sinar kilat dahsyatnya,
sedikitpun dia tak berdaya untuk menggempur daya
pertahanannya Sun Ie Tiong.
Dan tatkala Kinlungo melirikkan matanya kearah kiri, ia
melihat Katar dengan menggereng karena kemurkaannya
yang memuncak hebat sekali telah menerjang bagaikan
harimau edan kepada pemuda yang bermuka jelek bagaikan
memedi, sedangkan pemuda yang berwajah jelek itupun
tanpa sungkan-sungkan lagi segera membalas menyerang
lawannya dengan tidak kalah hebat dan ganasnya. Dan
selama pertempuran itu berlangsung dengan amat
hehatnya, dalam hatinya Kinlungo diam-diam merasa lega
dan berpikir: "Bocah berwajah jelek ini sekalipun
tampaknya ganas dan telengas, tapi diantara lawannya yang
berjumlah empat orang ini, adalah dia sendiri yang paling
lemah kepandaiannya, hingga Katar masih sanggup
menghadapinya. Asalkan aku bersama twa-suheng dapat
memenangkan pertempuran ini perduli apa lagi terhadap
yang lain-lainnya?"

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oleh karena itu, terpaksa dia melirikan matanya pada
pertempuran hebat yang tengah berlangsung antara twa-
suhengnya dengan Lie Siauw Hiong, tatkala pada saat itu
telinganya sekonyong-konyong mendengar suara bentakan
Gouw Leng Hong yang nyaring: "Lihat pedang!"
Belum lagi Gouw Leng Hong berseru habis, pedangnya
sudah menjurus sampai. Kinlungo yang telah mengambil ketetapan yang pasti,
maka hatinyapun menjadi mantap sekali, sambil tertawa
dingin dan tanpa menolehkan kepalanya lagi, dia sudah
membabatkan lasonya kebelakang.
Laso tersebut berputar ditengah udara dua kali dengan
cepat sekali, sedangkan ujung laso yang melesat bagaikan
kilat cepatnya telah mengancam jalan darah 'Kiok-tie-hiat'
dipundak Gouw Leng Hong. Leng Hong yang memperhatikan aksi lawannya, pedang
yang terhunus ditangan kanannya lalu mengikuti putaran
laso lawannya dengan membentuk lingkaran pula, sehingga
diapun berhasil membebaskan sabetan laso lawannya,
kemudian ia memainkan pedangnya dan lagi-lagi menyerang lawannya dengau menggunakan jurus 'Kwie-
ong-pa-ho' kembali. Kinlungo tidak menyangka bahwa Leng Hong sudah
mahir sekali ilmu pedangnya, lagi pula gerakannya begitu
lincah dan cepat, hingga diapun tidak berani berlaku ayal-
ayalan, maka dengan menambah kekuatan pada lengannya,
telah putarkan lasonya kembali.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan marah
dari pihak lainnya lagi, karena diseberang sana katar yang
bertempur dengan Kim Ie sudah mencapai babak yang
menentukan .. Katar belum pernah seumurnya menemui
lawan yang lebih ganas daripada Thian Mo Kim Ie, yang
pada saat itu dengan keras lawan keras telah menempur
musuhnya, dan tiap-tiap serangan yang dilancarkannya
selalu mengarah tempat-tempat yang berbahaya, sehingga
Katar berteriak-teriak saking kalapnya.
Apa yang menyebabkan dia bertambah kalap, adalah
muka Kim Ie yang dingin selalu seperti mengejek dirinya
saja, ditambah dengan bekas bacokan dimukanya, yang
menyebabkan orang sukar menahan kengerian dari
wajahnya itu. Begitulah dengan bayangan masing-masing yang tampak
sebentar merapat sebentar berpencar, pundak kiri Kim Ie
telah kena dilukai oleh Katar sehingga darahnya mengucur
deras, tapi dia sendiri tidak pernah mengeluh. Sepasang
kakinya bergerak dengan lincahnya sambil menggunakan
ilmu pedang 'Pek-ciok-kiam-hoat' pejaran gurunya Pak-kun
Kim It Peng menggunakan jurus 'Tok-kong-heng-sek' (Kala
jengking beracun melintangkan capitnya) dengan mana
diapun telah berhasil menggores dada Katar dengan ujung
pedangnya! Diatas gunung Liok-poan-san disitu, dimana buminya
sudah putih meletak karena dialasi oleh salju, sedangkan
dilangit penuh bunga-bunga berpijar api karena beradunya
pedang-pedang satu sama lain, merupakan suatu pemandangan yang luar biasa dibalik keseraman serta maut
yang tengah mengintai pihak masing-masing yang kurang
bersiaga. Begitulah dipuncak gunung tersebut sembilan
jago-jago muda tingkat kelas satu sedang bertempur dengan
mempertaruhkan nyawa mereka, suatu pertempuran yang
sungguh mendebarkan serta mengerikan sekali barang siapa
yang memandangnya. Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan yang mengerikan. Pada saat itu sekalipun mereka sedang
memusatkan perhatian mereka terhadap pertempuran yang
sedang mereka lakukan itu, tapi tidak urung diwaktu
mendengar suara jeritan tersebut, mau tak mau mereka jadi
berhenti sedetik, ternyata ahli pedang nomor wahid dari
Thian-tiok yaitu Cindu Arhat yang sedang bertempur hebat
dengan Sun Ie Tiong telah mengalami perubahan yang
tidak disangka-sangka .. Pada saat itu tampak bayangan kedua orang itu sedang
mengapung ditengah-tengah udara, sinar pedang mereka
bergulung-gulung dan terdapat dalam lingkaran sejauh tiga
tombak jaraknya mengelilingi tubuh mereka masing-
masing. Cindu Arhat yang lama masih belum berhasil juga
mengalahkan Sun Ie Tiong, dalam kemurkaannya yang
memuncak terpaksa telah mengeluarkan kepandaian ilmu
pedangnya yang paling diandalkannya, yaitu ilmu pedang
'Pek-hap-hui-kiam' (ilmu pedang ratusan rangkai).
Ilmu pedang Pek-hap-hui-kiam ini meski namanya
disebut ratusan rantai tapi kenyataannya hanya terdiri dari
sembilan macam saja. Ilmu pedang ini adalah warisan dari
golongan kaum beragama 'Hui-liong-kauw' di Thian-tiok,
sekalipun Cindu Arhat memiliki ilmu pedang tersebut, tapi
sesungguhnya kepandaiannya itu bukanlah diperoleh dari
gurunya, yang dinegerinya disebut 'Heng-hoo-sam-hut' itu.
Cindu Arhat setelah berhasil mencangkok kepandaian
ilmu pedang tersebut dan membuat namanya menjadi
terkenal, selama hidupnya dia hanya baru menggunakan
ilmunya itu satu kali saja. Pada waktu itu, dia hanya
mengeluarkan sampai jurus kesepuluh saja, dengan mana
telah empat kali ia mengalahkan musuh-musuhnya yang
kuat dan mengurungnya dengan hebatnya. Tapi pada saat
ini sekalipun dia telah menggunakan habis seluruh ilmu
pedangnya itu, tidak urung dia tak berhasil dapat
menggempur daya pertahanan Sun Ie Tiong, hingga dalam
kemurkaannya ia terpaksa mengeluarkan ilmu yang paling
diandalkannya ini untuk menjatuhkan lawannya yang
tangguh itu. Maka begitu dia keluarkan ilmu pedang 'Pek-hap-hui-
kiam' itu, Sun Ie Tiong segera merasakan betapa hebatnya
terjangan pihak lawannya itu, karena Cindu Arhat yang
gerakannya kini menjadi sangat luar biasa cepatnya, tiap-
tiap serangannya selalu mengalami kegagalan saja.
Dan tatkala dengan beruntun ia telah menyerang tiga kali
dengan tak berhasil dan malahan dirinya sendiri hampir
saja menemui maut, Sun Ie Tiong dalam sengitnya lalu
bersiul panjang, dan setelah mengerahkan kekuatan pada
lengannya dengan gerak menyabet dan mengacip, sinar
pedangnya tampak bertambah hebat, karena dengan gerak
itu kini dia telah mengeluarkan jurus dari pelajaran Tay-
yan-sip-sek yang disebut 'Hong-seng-put-sip' (gerak tidak
putus-putusnya), pelajaran mana telah ditemukan oleh Peng
Hoan Siangjin, dari jurus yang sudah hilang dan disebut
'Pouw-tat-sam-sek'. Jurus 'Hong-seng-put-sip' ini adalah
jurus yang paling hebat dan luar biasa sekali, dan pelajaran
ini sebenarnya adalah pelajaran dari kaum Budhis, yang
didunia ini tidak ada keduanya. Diwaktu pelajaran itu
digunakan, kekuatannya luar biasa hebatnya, kini Sun Ie
Tiong yang telah menggunakannya, sekalipun tidak sehebat
dan sesempurna seperti yang diperlihatkan oleh Lie Siauw
Hiong, tapi sebagai seorang anak murid golongan Budhis,
ia dapat juga menggunakannya dengan cukup hebat dan
sempurna. Cindu Arhat yang melihat usahanya hampir saja
berhasil, dengan cepat dia melancarkan kembali serangannya kekiri dan kanan, tapi siapa tahu begitu
pedangnya saling beradu dengan pedang lawannya,
sekonyong-konyong dia rasakan satu tenaga yang luar biasa
hebatnya telah menindih pada dirinya.
Dalam kekagetan dan kemurkaannya, buru-buru dia
keluarkan seluruh permainan pedang 'Pek-hap-hui- kiam'nya, dan dengan melompat-lompat kesana kesini
laksana seekor kera yang lincah, ia menerjang kepada pihak
lawannya dengan secara hebat sekali.
Sebaliknya Sun Ie Tiong setelah menggunakan ilmu
'Tay-yan-sip-seknya', ia telah berhasil dengan kecepatannya
melampaui kecepatan lawannya, hingga dalam waku yang
pendek sinar pedang kedua belah pibak tampak berkelebat-
lebat laksana bunga api, berputar-putar mengelilingi tubuh
mereka masing-masing .. hal mana telah menyebabkan
orang lain yang berada disekelilingnya jadi berteriak saking
tegangnya menyaksikan pertempuran tersebut.
Kedua orang ini semakin lama telah bertempur semakin
cepat dan dahsyat, sedangkan sinar pedang yang
mengurung mereka tambah lama tambah meluas lingkaran
disekelilingnya, hingga lingkaran itu kini telah mencapai
jarak lima tombak jauhnya.
Orang lainnya karena takut akan terkena akibat yang
tidak disangka-sangka dari pertempuran yang maha dabsyat
ini, mereka dengan tidak berjanji terlebih dahulu telah
menyingkir sejauh mungkin, sehingga melampaui jarak
lima tombak itu. Sedangkan Kinlungo sendiri yang tidak berhasil
menjatuhkan Gouw Leng Hong, kini hanya mengharapkan
agar salah seorang dari Twa-suheng atau Jie-suhengnya
memperoleh kemenangan, tapi siapa tahu Cindu Arhat
sekalipun sudah mengeluarkan ilmu pedangnya 'Pek-hap-
hui-kiam' yang hebat itu, ternyata masih tetap saja tidak
berhasil ia menjatuhkan lawannya, hingga dalam hatinya
tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut, oleh karena itu
sewaktu dia memperoleh sedikit luang, buru-buru dia
menolehkan kepalanya memandang pada Twa-suhengnya ..
Karena sikapnya ini, seakan-akan dia telah melupakan
terhadap pertahanannya. Sedang dipihak lainnya lagi Lie Siauw Hiong dengan
seorang diri yang melayani Mitopos dan Unjenporo,
ternyata masih sanggup melayani mereka dengan cukup
tangkas dan sempurna, sebab dengan tangan kiri yang
bertangan kosong dan tangan kanan menggunakan pedang,
ditambah lagi dengan tindakan kakinya yang menuruti
pelajaran 'Kit-mo-pouw-hoat' dengan lincahnya ia telah
dapat melayani lawannya, sedangkan dengan tangan
kirinya ia menggunakan jurus-jurus dari 'Kong-kong-ciang-
hoat' (ilmu pukulan tangan kosong berjarak jauh), dengan
mana ia berhasil dapat membuat lawan-lawannya tidak
mudah untuk menyerangnya dengan seenaknya saja.
Dalam kegugupannya, Kimlungo hampir saja kena
tertusuk oleh pedangnya Gouw Leng Hong, hingga dengan
berteriak keras buru-buru ia putarkan lasonya dengan cepat
sekali, dengan mana barulah ia dapat mempertahaukan
dirinya terlebih jauh pula.
Sedangkan pihak lainnya lagi, tanpa terasa pula
terdengar suara orang yang mengeluh, karena Katar yaug
bertempur dengan Kim Ie, kini mereka masing-masing telah
bertambah lagi dengan satu tusukan sehingga badan mereka
penuh luka-luka. Kedua orang ini buru-buru mundur beberapa langkah
dengan muka pucat dan masing-masing mengeluh karena
kesakitan. Kinlungo yang menampak keadaan tidak menguntungkan bagi pihaknya setelah menangkis dua kali
tusukan pedang Gouw Leng Hong, lalu dengan suara
nyaring ia berseru: "Orang she Lie, aku ada omongan yang
hendak disampaikan kepadamu. Silakan berhenti sebentar."
Lie Siauw Hiong sambil tertawa dengan penuh
keyakinan ia menjawab: "Kenapa aku harus takut
kepadamu?" Hanya tampak tangan kiri dan tangan kanannya ditarik,
sedang kakinya digeser sedikit, kemudian dengan cepat
bagaikan bintang beralih, tubuhnya sudah mundur setengah
langkah jauhnya. Sementara orang-orang yang lainnya ketika melihat
mereka sudah berhenti turun tangan, merekapun lalu turut
pula berhenti. Sudah itu, kedengaran Kinlungo tertawa getir sambil
berkata: "Ternyata para busu dari pibak Tiong-goan benar-
benar hebat sekali, cuma kami bersaudara masih ada satu
pelajaran yang hendak mobon pengajaran kepada kalian,
yaitu asal saja kalian dapat memecahkan kurungan kami,
maka kalian benar-benar terhitung sebagai seorang jago
yang tidak ada tandingannya!"
Setelah berkata begitu, tampak Kinlungo membalikkan
tubuhnya dan bercakap-cakap dengan Mitopos dalam
bahasa asing. Lie Siauw Hiong dan kawan-kawan hanya melihat
mereka dengan melongo saja, karena dengan kecepatan luar
biasa mereka telah dikurung ditengah-tengah oleh lawan
mereka. Halmana, sudah barang tentu sangat mengejutkan
sekali Lie Siauw Hiong yang sudah kawakan, tapi akhirnya
tidak urung ia memuji juga atas kecepatan pihak musuh-
musuhnya itu.

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mitopos lalu berkata kepada Kinlungo, yang artinya
lebih kurang sebagai berikut: "Bocah ini hanya memiliki
jurus yang aneh saja, tapi bila bertempur lebih jauh, pasti
aku mempunyai akal untuk mengalahkannya."
Tampaknya karena tadi ia telah diabui oleh Lie Siauw
Hiong, maka kini dia masih merasa kurang puas terhadap
pemuda kita. Kinlungo dengan bahasanya sendiri juga menyahut:
"Tidak perduli bagaimana, kita harus menjauhkan mereka
dengan kurungan kita ini."
Mitopos meski berkedudukan sebagai Twa-suheng dalam
kalangan Po-lo-ngo-kie, tapi ia suka mengikuti petunjuk-
petunjuk Kinlungo yang terhitung sebagai saudara yang
termuda, berhuhung kecerdikan sutenya paling menonjol
diantara mereka berlima saudara.
Lie Siauw Hiong, Gouw Leng Hong, Kim Ie dan Sun Ie
Tiong berempat sekalipun belum pernah menampak sampai
dimana kebebatannya kurungan bangsa asing ini, tapi
dalam hati mereka yakin bahwa kurungan ini pasti akan
hebat sekali. Lie Siauw Hiong dengan sikap yang tenang melihat
kurungan tersebut, kemudian dengan kecerdikannya ia
segera dapat menduga, bahwa Mitopos menempati
kedudukan 'Tin-cu' (pemimpin barisan), dengan Katar dan
Unjengporo berdiri dikiri-kanannya, sedangkan Cindu
Arbat dan Kinlungo berdiri dihadapannya!
Dengan tekun ia memutar otak untuk memecahkan teka-
teki barisan ini sambil berpikir didalam hatinya: "Twako,
Sun Ie Tiong dan Kim Ie, mereka bertiga sekalipun tidak
mengetahui jelas tentang barisan ini, tapi terhadap dalil
'dengan tenang mengatasi gerakan lawan', pasti mereka
dapat memahaminya, oleh karena itu, asal lawan tidak
bergerak, kita pasti tidak akan bergerak juga, maka kini aku
harus mencoba menempuh bahaya ini .."
Keadaan disekeliling mereka begitu sunyi dan senyap,
sehingga jatuhnya salju dapat terdengar dengan nyata.
Dalam pada itu Lie Siauw Hiong dengan tajam
memandang pada barisan tersebut, sedangkan didalam
hatinya ia menimbang-nimbang: "Tidak perduli barisan
apakah ini, pendeta katai itu pastilah 'pemimpin barisan' ini.
Sebentar bila pertempuran sudah berlangsung, aku harus
menjatuhkan serta membekuk sikatai ini .., bila dengan
berbuat demikian ternyata tidak membawa hasil apa-apa,
sedikitnya tindakanku ini akan dapat juga mengacaukan
barisan ini .." Kemudian dengan memperdengarkan suara "sret",
ternyata sabit ditangan Mitopos telah dikibaskannya
sehingga melayang keudara ..
Tatkala itu benar saja, Gouw Leng Hong, Sun Ie Tiong
dan Kim Ie sambil menghunus pedang masing-masing,
menatapkan mata mereka atas gerak-gerik lawannya itu ..
Lie Siauw Hiong yang mengetahui, bahwa ia tidak boleh
menyia-nyiakan waktu, sambil menghempas semangat
pedang Bwee-hiang-kiamnya dengan mengeluarkan sinar
yang mengkeredep-keredep dengan ditimpali oleh gerakan
kakinya yang pendek ia telah menggeser tubuhnya hingga
setengah tombak jauhnya, sedang sinar pedangnya
mengurung dalam jarak tiga tombak, dengan tangan kirinya
diam-diam dipersiapkan unuk memukul lawannya dimana
kesempatan terbuka. Jurus yang dipakainya ini telah diambil dari pelajaran
'Tay-yan-sip-sek', yaitu yang disebut 'But-hoan-seng-ie'
(benda-benda bertukar tempat dan bintang beralih arah),
tapi ilmu yang dipergunakan oleh Lie Siauw Hiong ini jauh
lebih hebat daripada apa yang pernah digunakan tadi oleh
Sun Ie Tiong. Pada saat itu Lie Siauw Hiong telah menggunakan
tenaga sepenuhnya, dengan perhitungan bahwa disamping
'Tiga Dewa Diluar Dunia', pasti tidak ada orang yang dapat
menyambut serangannya itu.
Orang-orang yang berada dalam gelanggang tersebut dan
menampak Lie Siauw Hiong telah mulai bergerak, mereka
jadi terkejut bukan kepalang, tatkala pedang Bwee-hiong-
kiam Lie Siauw Hiong dengan kecepatan luar biasa telah
membabat kearah para lawannya ..
Mitopos jadi berseru keras dan menghentikan gerakannya dengan sekonyong-konyong, sambil mempergunakan sabitnya bagaikan sebatang tombak
bercagak saja agaknya. Lie Siauw Hiong jadi terkejut juga, karena ia tahu bahwa
tipu yang digunakannya itu mengandung banyak sekali
perubahan, tapi cara penangkisan yang dilakukan oleh
Mitopos itu sungguh aneh dan tepat sehingga ia merasa
tidak leluasa untuk melancarkan serangannya selanjutnya.
Karena kemana saja serangan itu dilancarkannya, tusukan
maupun babatannya selalu bagaikan dirintangi oleh dinding
tembok baja yang tidak mudah untuk ditembusnya.
Dia yang sesudah menggunakan pelajaran 'Tay-yan-sip-
sek' dan baru unuk pertama kalinya merasakan kejadian
tersebut, tangan kanannya yang telah gagal menyerang
musuh tentu saja tangan kirinyapun tidak berkesempatan
untuk melancarkan serangannya pula, hingga dengan ini tak
terasa lagi ia menjadi sangat gugup dan insyaf, bahwa tidak
seharusnya ia menggencet tenaga-dalam sipendeta katai itu
.. Justeru pada waku itu, dibelakangnya ia mendengar ada
suara senjata yang saling beradu, suatu tanda bahwa yang
lainpun sudah mulai turun tangan. Sedang Lie Siauw Hiong
sendiri yang merasakan dibebokongnya ada angin keras
yang menyampok dirinya, buru-buru ia mengenjot
badannya melayang keatas guna menghindarkan bokongan
gelap itu. Tapi ketika baru saja ia berdaya unuk
menggempur bagian bawah lawannya, sekonyong-konyong
ia merasakan kearah kakinya ada angin pula yang
menyambar, maka dengan tidak menoleh pula diapun
segera mengetahui, bahwa laso Kinlungo itulah yang kini
telah menyerangnya hingga dalam kekagetanuya ia memuji,
betapa cepatnya perubahan pihak musuh yang mengatur
barisan untuk mengepung mereka berempat.
Tapi ketika baru saja ia berhasil dapat menghindarkan
dirinya dan ingin turun kembali kebumi, laso Kinlungo tiba-
tiba sudah membabat sampai .. inilah sesungguhnya suatu
tipu hebat yang dipakai oleh Kinlungo, sehingga Lie Siauw
Hiong hampir saja menemui kecelakaan. Tapi sekonyong-
konyong sepasang kaki sipemuda telah ditendangkan ke
bawah, sedangkan badannya mengapung kembali keatas,
dengan suara laso Kinlungo berjeter nyaring menyabet
tempat kosong lewat dibawah tapak sepatu lawannya. Dan
begitu Lie Siauw Hiong kembali kebumi, dari kiri-kanannya
senjata lawannya telah menyerang sampai, maka dengan
penuh kekuatan ia menangkis serangan para lawannya,
kemudian ketika baru saja ia menggeser kakinya setengah
langkah, tiba-tiba laso panjang milik Kinlungo telah
menyambar untuk memukul kepalanya.
Dengan terkejut dan nekad Lie Siauw Hiong telah
melancarkan tiga kali serangan yang saling susul-menyusul,
dan diwaktu ia melirikkan matanya memandang pada
Gouw Leng Hong, Kim Ie dan Sun Ie Tiong, mereka inipun
tampaknya sangat gugup sekali.
Barisan Po-lo-ngo-kie semakin berputar semakin cepat
gerakannya, hingga laksana ratusan senjata yang mengurung mereka, dengan hanya mengandalkan tenaga
seorang saja sudah tentu tak berdaya ia untuk mengungguli
para lawannya. Mitopos dengan berhadap-hadapan telah melancarkan
penyerangannya, Kinlungo dan Cindu Arhat yang masing-
masing menggunakan pedang laso lalu saling membantu
diwaktu pemimpin mereka melakukan penyerangan,
kemudian ditambah lagi dengan Katar dan Unjenporo yang
dari samping yang maju dengan bergantian untuk
membantu kawan-kawan mereka, sehingga barisan ini
tampak sangat rapat sukar sekali untuk ditembusi.
Kian lama Lie Siauw Hiong merasakan tindihan pedang
para lawannya kian bertambah berat saja, maka dengan
sepenuh tenaganya ia telah melancarkan sepuluh kali
penyerangan dengan beruntun. Tapi, bukan saja cara itu
tidak berhasil, malahan bertambah sibuk saja ia menghadapi para lawannya, karena ketika baru saja ia
menangkis pedang yang satu, yang empat lainnya sudah
menjurus datang, hingga ini sangat sulit untuknya akan
dapat menembusi pertahanan lawan yang kokoh itu. Oleh
karena itu, sambil kertek gigi ia telah memutar otaknya, tapi
unuk sementara belum berhasil ia dapat menemui jalan
keluar dari dalam kepungan para musuhnya itu.
Mitopos dengan langsung menusukkan sabitnya pada Lie
Siauw Hiong, hingga pemuda itu mundur kearah kanan
setengah langkah, tapi dengan berbuat demikian, ia malah
membentur punggung Gouw Leng Hong ...
Ternyata kian lama mereka terkurung kian rapat oleh Po-
lo-ngo-kie, karena jika tadinya mereka terpisah puluhan
tombak jauhnya, sekarang mereka seakan-akan sudah saling
belakang-membelakangi diantara mereka berempat.
Selama itu Lie Siauw Hiong yang berlaku agak lengah,
sepotong baju dilengannya telah kena terbabat putus oleh
sabetan laso Kinlungo. "Sret!" terdengar pedang Sun Ie Tiong kena dibabat
kutung oleh pedang Cindu Arhat, hingga dengan
terhuyung-huyung ia mundur setengah langkah, dengan
mana ia baru insyaf, bahwa pedang lawannya itu
sesungguhnyalah sebilah pedang mustika yang tajam tiada
taranya. Sementara Gouw Leng Hong yang berlompat-lompat
kekiri dan kanan, keringatnya mengucur deras bagaikan
hujan, hingga lengan kanannya dirasakannya kian lama
kian bertambah berat saja dan perlahan-lahan hampir tak
tahan pula .. Pada saat itu hujan salju sudah berhenti turun, langit
tampak kelabu, gunung Ouw-kee-san tampak berdiri
dengan tegak bagaikan seorang raksasa yang sangat
menyeramkan sekali. Barisan Po-lo-ngo-kie semakin lama semakin ciut, hingga
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong merasa agak tidak
tahan, sedangkan Sun Ie Tiong yang sudah terbabat
sepotong pedangnya, tampaknya sudah tidak mempunyai
semangat unuk bertempur pula ..
Hanya Kim Ie saja, sambil membisu ia bertahan terus.
Diantara keempat orang ini, memang dialah yang paling
banyak pengalamannya, malahan diapun paling kejam, apa
lagi kini pertempuran sudah mencapai titik darah yang
penghabisan, dia seakan-akan tidak terpengaruh oleh tiga
kawan seperjuangannya, permainan pedang 'Pek-ciok-kiam-
hoatnya' telah dilancarkannya begiu rupa, hingga jika
ditimpali dengan mukanya yang seram, sesungguhnya telah
membuat suasana jadi semakin mengerikan saja.
Begitu pedangnya tampak menyambar kekiri baru saja
dilancarkannya setengah jalan, tiba-tiba ia sudah menariknya kembali dan diteruskan menusuk kesebelah
kanannya, hingga Unjenporo disebelah kirinya yang tengah
melancarkan serangan pada pundaknya, tampaknya sama
sekali tidak diperdulikannya ..
Kemudian dengan mengerutkan sepasang keningnya dan
memperdengarkan suara "bles!" yang agak nyaring,
pahanya Katar telah tertusuk pedangnya, sedangkan pedang
Unjenporo telah menusuk pundaknya sehingga setengah
dim dalamnya. Dilain pihak Mitopos dengan lincahnya coba menyerang
pada Lie Siauw Hiong, dan tatkala Lie Siauw Hiong
dengan acuh tak acuh menangkis serangan lawannya itu,
sekonyong-konyong terdengar suara bentakan Kim Ie yang
penuh kemurkaan katanya: "Orang she Lie, mengapa kau
tidak berguna sekali?"
(Oo=dwkz=oO) PENUTUP Lie Siauw Hiong dengan kerasnya menangkis serangan
Mitopos hingga dengan memperdengarkan suara "trang"
yang nyaring sekali, hampir saja pedang Bwee-hiang-
kiamnya kena dibikin terpental oleh lawannya, maka
dengan cepat ia putarkan badannya kekiri dan kanan,
sedangkan kakinya dengan otomatis telah menggunakan
pelajaran 'Kit Mo Pouw Hoat' warisan Hui Taysu.
Waktu dia menolehkan kepalanya memandang, ternyata
pundak Kim Ie telah terluka dan dari situ darah segar telah
mengalir bercucuran, sedangkan wajah Leng Hong telah
penuh keringat. Maka setelah melihat Sun Ie Tiong dengan
pedang yang separuh sudah buntung tampaknya sudah
kehilangan semangat

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempurnya, buru-buru dia menggunakan jurus 'Leng-bwee-kut-bian' (bunga bwee
menyampok muka), yang kemudian disusul dengan tipu
'Ban-coan-hui-kong' (laksana mata air menyemperot
kelangit) unuk menyerang musuhnya, sedangkan mulutnya
lalu berteriak: "Pada beberapa tahun terdahulu murid Siauw-lim
urunan ketujuh Hui In Taysu dipuncak gunung Ciong-lam-
san dengan menggunakan ilmu 'Pouw-tat-sam-sek' telah
mengalahkan jago-jago ternama sebanyak dua puluh satu
orang kegagahannya tersebut masakah kau orang she Sun
tidak dapat menandinginya?"
Sementara Sun Ie Tiong yang mendengar perkataan
tersebut, semangatnya jadi terbangkit kembali, kemudian
dengan bersiul panjang ia berkata pada diri sendiri: "Aku
Sun Ie Tiong tidak boleh menodai nama baik kaum Siauw
Lim!" Lalu dia memusatkan kekuatannya pada lengannya,
dengan mempergunakan pelajaran 'Tay-yan-sip-sek' ia
serang lawannya dengan pedang yang sudah separuh
buntung itu. Lie Siauw Hiong dengan sekuat tenaganya telah
menahan serangan dua pedang lawannya, kakinya digeser,
dan ujung kakinya dengan erat menempel pada bumi kaki
kanannya dengan gerak melintang membentuk separuh
bundaran menyapu pada lawannya, sedangkan pedangnya
dengan sekaligus menyerang kearah tiga orang lawannya.
Siapa tahu selagi dia menyerang, sekonyong-konyong
matanya menjadi kabur, hingga dalam sekejap mata saja
empat lima senjata lawannya telah meluruk pada dirinya
dengan sekaligus, hingga buru-buru dia mundur dua
langkah, kemudian dengan pedangnya ia mengeluarkan
jurus-jurus 'But-hoan-seng-ie' (benda-benda bertukaran
tempat dan bintang beralih arahnya) yang disusul dengan
'Hian-in-tam-eng' (lawan memperlihatkan bayangannya),
dengan jurus-jurus mana barulah dapat dia mempertahankan diri dari pada serangan para lawannya
itu. Tapi sekonyong-konyong ia mendengar Mitopos berteriak dalam bahasanya sendiri.
Sebegitu lekas dia berteriak habis, lantas barisannya
tampak berubah, sedangkan kelima orang itu yang barusan
telah berputar-putar bagaikan kuda lari sekarang mereka
telah menambah kecepatan gerakan mereka, hingga
bagaikan angin cepatnya senjata-senjata mereka telah
mengancam para lawan mereka.
Tapi bahasa asing Mitopos malah menyadarkan Lie
Siauw Hiong yang lalu berteriak: "Twako, marilah kita
lawan cepat dengan cepat pula!"
Gouw Leng Hongpun menjadi sadar pula, maka setelah
bersiul panjang, mereka segera membentangkan ilmu dari
Thian-tiok yang langkah itu.
Tempo hari Peng Hoan Siangjin pernah mengatakan,
bahwa ilmu meringankan tubuh dari Thian-tiok itu, pada
suatu waktu pasti mempunyai kegunaan lainnya, hingga
tampaknya hal inilah yang dimaksudkannya oleh paderi tua
itu. Hanya tampak sinar putih dan merah yang berputar-
putar, karena Gouw Leng Hong dan Lie Siauw Hiong yang
telah membentangkan ilmu meringankan tubuh dari Thian-
tiok itu, ternyata kedua-duanya telah memasuki barisan
musuh, hingga sekejap saja mereka telah bercampur-baur
dengan orang para lawannya itu, yang kini barisan lima
orang itu dalam waku sedetik telah menjadi tujuh orang.
Hal mana telah membuat Po-lo-ngo-kie bingung dan tidak
mengetahui, apakah lebih baik mereka menyerang atau
bertahan saja" Kinlungo menjadi sangat terkejut dan didalam hatinya ia
berkata: "Eh, mengapa kedua orang ini dapat mengetahui
rahasia ilmu meringankan tubuh kita?"
Waktu memperhatikan terlebih cermat, dia bertambah
kaget dan marah, karena sesungguhnyalah, ilmu meringankan tubuh kedua orang lawannya itu bukan saja
mirip, malahan ilmu merekapun jauh melampaui kemampuan mereka berlima, hingga buru-buru dia berseru
untuk menyuruh kawan-kawannya berlaku lebih hati-hati
atas gerak- gerik musuh itu selanjutnya.
Begitu kedua sinar putih dan merah berkelebat, tahu-tahu
tubuh Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong sudah keluar
dari barisan mereka! Po-lo-ngo-kie saking herannya, memandang kepada
kedua orang muda itu dengan bengong terlongong-longong.
Sekonyong-konyong Mitopos berteriak mengatakan
sesuatu. Lie Siauw Hiong sekalipun tidak mengerti bahasa
mereka, namun dia masih sanggup menangkap maksud
mereka yang kurang lebih berkata: "Bocah, sambuti
seranganku sekali lagi!"
Dalam hati dia berpikir: "Sekalipun tenaga-dalammu
cukup hebat, masakah aku takuti kepadamu" .. Tempo hari
sampaikan pukulan gurumu masih dapat aku terima, konon
lagi kau yang hanya menjadi muridnya .."
Tampak rambut Mitopos pada berdiri saking geramnya,
sabit kecilnya disisipkan dipinggangnya, sedangkan sepasang tangannya yang satu dipakai menepok dan yang
satunya lagi dipakai mendorong kearah Lie Siauw Hiong.
Lie Siauw Hiong rasakan dadanya seakan-akan digencet
oleh angin yang keras sekali, tapi angin itu sungguh aneh
sekali, karena sekalipun tidak tajam, tenaganya yang seberat
ratusan kati terasa sampai dikulit bagaikan angin yang
menusuk sampai ketulang dan sumsum saja.
Pukulan ini yang tidak diketahui oleh Siauw Hiong
bernama 'Pek-to-han-sim-ciang' (pukulan unta alpaka) yang
dia telah latih selama sepuluh tahun. Ia tahu, asal saja
kakinya tergeser setengah langkah saja, maka dialah yang
berada dipihak yang kalah, Dia tidak berdaya unuk
menangkis serangan lawannya, karena sesungguhnya
tenaga-dalam lawannya berada disebelah atas dari pada
kemampuannya. Seluruh para hadirin yang menyaksikan pertempuran ini,
menahan napas dengan hati berdebar-debar. Kaki Lie
Siauw Hiong dengan kokoh menancap ditanah, pedang
Bwee-hiang-kiamnya membentuk separuh lingkaran, ketika
seluruh bajunya berkibar-kibar tertiup angin pukulan pihak
lawannya. Jangan dipandang ringan terhadap ujung pedangnya
yang hanya membentuk separuh lingkaran kecil itu, karena
dengan pelajaran 'Tay-yan-sip-sek' itu ia telah mengeluarkan
jurus 'Hong-seng-put-sip' (gerak tidak putus-putusnya),
sudah itu jurus tersebut telah berganti dengan jurus 'But-
hoan-seng-ie' (benda bertukaran tempat dan bintang-bintang
beralih arah), dan sebelum jurus itu selesai, lalu diubahnya
kembali menjadi 'Leng-bwee-kut-bian' (bunga bwee menyapu muka), hingga tiga jurus yang digabungkan
menjadi satu itu sungguh hebat sekali akibatnya.
Para hadirin yang berkepandaian tinggi sekali dalam
ilmu permainan pedang, mereka masing-masing sangat
memuji atas kecerdikan dan kelihayan cara bersilat Lie
Siauw Hiong itu. Dan tatkala terdengar suara "bet!" yang nyaring sekali,
ternyata angin pukulan Mitopos telah lewat melalui ujung
pedang Lie Siauw Hiong, sehingga batu dan pasir yang
berada disisi pemuda kita sama beterbangan dan hancur
lebur, sedangkan pemuda kita selembar rambutnyapun
tidak bergerak! Maka setelah termangu-mangu sebentar, Mitopos
sekonyong-konyong menengadahkan kepalanya tertawa
panjang dan begitu dia kibaskan tangannya, lalu dia
menarik tangan saudara-saudara seperguruannya diajak
pergi, hingga dalam berapa loncatan saja mereka telah
lenyap dari pandangan orang banyak.
Sementara Lie Siauw Hiong yang melihat para lawannya
telah kabur, lalu memasukkan kembali pedang Bwee-hiong-
kiamnya kedalam sarungnya dan setelah disitu ia berdiam
sejurus lamanya, barulah iapun membalikkan badannya.
Pada saat itu lagi-lagi Kim Ie telah berjongkok ditanah
menantikan ular 'Kim-siat-jie', tapi bersamaan dengan itu,
Leng Hong sendiripun tidak dapat menemukan Sun Ie
Tiong yang barusan berada disampingnya.
Dan selagi Siauw Hiong keheran-heranan, tiba-tiba
pundaknya terasa ada orang yang memegang, dengan satu
suara yang merdu dan empuk menyapanya: "Lie twako,
ilmu pedangmu itu sungguh luar biasa sekali!"
Ketika dengan hati berdebar-debar Lie Siauw Hiong
menolehkan kepalanya memandang, ternyata satu muka
yang cantik dan mungil terlihat dihadapannya, sehingga
tanpa terasa pula ia memanggil: "Ceng Jie!" Karena nona
itupun bukan lain daripada sigadis jelita Thio Ceng adanya.
Dalam kegirangannya buru-buru dia maju memeluknya,
ia mencekal tangan sinona yang kecil dengan empat mata
mereka saling beradu, sehingga mereka seolah-olah sukar
terpisahkan kembali. Sejurus kemudian ia merasa bahkan dibalik tubuh Thio
Ceng masih berdiri dua orang pula, yang satu adalah
seorang pendeta tua kurus, sedangkan yang lainnya lagi
adalah Sun Ie Tiong. Terhadap pendeta tua ini Lie Siauw Hiong tidak merasa
asing lagi, karena setelah berpikir sejenak dengan teliti,
sekonyong-konyong dia teringat akan pendeta yang naik
dipungung burung bangau dipulau Siauw-ciap-to dan
memanggil pada Peng Hoan Siangjin itu.
Belum lagi dia membuka mulut, ketika Ceng Jie sudah
mendahului berkata: "Twako, tempo hari waktu aku
bersama Gouw Twako berpisah, ternyata aku telah
tertangkap oleh seorang setan tua, aku tidak dapat melawan
padanya, karena aku telah tertotok olehnya. Dua kali aku
telah mencobanya melarikan diri, tapi kesudahannya tetap
saja aku tertangkap kembali olehnya."
Ketika baru saja Lie Siauw Hiong ingin menimbrung,
Ceng Jie sudah meneruskan perkataannya: "Setan tua itu
ternyata bukan lain daripada suteenya Giok Kut Mo. Dia
mengatakan bahwa ayahku telah membinasakan suhengnya, maka dia lalu menangkapku untuk memancing
ayahku keluar untuk menolongku. Hm, dengan menggunakan ilmu totok yang aneh, ia telah menotok tiga
puluh enam jalan darah besar dibadanku .."
Dalam kagetnya Lie Siauw Hiong hanya dapat
mengeluarkan perkataan " Aaaah" saja, kemudian dengan
tidak henti-hentinya Ceng Jie bercerita pula: " Belakangan
untung juga aku telah berjumpa dengan pendeta ini, dia
begitu melihat rantai yang kupakai ini, segera mengetahui
bahwa aku ini adalah anak ayahku, dia mengatakan pada
setan tua itu bahwa dia dengan ayahku pernah berjumpa,
belakangan sisetan itu telah melepaskan aku, tapi dia
ternyata amat sombong dan mengatakan, agar supaya
pendeta ini jangan turut campur tangan. Tapi bila dia berani
membandal, pasti dia akan dibinasakan .. Tapi, hm!
belakangan setelah pendeta ini menunjukkan kelihayannya
ternyata sisetan tua itu telah kena dilukakan dan lari terbirit-
birit. Twako, kepandaian pendeta ini sungguh hebat sekali,
aku kira jika dibandingkan dengan ayah, tidak banyak
selisihnya .." Sudah itu Lie Siauw Hiong segera bertanya: "Setelah
engkau tertotok, apakah yang telah terjadi selanjutnya?"
"Belakangan pendeta ini telah membawaku keguha ini,
dimana ia menyuruh Sun Ie Tiong menjaga dimulut guha
sambil mengatakan, bahwa siapapun tidak diijinkannya
keluar masuk guha tersebut. Sudah itu ia telah
menggunakan ilmu yang hebat untuk bantu membuka jalan
darahku yang tertotok oleh setan tua itu," Thio Ceng
mengakhiri penuturannya. Lie Siauw Hiong waktu berpikir cara bagaimana Sun Ie
Tiong telah melarangnya memasuki guha itu, kini barulah
dia sadar apa sebab musababnya.


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah Ceng Jie bercakap-cakap dengan penuh
kelincahan, sehingga Lie Siauw Hiong yang mendengarnya
merasa sangat tertarik sekali.
Sekonyong-konyong Sun Ie Tiong dari samping berkata:
"Couw-su-ya kau sekali-kali jangan pergi lagi .. teecu
dengan susah payah barulah dapat mencarimu, maka pada
kali ini kau harus pulang kekelenteng kami."
Lie Siauw Hiong dengan perasaan heran telah
memandang dan mendapatkan Sun Ie Tiong tengah
berlutut dihadapan pendeta tua itu, sedang hweeshio tua itu
hanya tersenyum saja sambil menggelengkan kepalanya.
Oleh karena itu, maka kini barulah dia mengerti jelas dan
lalu diapun berkata: "Cian-pwee, bukankah Cian-pwee ini
pendeta Siauw Lim yang bernama Leng Keng Taysu?"
Pendeta tua itu tertawa terbahak-bahak memutuskan
perkataan sipemuda, setelah itu dia mendongakan
kepalanya keatas dan bersiul panjang, tidak antara lama
maka datanglah seekor burung bangau putih raksasa yang
segera menghampiri kehadapannya.
Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong teringat sesuatu,
buru-buru dia berkata pada Ceng Jie:
"Kita harus lekas-lekas pergi ke Ouw-lam untuk mencari
ayahmu. Pada tiga hari yang lalu didunia Kang-ouw tersiar
kabar bahwa ayahmu karena ingin mencarimu telah
menerbitkan kegemparan besar didunia Kang-ouw .."
Dengan kegirangan Ceng Jie lalu berkata: "Ayah juga
mencariku" .. kau lihatlah!"
Waktu Lie Siauw Hiong menolehkan kepalanya,
tampaknya ia menjadi terkejut, karena entah dari kapan
Leng Hong secara diam-diam telah melenyapkan dirinya,
dan diwaktu dia memperhatikannya dengan cermat, dia
melihat disuatu tempat yang terpisah agak jauh terlihat
sesosok bayangan manusia yang kecil sekali. Lalu ia berniat
akan mengejarnya, tapi skeonyong-konyong pendeta tua itu
sudah berkata: "Bocah, tidak usah engkau mengejarnya
biarkan saja dia pergi .."
Lie Siauw Hiong jadi tercengang dan buru-buru
membatalkan niatannya akan mengejar Leng Hong.
Diwaktu dia menolehkan kepalanya memandang
kembali, dia lihat bayangannya Leng Hong sudah lenyap.
Ia pikir Leng Hong yang datang bersama-sama dengannya
dari tempat yang ribuan lie jauhnya, kini setelah berhasil
dapat menjumpai Ceng Jie, mengapakah diam-diam ia telah
melarikan diri" Tatkala berpikir sampai disitu, tidak terasa
lagi hatinya merasa tidak enak sekali.
Tapi pendeta tua itu (Leng Kheng Taysu) lalu menghela
napas panjang dan berkata: "Semuanya ini sudah
ditakdirkan oleh Thian Yang Maha Kuasa. Ia berwajah
tampan, tapi sayang sekali nasibnya buruk sekali. Akhirnya
dia akan menjadi seorang murid sang Budha, yang karena
otaknya yang cerdas, maka dibelakang hari ia pasti akan
menjadi murid Budha yang pandai. Oleh karena itu,
biarkanlah dan relakanlah kepergiannya itu .."
Leng Kheng Taysu lalu bersiul panjang dan naik keatas
punggung burung bangau raksasa yang berbulu putih itu,
yang segera membawanya melayang keangkasa raya.
Lie Siauw Hiong dengan perasaan terharu memandang
pada kaki langit disebelah sana, dengan perasaan tidak
mengerti mengapa Leng Hong telah melenyapkan diri
dengan secara diam-diam" Lebih-lebih dia tidak mengerti,
sebenarnya peristiwa celaka apakah yang telah menimpa
atas dirinya" Sekonyong-konyong terdengar suara Ceng Jie yang
merdu berkata: "Gouw Twako pasti mempunyai uursannya
sendiri, dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi, hingga
kita tidak usah menguatirkannya .."
Lie Siauw Hiong merasa sedih sekali, karena
kepergiannya itu mungkin juga berarti untuk selama-
lamanya ia tak akan saling berjumpa kembali, maka
diwaktu mendengar perkataan Ceng Jie, diapun tidak
menjawab apa-apa, kecuali dalam lubuk hatinya ia
menghadap: "Hanya aku harapkan .. sekalipun entah kapan
kita baru dapat berjumpa lagi, tapi aku berharap pada suatu
hari akan dapat juga menemuinya kembali .."
(Oo-dwkz-oO) Tatkala itu telah bulan tiga, dimana bunga-bunga liar
menyiarkan wanginya yang sedap.
Dibawah kaki gunung Kwie-san diluar kota Han Yang,
dipinggir sebuah telaga tersembunyi dibalik gerombolan
pohon-pohon bambu terletak sebuah kuil, didepan mana
terpancang papan merek yang bertuliskan: 'Sui-goat-am'.
Kuil ini letaknya sangat tersembunyi, hingga orang
banyak jarang sekali sampai disitu. Tapi pada saat itu ada
dua orang yang berpakaian bagaikan pengemis telah tiba
dipintu kuil tersebut, dengan salah seorang antaranya yang
berbadan gemuk tampak mengetuk pintu kuil itu.
Dengan mengeluarkan suara terkuak, terbukalah pintu
kuil itu, yang dibukakan oleh seorang pendeta wanita yang
masih muda belia, ia berbaju putih bagaikan salju,
wajahnya cantik, matanya hitam dan bagus, giginya putih
bagaikan mutiara, bibirnya dadu dan mulutnya mungil
bagaikan buah Tho, tapi amat disayangi, bahwa diantara
kecantikannya ini tersembunyi kesedihan yang dapat dilihat
jelas sekali. Kedua pengemis itu menjadi tercengang, karena tidak
menyangka bahwa dihutan bambu yang demikian sunyinya
itu terdapat seorang wanita muda belia yang demikian
cantiknya .. apa lagi dia adalah seorang pendeta wanita.
Tahukah pembaca mengapa wanita muda dan cantik
begini suka berkawan dengan kesunyian dan menjadi
muridnya Sang Budha"
Kedua pengemis tersebut setelah tercengang sebentar,
salah seorang yang umurnya lebih lanjut lalu berkata:
"Khonio, .. ah, bukan .. siauw-suhu (pendeta kecil)
bolehkah kami mendapatkan sedikit air untuk kami minum"
.. Kami terlampau haus karena melakukan perjalanan jauh
.." Pendeta wanita muda itu manggutkan kepalanya, lalu
dia putarkan badannya masuk kembali untuk mengambil air
yang diminta, kemudian barulah dia kunci pintu kuilnya
kembali. Kedua pengemis itu duduk dibawah sebuah pohon besar,
dimana sambil minum mereka bercakap-cakap.
"Ai, didunia yang demikian luasnya serta banyak
manusia sebagai penghuninya, kita disuruh mencari Kim
Bwee Ling seorang. Ini sungguh sulit bagaikan mencari
jarum ditengah lautan saja .."
Yang satunya lagi menjawab: "Siapa suruh Lie Tayhiap
menjadi tuan penolong partai kita" Mengenai urusan Lie
Tayhiap, sekalipun kaki kita bisa patah, kita wajib
mencarinya juga." Yang berkata duluan itu lalu berkata lagi: "Benar,
kepandaian Lie Tayhiap yang begitu hebat, aku orang she
Cian benar-benar merasa takluk. Jangan dia telah melepas
budi yang demikian besarnya terhadap partai kita, sekalipun
dia tidak pernah melepas budi terhadap partai kita, asal dia
berlaku baik terhadapku dengan rela akan membantunya
juga." Mereka bercakap-cakap demikian asyiknya, sehingga
mereka tidak menyangka, bahwa dibalik pintu kuil
sipendeta wanita muda itu tengah mencuri dengar
percakapan mereka berdua. Dan diwaktu dia mendengar
namanya disebut-sebut, mukanya yang pucat seketika
menunjukkan semu merah, sesungguhnya perasaan dalam
lubuk hatinya tengah berperang.
Dia seperti seorang yang sudah terjatuh dalam peristiwa
yang lampau, mukanya tampak memerah, dimulutnya
mengunjukkan senyuman yang manis, tapi senyuman itu
lenyap dengan perlahan-lahan, akan kemudian pada muka
itu terlihat kembali kesedihan hatinya, hingga barang siapa
yang melihatnya, pasti ia akan merasa kasihan terhadap
dirinya .. Dengan menguatkan hati ia telah menahan keluar
airmatanya, sambil dengan diam-diam berkata pada dirinya
sendiri: "Hiong Koko, kau seumur hidupmu pasti tak akan
menjumpaiku kembali .., Hal ini mungkin juga sudah
ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa. Sejak aku
dilahirkan, mungkin juga aku harus bernasib malang, tapi
mengapakah engkau begitu kejam, hingga segala kecelakaan telah kau timpakan kepadaku seorang gadis
yang lemah?" Belakangan waktu dia terpikir pada kata-kata pengemis
diluar itu, diam-diam ia telah menghibur dirinya sendiri:
"Hiong Koko belum tentu mengingatku senantiasa,
hingga ini sudah cukuplah, dan biarlah kita putuskan
perhubungan kita sampai disini saja .., karena tak ada jalan
lain yang lebih 'baik' lagi daripada itu .. Hiong Koko, kau
tak usah mencariku lagi, kau pasti tak kan dapat mencariku
.. Aku senantiasa mendoakan atas keselamatan serta
kebahagiaanmu .." Begitulah dengan perlahan-lahan ia telah memutarkan
badannya, ia memandang pada patung dewi Kwan Im.
Sinar matahari yang menerobos dari jendela telah
memantulkan sinarnya diatas patung dewi tersebut, hingga
ini memberi suatu pemandangan yang indah permai. Lalu
dia jatuhkan dirinya berlutut, kemudian menyulut hio
wangi dan ditancapkannya dihiolouw, yang asapnya
bergulung-gulung naik keatas dan lenyap dengan melalui
sinar matahari. Demikian juga suara doa pendeta wanita
muda ini pelahan-lahan telah mengikuti naiknya asap hio
menuju kesorga Sang hari perlahan-lahan telah mulai menjadi gelap,
sedangkan mataharipun lambat-laun tenggelam pula
memasuki awan ketempat peraduannya diufuk sebelah
barat (Oo-dwkz-oO) TAMAT Kisah Si Rase Terbang 6 Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya Pedang Golok Yang Menggetarkan 18
^