Pencarian

Pendekar Pedang Sakti 21

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Bagian 21


ganas, hingga sambil berseru keras ia telah menukik sambil
menghujani bacokan kepada lawannya.
Jurus tersebut tampaknya sepele saja, tapi ternyata
mengandung perubahan yang tak disangka-sangka, hingga
Li Gok yang cukup maklum akan kedahsyatannya serangan
itu, lagi-lagi ia menjadi terkejut pula. Kemudian sambil
bersiul panjang dan secara keras lawan keras menangkis
serangan Lie Siauw Hiong. Sedang Lie Siauw Hiong yang
sudah maju pesat sekali dalam tenaga-dalamnya, iapun
sudah bertekad dalam mengadu kekuatan dan sekalian
hendak membinasakan lawannya.
Siapa tahu lawan itupun sudah memiliki tenaga-dalam
yang cukup tangguh. Karena begitu pedang mereka saling
menempel, seolah-olah ada suatu tenaga yang kian lama
kian bertambah kuat menindih kepadanya, sehingga tidak
terasa lagi dia merasa agak terperanjat juga.
Segera juga dia menarik kembali tenaga-dalamnya yang
lalu dipergunakannya untuk menempel tenaga dalam
lawannya. Dan setelah mereka menempelkan pedang
mereka satu sama lain, tampak tubuh pemuda itu kian lama
kian maju kemuka. Kejadian ini telah berlangsung dalam waktu yang pendek
sekali, dan selama itu Lie Siauw Hiong telah mengetahui,
bahwa daya kurungan pedang lawan-lawannya itu dapat
berubah-ubah dengan amat cepatnya, sedangkan serangan-
serangan para lawan itu selalu mengancam dari arah
delapan penjuru angin. Jika dikatakan lambat, tapi kejadiannya ternyata sangat
cepat, demikianlah dengan mengempos semangatnya,
tangan kiri Siauw Hiong segera menggunakan jurus 'Pek-
lian-kay-kong' (ratusan ingatan kosong melompong) dari
ilmu pelajaran Kong-kong-kun-hoat yang telah dipelajarinya dari Peng Hoan Siangjin. Dengan pesat sekali
ia telah memapas tulang rusuk lawannya.
Li Gok tanpa ragu-ragu sudah melompat mundur dengan
amat cepatnya, tapi karena pedangnya kena ditempel oleh
pedang Lie Siauw Hiong, maka iapun sulitlah untuk
menarik pedangnya, hingga ia terpaksa segera balas
menyerang pemuda itu dengan menggunakan tangan
kirinya juga. Lie Siauw Hiong yang merasakan badannya disambar
oleh angin kepalan lawannya, diapun segera mengetahui,
bahwa lawannya telah membokong dirinya, maka dia tak
berani berlaku ayal-ayalan pula dan dengan cepat dia tarik
kembali pedangnya. Dan tatkala senjata itu disabetkan
kebelakang, tuhuhnyapun ikut pula berputar dengan
dibarengi oleh suara "traaang" yang keras sekali. Karena
pada saat itu ternyata dia telah berhasil menangkis serangan
gelap lawannya, dan bersamaan dengan itu, ia segera
melanjutkan serangannya pada Li Gok.
Serangan sekali ini telah dilakukan Siauw Hiong dengan
sepenuhnya tenaga, halmana terbukti dari angin yang
menderu-deru, hingga kekuatannya ini sangat mengejutkan
para lawannya. Dengan wajah tenang Li Gok maju kemuka
untuk menangkis serangan pemuda itu.
Sambil bersiul panjang Siauw Hiong telah menggunakan
langkah Kit Mo Pouw Hoat yang begitu cepat dan lincah,
sehingga dilain saat tubuhnya telah melambung ditengah
udara dan berputar-putar demikian indahnya, dengan mana
ia masih sempat menangkis ujung pedang Li Gok.
Kemudian dengan gerakan secepat kilat ia menghajar
lawannya dengan tangan kirinya.
Tapi Li Gok yang bermata celi, segera tangan kirinya
dikibaskan untuk memunahkan serangan lawannya.
Sudah itu Siauw Hiong membalikkan tangan kirinya
dengan mempergunakan jurus 'Ban-coan-hui-kong' (laksana
sumber air menyerbu udara) dengan mana ia telah
membuyarkan kesamping tenaga ribuan kati dari Li Gok.
Dalam waktu yang bersamaan, tampak sepasang kaki
Lie Siauw Hiong bergerak dan menyerbu bagian bawah dari
pihak lawannya, Li Gok yang sudah terlanjur membalas
menyerang pada si pemuda, tatkala melihat serangan
balasan lawannya kembali menyerang kepadanya, tidak
terasa lagi ia menjadi terkejut sekali, sebaliknya Lie Siauw
Hiong berseru: "Lepaskan tanganmu!"
Tangan kanannya memperhebat tenaga-dalamnya untuk
menggempur musuh, sedangkan sepasang kakinya segera
digerakkan untuk menyapu dan menendang bagaikan kilat
cepatnya. Tapi biar bagaimanapun juga Li Gok sebagai salah
seorang terkemuka dikalangan Rimba Persilatan, pengalamannya sudah banyak dan luas, dengan cepat dia
sudah mengambil keputusannya, kemudian tangan kanannya menjadi kendor dan tangan kirinya digunakan
untuk menangkis serangan pemuda itu.
Lie Siauw Hiong jadi tertawa menampak aksi lawannya.
Lalu tangan kanannya diulurkan dengan cepat, dengan
mana dia sudah berhasil merampas kembali pedang Bwee
Hiang Kiamnya, sedangkan tangan kirinya dengan tidak
melihat-lihat lagi sudah menangkis serangan lawannya.
Dan tatkala tangan kanannya telah dikibaskannya, ia
membentak dengan suara nyaring: "Inilah yang disebut
barang sudah kembali pada pemiliknya yang sah, apakah
engkau situa-bangka she Li masih juga belum mau
menyerah?" Lalu dia lemparkan pedang biasa yang sejak tadi dia
pakai dalam pertempuran itu, sudah itu ia mengelus-elus
tubuh pedang Bwee Hiang Kiamnya yang dirasakannya
luar biasa sekali tajamnya. Maka dengan kembalinya
pedang itu kedalam tangannya, semangat bertempurnya
pun menjadi berkobar-kobar, hingga tidak terasa lagi ia lalu
berseru panjang. Tapi siapa tahu Li Gok yang sudah ulung pengalamannya, sekalipun menderita kekalahan yang
tragis, tapi masih saja tidak merasa puas, maka dengan
tangan kanannya lagi-lagi dia memapas kepada lawannya.
Ternyata dia sudah penuh keyakinan akan berhasil,
karena dengan cepatnya diapun sudah menarik keluar
pedang Ie Hong Kiam dari dalam sarungnya, yang segera
ditabaskan dengan gerakan secepat kilat kearah Lie Siauw
Hiong. Lie Siauw Hiong jadi sangat terkejut dan segera berkelit
dengan cepatnya, tapi tidak urung beberapa lembar
rambutnya telah kena juga terpapas kutung oleh pedang Ie
Hong Kiam Li Gok yang amat tajam itu.
Lie Siauw Hiong setelah berhasil dapat mengelitkan
serangan lawannya ini, tidak terasa lagi dia sampai
mengeluarkan keringat dingin karena kagetnya. Kemudian
setelah menetapkan semangatnya, lalu dia berkata dengan
suara dingin: "Tampaknya kau tua bangka ini masih
menyembunyikan kepandaian yang cukup berarti. Bila
memang kau memilikinya, silahkan keluarkan saja
seluruhnya!" Dia mengatakan begitu karena dia tadi merasakan betapa
kuatnya tenaga-dalam orang tua tersebut.
Dan perkataannya ini ternyata mengandung kebenaran
dan kenyataan, karena sesungguhnya Li Gok tadi telah
mengeluarkan kepandaian keturunan partainya yang
tersebut 'Siang-ceng-kie-kang'.
Tempoh hari begitu dia terima surat undangan Lie Siauw
Hiong, dengan segera dia perlihatkan surat tersebut pada
Cia Tiang Kheng, dan tatkala dia telah berhasil melatih
tenaga-dalamnya begitu rupa, hingga jika dibandingkan
dengan dahulu, kini dia sudah maju pesat sekali. Maka
setelah sekarang dia mengetahui tak ada gunanya untuk
menyembunyikan diri lagi, lantas dia pergi kegunung Ngo
Hoa San, karena sekalipun usianya sudah lanjut, tapi
kelicikan serta kejahatannya tidak menjadi berkurang. Ia
yakin bahwa dirinya sendiri tidak mungkin dapat
mengungguli diri Lie Siauw Hiong, maka dia tidak lupa
untuk mengundang bala bantuan pula.
Pada waktu Lie Siauw Hiong telah berhasil merampas
pedangnya kembali, barulah Li Gok mengeluarkan tenaga
aslinya yang luar biasa itu, hingga dengan satu kali
berbentrokan saja, telah membuat Lie Siauw Hiong hampir
saja terjatuh dan binasa.
Kejadian ini telah menambah semangatnya tidak sedikit.
Tapi waktu melihat Lie Siauw Hiong dalam keadaan yang
begitu berbahaya masih saja dapat memperlihatkan gerakan
kaki yang sehebat dan selincah itu, hal ini sesungguhnya
berada diluar dugaannya sama sekali. Karena sejak dia
pulang dari pertemuan dipuncak gunung Thay-san tempo
hari, dia telah sempat memperkuat daya penyerangan
maupun daya tahan dari barisannya sendiri.
Maka Li Gok yang menampak serangannya tidak
berhasil, hatinya diam-diam merasa gegetun dan sayang,
tapi dia tidak mau tinggal diam saja, karena dari belakang
lagi-lagi dia melancarkan serangan pada Lie Siauw Hiong.
Sementara Lie Siauw Hiong yang menampak aksi
lawannya ini, tanpa melihat-lihat lagi hanya memutarkan
tangannya dengan acuh tak acuh, sebentar ke Timur dan
sebentar ke Barat, tapi dengan gerakan seaneh itu pemuda
ini telah dapat memecahkan serangan musuhnya itu.
Kemudian dengan suara yang sombong ia berkata: "Orang
she Li, kini berhati-hatilah menghadapi serangan balasan!"
Belum lagi suaranya itu habis, ketika pedangnya sudah
menyambar kearah Li Gok. Dengan pedang Bwee Hiang Kiam berada dalam
genggaman tangannya, tanpa ragu-ragu pula Siauw Hiong
mempergunakan ilmu gerakan kaki dari pelajaran 'Kit Mo
Pouw Hoat', hingga dengan gerak itu dan pedangnya ia
telah menyerang musuhnya dengan sekaligus. Sedang
Gouw Leng Hong yang juga sudah mengetahui, bahwa saat
ini adalah saat melakukan gerak penjepitan untuk
memusnahkan desakan kepungan barisan pedang lawan
mereka, segera menggunakan ilmu pedang dari leluhurnya,
yaitu Toan-hun-kiam-hoat, dengan mana ia telah melancarkan serangan hebat yang digabungkan dengan
gerak kaki yang mereka baru pelajari dari kitab Sansekerta
yang telah diturunkan oleh Peng Hoan Siangjin, hingga
dengan ini mereka berdua benar-benar telah membingungkan pihak lawan mereka.
Begitulah dengan menerbitkan suara "cros" beberapa
kali, sepasang pedang mereka bagaikan tembok yang rapat
sekali telah menggencet lawan-lawan mereka dari kiri-
kanan dengan amat hebatnya.
Sekali ini, benar-benar lawan mereka tengah mengalami
ancaman yang gawat sekali.
Begitu badannya berkelebat, Lie Siauw Hiong sudah
keluar dari kurungan pedang lawannya, kemudian dengan
ganasnya dia menusukkan pedangnya kearah Li Gok,
sambil berbareng melanjutkan gerakan pedang itu untuk
dipakai menyerang Kouw Am.
Kedua orang ini setelah berhasil menembus kurungan
barisan pedang musuh, bagaikan ikan yang ketemu air
kembali, dengan gesit mereka menerobos kesana kemari
dan dengan memperdengarkan suara "Cras, cras" beberapa
kali, pedang Lie Siauw Hiong berulang kali telah beradu
dengan pedangnya Li Gok. Begitu kedua lawan lama ini mengeluarkan kekuatan
masing-masing, maka Li Gok mengetahui, bahwa menang-
kalahnya adalah ditentukan dalam saat ini juga. Dengan
berseru dia memusatkan seluruh kekuatan serta kemahirannya dalam usaha melawan lawannya, dengan
beruntun pedang mereka saling beradu pula untuk kesekian
kalinya, kemudian Lie Siauw Hiong dengan memusatkan
seluruh kekuatannya pada tangan kanannya yang mencekal
pedang, dengan tangkas dia menangkis pedangnya Li Gok.
Dan atas penangkisan pedang sipemuda sekali ini, Li Gok
tidak dapat mempertahankan lebih lanjut, berhubung
pedangnya dengan serta merta, terlempar keudara!
Kiam-sin Li Gok sekalipun mengalami kekalahan,
tidaklah ia menjadi gugup, tapi dengan menggunakan
tangan kirinya ia menjaga dadanya, sedang tangan
kanannya tetap melancarkan serangan balasan pada


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda kita. Lie Siauw Hiong sambil tertawa panjang dan dengan
gerak acuh tak acuh, lalu dia tancapkan pedangnya kedalam
tanah, kemudian dengan tangan kosong dia menangkis
pukulan lawannya. Tenaga yang dikeluarkannya ini benar-benar sangat
hebat, hingga dengan menerbitkan suara "Pak!" yang amat
nyaring, beradulah kedua tangan tersebut. Dan sewaktu
kedua tangan itu saling beradu, Lie Siauw Hiong lalu
menarik-kekuatan tangannya dengan menyedot tangan
lawannya, sehingga tangannya Li Gok melekat erat sekali.
Sedangkan dipihak lainnya, Gouw Leng Hong dengan
memutarkan pedangnya telah mengurung ketiga orang
lawannya, dan dengan pedangnya yang dimainkan
sedemikian dahsyatnya, ia telah dapat menggiring ketiga
lawannya mundur kesebelah kiri. Karena tak mau ia
dibantu oleh pemuda kita, maka begitulah dia menggiring
Cek Yang dan kawan-kawan kearah kiri.
Li Gok yang mengadu lweekang dengan Lie Siauw
Hiong, akhirnya telah mulai tampak siapa yang bakal
menang dan siapa pula yang akan kalah, karena biarpun ia
telah mengempos semangatnya, tetap tidak urung ia telah
terdesak juga oleh lawannya sehingga napasnya empas-
empis. Kouw Am dan Cek Yang Tojin yang tidak mengetahui
maksud pemuda she Lie itu, karena terpisah dari
gelanggang pertempuran itu, maka merekapun tidak dapat
saling bantu kawan-kawannya, lebih-lebih karena Gouw
Leng Hong telah memainkan pedangnya bagaikan angin
cepatnya, hingga sesaat lamanya mereka tak berdaya akan
keluar dari kalangan pertempuran barang setindakpun.
Sekonyong-konyong Cia Tiang Kheng dan Cek Yang
Tojin, dengan gerakan yang berbareng mendesak kepada
Gouw Leng Hong, sedang Kouw Am menggunakan
kesempatan ini untuk buru-buru melepaskan diri dan berlari
kearah Li Gok, untuk membantu kawan itu yang mulai
keteter. Halmana, telah membuat Gouw Leng Hong
menjadi terperanjat, hingga dengan cepat dia putarkan
pedangnya untuk menghalang-halangi jalan larinya Kouw
Am, tapi tetap dia tidak berhasil. Maka setibanya Kouw
Am disisi kawannya, buru-buru ia mengulurkan tangannya
kepunggung kawannya, dengan jalan mana ia telah
membantu menyalurkan kekuatan lweekangnya pada
kawannya untuk melawan musuh.
Ternyata tenaga-dalam Kouw Am tak dapat dicela,
karena begitu ia membantu Li Gok, Lie Siauw Hiong segera
merasakan ada tenaga yang keras sekali menindih
kepadanya, hingga tidak terasa lagi semangatnya jadi
tergoncang juga, tapi buru-buru ia memusatkan kekuatannya untuk menahan tenaga lawannya itu.
Gouw Leng Hong yang melihat pemuda kita seakan-
akan agak keteter, iapun segera putarkan pedangnya
semakin cepat pula, sehingga lawannya terdesak hebat, dan
hanya Cia Tiang Kheng yang telah mengeluarkan
kepandaiannya yang seimbang dahsyatnya, barulah dapat
mempertahankan diri sehingga tidak terdesak kesuatu
pinggiran. Cek Yang yang melawan musuhnya semakin lama
semakin tidak ungkulan, sambil berseru keras pedang
ditangannya lalu digerakkan dengan menggunakan jurus
'Pun-tian-jip-lui' (kilat menyamber kedalam guntur) dari
pelajaran 'Kiu-kiong-sin-heng-kiam',
tiba- tiba ia mengajukan serangan menggertak untuk kemudian berlompat mundur. Gouw Leng Hong sama sekali tidak menyangka, bahwa
lawannya ini akan dapat berlaku sedemikian licinnya,
berhubung Cek Yang ingin sekali membantu Li Gok turun
tangan terhadap diri Siauw Hiong, hingga tidak terasa lagi
hatinya jadi terkejut dan buru-buru menangkis serangan Cia
Tiang Kheng, akan kemudian ia segera memburu musuh
itu. Dengan sebat ia kelitkan tusukan pedang Cia Tiang
Kheng, sudah itu ia melesat menyusul Cek Yang, yang pada
saat itu sudah lari sejauh tiga tombak lebih. Oleh karena ia
telah mengetahui betapa kejam dan telengasnya Cek Yang,
maka dalam gugupnya tanpa memperhitungkan sesuatu
lagi, lekas-lekas ia bentangkan ilmu yang dipelajarinya dari
Peng Hoan Siangjin, yaitu ilmu mengentengi tubuh yang
berasal dari Thian-tiok. Ilmu dari Thian-tiok ini ternyata bukan omong kosong.
Karena begitu dia bentangkan ilmu tersebut, segera juga ia
mengejar Cek Yang Tojin bagaikan angin cepatnya.
Hati Cek Yang Tojin yang sangat gugup, telah membuat
ia berlari terlebih keras lagi, ketika dengan sekonyong-
konyong ia merasakan ada angin yang menyambar dari
arah belakangnya. Halmana sudah barang tentu, telah
membuatnya jadi terkejut bukan main, berhubung dia tak
mengetahui, bahwa kepandaian mengentengi tubuh Gouw
Leng Hong kini telah mencapai kesempurnaannya.
Dalam kekagetannya itu, ia segera mengirimkan tenaga-
dalam yang sehebat-hebatnya dari kejauhan, untuk
menyerang kepada Lie Siauw Hiong dengan jurus terlihay
dari partay Bu-tong yang bernama ilmu Kian-kun-cie.
Kekuatan ilmu Kian-kun-cie ini sesungguhnya sangat
luar biasa sekali, Gouw Leng Hong yang menyaksikannya
hal itu, matanya menjadi merah, maka sambil berseru keras,
tubuhnya mengapung kembali, kemudian dengan menggunakan jurus 'Thian-ma-heng-kong' (kuda semberani
berlari diawan) dia melewati kepalanya Cek Yang Tojin,
dengan sebelah kakinya dibarengi menendang dengan
sepenuh tenaganya kearah musuh itu.
Cek Yang Tojin tidak menduga bahwa Gouw Leng
Hong yang tubuhnya tengah berada ditengah-tengah udara
dapat mengeluarkan serangan yang selihay itu, maka buru-
buru ia berkelit dengan menggunakan jurus 'Hong-tiam-
tauw' (burung hong manggutkan kepala), mengelitkan
sepakan Gouw Leng Hong itu. Dan bertepatan dengan
kejadian tersebut, Lie Siauw Hongpun telah menggunakan
kesempatan untuk melangsungkan serangan balasan kepada
Cek Yang Tojin. Ketika tubuh Gouw Leng Hong masih berada ditengah
udara, sekonyong-konyong dia merasakan ada sinar pedang
yang berkelebat menyerang dirinya.
Waktu dia melirikkan matanya memandang, ternyata
Cia Tiang Kheng-lah yang melakukan penyerangan
tersebut, maka dengan membalikkan tubuhnya, dia segera
menangkis serangan musuhnya itu.
Sementara Lie Siauw Hiong yang kini dengan seorang
diri menghadapi tiga orang lawan, dia masih tetap dapat
mempertahankan dirinya dengan lebih bersemangat pula,
maka sambil tertawa terkekeh-kekeh ia berkata: "Para ahli
waris dari partai-partai yang terhormat, aku kira kalianpun
masih ingat kejadian sepuluh tahun yang lampau itu, yaitu
Bwee San Bin Tayhiap dengan seorang diri telah melawan
kalian bertiga juga, sedangkan Cia Loo-Su dengan secara
yang bukan main hebatnya telah membokongnya .."
Tatkala itu Li Gok telah menggunakan kesempatan
selagi Lie Siauw Hiong bercakap-cakap, diam-diam dia
telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga-dalamnya
untuk menggempur pihak lawannya, hingga Lie Siauw
Hiong merasa telapak tangannya agak panas, kemudian
dengan mengempos semangatnya yang menyala-nyala, dia
telah mempertahankan dirinya, sedangkan dari mulutnya ia
terus mengoce: "Kepandaian Cia Loosu yang bernama
Chit-coat-ciu-hoat atau 'tujuh pukulan maut' itu, benar-
benar hebat sekali, karena sekali totok saja Sin-kun telah
terkalahkan, dan nama yang didapatkannya sungguh
bukannya nama kosong belaka .."
Perkataan-perkataan yang diucapkannya itu, sepatah
demi sepatah sangat menusuk sekali perasaan lawannya,
hingga Cia Tiang Kheng yang mendengar perkataan
pemuda kita, dalam hatinya merasa pedih bagaikan disayat-
sayat oleh pisau tajam. Lalu pedangnya yang tajam tiba-tiba
ditusukkannya dengan hebat sekali, sehingga Gouw Leng
Hong yang menangkisnya masih merasakan kehebatan
getaran tenaga-dalam lawannya yang benar-benar amat
dahsyat, hal mana mau tak mau harus diakuinya juga.
Muka Cia Tiang Kheng pucat bagaikan besi, tapi ia telah
paksakan diri tertawa dingin sambil berkata: "Orang she
Lie, permusuhan kami tentu saja mempunyai jalan sendiri-
sendiri, yaitu permusuhan ada mulai dan akhirnya,
bagaikan hutang yang tentu pula ada penagihnya. Ayah
orang she Gouw ini, pada tahun yang lampau dibawah air
terjun telah membunuh ayahku, maka hutang jiwa itu kini
harus dilunaskan .."
Dan begitu ia selesai berkata, lalu pedangnya dipakai
membabat leher Gouw Leng Hong dengan gerakan secepat
kilat. Lie Siauw Hiong sebenarnya berkesan baik sekali
terhadap Cia Tiang Kheng ini, hingga apa yang
dikatakannya itu, hanya merupakan satu nasihat belaka.
Dia tidak tahu bahwa selama beberapa tahun ini siang dan
malam lawannya ini selalu terkenang-kenang atas kejadian-
kejadian yang telah lampau itu, sehingga pedomannya
sebagai 'seorang ksatria sejati yang boleh mati tapi tidak
boleh terhina orang', jadi semakin jelaslah dalam
kesimpulannya. Seketika itu juga tiba-tiba Gouw Leng Hong terdengar
berseru: "Berhenti .."
Teriakan Gouw Leng Hong ini adalah merupakan
pemusatan dari kekuatan tenaga lweekangnya, begitu
suaranya keluar sekeras suara genta, batu-batu seolah-olah
pada berhamburan, sehingga meski orang-orang yang
berada dalam gelanggang pertempuran itu rata-rata terdiri
dari jago-jago kelas satu, tidak urung mereka jadi terkejut
juga mendengar seruan Leng Hong yang memekakkan
telinga itu. Dengan menggunakan kesempatan selagi Cia Tiang
Kheng tengah terkejut, tubuhnya Gouw Leng Hong sudah
melesat tiba dan dengan cepat telah mencekal Cia Tiang
Kheng, hingga perbuatan ini telah membuat Cia Tiang
Kheng terkejut bukan kepalang. Maka sambil menghela
napas panjang ia berkata: "Bagus, orang she Gouw, apakah
kau merasa tidak puas .."
Dengan suara lantang Gouw Leng Hong menjawab: "Cia
Loosu, sekali-kali janganlah engkau salah sangka, aku .. aku
.." Dia yang sesungguhnya belum lama baru turun gunung,
sehingga pengalaman yang dikumpulkannya masih belum
cukup banyak, pada saat itu benar-benar tidak dapat
menjawab sebagaimana mestinya, oleh karena itu, dia
hanya dapat menjawab dengan suara yang tidak lancar:
"Aku .. aku .." dua perkataan saja, sedangkan perkataan
selanjutnya gagal keluar dari tenggorokannya, sehingga
saking gugupnya, seluruh mukanya menjadi merah saking
jengahnya. Sekonyong-konyong dari balik bayangan pohon Bwee
terdengar suara orang tua yang parau: "Cia Sieheng, coba
kau lihat, siapakah gerangan aku ini?"
Dari balik bayangan pohon Bwee tersebut, dengan secara
tiba-tiba terdengar suara orang, yang kedengarannya sangat
dingin sekali. Dan tatkala Cia Tiang Kheng mendengar
suara tersebut, ia jadi tercengang sekali. Sudah itu, diantara
pohon Bwee itu tampak berjalan keluar seorang tua dengan
tindakannya yang tenang sekali.
Cia Tiang Kheng dan Li Gok jadi sangat terkejut
menyaksikan perkembangan peristiwa ini, hingga muka
mereka menjadi pucat bagaikan abu dan tidak sepatah
katapun dapat diucapkan mereka disaat itu.
Para ciang-bun-jin dari masing-masing partai yang
berada dalam gelanggang pertempuran tersebut, semuanya
sama-sama berkeadaan demikian juga. Siapakah gerangan
orang yang muncul dihadapan mereka itu" Ialah orang yang
pada beberapa belas tahun yang lampau mereka telah
bokong dan mengira bahwa orang itu telah mati, yaitu Chit-
biauw-sin-kun Bwee San Bin!
Pada waktu yang lampau dimana Bwee San Bin pernah
mengembara di Kang-lam dan Kang-pak, tindak-tanduknya
selalu penuh diselubungi rahasia, hingga apa yang telah
dikatakannya, pastilah segera dikerjakannya. Dia sudah
berkebiasaan untuk berbicara dengan secara getas dan pasti,
halmana, jika dibandingkan dengan perkataan Li Gok,
tentu saja tidak sama, karena yang belakangan itu ternyata
perkataannya tidak dapat dijadikan pegangan yang teguh.
Begitu Chit-biauw-sin-kun Bwee San Bin muncul,
keempat orang lawannya menjadi terkejut bukan buatan,
hati mereka seolah-olah terasa kosong belaka, sedangkan
Bwee San Bin sendiri seakan-akan tidak menghiraukan
sama sekali atas kelakuan para lawannya itu, maka dengan
suara yang lemah-lembut ia berkata kepada Cia Tiang
Kheng: "Orang yang dilahirkan kedunia itu, tentu sekali
mempunyai cita-cita sendiri. Mengenai kelakuan dan
tindakan yang menyeleweng yang pernah dilakukan selama


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidupnya, asalkan dia dapat menginsyafi kesalahannya dan
mau mengubahnya, maka itulah masih belum terlambat."
Chit-biauw-sin-kun yang terkenal sebagai seorang Bun-
bu-coan-cay atau mahir ilmu surat dan bersilat dengan
sekaligus, tempo hari diwaktu pertama kali bertemu dengan
Cia Tiang Kheng, diapun mempunyai kesan-kesan yang
baik sekali terhadap diri anak muda ini.
Maka bersamaan dengan itu, ia sendiripun sering
berpikir: "Andaikata aku ini adalah dia sendiri, aku
bagaimana pula harus bertindak?"
Sekalipun Cia Tiang Kheng dengan totokannya pernah
memunahkan seluruh kepandaiannya, sampaikan jiwanyapun sangat terancam oleh karenanya, tapi kesannya
terhadap siorang she Cia tinggal tetap tidak berubah. Ia
sesungguhnya dapat memaafkannya atas tindakan Tiang
Kheng yang tidak disengaja itu, meski orang-orang
dikalangan Kang-ouw mengatakan, bahwa Bwee San Bin
amat sempit jalan pikirannya, hingga tidak kapok akan
permusuhan dibiarkan begitu saja tanpa dibalasnya. Maka
dengan tindakannya terhadap Cia Tiang Kheng pada kali
ini, bukankah itu berlawanan dengan kebiasaan sehari-hari
dikalangan Kang-ouw"
Lie Siauw Hiong sendiripun mempunyai kesan yang
cukup baik pula terhadap Cia Tiang Kheng ini. Sekarang
dengan munculnya dia disitu, adalah untuk mewakilkan
orang tua itu menuntut balas kepada musuh-musuhnya,
maka pada saat itu ketika ia mendengar perkataan orang tua
tersebut, diapun mengetahui bahwa orang tua itu telah
memberi pengampunan terhadap Cia Tiang Kheng.
Sedang Cia Tiang Kheng sendiri ketika melihat
munculnya Bwee San Bin, hatinya jadi merasa sangat
menyesal atas segala tindakannya pada waktu-waktu yang
lampau itu, sehingga dengan berdiri terpekur ia menyekal
pedangnya, dengan ujungnya tergantung hampir menyentuh tanah. Diwaktu mendengar orang tua itu berkata: "..AsaIkan
orang yang bersalah dapat mengubah kesalahannya .."
Tiang Kheng seolah-olah orang yang mendengar guntur
ditengah hari bolong. Segala sesuatu yang terjadi tempo
hari, kini terbayang kembali satu-persatu dikelopak
matanya, hingga apa yang ia tak dapat pecahkan selama
sepuluh tahun itu, kini telah dapat penyelesaian dengan
secara memuaskan sekali. Maka dalam detik yang pendek
itu, dia merasa dirinya seolah-olah menjadi lebih tua berapa
puluh tahun, demikian juga dengan pengertiannya yang
tidak dimengertinya pada masa yang lampau itu ..
Sekonyong-konyong dia mengangkat pedangnya, setelah
memandang sesaat pada Bwee San Bin, sekonyong-
konyong ia telah menabaskan pedangnya dengan menerbitkan suara "cras", sudah itu pedangnya telah
berpindah ketangan kirinya dan sekali lagi terdengar suara
"cras" yang telah mengejutkan semua orang.
Setelah peristiwa tersebut terjadi, maka tampaklah
sepasang tangannya penuh berlumuran darah yang jatuh
berderai-derai, karena ternyata sepasang ibu jarinya telah
kutung dan jatuh keatas tanah. Sudah itu dia menjepit
pedangnya dengan jari teunjuk dan jari tengahnya,
kemudian melontarkan pedang 'Lok-eng-kiam' sehingga
menancap sampai setengahnya diatas sebatang pobon,
kemudian pemilik pedang itu sendiri melesat tanpa
menolehkan kepalanya lagi kearah pihak kawan dan
lawannya. Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong yang melihat
Tiang Kheng telah memusnahkan sepasang ibu jarinya yang
mana berarti bahwa untuk seumur hidupnya dia tak akan
dapat memainkan pedangnya lagi, mereka berdua merasa
sangat menyesal dan sayang akan lenyapnya kemampuan
memainkan pedang siorang she Cia yang begitu bagus dan
libay. Sedangkan Bwee San Bin sendiri, sambil mendongak
kelangit, diam-diam memuji didalam hatinya atas tindakan
Cia Tiang Kheng sebagai seorang ksatria sejati.
Ketika angin gunung meniup, daun-daun pohon
bergoyang-goyang yang berkeresekan.
Seketika itu Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong
mendapat firasat sesuatu yang tidak wajar, sebaliknya Li
Gok, Cek Yang dan Kouw Am bertiga, kini menginsyafi,
bahwa keadaan mereka lebih banyak celaka daripada
selamat, tapi semua itu membuat Li Gok dan Cek Yang
yang tengah menghadapi saat-saat kematian mereka tinggal
tetap tidak merasa menyesal, maka bergerak dengan
berbareng, mereka telah menggunakan kesempatan selagi
Lie Siauw Hiong tidak berjaga-jaga, mereka segera
melakukan penyerangan dengan serentak.
Tapi Lie Siauw Hiong yang menampak serangan
tersebut, lalu membentak dengan suara nyaring, kemudian
sambil memasang bhesinya dengan teguh dia menangkis
serangan kedua orang itu dengan sehebat-hebatnya,
sehingga ia masih sempat melancarkan balasan terhadap Li
Gok. Sedangkan penyerangan Cek Yang yang telah dikirim
balik dengan sekaligus, telah membuat orang yang
belakangan ini terdesak sehingga mundur lima atau enam
tindak jauhnya. Disaat itu Gouw Leng Hong telah mengetahui maksud
Lie Siauw Hiong, maka dengan cepat dia menghalangi Cek
Yang dengan mengirimkan sebuah tusukan, halmana telah
dilakukannya untuk mencegah agar Cek Yang tidak turut
pula dalam gelanggang pertempuran untuk mengeroyok
Siauw Hiong dengan satu lawan tiga. Sedangkan Cek Yang
sendiripun telah maklum, bahwa Lie Siauw Hiong
bermaksud agar ia dapat dijatuhkan oleh Gouw Leng Hong
dengan satu lawan satu. Begitu ia menyerang kembali, Gouw Leng Hong tidak
main sungkan-sungkan lagi, karena sesungguhnya ia paling
benci terhadap Cek Yang ini, apa lagi dia inilah yang telah
menyebabkan kematiannya Kim Loo-ji, hingga peristiwa
mengenaskan itu membuat hatinya bertambah mendidih
dan bertekad bulat untuk membinasakan musuh besarnya
ini. Cek Yang Tojin yang pernah menerima pengajaran dari
pemuda ini, dimanalah ia berani berlaku gegabah, maka
diapun segera melancarkan pula serangan-searngan balasan
yang tidak kalah hebatnya, tapi kesemuanya itu tidak dapat
menjatuhkan pemuda kita. Bwee San Bin yang menyaksikan pertempuran tersebut
dari samping, diapun mengetahui bahwa baik tenaga-dalam
maupun kepandaiannya, Gouw Leng Hong sudah dapat
digolongkan pada tingkat ahli silat kelas satu, tapi sayang
sedikit pengalaman bertempurnya masih kurang, hingga tak
terasa lagi ia mengerutkan keningnya dan berkata:
"Kepandaian anak ini ternyata sudah jadi, tapi dia tak dapat
berlaku secerdik Hiong Jie .."
Tengah dia termenung, sekonyong-konyong pedang
Gouw Leng Hong dari langkah Tiong-kiong telah
memasuki Hong-bun, dengan saling berhadapan dia
melancarkan serangan yang amat ganasnya kepada Cek
Yang dari arah samping. Jurus yang digunakannya ini
benar-benar hebat sekali, sehingga membuat Cek Yang jadi
terkesiap dan dengan memaksakan diri ia melakukan
penangkisan dengan gerak yang tidak wajar.
Ternyata jurus yang dipakai oleh Gouw Leng Hong ini
adalah merupakan gertakan yang berisi, begitu dia
menampak serangannya ditangkis, diapun sudah mengubah
pula serangannya. Chit-biauw-sin-kun yang menampak hal itu, tidak terasa
lagi dengan suara yang dingin lalu menimbrung sambil
berkata: "Serang bagian bawahnya!"
Mendengar kata orang tua itu, Leng Hong menjadi agak
tercengang, tapi seketika diapun mengertilah maksud orang
tua itu. Oleh karena pengalaman Chit-biauw-sin-kun itu
sangat hebat, sudah tentu saja apa yang dikatakannya itu
pasti akan membawa hasil yang baik sekali baginya, maka
dengan gerakan secepat kilat ia telah menendang Cek Yang,
yang telah mengenai tepat sekali pada tubuh batang pedang
toosu itu sehingga senjata itu terlepas dan terlempar
keudara. Cek Yang Tojin yang kini kehilangan pedangnya,
semangatnya entah sudah terbang kemana, sambil
membalikkan tubuhnya, dia segera mundur sehingga
sepuluh langkah lebih jauhnya. Gouw Leng Hong yang
kemarahannya telah memuncak, sepasang matanya menjadi
merah. Setindak demi setindak dia melangkah maju sambil
berseru: "Cek Yang Toocat, seumur hidupmu senantiasa
kau berbuat kejahatan, sekarang kau harus menyerahkan
jiwamu sebagai penebus dosa-dosamu itu!"
Cek Yang mengetahui, bahwa Gouw Leng Hong
bukanlah menjadi lawannya yang setimpal, tapi dia masih
mempunyai harapan satu-satunya untuk meloloskan
dirinya, yakni sambil mundur dia menjatuhkan dirinya
ketanah, dengan mana ia bertekad untuk mengambil
pedang Ie Hong kepunyaan Li Gok. Maka Leng Hong yang
menampak aksi lawannya ini, iapun menjadi terkejut dan
dengan cepat pula memasukkan pedangnya kearah tubuh
musuhnya itu. Cek Yang Tojin tidak menyangka bahwa Gouw Leng
Hong dapat melancarkan serangan yang sedemikian
cepatnya, maka pada sebelum ia keburu membalikkan
tubuhnya, pedang Gouw Leng Hong telah terpancang
dibadannya. Tapi dalam saat kematiannya ini, dia masih
sempat berteriak dan melontarkan pedang Ie Hong Kiam itu
kepada Gouw Leng Hong. Sipemuda she Gouw yang pada saat itu sudah berhasil
menancapkan pedangnya ditubuh Cek Yang Tojin, kini
dengan secara tiba-tiba melihat lawannya dengan sisa
tenaganya yang terakhir telah melontarkan pedang Ie Hong
Kiam dengan sekuat tenaganya, halmana terbukti dengan
menderu-deru angin yang keluar dari pedang yang
dilontarkannya itu, hingga pedang tersebut dengan lurus
menjurus kebadannya. Leng Hong yang belum cukup pengalaman dalam Rimba
Persilatan, ketika menampak kejadian ini ia menjadi
kesima. Syukur juga Bwee San Bin lekas berteriak:
"Gunakan pedangmu!"
Leng Hong insyaf dan segera melontarkan pedangnya
sendiri, sehingga dengan menerbitkan suara yang keras
sekali pedang itu saling beradu dengan memancarkan
bunga-bunga api. Pedang Ie Hong adalah pedang kuno, sedangkan pedang
Toan-hun-kiam dapat menabas besi bagaikan tanah liat.
Tapi atas beradunya kedua pedang ini, pedang Toan-hun-
kiam patah menjadi dua potong, sedangkan pedang Ie
Hongpun karena gempuran tersebut, arahnya menjadi
miring dan melesat agak kekiri.
Ternyata tenaga Cek Yang cukup hebat, karena terbukti
sekalipun pedang Ie Hong Kiam yang dilontarkannya itu
kena dibentur dengan pedang lawannya, tapi pedang itu
masih tetap meluncur kemuka terus dan akhirnya jatuh
dalam jarak sepuluh tombak lebih dan masuk kedalam
jurang yang ribuan tombak dalamnya.
Demikianlah, pedang kuno ini kini yang semulanya
berasal dari dalam tanah, telah berbalik kepada asalnya
tersimpan dibawah bumi pula.
Teriakan Cek Yang Tojin yang begitu nyaring telah
mengagetkan orang yang sedang bertempur dipihak
lainnya. Oleh karena tangan Kouw Am yang menempel
dipunggung Li Gok telah ditarik kembali, maka Li Gok
yang secara sekonyong-konyong merasakan tenaganya
menjadi kendor, kini dia tahu pasti, bahwa ia akan
mengalami kebinasaan, tatkala mengetahui Kouw Am ingin
meninggalkannya pergi dan membiarkan dirinya sendiri
melawan musuh, hingga tak terasa lagi dia menjadi geram
dan berseru nyapnyap: "Siangjin, tunggulah sebentar!"
Dengan tangan kirinya dia menyerang kawannya sendiri,
tapi Kouw Am dengan cepat menangkis serangan rekannya,
kemudian dengan meminjam tenaga lawannya, dia
berlompat mundur tiga atau empat tombak jauhnya. Sudah
itu dengan cepat bagaikan angin dia telah melesat pergi.
Gouw Leng Hong yang kehilangan Toan-hun-kiamnya,
dengan bertangan kosong ia terpaksa menghalang-halangi
jalan mundur lawannya, tapi kemudian Cbit-biauw-sin-kun
kedengaran berkata: "Hong Jie, biarkanlah dia melarikan
diri!" Gouw Leng Hong jadi tercengang, karena seketika itu
Kouw Am dengan cepat telah pergi jauh. Bwee San Bin lalu
berkata: "Orang itu belum banyak melakukan kejahatan,"
kata Bwee San Bin, "apa lagi dia adalah murid Budha,
maka biarkan saja dia pergi tanpa diganggu."
Sementara Lie Siauw Hiong dengan menggunakan
kesempatan selagi Li Gok tengah berkutat dengan Kouw
Am, ia telah mengumpulkan tenaganya dengan cepat serta
melancarkan serangannya, sehingga Li Gok kena terpukul
dan terpental kesuatu tempat yang terpisah tiga atau empat
tombak jauhnya. Selanjutnya sambil melintangkan pedangnya Lie Siauw Hiong lalu berkata: "Orang she Li,


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urusan hari ini, sudah jelas tak akan berakhir baik bagi
dirimu .." Li Gok tidak menjawab perkataan pemuda kita, hanya
dengan sekonyong-konyong saja ia menghela napas sambil
berkata: "Sudahlah!" Kemudian dengan perasaan putus asa
ia berkata pula dengan nada sedih: "Sudahlah, sudahlah,
hari ini aku orang she Li mengaku kalah terhadapmu .."
Sehabis berkata begitu, ia telah mengangkat tangannya dan
terus dipukulkan pada batok kepalanya sendiri, hingga
dengan mengeluarkan suara "buk!" yang nyaring sekali,
seketika itu juga daging dan darahnya berceceran dan
beterbangan diudara .. Dengan demikian, Kiam-sin Li Gok yang bertabiat
kejam dan telengas serta licik, dimana separuh hayatnya
berbuat kejahatan yang tidak ada bandingannya, akhirnya
telah menemui juga ajalnya dibawah pukulan tangannya
sendiri! Ketika angin gunung meniup sepoi-sepoi basah dengan
mengeluarkan suara berkeresekan dan berirama bagaikan
musik tengah mengalun sayup-sayup sampai dengan
disertai bebauan bunga Bwee dan Siong, orangpun sukar
percaya, bahwa ditempat yang demikian sunyi dan
tenangnya itu pernah terjadi pertempuran yang sehebat tadi!
Lima jago dari Tiong-ciu setelah mundurnya partai
Siauw-lim, mereka tadinya terkenal sekali, sedangkan nama
merekapun cukup menggemparkan dalam Rimba Persilatan. Tapi setelah pertempuran sekali ini, mereka
seluruhnya dapat dijatuhkan oleh Lie Siauw Hiong dan
Gouw Leng Hong, maka apa yang dikatakan bahwa dunia
ini tidak tetap, adalah suatu kenyataan yang sukar dibantah
pula. Diatas puncak gunung Ngo-hoa-san angin utara meniup
dengan amat dinginnya, dikala mana Chit-biauw-sin-kun
dengan memegang tangan kedua pemuda itu tampak berdiri
sambil memandang ketempat jauh. Sedang kejadian
beberapa belas tahun yang lampau satu-persatu melintas
dikepalanya bagaikan sebuah impian saja. Limabelas tahun
yang lampau dimana para lawannya pernah berusaha
membinasakannya, kini yang mati sudah mati, yang lari
sudah lari, hingga kini dia tidak mempunyai pikiran apa-
apa pula. Kepandaian kedua pemuda ini boleh dikatakan sudah
jauh melampaui para guru mereka, maka selama seratus
tahun ini, didaerah Tiong-goan hanya merekalah yang
paling jago dan hebat, oleh karena itu, cara bagaimanakah
dia tidak merasa puas"
Angin gunung meniup dan mengubah awan-awan
diangkasa. Dalam pada itu dengan nada suara penuh
kesukaan kedengaran Bwee San Bin bersenandung:
"Menyanyi sambil menghadapi arak, hidup orang sampai
kapan" Misalnya matahari terbit, dimana ada batas-batas
waktunya dimana akhirnya ia harus mengundurkan diri
pula" Sewaktu masih muda, selayaknya pikiran yang ruwet
harus dihilangkan .."
(Oo-dwkz-oO) Semalam suntuk salju yang besar turun kemuka bumi,
sehingga kota Tiong-An seolah-olah ditabur oleh perak.
Pada pagi hari salju sudah berhenti turun, langit pelahan-
lahan mulai terang kembali. Dijalanan sebelah barat tampak
mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh keledai, dengan
kusirnya yang bernama Loo-Ong saban-saban terdengar
berteriak dan memukul keledainya yang sudah mengigigil
kedinginan. Lalu dia menengadahkan kepalanya memandang
kelangit, dimana dia melihat awan yang berwarna biru, tapi
waktu melihat kembali kemuka bumi yang masih tertutup
oleh salju yang diam-diam dia menggerutu: "Kemarin
malam salju turun sedemikian tebalnya, dikuatirkan
pertukaran musim sudah tidak cocok lagi!"
Sekonyong-konyong siliran angin yang keras telah
meniup datang, sehingga tanpa merasa lagi ia menggigil
kedinginan dan buru-buru menarik mantalnya untuk
menutupi telinganya. Diatas jalanan tidak tampak bayangan seorang manusiapun, hingga dalam hati Loo Ong berkata: "Biarlah
aku tunggu sebentar pula. Setelah masing-masing pintu
dibuka dan melihat jalanan begini licin, sekalipun orang-
orang yang sehari-hari tidak pernah memakai kereta, kini
terpaksa harus menaik keretaku juga."
Begitulah dia menjalankan keretanya disepanjang jalan
sebelah barat, dan setelah berjalan kurang lebih hampir
setengah perjalanan itu ia melihat pintu sebuah rumah yang
besar sudah terpentang lebar. Didepan pintu itu tampak
seorang anak kecil tengah menyapu salju. Loo Ong yang
bermata tajam, dengan cepat ia sudah dapat mengenali
anak yang tengah menyapu salju itu sambil berkaok: "Siauw
Ie, tidak heran selama berapa bulan ini aku tidak pernah
menjumpaimu, kiranya kau telah bekerja pada tuan
besarmu disini" Kemarin malam mengapa kau tidak turut
datang main kartu?" Orang yang dipanggil Siauw Ie itu hanya seorang anak
yang baru berumur kurang lebih empat atau limabelas
tahun saja. Badannya ditutupi dengan pakaian yang sudah
tua dan compang-camping, tapi semangatnya tetap
menyala-nyala, sedikitpun dia tidak merasakan hawa udara
yang dingin itu. Dan tatkala mendengar ia ditanya, Siauw
Ie lalu menjawab: "Ong Twako, aku tidak mau main kartu
lagi, sekarang aku sungguh amat sibuk, setiap malam
nonaku pasti akan mengajariku huruf-huruf."
Mendengar jawaban anak itu, kedengaran Loo Ong
tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Aku sungguh tidak
menyangka, bahwa kau yang sudah sebesar ini baru mulai
belajar mengenali huruf, apakah barangkali kau ingin
menjadi Cong-goan?" (Cong-goan = jaman dahulu di
Tiongkok adalah sebuah gelar tertinggi bagi seseorang
dalam pelajaran sekolah, sekarang dapat dipersamakan
kurang lebih dengan tingkat sarjana).
Dengan muka bersungguh-sungguh, Siauw Ie lalu
menjawab: "Dahulupun aku mengira kita sebagai orang-
orang yang miskin dan hina, kecuali menjual tenaga
mencari nafkah, masih dapat berbuat apakah lagi" Tapi
sejak Lan Kho-nio mempelajari aku huruf, pikiran semacam
tersebut diatas sudah terkikis habis dari otakku. Lan Khonio
mengatakan bahwa orang miskinpun adalah manusia juga,
maka mengapakah lain orang dapat mengerjakan, kita
tidak" Kau jangan mengatakan umurku sudah besar, Lan
Khonio pernah menceritakan padaku bahwa dijaman Song
dahulu ada seorang mahasiswa she Souw, ketika berumur
duapuluh tahun baru dia mulai belajar mengenal huruf!"
Loo Ong tampak menggoyang-goyangkan tangannya
sambil menjawah: "Aku tidak mau tarik urat denganmu,
aku ketahui bahwa Lan Khoniomu itu pandai sekali
mengerjakan hasil pekerjaan tangan, tapi tidak disangka
bahwa diapun pandai surat pula."
Ketika Siauw Ie mendengar orang yang disayanginya
dipuji orang, tidak terasa lagi dia menjadi sangat girang dan
lalu berkata: "Lan Khonio mengetahui banyak sekali, kau
belum pernah mengicipi sayur masakannya, yang sungguh
lezat dan tiada tandingannya."
Loo Ong manggutkan kepalanya sambil memhela napes
dan berkata: "Dia bersama Phui Po-po kiranya tinggal
dibelakang rumahku, kepandaian menyulamnya sungguh
luar biasa sekali, hingga seumurku belum pernah aku
menampak orang sesabar dia. Sayang sedikit matanya buta.
Tapi nona itu memang orangnya baik sekali. Siauw Ie, tuan
besarmu itu .." Belum lagi dia berkata habis, sudah kedengaran dari
dalam orang yang memanggil: "Siauw Ie, Siauw Ie!" sebuah
nada suara yang merdu halus terdengar mengalun dikuping
mereka. Siauw Ie dengan tergesa-gesa meninggalkan sapunya,
sambil manggutkan kepalanya kepada Loo-Ong, ia berlari-
lari anjing menuju kedalam rumah.
Didalam rumah hawa disana udaranya hangat, karena
disana orang tengah menyalakan api unggun, menyandar
pada jendela, duduk seorang gadis yang berwajah cantik
jelita. Dengan nada suara yang menyesali, kedengaran dia
berkata: "Hawa udara sedemikian dinginnya, pagi-pagi buta
hanya memakai baju luar dua helai saja, apakah kau tidak
merasakan dingin?" Sehabis berkata demikian, lalu ia mengambil sebuah
pakaian dari kapas, kemudian dengan memaksa ia pakaikan
baju itu pada Siauw Ie. Barusan Siauw Ie dari luar tidak merasa dingin sama
sekali, kini masuk kedalam rumah yang berhawa panas,
tampak dahinya mulau bercucuran keringat, hingga
sekalipun nona itu kelihatannya memarahinya, tapi dalam
nada suaranya itu mengandung perasaan penuh kasih dan
sayang. Maka karena merasakan hal itu, hatinyapun
menjadi gembira dan dengan cepat ia mengenakan baju
pemberian nonanya itu. Siauw Ie lalu berkata: "Lan Kho, lusa tuan besar
bukankah akan pulang?"
Lan Kho menjawab: "Menggunakan kesempatan selagi
dia belum kembali, baiklah kita sebentar pergi kepenjara
untuk menjenguk Phui Po-po."
Siauw Ie berkata: "Phui Po-po sudah pergi."
Lan Kho dengan terkejut bertanya: "Kapan dia
dilepaskan?" Siauw Ie menjawab: "Berapa hari yang lampau, ketika
aku pergi kepenjara, sipir bui Loo Lie memberitahukan
begitu kepadaku." Lan Kho setelah berdiam sejurus, lalu menghela napas
dan berkata: "Ai! Dia sudah berusia lanjut sekali,
kemanakah dia dapat pergi" Akulah yang telah mencelakakannya." Siauw Ie turut berkata: "Hal itu tidak dapat
dipersalahkan kepadamu, itulah perbuatannya seorang
pengecut. Beraninya hanya menghina pada orang tua yang
tidak berdaya sama sekali. Bila mereka benar-benar
menemui bayangannya perampok, sekalipun lihat bayangannya saja, sudah takut setengah mati!"
Lan Kho dengan segera berkata: "Siauw Ie, dikemudian
hari kau jangan mengatakan hal tersebut pula, karena bila
perkataanmu itu sampai didengar oleh tuan besar, bukanlah
satu permainan belaka."
Siauw Ie menjawab: "Hm! Aku tidak takut, paling juga
kepalaku meninggalkan leher saja!"
Dengan sengit Lan Kho berkata: "Bagus, kau tidak
mendengar kata, aku berbuat demikian adalah demi
kebaikanmu, kau tahu?"
(Oo-dwkz-oO) Jilid 45 Pada saat itu Lan Kho yang sedang membuatkan sebuah
baju untuk Siauw Ie, sekonyong-konyong hidungnya
membaui hawa yang wangi, hingga ia lantas bertanya:
"Apakah bunga Lan-hoa dipinggir pintu sana sudah
mekar?" Siauw Ie lekas menjawab: "Bukan saja bunga Lan-hoa
sudah mekar, malahan bunga Bwee-pun turut mekar juga.
Apakah boleh aku memetiknya beberapa tangkai untuk
ditancapkan dipot bunga?"
Lan Kho berkata pula: "Bunga-bunga itu baik-baik mekar
dipucuknya, mengapa harus dipetik" Biarkan saja mereka
mekar sesukanya, alangkah harumnya bunga itu. Aku akan
pergi kesana untuk menikmati baunya yang harum
semerbak itu." Setelah berkata lalu dengan tindakan yang lemah
gemulai tampak seorang gadis melangkahkan kakinya
keluar pintu, gerakannya indah bagaikan penari sedang
menari-nari, dan dari tindakan kakinya yang wajar,
sikapnya tampak seakan-akan dia bukannya seorang gadis
yang buta. Sesampainya didekat bunga yang sedang mekar itu, lalu
dia membungkukkan badannya dan mencium bunga yang
pertama mekar itu dengan hati yang gembira.
Sejak kecil dia sudah gemar sekali terhadap kembang-
kembang, terlebih lebih terhadap kembang Lan-hoa, karena
bunga itu dengan namanya sendiri mempunya hubungan
yang erat sekali. Lalu dia berkata pada dirinya sendiri: "Waktu mataku
belum buta, setiap tahun dimusim dingin, didepan rumah
gubukku rumput-rumput pada mekar, aku senantiasa suka
sekali berdiri seorang diri dalam gerombolan rumput-
rumput tersebut dan dengan bernapsu aku menyedot
harumnya bunga-bunga itu, sehingga kadang-kadang aku
merasa dimabukkan oleh bunga-bunga tersebut. Selagi aku
asyik memandangi bunga-bunga yang tengah mekar
mewangi itu, sekonyong-konyong ada sepasang tangan
yang kuat menutupi sepasang mataku dari belakang, dan
dengan suara yang dalam orang itu menyuruhku menebak
siapa gerangan dia itu" Orang itu tentu saja adalah
twakoku. Orang yang dalam hati paling kupuji dan


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kujunjung tinggi serta kuhormati, maka tanpa menebak lagi
akupun sudah ketahui tentulah dia adanya."
Lalu dia tersenyum sambil melanjutkan pemikirannya
dan berkata pada dirinya sendiri: "Belakangan, mataku
buta, ibu dan twako senantiasa menuruti perkataanku, apa
yang kuingini, twako selamanya meluluskan dan sekalipun
tidak pernah dia mengecewakan aku, sekalipun aku tidak
dapat melihat dengan mataku sendiri, betapa kasih dan
sayangnya dia terhadapku, tapi hatiku dapat merasainya.
Karena dalam dunia ini, kecuali ibu, twakolah yang
memperlakukan aku paling baik dan sempurna, Jangan
baru mataku yang buta, sekalipun sepasang tangan atau
kakiku cacat, pasti mereka sama menyayangiku juga.
Setiap waktu aku menghitung-hitung hari. Dibawah sinar
matahari yang akan tenggelam, aku melihat satu jalanan
kecil, dan meski aku ketahui bahwa twako paling sedikit
setengah tahun baru kembali, tapi aku sangat mengharapkan sekali kedatangannya dengan secara tiba-
tiba. Matahari sudah benar-benar tenggelam seluruhnya
diufuk barat, dilangit bintang-bintang mulai muncul. Dikala
itu ibu yang sedang menisik baju dari wool, sering-sering
dia melihat ketempat yang jauh, seakan-akan diapun tengah
terkenang juga kepada toako. Dalam mengenang kekasihku,
sukar rasanya aku melewatkan hari dengan tenang, tapi
dengan keyakinan yang penuh, akhirnya aku dan ibu dapat
juga melewatkan hari-hari dengan cukup tenteram dan
damai. Berapa kali hujan turun besar sekali, didepan mata air
sungai kian lama kian meninggi dan meluap, orang-orang
mulai gentar dan panik, tapi siapapun pasti tidak mengira
akan datangnya air bah yang demikian cepat dan
sekonyong-konyong pada malam itu juga ....
Datangnya air banjir itu laksana menyerbunya ratusan
ribu tentera berkuda hingga dalam waktu sekejapan saja air
bah telah datang menggenang mencapai dada, aku dan
ibuku buru-buru naik kedalam tahang air dari kayu, dan
dengan mengikuti aliran banjir, aku dan ibuku terbawa
kemana saja banjir itu hendak membawa kami. Sekonyong-
konyong segulung ombak yang besar telah mendampar
sehingga mereka ibu dan anak jadi terpisah satu sama lain,
hingga dalam kegugupanku, akhirnya aku telah jatuh
pingsan. Setelah aku siuman kembali, ternyata hari sudah
terang tanah, dan sungguh tidak kusangka, bahwa dalam
pingsanku aku masih dapat memeluk tahang air itu dengan
eratnya. Halmana, kusangka, itulah usaha manusia dalam
menyelamatkan nyawanya dengan cara yang paling
sempurna. Lalu aku tertawa dan berpikir: "Tangan dan
kakiku ternyata tidak menjadi beku, hanya terdengar suara
ombak yang menderu-deru, air tampaknya kian lama kian
bertambah tinggi saja, tapi kemanakah ibuku, ibuku yang
tercinta?" Suatu perasaan yang tidak wajar menyelinap
dalam sanubariku .. Semakin berpikir aku semakin tidak
tahan, aku sudah terpikir untuk melepaskan saja
peganganku, tapi perasaan ingin hidup lebih menguasai
diriku, karena, aku berpikir, andaikata aku sampai kejadian
mati, bukankah seumurku tidak akan melihat wajah
twakoku lagi" Akhirnya aku telah tertolong juga. Karena
ketika aku dalam keadaan pingsan dan bertahan terapung-
apung dibawa arus banjir, aku telah dijumpai oleh ronda
dari pembesar she Kim, yang ternyata ada seorang
pembesar yang sangat baik hati, apa lagi anak perempuan
angkatnya yang bernama nona Souw itu telah memperlakukanku sangat baik pula, hingga aku yang
berdiam didalam rumah pembesar she Kim itu, tiap-tiap
hari aku mendengar-dengar kabar tentang ibuku, tapi
manusia itu bagaikan lautan yang tidak ada batasnya,
sekalipun untungku baik dan ibuku tidak mati oleh banjir,
tapi aku hendak mencarinya kemana" Tadinya aku berpikir
setelah air banjir itu surut kembali, aku akan pulang
kekampungku, agar kemudian hari bila twako datang
mencariku, ia dapat menjumpai aku disana.
Tapi tidak disangka bahwa twako sudah saling
berkenalan dengan nona Souw, bahkan perhubungan
merekapun sudah demikian mesranya. Tapi sekalipun ia
memperlakukan aku sedemikian rupa, aku tinggal tetap
mencintainya. Perkataannya yang telah diucapkan terhadap
bahwa Souw adalah dengan tulus ikhlas, maka bukankah
itu berarti bahwa twako benar-henar mencintai dengan
segenap hati" Aii, mengapakah ia dapat mengeluarkan
perkataan begitu terhadap lain gadis?"
Pada saat itu perasaan Lan Kho jadi sangat terharu,
sedangkan api cemburu lalu mulai merangsangnya. Tapi
tabiatnya yang halus pelahan-lahan telah dapat menguasainya pula, hingga dalam waktu sekejap mata saja
kemarahannya sudah reda kembali dan ia berbalik pikir:
"Ai! Mengapa sampai saat ini aku masih memikirkan soal
itu" Tapi aku percaya, bahwa dalam hati kecilnya, twako
pasti masih mengingat akan daku, sekalipun Souw khonio
berhasil merebut hatinya sesaat. Ai, ternyata twako
mencintai dia tapi dia masih juga kasih terhadapku, dia
pasti tidak dapat hidup berbahagia, aku .. aku lebih baik
mati saja hari itu dibawa arus banjir."
Semakin ia berpikir, semakin sedih saja perasaan
hatinya, tapi suara tambur yang ditabuh dengan keras telah
berhasil menyadarkan dia dari lamunannya.
Siauw Ie yang berdiri disampingnya memandang kepada
sinona yang tengah bermuram durja, hingga untuk sesaat
lamanya tidak dapat dia mengeluarkan perkataan untuk
menghiburinya. Hatinya tengah risau, tapi hati kanak-
kanaknya belum lagi lenyap. Maka begitu ia mendengar
suara tambur, seakan-akan terlupalah segala kejadian yang
menimpa dirinya dan lekas-lekas dia lari keluar untuk
menyaksikan keramaian. Sementara Ah Lan ketika baru saja ingin balik masuk
kedalam ramahnya. tiba-tiba terdengar suara yang nyaring
memanggilnya: "Lan Khonio! Lan Khonio!"
Sekalipun matanya tak dapat melihat, tapi pendengarannya amat tajam, hingga begitu kupingnya
menangkap suara yang seakan-akan sudah kenal terhadap
suara orang yang memanggilnya, tapi dia tidak dapat
menerkanya dalam sesaat siapakah gerangan orang
tersebut. Siauw Ie buru-buru berjalan masuk dan berkata
kepadanya: "Yang panggil nona ialah nona Kim, anak
angkat pembesar yang berkuasa di Siam-say."
Ah Lan terpekur sebentar, kemudian baru sadar dan
didalam hatinya ia berpikir: "Oh, ternyata nona Souw ..
Souw Khonio, tentu diapun turut serta pula, mengapakah
aku harus menjumpai mereka?"
Lalu dia memesan pada Siauw Ie: "Kau kasih tahu
kepadanya, bahwa aku sebenarnya tidak kenal dengannya,
dia telah keliru mengenal orang yang salah."
Dalam hati Siauw Ie tengah merasa bingung sekali,
ketika pada saat itu Hui Cie sudah sampai didepan pintu
dan sambil tertawa ia berkata: "Lan Khonio, benarkah kau
tidak mengenalku?" Dalam hati Ah Lan merasa agak gelisah, karena
disebabkan dia itu, maka lenyaplah kebahagiaannya, tapi
orang itu sudah sampai dan mengulurkan tangannya
kepadanya, hingga tidak terasa lagi amarahnya telah
bangkit kembali dan dengan suara menyindir ia berkata:
"Oh, ternyata engkaulah Souw siocia! Aku adalah anak
orang miskin dan papa, tentu saja tidak berani menyambut
anak seorang pembesar agung."
Tapi begitu perkataannya keluar, tiba-tiba didalam
hatinya timbul perasaan menyesal. Dia sendiri seakan-akan
tidak mempercayai akan dirinya sendiri yang telah dapat
berkata begitu tidak sopan, karena perkataannya itu
memang sesungguhnya dapat melukai hati orang lain.
Sebaliknya nona Souw Hui Cie bukan saja tidak menjadi
gusar, tapi juga dengan suara yang lemah-lembut ia berkata:
"Lan Khonio, apakah kau marah terhadapku" Tahukah kau
dimana Gouw Twakomu sekarang ini?"
Begitu mendengar orang memperbincangkan tentang
Gouw Leng Hong, Ah Lan meujadi tertarik juga
perhatiannya, maka sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dia berkata: "Apakah kau tidak datang bersama-
sama dengannya?" Dengan suara yang amat terharu Hui Cie memberi
jawabannya: "Gouw Twakomu justeru sedang mencarimu
kian-kemari." Ah Lan yang mendengar perkataan tersebut, bagaikan
orang mendengar suara guntur saja, maka dengan
memaksakan diri dia bertanya dengan nada suara yang
gemetar: "Apakah omonganmu dapat dipercaya kebenarannya?" Hui Cie maju selangkah dan sambil memegang sepasang
tangan Ah Lan dengan lemah lembut ia menjawab: "Lan
Khonio .. oh, bukan .. bolehkah aku memanggilmu dengan
sebutan Lan Moay saja?"
Ah Lan yang mendengar ia bercakap-cakap dengan suara
yang bersungguh-sungguh, iapun lalu menganggukkan
kepalanya. Hui Cie lalu dengan suara yang sungguh-sungguh
berkata: "Tempo hari setelah kau dengan ngambul
meninggalkan rumah, besok pagi-pagi sekali begitu Gouw
Twakomu mendengar kabar tersebut, tampak dia seperti
orang kehilangan semangat, hingga lekas-lekas dia
meninggalkan aku, dan katanya dia hendak mencarimu
kemana saja. Gouw Twakomu sesungguhnya hanya
mencintai seorang saja, kau .. kau sungguh beruntung
sekali." Kemudian dengan malu-malu ia berkata pula: "Lan
Moay, aku tidak mau berbohong terhadapmu .. aku
sebenarnya sangat mencintainya, tapi aku sesungguhnya
sangat bodoh sekali, aku kira dia seterusnya mencintaiku
pula, tapi sekarang aku sudah jelas, bahwa hatinya hanya
tertambat kepadamu seorang saja. Hal itu dalam mabuknya,
dia mengira aku ini adalah kau. Aku merasa, bahwa aku
telah berbuat kesalahan. Lan Moay, dia sesungguhnya
mencintaimu, dia adalah seorang pemuda yang masih
muda belia serta berwajah tampan, yang dengan seluruh
jiwa raganya dia mencintaimu, hingga aku turut bergirang
atas keberuntunganmu itu."
Ah Lan semakin mendengar cerita tersebut, dia merasa
semakin sedih saja, menyesal, dan menyalahkan dirinya
sendiri yang kurang pikir, hingga mukanya tampak sebentar
merah sebentar pucat, dan akhirnya tanpa dapat menguasai
dirinya pula ia jatuh pingsan.
Siauw Ie buru-buru memayangnya, sedang Hui Cie
dengan cepat lalu berkata: "Lan Moay, kau kenapa"
Apakah kau merasa tidak enak badan?"
Dengan memaksakan dirinya tersenyum Ah Lan berkata:
"Souw Cici, aku merasa pusing sesaat, maka tak dapat
menguasai diriku pula."
Hui Cie lalu berkata pula: "Kau lekas-lekas masuk untuk
beristirahat, aku hendak pulang. Malam ini pembesar kota
Tiang-an telah mengundang ayah angkatku, maka sekarang
aku harus pergi. Sampai nanti kita saling berjumpa pula,
dik." Ah Lan manggutkan kepalanya. Dengan ditolong oleh
Siauw Ie, ia berjalan masuk kedalam kemudian sambil
menutup kamar tidurnya, ia berkata kepada Siauw Ie: "Aku
hendak tidur, kau jangan datang mengganggu pula."
Barusan Siauw Ie telah mendengar mereka bercakap-
cakap, maka hatinya merasa agak tidak enak. Ia merasa
bahwa perkara yang tidak wajar akan terjadi. Oleh karena
itu, dengan lekas ia berkata: "Lan Kho, kau jangan sekali-
kali merasa marah maupun bersedih."
Dengan tertawa Ah Lan berkata: "Siauw Ie, janganlah
engkau memikir yang tidak-tidak, maka ada apakah yang
harus kusedihkan?" Siauw Ie tidak berdaya, maka diapun dengan segera
berjalan meninggalkannya.
Ah Lan lalu membaringkan tubuhnya diatas ranjang
deugan hati yang pedih bagaikan diiris-iris oleh pisau yang
amat tajam. "Ternyata Twako masih mencintaiku begitu
rupa," pikirnya, "tapi .. dimanakah aku ada muka untuk
menjumpainya" Didalam hatinya dia pasti menganggap aku
sebagai seorang gadis yang sempurna. Aku harus berdaya
agar supaya perasaannya dapat dipertahankan terus, tapi


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa daya yang harus kulakukan selanjutnya" .. Ya, hanya
kematian saja yang dapat mencapai apa yang kupikirkan
itu." Tapi setelah berpikir akan kematian, hatinyapun merasa
tenteram pula. "Tapi, aku masih ingin menjumpainya sekali
lagi, kemudian, barulah menamatkan riwayat hidupku ini,"
katanya pula. Setelah ia mengambil keputusan yang pasti, hatinyapun
menjadi tenang dan wajar kembali. Begitulah sang waktu
berjalan dengan cepat sekali, hingga dalam waktu yang
singkat, dia telah membayangkan peristiwa pada beberapa
tahun yang lampau itu, dengan segala bayangan itu satu-
persatu muncul kembali dalam kelopak matanya.
Matahari musim dingin yang lemah, pada waktu itu
telah memancarkan sinarnya diatas dinding tembok, yang
kemudian memantul kembali pada tumpukan salju-salju
dan membuat wajahnya tampak pucat dan hatinya seolah-
olah tenggelam dalam kerisauan ..
Kejadian didunia ini memang kadang-kadang tidak dapat
dipikirkan dari dimuka. Pada hari kedua atau keesokan
harinya setelah Hui Cie menjumpai Ah Lan, Gouw Leng
Hongpun tiba pula dikota Tiang-an, dan malahan disana ia
begitu kebetulan pula dapat berjumpa dengan seorang
pelayan Hui Cie yang bernama Siauw Hu, dari siapa ia
mendapat keterangan jelas tentang kejadian yang menimpa
diri Ah Lan. Dan tatkala mendengar kisah pelayan ini, hati
Leng Hong jadi berdebar-debar keras sekali, hingga setelah
menanyakan jelas tentang alamat nona Ah Lan, segera juga
ia menuju kesana dengan laku tergesa-gesa.
Ternyata setelah Leng Hong dapat membalaskan sakit
hati ayahnya dipuncak gunung Ngo-hoa-san, hatinya
menjadi sangat gembira, dan kini dalam hatinya dia hanya
masih mempunyai satu pekerjaan yang belum dapat
dirampungkannya, yaitu mencari kekasihnya Ah Lan anak
dan ibu, begitu pula Lie Siauw Hiong yang juga amat sibuk
mencari pada Thio Ceng, hingga mereka terpaksa
berpisahan dengan Bwee San Bin dan lalu berpencar untuk
mencari kekasih masing-masing.
Kemudian dengan mengikuti petunjuk yang diberikan
oleh Siauw Hu, Leng Hong lalu menuju kejalan sebelah
barat, dalam perjalanan mana dengan hati berdebar-debar ia
berpikir: "Bila Ah Lan dengan secara sekonyong-konyong
mengetahui bahwa aku telah dapat berhasil mencari
jejaknya, entahlah bagaimana girangnya. Sekarang Hui Cie
sudah menutur jelas tentang perhubungannya satu sama
lain, dia pasti tidak lagi akan membenciku. Dan bila dia
mengetahui bahwa twakonya dengan susah payah sudah
berhasil mendapatkan buah 'Hiat-ko' untuknya dan dapat
menyembuhkan kembali matanya, dia pasti akan merasa
terharu dan bersyukur sekali terhadapku."
Akhirnya diapun mendapatkan rumah yang diterangkan
oleh Siauw Hu, dan setelah tiba dihadapan pintu rumah
tersebut, dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut dua
kali, kemudian pintu tersebut dibuka oleh seorang anak laki-
laki kecil. "Lan Kho-nio apakah ada didalam?" Leng Hong
bertanya. Bocah cilik tersebut adalah Siauw Ie. Mula-mula ia
pandang Leng Hong sejenak, sudah itu barulah ia
mempersilahkannya masuk keruangan tamu, sedangkan ia
sendiri lalu masuk kedalam untuk melaporkan kepada
majikannya. Leng Hong dengan matanya yang tajam lalu memandang pada keadaan sekeliling rumah tersebut, yang
ternyata segala perlengkapannya sangat mewah, hingga
dalam hatinya ia merasa terheran-heran dan berpikir:
"Siauw Ie belum menerangkan Ah Lan sebenarnya tinggal
dirumah siapa, tapi dengan menilik keadaan sekelilingnya,
teranglah sudah, bahwa pemilik rumah ini pastilah seorang
yang berada." Setelah menunggu setengah harian dan tidak menampak
Ah Lan keluar menyambut kedatangannya, hati Leng Hong
mulai merasa tidak tenteram, tapi ketika baru saja dia
hendak berdiri dan menyelidiki, sekonyong-konyong tirai
pintu terkuak dan dari dalam segera keluar seorang gadis
yang berwajah amat cantik.
Ternyata Ah Lan setelah menerima laporan dari Siauw
Ie, diapun mengetahui bahwa Leng Hong sudah datang,
hingga dia sekali-kali tidak menyangka akan kejadian dapat
berlangsung sedemikian sekonyong-konyongnya. Biasanya
setiap hari ia berharap-harap agar supaya Leng Hong
datang mencarinya, tapi setelah saatnya tiba, hatinya
menjadi ragu-ragu, seakan-akan anak kecil yang bersalah
takut menjumpai orang tuanya.
Akhirnya ia telah mengambil keputusan dan berkata
pada diri sendiri: "Didunia ini masakah perkara yang
ditakuti melebihi daripada kematian" Terhadap kematian
aku masih tidak takuti, apa lagi terhadap perkara ini?" Oleh
karena itu, barulah dia keluar menjumpai kekasihnya.
Muka tersebut yang sukar dilupakan oleh Leng Hong,
begitu muncul dihadapannya, menyebabkan ia diam
terpaku, sehingga tak dapat ia mengeluarkan sepatah
katapun. Setelah menetapkan semangatnya dan maju dua langkah,
dengan perasaan terharu sipemuda telah menyapa: "Ah
Lan, aku .. aku .. akhirnya .. dapat juga mencarimu."
Ah Lan lalu menjatuhkan dirinya dalam pelukan
kekasihnya, dan dengan tangis terisak-isak ia berkata:
"Akhirnya twako dating juga! Setiap hari aku mengharapkan kedatanganmu, dan kini .. ternyata engkau
datang juga keharibaanku."
Airmata Leng Hong mengucur tanpa terasa pula, ketika
is menjawab: "Ah Lan, sudahlah, engkau jangan menangis.
Hapuslah airmatamu itu, karena pada saat ini sudah
sepatutnya kita bergembira. Lagi pula aku kini membawa
satu barang untukmu, yang kau pasti akan menyambutnya
dengan perasaan girang."
Ah Lan setelah puas menangis, barulah perasaannyapun
menjadi tenang kembali. Sudah itu ia berkata pada dirinya
sendiri: "Hari ini adalah untuk penghabisan kalinya aku
menjumpai twako, sesudah itu, twako untuk selama-
lamanya tidak akan menjumpaiku lagi. Ya, benar, aku
harus menggembirakannya, barulah cara itu dapat
dibenarkan." Setelah menyusut airmatanya, dengan suara yang lemah
lembut ia bertanya: "Twako, selama ini kau pergi kemana
saja" Apakah sakit hati orang tuamu sudah kau balaskan?"
Leng Hong ketika mendengar sinona membuka mulut
menanyakan tentang soal sakit hatinya, sedangkan terhadap
usaha mencari buah 'Hiat-ko' tidak disinggung-singgung
olehnya, hatinya jadi merasa sangat terharu dan iapun
segera menjawab: "Selama setengah tahun ini aku telah
mengalami peristiwa-peristiwa yang menyeramkan serta
menegakkan bulu roma, begitu pula kejadian-kejadian yang
lucu-lucupun aku telah merasakannya juga, hal mana
baiklah akan kukisahkan perlahan-lahan nanti. Pada
sebulan yang lampau, aku bersama Hiong-tee telah pergi
kegunung Ngo-hoa-san, dimana kami berdua telah
melawan musuh kita yang berjumlah empat orang tapi
keempat lawan itu telah kami kalahkan sehingga lari
tunggang langgang, dengan dua orang antaranya .. Cek
Yang Tojin dari Bu-tong dan Li Gok dari Kong-tong .. telah
dapat kita binasakan. Tempo hari mereka berempat dengan
bersatu padu telah mengurung serta berhasil membinasakan
ayahku, tapi sepuluh tahun kemudian merekapun terbinasa
pula dalam tangan kita!"
Sekalipun hatinya merasa pilu, tapi ketika mendengar
sakit hati kekasihnya sudah terbalas himpas, dengan
bersemangat ia memuji sambil berkata: "Twako, sungguh
tepat sekali kau bunuh orang itu!"
Kemudian Leng Hong lalu bertanya: "Ah Lan, twanio
mana?" Mengutik soal Twanio, tanpa dapat ditahan lagi airmata
Ah Lan mengucur turun dengan amat derasnya, ia terisak-
isak dan menjawab: "Ibuku telah terbawa oleh banjir entah
kemana parannya .." Lalu dia ceritakan tentang keadaan banjir tempo hari
kepada Leng Hong. Dengan suara lemah-lembut sipemuda lalu menasihatinya: "Ah Lan, hal itu tidak mungkin terjadi,
Tuhan selalu melindungi orang baik, Twanio pasti tertolong
dari kecelakaan sehingga memperoleh keselamatan." Sudah
itu, Leng Hong melanjutkan bicaranya: "Ah Lan, coba kau
terka, barang apakah yang kubawa ini untukmu?"
Setelah berpikir sebentar, Ah Lan gelengkan kepala dan
menjawab: "Tak dapat kuterka."
Leng Hong berkata pula: "Sekarang ini barang apakah
yang paling kau harapkan?"
Ah Lan menjawab: "Asal kau dan ibu selamat, aku
masih ingin mengharapkan apa lagi" Tuhan selalu
membenci pada orang yang tamak, lebih-lebih jika aku
memohon sesuatu yang melampaui batas, yang pasti sekali
akan mengecewakannya."
Dari dalam saku didadanya, Leng Hong segera
mengeluarkan dua buah peles, yang satu adalah cairan obat
yang ribuan tahun tuanya, sedangkan yang lainnya adalah
memuat 'Hiat-ko'. Dengan suara yang lemah-lembut Leng Hong berkata:
"Ah Lan, telah kukatakan bahwa aku akan mencarikan
buah 'Hiat-ko' untukmu, agar supaya matamu dapat
disembuhkan. Sekarang ternyata Tuhan tidak mengecewakan pengharapanku, karena aku telah berhasil
menemukan barang yang kucari itu. Mari, akan kubantu
engkau menyembuhkan matamu itu."
Mendengar perkataan sipemuda, Ah Lan merasa
gembira bukan buatan, tetapi perasaan gembira itu hanya
untuk sekejap saja lamanya, karena ia telah berbalik pikir:
"Waktu lewat seperempat jam, itulah berarti bahwa
pertemuanku dengan twako tambah pendek seperapat jam.
Untuk apakah aku disembuhkan mataku, jika itu takkan
berguna lagi bagiku?" Lalu dia menjawab: "Baiklah kita
bercakap-cakap mengenai hal yang lainnya saja yang
mengenai soal menyembuhkan mataku, tak perlu kita
tergesa-gesa." Leng Hong yang melihat kekasihnya tenang luar biasa,
dengan rasa terharu lalu berkata: "Cu Hu Cu pernah
mengatakan, bahwa jika kau makan buah mustajab ini,
dalam waktu tiga jam pasti akan terbukti kemanjurannya.
Apa lagi sekarang ada cairan obat yang ribuan tahun
tuanya, oleh karena itu, lekaslah engkau makan cairan obat
ini." Ah Lan karena tidak mau menyusahkan hatinya, segera
menyambuti peles itu yang lalu diminumnya dengan hanya
sekali tegukan saja. Sudah itu, Leng Hong lalu minta secangkir air, yang lalu
diteteskannya cairan obat yang ribuan tahun tuanya itu,
akan kemudian dengan menggunakan lap yang bersih dia
mencuci mata Ah Lan. Setelah selesai mencuci bersih mata
nona itu, segera juga ia membungkus sepasang mata
kekasihnya sambil berkata dengan girang: "Setelah lewat
tiga jam, bila aku membuka tutup matamu ini, kau pasti
akan dapat melihat kembali terangnya dunia ini."
Ah Lan dengan perasaan terharu lalu berkata: "Twako,
aku mengucapkan terima kasih kepadamu."
Leng Hong segera berkata: "Ah Lan, sekarang lekaslah
kau beristirahat." Sambil menggelengkan kepalanya, Ah Lan lalu
menjawab: "Tidak, twako, aku ingin mendengar dahulu
ceritamu." Leng Hong tidak berdaya dan lalu memilih beberapa
peristiwa lucu yang telah dialaminya selama setengah tahun
itu, dan tatkala Leng Hong bercerita sampai pada bagian
yang menggembirakan, Ah Lan hanya tersenyum dan
mendengari dengan roman yang tenang, tapi waktu ia
mendengar kesulitan-kesulitannya sehingga kekasihnya
berhasil mencari buah 'Hiat-ko' untuknya, tidak terasa lagi,
airmatanya jatuh berderai-derai.
Leng Hong lalu berkata pula: "Sekarang kesedihan itu
sudah lampau, sakit hatiku sudah terbalas. Ah Lan,
sekarang marilah kita pulang kembali kekampung halaman
kita, dimana kita dapat menanam padi dan bunga, agar
supaya kita dapat hidup bahagia dan tanpa berpisahan pula
untuk selama-lamanya."
Ah Lan tersenyum mendengar perkataan sipemuda,
hingga dalam senyumnya terkandung suatu perasaan yang
sukar diduga, sedangkan matanya sudah berkaca-kaca oleh
airmata. Sebaliknya Leng Hong sendiri dengan semangat yang
bergolak-golak, ia tidak sempat memperhatikan wajah
kekasihnya dan hanya berkata: "Baiklah kita mencari
twanio terlehih dahulu, aku ingin sekali akan dapat


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membalas budi kebaikan twanio. Rumah kita yang dahulu
pasti sudah terlanda banjir sehingga musnah, tetapi itu tidak
mengapa, kita dapat pindah dan menetap dibawah kaki
gunung, dimana kita dapat membangun kembali rumah
kita. Dengan demikian, kita dapat sering-sering mengunjungi In Yaya. Ah Lan, In Yaya sangat
menyayangimu, dia memesan untuk mengajakmu kepadanya. Benar, disana masih terdapat pohon jeruk yang
baik, buahnya besar-besar lagi manis, kau pasti merasa
senang untuk makan buah itu."
Sekonyong-konyong Ah Lan rasakan matanya gatal-
gatal, lalu dia ulurkan tangannya hendak membuka kain
penutup matanya itu. Leng Hong segera menghalanginya sambil bertanya:
"Kau merasa bagaimanakah?"
Ah Lan menjawab: "Aku rasakan mataku sangat gatal."
Leng Hong dengan girang lalu berkata: "Berhasil,
berhasil! Tidak disangka bahwa khasiat obat cairan ini
manjur luar biasa. Ah Lan, tenanglah, biarlah aku yang
membuka tutup matamu itu."
Dengan perasaan tidak sabar, Leng Hong buru-buru
membuka kain penutup mata Ah Lan, hingga sinona yang
melihat sinar terang menembus matanya, tanpa terasa lagi
ia segera jatuh pingsan. Gouw Leng Hong segera bertanya: "Ah Lan,
mengapakah kau" Kenapa?"
Pelahan-lahan Ah Lan siuman dan lalu bangun berdiri,
dan sambil menghirup hawa udara dalam-dalam, ia lirikan
matanya pada Leng Hong sejurus, kemudian airmata
sebesar kacang jatuh berderai-derai melalui kedua belah
pipinya. Leng Hong lalu bertanya: "Kau dapat melihat aku
tidak?" Ah Lan manggutkan kepalanya, sedang Leng Hong
saking girangnya lalu mengangkat tubuh sinona dan
berputar-putar dalam kamar tersebut.
Dengan kata-kata yang lemah-lembut Ah Lan berkata:
"Twako, turunkanlah daku ini."
Mendengar perkataan kekasihnya, ia menjadi terlongong-longong dan menjawab: "Lihatlah, saking
girangnya, sehingga aku berlaku semberono! Ya, benar, Ah
Lan, sepasang matamu baru saja sembuh kembali, maka tak
boleh kau memaksa matamu memandang lama-lama.
Lekaslah kau baringkan tubuhmu diatas ranjang dan
beristirahat secukupnya." Setelah berkata demikian, lalu ia
pondong tubuh kekasihnya dibawanya masuk kekamar
tidur. Dengan perlahan-lahan ia meletakkan tubuh Ah Lan
diatas ranjang dan lalu menyelimutinya sekali, kemudian
dengan suara yang lemah gemulai ia berpesan: "Sebentar
kemudian akan kujengukmu pula."
Ah Lan segera menjambret tangan Leng Hong sambil
berkata dengan cepat: "Twako, kau jangan tinggalkan aku."
Leng Hong yang melihat wajah sinona sedemikian
gugupnya, lalu meluluskan permintaannya sambil duduk
dipinggir ranjang menjagainya.
Ah Lan yang dapat melihat kekasihnya dalam jarak
dekat dan dapat pula melihat wajah kekasihnya yang
tampan, sekonyong-konyong ia bertanya: "Twako, percayakah kau bahwa diatas langit terdapat taman
Firdaus?" Leng Hong merasa tercengang mendengar perkataan
kekasihnya itu, maka dengan perasaan tidak mengerti ia
menjawab: "Ah, mungkin hal itu hanya kabar bohong
belaka." Ah Lan yang mendengar jawaban pemuda kekasihnya,
agaknya ia berputus asa, maka dalam hati ia berpikir:
"Apakah cerita ayah dan ibu tidak benar sama sekali?"
Leng Hong lalu menghiburnya sambil berkata: "Janganlah kau memikir yang tidak-tidak, baik-baik sajalah
kau merawat badanmu serta semangatmu."
Ah Lan terus memohon agar Leng Hong suka
menceritakan masa hidup kecil mereka, maka Leng Hong
yang mendengar hal tersebut, dalam hatinya lalu timbul
rasa kasih sayang dan akrab yang tak dapat terlukiskan.
Ah Lan lalu menimbrung: "Twako, masih ingatkah kau
pada suatu hari ketika kita naik keatas gunung untuk
memetik sayur-sayuran hutan dan berpapasan dengan
serigala yang berwarna abu-abu?"
Dengan tertawa Leng Hong menjawab: "Pada saat itu
saking kagetnya, tangan dan kaki kita sampai terasa lemas,
sedangkan bernapaspun sampai tak berani keras-keras,
sehingga serigala itu tidak sampai menemukan jejak kita."
Ah Lan lalu berkata pula: "Aku senantiasa masih ingat,
pada saat itu walaupun kau kaget tampaknya, tapi
ditanganmu memegang erat-erat sebatang cabang pohon.
Kau berdiri dimukaku melindungi diriku, kau memperlakukan diriku begitu baik, hingga bila umurku tak
dapat aku membalas kebaikanmu ini, sekalipun aku
menjadi setan, pasti akan kuberusaha untuk membalasmu."
Leng Hong berkata: "Ah Lan, janganlah kau memperbincangkan soal-soal yang menyedihkan. Hari
kebahagiaan kita sudah sampai, hingga terhadap urusan
dalam kalangan Kang-Ouw telah tidak menarik pula
perhatianku. Asalkan kau mau hidup bersama-samaku,
sekalipun kelaparan dan mati kedinginan, akupun merasa
rela. Kita tinggal dikaki gunung, setiap hari kita dapat naik
keatas gunung bersama-sama, mendengarkan bergemericiknya sumber air, berjalan-jalan dan memetik
buah-buahan. Sedangkan Hiong-tee yang kepandaiannya
sangat tinggi, ia pasti akan sering-sering datang mengunjungi kita disana. Ah Lan, cobalah kau katakan,
penghidupan yang demikian ini apakah tidak cukup
bahagia?" Ah Lan yang melihat airmuka kekasihnya yang sangat
terang dan menunjukkan perasaan hatinya yang bergembira, beberapa kali ia ingin menyadarkannya, akan
tetapi dia tetap tidak dapat membuka mulutnya.
Pada saat itu hari sudah parak siang, waktu Leng Hong
terpikir akan janjinya dengan Lie Siauw Hiong, diapun
segera memberitahukan hal tersebut pada Ah Lan untuk
meminta diri daripadanya.
Dengan perasaan terharu Ah Lan memandang pada
kekasihnya, dan lalu dengan suara yang lemah-lembut ia
berkata: "Twako, benarkah bahwa kau akan mengingatku
senantiasa?" Mendengar perkataan Ah Lan ini, Leng Hong jadi
merasa agak tercengang, tapi ia tetap menganggukkan
kepalanya menyatakan benar.
Kemudian Ah Lan berkata pula: "Twako, andaikata aku
telah membuat suatu kesalahan yang tidak menyenangkan
bagi perasaanmu, apakah kau .. tetapkah .. kau sudi
memaafkanku?" Sambil tertawa Leng Hong menjawab: "Ah Lan, dimana-
mana kau senantiasa memikirkanku serta berbuat sesuatu
untuk kebaikanku, maka dimanakah mungkin engkau
membuat kesalahan kepadaku?"
Sambil menarik napas panjang, Ah Lan lalu menjawab:
"Bila demikian halnya, maka akupun merasa tenteram.
Twako, kau boleh pergi sekarang."
Leng Hong baru saja memutarkan badannya hendak
berjalan pergi, Ah Lan sudah memanggilnya pula sambil
berkata: "Twako, coba biarkan aku memandangmu sekali
lagi." Dalam hati Leng Hong merasa agak tercengang dan
merasakan bahwa tingkah laku Ah Lan luar biasa anehnya,
tapi dalam kegirangan yang tidak terhingga besarnya,
kecerdasan otaknya seakan-akan tertutup dan tak dapat
memecahkan teka-teki ini terlebih lanjut.
Ah Lan sambil melirik pada Leng Hong, diapun sudah
dapat menguasai perasaannya, sedikit perasaan sayangpun
tidak diingat-ingatnya kembali maka dengan secara wajar ia
tertawa: "Bukankah kau ingin segera pergi?"
Dengan pandangannya ia mengantarkan kepergian Leng
Hong dengan separuh tertawa sambil berpikir: "Segala
sesuatu yang terdapat dibumi ini, memanglah tidak ada
yang sempurna, karena bila keadaan sesuatu itu sedikit saja
hampir mencapai kesempurnaan, make usianyapun tidak
panjang. Jika sepasang muda-mudi berpacaran dalam usia
yang sedemikian mudanya, sekalipun mula-mula mereka
saling mencintai dengan secara dalam sekali, tapi
kenyataannya adalah mereka ini pasti tidak dapat hidup
sampai tua, maka untukku, hidupku sampai saat ini
cukuplah bagiku, apa lagi akupun sudah dapat mengecap
percintaan yang demikian berharganya! Sekalipun saat
percintaanku ini amat pendek, tapi jika dibandingkan
dengan percintaan yang kacau berbelit-belit, lelakon
percintaanku masih jauh lebih berharga."
Lalu dia menolak jendela sambil mengangkat kepalanya
memandang pada langit yang biru, sedangkan hidungnya
dengan bernapsu mencium wanginya bunga Lan Hoa,
sehingga pikirannya dengan jernih sekali dapat mengatur
apa yang hendak dilakukannya ..
Dengan perasaan penuh kegirangan dan langkah yang
ringan, Gouw Leng Hong menuju keluar kota, akan tetapi
sesampainya disana, dia tak dapat menemui Lie Siauw
Hiong, sehingga terpaksa ia berjalan bolak-balik didekat
tempat-tempat yang berdekatan.
Pada saat itu langit tampak cerah, dan kebetulan pula
didaerah situ untuk tiga tahun lamanya hasil panen sangat
memuaskan. Dari kejauhan Leng Hong dapat melihat
tembok kota yang tinggi kekar, sedangkan para pedagang
tampak mondar-mandir dalam kesibukan, begitupun para
petani menunjukkan muka yang berseri-seri, sehingga Leng
Hong yang menampak kesemuanya ini, hatinyapun merasa
jembar sekali. Dia telah menanti selama setengah jam, tapi Lie Siauw
Hiong yang ditunggu-tunggu belum lagi menampakkan
mata hidungnya, maka iapun segera mengetahui, bahwa
Lie Siauw Hiong pasti mempunyai pekerjaan yang agak
sulit. Oleh karena itu, ia lalu menuju kesebuah toko kecil,
dimana dari pemilik toko tersebut ia minta kertas dan pit,
dan lalu menulis pesannya kepada Lie Siauw Hiong,
andaikata pemuda kita datang juga kesitu, ia dapat
menyusul pada alamat yang tertulis dalam surat itu.
Kemudian dengan langkah yang ringan ia meninggalkan
toko kecil itu kejalan raya, dimana pada saat itu matahari
telah memancarkan sinarnya dengan cepat diatas ubun-
ubunnya, tapi panas matahari yang terik itu melainkan
dirasakannya hangat saja, sehingga sama seperti hatinya
yang merasakan hangatnya percintaannya.
Dengan teliti ia memikirkan perkataan-perkataan Ah
Lan tadi, dengan semacam perasaan yang tidal enak telah
bersarang dalam perasaannya. Dalam waktu yang pendek
tak dapat ia membedakan apakah perasaannya itu diliputi
kesenangan ataukah kedukaan, karena hanya tangan dan
kakinya yang dirasakannya agak lemas, dan setelah ia
menetapkan semangatnya, ia lalu berkata dalam hati: "Huh,
mungkin juga saking kegirangan aku menjadi mabuk
kepayang." Belakangan bayangan buruk dengan pelahan-lahan telah
menguasai dirinya. Leng Hong sebenarnya orang yang amat cerdik serta
cerdas, tapi disaat itu karena ia tengah diliputi suasana
kegirangan yang memuncak, maka kecerdasan otaknya itu
menjadi agak tidak wajar, karena demi melihat tawa serta
tutur kata Ah Lan, ia menjadi kegirangan luar biasa,


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan hatinya bulat-bulat sudah diserahkan kepadanya .. Kemudian dengan perasaan ketakutan yang amat sangat
dan tanpa memperdulikan sesuatu lagi, lalu dia berlari-lari
cepat sekali menuju ketempat tinggal Ah Lan. Tapi begitu
dia sampai didepan pintu rumah itu, ia sudah mendengar
suara tangisan orang. Leng Hong tahu pasti, bahwa sesuatu yang tidak
diinginkan telah terjadi, maka sambil mengempos semangat
dia melompati tembok, akan kemudian dengan tindakan
lebar dia menerobos masuk kekamar Ah Lan, dimana dia
lihat tubuh Ah Lan lemah terkulai dilantai, sedangkan
Siauw Ie menangis terisak-isak sambil memeluk tubuhnya.
Dalam tangisnya, Siauw Ie masih sempat berkata: "Lan
Kho sudah meninggal dunia, kau datang mau apa lagi?"
Dengan laku yang kalap ia maju dan menubruk tubuh
Ah Lan sambil dipeluknya erat-erat.
Segera dia ulurkan tangannya dan meraba nadinya,
ternyata tangannya telah kaku dan dingin, matanya
berkunang-kunang seakan-akan diapun hendak jatuh
pingsan. Dengan perlahan-lahan dia letakkan tubuh Ah Lan,
kemudian dengan mata yang sayu dia melihat kesekitarnya,
kemudian dengan secara tiba-tiba dari mulutnya dia telah
memuntahkan darah segar. Waktu Siauw Ie mengangkat
kepalanya memandang, dia dapatkan pemuda tersebut
seperti sudah bersalin rupa, matanya tampak sangat sayu
dan guram, semangatnya runtuh habis-habisan, sehingga
membuat orang yang memandangnya merasa pilu sekali.
Dan tatkala Siauw Ie menampak aksi sipemuda, tidak
terasa lagi iapun menjadi menggigil tubuhnya.
Leng Hong dalam puncak kedukaannya setelah dapat
menetapkan pikirannya, tanpa mengeluarkan sepatah
katapun, dia lalu memeluk mayat Ah Lan, kemudian, tanpa
menolehkan kepala lagi dia berjalan pergi meninggalkan
rumah celaka itu. Dengan perlahan-lahan Siauw Ie menyusut air matanya,
sedangkan kata-kata Lan Kho masih terngiang-ngiang
ditelinganya: "Siauw Ie, segala sesuatu yang telah kualami,
engkau sendiri telah ketahui cukup jelas, maka sekarang aku
hendak pergi kesuatu tempat yang jauh sekali. Oleh karena
itu, mulai hari ini dan selanjutnya, engkau harus menjadi
seorang yang baik dan pandai-pandai menjaga diri, tapi
mengenai urusanku ini, sekali-kali engkau jangan perbincangkan pada Gouw Kongcu .."
Tatkala ia mengingat sampai disitu, tidak terasa lagi
airmata Siauw Ie telah mengucur kian menderas, hingga
sambil menyesalkan dirinya sendiri ia berkata: "Siauw Ie,
kau ini sungguh manusia yang bodoh sekali, dengan
sesungguhnya dia menyatakan ingin meninggalkan pergi
ketempat yang jauh sekali. Halmana, bukankah berarti
bahwa dia ingin membunuh diri dengan jalan menggantung
dirinya sendiri?" Tapi suatu pikiran lain lalu muncul dan berkata: "Phui
Popo dan Lan Kho adalah orang yang paling erat
hubungannya, tapi bagaimanakah kesudahannya riwayat
mereka" pembesar yang harus mampus, tatkala dia melihat
wajah Lan Kho yang cantik menarik, lantas dia menjadi
terpincuk, maka dengan menggunakan kesempatan nona itu
datang meminta pertolongan kepadanya, dia pura-pura
berlaku baik, dan sungguh kasihan nona Lan Kho yang
tidak menyangka jelek terhadapnya, sehingga akhirnya ia
kena ditipu olehnya. Karena pada suatu hari pembesar
keparat itu diwaktu menyuguhkan arak, dengan diam-diam
telah mencampurkan obat bius kedalam arak itu, sehingga
akhirnya dengan mudah saja dia telah dapat mencemarkan
kehormatan nona Lan Kho. Halmana, semua orangpun
telah mengetahuinya. Tapi karena dia adalah seorang
pembesar, maka tidak ada seorangpun yang berani
melawannya, apakah hal ini adil menurut hukum alam?"
"Lan Kho sekalipun telah menerima penghinaan yang
demikian menyakitkan hati, tapi dia masih tetap ingin
hidup terus. Dia ingin melihat untuk penghabisan kalinya
wajah Gouw Kongcu. Maka sekarang setelah angan-
angannya tercapai, diapun rela mati, tanpa Gouw Kongcu
mengetahui kejadian yang telah dialaminya, karena dia
tidak ingin merembet-rembet pada nama baik pemuda
kekasihnya. Sungguh kasihan sekali, dia yang begitu
mencintai Gouw Kongcu dan rela menerima penghinaan
sehesar itu. Urusan ini hanya aku sendiri yang mengetahui
cukup jelas, maka untuk membalas kebaikan Lan Kho yang
telah memperlakukan aku begitu baik sekali, aku Siauw Ie
selama hayatku dikandung badan ini, akan selalu berikhtiar
untuk membalaskan sakit hatimu terhadap pembesar
jahanam itu!" Begitulah dengan semangat yang menggelora ini, Siauw
Ie lalu mengembara dikalangan Kang-ouw, dimana ia
mengembara kemana-mana dalam usahanya untuk mencari
seorang guru yang pandai, akan kemudian melaksanakan
cita-citanya untuk membalas dendam terhadap pembesar
yang keji itu. Leng Hong setelah menyewa sebuah kereta, lalu mayat
Lan Kho dinaiki kekereta, tapi karena takut orang
mencurigainya, setibanya diluar kota dia telah memberikan
banyak uang kepada sikusir untuk menutup mulut,
kemudian ia memondong tubuh Ah Lan dan berlari dengan
langkah yang ringan dan gesit menuju kekaki sebuah
gunung. Dan situ ia masuk kedalam guha gunung, dimana
ia telah meletakkan tubuh Ah Lan.
Selama hidupnya ini, sesungguhnya dia lebih banyak
mengalami kesengsaraan daripada mengecap kesenangan.
Lalu dia mencabut pedangnya dengan mana dia menggali
tanah yang lalu mengubur mayat Ah Lan disitu. Sudah itu
didepan kuburan tersebut dia berkata dengan perasaan yang
tidak keruan rasa: "Ah Lan, dalam hayatku ini aku sudah
menetapkan, bahwa aku akan mengawalmu sepanjang
masa .. tidak perduli dilangit maupun dibumi, maka
nantikanlah kedatanganku, aku pasti akan menyusulmu."
Sesudah berkata demikian, lalu dia mengangkat
pedangnya, untuk kemudian .. ditabaskan pada lehernya
sendiri! Sekonyong-konyong dia merasakan tangan kanannya
tergetar hebat sekali, berhubung suatu tenaga yang sangat
kuat telah menahan jatuhnya pedangnya tersebut, dengan
dibarengi oleh satu suara nyaring bagaikan bunyi lonceng
pecah yang berkata: "Kecantikan itu adalah kekosongan,
kekosongan itu adalah kecantikan, sekalipun kesengsaraan
itu luas bagaikan lautan, tapi bila kau menoleh kedepan,
disanalah tampak daratan." Maksudnya kurang lebih
berarti sekalipun kesukaran itu terdapat dimana-mana, tapi
bila kau tekun dan ulet serta tawakal menghadapinya, maka
pada akhirnya kau pasti akan mencapai kebahagiaan.
Mendengar suara tersebut yang begitu nyaring, diapun
merasakan kepalanya seperti diguyur oleh air dingin, maka
dalam waktu sekejap mata saja, ia telah merasakan apa
yang terlihat dimuka menjadi kabur, hingga dalam keadaan
setengah sadar ia telah menolehkan kepalanya, tapi tidak
melihat bayangan seorangpun. Dan tatkala ia menatapkan
matanya memandang kemuka dengan cermat, barulah ia
melihat dua bayangan bagaikan terbang cepatnya melesat
pergi, diantaranya adalah seorang pendeta tua yang
bertubuh kurus kering, sedangkan dengan hanya melihat
punggungnya saja, ia seakan-akan merasa kenal terhadapnya, dengan diantara kempitan tangannya terdapat
seorang anak dara yang seolah-olah dalam keadaan pingsan
.. Dalam hati Leng Hong sama sekali tidak pernah
memikirkan tentang keganjilan kejadian ini, berhubung
otaknya sedang diliputi oleh penderitaan. Maka begitu ia
dikejutkan oleh peristiwa yang tak terduga ini, sebentar
kemudian dia seperti melihat sebuah telaga besar yang
airnya tenang bagaikan sebuah kaca besar, dari mana tidak
putus-putusnya terdengar perkataan sipendeta tua kurus tadi
yang telah mengatakan: "Kecantikan itu adalah kekosongan
.. kekosongan itu adalah kecantikan .." beberapa perkataan
yang bersarang dalam sekali diotaknya.
Sekonyong-konyong dia seperti tersadar dari lamunannya, hingga pada wajahnya yang tampan tampak
memancar suatu ketetapan yang teguh, tapi begitu ia
melangkah .. lekas-lekas ia menghentikan juga tindakannya,
sedangkan didalam hatinya diam-diam ia berkata:
"Sebenarnya aku ingin sekali mencari In Yaya. Aku ingin
sekali menemaninya selama ada kesempatan dalam sisa
hidupku ini, tapi terhadap perjanjianku dengan Hiong-tee,
cara bagaimana harus kuselesaikannya" Tapi sebagai
seorang laki-laki sejati, masakah aku dapat menelan kata-
kataku kembali dengan jalan mengingkari janjiku" Aku, aku
harus menantikannya, kemudian .. aiiii, aku masih ada
'urusan' apa lagi?" Dalam pada itu tiba-tiba saja dia menjadi terperanjat,
karena wanita yang dikempit oleh pendeta tua itu seakan-
akan tidak asing lagi baginya karena anak dara itu
sesungguhnya ada beberapa bagian mirip dengan wajah
Ceng Jie! Maka tanpa merasa ragu-ragu lagi, ia segera memutarkan
badannya dan mengejar pada kedua bayangan yang baru
lalu itu. Dan tatkala sedang mengejar dengan mempergunakan Keng-sin-kangnya yang dahsyat itu,
sekonyong-konyong dari sebelah kirinya terdengar suara
suitan, hingga dengan cepat dia menahan laugkahnya,
sedang dari balik sebuah bukit kecil muncul satu bayangan
manusia yang bergerak dengan secara gesit sekali.
Kecepatan gerakan orang itu sungguh mengejutkan
sekali, karena dengan hanya tiga atau empat kali lompatan
saja ia sudah lari dan mencapai jarak duapuluh tombak
lebih jauhnya. Leng Hong yang bermata sangat celi, segera
dapat melihat tegas siapa gerangan orang yang bergerak
bagaikan angin cepatnya itu karena orang itupun bukan lain
daripada Lie Siauw Hiong adanya. Dan meski dengan
pandangan sekilas saja, wajah Siauw Hiong tampak jelas
berupa putus asa dan gugup yang bercampur aduk menjadi
satu. Karena, dengan sesungguhnyalah, bahwa tak berhasil
ia dapat menemui jejak Thio Ceng yang tengah dicarinya.
Tatkala itu, begitu Leng Hong berhadapan dengan Lie
Siauw Hiong, entah mengapa, airmatanya sudah lantas
mengalir deras, maka sambil menahan perasaan hatinya
yang menyesakkan dadanya ia berkata: "Hiong-Tee,
dimuka .. dimuka terdapat seorang laki-laki dan seorang
wanita .. yang tampaknya mirip sekali dengan Ceng Jie .."
Sekalipun kata-kata itu terputus-putus, tapi Lie Siauw
Hiong sudah mengerti jelas apa maksudnya, maka dalam
kegirangannya ia berseru: "Lekas kita menyusul!"
Kemudian bagaikan terbang cepatnya is melesat dan
mengejar orang yang lari dihadapannya itu.
Disaat itu Siauw Hiong tidak memperhatikan wajah
Leng Hong, yang sekalipun wajahnya masih tetap tampan,
tapi sudah banyak lebih kurus, sedangkan pandangan
matanya tampak agak suram, sedangkan matanya sudah
kelabu dan seakan-akan ia sudah sepuluh tahun bertamhah
tua. Halmana, Siauw Hiong sendiripun tak dapat mengira,
bahwa begitu mereka saling berpisahan tidak berapa lama,
Gouw Twakonya sudah berhasil dapat menjumpai Ah Lan,
maka ia tak mendusin tentang hati Leng Hong yang kini
tengah menderita kehancuran yang hebat sekali.
Begitulah kedua orang ini telah berlari-lari dilereng
gunung yang curam dan mudun bagaikan berlari ditanah
datar belaka layaknya. Sekonyong-konyong kedua pemuda ini mendapatkan
dua jalan yang bercagak. Leng Hong lalu menyarankan: "Baiklah kita masing-
masing, menyelidik kedua jalan ini .."
Lie Siauw Hiong membantah: "Tidak mungkin, bila
kedua jalan ini kita tidak berhasil menjumpainya, maka kita
bukankah jadi terpisah semakin jauh saja dari orang yang
kita kejar itu?" Dengan demikian, kedua orang ini jadi merasa serba
salah, dan paling akhir Lie Siauw Hiong mengambil
keputusan sambil berkata dengan suara yang pasti: "Baiklah
kita mengambil jalan yang sebelah kiri saja, jika Tuhan
ingin .." Dan diwaktu dia mengatakan: "Jika Tuhan ingin," dia
sudah menghentikan perkataannya.

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dia menengadahkan kepalanya memandang keangkasa, dimana
selain langit yang berwarna biru tua, ternyata disudut langit
tampak sinar aneka warna, sedangkan awan putih yang tipis
melayang-layang bagaikan angkin yang tertiup angin.
Kejadian diatas dunia ini, ada kalanya begitu kebetulan
bagaikan sudah dituliskan oleh Takdir.
Andaikata Lie Siauw Hiong mengambil jalan yang
sebelah kanan, penghidupannya pasti akan berubah menjadi
lain kesudahannya. Jalan disebelah kiri itu pada akhirnya menuju keatas
sebuah bukit, dimana kedua orang pemuda ini setelah
mencari-cari sebentar, sedikit jejakpun tidak mereka dapati,
maka sambil menghela napas Lie Siauw Hiong berkata:
"Kebanyakan kita telah mengambil jalan yang salah .."
Sekonyong-konyong Leng Hong berseru: "Hiong-tee,
tengoklah, disana terdapat guha gunung, marilah kita coba
memeriksanya." Lie Siauw Hiong seakan-akan dari kegelapan telah
berhasil dapat mencari setitik sinar terang, maka dengan
langkah yang pesat ia hampiri guha tersebut. Selama
beberapa hari ini, entah sudah berapa kali dia dikecewakan,
tapi dia masih tetap bersemangat dan kekecewaanpun
banyak pula dia sudah rasakan, tapi semuanya itu dapat
dipertahankan terus berkat cintanya yang besar terhadap
orang yang sedang dicarinya itu.
Dari kejauhan sudah kelihatan berdiri dimuka guha yang
dituju itu seorang laki-laki, yang itu seakan-akan melihat
juga akan kedatangan mereka berdua, bahkan dari
pinggangnya ia telah mencabut sebilah pedang untuk
bersiap-siap. Tatkala Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong tiba
dihadapannya, mereka dengan serentak mengeluarkan
suara "Oh", karena orang itu ternyata bukan lain daripada
Bu-lim-cie-siu Sun Ie Tiong adanya.
Dalam hati Lie Siauw Hiong merasa bagaikan dibokong
oleh ribuan anak panah yang menancap diulu hatinya,
karena Sun Ie Tiong dan Ceng Jie tentu sekali tidak ada
sangkut pautnya pada satu dengan yang lainnya, tapi
dengan terpaksa dia berkata juga: "Sun Heng, apakah
engkau baik-baik saja?"
Sun Ie Tiongpun menjawab: "Kalian berdua mengapa
datang kemari?" Sekonyon-konyong Leng Hong berseru: "Hiong-tee,
lihatlah, siapakah gerangan dia ini?"
Lie Siauw Hiong lalu memandang kearah yang ditunjuk
oleh Leng Hong, dimana ia melihat seorang laki-laki
dengan tenang berjongkok diatas salju yang putih, tengah
meniupkan asap yang dimasukkan kedalam guha tanpa
henti-hentinya, pada tangannya ia memegang segulungan
hio wangi, hingga Lie Siauw Hiong yang sudah agak
paham terhadap 'Racun', dengan sekali lihat saja dia sudah
mengetahui, bahwa orang ini sedang mencari ular berbisa
yang umum disebut 'Kim-siat-jie' atau ular lidah mas.
Dalam diwaktu ia memandang dengan cermat, tanpa
terasa lagi ia menjadi tercengang, karena muka orang itu
yang penuh bekas bacokan sehingga tidak keruan macam,
sesungguhnya bukan lain daripada Thian-mo Kim Ie
adanya. Siauw Hiong jadi tergerak hatinya dan berpikir: "Kim Ie
ini dari tempat yang terpisah ribuan lie jauhnya telah datang
kemari dengan hanya bermaksud untuk mencari ular 'Kim-
siat-jie', tentulah dia ingin membikin 'Hiat-hun-tok-see' atau
pasir darah beracun untuk mencabut nyawa."
Kepandaiannya ini, semuanya telah didapatinya dari
kitab 'Tok Keng' (kitab racun).
Kim Ie adalah salah seorang manusia aneh yang terdapat
didunia ini, sekalipun dia mengetahui dibelakangnya berdiri
Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong berdua, tapi
sekejappun dia tidak menolehkan kepalanya memandang
kepada mereka. Leng Hong yang kuatir Lie Siauw Hiong merasa kecewa,
kembali dia sudah mendahului berkata: "Hiong-tee, marilah
kita pergi kedalam guha untuk menyelidikinya .."
Sun Ie Tiong sebaliknya dengan tergopoh-gopoh dan
bersikap tegang telah mendahului berkata: "Tidak
mungkin!" Lie Siauw Hiong merasa sangat aneh dan lalu balik
bertanya: "Mengapa tidak mungkin?"
Sun Ie Tiong sendiripun agaknya menginsyafi, bahwa
dirinya sudah berlaku tegang tidak keruan, hingga ia lantas
memberi penjelasan: "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa
kalian berdua untuk sementara waktu jangan masuk
kedalam guha itu." Dengan tidak sabaran Lie Siauw Hiong berkata:
"Kenapa?" Mungkin karena terlampau gugup, suaranya menjadi
keras sekali, sehingga Sun Ie Tiongpun menjadi agak marah
juga dibuatnya, tapi dia tidak menjawab pertanyaan orang.
Kecurigaan Lie Siauw Hiong kian bertambah besar dan
dengan suara yang dalam ia bertanya: "Mengapa"
Katakanlah .." Sun Ie Tiong dengan marahpun menjawab: "Jika tidak
karena apa-apa, kau mau apa?"
Sebenarnya Lie Siauw Hiong mengira, bahwa Ceng Jie
pasti tidak ada dalam guha itu, tapi ketika mendengar
jawaban orang ia jadi bertekad bulat untuk memasuki guha
tersebut untuk melakukan pemeriksaan, maka dengan tidak
mengeluarkan sepatah katapun, dia sudah bersiap-siap
untuk memasuki guha itu. Sun Ie Tiong segera menghadang dipintu masuk guha itu
dengan menghunus pedangnya.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 46 (Tamat) Justeru tepat pada saat itu, sekonyong-konyong dari
tempat gelap dari arah belakangnya terdengar suara orang
yang tertawa dingin, hingga Lie Siauw Hiong dan Gouw
Leng Hong buru-buru menolehkan kepalanya memandang,
dimana mereka berdua melihat disuatu tempat yang
terpisah tiga tombak jauhnya dari tempat mereka berdiri,
terdapat lima orang yang wajah dan pengawakan badannya
tidak rata. Yang mengepalai rombongan itu adalah jago kelas satu
dari Thian-tiok, yaitu Kinlungo.
Menampak hal itu, Lie Siauw Hiong jadi agak
terperanjat, dan tatkala sinar mata mereka saling
berbentrok, kedengaran Kinlungo berkata dengan suara
dingin sambil melangkah maju dua tindak: "Lie Tayhiap,
apakah engkau baik-baik saja?"
Mendengar perkataan orang, Lie Siauw Hiong hanya
bergelak gumam yang sukar diartikan lawannya.
Sedangkan Kim Ie sendiri yang sedang berjongkok
menangkap ular, menolehpun tidak kearah mereka. Dia tak
melakukan gerak apa-apa, itulah sebabnya mengapa
Kinlungo dan kawan-kawannya tidak melihat kepadanya.
Sementara Kinlungo yang melihat Lie Siauw Hiong
tidak menghiraukannya, tidak terasa lagi ia menjadi murka,
maka dengan suara dingin dia berkata: "Hari ini aku
bersama-sama saudara seperguruanku datang untuk
memohon sesuatu kepadamu .. hm, agaknya pedangmu
termasuk benda yang langka juga, ha?"
Lie Siauw Hiong yang melihat lawannya dengan hanya
melihat gagang pedangnya saja sudah mengetahui bahwa
pedangnya itu adalah pedang mustika, pandangannya yang
tajam ini sungguh mengagumkan sekali, hingga dalam hati
ia berpikir: "Bocah ini ingin memohon apakah dariku" Ah,
mungkin juga dia hendak memperdayaiku!"
Tapi dimulut dia hanya menjawab: "Kenapa?"
Sambil berkata-kata Kinlungo lalu tertawa-tawa, dan
berkata pula: "Tidak ada apa-apa, selain untuk melaksanakan janji lama saja. Kami hanya ingin penegasan
satu patah kata saja dari Lie Tayhiap, sudah itu, kamipun
akan merasa bersyukur sekali .."
Dengan heran Lie Siauw Hiong balik bertanya:
"Mengakui apakah?"
Setelah berdehem dua kali, Kinlungo lalu berkata: "Asal
saja Lie Tayhiap mengakui bahwa kepandaian silat dari
Thian-tiok berada diatas dari para pendekar di Tiong-goan,
kamipun sudah cukup merasa puas .."
Lie Siauw Hiong lekas menjawab: "Tempo hari kalian
Heng-hoo-sam-hut dalam pertandingan dipulau Siauw Ciap
To telah banyak memperoleh kemurahan, bila tidak,
masakah kalian dapat berlalu demikian mudahnya" Hm!"
Sambil tertawa dingin, Kinlungo berkata pula: "Guruku
dengan secara sekonyong-konyong melihat Bu Kek Toocu
telah terserang oleh penyakit, maka guru kami telah
melepaskannya begitu saja, jika tidak, apakah hal itu Lie
Tay-hiap menganggap bukan suatu kebaikan?"
Lie Siauw Hiong tidak dapat lagi menahan kemarahannya, maka dengan tertawa terbabak-bahak ia
berkata: "Apakah kedatangan kalian semata-mata disebabkan oleh hal itu sajakah?"
Dengan sombong Kinlungo manggutkan kepalanya.
Lie Siauw Hiong hanya merasakan dadanya hendak
meledak, berhubung darahnya sudah naik sekian derajat,
maka dengan tidak memperdulikan pula kepada dirinya
sendiri dan berbareng melupakan juga usahanya untuk
mencari Thio Ceng, juga dengan melupakan bahaya yang
mengancam pada dirinya ia telah berteriak: "Aku orang she
Lie menjawab pertanyaanmu, yaitu kalian lekas enyahlah
dari sini!" Sesungguhnyalah, pada saat itu dia telah melupakan
pada diri Ceng Jie .. bila hal itu diingatnya kemudian,
mungkin ia akan merasa heran juga .. tapi sampai detik itu,
hatinya yang menyinta ternyata jauh lebih kecil daripada
tugasnya yang harus diselesaikan dengan segera disaat itu
juga! Dengan tawar Kinlungo tertawa, diapun tampaknya
tidak menghiraukan lawan bicaranya lagi, hanya dengan
menunjuk pada seorang hweeshio (pendeta) katai ia
berkata: "Yang ini adalah Twa-suhengku, gelarnya disebut
orang Mitopos." Lie Siauw Hiong lalu memandang pada hweeshio katai
itu, yang bentuk kepalanya agak muncul, sepasang matanya
tajam bagaikan mata burung alap-alap, tapi sekalipun
perawakannya agak kecil, semangatnya besar dan teguh
sekali laksana sebuah gunung, hingga dengan perasaan
tercengang Lie Siauw Hiong lalu berkata: "Tenaga-dalam
pendeta ini ternyata amat tinggi, hingga jika dibandingkan
dengan guru mereka, mungkin juga terpautnya tidak jauh.
Maka diantara kelima orang ini, dialah yang paling sukar
dihadapi." Sudah itu Kinlungo menunjuk pula pada seorang
hweeshio berbaju kuning yang berdiri disebelah kirinya
sambil berkata: "Yang ini adalah Jie-suhengku cindu Arhat
.." Kemudian disusul dengan penerangan-penerangan selanjutnya, sambil menunjuk pada hweeshio yang kedua
disebelah kiri: "Yang ini Sam-suhengku Katar kalian berdua
pasti sudah pernah saling berjumpa."
Paling aehir dia menunjuk pada hweeshio disebelah
kanannya yang berjembros sambil berkata: "Yang ini adalah
sie-suhengku Unjenporo. Kami berlima disebut Poo-lo-ngo-
kie .." (Lima orang aneh dari golongan Bhagawat).
Lie Siauw Hiong sekonyong-konyong teringat akan
penuturan dalam kitab Sansekerta itu, maka sambil tertawa
dingin ia menjawab: "Hm, mungkin kalian adalah Poo-lo-
liok-kie?" Muka Kimlungo berubah seketika, tapi sambil mengeluarkan suara dari lubang hidung ia menjawab: "Lie
Tayhiap sungguh pandai sekali berkelakar .. Omongan
kosong dipersingkat saja, kedatangan kami bersaudara
kemari adalah tetap untuk .."
Berkata sampai disitu, ia berhenti sebentar, lalu
disambungnya pula: "Lie Tayhiap tidak mau mengakui
kepandaian kami melebihi daripada para pendekar di
Tiong-goan, hal itu tidak menjadi halangan apa-apa. Hanya
tempo hari kami yang pernah bertanding digunung Kwie-
san, setibanya dinegeri kami, lalu kami menceritakan
tentang kepandaian kalian pada guru kami, hingga mereka
sesungguhnya mengagumi sekali terhadap kepandaian Lie
Tayhiap dan kawan-kawan, oleh karena itu .. oleh karena
itu, kami hendak mencari Lie Tayhiap untuk memohon
pengajaran barang satu dua jurus saja .."
Setelah berkata sampai disitu, sepasang matanya yang


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam lalu diarahkan kepada diri Lie Siauw Hiong.
Dengan sikap tenang-tenang saja Lie Siauw Hiong
melirikkan matanya selayang pandang kepada para
musuhnya, tapi belum berhasil ia menemui satu cara untuk,
meloloskan diri dengan secara sempurna.
Kemudian ia membalikkan kepalanya memandang pada
Gouw Leng Hong, kepada siapa ia tersenyum sambil
bertanya: "Bagaimana?"
Mula-mula Gouw Leng Hong menggelengkan kepalanya, tapi kemudian dengan suara yang pasti ia
berkata: "Maju satu kita tempur satu."
Wajahnya yang tampan memperlihatkan sifat yang
wajar, hingga sifat ini menambah kegagahannya sebagai
seorang jantan sejati. Lie Siauw Hiong sambil mendongak ia tertawa panjang,
sudah itu dengan lantang ia menjawab: "Air bah melanda,
angin puyuh menderu-deru. Seorang jantan sejati lebih suka
mati daripada harus bertekuk lutut dihadapan bangsa asing.
Mari, twako, kita berjoang sehingga titik darah kita yang
terakhir .. Twako, lima orang bangsa liar ini, cara
bagaimana dapat melawan kita?"
Kinlungo tertawa terkekeh-kekeh mendengar perkataan
pemuda itu, maka dengan suara dingin ia berkata: "Kalian
hanya berduaan saja, cara bagaimana dapat menghadapi
kami?" Baru saja Lie Siauw Hiong ingin menjawab, sekonyong-
konyong dari arah belakangnya terdengar suara orang yang
berseru dengan nyaring: "Tiga orang! bukan dua!"
Tatkala Kinlungo menolehkan kepalanya memandang,
ternyata dalam jarak tiga tombak jauhnya ia melihat
seorang pemuda berbaju biru yang berdiri tegak sambil
bertolak pinggang, sedangkan kuncir pedangnya yang
tergantung dipinggangnya, melambai-lambai tertiup angin
lalu, dan orang ini tidak lain tidak bukan adalah pemuda
yang ia pernah jumpai digunung Kwie-San, yaitu Bu-lim-
cie-siu Sun Ie Tiong adanya.
Kinlungo tertawa tengal sambil berkata: "Baiklah, kalau
begitu engkaupun terhitung masuk bilangan juga."
Hampir dalam saat itu juga, sekonyong-konyong dari
arah kiri terdengar orang yang berkata dengan suara dingin:
"Hai, hei, jangan lupa, kawan, disini masih ada aku seorang
pula!" Poo-loo-ngo-kie buru-buru memutarkan badan mereka
memandang pada orang tersebut, yang ternyata berdiri
dibelakang salah satu batu besar dengan rambut awut-
awutan dan pedang terhunus ditangannya. Muka orang itu
terdapat tanda bacokan golok yang bersilang, hidungnya
tampak tidak sempurna, sedang keadaan orang itu sangat
mengerikan, berhubung orang itu senantiasa melakukan
kejahatan dimana-mana pada masa yang lampau, karena ia
itupun bukan lain daripada Thian-mo Kim Ie adanya.
Kinlungo yang pernah berjumpa dengan Kim Ie, pada
saat ini dia merasakan bahwa muka orang itu sungguh
menakutkan sekali, hal mana tanpa terasa pula telah
membuat hatinya jadi terkejut.
Lie Siauw Hiong sama sekali tidak menduga, bahwa
kedua orang itu sudi mengeluarkan tenaga untuk bersama-
sama menempur kelima orang lawan asing tersebut, hingga
Siauw Hiong yang menampak hal itu menjadi girang sekali,
sedangkan semangatnyapun jadi membumbung semakin
tinggi, kemudian sambil tertawa nyaring iapun dengan
sekonyong-konyong telah mencabut juga pedang Bwee-
hiang-kiamnya. Dengan demikian, Leng Hongpun segera menelad
tindakan kawannya dan melangkah maju sambil menghunus pedangnya pula.
Lie Siauw Hiong dengan suara yang pelahan lalu berkata
kepada Gouw Leng Hong: "Twa-hweeshio yang katai yang
menjadi pemimpin mereka, biarlah aku yang nanti hadapi
.." Akan tetapi pada sebelum ia selesai berkata, dengan
memperdengarkan suara ser ser dua kali, tampak Kim Ie
dan Sun Ie Tiong telah melesat tampil kemuka.
Kinlungo dengan tertawa dingin telah berkata: "Numpang tanya nama tuan-tuan yang terhormat berdua?"
(Karena biarpun ia pernah berjumpa dengan kedua orang
ini, tapi ia belum mengetahui she maupun nama mereka).
Sambil tertawa terbahak-bahak Sun Ie Tiong lalu
menjawab: "Jika mau bertempur, boleh bertempur saja,
buat apa banyak bertanya yang tidak-tidak?"
Sedangkan Kim Ie, tanpa bersuara apa-apa, tampaknya
sama sekali tidak terlampau mengambil pusing akan tanya
jawab tersebut. Kinlungo saking mendongkolnya jadi tertawa panjang
sambil menengadahkan kepalanya, kemudian setelah
berhenti tertawa, dengan gemasnya ia berkata: "Kalian ini
sungguh keliwat temberang sekali, tahukah kalian, bahwa
hari ini adalah hari kematian kalian?"
Bersamaan dengan diucapkannya perkataan tersebut,
segera terdengar suara "brat" yang nyaring sekali, suara
Alap Alap Laut Kidul 11 Pendekar Pulau Neraka 35 Pewaris Keris Naga Emas Keruntuhan Netra Dahana 1
^