Pencarian

Pendekar Pedang Sakti 9

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Bagian 9


berbuat demikian, hanya merupakan suatu pekerjaan yang
berlebih-lebihan saja baginya.
Bila seseorang melihat jago-jago silat bertanding,
selisihnya yang sedikit saja mengenai keunggulan mereka,
sudah dapat untuk mengetahui dan menentukan siapa yang
akan menang dan siapa yang akan menderita kekalahan.
Begitulah, menampak kesempatan baik ini, dengan
mengumbar napsunya, Ciauw Hoa lalu menggeram keras
sambil melanjarkan serangannya pula terhadap Lie Siauw
Hiong. Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong merasa tiupan
angin yang amat keras. Waktu dia melirikkan matanya
memandang, ternyata Ciauw Hoa telah menubruk
kearahnya, hal mana menyebabkan keadaannya kini
menjadi sangat berbahaya sekali. Dan bila dia tidak
mengelitkan dirinya dari serudukan lawannya, pasti dia
akan menderita luka parah. Tapi bila dia mengelak, dia
tidak dapat berkelit kekiri atau kekanan, selain melompat
mundur kebelakang, sedang untuk melompat mundur tak
ada harapan lagi, karena kalau ia berbuat demikian, ia akan
jatuh masuk jurang dalam. Oleh sebab itu, ia terpaksa
melompat keatas seraya menyamber kain penutup mukanya
yang telah diterbangkan lawannya untuk kesekian kalinya
dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan diulurkannya untuk memunahkan serangan lawannya itu,
yang dia bertekad untuk melawannya dengan secara hebat.
Tapi siasatnya ini segera diketahui Ciauw Hoa, yang lalu
dengan menggunakan tangan kanannya yang dibalikkan, ia
mencoba menangkap pergelangan tangan Lie Siauw Hiong
dengan tipu 'Siauw-kim-na-ciu' untuk menerkamnya.
Sedangkan Ciauw Loo pun sudah bersiap-siap pula untuk
melakukan serangan-serangan selancutnya.
Waktu Lie Siauw Hiong menginsyafi, bahwa siasatnya
ini tidak mungkin dapat dijalankan dengan sempurna, maka
terpaksa dia melepaskan serangannya dengan tidak
semaunya sendiri, kemudian dirinya melayang kebawah
jurang yang tidak tampak dasarnya itu. Sebelum tubuhnya
jatuh kedalam jurang itu, dia masih sempat melihat telapak
tangan Ciauw Hoa berwarna merah, penuh dengan darah,
sedangkan daging telapak tangannya sudah terkupas
sebagian. Rupanya hal itu terjadi ketika dia mencoba
merampas pedang Lie Siauw Hiong tadi.
Dengan memiringkan badannya, Lie Siauw Hiong
memandang sebentar kekanan dan kekiri. Ternyata dirinya
sudah terjatuh kurang lebih puluhan tombak jauhnya, tapi
ia masih sempat melihat dengan sangat geram muka kedua
orang yang sangat buruk itu, memandang kepadanya yang
sedang melayang jatuh kebawah. Dalam keadaan begitu,
Siauw Hiong menarik nafas menyesalkan dirinya sendiri,
karena pada sebelum sakit hatinya terbalas himpas, kini ia
sudah harus menghadapi kematian. Hal mana, sudah
barang tentu, ia menjadi sangat putus asa dan berduka.
Sebelum melayang jatuh kebawah jurang, Lie Siauw
Hiong masih mendapat kesempatan mendengar suara
tertawa aneh dari kedua lawannya itu. Semakin lama suara
tertawa itu semakin jauh, hingga selanjutnya ia tidak
mengetahui, apakah Hay-tian-siang-sat sudah meninggalkan tempat itu ataukah belum, karena ia sekarang
semakin lama semakin jauh jatuh kedasar jurang itu.
(Oo-dwkz-oO) Disebelah selatan sungai Han Sui dan disebelah barat
sungai Tiang Kang, terletak sebuah kota lain yang tergolong
pada Bu Han Sam Tin, yakni kota Han Yang.
Disebelah utara kota Han Yang, berdiri tegak gunung
Kui San yang dengan megahnya berhadap-hadapan dengan
gunung Coa San yang terletak dalam kota Bu Ciang, dan
disebelah utara pantai kota Han Yang terdapat sebuah
telaga yang agak besar dan oleh penduduk disekitarnya
biasa disebut telaga See Goat Ouw. Pemandangan disekitar
telaga tersebut sangat indah dan permai, sehingga banyak
sekali menarik para pelancong untuk menyaksikan
keindahan telaga tersebut. Ditengah-tengah telaga itu
terdapat sebuah kuil yang tidak terlampau kecil. Kuil ini
didirikan disuatu tempat yang agak terlindung dalam hutan-
hutan kecil disekitarnya, malah letak kuil inipun tepat diatas
sebuah lereng gunung, sehingga orang yang datang kesitu
sangat sedikit jumlahnya. Karena orang banyak tidak
mengetahui, bahwa ditempat itu terdapat sebuah kuil.
Diantara jalanan gunung yang sempit dan berliku-liku
itu, banyak sekali terdapat daun-daun yang berwarna
kuning berguguran diatas jalan, suatu tanda bahwa musim
panas sudah berlalu dan musim rontok telah mendatangi
untuk mengganti kedudukan musim yang lampau itu.
Menjelang senja hari itu, matahari masih dapat
menyinarkan sekelelumit cahaya yang lemah, kemudian
berwarna kemerah-merahan seperti teja meliputi daerah
pegunungan itu. Sinar matahari yang jatuh dibatang-batang
dan daun-daun bambu, memantulkan kembali sinarnya
sampai kekuil tersebut, sehingga kuil itu tampak seolah-olah
masih baru saja. Dan dengan pantulan cahaya matahari
senja itu, tulisan 'Sui Gwat Am' yang terdapat dikuil itu
masih jelas dapat dibaca orang. Kuil ini adalah khusus
tempat tinggal pendeta-pendeta wanita.
Dikuil itu tampak seorang pendeta wanita yang memakai
jubah berwarna putih, sedang duduk dimuka pintu sambil
bersandar dipintu kuil itu. Dari bayangannya kita dapat
membedakan bahwa pendeta ini adalah seorang wanita
yang cantik sekali. Alisnya sangat panjang, melengkung
seperti bulan sabit, hidungnya mancung dan mulutnya kecil
bagaikan buah Tho, sehingga sungguh-sungguh semuanya
ini menambah kecantikannya.
Sepasang matanya seakan-akan tidak bergerak memandang pada suatu tempat tertentu dan sangat jauh
letaknya. Sinar matanya yang sangat jernih itu, tampak
mengeluarkan butir-butir air mata.
Kulitnya sangat halus dan menarik perhatian orang.
Apalagi dengan memakai jubah pendeta berwarna putih ini,
dia kelihatan semakin cantik saja, sehingga sinar matahari
senja itu yang menyinari sekitarnya, merupakan suatu
pemandangan yang amat indah, tapi saat itu pikiran
pendeta itu sedang melayang-layang kesuatu tempat yang
jauh sekali. Dalam lamunannya ini seraya mencucurkan air mata,
seakan-akan dia melihat bayangan pemuda yang cakap dan
gesit. Dimana pemuda yang tengah dia khayalkan itu
mempunyai sepasang mata yang besar ...... tanpa dapat
dicegah lagi lalu dia berkata pada dirinya sendiri dengan
suara yang sayup-sayup sampai kedengaran : "Hiong Koko,
Hiong Koko ......" Dia adalah Kim Bwee Leng ...... tidak, dia harus disebut
seorang pendeta wanita yang suci murni.
Dia memandang pada awan yang tengah melayang-
layang dilangit sebelah barat, yang tadinya berserakan tak
menentu, lalu kemudian membentuk seperti bentuk sebuah
bola dan akhirnya awan itu buyar kembali oleh hembusan
angin. Dalam pada itu dari arah sebelah dalam kuil itu
sekonyong-konyong terdengar suara pukulan bokhie dari
seorang pendeta tua. Suara ini memecahkan kesunyian
ditempat itu. Sementara pendeta cantik ini tak mengalihkan
pandangannya, tapi tak lama kemudian ia memandang
kearah lain. Sekonyong-konyong dia melihat jatuhnya
sebuah bayangan hitam dimukanya, dia buru-buru
menggosok-gosok matanya untuk meyakinkan apa yang
telah dilihatnya. Lalu ia memandang dengan matanya yang
dibesarkan. Dari jurang diseberangnya terlihat olehnya seketika itu
juga seperti ada sebuah barang jatuh. Waktu dia
memperhatikan lagi dengan cermat, ternyata bukan barang,
tetapi adalah seseorang yang jatuh tunggang-langgang
kedalam jurang itu. Pendeta ini sadar bahwa jurang
dihadapannya itu dalamnya kurang lebih ribuan tombak
dalamnya, jangankan orang yang jatuh kesitu, memandang
jurang itu saja pasti orang akan menjadi setengah pingsan
karena ngeri. "Mungkinkah jiwa orang itu dapat
kuselamatkan ?" pikirnya seorang diri.
Dalam kagetnya itu tidak terasa lagi dia menjerit
tertahan. Tapi kejadian ini telah terjadi, yaitu orang tersebut
yang jatuh kebawah jurang tersebut, ketika sampai
ditengah-tengah udara dia sudah menjungkir balik, sehingga
sekarang kepalanya diatas dan kakinya lurus kebawah.
Orang itu lalu menggunakan sepasang kakinya bergerak
sembarangan. Mula-mula dia menyangka orang tersebut
bergerak karena ingin mempertahankan diri dari kematiannya, tapi setelah dia memandang lebih teliti lagi,
tampak jatuhnya badan orang tersebut kini sudah agak tetap
dan perlahan. Dengan cermat dia melihat pergerakan tendangan kaki
orang itu yang sangat lincah, dan dengan menggunakan
caranya ini dia jatuh kesebelah bawah dengan tenangnya.
Dia melihat sekali lagi bagaimana orang itu telah jatuh
kejurang dengan demikian tenangnya, malahan kini orang
itu melayang jatuh kearahnya sendiri, membuat dia tidak
habis pikir melihat orang yang mempunyai pergerakan
demikian luar biasanya itu.
Dibawah kaki orang itu terbentang jurang yang masih
ribuan tombak lagi dalamnya. Jika seseorang jatuh kesitu,
sekalipun ia seorang dewa, pasti sukar dapat mempertahankan jiwanya. Tapi orang ini sangat luar biasa
sekali jatuhnya. Dia begitu tenangnya, malah orang itu
tampaknya seperti akan jatuh kehutan bambu yang ada
disekitar itu. Waktu kaki pemuda itu menyentuh ujung pohon bambu
itu, dari dalam hutan bambu itu tiba-tiba terdengar sebuah
jeritan seorang wanita. Suara jeritan itu seakan-akan
mengandung suatu tenaga yang sukar dapat dilawannya,
tapi waktu dia mengingat dirinya tidak boleh berpikiran
bercabang, buru-buru dia memusatkan perhatiannya atas
pergerakan selanjutnya. Begitulah dengan pesat bayangan pemuda itu sudah
lenyap dari pandangan matanya.
Pendeta wanita muda ini waktu melihat kaki pemuda itu
menyentuh batang pohon bambu, dia sudah melihat dengan
tegas muka itu. Begitu dia melihat muka pemuda itu, tidak
terasa lagi dia mengeluarkan satu jeritan tertahan, dan
hampir saja dia memanggil: "Hiong Ko ......"
Tapi waktu dia baru saja hendak memanggil nama
pemuda itu, sekonyong-konyong dari kuil itu terdengar
suara lonceng yang berbunyi bertalu-talu. Talu suara
lonceng itu sangat nyaring sekali, seakan-akan memperingatkan dia bahwa dia telah menjadi seorang
pendeta wanita yang suci.
Pemuda tampan yang bertubuh kokoh ini, adalah orang
yang siang malam jadi impiannya, sehingga makan maupun
tidurnya terganggu apabila ia memikirkan pemuda itu.
Pemuda itu adalah Lie Siauw Hiong, maka oleh karena
menampak pemuda idaman hatinya ini, bagaimanakah
hatinya tidak melonjak-lonjak kegirangan "
Dia tidak menyangka bahwa perpisahan selama dua
bulan itu telah membawa perubahan pesat bagi pemuda
idaman hatinya ini, yang mana ternyata pada kepandaian
pemuda ini. Dia sudah memperoleh banyak kemajuan
dalam ilmu meringankan tubuh, karena pada saat yang
sesingkat itu, dia melihat kaki pemuda itu menyentuh ujung
pohon bambu itu, kemudian dengan menekukkan kakinya
sedikit badannya lantas melayang kembali keudara.
Melihat ini, dia menjadi terperanjat juga menyaksikan
perperakan pemuda itu. "Sekalipun kau mempunyai
kepandaian meringankan tubuh demikian sempurnanya,
tapi untuk naik keatas jurang yang dalam ini tak mungkin,
karena terlalu tinggi," pikir pendeta ini seorang diri.
Sekalipun ia menahan suara teriakannya, tapi pada
mukanya yang sangat cantik ini jelas terbayang perasaan
kuatirnya. Lie Siauw Hiong jatuh tepat sekali ditengah-tengah
jurang yang agak datar, diatas sebuah batu dilereng jurang
yang agak menonjol dengan tak kurang suatu apapun.
Jika orang memandang dari kejauhan, pasti menduga
bahwa dia jatuh diatas tembok saja.
Dengan mengerahkan semangatnya,

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia lalu menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sangat
tinggi itu. Badannya yang tegap dalam waktu sekejap saja
menjadi sebuah titik hitam, dan kemudian bayangannya
pun lenyap tak tampak lagi.
Bila kejadian ini diceritakan pada orang lain, niscaya
orang pasti tidak dapat mempercayainya, bahwa didunia ini
ada orang yang mempunyai kepandaian meringankan
tubuh yang demikian luar biasanya. Sekalipun ada orang
yang percaya, baginya kesempatan untuk menceritakan hal
ini pada orang lain pun tak ada.
Ketika itu pikirannya tergoncangkan bukannya oleh
karena munculnya kembali bayangan pemuda itu, tapi
perasaan terharu memikirkan khayalannya kini menjadi
kenyataan, hingga pada saat itu dia tidak tahu apa yang
harus dikerjakannya. Dan dia bukannya sedang memikirkan
kepandaian meringankan tubuh yang sempurna dari
pemuda idaman hatinya itu, tapi dia sedang memikirkan
bayangan pemuda itu, sambil berkata pada dirinya sendiri :
"Hiong Koko, kita sekarang harus berpisahan untuk
selama-lamanya, seperti juga halnya awan yang tampak
diatas jurang itu. Bila angin datang bertiup, maka awan
itupun akan buyarlah, sehingga tak tampak lagi bekas-
bekasnya ......, tapi aku telah melihat kembali wajahmu,
sekalipun begitu cepat dan selayang pandang saja, bagiku
hal itu sudah cukup puas ......"
"Kini aku telah menjadi seorang pendeta yang
mensucikan diri dan tidak boleh diganggu-ganggu, tetapi
hatiku tetap menjadi kepunyaanmu, sedangkan kau sendiri
masih mempunyai banyak pekerjaan yang belum dapat kau
selesaikan. Aku hanya dapat mendoakan kebahagiaanmu
setiap hari ...... aku akan mendoakan keberuntunganmu
dan segala-galanya."
Air matanya yang merupakan butiran-butiran jatuh satu
demi satu dari pipinya yang montok ketanah dan hilang
tanpa bekas dihisap tanah. Dia bangkit berdiri dengan
langkah yang gontai dan balik kembali kekuilnya.
Bayangannya yang putih itu tampak suci murni bagaikan
bunga Lian Hoa, yang kini telah dipergunakannya sebagai
nama julukannya. Waktu itu hari sudah mulai gelap, senja baru saja lewat
dan matahari sudah hilang dibalik jurang, sedangkan
keadaan dalam jurang itu tampak gelap dan hanya dari atas
permukaan telaga See Gwat Ouw itu saja masih tampak
sedikit cahaya samar-samar.
Dalam jurang yang sangat dalam itu, dimana angin
gunung bertiup menembus tulang sumsum, terlihat
bayangan seseorang yang merayap naik demikian pesatnya
menuju keatas. Bayangan orang itu bergerak cepat sekali,
bagaikan terlepasnya sebatang anak panah dari busurnya
layaknya. Sebenarnya tidak mudah naik keatas jurang tersebut.
Tapi, entah bagaimana, dengan sepasang kakinya yang
bergerak dengan sempurna dan ditambah lagi dengan
pergerakan tangannya yang sebat luar biasa, badannya
sudah menjurus keatas jurang demikian pesatnya. Sekalipun
tampak badannya terhuyung-huyung, tapi pergerakan itu
malah mempercepat naiknya keatas jurang tersebut karena
kepandaian yang dimilikinya ini benar-benar jarang dapat
dijumpai dalam kalangan rimba persilatan.
Setelah dia menetapkan kakinya, barulah dia dapat
menarik nafas panjang, karena sejak tadi dia terus saja
menahan nafasnya, sehingga mukanya tampak agak merah.
Diam-diam dia menggerutu : "Bila aku tidak menggunakan
pergerakan kaki 'Kit Mo Sin Pouw', pasti jiwaku susah
dipertahankan." Pada saat itu lalu dia membalikkan badannya
memandang kebawah jurang, dilihatnya jurang itu sangat
gelap, sehingga tak tampak dasarnya, dia hanya dapat
mendengar dari bawah suara air yang bergemuruh. Waktu
dia memandang pada tempat dimana tadi dia menjejakkan
kakinya, ternyata tempat itu sudah tak kelihatan lagi. Diam-
diam dia berkata pada dirinya sendiri : "Bila bukannya ada
hutan bambu tersebut, sekalipun aku mempunyai kepandaian yang lebih tinggipun, aku pasti akan binasa
dalam tangan Hay-tian-siang-sat itu."
Baru saja dia memikirkan suara yang kaget dan merdu
tadi, dia heran serasa-rasa dia pernah mendengar suara
orang itu. Hanya disebabkan tadi dia sedang memusatkan
seluruh perhatiannya terhadap keselamatan dirinya, maka
dia tidak bisa memecah perhatiannya terhadap soal lainnya,
dan sekarang setelah dia terhindar dari bahaya itu, barulah
dia merasa heran. Masakah tempat yang demikian sukarnya
itu, didiami orang " Ini tidak mungkin, menurut jalan
pikirannya. Suara teriakan apakah sebenarnya itu "
Bermimpikah dia " Dengan tak habis berpikir dia hanya
dapat menggeleng-gelengkan kepala saja, dan dengan suara
yang rendah dia berkata seorang diri : "Bwee Leng !
Dimanakah kau berada ?"
Dari kabut yang tebal itu sekonyong-konyong terlihat
bayangan wanita yang cantik. Dia memandang pada wanita
itu dengan penuh gairah, hampir saja dia menubruk wanita
itu. Sekonyong-konyong muka yang tadinya sangat cantik
itu, kini berubah menjadi dua kepala orang yang sangat
buruk. Buru-buru dia menghentikan langkahnya. Karena
tergesa-gesa, dia menendang sebuah batu besar hingga
bergulingan kedalam jurang yang dalam itu, dalam sekejap
mata saja batu besar itu hilang lenyap tak tampak bayang-
bayangnya lagi ditelan jurang yang sangat dalam itu.
Dalam terkejutnya dia menyesalkan dirinya sendiri : "Lie
Siauw Hiong, ai, Lie Siauw Hiong, mengapa kau begitu
sesat " Sakit hati ayah dan ibumu masih belum terbalas,
mengapa kau sembarangan mengingat soal percintaan saja "
Lagi pula masih ada perintah Bwee Siok-siokmu yang
belum kau laksanakan dengan sempurna, disamping itu
masih ada pula sakit hati Hauw Jie Siokmu yang belum kau
balaskan pula." Berpikir sampai disitu, benar-benar dia sampai mengeluarkan keringat dingin, sekalipun pada saat itu angin
gunung yang sangat dingin datang meniup, tapi mukanya
tetap penuh dengan keringat.
Chit-biauw-sin-kun yang telah kembali dan memperlihatkan dirinya dalam kalangan Kang-ouw dan
kekejaman yang dilakukan oleh Hay-tian-siang-sat itu, telah
memberi bahan percakapan yang hangat dan ramai dalam
kota Bu Han. Kemudian ditambah lagi dengan terjadinya
bentrokan-bentrokan antara partai Kong Tong dengan
partai Bu Tong, sehingga kedua peristiwa ini benar-benar
membuat hati orang pada merasa terkejut.
Berhubung dengan kematian Beng Pek Kie dan Hwan
Tie Seng, maka semua perusahaan Piauw Kiok dikota Bu
Han telah ditutup. Orang banyak semua berpendapat
bahwa, kematian kedua kepala angkutan piauw ini pasti
telah dilakukan oleh Hay-tian- siang-sat, tapi anehnya, pada
malam dimana Hwan Tie Seng telah mati terbunuh, Hay-
tian-siang-sat pun telah lenyap entah kemana perginya.
Oleh karena itu, tidaklah diragukan betapa herannya orang
menghadapi teka-teki besar yang tampaknya sulit itu.
Pada senja itu, dikota An Hwie telah muncul satu
bayangan orang yang tampak datang dengan menunggang
seekor kuda yang berbulu putih. Kuda itu tampaknya sangat
hebat sekali. Sedangkan orang yang menunggang kuda
itupun tampaknya sangat aneh pula. Dia memakai pakaian
yang berwarna biru muda, yang potongannya seperti
pakaian anak sekolah saja. Yang paling mengherankan
ialah, bahwa orang itu yang menunggang kudanya dan
berlari dengan kencangnya, tapi debu-debu dijalan yang
membubung dengan tingginya, sedikitpun tak menempel
pada pakaiannya. Bila seseorang memperhatikan lebih cermat, ia akan
terheran-heran memandang pada wajah pemuda yang
menunggang kuda ini, yang tampaknya merah dan
menandakan bahwa ia ada seorang yang sehat, dan dengan
memperhatikan caranya dia melarikan binatang tunggangannya ini, orang segera ketahui bahwa dia itu
adalah seorang yang sangat pandai sekali dalam ilmu
tenaga-dalam. Suara tindakan kaki kuda itu berbunyi dengan sangat
nyaringnya ditiap kali menginjak tanah. Kemudian
sekonyong-konyong pemuda itu berteriak perlahan, lantas
kuda yang sedang lari sangat kencangnya ini berhenti
seketika, hingga dengan berbuat begitu, ia dapat
memandang pada sabatang pohon dengan amat cermatnya.
Ternyata pada pohon itu terkerat oleh tanda pedang, dan
ujung pedang yang mengerat pohon itu mengarah keutara.
Cara orang mengerat pohon itu sangat sempurna sekali.
Bila orang tidak memperhatikan dengan teliti, pasti tidak
mudah mengetahuinya. Ketika itu hari sudah rembang
petang, tapi tidak diketahui jelas, cara bagaimana dia dapat
melihat tanda itu. Kemudian dia lalu menengadahkan kepalanya memandang keatas, dan dengan menggerutu dia berkata :
"Sepanjang jalan Gouw Twako meninggalkan jejaknya
menyuruh aku menyusul keutara, aku duga dia pasti telah
menjumpai sesuatu diluar dugaannya semula, hanya
disayangkan hari sudah malam, hingga sekarang baiklah
aku mencari sebuah rumah penginapan untuk bermalam
semalaman ini." Tapi dia tidak pernah menyangka, bahwa perjalanan
didaerah ini adalah sangat liar dan sunyi. Dia telah berkuda
sejauh beberapa lie, tapi belum juga dia menjumpai sebuah
rumah penginapan pun. Jangankan rumah penginapan,
malah rumah petanipun tak kedapatan sama sekali,
sedangkan jalan disitu sangat sunyi-senyap. Pada saat itu
tiba-tiba terdengarlah bunyi suara burung malam yang
berkicau dan sangat menyeramkan hatinya, sehingga ini
menegakkan bulu romanya. Sekarang keadaan disekitarnya sudah gelap gulita
seluruhnya, sedangkan keadaan disetiap penjuru sangat sepi
dan lenggang sekali, hanya yang sangat jelas terdengar
adalah suara tindakan kaki kudanya belaka. Pemuda yang
menunggang kuda ini tidak dapat dikatakan seorang yang
penakut, hanya pada saat ini dia merasa agak gugup.
Mendadak sontak dari tempat yang tidak seberapa jauh,
terdengar suara teriakan orang yang sangat tajam sekali.
Sekalipun suara itu tidak terlampau besar, tapi dikuping
gemanya sangat menusuk sekali, sehingga membangkitkan
perasaan tegang didiri pemuda itu.
Tidak lama kemudian suara teriakan itu terdengar lagi.
Dan dari jarak yang tidak terlampau jauh, pemuda ini
sudah berhasil mengira-ngira dari arah mana gerangan
suara itu datangnya. Kemudian pemuda itu menuju kearah
datangnya suara itu. Waktu dia berjalan sampai didekat
tempat yang dimksud, dia melihat keadaan disekitar itu
sangat menyeramkan sekali karena amat sepinya. Disitu
hanya terdapat kuburan yang sangat tua dengan beberapa
peti mati yang sudah terbuka tutupnya.
Sekalipun ketika itu ada cahaya bulan bersinar, tapi
sinarnya sangat suram, sehingga menambah seram saja
keadaan ditempat itu. Kudanya seakan-akan menyadari pula, betapa suasana
ditempat itu sangat menyeramkan. Tiba-tiba dia menghentikan jalannya. Sementara itu suara yang aneh tadi
terdengar lagi untuk ketiga kalinya. Tiba-tiba pemuda yang
menunggang kuda itu menampak bayangan dua orang.
Bayangan kedua orang ini sangat kurus sekali, dan setelah
mendatangi cukup dekat, ternyata orang itu memakai
pakaian yang terbuat dari kain belacu. Yang paling aneh
ialah kepala orang itu memakai sebuah topi merah yang
luncung sekali, lalu ditambah dengan badannya yang kurus
tinggi, menambah dia kelihatan lebih tinggi lagi. Muka
keduanya itu serupa saja, sangat kuning tak bercahaya.
Sepasang matanya menonjol keluar, sehingga kedua orang
ini tampaknya sangat menakutkan.
Kedua orang ini berdiri bergandengan, kakinya tidak
tampak tertekuk. Mereka berdiri dibawah suara burung
malam yang berbunyi sangat menyeramkan itu, sehingga
suasananya menjadi lebih menyeramkan lagi.
Pemuda yang menunggang kuda ini lalu menetapkan
semangatnya, tapi secara diam-diam perasaannya sangat
bergoncang, sedangkan kudanya sendiri agaknya merasa
takut pula sehingga tanpa ditarik tali kendalinya dia
mundur beberapa langkah.

Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai saat itu kedua orang yang mungkin berwujud
seperti setan ini masih tetap tidak bergerak, sedangkan
pemuda ini tanpa terasa agak gemetaran sedikit. Tangannya
berpegang erat-erat pada pelana kudanya. Keringat dingin
membasahi punggunnya, tapi akhirnya dengan mengeraskan hati dan memberanikan diri dia berseru :
"Hei, kalian ini setan-setan pejajaran dari manakah " Aku
ini adalah Lie Siauw Hiong !"
Sudah lumrah bila seseorang dalam keadaan takut, dia
berteriak sekeras-kerasnya untuk melenyapkan perasaan
takutnya. Tapi suara teriakannya ini seperti suara teriakan
seorang ahli tenaga dalam yang sudah dipusatkan
kekuatannya. Suaranya itu lalu menggema menggetarkan
daerah sekitarnya, sehingga lama baru suaranya itu
terdengar membahana . Kedua orang yang tampaknya seperti setan ini, lalu
saling memandang satu sama lain, hanya kedengaran setan
disebelah kirinya berkata : "Loo-jie, aku beritahukan bahwa
kau salah mengenali orang, apalagi sebagai seorang yang
sudah mencapai tingkat yang tertinggi seperti kau,
mungkinkah masih merasa takut pada kami yang menyaru
sebagai setan ini " Sedangkan dari suara yang kau keluarkan
tadi kami yakin, bahwa kau telah melatih diri dalam ilmu
tenaga bathin sedikitnya selama sepuluh tahun, jika tidak,
tiada seorangpun yang dapat mencapai tingkat teriakan
demikian kuatnya." Setan yang berada disebelah kanannyapun berkata pula :
"Marilah kita meninggalkan tempat ini selekasnya."
Begitu suara ini keluar, orangnyapun sudah lari jauh
sekali. Lie Siauw Hiong lalu memandang pada kedua 'setan'
yang telah melarikan diri ini. Sekalipun hatinya merasa
sangat geram, tapi kini dia merasa agak lega juga, maka
sambil menunjukkan kepalanya, lalu dia memandang pada
pelana yang dipegangnya tadi, ternyata kini pelana kudanya
ini sudah hancur berserapuhan.
Menurut Lie Siauw Hiong, kedua orang ini tiga bagian
merupakan orang, sedangkan tujuh bagian lagi lebih mirip
setan belaka. Kepandaian meringankan tubuhnya sudah
sempurna juga rupanya, cuma tidak diketahui, mereka ini
dari golongan manakah " Sambil berpikir tangannya tidak
terasa lagi telah menarik tali kekang kudanya dengan
kencang sekali, sehingga kuda itu lantas lari maju kemuka
dengan pesatnya. (Oo=dwkz=oO) Lie Siauw Hiong setelah memperoleh petunjuk yang
berharga sekali dari pemimpin Tiga Dewa Diluar Dunia,
yaitu Peng Hoan Siangjin, tenaga-dalamnya sudah
meninggkat setingkat lagi. Pada saat itu sekalipun sinar
bulan sangat suram, tapi pandangan matanya sangat awas
dan terang sekali. Sedari tadi dia sudah melihat dengan
tegas, didalam hutan yang terletak disebelah kirinya
terdapat sebuah rumah kecil.
Melihat rumah tersebut, tidak terasa lagi dia jadi sangat
girang, buru-buru dia menghalau kudanya maju kemuka,
mengitari hutan itu menuju kerumah tersebut. Benar saja,
dari jauh dimukanya dia melihat sebuah kuil kecil. Keadaan
dalam hutan itu sangat gelap sekali. Lie Siauw Hiong lalu
menambatkan kudanya pada sebatang kayu, dan dengan
tindakan yang tenang sekali, dia lalu jalan menghampiri
kuil kecil itu. Setelah dekat, entah apa sebabnya, tiba-tiba
hatinya terasa berdebar-debar amat keras. Setiap langkah ia
berjalan mendekati kuil itu, dia merasa seakan-akan
keadaan yang berbahaya tengah menanti dan mengancam
dirinya. (Oo-dwkz-oO) Jilid 18 Dalam hatinya Lie Siauw Hiong terkenang akan
peristiwa dimasa lampau. Pada saat tangannya menyentuh
daun pintu kuil itu, dia menjadi ragu-ragu seketika,
menyebabkan dia belum lagi berani mendorong pintu kuil
itu hingga terbuka. Akhirnya dia memberanikan dirinya lalu mengetuk pintu
kuil itu. Dengan mengeluarkan suara berkereyot pintu itu
terbuka sendiri. Rupanya pintu itu memang tidak dikunci
sama sekali. Keadaan dalam kuil itu sangat gelap sekali, sehingga
anggota badan sendiri tidak dapat dilihat dengan jelas,
malahan dari dalam kuil itu semerbak berbau sesuatu bau-
bauan yang sangat tidak enak sekali. Rupanya tempat
tersebut ada orang yang tinggal.
Baru saja kaki belakang Lie Siauw Hiong menginjak
pintu kuil itu, dia segera merogo bahan api dari dalam
sakunya, lalu disulutnya. Serta merta saat itu terdengar
sebuah benda terjatuh diatas tanah.
Tangan yang merogo sakunya belum lagi ditarik keluar,
sepasang kakinya tidak bergerak, badannya lalu mundur
kebelakang. Kemudian badannya lalu membentuk satu garis
yang sejajar. Jadi bila ada senjata rahasia menyerang
dirinya, pasti dia segera dapat menghindarkannya, tapi
anehnya tidak ada suara senjata rahasia yang menyerang
datang menjurus kebadannya.
Lie Siauw Hiong baru saja menggerakkan badannya,
tiba-tiba dia merasakan perutnya diserang orang. Sekali ini
Lie Siauw Hiong mengetahui benda yang menyerang
dirinya adalah tangan orang yang merupakan lawannya,
malahan dia tahu tangan yang menyerang dirinya ini
berupa totokan belaka. Dia merasa amat terkejut, karena lawannya ini dapat
menotoknya dengan jitu dan cepat sekali ditempat yang
gelap, tapi bila dia ingin mencekal pergelangan lawannya
ini, dia harus berlaku sebat sekali, disinilah letak
kecerdasannya yang menyolok.
Bila keadaan dalam rumah itu tidak sangat gelap, orang
pasti dapat melihat lima jari Lie Siauw Hiong yang sudah
dikembangkan, hendak menangkap pergelangan lawannya
dan menotoknya pula. Sekalipun dalam keadaan gelap gulita ini tidak kelihatan
apa-apa, tapi lawan Lie Siauw Hiong itu mengetahui bahwa
dirinya sedang hendak ditangkap Lie Siauw Hiong, maka
dengan gesit pula dia menarik kembali serangannya
terhadap pemuda itu. Lie Siauw Hiongpun dengan terkejut lalu mundur dua
langkah, karena tangkapan tangannya ini mengenai tempat
kosong, bahkan dia tidak mengetahui lawannya ini telah
menggunakan cara yang aneh sekali, sehingga dapat
menghindarkan tangkapannya itu. Begitulah dengan gesit
sekali, laksana ikan yang meluncur lewat dijarinya,
lawannya itu dapat meloloskan diri dari tangkapannya,
sebaliknya lawannya ini malah menepuk perutnya.
Tapi yang paling mengherankannya, ialah tepukan ini
dirasakannya sangat empuk sekali, seakan-akan tepukan itu
tidak bertenaga sama sekali. Dia hanya merasakan sedikit
sakit saja, tapi sebaliknya dia pun tidak terluka apa-apa.
Sedang dia berdiri terpaku disitu, lawannya sudah
berseru: "Bangsat tua yang tidak tahu malu, apakah kau
ingin mendesak secara keterlaluan terhadapku ?"
Suaranya sangat empuk sekali, seakan-akan suara anak
kecil saja, lalu disusul dengan tarikan nafas yang panjang.
Lie Siauw Hiong menjadi tercengang, tapi matanya
dapat melihat satu bayangan orang secara samar-samar
saja, untung baginya dia sudah biasa melihat sesuatu
ditempat yang gelap. Sekalipun dia tidak dapat melihat dengan terang, tapi dia
masih dapat melihat orang itu separoh berbaring diatas
lantai, seakan-akan dia menderita luka yang agak parah.
'Crat', lantas keadaan disitu menjadi terang, sebab ada
obor yang sudah dipasang oleh lawannya. Karena lawannya
itu berada ditempat yang gelap dan dirinya berada ditempat
yang terang, maka lawannya dapat melihat dirinya dengan
jelas, sebaliknya dia tidak dapat melihat lawannya.
Lawannya ini ketika menampak dirinya, lantas berteriak
karena kagetnya. Dengan pertolongan cahaya obor itu, Lie Siauw Hiong
dapat memandang pada orang yang menggeletak ditanah
itu, yang ternyata bukan lain daripada seorang pemuda.
Paling banyak usianya baru lima belas atau enam belas
tahun, dan pakaian yang dikenakannya sudah compang-
camping dan banyak tambalan laksana seorang pengemis
kecil. Pada saat itu dia membelalakkan matanya memandang
pada Lie Siauw Hiong seakan-akan dia sangat heran.
Dalam hatinya Lie Siauw Hiong merasa heran terhadap
serangan yang aneh dari pemuda ini, kemudian dia
menghampiri pemuda ini untuk melihat wajahnya lebih
jelas lagi. Sesudah melihat jelas wajah pemuda itu, tidak
terasa lagi dia semakin merasa tercengang.
Walaupun pemuda ini memakai pakaian yang compang-
camping, tapi dengan pandangan yang cermat, kita dapat
melihat sepasang alisnya yang lentik seperti bulan sabit,
hidungnya yang mancung, bibirnya seperti delima merekah
dan giginya yang putih bagaikan mutiara, sedangkan
mukanya tampak begitu mungil dan kulitnyapun sangat
halus. Pemuda ini seolah-olah anak seorang hartawan saja.
Pada saat itu pemuda tersebut membuka mulutnya
bertanya : "Kau ini orang suruhan Li Loo-cat, bukan ?"
Dengan perasaan tercengang sekali, Lie Siauw Hiong
lalu menjawab : "Apa " Li Loo-cat ?"
Pemuda miskin itu menggelengkan kepalanya sambil
berkata pula : "Betulkah kau ini bukan orang suruhan Li
Loo-cat " Aku ingin bertanya kepadamu. Waktu kau masuk
tadi, benarkah kau tidak mengetahui bahwa didalam kuil ini
ada aku ?" Diam-diam Lie Siauw Hiong tertawa sambil berkata :
"Sekalipun benar aku ini orang suruhan Li Loo-cat, tapi aku
belum tentu mengetahui bahwa kau berada didalam kuil
ini." "Aku mana bisa mengenali Li Loo-cat segala ?" jawab
Lie Siauw Hiong akhirnya.
Pemuda itu memaksakan dirinya berkata-kata, setelah
dia mendengar jawaban Lie Siauw Hiong itu. Lalu dia
menarik nafas sambil berkata : "Bila demikian halnya, maka
akupun merasa amat lega." Tiba-tiba badannya merasa
lemas, hingga akhirnya tubuhnya jatuh tertelungkup
dilantai. Lie Siauw Hiong lalu mengeluarkan suara 'Ihhh', karena
dia merasa sangat heran sekali, sewaktu dia jalan
menghampiri pemuda itu, tampak olehnya alis pemuda itu
dikerutkan dengan kencangnya. Agaknya dia sedang
menahan rasa sakit yang hebat. Lie Siauw Hiong dengan
menggunakan obor, lalu membungkukkan badannya, ingin
melihat dengan lebih tegas, kenapa sebenarnya pemuda ini "
Dari air matanya yang tampak menetes turun dari kedua
belah pipinya, menandakan bahwa pemuda itu menderita
penyakit hebat. Mukanya yang sangat kotor sebab kena
debu, kini telah dicuci bersih oleh air matanya, sehingga
wajah pemuda ini kini tampak sangat putih bersih.
Kini pemuda ini tampaknya seperti anak orang
hartawan, tapi dia tidak tahu mengapa dia menyaru sebagai
pengemis dan apa pula sebabnya dia berada dikuil yang
bobrok ini, bertambah pula badannyapun tampaknya
menderita luka-luka parah.
Pemuda itu mengerutkan alis matanya, sedangkan
keringatnya mengucur bagaikan butiran jagung. Dengan
sikap yang tidak sabar, lalu Lie Siauw Hiong meraba dahi
pemuda tersebut, waktu tangannya menyentuh dahi
pemuda tersebut, terasa olehnya tangannya amat dingin.
Dalam pada itu dari belakangnya angin bertiup dingin,
kemudian kedengaran suara seseorang yang berteriak :
"Perampok yang tidak tahu malu, apakah kau tidak mau
hentikan tanganmu ?" Kemudian orang yang berteriak itu
menyusul dengan serangannya dipunggung Lie Siauw
Hiong. Dengan sebelah tangan Lie Siauw Hiong memegang
obor, kakinya dilintangkan, badannya sedikitpun tidak
bergerak, sedangkan dia tidak menoleh lagi, lalu dia
menyerang jalan darah 'Hoa-kay-hiat' pada lawannya yang
menyerang dirinya itu. Orang itu tiba-tiba tertawa dingin, mukanya yang
tampaknya demikian dinginnya ini, sungguh membuat bulu
roma orang yang memandangnya pada berdiri, tapi yang
paling aneh bagi Lie Siauw Hiong, ialah mengapa lawannya
tidak melayani serangannya "
Dalam waktu yang pendek itu Lie Siauw Hiong sekali
lagi merasakan angin dingin menyamber kearah dirinya.
Dan lawannya ini kembali ingin menjambak pundak
kirinya. Kini Lie Siauw Hiong merasa serba salah, karena
bila dia teruskan serangannya, sekalipun benar dia dapat
menotok jalan darah lawannya, tapi pundaknya sendiri
pasti kena serangan lawannya. Hal itu, cukup dapat
mengantarkannya kejalan maut, dan orang yang membalas
menyerang dirinya ini, terang sekali bukan orang yang
berdiri dibelakangnya, tapi itulah orang lainnya pula yang
dapat bekerjasama demikian rapihnya dengan lawannya itu.
Hal itu sungguh-sungguh hebat sekali.
Lie Siauw Hiong tetap berdiri memasang besinya (kuda-
kudanya). Dia hanya menggerakkan pinggangnya sedikit
dan sekejap mata saja dia sudah berhasil menghindarkan
dirinya dari serangan lawannya. Sebaliknya jari-jarinya
dengan cepat mencari jalan-jalan darah lawannya yang dia
gunakan menyerang kekiri, kekanan, keatas dan kebawah
tubuh lawan-lawannya itu.
Hanya terdengar suara 'hu hu' dua kali, ternyata orang
yang menyerang dirinya itu, tidak berdaya menghadapi
serangannya ini. Kedua orang lawannya ini melompat
mundur kebelakang dengan tergopoh-gopoh. Sedangkan


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

obor yang dipegang Lie Siauw Hiong sedikitpun tidak
bergoyang cahayanya ketika diserang kedua orang
lawannya itu. Setelah menghindarkan serangan lawannya, barulah
dengan tenangnya Lie Siauw Hiong membalikkan
badannya dan lalu memandang pada lawan-lawannya itu,
sehingga ketiga orang ini berseru kaget.
Ternyata orang yang menyerang Lie Siauw Hiong ini
adalah kedua orang yang dijumpainya ditengah perjalanan
tadi, yang menyaru sebagai dua setan itu. Diapun heran,
mengapa kedua orang itu kembali pula " Sedangkan kedua
orang itu setelah memandang dengan jelas terhadap Lie
Siauw Hiong, merekapun merasa semakin terkejut.
Orang yang berdiri disebelah kirinya tertawa hambar,
sedangkan mukanya yang menonjol dan berwarna kuning
itu sangat menyeramkan, ditambah lagi topinya yang
luncung itu dan terkena sinar obor, tampaknya menambah
seramnya suasana disitu, sedangkan orang yang berdiri
disebelah kanannya, tampaknya sama tingginya dengan
orang disebelah kirinya. Bedanya hanyalah mukanya agak
hitam sedikit. Kemudian dia tertawa dingin seraya berkata :
"Apakah kaki anjing Li Loo-cat masih ingin membunuh
orang ?" Sambil berkata begitu, orang itu lalu menepuk
sebuah meja yang ada disampingnya sehingga jatuh
berserakan menjadi hancur lebur.
Dengan begitu, Lie Siauw Hiong segera mengetahui,
bahwa ilmu tenaga-dalam kedua orang ini cukup tangguh.
Dan mereka ini telah salah duga terhadap Lie Siauw Hiong.
Disangkanya Lie Siauw Hiong adalah kaki tangan Li Loo-
cat. Setelah dia memandang sebentar kepada kedua orang
ini, dia lalu menarik nafas panjang, kemudian dia balik
memandang pada pemuda yang sedang terbaring diatas
lantai itu. Dari airmukanya Lie Siauw Hiong dapat
menduga, bahwa pemuda ini amat benci tampaknya
terhadap kedua lawan Lie Siauw Hiong ini.
Pemuda yang sedang berbaring diatas lantai itu, disaat
itu tampaknya seakan-akan menderita sakit yang sangat
hebat sekali, karena dia tidak dapat bergerak dengan
leluasa. Dia hanya dapat membuka mulut saja untuk berbicara,
sesudah itu dia memandang pada muka kedua orang yang
menjijikannya itu, yang sebagian besar tubuhnya lebih mirip
dengan setan daripada manusia. Kemudian dengan terisak-
isak dia berkata : "Kim Siok ......" Perkataannya terputus
hingga itu saja, dan tampaknya dia tak dapat melanjutkan
perkataannya lagi, hanya air matanya saja yang keluar
mengalir dengan derasnya.
Kedua orang aneh ini akhirnya berlaku yang sangat
menakjubkan. Mereka saling berebutan satu sama lain
mendatangi dan memeluk pemuda yang berbaring dilantai
itu, lalu mengusap-usap kepala pemuda itu.
Ia lalu mengeluarkan kata-kata yang tak jelas didengar.
Tadi waktu Lie Siauw Hiong memandang pada air muka
kedua orang ini, tampaknya berwajah sangat dingin sekali,
tetapi sekarang mendadak berubah. Dengan rasa penuh
cinta yang luar biasa mereka memeluk pemuda itu.
Perlakuan ini membuat pemuda itu seperti bocah cilik.
Tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu, seakan-akan seorang
anak kecil yang tengah mengadu pada ayah dan ibunya,
karena diganggu oleh orang lain. Biarpun demikian,
keadaannya ini agak mengharukan juga.
Kemudian orang yang mukanya tampak lebih hitam itu
terdengar berkata dengan nada yang rendah : "Anak yang
baik, kami sungguh telah membuat kau menderita."
Pemuda itu lalu mengangkat kepalanya memandang
kepada kedua orang itu, dengan matanya yang besar yang
masih terdapat butiran air mata sambil berkata : "Aku
sesungguhnya tidak sampai terjatuh ditangan bangsat tua
itu, dan diapun tidak sampai pula dapat merampas sarung
pedangku." Dari sampingnya orang yang berwarna kuning mukanya
itu lalu berkata pula : "Syukur juga tempat persembunyianmu sangat baik, dengan demikian Siok-siok
barulah dapat datang menjengukmu, untuk membantumu
menjadi pangcu." (Pangcu = kepala dari sesuatu
perkumpulan atau partai).
Suaranya sekalipun sangat perlahan, tapi tajam.
Teranglah bahwa dia sangat bersemangat sekali, waktu
mengucapkan perkataannya itu.
Muka pemuda itu kini tampak sangat putih bersih,
karena debu-debu yang tadinya menempel dimukanya,
sudah terhapus bersih tatkala kedua orang aneh itu
memeluknya. Dalam pada itu menurut perkiraan kedua
orang aneh itu, pemuda ini paling banyak baru berumur
antara lima atau enam belas tahun, tapi setelah dia
memandang lebih tegas, dia berpendapat bahwa pemuda ini
umurnya tidak mungkin lebih dari tiga belas tahun. Tapi
pada wajahnya yang kecil ini, menunjukkan semangat yang
menyala-nyala, tapi hanya sekejap saja, kemudian dia
berkata pula dengan sedihnya : "Tapi ...... bangsat itu,
mereka disepanjang jalan mengejar-ngejar aku terus-
menerus, sehingga aku amat menderita. Situa bangka Li
Loo-cat itu telah menempiling aku satu kali, hingga rasa
sakitku bukan kepalang."
Kedua orang ini yang melihat luka pemuda ini bukan
main parahnya, bukan saja mukanya tampak sangat marah
dan gemas, tapi juga sampaipun kedua alisnya dikerutkannya berkali-kali, sehingga mukanya tampak
sangat menakutkan. Orang yang berwarna kuning mukanya itu lalu menepuk
sebuah batu, sehingga batu itu hancur luluh seraya berkata :
"Loo-jie, hutang Li Loo-jie ini ......" Kemudian dia
menoleh lagi pada pemuda itu sambil berkata : "Peng Jie,
Siok-siokmu ini pasti akan membelamu secara mati-matian.
Janganlah kau menangis lagi, pangcu dari partai Kay Pang
(Golongan Pengemis) adalah seorang enghiong sejati. Kau
tidak seharusnya begitu mudah menangis. Mari, Siok-
siokmu ingin melihat keadaan luka-lukamu."
Lie Siauw Hiong merasa kagum juga akan perhatian
kedua orang ini pada pemuda yang malang itu.
Sekalipun kata-kata mereka itu tidak enak terdengarnya,
tapi suaranya menunjukkan perasaan prihatinnya yang
dalam. Kedua orang ini lalu membuka baju pemuda itu
dengan perlahan-lahan, kemudian tiba-tiba muka mereka
berubah, karena melihat luka pemuda itu amat parah.
Sekonyong-konyong orang yang berwarna kuning
mukanya itu menotok dada pemuda yang malang itu.
Setelah dia menotok sebanyak dua belas kali, lalu dia
menarik nafas sambil berdiri disamping pemuda itu. Orang
yang mukanya tampak lebih hitam itu lalu berkata pada
pemuda itu : "Peng Jie, Siok-siok akan menyalurkan
peredaran darahmu dengan sempurna. Bila kau melatih
dirimu dalam tenaga dalam sekali lagi, pasti luka-lukamu
akan sembuh seluruhnya."
Orang yang kuning mukanya itu, lalu berkata lagi:
"Apakah benar Li Loo-cat itu menurunkan tangan jahatnya
terhadap bocah ini " Hmmm, marilah kita pergi melihatnya.
Eh, kau bocah masih belum juga pergi ?" katanya pada Lie
Siauw Hiong. Dengan tidak disengaja dia melihat Lie
Siauw Hong dibelakangnya bahwa Lie Siuw Hiong ini
adalah murid Li Loo-cat. Baru saja Lie Siauw Hiong hendak menjawab
pertanyaan mereka, sekonyong-konyong pemuda itu
mendahului sambil berkata : "Kim Siok-siok, dia bukannya
......" Dari arah belakangnya mendadak terdengar suara orang
yang berkata dengan kakunya : "Dia bukan, tapi aku benar
!" Orang yang mukanya tampak lebih hitam ini, lalu
memberi isyarat dengan matanya pada kawannya, dengan
suara yang perlahan dia berkata pada pemuda itu : "Peng
Jie, kau tak usah takut, lekas kau mengalirkan seluruh jalan
darahmu, Siok-siok akan menjagamu."
Lie Siauw Hiong lalu membalikkan badannya dan
memandang kesekeliling itu. Didepan pintu kuil itu, dia
melihat tiga orang berdiri, mereka tidak berkata barang
sepatahpun. Orang yang mukanya berwarna kuning itu lalu maju
kemuka, sambil memandang kepada tiga orang itu sejenak.
Kemudian dia berkata dengan nada kaku : "Hei kawan,
baiklah kita pergi keluar saja, bila ingin bercakap-cakap !"
Ketiga orang ini setelah memandang pada orang yang
bermuka agak kehitam-hitaman ini, yang ditugaskan oleh
kawannya untuk menjaga diri pemuda itu, lalu mereka
tertawa dingin, dan dengan berbareng mereka keluar dari
pintu kuil itu. Orang yang bermuka merah ini sambil
memandang sebentar pada Lie Siauw Hiong lalu diapun
meloncat keluar pula. Dari arah luar terdengar suara bentakan : "Kim Lo Twa,
kami telah menyusahkan kau saja !" Kemudian disusul oleh
suara angin yang menderu-deru dan tinju yang melayang.
Agaknya diluar telah terjadi pertempuran yang dahsyat.
Diluar kuil tersebut Kim Loo Twa menghadapi ketiga orang
lawannya seorang diri saja, air mukanya sedikitpun tidak
menunjukkan perasaan takut, sedangkan serangan- serangannya yang dilancarkan kepada lawannya itu, sangat
luar biasa hebatnya, sehingga dengan cara demikian, ketiga
lawannya untuk sesaat lamanya tidak dapat mendekatinya.
Setelah Lie Siauw Hiong berpikir sejenak dengan
seksama, barulah ia ingat bahwa diantara ketiga orang yang
datang menyatroni pemuda itu, dua diantaranya adalah dari
murid-murid partai Kong Tong. Sejurus kemudian setelah
dia pikir-pikir 'Li Loo-cat', seketika dia teringat pada
pemimpin partai Kong Tong yaitu 'Kiam-sin Li Gok'.
Berpikir sampai disitu, darah Lie Siauw Hiong menjadi
mendidih, mukanya yang memangnya putih menjadi pucat
pasi seperti orang yang baru saja mabuk karena minum
arak, sehingga membuat orang tidak berani memandang
langsung kepadanya. Li Gok ini justeru adalah sebagai pemimpin gerombolan
yang telah melakukan penganiayaan terhadap diri Bwee
Siok-sioknya, maka dengan seketika saja Lie Siauw Hiong
merasa bersimpati terhadap kedua saudara she Kim ini.
Lie Siauw Hiong lalu berkata pada dirinya sendiri :
"Benar, tentulah dia orangnya. Jikalau dia ikut serta
mengerubuti seorang itu, benar-benar dialah seorang yang
terlampau hina." Sekonyong-konyong terdengar suara teriakan seseorang
yang agak panjang. Dari tempat yang agak gelap tampak
melompat keluar dua orang. Lie Siauw Hiong menjadi amat
terkejut melihat peristiwa ini. Dan dari arah kirinya tampak
pula seorang laki-laki yang masih muda sekali. Dia
mengenali orang ini adalah salah satu dari 'Kong Tong Sam
Coat Kiam' yaitu 'Tee-coatkiam Ie It Hui'. Dari arah
kanannya tampak lagi mendatangi seorang yang kurus
tinggi. Kedua orang ini mempunyai kepandaian yang sudah
cukup tinggi. Ie It Hui lalu berseru pada ketiga orang tersebut : "Su
Sutee, terus tempur saja mereka itu !" Kemudian bersama
dengan orang disampingnya itu, dia lalu jalan masuk
kedalam kuil itu. Pemuda yang sedang menderita luka-luka parah ini, pada
saat ini sedang mengatur peredaran darahnya, sedangkan
orang yang bermuka agak hitam ini yang sedang berdiri
disamping menjaganya, tampaknya sedikit gugup karena
memperhitungkan sesuatu yang diluar dugaan agaknya.
Kemudian dia ulurkan tangannya menekan pundak pemuda
itu, seakan-akan dia ingin membantu untuk mempertiepat
pulihnya kesehatan pemuda itu.
Justeru pada saat itu dipintu kuil yang terpentang itu
menerobos masuk dua orang. Ditangan keduanya terhunus
pedang panjang. Yang mula-mula masuk lalu menyengkeram diri pemuda yang sakit itu, sedangkan orang
yang mukanya agak kehitam-hitaman ini, dimana sebelah
tangannya sedang menekan punggung pemuda itu, tanpa
menoleh lagi lalu diulurkannya tangannya kebelakang
untuk menangkap tangan orang yang melakukan serangan
tersebut. Orang yang melakukan penyerangan itu, lalu
mengeluarkan suara teriakan tertahan, buru-buru dia
jungkir balik kebelakang, kemudian dia menyerang
berturut-turut tiga kali dengan pedang panjangnya itu, dan
orang ini adalah murid kepala dan pemimpin dari tiga ahli
pedang murid partai Kong Tong yaitu Tian-coat-kiam Cu
Kat Beng. Ie It Hui sendiri menjaga dipintu, agar supaya lawannya
jangan kabur. Tian-coat-kiam Cu Kat Beng adalah yang paling
sempurna kepandaiannya diantara murid-murid partai


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kong Tong, tiga kali serangannya yang berantai ini sungguh
hebat sekali. Lie Siauw Hiong sendiri yang menyaksikannya
dari tempat yang gelap, diam-diam mengangguk-angguk
menyatakan kehebatan dari serangannya ini, hingga dalam
hatinya dia berkata : "Serangannya ini bila dibandingkan
dengan Ie It Hui, ternyata jauh lebih matang dan sempurna,
maka dengan sendirinya tidak dapat disangsikan lagi,
bahwa dia ini pasti Suhengnya (kakak seperguruannya) si
orang she Ie itu." Sedangkan orang yang bermuka agak kehitam-hitaman
ini, seluruh perhatiannya dicurahkan atas diri pemuda yang
sedang mengatur jalan pernafasannya itu. Terhadap Cu Kat
Beng seolah-olah dia tidak melihat sama sekali. Menyaksikan aksi orang ini, tidak terasa lagi Siauw Hiong
merasa tercengang juga dan berpikir didalam hati :
"Sekalipun kepandaianmu tinggi juga, tapi mengapa kau
berlaku sombong sekali ?"
Justeru pada saat pedang Cu Kat Beng hampir saja
menemui sasarannya, orang yang mukanya kehitam-
hitaman itu, yaitu Kim Loo Jie, sekonyong-konyong
membalikkan tangannya, dengan mana dia menangkap
pedang lawannya ini. Pengalaman Cu Kat Beng sangat luas sekali. Begitu dia
melihat tangkapan Kim Loo Jie dengan telapak tangannya
yang berwarna hitam gelap, hatinya menjadi sangat terkejut
sekali. Buru-buru dia menahan serangannya sambil
mengeluarkan suara yang tertahan.
Sekalipun Lie Siauw Hiong menyaksikan peristiwa
tersebut dari tempat yang gelap, diapun merasa terperanjat
juga, karena dia pernah mendengar ceritera Bwee Siok-
sioknya, bahwa didaerah Lok Gan Kan dipropinsi Su Cuan
ada satu golongan ahli silat yang disebut 'Im Hong Hek See
Ciang'. Bila orang tersebut sudah berhasil melatih dirinya
sehingga sempurna, maka orang itu dengan menggunakan
tangan kosong saja dapat melawan serta merampas senjata
tajam lawannya dengan secara mudah sekali. Kepandaian
tersebut termasuk dalam golongan ahli gwa-kang (ahli luar),
cuma kabarnya ilmu tersebut sudah lenyap pada beberapa
ratus tahun yang lampau dan diapun sudah lama tidak
pernah mendengar ada orang yang menggunakan kepandaian tersebut lagi. Tidak disangka Kim Loo Jie ini
justeru adalah seorang ahli dalam golongan itu, maka sekali
turun tangan saja dia sudah memperlihatkan ketangguhannya dan ilmu yang dikeluarkannya itu
sungguh-sungguh sudah mencapai tingkat yang tertinggi.
Untung serangan Cu Kat Beng masih dapat ditariknya
kembali, bila tidak, maka tidak dapat disangsikan lagi
bahwa pedangnya itu pasti akan dapat dirampas lawannya.
Ie It Hui pun seakan-akan kenal telapak tangan Kim Loo
Jie agak aneh, karena itu dia buru-buru melompat dan
menikam lawannya dengan satu tusukan pedangnya kearah
Kim Loo Jie ini. Dengan bersatunya serangan pedang kedua saudara
seperguruan ini, maka daya serangannyapun semakin
bertambah besar dan serangan mereka tampaknya begitu
teratur dan rapi. Kim Loo Jie dengan mengandalkan telapak tangannya,
dia masih berusaha mempertahankan dirinya secara mati-
matian. Pada saat itu muka pemuda tersebut tampak sangat
merah sekali, seakan-akan dia sedang mencapai satu tingkat
yang genting sekali. Kim Loo Jie yang menyaksikan dari
samping, tidak berani berlaku lengah, satu telapak
tangannya sudah mulai tampak tidak keruan lagi dalam
usahanya melawan kedua musuhnya itu.
Cu Kat Beng sangat cerdik dan licik. Dia selalu berusaha
untuk setiap ada kesempatan menyerang diri pemuda yang
sedang mengatur pernafasannya itu, sehingga hal itu
membaut Kim Loo Jie menjadi sibuk.
Pada saat itu Ie It Hui dengan menggunakan tipu 'Hong
Hong Tian Cie' (burung Hong mementang sayap) langsung
menyerang pundak kiri Kim Loo Jie, sedangkan Cu Kat
Beng sendiri lalu menyerang jalan darah 'Kian Wie' pada
diri Kim Loo Jie. Kini benar-benar Kim Loo Jie
menghadapi ancaman yang amat dahsyat, sebab jika ia
berkelit dari tusukan pedang Ie It Hui, maka tanpa ampun
lagi jalan darah 'Kian Wie'nya pasti dapat diserang oleh Cu
Kat Beng dengan leluasa sekali. Serangan kedua orang ini
benar-benar sangat berbahaya sekali, disamping seluruh
perhatiannya dicurahkan pada pemuda ini. Karena dia
sudah mempunyai pengalaman yang dengan sengaja
berpura-pura menyerang ini, dia telah dapat menangkap
maksud lawannya ini, maka terdengarlah dia berseru
dengan kerasnya, dan sekali lagi dengan sebelah telapak
tangannya dia menangkap pedangnya Ie It Hui.
Dengan tertawa dingin Cu Kat Beng lalu memutar
pedangnya, lalu dengan lurus dia menusuk jalan darah
'Giok-cim'nya Kim Loo Jie. Dalam pada itu tampaknya
Kim Loo Jie sudah tidak keburu lagi mengelakkan serangan
kedua lawannya yang dilancarkan secara bersama ini. Serta-
merta terdengar suara 'trang' lantas Cu Kat Beng mundur
tiga langkah, ternyata pergelangan tangan Ie It Hui yang
menggenggam pedang tiba-tiba dipegang oleh seseorang
berkedok. Kim Loo Jie melirikkan matanya yang tajam itu
kearah orang berkedok yang sedang memegang tangan Ie It
Hui itu. Ternyata waktu Kim Loo Jie menangkap pedang Ie It
Hui ini, justeru pada saat pedang Cu Kat Beng hendak
menusuk jalan darah 'Giok-cim'nya, dan pada saat itu
pulalah ketika dengan sekonyong-konyong satu bayangan
manusia berlompat keluar dari tempat yang gelap, hingga
dalam sekejap mata saja dia sudah sampai dimuka ketiga
orang yang sedang bertempur itu. Dengan sebelah
tangannya dia berhasil memegang pergelangan tangan Ie Ie
Hui, sedangkan dengan tangannya yang sebelah lagi, dia
berhasil membenturkan pedang Ie It Hui pada pedang Cu
Kat Beng sehingga bersuara 'trang' yang terdengar tadi itu.
Dengan demikian Kim Loo Jie telah menangkap tempat
kosong, Ie It Hui yang kena dicekal pergelangan tangannya,
seketika itu juga dia merasakan seluruh badannya menjadi
sangat lemas dan tak bertenaga sama sekali, sedangkan Cu
Kat Beng sendiri turut menjadi sangat terperanjat, karena
melalui pedangnya itu, dia pun telah menerima aliran
tenaga pukulan yang keras sekali dari lawannya yang
berkedok ini. Saking terkejutnya, buru-buru' dia mundur
tiga langkah. Seketika suasana dalam kuil itu menjadi genting dan
panik, sehingga terdengarnya suara nafas yang berat dari
pemuda itu menandakan sesuatu keadaan yang paling
genting yang telah tercapai disaat itu.
Dari luar kuil itu sekonyong-konyong terdengar suara
teriakan seperti orang terkejut, sehingga Ie It Hui dan Cu
Kat Beng menjadi berubah mukanya.
Akhirnya dengan secara tiba-tiba Cu Kat Beng lalu
menusuk muka pemuda yang berkedok itu. Karena
jaraknya sangat dekat dan lagi serangan ini dilakukannya
dengan sekonyong-konyong, meskipun seseorang mempunyai kepandaian yang betapa tingginya juga, sukar
dapat menghindarkannya. Dia melakukan serangannya ini
justeru untuk melepaskan pegangan pemuda berkedok itu,
yang sedang memegang tangan Ie It Hui itu.
Justeru pada saat pemuda berkedok ini mundur sambil
melepaskan pegangannya pada Ie It Hui, Cu Kat Beng lalu
menarik tangan kanan Sutenya itu seraya berkata : "Pergi !"
Lalu mereka berdua melompat pergi.
Kemudian dari arah luar kuil itu terdengar suara
huhuhu, lalu disusul dengan suara Kim Loo Twa yang
tajam menusuk kuping berkata : "Kemana kau hendak lari
?" Lalu disusul dengan suara teriakan yang sangat nyaring
itu, kemudian segala suara lenyap kembali dan ketenangan
kembali menguasai suasana seperti sedia-kala.
Waktu dia masuk, topinya membentur pintu, sehingga
topi itu agak berubah sedikit letaknya. Sambil membetulkan
letak topinya yang miring ini, dengan suara yang perlahan
dia berkata : "Loo Jie, Peng Jie apakah kau sudah berhasil
menjalankan pernafasannya " Bangsat tua Li Loo-cat itu
dikuatirkan sudah hampir sampai, kita harus lekas-lekas
meninggalkan tempat ini, ai ......" Waktu dia mendengar
Kim Loo Jie tidak menjawab, dia baru insyaf yang
saudaranya tengah membantu pemuda itu memulihkan
kesehatannya semula. "Sret", terdengar suara orang yang bangun dengan
terperanjat. Ternyata Kim Loo Jie telah meloncat bangun
dengan cepat sekali, sedang pemuda itupun lalu membuka
matanya memandang kesekitarnya. Kim Loo Jie tanpa
mengeluarkan suara lalu menghampiri pemuda berkedok
itu. Pemuda berkedok yang tidak ingin mukanya dikenali
oleh Ie It Hui itu, tentu saja Lie Siauw Hiong adanya, maka
sambil menjatuhkan dirinya berlurut dia berkata dengan
suaranya yang terharu sekali : "Terimalah tuan pemberian
hormat dari Kim Loo Jie ini, sejak hari ini tuan adalah
penolong yang paling berharga dari partai kami Kay Pang
(partai pengemis). Bolehkah hamba bertanya siapakah
gerangan nama tuan yang mulia ?"
Untung sekali waktu Lie Siauw Hiong berseru tempo
hari dengan kerasnya dihutan, dia tidak mendengar dengan
jelas. Maka sambil membuka kedoknya, Lie Siauw Hiong
tertawa besar, kemudian sambil mengangkat Kim Loo Jie
dia berkata : "Aku she Lie bernama Siauw Hiong,
kepandaianku tidak berarti sama sekali, harap dimaafkan
saja hendaknya." Lie Siauw Hiong tidak mengerti mengapa dia bisa
bersikap sebagai seorang ksatria sejati.
Kim Loo Toapun lalu memberi hormat pula kepada Lie
Siauw Hiong, sesudah itu dia membalikkan badannya dan
berkata pada Kim Loo Jie : "Marilah kita berangkat." Kim
Loo Jie lalu menuntun tangan pemuda yang malang itu,
untuk bersama-sama keluar dari kuil itu, sedangkan Lie
Siauw Hiong pun mengikuti mereka dari belakang.
Kim Loo Toa kemudian memandang pada dua jalan
bersimpang dalam hutan itu, dimana dengan disengaja dia
meninggalkan banyak bekas telapak kaki dan daun-daun
dijalan sebelah kirinya. Pada saat itu dia lalu menengadahkan kepalanya sambil memandang kelangit.
Sinar rembulan tampak remang-remang memancarkan
sinarnya dari tengah-tengah angkasa raya. Sesudah itu
terdengar Kim Loo Toa menarik nafas panjang, kemudian
bersama-sama Kim Loo Jie dia menjatuhkan dirinya
berlutut lagi didepan Peng Jie. Dengan suara yang sangat
menghormat sekali mereka berkata : "Pang-cu keempat
belas dengarlah, kami keturunan ketiga belas dari partai
pengemis Kim Gwan Pek dan Kim Gwan Tiong bersumpah
dibawah sinar sang rembulan, mengangkat kau sebagai
pemimpin kami dan selanjutnya kemegahan partai
pengemis terserah ditangan kau sampai kemudian hari.
Walau bagaimanapun kami akan membantu mengembangkan kecemerlangannya nama baik partai kita."
Sehabis berkata begitu, mereka berdua lalu bangan berdiri.
Peng Jie sambil memegang lengan Kim Loo Toa berkata
: "Siok-siok jangan pergi, jangan tinggalkan Peng Jie, aku
tidak ingin menjabat sebagai pemimpin dari partai
pengemis, asal aku bisa bersama-sama kalian saja
cukuplah." Berkata sampai disitu, ternyata air matanya sudah
mengembeng dikelopak matanya. Muka Kim Loo Toa
masih tetap tampak bengis, tapi tangannya pada saat itu
tengah mengusap-usap kepala pemuda ini, dan dari
mukanya yang buruk itu terpancar sinar kasih sayang yang
dalam sekali kepada pemuda ini.
Setelah berdiam diri sejurus lamanya, barulah dia berkata
pada pemuda tersebut : "Peng Jie, kau sebagai pemimpin
partai pengemis, tidak seharusnya gampang-gampang
mengeluarkan air mata. Waktu ayahmu menyerahkan
kedudukan ini, apakah katanya " Lekas hentikan
tangismu." Kim Loo Jie waktu melihat Peng Jie dengan bersusah-
payah menahan air matanya, tidak terasa lagi dia
menengadahkan kepalanya sambil menarik nafas panjang.
Sambil memegang dan mengusap-usap tangan Peng Jie dia
berkata dengan suara perlahan : "Peng Jie, dikemudian hari
mundur majunya partai pengemis ini, semuanya tergantung
atas kebijaksanaanmu. Kebanyakan para pahlawan,
sebelum dia berhasil dalam usahanya yang besar, dia
terlebih dahulu harus menderita. Oleh karena itu, kau harus
berjuang keras, karena aku sendiri demi peraturan dari


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

partai pengemis kita, maka sampai disini saja kita saling
berpisah, kau harus menjaga dirimu baik-baik kelak
dikemudian hari." Dengan perlahan-lahan pemuda itu menganggukkan
kepalanya, lalu tampak air matanya yang mengucur. Kim
Loo Jie lalu berkata pula : "Aku tahu pembantu dan bangsat
tua she Li itu akan segera sampai untuk mengejarmu, tapi
kau harus terus lari dan disepanjang jalan yang akan kau
lalui itu, kau pasti akan mendapat bantuan dari orang-orang
partai kami, sehingga bangsat she Li itu tidak akan dapat
menangkapmu." Kim Loo Toa sambil menunjuk kepada jalan disebelah
kanannya, lalu berkata pada Peng Jie : "Siok-siok akan
mengambil jalan ini." Dia menunjuk pada jalan yang
banyak sekali meninggalkan bekas-bekas telapak kaki itu.
Sesudah itu mereka menunjuk kejalan yang tidak banyak
bekas telapak kaki itu : "Kau harus mengambil jalan ini," ia
berkata kepada si pemuda.
Peng Jie menganggukkan kepalanya, tapi dia masih tetap
tidak bergerak, Loo Toa lalu mengibaskan lengan bajunya
sambil berkata dengan suaranya yang perlahan sekali :
"Jalanlah." Peng Jie mengikuti kibasan lengan baju Loo Toa,
badannya melayang kesuatu tempat sejauh beberapa
tombak. Kemudin Peng Jie berkata : "Kim Siok-siok, selamat
tinggal dan sampai kita bertemu kembali."
Kim Loo Toa sambil menarik nafas panjang lalu
menyahut : "Loo Jie, kitapun sudah seharusnya pergi."
Sambil membalikkan badannya ia lalu memberi hormat
pada Lie Siauw Hiong seraya berkata : "Sebentar lagi Kiam
Sin Li Gok pasti akan mengejar sampai disini ......"
Lie Siauw Hiong adalah seorang yang sangat cerdik dan
arif bijaksana, maka jauh sebelumnya, dia sudah
mengetahui maksud hati mereka, lalu dengan terpaksa dia
berkata : "Kim Heng tenteramkan saja hati kalian, Siauw-
tee dengan bangsat she Li itu pun mempunyai suatu
persoalan yang harus diselesaikan."
Perkataannya ini bermaksud bahwa dia tidak akan
memberitahukan jejak Peng Jie kepada lawannya itu.
"Kami sangat menghargakan sekali kebijaksanaan
saudara," ulas Kim Loo Toa lagi. Kemudian dia
menggandeng tangan saudaranya, serta-merta tubuh mereka
mendadak sontak melayang pergi mengambil jalan yang
banyak jejek kaki mereka sendiri tadi. Sebentar saja mereka
sudah tak tampak lagi. Lie Siauw Hiong berpikir dalam hatinya : "Kepandaian
yang sangat tinggi dari kedua saudara she Kim ini, sungguh
sukar dicari bandingannya. Apalagi hati mereka yang
demikian dermawannya, hingga jarang dijumpai dalam
dunia yang fana ini. Sedangkan totokan yang dilakukan atas
diri Peng Jie itu, sungguh menakjubkan sekali, sehingga aku
yang sudah mempunyai kepandaian yang cukup tinggi,
rasanya tidak dapat menahan serangannya."
Pada saat itu sekonyong-konyong terdengar suara siulan
orang yang panjang, menggema diudara dihutan yang sunyi
sepi itu. Gema suara siulan itu amat menyeramkan,
sehingga keseraman ditempat itu semakin menjadi-jadi saja.
Sekali saja Lie Siauw Hiong mendengar suara siulan
orang tersebut, seakan-akan ada suatu firasat yang
memberitahukannya, bahwa dalam pada itu Li Gok tengah
mendatangi kesitu. Begitu melihat sebuah bayangan berkelebat, Lie Siauw
Hiong lalu pergi bersembunyi ditempat yang gelap dengan
hati yang berdebar-debar.
Lie Siauw Hiong tiba-tiba mengerutkan keningnya,
dalam hatinya timbul satu pertanyaan : "Bila benar ini suara
siulan Li Gok, dapat diketahui bahwa tenaga-dalamnya
sungguh amat sempurna. Ini dapat diketahui dari gema dan
bahna suara siulan yang dilepasnya, sungguh-sungguh jauh
diluar dugaannya. Bila dibandingkan dengan cerita Bwee
Siok-sioknya mengenai ketangguhan dan kepandaian orang
ini, ternyata jauh lebih tinggi dan lebih kuat daripada apa
yang pernah diceritakan Bwee Siok-sioknya itu. Mungkinkah dalam waktu sepuluh tahun ini, kepandaiannya sudah mencapai kemajuan yang demikian
pesatnya " Bila diperhatikan suara siulannya ini,
kepandaiannya sudah mencapai satu tingkat yang disebut
'Kun-goan-kwie-it' (seluruh ambekannya telah dapat
dipersatukannya dengan sempurna).
Baru saja dia berpikir sampai disitu, tiba-tiba dari arah
yang tidak berjauhan dengannya terasa ada angin orang
yang lewat, berbareng dengan mana sebuah bayangan
manusia telah melesat maju demikian cepatnya, tak jauh
dimukanya. Orang tersebut berdiri kurang lebih setombak jauhnya
dari muka kuil tersebut. Kecepatan berkelebat dan larinya
itu sungguh-sungguh aneh dan mengagumkan, karena debu-
debu jalan tidak beterbangan sedikitpun jua.
Lie Siauw Hiong memuji tidak habis-habisnya akan
kepandaian orang itu. Orang itu lalu memandang sebentar pada dua jalan yang
bersimpang itu, kemudian dia melompat kebelakang,
seakan-akan dia sedang menantikan kedatangan kawan-
kawannya. Hal ini benar saja, tidak lama kemudian tampak
datang melayang dua bayangan manusia. Sekalipun kedua
orang ini datangnya cepat juga. tapi badan mereka penuh
keringat, teranglah kedatangan kedua orang yang belakangan ini dilakukannya dengan tergesa-gesa, sedangkan kepandaian mereka inipun terang tidak setinggi
yang dimiliki oleh kawannya yang sampai terlebih dahulu
itu. Lie Siauw Hiong lalu membanding-bandingkan kepandaian mereka orang diri, sedangkan yang pertama kali
datang adalah seorang yang rambutnya sudah putih semua,
badannya agak kurus, tapi jangkung, dipunggungnya
terselip sebilah pedang panjang. Warna pedangnya ini
adalah kekuning-kuningan ketika beradu dengan cahaya
sang rembulan. Muka orang ini amat lebar dan pelipisnya agak panjang,
sedangkan sinar matanya amat tajam bagaikan mata elang
saja, hingga dalam pandangannya ini terang memperlihatkan pengaruh yang kuat sekali.
"Benar saja kau adanya," kata Lie Siauw Hiong dalam
hatinya. Orang tua ini dengan apa yang diceritakan dan
dilukiskan oleh Bwee Siok-sioknya, sedikitpun tidak
berlainan, hanya misainya kini tampak sudah putih
semuanya. Li Gok lalu memandang pada jalan disebelah kanannya,
dimana terdapat banyak sekali jejak-jejak kaki manusia, lalu
dengan suaranya yang dingin sekali dia berkata : "Hmmm,
Kim Loo Toa dan Kim Loo Jie masih membuat permainan
yang demikian dihadapanku, untuk menyesatkan Li Gok
dengan kawan-kawannya dan membuat banyak bekas-bekas
telapak kaki ini !" Lalu dia menggunakan tangan kanannya menunjuk
kearah jalan disebelah kirinya, sambil membawa kedua
kawannya pergi menyusul kearah jalan tersebut.
Diam-diam Lie Siauw Hiong memuji atas kepintaran
dan kecerdikan orang ini, apalagi setelah ternyata
dugaannya ini sangat tepatnya, maka dengan demikian,
mereka tidak dapat menipu Li Gok, dan dengan berbareng
dan kecepatan yang mengejutkan, lalu dia memakai
kedoknya kembali. Lie Siauw Hiong tidak dapat menahan
lebih lanjut melawan ketegangan pikirannya sendiri, tapi
setelah dia mengikat kedoknya kencang-kencang, barulah
dia mendapat perhitungan yang sempurna.
Pada saat itu Li Gok sudah berlari-lari dalam jarak
beberapa tombak jauhnya, hanya yang terdengar siul
nyaringnya, kemudian badannya melayang tiga tombak
jauhnya. Dan ketika tubuhnya melayang ditengah-tengah
udara dengan kecepatan bagaikan bintang beralih, Lie
Siauw Hiong telah berhasil dapat mendahului Li Gok.
Sejurus lamanya Lie Siauw Hiong gugup dan sangat
terkejut, ketika menyaksikan kepandaian Li Gok. Hal itu
adalah sedikit berlebihan, karena tempo hari salah satu dari
Tiga Dewa Diluar Dunia, yaitu Hui Tay Su, yang sudah
memiliki kepandaian yang demikian sempurnanya, dengan
sekuat tenaga dia masih sanggup bertahan sampai tiga
jurus. Dan sekalipun benar kepandaian Li Gok ini berada
sedikit diluar dugaannya, tapi hal itu takkan menggetarkan
hatinya. Apalagi karena sakit hati Bwee Siok-sioknya yang
dalamnya laksana lautan itu, tidakkah dia dapat
membiarkan lawannya ini berlalu begitu saja.
Tapi kegugupannya ini mungkin disebabkan karena
selama ini tidak pernah terbayang diotaknya akan
bertempur dengan pemimpin lima partai itu. Tetapi waktu
orang ini sudah berada dihadapannya, betul-betul dia
menjadi terlalu gugup dan panik. Dan setelah dia melompat
ini, diapun tidak merasa tegang lagi dan dengan amat cepat
bayangan tubuhnya telah melampaui badan Li Gok.
Sebenarnya Li Gok sendiripun tidak berlari dengan
sepenuh tenaga, disebabkan kawannya yang tertinggal
dibelakangnya agak berbeda jauh dengan kepandaian
meringankan tubuhnya, tapi ketika kawan-kawan Li Gok
melihat kecepatan seseorang yang melampaui pemimpin
mereka demikian pesatnya ini, merekapun jadi sangat
terkejut. Hal manapun dirasakan oleh Li Gok sendiri, yang
merasa bahwa diatas kepalanya ada orang lain yang
melayang lewat. Kemudian bayangan orang itu turun
dihadapannya. Kecepatan orang ini sesungguhnya luar
biasa sekali. Orang yang berdiri dihadapannya itu ternyata
memakai kedok, hingga dari mukanya yang berkedok itu
hanya kelihatan sinar mata yang sangat tajam.
Dari arah belakang Li Gok terdengar suara seseorang
yang berseru : "Suhu, justeru dia inilah ......" Orang yang
berkata ini bukan lain daripada Tian-coat-kiam Cu Kat
Beng, sedangkan yang seorang lagi, tentulah Tee-coat-kiam
Ie It Hui. Mereka telah memberitahukan kepada Li Gok,
cara bagaimana pergerakan mereka dimuka kuil itu telah
dihalang-halangi oleh pemuda yang berkedok ini.
Li Gok hanya terdengar mengeluarkan suara sumbang
dari lubang hidungnya, dan dengan sepasang matanya yang
tajam bagaikan mata burung elang dia memperhatikan Lie
Siauw Hiong pemuda yang berkedok itu, kemudian dia
berkata pada kedua orang yang berdiri dibelakangnya :
"Kalian boleh meneruskan pengejaran kalian, tidak sampai
sepeminuman teh aku pasti datang menyusul kalian."
Dalam nada suaranya ini, terang sekali dia telah
menunjukkan ketinggian hatinya.
Cu Kat Beng menyatakan baik, sambil menarik
tangannya Ie It Hui lalu mereka melayang pergi, mereka
telah menduga bahwa pemuda berkedok ini pasti akan
selalu menghalang-halangi pergerakan mereka selanjutnya.
Tapi tak disangka-sangka, pemuda berkedok ini
bergerakpun tidak dari tempat berdirinya semula, dia hanya
menggunakan pandangan matanya yang tampak sangat
aneh dan luar biasa ditujukan pada muka Li Gok. Dan
sesaat itu bayangan Cu Kat Beng dan Ie It Hui berdua telah
lenyap dari pandangan mata.
Sepasang lengan baju Li Gok yang panjang, tampaknya
dengan acuh tak acuh dibiarkan begitu saja, tapi dalam
hatinya dia sebenarnya sedang menduga-duga, siapakah
gerangan pemuda berkedok yang berdiri dihadapannya ini "
Yang ternyata mempunyai nyali yang demikian besarnya
berani menantang dia yang terkenal sebagai ahli pedang
sejagat nomor satu "
Lie Siauw Hiong menganggap Bwee Siok-sioknya
bagaikan ayahnya sendiri, maka musuh Bwee Siok-sioknya
tentu saja dia anggap sebagai musuhnya sendiri juga.
Sekalipun dia tidak pernah menyaksikan muka pemimpin lima partai ini, tapi dalam hatinya dia
menganggap bahwa beberapa gelintir manusia ini sebagai
orang-orang yang sangat hina dina. Begitu juga dia telah
menganggap sama saja seperti Hay-tian-siang-sat yang telah
membunuh orang tuanya itu.
Li Gok sebegitu jauh belum juga turun tangan, karena
dia ingin supaya lawannyalah yang terlebih dahulu berbuat
demikian terhadapnya. Hal ini sudah jadi kebiasaannya
sejak sepuluh tahun yang lalu. Sebagai seorang ahli nomor
satu sejagat dalam ilmu pedang, dia sudah membiasakan


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya bila bertempur tidak ingin turun tangan terlebih
dahulu, begitulah keadaannya dewasa itu. Sejurus lamanya
dia belum turun tangan juga, sebab lawannya ini belum
mau memulai lebih dahulu, hingga masing-masing sama-
sama menunggu tindakan lawannya.
Justeru tengah dia merasa sangat terheran-heran, tampak
tangan kiri pemuda yang berkedok ini dengan gerakan yang
cepat bagaikan kilat telah disodokannya kearah dadanya,
dan sebelum pukulan itu menemui sasarannya, angin
pukulannya yang demikian kerasnya sudah mendahului
menyamber kedadanya. Li Gok menyambut dengan tertawa panjang dan dia
bahkan tidak terdorong mundur, tapi sebaliknya dia malah
maju kemuka, sesudah badannya berkelit sedikit kepinggir
kemudian sepasang tangannya lalu digunakan untuk
menotok kedua pasang mata Lie Siauw Hiong.
Menampak serangan lawan ini, dia tidak menarik pulang
pukulannya, hanya dengan tangan kanannya dia lalu
menyabet tubuh lawannya, yang ternyata merupakan
bagian lemah yang tampak pada detik itu.
Li Gok tanpa banyak pikir lagi, dengan serentak dia
angkat tangan kanannya untuk menangkis dan berusaha
akan selekas mungkin berada diatas angin.
Pada waktu ia membalas menyerang lawannya, Li Gok
telah menggunakan tipu 'Tian-ho-liauw-goan' (api langit
membakar tanah datar). Tipu 'Tian-ho-liauw-goan' ini
adalah satu tipu yang sangat hebat sekali, karena tipu
tersebut mengandung serangan dan penjagaan dengan
sekaligus. Apalagi tipu ini dilakukan oleh Li Gok sendiri,
hingga orang segera dapat melihat betapa lihaynya ilmu
pukulan itu. Baru saja kepalannya menjurus kearah
lawannya, kepalan yang datang belakangan sudah sampai
lebih dahulu dimuka, hingga ini betul-betul merupakan
sebuah tipu muslihat lihay yang membuat orang sukar
untuk menghindarkannya. Tapi tak disangka-sangka, baru saja dia melakukan
serangan yang hebat ini, tiba dia kehilangan sasarannya,
karena entah dengan tipu dan cara bagaimana, ternyata
lawannya sudah berhasil menukar kedudukannya. Li Gok
yang sudah mempunyai pengalaman yang cukup luas,
mula-mula memang dia kehilangan kepercayaan terhadap
dirinya sendiri, tapi belakangan lambat-laun tapi pasti, dia
sudah berhasil menenangkan kembali kegugupannya,
sehingga dia dapat bertempur kembali dengan tenang
sementara itu, dia sedang melayangkan satu pukulan yang
ditujukan kearah pinggang lawannya yang berkedok itu.
Perubahan yang dilakukan oleh Li Gok ini, seakan-akan
dipaksakan oleh karena kehilangan Lie Siauw Hiong, tapi
ketika melihat perubahan ini, benar-benar Lie Siauw Hiong
merasa amat kagum terhadap lawannya yang sudah
memiliki pengalaman yang sangat luas itu.
Pukulan yang mereka langsungkan sekali ini, sekali lagi
menyebabkan kedudukan mereka berubah pula, lalu
kemudian terdengar suara 'sreeet'. Sebilah pedang panjang
sudah berada ditangan Li Gok.
Lie Siauw Hiong lalu mundur setengah langkah, dengan
matanya yang tajam diperhatikannya pedang Li Gok yang
agak luar biasa panjang dan berbentuk kuno itu. Pedang itu
bersinar kebiru-biruan, teranglah bahwa pedang itu adalah
sebilah pedang pusaka. "Sebilah pedang yang bagus ! Tapi
yang mana lebih baik bila dibandingkan dengan pedang
'Bwee Hiang Kiam' dari Bwee Sioksiok ini ?" desis Lie
Siauw Hiong seorang diri.
Dahulu waktu Lie Siauw Hiong mempertunjukkan
kepandaian pedang dimuka Bwee Siok-sioknya, Bwee San
Bin pernah berkata kepadanya : "Kabarnya dulu Li Gok
telah memperoleh sebilah pedang pusaka kuno. Pedang itu
bernama 'Ie Hong' Poo Kiam. Tapi bila benar pedang itu
seperti apa yang kuduga, pedang Bwee Hiang Kiamku ini
walaupun termasuk sebilah pedang kuno pula, ada
kemungkinan tidak dapat melawannya. Konon kabarnya
untuk dapat membuat sebilah pedang seperti pedang Ie
Hong Kiam itu, diperlukan pohon-pohon bambu merah
yang sudah ribuan tahun tuanya. Dan kebetulan pohon
yang dibutuhkan itu tumbuh sebatang dibelakang gunung
kita, setelah pohon tersebut sempurna masak dan tua,
barulah kita dapat membuat pedang seperti pedang Li Gok
atau pedang 'Ie Hong' itu. Pada saat selesainya pedang itu,
kuserahkan kepadamu dan dengan menggunakannya, kau
melatih jurus-jurus 'Kiu-cie-kiam-sek' dengan pedang 'Bwee
Hiang Poo Kiam' tersebut, maka pada saat itu pulalah, kau
akan merasa puas." Sehabis mengucap perkataannya, orang
tua itu pun tertawa besar. Tampaknya dia begitu
optimistiskan pedang Li Gok.
Oleh sebab itu, dalam menyaksikan pedang Li Gok yang
sangat tajam dan berwarna kebiru-biruan itu, dalam hatinya
dia berpikir : "Sekali turun tangan saja, pedangku pasti
binasa. Sekalipun apa yang akan terjadi, aku dengan
kecepatan yang melebihinya harus mendahului menyerangnya. Dahulu Bwee Siok-siok pernah memesanku, agar jangan sekali-kali melawan ketua lima
partai tersebut, tapi dewasa ini kami sudah saling
berhadapan, maka walau bagaimanapun jua, akibatnya aku
harus melawannya dengan mati-matian."
Berpikir sampai disitu, tanpa ragu-ragu lagi Siauw Hiong
pun segera mencabut pedangnya, ketika Li Gok terdengar
berseru : "Bocah lekas keluarkan senjatamu."
Dengan mengeluarkan suara "sreeeet", suara pergesekan
pedang dengan sarungnya, ternyata tangan Lie Siauw
Hiong telah menggenggam sebilah pedang, kemudian
sambil memegang kedoknya ia telah berteriak dengan
suaranya yang panjang. Suara teriakannya ini sangat tajam
seperti tusukan sebilah pedang saja, sedangkan tangan
kanannya yang memegang pedang, lalu digerakkannya
sebentar. Dalam kegelapan malam terdengar pedang itu
mengeluarkan angin yang menderu-deru.
Muka Li Gok yang sedang berdiri dihadapannya tampak
berubah, untung benar dia telah melihat dengan tegas.
Pedang itu membentuk tujuh kuntum bunga bwee, hingga
hampir saja terlompat dari mulutnya kata-kata : "Bwee San
Bin !" Lie Siauw Hiong kembali mengeluarkan suara ejekannya, dan seraya menggerakkan pedangnya kian
kemari dengan sangat lincahnya, tapi pedang itu tidak
pernah berubah arahnya. Chit-biauw-sin-kun telah menampakkan dirinya kembali
dalam dunia Kang-ouw ! Kabar mengenai ini memang
pernah Li Gok mendengarnya, tapi waktu Bwee San Bin
tewas dalam tangannya sendiri, tatkala itu dia dibantu oleh
empat orang kawannya. Mula-mula kabar angin ini
dianggapnya isapan jempol belaka, tapi setelah ia
berhadapan dengan pemuda berkedok itu, apalagi setelah
dilihatnya sepak terjang pemuda ini, yang kepandaiannya
betul-betul lebih tinggi dan tenaga-dalamnya lebih hebat jika
dibandingkan Chit-biauw-sin-kun, tampaknya ia baru mau
percaya dengan kebenarannya 'kabar angin' itu.
Pada saat itu pergerakan pedang Li Gok yang demikian
cepatnya sudah meluncur kearah diri si pemuda. "Tidak
perduli apapun yang akan terjadi, pemuda ini pasti
mempunyai sangkut-paut yang sangat erat dengan Chit-
biauw-sin-kun yang akan menjadi penyakit bagiku
dikemudian hari," pikir pemimpin dari lima partai besar itu.
Begitu nafsu membunuhnya timbul, lalu dia berteriak
panjang dan pedang yang berwarna biru itu, lalu berkelebat
dan ditusukkannya kepada muka lawannya, hingga dengan
begini, dia telah mengalihkan dari penjaga diri menjadi
pihak penyerang. (Oo-dwkz-oO) Jilid 19 Pemuda yang berkedok itu, lalu mengubah cara
bersilatnya, begitu pula Li Gok pun segera mengikuti jejak
lawannya, dengan tipu 'Li-hong-tiauw-yang' (burung Hong
menghadapi matahari), dia menyerang jalan darah 'Kie-hay-
hiat' pada tubuh Lie Siauw Hiong. Untuk menghadapi
serangan lawannya ini, Siauw Hiong pun segera
menggunakan tipu 'Hong-long-bwee-eng' (angin memainkan bayangan pohon Bwee).
Ternyata serangan Lie Siauw Hiong dengan tipunya ini
hampir menemui sasarannya. Serangannya itu nyaris
mengenai tenggorokan lawannya. Dan dengan tipunya ini
pula, Lie Siauw Hiong telah berhasil pula menangkis
serangan lawannya. Sewaktu Lie Siauw Hiong hendak melancarkan
serangannya, Li Gok telah berlaku waspada dan bersiap
sedia jauh sebelumnya. Dalam pada itu belum lagi
serangannya sendiri mengenai lawannya, dia telah
mengubahnya dan menusuk kepundak lawannya dengan
tipu 'Kwie-kiam-hui-leng' (pedang setan membawa maut),
sedangkan Lie Siauw Hiong sendiri terpaksa menghadapi
serangan lawannya ini dengan menggunakan tipu 'Ca-keng-
bwee-bian' (gerakan yang sekonyong-konyong dari pohon
bwee yang menusuk orang bila ia lalai).
Li Gok segera mengetahui dan dia terpaksa harus segera
pula merubah cara serangannya. Karena dia ingat benar
tipu serangan Chit-biauw-sin-kun yang paling berbahaya
ini, tambah lagi satu hal yang membuat dia merasa amat
geram ialah serangan ujung pedang Lie Siauw Hiong ini
menuju kearah dimana dia harus menghindarkan dirinya,
sehingga dia merasa tidak berdaya.
Bila hal semacam ini terjadi pada orang lain, pasti orang
itu tidak berdaya sama sekali dan tinggal menunggu saat
kematiannya saja, tapi Li Gok tidak mudah tertipu oleh
lawannya. Dengan mengerahkan semangatnya yang
terakhir, dia lalu melompat keluar sejauh tiga meter.
Begitulah masing-masing pihak telah merubah siasat
serangan mereka sebanyak tiga kali, tapi ujung pedang
mereka belum pernah saling berbenturan satu sama lain.
Selama itu Li Gok sudah dua kali menghadapi serangan-
serangan Lie Siauw Hiong yang mematikan.
Perubahan yang dilakukan oleh Li Gok dalam saat-saat
yang terakhir itu, ternyata sangat jitunya. Menurut
keterangan yang pernah diceritakan Bwee Siok-sioknya,
ternyata kepandaian Li Gok kini telah mengalami
kemajuan yang amat pesat. Mungkinkah dalam waktu
sepuluh tahun ini dia telah memperoleh kemajuan sepesat
ini " Pikir sampai disini, lalu dia mengingat-ingat akan
pertempurannya yang baru saja dia lakukan dengan
pemimpin dari lima partai ini. Kemudian terpikir olehnya,
apabila dia tidak memperoleh tambahan pelajaran dipulau
Siauw Ciap Too, dia yakin bahwa ia pasti tidak dapat
melayani lawannya ini dengan baik.
Sebaliknya Li Gok sendiripun merasa heran dan
terperanjat juga, hingga diam-diam dia berpikir : "Ah tipu
ini adalah tipu istimewa dari Chit-bauw-sin-kun yang
disebut 'Kiu-cie-kam-sek', tapi bila dibandingkan dengan
masa yang lalu, ternyata kepandaiannya lebih tinggi dan
hebat, sedangkan tipunya ini seakan-akan tepat sekali untuk
menghadapi ilmu pedang Kong Tongku ini, apakah benar
dia ......" "Hmmmm," lagi-lagi terdengar suara jengekan dari
lubang hidung, hingga dia merasa bahwa suara tersebut
hampir sama saja dengan suara Chit-biauw-sin-kun pada
sepuluh tahun yang lampau. Dengan ini, hatinya menjadi
semakin terperanjat. Dengan tipu-tipu 'Kiu-cie-kiam-sek'nya ini, Lie Siauw
Hiong menyerang lawannya kembali dengan gencarnya,
laksana gelombang yang bergulung-gulung tak bisa habis-
habisnya. Kiam-sin Li Gok yang mendapat julukan sebagai 'ahli
pedang nomor satu sejagat', kepandaian ilmu pedangnya
segera dapat diketahui bagaimana kelihayannya. Dengan
mengempos semangatnya, dia lalu melawan musuhnya
dengan mati-matian. Dengan demikan, diapun dapat
menjaga dan dapat pula menyerang lawannya itu dengan
secara berimbang. Sekonyong-konyong ujung pedang Lie Siauw Hiong
tersentuh dengan sinar pedang yang berwarna biru dari
lawannya. Dia segera miringkan pedangnya dan tidak
berani membenturkannya, tapi dia masih sempat merasakan
adanya hawa yang dingin menyamber melalui ujung
pedangnya, tidak terasa Lie Siauw Hiong menjadi bukan
main terkejutnya. Buru-buru dia melompat mundur sampai
tiga langkah, dengan menundukkan kepala untuk memeriksa pedangnya sendiri, yang ternyata sudah bercacat
sebesar kacang. Dan sini Lie Siauw Hiong baru
mengetahui, bahwa ketajaman pedang lawannya itu amat
luar biasa. Dia terpekur sejurus lamanya.
Justeru tepat pada saat itu, dari arah kirinya terdengar
suara daun berkeresekan, tiba-tiba meloncat turun satu
bayangan manusia. Dari sinarnya bulan yang remang-


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

remang itu, dia dapat mengenali orang yang tengah
mendatangi ini bukan lain daripada Tee-coat-kiam Ie It Hui
adanya. Ie It Hui datang kesitu sambil memeluk tubuh Cu
Kat Beng yang tampaknya sudah pingsan.
Pada saat itu ketika melihat keadaan Cu Kat Beng, muka
Li Gok menjadi lebih hitam, sehingga membuat hati orang
merasa gentar melihatnya, lalu dengan tenang dia
menghampiri Ie It Hui. Waktu melihat rambutnya Ie It Hui
acak-acakan tidak keruan, bajunyapun compang-camping
dan mukanya kelihatan pucat, maka It Hui yang melihat
muka gurunyapun tidak seperti biasanya, lalu dia berkata
dengan terputus-putus : "Mereka ...... Kim Loo Toa dan
Kim Loo Jie ......" Mendengar ucapan muridnya itu, sinar mata Li Gok
menatap wajah murid itu dengan sorotnya yang tajam,
hingga membuat muridnya itu tidak berani melanjutkan
perkataannya. Kemudian Li Gok melirik pada pemuda
berkedok yang berdiri dihadapannya dengan rupa keheran-
heranan. 'Mengapa orang ini dibawah ancamanku sebagai seorang
'ahli pedang nomor satu sejagat' masih bisa bertahan dan
tidak kurang sesuatu apapun dalam pertempuran sekian
jurus lamanya itu "'
Dalam memikirkan tentang ketangguhan lawannya ini,
kemudian Li Gok memandang pada Cu Kat Beng yang
tengah pingsan itu. Dilihatnya daging dipundak kiri Cu Kat
Beng berlumuran darah, bajunya terkoyak dan berkeping-
keping kecil terbang melayang-layang mengikuti hembusan
angin. Tapi waktu dia memandang lebih teliti lagi tampak
pundak muridnya ini, disitu terdapat bekas jari-jari
lawannya yang meninggalkan warna yang hitam legam.
Lie Siauw Hiong setelah melayangkan pandangannya
sekilas lalu pada Cu Kat Beng, dia segera mengetahui,
bahwa yang melakukan hal itu pastilah tangan Kim Loo
Toa sendiri, tapi dalam keadaan begitu, dia masih tetap
berdiri disitu, tanpa bersuara.
"Bwee San Bin itu aku sendirilah yang telah
membinasakannya," berkata Li Gok didalam hati. "Apakah
pemuda berkedok ini murid atau keturunannya " Tidak
mungkin, tidak mungkin ! Tapi jika melihat tenaga-
dalamnya sendiri, pasti dia telah berlatih diri dalam saat
yang tidak pendek, atau setidak-tidaknya sehingga puluhan
tahun lamanya. Siapakah gerangan dia ini sebenarnya ?"
Li Gok berkeyakinan, bahwa pemuda berkedok itu tak
lain daripada Bwee San Bin sendiri, jika tidak, tak mungkin
ada orang lain lagi yang mempunyai kepandaian setinggi
itu. Bagi Li Gok, warna hitam seperti pada pundak Cu Kat
Beng itu telah seringkali dilihatnya. Kemudian dia berkata
seorang diri didalam hatinya : "Kim Loo Toa, Kim Loo Jie,
marilah kita ......"
Seketika itu, pikirannya tertuju sepenuhnya pada
kejadian dan persoalan Cu Kat Beng, tapi disamping itu,
diapun tidak putus-putusnya memikirkan pemuda berkedok
ini. Lie Siauw Hiong masih tetap berdiri ditempat tadi.
Badannya yang kurus tinggi ini tampak berdiri dengan
gagahnya, dan dari sepasang matanya memancarkan sinar
pandangan yang tajam sekali.
Dalam pada itu, dengan sekonyong-konyong Li Gok
membentak Ie It Hui : "Pergi !" Tanpa mengindahkan Lie
Siauw Hiong pula, Li Gok tiba-tiba membalikkan tubuhnya
dan pergi kearah Kim Loo Tea dan Kim Loo Jie yang telah
melenyapkan diri itu. Ie It Hui memondong tubuh Cu Kat
Beng pergi mengikuti jejak gurunya, dan sebelum dia pergi,
dia masih sempat melayangkan pandangannya yang
keheran-heranan kepada pemuda yang berkedok itu.
Sebelum Li Gok meninggalkan tempat itu, ia telah
berpikir semasak-masaknya, yaitu kalau sampai dia sebagai
seorang 'ahli pedang nomor satu sejagat' yang telah sangat
terkenal namanya dikalangan Kang-ouw dapat dijatuhkan
oleh seorang pemuda berkedok yang berkepandaian tinggi
dan namanya belum pernah disebut-sebut dalam dunia
persilatan, dan tak yakin bahwa Chit-biauw-sin-kun hidup
kembali, maka ia lebih baik segera meninggalkan tempat itu
untuk mencari pada Kim Loo Toa dan Kim Loo Jie.
Li Gok sendiri diam-diam mengakui didalam hati
tentang kehebatan ilmu pedang 'Kiu-cie-kiam-sek' pemuda
berkedok itu. Maka demi menjaga nama dan mempertahankan derajatnya, lebih baik lagi akan ia
meninggalkan saja Lie Siauw Hiong itu, dengan didalam
hatinya ia rela Siauw Hiong menamakannya penakut,
asalkan orang-orang dalam kalangan dunia persilatan
jangan mengatakan demikian. Karena hal ini dapat
membuatnya kehilangan muka sebagai seorang pemimpin
dari lima partai besar. Lie Siauw Hiong tetap berdiri ditempatnya semula, dia
tidak bermaksud melakukan pengejaran terhadap lawannya
ini, tapi dalam hati dia berpikir : "Tunggu sesudah pedang
'Bwee Hiang Kiam'ku diperbaiki kerusakannya, barulah
akan kugulung engkau dengan sekali jalan saja !"
Setelah bayangan Ie It Hui lenyap, tiba-tiba Lie Siauw
Hiong mendengar suara mendatangnya seseorang, yang
ketika ia coba menoleh kearah suara itu, benar saja dijalan
tersebut tampak seseorang yang sedang jalan mendatangi.
Setelah orang itu datang mendekati pada kuil kecil itu,
tampaknya ia memperlambat tindakan kakinya, dan
dibawah sinar bulan orang itu tampak berjalan memakai
baju berwarna biru, badannya sedang, mukanya sangat
tampan sekali. Dengan sepasang alisnya yang berbentuk
bulan sabit menaungi sepasang matanya yang tajam
berkilat-kilat itu, Siauw Hiong segera dapat melihat dengan
tepat, bahwa orang ini adalah kawannya yang telah
beberapa saat berpisah dengannya, yaitu Gouw Leng Hong.
Lie Siauw Hiong setelah melihat bayangannya Li Gok
telah berlalu jauh, lalu dia mengitari tempat tersebut.
Pada saat itu, Gouw Leng Hong juga sedang bermaksud
membuka pintu kuil tersebut, sedangkan mukanya yang
tampan itu terbayang perasaan tegang.
Tatkala itu, Lie Siauw Hiong yang mendekati dibelakang
Gouw Leng Hong, lalu mencabut pedang panjangnya,
dengan mana lalu ditusukannya kearah si pemuda she
Gouw, hingga Leng Hong sendiri yang merasakan dari arah
belakangnya menyamber angin dingin, buru-buru dia
membalikkan tubuhnya menyambut serangan lawan gelap
itu. Sementara Lie Siauw Hiong dilain pihak segera
menanggalkan kedoknya sambil tertawa terbahak-bahak.
Gouw Leng Hong pun tidak terasa lagi menjadi tertawa
pula terkekeh-kekeh dan berkata : "Ai, ternyata kaulah yang
bergurau, Hiong Tee. Kau sangat nakal dan benar-benar
telah menyirapkan darahku bukan kepalang."
Dengan sengaja Lie Siauw Hiong berkata : "Tempo hari
secara sekonyong-konyong kau telah meninggalkan aku,
kau membiarkan aku sendirian menempur Hay-tian-siang-
sat, sehingga hampir saja jiwaku melayang dalam tangan
mereka." Mendengar penuturan kawannya, Gouw Leng Hong
merasa terperanjat sekali dan lalu berkata : "Aku kira
dengan mengandalkan kepandaianmu, kau dapat melibat
mereka dan pasti tidak akan menimbulkan kesukaran apa-
apa, tidak kusangka bahwa kau benar-benar telah bertempur
dengan mereka secara mati-matian."
Lie Siauw Hiong lalu menceritakan segala sesuatu yang
telah terjadi pada Gouw Leng Hong, hingga Gouw Leng
Hong yang mendengarnya merasa sangat tegang sekali, tapi
waktu melihat muka Lie Siauw Hiong yang bercerita sambil
berseri-seri ini, diapun tidak dapat menahan untuk tidak
turut tertawa, maka dengan gembira ia berkata : "Hiong
Tee, ternyata jodohmu sangat hebat sekali."
Sebenarnya sejak kanak-kanak Lie Siauw Hiong sudah
mempunyai tabiat pendiam, tapi bila dimuka saudara
angkatnya ini, dia berubah sama sekali dan tidak putus-
putusnya suara tertawanya berderai.
Gouw Leng Hong pun lalu menceritakan pengalamannya kepada Lie Siauw Hiong : "Waktu aku
mengejar Cu Kat Beng, aku berjumpa dengan bangsat tua
Li Gok itu, maka dari itu, sepanjang jalan yang kulalui,
sengaja aku meninggalkan jejak-jejak kakiku dan telah aku
perhitungkan pula, bila sampai kejadian aku menjumpai
keadaan yang berbahaya itu, kita dapat mempersatukan
tenaga kita untuk menentangnya, dan kita ingin lihat
apakah si bangsat tua itu sanggup menghadapi kita apakah
tidak. Belakangan aku dapati si bangsat tua itu berselisih
dengan murid-murid dari partai pengemis. Begitulah
sepanjang jalan aku menguntit mereka, tapi sampai disini
aku kehilangan jejak mereka, tetapi sebaliknya aku lantas
menjumpai kau disini."
Lie Siauw Hiong lalu menceritakan pula tentang
pertempurannya dengan Li Gok yang baru saja terjadi itu.
"Ternyata kau telah berjumpa dengannya ?" sela Gouw
Leng Hong. Lie Siauw Hiong yang telah memiliki kepandaian yang
demikian tingginya, masih saja belum berhasil menjatuhkan
Li Gok, apalagi dia berniat menuntut balas terhadapnya.
pikir Gouw Leng Hong dalam hatinya. Kemudian ia
menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian Lie Siauw Hiong dengan berpura-pura lalu
berkata : "Ohhh ! Benar, masih ada beberapa puluh hari lagi
pertemuan dengan kelima pemimpin partai masing2
dipuncak gunung Thay San dan sekarang baiklah kita pergi
kesana sekalipun mereka memiliki ilmu silat yang begitu
tinggi, duniapun mengetahui bahwa kepandaian 'Tan-kiam-
twan-hun' sungguh satu kepandaian keturunan yang asli
dan hebat. Tapi Twako, marilah kita pergi kesana !"
Kata-kata ini telah membangkitkan kembali semangatnya Gouw Leng Hong, maka sambil mengebutkan
pedangnya ia kemudian berkata dengan suaranya yang
nyaring : "Kendatipun aku orang she Gouw tidak dapat
menandingi kepandaian almarhum ayahku, tapi sedikit
banyak aku masih punya kemampuan juga yang dapat
diperlihatkan pada murid-murid manusia jahanam itu."
Lie Siauw Hiong tertawa terbahak-bahak sambil berkata
pula : "Didepanku mengapa Twako menyebut dirimu
sendiri dengan sebutan orang she Gouw ?"
"Mengenai hal ini, kurasa tak perlu kau ucapkan kau she
apa. Marilah kita berangkat sekarang juga."
Pada saat itu matahari sudah menyingsing, jalan yang
semalam dibasahi oleh embun, kini ketika kena sinarnya
matahari, embunnya menguap keudara, sehingga kelihatannya menambah keindahan alam disekitar tempat
itu. Sekonong-konyong terdengar derap kaki kuda dari
tikungan jalan itu. Tak lama antaranya kelihatan dua ekor
kuda putih. Sinar mahahari yang kekuning-kuningan
membuat bulu kuda yang putih itu gilang-gemilang dan
kilau-kemilau seperti gading. Kedua orang penunggangnya
masih sangat muda belia dan tampaknya sedang terbenam
dalam lamunan yang mengasyikkan.
Pemuda yang berada disebelah kirinya yang memakai
baju berwarna putih, tampak sedang berpikir sejurus dan
kemudian berkata : "Lie Siauw Hiong, ai, Lie Siauw Hiong.
Musuh-musuh yang akan kau hadapi kelak dikemudian itu
adalah kepala-kepala setan yang sudah terkenal nian dan
kau sekali-kali tidak boleh berlaku gegabah."
Waktu Lie Siauw Hiong memikirkan dirinya yang telah
dijatuhkan oleh Hay-tian-siang-sat kedalam jurang, diam-
diam dia jadi bergidik juga. Sesungguhnya bila kejadian ini
sampai tersiar dalam kalangan Kang-ouw, bahwa Lie Siauw
Hiong dengan tenaga seorang diri saja telah berhasil
melawan Hay-tian-siang-sat berdua saudara sampai ribuan
jurus lamanya, sehingga tidak dapat ditentukan siapa yang
menang dan siapa pula yang kalah, barangkali dunia Kang-
ouw akan merasa sangat terkejut.
Bersamaan dengan kejadian tersebut, pemuda yang
disebelah kanannya yang memakai pakaian berwarna biru
itu, juga berkata pada dirinya sendiri dengan suara antara
terdengar dan tiada : "Roh ayah yang telah berada disorga,
lindungilah anakmu yang ingin berbhakti, membunuh
musuh-musuh ayah dengan tanganku sendiri."
Kaki kuda itu berlari semakin cepat, karena kedua orang
itu telah membalapkan kuda masing-masing dengan pesat
sekali. Sepanjang perjalanan, mereka tak putus-putusnya
bercakap-cakap, dengan demikian, mereka tidak merasa
terlampau kesepian. Kepandaian Li Gok yang setinggi itu, sesungguhnya
berada diluar dugaan mereka, tidak perduli tenaga dalam
maupun luarnya, telah mencapai satu taraf yang paling
tinggi, tapi hal ini malah membangkitkan semangat Lie
Siauw Hiong menjadi semakin berkobar-kobar, karena dia


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menarik kesimpulan, bahwa pada sepuluh tahun yang
lampau, Li Gok ini masih dapat dikalahkan oleh Bwee
Siok-sioknya. Sebaliknya Gouw Leng Hong tidak berpendapat
demikian, dia mempunyai perhitungan sendiri, dia
mengetahui bahwa tenaga dalam Li Gok berada satu
tingkat lebih tinggi dengan kepandaiannya sendiri. Tapi dia
sendiri adalah seorang yang keras kepala, dia malah merasa
semakin geram saja dan sementara itu dia telah mengambil
keputusan yang pasti. Beberapa hari ini, Gouw Leng Hong yang menampak
kepandaian Lie Siauw Hiong setinggi itu, dia tidak habis-
habisnya memuji, sampai tenaga-dalam Lie Siauw Hiong
pun dikatakannya sudah mencapai pada puncaknya yang
tertinggi. Perjalanan mereka sekali ini adalah dari propinsi Ouw
Pak menuju ke Hoo Lam. Ditengah-tengah perbatasan,
kedua propinsi tersebut berdiri tegak dengan megahnya
gunung Thong Pek San. Jalan disitu adalah mengitari
gunung tersebut, dan bila mereka jalan mengikuti jalanan
gunung, maka mereka akan membuang tempo banyak
sekali. Setelah mereka berjalan sampai dipinggir gunung itu,
lalu mereka berhenti sebentar untuk merundingkan
perjalanan mereka, dan kemudian mereka mengambil
keputusan untuk meneruskan perjalanan itu.
Dengan kepandaian tinggi yang dimiliki masing-masing,
kedua pemuda ini melanjutkan perjalanan mereka dengan
hati yang tabah. Setelah memasuki pegunungan tersebut,
mereka membiarkan kuda mereka lari sesukanya.
Begitulah dengan pesat sekali kedua kuda ini lari
kemuka, menuju gunung Thong Pek San. Tidak lama
antaranya, mereka telah lenyap dijalan dibalik gunung yang
berliku-liku itu. Derap kaki kuda mereka yang lari pesat ini,
terdengar nyata menggema dipegunungan yang sunyi ini,
sedang bekas-bekas derap kaki kuda mereka telah
meninggalkan debu yang mengepul-ngepul keudara.
Pada saat itu sang musim sudah memasuki musim Ciu
(rontok), dalam pegunungan itu angin gunung menghembus
tambah kencang dan dahsyat, apalagi gunung Thong Pek
San jarang sekali terdapat pohon-pohonan, karenanya
gunung tersebut tampak gundul. Disamping gunung
tersebut hanya tampak tumbuh satu dua pohon besar yang
sudah tua, sedangkan daun-daunannyapun tampak kuning
dan jarang. Keadaan ini sungguh tak sedap dipandang
mata. Disamping pemandangan yang tak sedap itu, syukur juga
hawa udaranya nyaman, sedangkan langit diatas tampaknya biru cerah. Tetapi kedua orang muda yang
berjalan berduaan ini, tampak sangat gembira sekali
melakukan perjalanan itu.
Tapi kemudian baru diketahui, bahwa jalan dihadapan
mereka, tambah jauh tambah sempit, hingga akhirnya
merupakan sebuah jalan kecil yang terlampau sempit dan
hanya dapat memuat satu orang saja. Hal mana, telah
membuat kedua orang ini lalu menahan tali les kuda
mereka dan berhenti sebentar untuk melihat keadaan
disekeliling mereka. Setelah memandang dengan amat teliti,
akhirnya mereka mengetahui, bahwa jalan kecil dan sempit
ini terus semakin jauh semakin menurun, dan akhirnya
mereka dapat keluar dari gunung Thong Pek San ini.
Begitulah setelah mereka memandang dengan cermat,
Gouw Leng Hong yang berjalan disebelah depan lalu
meneruskan perjalanannya.
Jalanan yang demikian sempitnya ini panjangnya kurang
lebih tiga puluh tombak, dikedua pinggiran jalan sempit ini
tumbuh amat lebatnya gerombolan rumput liar, hingga jika
dibandingkan dengan tanah yang kuning disebelah depan
mereka, tampaknya berbeda amat jauh.
Baru saja mereka berdua berjalan separuh jalan sempit
ini, sekonyong-konyong mereka mendengar suara senjata
tajam yang beradu, perlahan-lahan bercampur dengan suara
tangisan satu dua orang. Ternyata suara itu datangnya dari
tempat yang tidak berapa jauh dari situ.
Mereka menjadi tercengang dan lalu serentak mempercepat jalan kuda mereka, tapi binatang-binatang itu
tidak berani lari dengan kencang karena keadaan jalan
terlampau sempit. Pada saat itu, jalan mereka sudah
semakin dekat ketempat yang dituju, hingga suara senjata
yang beradu itu semakin jelas saja terdengar.
"Disana sedikitnya ada tiga orang yang sedang
bertempur," kata Lie Siauw Hiong.
Dia dapat menduga demikian, karena dia mendengar
suara senjata yang tidak sama, yang keluar dari tiga macam
senjata tajam yang sedang beradu itu.
Gouw Leng Hong mengangguk-angguk, tidak lama
kemudian ketika mendekati ketempat tersebut, suara
beradunya senjata tajam itu sudah lenyap, hingga yang
terdengar hanya suara berkontrangan saja yang beradu
ditengah udara. Kedua orang ini menjadi sangat terperanjat. Lantas
mereka berdua melompat turun dari kuda masing-masing
dan berlari-lari menuju ketempat orang-orang bertempur
itu, dimana tampak duduk seorang wanita yang sedang
menangis terisak-isak dengan sedihnya.
Waktu mereka memandang lebih jauh dengan teliti,
ternyata masih ada seorang laki-laki yang berumur kurang
lebih empat puluh tujuh atau empat puluh delapan tahun,
sedang memeriksa dua buah kereta dan ditanah berbaris
tujuh atau delapan orang yang sudah binasa.
Kedua pemuda ini lalu memperhatikan lagi kedua orang
yang sedang bertarung dengan serunya itu. Mereka melihat
ditangan salah seorang yang membelakangi mereka,
menggengam dua macam senjata yang tidak sama. Tangan
kiri orang itu memegang sebatang pedang dan ditangan
kanannya menggenggam sebuah martil.
Seorang dari yang dihadapannya yang sedang bertarung
itu, adalah seorang yang sudah berusia kurang lebih empat
puluh tahun, dan orang ini menggunakan sebilah pedang
panjang. Tidaklah mengherankan, waktu ketiga macam
senjata tajam yang tidak sama bentuk dan rupanya itu
saling beradu satu sama lain, lalu mengeluarkan suara yang
berlainan pula. Orang yang menggenggam pedang panjang itu tenaga
gempurnya gesit sekali, dengan pedangnya yang panjang
dia menyerang sebentar keatas dan sebentar pula kebawah,
hingga tampaknya seperti dikelilingi oleh sinar pedang saja.
Sedangkan orang yang tangan kirinya memegang sebilah
pedang dan tangan kanannya menggenggam sebuah martil
itu, tampaknya sudah sangat keteter, maka dia terpaksa
mundur terus-menerus. Sekonyong-konyong orang yang menggunakan pedang
panjang itu berseru keras, lalu membabatkan pedang
panjangnya dari atas kebawah, sehingga orang yang
menggunakan senjata dua rupa itu tidak berani menyambutnya, buru-buru dia mundur selangkah. Tampaknya dia bermaksud menghindarkan pukulan ini.
Kemudian lawannya ini tidak meneruskan serangannya dan
dengan cepat dia tarik kembali serangan pedangnya itu,
tetapi orang yang menggunakan senjata yang berlainan itu,
dengan tiba-tiba balik menyerang dengan satu totokan.
Dengan tidak disangka-sangka lawannya kembali
menggunakan serangannya yang berpura-pura. Pedang
panjangnya disentakkannya kembali dan kemudian dia
kembali menyerang dengan tipunya yang semula. Orang
yang menggunakan senjata yang berlainan itu tidak
menduga, lawannya dapat mengubah serangannya sepesat
itu, dia sudah tidak sempat lagi mengelak, maka dengan
terpaksa dia menggunakan kedua-dua senjatanya yang
berlainan itu untuk menangkisnya.
Dikatakan lambat, tapi terjadinya sangat cepat sekali,
dan serta merta terdengar suara 'trang' yang nyaring, suatu
tanda bahwa ketiga senjata itu beradu sekaligus.
Orang yang menggunakan pedang panjang itu kemudian
tampak tertawa cekikikan dan mendadak sontak dia
mengempos tenaga-dalamnya dan tiba-tiba pula terdengar
suara 'tang' yang amat nyaring sekali.
Ternyata kedua senjata lawannya, sudah berhasil
dipentalkannya keudara. Diantara suara tertawanya yang panjang itu, orang yang
berpedang panjang itu tidak tinggal diam. Kakinya bertubi-
tubi menendang lawannya sebanyak tujuh atau delapan
kali, tetapi orang yang menggunakan senjata dua rupa itu,
yang senjata-senjatanya itu kini sudah terlepas dari
tangannya, belum lagi hilang rasa terperanjatnya, ketika
dengan tiba-tiba ia diserang lagi dengan tak henti-hentinya,
hingga membuat dia gugup bukan kepalang, Dalam
kebingungannya ini, dia sudah kena tendang lagi, sehingga
kembali ia jatuh ketanah.
Sementara itu, Sekonyong-konyong tampak berkelebat
bayangan orang, yang karena melihat pemuda yang sedang
memeriksa isi kedua kereta tadi kini telah melompat kearah
orang yang jatuh ketanah itu, maka ia berseru : "Tuan
benar-benar sangat tangguh sekali, maka sambutlah satu
pukulanku ini !" Baru saja dia habis mengucapkan perkataannya itu,
pemuda itu sudah memasukkan pedangnya kembali
kesarungnya, dan sambil tersenyum dia berkata :
"Dipegunungan kiri kedua orang jagoan telah mempunyai
kepandaian yang cukup sempurna, tapi mengapa sekarang
datang kedaerah Thong Pek San ini?"
Mendengar kata-kata ini, Lie Siauw Hiong menjadi
terkejut, dia tidak menyangka bahwa kedua orang ini
adalah kepala perampok yang terkenal didaerah Shoatang,
yang satu dipanggil Tek-seng-siu Su Kong, sedangkan yang
seorang lagi disebut Sin-kiam-kim-twie Lim Siauw Coan.
Mereka berdua terkenal dengan nama julukan San-co-siang-
ho, atau dua jagoan dari gunung kiri.
Beberapa tahun yang silam, Hauw Jie Sioknya pernah
membicarakan tentang kedua tokoh dalam kalangan bu-lim
ini, terlebih-lebih Tek-seng-siu ini. Dia adalah kepala setan
perampok. Pada saat itu orang laki-laki setengah tua itu telah dapat
menjatuhkan Sin-kiam-kim-twie, sehingga hal ini sungguh-
sungguh telah membuat orang merasa heran.
Setelah sunyi sejurus, orang gagah yang menggunakan
martil itu, yaitu Tek-seng-siu Su Kong Cong, yang telah
dikalahkan oleh lawannya, seketika itu telah menjadi
terperanjat dan lalu berkata: "Tenaga-dalam tuan sungguh
harus diakui luar biasa sekali."
Perkataan ini baru saja habis diucapkannya, ketika orang
setengah umur tersebut yang tampaknya sudah mengetahui
kemana arah dan maksud perkataannya itu, lalu berkata :
"Su Kong Cong, janganlah kau salah mengerti, aku ini
adalah Cia Tiang Kheng."
Perkataan ini telah membikin Tek-seng-siu Su Kong
Cong merasa heran sekali, hingga dia mengeluarkan suara
'ahh', sampai pada Sin-kiam-kim-twie yang sudah terjatuh
ditanah, itupun merasa terkejut sekali. Dalam pada itu Su
Kong Cong lalu melanjutkan perkataannya : "Tidak
disangka tuan adalah ahli waris partai Tiam Cong yaitu
Lok-eng-kiam Cia Tay-hiap ?"
Cia Tiang Kheng hanya tertawa getir dan lalu berkata :
"Kalian berdua yang sudah terkenal sekali dalam wilayah
ini, aku pun sudah mengetahuinya. Tapi tidak disangka
yang kalian telah begitu berani membegal barang dibawah
lindunganku. Sekalipun aku tidak pandai, akupun harus
membelanya secara mati-matian, bukan ?"
Kedua perampok ini biar bagaimanapun tidak pernah
menyangka yang ahli waris partai Tiam Cong ini dapat
pergi ke Hoa Pak atau keutara, mereka memang telah lama
mendengar nama yang terkenal itu serta kegagahannya
Lok-eng-kiam. Merekapun merasa jeri juga. Lawannya ini
telah berulang-ulang mengejek mereka, sehingga membangkitkan amarah mereka, maka dengan tertawa
dingin Su Kong Cong lalu berkata : "Kami memang dengan
mengandalkan perampokan dapat memenuhi kehidupan
dan cara turun tangan kami ini memang ada sedikit
keterlaluan, tapi jika Cia Loosu tidak mau membiarkannya,
silahkan turun tangan saja untuk menentukan siapa yang
lebih gagah." Sambil berkata begitu, dia menunjuk dengan
jarinya kearah tujuh atau delapan bangkai yang telah
menggeletak diatas tanah disitu.
Cia Tiang Kheng memandang kearah tudingan jari dan
melihat apa yang dikatakan Su Kong Cong tadi. Dengan
nada suara kaku dan tak mau kalah Cia Tiang Kheng lalu
berkata : "Dikatakan aku tidak berani menerimanya, aku


Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani, hanya aku mohon pelajaran kalian berdua saja."
Sehabis Cia Tiang Kheng mengucapkan perkataannya
itu, dengan cepat dia menarik keluar pedang panjangnya
itu. Tek-seng-siu tertawa terbahak-bahak, dengan sekali
tendang saja dia telah membebaskan totokan ditubuh Lim
Siauw Coan, dan dengan sekali mengebaskan tangannya,
badannya bergerak maju, tampaknya dia ini ingin
bertempur dengan tangan kosong saja.
Cia Tiang Kheng yang sudah berpengalaman dikalangan
Kang-ouw, melihat ditangan lawannya tidak terdapat
Golok Sakti 10 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut 3
^