Pencarian

Playboy Dari Nanking 16

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 16


goanswe. Tapi kami juga akan membunuhmu.... siutt!" dan ruyung yang bergerak dan
menyambar jenderal itu, yang berteriak dan sudah menyuruh pembantunya mengepung
tiba-tiba mengangkat tangan menangkis ruyung.
"Prak!" ruyung pecah. Bu-goanswe mengerahkan sinkangnya dan lawanpun berseru
keras karena terhuyung, terbelalak karena senjatanya itu hancur di tangan lawan,
meskipun hanya bagian ujungnya saja dan Twaliong masih dapat mempergunakan yang
lain. Dan ketika jenderal itu bergerak dan melancarkan serangan lagi, membalas,
maka Twaliong terdesak dan orang tertua dari Cap-ji Koai-liong yang biasa
melakukan keroyokan ini pucat mukanya karena harus berhadapan satu lawan satu,
mengeluh dan mundur-mundur dan gentarlah laki-laki itu menghadapi kebengisan Bu-
goanswe. Tak ada ampun di mata jenderal itu dan Twaliong semakin cemas lagi
ketika melihat adiknya juga terhuyung-huyung menghadapi Koktaijin. Mereka
menghadapi lawan yang berat karena mereka sudah luka-luka. Kalau tidak,
barangkali seimbang. Dan ketika Bu-goanswe menggeram bertanya di mana gubernur
she Gak, hal yang membuat mata laki-laki ini bersinar-sinar tiba-tiba Twaliong
menjawab bahwa Gak-taijin itu sudah dibunuh Cun-ongya.
"Kami... kami tertipu. Gak-taijin dibunuh Cun-ongya. Ada sesuatu yang hendak kami
beritahukan kepada kalian, Bu-goanswe. Hentikan seranganmu dan biarkan kami
pergi untuk ditukar dengan sebuah keterangan rahasia!"
"Omong kosong!" jenderal itu tak percaya. "Sudah banyak kalian membuat susah,
Cap-ji Koai-liong, dan sudah lama pula kalian membantu pemberontak. Di Liang-san
kalian hendak membunuhku, sekarang tak ada ampun kecuali mati.... dess!" Twaliong
ditendang, mengeluh dan memaki dan adiknyapun di sana tiba-tiba membujuk pula
Koktaijin. Menteri itu ditawari suatu rahasia dan Koktaijin mengerutkan kening.
Lain Bu-goanswe lain pula menteri ini, yang lebih halus dan a-mat perasa. Maka
ketika Ji-liong berkali-kali menyatakan itu dan ruyungnya gemetar mempertahankan
diri maka Koktaijin bertanya apa yang hendak dikatakan lawannya itu, apa rahasia
itu. "Ini rahasia besar, tak gampang diberikan. Kalau kau mau membiarkan aku lewat
maka hal itu kukatakan!"
"Hm, kalian orang-orang licik!" Koktaijin waspada. "Aku tak gampang percaya
kepadamu, Ji-liong. Tapi boleh katakan apa rahasia itu dan pantaskah diim-bali
dengan nyawa kalian!"
"Ini tentang Cun-ongya, bahwa... bahwa dia..."
"Ada apa?" "Cun-ongya mendalangi semua kerusuhan ini. Dia.... cep!" namun sebatang panah
besar yang tiba-tiba mendesing dan menancap di tenggorokan Ji-liong,
menghentikan kata-kata itu tiba-tiba membuat
Ji-liong roboh dan berteriak. Ruyung di tangannya lepas dan saat itu menyambar
lagi panah kedua, menancap dan mengenai dada kirinya. Dan ketika laki-laki itu
berkelojotan dan tewas, Koktaijin terkejut dan menoleh ke belakang maka di teras
atas tampak Cun-ongya memegang busur, sikapnya dingin.
"Taijin, bunuh dan tangkap semua pengikut-pengikut pemberontak. Jangan diberi
ampun!" dan menjepret lagi sebuah panah besar, yang mendesing dan menuju
Twaliong maka laki-laki itu juga menjerit dan terjungkal roboh. Twaliong dan
adiknya memang sudah luka-luka oleh panah-panah rahasia, kini menghadapi pula
Bu-goanswe dan Koktaijin yang mengejar mereka. Maka begitu panah dilepas dan
mengenai tenggorokan laki-laki itu, sama seperti adiknya, maka panah kedua
menyambar dan menancap lagi di dada kiri.
"Crep!" Habislah riwayat Cap-ji Koai-liong. Mereka binasa dan roboh oleh panah Cun-
ongya. Semua tertegun tapi tiba-tiba bersorak-sorai, Cun-ongya memang seorang
ahli panah yang baik karena suka berburu. Kini dari atas loteng dia menghabisi
dua orang Cap-ji Koai-liong itu. Dan ketika Cun-ongya tersenyum dan melambaikan
tangannya, masuk dan menghilang kembali ke dalam gedung maka Koktaijin dan Bu-
goanswe saling membelalakkan mata.
"Apa yang dikatakan Ji-Iiong tadi?" Bu-goanswe berbisik.
"Entahlah," rekannya juga menjawab lirih. "Katanya ongya mendalangi semua
kerusuhan ini, goanswe. Tapi aku tak dapat mempercayai. Kita harus mencari Gak-
taijin apakah betul-betul terbunuh!"
"Nanti dulu!" Bu-goanswe tiba-tiba berkelebat. "Apakah kau tak curiga keadaan
ini, taijin" Maksudku apakah kau tak curiga kenapa orang-orang ini ada di sini!"
"Maksudmu'" "Kenapa mereka berada di gedung Cun-ongya.'"
"Ah, hati-hati!" Koktaijin terkejut, memandang tajam wajah jenderal Bu itu.
"Kau jangan termakan Ji-liong, goanswe. Menuduh ongya amatlah berbahaya. Kita
sebaiknya tak usah meraba-raba sebelum jelas benar!"
"Aku tidak menuduh, tapi aku curiga!"
"Maksudmu?" "Ini antara kita sendiri, taijin. Aku melihat hal-hal aneh yang luar biasa di
sini. Lihat betapa Cun-ongya tiba-tiba membunuh Ji-liong dan kakaknya itu!"
"Mereka memang musuh, pemberontak?"Aku tahu, tapi kenapa tiba-tiba harus dibunuh" Bukankah kita dapat melakukannya
dan ongya selama ini tak pernah melepas serangan" Aku, ah.... sudahlah, taijin.
Kita cari gubernur she Gak itu dan lihat apakah betul dia mati atau belum!" dan
geram melompat ke gedung, si Pemabok dan isterinya masih harus mereka cari maka
Bu-goanswe bergerak dan menyuruh pasukan mengurung rapat-rapat Tak ada sejengkal
tanahpun yang boleh terlewati, musuh harus ditangkap mati a-tau hidup. Dan
ketika Koktaijin juga merasa aneh kenapa Cun-ongya tiba-tiba turut campur, hal
yang tak pernah dilakukan maka dua menteri itu mengejar dan mencari Ok-tu-kwi.
Si Pemabok tak mungkin dapat lolos karena tempat itu benar-benar masih
terkepung. Jangankan manusia, nyamukpun tak mungkin lolos tanpa diketahui. Dan
ketika dua orang itu bergerak mencari sisa-sisa pemberontak, hujan masih turun
dengan deras dan membasahi pakaian ratusan orang yang ada di situ maka Cun-ongya
yang telah membunuh dan menghabisi nyawa Twaliong dan adiknya masuk ke ruangan
belakang di mana terdapat sebuah gudang tua, busur masih di tangannya.
"Bagus, perbuatanmu sempurna sekali, ongya. Begitu merasa tak diperlukan maka
akupun hendak kau bunuh!"
Cun-ongya terkejut. Dia baru saja menutup pintu gudang ketika dari balik pintu
yang lain muncul seorang pemuda meng genggam senjata api, tertawa aneh dan Cun-
ongya tertegun karena Michael ada di situ. Mata menyinarkan kemarahan ditahan
dan pangeran ini tentu saja terkejut. Busur di tangan cepat digerakkan tapi
tiba-tiba terdengar suara "klik", moncong pistol itu sudah siap tembak! Dan
ketika pangeran ini tersentak dan pucat, Michael sudah melangkah maju maka
sambil menyeringai pemuda itu menendang dan melepaskan panah di tangan lawannya.
"Jangan macam-macam, peluruku lebih cepat daripada anak panahmu. Kau binatang
dan pengkhianat, Cun-ongya. Teman sendiri tega kau bunuh!"
"Hm, apa maumu," Cun-ongya tiba-tiba memperoleh ketenangannya kembali, sikapnya
luar biasa. "Kau dan aku sama-sama dalam bahaya, Michael. Mampu mem bunuh aku
tak mungkin kau mampu keluar dari tempat ini. Kaupun pasti mati!"
"Kau jahanam keparat!" pemuda itu beringas memandang lawan. "Kenapa kau hendak
membunuh aku pula" Bukankah a-ku dapat menyediakan senjata seperti keinginanmu"
Kau tak tahu budi, Cun-ongya. Setelah berhasil menyimpan demikian banyak harta
karun lalu membunuh kami untuk melenyapkan jejak. Kau dapat membunuh aku namun
tuan Smith tahu pula perbuatanmu ini. Rahasiamu bakal dibongkar!"
'Tak mungkin," Cun-ongya tertawa dingin. "Ini rahasia besar, Michael. Kalau
temanmu membuka rahasia maka tak ada orang yang akan percaya. Aku selama ini
menggembar-gemborkan permusuhanku dengan perdagangan senjata api. Kau tahu
sendiri bahwa di luar aku memusuhi kalian!"
"Kau memang licik. Tapi negeriku dapat membuka kedokmu, Cun-ongya. Dan namamu
tetap hancur!" "Ha-ha, itu lebih tak mungkin lagi. Semuanya sudah kuperhitungkan, Michael. Kau
terlalu bodoh dan gegabah kalau mengira begitu. Jika negerimu berani membuka
rahasiaku maka negerimu bakal dikecam dunia. Dianggap bangsa yang merusak dan
menghancurkan bangsa lain dengan perdagangan senjata gelapnya. Ha-ha, kau tak
tahu politik!" "Apa" Kau..."
"Tutup mulut!" sang pangeran tiba-tiba membentak. "Kau anak muda yang harus
belajar banyak, Michael. Negerimu juga menerima keuntungan-keuntungan yang besar
dari hasil kerja sama selama ini. Dan di negerimupun keuntungan itu banyak
dilahap oleh gubernur jenderalmu. Kalian orang-orang kecil tak perlu tahu
pekerjaan orang-orang besar. Serahkan senjatamu dan pergilah baik-baik dari tem
pat ini!" dan ketika pemuda itu terbelalak dan merah padam, Cun-ongya yang
menjadi tawanan justeru bersikap seolah yang menawan maka Michael yang gusar dan
naik pitam tiba-tiba menyodokkan laras senjata apinya ke dahi pangeran itu.
Maksudnya ingin menyakiti atau melukai, anehnya pangeran itu tersenyum-senyum
dan gembira. Michael tak tahu bayangan di belakangnya dan hadirnya bayangan
itulah yang membuat sang pangeran berseri-seri. Sikapnya berani dan termasuk
pongah. Dan ketika pemuda itu menyerang dan gemas menghajar dahi lawannya, Cun-
ongya tak berkelit dan tenang-tenang saja maka bayangan tinggi besar yang tahu-
tahu sudah ada di belakang pemuda ini mendadak menggeram dan menyambar pemuda
itu, memukul pistolnya. "Michael, kau harus kembali ke Inggris!"
Michael terkejut. Pemuda ini tak tahu dan tentu saja tiba-tiba terpekik.
Pergelangan tangannya dipukul seseorang dan tiba-tiba terangkatlah tubuhnya
untuk kemudian dibanting ke lantai. Dan ketika pemuda itu berteriak dan merasa
hancur, tulang-tulangnya seakan remuk maka pistol yang mencelat sudah disambar
bayangan tinggi besar ini yang bergerak dan menginjak leher pemuda itu, cepat
sekali. "Kau melanggar perintah gubernur jenderal. Berani datang lagi ke Tiongkok!"
Pemuda itu tertegun. Setelah dia melihat siapa lawannya ini, yang menggeram dan
berkerot gigi maka pemuda itu tiba-tiba pucat. Apalagi ketika dua bayangan lain
berkelebatan pula di situ dan sudah berdiri mengelilinginya. Michael sampai tak
dapat bicara karena itulah gurunya Frederick dan Leo serta James, tiga rekannya
dari tanah seberang! Dan ketika pemuda itu ah-uh-ah-uh tak mampu menge luarkan
kata-kata, injakan itu kuat sekali di lehernya maka Frederick, pria gagah
setengah baya ini mengarahkan pistolnya kepada Cun-ongya.
"Pangeran, agaknya tak perlu kita mainmain lagi. Anak muda ini memang bodoh, tak
tahu permainan orang-orang besar. Aku sebagai orang tua dan rakyat biasa tak
ingin mencampuri hal-hal seperti ini. Hidupku sudah tenang di bukit Green-park,
tak ingin mengotori masa tuaku dengan nafsu menumpuk uang. Bebaskan kami dan
kamipun akan membebaskan dirimu?"
"Ha-ha, kau jujur dan rendah hati, tuan Frederick. Dan aku mengagumimu sebagai
orang yang jujur dan pendekar sejati di negerimu. Baiklah, asal kau tutup mulut
dan tidak membuka rahasiaku maka mudah saja aku menyelamatkan kalian. Michael
kuanggap anak kecil yang i-kut-ikutan secara tidak sengaja. Gak-taijin telah
kubunuh, tapi Ok-tu-kwi dan isterinya masih hidup, berkeliaran di sini. Kalau
kau mau menolong aku dan membunuh dua pembantu Gak-taijin itu kupikir
permintaanmu dapat lebih kupenuhi lagi!"
"Kau licik, itu urusanmu sendiri.'" jago. tua ini marah. "Kami orang-orang asing
tak ada sangkut-pautnya dengan anak buah Gak-taijin, pangeran. Kau tak dapat
memaksa kami untuk melakukan ini!"
"Ha-ha, kalau begitu aku juga tak men jamin apakah aku dapat 'mengeluarkan
kalian dengan selamat dari tempat ini. Kau tinggal pilih, menolong aku atau Dewa
Mata Keranjang dan muridnya akan segera mendahului kita!"
Frederick melotot. Pendekar dari Barat itu merasa disudutkan tapi akhirnya
mengangguk. Disebutnya nama Dewa Mata Keranjang dan Fang Fang membuat kakek
gagah ini dapat berpikir baik, menerima alasan itu. Dan ketika dia menendang
Michael dan pemuda itu mengeluh pingsan, Leo dan James disuruh mengikat tawanan
maka jago tua itu bertanya di mana kira-kira Ok-tu-kwi dan isterinya itu.
"Mereka jelas masih berkeliaran di sini, tapi aku dapat menunjukkan di mana
kira-kira mereka berada. Mari, kuantar!" dan ketika Cun-ongya membuka tutup
Iantai memperlihatkan jalan di bawah tanah, gudang tua itu ternyata memiliki
jalan rahasia maka pangeran itu membawa teman-temannya menuruni tangga. Pendekar
dari Barat menempel ketat di belakang lawannya dan ujung pistol tak pernah jauh
dari tengkuk lawan. Cun-ongya tersenyum dan berkata bahwa mereka tak perlu
khawatir, tak mungkin dia menjebak. Dan ketika seperempat jam kemudian mereka
naik di sebuah anak tangga berbatu maka terdengar suara orang bercakap-cakap.
"Nah, itu mereka. Ok-tu-kwi dan isterinya ada di atas sini. Mereka bersembunyi
di dapur istana, tepat seperti dugaanku!"
Frederick tertegun. Memang ada suara di atas sana, suara kakek-kakek dan nenek-
nenek yang serak basah. Mereka mencaci-maki Cun-ongya dan rupanya tem pat itu
benar-benar tempat aman, terbukti tak ada orang lain di situ dan mereka berani
bicara keras-keras. Dan ketika jago tua itu tertegun apa yang harus diperbuat,
Cun-ongya memberi tanda dan berbisik.
"Sebaiknya suruh seorang muridmu keluar, lalu kau dan muridmu yang satu
menembak. Ini kesempatan satu-satunya, tuan Frederick. Atau kau akan kehilangan
kesempatan itu dan semua gagal!"
"Kami tak mau berbuat curang," James tiba-tiba berkata. "Kalau kita keluar maka
kita hadapi mereka secara jantan, ongya. Bukan bersikap pengecut dan menembak di
belakang!" "Hm, terserah kalianlah," Cun-ongya merah mukanya. "Aku hanya memberi nasihat,
James; Kalau ada apa-apa tanggung sendiri."
"Benar," si jago tua sependapat. "Kami akan keluar dan menghadapi mereka secara
jantan, ongya, bukan bersembunyi dan menembak di belakang. Sebaiknya a-ku keluar
dan biar Leo menjaga di sini!" dan melompat mengejutkan kakek dan nenek-nenek
itu, langsung membentak maka pria gagah ini berseru,
"Hei, menyerahlah baik-baik, Ok-tu-kwi. Atau kami, akan menembak.... dor!" dan
senjata api yang memuntahkan pelurunya ke atas tiba-tiba membuat dua orang itu
terkejut dan membelalakkan mata, melihat kakek tinggi besar ini menodongkan
pistol dengan kedua tangan dan saat itu James muncul pula menyusul gurunya. Dua
orang ini sudah membuat Ok-tu-kwi dan isterinya tertegun, maki-maki-an segera
terhenti oleh pandang mata yang heran dan kaget. Mereka heran dan kaget karena
guru dan murid ini tahu-tahu muncul dari dalam tanah, seperti siluman saja. Tapi
ketika Ok-tu-kwi terkekeh dan menggelogok araknya, balik membuat si jago Barat
tertegun dan merasa heran mendadak arak menyembur menghantam wajahnya, cepat
sekali. "Heh-heh, kau kiranya, tuan Frederick. Good.... good... tapi aku tak mau begitu saja
menyerah padamu. Pistolmu basah.... crott!" dan arak yang menghambur bagai hujan,
tajam dan mengenai muka si jago tua tiba-tiba membuat kakek itu terkesiap dan
berteriak keras, lawan membanting tubuh ke kiri dan bergulingan di bawah dengan
tendangan berantai. Hebat sekali Pemabok ini dan kakek itu terbelalak. Tapi
karena Frederick sudah memberi peringatan dan Ok-tu-kwi menyerang, tak
menghiraukan seruannya tadi maka si jago tuapun membentak dan.... membanting tubuh
ke bawah sambil melepas tembakan.
"Dor-dor...!" Ok-tu-kwi tak menyangka. Sambil bergulingan dan menendang ini ia mengharap mampu
mengejutkan lawan dan mencuri kesempatan. Tapi begitu lawan juga membanting
tubuh ke bawah dan menyambut serangannya, kaki bertemu tembakan maka tak ayal
Ok-tu-kwi menjerit dan mengaduh kesakitan, meskipun lawan juga terlempar dan
terkena tendangannya tadi.
"Des-dess!" Jago dan Barat mengeluh, la berhasil melukai lawan tapi pinggangnyapun terkena tendangan kuat. Ok-tu-
kwi masih hebat meskipun dalam keadaan seperti itu. Kakek dan nenek ini sudah
tidak telanjang bulat lagi karena sudah mengenakan pakaian, Yok Bi agak
kedodoran dan rupanya menyambar seorang dayang yang lebih besar tubuhnya. Dan
ketika dua o-rang itu sama-sama terlempar dan Yok Bi terkejut, suaminya mengaduh
kena tembakan maka nenek ini berkelebat dan menyerang si jago Barat itu.
Namun James tak tinggal diam. Membentak agar nenek itu berhenti, James
mengarahkan pistolnya maka Yok Bi mendengus menggerakkan jarum beracunnya. Nenek
itu terus melancarkan pukulan ke Frederick sementara tangannya yang lain
menyerang pemuda kulit putih itu pula. Dan ketika James menggeram dan melepas
tembakan, mengelak namun jarum menancap di pundak maka pemuda itu terhuyung dan
pelurunya meleset. "Dor..!" Si jago Barat tersentak. Dia sedang bergulingan meloncat bangun ketika tahu-tahu
nenek ini menyerangnya, cepat dia membanting tubuh lagi dan pukulan itu
menghajar tanah. Dan ketika si nenek mengejar lagi dan kakek ini pucat maka
sesosok bayangan berkelebat dan menghantam Yok Bi dari belakang.
"Nenek keparat, jangan serang guruku..... dess!"
Yok Bi terkejut, terpekik dan terpelanting karena pukulan itu telak mengenainya.
Pukulan itu bukan sembarang pukulan melainkan pukulan Pek-in-ciang (Pukulan Awan
Putih), ilmu pukulan yang dimiliki Dewa Mata Keranjang. Dan ketika nenek itu
menjerit dan terlempar bergulingan, kaget mengira siapa maka Syl-via muncul di
situ dan nenek ini tertegun. Tak tahu bahwa gadis itu memiliki ilmu pukulan itu
dari Fang Fang. "Kau..?" Namun sebatang panah mendesing. Nenek ini tersentak karena tiba-tiba dari lubang
di bawah tanah itu melesat sebatang panah besar, suaranya bercuit bagai kilat
berkelebat. Dan ketika dia melempar tubuh lagi maka Cun-ongya muncul di situ


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi seruan, tertawa. "Sylvia, serang nenek itu lagi. Atau kakakmu akan roboh binasa terkena jarum
beracun... singg'" dan sebatang panah yang kembali mengejar dan menyerang si nenek
tiba-tiba membuat Yok Bi marah bukan kepalang karena ituiah musuh besarnya, Cun-
ongya yang licik dan cerdik dan yang kini tak memberinya kesempatan untuk
meloncat bangun. Dan ketika dia melengking dan mencabut tusuk kondenya,
melontarkannya kepada Cun-ongya maka pangeran itu menjerit dan berseru tertahan,
benda itu menancap di pundaknya, amblas sampai ke pangkal!
"Kau...?" pangeran ini mendelik. "Kau berani melukai aku, Yok Bi" Jahanam, kubunuh
kau...!" namun Cun-ongva yang terguling dan roboh, mengeluh oleh rasa panas dan
gatal yang tiba-tiba menyerangnya mendadak melihat nenek itu terkekeh dan sudah
meloncat bangun, berkelebat ke arahnya.
"Hi-hik, kau tahu artinya sakit, pangeran" Tahu rasanya dilukai" Nah, tusuk
konde itu akan mengeram sampai nyawamu terbang ke neraka. Tapi aku ingin
menghancurkan kepalamu sebagai pembayar sakit hati... wut!" dan si nenek yang
bergerak dan melepas pukulan, kedua tangan menghantam ke depan tiba-tiba membuat
Cun-ongya pucat dan terbelalak, pundaknya tak dapat digerakkan namun saat itu
berkelebat sebuah bayangan lain yang amat luar biasa, membentak dan menangkis
pukulan nenek itu. Dan ketika Yok Bi menjerit dan terpelanting roboh, Dewa Mata
Keranjang muncul di situ maka kakek ini terkekeh-kekeh sementara Yok Bi
bergulingan ngeri dengan muka pucat dan gentar.
"Aihh... dess!"
Nenek itu melotot. Kalau Dewa Mata Keranjang tiba-tiba datang di situ dan
menolong Cun-ongya, padahal di situ masih ada si pendekar Barat dan Sylvia yang
menyambar kakaknya, James terluka dan. menggigit bibir maka nenek itu kaget
bukan main. Di luar sana banyak musuh-musuh menunggu sementara suami-nyapun
terpincang-pincang bangkit berdiri. Frederick menyerangnya lagi dan kakek itu
bernafsu untuk menangkap hidup-hidup, si Pemabok tak mau dan jadilah mereka
bertanding adu cepat. Ok-tu-kwi meloncat-loncat sedangkan lawannya menubruk atau
menerkam dengan sengit. Frederick tak mempergunakan senjata apinya karena lawan
sudah terluka, tak tahunya arak masih menyemprot-nyemprot dari mulut lawan
menghujani seluruh tubuhnya, dari kepala sampai ke kaki. Dan karena hujan arak
itu seperti tusukan jarum-jarum tajam, pedas dan sakit mengenai kulit maka Ok-
tu-kwi terbahak-bahak mengejek lawan, bergerak sebisanya dan matapun berputaran
liar untuk melarikan diri. Keadaan tak memungkinkan baginya untuk bertahan lagi.
Di ruang rahasia tadi dia sudah terluka oleh anak-anak panah gelap, kini muncul
pula gadis kulit putih itu dan Cun-ongya. Bahkan, terakhir adalah Dewa Mata
Keranjang! Maka ketika isterinya terlempar dan terguling-guling oleh tangkisan
Dewa Mata Keranjang, Ok-tu-kwi terkejut dan pucat mukanya maka tiba-tiba kakek
itu menjadi marah oleh tubrukan-tubrukan lawan, membentak dan suatu saat
membentur tubuh lawannya itu.
"Tuan Frederick, aku akan membunuhmu..... bress!" Ok-tu-kwi melakukan gerak licik,
kaki mengait dan tiba-tiba naik ke atas, menghantam selangkangan laki-laki
tinggi besar itu, tentu saja membuat lawannya terkejut karena selama ini si
Pemabok itu selalu menghindar dan berkelit saja, tak pernah menyambut keras
dengan keras. Maka ketika tiba-tiba tubruk-annya disambut lawan dan Ok-tu-kwi
menaikkan lutut menghantam kemaluan, pendekar dari Barat ini tak menyangka maka
dia berteriak menggunakan telapak tangannya untuk menangkis tapi pada saat itu
tangan kiri lawan bergerak merampas pistolnya.
"Ha-ha!" Ok-tu-kwi terbahak-bahak. "Sekarang kau mampus, Mister Frederick Dan
terimalah hadiahku.... dor-dor!" dan dua peluru yang meletus dan menyambar kakek
tinggi besar itu akhirnya mengenai lawan dan pendekar dari Barat ini mengaduh,
terjungkal dan darah mengucur dari kaki dan punggungnya. Kakek tinggi besar itu
marah dan pucat sekali karena lawan benar-benar curang, padahal dia selama ini
tak mempergunakan senjata api untuk menyudutkan lawan. Dan ketika kakek itu
terguling-guling dan merintih di sana, Ok-tu-kwi terbahak mendapatkan senjata
api maka dia membabi-buta menembakkan pistolnya itu ke segala penjuru. Dewa Mata
Keranjang menjadi sasaran utama tapi Ok-tu-kwi lupa bahwa kakek ini memiliki
ilmu kebal, dua peluru runtuh mengenai tubuhnya dan sebuah yang lain disampok
terpental. Dewa Mata Keranjang terkejut karena Ok-tu-kwi membabi-buta. Tapi
ketika terdengar suara "klik" dan pistol itu kosong, kehabisan peluru maka si
Pemabok pucat dan tiba-tiba sebuah letusan lain menyambar dari samping kirinya
mengenai atas telinganya.
"Dor!" Ok-tu-kwi menggeliat dan roboh terjengkang. Leo, yang muncul dari bawah tanah
melihat gurunya dilukai, marah dan bergerak membalas kakek itu tiba-tiba membuat
Ok-tu-kwi jatuh terjerembab. Kakek ini tak menyangka bahwa di dalam lubang masih
ada orang lain lagi, itulah Leo yang tadi menjaga tawanannya. Dan ketika Yok Bi
menjerit karena suaminya tewas seketika, kepala berlumuran darah maka nenek itu
menjerit dan membentak pemuda ini. "Kau iblis keparat!"
Namun Dewa Mata Keranjang bergerak mendahului. Melihat nenek itu mening
galkannya untuk menyerang si pemuda kulit putih, padahal pemuda itu termasuk
menyelamatkan orang-orang di situ maka kakek ini berkelebat dan menangkis
pukulan si nenek. Yok Bi melengking dan gusar, Dewa Mata Keranjang sudah
bergerak di tengah melindungi lawannya itu. Dan ketika nenek ini marah memukul
sekuat tenaga, pita merah di atas kepalanya juga ikut meledak menyambar kepala
kakek itu maka Dewa Mata Keranjang menangkis dan sudah membuat si nenek
terjengkang dan roboh terguling-guling.
"Dess!" Yok Bi si nenek sial mengeluh. Dia tak kuat menerima tangkisan itu dan Dewa Mata
Keranjang memang bukan lawannya. Dikeroyok berduapun kakek itu masih lebih
lihai. Maka begitu dia terlempar dan terbanting, celakanya menuju Cun ongya maka
si pangeran tiba-tiba mengait sebuah pistol dan dengan dua jari kaki mengokang
tiba-tiba Cun-ongya melepas tembakan.
"Dor!" Tak ada yang tak terperangah oleh kejadian ini. Cun-ongya, yang tak dapat
menggerakkan pundaknya karena luka ternyata dapat menembak dengan jari-jari
kakinya. Inilah luar biasa dan Sylvia maupun yang lain-lain terkejut melihat
itu, kagum. Sylvia sendiri tersentak karena ia sebagai seorang gadis vang mahir
bersenjata api sekalipun tak dapat mempergunakan kakinya untuk menembak.
Kejadian itu sungguh mentakjubkan dan membuat orang terbelalak. Tapi ketika
Sylvia dan lain-lain bertepuk tangan, memuji, maka Dewa Mata Keranjang tiba-tiba
berkelebat dan mengeluh menyambar nenek itu, yang tertembus peluru.
"Ah, kenapa membunuh nenek ini, ongya" Dia tak perlu dibunuh, cukup dihukum
saja. Celaka!" dan si kakek yang bergerak dan mengangkat tubuh itu lalu
memanggil-manggil bekas lawannya, karena Yok Bi betapapun adalah juga pernah
menjadi kekasihnya! "Hei, jangan terburu mati, Yok Bi. Ada aku di sini. Buka matamu, bicaralah!"
Semua tertegun. Dewa Mata Keranjang yang menotok dan menggerak-gerakkan tubuh
itu ternyata berkali-kali memanggil si nenek, entah apa maksudnya. Tapi ketika
nenek itu membuka mata, si kakek menunduk dan menekan jalan darah di punggung,
berbisik bertanya sesuatu maka Dewa Mata Keranjang bertanya di mana Gak-taijin.
"Dia... dia terbunuh. Cun-ongya... Cun-ongya yang membunuhnya....!"
"Dan siapa dalang semuanya ini, Yok Bi" Kenapa majikanmu ke tempat ini?"
"Aku... aduh... cari saja Lauwtaijin atau Thaitaijin, Cing Bhok. Mereka... mereka akan
menerangkan padamu. Cun-ong-ya... Cun-ongya manusia iblis!"
Dewa Mata Keranjang tertegun. Dia mencoba memperpanjang umur nenek itu namun tak
berhasil. Peluru menembus dada dan Yok Bi tak kuat. Hanya sedetik saja usahanya
itu berhasil, selanjutnya nenek ini terkulai dan percakapan di antara mereka
membuat orang-orang tertegun, tak ada yang mendengar. Tapi ketika berkelebat
bayangan-bayangan orang dan berturut-turut Mien Nio dan Bu-goanswe muncul di
situ, bersama Koktaijin, maka mereka cepat menolong Cun-ongya yang tak mampu
bangun berdiri, mengeluh dan pucat kehijauan mukanva.
"Ongya terkena racun!" Mien Nio berseru dan menyadarkan yang lain, tertegun
melihat suaminya memeluk mayat Yok Bi, diam-diam terbakar. Bukan karena cemburu
melainkan semata tak senang karena Yok Bi jelas adalah wanita sesat, bukan orang
baik-baik! Dan ketika seruannya itu menyadarkan Dewa Mata Keranjang, yang
terkejut dan tertegun pula melihat pandang mata isterinya maka Sylvia di sana
juga mengeluh dan sesenggukan melihat kakaknya roboh lemas, pucat kehijauan
seperti Cun-ongya pula. "Kakakku juga.... tolong, tolonglah...!"
Bu-goanswe dan lain-lain bergerak. Hujan sudah berhenti dan mereka terpencar
menolong yang luka-luka. Semua terkejut dan terheran-heran bagaimana orang-orang
kulit putih ini tiba-tiba ada di istana. Kakek tinggi besar Frederick menahan
sakit dan menyeringai oleh dua peluru yang mengenai kaki dan punggungnya,
ditolong dan dihampiri Koktaijin karena Bu-goanswe menolong Cun-ongya. Mien Nio
sudah berkelebat dan menolong James, membantu Sylvia. Dan ketika Leo juga
berlutut dan berkerut-kerut melihat wajah temannya yang kehijauan, racun
menjalar dan memasuki tubuh maka Mien Nio meloncat dan menyambar suaminya.
"Cun-ongya dan pemuda itu keracunan. Tolong mereka dan selamatkan jiwanya!"
"Tak usah buru-buru," si kakek menyeringai dan mengeluarkan sebungkus obat. "Ini
dari saku Yok Bi, Mien Nio. Berikan kepada mereka sebelum terlambat."
"Kau meraba-raba tubuh wanita itu?"
"Jangan cemburu, aku sedang mengorek sebuah keterangan rahasia. Ini urusan
lelaki, cepat kau tolong mereka dan nanti saja kita bicara!"
Mien Nio tertegun. Pandang matanya yang semula marah tiba-tiba lenyap, suaminya
ini sungguh-sungguh. Dan ketika dia bergerak dan bungkusan itu ternyata penawar
racun, memberikannya kepada Cun-ongya dan James maka dua laki-laki itu akhirnya
sadar dan membuka mata, Cun-ongya lebih dulu.
"Mana Bu-goanswe.."
"Hamba di sini! Ada apa, ongya" Perlu perintah lagi?"
"Aku... aku ingin tahu para pemberontak yang kau tangkap. Siapa saja mereka-mereka
itu!" "Ah, paduka baru saja siuman, belum sembuh benar. Bukankah sebaiknya ber
istirahat dan besok saja, ongya" Gak-taijin dan pembantu-pembantunya sudah
terbunuh, paduka tak usah khawatir!"
"Tidak, aku... ah, antarkan aku ke kamarku, goanswe. Dan kita bicara empat mata di
sana!" "Dan orang-orang ini?" Bu-goanswe menuding James dan teman-temannya. "Apakah
mereka harus ditangkap, ongya" O-rang kulit putih sudah tak diijinkan masuk'
"Mereka teman-temanku..." Cun-ongya melirik Frederick dan murid-muridnya itu, juga
Dewa Mata Keranjang. "Biarkan mereka bebas dan jangan diganggu!"
Bu-goanswe mengangguk. Meskipun heran dan kaget bagaimana orang-orang kulit
putih ini ada di situ tapi sang jenderal tak berani membantah. Dan ketika dia
membawa pangeran ke dalam gedung, Koktaijin dan lain-lain tak diijinkan
mengikuti maka Dewa Mata Keranjang berkelebat dan bertanya,
"Ongya, aku juga tak boleh masuk?"
"Maaf, ini urusan pribadi, Tan-taihiap Aku ingin bicara penting dengan Bu-
goanswe. Terima kasih atas pertolonganmu!"
"Dan bocah yang masih pingsan itu?"
Cun-ongya tertegun, teringat Michael. Dan minta agar pemuda itu masuk bersamanya
maka Bu-goanswepun terkejut.
"Apa" Membawa pemuda ini pula, ongya" Dalam keadaan pingsan begini?"
"Paduka tak perlu khawatir," Frederick tiba-tiba terpincang maju. "Michael
biarlah diserahkan kepadaku, ongya. Dan kami sebaiknya pergi saja meninggalkan
negeri ini!" "Tidak, sekarang biar kau bersamaku dulu, Frederick. Bawa pemuda itu dan Bu-
goanswe menjaga di luar. Aku tiba-tiba ingin bicara lebih dulu denganmu!" dan
ketika jago Barat itu tertegun dan mengerutkan kening, Bu-goanswe juga
terbelalak karena sikap Cun-ongya tiba-tiba beru bah-ubah, hal yang mengherankan
maka kakek tinggi besar itu dipaksa mengangguk dan mengikuti. Cun-ongya sudah
masuk ke dalam kamar pribadinya dan Michael dipanggul ke dalam, kakek inilah
yang membawa. Dan ketika Bu-goanswe menjaga di luar dan Leo serta teman-temannya
menjadi cemas, gelisah, maka tiba-tiba terdengar tembakan dan bergeraklah Bu-
goanswe mendobrak pintu kamar, disusul oleh Koktaijin dan juga Dewa Mata
Keranjang, yang diam-diam curiga dan memperhatikan segala gerak-gerik pangeran
itu. "Apa yang terjadi! Siapa melepas tembakan!"
Semua tertegun. Bu-goanswe dan lain-lain terkejut karena mungkin Cun-ongya
diganggu. Tapi ketika melihat pangeran itu tak apa-apa sementara Michael sudah
berlumuran darah, kepalanya ditembus peluru maka semua terbelalak sementara
kakek tinggi besar itu tiba-tiba terhuyung, pucat mukanya.
"Pangeran, kau.... kau kejam!"
"Maaf, sekarang sudah selesai, tuan Frederick. Kau telah menghukum muridmu
sendiri. Silahkan kembali ke negerimu dan terima kasih atas pengertianmu ini!"
lalu ketika kakek itu mengeluh dan mengepal tinju, Cun-ongya berseri dan
bersinar-sinar maka kakek itu tiba-tiba menyambar tubuh Michael dan berkelebat
keluar, menahan kemarahan atau perasaan yang meledak-ledak.
"Leo, kita pulang!"
Bu-goanswe dan lain-lain kembali tertegun. Mereka tak tahu apa yang terjadi
kecuali Michael yang sudah terbunuh. Siapa yang melepas tembakan mereka tak
tahu. Barangkali Cun-ongya barangkali pula kakek itu. Sungguh misterius, penuh
teka-teki! Tapi ketika kakek itu berkelebat dan memanggil muridnya, lenyap dan
sudah menghilang di luar maka Cun-ongya tiba-tiba menyuruh semua keluar kecua li
Bu-goanswe. Jenderal ini berdetak dan Koktaijin pun tiba-tiba memainkan matanya.
Setelah peristiwa itu tiba-tiba dua orang ini sama-sama menjadi tak nyaman. Cun-
ongya sungguh mencurigakan. Tapi karena dia adalah saudara kaisar dan berarti
junjungan mereka, tak mungkin permintaannya dihalangi maka Bu-goan swepun
mengangguk dan lain-lain segera keluar. Koktaijin berbisik agar rekannya
berhati-hati dan begitu pintu kamar ditutup segera Dewa Mata Keranjang diminta
mengintai. Kakek ini mengangguk sebelum Koktaijin habis bicara, bergerak dan
sudah lenyap menempel di langit-langit ruangan, telinga dipasang sementara mata
tak berkedip memandang ke bawah. Di dalam kamar itu Cun-ongya bertanya jawab
dengan Bu-goanswe, tak kelihatan serius atau membahayakan dan berkerut-lah
kening kakek ini. Dan ketika setengah jam kemudian pintu kamar dibuka dan Bu-
goanswe keluar dengan selamat, Koktaijin menyambut dan sang pangeran masuk ke
kamar lain maka Bu-goanswe menjawab bahwa dia diminta mengumpulkan semua tawanan
yang masih hidup, tawanan-tawanan penting.
"Lauwtaijin dan Thaitaijin diminta menghadap ongya di wisma Merpati. Am bil
mereka sementara Tiong-taijin dan lain-lain dikumpulkan di penjara bawah tanah.
Mereka akan dihadapkan sri baginda besok pagi'"
"Kenapa terburu-buru" Bukankah sudah larut malam dan ongyapun capai?"
"Entahlah, aku hanya menerima perintah, taijin. Dan aku harus melaksanakannya!"
"Dan apa yang kalian bicarakan tadi."
"Ongya mencari tahu siapa saja nama-nama pemberontak yang berhasil kita
tangkap." "Dan kau sebutkan semuanya?" Dewa Mata Keranjang tiba-tiba bergerak, menyela.
"Ya, tak ada yang perlu disembunyikan, Dewa Mata Keranjang. Dan aku juga tak
biasa bohong!" "Bodoh! Di mana Lauwtaijin dan Thaitaijin itu. Biar kuambil mereka!"
"Mereka di gedungku..."
"Baik, kau tunggu di sini, goanswe. A-ku akan mengambilnya!" dan lenyap
meninggalkan dua orang itu, Bu-goanswe mengerutkan kening sementara Koktaijin
tiba-tiba bergerak dan menyusul kakek itu maka jenderal inipun akhirnya
berkelebat dan mengejar pula si Dewa Mata Keranjang.
"Hei, apa yang akan kaulakukan, Dewa Mata Keranjang. Jangan membuat susah aku!"
Namun kakek ini sudah terbang di sana. Lupa kepada isterinya dan lain-lain tiba-
tiba saja kakek itu menuju ke gedung Bu-goanswe. Dewa Mata Keranjang teringat
kata-kata Yok Bi sebelum ajalnya, bahwa dia dapat menyelidiki semuanya itu dari
Louw-taijin, Atau Thaitaijin. Dan ketika kakek ini berkelebat dan mendobrak
pintu kamar tawanan, mendorong dan menjungkirbalikkan tiga penjaga maka kakek
itu tertegun karena Lauwtaijin tak ada, hanya tinggal Thaitaijin saja!
"Mana rekanmu, kenapa sendirian saja!"
Thaitaijin, laki-laki yang pucat dan sekarang kurus itu tampak menggigil. Dia
tertotok di kursinya dan kakek ini membebaskan tawanan. Thaitaijin mengeluh dan
seketika roboh lemas, terguling. Dan ketika kakek itu bertanya di mana
Lauwtaijin maka pemberontak yang dulu lolos dan bergabung lagi dengan Gak-taijin
ini meratap. "Ampun, tolong.... tolonglah aku, Dewa Mata Keranjang. Lauwtaijin dibawa muridmu.
Lepaskan aku dari sini dan jangan serahkan aku kepada Cun-ongya!"
"Apa yang terjadi!" si kakek terkejut. "Muridku membawa temanmu" Kau tidak
berdusta?" "Berani sumpah!" laki-laki itu gemetaran. "Fang Fang datang bersama seorang
kakek, Dewa Mata Keranjang. Aku tak mengenal siapa itu karena mereka sebentar
saja di sini. Muridmu membawa Lauwtaijin!"
"Dan kau!" Dewa Mata Keranjang tertegun. "Kenapa dibiarkan di sini" Apa maksud
muridku itu?" "Aku tak tahu, tapi kira-kira mengorek peristiwa busuk ini!"
"Busuk bagaimana. Apanya yang busuk!"
"Aku... aku, ah... apakah kau mau menyelamatkan aku kalau aku menceritakan rahasia


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar ini, Dewa Mata Keranjang" Apakah kau mau menolong aku dengan sebuah
imbalan rahasia penting!"
"Cepat ceritakan. Kalau benar tentu kubebaskan dirimu. Tapi kalau bohong maka
aku akan membunuhmu!"
"Aku... aku hanya alat saja dari Cun-ongya. Dia inilah sumber penyakit. Cun-ongya
mengadakan hubungan senjata gelap dengan bangsa asing dan kami disuruhnya
membuat kerusuhan!" "Maksudmu?" "Kami membeli senjata-senjata itu, Dewa Mata Keranjang, dan Cun-ongya membelinya
dari bangsa asing, dengan keuntungan berlipat ganda. Dan karena senjata tak akan
habis kalau tidak digunakan maka untuk memenuhi keinginannya lalu kami disuruh
berperang dan mengacau di perbatasan. Bangsa asing mengadakan hubungan diam-diam
dengan pangeran, dan kami pioner-pionernya yang disuruh maju!"
"Tapi Cun-ongya memusuhi bangsa asing, gencar menghalangi jualbeli senjata!"
"Itu di luarnya, karena maksudnya agar jualbeli senjata itu dapat dimonopolinya
sendiri. Cun-ongya tak mau orang-orang seperti aku berhubungan langsung dengan
bangsa asing. Sebab kalau begitu tentu keuntungannya berkurang dan Cun-ongya
gigit jari! Tidak, semua itu taktik belaka darinya, Dewa Mata Keranjang. Agar
orang luar tertipu. Dan karena Cun-ongya memang cerdik dan licin seperti belut
maka tak ada satupun yang menyang ka bahwa justeru dia inilah sumber jualbeli
senjata api. Kami adalah pioner-pionernya yang mendapat keuntungan tidak
seberapa, jauh dibanding dia sendiri!"
"Kau bicara benar?"
"Sumpah mati. Dewa Mata Keranjang. Biar aku disambar geledek kalau bohong. Aku
hanya alatnya dan dialah pula yang membebaskan aku dan Lauwtaijin agar dapat
membuat lagi kerusuhan yang berarti jualbeli senjata gelap terus hidup!"
Kakek ini tertegun. Mendengar dan melihat sikap Thaitaijin tiba-tiba Dewa Mata
Keranjang terbelalak. Memang dia sudah mencium bau itu namun masih kurang yakin.
Sumber biang penyakit memang diciumnya di kota raja, di istana. Dan ketika
Thaitaijin bercerita lagi bahwa dia pasti dibunuh, tak mungkin dihukum lagi
seperti dulu maka laki-laki ini meratap dan berlutut di depan Dewa Mata
Keranjang. "Hanya tiga orang vang tahu persis masalah ini, yakni aku dan Lauwtaijin serta
Gak-taijin. Kamilah orang-orang kedua di balik layar, karena kamilah yang
berhubungan langsung dengan pangeran. Tolong, selamatkan jiwaku, Dewa Mata
Keranjang. Karena Cun-ongya pasti akan membunuh aku dan Lauwtai|in ataupun Gak-
taijin!" "Dan orang-orang kulit putih itu?"
"Merekalah utusan gubernur jenderal. Dulu tuan Smith tapi sekarang Michael!"
"Dan Michael dibunuh. Ah, betul katamu, Thaitaijin. Tapi kaupun juga busuk
karena mau menikmati keuntungan bersama. Kau juga bukan warga negara yang baik!"
dan ketika Thaitaijin terkejut karena Dewa Mata Keranjang marah-marah, sungguh
tak disangkanya bahwa sahabatnya yang disangka jujur dan memperhatikan negara
ternyata adalah sebaliknya, Cun-ongya merupakan sumber dari jualbeli senjata api
maka saat itu pintu ditendang dan muncullah Bu-goanswe, merah padam dengan
ketiga orang penjaga di tangannya.
"Dewa Mata Keranjang, siapa membawa orang-orangnya Cun-ongya ini" Siapa
menggantikan mereka dengan penjaga-pen-jagaku sendiri?"
"Apa maksudmu?" Dewa Mata Keranjang terkejut, mukanya juga merah padam, merasa
tertipu oleh tingkah Cun-ong ya. "Tanya mereka sendiri itu, goanswe. Jangan
tanya aku. Aku mau pergi!" tapi ketika Thaitaijin berteriak dan roboh mengaduh-
aduh, mendekap perutnya dan berputaran seperti ayam disembelih maka Dewa Mata
Keranjang tak jadi pergi dan tertegun melihat tawanan itu.
"Aduh, aku.... aku keracunan. Aku diracun!"
Kakek itu berubah. Bu-goanswe yang menendang dan melempar tiga penjaga ini lalu
melompat dan menyambar Thaitaijin. Tawanan itu muntah-muntah dan dari mulutnya
keluar busa. Dan ketika jenderal itu terkejut melihat mangkok piring di situ,
padahal dia merasa belum menyuruh memberikan makanan atau minuman maka
ditanyanya tawanannya itu siapa yang memberi.
"Mereka.... tiga orang itu. Apakah mereka bukan penjaga-penjagamu, goanswe" Apakah
mereka.... aduh!" dan Thaitaijin yang roboh dan muntah-muntah, dilepas karena Bu-
goanswe sudah menyambar dan menangkap seorang di antara tiga penjaga tiba-tiba
dibuat menggeliat-geliat seperti anjing dalam sekarat.
"Siapa yang memberi makan. Apakah benar kalian bertiga!"
"Beb... benar. Kami disuruh Cun-ongya, goanswe. Datang menggantikan tiga orang
anak buahmu. Mereka dipanggil ke sana!"
"Dan mana Lauwtaijin!"
"Kami tak tahu.... dess!" dan Bu-soanswe yang menendang pengawal itu sampai
pingsan tiba-tiba mendengar seruan Dewa Mata Keranjang bahwa Lauwtaijin dibawa
Fang Fang. Dan ketika jenderal itu tertegun dan membalik, Koktaijin berkelebat
dan muncul di situ maka Thaitaijin menggelepar-gelepar dan berbusa seluruh mulut
dan hidungnya. "Apa yang terjadi. Ada apa dengan tawanan!"
"Dia diracun. Cun-ongya mengganti pengawalku dan memberikan makanan dan minuman
ini!" "Apa?" "Kita cari dia!" Bu-goanswe mendobrak pintu kamar, daun pintu itu menutup lagi
karena tebal, kini ditendang sampai hancur dan terbelalaklah Koktaijin
menyaksikan kejadian itu. Tawanan tak dapat bicara lagi dan dia coba menolong
namun Thaitaijin tiba-tiba terkulai dan menghembuskan napasnya terakhir. Dan
ketika dia terbelalak karena Lauwtaijin tak ada di situ maka Dewa Mata Keranjang
berkelebat dan mendengus padanya.
"Taijin, kita benar-benar ditipu luar dalam. Ternyata orang nomor satu yang
kumaksudkan itu adalah Cun-ongya. Mari ke sana dan kita tuntut tanggung
jawabnya!" Koktaijin tak dapat bertanya-tanya lagi. Bu-goanswe dan Dewa Mata Keranjang
telah terbang ke gedung Cun-ongya. Di sana Bu-goanswe menggeram-geram dan marah
tapi juga bingung. Maklumlah, dalang di balik layar ternyata justeru adalah Cun-
ongya sendiri, adik kaisar. Dan ketika mereka tiba di sana dan berkelebat menuju
kamar ternyata pangeran rebah dan juga mengerang-erang!
"Aduh, keparat si Yok Bi itu. Terkutuk bisa racunnya. Aduh. kalian salah memberi
obat, goanswe. Aku justeru menelan racun!"
"Apa yang terjadi?" Bu-goanswe malah tertegun. "Bagaimana ini ongya. Kenapa bisa
begitu!" "Dia menebus dosanya." sebuah suara tiba-tiba terdengar, dingin, di samping
pintu. "Cun-ongya menelan dosanya, goanswe. Dan aku menyesal tak dapat berbuat
apa?"Fang Fang...!" Bu-goanswe terkejut tiba-tiba melihat pemuda itu berdiri di
belakang pintu memanggul mayat seseorang, Lauwtaijin! Dan ketika jenderal itu
juga terkejut karena di belakang Fang Fang terlihat seorang kakek memegang
seruling, juga seorang gadis cantik bermata biru maka jenderal ini bergerak dan
menerkam pemuda itu, tak menghiraukan dua orang di belakang pemuda ini.
"Fang Fang, apa yang terjadi. Kenapa Cun-ongya tiba-tiba sekarat!"
"Dia kupertemukan dengan Lauwtaijin ini, goanswe, dan tiba-tiba tampak
ketakutan. Dan ketika aku juga memanggil Han-ciangkun karena dia pernah
dibebaskan Cun-ongya maka Cun-ongya tiba-tiba marah dan akan membunuh mereka,
dengan tusuk konde itu!"
"Lalu?" Bu-goanswe gemetar.
"Tentu saja kucegah, goanswe. Mereka ini saksi hidup untuk kaisar. Tapi Cun-ong
ya nekat dan tetap menyerang, kutangkis dan tiba-tiba tusuk konde itu mencelat
mengenai perutnya. Dan ketika dia roboh dan mengambil obat ternyata keliru
dengan racun yang diam-diam diambil dari kantung Yok Bi!"
"Ah, dan tusuk konde itu.... bukankah dibuang oleh subomu Mien Nio?"
"Diambilnya lagi, goanswe, secara diam-diam. Dia ingin menghabisi orang terakhir
yang nanti dianggapnya berbahaya. Dalam keadaan tidak terduga. Dan karena di
catatan ini ada nama guruku dan aku sendiri agaknya ongya juga ingin menamatkan
hidupku dengan tusuk konde maut itu. Sayang mengenainya sendiri dan kau baca
ini!" Bu-goanswe tertegun, menerima catatan-catatan dari orang yang akan dibunuh. Cun-
ongya memberi silang merah pada nama-nama yang akan dihabisi, entah dengan
jebakan kamar-kamar rahasia atau senjata api, karena Cun-ongya juga seorang jago
tembak yang di luar dugaan. Bu-goanswe teringat betapa dengan jari-jari kakinya
pangeran itu juga dapat membunuh Yok Bi. Mengejutkan! Dan ketika jenderal itu
terbelalak karena namanya juga ada di situ, berikut Koktaijin maka jenderal ini
menggigil dan mundur. "Ongya, kau... kau juga akan membunuh aku?"
"Tentu, kau tak dapat diajak kerja sama seperti Lauwtaijin dan lain-lainnya itu,
goanswe. Dan kaupun sudah mulai mengetahui sepak terjangnya. Siapapun yang
dianggap berbahaya pasti akan dibunuh oleh ongya!"
"Tapi.... tapi..."
"Sudahlah," Fang Fang, yang menjawab dan membuat jenderal itu pucat dan marah
serta penasaran tiba-tiba menunjuk pada mayat Lauwtaijin dan Han-ciang kun itu.
"Apakah Thaitaijin juga sudah tewas termakan racun" Ongya menyuruh pengawal-
pengawalnya untuk memberikan makanan atau minuman beracun. Dan aku tak dapat
mencegah ini karena semuanva sudah terlambat!"
"Fang Fang...!" Dewa Mata Keranjang berkelebat masuk, menyambar bagai burung. "Kau
ada di sini" Dan Cun-ongya, eh...!" kakek itu tertegun, berhenti dan tepat
meluncur di depan muridnya itu karena menyusul Bu-goanswe. Sang kakek terbelalak
dan Cun-ongya merintih-rintih, sekarat. Dia salah makan obat karena kantung yang
terlempar dari mayat Yok Bi ternyata bukan penawar racun, melainkan justeru
penambah racun! Dan ketika pangeran itu menggeliat-geliat dan Koktaijin muncul
belakangan pula, tertegun, sama dengan kakek itu maka Bu-goanswe menutupi muka
menyerahkan daftar nama-nama yang akan dibunuh itu kepada dua orang ini.
"Ongya sungguh keji, tak pilih bulu. Ah, aku tak dapat tinggal lagi di sini.
Dewa Mata Keranjang. Aku ingin melepaskan kedudukanku menjadi rakyat biasa!"
"Apa yang terjadi!"
"Kau baca saja itu, tanya muridmu Fang Fang!"
"Ongya terjebak oleh nafsu menumpuk kekayaan," sebuah suara tiba-tiba terdengar,
menyusul berkelebatnya tubuh Bu-goanswe itu. "Dan apa yang ditanam kini dipetik
hasilnya, Dewa Mata Keranjang. Maaf bahwa aku barangkali mengganggumu di sini."
"Sin-kun Lo-jin!" Dewa Mata Keranjang membalik, tiba-tiba terkejut dan baru
menyadari bahwa di belakang muridnya masih ada dua orang. "Ah, kau di sini, tua
bangka" Ada apa?"
"Maaf, aku menemani cucuku turun gunung, Dewa Mata Keranjang. Belajar dan
mencari pengalaman tentang hidup."
"Dan kau jauh-jauh meninggalkan Himaiaya?"
"Cucuku ini tak betah di gunung, ingin mencari yang lain."
"Hm!" dan Dewa Mata Keranjang yang tertegun dan terbelalak lebar tiba-tiba
memandang gadis mata biru di samping kakek itu, bersinar-sinar dan memandang
Fang Fang namun gadis itu tiba-tiba mendengus, berkelebat dan lenyap di luar.
Dan ketika Dewa Mata Keranjang terkejut dan Sin-kun Lo-jin atau Sin-kun Bu-tek
juga terkejut maka terdengar suara gadis itu bahwa "pengalaman di kota raja
sudah selesai". "Kakek, kita kembali. Cukup kejadian memuakkan ini. Kau telah membuktikan kepada
Fang Fang bahwa kata-katamu benar!"
"Nah," Sin-kun Bu-tek tersenyum. "Aku dipanggil cucuku, Dewa Mata Keranjang.
Kami hanya sebagai penonton yang mengamati semuanya ini dari luar. Selamat
tinggal, dan maaf!" dan si kakek yang berkelebat dan lenyap pula tiba-tiba
disusul Dewa Mata Keranjang yang berteriak memanggil.
"Tunggu, jangan pergi dulu, Sin-kun Lo-jin. Aku hendak bicara!"
"Apa yang akan kaubicarakan!" Sin-kun Lo-jin tak berhenti, bergerak dan tetap
menyusul cucunya, terbang mengerahkan ilmunya. "Silahkan bicara kalau ingin
bicara, Dewa Mata Keranjang. Tapi aku tak dapat berhenti karena cucuku sudah
jauh di sana!" "Baiklah," Dewa Mata Keranjang mengangguk, melesat dan mengimbangi kakek itu.
"Aku hendak bertanva apakah cucumu masih sendiri, tua bangka. Kalau sendiri
bagaimana kalau dijodohkan dengan muridku!"
"Ha-ha, soal itu" Kenapa tidak tanya kepada yang bersangkutan sendiri" Aku tak
dapat menjawab, Dewa Mata Keranjang. Silahkan tanya cucuku dan langsung saja
kepada yang berkepentingan!"
"Baiklah," Dewa Mata Keranjang tiba-tiba menggerakkan kedua lengan dengan cepat,
seperti baling-baling, langsung mengerahkan Sin-bian Ginkangnya (Ginkang Kapas
Sakti). "Aku akan menyusul cucumu, tua bangka. Dan kutanya dia!" dan ketika
kakek itu melesat dan meluncur seperti siluman, gadis mata biru terkejut karena
kakek itu tahu-tahu di sampingnya maka bertanyalah Dewa Mata Keranjang akan itu.
"Hei, aku ingin melamarmu untuk muridku, nona. Apakah kau masih sendiri dan
mau!" "Aku tak sudi!" jawaban itu ketus, mengejutkan kakek ini. "Meskipun muridmu
lihai tapi hidungnya kotor. Dewa Mata Keranjang. Bersihkan dulu hidungnya itu
dan jangan ajari dia bermain cinta dengan wanita. Aku menolak!" dan ketika kakek
itu tertegun sementara Sin-kun Butek menyusul, tertawa, maka kakek itu berseru
agar Dewa Mata Keranjang tidak mengganggu lagi.
"Nah, cucuku sudah menjawab, menyakitkan tetapi jujur. Selamat tinggal, Dewa
Mata Keranjang. Dan jangan ganggu kami lagi!"
. Si Dewa Mata Keranjang tertegun. Kakek ini berhenti dan tentu saja merah
padam, gadis yang tepat menjadi pasangan muridnya itu ternyata menolak, tegas
dan getas. Dan ketika kakek itu mengeluh dan kecewa, melotot, maka berkesiur
angin di belakangnya dan berkelebatlah muridnya.
"Suhu, jodoh tak dapat dipaksa. Aku menyadari kekeliruan-kekeliruanku. Sudahlah
jangan kecewa dan aku akan bertapa sebagai pendeta!"
"Eh, bagaimana dengan Cun-ongya itu. Apakah sri baginda sudah tahu!"
"Koktaijin telah melapor. Dan puteri We juga datang."
"Dan Bu-goanswe?"
"Sri baginda tak mengabulkan permohonannya, suhu. Dan Bu-goanswe tetap menduduki
jabatannya. Tapi aku sendiri tak dapat dicegah, gelar Pangeran Muda yang
diberikan sri baginda kukembalikan."
"Apa?" "Benar. Aku tak mau menikmati kesenangan-kesenangan duniawi, suhu. Kesenangan-
kesenangan itu tak membawa kepada kebahagiaan. Aku ingin bertapa dan melanjutkan
samadhiku dulu... wut!" dan Fang Fang yang berkelebat mendahului gurunya, lenyap
dan menghilang di depan tiba-tiba membuat Dewa Mata Keranjang tersentak karena
muridnya mengeluarkan kesaktian seperti yang dulu diperlihatkan di Liang-san.
Dia berteriak dan memanggil-manggil namun muridnya itu tak mau berhenti, hanya
merupakan satu titik kecil di depan dan akhirnya lenyap ke Liang san. Muridnya
itu hendak bertapa. Menebus atau menghilangkan dosa-dosa. Dan ketika kakek itu
melongo dan sebuah bayangan lain meriotong dan muncul dari samping maka
terdengar seruan isterinya, Mien Nio.
"Suamiku, apakah kau sudah tak ingat kepadaku lagi?"
"Ooh..!" sang kakek sadar, mengangguk. "Tentu saja tidak, Mien Nio. Mari kita
susul murid kita itu dan aku tiba-tiba juga ingin bertapa!"
"Boleh, aku mengiringi, suamiku. Mari kita bersihkan jiwa dan raga kita!" dan
ketika kakek itu berkelebat dan menyambar isterinya, terbang dan meluncur ke
Liang-san maka di istana terjadi mendung yang amat besar. Sri baginda terbelalak
dan tertegun melihat semua peristiwa itu. Adiknya, Cun-ongya, ternyata merupakan
biang semua pemberontakan di balik layar. Mengadakan hubungan langsung dengan
orang-orang kulit putih dan membagi-bagikan senjata untuk menyulut peperangan.
Entah apa maksud adiknya i-tu dengan semua sepak terjangnya ini. A-pakah melulu
ingin menumpuk kekayaan ataukah mungkin malah ingin merebut kekuasaan, lewat
orang-orang macam Gak-taijin dan Lauwtaijin itu. Dan menarik napas dalam-dalam
mengamati jenasah adiknya, mayat yang mulai membusuk dan cepat berbau maka sri
baginda memerintahkan agar mayat itu segera dimakamkan. Bukan sebagai pengacau
melainkan sebagai pahlawan. Aneh! Dan ketika Bu-goanswe terkejut dan mengerutkan
keningnya, bertanya, maka sri baginda dingin menjawab.
"Dia adalah saudaraku, goanswe. Dan aku tak ingin rakyat mengetahui coreng ini.
Istana dan kerabatnya adalah orang-orang terhormat. Kalau ada satu dua yang
menyeleweng maka tak perlu semuanya harus dianggap kotor. Umumkan kepada rakyat
bahwa kematian adikku atas kecurangan pemberontak. Jangan diumumkan bahwa dialah
tokoh para pemberontak!"
"Dan Gak-taijin serta lain-lainnya itu?"
"Kubur mereka sebagai pemberontak, goanswe, dan pasang namanya sebagai
pengkhianat!" "Tapi mereka adalah tangan kanan a-dik paduka, seharusnya diperlakukan sama!"
"Kau tak perlu membantah, goanswe. Laksanakan perintahku dan tutup rahasia ini
rapat-rapat!" Sang jenderal tertegun. Aneh dan luar biasa bahwa Cun-ongya dimakamkan secara
kenegaraan. Tokoh yang seharusnya dimaki dan dicerca ini malah mendapat
penghormatan istimewa. Tapi ketika terdengar helaan napas di belakangnya dan
Koktaijin muncul, sri baginda sudah masuk ke dalam dan muram wajahnya maka
rekannya itu berbisik bahwa di dunia ini memang bisa terjadi hal yang macam-
macam. "Tak usah risau. Kita laksanakan perintah sri baginda, goanswe. Dan kerjakan


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja apa yang seharusnya dikerjakan."
"Tapi aku penasaran...!"
"Aku juga. Tapi aku juga dapat menerima alasan sri baginda, goanswe. Ini demi
nama baik istana. Siapapun tentu tak mengharap bahwa di tempat ini terjadi hal
yang memalukan. Rakyat tahunya baik. Sri baginda dan kerabatnya adalah o-rang-
orang turunan dewa!"
"Hm, aku mengerti. Baiklah, besok kita makamkan jenasah Cun-ongya dengan
tembakan meriam!" dan gusar namun tak dapat melampiaskan kemarahannya, jenderal
ini kalah oleh perintah junjungannya maka jenasah Cun-ongya dirawat baik-baik
sementara mayat Gak-taijin ataupun Lauwtaijin diperlakukan seperti anjing. Tiga
tubuh yang membujur di tempat itu dilempar ke dalam satu lubang. Gak-tal-jin
maupun Lauwtaijin dan Thaitaijin hilang hak-haknya sebagai manusia biasa, yang
punya dosa dan kelalaian. Dan ketika keesokannya Cun-ongya dimakamkan dengan
segala kehormatan, dihargai dan dihormati sebagai kerabat istana yang a-gung
maka Bu-goanswe cemberut sepanjang hari. Seminggu kemudian minta lagi berhenti
namun tak dikabulkan. Kaisar melihat bahwa jenderal ini adalah seorang yang
jujur dan dapat dipercaya. Dan karena di situ juga ada Koktaijin yang membujuk
dan menghiburnya akhirnya untuk melepas kesal jenderal ini minta cuti.
"Hamba ingin beristirahat sebulan di Liang-san. Harap paduka mengijinkannya."
Kaisar mengijinkan. Tapi ketika jenderal itu berangkat dan meninggalkan kota
raja, sendirian, tiba-tiba muncul Koktaijin mencegat di pintu gerbang.
"Akupun mendapat cuti. Mari kita berjalan bersama-sama. Aku juga ingin
menenangkan dan membuang ingatan buruk itu, goanswe. Kita sama-sama menjadi
saksi atas kejadian lucu yang tidak lucu!"
"Hm, aku tak mau bicara itu lagi. Aku ingin menemui dan bercakap-cakap dengan
Fang Fang!" "Aku juga. Ingin kutahu bagaimana keadaan pemuda itu sekarang. Apakah masih
bertapa dan ingin benar-benar menjadi pendeta!"
"Menurutmu bagaimana?"
"Sulit kukatakan, goanswe. Tapi akhir-akhir ini wataknya mulai berobah."
"Ya, tapi kekasih-kekasihnya hamil semua. Aku khawatir bahwa sepuluh atau
duapuluh tahun lagi pemuda itu menerima akibat perbuatannya. Jangan-jangan
usahanya gagal!" "Semoga tidak, goanswe. Mari kita lihat!" dan ketika dua orang itu bergerak dan
melanjutkan langkahnya, pembicaraan mulai berkisar ke Fang Fang maka di sana
pemuda itu duduk bersamadhi bagaikan arca. Tak bergeming dan tak bernapas seolah
mati. Gurunya mula-mula terkejut melihat itu, maklumlah, tarikan napas keluar
masuk tak ada. Tapi ketika denyut jantung masih berdetak dengan halus, nyaris
tak kelihatan maka Dewa Mata Keranjang justeru kagum karena Fang Fang telah
mampu manunggal dengan a-lam sekelilingnya yang hening namun justeru menyimpan
kekuatan dahsyat. Seperti angin atau udara yang dapat diam sama sekali namun
juga mampu bergerak sewaktu-waktu untuk menjadi topan yang mengerikan.
"Dia telah menyedot tenaga sakti bumi dan langit. Ah, Fang Fang mendapatkan
Thian-te Sinkang (Sinkang Langit Bumi)'"
Mien Nio tertegun. Dia yang mengikuti suaminya untuk mencari tempat bertapa, di
sekitar situ, memang melihat sesuatu yang ajaib pada diri murid suaminya itu.
Fang Fang tak bergerak seperti patung namun ubun-ubun kepalanya mengeluarkan uap
putih. Samar-samar kaki tangannya mengeluarkan uap putih pula dan jadilah pemuda
itu mandi uap. Dan ketika perlahan-lahan tubuh pemuda itu terangkat naik,
mengambang di permukaan tanah maka Mien Nio juga menjadi kagum dan membelalakkan
mata. "Hebat, muridmu ini luar biasa sekali, suamiku. Agaknya dia benar-benar dapat
melanjutkan tapanya dan menjadi orang sakti!"
"Ya, dan aku sudah kalah segala-galanya, Mien Nio. Baik kepandaian maupun
bercinta. Tiga pacarnya jadi semua, sementara aku masih juga goblok dan sia-
sia!" "Maksudmu?" "Ha-ha, tidakkah kau ingat bahwa muridku ini mempunyai keturunan" Aku a-kan
mempunyai cucu-cucu, Mien Nio. Dan muridku benar-benar ampuh sekali, jantan. Ha-
ha, aku kalah tapi aku senang!"
"Hush..!" dan ketika Mien Nio menegur dan terbelalak merah, kakek itu terbahak
maka Dewa Mata Keranjang sudah berkelebat dan duduk di batu yang lain, bersinar-
sinar memandang muridnya itu dan Mien Niopun melotot. Tapi ketika sua minya
memberi tanda dan minta agar ditemani, mereka akan bertapa dan member sihkan
batin maka Dewa Mata Keranjang duduk dan bersamadhi.
"Ayolah, aku ingin kuat-kuatan dengan muridku. Siapa yang lebih lama bertapa!"
"Kau mau bertanding?"
"Ha-ha, tak ada salahnya, Mien Nio. Ayo ke mari dan duduk di sampingku!"
Wanita itu mengangguk. Bergerak dan memenuhi permintaan suaminya segera Mien Nio
duduk bersebelahan. Suaminya menyenggol lengannya dan berkedip, isyarat matanya
nakal tapi wanita itu tersenyum saja. Dan ketika Dewa Mata Keranjang memusatkan
perhatian dan duduk bersila, tak menggoda isterinya lagi maka kakek itu mau
mengadu kuat siapakah yang tahan dalam bertapa ini. Dia atau muridnya. Tapi
karena di situ ada isterinya, sekali dua mereka juga sering bersenggolan maka
seminggu tak bergeming tiba-tiba membuat kakek itu gelisah, panas dingin.
"Ah, aku tak kuat, Mien Nio. Bau tubuhmu membuat pikiranku kacau. Aku kalah!"
Mien Nio terkejut. Suaminya tiba-tiba mencium dan gagallah usaha tapa itu. Dewa
Mata Keranjang tertawa bergelak dan menyambar isterinya ini. Dan ketika Mien-Nio
membuka mata dan kaget, dia memang hanya menemani saja maka suaminya itu
berkelebat dan turun gunung.
"Ha-ha, aku lagi-lagi kalah, Mien Nio. Biarlah muridku meneruskan tapanya dan
kita bersenang-senang!"
"Ih, maksudmu'"
"Eh, apakah kau tak rindu" Uwah, aku sudah kangen, Mien Nio. Aku tak kuat. Hayo
berikan aku kesempatan bercinta dan kita bercumbu seperti burung-burung yang
berkicau itu, ha-ha!"
Mien Nio tersenyum. Dia membiarkan saja suaminya menciumi dan terbang ke bawah
gunung. Diam-diam dia juga tergetar dan mengharapkan kesenangan itu. Sebenarnya
dia hanya pura-pura saja bertapa seperti suaminya, sering melirik dan memandang
suaminya. Dan karena pandang an wanita memang tajam dan penuh "strom", Dewa Mata
Keranjang rupanya terkena dan roboh maka kakek itu tak mampu melanjutkan
samadhinya tergoda panah asmara. Mereka terbang dan tertawa-tawa, Mien Nio
memeluk dan balas menciumi suaminya ini. Sudah terbayang di benak mereka bahwa
sebentar lagi mereka akan melepas rindu dan berahi, menikmati manis dan indahnya
cinta. Tapi ketika Dewa Mata Keranjang menurunkan isterinya dan siap mencari
tempat persembunyian yang baik, karena betapapun Mie Nio tentu tak mau di tempat
terbuka men dadak muncul Koktaijin dan Bu-goanswe.
"Haii..!" seruan itu membuat suami isteri ini tertegun. "Mau ke mana. Dewa Mata
Keranjang. Dan ada apa mencari tempat sesepi ini. Mana murid kalian Fang Fang!"
Kakek itu menyeringai. Melihat Bu-goanswe dan Koktaijin tiba-tiba muncul di
situ, "mengganggu acara" tiba-tiba kakek ini mendongkol juga. Segera dia melepas
isterinya dan tak jadi mencium, tertawa tapi dimakinya dua tamunya itu kenapa
datang ke situ. Dan ketika Bu-goanswe menjelaskan bahwa dia ingin membuang
waktu, melepas cutinya dengan alari keindahan Liang-san maka diam-diam kakek ini
melirik isterinya dan tertawa Kecut.
"Sial," bisiknya. "Kita diganggun. Mien Nio. Tapi aku tak dapat menolak mereka.
Dapatkah kau mengusirnya?"
"Hush," sang isteri menjawab, balas berbisik. "Memangnya siapa mereka ini,
suamiku" Bu-goanswe adalah orang yang menjadi saksi atas sumpahmu. Bahwa kau tak
akan mengambil isteri lagi. Sambut mereka dan biar acara kita nanti malam saja.
Aku menyiapkan hidangan!"
"Wah, kau tak jadi memberi?"
"Di hadapan mereka ini" Terlalu, jangan macam-macam, suamiku. Hayo sambut mereka
dan jangan bertanya-tanya lagi. Lihat, mereka curiga kepada kita, terbelalak.
Kalau kau memaksa tentu aku tak mau!" dan ketika Dewa Mata Keranjang tertawa
bergelak dan memandang mendongkol, kesenangannya diganggu maka Bu-goanswe
bertanya apa yang mereka katakan itu, apa bisik-bisik itu.
"Ha-ha, isteriku mau menyiapkan hidangan. Tadinya khusus untukku tapi sekarang
beralih kepada kalian. Sial, kalian mengganggu, goanswe. Tapi tak apa, aku
senang!" dan ketika Mien Nio melengos dan tersipu jengah, suaminya itu melepas
kata-kata yang mengandung arti maka Koktaijin tertawa membungkuk hormat.
"Maaf, kami tak menyangka bahwa kedatangan kami mengganggu, Dewa Mata Keranjang.
Kalau tahu begitu tentu kedatangan kami diundur, biar isterimu selesai memberi
hidangan dulu!" "Ha-ha, hidangan apa" Memangnya Dewa Mata Keranjang ini doyan makan" Dia lebih
suka wajah-wajah cantik, taijin. Barangkali Mien-hujin (nyonya Mien) hendak
mengikatnya di suatu tempat agar tidak keluyuran ke mana-mana lagi. Kalau
begitu, tentu aku juga akan mencocok hidungnya seperti kerbau!"
"Sst, bukan begitu," sang rekan memainkan biji matanya, Bu-goanswe tak mengerti.
"Mereka hendak memadu cinta, goanswe. Tentu ingin melepas ketegangan setelah
berbulan-bulan melacak Gak-taijin. Hayo, kita ke puncak saja dan mencari Fang
Fang!" dan ketika Bu-goanswe tertegun dan mengerti, terbelalak, maka tiba-tiba
jenderal itu berkelebat dan menuju puncak, tertawa bergelak.
"Ah, begitukah, Dewa Mata Keranjang" Aduh, maaf. Aku memang tolol. Haha!" dan
ketika dua orang itu berkelebat ke puncak, Bu-goanswe mengerti apa yang dimaksud
Koktaijin maka Dewa Mata Keranjang terkekeh gembira mendapat kesempatan lagi.
Dia sudah menyambar isterinya dan Mien Nio terkejut, dibawa dan diciumi di
tempat lain. Dan karena Dewa Mata Keranjang memang kakek bergairah muda,
semangatnya tak pernah padam untuk urusan wanita maka begitu Bu-goanswe ke
puncak iapun sibuk sendiri melanjutkan hasratnya semula, tak mau menunggu nanti
malam karena sudah tak tahan. Betapapun tempat itu adalah wilayahnya, dia tuan
rumah. Dan ketika Bu-goanswe ke puncak mencari Fang Fang, yang tentu saja gagal,
Fang Fang bersamadhi bagai arca maka dua orang tamu ini mengagumi sikap dan
cahaya yang memancar dari tubuh pemuda itu. Bu-goanswe tak menghiraukan lagi
Dewa Mata Keranjang yang sibuk dengan kekasihnya. Baik dia tiaupun Koktaijin
sama-sama terkejut melihat tapa yang khusuk dari pemuda ini. tapa yang
memancarkan cahaya batin dan pemuda itu mulai mengambang. Bagai dewa! Dan ketika
dua orang itu kagum dan tentu saja tak berani mengganggu, Fang Fang yang dulu
sudah lain dengan Fang Fang yang sekarang maka dua orang itu menghela napas dan
Bu-goanswe tiba-tiba duduk pula bersila di tempat itu.
"Luar biasa, pancaran batinnya hebat sekali, taijin. Fang Fang yang ini rupanya
sudah bukan Fang Fang yang dulu. Playboy dari Nanking ini sudah berubah!"
"Benar, dan dia memiliki kelebihan daripada gurunya, goanswe. Fang Fang telah
mampu mengendalikan nafsu berahinya!"
"Ah, aku jadi ingin berkhusuk seperti dia. Biar kubersihkan batinku pula!" dan
ketika jenderal itu duduk dan memejamkan mata, keheningan dan kedamaian tempat
itu ikut menunjang maka jenderal ini ingin menghabiskan cutinya dengan
bersamadhi. Kok-taijinpun mengikuti dan segera dua orang itu bersila. Masing-
masing ingin mendapatkan kedamaian setelah diguncang oleh persoalan yang benar-
benar di luar dugaan. Dan ketika mereka sama-sama memejamkan mata maka mulailah
dua pembesar ini menarik perhatian mereka dari alam duniawi. Mereka ingin
menyatu dengan yang lebih agung dan lenyaplah kerut-merut di wajah keduanya,
terutama Bu-goanswe. Dan begitu mereka khusuk bersamadhi maka tak ada lagi yang
dapat mengganggu. Pembaca yang budiman, dengan selesainya cerita ini berakhirlah sudah kisah si
Plavboy Dari Nanking itu. Fang Fang telah bertapa dan mencoba merobah tindak-
tanduknya. Pancaran cahaya batin telah memancar dari tubuhnya. Apakah pemuda itu
benar-benar kelak akan menjadi pertapa" Mampukah dia melepaskan diri dari Ceng
Ceng maupun Ming Ming atau Eng Eng" Fang Fang boleh saja melepaskan diri dari
ketiga gadis cantik itu. Tapi karena Eng Eng dan lain-lainnya itu telah
mengandung atas hasil perbuatan Fang Fang maka tak akan semudah itu pemuda ini
membebaskan diri. Urusan dunia akan menyeretnya kembali nanti. Selama manusia
masih hidup maka tak mungkin sepenuhnya membebaskan diri. Dan karena tiga gadis
itu akan mencarinya lagi, mereka menaruh sakit hati dan kemarahan besar mereka.
Anda akan dapat mengikuti lagi lanjutan kisah ini. Eng Eng dan lain-lainnya itu
akan muncul lagi dalam kisah baru, bersama anak-anak mereka. Dan karena kisah
ini memang akan disambung lagi maka mudah-mudahan kita dapat bertemu dalam kisah
itu: PLAYGIRL DARI PAKKING. Anda akan penulis ajak berjumpa lagi dengan tokoh-
tokoh kisah ini. Ada beberapa lagi yang memang harus diselesaikan, seperti
Sylvia dan lain-lainnya itu. Dan karena kisah itu sendiri masih akan merupakan
kisah yang panjang, kita akan bertemu lagi dengan gadis kulit putih ini dan
teman-temannya biarlah, kita bertemu lagi dalam kisah yang baru itu.
Sebagai cerita hiburan ringan penulis harap mudah-mudahan ada manfaatnya bagi
pembaca. Tapi karena sebagai manusia biasa penulis tentu juga memiliki
kekurangan di sana-sini, yang mungkin tidak memuaskan Anda biarlah penulis mohon
maaf. Mudah-mudahan kita bertemu dalam kisah yang lebih menyenangkan. Penulis
akan coba untuk menyajikan sesuatu lagi yang lebih segar. Semoga.
Salam hangat untuk pembaca di manapun Anda berada!
T A M A T Solo, 01-02-1989 Topan Di Gurun Tengger 1 Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Jago Kelana 11
^