Pencarian

Playboy Dari Nanking 3

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 3


banyak pengalaman. Maka begitu dia berani mengajak ke puncak dan sikapnya ini
tentu saja meyakinkan gadis itu akhirnya Ming Ming percaya. Satu nol untuk Fang
Fang! "Baiklah, aku percaya padamu, Fang Fang. Dan tak perlu ke puncak karena subo
sudah melarangku. Sudahlah, aku tadi hanya mencobamu saja dan siapa tahu benar!"
"Ha-ha, kau mencoba aku" Ah, aku ersih seratus persen, Ming Ming. Tak ada cacad
dan bohong! Marilah, sekarang kita dapat bergembira dan membuka perkenalan kita
dengan kelinci panggang!" Fang Fang terbahak gembira, tentu saja geli karena
sesungguhnya dialah yang mengerjai gadis ini, bukannya gadis itu yang
"mengerjai" dia. Maka begitu lawan percaya dan Fang Fang sudah berhasil
enanamkan kepercayaan maka pemuda itu tak ragu menyambar lengan gadis ini lagi,
bergerak dan berkelebat turun gunung dan dapatlah Fang Fang teman baru. Ming
Ming sebentar saja berhasil didekati dan ternyata gadis ini sesungguhnya lebih
lunak dibanding Eng Eng. Barangkali karena subonya ada di situ dan Dewa Mata
Keranjang ternyata adalah kekasih subonya, hal yang diam-diam membuat gadis ini
heran dan tak mengerti bagaimana o-rang yang dicinta katanya kok dibenci. Aneh.
Dan ketika hari itu perkenalan Fang Fang berjalan mulus dan pemuda ini mulai
pandai memuji-muji dan melepas rayuan, seperti apa yang sering diberitahukan
gurunya maka dua kali "pacaran" sudah cepat membuat eknik pemuda ini maju dengan
pesat. Tahu lika-liku wanita dan tak dapat disangkal bahwa bekal perkenalannya
dengan Eng Eng merupakan dasar menyelami watak wanita bagi pemuda ini. Fang Fang
mulai pandai dan cepat menundukkan lawan. Dan karena pada dasarnya gadis baju
merah itu sendiri sudah memiliki rasa kagum dan suka kepada Fang Fang maka
seminggu kemudian Fang Fang sudah menyatakan cintanya. Hebat!
"Sumpah!" begitu pemuda ini memulai. "Aku tak dapat berpisah lagi denganmu, Ming
Ming. Biarlah aku mati kalau tak dapat menyunting dirimu. Aku akan minta kepada
suhu agar segera melamarmu kepada subomu itu!"
"Hm!" Ming Ming merah padam, gemetar, sama seperti Eng Eng dulu. "Aku.....
aku tak tahu apakah aku menerima cintamu atau tidak, Fang Fang. Aku... aku tak
tahu!" "Ah, gampang!" pemuda itu melompat, bangun. "Hal itu dapat dibuktikan, Ming
Ming. Kalau aku melakukan sesuatu dan kau tidak marah maka itu berarti kaupun
cinta padaku. Marilah, kita berdua sama-sama melihatnya!"
"Kau... kau mau melakukan apa?" gadis ini terkejut, melihat muka Fang Fang yang
merah. "Kau jangan macam-macam, Fang Fang. Jangan kurang ajar!"
"Ah, tidak!" pemuda ini mengelak, lincah menyambar lengan si gadis. "Aku tak
bermaksud melakukan yang tidak-tidak, Ming Ming. Aku... aku hanya ingin melakukan
suatu perbuatan kecil saja. Bukankah kau tak tahu apakah menerima cintaku atau
tidak" Bukankah kau tak dapat menjawabnya?"
"Benar, lalu..."
"Gampang, biarkan aku melakukan sesuatu, Ming Ming. Kaupejamkanlah mata dan
rasakan apa yang kuperbuat!"
Gadis ini mundur, tiba-tiba berguncang, menggigil. "Kau... kau mau melakukan apa"
Tidak, aku tak mau memejamkan mata kalau kau tidak memberitahukan maksudmu, Fang
Fang. Aku akan tetap begini dan melihat perbuatanmu!"
"Hm, kalau begitu silahkan!" dan Fang Fang yang menyambar setangkai bunga, dan
menunjukkan itu pada si gadis sudah berkata, mata bersinar-sinar. "Aku ingin
menancapkan ini di rambutmu, Ming Ming. Kalau kau tidak marah dan membiarkan
perbuatanku maka itu tandanya cinta. Nah, permisi. Aku akan menancapkannya dan
kau menunduklah sedikit!" Fang Fang tidak memberi kesempatan si gadis menolak,
memperlihatkan setangkai bunga itu dan Ming Ming tentu saja tak keberatan. Bunga
adalah kesukaan wanita. Kalau kini seorang pria hendak menancapkan bunga di
rambutnya sebagai tanda cinta tentu saja gadis itu tak menolak, apalagi Fang
Fang adalah pemuda yang disukanya, karena selama berhari-hari ini Fang Fang
selalu bersikap manis dan lembut kepadanya, sikap yang menyentuh perasaan gadis
ini dan Ming Ming akhirnya tidak keberatan. Dan ketika dia menunduk dan Fang
Fang sudah menancapkan bunga itu, disertai bisikan dan kata-kata lembut tiba-
tiba gadis itu memejamkan mata dan sekonyong-konyong, saat itu juga, Fang Fang
mendaratkan bibirnya mengecup mulut si gadis.
"Ain, kau cantik, Ming Ming. Aku cinta padamu.... cup!"
Gadis ini tergetar hebat. Dia lupa dan tadi memejamkan mata, merasa malu tapi
juga bahagia. Tapi begitu Fang Fang mengecupnya dan belum pernah seumur hidup
dia dicium laki-laki tiba-tiba gadis ini kaget dan membelalakkan mata, merah
padam. "Fang Fang, kau kurang ajar. Kau.... plak-plak!" dan Fang Fang yang menerima dua
tamparan keras dan terhuyung mundur tiba-tiba melihat gadis itu marah, kontan
terkejut dan teringatlah Fang Fang akan nasihat gurunya. Wanita kalau marah
harus cepat-cepat dipadamkan, laki-laki wajib mengalah dan berlututlah pemuda
itu memeluk kaki si gadis. Dan ketika Ming Ming tertegun dan siap meledakkan
rambut, menghantam dan menyerang pemuda ini maka Fang Fang mendahului, gemetar,
"Ming Ming, itulah tanda cintaku kepadamu. Kalau kau marah dan tak senang
bunuhlah aku. Aku siap mati untuk mempertahankan cintaku kepadamu!"
"Kau... kau..." gadis ini tak dapat bicara. "Kau mencuri cium, Fang Fang. Kau kurang
ajar!" "Kalau begitu pukullah aku, bunuhlah aku. Tadi sudah kuberitahukan bahwa aku
akan memberikan sesuatu kepadamu. Nah, bunuhlah aku, Ming Ming. Ledakkan
rambutmu di kepalaku!" Fang Fang melancarkan aksinya, seluruh tubuh bergetar
hebat dan diam-diam dia siap menerima pukulan gadis itu. Suaranya bergetar penuh
kekuatan dan tertegunlah gadis baju merah itu. Pandangan mereka bentrok dan
sinar mata Fang Fang yang lembut dan mesra sungguh mengguncang jantungnya. Ming
Ming sebenarnya marah karena semata merasa kaget, bukan terhina atau apa karena
sesungguhnya diam-diam dia juga senang. Aneh memang watak wanita! Dan ketika
pandangan Fang Fang penuh pasrah namun di samping itu juga ber sinar-sinar penuh
getaran cinta kasih tiba-tiba gadis ini tak kuat dan roboh, mengeluh pendek.
"Fang Fang, kau nakal. Kau, ah... keparat!"
Fang Fang berseri-seri. Sikap dan kata-kata ini saja sudah menunjukkan perobahan
besar yang menggembirakan hatinya. Gadis itu tak marah dan menyebutnya "nakal",
bukan lagi kurang ajar atau kata-kata tak enak yang kasar bunyinya. Dan karena
Fang Fang sudah mulai pandai dan mengenal hati wanita maka cepat sekali pemuda
ini menerima dan memeluk tubuh si gadis.
"Aih, salah. Aku hanya menyatakan cintaku, Ming Ming. Kalau kau suka maka itu
tandanya kau menerima cintaku. Tapi kalau tidak tentu kau sudah memukulku. Nah,
jangan marah karena sesungguhnya aku ingin mengecupmu lagi!" dan Fang Fang yang berani mencium lagi dan lebih "tetheg",
nelcat, tiba-tiba melumat dan kali ini si gadis tak meronta, pasrah dan mengeluh
dan menanglah Fang Fang. Untuk kedua kalinya dia berhasil mendapatkan cinta. Dan
ketika pemuda itu tertawa bergelak dan merasa mendapatkan apa yang diinginkan
tiba-tiba Fang Fang sudah menggulingkan tubuh dan mencium mesra kekasih barunya
ini, panas dan bertubi-tubi namun Ming Ming akhirnya takut. Gadis itu mengerang
dan mendorong si pemuda. Dan ketika Fang Fang merah bagai kepiting direbus
sementara Ming Ming sendiri megap-megap menerima ciuman gencar maka gadis ini
berseru, menggigil, "Cukup.... cukup, Fang Fang. Aku takut!"
"Hm!" Fang Fang sadar, harus melihat keadaan. "Aku tahu, Ming Ming. Maafkan aku.
Tapi kau tak menolaknya, bukan" Aku boleh memegang-megang lenganmu lagi?"
"Cukup, jangan.... jangan, Fang Fang. Aku merinding, aku ngeri..!"
"Ngeri?" Fang Fang tertawa. "Ah, kau aneh, Ming Ming. Disentuh dan dicium
kekasih kok ngeri! Tapi baiklah, aku tak akan memaksa dan aku sudah merasa
girang bahwa kau menerima cintaku!"
"Ih, siapa bilang" Kau masih harus me lapor pada subo, memberitahukan isi hatimu
itu!" dan Ming Ming yang dapat tertawa dan terkekeh geli tiba-tiba meloncat
bangun dan berlari pergi, merasa geli karena Fang Fang tampak membelalakkan
mata. Pemuda itu melongo mendengar kata-katanya. Dan karena perasaan bahagia
sebenarnya membunga di hatinya dan sesungguhnya dia girang mendapat ciuman tadi
tiba-tiba gadis ini ingin menggoda dan segera Fang Fang tertawa, maklum apa yang
dikehendaki gadis ini dan cepat pemuda itu mengejar. Dan ketika Ming Ming
tertangkap dan ditubruk dari belakang, dikecup telinganya maka Ming Ming
mengeluh dan merintih, "Ih, lepaskan, Fang Fang. Nanti ada orang!"
"Orang siapa" Ha-ha, di tempat ini hanya ada kita berdua, Ming Ming. Dan
seharusnya kita tak perlu takut. Hayo, jangan lari...!" dan Fang Fang yang
mengejar serta mencium kekasihnya lagi lalu benar-benar dibiarkan dan Ming Ming
kali ini menyambut, tak lama kemudian gadis itu sudah membalas dan Fang Fang
girang bukan kepalang. Ming Ming lebih cepat ditundukkan daripada Eng Eng, juga
ternyata gadis ini lebih panas. Terbukti bahwa sebentar saja Ming Ming sudah
membalas ciumannya dan mereka bergulingan di rumput yang tebal. Tapi karena Fang
Fang masih belum tahu bagaimana melanjutkannya dan sekedar gejolak darah muda
itu dilampiaskan dengan ciuman dan pelukan-pelukan ketat maka akhirnya dua muda-
mudi ini mendapatkan kebahagiaannya di pinggang gunung itu. Empat lima hari
memadu kasih dan Fang Fang benar-benar melupakan Eng Eng. Gadis baju merah ini
sudah memberikan segala-galanya, meskipun segala-galanya itu bukan berarti
hubungan intim, karena Fang Fang sejauh ini masih belum mengetahui "caranya" dan
pemuda itu maupun kekasihnya masih lugu. Tapi ketika seminggu kemudian hubungan
mereka semakin akrab dan kemesraan maupun lirik sayang tak dapat dipisahkan dari
keduanya mendadak saja hari itu mereka dikejutkan oleh berkelebatnya dua nenek
cantik yang mengganggu asyik-masyuk mereka.
"Heh, mana si Dewa Mata Keranjang" Betulkah ini tempat tinggalnya?"
Fang Fang terkejut. Waktu itu dia memeluk dan sedang mencium Ming Ming. Ciuman
pemuda ini kian matang dan mahir, maklumlah, setiap hari Fang Fang mendapatkan
kesempatannya dan setiap kali itu pula dia mempermahir gerakan-gerakan mulut.
Bibir dan lidahnya sudah pandai menghisap dan Ming Ming acap kali dibuatnya
"naik ke sorga" kalau sudah mendapat ciuman pemuda itu, karena sekarang Fang
Fang semakin mahir dan pintar menambah ilmunya, ilmu mencium! Maka ketika pagi
itu tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh teguran atau bentakan ini dan dua
nenek cantik tahu-tahu sudah berkelebat dan berdiri di depan mereka maka Fang
Fang buru-buru melepaskan kekasihnya dan kaget meloncat bangun.
"Kalian siapa" Ada apa mencari-cari Dewa Mata Keranjang?"
"Heh, kenapa bertanya sebelum menjawab" Tak perlu buka mulut, bocah. Sebutkan
saja di mana si tua bangka itu dan apakah benar ini tempat tinggalnya!"
"Memang benar!" Fang Fang menjawab, gagah dan berani. "Ini tempat tinggalnya,
nenek-nenek siluman. Dan kalian siapa kenapa datang-datang mencari guruku!"
"Kau muridnva?"
"Benar..." "Wut!" dan si nenek di sebelah kiri yang tiba-tiba bergerak dan sudah
mengayunkan lengan kirinya tiba-tiba membentak dan melengking menghantam pemuda
itu, melepas satu tamparan miring dan Fang Fang terkejut. Tamparan ini mendesing
bagai sebatang pedang, cepat dan luar biasa dan tahu-tahu sudah seinci saja di
depan hidungnya, bukan main! Dan ketika Fang Fang mengelak namun tamparan itu
terus mengejar dan kini berobah menjadi sebuah bacokan miring di mana leher
kanannya disambar ganas maka apa boleh buat Fang Fang menangkis, cepat
menggerakkan lengan dan mengerahkan sinkangnya.
"Crat!" Bunga api berpijar! Fang Fang kaget bukan main karena tangan lawan tiba-tiba
seolah berobah menjadi sebatang pedang sungguhan, berdenting dan itulah Kiam-
ciang atau Tangan Pedang yang hebat bukan main. Dia terpental mundur sementara
lawan juga terhuyung. Dan ketika nenek itu terbelalak dan melotot padanya, penuh
heran dan kaget maka nenek di sebelah kanan membentak dan tiba-tiba menyerang
Fang Fang pula. "Keparat, dia benar-benar murid si Cing Bhok jahanam. Bunuh dia, Giok-moi (adik
Giok). Serang dan hancurkan kepala pemuda ini.... sing-singg!" tangan si nenek pun
menyambar bagai pedang yang ganas, bertubi-tubi sudah menyerang Fang Fang dan si
pemuda pun mengelak sana-sini. Fang Fang menangkis dan lagi-lagi suara
berdenting mengejutkan hatinya. Dan ketika nenek di sebelah kiri mengeroyok dan
maju lagi, melancarkan bacokan-bacokan pedang atau tusukan dan tikaman yang
benar-benar berbahaya maka Fang Fang terdesak dan mengeluh.
"Sing-crat!" Baju pundaknya robek. Fang Fang melempar tubuh bergulingan karena dua orang
nenek itu semakin ganas saja. Bahwa dia sanggup bertahan dan belasan jurus masih
tidak roboh tiba-tiba membuat dua nenek itu melengking tinggi. Dan ketika mereka
berkelebatan dan mengelilingi pemuda ini dengan cepat maka Fang Fang tersudut
dan kembali menerima sebuah bacokan miring.
"Crat!" Fang Fang nyaris terbanting. Pemuda ini tergetar dan terhuyung ke kiri,
mengerahkan sinkang dan bacokan itu mampu ditahannya. Si nenek terbelalak dan
marah, maklumlah, beberapa kali pemuda ini dapat bertahan dan tidak roboh.
Tangan Pedang mereka yang dahsyat menusuk atau membacok pemuda itu ternyata
mental oleh sinkang yang melindungi si pemuda, kuat dan kenyal hingga Tangan
Pedang mereka seolah bertemu karet, paling-paling hanya merobek bajunya saja dan
tentu saja dua nenek ini gusar. Maka ketika mereka melengking dan menujukan
serangan-serangan ke bagian muka, mata dan telinga maka Fang Fang kelabakan dan
apa boleh buat harus tunggang-langgang menyelamatkan diri.
"Hei, kalian jangan seperti kambing kebakaran jenggot. Kita tak pernah
bermusuhan. Berhenti dan jangan gila!"
"Gila hidungmu!" nenek di sebelah kanan membentak. "Kami tidak gila, bocah. Kami
waras. Kau adalah musuh kami karena kau murid Tan Cing Bhok si jahanam!"
"Tapi aku tak mengetahui permusuhan kalian. Kenapa sewot dan marah-marah
kepadaku" Hei, kalian tidak gila namun berotak miring, nenek-nenek siluman.
Kalian tidak gila namun tidak waras otaknya!"
"Keparat!" dan si nenek di sebelah kanan yang melengking dan sudah berputaran
cepat akhirnya mengurung Fang Fang dengan pukulan-pukulannya, kuat bertubi-tubi
dan setiap pukulan atau serangan pasti mendesing. Kiam-ciang yang dimainkan
mereka sungguh hebat dan Fang Fang sudah siap untuk mencabut senjata, tongkat
pendek yang ada di pinggangnya. Tapi ketika dia mengelak dan Ming Ming berteriak
perlahan tiba-tiba gadis baju merah itu maju dan kekasihnya ini sudah menolong.
"Fang Fang, robohkan nenek-nenek siluman ini. Biar kubantu kau... tar-tar!" dan
rambut si gadis yang meledak-ledak dan menvambar dua nenek itu lalu mengejutkan
lawan karena dua nenek itupun tertegun, mengelak sejenak tapi tiba-tiba mereka
menggeram. Nenek di sebelah kiri berkelebat dan menangkis ledakan rambut Ming
Ming. Dan ketika Tangan Pedang nya mendesing dan rambut bertemu nenek ini tiba-
tiba Ming Ming menjerit karena rambutnya putus terbabat.
"Crat-aihh!" Fang Fang terkejut. Dia melihat kekasihnya itu melempar tubuh bergulingan dan si
nenek mengejar, kini menusuk dan membacokkan Tangan Pedangnya itu di mana Ming
Ming benar-benar kelabakan. Bertempur segebrakan saja ternyata Ming Ming
mendapat kenyataan bahwa nenek-nenek ini hebat. Mau tak mau dia menjadi kagum
pada Fang Fang karena dikeroyok berdua ternyata pemuda itu dapat bertahan,
meskipun kewalahan dan terus terdesak. Maka begitu dia melihat kehebatan nenek
ini dan segebrakan saja rambutnya putus dibabat Tangan Pedang maka gadis ini
bergulingan melempar tubuh, tak tahunya dikejar dan si nenek beringas padanya.
Ming Ming ngeri dan membentak marah. Dan ketika dia meloncat bangun namun si
nenek sudah dekat maka gadis ini menggerakkan rambutnya lagi untuk menghantam.
"Plakk!" Ming Ming mengeluh. Untuk kedua kalinya lagi dia dibuat terpelanting oleh si
nenek lihai. Nenek itu menangkis dan Tangan Pedangnya kembali membabat rambut.
Rambut Ming Ming menjadi semakin pendek dan tentu saja gadis itu gusar, di
samping gentar. Dan ketika apa boleh buat dia harus bergulingan lagi dan
terdesak si nenek yang marah maka Fang Fang yang melihat itu dan tentu saja tak
tahan tiba-tiba membentak dan berkelebat menangkis sebuah serangan yang
ditujukan kepada kekasihnya ini.
"Tahan, serangan aku saja.... cring!" dan Fang Fang yang terhuyung namun berhasil
menyelamatkan kekasihnya lalu menyuruh agar Ming Ming naik ke puncak, melaporkan
pada suhu atau subonya. "Biarkan mereka di sini, aku sanggup menahan!"
"Tapi... tapi...." gadis itu ragu. "Mereka lihai, Fang Fang. Kau tak dapat
menghadapinya sendirian!"
"Untuk sementara dapat. Aku memiliki tongkat. Pergilah, dan lihat bahwa aku
sanggup menahan mereka... trakk!" dan tongkat Fang Fang yang berkelebat dari
pinggang menangkis Tangan Pedang si nenek ternyata benar saja dapat menghalau
dan menolak serangan lawan, membuat si nenek terkejut dan Fang Fang tiba-tiba
membentak melakukan balasan. Pemuda ini berkelebat dan sudah ganti mengelilingi
dua nenek itu, tongkatnya menyambar-nyambar dan tertegunlah dua nenek itu
melihat kelihaian Fang Fang. Dan ketika mereka menangkis namun tongkat masih
mendorong dan membuat mereka terhuyung, hal yang membuat dua nenek ini mendelik
maka Ming Ming di sana girang dan merasa kagum.
"Aih, hebat kau, Fang Fang. Bunuh dan robohkan dua nenek siluman ini!"
"Tidak," Fang Fang menggeleng. "Tugasku hanya menahan mereka, Ming Ming.
Selanjutnya adalah terserah suhu. Kau per gilah, cepat lapor dan jangan di
sini!" "Tapi kau sudah mampu mendesaknya, tak perlu bantuan lagi!"
"Ah, mereka ini lihai, Ming Ming. Aku melihat mereka masih belum mengeluarkan
kepandaian sepenuhnya!"


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ming Ming tertegun. Dua nenek itu juga terkejut karena Fang Fang tahu persis
bahwa mereka belum mengeluarkan semua kepandaiannya, hal yang memang benar. Dan
ketika mereka menjadi herani namun mau tak mau juga kagum maka nenek di sebelah
kiri berseru pada temannya, nenek di sebelah kanan.
"Hwa-cici, bocah ini benar-benar mirip gurunya di masa muda. Tapi ilmu silat
tongkatnya ini baru. Kita belum pernah melihat!"
0o-dw-o0 Jilid : V "YA, dan cukup lihai, Ciok-moi. Rupanya si Dewa Mata Keranjang benar-benar sudah
mewariskan ilmu-ilmunya pada bocah ini."
"Dan kita harus membunuhnya, lalu membawa kepalanya kepada si Cing Bhok!"
"Benar, karena itu mainkan Siangkiam-ciang (Tangan Pedang Sepasang), Giok-moi.
Bunuh dan robohkan pemuda ini!"
Fang Fang terkejut. Akhirnya dua orang nenek itu mengeluarkan kepandaian mereka
yang lebih hebat, mempergunakan sepasang tangan untuk menyerang dengan
Siangkiam-ciang, hebat mendesing-desing dan kian lama kian tajam. Ming Ming yang
ada di pinggir saja tiba-tiba bajunya terbabat robek, tersambar angin pukulan
Tangan Pedang itu. Dan ketika gadis itu berteriak tertahan dan mundur menjauh,
terhuyung, maka di sana Fang Fang berteriak agar Ming Ming cepat ke puncak.
"Laporkan pada suhu, aku tak dapat menghadapinya terus-menerus!"
"Hi-hik," nenek di sebelah kanan mengejek, tertawa nyaring. "Kau boleh sombong
mampu menghadapi kami berdua, anak muda. Tapi sebelum gurumu datang pasti kami
telah memenggal kepalamu!"
"Aku akan bertahan... crangg!" dan tongkat Fang Fang yang tergetar bertemu Tangan
Pedang tiba-tiba kali ini terdorong dan Ming Ming pucat, melihat Fang Fang gugup
dan kembali Kiam-ciang dari nenek di sebelah kiri maju menyobek. Dua irisan
tajam menguak baju pemuda ini, Ming Ming tak tahan lagi. Maka ketika Fang Fang
mengulang perintahnya agar segera pergi tiba-tiba gadis itu terisak dan
berkelebat ke atas gunung.
"Baik, kau tahan mereka, Fang Fang. Aku akan memanggil subo dan suhumu!"
Fang Fang girang. Dia tak dapat bertahan terus dengan caranya seperti itu
Dua nenek ini amat lihai dan repotnya dia tak berani membalas dengan keras.
Sebetulnya dia memiliki jurus-jurus berbahaya yang dapat mematikan, tapi karena
dua nenek ini tak dikenalnya siapa dan mereka rupanya juga pernah berhubungan
dengan gurunya seperti halnya nenek May-may maupun Lin Lin maka Fang Fang
khawatir kesalahan tangan dan nanti dimarahi gurunya, hal yang membuat dia
setengah hati dalam melayani lawannya dan itu merepotkan Fang Fang sendiri. Tapi
begitu kekasihnya berkelebat ke atas dan Ming Ming sudah terbang ke puncak maka
Fang Fang gembira dan tiba-tiba memutar tongkatnya secepat kitiran, mulai
melakukan jurus-jurus dari ilmu silat Naga Merayu Dewi.
"Ha-ha, kalian pun tak dapat bersombong mengatakan aku, nenek-nenek siluman. Aku
masih dapat bertahan sampai datangnya suhu!"
"Tak mungkin!" nenek di sebelah kanan membentak. "Kau sudah mampus kalau gurumu
tiba, bocah. Dan kami akan gembira mempersembahkan kepalamu kepada gurumu itu!"
"Kalian terlalu bersemangat. Boleh kita bertaruh. Ha-ha, justeru kalian yang tak
mungkin melakukan itu, nenek bau. Dan aku akan mencium pantat kalian kalau
dapat... trak-cring!" dan Fang Fang yang menambah tenaganya menolak Tangan Pedang
tiba-tiba membuat nenek di sebelah kanan melengking, tergetar dan terhuyung dan
kembali pemuda itu dapat bertahan. Fang Fang hanya menangkis Tangan Pedangnya
dan tongkat pemuda itu sudah bergulung-gulung menyembunyikan tuannya, nenek ini
memekik dan marah bukan kepalang. Dan ketika nenek satunya membentak dan minta
agar temannya menyerang di belakang, dia sendiri di depan, maka Fang Fang harus
memutar rapat gulungan tongkatnya itu.
"Bocah ini harus dirobohkan. Atau kita harus malu kalau si Dewa Mata Keranjang
keburu datang!" "Benar, dan keluarkan gin-ciam (jarum perak), Hwa-cici. Bunuh dan robohkan
pemuda ini secepat mungkin!"
Fang Fang tiba-tiba terkejut. Siangkiam-ciang yang dimainkan lawan mendadak
diiringi kilatan sinar-sinar putih yang menyambar dirinya. Tujuh jarum perak
menyambar dari belakang dilepas si nenek kedua, yakni yang dipanggil Ciok-moi
itu, sang adik. Dan ketika nenek di depan atau sang enci melepas tujuh gin-ciam
membantu adiknya maka Fang Fang repot dan memaki mereka.
"Curang.... trik-trak!"
Dua nenek itu kagum. Mereka mau tak mau memuji juga, empatbelas jarum yang
mereka sambitkan ternyata runtuh semua, dipukul tongkat. Dan ketika pemuda itu
tertawa-tawa dan mainkan silat tongkatnya lagi dengan cepat maka mereka merah
padam mendengar seruan si pemuda.
"Hei, kalian harus malu berbuat curang. Kalian pun masih cantik-cantik dan
anggun. Hadapi tongkatku tanpa bantuan senjata gelap, Ciok-ie-ie (bibi Giok).
Atau aku akan melapor pada suhu bahwa kalian tak gagah dan suka membokong!"
"Hm, gurumu itu si tua bangka busuk. Kau melaporkan kami tidak takut. Bedebah,
kau harus kami bunuh, bocah. Kau a-kan kami bunuh!" dan si nenek yang murka dan
melengking tinggi tiba-tiba mempercepat permainan Tangan Pedangnya dan melepas
senjata-senjata gelap lagi, merepotkan Fang Fang dan dua nenek itu kini
berkelebatan ganti-berganti. Mereka mengelilingi Fang Fang dan Fang Fang semakin
mempercepat putaran tongkatnya pula. Dia mainkan itu sambil tertawa-tawa,
melepas senyum dan ejekan-ejekan yang menyakitkan. Maklumlah, selama itu Fang
Fang belum juga dapat dirobohkan. Dan ketika mereka merah padam karena pemuda
itu mengurung demikian rapat gulungan sinar tongkatnya dan jarum maupun Tangan
Pedang selalu tertolak bertemu tongkat di tangan pemuda itu maka nenek di
sebelah kiri tiba-tiba membentak.
"Angin meledak ke timur!"
Fang Fang tak mengerti. Nenek di sebelah kiri itu tiba-tiba berjungkir balik
setombak, mundur. Dan ketika adiknya juga melakukan hal yang sama dan keduanya
membiarkan Fang Fang memutar tongkat secepat kitiran tiba-tiba dua nenek itu
bergerak dan tangan mereka melempar granat tangan.
"Heii..!" Fang Fang berteriak keras, baru sadar, kaget bukan main dan
terkesiaplah pemuda ini melihat apa yang terjadi. Kiranya kata-kata tadi adalah
merupakan sandi atau isyarat rahasia di mana si nenek pertama menghendaki
saudaranya melepas granat, jengkel karena dirinya belum dapat dirobohkan. Dan
karena Fang Fang baru tahu setelah granat dilepas ke arahnya maka pemuda ini tak
dapat berbuat banyak dan tongkat dilempar untuk menghantam granat pertama.
Granat yang kedua Fang. Fang tak tahu harus berbuat bagaimana lagi. Saat itu dia
gugup dan pucat. Apa yang dilakukan dua nenek ini sungguh di luar dugaan dan
keji, mereka benar-benar hendak membunuhnya dan tak malu-malu berbuat curang,
curang dan licik. Namun ketika Fang Fang berjungkir balik meledakkan granat
pertama dan pucat melihat granat kedua tiba-tiba berkelebat bayangan gurunya
yang sudah membentak menangkap granat kedua.
"Tahan!" Granat kedua tak jadi meledak. Granat ini masih di udara ketika tahu-tahu sudah
tertangkap oleh si Dewa Mata Keranjang itu, digenggam namun akhirnya dilempar ke
kiri. Dan ketika granat itu meledak dan Fang Fang sudah selamat disambar gurunya
maka Dewa Mata Keranjang melayang turun dan hinggap bagai seekor burung garuda
besar. "Ah, kalian kiranya...!" si kakek berseru, berkejap-kejap. "Kau, Bi Giok" Dan kau,
Bi Hwa?" Dua nenek itu, yang dipanggil Bi Giok dan Bi Hwa tertegun. Mereka sudah
berhadapan dengan orang yang mereka cari-cari ini namun mereka bengong. Dewa
Mata Keranjang yang sudah tua itu ternyata masih gagah juga, garis-garis
ketampanannya tak lenyap dan tiba-tiba terisaklah mereka berdua. Kegagahan dan
ketampanan Dewa Mata Keranjang ini mengingatkan mereka akan kisah belasan tahun
yang lalu, kisah-kisah indah namun berakhir dengan menyakitkan. Dan ketika kakek
itu tertegun dan menyapa mereka, mata berkejap dan berseri-seri tiba-tiba kakek
itu sudah menyambar mereka dan tertawa bergelak.
"Ha-ha, kalian ini, Bi Hwa" Aih, masih cantik-cantik dan tidak kelihatan tua!
Ah, kalian semakin matang dan sempurna saja. Ha-ha, setelah aku tahu siapa musuh
muridku maka tak perlu aku membunuh! Ha-ha!" kakek itu memeluk, langsung saja
menciumi keduanya dan dua nenek yang terisak itu tiba-tiba menangis. Entah
bagaimana tiba-tiba saja bertemu dengan kakek ini mendadak semua kemarahan
mereka lenyap. Dewa Mata Keranjang sudah menyambut mereka dengan begitu gembira
dan ciuman-ciumannya itu pun amat membahagiakan. Kakek ini mengecup sedikit
cuping telinga mereka, hal yang paling amat mereka sukai. Maklumlah, ciuman itu
mudah membangkitkan birahi dan menangislah mereka tersedu-sedu di dekapan kakek
ini, yang telah memeluk mereka. Dan ketika semua kemarahan lenyap dan Fang Fang
melongo melihat gurunya menundukkan dua nenek-nenek ini dengan mudah maka
berkelebatlah bayangan Ming Ming bersama gurunya. Cazwat, eh.... gawat!
"Cing Bhok, siapa mereka ini" Kau main cium dan peluk di bawah sini" Jahanam,
sebutkan siapa dua nenek-nenek tua bangka ini, Cing Bhok. Dan katakan apa
artinya ciuman dan pelukanmu kepada mereka ini!"
Cing Bhok, si Dewa Mata Keranjang terkejut. Kakek itu berhenti mencium dan Fang
Fang melihat gurunya sedikit gugup. Tapi ketika kakek itu tertawa dan melepas
lengan Bi Giok untuk menyambar lengan nenek ini, subo Ming Ming maka kakek itu
berkata mendinginkan suasana, "Eh, inilah mereka Bi Giok dan Bi Hwa. Dua enci
adik yang terkenal dengan julukan Siangkiam-ciang. Ha-ha, mereka kekasih
kekasihku pula, May-may. Sama seperti dirimu sejak belasan tahun yang lalu.
Marilah, kalian sama-sama milikku dan kita bergembira di puncak!"
"Siapa ini?" nenek di sebelah kanan, Bi Giok, melepaskan dirinya. "Kau ada
hubungan apa dengannya, Cing Bhok" Dia .... dia sudah lama tinggal di sini?"
"Ah, sabar dulu," si kakek tertawa berkata. "Dia dan kalian sama-sama bagiku, Bi
Giok. Dia adalah Sin-mauw Sin-ni Ang Hoa May. Aku pernah bercerita tentang dia
dan kalian tentu ingat."
"Sin-mauw Sin-ni" Wanita tak tahu malu yang meninggalkan suaminya itu?"
"Hush, itu sudah lewat, Bi Giok. Tak perlu mengungkit-ungkit urusan lama karena
kalian sama-sama mencintaiku. Ha-yo, kita ke puncak dan bersenang-senang di
sana!" "Tidak! nenek ini tiba-tiba membentak. "Kami datang hanya mau berdua denganmu,
Cing Bhok. Kalau kau masih menganggap kami sebagai orang-orang yang masih kau
cintai maka usir wanita tak tahu malu ini. Kami emoh bersamanya!"
"Eh, jangan begitu. Aku..."
"Tar!" Sin-mauw Sin-ni tiba-tiba meledakkan rambutnya, marah bukan main. "Dua
tua bangka ini tak tahu diri, Cing Bhok. Kalau kau menghendaki mereka ke puncak
maka aku yang melarang. Usir mereka atau biar kubunuh... siut!" dan rambut yang
berkelebat ke depan menghantam nenek Bi Giok tiba-tiba sudah meledak dan
mengeluarkan suara seperti petir, dahsyat menyambar dan sekali menyambar sudah
langsung menuju kening. Sekali kena tentu nenek itu bakal terjungkal, roboh
dengan kening pecah! Tapi ketika nenek Bi Giok berkelit dan mendengus marah maka
nenek May-may sudah melengking dan mengerahkan ginkangnya untuk berkelebatan dan
menyerang bertubi-tubi "Tar-tar!" Pertandingan tak dapat dicegah lagi. Dewa Mata Keranjang berteriak-teriak namun
nenek May-may tak menghiraukan. Dia terlampau marah dan sakit oleh kata-kata
lawannya ini, pernyataan bahwa dia meninggalkan suami untuk mendapatkan Cing
Bhok, Dewa Mata Keranjang ini. Dan ketika dia melengking dan rambut bersiutan
naik turun dengan menjeletar-jeletar maka nenek itu sudah menyerang lawannya
tanpa ampun, terpaksa disambut lawan dan bergeraklah nenek Bi Giok dengan gusar.
Nenek ini memaki dan menangkis. Dan ketika Kiam-ciang atau Tangan Pedang menolak
lecutan rambut maka nenek Bi Giok sudah membalas dan berkelebatan cepat pula.
"Tar-tar!" Nenek May-may marah bukan kepalang. Rambutnya terpental dan kini lawan
menggerakkan kedua tangannya, mainkan Siangkiam-ciang atau sepasang Tangan
Pedang dan mendesing-desinglah kedua tangan nenek ini menyambar nenek May-may.
Dan ketika pertempuran semakin seru dan keduanya tampak berimbang tiba-tiba
nenek Bi Hwa yang tampak tak sabar dan marah kepada nenek May-may juga
berkelebat dan membantu adiknya.
"Keparat, biar kita selesaikan urusan ini secepatnya, Giok-moi. Kubantu kau dan
kita bunuh siluman ini.... singg!"
Dewa Mata Keranjang terkejut. Kakek ini melihat nenek May-may sudah dikeroyok
dua, berteriak dan menyuruh nenek Bi Hwa keluar. Tapi ketika nenek itu malah
mempercepat gerakannya dan pukulan-pukulan Tangan Pedang kian bersuitan dan
menyambar tak kenal ampun maka baju nenek May-may mulai robek terbabat
"Bret!" Nenek May-may menjerit. Ming Ming yang melihat subonya menjadi marah namun
terdesak tiba-tiba bergerak maju, menyerang, membentak dan sudah mainkan
rambutnya pula menghantam dua nenek itu. Tapi ketika si nenek mendengus dan
Tangan Pedang menyambut rambutnya tiba-tiba kembali rambut gadis ini putus,
"Tas!" "Tas!" Ming Ming bergulingan. Gadis ini menjerit dan nenek Bi Giok membentak. Nenek itu
mengejar dan menyerang Ming Ming. Dan karena Ming Ming tak dapat menangkis
karena sedang bergulingan maka Fang Fang yang terpaksa maju dan menangkis
pukulan nenek ini, berkelebat. membentak.
"Plak!" Nenek itu terpental. Ming Ming selamat melompat bangun dan nenek itu melengking.
Tapi ketika Fang Fang dibentak gurunya agar mundur, tak mencampuri urusan itu
maka pemuda ini menyambar kekasihnya untuk diajak menjauh.
"Jangan ikut-ikut, mundur!"
Fang Fang mengangguk. Memang dia tak akan ikut-ikut kalau saja Ming Ming tidak
maju. Kekasihnya itu diserang dan jelas dia harus membantu, karena Ming Ming
bukanlah lawan si nenek lihai. Dan ketika nenek itu melengking namun Fang Fang
menjauh tak mau melayani maka di sana nenek satunya, saudaranya, terpental
ketika beradu sama kuat dengan lawannya.
"Dukk!" Suara itu menggetarkan semua orang. Nenek May-may melengking dan berkelebatan
lagi menyambar-nyambar, rambutnya menjeletar-jeletar dan bangkitlah kemarahan
nenek yang menyerang Ming Ming tadi. Maka begitu saudaranya didesak dan nenek
ini memekik tiba-tiba dia kembali sudah mengeroyok nenek May-may.
"Plak-dess!" Nenek May-may terhuyung. Sekarang dua orang lawannya itu kembali maju berbareng,
rambutnya ditahan dan terdesaklah nenek ini karena mereka sebenarnya berimbang,
kalau satu lawan satu. Dan ketika rambut bertemu Tangan Pedang ian baju nenek
May-may kembali robek terbabat maka di sana Ming Ming mulai berteriak,
"Locianpwe, tolong. Bantu subo!"
"Hm!" Dewa Mata Keranjang bingung, mengangguk tapi akhirnya menggeleng. "Subomu
belum terdesak hebat, Ming Ming Kalau aku membantu dikhawatirkan subomu
tersinggung." "Tapi subo sudah terdesak, mereka itu curang!"
"Benar," Fang Fang menimpali. "Locianpwe Sin-mauw Sin-ni tak dapat bertahan
lama, suhu. Kau harus membantu atau menghentikan pertandingan ini!"
"Hm, bagaimana, ya?" si kakek garuk-garuk kepala. "Membantu yang satu maka yang
lain pasti marah, Fang Fang. Aku harus berhati-hati kalau tak mau keduanya
meninggalkan aku!" "Tapi dua nenek itu ganas, juga curang Mereka tak malu melakukan keroyokan!"
"Hm, nanti dulu. Sabar...!" dan si kakek yang menggeleng serta manggut-manggut
akhirnya memandang dan mengamati pertempuran, melihat keadaan sudah berobah
dengan keadaan yang amat mengkhawatirkan di pihak si nenek May-may. Kakek ini
mau maju tapi rupanya masih maju mundur, maklumlah, dua nenek ganas itu juga
kekasihnya. Jadi mereka bertiga adalah orang-orang yang dicintanya dan tak
mungkin membela yang satu tanpa menghiraukan perasaan yang lain. Dan ketika
nenek May-may terpelanting dan akhirnya bergulingan oleh tamparan Tangan Pedang
maka, Ming Ming meloncat lagi dan tak tahan untuk melihat subonya yang sudah
terdesak hebat. "Kalau begitu aku akan mengadu jiwa ...!" namun Fang Fang yang menyambar serta
menangkap lengannya buru-buru men cegah dan menarik gadis itu, berteriak pada
gurunya atau pemuda itu mengancam akan maju membantu. Dewa Mata Keranjang
melotot dan merah mukanya. Dan ketika dia masih ragu juga maka kali ini nenek
May-may memaki padanya. "Cing Bhok, kau jahanam keparat. Sudah tahu aku begini masih saja kau berdiri di
situ. Awas kau, tak mau aku dekat lagi denganmu!"
"Hi-hik!" si nenek Bi Hwa tertawa. "Kau maju berarti memusuhi kami, Cing Bhok.
Daripada dimusuhi dua orang kukira sebaiknya dimusuhi seorang saja. Biarkan
siluman ini mampus, dan kami akan menggantikannya melebihi dia!"
"Keparat, kalian tak malu-malu merebut kekasih orang" Kalian mau merampas
suamiku?" "Hi-hik, Cing Bhok adalah suamiku, May-may. Justeru kaulah yang merampas dia
dari kami berdua. Kau meninggalkan suamimu untuk mengejar-ngejar kepunyaan orang
lain. Cih, kau tak tahu malu mengaku!"
"Tar-tar..!" dan nenek May-may yang melengking penuh benci tiba-tiba membentak
dan menerjang gusar, rambut menotok namun nenek Bi Hwa dan Bi Giok menangkis.
Dan karena dua orang itu mengerahkan tenaganya dan dua lawan satu jelas lebih
kuat yang dua maka rambut nenek May-may kali ini putus. "Prat!"


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rambut itu tinggal setengah! Nenek May-may memekik dan gusar membanting tubuh
bergulingan, tak dapat menyerang lagi karena lawan sudah mengejar dan
menyerangnya. Dan ketika nenek itu terpaksa melepas jarum-jarum rahasia untuk
mengusir lawan maka di sana Fang Fang tak tahan dimaki kekasihnya.
"Kau bantu subo atau aku mampus di tanganmu!"
Terpaksa, karena Ming Ming sejak tadi meronta-ronta dan memang nenek May-may
sudah terdesak dan semakin tertekan maka Fang Fang mendorong tubuh Ming Ming
untuk berkelebat membantu nenek May-may. Tapi baru dia bergerak setengah tindak
tiba-tiba gurunya berkelebat dan mendahului, menampar pundaknya.
"Minggir!" dan Fang Fang yang girang tapi mengeluh kesakitan akhirnya
terpelanting dan melihat gurunya bergerak ke depan, cepat bukan main dan kedua
tangan gurunya itu sudah mengibas ke kanan kiri. Dan ketika nenek Bi Hwa maupun
Bi Giok menjerit terpekik kaget maka mereka terlempar dan roboh terguling-
guling. "Aduh... des-dess!"
Nenek May-may kini meloncat bangun. Nenek itu mendelik melihat Dewa Mata
Keranjang baru menolongnya sekarang, setelah rambutnya terbabat putus. Maka
begitu kakek ini mendorong nenek Bi Hwa dan adiknya dan dua nenek itu terguling-
guling di sana mendadak nenek ini memekik panjang dan... menyerang kakek itu.
"Kau suami jahanam. Kau kekasih tak setia.... tar-tar!" dan pundak si kakek yang
sudah dilecut ujung rambut hingga memuncratkan lelatu api sudah membuat kakek
ini berseru kaget, untung mengerahkan sinkangnya dan rambut itu terpental balik.
Memang Dewa Mata Keranjang ini lihai dan lecutan rambut tadi mengenai tubuhnya
yang tiba-tiba keras seperti besi. Namun ketika nenek May-may justeru semakin
gusar karena ini berarti membuatnya semakin malu tiba-tiba nenek itu menerjang
dan menyerangnya kembali bertubi-tubi, menjejakkan kaki dan sudah berkelebatan
mengelilingi kakek ini. Dewa Mata Keranjang sudah dimaki-maki dan diserang
gencar, kaget kakek itu. Dan ketika di sana nenek Bi Hwa maupun Bi Giok juga
melengking dan marah kepadanya, karena mereka tadi dilempar dan didorong kakek
ini maka keduanya sudah bergerak cepat dan... menyerang kakek ini pula.
"Hei-heii..!" si kakek berteriak-teriak. "Kalian gila, Bi Giok" Kalian tidak
waras" Aku tidak melukai kalian, aku hanya memisah! Ayo berhenti dan jangan
menyerang!" "Keparat, siapa mau menuruti omonganmu, Cing Bhok. Kau telah membantu kekasihmu
ini dan menyerang kami. Berarti kau harus dibalas dan dibunuh. Aih, kami akan
mencincangmu dan baru kau tahu rasa.... crat-dess!" dan Tangan Pedang yang
bergerak membacok kakek ini tiba-tiba terpental ketika hanya merobek lengan
baju, sudah tertolak dan nenek Bi Giok menjerit. Dia menyerang lagi namun kali
ini si kakek membentak. Dan ketika Dewa Mata Keranjang menyambut dan tiga
pukulan sekaligus diterima kedua tangannya tiba-tiba dari kedua lengan kakek ini
menyambar kilatan sinar putih yang segera berdentum menerima pukulan-pukulan
ganas nenek-nenek itu. "Des-dess!" Nenek-nenek itu mencelat semua. Mereka mengeluh karena Dewa Mata Keranjang
mengeluarkan ilmunya yang disebut Pek-in-kang (Awan Putih). Dan karena kakek itu
memang lihai dan sejak dulu tiga orang ini bukanlah lawannya maka mereka
terlempar dan terguling-guling mengeluh di sana, merintih dan Dewa Mata
Keranjang berkelebat, menotok mereka seorang demi seorang. Dan ketika ketiganya
terkejut dan mengejang maka hanya dalam satu gebrakan ini saja tiga nenek-nenek
itu lumpuh! "Cing Bhok, kau jahanam tak tahu malu. Ah, bunuhlah kami berdua dan kami tak
takut mati!" "Benar, kaupun boleh bunuh aku, Cing Bhok. Dan jangan harap mendapat
pelayanananku lagi!"
"Ah!" si kakek menyeringai, tersenyum kecut. "Kau selalu begini, May-may. Dan
kalian pun juga begitu. Hm, tak ada di antara kalian yang akan kubunuh. Kalian
harus tunduk dan tak boleh bermusuhan lagi, sama-sama kekasihku!"
"Tak sudi!" nenek May-may melengking. "Kau tinggal pilih aku atau mereka, Cing
Bhok. Dan jangan harap mengajakku bersama mereka!"
"Benar!" nenek Bi Hwa kini berseru, marah berapi-api. "Aku pun tak mau bersama
si May-may itu, Cing Bhok. Lebih baik mati daripada berkumpul dengan wanita yang
pernah meninggalkan suami!"
"Keparat!" nenek May-may memaki. "Kaupun bukannya wanita baik-baik, Bi Hwa. Kau
pun bekas pelacur yang sudah dipermainkan banyak lelaki. Jangan sok suci atau
aku akan menghantammu kalau bebas!"
"Cih, siapa takut" Aku bukan pelacur, May-may. Aku dan adikku wanita baik-baik
yang ditipu si Cing Bhok ini. Kalau ia bukan Dewa Mata Keranjang tak mungkin
kami berdua menjadi begini!" dan ketika keduanya cekcok mulut dan saling memaki
maka Dewa Mata Keranjang di sana tersenyum bingung dan menggoyang-goyang lengan.
"Sudah... sudah! Tak ada di antara kalian yang salah. Akulah yang menyebabkan
semuanya ini. Tapi aku bertanggung jawab, aku siap mengambil kalian semua asal
tidak bermusuhan lagi!"
"Tak sudi!" nenek May-may masih melengking. "Kau boleh bebaskan aku tapi bunuh
dua pelacur itu, Cing Bhok. Atau kau bunuh aku dan dapatkan mereka!"
"Keparat! Sundal betina ini bermulut tajam, Cing Bhok. Kau bunuh kami atau
lenyapkan si sundal itu!"
"Siapa sundal" Kalianlah yang pelacur, kalian tak tahu malu dan merampas kekasih
orang. Aih, kalian busuk dan omongan-pun seperti kentut!" dan ketika tiga nenek
itu kembali saling membentak dar marah-marah maka Ming Ming sudah meloncat
menghampiri subonya. "Aku minta subo dibebaskan, atau aku akan menyerangmu!"
"Hei, gila?" kakek ini berseru. "Kau di sini dan jangan mendekat, Ming Ming.
Biarkan aku membawa mereka dan kalian berdua di sini!" kakek itu bergerak, tiba-
tiba menepuk pundak Ming Ming dan terlemparlah si gadis ke arah Fang Fang. Dan
ketika Fang Fang terbelalak menerima kekasihnya dan Ming Ming menangis memaki-
maki maka kakek itu berkelebat dan tahu-tahu menyambar tiga nenek ini, dipanggul
dan dibawa terbang ke puncak dan segeralah terdengar keluhan atau rintihan.
Nenek Bi Hwa dan Bi Giok merasa girang dipanggul berdua, berarti mereka
bersintuhan dan rasa hangat menjalar di kulit. Tapi ketika nenek May-may memaki-
maki dan sepanjang jalan nenek ini tak mau sudah akhirnya nenek itu ditotok dan
tak dapat memaki-maki lagi. Selanjutnya Fang Fang tak tahu karena suhunya sudah
terbang ke puncak, membawa tiga nenek-nenek itu. Dan ketika keadaan menjadi
hening dan Fang Fang harap-harap cemas maka Ming Ming disambar dan dibawa pula
ke puncak, terbang menyusul sang guru!
"Heii..!" Ming Ming terkejut. "Kau mau ke mana, Fang Fang" Mau kau apakan aku?"
"Kita ke puncak, melihat keadaan!"
"Tapi suhumu melarang! Dan aku, ah .... lepaskan aku, Fang Fang. Jangan
digendong!" "Kenapa?" "Aku... aku malu. Turunkan!" dan Ming Ming yang menyepak-nyepakkan kakinya sambil
meronta akhirnya apa boleh buat lalu diturunkan pemuda itu, tadi digendong dan
muka gadis ini merah padam. Kalau saja Fang Fang menggendongnya tidak ke puncak
barangkali dia mau. Tapi, ah... di sana itu ada subonya, juga dua nenek Bi Hwa dan
Bi Giok, di samping si Dewa Mata Keranjang sendiri. Apa kata mereka kalau
melihat dia digendong" Dua nenek itu pasti akan mengejeknya habis-habisan. Dan
teringat bahwa gurunya disebut sebagai wanita yang meninggalkan suami tiba-tiba
muka gadis ini menjadi merah padam dan entah kenapa dia malu terhadap Fang Fang!
"Nah," Fang Fang kini berkata, sudah melepaskan gadis itu. "Kita naik ke atas,
Ming Ming. Susul dan lihat mereka!"
"Aku... aku tak mau bersamamu. Kau pergilah sendiri!"
"Heh"!" Fang Fang tak mengetahui perasaan gadis ini tentang subonya, terkejut
"Apa kau bilang" Kau sinting?"
"Tidak, aku.... aku malu kepadamu, Fang Fang. Aku sementara ini ingin sendiri.....!"
"Tapi aku, ah..!" Fang Fang menyambar gadis ini lagi, mencengkeram lengannya.
"Kau jangan bersikap aneh-aneh, Ming Ming. Aku jadi tak mengerti dan heran akan
kata-katamu ini. Kau mainmain. Kau...."
"Plak!" Ming Ming tiba-tiba menampar pemuda itu, mengagetkan si empunya kepala.
"Kau turut kata-kataku atau aku tak mau bertemu lagi denganmu, Fang Fang. Kita
pergi sendiri-sendiri dan jangan sentuh aku!"
Fang Fang mendelong. Pemuda ini be-ngap dengan pipi merah ketika digaplok tadi,
Fang Fang hampir tak percaya dan membuka mata lebar-lebar. Tapi ketika gadis itu
terisak dan melompat pergi tiba-tiba Fang Fang seakan digigit kalajengking.
"Fang Fang, aku bersungguh-sungguh. Jangan buat aku marah kalau tak ingin
hubungan kita putus!"
"Tapi... tapi..." pemuda ini lompat mengejar. "Aku tak bersalah apa-apa, Ming Ming.
Aku tetap mencintamu. Wo-ai-ni!"
"Aku tahu, tapi gurumu membuat malu guruku. Sudahlah, nanti kita bicara lagi dan
biar aku ke atas, sendiri!"
Fang Fang terkejut. Ming Ming melepas jarum-jarum merah ke arahnya, menyuruh dia
berhenti. Dan ketika dia mengelak dan otomatis berhenti, membiarkan gadis itu
sendiri ke atas maka Fang Fang tertegun dan bengong terlongong-longong, tak tahu
apa sebenarnya yang telah terjadi di hati kekasihnya itu. Ming Ming mendadak
berubah begitu rupa dan dia melenggong. Tapi karena tak ingin membuat marah dan
dia menunggu di bawah maka tak lama Fang Fang mendengar teriakan-teriakan di
puncak, dak-duk-dak-duk suaranya pertempuran dan pemuda ini terkejut. Dia ingin
ke atas tapi teringat ancaman Ming Ming, apa boleh buat terpaksa menunggu dan
menunggu saja. Dan ketika bentakan-bentakan atau lengkingan nenek May-may
terdengar disusul bentakan-bentakan atau lengkingan nenek Bi Hwa dan Bi Giok
maka di puncak terdengar dentuman lagi dan tiga nenek itu rupanya terlempar,
mengeluh dan terguling-guling dan Fang Fang mendengar maki-makian mereka. Dia
tak takut keselamatan gurunya karena terbukti gurunya dapat menundukkan tiga
nenek-nenek itu. Tapi ketika dia merasa cemas dan gelisah akan nasib Ming Ming
tiba-tiba berkelebat bayangan merah bersama bayangan hitam, rambut nenek May-may
yang riap-riapan. "Cing Bhok, lain kali aku kembali. Awaslah, dendamku tak akan padam!"
Fang Fang terkejut. Nenek itu tiba-tiba berkelebat turun gunung dan terbang ke
bawah dengan amat cepatnya, sebentar saja sudah berada di sampingnya dan lewat
menyambar. Dan ketika Fang Fang berteriak tapi nenek ini menghantam maka Fang
Fang terpelanting dan terlempar bergulingan.
"Heii.... dess!"
Fang Fang kaget bukan kepalang. Si nenek melengking dan telah melepas pukulan
maut, untung dikelit dan terlemparlah Fang Fang oleh angin sambaran nenek itu.
Dan ketika dia berteriak dan meloncat bangun mendadak si nenek berhenti dan
kembali menyerangnya, ganas.
"Kaupun seperti gurumu. Enyah!" Fang Fang memekik. Tentu saja dia menangkis dan
kali ini si nenek tergetar. Namun ketika nenek itu mendelik dan siap menyerang
lagi tiba-tiba Ming Ming berteriak menyambar subonya, menangis.
"Sudah... sudah. Kita pergi atau subo akan melihat mayatku di sini!" dan Ming Ming
yang tersedu-sedu menarik tangan gurunya lalu membawa gurunya meluncur ke bawah
gunung, membuat Fang Fang bengong namun tiba-tiba pemuda itu berteriak, turun
mengejar. Tapi ketika Ming Ming membentak dan melepas jarum-jarum merah maka
gadis itu berkata bahwa untuk sementara mereka pisah.
"Gurumu membuat malu subo. Pergi dan jangan ikuti kami!"
Fang Fang terkejut. Otomatis dia mengelak dan meruntuhkan jarum-jarum itu, yang
dapat dikebut runtuh. Dan ketika Fang Fang bengong dan terkesima di tempat maka
Ming Ming dan gurunya sudah jauh di bawah gunung.
"Ming Ming, wo-ai-ni (aku cinta padamu). Sebutkan kapan kita bertemu dan
berjumpa lagi!" Namun si gadis tak menjawab. Ming Ming akhirnya lenyap dan menghilang di sana,
Fang Fang hanya mendengar sedu-sedannya saja. Dan ketika pemuda itu bengong dan
kecewa maka bayangan gurunya berkelebat dan menepuk pundaknya.
"Fang Fang, tak usah kecewa. Kelak kaupun akan bertemu lagi!"
"Tapi..." pemuda ini mendekap dada sendiri, mengeluh. "Aku amat mencintainya,
suhu. Aku benar-benar kecewa, amat kecewa!"
"Sudahlah, kekecewaan itu akan hilang ditelan waktu, A-fang. Kau percayalah
kata-kata gurumu karena akupun sebenarnya kecewa ditinggal May-may!"
"Tapi suhu dapat pengganti!"
"Hm, kau iri" Mendapat pengganti yang ini juga belum tentu seenak yang
kausangka, A-fang. Mereka itu wanita-wanita keras yang tak mudah ditekuk!"
"Tapi mereka sudah menemani suhu. Lihat, itu mereka datang!" dan ketika dua
bayangan nenek itu berkelebat dan benar saja sudah berada di situ maka Dewa Mata
Keranjang membalik dan tersenyum menyeringai, menyambut dua nenek-nenek ini dan
Fang Fang terbelalak melihat suhunya tanpa malu-malu memeluk mereka, mencium dan
mengecup menyuruh mereka kembali, ke atas atau ke puncak gunung. Dan ketika dua
nenek itu tampak cemberut dan memandang Fang Fang maka Bi Giok, nenek di sebelah
kiri menggeram. "Muridmu ini harus dihajar. Dia berani kepadaku!"
"Eit-eit. sabar!" si Dewa Mata Keranjang tertawa. "Jangan terburu nafsu, Bi
Giok. Dia berani melawan kalian karena tak tahu siapa kalian. Muridku ini tak
apa-apa. Tapi kalau kalian ingin menghajarnya sedikit biarlah kulakukan. Hei...!"
kakek itu tiba-tiba membalik, menendang muridnya. "Kau pergi jauh-jauh, A-fang.
Jangan ganggu kami bertiga atau nanti aku membunuhmu, dess!" dan Fang Fang yang
mencelat serta terlempar tinggi tiba-tiba mendengar bisikan gurunya, lembut dan
halus, lewat ilmu mengirim suara dari jauh, "Fang Fang, jangan dekat-dekat kami
dulu. Aku harus mendinginkan mereka. Turunlah di bawah gunung dan latihlah ilmu-
ilmu silat yang sudah kauterima dariku!"
Fang Fang mengangguk. Kalau dia tidak mendengar bisikan gurunya barangkali dia
akan merasa marah kepada gurunya itu. Maklumlah, dia bisa salah paham menganggap
gurunya tak sayang murid, enak saja menyiksa dan menendang dirinya. Tapi begitu
gurunya berbisik lembut dan senyum atau pandang mata gurunya meminta agar dia
mengerti maka Fang Fang mengangguk dan berjungkir balik melayang turun, pura-
pura terbanting dan membalas bisikan gurunya bahwa dia mengerti. Dan ketika
gurunya tertawa bergelak dan girang bahwa muridnya dapat mengerti, tahu keadaan
maka Dewa Mata Keranjang itu tiba-tiba berkelebat dan terbang ke puncak,
menyambar dua nenek nenek cantik itu.
"Ha-ha, lihat. Aku telah menghajar muridku, Bi Giok. Ayo kita ke puncak dan
sekarang jangan marah!"
Fang Fang tersenyum. Dia geleng-geleng kepala melihat tingkah gurunya ini. Tadi
berdua-duaan dengan nenek May-may sekarang sudah ganti pacar. Bukan main gurunya
itu, tak tanggung-tanggung, dua orang sekaligus! Dan ketika Fang Fang tersenyum
dan menggeleng berulang-ulang maka hari-hari berikut dilalui pemuda ini dengan
agak masygul. Dia sendirian di bawah gunung sementara gurunya berhangat-hangat
di puncak. Ah, tak adil. Mau rasanya dia memprotes! Tapi ketika Fang Fang
teringat bahwa gurunya adalah Dewa Mata Keranjang, julukan yang sudah
menunjukkan watak gurunya itu maka pemuda ini tersenyum saja dan menarik napas
panjang pendek, di bawah gunung berlatih silat dan dua tiga hari tak ada apa-
apa. Nenek Bi Giok maupun Bi Hwa sekarang tampak baik. Gurunya tampak
menggandeng mesra dua orang kekasihnya itu. Fang Fang tak tahu bagaimana cara
gurunya membagi waktu. Sebentar ke nenek Bi Hwa dan sebentar ke nenek Bi Giok.
Ah, repot dia membayangkan itu. Tapi ketika hari keempat muncul seorang nenek
lain dan marah-marah mencari gurunya, seperti dua nenek pertama dan sebelumnya
maka puncak geger lagi oleh mengamuknya nenek ini. Berturut-turut gurunya
kedatangan nenek-nenek cantik, semuanya sudah di atas limapuluhan namun harus
diakui bahwa mereka masih segar-segar. Bahkan yang keempat ini memiliki payudara
yang besar dan montok! Sekarang Fang Fang mulai memperhatikan "kelebihan-
kelebihan" lawan gurunya itu, yang ternyata juga kekasih suhunya dan menuntut
pertanggungjawaban. Dan ketika suhunya tertegun memandang nenek ini dan nenek Bi
Giok maupun Bi Hwa tentu saja cemburu maka pertengkaran hebat tak dapat dicegah
lagi. Aneh dan terulang seperti dulu bahwa gurunya diam saja tak membantu nenek Bi
Giok atau Bi Hwa. Agaknya, gurunya sudah jatuh hati dan "mengincar" nenek yang
baru ini, yang bernama Bhi Cu, nenek lihai yang tak kalah dengan nenek-nenek
lainnya. Dan ketika pertandingan hebat terjadi di antara nenek itu dengan nenek
Bi Hwa atau Bi Giok tiba-tiba gurunya membantu dan turun tangan membela nenek
terakhir ini. Hal yang tentu saja membuat marah nenek Bi Hwa maupun Bi Giok di
mana mereka akhirnya menyerang kakek itu, si Dewa Mata Keranjang yang selalu
tergiur bila kedatangan kekasihnya yang baru. Tapi karena mereka bukanlah lawan
si Dewa Mata Keranjang dan kakek itu dengan mudah mengalahkan mereka maka nenek
Bi Hwa maupun Bi Giok akhirnya meninggalkan gunung, lari mengancam gurunya.
Persis seperti nenek May-majy dulu. Dan ketika Fang Fang tertegun klan melihat
nenek ini sudah digandeng gurunya, yang tak perduli atau acuh lagi terhadap
nenek Bi Hwa maupun Bi Giok maka Fang Fang menggeleng kepala berulang-ulang.
"Bukan main.... bukan main...." katanya seorang diri. "Bagaimana suhu dapat memiliki
kekasih demikian banyak" Dan bagaimana dia mengumpuli semuanya itu" Ah, kau
laki-laki istimewa, suhu. Kalau tak istimewa pasti kau tak mampu melayani
mereka!" Fang Fang kagum. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa laki-laki macam gurunya
amatlah hebat. Bagaimana tidak" Bukankah gurunya habis bermesra-mesraan dengan
nenek Bi Hwa dan Bi Giok" Dan sebelum itu tentunya harus melayani pula nenek
May-may. Padahal sebelum nenek May-may gurunya itu berduaan dengan nenek Lin


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lin! Wah, gurunya hebat dan luar biasa. Barangkali patut disebut perkasa karena
baru kali ini Fang Fang tahu kekasih-kekasih gurunya itu. Empat orang! Tapi
ketika Fang Fang geleng-geleng kepala dan mengira cukup, hal yang tak diketahui
mendadak saja seminggu dua minggu kemudian berdatangan wanita-wanita lain.
Semuanya nenek-nenek dan cantik-cantik. Fang Fang hampir tertawa. Dan ketika
semuanya itu ditundukkan gurunya dan mereka roboh satu per satu, yang lama
digantikan yang baru maka pada nenek kesebelas Fang Fang baru mendapat bagian.
Artinya dia mendapat pacar baru, seperti gurunya!
Saat itu, setelah Fang Fang berulang kali naik turun menerima nenek-nenek yang
marah maka pagi itu setelah nenek ke sepuluh dia kedatangan tamu. Mudah diduga
bahwa tamu baru kali inipun pasti seorang perempuan, nenek-nenek, tapi cantik!
Dan ketika Fang Fang menghadang di bawah gunung, karena dia sekarang mendapat
tugas dari gurunya agar selalu waspada di bawah maka bayangan hitam berkelebat
bersama bayangan kuning. "Hm, mencari suhuku si Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok?" Fang Fang langsung
mendahului, sudah hafal. "Kalian siapa, locianpwe" Dan ini, hmm... muridmu?" Fang
Fang tertegun, melihat seorang gadis cantik menyertai nenek itu. Sekarang tiba-
tiba kegembiraannya timbul. Hampir empat bulan ini dia "kekeringan", tak
ditemani cewek! Dan ketika nenek itu tertegun dan gadis baju kuning juga tampak
terkejut, heran, maka nenek itu terbelalak tak dapat bicara.
"Kau siapa?" gadis baju kuning tiba-tiba membentak, meloncat maju. "Ada apa
menghadang di sini dan bertanya tentang maksud tujuan kami?"
Fang Fang tergetar. Setelah sekian lama ditinggal Eng Eng maupun Ming Ming maka
kerinduannya terhadap seorang gadis tak dapat ditahan. Dia tergetar dan kagum
akan suara dan kecantikan gadis i-ni, tersenyum dan menjura manis. Dan ketika si
gadis mengerutkan kening namun Fang Fang tak perduli maka pemuda ini menjawab,
tertawa, "Namaku Fang Fang. Suhuku adalah Tan Cing Bhok si Dewa Mata Keranjang. Kalau
nona atau nenek ini memang datang sengaja mencari guruku maka kebetulan
kukatakan bahwa suhuku sibuk, tak mau diganggu."
"Hm, kau murid si Cing Bhok jahanam itu?" si nenek kini maju membentak, bentakan
yang sudah dihapal Fang Fang karena begitulah biasanya makian nenek-nenek yang
datang, tak pernah bersahabat dan selalu memusuhi gurunya. Dan ketika Fang Fang
mengangguk dan tersenyum, memasang kewaspadaan maka nenek itu bergerak dan tahu-
tahu sudah menudingkan telunjuknya tepat di depan hidung si pemuda.
"Heh, katakan pada gurumu bahwa Lui-pian Sian-li (Dewi Cambuk Kilat) Yan Bwee
Kiok datang ingin menagih hutang. Antarkan kami kepadanya atau kau mampus!"
"Hm!" Fang Fang tersenyum, bersinar-sinar. "Jadi locianpwe adalah Lui-pian Sian-
li Yan Bwee Kiok" Bagus, suhu pernah menunggu-nunggu kedatanganmu, locianpwe.
Tapi sayang sekarang tak dapat diganggu. Sebaiknya kau datang besok atau
bersabar menemaniku di sini menunggu panggilannya."
"Apa" Kau minta ditemani?"
"He-he, maaf. Maksudku ditemani bercakap-cakap, locianpwe. Kita berkenalan lebih
lanjut dan...." "Wut-plak!" Fang Fang tiba-tiba menghentikan kata katanya, melihat si nenek
berkelebat dan melengking marah. Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok tiba-tiba
menghantam, melepas satu kebutan maut ke muka pemuda ini. Namun ketika Fang Fang
mengelak dan menangkis, menggetarkan dirinya maka nenek itu terbelalak dan tiba-
tiba membentak menerjang marah.
"Bagus, kiranya kau cukup lihai... wut-wut!" dan si nenek yang berkelebatan
melepas pukulan-pukulannya tiba-tiba dikelit dan dihindari Fang Fang dengan
mudah, melompat ke kiri kanan dan si nenek penasaran. Fang Fang sudah mulai
terbiasa menghadapi nenek-nenek lihai, pertandingannya dengan nenek Lin Lin
maupun yang lain-lain telah semakin mematangkan kepandaian pemuda ini. Maka
begitu si nenek Cambuk Kilat menyerang dan melepas pukulan-pukulan ganas segera
saja Fang Fang mundur dan berkelit sambil menangkis, mulut mendecak mengeluarkan
pujian kagum dan si nenek tentu saja gusar. Pemuda ini seolah menghadapi lawan
ringan yang tak dipandang sebelah mata, lincah berkelit dan menangkis. Dan
ketika nenek itu membentak marah dan merasa tersinggung tiba-tiba dia mencabut
Lui-piannya dan meledaklah sebuah cambuk bagai petir menggelegar di udara.
"Subo, jangan bunuh. Serahkan pemuda ini padaku!" gadis baju kuning, yang tiba-
tiba berteriak dan kaget melihat gurunya mencabut Cambuk Kilat tiba-tiba
berkelebat dan maju berseru nyaring. Dia sudah melihat kepandaian Fang Fang dan
diam-diam kagum, maklumlah, pemuda itu dapat melayani gurunya yang belum
mencabut senjata. Tapi begitu gurunya mencabut Lui-pian dan Cambuk Kilat ini
menjeletar mengejutkan siapa saja maka gadis itu cepat-cepat meloncat dan
berteriak maju, minta agar gurunya mundur dan nenek itu tertegun. Sang murid
berkata bahwa tak pantas pemuda ini dihadapi olehnya, seorang tokoh. Dan ketika
gadis itu berkata melanjutkan bahwa biarlah murid bertemu murid dan gurunya
menyimpan tenaga untuk berhadapan dengan si Dewa Mata Keranjang maka gadis ini
telah mengambil alih pertempuran dan sudah menyerang Fang Fang.
"Kau pemuda tak tahu aturan. Berani menyambut guruku seperti itu... plak-plak!"
dan gadis ini yang bergerak dengan kedua tangan menampar tiba-tiba telah melepas
pukulan dan mengenai pundak Fang-Fang, pedih dan panas dan Fang Fang kagum,
terbelalak. Dengan cepat dia sudah diserang si cantik ini, bengong terlongong-
longong. Dan ketika Fang Fang malah ah-oh-ah-oh mengagumi si cantik yang sedang
marah maka sebuah tamparan keras meledak di samping telinganya.
"Tar!" Fang Fang terpelanting. Tamparan itu seperti sambaran petir di kepala, meledak
dan kagetlah pemuda itu ketika dia terguling-guling. Dan ketika si cantik
mengejar dan berseru bahwa dia akan dihajar maka Fang Fang bergulingan meloncat
bangun mengelak sebuah serangan lagi
"Dess!" Asap mengebul tebal. Fang Fang terbelalak melihat kehebatan sinkang gadis ni,
cukup menggetarkan namun dia tidak takut. Sekarang Fang Fang tertawa bergelak
dan sadar akan kekagumannya. Dia tadi terlalu kagum memandang wajari cantik itu,
pipi yang kemerah-merahan dan mata yang berapi-api. Mata itu bagi Fang Fang
begitu hidup dan mempesona, dia tak habis-habisnya mengagumi dan lengah menerima
tamparan-tamparan lawan. Tapi ketika si gadis telah meledakkan pukulannya yang
panas di bawah telinga dan Fang Fang sadar bahwa dia tak harus bengong saja maka
pemuda ini bergerak dan mulai menangkis, tertawa memuji lawan dan gadis itu
terkejut. Sekarang pemuda ini mengimbangi ke manapun dia bergerak. Kian cepat
dia bergerak kian cepat pula lawannya itu mengimbangi. Dan ketika semua pukulan-
pukulannya akhirnya luput tak dapat mengenai tubuh lawan maka si nona terpekik
dan menjerit kaget. "Plash!" Pukulannya mengenai angin kosong. Sekarang Fang Fang mengelak dan mendahului
serangannya, terdorong seperti kapas dan gagallah pukulan gadis itu. Dan ketika
Fang Fang tertawa dan berseri-seri berkelebatan sana-sini maka pemuda itu mulai
bertanya siapa nama gadis ini.
"Ha-ha, kita boleh mainmain sepuasnya, nona. Tapi perkenalkan dulu siapa namamu.
Kau tahu siapa aku, begitu pula namaku. Masa aku tak boleh mengenal calon
sahabatku dan siapa namanya" Ha-ha, pukulanmu hebat, nona. Tapi, ah .... luput!"
Gadis itu merah padam. Dia terkejut bukan main ketika Fang Fang mulai bergerak-
gerak aneh. Pemuda ini melayang naik turun di sela-sela pukulannya, terdorong
dan tertiup seperti segumpal kapas saja. Dia tak tahu bahwa Fang Fang
mempergunakan Sin-bian Ginkangnya (Ilmu Meringankan Tubuh Kapas Sakti), yang
dapat membuat pemuda itu seringan kapas dan tentu saja semua pukulan atau
serangan-serangan lawan luput. Sebelum mengenai pemuda ini tentu tubuh Fang Fang
terdorong lebih dahulu, jadi sulit dipukul. Dan ketika gadis itu terpekik
sementara gurunya di sana terkejut dan terbelalak maka nenek itu, Lui-pian Sian-
li Yan Bwee Kiok berseru,
"Ceng Ceng, pergunakan Lui-pianmu. Mainkan Lui-pian-hoat (Silat Cambuk Sakti)!"
"Tapi dia tak bersenjata!" gadis ini ragu, menunjukkan wataknya yang lembut.
"Pemuda ini bertangan kosong, subo. Dan aku malu mencabut senjata!"
"Ha-ha, tak perlu malu!" Fang Fang tiba-tiba telah mengenal nama gadis itu. "Kau
bernama Ceng Ceng, nona" Ah, manis dan indah, secantik orangnya! Ha-ha, cabut
senjatamu, nona. Dan mainkan Lui-pian-hoat biar kulihat sampai di mana
kehebatannya!" "Keparat!" gadis ini membentak. "Kau berani menghina aku" Jahanam, jangan
salahkan aku kalau Cambuk Kilat menghanguskan dadamu, Fang Fang. Kau tekebur dan
sungguh sombong.... tar!" dan sebatang cambuk yang tiba-tiba telah dilepas dan
ditarik dari ikat-pinggang gadis ini tiba-tiba meledak dan menjeletar bagai
petir membelah bumi. Fang Fang terkejut karena suara cambuk itu tak kalah hebat
dengan si nenek, tanda agaknya gadis lnipun tak berselisih jauh dengan gurunya,
kalau memainkan cambuk. Dan ketika benar saja cambuk mulai menjeletar-jeletar
dan ledakan-ledakan bagai petir memekakkan telinga maka sebuah lecutan akhirnya
mematuk tubuh Fang Fang. "Tar!" Fang Fang mendesis. Dia harus menambah sinkangnya ketika lecutan ujung cambuk
menyengat pedih, untung dia dapat bertahan dan segera pemuda ini mempergunakan
lagi ilmu meringankan tubuhnya itu, Sin-bian Ginkang. Dan ketika cambuk
menyambar-nyambar namun tubuh Fang Fang selalu mendahului dan melayang-layang
maka gadis baju kuning itu terkejut dan membelalakkan mata. Pemuda ini tak dapat
diserang meskipun dia sudah mainkan cambuknya. Semakin nyaring cambuk
menjeletar-jeletar semakin cepat pula lawannya itu bergerak-gerak aneh. Fang
Fang akhirnya mengapung dan beterbangan tak menginjak tanah, bukan main. Persis
seperti kupu-kupu atau capung menari-nari. Dan ketika gadis ini kaget dan
gurunya berseru tertahan di sana maka Fang Fang mulai membalas dan melancarkan
serangan-serangannya! "Ha-ha, sekarang gantian, Ceng Ceng. Aku menyerang dan kau bertahan!"
Si gadis terkejut. Fang Fang mulai menggerakkan kedua lengannya dan tubuh yang
mengapung bagai capung menari-nari itu mulai bergerak menyambar-nyambar. Ceng
Ceng tersentak ketika lengan pemuda itu tahu-tahu terjulur ke depan, di depan
hidungnya, menotok dan barangkali mau mencoblos. Ah! Dan ketika dia mengelak
namun Fang Fang tertawa merobah gerakannya maka cambuk tahu-tahu ditangkap dan
dibetot. "Awas!" Ceng Ceng terpekik. Dia menjerit ketika cambuk terbetot, tertarik dan mau
dirampas pemuda itu. Namun ketika dia melepas tendangan dan Fang Fang mengelak
ke kiri maka cambuk dilepas dan pemuda itupun beterbangan lagi.
"Ha-ha, hati-hati, Ceng Ceng. Aku akan mengincar senjatamu!"
Gadis ini pucat. Dia malu tapi juga marah bukan main karena Fang Fang sekarang
mempermainkannya. Pemuda itu jelas lebih tinggi dan gadis ini melengking. Dan
ketika dia membentak dan cambuk menyambar-nyambar bagai naga murka namun Fang
Fang berkelit dan menyelinap bagai belut yang licin maka cambuk kembali
tertangkap dan kali ini malah dekat gagangnya.
"Lepaskan!" Ceng Ceng terkesiap. Lawan tidak hanya mencengkeram gagang cambuk tapi juga
menjentik jalan darah di pergelangan tangannya. Urat gadis ini seketika kaku dan
Ceng Ceng kesemutan. Dan ketika tanpa terasa cambuk di tangannya terlepas dan
Fang Fang menarik maka pemuda itu berjungkir balik mendapatkan senjata lawan.
"Ha-ha, kau kalah. Cukup kita mainmain!"
Namun bentakan menggetarkan tiba-tiba membuat Fang Fang terkejut. Nenek Bwee
Kiok yang marah melihat muridnya kalah mendadak sudah berkelebat maju, ledakan
bagai petir mengiringi gerakan nenek itu dan menyambarlah sinar kilat ke kepala
pemuda ini. Fang Fang mendengar suara ledakan yang membuat gendang telinganya
seakan pecah! Dan ketika pemuda itu berkelit namun sinar kilat ini mengejar dan
memburunya maka tangan kiri si nenek juga melepas hantaman jarak jauh membantu
kejaran cambuknya itu, sinar kilat yang dilihat Fang Fang.
"Plak-dess!" Fang Fang terhuyung. Si nenek sudah membentak lagi dan menyerang, cepat dan
ganas dan bertubi-tubilah ledakan cambuk dimainkan nenek ini. Dan ketika Cambuk
Kilat berkelebatan di segala penjuru dan Fang Fang melihat permainan cambuk yang
amat lihai maka totokan a-tau patukan sudah menyentuh tubuhnya berkali-kali, apa
boleh buat pemuda ini pun mengerahkan Sin-bian Ginkangnya lagi dan
beterbanganlah pemuda itu mengikuti gerakan lawan. Si nenek sudah melihat ilmu
meringankan tubuh ini dan melengking, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
sendiri dan berkelebatanlah nenek itu mengimbangi Fang Fang. Dan ketika dua
tubuh sambar-menyambar dan cambuk atau pukulan-pukulan si nenek selalu mengejar
dan mengikuti Fang Fang maka apa boleh buat pemuda ini terpaksa menggerakkan
cambuk rampasannya menyambut cambuk lawan.
"Tar-tarr!" Si nenek mendelik. Fang Fang ternyata mampu mainkan cambuk seperti dia, sedikit
melihat saja tahu-tahu berhasil mencontoh. Bukan main marahnya nenek itu. Dan
ketika cambuknya meledak-ledak lagi namun cambuk di tangan Fang Fang juga
menyambut dan menyambar-nyambar maka nenek ini semakin mendelik melihat
cambuknya berkali-kali terpental bertemu cambuk di tangan si pemuda, yang sudah
menirukan dan mampu melakukan gerakan-gerakan dasar sebuah ilmu silat cambuk!
"Keparat, kau peniru ulung, bocah. Tapi aku akan membunuhmu!"
Fang Fang tertawa. Sebenarnya dia mainkan ilmu silat Naga Merayu Dewi, tongkat
diganti cambuk dan bergeraklah pemuda ini dengan luwes. Fang Fang memang pemuda
serba bisa dan akhir-akhir ini pertandingannya dengan banyak nenek-nenek lihai
membuat kemajuan pesat pada pemuda itu. Fang Fang mulai pandai meniru-niru
gerakan lawan berdasar melihat gerakan dasarnya saja, jadi kembangannya atau
variasinya dicipta sendiri, hasil sebuah otak yang tentu saja harus cemerlang.
Dan ketika si nenek memaki-maki namun cambuk atau gerakan naik turun pemuda itu
selalu menghalau serangan si nenek maka Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok ini marah
bukan kepalang. "Aku akan membunuhmu.... aku akan membunuh!"
Namun kata-kata atau ancaman ini tak pernah terbukti. Fang Fang sudah
beterbangan di sekeliling lawannya, si nenek tobat karena sekarang tubuh pemuda
itu tak dapat disentuh, berkat Sin-bian Ginkang. Dan ketika nenek itu mendengus-
dengus dan muridnya tiba-tiba membentak membantu gurunya akhirnya Fang Fang
dikeroyok dua, bukan main!
"Ha-ha, majulah, nona. Maju dan keroyoklah aku. Ha-ha, bagus. Pertandingan
semakin ramai dan cucuran keringatku bakal semakin hangat!"
Guru dan murid terbelalak. Dikeroyok dua seperti inipun ternyata pemuda itu
dapat tertawa-tawa dan melayani mereka dengan baik. Satu bukti betapa lihainya
pemuda ini. Apalagi si Dewa Mata Keranjang, gurunya! Dan ketika nenek itu
mengeluh dan Ceng Ceng, gadis baju kuning terkejut dan kagum bukan main maka
pada saat itu berkelebatlah sebuah bayangan mendorong mereka bertiga.
"Hei, apa yang kaulakukan ini, A-fang" Kau menyambut tamu dengan pertandingan"
Berhenti, dan jangan kurang ajar.... dess!" dan mereka bertiga yang tiba-tiba
tertolak dan terdorong mencelat tiba-tiba bergulingan dan kaget meloncat bangun,
melihat seorang kakek berdiri di situ dan kakek yang bertubuh sedang namun gagah
ini sudah bersinar-sinar memandang mereka, tertegun dan membelalakkan mata
lebar-lebar ketika melihat si nenek cantik, Lui-pian Sian-Ii Yan Bwee Kiok. Dan
ketika kakek itu mengenal dan tertawa bergelak, hal yang mengejutkan Ceng Ceng
maka kakek itu menghilang dan tahu-tahu sudah menyambar subonya, menangkap
lengan Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok.
"Ha-ha, kau kiranya, Bwee Kiok" Kau yang datang ini" Ah, selamat datang. Dan
selamat bertemu lagi... cup!" si kakek langsung mendaratkan ciuman, mesra dan
hangat dan Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok tertegun. Nenek itu terkejut dan
membelalakkan matanya. Tapi ketika tangannya disambar dan sudah diciumi si Dewa
Mata Keranjang ini pula maka kakek itu memeluk dan meremasnya lembut.
"Ah-ah, selamat datang, Bwee Kiok.... selamat datang...!"
Si nenek tak dapat berkata apa-apa. Sambutan dan sikap si Dewa Mata Keranjang
yang demikian hangat dan penuh kemesraan membuat nenek itu lupa akan
kebenciannva. Sebenarnya dia datang seperti nenek-nenek yang lain, ingin
membalas sakit hati karena dipermainkan si Dewa Mata Keranjang itu. Tapi begitu
si Dewa Mata Keranjang menciumi mukanya dan tangan itupun diremas-remas lembut
maka hilanglah kemarahan si nenek terganti luapan rasa haru dan cinta!
"Cing Bhok, kau... kau tidak mencari aku" Kau kejam membiarkan aku begitu saja
menderita?" "Ah, ha-ha! Kau salah, Bwee Kiok. Kau salah! Aku tidak bisa mencarimu kalau kau
tidak datang sendiri. Mana mungkin aku mencarimu kalau kau menghilang dan tidak
diketahui ke mana" Dulu sembilanbelas tahun yang lalu kau pergi tanpa memberi
tahu ke mana pergimu, Bwee Kiok. Mana mungkin aku mencarimu" Lagi pula, kalau
aku mencari, dan menemukan, belum tentu kau mau menerima aku! Ah, ini pertemuan
yang menggembirakan. Aku masih mencintaimu dan mari kita ke puncak!"
Si nenek menangis tersedu. Segala kemarahannya tiba-tiba lenyap dan hilang
begitu saja. Orang yang dicari-cari masih menyatakan cintanya dan Dewa Mata
Keranjang itupun membuktikannya dengan kecupan dan ciuman lembut. Ah, itu yang
memang dia cari. Cinta kasih! Kasih sayang! Tapi ketika si nenek mengangguk dan
mau dibawa ke puncak mendadak seperti yang sudah-sudah, kebiasaan yang selama
ini berlangsung mendadak saja muncul seorang nenek lain, wanita ke sepuluh yang
lima hari ini "ngendon" di puncak, bersama si Dewa Mata Keranjang. Dan ketika
Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok tentu saja terkejut dan tertegun maka seperti
yang sudah-sudah pula percekcokan di antara tiga orang ini tak dapat dihindarkan


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Nenek itu marah-marah dan memaki-maki si Dewa Mata Keranjang, menerjang
dan menyerang Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok, yang tentu saja tak mau diserang
dan segera membalas. Dan ketika dua nenek itu bertempur tapi Dewa Mata Keranjang
Tan Cing Bhok akhirnya berpihak, membantu kekasih barunya maka nenek itu
menjerit dan akhirnya turun gunung, lari meninggalkan si Dewa Mata Keranjang,
menyumpah-nyumpah. "Keparat, kubunuh kau, Cing Bhok. Awas sakit hatiku di belakang hari. Ah,
keparat kau. Jahanam!"
Ceng Ceng, gadis baju kuning bengong. Baginya itu adalah pemandangan pertama
kali. Mukanya merah padam melihat itu. Lain dengan Fang Fang yang sudah mulai
biasa, "kebal". Dan ketika si nenek Bwee Kiok akhirnya dapat dibujuk dan dibawa
ke atas, seperti yang sudah-sudah maka Fang Fang tertawa melihat tingkah laku
gurunya ini. "Suhu memang luar biasa. Kalau bukan Dewa Mata Keranjang tentu tak mungkin
melakukan itu, ha-ha!"
Ceng Ceng melotot. Dia membentak dan memaki pemuda itu, menganggap Fang Fang tak
tahu malu. Dan ketika dia mau mengikuti subonya namun dicegah maka subonya itu
berkata agar dia menunggu di bawah gunung.
"Dewa Mata Keranjang adalah suami subomu. Kami hendak banyak bicara di puncak,
jangan mengganggu. Sebaiknya kau tunggu di sini dan tunggu aku turun!"
Tapi, kapan nenek itu turun" Kerinduan dan cintanya terhadap Dewa Mata Keranjang
tak dapat dibendung. Dewa Mata Keranjang telah berhasil membujuk dan membelai
nenek ini. Hatinya dihangatkan oleh cinta kasih yang ditunjukkan si kakek. Hebat
sekali. Dewa Mata Keranjang memang ternyata jagoan dalam merayu wanita. Pergi
yang lain dapat yang baru. Luar biasa! Dan ketika nenek itu roboh ke dalam
pelukannya dan kerinduan serta kecintaan yang dipendam-pendam belasan tahun
tentu saja tak reda dalam pertemuan satu dua hari maka Fang Fang mendapat
keberuntungan baru menemani Ceng Cengt-Tadinya, gadis ini tak mau. Ceng Ceng
cemberut dan selalu menekuk muka. Tapi karena Fang Fang pandai merayu dan melucu
(eh, ketularan gurunya!) tiba-tiba saja gadis ini mau tersenyum setelah Fang
Fang melucu tentang kembang.
"Eh, kembang apa yang paling kau suka, Ceng Ceng" Melati atau mawar?"
Si gadis cemberut, tak mau menjawab.
"Ha-ha, kalau aku melati, Ceng Ceng. Karena kembang melati bisa mengharumkan
hati! Sedang mawar, hmm... gawat-gawat sangar. Kena durinya tentu kita marah
berkobar-kobar! Ha-ha, aku suka melati, melati putih yang memikat hati. Eh, kau
suka ini, Ceng Ceng" Ambillah, letakkan di tempat tidurmu!"
Ceng Ceng tergerak, bangkit. "Tempat tidur" Memangnya kau tahu aku punya tempat
tidur di sini?" "Eh!" Fang Fang terkejut, sadar, tiba-tiba tertawa. "Maaf, aku lupa, Ceng Ceng-
Tapi di manapun kau tidur itulah yang kumaksudkan tempat tidurmu. Ha-ha, bagi
kita orang-orang persilatan begini maka tempat tidur bisa berupa tempat yang
empuk atau keras, tak jadi soal. Tapi kalau kau tidur dan kembang-kembang melati
ini kauletakkan di bawah kepalamu maka rambutmu tentu harum dan sepanjang pagi
kau akan selalu segar dan cantik seperti bidadari!"
"Hm, kau merayu?"
"Eh, siapa merayu" Kau cantik dan anggun, Ceng Ceng. Seperti bidadari. Eh,
tidak. Melebihi bidadari! Aku yakin kau melebihi bidadari karena bidadari yang
tercantik pun masih kalah denganmu!"
Gadis ini semburat merah, girang tapi juga malu. Dia diam saja karena sedikit
omongannya tadi telah disambut derai omongan Fang Fang. Pemuda ini segera
berkicau seperti burung. Dan ketika dua tiga hari kemudian Ceng Ceng mulai
lembut dan suka mendengarkan cerita-cerita pemuda ini maka hari kedhipat Fang
Fang sudah menyatakan cintanya. Cinta kilat, eh, barangkali kilat khusus! Dan
karena selama ini diam-diam gadis itu sudah menaruh kagum dan suka, kagum karena
Fang Fang berkepandaian amat tinggi dan suka karena pemuda itu sering melucu dan
berwatak humor, humoris yang tampan maka gadis ini cepat sekali dirobohkan Fang
Fang yang mulai lihai menemukan titik-titik lemah kaum wanita! Sebentar saja
pemuda itu berhasil menundukkan hati si gadis, merebut cintanya. Dan ketika dua
minggu kemudian Fang Fang sudah tertawa-tawa menemukan pengganti kekasihnya yang
lama maka untuk Ceng Ceng ini Fang Fang sudah semakin berani.
Dua kali pacaran membuat Fang Fang pandai menekuk hati wanita. Pemuda itu mulai
melihat perbuatan-perbuatan gurunya di puncak, kalau secara diam-diam dia
mengintai dan mengamati apa yang diriakan gurunya itu. Dan ketika Fang Fang
mulai tahu dan mengerti apa yang harus dilakukan lelaki kalau berduaan dengan
wanita maka hari itu Fang Fang bujuk kekasihnya untuk menikmat, hubungan seks,
sesuatu yang berani! 00o-dw-o00 Jilid : VI "APA?" Ceng Ceng kaget sekali, merah padam. "Kau... kau mau melakukan itu" Kau...
kau tak malu?" "Ah," Fang Fang menunduk, meraih kekasihnya ini. "Aku dan kau akan menjadi suami
isteri, Ceng Ceng. Aku akan menjadi suamimu dan kau menjadi isteriku. Aku hanya
berkata apa yang ingin kulakukan, kalau kau tak suka maka aku tak akan memaksa."
"Tapi... tapi..." gadis ini terisak. "Itu .... itu terlarang, Fang Fang. Tak boleh
dilakukan kalau kita belum menjadi suami isteri!"
"Hm, pikiran kolot!" Fang Fang mengejek, tertawa menertawakan gadis ini. "Lihat
apa yang dilakukan suhu dan subo kita, Ceng Ceng. Adakah mereka sudah terikat
perkawinan sah" Adakah mereka sudah sebagai suami isteri sah" Belum, suhu atau
subo kita belum terikat seresmi itu, Ceng Ceng. Tapi mereka sudah melakukan
lebih dari suami isteri! Mereka melebihi kita!"
"Fang Fang...!" Ceng Ceng terpekik, kaget dan marah bukan main. "Kau menjelek-
jelekkan orang-orang tua" Kau memburuk-burukkan mereka itu?"
"Hm, orang tua sebagai contoh, Ceng Ceng. Dan kita yang muda-muda hanya
mengikuti. Tapi aku tak seperti mereka. Aku akan menikahimu secara resmi dan
tidak menjadikan dirimu seperti subomu?"Plak!" Ceng Ceng tiba-tiba menjerit, menampar pemuda itu. "Kau dosa memburuk-
burukkan orang tua, Fang Fang. Kau kuwalat. Kau, ah...!" dan gadis itu yang tak
dapat meneruskan kata-katanya saking marah dan gemas tiba-tiba membalik dan
meloncat pergi. Fang Fang telah ditampar tapi pemuda itu hanya mengusap pipinya
saja, tak marah. Dan ketika untuk beberapa saat Fang Fang membiarkan gadis itu
sendirian dan semalam dua malam mereka tak bertatap muka maka di sana Ceng Ceng
terpukul dan marah serta heran akan sikap Fang Fang ini. Dia merasa aneh tapi
juga kagum pada kekasihnya itu. Fang Fang tidak memaksa. Pemuda itu meminta
baik-baik dan akan mau melakukannya kalau diapun suka, tak menolak. Dan ketika
semalam dua malam itu Ceng Ceng diganggu perasaannya yang tak keruan dan kata-
kata si pemuda terngiang tak habis-habisnya maka Ceng Ceng bingung tapi melihat
ada benarnya juga kata-kata pemuda itu.
"Lihat suhu dan subo kita. Adakah mereka resmi sebagai suami isteri, Ceng Ceng"
Adakah mereka terikat perkawinan yang sah" Tidak, mereka tak berstatus seperti
itu. Mereka ya hanya kekasih di luar nikah, tapi sudah berani melakukan hubungan
badan! Bukankah ini melebihi kita karena aku tak bermaksud seperti itu" Aku
ingin kita menikmati masa-masa indah kita, Ceng Ceng. Dan setelah itu resmi
menikah. Aku tak akan membuat dirimu seperti subomu. Aku menjadi suamimu dan kau
menjadi isteriku, suami isteri sah, bukan kumpul kebo!"
Ceng Ceng merah padam. Dia malu tapi harus mengakui kejujuran pemuda ini, juga
keberaniannya. Bayangkan, Fang Fang terang-terangan ingin mengajaknya begituan,
tak memaksa melainkan menginginkan agar hal itu dilakukan mereka berdua atas
dasar suka sama suka. Hebat, pemuda ini dapat menahan diri dan Ceng Ceng sama
sekali memang tidak diganggunya. Sikap seorang pemuda yang memang cukup dianggap
luar biasa. Jujur dan terus terang namun amat berani, bahkan membandingkan diri
sendiri dengan yang tua-tua! Dan karena yang tua-tua memang termasuk "kumpul
kebo" sedang Fang Fang tak bermaksud seperti itu maka Ceng Ceng gundah dan dua
malam tak dapat tidur, hanya menangis dan menangis saja tapi dua hari tak
bertemu Fang Fang akhirnya menyiksa juga. Ciuman dan belaian pemuda itu tak
didapatnya lagi. Ah, dia butuh itu! Dan ketika Ceng Ceng bolak-balik di atas pembaringannya dan berkali-kali dia menahan sedu sedan yang naik ke dada tiba-
tiba malam itu Fang Fang membuka pintu kamarnya, perlahan.
"Ceng Ceng...!"
Gadis ini terkejut. Fang Fang telah berdiri di situ penuh kerinduan. Ah, dia pun
sebenarnya rindu dan tak dapat menahan perasaan hatinya itu. Tapi ketika
teringat bahwa Fang Fang mengajak melakukan hal-hal yang memalukan mendadak
gadis ini beringas dan meloncat bangun, lenyap segala kerinduannya itu.
"Kau mau apa" Mau kurang ajar" Pergi, pergi, Fang Fang. Jangan dekat-dekat di
sini!" "Aku mau minta maaf," Fang Fang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, mengejutkan
si nona. "Aku datang bukan untuk mengajakmu yang tidak-tidak, Ceng Ceng.
Melainkan meminta maaf dan ingin melihat dirimu. Aku rindu!"
Ceng Ceng tergetar hebat. Suara dan pandang mata Fang Fang sungguh menusuk
jantungnya. Pemuda itu menatapnya lembut dan suaranya pun penuh getaran rindu.
Fang Fang telah menyatakan kangennya dan tak mungkin dia harus marah. Pemuda itu
tak berbuat apa-apa, hanya ingin minta maaf dan melihat dirinya, karena rindu.
Dan ketika Ceng Ceng terisak dan tertegun membelalakkan mata maka Fang Fang
sudah bangkit berdiri dan menggenggam lengannya.
"Ceng Ceng, aku tak pernah memaksa untuk melakukan itu. Aku hanya sekedar
menyatakan keinginan, kalau boleh. Kalau tidak maka aku juga tak akan membujukmu
atau mempergunakan kekuatanku. Jangan khawatir, haram bagiku memaksa wanita,
Ceng Ceng. Apalagi kau adalah kekasih sendiri'"
"Ooh.." Ceng Ceng mengguguk, akhirnya menubruk pemuda ini. "Aku... aku takut, Fang
Fang. Aku tak berani. Aku tak dapat memenuhi permintaanmu!"
"Kalau begitu ya sudah, aku tak memaksa. Hm, sekarang boleh aku menciummu,
bukan" Boleh aku melepas rindu?"
"Kau... kau mau apa?"
"Menciummu, kalau boleh..."
"Ooh...!" dan si gadis yang tersedu mengangkat mukanya tiba-tiba mengguguk dan
mengangguk, menyerah. Kalau hanya cium saja tentu boleh asal tidak lebih. Fang
Fang meminta itu dan dia juga butuh itu, tak dapat disangkal. Dan ketika Fang
Fang gembira meraih kekasihnya ini dan mengangkat dagu yang runcing lembut tiba-
tiba murid si Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok ini telah mencium, mesra.
"Ceng Ceng, aku rindu padamu!"
"Ooh...!" si gadis tersedu, balas menyambut. "Aku... akupun rindu padamu, Fang Fang.
Akupun rindu...!" Fang Fang terbang ke sorga. Bersama kekasihnya menikmati saat-saat indah begitu
sungguh benar-benar mengasyikkan dan "syur". Ah, siapa tak ingin begini dan
mengulang terus" Tapi ketika Fang Fang mulai menggerayang dan sedikit tetapi
berani dia menjamah bagian bawah tiba-tiba Ceng Ceng berjengit dan tersentak.
"Jangan!" "Aku hanya ingin mengusapnya saja..." Fang Fang tersenyum. "Aku ingin membelainya
sedikit, Ceng Ceng. Tidak lebih!"
Ceng Ceng gemetar. Dia tak tahu harus berkata apa pada saat itu. Mau menolak
tapi terus terang dia memang ingin dibelai, diusap. Entah kenapa belaian atau
usapan itu memang menimbulkan perasaan menggigil yang nikmat. Ah, dia memang
menikmati perasaan seperti itu, nikmat yang memabokkan. Dan ketika Fang Fang
mulai mengusap dan perlahan tetapi lembut jari-jari pemuda ini naik ke atas maka
Ceng Ceng mengeluh dan benar-benar panas dingin.
"Fang Fang, jangan... jangan terlalu ke atas!"
"Tidak, aku hanya di bawah-bawah sini saja, Ceng Ceng. Kau lihat!"
Ceng Ceng terbakar. Fang Fang memang tidak melakukannya lebih ke atas tapi itu
sudah cukup membuatnya terangsang hebat. Bagian yang mulai disentuh Fang Fang
ini adalah bagian yang amat sensitif, Fang Fang cerdik untuk terlalu jauh. Dia
amat berhati-hati dan cukup kalau gadis itu sudah tak menolak, diam saja. Dan
ketika pertemuan itu kembali menghangatkan hubungan mereka dan hari-hari berikut
usapan atau jari-jari Fang Fang itu tak dapat dilupakan gadis ini maka tak lama
kemudian, eh... Ceng Ceng mulai membiarkan kalau Fang Fang berbuat semakin jauh.
Fang Fang memang tidak bersikap kasar. Tidak, pemuda ini cukup lembut dan halus
kalau membelai kekasihnya. Dan karena kelembutan atau usapan jari-jarinya ini
memang memakai "teknik" seni yang tinggi hingga sedikit tetapi pasti Ceng Ceng
terbawa secara perlahan-lahan maka lima hari kemudian gadis itu sudah tak
menolak lagi ketika Fang Fang menyingkap celananya!
"Kau mau, Ceng-moi" Aku boleh menikmati itu?"
"Oh, tapi... tapi..."
"Aku bertanggung jawab, moi-moi. Kau adalah calon isteriku!"
"Aku, ah... masih takut! Aku, nanti ketahuan subo, Fang Fang.... kita di tempat
terbuka!" Berhasillah sudah! Kalau Ceng Ceng sudah bicara seperti itu maka isyarat lampu
hijau berarti sudah diberikan. Si gadis sudah tidak menolak lagi dan pembicaraan
memakai orang lain. Fang Fang sudah mulai faham akan seluk-beluk wanita, suka
mempergunakan orang lain kalau diri sendiri sebenarnya yang dituju. Dan karena
gadis itu berkata tak ingin di tempat terbuka dan itu berarti harus di tempat
tertutup maka Fang Fang menggendong kekasihnya ini dan berkelebat ke rumpun
bambu. "Di sini kita tak akan ketahuan. Nah, mari kita nikmati masa-masa indah kita dan
jangan takut!" Ceng Ceng mengerang. Hari itu Fang maju sedemikian jauh, mencumbu dan menciumi
dirinya. Dan ketika keduanya terlibat keasyikan semakin dalam dan Fang Fang
untuk pertama kali mengalami nikmat luar biasa maka keduanya sama-sama sudah
mempertaruhkan kejejakaan atau keperawanan mereka!
Fang Fang untuk pertama kalinya merasakan apa yang dinamakan terbang ke sorga.
Hari pertama itu Ceng Ceng kesakitan tapi hari-hari berikut sudah menjadi milik
mereka berdua. Dan karena kenikmatan seks memang sesuatu yang mudah membuat
manusia tergila-gila maka tindakan atau sepak terjang mereka yang tidak kenal
perhitungan akhirnya kemudian membuat Ceng Ceng hamil, dua bulan setelah
pengalaman pertama mereka!
Waktu itu, Ceng Ceng masih belum tahu. Gadis ini merasa pusing-pusing dan ingin
muntah. Semalam Fang Fang tidur bersamanya dan pagi itu dia bangun duluan. Fang
Fang mendengkur dan masih terbang bersama mimpinya. Mereka memang mabok dan Ceng
Ceng sekarang sudah tidak malu-malu lagi. Entah bagaimana gadis inipun menjadi
agresip dan tak kalah panas kalau sudah diajak Fang Fang. Tapi ketika pagi itu
Ceng Ceng merasa menggigil dan pusing-pusing maka dia b i ngun duluan dan tiba-
tiba.... huak, dia muntah!
"Eh!" Fang Fang terkejut, bangun dan terjaga. "Ada apa, Ceng Ceng" Kau sakit?"
"Entahlah," gadis ini mengeluh. "Aku tak enak badan, Fang Fang. Kepalaku pusing
dan rasanya ingin muntah-muntah.... huak!" baju Fang Fang kali ini kena semprot,
terkejut dan cepat pemuda itu rae-ngurut-urut tengkuk kekasihnya. Ceng Ceng
menangis dan gelisah. Pagi itu gadis itu merasa tak nyaman dan ingin menangis.
Fang Fang menghibur dan memijat serta mengurut tengkuknya. Tapi ketika gadis itu
kembali muntah-muntah dan Fang Fang bingung akan "penyakit" aneh ini maka dia
menyarankan untuk menemui guru mereka berdua.
"Aneh, sudah diberi obat, juga sudah kutotok. Kenapa tak reda dan malah semakin
menjadi" Ah, kau barangkali terserang penyakit siluman, Ceng Ceng. Barang kali
semalam kita menginjak bekas tapak kaki hantu!"
"Aku tak tahu. Tapi, ah... kepalaku berat, Fang Fang. Aku ingin roboh. Aduh ....!"
gadis itu benar-benar terjerembab, untung disambar Fang Fang dan Fang Fang
terkejut. Ceng Ceng muntah-muntah lagi dan tak mempan diberi obat sakit perut.
Fang Fang gelisah. Dan karena Ceng Ceng semakin mengerang dan merintih tak
keruan maka secepat kijang pemuda ini membawa kekasihnya terbang ke puncak. Tapi
apa yang terjadi" Fang Fang maupun Ceng Ceng tertegun.
Di sana, di puncak yang masih dingin ternyata menunggu guru mereka itu, Lui-pian
Sian-li Yan Bwee Kiok. Nenek cantik ini berkibar bajunya ketika tegak di batu
besar, kokoh dan angker serta penuh wibawa. Bibirnya sedikit pucat dan rupanya
ada kesan marah di wajah yang pendiam itu. Fang Fang tak tahu bahwa semalam
memang timbul pertikaian antara nenek ini dengan si Dewa Mata Keranjang, soal
watak atau sifat si Dewa Mata Keranjang itu, yang tak dapat berobah. Maka ketika
si nenek berkelebat ke batu besar dan kebetulan Fang Fang meng gendong Ceng Ceng
kontan saja alis nenek ini menjelirit naik.
"Ada apa dia" Kenapa kalian ke puncak tanpa dipanggil?"
"Maaf," Fang Fang menurunkan kekasihnya, gelisah. "Ceng Ceng diserang penyakit
siluman, locianpwe. Muntah-muntah dan pusing hebat!"
"Apa?" sang nenek terkejut, seketika waspada. "Muntah-muntah dan menderita
pusing?" "Benar, dia sudah kuobati. Tapi tak mempan!"
"Bawa dia ke mari!" nenek itu memerintah, mukanya mulai berkerut-kerut. "Apa
yang kalian makan semalam" Adakah memakan sejenis jamur atau makanan beracun?"
"Tidak, kami memanggang kelinci, locianpwe. Dan tak pernah memakan jamur atau
makanan lain yang beracun. Di sini tak ada jamur atau kepang beracun!"
"Hm!" sang nenek memeriksa, Ceng Ceng sudah dibawa ke atas. "Pegang ibu jari
kakinya, bocah. Dan biarkan aku menghitung denyut nadinya!"
"Locianpwe tidak segera memberi o-bat?"
"Apakah tidak diperiksa dulu dan baru kemudian diobati" Bodoh, jangan
melancarkan pertanyaan seperti itu, Fang Fang Ikuti perintahku dan pegang ibu
jari kakinya. Awas kalau dia berjengit dan menyepak mukamu!"
Fang Fang meringis. Dia mengangguk dan sudah memegangi ibu jari kaki Ceng Ceng,


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok memeriksa. Dan ketika nenek itu berseru kaget
sementara Ceng Ceng berjengit, benar saja, maka nenek itu mengulang hitungan
denyut nadi sambil memandang muridnya dengan mata terbelalak.
"Kalian... apa yang kalian berdua lakukan?"
Fang Fang tak mengerti. "Kami tak melakukan apa-apa. Ceng Ceng tiba-tiba
menangis dan muntah-muntah."
"Keparat!" nenek itu menggigil, menggeram. Akhirnya sudah dua kali memeriksa dan
muka yang gelap itupun semakin gelap. Dan ketika Fang Fang tak mengerti
sementara Ceng Ceng gelisah memandang subonya maka nenek itu berkelebat dan
langsung menghantam Fang Fang!
"Dia hamil, pasti kau yang melakukannya.... dess!" dan Fang Fang yang mencelat
terlempar oleh pukulan nenek ini tiba-tiba berseru kaget terguling-guling, bukan
kaget oleh pukulan itu melainkan kaget oleh kata-kata nenek ini. Yakni, Ceng
Ceng hamil! Maka begitu dia bergulingan namun si nenek mengejar dan berteriak
nyaring tiba-tiba Fang Fang sudah menghadapi pukulan dan makian bertubi-tubi.
"Keparat, kau pasti yang menggaulinya, Fang Fang. Kau memaksa muridku. Terkutuk,
kubunuh kau.... des-dess!" dan Fang Fang yang mencelat lagi terguling-guling
akhirnya tak dapat melompat bangun karena selalu dikejar nenek ini, dipukul dan
ditendang dan Fang Fang dihajar pulang-balik. Pemuda ini berteriak kaget dan
berulang-ulang minta nenek itu agar menghentikan serangannya. Dia terkejut dan
kaget mendengar berita itu. Tapi ketika si nenek malah marah dan melengking-
lengking maka Fang Fang menerima hujan pukulan hingga sebentar saja babak-belur!
"Hei-hei....!" pemuda ini berteriak-teriak, kalang kabut. "Hentikan seranganmu,
locianpwe. Atau aku akan membalas dan tak mau sudah begini saja!"
"Bagus, boleh kau membalas si tua bangka ini, Fang Fang. Ayo semakin kurang ajar
semakin baik. Nafsu membunuhku akan meningkat!"
Fang Fang kelabakan. Kalau nenek ini sudah marah-marah seperti itu dan ia terus
diserang sungguh berabe. Dia masih terkejut dan seakan tak percaya mendengar
itu. Geledek di siang bolong seakan menghantam telinganya. Dan ketika dia
mengeluh dan meleng tak waspada tiba-tiba sebuah tendangan nenek itu tepat
mengenai belakang kepalanya, dijalu dan Fang Fang terlempar. Si nenek sudah
kalap dan sukar menghentikan sepak terjangnya. Nenek ini benar-benar mengamuk
dan repot bagi Fang Fang untuk menyudahi begitu saja. Maka ketika si nenek
mengejar dan Cambuk Api atau Hwi-pian meledak di tangan nenek ini maka Fang Fang
menggerakkan tangannya sementara Ceng Ceng di sana menjerit.
"Jangan bunuh dia.... tar!"
Fang Fang terguling empat tombak. Disengat dan menangkis ledakan cambuk sungguh
bukan sesuatu yang ringan, apalagi nenek itu dibakar kemarahannya dan Fang Fang
tak berani mengerahkan semua tenaga. Maklumlah, nenek ini kekasih gurunya yang
tersayang, buktinya dapat tinggal di situ hampir tiga bulan, rekor paling "top"
dibanding nenek-nenek sebelumnya. Dan ketika Fang Fang terpelanting terguling-
guling dan bingung serta marah mendadak bayangan gurunya berkelebat dan
membentak. "Bwee Kiok, apa yang kaulakukan ini" Kau marah-marah dan mengamuk seperti orang
gila" Berhenti, jangan serangan muridku.... plak!" dan cambuk yang ditangkap dan
seketika tak mampu bergerak tiba-tiba membuat si nenek histeris, menjerit-jerit
dan meronta untuk menarik cambuknya namun gagal. Dewa Mata Keranjang Tan Cing
Bhok memegangnya begitu erat, kokoh. Dan ketika nenek itu melengking dan
menendang dari bawah maka nenek itu malah terpelanting dan mengaduh.
"Augh!" Si nenek bergulingan meloncat bangun. Cambuknya telah dijepit dan dirampas Dewa
Mata Keranjang, yang berdiri tegak dan bersinar-sinar memandang kejadian itu.
Dan ketika si kakek bertanya a-pa yang terjadi di situ dan nenek ini tidak
menjawab tiba-tiba nenek itu menerjang dan melepas pukulan-pukulan tangan
kosong. "Hei...!" si kakek mengelak sana-sini. "Ada apa semuanya ini, Bwee Kiok" Kenapa
seperti kambing kebakaran jenggot" Berhenti, dan turut kata-kataku!" dan si
kakek yang menjadi marah dan menangkis pukulan si nenek tiba-tiba menggerakkan
jarinya dan robohlah Lui-pian Sian-li oleh totokannya yang lihai, tepat mengenai
bawah ketiak nenek ini dan nenek itu memaki-maki. Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok
menuding-nuding Fang Fang, mengatakan pemuda itu mirip gurunya. Dan ketika kakek
ini tertegun dan menghadapi Fang Fang maka dengan muka merah pemuda itu cepat-
cepat menuding Ceng Ceng, ganti mengalihkan perhatian.
"Masalahnya... masalahnya pada Ceng Ceng. Aku... kami dan dia, eh... dia dan kami,
eh..!" Fang Fang gugup. "Ceng Ceng hamil, suhu. Dan terus terang kuakui bahwa
aku yang melakukannya!"
Si kakek terkejut, tersentak mundur. "Hamil" Kau... kau sudah berani melakukan
itu?" "Maaf," Fang Fang menjatuhkan diri berlutut. "Aku menontonmu setiap hari, suhu.
Dan sepak terjangmu sungguh tak dapat kujauhkan. Aku terpengaruh, kepingin. Dan
karena selama ini tak ada nenek-nenek yang hamil kalau bermain cinta denganmu
maka akupun coba-coba dengan Ceng Ceng dan sungguh di luar dugaan kalau dia
hamil!" "Ha-ha!" si kakek akhirnya tertawa terbahak-bahak, menggetarkan puncak gunung.
"Kau tolol dan gegabah, Fang Fang. Kenapa tidak tanya dulu dan langsung meniru
gurumu" Wah, merayu tidak sama dengan bercinta. Bercinta adalah kelanjutan
merayu, dan pelajaran itu belum kuberikan padamu. Aih, bocah sialan kau, A-fang.
Tapi tak apalah kalau kau bertanggung jawab. Ha-ha, kalau guru kencing berdiri
mana mungkin murid tidak kencing berlari" Maaf.... maaf, Bwee Kiok. Ini
kesalahanku dan kesalahan kita berdua pula. Kita tak waspada kalau sepak terjang
kita dicontoh yang muda. Haih, yang sudah biarlah sudah. Nasi telah menjadi
bubur!" kakek itu tertawa-tawa, membebaskan totokannya pada sang nenek dan tidak
marah kepada Fang Fang. Pemuda itu telah jujur dan mengakui, sikap ini cukup
jantan dan ksatria. Dewa Mata Keranjang tak akan marah kalau muridnya bersikap
seperti itu. Tapi begitu si nenek dibebaskan totokannya dan Fang Fang gembira
karena suhunya tidak marah mendadak nenek itu berkelebat dan menghantam
tengkuknya. "Kau boleh tertawa tapi aku tidak. Jahanam, kubunuh muridmu ini, Cing Bhok. Dan
sejarah yang tua tak akan terulang .... dess!" Fang Fang kaget bukan main,
menerima sebuah pukulan kuat dan terpelantinglah dia oleh pukulan si nenek.
Serangan ini tak diduga karena si nenek tak menunjukkan tanda-tanda menyerang.
Tahu-tahu bergerak ketika Fang Fang sedang berlutut di depan gurunya. Dan karena
Dewa Mata Keranjang juga tak menyangka itu dan si nenek sudah melepas pukulannya
maka Fang Fang muntah darah dan terbanting serta terlempar di sana, pingsan!
"Bwee Kiok!" si kakek terkejut. "Kau melukai muridku" Kau tak berperikemanusiaan
melepas tangan kejam?"
"Keparat, kaulah yang kejam, Cing Bhok. Kau mendidik dan mencetak. muridmu
sebagai Dewa Mata Keranjang yang baru. Daripada dia hidup dan menyakiti banyak
hati wanita biarlah dia kubunuh... srat!" nenek ini mencabut sebuah badik,
langsung menikam dan Fang Fang akan tewas kalau pisau itu mendarat di dadanya.
Ceng Ceng sampai menjerit dan berteriak pingsan oleh perbuatan gurunya itu,
karena kejadian ini amat cepat dan memalukan dia. Tapi begitu si nenek bergerak
dan pisau menyambar tiba-tiba Dewa Mata Keranjang membentak dan melepas pukulan
jarak jauhnya. "Minggir.... plak!" pisau mencelat, patah disusul terpelantingnya nenek itu. Lui-
pian Sian-li kalap dan berteriak meloncat bangun, menerjang dan memaki-maki
kakek itu. Dan ketika si kakek melayani dan maju mundur menangkis serangan-
serangan nenek ini maka Ceng Ceng dan Fang Fang yang pingsan di sana tak tahu
akan adanya bayangan-bayangan yang berkelebat menuju puncak bagai siluman-
siluman haus darah. "Bwee Kiok, berhenti. Berhenti kataku!"
"Keparat, aku berhenti kalau sudah membunuh muridmu, Cing Bhok. Atau kau bunuh
aku sekalian dan biar sakit hati ini impas!"
"Ah, terlalu kau!" dan si kakek yang bergerak naik turun menghadapi serangan si
nenek akhirnya menampar dan menetak pergelangan tangan nenek itu, memukul runtuh
badik di tangan dan jari pun bergerak menotok iga. Dan ketika si nenek menjerit
dan roboh terguling maka saat itu bayangan-bayangan yang berkelebatan ke puncak
sudah datang. "Cing Bhok, kami ingin membalas dendam!"
Cing Bhok, Dewa Mata Keranjang terkejut. Di situ tiba-tiba muncul banyak wanita,
semuanya nenek-nenek cantik bekas kekasihnya. Paling depan sendiri adalah Bhi-
kong-ciang Lin Lin, lalu Sin-mau Sin-ni May-may. Dan ketika berturut-turut
datang nenek Bi Hwa atau Bi Giok maka sepuluh wanita yang pernah dirayu-nya
sudah tiba di situ mengepung dan langsung menerjang.
"Bunuh si tua bangka ini. Serang...!"
Dewa Mata Keranjang terkejut. Didahului bentakan dan pekikan atau lengkingan
tiba-tiba saja Bhi-kong-ciang dan lain-lain itu menggerakkan senjata. Nenek May-
may sudah menjeletarkan rambutnya dan meledaklah segumpal rambut hitam ke
matanya, nyaring bercuit dan Tangan Pedang yang dimainkan nenek Bi Giok maupun
Bi Hwa juga mendesing membacok kepalanya. Hebat semuanya itu, apalagi dilakukan
dalam waktu yang hampir serentak. Dan ketika kakek ini terkejut dan tentu saja
bergerak menangkis maka sepuluh wanita itu terpental tapi dia sendiri terhuyung.
"Des-des-plakk!"
Dewa Mata Keranjang mengeluh. Nenek Lin Lin sudah membentak lagi dan maju
melengking-lengking, sembilan yang lain mengikuti dan bergeraklah sepuluh nenek
itu menyerang kakek ini. Dan ketika semuanya berkelebatan menyambar-nyambar dan
Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok tertegun di sana, membelalakkan mata, tiba-tiba
nenek ini juga melengking dan bergerak menyerang.
"Bagus, kiranya sedemikian banyak kekasih-kekasihmu, Cing Bhok. Ah, kalau begitu
kau patut dibunuh dan tak perlu diampuni.... tar-tar!" dan cambuk nenek ini yang
meledak menyambar dada akhirnya membuat si kakek berteriak-teriak dan bingung
seorang diri. "Hei-hei...!" kakek itu menggerak-gerakkan kedua tangannya, juga kaki yang naik
turun bagai walet beterbangan. "Kalian semua gila, Bwee Kiok. Gila dan tidak
waras! Masa kalian mengeroyok dan benar-benar mau membunuh aku" Hei, lepaskan
senjata kalian, Bwee Kiok. Dan mundur!"
Namun, mana sebelas nenek-nenek itu mau disuruh mundur" Mereka seakan telah
bersepakat bahwa Dewa Mata Keranjang ini harus dibunuh. Hati mereka terlampau
sakit dengan melihat sepak terjang kakek ini. Dulu mereka roboh oleh rayuan
kakek ini, juga ketampanannya, ketika masih muda. Maka begitu semuanya bersatu
dan hati yang sakit diledakkan dalam serangan dan pukulan bertubi-tubi maka Dewa
Mata Keranjang dibuat sibuk dan harus berteriak berulang-ulang.
"Hei, tahan. Jangan serang! Berhenti .... des-dess!" kakek itu terpental, tertolak
oleh sebelas tenaga lawannya dan berjungkir baliklah si Dewa Mata Keranjang tak
berhasil membujuk lawan-lawannya, yang notabene adalah kekasihnya sendiri. Dan
ketika sebelas wanita itu menyerangnya lagi dan membentak marah maka kakek ini
melotot dan tiba-tiba mengeluarkan Sin-bian Cin-kangnya, ilmu meringankan tubuh
Kapas Sakti. "Slap-slap!" Tubuh si kakek lenyap. Dewa Mata Keranjang telah berkelebatan melebihi cahaya,
bentuk tubuhnya tak tampak lagi karena sudah berobah menjadi bayangan yang luar
biasa cepatnya. Senjata atau pukulan-pukulan lawan kalah cepat oleh gerakan
kakek ini, selalu luput dan mengenai angin kosong. Dan ketika kakek itu
mengeluarkan lm-bian-kunnya atau Silat Kapas Dingin di mana kedua tangannya
mulai bergerak-gerak mendorong atau menampar maka sebelas lawannya tiba-tiba
terkejut karena pukulan berhawa dingin mulai menyerang mereka.
"Keparat, tahan napas. Hangatkan tubuh!"
Dewa Mata Keranjang kagum. Sebelas kekasihnya ini tiba-tiba menahan napas dan
mengerahkan sinkang menghangatkan tubuh. Mereka membentak dan berkelebatan
menyerang dirinya, mengelak pukulan-pukulan dinginnya dan membalas atau
menyelinap di antara Im-bian-kunnya itu, hal yang dapat dilakukan karena mereka
berjumlah sebelas, tidak seorang diri di mana lm-bian-kunnya otomatis harus
dipecah, jadi satu lawan sebelas dan tentu saja Im-bian-kun yang tidak sepenuh
tenaga ini dapat dihadapi mereka. Dan ketika mereka berhasil menghangatkan tubuh
dan hawa dingin lm-bian-kun tak berhasil membekukan mereka maka kakek itu
tertawa bergelak memuji lawan, hal yang aneh.
"Bagus, kalian cerdik, Lin Lin. Tapi kalian tak dapat merobohkan aku!"
"Jangan besar mulut!" nenek Lin Lin membentak. "Kalau kami tak dapat
merobohkanmu biarlah kami mati, Cing Bhok. Dan kami akan mempergunakan segala
akal dan daya untuk membunuhmu, sebelum kami sendiri mampus!"
"Ah, kalian jangan terlalu keras. Kalian semua adalah kekasihku, orang-orang
yang kucinta. Masa kalian demikian kejam dan tidak mengingat kenangan manis
kita" Eitt... sabar, Lin Lin. Dan May-may juga... dess!" si kakek mencelat, terbawa
oleh Sin-bian Cin-kangnya dan dua nenek itu kagum. Tadi mereka menyerang dan si
Dewa Mata Keranjang tak dapat mengelak, karena sembilan teman mereka yang lain
menghantam dan melepas pukulan dari kiri dan kanan, juga belakang. Tapi begitu
si kakek mencelat dan berjungkir balik oleh Ilmu Kapasnya yang luar biasa maka
Im-bian-kun sedikit mengendor dan mereka menerjang la;:.;.
"Pecah perhatiannya. Serang muridnya yang pingsan itu!"
Si kakek terkejut. Tiba-tiba nenek berpayudara besar, Bhi Cu, berteriak
memperingatkan teman-temannya. Nenek itu sudah berseru lantang agar Fang Fang
yang menggeletak di tanah diserang, dibunuh. Dan ketika nenek Bi Giok mengangguk
dan tertawa kejam, karena dia yang kebetulan paling dekat dengan pemuda itu
tiba-tiba nenek ini sudah berkelebat dan membacok leher Fang Fang, dengan Kiam-
ciang atau Tangan Pedangnya itu!
"Kau benar," nenek ini berseru. "Membunuh pemuda ini sama halnya melenyapkan
calon mata keranjang yang baru, Bhi Cu. Biarlah kubunuh dia dan kalian tahan si
tua bangka itu... singg!"
Dewa Mata Keranjang terkejut. Kakek itu tiba-tiba mengeluarkan bentakan yang
menggetarkan isi bukit, dahsyat mengaum bagai singa lapar. Dan ketika sepuluh
lawannya menjerit karena mereka tiba-tiba terpeleset mendadak kakek itu sudah
melepas pukulan Awan Putih atau Pek-in-kang ke punggung Bi Giok.
"Enyah kau... dess!" nenek Bi Giok terlempar, jauh terbanting dan menjerit disana,
muntah darah dan terguling-guling. Dan ketika nenek itu mengeluarkan keluhan
kecil dan tidak bergerak, entah mati atau pingsan maka saudaranya, nenek Bi Hwa
melengking penuh kemarahan.
"Keparat, kau membunuhnya, Cing Bhok" Kau menurunkan tangan kejam kepada adikku"
Jahanam terkutuk, kau bunuh aku sekalian atau aku yang akan membunuhmu!" dan si
nenek yang kalap dan marah berteriak keras tiba-tiba menubruk dan menghantamkan
Tangan Pedangnya, yang lain-lain tertegun sejenak tapi nenek kedelapan, Ai Ping,
tiba-tiba berkelebat ke arah Fang Fang, coba mengulangi kegagalan Bi Giok untuk
membunuh pemuda itu. Tapi ketika Dewa Mata Keranjang lagi-lagi mengeluarkan
geraman menggetarkan dan Pek-in-kang menyambar nenek itu maka nenek ini menjerit
dan roboh muntah darah pula, membuat nenek-nenek yang lain gentar!
"Siapa pun tak boleh membunuh muridku. Enyah... dess!" nenek itu melayang bagai
layang-layang putus, terbanting dan berdebuk di sana dan tak bergerak pula
seperti nenek Bi Giok. Yang lain pucat dan ngeri. Ternyata Dewa Mata Keranjang
kalau marah sungguh mengecutkan, otomatis mereka menjadi gentar dan mundur. Dan
ketika pukulan nenek Bi Hwa dikelit mudah dan Dewa Mata Keranjang berkelebat dan
mendorong dua orang yang ada di depan tiba-tiba kakek itu sudah menyambar
muridnya dan terbang turun gunung.
"Aku tak mau bermusuhan dengan kalian. Biarlah aku pergi dan kalian jangan cari
aku!" "Keparat!" nenek Lin Lin tiba-tiba sadar lebih dulu. "Kau belum membayar
hutangmu kepada kami, Cing Bhok. Kalau kau melindungi muridmu itu biarlah
kauserahkan dulu nyawamu kepadaku!"
"Tak usah sombong. Kalian bersebelas tak akan dapat mengalahkan aku, Lin Lin.
Kalau aku kejam tentu kalian sudah roboh semua!"
Alap Alap Laut Kidul 13 Wiro Sableng 136 Bendera Darah Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 4
^