Pencarian

Playboy Dari Nanking 7

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 7


kakek ini berkata bahwa dia akan ke perbatasan.
"Aku mendapat tugas untuk menumpas pemberontak. Kalau hujin suka, eh maksudku
kalau hujin hendak membantu negara barangkali hujin dapat membantuku dan kita
sama-sama ke perbatasan!"
"Loheng seorang utusan?" wanita ini terkejut, bangkit berdiri pula. "Ah, hebat
dirimu ini, loheng. Sudah kuduga bahwa kau tentulah seorang yang dekat dengan
sri baginda!" "Ha-ha, jangan mengumpak dulu. Aku orang biasa, kakek tua bangka. Tugas ini
kebetulan saja dan kuterima serta kini akan segera kukerjakan. Hujin mau ikut?"
"Tentu! Aku sudah mendengar pemberontakan itu, loheng. Dan aku sebenarnya juga
ingin membantu negara tapi merasa tenagaku tak berarti. Kalau loheng mengajakku
tentu saja aku gembira, tapi ingat bahwa aku tak berkepandaian!"
"Ha-ha, jangan merendah, hujin. Aku tahu kau cukup memiliki kepandaian dan
barangkali sejurus dua jurus dapat kuajarkan kepadamu. Hitung-hitung untuk
menambah pengetahuanmu agar tidak terlalu gampang dipermainkan orang!"
"Ah, loheng mau memberiku kepandaian?"
"Kalau kau suka, hujin. Kalau..."
"Tentu saja!" wanita itu sudah terlanjur girang. "Aku suka, loheng. Dan jangan
sebut lagi aku hujin! Aku sekarang janda, suamiku sudah tiada. Panggillah namaku
dan aku tentu amat berterima kasih!"
"Ah!" kakek ini terbelalak. "Kau meminta itu" Ha-ha, baiklah, Mien Nio. Kalau
begitu mari kita berangkat dan sambil berjalan biarlah kuajarkan padamu sejurus
dua ilmu-ilmu silat cakar ayamku!"
Sang nyonya dan sang kakek sama-sama girang. Akhirnya Dewa Mata Keranjang
mengajak wanita itu pergi meninggalkan tempat itu. Mayat orang she Cak ditendang
dan mencelat ke jurang, keduanya sudah melakukan perjalanan dengan tak habis-
habisnya bicara. Dan ketika tak lama kemudian Dewa Mata Keranjang sudah
menurunkan sejurus dua ilmu silatnya maka tak lama kemudian pula keduanya sudah
harus saling berpegang-pegangan tangan. Dewa Mata Keranjang memberi petunjuk-
petunjuk dan sentuhan-sentuhan di antara mereka ini tentu saja mulai menimbulkan
getaran fisik, yang akhirnya menembus ke getaran batin. Dan ketika semuanya itu
berjalan dari hari ke hari- eh, Dewa Mata Keranjang memang sengaja ?memperlambat perjalanannya maka sang nyonya akhirnya bertekuk lutut ketika
?kakek itu menyatakan cintanya!
"Aku hendak bicara serius," pada hari ke tujuh kakek ini mengajak temannya duduk
di atas batu hitam, bersinar-sinar, tajam penuh selidik namun lembut penuh
mesra. "Aku hendak menyatakan sesuatu yang ada di hatiku, Mien Nio. Bolehkah aku
berterus terang?" "Loheng hendak bicara apa?" wanita i-tu berdebar, tentu saja sudah menangkap
namun pura-pura tidak tahu. Inilah wanita! Dan ketika kakek itu tersenyum dan
menggenggam lembut tangan si nyonya, eh... si janda, maka Dewa Mata Keranjang
berkata, melancarkan aksinya.
"Aku hendak menyatakan apa yang ada di hati ini. Maksudku, hmm... bagaimana kalau
aku mengambilmu sebagai is-teri, Mien Nio" Bolehkah aku menggantikan mendiang
suamimu itu?" Wanita ini terisak, tiba-tiba menunduk.
"Bagaimana, Mien Nio?" Dewa Mata Keranjang berkata melanjutkan, sabar dalam
sebuah pertanyaan lembut. "Aku mencintaimu, aku menyayangmu. Kalau kau suka,
hmm... kita dapat menjadi suami isteri tapi aku tak akan memaksamu!"
"Aku... aku..." wanita itu menangis. "Aku janda, loheng. Maukah kau mengambil aku?"
"Hush, akupun bukan jejaka, Mien Nio. Memangnya aku harus mencari yang gadis dan
perawan" Tidak, aku mencintaimu, aku sayang padamu. Kalau kau suka, sekarang
juga kau jawab tapi kalau tidak biarlah tak usah ada perasaan mengganjal di hati
kita!" "Aku... aku menerima. Tapi... tapi a-ku khawatir kau kecewa!"
"Ha-ha, kecewa apa" Kita sudah bukan anak-anak muda lagi, Mien Nio. Hidup kita
hanya dibaktikan untuk cinta dan kasih sayang. Kalau begitu, terima kasih!" dan
si Dewa Mata Keranjang yang memeluk dan menyambar wanita ini tiba-tiba sudah
menciumnya dengan lembut dan mesra, sebelumnya di hari-hari terakhir ini tentu
saja mereka sudah kian dekat. Sambar-menyambar kerling mata sudah dimulai kakek
ini dan Mien Nio pun tersipu malu. Maka begitu cintanya diterima dan kakek ini
terbahak girang, sudah menduga sebelumnya maka sigap dan tangkas tak kalah
seperti anak-anak muda kakek ini sudah melumat bibir lawannya.
"Aku cinta padamu... wo-ai-ni!"
Mien Nio mengerang. Mula-mula dia terkejut karena kakek yang sudah berumur
setengah abad ini masih trengginas dan cepat bagai anak muda. Namun begitu
bibirnya dicium dan lumatan-lumatan lembut dilakukan Dewa Mata Keranjang tiba-
tiba saja wanita itu mabok dan mengeluh. Dan ketika Dewa Mata Keranjang berbisik
menyatakan kata-kata cintanya, hangat dan panas akhirnya wanita ini terbang ke
sorga! Dewa Mata Keranjang telah mengajaknya mabok sampai di tingkat paling
atas. Kakek itu dengan amat lihai dan panasnya membangkitkan gairah wanita ini.
Dan karena pada dasarnya wanita itu sudah menaruh kagum dan rasa suka maka Dewa
Mata Keranjang berhasil menundukkan lawannya yang baru saja seminggu menjadi
janda! "Ha-ha, hebat kau, Mien Nio. Ah, sudah kuduga. Kau memang hebat dan diam-diam
panas membara!" Mien Nio tertawa malu-malu. Akhirnya mereka berdua bergulingan di rerumputan
yang tebal. Ah, Fang Fang tentu tertawa kalau menyaksikan keadaan gurunya ini.
Cepat dan tangkas, melebihi anak-anak muda Dewa Mata Keranjang telah menundukkan
lawan dengan mudah. Mien Nio tak ingat lagi akan mendiang suaminya tercinta, tak
ingat lagi bahwa kematian suaminya itu baru saja berjalan satu minggu, belum
satu bulan, apalagi satu tahun! Dan ketika Dewa Mata Keranjang berhasil
menundukkannya luar dalam dan Mien Nio jatuh bangun diguncang asmara yang dengan
suaminya sendiri dulu tak pernah dia dapatkan maka luluhlah wanita itu dalam
cumbuan si Dewa Mata Keranjang, menyerah dan bertekuk lutut dan sehari tak
bersanding dengan kakek ini dia merasa panas dingin. Permainan cinta Dewa Mata
Keranjang yang begitu aduhai dan "menggigit" membuat wanita ini lupa daratan.
Dewa Mata Keranjang tahu titik-titik kelemahan wanita, seperti dia juga tahu
titik-titik kelemahan pria. Dan ketika tak lama kemudian mereka sudah benar-
benar sebagai suami isteri, meskipun belum terikat oleh tali perkawinan resmi
maka wanita cantik yang masih bahenol itu sudah menyerahkan dirinya secara
total, lahir batin. "Aku tak dapat lagi pisah denganmu. Ah, aku ingin kita segera meresmikan
perjodohan ini dan punya anak!"
"Ha-ha, apa kau bilang, Mien Nio" Perkawinan resmi" Ah, betapa tololnya. Kau dan
aku sudah terikat, kita sudah menjadi suami isteri dan kekasih. Tak usah segala
peradatan itu karena sesungguhnya aku tak suka!"
"Apa?" wanita ini terkejut. "Kita..... kau..."
"Hm, duduklah, isteriku manis. Jangan salah paham. Aku tidak bilang bahwa aku
mempermainkanmu. Tidak, aku mencintaimu sungguh-sungguh. Hanya aku tak suka
dengan segala tata upacara resmi dan biarlah kita hidup di gunung dan kelak
orangpun tahu bahwa kau adalah isteriku. Itu cukup, tak akan ada yang berani
meng ganggu!" "Tapi... tapi peresmian...?"
"Wah, kau tak malu diarak sebagai pengantin seperti anak-anak muda" Wah, aku
yang malu, Mien Nio. Kita ini sudah tua bangka dan tak layak menjadi pengantin.
Sudahlah, kalau sekedar ingin diresmikan boleh juga. Nanti aku dapat meminta
Cun-ongya untuk meresmikan kita!"
"Cun-ongya?" "Ya, dia. Sahabatku!"
"Dan kau, hmm..." wanita ini tiba-tiba terbelalak, merah mukanya. "Tidak bolehkah
aku tahu siapa sebenarnya kau ini, suamiku" Masihkah harus berahasia lagi
sementara semuanya telah kuberikan kepadamu?"
"Ha-ha, jangan marah, jangan sewot. Aku dilahirkan dengan nama Tan Cing Bhok.
Nah, sudah puas, isteriku" Kau mau tanya apalagi" Aku benar-benar orang biasa,
bukan bekerja di istana. Pangeran Cun adalah sahabatku, dan kami berdua sudah
mengenal sejak lama!"
Mien Nio tertegun. "Tan Cing Bhok?" serunya lupa-lupa ingat. "Serasa kukenal
nama ini, suamiku. Tapi..."
"Ha-ha, yang punya nama itu di dunia ini bukan cuma aku seorang. Kalau kau mau
mengingatnya silahkan, tapi kalau tidak, hmm... tentu saja lebih baik!" Dewa Mata
Keranjang tertawa, meraih dan mencium isteri barunya itu dan tentu saja dia tak
akan memperkenalkan julukannya kepada Mien Nio. Wah, siapa mau memberitahukan
nama julukan Dewa Mata Keranjangnya pada kekasih baru" Bisa runyam, jalan
terbaik adalah tak usah mengatakan! Dan ketika Mien Nio dicium dan mengeluh
didekap kekasihnya ini maka hubungan mereka sudah baik kembali.
"Kau nakal!" wanita ini mencubit. "Memperkenalkan nama lengkap saja pelitnya
bukan main, suamiku. Agaknya kalau tidak kutanya barangkali kau juga tak akan
memberitahukan!" "Ha-ha, apalah artinya sebuah nama!" kakek ini bersajak. "Nama itu tong kosong
belaka, Mien Nio. Yang penting orangnya! Eh, kau mau menambah pelajaran ilmu
silat, bukan" Atau hanya bercumbu dan bercintaan melulu?"
"Ih, kau yang membuatku begitu. Kau nakal!" dan ketika keduanya tertawa dan
kakek ini terbahak maka untuk kesekian kalinya pula mereka berciuman, saling
peluk dan saling rapat dan tak dapat dicegah lagi masa-masa pengantin baru
direguk keduanya. Dewa Mata Keranjang girang dan senang karena mendapatkan
kekasih barunya ini, wanita empatpuluhan yang memang matang dan sudah jadi.
Seumpama baju, hmm... sudah tinggal pakai dan menikmati saja. Asyiik! Dan ketika
keduanya kembali tertawa dan bergulingan maka malam harinya baru mereka
beristirahat. "Wah-wah, keropos tulang-tulangku nanti. Haduh, kau tak capai, isteriku sayang"
Kau masih kuat dan ingin bercinta terus?"
"Ih, akupun capai. Tapi, hmm... rasanya tak mau sudah. Begitu nikmat dan indah!
Suamiku, apakah kau akan tetap mencintaiku sepanjang masa" Apakah kau akan baik-
baik selalu kepadaku?"
"Ha-ha, aku bukan suami yang buruk, Mien Nio. Justeru biasanya isteri-isteriku-
lah yang meninggalkan aku pergi. Mereka .... hm!" kakek ini terlanjur bicara.
"Mereka tak setia padaku!"
Wanita ini bangkit terduduk. "Kau sudah beristeri" Eh, ceritakan tentang isteri-
isterimu itu, suamiku. Jangan rahasiakan masa lalumu kepadaku!"
"Benar, aku memang sudah beristeri. Tapi, ah... mereka itu memusuhi aku, pergi dan
meninggalkan aku sendirian!"
"Hm, bagaimana itu. Ceritakanlah kepadaku!"
"Pengalaman pahit, pengalaman buruk!" Dewa Mata Keranjang tertawa menyeringai,
tak dapat berhenti. "Aku sebenarnya dimusuhi isteri-isteriku itu karena intinya
mereka cemburu. Hm, kau mungkin juga akan seperti mereka, Mien Nio. Akan
meninggalkan aku dan memusuhi diriku!"
"Aku bukan isteri yang gila. Kalau tak ada sebab-musabab tak mungkin aku
melakukan itu. Mustahil!"
"Kau berjanji?"
"Tentu saja! Aku bukan isteri yang tak setia, suamiku. Kau tahu itu!"
"Hm, baiklah. Aku ceritakan!" kakek itu lalu bercerita, tentu saja diambil dari
sudut pandangannya dan kesalahan ditimpakan kepada bekas isteri-isterinya itu.
Sejauh ini Dewa Mata Keranjang tetap tidak memberitahukan bahwa dia adalah laki-
laki yang dijuluki biangnya mata keranjang. Baginya mencinta setiap wanita
cantik tidaklah salah. Kalau disambut dan diterima kenapa ditolak" Hidup adalah
untuk bersenang-senang, dan masalah cinta adalah masalah hangat yang selalu
menjadi buah perkembangan peristiwa-peristiwa indah. Karena cintalah manusia
berkembang dan hidup. Karena cintalah semua mahluk di bumi dan langit bersuka
cita dan bergembira. Kenapa harus menolak dan ditampik" Dan karena Dewa Mata
Keranjang adalah laki-laki yang selalu tertarik pada wanita cantik dan tentu a-
kan menyambut dan menerima kalau cintanya tak bertepuk sebelah tangan maka kakek
itu bergelimang madu asmara sepanjang hidupnya, tak perduli pada pasangannya
bagaimana reaksi mereka kalau dia terus berganti-ganti kekasih. Hal ini tak
dipikirkan dan dihiraukan kakek itu. Yang penting keduanya senang, bahagia. Dan
ketika dia bercerita bahwa semua isterinya pencemburu dan terlalu mengekangnya
maka dia membela diri. "Aku ingin hidup bebas, senang. Aku tak biasa dikekang dan tak mungkin dikekang.
Aku adalah laki-laki, kenapa harus diperintah dan diatur perempuan" Kalau mereka
di atasku maka terbaliklah hukum alam ini, Mien Nio. Karena aku sebagai laki-
laki akan dikuasai dan digenggam mereka. Hal ini aku tak suka. Dan karena kami
mulai sering cekcok maka akhirnya mereka menjadi tak senang dan meninggalkan
aku, setelah gagal dan tak bisa membunuhku!"
"Hm, kau mau dibunuh?"
"Ya, mereka itu..." kakek ini tertawa. "Mereka mengira dapat membunuh aku dengan
mudah, Mien Nio. Padahal dari akulah mereka mendapat tambahan pelajaran silat
itu. Ha-ha, seperti murid mau membunuh gurunya!"
"Dan mereka itu, di mana sekarang" Berapa orang pula isterimu?"
"Wah, banyak. Ha-ha, lebih dari dua!"
"Lebih dari dua?"
"Ya, kau kaget" Mulai cemburu" Ha-ha, hati-hati, Mien Nio. Awas jangan-jangan
kaupun akan meninggalkan aku, memusuhi aku!"
"Tidak!" wanita ini tersipu merah. "A-ku tak akan melakukan itu, suamiku. Tapi
luar biasa juga kalau isterimu sampai lebih dari dua. Kau agaknya tukang kawin
cerai!" "Wah-wah, tuduhan tajam!" kakek ini terbahak. "Jangan menuduhku seperti itu,
Mien Nio. Aku pribadi tak pernah menceraikan mereka. Dan hebatnya, merekapun
masih setia kepadaku!"
"Eh!" Mien Nio terkejut. "Kau tahu itu" Bagaimana bisa begitu" Bukankah mereka
memusuhi dan membenci dirimu?"
"Benar, tapi di lubuk hati masing-masing mereka tak dapat melupakan aku, Mien
Nio. Mereka selalu ingat dan terkenang kepadaku. Barangkali, ha-ha... mereka tak
dapat melupakan bagaimana servisku melayani mereka. Mereka tahu bahwa tak
mungkin ada laki-laki lain yang mampu membuat isteri sampai di sorga ketujuh
kecuali aku!" Mien Nio semburat merah. Kalau sudah bicara tentang ini memang dia harus
mengakui bahwa Dewa Mata Keranjang adalah jagonya. Kakek itu amat lihai dan
pandai sekali melayani isteri. Tehnik dan kemampuannya luar biasa, mendiang
suaminya sendiri tak seperti itu! Dan ketika wanita ini tersipu dan Dewa Mata
Keranjang tertawa bergelak maka kakek itu meraih dan menyambar wanita ini.
"Ha-ha, bagaimana, Mien Nio" Kau mengakui kata-kataku?"
"Hm, benar," wanita ini mengangguk, bersinar-sinar, berahinya bangkit. "Kau
memang luar biasa, suamiku. Permainanmu dan cara melayani isteri sungguh hebat
luar dalam. Kau laki-laki lihai yang amat mengagumkan di dalam dan di luar
ranjang!" "Ha-ha, kalau begitu kau tahu bagaimana aku, bukan?"
"Ya, kau hebat. Tapi aku khawatir jangan-jangan..."
"Jangan-jangan apa?"
"Kau membuatku cemburu pula!"
"Ah-ah, aku sudah tua, Mien Nio. Aku bukan anak muda!"
"Tapi pengetahuanmu banyak, tehnik-mu cerdik!"
"Ha-ha, kau sudah mengakui itu sampai sejauh ke sana" Wah, terima kasih, Mien
Nio. Kalau begitu berarti aku berhasil... cup!" dan si kakek yang mencium serta
melumat kekasihnya akhirnya bergulingan lagi dan membuat Mien Nio memejamkan
mata. Kalau sudah begini tentu dia akan segera panas dingin namun ternyata Dewa
Mata Keranjang sudah agak lelah. Kakek ini hanya memberikan cumbuan dan dekapan
ringan. Dan ketika dia mengajak bangkit dan Mien Nio mangar-mangar maka kakek
itu tertawa menepuk pinggul kekasihnya.
"Sudahlah, masih ada waktu bagi kita. Hayo tidur dan besok kita sudah sampai di
tempat yang dituju!"
"Kau tak..." "Hush, minta lagi" Ha-ha, stop dulu, Mien Nio. Dengkulku sudah berkeriyit dan
minta istirahat. Dengarlah ini kriyet-kriyet...!" kakek itu memainkan lututnya,
memang berkeriyit dan Mien Nio tentu saja terkekeh. Wanita ini geli karena Dewa
Mata Keranjang ternyata seorang kakek yang lucu. Ah, dia menggigit telinga kakek
itu. Dan ketika kakek ini berkaok namun tentu saja tak marah maka malam itu Mien
Nio dikeloni dan tidur dengan manja. Masih tetap tak menduga bahwa "suaminya"
ini adalah Dewa Mata Keranjang. Rasa humor yang tinggi serta tingkah laku yang
lucu dan aneh dari kakek ini membuat kakek itu memiliki kepribadian yang lain
dari kakek-kakek lain. Hidup bersama Dewa Mata Keranjang seolah diajak untuk
bergembira terus, ketawa melulu. Dan ketika keesokannya mereka bangun dan Mien
Nio membuka mata ternyata sepoci teh hangat sudah tersedia di depan kakinya,
lengkap dengan roti dan kue-kue kecil!
"Ha-ha, selamat pagi. Mandilah, dan sarapan!"
Mien Nio melompat. Dia heran dan terbelalak memandang kakek ini, disambar dan
dicium lagi. Dan ketika Dewa Mata Keranjang menunjuk sebuah mata-air kecil di
mana suara gemericik menunjukkan tempat mandi yang segar tiba-tiba Mien Nio
tertawa. "Aku tak mau mandi, kalau kau tak ikut!"
"Heh, aku?"

Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, kau, suamiku. Aku ingin kau memandikan aku dan kita berdua mandi di sana!"
"Ha-ha!" Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. "Aku sudah mandi, Mien Nio. Sudah
berpakaian rapi! Aku...."
"Tidak, kau tetap mandi bersamaku atau aku tak mau mandi!"
"Weh!" si kakek terbahak-bahak. "Kau genit, Mien Nio. Baiklah, kita mandi dan
mari mandi bersama.... byurr!" Dewa Mata Keranjang sudah menyambar kekasihnya ini,
berkelebat dan terjun ke mata-air kecil itu. Dan karena mereka masih sama-sama
berpakaian dan kakek itu juga baru saja mengenakan pakaian bersih maka tak ayal
keduanya basah kuyup dan Dewa Mata Keranjang terbahak-bahak, melepas pakaian
kekasihnya ini dan dua manusia setengah baya sudah telanjang sambil tertawa-
tawa. Mien Nio bahagia diremas dan dimandikan kakek ini, balas memandikan Dewa
Mata Keranjang dan mereka yang tiada ubahnya seperti anak-anak muda ini
terkekeh-kekeh dan tidak memperdulikan sekitarnya lagi. Dewa Mata Keranjang
tertawa bergelak menggosok dan memandikan kekasihnya itu. Ah, jaripun merayap ke
sana-sini dan Mien Nio terkekeh geli. Dan ketika mereka berciuman dan roboh di
air maka keduanya terguling dan tertawa-tawa.
Kegembiraan kembali terjadi di sini.
Dewa Mata Keranjang membuat kekasihnya terengah-engah dan tak malu-malu diciumi
serta diusap. Mien Nio akhirnya balas mengusap dan meremas-remas kakek ini. Dan
ketika keduanya terbang ke sorga dan pagi yang cerah itu disambut gelak tawa dan
kekeh bahagia maka setengah jam kemudian barulah mereka keluar. Mien Nio
berseri-seri dan mengibas rambutnya ke kiri kanan.
"Ha-ha, patung pualam yang indah! Dewa Mata Keranjang memuji, kagum dan "berseru melihat kekasihnya yang telanjang bulat muncul di air, tak canggung atau
malu-malu memperlihatkan tubuhnya di alam terbuka. "Wah, hebat, Mien Nio.
Tubuhmu benar-benar hebat dan tak kalah dengan remaja puteri!"
"Hi-hik, biar kau tetap mencintaiku, suamiku. Aku ingin mengikatmu agar tak
tertarik wanita lain!"
"Ah, aku tak mungkin tertarik lagi. Aku tertarik padamu!" dan ketika Dewa Mata
Keranjang melompat ke tepi, juga telanjang bulat maka Mien Nio terkeken namun
kagum melihat tubuh kekar dan masih padat berisi dari kakek gagah ini.
"Kau juga," serunya. "Kaupun hebat. suamiku. Lihat tubuhmu yang kokoh dan tegap
itu. Hm, kau melebihi anak-anak muda jaman sekarang. Dan kekuatanmu... hi-hik, seperti kuda. Selalu siap tempur!"
Dewa Mata Keranjang terbahak. Dia menyambar dan menciumi lagi tubuh kekasihnya
ini, tak habis-habisnya kagum dan memang nafsunya agaknya selalu bangkit. Dia
begitu terpesona dan tergetar oleh tubuh indah yang terpampang di depan mata
ini. Tapi merasa cukup dan harus segera berangkat kakek ini berkata,
"Kita berpakaian, setelah itu ke perbatasan!"
Mien Nio mengangguk. "Ya, aku juga ingin begitu. Baiklah, ambilkan pakaianku,
suamiku. Dan kenakanlah di tubuhku'"
"Wah, kau manja. Aku sendiri masih telanjang!"
"Aku yang akan mengenakan pakaianmu nanti, juga membersihkan dan menyisir
rambutmu. Ayolah, ambil pakaianku dan kenakan cepat!"
Dewa Mata Keranjang tertawa-tawa.
Kekasih barunya ini lain dari yang lain, manja namun penuh pesona. Dan karena
dia tentu saja tak ingin membuat kecewa maka kakek itu berkelebat mengambil
pakaian Mien Nio, mengenakannya dan keduanya tertawa-tawa saling cubit. Mien Nio
geli melihat kakek itu dalam keadaan tanpa busana, geli namun juga penuh kagum
karena Dewa Mata Keranjang laki-laki tua yang hebat. Tubuhnya sama sekali segar
dan tidak terlihat keriput. Kakek ini masih kencang dan gagah, tanda memelihara
baik tubuhnya itu dan tentu saja dia suka. Lain dari yang lain kakek ini memang
istimewa. Dan ketika semuanya selesai dan ganti dia yang mengambilkan dan
mengenakan pakaian kakek itu maka Dewa Mata Keranjang geli terkili-kili.
"Waduh, belum pernah aku diperlakukan seperti anak kecil begini. Heh-heh, lucu,
Mien Nio. Kau pandai melayani suami!"
"Dan kau pandai melayani isteri. Sudahlah, sekarang rambutmu dan mari kusisir!"
Dewa Mata Keranjang merem-melek. Kakek ini merasa nikmat dan gembira karena baru
dari semua kekasih-kekasihnya yang ada barulah Mien Nio ini yang
memperlakukannya seperti itu. Dia senang dan terharu sekali. Dan ketika tiba-
tiba cinta yang mendalam tumbuh di hatinya maka kakek ini berbisik apakah Mien
Nio tak akan meninggalkannya kalau seumpama isteri-isteri lamanya muncul, meraih
dan memeluk pinggang wanita itu.
"Aku telah menjadi isterimu, segalanya telah kuserahkan padamu. Kalau benar
seperti katamu maka aku tak akan cemburu atau marah, apalagi meninggalkanmu."
"Wah, benar?" "Boleh buktikan itu, suamiku. Sebagai wanita Tiongkok kukira justeru tak pantas
seorang isteri meninggalkan suaminya. Yang banyak terjadi ialah suami yang
meninggalkan isterinya. Kalau hal itu kaulakukan, hmmm.... tentu saja aku tak
dapat berbuat apa-apa!"
"Ah, tidak!" Dewa Mata Keranjang mencium kekasihnya ini. "Aku tak akan
meninggalkanmu, Mien Nio. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu! Tapi, sungguhkah
kau tak marah atau benci padaku kalau bertemu dengan bekas isteri-isteriku yang
lain" Tak marahkah kau kalau mendengar bagaimana sikapku dan sepak terjangku
selama ini?" "Hm, aku telah menjadi isterimu, kanda. Apapun yang kaulakukan di masa yang
silam tak akan membuatku marah sedikitpun!"
"Kanda" Ah, ha-ha...!" dan Dewa Mata Keranjang yang bahagia dan memeluk kekasihnya
ini lalu menyatakan terima kasih dan tentu saja girang luar biasa karena Mien
Nio telah menyebutnya "kanda", sebutan halus yang penuh mesra dan Min Nio hanya
tersenyum saja ketika dipeluk dan diciumi. Dan ketika kakek itu melepaskannya
dan menarik napas penuh haru maka kakek ini berkata,
"Baiklah, sebentar lagi kau akan tahu siapa diriku, Mien Nio. Dan ingin
kubuktikan bagaimana reaksimu!"
"Kita segera berangkat?"
"Ya, dan di perbatasan barangkali kau akan kaget!"
"Aku tak akan kaget, aku biasa-biasa saja.."
"Hm, belum tentu, Mien Nio. Baiklah, mari kita buktikan!" dan ketika kakek itu
berkelebat dan menyambar lengan kekasihnya maka Mien Nio sudah dibawa terbang
dan kali ini Dewa Mata Keranjang bersikap serius, tidak lagi mainmain atau
bergurau karena kakek itu memang ingin membuktikan apa yang telah diucapkan Mien
Nio. Dia mulai merasa bahwa inilah wanita terakhir yang akan menjadi kekasihnya.
Mien Nio lain dari yang lain dan tiba-tiba Dewa Mata Keranjang diliputi semacam
perasaan haru yang mendalam. Tangan wanita itu diremasnya dan Mien Nio pun balas
meremas. Dan ketika dia menoleh dan saling berpandangan maka Dewa Mata Keranjang
merasa bahagia karena inilah agaknya calon wanita yang benar-benar tidak egois!
-0-dwkz-kei-0- "Nah, kita sampai," kakek ini menahan larinya. "Berhenti, Mien Nio. Dan lihat
beberapa pengawal mulai mendatangi kita."
Mien Nio tertegun. Tembok perbatasan yang tinggi dan tegak telah menjulang di
depan mereka, begitu megah dan kokoh, kuat dan tebal sebagaimana layaknya
dinding-dinding pemisah antar batas negara. Dan ketika dia berhenti dan benar
saja beberapa penjaga melihat dan mendatangi tempat mereka, karena Dewa Mata
Keranjang tak bermaksud menyembunyikan diri maka sepuluh perajurit telah
menghampiri dengan cepat, tombak bergetar dan penuh kecurigaan tertodong ke
depan. "Berhenti, dan siapa kalian!"
Dewa Mata Keranjang tersenyum. "Aku mau menghadap komandan di sini, panggil Bu-
goanswe (jenderal Bu)!"
"Siapa kau?" perajurit-perajurit itu ter kejut. "Dan dari mana?"
"Ha-ha, tak usah kalian tahu. Panggil saja Bu-goanswe dan nanti kalian sendiri
tahu!" "Keparat, kau rupanya musuh. Orang baik-baik tak akan menyembunyikan nama.
Tangkap dia, dan bekuk wanita ini!" perajurit itu, yang rupanya menjadi pemimpin
di antara sepuluh penjaga tiba-tiba membentak dan menyerang. Tombaknya bergerak
dan kawan-kawannya pun mengikuti. Tapi begitu tombak menusuk dan yang lain
mengikuti mendadak Dewa Mata Keranjang berkelebat dan... lenyap di depan sepuluh
orang itu, bersama Min Nio.
"Ha-ha, kalian kecoa-kecoa busuk!"
Sepuluh orang itu kaget. Mereka tak melihat kapan kakek ini bergerak, tahu-tahu
lenyap begitu saja seperti iblis. Dan ketika mereka menoleh karena tawa itu
terdengar di belakang sana tiba-tiba kakek itu sudah jauh di sana mendekati
kemah besar. "Hei, tangkap dia. Awas!"
Sepuluh penjaga menjepretkan panah. Mereka juga membawa itu di belakang
punggung, cepat melepas dan mementang gendewa. Dan ketika di sana Dewa Mata
Keranjang tertawa menangkis, tanpa menoleh maka sepuluh orang ini kaget dan
tiba-tiba meniup terompet tanda bahaya. Tet-teettt...!"
Kakek itu tertawa. Menara di atas tembok yang tinggi tiba-tiba bergetar dan
bergoyang, ratusan kepala muncul dan melongok. Dan ketika mereka melihat dua
orang laki-laki dan perempuan berkelebatan seperti siluman maka semua menjadi
gempar sementara Dewa Mata Keranjang sendiri terkekeh-kekeh.
"Ada musuh! Awas, ada musuh...!"
Mien Nio berdebar. Wanita ini tiba-tiba menjadi tegang dan cemas, suaminya tak
perduli dan bahkan berkata biarlah mereka membuat ribut-ribut sedikit. Kekacauan
akan ditimbulkan di situ dan biar semua orang panik. Dan ketika kakek ini
tertawa dan menarik tangan kekasihnya maka Mien Nio mendengar bentakan dan
jepretan panah-panah yang berbahaya dari atas menara.
"Berhenti, atau kalian mampus!"
Puluhan panah mendesing. Mien Nio menggerakkan tangan tapi kalah cepat dengan
Dewa Mata Keranjang, kakek itu sudah mengebut dan puluhan panah runtuh! Dan
ketika Mien Nio terkejut tetapi kagum maka para penjaga di atas menara juga
tersentak dan membelalakkan matanya.
"Iblis! Kakek itu lihai!"
Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Dia memang hendak mainmain sedikit sebelum
menemui Bu-goanswe. Orang-orang di situ tak tahu adat dan ingin dia menghajar
sedikit. Dan ketika dari bawah muncul ratusan orang karena terompet dan tambur
dipukul gencar maka Dewa Mata Keranjang sudah menghadapi sebuah pasukan besar
yang siap mengepung! "Pegang aku erat-erat, aku hendak terbang!"
Mien Nio terbelalak. Dia gelisah dan cemas karena tiba-tiba saja suaminya ini
melayani musuh. Katanya mereka adalah kawan tapi suaminya bersikap bukan
sebagaimana layaknya seorang kawan. Kakek ini cenderung membuat ribut-ribut dan
mereka tentu saja dianggap musuh, lawan yang berbahaya. Dan karena Dewa Mata
Keranjang Juga menunjukkan kelihaiannya di mana sekali kebut atau tampar semua
panah-panah yang berhamburan runtuh maka pasukan menjadi marah tapi juga kaget
melihat kepandaian kakek ini, bergerak dan sudah memapak dan dari mana-mana
ratusan orang sudah terkumpul. Mereka adalah pasukan siap tempur yang cukup
terlatih. Mereka penjaga perbatasan dan pertempuran sewaktu-waktu memang sudah
menjadi bagian mereka. Tapi ketika mereka meluruk dan Dewa Mata Keranjang
berkata pada kekasihnya agar Mien Nio berpegang erat-erat mendadak kakek ini
meloncat tinggi dan.... terbang seperti superman!
"Heii...!" semua mata terbelalak. "Sihirkah ini" Silumankah kakek itu" Wah, a-was,
dia menuju kita.... des-dess!" dan De wa Mata Keranjang yang terbang dan meluncur
seperti superman tiba-tiba membagi tamparan dan tertawa-tawa membuat para
perajurit terpelanting, jroboh terjengkang dan masuklah kakek itu melalui
barikade ketat barisan pengepung. Dan ketika kakek itu hinggap dan menempel di
dinding, tiba-tiba, eh.... kakek ini merayap dan dengan cepat sekali sudah
mendekati menara. "Heiii...!" semua perajurit gempar. "Tahan kakek itu, awas'"
Dewa Mata Keranjang tertawa-tawa. Dia tak memperdulikan Mien Nio yang ada di
gendongannya. Wanita itu nyaris memejamkan mata karena tembok yang didaki kakek
ini bukan main tingginya, tak kurang dari duapuluh meter dan nyaris sama dengan
tingginya sebuah pohon kelapa! Dan ketika perajurit di bawah berteriak-teriak
maka penjaga di atas menara tak kalah kaget dan hebohnya. Dewa Mata Keranjang
telah merayap seperti cecak dan ilmu merekat yang ditunjukkan kakek itu luar
biasa sekali. Menggendong seorang wanita cantik sambil mengibas runtuh anak-anak
panah yang menyambar sekali dua masih juga dapat dilakukan kakek itu,
terperangahlah para perajurit, bengong. Tapi begitu kakek ini tiba di atas dan
empat orang maju membentak ma ka jari-jari kakek itu dibacok senjata tajam.
"Awas!" Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Mien Nio berteriak karena empat golok di
tangan empat orang itu sudah mem bacok jari-jari kakek ini, yang siap
mencengkeram puncak tembok dan sudah berada di bagian yang paling atas. Sekali
sampai dan mengayunkan tubuhnya tentu kakek ini sudah akan berada di atas, tak
terhalangi. Namun begitu Mien Nio berteriak dan wanita itu membentak untuk
menangkis tiba-tiba Dewa Mata Keranjang berseru mencegah dan buku-buku jari
kakek itu berkerotok. "Tak-tak!" Empat golok patah-patah. Mien Nio kagum dan bengong sementara kakek itu terbahak
menggerakkan kakinya. Dari bawah ia menyodok pantat kekasihnya ini dan
terlemparlah Mien Nio melewati kepala si kakek. Dan ketika empat penyerang
tampak terkejut dan tertegun di sana maka sebuah totokan jarak jauh dilancarkan
kakek ini dan robohlah empat o-rang yang masih bengong itu.
"Bluk-bluk!" Dewa Mata Keranjang sudah berada di atas. Mien Nio berteriak tertahan tapi
menjadi gembira karena selamat turun di atas benteng. Mereka kini sudah berada
di tempat yang tinggi dan pasukan di bawah tak dapat menyerang lagi. Mereka
hanya berteriak-teriak dan anak panah jarang yang sampai ke situ. Hanya tangan-
tangan kuat yang penuh tenaga sajalah yang dapat melepaskan panah sampai sejauh
itu. Tapi ketika Mien Nio sudah berseru girang karena Dewa Mata Keranjang tak
apa-apa tiba-tiba terdengar geraman dan jepretan sebatang panah yang luar biasa
kuatnya. "Pengacau dari mana berani datang mengganggu.... serr!"
Mien Nio terkejut. Dari belakang si kakek muncul seorang laki-laki gagah bermuka
persegi, tinggi besar dan geraman-nya itu sanggup menggetarkan lantai menara
sampai berderak. Tapi ketika panah mendesing dan Dewa Mata Keranjang diserang
tiba-tiba kakek itu membalik dan panah yang menyambar disambut dengan dua buah
jarinya. "Ha-ha, selamat bertemu, Bu-goanswe. Inilah aku... cep!" panah terjepit, langsung
dipatahkan dan terkejutlah laki-laki tinggi besar itu. Tapi begitu dia melihat
siapa kakek ini tiba-tiba Bu-goanswe, laki-laki gagah itu berseru girang.
"Ah, kiranya kau. Dewa Mata Keranjang...!" dan Bu-goanswe yang tertawa menyimpan
pukulannya, yang siap dihantamkan dan dipukulkan setelah desingan panah tiba-
tiba melompat maju dan menubruk kakek ini, mencengkeram dan mengguncang-
guncangnya dan terkejutlah Mien Nio mendengar sebutan itu. Dewa Mata Keranjang!
Dan ketika kakek dan laki-laki tinggi besar ini berpelukan sambil meremas-remas
maka Dewa Mata Keranjang terbahak mendorong jenderal tinggi besar itu.
"Ya, aku, goanswe. Dan sekarang kau tentu tahu apa maksud kedatanganku, ha-ha!"
Bu-goanswe tersenyum lebar. Dia memberi aba-aba dan semua orang yang naik ke
atas menara disuruh turun, membentak dan berkata pada mereka bahwa inilah Dewa
Mata Keranjang, utusan istana. Dan ketika semua orang kaget tapi tentu saja
gembira, gempar namun girang maka jenderal itu tertegun melihat Mien Nio yang
menjublak dan berdiri di sana. "Dia... siapa itu?"
"Ha-ha, isteriku, goanswe. Kekasih baruku!"
Ah, kau masih juga.? ?"Sst, jangan ramai-ramai. Lihat dia gemetar!" dan Dewa Mata Keranjang yang
membalik dan menghampiri kekasihnya lalu memegang dan menyambar tangan
kekasihnya itu. "Mien Nio, sekarang kau tahu siapa aku. Nah, boleh kautinggalkan
aku kalau tidak suka atau mari kuperkenalkan dirimu pada Bu-goanswe!"
Wanita ini tergetar hebat. Sekarang dia ingat bahwa di dunia ini tokoh yang
bernama Tan Cing Bhok ya Dewa Mata Keranjang inilah. Nama itu sekarang
dikenalnya baik dan wanita ini terguncang. Pantas! Dia serasa ingat dan tahu
nama itu. Tapi karena nama Dewa Mata Keranjang jauh lebih terkenal daripada nama
Tan Cing Bhok maka Mien Nio terhuyung dan tiba-tiba terisak.
"Kau... kau Dewa Mata Keranjang?"
"Ya, akulah itu, Mien Nio. Sekarang kau tahu siapa aku dan aku tak bermaksud
menyembunyikan diriku. Nah, aku sudah bersikap terus terang dan terserah kau
apakah dapat tetap bersamaku atau kau pergi seperti kekasih-kekasihku yang
lain." "Ooh, tidak!" dan Mien Nio yang tersedu dan menubruk kakek ini tiba-tiba
berkata, terbata, "Aku... aku sudah menjadi isterimu. Tak baik bagi wanita Han
meninggalkan suaminya apapun yang terjadi. Aku mencintaimu, suamiku... aku tak
akan meninggalkanmu. Aku menepati janji!" dan Dewa Mata Keranjang yang terharu
dan memeluk wanita ini lalu mencium bibirnya mesra, membuat Bu-goanswe melengos
"Kau tak marah padaku" Kau tak benci padaku?"
"Aku sudah berjanji, dan aku sudah menetapkan hati. Kalau kau yang mau
meninggalkan aku untuk mencari kekasih baru silahkan, pokoknya bukan aku yang
pergi!" "Ah, ha-ha.... bagus!" dan Dewa Mata Keranjang yang kembali memeluk dan mencium
kekasihnya ini lalu membawa wanita itu diperkenalkan pada jenderal Bu. "Coanswe,
inilah isteriku yang terakhir. Aku berjanji dan bersumpah padamu bahwa inilah
isteriku sekaligus kekasihku yang terakhir. Kau dan langit serta bumi menjadi


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saksi!" Bu-goanswe tertawa lebar. "Kau mudah melepas sumpah, Dewa Mata Keranjang. Tapi
kau mudah pula melepaskannya. Ha-ha, aku menjadi saksi sekaligus orang yang akan
melihat kebohonganmu!"
"Tidak, aku bersungguh-sungguh...!"
"Ah, sungguh-sungguhnya Dewa Mata Keranjang tetaplah mata keranjang juga! Ha-ha,
sekarang tak perlu kita bicara ini, Dewa Mata Keranjang. Sebutkan siapa dia dan
bagaimana berita istana untuk kudengar di sini!"
"Ha-ha!" kakek itu tertawa bergelak, ganti mendongkol. "Kau tak percaya seorang
utusan, goanswe. Lebih baik tak usah kuberitahukan!"
"Heii...!" jenderal Bu terkejut. "Jangan begitu, Dewa Mata Keranjang. Aku
percaya!" dan sang jenderal yang gugup dan bingung melihat kakek itu berkelebat
keluar tiba-tiba memburu dan menyuruh pasukannya mengepung. "Tahan kakek itu.
Heii.... tahan dia!"
Pasukan terkejut. Mereka baru saja girang dan gembira karena Dewa Mata
Keranjang, tokoh yang amat terkenal datang ke tempat mereka. Bu-goanswe sudah
berkata bahwa kakek itu adalah utusan istana, berarti akan memberi bantuan
kepada mereka dan tentu saja mereka senang. Tapi begitu Bu-goanswe berteriak-
teriak dan mereka kaget melihat kakek itu terjun begitu saja dengan membawa si
cantik itu tiba-tiba mereka bergerak dan Dewa Mata Keranjang sudah dikepung!
"Heii... tahan dia. Tapi jangan serang!" Bu-goanswe gugup, mengambil tali dan
secepat kilat jenderal ini mengaitkan tali itu pada puncak menara. Dan begitu
terkait dan dia melempar tubuhnya maka jenderal ini sudah terjun dan melorot de-
ngan bantuan tali itu, tak berani seperti si kakek lihai.
"Jlug!" jenderal ini telah anjlog. Gugup dan tergopoh menghampiri kakek itu
jenderal ini berteriak-teriak agar Dewa Mata Keranjang tidak pergi. Kakek itu
meninggalkannya karena marah, karena dia menganggap sumpah kakek itu tadi
sebagai mainmain. Maka berlari dan cepat menangkap kakek ini jenderal itu
berkata, "Tan-lo-enghiong (orang tua gagah Lo), biarlah aku minta maaf kalau ada kata-
kata yang kurang berkenan di hatimu. Nah, aku mempercayai sumpahmu, semua
perajurit juga mendengar. Wanita ini, eh... siapa namanya?"
"Mien Nio...." "Ya, Mien Nio adalah isterimu yang terakhir dan paling akhir. Kau tak akan
mencari isteri atau kekasih baru lagi. Nah, aku percaya dan sekarang mari ke
atas menara lagi dan kauceritakan apa perintah kaisar!"
"Ha-ha, kau tak meledekku lagi?"
"Tidak!" "Kalau begitu baik, terima kasih.."wut!" dan si kakek yang berjungkir balik dan menepuk jenderal itu tiba-tiba
?telah melayang ke atas dan menjejak-jejakkan kakinya empat kali ke dinding,
mempergunakan daya pantul dari setiap jejakannya itu hingga tubuhnya pun
otomatis terlempar ke atas, semakin tinggi dan tinggi dan akhirnya sekejap
kemudian dia sudah tiba di atas menara lagi. Dan ketika semua orang menjadi
bengong dan takjub serta kagum, karena kakek ini mempergunakan cara yang lain
untuk mendaki menara maka Bu-goanswe cemberut mulutnya tapi tertawa.
"Sialan, aku tak mungkin mengikuti caramu, Dewa Mata Keranjang. Baiklah kususul
tapi mempergunakan caraku sendiri!" dan si jenderal yang menyambar tali dan
kembali naik ke atas lalu merayap dan menjejak-jejakkan kakinya pula dan
sebentar kemudian diapun sudah tiba di atas menara, tentu saja kalah cepat
dengan gerakan si Dewa Mata Keranjang tapi orang memuji juga gerakan jenderal
tinggi besar ini. Kalau tidak memiliki kekuatan dan kegagahan dalam memanjat tak
mungkin jenderal itu sampai ke atas. Setombak dari atas jenderal ini sudah
melempar tubuh dan berjungkir balik ke puncak. Dan ketika dengan selamat dia
sudah di atas dan menemui kakek itu maka Dewa Mata Keranjang terkekeh-kekeh
mempermainkan jenderal ini.
"Nah, lain kali jangan mainmain dengan seorang utusan. Nanti kuwalat!"
"Hm, kau memang sinting! Eh, mari duduk yang enak, Dewa Mata Keranjang. Dan
ceritakan bagaimana berita istana!"
"Nanti dulu! Dari mana kau tahu bahwa aku mengemban tugas sebagai utusan!"
"Hm, Cun-ongya telah memberitahuku sebelumnya. Tapi yang direncanakan adalah
muridmu. Mana muridmu itu?" jenderal ini tersenyum.
"Ha-ha, kiranya begitu!" kakek ini tertawa bergelak. "Pantas, kalau begitu Cun-
ongya sungguh cerdik, goanswe. Jauh-jauh hari dia kiranya sudah mengatur rencana
dan percaya pada rencananya itu. Wah, mengagumkan!"
"Dan kau, apakah masih mau melantur saja?"
"Ha-ha, kau tak sabar?"
"Tentu, para pemberontak menjengkelkan hatiku, Dewa Mata Keranjang. Dan sudah
empatratus anak buahku roboh binasa!"
"Hm!" kakek ini serius, tiba-tiba tak mainmain lagi. "Baiklah, mari, goanswe.
Kuceritakan apa yang harus kuceritakan!" lalu duduk dan mulai menerima hidangan
ringan Bu-goanswe mendengarkan berita istana. Bahwa Cun-ongya telah mengutus
kakek ini untuk menumpas pemberontakan di perbatasan, mengharap korban tak
berjatuhan lagi dan jenderal itu mengangguk-angguk. Dan ketika jenderal itu
bertanya apa yang harus atau akan dilakukan kakek itu maka Dewa Mata Keranjang
tersenyum. "Aku akan membekuk dua pimpinan pemberontak itu. Katakan padaku di mana mereka
bersembunyi." "Hm, maksudmu?"
"Aku ingin sendiri, goanswe. Menangkap dan membekuk Lauwtaijin dan Thaitaijin
itu, juga sekalian membebaskan Gwa-ciangkun!"
"Tapi itu berbahaya!" Bu-goanswe terkejut. "Pasukan pemberontak tak kurang dari
seribu orang, Dewa Mata Keranjang. Dan merekapun bersenjata api! Gara-gara
senjata api itulah kami kehilangan empatratus anak buah!"
"Tak jadi soal. Aku bukan menghadapi pasukan itu. Yang kuhadapi hanyalah dua
pucuk pimpinannya!" lalu, tertawa dan menepuk pundak jenderal itu kakek ini
berdiri. "Goanswe, sebutkan saja di mana Lauwtaijin dan Thaitaijin itu
bersembunyi. Kalau nanti malam aku datang dan menyelinap ke sana tentu mereka
tak akan tahu. Nah, biarkan aku bekerja sendiri dan pasukan pemberontak barulah
menjadi bagianmu. Aku hanya pucuk pimpinannya saja!"
Jenderal Bu tertegun. Akhirnya dia berkedip dan sadar akan kepandaian kakek ini.
Dewa Mata Keranjang adalah tokoh yang tak perlu disangsikan lagi dan tentu saja
dia girang. Dan ketika kakek itu berkata bahwa yang dicari dan diincar kakek ini
hanyalah Lauwtaijin dan Thaitaijin maka Bu-goanswe pun bangkit berdiri
mencengkeram pundak kakek itu, berseri-seri.
"Dewa Mata Keranjang, kau memang seorang tua jempolan. Ah, terima kasih. Kalau
kau dapat membekuk atau menangkap dua orang itu tentu pasukannya akan mudah
kutundukkan. Baiklah, mereka itu bersarang di Lembah Kuning!"
"Hm, mana Lembah Kuning itu?"
"Jauh di depan, setengah hari perjalanan biasa. Mereka baru saja kupukul mundur
ketika hendak merebut benteng!" jenderal ini ganti bercerita, menceritakan bahwa
dua hari yang lalu pasukan musuh datang menyerbu. Tapi karena mereka berada di
tempat yang tinggi dan menara-menara di atas dinding itu membantu mereka untuk
melancarkan serangan ke bawah maka musuh gagal mendaki karena dihujani panah
atau tombak, senjata-senjata "koeno".
"Benteng pertahanan ini sungguh menguntungkan. Meskipun mereka bersenjata api
namun kalau hendak merebut haruslah naik dulu. Dan karena setiap kali naik tentu
kami hujani senjata maka mereka gagal dan tak berhasil. Tempat perlindungan ini
sungguh tepat bagi kami, menguntungkan!"
"Dan kau tak berani mengejar mereka!"
"Ah, pasukanku akan binasa, Dewa Mata Keranjang. Tak mungkin senjata api dilawan
dengan senjata biasa. Bisa mati konyol!"
"Ha-ha, aku tahu. Baiklah, nanti malam aku pergi dan besok kau akan melihat aku
menawan dua orang itu!"
Bu-goanswe girang. Dewa Mata Keranjang minta petunjuk lebih jelas lagi tentang
di mana tepatnya Lembah Kuning i-tu, diberi tahu bahwa Lembah Kuning a-dalah
tempat yang berbahaya di sana, setengah hari perjalanan orang biasa tapi tentu
saja mungkin hanya setengah jam bagi kakek ini. Lembah Kuning adalah tempat
strategis bagi musuh karena merupakan sebuah ceruk atau lembah di permukaan
bumi, terlindung oleh dua bukit kecil di kiri kanannya di mana di atas bukit-
bukit itulah pasukan Lauwtaijin atau Thaitaijin berjaga. Dua pimpinan itu
sendiri tinggal di lembah, sepintas tampaknya mudah ditangkap tapi tentu saja
pasukannya yang berjaga di atas akan melindungi dan memberondong serangan. Siapa
yang akan masuk lembah tentu ketahuan dan tak mungkin lolos. Jadi dua orang itu
seolah merupakan perangkap agar musuh masuk, diserang dan dibunuh di mulut
lembah. Dan ketika jenderal itu menerangkan tapi kakek ini mengangguk-angguk
sambil tertawa maka Dewa Mata Keranjang geli memandang jenderal itu.
"Memang semuanya berbahaya bagi orang biasa, terutama pasukanmu. Tapi kalau aku
datang sendiri, menyelinap dan menyatroni di sana siapa yang akan melihat,
goanswe" Orang tentu tak menyangka bahwa bukan pasukan besar yang datang
menyatroni melainkan aku seorang diri. Ha-ha, dan kulakukan pula di malam gelap.
Mereka tentu tak melihat dan besok kujanjikan dua orang itu sudah kubawa ke
sini!" . "Hm, terima kasih. Tapi apakah hanya kau sendirian, Dewa Mata Keranjang"
Bagaimana kalau aku ikut" Aku juga berani, dan sanggup membantumu!"
"Ah, kau seorang jenderal, pimpinan di sini. Tentu tak lucu kalau kau harus
meninggalkan pasukanmu!"
"Dan aku?" Mien Nio tiba-tiba tampil bicara. "Apakah aku juga tak ikut?"
"Hm!" kakek ini tertawa, bersinar-sinar memeluk kekasihnya. "Kaupun tinggal di
sini, Mien Nio. Aku ingin bebas dan tak terpecah perhatianku. Senjata api memang
berbahaya, kau belum mempelajari dariku bagaimana harus menghadapi senjata itu."
"Jadi aku tak ikut?"
"Sementara ini di sini, di dalam benteng. Aku akan lebih lega dan tenang kalau
kau tak ikut!" "Tapi kalau ada apa-apa?" wanita ini cemas, kecewa. "Aku dapat membantumu,
kanda. Dan aku tak mau kau tinggal!"
Bu-goanswe merah mukanya. Dia melirik Dewa Mata Keranjang itu karena mendengar
sebutan "kanda" dari wanita ini. Hm, seperti anak-anak muda saja, bukan main!
Tapi ketika Dewa Mata Keranjang terbahak dan mengerling padanya kakek itu
bicara, "Mien Nio, ini kulakukan justeru agar kita selalu dapat berdua. Kau tak usah
khawatir tentang diriku, justeru aku yang akan khawatir kalau kau ikut denganku.
Siapa dapat menggangguku kalau hanya orang-orang macam begitu saja" Tidak
sombong, tapi kalau hanya pasukan dan orang macam Lauwtaijin ataupun Thaitaijin
aku tak takut, tak perlu kau khawatir. Dan goanswe kukira tahu akan ini!"
"Benar," jenderal itu mengangguk. "Apa yang dikata kakek ini benar, niocu. Aku
percaya pada kepandaiannya dan tak usah khawatir. Kalau besok dia tidak datang
barulah kita merasa perlu khawatir. Tapi tidak, tak akan terjadi apa-apa pada
suamimu ini dan aku akan bertanggung jawab kalau ada apa-apa!"
"Nah, kau dengar?" kakek itu tertawa. "Jaminan Bu-goanswe berarti jaminan
negara, Mien Nio. Kalau ada apa-apa denganku tentu bukan hanya Bu-goanswe saja
yang bertindak tapi istana juga tak akan tinggal diam! Sudahlah, kau tak perlu
khawatir dan nanti malam biar aku pergi!"
Mien Nio mengalah. Akhirnya dia melihat juga bahwa Dewa Mata Keranjang ini
bukanlah kakek biasa. Tadi ketika memasuki wilayah ini saja kakek itu dengan
mudah dapat melampauinya. Pasukan Bu-goanswe dibuat tak berdaya dan mereka
dipermainkan. Dan ketika malam itu mereka tinggal berdua dan percakapan dengan
Bu-goanswe selesai maka kakek ini mengecup bibir kekasihnya sebelum berangkat.
"Besok aku sudah kembali. Dan kita akan berdua lagi."
"Kau akan pergi" Begini saja?"
"Eh, maksudmu?" tapi ketika Mien Nio terisak dan memeluk kakek ini maka Dewa
Mata Keranjang sadar bahwa sebuah "tanda mata" harus diberikannya dulu kepada
kekasihnya ini, tertawa dan memeluk dan segera dia membawa kekasihnya itu ke
pembaringan. Bu-goanswe telah memberikan sebuah kamar yang baik untuk mereka.
Dan ketika kakek itu mencumbu dan akhirnya bercinta sebelum pergi maka legalah
Mien Nio akan kebutuhan biologisnya ini.
"Terima kasih, dan kuharap kau secepatnya kembali besok!"
"Tentu, aku tak akan lama, Mien Nio. Selamat tinggal dan tenanglah di sini!"
lalu ketika kakek itu berkelebat dan pergi meninggalkannya maka Mien Nio
melambai dan menunggu sampai esok harinya, semalam dapat tidur dengan nyenyak
tapi orang yang ditunggu tak muncul keesokannya. Pagi terganti siang dan siang
pun beralih menjadi sore. Dan ketika sore juga lenyap terganti malam maka Mien
Nio berdebar sementara Bu-goanswe juga terbelalak tak mempercayai kenyataannya.
"Dia belum kembali?"
"Belum..." "Dan tak ada berita apa-apa?"
"Akulah yang justeru ingin tahu itu!" Mien Nio terisak, bersinar-sinar memandang
jenderal ini. "Aku khawatir padanya, goanswe. Dan aku menuntut
pertanggungjawabanmu kalau suamiku belum kembali!"
"Tapi semalam dia bersamamu!"
"Benar, tapi setelah itu pergi melaksanakan tugasnya, goanswe. Dia membantumu
dan tak meninggalkan pesan apa-apa kepadaku!"
"Hm, tenanglah," jenderal ini melihat si wanita mulai emosi. "Aku akan
mempertanggungjawabkan janjiku, niocu. Kalau besok dia tak datang juga maka aku
akan membawa seluruh pasukanku menggempur Lembah Kuning!"
Mien Nio menangis. Akhirnya wanita ini pergi dan kembali ke kamarnya, tak dapat
tidur dan semalam dia menangis terus, gelisah menanti namun keesokannya pun Dewa
Mata Keranjang tak muncul juga. Dan ketika hari kedua lewat dengan cepat
sementara Mien Nio mulai marah-marah maka Bu-goanswe menggeram dan cepat
mengumpulkan pembantu-pembantunya, dimintai tanggung jawab dan gusarlah jenderal
itu oleh ketidakpastian mi. Dia bingung dan tak mengerti apa yang sesungguhnya
terjadi pada kakek lihai itu. Tak mungkin rasanya kalau Dewa Mata Keranjang
tertangkap atau terbunuh di Lembah Kuning, hal yang tak masuk akal. Tapi ketika
dua malam berturut-turut kakek itu tak datang juga dan hari ketiga mulai muncul
maka Bu-goanswe telah menyiapkan pasukan besarnya untuk menyerbu Lembah Kuning.
"Kita tak tahu apa yang telah terjadi pada diri Tan-taihiap (pendekar besar
Tan). Tapi kita wajib menyelidikinya. Nah, kita bersiap dan mari menggempur
musuh!" Pasukan pun ribut. Mereka berbisik-bisik dan merasa aneh di samping bingung.
Namun ketika Bu-goanswe telah menetapkan begitu dan mereka siap menyerbu dengan
satu serangan besar maka semua o-rang bangkit semangatnya dan ingin menumpas
musuh. Apa yang terjadi pada kakek itu" Kenapa dua hari berturut-turut tak
muncul" Marilah kita lihat, karena sesuatu yang di luar dugaan memang telah
terjadi di Lembah Kuning!
Malam itu, meninggalkan kekasihnya dengan mulut tersenyum-senyum kakek ini
langsung terbang ke tempat musuh. Ancer-ancer Lembah Kuning telah diketahui,
kakek itu berkelebat dan turun serta naik mendaki beberapa gunung kecil. Dan
ketika dia mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk terbang di malam itu maka
setengah jam kemudian kakek ini sudah mulai melihat adanya api penerangan di
sebuah lembah. "Hm, itu agaknya Lembah Kuning. Bagus, akan kubekuk batang leher dua pemberontak
itu!" Dewa Mata Keranjang berseri-seri, langsung menuju ke tempat ini dan benar
saja sepasang bukit di kiri kanan lembah menjulang tegak, melindungi dan kokoh
merupakan tebing yang angkuh menghadapi musuh. Dan ketika kakek ini tiba di situ
dan merasa heran karena tak ada bayangan-bayangan bergerak, seperti biasanya
pasukan yang berjaga maka dengan enak namun hati-hati dia memasuki lembah. Mula-
mula waspada dan memasang telinga baik-baik karena siapa tahu di sekitar tempat
itu ada pasukan pendam. Meskipun tidak takut namun sebaiknya berhati-hati juga.
Dan ketika benar saja Sebuah lubang jebakan hampir saja membuat kakek itu
terpelanting dan terperosok ke dalam maka suara jepretan atau desing senjata-
senjata menyambar disampok kakek itu.
"Keparat!" Dewa Mata Keranjang marah. "Kiranya kalian memasang jebakan sebagai
pengganti penjaga" Hm. aku bukan babi hutan, tikus-tikus busuk. Awas kalau nanti
kalian tertangkap!" kakek itu marah, berjungkir balik ke atas dan sudah
menyelamatkan dirinya. Malam yang gelap tiada berbintang memang cukup membuat
pandangannya terganggu. Lubang jebakan tadi hampir saja menjebloskannya namun
kakek ini terlalu lihai kalau ingin dirobohkan seperti itu. Dan ketika dia
memaki-maki dan terus mendekati lampu penerangan di tengah lembah akhirnya Dewa
Mata Keranjang tertegun di sebuah rumah kecil yang terbuat dari papan.
"Setan, tak ada orang bercakap-cakap. Sunyikah rumah itu" Hm, namun sekarang
kudengar gerakan seseorang. Satu.... dua.... empat.... ah, tujuh orang!" kakek itu
menyeringai, mulai mendengar gerakan-gerakan seseorang dan telinganya yang tajam
tentu saja tak mungkin meloloskan gerakan itu. Dengus atau napas seseorang mulai
ditangkap, semuanya bersembunyi di sekeliling rumah itu dan kakek ini tertawa.
Agaknya, kedatangannya diketahui. Barangkali oleh berkereseknya dahan-dahan
patah yang diinjaknya tadi, lubang jebakan di mana dia berhasil meloloskan diri.
Dan ketika kakek itu tertawa dan berkelebat ke atas tiba-tiba kakek ini ingin
menggoda dan menangkap sebuah bayangan di atas pohon.
"Wut!" Dewa Mata Keranjang lenyap dari tempatnya, menghilang dan tahu-tahu sudah
ada di atas pohon itu. Cepat dan luar biasa kakek ini sudah berada di dahan yang
tertinggi, melihat bayangan di atas pohon itu semeter saja di bawahnya, longak-


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

longok, seorang wanita! Dan ketika kakek ini terkejut dan heran, karena tak
menyangka bayangan itu seorang wanita maka bayangan ini, wanita yang ada di
bawahnya tiba-tiba mendesis.
"Setan, ke mana dia" Keparat, menghilang!"
Dewa Mata Keranjang terkejut. Dia serasa mengenal suara itu namun sayang tak
dapat melihat wajahnya. Wanita di bawahnya itu membungkuk dan celingukan ke sana
ke mari, mendesis-desis, mengepal tinju. Dan ketika pantat orang tiba-tiba
menungging, dalam usahanya mencari ke bawah tiba-tiba Dewa Mata Keranjang timbul
sifat nakalnya dan menepuk pantat itu, berbisik,
"Hei, aku di sini!"
Wanita itu kaget bukan main. Sikap nakal dari kakek ini yang tahu-tahu menepuk
pantatnya, berbisik dan tahu-tahu sudah ada di atas sungguh membuat wanita itu
terkejut bukan main. Dia berteriak dan langsung membalik, menghantam dan
sekaligus memberi tahu teman-temannya bahwa kakek itu ada di situ. Dan ketika
Dewa Mata Keranjang tentu saja menangkis dan tertawa bergelak, tak mau
menyembunyikan diri lagi maka pukulan a-tau hantaman wanita itu diterimanya.
"Dess!" Pohon itu berderak roboh! Dewa Mata Keranjang berseru kaget karena tak menyangka
demikian dahsyatnya pukulan itu. Pukulan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang berkepandaian tinggi saja, padahal katanya di Lembah Kuning tak
ada orang-orang kang-ouw kecuali pasukan biasa, pasukan pemberontak. Dan ketika
kakek itu terpental dan berjungkir balik menghindari pohon yang roboh maka enam
bayangan lain berturut-turut berkelebatan dan muncul mengelilingi dirinya!
(o-dwkz-kei-o) Jilid : XIII "BUNUH kakek ini. Jangan biarkan dia lolos!"
Dewa Mata Keranjang tertegun. Di depannya, berkelebatan dengan cepat dan sudah
mengepung rapat tahu-tahu muncul Lin Lin dan May-may serta lain-lainnya itu.
Mereka adalah kekasih-kekekasihnya sendiri dan tadi yang di atas pohon adalah
Lin Lin, nenek lihai yang melepas pukulan Bhi-kong-ciang. Pantas saja demikian
hebat! Dan ketika kakek itu tertegun karena Bwee Kiok, Dewi Cambuk Kilat juga
ada di situ maka lengkaplah tujuh kekasihnya mengepung.
"Cing Bhok, kau manusia tak tahu diuntung. Menyerahlah, dan sekarang kami akan
membunuhmu!" "Ah-ah!" kakek ini terkejut, tapi tiba-tiba menyeringai lebar. "Kalian ini, Lin
Lin" Dan kau, Bwee Kiok" Ah, sungguh tak kusangka. Sungguh pertemuan yang
menggembirakan...." "Tar!" cambuk meledak, memotong kata-kata kakek itu. "Tak perlu kau merayu kami,
Cing Bhok. Kami sekarang i-ngin membunuhmu dan tak perlu kau banyak bicara.
Hayo, serang si tua bangka ini dan robohkan sampai mampus!" Bwee Kiok tiba-tiba
menerjang, sudah meledakkan cambuk kilatnya dan cambuk itu men jeletar seperti
petir. Lin Lin dan lain-lain juga bergerak dan sudah mengangguk, empat yang lain
melengking dan menyerbu tanpa banyak bicara. Dan ketika Dewa Mata Keranjang
harus mengelak dan menangkis sana-sini maka kakek itu bingung dan gugup karena
bukan Lauwtai-jin atau Thaitaijin yang ditemui melainkan bekas isteri-isterinya
sendiri! "Hei-heii...!" kakek itu berteriak-teriak. "Tahan dulu, Lin Lin. Jangan menyerang.
Aku mau bicara... tar!" cambuk menyengat, malah membuat kakek itu terkejut karena
dengan beringas si Dewi Cambuk Api itu meledakkan senjatanya, menggores dan
telapak tangan kakek ini pecah. Dan ketika Dewa Mata Keranjang terkejut karena
itulah tanda kesungguhan si Cambuk Kilat ini maka Lin Lin menghantam dengan Bhi-
kong-ciangnya sementara nenek May-may meledakkan rambutnya.
"Des-dess!" Dewa Mata Keranjang terlempar. Kakek ini terpelanting karena mula-mula dia tak
bersungguh-sungguh. Ketujuh lawannya itu adalah bekas isteri-isterinya sendiri
dan tentu saja dia tak mau melayani, bermaksud membujuk namun mereka tampaknya
sudah beringas. Pertandingan berkali-kali yang selalu dimenangkan kakek ini
membuat nenek-nenek cantik itu gusar. Kemarahan mereka sudah sampai di ubun-ubun
dan agaknya mereka i-ngin bertempur mati hidup. Bukan main! Dan ketika Dewa Mata
Keranjang harus bergulingan meioncat bangun dan lawan sudah mengejar lagi maka
apa boleh buat kakek ini harus mengeluarkan kepandaiannya dan mulailah dia
menolak atau menampar, menghalau semua serangan-serangan berbahaya dan tujuh
nenek-nenek itu melengking. Mereka gusar dan marah karena lawan tetaplah lihai.
Dewa Mata Keranjang tetaplah Dewa Mata Keranjang dan kakek itu hebat luar biasa.
Karena begitu dia mengeluarkan bentakannya dan berputar serta meliuk tiba-tiba
kakek ini telah beterbangan di antara hujan senjata dan cambuk.
"Plak-plak-plak!"
Tujuh wanita itu menjerit. Mereka membentak dan menyerang lagi, dua nenek cantik
Bi Hwa dan Bi Giok melengking, mengeluarkan Kiam-ciangnya atau Tangan Pedang dan
mendesing-desinglah sepasang tangan dua nenek itu seperti pedang yang tajam.
Daun-daun di sekitar mereka rontok terbabat dan orang yang belum melihat
kepandaian nenek ini tentu ngeri. Mereka bakal pucat dan gentar karena Tangan
Pedang sungguh seperti sebatang pedang saja, ampuh dan nggegirisi.
Tapi ketika Dewa Mata Keranjang berkelebatan dan menangkis Kiam-ciang mereka
ternyata dua nenek itu selalu terhuyung dan Tangan Pedang mereka tertolak.
"Keparat!" dua nenek itu mendelik. "Kau lihai, Cing Bhok. Tapi kami tak a-kan
berhenti!" Dewa Mata Keranjang mengeluh dan gagal membujuk bekas isteri-isterinya i-tu. Dia
memang dapat menghalau semua serangan lawan namun mereka selalu maju kembali,
kian lama kian hebat dan juga nekat. Naga-naganya, kalau dia tak menurunkan
tangan besi tak mungkin mereka itu mau berhenti, hal yang berat dilakukan kakek
ini. Dan ketika mereka semakin nekat saja dan May-may meledakkan rambutnya maka
Bhi Li, nenek berpayudara besar menyeruduk dan tiba-tiba menumbukkan kepalanya!
"Biar aku tangkap si jahanam ini. Kalian mengikuti!"
Kakek itu terkejut. Bhi Li, si payudara besar ternyata nekat menumbukkan
kepalanya. Hal ini membahayakan jiwa nenek itu sendiri karena kalau dia bersikap
kejam tentu dia dapat memukul dan memecahkan kepala itu. Agaknya, nenek ini
memang hendak mati sampyuh, biar tewas tapi sekali cengkeraman kuku-kuku jarinya
menancap di tubuh Dewa Mata Keranjang tentu tak mudah kakek ini melepaskannya.
Nenek itu memang mengerahkan kekuatannya pada sepuluh jarinya yang berkerotok.
inilah serangan nekat yang sudah mengarah pada mengadu jiwa. Dan ketika kakek
itu terkejut dan tentu saja tak mau membunuh nenek ini, yang dulu disayangnya
karena memiliki payudara yang indah dan montok maka saat itu nenek May-may dan
lain-lain menghantam dari muka dan belakang.
"Celaka, kalian nekat!" kakek ini mem bentak keras, tubuh diayun tinggi dan
tiba-tiba serudukan si nenek Bhi Li dielak. Cepat dan luar biasa kakek ini telah
melakukan sesuatu yang berani, menghindar namun saat itu juga tubuhnya melayang
turun, menghadapi enam serangan lain yang datang belakangan. Dan karena dia
bergerak luar biasa cepat dan tahu-tahu hinggap di tubuh Bhi Li, kekasihnya itu
maka nenek ini terkejut karena tiba-tiba punggungnya terdorong dan enam pukulan
yang lain menuju ke arahnya tapi kaki si Dewa Mata Keranjang bergerak menendang
dan menghalau semua serangan-serangan itu.
"Des-des-dess!"
Nenek ini dan lain-lain terpelanting. Mereka mengeluh dan menjerit karena dengan
caranya yang luar biasa dan amat lihai Dewa Mata Keranjang itu telah menolak dan
menangkis serangan-serangan berbahaya. Nenek Bhi Li sendiri yang menyeruduk
seperti gajah sudah kehilangan sasaran, tubuh dihinggapi lawan dan tahu-tahu
punggungnya terdorong ke .depan, menerima dan melihat sambaran enam temannya
itu. Tapi karena Dewa Mata Keranjang bergerak di atasnya dan kakek itu menendang
dan menghalau semua serangan, membantu nenek ini, maka nenek itu selamat tapi
dia sendiri terjelungup dan terdorong oleh gerakan kaki si Dewa Mata Keranjang.
"Blub!" Nenek ini mengumpat caci. Dia gagal mengadu jiwa namun sudah bergulingan
meloncat bangun seperti enam temannya yang lain, membentak dan melengking
menyerang lagi. Dan ketika Dewa Mata Keranjang membelalakkan mata karena
usahanya tadi tak membawa perobahan besar, karena tujuh orang nenek-nenek itu
sudah menyerang dan menubruknya lagi dengan beringas maka kakek ini mengeluh dan
berloncatan ke sana-sini, berkelebatan mempergunakan ginkangnya dan mun cul
serta lenyap lagi di antara sambaran-sambaran pukulan. Ketujuh lawannya melotot
dan memekik gusar, dibujuk untuk berhenti tapi malah menggila. Kini Sin-mauw
Sin-ni si Dewi Rambut Sakti menggantikan kedudukan Bhi Li, melesat dan
menjeletarkan rambutnya untuk mengadu jiwa. Tapi ketika lawan lolos dan selamat
di sana maka yang lain-lain ganti-ber ganti coba mengajak kakek ini berhadapan
secara berdepan, ingin menerkam dan menangkap kakek ini, mengadu jiwa. Tapi
karena Dewa Mata Keranjang memang kakek siluman yang amat lihai di mana
sebentar-sebentar kakek ini menghilang dan muncul di antara ledakan rambut atau
pukulan-pukulan lain maka akhirnya ketujuh nenek itu menjerit dan mereka bersuit
memberi aba-aba. Dan begitu suitan atau aba-aba itu dikeluarkan mendadak
gemebyarlah tempat itu ketika puluhan lampu-lampu besar dinyalakan, serentak,
dari tempat gelap di delapan penjuru mata angin.
"Byar-byar!" Dewa Mata Keranjang terkejut. Tiba-tiba di tempat itu muncul ratusan orang yang
mengeluarkan bentakan-bentakan keras, mula-mula seperti bayangan-bayangan setan
di balik kubur. Tapi begitu mereka datang dengan lampu-lampu besar yang
diarahkan ke pertandingan maka Dewa Mata Keranjang menjadi silau sementara tujuh
nenek lawannya merogoh sesuatu dari kantung baju dan sudah mengenakan kacamata
hitam! "Heii...!" kakek itu berseru keras. "Kalian mau apa, May-may" Dan, eihh... plak-
dess!" sang kakek terkena pukulan, silau oleh cahaya lampu yang mendadak
disorotkan kepadanya. Lin Lin yang menghantamnya dengan pukulan Bhi-kong-ciang,
pukulan Kilat Biru sudah membuat kakek ini mencelat. Dia menangkis namun salah,
pandangannya kacau oleh puluhan lampu-lampu besar yang diarahkan kepadanya itu.
Dan ketika kakek ini mencelat dan terlempar bergulingan maka nenek Bi Hwa
menggerakkan Kiam-ciangnya dan nenek Bwee Kiok meledakkan Cambuk Kilatnya,
senjata ampuh yang meledak seperti petir itu. Dan ketika kakek ini kelabakan
karena itu sungguh tak diduga ma ka hantaman Rambut Sakti menutup jalan darah di
tengkuknya. "Prat!"
Kakek ini roboh terbanting. Dewa Mata Keranjang kaget bukan main karena
gemebyarnya lampu itu sungguh tak disangka. Ketujuh bekas isterinya sudah cepat
mengenakan kacamata hitam yang sebelumnya memang sudah dipersiapkan, tidak
seperti dia yang tentu saja silau cahaya. Dan ketika pukulan dan hantaman
bertubi-tubi mendarat di tubuhnya dan totokan terakhir dari nenek May-may itu
menutup jalan darah di tengkuk kakek ini maka Dewa Mata Keranjang roboh
terpelanting dan macet pernapasannya, tak dapat berteriak atau menjerit karena
jalan darah pi-teng-hiat ditutup. Lecutan rambut tadi dilakukan di antara
serangan-serangan lain, jadi dapat menyelinap dan tepat sekali mengenai leher
kakek ini. Dan ketika kakek itu terbanting dan sejenak tak dapat bergerak, karena kaget dan
masih tertegun oleh banyaknya sinar lampu yang menyilaukan matanya maka tujuh
nenek itu bergerak dan.... hampir berturut-turut dan cepat sekali semuanya menotok
dan melumpuhkan si kakek lihai ini, membuatnya tak berdaya. "Ces-ces-tuk....!"
Dewa Mata Keranjang mengeluh pendek. Sekarang kakek gagah ini tak berkutik dalam
waktu begitu cepat. Semuanya berlangsung dengan cara luar biasa dan tertawalah
nenek Bi Giok melihat lawannya roboh. Tapi ketika dia berkelebat dan siap
menusukkan gin-ciam, jarum peraknya untuk membunuh tiba-tiba terdengar letusan
pistol dan seruan seseorang.
"Tahan, jangan bunuh.... dor-dor!"
Nenek itu terhuyung, mendengar desing peluru di sebelah telinganya dan mengelak
dengan cepat. Bentakan itu sudah disusul dengan tawa dan munculnya dua orang,
berpakaian perlente dan satu di antaranya menggenggam pistol yang masih
mengeluarkan asap. Laki-laki itulah yang tadi mencegah dan melepas tembakan. Dan
ketika nenek Bi Giok mundur dan kaget memandang laki-laki itu, yang tertawa dan
membungkuk di depannya maka laki-laki ini menjura.
"Maaf, perjanjian kita tak boleh dilanggar. Dewa Mata Keranjang tak boleh
dibunuh. Harap locianpwe ingat dan tidak marah kepadaku."
"Ha-ha, benar!" satunya, laki-laki yang berkumis pendek berkata, menyambung
kata-kata rekannya. "Apa yang dikata Lauwtaijin benar, Kiam-ciang Sian-li (Dewi
Tangan Pedang). Dewa Mata Keranjang tak perlu dibunuh karena ia sekarang
tertangkap. Kalian berhasil karena atas bantuan kami juga. Sudahlah, terima
kasih dan serahkan tawanan ini kepada kami!" dan ketika nenek itu tertegun
sementara yang lain juga memandang bersinar-sinar akhirnya nenek ini menyimpan
kembali gin-ciamnya itu dan mundur membiarkan dua laki-laki ini, Lauwtaijin dan
Thaitaijin menghampiri si Dewa Mata Keranjang, yang masih rebah di tanah.
"Ha-ha, selamat datang, Dewa Mata Keranjang. Selamat bertemu! Kau sungguh lihai,
dan mengagumkan. Tapi lihatlah, sekarang kau menjadi tawanan!"
Dewa Mata Keranjang sudah hilang kagetnya. Kakek ini tadi terpengaruh oleh
silaunya cahaya lampu yang mendadak dihidupkan di suasana yang gelap, tak mampu
melindungi dirinya karena memang dia tak membawa kacamata hitam segala, seperti
ketujuh bekas isterinya itu. Tapi begitu dia sudah biasa lagi dan lampu-lampu
besar juga tidak disorotkan secara langsung, membiarkan dia lega maka kakek ini
tertawa bergelak. "Ha-ha, kalian pemimpin pemberontak" Aku berhadapan dengan dua tikus busuk
orang-orang she Lauw dan Thai?"
"Hm!" si kumis, yang berdiri di sebelah kanan tersenyum. "Kau benar, Dewa Mata
Keranjang, tapi kami bukan pemimpin pemberontak. Istilah itu salah. Kami
pejuang-pejuang yang sedang memperjuangkan nasib rakyat yang sedang ditindas
istana!" "Ha-ha, omongan apa ini" Heh, aku sudah mendengar tentang kalian, Thaitai-jin,
dan aku tak mau banyak bicara lagi. Di sini ada tujuh isteri-isteriku sendiri,
biarkan mereka maju dan suruh bicara dengan aku. Aku tak mau bicara dengan
pemberontak!" Thaitaijin tak goyah. Laki-laki berkumis ini tetap tenang dan tersenyum, mau
menerima saja semua semprotan dan hinaan itu. Tapi Lauwtaijin yang marah dan
gemas ternyata tak seperti dirinya, karena begitu Dewa Mata Keranjang meludah
dan melengos ke samping tiba-tiba dia menendang dan kepala kakek itu terlempar
lagi ke arahnya, disuruh memandang.
"Dewa Mata Keranjang, jangan kau bersikap sombong. Kau adalah pecundang,
lihatlah dan hargai kami!"
"Hargai apa?" Dewa Mata Keranjang melotot. "Kalian pemberontak-pemberontak hina,
Lauwtaijin. Aku tak sudi bicara dan jangan paksa aku.... cuh!" kakek itu meludah,
tiba-tiba dapat menyerang karena tanpa disangka sama sekali kakek ini dapat
mengerahkan hawa khikangnya, ludah itu menyemprot dan keras seperti batu, hal
yang tak diduga. Dan ketika Lauwtaijin tentu saja menjerit dan terpelanting
mengaduh-aduh, muka serasa ditusuki jarum maka Thaitaijin terkejut dan bayangan
nenek Bi Giok menyambar lagi.
"Cing Bhok, kau laki-laki keparat. Sudah ditotok masih juga dapat menyerang.
Hih, gagulah kau!" nenek itu menusuk bawah rahang Dewa Mata Keranjang,
mempergunakan dua jarinya dan tercekiklah Dewa Mata Keranjang tak dapat bicara
lagi. Serangan si nenek kali ini mematikan urat rahangnya, tak dapat meludah
tapi juga tentu saja tak dapat bicara! Dan ketika Lauwtaijin di sana menyumpah-
nyumpah dan sudah ditolong anak buahnya maka nenek yang lain berkelebatan maju
dan Lauwtaijin tiba-tiba menyambar sebatang tombak. "Biar kubunuh dia!"
Semua terkejut. Lupa pada kata-katanya sendiri untuk tidak membunuh lawan
mendadak laki-laki tinggi kurus ini menusuk tubuh si Dewa Mata Keranjang. Kalap
dan mata gelap oleh ludah yang sekeras batu panglima ini merebut sebatang
tombak, meloncat dan sudah menusuk tubuh yang tergolek di tanah itu. Tapi ketika
yang lain terkejut dan tombak sudah terlanjur menyambar ternyata tombak mental
dan tubuh si Dewa Mata Keranjang tak apa-apa.
"Tak-augh!" Lauwtaijin menjerit. Dia serasa menusuk tubuh sekenyal karet, tak
apa-apa dan telapak tangannya pedas. Dan ketika dia mengulang dan menusuk lagi
namun tombak malah patah maka laki-laki ini terjengkang dan nenek Bwee Kiok kini
berkelebat maju. "Tak usah dibunuh, hawa sinkangnya memang hebat!" dan ketika nenek yang lain
mengangguk dan Lauwtaijin pucat maka Bwee Kiok sudah menghadapi dua pimpinan
pemberontak itu. "Dewa Mata Keranjang tak dapat dibunuh oleh orang-orang biasa, hanya kamilah
yang dapat mengerjainya. Kaiau tai-jin setuju biarlah dia bersama kami dan kami
yang akan bicara." "Hm!" Thaitaijin kagum. "Hebat sekali tawanan ini, Lui-pian Sian-li (Cambuk
Kilat), tapi kuakui juga kebenaran kata-katamu itu. Baiklah, dia tak dapat
bicara, telah kalian totok. Boleh kalian bawa tapi harus di tempat kami.
Sebaiknya kubicara pada kalian bertujuh apa yang perlu kalian ketahui. Marilah!"
Thaitaijin meloncat, menggapai pada tujuh nenek itu dan Bwee Kiok serta yang
lain-lain mengikuti. Mereka akhirnya berbisik-bisik di sana, bergerombol dan
berhenti di bawah rumah kecil itu. Dan ketika semua tampak mengerti dan nenek
Bwee Kiok mengangguk-angguk maka nenek ini berkelebat kembali bersama keenam
temannya. "Kami mengerti, serahkan pada kami!" lalu ketika terdengar aba-aba. dari
Thaitaijin agar pasukan mundur, membiarkan
Dewa Mata Keranjang ditangkap dan ditawan ketujuh isterinya maka saat itu juga


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakek ini dimasukkan ke rumah kecil itu, dibebaskan totokan urat gagunya.
"Ha-ha!" Dewa Mata Keranjang langsung tertawa. "Kalian mau apa mengurung aku di
sini, Bwee Kiok. Lebih baik bunuh kali ingin membunuh!"
"Hm, kami tak jadi membunuhmu!" Bi Giok membentak gemas, rupanya dia adalah
nenek yang paling berangasan. "Janji dan ucapan Thaitaijin menahan kami untuk
tetap baik-baik denganmu, Cing Bhok. Dan sekarang duduklah di situ hadapi kami
bertujuh!" kakek ini dilempar kasar, jatuh dan berdebuk di sudut ruangan namun
Bwee Kiok membantunya duduk. Dewi Cambuk Api ini terisak kecil namun Dewa Mata
Keranjang dapat mendengarnya, terbeliak dan terkekeh. Namun ketika enam yang
lain sudah mengurung dan bersikap bengis padanya maka Lin Lin kali ini
membentak. "Cing Bhok, jangan pringas-pringis. Kami ingin bicara padamu dan dengarlah!"
"Hm, mau bicara apa?" kakek ini tertawa lebar, dapat tersenyum. "Kalian rupanya
kaki tangan dua pemberontak itu, Lin Lin. Dan menyesal sekali bahwa kalian
isteri-isteriku ikut-ikutan berkomplot dengan pemberontak."
"Tutup mulutmu! Kami sudah bukan menjadi isterimu lagi!"
"Ha-ha, begitukah" Tapi kalian semua baik-baik mengusap dan mengelus tubuhku.
Ah, kau...'" kakek ini memandang nenek Lin Lin, yang beringas dan marah.
"Usapan jarimu masih lembut dan mesra, Lin Lin. Aku jadi teringat kalau kita
berdua di tempat tidur. Kau selalu memijiti punggungku dan aku akan selalu
mencium perutmu!" "Keparat!" nenek itu melengking. "Jangan merayu atau coba mengingatkan saat-saat
indah kita, Cing Bhok. Aku tak sudi mendengarmu dan tak akan mendengarmu!"
"Ha-ha, begitukah" Kalau begitu coba .... pukul dan tampar aku!"
Nenek itu membentak. Akhirnya dia berkelebat dan benar-benar menampar Dewa Mata
Keranjang ini, tapi ketika kakek itu terpelanting dan enam yang lain menjerit,
aneh sekali, mendadak Bi Hwa dan lain-lainnya itu menghadang.
"Lin Lin, jangan sakiti dia. Biarkan dia bicara sesuka hatinya saja!"
"Kalian tak marah?"
"Hm, siapa bilang" Tapi kau tak berhak memukulnya, dia adalah tawanan kita
bertujuh!" "Benar," Bwee Kiok menyela cepat. "Kalau ingin menghukum atau membunuh si tua
bangka ini kau harus bertanya kami semua, Lin Lin. Atau tindakanmu dianggap main
hakim sendiri dan tidak menghargai yang lain!"
"Kalau begitu aku pergi, biar kalian saja yang urus!" dan nenek Lin Lin yang
marah berkelebat keluar tiba-tiba uring-uringan dan tak mau meladeni si Dewa
Mata Keranjang, tak tahu bahwa diam-diam enam nenek-nenek cantik itu siap
membela si Dewa Mata Keranjang kalau kakek itu dikasari. Aneh! Dan ketika Dewa
Mata Keranjang tertawa dan tentu saja melihat itu, karena matanya yang awas
dapat menyaksikan bahwa semua bekas-bekas isterinya itu sesungguhnya masih
mencintainya, tak rela dia dipukul atau dihajar yang lain maka kakek ini girang
namun tiba-tiba pura-pura merintih.
"Aduh, Lin Lin memang terlalu. Kepalaku..... ah, rasanya retak!"
Bwee Kiok dan lain-lain mendadak berkelebat dan menolong kakek itu, hampir
berbareng memegangi kepalanya. "Apa yang sakit" Bagian mana yang kau rasa?"
Kakek ini hampir terbahak. Setelah kini tiba-tiba enam bekas isterinya itu
berkelebatan dan menolong dirinya, saling memijit dan memegangi kepalanya maka
kakek ini yakin bahwa yang tampak di luar memang tak selamanya cocok dengan apa
yang kelihatan di dalam. Tadi keenam bekas isterinya ini begitu sengit dan
seolah ingin membunuhnya habis-habisan, ketika dia melawan dan diserang. Tapi
begitu dia roboh dan Lin Lin hendak menghajarnya, eh... mendadak yang lain
mencegah dan kini merubungnya seperti kumbang di setangkai bunga yang lemah dan
lunglai. Terbalik! Dewa Mata Keranjang hampir terbahak namun dia dapat menahan
itu, yakin seyakin-yakinnya bahwa isteri-isterinya ini memang tidak sepenuh hati
membencinya. Mereka itu masih saja tetap mencintanya meskipun bercampur marah
dan cemburu karena dia suka main perempuan. Dan ketika kakek itu menyeringai dan
pura-pura menahan sakit, melihat bahwa satu di antaranya harus dibujuk dan
ditempel kalau dia ingin bebas maka kakek ini sudah mengin car Bwee Kiok, si
Cambuk Kilat itu. Lalu mengedip namun masih terus pura-pura merintih, memberi
kesan kesakitan kakek ini minta dipapah.
"Aku tak tahu mana yang sakit. Tapi tolong sandarkan aku dulu ke dinding!"
Enam nenek itu bergerak. Mereka mau mendahului namun yang lain ternyata juga
melakukan hal yang sama, akibat nya satu tubuh dipegangi banyak orang. Dan
ketika masing-masing saling pandang dan kelihatan terkejut, jengah, maka Bi Hwa
berkata biarlah dia yang membawa tawanannya.
"Lepaskan, biar aku yang membawanya"Yang lain melepaskan. Kakek ini akhirnya dibawa dan disandarkan ke dinding,
Bi Hwa meletakkannya hati-hati dan tersenyumlah kakek itu mengucap terima kasih.
Diam-diam dia mengerahkan hawa sinkangnya untuk membuka totokan, ketujuh
isterinya itu hebat dan jelek-jelek mereka Pernah Pula mempelajari totokan
darinya, jadi kini mereka mempergunakan itu untuk melumpuhkannya. Dan ketika dia
sudah disandarkan dan keenam isterinya mengurung lagi maka kakek ini menghela
napas, pura-pura bertanya,
Aku tak mengerti, aku heran. Kenapa kalian. membawa aku ke sini dan menawan"
?Kalian mau apa" "Cing Bhok Bi Hwa, si Tangan Pedang berkata mendahuui, mewakili teman-
? "temannya. Kami tidak membunuhmu melainkan menangkap dan membawamu hidup-hidup ke
sini bukan lain adalah ingin bicara baik-baik kepadamu. Ketahuilah, kami tak
senang melihat kau datang sebagai utusan istana!"
"Ha, kalian tahu?"
"Kaukira apa?" nenek itu menjengek, tertawa mengejek. "Kami tahu apa yang
kaulakukan, Cing Bhok. Dan Thaitaijin serta Lauwtaijin sudah tahu bahwa kau akan
datang ke mari!" "Hm-hm, hebat sekali!" kakek ini tertawa, sama sekali tidak marah. "Dan kalian
menjadi pembantu pemberontak-pemberontak itu, Bi Hwa. Sungguh sayang!"
"Tak usah kau menghina mereka!" nenek Bi Giok tiba-tiba membentak, dia memang
gusar. "Lauwtaijin maupun Thaitaijin bukanlah pemberontak-pemberontak, Cing
Bhok. Mereka adalah orang-orang yang tidak puas kepada istana dan kini berjuang
untuk melawan ketidakbecusan!"
"Ketidakbecusan bagaimana" Dan bagaimana kalian nenek-nenek begini sudah ikut
campur urusan negara" Kalian mau menjadi politikus ataukah pendekar-pendekar
wanita yang biasanya tak pernah perduli urusan negara?"
"Hm, kami tetaplah pendekar-pendekar yang menjunjung kebenaran. Kami tak mungkin
ikut campur urusan negara kalau saja kaisar dan seluruh pembantunya tidak
melakukan kesalahan!" May-may, yang sejak tadi diam tak bicara mendadak maju
melangkah, bersinar-sinar. "Kami melihat ketidakbenaran yang dilakukan kaisar,
Cing Bhok. Dan karena kami penentang ketidakbenaran maka kami berpihak pada
Lauwtaijin dan Thaitaijin yang telah disakiti hatinya!"
Kakek ini terbelalak. "Kau bicara apa" Eh, sebaiknya terus terang saja, ambil
yang pokok dan apa yang sesungguhnya kalian inginkan dariku!"
Dewa Mata Keranjang, yang dapat melihat isteri-isterinya bicara memutar segera
tahu dengan cepat bahwa ada sesuatu yang hendak dimaui isteri-isterinya itu.
Kalau mereka belum menuju ke pokok persoalan yang jelas dan masih bicara
memutar-mutar maka pasti itulah penting. Dia tak mau menunggu lagi dan minta
agar mereka segera bicara. Dan begitu dia memandang dan keenam nenek di situ
merah mukanya maka Bi Giok mendesis, tiba-tiba membuka kartu.
"Kami menghendaki kau membantu Lauwtaijin, tetap di sini. Itu garis besarnya!"
"Apa?" kakek ini tiba-tiba tertawa. "Membantu pemberontak" Ha-ha, kalian
melantur, Bi Giok, tak lucu! Aku tak mungkin menerima itu dan justeru aku yang
hendak meminta kalian meninggalkan dua pimpinan pemberontak itu!"
"Hm, kau pikir baik-baik!" nenek Bhi Cu kini bicara. "Kau tawanan dan tangkapan
Lauwtaijin, Cing Bhok. Kalau dia menghendaki kau mati tentu kau mampus!"
"Ha-ha, ancaman kuno?" Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. "Kau tahu aku tak
takut itu, Bhi Cu. Dibunuhpun sekarang aku tak gentar! Eh, kau salah kalau ingin
memaksa aku dengan ancaman mati!"
"Hm, kau benar," Bwee Kiok kini maju ke depan. "Kami tahu bahwa kau adalah laki-
laki yang gagah perkasa, Cing Bhok. Dan kami agaknya lupa bahwa kau laki-laki
yang tak takut mati. Baiklah, tapi harap kau ingat bahwa sebagai tawanan tak
selayaknya kau menyakiti kami dan sepatutnya kalau kau bicara baik-baik!"
Dewa Mata Keranjang tersenyum lebar. Sekarang keenam isterinya di situ sudah
bicara baik-baik, artinya mereka tak bersikap keras dan kasar lagi. Dan karena
Bwee Kiok sudah bicara seperti itu dan memang benar akhirnya dia mengangguk dan
mulai melepas rayuan mautnya.
"Bwee Kiok, dan kalian berlima. Kalian tahu bahwa selamanya aku tak pernah
bersikap tak baik kepada kalian. Lihat tadi pertempuran itu. Adakah aku bersikap
keras dan kasar kepada kalian" Adakah aku tak pernah mengalah" Hm, kalau aku
kejam dan bersikap tak baik-baik tak mungkin kalian dapat menangkap aku, Bwee
Kiok. Dan ini saja sudah merupakan bukti bagi kalian bahwa aku selamanya
bersikap baik, dahulu dan sekarang!"
"Tapi kau menolak permintaan kami" Bi Giok menyergah, tajam berseru sengit. "Dan
ini tak sesuai omonganmu, Cing Bhok. Kau bohong!"
"Hm, permintaan kalian berat, dan bertentangan. Mana mungkin aku menerima"
Kalian tak tahu siapa Lauwtaijin dan temannya itu, Bi Ciok. Dan aku hendak
memperingatkan bahwa mereka itu dua manusia berbahaya yang dapat mencelakakan
kalian sendiri! Aku berkewajiban di sini untuk memberi tahu kalian agar tidak
dekat-dekat dengan dua orang itu. Mereka penipu, orang-orang yang pandai bicara,
pembujuk!" "Hm, kau tak dapat menerima kami?" "Ah, ha-ha!" Dewa Mata Keranjang ter tawa
bergelak. "Menerima kalian tentu saja dapat, Bi Ciok. Dan justeru aku harapkan!
Kalian adalah isteri-isteriku dan tentu saja aku siap menerima kalian. Ini tak
pernah kutolak!" "Hm, bukan itu!" Bi Ciok, si nenek can tik bersemu dadu. "Yang kumaksudkan
adalah permintaan kami tadi. Jangan kau berpura-pura tak tahu!"
"Hm-hm!" Dewa Mata Keranjang tertawa cerdik. "Bicara tentang itu sungguh membuat
kepalaku serasa berat, Bi Giok. Baiklah, biarkan aku memikirkannya dan besok
kita bicara lagi!" "Kau mau apa?" "Istirahat, minta tenggang waktu!" lalu menguap dan tidak menghiraukan isteri-
isterinya itu kakek ini melempar kepala ke dinding dan..... mendengkur.
"Hei...!" Bi Giok gusar. "Jangan main gila, Cing Bhok. Kuremukkan kepalamu nanti!"
"Ah, kalian mau apa?" kakek ini membuka mata, tertawa lebar. "Mau memaksa orang"
Hm, malam sudah larut, Bi Giok. Aku lelah. Orang yang bicara dalam kelelahan
tentu keputusannya tak dapat dipertanggungjawabkan. Sudahlah, besok kita bicara
dan aku ingin istirahat. Kukira wajar kalau persoalan-persoalan macam begini tak
layak dimintakan jawabannya dalam waktu demikian singkat!"
Nenek itu mendelik. Dewa Mata Keranjang tak menghiraukannya lagi dan menguap
semakin berat, entah sungguh-sungguh atau tidak. Tapi ketika mata itu tertutup
dan dia mau memaki tiba-tiba nenek May-may menggamit tangannya dan empat yang
lain memberi tanda, termasuk encinya, nenek Bi Hwa.
"Dia benar, perlu tenggang waktu. Biarlah besok kita kembali dan sekarang kita
menghadap Thaitaijin!"
"Mandah saja dipermainkan kakek ini?"
"Tidak, Cing Bhok benar, Bi Giok. Kalau kita memaksa dan dia bersikap sama keras
tentu maksud dan usaha kita tak berhasil. Sudahlah, dia tak mungkin melarikan
diri. Kita tinggalkan sejenak dan kita menghadap Thaitaijin!"
Bi Giok bersungut-sungut. Akhirnya dia setuju juga dan mengangguk gemas. Dewa
Mata Keranjang itu sudah mendengkur keras tapi dia tak percaya bahwa si kakek
benar-benar sudah tertidur. Itu tentu kepura-puraannya saja untuk mempermainkan
dirinya. Maka begitu encinya berkelebat dan yang lain-lain juga keluar
meninggalkan si kakek maka nenek ini melepas gemasnya dengan tamparan di pipi.
Dewa Mata Keranjang kena gaplok dan kakek itu terpelanting. Tapi ketika
dengkurnya bertambah nyaring dan kakek itu rupanya benar-benar terlelap,
menganggap tamparan itu sebagai bagian dari "mimpinya yang buruk" maka Bi Giok
tertegun juga dan nenek ini berkelebat keluar meninggalkan ruangan itu.
-0-dwkz-kei-0- "Nah, sekarang katakan bagaimana jawabanmu," keesokan harinya kakek ini sudah
dikitari tujuh bekas isterinya itu. Cing Bhok si Dewa Mata Keranjang menyeringai
dan menggosok-gosok matanya, dia baru bangun dan kini tujuh orang isterinya itu
sudah berdiri tegak, mengepung. Namun ketika dia tertawa dan bangkit duduk maka
yang diminta adalah sepanci air hangat dan handuk.
"Aku tak dapat bicara kalau masih begini. Kuminta Bi Giok menyeka mukaku dengan
air hangat, dengan handuk kecil."
"Kau bilang apa?" si nenek, yang gusar dan melotot membentak. "Minta diseka
seperti anak kecil" Cih, lihat dirimu itu, Cing Bhok. Kau sudah tua bangka dan
tak perlu macam-macam!"
"Ha-ha, kalau begitu apakah mesti bicara dalam keadaan begini bau" Kalian tak
muntah" Eh, jelek-jelek aku adalah laki-laki yang selalu menjaga kebersihan, Bi
Ciok. Kalau kau tak mau biarlah enci-mu, Bi Hwa!"
Bi Hwa, si nenek satunya mengerutkan kening. Sebenarnya dia tak membenci
sepenuhnya si Dewa Mata Keranjang ini, jelek-jelek adalah suaminya sendiri. Tapi
karena di situ ada enam wanita yang lain dan dia merasa likat maka nenek ini
enggan. "Hei!" kakek itu berseru. "Seka mukaku, Bi Hwa. Atau aku tak mau bicara!"
"Hm, biarlah aku saja!" Bwee Kiok tiba-tiba maju, memberikan sepanci air hangat
dan menyeka kakek itu. Tanpa ragu atau sungkan lagi nenek ini membasuh kepala si
kakek. Lalu ketika si kakek tertawa bergelak dia menyuruh Dewa Mata Keranjang
berkumur. "Ha-ha!" kakek ini menerima sekaan itu. "Kalian berdua terlalu, Bi Hwa. Kepada
suami sendiri masih juga tak baik-baik melayani. Awas, lain kali kuketok
kalian!" "Sudahlah," Bwee Kiok menyelesaikan pekerjaannya. "Kaupun tak perlu macam-macam,
Cing Bhok. Jangan buat kami marah!"
"Hm, terima kasih!" kakek itu bersinar-sinar, memandang isterinya berjuluk si
Cambuk Kilat ini. "Kau masih dapat menghargai aku, Bwee Kiok. Terima kasih. Nah,
kalian boleh bicara tapi aku ingin menikmati kopi hangat. Bicara dengan kalian
bertujuh diseling minum kopi begini tentu nikmat. Ayo, May-may ambilkan kopi itu
dan kita bercakap-cakap!"
"Apa?" May-may, si Dewi Rambut Sakti terkejut. "Kau memerintah aku" Kau minta
dihajar?" "Hm-hm, jangan begitu. Kepandaianmu meningkat pesat adalah berkat aku juga, May-
may. Dulu biasanya kau menyediakan minumanku sebelum diperintah. Aku minta kopi
dan harap diambilkan..."
"Aku tak sudi!" nenek itu membentak, memotong. "Kau jangan macam-macam, Cing
Bhok. Atau kubunuh kau nanti!"
"Kalau begitu aku juga tak mau bicara!" si kakek terbahak. "Boleh kaupukul atau
bunuh aku, May-may. Tapi sebagai suami aku tetap menuntut pelayananmu seperti
dulu-dulu. Hayo, tambah pula dengan meminumkannya kepadaku, secara baik-baik....
plak-plak!" Dewa Mata Keranjang terpelanting, belum habis omongannya karena
tiba-tiba May-may nenek yang marah itu melengking dan berkelebat ke depan,
menampar. Dan ketika dia memaki-maki dan kakek itu mengaduh kesakitan tiba-tiba
enam yang lain bergerak dan May-may dihadang, sekaligus mendapat bentakan.
"May-may, jangan lancang. Cing Bhok tak boleh kauhakimi secara sepihak. Dia
adalah milik kita bertujuh!"
May-may terkejut. Sama seperti dia menghadang dan marah-marah ketika nenek Lin
Lin menampar kakek ini maka kini enam rekannya itu bergerak dan mengancam
dirinya. Dia akan diserang kalau sampai menyakiti Dewa Mata Keranjang, tak
diperkenankan menghukum atau menghajar kakek itu kalau tidak atas persetujuan
bersama. Ah! Dan ketika nenek ini tertegun dan sadar, mundur membelalakkan mata
maka Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak.
"Ha-ha, lihat!" kakek itu berseru. "Kalau aku ingin menghukummu mudah, May-may.
Sekali kuminta yang lain membalas tamparanmu maka kau akan jatuh bangun dan
mengalami seperti aku. Hayo, aku tak bersikap keras dan masih sayang kepadamu.
Ambilkan kopi dan minumi aku secara baik-baik!"
May-may menggigil. Nenek ini marah dan mau menerjang lagi tapi keenam temannya
berdiri di situ, siap melindungi dan mungkin akan menyerangnya, kalau ia berani
menyerang atau menyakiti Dewa Mata Keranjang itu. Dan karena ia sadar bahwa
betapapun juga enam temannya itu adalah isteri-isteri si Dewa Mata Keranjang
pula maka apa boleh buat ia menahan kemarahannya dan memaki.
"Aku tak mau, kau tua bangka sialan!"
"Kalau begitu aku juga tak mau bicara, ha-ha!" dan Dewa Mata Keranjang yang
tutup mulut dan meramkan mata lalu coba mendengkur dan tidur lagi, tak perduli
pada semuanya dan merahlah nenek May-may itu. Dia diminta agar menyiapkan kopi,
seperti tadi nenek Bi Hwa dan Bi Giok diminta menyiapkan air hangat dan handuk.
Dan ketika dia menolak dan reaksi kakek itu adalah diam, tak perduli lagi maka
enam temannya yang lain memandangnya marah dan aneh sekali merekapun meminta
agar dia memenuhi permintaan itu.
"Cing Bhok tak akan bicara, kalau kau tak segera memenuhi perintahnya. Lebih
baik ambilkan minuman itu dan anggaplah seperti anak kecil."
"Benar," Lin Lin yang kemarin marah-marah meninggalkan ruangan berkata
menimpali. "Kita semua tahu kekerasan kepala tua bangka ini, May-may. Kau
mengalahlah dan ambilkan minuman itu. Atau kita semua akan menghadapi sebuah


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patung batu dan maksud kita kandas!"
"Hm, baiklah!" nenek itu melompat marah. "Kalau bukan kalian yang bicara tentu
tak sudi aku melaksanakannya, Lin Lin. Baiklah kuanggap dia sebagai anak kecil
dan kalian tunggu dia di situ!"
Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Setelah May-may berkata seperti itu dan
pergi mengambil apa yang diminta maka dia membuka mata dan tertawa.
Kakek ini rupanya nakal dan ingin menggoda, karena ketika May-may datang lagi
dengan secangkir kopi panas, yang masih mengebul maka dia minta agar nenek itu
minum dulu! "Ha-ha, terima kasih. Tapi ah, aku ingin menikmati sisamu dulu. Minumlah sedikit
dan setelah itu dekatkan ke bibirku, May-may. Terima kasih dan kau sungguh
baik!" Si nenek tertegun. Dia sengaja membawa kopi yang panas mengebul itu untuk
menghajar kakek ini. Biarlah lidah kakek itu kepanasan dan Dewa Mata Keranjang
mungkin akan berteriak-teriak. Tapi ketika dia disuruh minum dulu dan kakek itu
tertawa menggoda maka kopi yang siap di tangan hampir saja dilontarkan ke muka
kakek ini! "Kau keparat, jahanam tua bangka! Ah, ingin aku meremukkan kepalamu!" namun
menghirup sedikit kopi itu dan mengerahkan sinkangnya agar lidah tidak tersengat
maka kopi akhirnya diberikan juga pada kakek nakal itu. Tapi Dewa Mata Keranjang
yang melihat kemarahan isterinya rupanya masih belum puas, karena ketika kopi
sudah didekatkan ke bibirnya dia berkata agar nenek itu mencium pipinya dulu.
"Hm, semakin marah semakin cantik! Ha-ha, cium pipiku dua kali, May-may. Baru
setelah itu kuminum!"
"Kau...!" "Jangan marah. Sekali kau membuang kopi itu ke mukaku maka yang lain-lain-akan
bergerak! Ha-ha, lihat, May-may. Kau akan mendapat kesulitan kalau berani
menyakiti aku!" May-may tertegun. Memang lagi-lagi dia melihat bahwa Lin Lin dan lain-lainnya
itu akan bergerak begitu dia akan menyiram kakek ini dengan kopi panas. May-may
gemetar dan marah bukan main, a-pa boleh buat terpaksa menahan kemarahannya itu.
Dan ketika Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak-gelak dan berkata bahwa itu
adalah hukuman untuknya karena dia selalu cemberut maka nenek ini mendekatkan
mulutnya dan dicium tapi juga disemprotnya kakek itu dengan maki-makian geram.
"Kau manusia tak tahu malu. Kau bedebah..... ngok-ngok!"
Dewa Mata Keranjang terbahak-bahak. Disemprot dan dicium secara kasar kakek ini
bahkan merasa gembira, dia balas mencium nenek itu tapi si nenek melengos. Dan
ketika kopi sudah diberikan padanya dan kakek nakal ini tertawa bergelak maka
dia duduk tegak bersandar dinding, masih tertotok beberapa bagian tubuhnya
hingga tak dapat berdiri.
"Ha-ha, sekarang aku puas. Bicaralah, apa yang ingin kalian bicarakan!"
"Hm, kami bicara tentang yang kemarin," Bwee Kiok, yang geli dan juga gemas
melihat ulah Dewa Mata Keranjang ini berkata mendahului yang lain-lain. la
memandang kakek itu dengan mata bersinar-sinar dan tajam, dibalas tawa ringan
dan mendongkollah yang lain-lain oleh sikap kakek ini yang angin-anginan. Dan
ketika yang lain mengangguk dan berkata benar maka Dewa Mata Keranjang menarik
napas. "Semalam sudah kupikir, dan jawabannya tetap."
"Tetap bagaimana?" Bwee Kiok bertanya.
"Hm, tetap seperti kemarin, Bwee Kiok. Bahwa aku tak dapat membantu
pemberontak!" "Keparat!" nenek Bhi Cu tiba-tiba memekik. "Jangan kau mainmain di sini, Cing
Bhok. Kalau begitu jawabanmu tentu kemarin kami sudah membunuhmu!"
"Ha-ha, bunuhlah. Aku tak takut!" tapi ketika si nenek bergerak dan hendak
menghantam kakek ini mendadak, seperti tadi, enam yang lain bergerak dan
mencekal lengannya. "Bhi Cu, tak boleh sembarangan. Tua bangka ini memang suka menggoda. Sebaiknya
kita bujuk dia!" dan Bi Hwa yang melangkah maju dengan mata bersinar tiba-tiba
berdiri angkuh di depan si Dewa Mata Keranjang. "Cing Bhok, ketahuilah. Kami
semalam sepakat bahwa kalau kau mau berdiri di pihak kami maka kami semua akan
melayanimu lagi seperti dulu-dulu. Kami tetap menganggap diri kami sebagai
isterimu, melupakan peristiwa yang sudah-sudah. Tapi kalau kau menolak maka akan
memusuhimu dan apa boleh buat terpaksa bersikap tidak bersahabat!"
"Hm, apa itu sikap tidak bersahabat?" kakek ini mengejek. "Mau menyiksa dan
membunuhku" Ha-ha, kau tahu bagaimana aku, Bi Hwa. Tak pernah undur dan takut
menghadapi apapun. Kalian boleh saja bicara seperti itu, tapi akupun juga boleh
bicara seperti apa yang aku suka!"
Bi Hwa, nenek ini mulai marah. Dia jengkel dan gemas melihat sikap keras kepala
kakek ini. Tapi ketika dia gagal membujuk dan lain-lain juga begitu tiba-tiba Bhi-kong-ciang Sia
Cen Lin atau nenek Lin Lin maju ke depan.
"Cing Bhok," nenek ini berapi. "Kau harus turut kami atau kami akan melumpuhkan
otakmu. Maaf, semalam kami telah sepakat pula untuk mencuci otakmu kalau dengan
jalan baik-baik kau tak mau dengar. Nah, pilih satu di antara dua dan kau
bergabung atau akan menjadi patung bernyawa!"
"Cuci otak?" kakek ini terkejut, kaget memandang nenek itu. "Apa maksudmu, Lin
Lin" Kau mau...."
"Ya, kau tahu, bukan" Dengan ini dan jarum-jarum di tangan Bi Giok kami akan
dapat memaksamu!" si nenek mengeluarkan seperangkat alat-alat garpu dan pisau
bedah, bahkan juga gunting dan sebungkus obat berbau harum. Dan ketika kakek ini
melihat semuanya itu, terutama obat di tangan si nenek tiba-tiba Dewa Mata
Keranjang berseru tertahan.
"Ni-kok-tan (Obat Lembah Seruni)!"
"Benar, hi-hik!" nenek itu berkata tertawa. "Obat yang di tanganku adalah Ni-
kok-tan, Cing Bhok. Dan dengan obat ini kau pasti tahu apa yang dapat kulakukan
padamu!" Dewa Mata Keranjang berobah. Tiba-tiba dia tak mainmain lagi dan sikapnya
menjadi serius. Ni-kok-tan, atau pil obat dari Lembah Seruni itu adalah obat
yang dipergunakan untuk melupakan daya ingat seseorang. Sekali seseorang
diminumi obat ini maka segala daya ingatnya hilang. Orang itu akan menjadi budak
si pemberi obat dan apa saja yang dikatakan si pemberi obat akan dia laksanakan
tanpa banyak bicara lagi. Adalah mengejutkan kalau tiba-tiba sekarang isterinya
si Kilat Biru ini memiliki obat itu. Teringatlah Dewa Mata Keranjang akan
percakapan beberapa tahun yang lampau ketika isterinya itu bertanya tentang di
mana obat yang hebat ini, yakni ketika mereka bercakap-cakap dan sedang
bermesraan di tempat tidur. Dan ketika kakek itu terbelalak dan segera sadar,
apa kiranya tujuan nenek itu bertanya tentang Ni-kok-tan segera Dewa Mata
Keranjang dapat mengetahui apa kiranya yang tersembunyi di benak isterinya ini,
yakni kiranya akan menundukkan dia dengan obat penghapus ingatan itu. Dan sekali
dia terjatuh di bawah pengaruh Ni-kok-tan tentu seumur hidup dia akan menjadi
budak isterinya ini! "Hi-hik, bagaimana, Cing Bhok" Kau masih juga menolak?"
"Hm-hm, kupikir dulu!" kakek ini terkejut. "Beri aku waktu sehari lagi, Lin Lin.
Dan besok kuberikan jawaban yang pasti!"
"Kami tak mau menunggu lagi!" nenek itu membentak. "Sekarang atau tidak sama
sekali!" "Kenapa memaksa?" kakek ini terkekeh. "Sekarangpun kalau aku belum siap tak
dapat kau memintanya, Lin Lin. Aku tak mungkin melarikan diri dan tak perlu kau
cemas. Aku minta waktu sehari lagi atau apapun yang mau kalian lakukan aku tak
ambil pusing!" bicara begini, diam-diam Dewa Mata Keranjang mengempos semangat
tiga kali. Jangan dikira kakek ini betul-betul tak berdaya. Sesungguhnya kemarin
juga dia telah berhasil membuka jalan darahnya itu, membebaskan diri dari
totokan dan dengan pernapasannya yang hebat, melalui Im-bian-kang atau Tenaga
Kapas Dingin kakek ini telah memunahkan totokan. Tak seorangpun di antara
isterinya itu menduga terjadinya hal ini. Mereka mengira si kakek terlumpuhkan
dan benar-benar tak berdaya, tak tahu bahwa Dewa Mata Keranjang berpura-pura dan
sebagai tokoh yang lihai tentu saja kakek ini tak gampang dipecundangi. Kemarin
dia hanya kaget dan silau oleh cahaya lampu yang tiba-tiba disorotkan ke
mukanya, tertegun dan saat itulah ketujuh isterinya ini melancarkan totokan,
kena dan dia roboh. Namun karena sinkang atau hawa sakti kakek ini sudah
sedemikian hebatnya dan meskipun totokan beruntun itu membuat dia terkejut namun
dengan ilmunya yang hebat, Pi-ki-hu-hiat atau Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah
sesungguhnya kakek ini tak tertotok sepenuhnya dan hanya sepertiga dari tujuh
totokan itu yang berhasil. Selebihnya, dia hanya bekerja sedikit dan tak sampai
sepeminuman teh dia berhasil membebaskan pengaruh totokan itu. Namun karena
kakek ini memang orang yang suka mainmain dan kehadiran tujuh isterinya di situ
tiba-tiba menggirangkan hatinya maka dia pura-pura roboh dan ingin tahu apa yang
selanjutnya hendak dilakukan isteri-isterinya itu, pura-pura tak berdaya dan
dengan kepandaiannya bersandiwara dia dapat mengelabuhi isteri-isterinya itu.
Tapi begitu dia melihat Ni-kok-tan dan kaget oleh obat di tangan Lin Lin tiba-
tiba kakek ini siap meloncat dan mendahului, kalau dia diserang. Tapi ketika Lin
Lin tampak tertegun dan mundur selangkah maka kakek ini bernapas lega dan tentu
saja semua urat-uratnya ikut mengendor.
"Baiklah," nenek itu membalik. "Terserah kalian yang lain, Bi Hwa. Tua bangka
menyebalkan ini rupanya ingin mengulur waktu. Hati-hati!"
"Hm, tak perlu takut!" May-may, si Rambut Sakti meledakkan rambutnya, "Dia
lumpuh dan tertotok di sini, Lin Lin. Kalaupun mau kabur tentu kita akan
mengetahuinya sebelum terlambat!"
"Sekarang bagaimana" Apakah kita mengikuti permintaannya?"
"Tak ada jalan lain," May-may mendongkol. "Sekali lagi kita turuti
permintaannya, Lin Lin. Tapi besok adalah penentuan terakhir. Kalau dia tetap
bersikeras maka paksa saja tua bangka itu meminum Ni-kok-tan!"
"Dan kita jadikan dia sebagai budak!" Bi Giok, si nenek satunya mendesis. "Aku
sebenarnya ingin menghajar tua bangka ini kalau saja kalian tak habis sabar. Hm,
untung sekali si tua bangka ini!"
"Sudahlah," Bwee Kiok menyela. "Kita bersabar sekali lagi, Bi Giok. Dan mari
menghadap Lauwtaijin!"
"Jangan semua!" nenek Bhi Cu tiba-tiba berseru. "Satu atau dua di antara kita
harus berjaga di sini, Bwee Kiok. Terus terang aku agak curiga kepada tingkah si
Cing Bhok ini. Aku mendapat firasat dia mau melakukan apa-apa!"
"Ha-ha, apa-apa bagaimana?" si Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. "Kau
penakut dan khawatir sekali, Bhi Cu. Ah, tapi tak apa kalau seorang atau dua
orang di antara kalian berjaga di sini. Kebetulan, aku memang perlu teman. Siapa
tahu kalian dapat membujukku dan jawaban sudah dapat kuberikan beberapa jam
lagi!" "Hm!" Bwee Kiok, yang tertegun dan curiga tiba-tiba seperti diingatkan. Yang
lain-lain juga begitu dan mereka terkejut mengerutkan kening. Dan ketika May-may
hendak melangkah meninggalkan ruangan maka Bi Hwa berseru agar seorang atau dua
di antara mereka menjaga kakek ini.
"Apa yang dikata Bhi Cu benar. Cing Bhok tua bangka yang licin. Siapa di antara
kita yang menjaganya?"
"Hm, sebaiknya kau saja!" May-may menjawab. "Kalian berdua menjaga di sini, Bi
Hwa. Dan kami akan menghadap Lauwtaijin!"
"Benar," Bhi Cu setuju. "Kalian berdua enci adik, Bi Hwa. Biarlah kalian di sini
dan kami menghadap Lauwtaijin!"
"Baik, kalau begitu kalian pergilah!" dan ketika Bi Giok tertegun dan tak jadi
keluar maka Bi Hwa segera ditemani adiknya ini sementara yang lain berkelebat
menemui Lauwtaijin. Mereka harus melapor lagi bahwa untuk kedua kalinya mereka
diharuskan bersabar. Dewa Mata Keranjang minta waktu lagi dan rupanya kakek itu
gentar, setelah melihat Ni-kok-'tan. Tapi begitu mereka pergi dan meninggalkan
dua temannya maka Dewa Mata Keranjang mulai melancarkan aksinya.
Mula-mula, kakek ini tertawa dan terkekeh-kekeh saja ketika harus dijaga di
situ. Sebenarnya, dijagapun dia tidak takut. Semalam kalau dia mau tentu dia
dapat meloloskan diri. Tapi karena isteri-isterinya ada di situ dan rasa rindu
membakar dirinya maka kakek itu bermaksud untuk mainmain sejenak, lupa pada
janjinya terhadap Bu-goanswe dan Mien Nio! Kakek ini karena suka mainmain dan
ugal-ugalan malah tak ingat sama sekali bahwa sehari lewat dengan cepat. Dia
lupa dan tak ingat lagi bahwa di sana Bu-goanswe dan Mien Nio menunggu dengan
cemas. Hadir dan munculnya isteri-isteri-nya di situ justeru membuat kakek ini
gembira karena dia akan dapat segera melepas rindu. Ah, tujuh isterinya itu
lihai dan cantik-cantik, meskipun sudah setengah umur. Maka begitu Bi Hwa dan
adiknya berjaga sementara lima yang lain berkelebat keluar maka kakek ini segera
memanggil Bi Hwa agar membetulkan letak tubuhnya yang miring.
"Aku pegal duduk begini, tertotok. Coba luruskan punggungku dan pijatlah
sebentar bagian belakang tengkukku'"
"Hm, kau mau apa" Jangan macam-macam, Cing Bhok. Aku tak melihat kau pegal dan
sakit-sakit. Diam sajalah di situ?"Ah, kau demikian tega, Bi Hwa" Kau sekejam itu" Lihat, urat leherku bisa
terkilir kalau terus-terusan begini. Lihat leherku membengkak.'"
Bi Hwa terkejut. Leher Dewa Mata Keranjang tiba-tiba membengkak, tentu saja
begitu karena dengan hawa saktinya tiba-tiba kakek ini membuat lehernya
menggelembung! Bi Hwa tak tahu bahwa kakek itu sekarang bebas, totokannya sudah
terbuka. Jadi juga tak menduga bahwa dengan hawa saktinya kakek itu lalu membuat
lehernya menggelembung, seolah bengkak. Dan karena hal ini memang dapat
berbahaya karena leher yang terkilir bisa berakibat fatal, salah-salah urat
besarnya putus maka Bi Hwa berkelebat dan membetulkan letak duduk kakek itu,
sekaligus mengusap dan menotok bagian yang sakit. Apa yang dilakukan nenek ini
adalah dalam usahanya menolong kakek itu, karena kalau sampai si Dewa Mata
Keranjang bengkak atau kena celaka tentu dia yang harus bertanggung jawab. Lima
temannya yang lain bisa menyangka dia atau adiknya menyakiti kakek ini. Maka
begitu dia bergerak dan menolong kakek ini, sesuai keluhannya, mendadak, tanpa
disangka sama sekali kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan sebuah totokan
jari telunjuk langsung menyambar pundaknya.
"Heii.... bluk!"
Kejadian ini tak disangka. Bi Hwa sama sekali tidak menduga bahwa kakek i-tu
tiba-tiba dapat menggerakkan tangannya, jadi berarti bebas. Dan ketika dia
terkejut namun jari si Dewa Mata Keranjang sudah mengenai pundaknya maka nenek
ini roboh dan langsung saja menindih si kakek. Kejadian berlangsung begitu cepat
dan saat itu juga dari bawah kakek ini menotok urat gagu lawannya. Bi Hwa jadi
tak dapat menjerit dan Bi Giok, adiknya, kaget sekali karena encinya roboh dan
ah-ah-uh-uh menindih si kakek. Nenek inipun terbelalak dan tentu saja juga tak
menduga bahwa sebuah serangan telah dilancarkan si Dewa Mata Keranjang kepada
encinya. Maka begitu melihat encinya roboh dan entah kenapa ah-ah-uh-uh menindih
si kakek tiba-tiba Bi Giok berseru keras menyambar encinya i-tu, bermaksud
menarik dan menolong encinya yang dikira kesandung. Dari jauh dan secara
sepintas memang kelihatannya encinya itu kesandung dan terjatuh, jadi karena
inilah Bi Giok bergerak dan hendak menarik bangun encinya itu. Tapi begitu dia
bergerak dan menyambar encinya, yang menindih tubuh si Dewa Mata Keranjang
mendadak kakek ini tertawa bergelak dan secepat kilat dari bawah ke atas ia
melakukan totokan pula ke lambung Bi Giok. "Robohlah!"
Bi Giok kaget bukan kepalang. Orang yang sedang tertawan dan tiba-tiba dapat
menyerang dan bergerak seperti itu jelas membuat nenek ini terkesiap dan kaget
sekali. Totokan Dewa Mata Keranjang tak terlihat karena terlindung di balik
tubuh Bi Hwa, yang menindihnya. Maka begitu Bi Giok dibentak dan totokan
menyambar lambungnya mendadak tanpa dapat dicegah lagi nenek inipun terbanting.
"Bluk!" Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Tiba-tiba kakek ini sudah mendorong tubuh
Bi Hwa dan ujung kakinya melejit menyambar jalan darah pi-ceng-hiat di bawah
dagu. Bi Giok yang hendak menjerit sekonyong-konyong tertahan jeritannya di
kerongkongan. Dewa Mata Keranjang memang bersikap cerdik dan hati-hati agar
lawannya tidak sampai mengeluarkan teriakan, karena hal itu berarti mengundang
bahaya karena May-may dan lain-lain pasti datang. Maka begitu dia menotok dan
merobohkan keduanya, dengan amat lihai dan cerdik kakek ini sudah .terbahak-
bahak menyambar Bi Giok enci a-dik.
"Ha-ha, bagaimana, Bi Giok" Kalian dapat membunuhku kalau sudah begini?"
"Ah-uh.... ah-uh....!" dua nenek itu tak dapat bicara, mendelik. Dewa Mata Keranjang
segera mengusap leher mereka dan terbebaslah sebagian totokan di urat gagu. Bi
Giok langsung saja menjerit dan memaki-maki kakek itu namun yang keluar ternyata
suara serak yang amat lemah sekali, sekuat-kuatnya suara dikeluarkan ternyata
tak lebih dari kerasnya kucing mengeong, kucing yang sedang sekarat a-tau
kesakitan! Dan ketika Bi Hwa juga mendapat perlakuan yang sama dan Dewa Mata
Keranjang terbahak tak dapat menahan geli maka kakek itu berseru kepada mereka,
"Ha, lihat. Siapa dapat memaksa siapa, Bi Giok" Bukankah kalau aku mau kalian
semua tetap bukan tandinganku" Tapi, ah.... aku masih sayang kepada kalian.
Betapapun kalian adalah isteri-isteri-ku. Jangan berteriak-teriak, aku tak akan
mengapa-apakan.... cup-cup!" dan si Dewa Mata Keranjang yang mencium keduanya lalu
tertawa dan membelai-belai mereka, tentu saja membuat dua nenek itu gusar namun
juga kaget sekali. Mereka terbelalak dan memaki-maki, terutama Bi Giok. Namun
ketika suara kian melemah dan serak akhirnya Bi Giok menangis dan encinya pun
mengucurkan air mata. "Hei, apa ini" Ah, jangan menangis, Bi Giok. Aku masih sayang kepadamu dan
encimu ini. Sudahlah, aku akan membebaskan kalian kalau kalian suka!"


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau... kau mau membebaskan kami?"
"Tentu, kenapa tidak?"
"Kalau begitu bebaskan kami, sekarang!"
"Ah-ah, nanti dulu!" Dewa Mata Keranjang tertawa. "Kubebaskan sekarang tentu
kalian berteriak-teriak, Bi Giok. Dan aku tak menghendaki keributan."
"Kalau begitu kau menipu!"
"Tidak, aku tidak menipu. Karena kalian benar-benar akan kubebaskan. Tapi,
hmm___ tunggu! Siapa di antara kalian yang ingin bebas lebih dulu!"
Rencana Manusia Terkutuk 1 Satria Gendeng 16 Setan Madat Mendung Dilangit Kepatihan 1
^