Pencarian

Mendung Dilangit Kepatihan 1

Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan Bagian 1


MENDUNG DI LANGIT KEPATIHAN Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Mendung Di Langit Kepatihan
128 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU SENJA masih baru saja menapak turun. Kepe-
katan malam belum dapat menguasai lingkaran bumi,
karena cahaya kuning sang mentari masih membias
dari bentangan kaki langit sebelah barat.
Samar-samar di keremangan suasana itu, seso-
sok bayangan berkelebat cepat melintasi hutan kecil
sepi yang memisahkan dusun Kepatihan. Begitu ce-
patnya kelebat bayangan tadi, hingga kejap itu juga
sosoknya lenyap dari pandangan, dan tahu-tahu mun-
cul saat hutan telah terlewati.
Sejenak bayangan ini hentikan larinya. Dia
angkat tangan kirinya lantas mengusap keringat yang
membasahi kening dan lehernya. Sepasang mata
bayangan ini memandang berkeliling tanpa mengge-
rakkan kepala. Ternyata dia adalah seorang perem-
puan yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi, karena selain seluruh wajahnya
telah dihiasi dengan keripu-tan, tubuhnya pun telah sedikit bungkuk. Sepasang
matanya sayu kelabu meski tampak besar dan menjo-
rok ke cekungan yang amat dalam. Bibirnya tampak
merah dipoles, sementara rambutnya yang panjang
dan berwarna putih disanggul ke atas. Namun yang
membuat orang selalu akan memperhatikan, ternyata
tubuh perempuan ini sangat subur. Hingga saat me-
langkah, seluruh daging tubuhnya seakan bergerak-
gerak semua. Ditingkahi dengan suara gemerincing ke-
cil yang ternyata keluar dari telinganya yang mengenakan anting-anting hanya
sebelah dan terdiri dari se-
buah anting besar yang dimuati beberapa anting-
anting kecil. Setelah memandang berkeliling dan tak mene-
mukan sesuatu, perempuan bertubuh besar ini me-
langkah ke samping kanan. Dari sini dia tiba-tiba
membuat gerakan salto dua kali, lain tubuhnya lenyap.
Tak lama kemudian semak belukar pinggir hutan itu
menguak. Perempuan bertubuh besar keluar dari semak
belukar dengan tangan kanan kiri memegang kelinci.
Lalu dengan tersenyum lebar, dia melangkah ke bawah
sebuah pohon. Dikumpulkannya beberapa ranting ker-
ing. Lantas dari balik bajunya dia keluarkan dua buah batu. Keduanya digosokkan
satu sama lain. Tak berselang lama kemudian, perempuan ini telah duduk
menggelosoh dengan menyantap daging kelinci bakar.
Namun mendadak saja perempuan bertubuh
besar ini hentikan kunyahannya. Sepasang matanya
menyapu berkeliling. Meski saat itu malam telah men-
jelang, namun karena ranting yang terbakar masih
menyala, membuat suasana di sekitar tempat itu ma-
sih jelas terlihat.
"Hmm.... Aku dengar suara langkah-langkah
orang! Sialan benar. Siapa malam-malam begini kesa-
sar ke tempat ini" Jangan-jangan dia.... Bukankah
hanya dia yang tahu, bahwa jika malam ini adalah ma-
lam terakhir ku menyembunyikan diri di Kepatihan.
Dia terlalu jauh mencampuri urusanku! Tapi jika bu-
kan dia" Hm.... Sebaiknya aku menghindar dahulu!"
Berpikir begitu, perempuan bertubuh tambun
besar ini sekali lagi menebar pandangan. Lalu dia balikkan tubuh masih dengan
tetap menggelosoh. Dan
dengan mengambil daging kelinci di atas ranting yang masih membara, perempuan
ini berkelebat. Sosoknya
tiba-tiba lenyap laksana ditelan kepekatan malam.
Begitu sosok perempuan itu lenyap, beberapa
saat kemudian muncul sesosok manusia di tempat tak
jauh dari tempat di mana perempuan bertubuh besar
tadi berada. Seraya membetulkan letak sanggulnya, sepa-
sang mata orang yang baru datang ini memandang ke
sekitar. Kepalanya pun ikut bergerak ke kanan dan ke kiri. Karena agak lama dia
tak menemukan sesuatu,
orang ini lantas melangkah mendekati bara ranting di bawah pohon.
Ternyata orang ini adalah juga seorang perem-
puan. Usianya pun juga sudah lanjut. Tubuhnya ku-
rus kering. Rambutnya yang sudah putih dan jarang
disanggul di atas kepala, karena begitu jarangnya
hingga sanggulan itu hanya menyerupai sebuah tusuk
konde. Anehnya rambut itu memang kaku! Mengena-
kan pakaian agak gombrong, hingga saat tertiup angin, pakaian yang dikenakan
berkibar-kibar seakan hendak
menerbangkan tubuhnya yang kurus kering. Kedua
kakinya yang mengeriput mengenakan sepasang te-
rompah besar dari kayu berwarna hitam. Begitu be-
sarnya terompah, hingga saat melangkah, tubuh orang
ini terseok-seok, bagai keberatan terompah. Padahal
sebenarnya memang tubuhnya telah begitu tua. Aneh-
nya, meski sendiri dan tak ada yang perlu disenyumi, perempuan ini selalu
menyunggingkan senyum!
"Sial! Aku percaya. Dia masih baru saja di sini!
Angin kelebatan tubuhnya masih ku rasakan!" berkata perempuan kurus kering
berterompah kayu besar dalam hati seraya sekali lagi menajamkan pandangan-
nya. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum.
"Sial! Minggat ke mana perempuan gembrot itu"
Jangan-jangan dia telah memulai perjalanan gilanya.
Bagaimanapun juga, sebagai saudara aku harus me-
nyadarkannya. Itu pun kalau perempuan gembung itu
mau. Jika tidak, peduli apa aku. Makan pun masing-
masing cari dan bersuap sendiri...," sambung perempuan berterompah besar ini
dalam hati sambil terus
tersenyum. Selagi perempuan ini berkata-kata sendiri da-
lam hati, tiba-tiba kegelapan malam itu dibuncah oleh seberkas cahaya yang
melesat cepat. Menghantam lurus ke arah perempuan berterompah besar ini!
Meski sedikit terperangah kaget, namun pe-
rempuan ini tak juga pupus senyumnya. Malah se-
nyumnya semakin lebar, dan serta-merta dengan gera-
kan agak kaku tegang, orang ini angkat kaki kanan-
nya. Wuuusss! Serangkum angin dahsyat menghentak menyi-
lang dari bawah ke atas, membuat lesatan berkas ca-
haya yang menghantam ke arah perempuan berterom-
pah besar melenceng ke samping kiri. Menerabas se-
mak belukar dan menghajar sebuah pohon besar.
Semak belukar itu rata habis, sementara di ke-
jap lain terdengar gemeretak, lalu terdengar berde-
bamnya pohon yang tumbang!
Karena sewaktu angkat kaki kanannya sepa-
sang mata perempuan berterompah besar ini melirik,
maka dia tahu, dari mana datangnya serangan. Maka
begitu dapat mematahkan serangan dari kegelapan,
orang ini lantas miringkan tubuh. Kedua tangannya
yang kurus kering dia pukulkan ke depan.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Gelombang angin dahsyat yang tak bersuara
sama sekali menghempas lurus ke depan! Di kejap itu
juga, tanah yang dilewati gelombang angin itu lang-
sung terbongkar dan membumbung ke angkasa. Se-
mak belukar tercerabut dan berhamburan!
Tak berselang lama kemudian, dari dalam ke-
pekatan malam terdengar suara orang mendengus ke-
ras seraya menyumpah serapah panjang pendek. Dan
sesaat kemudian, perempuan berterompah besar meli-
hat semak belukar sepuluh tombak di depannya berge-
rak menguak. Dan sesosok bayangan besar berkelebat
keluar sebelum gelombang angin menghajar!
Dengan tersenyum lebar, sepasang mata pe-
rempuan berterompah besar ini mengikuti kelebat
bayangan besar. Namun perempuan ini serta-merta
menggerutu seraya palingkan kepalanya ke kanan dan
kiri, sementara telinganya dia tajamkan, karena ter-
nyata sepasang matanya tak dapat mengikuti kecepa-
tan gerak sosok bayangan besar. Bayangan besar ini
seakan lenyap kembali. Namun mendadak saja perem-
puan berterompah besar merasakan tubuhnya tersam-
bar angin kencang, dan sebelum dia mengetahui apa
yang terjadi, dua buah benda hitam yang keluarkan
suara menggidikkan berkelebat ke arahnya.
"Sial!" rutuk perempuan berterompah besar seraya surutkan kaki satu tindak ke
belakang. Namun
baru saja kakinya bergerak, dua buah benda tersebut, yang ternyata sepasang
tangan besar kembali menghantam. Kali ini yang di arah adalah kepala dan dada!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Seraya melotot dan bibir tersenyum, perem-
puan berterompah besar angkat tangan kanannya se-
dangkan tangan kiri dikibaskan menyamping.
Bukkk! Bukkk! Dua pasang tangan yang sama-sama dialiri te-
naga dalam tinggi beradu. Pemilik sepasang tangan besar yang bukan lain adalah
perempuan bertubuh ge-
muk memekik kesakitan. Seraya geser kedua kakinya
ke belakang, dia angkat kaki kirinya dan dihantamkan lurus ke depan.
Di seberang, perempuan kurus kering berte-
rompah besar segera putar tubuhnya. Tubuhnya
membumbung, dan sekonyong-konyong kaki kanannya
disapukan. Desss! Prakkk! Kali ini terdengar dua pekikan tertahan ketika
dua kaki saling bentrok di udara. Tubuh perempuan
berterompah besar mental balik dan terjengkang di
atas tanah. Sementara tubuh perempuan besar berpu-
tar kencang, terhuyung-huyung sebentar, lantas jatuh menggelosoh dengan lutut
tertekuk! Perempuan berterompah besar buka mulutnya
lebar-lebar, namun tak terdengar suara tawa, malah
yang terlihat adalah senyumnya yang tersungging. Lalu terdengar dia berkata.
"Kali Nyamat! Hentikan serangan! Aku Rayi Se-
roja!" "Hm.... Sejak pertama kali dapat menahan se-ranganku, aku telah dapat
menduga. Ternyata me-
mang dia...!" kata perempuan bertubuh besar yang dipanggil Kali Nyamat begitu
dia mengenali suara orang di seberang.
"Tapi akan kuberi dia pelajaran, agar tidak ber-larut-larut kesukaannya
mencampuri urusan orang...,"
gumam Kali Nyamat.
Perempuan bertubuh besar ini lantas bangkit.
Dan seolah tidak mendengar perkataan orang, dia lan-
tas takupkan kedua tangannya di atas kepala.
"Sial! Apa dia sekarang sudah tuli?" gumam orang perempuan berterompah besar
yang tadi menyebut dirinya Rayi Seroja seraya memandangi tingkah
Kali Nyamat. Dia membelalakkan sepasang matanya,
keningnya mengkerut. Dari paras wajahnya bisa didu-
ga jika perempuan ini dilanda perasaan khawatir. Se-
mentara itu, Kali Nyamat saling gosok-gosokkan kedua tangannya satu sama lain.
Asap hitam telah nampak
mengepul. Tahu bahaya, Rayi Seroja kembali angkat bica-
ra. Kali ini suaranya agak dikeraskan.
"Biyung Gembung! Hentikan. Kalau kau masih
menganggap aku adikmu! Rayi Seroja...!"
Namun belum usai kata-kata Rayi Seroja, Kali
Nyamat yang juga dipanggil Biyung Gembung luruh-
kan kedua tangannya, dan serta-merta dihantamkan
ke arah Rayi Seroja.
"Sial! Celaka sekali. Dia benar-benar telah tuli.
Atau apakah dia memang hendak mengantarku ke
surga...?"
Seraya bergumam dan tersenyum-senyum, Rayi
Seroja segera jatuhkan dirinya bergulungan di atas tanah begitu kilatan merah
membersit menyambar ke-
luar dari kedua tangan Kali Nyamat.
Meski Rayi Seroja telah robohkan diri sebelum
kilatan itu menghantam, namun bias yang dimuntah-
kan kilatan itu sungguh hampir tak dapat dipercaya,
karena saat itu juga pakaian yang dikenakan Rayi Se-
roja riap-riapan laksana dihembus angin dahsyat. Tu-
buhnya yang bergulungan di atas tanah bergerak ma-
kin cepat! Rayi Seroja coba hentikan gerakan tubuhnya,
namun tiada guna. Tubuhnya terus bergelundungan.
"Sial! Ilmunya benar-benar maju pesat gem-
bung ini!" gerutu Rayi Seroja. Dia lantas hantamkan tumit kedua kakinya di atas
tanah. Gulungan tubuhnya seketika terhenti, dan tubuhnya mengangkasa.
Saat itulah, di bawah sana terdengar beberapa
kali suara gemeretak, lalu disusul dengan tumbangnya beberapa pohon. Ternyata
kilatan yang berhasil dihindari Rayi Seroja tadi menghajar beberapa pohon.
Di atas udara, Rayi Seroja lirikkan ekor ma-
tanya, namun sebelum orang ini berbuat sesuatu, se-
rangkum angin dahsyat membumbung berpusaran ke
arahnya! "Pusaran Sukma!" seru Rayi Seroja. Dia segera sentakkan kedua tangannya ke
bawah. Secepat dia
sentakkan kedua tangannya, secepat itu pula tubuh-
nya berkelebat menyingkir. Dia yang tadi menyebut


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nama pukulan yang dilancarkan Kali Nyamat tahu be-
nar kehebatan pukulan 'Pusaran Sukma'.
Plaaarrr! Malam yang baru saja menjelang itu dibuncah
oleh ledakan dahsyat ketika dua pukulan itu bentrok
di udara. Tubuh Rayi Seroja terbanting, meski sebe-
lumnya telah menyingkir jauh-jauh. Di pihak lain Kali Nyamat sendiri terhuyung-
huyung. Lantas kaki kirinya tampak goyah dan sesaat kemudian seraya melenguh
perlahan terdengar suara 'brekkk'. Tubuh besar Kali
Nyamat jatuh terduduk.
"Edan! Tikus ini masih hebat juga!" puji Kali Nyamat sambil bangkit. Gemerincing
kecil anting-antingnya saling bersahutan.
"Tikus kecil! Lekas tinggalkan tempat ini! Aku
muak lihat tampangmu!"
Rayi Seroja tertatih-tatih bangkit. Lantas den-
gan terseok-seok dia melangkah mendekati Kali Nya-
mat. Suara terompahnya berdebam-debam memekak-
kan telinga. "Biyung Gembung!" kata Rayi Seroja dengan bibir tersenyum, sementara tangan
kanannya memegan-
gi pahanya yang terasa ngilu bukan main terantuk ta-
nah. "Beberapa tahun tak jumpa. Saat jumpa kau sepertinya hendak membunuhku. Apa
perasaan kangen
telah lenyap di hatimu..."!"
Sejenak sepasang mata Kali Nyamat mengawasi
Rayi Seroja dengan seksama dari ujung kaki sampai
ujung rambutnya yang mencuat ke atas. Tiba-tiba dari mulutnya meledak suara
tawanya. Namun hanya sebentar, karena sejenak kemudian tawanya mendadak
dia penggal. Lalu dia berkata dengan alihkan pandan-
gan. "Tikus kecil! Hanya manusia tolol yang tidak
mempunyai perasaan kangen pada saudara. Namun
perasaan itu hilang begitu saja jika aku tahu apa maksud kedatanganmu
sebenarnya!"
"Sial! Tampaknya dia telah mengetahui maksud
kedatanganku. Apa yang harus kulakukan sekarang..."
Pulang dengan tanpa mengatakan sesuatu terlebih da-
hulu...?" membatin Rayi Seroja. Lalu buka mulut hendak berkata. Namun sebelum
ucapan keluar dari mu-
lutnya, Kali Nyamat telah mendahului berkata.
"Kau ingin mencegah kepergianku malam ini.
Betul"!" Rayi Seroja urungkan niat untuk berkata.
Meski dalam hati dia menggerendeng panjang pendek,
namun bibirnya sunggingkan senyum.
"Dari paras jelek wajahmu, tanpa kau jawab,
aku sudah tahu apa yang mengendap di benakmu!"
"Kali Nyamat! Kalau perjalanan gilamu ini hen-
dak kau laksanakan, apakah kau sudah perhitungkan
apa yang kelak terjadi"!"
Kali Nyamat kembali keluarkan tawa bergelak-
gelak. "Aku memang ingin buat kegegeran! Dan kau tahu, kegegeran apa di rimba
persilatan ini yang mele-bihi gonjang-ganjingnya bumi selain terbunuhnya be-
berapa tokoh yang di masa lalu menjadi tokoh besar!"
"Betul ucap mu. Namun kau harus ingat. Per-
soalan yang kau kemukakan untuk menghabisi tokoh-
tokoh itu hanya akan membuatmu dilecehkan orang!
Kau hanya sakit hati karena persoalan cinta di masa
muda. Itu kan masalahnya"! Lagi pula kau tak layak
menurunkan tangan pada beberapa orang hanya kare-
na orang tersebut teman daripada orang yang menya-
kitimu. Pikir masak-masak!"
Mendengar ucapan Rayi Seroja, Kali Nyamat
tambah keras gelak tawanya.
"Tikus kecil. Sejak kapan kau berani menggurui
ku, he..." Dilecehkan atau tidak, apa urusanmu" Le-
kas minggat dari hadapanku!"
"Sial! Apa kau kira aku senang melihat gentong
tubuhmu?" berkata Rayi Seroja. Lalu balikkan tubuh dan terseok-seok melangkah
meninggalkan tempat itu.
Kira-kira lima belas langkah kakinya, perempuan ber-
terompah besar ini balikkan tubuh. Dilihatnya Kali
Nyamat masih tegak berdiri. Seraya tersenyum, Rayi
Seroja berkata.
"Sebelum pagi menjelang, masih banyak waktu
untuk berpikir. Pertimbangkan baik-baik rencanamu.
Jika terjadi apa-apa, meski aku adikmu, aku tak akan sudi menolongmu! Selamat
malam...!"
"Kau tak perlu banyak mulut! Aku tak perlu
bantuanmu kalau hanya membunuh urusannya!" te-
riak Kali Nyamat. Dia sengaja berteriak, karena dilihatnya sosok Rayi Seroja
telah lenyap. Hanya debam
terompahnya yang terdengar bertalu-talu di kejauhan.
"Hm.... Menunggu pagi rasanya terlalu lama,
lebih baik aku berangkat sekarang saja...."
Berpikir begitu, perempuan bertubuh besar ini
lantas melangkah perlahan mengambil jurusan berla-
wanan dengan jurusan yang diambil Rayi Seroja. Meski langkahnya amat pelan,
namun sekejap kemudian sosoknya yang besar tidak lagi kelihatan, yang terdengar
hanyalah bunyi gemerincing anting-antingnya yang
seakan bersahutan memecah kesunyian malam.
*** DUA SEORANG perempuan bertubuh subur tampak
melangkah perlahan. Begitu besarnya tubuh perem-
puan ini, hingga saat bergerak melangkah seluruh daging yang tampak
menggelembung di sekujur tubuhnya
seakan-akan ikut bergerak. Hebatnya, meski nampak
melangkah pelan, namun sekejap saja sosoknya telah
melesat laksana anak panah dan sulit diikuti pandan-
gan mata biasa.
Seraya melangkah, sepasang mata perempuan
besar ini yang bukan lain adalah Kali Nyamat menge-
dari jalan-jalan yang dilewati dengan pandangan sedikit heran.
"Banyak sekali perubahan. Untung aku masih
dapat sedikit mengenali jalan-jalan ini. Jika tidak, bukan tak mungkin aku akan
tersesat. Ternyata dua pu-
luh delapan tahun saja sudah cukup untuk membuat
orang lupa...,"
Kali Nyamat berucap sendiri dalam hati seraya
tetap mengedarkan pandangan.
Tiba-tiba perempuan bertubuh subur ini henti-
kan langkahnya tatkala sepasang matanya menangkap
sesuatu di kejauhan.
"Hmm.... Padang rumput berwarna merah. Be-
rarti aku hampir sampai tujuan. Semoga tua bangka
itu masih hidup!" berkata Kali Nyamat seraya dongakkan kepala. Dahinya
mengernyit, sementara matanya
menyipit. Tampaknya dia silau oleh cahaya sinar ma-
tahari yang menerpa melewati sela-sela batang pohon
di sekitarnya. Kali Nyamat angkat telapak tangan ki-
rinya, diletakkan di depan dahi. Dengan begini, sesua-tu yang dilihat akan
nampak lebih jelas.
"Gubuk reot itu. Tak ada perubahan di sini...!"
gumam Kali Nyamat. Lalu melangkah ke arah padang
rumput berwarna merah yang pada sudutnya tampak
sebuah gubuk dan tembok persegi empat yang ting-
ginya sampai dua tombak.
Seakan telah mengenali daerah ini, Kali Nyamat
segera berkelebat melewati padang rumput berwarna
merah tanpa sedikit pun menyentuh. Dan sesaat ke-
mudian, sosoknya telah berdiri tegak di depan gubuk.
Sebentar, sepasang mata Kali Nyamat beredar
tajam mengelilingi kanan-kiri gubuk. Dia tak menemu-
kan siapa pun. Untuk meyakinkan, sekali lagi dia me-
nebarkan pandangan matanya, malah kali ini kepa-
lanya bergerak berputar. Dan kala dia memang tak
menemukan siapa-siapa, mulutnya membuka hendak
berteriak. Namun sebelum suara terdengar dari mu-
lutnya, seseorang telah menegur.
"Orang tua! Kau mencari seseorang...?"
Dengan takupkan kembali mulutnya, Kali Nya-
mat berpaling ke samping kiri. Sepasang matanya me-
natap tajam ke depan. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis berparas cantik
dengan sepasang mata bu-
lat. "Siapa gadis ini..." Penghuni baru tempat ini"
Hm.... Tampaknya orang ini tak berilmu cetek. Keda-
tangannya tak bisa kuduga sebelumnya. Tapi peduli
apa. Aku tak ada perlu dengan dia!" membatin Kali Nyamat. Lalu masih dengan
memandang tajam, dia
berkata, "Anak gadis. Betul ucap mu. Aku mencari seseorang! Dia bernama Selaksa!
Hik.... Hik.... Hik....
Kau tahu...?"
Seraya surutkan langkah dua tindak ke bela-
kang, terkejut dengan paras muka perempuan di ha-
dapannya dan juga merasa adanya nada tak enak pada
suara orang, sang gadis alihkan pandangan.
Dalam hati gadis ini yang bukan lain adalah
Ajeng Roro, murid Eyang Selaksa berkata, "Siapa orang ini..." Eyang Selaksa
sepertinya tak pernah mencerita-kan tentang ciri-ciri orang seperti ini. Siapa
pun dia adanya, yang pasti manusia ini berkepandaian tinggi.
Dengan tubuh yang begini besar, dia bisa berkelebat
yang tak bisa diikuti pandangan mata...."
"He...! Ditanya orang malah melamun. Kau ta-
hu di mana Selaksa"!" kata Kali Nyamat mengulangi pertanyaan.
"Bagaimana ini" Menilik dari suaranya, orang
ini berniat tidak baik pada Eyang. Aku tidak mungkin membohonginya, karena Eyang
pasti dengar semua ini.
Waktu ku tinggalkan tadi, Eyang sedang bersemadi.
Ada apa sebenarnya antara orang ini dan Eyang...?"
kembali Ajeng Roro membatin. Hingga untuk beberapa
saat lamanya dia tak juga menjawab pertanyaan Kali
Nyamat. "Eee, Bocah Edan! Kudengar kau tadi mene-
gurku, sekarang seperti orang gagu tak bisa bicara.
Apa kau mendadak bisu lihat tampang cantik ku ini.
Hik.... Hik.... Hik...! Kalau kau tidak mau jawab, biar-lah kucari sendiri...!"
lalu, seraya tertawa terkekeh-kekeh, Kali Nyamat melangkah ke arah gubuk.
"Nek...! Tunggu!" seru Ajeng Roro. Kali Nyamat hentikan langkah, namun tanpa
palingkan wajah pada
Ajeng Roro yang berada di belakangnya.
"Orang yang kau cari tidak ada di sini!" teriak Ajeng Roro seraya arahkan
pandangan pada pintu gubuk. Kali ini Kali Nyamat palingkan wajah. Sepasang
matanya menyorot tajam menusuk dua bola mata gadis di hadapannya.
"Kau bisa berucap sesukamu. Namun penci-
umanku tidak bisa dibohongi. Orang yang kucari ada
di sekitar sini. Hik.... Hik.... Hik...!"
Paras muka Ajeng Roro berubah. Dia tercekat
mendengar kata-kata perempuan di depannya. Dan
tanpa menghiraukan perubahan paras Ajeng Roro, Kali
Nyamat meneruskan langkah.
Ajeng Roro buka mulut kembali hendak berte-
riak. Namun belum sampai suaranya keluar, bahunya
terasa ditepuk orang. Dan belum sempat dia palingkan wajah mencari tahu siapa
adanya orang, terdengar suara dari belakangnya.
"Roro. Kau menyingkirlah jauh-jauh. Dan jan-
gan coba ikut campur masalah ini. Ini urusan orang
tua...!" Tanpa berpaling, tampaknya gadis cantik ini sudah dapat mengenali siapa
adanya orang di belakangnya. Maka dengan raut muka sedikit heran, Ajeng
Roro berkata, sementara sepasang matanya terus
mengawasi langkah Kali Nyamat.
"Eyang.... Siapa gerangan perempuan gendut
itu" Aku menangkap niat tidak baik pada wajahnya.
Ada apa sebenarnya"!"
Yang diajak bicara tidak segera menyahut,
membuat gadis ini balikkan tubuh dan memandang lu-
rus pada orang di hadapannya. Di hadapan gadis ini
kini berdiri seorang kakek mengenakan caping lebar,
hingga para wajahnya hanya terlihat sebagian.
Begitu Ajeng Roro balikkan tubuh, sang kakek
yang bukan lain adalah Eyang Selaksa tersenyum.
Namun terasa sekali senyum itu dipaksakan. Setelah
batuk-batuk perlahan, Eyang Selaksa berkata, "Dia bernama Kali Nyamat. Namun
dalam rimba persilatan
dia terkenal dengan gelar Dewi Kayangan. Dia punya
adik seorang perempuan bernama Rayi Seroja, yang
dalam kancah persilatan lebih dikenal dengan gelar
Dewi Bayang-Bayang."
Ajeng Roro membelalakkan sepasang matanya.
Dia memang pernah mendengar nama itu, namun ti-
dak sedikit pun terlintas jika orangnya demikian.
"Mereka berdua adalah tokoh-tokoh berilmu
tinggi pada zamannya. Hanya segelintir orang yang dapat menyamai keduanya. Tapi
karena sifat kedua
orang itu aneh, maka tak jarang jika sebagian orang
menganggapnya sebagai manusia-manusia sinting!" sejenak Eyang Selaksa
menghentikan keterangannya.
"Lantas ada masalah apa dengan Eyang...?"
bertanya Ajeng Roro seraya terus mengawasi gerak-
gerik Kali Nyamat alias Dewi Kayangan yang kini telah memasuki gubuk.
Eyang Selaksa batuk-batuk kecil. Pandangan-
nya beralih jauh. Paras mukanya mendadak berubah.
Lalu dengan suara perlahan dia berkata.
"Kami dahulu adalah sepasang kekasih...,"
kembali Eyang Selaksa hentikan ucapannya. Sementa-
ra Ajeng Roro semakin membeliakkan sepasang ma-
tanya. Malah dia segera takupkan telapak tangannya
menahan agar suara jeritannya tidak terdengar.
"Namun karena waktu itu aku mendapat tugas
dari mendiang Guru, Panembahan Gede Laksana, aku
terpaksa harus meninggalkannya. Sayangnya, tugas
yang ku emban tak dapat segera kuselesaikan hingga
bertahun-tahun. Hal ini tampaknya tak bisa diterima
oleh Kali Nyamat. Dia menuduhku yang bukan-bukan.
Bahkan karena sakit hati merasa kukhianati, beberapa kali dia mencoba
membunuhku! Dia tak merasa bahwa
sampai saat ini pun aku masih mengharapkannya!
Dan...." Eyang Selaksa tidak melanjutkan ucapannya, karena dari arah samping
terasa ada angin deras menyambar.
Seraya memberi ingat pada muridnya, Eyang


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selaksa palingkan wajah. Kedua tangannya didorong
menyamping. Bummm! Terdengar letupan keras tatkala angin yang me-
lesat keluar dari kedua tangan Eyang Selaksa mema-
pasi serangan angin yang datang dari arah samping.
Sementara itu, Ajeng Roro yang tahu adanya bahaya
segera melesat ke samping, dari sini dia tarik sedikit kedua tangannya ke
belakang, lalu serta-merta hendak dihantamkan pada orang yang membokong, namun
gadis ini segera urungkan niat begitu mengetahui sia-pa adanya orang yang baru
saja lancarkan serangan.
Di lain pihak. Eyang Selaksa cepat palingkan
tubuh dan wajah. Di hadapannya kini berdiri tegak sesosok perempuan bertubuh
subur dengan sepasang
mata berkilat tajam. Namun sebentar kemudian, dari
mulut perempuan ini keluar suara tawa me-ngekeh di-
tingkahi suara gemerincing. Karena suara tawa itu bukan tawa biasa, melainkan
telah dialiri tenaga dalam, maka tak heran jika kejap itu juga Ajeng Roro segera
surutkan langkah ke belakang, sementara Eyang Selaksa gelengkan kepala seraya
balas menatap. "Tampaknya doaku dikabulkan Tuhan. Kau
masih hidup. Memang hanya aku yang ditakdirkan
mencabut nyawamu! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Kali Nyamat...," desis Eyang Selaksa. Hatinya berdebar keras.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka. Kau telah kuha-
ramkan untuk sebut namaku. Sebut nama yang lain
saja! Hik.... Hik.... Hik...!"
Eyang Selaksa tersenyum. Lalu berkata perla-
han, "Kali Nyamat. Kuucapkan selamat datang di tem-patku ini. Lama kita tak
jumpa, bagaimana kabarmu?"
Kali Nyamat menyambuti kata-kata Eyang Se-
laksa dengan senyum seringai. Tapi sejenak kemudian
bibirnya telah mengumbar kekehan tawa.
"Tua bangka bau tanah! Kau tak usah berbasa-
basi. Tentunya kau masih ingat kata-kata terakhir ku dahulu. Hari ini aku datang
untuk membuktikannya!
Bersiaplah menyongsong saat kematian! Hik.... Hik....
Hik...!" Habis berkata begitu, Kali Nyamat angkat tangan kanannya di atas
kepala, sementara tangan ki-
rinya didorong dengan telapak terbuka.
Wuuuttt! Selarik kilatan merah yang membawa hawa pa-
nas dan suara menggelegak segera menyambar ke arah
Eyang Selaksa. "Kali Nyamat. Tunggu! Tahan seranganmu!" tahan Eyang Selaksa seraya melompat ke
samping ka- nan menghindarkan diri dari serangan Kali Nyamat.
*** TIGA KALI Nyamat keluarkan kekehan tawa hingga
daging di sekujur tubuhnya bergerak-gerak. "Jangan banyak mulut, Tua Bangka.
Alasan apa pun yang hendak kau utarakan, aku tak akan menerimanya! Dosa-
mu sudah sedalam laut setinggi awang-awang. Hik....
Hik.... Hik...!"
Eyang Selaksa mendesah perlahan seraya me-
narik napas dalam-dalam. Tengkuknya merinding. Dia
telah paham sifat Kali Nyamat atau Dewi Kayangan.
Perempuan ini keras kepala dan tak mau menerima
saran. "Kali Nyamat. Kalau kau memang merasa puas dengan matinya diriku, aku
hari ini juga akan menyerahkan diri. Namun jika niatmu masih ditunggangi
orang lain, sampai kapan pun aku akan bertahan!"
Dewi Kayangan mendengus keras. Dagunya se-
dikit terangkat dengan pelipis bergerak-gerak pertanda menindih hawa amarah.
"Selaksa. Bertahun-tahun aku mengasingkan
diri. Itu karena aku ingin melupakan kisah lama. Tapi semakin ku coba melupakan,
ingatan itu semakin deras menggoda. Maka satu-satunya jalan untuk meng-
hilangkan hal itu adalah membuat mati orang yang
membuat masalah ini. Dan itu kau adanya! Kau sudah
siap" Atau kau ada pesan terakhir" Hik.... Hik....
Hik...!" Kembali Eyang Selaksa menghela napas dalam-dalam. "Jika begitu
keadaannya, baiklah. Aku pasrah-kan diriku padamu! Dan memang ada pesan sebelum
aku mati di tanganmu...," berkata Eyang Selaksa seraya pandangi Kali Nyamat
dengan tatapan sayu.
"Lekas katakan!" bentak Kali Nyamat sambil cekikikan.
"Tentunya kau masih ingat dengan kematian
adikmu yang paling bungsu."
"Mekar Sari yang bergelar Dewi Bunga Iblis...,"
gumam Kali Nyamat seakan berkata pada diri sendiri.
"Aku tak akan lupa dengan dia. Dan aku akan mengejar siapa pembunuhnya!"
Eyang Selaksa tersenyum dan gelengkan kepa-
la. "Bagus jika kau masih ingat. Tapi apakah kau
tahu siapa pembunuh adikmu itu..."!"
"Selaksa!" bentak Kali Nyamat dengan suara menggelegar. "Jangan bermimpi aku
akan mengurung-kan niat membunuhmu hanya karena kau akan men-
gatakan siapa pembunuh adikku! Hik.... Hik.... Hik...!
Aku akan mencari tahu sendiri!"
"Kau salah besar jika berperasaan begitu. Se-
perti permintaanmu tadi, sebelum mati aku hanya
berpesan, percuma kau mencari tahu siapa pembunuh
adikmu. Karena hal itu hanya akan mendatangkan
masalah besar bagimu!"
"Setan Alas!" teriak Kali Nyamat lengking. "Ra-malan apa lagi yang kau ucapkan,
Tua Bangka"! Siapa
percaya mulut busukmu!"
Eyang Selaksa tertawa pendek, lalu berkata,
"Aku bukan peramal. Namun satu hal perlu kau ingat.
Adikmu sebenarnya tak meninggal seperti yang kau
duga. Jadi jangan menebar maut karena dugaan yang
salah! Nah, sekarang aku siap menghadapi kematian!"
Paras muka Kali Nyamat berubah seketika. Da-
hinya mengernyit dengan kaki tersurut dua langkah ke belakang. Sementara itu,
agak jauh dari tempat kedua orang ini, Ajeng Roro mendengarkan dan melihat
dengan perasaan khawatir.
"Jahanam!" rutuk Kali Nyamat dalam hati. "Apa benar segala ucapan manusia busuk
ini tentang Mekar
Sari" Kalau dia memang belum mati, lantas ke mana
selama ini" Bedebah! Teka-teki apa pula ini...?"
"Selaksa! Jangan kau menebar fitnah saat
menghadapi kematian!" berkata Kali Nyamat dengan majukan kembali kakinya.
Di seberang, Eyang Selaksa tersenyum seraya
geleng-gelengkan kepalanya.
"Mana aku pernah menebar fitnah berkata bo-
hong...?" "Tua bangka jahanam! Apa kau lupa mengata-
kan tentang tugas yang kau emban dari gurumu, pa-
dahal mana buktinya, he...?" kata Kali Nyamat masih dengan nada tinggi.
Sekali ini Eyang Selaksa tertawa terbahak-
bahak. "Kali Nyamat. Saat itu kau salah paham.
Aku...." Belum sampai Eyang Selaksa selesaikan kata-katanya, Kali Nyamat telah
menyahut, "Kau jangan menutupi kebohonganmu di samping muridmu. Akui
saja!" seraya berkata, Kali Nyamat mengarahkan pandangan matanya pada Ajeng
Roro. "Aku pantang mengakui segala hal yang tak
pernah kulakukan! Nah, Kali Nyamat, bukankah kau
tadi hendak turunkan tangan untuk membunuhku"
Lakukanlah!"
Kali Nyamat tampak bimbang. Dia memandangi
Eyang Selaksa dengan pandangan yang sukar diarti-
kan. "Kau ragu-ragu. Apa hendak ada yang akan
kau kemukakan..."!" berkata Eyang Selaksa tatkala menangkap isyarat kebimbangan
di wajah perempuan
bertubuh gendut ini.
Kali Nyamat keluarkan gumaman yang tak da-
pat dimengerti. Setelah agak lama lantas berkata, "Selaksa! Sebelum kau kukirim
ke alam lain, dan jika ka-ta-katamu bisa dipegang, katakan padaku, di mana
sekarang beradanya Mekar Sari!"
Eyang Selaksa dongakkan kepala memandang
langit. Dari mulutnya terdengar suara tawa panjang.
Tatkala tawanya berhenti, dia berkata.
"Itu urusanmu! Orang yang akan mati tak layak
memberitahu!"
Paras wajah Kali Nyamat merah mengelam.
Namun sesaat kemudian terdengar cekikikannya.
"Jika begitu, baiklah! Aku urungkan niat untuk
membunuhmu, namun aku akan mencabuti satu per-
satu anggota tubuhmu sampai kau mengaku di mana
beradanya Mekar Sari!"
"Ha... ha... ha.... Jangankan kau cabuti satu
persatu anggota tubuhku. Mesti kau cabuti juga satu
persatu rambut di seluruh tubuhku, aku tak akan
memberitahukan padamu, karena itu adalah urusan-
mu!" "Hm.... begitu" Akan kita lihat nanti, apakah ucapanmu benar! Hik....
Hik.... Hik...!"
Habis berkata begitu, Kali Nyamat takupkan
kedua tangannya sejajar perut. Didahului bentakan
nyaring, tubuhnya tiba-tiba berkelebat lenyap. Dan, ti-ba-tiba saja sosoknya
telah menukik deras ke arah
Eyang Selaksa dengan kedua kaki menekuk sebatas
lutut! Sementara kedua tangannya bersiuran meren-
tang pulang balik!
Meski tadi telah berkata menyerahkan diri, na-
mun tampaknya Eyang Selaksa tidak mau mati konyol.
Begitu sosok besar Kali Nyamat lenyap, kakek bercap-
ing lebar ini angkat kedua tangannya di atas kepala.
Sementara tubuhnya dia geser ke samping kanan se-
raya tunggingkan pantat agar kepalanya dapat sedikit merunduk.
Ketika satu depa lagi tubuhnya memapasi tu-
buh Eyang Selaksa, Kali Nyamat buka sepasang ka-
kinya dan digerakkan pulang balik ke depan dan ke
belakang, sementara tangannya bergerak menyilang.
Plaaasss! Terdengar suara benda tersambar. Caping lebar
di atas kepala Eyang Selaksa amblas mental dan han-
cur berkeping-keping terkena sambaran tangan kanan
Kali Nyamat! Sementara terjangan sepasang kaki Kali
Nyamat menghajar angin sejengkal di samping ping-
gang Eyang Selaksa.
Saat itulah Eyang Selaksa tebaskan kedua tan-
gannya ke bawah, memburu sepasang kaki Kali Nya-
mat yang luput menghajar sasaran. Namun Eyang Se-
laksa jadi melengak kaget, karena kejap itu juga den-
gan gerakan cepat menakjubkan, Kali Nyamat putar
tubuhnya. Sepasang kakinya menyapu dengan tubuh
membalik! Prakkk! Eyang Selaksa menjerit tertahan. Bahunya te-
rasa ambrol terhantam kaki kiri Kali Nyamat. Tubuh-
nya mental berputar dan terhuyung-huyung ke bela-
kang. Kakek ini mencoba menahan gerak tubuhnya
agar tidak roboh, namun nyatanya putaran itu begitu
keras, hingga lutut kakek ini tampak goyah. Pada ak-
hirnya dengan dipegangi bahu kirinya, Eyang Selaksa
jatuh terduduk!
Di lain pihak, Kali Nyamat segera melayang tu-
run dan menjejak tanah dengan tawa cekikikan. Agak
jauh, Ajeng Roro mengawasi dengan bibir saling men-
gatup. "Selaksa! Berdoalah sebelum ajal merenggut nyawamu!" berkata Kali Nyamat.
Dari balik pakaiannya yang ternyata rangkap dua, perempuan bertubuh subur ini
keluarkan sebuah selendang panjang berwarna
merah. "Kali Nyamat! Kau tak usah banyak ucap. Namun perlu kau camkan, mati
hidup seseorang tidak di-
tentukan oleh manusia!" kata Eyang Selaksa seraya merambat bangkit.
"Hik.... Hik.... Hik.... Seseorang memang baru
akan mengingat Tuhan di kala hidupnya telah berada
di ujung tanduk. Tapi kita buktikan dahulu, apakah
tanganku memang tidak sanggup merenggutkan satu
persatu anggota tubuhmu dan mengantarmu ke liang
lahat!" Habis berkata begitu Kali Nyamat kebutkan selendang merahnya. Serangkum
angin deras berkelebat
angker dan mendahului meluruk ke arah Eyang Selak-
sa. Eyang Selaksa dorong kedua tangannya ke de-
pan. Sementara kedua kakinya diangkat sejengkal di
atas tanah! Plaaarrr! Terdengar letupan keras saat angin yang keluar
dari kedua tangan Eyang Selaksa melabrak deru angin
yang mendahului kelebatnya selendang. Hebatnya, ge-
rakan selendang itu seakan tertahan oleh hamparan
angin yang ternyata menderu tak henti-henti dari telapak tangan Eyang Selaksa.
"Edan!" sungut Kali Nyamat sambil menarik selendang merahnya. Tubuhnya dia tarik
ke belakang. Selendang merah itu kini tiba-tiba menjadi keras serta menghampar lurus! Dan
tetap mengapung di atas udara!
Seraya membentak garang, mendadak Kali
Nyamat berkelebat. Dan tahu-tahu tubuhnya telah me-
langkah cepat di atas selendang! Hebatnya, dimuati
tubuh sebesar itu, selendang merah itu tak meliuk!
Seraya melengak kagum, Eyang Selaksa tam-
bah tenaga dalamnya, hingga saat itu juga dari kedua telapak tangannya gelombang
angin deras menyambar
tak henti-hentinya.
Kali Nyamat membeliakkan sepasang matanya.
Sanggulan rambutnya terlepas dan rambutnya berki-
bar-kibar, demikian juga pakaiannya. Sejenak tubuh
perempuan ini tampak oleng di atas selendang. Namun
sebelum tubuhnya jatuh terjerembab dari atas selen-
dang, Kali Nyamat bergerak cepat gulingkan tubuhnya!
Kini tubuh besar perempuan ini bergerak
menggelundung di atas selendang dan menerabas deru
angin serangan Eyang Selaksa!
Begitu hampir sampai ujung selendang, tiba-
tiba keluar seruan keras dari mulut Kali Nyamat. Tu-
buhnya terhenti mendadak, dan serta-merta kaki ka-
nannya bergerak melejang ke dada Eyang Selaksa!
Kakek ini segera turunkan tangannya dan dis-
ilangkan di depan dada untuk menangkis!
Namun kakek ini tertipu, karena begitu sejeng-


Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kal lagi kaki kanan Kali Nyamat menghantam tangan,
perempuan besar ini tarik kaki kanannya. Tubuhnya
berputar dan kini dari arah depan dengan duduk ke-
dua kaki Kali Nyamat menghentak dari arah kanan
dan kiri mengarah pada kepala Eyang Selaksa!
Merasa tertipu, kakek ini cepat pula angkat
kembali kedua tangannya untuk melindungi kepa-
lanya. Saat itulah dengan membentak kedua tangan
Kali Nyamat bergerak menggedor dada Eyang Selaksa
yang lowong! Desss! Eyang Selaksa terpekik kesakitan. Tubuhnya
melayang jauh ke belakang! Namun bersamaan dengan
masuknya serangan Kali Nyamat, Eyang Selaksa masih
sempat hentakkan kedua tangannya pada dua kaki
Kali Nyamat. Hingga bersamaan dengan melayangnya
tubuh Eyang Selaksa, tubuh besar Kali Nyamat terje-
rembab ke atas tanah dengan pantat terlebih dahulu!
Bummm! Perempuan bertubuh besar ini menggerutu ha-
bis-habisan. Tanah tempat dirinya jatuh terjerembab
bergetar hebat. Hebatnya, seakan tak merasakan sakit, Kali Nyamat segera bangkit
dan mengebutkan selendang merahnya. Selendang itu meliuk ke atas dan se-
kejap kemudian ujungnya telah tertangkap oleh tangan Kali Nyamat.
Di seberang, Eyang Selaksa terbatuk-batuk dan
meludah ke tanah. Darah berwarna kehitaman nam-
pak keluar pertanda dia telah terluka cukup dalam.
Sejenak Kali Nyamat pandangi kekasih di masa
mudanya itu dengan pandangan aneh. Kebimbangan
kembali menyeruak di wajah perempuan gembrot ini.
Namun tatkala teringat pada tingkah Eyang Selaksa
yang telah menyakitinya, matanya berkilat-kilat merah.
"Edan! Kenapa aku selalu tak tega jika kea-
daannya sudah begini" Apakah aku masih mencin-
tainya..." Benar-benar edan! Kalau dia mau kasih tahu di mana beradanya Mekar
Sari, mungkin aku masih
memperpanjang usianya. Bila tidak, apa boleh buat!
Dia harus mampus, meski sebenarnya aku berat...,"
membatin Kali Nyamat. Lalu perempuan ini melangkah
mendekati Eyang Selaksa yang kini telah berdiri seraya batuk-batuk memegangi
dadanya. "Bila perempuan gembrot ini terus hendak me-
maksakan niat untuk membunuh Eyang, aku tak akan
tinggal diam, meski apa yang dikatakan Eyang belum
tentu benar adanya!" berkata Ajeng Roro dalam hati sambil terus memperhatikan.
Tangan gadis ini diam-diam telah dialiri tenaga dalam untuk berjaga-jaga.
"Selaksa!" kata Kali Nyamat begitu hampir dekat. "Sekali lagi kuperingatkan.
Katakan di mana beradanya Mekar Sari. Dan sebagai imbalannya, hari ini
usiamu ku perpanjang!"
Eyang Selaksa luruskan tubuh. Sepasang ma-
tanya menatap tajam. Namun sesaat kemudian yang
terdengar adalah suara tawanya yang tersendat-
sendat. Di lain pihak, seraya tetap menunggu jawaban, Kali Nyamat pun keluarkan
tawa cekikikan, membuat
Ajeng Roro geleng-geleng kepala seraya menggumam.
"Heran. Baik yang akan menurunkan tangan
kematian atau yang hendak menghadapi kematian sa-
ma-sama sintingnya. Mereka sepertinya anak-anak
yang main-main...."
Karena ditunggu hingga lama Eyang Selaksa
hanya tertawa-tawa, Kali Nyamat habis kesabaran.
"Tampaknya kau pilih mati daripada buka sua-
ra! Hik.... Hik.... Hik...!"
Eyang Selaksa hentikan tawanya. Kepalanya
tengadah ke atas memandang langit.
"Sebenarnya tidak juga, Kali Nyamat. Aku
hanya ingin mengukur rasa cintamu padaku! Apakah
masih menggelora seperti diriku!"
Mendengar perkataan Eyang Selaksa, Kali
Nyamat memperkeras cekikikannya. Namun tiba-tiba
perempuan ini hentikan cekikikannya. Setelah melu-
dah tiga kali ke tanah, dia berkata dalam hati, "Tua edan tak tahu diri. Saat
menghadapi kematianmu masih sempat bicara cinta segala macam!" lalu Kali Nyamat
berkata dengan suara tinggi.
"Puiiih. Cinta. Apa kau kira dengan kata-
katamu itu aku jatuh kasihan padamu. Hik.... Hik....
Hik...! Kau salah alamat Selaksa!"
Habis berkata begitu, Kali Nyamat kebutkan
kembali selendang merahnya.
Terdengar suara angker berkelebatnya selen-
dang yang diiringi menebarnya hawa panas!
Eyang Selaksa yang telah terluka dalam terce-
kat. Dia sama sekali tak menduga jika kekasih di masa mudanya itu benar-benar
hendak menurunkan tangan
kematian padanya.
Seraya menindih rasa tak percaya, Eyang Se-
laksa jatuhkan diri di atas tanah, menghindari sabetan selendang merah yang
telah diketahui kehebatannya.
Namun tampaknya Kali Nyamat tak memberi peluang
pada Eyang Selaksa. Karena begitu selendangnya
menghajar tempat kosong, Kali Nyamat kembali ke-
butkan selendang ke arah mana Eyang Selaksa berge-
rak menghindari
Karena saat itu Eyang Selaksa telah terluka,
membuat gerakannya tidak lagi gesit, hingga pada sua-
tu kesempatan, selendang merah Kali Nyamat berhasil
melibat kaki Eyang Selaksa dan serta-merta disentak-
kan dengan keras.
Tubuh Eyang Selaksa terbanting ke atas tanah
dan kini bergulingan ke arah Kali Nyamat. Sementara
Kali Nyamat dengan tertawa cekikikan menarik selen-
dangnya dan berkelebat berputar mengitari tubuh
Eyang Selaksa. Eyang Selaksa terpekik beberapa kali, malah
pada pekikan yang terakhir, tidak lagi terdengar suara, hanya korokan laksana
orang sekarat. Ajeng Roro yang melihat kejadian itu segera
angkat kedua tangannya dan hendak dihantamkan
pada Kali Nyamat.
Namun Ajeng Roro segera urungkan niat tatka-
la dari arah samping mendadak berkelebat bayangan
hijau dan bersamaan dengan itu menderu angin dah-
syat menghantam pada pergelangan tangan Kali Nya-
mat! "Edan! Siapa campuri urusan orang"!" teriak Kali Nyamat seraya palingkan
wajah. Tangannya yang
memegang selendang dan kini sedang menarik tubuh
Eyang Selaksa bergetar hebat. Meski perempuan ber-
tubuh gembrot ini sudah coba kerahkan tenaga untuk
bertahan, namun hantaman angin itu seakan tak bisa
dibendung, hingga dengan berteriak marah, perem-
puan itu lepaskan tarikannya pada tubuh Eyang Se-
laksa! Tubuh Eyang Selaksa bergulingan deras di atas tanah dan baru terhenti
saat Ajeng Roro melompat
menahan. Dengan perlahan-lahan disandarkannya tu-
buh eyangnya itu di batang pohon.
"Eyang.... Aku akan membantu dengan salur-
kan tenaga dalam ke tubuhmu!" kata Ajeng Roro seraya jongkok dan siap tempelkan
telapak tangannya
pada dada kakek gurunya itu.
Namun Eyang Selaksa menggeleng perlahan
dan berkata, "Tak usah Roro. Aku tak apa-apa. Segalanya akan normal kembali....
Hm.... Siapa gerangan
orang yang menyelamatkan aku tadi...?"
Baru saja Eyang Selaksa berkata begitu, ter-
dengar suara lantang Kali Nyamat, membuat dua
orang guru dan murid ini sama-sama palingkan wajah
ke arah beradanya Kali Nyamat.
"Siapa kau kecoa kecil"!" bentak Kali Nyamat dengan wajah merah padam. Sepasang
matanya membeliak seolah hendak meloncat keluar. Dagunya te-
rangkat dengan pelipis bergerak-gerak. Namun mulut-
nya keluarkan tawa cekikikan, membuat tubuhnya
bergerak-gerak. Lalu terdengar suara gemerincingnya
anting-anting. "Heran. Sewaktu bertempur dengan Eyang, tak
kudengar suara gemerincingnya anting-anting...," gumam Ajeng Roro seraya
memperhatikan daun telinga
Kali Nyamat. "Itulah, Roro. Dia memang tokoh yang ilmunya
sukar diukur. Dalam gerakan bertempur pun dia ma-
sih dapat meredam suara gemerincingnya anting-
anting yang dipakainya. Kau tahu, kenapa sewaktu
bertempur denganku, Kali Nyamat meredam suara ge-
merincing anting-antingnya?"
Ajeng Roro gelengkan kepala tanpa menoleh.
Pandangannya masih lurus ke depan, mencoba men-
genali sosok yang kini berhadapan dengan Kali Nya-
mat, karena sosok itu membelakangi dirinya.
"Karena anting-anting yang dikenakan Kali
Nyamat adalah anting-anting pemberianku dahulu...!"
"Eyang.... Bukankah orang itu...," Ajeng Roro tak meneruskan ucapannya. Dia
seakan belum yakin
benar dengan pandangan matanya.
Eyang Selaksa tersenyum, namun dia segera
meringis, karena tatkala dibuat tersenyum dadanya terasa sakit. Setelah
menyalurkan tenaga dalam, kakek
ini kembali tersenyum dan berkata.
"Betul! Orang itu adalah Aji...," kata Eyang Selaksa seraya memperhatikan ke
depan. Mendengar ucapan Eyang Selaksa, Ajeng Roro
tanpa sadar melompat girang. Namun gadis ini segera
sadar dan cepat tekap mulutnya yang hendak berte-
riak. Paras mukanya bersemu merah dan tak berani
berpaling ke arah eyangnya.
Di seberang, sosok berbaju hijau yang telah
menyelamatkan Eyang Selaksa tersenyum-senyum di-
bentak demikian rupa oleh Kali Nyamat. Malah, den-
gan tawa tertahan, sosok hijau ini memandangi pe-
rempuan bertubuh besar di hadapannya, membuat
orang yang dipandangi semakin membeliakkan sepa-
sang matanya. "Edan! Siapa ini orang" Tenaga dalamnya begi-
tu luar biasa!" membatin Kali Nyamat seraya melotot memperhatikan orang di
hadapannya. Lalu dengan suara galak, dia kembali berkata, "Kau pilih mati atau
buka suara! Hik.... Hik.... Hik...!"
Orang berbaju hijau di hadapan Kali Nyamat
sejenak masih tersenyum-senyum. Orang ini yang ter-
nyata adalah seorang pemuda tampan dan bukan lain
adalah Aji Saputra Alias Pendekar Mata Keranjang 108
malah palingkan wajah. Menatap pada Eyang Selaksa
dan membungkuk sebentar. Lalu alihkan pandangan
pada Ajeng Roro dengan kerdipkan sebelah matanya.
Eyang Selaksa mengangguk perlahan, sementa-
ra Ajeng Roro balas menatap dengan semburat berse-
mu merah. Apalagi tatkala didengarnya Eyang Selaksa
batuk-batuk kecil dan mendehem.
Di lain pihak, merasa tidak digubris, Kali Nya-
mat naik pitam. Seraya cekikikan Kali Nyamat ke-
butkan selendang merahnya perlahan ke arah tubuh-
nya. Serta-merta selendang merah itu melilit pinggang Kali Nyamat. Dan begitu
selendang melilit, Kali Nyamat segera berkelebat. Sosoknya yang begitu besar
lenyap dari pandangan, membuat Pendekar 108 terperangah
kaget dan tak menduga.
"Gila! Bagaimana orang segede itu bisa bergerak secepat ini" Atau mataku yang
sudah tidak dapat melihat dengan sempurna?" membatin murid Wong Agung ini seraya
kucek-kucek sepasang matanya dengan
punggung tangan kanan.
Selagi Pendekar 108 dibuat tak percaya dengan
penglihatan matanya, terdengar suara cekikikan yang
diseling dengan suara gemerincing. Dan belum sempat
Pendekar 108 melihat apa yang terjadi, dari atas kepalanya menderu angin
dahsyat. "Aji! Awas serangan!" teriak Ajeng Roro seraya gigit bibir.
Seraya menekan rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang cepat tengadahkan kepala. Lalu dengan ges-
er kaki kanannya kedua tangannya diangkat ke atas
kepala. Praaak!
Terdengar benturan keras. Tubuh Aji Saputra
terseret hingga satu tombak ke samping. Untung dia
segera membuat gerakan jungkir balik dua kali. Jika
tidak, niscaya tubuhnya akan jatuh terjengkang. Di
lain pihak, Kali Nyamat yang ternyata baru saja sapukan kaki kanannya memburu ke
arah Pendekar 108.
"Gila! Tanganku terasa hendak terpenggal. Sia-
pa sebenarnya perempuan ini" Eyang Selaksa tidak...."
Murid Wong Agung ini tak bisa melanjutkan ka-
ta hatinya, karena saat itu juga sosok besar Kali Nyamat telah menerjang ke
arahnya dengan kedua kaki
dan tangan bergerak bersiutan yang sukar ditangkap
pandangan mata.
Mendapati serangan demikian, Pendekar 108
tak mau bertindak gegabah. Dia sadar, orang yang di-
hadapi kali ini adalah seorang berkepandaian tinggi.
Maka seraya angkat kedua tangannya di atas kepala,
Aji putar tubuhnya dengan cepat.
Kali Nyamat tertawa cekikikan. Tiba-tiba dia
tukikkan tubuhnya tanpa melakukan serangan. Malah
dengan tetap tertawa-tawa dia berdiri tegak di hadapan Aji yang masih memutar
tubuhnya. Pendekar Mata Keranjang 108 merasa heran,
karena sekian lama memutar tubuh, dia tak merasa-
kan adanya serangan, bahkan menderanya angin pun
tidak. Dengan rasa heran melanda pikiran, murid
Wong Agung ini hentikan putaran tubuhnya. Namun
pada saat itulah dua buah benda besar berkelebat
menghantam ke arah muka Pendekar 108.
Pendekar 108 terkejut bukan alang kepalang.
Serentak Pendekar 108 dorongkan kedua tangannya.
Namun gerakannya terlambat. Karena baru saja kedua
tangannya bergerak, dua tangan telah berkelebat me-
nyambar!

Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paaasss! Rambut panjang Pendekar Mata Keranjang 108
yang dikuncir ekor kuda tersambar bagian samping.
Hingga ikatan rambut itu terlepas. Untung murid
Wong Agung ini cepat rundukkan kepalanya. Hingga
meski rambutnya sedikit terabas, namun kepalanya te-
tap terhindar dari hantaman telak.
Namun Pendekar 108 tidak begitu saja bisa
enak-enakan. Karena begitu mendapati serangan yang
dilancarkan hanya bisa memangkas sedikit rambut la-
wan, Kali Nyamat keluarkan dengusan keras. Dan ber-
samaan dengan itu dia dorong kedua tangannya, ki-
rimkan serangan jarak jauh! Karena setelah berhasil
menghindar, Pendekar 108 cepat meloncat ke bela-
kang. Wuuusss! Angin dahsyat laksana gelombang dan kelua-
rkan suara menggemuruh menyambar ke arah Pende-
kar 108. Pendekar 108 kepalkan kedua tangan, lalu di-
pukulkan ke depan. Murid Wong Agung ini ternyata te-
lah kirimkan pukulan 'Segara Geni'. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya
yang seketika dibuka melesat gelombang angin yang membawa hawa panas dan
suara menggeledak.
Plaaarrr! Terdengar letupan hebat ketika dua serangan
bertenaga dalam itu bertemu di udara. Bersamaan
dengan terdengarnya letupan, tubuh Pendekar 108
terhuyung-huyung ke belakang. Di pihak lain, tubuh
Kali Nyamat hanya tersurut dua langkah ke belakang
dan tetap dalam posisi tegak kokoh.
"Kunyuk Edan. Waktuku akan habis jika hanya
main-main begini!" rutuk Kali Nyamat seraya lepas selendang merah dari
pinggangnya. "Aji. Hati-hati...!" seru Ajeng Roro begitu melihat Kali Nyamat melepas
selendang merahnya.
Kali Nyamat palingkan wajah pada Ajeng Roro,
lalu beralih pada Pendekar 108 yang kini telah keluarkan kipas ungunya dan
dikipas-kipaskan di bawah
dagu. "Hik... Hik... Hik...! Tampaknya kalian sepasang kekasih. Betul?" berkata
Kali Nyamat seraya geleng-gelengkan kepala, membuat gemerincing anting-
antingnya berbunyi makin keras.
"Salah, betul!" jawab Pendekar Mata Keranjang 108 seraya kerlingkan mata pada
Ajeng Roro. Yang di-
kerling mendelik dengan paras merah padam sulit di-
artikan. Sementara Eyang Selaksa kembali geleng-
gelengkan kepala.
"Siapa kau"! Dan apa kuasamu tanya-tanya
masalah hubunganku"!" sambung Pendekar 108 se-
raya tetap berkipas-kipas.
Kali Nyamat memperkeras cekikikannya. Lalu
berkata. "Anak bodoh! Siapa tanya hubunganmu. Aku
hanya menduga. Karena jika betul, aku gembira sekali.
Berarti Tua Bangka itu tidak menjadikan gadis itu sebagai gundiknya. Hik....
Hik.... Hik...!"
"Tampaknya kau cemburu. Apa kau mencintai
eyangku itu..."!" kata Pendekar 108 seraya lirikkan sepasang matanya.
Kali Nyamat serta-merta hentikan cekikikan-
nya. Sepasang matanya menatap tajam tak kesiap.
Namun ekor sebelah matanya melirik ke arah Eyang
Selaksa yang tampak terkejut juga mendengar ucapan
Aji. "Ha.... Ha.... Ha...! Dari perubahan wajahmu,
dugaanku tak meleset. Kau sebenarnya menyintai
eyangku. Betul?" kini balik Pendekar 108 yang mengajukan pertanyaan.
"Haram jadah! Siapa sudi menyintai Tua Bang-
ka bermulut pembual itu?" kata Kali Nyamat seraya memberengutkan wajah.
Perempuan ini lantas meludah ke tanah dengan menampakkan rasa jijik.
Di seberang, Ajeng Roro menggerendeng pan-
jang pendek, sementara Eyang Selaksa tertawa ter-
pingkal-pingkal.
"Jahanam! Apa yang kau tertawakan"! Hik....
Hik.... Hik...!" bentak Kali Nyamat seraya luruskan pandangan pada Eyang
Selaksa. Dan demi dilihatnya
Eyang Selaksa terus tertawa, Kali Nyamat marah. Tan-
pa berkata-kata lagi perempuan bertubuh gembrot ini
lepaskan selendang merahnya ke arah Eyang Selaksa.
Namun sebelum selendang itu berkelebat, Pen-
dekar 108 segera melompat seraya kibaskan kipas un-
gunya. Wuuuttt!
Kali Nyamat segera berpaling. Selendang merah
dia tarik dan serta-merta dikebutkan ke arah Pendekar Mata Keranjang.
Selendang merah meliuk deras dengan kelua-
rkan suara menggidikkan.
Pendekar Mata Keranjang 108 terperangah ka-
get, karena sambaran angin yang melesat lepas dari
kipasnya seakan terabas dan hilang lenyap tertelan
sambaran selendang! Malah liukan selendang itu kini
menghampar ke arahnya!
Untuk kedua kalinya murid Wong Agung ini ki-
baskan kipasnya. Kali ini dengan pengerahan tenaga
penuh, bahkan tangan kirinya pun ikut bergerak
menghantam ke depan dengan telapak terbuka.
Liukan selendang merah tiba-tiba laksana ter-
tahan oleh hamparan angin dahsyat, hingga gerakan-
nya lamban bahkan mental balik!
Kali Nyamat melengak saking kagetnya. Baru
pertama kali ini serangannya dapat ditahan dan men-
tal balik menghantam ke arahnya sendiri. Dari mulut-
nya terdengar suara sumpah serapah. Namun semua
itu hanya sesaat. Sebentar kemudian yang terdengar
adalah suara cekikikannya serta gemerincing anting-
anting giwangnya yang bergerak seiring berkelebatnya Kali Nyamat ke arah
samping. Dari samping, perempuan gembrot ini kebutkan kembali selendang merah-
nya. Selendang merah meliuk ke depan. Namun kali
ini tiba-tiba lurus dan menghampar di udara. Lalu
dengan gerakan yang sulit ditangkap mata, kedua tan-
gan Kali Nyamat mendorong ke depan. Sementara pe-
gangan tangannya pada ujung selendang dia lepaskan!
Selendang merah bergerak lurus ke depan den-
gan cepat. Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 108
kembali dibuat terkagum-kagum dengan serangan la-
wan. Seraya melompat ke belakang, pendekar murid
Wong Agung ini segera kebutkan kipasnya, sedang
tangan kirinya menyentak ke depan.
Seberkas cahaya keputihan menebar keluar da-
ri kipas dan tangan Pendekar Mata Keranjang 108.
Anehnya, gerak laju selendang merah tak terha-
langi, malah menerabas cahayanya keputihan dan me-
luruk ke arah Pendekar Mata Keranjang 108!
Aji kembali membuat gerakan melompat ke be-
lakang untuk menghindar. Namun kali ini gerakannya
kalah cepat dengan laju selendang. Untung dia masih
sempat menggeser tubuh ke samping, hingga meski
tubuhnya terbanting deras namun dada dan kepalanya
selamat dari hantaman lurus selendang yang ternyata
berubah keras laksana kayu pipih!
"Gila! Ini baru benar-benar gila!" rutuk Pendekar 108 seraya merambat bangkit.
Sementara Ajeng
Roro menyaksikan dengan rasa cemas dan khawatir.
Bahkan tampaknya dia ingin juga segera melangkah
maju. Namun langkahnya tertahan tatkala didengar-
nya Eyang Selaksa berkata.
"Roro. Kau tak usah terlalu cemas. Kali Nyamat
tak akan menurunkan tangan untuk membunuh Aji.
Percayalah! Dia hanya sakit hati padaku. Tidak pada
Aji...!" "Tapi, Eyang...."
"Percayalah. Aku tahu siapa Kali Nyamat...!" ka-ta Eyang Selaksa meyakinkan
Ajeng Roro. "Hik.... Hik.... Hik...! Nasibmu buruk sekali,
Anak Monyet! Kau harus mampus sebelum sempat
Lencana Pembunuh Naga 5 Mustika Lidah Naga 4 Setan Harpa 14
^