Pencarian

San Pek Eng Tay 1

San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt Bagian 1


SAN PEK ENG TAY Romantika Emansipasi Seorang Perempuan
Diceritakan kembali oleh: OKT
Diredaksi dan diberi kata pengantar oleh: ASA
YAYASAN OBOR INDONESIA Edisi Pertama: Juli 1990 Edisi Keenam: Maret 2004 YOI: 104.8.12.90 Desain sampul dan perwajahan: Harmanto Edy Djatmiko (Lukisan sampul dan
ilustrasi koleksi ASA) Alamat Penerbit: Jl. Plaju No. 10 Jakarta 10230
Telp. (021) 31926978 ; (021) 3920114
Fax: (021) 31924488 e-mail: yayasan_obor@cbn.net.id
Versi PDF: http://cliford.blogspot.com
Editor: Haura Converter: clickers BELILAH BUKU ASLINYA PRAKATA PENERBITAN seri buku sastra negeri-negeri yang
dinamakan secara tidak tepat dengan julukan Dunia
Ketiga (itulah kebiasaan manusia yang buruk, cenderung mengotak-ngotakkan
manusia dan bangsa-bangsa, dan
bukannya melihat bangsa-bangsa dunia adalah menyatu dalam satu-umat manusia)
telah lama kami pikirkan dan rencanakan di Yayasan Obor Indonesia.
Bangsa-bangsa yang sedang berkembang di dunia
sedikit banyak berada dalam situasi yang sama, dan
menghadapi pengalaman-pengalaman dan berbagai
tantangan yang juga di antaranya ada yang sama. Mereka sebagian terbesar adalah
bekas negeri jajahan kekuasaan asing. Masyarakat mereka juga berada di taraf
transisi, perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern dengan
segala masalah dan keperihannya. Di
banyak negeri demikian kedudukan wanita mengalami
perubahan-perubahan mendasar, yang tidak saja
berpengaruh terhadap wanita sendiri, tetapi juga pada pihak lelaki. Demikian
pula banyak nilai tradisional mengalami perubahan, yang sering merupakan
pengalaman traumatik terhadap banyak orang.
Pembangunan ekonomi sendiri mendorong berbagai
perubahan di banyak bidang penghidupan dan nilai-nilai perorangan dan
masyarakat. Adalah penting artinya dan amat menarik bagi kita di Indonesia, yang juga dalam
proses yang sama, untuk membaca pengalaman manusia di berbagai negeri lain
yang sedang berkembang. Bagaimana reaksi dan jawaban mereka terhadap dampak dari
berbagai hal baru yang berkembang dalam masyarakat mereka" Bagaimana
mereka dapat mengatasi atau menyelesaikan masalah-
masalah kemanusiaan dan masyarakat yang timbul"
Perubahan-perubahan nilai yang terjadi"
Sastra yang baik selalu merupakan cermin sebuah
masyarakat. Sastra memang bukan tulisan sejarah dan juga tidak dapat dijadikan
sumber penulisan sejarah. Akan tetapi sastrawan yang baik akan selalu berhasil
melukiskan dan mencerminkan zaman dan
masyarakatnya, serta manusia anggota masyarakatnya.
Sastrawan yang baik akan dapat menampilkan
pengalaman manusia dalam situasi dan kondisi yang
berlaku dalam masyarakatnya.
Membaca karya-karya sastra dari negeri yang sedang
berkembang ini, kita di Indonesia, pasti akan menemukan banyak persamaan,
meskipun tentu juga akan diketemukan berbagai reaksi dan jawaban yang berbeda, akibat dari latar belakang
sejarah, kondisi dan situasi masyarakat, nilai-nilai masyarakat maupun
perorangan, agama, dan sebagainya yang saling berbeda.
Akan tetapi jika kita membuka pikiran dan hati kita membaca seri sastra dari
negeri ini, maka kita akan mendapat pengalaman yang kaya sekali, pengalaman
manusia yang hanya dapat kita timba dari sastra, dan yang tidak mungkin kita
dapat dari buku-buku sejarah maupun penelitian masyarakat. Mungkin saja
pengalaman itu dapat membawa kita pada pengertian yang lebih jelas dan jernih
tentang apa yang terjadi dengan kita dalam masyarakat kita di Indonesia ini.
Penerbit Yayasan Obor Indonesia KATA PENGANTAR ASA TRAGEDI terbesar San Pek Eng Tay bukanlah tragedi percintaan antara San Pek dan
Eng Tay, melainkan tragedi pemutarbalikan citranya, dari romantika emansipasi
seorang perempuan menjadi kisah percintaan yang tragis, atau kisah pasangan
abadi, atau kisah perempuan yang setia semata-mata.
San Pek Eng Tay adalah cerita rakyat dari Tiongkok yang mengisahkan suatu
episode kehidupan seorang
pemudi intelektual bernama Ciok Eng Tay (disingkat, Eng Tay) dan seorang pemuda
terpelajar bernama Nio San Pek (disingkat, San Pek) yang hidup di abad ke-4
Masehi. Seperti lazimnya cerita-cerita rakyat, kisah ini adalah anonim dan mempunyai
beberapa versi. Versi yang umum kenal adalah yang menampilkan citra yang telah terbalik itu.
Sebagaimana anggapan umum dan saya juga, ia melukiskan hubungan percintaan
antara Eng Tay dan San Pek yang berakhir dengan kematian mereka yang sangat
menyedihkan. Ringkasan ceritanya adalah sebagai berikut. Eng Tay, yang menyamar
sebagai seorang lelaki agar dapat bersekolah di rantau, ternyata jatuh cinta
pada San Pek, teman sekolah dan bahkan teman
sekamarnya di asrama. San Pek yang pada mulanya
menyayangi Eng Tay sebagai adik angkatnya yang
dikenalnya sebagai seorang lelaki, membalas cinta Eng Tay ketika mengetahui
bahwa Eng Tay sebenarnyalah seorang perempuan. Tetapi perjalanan cinta mereka
tak dapat berlanjut hingga perkawinan karena orang tua Eng Tay telah menjodohkan
anaknya itu dengan Ma Bun Cay, putra seorang pembesar yang kaya-raya, dan
memaksakan perkawinan itu. San Pek pun patah-hati, jatuh sakit, lalu mati. Namun Eng Tay
menolak perkawinan tersebut dan tetap setia pada San Pek. Maka dalam perjalanan
menuju rumah mempelai lelaki (Ma Bun Cay), Eng Tay menziarahi kuburan San Pek.
Di tengah-tengah ratap tangis dan
pernyataan kesetiaan Eng Tay di hadapan kuburan San Pek, terjadilah keajaiban,
kuburan itu merekah. Dan tanpa tedeng aling-aling lagi Eng Tay terjun ke
dalamnya menyusul sang kekasih. Belakangan dari kuburan mereka sering beterbangan
sepasang kupu-kupu. Demikianlah, citra kisah San Pek Eng Tay, yang tertanam pada banyak orang dan
juga pada diri saya adalah kisah percintaan yang tragis, atau kisah pasangan yang abadi, atau kisah
seorang perempuan yang setia.
Sehingga pada mulanya, ketika OKT, seorang penerjemah sastra Cina/Tiongkok sejak
tahun 1920-an, mengajukan usul kepada saya untuk penerbitan San Pek Eng Tay
versi sadurannya, yang katanya merupakan karya
terjemahannya yang terakhir, terus terang saja saya kurang tertarik. Pada waktu
itu di benak saya timbul penolakan: "Apakah gunanya menerbitkan kisah ini"
Bukankah ia hanyalah sebuah kisah percintaan, suatu tema yang sudah banyak
dibuat orang, lagi pula ia telah pernah disadur ke bahasa Indonesia?"
Tak dapat dipungkiri bahwa San Pek Eng Tay -sering disebut Sam (sic) Pek Eng
Tay- merupakan salah satu karya sastra Cina yang populer di tanah air kita untuk
masa yang panjang, lebih dari satu abad. Sejak saduran Boen Sing Hoo berjudul
Tjerita Dahoeloe Kala di Negeri Tjina, Terpoengot dari Tjerita'an Boekoe
Menjanjian Tjina Sam Pik Ing Taij terbit di tahun 1885, hingga sekarang telah
ada tidak kurang dari 10 judul buku serupa. Bahkan sebagian di antaranya,
termasuk saduran Boen Sing Hoo itu,
mengalami cetak ulang beberapa kali.1 Kisah ini pun 1 Lihat Claudine Salmon,
Literatue in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotaled
Bibliography, Paris: Archipel. 1981, pada judul
"Liang Shanbo Yu Zhu Ying Tay," hlm. 486-487.
pernah difilmkan dan kerap dipentaskan. Kepopulerannya tidak terbatas pada
kalangan orang-orang etnis Cina saja, tetapi juga meresap sampai ke kalangan
orang-orang bumiputera, khususnya orang-orang etnis Jawa, Betawi dan Bali. Hal ini terbukti
dari pengakulturasian kisah ini dalam ludruk dan ketoprak di Jawa, lenong di
Jakarta dan sekitarnya, drama tari Arya dan tembang Macapat di Bali.
Belakangan ini, di tahun 1989 kisah ini juga dikasetkan oleh grup lawak
Jayakarta. Dan yang paling ramai diliput oleh media massa dan banyak ditonton
orang adalah pergelaran drama San Pek Eng Tay versi N. Riantiarno oleh Teater Koma, yang
berlangsung selama 18 hari dalam
bulan Agustus-September 1988 di Gedung Kesenian
Jakarta.2 Sementara pementasan ulang di Medan pada
tanggal 20-21 Mei 1989, yang tidak jadi dipagelarkan karena dilarang oleh
pejabat setempat, konon karcis-karcisnya habis terjual.3
Tetapi dalam kepopularitasannya, San Pek Eng Tay dicitrakan sebagai sekadar
sebuah kisah percintaan atau kisah wanita yang setia, seperti halnya Romeo &
Julie, Layonsari dan Jayaprana, atau Roro Mendut dan Pronocitro.
Beberapa subjudul saduran San Pek Eng Tay yang lain memang menegaskan citra ini.
Misalnya, subjudul saduran The T(in) L(am) berbunyi "Tjerita doeloe kala di
Negrie Tjina sa-orang lelakie njang terindoe pada sa-orang perempoean sampe
djadi matinja"; saduran Jo Tjim Goan bersubjudul
"... satoe korban dari pertjintaan..."; subjudul saduran Oei Soei Tiong adalah
"... katjintaan dari hidoep sampe mati,..."; Lie Tek Long memberi subjudul,
"..., satoe katjintaan jang 2 Lihat, misalnya. Efix, 'Sandiwara Sampek Engtay,
Menjaring Cinta Pekerja Sibuk. Kompas 4 September 1988; Putu Wijaya. 'Luka Cinta
dalam Ketawa.' Tempo, 3 September 1988; Mas Agus Dermawan T dan Iliana Lie,
'Ada Apa di Balik Layar Sampek-Engtay'. Gadis, No.26, 6-17 Oktober 1988; Eddy
Sukma, 'San Pek Eng Tay, Teropong Cinta Gaya Teater Koma', Mode, No. 19 Th. XII,
19 September 1988. 3 Mengenai komentar terhadap pelarangan pementasan ini, lihat, misalnya, 'Mochtar
Lubis Budaya Cina' Horison//XXIVI/255, dan Efix,
'Tragedi San pek Engtay.' Kompas, 28 Mei 1989.
soetji dari hidoep sampe mati,"; dan subjudul saduran Siloeman Mengok berbunyi,
"...sepasang merpati jang tiada berdjodo"4. Kemudian, pada tahun 1956 Prijana
memasukkan kisah ini sebagai salah satu dari Empat Dukacarita Percintaan di
negeri asalnya, bahkan setelah lahirnya Republik Rakyat Cina di tahun 1949, yang
konon sangat mendorong emansipasi kaum wanita, citranya
begitu juga. Paling tidak, pada tahun 1954, RRC telah menerbitkan cerita
bergambar Liang Shan Bo Yu Zhu Ying Tay sebagai sebuah kisah percintaan.
Dari Kisah Cinta Menjadi Romantika Emansipasi Seorang Perempuan
Selanjutnya, tatkala mengomentari pementasan San Pek Eng Tay versi N.
Riantiarno, OKT menyatakan bahwa ada beberapa hal yang tidak ia sukai dalam
versi itu. Pertama, sama dengan versi Boen Sin Hoo, Riantiarno
menggambarkan bahwa Eng Tay membuka pakaiannya
untuk menyadarkan San Pek bahwa dirinya adalah
perempuan. Hal ini, menurut pendapatnya, merendahkan martabat tokoh Eng Tay yang
luhur. Dan kedua, San Pek ditampilkan bertaucang atau berbuntut babi (Inggris,
pigtail; Nio Joe Lan menerjemahkannya sebagai "cacing").
Menurut OKT dan Nio Joe Lan,5 bagi banyak orang Cina, taucang merupakan simbol
penjajahan bangsa Ching (Manchu) atas bangsa Cina yang berlangsung hampir tiga abad lamanya (1644-1911),
sehingga ketika Sun Yat Sen dengan Partai Tung Meng Hui yang didirikannya
melancarkan revolusi untuk menggulingkan kerajaan
dinasti Ching dan berhasil mendirikan Republik Tiongkok di tahun 1911, orang-
orang Cina beramai-ramai memotong taucang mereka. Jadi memakai atau memotong
taucang 4 Lihat, Claudine Salmon, op. cit
5 Nio Joe Lan. Tiongkok Sepandjang Abad. Djakarta: Balai Pustaka. 1952, hlm. 152
dan 257. merupakan hal yang sangat asasi bagi orang Cina di masa itu.Dengan komentar OKT
itu saya jadi tertarik karena mulai terungkap mengapa ia, di usianya yang sudah
85 tahun, masih mau menerjemahkan San Pek Eng Tay dari bahasa Cina, suatu pekerjaan
yang sudah sangat tidak mudah lagi baginya. Maka naskahnya pun saya baca
secara serius. Dan aneh, selesai membaca, kesan saya tentang kisah ini pun
berubah sama sekali: San Pek Eng Tay tidak lagi saya pandang sebagai sebuah
kisah percintaan semata-mata, tetapi lebih dari itu, merupakan romantika
emansipasi seorang perempuan Cina di abad ke-4. Sejak dari awal hingga akhir
cerita, sebenarnyalah Eng Tay adalah seorang pelopor emansipasi wanita di bidang
pendidikan dan perkawinan. Inilah, menurut interpretasi saya, inti kisah ini,
sedangkan aspek percintaan antara San Pek dan Eng Tay adalah hal sekunder.
Dengan perubahan citra ini saya jadi bertanya-tanya lebih lanjut: Tidakkah
interpretasi saya salah" Tetapi, beberapa kali saya membaca saduran OKT ini,
yang berdasarkan pada versi Chang Hen Shui, Liang Shan Bo Yu Zhu Ying Tay, kesan ini
tidak berubah. Tetapi kalau saya membaca versi saduran Boen Sing Hoo maupun N.
Riantiarno, memang kesan yang timbul adalah kisah
percintaan yang tragis dan bahkan agak vulgar. Namun bila kita mencari secara
seksama inti cerita pada versi mereka ini, maka ia sebenarnya juga adalah
romantika emansipasi seorang perempuan.
Lantas, mengapa terjadi pembalikan citra ini sehingga sisi percintaan menjadi
yang primer, sedangkan sisi perjuangan emansipasi Eng Tay menjadi sekunder atau
bahkan ditenggelamkan" Padahal sejak awal hingga akhir cerita, alur kisah ini
mengacu pada emansipasi seorang perempuan yang perkasa. Yakni, mulai dari Eng
Tay memutuskan untuk menyamar sebagai seorang lelaki
selama 3 tahun agar dapat bersekolah (suatu hal yang tabu bagi kaum perempuan di
waktu itu) demi idealismenya yang tinggi, sampai ketika ia memutuskan untuk memilih San Pek,
yang dikenal dan dicintainya, sebagai bakal suaminya (adat-istiadat pada masa
itu tidak memberikan hak kepada perempuan untuk memilih
suaminya, mereka dijodohkan oleh orangtua), dan menolak calon pilihan ayahnya,
hingga akhirnya Eng Tay memilih menyatu dengan San Pek di dalam kuburannya. Dan,
bukankah sepasang kupu-kupu yang beterbangan dan
hinggap di mana mereka suka, sebagai penutup kisah ini, tidak saja melambangkan
sepasang kekasih yang setia, tetapi terlebih lagi, suatu kebebasan atau
kemerdekaan, hasil dari perjuangan emansipasi Eng Tay yang sangat berani"
Bila benar demikian, adakah kesengajaan untuk
mendiskreditkan Eng Tay, yang sesungguhnyalah dapat dikategorikan sebagai
pelopor emansipasi kaum wanita Cina pada zamannya" Ataukah ini sekadar kesalahan
yang tidak disengaja berhubung interpretasi para pengarang di Tiongkok dan para
penyadurnya serta khalayak
sasarannya dilakukan dalam konteks bangsa dan negara Cina yang feodal" Bukankah
ini merupakan manifestasi dominasi ideologi superioritas kaum lelaki atas
perempuan yang feodalistis di dalam kesusastraan" Ataukah saya telah salah
menginterpretasikannya" Sayang, bukan
tempatnya menjawab soal ini di sini.
Namun apa pun jawabannya, saya akhirnya
berkesimpulan bahwa karya saduran OKT ini penting
untuk diterbitkan. Agaknya, tragedi terbesar dari San Pek Eng Tay bukanlah
tragedi percintaan San Pek dan Eng Tay, melainkan tragedi pemutarbalikan makna
sehingga San Pek Eng Tay tidak dipandang sebagai kisah romantika emansipasi Eng
Tay, melainkan sebagai kisah percintaan, pasangan abadi atau perempuan yang
setia. Tragedi ini mungkin dapat menjadi topik penelitian yang menarik tentang
emansipasi kaum perempuan.
San Pek Eng Tay, Feodalisme dan Emansipasi


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

San Pek Eng Tay adalah cerita rakyat sehingga tidaklah heran bila dijumpai
banyak versinya. Paling tidak, sejak dinasti Sung (960 - 1279), saat mulai
berkembangnya ilmu cetak di Cina, sampai runtuhnya dinasti Ching pada tahun
1911, dapat dijumpai 11 versi chih (catatan sejarah) yang menjadi sumber kisah
ini. Menurut catatan-catatan sejarah itu, kisah ini terjadi pada masa pemerintahan
raja Bok Tee, raja kelima dinasti Chin Timur yang memerintah dari tahun 345-357
Masehi. Oleh karena kisah ini meliputi waktu sekitar 3-4 tahun saja dalam periode
kehidupan Eng Tay dan San Pek, yaitu sejak Eng Tay berusia sekitar 17 hingga 20
atau 21 tahun, dan San Pek, 18 hingga 21 atau 22 tahun, maka boleh jadi Eng Tay
dan San Pek lahir sebelum masa pemerintahan Bok Tee.
Masa kehidupan mereka masuk dalam zaman yang oleh
pujangga-pujangga Tiongkok disebut sebagai "zaman yang amat gelap-gulita" atau
"zaman Enam Dinasti," yang
berlangsung dari tahun 220 hingga 589. Pada zaman itu peperangan dan perebutan
kekuasaan terjadi silih berganti. Kerajaan-kerajaan dinasti Wei, Chin, Sung, Chi, Liang dan Ch'en
berdiri dan runtuh dalam waktu singkat.
Di saat kisah ini berlangsung, daerah kekuasaan kerajaan Chin telah terbagi dua
sebagai akibat serbuan suku Xiung Nu. Sebelah utara sungai Yang Ce berhasil
dikuasai suku ini pada tahun 317, dan raja dinasti Chin terusir dari ibukotanya,
Lo Yang, lari ke sebelah selatan sungai serta menjadikan Nan King sebagai
ibukotanya. Dengan demikian Chin Barat runtuh, dan Chin Timur berdiri, namun ia hanya bertahan
sampai tahun 420. Kalau di bidang politik keadaan saat itu penuh dengan
'kegelapan', di bidang kebudayaan ada sedikit titik terang.
Pada masa ini sekolah-sekolah telah mulai berkembang walau terbatas untuk kaum
lelaki. Kaum perempuan tidak diperkenankan bersekolah, mereka hanya boleh
mendapat pengajaran les di rumah, itu pun hingga tingkat menengah saja (standar
waktu itu). Bahkan bila sudah remaja mereka tidak boleh bergaul dengan orang-
orang yang bukan muhrimnya. Jadi pada hakikatnya, kaum perempuan
dipingit. Tetapi waktu itu teknologi pembuatan kertas juga telah berkembang, sejak
ditemukan oleh Tsai Lun pada
permulaan abad ke-2. Karya-karya penting diterbitkan sehingga sebagian kaum
cendekiawan/ terpelajar, termasuk San Pek dan Eng Tay, diduga telah dapat
membaca buah-buah pikiran besar seperti yang terekam dalam Ngo Keng (Mandarin,
Wu Ching, atau 'Lima Klasik'), Su Si (Empat Kitab), Tao Te Ching, dan lain-lain.
'Lima Klasik' meliputi: 1) Shu Ching yakni Kitab Sejarah yang disusun oleh Kong
Hu Cu (551 S.M. - 479 S.M.) yang
menurutnya, memuat ucapan-ucapan tertulis dari para raja yang memerintah antara
abad ke-24 S.M. sampai abad ke-8 S.M.; 2) Shih Ching yaitu Kitab Syair susunan
Kong Hu Cu yang memuat lagu-lagu dan syair-syair yang konon digubah sejak
pemerintahan kaisar Yu, 2205 S.M. hingga abad ke-6 S.M.; 3) I Ching atau Kitab
Perubahan, memuat filsafat moral, sosial dan politik yang diajarkan melalui
ramalan oleh kaisar Fu Hsi yang hidup sekitar 3000 S.M., dan Kaisar Bun
(Mandarin, Wen Wang) pendiri dinasti Ciu (Mandarin, Chou, 1027 S.M. - 221 S.M.)
serta komentar Kong Hu Cu terhadap filsafat itu; 4) Li Chi atau Kitab Adat yang
disusun oleh dua bersaudara Tai; dan 5) Ch'un Ch'iu atau Catatan Musim Semi dan
Musim Gugur, karya Kong Hu Cu yang memuat catatan kronologis tentang kejadian-
kejadian penting di negara Lu, antara tahun 722 S.M.
hingga 484 S.M. Su Si atau 'Empat Buku' terdiri dari Lun Gi (Mandarin, Lun Yu) yang memuat
ucapan-ucapan Kong Hu Cu mengenai berbagai soal; Beng Cu (Mandarin, Meng Tze)
yang memuat pendapat-pendapat Beng Cu, pendukung
ajaran Kong Hu Cu yang besar yang hidup pada tahun 372
S.M. sampai 289 S.M.; Tai Hak (Mandarin, Ta Hsueh, atau Ajaran Besar) memuat
perbincangan singkat Kong Hu Cu tentang etika politik; dan Tiong Yong (Mandarin,
Chung Yung) buah karya Kong Ci, cucu Kong Hu Cu, yang berusaha memperluas faham
Kong Hu Cu tentang sifat dan tindakan manusia yang benar.
Tao Te Ching atau Kitab tentang Jalan dan Kebajikan merupakan ajaran Lao Cu,
pendiri Taoisme yang hidup sekitar abad ke-6 S.M. Di samping karya-karya
tersebut di atas, kaum terpelajar waktu itu diduga juga mengenal syair-syair
seperti yang digubah oleh Co Pi, putra raja Co Coh, dari dinasti Han dan kitab-
kitab sejarah yang ditulis oleh misalnya keluarga Pan, yaitu Pan Chao (32-102
M.) dan putranya, Pan Ku, serta putrinya, Pan Ciao tentang dinasti Han Awal,
atau kitab Nasehat-nasehat untuk Kaum Wanita hasil karya Pan Ciao, atau
barangkali, Kitab Ilmu Perang (Ping Fa) karya Sun Tse di abad ke-6 S.M.
Agaknya, Eng Tay dan San Pek telah mengenal ide-ide besar yang terkandung dalam
karya-karya tersebut di atas.
Tetapi Eng Tay tidak menelan begitu saja ajaran-ajaran yang diberikan guru-guru
besar itu. Ia bersikap kritis dan menginterpretasikannya kembali. Bahkan tidak
berhenti pada ide saja, ia melangkah lebih jauh. Ia memberontak dan mendobrak
ide dan adat-istiadat feodalistis yang membelenggu kemajuan dirinya dan kaumnya.
Dengan keberanian yang luar biasa, ia menyamar sebagai lelaki selama tiga tahun agar
dapat bersekolah; dengan kegagahan pula ia memilih San Pek sebagai suaminya. Dua tabu besar masa itu
telah dikoyaknya, dan dengan
keceriaan ia terima konsekuensinya yang fatal yaitu kematian.
Namun tragedi ini tidak berhenti dengan kematian Eng Tay, sebab roh-semangatnya
tetap hidup. Suatu tragedi yang lebih besar harus diciptakan untuk mematikan roh
semangat yang dapat membahayakan feodalisme Cina yang bersandarkan pada ideologi
superioritas kaum lelaki itu.
Selama 16 abad ia berhasil memutar-balikkan citra Eng Tay dan seakan-akan
mengejek roh Eng Tay: benteng
feodalisme sangat kukuh Eng Tay, sekukuh Tembok Cina yang dibangun oleh Kaisar
Chin Sie Hong (lahir 259 S.M.) di atas penderitaan rakyatnya.
Sudah sejak zaman purba, ribuan tahun sebelum
lahirnya Eng Tay dan San Pek, orang Cina menganggap derajat kaum perempuan lebih
rendah dari kaum lelaki. Thian, Tuhan, Yang Mahakuasa, digambarkan sebagai lelaki. Kaisar dianggap
sebagai putra Thian sehingga yang berhak menjadi kaisar adalah lelaki. Anak
lelaki mendapat hak lebih dari anak perempuan. Ia meneruskan marga/
klen/ she ayah dan karenanya disebut pihak 'dalam'. Anak perempuan dianggap
sebagai 'pihak luar' karena
keturunannya akan menggunakan she suaminya. Maka tak mempunyai anak lelaki
dianggap suatu kemalangan, sedangkan tak memiliki anak perempuan merupakan
keberuntungan. Konfusianisme, filsafat hidup yang diajarkan oleh Kong Hu Cu, menguasai alam
pikiran dan tingkah-laku banyak orang dan masyarakat Cina selama masa yang
panjang. Sebagai produk zamannya, ia merupakan ideologi yang mendukung dan melestarikan
feodalisme. Jejak-jejaknya bahkan masih terlihat hingga abad modern ini walau
sudah banyak berkurang kadarnya.
Dalam soal hubungan antara lelaki dan perempuan,
Konfusianisme menempatkan derajat lelaki lebih tinggi dari perempuan. Bahkan, di
kalangan yang disebut terpelajar -
dalam hirarki struktur masyarakat Cina yang feodal, kaum terpelajar ( Shih),
yang meliputi kaum bangsawan dan kaum birokrat, berada di paling atas, diikuti
di bawahnya oleh kaum tani (Nung), lalu kaum tukang/ buruh (Kung) dan yang
paling rendah adalah kaum saudagar ( Shang) - kaum perempuan sangat
didiskriminasi. Konon di antara beribu-ribu murid Kong Hu Cu, tak seorang pun
wanita. Mereka tidak diperkenankan bersekolah, paling-paling hanya boleh belajar di
rumah, karenanya mereka tidak dapat menjadi golongan shih dan dengan demikian
tak mungkin menjadi penguasa, kecuali dengan cara yang
tidak sah seperti pada kasus pemaisuri Lu yang
memerintah kerajaan Han Awal dari belakang layar sejak tahun 188 S.M. sampai 180
S.M., atau kaisar perempuan Boe Tjek Thian (Mandarin, Wu Tze Tien) yang
mengangkat dirinya menjadi kaisar dan memerintah dari tahun 690
hingga 705 M., atau Cu Hie, seorang ibusuri yang
berkuasa sejak tahun 1881 sampai dengan tahun 1908 M.
Ketika remaja, mereka tidak boleh bergaul dengan bebas, melainkan harus
dipingit. Kebisaan mereka dibatasi pada urusan rumah tangga, mengurus anak,
rumah, memasak, menyulam dan sekali-sekali bermain musik, kesemuanya dalam
rangka mempersiapkan mereka sebagai ibu rumah tangga yang berfungsi melayani
kaum lelaki. Mereka dilarang memilih sendiri pasangan hidup
mereka. Jodoh mereka ditentukan oleh orang tua (biasanya ayah), sehingga kerap
kali mereka mendapatkan pasangan yang tidak cocok, namun harus patuh
menerimanya. Hak untuk menceraikan hanya ada pada pihak lelaki dan ia boleh
berpoligami, serta bersenang-senang dengan
perempuan penghibur, sedangkan hal ini terlarang bagi kaum perempuan.
Secara fisik, mulai dari dinasti Tang (618 - 905 M.) perempuan Cina harus
mengikat kaki mereka dengan kain agar tetap kecil, sebab kaki yang kecil adalah
indah dan disenangi, sedangkan kaki yang besar adalah jelek dan tidak disukai
oleh kaum lelaki, padahal kaki yang kecil sangat menyiksa pemiliknya.
Kesemua diskriminasi ini demi mengabdi kaum lelaki, sesuai dengan ajaran Kong Hu
Cu tentang kebajikan wanita, yang telah menjadi norma masyarakat Cina selama berabad-abad, yaitu: "Di
rumah patuhi ayahmu, sesudah menikah patuhi suamimu, bila menjanda patuhi putra
sulungmu." Wajar saja bila diskriminasi terhadap wanita di Cina yang berlangsung lama itu
menyebabkan sedikit sekali wanita Cina yang muncul menjadi figur masyarakat. Di
antara yang sedikit itu, misalnya, pada masa dinasti Han Akhir (25-220 Masehi)
dapat disebutkan seorang pujangga wanita bernama Pan Ciao. Dialah salah seorang
inspirator Eng Tay, di samping Thay Su, istri Kaisar Bun dan ibu Kaisar Bu, dua
kaisar agung Cina yang terkenal arif bijaksana. Dan belakangan, semestinya
adalah Eng Tay sendiri, melalui pemikiran, kata-kata dan sepak-terjangnya yang
emansipatoris. Namun dobrakan Eng Tay di abad ke-4 dan beberapa
yang lain tak mampu meruntuhkan feodalisme yang
sekukuh tembok besar Cina, dan kedudukan kaum
perempuan tak banyak mencapai kemajuan sampai pada
akhir abad ke-19. Bahkan roh-semangat Eng Tay
dihempaskan olehnya seperti yang terjadi pada
pemutarbalikan citra romantika kehidupannya yang
berlangsung hingga abad ke-20.
Tetapi bagaimanapun hebatnya suatu ideologi berusaha melestarikan status quo,
roda sejarah terus bergerak tak tertahankan. Perubahan demi perubahan terjadi
hingga meletuslah perubahan yang massal dan radikal. Di awal abad ke-20, seiring
dengan perjuangan revolusioner
bangsa Cina dalam menggulingkan kerajaan Manchu,
benteng terakhir feodalisme, dan mendirikan negara
republik, yang berasaskan San Min Chu I (Tiga Asas Kerakyatan), terjadilah
kemajuan besar dalam emansipasi kaum wanita. Bermunculanlah sekolah-sekolah yang
terbuka bagi kaum perempuan, kawin paksa semakin
banyak mendapat tentangan, keharusan mengikat kaki
perempuan dicabut. Dalam gerakan revolusioner yang berasaskan demokrasi ini, yang tentu saja
mencakup asas persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki, mulai banyak
wanita berperan-serta. Salah seorang di antara mereka adalah Ch'iu Ch'in, kepala
sebuah sekolah putri. Ia mengorbankan jiwanya dalam rangka meruntuhkan
feodalisme kerajaan Manchu. Kepalanya dipenggal sebagai hukuman atas
keikutsertaannya dalam komplotan yang menembak
gubenur Nanking ketika sang gubernur mengunjungi
sekolahnya pada tanggal 6 Juli 1907. Ia boleh jadi telah kemasukan roh-semangat
Eng Tay yang pernah bercita-cita untuk menyelenggarakan sekolah perempuan untuk
memajukan kaumnya, pada 16 abad sebelumnya.
Betapa panjang dan hebatnya kesengsaraan serta
keterbelakangan kaum perempuan Cina, dan alangkah
banyaknya Tiongkok telah membuang-buang energinya
dengan merendahkan kaum wanitanya - hal yang juga
terjadi di hampir semua negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia - sehingga ia
menjadi lemah, miskin, terbelakang dan kemudian dijajah oleh bangsa-bangsa
asing. Suatu malapetaka besar! Namun, di sisi malapetaka ada
keberuntungan. Ternyata, persentuhan, eksploitasi oleh dan konflik dengan
bangsa-bangsa asing yang lebih kuat, kaya, dan maju itu telah membantu membuka
mata-hati dan pikiran rakyat Tiongkok akan pentingnya asas
demokrasi yang berdasarkan pada persamaan derajat.
Dengan asas ini mereka berhasil menggulingkan kerajaan Manchu, meruntuhkan
feodalisme serta mendirikan
Republik Tiongkok di tahun 1911, serta akhirnya berhasil mengusir imperialisme
dari bumi mereka dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949.
Dengan latar belakang sejarah ini dapatlah dimengerti mengapa citra kisah San
Pek Eng Tay yang ditanamkan selama ini adalah kisah percintaan yang tragis, atau
kisah pasangan nan abadi, atau kisah wanita yang setia saja.
Eng Tay tidak boleh dicitrakan sebagai pejuang emansipasi wanita karena hal itu
akan mengancam status quo superioritas lelaki yang merupakan salah satu sokoguru
feodalisme waktu itu. Maka dengan pengertian ini pula, yang seharusnya bertambah
jernih setelah lepasnya cengkeraman feodalisme, selayaknyalah ditambahkan
subjudul pada kisah ini: Romatika Emansipasi Seorang Perempuan. Malahan, bila
kita ingin seadil-adilnya, mengingat nomenklatura yaitu protokoler urutan
penyebutan suatu nama berdasarkan keutamaannya,
judul San Pek Eng Tay pun seharusnya dibalik menjadi Eng Tay San Pek, sebab
dalam kisah ini Eng Tay-lah yang lebih berperan atau lebih menonjol ketimbang
San Pek. Seiring dengan semakin merasuknya faham demokrasi,
menjelang akhir abad ke-20 ini banyak kemajuan besar telah dicapai dalam masalah
persamaan derajat antara wanita dan pria di dunia, termasuk di Indonesia. Di
Indonesia, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, soal diskriminasi terhadap
kaum perempuan di bidang pendidikan, pergaulan, perkawinan, seperti yang pernah dialami oleh R.A. Kartini
(1879-1904) - salah seorang tokoh emansipasi wanita kita, yang konon pernah juga
membaca kisah San Pek Eng Tay - telah dihapuskan, paling tidak secara de jure.
Di Indonesia dan di seluruh dunia dapat kita saksikan munculnya semakin banyak
perempuan-perempuan yang berprestasi. Bahkan di
sebagian negara beberapa wanita telah dapat menjadi kepala negara. Kini telah
ada prediksi yang memperkirakan bahwa abad ke-21 yang segera akan kita masuki
itu, bakal merupakan abad kaum perempuan. Di zaman itu, semoga sajalah subjudul
kisah sejenis San Pek Eng Tay yang akan datang tidak berbunyi: Romantika
Emansipasi Seorang Lelaki.
Juni, 1990 Acuan: Nio Joe Lan, Tiongkok Sepandjang Abad, Djakarta: Balai Pustaka, 1952
Catatan: Dalam saduran OKT banyak dijumpai istilah dan gaya
bahasa percakapan sehari-hari sehingga dirasa perlu untuk meredaksinya kembali
agar sesuai dengan sasaran pembaca penerbitan ini. Lafal Hokian yang telah lazim
dipakai pada terjemahan karya sastra Cina dalam bahasa Indonesia juga digunakan
untuk nama-nama yang sudah umum dikenal di sini, tetapi di sana-sini tercampur
dengan lafal Mandarin. 1 Ayah Keras, Ibu Lemah! SUATU hari nan cerah di bulan ketiga musim semi. Di pagi hari pula, saatnya sang
surya masih bersinar lembut.
Semua pohon berdaun hijau dan segar, dan bunga-
bunganya yang mekar bergerombol tampak berwarna-
warni merah dan jambon, putih dan kuning. Menarik hati pula bila menyaksikan
cabang-cabang yang-liu bergoyang-goyang lemah-gemulai dipermainkan angin yang
berhembus sepoi-sepoi basah.
Sebuah taman mungil tergelar asri dalam sebuah
rumah bertembok besar berpekarangan luas di
sekelilingnya. Di taman itu berdiri sebuah ayunan. Dan di atas ayunan itu


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang gadis remaja sedang bermain, tubuhnya terayun naik dan turun, maju dan
mundur. Gadis itu mengenakan baju panjang yang sempit,
warnanya merah, dan gaunnya berwarna kuning.
Sepatunya, bersulam. Selagi berayun-ayun itu, ia tampak bagaikan seekor kupu-
kupu yang sedang terbang melayang-layang.... Berdiri di sebelahnya, seorang dara lain, usianya kira-kira enam atau tujuh
belas tahun. Dari caranya
berdandan, jelas dia adalah seorang abdi perempuan. Dia mengenakan angkin, ikat
pinggang dari kain, berwarna hijau, sedangkan rambutnya, berkepang dua,
tersanggul. Dia pun tergolong cantik.
Tiba-tiba saja abdi itu menyapa majikannya: "Non,
turunlah, sudah cakup lama Nona bermain ayunan,
tentunya Nona sudah letih!"
Gadis itu tertawa manis. "Hari ini aku sedang gembira," sahutnya, suaranya
lembut, "main ayunan lama sedikit tidak melelahkan...."
Dan ia pun menggerakkan tubuhnya lagi, membuatnya
naik-turun bergantian. "Ah, sudahlah, Nona," kata si abdi pula. "Non, abdimu ini sebetulnya hendak
memberi tahu sesuatu...."
"Apakah itu?" tanya si gadis itu, agak tertarik.
"Cukup penting, Nona. Kalau tidak, Nona boleh tegur aku!"
Gadis itu berhenti main ayunan, dia menatap abdinya.
"Ayolah, kaubicara!" perintahnya.
Gadis ini menggelung rambutnya dengan model poan liong ki, kundai "naga
melingkar," dan di sisi telinganya tersisip sekuntum bunga cui. Wajahnya
berpotongan kwaci, sepasang alisnya lentik, hidungnya bangir, kulitnya halus.
Ia tampak seakan-akan senantiasa tersenyum. Ia
mengatakan belum letih akan tetapi kulit wajahnya telah bersemu merah, sedikit
berpeluh dan napasnya pun agak terengah-engah....
"Eh, Gin Sim, bicaralah!" katanya pula pada si abdi.
"Ada apa sebenarnya" Mengapa kau selalu menatapku?"
Si gadis tertawa hingga tampak dua baris giginya yang rapih dan putih bersih. Ia
mengusap dahinya dengan saputangannya. Lantas ia membuka suara pula.
"Gin Sim, lekaslah bicara! Aku Ciok Eng Tay, mana ku tahu isi hatimu.
Katakanlah, kabar apakah itu yang
hendak kau sampaikan padaku!"
Gin Sim menoleh ke sekitarnya.
"Non, di sini, di dalam taman ini, kita tak dapat leluasa berbicara," katanya.
"Mari kita masuk ke dalam.
Bagaimana?" Eng Tay mengawasi abdinya, ia mengangguk. Ia pun
berjalan sambil diikuti abdinya.
Di dalam kamar, ia lantas duduk, menghadap cermin
kuningan. Tiba-tiba ia tertawa.
"Nah, bicaralah!" katanya kemudian. "Di sini tidak ada orang lain, hanya kita
berempat...." Gin Sim heran hingga tercengang, ia pun menegaskan:
"Berempat, Non" Kita toh berdua saja! Siapa dua orang lainnya?"
Sang gadis majikan tertawa.
"Kau tak tahu?" tanyanya. Dia menunjuk ke cermin
yang terbuat dari kuningan.6
"Nah, bicaralah!"
Gin Sim bagaikan baru tersadar, tetapi segera dia
berkata: "Bukankah Nona sering mengatakan bahwa Nona berniat menyamar sebagai
lelaki agar dapat menuntut ilmu di Hang-ciu, supaya Nona dapat menyenangkan hati
ayah-bunda Nona" Bukankah sekarang Nona sedang ragu-ragu lantaran tersiar berita
bahwa guru di Hang-ciu itu, guru Ciu yang sudah lanjut usianya, akan pindah
tempat?" Diingatkan demikian, Eng Tay tersenyum. Memang dia
telah lama berniat melanjutkan pelajarannya di kota Hang-ciu itu. Nama kota itu,
sebenarnya baru mulai dipakai di zaman dinasti Shui. Sebelumnya, semasa dinasti
Han kota itu adalah kota kecamatan Cian-tong.
Gin Sim berkata lebih lanjut: "Nah, sekarang ada berita yang menggembirakan.
Baru saja Ong Sun pulang dari
Hang-ciu dan dia membawa kabar bahwa guru Ciu masih tinggal di Ni San, beliau
tidak jadi pindah. Ong Sun mendapatkan berita ini dari sanak-saudaranya yang
tinggal berdagang di sana."
Berita itu melegakan hati Eng Tay.
"Coba kaupanggil Ong Sun ke mari!" perintahnya
kepada abdinya. "Setelah memperoleh kepastian, akan kucoba bicara pada Papa dan
Mama." Gin Sim segera berlalu. Tidak lama kemudian ia kembali bersama-sama Ong Sun,
salah seorang pegawai keluarga Ciok. Dan Ong Sun ini pun telah menegaskan
keterangannya. Eng Tay berpikir beberapa lama, lalu siang hari itu, ia menemui ayah dan ibunya
di ruang tamu. "Pa! Ma!" sapanya kepada kedua orangtuanya.
Ciok Kong Wan adalah pensiunan camat, ia tidak
mempunyai anak lelaki, hanya Eng Taylah anak gadis
6 Di zaman dinasti Chin semasa kisah ini berlangsung, belum ada kaca gelas.
satu-satunya. Ia pulang ke kampung halamannya untuk tinggal bersama istrinya,
Teng-si. Tak heran jika ia dan istrinya sangat menyayangi anak tunggalnya itu.
"Kau habis bermain ayunan?" tanya sang ayah sambil
menoleh kepada putrinya. "Lihat, wajahmu kemerah-
merahan! Kau letih ya?"
Eng Tay menggelengkan kepala.
"Tidak, Pa," sahutnya.
"Kau tak pusing, Nak?" tanya Teng-si, sang ibu. "Tidak, Ma," jawab putrinya.
Kong Wan duduk di atas dipan kayu dan istrinya di
kursi batu marmer di hadapannya. Keduanya menatap
putri mereka, mereka tampak bahagia sekali.
Eng Tay maju mendekat. "Nak, duduklah," kata Teng-si kemudian. "Kau tidak
memetik dan memakai bunga mawar...."
Putrinya tersenyum, ia menggelengkan kepala.
"Tidak," sahutnya. "Hari ini aku gembira sekali sehingga lupa memetik bunga
mawar...." "Kau gembira karena apa?" tanya sang ayah seraya
menyingkap janggutnya, yang hitam dan panjang.
"Karena suatu berita yang menggembirakan, Pa. Ong
Sun sudah pulang dan kepada Gin Sim dia
memberitahukan bahwa guru Ciu tidak jadi pindah dari Hang-ciu dan tetap membuka
sekolahnya di Ni San...."
"Lalu apa hubungan berita itu dengan kau" Kenapa kau jadi girang sekali?" tanya
sang ayah. Eng Tay bangkit berdiri, hormat sikapnya.
"Pa, aku hendak memberitahukan sesuatu..." katanya
perlahan. "Kau hendak memberitahukan apa, Nak?" tanya Teng-
si. "Aku tahu, Pak Ciu memang guru tua yang pandai."
"Justru karena Pak Ciu pandai, aku jadi sangat
menghormatinya," kata Eng Tay. "Papa dan Mama ingat, sejak usia delapan tahun
aku telah diberi guru sekolah untuk mempelajari ilmu budaya. Tetapi setelah aku
berusia lima belas tahun, ketika Papa meletakkan jabatan dan pulang kampung aku
harus berhenti. Karenanya
sayang sekali, pelajaranku menjadi kepalang tanggung.
Bahkan sekarang, aku nyaris harus selalu berada di
loteng. Ya, pelajaranku menjadi setengah matang. Untuk seorang pelajar, keadaan
seperti ini sangat menyedihkan.
Maka dari itu, bagus sekali, Pak Ciu masih mengajar di Hang-ciu, aku ingin pergi
belajar padanya. Bukankah aku sama saja dengan anak-anak muda lainnya" Setelah
beberapa tahun belajar di Hang-ciu, pasti aku akan
memiliki kepandaian yang memadai. Karena itu sekarang aku ingin minta agar Papa
dan Mama mengizinkan aku sekolah di bawah pimpinan pak guru Ciu itu. Nah,
bagaimana pendapat Papa dan Mama?"
Ciok Kong Wan terbelalak. Ia heran sekali. "Kaubicara serius atau main-main?"
tanyanya kemudian. "Pasti benar-benar, Pa," sahut putrinya bersungguh-
sungguh. "Belajar ke Hang-ciu bukan urusan main-main."
Sang ayah mengawasi putrinya, lalu ia tertawa terbahak-bahak.
"Nak," katanya seraya menunjuk, "kenapa kau bicara
seakan-akan bermimpi di siang hari" Kau tahu, Nabi
Khong mempunyai murid tiga ribu orang lebih, adakah muridnya wanita" Pak Ciu
pasti tidak akan menyimpang dari nabi kita itu dengan menerima murid perempuan!
Oh, anakku, andaikata pun papa mu mengizinkan, di sana kau pasti akan membentur
tembok penghalang, kau akan
pulang sia-sia saja! Maka dari itu, Nak, ku anggap kata-kata mu itu sebagai
igauan!" Heran Eng Tay mendengar kata-kata ayahnya itu.
"Pa, kata-kata Papa membuatku agak kurang paham,"
katanya. "Apakah sudah pasti bahwa di antara tiga ribu murid Nabi Khong tidak
seorang pun wanita" Atau, apakah tak ada wanita yang menyamar sebagai laki-laki
di sana" Maka dari itu, bila aku sekolah di Hang-ciu, aku akan menyamar sebagai laki-
laki! Tentang hal ini, harap Papa tidak usah khawatir...."
Didesak secara demikian, sang ayah tertawa.
"Kau ini bicara apa, Nak!" katanya.
"Sabar, Pa," kata putrinya. "Bukankah Papa pun tahu, semasa permulaan dinasti
Ciu (Chou), sudah ada wanita yang berperan-serta?"
Sang ayah berpikir sejenak.
"Tidak," sahutnya.
Kini Eng Tay tertawa. "Lihat, Pa," katanya, "hal begini saja Papa sampai lupa sehingga Papa mengatakan
aku mengigau! Baiklah, akan ku jelaskan. Bukankah dalam kitab Lun Gi 7 ada kisah
tentang kaisar-kaisar dahulu kala yang mempunyai
menteri-menteri yang terpelajar dan bijak sehingga
pemerintahannya berjalan dengan sempurna" Misalnya
Kaisar Bun Ong (Wen Wang) dari dinasti Ciu (Chou)!
Bukankah di sana ada Thay Su, yang umum menyebutnya Bun Wu Wang (istri Bun),
istri Baginda Bun Ong yang termasyhur?"
Kong Wan melengak. Benar-benar ia lupa akan Bun Wu Wang. "Ya, aku ingat
sekarang. Tapi, adakah hubungan antara dia dengan kau?"
"Tentu saja ada, Pa," sahut putrinya. "Aku berniat
menuntut ilmu lebih lanjut. Bukankah dulu kala pun
wanita sama dengan pria, ada wanita yang cerdik dan pandai, yang dapat ikut
mengatur urusan negara" Hanya saja yang sekolah itu ada perbedaannya, ada yang
maju dan ada yang tidak. Demikian pula dengan aku. Sekarang aku berdiam terus di
kamar loteng, apakah itu untuk selamanya" Tidak, bukan" Maka sekarang, aku
berniat melanjutkan pelajaran ke Hang-ciu, agar kelak di
kemudian hari, aku bisa melakukan sesuatu yang berarti bagi negara kita...."
Kong Wan berdiam diri sambil mengawasi putrinya itu.
"Tetapi, Nak," Teng-si ikut bicara, "Walaupun kau benar, namun kau harus tahu
apakah guru Ciu menerima murid perempuan?"
7 Lun Gi: salah satu kitab ajaran Khong Hu Cu.
"Tapi, Ma, telah aku katakan, aku akan menyamar
sebagai seorang pria," kata Eng Tay.
Sang ibu terdiam, ia hanya mengamati putrinya. Tidak demikian dengan Kong Wan,
sang ayah, yang telah berpikir beberapa lama.
"Eng Tay, kau berniat sekolah ke Hang-ciu, maksudmu itu baik," kata ayahnya ini.
"Kau bilang hendak menyamar menjadi pria, tetapi, pernahkah kau pikir, berapa
lama kau akan tinggal di Hang-ciu" Bukankah, tidak untuk tiga atau lima hari
saja" Kalau sampai berbulan-bulan dan
bertahun-tahun, siapa yang dapat memastikan tidak akan terjadi sesuatu atas
dirimu" Lagi pula, penyamaran wanita menjadi pria banyak kelemahannya! Lihat
telingamu, lihat dadamu! Dapatkah itu dipakai mengelabui orang untuk waktu yang
lama" Di samping itu, kau harus ingat pada adat-istiadat, perbedaan antara
wanita dan pria. Di sekolah, kau hidup bercampur-baur, dapatkah kau terus-
menerus menjaga dirimu" Ini yang harus kau ingat baik-baik! Ya, nama baik
keluarga kita!" Sang ayah menatap wajah putrinya, ia tampak
bersungguh-sungguh. "Nah, walaupun niatmu itu baik, sulit untuk
mewujudkannya," kata ayahnya itu akhirnya. "Tidak, Nak, kau tidak boleh pergi!
Tegasnya, jika kau tidak dengar kata papa mu ini, kau adalah anak yang tidak
berbakti!" Eng Tay terperanjat. Tak ia sangka akan putusan yang demikian tegas dari ayahnya
itu. Ini bukanlah kebiasaan sang ayah, yang biasanya manis budi dan sangat
menyayanginya. Ia tercengang menatap ayahnya itu.
Juga Teng-si, si ibu, merasa heran sekali.
Sejenak, kedua orangtua dan putrinya itu berdiri
membungkam. Tetapi si ayah mengawasi putrinya dan si putri memandangi ayahnya.
Sesaat kemudian, barulah Eng Tay dapat menenangkan diri dan bicara, membuka
suara. "Pa," demikian katanya perlahan, "Aku mengerti Papa sangat menyayangiku, akan
tetapi, ku pikir, kekhawatiran Papa itu berlebihan. Aku tahu kelemahanku sebagai
wanita, tetapi akan ku jaga baik-baik. Mengenai hal ini harap Papa tidak perlu
kuatir. Papa menghendaki aku agar memperhatikan adat-istiadat, ini pun aku
maklum. Aku ingat sekali kata-kata 'pria dan wanita tak boleh bersentuh tangan',
tetapi itulah ucapan Sun I Kun yang sangat, memojokkan! Bukankah Beng Cu
menyanggah: 'Kalau mengetahui ipar wanita sendiri tenggelam namun tidak menolong, itu namanya
kejam!' Bukankah Sun I Kun
sendiri kemudian mengatakan, kalau ipar sendiri yang tenggelam, sudah pasti dia
harus ditolong" Demikianlah makna sesungguhnya dari adat-istiadat. Sekarang ini
kerajaan Chin kita sebagian negaranya telah dirampas hingga Raja harus mengungsi
ke Lam-khia. Bukankah itu mirip dengan seorang ipar yang sedang tenggelam"
Bukankah kita wajib menolongnya" Maka ucapan itu tak dapat seluruhnya dipatuhi.
Bagaimana mungkin, karena aku hendak belajar ke Hang-ciu, aku dikatakan tidak
berbakti, padahal keinginanku justru ingin mewujudkan rasa bakti yang paling
besar. Kalau nanti telah ku peroleh kepandaian, aku berharap dapat melakukan
sesuatu untuk negara! Bukankah itu juga harapan Papa?"
Ciok Kong Wan menggelengkan kepalanya.
"Kau hebat, Nak! Kau pandai bicara!" katanya. "Jadi dengan pikiranmu ini, kau
hendak mewujudkan adat-istiadat sambil juga mengangkat diri" Hm!"
Ayahnya itu bangkit berdiri, lalu berjalan mondar-
mandir. Jelas ia tidak puas.
Eng Tay bingung. Ia berdiri membungkam, tangannya
mempermainkan angkinnya. Teng-si, sang ibu menjadi bingung juga. Ia bangkit
berdiri, terus menghampiri anak gadisnya.
"Eng Tay!" tegurnya seraya menyentuh pundak
putrinya. " benar, kau tak perlu bicara lebih jauh. Mari kau ikut Mama
istirahat...." Anak gadis itu berpaling kepada ibunya.
"Ma, aku juga benar," katanya perlahan. "Aku berbicara dengan mengutip kata-kata
dari kitab tentang adat-istiadat...."
Ibunya itu terdiam, ia berpaling, pada suaminya.
Kong Wan sedang berjalan mondar-mandir ketika
mendengar perkataan putrinya itu.
Ia segera berpaling, menghadap putrinya. Matanya
membelalak. "Aku tidak mau bicara apa-apa lagi!" katanya keras.


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku larang kau pergi ke Hang-ciu!"
"Tak apa kau bicara keras-keras, suamiku, di sini tidak ada orang luar," kata
sang istri, menenangkan suaminya.
"Eng Tay, mari kau ikut Mama masuk!"
Sambil berkata demikian, sang ibu mencekal hendak
menarik tangan putrinya. Namun, tubuh putrinya itu tidak bergeming. Ketika sang
ibu melihat wajah putrinya, gadis itu sedang berlinang air mata dan sedang
mengusap airmatanya dengan sapu-tangannya.
Sebenarnya, sejak ayahnya berbicara keras, anak gadis ini sudah merasa sedih,
air matanya sudah mulai berlinang, wajahnya pun pucat.
"Eh, Nak, kau kenapa?" tanya sang ibu sambil menepuk pundak putrinya.
Sekonyong-konyong saja Eng Tay menjerit dalam
tangisnya dan tubuhnya bergerak sambil kedua tangannya terbentang. Dia menubruk
dan memeluk ibunya. Ibu yang berhati lemah itu balas memeluk putrinya.
2 Berhati Baja BELUM pernah Eng Tay menangis, ini untuk pertama
kalinya. Ia merasakan hatinya sangat tertekan, hingga tak terlegakan kecuali
oleh tangisannya itu. Kong Wan membungkam, ia masih mengawasi putrinya.
"Sudah, diamlah," kata Teng-si pada putrinya. "Kalau mau bicara, mari kita
bicara...." Gadis itu tetap saja tersedu-sedu.
Sang ayah masih juga mengawasi, dan akhirnya,
menunjuk ke arah dalam. Teng-si melihat itu, ia mengerti.
"Nak, kau masuklah," katanya pada gadis itu. "Sekalian ajak Nonamu!"
Kata-kata itu adalah perintah untuk Gin Sim serta
kawannya, abdi kecil bernama Kiok Ji.
Ketika itu Kong Wan memberi isyarat pada istrinya.
Eng Tay menoleh pada ayahnya, hingga si ayah melihat bagaimana wajah putrinya
penuh air mata. Namun sang ayah diam saja, ia hanya menggelengkan kepala, lalu
pergi ke luar. Bersama ibu dan kedua abdinya, gadis itu melangkah
ke dalam. Sebenarnya, kamar tidur Eng Tay terletak di bawah
loteng. Ia berada di atas semata-mata untuk membaca buku dan menyulam. Ia anak
semata wayang. Keluarga Ciok tidak mempunyai anak lelaki, tetapi kaya. Maka, segala keperluan gadis itu
dapat dipenuhi. Kamar tidur Eng Tay berada di halaman belakang atau sebelah dalam. Untuk pergi
ke halaman depan, orang harus melintasi sebuah ruang dalam lainnya. Di halaman belakang terdapat sebuah
halaman luar, di sana ada bukit-bukitan tiga pohon cemara serta serumpun pohon
bambu halus, yang dikenal sebagai 'bambu Cina'. Lainnya adalah tanaman bunga.
Itulah sebuah taman mungil dengan
seluruh daun tanamannya berwarna hijau segar hingga terasa sungguh nyaman bila
berdiam di dalamnya. Tak sembarang orang bisa masuk ke halaman belakang. Kamar
tidur itu pun terbagi atas tiga ruang dengan bagian luarnya merupakan sebuah
beranda atau serambi yang
berhampar-kan batu koral halus, hingga pun yang berjalan di sana akan
memperdengarkan suara batunya.
Eng Tay bersama ibunya, Nyonya Ciok Teng-si, yang
juga dipanggil 'Nyonya Besar', serta Gin Sim dan Kiok Ji, berjalan melintasi
beranda itu. Di dalam kamar, semua perabotan seperti meja, kursi dan
pembaringan, terbuat dari kayu cendana dan terukir indah. Sedangkan
lantainya, bergelarkan permadani tebal dan cantik.
Gin Sim memimpin nona majikannya masuk ke dalam
kamar, mengantarnya ke kursi, akan tetapi gadis itu tak mau duduk, ia serta-
merta menjatuhkan diri ke
pembaringannya dan menutupi dirinya dengan selimut. Ia menangis tanpa bersuara.
Teng-si menghampiri putrinya itu.
"Eng Tay, duduklah," katanya lembut. "Kalau kau mau tidur, tidurlah yang
benar..." "Sekarang pun aku sudah tidur," kata putrinya.
"Sebaiknya Mama pergi beristirahat...."
"Tetapi, Nak," kata ibunya, "walaupun papa mu
bersikap keras, ia sebenarnya menyayangimu...."
Eng Tay tidak menyahut, ia hanya bergolek, terus tidur.
Teng-si melengak, ia menghela napas.
"Biarlah dia tidur," katanya perlahan, lalu ia memesan Gin Sim agar merawat nona
majikannya, kemudian ia mengajak Kiok Ji pergi. Gin Sim meng-iya-kan pesan nyonya majikannya itu.
Teng-si masih berdiam sebentar dan mengamati
putrinya, setelah itu barulah ia berlalu bersama abdi perempuannya. Ia menarik
napas panjang perlahan. Eng Tay masih merebahkan diri, sampai Gin Sim
menyapanya: "Bangun Non, cuci muka."
"Tak usah!" sahut gadis itu. "Nyonya Besar mana?"
"Nyonya Besar sudah pergi bersama Kiok Ji."
Gadis itu bangun dan duduk.
"Sebal!" katanya, sengit. "Namun ini baru permulaan!
Aku tak akan mundur sebelum berhasil pergi ke Hang-ciu!"
Gin Sim tertawa. "Jadi Nona bertekad mau sekolah ke Hang-ciu?"
katanya. "Ya!" sahut gadis itu, yang ternyata berhati baja.
"Sekarang, aku mau tidur, kalau ada yang tanya, katakan aku sakit. Pikiran Mama
pasti akan berubah!"
"Baiklah, Non," sahut Gin Sim. "Mulai hari ini, kepada siapa pun akan aku
katakan bahwa Nona sakit, bahwa
Nona tak mau makan. Tetapi aku sendiri akan diam-diam membuatkan makanan yang
Nona suka dan Nona boleh memakannya secara sembunyi-sembunyi. Ya, jangankan
untuk beberapa hari, sampai setengah bulan pun, tidak apa..."
Eng Tay mengangguk. Puas ia mendengar perkataan
abdinya yang setia itu. Gin Sim menepati ucapannya. Ia tidak beranjak dari
kamar nona majikannya kecuali bila sedang bekerja di dapur, memasak ini dan itu
untuk nona majikannya. Besok siangnya, Gim Sim pergi menemui nyonya
majikannya. Dia melaporkan: "Nyonya, Nona Eng Tay tidak mau makan apa pun,
mungkin pencernaannya tidak sehat.
Nona sendiri mengatakan bahwa ia merasa kepalanya agak pusing. Maka dari itu,
sebaiknya Nyonya menjenguknya."
Teng-si terkejut. Tidak ayal lagi segera dia pergi ke kamar anak gadisnya itu.
Gin Sim mengikuti nyonya majikannya. Selagi
mendekati kamar, ia segera berkata. "Non, bangun,
bangun, Nyonya Besar datang menjenguk!"
Di dalam kamar sesosok tubuh bergerak mirip
bayangan, sebab kata-kata Gin Sim itu merupakan isyarat bahwa sang nyonya besar
datang. Dari dalam kamar tidak terdengar suara jawaban.
Teng-si segera saja masuk ke kamar. Ia melihat anak gadisnya sedang rebah dengan
tubuh berselimut. Rambut putrinya itu kusut, tanda tak tersisir, dan di wajahnya
tidak ada bekas-bekas bedak, hingga kulitnya tampak agak pucat dan kering. Ia
menghampiri, menyingkap selimut yang menutupi tubuh putrinya itu. Tampaknya Eng
Tay baru saja pulas, namun ia mendusin dengan agak terkejut.
Dengan mata berkesap-kesip, ia memandang ibunya.
"Mama!" panggilnya lemah. Ia bagaikan baru mengenali ibunya itu. Suaranya
perlahan, lemah. Tatkala itu, di atas meja tampak asap hio wangi
mengepul perlahan, baunya harum halus. Asap itu
melayang-layang naik. "Apakah kau merasa tak enak badan?" tanya Teng-si.
"Baru saja Gin Sim memberitahukan Mama bahwa kau
sejak kemarin sampai hari ini belum sarapan sama sekali, kau pun tidak minum.
Mengapa" Seharusnya kau makan
sesuatu...." Eng Tay mengangguk, tetapi ia segera menggelengkan
kepalanya. Dari mulutnya tidak terdengar suara apa pun.
Sang Ibu terus mengamati, lantas duduk di atas
pembaringan di sisi tubuh anak gadisnya itu.
Diulurkannya tangannya, meraba dahi putrinya. Ia
merasakan hawa yang agak hangat. Ia bimbang. Hawa
hangat itu, tanda sakitkah"
"Apakah kau merasa kurang enak badan, Nak?"
tanyanya kemudian. "Apa yang kau rasakan?"
"Hanya sedikit pusing,"sahut putrinya, suaranya lemah sekali.
"Kalau demikian, kau perlu dipanggilkan tabib," kata si ibu pula.
"Tak perlu, Ma," kata putrinya. "Tidak usah...."
"Mengapa tidak usah?" tanya ibunya. "Kenapakah?"
Sambil berkata demikian, sang ibu mengusap rambut
putrinya untuk dirapikan.
Eng Tay diam saja, sedangkan ibunya menantikan ia
bicara. Gin Sim menambahkan hio, lalu berkata: "Nyonya
Besar, apakah Nyonya Besar masih belum tahu penyakit yang diderita Nona" Itu
yang dinamakan pilu hati...."
Teng-si menata putrinya, ia berpaling pada abdinya.
"Kalau benar pilu hati, aku tidak berdaya," katanya.
"Eng Tay, Eng Tay, kau tahu, pak guru Ciu tua itu tidak menerima murid
wanita...." Eng Tay masih membungkam saja. Bahkan kemudian ia
menggolekkan tubuh, menghadap ke dalam, seakan-akan tidak menghiraukan ibunya.
Nyonya Ciok juga membungkam. Ia agak bingung.
"Aku punya biji teratai," katanya kemudian sambil
menoleh pada Gin Sim, "sebentar kusuruh Kiok Ji
memasaknya dan kemudian mengantarkannya ke sini."
"Baik, Nyonya Besar," ujar Gin Sim menyahuti.
Teng-si bangkit berdiri, ia menoleh dan mengamati
putrinya. "Sebenarnya sekolah bukan hal yang tidak baik,"
katanya perlahan. "Sebentar, kalau pulang mama akan bicara dengannya. Mama ingin
tahu, bagaimana pikirannya." Eng Tay, masih saja diam. Gin Sim pun membungkam,
ia hanya memandang nyonya majikannya itu.
Nyonya Ciok menghela napas, lantas melangkah pergi.
Kamar tidur itu menjadi sunyi.
Gin Sim melongok untuk memastikan apakah sang
majikan sudah pergi jauh atau belum, kemudian dia
tertawa sendiri dan berkata: "Benar saja, pikiran Nyonya Besar telah berubah."
Eng Tay bangun, lalu duduk. Ia merapikan rambutnya
sambil tersenyum. "Aku ingin tahu, apa yang akan Mama bicarakan
dengan Papa," katanya. "Bagiku sudah pasti, kecuali aku diizinkan belajar ke
Hang-ciu, tak akan ku ubah sikapku ini!"
Gin Sim pun tertawa. Tidak begitu lama, Kiok Ji pun muncul dengan
membawa semangkuk bubur biji teratai.
"Sebenarnya tak usah kau bawakan bubur biji teratai ini," kata Gin Sim. "Telah
ku katakan, Nona tidak mau makan apa pun. Ini pesan Nona."
Kiok Ji meletakkan mangkuk bubur biji teratai itu di meja, di atas piring
tatakannya ada sebuah sendok terbuat dari perak. Ia berkata: "Non, tak baik bila
Nona tidak makan sama sekali. Nyonya Besar yang memerintahkan
aku memasak bubur biji teratai ini. Kalau Nona tidak mau makan, apa kata Nyonya
Besar nanti" Mungkin abdimu ini akan dimaki."
"Pandai bicara kau!" kata Gin Sim tertawa. "Memang, Nona harus memakannya
sekitar dua suap..." Ia pun
melangkah menghampiri majikannya, katanya: "Non!"
Eng Tay membuka matanya, ia bangun, lalu duduk. Ia
mengangguk kepada Kiok Ji dan berkata perlahan:
"Rasanya aku mendengar kau membawakan sesuatu,
benarkah?" "Benar, Non," sahut Kiok Ji sambil menunjuk ke arah meja. "Itulah bubur biji
teratai." Eng Tay mengangguk. "Kau baik sekali." katanya. "Ayo bawa ke mari, aku ingin
mencobanya." Gin Sim segera membawakan bubur biji teratai itu dan menyerahkan sendoknya.
Nona Ciok menyendok bubur biji teratai, lalu
memasukkannya ke mulutnya.
Kiok Ji mengawasi, ia merasa geli, tetapi dengan lengan bajunya ia menutupi
wajahnya. Rupanya ia menganggap nona majikannya itu lucu.
"Apakah tak cukup bila aku makan sesendok saja?"
tanya Eng Tay yang melihat lagak abdi cilik itu. "Baiklah, aku menyendok lagi."
Agaknya ia sulit menelan bubur teratai itu, maka ia serahkan sendok itu pada Gin
Sim. "Aku tak bisa makan terus," katanya seraya
mengerutkan alisnya. "Perutku terasa mual...."
Melihat hal itu, Kiok Ji berkata: "Kalau begitu, Nona sebaiknya mengundang tabib
untuk memeriksa Nona. Bubur biji teratai saja tak masuk, bagaimana nanti, dua tiga hari kemudian, jika
Nona tidak makan sesuatu" Lapar itu berbahaya, Non...."
Seraya berkata demikian, abdi ini menerima bubur biji teratai itu dari tangan
Gin Sim. Katanya pula: "Kalau Nona tidak mau makan, baiklah, abdimu ini akan
memberitahu Nyonya Besar. Bubur biji teratai ini juga akan aku
tunjukkan." Eng Tay mengangguk, dari hidungnya terdengar suara
perlahan: "Hm...."
Kiok Ji memberi hormat dan mengundurkan diri,
kemudian ia kembali kepada nyonya majikannya. Setelah meletakkan mangkuk di atas
meja, dia memberikan laporannya. Dituturkannya tentang keadaan nona
majikannya itu sebagaimana dilihatnya. Teng-si duduk di bangku panjang. Ia
menyendok bubur biji teratai itu dan mencicipinya. Kemudian katanya seorang
diri: "Bubur biji teratai selezat ini tak dimakan, lalu apa yang disukainya?"
"Mungkin Nona sedang tidak sehat," kata Kiok Ji.
Teng-si berdiam diri, ia mengamati bubur biji teratai, lalu disuruhnya Kiok Ji
membawanya pergi. "Kalau begini, aku perlu bicara sama si tua bangka itu,"
katanya dalam hati menyebut suaminya. Lalu ia duduk menanti dalam kamarnya.
Sampai malam barulah Ciok Kong Wan pulang. Ia heran melihat istrinya duduk
termangu. "Bagaimana dengan Eng Tay hari ini?" tanyanya
"Apakah dia belum juga mengubah pendiriannya?"
"Sikapnya belum berubah," sahut sang istri, "dia tidak mau makan apa pun, air
juga tidak barang setetes.
Bagaimana sekarang?"
"Apakah kau tidak bawakan makanan lainnya?" tanya
sang suami. "Coba kau tanya saja Kiok Ji!" sahut Teng-si singkat.
Dia bagaikan enggan bicara.
Kong Wan menurut. Ia memanggil Kiok Ji. Abdi itu
menjelaskan segalanya. "Nah, kau dengar!" kata Teng-si kemudian. "Bahkan
bubur biji teratai tak sudi dia makan! Lalu, dia harus diberi makan apa?"


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kong Wan membungkam sambil berjalan mondar-
mandir. "Anak itu memang keras kepala!" katanya. "Begini saja, besok pagi kau temui dia,
katakan padanya aku akan menyuruh orang memanggil seorang guru guna
mengajarinya di rumah saja. Dalam hal ini tak soal kalau kita mengeluarkan lebih
banyak uang." "Kita sendiri yang mengundang guru itu?" tanya Teng-si.
"Ya. Sudah kukatakan, tak mengapa bila kita
mengeluarkan lebih banyak biaya!"
Teng-si hendak bicara tetapi ia melihat Kiok Ji.
"Kau pergilah tidur, di sini sudah tidak ada urusan lagi!" perintahnya.
Abdi itu menurut, ia mengundurkan diri. Lalu ia pergi ke kamar nona majikannya.
Di sana ketika melewati jendela, ia melihat bayangan dua orang.
"Kak Gin Sim?" tanyanya perlahan.
"Kiok Ji di sana?" sahut suara dari dalam. "Kau belum tidur?"
Kiok Ji melangkah memasuki kamar. Ia melihat nona
majikannya itu duduk berselubung di atas pembaringan, Gin Sim sedang menjahit
menghadap lampu. "Kau sedang bikin apa, sudah tengah malam masih ada di sini?" tanya Eng Tay.
"Adakah sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku?"
"Tidak ada, Non, hanya Tuan Besar sudah pulang,"
sahut sang abdi. "Baiklah!" kata Eng Tay. "Lihat besok saja."
Kiok Ji heran melihat sikap nona majikannya. Gadis itu tenang-tenang saja. Namun
ia tidak berkata apa-apa lagi.
Hanya sewaktu mengundurkan diri, ia berpesan kepada Gin Sim: "Aku datang ke mari
tanpa sepengetahuan Nyonya Besar maka kalau besok Kakak bertemu Nyonya
Besar, harap jangan katakan bahwa aku telah datang ke mari...."
"Aku tahu," sahut Gin Sim tertawa. Ia pun mengangguk.
Kepada nona majikannya, Kiok Ji berkata: "Non, harap Nona merawat diri baik-
baik...." Gadis itu mengangguk dan meng-iya-kan.
"Nona, bagaimana sikap Nona perihal Tuan Besar
hendak mengundang seorang guru itu?" tanya Gin Sim
kemudian. "Apakah Nona dapat menerima hal itu?".
"Entah guru macam apa yang hendak Papa undang!"
kata Eng Tay. "Apalah artinya belajar di bawah pimpinan guru semacam itu" Mana
ada guru semacam guru Ciu?"
"Kalau demikian, bila besok pagi Nyonya Besar datang, akan repot juga!
"Aku akan bicara baik-baik supaya Mama tidak ber-
susah hati." Mereka berhenti bicara sampai di situ, lalu keduanya tidur. Si nona benar-benar
kuat hatinya, ia dapat menenangkan diri. Keesokan paginya, benar saja, Teng-si muncul di kamar putrinya. Gin Sim sudah
menyiapkan segala hal, ia juga telah membakar dupa yang harum baunya. Dengan
cekatan ia menyambut si nyonya besar.
"Selamat pagi, Nyonya Besar," sambutnya. "Nona hari ini tidak mengalami
perubahan, abdimu ini risau sekali..."
Teng-si menghampiri pembaringan. Eng Tay sudah
mendusin, ia sedang duduk dengan separuh tubuhnya
berkerudungkan selimut. Rambutnya tidak terkundai,
masih kusut, terurai ke belakang. Ia tidak memakai bedak, kulit wajahnya yang
halus berwarna agak kuning.
"Ma...!" panggilnya perlahan kepada ibunya.
Nyonya Ciok duduk di sisi pembaringan, tangannya
meraba sebelah tangan putrinya.
"Telah dua-tiga hari kau tidak makan apa pun,
bagaimana kau rasakan tubuhmu?" tanya ibunya, lembut.
"Papa mu pun mengatakan, menuntut ilmu adalah baik
sekali. Sekarang..."
"Bagus!" Gin Sim mendadak menyela. "Kalau begitu
pasti Tuan Besar mengizinkan Nona pergi belajar ke Hang-ciu!"
Mendengar hal itu Eng Tay tersenyum lemah.
Tetapi Teng-si lekas meneruskan katanya. "Papa mu
telah memutuskan, tetapi hal itu bukan keputusan bahwa kau boleh belajar di Hang
ciu. Papa mu telah menetapkan untuk mengundang seorang guru datang ke rumah kita
ini guna memberi mu pelajaran di rumah. Maka dari itu, Nak, dengan belajar di
rumah, kau tak perlu lagi berada jauh di lain kota hingga tak usah lagi kau
keanginan dan kehujanan. Kau dapat tenang-tenang saja berdiam di
rumah. Bukankah itu baik sekali?"
"Maksud Papa sangat baik, aku mengucapkan terima
kasih," kata Eng Tay.
Teng-si tersenyum, legalah hatinya.
"Namun, Ma," kata Eng Tay, kemudian, "Walaupun
maksud Papa baik sekali, akan tetapi aku tak dapat
menerimanya...." Sang ibu terkejut, dia heran.
"Bukankah itu baik sekali?" tanyanya. "Kenapa kau tak dapat terima?"
"Ma, sebaiknya Mama dengar dulu keterangan ku," kata putrinya dengan sabar.
"Pertama hendak ku tegaskan, guru Ciu itu guru yang pandai sekali. Kedua,
tentang guru yang Papa undang. Apakah dia bermarga Thio atau Lie!
Siapakah dia" Ketiga, sekarang ini pelajaran putri Mama sudah cukup tinggi. Itu
berkat kebaikan Papa dan Mama, yang dulu telah memanggilkan seorang guru. Namun
sekarang lain. Bagaimana seandainya ada pertanyaan ku yang guru itu tak sanggup
berikan penjelasannya"
Bagaimana pendapat Mama kalau sampai terjadi begitu?"
Teng-si melengak. Tak ia sangka bahwa ia akan
mendapat pertanyaan semacam itu. Ia membungkam
beberapa lama. "Jadi, tidak bisa lain kecuali kau berangkat ke Hang-ciu?" tanyanya kemudian.
Gadis itu diam. "Kalau demikian, lain kali saja kita bicara lagi," kata sang ibu, akhirnya.
"Tetapi, Nak, kau harus makan apa saja, walau hanya sedikit...."
Eng Tay terus membungkam, kepalanya menunduk....
3 Ke Hang-Ciu! TENG-SI tak dapat berdiam lama-lama di kamar putrinya itu. Ia tak tahu harus
bicara apa, akhirnya ia bangkit dan berkata: "Jangan terus-terusan kau tidak
makan, itu tak baik. Mama akan bicara dengan."
Eng Tay tetap membungkam, sampai ibunya bangkit
berdiri. Teng-si melihat ke sekeliling kamar, kemudian berkata pada Gin Sim:
"Kau harus berupaya agar Nona mu mau makan. Tidak ada gunanya kalau kau hanya
merawat kamar ini...."
"Baik, Nyonya Besar," kata si abdi, tak lebih.
Dengan pikiran kacau dan tubuh lesu, Teng-si keluar dari kamar putrinya.
Beberapa kali ia menghela napas.
Ketika itu Ciok Kong Wan sedang duduk di ruang
dalam. Melihat istrinya muncul dengan wajah muram, ia merasa gelisah.
"Bagaimana dengan Eng Tay" tanyanya cepat. "Apakah
dia menyetujui maksud ku memanggilkan seorang guru
untuk mengajarinya di rumah?"
"Anak itu, aku tak bisa mengurusnya," sahut Teng-si.
"Pendiriannya tak dapat diubah, kecuali kalau dia mati kelaparan!"
"Bagaimanakah sebenarnya?" tegas Kong Wan. "Apa
katanya?" Teng-si menceritakan segalanya.
"Aku tidak berdaya," katanya akhirnya. Ia menjatuhkan diri di atas kursi. "Dia
terus tidak mau makan...."
Kong Wan mengawasi istrinya, kemudian ia mendekat.
"Benar-benar dia tidak mau makan apa-apa?" tanyanya menegaskan.
"Habis, apa mau dikata" Sekalipun bubur biji teratai, dia tak sudi makan."
Kong Wan berdiam diri, ia menarik napas.
"Anak kita, kita rawat sampai besar, biasanya dia
sangat penurut, "kata Teng-si kemudian, "sekarang dia menjadi keras kepala
seperti ini, kenapa" Mungkinkah dia terkena kuasa jahat?"
Kong Wan pun membungkam. Ia berjalan mondar-
mandir, kedua tangannya berada di punggungnya.
"Entahlah..." katanya kemudian.
"Bagaimana kalau kita panggil tukang tenung untuk
menanyakan keterangannya?" tanya Teng-si kemudian.
Dia teringat akan juru tenung.
"Boleh jugalah...." kata Kong Wan perlahan. Dia seperti putus asa. "Kalau si
penujum bisa membuat putri kita suka makan saja, akan kuberi dia imbalan yang
besar...." "Tetapi penujum tak bisa mengobati orang sakit," ujar Teng-si mengingatkan.
Kong Wan tiba-tiba tertawa.
"Ah, aku lupa!" katanya. "Memang, penujum bukan
tabib. Putri kita anak semata wayang, kalau dia tetap tidak mau makan, itu
bahaya. Kita berdua sudah berusia lanjut, kita mengandalkannya. Apalah artinya
hidup kita ini" Aku akan sangat berterima kasih pada siapa saja yang sanggup
membuat putri kita mau makan...."
Selama suami-istri itu bicara, Kiok Ji hadir di sana, ia tidak berkata apa-apa.
Akan tetapi di lain saat, selagi berkesempatan, dia pergi ke kamar nona
majikannya untuk menyampaikan padanya tentang pembicaraan
kedua orang tuanya. Eng Tay berpikir keras setelah mendengar ibunya
hendak mengundang penujum. Ia lalu dengan tegas
bertanya pada Kiok Ji. Abdi itu memastikan apa yang didengarnya, kemudian
menambahkan: "Tetapi Non, Nona belum juga makan,
kami semua bingung...."
"Jangan bingung, tidak apa-apa," kata Eng Tay. "Terima kasih untuk berita mu
ini." Kiok Ji girang, setelah berpesan agar beritanya itu tidak diketahui orang lain,
dia mengundurkan diri. Berita itu, bagaimanapun juga, melegakan hati Eng Tay.
Setelah berpikir sejenak ia berkata pada Gin Sim: "Kau perhatikan datangnya si
penujum itu. Kalau dia datang, segera temui dia dan beri dia sejumlah uang.
Utarakan maksud Tuan Besar dan Nyonya Besar mengundangnya.
Kau jelaskan tentang akal kita ini, minta agar dia
menyiasati Tuan Besar dan Nyonya Besar. Katakan, asal dia berhasil, akan kuberi
dia imbalan yang akan memuaskan hatinya." Gin Sim tertawa. "Peramal yang biasa datang ke mari adalah Gow Ti-kaw, si Mulut Besi, " katanya.
"Aku mengenalnya, aku akan bicara denganya. Namun, bagaimana dengan aku, Nona?"
Eng Tay tersenyum. Ia maklum abdinya itu bergurau.
"Jangan kau tanyakan lagi," katanya, "akan kuajak kau serta!"
Sang abdi girang sekali, dia tertawa. Segera dia pergi ke luar.
Petang hari itu Ciok Kong Wan dan Teng-si sedang
duduk bercakap-cakap di ruang dalam rumah mereka.
Mereka membicarakan urusan anak gadis mereka, yang
sedang membingungkan dan memusingkan mereka.
Beberapa kali tampak mereka hanya menghela napas
panjang. Tiba-tiba saja, dari luar, dari ujung rumah, terdengar suara 'ting-ting, tang-
tang'. Itulah suara yang mereka kenal baik, suara pertanda dari seorang penujum,
ahli tenung, yang biasa lewat di tempat itu.
"Kebetulan sekali," kata Kong Wan. "Kita sedang
berpikir akan mencari tukang tenung, eh, sekarang dia lewat di sini!"
"Bukankah tak ada halangannya bila kita
memanggilnya?" kata Teng-si.
Belum lagi Kong Wan sempat menjawab, sekonyong-
konyong Gin Sim muncul. "Nyonya Besar hendak memerintahkan sesuatu?"
tanyanya pada sang majikan.
"Di luar ada tukang tenung, coba kau panggil ke mari,"
kata si nyonya. "Ada yang hendak ku tanyakan...."
Gin Sim menyahut "Ya," tetapi ia tidak segera memutar tubuhnya untuk pergi ke
luar, melainkan lebih dulu
menoleh pada tuan besarnya, yang ketika itu sudah
bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondar-
mandir dengan wajah muram. Melihat hal itu, dia segera cepat-cepat ke luar. Tak
lama kemudian dia telah kembali bersama seorang lelaki tua.
Teng-si melihat, seorang tua berbaju abu-abu
mengenakan ikat kepala, raut wajahnya Panjang dan
berewok. Di tangannya, orang itu memegang sebuah tang-keng 8 serta sepotong
bumbung bambu. Di depan nyonya rumah, orang tua itu segera menjura, memberi hormat.
"Nyonya ingin menghitung-hitung sesuatu?" tanyanya
dengan hormat. "Saya Gow Ti-kaw, biasa meramalkan
segala hal. Penduduk di sekitar sini kenal siapa aku."
Kong Wan sedang berdiri mengawasi tamunya itu.
"Ya, ada sesuatu yang ingin ku tanya," jawabnya,
mendahului istrinya. "Dapatkah kau menerangkannya?"
"Tentu, tentu, Tuan Besar!" kata si tukang tenung
dengan cepat. "Yang Tuan Besar hendak tanyakan itu, anak laki-laki atau anak
perempuan?" "Dia adalah putriku anak perempuan yang sedang
sakit" kata Kong Wan.
"Anak perempuan?" tegas si tukang tenung. Segera dia menurunkan tang-keng sambil
memegangi bumbung bambunya. Dia menjurai ke langit tiga kali, kemudian
menggoyang-goyangkan bumbung bambunya, dan
akhirnya menuangkan isinya ke atas meja. Segera saja ke luar, terjatuh, enam
batang bambu rautan, kecil dan pendek. Ke-enam batang bambu itu berjatuhan
saling susun. 8 Tang-keng: semacam alat musik terbuat dari batu atau kuningan.
Melihat hal itu si tukang tenung terkesiap, bahkan dia berseru sendiri: "Ah, ini
ramalan tidak baik! Tuan Besar mengatakan putri Tuan sedang sakit, maka aku
khawatir, tidak sampai seratus hari akan ada bencana sinar merah darah...."
Ciok Kong Wan terperanjat. Dia memang sedang
bingung, sekarang dia mendengar ramalan mengerikan itu.
"Merah darah!" katanya, suaranya tak jelas. "Lalu
bagaimana - adakah daya untuk menangkisnya" Apakah
bisa diperoleh pertolongan...?"
Dan sang ayah pun lantas mendongak ke langit. Di
dalam hati, dia memuji, memohon pertolongan Tuhan Yang Maha kuasa.
Si tukang tenung tidak segera menjawab.
Teng-si pun cemas sekali, dia bangkit berdiri.
"Apakah ada daya untuk menghindarinya?" tanyanya
bingung. Gow Ti-kaw tidak segera menjawab. Dia terus
mengawasi ciam-si 9 batang-batang bambunya itu, dia tampak sedang berpikir
keras. Baru sesaat kemudian, terdengar suaranya.
"Ya, ada jalan untuk menghindarinya," katanya
perlahan. "Putri Tuan harus pergi dari sini, ke tempat sejauh tiga ratus li 10
dan di sana dia harus tinggal untuk jangka waktu tertentu. Mungkin hal ini akan
membuat dia menemukan jalan keselamatan, malapetaka bisa berubah menjadi
keberuntungan. Lihat ramalan ini, enam saling susun dan melintang. Ya, apalagi
mengenai orang perempuan, kepergiannya ke lain tempat tak boleh
ditunda-tunda lagi!"
Teng-si bingung.

San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia justru putriku." katanya.
"Menurut ramalan ini, apabila yang bersangkutan
adalah anak perempuan, dia mestinya sudah mengerti
9 Ciam-si: ramalan. 10 1 li = sekitar 579 meter.
ilmu budaya dan usianya sekarang di atas tujuh belas tahun. Itu usia peralihan.
Bukankah dia sedang berbaring saja dan tidak mau makan atau minum" Bukankah dia
anak tunggal kedua orang tuanya" Inilah saat yang sangat berbahaya! Tuan Besar
dan Nyonya Besar, aku bicara
sebenar-benarnya, tetapi aku mengatakannya menurut
ramalan. Cocokkah itu?"
Teng-si menepuk meja. "Ya, cocok ramalanmu itu!" katanya. Kemudian ia
berpaling pada suaminya dan berkata: "Suamiku,
bagaimana" Itulah bunyi ramalannya, maka kita perlu bertindak cepat guna
menghindari ancaman bahaya walau untuk sementara waktu. Menurutku, sebaiknya
kita izinkan putri kita pergi...."
Ciok Kong Wan mengusap-usap janggutnya.
"Mengizinkan pergi ke Hang-ciu, bagaimana ya?" ragu-ragu.
"Benar, pergi ke Hang-ciu!" ujar Gow Ti-kaw turut
bicara. "Di sana tidak ada ancaman 'cahaya darah',
bahkan tahun ini, di sana ada yang dinamakan 'Tahun Budaya'. Selain itu,
tindakan ini pun adalah tindakan menyingkirkan diri dari malapetaka untuk
sementara waktu saja." "Ya, suamiku, ku harap kau tidak ragu-ragu," sambung Teng-si.
"Kalau begitu, biarkanlah dia pergi...." kata Kong Wan akhirnya, setelah bimbang
beberapa lama. Mau tak mau, hati kerasnya melunak.
"Ya, itu memang yang paling baik, Tuan Besar," tegas, si juru ramal. Di dalam
hatinya dia girang bukan kepalang.
Kemudian ahli nujum ini mohon diri. Teng-si
membekalinya imbalan sebesar lima tahil perak. Maka bukan main senang hatinya.
Cepat luar biasa, berita baik itu telah sampai ke telinga Eng Tay. Bahkan selagi
ayah dan ibunya masih duduk
membahas persiapan keberangkatan anak gadisnya ke
Hang-ciu, tiba-tiba putrinya itu telah muncul di ruang tamu itu. Dua hamba
sahaya wanita mengapitnya.
Eng Tay sudah berdandan rapi, rambutnya telah
tergelung, dan ia berbedak tipis.
Bukan main lega hati Teng-si. Ibu ini segera bangkit dari kursinya dan berjalan
menghampiri putri gadisnya itu.
"Kau sudah sembuh, Nak?" tanyanya. Jelas ibu ini
sangat menyayangi putrinya.
"Baru saja aku mendengar tentang datangnya penujum, maka aku paksakan diri
datang ke mari," kata Eng Tay.
"Ketika aku mendengar kata-kata penujum itu dan Papa menyatakan mengizinkan aku
pergi, aku lantas sembuh sama sekali."
Kong Wan mengawasi putrinya itu.
"Ya, kau tampaknya sehat," katanya.
Eng Tay segera mengucapkan terima kasih pada kedua
orang-tuanya itu. Ia memberi hormat. Sekarang ia tak usah diapit lagi oleh kedua
pembantunya. Tiba-tiba sikap Kong Wan berubah menjadi dingin.
"Tadi kata-kata Papa itu hanya main-main saja!"
katanya kaku. "Perkataan Gow Ti-kaw tidak ada buktinya.
Papa meng-iya-kan saja agar dia lekas-lekas pergi....!"
Eng Tay terperanjat. "Tetapi, Pa," katanya, "penujum itu tidak bicara main-main! Lagi pula tadi Papa
mengatakan di depan orang banyak bahwa Papa sudah izinkan aku pergi melanjutkan
pelajaran ke Hang-ciu, mengapa sekarang Papa bicara lain" Oh, Papa, putrimu ini
sedang pilu hati...."
Teng-si, si ibu, juga terkejut. Ia mendekati anak
gadisnya itu dan merangkulnya.
"Nak, bicaralah baik-baik," katanya membujuk.
"Tapi, Ma, kata-kata tadi, main-main atau bukan?"
tanya putrinya sambil menatap ibunya.
Teng-si bersikap tenang, bahkan dia tersenyum.
Kong Wan mengawasi anak gadisnya itu, pikirannya
bekerja keras. "Apabila kau sudah mantap hendak pergi, pergilah,
Mama tidak menghalangimu," katanya kemudian. "Tetapi sebaliknya, Papa mempunyai
tiga syarat berat. Asal kau setuju kau boleh pergi, kalau tidak, sukar
sekali...." Gadis itu mengamati ayahnya.
"Baiklah, Pa, silakan Papa sebutkan tiga syarat itu,"
katanya cepat. Kong Wan mengangguk. Ia berkata. "Kau akan
menyamar sebagai laki-laki, kau harus berhati-hati.
Apabila kau gagal, kau bisa merusak nama baik keluarga Ciok kita!"
"Itu mudah, Pa," kata putrinya. "Papa toh sudah
mengetahui, sejak kecil aku gemar dandan sebagai anak lelaki. Tentang hal ini
harap Papa jangan khawatir."
Ketika itu Gin Sim yang hadir bersama, maju ke depan.
Dengan berani dia turut bicara. Katanya: "Nona akan pergi ke Hang-ciu, ia
membutuhkan pelayan untuk disuruh-suruh. Maka dari itu, hambamu ini suka ikut
serta. Hamba juga akan menyamar sebagai laki-laki."
Sang majikan mengamati abdinya, ia bersikap kaku.
Tetapi segera dia berkata: "Baiklah, kau boleh turut serta.
Tapi kau harus berhati-hati melayani Nonamu!"
"Tentu, Tuan Besar, tentu!" sahut si abdi cepat. Lalu ia mengundurkan diri.
"Syarat yang kedua, Pa?" tanya Eng Tay dengan sabar.
"Sekarang ini sering sakit," kata sang ayah, "maka dari itu dengan kepergianmu
yang akan mengambil waktu lama ini, andaikata jatuh sakit dan Papa mengirim
surat padamu, kau harus segera pulang!"
"Ya, itu benar," ujar Teng-si ikut bicara. "Kau tahu, kepergianmu membuat Mama
selalu memikirkan kau. Mama memang ingin kau lekas pulang!"
Eng Tay mengangguk. "Itu pasti, Ma" katanya. Terus ia menoleh pada ayahnya:
"Yang ketiga, Pa?" desaknya. "Ini agak sulit," katanya.
"Sebutkan saja, Pa!" tantang putrinya. "Jangankan baru agak sulit, asal aku
diizinkan berangkat ke Hang-ciu, walau harus menyerbu api, aku tak akan
menolaknya!" []Ciok Kong Wan mengangguk.
"Baik!" katanya cepat. "Kau boleh pergi ke Hang-ciu, namun kau harus ingat,
dengan berada di sana kau jadi terpisah jauh dengan Papa dan Mamamu. Kami tak
menjagamu, maka kau haruslah menjaga dirimu sendiri baik-baik! Kau berdua saja
dengan abdimu, kalian harus saling membantu! Nanti, bila kau sudah pulang, akan
ku panggil bidan untuk memeriksamu. Aku harap bidan akan menyatakan bahwa kau
masih perawan. Itulah yang akan membuat wajah kita bercahaya!"
Eng Tay menatap ayahnya itu.
"Kalau sebaliknya, bagaimanakah, Pa?" tanyanya.
"Apabila demikian, tak usah kau tanyakan lagi, kau harus putuskan sendiri!"
jawab sang ayah. Gadis itu tersenyum. "Ku kira ada kesulitan apa, Pa?" katanya. "Itu adalah urusanku sendiri, tak usah
Papa pikirkan, tak usah Papa berpesan lagi. Nah, Pa, ketiga syarat Papa akan aku
penuhi!" Teng-si lega hatinya. Semula dia sangat khawatir karena belum mengetahui apa
ketiga syarat suaminya itu. Sekian lama ia mengerutkan dahi, namun tak berani
dia turut bicara. Sekarang semuanya beres!
"Nah, kau baru putri Papa yang baik!" katanya pada
putrinya itu seraya memegang tangan Eng Tay. "Sekarang, Nak, kapan kau hendak
berangkat?" "Tanggal keberangkatannya, terserah Papa," jawab
putrinya. "Karena Papa telah meluluskan kau pergi," kata Kong Wan, "kau boleh berangkat
dua hari lagi, esok kau boleh ganti pakaian, lusa kau sudah bisa berangkat.
Segala pakaian dan lainnya, esok boleh perintahkan Ong Sun berangkat lebih dulu,
jadi lusa kau bisa berangkat dengan leluasa. Akan Papa sediakan seekor kuda. Gin
Sim akan membawa bungkusan barang-barang keperluan sehari-hari."
"Terima kasih, Pa," kata Eng Tay. "Terima kasih, Papa sangat memperhatikan
segala keperluanku. Baiklah, lusa aku berangkat!"
Sehabis berkata, Eng Tay mengajak Gin Sim kembali ke kamarnya untuk menyiapkan
segala sesuatu. Maka, dua hari kemudian, majikan dan abdinya itu
sudah bisa memulai perjalanannya. Hari itu pun langit terang-benderang. Satu
hari lebih awal, Ong Sun telah berangkat. Gadis itu memohon doa restu selamat
jalan kepada ayah-ibunya, demikian juga sang abdi kepada
majikannya itu. Berbeda dari hari-hari biasanya, kali ini Eng Tay
tampak seperti seorang pemuda pelajar yang tampan.
Bajunya biru, sepatunya hitam. Ia tidak memakai bedak, wajahnya terlihat putih
bersih. Gin Sim juga menjadi seorang pemuda. Ia memakai kopiah hijau dan baju
ketat berwarna hijau juga, hingga mirip sekali pelayan anak sekolah.
Di saat hendak berangkat, Eng Tay memberi hormat
pada ayah-bundanya. Dan kedua orangtuanya itu
menyampaikan pesan-pesan mereka. Sang ayah dan ibu
hendak mengantar anak gadisnya, tetapi putrinya itu menolak.
Eng Tay menunggang seekor kuda berbulu merah-
coklat. Kong Wan dan Teng-si mengawasi putrinya sampai ia
dan Gin Sim lenyap dari pandangan.
Di tengah perjalanan Eng Tay menanyakan abdinya,
"Kau kuat menggendong bungkusan itu atau tidak?"
"Kuat, Non," jawab si abdi. "Saya kuat mengangkat
barang seberat empat puluh kati 11 sedangkan bobot
bungkusan ini tak ada separuhnya!"
Eng Tay tertawa. "Kita berjalan santai saja," katanya. "Sekarang musim ketiga, bunga-bunga sedang
mekar dengan indahnya. Ya, kita berjalan seperti sedang pesiar saja. Bagaimana,
kau setuju?" 11 1 kati sama dengan 6,25 ons.
"Tentu, Non," sahut sang abdi, sang kacung sekarang.
"Kita bisa berjalan perlahan-lahan, atau istirahat di bawah pohon yang
rindang...." "Kau benar," kata gadis itu.
Demikianlah, nona dan hambanya itu berjalan
perlahan-lahan, namun sampai tengah hari mereka telah melalui kira-kira dua
puluh U. "Ini adalah hari pertama kita. Kita jangan berjalan sampai terlalu letih," kata
Eng Tay. "Di depan, kalau ada rumah penginapan, sebaiknya kita singgah dulu."
Gin Sim setuju, maka hari itu, sang malam dilewati di tempat penginapan.
Keesokan paginya, mereka berangkat lagi, masih saja dengan santai sehingga
mereka tak merasa lelah. Pada suatu lohor, tiba-tiba saja majikan dan hambanya itu menjadi repot. Cuaca
sekonyong-konyong berubah, langit mendadak mendung!
"Ah!" seru Gin Sim. "Hujan akan turun, kita perlu
segera mendapatkan rumah penginapan!"
Di atas kudanya, Eng Tay melihat ke sekeliling.
Mendung di mana-mana. "Benar, hujan akan segera turun!" katanya. "Di mana ada pondokan" Atau kita
mampir saja di rumah penduduk?" Gin Sim pun menoleh ke sekitarnya.
"Ya, kita cari rumah penduduk saja...." katanya.
Gadis itu mengangguk. Di arah selatan tampak sebuah tempat perhentian.
Segera ia menggebah kudanya untuk berlari ke sana. Gin Sim lari mengikuti. Di
tepi jalan mereka melihat sebuah teng. 12
Ke tempat perhentian itu, mereka menuju. Di sisi teng itu ada beberapa pohon
yang-liu yang besar. Ada pula satu bukit kecil dengan sebuah susukan, atau kali
kecil. Di pinggirnya, tumbuh rumput-rumput hijau.
12 Teng: paviliun terbuka, dibuat menyerupai gubuk.
"Indah sekali pemandangan alam di sini," kata Gin Sim yang juga mengamati
sekitarnya. "Sungguh menarik kalau dibuatkan syair."
"Kau benar," kata Eng Tay kepada abdinya itu. "Coba kau dengar."
Dan gadis itu langsung mengalunkan suaranya yang
halus dan merdu: "Angin besar berhembus dari arah selatan,
Menggoyang-goyang pohon murbei di persawahan,
Perjalanan jauh melelahkan si pelancong,
Hingga ingin ia singgah di antara pepohonan.
Eh, tanpa terasa paviliun basah kehujanan...."
"Bagus!" ujar Gin Sim memuji. Tetapi mendadak
tangannya menunjuk ke jalan besar.
"Lihat di sana!" katanya. "Ada seorang penunggang
kuda dengan menggendong buntalannya sedang mendekat.
Ya, dia sedang menuju ke mari. Jelas dia pun ingin
berlindung dari hujan. 4 Pertemuan Pertama MENDENGAR suara abdinya, Eng Tay berpaling. Benar
saja, seorang anak muda sedang menuju teng itu. Dia menunggang seekor kuda
berbulu dauk, putih-kelabu. Di belakangnya, berlari-lari seseorang sambil
menggendong buntalan. "Tuan Muda, di dalam teng sudah ada orang lain!" kata pengikut itu, yang
mendahului maju. Dia melihat Eng Tay dan Gin Sim.
"Ya," sahut si anak muda yang dipanggil "Tuan Muda"
itu. Segera si anak muda juga meloncat turun dari kudanya. Dia mengenakan baju
biru, berdandan sebagai seorang pelajar, hanya saja, bahan pakaiannya kasar,
hingga jelas dapat diterka bahwa dia bukanlah dari
keluarga berada. Namun, dia tampan dan gerak-geriknya halus.
Ketika memasuki teng, menghadap Eng Tay, dia memberi hormat seraya berkata
dengan tenang: "Maaf, hujan besar akan segera turun, aku mohon agar dapat ikut
berlindung di sini" Eng Tay membalas hormatnya.
"Silakan!" katanya. "Benar, akan turun lebat. Kami pun sedang berlindung di
sini." Waktu itu, masuklah kacung si anak muda. Dia
mengenakan baju abu-abu. Usianya baru sekitar delapan belas atau sembilan belas
tahun. Dia melangkah masuk sambil mengusap peluh di wajahnya.
Sementara itu kuda mereka, yang ditambat berdekatan, berkelahi hingga saling
mendupak. Kacung si anak muda itu segera lari untuk memisahkan. Gin Sim pun
cepat-cepat memisahkan kuda nona majikannya.
"Penuntun kuda, kau datang dari mana?" tanya si
kacung kepada Gin Sim. Yang ditanya menatap, tetapi tidak menjawab.
"Ah, gagu barangkali! " kata, kacung itu.
"Kau lah yang gagu!" kata Gin Sim kemudian.
Kacung itu mengawasi. Tampak dia heran.
"Kalau tidak gagu, kenapa kau diam saja?" tanyanya.
"Kau tahu, manis budi itu mendatangkan uang!" kata
Gin Sim keras. "Kau menyapa orang, mengapa mendadak kau panggil orang dengan
sebutan penuntun kuda" Aku merasa tak enak mendengar kata-katamu itu, maka aku
tidak menjawab. Kau tak tahu sopan-santun!"
Mendengar demikian, si kacung tertawa.


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, maaf, aku benar-benar salah," katanya. "Kak,
terimalah hormat adikmu....," dan dia pun terus menjura dalam.
Gin Sim tertawa, dia membalas hormat.
"Dan kau, kau datang dari mana?" ia balas bertanya.
"Dari dusun Nio di Hwe-ke," sahut si kacung.
"Lain tujuanmu ke mana?"
"Ke Hang-ciu, untuk sekolah."
"Kau pergi hendak belajar?"
"Bukan aku, tetapi Tuan Mudaku itu."
"Itukah tuan mudamu?"
"Benar," sahut si kacung sambil menunjuk ke teng. Di saat itu, si anak muda itu
sedang memperhatikan langit, mengamati awan.
"Aku juga hendak bertanya kepadamu," kata si kacung kemudian. "Kalian datang
dari mana?" "Dari dusun Ciok."
"Tujuannya?" "Sama dengan tuanmu, ke Hang-ciu, untuk
meneruskan pelajaran."
"Jadi kau lah yang hendak sekolah?" "Bukan, tetapi
Tuan Mudaku "Bagus sekali!" seru si kacung. "Sekarang aku numpang tanya, siapa nama Kakak?"
"Namaku Gin Sim. Gin, perak, Sim, hati. Kau sendiri?"
"Aku" Namaku Su Kiu. Su, empat, Kin, sembilan, sebab aku dilahirkan ketika
ayahku berusia empat puluh
sembilan tahun...." "Cukup sudah kita bicara," kata Gin Sim. "Mari kita mendatangi majikan kita."
"Ya," kata Su Kiu. Maka mereka bersama-sama
memasuki teng. "Kalian bicara apa saja?" tanya si pemuda marga Nio pada kacungnya.
"Apakah Tuan Muda tidak mendengar pembicaraan
kami?" "Dengar tetapi tidak jelas."
"Tuan Muda itu juga sama seperti Tuan Muda, hendak
sekolah di Hang-ciu."
"Kalau demikian, kebetulan sekali," kata si majikan.
"Nanti ku temui dia."
Dan segera dia menghampiri Eng Tay. Ia memberi
hormat sambil terus berkata: "Kak, tadi Su Kiu memberi tahu aku bahwa Anda juga
hendak sekolah di Hang-ciu, benarkah?"
"Benar," sahut. Eng Tay sambil memberi hormat. "Dan Kakak sendiri?"
"Juga mau sekolah di Hang-ciu. Kakak sebenarnya dari mana?"
"Aku dari dusun Ciok. Anda dari mana?" "Dari dusun
Nio di Hwe-ke." "Sungguh kebetulan!" kata Eng Tay. "Inilah yang
dikatakan: senikmat-nikinatnya air dari dusun!"
"Ya," ujar si anak muda menimpali, "seerat-eratnya
sesama orang desa!" Maka tertawalah keduanya.
"Di sana ada kursi batu, mari kita duduk," ajak Eng Tay.
"Mari!" kata si pemuda bermarga Nio itu.
Mereka menghampiri kursi batu itu. Sekali lagi mereka saling memberi hormat,
baru mereka sama-sama duduk, berhadapan.
"Kakak siapa?" tanya Eng Tay kemudian.
"Aku Nio San Pek," sahut orang yang ditanya. "San,
gunung dan Pek, paman-tua. Kakak sendiri?"
"Aku Ciok Eng Tay. Ciok dari ciok-hok, beruntung, Eng dari eng-hiong, pendekar,
dan Tay dari law-tay, rumah susun. Kakak mau pergi ke Hang-ciu, guru manakah
yang kakak cari?" "Aku hendak menemui pak guru tua Ciu Su Ciang di Ni San. Kakak sendiri?"
"Kebetulan, kita sama-sama mencari guru yang sama!
Kata orang, guru Ciu mempunyai murid-murid dari tempat lain."
"Begitulah kata orang," kata San Pek.
Ketika itu tampak awan tebal bergerak, lalu berkelebat sinar kilat. Segera
guntur menggelegar nyaring bertalu-talu, diselang-selingi kilat. Dan akhirnya,
turunlah sang hujan, lebat sekali.
Gin Sim dan Su Kiu, yang berdiri di luar teng, segera berlari ke pinggir,
berdiri di sisi teng. "Su Kiu, hujan begini besar, kau takut atau tidak?"
tanya San Pek pada kacungnya.
"Hujan bagiku, tidak ku takuti, namun tadi baru saja, yang menggelegar
memekakkan telinga, aku agak...."
"Takut, ya?" sambung majikannya. "Itu wajar. Tetapi kita ya kita, guntur ya
guntur, tak ada sangkut-pautnya."
"Anda benar," kata Eng Tay. "Siapa pun, pada saatnya, merasa takut. Namun kita,
karena hujan turun dengan lebat, kita jadi harus tinggal lebih lama di sini.
Kak, di kota Hang-ciu, apakah Anda mempunyai sanak-saudara?"
"Tidak ada. Bagaimana dengan Kakak sendiri?"
"Aku juga tidak punya kerabat di sana."
"Jadi, kita berdua sama saja," kata San Pek lagi. "Eh, ya, apakah Anda mempunyai
saudara?" "Aku hanya sendiri. Tapi, Anda, Kakak Nio?"
"Kalau demikian, kembali kita sama saja. Aku sebatang kara. Ya, sang hujan
membuat kita bertemu satu sama lain. Kita bagaikan berjodoh...." Setelah berkata
demikian, San Pek menghela napas.
"Ya, memang kebetulan sekali! " kata Eng Tay.
San Pek menoleh pula ke luar, hujan mulai reda. "Kalau tidak keliru, sebentar
lagi kita sudah bisa berangkat,"
katanya. Terus ia bangkit, berjalan ke luar dengan langkah perlahan.
Kedua kuda mereka berteduh di bawah atap di samping teng.
"Lihat," kata San Pek tertawa. "Sekalipun kuda, dia takut hujan! Dasar binatang
dia pun punya perasaan!" Eng Tay berdiam diri.
"Lihat," kata San Pek pula, "hujan semakin reda. Di barat-daya, langit sudah
terang, gedangkan mega mulai bergeser ke tenggara. Sebentar lagi langit jernih
dan kita bisa melanjutkan perjalanan!" Sambil berkata begitu, pemuda ini
menunjuk ke arah awan. Eng Tay bangkit dari duduknya, ia memandang ke arah yang ditunjuk si pemuda.
Hujan memang sudah berhenti dan langit sudah terang. Matahari mulai muncul. Daun
pepohonan tampak hijau segar. Bunga-bunga pun
kelihatan cantik, terlebih-lebih kembang sepatu. "Sungguh suatu pemandangan yang
indah!" gadis itu memuji. "Hujan ini membangkitkan kesegaran!"
Mendengar perkataan gadis itu, Gin Sim dan Su Kiu
turut memandang ke luar. "Benar-benar indah!" kata Su Kiu. "Sayang sekali aku
tak dapat menguraikannya. Eh, ya, Tuan Muda," lanjutnya pada majikannya, "kenapa
Tuan Muda tidak mau bersyair" Kebetulan di sini ada Tuan Muda Ciok, kalau Tuan
Muda membuat satu bait, Tuan Muda Ciok dapat menanggapinya...."
San Pek tertawa. "Tak kusangka kau gemar syair!"
katanya. "Di sini ada Tuan Muda Ciok, jika aku bersyair, pasti akan jadi bahan
tertawaan!" "Kakak Nio, jangan bergurau!" kata Eng Tay. "Aku
justru ingin sekali belajar dari Anda. Kakak Nio, silakan bersyair untuk membuka
kepicikanku." "Ah, tak usahlah kita bersyair," kata San Pek menolak
"Kalau Anda tidak berkeberatan, sebaiknya kita bicara tentang Co Cu Kian."
"Co Cu Kian si Co Pi, putera yang pandai dari Co Coh semasa Dinasti Han?"
"Benar, Kakak Ciok. Co Cu Kian memang pandai sekali.
Anda lihat di hadapan kita, bukankah itu 'Jauh
memandang ribuan li, seluruhnya hanya tampak tanah
datar'?" Inilah salah.satu syair si Co Pi itu.
Eng Tay tertarik, tanpa terasa, ia menimpali. Maka
berdua, muda-mudi itu bagaikan tenggelam dalam syair.
"Kakak Ciok, Anda benar-benar.pandai!" ujar San Pek akhirnya memuji.
"Kakak hanya menyanjung!" kata Eng Tay tertawa.
Kemudian ia menambahkan. "Kita sekarang hendak
sekolah, aku merasakan suatu kebimbangan...."
"Apakah itu, Kakak Ciok?" tanya San pek, ia tak
mengerti. "Tentang guru Ciu di Hang-ciu. Aku tak mengerti
mengapa dia tidak menerima murid perempuan" Ya,
bahkan di seluruh negeri kita sekarang ini tidak ada sekolah khusus wanita!
Bukankah itu tidak adil?"
"Kakak benar, namun itulah masalah umum. Hal itu
bukan soal sehari semalam."
"Tetapi, di zaman dinasti Han Timur, bukankah sudah ada guru yang menerima murid
wanita?" kata Eng Tay.
"Ingat saja pada Pan Ciao, ia sangat terpelajar hingga ia mencoba mengarang
kitab sejarah Kerajaan Han. Juga
Boen Kie, putri Coa Yong, yang terdampar ke tangan suku Hiong-now. Tetapi syukur
dia dapat ditolong oleh Co Coh yang menebusnya dengan uang emas dalam jumlah
besar. Bahkan dia memahami juga ilmu musik. Hanya sayang,
mereka itu tak tercatat luas dalam sejarah...." 13
13 Pan Ciao (Pan Chao) alias Hui Chi, adik dari Pan Ku. Pan Ku menulis buku
sejarah Kerajaan Han. Sayang sekali, sebelum selesai, ia telah tiada. Tetapi
karyanya itu diteruskan oleh Pan Ciao, adik perempuannya. Sedangkan, Coa Yong
(Tsai Yung) alias Pei Chiai, juga orang zaman dinasti Han Timur, berkat
kepandaiannya, pernah San Pek tertawa. "Kakak Ciok, bicaramu beralasan
sekali," katanya. "Ku pikir, kalau nanti Kakak sudah lulus, Kakak dapat
membangun sekolah yang menerima murid-murid wanita...."
Sehabis berkata, pemuda bermarga Nio itu segera
mengalunkan syair Coa Yong - syair 'Memberi minum
kuda di kobakan jalanan Tembok Besar'. Begini bunyi syair yang dialunkan itu:
Hijau-hijau rumput di tepian sungai,
Tak hentinya memikirkan perjalanan nan jauh,
Jalanan nan jauh tak bertepi,
Tempat penginapan terlihat dalam mimpi...."
Eng Tay pun tertawa. "Kakak Nio," katanya, "Hebat, Anda dapat menyanyikan syair Coa Long-tiong. Anda
hapal sekali!" "Itu karena tadi aku tertarik oleh syair Anda," kata San Pek.
Di saat itu, hujan telah benar-benar berhenti.
Pepohonan tampak luar biasa segar. Hawa hujan, bagaikan halimun menaungi teng.
Berkat pengaruh daun pepohonan, pakaian orang bagaikan berwarna hijau pula.
Dengan berhentinya curahan air dari langit, mentari pun mulai muncul untuk
menerangi jagat, untuk memudahkan orang yang sedang melakukan perjalanan.
Sawah ladang pun tampak hijau semua....
Diam-diam San Pek mengagumi Eng Tay, sahabat baru
yang ia anggap tampan, terpelajar dan pandai bersyair itu.
Lalu ia berkata: "Sekarang langit cerah sekali, marilah kita lanjutkan perjalanan kita. Kakak
Ciok, selama dalam perjalanan kita ini, aku sangat mengandalkan bantuan Anda. Di
Hang-ciu nanti, harap saja Anda belajar dengan sungguh-sungguh menjabat sebagai
sekretaris suatu kementrian. Sayang sekali, karena ulah "Durna,"
dia dihukum buang, namun setelah bebas dan kembali, oleh Tung Cho (Tang Toh) ia
diberi pangkat bahkan gelar kebangsawanan.
guna mencapai cita-cita Anda. Ya, bantuan Anda sangat ku butuhkan! Kak,
pertemuan kita di tengah jalan ini
sungguh luar biasa, bukan kebetulan belaka...."
"Kakak Nio, Anda benar," kata Eng Tay. "namun Anda
terlalu memuji. Sebenarnya, aku tidak berbuat apa-apa...."
Nio San Pek diam sejenak, agaknya dia sedang berpikir.
"Kak, ada sesuatu yang tak dapat tidak, saya mesti
mengatakannya," katanya kemudian.
Eng Tay agak heran, ia menatap.
"Apakah itu, Kak?" tanyanya. "Kita baru bertemu tetapi kita sudah bagaikan
sahabat lama, kalau ada yang ingin Kakak katakan, silahkan katakan."
"Rumah sekolah di Ni San itu, pasti banyak muridnya,"
kata San Pek, "karenanya tak heran bila banyak orang banyak pikirannya, beda
pendapatnya pula. Tidak demikian dengan kita berdua, kita sama dalam segala hal, maka esok lusa, jika
Kakak hendak mengatakan sesuatu, katakan saja. Aku senang menerimanya. Ya,
kuharap bisa menerima lebih banyak petunjuk dari Kakak."
Mendengar demikian, Eng Tay tersenyum. Ia
mengangguk. "Bagus, Kakak Nio!" katanya. "Bagus, pikiran Anda
sama dengan pikiranku. "Baiklah, kelak kita tidak boleh sungkan. Harap Kakak pun
sudi mengajariku." Sementara itu, Su Kiu yang berada di luar berkata pada Gin Sim: "Kak Gin Sim,
kau dengar atau tidak" Majikan kita telah sama-sama memperoleh kecocokan, maka
dari itu juga, kita harus bisa bekerja sama! Bagaimana kalau kita pun minta pak
guru nanti mengajari kita...?"
Gin Sim menoleh pada Eng Tay, agaknya ia ingin bicara, tetapi gagal.
"Kata-kata Su Kiu itu benar," kata San Pek, mendahului Eng Tay.
"Ya, benar," kata Eng Tay. "Belajar ilmu budaya adalah baik sekali. Tentang hal
ini sebaiknya kita bicarakan nanti saja...."
Gin Sim tidak berkata apa-apa, ia hanya repot
mengurus buntalannya. San Pek melihat buntalan Eng Tay kecil, ia heran.
"Kakak membawa sedikit persediaan, apakah nanti di
Hang-ciu Kakak hendak belanja juga?" tanyanya.
Eng Tay tertawa. "Sebenarnya ketika berangkat ke sini, aku membawa
dua orang pembantu," ujarnya menerangkan. "Yang
seorang, Ong Sun, sudah berangkat lebih dulu. Kalau tidak keliru, dia mungkin
sudah sampai di Hang-ciu. Apa yang Gin Sim bawa sekarang, hanya keperluan di
tengah jalan." "Sekarang aku baru mengerti," sahut Su Kiu turut
bicara. "Tadinya aku heran dan hendak minta keterangan Kakak Gin Sim, kenapa dia
membawa barang sedikit saja.
Oh, kiranya barang-barang Tuan Muda Ciok sudah dibawa lebih dulu...."
"Kakak Ciok," kata San Pek, "jika kau merasa dingin, sebaiknya pakai saja
bajuku." "Terima kasih!" kata Eng Tay. "Telah kusediakan
bajuku." Ketika itu langit sudah jernih sekali, San Pek lantas berkata pula pada sahabat
barunya: "Kak, mari kita
berangkat. Dalam perjalanan kita dapat mengobrol lagi."
Eng Tay menoleh ke sekitarnya.
"Anda benar, Kakak Nio," katanya. "Namun, di belakang hari, tak dapat ku lupakan
teng ini. Pemandangan alam di sekeliling ini indah sekali, segalanya tampak
bagaikan baru...." San Pek tertawa. "Kakak Ciok, Anda benar sekali" ujarnya memuji. Eng Tay pun tertawa, ia berkata:
"Aku mengatakan apa adanya." San Pek tertawa pula. Sementara itu Gin Sim dan Su Kiu telah siap dengan
kuda mereka. Mereka menanti di jalan besar, San Pek dan Eng Tay menghampiri
mereka. Setelah saling mengalah, San Pek menaiki kudanya terlebih dulu, barulah
Eng Tay menyusul. Kemudian, Su Kiu, dan Gin Sim menguntit
dengan masing-masing gendongannya.
Mereka berjalan di jalan besar, akan tetapi di kiri dan kanan mereka, masih
sempat mereka saksikan sawah
ladang dengan kelokannya, yang semuanya memberikan
pemandangan yang melapangkan hati.
Mereka melihat dan mendengar burung-burung sawah
yang berterbangan. San Pek memuji, saking riang hatinya.


San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perjalanan itu pun tidaklah terasa sunyi.
5 Menjadi Saudara SETELAH perjalanan tiga hari lamanya, tibalah San Pek dan Eng Tay serta para
abdi mereka di kota Hang-ciu, kota tujuan mereka. Hati mereka pun lega.
Kata Eng Tay kepada San Pek. "Seperti telah ku
katakan, orangku, Ong Sun, sudah berangkat terlebih dulu, maka sekarang aku
hendak mencarinya. Ku pikir, sesudah kita tukar pakaian, kita dapat bersama-sama
mengunjungi guru Ciu. Bagaimana menurut Kakak?"
"Terserah Anda, aku menurut saja," sahut San Pek.
Tidak sulit bagi Eng Tay mencari Ong Sun di tempat
penginapannya. Sekalian saja, ia juga memakai
penginapan itu. San Pek pun menginap di tempat yang sama.
Sisa hari itu, sampai malamnya, dilewati dengan
beristirahat. Keesokan paginya, setelah sarapan dan berdandan, San Pek dan Eng
Tay berangkat ke Ni San, mencari rumah perguruan pak guru tua Ciu Su Ciang.
Mudah saja menemui sekolah yang dicari itu, temboknya yang putih sudah terlihat
dari jauh. Di dalam pekarangan tampak banyak rumpun bambu,
sampai di dekat pintu. Persis ketika kedua anak muda itu sampai di depan
pintu, dari dalam muncul seorang pria, yang segera
menanyakan siapa gerangan yang mereka cari.
"Aku Nio San Pek dan ini sahabatku, Ciok Eng Tay,"
ujar San Pek memperkenalkan diri. "Kami sengaja datang ke Hang-ciu guna menemui
pak guru Ciu, untuk sekolah.
Dapatkah Anda memberitahukan kedatangan kami ini?"
"Aku adalah penjaga pintu di sini," orang itu
memperkenalkan diri. "Sudah lama pak guru Ciu
membuka rumah perguruannya ini, muridnya seratus
orang lebih, banyak yang datang dari lain tempat.
Majikanku orang yang baik budi, dia biasa tidak menampik kunjungan para tamu.
Sekarang silakan Tuan berdua
menanti di sini, akan aku beritahu dulu."
San Pek dan Eng Tay menunggu. Penjaga itu pergi
sebentar, kemudian muncul lagi untuk mengundang kedua tamu ini masuk. Di ruang
tengah terdapat sebuah meja panjang yang di atasnya dipenuhi berbagai kitab
gulung, yang biasa disebut chuan. Sebuah rak buku pun terdapat di situ.
Tuan rumah terlihat memakai kopiah serta baju biru, janggut putihnya terbelah
tiga, panjangnya tiga atau empat inci. Ia sedang berdiri, memandang ke luar
hingga abdinya bersama dua orang tamunya, tiba di hadapannya.
"Inilah Bapak Guru kami," kata si penjaga kepada
kedua tamunya, memperkenalkan majikannya. Setelah itu ia cepat mengundurkan
diri. Segera juga San Pek dan Eng Tay menjura, memberi
hormat pada tuan rumahnya. Mereka pun lantas
memperkenalkan diri. Tuan rumah membalas hormat. Setelah perkenalan itu, ia berkata dengan ramah:
"Dua Saudara, silakan duduk!
Mari kita bicara perlahan-lahan." Ia menunjuk pada kursi, setelah itu ia pun
mengambil tempat duduk, menghadap kedua tamunya itu.
San Pek dan Eng Tay mengucapkan terima kasih, lalu
mereka mengambil tempat duduk.
"Bapak Guru, kami berdua datang ke mari karena kami telah mendengar nama besar
Anda," kata San Pek kemudian. "Sebenarnya sudah sejak lama kami berniat berkunjung, tetapi baru hari
ini kami tiba di sini. Kami datang untuk memohon agar Anda sudi menerima kami
sebagai murid. Saudara Eng Tay ini, aku berjumpa
dengannya di tengah jalan, ternyata maksud kami sama sehingga kami lantas
berjalan bersama-sama. Bapak Guru, demikianlah maksud kunjungan kami ini."
Ciu Su Ciang mengangguk sambil mengelus janggutnya.
Dengan sorot matanya yang tajam, ia mendapat kenyataan, Eng Tay berbeda sedikit
dari San Pek. Mereka sama-sama muda dan tampan, tetapi yang bermarga Ciok
agaknya lebih manis. "Saudara Ciok, jadi kau pun datang dengan maksud
yang sama dengan Saudara Nio ini?" tanyanya pada tamu yang tampan-manis itu.
Eng Tay mengangguk, ia membenarkan.
"Apakah Saudara sekalian membawa sesuatu naskah?"
tanya Su Ciang kemudian. San Pek dan Eng Tay merogoh saku masing-masing,
lalu mengeluarkan naskah tulisan yang telah mereka
persiapkan sejak di rumah. Mereka menyerahkannya.
Ciu Su Ciang menerima, terus ia membuka naskah-
naskah itu bergantian untuk dibaca. Cepat sekali ia membacanya.
"Baiklah!" katanya kemudian, "ku terima kalian menjadi murid-muridku. Muridku
seluruhnya ada seratus delapan orang dan kuliah diselenggarakan setiap hari
kedua, keempat dan keenam. Ruang kuliahnya ada di belakang sana, di sana pula
letaknya asrama. Hari-hari lainnya dipakai oleh para murid untuk belajar sendiri
atau menanyakan segala sesuatu, dan aku akan senantiasa siap membantu kalian semua.
Akan ku jawab segala sesuatu sejauh yang ku ketahui. Kalau ada naskah, boleh
ditinggal di sini diperiksa untuk nanti."
Kedua anak muda itu girang bukan-kepalang.
"Terima kasih, Pak Guru!" kata mereka, yang lalu
mohon agar gurunya duduk karena mereka akan
menunaikan penghormatan pertanda mereka telah
diterima sebagai murid. Mereka menjura sebanyak empat kali.
"Karena kalian berdua sudah menjadi sahabat karib,"
kata guru Ciu kemudian, "sebaiknya kalian mengambil dua kamar di belakang sana,
yang satu untuk kamar tidur, yang lainnya untuk kamar belajar dan beristirahat."
"Terima kasih, Pak Guru!" kata San Pek. "Kami masing masing sebenarnya masih
mempunyai seorang pengikut, mereka juga membutuhkan tempat...."
"Kalau begitu, mereka boleh menempati dua kamar
yang kecil di samping," kata sang guru lagi. "Kedua kamar itu berhadapan dengan
kamar kalian. Dengan dekatnya mereka, mudah bagi kalian nanti menyuruh mereka."
Kembali San Pek dan Eng Tay mengucapkan terima
kasih. Karena pembicaraan sudah selesai, keduanya lalu mohon diri untuk kembali
ke tempat penginapan mereka.
Esok harinya mereka sudah bisa mulai pindah.
Kedua ruang kamar yang disediakan sudah dibersihkan oleh pembantu Ciu Su Ciang
sehingga para penghuni baru itu bisa datang, masuk dan mengatur hal yang lain
Neraka Gunung Dieng 1 Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Kemelut Kerajaan Mancu 2
^