Senopati Pamungkas Satu 14
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 14
Jurus Gender dan Rebab GENDHUK Tri sadar bahwa setiap kalimat yang diucapkan bisa membuatnya mati
seketika atau sebaliknya. Bisa mempengaruhi Naga Nareswara.
"Coba terangkan, tikus celurut."
"Saya akan menerangkan, asal Kakek Guru tidak menggunakan istilah tikus celurut
kepada saya." "Kalau aku tak mau?"
"Mati sebagai manusia lebih baik daripada hidup sebagai tikus celurut." Raja
Segala Naga tertawa dingin.
"Aku makin sadar. Kalian di tanah Jawa ini jauh lebih mementingkan kehormatan
semu di atas segalanya. Sebutan tikus bukanlah sebutan yang paling hina. Tikus
termasuk binatang yang kami hormati."
"Kalau begitu, kenapa Kakek Guru tidak bergelar Raja Segala Tikus?"
"Bagus, mulutmu sangat tajam.
"Aku suka itu. Baik, aku tak akan menyebutmu tikus celurut. Naga Alit, apa itu
ilmu Weruh Sadurunging Winarah atau ilmu yang mengembangkan jurus Tahu Sebelum
Terjadi?" Ganti Gendhuk Tri yang menghela napas.
"Ini ilmu leluhur kami. Tapi karena sejak semula saya menjadi anak murid Kiai
Sangga Langit, rasanya tidak terlalu jauh kalau saya menjelaskan. Toh Kakek Guru
akan segera mengatakan bahwa jurus-jurus seperti ini telah lama diketahui."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri bersila. Kedua selendangnya menutupi lututnya.
"Pada saat Baginda Raja Sri Kertanegara berkuasa, ada empu yang sakti
mandraguna. Bernama Mpu Raganata. Berada di pusat kekuasaan, beliau tidak selalu
berarti mengiya kepada Baginda.
Terutama dalam soal mengumbar keliaran nafsu berahi.
"Dengan diam-diam Mpu Raganata menculik gadis-gadis belia yang secara sengaja
disiapkan untuk diambil selir Baginda Raja. Dengan diam-diam pula Mpu Raganata
mendidik para calon penari dan pesinden untuk menjadi jago silat.
"Saya salah satu yang pernah diselamatkan."
"Aku bisa mengerti dari nada suaramu yang menghormat, Naga Alit."
"Mpu Raganata tak banyak dikenal dunia persilatan, karena berada di dalam
Keraton. Namun semua pendekar dan para ksatria mendengar bahwa Mpu Raganata
mempunyai ilmu Weruh Sadurunging Winarah, ilmu yang melatih diri sehingga bisa
tahu sebelum terjadi. "Bahkan pemberontakan Raja Muda Jayakatwang jauh-jauh hari sudah bisa
diramalkan." "Aku mendengar hal itu."
"Inti ilmu Weruh Sadurunging Winarah adalah cara melatih pikiran untuk memecah
perhatian menjadi dua bagian. Satu bagian mengamati apa yang terlihat, satu
bagian mengamati apa yang berada di balik yang terlihat.
"Jika kita melihat sebuah tarian, mata kita bisa melihat gerakan tangan dan
selendang. Akan tetapi pada saat yang sama, kita bisa melihat apa yang
menyebabkan tangan itu bergerak. Tenaga dan alam pikiran apa yang membuat penari
itu menekuk lututnya, sikunya, atau menggeser kakinya.
"Sejauh yang saya tahu, inti ilmu Weruh Sadurunging Winarah seperti juga
memainkan alat gamelan yang bernama gender. Tangan kiri dan tangan kanan lain
geraknya, lain iramanya, akan tetapi dua pukulan yang bersamaan ini membentuk
irama yang laras. Yang serasi. Yang seimbang.
"Atau seperti memainkan alat gamelan yang bernama rebab. Tanpa ada aturan karena
nada-nada yang dihasilkan berdasarkan perasaan semata. Tebal atau tipis tekanan,
keras atau lembut gesekan yang lebih menentukan."
"Aku mengerti, aku mengerti.
"Alat gamelan semacam itu juga ada di tanah kelahiranku atau tanah kelahiran
Kiai Sambartaka. Meskipun memang jauh berbeda perkembangannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Naga Alit, bagiku ilmu Weruh Sadurunging Winarah jauh lebih menarik daripada
ilmu Tepukan Satu Tangan. Karena ilmu Mpu Raganata lebih berpijak pada Bumi Jawa
yang sesungguhnya. Seperti juga buah maja yang hanya tumbuh di tanah ini.
"Sementara Tepukan Satu Tangan bisa diperebutkan keunggulannya."
"Kakek Guru keliru menduga.
"Bagi Mpu Raganata ataupun Eyang Sepuh atau saya sendiri, tak ada persoalan
apakah Tepukan Satu Tangan lebih berasal dari Tartar, Hindia, atau Jepun. Semua
toh berada di bawah matahari. Semua milik semua. Kami tak merasa asing.
"Kakek Guru akan menduga bahwa bagi kami kemurnian tidak penting. Akan tetapi
sesungguhnya inilah inti Weruh Sadurunging Winarah. Sungai-sungai akhirnya
bermuara di samudra, jadi untuk apa mempersoalkan dan memperebutkan sungai yang
satu lebih jernih airnya daripada sungai yang lain?"
Naga Nareswara mengangguk.
"Kecil tubuhmu, pendek umurmu, akan tetapi bayanganmu begitu dewasa. Naga Alit,
sungguh kamu berwawasan jauh ke depan.
"Aku mau lihat, apakah kamu mengetahui apa yang akan kulakukan jika kedua
tanganku turun ke lutut" Bagian mana yang akan kuserang?"
Gendhuk Tri mendongak. "Kedua mata saya akan mengamati dua tangan yang bergerak. Kedua mata batin saya
mengatakan bahwa tenaga dalam akan lebih berbicara di sini. Dalam posisi duduk
berlutut, dua tangan di lutut akan mengembang ke depan. Bisa dua tangan terbuka
telapaknya dan mendorong, bisa satu menarik dan satu mendorong."
"Apa yang kamu lakukan?"
"Sebelum tangan itu lepas dari lutut, saya akan mendahului mengambil udara yang
diisap, dengan cara mengebutkan selendang ini.
Sebab inilah tenaga utama yang menjadi kekuatan. Tanpa tenaga dalam, serangan
yang bagaimanapun dahsyatnya, tak akan mencelakakan saya.
"Dua sabetan dengan selendang untuk mengusir jauh angin sekitar hidung Kakek
Guru, sementara dua helai selendang yang lain akan membuat tangan Kakek Guru
kembali ke lutut." Naga Nareswara mengeluarkan suara pujian.
"Hebat. Hebat. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Naga Alit, kamu telah mementahkan dan sekaligus mematahkan jurus pertama.
"Tapi apa kamu mampu merebut udara di hidungku?" "Semua tenaga berasal dari
bumi. Terisap di hidung, masuk tenggorokan, tertahan di pusar, sebelum
disalurkan. Kenapa menjaga yang di hidung kalau bisa merampas yang berada di
pusat bumi?" "Itulah tenaga bumi!"
"Itulah tenaga yang kita mainkan, Kakek Guru."
"Kalau aku meraih tongkat?"
"Kenapa tidak dijajal saja?"
Gendhuk Tri memberanikan diri. Karena sebenarnya ia melihat gerakan Naga
Nareswara yang luar biasa cepatnya meraih tongkat emas di sampingnya. Atau
tongkat itu sendiri yang mendekat ke tangannya karena tenaga tarikan.
Dan nyatanya, tongkat itu terayun.
Gendhuk Tri mengepakkan keempat selendang ke tanah, tubuhnya terangkat ke atas.
Tangannya yang lentik menyusup maju.
"Tongkat Raja Segala Naga adalah tongkat emas dan pusaka yang diunggulkan, tak
nanti menyerang dengan lingkaran. Pasti dengan pantat. Pasti tak akan menyodok
bagian yang lemah seorang wanita.
Sehingga hanya akan menggertak. Biarlah selendang retak, asal bisa menjentik
jakun." "Jurus apa ini namanya?"
"Mpu Raganata tak pernah memberi nama untuk jurus-jurus yang diciptakannya. Ini
hanya disesuaikan dengan gerakan tari."
Dalam sekejap, Gendhuk Tri telah mengeluarkan semua ilmunya.
Melayang, menjentik, mencakar, dan menghindar. Dalam hati Gendhuk Tri tak habis
pikir, karena setiap kali tangannya mendekat, seperti terhalang tenaga yang tak
terlihat. Bahkan selendangnya mental kembali, seakan menyentuh gua berasap kuat.
"Tangan kiri ke arah jakun, tangan kanan ke arah mata. Telinga kiri pasti akan
miring. Dan kaki..."
Buk! Tubuh Gendhuk Tri jatuh ke tanah.
Sewaktu kakinya menendang ke arah ulu hati, ketika itulah seolah ada tenaga yang
mengisapnya. Gendhuk Tri tak mampu bertahan sehingga ambruk. Sementara tongkat
emas Naga Nareswara sudah berada di atas jidat Gendhuk Tri.
Tapi justru Gendhuk Tri terus menjatuhkan diri, merosot, dan berada di belakang
Naga Nareswara. Hanya saja sebelum kedua tangannya bisa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menyentuh telinga, terasa ngilu. Gendhuk Tri menjerit kecil, dan ganti lututnya
yang terangkat. Menyentuh punggung Naga Nareswara.
Lagi-lagi Gendhuk Tri berteriak kecil. Lututnya jadi beku karena seperti
menyentuh gundukan es! "Hebat, kamu hebat, Naga Alit.
"Selama ini tak ada yang mampu menyentuh tubuhku. Halayudha pun tak mampu. Kamu
sungguh luar biasa. Sungguh sayang kalau tulang yang begini bagus harus
dimusnahkan. "Kamu memiliki bakat kelewat hebat.
"Hmmm." Sembilan Lubang dalam Tubuh
GENDHUK Tri masih meringis.
Sekujur tubuhnya seperti kena sengat binatang berbisa. Hawa dingin dari tubuh
Naga Nareswara menyelinap ke dalam ulu hatinya. Hingga Gendhuk Tri megap-megap
mengatur napasnya. "Kelemahan Kakek Guru bisa saya baca."
"Kamu tahu apa yang kupikirkan?"
"Inilah Weruh Sadurunging Winarah. Tahu Sebelum Terjadi, tahu bahwa Kakek Guru
pasti tak menduga bahwa dari suatu tarian, penari perempuan bisa menaikkan
tangan lebih tinggi daripada pundaknya.
Bahwa penari perempuan tak diduga akan mengangkat tinggi lututnya.
"Karena Kakek Guru berpikir bahwa gerakan tarian bukanlah gerakan yang membuka
kedua kaki dan mengangkat tangan lebih tinggi daripada pundak, saya menyelinap
dari itu. "Dan nyatanya berhasil, meskipun tenaga Im Kakek Guru lebih dahsyat."
"Siapa yang mengajarimu mengenali tenaga Im segala macam?"
"Siapa lagi kalau bukan Kiai Sangga Langit"
"Bukankah tenaga Im adalah tenaga dingin, yang tak bisa dilawan dengan tenaga
panas. Yang hanya bisa diungguli dengan tenaga lebih dingin lagi" Kalau tak
mungkin, tenaga dingin Kakek Guru harus dipancing menjadi tenaga lebih terasa
dingin?" "Kamu tahu cara melatih tenaga dingin?"
Gendhuk Tri menggeleng. "Saat itu dan sekarang ini, saya tak ingin mempelajari tenaga dingin.
Itu sama saja dengan mempelajari Penolak Bumi. Saya lebih suka mempelajari
tenaga Bumi, dibandingkan dengan tenaga Penolak Bumi."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aneh, kenapa kamu menolak, Naga Alit?"
"Karena saya tak mau menjadi kakek-kakek seperti Kakek Guru. Saya tak tahan
harus bersabar berada di gua seperti ini menanti menerobos ke luar sekarang
juga." "Kamu keliru, Naga Alit.
"Mari kuajarkan tenaga Im padamu."
Empat selendang Gendhuk Tri mengembang, menolak tangan Naga Nareswara yang
terjulur. Akan tetapi sia-sia.
Ujung jari Naga Nareswara telah menyentuh pundak. Gendhuk Tri menjadi menggigil.
Seolah ada serpihan air gunung yang murni, maha dingin, menyelusup ke dalam
tubuh Gendhuk Tri. Gigi Gendhuk Tri sampai bergemeletuk.
"Jangan menolak, jangan memperkirakan apa yang kulakukan, Naga Alit. Berpuluh
tahun aku melatih tenaga ini, baru sekarang kusalurkan.
Dewa di langit tak seberuntung kamu."
"Saya tidak menolak, Kakek Guru," jawab Gendhuk Tri gemetaran.
"Tetapi Kakek Guru keliru menyalurkan tenaga dalam." Naga Nareswara melengak.
"Kamu tidak bergurau, Naga Alit?"
"Kalau nyawa saya rangkap tujuh, saya tetap tak berani bergurau dengan Kakek
Guru. Kakek Guru menyalurkan lewat satu tenaga saluran."
"Apa itu?" Naga Nareswara menarik kembali tangannya.
"Dalam tubuh manusia ada sembilan lubang, dan Kakek Guru hanya menyalurkan lewat
satu lubang." "Sembilan?" "Hawa sanga, atau sembilan udara bisa mengalir masuk ke dalam tubuh. Lewat dua
mata, dua telinga, dua lubang hidung, satu mulut, dua lubang di bagian bawah
tubuh." "Ah." "Dalam ilmu Weruh Sadurunging Winarah, kita bisa memecah perhatian, membagi
perhatian antara yang kita lakukan dan yang kita pikirkan.
"Satu tangan membuat lingkaran, satu tangan lagi membuat kotak, satu kaki
membuat segi tiga, satu kaki lagi..."
"Hebat. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kita coba." Gendhuk Tri makin menggigil!
Kalau tadi hanya satu tenaga, sekarang seperti kerasukan sembilan kali lipat!
Kalau saja Halayudha mengetahui hal ini, ia bisa mati berdiri!
Siapa nyana Gendhuk Tri bakal menerima tenaga murni dari Naga Nareswara"
Inilah perjalanan nasib yang susah diterka!
Gendhuk Tri sejak lahir selalu mengalami pergolakan batin dan terlihat dalam
berbagai peristiwa yang menggetarkan. Menjadi anak-murid Mpu Raganata tanpa
disadari. Kemudian berkelana dengan Jagaddhita yang tenar. Terkurung dalam Gua
Lawang Sewu sehingga tubuhnya dipenuhi racun maha ganas. Dan akhirnya berhasil
ditawarkan lewat tenaga murni oleh Upasara Wulung.
Dan sekarang dijejali lagi dengan tenaga dingin dari Naga Nareswara.
Memang, penyaluran tenaga Naga Nareswara berbeda dari penyaluran tenaga Upasara
Wulung. Yang terakhir ini sengaja memberikan tenaga dalamnya untuk menguras
tenaganya sendiri. Sedangkan Naga Nareswara tidak sepenuhnya begitu.
Meskipun memang dengan menyalurkan tenaga dalam, kekuatannya sendiri menjadi
berkurang untuk sementara.
Dalam hal ini kecerdikan Gendhuk Tri tiada tandingannya. Bahkan Halayudha yang
sangat licik tak mampu berpikir seperti Gendhuk Tri.
Dengan segala kepolosan dan kenakalannya, Gendhuk Tri bisa menyudutkan Naga
Nareswara sehingga ia harus rela dipanggil sebagai
"raja segala tikus celurut", atau terpaksa memanggil Gendhuk Tri dengan sebutan
Naga alit. Dengan segala akalnya, Naga Nareswara terpancing mengetahui ilmu Weruh
Sadurunging Winarah, dan sekaligus menganggap Gendhuk Tri sebagai cucu-muridnya.
Dan yang penting, dengan mengatakan babakan hawa sanga, Gendhuk Tri
memperkenalkan cara mengatur pernapasan yang baru.
Setidaknya bagi Naga Nareswara. Adalah tepat perhitungan Gendhuk Tri bahwa
kemudian Naga Nareswara benar-benar menjajal. Ini berarti memberikan tenaga
dalam lipat sembilan kali!
Sebenarnya memang ada sesuatu yang berlebih dalam diri Gendhuk Tri. Secara tak
terterangkan dalam artian dimengerti oleh Gendhuk Tri, ia telah mempelajari
Weruh Sadurunging Winarah sejak awal. Sehingga sebenarnya ia bisa mempelajari
ilmu lawan, kelemahan lawan, tanpa disengaja. Pancaindranya bekerja seperti yang
selama ini dilatih. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam kaitan dengan Naga Nareswara, secara tidak sadar Gendhuk Tri mengetahui
bahwa lawan yang dihadapi adalah tokoh kaliber Eyang Sepuh atau Upasara Wulung
di masa jayanya. Tokoh yang sakti mandraguna dan selalu haus ilmu kadigdayaan.
Lebih dari semua itu, Naga Nareswara memang sangat asing dengan lingkungan.
Entah sejak kapan berada dalam gua di bawah tanah ini.
Barangkali sejak dibangunnya Keraton Majapahit.
Ini berarti tak mengetahui banyak kejadian di luar.
Dan Gendhuk Tri dianggap Naga Nareswara memberikan banyak hal yang tak
diketahui, yang sangat diperlukan dalam rangka membalas dendam atas kekalahan
semua panglima perang dari Tartar.
Begitulah yang terjadi. Tubuh Gendhuk Tri membeku seperti es di pucuk gunung. Baru kemudian Naga
Nareswara beristirahat. Menunggu sampai Gendhuk Tri sadar, dan kemudian sambil
menjajal ilmu silat lagi. Gendhuk Tri memberikan apa-apa yang diketahui.
Beberapa gerakan, rahasia dari gerak dan tarian yang dimengerti.
"Kiblat papat lima pancer adalah arah yang selalu dituju dalam gerakan silat
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maupun gerakan tari. Empat mata angin dan menjadi lima dengan yang berada di
pusat. "Begitulah yang diajarkan kepada saya, Kakek Guru."
"Aku mengerti, Naga Alit.
"Kenapa Mpu Raganata sejak semula tak memberi nama pada jurus-jurus yang kamu
mainkan" Apakah mungkin seorang tokoh menciptakan jurus tapi tidak memberi
nama?" Gendhuk Tri menghela napas.
"Pasti ini bukan sekadar keanehan. Naga Alit!
"Kitab Bumi saja dengan jelas-jelas merinci semua jurusnya, dan ada
kidungannya." Gendhuk Tri menghela napas lagi.
"Eyang Guru Mpu Raganata pada saat itu setara dengan Eyang Sepuh. Ilmu kedua
tokoh itu telah mencapai puncak dari pengolahan diri sejati.
"Tak bisa dibedakan mana yang lebih sakti. Tak bisa dibedakan mana yang lebih
unggul. "Yang bisa diketahui hanyalah, inti dasar kedua ilmu linuwih ini ada bedanya,
tapi banyak miripnya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya sadar kenapa saya tak bisa meresapi Tepukan Satu Tangan.
Karena pada dasarnya ilmu ini masih mempercayai pemberian nama, meskipun isinya
penolakan. "Sebenarnya Weruh Sadurunging Winarah lebih dekat dengan Jalan Budha. Karena
gerakan dalam jurus-jurus ini intinya adalah gerak.
Bukan menirukan gerakan burung, belalang, atau harimau. Kibasan selendang tidak
mencoba menciptakan tenaga seperti sesuatu. Akan tetapi murni sebagai gerakan.
"Tarian itu adalah gerak.
"Gamelan itu adalah bunyi.
"Gambar itu adalah coretan."
Naga Nareswara mengangguk. Dalam sekali. Menghela napas lega, Kuburan Tujuh
Turunan HELAAN napas Naga Nareswara terdengar kembali.
Kali ini memberat. "Sungguh tepat ungkapan yang kudengar. Di atas gunung masih ada gunung, di atas
awan ada awan. Dalam rimba persilatan, selalu ada pendekar yang lebih lihai.
Ilmu tak mengenal pantai sebagai batas.
"Di tanah yang begini banyak tikus celurut ternyata tersimpan berbagai ilmu
kanuragan yang merupakan ilmu sejati.
"Sungguh luar biasa.
"Naga Alit, begitu jauh aku mengembara. Begitu lelah aku melangkah.
Akan tetapi baru sekarang ini aku menyadari bahwa gerak adalah inti ilmu silat
yang tak menirukan sesuatu. Bahwa bunyi adalah irama.
Bahwa coretan adalah gambar.
"Hmm, ada benarnya kamu mengatakan bahwa Weruh Sadurunging Winarah dekat dengan
Jalan Budha. Karena keduanya mengetahui apa yang akan terjadi. Jalan Budha
menuju nirwana, kesempurnaan yang sejati.
"Naga Alit, dalam usiamu yang begitu muda, kamu mengenal ilmu yang sejati. Ini
nasib yang luar biasa bagus. Akan tetapi aku sudah bertekad untuk membunuh siapa
pun yang nampak berbakat. Karena akan menjadi lawan yang menyulitkan di belakang
hari. "Cepat atau lambat aku akan membunuhmu."
Gendhuk Tri mendongak. "Kakek Guru belajar dari pengalaman semua Naga yang kalah dan tertipu. Itu cara
mengambil pengalaman yang baik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kakek Guru salah melihat. Membunuh saya sekarang ini ibarat kata tinggal
membalikkan telapak tangan. Lebih mudah menarik napas atau mengedipkan mata.
"Kakek Guru tak pernah memperhitungkan Halayudha."
"Tikus itu tak seberapa bahayanya."
"Di sini Kakek Guru salah duga."
"Tidak mungkin."
"Halayudha adalah senopati biasa. Tanpa jasa kepada Keraton. Akan tetapi pangkat
dan derajatnya sekarang ini paling penting. Bisa menjadi pendamping Baginda.
Bukankah ini menunjukkan akal muslihat yang licin"
"Kakang Upasara bisa diakali, secara langsung atau tidak.
"Para senopati terpilih bisa diadu satu sama lain.
"Bahkan ketiga Kama dari Jepun bisa diperdaya.
"Apakah ini kurang membuktikan kelicikannya" Dengan aji sirep, Halayudha mampu
menjungkirbalikkan peristiwa yang ada."
"Itu hanya sepersepuluh dari ilmu sirep yang kumiliki. Tak bakal menyejajari
diriku." "Seekor raja segala Naga bisa dikalahkan oleh seekor tikus karena
kesombongannya. "Dan kalau sudah begitu yakin, untuk apa menunda waktu untuk membunuh saya?"
Naga Nareswara nampak menyesal.
Untuk pertama kalinya Gendhuk Tri melihat kekecewaan.
"Tenaga Im dalam tubuhmu akan membunuhmu, cepat atau sangat cepat sekali. Kamu
tak akan tahan. "Tenaga dalam itu bisa kaugunakan selama kau bisa mengatur pernapasan. Akan
tetapi kalau tak tahu caranya, tenaga itu akan menghancurkanmu.
"Itulah yang dikatakan takdir, Naga Alit!"
Itulah takdir, pekik Gendhuk Tri dalam hati.
Sejak semula sudah dirasakan bahwa tenaga dalam Naga Nareswara yang dingin
membuatnya tersengal-sengal, dan napasnya menjadi tidak teratur. Hidungnya
seperti berair-beku terus-menerus. Kadang menjadi longgar sendiri, akan tetapi
jika beristirahat atau tertidur terasakan betul gangguannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Beberapa kali Gendhuk Tri berusaha mengatasi, akan tetapi tenaga dingin-beku itu
malah membuatnya menggigil.
Ujung jari dan ujung kaki malah membiru.
Hanya dengan terus menggerakkan tubuh, warna biru lebam itu terusir. Akan tetapi
mulai terasa menggigit-gigit jika berdiam diri.
Naga Nareswara memang tak bisa diakali!
Tenaga dalamnya terpancing, akan tetapi tidak diberikan percuma.
Naga Nareswara menjadi sangat curiga dan hati-hati semua sepak terjangnya.
Karena tak ingin mengulangi kegagalan para senopati Tartar yang gagah tapi bisa
dipecundangi. Bagi Naga Nareswara, tak ada orang lain yang bisa dipercaya. Tidak juga bayangan
tubuhnya sendiri! Untuk perintang waktu, Gendhuk Tri berlatih gerakan-gerakan silat yang
diketahui, sementara Naga Nareswara memberi petunjuk di sana-sini untuk
memperkuat gerakan. Mereka berdua berlatih sesaat. Jika Gendhuk Tri kelihatan
makin bersemangat, makin menggebrak kian-kemari, Naga Nareswara akan menyalurkan
tenaga dalamnya kembali. Gendhuk Tri menggigil kembali.
Tersiksa hawa dingin lagi.
Tapi inilah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Sampai Naga Nareswara turun
tangan membunuhnya. Atau, kesempatan kecil yang membersit dalam pikiran Gendhuk
Tri adalah saat Halayudha muncul.
Ia bisa memakainya sebagai cara untuk meloloskan diri.
Inilah yang membuat Gendhuk Tri terus bertahan.
Tapi dugaannya keliru. Naga Nareswara menyalurkan tenaga dalam berlebihan,
sehingga tubuh Gendhuk Tri membeku. Tak bisa menggerakkan ujung jari atau
berteriak. Saat itu Halayudha datang!
Sehingga Gendhuk Tri yang disembunyikan di belakang punggung Raja Segala Naga
hanya bisa mendengar dengan mata berkedip.
"Tikus celurut Jawa, kenapa kamu dustai aku?"
Halayudha menyembah dengan hormat.
"Biarlah langit dan bumi mengimpit tubuh saya, kalau ada satu kata yang saya
dustakan." "Hmm. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa kamu katakan Upasara masih mempunyai kekuatan kalau nya-tanya kini telah
menjadi cacat seumur hidup" Kenapa ketiga Kama yang kamu akali..."
Gendhuk Tri masih sempat melihat Halayudha menarik napas dalam.
Tapi mendadak tubuhnya terayun ke belakang, dan serta-merta kakinya mengentak
tanah sementara kedua tangannya mengeluarkan pukulan keras sekali ke arah tepi
dinding gua. Luar biasa! Gendhuk Tri tak pernah membayangkan bahwa Halayudha ternyata mempunyai ilmu
silat yang begitu tinggi. Caranya melemparkan tubuh ke belakang, dan dalam satu
gerakan yang sama kaki menjejak tanah dan melontarkan dua pukulan bertenaga
sungguh luar biasa. Pengerahan tenaga bersamaan dalam gerak yang bertentangan!
Lebih luar biasa lagi akibatnya.
Terdengar bunyi gemuruh. Seakan bumi dijungkirkan, atau ada gempa besar melanda.
Batu-batuan dan tanah yang basah ambruk ke bawah.
"Kuburan ini cukup untuk tujuh turunan.
"Cukup aman untukmu, Naga siluman."
Suara Halayudha terkalahkan bunyi bebatuan dan tanah longsor yang berjatuhan
terus-menerus. Gendhuk Tri melihat Naga Nareswara meraih tongkat emasnya dan menggempur. Batu
dan tanah lebur menjadi debu. Akan tetapi sia-sia belaka. Karena guguran tanah
makin banyak, makin terus-menerus, makin mengurung. Sehingga hanya tersisa
tempat di mana Naga Nareswara berdiri sambil menggerakkan tongkatnya.
Agak lama baru guguran tanah dan batu berhenti.
Dalam gelap, Gendhuk Tri menyadari betapa kecewanya Raja Segala Naga. Jawara
utama dari Tartar yang merencanakan segala sesuatu dengan cermat, dengan teliti,
akhirnya terkubur hidup-hidup secara sia-sia. Dikalahkan dengan kelicikan.
Oleh lawan yang paling dibenci dan dicurigai sebagai tikus celurut!
Gendhuk Tri mengerti bahwa setelah terbuka kedoknya, Halayudha tak mau mengambil
risiko sedikit pun. Ia meloncat mundur dan menutup gua, yang memang sudah
direncanakan bisa ditutup secara mendadak. Persiapan kelicikan yang tiada
taranya. Bahkan batu-batuan dan tanah itu sudah dioles dengan tetes gula serta
putih telur - yang pasti jumlahnya sangat banyak sekali. Sehingga bisa membeku
dalam waktu tertentu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sepandai apa pun, Naga Nareswara tak bisa menembus dinding runtuhan. Karena
Halayudha telah mempersiapkan dengan saksama.
Sesaat Gendhuk Tri lupa akan dingin tubuhnya.
Kalau ia menggigil, itu karena soal lain.
Gendhuk Tri pernah terkubur dalam Gua Lawang Sewu yang menyesakkan napas, akan
tetapi tetap tidak seseram kenyataan yang dialami sekarang ini.
"Naga Alit, inilah takdir."
Tangan Naga Nareswara menyentuh tubuh Gendhuk Tri, menghilangkan kebekuan urat-
urat tubuh dan bibirnya. "Percuma. Lebih enak beku, Kakek Guru. Bergerak juga susah."
"Nyalimu gede."
"Lebih baik tetap bernyali Naga, daripada bergelar Naga tapi nyalinya lebih
kecil dari tikus. Setidaknya Kakek Guru masih bisa hidup lebih lama dari saya.
Tubuh saya bisa dimakan untuk memperpanjang usia."
Naga Nareswara menggelengkan kepalanya.
"Hebat. Kamu ini hebat. Sekali tarik napas, aku bisa membunuhmu.
Tapi kamu tak gentar. Hebat. Oho, ternyata tanah Jawa ini penuh dengan tikus
licik dan Naga hebat. Kenangan akhir yang kubawa ke kehidupan nanti."
Pengembaraan Bersahaja KETIKA itu, Upasara Wulung sudah jauh meninggalkan Perguruan Awan.
Berjalan tanpa tujuan di awalnya. Mengikuti suara hatinya. Baru kemudian sadar,
bahwa masih ada yang ingin dilakukan dalam hidupnya. Masih ada dharma yang bisa
dilakukan. Yaitu membalas budi Pak Toikromo.
Seorang penduduk biasa, yang dalam perjalanan takdir dipertemukan dengannya.
Seorang kusir pedati bersahaja dengan keinginan yang membuat Upasara merasa
begitu mulia. Mengangkat sebagai menantu.
Akan tetapi justru dari keinginan yang begitu sederhana, Pak Toikromo terseret
sampai ke Perguruan Awan, sebagai tawanan.
Selama ini Upasara merasa sangat berdosa kepada Pak Toikromo.
Maka keinginannya adalah menemui Pak Toikromo untuk meminta maaf.
Setidaknya ini akan membuat hatinya lebih ringan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara merasa banyak kekeliruan yang dilakukan dalam hidupnya, akan tetapi
kekeliruan yang membuatnya menyesal adalah menyeret kehidupan Pak Toikromo.
Dengan mengandalkan ingatan masa lampau, dan bertanya kiri-kanan, Upasara
berusaha mencari tempat tinggal Pak Toikromo yang belum diketahui.
Maka cukup melegakan bahwa akhirnya rumah itu bisa ditemukan.
Sebuah rumah yang sangat sederhana.
Rumah dari tanah, dengan atap daun kelapa. Di kesunyian rimbunan pepohonan.
Upasara berdebar ketika mencoba masuk ke halaman.
Rumah itu tertutup. Pedati yang dulu ada di pekarangan sebelah. Tanpa sapi.
Upasara ragu. Termangu. "Nak Upa..." Suara bersahaja yang mampu menggetarkan sukmanya.
Upasara menoleh ke arah datangnya suara.
Wajah seorang lelaki tua, sebagian tertutup caping daun kelapa kering yang
sobek-sobek di bagian pinggir. Dada telanjang, hitam oleh cahaya matahari,
dengan urat-urat yang mirip tanah tanggul di persawahan.
Wajah penduduk biasa. Wajah sangat sederhana. "Bapak..." Entah dari mana datangnya kemampuan Upasara untuk mengucapkan kata itu. Sesuatu
yang tidak dimengerti. Terlontar begitu saja. Meluncur begitu saja.
Dan membuat Upasara seperti dirobek ulu hatinya!
Seumur hidupnya, ia belum pernah mengucapkan sebutan "Bapak".
Tidak juga kepada Ngabehi Pandu yang mendidik dan mengajarinya ilmu silat!
Ucapan yang biasa itu mempunyai makna yang dalam, justru karena Upasara tak
mengenal siapa bapak kandungnya yang sesungguhnya.
Apakah Ngabehi Pandu, atau Baginda Raja Sri Kertanegara!
"Akhirnya kamu datang juga, Nak Upa.
"Masuklah, duduklah di dalam. Rumah ini sejak lama tak pernah dibuka."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara menunggu. Pak Toikromo membuka pintu dari dalam. Upasara masuk. Duduk di bambu tua yang
sudah kehilangan warna. Tertutup debu.
Entah berapa lama pintu depan tak dibuka. Entah berapa lama bambu ini tak
diduduki. "Saya datang untuk ngabekti."
"Saya terima pangabektenmu, Nak Upa.
"Ya, begini ini gubuk bapakmu. Gubuk paling gagah di dusun ini.
Bapak sudah tua, tak bisa memanjat pohon kelapa."
Napas Upasara tersengal. Air matanya menggumpal. Inilah tangisnya yang pertama yang disadari. Dan Upasara merasa ikhlas, lega,
meneteskan air mata. Apa lagi yang akan dikatakan atau akan didengar" Yang dialami sekarang ini lebih
jelas dari segala kata, lebih nyata dari segala penjelasan.
Sebuah rumah sederhana. Di tengah pedusunan sederhana. Jauh dari intrik Keraton.
Udara, tanah, yang sederhana, seadanya.
Seorang lelaki, penduduk Majapahit atau Singasari yang tak pernah terlibat
langsung dengan pergantian kekuasaan, tak pernah terikat dengan ayunan pedang
siapa lebih tajam, keris siapa yang lebih mengiris. Tetapi yang tak bisa
melepaskan diri dari terkaman kejadian.
Inilah gambaran kenyataan!
Apa artinya ilmu segala ilmu yang dipelajari, kalau ternyata seorang seperti Pak
Toikromo - yang jumlahnya banyak sekali - tak pernah merasakan artinya"
Apa artinya pembangunan Keraton yang megah dan dahsyat, kalau ternyata Pak
Toikromo tak menikmati"
Apa artinya peperangan demi peperangan bagi seorang Toikromo selain
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperpanjang penderitaan"
Apa artinya disesali, kalau bagi Toikromo sendiri ini semua bukan sesuatu yang
harus disalahkan" Tak ada tuduhan. Tak ada pertanyaan yang menggugat dalam penampilan Pak
Toikromo. Wajah itu, di mata Upasara, tak menyembunyikan apa-apa.
Bersahaja. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seperti juga ceritanya, yang disuarakan dengan sikap menerima, dan bahagia.
"Sapi bapakmu ini sudah tak ada, Nak Upa. Diambil yang punya.
Anak bapakmu yang dulu saya janjikan untuk dikawini Nak Upa, sudah ketemu
jodohnya. "Anggota keluarga juga sudah tak ada.
"Tinggal bapakmu ini. Makin tua." "Bapak..."
"Syukur, kamu tetap mau memanggil dan mengakuiku sebagai bapakmu.
"Tenangkan hatimu di sini, Nak Upa."
Tak ada pertanyaan apa-apa dari Pak Toikromo. Tidak juga mengenai peristiwa di
Perguruan Awan dulu itu. Hanya Pak Toikromo merasakan ada kegelisahan dalam diri
Upasara. Itu sebabnya ada kata untuk
"menenangkan". Itu yang kemudian dirasakan Upasara.
Upasara mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa inilah akhir pengembaraannya.
Batinnya telah berkelana begitu jauh, melewati puncak-puncak yang menegangkan,
pertarungan mati-hidup. Inilah muara. Inilah rumah. Upasara mulai dalam kehidupan yang biasa, menemani Pak Toikromo. Menengok
tegalan, melihat tanaman singkong, pepaya, mencari kayu bakar. Mencari air dari
sungai untuk menyirami tanamannya. Memberi makan ayam-ayam.
Tiba-tiba semua menjadi bermakna bagi Upasara.
Jauh lebih berharga dari berbagai pengalaman hidupnya selama ini.
Baik semasa di Keraton, ataupun pengembaraan sampai ke Perguruan Awan.
Cara hidup yang sesungguhnya, kata Upasara dalam hati.
Di Perguruan Awan, ia bisa menikmati matahari terbit dan tenggelam.
Akan tetapi itu dari sudut pandang yang berbeda dari sekarang ini.
Betapa sesungguhnya perjalanan hidupnya selama ini kosong!
Kelelahan malam membawa tidurnya pulas.
Embun dan sinar pagi membangunkan, membuatnya bergegas mencari air ke sungai,
melihat tanaman di tegalan, mencari kayu bakar kembali, dan merebus ubi.
Pergi ke kandang ayam sambil menghitung telur.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bapak ini sengaja memelihara ayam, karena percaya suatu hari kamu akan datang
kemari, Nak Upa." "Barangkali doa Bapak yang menuntun langkah saya."
"Juga tebat di dekat sungai. Di sana ada ikan yang sudah gemuk-gemuk. Bapakmu
ini yang memelihara. "Kalau mencari ikan di sungai, bapakmu ini akan menyimpan di tebat itu. Bisa
untuk makan Nak Upa nanti.
"Ada saatnya banjir selalu datang, dan tebat itu tergenang. Ikan-ikan kembali ke
sungai. Tebat itu kosong. Tapi bapakmu ini akan mencarinya lagi di saat air
sungai surut. Beberapa ikan yang dulu, yang sekarang bertambah gemuk, masih bisa
bapakmu kenali dengan baik. Meskipun pandangan mata mulai lamur, tapi bapakmu
ini masih mengenali, Nak Upa.
"Akhirnya kamu datang juga, Nak Upa. Dewa yang Mahaagung sungguh murah dan maha
welas asih. Baginda Raja sungguh melindungi doa penyembahnya.
"Kamu datang, Nak Upa."
Upasara makin tenteram, makin kerasan, makin bahagia. Serasa menemukan apa yang
selama ini dicarinya. Rasa bersyukur yang dimiliki Pak Toikromo. Mengumpulkan
ikan dari sungai yang setiap banjir lepas kembali. Rasa syukur kepada Dewa, dan
juga kepada Raja, seolah kemuliaan dan kebajikan Rajalah yang membuat Upasara
datang padanya. Betapa remuk hati Upasara ketika suatu siang sepulang dari sungai, Upasara
mengetahui rumah yang dihuni Pak Toikromo sudah rata dengan tanah! Pedati yang
telah rongsokan itu pun dihancurkan. Hanya tinggal bulu ayam bertebaran.
Duka Pun Tak Tersisa SESAAT Upasara seakan tanpa sukma.
Pandangan bengong tak percaya.
Dadanya seolah disodok dengan tonjokan yang membuat seluruh perasaannya tumpul
seketika. Mimpi yang buruk pun tak terbayangkan seperti ini kejadiannya.
Baru dalam napas berikutnya, Upasara sadar bahwa sesuatu yang mengerikan baru
saja terjadi. Sesaat berikutnya Upasara masih menduga bahwa ini semua ulah Nyai Demang untuk
memancingnya. Seperti dulu juga. Akan tetapi kemudian sadar bahwa dugaannya
adalah dosa yang sempurna. Sejahat apa pun, tak nanti Nyai Demang tega
menghancurkan rumah Pak KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Toikromo rata dengan tanah. Tak nanti bakal memorakporandakan kandang ayam!
Harapan Upasara hanyalah bahwa kejadian itu untuk mengagetkan jiwanya, akan
tetapi bukan keselamatan Pak Toikromo. Nyatanya itu harapan yang sia-sia belaka.
Setelah pandangan Upasara bisa melihat lebih jelas, matanya menemukan tubuh yang
sangat dihormati rebah di bawah roda yang hancur. Tangannya masih menggenggam
erat bulu-bulu ayam, yang agaknya berusaha dipertahankan sampai titik darah
penghabisan. Bagian leher dan dada teriris dengan bekas luka yang dalam dan lebar.
Tiga atau empat tulang iga tersayat putus.
Iblis laknat mana yang begitu kejam"
Apa kesalahan Pak Toikromo sehingga harus dihancurkan secara begitu mengenaskan"
Ini peristiwa macam apa lagi yang harus dihadapi"
Upasara jongkok. Memangku kepala Pak Toikromo seperti dulu memangku kepala
Ngabehi Pandu. Dengan perasaan pilu yang pekat. Air matanya bahkan tak bisa
menetes lagi. Tangannya yang gemetar dan dadanya bergerak-gerak terseret oleh
getar emosi yang tak bisa dikuasai.
Ngabehi Pandu, guru dan yang dianggap pengganti ayahnya, gugur dalam pertarungan
yang jujur. Pertarungan para ksatria. Sedangkan Pak Toikromo, meninggal karena
perlakuan semena-mena. Kematian karena kekalahan dalam pertarungan yang tak
seimbang! Kematian karena perbedaan kekuatan. Jelas lawan menggunakan senjata
yang berat dan mempunyai kemampuan ilmu silat. Sedangkan Pak Toikromo hanyalah
penduduk biasa. Upasara mengutuki dirinya!
Jarak antara rumah dan sungai tak begitu jauh. Ia datang dan pergi ke tegalan
untuk mengairi. Tapi toh tetap tak bisa mendengar sesuatu yang mencurigakan.
Sedikit pun tidak. Padahal robohnya rumah tua, hancurnya gerobak, serta jeritan
terakhir Pak Toikromo pastilah cukup jelas terdengar.
Dirinya patut dikutuk! Dirinya adalah manusia cacat! Tak bisa mendengar apa-apa lagi.
Bahkan juga tak mendengar jeritan kematian ayah yang begitu dihormati.
Tiga hari tiga malam Upasara menunggui di pinggir makam Pak Toikromo. Tiga hari
tiga malam Upasara mencoba merenungkan semua kejadian yang menghancurkan
pribadinya. Sejumlah pertanyaan tak terjawab. Apa sebenarnya kesalahan Pak
Toikromo" Apa sebabnya
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sampai dibunuh dengan begitu mengenaskan" Kalau karena perampokan, kenapa begitu
keji" Kalau bukan perampokan, apakah kematian Pak Toikromo karena dirinya"
Upasara makin merasa sesak dadanya.
Tumpat padat berdesakan berbagai macam perasaan. Apakah ia mendiamkan saja
peristiwa ini" Ataukah membalas dendam" Kepada siapa" Apakah ia mampu"
Betapa sengsaranya menjadi rakyat jelata. Di tangan perampok atau jago silat, ia
hanyalah alat permainan belaka. Tanpa bisa membela diri sedikit pun.
Duka pun tak tersisa ketika Upasara terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu,
setelah berdoa untuk terakhir kalinya. Di sekelilingnya tak ada tempat untuk
bertanya. Kalaupun ada rumah-rumah lain, letaknya sangat jauh. Akan tetapi
Upasara mencoba mendapatkan berita yang bisa dijadikan titik pangkal membalas
dendam atau menyelesaikan perkara.
Sebab ini berbeda dari pertarungan para jago silat, berbeda dari ketika secara
sengaja ia melepaskan tenaga dalamnya. Ini adalah kesewenang-wenangan yang tak
bisa dimaafkan. Upasara tak akan mati tenteram sebelum mengetahui kejadian yang
sebenarnya. Betapa kecewanya ia ketika mengetahui bahwa rumah terdekat pun mengalami hal
yang sama. Rata dengan tanah, tak ada lagi yang ditemui selain mayat suami-istri
dengan anak kecil, dengan bekas luka yang sama. Dan pada dua rumah berikutnya,
kejadiannya persis sama. Dengan penuh hormat, Upasara menguburkan semua jenazah yang ditemui. Walau kini
tenaga dalamnya tak ada lagi, Upasara masih bisa mengetahui bahwa si pembunuh
pastilah orang yang mempunyai tenaga dalam cukup kuat, dan mampu mengangkat
senjata berat. Semua korban terkena satu kali sabetan!
Walau Pak Toikromo dan korban lain bukan jago silat, akan tetapi bukan tak
mungkin mengadakan perlawanan seadanya. Akan tetapi dari bukti-bukti yang
dilihatnya, perlawanan itu tak terlihat sedikit pun.
Atau sebelum ada perlawanan mereka telah menjadi korban Pembunuh Bergolok Berat!
Dalam kobaran nafsu membalas dendam, Upasara mulai menyadari kembali
kemampuannya untuk berlatih pernapasan. Dengan kemampuan yang tersisa, Upasara
berusaha mengalirkan udara lewat hidung dalam satu tarikan kuat, menyalurkan
udara ke atas ubun-ubun, ke bawah lewat tulang belakang, dan dikumpulkan sekuat
mungkin dalam perut. Untuk diempaskan lewat lubang-lubang kulit tangannya yang
mengentak ke depan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan cara seperti ini Upasara mulai berlatih dari awal lagi. Akan tetapi,
setiap kali mencoba memusatkan pikiran, yang muncul dalam bayangannya adalah
wajah Pak Toikromo. Yang begitu bersahaja. Yang memandang tanpa dendam, tanpa
curiga. Yang pasrah tanpa perlawanan. Atau kadang berganti dengan wajah seorang
lelaki yang berjanggut lebat, membawa golok, matanya merah dan siap membabat
kepala Upasara. Atau tulang iga Upasara.
Sehingga pemusatan pikiran Upasara menjadi buyar.
Makin dipaksa, makin kacau.
Hingga napasnya menjadi tersengal-sengal, terbatuk-batuk, dan dadanya terasa
sakit sekali. Akan tetapi Upasara tak mau menyerah.
Semakin sakit, semakin dipaksanya. Semakin tersengal, semakin bengal ia
mengulang kembali. Sampai peningnya sempurna, dan Upasara seperti terseret dalam
lamunan tak menentu. Dan baru terbangun sendiri dengan pikiran dan raga yang
letih. Upasara memaksa terus. Baginya hanya ada satu cara. Mengembalikan tenaga dalam sebisanya dan membuat
terang siapa Pembunuh Bergolok Berat atau dirinya menjadi korban karenanya.
Jalan kedua ini dianggap lebih baik daripada jalan pertama!
Mati pun tak percuma, karena sudah berusaha!
Maka Upasara kembali berlatih.
"Betul-betul edan. Kalau tempayan sedang penuh air, bagaimana mungkin akan bisa
mengisinya?" Walau kini Upasara bagai orang cacat dan sedang linglung, akan tetapi jalan
pikirannya masih bisa bekerja dengan baik. Apalagi yang berkaitan dengan dasar-
dasar ilmu kanuragan. Bukan sesuatu hal yang luar biasa mengingat sepanjang
hidupnya selalu bergumul dengan hal itu.
Kalimat yang didengarnya adalah bagian dari dasar-dasar ilmu silat.
Bagian dari cara mengosongkan pikiran kalau mau mempelajari ilmu silat.
Kalau tempayan penuh berisi air, tak ada gunanya menambah air ke dalamnya. Hanya
akan tumpah belaka. Kalau tempayan itu perumpamaan tubuh Upasara, saat ini sedang penuh dendam dan
panas oleh secepatnya mengembalikan tenaga dalam. Jadi tak ada gunanya kalau
mencoba mempelajari pernapasan.
"Kalau cara seperti itu mau dipamerkan, aku sudah tahu sebelum kamu mengenal
dunia." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jawaban Upasara membuat tawa bergelak.
Yang tertawa adalah seorang lelaki yang wajahnya tertutup caping.
Hanya tangannya yang memegang tongkat, yang biasanya digunakan untuk menggiring
itik, bergerak-gerak. "Itu yang namanya edan. Sudah tahu tempayan penuh masih nekat dijejali air.
"Anak muda, siapa namamu dan apa maumu dengan berlatih cara pernapasan yang
sudah tak diajarkan karena sudah kuno itu?"
Upasara mendongak. Ganti tertawa. "Orang tua, siapa namamu dan apa maumu sok pamer ilmu pernapasan, yang tak bisa
dibedakan mana yang kuno dan mana yang baru" Selama masih mengisap udara dan
mengatur tenaga di dalam tubuh, apakah itu bisa disebut kuno atau baru?"
"Edan, kamu tahu tentang cara-cara melatih pernapasan. Tapi tenagamu kalah kuat
dibandingkan seekor itik."
"Seekor bebek bisa menggerakkan ekornya untuk mencari tenaga.
Seekor kumbang bisa menggerakkan sayapnya untuk terbang. Itulah tenaga utama.
Akan tetapi seribu ekor itik, seribu ekor kumbang, akan bergerak dengan cara
yang sama sejak diciptakan pertama kali. Tak nanti seekor itik atau bebek bisa
menarik seekor kuda."
Caping lelaki itu bergerak, berputar di kepalanya.
Menimbulkan kesiuran angin tajam.
"Kerahkan tenaga memutar ke kanan."
Bik Suka Bintulu CAPING yang tadinya berputar ke arah kiri serta-merta berubah ke arah kanan,
sesuai permintaan Upasara. Hanya saja karena gerakannya mendadak, caping itu
jadi terangkat ke atas. Namun Upasara tak bisa melihat dengan jelas, karena geseran angin dari tutup
kepala itu membuat matanya pedih.
"Itu namanya tenaga separuh yang kamu gunakan," kata Upasara gagah. "Tempayan
yang berisi air separuh, bisa digerakkan lebih mudah."
"Edan. Anak kemarin sore malah mengajari seorang bik suka."
Upasara membuka bajunya. "Aku tak tahu kalau Paman seorang bik suka. Maaf, terimalah pemberian milikku
seadanya." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara mengerti bahwa yang dihadapi adalah seorang bik suka, atau wiku, atau
biksu, atau pendeta yang meminta-minta. Maka sebagai tanda penghormatan, Upasara
memberikan bajunya, karena tak mempunyai sesuatu yang bisa diberikan.
Bik Suka sekali lagi memutar capingnya, dan baju Upasara tersangkut. Akan tetapi
dengan sekali putaran, baju itu kembali menutupi wajah Upasara.
Walau telah berusaha menangkis, akan tetapi tenaga dan kecepatan Bik Suka
mengatasinya. Sehingga tubuh Upasara bergoyang.
"Apakah Paman Bik Suka Bintulu?"
"Aneh. Kamu ini aneh dan edan. Bagaimana mungkin pengetahuanmu begitu hebat,
akan tetapi kemampuanmu begitu hina?"
Bik Suka Bintulu, atau Biksu Bintulu adalah istilah untuk menyebut seorang
pendeta dari kelompok yang suka menyebut dirinya Bintulu.
Istilah ini sebenarnya mempunyai arti poleng atau kotak-kotak seperti papan
permainan catur berwarna biru dan putih. Kelompok ini memang sebagai pendeta,
akan tetapi menolak pemberian.
Tentu saja Upasara mengetahui, karena selama dalam Ksatria Pingitan, boleh
dikatakan segala pengetahuan dan adat diajarkan.
"Maafkan saya, Paman Bintulu."
"Kamu sudah menghinaku sebagai peminta-minta, bagaimana mungkin aku memaafkan
begitu saja" Kalau setiap kesalahan bisa diakhiri dengan maaf, untuk apa ada
pembunuhan dan kebajikan?"
Upasara berdiri gagah. "Kalau memang ingin pamer kegagahan, untuk apa bicara soal maaf segala macam"
"Paman Bintulu, saya, Wulung, meminta maaf. Tetapi tidak berarti meminta ampunan
soal pembalasan penghinaan."
"Anak ayam seperti kamu berani mengaku elang?"
Upasara menjadi gondok. Nama Upasara Wulung adalah namanya yang sebenarnya. Yang
berarti Banteng Hitam. Wulung berarti hitam kebiru-biruan. Tapi wulung juga bisa
berarti elang. Arti terakhir ini yang tertangkap oleh Bintulu.
"Sekali pengemis tetap pengemis.
"Mana ada di jagat ini pengemis memberikan sesuatu, walau hanya maaf"
"Edan!" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mana ada seorang mengaku wiku selalu mengeluarkan kata-kata kotor?"
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Edan. "Eh, Wulung, siapa dirimu sebenarnya?"
"Saya adalah lelaki yang ingin membalas dendam kematian orangtua saya yang
dibunuh secara kejam."
"Majulah. "Akulah yang membunuh penduduk desa ini."
Tanpa pikir panjang, Upasara menggertak maju. Kedua tangannya terentang. Kedua
kakinya membuka kuda-kuda. Akan tetapi Bintulu hanya menudingkan tongkat
penggiring bebek. Ini saja sudah membuat Upasara menjadi ngilu. Kakinya yang
terangkat seperti kaku. Tak bisa digerakkan.
Karena nekat maju, tubuh Upasara jatuh ke tanah.
"Aku bilang maju, bukan tiduran!"
"Kalau menyalurkan tenaga lewat tongkat, masih harus mengerahkan tenaga di
pusar, kenapa berlagak?"
"Dari mana kamu tahu, Wulung?"
"Karena dada Paman Bintulu digerakkan lebih dulu. Tenaga yang disalurkan ke
tongkat akan menjadi lebih cepat jika disalurkan dari telunjuk. Tongkat itu
bagian dari telunjuk, yang tidak ditentukan keuntungannya dari panjangnya."
Kaki Bintulu mengentak tanah.
Hebat tenaganya. Getarannya membuat Upasara bangkit kembali, seolah dilontarkan tenaga tak
terlihat. "Nah, ini baru namanya tenaga kaki yang sesungguhnya. Padahal kalau jari
dilatih, kekuatannya tidak kalah dari telunjuk. Tetapi dasar pendeta gunung,
lebih bisa menggerakkan kaki daripada tangan."
Apa yang dikatakan Upasara membuat Bintulu mendehem kecil.
Apa yang dikatakan Upasara memang benar. Tenaga kaki lebih bisa digerakkan dari
tenaga jari. Kekuatan memainkan kaki memang menjadi ciri utama para pendekar
dari daerah pegunungan. Karena keadaan medan yang tidak rata, dengan sendirinya
latihan gerakan kaki menjadi lebih terlatih. Dengan salah satu cirinya, tubuh
bisa bergerak lebih enteng dan permainan kuda-kuda juga kokoh.
"Setan mana yang mengajarimu, Wulung?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah Paman Bintulu hanya bisa menyebut setan dan edan saja?"
"Sudahlah, jangan banyak ngomong. Kalau mau menuntut balas, cepatlah." "Paman
Bintulu, kenapa Paman membunuh Pak Toikromo?"
"Sudah menjadi adat dunia. Yang kuat membunuh yang lemah.
Untuk apa menanyakan alasan?"
"Bapakku tak bersalah."
"Memang tidak. "Aku hanya ingin membunuh saja. Sekali sabet, selesailah sudah.
Kalau kamu ingin menyusul, majulah. Aku tak akan membedakan cara membunuh."
"Coba saja. Apakah Paman Bintulu bisa merontokkan tulang iga dengan meninggalkan
luka menganga." Upasara menerjang. Dengan jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka. Kedua
tangannya terkepal dan menyeruduk maju. Tanpa menggerakkan tubuh, Bintulu
menggerakkan capingnya. Angin berputar yang muncul melibat tubuh Upasara dan
membantingnya ke tanah dengan putaran.
Pandangan mata Upasara berkunang-kunang.
Tapi segera berdiri. "Saya ingin dada saya dibelah, bukan dibanting dengan ilmu gasing anak-anak
seperti ini." Gertakan Upasara hanya untuk meyakinkan bahwa Bintulu pembunuh Pak Toikromo atau
bukan. Melihat bahwa Bintulu tetap termangu, Upasara jadi kurang yakin.
"Kenapa Paman mengaku sebagai pembunuh?"
"Apa bedanya aku yang membunuh orangtuamu atau bukan" Aku sudah banyak membunuh
orang tanpa mengetahui nama dan anak-anaknya. Kenapa itu kaurisaukan benar"
"Majulah lagi, kalau ingin kubelah dadamu."
Upasara berputar. Tubuhnya berbalik menjauh. Tiga langkah kakinya menjadi berat, dan tubuhnya
terseret. Kembali terbanting.
"Wulung, jawab yang benar. Siapa nama gurumu?"
"Baik, Paman dengar baik-baik." Upasara berdiri dengan gagah.
Walau seluruh tubuhnya ngilu-ngilu tapi digigitnya bibirnya untuk menahan rasa
sakit. "Guruku adalah Ngabehi Pandu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Siapa itu?" Upasara mengentakkan kaki ke tanah.
"Bagaimana mungkin Bintulu yang berilmu tinggi ini tak mengenal Ngabehi Pandu"
"Kalau tak kenal nama besar guruku, buat apa bertanya?"
"Segala macam Ngabehi saja diunggulkan. Tapi... edan... memang sebenarnya
Ngabehi Pandu membekalimu dengan ilmu yang benar, akan tetapi ternyata kamu anak
ayam yang kerdil." "Seorang senopati agung dari Keraton Singasari lebih pantas dikagumi."
"O, Ngabehi-mu itu wong Keraton" Siapa lagi yang jadi wong Keraton yang bisa
main silat?" "Mpu Raganata."
Upasara mulai bisa menebak-nebak bahwa tokoh yang dihadapi ini adalah seorang
tokoh yang belum begitu lama muncul dari pengasingan yang cukup lama. Maka ia
menyebutkan nama Mpu Raganata.
"Apakah ia prajurit baru?"
"Paman Bintulu, Paman sangat keterlaluan!"
Upasara bergerak kembali, akan tetapi sekali ini terasa udara panas membeset
tubuhnya! Dan darah mengucur dari dadanya. Luka melintang! Seperti yang dialami
Pak Toikromo dan beberapa korban yang lain.
Dengan geram Upasara berdiri kembali.
Akan tetapi kakinya makin sempoyongan.
"Ayo majulah. Akan kususul bapakku. Akan kutemani di alam sana."
"Edan!" Sekali ini tongkat kecil penggiring bebek bergerak cepat.
Bejujag, Tokoh Paling Kurang Ajar
UPASARA berkeringat dingin.
Dalam detik-detik terakhir, tubuhnya meringkuk dengan kedua tangan berusaha
melindungi. Kesiuran angin sangat tajam merobek.
Gerakan Upasara adalah gerakan seadanya, sebisanya seperti perlindungan diri
terakhir. Bahkan kedua matanya tertutup.
Terdengar suara keras, dan pohon mangga di sebelahnya roboh, terpotong melintang
dari satu sisi kanan ke kiri bawah!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pohon mangga saja terbelah terkena kesiuran angin tongkat penggiring bebek
Bintulu! "Ilmu iblis apa yang kamu mainkan, Wulung?"
Dalam nada geram, terdengar juga kesan kagum.
Upasara sendiri tak bisa menjawab segera. Tak bisa menerangkan dengan jelas.
Bahwa dari tubuhnya masih bisa keluar tenaga murni Bantala Parwa. Tenaga dalam
yang sudah dimusnahkan itu ternyata masih tersimpan, dan secara tiba-tiba
muncrat keluar, berhasil menangkis kesiuran angin maut Bintulu.
Bahwa inti tenaga murni Penolak Bumi adalah bersifat tenaga tumbal, tenaga yang
muncul untuk mementahkan dan mengenyahkan serangan yang mengancam, Upasara
sadar. Akan tetapi ternyata tenaga itu sekarang ini tak sepenuhnya bisa
dikuasai. Tenaga murni itu mengalir dengan sendirinya!
Karena sebelum keluar, Upasara telah sungsang-sumbel dan hampir saja binasa. Toh
tak bisa keluar. Upasara bercekat. Tubuhnya basah oleh keringat.
Sesaat tadi, ia merasa kematian telah datang menjemput secara paksa. Untuk
pertama kalinya, Upasara merasa enggan menerima kematian. Saat ini berbeda dari
saat ia membuang tenaga dalamnya, berbeda dari ketika Nyai Demang mengamuk.
Upasara merasa masih ada ganjalan untuk meninggal.
Masih ingin membalas dendam kematian Pak Toikromo!
Ataukah perasaan ini yang membuat tenaga murni muncul tak terduga" Rasanya tak
mungkin juga. Karena kini, ketika Upasara mencoba mengerahkan kembali, malah
dadanya yang terasa sakit.
Kalau tenaga murni macet, kematiannya hanyalah soal waktu. Maka Upasara menjadi
bercekat, tubuhnya berkeringat, seolah sedang menghadapi malaikat maut.
"Ilmu bisa menjadi iblis bisa menjadi dewa, tak perlu ditanyakan."
"Siapa gurumu?"
"Sudah saya katakan, saya adalah murid Ngabehi Pandu yang terhormat, senopati
Keraton Singasari. Teman baik yang terhormat Mpu Raganata, sahabat erat Eyang
Sepuh." Upasara sengaja menyebut nama tokoh-tokoh besar, agar Bintulu tak menjadi ganas
karenanya. Karena dengan mendengar nama-nama besar itu, bisa mengingatkan akan
sesuatu. Perhitungan Upasara, sekali lagi,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berdasarkan dugaan bahwa Bintulu adalah tokoh sakti angkatan tua yang kembali.
Dugaan itu benar, akan tetapi Bintulu tetap menggelengkan kepala.
"Mana aku kenal nama cecunguk-cecunguk itu"
"Tapi aku bisa memaksamu mengatakan siapa sebenarnya."
Bintulu menggenggam tongkat kurusnya.
"Begitu sombong Paman Bintulu menyebut dengan kata kotor pada pendiri Nirada
Manggala!" Kali ini upaya Upasara menemukan hasilnya. Kalau nama Eyang Sepuh, Mpu Raganata
maupun Ngabehi Pandu tak dikenali, nama Perguruan Awan ternyata membuat Bintulu
menahan napas sejenak. "Apa hubunganmu dengan si Bejujag itu?"
Upasara tak tahu siapa yang dimaksudkan dengan si Bejujag, yang bisa diartikan
sebagai seorang yang kurang ajar. Jangan-jangan salah satu nama yang bisa
dihubungkan dengan pendiri Perguruan Awan.
Dan itu bisa berarti... "Kalau memang kamu murid si Bejujag dan sengaja mau mengintip ilmu Tongkat
Penggiring Bebek, inilah kesempatan terbaik. Aku akan membunuhmu dalam satu
gerakan." Ternyata tetap saja niat Bintulu untuk membunuh!
"Tak perlu main sembunyi."
Belum Upasara mengerti sepenuhnya, sesosok bayangan telah muncul sambil
mengertakkan gigi dan mengayunkan tongkatnya secara keras.
"Kakang Galih!"
Teriakan Upasara lebih mencerminkan nada kuatir dibandingkan kegembiraan.
Karena Upasara menyadari bahwa Galih Kaliki yang suka menyerang secara sembrono
bisa menghadapi bahaya melawan Bintulu yang mampu memainkan tongkat kurusnya.
Gebukan tongkat galih asam ke arah caping Bintulu tak dihiraukan.
Hanya tongkat penggiring bebek disebatkan untuk menangkis.
Tongkat kurus bagai bambu yang sedang tumbuh menghadapi tongkat perkasa dari
hati pohon asam. Luar biasa! Upasara seakan tak percaya pada matanya.
Bahkan Galih Kaliki melongo.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tongkat galih asam terpotong di bagian ujungnya. Terpotong dengan goresan
miring! Inilah yang tak dinyana tak disangka.
Tongkat galih asam sudah lama malang melintang di dunia persilatan.
Puluhan atau ratusan kali diadu dengan segala senjata tajam pilihan.
Akan tetapi selama ini tak pernah mengalami lecet sekali pun. Maka sungguh tak
terbayangkan, hanya dengan sekali sabetan, tongkat perkasa itu somplak!
Tenaga ajaib macam apa yang dimiliki dalam diri Bintulu dengan tongkat
penggiring bebek, yang kelihatannya terayun-ayun terguncang angin"
"Kakang Galih... tahan "
Jeritan Upasara terlambat. Galih Kaliki telah mengeprukkan tongkat ke arah
caping Bintulu untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tenaga penuh.
Bintulu menggenggam tongkat penggiring bebek dengan dua tangan dan tubuhnya
berputar keras. Cepat sekali. Upasara sampai mundur terdesak oleh angin.
Tongkat galih asam membentur tongkat penggiring bebek untuk kedua kalinya.
Upasara menahan getaran dalam tubuhnya.
Tongkat galih asam somplak, terlempar ke udara dan jatuh di dekat tubuh Galih
Kaliki yang juga ambruk. Pada sebelah kanan dadanya terlihat goresan yang dalam
hingga ke pangkal paha sebelah kiri. Luka menganga dan seakan terlihat tulang-
tulang tubuh Galih Kaliki yang dilewati sabetan tongkat kurus itu terputus.
Ajal Galih Kaliki telah sampai sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
Sebelum sempat bertegur sapa dengan Upasara!
Alis mata Upasara bersatu. Seluruh darahnya seakan mengalir ke wajah. Darah
dendam kesumat membahana. Tangannya gemetar meraih tongkat galih asam yang telah
somplak. "Hmmm, jadi si Bejujag itu menyembunyikan kangkam dalam galih?"
Baru sekarang Upasara sadar bahwa tongkat yang selama ini dipergunakan oleh
Galih Kaliki adalah sarung pedang! Pedang hitam yang tipis. Kangkam Galih yang
agaknya dikenali oleh Bintulu!
Seumur hidupnya Galih Kaliki tak pernah mengetahui hal ini. Bahkan tak akan
percaya andai diberitahu bahwa tongkat andalannya ini sebenarnya hanyalah sarung
pedang! Warangka. Upasara tak banyak berpikir. Kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih dengan
pandangan bulat. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa pun yang kamu katakan, aku siap menuntut balas kematian orangtua dan
kakangku." "Edan. Hari ini aku membunuh dengan perasaan senang."
Bintulu bergerak. Upasara tak melihat gerakan, hanya merasakan angin tajam
menerjang keras ke arahnya. Dengan sepenuh tenaga, Upasara mengangkat tongkat
Kangkam Galih - pedang yang tersimpan dalam galih - untuk menangkis dan menerjang.
Akan tetapi karena tenaganya kurang tersalur sempurna, di samping pedang tipis
hitam itu sangat berat, Upasara menjadi sempoyongan.
Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya justru terbanting sebelum langkah ketiga!
Bintulu mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat tinggi!
Agaknya tak menduga bahwa Upasara melakukan gerakan yang tak sepenuhnya dikuasai
dan disadarinya. Nyatanya memang begitu.
Sewaktu menangkis tadi, Upasara menggerakkan pedang dengan serangan yang masih
bisa dihafal dan diketahui. Hanya karena tenaga dalamnya tak terkuasai, tenaga
membawa pedang hitam itu membuatnya terhuyung jatuh. Akan tetapi di luar
dugaannya, justru sewaktu tubuhnya akan menyentuh tanah ada tenaga menolak yang
membuat Upasara tegak. Begitu tegak, Upasara berniat menyerang kembali. Akan tetapi kejadian berulang.
Tubuhnya terseret oleh tenaga Kangkam Galih.
Sehingga makin limbung. Agaknya justru ini yang membuat Bintulu kaget dan meloncat tinggi.
Kalau tadi bisa membunuh Galih Kaliki tanpa mengubah posisi kaki dari tempatnya
berdiri, sekarang perlu menghindar!
Dodot, Kain Panjang untuk Hamba Sahaya
MENGETAHUI ada tenaga yang memberontak dari tubuhnya, Upasara tak mau
menahannya. Ia memusatkan pikirannya, dan membiarkan tenaganya tersalur ke arah
Kangkam Galih. Dalam sekejap, Upasara telah memainkan jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika secara
lengkap dan sempurna. Angin berkesiuran memancar dari tubuhnya, mengepung
Bintulu yang berloncatan. Karena agaknya Bintulu tak ingin tongkat penggiring
bebek bersentuhan dengan Kangkam Galih. Ini yang membuat dalam sekejap Upasara
bisa mendesak mundur. Bintulu meloncat mundur sekali lagi, akan tetapi kali ini Upasara menyabet
dengan ganas. Caping Bintulu terayun ke atas!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Barulah Upasara bisa melihat Bintulu.
Dan cemas dengan sendirinya.
Yang berada di depannya ternyata lelaki yang sudah tua, dengan rambut putih
beberapa helai. Selebihnya adalah wajah yang tanpa bentuk sama sekali! Hanya ada
semacam lubang untuk hidung -
ataukah mulut" - selebihnya gumpalan daging. Bahkan Upasara tak bisa menemukan
mana bagian matanya. Begitu banyak peristiwa ditemui Upasara, akan tetapi sekali ini tak terjangkau
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh akal sehatnya. Bintulu, jelas tokoh sakti mandraguna dari suatu masa yang telah lewat. Dilihat
dari usianya, bukan tidak mungkin lebih tua dari Mpu Raganata. Kemampuan dan
ilmu silatnya sungguh tiada tara. Galih Kaliki saja bisa disabet dalam dua
gerakan! Hati kecil Upasara terusik rasa iba.
Bintulu pastilah mengalami sesuatu yang sangat kejam di masa lalu.
Sehingga wajahnya hancur lumat. Tak tersisa mata atau mulut! Neraka iblis macam
apa yang telah terjadi"
Kalau dilihat dari sisi ini, Bintulu perlu dikasihani. Akan tetapi Bintulu pula
yang telah menewaskan orangtuanya, Pak Toikromo! Dan juga Galih Kaliki!
Dan Upasara telah bersumpah untuk membalas dendam.
"Edan! "Sungguh edan. Apakah si Bejujag itu mampu menyimpan dan mengembalikan nyawa
manusia" Apakah ia telah menjadi Maha wiku seperti yang diinginkan"
"Edan. "Wulung, apakah yang kamu mainkan barusan ilmu Menyimpan Nyawa si Bejujag?"
Biar bagaimanapun, Upasara masih mempunyai jiwa ksatria. Hatinya tergetar
melihat penderitaan Bintulu. Maka dengan hormat, Upasara melakukan sembah.
Setelah mengembalikan caping untuk menutupi wajah Bintulu, barulah Upasara
mundur dan menjawab. "Paman Sepuh Bintulu, yang baru saja saya mainkan adalah jurus-jurus Dwidasa
Nujum Kartika, atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
Yang kalau diteruskan dengan Delapan Jurus Penolak Bumi, dikenal sebagai ajaran
Kitab Bumi. "Apakah Paman Sepuh mengenali?"
"Edan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bagaimana mungkin kamu tanyakan aku mengenali atau tidak, kalau aku yang
menciptakan?" Ganti Upasara yang menjublak. Berbagai perasaan datang-pergi silih berganti.
"Aku tidak tanya nama jurus mainan anak-anak. Yang kutanyakan apakah si Bejujag
itu telah mampu melatih tenaga dalam Menyimpan Nyawa!"
"Maaf, Paman Sepuh, yang saya latih adalah pernapasan seperti yang diajarkan
dalam Bantala Parwa."
"Ngawur! "Aku tidak menciptakan cara berlatih napas semacam itu. Itu pasti akal-akalan si
Bejujag yang suka main gila.
"Wulung, kamu ini manusia macam apa sehingga begitu beruntung dalam hidupmu?"
Kembali Upasara terguncang.
Apa maksud omongan Bintulu yang seperti berusaha menjelaskan sesuatu ini"
"Kamu beruntung mempelajari cara pernapasan Menyimpan Nyawa.
Itulah latihan pernapasan yang dikembangkan oleh si Bejujag, padahal ilmu yang
murni, akulah yang menemukan. Akulah yang menciptakan apa yang kamu sebut
sebagai Bantala Parwa atau Kitab Bumi.
"Tapi Bejujag itu memang nasibnya selalu lebih baik. Kami bertiga sama-sama
manusia berkain dodot, kain panjang dan lebar, sebagai tanda hamba sahaya. Tanda
pengenal kaum paminggir, kaum yang tak diperhitungkan secara resmi. Kaum
pinggiran, kaum dodot. "Edan. "Bejujag percaya bahwa cara berlatih napas Menyimpan Nyawa adalah cara berlatih
yang sempurna. Karena tenaga murni latihan ini adalah tenaga yang tak akan
pernah bisa hilang. Tenaga yang kekal abadi.
"Aku tak percaya di jagat raya ini ada cara berlatih pernapasan seperti itu.
Tapi baru saja kurasakan bahwa Bejujag kampungan itu berhasil."
Terdengar helaan napas berat.
Upasara seperti tersadar. Bahwa Paman Sepuh Bintulu mengatakan apa adanya
tentang cara pernapasan yang disebut Menyimpan Nyawa.
Semacam latihan pernapasan, di mana setiap kali dilakukan dua kali dari
biasanya. Dalam Bantala Parwa yang dipelajari, hal inilah justru yang membuatnya bingung
dan putus asa. Karena seolah latihan pernapasan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mengulang, dan selalu dimulai dengan penolakan! Ternyata justru inilah
intisarinya! Tenaga murni Upasara telah dikeluarkan hingga habis tuntas. Akan tetapi,
sebenarnya dalam dirinya masih tersimpan penuh tenaga murni itu. Hanya saja,
tenaga murni semacam ini tak bisa dipergunakan secara langsung. Harus diubah
lebih dulu. Diubah menjadi tenaga murni yang bukan cadangan. Tenaga murni yang
bukan simpanan. Itu pula sebabnya, seakan tenaga murni itu hanya bisa keluar pada saat maut
nyaris merenggut! Karena pada saat seperti itu, secara tidak sadar tenaga dalam
Menyimpan Nyawa bisa keluar. Dan mengetahui bahwa tenaga murni itu harus diubah
lebih dulu, membuat Upasara sadar sepenuhnya.
Bahkan kini tenaga dalamnya yang dulu bisa dihadirkan kembali!
Tenaga murni yang tersimpan itu diubah menjadi tenaga murni yang bisa digunakan
sewaktu-waktu. Dengan demikian tenaga murni yang sebenarnya tetap terjaga utuh.
Ini yang disebut Paman Sepuh Bintulu sebagai cara melatih pernapasan Menyimpan
Nyawa. Satu kata kunci saja, membuat Upasara bisa menemukan kembali tenaga dalamnya.
Dan yang memberitahu, justru musuh besarnya. "Terima kasih atas penjelasan Paman
Sepuh." "Edan. "Selama ini aku mempelajari, menciptakan, ternyata sia-sia belaka.
Bejujag itu masih bisa mengatasi."
Upasara menyembah dengan hormat dan tulus.
"Maafkan saya, Paman Sepuh, siapakah tokoh sakti yang selalu Paman Sepuh sebut
sebagai Manusia Kurang Ajar?"
"Siapa lagi kalau bukan Bejujag yang paling kurang ajar?"
"Apakah... apakah... yang Paman Sepuh maksudkan Eyang Sepuh yang mendirikan
Perguruan Awan?" Caping Bintulu bergoyang-goyang.
"Bejujag itu menyukai nama kosong. Untuk apa kalian begitu menghormatinya dengan
memakai sebutan Eyang Sepuh dengan nada begitu hormat" Ia tak lebih dari si
Kurang Ajar yang tak tahu malu, mengakali ilmuku."
Kali ini Upasara yang menghela napas berat.
Seluruh tokoh di tanah Jawa begitu menghormati nama agung Eyang Sepuh - mulai dari
penduduk biasa, para ksatria, pendeta, sampai
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dengan Raja - akan tetapi kini dengan enteng saja disebut Bejujag yang mencuri
ilmu! "Paman Sepuh, tadi Paman Sepuh menyebut bertiga. Siapa tokoh yang bertiga?"
"Edan. "Wulung, kenapa kamu memaksa aku mengingat nama manusia yang tak berbakat itu"
Manusia yang lebih mementingkan duniawi daripada yang rohani. Manusia yang lebih
mementingkan raga dibandingkan nyawa" Manusia yang lebih mementingkan nata atau
kebangsawanan daripada dodot sebagai asal-usulnya sendiri?"
Bagi Upasara, kini segalanya lebih jelas.
Pada masa yang telah lama, ada tiga kaum dodot yang menjadi ksatria. Mereka
bertiga ini kelak kemudian hari terkenal dengan nama yang harum. Yang paling
kurang ajar, kemudian menjadi Eyang Sepuh, tokoh yang paling dihormati. Yang
dianggap mementingkan keragaan, menjadi Mpu Raganata. Yang ketiga, atau yang
pertama, adalah yang tak pernah dikenal selama ini. Yang sekarang dipanggil
Upasara sebagai Paman Sepuh Bintulu.
Ada benarnya, kalau diingat bahwa Eyang Sepuh yang kemudian mendirikan Perguruan
Awan, dan Mpu Raganata yang mengabdi kepada Baginda Raja Sri Kertanegara.
Agaknya Paman Sepuh Bintulu yang terus-menerus mempelajari dan menciptakan ilmu.
Kalau benar begitu, kenapa sekarang muncul dari pertapaannya" Apa yang mampu
menggerakkan" Janji di Tepi Kali Brantas
Upasara gegetun sekali. Menyesal karena kini berhadapan dengan Paman Sepuh Bintulu, yang dalam sesaat
membuatnya berada dalam posisi yang berlawanan.
Sebagai tokoh tua yang dihormati, yang ternyata adalah tokoh seangkatan dengan
Eyang Sepuh. Akan tetapi juga seorang tokoh ganas yang telah menewaskan Pak
Toikromo serta Galih Kaliki.
Upasara gegetun karena mau tidak mau ia akan berhadapan dengan Paman Sepuh.
Namun agaknya Paman Sepuh seperti tak memedulikan itu semua.
"Wulung, aku ingin menjajal ilmu Menyimpan Nyawa."
"Maaf, Paman Sepuh."
"Cuma aku sudah berjanji kepada si Bejujag dan kepada orang Keraton yang
sebenarnya lebih pantas memakai dodot. Kami bertiga
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas sambil menunggu datangnya tetamu yang
akan meramaikan pertemuan.
"Edan. "Kalau murid Bejujag seperti kamu, apa murid-muridku bisa menghadapimu?"
Upasara berpikir cepat. "Paman Sepuh juga mempunyai murid-murid?"
"Bukan murid," suara Paman Sepuh menyesak. "Mereka orang edan tujuh turunan yang
akan kusabet wajahnya!"
"Maaf, bolehkah saya lancang bertanya, siapa murid dan sebutan Paman Sepuh?"
Caping Paman Sepuh Bintulu bergoyang kembali.
"Tadi kamu sudah memanggil Bintulu. Itu juga namaku. Kamu panggil Paman Sepuh,
itu juga namaku. "Kenapa kamu meributkan nama"
"Murid, aku tak tahu namanya. Aku cuma ingat kumisnya licik."
"Apakah yang mempunyai gelar Ugrawe?"
"Edan. "Bisa jadi." Sangat pantas sekali. Ugrawe sakti mandraguna dengan ilmu dan jurus-jurus Banjir
Bandang Segara Asat, atau Banjir Bah Laut Kering.
Ilmu yang menyedot tenaga dalam lawan. Selama ini asal-usul Ugrawe sangat gelap.
Ternyata ia murid Paman Sepuh.
Akan tetapi kalau disebutkan murid-murid, berarti ada yang lain.
"Siapa murid Paman Sepuh yang lain?"
"Edan. "Mana pernah aku mengingat nama?"
Upasara menggigit bibirnya.
Lalu dengan satu tarikan napas berat, Upasara berusaha menerangkan. Bahwa Eyang
Sepuh kini telah tidak ketahuan kabar beritanya sejak menghilangkan diri. Bahwa
Mpu Raganata telah gugur sewaktu pasukan Gelang-Gelang yang dipimpin Ugrawe dan
Raja Muda Jayakatwang menyerbu Keraton Singasari. Dan Ugrawe sendiri telah
gugur. "Tak mungkin. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bejujag itu pasti akan muncul. Raga itu sudah jadi bangsawan, tapi masih akan
datang. Kami sudah saling berjanji. Lagi pula akan datang ksatria lain. Mana
mungkin mereka ingkar atau mati lebih dulu"
"Wulung, kamu pikir kami belajar dan melatih diri untuk apa kalau tidak untuk
pamer?" Berkelebat gambaran masa lampau tentang tiga pemuda, tiga ksatria yang sangat
gandrung ilmu kanuragan. Masing-masing kemudian menciptakan ilmu yang menjadi
tonggak seluruh ilmu silat yang ada.
Paman Sepuh Bintulu .menciptakan apa yang kemudian dikenal sebagai Bantala
Parwa. Sementara Eyang Sepuh lewat Perguruan Awan mengembangkan sebuah perguruan
yang tetap memperlihatkan ciri-ciri kaum dodot, kaum hamba sahaya yang hidup
larut bersama alam. Tonggak yang ditancapkan Eyang Sepuh adalah cara melatih pernapasan yang disebut
oleh Paman Sepuh sebagai Menyimpan Nyawa.
Ada banyak persamaan antara ilmu Bantala Parwa dan ilmu Menyimpan Nyawa.
Sementara itu, Mpu Raganata lain lagi. Jalan hidupnya menjadi pengabdi raja, dan
tetap mempunyai jarak dengan kekuasaan Keraton.
Tonggak ciptaannya dalam ilmu kanuragan ialah ilmu Weruh Sadurunging Winarah.
Dibandingkan dengan ilmu Bantala Parwa, memang dasar-dasar ilmu Weruh
Sadurunging Winarah mempunyai perbedaan. Barangkali karena memang perjalanan
nasib tokoh-tokoh yang menciptakan berlainan.
Mestinya pada suatu hari mereka saling berjanji akan bertemu di tepi Kali
Brantas. Untuk saling menguji. Dan di samping itu juga akan diundang datang para
ksatria dari negeri seberang.
Kalau Mpu Raganata secara jelas terlihat kehadirannya, dan Eyang Sepuh terasakan
kehadirannya lewat Perguruan Awan, Paman Sepuh Bintulu mengasingkan diri dan
terus melatih ilmu secara murni.
Dan tak cukup tahu apa yang telah terjadi.
Kalau dipikir-pikir, ketiga ksatria ini sangat aneh. Ilmu mereka begitu tinggi,
pencarian mereka begitu mendalam, akan tetapi perjalanan hidup mereka sangat
berbeda satu dari yang lain. Toh begitu akan saling bertemu.
Upasara yakin, jika Eyang Sepuh masih ada, entah di mana, pasti akan muncul
lagi! Apa pun keadaan dan tingkat keresiannya sekarang ini, Eyang Sepuh tak akan
ingkar janji kepada sahabatnya di masa lalu.
Upasara bisa mengerti kalau Paman Sepuh Bintulu menjadi orang yang mempunyai
perangai aneh. Wajahnya yang hancur menjadi satu
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
petunjuk hidupnya yang sengsara. Ditambah sekian puluh tahun tak pernah bergaul -
dan mungkin sekali malah dikhianati oleh muridnya yang bernama Ugrawe - Paman
Sepuh Bintulu menjadi tak begitu pedulian. Apa atau kenapa main bunuh saja.
Kebetulan dua di antara korbannya adalah Pak Toikromo dan Galih Kaliki!
Hal ini yang tak bisa dibiarkan oleh Upasara.
Upasara tak meragukan sedikit pun bahwa Bantala Parwa adalah ciptaan Paman Sepuh
Bintulu. Sekurangnya beliaulah yang menyusun dan menuliskan dalam klika. Dan
kitab itu yang dicuri begitu saja oleh Ugrawe! Karena dunia luar mengetahui
Kitab Bumi itu dari Ugrawe.
Upasara sendiri mengenal Kitab Bumi dari Kawung Sen, yang mencuri dari Ugrawe.
Sangat mungkin sekali Kitab Bumi ciptaan Paman Sepuh Bintulu mirip dengan yang
dikembangkan Eyang Sepuh yang kemudian dikenal dengan jurus-jurus Tepukan Satu
Tangan. Dengan perbedaan pokok pada cara pengaturan napas yang disebut Menyimpan
Nyawa. Upasara juga gegetun karena sebab lain.
Ilmu membuka tempat Menyimpan Nyawa diketahui justru setelah korban berjatuhan.
Bukan sebelumnya! Inilah yang membuat gegetun. Nyawa Pak Toikromo tak bisa kembali lagi. Galih
Kaliki tak mungkin hidup kembali.
Upasara tenggelam dalam renungannya.
Siapa yang mengatur ini semua" Siapa yang meletakkan pada situasi yang menyayat
ini" Apa sebenarnya yang dikehendaki Dewa Segala Dewa dengan jalan hidupnya sekarang
ini" Ini masih harus ditambah dengan sejumlah pertanyaan lain. Siapa murid Paman
Sepuh Bintulu yang setara dengan Ugrawe, yang selama ini tak dikenali" Apakah ia
sama jahatnya dan malang melintang di dunia persilatan, ataukah masih
menyembunyikan diri" Apa yang akan terjadi di tepi Kali Brantas jika ternyata
yang muncul ksatria-ksatria dari tanah seberang" Menjadi pertarungan terakhir"
Satu hal yang membuat Upasara terusik.
Paman Sepuh Bintulu, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata mengatakan berasal dari
kaum dodot. Dari kelompok paminggir, yang juga berarti bukan anak-cucu langsung
para raja. Sebenarnya dalam hal ini bisa disamakan dengan dirinya, dengan Paman
Jaghana! Sekilas ingatan Upasara kembali ke Perguruan Awan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan peraturan yang tegas, tak ada anak buah Perguruan Awan yang direstui
menjadi prajurit atau senopati. Paman Wilanda adalah contoh utama. Ketika masuk
sebagai prajurit, tidak dianggap sebagai warga Perguruan Awan lagi. Hanya karena
suatu peristiwa yang memperlihatkan jiwa luhurnya dan keinginannya menjadi warga
Perguruan Awan, Paman Wilanda bisa diterima kembali.
Upasara sendiri bisa melihat dirinya berada dalam posisi yang berada di sisi
sana dan di sisi sini sekaligus. Ia dibesarkan dalam lingkungan Keraton sejak
lahir. Akan tetapi ia tetap dianggap kaum dodot, kaum hamba sahaya. Seumur-umur
berada di Keraton, darahnya tetap tak bisa menjadi biru.
Dan ini salah satu kegagalannya untuk mempersunting Gayatri yang sekarang
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi permaisuri Raja Majapahit.
Upasara baru menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu sudah lenyap entah sejak kapan.
Ia menghela napas, bersemadi.
Mengubah tenaga murni yang tersimpan menjadi tenaga murni yang bisa digunakan.
Agar semua tenaga murni cadangan bisa semuanya secara leluasa dipergunakan. Dan
ini berkat jasa petunjuk Paman Sepuh Bintulu, yang akan dilawannya!
Mbalela, Dosa Utama PENGEMBALIAN tenaga murni Upasara tak mengalami kesulitan sedikit pun. Dengan
memusatkan pikiran, Upasara mulai menjalin tenaga murni yang tersimpan.
Semua urat tubuh dan lubang kulitnya meregang, seakan mengeluarkan asap putih.
Mula-mula seperti dog amun-amun atau uap air di kejauhan, seperti fatamorgana.
Makin lama makin tebal, menyelimuti tubuh Upasara.
Dari jidat, seakan terlihat cahaya menurun ke sepanjang hidung, melebar ke arah
samping. Pipinya merona, kemudian daun telinga, bibir, dan akhirnya seluruh
wajah. Sementara dadanya tetap naik-turun dengan teratur.
Semburat warna itu terus menurun dan menyebar ke seluruh anggota tubuh, hingga
ke ujung jari tangan serta kaki. Kembali menggumpal, terpusat di pusar. Dan
dengan mengendalikan jalan pikiran, tenaga itu bisa dikendalikan. Ke arah
tangan, kaki, tersimpan di punggung. Aliran tenaga itu mengikuti kemauan
Upasara. Ke mana pikirannya ditujukan, ke arah itulah tenaga tersalurkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Selesai bersemadi, Upasara merasa rongga dadanya sangat lega.
Perasaan segar seakan kembali dilahirkan dari kegelapan yang mengimpit.
Apa yang dilakukan kemudian ialah menguburkan Galih Kaliki dengan rasa hormat,
berdoa di depan gundukan tanahnya.
"Kakang Galih... harap Kakang bisa tenang, untuk sementara Dewa yang Maha
Menentukan. Saya akan selalu mengenang jiwa Kakang yang luhur dan jujur. Saya
tak akan hidup tenteram sebelum membalas sakit hati Kakang.
"Maafkan, saya akan meninggalkan Kakang untuk sementara. Untuk menyusuri Kali
Brantas. Di sana semua dendam akan tuntas."
Baru kemudian dengan perasaan sedikit lega, Upasara melanjutkan perjalanan. Agar
tidak terlalu menarik perhatian, Upasara membungkus Kangkam Galih dengan tongkat
yang telah pecah. Disatukan kembali dengan getah pohon. Meskipun tidak sempurna,
akan tetapi untuk sementara terlihat seperti tongkat biasa.
Dalam perjalanan kali ini, Upasara merasakan betapa bedanya sebagai manusia
biasa dan sebagai pendekar silat. Jarak jauh tidak terlalu menjadi masalah.
Perjalanan bukan sesuatu yang melelahkan.
Bisa sekaligus melatih dan memperlancar tenaga pernapasan.
Lebih dari itu semua, keadaan sekitar seperti dengan mudah bisa terjaga, bisa
diawasi dengan sempurna. Dengan mudah Upasara bisa mengetahui pada jarak
tertentu ada sepasukan prajurit atau setidaknya beberapa ksatria sedang
melakukan perjalanan. Langkah dan tarikan napas mereka bisa dirasakan Upasara.
Sungguh berbeda ketika tenaga simpanannya belum diubah.
Saat itu bahkan tak mengetahui pertempuran-ah, tak bisa disebut pertempuran-
lebih tepat pembunuhan atas diri Pak Toikromo. Upasara menyadari bahwa Paman
Sepuh Bintulu bisa melakukan satu gerakan untuk menghancurkan rumah, pedati, dan
menyobek tubuh Pak Toikromo. Jarak kemampuan dalam kanuragan antara Pak Toikromo
dan Paman Sepuh Bintulu kelewat jauh.
Kalau saja semua pemulihan tenaganya terjadi lebih awal!
Kalau saja Paman Sepuh Bintulu bertemu dengannya lebih dulu!
Akan tetapi dalam kehidupan ini, ada yang tak bisa bersandarkan kepada kalau
saja. Justru karena sejak awalnya serba tak terjadi tanpa kalau saja.
Bukankah Paman Sepuh Bintulu bisa bersikap manis kepada Pak Toikromo, misalnya
meminta makanan" Kalau saja perjalanan hidup
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Paman Sepuh Bintulu tak begitu pahit, ia tak akan main bunuh seenaknya.
Tak lebih dua puluh kali tarikan napas, Upasara merasakan bahwa suara prajurit
makin terdengar jelas. Upasara berusaha menghindar.
Mencari jalan lain, karena tak ingin mengganggu dan terganggu.
Pikirannya hanyalah mencari tepi Kali Brantas untuk mengadakan perhitungan, dan
barangkali bisa lebih terbuka mengenai siapa-siapa yang akan datang.
Akan tetapi, langkahnya tertahan.
Karena telinganya mendengar suara Mpu Sora yang menyayat.
"Sejak lahir, aku dialiri darah prajurit. Bagiku, pengabdian adalah yang
terutama. Kalau memang Baginda ingin menghukumku, kenapa harus ditunda"
"Bagi seorang prajurit, pengabdi negara, menerima hukuman dan atau menerima
hadiah dari Raja adalah hal yang biasa. Tolong Senopati Halayudha menyampaikan
hal ini kepada Baginda."
Halayudha menunduk. "Duh, Senopati Sora yang perkasa.
"Jiwa besar merupakan semangat keprajuritan yang tak bisa diubah.
Gunung karang bisa hancur, akan tetapi jiwa yang mulia akan abadi selamanya.
"Saya hanyalah pesuruh. Saya hanya menyampaikan titah Baginda, bahwa Senopati
Sora dititahkan memangku tugas di Tulembang. Bukan hukuman mati seperti tertulis
dalam kitab Kutara Manama."
Suara Mpu Sora makin menyayat.
"Kematian adalah kebahagiaan, bila itu diperintahkan seorang raja.
"Senopati Halayudha... sekarang ini semua orang menganggap saya wajib terkena
hukuman mati karena telah membunuh Senopati Anabrang dari belakang.
"Dan saya akan menerima hukuman itu.
"Kalau Baginda menghendaki keris Mahisa Taruna bersarung di dada saya yang tua
ini, saya akan menerima dengan bahagia, sebagai penerima titah."
"Duh, Senopati Sora, bagaimana mungkin saya menyampaikan hal ini?"
Mpu Sora bergerak pelan. Tangannya menarik kain putih dengan satu sentakan
terobek rapi. Lalu dengan satu sentakan memotes ranting pohon, dan dengan getah
yang menetes mulai menuliskan. Baik caranya
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menyobek kain, memotes ranting, dan memencet agar getahnya terus mengalir,
memperlihatkan kemampuannya yang tinggi.
"Mohon Senopati Halayudha menyampaikan hal ini kepada Baginda."
Halayudha menerima dengan hormat.
"Agar tidak terlalu memberatkan Senopati Halayudha, setelah selesai keramas,
saya akan sowan kepada Baginda."
Halayudha bergerak cepat.
Karena tak ingin membuang waktu sedikit pun, agar semua rencananya tidak
kedaluwarsa. Semenjak meninggalkan gua kurungan bawah tanah, Halayudha merasa
bahwa cepat atau lambat tokoh-tokoh tangguh kelas dunia akan bermunculan. Jika
ia tak bisa memanfaatkan, berarti semua rencana yang diatur dengan saksama akan
sia-sia. Maka kini Halayudha langsung menemui Mahapatih Nambi, dan menceritakan apa yang
telah terjadi, menurut pandangannya sendiri.
"Senopati Sora malah berani menulis nawala langsung kepada Baginda. Mahapatih
Nambi yang paling berkuasa bisa membacanya.
Akan tetapi secara terang-terangan Senopati Sora menolak hukuman menjadi
penguasa di Tulembang. Baginya lebih baik menerima hukuman mati."
"Kenapa itu yang ditempuh?"
"Ini hanya gertakan Senopati Sora, dengan mempergunakan keluhuran dan kebaikan
hati Baginda. Karena merasa berjasa, Senopati Sora yakin Baginda tak akan
menghukum mati. "Senopati Sora lupa, bahwa Baginda bisa menjadi iba, tetapi di Keraton masih ada
Mahapatih Nambi yang setia kepada Baginda dan tidak mau melihat anak buahnya
mbalela" Mahapatih Nambi tersulut.
Dengan memakai istilah mbalela, Halayudha berhasil membakar Mahapatih.
Mbalela adalah ungkapan untuk prajurit yang melawan kepada atasan, ungkapan bagi
pemberontak! Bagi prajurit sejati, dosa yang utama dan satu-satunya ialah mbalela.
"Aku akan turun tangan langsung."
"Semua prajurit, para senopati Keraton, akan berada di belakang Mahapatih. Sikap
Senopati Sora sudah melewati batas yang ada.
Bersama dengan seluruh pengikutnya yang setia ia akan datang ke Keraton untuk
menentang titah Baginda yang begitu baik dan luhur."
Mahapatih Nambi tegang rahangnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Senopati Halayudha, mohonkan kepada Baginda, saya yang akan menjemput Senopati
Sora bila ia datang bersenjata nanti, atau kapan pun ia datang."
Dengan bahasa yang lain lagi, Halayudha berhasil mengutarakan langsung kepada
Baginda. "Hamba mengetahui betapa risaunya Baginda Raja yang luhur dan agung jiwanya,
yang ingin mengayomi, melindungi seluruh warga Majapahit.
"Akan tetapi alangkah pahit kenyataan yang sesungguhnya. Karena Sora ternyata
menentang kebaikan Baginda, dan lebih suka bermandikan darah di Keraton.
"Kalau Baginda menanyai hamba yang picik, hamba tetap tak berani mengusulkan.
Biarlah Mahapatih yang menemui Sora. Sehingga tangan Baginda tak perlu menjadi
kotor karenanya." Baginda tak menjawab. Tangannya bergerak, mengusir Halayudha.
Yang ketika keluar dan menemui Mahapatih, mengatakan bahwa Baginda menyerahkan
persoalan Senopati Sora ke tangan Mahapatih Nambi.
"Mahapatih-lah atasan langsung yang harus menangani.
Dua Cundhuk dari Dua Putri
UPASARA sendiri sebenarnya ingin segera meninggalkan tempat persembunyian dan
melanjutkan perjalanan begitu Halayudha pergi.
Akan tetapi sekali lagi, langkahnya tertahan.
Karena Mpu Sora mengeluarkan dua cundhuk, dua hiasan rambut yang mengingatkan
Upasara kepada putri yang pernah menghiasi mimpinya. Siapa lagi kalau bukan
Gayatri atau Permaisuri Rajapatni!
Hiasan cundhuk itu pernah dipakai Gayatri!
Mpu Sora memandang dua cundhuk sambil menghela napas berat.
Berat sekali. "Juru Demung dan Gajah Biru, kalianlah prajuritku yang paling mengetahui isi
hatiku. Majulah mendekat kemari."
Juru Demung dan Gajah Biru menunduk.
Mereka tidak mendekat. Dan memang tak perlu. Karena apa yang dimaksudkan Mpu Sora bukanlah pengertian yang wadag, yang
lahiriah sifatnya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hari ini aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Daha lebih dahulu. Aku
akan menghadap langsung ke Keraton Majapahit. Sowan untuk pasrah seluruh jiwa-
ragaku. Pembuangan, hukuman mati, atau apa pun, akan lebih melegakan hatiku
daripada suasana menggantung tak menentu.
"Kalian berdua yang paling mengetahui, bahwa bagiku pengabdian adalah nilai
utama dan satu-satunya. "Demung dan Gajah Biru, aku tak bisa memaksa kalian ikut ke Keraton. Aku juga
tak bisa menahan kalian turut serta. Semua kuserahkan kembali kepada pilihan
hati kalian. Sebab apa yang terjadi di Keraton masih tak bisa diketahui.
"Begitu banyak senopati yang menghendaki nyawaku yang tak berharga ini."
Juru Demung dan Gajah Biru menyembah secara bersamaan.
Keduanya mengeluarkan suara bersamaan, dengan nada menggeletar.
"Senopati Sora, sesembahan hamba, tempat pertama dan terakhir hamba mengabdi.
"Betapa sedih hamba mendengar pertanyaan Senopati Sora, seakan menanyakan apakah
hamba masih setia atau tidak."
Mpu Sora menggeleng. Menghela napas berat. "Demung dan Gajah Biru, jangan sampai kita salah paham karenanya.
"Sebenarnya aku lebih berharap kalian berdua tidak mengikuti ke Keraton. Karena
aku ingin menitipkan barang ini kepada kalian."
Untuk beberapa jenak, suasana menjadi sunyi.
"Aku tak tahu apakah aku bisa menyampaikan titipan ini kepada yang bersangkutan
atau tidak, mengingat hari esok tak bisa diperhitungkan.
"Demung dan Biru, prajuritku yang sejati.
"Dua cundhuk ini adalah titipan Permaisuri Rajapatni yang mulia.
Titipan untuk disampaikan kepada seorang ksatria sejati di jagat raya ini,
Upasara Wulung." Mata Upasara bersinar. Dadanya terguncang. Hanya karena penguasaan cara mengatur napas yang sempurna, sehingga Mpu Sora tak
mengetahui ada yang mencuri dengar pembicaraannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku dan Mpu Renteng, yang telah tenang di dunia tanpa kerisauan, pernah
mengawal Permaisuri Rajapatni. Barangkali karena itulah Permaisuri menaruh
kepercayaan kepadaku. "Menitipkan dua barang ini.
"Yang pertama diberikan kepadaku ketika putri pertama Permaisuri, yaitu Putri
Tribhuana Tunggadewi, lahir ke dunia. Cundhuk pertama ini minta disampaikan
kepada Upasara Wulung. "Cundhuk kedua diberikan lagi ketika putri kedua, yaitu Putri Dyah Wijah
Rajadewi, lahir. "Aku sedih karena tak bisa menyampaikan titipan ini. Pada saat Permaisuri
Rajapatni menitipkan cundhuk kedua, aku sudah menghaturkan bahwa yang pertama
pun belum bisa disampaikan, karena tak tahu di mana adanya Upasara Wulung.
"Akan tetapi Permaisuri Rajapatni tersenyum dan bersabda, 'Paman Sora lebih
mungkin menyampaikan daripada saya. Kalau Kakang Upasara telah meninggal,
tancapkan di kuburannya. Tanpa Paman Sora katakan, sukma Kakang Upasara sudah
tahu bahwa cundhuk ini dariku.'
"Betapa ringan tugas ini.
"Betapa berat melaksanakan.
"Demung dan Biru, itu sebabnya aku menginginkan kalian menyimpan dengan baik-
baik kedua barang berharga ini. Kalau aku tak bisa melaksanakan tugas Permaisuri
Rajapatni, kalian berdua yang berkewajiban menyampaikan.
"Aku tidak meminta kalian berdua merawat anak-istriku. Aku tak meminta kalian
berdua merawat pusara atau menjaga abu mayatku.
"Aku minta kalian melaksanakan tugas ini, karena ini sesuatu yang berarti bagi
Permaisuri Rajapatni, dan tugas yang diberikan adalah kepercayaan."
Upasara berusaha menenteramkan dirinya.
Guncangan dalam dadanya makin riuh berdebur.
Tak bisa dihindari lagi, munculnya bayangan seorang putri yang mampu
mengguncangkan dunianya. Mampu menjungkirbalikkan perasaan-perasaan paling
dalam. Pengalaman yang tak akan terlupakan.
Itu adalah saat pertama Upasara tertarik kepada wanita. Kebetulan wanita itu
adalah Gayatri, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang menjadi penunjuk
perjalanan ketika Upasara ingin menyusup ke Keraton Daha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jadilah perjalanan yang menumbuhkan daya asmara paling hebat melanda Upasara.
Puncak dari daya asmara yang membahana itu adalah ketika justru Gayatri yang
mengatakan bersedia bersanding dengan Upasara selamanya.
Dalam pertempuran mati-hidup, Upasara berusaha membebaskan Gayatri yang ditawan.
Ia bahkan mengukir kidung asmara di dinding Keraton yang terjal.
Akan tetapi, perjalanan daya asmara kandas.
Karena Gayatri dan Raden Sanggrama Wijaya, dalam perhitungan ramalan para
pendeta, adalah pasangan Dewi Uma dengan Dewa Syiwa.
Yang di kelak kemudian hari akan menurunkan raja yang paling besar dari semua
raja yang pernah memerintah.
Saat itulah Upasara mengundurkan diri.
Bahkan ketika semua pengikut Sanggrama Wijaya memperoleh pangkat dan derajat
yang tinggi, Upasara menolak. Bahkan jabatan sebagai mahapatih pun ditolaknya.
Baik secara langsung atau tidak, penolakan ini ditafsirkan sebagai pertanda
kekecewaan yang tak bisa ditawar.
Bahkan Baginda juga mengetahui hal ini. Karena dengan terbuka Baginda
mengatakan: Hadiah apa pun bisa diminta Upasara, kecuali Putri Gayatri, karena
ia sudah ditakdirkan bersanding dengan Baginda.
Putri Singasari bukan hanya Gayatri. Ada tiga yang lain yang tak kalah elok dan
rupawan, malah boleh dikatakan lebih jelita. Akan tetapi Upasara lebih suka
mengundurkan diri. Mengurung diri di Perguruan Awan.
Sampai kemudian Permaisuri Rajapatni dikirimkan untuk memancing Upasara keluar.
Akan tetapi saat itu pun Upasara memilih tidak mau menemui.
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Upasara telah memutuskan bahwa semua hubungan asmara dengan Gayatri telah
selesai. Demi kebahagiaan dan ketenteraman putri yang mencuri hatinya.
Upasara menganggap telah tamat.
Meskipun diakui, diam-diam daya asmara itu tak bisa padam sepenuhnya. Bagai bara
yang masih meletik, manakala Gendhuk Tri atau Nyai Demang menyindirnya.
Mimpi pun Upasara tak menduga bahwa Gayatri masih memperhatikan.
Masih mengingatnya! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Masih menyempatkan diri untuk memberitahu lewat cundhuk! Betapa sesungguhnya
Gayatri juga tak pernah melupakan. Justru di saat-saat yang paling bahagia
dengan kelahiran putrinya, Gayatri menitipkan sesuatu yang mengingatkan kembali
hubungan mereka. Daya asmara yang tak bisa musnah.
Daya asmara yang tak: berkurang panasnya.
Bahkan makin terasa terus membara.
Upasara menutup matanya. Mencoba memusatkan pikiran, agar tidak mengikuti
kenangan yang tiba-tiba merobek kenyataan yang ada.
Merajam luka di hatinya yang telah dirapatkan.
"Aku tidak tahu sejauh mana benda ini memberikan makna yang sesungguhnya. Sebuah
atau dua buah cundhuk semacam ini bisa ditemukan di mana saja.
"Akan tetapi barangkali bersangkut-paut dengan kesia-siaan yang dirasakan
Permaisuri Rajapatni. Karena nyatanya yang diangkat sebagai putra mahkota adalah
Pangeran Muda Kala Gemet, dan bukan keturunan Dewi Uma-Dewa Syiwa.
"Bukankah ini pengorbanan yang sia-sia"
"Demung dan Biru, prajuritku.
"Apa pun alasannya, sebagai prajurit sejati kita menjalankan tugas dan pengabdian. Aku akan
menyampaikan, menjalankan tugas Permaisuri. Kalau umurku terlalu pendek, aku
memohon kalian berdua yang menyampaikan. Terimalah, seorang satu."
Nujum Pendeta Juru DEMUNG dan Gajah Biru nampak ragu menerima.
"Demung... Biru, apakah kalian mulai berani membantah?"
Keduanya menjawab bersama setelah menyembah.
"Hamba berdua akan berada di sisi Senopati Sora, dalam keadaan hidup dan mati."
Keduanya menerima cundhuk dan menyimpan di dalam ikat kepala dengan hati-hati.
"Demung, Biru, itu yang tidak kuinginkan.
"Hari ini aku memanggilmu, justru untuk memberimu tugas, agar kalian berdua
tidak mengikuti langkahku. Agar kalian berdua menjauhi bayanganku.
"Sebentar lagi udara akan terasa sangat gerah. Makin santer berita akan
munculnya tokoh-tokoh jagat dari tanah seberang yang jauh. Sejak
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
munculnya Kama Kangkam dengan kedua muridnya, kita sudah bisa membaca tanda-
tanda akan adanya gegeran.
"Sejak Baginda kelihatan gamang dan ragu, akan ada orang kuat yang muncul
merebut kesempatan. "Demung dan Biru, aku sudah terlalu tua. Sejak Lawe tiada, sejak Kakang Aria
Wiraraja mundur ke Lumajang, semangatku telah hilang.
"Sebentar lagi udara akan bertambah gerah.
"Saat ini Kitab Bumi sudah menyebar. Semua ksatria, ibarat kata bisa mempelajari
dengan leluasa. Pasti akan menimbulkan gelombang pasang yang besar.
"Hal lain ialah nujuman para pendeta akan datangnya raja yang paling besar dari
keturunan Syiwa-Uma. Akan tetapi sekarang ini momonganku Raja Muda Kala Gemet
yang menjadi putra mahkota.
Kalau Raja Muda naik takhta, berarti semua pendeta tak ada gunanya.
Kalau nujuman para pendeta benar, akan terjadi pergantian pemegang utama
kekuasaan. "Demung dan Biru, sadarkah kalian berdua, kenapa aku meminta kalian tidak
mengikuti langkahku?"
Demung dan Biru sekali lagi menyembah secara bersamaan.
"Kami berdusta besar jika menyanggupi kata-kata junjungan sekarang ini untuk
meninggalkan Senopati Sora."
"Akulah yang keliru mendidik kalian.
"Seharusnya kalian lebih mengabdi kepada Keraton dan bukan kepadaku. Keraton tak
bisa salah, sedang aku manusia biasa. Hmmm, masih ada waktu untuk keramas dan
membersihkan diri. "Esok pagi-pagi benar, kalian berdua memintakan pamit kepada Raja Muda. Kalau
mau, tinggallah di Dahanapura. Kalau tidak, susullah aku."
"Terima kasih, Senopati Sora, atas perkenannya mengikuti langkah yang
benar." Upasara sebenarnya ingin melangkah keluar.
Akan tetapi merasa bersalah karena telah mencuri dengar beberapa bagian yang
seharusnya tidak perlu didengarkan.
Bagian di mana ada keruwetan mengenai tidak segeranya Baginda menjatuhkan
hukuman. Yang bisa menjadi pertanda kelemahan atau diartikan begitu. Yang
berarti mengundang munculnya seseorang untuk mengambil alih kepemimpinan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hal yang kedua ialah Upasara yakin bahwa seperti yang disebutkan Paman Sepuh
Bintulu, akan ada pertemuan para ksatria nomor satu di jagat. Itu yang membuat
Paman Sepuh Bintulu merasa perlu keluar dari sarangnya.
Hal yang ketiga, lebih merupakan masalah pribadi Upasara Wulung.
Yaitu mengenai putri-putri Permaisuri Rajapatni yang akhirnya tersisih dari
pencalonan putra mahkota. Yang tidak pribadi adalah kemungkinan terpecahnya
kekuasaan Keraton dengan kekuatan batin para pendeta. Perhitungan nujuman dan
kenyataan bisa menimbulkan bibit-bibit perpecahan di kelak kemudian hari.
Raja Muda Kala Gemet pasti tak akan membiarkan adanya perkiraan akan segera
muncul Raja Digdaya yang segera mengalahkannya. Ini bisa berarti membatasi
kekuasaan putri-putri Permaisuri Rajapatni.
Atau bisa lebih buruk lagi!
Raja Muda bisa berbuat lebih jahat pada kedua putri Permaisuri Rajapatni.
Barangkali inilah yang membuat keesokan harinya, diam-diam Upasara mengikuti
perjalanan Mpu Sora ke Keraton. Upasara terpaksa mengambil jarak agak jauh agar
tidak menimbulkan kecurigaan.
Baru setelah sampai di alun-alun Keraton, Upasara bisa bergabung dengan penduduk
biasa yang banyak berjajar di kejauhan.
Walau keadaan berlangsung dengan tenang, Upasara bisa merasakan ketegangan
tengah berlangsung. Karena rombongan Senopati Sora tidak diterima langsung oleh
prajurit Keraton! Ini sama juga berarti Baginda menolak kedatangannya!
Ini sama juga malapetaka!
Karena umbul-umbul atau bendera Mahapatih yang terlihat berkibar ketika ada
rombongan muncul dari Keraton.
Dan memang Mahapatih Nambi yang muncul.
Tanpa turun dari joli. Tanpa membuka tirai penutup.
Senopati Sora berdiri tegak. Juru Demung dan Gajah Biru berdiri agak jauh di
belakang. Sementara beberapa prajurit yang mengiringkan berada di kejauhan.
Walau nampak biasa, akan tetapi kalau diperhatikan benar, genggaman pada tombak
dan perisai sangat kuat. "Mahapatih Nambi yang perkasa, izinkanlah saya sowan ke Keraton."
"Senopati Sora," terdengar jawaban dari dalam joli. "Kita sama-sama berteman
sejak lama. Sebelum menjadi senopati pun kita telah bersama-sama. Kamu pun
mengetahui bahwa hari ini tidak ada pasowanan.
Baginda tidak berkenan menerimamu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Baiklah. "Kalau begitu saya akan menunggu di pintu gerbang." Sejenak Mahapatih Nambi
bimbang. Ia tak akan begitu saja menerjang Senopati Sora. Karena Senopati Sora dan
pengikutnya tidak berbuat suatu kesalahan. Mau menghadap Baginda. Dan karena
tidak ada izin, mereka mau menunggu. Tak bisa disalahkan.
Mendadak dari arah timur muncul rombongan beberapa lelaki yang menerjang maju
sambil berteriak-teriak. "Bunuh yang bersalah!"
"Keadilan harus ditegakkan."
"Kitab Kutara Manawa. harus dihormati."
Sekilas saja Upasara Wulung mengetahui bahwa rombongan yang datang bukanlah
masyarakat biasa. Dari langkah dan gerakan tubuhnya, jelas mereka adalah
prajurit-prajurit yang terlatih dalam olah keprajuritan.
Caranya berteriak juga menunjukkan sikap yang sangat mencolok.
Penduduk biasa tak akan meneriakkan kata-kata semacam itu. Hanya akan berkumpul
di alun-alun sambil melepaskan baju. Sampai ada yang menanyai!
Bukan seperti sekarang ini.
Jelas bahwa kehendak mereka sudah diatur lebih dulu.
Kemarahan yang sudah dipersiapkan.
Dan mendadak saja terjadi perubahan. Begitu rombongan mendesak maju, gegeran tak
terhindarkan. Dalam sekejap saja, terjadi pertempuran tak terduga. Semua senjata
lepas dari sarungnya, bergemerincing di angkasa, disimbah oleh banjir darah.
Upasara terkesima. Baru sekarang ini disaksikannya sesama prajurit Keraton saling bunuh dengan
kejam dan telengas. Upasara menyeruak maju. Akan tetapi beberapa kali terhalang
oleh prajurit yang saling bunuh di depannya.
Terpaksa Upasara melayang ke atas, menuju ke tengah pertempuran.
Mpu Sora berdiri gagah dengan kedua tangan terangkat ke atas, sebagai tanda
tidak melawan, ketika tiba-tiba sebatang tombak amblas ke dalam dadanya.
Tubuhnya bergoyang-goyang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gajah Biru dan Juru Demung meloncat maju, akan tetapi Mahapatih Nambi dan sebuah
bayangan menggebrak memapaki. Keduanya terjungkal dalam satu gerakan.
Agaknya, baik Gajah Biru maupun Juru Demung tidak bersungguh-sungguh mengadakan
perlawanan. Sekadar ingin menolong Mpu Sora.
Sehingga keduanya bisa ditusuk seketika.
Upasara menggerung keras.
Kedua tangannya berputar cepat. Puluhan senjata yang ditujukan kepadanya
ditangkis keras. Dengan gagah, ia berdiri di tengah.
Mahapatih Nambi menghentikan serbuan prajuritnya.
Senopati Halayudha berdiri mendengus.
"Upasara..." Upasara berlutut ke tubuh Mpu Sora yang terbaring di rumput.
"Ada titipan..."
"Saya tahu, Paman Sora yang perkasa. Terima kasih atas budi baik Paman Sora."
Upasara tak tahu apakah ucapannya masih terdengar oleh Mpu Sora atau tidak.
Karena kemudian tubuh Mpu Sora mengejang sebentar dan kemudian tak bergerak.
Halayudha menyambar dua tombak. Dan dengan gerakan melayang kedua tombak menusuk
lambung Upasara dari arah yang berbeda.
Sebat, cepat, dan menghunjam tepat.
Upasara menangkis dengan tangannya.
Terdengar suara keras. Dua tombak patah. Upasara merasakan pergelangan tangannya pedih. Adalah di luar perhitungannya
bahwa tenaga dalam Halayudha sangat besar.
Sabetan Satu Tangan Upasara merasa tangan kanannya ngilu.
Sampai ke ujung kuku. Di bagian tertentu berubah warnanya menjadi biru. Legam,
seakan darahnya membeku. Halayudha memang hebat. Tak pernah diperhitungkan oleh Upasara bahwa tenaga dalamnya begitu ganas
menerobos serta merontokkan urat dan pembuluh darah Upasara, yang seakan dipaksa
menahan beban yang lebih berat dari kesanggupannya.
Dalam hati Upasara menggelegak darah yang mendidih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ternyata Halayudha sangat ganas-telengas dalam menyerang. Tanpa sedikit pun
mempunyai pertimbangan bahwa yang digempur adalah sesama senopati Keraton.
Seakan Halayudha secara sengaja menumpahkan dendam kesumat!
Upasara membalik tubuhnya.
Tangan kanannya terkulai. Masih mendenyut rasa sakit yang menggigit sampai ulu
hatinya. Akan tetapi, Halayudha tak memberi kesempatan sama sekali. Begitu
tombaknya kena disampok lawan, dua keris sudah di kedua tangannya, dan dengan
gerakan kilat serta bertenaga, dua keris langsung menusuk ke arah dua mata
Upasara! Dibarengi dengan sapuan kaki, yang masuk dari sebelah dalam. Ini berarti Upasara
tak bisa mundur. Dengan kata lain, kedua biji matanya bakal menjadi sasaran.
Upasara mencium bau amis dari kedua ujung keris yang menusuk lurus, akan tetapi
mendadak membelok bagai hendak mencongkel.
Tangan kiri Upasara berputar di pergelangan. Dan dengan berani memapaki
serangan. Satu tangan mencoba merampas dua tangan berkeris.
Halayudha tak menduga bahwa tenaga yang mementahkan kerisnya begitu besar.
Menggulung dan seakan memusnahkan. Halayudha memindahkan tenaganya ke kaki.
Bukan hanya menahan, kali ini berusaha mengait keras.
Satu congkelan berkait! Bersamaan dengan itu tangan kiri melemparkan keris! Dan tangan yang kini kosong
masih mencoba menusuk telinga Upasara dari arah yang berbeda dari lemparan
kerisnya. Mahapatih Nambi menahan napas.
Apa yang diperlihatkan Halayudha bukan hanya luar biasa dari segi gerak.
Serangan secara berantai dan beruntun. Lebih dari itu, seakan tak terguncangkan
untuk menyerang secara tidak ksatria.
Walau tak ada peraturan yang resmi, seorang ksatria tak akan begitu saja
melemparkan kerisnya secara licik. Ia akan mempertahankan di tangan.
Bukan membidikkan. Apalagi dalam pertempuran jarak dekat.
Kemenangan semacam ini tak membuat namanya menjadi harum.
Akan tetapi Halayudha memang tidak memakai pertimbangan ksatria atau tidak. Apa
yang ingin dilakukan adalah meringkus Upasara secepat mungkin. Makin awal, makin
tak terduga, makin besar kemungkinannya berhasil.
Seperti ketika tangan kanan Upasara yang bisa dilumpuhkan!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara masih tetap tak menduga keganasan Halayudha.
Akan tetapi kini lebih waspada. Hanya dengan menarik mundur dan miring
menyamping, tusukan bisa terhindarkan. Dan serangan ke arah kuda-kuda, juga
bakal membuat Halayudha kecele. Halayudha tak memperhitungkan bahwa sejak dulu
ilmu andalan Upasara adalah jurus-jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka.
Dengan sendirinya peranan kuda-kudanya sangat kuat. Apalagi sekarang, dengan
tenaga dalam yang lebih kuat!
Tapi tusukan jari ke lubang telinga memang tak sempat dihindarkan.
Upasara menekuk tangannya, dan dengan sikunya mencoba menangkis tangan
Halayudha. Yang mendadak mengubah lagi gerakannya dengan menarik diri sambil menjauh.
Sementara kerisnya disabetkan keras. Dibidikkan ke arah dada.
Sebat-kelewat-cepat. Sebelum suara desisan angin, ujung keris telah siap mengiris.
Dengan kuda-kuda yang kukuh, Upasara tak bisa menggeser tubuhnya.
Tapi Upasara yang sekarang bukan Upasara yang tak mempunyai tenaga dalam. Juga
bukan Upasara yang masih berada dalam Ksatria Pingitan. Upasara yang sekarang
adalah Upasara yang bangkit kembali semangatnya, yang berkobar dendamnya, dengan
latihan pernapasan dari Kitab Bumi.
Cepat sambaran keris, lebih cepat lagi tubuh Upasara menekuk secara melengkung.
Seakan dari bagian atas pusar dibuang ke belakang, dengan kaki tetap bertumpu.
Keris itu hanya lolos sedikit di atas tubuh Upasara.
Tak lebih dari dua jari. Dalam tarikan napas yang sama, Upasara telah berdiri tegak kembali dengan tangan
kiri mendorong ke depan. Halayudha sudah meloncat jauh. Sehingga Mahapatih Nambi yang terkena gempuran
hawa panas memberat. Sebagai mahapatih yang dibesarkan dalam dunia kanuragan,
Nambi berusaha memapaki. Akan tetapi tubuhnya terdorong mundur, hingga menabrak
joli yang bergulingan. "Kepung! Sikat!"
Dua kata dari Halayudha cukup membuat seluruh prajurit Majapahit mengurung dan
mengamuk. Walau sebagian besar para prajurit Keraton yang setia tak mengerti
persoalan yang terjadi, itu tak menjadi halangan bagi mereka untuk langsung
mencincang Upasara. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tubuh Mahapatih yang terdorong mundur hingga membuat joli bergulingan sudah
merupakan aba-aba buat menggempur si penyerang.
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagi Upasara, keroyokan para prajurit tak ubahnya lalat-lalat kecil yang hanya
menimbulkan gangguan ringan. Dan sama sekali tidak membahayakan jiwanya. Akan
tetapi bagi para prajurit yang mengiringi Senopati Sora menjadi tarian maut.
Karena mereka yang kena digempur secara serentak dari pelbagai penjuru.
Pertempuran antara sesama prajurit tak terhindarkan.
Darah Upasara makin mendidih karena tak ada aba-aba memundurkan dari Mahapatih
Nambi maupun Halayudha. Sementara prajurit dari Dahanapura, karena tak mempunyai
pemimpin, juga tak mungkin menahan diri dari gasakan yang makin merapat.
Merasa tangan kanannya masih tak bisa digerakkan, Upasara meraih pedang hitam,
Kangkam Galih. Dipegang erat di tangan kiri, Upasara memutar di atas kepala satu
sebatan, sebelum menghalau para prajurit yang tengah bertempur.
Ayunan pedangnya ternyata berakibat seperti membelah banjir. Serta-merta para
prajurit jadi terdorong mundur. Senjata-senjata yang terkena sampokan angin
Kangkam Galih jadi terlepas. Yang tersentuh, langsung jatuh.
Satu tangan kanan menggantung, Upasara memainkan pedang dengan tangan kiri.
Ke arah mana Kangkam Galih terayun, ke arah itu prajurit berlarian dan bubar.
Mahapatih Nambi merasakan getaran yang kuat sedang melanda ke arahnya. Dengan
memberi aba-aba, ia maju memapak. Langsung menghadapi Upasara.
Mahapatih cukup berhati-hati. Walau Upasara hanya melawan dengan satu tangan dan
seorang diri, ternyata tetap tak bisa dikurung.
Senjata yang mendekat ke arahnya terlempar atau kutung seketika.
Mahapatih menggerakkan kedua tangannya, dan dua pengawal pribadi menyerahkan dua
tombak pusaka. Dengan sepasang tombak Mahapatih mencoba mengimbangi Upasara.
Dua tombak di tangan Mahapatih berubah bagai gunting, yang siap melipat tubuh
Upasara menjadi dua. Dalam satu gerakan juga bisa berubah menjadi tusukan yang
berbeda arah dan sasarannya.
Upasara justru masuk ke arah tengah guntingan.
Kangkam Galih dipegang secara terbalik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan ujung menuding ke bawah, dan digerakkan ke atas, Upasara mendobrak maju.
Ini berarti adu tenaga. Tenaga dua tangan lawan satu tangan. Sementara beberapa
senopati muda juga mencecar dari berbagai arah.
Upasara mengeluarkan desisan, sebelum tubuhnya berputar kencang.
Bagai baling-baling, dengan Kangkam Galih menjadi pelindung, Upasara menggasak
maju. Cara Upasara merangsek maju membuat satu-dua senopati muda yang
ayal-ayalan menjadi korban.
Halayudha mengibaskan salah satu bendera dan dengan serentak semua prajurit
pemanah mengurung seluruh alun-alun. Dengan anak panah dibidikkan, siap
dilepaskan! "Mahapatih, mangga mengker."
Seiring dengan teriakan yang mengharap Mahapatih mengker atau memunggungi atau
menjauhkan diri, Halayudha menebarkan jerat ke arah tubuh Upasara. Sehingga
Mahapatih bisa sedikit longgar.
Bersamaan dengan tebaran jala yang memayungi tubuh Upasara, satu tangan yang
lain memberi komando. Ribuan anak panah bagai hujan mengarah ke Upasara.
"Beras Wutah!" Perintah Halayudha bisa diartikan sebagai serangan seumpama beras yang tumpah.
Mengucur ke satu arah, dan seakan anak panah itu bersambungan! Padat!
Sehingga bagi Upasara dan para prajurit yang tersisa, seakan tak merasakan
Mustika Naga Hitam 2 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Pengemis Tua Aneh 3
Jurus Gender dan Rebab GENDHUK Tri sadar bahwa setiap kalimat yang diucapkan bisa membuatnya mati
seketika atau sebaliknya. Bisa mempengaruhi Naga Nareswara.
"Coba terangkan, tikus celurut."
"Saya akan menerangkan, asal Kakek Guru tidak menggunakan istilah tikus celurut
kepada saya." "Kalau aku tak mau?"
"Mati sebagai manusia lebih baik daripada hidup sebagai tikus celurut." Raja
Segala Naga tertawa dingin.
"Aku makin sadar. Kalian di tanah Jawa ini jauh lebih mementingkan kehormatan
semu di atas segalanya. Sebutan tikus bukanlah sebutan yang paling hina. Tikus
termasuk binatang yang kami hormati."
"Kalau begitu, kenapa Kakek Guru tidak bergelar Raja Segala Tikus?"
"Bagus, mulutmu sangat tajam.
"Aku suka itu. Baik, aku tak akan menyebutmu tikus celurut. Naga Alit, apa itu
ilmu Weruh Sadurunging Winarah atau ilmu yang mengembangkan jurus Tahu Sebelum
Terjadi?" Ganti Gendhuk Tri yang menghela napas.
"Ini ilmu leluhur kami. Tapi karena sejak semula saya menjadi anak murid Kiai
Sangga Langit, rasanya tidak terlalu jauh kalau saya menjelaskan. Toh Kakek Guru
akan segera mengatakan bahwa jurus-jurus seperti ini telah lama diketahui."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri bersila. Kedua selendangnya menutupi lututnya.
"Pada saat Baginda Raja Sri Kertanegara berkuasa, ada empu yang sakti
mandraguna. Bernama Mpu Raganata. Berada di pusat kekuasaan, beliau tidak selalu
berarti mengiya kepada Baginda.
Terutama dalam soal mengumbar keliaran nafsu berahi.
"Dengan diam-diam Mpu Raganata menculik gadis-gadis belia yang secara sengaja
disiapkan untuk diambil selir Baginda Raja. Dengan diam-diam pula Mpu Raganata
mendidik para calon penari dan pesinden untuk menjadi jago silat.
"Saya salah satu yang pernah diselamatkan."
"Aku bisa mengerti dari nada suaramu yang menghormat, Naga Alit."
"Mpu Raganata tak banyak dikenal dunia persilatan, karena berada di dalam
Keraton. Namun semua pendekar dan para ksatria mendengar bahwa Mpu Raganata
mempunyai ilmu Weruh Sadurunging Winarah, ilmu yang melatih diri sehingga bisa
tahu sebelum terjadi. "Bahkan pemberontakan Raja Muda Jayakatwang jauh-jauh hari sudah bisa
diramalkan." "Aku mendengar hal itu."
"Inti ilmu Weruh Sadurunging Winarah adalah cara melatih pikiran untuk memecah
perhatian menjadi dua bagian. Satu bagian mengamati apa yang terlihat, satu
bagian mengamati apa yang berada di balik yang terlihat.
"Jika kita melihat sebuah tarian, mata kita bisa melihat gerakan tangan dan
selendang. Akan tetapi pada saat yang sama, kita bisa melihat apa yang
menyebabkan tangan itu bergerak. Tenaga dan alam pikiran apa yang membuat penari
itu menekuk lututnya, sikunya, atau menggeser kakinya.
"Sejauh yang saya tahu, inti ilmu Weruh Sadurunging Winarah seperti juga
memainkan alat gamelan yang bernama gender. Tangan kiri dan tangan kanan lain
geraknya, lain iramanya, akan tetapi dua pukulan yang bersamaan ini membentuk
irama yang laras. Yang serasi. Yang seimbang.
"Atau seperti memainkan alat gamelan yang bernama rebab. Tanpa ada aturan karena
nada-nada yang dihasilkan berdasarkan perasaan semata. Tebal atau tipis tekanan,
keras atau lembut gesekan yang lebih menentukan."
"Aku mengerti, aku mengerti.
"Alat gamelan semacam itu juga ada di tanah kelahiranku atau tanah kelahiran
Kiai Sambartaka. Meskipun memang jauh berbeda perkembangannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Naga Alit, bagiku ilmu Weruh Sadurunging Winarah jauh lebih menarik daripada
ilmu Tepukan Satu Tangan. Karena ilmu Mpu Raganata lebih berpijak pada Bumi Jawa
yang sesungguhnya. Seperti juga buah maja yang hanya tumbuh di tanah ini.
"Sementara Tepukan Satu Tangan bisa diperebutkan keunggulannya."
"Kakek Guru keliru menduga.
"Bagi Mpu Raganata ataupun Eyang Sepuh atau saya sendiri, tak ada persoalan
apakah Tepukan Satu Tangan lebih berasal dari Tartar, Hindia, atau Jepun. Semua
toh berada di bawah matahari. Semua milik semua. Kami tak merasa asing.
"Kakek Guru akan menduga bahwa bagi kami kemurnian tidak penting. Akan tetapi
sesungguhnya inilah inti Weruh Sadurunging Winarah. Sungai-sungai akhirnya
bermuara di samudra, jadi untuk apa mempersoalkan dan memperebutkan sungai yang
satu lebih jernih airnya daripada sungai yang lain?"
Naga Nareswara mengangguk.
"Kecil tubuhmu, pendek umurmu, akan tetapi bayanganmu begitu dewasa. Naga Alit,
sungguh kamu berwawasan jauh ke depan.
"Aku mau lihat, apakah kamu mengetahui apa yang akan kulakukan jika kedua
tanganku turun ke lutut" Bagian mana yang akan kuserang?"
Gendhuk Tri mendongak. "Kedua mata saya akan mengamati dua tangan yang bergerak. Kedua mata batin saya
mengatakan bahwa tenaga dalam akan lebih berbicara di sini. Dalam posisi duduk
berlutut, dua tangan di lutut akan mengembang ke depan. Bisa dua tangan terbuka
telapaknya dan mendorong, bisa satu menarik dan satu mendorong."
"Apa yang kamu lakukan?"
"Sebelum tangan itu lepas dari lutut, saya akan mendahului mengambil udara yang
diisap, dengan cara mengebutkan selendang ini.
Sebab inilah tenaga utama yang menjadi kekuatan. Tanpa tenaga dalam, serangan
yang bagaimanapun dahsyatnya, tak akan mencelakakan saya.
"Dua sabetan dengan selendang untuk mengusir jauh angin sekitar hidung Kakek
Guru, sementara dua helai selendang yang lain akan membuat tangan Kakek Guru
kembali ke lutut." Naga Nareswara mengeluarkan suara pujian.
"Hebat. Hebat. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Naga Alit, kamu telah mementahkan dan sekaligus mematahkan jurus pertama.
"Tapi apa kamu mampu merebut udara di hidungku?" "Semua tenaga berasal dari
bumi. Terisap di hidung, masuk tenggorokan, tertahan di pusar, sebelum
disalurkan. Kenapa menjaga yang di hidung kalau bisa merampas yang berada di
pusat bumi?" "Itulah tenaga bumi!"
"Itulah tenaga yang kita mainkan, Kakek Guru."
"Kalau aku meraih tongkat?"
"Kenapa tidak dijajal saja?"
Gendhuk Tri memberanikan diri. Karena sebenarnya ia melihat gerakan Naga
Nareswara yang luar biasa cepatnya meraih tongkat emas di sampingnya. Atau
tongkat itu sendiri yang mendekat ke tangannya karena tenaga tarikan.
Dan nyatanya, tongkat itu terayun.
Gendhuk Tri mengepakkan keempat selendang ke tanah, tubuhnya terangkat ke atas.
Tangannya yang lentik menyusup maju.
"Tongkat Raja Segala Naga adalah tongkat emas dan pusaka yang diunggulkan, tak
nanti menyerang dengan lingkaran. Pasti dengan pantat. Pasti tak akan menyodok
bagian yang lemah seorang wanita.
Sehingga hanya akan menggertak. Biarlah selendang retak, asal bisa menjentik
jakun." "Jurus apa ini namanya?"
"Mpu Raganata tak pernah memberi nama untuk jurus-jurus yang diciptakannya. Ini
hanya disesuaikan dengan gerakan tari."
Dalam sekejap, Gendhuk Tri telah mengeluarkan semua ilmunya.
Melayang, menjentik, mencakar, dan menghindar. Dalam hati Gendhuk Tri tak habis
pikir, karena setiap kali tangannya mendekat, seperti terhalang tenaga yang tak
terlihat. Bahkan selendangnya mental kembali, seakan menyentuh gua berasap kuat.
"Tangan kiri ke arah jakun, tangan kanan ke arah mata. Telinga kiri pasti akan
miring. Dan kaki..."
Buk! Tubuh Gendhuk Tri jatuh ke tanah.
Sewaktu kakinya menendang ke arah ulu hati, ketika itulah seolah ada tenaga yang
mengisapnya. Gendhuk Tri tak mampu bertahan sehingga ambruk. Sementara tongkat
emas Naga Nareswara sudah berada di atas jidat Gendhuk Tri.
Tapi justru Gendhuk Tri terus menjatuhkan diri, merosot, dan berada di belakang
Naga Nareswara. Hanya saja sebelum kedua tangannya bisa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menyentuh telinga, terasa ngilu. Gendhuk Tri menjerit kecil, dan ganti lututnya
yang terangkat. Menyentuh punggung Naga Nareswara.
Lagi-lagi Gendhuk Tri berteriak kecil. Lututnya jadi beku karena seperti
menyentuh gundukan es! "Hebat, kamu hebat, Naga Alit.
"Selama ini tak ada yang mampu menyentuh tubuhku. Halayudha pun tak mampu. Kamu
sungguh luar biasa. Sungguh sayang kalau tulang yang begini bagus harus
dimusnahkan. "Kamu memiliki bakat kelewat hebat.
"Hmmm." Sembilan Lubang dalam Tubuh
GENDHUK Tri masih meringis.
Sekujur tubuhnya seperti kena sengat binatang berbisa. Hawa dingin dari tubuh
Naga Nareswara menyelinap ke dalam ulu hatinya. Hingga Gendhuk Tri megap-megap
mengatur napasnya. "Kelemahan Kakek Guru bisa saya baca."
"Kamu tahu apa yang kupikirkan?"
"Inilah Weruh Sadurunging Winarah. Tahu Sebelum Terjadi, tahu bahwa Kakek Guru
pasti tak menduga bahwa dari suatu tarian, penari perempuan bisa menaikkan
tangan lebih tinggi daripada pundaknya.
Bahwa penari perempuan tak diduga akan mengangkat tinggi lututnya.
"Karena Kakek Guru berpikir bahwa gerakan tarian bukanlah gerakan yang membuka
kedua kaki dan mengangkat tangan lebih tinggi daripada pundak, saya menyelinap
dari itu. "Dan nyatanya berhasil, meskipun tenaga Im Kakek Guru lebih dahsyat."
"Siapa yang mengajarimu mengenali tenaga Im segala macam?"
"Siapa lagi kalau bukan Kiai Sangga Langit"
"Bukankah tenaga Im adalah tenaga dingin, yang tak bisa dilawan dengan tenaga
panas. Yang hanya bisa diungguli dengan tenaga lebih dingin lagi" Kalau tak
mungkin, tenaga dingin Kakek Guru harus dipancing menjadi tenaga lebih terasa
dingin?" "Kamu tahu cara melatih tenaga dingin?"
Gendhuk Tri menggeleng. "Saat itu dan sekarang ini, saya tak ingin mempelajari tenaga dingin.
Itu sama saja dengan mempelajari Penolak Bumi. Saya lebih suka mempelajari
tenaga Bumi, dibandingkan dengan tenaga Penolak Bumi."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aneh, kenapa kamu menolak, Naga Alit?"
"Karena saya tak mau menjadi kakek-kakek seperti Kakek Guru. Saya tak tahan
harus bersabar berada di gua seperti ini menanti menerobos ke luar sekarang
juga." "Kamu keliru, Naga Alit.
"Mari kuajarkan tenaga Im padamu."
Empat selendang Gendhuk Tri mengembang, menolak tangan Naga Nareswara yang
terjulur. Akan tetapi sia-sia.
Ujung jari Naga Nareswara telah menyentuh pundak. Gendhuk Tri menjadi menggigil.
Seolah ada serpihan air gunung yang murni, maha dingin, menyelusup ke dalam
tubuh Gendhuk Tri. Gigi Gendhuk Tri sampai bergemeletuk.
"Jangan menolak, jangan memperkirakan apa yang kulakukan, Naga Alit. Berpuluh
tahun aku melatih tenaga ini, baru sekarang kusalurkan.
Dewa di langit tak seberuntung kamu."
"Saya tidak menolak, Kakek Guru," jawab Gendhuk Tri gemetaran.
"Tetapi Kakek Guru keliru menyalurkan tenaga dalam." Naga Nareswara melengak.
"Kamu tidak bergurau, Naga Alit?"
"Kalau nyawa saya rangkap tujuh, saya tetap tak berani bergurau dengan Kakek
Guru. Kakek Guru menyalurkan lewat satu tenaga saluran."
"Apa itu?" Naga Nareswara menarik kembali tangannya.
"Dalam tubuh manusia ada sembilan lubang, dan Kakek Guru hanya menyalurkan lewat
satu lubang." "Sembilan?" "Hawa sanga, atau sembilan udara bisa mengalir masuk ke dalam tubuh. Lewat dua
mata, dua telinga, dua lubang hidung, satu mulut, dua lubang di bagian bawah
tubuh." "Ah." "Dalam ilmu Weruh Sadurunging Winarah, kita bisa memecah perhatian, membagi
perhatian antara yang kita lakukan dan yang kita pikirkan.
"Satu tangan membuat lingkaran, satu tangan lagi membuat kotak, satu kaki
membuat segi tiga, satu kaki lagi..."
"Hebat. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kita coba." Gendhuk Tri makin menggigil!
Kalau tadi hanya satu tenaga, sekarang seperti kerasukan sembilan kali lipat!
Kalau saja Halayudha mengetahui hal ini, ia bisa mati berdiri!
Siapa nyana Gendhuk Tri bakal menerima tenaga murni dari Naga Nareswara"
Inilah perjalanan nasib yang susah diterka!
Gendhuk Tri sejak lahir selalu mengalami pergolakan batin dan terlihat dalam
berbagai peristiwa yang menggetarkan. Menjadi anak-murid Mpu Raganata tanpa
disadari. Kemudian berkelana dengan Jagaddhita yang tenar. Terkurung dalam Gua
Lawang Sewu sehingga tubuhnya dipenuhi racun maha ganas. Dan akhirnya berhasil
ditawarkan lewat tenaga murni oleh Upasara Wulung.
Dan sekarang dijejali lagi dengan tenaga dingin dari Naga Nareswara.
Memang, penyaluran tenaga Naga Nareswara berbeda dari penyaluran tenaga Upasara
Wulung. Yang terakhir ini sengaja memberikan tenaga dalamnya untuk menguras
tenaganya sendiri. Sedangkan Naga Nareswara tidak sepenuhnya begitu.
Meskipun memang dengan menyalurkan tenaga dalam, kekuatannya sendiri menjadi
berkurang untuk sementara.
Dalam hal ini kecerdikan Gendhuk Tri tiada tandingannya. Bahkan Halayudha yang
sangat licik tak mampu berpikir seperti Gendhuk Tri.
Dengan segala kepolosan dan kenakalannya, Gendhuk Tri bisa menyudutkan Naga
Nareswara sehingga ia harus rela dipanggil sebagai
"raja segala tikus celurut", atau terpaksa memanggil Gendhuk Tri dengan sebutan
Naga alit. Dengan segala akalnya, Naga Nareswara terpancing mengetahui ilmu Weruh
Sadurunging Winarah, dan sekaligus menganggap Gendhuk Tri sebagai cucu-muridnya.
Dan yang penting, dengan mengatakan babakan hawa sanga, Gendhuk Tri
memperkenalkan cara mengatur pernapasan yang baru.
Setidaknya bagi Naga Nareswara. Adalah tepat perhitungan Gendhuk Tri bahwa
kemudian Naga Nareswara benar-benar menjajal. Ini berarti memberikan tenaga
dalam lipat sembilan kali!
Sebenarnya memang ada sesuatu yang berlebih dalam diri Gendhuk Tri. Secara tak
terterangkan dalam artian dimengerti oleh Gendhuk Tri, ia telah mempelajari
Weruh Sadurunging Winarah sejak awal. Sehingga sebenarnya ia bisa mempelajari
ilmu lawan, kelemahan lawan, tanpa disengaja. Pancaindranya bekerja seperti yang
selama ini dilatih. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam kaitan dengan Naga Nareswara, secara tidak sadar Gendhuk Tri mengetahui
bahwa lawan yang dihadapi adalah tokoh kaliber Eyang Sepuh atau Upasara Wulung
di masa jayanya. Tokoh yang sakti mandraguna dan selalu haus ilmu kadigdayaan.
Lebih dari semua itu, Naga Nareswara memang sangat asing dengan lingkungan.
Entah sejak kapan berada dalam gua di bawah tanah ini.
Barangkali sejak dibangunnya Keraton Majapahit.
Ini berarti tak mengetahui banyak kejadian di luar.
Dan Gendhuk Tri dianggap Naga Nareswara memberikan banyak hal yang tak
diketahui, yang sangat diperlukan dalam rangka membalas dendam atas kekalahan
semua panglima perang dari Tartar.
Begitulah yang terjadi. Tubuh Gendhuk Tri membeku seperti es di pucuk gunung. Baru kemudian Naga
Nareswara beristirahat. Menunggu sampai Gendhuk Tri sadar, dan kemudian sambil
menjajal ilmu silat lagi. Gendhuk Tri memberikan apa-apa yang diketahui.
Beberapa gerakan, rahasia dari gerak dan tarian yang dimengerti.
"Kiblat papat lima pancer adalah arah yang selalu dituju dalam gerakan silat
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maupun gerakan tari. Empat mata angin dan menjadi lima dengan yang berada di
pusat. "Begitulah yang diajarkan kepada saya, Kakek Guru."
"Aku mengerti, Naga Alit.
"Kenapa Mpu Raganata sejak semula tak memberi nama pada jurus-jurus yang kamu
mainkan" Apakah mungkin seorang tokoh menciptakan jurus tapi tidak memberi
nama?" Gendhuk Tri menghela napas.
"Pasti ini bukan sekadar keanehan. Naga Alit!
"Kitab Bumi saja dengan jelas-jelas merinci semua jurusnya, dan ada
kidungannya." Gendhuk Tri menghela napas lagi.
"Eyang Guru Mpu Raganata pada saat itu setara dengan Eyang Sepuh. Ilmu kedua
tokoh itu telah mencapai puncak dari pengolahan diri sejati.
"Tak bisa dibedakan mana yang lebih sakti. Tak bisa dibedakan mana yang lebih
unggul. "Yang bisa diketahui hanyalah, inti dasar kedua ilmu linuwih ini ada bedanya,
tapi banyak miripnya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya sadar kenapa saya tak bisa meresapi Tepukan Satu Tangan.
Karena pada dasarnya ilmu ini masih mempercayai pemberian nama, meskipun isinya
penolakan. "Sebenarnya Weruh Sadurunging Winarah lebih dekat dengan Jalan Budha. Karena
gerakan dalam jurus-jurus ini intinya adalah gerak.
Bukan menirukan gerakan burung, belalang, atau harimau. Kibasan selendang tidak
mencoba menciptakan tenaga seperti sesuatu. Akan tetapi murni sebagai gerakan.
"Tarian itu adalah gerak.
"Gamelan itu adalah bunyi.
"Gambar itu adalah coretan."
Naga Nareswara mengangguk. Dalam sekali. Menghela napas lega, Kuburan Tujuh
Turunan HELAAN napas Naga Nareswara terdengar kembali.
Kali ini memberat. "Sungguh tepat ungkapan yang kudengar. Di atas gunung masih ada gunung, di atas
awan ada awan. Dalam rimba persilatan, selalu ada pendekar yang lebih lihai.
Ilmu tak mengenal pantai sebagai batas.
"Di tanah yang begini banyak tikus celurut ternyata tersimpan berbagai ilmu
kanuragan yang merupakan ilmu sejati.
"Sungguh luar biasa.
"Naga Alit, begitu jauh aku mengembara. Begitu lelah aku melangkah.
Akan tetapi baru sekarang ini aku menyadari bahwa gerak adalah inti ilmu silat
yang tak menirukan sesuatu. Bahwa bunyi adalah irama.
Bahwa coretan adalah gambar.
"Hmm, ada benarnya kamu mengatakan bahwa Weruh Sadurunging Winarah dekat dengan
Jalan Budha. Karena keduanya mengetahui apa yang akan terjadi. Jalan Budha
menuju nirwana, kesempurnaan yang sejati.
"Naga Alit, dalam usiamu yang begitu muda, kamu mengenal ilmu yang sejati. Ini
nasib yang luar biasa bagus. Akan tetapi aku sudah bertekad untuk membunuh siapa
pun yang nampak berbakat. Karena akan menjadi lawan yang menyulitkan di belakang
hari. "Cepat atau lambat aku akan membunuhmu."
Gendhuk Tri mendongak. "Kakek Guru belajar dari pengalaman semua Naga yang kalah dan tertipu. Itu cara
mengambil pengalaman yang baik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kakek Guru salah melihat. Membunuh saya sekarang ini ibarat kata tinggal
membalikkan telapak tangan. Lebih mudah menarik napas atau mengedipkan mata.
"Kakek Guru tak pernah memperhitungkan Halayudha."
"Tikus itu tak seberapa bahayanya."
"Di sini Kakek Guru salah duga."
"Tidak mungkin."
"Halayudha adalah senopati biasa. Tanpa jasa kepada Keraton. Akan tetapi pangkat
dan derajatnya sekarang ini paling penting. Bisa menjadi pendamping Baginda.
Bukankah ini menunjukkan akal muslihat yang licin"
"Kakang Upasara bisa diakali, secara langsung atau tidak.
"Para senopati terpilih bisa diadu satu sama lain.
"Bahkan ketiga Kama dari Jepun bisa diperdaya.
"Apakah ini kurang membuktikan kelicikannya" Dengan aji sirep, Halayudha mampu
menjungkirbalikkan peristiwa yang ada."
"Itu hanya sepersepuluh dari ilmu sirep yang kumiliki. Tak bakal menyejajari
diriku." "Seekor raja segala Naga bisa dikalahkan oleh seekor tikus karena
kesombongannya. "Dan kalau sudah begitu yakin, untuk apa menunda waktu untuk membunuh saya?"
Naga Nareswara nampak menyesal.
Untuk pertama kalinya Gendhuk Tri melihat kekecewaan.
"Tenaga Im dalam tubuhmu akan membunuhmu, cepat atau sangat cepat sekali. Kamu
tak akan tahan. "Tenaga dalam itu bisa kaugunakan selama kau bisa mengatur pernapasan. Akan
tetapi kalau tak tahu caranya, tenaga itu akan menghancurkanmu.
"Itulah yang dikatakan takdir, Naga Alit!"
Itulah takdir, pekik Gendhuk Tri dalam hati.
Sejak semula sudah dirasakan bahwa tenaga dalam Naga Nareswara yang dingin
membuatnya tersengal-sengal, dan napasnya menjadi tidak teratur. Hidungnya
seperti berair-beku terus-menerus. Kadang menjadi longgar sendiri, akan tetapi
jika beristirahat atau tertidur terasakan betul gangguannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Beberapa kali Gendhuk Tri berusaha mengatasi, akan tetapi tenaga dingin-beku itu
malah membuatnya menggigil.
Ujung jari dan ujung kaki malah membiru.
Hanya dengan terus menggerakkan tubuh, warna biru lebam itu terusir. Akan tetapi
mulai terasa menggigit-gigit jika berdiam diri.
Naga Nareswara memang tak bisa diakali!
Tenaga dalamnya terpancing, akan tetapi tidak diberikan percuma.
Naga Nareswara menjadi sangat curiga dan hati-hati semua sepak terjangnya.
Karena tak ingin mengulangi kegagalan para senopati Tartar yang gagah tapi bisa
dipecundangi. Bagi Naga Nareswara, tak ada orang lain yang bisa dipercaya. Tidak juga bayangan
tubuhnya sendiri! Untuk perintang waktu, Gendhuk Tri berlatih gerakan-gerakan silat yang
diketahui, sementara Naga Nareswara memberi petunjuk di sana-sini untuk
memperkuat gerakan. Mereka berdua berlatih sesaat. Jika Gendhuk Tri kelihatan
makin bersemangat, makin menggebrak kian-kemari, Naga Nareswara akan menyalurkan
tenaga dalamnya kembali. Gendhuk Tri menggigil kembali.
Tersiksa hawa dingin lagi.
Tapi inilah satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Sampai Naga Nareswara turun
tangan membunuhnya. Atau, kesempatan kecil yang membersit dalam pikiran Gendhuk
Tri adalah saat Halayudha muncul.
Ia bisa memakainya sebagai cara untuk meloloskan diri.
Inilah yang membuat Gendhuk Tri terus bertahan.
Tapi dugaannya keliru. Naga Nareswara menyalurkan tenaga dalam berlebihan,
sehingga tubuh Gendhuk Tri membeku. Tak bisa menggerakkan ujung jari atau
berteriak. Saat itu Halayudha datang!
Sehingga Gendhuk Tri yang disembunyikan di belakang punggung Raja Segala Naga
hanya bisa mendengar dengan mata berkedip.
"Tikus celurut Jawa, kenapa kamu dustai aku?"
Halayudha menyembah dengan hormat.
"Biarlah langit dan bumi mengimpit tubuh saya, kalau ada satu kata yang saya
dustakan." "Hmm. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa kamu katakan Upasara masih mempunyai kekuatan kalau nya-tanya kini telah
menjadi cacat seumur hidup" Kenapa ketiga Kama yang kamu akali..."
Gendhuk Tri masih sempat melihat Halayudha menarik napas dalam.
Tapi mendadak tubuhnya terayun ke belakang, dan serta-merta kakinya mengentak
tanah sementara kedua tangannya mengeluarkan pukulan keras sekali ke arah tepi
dinding gua. Luar biasa! Gendhuk Tri tak pernah membayangkan bahwa Halayudha ternyata mempunyai ilmu
silat yang begitu tinggi. Caranya melemparkan tubuh ke belakang, dan dalam satu
gerakan yang sama kaki menjejak tanah dan melontarkan dua pukulan bertenaga
sungguh luar biasa. Pengerahan tenaga bersamaan dalam gerak yang bertentangan!
Lebih luar biasa lagi akibatnya.
Terdengar bunyi gemuruh. Seakan bumi dijungkirkan, atau ada gempa besar melanda.
Batu-batuan dan tanah yang basah ambruk ke bawah.
"Kuburan ini cukup untuk tujuh turunan.
"Cukup aman untukmu, Naga siluman."
Suara Halayudha terkalahkan bunyi bebatuan dan tanah longsor yang berjatuhan
terus-menerus. Gendhuk Tri melihat Naga Nareswara meraih tongkat emasnya dan menggempur. Batu
dan tanah lebur menjadi debu. Akan tetapi sia-sia belaka. Karena guguran tanah
makin banyak, makin terus-menerus, makin mengurung. Sehingga hanya tersisa
tempat di mana Naga Nareswara berdiri sambil menggerakkan tongkatnya.
Agak lama baru guguran tanah dan batu berhenti.
Dalam gelap, Gendhuk Tri menyadari betapa kecewanya Raja Segala Naga. Jawara
utama dari Tartar yang merencanakan segala sesuatu dengan cermat, dengan teliti,
akhirnya terkubur hidup-hidup secara sia-sia. Dikalahkan dengan kelicikan.
Oleh lawan yang paling dibenci dan dicurigai sebagai tikus celurut!
Gendhuk Tri mengerti bahwa setelah terbuka kedoknya, Halayudha tak mau mengambil
risiko sedikit pun. Ia meloncat mundur dan menutup gua, yang memang sudah
direncanakan bisa ditutup secara mendadak. Persiapan kelicikan yang tiada
taranya. Bahkan batu-batuan dan tanah itu sudah dioles dengan tetes gula serta
putih telur - yang pasti jumlahnya sangat banyak sekali. Sehingga bisa membeku
dalam waktu tertentu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sepandai apa pun, Naga Nareswara tak bisa menembus dinding runtuhan. Karena
Halayudha telah mempersiapkan dengan saksama.
Sesaat Gendhuk Tri lupa akan dingin tubuhnya.
Kalau ia menggigil, itu karena soal lain.
Gendhuk Tri pernah terkubur dalam Gua Lawang Sewu yang menyesakkan napas, akan
tetapi tetap tidak seseram kenyataan yang dialami sekarang ini.
"Naga Alit, inilah takdir."
Tangan Naga Nareswara menyentuh tubuh Gendhuk Tri, menghilangkan kebekuan urat-
urat tubuh dan bibirnya. "Percuma. Lebih enak beku, Kakek Guru. Bergerak juga susah."
"Nyalimu gede."
"Lebih baik tetap bernyali Naga, daripada bergelar Naga tapi nyalinya lebih
kecil dari tikus. Setidaknya Kakek Guru masih bisa hidup lebih lama dari saya.
Tubuh saya bisa dimakan untuk memperpanjang usia."
Naga Nareswara menggelengkan kepalanya.
"Hebat. Kamu ini hebat. Sekali tarik napas, aku bisa membunuhmu.
Tapi kamu tak gentar. Hebat. Oho, ternyata tanah Jawa ini penuh dengan tikus
licik dan Naga hebat. Kenangan akhir yang kubawa ke kehidupan nanti."
Pengembaraan Bersahaja KETIKA itu, Upasara Wulung sudah jauh meninggalkan Perguruan Awan.
Berjalan tanpa tujuan di awalnya. Mengikuti suara hatinya. Baru kemudian sadar,
bahwa masih ada yang ingin dilakukan dalam hidupnya. Masih ada dharma yang bisa
dilakukan. Yaitu membalas budi Pak Toikromo.
Seorang penduduk biasa, yang dalam perjalanan takdir dipertemukan dengannya.
Seorang kusir pedati bersahaja dengan keinginan yang membuat Upasara merasa
begitu mulia. Mengangkat sebagai menantu.
Akan tetapi justru dari keinginan yang begitu sederhana, Pak Toikromo terseret
sampai ke Perguruan Awan, sebagai tawanan.
Selama ini Upasara merasa sangat berdosa kepada Pak Toikromo.
Maka keinginannya adalah menemui Pak Toikromo untuk meminta maaf.
Setidaknya ini akan membuat hatinya lebih ringan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara merasa banyak kekeliruan yang dilakukan dalam hidupnya, akan tetapi
kekeliruan yang membuatnya menyesal adalah menyeret kehidupan Pak Toikromo.
Dengan mengandalkan ingatan masa lampau, dan bertanya kiri-kanan, Upasara
berusaha mencari tempat tinggal Pak Toikromo yang belum diketahui.
Maka cukup melegakan bahwa akhirnya rumah itu bisa ditemukan.
Sebuah rumah yang sangat sederhana.
Rumah dari tanah, dengan atap daun kelapa. Di kesunyian rimbunan pepohonan.
Upasara berdebar ketika mencoba masuk ke halaman.
Rumah itu tertutup. Pedati yang dulu ada di pekarangan sebelah. Tanpa sapi.
Upasara ragu. Termangu. "Nak Upa..." Suara bersahaja yang mampu menggetarkan sukmanya.
Upasara menoleh ke arah datangnya suara.
Wajah seorang lelaki tua, sebagian tertutup caping daun kelapa kering yang
sobek-sobek di bagian pinggir. Dada telanjang, hitam oleh cahaya matahari,
dengan urat-urat yang mirip tanah tanggul di persawahan.
Wajah penduduk biasa. Wajah sangat sederhana. "Bapak..." Entah dari mana datangnya kemampuan Upasara untuk mengucapkan kata itu. Sesuatu
yang tidak dimengerti. Terlontar begitu saja. Meluncur begitu saja.
Dan membuat Upasara seperti dirobek ulu hatinya!
Seumur hidupnya, ia belum pernah mengucapkan sebutan "Bapak".
Tidak juga kepada Ngabehi Pandu yang mendidik dan mengajarinya ilmu silat!
Ucapan yang biasa itu mempunyai makna yang dalam, justru karena Upasara tak
mengenal siapa bapak kandungnya yang sesungguhnya.
Apakah Ngabehi Pandu, atau Baginda Raja Sri Kertanegara!
"Akhirnya kamu datang juga, Nak Upa.
"Masuklah, duduklah di dalam. Rumah ini sejak lama tak pernah dibuka."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara menunggu. Pak Toikromo membuka pintu dari dalam. Upasara masuk. Duduk di bambu tua yang
sudah kehilangan warna. Tertutup debu.
Entah berapa lama pintu depan tak dibuka. Entah berapa lama bambu ini tak
diduduki. "Saya datang untuk ngabekti."
"Saya terima pangabektenmu, Nak Upa.
"Ya, begini ini gubuk bapakmu. Gubuk paling gagah di dusun ini.
Bapak sudah tua, tak bisa memanjat pohon kelapa."
Napas Upasara tersengal. Air matanya menggumpal. Inilah tangisnya yang pertama yang disadari. Dan Upasara merasa ikhlas, lega,
meneteskan air mata. Apa lagi yang akan dikatakan atau akan didengar" Yang dialami sekarang ini lebih
jelas dari segala kata, lebih nyata dari segala penjelasan.
Sebuah rumah sederhana. Di tengah pedusunan sederhana. Jauh dari intrik Keraton.
Udara, tanah, yang sederhana, seadanya.
Seorang lelaki, penduduk Majapahit atau Singasari yang tak pernah terlibat
langsung dengan pergantian kekuasaan, tak pernah terikat dengan ayunan pedang
siapa lebih tajam, keris siapa yang lebih mengiris. Tetapi yang tak bisa
melepaskan diri dari terkaman kejadian.
Inilah gambaran kenyataan!
Apa artinya ilmu segala ilmu yang dipelajari, kalau ternyata seorang seperti Pak
Toikromo - yang jumlahnya banyak sekali - tak pernah merasakan artinya"
Apa artinya pembangunan Keraton yang megah dan dahsyat, kalau ternyata Pak
Toikromo tak menikmati"
Apa artinya peperangan demi peperangan bagi seorang Toikromo selain
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperpanjang penderitaan"
Apa artinya disesali, kalau bagi Toikromo sendiri ini semua bukan sesuatu yang
harus disalahkan" Tak ada tuduhan. Tak ada pertanyaan yang menggugat dalam penampilan Pak
Toikromo. Wajah itu, di mata Upasara, tak menyembunyikan apa-apa.
Bersahaja. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seperti juga ceritanya, yang disuarakan dengan sikap menerima, dan bahagia.
"Sapi bapakmu ini sudah tak ada, Nak Upa. Diambil yang punya.
Anak bapakmu yang dulu saya janjikan untuk dikawini Nak Upa, sudah ketemu
jodohnya. "Anggota keluarga juga sudah tak ada.
"Tinggal bapakmu ini. Makin tua." "Bapak..."
"Syukur, kamu tetap mau memanggil dan mengakuiku sebagai bapakmu.
"Tenangkan hatimu di sini, Nak Upa."
Tak ada pertanyaan apa-apa dari Pak Toikromo. Tidak juga mengenai peristiwa di
Perguruan Awan dulu itu. Hanya Pak Toikromo merasakan ada kegelisahan dalam diri
Upasara. Itu sebabnya ada kata untuk
"menenangkan". Itu yang kemudian dirasakan Upasara.
Upasara mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa inilah akhir pengembaraannya.
Batinnya telah berkelana begitu jauh, melewati puncak-puncak yang menegangkan,
pertarungan mati-hidup. Inilah muara. Inilah rumah. Upasara mulai dalam kehidupan yang biasa, menemani Pak Toikromo. Menengok
tegalan, melihat tanaman singkong, pepaya, mencari kayu bakar. Mencari air dari
sungai untuk menyirami tanamannya. Memberi makan ayam-ayam.
Tiba-tiba semua menjadi bermakna bagi Upasara.
Jauh lebih berharga dari berbagai pengalaman hidupnya selama ini.
Baik semasa di Keraton, ataupun pengembaraan sampai ke Perguruan Awan.
Cara hidup yang sesungguhnya, kata Upasara dalam hati.
Di Perguruan Awan, ia bisa menikmati matahari terbit dan tenggelam.
Akan tetapi itu dari sudut pandang yang berbeda dari sekarang ini.
Betapa sesungguhnya perjalanan hidupnya selama ini kosong!
Kelelahan malam membawa tidurnya pulas.
Embun dan sinar pagi membangunkan, membuatnya bergegas mencari air ke sungai,
melihat tanaman di tegalan, mencari kayu bakar kembali, dan merebus ubi.
Pergi ke kandang ayam sambil menghitung telur.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bapak ini sengaja memelihara ayam, karena percaya suatu hari kamu akan datang
kemari, Nak Upa." "Barangkali doa Bapak yang menuntun langkah saya."
"Juga tebat di dekat sungai. Di sana ada ikan yang sudah gemuk-gemuk. Bapakmu
ini yang memelihara. "Kalau mencari ikan di sungai, bapakmu ini akan menyimpan di tebat itu. Bisa
untuk makan Nak Upa nanti.
"Ada saatnya banjir selalu datang, dan tebat itu tergenang. Ikan-ikan kembali ke
sungai. Tebat itu kosong. Tapi bapakmu ini akan mencarinya lagi di saat air
sungai surut. Beberapa ikan yang dulu, yang sekarang bertambah gemuk, masih bisa
bapakmu kenali dengan baik. Meskipun pandangan mata mulai lamur, tapi bapakmu
ini masih mengenali, Nak Upa.
"Akhirnya kamu datang juga, Nak Upa. Dewa yang Mahaagung sungguh murah dan maha
welas asih. Baginda Raja sungguh melindungi doa penyembahnya.
"Kamu datang, Nak Upa."
Upasara makin tenteram, makin kerasan, makin bahagia. Serasa menemukan apa yang
selama ini dicarinya. Rasa bersyukur yang dimiliki Pak Toikromo. Mengumpulkan
ikan dari sungai yang setiap banjir lepas kembali. Rasa syukur kepada Dewa, dan
juga kepada Raja, seolah kemuliaan dan kebajikan Rajalah yang membuat Upasara
datang padanya. Betapa remuk hati Upasara ketika suatu siang sepulang dari sungai, Upasara
mengetahui rumah yang dihuni Pak Toikromo sudah rata dengan tanah! Pedati yang
telah rongsokan itu pun dihancurkan. Hanya tinggal bulu ayam bertebaran.
Duka Pun Tak Tersisa SESAAT Upasara seakan tanpa sukma.
Pandangan bengong tak percaya.
Dadanya seolah disodok dengan tonjokan yang membuat seluruh perasaannya tumpul
seketika. Mimpi yang buruk pun tak terbayangkan seperti ini kejadiannya.
Baru dalam napas berikutnya, Upasara sadar bahwa sesuatu yang mengerikan baru
saja terjadi. Sesaat berikutnya Upasara masih menduga bahwa ini semua ulah Nyai Demang untuk
memancingnya. Seperti dulu juga. Akan tetapi kemudian sadar bahwa dugaannya
adalah dosa yang sempurna. Sejahat apa pun, tak nanti Nyai Demang tega
menghancurkan rumah Pak KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Toikromo rata dengan tanah. Tak nanti bakal memorakporandakan kandang ayam!
Harapan Upasara hanyalah bahwa kejadian itu untuk mengagetkan jiwanya, akan
tetapi bukan keselamatan Pak Toikromo. Nyatanya itu harapan yang sia-sia belaka.
Setelah pandangan Upasara bisa melihat lebih jelas, matanya menemukan tubuh yang
sangat dihormati rebah di bawah roda yang hancur. Tangannya masih menggenggam
erat bulu-bulu ayam, yang agaknya berusaha dipertahankan sampai titik darah
penghabisan. Bagian leher dan dada teriris dengan bekas luka yang dalam dan lebar.
Tiga atau empat tulang iga tersayat putus.
Iblis laknat mana yang begitu kejam"
Apa kesalahan Pak Toikromo sehingga harus dihancurkan secara begitu mengenaskan"
Ini peristiwa macam apa lagi yang harus dihadapi"
Upasara jongkok. Memangku kepala Pak Toikromo seperti dulu memangku kepala
Ngabehi Pandu. Dengan perasaan pilu yang pekat. Air matanya bahkan tak bisa
menetes lagi. Tangannya yang gemetar dan dadanya bergerak-gerak terseret oleh
getar emosi yang tak bisa dikuasai.
Ngabehi Pandu, guru dan yang dianggap pengganti ayahnya, gugur dalam pertarungan
yang jujur. Pertarungan para ksatria. Sedangkan Pak Toikromo, meninggal karena
perlakuan semena-mena. Kematian karena kekalahan dalam pertarungan yang tak
seimbang! Kematian karena perbedaan kekuatan. Jelas lawan menggunakan senjata
yang berat dan mempunyai kemampuan ilmu silat. Sedangkan Pak Toikromo hanyalah
penduduk biasa. Upasara mengutuki dirinya!
Jarak antara rumah dan sungai tak begitu jauh. Ia datang dan pergi ke tegalan
untuk mengairi. Tapi toh tetap tak bisa mendengar sesuatu yang mencurigakan.
Sedikit pun tidak. Padahal robohnya rumah tua, hancurnya gerobak, serta jeritan
terakhir Pak Toikromo pastilah cukup jelas terdengar.
Dirinya patut dikutuk! Dirinya adalah manusia cacat! Tak bisa mendengar apa-apa lagi.
Bahkan juga tak mendengar jeritan kematian ayah yang begitu dihormati.
Tiga hari tiga malam Upasara menunggui di pinggir makam Pak Toikromo. Tiga hari
tiga malam Upasara mencoba merenungkan semua kejadian yang menghancurkan
pribadinya. Sejumlah pertanyaan tak terjawab. Apa sebenarnya kesalahan Pak
Toikromo" Apa sebabnya
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sampai dibunuh dengan begitu mengenaskan" Kalau karena perampokan, kenapa begitu
keji" Kalau bukan perampokan, apakah kematian Pak Toikromo karena dirinya"
Upasara makin merasa sesak dadanya.
Tumpat padat berdesakan berbagai macam perasaan. Apakah ia mendiamkan saja
peristiwa ini" Ataukah membalas dendam" Kepada siapa" Apakah ia mampu"
Betapa sengsaranya menjadi rakyat jelata. Di tangan perampok atau jago silat, ia
hanyalah alat permainan belaka. Tanpa bisa membela diri sedikit pun.
Duka pun tak tersisa ketika Upasara terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu,
setelah berdoa untuk terakhir kalinya. Di sekelilingnya tak ada tempat untuk
bertanya. Kalaupun ada rumah-rumah lain, letaknya sangat jauh. Akan tetapi
Upasara mencoba mendapatkan berita yang bisa dijadikan titik pangkal membalas
dendam atau menyelesaikan perkara.
Sebab ini berbeda dari pertarungan para jago silat, berbeda dari ketika secara
sengaja ia melepaskan tenaga dalamnya. Ini adalah kesewenang-wenangan yang tak
bisa dimaafkan. Upasara tak akan mati tenteram sebelum mengetahui kejadian yang
sebenarnya. Betapa kecewanya ia ketika mengetahui bahwa rumah terdekat pun mengalami hal
yang sama. Rata dengan tanah, tak ada lagi yang ditemui selain mayat suami-istri
dengan anak kecil, dengan bekas luka yang sama. Dan pada dua rumah berikutnya,
kejadiannya persis sama. Dengan penuh hormat, Upasara menguburkan semua jenazah yang ditemui. Walau kini
tenaga dalamnya tak ada lagi, Upasara masih bisa mengetahui bahwa si pembunuh
pastilah orang yang mempunyai tenaga dalam cukup kuat, dan mampu mengangkat
senjata berat. Semua korban terkena satu kali sabetan!
Walau Pak Toikromo dan korban lain bukan jago silat, akan tetapi bukan tak
mungkin mengadakan perlawanan seadanya. Akan tetapi dari bukti-bukti yang
dilihatnya, perlawanan itu tak terlihat sedikit pun.
Atau sebelum ada perlawanan mereka telah menjadi korban Pembunuh Bergolok Berat!
Dalam kobaran nafsu membalas dendam, Upasara mulai menyadari kembali
kemampuannya untuk berlatih pernapasan. Dengan kemampuan yang tersisa, Upasara
berusaha mengalirkan udara lewat hidung dalam satu tarikan kuat, menyalurkan
udara ke atas ubun-ubun, ke bawah lewat tulang belakang, dan dikumpulkan sekuat
mungkin dalam perut. Untuk diempaskan lewat lubang-lubang kulit tangannya yang
mengentak ke depan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan cara seperti ini Upasara mulai berlatih dari awal lagi. Akan tetapi,
setiap kali mencoba memusatkan pikiran, yang muncul dalam bayangannya adalah
wajah Pak Toikromo. Yang begitu bersahaja. Yang memandang tanpa dendam, tanpa
curiga. Yang pasrah tanpa perlawanan. Atau kadang berganti dengan wajah seorang
lelaki yang berjanggut lebat, membawa golok, matanya merah dan siap membabat
kepala Upasara. Atau tulang iga Upasara.
Sehingga pemusatan pikiran Upasara menjadi buyar.
Makin dipaksa, makin kacau.
Hingga napasnya menjadi tersengal-sengal, terbatuk-batuk, dan dadanya terasa
sakit sekali. Akan tetapi Upasara tak mau menyerah.
Semakin sakit, semakin dipaksanya. Semakin tersengal, semakin bengal ia
mengulang kembali. Sampai peningnya sempurna, dan Upasara seperti terseret dalam
lamunan tak menentu. Dan baru terbangun sendiri dengan pikiran dan raga yang
letih. Upasara memaksa terus. Baginya hanya ada satu cara. Mengembalikan tenaga dalam sebisanya dan membuat
terang siapa Pembunuh Bergolok Berat atau dirinya menjadi korban karenanya.
Jalan kedua ini dianggap lebih baik daripada jalan pertama!
Mati pun tak percuma, karena sudah berusaha!
Maka Upasara kembali berlatih.
"Betul-betul edan. Kalau tempayan sedang penuh air, bagaimana mungkin akan bisa
mengisinya?" Walau kini Upasara bagai orang cacat dan sedang linglung, akan tetapi jalan
pikirannya masih bisa bekerja dengan baik. Apalagi yang berkaitan dengan dasar-
dasar ilmu kanuragan. Bukan sesuatu hal yang luar biasa mengingat sepanjang
hidupnya selalu bergumul dengan hal itu.
Kalimat yang didengarnya adalah bagian dari dasar-dasar ilmu silat.
Bagian dari cara mengosongkan pikiran kalau mau mempelajari ilmu silat.
Kalau tempayan penuh berisi air, tak ada gunanya menambah air ke dalamnya. Hanya
akan tumpah belaka. Kalau tempayan itu perumpamaan tubuh Upasara, saat ini sedang penuh dendam dan
panas oleh secepatnya mengembalikan tenaga dalam. Jadi tak ada gunanya kalau
mencoba mempelajari pernapasan.
"Kalau cara seperti itu mau dipamerkan, aku sudah tahu sebelum kamu mengenal
dunia." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jawaban Upasara membuat tawa bergelak.
Yang tertawa adalah seorang lelaki yang wajahnya tertutup caping.
Hanya tangannya yang memegang tongkat, yang biasanya digunakan untuk menggiring
itik, bergerak-gerak. "Itu yang namanya edan. Sudah tahu tempayan penuh masih nekat dijejali air.
"Anak muda, siapa namamu dan apa maumu dengan berlatih cara pernapasan yang
sudah tak diajarkan karena sudah kuno itu?"
Upasara mendongak. Ganti tertawa. "Orang tua, siapa namamu dan apa maumu sok pamer ilmu pernapasan, yang tak bisa
dibedakan mana yang kuno dan mana yang baru" Selama masih mengisap udara dan
mengatur tenaga di dalam tubuh, apakah itu bisa disebut kuno atau baru?"
"Edan, kamu tahu tentang cara-cara melatih pernapasan. Tapi tenagamu kalah kuat
dibandingkan seekor itik."
"Seekor bebek bisa menggerakkan ekornya untuk mencari tenaga.
Seekor kumbang bisa menggerakkan sayapnya untuk terbang. Itulah tenaga utama.
Akan tetapi seribu ekor itik, seribu ekor kumbang, akan bergerak dengan cara
yang sama sejak diciptakan pertama kali. Tak nanti seekor itik atau bebek bisa
menarik seekor kuda."
Caping lelaki itu bergerak, berputar di kepalanya.
Menimbulkan kesiuran angin tajam.
"Kerahkan tenaga memutar ke kanan."
Bik Suka Bintulu CAPING yang tadinya berputar ke arah kiri serta-merta berubah ke arah kanan,
sesuai permintaan Upasara. Hanya saja karena gerakannya mendadak, caping itu
jadi terangkat ke atas. Namun Upasara tak bisa melihat dengan jelas, karena geseran angin dari tutup
kepala itu membuat matanya pedih.
"Itu namanya tenaga separuh yang kamu gunakan," kata Upasara gagah. "Tempayan
yang berisi air separuh, bisa digerakkan lebih mudah."
"Edan. Anak kemarin sore malah mengajari seorang bik suka."
Upasara membuka bajunya. "Aku tak tahu kalau Paman seorang bik suka. Maaf, terimalah pemberian milikku
seadanya." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara mengerti bahwa yang dihadapi adalah seorang bik suka, atau wiku, atau
biksu, atau pendeta yang meminta-minta. Maka sebagai tanda penghormatan, Upasara
memberikan bajunya, karena tak mempunyai sesuatu yang bisa diberikan.
Bik Suka sekali lagi memutar capingnya, dan baju Upasara tersangkut. Akan tetapi
dengan sekali putaran, baju itu kembali menutupi wajah Upasara.
Walau telah berusaha menangkis, akan tetapi tenaga dan kecepatan Bik Suka
mengatasinya. Sehingga tubuh Upasara bergoyang.
"Apakah Paman Bik Suka Bintulu?"
"Aneh. Kamu ini aneh dan edan. Bagaimana mungkin pengetahuanmu begitu hebat,
akan tetapi kemampuanmu begitu hina?"
Bik Suka Bintulu, atau Biksu Bintulu adalah istilah untuk menyebut seorang
pendeta dari kelompok yang suka menyebut dirinya Bintulu.
Istilah ini sebenarnya mempunyai arti poleng atau kotak-kotak seperti papan
permainan catur berwarna biru dan putih. Kelompok ini memang sebagai pendeta,
akan tetapi menolak pemberian.
Tentu saja Upasara mengetahui, karena selama dalam Ksatria Pingitan, boleh
dikatakan segala pengetahuan dan adat diajarkan.
"Maafkan saya, Paman Bintulu."
"Kamu sudah menghinaku sebagai peminta-minta, bagaimana mungkin aku memaafkan
begitu saja" Kalau setiap kesalahan bisa diakhiri dengan maaf, untuk apa ada
pembunuhan dan kebajikan?"
Upasara berdiri gagah. "Kalau memang ingin pamer kegagahan, untuk apa bicara soal maaf segala macam"
"Paman Bintulu, saya, Wulung, meminta maaf. Tetapi tidak berarti meminta ampunan
soal pembalasan penghinaan."
"Anak ayam seperti kamu berani mengaku elang?"
Upasara menjadi gondok. Nama Upasara Wulung adalah namanya yang sebenarnya. Yang
berarti Banteng Hitam. Wulung berarti hitam kebiru-biruan. Tapi wulung juga bisa
berarti elang. Arti terakhir ini yang tertangkap oleh Bintulu.
"Sekali pengemis tetap pengemis.
"Mana ada di jagat ini pengemis memberikan sesuatu, walau hanya maaf"
"Edan!" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mana ada seorang mengaku wiku selalu mengeluarkan kata-kata kotor?"
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Edan. "Eh, Wulung, siapa dirimu sebenarnya?"
"Saya adalah lelaki yang ingin membalas dendam kematian orangtua saya yang
dibunuh secara kejam."
"Majulah. "Akulah yang membunuh penduduk desa ini."
Tanpa pikir panjang, Upasara menggertak maju. Kedua tangannya terentang. Kedua
kakinya membuka kuda-kuda. Akan tetapi Bintulu hanya menudingkan tongkat
penggiring bebek. Ini saja sudah membuat Upasara menjadi ngilu. Kakinya yang
terangkat seperti kaku. Tak bisa digerakkan.
Karena nekat maju, tubuh Upasara jatuh ke tanah.
"Aku bilang maju, bukan tiduran!"
"Kalau menyalurkan tenaga lewat tongkat, masih harus mengerahkan tenaga di
pusar, kenapa berlagak?"
"Dari mana kamu tahu, Wulung?"
"Karena dada Paman Bintulu digerakkan lebih dulu. Tenaga yang disalurkan ke
tongkat akan menjadi lebih cepat jika disalurkan dari telunjuk. Tongkat itu
bagian dari telunjuk, yang tidak ditentukan keuntungannya dari panjangnya."
Kaki Bintulu mengentak tanah.
Hebat tenaganya. Getarannya membuat Upasara bangkit kembali, seolah dilontarkan tenaga tak
terlihat. "Nah, ini baru namanya tenaga kaki yang sesungguhnya. Padahal kalau jari
dilatih, kekuatannya tidak kalah dari telunjuk. Tetapi dasar pendeta gunung,
lebih bisa menggerakkan kaki daripada tangan."
Apa yang dikatakan Upasara membuat Bintulu mendehem kecil.
Apa yang dikatakan Upasara memang benar. Tenaga kaki lebih bisa digerakkan dari
tenaga jari. Kekuatan memainkan kaki memang menjadi ciri utama para pendekar
dari daerah pegunungan. Karena keadaan medan yang tidak rata, dengan sendirinya
latihan gerakan kaki menjadi lebih terlatih. Dengan salah satu cirinya, tubuh
bisa bergerak lebih enteng dan permainan kuda-kuda juga kokoh.
"Setan mana yang mengajarimu, Wulung?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apakah Paman Bintulu hanya bisa menyebut setan dan edan saja?"
"Sudahlah, jangan banyak ngomong. Kalau mau menuntut balas, cepatlah." "Paman
Bintulu, kenapa Paman membunuh Pak Toikromo?"
"Sudah menjadi adat dunia. Yang kuat membunuh yang lemah.
Untuk apa menanyakan alasan?"
"Bapakku tak bersalah."
"Memang tidak. "Aku hanya ingin membunuh saja. Sekali sabet, selesailah sudah.
Kalau kamu ingin menyusul, majulah. Aku tak akan membedakan cara membunuh."
"Coba saja. Apakah Paman Bintulu bisa merontokkan tulang iga dengan meninggalkan
luka menganga." Upasara menerjang. Dengan jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka. Kedua
tangannya terkepal dan menyeruduk maju. Tanpa menggerakkan tubuh, Bintulu
menggerakkan capingnya. Angin berputar yang muncul melibat tubuh Upasara dan
membantingnya ke tanah dengan putaran.
Pandangan mata Upasara berkunang-kunang.
Tapi segera berdiri. "Saya ingin dada saya dibelah, bukan dibanting dengan ilmu gasing anak-anak
seperti ini." Gertakan Upasara hanya untuk meyakinkan bahwa Bintulu pembunuh Pak Toikromo atau
bukan. Melihat bahwa Bintulu tetap termangu, Upasara jadi kurang yakin.
"Kenapa Paman mengaku sebagai pembunuh?"
"Apa bedanya aku yang membunuh orangtuamu atau bukan" Aku sudah banyak membunuh
orang tanpa mengetahui nama dan anak-anaknya. Kenapa itu kaurisaukan benar"
"Majulah lagi, kalau ingin kubelah dadamu."
Upasara berputar. Tubuhnya berbalik menjauh. Tiga langkah kakinya menjadi berat, dan tubuhnya
terseret. Kembali terbanting.
"Wulung, jawab yang benar. Siapa nama gurumu?"
"Baik, Paman dengar baik-baik." Upasara berdiri dengan gagah.
Walau seluruh tubuhnya ngilu-ngilu tapi digigitnya bibirnya untuk menahan rasa
sakit. "Guruku adalah Ngabehi Pandu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Siapa itu?" Upasara mengentakkan kaki ke tanah.
"Bagaimana mungkin Bintulu yang berilmu tinggi ini tak mengenal Ngabehi Pandu"
"Kalau tak kenal nama besar guruku, buat apa bertanya?"
"Segala macam Ngabehi saja diunggulkan. Tapi... edan... memang sebenarnya
Ngabehi Pandu membekalimu dengan ilmu yang benar, akan tetapi ternyata kamu anak
ayam yang kerdil." "Seorang senopati agung dari Keraton Singasari lebih pantas dikagumi."
"O, Ngabehi-mu itu wong Keraton" Siapa lagi yang jadi wong Keraton yang bisa
main silat?" "Mpu Raganata."
Upasara mulai bisa menebak-nebak bahwa tokoh yang dihadapi ini adalah seorang
tokoh yang belum begitu lama muncul dari pengasingan yang cukup lama. Maka ia
menyebutkan nama Mpu Raganata.
"Apakah ia prajurit baru?"
"Paman Bintulu, Paman sangat keterlaluan!"
Upasara bergerak kembali, akan tetapi sekali ini terasa udara panas membeset
tubuhnya! Dan darah mengucur dari dadanya. Luka melintang! Seperti yang dialami
Pak Toikromo dan beberapa korban yang lain.
Dengan geram Upasara berdiri kembali.
Akan tetapi kakinya makin sempoyongan.
"Ayo majulah. Akan kususul bapakku. Akan kutemani di alam sana."
"Edan!" Sekali ini tongkat kecil penggiring bebek bergerak cepat.
Bejujag, Tokoh Paling Kurang Ajar
UPASARA berkeringat dingin.
Dalam detik-detik terakhir, tubuhnya meringkuk dengan kedua tangan berusaha
melindungi. Kesiuran angin sangat tajam merobek.
Gerakan Upasara adalah gerakan seadanya, sebisanya seperti perlindungan diri
terakhir. Bahkan kedua matanya tertutup.
Terdengar suara keras, dan pohon mangga di sebelahnya roboh, terpotong melintang
dari satu sisi kanan ke kiri bawah!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pohon mangga saja terbelah terkena kesiuran angin tongkat penggiring bebek
Bintulu! "Ilmu iblis apa yang kamu mainkan, Wulung?"
Dalam nada geram, terdengar juga kesan kagum.
Upasara sendiri tak bisa menjawab segera. Tak bisa menerangkan dengan jelas.
Bahwa dari tubuhnya masih bisa keluar tenaga murni Bantala Parwa. Tenaga dalam
yang sudah dimusnahkan itu ternyata masih tersimpan, dan secara tiba-tiba
muncrat keluar, berhasil menangkis kesiuran angin maut Bintulu.
Bahwa inti tenaga murni Penolak Bumi adalah bersifat tenaga tumbal, tenaga yang
muncul untuk mementahkan dan mengenyahkan serangan yang mengancam, Upasara
sadar. Akan tetapi ternyata tenaga itu sekarang ini tak sepenuhnya bisa
dikuasai. Tenaga murni itu mengalir dengan sendirinya!
Karena sebelum keluar, Upasara telah sungsang-sumbel dan hampir saja binasa. Toh
tak bisa keluar. Upasara bercekat. Tubuhnya basah oleh keringat.
Sesaat tadi, ia merasa kematian telah datang menjemput secara paksa. Untuk
pertama kalinya, Upasara merasa enggan menerima kematian. Saat ini berbeda dari
saat ia membuang tenaga dalamnya, berbeda dari ketika Nyai Demang mengamuk.
Upasara merasa masih ada ganjalan untuk meninggal.
Masih ingin membalas dendam kematian Pak Toikromo!
Ataukah perasaan ini yang membuat tenaga murni muncul tak terduga" Rasanya tak
mungkin juga. Karena kini, ketika Upasara mencoba mengerahkan kembali, malah
dadanya yang terasa sakit.
Kalau tenaga murni macet, kematiannya hanyalah soal waktu. Maka Upasara menjadi
bercekat, tubuhnya berkeringat, seolah sedang menghadapi malaikat maut.
"Ilmu bisa menjadi iblis bisa menjadi dewa, tak perlu ditanyakan."
"Siapa gurumu?"
"Sudah saya katakan, saya adalah murid Ngabehi Pandu yang terhormat, senopati
Keraton Singasari. Teman baik yang terhormat Mpu Raganata, sahabat erat Eyang
Sepuh." Upasara sengaja menyebut nama tokoh-tokoh besar, agar Bintulu tak menjadi ganas
karenanya. Karena dengan mendengar nama-nama besar itu, bisa mengingatkan akan
sesuatu. Perhitungan Upasara, sekali lagi,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berdasarkan dugaan bahwa Bintulu adalah tokoh sakti angkatan tua yang kembali.
Dugaan itu benar, akan tetapi Bintulu tetap menggelengkan kepala.
"Mana aku kenal nama cecunguk-cecunguk itu"
"Tapi aku bisa memaksamu mengatakan siapa sebenarnya."
Bintulu menggenggam tongkat kurusnya.
"Begitu sombong Paman Bintulu menyebut dengan kata kotor pada pendiri Nirada
Manggala!" Kali ini upaya Upasara menemukan hasilnya. Kalau nama Eyang Sepuh, Mpu Raganata
maupun Ngabehi Pandu tak dikenali, nama Perguruan Awan ternyata membuat Bintulu
menahan napas sejenak. "Apa hubunganmu dengan si Bejujag itu?"
Upasara tak tahu siapa yang dimaksudkan dengan si Bejujag, yang bisa diartikan
sebagai seorang yang kurang ajar. Jangan-jangan salah satu nama yang bisa
dihubungkan dengan pendiri Perguruan Awan.
Dan itu bisa berarti... "Kalau memang kamu murid si Bejujag dan sengaja mau mengintip ilmu Tongkat
Penggiring Bebek, inilah kesempatan terbaik. Aku akan membunuhmu dalam satu
gerakan." Ternyata tetap saja niat Bintulu untuk membunuh!
"Tak perlu main sembunyi."
Belum Upasara mengerti sepenuhnya, sesosok bayangan telah muncul sambil
mengertakkan gigi dan mengayunkan tongkatnya secara keras.
"Kakang Galih!"
Teriakan Upasara lebih mencerminkan nada kuatir dibandingkan kegembiraan.
Karena Upasara menyadari bahwa Galih Kaliki yang suka menyerang secara sembrono
bisa menghadapi bahaya melawan Bintulu yang mampu memainkan tongkat kurusnya.
Gebukan tongkat galih asam ke arah caping Bintulu tak dihiraukan.
Hanya tongkat penggiring bebek disebatkan untuk menangkis.
Tongkat kurus bagai bambu yang sedang tumbuh menghadapi tongkat perkasa dari
hati pohon asam. Luar biasa! Upasara seakan tak percaya pada matanya.
Bahkan Galih Kaliki melongo.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tongkat galih asam terpotong di bagian ujungnya. Terpotong dengan goresan
miring! Inilah yang tak dinyana tak disangka.
Tongkat galih asam sudah lama malang melintang di dunia persilatan.
Puluhan atau ratusan kali diadu dengan segala senjata tajam pilihan.
Akan tetapi selama ini tak pernah mengalami lecet sekali pun. Maka sungguh tak
terbayangkan, hanya dengan sekali sabetan, tongkat perkasa itu somplak!
Tenaga ajaib macam apa yang dimiliki dalam diri Bintulu dengan tongkat
penggiring bebek, yang kelihatannya terayun-ayun terguncang angin"
"Kakang Galih... tahan "
Jeritan Upasara terlambat. Galih Kaliki telah mengeprukkan tongkat ke arah
caping Bintulu untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tenaga penuh.
Bintulu menggenggam tongkat penggiring bebek dengan dua tangan dan tubuhnya
berputar keras. Cepat sekali. Upasara sampai mundur terdesak oleh angin.
Tongkat galih asam membentur tongkat penggiring bebek untuk kedua kalinya.
Upasara menahan getaran dalam tubuhnya.
Tongkat galih asam somplak, terlempar ke udara dan jatuh di dekat tubuh Galih
Kaliki yang juga ambruk. Pada sebelah kanan dadanya terlihat goresan yang dalam
hingga ke pangkal paha sebelah kiri. Luka menganga dan seakan terlihat tulang-
tulang tubuh Galih Kaliki yang dilewati sabetan tongkat kurus itu terputus.
Ajal Galih Kaliki telah sampai sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
Sebelum sempat bertegur sapa dengan Upasara!
Alis mata Upasara bersatu. Seluruh darahnya seakan mengalir ke wajah. Darah
dendam kesumat membahana. Tangannya gemetar meraih tongkat galih asam yang telah
somplak. "Hmmm, jadi si Bejujag itu menyembunyikan kangkam dalam galih?"
Baru sekarang Upasara sadar bahwa tongkat yang selama ini dipergunakan oleh
Galih Kaliki adalah sarung pedang! Pedang hitam yang tipis. Kangkam Galih yang
agaknya dikenali oleh Bintulu!
Seumur hidupnya Galih Kaliki tak pernah mengetahui hal ini. Bahkan tak akan
percaya andai diberitahu bahwa tongkat andalannya ini sebenarnya hanyalah sarung
pedang! Warangka. Upasara tak banyak berpikir. Kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih dengan
pandangan bulat. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Apa pun yang kamu katakan, aku siap menuntut balas kematian orangtua dan
kakangku." "Edan. Hari ini aku membunuh dengan perasaan senang."
Bintulu bergerak. Upasara tak melihat gerakan, hanya merasakan angin tajam
menerjang keras ke arahnya. Dengan sepenuh tenaga, Upasara mengangkat tongkat
Kangkam Galih - pedang yang tersimpan dalam galih - untuk menangkis dan menerjang.
Akan tetapi karena tenaganya kurang tersalur sempurna, di samping pedang tipis
hitam itu sangat berat, Upasara menjadi sempoyongan.
Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya justru terbanting sebelum langkah ketiga!
Bintulu mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat tinggi!
Agaknya tak menduga bahwa Upasara melakukan gerakan yang tak sepenuhnya dikuasai
dan disadarinya. Nyatanya memang begitu.
Sewaktu menangkis tadi, Upasara menggerakkan pedang dengan serangan yang masih
bisa dihafal dan diketahui. Hanya karena tenaga dalamnya tak terkuasai, tenaga
membawa pedang hitam itu membuatnya terhuyung jatuh. Akan tetapi di luar
dugaannya, justru sewaktu tubuhnya akan menyentuh tanah ada tenaga menolak yang
membuat Upasara tegak. Begitu tegak, Upasara berniat menyerang kembali. Akan tetapi kejadian berulang.
Tubuhnya terseret oleh tenaga Kangkam Galih.
Sehingga makin limbung. Agaknya justru ini yang membuat Bintulu kaget dan meloncat tinggi.
Kalau tadi bisa membunuh Galih Kaliki tanpa mengubah posisi kaki dari tempatnya
berdiri, sekarang perlu menghindar!
Dodot, Kain Panjang untuk Hamba Sahaya
MENGETAHUI ada tenaga yang memberontak dari tubuhnya, Upasara tak mau
menahannya. Ia memusatkan pikirannya, dan membiarkan tenaganya tersalur ke arah
Kangkam Galih. Dalam sekejap, Upasara telah memainkan jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika secara
lengkap dan sempurna. Angin berkesiuran memancar dari tubuhnya, mengepung
Bintulu yang berloncatan. Karena agaknya Bintulu tak ingin tongkat penggiring
bebek bersentuhan dengan Kangkam Galih. Ini yang membuat dalam sekejap Upasara
bisa mendesak mundur. Bintulu meloncat mundur sekali lagi, akan tetapi kali ini Upasara menyabet
dengan ganas. Caping Bintulu terayun ke atas!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Barulah Upasara bisa melihat Bintulu.
Dan cemas dengan sendirinya.
Yang berada di depannya ternyata lelaki yang sudah tua, dengan rambut putih
beberapa helai. Selebihnya adalah wajah yang tanpa bentuk sama sekali! Hanya ada
semacam lubang untuk hidung -
ataukah mulut" - selebihnya gumpalan daging. Bahkan Upasara tak bisa menemukan
mana bagian matanya. Begitu banyak peristiwa ditemui Upasara, akan tetapi sekali ini tak terjangkau
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh akal sehatnya. Bintulu, jelas tokoh sakti mandraguna dari suatu masa yang telah lewat. Dilihat
dari usianya, bukan tidak mungkin lebih tua dari Mpu Raganata. Kemampuan dan
ilmu silatnya sungguh tiada tara. Galih Kaliki saja bisa disabet dalam dua
gerakan! Hati kecil Upasara terusik rasa iba.
Bintulu pastilah mengalami sesuatu yang sangat kejam di masa lalu.
Sehingga wajahnya hancur lumat. Tak tersisa mata atau mulut! Neraka iblis macam
apa yang telah terjadi"
Kalau dilihat dari sisi ini, Bintulu perlu dikasihani. Akan tetapi Bintulu pula
yang telah menewaskan orangtuanya, Pak Toikromo! Dan juga Galih Kaliki!
Dan Upasara telah bersumpah untuk membalas dendam.
"Edan! "Sungguh edan. Apakah si Bejujag itu mampu menyimpan dan mengembalikan nyawa
manusia" Apakah ia telah menjadi Maha wiku seperti yang diinginkan"
"Edan. "Wulung, apakah yang kamu mainkan barusan ilmu Menyimpan Nyawa si Bejujag?"
Biar bagaimanapun, Upasara masih mempunyai jiwa ksatria. Hatinya tergetar
melihat penderitaan Bintulu. Maka dengan hormat, Upasara melakukan sembah.
Setelah mengembalikan caping untuk menutupi wajah Bintulu, barulah Upasara
mundur dan menjawab. "Paman Sepuh Bintulu, yang baru saja saya mainkan adalah jurus-jurus Dwidasa
Nujum Kartika, atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
Yang kalau diteruskan dengan Delapan Jurus Penolak Bumi, dikenal sebagai ajaran
Kitab Bumi. "Apakah Paman Sepuh mengenali?"
"Edan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bagaimana mungkin kamu tanyakan aku mengenali atau tidak, kalau aku yang
menciptakan?" Ganti Upasara yang menjublak. Berbagai perasaan datang-pergi silih berganti.
"Aku tidak tanya nama jurus mainan anak-anak. Yang kutanyakan apakah si Bejujag
itu telah mampu melatih tenaga dalam Menyimpan Nyawa!"
"Maaf, Paman Sepuh, yang saya latih adalah pernapasan seperti yang diajarkan
dalam Bantala Parwa."
"Ngawur! "Aku tidak menciptakan cara berlatih napas semacam itu. Itu pasti akal-akalan si
Bejujag yang suka main gila.
"Wulung, kamu ini manusia macam apa sehingga begitu beruntung dalam hidupmu?"
Kembali Upasara terguncang.
Apa maksud omongan Bintulu yang seperti berusaha menjelaskan sesuatu ini"
"Kamu beruntung mempelajari cara pernapasan Menyimpan Nyawa.
Itulah latihan pernapasan yang dikembangkan oleh si Bejujag, padahal ilmu yang
murni, akulah yang menemukan. Akulah yang menciptakan apa yang kamu sebut
sebagai Bantala Parwa atau Kitab Bumi.
"Tapi Bejujag itu memang nasibnya selalu lebih baik. Kami bertiga sama-sama
manusia berkain dodot, kain panjang dan lebar, sebagai tanda hamba sahaya. Tanda
pengenal kaum paminggir, kaum yang tak diperhitungkan secara resmi. Kaum
pinggiran, kaum dodot. "Edan. "Bejujag percaya bahwa cara berlatih napas Menyimpan Nyawa adalah cara berlatih
yang sempurna. Karena tenaga murni latihan ini adalah tenaga yang tak akan
pernah bisa hilang. Tenaga yang kekal abadi.
"Aku tak percaya di jagat raya ini ada cara berlatih pernapasan seperti itu.
Tapi baru saja kurasakan bahwa Bejujag kampungan itu berhasil."
Terdengar helaan napas berat.
Upasara seperti tersadar. Bahwa Paman Sepuh Bintulu mengatakan apa adanya
tentang cara pernapasan yang disebut Menyimpan Nyawa.
Semacam latihan pernapasan, di mana setiap kali dilakukan dua kali dari
biasanya. Dalam Bantala Parwa yang dipelajari, hal inilah justru yang membuatnya bingung
dan putus asa. Karena seolah latihan pernapasan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mengulang, dan selalu dimulai dengan penolakan! Ternyata justru inilah
intisarinya! Tenaga murni Upasara telah dikeluarkan hingga habis tuntas. Akan tetapi,
sebenarnya dalam dirinya masih tersimpan penuh tenaga murni itu. Hanya saja,
tenaga murni semacam ini tak bisa dipergunakan secara langsung. Harus diubah
lebih dulu. Diubah menjadi tenaga murni yang bukan cadangan. Tenaga murni yang
bukan simpanan. Itu pula sebabnya, seakan tenaga murni itu hanya bisa keluar pada saat maut
nyaris merenggut! Karena pada saat seperti itu, secara tidak sadar tenaga dalam
Menyimpan Nyawa bisa keluar. Dan mengetahui bahwa tenaga murni itu harus diubah
lebih dulu, membuat Upasara sadar sepenuhnya.
Bahkan kini tenaga dalamnya yang dulu bisa dihadirkan kembali!
Tenaga murni yang tersimpan itu diubah menjadi tenaga murni yang bisa digunakan
sewaktu-waktu. Dengan demikian tenaga murni yang sebenarnya tetap terjaga utuh.
Ini yang disebut Paman Sepuh Bintulu sebagai cara melatih pernapasan Menyimpan
Nyawa. Satu kata kunci saja, membuat Upasara bisa menemukan kembali tenaga dalamnya.
Dan yang memberitahu, justru musuh besarnya. "Terima kasih atas penjelasan Paman
Sepuh." "Edan. "Selama ini aku mempelajari, menciptakan, ternyata sia-sia belaka.
Bejujag itu masih bisa mengatasi."
Upasara menyembah dengan hormat dan tulus.
"Maafkan saya, Paman Sepuh, siapakah tokoh sakti yang selalu Paman Sepuh sebut
sebagai Manusia Kurang Ajar?"
"Siapa lagi kalau bukan Bejujag yang paling kurang ajar?"
"Apakah... apakah... yang Paman Sepuh maksudkan Eyang Sepuh yang mendirikan
Perguruan Awan?" Caping Bintulu bergoyang-goyang.
"Bejujag itu menyukai nama kosong. Untuk apa kalian begitu menghormatinya dengan
memakai sebutan Eyang Sepuh dengan nada begitu hormat" Ia tak lebih dari si
Kurang Ajar yang tak tahu malu, mengakali ilmuku."
Kali ini Upasara yang menghela napas berat.
Seluruh tokoh di tanah Jawa begitu menghormati nama agung Eyang Sepuh - mulai dari
penduduk biasa, para ksatria, pendeta, sampai
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dengan Raja - akan tetapi kini dengan enteng saja disebut Bejujag yang mencuri
ilmu! "Paman Sepuh, tadi Paman Sepuh menyebut bertiga. Siapa tokoh yang bertiga?"
"Edan. "Wulung, kenapa kamu memaksa aku mengingat nama manusia yang tak berbakat itu"
Manusia yang lebih mementingkan duniawi daripada yang rohani. Manusia yang lebih
mementingkan raga dibandingkan nyawa" Manusia yang lebih mementingkan nata atau
kebangsawanan daripada dodot sebagai asal-usulnya sendiri?"
Bagi Upasara, kini segalanya lebih jelas.
Pada masa yang telah lama, ada tiga kaum dodot yang menjadi ksatria. Mereka
bertiga ini kelak kemudian hari terkenal dengan nama yang harum. Yang paling
kurang ajar, kemudian menjadi Eyang Sepuh, tokoh yang paling dihormati. Yang
dianggap mementingkan keragaan, menjadi Mpu Raganata. Yang ketiga, atau yang
pertama, adalah yang tak pernah dikenal selama ini. Yang sekarang dipanggil
Upasara sebagai Paman Sepuh Bintulu.
Ada benarnya, kalau diingat bahwa Eyang Sepuh yang kemudian mendirikan Perguruan
Awan, dan Mpu Raganata yang mengabdi kepada Baginda Raja Sri Kertanegara.
Agaknya Paman Sepuh Bintulu yang terus-menerus mempelajari dan menciptakan ilmu.
Kalau benar begitu, kenapa sekarang muncul dari pertapaannya" Apa yang mampu
menggerakkan" Janji di Tepi Kali Brantas
Upasara gegetun sekali. Menyesal karena kini berhadapan dengan Paman Sepuh Bintulu, yang dalam sesaat
membuatnya berada dalam posisi yang berlawanan.
Sebagai tokoh tua yang dihormati, yang ternyata adalah tokoh seangkatan dengan
Eyang Sepuh. Akan tetapi juga seorang tokoh ganas yang telah menewaskan Pak
Toikromo serta Galih Kaliki.
Upasara gegetun karena mau tidak mau ia akan berhadapan dengan Paman Sepuh.
Namun agaknya Paman Sepuh seperti tak memedulikan itu semua.
"Wulung, aku ingin menjajal ilmu Menyimpan Nyawa."
"Maaf, Paman Sepuh."
"Cuma aku sudah berjanji kepada si Bejujag dan kepada orang Keraton yang
sebenarnya lebih pantas memakai dodot. Kami bertiga
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas sambil menunggu datangnya tetamu yang
akan meramaikan pertemuan.
"Edan. "Kalau murid Bejujag seperti kamu, apa murid-muridku bisa menghadapimu?"
Upasara berpikir cepat. "Paman Sepuh juga mempunyai murid-murid?"
"Bukan murid," suara Paman Sepuh menyesak. "Mereka orang edan tujuh turunan yang
akan kusabet wajahnya!"
"Maaf, bolehkah saya lancang bertanya, siapa murid dan sebutan Paman Sepuh?"
Caping Paman Sepuh Bintulu bergoyang kembali.
"Tadi kamu sudah memanggil Bintulu. Itu juga namaku. Kamu panggil Paman Sepuh,
itu juga namaku. "Kenapa kamu meributkan nama"
"Murid, aku tak tahu namanya. Aku cuma ingat kumisnya licik."
"Apakah yang mempunyai gelar Ugrawe?"
"Edan. "Bisa jadi." Sangat pantas sekali. Ugrawe sakti mandraguna dengan ilmu dan jurus-jurus Banjir
Bandang Segara Asat, atau Banjir Bah Laut Kering.
Ilmu yang menyedot tenaga dalam lawan. Selama ini asal-usul Ugrawe sangat gelap.
Ternyata ia murid Paman Sepuh.
Akan tetapi kalau disebutkan murid-murid, berarti ada yang lain.
"Siapa murid Paman Sepuh yang lain?"
"Edan. "Mana pernah aku mengingat nama?"
Upasara menggigit bibirnya.
Lalu dengan satu tarikan napas berat, Upasara berusaha menerangkan. Bahwa Eyang
Sepuh kini telah tidak ketahuan kabar beritanya sejak menghilangkan diri. Bahwa
Mpu Raganata telah gugur sewaktu pasukan Gelang-Gelang yang dipimpin Ugrawe dan
Raja Muda Jayakatwang menyerbu Keraton Singasari. Dan Ugrawe sendiri telah
gugur. "Tak mungkin. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bejujag itu pasti akan muncul. Raga itu sudah jadi bangsawan, tapi masih akan
datang. Kami sudah saling berjanji. Lagi pula akan datang ksatria lain. Mana
mungkin mereka ingkar atau mati lebih dulu"
"Wulung, kamu pikir kami belajar dan melatih diri untuk apa kalau tidak untuk
pamer?" Berkelebat gambaran masa lampau tentang tiga pemuda, tiga ksatria yang sangat
gandrung ilmu kanuragan. Masing-masing kemudian menciptakan ilmu yang menjadi
tonggak seluruh ilmu silat yang ada.
Paman Sepuh Bintulu .menciptakan apa yang kemudian dikenal sebagai Bantala
Parwa. Sementara Eyang Sepuh lewat Perguruan Awan mengembangkan sebuah perguruan
yang tetap memperlihatkan ciri-ciri kaum dodot, kaum hamba sahaya yang hidup
larut bersama alam. Tonggak yang ditancapkan Eyang Sepuh adalah cara melatih pernapasan yang disebut
oleh Paman Sepuh sebagai Menyimpan Nyawa.
Ada banyak persamaan antara ilmu Bantala Parwa dan ilmu Menyimpan Nyawa.
Sementara itu, Mpu Raganata lain lagi. Jalan hidupnya menjadi pengabdi raja, dan
tetap mempunyai jarak dengan kekuasaan Keraton.
Tonggak ciptaannya dalam ilmu kanuragan ialah ilmu Weruh Sadurunging Winarah.
Dibandingkan dengan ilmu Bantala Parwa, memang dasar-dasar ilmu Weruh
Sadurunging Winarah mempunyai perbedaan. Barangkali karena memang perjalanan
nasib tokoh-tokoh yang menciptakan berlainan.
Mestinya pada suatu hari mereka saling berjanji akan bertemu di tepi Kali
Brantas. Untuk saling menguji. Dan di samping itu juga akan diundang datang para
ksatria dari negeri seberang.
Kalau Mpu Raganata secara jelas terlihat kehadirannya, dan Eyang Sepuh terasakan
kehadirannya lewat Perguruan Awan, Paman Sepuh Bintulu mengasingkan diri dan
terus melatih ilmu secara murni.
Dan tak cukup tahu apa yang telah terjadi.
Kalau dipikir-pikir, ketiga ksatria ini sangat aneh. Ilmu mereka begitu tinggi,
pencarian mereka begitu mendalam, akan tetapi perjalanan hidup mereka sangat
berbeda satu dari yang lain. Toh begitu akan saling bertemu.
Upasara yakin, jika Eyang Sepuh masih ada, entah di mana, pasti akan muncul
lagi! Apa pun keadaan dan tingkat keresiannya sekarang ini, Eyang Sepuh tak akan
ingkar janji kepada sahabatnya di masa lalu.
Upasara bisa mengerti kalau Paman Sepuh Bintulu menjadi orang yang mempunyai
perangai aneh. Wajahnya yang hancur menjadi satu
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
petunjuk hidupnya yang sengsara. Ditambah sekian puluh tahun tak pernah bergaul -
dan mungkin sekali malah dikhianati oleh muridnya yang bernama Ugrawe - Paman
Sepuh Bintulu menjadi tak begitu pedulian. Apa atau kenapa main bunuh saja.
Kebetulan dua di antara korbannya adalah Pak Toikromo dan Galih Kaliki!
Hal ini yang tak bisa dibiarkan oleh Upasara.
Upasara tak meragukan sedikit pun bahwa Bantala Parwa adalah ciptaan Paman Sepuh
Bintulu. Sekurangnya beliaulah yang menyusun dan menuliskan dalam klika. Dan
kitab itu yang dicuri begitu saja oleh Ugrawe! Karena dunia luar mengetahui
Kitab Bumi itu dari Ugrawe.
Upasara sendiri mengenal Kitab Bumi dari Kawung Sen, yang mencuri dari Ugrawe.
Sangat mungkin sekali Kitab Bumi ciptaan Paman Sepuh Bintulu mirip dengan yang
dikembangkan Eyang Sepuh yang kemudian dikenal dengan jurus-jurus Tepukan Satu
Tangan. Dengan perbedaan pokok pada cara pengaturan napas yang disebut Menyimpan
Nyawa. Upasara juga gegetun karena sebab lain.
Ilmu membuka tempat Menyimpan Nyawa diketahui justru setelah korban berjatuhan.
Bukan sebelumnya! Inilah yang membuat gegetun. Nyawa Pak Toikromo tak bisa kembali lagi. Galih
Kaliki tak mungkin hidup kembali.
Upasara tenggelam dalam renungannya.
Siapa yang mengatur ini semua" Siapa yang meletakkan pada situasi yang menyayat
ini" Apa sebenarnya yang dikehendaki Dewa Segala Dewa dengan jalan hidupnya sekarang
ini" Ini masih harus ditambah dengan sejumlah pertanyaan lain. Siapa murid Paman
Sepuh Bintulu yang setara dengan Ugrawe, yang selama ini tak dikenali" Apakah ia
sama jahatnya dan malang melintang di dunia persilatan, ataukah masih
menyembunyikan diri" Apa yang akan terjadi di tepi Kali Brantas jika ternyata
yang muncul ksatria-ksatria dari tanah seberang" Menjadi pertarungan terakhir"
Satu hal yang membuat Upasara terusik.
Paman Sepuh Bintulu, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata mengatakan berasal dari
kaum dodot. Dari kelompok paminggir, yang juga berarti bukan anak-cucu langsung
para raja. Sebenarnya dalam hal ini bisa disamakan dengan dirinya, dengan Paman
Jaghana! Sekilas ingatan Upasara kembali ke Perguruan Awan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan peraturan yang tegas, tak ada anak buah Perguruan Awan yang direstui
menjadi prajurit atau senopati. Paman Wilanda adalah contoh utama. Ketika masuk
sebagai prajurit, tidak dianggap sebagai warga Perguruan Awan lagi. Hanya karena
suatu peristiwa yang memperlihatkan jiwa luhurnya dan keinginannya menjadi warga
Perguruan Awan, Paman Wilanda bisa diterima kembali.
Upasara sendiri bisa melihat dirinya berada dalam posisi yang berada di sisi
sana dan di sisi sini sekaligus. Ia dibesarkan dalam lingkungan Keraton sejak
lahir. Akan tetapi ia tetap dianggap kaum dodot, kaum hamba sahaya. Seumur-umur
berada di Keraton, darahnya tetap tak bisa menjadi biru.
Dan ini salah satu kegagalannya untuk mempersunting Gayatri yang sekarang
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi permaisuri Raja Majapahit.
Upasara baru menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu sudah lenyap entah sejak kapan.
Ia menghela napas, bersemadi.
Mengubah tenaga murni yang tersimpan menjadi tenaga murni yang bisa digunakan.
Agar semua tenaga murni cadangan bisa semuanya secara leluasa dipergunakan. Dan
ini berkat jasa petunjuk Paman Sepuh Bintulu, yang akan dilawannya!
Mbalela, Dosa Utama PENGEMBALIAN tenaga murni Upasara tak mengalami kesulitan sedikit pun. Dengan
memusatkan pikiran, Upasara mulai menjalin tenaga murni yang tersimpan.
Semua urat tubuh dan lubang kulitnya meregang, seakan mengeluarkan asap putih.
Mula-mula seperti dog amun-amun atau uap air di kejauhan, seperti fatamorgana.
Makin lama makin tebal, menyelimuti tubuh Upasara.
Dari jidat, seakan terlihat cahaya menurun ke sepanjang hidung, melebar ke arah
samping. Pipinya merona, kemudian daun telinga, bibir, dan akhirnya seluruh
wajah. Sementara dadanya tetap naik-turun dengan teratur.
Semburat warna itu terus menurun dan menyebar ke seluruh anggota tubuh, hingga
ke ujung jari tangan serta kaki. Kembali menggumpal, terpusat di pusar. Dan
dengan mengendalikan jalan pikiran, tenaga itu bisa dikendalikan. Ke arah
tangan, kaki, tersimpan di punggung. Aliran tenaga itu mengikuti kemauan
Upasara. Ke mana pikirannya ditujukan, ke arah itulah tenaga tersalurkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Selesai bersemadi, Upasara merasa rongga dadanya sangat lega.
Perasaan segar seakan kembali dilahirkan dari kegelapan yang mengimpit.
Apa yang dilakukan kemudian ialah menguburkan Galih Kaliki dengan rasa hormat,
berdoa di depan gundukan tanahnya.
"Kakang Galih... harap Kakang bisa tenang, untuk sementara Dewa yang Maha
Menentukan. Saya akan selalu mengenang jiwa Kakang yang luhur dan jujur. Saya
tak akan hidup tenteram sebelum membalas sakit hati Kakang.
"Maafkan, saya akan meninggalkan Kakang untuk sementara. Untuk menyusuri Kali
Brantas. Di sana semua dendam akan tuntas."
Baru kemudian dengan perasaan sedikit lega, Upasara melanjutkan perjalanan. Agar
tidak terlalu menarik perhatian, Upasara membungkus Kangkam Galih dengan tongkat
yang telah pecah. Disatukan kembali dengan getah pohon. Meskipun tidak sempurna,
akan tetapi untuk sementara terlihat seperti tongkat biasa.
Dalam perjalanan kali ini, Upasara merasakan betapa bedanya sebagai manusia
biasa dan sebagai pendekar silat. Jarak jauh tidak terlalu menjadi masalah.
Perjalanan bukan sesuatu yang melelahkan.
Bisa sekaligus melatih dan memperlancar tenaga pernapasan.
Lebih dari itu semua, keadaan sekitar seperti dengan mudah bisa terjaga, bisa
diawasi dengan sempurna. Dengan mudah Upasara bisa mengetahui pada jarak
tertentu ada sepasukan prajurit atau setidaknya beberapa ksatria sedang
melakukan perjalanan. Langkah dan tarikan napas mereka bisa dirasakan Upasara.
Sungguh berbeda ketika tenaga simpanannya belum diubah.
Saat itu bahkan tak mengetahui pertempuran-ah, tak bisa disebut pertempuran-
lebih tepat pembunuhan atas diri Pak Toikromo. Upasara menyadari bahwa Paman
Sepuh Bintulu bisa melakukan satu gerakan untuk menghancurkan rumah, pedati, dan
menyobek tubuh Pak Toikromo. Jarak kemampuan dalam kanuragan antara Pak Toikromo
dan Paman Sepuh Bintulu kelewat jauh.
Kalau saja semua pemulihan tenaganya terjadi lebih awal!
Kalau saja Paman Sepuh Bintulu bertemu dengannya lebih dulu!
Akan tetapi dalam kehidupan ini, ada yang tak bisa bersandarkan kepada kalau
saja. Justru karena sejak awalnya serba tak terjadi tanpa kalau saja.
Bukankah Paman Sepuh Bintulu bisa bersikap manis kepada Pak Toikromo, misalnya
meminta makanan" Kalau saja perjalanan hidup
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Paman Sepuh Bintulu tak begitu pahit, ia tak akan main bunuh seenaknya.
Tak lebih dua puluh kali tarikan napas, Upasara merasakan bahwa suara prajurit
makin terdengar jelas. Upasara berusaha menghindar.
Mencari jalan lain, karena tak ingin mengganggu dan terganggu.
Pikirannya hanyalah mencari tepi Kali Brantas untuk mengadakan perhitungan, dan
barangkali bisa lebih terbuka mengenai siapa-siapa yang akan datang.
Akan tetapi, langkahnya tertahan.
Karena telinganya mendengar suara Mpu Sora yang menyayat.
"Sejak lahir, aku dialiri darah prajurit. Bagiku, pengabdian adalah yang
terutama. Kalau memang Baginda ingin menghukumku, kenapa harus ditunda"
"Bagi seorang prajurit, pengabdi negara, menerima hukuman dan atau menerima
hadiah dari Raja adalah hal yang biasa. Tolong Senopati Halayudha menyampaikan
hal ini kepada Baginda."
Halayudha menunduk. "Duh, Senopati Sora yang perkasa.
"Jiwa besar merupakan semangat keprajuritan yang tak bisa diubah.
Gunung karang bisa hancur, akan tetapi jiwa yang mulia akan abadi selamanya.
"Saya hanyalah pesuruh. Saya hanya menyampaikan titah Baginda, bahwa Senopati
Sora dititahkan memangku tugas di Tulembang. Bukan hukuman mati seperti tertulis
dalam kitab Kutara Manama."
Suara Mpu Sora makin menyayat.
"Kematian adalah kebahagiaan, bila itu diperintahkan seorang raja.
"Senopati Halayudha... sekarang ini semua orang menganggap saya wajib terkena
hukuman mati karena telah membunuh Senopati Anabrang dari belakang.
"Dan saya akan menerima hukuman itu.
"Kalau Baginda menghendaki keris Mahisa Taruna bersarung di dada saya yang tua
ini, saya akan menerima dengan bahagia, sebagai penerima titah."
"Duh, Senopati Sora, bagaimana mungkin saya menyampaikan hal ini?"
Mpu Sora bergerak pelan. Tangannya menarik kain putih dengan satu sentakan
terobek rapi. Lalu dengan satu sentakan memotes ranting pohon, dan dengan getah
yang menetes mulai menuliskan. Baik caranya
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menyobek kain, memotes ranting, dan memencet agar getahnya terus mengalir,
memperlihatkan kemampuannya yang tinggi.
"Mohon Senopati Halayudha menyampaikan hal ini kepada Baginda."
Halayudha menerima dengan hormat.
"Agar tidak terlalu memberatkan Senopati Halayudha, setelah selesai keramas,
saya akan sowan kepada Baginda."
Halayudha bergerak cepat.
Karena tak ingin membuang waktu sedikit pun, agar semua rencananya tidak
kedaluwarsa. Semenjak meninggalkan gua kurungan bawah tanah, Halayudha merasa
bahwa cepat atau lambat tokoh-tokoh tangguh kelas dunia akan bermunculan. Jika
ia tak bisa memanfaatkan, berarti semua rencana yang diatur dengan saksama akan
sia-sia. Maka kini Halayudha langsung menemui Mahapatih Nambi, dan menceritakan apa yang
telah terjadi, menurut pandangannya sendiri.
"Senopati Sora malah berani menulis nawala langsung kepada Baginda. Mahapatih
Nambi yang paling berkuasa bisa membacanya.
Akan tetapi secara terang-terangan Senopati Sora menolak hukuman menjadi
penguasa di Tulembang. Baginya lebih baik menerima hukuman mati."
"Kenapa itu yang ditempuh?"
"Ini hanya gertakan Senopati Sora, dengan mempergunakan keluhuran dan kebaikan
hati Baginda. Karena merasa berjasa, Senopati Sora yakin Baginda tak akan
menghukum mati. "Senopati Sora lupa, bahwa Baginda bisa menjadi iba, tetapi di Keraton masih ada
Mahapatih Nambi yang setia kepada Baginda dan tidak mau melihat anak buahnya
mbalela" Mahapatih Nambi tersulut.
Dengan memakai istilah mbalela, Halayudha berhasil membakar Mahapatih.
Mbalela adalah ungkapan untuk prajurit yang melawan kepada atasan, ungkapan bagi
pemberontak! Bagi prajurit sejati, dosa yang utama dan satu-satunya ialah mbalela.
"Aku akan turun tangan langsung."
"Semua prajurit, para senopati Keraton, akan berada di belakang Mahapatih. Sikap
Senopati Sora sudah melewati batas yang ada.
Bersama dengan seluruh pengikutnya yang setia ia akan datang ke Keraton untuk
menentang titah Baginda yang begitu baik dan luhur."
Mahapatih Nambi tegang rahangnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Senopati Halayudha, mohonkan kepada Baginda, saya yang akan menjemput Senopati
Sora bila ia datang bersenjata nanti, atau kapan pun ia datang."
Dengan bahasa yang lain lagi, Halayudha berhasil mengutarakan langsung kepada
Baginda. "Hamba mengetahui betapa risaunya Baginda Raja yang luhur dan agung jiwanya,
yang ingin mengayomi, melindungi seluruh warga Majapahit.
"Akan tetapi alangkah pahit kenyataan yang sesungguhnya. Karena Sora ternyata
menentang kebaikan Baginda, dan lebih suka bermandikan darah di Keraton.
"Kalau Baginda menanyai hamba yang picik, hamba tetap tak berani mengusulkan.
Biarlah Mahapatih yang menemui Sora. Sehingga tangan Baginda tak perlu menjadi
kotor karenanya." Baginda tak menjawab. Tangannya bergerak, mengusir Halayudha.
Yang ketika keluar dan menemui Mahapatih, mengatakan bahwa Baginda menyerahkan
persoalan Senopati Sora ke tangan Mahapatih Nambi.
"Mahapatih-lah atasan langsung yang harus menangani.
Dua Cundhuk dari Dua Putri
UPASARA sendiri sebenarnya ingin segera meninggalkan tempat persembunyian dan
melanjutkan perjalanan begitu Halayudha pergi.
Akan tetapi sekali lagi, langkahnya tertahan.
Karena Mpu Sora mengeluarkan dua cundhuk, dua hiasan rambut yang mengingatkan
Upasara kepada putri yang pernah menghiasi mimpinya. Siapa lagi kalau bukan
Gayatri atau Permaisuri Rajapatni!
Hiasan cundhuk itu pernah dipakai Gayatri!
Mpu Sora memandang dua cundhuk sambil menghela napas berat.
Berat sekali. "Juru Demung dan Gajah Biru, kalianlah prajuritku yang paling mengetahui isi
hatiku. Majulah mendekat kemari."
Juru Demung dan Gajah Biru menunduk.
Mereka tidak mendekat. Dan memang tak perlu. Karena apa yang dimaksudkan Mpu Sora bukanlah pengertian yang wadag, yang
lahiriah sifatnya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hari ini aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Daha lebih dahulu. Aku
akan menghadap langsung ke Keraton Majapahit. Sowan untuk pasrah seluruh jiwa-
ragaku. Pembuangan, hukuman mati, atau apa pun, akan lebih melegakan hatiku
daripada suasana menggantung tak menentu.
"Kalian berdua yang paling mengetahui, bahwa bagiku pengabdian adalah nilai
utama dan satu-satunya. "Demung dan Gajah Biru, aku tak bisa memaksa kalian ikut ke Keraton. Aku juga
tak bisa menahan kalian turut serta. Semua kuserahkan kembali kepada pilihan
hati kalian. Sebab apa yang terjadi di Keraton masih tak bisa diketahui.
"Begitu banyak senopati yang menghendaki nyawaku yang tak berharga ini."
Juru Demung dan Gajah Biru menyembah secara bersamaan.
Keduanya mengeluarkan suara bersamaan, dengan nada menggeletar.
"Senopati Sora, sesembahan hamba, tempat pertama dan terakhir hamba mengabdi.
"Betapa sedih hamba mendengar pertanyaan Senopati Sora, seakan menanyakan apakah
hamba masih setia atau tidak."
Mpu Sora menggeleng. Menghela napas berat. "Demung dan Gajah Biru, jangan sampai kita salah paham karenanya.
"Sebenarnya aku lebih berharap kalian berdua tidak mengikuti ke Keraton. Karena
aku ingin menitipkan barang ini kepada kalian."
Untuk beberapa jenak, suasana menjadi sunyi.
"Aku tak tahu apakah aku bisa menyampaikan titipan ini kepada yang bersangkutan
atau tidak, mengingat hari esok tak bisa diperhitungkan.
"Demung dan Biru, prajuritku yang sejati.
"Dua cundhuk ini adalah titipan Permaisuri Rajapatni yang mulia.
Titipan untuk disampaikan kepada seorang ksatria sejati di jagat raya ini,
Upasara Wulung." Mata Upasara bersinar. Dadanya terguncang. Hanya karena penguasaan cara mengatur napas yang sempurna, sehingga Mpu Sora tak
mengetahui ada yang mencuri dengar pembicaraannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku dan Mpu Renteng, yang telah tenang di dunia tanpa kerisauan, pernah
mengawal Permaisuri Rajapatni. Barangkali karena itulah Permaisuri menaruh
kepercayaan kepadaku. "Menitipkan dua barang ini.
"Yang pertama diberikan kepadaku ketika putri pertama Permaisuri, yaitu Putri
Tribhuana Tunggadewi, lahir ke dunia. Cundhuk pertama ini minta disampaikan
kepada Upasara Wulung. "Cundhuk kedua diberikan lagi ketika putri kedua, yaitu Putri Dyah Wijah
Rajadewi, lahir. "Aku sedih karena tak bisa menyampaikan titipan ini. Pada saat Permaisuri
Rajapatni menitipkan cundhuk kedua, aku sudah menghaturkan bahwa yang pertama
pun belum bisa disampaikan, karena tak tahu di mana adanya Upasara Wulung.
"Akan tetapi Permaisuri Rajapatni tersenyum dan bersabda, 'Paman Sora lebih
mungkin menyampaikan daripada saya. Kalau Kakang Upasara telah meninggal,
tancapkan di kuburannya. Tanpa Paman Sora katakan, sukma Kakang Upasara sudah
tahu bahwa cundhuk ini dariku.'
"Betapa ringan tugas ini.
"Betapa berat melaksanakan.
"Demung dan Biru, itu sebabnya aku menginginkan kalian menyimpan dengan baik-
baik kedua barang berharga ini. Kalau aku tak bisa melaksanakan tugas Permaisuri
Rajapatni, kalian berdua yang berkewajiban menyampaikan.
"Aku tidak meminta kalian berdua merawat anak-istriku. Aku tak meminta kalian
berdua merawat pusara atau menjaga abu mayatku.
"Aku minta kalian melaksanakan tugas ini, karena ini sesuatu yang berarti bagi
Permaisuri Rajapatni, dan tugas yang diberikan adalah kepercayaan."
Upasara berusaha menenteramkan dirinya.
Guncangan dalam dadanya makin riuh berdebur.
Tak bisa dihindari lagi, munculnya bayangan seorang putri yang mampu
mengguncangkan dunianya. Mampu menjungkirbalikkan perasaan-perasaan paling
dalam. Pengalaman yang tak akan terlupakan.
Itu adalah saat pertama Upasara tertarik kepada wanita. Kebetulan wanita itu
adalah Gayatri, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang menjadi penunjuk
perjalanan ketika Upasara ingin menyusup ke Keraton Daha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jadilah perjalanan yang menumbuhkan daya asmara paling hebat melanda Upasara.
Puncak dari daya asmara yang membahana itu adalah ketika justru Gayatri yang
mengatakan bersedia bersanding dengan Upasara selamanya.
Dalam pertempuran mati-hidup, Upasara berusaha membebaskan Gayatri yang ditawan.
Ia bahkan mengukir kidung asmara di dinding Keraton yang terjal.
Akan tetapi, perjalanan daya asmara kandas.
Karena Gayatri dan Raden Sanggrama Wijaya, dalam perhitungan ramalan para
pendeta, adalah pasangan Dewi Uma dengan Dewa Syiwa.
Yang di kelak kemudian hari akan menurunkan raja yang paling besar dari semua
raja yang pernah memerintah.
Saat itulah Upasara mengundurkan diri.
Bahkan ketika semua pengikut Sanggrama Wijaya memperoleh pangkat dan derajat
yang tinggi, Upasara menolak. Bahkan jabatan sebagai mahapatih pun ditolaknya.
Baik secara langsung atau tidak, penolakan ini ditafsirkan sebagai pertanda
kekecewaan yang tak bisa ditawar.
Bahkan Baginda juga mengetahui hal ini. Karena dengan terbuka Baginda
mengatakan: Hadiah apa pun bisa diminta Upasara, kecuali Putri Gayatri, karena
ia sudah ditakdirkan bersanding dengan Baginda.
Putri Singasari bukan hanya Gayatri. Ada tiga yang lain yang tak kalah elok dan
rupawan, malah boleh dikatakan lebih jelita. Akan tetapi Upasara lebih suka
mengundurkan diri. Mengurung diri di Perguruan Awan.
Sampai kemudian Permaisuri Rajapatni dikirimkan untuk memancing Upasara keluar.
Akan tetapi saat itu pun Upasara memilih tidak mau menemui.
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Upasara telah memutuskan bahwa semua hubungan asmara dengan Gayatri telah
selesai. Demi kebahagiaan dan ketenteraman putri yang mencuri hatinya.
Upasara menganggap telah tamat.
Meskipun diakui, diam-diam daya asmara itu tak bisa padam sepenuhnya. Bagai bara
yang masih meletik, manakala Gendhuk Tri atau Nyai Demang menyindirnya.
Mimpi pun Upasara tak menduga bahwa Gayatri masih memperhatikan.
Masih mengingatnya! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Masih menyempatkan diri untuk memberitahu lewat cundhuk! Betapa sesungguhnya
Gayatri juga tak pernah melupakan. Justru di saat-saat yang paling bahagia
dengan kelahiran putrinya, Gayatri menitipkan sesuatu yang mengingatkan kembali
hubungan mereka. Daya asmara yang tak bisa musnah.
Daya asmara yang tak: berkurang panasnya.
Bahkan makin terasa terus membara.
Upasara menutup matanya. Mencoba memusatkan pikiran, agar tidak mengikuti
kenangan yang tiba-tiba merobek kenyataan yang ada.
Merajam luka di hatinya yang telah dirapatkan.
"Aku tidak tahu sejauh mana benda ini memberikan makna yang sesungguhnya. Sebuah
atau dua buah cundhuk semacam ini bisa ditemukan di mana saja.
"Akan tetapi barangkali bersangkut-paut dengan kesia-siaan yang dirasakan
Permaisuri Rajapatni. Karena nyatanya yang diangkat sebagai putra mahkota adalah
Pangeran Muda Kala Gemet, dan bukan keturunan Dewi Uma-Dewa Syiwa.
"Bukankah ini pengorbanan yang sia-sia"
"Demung dan Biru, prajuritku.
"Apa pun alasannya, sebagai prajurit sejati kita menjalankan tugas dan pengabdian. Aku akan
menyampaikan, menjalankan tugas Permaisuri. Kalau umurku terlalu pendek, aku
memohon kalian berdua yang menyampaikan. Terimalah, seorang satu."
Nujum Pendeta Juru DEMUNG dan Gajah Biru nampak ragu menerima.
"Demung... Biru, apakah kalian mulai berani membantah?"
Keduanya menjawab bersama setelah menyembah.
"Hamba berdua akan berada di sisi Senopati Sora, dalam keadaan hidup dan mati."
Keduanya menerima cundhuk dan menyimpan di dalam ikat kepala dengan hati-hati.
"Demung, Biru, itu yang tidak kuinginkan.
"Hari ini aku memanggilmu, justru untuk memberimu tugas, agar kalian berdua
tidak mengikuti langkahku. Agar kalian berdua menjauhi bayanganku.
"Sebentar lagi udara akan terasa sangat gerah. Makin santer berita akan
munculnya tokoh-tokoh jagat dari tanah seberang yang jauh. Sejak
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
munculnya Kama Kangkam dengan kedua muridnya, kita sudah bisa membaca tanda-
tanda akan adanya gegeran.
"Sejak Baginda kelihatan gamang dan ragu, akan ada orang kuat yang muncul
merebut kesempatan. "Demung dan Biru, aku sudah terlalu tua. Sejak Lawe tiada, sejak Kakang Aria
Wiraraja mundur ke Lumajang, semangatku telah hilang.
"Sebentar lagi udara akan bertambah gerah.
"Saat ini Kitab Bumi sudah menyebar. Semua ksatria, ibarat kata bisa mempelajari
dengan leluasa. Pasti akan menimbulkan gelombang pasang yang besar.
"Hal lain ialah nujuman para pendeta akan datangnya raja yang paling besar dari
keturunan Syiwa-Uma. Akan tetapi sekarang ini momonganku Raja Muda Kala Gemet
yang menjadi putra mahkota.
Kalau Raja Muda naik takhta, berarti semua pendeta tak ada gunanya.
Kalau nujuman para pendeta benar, akan terjadi pergantian pemegang utama
kekuasaan. "Demung dan Biru, sadarkah kalian berdua, kenapa aku meminta kalian tidak
mengikuti langkahku?"
Demung dan Biru sekali lagi menyembah secara bersamaan.
"Kami berdusta besar jika menyanggupi kata-kata junjungan sekarang ini untuk
meninggalkan Senopati Sora."
"Akulah yang keliru mendidik kalian.
"Seharusnya kalian lebih mengabdi kepada Keraton dan bukan kepadaku. Keraton tak
bisa salah, sedang aku manusia biasa. Hmmm, masih ada waktu untuk keramas dan
membersihkan diri. "Esok pagi-pagi benar, kalian berdua memintakan pamit kepada Raja Muda. Kalau
mau, tinggallah di Dahanapura. Kalau tidak, susullah aku."
"Terima kasih, Senopati Sora, atas perkenannya mengikuti langkah yang
benar." Upasara sebenarnya ingin melangkah keluar.
Akan tetapi merasa bersalah karena telah mencuri dengar beberapa bagian yang
seharusnya tidak perlu didengarkan.
Bagian di mana ada keruwetan mengenai tidak segeranya Baginda menjatuhkan
hukuman. Yang bisa menjadi pertanda kelemahan atau diartikan begitu. Yang
berarti mengundang munculnya seseorang untuk mengambil alih kepemimpinan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hal yang kedua ialah Upasara yakin bahwa seperti yang disebutkan Paman Sepuh
Bintulu, akan ada pertemuan para ksatria nomor satu di jagat. Itu yang membuat
Paman Sepuh Bintulu merasa perlu keluar dari sarangnya.
Hal yang ketiga, lebih merupakan masalah pribadi Upasara Wulung.
Yaitu mengenai putri-putri Permaisuri Rajapatni yang akhirnya tersisih dari
pencalonan putra mahkota. Yang tidak pribadi adalah kemungkinan terpecahnya
kekuasaan Keraton dengan kekuatan batin para pendeta. Perhitungan nujuman dan
kenyataan bisa menimbulkan bibit-bibit perpecahan di kelak kemudian hari.
Raja Muda Kala Gemet pasti tak akan membiarkan adanya perkiraan akan segera
muncul Raja Digdaya yang segera mengalahkannya. Ini bisa berarti membatasi
kekuasaan putri-putri Permaisuri Rajapatni.
Atau bisa lebih buruk lagi!
Raja Muda bisa berbuat lebih jahat pada kedua putri Permaisuri Rajapatni.
Barangkali inilah yang membuat keesokan harinya, diam-diam Upasara mengikuti
perjalanan Mpu Sora ke Keraton. Upasara terpaksa mengambil jarak agak jauh agar
tidak menimbulkan kecurigaan.
Baru setelah sampai di alun-alun Keraton, Upasara bisa bergabung dengan penduduk
biasa yang banyak berjajar di kejauhan.
Walau keadaan berlangsung dengan tenang, Upasara bisa merasakan ketegangan
tengah berlangsung. Karena rombongan Senopati Sora tidak diterima langsung oleh
prajurit Keraton! Ini sama juga berarti Baginda menolak kedatangannya!
Ini sama juga malapetaka!
Karena umbul-umbul atau bendera Mahapatih yang terlihat berkibar ketika ada
rombongan muncul dari Keraton.
Dan memang Mahapatih Nambi yang muncul.
Tanpa turun dari joli. Tanpa membuka tirai penutup.
Senopati Sora berdiri tegak. Juru Demung dan Gajah Biru berdiri agak jauh di
belakang. Sementara beberapa prajurit yang mengiringkan berada di kejauhan.
Walau nampak biasa, akan tetapi kalau diperhatikan benar, genggaman pada tombak
dan perisai sangat kuat. "Mahapatih Nambi yang perkasa, izinkanlah saya sowan ke Keraton."
"Senopati Sora," terdengar jawaban dari dalam joli. "Kita sama-sama berteman
sejak lama. Sebelum menjadi senopati pun kita telah bersama-sama. Kamu pun
mengetahui bahwa hari ini tidak ada pasowanan.
Baginda tidak berkenan menerimamu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Baiklah. "Kalau begitu saya akan menunggu di pintu gerbang." Sejenak Mahapatih Nambi
bimbang. Ia tak akan begitu saja menerjang Senopati Sora. Karena Senopati Sora dan
pengikutnya tidak berbuat suatu kesalahan. Mau menghadap Baginda. Dan karena
tidak ada izin, mereka mau menunggu. Tak bisa disalahkan.
Mendadak dari arah timur muncul rombongan beberapa lelaki yang menerjang maju
sambil berteriak-teriak. "Bunuh yang bersalah!"
"Keadilan harus ditegakkan."
"Kitab Kutara Manawa. harus dihormati."
Sekilas saja Upasara Wulung mengetahui bahwa rombongan yang datang bukanlah
masyarakat biasa. Dari langkah dan gerakan tubuhnya, jelas mereka adalah
prajurit-prajurit yang terlatih dalam olah keprajuritan.
Caranya berteriak juga menunjukkan sikap yang sangat mencolok.
Penduduk biasa tak akan meneriakkan kata-kata semacam itu. Hanya akan berkumpul
di alun-alun sambil melepaskan baju. Sampai ada yang menanyai!
Bukan seperti sekarang ini.
Jelas bahwa kehendak mereka sudah diatur lebih dulu.
Kemarahan yang sudah dipersiapkan.
Dan mendadak saja terjadi perubahan. Begitu rombongan mendesak maju, gegeran tak
terhindarkan. Dalam sekejap saja, terjadi pertempuran tak terduga. Semua senjata
lepas dari sarungnya, bergemerincing di angkasa, disimbah oleh banjir darah.
Upasara terkesima. Baru sekarang ini disaksikannya sesama prajurit Keraton saling bunuh dengan
kejam dan telengas. Upasara menyeruak maju. Akan tetapi beberapa kali terhalang
oleh prajurit yang saling bunuh di depannya.
Terpaksa Upasara melayang ke atas, menuju ke tengah pertempuran.
Mpu Sora berdiri gagah dengan kedua tangan terangkat ke atas, sebagai tanda
tidak melawan, ketika tiba-tiba sebatang tombak amblas ke dalam dadanya.
Tubuhnya bergoyang-goyang.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gajah Biru dan Juru Demung meloncat maju, akan tetapi Mahapatih Nambi dan sebuah
bayangan menggebrak memapaki. Keduanya terjungkal dalam satu gerakan.
Agaknya, baik Gajah Biru maupun Juru Demung tidak bersungguh-sungguh mengadakan
perlawanan. Sekadar ingin menolong Mpu Sora.
Sehingga keduanya bisa ditusuk seketika.
Upasara menggerung keras.
Kedua tangannya berputar cepat. Puluhan senjata yang ditujukan kepadanya
ditangkis keras. Dengan gagah, ia berdiri di tengah.
Mahapatih Nambi menghentikan serbuan prajuritnya.
Senopati Halayudha berdiri mendengus.
"Upasara..." Upasara berlutut ke tubuh Mpu Sora yang terbaring di rumput.
"Ada titipan..."
"Saya tahu, Paman Sora yang perkasa. Terima kasih atas budi baik Paman Sora."
Upasara tak tahu apakah ucapannya masih terdengar oleh Mpu Sora atau tidak.
Karena kemudian tubuh Mpu Sora mengejang sebentar dan kemudian tak bergerak.
Halayudha menyambar dua tombak. Dan dengan gerakan melayang kedua tombak menusuk
lambung Upasara dari arah yang berbeda.
Sebat, cepat, dan menghunjam tepat.
Upasara menangkis dengan tangannya.
Terdengar suara keras. Dua tombak patah. Upasara merasakan pergelangan tangannya pedih. Adalah di luar perhitungannya
bahwa tenaga dalam Halayudha sangat besar.
Sabetan Satu Tangan Upasara merasa tangan kanannya ngilu.
Sampai ke ujung kuku. Di bagian tertentu berubah warnanya menjadi biru. Legam,
seakan darahnya membeku. Halayudha memang hebat. Tak pernah diperhitungkan oleh Upasara bahwa tenaga dalamnya begitu ganas
menerobos serta merontokkan urat dan pembuluh darah Upasara, yang seakan dipaksa
menahan beban yang lebih berat dari kesanggupannya.
Dalam hati Upasara menggelegak darah yang mendidih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ternyata Halayudha sangat ganas-telengas dalam menyerang. Tanpa sedikit pun
mempunyai pertimbangan bahwa yang digempur adalah sesama senopati Keraton.
Seakan Halayudha secara sengaja menumpahkan dendam kesumat!
Upasara membalik tubuhnya.
Tangan kanannya terkulai. Masih mendenyut rasa sakit yang menggigit sampai ulu
hatinya. Akan tetapi, Halayudha tak memberi kesempatan sama sekali. Begitu
tombaknya kena disampok lawan, dua keris sudah di kedua tangannya, dan dengan
gerakan kilat serta bertenaga, dua keris langsung menusuk ke arah dua mata
Upasara! Dibarengi dengan sapuan kaki, yang masuk dari sebelah dalam. Ini berarti Upasara
tak bisa mundur. Dengan kata lain, kedua biji matanya bakal menjadi sasaran.
Upasara mencium bau amis dari kedua ujung keris yang menusuk lurus, akan tetapi
mendadak membelok bagai hendak mencongkel.
Tangan kiri Upasara berputar di pergelangan. Dan dengan berani memapaki
serangan. Satu tangan mencoba merampas dua tangan berkeris.
Halayudha tak menduga bahwa tenaga yang mementahkan kerisnya begitu besar.
Menggulung dan seakan memusnahkan. Halayudha memindahkan tenaganya ke kaki.
Bukan hanya menahan, kali ini berusaha mengait keras.
Satu congkelan berkait! Bersamaan dengan itu tangan kiri melemparkan keris! Dan tangan yang kini kosong
masih mencoba menusuk telinga Upasara dari arah yang berbeda dari lemparan
kerisnya. Mahapatih Nambi menahan napas.
Apa yang diperlihatkan Halayudha bukan hanya luar biasa dari segi gerak.
Serangan secara berantai dan beruntun. Lebih dari itu, seakan tak terguncangkan
untuk menyerang secara tidak ksatria.
Walau tak ada peraturan yang resmi, seorang ksatria tak akan begitu saja
melemparkan kerisnya secara licik. Ia akan mempertahankan di tangan.
Bukan membidikkan. Apalagi dalam pertempuran jarak dekat.
Kemenangan semacam ini tak membuat namanya menjadi harum.
Akan tetapi Halayudha memang tidak memakai pertimbangan ksatria atau tidak. Apa
yang ingin dilakukan adalah meringkus Upasara secepat mungkin. Makin awal, makin
tak terduga, makin besar kemungkinannya berhasil.
Seperti ketika tangan kanan Upasara yang bisa dilumpuhkan!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara masih tetap tak menduga keganasan Halayudha.
Akan tetapi kini lebih waspada. Hanya dengan menarik mundur dan miring
menyamping, tusukan bisa terhindarkan. Dan serangan ke arah kuda-kuda, juga
bakal membuat Halayudha kecele. Halayudha tak memperhitungkan bahwa sejak dulu
ilmu andalan Upasara adalah jurus-jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka.
Dengan sendirinya peranan kuda-kudanya sangat kuat. Apalagi sekarang, dengan
tenaga dalam yang lebih kuat!
Tapi tusukan jari ke lubang telinga memang tak sempat dihindarkan.
Upasara menekuk tangannya, dan dengan sikunya mencoba menangkis tangan
Halayudha. Yang mendadak mengubah lagi gerakannya dengan menarik diri sambil menjauh.
Sementara kerisnya disabetkan keras. Dibidikkan ke arah dada.
Sebat-kelewat-cepat. Sebelum suara desisan angin, ujung keris telah siap mengiris.
Dengan kuda-kuda yang kukuh, Upasara tak bisa menggeser tubuhnya.
Tapi Upasara yang sekarang bukan Upasara yang tak mempunyai tenaga dalam. Juga
bukan Upasara yang masih berada dalam Ksatria Pingitan. Upasara yang sekarang
adalah Upasara yang bangkit kembali semangatnya, yang berkobar dendamnya, dengan
latihan pernapasan dari Kitab Bumi.
Cepat sambaran keris, lebih cepat lagi tubuh Upasara menekuk secara melengkung.
Seakan dari bagian atas pusar dibuang ke belakang, dengan kaki tetap bertumpu.
Keris itu hanya lolos sedikit di atas tubuh Upasara.
Tak lebih dari dua jari. Dalam tarikan napas yang sama, Upasara telah berdiri tegak kembali dengan tangan
kiri mendorong ke depan. Halayudha sudah meloncat jauh. Sehingga Mahapatih Nambi yang terkena gempuran
hawa panas memberat. Sebagai mahapatih yang dibesarkan dalam dunia kanuragan,
Nambi berusaha memapaki. Akan tetapi tubuhnya terdorong mundur, hingga menabrak
joli yang bergulingan. "Kepung! Sikat!"
Dua kata dari Halayudha cukup membuat seluruh prajurit Majapahit mengurung dan
mengamuk. Walau sebagian besar para prajurit Keraton yang setia tak mengerti
persoalan yang terjadi, itu tak menjadi halangan bagi mereka untuk langsung
mencincang Upasara. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tubuh Mahapatih yang terdorong mundur hingga membuat joli bergulingan sudah
merupakan aba-aba buat menggempur si penyerang.
Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagi Upasara, keroyokan para prajurit tak ubahnya lalat-lalat kecil yang hanya
menimbulkan gangguan ringan. Dan sama sekali tidak membahayakan jiwanya. Akan
tetapi bagi para prajurit yang mengiringi Senopati Sora menjadi tarian maut.
Karena mereka yang kena digempur secara serentak dari pelbagai penjuru.
Pertempuran antara sesama prajurit tak terhindarkan.
Darah Upasara makin mendidih karena tak ada aba-aba memundurkan dari Mahapatih
Nambi maupun Halayudha. Sementara prajurit dari Dahanapura, karena tak mempunyai
pemimpin, juga tak mungkin menahan diri dari gasakan yang makin merapat.
Merasa tangan kanannya masih tak bisa digerakkan, Upasara meraih pedang hitam,
Kangkam Galih. Dipegang erat di tangan kiri, Upasara memutar di atas kepala satu
sebatan, sebelum menghalau para prajurit yang tengah bertempur.
Ayunan pedangnya ternyata berakibat seperti membelah banjir. Serta-merta para
prajurit jadi terdorong mundur. Senjata-senjata yang terkena sampokan angin
Kangkam Galih jadi terlepas. Yang tersentuh, langsung jatuh.
Satu tangan kanan menggantung, Upasara memainkan pedang dengan tangan kiri.
Ke arah mana Kangkam Galih terayun, ke arah itu prajurit berlarian dan bubar.
Mahapatih Nambi merasakan getaran yang kuat sedang melanda ke arahnya. Dengan
memberi aba-aba, ia maju memapak. Langsung menghadapi Upasara.
Mahapatih cukup berhati-hati. Walau Upasara hanya melawan dengan satu tangan dan
seorang diri, ternyata tetap tak bisa dikurung.
Senjata yang mendekat ke arahnya terlempar atau kutung seketika.
Mahapatih menggerakkan kedua tangannya, dan dua pengawal pribadi menyerahkan dua
tombak pusaka. Dengan sepasang tombak Mahapatih mencoba mengimbangi Upasara.
Dua tombak di tangan Mahapatih berubah bagai gunting, yang siap melipat tubuh
Upasara menjadi dua. Dalam satu gerakan juga bisa berubah menjadi tusukan yang
berbeda arah dan sasarannya.
Upasara justru masuk ke arah tengah guntingan.
Kangkam Galih dipegang secara terbalik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan ujung menuding ke bawah, dan digerakkan ke atas, Upasara mendobrak maju.
Ini berarti adu tenaga. Tenaga dua tangan lawan satu tangan. Sementara beberapa
senopati muda juga mencecar dari berbagai arah.
Upasara mengeluarkan desisan, sebelum tubuhnya berputar kencang.
Bagai baling-baling, dengan Kangkam Galih menjadi pelindung, Upasara menggasak
maju. Cara Upasara merangsek maju membuat satu-dua senopati muda yang
ayal-ayalan menjadi korban.
Halayudha mengibaskan salah satu bendera dan dengan serentak semua prajurit
pemanah mengurung seluruh alun-alun. Dengan anak panah dibidikkan, siap
dilepaskan! "Mahapatih, mangga mengker."
Seiring dengan teriakan yang mengharap Mahapatih mengker atau memunggungi atau
menjauhkan diri, Halayudha menebarkan jerat ke arah tubuh Upasara. Sehingga
Mahapatih bisa sedikit longgar.
Bersamaan dengan tebaran jala yang memayungi tubuh Upasara, satu tangan yang
lain memberi komando. Ribuan anak panah bagai hujan mengarah ke Upasara.
"Beras Wutah!" Perintah Halayudha bisa diartikan sebagai serangan seumpama beras yang tumpah.
Mengucur ke satu arah, dan seakan anak panah itu bersambungan! Padat!
Sehingga bagi Upasara dan para prajurit yang tersisa, seakan tak merasakan
Mustika Naga Hitam 2 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Pengemis Tua Aneh 3