Pencarian

Meraba Matahari 1

Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Bagian 1


Kang Zusi http://kangzusi.com/
Meraba Matahari Karya : SH Mintardja DINO Presents at Indozone
Ebook by : Dewi KZ Http://kangzusi.com/ Dicetak dan diterbitkan oleh :
Badan Penerbit "Kedaulatan Rakyat"
Yogyakarta Ebook by Dewi Kangzusi 1 Kang Zusi http://kangzusi.com/
KATA PENGANTAR Para Pembaca Yang Budiman
Ceritera "JEJAK DI BALIK KABUT" telah sampai jilid terakhir pada penerbitan
bulan lalu. Mulai bulan ini telah terbit satu ceritera baru. Ceritera rekaan
murni yang pernah ditayangkan sebagai ceritera "Kethoprak Sayembara" lewat
stasiun TVRI Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Bandung yang penyelenggaraannya
didukung oleh B. P. Kedaulatan Rakyat, dengan judul "KEBRANJANG ING GEGAYUHAN"
Ternyata "Kethoprak Sayembara" ini sangat menarik perhatian para pemirsa
Televisi. Dalam buku ini, ceritera tersebut saya susun sebagai satu ceritera yang tentu
saja berbeda dengan "scenario" untuk layar Televisi.
Dengan beberapa sisipan dan pemanis disana-sini mudah-mudahan ceritera ini
pantas untuk dibaca. Ceritera "KEBRANJANG ING GEGAYUHAN" dalam penampilannya yang baru serta
berbahasa Indonesia berjudul
"MERABA MATAHARI" berkisah tentang kehidupan yang mempunyai berbagai macam
relung-relung yang kadang-kadang sulit untuk diselami. Sudut-sudut yang terang
dan sudut-sudut yang gelap seakan-akan tidak terbatas.
Kesadaran akan kegelapan biasanya baru datang kemudian
setelah telapak tangannya mulai meraba-raba tajamnya ujung
batu karang serta merasa perih.
Tetapi telapak tangan itupun akan segera terbakar apabila
kita dengan congkak mencoba meraba matahari.
Ebook by Dewi Kangzusi 2 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Namun mereka yang tetap berpegang pada kekuasaanNya, maka betapapun derasnya
arus akan dapat tersebarangi, betapapun tingginya gunung akan dapat terlompati.
Meskipun ceritera ini ceritera rekaan murni, namun ceritera ini tetap akan
berbicara tentang manusia yang kita kenali dari berbagai sisi pandang serta
berpijak pada warna kehidupan di bumi sendiri.
Penulis : SH Mintardja Ebook by Dewi Kangzusi 3 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Jilid 1 Bab 01 Ketika kabut mulai terkuak, maka cahaya fajarpun mulai mewarnai langit, namun
titik-titik embun masih bergayutan diujung dedaunan.
Dinginnya malam masih terasa, meskipun perlahan-lahan pucuk-pucuk pepohonan
bagaikan bermunculan dari kegelapan di lembah-lembah perbukitan.
Di lereng bukit berbatu padas, dua orang anak muda yang
berloncatan, saling menyerang dan bertahan, kedua-duanya
memiliki bekal ilmu yang tinggi. Kaki-kaki mereka dengan
tangkasnya melenting dari bongkah-bongkah batu padas ke
bongkah-bongkah yang lain, seakan-akan terbang berputaran
diantara bebatuan. Sekali-kali serangan merekapun mengena, sekali-kali
berbenturan dengan keras sekali sehingga keduanya tergetar
dan terodorong surut berberapa langkah.
Namun ketika cahaya langit menjadi semakin terang, maka
keduanyapun menjadi semakin garang, tangan-tangan mereka
yang luput dari sasaran dan menyentuh batu-batu padas di
tebing, maka tebing itupun telah berguguran. Pepohonan
bagaikan diguncang, cabang dan ranting yang tersentuh
tangan kedua anak muda itupun berpatahan.
Bukit dibawah kaki mereka seakan-akan telah bergetar.
Seluruh tubuh anak muda itu sudah basah, bukan oleh
embun saja, tetapi oleh keringat yang bagaikan diperas dari
tubuh mereka. Untuk mengatasi rasa sakit dan nyeri, maka
keringat merekapun menjadi semakin banyak mengalir.
Ebook by Dewi Kangzusi 4 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Ketika seorang diantara mereka meloncat dengan cepatnya menyerang dengan kakinya
dan tepat mengenai dada lawannya, maka lawannya telah terdorong surut beberapa
langkah. Tubuhnya membentur sebongkah batu padas, sehingga kemudian terbanting
jatuh. Dengan tangkasnya yang seorang lagi telah memburunya.
Pada saat lawannya akan bangkit, maka kakinyapun telah terayun bersamaan dengan
tubuhnya yang berputar. Tetapi ternyata serangannya itu tidak mengenai sasaran, karena lawannya dengan
cepat bergesar dan bahkan menjatuhkan dirinya.
Kaki yang sudah terlanjur terayun dengan derasnya itu telah menghantam batu
padas pada tebing bukit padas itu.
Batu pada itupun telah pecah berserakan, untunglah bahwa lawannya dengan cepat
berguling, melenting dan sekali berputar diudara, kemudian bangkit berdiri
beberapa langkah dari tebing yang runtuh itu.
Bahkan dengan cepat pula, anak muda itu telah meloncat dengan tangan terjulur
lurus. Jari-jarinya yang lurus merapat telah berhasil menyusup pertahanan
lawannya mengenai lambung.
Lawannya terdorong surut sambil menyeringai menahan sakit, namun pada saat anak
muda itu siap memburu, terdengar suara tepuk tangan dari sela-sela bebatuan di
bukit itu. Kedua anak muda yang bertempur itupun berhenti dan berloncatan surut mengambil
jarak. Ebook by Dewi Kangzusi 5 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Keduanyapun kemudian berdiri tegak menghadap kepada orang yang bertepuk tangan
itu. Serentak keduanyapun mengangguk hormat.
Seseorang yang sudah melewati usia setengah abad berdiri tegak sambil tersenyum
memandang kedua orang anak muda itu. Orang itu masih terlihat kokoh meskipun
rambutnya yang selembar-selembar berderai di bawah ikat kepalanya sudah memutih.
"Sudah cukup ngger, kalian sudah berlatih hampir setengah malam, angger berdua
tentu sudah letih, mungkin di beberapa bagian tubuh kalian terasa sakit, nyeri
dan barangkali pedih, marilah, kita pulang untuk berisitirahat."
"Ya guru" jawab keduanya hampir berbarengan.
Keduanyapun kemudian berjalan bersama di belakang orang tua itu.
Bertiga mereka berjalan di jalan setapak, di lereng perbukitan yang membujur
sejajar dengan pantai lautan yang berombak ganas.
"Lihatlah ngger" berkata orang tua itu "Gelombang itu bagaikan gejolak
kehidupan, ia tidak pernah berhenti, susul menyusul dan silih berganti."
Sambil berjalan diatas jalan sempit di perbukitan, mereka menyaksikan debur
ombak yang tidak pernah ada hentinya, jika angin berhembus semilir, maka gejolak
ombak itu memang agak mereda, tetapi jika langit menjadi buram, angin mulai
menderu, maka praharapun datang mendorong ombak yang semakin besar, sehingga
seolah-olah beribu bukit berterbangan bertimbun di tepian. Namun kemudian
kembali meluncur hanyut ke kedalaman lautan yang luas.
Ebook by Dewi Kangzusi 6 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Lihatlah gunung itu" berkata orang tua itu pula.
Anak-anak muda itupun kemudian memandang
kekejauhan. Sebuah gunung yang tinggi menjulang
menggapai langit, mega-mega putih yang mengalir dari
selatan, bagaikan telah tersangkut di ujungnya yang menjadi
kemerah-merahan oleh cahaya matahari pagi yang mulai
terbit. "Didalam gejolak kehidupan yang kadang-kadang bagaikan
diguncang oleh prahara, hati kita harus tetap sekukuh dan
seteguh gunung itu." Berkata orang tua itu pula.
Sambil berjalan kedua orang anak muda itu masih juga
memandangi gunung yang berdiri tegak dan tidak
tergoyahkan oleh prahara dan badai, tidak tergeser oleh angin
pusaran dan tidak menggeliat oleh panasnya api.
Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu sudah mulai
menuruni tebing perbukitan yang curam. Tanah berbatu padas
dibawah kaki mereka kadang-kadang terasa licin oleh embun,
tajamnya bebatuan terasa menusuk telapak kaki mereka.
Tetapi mereka sudah terbiasa, jari-jari mereka bagaikan
mampu mencengkeram jika tanah terasa licin oleh embun.
Tajamnya bebatuan terasa menusuk telapak kaki mereka.
Sekali-sekali mereka harus meloncati celah-celah
perbukitan, menelusuri relung-relung yang tajam.
Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di ngarai
yang datar. Dijalan bulak persawahan yang rata. Disekitarnya
terdapat batang-batang padi yang hijau menebar sampai
keujung pandang. Ebook by Dewi Kangzusi 7 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Ketiga orang itu berjalan dengan cepatnya melintasi bulak menuju kesebuah
padepokan yang terpencil, sebuah padepokan kecil yang letaknya terpisah dari
dari sebuah padukuhan yang terhitung besar.
Atas ijin Ki Bekel Panambangan, Ki Ajar Wihangga mendirikan sebuah padepokan
kecil saja yang letaknya terpisah dari padukuhan Panambangan. Hubungan KI Ajar
Wihangga dengan Ki Bekel Panambangan cukup akrab, bahkan keduanya sudah menjadi
seperti saudara sendiri. Apalagi umur merekapun sebaya. Jika mereka bertemu, pembicaraan diantara
merekapun selalu sejalan.
Disamping beberapap orang murid yang jumlahnya banyak, Ki Ajar Wihangga
mempunyai dua orang murid utama. Dua orang murid yang dibanggakan oleh Ki Ajar
Wihangga karena keduanya memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda
sebayanya. Keduanya adalah Raden Madyasta dan Raden Wignyana, kakak beradik, petera
Kangjeng Adipati di Paranganom.
Keduanya orang kakak beradik itu umurnya tidak bertaut banyak, ketika Madyasta
belum dapat berjalan, ibunya sudah mengandung lagi, maka beberapa bulan kemudian
lahirlah adiknya. Juga seorang laki-laki yang diberi nama Wignyana.
Dengan demikian maka umur mereka hanya bertaut kurang dari dua tahun.
Keduanya tumbuh dengan baik sebagaimana putera seorang Adipati. Sejak mereka
mulai mengenali lingkungannya, maka Kangjeng Adipati sudah menugaskan orang-
orang pandai untuk mendidik mereka dalam berbagai macam ilmu. Namun kemudian,
menginjak remaja, maka merekapun telah diserahkan kepada Ki Ajar Wihangga.
Ebook by Dewi Kangzusi 8 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Seorang yang memilih satu lingkungan kehidupan di sebuah
padepkan yang sepi. "Aku titipkan anak-anakku kepadamu, kakang" berkata
Kangjeng Adipati Paranganom yang bergelar Adipati
Prangkusuma. Ki Ajar Wihangga yang sedikit lebih tua dari Kangjeng
Adipati itu menarik nafas panjang, Ki Ajar adalah saudara tua
seperguruan dari Kangjeng Adipati Prangkusuma.
"Terima kasih atas kepercayaan Kangjeng Adipati
kepadaku, tetapi aku sendiri ragu, apakah aku akan dapat
memikul kepercayaan itu. Sehingga hasilnya sesuai dengan
keinginan kangjeng Adipati"
Kangjeng Adipati tersenyum, katanya "Aku mengenal
kakang dengan baik, kakangpun mengenal aku dengan baik
pula" Ki Ajar Wihangga tertawa, katanya "Baiklah, aku akan
membawa kedua putera Kangjeng itu ke padepokanku. Pada
saat mereka menjadi dewasa penuh, aku akan membawa
mereka kembali" "Apakah selama itu mereka tidak boleh sekali-sekali pulang
untuk menengok keluarganya", ibunya tentu akan sangat
merindukannya" "Tentu, Kangjeng, mereka berada di padepokanku tidak
sebagai tawanan atau orang buangan, sehingga tidak boleh
meninggalkan tempat. Tetapi mereka akan menjadi murid-
murid utama padepokanku"
sejak saat itu, empat tahun lalu, dua orang remaja putera
Kangjeng Adipati Prangkusuma itu berada di padepokan yang
Ebook by Dewi Kangzusi 9 Kang Zusi http://kangzusi.com/
dipimpin oleh Ki Ajar Wihangga. Namun seperti yang
dimaksudkan oleh Kangjeng Adipati, bahwa sekali-sekali
merekapun pulang karena keluarganya merindukannya.
Namun bukan saja kerinduan seorang ayah dan ibu, tetapi
setiap Raden Madyasa dan Wignyana pulang, Kangjeng
Adipati selalu menilik kemajuan kedua orang puteranya yang
diasuh oleh Ki Ajar Wihangga itu.
Setiap kali Kangjeng Adipati tersenyum, ia bangga dengan
kemajuan yang pesat dari kedua orang puteranya itu,
kepercayaannya kepada saudara perguruannya tidak sia-sia.
Ki Ajar Wihangga sendiripun merasa bangga terhadap
kedua orang muridnya itu, pada saat-saat terakhir, Ki Ajar
Wihangga telah sampai pada puncak ilmu yang dapat
diajarkannya kepada kedua orang muridnya yang telah
menjadi dewasa penuh itu.
Sebagaimana dijanjikan kepada Kangjeng Adipati, jika
keduanya telah menjadi dewasa penuh, maka mereka akan
dibawa kembali ke Kadipaten.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, mereka bertiga
telah memasuki sebuah padepokan yang tidak begitu besar.
Dipagi hari, sebagian cantrik sibuk menimba air mengisi
jambangan pakiwan, ada yang sibuk di dapur merebus air,
yang lain berada di kandang ternak dan di kandang kuda.
Ketika para cantrik itu melihat Ki Ajar Wihangga bersama
dengan Madyasta dan Wignyana memasuki padepokan,
merekapun mengangguk hormat.
"Teruskan kerja kalian anak-anak" berkata Ki Ajar. "Kalian
adalah anak-anak yang rajin dan terampil. Dengan demikian,
maka padepokan kita akan selalu terpelihara kebersihannya.
Ebook by Dewi Kangzusi 10 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Jika Ki Bekel Panambangan datang kemari, maka ia akan tetap
mengagumi kebersihan padepokan kita"
Ki Ajar Wihangga itupun langsung pergi ke pringgitan
bangunan induk padepokan itu bersama Madyasta dan
Wignyana. "Duduklah ngger, ada sesuatu yang ingin aku katakan


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada kalian" Madyasta dan Wignyana termangu-mangu sejenak, tidak
biasanya Ki Ajar bersikap demikian bersungguh-sungguh
seperti itu. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Madyasta dan
Wignyana telah duduk di pringgitan menghadap Ki Ajar.
Kedua anak muda itu masih belum mengeringkan
keringatnya, bahkan di beberapa bagian tubuh mereka masih
terasa nyeri dan pedih. Ada beberapa luka yang menggores
pada saat-saat tubuh mereka membentur batu-batu padas,
bahkan kening Wignyana masih nampak memar.
"Anak-anakku" berkata Ki Ajar, "Jika kalian ingat, maka
hari ini adalah hari ulang tahun kelahiran angger Madyasta.
Anger Madyasta pada hari ini genap berusia dua puluh lima
tahun, sedangkan angger Wignyana dalam beberapa bulan
lagi akan berusia genap dua puluh empat tahun, karena selisih
usia kalian berdua tidak ada dua tahun"
"Ya guru" Madyasta mengangguk hormat "Aku ingat,
bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku, tetapi menurut
pendapatku, aku tidak merasa perlu mengadakan peringatan
khusus pada hari ulang tahun ini, guru. Agaknya cukuplah jika
aku sempat mengingatnya saja"
Ebook by Dewi Kangzusi 11 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Ki Ajar Wihangga tertawa, katanya "Aku mengerti ngger.
Kau tentu tidak memerlukannya, yang ingin aku sampaikan adalah, bahwa kau sudah
dewasa penuh, demikianlah pula dengan anger Wignyana"
"Ya, guru" "Dengarlah, ketika Kangjeng Adipati menitipkan kalian berdua di padepokan ini,
aku mengatakan, bahwa pada saat kalian sudah dewasa penuh, maka aku akan membawa
kalian kembali ke Kadipaten"
Madyasta dan Wignyana menundukkan kepalanya.
"Nah, sekarang kalian sudah dewasa sepenuhnya, meskipun umur angger Wignyana
terpaut sekitar satu setengah tahun, tetapi menurut pendapatku, angger Wignyana
juga sudah dapat danggap dewasa sepenuhnya.
Sementara itu ilmu yang aku ajarkan kepada kalian berduapun sudah tuntas. Kalian
berdua adalah murid-muridku yang terbaik"
Keduanya terdiam, mereka sadar, bahwa dengan demikian mereka harus meninggalkan
padepokan yang telah mereka huni sekitar empat tahun.
Selama empat tahun mereka menghirup udara di padepokan itu. Selama empat tahun
mereka teguk airnya. Mereka makan hasil buminya dan selain semuanya itu, mereka telah menyadap ilmu
pula dari gurunya, Ki Ajar Wihangga"
"Anak-anakku" berkata Ki Ajar Wihangga ketika dilihatnya kedua anak muda itu
menunduk dalam-dalam "Sebenarnyalah bahwa padepokan ini bukan tempat terbaik
bagi kalian. Kalian adalah putera-putera Adipati. Disini kalian bekerja keras
untuk menyadap ilmu, sekarang, ilmu itu telah ada di dalam diri Ebook by Dewi
Kangzusi 12 Kang Zusi http://kangzusi.com/
kalian, tentu saja hanya sebatas kemampuanku untuk
menurunkan ilmu itu kepada kalian" Ki Ajar Wihangga berhenti
sejenak, lalu katanya pula "Nah, karena itu, sudah saatnya
kalian pulang kerumah kalian di Kadipaten Paranganom"
Madyasta dan Wignyana memang menyadari, bahwa pada
suatu saat mereka memang harus meninggalkan padepokan
ini, mereka harus kembali ke Kadipaten, apalagi ayah mereka,
Adipati Pranganim akan menjadi semakin tua, sehingga
kehadiran mereka di Kdipaten akan sangat diperlukan.
Pada tahun-tahun terakhir mereka berada di padepokan
itu. Telah terjadi pergeseran kekuasaan di Kadipaten
Kateguhan, Kangjeng Adipati Prawirayuda, saudara tua
Kangjeng adipati Prangkusuma, telah mangkat. Madyasta dan
Wignyana, meskipun mereka masih berada di padepokan,
namun mereka sempat pergi ke Kateguhan bersama ayah dan
ibu mereka untuk menghadiri pemakaman Kangjeng Adipati
Prawirayuda. Merekapun sempat menghadiri wisuda yang
menetapkan putera Kangjeng Adipati Prawirayuda untuk
menggantikan kedudukan ayahnya, bergelar Kangjeng Adipati
Yudapati di Kateguhan. "Anak-anakku" berkata Ki Ajar Wihangga "Besok aku akan
mengantar kalian pulang, aku akan menyerahkan kembali
kalian kepada ayah kalian, Kangjeng Adipati Prangkusuma.
Sehingga apa yang aku ajarkan kepada kalian, sesuai dengan
kehendaknya. Madyasta menark nafas dalam-dalam, dengan nada rendah
iapun kemudian berkata "Kami mengucapkan beribu-ribu
terimakasih, guru. Disini kami sudah mendapatkan ap saja
yang kami perlukan sebagai bekal hidup kami dikemudian
hari" Ebook by Dewi Kangzusi 13 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Sebenarnyalah bahwa kami sudah terlanjur merasa terikat dengan kehidupan di
padepokan ini, guru" berkata Wignyana pula.
Ki Ajar Wihangga tersenyum, katanya "Jika aku menyerahkan kalian kepada ayah
kalian, bukan berarti bahwa hubungan kita telah terputus. Kalian dapat datang
kapan saja ke padepokan ini, kalian dapat bermalam disini atau bahkan tinggal
disini beberapa hari asalkan ayah kalian mengijinkannya"
"Ya, guru" sahut Wignyana sambil mengangguk hormat
"Sejak dini hari tadi, aku sudah melihat kemampuan kalian berdua, apa yang dapat
alu tuangkan kepada kalian, telah aku lakukan. Menurut pendapatku, pada suatu
saat kalian menjadi dewasa seperti sekarang ini. Ilmu kalianpun telah menjadi
matang pula. Karena itu, aku berkesimpulan, bahwa kalian memang sudah waktunya
untuk kembali ke Kadipaten.
Mungkin ayah kalian memerlukan bantuan kalian dalam menjalankan pemerintahannya
karena ayah kalian sudah menjadi semakin tua"
"Nah, sekarang mandilah, aku sudah menyiapkan serbuk yang dapat meredakan rasa
sakit pada tubuh dan dapat meneyembuhkan luka-luka kalian, terbarkanlah serbuk
itu ke dalam jambangan"
"Ya, guru" "Marilah, kita ambil serbuk itu di senthongku"
Ki Ajar Wihanggapun kemudian telah memberikan masing-masing sebuah bumbung kecil
yang berisi serbuk ramuan dari berbagi macam daun dan bunga yang terdapat di
kebun belakang padepokannya, berdasarkan atas pengamatan dan
Ebook by Dewi Kangzusi 14 Kang Zusi http://kangzusi.com/
penelitian dan pengalaman yang lama, maka Ki Ajar Wihangga
telah dapat membuat ramuan yang akan sangat berarti bagi
kedua orang anak muda itu.
Sebenarnyalah, setelah mandi dengan menaburkan serbuk
didalam bumbung itu di jambangan yang telah penuh diisi air,
maka terasa alangkah segarnya tubuh mereka. Perasaan sakit,
nyeri dan pedihpun telah hilang, meskipun sejak dini hari
mereka berlatih dengan mengerahkan segenap tenaga dan
kemampuan mereka diatas pebukitan yang berbatu padas.
Setelah mandi dan berbenah diri, maka merekapun duduk
di ruang dalam bersama Ki Ajar, ada beberapa pesan yang
disampakan oleh Ki Ajar kepada kedua orang anak muda itu,
karena hari itu adalah hari terakhir mereka di padepokan.
"Nah, berbicaralah dengan para cantrik" berkata Ki Ajar
Wihangga kemudian, bahwa besok kalian akan pergi
meninggalkan padepokan ini"
"Baik, guru" jawab Madyasta dan Wignyana hapir
berbarengan. Sejenak kemudian, Madyasta dan Wignyana telah berada
diantara para cantrik. Ada diantara mereka yang sudah
bersiap memasuki sanggar, tetapi ada pula yang masih
bertugas. Para cantrik itu terkejut ketika mereka mendengar
pernyataan Madyasta dan Wignyana, bahwa besok mereka
akan meninggalkan padepokan.
"Raden berdua tidak akan kembali lagi kemari?" bertanya
salah seorang cantrik. Ebook by Dewi Kangzusi 15 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tidak, maksudku, masa berguru kami sudah selesai, tetapi bukan berarti bahwa
kami tidak akan pernah datang ke padepokan ini lagi, sekali-sekali kami tentu
akan datang kemari" jawab Madyasta.
"Ada ikatan yang tidak dapat dengan serta-merta kami putuskan" sambung Wignyana.
Namun bagaimanapun juga, kepergian Madyasta dan Wignyana membuat para cantrik
itu merasa kehilangan, setidak-tidaknya untuk sementara.
Esok harinya, pada dini hari, Madyasta dan Wignyana telah bangun. Mereka segera
mempersiapkan diri, hari itu, mereka akan diantar oleh Ki Ajar Wihangga kembali
ke Kadipaten. Kedua putera Kangjeng Adipati itu menyadari, bahwa kehidupuan di Kadipaten
menurut gelar lahiriah tentu jauh lebih baik dari mereka dapatkan dalam
kehidupan di padepokan itu yang tidak mereka dapat di Kadipaten. Di padepokan
mereka hidup dalam suasana tenang dan damai.
Tidak ada masalah yang dapat menimbulkan pertengkaran.
Bukan berarti bahwa di padepokan itu tidak akan ada perbedaan pendapat. Tetapi
mereka menanggapi perbedaan pendapat itu dengan sikap yang mapan. Kadang-kadang
ada perbedaan pendapat yang sulit dipertemukan meskipun dengan bantuan beberapa
orang cantrik yang lain. Namun dalam keadaan demikian, mereka yang berbeda
pendapat itu akhirnya sepakat untuk berbeda pendapat. Yang satu tidak memaksakan
pendapatnya kepada yang lain. Apalagi dengan menyatakan kebenaran pendapatnya
bagi semua orang. Sebelum matahari terbit, maka kedua orang anak muda itupun sudah siap. Demikiian
pula Ki Ajar Wihangga. Kuda-kuda yang akan mereka pergunakan telah disediakan
pula di samping pendapa bangunan induk padepokan.
Ebook by Dewi Kangzusi 16 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kita akan singgah sebentar di rumah Ki Bekel, ngger,
sebaiknya kalian minta diri kepada Ki Bekel"
"Baik, guru" Ketika matahari terbit, maka merekapun meninggalkan
padepokan setelah Ki Ajar memberikan beberapa pesan
kepada cantriknya. Seorang cantrik yang tertua, bukan saja
umurnya, tetapi juga masa bergurunya telah diserahi untuk
memimpin adik-adik seperguruannya.
"Mungkin aku akan bermalam di Kadipaten" berkata Ki Ajar
kepada para cantriknya. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Ki Ajar,
Madyasta dan Wignyanapun telah melarikan kuda mereka
dibulak panjang yang memisahkan padepokan mereka dengan
padukuhan Panambangan. Kedatangan Ki Ajar bersama muridnya pagi-pagi sekali
pada saat matahari baru terbit, telah mengetjutkannya.
"Maaf, Ki Bekel" berkata Ki Ajar "Mungkin kami
mengganggu atau bahkan mengejutkan Ki Bekel,
sebenarnyalah kami hanya ingin minta diri. Hari ini Raden
Madyasta dan Wignyana akan kembali ke Kadipaten"
"Maksud Ki Ajar, kembali pulang ke Kadipaten dan tidak
datang lagi ke padepokan?"
"Waktu mereka tinggal di padepokan sudah habis. Seperti
yang aku janjikan, aku akan mengembalikan mereka setelah
mereka dewasa. Karena sekarang mereka sudah dewasa, dan
tidak ada lagi yang dapat aku ajarkan kepada mereka, maka
Ebook by Dewi Kangzusi 17 Kang Zusi http://kangzusi.com/
aku akan membawa mereka kembali ke kadipaten dan
menyerahkannya kepada ayah mereka"
"Kami berdua mengucapkan terima kasih atas segala
kebaikan hati Ki Bekel" berkata Madyasta kemudian.
"Apa yang telah aku lakukan", aku tidak berbuat aoa-apa
bagi kalian berdua. Nah, aku hanya dapat mengucapkan
selamat jalan bagi kalian berdua, ngger. Semoga apa yang
kalian dapatkan dari padepokan Panambangan yang dipimpin
oleh Ki Ajar Wihangga akan dapat berarti bagi angger berdua
di masa datang. Baktiku kepada Kangjeng Adipati
Prangkusuma" "Terima kasih, Ki Bekel, mudah-mudahan kita masing-
masing selalu dirahmati oleh ALLAH Subhanal ahi Wataala
disepanjang hidup kita"
Ki Bekel tersenyum, setiap kali ia melihat kedua orang
anak muda putera Kangjeng Adipati itu hatinya selalu
bergetar. Ki Bekel sendiri mempunyai lima orang anak, tetapi
semuanya perempuan. Semuanyan telah bersuami pula.
Tetapi Ki Bekel yang baru mempunyai tiga orang cucu itu,
ternyata semuanya juga perempuan.
"Aku ingin mempunyai keturunan laki-laki, semoga ALLAH
menganugerahkan aku dengan cucu laki-laki"
Tetapi Ki Bekel masih berpengharapan, salah seorang
anaknya sedang mengandung, ia berharap anak yang akan
lahir itu laki-laki. Jika anak itu perempuan, maka ia masih akan
tetap memohon seorang cucu laki-laki.
Demikian, maka sejenak kemudian, Ki Ajar Wihangga
bersama dengan Madyasta dan Wignyanapun telah melarikan
kuda mereka menuju ke Kadipaten.
Ebook by Dewi Kangzusi 18 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Ketika mereka meninggalkan padukuhan Panambahan,
masih terdengar kicau burung-burung liar yang hinggap di
pepohonan. Sementara itu, mataharipun memanjat semakin
tinggi, daun padi yang hijau subur, yang bergetar disentuh
angin pagi, nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya
matahari. Sementara embun masih nampak bergayutan di
ujungnya yang menunduk. Ki Ajar Wihangga, Madyasta dan Wignyanapun memang
tidak melarikan kuda mereka terlalu kencang. Meskipun jarak
yang akan mereka tempuh cukup panjang, namun mereka
merasa bahwa perjalanan mereka tidak akan mengalami
hambatan. Mungkin mereka akan berhenti sebentar untuk beristirahat.
Mungkin ada kedai yang memadai serta yang sekaligus dapat
merawat dan memberikan makan kepada kuda-kuda mereka.
"Sebelum senja kita akan sampai" berkata Ki Ajar
Wihangga. "Jika kita berhenti beristirahat?"
"Ya, kita akan berhenti beristirahat sekali atau dua kali.
Mungkin kita tidak sangat memerlukan kesempatan untuk
beristirahat. Tetapi agaknya kuda-kuda kita memerlukannya."
Sedikit lewat tengah hari, Ki Ajar Wihangga yang mengajak
mengajak kedua orang anak muda itu untuk beristirahat di


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah kedai. Ki Ajar Wihangga, bahwa kedua anak muda itu
tentu tidak akan ada yang mengajaknya berhenti, sementara
itu kuda mereka sudah nampak agak letih dan haus.
Ternyata sebuah kedai yang terletak tidak jauh dari sebuah
pasar, menyediakan tenaga yang dapat merawat, memberi
Ebook by Dewi Kangzusi 19 Kang Zusi http://kangzusi.com/
makan dan minum kuda yang kelelahan, karena itu, maka
mereka bertigapun telah berhenti di kedai itu sambil
menyerahkan kuda-kuda mereka kepada seorang yang
memang ditugaskan untuk itu.
Kehadiran Madyasta dan Wignyana di kedai itu sama sekali
tidak menarik perhatian, karena keduanya mengenakan
pakaian orang kebanyakan. Keduanya sama sekali tidak
menunjukkan ciri-ciri bahwa keduanya adalah putera seorang
Adipati. Namun didalam kedai itu Madyasta, Wignyana dan Ki Ajar
Wihangga tertarik kepada pembicaraan beberapa orang yang
lebih dahulu berada di kedai itu, mereka menceritakan bahwa
keadaan kadipaten Paranganom mulai tidak aman. Sekali-
sekali terdengar berita tentang perampokan di jalan-jalan
yang sepi. Bahkan ada penyamun yang berani melakukannya
disiang hari. "Guru" desis Madyasta " Apa selama ini guru tidak pernah
mendengar berita seperti itu?"
Ki Ajar Wihangga menggeleng, katanya perlahan-lahan
"Yang aku ketahui selama ini Kadipaten Paranganom adalah
sebuah kadipaten yang tenteram. Tidak terdapat gejolak
kejahatan yang pernah mengusik ketenangan kehidupannya."
"Tetapi menurut orang itu..?"
Ki Ajar Wihangga mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah mereka mendengar dengan jelas, bahwa
Kadipaten Paranganom mulai disentuh oleh perbuatan-
perbuatan jahat. Ebook by Dewi Kangzusi 20 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tetapi semuanya itu baru kita dengar dari pembicaraan orang di sebuah kedai,
guru" berkata Madyasta.
"Ya, ngger. Mudah-mudahan yang terjadi sebenarnya tidak seperti yang kita dengar
itu" "Mungkin yang terjadi itu tidak terjadi di Kadipaten ini, guru" berkata Wignyana
"Atau jika terjadi di Kadipaten ini sekedar sentuhan peristiawa yang terjadi
diluarnya" "Ya, ngger, meskipun demikian, jika di dekat perbatasan telah terjadi kerusuhan,
maka yang tinggal selangkah itu tentu akan segera terjadi pula"
Wignyana mengangguk sambil menjawab "Ya, guru"
"Bagaimanapun juga apa yang kita dengar ini akan kita laporkan kepada Kangjeng
Adipati. Apa salahnya kita berjaga-jaga orang-orang itu tentu bukan sekedar
membual, meskipun mungkin yang terjadi tidak tepat seperti apa yang mereka
perbincangkan itu" "Guru" berkata Wignya "Kita juga akan melewati jalan di dekat perbatasan dengan
Kadipaten Kateguhan"
"Ya, tetapi mudah-mudahan kita tidak menemui hambatan"
Demikianlah, beberapa saat kemudian, setelah mereka minum dan makan serta kuda-
kuda merekapun sudah puas beristirahat serta sudah kenyang pula, maka mereka
bertigapun melanjutkan perjalanan mereka menuju pusat pemerintahan Kadipaten
Paranganom. Sejenak kemudian, kuda-kuda mereka telah berlari lagi menyusuri jalan-jalan
berbatu. Mereka bertiga memutuskan
Ebook by Dewi Kangzusi 21 Kang Zusi http://kangzusi.com/
untuk mengambil jalan terdekat, meskipun bukan jalan yang
terbaik. Jalan yang mereka lalui justru akan melewati padang
perdu, bahkan lewat tidak jauh dari sebuah hutan yang
membujur panjang di perbatasan.
Rasa-rasanya mereka justru ingin membuktikan, apakah
yang dibicarakan oleh orang-orang yang berada di kedai itu
memang benar. "Mungkin kita mendapatkan kesan-kesan tertentu yang
dapat membenarkan atau justru bertentangan dengan yang
dibicarakan oleh orang di dalam kedai itu" berkata Madyasta.
Ki Ajar Wihangga tidak mencegahnya, sebagai putera
seorang Adipati, keduanya tentu ingin mengetahui keadaan
sebenarnya dari wilayah kekuasaan ayahnya.
Kuda mereka masih berlari, sekali-sekali jalan menanjak
naik, namun kemudian jalanpun menurun dengan tajamnya.
Sekali-sekali mereka menyeberangi sungai yang tidak begitu
besar sehingga airnyapun tidak begitu dalam.
Ketika matahari mulai beranjak turun, maka Wignyanapun
berkata "Kita akan segera sampai di jalan yang terdekat
dengan perbatasan, kakangmas"
"Ya, dimas. Dekat perbatasan dengan Kadipapten
Kateguhan yang sekarang pemerintahannya dipegang oleh
kakangmas Adipati Yudapati."
"Apakah keadaan di Kadipaten Kateguhan manjadi semakin
memburuk sepeninggalnya paman Adipati Prawirayuda,
sehingga terjadi kerusuhan di beberapa tempat, bahkan
mengalir ke Kadipaten Paranganom?"
"Kita belum tahu pasti dimas"
Ebook by Dewi Kangzusi 22 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Bagaimana menurut pendapat guru", apakah kangmas
Adipati Yudapati tidak mampu mengendalikan Kadipaten
Kateguhan setangkas paman Adipati Prawirayuda?"
"Aku kurang mengenal angger Adipati Yudapati, ngger.
Tetapi Aku mengetahui bahwa Adipati Yudapati berguru
kepada seorang yang aku kenal dengan baik"
"Atau ada oprang yang tidak menyenanginya sehingga
dengan sengaja menimbulkan keresahan?"
"Masih banyak yang perlu diketahui, ngger"
Ketiganyapun terdiam sejenak, kuda-kuda mereka masih
berlari di jalan yang semakin dekat dengan hutan yang
panjang. Namun tiba-tiba saja Wignyana itupun berkata
"Kakangmas, jangan-jangan justru kerusuhan itu terjadi di
Kadipaten Paranganom, baru merembes ke Kateguhan"
"Jika demikian, kita harus dengan cepat bukan saja
menumpasnya, tetapi juga mencari sebabnya"
"Ya" Wignyana mengangguk-angguk.
Ketika kemudian mereka mendekati sebuah tikungna, pada
jarak terdekat dengan hutan yang memanjang, Ki Ajar berkata
"Berhati-hatilah, ngger"
Madyasta dan Wignyana yang patuh kepada gurunya itu
memperlambat kudanya. Ketika mereka sampai di kelok jalan,
maka keduanya benar-benar berhati-hati"
Ebook by Dewi Kangzusi 23 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Untunglah, bahwa Ki Ajar telah memberi peringatan kepada mereka. Sehingga mereka
menarik kendali kuda mereka. Bebera[a langkah dari tikungan terdapat tali ijuk
yang menyilang jalan. Tali ijuk yang sengaja diikat pada dua batang pohon yang
berseberangan setinggi dada orang yang berkuda.
Madyasta dan Wignyana yang berada di depan segera berhenti dan meloncat turun.
Mereka sadar, bahwa mereka berhadapan dengan bahaya yang dapat mencancam jiwa
mereka. Ki Ajar kemudian turun pula dari kudanya, jika saja mereka tidak berhati-hati,
maka tali ijuk akan dapat menjebak mereka, sehingga mereka akan terpelanting
dari kuda-kuda mereka. Dengan geram Madyasta berkata "Jika apa yang dikatakan orang di kedai itu bukan
sekedar dongeng. Sekarang kita hadapi kenyataan itu disini. Bukankah kita masih
tetap berada di Paranganom?"
"Ya, kakangmas. Kita masih berada di Paranganom. Jika memang benar, bahwa telah
terjadi kerusuhan di Paranganom, kejadian yang sebelumnya belum pernah mengotori
udara Kadipaten ini"
Ki Ajar berdiri termangu-mangu, dipandanginya hutan yang tinggi beberapa langkah
saja itu. Mereka memang berada diruas jalan yang terdekat dengan hutan di perbatasan itu.
Sejenak mereka bertiga berdiri termangu-mangu. Mereka sama sekali tidak berniat
dengan cepat menghindar dari kemingkinan buruk menghadapi orang-orang yang telah
dengan sengaja menyilangkan tali ijuk itu. Bahkan mereka bertiga seakan-akan
menunggu, apa yang akan terjadi
Ebook by Dewi Kangzusi 24 Kang Zusi http://kangzusi.com/
kemudian memskipun mereka dapap saja merunduk,
menyusup dibawah tali ijuk itu dan melarikan kuda mereka.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja mereka mendengar suara
tertawa, empat orang bertubuh tinggi, berbadan kekar dan
berwajah garang muncul dari dalam hutan.
Seroang diantara mereka berkata "Luar biasa, jarang sekali
orang yang sempat menghindari jebakan kami. Apalagi orang
yang berkuda dari arah tikungan. Tetapi kalian sempat
menarik kendali, sehingga kuda kalian berhenti sebelum tali
itu melemparkan kalian dari kuda-kuda kalian."
Bab 02 - Kadipaten Paranganom
Wignyana yang menyahut "Kalian hanya menjebak orang-
orang yang lewat dari satu arah, kenapa justru orang-orang
yang akan pergi kearah pusat kota pemerintahan
Paranganom?" Orang yang berwajah garang itu mengerutkan dahinya,
katanya "Pertanyaanmu bagus anak muda, tetapi aku tidak
dapat menjawab. Kami sama sekali tidak pernah
memikirkannya, bahwa jebakan kami hanya berlaku bagi
mereka yang berkuda dari satu arah. Mungkin kami
mempunyai firasat bahwa kalian akan lewat jalan ini menuju
pusat pemerintahan Kadipaten Paranganom"
"Lalu, apa maksud kalian dengan merentang tali ijuk ini
menyilang jalan itu?"
"Kau sudah tentu tahu apa yang kami inginkan. Karena
kalian tidak terlempar dari kuda kalian, maka baiklah aku
katakan saja bahwa aku ingin merampas semua harta kalian,
kami adalah sekawanan penyamun. Kami tidak perlu
Ebook by Dewi Kangzusi 25 Kang Zusi http://kangzusi.com/
menyembunyikan kenyataan diri atau berpura-pura. Berikan
kudamu, uangmu, kerismu, timangmu. Pokoknya tinggalkan
semuanya dan kalian boleh pergi"
"Baik. Kamipun akan berterus terang" sahut Madyasta
"Kami akan menangkap kalian dan membawanya menghadap
Kangjeng Adipati. Selama ini Paranganom selalu tenang,
tenteram dan tidak pernah terdapat gejolak apapun. Tiba-tiba
muncul kalian, kawanan penyamun yang bukan saja ingin
merampas milik kami, tetapi kalian sudah membuat
Paranganom menjadi resah"
Para penyamun itu tertawa, seorang diantara mereka
berkata "Itu memang kami sengaja. Karena selama ini
Paranganom tenang-tenang saja, maka, banyak orang yang
menjadi lengah dan tidak berhati-hati. Nah, karena itu, maka
Paranganom menjadi ladang yang sangat subur bagi kami. Di
daerah yang tidak sedamai Paranganom, tidak akan ada orang
yang memilih jalan ini untuk memilih jalan yang ramai
meskipun agak jauh. Tetapi disini, didaerah yang aman dan
tenteram, kalian berani lewat jalan yang sepi ini. Karena itu,
maka kalian telah menemui nasib buruk sekrang ini"
"Kami atau kalian yang menemui nasib buruk". Kami
adalah perajurit Paranganom dalam tugas sandi, justru karena
pada saat-saat terakhir sering terjadi perampokan. Semula
kami tidak mempercayainya, karena selama ini Paranganom
selalu aman dan tenteram. Namun disini kami menemukan
kenyataan itu. Di Paranganom memang ada sekawanan
perampok dan bahkan mungkin sekelompok perampok yang
justru memanfaatkan ketenangan masyarakat Paranganom
yang kalian anggap lengah. Memang mungkin rakyat menjadi
lengah, tetapi tidak untuk perajurit"
Ebook by Dewi Kangzusi 26 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Persetan dengan celoteh kalian. Jika kalian prajurit dalam tugas sandi, kenapa
kalian membawa orang tua itu bersama kalian"
Madyasta dan Wignyana serentak berpaling kepada Ki Ajar Wihangga yang berdiri
saja seolah membeku. "Orang tua itu hanya kebetulan seperjalanan, agaknya orang tua itu sudah
mempunyai firasat buruk, bahwa Paranganom sekarang memang sudah tidak lagi aman
dan tenteram" "Sudahlah, jangan mengaku-aku prajurit, bahkan seandainya kalian prajurit.
Kalian harus tunduk kepada kami sekarang ini. Serahkan semua yang kalian punya,
juga orang tua itu. Kemudian karena kalian prajurit, maka perlakuan kami akan
bebrbeda" "Kenapa jika kami prajurit?" bertanya Wignyana.
"Karena kalian prajurit, maka kalian akan kami bunuh disini. Biarlah Paranganom
menyadari, betapa rapuhnya kekuatan Kadipaten Paranganom yang katanya aman dan
tenteram. Orang tua itu akan kami lepaskan untuk berceritera, bahwa dua orang
prajurit Paranganom telah mati dibunuh sekawanan perampok. Orang tua itu akan
berceritera, bahwa ternyata para prajurit Paranganom tidak mampu melindunginya,
sehingga ia harus menyerahkan semua miliknya kepada orang-orang yang merampoknya
di jalan ini" Tetapi Wignyana itupun menjawab, "Bersiaplah, kami akan menangkap kalian. Jika
kalian melawan, maka kami akan terpaksa membunuh kalian. Orang-orang Paranganom
akan merasakan betapa ketatnya perlindungan bagi ketenangan hidup mereka"
Ebook by Dewi Kangzusi 27 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Keempat orang perampok itu bergeser merenggang. Tetapi sambil terttawa seorang
yang agaknya pemimpin mereka itu masih juga tertawa sambil berkata "Prajurit-
prajurit muda kebanyakan memang besar kepala, mereka merasa dirinya mumpuni.
Tetapi apa kalian pernah belajar olah kanuragan yang sebenarnya di lingkungan
keprajuritan" Lurah-lurah kalianpun tidak tahu ilmu kanuragan yang sebenarnya,
apalagi kalian" Madyasta dan Wignyana tidak bertanya lagi, keduanyapun telah mengikat kuda-kuda
mereka pada pohon perdu di pinggir jalan. Kemudian keduanyapun telah mengambil
jarak. Mereka menyadari, bahwa mereka masing-masing akan menghadapi dua orang lawan.
Para perampok itu tentu tidak akan memperhitungkan kehadiran Ki Ajar Wihangga,
kecuali jika Ki Ajar itu sendiri yang akan turun ke medan.
Namun agaknya Ki Ajar tidak akan melibatkan diri, ia masih saja berdiri sambil


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegangi kendali kudanya, seakan-akan membeku.
Sebenarnyalah bahwa Ki Ajar memang tidak ingin langsung terjun ke arena, ia
justru ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh kedua orang muridnya.
Hanya dalam keadaan yang memakska, maka Ki Ajar akan melibatkan diri.
Dalam pada itu, salah seorang dari keempat perampok itu masih berkata "Angkatlah
wajahmu, pandanglah langit diatas Kadipaten Paranganom untuk terakhir kalinya.
Pandanglah mega yang mengalir dan seakan-akan bersarang di puncak gunung itu.
Kemudian tundukkan kepalamu. Pandanglah bumi yang kau injak. Di bumi itu pula
kalian akan dikuburkan"
Ebook by Dewi Kangzusi 28 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Madyasta dan Wignyana tidak menyahut, namun keduanya benar-benar telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, para perampok itupun telah bertebar, seakan-akan memilih lawan
masing-masing, seperti yang diduga oleh Madyasta dan Wignyana, mereka masing-
masing akan berhadapan dengan dua orang yang bertubuh tinggi, berbadan kekar,
dan berwajah garang. Meskipun mereka sering tertawa, tetapi suara tertawa
mererka sama sekali jauh dari nafas keramah-tamahan.
"Suara iblis yang bersarang ditubuh mereka" berkata Madyasta di dalam hatinya.
Sebagai putera seorang Kangjeng Adipati yang memimpin pemerintahan, maka
Madyasta dan Wignyana benar-benar merasa tersinggung oleh perbuatan para
perampok itu. Ketenangan yang mereka anggap ketenangan itu, seolah-olah telah menggelar lahan
yang sangat subur bagi mereka.
"Kesan itu harus dihapuskan, setiap penjahat yang ada di Kadipaten ini harus
dihukum" Demikianlah, maka sejenak kemudian, para perampok itu sudah mulai menyerang dari
arah yang berbeda. Dua orang menghadapi Madyasta, yang dua orang lagi menghadapi
Wignyana. Dengan tangkasnya Madyasta dan Wignyana menghadapi para perampok yang garang
itu. Ketika beberapa serangan para penyamun itu tidak sempat menyentuh tubuh kedua
orang anak muda itu, maka para perampok itupun mulai menyadari, bahwa anak-anak
muda itu bukannya sekedar menggertak. Agaknya mereka memang mempunyai bekal yang
cukup dalam olah kanuragan.
Ebook by Dewi Kangzusi 29 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Ki Ajar masih berdiri di tempatnya, kedua murid utamanya
itu justru mendapat tempat untuk menguji ilmu yang pernah
mereka pelajari. Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama, Madyasta
dan Wignyana ternyata terlalu kuat bagi keempat perampok
itu. Dalam beberapa saat, keempat penyamun itu mulai
terdesak. Serangan-serangan mereka yang garang sama sekali
tidak berarti bagi Madyasta dan Wignyana, bahkan serangan-
serangan Madyasta dan Wignyana yang kemudian justru
sereing mengenai tubuh mereka, serangan-serangan kedua
orang anak muda itu mampu menembus pertahanan lawan-
lawan mereka. Ketika serangan Madyasta yang deras mengenai dada
seorang diantara lawan-lawannya, orang itupun terlempar
beberapa langkah surut, kakinya terperosok kedalam parit,
sehingga orang itu tidak lagi mampu mempertahankan
keseimbangannya. Dengan demikian maka iapun telah
terbaring jatuh menimpa tanggul parit, namun kemudian
terguling masuk kedalam aliran air yang meskipun tidak terlalu
deras, tetapi telah membasahi pakaiannya.
Dengan cepat orang itu berusaha untuk bangkit. Ada
beberapa teguk air yang masuk ke mulutnya dan menghisap
ke dalam tenggorokannya. Tetapi begitu ia bangkit berdiri dan berusaha naik ke
tanggul parit. Maka kawannya yang seorang lagi telah
terlempar pula menimpanya, sehingga kedua-daunya justru
terjebur lagi ke dalam parit.
Ebook by Dewi Kangzusi 30 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Madyasta dengan cepat memburunya. Demikiam keduanya berusaha untuk bangkit, naka
kakinya telah menyambar kening seorang diantara mereka, sehingga terpelanting ke
dalam kotak sawah yang sedang digenangi air. Sementara itu, kawannyapun berusaha
pula untuk berdiri. Tetapi sekali lagi kaki Madyasta terayun menghantam lambung.
Dengan demikian, maka kedua lawan Madyasta itupun telah terperosok masuk kedalam
Lumpur sawah diseberang parit.
Dalam pada itu, Wignyana telah meloncat sambil memutar tubuhnya, kakinya
melayang menerpa kening seorang dari kedua lawannya, sehingga orang itu
terlempar beberapa langkah. Kepalanya menjadi pening, serta matanya berkunang-
kunang. Kawannya yang melihat seorangan itu berusaha mempergunakan kesempatan. Dengan
cepat orang itu meluncur menyerang Wignyana dengan kakinya mengarah ke punggung.
Tetapi dengan tangkasnya Wignyana merendah, dengan deras kakinya justru menyapu
kaki lawannya. Orang itupun terpelanting dengan kerasnya, tubuhnya yang jatuh, menimpa batu-
batu di jalanan. Terdengar orang itu mengeluh kesakitan. Punggungnya serasa
menjadi retak. Tetapi ada harapan lagi, bagi keempat perampok itu.
Karena itu, maka tiba-tiba saja seorang diantara mereka telah memberikan isyarat
dengan siulan nyaring. Dengan cepat keempat orang itu berusaha untuk segera bangkit berdiri dan
melarikan diri. Tidak ada kesulitan bagi Madyasta dan Wignyana untuk menangkap mereka. Ketika
keempat orang itu berlari ke
Ebook by Dewi Kangzusi 31 Kang Zusi http://kangzusi.com/
hutan, maka Madyasta maupun Wignyana berusaha untuk
mengejar mereka. Tetapi terdengar Ki Ajar Wihangga bertepuk tangan
memanggil mereka. "Guru" berkata Madyasta "Kami harus dapat menangkap
salah satu dari mereka. Dengan demikian kita akan tahu,
siapakah mereka itu dan siapa pula pemimpin mereka"
"Tidak akan banyak artinya, ngger" jawan Ki Ajar.
"Kenapa guru?" "Yang mereka ketahui, mereka adalah sebagian dari
sekelompok penjahat. Hanya itu. Merekapun tidak akan dapat
menunjukkan sarang kawan-kawannya karena mereka tentu
berpindah-pindah tempat. Menurut penglihatanku, mereka
adalah sebagian kecil dari sekawanan perampok yang besar
dalam susunan keanggotaan yang berlapis, sehingga orang-
orang pada lapisan terbawah tidak akan tahu, siapakah yang
berada dilapisan tengah. Apalagi dilapisan atas"
"Tetapi setidak-tidaknya kami membawa bukti bahwa telah
terjadi kerusuhan di Kadepapten ini"
"Jika kau kehilangan bukti, aku akan bersedia menjadi
saksi" Madyasta terdiam. "Angger berdua, kalian tidak tahu, apa yang ada
dibelakang pepohonan hutan itu. Sarang mereka tentu tidak
ada di tempat itu. Tetapi kau harus mengingat jebakan-
jebakan yang mungkin mereka pasang. Bukan hanya sekedar
tali yang terikat menyilang di jalan. Mungkin di dalam hutan
Ebook by Dewi Kangzusi 32 Kang Zusi http://kangzusi.com/
itu terdapat berbagai macam jebakan, sementara beberapa
orang telah menunggu"
Madyasta dan Wignyana saling berpandangan sejenak,
namun merekapun mengerti peringatan yang diberikan oleh
gurunya. Mungkin para perampok itu telah membuat jebakan
yang memang mereka tujukan kepada para prajurit jika
mereka mencoba memburu untuk menangkap mereka.
"Ya, guru" desis Madyasta kemudian.
"Nah, sekarang marilah kita meneruskan perjalanan,
singkirkan tali itu"
Madyasta dan Wignyanapun kemudian telah
mengingkirkan tali yang merentang menyilang jalan itu.
Sejenak kemudian, maka mereka bertigapun melanjutkan
perjalanan mereka, tetapi yang berada di paling depan
kemudian adalah Ki Ajar. Ketika mereka kemudian telah sampai ke jalan yang lebih
lebar, yang semakin jauh dari hutan, ki Ajarpun berkata
kepada Madyasta dan Wignyana "Majulah sedikit ngger, ada
yang akan aku katakan. Madyasta dan Wignyana kemudian berkuda disebelah
menyebelah Ki Ajar. Sementara itu, kuda merekapun berlari
tidak terlalu kencang. `"Aku melihat kalian tadi marah sekali kepada para
perempok itu" Madyasta dan Wignyana termangu-mangu sejenak, namun
kemudian Madyastapun menjawab "Ya, guru. Aku memang
marah sekali kepada mereka"
Ebook by Dewi Kangzusi 33 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Itu wajar, ngger. Tetapi betapapun kalian marah. Kalian
tidak boleh terbakar oleh rasa kemarahan kalian, maka
penalaran kalianpun akan menjadi kacau"
Madyasta dan Wignyana terdiam.
"Angger berdua, aku melihat ungkapan kemarahan kalian
adalah tatanan gerak kanuragan kalian. Betapa kalian marah
sekali sehingga serangan-serangan kalian tidak lagi terkendali.
Tidak ada pikiran lain di kepala kalian sekali menghancurkan
lawan kalian. Dan bahkan malah membunuh mereka.
Seadainya kalian mengejar mereka agar menangkap salah
seorang dari mereka untuk dijadikan sumber keterangan,
maka yang akan kalian dapatkan atidak akan lebih dari sosok-
sosok mayat para perampok itu. Aku melihat bahwa kalian
terlalu sulit untuk mengendalikan kemarahan kalian"
Madyasta dan Wignyana tidak menjawab.
"Tetap itu wajar sekali terjadi pada anak-anak muda yang
baru keluar dari sebuah perguruan. Anak-anak muda yang
merasa dirinya telah berbekal ilmu"
Jantung Madyasta dan Wignyanapun telah tersentuh pula,
karena itu, maka keduanya sama sekali tidak menjawab.
"Tetapi setelah kalian mengalami, ngger. Untuk seterusnya
berhatil-hatilah. Kalian harus menjaga agar kalian tidak
terbenam kedalam arus kemarahan setiap kali kalian
menghadapi persoalan, betapapun kalian menjadi marah.
Kalian harus tetap menyadari, apa yang akan kalian lakukan"
"Ya, guru" jawab Madyasta dan Wignyana berbarengan.
Ebook by Dewi Kangzusi 34 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tetapi apa yang terjadi bukan merupakan gejala buruk bagi kalian. Itu wajar.
Wajar sekali. Namun meskipun hal itu terjadi, namun sebaiknya kalian mampu tetap
berpegang teguh pada penalaran yang penting.
"Ya, guru" jawab kedua orang anak muda itu.
"Nah, marilah kita berpacu agak lebih cepat. Waktu kita sudah tersita beberapa
lama di pinggir hutan itu"
Madyasta dan Wignyana tidak menjawab, sementara itu, kuda Ki Ajar berlari
semakin cepat, sehingga kedua orang anak muda itupun mempercepat lari kuda
mereka pula. Namun dengan demikian, maka mereka tidak dapat mencapai Dalem Kadipaten sebelum
senja, ketika senja turun, mereka masih berada di jalan yang langsung menuju ke
pintu gerbang kota Paranganom.
Demikian mereka sampai ke pintu kota, maka lampu-lampu minyak disetiap rumah
sudah dinyalakan. Dua buah oncor telah terpaspang pula di pintu gerbang,
sedangkan di pinggir jalan induk yang langsung menuju ke alun-alun, di beberapa
regolpun telah terpasang oncor pula. Sebagian oncor jarak, sedangkan yang lain
oncor minyak kelapa. Dalam keremangan senja, tidak banyak lagi orang yang berada di jalan, bahkan
tidak ada orang yang memperhatikan tiga orang berkuda menyusuri jalan induk yang
langsung menuju alun-alun.
Namun penjaga pintu gerbang istana Kangjeng Adipatilah yang terkejut ketika
mereka melihat tiga orang berkuda berhenti di depan pintu gerbang halaman
istana. Ebook by Dewi Kangzusi 35 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Raden Madyasta dan Raden Wignyana" desis prajurit yang bertugas.
"Ya, kami datang bersama guru"
"Silahkan, silahkan, Raden, silahkan Kiai"
Ketiganyapun segera memasuki pintu gerbang halaman istana, mereka langsung
menyusuri halaman samping dan berhenti di pinta seketeng.
Prajurit yang bertugaspun segera menerima ketiga ekor kuda itu dan
mempersilahkan memreka memasuki longkangan samping.
Kedatangan Madyasta dan Wignyana bersama Ki Ajar Wihangga pada saat malam mulai
turun itu, memang agak mengejutkan Kangjeng Adipati.
Kangjeng Adipatipun kemudian menerima kehadiran Ki Ajar serta kedua orang
puteranya di serambi samping.
"Selamat datang kakang, nampaknya kakang bersama Madyasta dan Wignyana agak
kesiangan berangkat dari padepokan, sehingga lewat senja kalian baru sampai.
Bukankah biasanya kakang dan anak-anak sudah sampai sebelum senja turun?"
Ki Ajar tersenyum, katanya "Ada sedikit hambatan di perjalanan, Kangjeng"
Kangjeng Adipati mengerutkan keningnya, dengan nada tinggi iapaun bertanya
"Hambatan apa kakang?"
Ebook by Dewi Kangzusi 36 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Ki Ajar memandang Madyasta dan Wignyana berganti-ganti. Sambil tersenyum iapun
berkata "Kedua putera Kangjeng Adipati telah diuji di perjalanan"
"Ada apa?" nampak kecemasan di wajah Kangjeng Adipati.
Namun sebelum pembicaraan itu berlanjut, Raden Ayu Prangkusuma telah memasuki
serambi itu pula. Dengan nada penuh kerinduan dari seorang ibu, Raden Ayu itupun
berkata "Aku mendengar suara kalian Madyasta dan Wignyana.
Marilah. Masuklah ke ruang dalam, kalian tentu letih setelah menempuh perjalanan
seharian" "Kau belum mengucapkan selamat datang kepada kakang Ajar Wihangga, diajeng"
potong Kangjeng Adipati. Raden Ayu tertawa, katanya, "Maaf kakang, sudah sejak di dalam ucapan itu sudah
ada di bibir. Tetapi ketika aku melihat Madyasta dan Wignyana, aku lupa
mengucapkannya. Apalagi kektika aku melihat pakaian mereka yang kusut. Keringat
dan debu yang melekat diwajah mereka. Maaf, kakang. Biarlah mereka membenahi
diri" "Kakang Ajar Wihangga tentu juga akan segera berbenah diri"
"Senthong bagi kakang Ajar akan segera disiapkan.


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukankah kakang akan bermalam?"
"Tentu" Kangjeng Adipatilah yang menjajwab "Bukankah malam sudah turun?"
"Nah, masih banyak waktu untuk berbincang. Malam nanti, esok pagi dan barangkali
kakang Ajar tidak hanya akan bermalam semalam saja"
Ebook by Dewi Kangzusi 37 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Ki Ajar hanya tertawa saja. Sementara itu, setelah Madyasta dan Wignyana mencium
tangan ibunya, merekapun dibimbing seperti kanak-kanak masuk ke ruang dalam.
"Maaf, kakang" berkata Kangjeng Adipati kemudian
"Ibunya memang sangat rindu kepada mereka"
"Aku mengerti, Kangjeng"
"Aku juga minta maaf, kakang. Sebelum kakang sempat beristirahat, aku sudah
mendesak ingin mengetahui hambatan apa yang telah terjadi di perjalanan?"
Ki Ajar tersenyum, katanya "Tidak apa Kangjeng, bukankah itu sudah sewajarnya?"
"Ya, kakang" sahut Kangjeng Adipati Ki Ajarpun kemudian menceritakan apa yang
telah terjadi di perjalanan. Empat orang kawanan perampok itupun telah
mengganggu perjalanan mereka.
"Perampok" "
"Ya, Kangjeng" Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak, namun sementara itu, seorang pelayan
telah menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.
"Silahkan kakang. Nanti pembicaraan kita tentang para perampok itu kita
lanjutkan" "Terima kasih, Kangjeng"
Ebook by Dewi Kangzusi 38 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kami akan mempersilahkan kakang untuk mandi dan beristirahat. Malam nanti kita
akan dapat berbicara panjang bersama Madyasta dan Wignyana"
malam ini setelah makan malam Kangjeng Adipati duduk di serambi pula bersama Ki
Ajar Wihangga, Madyasta dan Wignyana. Raden ayu Prangkusuma itu duduk mereka
sebentar. Namun kemudian minta diri untuk bersama-sama dengan pelayan
membersihkan ruangan dalam.
"Nah" berkata Kangjeng Adipati kemudian "Sekarang aku ingin mendengar ceritera
tentang perjalanan kakang bersama Madyasta dan Wignyana sepenuhnya"
Ki Ajarpun tersenyum, katanya "Baiklah, Kangjeng, tetapi sebaiknya biarlah anger
Madyasta dan Wignyana sajalah yang berceritera"
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, katanya "Baiklah, ceritakan apa yang telah
terjadi" Berganti-ganti Madyasta dan Wignyana menceritakan apa yang telah terjadi di
perjalanan mereka. Mereka saling melengkapi dan bahkan ceritera mereka memang
kadang-kadang menjadi tumpang tindih. Rasa-rasanya terlalu banyak yang ingin
mereka katakana, sehingga kalimatpun rasa-rasanya saling berdesakan lewat mulut
keduanya. Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, akhirnya ceritera kedua orang putranya itu
jelas pula baginya. "Kakang" berkata Kangjeng Adipati "Sebenarnyalah bahwa Kadipaten Paranganom
tidak lagi aman dan tenteram seperti sebelumnya. Aku juga sudah menerima laporan
tentang kejahatan yang terjadi di beberapa padukuhan. Juga telah terjadi
perampokan di jalan-jalan"
Ebook by Dewi Kangzusi 39 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Jadi ayahanda sudah mengetahuinya?" bertanya
Madyasta. "Baru dalam pekan ini. Agaknya peristiwa kejahatan itu
juga belum lama mulai tumbuh di kadipaten ini"
"Kita tidak boleh terlambat ayahanda" berkata Wignyana
kemudian. "Ya" Kangjeng Adipati mengangguk-angguk "Tetapi kita
juga tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus tahu, apa yang
sebenarnya terjadi, sehingga kita tidak salah mengambil
langkah. Madyasta dan Wignyana mengangguk-angguk kecil.
"Nah, sikap Kangjeng Adipati itu harus kalian teladani,
ngger. Kita jangan tergesa-gesa mengambil sikap agar kita
tidak salang langkah"
"Ya, guru" sahut Madyasta dan Wignyana bersama.
Sementara itu, Kangjeng Adipatipun berkata selanjutnya
"Selain laporan tentang tindakan kejahatan itu, kakang sejak
hari ini kakang mbok Raden Ayu Prawirayuda juga berada
disini" "Maksud Kangjeng Adipati, Raden Ayu Prawirayuda berada
di Kadipaten ini?" "Ya" "Apakah sekedar menengok keadaan keluarga disini?"
Ebook by Dewi Kangzusi 40 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tidak, kakang. Tetapi Kakang Mbok itu mengungsi ke Kadipaten Paranganom"
"Bibi mengungsi ke paranganom?" bertanya Madyasta
"Ya" "Kenapa Ayahanda?" bertanya Wignyana
"Ada masalah dengan kakangmasmu angger Adipati Yudapati"
"Persoalan apa?"
"Bibimu dipersilahkan meninggalkan Kadipaten Kateguhan.
"Alasannya?" "Aku masih belum sempat berbicara panjang. Baru besok hari aku akan berbicara
dengan bibimu. Tadi bibimu nampak sangat letih.
"Dengan siapa bibi datang kemari" "
"Dengan puterinya Rantamsari"
"Jadi bibi datang bersama dengan kakangmbok Rantamsari?"
"Ya" "Lalu bibi akan tinggal di Paranganom?"
"Nampaknya memang begitu. Tetapi aku masih belum tahu pasti, meskipun demikian,
aku telah memerintahkan menyiapkan sebuah tempat tinggal bagi bibimu. Jika benar
Ebook by Dewi Kangzusi 41 Kang Zusi http://kangzusi.com/
bibimu akan tinggal di Paranganom, maka biarlah bibimu
tingal di tempat itu dengan tenang dan tidak bersama
Rantamsari. Biarlah ibundamu menugaskan dua atau tiga
orang pelayannya di rumah bibimu serta seorang juru taman"
"Kenapa kakangmas Adipati Yudapati sampai hati mengusir
bibi dari Kateguhan?"
"Bagaimanapunn juga hubungan antara anak dan ibu tiri
sering menimbulkan persoalan" desis Ki Ajar "Meskipun tidak
semuanya, ada seorang ibu tiri yang bersikap kurang baik
terhadap anak tirinya, tetapi sebaliknya ada anak tiri yang
bersikap tidak baik terhadap ibu tirinya"
"Besok tidak ada salahnya jika kakang juga ikut
mendengarkan ceritera kakangmbok Prawirayuda"
"Baik Kangjeng, tetapi tentu saja aku hanya akan menjadi
pendengar yang baik tanpa dapat melibatkan diri"
"Mungkin kakang dapat memberikan petunjuk jalan
manakah yang terbaik. Pada dasarnya perselisihan antara ibu
dan anak, meskipun anak tiri, dapat dijernihkan"
Dalam pada itu, ketika malam menjadi semakin larut,
Kangjeng Adipatipun berkata kepada kedua puteranya "Kalian
tentu letih, beristirahatlah. Biarlah aku duduk disini sebentar
lagi dengan gurumu" "Baik, ayah" Sahut Madyasta, namun kemudian
Wignyanapun yang juga merasa letih, telah bangkit pula
berdiri sambil berkata "Aku juga mohon diri untuk beristirahat"
Keduanyapun kemudian telah meninggalkan Ki Ajar
Wihangga dan Kangjeng Adipati di serambi.
Ebook by Dewi Kangzusi 42 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kakang, meskipun tidak kakang katakana, tetapi ketika anak-anak menceritakan
hembatan yang mereka alami, terasa ada sesuatu yang ingin kakang sampaikan"
Ki Ajar tersenyum, katanya "Bukankah Kangjeng Adipati merasakan, betapa mereka
berdua demikian ingin menceritakan apa yang telah terjadi?"
"Ya, kakang" "Keduanya memang menjadi sangat merah kepada para penyamun itu, sehingga mereka
berdua telah hanyut kedalam arus perasaan mereka"
Kangjeng Adipati masih mengangguk-angguk.
"Nah, aku merasa perlu untuk sedikit mengekang gejolak darah muda mereka. Ketika
mereka mengejar para penyamun yang melarikan diri, aku memang mencegahnya,
maksud keduanya memang benar, mereka ingin menangkap setidak-tdiaknya seorang
dari mereka untuk menjadi sumber keterangan. Tetapi jika mereka dapat menangkap
salah seorang dari penyamun itu, maka penyamun itu tentu sudah mati sebelum
sempat berbicara juga"
"Aku mengerti kakang" desis Kangjeng Adipati "Darah muda mereka masih mudah
mendidih, sifat kemudaan mereka masih mereka kedepankan"
"Seorang yang baru saja keluar dari sebuah perguruan, memang terdorong untuk
menguji kemampuannya. Dibarengi dengan kemarahan yang menyala, maka keduanya
agak kurang dapat mengendalikan diri"
"Terima kasih atas pengamatan kakang yang lengkap terhadap anak-anak itu"
Ebook by Dewi Kangzusi 43 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Semoga untuk selanjutnya juga menjadi perhatian
Kangjeng Adipati" Kangjeng Adipatipun mengangguk-angguk pula.
Namun beberapa saat kemudian, Kangjeng Adipatipun
telah mempersilahkan Ki Ajar untuk beristirahat. Sebuah bilik
yang sudah dibersihkan dan diatur dengan rapi di ganduk
telah disiapkan bagi Ki Ajar Wihangga.
Dipagi hari berikutnya, ketika langit masih remang-remang.
Madyasta dan Wignyana sudah sibuk di pakiwan, bergantian
mereka menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan.
"Biarlah aku yang mengisinya, Raden" berkata salah
seorang andi Kadipaten. Tetapi mengisi jambangan di pagi hari adalah kewajiban
yan harus mereka lakukan di padepokan. Sehingga rasa-
rasanya ada yang terhutang jika mereka tidak mengisi
jambangan. Karena itu, maka kepada pelayannya Madyasta
berkata "Biarlah aku mengisinya, pekerjaan ini selalu aku
lakukan" "Tetapi tentu tidak di Kadipaten ini, Raden"
"Disinipun aku tidak boleh melupakan kewajiban itu"
Pelayannya tidak dapat memaksanya meskipun ia masih
saja berdebar-debar, jika Kangjeng Adipati atau Raden Ayu
melihatnya, maka mereka akan menjadi marah.
Tetapi ternyata tidak, ketika Kangjeng Adipati yang berdiri
di pintu butulan melihat Madyasta menimba air selagi
Wignyana mandi, Kangjeng Adipati itu sama sekali tidak
Ebook by Dewi Kangzusi 44 Kang Zusi http://kangzusi.com/
marah, dan bahkan tidak mencegahnya. Dibiarkannya
Madyasta terus mengisi jambangan pakiwan.
Ketika matahari naik, Madyasta dan Wignyana sudah siap
untuk hadir di pendapa Kadipaten bersama para pemimpin
Kadipaten Paranganom. KI Ajar dari Panambangan juga akan
ikut hadir. Sebelum saatnya baik ke pendapa, maka Ki Ajarpun
melihat Madyasta dan Wignyana mengenakan pakaian baru.
"Sudah sejak angger berdua berada di padepokan angger
berdua belum pernah ikut dalam pertemuan resmi seperti hari
ini, ngger?" "Belum. Guru, adalah kebetulan hari ini ayahanda
memanggil para pemimpin Kadipaten untuk
mengyelenggarakan sebah pertemuan resmi di pendapa"
"Angger berdua nampak benar-benar seperti putera
seorang Adipati" "Ah, guru, ibu tadi mengatakan, bahwa kemarin adalah
hari ulang tahunku. Karena itu, maka ibundalah yang
memberikan pakaian baru kepadaku, apalagi hari ini ayahanda
menyelenggarakan sebuah pertemuan besar"
"Kakangmu Madyasta yang kemarin berulang-tahun, aku
ikut pula menerima hadiah dari ibunda"
"Besok, jika kau berulang-tahun, aku juga akan menuntut
hadiah" sahut Madyasta.
Wignya tertawa, gurunya tertawa pula.
Ebook by Dewi Kangzusi 45 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Bab 03 - Raden Ayu Prawirayuda
Ketika matahari sepenggalah, maka para pemimpin di Kadipaten Paranganom mulai
berdatangan. Beberapa orang di Kadipaten Paranganom mulai berdatangan, beberapa
orang Tumenggung dan beberapa orang Bupati.
Ketika para pemimpin Parangnom sudah hadir, maka Ki Ajar diikuti oleh Madyasta
dan Wignyana telah naik ke pendapa pula.
Orang-orang yang hadir segera mengenali kedua orang anak muda itu. Mereka adalah
putera Kangjeng Adipati yang sudah agak lama berada di sebuah padepokan.
Agaknya sekarang mereka sudah pulang" berkata salah seorang tumenggung kepada
Tumenggung yang lain, yang duduk di sebelahnya.
Sementara itu, dua orang Tumenggung Wreda telah hadir pula di pendapa, Ki
Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda"
Beberapa saat kemudian maka Kangjeng Adipatipun telah keluar dari ruang dalam
Dalem Kadipaten untuk hadir dalam pertemuan itu.
Demikian Kangjeng Adipati duduk, maka suasana di pendapa itu menjadi lengang.
Semuanya duduk diam sambil menundukkan kepala mereka.
Madyasta dan Wignyana sempat mencuri pandang melihat suasana di pendapa itu,
suasana yang jarang sekali mereka temui, suasana yang demikian terasa tegang dan
kaku. Ebook by Dewi Kangzusi 46 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Seberapa lama kami harus duduk mematung seperti ini"
berkata Madyasta di dalam hatinya.
Tetapi ia merasa wajib untuk menyesuaikan diri. Apalagi ia adalah putera
Kangjeng Adipati itu sendiri yang harus dijunjung tinggi kewibawaannya. Beberapa
saat kemudian, maka Kangjeng Adipati telah membuka pertemuan itu.
Ki Ajar Wihangga justru agak terkejut ketika di akhir acara, Kangjeng Adipati
memberikan waktu kepadanya, karena kehadirannya di Kadipaten adalah dalam rangka
penyerahan kembali kedua orang putera yang pernah dititipkankan kepadanya.
Ki Ajar memang tidak menduga. bahwa Kangjeng Adipati merencanakan penyerahan itu
dilakukan dalam satu upacara, karena pada saat Kangjeng Adipati menyerahkan
kedua puteranya itu sama sekali tidak disertai dengan upacara apapun. Waktu itu,
Kangjeng Adipati secara langsung menyerahkan Raden Madyasta dan Raden Wignyana
dan langsung pula keduanya ikut bersamanya berkuda ke padepokan.
Pada waktu Kangjeng Adipati itu berkata kepadanya "Aku titipkan anak-anakku
kepadamu kakang" Tetapi tiba-tiba kini Ki Ajar itu harus menyerahkan keduanya dalam satu upacara
di pendapa kadipaten dihadapan para pemimpin Kadiparen Paranganom.
Ki Ajar memang tidak terbiasa dengan upacara-upacara resmi seperti itu. Namun Ki


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ajar tidak dapat mengelak.
Dihadapan para Tumenggung Wreda, Tumenggung Sanggayuda, para bupati dan para
pemimpin yang lain. Ki Ajar itupun berkata : "Ampun Kangjeng Adipati, junjungan
rakyat Paranganom, pada saat ini, aku yang rendah, Ajar Wihangga
Ebook by Dewi Kangzusi 47 Kang Zusi http://kangzusi.com/
dari padepokan Panambangan, menyerahkan kembali kedua
putera Kangjeng Adipati yang selama empat tahun berada di
padepokan. Aku yang kurang pengetahuan dan tidak
memahami ilmu, mohon ampun apabila yang kami lakukan,
jauh dari memenuhi harapan Kangjeng Adipati, namun yang
penting yang aku harapkan dapat selalu diingat oleh kedua
anak muda, putera Kangjeng Adipati adalah pesanku kepada
mereka, hendaknya hidup mereka semata-mata mencari ke
Ridhoan Al ah Swt. Yang menciptakan langit dan bumi serta
seisinya. Dan apa yang mereka lakukan, semata-mata
karenaLil ahi Ta'ala. Sebagai putera seorang Adipati, mereka
mempunyai kesempatan yang luas untuk memperhatikan
sesamanya yang kekurangan, kelaparan dan hidup dalam
kegelapan. Bertindak dengan bijaksana serta hatinya dipenuhi
oleh kesabaran serta belas kasihan"
Madyasta dan Wignyana justru terkejut. Mereka memang
sering mendengar nasehat itu diucapkan hampir disetiap
kesempatan, tetapi ketika nasehat gurunya itu diucapkannya
dihadapan para pemimpin Kadipapten Paranganom, maka
mereka seakan-akan dihadapan kepada para saksi yang akan
menilai, apakah dalam perjalanan hidupnya kemudian, mereka
akan dapat memenuhi petunjuk gurunya itu. Sehingga masa
berguru yang dijalaninya itu benar-benar mempunyai arti.
Terasa jantung kedua anak muda itu tergetar. Namun
justru itu, maka keduanyapun telah berjanji untuk melakukan
semua pejunjuk gurunya itu.
Sementara itu, Kangjeng Adipati telah menanggapi pula
dengan pernyataan terima kasih kepada Ki Ajar yang telah
memberikan bimbingan kepada kedua puteranya, tidak saja
dalam olah kanuragan, tetapi juga arah serta pegangan hidup
mereka di masa mendatang.
Ebook by Dewi Kangzusi 48 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Baru kemudian, Kangjeng Adipati berbicara dengan para pemimpin di Kadipaten
Paranganom. Yang terpenting mereka bicarakan adalah tentang laporan adanya tindak kejahatan
yang tumbuh di Kadipaten.
"Bukan berarti bahwa selama ini tidak ada tindak kejahatan di Kadipaten
Paranganom. Tetapi tindak kejahatan itu segera dapat diredam. Namun akhir-akhir
ini tindak kejahatan itu rasa-rasanya tumbuh dengan cepat. Menurut laporan yang
diterima oleh para pemimpin di Paranganom, maka kejahatan itu mulai merambat
dari satu tempat ketempat yang lain.
Ternyata para pemimpin di Paranganom juga sudah mendengar laporan-laporan
tentang terganggunya keamanan dan ketenteraman hidup bagi rakyat Paranganom.
"Kita harus segera mengambil tindakan untuk mencegah meluasnya tindak kejahatan
itu" berkata Kangjeng Adipati.
Para pemimpin yang hadir itupun sependapat bahwa mereka harus mengambil tindakan
yang cepat, jika mereka bertindak dengan lambat, maka kejahatan itu akan
menjalar kemana-mana. Ki Tumenggung Wiradapa berpendapat bahwa para Demang harus memantau keadaan
dengan seksama. "Setiap saat mereka harus memberikan laporan tentang perlembangan di kademangan
mereka masing-masing, Kangjeng"
"Aku tugaskan kepada para Bupati untuk mengamati lingkungan mereka masing-
masing, jika perlu, jika rakyat mengalami kesulitan untuk menghadapi mereka,
maka Ebook by Dewi Kangzusi 49 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Paranganom akan memerintahkan para prajurit untuk
mengatasinya. Karena itu, kami memerlukan laporan itu setiap
saat dan dalam waktu yang cepat dari setiap peristiwa
kejahatan" Pertemuan itu telah menghasilkan kesepakatan bahwa
para pemimpin di Paranganom harus memantau keadaan,
terutama dalam hubungannya dengan semakin
berkembangnya kejahatan. Ketika pembicaraan dianggap sudah cukup, maka
Kangjeng Adipati telah menutup pertemuan itu. Para
pemimpin Kadipaten Paranganom diperkenankan
meninggalkan pendapa dalem kadipaten.
"Aku minta kakang Tumenggung Wiradapa dan kakang
Tumenggung Sanggayuda untuk tinggal disamping kakang
Ajar Wihangga serta kedua puteraku"
Demikian, sejenak kemudian pendapa kadipaten itupun
menjadi lengang. Yang tinggal hanyalah kedua orang
Tumenggung Wreda dan Tumenggung Sanggayuda, kedua
orang putera Kangjeng Adipati serta Ki Ajar.
Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun berkata kepada
Wignyana "Wignyana, persilahkan ibundamu seta bibimu
Prawirayuda menghadap, aku ingin berbicara tentang sikap
angger Adipati Yudapati"
"Hamba, ayahnda" sahut Wignyana sambil beringsut.
Beberapa saat kemudian, Raden Ayu Prawirayuda,
Rantamsari ditemani oleh Raden Ayu Prangkusuma telah
menghadap Kangjeng Adipati Paranganom.
Ebook by Dewi Kangzusi 50 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kakangmbok" berkata Kangjeng Adipati "Maaf, bahwa baru sekarang kita akan
berbicara tentang keadaan kakangmbok, kemarin kakangmbok nampak begitu letih,
sehingga aku biarkan kakangmbok untuk beristirahat"
"Terima kasih, Dimas, bahwa aku diperkenankan untuk berada di Paranganom itupun
sudah merupakan satu kemurahan hati Dimas yang tidak terhingga artinya bagi aku
dan anakku Rantamsari"
"Kakangmbok" berkata Kangjeng Adipati kemudian "Apa yang sebenarnya terjadi di
Kadipaten Kateguhan sehingga kakangmbok harus meninggalkan Kadipaten?"
"Dimas, sebenarnyalah bahwa aku tidak tahu, apakah kesalahanku sebenarnya, tanpa
tuduhan apa-apa, tiba-tiba saja angger Adipati Yudapati telah mengusir aku, agar
aku dan Rantamsari meninggalkan Kadipaten Kateguhan"
"Tetapi bukankah kakangmbok dapat menduga, apakah sebabnya anakmas Adipati
Yudapati menjadi marah dan bahkan kemarahannya agak melampui batas kewajaran,
karena angger Adipati Yudapati sudah mengusir kakangmbok dari Kadipaten
Kateguhan, bagaimana juga, kakangmbok adalah isteri kakangmas Adipati
Prawirayuda almarhum. Sehingga kakangmbok berhak untuk tinggal di Kadipaten berasama dengan
Rantamsari" "Tetapi sudahlah, Dimas. Kemurahan hati Dimas sudah dapat menyejukkan hatiku
serta anakku" "Mungkin kakangmbok yang merasa sudah mempunyai tempat tinggal selanjutnya,
sudah merasa cukup. Mungkin kakangmbok tidak merasa mendendam kepada angger
Adipati Yudapati, tetapi karena masih ada sangkut paut hubungan keluarga, maka
tidak ada salahnya mengetahui, apa yang
Ebook by Dewi Kangzusi 51 Kang Zusi http://kangzusi.com/
sebenarnya yang telah terjadi di Kateguhan. Dalam pertemuan
ini aku masih menahan kedua orang Tumenggung agar dapat
ikut mendengarkan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Kateguhan bukan saja sebuah Kadipaten yang semula
diperintah oleh kakangmas Prawirayuda, saudara tuaku sendiri
dan yang sekarang diperintah oleh kemanakanku, angger
Adipati Yudapati. Tetapi Kateguhan juga sebuah Kadipaten
yang merupakan tetangga terdekat. Garis batas sebelah utara
Paranganom adalah garis batas sebelah selatan Kateguhan.
Sehingga apa yang terjadi di Kateguhan akan dapat memercikke Paranganom. Apalagi sekarang kakangmbok Prawirayuda
berada disini" Raden Ayu Prawirayuda menundukkan kepalanya,
diusapnya matanya yang basah dengan jari-jarinya.
Sementara itu Rantamsari yang duduk di sebelah ibunya
hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Adimas" suara Raden Ayu Prawirayuda itu tersendat-
sendat "Sebenarnyalah bahwa angger Adipati Yudapati tidak
pernah menjatuhkan tuduhan apa-apa. Justru karena itu, aku
tidak dapat membela diri, tetapi menurut seorang abdi, justru
diluar dalem kadipaten telah tersebar kabar yang sangat
memalukan Dimas" "Kabar apakah itu kakangmbok" Nah, kabar yang tersebar
itulah yang ingin aku dengar. Tentu saja bukan merupakan
pegangan atas kebenarannya"
"Dimas, sebenarnya aku sangat malu untuk
mengutarakannya, tetapi apa boleh buat. Aku dapat mengerti,
bahwa Dimas memerlukan bahan untuk menempatkan
masalah ini pada tempat yang sewajarnya"
"Ya, kakangmbok"
Ebook by Dewi Kangzusi 52 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Adimas. Orang-orang di jalanan mengatakan bahwa angger Adipati Yudapati menjadi
sangat marah kepadaku dan kepada Rantamsari karena aku dan Rantamsari sering
menjual harta benda milik Kadipaten yang harganya sangat mahal.
Nampan dari emas, beberapa buah mangkuk yang diselut perak, berbagai macam
perhiasan di kaputren dan masah banyak lagi. Karena itu, maka aku telah diusir
dari dalem Kadipaten. Aku diberi waktu sepekan untuk berkemas dan menyiapkan
benda-benda berharga di kaputren yang ingin aku bawa. Angger Adipati akan
memberikan apa saja yang aku kehendaki untuk aku bawa meninggalkan kadipaten
Kateguhan" "Tetapi bukankah kakangmbok dapat membuktikan bahwa kakangmbok tidak
melakukannya" Bukankah benda-benda berharga di Kadipaten Kateguhan diketahui
dengan pasti jenis dan jumlahnya, sehingga jika ada yang hilang akan segera
diketahui?" "Aku tidak dapat mengatakannya kepada Angger Adipati, angger Adipati sendiri
tidak pernah melontarkan tuduhan apapun kepadaku. Dimas, yang aku tahu, tiba-
tiba saja angger Adipati meminta kepadaku untuk mengemaskan barang-barangku dan
meninggalkan Kadipaten dalam waktu sepekan"
"Tetapi kakangmbok justru dipersilahkan membawa apa saja yang ingin kakangmbok
bawa dari kaputren Kateguhan?"
"Ya, Dimas, tetapi aku tidak membawa sepotongpun benda berharga. Aku ingin
mengatakan kepada angger Adipati, bahwa aku tidak menginginkan semua itu. Ketika
aku akan berangkat, aku katakan kepadanya, angger Adipati menghitung semua benda
bukan saja yang berharga, tetapi apa saja yang ada di kaputren. Bahkan sepotong
bancik lampu dari perak yang sangat aku sukapun, tidak aku bawa"
Ebook by Dewi Kangzusi 53 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Apa kata angger Adipati ketika ia tahu bahwa kakangmbok tidak membawa apa-apa"
" "Angger Adipati tidak mengatakan apa-apa kepadaku"
Kangjeng Adipati Pranganom mengangguk-angguk, katanya "Sudahlah kakangmbok.
Biarlah kakangmbok tinggal disini. Aku sudah menyediakan sebuah rumah bagi
kakanmbok, mungkin terlalu sederhana dibandngkan dengan kaputren Kateguhan"
"Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, Dimas. Jika Dimas dan
Diajeng Adipati Paranganom tidak menaruh belas kasihan, lalu apakah jadinya kami
berdua, apakah kami harus berkeliaran di sepanjang jalan"
Suara Raden Ayu Prawirayuda itu terputus, jari-jarinya sibuk mengusap matanya
yang basah. "Sudahlah kakangmbok" berkata Raden Ayu Prangkusuma
"Tinggal ah di Paranganom. Dua orang abdiku akan melayani kakangmbok. Selain
mereka, juru taman kami akan memelihara taman di rumah yang kami sediakan bagi
kakangmbok. Jika kakangmbok masih memerlukannya, aku dapat menambahnya dengan
satu atau dua orang lagi"
"Tentu sudah cukup, Diajeng"
"Rantamsari" berkata Raden Ayu Prangkusuma.
"Ya, bibi" "Agaknya kau memang harus prihatin dimasa mudamu, tetapi dengan demikian, kau
telah mempersiapkan hari depanmu dengan baik. Terimalah apa yang telah terjadi
atas dirimu dengan hati yang tegar. Yakinlah akan kemurahan Al ah Ebook by Dewi
Kangzusi 54 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Swt. Sehingga pada suatu ketika akan terjadi perubahan pada
jalan hidupmu" "Ya, bibi" suara Rantamsari hampir tidak terdengar,
wajahnya kemudian menunduk dalam-dalam.
Madyasta dan Wignyana tidak dapat ikut campur dalam
pembicaraan itu, apalagi gurunya. Sedangkan Ki Tumenggung
Wreda Wiradapa dan Ki Tumenggung Wreda Sanggayudapun
hanya dapat mendengarkan pembicaraan itu sambil
mengangguk kecil. Dengan susah payah Rantamsari berusaha untuk menahan
agar ia tidak menangis, tetapi ternyata Rantamsari itupun
kemudian terisak. Raden Ayu Prangkusuma memeluknya sambil berbisik
"Sudahlah Rantamsari, jangan menangis, ngger. Peristiwa
yang tidak kita inginkan memang dapat saja datang setiap
saat. Tetapi bukankah kau harus pasrah atas apa yang terjadi.
Kita harus mensyukuri bahwa kita masih menemukan jalan
keluar. Tentu saja atas petunjuknya.
Rantamsari mengangguk. "Madyasta dan Wignyana" berkata Kangjeng Adipati
kemudian "Antarkan bibimu dan puterinya ke rumah yang
telah dipersiapkan. Biarlah para abdi dan juru taman itu
menyertai kalian" "Baik Ayahanda" jawab Madyasta "Marilah bibi, marilah
kakangmbok Rantamsari"
Sejenak kemudian, maka Raden Ayu Prangkusuma, Raden
Ayu Prawirayuda dan Rantamsari telah meninggalkan pendapa
Kadipaten diiringi oleh Madyasta dan Wignyana yang akan
Ebook by Dewi Kangzusi 55 Kang Zusi http://kangzusi.com/
mengantar Raden Ayu Prangkusuma dan Rantamsari ke
rumah yang telah disediakan.
Namun Kangjeng Adipati masih tetap memerintahkan
Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda untuk
tinggal bersama Ki Ajar Wihangga.
"Kakang Ajar serta kakang Tumenggung Wreda berdua,
bagaimana menurut pendapat kakang atas apa yang terjadi.
Apakah peristiwa itu murni sebagaimana yang kita dengar.
Bahwa angger Adipati Yudapati telah mengusir kakangmbok
Prawirayuda dari Kadipaten Kateguhan atau kakang melihat
persoalan lain di balik apa yang kita dengar. Apakah ada niat


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang belum kita ketahui agara angger Adipati Yudapati
terhadap Kadipaten Paranganom atau sikap apapun, karena
angger Yudapati tentu memperhitungkan bahwa kakangmbok
Prawirayuda tentu akan pergi ke Paranganom.
Ki Ajar menarik nafas panjang, katanya "Kangjeng Adipati
memerlukan waktu untuk mengetahuinya, memang tidak
mustahil, bahwa dibalik peristiwa itu tersembunyi masalah
yang lebih tajam dalam dan rumit. Namun seperti apa yang
pernah Kangjeng katakan, kita tidak boleh tergesa-gesa"
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk sambil menjawab
"Ya, kakang. Kita memang harus melihat dengan sangat hati-
hati dan dari segala sudut pandang yang berbeda"
"Ampun Kangjeng Adipati" berkata Tumenggung Wiradapa
"Apakah hamba diperkenankan untuk menyampaikan
pendapat hamba?" "Katakan Kakang"
Ebook by Dewi Kangzusi 56 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ada beberapa peristiwa yang terjadi bersama, memang mungkin satu kebetulan,
tetapi mungkin memang ada kaitannya"
"Apa yang kakang maksudkan?"
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya "Tiba-tiba saja
Raden Ayu Prawirayuda sudah berada di Paranganom, Raden Ayu diusir dari
Kadipaten Kateguhan dengan alasan yang tidak jelas. Sementara itu di kerusuhan
di Paranganom meningkat dengan cepat, nampaknya juga tanpa sebab. Selama ini
kesejahteraan rakyat Paranganom justru semakin meningkat. Tidak ada bencana alam
dan tidak ada permusuhan yang terjadi di lingkungan Kadipaten. Namun tiba-tiba
saja terjadi banyak kerusuhan itu terjadi di daerah yang lebih dekat perbatasan
dengan Kadipaten Kateguhan dari pada perbatasan yang lain"
Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Tumenggung Sanggayuda
berkata "Kangjeng, apa yang dikatakan oleh kakang Tumenggung Wiradapa itu memang
harus mendapat perhatian khusus. Meskipun secara umum, para Bupati dan para
pemimpin yang lain sudah mendapat perintah untuk memantau keadaan, tetapi daerah
perbatasan itu harus mendapat perhatian lebih"
"Bagaimana menurut pendapat kakang"
"Kangjeng, seperti yang kita ketahui, bahwa terdapat perbedaan tingkat
kesejahteraan bagi rakyat Kadipaten Paranganom dengan rakyat Kadipapten
Kateguhan. Keadaan alam, lingkungan serta kebijaksanaan yang berbeda antara
Kangjeng Adipati Prawirayuda dengan Kangjeng Adipati Prangkusuma. Meskipun para
Tumenggung sudah banyak membantu serta memberikan beberapa pendapat yang
memungkinkan adanya perubahan di Kadipaten Kateguhan,
Ebook by Dewi Kangzusi 57 Kang Zusi http://kangzusi.com/
namun Kateguhan masih belum dapat menyamai
Paranganom" "Perbedaan lantaran kesejahteraan itukah yang menurut
kakang dapat menimbulkan masalah?"
"Baru satu dugaan, Kangjeng"
"Tetapi kenapa baru sekarang?"
"Kangjeng Adipati Yudapati adalah seorang yang masih
muda. Sikapnya tentu berbeda dengan Kangjeng Adipati
Prawirayuda yang sudah banyak makan pahit asamnya
kehidupan. Mungkin kendati Kangjeng Adipati Yudapati tidak
sekuat kendali di tangan ayahandanya."
Kangjeng Adipati Prangkusuma mengangguk-angguk,
sementara Ki Tumenggung Wiradapa berkata dengan nada
merendah "Kangjeng, sebaiknya kita memang tidak ber-
prasangka buruk, bahwa ada semacam kesengajaan dari
beberapa orang pemimpin di Kateguhan. Tetapi tidak mustahil
bahwa ada pemimpin yang merasa iri terhadap kemajuan
yang kita capai selama ini"
Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak, namun
kemudian iapun berkata "Ya, kita jangan ber-prasangka buruk.
Tetapi semua kemungkinan harus menjadi perhatian kita"
"Kami berdua akan berusaha Kangjeng"
"Aku percaya kepada kakang Tumenggung berdua. Mudah-
mudahan langit akan segera menjadi terang diatas
Paranganom" Sejenak kemudian, maka kedua orang Tumenggung itupun
telah diperkenankan untuk meninggalkan pendapa, sehingga
Ebook by Dewi Kangzusi 58 Kang Zusi http://kangzusi.com/
yang tinggal kemudian adalah Ki Ajar sendiri. Dua orang
prajurit yang bertugas di depan pendapa itupun termangu-
mangu. Tidak biasanya Kangjeng Adipati duduk berlama-lama
di pendapa. Apalagi setelah pertemuan selesai.
Tetapi nampaknya Kangjeng Adipati masih berbincang-
bincang dengan Ki Ajar tentang kemungkinan baru dalam
hubungannya dengan Kadipaten Kateguhan.
"Semoga tidak terjadi, Kangjeng" berkata Ki Ajar "Tetapi
kecemasan kedua orang Tumenggung itu sangat beralasan,
mungkin diluar pengetahuan Kangjeng Adipati Yudapati.
Tetapi mungkin yang terjadi di Paranganom itu justru
sepengetahuan Kangjeng Adipati yang masih muda itu"
Tetapi menurut pengetahuanku, angger Adipati Yudapati
adalah anak muda yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kesatriaan" "Seseorang dapat berganti sikap karena pengaruh orang
lain. Jika seseorang dengan cerdik dan licik, setiap hari
meniupkan pengaruhnya ketelinga Kangjeng Adipati Yudapati,
maka mungkin saja sikap Kangjeng Adipati berubah atau
merasa tidak berubah, tetapi dengan penafsiran yang sengaja
dikaburkan sehingga seakan-akan Kangjeng Adipati masih
tetap berpijak pasa nilai-nilai yang dijunjungnya.
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, katanya "Ya,
kakang. Aku mengerti seseorang memang dapat berbicara
tentang sikapnya berdasarkan atas kepentingannya,
sedangkan kebenaranpun dapat diurai menurut sudut
pandang seseorang" "Ya, Kangjeng. Sehingga seseorang yang merasa dirinya
menegakkan kebenaran akan dapat berbenturan dengan
Ebook by Dewi Kangzusi 59 Kang Zusi http://kangzusi.com/
orang lain yang juga bersumpah untuk menegakkan
kebenaran pula" Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam, namun
kemudian katanya "Kakang, aku persilahkan kakang untuk
beristirahat, anak-anak tadi baru mengantar bibinya ke tempat
tinggalnya yang baru"
"Terima kasih, Kangjeng"
Ki Ajar berdiri pula ketika Kangjeng Adipati kemudian
bangkit dan melangkah masuk kke ruang dalam. Sementara
itu, para prpajurit yang berjaga-jaga di depan pendapapun
telah meninggalkan tempatnya dan bergabung dengan kawan-
kawannya yang berada di gardu. Namun dua orang yang
berjaga di pintu gerbang kadipaten masih juga berada dalam
tugasnya. Ki Ajar kemudian tuurn dari pendapa. Sejenak ia berdiri
termangu-mangu, namun kemudian iapun melangkah ke
biliknya di gandok dalem kadipaten.
Diruang dalam, Kangjeng Adipatipun kemudian duduk
bersama dengan Raden Ayu Prangkusuma yang masih
nampak muram. "Kasihan kakangmbok Prawirayuda" desis Raden Ayu
Prangkusuma. "Ya, tetapi apakah kepadamu kakangmbok mengatakan
persoalan-persoalan lain yang dapat melengkapi
keterangannya?" "Tidak, kakangmas, kakangmbok tidak mengatakan apa-
apa kecuali sebagaimana dikatakannya kepada kakangmas"
Ebook by Dewi Kangzusi 60 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Bukankah aneh, jika angger Adipati Yudapati menuduhkan demikian, sementara
barang-barang berharga di kaputren masih lengkap"
Tetapi yang dimaksud kakangmbok adalah berita yang tersiar di jalanan,
sebagaimana yang didengar oleh abdinya.
Mungkin angger Adipati Yudapati mempunyai alasan yang lain?"
"Tetapi kenapa alasan itu tidak dikatakan kepada kakangmbok Prawirayuda?"
"Sikap itulah yang sulit dimengerti"
Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam, sambil mengangguk-anggukan kepalanya
iapun berkata "Ya, jika saja Rantamsari mau mengatakan sesuatu kepada Madyasta
atau Wignyana" "Nampaknya Rantamsari juga tidak tahu apa-apa.
Rantamsari memang cantik, tetapi tatapan matanya tidak menunjukkan ketajaman
penggraitannya serta kecerdasannya.
Mungkin ia bukan gadis yang bodoh, tetapi agaknya ia seorang gadis yang manja"
"Ya" Kangjeng Adipati mengangguk-angguk "Aku sependapat. Nampaknya gadis cantik
itu tidak mempunyai banyak kelebihan dari gadis-gadis yang lain. Rantamsari
tidak seperti angger Adipati Yudapati, dilihat dari pandangan matanya. Yudapati
sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang anak muda yang tangkas berpikir dan
bertindak" "Agaknya Rantamsari tidak pernah mendapat kesempatan mengasah ketajaman
penggraitannya dalam kemanjaannya, sehingga yang ada adalah seorang gadis catik
sebagaimana Rantamsari itu"
Ebook by Dewi Kangzusi 61 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Besok atau lusa, kita menengok di rumah kakangmbok
yang kita sediakan, apakah kakangmbok merasa kerasan atau
tidak. Mungkin rumah itu kurang memadai dibandng dengan
kaputren di Kateghuan"
"Tetapi kakangmbok menyadari, bahwa ia sekakang tidak
berada di kaputren Kadipaten Kateguhan"
"Raden Ayu Prangkusuma menarik nafas panjang"
Dalam pada itu, Madyasta dan Wignyana telah berada di
rumah Raden Ayu Prawirayuda yang baru. Dua orang abdi
perempuan telah diperintahkan oleh Raden Ayu Prangkusuma
untuk sementara berada di rumah itu. Sepasang suami isteri
yang akan memelihara taman serta membersihkan isi rumah
dan prabot-prabotnya juga akan berada di rumah itu.
"Kau senang dengan rumah ini, kakangmbok?" bertanya
Wignyana kepada Rantamsari.
"Tentu, Dimas" "Jika paman Adipati Prangkusuma dan bibi
tidak memberikan rumah ini kepada kami, maka kami akan
hidup disepanjang jalan"
"Tentu tidak, kakangmbok, tentu ada tempat yang dapat
menerima kakangmbok dan bibi"
"Ya" Raden Ayu Prawirayuda yang menyahut "Ternyata
memang ada tempat yang dapat menerima kami. Tempat
yang sangat menyenangkan, tetapi yang dihadiahkan oleh
Dimas Adipati Prangkusuma"
Wignyana mengangguk hormat sambil berkata "Hanya
seandainya saja bibi. Seharusnya ayahanda menyediakan
tempat yang lebih baik bagi bibi. Maksudku bukan baik ujud
Ebook by Dewi Kangzusi 62 Kang Zusi http://kangzusi.com/
dan bentuknya. Tetapi rumah yang dapat lebih memberikan
kenyamanan bagi bibi dan kakangmbok Rantamsari"
"Rumah ini jauh lebih nyaman bagi kami berdua, daripada
"Kaputren di Kadipaten Kateguhan, angger. Apalagi dilihat dari
sisi kebutuhan jiwani, jiwaku yang bagaikan disayat dengan
sembilu oleh anakku sendiri. Meskipun angger Adipati
Yudapati itu anak tiriku. Tetapi aku sudah menganggapnya
sebagai anakku sendiri. Tidak ada bedanya, bahkan bagiku
bersikap baik, momong, merawat dan mencintai angger
Yudapati lebih banyak merupakan satu pengabdian. Aku
merasa bahwa siapapun aku ini. Tetapi angger Yudapatilah
yang akan dan yang sekarang sudah ternyata, mewarisi
kedudukan ayahandanya, Adipati Kateguhan"
Wignyana mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba Raden Ayu itu bertanya "Dimana angger
Madyasta?" "Melihat-lihat keadaan rumah ini, bibi. Mungkin masih ada
yang kurang pantas atau bahkan mungkin ada cacat yang
harus segera ditangani"
"Semuanya sudah terlalu cukup bagiku ngger,
sebenarnyalah aku ingin mempersilahkan angger Madyasta
dan angger Wignyana duduk di pringgitan"
"Terima kasih, bibi. Aku akan mencari kakangmas
Madyasta. Aku juga akan melihat-lihat rumah ini dalam
keseleruhan" Demikianlah, maka Wignyanapun meninggalkan
Rantamsari dan ibundanya mencari Madyasta. Wignyana
menemukan Madyasta sedang menunggui juru taman
mengumpulkan sampah, kemudian membuat lubang disudur
Ebook by Dewi Kangzusi 63 Kang Zusi http://kangzusi.com/
halaman, memasukkan sampah itu dan kemudian
menimbunnya. "Kau pencarkan pohon soka bajang itu"
"Ya, Raden" "Jaga pagar hidup yang menyekat taman halaman samping
itu agar tetap rapi: "Ya, Raden" "Aku lihat sumur di samping itu airnya cukup baik.
Sehingga di musim kemaraupun kau tidak akan kekurangan
air" "Ya, Raden" Madyasta berpaling ketika Wignyana mendekatinya sambil
berkata "Kakang dipanggil oleh bibi, kakangmas"
"Ada apa", apakah ada yang tidak berkenan", kemarin
sejak bibi datang dan memberitahukan serba sedikit persoalan
yang dialaminya, ayahanda dan ibunda segera memerintahkan
beberapa orang membersihkan dan mengatur tempat ini"
"Tidak, bukan soal itu, agaknya bibi hanya ingin
mempersilahkan kita duduk-duduk di pringgitan. Segala
sesuatunya nampaknya sudah cukup memadai bagi bibi dan
kakangmbok Rantamsari"
"Baik, Wignyana, aku selesaikan dahulu gambaran tugas
juru taman ini agar taman di rumah inipun nampak asri seperti
taman kaputren Kateguhan, tetapi tentu saja tidak dapat
dicipta dalam sehari. Diperlukan waktu sekitar sebulan"
Ebook by Dewi Kangzusi

Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

64 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku kira tidak akan menjadi masalah, kakangmas"
Namun Wignyana masih harus menunggu beberapa saat, baru kemudian Madyasta
meninggalkan juru taman itu dan bersama-sama dengan Wignyana perti ke
pringgitan. Raden Ayu Prawirayuda dan Rantamsari ternyata sudah menunggu mereka di
pringgitan, dengan ramah Raden Ayu Prawirayuda ituopun berkata "Maaf, angger
berdua. Sekarang, biarlah aku yang mempersilahkan angger berdua duduk, karena
atas perkenan Adimas Adipati Prangkusuma, aku akan tinggal di rumah ini."
"Ya, bibi. Bibi memang akan tinggal di rumah ini. Rumah ini akan menjadi rumah
bibi, meskipun barangkali kurang memadai"
"Tidak, angger. Sama sekali tidak. Rumah ini sudah terlalu baik bagiku dan
Rantamsari. Bahkan terasa terlalu besar"
"Mudah-mudahan bibi dan kakangmbok Rantamsari kerasan tinggal di rumah ini.
Tetapi jika ada masalah, aku mohon bibi langsung saja menyampaikan kepada
ayahana atau kepada ibunda atau kepada kami berdua"
"Terima kasih angger"
"Nah, bibi. Kami kira kami sudah melaksanakan perintah ayahanda. Kami sudah
mengantar bibi sampai ke tempat ini, dan satu dua hari, mungkin rumah ini masih
perlu dibenahi." "Terima kasih, angger. Tetapi aku minta angger berdua tidak tergesa-gesa
meninggalkan rumah ini. Aku ingin menjamu angger berdua"
Ebook by Dewi Kangzusi 65 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Terima kasih, bibi. Bibi masih terlalu repot mengatur segala sesuatunya
disesuaikan dengan selera bibi sendiri.
Kami berdua akan mohon diri"
"Jika kami tidak dapat menahan lebih lama lagi, baiklah.
Silahkan angger. Tetapi aku mohon, besok angger bedua berkunjung ke rumah ini,
biarlah aku dan Rantamsari tidak merasa kesepian. Jika angger berdua sering
berkunjung kemari, maka kami akan segera merasa menyatu dengan keluarga Adimas
Adipati Prangkusuma. Dengan demikian, maka kami akan segera menjadi tenang dari
guncangan perasaan karena sikap angger Adipati Yudapati itu"
"Baik, bibi. Kami akan sering-sering berkunjung kemari"
Demikianlah sejenak kemudian Madyasta dan Wignyana segera meninggalkan rumah
yang diperuntukkan bagi Raden Ayu Prawirayuda itu, mereka tidak terlalu banyak
bicara disepanjang jalan.
Bab 04 - Dirga Jagoan Kampung
Mereka rasa-rasanya terbenam ke dalam angan-angan mereka masing-masing, Madyasta
masih saja bingung memikirkan sikap Kangjeng Adipati Yudapati, sementara itu
Wignyana membayangkan kehidupan yang sepi dari Raden Ayu Prawirayuda dan anak
perempuannya, Rantamsari.
Sehari-hari mereka hanya berdua saja, terpisah dari keluarga mereka.
Ketika keduanya sampai di istana, maka keduanyapun segera mencari guru mereka.
Berbincang-bincang sebentar, kemudian keduanyapun pergi menghadap ayahanda
mereka. Ebook by Dewi Kangzusi 66 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, para Bupati telah memerintahkan para demang untuk bersiaga
sepenuhnya, mereka harus mengamati peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya
dengan kejahatan yang nampaknya mulai menyebar di kadipaten Paranganom.
Sebenarnyalah para Demangpun telah memerintahkan seluruh penghuni kademangan
masing-masing untuk bersiaga sebaik-baiknya. Setiap orang laki-laki yang masih
nampak kuat harus mendapat giliran meronda. Terlebih-lebih anak-anak mudanya.
Namun, meskipun demikian, kesegiaan itu tidak dapat menghentikan kerusuhan di
kadipaten Paranganom, kerusuhan itu dapat terjadi di jalan-jalan sepi. Namun
juga di padukuhan-padukuhan. Yang terjadi bukan saja pencurian ayam atau itik,
bukan pula pencurian jemuran di halaman, tetapi yang telah terjadi adalah justru
perampokan-perampokan, kawanan penyamun bagaikan telah meleburkan di kadipaten
Paranganom terutama di perbatasan.
Di kademangan Karang Tengah, di setiap malam bukan saja mereka yang bertugas
meronda yang berada di gardu-gardu. Tetapi mereka yang tidak mendapat giliran
rondapun selalu berdatangan ke gardu-gardu.
Seorang anak muda yang bertubuh tinggi besar, yang selalu membawa golok di
pinggangnya berkata kepada kepada kawan-kawannya "Jika saja para perampok itu
berani datang kemari"
Anak muda itu memang seorang anak muda yang mempunyai kelebihan dari kawan-
kawannya. Tidak seorangpun yang berani melawannya, ia memiliki kekuatan besar
melampaui kekuatan anak-anak muda kebanyakan.
Ebook by Dewi Kangzusi 67 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sayang sekali, anak muda itu terlalu sombong, ia terlalu yakin akan
kemampuannya. Setiap malam hari, anak muda itu rajin berada di gardu.
Meskipun bukan hari-hari gilirannya meronda. Di gardu ia sempat menyombongkan
diri, menantang para perampok yang ditakuti di mana-mana.
Namun malam itu, rasa-rasanya agak lain dari malam-malam sebelumnya. Meskipun di
gardu terdapat banyak orang seperti biasanya, tetapi malam itu terasa sangat
sepi. Orang-orang yang berada di gardu itu tidak nampak tegar seperti biasanya.
Sebagian dari mereka mulai mengantuk sebelum wayah sepi uwong. Anak-anak mudanya
tidak berkelakar seperti biasanya, sehingga suara tertawa dan kelakar mereka
terdengar meledak-ledak. Seorang yang umurnya sudah mendekati pertengahan abad, namun masih tetap setia
datang ke gardu, berkata kepada seorang anak muda yang berada di sebelahnya
"Suasana malam ini agak lain dari malam-malam biasanya"
"Mungkin angin yang basah itu terasa terlalu dingin, Kang"
"Ya, nampaknya langit bersih tanpa selembar awan telah membuat malam terasa
sangat dingin" "Ya, apalagi sehari tadi, kita semuanya sibuk di sawah, musim menggarap sawah
ini membuat kita semuanya sudah mengantuk"
"Ya, benar begitu"
Orang yang separuh baya itu mengangguk-angguk, tetapi ia merasakan sesuatu yang
lain. Bukan sekedar letih karena Ebook by Dewi Kangzusi
68 Kang Zusi http://kangzusi.com/
kerja seharian. Ada yang asing, tetapi ia tidak dapat
mengatakannya. Malampun merayap semakin dalam, anak muda yang
bertubuh tinggi besar dan selalu membawa golok di
pinggangnya itupun turun dari gardu dan berjalan-jalan hilir
mudik. "He, bukankan sudah hampir tengah malam. Marilah, siapa
yang bertugas meronda berkeliling sekarang?" anak muda itu
hampir berteriak. Tiga orang anak muda yang lain dengan malasnya bangkit
berdiri, seorang diantaranya menguap sambil berkata
"Ngantuk sekali ya, rasa-rasanya mataku tidak dapat terbuka
sama sekali" "Kau yang bertugas meronda berkeliling-kan?"
"Ya" "Marilah kita pergi, aku kawani kalian, jika ada sesuatu,
biarlah aku meyelesaikannya"
Seorang yang lain, yang duduk sambil berkerudung
kainnya berkata "Pergilah, harus ada diantara kita yang
meronda berkeliling. Dirga sudah bersedia mengantar kalian,
karena itu, jangan cemas lagi, Dirga akan mengatasi segala-
galanya jika terjadi sesuatu"
"Bahkan seandainya ada sekelompok perampok sekalipun"
sahut anak muda yang bertubuh besar itu dan bernama Dirga.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, lima orang
termasuk Dirga yang berada paling depan, berjalan
mengelilingi kampung. Ebook by Dewi Kangzusi 69 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Empat kawan Dirga membawa kentongan kecil yang
dibunyikan sepanjang jalan dengan irama kotekan.
Tetapi Dirgapun kemudian berkata "Tidak ada gunanya
kau membunyikan kotekan itu:
"Kenapa " orang-orang yang tidur terlalu nyenyak akan
terbangun" jawab seorang kawannya.
"Apa yang dapat mereka lakukan, meskipun mereka
terbangun" "Mereka akan mengetahui jika ada orang jahat masuk ke
dalam rumah mereka" "Bagaimana jika mereka tahu?"
"Mereka akan menangkapnya, atau membunyikan
kentongan untuk memberi isyarat kepada kita yang berada di
gardu" "Mereka tidak akan dapat melakukannya"
"Kenapa ?" "Jika yang datang itu seorang pencuri yang kurus karena
kelaparan, mencongkel dinding rumah dan merangkak masuk,
maka orang-orang yang terbangun karena bunyi kocekmu itu
akan dapat menangkap mereka, tetapi jika orang yang datang
itu sekelompok perampok?"
"He..!" anak-anak muda yang meronda berkeliling itu mulai
saling merapat. Ebook by Dewi Kangzusi 70 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Perampok, berandal atau kecu itu jika mendatangi rumah seseorang tidak dengan
sembunyi-sembunyi. Mereka mengetuk pintu, jika tidak dibuka, maka mereka akan
mendobraknya" Keempat orang anak muda itu mulai berdesakkan, tetapi tangan mereka masih saja
memukul kentongan kecil. "Tetapi kentongan ini harus dibunyikan, itu kewajiban kita.
Jika kita tidak membunyikan kentongan ini, maka orang-orang padukuhan mengira
kira tidak melakukan ronda malam ini"
Dirga tertawa, katanya "Tentu bukan karena itu. Kau akan merasa lebih tenang
jika lebih banyak orang terbangun di padukuhan ini"
"Ya" "Jika demikian, terserah saja kepada kalian"
Dalam pada itu, kawan-kawan Dirga itu justru memukul kentongan makin keras.
Semakin lama malam terasa menjadi semakin menakutkan. Rasa-rasanya jalan
padukuhan itu semakin menjadi gelap, beberapa buah oncor di regol rasa-rasanya
tidak membantu. Cahayanya menjadi redup. Bahkan bayangan yang timbul oleh cahaya
bergerak-gerak seperti hendak menerkam.
Anak-anak muda itu semakin cemas ketika mereka mendengar bunyi burung kulik di
kejauhan. Ketika burung itu terbang melintas sambil berbunyi, rasa-rasanya
burung itu telah menebarkan malapetaka di padukuhan itu.
Dirga tertawa, katanya "Kalian takut mendengar bunyi burung kulik itu ya" Kalian
terlalu percaya pada dongeng dan tahayul yang membuat kalian menjadi penakut"
Ebook by Dewi Kangzusi 71 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tetapi semua orang-orang tua kita menceritakan hal
seperti itu" "Menceritakan apa?"
"Tentang burung itu"
"Burung apa namanya?"
Anak itu terdiam, sehingga Dirga tertawa semakin panjang,
katanya "Menyebut namanya saja kau tidak berani. Dengar,
namanya burung kulik. Kau tentu tahu, bahwa burung itu
adalah betina, yang jantan namanya burung tuhu. Biasanya
jika terdengar suara burung kulik, akan segera terdengar
burung tuhu" "Sudahlah, kita berbicara tentang hal lain saja" potong
seorang kawannya. Dirga masih tertawa, namun sebelum ia menjawab, di
kejauhan memang terdengar suara burung tuhu, yaitu burung
kulik yang jantan. Anak-anak muda itu menjadi semakin berhimpitan, kulit
mereka meremang, namun demikian mereka justru memukul
kentongan semakin keras. Para peronda itu itu tiba-tiba saja terkejut ketika mereka
melihat seseorang berlari muncul dari tikungan, langsung
menjumpai mereka. Dirga yang berdiri paling depan, segera meloncat
menghadang. Tiba-tiba goloknya telah berada di tangannya.
Ternyata Dirga memang tangkas.
Ebook by Dewi Kangzusi 72 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Orang itu berhenti dan berkata dengan nafas yang
memburu "Aku....., ini aku.....Kriya...."
"Kakang Kriya?"
"Ya..., aku...Kriya..."
"Ada apa kakang lari-lari kemari...?"
"Ada, ada rampok....., ada rampok di rumah paman...."
"Rampok", paman siapa yang dirampok?"
"Paman kerti..... Pedagang sapi itu..."
"Darimana kakang tahu, kalau rumah paman Kerti
dirampok?" "......Kebetulan aku sedang tidur di rumah paman Kerti,
paman sedang mengadakan pertemuan keluarga, karena ia
akan menikahkan anaknya yang perempuan. Keluarga yang
lain pada pulang, sedangkan aku tetap tinggal. Aku tidur di
bilik belakang dekat dapur. Sewaktu para perampok beraksi,
aku berhasil lolos dan menyelinap keluar dan bersembunyi di
kebun. Sewaktu kalian datang dan membunyikan kentongan,
maka aku langsung lari menuju kemari"
"Jangan cemas' berkata Dirga "Aku akan datang ke rumah
paman Kerti" "Tetapi perampoknya tidak hanya sendiri, tetapi banyak,
Dirga" Ebook by Dewi Kangzusi 73 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Dirga termangu-mangu sejenak, kemudian iapun berkata kepada kawan-kawannya
"Bunyikan kentongan kalian dalam irama titir sambil mendekati rumah paman Kerti"
"Tetapi...Dirga....aku.... takut"
"Jangan kuatir, dalam waktu dekat, orang-orang akan berdatangan mengepung rumah
itu" "Tetapi perampok itu kan kejam-kejam Dirga"
"Persetan, sekarang bunyikan kentonganmu dengan irama titir, cepat, sebelum
perampok itu sempat lari"
Anak muda itu tidak sempat berpikir, tiba-tiba saja suara kotekan itu berubah
iramanya menjadi irama titir.
Padukuhan itu memang menjadi gempar. Suara kentongan irama titir itu telah
membangunkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Beberapa orang segera
menyambar senjata yang selalu mereka siapkan di dekat pembaringan mereka, sejak
Ki Demang Karangtengah memperingatkan rakyatnya untuk bersiap-siap menghadapi
kemungkinan buruk karena ulah para perampok.
Demikian pula orang-orang yang berada di gardu. Ada diantara mereka yang menjadi
ketakutan sehingga gemetar mendengar suara kentongan dalam irama titir. Tetapi


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada juga yang dengan sigapnya meloncat turun dan berlari-lari kearah suara
kentongan itu. Dirga telah mendahului pergi ke rumah paman Kerti bersama Kriya, karena Kriya
tidak bersenjata, maka iapun telah meminham sepotong besi yang dibawa oleh salah
seorang peronda itu. Ebook by Dewi Kangzusi 74 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Keempat orang peronda itu memang mengikuti Dirga dan Kriya. Tetapi mereka tetap
mengambil jarak sambil menunggu orang-orang yang terbangun oleh suara kentongan.
Beberapa orang tetangga terdekat memang segera sampai di regol rimah Kerti,
namun pada saat itu, beberapa orang perampok dengan membawa hasil rampokannya
telah keluar dari regol dan turun ke jalan. Mereka nampaknya tidak banyak
terpengaruh oleh suara kentongan itu, tidak pula menjadi tergesa-gesa, meskipun
mereka mendengar beberapa orang mulai berteriak-teriak.
Beberapa orang perampok itu berjalan beriringan kearah pintu gerbang padukuhan
dengan tenangnya. Ketika beberapa orang menghentikan mereka, para perampok itu memang berhenti,
bahkan menunggu, apa kira-kira yang akan dilakukan oleh warga padukuhan kepada
mereka. "Menyerahlah" teriak Dirga "Kalian kami tangkap"
Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa. Seorang perampok yang bertubuh
tinggi besar. Melangkah maju sambil berkata "Jangan main-main anak muda,
minggirlah" "Kami bersungguh-sungguh" berkata Dirga "Kami mendapat wewenang untuk menangkap
kalian" "Aku peringatkan sekali lagi, bahwa perampok seperti kami tidak dapat diajak
bermain-main. Apalagi pada saat-saat kami menjalankan pekerjaan kami seperti
sekarang ini. Karena itulah, minggirlah, jika kalian tidak minggir, maka tentu
akan jatuh korban di pihak kalian. Meskipun kalian berjumlah banyak, namun
kalian tidak bisa berkelahi. Berbeda dengan kami, berkelahi adalah pekerjaan
kami sehari-hari, menyakiti Ebook by Dewi Kangzusi
75 Kang Zusi http://kangzusi.com/
dan melukai orang. Bahkan kami adalah pembunuh-pembunuh
yang sebenarnya" "Jangan membual" potong Dirga "Aku adalah pemimpin
anak-anak muda padukuhan ini"
"Nampaknya kau memang keras kepala, ya"
"Persetan" geram Dirga sambil memutar goloknya.
Namun tiba-tiba saja perampok itu yang bertubuh tinggi
besar itupun memutar sebuah bindi di tangannya sambil
berkata lantang "Minggir jika tidak ingin celaka"
Jantung Dirga menjadi berdebar-debar, apalagi orang yang
berdiri di hadapannya itu bertubuh lebih tinggi dan lebih besar
darinya. Padahal Dirga sudah menganggap bahwa tubuhnya
adalah yang tertinggi dan terbesar di seluruh padukuhan.
Tetapi Dirga sudah terlanjur sesumbar di hadapan kawan-
kawannya, bahwa ia akan menantang dan menangkap para
Bloon Cari Jodoh 12 Suro Bodong 05 Pertarungan Bukit Asmara Kisah Sepasang Rajawali 10
^