Si Rajawali Sakti 1
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
SI RAJAWALI SAKTI Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Zaman Lima Dinasti ( 907 - 960 ) merupakan jaman yang amat buruk di Negeri Cina.
Dalam masa setengah abad itu perebutan kekuasaan terjadi, perang antara bangsa
sendiri yang terpecah belah membuat negeri itu berganti-ganti dinasti sampai
lima kali, berganti-ganti dinasti berarti berganti-ganti pula Kaisar dan
berubah-ubah pula peraturan. Akibatnya hanyalah kebingungan, ketakutan, dan
penderitaan bagi rakyat jelata. Perang adalah hasil dari mereka yang berada di
atas saling memperebutkan
kekuasaan. Mereka saling memperkuat kedudukan dirinya dengan cara mengupah
para perajurit dan menghimpun mereka dalam pasukan-pasukan, atau ada pula
yang membujuk rakyat Jelata dengan janji-janji muluk sehingga rakyat yang bodoh
terbius dan mengira bahwa semua bujukan itu benar sehingga kelak mereka akan
hidup makmur. Pasukan pasukan yang diberi upah dan rakyat yang terkena bujukan
lalu berperang mati-matian untuk dia atau mereka yang berkuasa.
Mereka yang kalah perang akan mati bersama pemimpin mereka yang menjadi
dalangnya. Bagaimana mereka yang menang perang, sisa dari mereka yang mati sia-
sia" Pasukan-pasukan yang membela si pemenang tentu saja menerima hadiah agar
mereka menjadi semakin setia membela sang pemimpin dan kaki tangannya.
Adapun rakyat kecil yang mengharapkan kemakmuran tetap saja seperti biasa dan
semua janji muluk hanya menjadi mimpi belaka. Memang kemenangan
mendatangkan kemakmuran, akan tetapi bagi siapa" Yang jelas, bagi para pemimpin
yang mendapatkan kedudukan tinggi, yang ketika masih berjuang memperebutkan
kekuasaan, mengatas-namakaei rakyat. Setelah menang, maka agaknya mereka
sajalah yang dimaksudkan dengar rakyat itu, sedangkan rakyat kecil sudah tidak
masuk hitungan lagi. Tetap saja menderita.
Tidak ada rakyat, kecuali mereka yang terbius janji-janji, yang suka berperang,
apalagi berperang di antara bangsa sendiri. Yang mencetuskan perang adalah
mereka yang sedang memperebutkan kekuasaan yang sesungguhnya bukan lain
adalah memperebutkan harta. Kekuasaan itu sesungguhnya adalah harta .atau lebih
tepat, melalui kekuasaan urang dapat memperoleh harta. Kalau kekuasaan tidak
dapat mendatangkan harta yang menjadi sarana tercapainya kesenangan duniawi,
pasti tidak akan ada yang memperebutkan kekuasaan!
Dinasti terakhir yang berkuasa di Cina adalah Dinasti Kerajaan Chou (951 - 960).
Kaisar Chou Ong adalah seorang kaisar yang tua dan lemah lahir batinnya. Dia
yang menjadi kaisar, namun kekuasaan yang berlaku adalah kekuasaan para
pembesar. Mereka itu ber-lumba untuk mengumpulkan harta dunia banyaknya, dan untuk itu,
mereka menghalalkan segala cara. Korupsi, sogok menyogok, penindasan,
pemerasan terjadi di mana-mana. Hukum yang berlaku seolah hukum rimba, siapa
kuat dia berkuasa dan menang. Terjadilah kekacauan di mana-mana dan para
penjahat bermunculan merajalela. Dalam keadaan seperti ini, kembali rakyat kecil
yang menderita. Gerombolan-gerombolan perampok beraksi, terutama di daerah
dan kota atau dusun yang jauh dari kota raja.
Pada suatu hari di musim semi tahun 958, dusun Ki-bun sebelah selatan Hang-chou
mendapat giliran tertimpa malapetaka. Pada pagi hari itu, segerombolan perampok
yang terdiri dari sekitar lima puluh orang, menyerbu dusun itu. Mereka adalah
laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata
bertubuh kekar dan bersikap kasar dan bengis. Gerombolan perampok ini sudah mengganas di
mana-mana, bahkan sekarang berani mengganggu dusun Ki-bun yang tidak berada
jauh dari kota Hang-chou. Pemimpin mereka terdiri dari tiga orang. Mereka sudah
terkenal di dunia hitam dengan julukan Tiat-pi Sam wan (Tiga Lutung Bertangan
Besi) yang merupakan kakak beradik seperguruan. Yang pertama adalah Yong Ti,
berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan dia terkenal
lihai sekali dengan senjatanya berupa sebatang tombak baja. Orang ke dua bernama
Oh Kun, usianya tiga puluh tujuh tahun, bertubuh tegap tinggi dengan muka penuh
brewok dan dia juga lihai dan terkenal dengan senjatanya siang-to (sepasang
golok). Adapun saudara seperguruan termuda bernama Joa Gu, berusia tiga puluh lima
tahun, bertubuh gendut agak pendek dengan wajah bundar kekanakan. Joa Gu ini
pun lihai dengan senjatanya berupa sepasang kapak.
Setengah tahun yang lalu, sekelompok kecil dari gerombolan ini yang hanya
terdiri dari sembilan orang secara liar tanpa pemimpin pernah mengganggu Ki-bun.
Akan tetapi mereka dibuat kocar-kacir karena ada Si Tiong An yang tinggal di dusun
itu. Si Tiong An adalah seorang bekas guru silat yang mengungsi ke dusun itu
dari kota raja. Sebagal seorang murid Siauw-lim-pai, Si Tiong An cukup lihai dan dialah yang
menghajar sembilan orang anak buah gerombolan itu sehingga mereka luka-luka
dan melarikan diri. Hal itu akhirnya diketahui Tiat-pi Sam-wan. Tiga orang pimpinan ini menjadi
marah sekali dan pada pagi hari itu mereka menyerbu dusun Ki-bun bukan hanya
untuk merampok penduduk dusun, akan tetapi terutama sekali untuk membalas dendam
kepada Si Tiong An. Begitu memasuki dusun Ki Bun, lima puluh orang anak buah perampok itu mulai
beraksi. Segera terdengar jerit tangis para wanita berbaur dengan suara gelak
tawa para perampok. Barang-barang yang sekiranya berharga dirampok habis-
habisan, para pria yang berani melakukan perlawanan dibacok roboh. Gadis-gadis dan
wanita-wanita muda tidak dapat melepaskan diri dari gangguan para perampok yang
sadis dan kejam. Tiga orang Tiat-pi Sam-wan memang membiarkan anak buah mereka berpesta ria.
Mereka bertiga langsung saja menuju ke rumah Si Tiong An yang di dusun itu
disebut Si Kauwsu (Guru Silat Si). Pada saat itu, Si Tiong An dan isterinya yang
sedang berada di dalam rumah, mendengar suara ribut-ribut. Maklum bahwa
mungkin ada bahaya mengancam penduduk karena pada masa itu bukan hal aneh
kalau ada gerombolan penjahat mengacau di dusun-dusun, Si Tiong An cepat
mengambil dua batang pedang mereka. Yang sebatang dia berikan kepada isterinya.
"Di mana Han Lin?" tanya Si Tiong An kepada isterinya.
"Dia tadi mengantar dagangan kue ke pasar."
"Ah, mari kita cari dia dulu. Dia harus dilindungi." kata Si Tiong An kepada
isterinya dan mereka berdua segera keluar dari rumah. Akan tetapi begitu muncul
di depan rumah, mereka melihat di pekarangan rumah mereka terdapat tiga orang yang
berdiri berjajar dengan sikap bengis. Dan mereka juga mendengar jerit tangis dan
teriakan-teriakan. Dari kanan kiri, tanda bahwa gerombolan mulai mengganas dan
mengganggu penduduk:! Sementara itu, tiga orang kepala perampok tertegun ketika mereka memandang
kepada isteri Si Tiong An. Tak mereka sangka di sebuah dusun kecil seperti Ki-
bun ini terdapat seorang wanita yang demikian montok, denok d jelita! Memang
pasangan suami isteri ini lain daripada penduduk Ki-bun. Si Tio An sendiri yang berusia
sekitar tiga puluh lima tahun adalah seorang laki-Iaki yang tampandan gagah,
bertubuh tegap. Adapun isterinya, adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang
cantik jelita, tubuhnya masih denok langsing seperti seorang gadis sembilan
belas tahun. Akan tetapi wanita yang cantik dan lembut ini pun tidak dapat dipandang ringan.
Ia bukan seorang lemah karena walaupun ia hanya mendapat bimbingan dan latihan
dari suaminya, ia sudah mahir membela diri dengan i mu silat pedang yang cukup
lihai. Melihat tiga orang laki-laki berdir menghadang di pelataran rumah, suami isteri
itu tidak merasa gentar. Yang mereka khawatirkan adalah anak tunggal mereka,
yaitu Si Han Lin. Anak itu berusia sepuluh tahun dan pagi itu dia membantu
ibunya yang membuat kue, mengantarkan dagangan kue itu kepada para warung langganan di
pasar. Tadinya, nyonya Si hendak mencari anaknya, akan tetapi melihat tiga orang
itu yang agaknya berbeda dari para perampok biasa, ia merasa perlu untuk
membantu suaminya menghadapi mereka.
Ha-ha-ha, apakah kamu ini yang brrnama Si Tiong An dan beberapa bulan yang lalu
telah berani memukuli sembilan orang anak buah kami?" kata Yong yang tinggi
besar bermuka hitam. "Anak buah kalian datang merampok dan mengganggu penduduk di dusun ini, tentu
saja aku menghajar mereka karena mereka jahat." kata Si Tiong An.
"Ah, begini saja!" kata Joa Cu yang gendut sambil tersenyum menyeringai
memandang kepada Nyonya Si. "Kami sudahi saja urusan itu asalkan isterimu yang
bahenol ini mau ikut dengan kami dan melayani kami selama sebulan. Ba gaimana?"
"Jahanam!" Nyonya Si membentak da ia sudah meloncat ke depan sambil
menggerakkan pedangnya menyerang Si Gendut yang kurang ajar itu.
"Tranggg.............!" Pedang wanita itu terpental dan hampir terlepas dari
pegangan ketika pedang itu tertangkis oleh sebatang tombak baja yang panjang dan
besar. "Biar kutangkap perempuan ini. Kalian bunuh dia!" kata Yong Ti sambil
menggerakkan tombaknya mendesak Nyonya yang melawan mati-matian.
Ketika Si Tiong An hendak membantu isterinya, Oh Kun dan Joa Gu sudah
menghadang dan mengeroyoknya. Si Tion An memutar pedangnya dan begitu
mereka berkelahi, murid Siauw-lim-pai it maklum bahwa sekali ini dia menghadapi
lawan yang berat. Baru orang tinggi tegap brewokan itu saja sudah memilik tenaga
dan kecepatan yang sebanding dengan dia, apalagi dibantu oleh Si Gendut yang
bersenjata sepasang kapak. Sebentar saja dia pun terdesak oleh sepasang golok
dan sepasang kapak itu. Nyonya Si sama sekali bukan lawan Yong Ti, orang pertama dari Tiat-pi Sam wan.
Dia adalah orang yang terpandai di antara tiga kakak beradik seperguruan itu.
Tombaknya yang panjang dan berat itu bergerak dengan kuat dan ganas sekali.
Biarpun Nyonya Si melawan dengan nekat dan mati-matian, namun baru lewat
belasan jurus, pedangnya terpental lepas dari tangannya ketika beradu dengan
tombak lawan. Bahkan ia terhuyung, terdorong oleh tenaga lawan yanng kuat.
Sebelum ia sempat menghindarkan diri, tangan kiri Yong Ti yang besar dan panjang
itu menyambar dan mencengkeram otot di pundak Nyonya Si, membuat wanita itu
terkulai dan kehilangan tenaga. Di lain saat, sambil tertawa-tawa Yong Ti sudah
memanggul tubuh wanita itu di atas pundak kirinya, lalu dengan tombak di tangan
kanan, dia membantu dua orang sutenya (adik sepergurunnya), meluncurkan
tombaknya menyamar ke arah punggung Si Tiong An.
Si Kauwsu sedang terdesak oieh dua orang lawannya. Mendengar berdesingnya
tombak yang menyerang dari belakang, dia cepat memutar tubuhnya sambil
menggerakkan pedangnya menangkis.
"Cringgg...........!" Pedangnya terpental saking kuatnya tombak itu beradu
dengan pedang. Si Tiong An dapat menghindar dari serangan itu, akan tetapi
melihat isterinya dipondong Yong Ti, dia terkejut sekali.
"Lepaskan isteriku!" bentaknya dan dengan nekat dia menerjang Yong Ti untuk
menolong isterinya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Oh Kun dan Joa Cu untuk
berbareng menyerang dari kanan kiri. Golok dan kapak menyambar dan sekali ini,
karena perhatiannya tertuju kepada isterinya, kurang cepat Si Tiong An
melindungi dirinya dan sebatang golok Oh Kun mengenai pahanya.
Si Tiong An terhuyung dan darah mengucur dari pahanya yang terluka. Oh Kun dan
Joa Gu semakin ganas menyerangnya dan Si Tiong An terpaksa memutar pedang
melindungi dirinya. Kini gerakannya kurang cepat karena paha kirinya telah
terluka sehingga dia terdesak hebat.
Melihat ini, Yong Ti merasa tidak perlu membantu kedua adik seperguruannya lagi
dan sambil tertawa dia lalu meninggalkan tempat itu sambil memondong tubuh
Nyonya Si yang mulai dapat tergerak dan meronta-ronta. Namun, makin kuat ia
meronta, semakin senang hati Yong Ti karena dia merasakan betapa tubuh yang
lunak itu kini bergerak-gerak hidup, tidak seperti tadi diam saja seperti
memanggul mayat. Rontaan Nyonya Si tidak ada artinya lagi kepala perampok yang
bertubuh kokoh kuat itu, bahkan ketika kedua tangan wanita itu memukuli punggungnya, dia
semakin senang, merasa seolah punggungnya dipijat-pijat. Ketika Yong Ti yang
memondong wanita itu melewati pasar yang berada di ujung dusun, pasar yang kini
menjadi sepi karena orang-orang yang berada di situ sudah berlari-larian
ketakutan, seorang anak laki-laki memandangnya dengan mata terbelalak. Anak ini
berusia sepuluh tahun dan dia memegang sebuah keranjang yang sudah kosong. Dia adalah
Si Han Lin, putera tunggal Si Tiong An yang tadi mengantar dagangan kue buatuan
ibunya kepada warung-warung di pasar. Dia mendengar akan adanya peram pok
yang menyerang dusun itu dan ketik, semua orang melarikan diri meninggalkai
pasar, dia pun keluar dan hendak pulang Han Lin adalah seorang anak yang tabah.
Dia percaya kepada ayah ibunya yang di tahu memiliki kepandaian silat yang
tangguh, terutama ayahnya. Dia menyaksikan pula ketika beberapa bulan yang lalu
ayahnya menghajar sembilan orang perampok yang mengacau dusun mereka.
Akan tetapi ketika dia berjalan hendak pulang, dia melihat Yong Ti yang
memanggul ibunya. Melihat ibunya meronta-ronta dalam pondongan laki-laki tinggi
besar muka hitam yang membawa tombak itu, dan mendengar ibunyi menjerit-jerit, Han Lin
terkejut dan cepat dia membuang keranjang kosongnya lalu mengejar. Yong Ti
melangkah dengan lebar dan cepat sehingga Han Lin harus berlari untuk dapat
mengejarnya. Sambil tersenyum menyeringai karena senang Yong Ti keluar dari
pintu gerbang dusun, tidak peduli lagi akan anak buahnya karena di sana sudah
ada dua orang sute yang menjadi wakilnya. Dia ludah ingin sekali bersenang-
senang degan tawanannya yang cantik bahenol.
Tiba-tiba Han Lin yang sudah dapat mengejarnya dan berada di belakangnya
berseru. "Lepaskan Ibuku, jahanam!!" Anak itu dengan nekat lalu melompat dan menubruk
dari belakang, menangkap kedua lengan ibunya dan menariknya agar terlepas dari
panggulan raksasa muka hitam itu.
Yong Ti terkejut. Dia memutar tubuhnya sambil menggerakkan kaki menendang.
"Bukkk........!" Tubuh anak itu terlempar sampai tiga tombak ketika terkena
tendangan kaki Yong Ti yang besar dan kuat. Kepala perampok itu marah sekali
melihat bahwa yang memakinya hanyalah seorang anak laki-laki kecil. Maka dia
lalu melangkah maju menghampiri dengan tombak di tangan.
"Bocah setan, mampuslah engkau makinya dan dia mengangkat tombaknya, hendak
dihujamkan ke tubuh Han Lin yang masih belum bangkit karena tadi tertendang dan
terbanting. Pada saat tombak itu meluncur, tiba-tiba dengan sekuat tenaga Nyonya meronta
sehingga terlepas dari panggulan dan secepatnya ia menubruk puteranya.
"Han Lin..........!"
"Creppp........!"
Nyonya Si menjerit sambil mendekap anaknya. Yong Ti terbelalak melihat betapa
tombak yang tadinya hendak hujamkan ke tubuh anak itu ternyata menancap di
punggung Nyonya Si yang menubruk anaknya!
"Ibu........, Ibu...........!" Han Lin merangkul ibunya, pakaiannya kebanjiran
darah ibunya yang punggungnya tertembus tombak
"........Han Lin........" Nyonya Si han dapat mengeluarkan kata-kata itu, la
terkulai dan tewas. "Ibuuu..........!"
Setelah terkejut melihat wanita itu oleh tombaknya, Yong Ti menjadi marah bukan
main. Dicabutnya tombak-dan dengan wajah bengis dia memandang kepada Han Lin
yang masih mngis dan merangkul mayat ibunya.
"Bocah setan!" Dia membentak dansekali lagi tombak itu diangkatnya untuk
dihujamkan ke tubuh kecil itu.
"Siancai (damai)..........!' Terdengar seruan lembut dan tiba-tiba tombak itu
terus dari tangan Yong Ti. Tentu saja kepala perampok itu terkejut bukan main.
tidak melihat sesuatu dan mendengarkan orang kecuali suara tadi. Bagaimana mungkin
tiba-tiba tombaknya direnggut lepas dari pegangannya" Padahal, tenaga sepuluh
orang belum tentu akan mampu merenggut tombaknya terlepas dari tangannya. Dia
hanya merasakan ada tenaga yang tak dapat dilawannya menarik tombak itu
sehingga terlepas dari tangannya. Dia cepat memutar tubuh dan melihat seorang
laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus terbungkus
kain putih yang milibat-libatkan, kakinya mengenakan sandal kulit kayu.
Rambutnya yang panjang dan bercampur uban itu dibiarkan tergerai sampai ke
punggung. Jenggot dan kumisnya rapih dan seperti rambut dan pakaiannya tampak bersih. Wajahnya
yang kurus masih tampak tampan dan lembut, sepasang matanya lembut dan mulut
yang berada di balik kumis itu selalu tersenyum ramah. Dia memegang tombal milik
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yong Ti dan sambil menggelengkat kepalanya dia berkata halus.
"Benda pembunuh ini mendatangkan kekejaman di hati manusia, sungguh
menyedihkan..........." Kemudian dia menggunakan jari-jari tangannya, menekuk-
nekuk tombak itu dan terdengar suara berdetakan ketika tombak itu patah-patah.
Hal ini dilakukan demikian mudahnya seolalah dia mematah-matahkan sehelai lidi
saja! Setelah membuang potongan-potongan tombak itu, dia memandang ke arah Han Lin
yang masih memeluk ibunya sambil menangis. Kembali kakek itu menggeleng kan
kepalanya. "Anak baik, lepaskan Ibumu.Jangan gangganggu perjalanannya kembali ke asalnya.
Marilah, Nak, bangkitlah." menjulurkan tangannya memegang tangan Han Lin dan
tiba-tiba saja Han Lin menurut, bangkit walaupun dia masih memandang ke arah
tubuh ibunya dengan bercucuran air mata. Sementara itu, Yong Ti sudah meniatkan
kesadarannya kembali. Tapi dia nya memandang bengong seperti dalam mimpi,
hampir tidak percaya betapa kakek itu demikian mudahnya mematah-mematahkan
tombak bajanya yang amat kuat! Kini, kemarahannya membutakan hatinya,
membuat dia tidak mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang manusia
yang amat sakti. Sambil menggereng seperti seekor beruang dia lalu menerjang dan
memukul ke arah kepala kakek itu. Yang dipukul agaknya tidak tahu karena dia
sedang menunduk dan memandang wajah Han Lin sambil mengelus rambut kepala
anak itu. "Jangan pukul ....!!" Han Lin yang melihat kakek itu dipukul cepat melompat dan
dengan kepalanya dia menumbuk ke arah perut Yong Ti!
"Bukkk!" Tubuh Han Lin terpental ketika kepalanya menumbuk perut kepala perampok
itu. Yong Ti melanjutkan pukulannya ke arah kepala kakek baju putih,
mengerahkan seluruh tenaganya karena dia ingin sekali pukul meremukkan kepala
kakek itu. "Wuuuttttt !" Dia memukul sekuat tenaga, akan tetapi tangannya terhenti beberapa
sentimeter di atas kepala kakek itu, seolah tertahan sesuatu yang tidak tampak,
yang lunak namun kuat sekali!
Yong Ti kembali terkejut, heran akan tetapi juga penasaran sekali, tidak percaya
apa yang telah terjadi. Dia kini mengerahkan tenaga ke arah kedua tagannya dan
dengan gencar melakukan pukulan ke arah kepala, muka, dada dan lambung kakek
itu. Kedua tangannya, bergerak cepat sekali seolah tangan itu menjadi delapan, namun
semua pukulan tidak mengenai tubuh kakek yang berdiri diam dan hanya
memandang sambil tersenyum. Semua pukulan itu, seperti mental, terhenti
sebelum mengenai tubuh kakek itu, berhenti terhalang sesuatu yang tidak tampak
namun kuat sekali! Han Lin yang sudah bangkit lagi, melihat pula kejadian ini dan dia yang sudah
mendengar banyak cerita ayahnya tentang orang-orang sakti, segera dapat
menduga bahwa penolongnya itu tentulah porang yang amat sakti. Dia lalu
mendekati jenazah ibunya dan berlutut sambil mengelus wajah ibunya yang seperti
orang tidur namun tampak demikian cantik dan tenang.
Pada saat itu, terdengar suara hiruk pikuk dan lima puluh orang anak buah
perampok, dipimpin oleh Oh Kun dan Joa, bermunculan dari pintu gerbang dusun
yang baru saja mereka merampok habis-habisan. Mereka melihat Yong Ti memukuli
seorang kakek yang berdiri tanpa bergerak dandua orang kepala rampok itu segera
berlari menghampiri sambil mencabut senjata mereka. Melihat betapa Yong Ti
memukuli namun tak sebuah pun pukulan dapat mengenai tubuh kakek berambut
panjang itu, Oh Kun dan Joa Gu tanpa diperintah lagi segera menyerang dengan
senjata mereka. Kun membacokkan dua buah goloknya arah kepala dan leher,
sedangkan Joa Gu menyerang dengan sepasang kapaknya arah dada dan perut.
"Wuuuttttt......... ting-ting-ting-ting........!!!
Empat buah senjata itu seolah bertemu dengan benda yang amat keras dan kuat
sehingga terpental dan terlepas dari kedua tangan Oh Kun dan Joa Gu!
Tentu saja dua orang kepala perampok ini terkejut bukan main. Mereka
menggunakan tangan untuk memukul di kaki untuk menendang seperti yang
dilakukan Yong Ti, akan tetapi semua pukulan dan tendangan itu tidak pernah
mengenai sasaran, tertahan sesuatu, sebelum menyentuh tubuh kakek itu seolah
tubuh itu dilindungi perisai yang tidak tampak namun yang kuat sekali!
Dalam kemarahan dan penasaran, juga ketakutan yang membuat dia menjadi
semakin kejam, Yong Ti berseru kepada anak buahnya.
"Keroyok dan bunuh Kakek ini!"
Ketakutan memang menimbulkan kekejaman, atau lebih tepat lagi, kekejaman
timbul karena rasa takut akan keselamatan diri sendiri. Untuk menyelamatkan diri
sendiri, seseorang akan tega untuk membunuh semua orang yang menjadi ancaman
bagi dirinya. Hati, akal pikiran yang dikuasai nafsu daya rendah pembentuk dan
membesar-besarkan sifat sehingga kalau aku-nya terancam itu terganggu, timbul ah
rasa takut yang berkembang menjadi kemarahan dan kekejaman.
Lima puluh orang anak buah perampok itu pun segera menyerang kakek itu seperti
semut-semut hendak mengeroyok seekor kupu. Akan tetapi, senjata mereka
terpentalan dan ketika kakek itu menggerakkan tangan mendorong, tubuh merek
berpelantingan seperti daun-daun kering dihembus angin yang amat kuat! Tidak
terkecuali, tubuh Tiat-pi Sam wan yang terkenal jagoan itu terpelanting dan
terguling-guling di atas tanah. Mereka tidak terluka, akan tetapi mereka menjadi
semakin ketakutan dan akhirnya, tiada yang memberi komando, mereka semua,
lima puluh tiga orang itu, lari tukang pukang, bahkan mereka meninggalkan
barang- barang yang tadi mereka rampok dari rumah para penduduk dusun ki-bun!
Setelah mereka semua melarikan diri, Han Lin yang teringat akan ayahnya, lalu
bangkit dan berkata kepada kakek itu. Dia sudah mendapat pendidikan ayahnya
tentang sopan santun di dunia persilatan, maka ia menjatuhkan diri berlutut
ketika bicara. "Lo-cian-pwe, mohon pertolongan Lo-cian-pwe terhadap Ayah saya
dan para penduduk Ki-bun."
"Mari kita lihat!" Kakek itu berkata lu menggandeng tangan Han Lin dan memasuki
pintu gerbang dusun. Di mana-wma terdengar wanita menangis karena hilangan
harta benda maupun karena tadi diganggu anggauta perampok yang kurang ajar dan
melanggar kesusilaan. Han Lin menggandeng tangan kakek itu diajak menuju ke rumahnya. Ketika tiba di
depan pekarangan rumah, dia melihat beberapa orang tetangga berkumpul,
mengelilingi mayat Si Tiong An. Melihat ayahnya menggeletak dengan tubuh penuh
luka dan sudah tewas, Han Lin menjerit dan lari menubruk mayat itu.
"Ayaaahhh............! Ayah.............Ibu................ahhh..........
mengapa kalian meninggalkan aku............?" Dia menangis tersedu-sedu memeluk
mayat ayahnya sehingga pakaiannya makin banyak dilumuri darah.
Kiranya tadi Si Tiong An yang sudah luka dan terdesak oleh Oh Kun dan Joa Gu,
terpaksa roboh ketika banyak anak buah perampok ikut mengeroyok, memang
berhasil merobohkan beberapa orang anggauta perampok, akan tetapi dia sendiri
akhirnya roboh dengan tu penuh luka dan tewas.
Sebuah tangan memegang pundak Han Lin dan tiba-tiba saja Han Lin merasa ada
tenaga yang mengangkatnya berdiri.
"Anak baik, seperti juga Ibumu, Ayahmu tidak boleh kau halangi perjalanann
menuju ke alam asalnya. Semua telah terjadi dan apa yang telah terjadi tidak
dapat diubah lagi." Suara kakek itu dengan lembut menghibur, akan tetapi
mengandung wibawa kuat yang membuat Han Lin sadar sehingga dia dapat
menghentikan tangisnya Kakek itu lalu memandang kepada banyak orang yang berdatangan memenuhi
pelataran rumah keluarga Si itu.
"Studara-saudara, harap kalian jangan ribut. Semua perampok telah terusir pergi
dan mereka meninggalkan barang-barang kalian di luar dusun. Pergilah kaliandan
ambil kembali barang-barang kalian, dan jangan lupa agar membawa jenazah Ibu
anak ini ke sini untuk diurus sebagaimana mestinya."
Mendengar ini, semua penduduk yang laki-laki berbondong keluar dari dusun. Dan
benar saja, mereka menemukan semua barang yang dirampok itu berada di situ,
berhamburan. Mereka lalu mengmbili barang-barang itu, dibawa masuk ke dusun
dan empat orang tetangga memikul jenazah Nyonya Si, dibawa pulang ke rumah
Keluarga Si . Sementara mereka tadi pergi keluar dusun, kakek itu mengangkat jenazah Si Tiong
An, membawanya masuk ke dalam rumah bersama Han Lin dan merebahkah
jenazah itu ke atas dipan. Kemudian dia duduk di atas kursi dan Han Lin yang
kehilangan ayah ibu itu duduk di atas lantai, di depannya.
"Anak baik, siapakah namamu dan siapa pula Ayahmu yang tewas ini?"
"Lo-cian-pwe, nama saya Si Han Lin dan Ayah nama Si Tiong An. Sekarara Ayah dan
Ibu telah tewas terbunuh rampok, saya .......... saya .......... menjadi yatim
piatu, hidup seorangdiri..........." Han Lin menahan tangisnya dan mengusap dua
titik air mata yang turun ke atas pipanya.
"Engkau tidak mempunyai sanak keluarga lain?"
Han Lin menggelengkan kepalanya.
"Siancai! Sekarang, setelah Ayah Ibumu tewas dan engkau hidup seorang diri apa
yang akan kau lakukan selanjutnya?"
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Han Lin lalu berlutut di depan kaki kakek
itu dan menangis. "Lo-cian-pwe" kalau Lo-cian-pwe sudi menerimanya ingin ikut
Locian-pwe, biarlah saya jadi pelayan Lo-cian-pwe. Bawalah saya, Lo-cian-
pwe..........!!" Kakek itu membiarkan Han Lin berlutut dan menyembah-nyembah di depan kakinya.
Dia menoleh untuk melihat keadaan dalam rumah itu. Agaknya orang anak itu hidup
dalam keadaan yang cukup baik, pikirnya.
"Han Lin, kalau engkau ingin hidup ikut denganku, syaratnya mungkin berat
bagimu." "Katakanlah, Lo-cian-pwe, apa syaratnya" Saya pasti akan memenuhi semua
permintaan Lo-cian-pwe." Han Lin sudah berhenti menangis dan mengangkat muka
memandang kakek itu dengan mata merah dan bengkak karena terlalu banyak
menangis. "Syaratnya, engkau harus tahan menderita, hidup serba melarat bersamaku, dan
engkau harus tinggalkan rumah dan semua isinya ini. Kalau engkau benar-benar
hendak ikut denganku, rumah dan isinya ini akan kuserahkan kepada para penduduk
dusun ini. Selain itu engkau harus pergi denganku sekarang juga dan menyerahkan
urusan pemakaman orang tuamu kepada para penduduk."
Han Lin terkejut dan bingung. "cian-pwe, apakah saya tidak boleh menunggu sampai
selesai pemakaman kedua orang tuaku?"
"Terserah kepadamu, Han Lin. Akan tetapi ketahuilah bahwa sekarang aku akan
pergi meninggalkan tempat ini. Terserah kepadamu hendak ikut denganku atau
tidak." Sebelum Han Lin menjawab, empat orang tetangga yang mengangkut
jenazahNyonya Si telah tiba dan jenazah itu dibaringkan di sebelah jenazah Si
Tiong An. Melihat jenazah ayah ibunya, kembali Han Lin menangis sambil berlutut depan
pembaringan. "Han Lin, bagaimana, apakah engkau hendak ikut dengan aku atau tidak"
Pertanyaan yang lembut itu menyadarkan Han Lin dan dia harus mengakui
kelemahannya, kembali menangisi kematian ayah ibunya yang menurut kakek hanya
menghalangi kepergian mereka. Maka dia menjawab tegas.
"Lo-cian-pwe, saya ikut!" Lalu dia memberi hormat dengan berlutut di depan dipan
dan berkata. "Ayah dan Ibu, ampunilah anakmu yang tidak sempat mengurus
jenazah Ayah dan Ibu karena anak harus ikut dengan Lo-cian-pwe........" Dia
menoleh kepada kakek itu, "Maaf, Lo-Cian-pwe, siapakah nama Lo-cian Pwe" Saya
akan memperkenalkan kepada ayah dan Ibu."
Kakek itu tersenyum. "Orang-orang menyebut aku Thai Kek Siansu."
"Ayah dan Ibu, anakmu harus ikut dengan Lo-cian-pwe Thai Kek Siansu. Ayah dan
Ibu, pergilah dengan baik dan doakanlah anakmu agar menjadi anak yang baik." Dia
memberi hormat delapan kali lalu bangkit berdiri, memandang kepada Thai Kek
Siansu dengan sikap tegas.
"Lo-cian-pwe, saya sudah siap!"
Thai Kek Siansu tersenyum dan mengelus kepala anak itu. "Anak yang baik,
panggil ah semua orang agar berkumpuldi sini."
"Baik, Lo-cian-pwe!" Setelah berkata demikian, dengan sigap dan cepat ke keluar
dari rumah dan memanggil semua orang agar datang berkumpul di pelataran
rumahnya. Semua orang yang sudah mendengar akan munculnya kakek pakaian
putih yang secara aneh membantu para perampok meninggalkan semua barang
rampasan di luar dusun, berbondo-bondong datang berkumpul.
Setelah semua penduduk berkumpul termasuk Lurah Thio yang menjadi kepala
dusun di situ, Thai Kek Siansu mengandeng tangan Han Lin, berdiri di pendapa dan
berkata kepada mereka. Suaranya halus dan lirih saja, akan tetapi anehnya, semua
orang sampai yang berdiri paling jauh dapat mendengar bisikan itu dengan jelas!
"Saudara-saudara penduduk Ki-Bun. Anak Si Han Lin ini telah kehilangan Ayah
Ibunya dan menjadi yatim piatu tidak memiliki sanak keluarga lain."
"Kami mau memeliharanya!"
"Biarkan aku yang menjadi pengganti orang tuanya!"
Banyak orang meneriakkan kesanggupan mereka untuk menerima Han Lin. Hal ini
membuktikan bahwa anak itu memang disuka oleh para penduduk yang amat
menghormati ayah ibu anak itu. Tiba-tiba Han Lin berkata dengan suara lantang.
"Para Kakek, Paman dan Bibi! Terima kasih atas kebaikan hati dan
penawarankalian. Akan tetapi aku sudah mengambil keputusan untuk ikut bersama Lo-cian-pwe Thai
Kek Siansu ini!" Thai Kek Siansu tersenyum lalu berkata. "Saudara-saudara sekalian telah
mendengar sendiri. Han Lin ingin ikut bersamaku, maka atas namanya kami serahkan
rumah dan seisinya kepada kalian. Harap Saudara Lurah mengaturnya dan juga mengadakan
upacara sembahyang dan mengatur pemakaman suami isteri Si Tiong An dengan
sebaiknya, Nah, kami berdua akan pergi sekarang."
Setelah berkata demikian, semua orang menjadi berisik karena saling bicara
sendiri. Akan tetapi tiba-tiba me reka semua tersentak dan berhenti bicara karena ada
angin bertiup kencang dan ketika mereka memandang ke pendapa kakek dan anak itu
telah lenyap! Semua orang, dipelopori Lurah Thio menjatuhkan diri berlutut untuk menghormat
kepergian kakek itu dan semenjak saat itu, nama Thai Kek Siansu menjaj pujaan
penduduk dusun Ki-bun. Bukan hanya menjadi pujaan, bahkan menjadi pelindung,
karena kalau ada gerombolan penjahat hendak mengganggu dusun itu dan
mendengar bahwa Thai Kek Sianu menjadi pelindung dusun Ki-bun dan mendengar
pula betapa gerombolann yang dipimpin oleh orang-orang sakti seper Tiat-pi Sam-
wan juga dihajar sehingga lari ketakutan oleh Thai Kek Siansu mereka tidak jadi
mengganggu karena takut! oooOOooo Si Han Lin yang baru berusia sepuluh tahun itu sejak kecil sudah diberi
pelajaran dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-Pai oleh ayahnya sehingga dia
memiliki tubuh yang kuat walaupun agak kurus. Dia sudah banyak mendengar cerita
Ayahnya tentang kisah para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan gurunya pernah
bercerita tentang ("orang yang amat sakti seperti Tat Mo-couwsu yang nama
aselinya Buddhi Dharma, yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa dan yang
pertama-tama menembangkan ilmu silat di Siauw-lim-Akan tetapi ketika dia
digandeng oleh Thai Kek Siansu keluar dari rumahnya, dia merasa tubuhnya seperti
melayang sehingga dia merasa heran bukan main. Apalagi ketika dia melihat betapa
tahu-tahu dia sudah berada di luar dusun Ki-bun! Dia masih digandeng dan biarpun
berrdua kakinya melangkah namun dia tidak merasakan menginjak tanah, melainkan
seperti melayang dan meluncur. Dengan cepat sekali kakek itu membawanya
mendaki bukit dan setelah tiba di puncak bukit, baru kakek itu berhenti dan
melepaskan tangan yang digandengnya.
Begitu dilepaskan oleh Thai Kek Siar su, Han Lin cepat menjatuhkan diri berlutut
didepan kakek yang sudah duduk bersila di atas sebuah batu besar.
"Lo-cian-pwe, saya mohon kepada Lo cian-pwe agar suka menerima saya sebagai
murid." "Han Lin, kenapa engkau ingin menjadi muridku?"
"Karena Lo-cian-pwe adalah seorang yang amat sakti dan amat pandai. Saya ingin
mempelajari semua ilmu yang Lo cian-pwe kuasai."
"Han Lin, ketahuilah bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini. Tidak ada orang
sakti! Yang Maha Sakti dan Maha Pandai itu hanyalah Tuhan! Kalau aku manusia
mengaku sakti dan pandai, itu hanya membual saja, bualan yan sombong dan
kosong!" "Akan tetapi saya melihat sendiri Lo cian-pwe tanpa bergerak sudah mampu
mengusir para perampok itu. Bahkan tidak ada perampok yang dapat menyerang Lo-
cian-pwe, semua serangan itu tidak dapat mengenai tubuh Lo-cian-pwe. Apakah itu
tidak sakti namanya?"
Thai Kek Siansu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Bukan aku yang sakti
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau pandai, melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang membuat aku terbebas dari
semua serangan adalah kekuasaan Tuhan, bukan kesaktianku.Kalau kekuasaan
Tuhan bekerja melindungiku, siapakah yang akan mampu menggangguku" Biar Iblis
dan Setan sekalipun tidak mungkin dapat mengganggu seseorang yang dilindungi
kekuasaan Tuhan. Manusia tidak ada yang pintar. Kalau dia dapat lakukan sesuatu,
itu adalah karena iluin yang menganugerahi dengan kemampuannya itu. Bagaimana
orang dapat mengaku pintar kalau tidak mampu menghitung rambut di kepalanya
sendiri, tidak mampu menghentikan tumbuhnya rambut dan kukunya sendiri" Yang
Maha Pandai hanya Tuhan dan yang dianugerahkan kepada manusia sesungguhnya
hanya sedikit dan terbatas sekali. Karena itu bukalah matamu, Han Lin. Guru
Sejati adalah Tuhan sendiri dan Dia telah memberimu hati akal pikiran untuk
belajar dan ilmu-ilmu itu telah diberikan Tuhan dengan berlebihan melalui segala sesuatu
yang terdapat di alam maya pada ini. Hidup ini adalah belajar, sampai kita
mening galkan dunia ini."
Anak berusia sepuluh tahun itu tentu saja agak sukar mengunyah dan menelan
makanan batin yang mendalam itu, akan tetapi Han Lin yang cerdik mencatat
dalam ingatannya. "Lo-cian-pwe, tanpa bimbingan Lo cian-pwe bagaimana mungkin saya akan dapat
mengerti semua itu" Karena itulah maka saya mohon untuk menjadi murid Lo-cian-
pwe." Kakek itu mengelus jenggotnya, tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah, Han Lin, kalau itu sudah menjadi tekadmu, aku akan membimbingmu,
asalkan engkau percaya dengan penuh keyakinan akan adanya Thian yang
menguasai seluruh alam semesta dan sekalian isinya, termasuk dirimu."
"Saya percaya akan adanya Tuhan, suhu." kata Han Lin dengan penuh semangat dan
gembira. "Dan engkau rela berserah diri kepada Tuhan sepenuhnya, tanpa pamrih, dan kau
menerima segala sesuatu yang menempa dirimu dan di luar kekuasaanmu untuk
menghindarinya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Maukah engkau berserah
diri sedalam itu kepadaNya sehingga mati pun akan kau terima dengan suka rela
kalau hal itu memang diKehendakiNya?"
"Saya bersedia untuk berserah diri kepada Tuhan, Suhu." kata pula anak itu
dengan mantap. Dengan wajah riang Thai Kek Siansu tertawa mendengar kesanggupan anak itu.
suara tawanya lembut dan merdu, akan tetapi ketika kakek itu tertawa dan
menengadahkan kepalanya, Han Lin mendengar suara seperti ada halilintar
menggeluduk dari jauh dan begitu kakek itu kini henti tertawa, suara menggeluduk
di diatas itu pun berhenti.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking di angkasa. Han Lin terkejut, apalagi suara
itu disusul suara berkelepaknya sayap yang cukup keras. Dia mengangkat muka,
berdongak ke atas dan mata anak itu terbelalak. Seekor burung yang luar biasa
besarnya melayang dan mengelilingi puncak bukit itu. Belum pernah selama
hidupnya Han Lin melihat burung sebesar itu. Dari bentuknya dia mengenal sebagai
burung rajawali yang pernah dilihatnya, akan tetapi biasanya burung rajawali
tidak seberapa besar, sampai besar seperti seekor ayam jantan. Akan tetapi
burung yang melayang-layang besar sekali, kedua kakinya itu saja sebesar lengan orang dewasa
dan kepala sebesar kepala kambing!
"Ho-ho, Tiauw-cu (Rajawali), engkau mengenal suara tawaku dan datang
.menyusulku ke sini" Ha-ha, Rajawali yang baik, turunlah dan jangan sungkan, ini
adalah muridku bernama Si Han Lin.
Aneh sekali! Rajawali raksasa itu seolah mengerti akan kata-kata Thai Kek
Siansu. Dia meluncur turun dan hingga di atas tanah tak jauh dan batu yang
diduduki kakek itu. Setelah rajawali itu turun, baru Han Lin melihat bahwa burung itu memang besar
sekali, ketika berdiri di situ, dia lebih tinggi daripada dirinya sendiri!
Melihat Han Lin memandang dengan heran, kagum dan juga takut, Thai Kek Siansu
berkata sambil tersenyum. "Han Lin, ketahuilah bahwa Tiauw-liu ini adalah seekor
Rajawali Sakti yang telah langka. Dahulu, induk burung ini merupakan sahabat
baikku yang kujumpai di puncak Awan Biru, satu di antara puncak-puncak di
Pegunungan Himalaya. Induk Rajawali Sakti itu merupakan sahabat lamaku yang
setia dan baik sekali. Akan tetapi sekarang ia telah tiada dan ini adalah anak
tunggalnya yang masih muda. Burung ini amat langka, Han Lin, dahulu hanya
terdapat di Pegunung Himalaya, itu pun hanya sedikit dan sekarang entah masih
ada berapa ekor yang masih hidup. Tiauw-cu ini sudah lima tahun tinggal
bersamaku di Puncak Cin-ling-san dan engkau lihat, ketika aku meakukan perjalanan merantau
dan sudah meninggalkannya selama hampir tahun, kini dia menyusul dan berhasil
menemukan aku di sini."
"Wah, dia hebat sekali, Suhu!" kata Han Lin girang dan dia pun menghampiri
burung rajawali itu dan mengelus bulu halus di sayapnya. Burung itu mengerakkan
kepalanya dan mengelus rambut kepala Han Lin dengan paruhnya yang runcing
melengkung dan hitam mengkilat itu.
"Ha, bagus sekali! Tiauw-cu ini agaknya juga suka kepadamu, Han Lin, biasanya
nalurinya tidak akan salah memilih!"
Han Lin memang kagum sekali mengamati burung rajawali itu baik-baik dari kepala
sampai ke kaki. Paruh burung itu besar dan kokoh kuat, melengkung dengan ujung
runcing tajam. Lehernya penuh bulu tebal dan di atas kepalan tampak jambul
berwarna putih. Bulu burung itu keabu-abuan dengan sedikit titik-titik keemasan
di bagian sayap dan ekornya. Tubuhnya juga kokoh dan keras dan kedua kakinya
yang sebesar lengan manusia dewasa itu tampak kering dan dan seperti baja, bersisik
dan jari-jarinya mekar dengan kuku-kuku yang runcing melengkung pula.
"Han Lin, engkau pulanglah lebih dulu ke Cin-ling-san bersama Tiauw-cu. Aku
masih mempunyai beberapa urusan dan harus berpisah darimu. Engkau pulanglah dulu
ke Cin-i ng-san. Bersihkan pondok kita di sana, rawat tanaman sayur-sayuran.Tunggu
aku di sana sampai aku pulang"
"Suhu, bagaimana teecu (murid) dapat pergi ke Cin-ling-san" Teecu tidak tahu
mana pegunungan itu dan teecu tidak pernah melakukan perjalanan jauh. Betapa
jauhnya tempat itu, Suhu?" "Jangan khawatir, Tiauw-cu akan menemani dan mengantarmu sampai di sana."
"Baik, Suhu!" kata Han Lin penuh mangat. "Berapa harikah teecu harus berjalan
kaki menuju ke sana" Teecu siap berangkat sekarang juga!"
Thai Kek Siansu mengelus jenggotnya dan tersenyum. Hatinya merasa senang
melihat semangat besar dan keberanian muridnya ini yang siap mencari Cin-ling-
san walaupun tidak tahu tempatnya dan tanpa memiliki sedikit pun uang bekal!
"Kalau engkau berjalan kaki, kukira dalam waktu setengah tahun engkau baru akan
sampai di sana, Han Lin."
Anak itu terbelalak memandang gurunya. "Setengah tahun" Suhu maksudnya
enam bulan, seratus delapan puluh hari" Wah, begitu jauhnya............!"
Kembali kakek itu tertawa. "Ha-ha. engkau akan tiba tak selama itu, Han Lin.
Paling lama dua hari engkau dapat tiba di pondok kita di Puncak Cemara di
Pegunungan Cin-ling-san. Tiauw-cu akan mengantarmu ke sana."
"Tiauw-cu akan mengantar teecu dapat dua hari tiba di sana" Akan tetapi Tiauw-cu
dapat berlari secepat itu teecu yang tidak dapat dan akan tertinggal
jauh............." "Dia akan terbang, Han Lin."
"Dia dapat terbang, Suhu, akan tetapi teecu............."
"Engkau duduk di atas punggurgnya Han Lin!"
"Teecu" Dibawa terbang..............." Suhu, mana teecu berani" Bagaimana kalau
tertergelincir dan terjatuh?" Han Lin bergidik membayangkan dia terjatuh dari
punggung burung itu setelah diterbangkan tinggi.
"Nah, lihat baik-baik dan amati dirimu sendiri, Han Lin. Mulai saat ini engkau
harus membuka mata baik-baik dan terutama lebih dulu mengamati dirimu sendiri
sebelum engkau mengamati apa yang berada di luar dirimu. Lihatlah, apakah rasa
takut di dalam batinmu itu" Dari mana timbulnya perasaan takut dan ngeri itu"
Coba rasakan dan jawab!"
Han Lin memang masih kecil namun memiliki kecerdasan dan kematangan
pertimbangan yang lebih daripada anak-anak biasa berusia sekitar sepuluh tahun
berdiam diri, mencoba untuk menelusuri perasaannya sendiri. Tadinya dia sama
sekali tidak mempunyai perasaan takut,akan tetapi mendengar bahwa dia harus naik
ke punggung rajawali yang akan membawanya terbang, dia membayangkan dirinya
tergelincir dan terjatuh, maka timbul ah rasa ngeri takut itu.
"Suhu, kalau teecu tidak salah, rasa takut itu muncul dipikiran teecu setelah
teecu membayangkan kalau teecu tergelincir dan terjatuh dari punggung Tiau-cu
ketika dibawa terbang." "Nah, berarti bahwa rasa takut muncul dari ulah pikiranmu yang membayangkan
hal-hal tidak enak yang belum terjadi. Pikiran bagaimana kalau nanti
ataubagaimana kalau nanti begitulah yang mendatangkan rasa takut. Dengan
datangnya rasa takut maka bijaksanaan kita pun goyah dan miring. Mengapa memikirkan hal-hal yang
belum terjadi, yang hanya menimbulkan rasa takut" Mengapa pula membayangkan
masa lalu yang hanya mendatangkan rasa sedih dan dendam kemarahan" Yang tidak
penting adalah menghadapi saat itu, saat demi saat dengan penuh kewaspada.
Engkau harus menaati perintah guru kalau aku sudah menyuruhmu menunggang
Tiauw-cu, engkau harus taat dan yang penting bagimu melakukan hal ini, sekarang
ini, dengan baik dan benar. Kalau engkau melaksanakan apa pun yang terjadi
dengan baik dan benar saat ini, maka sudah cukuplah itu. Selanjutnya pun yang
terjadi harus kau hadapi sebagai suatu kenyataan yang wajar, waspada saat ini,
saat demi saat, urusan kemudian serahkan saja kekekuasaan Tuhan yang tidak dapat
dirubah oleh siapapun juga. Nah, sekarang baiklah dan jangan takut, Tiauw-cu
akan mengantarmu sampai ke Puncak Cemara, Bukankah begitu, Tiauw-cu?"
Rajawali besar itu mengangguk-anggukkan kepala seolah dia mengerti dan selalu,
mengeluarkan suara kwak-kwak, lalu menekuk kakinya, mendekam di dekat Han Lin!
Sebagai putera tunggal seorang guru Silat murid Siauw-lim-pai, sesungguhnya Han
Lin telah dibekali dasar-dasar sebagai seorang yang jantan dan tabah, mendengar
ucapan gurunya yang walau agak sukar namun dapat dia mengerrti itu, tanpa ragu
lagi Han Lin lalu melompat naik ke punggung burung yang amat besar itu. Punggung
itu ternyata lebar dan dia dapat duduk dengan enak.
"Cengkeram bulu lehernya. Bulu itu kuat dan kalau merasa pening, membukuklah
saja dan rebah menelungkup atas punggung Tiauw-cu " kata Thai Siansu.
"Baik, Suhu. Harap Suhu doakan a teecu tidak jatuh!" kata Han Lin san memegang
bulu-bulu leher dengan ketangannya.
Rajawali raksasa itu bangkit berdiri mengeluarkan suara seolah berpamit pada
Thai Kek Siansu, lalu mengembangkan kedua sayapnya sambil meloncat atas dan
terbanglah dia dengan indah, ke atas. Han Lin merasa seolah-olah jantungnya
copot dan tinggal di bawah. Cepat dia memejamkan matanya membungkuk,
menyembunyikan muka dalam bulu-bulu yang lembut dan hangat itu.
Thai Kek Siansu berdiri di atas batu sambil mengikuti terbangnya Tiauw-Cu dengan
pandang matanya sampai buram.
itu menjadi sebuah titik hitam yang makin menjauh. Dia menghela napas panjang.
Dia telah menerima seorang anak laki-laki sebagai murid. Hal ini berarti bahwa
biarpun dia tidak pernah dan tidak akan mengikatkan batin dengan siapa atau
apapun, namun harus mempertanggung jawabkan keputusan yang telah diambilnya.
Dia mempunyai murid, maka dia harus membimbing murid itu agar kelak menjadi
manusia yang dekat dengan Sang Sumber dan menjadi penyalur berkat Tuhan Yang
Maha Kuasa, menyalurkan semua bekat itu untuk orang lain yang membutuhkah.
Kemudian kakek itu menuruni bukit dan biarpun tampaknya hanya melangkah
lambat saja, namun dalam waktu sebentar saja dia telah tiba di kaki bukit.
oooOOooo Di luar kota Lok-yang sebelah timur di tepi sungai, terdapat sebuah perbukitan
memanjang dan sebuah di antara bukit-bukit itu disebut Bukit Naga Kecil karena
bentuknya seperti kepala naga. Bentuk ini sebetulnya hanya batu karang, numun
dilihat dari jauh tampak beberapa batu karang itu seperti mulut dan kepala naga.
Bukit yang gersang karena terdiri dari batu karang sehingga tanahnya tidak
subur. Jarang ada orang mendaki bukit! karena memang tidak ada apa-apanya yang
berharga. Tidak ada tumbuh-tumbuh-berharga, tidak ada pula hewan buruan besar.
Akan tetapi pada suatu hari, baru saja matahari menyinarkan cahayanya yang
hangat, muncul dari celah-celah dua buah bukit, tampak seorang hwesio (pendeta
Buddha) memegang tongkat pendetatanya dan menggunakan tongkat itu untuk
menopangnya ketika dia mendaki ke atas Bukiit. Hwesio itu seorang kakek berusia
sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kasar dan perutnya amat gendut.
Kepalanya gundul, hanya ditumbuhi sedikit rambut. Dia mengenakan jubah hwesio,
dari tetapi berbeda dengan para hwesio di negeri itu yang biasanya memakai
berwarna kuning atau merah mu dilibat-libatkan di tubuh mereka secara sederhana
sekali, hwesio ini mengenakan jubah longgar yang berkotak-kotak dengan hiasan
bunga, dan celananya berwarna warna kuning. Kedua kakinya yang besar
mengenakan sandal yang aneh bentuk! dan terbuat daripada kain tebal dengan
bagian bawah dari kayu. Hwesio ini bukan orang sembarangan karena dia adai
seorang pendeta Buddha yang datang-daerah Tibet dan di dunia barat, yaitu
sekitar Tibet, Sin-kiang, bahkan sama ke Nepal, namanya terkenal sebagai seorang
pendeta yang sakti. Dia berjuluk Thong Leng Lo-su, tidak mengguna nama para Lama di
Tibet karena dia adalah berbangsa Han (Pribumi Cina). Karena merasa tidak cocok
dengan pelajaran Agama Buddha aliran Tibet, memisahkan diri dan meninggalkan Tibet lalu
merantau ke Timur, atau kembali Cina. Wajahnya yang tampak penuh sennyum dan
ramah itu cocok benar dengan perutnya yang gendut sehingga dia mirip Patung Ji-
lai-hud! Setelah tiba di atas puncak Bukit Naga Kecil yang datar, Tiong Leng
Losu mencari sebuah batu sebesar perut kerbau yang banyak berseraikan di tepi
sebuah jurang. Dia menguakkan tongkatnya dengan perlahan kearah batu itu.
"Ceppp!" tongkat itu menusuk batu sedemikian mudahnya seolah dia bukan
menusuk batu melainkan menusuk benda yang lunak! Batu yang tertusuk tongkat
itu dia bawa ke tengah dataran puncak bukit, melepaskannya dan melihat
permukaan batu itu tidak rata, dia lalu menggunakan telapak tangan kiri dengan
jari-jarinya yang gemuk untuk mengusap permukaan batu. Sedikit debu mengebulkan
permukaan batu itu kini menjadi halus seperti dibubut! Kemudian dia meniup
permukaan batu sehingga permukaan batu bersih dari debu yang terkena remukan
batu, lalu duduk bersila di atas batu, meletakkan tongkatnya bersandar pada batu
yang didudukinya lalu memejamkan kedua matanya, duduk bersamadhi. Tubuhnya
duduk tegak lurus dan sedikit pun tidak bergerak sehingga dia tampak perti
sebuah patung! Tak lama kemudian muncul seorag bertubuh gemuk pendek dari jurusan lain
mendaki bukit itu. Kakinya yang pendek-pendek itu bergerak cepat dan tubuhnya
meluncur ke atas dengan kecepatan yang sukar di kuti pandangan mata. Tubuhnya
seolah berubah menjadi bayang-bayang dan tahu-tahu dia sudah berdiri di puncak.
Dia tersenyum melihat Thong Leng Losu duduk tenggelam dalam siu-lian (samadhi)
dan dia pun menghampiri batu-batu besar yang berserakan dekat lereng. Dia
memilih batu terbesar dan begitu mencabut pedang yang tergantung punggung,
tampak sinar hijau bergulung-gulung di sekitar batu itu dan batu-batu kecil
disertai debu berhamburan. Hanya sebentar saja, batu besar itu kini telah
berubah menjadi sebuih kursi yang seolah dipahat halus dan bentuknya indah! Hal ini menunjukkan
betapa hebatnya ilmu pedang orang pendek itu. Dia berusia sekitar lima puluh
tahun, tubuhnya yang gemuk pendek membuat dia tampak seperti serba bulat.
Pakaiannya longgar sederhana, seperti pakaian yang biasa dipakai para pertapa.
Orang ini pun bukan orang sembarangan. Dia bernama Liong Gi Cin-jin dan di dunia
persilatan, terutama didaerah timur, dia terkenal nama julukan Tung Kiam-ong
(Raja pedang Timur). Dia seorang yang tekun mempelajari agama Khong-kauw (Confu-
i sm) dan bertahun-tahun dia merantau di sepanjang kota pantai Timur untuk
menyebar-luaskan pelajaran Khong-hu-Im.
Baru saja dia menduduki kursinya yang diletakkan dalam jarak lima tombak dari
tempat duduk Thong Leng Losu, tiba-tiba dari arah lain tampak seorang munusia
seperti seekor burung melayang naik ke puncak itu. Dia bukan terbang, namun
gerakannya yang cepat ditambah tubuhnya yang lebar itu mengembang seperti
sayap burung membuat ia seperti melayang naik dan dengan cepat dia sudahberada
di puncak bukit. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun
lebih, tubuhnya tinggi kurus. demikian kurusnya sehingga mukanya seperti
tengkorak. Jubahnya longgar sekali, berwarna kuning, dan sebuah kebutan berbulu putih
panjang terselip di pinggangnya. Dengan tenang dia memandang ke kanan kiri,
tersenyum melihat dua orang pertama yang sudah duduk atas batu. Dia pun
menghampiri batu-batu di tepi jurang dan memilih batu. Melihat ada batu yang
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang, menggunakan kebutannya untuk dihantamkan ke tengah batu itu.
Bagaikan pisau tajam memotong agar-agar, kebutan itu membelah batu panjang dan
bekas potongan itu demikian rata dan halus seolah batu itu dipotong dengan benda
ya amat tajam. Kemudian, bulu-bulu. kebutannya itu membelit sebuah di antara
potongan batu itu dan dengan gerakan lembut batu itu terangkat dan terlontar
atas, ke arah tempat dua orang itu duduk! Dia lalu meluncur cepat kedepan dan
ketika batu itu melayang turun, menggunakan kebutannya untuk menangkap batu dan
diletakan dalam jarak lima tombak dari dua orang yang lain dan kini Mereka duduk
saling berhadapan membentuk titik ujung segi tiga. Orang ketiga ini mudah
diketahui bahwa dia seorang Tosu (Pendeta Agama To) dari pakaian pendetanya
yang berwarna serba kuning. Dia pun terkenal di dunia persilatan sebagai seorang
datuk besar dari Selatan. Julukannya di dunia kang-ouw Ialah Lam-liong (Naga
Selatan). Tiga orang kakek ini biarpun amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai orang-orang
sakti, namun mereka jarang mencampuri urusan dunia ramai, dan tidak pernah
mempunyai murid. Mereka lebih tekun menyebarkan pelajaran agama masing-
masing. Thong Leng Losu menyebarku pelajaran Agama Buddha, Tiong Gi Ki-jin
menyebarkan Agama Khong-kauw, dan Louw Keng Tojin menyebarkan Agama To-
kauw. Tidak seperti para tokoh agama yang menjadi pimpinan kuil agama masing-
masing, tiga orang datuk ini lebih suka bekerja sendiri, merantau dan tidak
pernah menetap di suatu tempat atau tinggal di sebuah kuil.
Setelah orang ke tiga itu duduk bersila di atas batu yang dipilihnya, Ti Gi
Cinjin mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan ke dua orang
itu lalu berkata dengan lembut.
"Selamat berjumpa, Saudara-saudara!" Betapa bahagianya bertemu dengan
sahabat-sahabat lama yang datang dari jauh!
"Omitohud, Tiong Gi Cinjin! Pedangmu masih tajam, ucapanmu masih mengandung
aturan kemanusiaan, tentu kau memperoleh kemajuan pesat. Pinceng (aku) merasa
kagum sekali!" kata Thong Leng Losu sambil membalas penghormatan itu.
"Siancai! Apakah segala macam aturan yang dibuat manusia dapat merubah cara
hidup manusia menjadi baik! Pinto (aku) tahu bahwa pribadi Tiong Cinjin memang
sudah baik, akan tetapi kebaikannya bukan karena adanya aturan." kata Louw Keng
Tojin sambil tersenyum. "Saudara Thong Leng Losu dan saudara Louw Keng Tojin, aku mengenal jiwi (Anda
Berdua) sebagai orang-orang baik dan selalu berusaha untuk menjadikan orang-
orang menjadi baik degan ajaran-ajaran agamamu. Akan tetapi mari kita lihat,
bagaimana keadaan dunia ini" Padahal, semua manusia di empat penjuru
sesungguhnya adalah saudara sendiri, mengapa terjadi perang perebutan kekuasaan
yang mengorbankan nyawa banyak orang" Beginilah kalau manusia tidak menaati
peraturan.Kalau semua rakyat mengikuti dan menaati pelajaran agama kami dan
mengutamakan bakti, anak-anak berbakti kepada orang tuanya, rakyat berbakti
kepada rajanya, tentu tidak akan terjadi semua pertentangan dan keributan
kekuasaan ini." "Ha-ha-ha, Tiong Gi Cinjin, agamamu lalu menekankan agar manusia menaati
peraturan. Akan tetapi apa kenyataannya, makin banyak peraturan, semakin banyak
terjadi kekacauan! Peraturan dibuat oleh miusia, seperti juga senjata dibuat
manusia dengan maksud baik, akan tetapi justeru senjata itu dipergunakan manusia
untuk kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Peraturan juga demikian,
kenyataannya, peraturan dijadikan senjata bagi manusia untuk kepentingan dan
keuntungan masing-masing. Tahukah dan sadarkah engkau, Tiong Gi Cinjin, bahwa
dosa dilakukan manusia justeru karena adanya peraturan" Dosa adalah pelanggaran,
dan justeru peraturan itu menimbulkan pelanggaran! Kalau tidak ada peraturan,
tidak akan ada pelanggaran atas dosa!"
"Omitohud! Pendapat Tiong Gi Ci dan Louw Keng Tojin itu semua baik mungkin tidak
akan berhasil mengamankan dunia dan mendatangkan kedamaian kehidupan
manusia! Semua usaha itu hanya mendatangkan sengsara dan duka. Saat Buddha
telah menemukan cara sempurna untuk membebaskan manusia dari duka. Manusia
tidak mungkin dapat terbebani dari duka selama dia belum melaksanakan apa yang
disabdakan oleh Sang Buddha. Empat Kenyataan yang disadari benar bahwa
terdapat adanya Duka, sebab dari Duka, menghentikan Duka, dan Jalan untuk
menghentikan Duka. untuk itu Sang Buddha telah menemukan dengan Jalan Utama,
Lima Petunjuk, Sepuluh Larangan, Sepuluh Jalan Kebaikan, dan lain-lain. Kalau
semua manusia mentaati semua petunjuk Sang Buddha, manusia akan terbebas dari
Sengsara dan duka." Petunjuk-petunjuk dan upacara-upacara saja tidak akan menolong, Thong Leng Losu.
Harus ada peraturan yang melaksanakan, harus ada hukum, yaitu hukum siapa yang
melanggar peraturan. Kalau peraturan hukum dilaksanakan dengan baik dan
sebagaimana mestinya, akan terdapat ketertiban." kata Tiong Gi Cinjin
mempertahankan teorinya berdasarkan pelajaran dari Agama Khong-kauw yang
dianutnya. "Ha-ha-ha, kalian berdua hanya bicara tentang peraturan. Manusia tidak akan
dapat membuat kehidupan menjadi baik, dengan mengadakan peraturan yang ba-
imanapun. Lihatlah, matahari bulan dan Bintang tidak diatur manusia namun selalu
berjalan dengan tertib. Burung-burung terbangan di udara, ikan-ikan berenang
dalam air, mereka itu tidak mempunyai akal pikiran seperti manusia, namun tidak
kekurangan makan, tidak mengerti sengsara karena mereka semua itu hidup sesuai
dengan To. Alam mengatur segala sesuatu dengan tertib, akan tetapi aturan
perbuatan manusia malah menimbulkan kekacauan. Biarkanlah Alam bekerja tanpa
campur tangan manusia, karena Alam bekerja tanpa tujuan tanpa pamrih tidak
seperti manusia yang mementingkan tujuannya daripada caranya." kata Lou Keng
Tojin mempertahankan teori agamanya.
Tiga orang itu mulai berdebat, mula-mula mereka mempertahankan teori kebenaran
agama masing-masing. Akan tetapi perdebatan itu mendatangkan suasana panas
yang mempengaruhi hati akal pikiran mereka sehingga akhirnya mereka saling
mencela! Yang beragama buddha dicela karena dikatakan menyembah benda mati
berupa arca. Tiong Gi Cinjin yang pendeta Agama Khong-kauw dicela karena hanya
mengurus soal manusia dan duniawi. Louw Keng Tojin dicela karena agamanya
hanya mengurus hal-hal yang tidak nyata, mengkhayal dan seperti mimpi, sama
sekali tidak mempedulikan urusan manusia hidup di dunia.
Perdebatan yang dimulai memamerkan kebaikan dan kebenaran masing-masing
berlanjut kepada saling mencela sehingga akhirnya tiga orang itu turun dari atas
batu, berdiri dengan muka merah mata bersinar penuh kemarahan!
"Hemmm, kalian mencela pelajar Agama Khong-kauw kami, hal itu berarti kalian
menentang kami dan siapa yang menentang kami berarti musuh kami teriak Tiong Gi
Cinjin yang sudah hilangan kesabarannya. Dia mencabut pedangnya dan tampak
sinar hijau ber kelebat, lalu sinar itu menyambar-nyambar kearah batu yang tadi
diduduki Tiong Gi Cinjin. Hanya terdengar sedikit suara, akan tetapi ketika
sinar hijau itu kembali ke tangan Tiong Gi Cinjin, batu itu runtuh dan
berantakan, telah terpotong-potong seperti mentimun dirajang pisau yang amat tajam!
"Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak macam itu tidak ada artinya!" terdeng Louw Keng
Tojin berkata. Dia lalu melempar kebutannya ke atas dan tiba-tiba bagaikan
benda hidup, kebutan itu melayang turun ke arah batu yang tadi diduduki dan
kebutan itu menyambar cepat. Terdengar ledakan keras dan batu itu terpukul bulu
kebutan pecah berhamburan dan kebutan itu sudah "terbang" kembali ke tangan Louw
Keng Tojin memang pendeta To ini selain lihai ilmu silatnya, juga mahir ilmu
sihir. "Omitohud, kalian telah melanggar larangan membunuh dalam agama kami.
Menghancurkan batu-batu itu sama dengan membunuh. Sungguh tidak memiliki
belas kasihan." kata Thong Leng Losu dan hwesio tinggi besar ini menghampiri
lima buah batu yang sudah pecah berantakan itu, memungutinya dan dia menempel-
nempelkan pecahan batu-batu itu sehingga melekat kembali dan menjadi utuh.
Inilah hasil tenaga sakti yang amat hebat!
Kini tiga orang yang lelah berdebat sengit tadi, berdiri saling berhadapan.
Mereka semua adalah pendeta-pendeta yang sudah mempelajari agama masing-masing
secara mendalam, hafal akan semua pelajaran dalam kitab-kitab suci mereka.
Mereka siap untuk membela agama masing-masing dengan mati-matian, kalau perlu
berkorban nyawa! Akan tetapi mereka masih dapat menenangkan diri tidak
membiarkan diri hanyut oleh nafsu amarah karena maklum bahwa itu ditentang
atau dilarang oleh agama mereka masing-masing.
Karena mereka sama-sama menahan diri, tidak mau mendahului melakukan
serangan, maka mereka bertiga hanya berdiri saling berhadapan dengan muka
merah. Thong Leng Losu sudah siap dengan tongkatnya dari baja biru. Tiong Cinjin
juga sudah memegang pedangnya dan Louw Keng Tojin memegang kebutannya. Di
dalam hati mereka terjadi konflik sendiri, sebagian terdorong penasaran dan
marah hendak menyerang lawan, sebagian lagi menaati pelajar agama masing-masing
tidak mau melakukannya. Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Datangnya dari bawah puncak dan suara
itu terdengar tenang dan sayup-sayup, namun dapat terdengar jelas semua kata-
katanya. Intinya adalah Api Suci yang selalu membakar dan menerangi
Mengapa yang dipersoalkan asap
dan abunya yang hanya mengaburkan pandangan mata?" Biarpun suara nyanyian itu terdengar lebih sayup-sayup, akan tetapi tiga orang
yang berilmu tinggi itu dapat merasakan getarannya yang kuat dan penuh
kewibawaan lembut mengusap perasaan hati mereka, menghapus kemarahan dari hati. Tahulah
mereka bertiga bahwa akan muncul seorang manusia yang luar biasa dan seperti
dengan sendirinya mereka tunduk dan menanti dengan sikap hormat.
Kemudian tampaklah Thai Kek Siansu melangkah ke puncak itu, memandang mereka
bertiga, tersenyum lalu menghampiri, berdiri berhadapan dengan mereka sehingga
mereka berempat kini menduduki titik-titik segi empat.
"Ho-ho, tiga manusia utama memperebutkan Kebenaran! Kebenaran yang dapat
diperebutkan jelas bukan kebenaran lagi namanya. Kebenaran yang dapat
diperebutkan adalah kebenaran yang mempunyai lawan, yaitu ketidakbenar
Padahal, Kebenaran tertinggi tidak mepunyai lawan. Segala sesuatu tercakup
dalamnya!" Thai Kek Siansu lalu duduk bersila begitu saja di atas tanah berumput. Anehnya
tanpa dia mengatakan sesuatu, tiga orang itu otomatis lalu duduk bersila di atas
tanah seperti yang dilakukan Thai Kek Siansu! Tiga orang itu mengenai kakek itu
dan mereka bertiga merangkapkan kedua tangan depan dada sambil mengucapkan
salam hampir bersamaan. "Selamat datang, Thai Kek Siansu!"
Thai Kek Siansu membalas salam mereka dengan ucapan lembut, "Selamat
berjumpa, Sam-wi Suhu (Ketiga Guru) dari Sam Kauw (Tiga Agama)!"
Mereka berempat duduk bersila tiga orang pertama memandang kepada Thai Kek
Siansu yang menundukkan mukanya sambil tersenyum dan kedua mukanya
terpejam. Kemudian, bagaikan orang bermimpi, dia kembali menyanyikan syair yang
amat terkenal di antara para tokoh agama dan para sastrawan di Zaman itu. Syair
itu adalah karya Sikong Tu (837 - 908), seorang penduduk Daerah Yong-ji di
Propinsi Shan-si. Dalam usia muda dia sudah lulus ujian negara. Ketika orang Chao
menyerang ibukota Kerajaan Tang dia mengungsi. Dalam usia lima puluh lima tahun
dia mengundurkan diri bertapa. Ketika Dinasti Tang jatuh, dia menolak pemberian
pangkat oleh Kaisar Dinasti yang baru. Thai Kek Siansu menyanyikan syair itu
dengan suara lembut. "Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan;
Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang.
Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung,
Terbang bersama burung bangau terpencil di atas.
Lembut seperti desahan napas angin lalu
Yang semilir menyentuh baju panjangmu.
Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi
Yang keindahannya selalu engkau rindukan.
Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai
Pada saat engkau hampir, Dia mundur,
Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya,
Dia menggelincir dari tanganmu hilang!"
Setelah Thai Kek Siansu menghentikan nyanyiannya, suasana sejenak menjadi
hening, akan tetapi segera terisi oleh suara alami yang terdengar demikian
menghanyutkan perasaan. Desir angin antara batu-batu air yang memancur
menimpa batu, diselingi bunyi burun burung yang melayang lewat puncak. Akan
tetapi semua suara dari luar di yang tidak mampu menghilangkan suara keheningan
dalam diri yang tidak pernah berhcnti akan tetapi hanya dapat didengar orang
yang benar-benar tidak lagi mempengaruhi kebisingan hati akal pikiran, suara itu
terdengar di telinga yang paling dalam. Orang yang mendengarnya mungkin tidak
sama daya penangkapnya dengan orang lain. Ada yang mengatakan seperti
gemersiknya angin bergurau dengan daun-daun, atau seperti gelora air lautan yang
dahsyat, atau seperti ombak berkejaran.Telinga luar tidak mempengaruhi
pendengaran itu, biar telinga ditutup, tetap saja suara itu berbunyi. Suara
keheningan, suara kehidupan, membahagiakan manusia yang dapat mendengarnya
Thong Leng Losu pendeta Buddha dari Tibet itu tak sabar lagi untuk tinggal diam.
"Omitohud, Thai Kek Siansu, kebetulan sekali engkau datang pada saat kami
bertiga sedang mengadakan pertemuan. Kami bertiga ingin membahas tentang keadaan
rakyat jelata dan kerajaan yang silih berganti, selalu terjadi perebutan
kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami memperbincangkan semua itu dan juga
agama kami masing-masing, bagaimana kami akan dapat menanggulangi semua itu dan
mendatang kedamaian dan kesejahteraan bagi manusia, khususnya bangsa kita yang
terpecah belah oleh perebutan kekuasaan. Mohon petunjuk dari Siansu yang telah
kami dengar akan kebijaksanaannya."
Thai Kek Siansu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya, namun
mulutnya tersenyum, senyum penuh pengertian dan kesabaran.
. "Tiga orang sahabatku yang baik, untuk dapat mengerti tentang kehidupan mengapa
kita harus mendengar petunjuk orang lain" Kita bersama adalah manusia, kehidupan
ini sama-sama kita alami. Siapa yang berhak memberi petunjuk dan kepada siapa"
Kita tidak membutuhkan petunjuk orang lain, karena apa pun juga yang kita
percaya dan lakukan, kalau menurut petunjuk orang lain, adalah palsu. Bagaimana
kalau petunjuk itu salah. Maka, karena kita berempat sama-sama mengalami kehidupan
ini, apakah tidak lebih baik kalau kita sama-sama pula mengamati dan
mempelajarinya?" Tiong Gi Cinjin berkata, "Tak dapat dibantah kebenaran ucapan Siansu Itu. Akan
tetapi untuk melakukan penyelidikan kami bertiga yang tadi tidak mendapatkan
kesepakatan, perlu seorang yang tidak berpihak untuk membuka jalan dan kami
harap Thai Kek Siansu yang suka memulai dengan pengamatan dan penyelidikan ini,
agar kami bertiga tidak saing bertumbukan."
Thong Leng Losu dan Louw Keng Cinjin mengangguk-angguk dan menyatakan setuju.
Louw Keng Tojin berkata, "Thai Kek Siansu, mari kita bicara dan menyelidiki
tentang Agama lebih dulu. Tadi kami bertiga berselisih paham mengenai kebenaran
dalam Agama dan karena kami Mempertahankan kebenaran dalam Agama kami masing-
masing, maka terjadi salah faham. Sekarang, bagaimana kita dapat melihat
kenyataannya, siapa di antara kami bertiga yang benar?"
"Sam-wi (Anda Bertiga) berdebat tentang Kebenaran" Kebenaran yang
diperdebatkan bukanlah kebenaran lagi karena Dia ditinjau dengan pandangan yang
dan terselubung tirai penilaian agama masing-masing. Mari kita amati tanpa tirai
itu. Apakah sebenarnya Agama itu Yang dapat dibuktikan, Agama ada pelajaran untuk
menuntun manusia arah jalan hidup yang baik. Bukan demikian" Semua Agama
mengajar kebaikan dan tidak ada sebuah pun Agama yang mengajarkan agar
umatnya melakukan tindakan jahat. Intinya ada agar manusia di waktu hidupnya
berbuat kebaikan menjauhi kejahatan sampai akhir hayatnya. Akan tetapi Agama
juga memiliki sejarah dan upacara-upacara masing-masing yang tentu saja diakui
benarannya secara mutlak oleh umat Sayang sekali, seperti yang Sam-wi
perlibatkan tadi, Sam-wi tidak melihat kesamaan intinya atau apinya, yaitu hidup
dalam kebaikan, melainkan Sam-wi bersitegang membela upacaranya yang berbeda.
Mengapa Sam-wi tidak menggunakan persamaan intinya itu untuk diajarkan kepada
umat masing-masing sehingga semua pemeluk agama yang berbeda itu dapat hidup
berdampingan secara rukun karena sama-sama memperjuangkan kebaikan dalam
kehidupan manusia di dunia
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Omitohud! Biarpun ucapan Siansu membuka mata kami untuk melihat kebenaran,
akan tetapi bagaimana dengan kenyataan yang dapat disaksikan betapa umat
beragama lain, misalnya ada orang beragama To tetapi menjadi seorang penipu
dengan ilmu sihirnya?" kata Thong Leng Losu.
"Siancai! Enak saja Hwesio ini mencela orang lain! Pinto juga melihat banyak
sekali orang beragama Khong-kauw yang menjadi penjahat!" seru Louw Keng Tojin
membela agamanya. "Bukan hanya itu, siapa yang tidak tahu berapa banyaknya orang beragama Budha
yang menjadi pembunuh?"
Suasana menjadi tegang, akan tetapi suara tawa Thai Kek Siansu seolah dapat
mendatangkan suasana dingin karena suara itu lembut sekali.
"Mari kita lihat dan pertimbangkan, Sam-wi. Kalau seorang beragama To kauw
menipu, jelas dia itu bukan orang beragama To-kauw, melainkan seorang penipu
yang mengaku beragama To! karena kalau dia benar-benar seorang agama To, dia
tidak berani menipu dilarang oleh agamanya itu! Juga kalau ada penjahat mengaku
beragama Khong kauw, dia adalah seorang penjahat juga hanya mengaku-aku saja
dan bukan orang Khong-kauw sejati. Kalau dia benar-benar beragama Khong-kauw,
tidak akan berani berbuat jahat karen hal itu dilarang oleh agamanya. Demikian
pula, seorang pembunuh mengaku agama Buddha, sebetulnya dia hanya palsu dan
mengaku-aku saja karena kalu dia benar seorang Buddhis, sudah pasti dia tidak
berani membunuh karena itu dilarang keras oleh agamanya! Nah, kiranya sudah
jelas. Bukanlah agama yang tidak benar, melainkan orangnya Tidak perlu dan tidak
benarlah kalau Agama saling menyalahkan, karena tidak ada agama yang benar atau
salah menurut pandangan orang-orang yang pecah belah melalui agama. Agama
adalah Kebenaran itu sendiri karena datang dari Kebenaran Yang Satu."
Tiga orang pendeta itu termenung, Tiong Gi Cinjin menghela napas lalu berkata.
"Siansu, aku mulai melihat kebanaran dalam keterangan ini. Akan tetapi mengapa
hampir seluruh rakyat meengaku beragama, dan semua agama mengajarkan
kebaikan agar kita hidup melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, Akan tetapi
kenyataannya, mengapa selalu terjadi perang, permusuhan, kejahatan dan
kekacauan yang menyengsarakan rakyat?"
Thong Leng Losu dan Louw Keng Tojin juga tertarik oleh pertanyaan ini dan mereka
bertiga memandang kepada Thai Kek Siansu dengan penuh perhatian.
"Pertanyaan yang baik sekali dan hal ini patut kita pertanyakan dan kita
renungkan. Mengapa demikian" Kenyataannya adalah bahwa umat beragama sekarang ini
hanya mementingkan sejarah dan upacara masin-masing yang saling berbeda, dan
jarang yang mendapatkan Api atu inti Agama masing-masing yang sesungguhnya
sama dan hanya satu. Apakah inti dari semua pelajaran itu?" kata Thai Kek
Siansu. "Inti semua pelajaran tentu saja menurut pelajaran agama masing-masing yang
menuntun manusia untuk berbuat kebaikan!" kata Tiong Gi Cinjin dan seorang
pendeta lainnya mengangguk menyetujui.
Pada saat itu, tiba-tiba ada sinar-sinar hitam menyambar bagaikan kilat arah
empat orang itu! Kiranya sinar-sinar itu adalah empat batang anak panah berwarna
hitam yang dilepas dengan kekuatan dahsyat menyerang empat orang yang sedang
bercengkerama. "Sing-sing-sing-sing.......... !!"
Sebatang anak panah menyambar arah tengkuk Thong Leng Losu. Akan tetapi
hwesio ini diam saja, tidak tahu ataukah memang sengaja diam saja, tidak
mengelak maupun menangkis.
"Tukkk !!" Anak panah itu tepat mengenai tengkuk dan patah menjadi dua, jatuh di
belakang tubuhnya! Sebatang anak panah lain menyambar ke arah lambung kanan Tiong Gi Cinjin.
Pendeta Khong-kauw ini pun seolah tidak mengacuhkannya. Tangan kanannya
hanya bergerak ke kanan tanpa menengok dan ditang anak panah itu telah terjepit
di antara jari tengah dan telunjuknya!
Sebatang anak panah lain menyambar kepala Louw Keng Tojin. Pendeta To ini
menoleh dan meniup ke arah sinar hitam itu dan anak panah itu tiba-tiba
menyimpang dan meluncur ke atas, terputar-putar di atas. Louw Keng Tojin
mengikat tangan kirinya menggapai dan bagaikan hidup anak panah itu melayang
turun ke arah tangan tosu itu yang mengkapnya!
Adapun sebatang anak panah yang menyambar ke arah dada Thai Kek Siansu
tampaknya seperti akan tepat mengenai kisaran, akan tetapi setelah dekat sekali
dengan dadanya, anak panah itu jatuh ke tanah seolah-olah tertahan sesuatu yang
tdak tampak! Empat orang tua yang amat lihai itu memungut anak panah dan mengamatinya.
"Omitohud, bangsa Khitan selalu berusaha menguasai negeri ini dan mamerkan
kepandaian mereka memanah kata Thong Leng Losu mengamati anak panah yang
tadi mengenai tengkuk dan patah menjadi dua.
"Orang-orang yang melakukan penyerangan secara curang adalah pengecut-
pengecut dan orang-orang seperti tidak ada harganya, sebangsa Siauw-Jin (Orang
Rendah). Sepantasnya kalau diberi hajaran agar mereka itu sadar dan kembali ke
jalan kebenaran." kata Tiong Cinjin dengan suara dan sikap keren namun tetap
tenang. "Ha-ha-ha, harimau-harimau tidak akan mempedulikan ulah para tikus kata Louw
Keng Tojin. Sementara itu, Thai Kek Siansu diam saja, hanya tersenyum karena dia ingin
melihat apa yang akan dilakukan tiga orang tokoh agama yang berbeda itu terhadap
orang-orang yang menyerang dengan curang itu. Dia hanya memandang ke empat
penjuru karena maklum bahwa puncak di mana mereka berempat duduk itu telah dikepung
banyak orang! "Saudara-saudara yang datang, kalau ada urusan dengan kami berempat, mengapa
tidak langsung naik saja ke sini dan bicara dengan kami?" kata Thai Kek Siansu
dengan suara lirih, namun suaranya dapat terdengar orang yang berada di kaki
bukit sekalipun karena gelombang udara yang didukung tenaga sakti dari batin
yang kuat itu memiliki gelombang yang dahsyat.
Kini bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, lalu mereka berkumpul di
depan Thai Kek Siansu. Tiga orang pendeta itu pun menggunakan tenaga sakti
mereka sehingga tanpa menggerakkan tubuh, mereka yang duduk bersila itu
berputar menghadap ke arah para pendatang itu. Sedikitnya ada tiga puluh orang
Khitan berdiri di situ dan di depan mereka terdapat lima orang yang agaknya
menjadi pimpinan mereka. Yang pertama adalah seorang suku bangsa Khitan. Hal ini jelas tampak pada
pakaiannya. Dia memang seorang di antara para kepala suku Khitan bernama Kailon,
berusia lima puluh tahun, ber tubuh tinggi besar, di punggungnya tergantung
sebuah busur dan belasan batang anak panah, di pinggangnya tergantung sebuah
golok dan di lengan kirinya menempel sebuah perisai. Kailon tampak gagah perkasa
sebagai seorang panglima perang yang kokoh kuat.
Agaknya yang menjadi juru bica rombongan yang datang itu adalah Ce In Hosiang
karena diaJah yang menjaw didahului tawa yang membuat perutn yang gendut itu
bergoyang-goyang. "Ha-ha-ha-ha, Thai Kek Siansu, sungguh merupakan kejutan besar yang
mengherankan dan menyenangkan dapat bertemu denganmu di tempat ini. Terus
terang saja, kami naik ke bukit ini karena mendengar akan adanya pertemuan
antara Thong Leng Losu, Tiong Ci Ci jin, dan Louw Keng Tojin. Siapa tahu sini
kami bertemu dengan Thai Kek Sia su yang kami sangka sebelumnya bahkan seorang
manusia sepertimu ini tidak akan pernah muncul di dunia ramai! Kalau datang untuk
menjumpai tiga orang tokoh besar ini karena pada saat ini bangsa kita
membutuhkan semua tenaga orang sakti untuk mengakhiri semua perang saudara
dan perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami ingin minta bantuan
mereka bertiga agar mendukung pemerintahan baru yang kokoh, kuat dan yang
akan menyejahterakan kehidupan rakyat jelata. Akan tetapi Saudara Kailon kepala-
suku Khitan ini yang menjadi sekutu kami dan yang akan membantu bangsa kami,
masih menyangsikan kemampuan mereka bertiga. Maka kami setuju bahwa dia akan
menguji kalian dengan serangan anak panah karena kami yakin hal itu tidak akan
membahayakan kalian. Dan ternyata dugaan kami benar. Serangan anak panah itu
tidak ada artinya. Kalian benar-benar sakti dan orang-orang seperti kalian
inilah yang kami butuhkan untuk mendukung dan memperkuat perjuangan kami."
Thai Kek Siansu mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah, kiranya kalian berempat
termasuk golongan orang-orang yang mendahulukan kepentingan bangsa daripada
kepentingan sendiri dan merupakan pejuang-pejuang. Kalau pilihan kali seperti
itu, baik-baik saja. Akan tetapi kalau Su-wi ingin mengajak orang lain, sudah
sepatutnya kalau orang yang diajak itu sependapat dan mau. Maka, aku persilakan
kepada mereka bertiga ini untuk menjawab ajakan kalian tadi."
Thong Leng Losu memandang kcpada Ceng In Hosiang, lalu tertawa dan berkata,
"Ha-ha, Ceng In Hosiang, sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, apakah engkau
tidak menyadari bahwa mendukung pemerintahan baru juga sama dengan menyulut api
peperangan antara bangsa sendiri dan perang adalah pencetusan dari dendam
kebencian" Tentu engkau tidak lupa akan sabda Sang Buddha bahwa "Kebencian
takkan pernah dapat dihentikan oleh kebencian pula dalam dunia Ini. Kebencian
hanya dapat dihentikan dengan Kasih. Ini adalah hukum yang berlaku sejak dahulu
kala. Nah, apakah kini engkau akan menyebarkan kebencian hingga timbul perang
dan bunuh membunuh antar bangsa sendiri" Pinceng jelas tidak mau ikut!" Tiong Gi
Cinjin juga berkata kepada para pendatang itu.
"Aku pun tidak bisa ikut! Semua orang adalah saudara kita sendiri, apakah kita
harus saling membunuh hanya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan" Kalau
kalah, kita yang hancur, kalau menang, para pemimpinlah yang akan memetik buah
kemenangan itu yang berupa kemakmuran dan kesenangan duniawi. Tidak, aku
tidak mau ikut!' "Siancai! Dua orang sahabatku ini berpendirian cocok dengan pinto! Bertindak
kejam dan dalam hati mengandung kebencian, itulah syarat orang untuk perang.
Bunuh membunuh tidaklah cocok dengan agama dan kepercayaanku. Pinto juga
tidak mau ikut!" Empat orang pendatang itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. Kemudian
terdengar suara tawa yang aneh dan tawa itu disambut suara menggelegar di udara!
Hong-san Siansu Kwee Cin Lok agaknya mendemonstrasikan kedahsyat tenaga
saktinya. "Ha-ha-ha-ha, sepanjang yang kami dengar, tiga orang pendeta yang bertemu di
puncak ini, biarpun dari tiga macam agama, namun mereka adalah orang-orang
Pribumi Han yang gagah perkasa, yang berjiwa patriot pahlawan bangsa. Sekarang,
kalian bertiga menolak untuk berjuang membantu berdirinya kerajaan yang akan
melenyapkan semua perang saudara ini dan menyejahterakan rakyat melihat
hadirnya Thai Kek Siansu di sini, kami mengerti bahwa tentu kalian bertiga telah
terpengaruh olehnya. Thai Kek-Siansu, tepat dan benar bukan penilaianku ini?"
Thai Kek Siansu tersenyum. "Hong-Siansu Kwee Cin Lok, boleh saja engkau
berpendapat sesuka hatimu. Akan tapi jelas, tiga orang saudara yang kaliaan
bujuk itu tidak setuju dan tidak mau membantu kalian. Setiap orang berhak untuk
mempunyai pendapat sendiri dan engkau tidak boleh memaksanya, engkau adalah
Hong-san pangcu (Ketua Hong-san-pang), ketua sebuah perkumpul-tentu saja ingin
memajukan perkumpulannya dan memiliki cita-cita besar hingga apa yang kau
putuskan dan lakukan tentu berdasarkan pamrih mencapai cita-cita itu. Silakan
saja, akan tetapi jangan memaksa orang lain!"
"Thai Kek Siansu, sudah lama aku mendengar namamu sebagai seorang yang tidak mau
mencampuri urusan dunia. Kalau engkau yang menolak campurtangan dalam
urusan mendirikan kerajaan baru yang akan memimpin rakyat dengan bijaksana ini,
kami dapat mengerti. Akan tetapi kalau engkau mempengaruhi orang-orang lain, itu
merupakan perbuatan dosa terhadap rakyat!" kata Hong-san Pangcu marah.
"Aih, Pangcu (Ketua), siapakah rakyat itu dan siapa pula aku ini" Aku rakyat.
Setiap pejuang menggunakan rakyat sebagai alasan, semua mengatar demi rakyat
jelata, akan tetapi apa kenyataannya" Selama lima abad ini, berganti-ganti ada kerajaan
baru sampai lima kali dan mereka semua ketika sedang berjuang merebut
kekuasaan mengunakan nama rakyat, demi kesejahtera rakyat, akan tetapi lihat,
apa buktinya" Yang jelas semua itu demi kesejahteraan para pimpinan pemberontak
itu sendiri. Setelah perjuangan berhasil, para pimpinan itu hidup makmur, berkuasa,
dan kaya raya sedangkan rakyat jelata tetap miskin sengsara."
"Thai Kek Siansu, engkau keterlaluan. Agaknya engkau menjadi sombong karena
merasa hebat dan sakti sendiri, tidak ada yang akan berani mengganggumu" Hendak
i hat sampai di mana kehebatan dan kesaktianmu!" kata Hong-san Pang-cu Kwee Cin
Lok garang dan dengan muka merah karena marah.
"He-he, Hong-san Pang-cu, agaknya engkau lupa bahwa tidak ada manusia yang
sakti di dunia ini. Aku tidak sakti, engkau juga tidak sakti, kalau engkau
memiliki sedikit kemampuan, hal itu adalah karena engkau diberi oleh Yang Maha
Mampu. Engkau mendapat kesaktian karena berkat Yang Maha Sakti, akan tetapi kalau kau
pergunakan dalam kesesatan, berarti engkau menjadi alat Yang Maha Sesat atau
Setan. Tenang dan buang semua api kemarahan yang membutakan mata hatimu
itu." Mendengar teguran dari Thai Kek Siansu ini, Kwee Cin Lok ketua Hong-San-pang ini
menjadi semakin marah. "Manusia sombong, sambutlah ini kalau engkau memang
sakti!" Ketua Hong-san-Pang itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan
sinar kuning dan begitu dia melontarkan pedang itu ke atas, pedang itu seakan-
akan hidup dan terbang menuju ke arah Thai Kek Siansu yang masih duduk bersila.
Pedang itu berputar-putar di sekitar atas kepala kakek itu, semakin cepat
sehingga berubah menjadi sinar kuning. Ketika Kwee Cin Lok menggerakkan
tangannya ke arah pedang terbangnya. itu, sinar kuning meluncur dan menyerang kepala Thai Kek
Siansu! Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin dan Louw Keng Tosu hanya duduk bersila dan
menonton saja. Mereka juga ingin menyaksikan kehebatan Thai Kek Siansu yang
sudah lama mereka dengar akan kesaktiannya.
Akan tetapi Thai Kek Siansu diam saja, tidak membuat gerakan untuk melawan atau
menghindarkan diri. Dia hanya memejamkan kedua matanya mulutnya tersenyum.
Ketika sinar kuning itu meluncur turun menghujam kepalan dan tinggal beberapa
senti jaraknya tiba-tiba pedang itu terpental seolah tertolak oleh tenaga yang
lembut kuat sekali. Akan tetapi sungguh aneh, pedang itu seperti dipegang dan
digerakkan oleh tangan yang tidak tampak, menyerang lagi secara bertubi dengan
tusukan dan bacokan ke arah seluruh tubuh Thai Kek Siansu. Namun hasilnya sia-
sia, bagian tubuh manapun yang diserang tidak dapat disentuh pedang itu yang
selalu terpental. Ilmu ini merupakan puncak tenaga Liku karena bukan tenaga yang dikerahkan oleh
Thai Kek Siansu, melainkan ada tenaga lain yang seolah melindunginya. Orang
dapat menggunakan semacam ilmu sihir untuk mendapat perlindungan seperti itu,
akan tetapi tenaga yang melindungi itu ditimbulkan oleh sihir itu hanya kuat menahan
serangan orang yang lebih rendah tingkat kepandaiannya atau dari serangan
senjata biasa yang tidak ampuh. Akan tetapi, yang menyerang Thai Kek Siansu
adalah seorang tokoh besar, ketua Hong-san-pang, yang terkenal memiliki Imu silat dan
ilmu sihir yang tinggi, juga pedangnya bukan pedang biasa, melainkan pedang
pusaka yang terbuat dari logam yang ampuh.
Akhirnya pedang kuning itu terbang kembali ke tangan Hong-san Pang karena
ditarik kembali oleh pemiliknya. Hong-san Pangcu Kwee Cin Lok atau yang berjuluk
Hongsan Siansu ini segera maklum bahwa dia berhadapan dengan orang tingkat
kepandaiannya amat tinggi mungkin lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang
gurunya sendiri. Maka dia lalu menyimpan pedangnya dan menjura dengan hormat.
"Thai Kek Siansu ternyata memang amat bijaksana dan sakti. Kami mengaku kalah
dan amat kagum. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dan maafkan kalau kami
mengganggu ketenteraman di sini Setelah berkata demikian, Kwee Cin Lok
membalikkan tubuh dan menuruni puncak itu. Tiga orang temannya, Ceng In
Hosiang, Kwan In Su, dan Im Yang Tosu juga tahu diri. Mereka tahu bahwa antara
mereka, yang paling lihai dan boleh diandalkan adalah Hong-san Pangcu. Melihat
teman yang lihai ini sama sekali tidak berdaya melawan Thai Kek Siansu, mereka
maklum bahwa mereka semua pun tidak akan ada yang mampu mengalahkan Thai
Kek Siansu, apalagi disitu masih ada tiga orang datuk lain yang juga lihai. Maka
setelah menjura sebagai permintaan maaf, mereka pun mengikuti jejak Kwee Cin
Lok meningkalkan tempat itu menuruni bukit.
Akan tetapi Kailon, tokoh Khitan itu, mengerutkan alisnya dan dia tidak ikut
pergi seperti empat orang datuk yang datang bersamanya di puncak itu. Dia masih
merasa penasaran dan menganggap empat orang tokoh kangouw itu penakut, mereka,
bersama beberapa orang pimpinan daerah yang berambisi, telah bersekutu dan
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berniat menggulingkan Dinasti Chou yang dipimpin Kaisar Chou Ong yang sudah tua
dan lemah, dan mendirikan Kerajaan baru. Akan tetapi dalam usaha mereka untuk
menghubungi dan menarik para datuk dunia persilatan, baru saja mereka mulai di
puncak itu, setelah gagal dan empat orang itu bahkan m elarikan diri! Betapa
pengecutnya! Sebagai seorang yang biasa berperang, Kailon tidak akan pergi
sebelum bertempur. "Hemmm, kalian berempat tidak mau membantu, berarti tentu kelak hanya akan
menentang kami! Yang tidak membantu berarti musuh yang harus binasakan!"
Setelah berkata demikian, memberi aba-aba kepada tiga puluh orang anak buahnya.
Mereka lalu menerjang sambil berteriak-teriak dengan garang. Kailon sendiri
sudah maju dan menyerang Thai Kek Siansu dengan goloknya yang besar dan berat.
Sedangkan tiga puluh orang anak buahnya menyerbu dan menyerang tiga orang
pendeta yang masih duduk bersila itu dengan senjata mereka.
Thong Leng Losu tertawa dan memutar tongkatnya. Tampak sinar biru menyambar-
nyambar dan terdengar bunyi nyaring ketika senjata para penyerang bertemu sinar
biru dari toya yang dipegang Thong Leng Losu. Senjata mereka terpental dan
terlepas dari tangan sehingga mereka terkejut apalagi merasa betapa telapak
tangan mereka nyeri panas dan lecet-lecet. Mereka yang menyerang Tiong Gi Cinjin
juga disambut sinar hijau menyambar-nyambar dan senjata patah-patah bertemu dengan
pedang sinar hijau itu. Demikian pula mereka yang menyerang Louw Keng Tojin.
Senjata mereka bertemu kebutan dan dilibat lalu direnggut lepasl dari tangan
mereka. kemudian, tiga orang pendeta itu mendorong-dorongkan tangan mereka
dan tiga puluh orang itu terjengkang dan terguling-guling seperti daun-daun
kering disapu angin. Sementara itu, Kailon sudah menyerangkan goloknya kearah tubuh Thai kek Siansu.
Akan tetapi seperti halnya anak-anak panah tadi, juga seperti yang terjadi pada
pedang terbang Hong-san Pag-cu, golok Kailon tidak dapat menyentuh kulit. Makin
kuat Kailon membacokkan goloknya, semakin kuat pula golok itu terpental dan
akhirnya, begitu Thai Kek Siansu menggerakkan tangan menolak, tubuh tokoh Khitan
ini terjengkang jauh ke belakang dan terbang roboh. Baru dia menyadari bahwa i
tidak akan mampu mengalahkan kakek itu dan melihat betapa semua anak buahnya
juga kehilangan senjata dan bergelimpangan, dia lalu memberi aba-aba kepada
mereka dan larilah mereka seri turun puncak bukit.
Setelah mereka semua pergi, Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin, dan Lo Keng Tojin
tertawa, sedangkan Thai Kek Siansu hanya tersenyum namun mengeleng-gelengkan
kepalanya. "Terbuktilah bahwa segala macam perbuatan, yang disebut baik maupun buruk,
apabila keluar dari hati akal pikiran, sudah pasti menyembunyikan pamrih demi
kesenangan dan keuntungan sendiri." katanya.
Tiong Gi Cinjin memandang kepada Thai Kek Siansu dan dua orang lainnya juga
memandang. Kini bertiga mendapat kenyataan betapa tingginya ilmu dari Thai Kek
Siansu sehingga mereka merasa kagum sekali.
"Siansu," kata Tiong Gi Cinjin, "mari kita lanjutkan pembicaraan kita yang
terputus oleh gangguan tadi. Kita bica tentang Inti semua pelajaran Agama aku
mengatakan bahwa inti semua pelajaran itu sama, yaitu menuntun manusia untuk berbuat
kebaikan." Thai Kek Siansu menghela napas panjang. "Kalau sudah diakui bahwa semua
pelajaran Agama adalah sama, yaitu mengajarkan agar semua umatnya berbuat
kebaikan, mengapa di antara Agama masih ada saling menyalahkan dan
membenarkan pihak sendiri" Kita mulai dengan Kebenaran. Apakah Kebenaran itu"
apakah yang dinamakan Kebaikan itu" Kalau ada yang disebut kebenaran, tentu ada
kesalahan. Kalau ada kebaikan, tentu ada kejahatan. Baik dan benar untuk
sefihak, mungkin saja jahat dan salah untuk pihak lain. Karena itu, kebaikan
yang dilakukan menurut hati akal pikiran, sesungguhnya bukan kebaikan lagi,
melainkan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mendapat imbalan. Imbalan itu supaya kesenangan
atau keuntungan untuk si pelaku perbuatan, bentuknya macam-macam. Pamrih itu
bisa berupa imbalan jasa dan balasan, atau puji dan sanjungan, atau perasaan
bangga diri, atau imbalan yang dijanjikan berupa kemuliaan dan kesenangan di
akhir kehidupan. Pamrih apa pun juga, pada hakekat sama, yaitu melakukan sesuatu
dengan pamrih agar mendapat imbalan sesuatu yang menyenangkan dan
menguntung Maka, perbuatan kebaikan seperti hanya merupakan jual beli belaka,
sama sekali bukan kebaikan lagi karena kalau imbalannya ditiadakan, maka
perbuatan baik itu pun belum tentu dilakukan. Semua mengajarkan perbuatan baik,
akan tetapi disertai janji-janji yang menyenangkan sebagai upahnya sehinngga
perbuatan-perbuatan baik itu menjadi palsu, didasari keinginan untuk akhirnya
mendapatkan kesenangan atau keuntungan. Karena inilah maka terjadi perebedaan,
yaitu memperebutkan hak memperoleh segala macam hadiah yang dijanjikan itu."
Tiga orang itu saling pandang. Baru sekarang mereka mendengar uraian seperti itu
dan mendengar uraian itu, diam-diam mereka terkejut dan menyadari mengapa
para umat beragama seringkali saling bermusuhan. Mereka tidak dapat membantah
apa yang dikatakan Thai Kek Siansu karena mereka merasa ditelanjangi dan melihat
kenyataan yang sebenarnya.
"Siancai! Kalau begitu kenyataannya, lalu apakah yang dinamakan kebaikan itu,
Siansu?" tanya Louw Keng Tojin dan dua orang lainnya mendengarkan dengan
penuh perhatian karena mereka pun ingin mendengar jawaban Thai Kek Siansu atas
pertanyaan yang amat penting ini.
Thai Kek Siansu berkata lembut, "Sam-wi harap menaruh perhatian yang
sungguhnya. Seperti telah kukatakan, Kalau Sam-wi hanya mendengar kemudian
menurut apa yang kukatakan, maka Sam-wi tidak akan menemukan Kebenaran
Sejati. Aku pun bukan guru yang harus diturut atau dicontoh. Mari kita bersama,
dengan pikiran kosong dan tidak menggunakan tirai dengan warna kepercayaan kita
masing-masing agar pandangan kita sama dan seperti apa adanya, tanpa praduga
dan prasangka, tanpa penilaian. Nah, seperti yang telah kita dapatkan dalam
percakapan kita tadi, perbuatan baik yang datang dari pelajaran menimbulkan
pamrih demi kesenangan, kebaikan, atau keuntungan diri sendiri. Kalau kita
berbuat sesuatu dan kita menilai sendiri sebagai kebaikan, maka kebaikan itu
condong palsu dan menyembunyikan pamrih. Akan tetapi perbuatan apa juga yang
berlandaskan Inti dari semua yang dinamakan pelajaran kebaikan, adalah perbuatan yang
berlandaskan Kasih. Kasih tidak dapat dipelajari, tidak dapat disengaja, dapat
dibuat-buat! sungguhnya, Inti dari semua Agama adalah Kasih ini, bukan cinta
berahi, bukan cinta terhadap sesuatu atau seseorang yang menyenangkan hati,
karena cinta seperti itu bukan yang dimaksudkan dengan Kasih itu! Cinta mempunyai kebalikan,
yaitu Benci. Namun Kasih cinta mempunyai kebalikan, tidak memilih tidak
disengaja, tidak dibuat! Dapatkah Sam-wi melihat ini" Dapatkah Sam-wi melihat
kenyataan tentang palsunya cinta dalam hati manusia, cinta pada umumnya disanjung dan
dipuja manusia pada dewasa ini?"
"Omitohud, pinceng dapat melihatnya dan jelas, Siansu. Cinta adalah suatu
perasaan yang ditujukan kepada benda atau orang yang dapat menyenangkan atau
menguntungkan diri kita. Biasanya, Kalau engkau menyenangkan atau
menguntungkan aku, engkau kucinta. Sebaliknya kalau engkau menyusahkan atau
merugikan aku, engkau kubenci!" kata Thong gi Losu.
"Memang pada umumnya tak dapat disangkal demikian," kata Tiong Gi Cinjin. "Akan
tetapi ada cinta yang. sejati, yang mungkin ini yang disebut Kasih oleh Thai Kek
Siansu, yaitu cinta seorang ibu kepada anaknya. Siapa dapat menyangkal
kemurniannya cinta seorang ibu kepada anaknya?" kata Tiong Gi Cinjin. "Karena,
pelajaran terpenting agama kami prialah Hauw (Bakti). Seorang anak haruslah
berbakti kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya!"
"Cinta seorang ibu memang lebih murni daripada cinta-cinta manusia yang
lainnya," kata Thai Kek Siansu. "Akan tetapi bagaimanapun juga, walaupun tipis, teorang
ibu masih memiliki pamrih, memiliki harapan agar anaknya itu berbakti kepadanya,
menyenangkan hatinya masih terdapat kemungkinan cinta berubah menjadi benci
kalau si anak kelak menjadi jahat kepadanya. Ada Kasih yang lain lagi, yang
tidak dapat samakan dengan cinta manusia yang timbul dari hati akal pikiran,
karena sedikit banyak itu mengandung pamrih."
"Siancai!" kata Louw Keng Tojin "Pinto menjadi penasaran sekali, Thai Kek
Siansu. Mari kita selidiki bersama apa sesungguhnya Kasih yang maksudkan itu?"
Thai Kek Siansu memejamkan mata sejenak sebelum menjawab dengan halus "Mari
kita sama-sama mengamatinya. Kita lihat bunga-bunga mawar dan bunga teratai,
mereka memberi keharuman dan keindahan yang dapat dinikmati siapapun juga,
yang terpelajar tinggi maupun yang tidak, yang berkedudukan tinggi maupun yang
rendah, yang kaya maupun yang miskin, pendeta maupun penjahat, kaisar maupun
pengemis. Keharuman dan keindahan diberikan kepada siapapun juga tanpa
pandang bulu, tanpa pilih kasih, tanpa pamrih mendapatkan imbalan! Mari me lihat
matahari yang memberi daya hidup, kehangatan, penerangan, kepada siapa saja dan
apa saja tanpa pilih bulu, juha tanpa pamrih apa pun. Kalau kita mau membuka
mata melihat di seluruh permukaan bumi dan di langit maupun di dalam tanah, akan
tampaklah semua itu, yang memberi tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih.
Bukankah itu indah sekali" itulah Kasih yang sejati. Kasih itu Penyalur berkat.
Kasih itu memberi tanpa menuntut imbalan. Kasih itu merupakan pohon yang banyak
sekali buahnya, dan buahnya inilah yang disebut kebajikan atau perbuatan baik.
Kalau ada Kasih dalam diri kita, maka perbuatan apa pun yang kita lakukan, sudah
pasti baik dan benar! Karena segala macam perbuatan baik itu merupakan buah dari
Kasih. Dapatkan orang melakukan hal yang menyengsarakan orang lain kalau ada
Kasih" Kasih itu menjauhkan segala macan dengki, iri, cemburu, marah, dendam,
angkara murka, dan Kasih itu melebur si-aku yang selalu ingin menang sendiri.
Nah, bukankah Inti atau Api yang dibutuhkan manusia pada umumnya itu Adalah
Kasih ini" Kalau ada Kasih bersemayam dalam diri, orang tidak perlu diajar untuk
berbuat baik lagi karena Kasih akan membuahkan segala perbuatan baik. Kasih
tidak merusak, melainkan membangun."
Tiga orang pendeta itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya masing-masing
dan termenung. "Omitohud, satu di antara pelajaran dalam agama pinceng juga mengajarkan agar
ada Kasih di hati kita. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa semua perbuatan,
kalau tidak didasari Kasih adalah perbuatan yang tidak baik dan kalau pun ada
yang kelihatan baik, kebaikan itu hanya palsu belaka?"
"Aku tidak mengatakan begitu, Thong Leng Losu. Mari kita lihat saja bersama. Aku
hanya melihat dengan jelas bahwa kalau ada dalam hati sanubari kita, maka
perbuatan kita itu wajar bahwa si pelaku yang sudah disemayami kasih itu tidak
akan melihat perbuatan itu sebagai suatu kebaikan, melainkan kewajaran. Siapa
yang telah memiliki jiwa yang bersatu dengan Kasih, maka kita akan memandang
semua orang dengan tidak membeda-bedakan, akan selalu merasa ikut bahagia
kalau melihat orang lain, siapa saja, berbahagia. Akan tetapi akan ikut bersedih
dan merasa kasihan kalau melihat orang lain, siapa saja, menderita sehingga rasa
kasihan dari Kasih ini akan menggerakkannya untuk menolong orang yang sedang
menderita Itu." "Hemmm, sekarang aku dapat melihat lebih jelas, Siansu. Akan tetapi bagaimana
mungkin kita mendapatkan Kasih itu tanpa campur tangan hati dan akal pikiran?"
tanya Tiong Gi Cinjin. "Kalau menurut Agama pinceng, degan jalan bersamadhi akan dapat mencapai
keadaan itu."kata Thong Leng Losu.
"Kalau menurut Agamaku, dengan hidup selaras dengan Tao, selaras dengan hukum
Alam, karena Kasih yang engkau maksudkan itu bukan lain adalah Tao itu sendiri,
Siansu!" kata Louw K engTojin. "Aku ingat bahwa yang dimaksudkan itu cocok
dengan pelajaran Tokau (Agama To/Tao), bahwa Kasih itu tentu dengan sendirinya
ada setelah orang mengosongkan diri dan tidak mempun kehendak pribadi.
Beginilah pelajara itu." Louw Keng Tojin lalu memejamkan mata dan menyanyikan
atau mendeklamasikan sajak pelajaran dalam Kitab Tao te-cing (To-tek-khing).
"Langit dan Bumi itu Abadi
karena mereka tidak hidup untuk
diri sendiri. Inilah sebabnya orang bijaksana
membelakangkan dirinya karena itu dirinya tampil ke depan
Dia mengesampingkan dirinya
karena itu dirinya menjadi utuh.
Karena dia tidak mempunyai kehendak
Pribadi maka pribadinya menjadi sempurna."
"Ah, aku jadi teringat akan ayat pertama dari Kitab Agama kami yaitu Kitab
Tiong-yong," kata Tiong Gi Cinjin tertengan wajah berseri. "Yang dimaksudkan
Thai Kek Siansu dengan Kasih itu menurut perkiraanku adalah Seng, watak aseli
karunia Thian (Tuhan) yang diberikan kepada manusia." Pendeta Khong-kauw ini
lalu membacakan ujar-ujar dalam Kitab Tiong-yong.
"Karunia Thian adalah Seng (Watak Aseli),
bertindak selaras dengan Seng itulah Tao
berbuat menurut aturan Tao ialah Agama."
Thai Kek Siansu mengangguk-angguk. "Semua pendapat itu boleh-boleh saja, yang
penting Sam-wi benar-benar mengerti dan menghayatinya, bukan hanya merupakan
teori pelajaran belaka. Tidak ada artinya sama sekali menghafal semua filsafat
di dunia ini tanpa mempraktekkannya dalam kehidupan. Jauh lebih baik membiarkan
diri dituntun dan dibimbing oleh Kasih yang pasti tidak menyimpang dari apa yang
dikehendaki Thian." "Akan tetapi bagaimana cara mendapatkan kasih itu?" Tiga orang itu bertanya
dengan berbareng. "Tidak ada cara untuk mendapati Kasih itu," kata Thai Kek Siansu. "Dia datang
sendiri apabila kita selalu berserah diri kepada Yang Maha Kuas berserah diri
sepenuhnya, bukan hanya lahiriah berupa pengakuan belaka, melainkan dengan
seluruh jiwa. Kalau Kasih sudi bersemayam dalam jiwa kita, maka Kasih yang juga
dapat disebut Kekuasaan Thian itu akan membimbing kita. Nafsu Daya Rendah atau
Setan akan kehilangan pengaruhnya terhadap jiwa kita dan Kasih merupakan
karunia yang akan menyelamatkan jiwa kita dari kehancuran dan penyelewengan.
Dengan adanya Kasih dalam hati, maka apa pun yang kita lakukan bukan
dikemudikan oleh si-aku (ego) yang mencengkeram hati akal pikiran kita,
melainkan merupakan buah dari Kasih sehingga langkah kita dalam hidup merupakan
berkat bagi orang-orang lain."
"Akan tetapi bagaimana kita tahu bahwa sudah ada Kasih dalam hati kita, kasih
yang sejati dan bukan dari hati akal pikiran?" tanya Tiong Gi Cinjin.
"Hanya kalau hati mudah tergetar penuh iba kepada orang lain yang menderita,
hati sudah amat peka sehingga lupa merasakan penderitaan orang lain tanpa orang
itu mengatakannya, selalu siap terdorong oleh perasaan kasihan untuk membantu dan
mengangkatnya dari penderitaan, tanpa diboncengi pamrih tertentu, tanpa ingin
diketahui orang, tidak merasa bahwa perbuatannya itu baik, dan merasa bahagia
melihat orang lain bahagia dan dapat merasakannya, maka itu merupakan satu di
antara tanda-tanda yang paling mudah diketahui bahwa Kasih mulai bersemayam
dalam jiwanya." "Omitohud, dalam keadaan seperti itu, manusia telah mencapai tujuan terakhir."
kata Thong Leng Losu. "Seseorang akan benar-benar menjadi seorang Kuncu (Budiman) yang bijaksana kata
Tiong Gi Cinjin. "Kalau semua orang memiliki Kasih seperti itu, dunia akan menjadi indah tiada
kebencian, tiada permusuhan, tiada perang, semua manusia saling mengasih, Sorga
dapat dirasakan di dunia dalam kehidupan sekarang!" kata Louw Keng Tojin.
Tiba-tiba terdengar suara bercuit dari atas, hanya sayup-sayup suaranya Thai Kek
Siansu tersenyum. "Ah, Tiauw-cu (Rajawali) agaknya datang mencari dan menjemputku." katanya.
Tiga orang pendeta itu memandang keatas dan tampak seekor burung rajawa masih
tinggi di atas, hanya tampak kecil. Akan tetapi burung itu melayang sambil
mengelilingi bukit itu, makin lama semakin rendah.
"Suhu, teecu menyusul Suhu!" terdengar suara seorang anak laki-laki. Burung itu
hinggap di dekat Thai Kek Siansu dan Si Han Lin, anak itu, la melompat turun
dari punggung rajawali yang sudah mendekam, lalu dia berlutut di depan Thai Kek
Siansu. "Suhu, maafkan kalau teecu menyusul karena teecu melihat Tiauw-cu seperti
gelisah. Maka teecu berkata kepadanya bahwa kalau dia ingin mencari Suhu, Teecu
ingin ikut. Dia mengangguk dan mendekam, maka teecu lalu ikut dengannya mencari
Suhu." Tiga orang pendeta itu memandang kepada Han Lin dengan penuh perhatian.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Omitohud! Engkau telah mempunyai seorang murid, Siansu?"
"Thai Kek Siansu, mengapa engkau yang tidak mau mencampuri urusan dunia
mengambil seorang murid?" tanya Tiong Gi Cinjin menyusul pertanyaan Thong Leng
Losu tadi. "Puluhan tahun tekun mempelajari ilmu, untuk apa kalau tidak dimanfaatkan"
Karena aku sendiri tidak mempunyai minat mencampuri urusan dunia, maka biarlah
apa yang sudah kupelajari kutinggalkan kepada seorang murid agar dia dapat
memanfaatkannya. "kata Thai Kek Siansu sambil tersenyum, menjawab pertanyaan dua
orang pendeta itu. "Siancai........... ucapan Siansu ini menyadarkan pinto (aku)! Pinto sendiri
belum mempunyai murid, dan usia pinto! makin lama semakin tua. Apakah semua yang
pinto pelajari selama bertahun-tahun harus pinto bawa mati pula" Pinto juga
ingin mengambil murid, Siansu kata Louw Keng Tojin.
"Omitohud, dulu pinceng (aku) mencela para saudara di Siauw-lim-pai karena
mempunyai banyak murid yang dilath ilmu silat. Sekarang pinceng menyadari dan
akan mencontoh Thai Kek Siansu akan mencari seorang murid yang baik!" kata
Thong Leng Losu. "Ah, kalau begitu mari kita bertiga melanjutkan kesalah-pahaman kita bertiga
tadi dengan perlumbaan yang lebih bermanfaat, yaitu kita turunkan apa yang kita
pernah pelajari kepada murid masing-masing dan kita lihat kelak, murid siapa
yang paling berguna bagi tanah air dan bangsa!" kata Thong Gi Cinjin.
"Bagus, ini baru perlumbaan dan persaingan yang menarik karena hasilnya pasti
akan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Biarlah aku, atau kalau tidak diwakili
muridku, yang kelak menjadi saksi keberhasilan kalian bertiga." kata Thai Kek
Siansu. "Sekarang, aku pamit, harap Sam-wi maafkan karena aku harus pergi."
Setelah berkata demikian, Thal Kek Siansu mengangkat tubuh Han Lin, dibawanya
naik ke atas punggung rajawali yang masih mendekam, duduk berboncengan
dengan Han Lin di depan dan dia di belakang.
"Tiauw-cu, mari kita pulang!" kata Thai Kek Siansu.
Rajawali itu mengeluarkan bunyi nyaring, bangkit berdiri, mengembangkan
sayapnya yang lebar, lalu kedua kakinya yang kokoh kuat itu mengenjot tubuhnya,
lalu terbanglah dia ke atas dengan cepatnya.
Tiga orang pendeta itu bangkit berdiri Han memandang dengan kagum.
"Omitohud, Thai Kek Siansu dapat menjinakkan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) yang
hidup di daerah Himalaya dan kini amat langka itu! Sungguh luar biasa sekali!"
Thong Leng Losu berseru. Sebagai seorang yang puluhan tahun berkelana di daerah
Tibet dan Pegunungan Himalaya dia tahu tentang rajawali yang langka itu.
"Siancai! Pinto sendiri sudah menjinakkan seekor harimau yang dapat pula jadikan
seperti kuda tunggangan, tetapi tidak ada artinya dibanding dengan Rajawali
Sakti itu. Mengagum sekali!" kata Louw Keng Tojin.
Setelah mereka sepakat untuk mas masing mencari seorang murid, tiga orang
pendeta itu lalu meninggalkan puncak bukit itu dan saling berpisah.
oooOOooo Terjadi peristiwa penting di istana Kerajaan Chou. Kaisar Chou Ong yang sudah
berusia tujuh puluh lima tahun dan memang sudah selama beberapa tahun tidak
bergairah mengurus pemerintahan dan hanya menyerahkan kepada para pejabat
tinggi yang membantunya, kini menyerahkan mahkota kerajaan kepada puteranya
yang masih kecil berusia tujuh tahun di bawah bimbingan Sang Permaisuri, ibu
pangeran itu. Hal ini sebetulnya amat tidak disetujui sebagian besar para
pejabat tinggi, terutama para panglima karena mereka tahu bahwa sewaktu Kaisar
Chou Ong masih menjadi kaisar pun, pemerintahan sudah dikuasai oleh Sang permaisuri dan
para pejabat tinggi yang bersaing menumpuk harta kekayaan pribadi. Apalagi
sekarang, kaisarnya masih kanak-kanak dan kekuasaan sepenuhnya berada di
tangan Permaisuri dan kaki tangannya, para pejabat tinggi yang korup. Maka sudah
dapat dibayangkan betapa akan buruk akibatnya bagi rakyat. Pemerintahan lemah,
pemberontakan dan kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan para pembesarnya
hanya sibuk memperebutkan kekayaan yang tidak halal.
Pada waktu itu, ada seorang jenderal atau panglima dari Kerajaan Chou yang
terkenal gagah perkasa dan sudah banyak jasanya terhadap kerajaan. Dialah yang
terkenal memimpin pasukannya menghancurkan pemberontakan-pemberon takan.
Panglima ini bernama Chao Kuang Yin, seorang yang berusia hampir lima puluh
tahun. Dia berasal dari Chou, sebuah kota di sebelah selatan Peking, sejauh
kurang lebih empat puluh li (mil). Chao Kuang Yin ini keturanan orang-orang yang
menduduki jabatan penting pada masa Dinasti Tang dan dinasti-dinasti berikutnya
pada zaman Lima Dinasti yang kini diakhiri dengan Dinasti Chou.
Ketika Kaisar Chou Ong menyerahkan mahkotanya kepada pangeran yang masih
kecil, Chau Kuang Yin termasuk di antara para pejabat tinggi yang merasa tidak
setuju. Akan tetapi dia seorang yang setia kepada kerajaan, maka biarpun hatinya
merasa tidak setuju, tidak mau menyatakan dalam sikap atau ucapannya. Para
pimpinan baru kerajaan yang dikepalai Permaisuri tahu bahwa Chao Kuang Yin
merupakan seorang panglima yang tidak menyukai mereka dan amat berbahaya,
maka ketika terdapat gerakan dan ancaman dari bangsa Khitan, Permaisuri
memerintahkan Chau Kuang Yin untuk membawa tentaranya ke utara untuk
mengusir bangsa yang men gancam itu.
Panglima Chao Kuang Yin tentu saja menaati perintah ini. Akan tetapi para
pembantunya, para panglima dan perwira pembantunya, diam-diam merasa
penasaran. Mereka tahu betapa lemahnya kedaan pemerintahan yang dikuasai
Permaisuri dan para pejabat tinggi yang korup itu. Setelah mereka berhasil
menyisir para pengacau Khitan, para panglima dan perwira pembantu mengadakan
persekongkolan. Mereka bersepakat bulat untuk mengadakan pemberontakan dan
pengangkat panglima mereka Chao Kuang Yin sebagai kaisar baru! Akan tetapi para
perwira itu tahu benar bahwa Panglima Chao Kuang Yin yang amat setia dan pasti
tidak mau melakukan pemberontakan, maka mereka bersepakat untuk
memaksanya! Demikianlah, pada suatu malam, ketika pasukan berhenti dalam
perjalanan kembali ke kotaraja, belasan orang perwira memasuki tenda di mana
Panglima Chao Kuang Yin tidur. Panglima ini terkejut ketika dia terbangun, dia
telah dikepung belasan orang perwira pembantunya dengan pedang terhunus!
"Hei, apa yang kalian lakukan ini?" Chao Kuang Yin melompat turun dari tempat
tidurnya, sama sekali tidak takut walaupun ditodong belasan batang pedang oleh
para perwira yang mengepungnya. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat
melawan belasan orang perwira itu. Biarpun dia seorang ahli perang, pandai
mengatur barisan dan menggunakan siasat perang, namun ilmu silatnya tidak
selisih banyak dengan seorang perwira pembantunya. Dikeroyok belasan orang itu,
tentu dia tidak akan mampu menang.
Seorang perwira mengeluarkan sebua jubah kuning dengan gambar naga dan
burung Hong. "Thai-ciangkun (Panglima Besar), kami hanya mohon agar ciangkun
suka mengenakan jubah yarng telah kami persiapkan ini."
"Hei, apakah kalian sudah gila?" Cha Kuang Yin memandang jubah itu dengan mata
terbelalak. "Jubah kuning dengan gambar-gambar ini hanya boleh dipakai seorang
kaisar!" Para perwira itu lalu menceritakan apa kehendak yang telah mereka sepakati
bersama, yaitu mengangkat Chao Kuang Yin menjadi kaisar baru untuk
menggantikan kaisar kanak-kanak yang baru diangkat oleh Kaisar Chou Ong.
"Tidak, aku tidak mau memberontak! Chao Kuang Yin menolak keras.
"Maaf, Thai-ciangkun. Kalau engkau menolak, terpaksa kami akan membunuhmu
dan mengangkat calon kaisar lain karena engkau tentu akan menentang rencana
kami!" Chao Kuang Yin tidak takut menghadapi ancaman maut. Akan tetapi di berpikir.
Kalau aku dibunuh lalu mereka mengangkat kaisar lain pasti akan terjadi
Pendekar Kipas Akar Wangi 1 Pendekar Binal Karya Khu Lung Iblis Angkara Murka 2
SI RAJAWALI SAKTI Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Zaman Lima Dinasti ( 907 - 960 ) merupakan jaman yang amat buruk di Negeri Cina.
Dalam masa setengah abad itu perebutan kekuasaan terjadi, perang antara bangsa
sendiri yang terpecah belah membuat negeri itu berganti-ganti dinasti sampai
lima kali, berganti-ganti dinasti berarti berganti-ganti pula Kaisar dan
berubah-ubah pula peraturan. Akibatnya hanyalah kebingungan, ketakutan, dan
penderitaan bagi rakyat jelata. Perang adalah hasil dari mereka yang berada di
atas saling memperebutkan
kekuasaan. Mereka saling memperkuat kedudukan dirinya dengan cara mengupah
para perajurit dan menghimpun mereka dalam pasukan-pasukan, atau ada pula
yang membujuk rakyat Jelata dengan janji-janji muluk sehingga rakyat yang bodoh
terbius dan mengira bahwa semua bujukan itu benar sehingga kelak mereka akan
hidup makmur. Pasukan pasukan yang diberi upah dan rakyat yang terkena bujukan
lalu berperang mati-matian untuk dia atau mereka yang berkuasa.
Mereka yang kalah perang akan mati bersama pemimpin mereka yang menjadi
dalangnya. Bagaimana mereka yang menang perang, sisa dari mereka yang mati sia-
sia" Pasukan-pasukan yang membela si pemenang tentu saja menerima hadiah agar
mereka menjadi semakin setia membela sang pemimpin dan kaki tangannya.
Adapun rakyat kecil yang mengharapkan kemakmuran tetap saja seperti biasa dan
semua janji muluk hanya menjadi mimpi belaka. Memang kemenangan
mendatangkan kemakmuran, akan tetapi bagi siapa" Yang jelas, bagi para pemimpin
yang mendapatkan kedudukan tinggi, yang ketika masih berjuang memperebutkan
kekuasaan, mengatas-namakaei rakyat. Setelah menang, maka agaknya mereka
sajalah yang dimaksudkan dengar rakyat itu, sedangkan rakyat kecil sudah tidak
masuk hitungan lagi. Tetap saja menderita.
Tidak ada rakyat, kecuali mereka yang terbius janji-janji, yang suka berperang,
apalagi berperang di antara bangsa sendiri. Yang mencetuskan perang adalah
mereka yang sedang memperebutkan kekuasaan yang sesungguhnya bukan lain
adalah memperebutkan harta. Kekuasaan itu sesungguhnya adalah harta .atau lebih
tepat, melalui kekuasaan urang dapat memperoleh harta. Kalau kekuasaan tidak
dapat mendatangkan harta yang menjadi sarana tercapainya kesenangan duniawi,
pasti tidak akan ada yang memperebutkan kekuasaan!
Dinasti terakhir yang berkuasa di Cina adalah Dinasti Kerajaan Chou (951 - 960).
Kaisar Chou Ong adalah seorang kaisar yang tua dan lemah lahir batinnya. Dia
yang menjadi kaisar, namun kekuasaan yang berlaku adalah kekuasaan para
pembesar. Mereka itu ber-lumba untuk mengumpulkan harta dunia banyaknya, dan untuk itu,
mereka menghalalkan segala cara. Korupsi, sogok menyogok, penindasan,
pemerasan terjadi di mana-mana. Hukum yang berlaku seolah hukum rimba, siapa
kuat dia berkuasa dan menang. Terjadilah kekacauan di mana-mana dan para
penjahat bermunculan merajalela. Dalam keadaan seperti ini, kembali rakyat kecil
yang menderita. Gerombolan-gerombolan perampok beraksi, terutama di daerah
dan kota atau dusun yang jauh dari kota raja.
Pada suatu hari di musim semi tahun 958, dusun Ki-bun sebelah selatan Hang-chou
mendapat giliran tertimpa malapetaka. Pada pagi hari itu, segerombolan perampok
yang terdiri dari sekitar lima puluh orang, menyerbu dusun itu. Mereka adalah
laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata
bertubuh kekar dan bersikap kasar dan bengis. Gerombolan perampok ini sudah mengganas di
mana-mana, bahkan sekarang berani mengganggu dusun Ki-bun yang tidak berada
jauh dari kota Hang-chou. Pemimpin mereka terdiri dari tiga orang. Mereka sudah
terkenal di dunia hitam dengan julukan Tiat-pi Sam wan (Tiga Lutung Bertangan
Besi) yang merupakan kakak beradik seperguruan. Yang pertama adalah Yong Ti,
berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan dia terkenal
lihai sekali dengan senjatanya berupa sebatang tombak baja. Orang ke dua bernama
Oh Kun, usianya tiga puluh tujuh tahun, bertubuh tegap tinggi dengan muka penuh
brewok dan dia juga lihai dan terkenal dengan senjatanya siang-to (sepasang
golok). Adapun saudara seperguruan termuda bernama Joa Gu, berusia tiga puluh lima
tahun, bertubuh gendut agak pendek dengan wajah bundar kekanakan. Joa Gu ini
pun lihai dengan senjatanya berupa sepasang kapak.
Setengah tahun yang lalu, sekelompok kecil dari gerombolan ini yang hanya
terdiri dari sembilan orang secara liar tanpa pemimpin pernah mengganggu Ki-bun.
Akan tetapi mereka dibuat kocar-kacir karena ada Si Tiong An yang tinggal di dusun
itu. Si Tiong An adalah seorang bekas guru silat yang mengungsi ke dusun itu
dari kota raja. Sebagal seorang murid Siauw-lim-pai, Si Tiong An cukup lihai dan dialah yang
menghajar sembilan orang anak buah gerombolan itu sehingga mereka luka-luka
dan melarikan diri. Hal itu akhirnya diketahui Tiat-pi Sam-wan. Tiga orang pimpinan ini menjadi
marah sekali dan pada pagi hari itu mereka menyerbu dusun Ki-bun bukan hanya
untuk merampok penduduk dusun, akan tetapi terutama sekali untuk membalas dendam
kepada Si Tiong An. Begitu memasuki dusun Ki Bun, lima puluh orang anak buah perampok itu mulai
beraksi. Segera terdengar jerit tangis para wanita berbaur dengan suara gelak
tawa para perampok. Barang-barang yang sekiranya berharga dirampok habis-
habisan, para pria yang berani melakukan perlawanan dibacok roboh. Gadis-gadis dan
wanita-wanita muda tidak dapat melepaskan diri dari gangguan para perampok yang
sadis dan kejam. Tiga orang Tiat-pi Sam-wan memang membiarkan anak buah mereka berpesta ria.
Mereka bertiga langsung saja menuju ke rumah Si Tiong An yang di dusun itu
disebut Si Kauwsu (Guru Silat Si). Pada saat itu, Si Tiong An dan isterinya yang
sedang berada di dalam rumah, mendengar suara ribut-ribut. Maklum bahwa
mungkin ada bahaya mengancam penduduk karena pada masa itu bukan hal aneh
kalau ada gerombolan penjahat mengacau di dusun-dusun, Si Tiong An cepat
mengambil dua batang pedang mereka. Yang sebatang dia berikan kepada isterinya.
"Di mana Han Lin?" tanya Si Tiong An kepada isterinya.
"Dia tadi mengantar dagangan kue ke pasar."
"Ah, mari kita cari dia dulu. Dia harus dilindungi." kata Si Tiong An kepada
isterinya dan mereka berdua segera keluar dari rumah. Akan tetapi begitu muncul
di depan rumah, mereka melihat di pekarangan rumah mereka terdapat tiga orang yang
berdiri berjajar dengan sikap bengis. Dan mereka juga mendengar jerit tangis dan
teriakan-teriakan. Dari kanan kiri, tanda bahwa gerombolan mulai mengganas dan
mengganggu penduduk:! Sementara itu, tiga orang kepala perampok tertegun ketika mereka memandang
kepada isteri Si Tiong An. Tak mereka sangka di sebuah dusun kecil seperti Ki-
bun ini terdapat seorang wanita yang demikian montok, denok d jelita! Memang
pasangan suami isteri ini lain daripada penduduk Ki-bun. Si Tio An sendiri yang berusia
sekitar tiga puluh lima tahun adalah seorang laki-Iaki yang tampandan gagah,
bertubuh tegap. Adapun isterinya, adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang
cantik jelita, tubuhnya masih denok langsing seperti seorang gadis sembilan
belas tahun. Akan tetapi wanita yang cantik dan lembut ini pun tidak dapat dipandang ringan.
Ia bukan seorang lemah karena walaupun ia hanya mendapat bimbingan dan latihan
dari suaminya, ia sudah mahir membela diri dengan i mu silat pedang yang cukup
lihai. Melihat tiga orang laki-laki berdir menghadang di pelataran rumah, suami isteri
itu tidak merasa gentar. Yang mereka khawatirkan adalah anak tunggal mereka,
yaitu Si Han Lin. Anak itu berusia sepuluh tahun dan pagi itu dia membantu
ibunya yang membuat kue, mengantarkan dagangan kue itu kepada para warung langganan di
pasar. Tadinya, nyonya Si hendak mencari anaknya, akan tetapi melihat tiga orang
itu yang agaknya berbeda dari para perampok biasa, ia merasa perlu untuk
membantu suaminya menghadapi mereka.
Ha-ha-ha, apakah kamu ini yang brrnama Si Tiong An dan beberapa bulan yang lalu
telah berani memukuli sembilan orang anak buah kami?" kata Yong yang tinggi
besar bermuka hitam. "Anak buah kalian datang merampok dan mengganggu penduduk di dusun ini, tentu
saja aku menghajar mereka karena mereka jahat." kata Si Tiong An.
"Ah, begini saja!" kata Joa Cu yang gendut sambil tersenyum menyeringai
memandang kepada Nyonya Si. "Kami sudahi saja urusan itu asalkan isterimu yang
bahenol ini mau ikut dengan kami dan melayani kami selama sebulan. Ba gaimana?"
"Jahanam!" Nyonya Si membentak da ia sudah meloncat ke depan sambil
menggerakkan pedangnya menyerang Si Gendut yang kurang ajar itu.
"Tranggg.............!" Pedang wanita itu terpental dan hampir terlepas dari
pegangan ketika pedang itu tertangkis oleh sebatang tombak baja yang panjang dan
besar. "Biar kutangkap perempuan ini. Kalian bunuh dia!" kata Yong Ti sambil
menggerakkan tombaknya mendesak Nyonya yang melawan mati-matian.
Ketika Si Tiong An hendak membantu isterinya, Oh Kun dan Joa Gu sudah
menghadang dan mengeroyoknya. Si Tion An memutar pedangnya dan begitu
mereka berkelahi, murid Siauw-lim-pai it maklum bahwa sekali ini dia menghadapi
lawan yang berat. Baru orang tinggi tegap brewokan itu saja sudah memilik tenaga
dan kecepatan yang sebanding dengan dia, apalagi dibantu oleh Si Gendut yang
bersenjata sepasang kapak. Sebentar saja dia pun terdesak oleh sepasang golok
dan sepasang kapak itu. Nyonya Si sama sekali bukan lawan Yong Ti, orang pertama dari Tiat-pi Sam wan.
Dia adalah orang yang terpandai di antara tiga kakak beradik seperguruan itu.
Tombaknya yang panjang dan berat itu bergerak dengan kuat dan ganas sekali.
Biarpun Nyonya Si melawan dengan nekat dan mati-matian, namun baru lewat
belasan jurus, pedangnya terpental lepas dari tangannya ketika beradu dengan
tombak lawan. Bahkan ia terhuyung, terdorong oleh tenaga lawan yanng kuat.
Sebelum ia sempat menghindarkan diri, tangan kiri Yong Ti yang besar dan panjang
itu menyambar dan mencengkeram otot di pundak Nyonya Si, membuat wanita itu
terkulai dan kehilangan tenaga. Di lain saat, sambil tertawa-tawa Yong Ti sudah
memanggul tubuh wanita itu di atas pundak kirinya, lalu dengan tombak di tangan
kanan, dia membantu dua orang sutenya (adik sepergurunnya), meluncurkan
tombaknya menyamar ke arah punggung Si Tiong An.
Si Kauwsu sedang terdesak oieh dua orang lawannya. Mendengar berdesingnya
tombak yang menyerang dari belakang, dia cepat memutar tubuhnya sambil
menggerakkan pedangnya menangkis.
"Cringgg...........!" Pedangnya terpental saking kuatnya tombak itu beradu
dengan pedang. Si Tiong An dapat menghindar dari serangan itu, akan tetapi
melihat isterinya dipondong Yong Ti, dia terkejut sekali.
"Lepaskan isteriku!" bentaknya dan dengan nekat dia menerjang Yong Ti untuk
menolong isterinya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Oh Kun dan Joa Cu untuk
berbareng menyerang dari kanan kiri. Golok dan kapak menyambar dan sekali ini,
karena perhatiannya tertuju kepada isterinya, kurang cepat Si Tiong An
melindungi dirinya dan sebatang golok Oh Kun mengenai pahanya.
Si Tiong An terhuyung dan darah mengucur dari pahanya yang terluka. Oh Kun dan
Joa Gu semakin ganas menyerangnya dan Si Tiong An terpaksa memutar pedang
melindungi dirinya. Kini gerakannya kurang cepat karena paha kirinya telah
terluka sehingga dia terdesak hebat.
Melihat ini, Yong Ti merasa tidak perlu membantu kedua adik seperguruannya lagi
dan sambil tertawa dia lalu meninggalkan tempat itu sambil memondong tubuh
Nyonya Si yang mulai dapat tergerak dan meronta-ronta. Namun, makin kuat ia
meronta, semakin senang hati Yong Ti karena dia merasakan betapa tubuh yang
lunak itu kini bergerak-gerak hidup, tidak seperti tadi diam saja seperti
memanggul mayat. Rontaan Nyonya Si tidak ada artinya lagi kepala perampok yang
bertubuh kokoh kuat itu, bahkan ketika kedua tangan wanita itu memukuli punggungnya, dia
semakin senang, merasa seolah punggungnya dipijat-pijat. Ketika Yong Ti yang
memondong wanita itu melewati pasar yang berada di ujung dusun, pasar yang kini
menjadi sepi karena orang-orang yang berada di situ sudah berlari-larian
ketakutan, seorang anak laki-laki memandangnya dengan mata terbelalak. Anak ini
berusia sepuluh tahun dan dia memegang sebuah keranjang yang sudah kosong. Dia adalah
Si Han Lin, putera tunggal Si Tiong An yang tadi mengantar dagangan kue buatuan
ibunya kepada warung-warung di pasar. Dia mendengar akan adanya peram pok
yang menyerang dusun itu dan ketik, semua orang melarikan diri meninggalkai
pasar, dia pun keluar dan hendak pulang Han Lin adalah seorang anak yang tabah.
Dia percaya kepada ayah ibunya yang di tahu memiliki kepandaian silat yang
tangguh, terutama ayahnya. Dia menyaksikan pula ketika beberapa bulan yang lalu
ayahnya menghajar sembilan orang perampok yang mengacau dusun mereka.
Akan tetapi ketika dia berjalan hendak pulang, dia melihat Yong Ti yang
memanggul ibunya. Melihat ibunya meronta-ronta dalam pondongan laki-laki tinggi
besar muka hitam yang membawa tombak itu, dan mendengar ibunyi menjerit-jerit, Han Lin
terkejut dan cepat dia membuang keranjang kosongnya lalu mengejar. Yong Ti
melangkah dengan lebar dan cepat sehingga Han Lin harus berlari untuk dapat
mengejarnya. Sambil tersenyum menyeringai karena senang Yong Ti keluar dari
pintu gerbang dusun, tidak peduli lagi akan anak buahnya karena di sana sudah
ada dua orang sute yang menjadi wakilnya. Dia ludah ingin sekali bersenang-
senang degan tawanannya yang cantik bahenol.
Tiba-tiba Han Lin yang sudah dapat mengejarnya dan berada di belakangnya
berseru. "Lepaskan Ibuku, jahanam!!" Anak itu dengan nekat lalu melompat dan menubruk
dari belakang, menangkap kedua lengan ibunya dan menariknya agar terlepas dari
panggulan raksasa muka hitam itu.
Yong Ti terkejut. Dia memutar tubuhnya sambil menggerakkan kaki menendang.
"Bukkk........!" Tubuh anak itu terlempar sampai tiga tombak ketika terkena
tendangan kaki Yong Ti yang besar dan kuat. Kepala perampok itu marah sekali
melihat bahwa yang memakinya hanyalah seorang anak laki-laki kecil. Maka dia
lalu melangkah maju menghampiri dengan tombak di tangan.
"Bocah setan, mampuslah engkau makinya dan dia mengangkat tombaknya, hendak
dihujamkan ke tubuh Han Lin yang masih belum bangkit karena tadi tertendang dan
terbanting. Pada saat tombak itu meluncur, tiba-tiba dengan sekuat tenaga Nyonya meronta
sehingga terlepas dari panggulan dan secepatnya ia menubruk puteranya.
"Han Lin..........!"
"Creppp........!"
Nyonya Si menjerit sambil mendekap anaknya. Yong Ti terbelalak melihat betapa
tombak yang tadinya hendak hujamkan ke tubuh anak itu ternyata menancap di
punggung Nyonya Si yang menubruk anaknya!
"Ibu........, Ibu...........!" Han Lin merangkul ibunya, pakaiannya kebanjiran
darah ibunya yang punggungnya tertembus tombak
"........Han Lin........" Nyonya Si han dapat mengeluarkan kata-kata itu, la
terkulai dan tewas. "Ibuuu..........!"
Setelah terkejut melihat wanita itu oleh tombaknya, Yong Ti menjadi marah bukan
main. Dicabutnya tombak-dan dengan wajah bengis dia memandang kepada Han Lin
yang masih mngis dan merangkul mayat ibunya.
"Bocah setan!" Dia membentak dansekali lagi tombak itu diangkatnya untuk
dihujamkan ke tubuh kecil itu.
"Siancai (damai)..........!' Terdengar seruan lembut dan tiba-tiba tombak itu
terus dari tangan Yong Ti. Tentu saja kepala perampok itu terkejut bukan main.
tidak melihat sesuatu dan mendengarkan orang kecuali suara tadi. Bagaimana mungkin
tiba-tiba tombaknya direnggut lepas dari pegangannya" Padahal, tenaga sepuluh
orang belum tentu akan mampu merenggut tombaknya terlepas dari tangannya. Dia
hanya merasakan ada tenaga yang tak dapat dilawannya menarik tombak itu
sehingga terlepas dari tangannya. Dia cepat memutar tubuh dan melihat seorang
laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus terbungkus
kain putih yang milibat-libatkan, kakinya mengenakan sandal kulit kayu.
Rambutnya yang panjang dan bercampur uban itu dibiarkan tergerai sampai ke
punggung. Jenggot dan kumisnya rapih dan seperti rambut dan pakaiannya tampak bersih. Wajahnya
yang kurus masih tampak tampan dan lembut, sepasang matanya lembut dan mulut
yang berada di balik kumis itu selalu tersenyum ramah. Dia memegang tombal milik
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yong Ti dan sambil menggelengkat kepalanya dia berkata halus.
"Benda pembunuh ini mendatangkan kekejaman di hati manusia, sungguh
menyedihkan..........." Kemudian dia menggunakan jari-jari tangannya, menekuk-
nekuk tombak itu dan terdengar suara berdetakan ketika tombak itu patah-patah.
Hal ini dilakukan demikian mudahnya seolalah dia mematah-matahkan sehelai lidi
saja! Setelah membuang potongan-potongan tombak itu, dia memandang ke arah Han Lin
yang masih memeluk ibunya sambil menangis. Kembali kakek itu menggeleng kan
kepalanya. "Anak baik, lepaskan Ibumu.Jangan gangganggu perjalanannya kembali ke asalnya.
Marilah, Nak, bangkitlah." menjulurkan tangannya memegang tangan Han Lin dan
tiba-tiba saja Han Lin menurut, bangkit walaupun dia masih memandang ke arah
tubuh ibunya dengan bercucuran air mata. Sementara itu, Yong Ti sudah meniatkan
kesadarannya kembali. Tapi dia nya memandang bengong seperti dalam mimpi,
hampir tidak percaya betapa kakek itu demikian mudahnya mematah-mematahkan
tombak bajanya yang amat kuat! Kini, kemarahannya membutakan hatinya,
membuat dia tidak mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang manusia
yang amat sakti. Sambil menggereng seperti seekor beruang dia lalu menerjang dan
memukul ke arah kepala kakek itu. Yang dipukul agaknya tidak tahu karena dia
sedang menunduk dan memandang wajah Han Lin sambil mengelus rambut kepala
anak itu. "Jangan pukul ....!!" Han Lin yang melihat kakek itu dipukul cepat melompat dan
dengan kepalanya dia menumbuk ke arah perut Yong Ti!
"Bukkk!" Tubuh Han Lin terpental ketika kepalanya menumbuk perut kepala perampok
itu. Yong Ti melanjutkan pukulannya ke arah kepala kakek baju putih,
mengerahkan seluruh tenaganya karena dia ingin sekali pukul meremukkan kepala
kakek itu. "Wuuuttttt !" Dia memukul sekuat tenaga, akan tetapi tangannya terhenti beberapa
sentimeter di atas kepala kakek itu, seolah tertahan sesuatu yang tidak tampak,
yang lunak namun kuat sekali!
Yong Ti kembali terkejut, heran akan tetapi juga penasaran sekali, tidak percaya
apa yang telah terjadi. Dia kini mengerahkan tenaga ke arah kedua tagannya dan
dengan gencar melakukan pukulan ke arah kepala, muka, dada dan lambung kakek
itu. Kedua tangannya, bergerak cepat sekali seolah tangan itu menjadi delapan, namun
semua pukulan tidak mengenai tubuh kakek yang berdiri diam dan hanya
memandang sambil tersenyum. Semua pukulan itu, seperti mental, terhenti
sebelum mengenai tubuh kakek itu, berhenti terhalang sesuatu yang tidak tampak
namun kuat sekali! Han Lin yang sudah bangkit lagi, melihat pula kejadian ini dan dia yang sudah
mendengar banyak cerita ayahnya tentang orang-orang sakti, segera dapat
menduga bahwa penolongnya itu tentulah porang yang amat sakti. Dia lalu
mendekati jenazah ibunya dan berlutut sambil mengelus wajah ibunya yang seperti
orang tidur namun tampak demikian cantik dan tenang.
Pada saat itu, terdengar suara hiruk pikuk dan lima puluh orang anak buah
perampok, dipimpin oleh Oh Kun dan Joa, bermunculan dari pintu gerbang dusun
yang baru saja mereka merampok habis-habisan. Mereka melihat Yong Ti memukuli
seorang kakek yang berdiri tanpa bergerak dandua orang kepala rampok itu segera
berlari menghampiri sambil mencabut senjata mereka. Melihat betapa Yong Ti
memukuli namun tak sebuah pun pukulan dapat mengenai tubuh kakek berambut
panjang itu, Oh Kun dan Joa Gu tanpa diperintah lagi segera menyerang dengan
senjata mereka. Kun membacokkan dua buah goloknya arah kepala dan leher,
sedangkan Joa Gu menyerang dengan sepasang kapaknya arah dada dan perut.
"Wuuuttttt......... ting-ting-ting-ting........!!!
Empat buah senjata itu seolah bertemu dengan benda yang amat keras dan kuat
sehingga terpental dan terlepas dari kedua tangan Oh Kun dan Joa Gu!
Tentu saja dua orang kepala perampok ini terkejut bukan main. Mereka
menggunakan tangan untuk memukul di kaki untuk menendang seperti yang
dilakukan Yong Ti, akan tetapi semua pukulan dan tendangan itu tidak pernah
mengenai sasaran, tertahan sesuatu, sebelum menyentuh tubuh kakek itu seolah
tubuh itu dilindungi perisai yang tidak tampak namun yang kuat sekali!
Dalam kemarahan dan penasaran, juga ketakutan yang membuat dia menjadi
semakin kejam, Yong Ti berseru kepada anak buahnya.
"Keroyok dan bunuh Kakek ini!"
Ketakutan memang menimbulkan kekejaman, atau lebih tepat lagi, kekejaman
timbul karena rasa takut akan keselamatan diri sendiri. Untuk menyelamatkan diri
sendiri, seseorang akan tega untuk membunuh semua orang yang menjadi ancaman
bagi dirinya. Hati, akal pikiran yang dikuasai nafsu daya rendah pembentuk dan
membesar-besarkan sifat sehingga kalau aku-nya terancam itu terganggu, timbul ah
rasa takut yang berkembang menjadi kemarahan dan kekejaman.
Lima puluh orang anak buah perampok itu pun segera menyerang kakek itu seperti
semut-semut hendak mengeroyok seekor kupu. Akan tetapi, senjata mereka
terpentalan dan ketika kakek itu menggerakkan tangan mendorong, tubuh merek
berpelantingan seperti daun-daun kering dihembus angin yang amat kuat! Tidak
terkecuali, tubuh Tiat-pi Sam wan yang terkenal jagoan itu terpelanting dan
terguling-guling di atas tanah. Mereka tidak terluka, akan tetapi mereka menjadi
semakin ketakutan dan akhirnya, tiada yang memberi komando, mereka semua,
lima puluh tiga orang itu, lari tukang pukang, bahkan mereka meninggalkan
barang- barang yang tadi mereka rampok dari rumah para penduduk dusun ki-bun!
Setelah mereka semua melarikan diri, Han Lin yang teringat akan ayahnya, lalu
bangkit dan berkata kepada kakek itu. Dia sudah mendapat pendidikan ayahnya
tentang sopan santun di dunia persilatan, maka ia menjatuhkan diri berlutut
ketika bicara. "Lo-cian-pwe, mohon pertolongan Lo-cian-pwe terhadap Ayah saya
dan para penduduk Ki-bun."
"Mari kita lihat!" Kakek itu berkata lu menggandeng tangan Han Lin dan memasuki
pintu gerbang dusun. Di mana-wma terdengar wanita menangis karena hilangan
harta benda maupun karena tadi diganggu anggauta perampok yang kurang ajar dan
melanggar kesusilaan. Han Lin menggandeng tangan kakek itu diajak menuju ke rumahnya. Ketika tiba di
depan pekarangan rumah, dia melihat beberapa orang tetangga berkumpul,
mengelilingi mayat Si Tiong An. Melihat ayahnya menggeletak dengan tubuh penuh
luka dan sudah tewas, Han Lin menjerit dan lari menubruk mayat itu.
"Ayaaahhh............! Ayah.............Ibu................ahhh..........
mengapa kalian meninggalkan aku............?" Dia menangis tersedu-sedu memeluk
mayat ayahnya sehingga pakaiannya makin banyak dilumuri darah.
Kiranya tadi Si Tiong An yang sudah luka dan terdesak oleh Oh Kun dan Joa Gu,
terpaksa roboh ketika banyak anak buah perampok ikut mengeroyok, memang
berhasil merobohkan beberapa orang anggauta perampok, akan tetapi dia sendiri
akhirnya roboh dengan tu penuh luka dan tewas.
Sebuah tangan memegang pundak Han Lin dan tiba-tiba saja Han Lin merasa ada
tenaga yang mengangkatnya berdiri.
"Anak baik, seperti juga Ibumu, Ayahmu tidak boleh kau halangi perjalanann
menuju ke alam asalnya. Semua telah terjadi dan apa yang telah terjadi tidak
dapat diubah lagi." Suara kakek itu dengan lembut menghibur, akan tetapi
mengandung wibawa kuat yang membuat Han Lin sadar sehingga dia dapat
menghentikan tangisnya Kakek itu lalu memandang kepada banyak orang yang berdatangan memenuhi
pelataran rumah keluarga Si itu.
"Studara-saudara, harap kalian jangan ribut. Semua perampok telah terusir pergi
dan mereka meninggalkan barang-barang kalian di luar dusun. Pergilah kaliandan
ambil kembali barang-barang kalian, dan jangan lupa agar membawa jenazah Ibu
anak ini ke sini untuk diurus sebagaimana mestinya."
Mendengar ini, semua penduduk yang laki-laki berbondong keluar dari dusun. Dan
benar saja, mereka menemukan semua barang yang dirampok itu berada di situ,
berhamburan. Mereka lalu mengmbili barang-barang itu, dibawa masuk ke dusun
dan empat orang tetangga memikul jenazah Nyonya Si, dibawa pulang ke rumah
Keluarga Si . Sementara mereka tadi pergi keluar dusun, kakek itu mengangkat jenazah Si Tiong
An, membawanya masuk ke dalam rumah bersama Han Lin dan merebahkah
jenazah itu ke atas dipan. Kemudian dia duduk di atas kursi dan Han Lin yang
kehilangan ayah ibu itu duduk di atas lantai, di depannya.
"Anak baik, siapakah namamu dan siapa pula Ayahmu yang tewas ini?"
"Lo-cian-pwe, nama saya Si Han Lin dan Ayah nama Si Tiong An. Sekarara Ayah dan
Ibu telah tewas terbunuh rampok, saya .......... saya .......... menjadi yatim
piatu, hidup seorangdiri..........." Han Lin menahan tangisnya dan mengusap dua
titik air mata yang turun ke atas pipanya.
"Engkau tidak mempunyai sanak keluarga lain?"
Han Lin menggelengkan kepalanya.
"Siancai! Sekarang, setelah Ayah Ibumu tewas dan engkau hidup seorang diri apa
yang akan kau lakukan selanjutnya?"
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Han Lin lalu berlutut di depan kaki kakek
itu dan menangis. "Lo-cian-pwe" kalau Lo-cian-pwe sudi menerimanya ingin ikut
Locian-pwe, biarlah saya jadi pelayan Lo-cian-pwe. Bawalah saya, Lo-cian-
pwe..........!!" Kakek itu membiarkan Han Lin berlutut dan menyembah-nyembah di depan kakinya.
Dia menoleh untuk melihat keadaan dalam rumah itu. Agaknya orang anak itu hidup
dalam keadaan yang cukup baik, pikirnya.
"Han Lin, kalau engkau ingin hidup ikut denganku, syaratnya mungkin berat
bagimu." "Katakanlah, Lo-cian-pwe, apa syaratnya" Saya pasti akan memenuhi semua
permintaan Lo-cian-pwe." Han Lin sudah berhenti menangis dan mengangkat muka
memandang kakek itu dengan mata merah dan bengkak karena terlalu banyak
menangis. "Syaratnya, engkau harus tahan menderita, hidup serba melarat bersamaku, dan
engkau harus tinggalkan rumah dan semua isinya ini. Kalau engkau benar-benar
hendak ikut denganku, rumah dan isinya ini akan kuserahkan kepada para penduduk
dusun ini. Selain itu engkau harus pergi denganku sekarang juga dan menyerahkan
urusan pemakaman orang tuamu kepada para penduduk."
Han Lin terkejut dan bingung. "cian-pwe, apakah saya tidak boleh menunggu sampai
selesai pemakaman kedua orang tuaku?"
"Terserah kepadamu, Han Lin. Akan tetapi ketahuilah bahwa sekarang aku akan
pergi meninggalkan tempat ini. Terserah kepadamu hendak ikut denganku atau
tidak." Sebelum Han Lin menjawab, empat orang tetangga yang mengangkut
jenazahNyonya Si telah tiba dan jenazah itu dibaringkan di sebelah jenazah Si
Tiong An. Melihat jenazah ayah ibunya, kembali Han Lin menangis sambil berlutut depan
pembaringan. "Han Lin, bagaimana, apakah engkau hendak ikut dengan aku atau tidak"
Pertanyaan yang lembut itu menyadarkan Han Lin dan dia harus mengakui
kelemahannya, kembali menangisi kematian ayah ibunya yang menurut kakek hanya
menghalangi kepergian mereka. Maka dia menjawab tegas.
"Lo-cian-pwe, saya ikut!" Lalu dia memberi hormat dengan berlutut di depan dipan
dan berkata. "Ayah dan Ibu, ampunilah anakmu yang tidak sempat mengurus
jenazah Ayah dan Ibu karena anak harus ikut dengan Lo-cian-pwe........" Dia
menoleh kepada kakek itu, "Maaf, Lo-Cian-pwe, siapakah nama Lo-cian Pwe" Saya
akan memperkenalkan kepada ayah dan Ibu."
Kakek itu tersenyum. "Orang-orang menyebut aku Thai Kek Siansu."
"Ayah dan Ibu, anakmu harus ikut dengan Lo-cian-pwe Thai Kek Siansu. Ayah dan
Ibu, pergilah dengan baik dan doakanlah anakmu agar menjadi anak yang baik." Dia
memberi hormat delapan kali lalu bangkit berdiri, memandang kepada Thai Kek
Siansu dengan sikap tegas.
"Lo-cian-pwe, saya sudah siap!"
Thai Kek Siansu tersenyum dan mengelus kepala anak itu. "Anak yang baik,
panggil ah semua orang agar berkumpuldi sini."
"Baik, Lo-cian-pwe!" Setelah berkata demikian, dengan sigap dan cepat ke keluar
dari rumah dan memanggil semua orang agar datang berkumpul di pelataran
rumahnya. Semua orang yang sudah mendengar akan munculnya kakek pakaian
putih yang secara aneh membantu para perampok meninggalkan semua barang
rampasan di luar dusun, berbondo-bondong datang berkumpul.
Setelah semua penduduk berkumpul termasuk Lurah Thio yang menjadi kepala
dusun di situ, Thai Kek Siansu mengandeng tangan Han Lin, berdiri di pendapa dan
berkata kepada mereka. Suaranya halus dan lirih saja, akan tetapi anehnya, semua
orang sampai yang berdiri paling jauh dapat mendengar bisikan itu dengan jelas!
"Saudara-saudara penduduk Ki-Bun. Anak Si Han Lin ini telah kehilangan Ayah
Ibunya dan menjadi yatim piatu tidak memiliki sanak keluarga lain."
"Kami mau memeliharanya!"
"Biarkan aku yang menjadi pengganti orang tuanya!"
Banyak orang meneriakkan kesanggupan mereka untuk menerima Han Lin. Hal ini
membuktikan bahwa anak itu memang disuka oleh para penduduk yang amat
menghormati ayah ibu anak itu. Tiba-tiba Han Lin berkata dengan suara lantang.
"Para Kakek, Paman dan Bibi! Terima kasih atas kebaikan hati dan
penawarankalian. Akan tetapi aku sudah mengambil keputusan untuk ikut bersama Lo-cian-pwe Thai
Kek Siansu ini!" Thai Kek Siansu tersenyum lalu berkata. "Saudara-saudara sekalian telah
mendengar sendiri. Han Lin ingin ikut bersamaku, maka atas namanya kami serahkan
rumah dan seisinya kepada kalian. Harap Saudara Lurah mengaturnya dan juga mengadakan
upacara sembahyang dan mengatur pemakaman suami isteri Si Tiong An dengan
sebaiknya, Nah, kami berdua akan pergi sekarang."
Setelah berkata demikian, semua orang menjadi berisik karena saling bicara
sendiri. Akan tetapi tiba-tiba me reka semua tersentak dan berhenti bicara karena ada
angin bertiup kencang dan ketika mereka memandang ke pendapa kakek dan anak itu
telah lenyap! Semua orang, dipelopori Lurah Thio menjatuhkan diri berlutut untuk menghormat
kepergian kakek itu dan semenjak saat itu, nama Thai Kek Siansu menjaj pujaan
penduduk dusun Ki-bun. Bukan hanya menjadi pujaan, bahkan menjadi pelindung,
karena kalau ada gerombolan penjahat hendak mengganggu dusun itu dan
mendengar bahwa Thai Kek Sianu menjadi pelindung dusun Ki-bun dan mendengar
pula betapa gerombolann yang dipimpin oleh orang-orang sakti seper Tiat-pi Sam-
wan juga dihajar sehingga lari ketakutan oleh Thai Kek Siansu mereka tidak jadi
mengganggu karena takut! oooOOooo Si Han Lin yang baru berusia sepuluh tahun itu sejak kecil sudah diberi
pelajaran dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-Pai oleh ayahnya sehingga dia
memiliki tubuh yang kuat walaupun agak kurus. Dia sudah banyak mendengar cerita
Ayahnya tentang kisah para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan gurunya pernah
bercerita tentang ("orang yang amat sakti seperti Tat Mo-couwsu yang nama
aselinya Buddhi Dharma, yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa dan yang
pertama-tama menembangkan ilmu silat di Siauw-lim-Akan tetapi ketika dia
digandeng oleh Thai Kek Siansu keluar dari rumahnya, dia merasa tubuhnya seperti
melayang sehingga dia merasa heran bukan main. Apalagi ketika dia melihat betapa
tahu-tahu dia sudah berada di luar dusun Ki-bun! Dia masih digandeng dan biarpun
berrdua kakinya melangkah namun dia tidak merasakan menginjak tanah, melainkan
seperti melayang dan meluncur. Dengan cepat sekali kakek itu membawanya
mendaki bukit dan setelah tiba di puncak bukit, baru kakek itu berhenti dan
melepaskan tangan yang digandengnya.
Begitu dilepaskan oleh Thai Kek Siar su, Han Lin cepat menjatuhkan diri berlutut
didepan kakek yang sudah duduk bersila di atas sebuah batu besar.
"Lo-cian-pwe, saya mohon kepada Lo cian-pwe agar suka menerima saya sebagai
murid." "Han Lin, kenapa engkau ingin menjadi muridku?"
"Karena Lo-cian-pwe adalah seorang yang amat sakti dan amat pandai. Saya ingin
mempelajari semua ilmu yang Lo cian-pwe kuasai."
"Han Lin, ketahuilah bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini. Tidak ada orang
sakti! Yang Maha Sakti dan Maha Pandai itu hanyalah Tuhan! Kalau aku manusia
mengaku sakti dan pandai, itu hanya membual saja, bualan yan sombong dan
kosong!" "Akan tetapi saya melihat sendiri Lo cian-pwe tanpa bergerak sudah mampu
mengusir para perampok itu. Bahkan tidak ada perampok yang dapat menyerang Lo-
cian-pwe, semua serangan itu tidak dapat mengenai tubuh Lo-cian-pwe. Apakah itu
tidak sakti namanya?"
Thai Kek Siansu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Bukan aku yang sakti
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau pandai, melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang membuat aku terbebas dari
semua serangan adalah kekuasaan Tuhan, bukan kesaktianku.Kalau kekuasaan
Tuhan bekerja melindungiku, siapakah yang akan mampu menggangguku" Biar Iblis
dan Setan sekalipun tidak mungkin dapat mengganggu seseorang yang dilindungi
kekuasaan Tuhan. Manusia tidak ada yang pintar. Kalau dia dapat lakukan sesuatu,
itu adalah karena iluin yang menganugerahi dengan kemampuannya itu. Bagaimana
orang dapat mengaku pintar kalau tidak mampu menghitung rambut di kepalanya
sendiri, tidak mampu menghentikan tumbuhnya rambut dan kukunya sendiri" Yang
Maha Pandai hanya Tuhan dan yang dianugerahkan kepada manusia sesungguhnya
hanya sedikit dan terbatas sekali. Karena itu bukalah matamu, Han Lin. Guru
Sejati adalah Tuhan sendiri dan Dia telah memberimu hati akal pikiran untuk
belajar dan ilmu-ilmu itu telah diberikan Tuhan dengan berlebihan melalui segala sesuatu
yang terdapat di alam maya pada ini. Hidup ini adalah belajar, sampai kita
mening galkan dunia ini."
Anak berusia sepuluh tahun itu tentu saja agak sukar mengunyah dan menelan
makanan batin yang mendalam itu, akan tetapi Han Lin yang cerdik mencatat
dalam ingatannya. "Lo-cian-pwe, tanpa bimbingan Lo cian-pwe bagaimana mungkin saya akan dapat
mengerti semua itu" Karena itulah maka saya mohon untuk menjadi murid Lo-cian-
pwe." Kakek itu mengelus jenggotnya, tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah, Han Lin, kalau itu sudah menjadi tekadmu, aku akan membimbingmu,
asalkan engkau percaya dengan penuh keyakinan akan adanya Thian yang
menguasai seluruh alam semesta dan sekalian isinya, termasuk dirimu."
"Saya percaya akan adanya Tuhan, suhu." kata Han Lin dengan penuh semangat dan
gembira. "Dan engkau rela berserah diri kepada Tuhan sepenuhnya, tanpa pamrih, dan kau
menerima segala sesuatu yang menempa dirimu dan di luar kekuasaanmu untuk
menghindarinya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Maukah engkau berserah
diri sedalam itu kepadaNya sehingga mati pun akan kau terima dengan suka rela
kalau hal itu memang diKehendakiNya?"
"Saya bersedia untuk berserah diri kepada Tuhan, Suhu." kata pula anak itu
dengan mantap. Dengan wajah riang Thai Kek Siansu tertawa mendengar kesanggupan anak itu.
suara tawanya lembut dan merdu, akan tetapi ketika kakek itu tertawa dan
menengadahkan kepalanya, Han Lin mendengar suara seperti ada halilintar
menggeluduk dari jauh dan begitu kakek itu kini henti tertawa, suara menggeluduk
di diatas itu pun berhenti.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking di angkasa. Han Lin terkejut, apalagi suara
itu disusul suara berkelepaknya sayap yang cukup keras. Dia mengangkat muka,
berdongak ke atas dan mata anak itu terbelalak. Seekor burung yang luar biasa
besarnya melayang dan mengelilingi puncak bukit itu. Belum pernah selama
hidupnya Han Lin melihat burung sebesar itu. Dari bentuknya dia mengenal sebagai
burung rajawali yang pernah dilihatnya, akan tetapi biasanya burung rajawali
tidak seberapa besar, sampai besar seperti seekor ayam jantan. Akan tetapi
burung yang melayang-layang besar sekali, kedua kakinya itu saja sebesar lengan orang dewasa
dan kepala sebesar kepala kambing!
"Ho-ho, Tiauw-cu (Rajawali), engkau mengenal suara tawaku dan datang
.menyusulku ke sini" Ha-ha, Rajawali yang baik, turunlah dan jangan sungkan, ini
adalah muridku bernama Si Han Lin.
Aneh sekali! Rajawali raksasa itu seolah mengerti akan kata-kata Thai Kek
Siansu. Dia meluncur turun dan hingga di atas tanah tak jauh dan batu yang
diduduki kakek itu. Setelah rajawali itu turun, baru Han Lin melihat bahwa burung itu memang besar
sekali, ketika berdiri di situ, dia lebih tinggi daripada dirinya sendiri!
Melihat Han Lin memandang dengan heran, kagum dan juga takut, Thai Kek Siansu
berkata sambil tersenyum. "Han Lin, ketahuilah bahwa Tiauw-liu ini adalah seekor
Rajawali Sakti yang telah langka. Dahulu, induk burung ini merupakan sahabat
baikku yang kujumpai di puncak Awan Biru, satu di antara puncak-puncak di
Pegunungan Himalaya. Induk Rajawali Sakti itu merupakan sahabat lamaku yang
setia dan baik sekali. Akan tetapi sekarang ia telah tiada dan ini adalah anak
tunggalnya yang masih muda. Burung ini amat langka, Han Lin, dahulu hanya
terdapat di Pegunung Himalaya, itu pun hanya sedikit dan sekarang entah masih
ada berapa ekor yang masih hidup. Tiauw-cu ini sudah lima tahun tinggal
bersamaku di Puncak Cin-ling-san dan engkau lihat, ketika aku meakukan perjalanan merantau
dan sudah meninggalkannya selama hampir tahun, kini dia menyusul dan berhasil
menemukan aku di sini."
"Wah, dia hebat sekali, Suhu!" kata Han Lin girang dan dia pun menghampiri
burung rajawali itu dan mengelus bulu halus di sayapnya. Burung itu mengerakkan
kepalanya dan mengelus rambut kepala Han Lin dengan paruhnya yang runcing
melengkung dan hitam mengkilat itu.
"Ha, bagus sekali! Tiauw-cu ini agaknya juga suka kepadamu, Han Lin, biasanya
nalurinya tidak akan salah memilih!"
Han Lin memang kagum sekali mengamati burung rajawali itu baik-baik dari kepala
sampai ke kaki. Paruh burung itu besar dan kokoh kuat, melengkung dengan ujung
runcing tajam. Lehernya penuh bulu tebal dan di atas kepalan tampak jambul
berwarna putih. Bulu burung itu keabu-abuan dengan sedikit titik-titik keemasan
di bagian sayap dan ekornya. Tubuhnya juga kokoh dan keras dan kedua kakinya
yang sebesar lengan manusia dewasa itu tampak kering dan dan seperti baja, bersisik
dan jari-jarinya mekar dengan kuku-kuku yang runcing melengkung pula.
"Han Lin, engkau pulanglah lebih dulu ke Cin-ling-san bersama Tiauw-cu. Aku
masih mempunyai beberapa urusan dan harus berpisah darimu. Engkau pulanglah dulu
ke Cin-i ng-san. Bersihkan pondok kita di sana, rawat tanaman sayur-sayuran.Tunggu
aku di sana sampai aku pulang"
"Suhu, bagaimana teecu (murid) dapat pergi ke Cin-ling-san" Teecu tidak tahu
mana pegunungan itu dan teecu tidak pernah melakukan perjalanan jauh. Betapa
jauhnya tempat itu, Suhu?" "Jangan khawatir, Tiauw-cu akan menemani dan mengantarmu sampai di sana."
"Baik, Suhu!" kata Han Lin penuh mangat. "Berapa harikah teecu harus berjalan
kaki menuju ke sana" Teecu siap berangkat sekarang juga!"
Thai Kek Siansu mengelus jenggotnya dan tersenyum. Hatinya merasa senang
melihat semangat besar dan keberanian muridnya ini yang siap mencari Cin-ling-
san walaupun tidak tahu tempatnya dan tanpa memiliki sedikit pun uang bekal!
"Kalau engkau berjalan kaki, kukira dalam waktu setengah tahun engkau baru akan
sampai di sana, Han Lin."
Anak itu terbelalak memandang gurunya. "Setengah tahun" Suhu maksudnya
enam bulan, seratus delapan puluh hari" Wah, begitu jauhnya............!"
Kembali kakek itu tertawa. "Ha-ha. engkau akan tiba tak selama itu, Han Lin.
Paling lama dua hari engkau dapat tiba di pondok kita di Puncak Cemara di
Pegunungan Cin-ling-san. Tiauw-cu akan mengantarmu ke sana."
"Tiauw-cu akan mengantar teecu dapat dua hari tiba di sana" Akan tetapi Tiauw-cu
dapat berlari secepat itu teecu yang tidak dapat dan akan tertinggal
jauh............." "Dia akan terbang, Han Lin."
"Dia dapat terbang, Suhu, akan tetapi teecu............."
"Engkau duduk di atas punggurgnya Han Lin!"
"Teecu" Dibawa terbang..............." Suhu, mana teecu berani" Bagaimana kalau
tertergelincir dan terjatuh?" Han Lin bergidik membayangkan dia terjatuh dari
punggung burung itu setelah diterbangkan tinggi.
"Nah, lihat baik-baik dan amati dirimu sendiri, Han Lin. Mulai saat ini engkau
harus membuka mata baik-baik dan terutama lebih dulu mengamati dirimu sendiri
sebelum engkau mengamati apa yang berada di luar dirimu. Lihatlah, apakah rasa
takut di dalam batinmu itu" Dari mana timbulnya perasaan takut dan ngeri itu"
Coba rasakan dan jawab!"
Han Lin memang masih kecil namun memiliki kecerdasan dan kematangan
pertimbangan yang lebih daripada anak-anak biasa berusia sekitar sepuluh tahun
berdiam diri, mencoba untuk menelusuri perasaannya sendiri. Tadinya dia sama
sekali tidak mempunyai perasaan takut,akan tetapi mendengar bahwa dia harus naik
ke punggung rajawali yang akan membawanya terbang, dia membayangkan dirinya
tergelincir dan terjatuh, maka timbul ah rasa ngeri takut itu.
"Suhu, kalau teecu tidak salah, rasa takut itu muncul dipikiran teecu setelah
teecu membayangkan kalau teecu tergelincir dan terjatuh dari punggung Tiau-cu
ketika dibawa terbang." "Nah, berarti bahwa rasa takut muncul dari ulah pikiranmu yang membayangkan
hal-hal tidak enak yang belum terjadi. Pikiran bagaimana kalau nanti
ataubagaimana kalau nanti begitulah yang mendatangkan rasa takut. Dengan
datangnya rasa takut maka bijaksanaan kita pun goyah dan miring. Mengapa memikirkan hal-hal yang
belum terjadi, yang hanya menimbulkan rasa takut" Mengapa pula membayangkan
masa lalu yang hanya mendatangkan rasa sedih dan dendam kemarahan" Yang tidak
penting adalah menghadapi saat itu, saat demi saat dengan penuh kewaspada.
Engkau harus menaati perintah guru kalau aku sudah menyuruhmu menunggang
Tiauw-cu, engkau harus taat dan yang penting bagimu melakukan hal ini, sekarang
ini, dengan baik dan benar. Kalau engkau melaksanakan apa pun yang terjadi
dengan baik dan benar saat ini, maka sudah cukuplah itu. Selanjutnya pun yang
terjadi harus kau hadapi sebagai suatu kenyataan yang wajar, waspada saat ini,
saat demi saat, urusan kemudian serahkan saja kekekuasaan Tuhan yang tidak dapat
dirubah oleh siapapun juga. Nah, sekarang baiklah dan jangan takut, Tiauw-cu
akan mengantarmu sampai ke Puncak Cemara, Bukankah begitu, Tiauw-cu?"
Rajawali besar itu mengangguk-anggukkan kepala seolah dia mengerti dan selalu,
mengeluarkan suara kwak-kwak, lalu menekuk kakinya, mendekam di dekat Han Lin!
Sebagai putera tunggal seorang guru Silat murid Siauw-lim-pai, sesungguhnya Han
Lin telah dibekali dasar-dasar sebagai seorang yang jantan dan tabah, mendengar
ucapan gurunya yang walau agak sukar namun dapat dia mengerrti itu, tanpa ragu
lagi Han Lin lalu melompat naik ke punggung burung yang amat besar itu. Punggung
itu ternyata lebar dan dia dapat duduk dengan enak.
"Cengkeram bulu lehernya. Bulu itu kuat dan kalau merasa pening, membukuklah
saja dan rebah menelungkup atas punggung Tiauw-cu " kata Thai Siansu.
"Baik, Suhu. Harap Suhu doakan a teecu tidak jatuh!" kata Han Lin san memegang
bulu-bulu leher dengan ketangannya.
Rajawali raksasa itu bangkit berdiri mengeluarkan suara seolah berpamit pada
Thai Kek Siansu, lalu mengembangkan kedua sayapnya sambil meloncat atas dan
terbanglah dia dengan indah, ke atas. Han Lin merasa seolah-olah jantungnya
copot dan tinggal di bawah. Cepat dia memejamkan matanya membungkuk,
menyembunyikan muka dalam bulu-bulu yang lembut dan hangat itu.
Thai Kek Siansu berdiri di atas batu sambil mengikuti terbangnya Tiauw-Cu dengan
pandang matanya sampai buram.
itu menjadi sebuah titik hitam yang makin menjauh. Dia menghela napas panjang.
Dia telah menerima seorang anak laki-laki sebagai murid. Hal ini berarti bahwa
biarpun dia tidak pernah dan tidak akan mengikatkan batin dengan siapa atau
apapun, namun harus mempertanggung jawabkan keputusan yang telah diambilnya.
Dia mempunyai murid, maka dia harus membimbing murid itu agar kelak menjadi
manusia yang dekat dengan Sang Sumber dan menjadi penyalur berkat Tuhan Yang
Maha Kuasa, menyalurkan semua bekat itu untuk orang lain yang membutuhkah.
Kemudian kakek itu menuruni bukit dan biarpun tampaknya hanya melangkah
lambat saja, namun dalam waktu sebentar saja dia telah tiba di kaki bukit.
oooOOooo Di luar kota Lok-yang sebelah timur di tepi sungai, terdapat sebuah perbukitan
memanjang dan sebuah di antara bukit-bukit itu disebut Bukit Naga Kecil karena
bentuknya seperti kepala naga. Bentuk ini sebetulnya hanya batu karang, numun
dilihat dari jauh tampak beberapa batu karang itu seperti mulut dan kepala naga.
Bukit yang gersang karena terdiri dari batu karang sehingga tanahnya tidak
subur. Jarang ada orang mendaki bukit! karena memang tidak ada apa-apanya yang
berharga. Tidak ada tumbuh-tumbuh-berharga, tidak ada pula hewan buruan besar.
Akan tetapi pada suatu hari, baru saja matahari menyinarkan cahayanya yang
hangat, muncul dari celah-celah dua buah bukit, tampak seorang hwesio (pendeta
Buddha) memegang tongkat pendetatanya dan menggunakan tongkat itu untuk
menopangnya ketika dia mendaki ke atas Bukiit. Hwesio itu seorang kakek berusia
sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kasar dan perutnya amat gendut.
Kepalanya gundul, hanya ditumbuhi sedikit rambut. Dia mengenakan jubah hwesio,
dari tetapi berbeda dengan para hwesio di negeri itu yang biasanya memakai
berwarna kuning atau merah mu dilibat-libatkan di tubuh mereka secara sederhana
sekali, hwesio ini mengenakan jubah longgar yang berkotak-kotak dengan hiasan
bunga, dan celananya berwarna warna kuning. Kedua kakinya yang besar
mengenakan sandal yang aneh bentuk! dan terbuat daripada kain tebal dengan
bagian bawah dari kayu. Hwesio ini bukan orang sembarangan karena dia adai
seorang pendeta Buddha yang datang-daerah Tibet dan di dunia barat, yaitu
sekitar Tibet, Sin-kiang, bahkan sama ke Nepal, namanya terkenal sebagai seorang
pendeta yang sakti. Dia berjuluk Thong Leng Lo-su, tidak mengguna nama para Lama di
Tibet karena dia adalah berbangsa Han (Pribumi Cina). Karena merasa tidak cocok
dengan pelajaran Agama Buddha aliran Tibet, memisahkan diri dan meninggalkan Tibet lalu
merantau ke Timur, atau kembali Cina. Wajahnya yang tampak penuh sennyum dan
ramah itu cocok benar dengan perutnya yang gendut sehingga dia mirip Patung Ji-
lai-hud! Setelah tiba di atas puncak Bukit Naga Kecil yang datar, Tiong Leng
Losu mencari sebuah batu sebesar perut kerbau yang banyak berseraikan di tepi
sebuah jurang. Dia menguakkan tongkatnya dengan perlahan kearah batu itu.
"Ceppp!" tongkat itu menusuk batu sedemikian mudahnya seolah dia bukan
menusuk batu melainkan menusuk benda yang lunak! Batu yang tertusuk tongkat
itu dia bawa ke tengah dataran puncak bukit, melepaskannya dan melihat
permukaan batu itu tidak rata, dia lalu menggunakan telapak tangan kiri dengan
jari-jarinya yang gemuk untuk mengusap permukaan batu. Sedikit debu mengebulkan
permukaan batu itu kini menjadi halus seperti dibubut! Kemudian dia meniup
permukaan batu sehingga permukaan batu bersih dari debu yang terkena remukan
batu, lalu duduk bersila di atas batu, meletakkan tongkatnya bersandar pada batu
yang didudukinya lalu memejamkan kedua matanya, duduk bersamadhi. Tubuhnya
duduk tegak lurus dan sedikit pun tidak bergerak sehingga dia tampak perti
sebuah patung! Tak lama kemudian muncul seorag bertubuh gemuk pendek dari jurusan lain
mendaki bukit itu. Kakinya yang pendek-pendek itu bergerak cepat dan tubuhnya
meluncur ke atas dengan kecepatan yang sukar di kuti pandangan mata. Tubuhnya
seolah berubah menjadi bayang-bayang dan tahu-tahu dia sudah berdiri di puncak.
Dia tersenyum melihat Thong Leng Losu duduk tenggelam dalam siu-lian (samadhi)
dan dia pun menghampiri batu-batu besar yang berserakan dekat lereng. Dia
memilih batu terbesar dan begitu mencabut pedang yang tergantung punggung,
tampak sinar hijau bergulung-gulung di sekitar batu itu dan batu-batu kecil
disertai debu berhamburan. Hanya sebentar saja, batu besar itu kini telah
berubah menjadi sebuih kursi yang seolah dipahat halus dan bentuknya indah! Hal ini menunjukkan
betapa hebatnya ilmu pedang orang pendek itu. Dia berusia sekitar lima puluh
tahun, tubuhnya yang gemuk pendek membuat dia tampak seperti serba bulat.
Pakaiannya longgar sederhana, seperti pakaian yang biasa dipakai para pertapa.
Orang ini pun bukan orang sembarangan. Dia bernama Liong Gi Cin-jin dan di dunia
persilatan, terutama didaerah timur, dia terkenal nama julukan Tung Kiam-ong
(Raja pedang Timur). Dia seorang yang tekun mempelajari agama Khong-kauw (Confu-
i sm) dan bertahun-tahun dia merantau di sepanjang kota pantai Timur untuk
menyebar-luaskan pelajaran Khong-hu-Im.
Baru saja dia menduduki kursinya yang diletakkan dalam jarak lima tombak dari
tempat duduk Thong Leng Losu, tiba-tiba dari arah lain tampak seorang munusia
seperti seekor burung melayang naik ke puncak itu. Dia bukan terbang, namun
gerakannya yang cepat ditambah tubuhnya yang lebar itu mengembang seperti
sayap burung membuat ia seperti melayang naik dan dengan cepat dia sudahberada
di puncak bukit. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun
lebih, tubuhnya tinggi kurus. demikian kurusnya sehingga mukanya seperti
tengkorak. Jubahnya longgar sekali, berwarna kuning, dan sebuah kebutan berbulu putih
panjang terselip di pinggangnya. Dengan tenang dia memandang ke kanan kiri,
tersenyum melihat dua orang pertama yang sudah duduk atas batu. Dia pun
menghampiri batu-batu di tepi jurang dan memilih batu. Melihat ada batu yang
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang, menggunakan kebutannya untuk dihantamkan ke tengah batu itu.
Bagaikan pisau tajam memotong agar-agar, kebutan itu membelah batu panjang dan
bekas potongan itu demikian rata dan halus seolah batu itu dipotong dengan benda
ya amat tajam. Kemudian, bulu-bulu. kebutannya itu membelit sebuah di antara
potongan batu itu dan dengan gerakan lembut batu itu terangkat dan terlontar
atas, ke arah tempat dua orang itu duduk! Dia lalu meluncur cepat kedepan dan
ketika batu itu melayang turun, menggunakan kebutannya untuk menangkap batu dan
diletakan dalam jarak lima tombak dari dua orang yang lain dan kini Mereka duduk
saling berhadapan membentuk titik ujung segi tiga. Orang ketiga ini mudah
diketahui bahwa dia seorang Tosu (Pendeta Agama To) dari pakaian pendetanya
yang berwarna serba kuning. Dia pun terkenal di dunia persilatan sebagai seorang
datuk besar dari Selatan. Julukannya di dunia kang-ouw Ialah Lam-liong (Naga
Selatan). Tiga orang kakek ini biarpun amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai orang-orang
sakti, namun mereka jarang mencampuri urusan dunia ramai, dan tidak pernah
mempunyai murid. Mereka lebih tekun menyebarkan pelajaran agama masing-
masing. Thong Leng Losu menyebarku pelajaran Agama Buddha, Tiong Gi Ki-jin
menyebarkan Agama Khong-kauw, dan Louw Keng Tojin menyebarkan Agama To-
kauw. Tidak seperti para tokoh agama yang menjadi pimpinan kuil agama masing-
masing, tiga orang datuk ini lebih suka bekerja sendiri, merantau dan tidak
pernah menetap di suatu tempat atau tinggal di sebuah kuil.
Setelah orang ke tiga itu duduk bersila di atas batu yang dipilihnya, Ti Gi
Cinjin mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan ke dua orang
itu lalu berkata dengan lembut.
"Selamat berjumpa, Saudara-saudara!" Betapa bahagianya bertemu dengan
sahabat-sahabat lama yang datang dari jauh!
"Omitohud, Tiong Gi Cinjin! Pedangmu masih tajam, ucapanmu masih mengandung
aturan kemanusiaan, tentu kau memperoleh kemajuan pesat. Pinceng (aku) merasa
kagum sekali!" kata Thong Leng Losu sambil membalas penghormatan itu.
"Siancai! Apakah segala macam aturan yang dibuat manusia dapat merubah cara
hidup manusia menjadi baik! Pinto (aku) tahu bahwa pribadi Tiong Cinjin memang
sudah baik, akan tetapi kebaikannya bukan karena adanya aturan." kata Louw Keng
Tojin sambil tersenyum. "Saudara Thong Leng Losu dan saudara Louw Keng Tojin, aku mengenal jiwi (Anda
Berdua) sebagai orang-orang baik dan selalu berusaha untuk menjadikan orang-
orang menjadi baik degan ajaran-ajaran agamamu. Akan tetapi mari kita lihat,
bagaimana keadaan dunia ini" Padahal, semua manusia di empat penjuru
sesungguhnya adalah saudara sendiri, mengapa terjadi perang perebutan kekuasaan
yang mengorbankan nyawa banyak orang" Beginilah kalau manusia tidak menaati
peraturan.Kalau semua rakyat mengikuti dan menaati pelajaran agama kami dan
mengutamakan bakti, anak-anak berbakti kepada orang tuanya, rakyat berbakti
kepada rajanya, tentu tidak akan terjadi semua pertentangan dan keributan
kekuasaan ini." "Ha-ha-ha, Tiong Gi Cinjin, agamamu lalu menekankan agar manusia menaati
peraturan. Akan tetapi apa kenyataannya, makin banyak peraturan, semakin banyak
terjadi kekacauan! Peraturan dibuat oleh miusia, seperti juga senjata dibuat
manusia dengan maksud baik, akan tetapi justeru senjata itu dipergunakan manusia
untuk kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Peraturan juga demikian,
kenyataannya, peraturan dijadikan senjata bagi manusia untuk kepentingan dan
keuntungan masing-masing. Tahukah dan sadarkah engkau, Tiong Gi Cinjin, bahwa
dosa dilakukan manusia justeru karena adanya peraturan" Dosa adalah pelanggaran,
dan justeru peraturan itu menimbulkan pelanggaran! Kalau tidak ada peraturan,
tidak akan ada pelanggaran atas dosa!"
"Omitohud! Pendapat Tiong Gi Ci dan Louw Keng Tojin itu semua baik mungkin tidak
akan berhasil mengamankan dunia dan mendatangkan kedamaian kehidupan
manusia! Semua usaha itu hanya mendatangkan sengsara dan duka. Saat Buddha
telah menemukan cara sempurna untuk membebaskan manusia dari duka. Manusia
tidak mungkin dapat terbebani dari duka selama dia belum melaksanakan apa yang
disabdakan oleh Sang Buddha. Empat Kenyataan yang disadari benar bahwa
terdapat adanya Duka, sebab dari Duka, menghentikan Duka, dan Jalan untuk
menghentikan Duka. untuk itu Sang Buddha telah menemukan dengan Jalan Utama,
Lima Petunjuk, Sepuluh Larangan, Sepuluh Jalan Kebaikan, dan lain-lain. Kalau
semua manusia mentaati semua petunjuk Sang Buddha, manusia akan terbebas dari
Sengsara dan duka." Petunjuk-petunjuk dan upacara-upacara saja tidak akan menolong, Thong Leng Losu.
Harus ada peraturan yang melaksanakan, harus ada hukum, yaitu hukum siapa yang
melanggar peraturan. Kalau peraturan hukum dilaksanakan dengan baik dan
sebagaimana mestinya, akan terdapat ketertiban." kata Tiong Gi Cinjin
mempertahankan teorinya berdasarkan pelajaran dari Agama Khong-kauw yang
dianutnya. "Ha-ha-ha, kalian berdua hanya bicara tentang peraturan. Manusia tidak akan
dapat membuat kehidupan menjadi baik, dengan mengadakan peraturan yang ba-
imanapun. Lihatlah, matahari bulan dan Bintang tidak diatur manusia namun selalu
berjalan dengan tertib. Burung-burung terbangan di udara, ikan-ikan berenang
dalam air, mereka itu tidak mempunyai akal pikiran seperti manusia, namun tidak
kekurangan makan, tidak mengerti sengsara karena mereka semua itu hidup sesuai
dengan To. Alam mengatur segala sesuatu dengan tertib, akan tetapi aturan
perbuatan manusia malah menimbulkan kekacauan. Biarkanlah Alam bekerja tanpa
campur tangan manusia, karena Alam bekerja tanpa tujuan tanpa pamrih tidak
seperti manusia yang mementingkan tujuannya daripada caranya." kata Lou Keng
Tojin mempertahankan teori agamanya.
Tiga orang itu mulai berdebat, mula-mula mereka mempertahankan teori kebenaran
agama masing-masing. Akan tetapi perdebatan itu mendatangkan suasana panas
yang mempengaruhi hati akal pikiran mereka sehingga akhirnya mereka saling
mencela! Yang beragama buddha dicela karena dikatakan menyembah benda mati
berupa arca. Tiong Gi Cinjin yang pendeta Agama Khong-kauw dicela karena hanya
mengurus soal manusia dan duniawi. Louw Keng Tojin dicela karena agamanya
hanya mengurus hal-hal yang tidak nyata, mengkhayal dan seperti mimpi, sama
sekali tidak mempedulikan urusan manusia hidup di dunia.
Perdebatan yang dimulai memamerkan kebaikan dan kebenaran masing-masing
berlanjut kepada saling mencela sehingga akhirnya tiga orang itu turun dari atas
batu, berdiri dengan muka merah mata bersinar penuh kemarahan!
"Hemmm, kalian mencela pelajar Agama Khong-kauw kami, hal itu berarti kalian
menentang kami dan siapa yang menentang kami berarti musuh kami teriak Tiong Gi
Cinjin yang sudah hilangan kesabarannya. Dia mencabut pedangnya dan tampak
sinar hijau ber kelebat, lalu sinar itu menyambar-nyambar kearah batu yang tadi
diduduki Tiong Gi Cinjin. Hanya terdengar sedikit suara, akan tetapi ketika
sinar hijau itu kembali ke tangan Tiong Gi Cinjin, batu itu runtuh dan
berantakan, telah terpotong-potong seperti mentimun dirajang pisau yang amat tajam!
"Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak macam itu tidak ada artinya!" terdeng Louw Keng
Tojin berkata. Dia lalu melempar kebutannya ke atas dan tiba-tiba bagaikan
benda hidup, kebutan itu melayang turun ke arah batu yang tadi diduduki dan
kebutan itu menyambar cepat. Terdengar ledakan keras dan batu itu terpukul bulu
kebutan pecah berhamburan dan kebutan itu sudah "terbang" kembali ke tangan Louw
Keng Tojin memang pendeta To ini selain lihai ilmu silatnya, juga mahir ilmu
sihir. "Omitohud, kalian telah melanggar larangan membunuh dalam agama kami.
Menghancurkan batu-batu itu sama dengan membunuh. Sungguh tidak memiliki
belas kasihan." kata Thong Leng Losu dan hwesio tinggi besar ini menghampiri
lima buah batu yang sudah pecah berantakan itu, memungutinya dan dia menempel-
nempelkan pecahan batu-batu itu sehingga melekat kembali dan menjadi utuh.
Inilah hasil tenaga sakti yang amat hebat!
Kini tiga orang yang lelah berdebat sengit tadi, berdiri saling berhadapan.
Mereka semua adalah pendeta-pendeta yang sudah mempelajari agama masing-masing
secara mendalam, hafal akan semua pelajaran dalam kitab-kitab suci mereka.
Mereka siap untuk membela agama masing-masing dengan mati-matian, kalau perlu
berkorban nyawa! Akan tetapi mereka masih dapat menenangkan diri tidak
membiarkan diri hanyut oleh nafsu amarah karena maklum bahwa itu ditentang
atau dilarang oleh agama mereka masing-masing.
Karena mereka sama-sama menahan diri, tidak mau mendahului melakukan
serangan, maka mereka bertiga hanya berdiri saling berhadapan dengan muka
merah. Thong Leng Losu sudah siap dengan tongkatnya dari baja biru. Tiong Cinjin
juga sudah memegang pedangnya dan Louw Keng Tojin memegang kebutannya. Di
dalam hati mereka terjadi konflik sendiri, sebagian terdorong penasaran dan
marah hendak menyerang lawan, sebagian lagi menaati pelajar agama masing-masing
tidak mau melakukannya. Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Datangnya dari bawah puncak dan suara
itu terdengar tenang dan sayup-sayup, namun dapat terdengar jelas semua kata-
katanya. Intinya adalah Api Suci yang selalu membakar dan menerangi
Mengapa yang dipersoalkan asap
dan abunya yang hanya mengaburkan pandangan mata?" Biarpun suara nyanyian itu terdengar lebih sayup-sayup, akan tetapi tiga orang
yang berilmu tinggi itu dapat merasakan getarannya yang kuat dan penuh
kewibawaan lembut mengusap perasaan hati mereka, menghapus kemarahan dari hati. Tahulah
mereka bertiga bahwa akan muncul seorang manusia yang luar biasa dan seperti
dengan sendirinya mereka tunduk dan menanti dengan sikap hormat.
Kemudian tampaklah Thai Kek Siansu melangkah ke puncak itu, memandang mereka
bertiga, tersenyum lalu menghampiri, berdiri berhadapan dengan mereka sehingga
mereka berempat kini menduduki titik-titik segi empat.
"Ho-ho, tiga manusia utama memperebutkan Kebenaran! Kebenaran yang dapat
diperebutkan jelas bukan kebenaran lagi namanya. Kebenaran yang dapat
diperebutkan adalah kebenaran yang mempunyai lawan, yaitu ketidakbenar
Padahal, Kebenaran tertinggi tidak mepunyai lawan. Segala sesuatu tercakup
dalamnya!" Thai Kek Siansu lalu duduk bersila begitu saja di atas tanah berumput. Anehnya
tanpa dia mengatakan sesuatu, tiga orang itu otomatis lalu duduk bersila di atas
tanah seperti yang dilakukan Thai Kek Siansu! Tiga orang itu mengenai kakek itu
dan mereka bertiga merangkapkan kedua tangan depan dada sambil mengucapkan
salam hampir bersamaan. "Selamat datang, Thai Kek Siansu!"
Thai Kek Siansu membalas salam mereka dengan ucapan lembut, "Selamat
berjumpa, Sam-wi Suhu (Ketiga Guru) dari Sam Kauw (Tiga Agama)!"
Mereka berempat duduk bersila tiga orang pertama memandang kepada Thai Kek
Siansu yang menundukkan mukanya sambil tersenyum dan kedua mukanya
terpejam. Kemudian, bagaikan orang bermimpi, dia kembali menyanyikan syair yang
amat terkenal di antara para tokoh agama dan para sastrawan di Zaman itu. Syair
itu adalah karya Sikong Tu (837 - 908), seorang penduduk Daerah Yong-ji di
Propinsi Shan-si. Dalam usia muda dia sudah lulus ujian negara. Ketika orang Chao
menyerang ibukota Kerajaan Tang dia mengungsi. Dalam usia lima puluh lima tahun
dia mengundurkan diri bertapa. Ketika Dinasti Tang jatuh, dia menolak pemberian
pangkat oleh Kaisar Dinasti yang baru. Thai Kek Siansu menyanyikan syair itu
dengan suara lembut. "Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan;
Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang.
Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung,
Terbang bersama burung bangau terpencil di atas.
Lembut seperti desahan napas angin lalu
Yang semilir menyentuh baju panjangmu.
Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi
Yang keindahannya selalu engkau rindukan.
Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai
Pada saat engkau hampir, Dia mundur,
Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya,
Dia menggelincir dari tanganmu hilang!"
Setelah Thai Kek Siansu menghentikan nyanyiannya, suasana sejenak menjadi
hening, akan tetapi segera terisi oleh suara alami yang terdengar demikian
menghanyutkan perasaan. Desir angin antara batu-batu air yang memancur
menimpa batu, diselingi bunyi burun burung yang melayang lewat puncak. Akan
tetapi semua suara dari luar di yang tidak mampu menghilangkan suara keheningan
dalam diri yang tidak pernah berhcnti akan tetapi hanya dapat didengar orang
yang benar-benar tidak lagi mempengaruhi kebisingan hati akal pikiran, suara itu
terdengar di telinga yang paling dalam. Orang yang mendengarnya mungkin tidak
sama daya penangkapnya dengan orang lain. Ada yang mengatakan seperti
gemersiknya angin bergurau dengan daun-daun, atau seperti gelora air lautan yang
dahsyat, atau seperti ombak berkejaran.Telinga luar tidak mempengaruhi
pendengaran itu, biar telinga ditutup, tetap saja suara itu berbunyi. Suara
keheningan, suara kehidupan, membahagiakan manusia yang dapat mendengarnya
Thong Leng Losu pendeta Buddha dari Tibet itu tak sabar lagi untuk tinggal diam.
"Omitohud, Thai Kek Siansu, kebetulan sekali engkau datang pada saat kami
bertiga sedang mengadakan pertemuan. Kami bertiga ingin membahas tentang keadaan
rakyat jelata dan kerajaan yang silih berganti, selalu terjadi perebutan
kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami memperbincangkan semua itu dan juga
agama kami masing-masing, bagaimana kami akan dapat menanggulangi semua itu dan
mendatang kedamaian dan kesejahteraan bagi manusia, khususnya bangsa kita yang
terpecah belah oleh perebutan kekuasaan. Mohon petunjuk dari Siansu yang telah
kami dengar akan kebijaksanaannya."
Thai Kek Siansu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya, namun
mulutnya tersenyum, senyum penuh pengertian dan kesabaran.
. "Tiga orang sahabatku yang baik, untuk dapat mengerti tentang kehidupan mengapa
kita harus mendengar petunjuk orang lain" Kita bersama adalah manusia, kehidupan
ini sama-sama kita alami. Siapa yang berhak memberi petunjuk dan kepada siapa"
Kita tidak membutuhkan petunjuk orang lain, karena apa pun juga yang kita
percaya dan lakukan, kalau menurut petunjuk orang lain, adalah palsu. Bagaimana
kalau petunjuk itu salah. Maka, karena kita berempat sama-sama mengalami kehidupan
ini, apakah tidak lebih baik kalau kita sama-sama pula mengamati dan
mempelajarinya?" Tiong Gi Cinjin berkata, "Tak dapat dibantah kebenaran ucapan Siansu Itu. Akan
tetapi untuk melakukan penyelidikan kami bertiga yang tadi tidak mendapatkan
kesepakatan, perlu seorang yang tidak berpihak untuk membuka jalan dan kami
harap Thai Kek Siansu yang suka memulai dengan pengamatan dan penyelidikan ini,
agar kami bertiga tidak saing bertumbukan."
Thong Leng Losu dan Louw Keng Cinjin mengangguk-angguk dan menyatakan setuju.
Louw Keng Tojin berkata, "Thai Kek Siansu, mari kita bicara dan menyelidiki
tentang Agama lebih dulu. Tadi kami bertiga berselisih paham mengenai kebenaran
dalam Agama dan karena kami Mempertahankan kebenaran dalam Agama kami masing-
masing, maka terjadi salah faham. Sekarang, bagaimana kita dapat melihat
kenyataannya, siapa di antara kami bertiga yang benar?"
"Sam-wi (Anda Bertiga) berdebat tentang Kebenaran" Kebenaran yang
diperdebatkan bukanlah kebenaran lagi karena Dia ditinjau dengan pandangan yang
dan terselubung tirai penilaian agama masing-masing. Mari kita amati tanpa tirai
itu. Apakah sebenarnya Agama itu Yang dapat dibuktikan, Agama ada pelajaran untuk
menuntun manusia arah jalan hidup yang baik. Bukan demikian" Semua Agama
mengajar kebaikan dan tidak ada sebuah pun Agama yang mengajarkan agar
umatnya melakukan tindakan jahat. Intinya ada agar manusia di waktu hidupnya
berbuat kebaikan menjauhi kejahatan sampai akhir hayatnya. Akan tetapi Agama
juga memiliki sejarah dan upacara-upacara masing-masing yang tentu saja diakui
benarannya secara mutlak oleh umat Sayang sekali, seperti yang Sam-wi
perlibatkan tadi, Sam-wi tidak melihat kesamaan intinya atau apinya, yaitu hidup
dalam kebaikan, melainkan Sam-wi bersitegang membela upacaranya yang berbeda.
Mengapa Sam-wi tidak menggunakan persamaan intinya itu untuk diajarkan kepada
umat masing-masing sehingga semua pemeluk agama yang berbeda itu dapat hidup
berdampingan secara rukun karena sama-sama memperjuangkan kebaikan dalam
kehidupan manusia di dunia
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Omitohud! Biarpun ucapan Siansu membuka mata kami untuk melihat kebenaran,
akan tetapi bagaimana dengan kenyataan yang dapat disaksikan betapa umat
beragama lain, misalnya ada orang beragama To tetapi menjadi seorang penipu
dengan ilmu sihirnya?" kata Thong Leng Losu.
"Siancai! Enak saja Hwesio ini mencela orang lain! Pinto juga melihat banyak
sekali orang beragama Khong-kauw yang menjadi penjahat!" seru Louw Keng Tojin
membela agamanya. "Bukan hanya itu, siapa yang tidak tahu berapa banyaknya orang beragama Budha
yang menjadi pembunuh?"
Suasana menjadi tegang, akan tetapi suara tawa Thai Kek Siansu seolah dapat
mendatangkan suasana dingin karena suara itu lembut sekali.
"Mari kita lihat dan pertimbangkan, Sam-wi. Kalau seorang beragama To kauw
menipu, jelas dia itu bukan orang beragama To-kauw, melainkan seorang penipu
yang mengaku beragama To! karena kalau dia benar-benar seorang agama To, dia
tidak berani menipu dilarang oleh agamanya itu! Juga kalau ada penjahat mengaku
beragama Khong kauw, dia adalah seorang penjahat juga hanya mengaku-aku saja
dan bukan orang Khong-kauw sejati. Kalau dia benar-benar beragama Khong-kauw,
tidak akan berani berbuat jahat karen hal itu dilarang oleh agamanya. Demikian
pula, seorang pembunuh mengaku agama Buddha, sebetulnya dia hanya palsu dan
mengaku-aku saja karena kalu dia benar seorang Buddhis, sudah pasti dia tidak
berani membunuh karena itu dilarang keras oleh agamanya! Nah, kiranya sudah
jelas. Bukanlah agama yang tidak benar, melainkan orangnya Tidak perlu dan tidak
benarlah kalau Agama saling menyalahkan, karena tidak ada agama yang benar atau
salah menurut pandangan orang-orang yang pecah belah melalui agama. Agama
adalah Kebenaran itu sendiri karena datang dari Kebenaran Yang Satu."
Tiga orang pendeta itu termenung, Tiong Gi Cinjin menghela napas lalu berkata.
"Siansu, aku mulai melihat kebanaran dalam keterangan ini. Akan tetapi mengapa
hampir seluruh rakyat meengaku beragama, dan semua agama mengajarkan
kebaikan agar kita hidup melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, Akan tetapi
kenyataannya, mengapa selalu terjadi perang, permusuhan, kejahatan dan
kekacauan yang menyengsarakan rakyat?"
Thong Leng Losu dan Louw Keng Tojin juga tertarik oleh pertanyaan ini dan mereka
bertiga memandang kepada Thai Kek Siansu dengan penuh perhatian.
"Pertanyaan yang baik sekali dan hal ini patut kita pertanyakan dan kita
renungkan. Mengapa demikian" Kenyataannya adalah bahwa umat beragama sekarang ini
hanya mementingkan sejarah dan upacara masin-masing yang saling berbeda, dan
jarang yang mendapatkan Api atu inti Agama masing-masing yang sesungguhnya
sama dan hanya satu. Apakah inti dari semua pelajaran itu?" kata Thai Kek
Siansu. "Inti semua pelajaran tentu saja menurut pelajaran agama masing-masing yang
menuntun manusia untuk berbuat kebaikan!" kata Tiong Gi Cinjin dan seorang
pendeta lainnya mengangguk menyetujui.
Pada saat itu, tiba-tiba ada sinar-sinar hitam menyambar bagaikan kilat arah
empat orang itu! Kiranya sinar-sinar itu adalah empat batang anak panah berwarna
hitam yang dilepas dengan kekuatan dahsyat menyerang empat orang yang sedang
bercengkerama. "Sing-sing-sing-sing.......... !!"
Sebatang anak panah menyambar arah tengkuk Thong Leng Losu. Akan tetapi
hwesio ini diam saja, tidak tahu ataukah memang sengaja diam saja, tidak
mengelak maupun menangkis.
"Tukkk !!" Anak panah itu tepat mengenai tengkuk dan patah menjadi dua, jatuh di
belakang tubuhnya! Sebatang anak panah lain menyambar ke arah lambung kanan Tiong Gi Cinjin.
Pendeta Khong-kauw ini pun seolah tidak mengacuhkannya. Tangan kanannya
hanya bergerak ke kanan tanpa menengok dan ditang anak panah itu telah terjepit
di antara jari tengah dan telunjuknya!
Sebatang anak panah lain menyambar kepala Louw Keng Tojin. Pendeta To ini
menoleh dan meniup ke arah sinar hitam itu dan anak panah itu tiba-tiba
menyimpang dan meluncur ke atas, terputar-putar di atas. Louw Keng Tojin
mengikat tangan kirinya menggapai dan bagaikan hidup anak panah itu melayang
turun ke arah tangan tosu itu yang mengkapnya!
Adapun sebatang anak panah yang menyambar ke arah dada Thai Kek Siansu
tampaknya seperti akan tepat mengenai kisaran, akan tetapi setelah dekat sekali
dengan dadanya, anak panah itu jatuh ke tanah seolah-olah tertahan sesuatu yang
tdak tampak! Empat orang tua yang amat lihai itu memungut anak panah dan mengamatinya.
"Omitohud, bangsa Khitan selalu berusaha menguasai negeri ini dan mamerkan
kepandaian mereka memanah kata Thong Leng Losu mengamati anak panah yang
tadi mengenai tengkuk dan patah menjadi dua.
"Orang-orang yang melakukan penyerangan secara curang adalah pengecut-
pengecut dan orang-orang seperti tidak ada harganya, sebangsa Siauw-Jin (Orang
Rendah). Sepantasnya kalau diberi hajaran agar mereka itu sadar dan kembali ke
jalan kebenaran." kata Tiong Cinjin dengan suara dan sikap keren namun tetap
tenang. "Ha-ha-ha, harimau-harimau tidak akan mempedulikan ulah para tikus kata Louw
Keng Tojin. Sementara itu, Thai Kek Siansu diam saja, hanya tersenyum karena dia ingin
melihat apa yang akan dilakukan tiga orang tokoh agama yang berbeda itu terhadap
orang-orang yang menyerang dengan curang itu. Dia hanya memandang ke empat
penjuru karena maklum bahwa puncak di mana mereka berempat duduk itu telah dikepung
banyak orang! "Saudara-saudara yang datang, kalau ada urusan dengan kami berempat, mengapa
tidak langsung naik saja ke sini dan bicara dengan kami?" kata Thai Kek Siansu
dengan suara lirih, namun suaranya dapat terdengar orang yang berada di kaki
bukit sekalipun karena gelombang udara yang didukung tenaga sakti dari batin
yang kuat itu memiliki gelombang yang dahsyat.
Kini bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, lalu mereka berkumpul di
depan Thai Kek Siansu. Tiga orang pendeta itu pun menggunakan tenaga sakti
mereka sehingga tanpa menggerakkan tubuh, mereka yang duduk bersila itu
berputar menghadap ke arah para pendatang itu. Sedikitnya ada tiga puluh orang
Khitan berdiri di situ dan di depan mereka terdapat lima orang yang agaknya
menjadi pimpinan mereka. Yang pertama adalah seorang suku bangsa Khitan. Hal ini jelas tampak pada
pakaiannya. Dia memang seorang di antara para kepala suku Khitan bernama Kailon,
berusia lima puluh tahun, ber tubuh tinggi besar, di punggungnya tergantung
sebuah busur dan belasan batang anak panah, di pinggangnya tergantung sebuah
golok dan di lengan kirinya menempel sebuah perisai. Kailon tampak gagah perkasa
sebagai seorang panglima perang yang kokoh kuat.
Agaknya yang menjadi juru bica rombongan yang datang itu adalah Ce In Hosiang
karena diaJah yang menjaw didahului tawa yang membuat perutn yang gendut itu
bergoyang-goyang. "Ha-ha-ha-ha, Thai Kek Siansu, sungguh merupakan kejutan besar yang
mengherankan dan menyenangkan dapat bertemu denganmu di tempat ini. Terus
terang saja, kami naik ke bukit ini karena mendengar akan adanya pertemuan
antara Thong Leng Losu, Tiong Ci Ci jin, dan Louw Keng Tojin. Siapa tahu sini
kami bertemu dengan Thai Kek Sia su yang kami sangka sebelumnya bahkan seorang
manusia sepertimu ini tidak akan pernah muncul di dunia ramai! Kalau datang untuk
menjumpai tiga orang tokoh besar ini karena pada saat ini bangsa kita
membutuhkan semua tenaga orang sakti untuk mengakhiri semua perang saudara
dan perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami ingin minta bantuan
mereka bertiga agar mendukung pemerintahan baru yang kokoh, kuat dan yang
akan menyejahterakan kehidupan rakyat jelata. Akan tetapi Saudara Kailon kepala-
suku Khitan ini yang menjadi sekutu kami dan yang akan membantu bangsa kami,
masih menyangsikan kemampuan mereka bertiga. Maka kami setuju bahwa dia akan
menguji kalian dengan serangan anak panah karena kami yakin hal itu tidak akan
membahayakan kalian. Dan ternyata dugaan kami benar. Serangan anak panah itu
tidak ada artinya. Kalian benar-benar sakti dan orang-orang seperti kalian
inilah yang kami butuhkan untuk mendukung dan memperkuat perjuangan kami."
Thai Kek Siansu mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah, kiranya kalian berempat
termasuk golongan orang-orang yang mendahulukan kepentingan bangsa daripada
kepentingan sendiri dan merupakan pejuang-pejuang. Kalau pilihan kali seperti
itu, baik-baik saja. Akan tetapi kalau Su-wi ingin mengajak orang lain, sudah
sepatutnya kalau orang yang diajak itu sependapat dan mau. Maka, aku persilakan
kepada mereka bertiga ini untuk menjawab ajakan kalian tadi."
Thong Leng Losu memandang kcpada Ceng In Hosiang, lalu tertawa dan berkata,
"Ha-ha, Ceng In Hosiang, sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, apakah engkau
tidak menyadari bahwa mendukung pemerintahan baru juga sama dengan menyulut api
peperangan antara bangsa sendiri dan perang adalah pencetusan dari dendam
kebencian" Tentu engkau tidak lupa akan sabda Sang Buddha bahwa "Kebencian
takkan pernah dapat dihentikan oleh kebencian pula dalam dunia Ini. Kebencian
hanya dapat dihentikan dengan Kasih. Ini adalah hukum yang berlaku sejak dahulu
kala. Nah, apakah kini engkau akan menyebarkan kebencian hingga timbul perang
dan bunuh membunuh antar bangsa sendiri" Pinceng jelas tidak mau ikut!" Tiong Gi
Cinjin juga berkata kepada para pendatang itu.
"Aku pun tidak bisa ikut! Semua orang adalah saudara kita sendiri, apakah kita
harus saling membunuh hanya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan" Kalau
kalah, kita yang hancur, kalau menang, para pemimpinlah yang akan memetik buah
kemenangan itu yang berupa kemakmuran dan kesenangan duniawi. Tidak, aku
tidak mau ikut!' "Siancai! Dua orang sahabatku ini berpendirian cocok dengan pinto! Bertindak
kejam dan dalam hati mengandung kebencian, itulah syarat orang untuk perang.
Bunuh membunuh tidaklah cocok dengan agama dan kepercayaanku. Pinto juga
tidak mau ikut!" Empat orang pendatang itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. Kemudian
terdengar suara tawa yang aneh dan tawa itu disambut suara menggelegar di udara!
Hong-san Siansu Kwee Cin Lok agaknya mendemonstrasikan kedahsyat tenaga
saktinya. "Ha-ha-ha-ha, sepanjang yang kami dengar, tiga orang pendeta yang bertemu di
puncak ini, biarpun dari tiga macam agama, namun mereka adalah orang-orang
Pribumi Han yang gagah perkasa, yang berjiwa patriot pahlawan bangsa. Sekarang,
kalian bertiga menolak untuk berjuang membantu berdirinya kerajaan yang akan
melenyapkan semua perang saudara ini dan menyejahterakan rakyat melihat
hadirnya Thai Kek Siansu di sini, kami mengerti bahwa tentu kalian bertiga telah
terpengaruh olehnya. Thai Kek-Siansu, tepat dan benar bukan penilaianku ini?"
Thai Kek Siansu tersenyum. "Hong-Siansu Kwee Cin Lok, boleh saja engkau
berpendapat sesuka hatimu. Akan tapi jelas, tiga orang saudara yang kaliaan
bujuk itu tidak setuju dan tidak mau membantu kalian. Setiap orang berhak untuk
mempunyai pendapat sendiri dan engkau tidak boleh memaksanya, engkau adalah
Hong-san pangcu (Ketua Hong-san-pang), ketua sebuah perkumpul-tentu saja ingin
memajukan perkumpulannya dan memiliki cita-cita besar hingga apa yang kau
putuskan dan lakukan tentu berdasarkan pamrih mencapai cita-cita itu. Silakan
saja, akan tetapi jangan memaksa orang lain!"
"Thai Kek Siansu, sudah lama aku mendengar namamu sebagai seorang yang tidak mau
mencampuri urusan dunia. Kalau engkau yang menolak campurtangan dalam
urusan mendirikan kerajaan baru yang akan memimpin rakyat dengan bijaksana ini,
kami dapat mengerti. Akan tetapi kalau engkau mempengaruhi orang-orang lain, itu
merupakan perbuatan dosa terhadap rakyat!" kata Hong-san Pangcu marah.
"Aih, Pangcu (Ketua), siapakah rakyat itu dan siapa pula aku ini" Aku rakyat.
Setiap pejuang menggunakan rakyat sebagai alasan, semua mengatar demi rakyat
jelata, akan tetapi apa kenyataannya" Selama lima abad ini, berganti-ganti ada kerajaan
baru sampai lima kali dan mereka semua ketika sedang berjuang merebut
kekuasaan mengunakan nama rakyat, demi kesejahtera rakyat, akan tetapi lihat,
apa buktinya" Yang jelas semua itu demi kesejahteraan para pimpinan pemberontak
itu sendiri. Setelah perjuangan berhasil, para pimpinan itu hidup makmur, berkuasa,
dan kaya raya sedangkan rakyat jelata tetap miskin sengsara."
"Thai Kek Siansu, engkau keterlaluan. Agaknya engkau menjadi sombong karena
merasa hebat dan sakti sendiri, tidak ada yang akan berani mengganggumu" Hendak
i hat sampai di mana kehebatan dan kesaktianmu!" kata Hong-san Pang-cu Kwee Cin
Lok garang dan dengan muka merah karena marah.
"He-he, Hong-san Pang-cu, agaknya engkau lupa bahwa tidak ada manusia yang
sakti di dunia ini. Aku tidak sakti, engkau juga tidak sakti, kalau engkau
memiliki sedikit kemampuan, hal itu adalah karena engkau diberi oleh Yang Maha
Mampu. Engkau mendapat kesaktian karena berkat Yang Maha Sakti, akan tetapi kalau kau
pergunakan dalam kesesatan, berarti engkau menjadi alat Yang Maha Sesat atau
Setan. Tenang dan buang semua api kemarahan yang membutakan mata hatimu
itu." Mendengar teguran dari Thai Kek Siansu ini, Kwee Cin Lok ketua Hong-San-pang ini
menjadi semakin marah. "Manusia sombong, sambutlah ini kalau engkau memang
sakti!" Ketua Hong-san-Pang itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan
sinar kuning dan begitu dia melontarkan pedang itu ke atas, pedang itu seakan-
akan hidup dan terbang menuju ke arah Thai Kek Siansu yang masih duduk bersila.
Pedang itu berputar-putar di sekitar atas kepala kakek itu, semakin cepat
sehingga berubah menjadi sinar kuning. Ketika Kwee Cin Lok menggerakkan
tangannya ke arah pedang terbangnya. itu, sinar kuning meluncur dan menyerang kepala Thai Kek
Siansu! Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin dan Louw Keng Tosu hanya duduk bersila dan
menonton saja. Mereka juga ingin menyaksikan kehebatan Thai Kek Siansu yang
sudah lama mereka dengar akan kesaktiannya.
Akan tetapi Thai Kek Siansu diam saja, tidak membuat gerakan untuk melawan atau
menghindarkan diri. Dia hanya memejamkan kedua matanya mulutnya tersenyum.
Ketika sinar kuning itu meluncur turun menghujam kepalan dan tinggal beberapa
senti jaraknya tiba-tiba pedang itu terpental seolah tertolak oleh tenaga yang
lembut kuat sekali. Akan tetapi sungguh aneh, pedang itu seperti dipegang dan
digerakkan oleh tangan yang tidak tampak, menyerang lagi secara bertubi dengan
tusukan dan bacokan ke arah seluruh tubuh Thai Kek Siansu. Namun hasilnya sia-
sia, bagian tubuh manapun yang diserang tidak dapat disentuh pedang itu yang
selalu terpental. Ilmu ini merupakan puncak tenaga Liku karena bukan tenaga yang dikerahkan oleh
Thai Kek Siansu, melainkan ada tenaga lain yang seolah melindunginya. Orang
dapat menggunakan semacam ilmu sihir untuk mendapat perlindungan seperti itu,
akan tetapi tenaga yang melindungi itu ditimbulkan oleh sihir itu hanya kuat menahan
serangan orang yang lebih rendah tingkat kepandaiannya atau dari serangan
senjata biasa yang tidak ampuh. Akan tetapi, yang menyerang Thai Kek Siansu
adalah seorang tokoh besar, ketua Hong-san-pang, yang terkenal memiliki Imu silat dan
ilmu sihir yang tinggi, juga pedangnya bukan pedang biasa, melainkan pedang
pusaka yang terbuat dari logam yang ampuh.
Akhirnya pedang kuning itu terbang kembali ke tangan Hong-san Pang karena
ditarik kembali oleh pemiliknya. Hong-san Pangcu Kwee Cin Lok atau yang berjuluk
Hongsan Siansu ini segera maklum bahwa dia berhadapan dengan orang tingkat
kepandaiannya amat tinggi mungkin lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang
gurunya sendiri. Maka dia lalu menyimpan pedangnya dan menjura dengan hormat.
"Thai Kek Siansu ternyata memang amat bijaksana dan sakti. Kami mengaku kalah
dan amat kagum. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dan maafkan kalau kami
mengganggu ketenteraman di sini Setelah berkata demikian, Kwee Cin Lok
membalikkan tubuh dan menuruni puncak itu. Tiga orang temannya, Ceng In
Hosiang, Kwan In Su, dan Im Yang Tosu juga tahu diri. Mereka tahu bahwa antara
mereka, yang paling lihai dan boleh diandalkan adalah Hong-san Pangcu. Melihat
teman yang lihai ini sama sekali tidak berdaya melawan Thai Kek Siansu, mereka
maklum bahwa mereka semua pun tidak akan ada yang mampu mengalahkan Thai
Kek Siansu, apalagi disitu masih ada tiga orang datuk lain yang juga lihai. Maka
setelah menjura sebagai permintaan maaf, mereka pun mengikuti jejak Kwee Cin
Lok meningkalkan tempat itu menuruni bukit.
Akan tetapi Kailon, tokoh Khitan itu, mengerutkan alisnya dan dia tidak ikut
pergi seperti empat orang datuk yang datang bersamanya di puncak itu. Dia masih
merasa penasaran dan menganggap empat orang tokoh kangouw itu penakut, mereka,
bersama beberapa orang pimpinan daerah yang berambisi, telah bersekutu dan
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berniat menggulingkan Dinasti Chou yang dipimpin Kaisar Chou Ong yang sudah tua
dan lemah, dan mendirikan Kerajaan baru. Akan tetapi dalam usaha mereka untuk
menghubungi dan menarik para datuk dunia persilatan, baru saja mereka mulai di
puncak itu, setelah gagal dan empat orang itu bahkan m elarikan diri! Betapa
pengecutnya! Sebagai seorang yang biasa berperang, Kailon tidak akan pergi
sebelum bertempur. "Hemmm, kalian berempat tidak mau membantu, berarti tentu kelak hanya akan
menentang kami! Yang tidak membantu berarti musuh yang harus binasakan!"
Setelah berkata demikian, memberi aba-aba kepada tiga puluh orang anak buahnya.
Mereka lalu menerjang sambil berteriak-teriak dengan garang. Kailon sendiri
sudah maju dan menyerang Thai Kek Siansu dengan goloknya yang besar dan berat.
Sedangkan tiga puluh orang anak buahnya menyerbu dan menyerang tiga orang
pendeta yang masih duduk bersila itu dengan senjata mereka.
Thong Leng Losu tertawa dan memutar tongkatnya. Tampak sinar biru menyambar-
nyambar dan terdengar bunyi nyaring ketika senjata para penyerang bertemu sinar
biru dari toya yang dipegang Thong Leng Losu. Senjata mereka terpental dan
terlepas dari tangan sehingga mereka terkejut apalagi merasa betapa telapak
tangan mereka nyeri panas dan lecet-lecet. Mereka yang menyerang Tiong Gi Cinjin
juga disambut sinar hijau menyambar-nyambar dan senjata patah-patah bertemu dengan
pedang sinar hijau itu. Demikian pula mereka yang menyerang Louw Keng Tojin.
Senjata mereka bertemu kebutan dan dilibat lalu direnggut lepasl dari tangan
mereka. kemudian, tiga orang pendeta itu mendorong-dorongkan tangan mereka
dan tiga puluh orang itu terjengkang dan terguling-guling seperti daun-daun
kering disapu angin. Sementara itu, Kailon sudah menyerangkan goloknya kearah tubuh Thai kek Siansu.
Akan tetapi seperti halnya anak-anak panah tadi, juga seperti yang terjadi pada
pedang terbang Hong-san Pag-cu, golok Kailon tidak dapat menyentuh kulit. Makin
kuat Kailon membacokkan goloknya, semakin kuat pula golok itu terpental dan
akhirnya, begitu Thai Kek Siansu menggerakkan tangan menolak, tubuh tokoh Khitan
ini terjengkang jauh ke belakang dan terbang roboh. Baru dia menyadari bahwa i
tidak akan mampu mengalahkan kakek itu dan melihat betapa semua anak buahnya
juga kehilangan senjata dan bergelimpangan, dia lalu memberi aba-aba kepada
mereka dan larilah mereka seri turun puncak bukit.
Setelah mereka semua pergi, Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin, dan Lo Keng Tojin
tertawa, sedangkan Thai Kek Siansu hanya tersenyum namun mengeleng-gelengkan
kepalanya. "Terbuktilah bahwa segala macam perbuatan, yang disebut baik maupun buruk,
apabila keluar dari hati akal pikiran, sudah pasti menyembunyikan pamrih demi
kesenangan dan keuntungan sendiri." katanya.
Tiong Gi Cinjin memandang kepada Thai Kek Siansu dan dua orang lainnya juga
memandang. Kini bertiga mendapat kenyataan betapa tingginya ilmu dari Thai Kek
Siansu sehingga mereka merasa kagum sekali.
"Siansu," kata Tiong Gi Cinjin, "mari kita lanjutkan pembicaraan kita yang
terputus oleh gangguan tadi. Kita bica tentang Inti semua pelajaran Agama aku
mengatakan bahwa inti semua pelajaran itu sama, yaitu menuntun manusia untuk berbuat
kebaikan." Thai Kek Siansu menghela napas panjang. "Kalau sudah diakui bahwa semua
pelajaran Agama adalah sama, yaitu mengajarkan agar semua umatnya berbuat
kebaikan, mengapa di antara Agama masih ada saling menyalahkan dan
membenarkan pihak sendiri" Kita mulai dengan Kebenaran. Apakah Kebenaran itu"
apakah yang dinamakan Kebaikan itu" Kalau ada yang disebut kebenaran, tentu ada
kesalahan. Kalau ada kebaikan, tentu ada kejahatan. Baik dan benar untuk
sefihak, mungkin saja jahat dan salah untuk pihak lain. Karena itu, kebaikan
yang dilakukan menurut hati akal pikiran, sesungguhnya bukan kebaikan lagi,
melainkan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mendapat imbalan. Imbalan itu supaya kesenangan
atau keuntungan untuk si pelaku perbuatan, bentuknya macam-macam. Pamrih itu
bisa berupa imbalan jasa dan balasan, atau puji dan sanjungan, atau perasaan
bangga diri, atau imbalan yang dijanjikan berupa kemuliaan dan kesenangan di
akhir kehidupan. Pamrih apa pun juga, pada hakekat sama, yaitu melakukan sesuatu
dengan pamrih agar mendapat imbalan sesuatu yang menyenangkan dan
menguntung Maka, perbuatan kebaikan seperti hanya merupakan jual beli belaka,
sama sekali bukan kebaikan lagi karena kalau imbalannya ditiadakan, maka
perbuatan baik itu pun belum tentu dilakukan. Semua mengajarkan perbuatan baik,
akan tetapi disertai janji-janji yang menyenangkan sebagai upahnya sehinngga
perbuatan-perbuatan baik itu menjadi palsu, didasari keinginan untuk akhirnya
mendapatkan kesenangan atau keuntungan. Karena inilah maka terjadi perebedaan,
yaitu memperebutkan hak memperoleh segala macam hadiah yang dijanjikan itu."
Tiga orang itu saling pandang. Baru sekarang mereka mendengar uraian seperti itu
dan mendengar uraian itu, diam-diam mereka terkejut dan menyadari mengapa
para umat beragama seringkali saling bermusuhan. Mereka tidak dapat membantah
apa yang dikatakan Thai Kek Siansu karena mereka merasa ditelanjangi dan melihat
kenyataan yang sebenarnya.
"Siancai! Kalau begitu kenyataannya, lalu apakah yang dinamakan kebaikan itu,
Siansu?" tanya Louw Keng Tojin dan dua orang lainnya mendengarkan dengan
penuh perhatian karena mereka pun ingin mendengar jawaban Thai Kek Siansu atas
pertanyaan yang amat penting ini.
Thai Kek Siansu berkata lembut, "Sam-wi harap menaruh perhatian yang
sungguhnya. Seperti telah kukatakan, Kalau Sam-wi hanya mendengar kemudian
menurut apa yang kukatakan, maka Sam-wi tidak akan menemukan Kebenaran
Sejati. Aku pun bukan guru yang harus diturut atau dicontoh. Mari kita bersama,
dengan pikiran kosong dan tidak menggunakan tirai dengan warna kepercayaan kita
masing-masing agar pandangan kita sama dan seperti apa adanya, tanpa praduga
dan prasangka, tanpa penilaian. Nah, seperti yang telah kita dapatkan dalam
percakapan kita tadi, perbuatan baik yang datang dari pelajaran menimbulkan
pamrih demi kesenangan, kebaikan, atau keuntungan diri sendiri. Kalau kita
berbuat sesuatu dan kita menilai sendiri sebagai kebaikan, maka kebaikan itu
condong palsu dan menyembunyikan pamrih. Akan tetapi perbuatan apa juga yang
berlandaskan Inti dari semua yang dinamakan pelajaran kebaikan, adalah perbuatan yang
berlandaskan Kasih. Kasih tidak dapat dipelajari, tidak dapat disengaja, dapat
dibuat-buat! sungguhnya, Inti dari semua Agama adalah Kasih ini, bukan cinta
berahi, bukan cinta terhadap sesuatu atau seseorang yang menyenangkan hati,
karena cinta seperti itu bukan yang dimaksudkan dengan Kasih itu! Cinta mempunyai kebalikan,
yaitu Benci. Namun Kasih cinta mempunyai kebalikan, tidak memilih tidak
disengaja, tidak dibuat! Dapatkah Sam-wi melihat ini" Dapatkah Sam-wi melihat
kenyataan tentang palsunya cinta dalam hati manusia, cinta pada umumnya disanjung dan
dipuja manusia pada dewasa ini?"
"Omitohud, pinceng dapat melihatnya dan jelas, Siansu. Cinta adalah suatu
perasaan yang ditujukan kepada benda atau orang yang dapat menyenangkan atau
menguntungkan diri kita. Biasanya, Kalau engkau menyenangkan atau
menguntungkan aku, engkau kucinta. Sebaliknya kalau engkau menyusahkan atau
merugikan aku, engkau kubenci!" kata Thong gi Losu.
"Memang pada umumnya tak dapat disangkal demikian," kata Tiong Gi Cinjin. "Akan
tetapi ada cinta yang. sejati, yang mungkin ini yang disebut Kasih oleh Thai Kek
Siansu, yaitu cinta seorang ibu kepada anaknya. Siapa dapat menyangkal
kemurniannya cinta seorang ibu kepada anaknya?" kata Tiong Gi Cinjin. "Karena,
pelajaran terpenting agama kami prialah Hauw (Bakti). Seorang anak haruslah
berbakti kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya!"
"Cinta seorang ibu memang lebih murni daripada cinta-cinta manusia yang
lainnya," kata Thai Kek Siansu. "Akan tetapi bagaimanapun juga, walaupun tipis, teorang
ibu masih memiliki pamrih, memiliki harapan agar anaknya itu berbakti kepadanya,
menyenangkan hatinya masih terdapat kemungkinan cinta berubah menjadi benci
kalau si anak kelak menjadi jahat kepadanya. Ada Kasih yang lain lagi, yang
tidak dapat samakan dengan cinta manusia yang timbul dari hati akal pikiran,
karena sedikit banyak itu mengandung pamrih."
"Siancai!" kata Louw Keng Tojin "Pinto menjadi penasaran sekali, Thai Kek
Siansu. Mari kita selidiki bersama apa sesungguhnya Kasih yang maksudkan itu?"
Thai Kek Siansu memejamkan mata sejenak sebelum menjawab dengan halus "Mari
kita sama-sama mengamatinya. Kita lihat bunga-bunga mawar dan bunga teratai,
mereka memberi keharuman dan keindahan yang dapat dinikmati siapapun juga,
yang terpelajar tinggi maupun yang tidak, yang berkedudukan tinggi maupun yang
rendah, yang kaya maupun yang miskin, pendeta maupun penjahat, kaisar maupun
pengemis. Keharuman dan keindahan diberikan kepada siapapun juga tanpa
pandang bulu, tanpa pilih kasih, tanpa pamrih mendapatkan imbalan! Mari me lihat
matahari yang memberi daya hidup, kehangatan, penerangan, kepada siapa saja dan
apa saja tanpa pilih bulu, juha tanpa pamrih apa pun. Kalau kita mau membuka
mata melihat di seluruh permukaan bumi dan di langit maupun di dalam tanah, akan
tampaklah semua itu, yang memberi tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih.
Bukankah itu indah sekali" itulah Kasih yang sejati. Kasih itu Penyalur berkat.
Kasih itu memberi tanpa menuntut imbalan. Kasih itu merupakan pohon yang banyak
sekali buahnya, dan buahnya inilah yang disebut kebajikan atau perbuatan baik.
Kalau ada Kasih dalam diri kita, maka perbuatan apa pun yang kita lakukan, sudah
pasti baik dan benar! Karena segala macam perbuatan baik itu merupakan buah dari
Kasih. Dapatkan orang melakukan hal yang menyengsarakan orang lain kalau ada
Kasih" Kasih itu menjauhkan segala macan dengki, iri, cemburu, marah, dendam,
angkara murka, dan Kasih itu melebur si-aku yang selalu ingin menang sendiri.
Nah, bukankah Inti atau Api yang dibutuhkan manusia pada umumnya itu Adalah
Kasih ini" Kalau ada Kasih bersemayam dalam diri, orang tidak perlu diajar untuk
berbuat baik lagi karena Kasih akan membuahkan segala perbuatan baik. Kasih
tidak merusak, melainkan membangun."
Tiga orang pendeta itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya masing-masing
dan termenung. "Omitohud, satu di antara pelajaran dalam agama pinceng juga mengajarkan agar
ada Kasih di hati kita. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa semua perbuatan,
kalau tidak didasari Kasih adalah perbuatan yang tidak baik dan kalau pun ada
yang kelihatan baik, kebaikan itu hanya palsu belaka?"
"Aku tidak mengatakan begitu, Thong Leng Losu. Mari kita lihat saja bersama. Aku
hanya melihat dengan jelas bahwa kalau ada dalam hati sanubari kita, maka
perbuatan kita itu wajar bahwa si pelaku yang sudah disemayami kasih itu tidak
akan melihat perbuatan itu sebagai suatu kebaikan, melainkan kewajaran. Siapa
yang telah memiliki jiwa yang bersatu dengan Kasih, maka kita akan memandang
semua orang dengan tidak membeda-bedakan, akan selalu merasa ikut bahagia
kalau melihat orang lain, siapa saja, berbahagia. Akan tetapi akan ikut bersedih
dan merasa kasihan kalau melihat orang lain, siapa saja, menderita sehingga rasa
kasihan dari Kasih ini akan menggerakkannya untuk menolong orang yang sedang
menderita Itu." "Hemmm, sekarang aku dapat melihat lebih jelas, Siansu. Akan tetapi bagaimana
mungkin kita mendapatkan Kasih itu tanpa campur tangan hati dan akal pikiran?"
tanya Tiong Gi Cinjin. "Kalau menurut Agama pinceng, degan jalan bersamadhi akan dapat mencapai
keadaan itu."kata Thong Leng Losu.
"Kalau menurut Agamaku, dengan hidup selaras dengan Tao, selaras dengan hukum
Alam, karena Kasih yang engkau maksudkan itu bukan lain adalah Tao itu sendiri,
Siansu!" kata Louw K engTojin. "Aku ingat bahwa yang dimaksudkan itu cocok
dengan pelajaran Tokau (Agama To/Tao), bahwa Kasih itu tentu dengan sendirinya
ada setelah orang mengosongkan diri dan tidak mempun kehendak pribadi.
Beginilah pelajara itu." Louw Keng Tojin lalu memejamkan mata dan menyanyikan
atau mendeklamasikan sajak pelajaran dalam Kitab Tao te-cing (To-tek-khing).
"Langit dan Bumi itu Abadi
karena mereka tidak hidup untuk
diri sendiri. Inilah sebabnya orang bijaksana
membelakangkan dirinya karena itu dirinya tampil ke depan
Dia mengesampingkan dirinya
karena itu dirinya menjadi utuh.
Karena dia tidak mempunyai kehendak
Pribadi maka pribadinya menjadi sempurna."
"Ah, aku jadi teringat akan ayat pertama dari Kitab Agama kami yaitu Kitab
Tiong-yong," kata Tiong Gi Cinjin tertengan wajah berseri. "Yang dimaksudkan
Thai Kek Siansu dengan Kasih itu menurut perkiraanku adalah Seng, watak aseli
karunia Thian (Tuhan) yang diberikan kepada manusia." Pendeta Khong-kauw ini
lalu membacakan ujar-ujar dalam Kitab Tiong-yong.
"Karunia Thian adalah Seng (Watak Aseli),
bertindak selaras dengan Seng itulah Tao
berbuat menurut aturan Tao ialah Agama."
Thai Kek Siansu mengangguk-angguk. "Semua pendapat itu boleh-boleh saja, yang
penting Sam-wi benar-benar mengerti dan menghayatinya, bukan hanya merupakan
teori pelajaran belaka. Tidak ada artinya sama sekali menghafal semua filsafat
di dunia ini tanpa mempraktekkannya dalam kehidupan. Jauh lebih baik membiarkan
diri dituntun dan dibimbing oleh Kasih yang pasti tidak menyimpang dari apa yang
dikehendaki Thian." "Akan tetapi bagaimana cara mendapatkan kasih itu?" Tiga orang itu bertanya
dengan berbareng. "Tidak ada cara untuk mendapati Kasih itu," kata Thai Kek Siansu. "Dia datang
sendiri apabila kita selalu berserah diri kepada Yang Maha Kuas berserah diri
sepenuhnya, bukan hanya lahiriah berupa pengakuan belaka, melainkan dengan
seluruh jiwa. Kalau Kasih sudi bersemayam dalam jiwa kita, maka Kasih yang juga
dapat disebut Kekuasaan Thian itu akan membimbing kita. Nafsu Daya Rendah atau
Setan akan kehilangan pengaruhnya terhadap jiwa kita dan Kasih merupakan
karunia yang akan menyelamatkan jiwa kita dari kehancuran dan penyelewengan.
Dengan adanya Kasih dalam hati, maka apa pun yang kita lakukan bukan
dikemudikan oleh si-aku (ego) yang mencengkeram hati akal pikiran kita,
melainkan merupakan buah dari Kasih sehingga langkah kita dalam hidup merupakan
berkat bagi orang-orang lain."
"Akan tetapi bagaimana kita tahu bahwa sudah ada Kasih dalam hati kita, kasih
yang sejati dan bukan dari hati akal pikiran?" tanya Tiong Gi Cinjin.
"Hanya kalau hati mudah tergetar penuh iba kepada orang lain yang menderita,
hati sudah amat peka sehingga lupa merasakan penderitaan orang lain tanpa orang
itu mengatakannya, selalu siap terdorong oleh perasaan kasihan untuk membantu dan
mengangkatnya dari penderitaan, tanpa diboncengi pamrih tertentu, tanpa ingin
diketahui orang, tidak merasa bahwa perbuatannya itu baik, dan merasa bahagia
melihat orang lain bahagia dan dapat merasakannya, maka itu merupakan satu di
antara tanda-tanda yang paling mudah diketahui bahwa Kasih mulai bersemayam
dalam jiwanya." "Omitohud, dalam keadaan seperti itu, manusia telah mencapai tujuan terakhir."
kata Thong Leng Losu. "Seseorang akan benar-benar menjadi seorang Kuncu (Budiman) yang bijaksana kata
Tiong Gi Cinjin. "Kalau semua orang memiliki Kasih seperti itu, dunia akan menjadi indah tiada
kebencian, tiada permusuhan, tiada perang, semua manusia saling mengasih, Sorga
dapat dirasakan di dunia dalam kehidupan sekarang!" kata Louw Keng Tojin.
Tiba-tiba terdengar suara bercuit dari atas, hanya sayup-sayup suaranya Thai Kek
Siansu tersenyum. "Ah, Tiauw-cu (Rajawali) agaknya datang mencari dan menjemputku." katanya.
Tiga orang pendeta itu memandang keatas dan tampak seekor burung rajawa masih
tinggi di atas, hanya tampak kecil. Akan tetapi burung itu melayang sambil
mengelilingi bukit itu, makin lama semakin rendah.
"Suhu, teecu menyusul Suhu!" terdengar suara seorang anak laki-laki. Burung itu
hinggap di dekat Thai Kek Siansu dan Si Han Lin, anak itu, la melompat turun
dari punggung rajawali yang sudah mendekam, lalu dia berlutut di depan Thai Kek
Siansu. "Suhu, maafkan kalau teecu menyusul karena teecu melihat Tiauw-cu seperti
gelisah. Maka teecu berkata kepadanya bahwa kalau dia ingin mencari Suhu, Teecu
ingin ikut. Dia mengangguk dan mendekam, maka teecu lalu ikut dengannya mencari
Suhu." Tiga orang pendeta itu memandang kepada Han Lin dengan penuh perhatian.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Omitohud! Engkau telah mempunyai seorang murid, Siansu?"
"Thai Kek Siansu, mengapa engkau yang tidak mau mencampuri urusan dunia
mengambil seorang murid?" tanya Tiong Gi Cinjin menyusul pertanyaan Thong Leng
Losu tadi. "Puluhan tahun tekun mempelajari ilmu, untuk apa kalau tidak dimanfaatkan"
Karena aku sendiri tidak mempunyai minat mencampuri urusan dunia, maka biarlah
apa yang sudah kupelajari kutinggalkan kepada seorang murid agar dia dapat
memanfaatkannya. "kata Thai Kek Siansu sambil tersenyum, menjawab pertanyaan dua
orang pendeta itu. "Siancai........... ucapan Siansu ini menyadarkan pinto (aku)! Pinto sendiri
belum mempunyai murid, dan usia pinto! makin lama semakin tua. Apakah semua yang
pinto pelajari selama bertahun-tahun harus pinto bawa mati pula" Pinto juga
ingin mengambil murid, Siansu kata Louw Keng Tojin.
"Omitohud, dulu pinceng (aku) mencela para saudara di Siauw-lim-pai karena
mempunyai banyak murid yang dilath ilmu silat. Sekarang pinceng menyadari dan
akan mencontoh Thai Kek Siansu akan mencari seorang murid yang baik!" kata
Thong Leng Losu. "Ah, kalau begitu mari kita bertiga melanjutkan kesalah-pahaman kita bertiga
tadi dengan perlumbaan yang lebih bermanfaat, yaitu kita turunkan apa yang kita
pernah pelajari kepada murid masing-masing dan kita lihat kelak, murid siapa
yang paling berguna bagi tanah air dan bangsa!" kata Thong Gi Cinjin.
"Bagus, ini baru perlumbaan dan persaingan yang menarik karena hasilnya pasti
akan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Biarlah aku, atau kalau tidak diwakili
muridku, yang kelak menjadi saksi keberhasilan kalian bertiga." kata Thai Kek
Siansu. "Sekarang, aku pamit, harap Sam-wi maafkan karena aku harus pergi."
Setelah berkata demikian, Thal Kek Siansu mengangkat tubuh Han Lin, dibawanya
naik ke atas punggung rajawali yang masih mendekam, duduk berboncengan
dengan Han Lin di depan dan dia di belakang.
"Tiauw-cu, mari kita pulang!" kata Thai Kek Siansu.
Rajawali itu mengeluarkan bunyi nyaring, bangkit berdiri, mengembangkan
sayapnya yang lebar, lalu kedua kakinya yang kokoh kuat itu mengenjot tubuhnya,
lalu terbanglah dia ke atas dengan cepatnya.
Tiga orang pendeta itu bangkit berdiri Han memandang dengan kagum.
"Omitohud, Thai Kek Siansu dapat menjinakkan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) yang
hidup di daerah Himalaya dan kini amat langka itu! Sungguh luar biasa sekali!"
Thong Leng Losu berseru. Sebagai seorang yang puluhan tahun berkelana di daerah
Tibet dan Pegunungan Himalaya dia tahu tentang rajawali yang langka itu.
"Siancai! Pinto sendiri sudah menjinakkan seekor harimau yang dapat pula jadikan
seperti kuda tunggangan, tetapi tidak ada artinya dibanding dengan Rajawali
Sakti itu. Mengagum sekali!" kata Louw Keng Tojin.
Setelah mereka sepakat untuk mas masing mencari seorang murid, tiga orang
pendeta itu lalu meninggalkan puncak bukit itu dan saling berpisah.
oooOOooo Terjadi peristiwa penting di istana Kerajaan Chou. Kaisar Chou Ong yang sudah
berusia tujuh puluh lima tahun dan memang sudah selama beberapa tahun tidak
bergairah mengurus pemerintahan dan hanya menyerahkan kepada para pejabat
tinggi yang membantunya, kini menyerahkan mahkota kerajaan kepada puteranya
yang masih kecil berusia tujuh tahun di bawah bimbingan Sang Permaisuri, ibu
pangeran itu. Hal ini sebetulnya amat tidak disetujui sebagian besar para
pejabat tinggi, terutama para panglima karena mereka tahu bahwa sewaktu Kaisar
Chou Ong masih menjadi kaisar pun, pemerintahan sudah dikuasai oleh Sang permaisuri dan
para pejabat tinggi yang bersaing menumpuk harta kekayaan pribadi. Apalagi
sekarang, kaisarnya masih kanak-kanak dan kekuasaan sepenuhnya berada di
tangan Permaisuri dan kaki tangannya, para pejabat tinggi yang korup. Maka sudah
dapat dibayangkan betapa akan buruk akibatnya bagi rakyat. Pemerintahan lemah,
pemberontakan dan kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan para pembesarnya
hanya sibuk memperebutkan kekayaan yang tidak halal.
Pada waktu itu, ada seorang jenderal atau panglima dari Kerajaan Chou yang
terkenal gagah perkasa dan sudah banyak jasanya terhadap kerajaan. Dialah yang
terkenal memimpin pasukannya menghancurkan pemberontakan-pemberon takan.
Panglima ini bernama Chao Kuang Yin, seorang yang berusia hampir lima puluh
tahun. Dia berasal dari Chou, sebuah kota di sebelah selatan Peking, sejauh
kurang lebih empat puluh li (mil). Chao Kuang Yin ini keturanan orang-orang yang
menduduki jabatan penting pada masa Dinasti Tang dan dinasti-dinasti berikutnya
pada zaman Lima Dinasti yang kini diakhiri dengan Dinasti Chou.
Ketika Kaisar Chou Ong menyerahkan mahkotanya kepada pangeran yang masih
kecil, Chau Kuang Yin termasuk di antara para pejabat tinggi yang merasa tidak
setuju. Akan tetapi dia seorang yang setia kepada kerajaan, maka biarpun hatinya
merasa tidak setuju, tidak mau menyatakan dalam sikap atau ucapannya. Para
pimpinan baru kerajaan yang dikepalai Permaisuri tahu bahwa Chao Kuang Yin
merupakan seorang panglima yang tidak menyukai mereka dan amat berbahaya,
maka ketika terdapat gerakan dan ancaman dari bangsa Khitan, Permaisuri
memerintahkan Chau Kuang Yin untuk membawa tentaranya ke utara untuk
mengusir bangsa yang men gancam itu.
Panglima Chao Kuang Yin tentu saja menaati perintah ini. Akan tetapi para
pembantunya, para panglima dan perwira pembantunya, diam-diam merasa
penasaran. Mereka tahu betapa lemahnya kedaan pemerintahan yang dikuasai
Permaisuri dan para pejabat tinggi yang korup itu. Setelah mereka berhasil
menyisir para pengacau Khitan, para panglima dan perwira pembantu mengadakan
persekongkolan. Mereka bersepakat bulat untuk mengadakan pemberontakan dan
pengangkat panglima mereka Chao Kuang Yin sebagai kaisar baru! Akan tetapi para
perwira itu tahu benar bahwa Panglima Chao Kuang Yin yang amat setia dan pasti
tidak mau melakukan pemberontakan, maka mereka bersepakat untuk
memaksanya! Demikianlah, pada suatu malam, ketika pasukan berhenti dalam
perjalanan kembali ke kotaraja, belasan orang perwira memasuki tenda di mana
Panglima Chao Kuang Yin tidur. Panglima ini terkejut ketika dia terbangun, dia
telah dikepung belasan orang perwira pembantunya dengan pedang terhunus!
"Hei, apa yang kalian lakukan ini?" Chao Kuang Yin melompat turun dari tempat
tidurnya, sama sekali tidak takut walaupun ditodong belasan batang pedang oleh
para perwira yang mengepungnya. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat
melawan belasan orang perwira itu. Biarpun dia seorang ahli perang, pandai
mengatur barisan dan menggunakan siasat perang, namun ilmu silatnya tidak
selisih banyak dengan seorang perwira pembantunya. Dikeroyok belasan orang itu,
tentu dia tidak akan mampu menang.
Seorang perwira mengeluarkan sebua jubah kuning dengan gambar naga dan
burung Hong. "Thai-ciangkun (Panglima Besar), kami hanya mohon agar ciangkun
suka mengenakan jubah yarng telah kami persiapkan ini."
"Hei, apakah kalian sudah gila?" Cha Kuang Yin memandang jubah itu dengan mata
terbelalak. "Jubah kuning dengan gambar-gambar ini hanya boleh dipakai seorang
kaisar!" Para perwira itu lalu menceritakan apa kehendak yang telah mereka sepakati
bersama, yaitu mengangkat Chao Kuang Yin menjadi kaisar baru untuk
menggantikan kaisar kanak-kanak yang baru diangkat oleh Kaisar Chou Ong.
"Tidak, aku tidak mau memberontak! Chao Kuang Yin menolak keras.
"Maaf, Thai-ciangkun. Kalau engkau menolak, terpaksa kami akan membunuhmu
dan mengangkat calon kaisar lain karena engkau tentu akan menentang rencana
kami!" Chao Kuang Yin tidak takut menghadapi ancaman maut. Akan tetapi di berpikir.
Kalau aku dibunuh lalu mereka mengangkat kaisar lain pasti akan terjadi
Pendekar Kipas Akar Wangi 1 Pendekar Binal Karya Khu Lung Iblis Angkara Murka 2