Si Rajawali Sakti 3
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
berkata. "Sobat Lai Ceng Gun, aku mengaku kalah!" Setelah berkata demikian murid!
Hoasanpai ini lalu melompat turun dari atas tanah tinggi.
Sementara itu, Lai Ceng Gun dengan ramah berkata, "Sobat The Lun, terima kasih,
engkau telah mengalah." Dia pun turun dan menghampiri gurunya, ingin
melepaskan lelah lebih dulu karena dia sudah dua kali berturut-turut bertanding.
Akan tetapi Boan Su Kok sudah melompat dari bangkunya ke tengah panggung
tanah tinggi. Agaknya untuk memamerkan tubuhnya yang kokoh, dia
membusungkan dadanya, memandang ke arah Lai Ceng Gun dan berteriak.
"Orang she Lai! Engkau yang menjadi penantang tunggal dan harus bertanding
melawan aku untuk menentukan siapa yang pantas menjadi Thian-he Te-it-Bu-hiap
tahun ini. Hayo naiklah dan tandingi aku!"
Dari tempatnya di bawah, Ciong Kauwsu berseru dengan suaranya yang lantang
bergema. "Muridku Lai Ceng Gun baru saja bertanding berturut-turut dua kali,
sudah sepantasnya kalau dia beristirahat sejenakl"
"Ho-ho, kalau sudah berani datang ke sini, kenapa takut lelah" Ataukah takut
melawanku" Kalau takut, pergi saja dari.sini!" kata Boan Su Kok dengan nada
sombong. Mendengar ucapan yang sombong itu Ciong Kauwsu menjadi merah mukanya Akan
tetapi sebelum dia mengeluarkar ucapan marah, muridnya berkata, "Sudah lah,
Suhu, biar teecu melawannya dan hendak teecu lihat bagaimana kelihaian Si
Sombong itu." Setelah berkata demikian, tubuhnya melompat dan malayang ke atas
tanah tinggi, berhadapan dengari Boan Su Kok.
"Boan Su Kok, aku telah siap menandingimu!" kata Lai Ceng Cun.
Boan Su Kok mencabut siangkiam (sepasang pedang) yang tergantung di
punggungnya, memegang dengan kedua tangannya lalu memainkan sepasang
pedang itu sehingga tampak dua sinar menyambar-nyambar dan menari-nari di
depannya. "Lai Ceng Gun, hayo cabut senjatamu dan tandingilah siangkiamku ini!" tantang
Boan Su Kok. Lai Ceng Gun menggelengkan kepalanya. "Boan Su Kok, aku datang ke sini untuk menguji ilmu silat, bukan untuk berkelahi. Aku tidak mau menggunakan
senjata." "Ha-ha-ha! Pendekar macam apakah ini yang tidak berani melihat darah mengalir"
Orang she Lai, kita bukan anak kecil yang hanya main-main. Mari bertanding
sungguh-sungguh dan kita buktikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam
pertandingan ini. Siapa yang patut mendapatkan gelar Jagoan Nomor Satu!" Boan Su
Kok kembali mempermainkan sepasang pedangnya sehingga terdengar bunyi
berdesing. "Aku tetap tidak mau menggunakan senjata. Aku hanya mau bertanding
menggunakan kaki tanganku saja." kata Lai Ceng Gun kukuh.
"Ha-ha-ha! .Saudara-saudara para pendekar gagah perkasa! Lihat penantangku ini
takut menghadapi senjataku!"
"Boan Su Kok, aku sama sekali tidak takut. Aku tetap akan menghadapimu dengan
tangan kosong. Kalau engkau begitu pengecut untuk melawan aku yang bertangan
kosong dengan senjata, silakan.
Aku tidak takut!" Sepasang mata sang juara itu melotot dan sinarnya mencorong.
"Keparat kurang ajar! Kau bilang aku pengecut" Lihat, aku akan meremukkan
kepalamu dengan kedua tanganku!" Dia melemparkan sepasang pedangnya ke arah
belakangnya. Sepasang pedang itu meluncur cepat ke arah Tung Hai-tok, guru Si
Juara itu. Dengan tenang, sambil terkekeh, Tung Hai-tok menyambut sepasang
pedang muridnya itu dengan kedua tangan lalu meletakkannya di depannya.
Demonstrasi yang dilakukan guru dan murid ini saja sudah memperlihatkan betapa
lihainya mereka berdua itu.
Boan Su Kok sudah memasang kuda-kuda dengan sikap dibuat-buat agar tampak
gagah, lalu dia membentak, "Bocah she Lai, bersiaplah untuk mampus!"
Secara tiba-tiba dia telah menyerang dengan gerakan dahsyat. Agaknya Boan Su Kok
hendak memperlihatkan ketangguhannya dengan merobohkan lawan secepatnya,
maka begitu menyerang dia telah menggunakan pukulan ampuh sambil
mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Lai Ceng Gun yang bertubuh sedang
itu adalah seorang pemuda yang tabah dan tenang. Dia telah mengusai ilmu yang
diajarkan gurunya dan karena dia membantu gurunya sebagai pelatih utama para
murid gurunya, maka latihan setiap hari itu membuat gerakannya menjadi matang.
Dengan cepat dan tangkas dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kaki
dari samping. Melihat betapa lawannya bukan saja dapat mengelak akan tetapi
secara kontan dengan langsung membalas serangannya, Boan Su Kok tidak berani
memandang rendah. Dia pun melompat ke samping lalu cepat dia mendorongkan
tangan kanan untuk mencengkeram leher lawan. Juga cengkeraman ini merupakan
serangan maut. Lai Ceng Gun dengan gesit miringkan tubuhnya. Akan teapi Boan Su
Kok yang haus kemenangan itu, .dengan semangat menggebu telah menyusul
dengan serangan pukulan tangan dari atas ke arah kepala lawan!
Lai Ceng Gun maklum akan kehebatan pukulan ini. Kalau dia mengelak, terdapat
bahaya tangan yang meluncur dari atas itu akan mengejar kepalanya, maka cepat
dia mengerahkan tenaga pada lengan kanannya untuk menangkis tangan, kiri lawan
yang menghantam kepalanya dari atas.
"Wuuuuttttt......... dukkk!!" Dua lengan bertemu dan keduanya tergetar sampai
merasa betapa lengan mereka terpental dan nyeri. Akan tetapi Boan Su Kok yang
menjadi marah kini mendorongkan; tangan kanannya ke arah dada lawan!
Lai Ceng Gun cepat menyambut dengan dorongan tangannya pula. Dua telapak
tangan kanan dan kiri bertemu.
"Desss........... !" Akibatnya, tubuh Lai Ceng Gun mundur dua langkah, akan
tetapi tubuh Boan Su Kok yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang sampai
empat langkah! Hal ini menunjukkan bahwa Lai Ceng Gun memiliki sin-kang yang lebih
kuat. Bukan main marahnya Boan Su Kok. Kekalahannya dalam adu tenaga tadi tidak
dapat disembunyikan dan semua yang menonton pasti tahu bahwa dia kalah kuat!
Maka dengan marah dia lalu menerjang maju sambil mengeluarkan teriakan
melengking. Lai Ceng Gun menyambutnya dengan sikap tenang.
Kembali mereka bertanding, saling serang dengan seru sehingga para penonton
merasa tegang. Tingkat kepandaian silat mereka memang tidak berselisih banyak.
Kalau Lai Ceng Gun menang kuat tenaga saktinya, ilmu silatnya tidak seganas yang
dimainkan Boan Su Kok sehingga kedua kelebihan pada diri masing-masing ini
membuat pertandingan itu ramai dan seru bukan main.
Lima puluh jurus telah lewat dan belum tampak ada yang menang dalam pibu itu.
Boan Su Kok yang tahu bahwa kalau mengadu tenaga sakti secara langsung dia yang
akan rugi, kini tidak mau mengadu tenaga secara langsung. Sepak terjangnya ganas
dan buas, bagaikan seekor singa terluka yang marah. Akan tetapi Lai Ceng Gun
tarrpak tenang dan gerakannya mantap, pertahanannya kokoh bagaikan bagaikan
batu karang. "Remuk kepalamu!" Boan Su Kok membentak dan kepalan tangannya yang sebesar
kepala manusia itu mendorong dan menyambar ke arah kepala Lai Ceng Gun. Murid
Ciang Kauwsu atau yang di Hunam terkenal dengan sebutan Hunam Taihiap
(Pendekar Dari Hunam) itu cepat mengerahkan tenaga untuk menyambut yang
berarti hendak mengadu tenaga. Boan Su Kok sudah merasa gentar untuk mengadu
tenaga, maka cepat dia menarik kembali tangannya yang memukul. Kesempatan itu
dipergunakan Lai Ceng Gun untuk menggunakan tangan yang terbuka menampar
pundak lawan. "Wuuuttttt.......... plakkk!!" Tubuh Boan Su Kok terhuyung ke belakang dan
mukanya berubah semakin hitam. Orang ini memang tidak tahu diri. Kalau dia tidak
dibuat mata gelap oleh kemarahan, tentu dia tahu bahwa Lai Ceng Gun memang sengaja
tidak mau mencelakainya. Kalau pukulan atau tamparan tangan tadi mengenai leher
atau dadanya, tentu keselamatannya terancam maut. Baru tenaga tamparan itu saja
sudah dibatasi, kalau dikerahkan semua, tentu tulang pundaknya sudah remuk. Akan
tetapi Lai Ceng Gun membatasi tenaganya sehingga tamparan pada pundak tadi
hanya membuat Boan Su Kok terhuyung-huyung dan tidak terluka sama sekali.
Boan Su Kok marah sekali dan bagaikan seekor binatang buas, dia menggereng dan
sudah menerjang dengan tubrukan nekat. PukulanBoan Su Kok kearah dadanya
dihindarkannya dengan menari tubuhnya ke belakang sehingga pukulan itu tidak
sampai. Akan tetapi tiba-tiba saja ada benda kecil mencuat dari bawah lengan
Boan Su Kok. "Wuuuttt........ crattt............ !!" Tangan Boan Su Kok memang tidak mencapai
sasaran, akan tetapi dari bawah lengannya, tersembunyi di dalam lengan bajunya,
tiba-tiba mencuat sebatang pisau dan pisau ini mengenai dada Lai Ceng Gun!
Biarpun tidak terlalu dalam, namun pisau itu telah melukainya sehingga tubuh Lai
Ceng Gun terhuyung ke belakang.
"Hei i........... curang ..........!" Hunan Taihiap melompat ke atas panggung
tanah tinggi. "Jangan mencampuri!" Tiba-tiba Tung Hai-tok juga melayang ke tempat itu dan
begitu tangannya didorongkan ke arah Ciong Kauwsu, angin pukulan yang dahsyat
menyambar. Ciong Hoat, Pendekar Hunan itu cepat menyambut dengan dorongan
tangannya. Dua tenaga sakti jarak jauh saling bertemu.
"Wuuuttt............ desss........ !" Tubuh guru silat Ciong terdorong ke
belakang. Dia terkejut dan cepat turun kembali karena tidak ingin bermusuhan
dengan Tung Hai-tok yang amat lihai. Tadi pun dia sama sekali tidak bermaksud
untuk mencampuri atau mengeroyok. Dia hanya ingin protes karena Boan Su Kok bermain curang,
menggunakan senjata rahasia dalam pertandingan. Sambil tertawa Tung Hai-tok
juga melompat kembali ke tempat duduknya.
Boan Su Kok yang melihat lawannya sudah terluka, kini tanpa banyak cakap lagi
sudah menerjang dengan pukulan mautnya setelah pisau itu otomatis masuk dan
bersembunyi kembali ke dalam lengan baju.
"Remuk kepalamu!" bentaknya sambil menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala
Lai Ceng Gun yang masih sempoyongan dan tangannya mendekap dada yang
luka mengucurkan darah. "Wuuush........... plakkk! Ahhhhh........... !" Boan Su Kok melangkah ke
belakang dengan kaget dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya karena
tangan kanannya terasa panas sekali. Dia terkejut dan heran, akan tetapi terutama
sekail marah bukan main melihat bahwa yang menangkis pukulannya tadi adalah
seorang gadis cantik yang berdiri sambil tersenyum-senyum mengejek kepadanya.
Lai Ceng Gun yang baru saja diselamatkan oleh gadis yang tiba-tiba muncul dan
menangkis pukulan Boan Su Kok tadi, menoleh kepada gurunya dan Ciong Kauwsu
memberi isarat dengan tangan agar dia turun. Pemuda itu lalu melompat turun dan
gurunya segera memeriksa luka di dadanya, lalu mengajaknya pergi dari situ.
Setelah mengamati gadis itu, Boan Su Kok hampir tidak percaya bahwa gadis itu
yang tadi menangkis pukulannya. Gadis itu bertubuh sedang, ramping dengan
pinggang kecil namun tubuhnya sintal dan padat dengan lekuk lengkung yang
menggairahkan. Rambutnya hitam panjang dikuncir ke belakang dan di kat pita
merah. Di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut melingkar-lingkar.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dagunya runcng. Sepasang matanya yang kedua
ujungnya meruncing ke atas itu bersinar-sinar seperti bintang. Mulutnya selalu
membayangkan senyum sinis, dengan bibir yang selalu merah basah tanpa gincu,
hidungnya kecil mancung lucu. Pakaiarnnya serba hitam sehingga kulit lengan,
Juga lehernya, tampak semakin putih mulus. Setelah kini melihat gadis itu
ternyata amat cantik, apalagi mulut yang mungil itu tersenyum-senyum kepadanya,
Boan Su Kok merasa semangatnya seperti melayang meninggalkan tubuhnya. Dia bukanlah
seorang yang mata keranjang, akan tetapi melihat gadis secantik ini, seperti
seorang dewi, laki-laki mana yang tidak akan terpesona" Akan tetapi dia dapat
menenangkan hatinya dan dia pun melangkah maju sambil tersenyum menyeringai
sehingga mukanya makin menyeramkan. Giginya tampak mengkilap berada di tengah
wajahnya yang berkulit hitam arang itu.
"Nona, apakah engkau hendak mengikuti pi-bu" Menurut peraturannya, untuk
menjadi penantangku engkau harus mengikuti pertandingan awal, mengalahkan
para peserta lainnya lebih dulu. Kalau engkau keluar sebagai pemenangnya,
barulah engkau berhak menjadi penantangku"
"Gadis itu bertolak pinggang. "Aku tidak ingin' mengikuti pibu, aku hanya ingin
menantang siapa yang berani mengaku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap di sini!
Karena aku baru datang, maka aku tidak tahu siapa yang menjadi juara yang akan
mempertahankan gelarnya."
"Akulah juaranya, Nona. Aku, Boan Su Kok, dua tahun yang lalu merebut gelar
Jagoan Nomor Satu dan sampai sekarang belum terkalahkan. Akulah sang juara!"
Suara Boan Su Kok terdengar penuh kebanggaan dan dia membusungkan dadanya
yang bidang dan kokoh. Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tertawa bebas lepas, tidak seperti para gadis lain
di jaman itu kalau tertawa, tanpa suara dan menutupi mulut dengan tangan. Gadis
ini tertawa terbahak seperti seorang laki-laki, bertolak pinggang, menengadahkan
muka dan membuka mulut lebar-lebar, tubuhnya terguncang ketika tertawa.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh................ !!"
Boan Su Kok terpesona memandang mulut yang terbuka itu. Kalau sepasang bibir
yang tipis dan penuh itu berwarna merah, ketika mulut itu terbuka, tampak rongga
mulut yang lebih merah lagi dan ujung lidah yang runcing dan merah muda. Mulut
yang menggairahkan dan suara tawa itu pun merdu seperti suara nyanyian.
Boan Su Kok merasa penasaran juga mendengar ada suara tawa pula menyambut
tawa gadis itu dari mereka yang hadir. Suara tawa gadis itu demikian bebas dan
jelas disebabkan oleh perasaan yang geli dan merasa lucu sehingga suara tawa
seperti itu mudah menular, membuat orang-orang lain ikut tertawa walaupun mereka
tidak tahu apa gerangan yang ditertawakan gadis itu!
"Nona, kenapa engkau tertawa" Apa yang kau tertawakan?" tanya Boan Su Kok
penasaran. Mendengar pertanyaan ini, tawa gadis itu semakin menjadi. Kemudian, diselingi
mara tawa geli, ia memandang ke empat juru dan berkata kepada mereka yang
menonton di situ. "Hai i........... kalian semua mendengar itu" Monyet Muka Hitam ini menjadi
Pendekar Silat Nomor Satu Di Dunia"
Ohhh tidak..........., heh-he-heh!" la menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka
Boan Su Kok dan terkekeh lagi.
Boan Su Kok tadi terpesona oleh kecantikan gadis itu, biarpun, sekarang marah,
dia masih dapat menahan kemarahannya bahkan kini dia membalas penghinaan itu
dengan bujukan. "Nona, aku merasa kasihan dan sayang sekali kalau sampai engkau
mati atau terluka dalam pertandingan, maka jauh lebih baik engkau yang cantik
ini menjadi isteriku saja karena aku juga belum bensteri!"
Gadis itu tidak menghentikan senyumnya yang kini tampak mengejek. "Boan Su Kok,
Monyet Muka Hitam, jadi engkau belum mempunyai isteri" Kebetulan sekali, aku
mempunyai peliharaan seekor lutung hitam, kiranya akan sepadan sekali kalau
menjadi isterirnu!" Kembali terdengar orang tertawa walaupun dengan hati merasa khawatir akan
keberanian gadis rnuda belia itu. Gadis itu baru mulai dewasa, paling banyak
delapan belas tahun usianya, akan tetapi berani sekali menghina dan
mempermainkan seorang yang amat tangguh dan kuat seperti Boan Su Kok!
Boan Su Kok yang memang pada dasarnya bukan seorang mata keranjang, kini tidak
dapat menahan kemarahannya lagi. Rasa kagum dan berahinya seketika lenyap,
terganti kemarahan yang mendatangkan nafsu membunuh. Mukanya kini berwarna
hitam sekali, matanya mencorong seperti api membara dan hidungnya mendengus-
dengus seolah hidung seekor sapi yang marah dan mengeluarkan uap!
"Gadis kurang ajar! Kau tidak tahu orang mengalah dan bersikap baik kepadamu!
Engkau memang patut dihajar dan jangan bersambat kalau aku merusak
kecantikanmu dan membuat engkau berubah menjadi buruk rupa. Hiaaaaahhh.....!"
Boan Su Kok sudah menerjang dengan ganasnya, bagaikan seekor harimau
menubruk kelinci, dia menerkam dengan kedua tangannya membentuk cakar
harimau untuk menangkap dan mencabik-cabik kulit putih mulut itu.
"Aih, Monyet Muka Hitam menjadi gila dan ngamuk!" Gadis itu mengejek dan dengan
gerakan yang ringan luar biasa bagaikan seekor burung terbang taja dara itu
sudah mengelak sehingga tubrukan Boan Su Kok mengenai tempat kosong. Dengan
gerakan cepat dan mulutnya mengeluarkan gerengan buas Boan Su Kok sudah
membalikkan tubuh dan menyerang bertubi-tubi dengan cengkeraman, pukulan,
diseling tendangan kakinya yang panjang.
"Hai it, luput!. Hemmm, gerakanmu lamban sekali, Monyet Hitam! Apakah engkau
belum makan?" Gadis itu dengan lincahnya mengelak dan tubuhnya seolah berubah
menjadi bayangan yang berkelebatan cepat sehingga sukar di kuti pandang mata.
Semua serangan yang dilakukan oleh Boan Su Kok dengan gencar dan bertubi-tubi
itu sama sekal tidak pernah dapat menyentuh ujung baj gadis itu sehingga Boan Su
Kok menja semakin marah dan penasaran!
Setelah serangan gencar itu berlangsung dua puluh jurus lebih, tiba-tiba gadis
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang masih selalu mengelak disertai suara tawa dan ejekan yang memanaskan hati,
berseru. "Monyet hitam rasakan ini!" Ia kini dengan gerakan yang luar biasa cepatnya
membalas, tangan kanannya meluncur dan dua jari tangan kanan itu menyambar
dan menusuk ke arah mata lawan. Boan Su Kok terkejut dan tentu saja dia tidak
ingin matanya ditusuk jari sehingga buta Maka cepat dia mengangkat kedua tangan
untuk menyambut tusukan itu sambil miringkan tubuh ke kanan.
"Wuuuttttt........... plakkk!" Tubuh Boan Su Kok terputar saking kerasnya
tamparan yang mendarat di pipi kanannya. Kiranya serangan tusukan ke arah mata
tadi hanya pancingan belaka karena begitu Boan Su Kok menangkis dan memiringkan tubuh ke
kanan, tangan kiri gadis itu dengan jari-jari terbuka menampar dan menghantam
pipi kanan Si Muka Hitam.
Demikian kuatnya tamparan itu sehingga Boan Su Kok merasa seperti, diumbar
halilintar dan tubuhnya terputar hampir terpelanting. Ketika dia dapat berdiri
tegak kembali, tangan kanannya meraba pipinya yang menjadi bengkak dan giginya
sebelah kanan ada yang tanggal. Juga ujung bibir sebelah kanan pecah berdarah.
Jagoan itu menggereng. Matanya mencorong buas dan kemarahannya sudah
memuncak. "Jahanam, kubunuh kau..............!!" geramnya.
"Hi-hik, monyet hitam tolol seperti ini menjadi Pendekar Silat Nomor Satu" Kamu
menari saja di pasar tentu mendapatkan uang!" ejek gadis itu dan begitu Boan Su
Kok menubruk, tubuhnya menghindar ke kiri dan kaki kanannya mencuat dengan
kecepatan kilat. "Ngekkk!" Kaki yang kecil itu menendang ulu hati lawan dan Boan Su Kok terengah-
engah. Napasnya menjadi sesak dan lambungnya terasa pedih dan nyeri. Akan tetapi
dia tidak mempedulikan rasa nyeri itu dan menyerang lagi men babi buta..
Akan tetapi kini gadis Itulah yangj menyerangnya bertubi-tubi dan gerakannya
sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali tamparan dan tendangannya mengenai
sasarann dengan tepat. "Plak-plak-bukkk............!" Beberapa kali tubuh Boan Su Kok dihajar sehingga
kini pipi kirinya juga bengkak dan perutnya mulas terkena tendangan kaki mungil
itu! "Keparat, mampus kau!" Boan Su Kok masih dapat memaki dengan suara pelo (pelat)
sehingga terdengar lucu. Banyak penonton yang sejak tadi tertawa melihat
betapa Boan Su Kok dihajar beri kali-kali dan dipermainkan oleh gadis yang amat
lincah dan lihai itu. Akan tetapi kini mereka memandang dengan mata terbelalak
dan hati tegang karena Boan Su Kok menyerang lagi dengan lebih nekat dan buas.
Ketika dia memukul dengan tangan kanan ke arah dada, gadis itu menarik tubuhnya
ke belakang, akan tetapi tiba-tiba tampak benda berkilat mencuat dari bawah
lengan kaitan yang memukul itu. Boan Su Kok telah menggunakan lagi senjata
rahasia, pisau yang disembunyikan di dalam lengan baju di bawah lengan. Dengan
menggunakan per (pegas) pisau itu dapat digerakkan mencuat keluar atau ditarik
kembali. Agaknya ini yang dinanti-nanti oleh gadis itu. la tadi sudah melihat sendiri
betapa Boan Su Kok merobohkan penantangnya secara curang, dengan menggunakan
senjata rahasia itu. Maka kalau tadi ia hanya memberi tamparan dan tendangan,
yang dilakukan dengan tenaga terbatas, ia memang menanti agar lawannya
menggunakan senjata rahasianya itu. Begitu pisau itu mencuat mengancam
dadanya, ia cepat mengelak ke kanan. Boan Su Kok menyambutnya dengan pukulan
tangan kiri yang juga mengeluarkan senjata rahasia itu.
Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan seruan melengking, kedua tangannya bergerak
secepat kilat menotok kedua pundak lawan. Seketika Boan Su Kok merasa kedua
lengannya lumpuh dan sebelum dia dapat mencegahnya, dua tangan gadis itu telah
menyambar ke arah pergelangan kedua tangannya.
"Krek-krekkk!" Dua buah pisau itu telah dicabut dan kini berada di tangan gadis
itu. "Manusia curangi" Gadis itu memaki, kini suaranya tidak main-main lagi dan
begitu ia menggerakkan kedua tangannya, dua buah pisau itu meluncur dan menancap
di kedua pundak Boan Su Kok! Jagoan bermuka hitam ini mengaduh, akan tetapi
sebuah tendangan menyambar ke arah dadanya.
"Bukkk!" Tubuh tinggi besar itu terpental dan jatuh tepat di depan kaki gurunya,
yaitu Tung Hai-tok! Semua orang terkejut sekali, juga kagum. Mereka yang memang tidak suka kepada
Boan Su Kok, bertepuk tangan riuh rendah. Akan tetapi pada saat itu, Tung Hai-
tok mengeluarkan gerengan dan suara yang menggetarkan jantung para pendengarnya
dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah melayang ke depan gadis itu. Sementara
itu, para anggautaTung-hai-pang menolong Boan Su Kok yang pundaknya tertusuk
sepasang pisaunya sendiri.
Gadis remaja itu agaknya merupakan seorang tokoh baru yang bagaikan seekor
burung muda baru belajar terbang menjelajahi dunia persilatan. Maka agaknya ia
belum mengenal datuk Lautan Timur ini dan memandangnya dengan senyum
ampuh. Sikapnya yang lincah, pemberani dengan mukanya yang cantik itu membuat
mimik yang lucu sungguh menarik hati para penonton. Ia memandang Tung Hai-tok
dengan sepasang mata bintangnya disipitkan, senyumnya manis sekali dan ia
berkata lantang. "Wah, ini ada Cukong (Boss) kaya raya datang! Kalau engkau akan memberi hadiah
besar atas kemenanganku, ketahuilah bahwa aku tidak menginginkan uangmu.
Kalau hendak mengumumkan aku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap, aku pun tidak
butuh gelar itu. Aku datang hanya ingin nonton dan tadi melihat sang juara
begitu sombong dan curang, maka aku naik dan menantangnya!"
Tung Hai-tok adalah seorang datuk besar. Ribuan orang kangouv, terutama golongan
sesat, di sepanjang pantai Laut Timur merasa segan dan takut kepadanya. Maka,
tentu saja menghadapi seorang gadis muda belia seperti ini, dia merasa akan
merendahkan nama besarnya kalau dia menggunakan kekerasan menghajarnya
walaupun dia marah sekali melihat murid utamanya tadi dirobohkan dan dilukai.
Derjgan menahan sabar Tung Hai-tok yang berdiri tegak berkata kepada gadis itu.
Suaranya lantang dan menggelegar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar dan
mukanya yang persegi merah dan tampak bengis menyeramkan.
"Heh, bocah perempuan yang kurang ajar! Engkau berani melukai muridku dan
bersikap sombong mengejek aku! Hayo katakan siapa namamu dan siapa pula nama
gurumu!!" Gadis itu tersenyum manis, agaknya sedikitpun tidak gentar menghadapi kakek yang
gagah perkasa, menyeramkan dan penuh wibawa itu. Dengan lagak seperti orang
berkenalan biasa, gadis itu berkata, suaranya nyaring merdu dan senyumnya ramah.
"Perkenalkan, namaku Song Kui Lin, adapun nama guruku tidak perlu kusebutkan
karena beliau tidak mempunyai urusan dengan siapapun di sini. Dan engkau sendiri
siapakah, Wan-gwe (Orang Kaya)?" Ucapannya begitu ramah dan wajar, sama sekali
tidak bernada menggoda atau mengejek.
Tung Hai-tok mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin dia memperlihatkan
kemarahannya kepada gadis yang masih kekanak-kanakan ini" Dia ingin menggertak
gadis muda belia itu dengan memperkenalkan namanya yang amat terkenal,
terutama di daerah timur.
"Dengar baik-baik, Nona Muda! Aku adalah Tung Hai-tok (Racun Laut Timur)!"
Diam-diam gadis itu terkejut karena gurunya pernah menceritakan dan
memperkenalkan nama para datuk dan tokoh besar dunia kangouw. Akan tetapi
dasar ia seperti burung muda baru pertama kali terbang menjelajahi keluar
sarang, ia seakan tidak tahu tingginya gunung dan luasnya samudera.
"Ah, kiranya Paman ini adalah Si Racun Laut Timur yang terkenal itu" Wah, senang
sekali aku dapat berkenalan denganmu, Paman Racun!" Lagaknya seperti bicara
dengan seorang kawan lama saja dan hal ini memang bukan dibuat-buat karena
gadis ini memiliki watak yang lincah, terbuka dan bebas. Akan tetapi tentu saja
datuk itu merasa dilecehkan.
"Bocah lancang! Kalau engkau tidak bermaksud merebut gelar, jangan membikin
kacau di sini. Hayo cepat kau turun dan pergi dari sini!"
Gadis yang bernama Song Kui Lin itu mengerutkan sepasang alisnya. "Aih-aih,
kenapa engkau mengusir aku" Apakah puncak ini rumahmu" Apakah Gunung
Thaisan ini milikmu" Sang Dewa Penjaga Gunung saja tidak pernah mengusirku,
bagaimana engkau dapat mengusirku, Paman Racun?"
Betapapun sabarnya hati Tung H i tok, karena kesabarannya itu hanya paksaan,
akhirnya dia marah juga. "Bocah setan, kalau engkau tidak segera turun, aku akan mendorongmu pergi dari
sini!" Gadis itu membelalakkan matanya yang indah dan bertolak pinggang. Satu di antara
watak Song Kui Lin adalah bahwa ia akan berbalik bersikap keras kalau orang main
paksa padanya. "Aih-aih, lihat itu Si Cukong! Mau main paksa, ya" Bagaimana kalau aku tidak mau
turun?" "Kalau begitu, pergilah!" Tung Hai-tok mendorongkan tangan kirinya dengan
telapak tangan terbuka menghadap ke arah Kui Lin. Gadis itu memang telah siap,
maka begitu kakek itu mendorongkan tangan kirinya, ia. menyambut dengan kedua
tangannya yang ia dorongkan ke depan.
"Wuuussshhhhh ........... desss!!" Tubuh Kui Lin terdorong mundur sampai ia
terhuyung beberapa langkah.
"Pergilah!" kata Tung Hai-tok.
Akan tetapi Kui Lin dengan keras kepala menjawab. "Aku tidak mau pergi!"
"Hemmm, agaknya engkau sudah bosan hidup!" Setelah berkata demikian, Tung Hai-
tok mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghimpun tenaga karena dia
hendak melakukan pukulan jarak jauh yang lebih dahsyat lagi.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun berwibawa. "Tahan.......... !" Dan
terdengar kelepak sayap burung Seekor burung rajawali raksasa meluncur turun dan
hinggap di atas tanah tinggi itu, tepat di antara Tung Hai-tok dan Song Kui Lin.
Si Han Lin yang berada di punggung burung itu cepat melompat turun. Dialah yang
tadi berseru melihat dari atas betapa kakek itu hendak melakukan serangan.
Beberapa orang yang hadir, begitu melihat burung itu, berseru. "Rajawali
Sakti.............!"
"Benar, Sin-tiauw muncul, berarti Thai Kek Siansu datang!"
Ketika Song Kui Lin melihat burung rajawali, ia cepat menghampiri dan mengamati
burung itu dari depan, belakang, kiri dan kanan. Ia tampak terheran-heran dan
kagum bukan main. Ia sama sekali tidak memperhatikan Si Han Lin yang berdiri
menentang pandang mata Tung Hai-tok yang marah.
"Aih, hebat sekali rajawali ini!" serunya, lalu gadis itu menghampiri Han Lin
dan bertanya. "Hei, sobat, apakah engkau hendak menjual rajawali ini" Berapa
harganya" Kalau boleh aku ingin membelinya!"
Han Lm yang tadinya memperhatikan Tung Hai-tok, kini perhatiannya beralih dan
melihat gadis itu dan mendengar pertanyaannya, dia tersenyum geli. Bukan main
gadis ini, pikirnya. Baru saja terbebas dari ancaman maut di tangan kakek muka
merah itu, kini sudah lupa lagi dan ingin membeli rajawalinya, seolah tidak
pernah terjadi sesuatu yang mengancam nyawanya!
"Adik yang baik "
"Ihhh! Siapa adikmu" Aku bukan adik mu dan engkau bukan kakakku! Kalau engkau
kakakku, rajawali ini tidak perlu kubeli, cukup kuminta saja!" gadis itu
memotong, galak. Han Lin tertawa. Ha-ha, baiklah Nona. Rajawali ini tidak kujual, mana ada orang
menjual sahabat baiknya" Dia itu sahabat baikku yang setia dan kami saling
menyayang. Biar dibeli segunung emas pun tidak akan kujual."
"Hemmm, menarik sekali! Dia bisa membawaku terbang, ya" Bolehkah aku mencoba
menungganginya agar aku dibawa terbang?"
"Boleh saja kalau dia mau." kata Han Lin sambil tersenyum. Dia maklum bahwa
kecuali dia dan Thai Kek Siansu, tidak ada orang lain yang dapat menunggangi
punggung Tiauw-ko (Kakak Rajawali) karena burung itu pasti tidak mau. Biarlah
gadis liar ini membuktikannya sendiri karena kalau dia menolak, bukan tidak
mungkin gadis itu akan marah dan membuat ulah.
"Terima kasih, engkau baik sekali!" Kui Lin berseru girang lalu dengan gayanya
yang lincah ia melompat. Gerakannya ringan sekali dan ia sudah melompat ke atas
punggung rajawali yang cukup tinggi karena burung itu tidak mendekam seperti
kalau hendak ditunggangi Han Lin.
"Rajawali, terbanglah! Bawa aku terbang!" Kui Lin berseru setelah ia duduk di
punggung burung raksasa itu. Akan tetapi rajawali itu diam saja.
Gadis yang liar itu memang memiliki niat bahwa kalau ia sudah dibawa terbang, ia
akan membawa minggat burung itu. Kalau tidak boleh dibeli, ya dibawa kabur saja,
pikirnya. Akan tetapi burung itu tidak mau terbang.
"Hayo terbang! Kalau engkau tidak mau terbang, kucabuti bulumu!" Kui Lin
menggertak dan ketika burung itu tetap diam saja ia mulai mencabut beberapa
helai bulu di leher burung itu. Tiba-tiba rajawali itu terbang ke atas. Kui Lin
bersorak girang, akan tetapi setelah burung itu terbang setinggi pohon dia lalu
jungkir balik! Tentu saja Kui Lin terkejut bukan main dan tak dapat dipertahankan lagi,
tubuhnya jatuh ke bawah. Karena tidak menyangka dan terkejut, gadis it sama
sekali tidak siap maka ia terjatu tanpa dapat mengatur keselmbangannya sehingga
terjatuh dengan kacau, kaki tangannya bergerak-gerak sehingga ia ketakutan dan menjerit.
Agaknya rajawali sengaja melemparkan Kui Lin ke arah tempat berdirinya tadi dan
tubuh gadis yang melayang turun dengan kacau itu agaknya akan menimpa Han Lin!
Dengan tenang sambil tertawa Han Lin bergerak dan kedua lengannya dapat
menyambut tubuh Kui Lin sehingga gadis itu terjatuh ke dalam pondongannyai tidak
sampai terbanting ke atas tanah.
Kui Lin segera meronta dan turun, lalu membalik dan melihat rajawali telah
berdiri lagi di situ dengan sikap tenang dan dari bawah terdengar orang-orang
tertawa menyaksikan penstiw a lucu ketika gadis itu jatuh tadi, ia membanting-banting
kaki kanannya dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak marah.
"Kamu jahat!" bentaknya dan ia lalu melompat jauh, turun dari panggung tanah
tinggi itu dan melarikan diri. Han Lin menghela napas panjang, merasa iba karena
dia tahu bahwa gadis itu agaknya merasa malu ditertawakan banyak orang.
Sementara itu, Tung Hai-tok yang sejak tadi hanya melihat dan marah karena
merasa dirinya tidak dipedulikan, setelah gadis itu pergi, dia membentak pemuda
itu. "Orang muda lancang! Siapa engkau berani mencampuri urusanku dan berani
menghalangi aku membunuh gadis liar tadi?"
Han Lin mengangkat kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan, bukan
hanya kepada Tung Hai-tok, akan tetapi juga kepada semua orang karena dia
memberi hormat sambil menghadap ke empat penjuru.
"Lo-cian-pwe dan Saudara sekalian yang berkumpul di sini. Saya datang memenuhi
perintah Suhu Thai Kek Siansu yang tidak sempat datang sendiri. Suhu ingin saya
menyampaikan kepada Saudara sekalian penyesalan beliau bahwa kini pemilihan
gelar Thian-he Te-it Bu-hiap bukan lagi pertemuan persahabatan untuk memperluas
pengalaman, melainkan menjadi ajang permusuhan. Pi-bu yang di Adakan menjadi
tempat perkelahian yang menjatuhkan korban. Hal ini amat tidak baik sehingga
para pimpinan aliran persilatan besar semua mengundurkan diri. Maka Suhu minta
agar pertandingan seperti ini dibubarkan dan ditiadakan saja, demi menjaga kerukunan
antara para tokoh kang-ouw."
Mendengar ini, Tung Hai-tok tertawa rgelak. Suara tawanya itu jelas dilakukan
dengan pengerahan tenaga sakti sehingga mendatangkan gelombang suara yang
menggetarkan jantung mereka yang berada di puncak itu. Demikian kuatnya suara
itu menggetarkan jantung sehingga hanya mereka yang memiliki tingkat tinggi saja
yang kuat bertahan dengan mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi jantung
mereka. Akan tetapi mereka yang kurang kuat tenaga dalamnya, cepat menutupi
kedua telinga dengan tangan lalu duduk bersila dan memejamkan mata. Bahkan ada
yang tergulin roboh, biarpun sudah menutupi kedut telinga dan dari celah-celah
jari tangai yang menutupi telinga menetes darah yang keluar dari telinga mereka!
Han Lin juga merasakan getaran itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaga sakti dan
berkata. "Lo-cian-pwe, jangar melukai orang-orang yang tidak bersalah apa-apa."
Tiba-tiba terdengar bunyi pskik melengking. Itu adalah suara burung rajawali
yang melengking sambil mendongak ke atas. Suara lengkingan panjang itu menutup
suara tawa kakek itu. Tung hal-tok menghentikan tawanya dan ber kata kepada Han Lin.
"Bocah sombong, engkau anak kecil kemarin sore bicara seolah-olah engkau menjadi
seorang datuk yang berkedudukai tinggi! Engkau mewakili gurumu, Thai Kek Siansu"
Huh, ada urusan apakah Thai Kek Siansu dengan kami" Kalau dulu tidak mau ikut
pesta pemilihan ini, tida perlu banyak cakap. Aku Tung Hai-tol sama sekali tidak
takut kepada Thai Kek Siansu, apalagi kepada muridnya. Dia atau engkau tidak
berhak mengatur kami. Hayo engkau dan burungmu itu cepat pergi dari sini, kalau
tidak aku akan menghajarmu dan membunuh burungmu!"
Han Lin memandang kakek itu dan dia teringat akan nama ini yang pernah disebut
oleh gurunya sebagai seorang datuk sesat di daerah timur. Tadi di atas punggung
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rajawali dia melihat betapa kakek ini dengan pukulannya yang amat dahsyat
mengancam keselamatan gadis muda belia itu, maka tahulah dia bahwa kakek ini
amat lihai akan tetapi juga kejam.
"Ah, kiranya Locianpwe adalah datuk timur yang terkenal itu. Terimalah hormat
saya dan salam dari Suhu karena Suhu memesan agar saya menyampaikan salamnya
kepada semua orang gagah yang berkumpul di sini. Locianpwe memang tidak
semestinya takut kepada Suhu karena Suhu tidak ingin ditakuti. Suhu hanya
menginginkan agar semua pihak di dunia persilatan hidup dengan akur dan
mempergunakan kepandaian mereka untuk membela nusa dan bangsa menegakkan
kebenaran dan keadilan sehingga kehidupan manusia di dunia in sejahtera dan
berbahagia. Suhu hanya ingin agar saya melerai dan menghenti kan semua
pertikaian yang terjadi di sini dan mulai sekarang tidak ada lagi perebutan
gelar yang hanya membawa perpecahan dan perebutan, menimbulkan dendam dan
permusuhan." Ucapan itu membuat semua orang terdiam dan ada yang mengangguk-anggukkan
kepala. Sebagian besar dari mereka mengetahui siapa adanya Thai Ke Siansu yang
mereka anggap sebagai seorang dewa yang amat sakti. Merek merasa segan dan
tidak berani karen maklum bahwa selama ini mereka belum pernah mendengar ada
datuk atau tokoh kang-ouw yang mampu menandingi kesaktian Thai Kek Siansu.
Agaknya Tung Hai-tok tahu akan hal ini dan dia menjadi semakin penasaran dan
marah. "Si sombong Thai Kek Siansu sungguh tidak memandang muka orang! Disangkanya
aku ini siapa" Begitu berani dia memandang rendah aku, mengirim seorang anak
kemarin sore untuk memberi wejangan kepadaku! Hai orang muda sombong, sekali
lagi aku peringatkan, cepat engkaudan burungmu pergi dari sini atau aku akan
turun tangan membinasakan kalian!"
"Locianpwe Tung Hai-tok, Suhuku selalu bilang bahwa yang berhak mencabut
kehidupan seseorang adalah yang memberi kehidupan, yaitu Tuhan Yang Maha
Kuasa. Engkau tidak pernah memberi kehidupan kepada saya dan Tiauw-ko,
bagaimana mungkin engkau hendak mencabut kehidupan kami dan membinasakan
kami?" "Bocah sombong1. Kaukira aku tidak mampu membunuh kalian berdua! Nah,
terimalah kematianmu!!" Tiba-tiba Tung Hai-tok melompat ke depan dan
mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah Han Lin. Angin pukulan yang
dahsyat sekali menyambar ke arah Han Lin. Pemuda ini telah menerima ilmu yang
paling dalam yang dapat dimiliki manusia, yaitu penyerahan diri kepada Yang Maha
Sakti. Akan tetapi Thai Kek Siansu memesani kepadanya bahwa kalau segala usaha
dan ikhtiar sendiri tidak mampu menang gulangi keadaan, tidak mampu melindungi
diri maka dasar dari semua keadaan dirinya yang sudah mengandung penyerahan
diri sepenuh iman itu yang akan bekerja. Penyerahan diri sepenuhnya membuat
dirinya seolah tidak ada, yang ada hanya Kekuasaan Tuhan yang melindunginya
sehingga tidak ada apa pun mampu mengganggunya kecuali kalau Tuhan
menghendaki demikian. Dia tidak boleh hanya pasrah begitu saja tanpa berusaha..
Karena itu, walaupun pada dasarnya dia selalu berserah diri kepada Kekuasaan!
Tuhan, namun melihat Tung Hai-tok menyerangnya, dia pun menggunakan l mu-
ilmu yang telah dipelajarinya dari Thai Kek Siansu. Dia pun cepat mengerahkan
tenaga dan menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangannya.
"Syuuuuuttt.......... blarrrrr........... !" Dua tenaga sakti tingkat tinggi
bertemu di udara dan seluruh keadaan sekeliling tempat itu tergetar hebat. Tung
Hai mengeluarkan seruan kaget dan dia rpaksa melangkah mundur tiga kali. wajahnya yang merah
menjadi semakin merah, matanya mencorong penuh perasaan marah dan
penasaran. Dia merasa malu bahwa serangannya yang dia lakukan sepenuh tenaga
tadi, yang memang dilakukan untuk membunuh Si Han Lin, dapat ditolak mundur
oleh orang muda yang pantas menjadi cucunya itu! Karena tadi ketika menyerang
dia sudah menggunakan tenaga sepenuhnya dan ternyata pemuda itu dapat
menandinginya, dia tidak mau mengulangi lagi serangan dengan pukulan jarak jauh.
Tiba-tiba dia mencabut sepasang pedangnya yang berada di punggung dan sekali
melontarkan Siang-kiam (sepasang pedang) itu, tampak dua sinar meluncur ke arah
Han Lin. Ternyata sepasang pedang itu merupakan Hui-siang-kiam (sepasang pedang
terbang) yang bukan hanya dapat dilontarkan dan digunakan menyerang lawan dari
jauh, akan tetapi juga dikendalikan oleh kekuatan sihir sehingga sepasang pedang
itu seolah hidup dimainkan sepasang tangan yang tidak tampak!
Semua orang yang melihat permainan sihir yang berbahaya itu memandang dengan
hati tegang. Akan tetapi Han Linmemandang dengan sikap tenang saja, Ketika
sepasang pedang yang menjadi sinar itu menyambar dekat, tangannya bergerak dan
tampak sinar terang ketika! pedang Pek-sim-kiam telah berada di tangannya.
Pedang itu biasanya memang dia simpan di balik jubahnya sehingga! tidak tampak
dari luar. Terjadilah pertandingan yang aneh dan menarik. Bagaikan benda-benda hidup! dua
batang pedang itu menyerang dengari gerakan cepat dan bert?bi-tubi ke arah
bagian tubuh Han Lin yang berbahaya. Namun, pemuda itu dengan amat tenangnya
menggerakkan pedangnya menangkisi semua serangan itu. Gerakannya juga cepat
sehingga pedangnya berubah menjadi sinar terang yang bergulung-gulung
menyelimuti dirinya dan menghalau semua sambaran sepasang pedang lawan itu.
Terdengar bunyi berkerontangan berulang-ulang dan tampak bunga api
berhamburan merupakan penglihatan yang amat indah menank.
Pada saat itu, Boan Su Kok yang telah sadar betul, walaupun luka-luka di
pundaknya membuat dia tidak dapat melakukan kekerasan, memberi isarat kepada
para anak buah Tung-hai-pang untuk maju mengeroyok Han Lin yang agaknya masih kuat
melindungi dirinya terhadap serangan sepasang pedang terbang gurunya. Mendapat
perintah ini, sedikitnya dua puluh orang anggauta Tung-hai-pang dengan pedang di
tangan. menyerbu naik panggung.
Akan tetapi sebelum mereka sempat mengeroyok Han Lin, tiba-tiba terdengar
teriakan rajawali dan burung itu sudah terbang dan menyambar mereka yang
hendak mengeroyok Han Lin. Para anak buah Tung-hai-pang terkejut dan mereka
mencoba untuk melawan dan menyerang rajawali itu dengan pedang mereka. Akan
tetapi hal ini membuat rajawali itu semakin marah. Paruhnya yang kokoh kuat Itu
mematuk-matuk, sepasang kakinya mencakar dan sepasang sayapnya menampar.
Dua puluh lebih anak buah Tung dai-pang itu berpelantingan dan tidak ada
sebatang pedang pun yang mampu melukai burung rajawali itu!
Sementara itu, Han Lin mulai mengerahkan tenaganya dan begitu dia menangkis,
dua batang pedang-terbang itu terpental jauh! Melihat ini, Tung Hai tok terkejut
dan cepat menarik kembali sepasang pedangnya yang segera terbang ke arah
dirinya. Dia menangkap pedangnya dan menyimpan kembali. Melihat betapa anak buah
Tung-hai-pang dibuat kocar-kacir oleh burung rajawali sedangkan serangannya
sendiri terhadap pemuda itu agaknya menemui kegagalan karena ternyata pemuda
itu tangguh sekali, Tung Hai-tok yang tidak ingin kehilangan muka karena
dikalahkan, lalu berkata lantang.
"Orang muda, katakan kepada Thai Kek Siansu bahwa lain waktu kami akan
membuat perhitungan dengannya!" Setelah berkata demikian, kakek itu melompat
turun dari tanah tinggi dan pergi, di kuti Boan Su Kok dan para anak anggauta
Tung-hai-pang. Rajawali melayang turun dan hingga di depan Han Lin lalu mendekam. Han Lin
melompat ke atas punggungnya dan ketika burung itu terbang, dia berseru kepada
mereka semua yang memandan kagum. "Harap Cu-wi (Anda sekalian) bubar dan
jangan mengadakan perebut gelar kosong ini lagi, yang hanya mendatangkan
permusuhan dan kekaccuan!"
Tungguuuuul" terdengar seorang berseru. "Siauw-eng-hiong (Pendekat Muda),
katakan kepada kami, siapa namamu?"
Si Han Lin tidak menjawab karena dia tidak ingin memperkenalkan namanya. Akan
tetapi, entah mengapa, tiba-tiba burung rajawali itu yang berbunyi dengan
suaranya yang nyaring melengking seolah menjawab pertanyaan itu. Kemudian dia
terbang tinggi dan melayang pergi.
Mendengar ini, orang-orang itu berbisik-bisik, "Sin-tiauw, Sm-tiauw (Rajawali
Sakti)........!" Mulai saat itu, mereka memberi julukan kepada pemuda penunggang
rajawali yang tidak mereka ketahui namanya itu sebagai Sin-tiauw Eng-hiong
(Pendekar Rajawali Sakti)! Dan sejak itu, tidak ada lagi pertandingan di Puncak
Thaisan untuk memperebutkan gelar Jagoan Nomor Satu.
ooOOoo Kakek bertubuh pendek gemuk yang mengenakan jubah seperti pendeta itu duduk
bersila di depan pondoknya yang sederhana. Pondok itu berada di puncak bukit di
Lembah Sungai Yangce. Usianya sekitar enam puluh tahun, namun wajahnya masih
tampak sehat belum banyak hiasan keriput. Kakek ini adalah Tiong Gi Cinjin,
seorang pertapa penganut Agama Khong-hu-cu (Confucianism). Dalam bagian depan
kisah ini kita sudah bertemu dengan Tiong Gi Cinjin, seorang di antara tiga pendeta yang
mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Naga Kecil, kemudian muncul pula Thai Kek
Siansu menemui mereka bertiga, berbincang-bincang tentang agama dan
kehidupan. Kemudian, melihat Thai Kek Siansu memiliki seorang murid, tiga orang pendeta itu
pun mengambil keputusan untuk masing-masing mengambil seorang murid sebagai
pewaris ilmu-ilmu yang mereka kuasai.
Ketika Tiong Gi Cinjin bertemu dengan. Ong Su, masih termasuk keluarga Kerajaan
Chou yang sudah jatuh, dan melihat puterinya, hatinya tertarik untuk mengambil
anak perempuan berusia sepuluh tahun itu sebagai muridnya.
Ong Su yang masih berdarah bangsawan karena ayahnya dahulu adalah seorang
pangeran Kerajaan Chou, tadinya menjabat sebagai Pejabat Tinggi Kebudayaan. Dia
seorang sastrawan dan penganut Agama Khonghucu, maka dia mengenal baik Tiong
Gi Cinjin. Bahkan antara mereka terdapat hubungan yan akrab. Ketika Kerajaan
Chou jatuh di ganti Kerajaan Sung yang baru, biarpun Sung Thai Cu memperlakukan
keluarga Kerajaan Chou dengan baik, namun On Sun pergi dari kota raja dan
tinggal kota Nan-king. Ong Su hanya memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Ong Hui Lan.
Ketika anak perempuan itu berusia sembilan tahun dan Tiong Gj Cinjin yang
mencari murid datang berkunjung ke rumah Ong Su dan melihat anak itu, hatinya
tertarik. Dia melihat betapa Ong hui Lan yang berusia sembilan tahun itu memiliki tulang
dan bakat yang baik sekali, juga anaknya sopan dan pendiam. Maka dia lalu minta
kepada sahabatnya agar menyerahkan Ong Hui Lan menjadi murid tunggalnya.
Karena keluarga itu percaya sepenuhnya kepada Tiong Gi Cinjin, maka ayah dan ibu
Ong Hui Lan tidak merasa keberatan. Anak itu lalu dibawa Tiong Gi Cinjin ke
tempat tinggalnya, yaitu di puncak sebuah bukit tanpa nama di Lembah Yangce.
Selama sepuluh tahun Hui Lan digembleng gurunya, diberi pelajaran silat, sastra, dan
pelajaran agama Khong-hu-cu. Setiap tahun sekali anak itu diberi kesempatan
pulang ke Nan-king menjenguk orang tuanya.
Demikianlah, setelah menjadi mur id Tiong Gi Cinjin selama sepuluh tahu Ong Hui
Lan kini menguasai ilmu-ilmu yang tinggi. Pada pagi hari itu, Tiong Cinjin duduk
di depan pondoknya dan tak lama kemudian Ong Hui Lan keluar dari pondok.
Gadis berusia sembilan belas tahun itu tampak segar bagaikan setangkai bunga
mawar tersiram embun, la baru saja mandi dan bertukar pakaian setelah fajar
menyingsing tadi, seperti kebiasa annya sehari-hari, berlatih silat di kebun
belakang. Ong Hui Lan telah menguasai banyak ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama
sekali ia memiliki ilmu pedang yang hebat. Gurunya, Tiong Gi Cinjin terkenal
dengan julukan Tung Kiam-ong (Raja Pedang Timur), maka tentu saja ia memperoleh
pelajaran ilmu pedang yang hebat. Biarpun sejak berusia sembilan tahun Hui Lan tinggal bersama Tiong Gi Cinji dan
menganggap guru itu seperti ayahnya sendiri, namun tetap saja Hui Lan amat
menghormati gurunya. Ini adalah berkat pelajaran dalam Agama Khonghucu yang
menekankan hauw (bakti) kepada orang Tua dan guru. Ada empat macam Hauw
yang diajarkan Tiong Gi Cinjin kepada muridnya. Pertama adalah bakti kepada
Tuhan berupa ibadat kepadaNya. Kedua ialah bakti kepada orang tua dan guru
berupa kelakuan yang baik dalam kehidupan agar menjunjung tinggi dan mengharumkan
nama mereka. Ke tiga adalah bakti kepada negara dengan jalan menaati semua
ketentuan hukum negara, dan ke empat bakti kepada sesama manusia baik dengan
cara menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan
menentang yang jahat. Melihat gurunya duduk di atas bangku didepan pondok, Hui Lan segera maju dan
berlutut memberi hormat. Akan tetapi Tiong Gi Cinjin memegang lengannya dan
ditariknya bangkit sambil berkata. "Duduklah di bangku, Hui Lan, aku ingin
bicara." Hui Lan bangkit dari duduk. Gadis ini memiliki kecantikan yang lembut. Wajahnya
bulat dan cemerlang seperti bulan purnama, gerak-geriknya lembut dan tegas.
Wataknya pendiam, matanya lembut namun tajam. Kulitnya putih mulus dan
tubuhnya ramping. Pakaiannya sederhana namun bersih. Dengan gerakan lembut
dan sopan ia lalu duduk berhadapan dengan gurunya, siap mendengarkan yang akan
dibicarakan gurunya. Ia rasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap
gurunya. "Hui Lan, tahukah engkau sudah berapa lamanya engkau ikut deng diriku
mempelajari ilmu di sini?"
"Suhu, yang selalu mencatat hal itu adalah Ibu, dan ketika teecu baru pulang
setahun yang lalu, Ibu mengatakan bahwa teecu sudah sembilan tahun belajar ilmu
di sini. Maka, teecu kira sekarang teecu sudah sepuluh tahun belalajar di sini."
Tiong Gi Cinjin mengangguk-anggukan kepalanya dan tersenyum. "Ibu betul, Hui
Lan. Sudah sepuluh tahun engkau belajar ilmu. Usiamu sekarang sudah sembilan
belas tahun. Engkau bukan anak-kanak lagi, sudah dewasa dan kukira sekarang
sudah tiba saatnya bagimu untuk memanfaatkan semua ilmu yang telah kau pelajari
dengan tekun dan penuh semangat. Nah, berkemaslah, Hui Lan. Engkau boleh
meninggalkan bukit ini dan sekali ini, aku tidak mengantarmu pulang ke Nan-king
karena aku sendiri akan merantau setelah selama sepuluh tahun berdiam di sini.
Pergunakanlah semua Ilmu itu sebaik-baiknya seperti yang telah berulang-ulang
aku nasihatkan kepadamu."
Terharu juga hati gadis itu mendengar bahwa ia harus berpisah dari gurunya yang
disayangnya seperti kepada ayahnya sendiri.
"Suhu sekarang sudah semakin tua. Teecu anjurkan agar Suhu sudi tinggal saja
bersama kami sekeluarga sehingga teecu dapat melayani Suhu."
Tiong Gi Cinjin tersenyum lebar, sinar matanya membayangkan kesukaan hatinya
mendengar ucapan muridnya itu. "Terima kasih, Hui Lan. Akan tetapi, sudah jenuh
aku tinggal mengeram diri dalam rumah. Aku ingin bebas lepas seperti burung di
udara, ingin merantau ke manapun hati dan kaki membawaku. Kalau sudah kenyang
berkelana, mungkin aku akan mengunjungi rumah orang tuamu. Sampaikan saja
salamku kepada ayah bundamu."
"Kalau begitu, Suhu, perkenankan teecu menghaturkan terima kasih atas semua
budi kebaikan Suhu yang telah Suhu limpahkan kepada teecu selama ini!" Hui Lan
menjatuhkan diri berlutut .dan memberi hormat kepada gjrunya. Tiong Gi Cinjin
membiarkan muridnya memberi hormat menyatakan terima kasihnya. Kemudian dia
berkata lembut. " "Hui Lan, sekarang berkemas dan berangkatlah. Ceng-hwa-kiam (Pedang Bunga
Hijau) itu kuberikan padamu. Pergunakanlah sebaik mungkin."
Hui Lan memasuki pondok berkemas, membawa pedang milik suhunya yang biasa ia
pakai berlatih silat pedang. Ketika ia keluar lagi, gurunya sudah tidak ada.
"Suhu.........!" Ia memanggil dan dari jauh di bawah puncak terdengar jawaban
suara gurunya. "Hui Lan, pulanglah ke Nan-king!" Selamat berpisah, muridku yang baik!"
Hui Lan terharu dan sambil mengerahkan tenaga khikang ia berseru ke arah
datangnya suara gurunya itu. "Suhu, harap menjaga diri Suhu baik-baik!"
Setelah merenung sejenak, memandangi sekeliling puncak yang telah menjadi
tempat tinggalnya selama sepuluh tahun, Hui Lan lalu turun bukit itu, hendak
melakukan perjalanan kembali ke rumah orang tuanya di Nan-king.
Biasanya, setiap satu dua tahun sekali, kalau ia pergi ke Nan-king menjenguk
orang tuanya, ia selalu ditemani gurunya dan selama itu, ia tidak pernah menemui
halangan atau gangguan apa pun dalam perjalanan. Akan tetapi sekali ini lain. Ia
melakukan perjalanan seorang diri dan pada jaman itu, seorang wanita, apalagi
kalau dia seorang gadis muda dan cantik pula, melakukan perjalanan seorang diri
mengandung ancaman bahaya besar. Seorang wanita seorang diri tentu akan di ncar
para perampok, dan gadis muda yang cantik tentu membangkitkan nafsu jahat
seorang laki-laki mata keranjang.
Tentu saja Hui Lan sama sekali tidak merasa gentar. Ia bukan seorang gadis yang
lemah dan pendidikan yang diterimanya selama sepuluh tahun oleh Tiong Cinjin
membuat ia menjadi seorang gadis perkasa yang tidak takut menghadapi ancaman
apa pun dan dari siapa pun juga.
Setelah turun dari bukit itu, ia m lakukan perjalanan menyusuri Sung Yangce
menuju ke timur. Selama dala perjalanan ini, ia tidak mengalami ganguan walaupun
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap bertemu orang- orang, terutama para pria, ia tentu men jadi pusat perhatian.
Agaknya sikapnya yang pendiam, garis mulutnya yang keras dan matanya yang lurus
memandang ke depan tidak pernah lirak-lirik ke sana sini, terutama sekali karena
ada pedang tergantung di punggungnya, membuat orang-orang tidak berani
bersikap sembarangan untuk menggoda Hui Lan.
Seperti pada tahun-tahun yang lalu kalau ia melakukan perjalanan ke Nanking
bersama suhunya, sore itu Hui Lan juga berhenti di kota Kiang-jung untuk
melewatkan malam. Ia pun menyewa sebuah kamar di rumah penginapan Lokan
yang sudah menjadi langganannya. Tahun lalu bersama gurunya ia pun bermalam di
rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Ia memperoleh kamar di loteng.
Pelayan yang sudah mengenalnya segera menyambutnya dan laki-laki setengah tua
yang pandai bersikap manis terhadap para tamunya, segera melayaninya dengan
ramah. Setelah mandi dan bertukar pakaian, Hui Lan turun dari loteng dan memasuki rumah
makan yang berada di lantai bawah dan di depan. Pelayan rumah makan yang juga
sudah mengenalnya, segera mempersilakan gadis itu duduk di meja yang masih
kosong. Ketika Hui Lan menanti datangnya makanan yang dipesannya, seorang laki-
laki berusia sekitar empat puluh tahun menghampirinya dan membungkuk dengan
hormat sambil menegur dengan ramah.
"Selamat datang, Nona. Apakah Nona sekali ini tidak bersama Lo-cian-pwe Tiong Gi
Cinjin" Biasanya, Nona datang bersama guru Nona, mengapa sekarang Nona datang
sendiri saja?" Ong Hui Lan memandang laki-laki itu dan alisnya berkerut. Laki-laki setertgal
tua itu bermuka seperti tikus, matanya yang sipit itu saling berpisah jauh
sehingga dia tampak licik sekali. Baru melihat mukanya itu saja, Hui Lan mempunyai perasaan
tidak suka kepada orang ini. Wajah seorang penjilat yang licik dari curang,
pikirnya. Akan tetapi karena orang itu bersikap hormat, ia menjawa juga.
"Aku datang sendiri. Engkau siapa?"
"Aih, Nona agaknya lupa kepada saya. Saya A Gun, pengurus rumah penginapai
merangkap rumah makan Lok-an ini Nona dan guru Nona adalah langganan kami
yang baik." Pelayan yang menyiapkan makanan yang dipesan Hui Lan, datang menghidangkan
makanan itu di atas meja. Melihat itu, A Gun berseru, "Ah, kenapa engkau hanya
menghidangkan minuman biasa" Tunggu, Nona, kami harus menghormati Nona
sebagai langganan kami yang baik. Akan saya ambilkan minuman anggur simpanan
kami!" Setelah berkata demi kian, A Gun pergi dengan langkah cepat sehingga Hui
Lan tidak keburu mencegah atau menolak.
Gadis itu mulai makan nasi dan lauk yang dipesannya. Selagi ia makan, pengurus
muka tikus itu datang lagi membawa sebuah guci kecil dan dua cawan kosong.
"Nona, ijinkan saya atas nama perusahaan kami menyuiangi Nona sebagai
fK'nghormatan dan selamat datang!" Dia menuangkan anggur yang berbau harum
ke dalam dua buah cawan itu dan menyerahkan secawan minuman itu kepada Hui
Lan dengan sikap hormat. Karena orang bersikap hormat, Hui Lan merasa tidak enak untuk menolak. Ia
menerima cawan itu dan berkata, "Terima kasih. Aku menerima penghormatan
secawan minuman ini, akan tetapi selelah kuminum, harap tinggalkan aku dan
jangan menggangguku lagi!"
"Ah, baik, Nona. Silakan minum dan maafkan saya!" A Gun mengangkat cawannya dan
mengajak gadis itu minum. Agar orang itu tidak mengganggu lag Hui Lan juga
minum anggur manis dari cawannya. Minuman itu tidak terlalu keras dan selain
berbau harum, juga manis. Setelah minum, ia mengembalikan cawan itu kepada A
Gun. "Terima kasih, Nona baik sekali! kata A Gun sambil membawa pergi guci arak dan
dua buah cawan itu. Hui Lan melanjutkan makannya, kemudian ia membayar harga makanan da setelah
membersihkan mulutnya, ia langsung duduk bersila di atas pembaringan Dua jam
kemudian gadis itu sudah tidur pulas.
Gadis perkasa itu walaupun berilmu tinggi namun masih miskin pengalaman. Ia
bahkan tidak curiga ketika malam tadi sehabis makan ia merasa mengantuk dan
lemas sekali. Ia hanya mengira bahwa perjalanan sehari tadi membuat ia merasa
lelah dan perasaan lemas itu mungkin karena perpisahannya dengan gurunya
memang mendatangkan keharuan dan agak merasa kehilangan. Maka ia sama sekali
tidak mencurigai sesuatu.
Lewat tengah malam, keadaan sunyi karena semua orang sudah tidur nyenyak
hingga tidak ada orang mendengar ketika ada sebuah kereta memasuki pekarangan
rumah penginapan Lok-an. Di belakang kereta itu berjalan lima belas orang yang
rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis. Seorang laki-laki tinggi
kurus, demikian kurusnya sehingga mukanya seperti tengkorak, turun dari kereta
itu yang dihentikan oleh saisnya. Seorang laki-laki keluar dari rumah penginapan itu menyambut Si Kurus. Orang itu
adalah A Gun yang menjadi pengurus rumah penginapan berikut rumah makan itu,
yang tadi malam menemui Hui Lan dan memberi minum secawan anggur kepada
gadis itu. A Gun memberi hormat kepada laki-laki kurus Itu.
"Bagaimana, A Gun" Arak dariku sudah diminumnya?" tanya orang itu.
"Sudah, Thaiya (Tuan Besar)............., sudah diminum akan tetapi hanya
secawan saya tidak dapat membujuknya untuk minum lebih."
"Secawan, sudah cukup untuk membuat ia tidur pulas. Hayo bawa kami ke
kamarnya!" Orang itu menoleh dan memberi isarat kepada tiga orang anak buahnya
untuk ikut. Mereka berempat la mengikuti A Gun menuju ke loteng d setelah tiba
di depan kamar Hui Lan, Gun lalu mengeluarkan sebuah kunci dan membuka daun
pintu kamar itu. Lampu dalam kamar itu masih bernyala karena agaknya Hui Lan tid sempat
memadamkannya saking kuatnya kantuk menguasainya semalam. Dengan hati-hati
orang kurus itu masuk kamar di kuti tiga orang anak buahnya yang memegang
sebatang golok terhunus. A Gun sendiri tidak berani masuk, dan mengintai dari
luar pintu dengan hati tegang dan. takut-takut.
Setelah tiba di tepi pembaringan yang kelambunya juga tidak ditutup, mereka
melihat Hui Lan masih tidur nyenyak, tertelentang dengan pakaian dan sepatu
masih lengkap. Agaknya ia tidak sempat pula melepaskan sepatu dan berganti
pakaian ketika akan tidur. Laki-laki kurus itu tersenyum menyeringai dan mencoba untuk
menggoyangkan pundak Hui Lan, sedangkan tiga orang anak buahnya sudah siap
menyerang kalau gadis itu terbangun. Namun, Hui Lan tidak terbangun seolah
berada dalam keadaan pingsan. Ternyata obat bius yang terdapat dalam secawan
arak yang diminumnya semalam amat kuat.
"Aduh cantiknya................"
"Tubuhnya indah..............."
"Kulitnya putih mulus..............."
Laki-laki kurus Itu menoleh dan memandang kepada tiga orang anak buahnya
dengan merah. "Tutup mulut kalian dan jangan bicara atau berbuat kurang ajar
kepada gadis ini. Ia akan kuserahkan kepada Tong Taijin (Pembesar Tong) yang
tentu akan suka menukarnya dengan puluhan tail uang emas!"
Mendengar ini, tiga orang itu terdiam. Mereka pun girang mendengar kemungkinan
menerima hadiah uang perak dari Pembesar Tong yang terkenal royal kalau melihat
gadis cantik. Laki-laki kurus itu adalah seorang kepala perampok berjuluk Sin-to Hui-Houw
(Macan Terbang Golok Sakti) yang terkenal di sekitar daerah kota Kian-jung,
terutama di sepanjang Sungai Yance seberang selatan. Dia memiliki sekit tiga
puluh orang anak buah dan setiap pedagang, baik yang lewat sungai maupun darat,
melewati daerah itu, harus membayar semacam pajak kepadanya kalau tidak ingin
diganggu. Sin-to Hui-houw tidak pernah mendapat tentangan pasukan penjaga
keamanan karena mempunyai hubungan erat dengan pembesar di kota itu. Boleh
dibilang semua pembesar di situ telah menerima "upeti" dari kepala perampok ini.
Selain merampok dan menggar siapa yang tidak mau membayar sumbangan
paksaan atau pajak berupa uang gerombolan ini juga tidak segan-segan mengganggu
wanita-wanita muda. Sin-to Hui-Houw menjadi "pemasok" gadis-gadis mulia dan
cantik bagi para pembesar yang memiliki kesenangan menambah isi "harta" mereka.
Maka, tidaklah mengherankan apabila kehadiran Ong Hui Lan di kota Kiang-jung
menarik perhatian kepala perampok itu. Akan tetapi ketika melihat bahwa gadis
itu yang setiap tahun datang kesitu ditemani Tiong Gi Cinjin, kepala perampok
itu menjadi jerih. Dia sudah mendengar akan kesaktian Tiong Gi Cin-Jin, maka biarpun
Pembesar Tong yang perrnah melihat Hui Lan dan tergila-gila menyuruh dia
mendapatkan gadis itu untuknya,'kepala perampok kurus itu belum juga berani
mengganggu Hui Lan. Akan tetapi diam-diam dia memesan kepada A Gun, pengurus
rumah penginapan Lok-an yang juga menjadi kaki tangannya untuk memberitahu
apabila gadis itu muncul di hotelnya.
Demikianlah, ketika mendengar laporan A Gun bahwa Hui Lan datang dan sekali ini
datang seorang diri, cepat kepala perampok itu memberinya sebuah guci arak
berisi anggur yang sudah di campuri obat bius kuat, untuk mengusahakan agar Hui
Lan dapat terbius Sin-to Hui-houw memang memiliki seorang guru yang ahli racun dan
ilmu silatnya cukup tinggi.
Merasa yakin bahwa Hui Lan benar benar terbius dan seperti orang pingsan! Si
Colok Sakti itu mengeluarkan tali hitam terbuat dari sutera yang amal kuat, lalu
mengikat kedua pergelangan tangan dan kaki gadis itu. Kemudian dua orang anak
buahnya mengangkat tubuh Hui Lan yang pingsan, dibawa keluar dani dimasukkan ke dalam
kereta. Kepala perampok itu masuk pula ke dalam kereta yang lalu dijalankan oleh
kusir ke eta dan di belakang kereta berjalan lima belas orang anak buah perampok
untuk mengawal kereta. Peristiwa itu berlangsung cepat dan tak seorang pun tamu
hotel itu tahu, bahkan ketika kereta itu berjalan keluar kota, tidak menarik
perhatian. Apalagi pada saat it semua penghuni kota Kiang-jung sudah tidur.
Obat bius yang membuat Hui Lan tertidur pulas itu memang kuat sekali. sampai
pagi Hui Lan belum juga terbangun dari tidurnya yang tidak wajar.
Sementara itu, Sin-to Hui-kouw menahan kereta itu di depan pondoknya di lengah
hutan di tepi sungai dan segera mengirimutusan kepada Pembesar Tong yang
bertempat tinggal di kota Hun-Iam, sebelah timur kota Kiang-jung di mana dia
bekerja sebagai seorang kepala keamanan. Markas pasukannya berada di Kiang-
jung, akan tetapi dia sendiri tinggal di Hun-lam, di mana dia memiliki sebuah
gedung indah yang juga menjadi tempat peristirahatan atau tempat bersenang-
senang karena isteri dan anak-anaknya tetap tinggal di sebuah rumahnya yang merangkap
kantornya di kota Kiang-jung. Di Hun-lam inilah Tong Tai-jin menyimpan selir-
selirnya di mana dia sering mengadakan pesta pora bersama teman-temannya yang
sebagian besar merupakan rekan-rekannya atau sahabatnya, baik dari kalangan para
hartawan atau pun para tokoh persilatan yang mendukungnya. Hidupnya seperti
seorang raja saja dan memang pada waktu itu, setiap pembesar daerah yang
berkuasa, merupakan raja kecil yang memiliki pemerintahan dan hukum sendiri,
bahkan memiliki pasukan sendiri yang mendukungnya dan melaksanakan "hukum"
yang diadakan untuk membela kepentingannya
Mendengar berita bahwa Si Golok Sakti telahberhasil menawan Ong Hui Lan, gadis
yang membuatnya tergila-gila itu, Pembesar Tong menjadi girang bukan main. Dia
sudah melakukan penyelidikan tentang Ong Hui Lan dan menyuruh orang
membayangi ketika tahun lalu gadis itu pergi ke Nan-king. Dia tahu bahwa gadis
itu adalah puteri dari Ong Su, bangsawan Kerajaan Chou, bekas Kepala Kebudayaan
Pemerintah Chou yang telah jatuh. Maka dia semakin berbesar hati. Tentu mudah
saja menghadapi Keluarga Ong itu kalau mereka berani menentangnya. Mereka itu
dapat ia tuduh sebagai kaki tangan Kerajaan Chou yang sudah jatuh, yang menjadi
pemberontak! Kalau sampai sekarang Tong Taijin belum bisa mendapatkan gadis itu
adalah karena semua jagoannya mundur teratur ketika melihat Tiong Cinjin bersama
gadis itu. Akan tetapi sekarang gadis itu sendirian dan sudah tertawan oleh Si
Golok Sakti yang kini mempersilakan dia datang sendiri untuk menjemput
kekasihnya yang baru itu. Bagaikan seekor srigala mencium darah dari daging yang lunak, Tong
Koo, yaitu nama Pembesar Tong, menjilati bibirnya sendiri.. Kemudian dia lalu
mengumpulk lima belas orang perajurit pengawal dan mengajak jagoan-jagoan
andalannya, yaitu tiga orang yang dikenal sebagai Sun Hen-te (Tiga kakak beradik
Sun) yang merupakan tiga orang laki-laki gagah berusia antara tiga puluh sampai
empat puluh tahun dan terkenal memiliki ilmu pedang yang amat tangguh.
Sebetulnya mereka ini bukan penjahat dan pernah menjadi murid-murid Thian-san-
pai. Mereka menjadi pengawal-pengawal bayaran dari Tong Koo karena pembesar
itu memberi mereka upah yang tinggi dan selalu royal dengan hadiah-hadiah.
Bahkan mereka bertiga mendapatkan hadiah sebuah rumah yang cukup besar dan
mewah. Demikianlah, pagi itu Pembesar Tong dikawal oleh lima belas orang perajurit
dipimpin tiga Sun Heng-te naik kereta menuju ke hutan di mana Sin-to Hui-Houw
menanti dengan tawanannya yang masih rebah pulas di dalam keretanya.
Pada saat itu, jauh di udara, burung rajawali yang ditunggangi Sin Han L in
melayang dan mengikuti rombongan Pembesar Tong itu.
Seperti kita ketahui, Han Lin dan rajawali itu meninggalkan Thai-san. Karena
pemuda itu ingin menggunakan kesempatan itu untuk berlalang-buana sebelum
kembali ke Puncak Cemara di Cin-ling-san, maka dia menyuruh rajawali itu mengambil jalan
memutar ke selatan. Mula-mula dia tertarik melihat rombongan kereta yang dikawal pasukan kecil yang
melihat pakaiannya adalah para perajurit kerajaan. Akan tetapi tiga orang yang
berpakaian preman dan duduk dengan tegak dan gagah di atas kuda masing-masing,
jelas bukan perajurit. Han Lin tertarik sekali dan dia menyuruh Rajawali
membayangi dari atas. Ketika rombongan memasuki hutan di tepi sungai Yang-ce,
sebuah hutan yang lebat Han Lin menyuruh rajawali terbang rendah dan tetap membayangi
mereka dari pohon ke pohon.
Sementara itu, rombongan Tong Tai jin kini telah tiba di depan pondok, disambut
dengan muka tersenyum-senyum oleh Sin-to Hui-houw.
"Kiong-hi (selamat), Taijin! Taijin akan mendapatkan apa yang telah lama Taijin
idam-idamkan!" kata Sin-to H houw.
"Bagus, mana gadis itu?" tanya Tong Taijin yang berperut gendut dan bermuka
bopeng (burik cacar). "la masih tidur pulas dalam kereta saya, Taijin. Boleh Taijin ambil dan
pindahkan ke kereta Taijin sekarang."
"Apa........... apa ia tidak berbahaya" Bukankah katamu ia murid seorang datuk
yang lihai?" "Jangan khawatir, Taijin. Sekarang ia telah terbius dan apabila ia sadar, kaki
tangannya terbelenggu kuat. la tidak akan mampu melawan dan tidak berdaya lagi."
kata Sin-to Hui-houw sambil tertawa. "Mari lihatlah sendiri, Taijin."
Tong Koo, pembesar gendut bopeng itu, mengikuti kepala perampok menghampiri
kereta di mana Hui Lan rebah tak berdaya. Setelah tirai kereta disingkap dan
melihat gadis itu telentang dan tidur pulas, air liur memenuhi mulut Tong
Taijin. Dia menoleh kepada tiga saudara Sun Hengte yang mengikutinya Untuk menjaga
keselamatan majikan itu. "Angkat ia ke keretaku!" katanya.
Tiga orang Saudara Sun itu bukanlah orang-orang jahat. Mereka hanya beringas
mengawal dan menjaga keselamatan Tong Koo dan mereka belum pernah
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kegagahan mereka. Murid-murid
Thian-san-pai ini menjadi pengawal Tong Koo hanya karena tertarik akan upah dan
hadiah yang banyak. Maka mendengar majikan mereka menyuruh mengangkat
seorang gadis yang agaknya pingsan itu dan memindahkannya ke kereta majikan
mereka, ketiganya saling pandang dengan ragu. Akan tetapi karena memindahk
seorang gadis pingsan bukan perbuat jahat, mereka akhirnya melakukannya. Dua
orang dari mereka menggotong tubuh Hui Lan ke kereta Tong Taijin.
Dari puncak sebatang pohon besar Han Lin melihat dan mendengar apa yang terjadi
di bawah itu. Dia mengerutkan alisnya dan biarpun dia belum memiliki banyak
pengalaman dan tidak pernah melihat kejahatan macam itu, namun nalurinya
mengisaratkan kepadanya bahwa tentu terjadi hal yang tidak beres di bawah itu
dan bahwa gadis yang kelihatan pingsan atau tidur dan sedang dipindahkan itu
agaknya membutuhkan pertolongan. Akan tetapi karena orang-orang yang berada di bawah itu belum melakuka sesuatu
yang jahat dan dia belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi, siapa berada di
pihak benar ataupun salah maka Han Lin menahan diri dan hanya menonton dengan
penuh kewaspadaan. Sementara itu, hawa racun pembius itu mulai menguap dan meninggalkan Hui Lan.
Ia mulai sadar dan sejenak ia bingung. Akan tetapi gadis yang cerdik ini segera
teringat bahwa semalam ia minum anggur lalu terserang rasa kantuk, kini tahu-
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu ia digotong orang dalam keadaan kaki tangan terbelenggu. Maka tabulah ia
bahwa ia menjadi korban kejahatan. Melihat banyaknya orang disekitar tempat itu, Hui
Lan berhati-hati dan pura-pura masih pingsan. Ia membuka sedikit matanya dan
mengamati mereka yang dekat dengannya. Dilihatnya bahwa pedangnya kini
tergantung di pinggang seorang laki-laki tinggi kurus yang mempunyai golok
tergantung di punggung, itu orang inilah yang menangkapnya selagi ia tidur dan
merampas pedangnya. Pada saat itu, seorang laki-laki gendut muka bopeng berusia
sekitar lima puluh tahun mendekatinya, lalu meraba pipinya dan berkata.
"Ha, engkau akan menjadi selirku terbaru dan tersayang, Manis............!"
Hui Lan tidak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi. Akan tetapi ia cerdik
dan memaklumi bahwa ia terjatuh ke tangan orang-orang jahat yang mempunyai anak
buah puluhan orang dan agaknya di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu
silat tangguh. Maka ia tid ak mau sembarangan mengeluarkan kata kata. Ia harus
memperhitungkan keadaannya. Ketika dua orang yang menggotongnya itu, yang
agaknya memiliki tenaga kuat, memasukkan dan meletakkan tubuhnya dalam kereta
kemudian Si Gendut Muka Bopeng itu juga masuk dan duduk di dekat tempat ia
direbahkan telentang, mulailah Hui Lan menghimpun tenaga saktinya, perlahan-
lahan membiarkan tenaga saktinya bergerak menyusup ke seluruh tubuhnya,
kemudian mengumpulkannya ke dalam kedua pergelangan tangan dan kakinya.
Pada saat itu, agaknya Tong Koci pembesar gendut bopeng itu melihat ia mulai
bergerak. Pembesar Tong membungkuk dan mendekatkan mukanya pada muka Hui
Lan, hendak menciumnya dari berkata.
"Manisku, engkau sudah sadar" Mari ikut aku pulang dan bersenang-
senang............" Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan suara pekik melengking yang amat nyaring dan
belenggu kaki tangannya putus! Tangannya mendorong dan Tong Koo berteriak
karena tubuhnya terlempar keluar dari tandu lalu terbanting jatuh ke atas tanah.
Hanya terdengar bunyi "ngekkk!" dan pembesar itu tak bergerak lagi karena jatuh
pingsan! Tentu saja keadaan di situ menjadi gempar! Orang-orang tidak tahu apa yang telah
terjadi dan mengapa tahu-tahu Pembesar Tong itu terlempar keluar dari Kereta.
Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan keluar dari kereta dan bayangan
itu bukan lain adalah Hui Lan. Begitu keluar dari kereta, gadis perkasa ini
langsung saja melompat dan menerjang ke arah Sin-to Hui-houw, tangan kirinya
dengan dua jari meluncur ke arah pasang mata kepala perampok tinggi kurus itu. Gerakan Hui Lan
amat cepat dan tidak terduga sehingga Sin-to Hui-Houw yang banyak pengalaman
itu pun terkejut bukan main dan cepat menarik tubuhnya kebelakang dan kedua
tangannya bergerak melindungi matanya yang terancam buta! Akan tetapi pada saa
itu, tangan Hui Lan telah bergerak cepat ke arah pinggang kepala perampok itu
dan tahu-tahu pedang Ceng-hwa-kiam milik gadis itu yang tadi dirampas oleh Sin-
to Hui-houw kini telah kembali tangan Hui Lan!
"Keparat! Tangkap gadis liar ini!" Sin to Hui-houw berseru sambil mencabut
goloknya. Lima belas orang anak buahnya juga mencabut golok dan mengepung Hui
Lan. Bahkan juga lima belas orang per jurit pengawal Pembesar Tong sudah
mencabut pedang dan ikut pula mengepung. Mereka marah melihat majikan atau
atasan mereka dilempar keluar kereta. Hanya tiga bersaudara Sun Hente saja yang
berdiri diam dan ragu. Ketika diangkat menjadi pengawal Tong Taijin, mereka
sudah mengatakan kepada majikan mereka itu bahwa mereka tidak maudiperintah
melakukan kejahatan dan pekerjaan mereka hanyalah melindungi Pembesar Tong.
Tadi mereka terpaksa tidak dapat mencegah majikan mereka dilempar keluar karena
hal itu sungguh terjadi tanpa ada yang menyangkanya, tadi, begitu melihat Tong
Taijin terlempar keluar, mereka bertiga cepat Menghampiri dan memeriksa.
Ternyata Tong Taijin tidak menderita luka parah, Hanya terkejut dan terbanting
sehingga jatuh pingsan. Mereka mengangkat tubuh pembesar itu dan
merebahkannya di dalam kereta, dan kini mereka bertiga lalunya menonton karena
sebagai murid-murid Thian-san-pai mereka merasa malu kalau harus mengeroyok
seorang gadis remaja bersama lima belas orang anggauta perampok yang dipimpin
Sin-to Hui-houw yang lihai, ditambah pula dengan lima belas orang perajurit
pengawal pembesar kerajaan!
Sementara itu, Hui Lan berdiri tegak, alisnya berkerut, mulutnya membayangkan
kemarahan, sepasang mata yang Indah Itu mencorong, dan pedangnya telah
dihunus dan melintang depan dada, mengkilat kehijauan.
"Gadis Liar, menyerahlah engkau sebelum kami menggunakan kekerasan!" bentak Sin-
to Hui-houw dengan na kemenangan karena dia telah mengepu gadis itu dengan
tiga puluh orang anak buahnya dan perajurit.
"Manusia-manusia busuk, penge hinai" Kalian menangkap aku dengan cara yang
curang dan kotor, menggunakan pembius! Hai, manusia-manusia rendah budi,
sebelum aku memberi hajaran ke kepada kalian, katakan, mengapa kali melakukan
kejahatan ini kepadaku!"
Pertanyaan ini tidak ada yang menjawabnya karena Sin-to Hui-houw sendiri tidak
mempunyai alasan yang kuat. Dia melakukan penangkapan atas diri Hui Lan hanya
atas perintah Tong pembesar yang mata keranjang dan yang tergila-gila kepada
gadis itu. Keadaan menjadi sunyi karena pertanyaan gadis itu tidak terjawab.
Sin-to Hui-houw yang melihat tiga orang Sun Heng-te diam saja, bahkan tidak mau
ikut mengepung padahal mereka adalah pengawal-pengawal Tong Taijin, segera berseru.
"Sam-wi Sun Heng-te, kenapa kalian diam saja" Jawablah pertanyaan gadis ini,
mewakili Tong Taijin!"
Seorang di antara tiga bersaudara itu, yang tertua, menggelengkan kepala dan
mennjawab lirih. "Kami juga tidak tahu karena kami hanya menjadi pengawal, tidak
tahu betul akan urusan Tong Taijin ngan kalian atau dengan Nona ini."
Tiba-tiba Tong Taijin yang gendut itu Menjulurkan kepalanya keluar dari kereta.
"Sun Heng-te, kenapa kalian diam saja" Tangkap gadis itu! la adalah seorang
mata-mata pemberontak! Ketahuilah kalian semua bahwa ia adalah Ong Hui Lian, puteri dari
Ong Su bekas Kepala kebudayaan Kerajaan Chou dan masih anggauta keluarga
istana Chou. Nah, gadis ini sebagai keturunan keluarga Kerajaan Chou tentu
menjadi mata-mata sisa orang-orang Chou yang memberontak!Karena itulah aku
menangkapnya!" Dia berhenti sebentar untuk menenangkan pernapasannya yang
terengah-engah. "Hayo kalian semua bergerak, tangkap mata-mata itu, hidup atau
mati!" Mendengar ini, semua orang bergerak menyerang Hui Lan yang berada dalam
kepungan. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebatan, didahului si
pedang yang hijau bergulung-gulung dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan
senjata para pengeroyok beterbangan beberapa orang pengeroyok roboh dengan
lengan terluka goresan pedang atau roboh terkena tamparan tangan kiri atau
tendangan kedua kaki mungil Hui Lan Kehebatan gerakan gadis ini sungguh
mengejutkan semua orang. Dalam waktu singkat saja sepuluh orang di antara tiga
puluh orang anak buah yang mengeroyok itu telah roboh! Sisanya menjadi jera dan
menjaga jarak. Kini tiga orang kakak beradik Sung Heng-te setelah mendengar ucapan Tong Taijin
lalu mencabut pedang dan maju menghadapi Hui Lan Sin-to Hui-houw juga
menggunakan goloknya menyerang sehingga Hui Lan kini dikeroyok empat orang
yang memiliki ilmu silat cukup tangguh. Akan tetapi para anak buah kini hanya
mengepung dari jauh dan merasa jerih untuk ikut maju menyerang setelah sepuluh
orang rekan mereka roboh.
Han Lin yang mengintai dari puncak pohon bersama rajawalinya, kagum bukan main.
Kini dia tahu bahwa gadis itu ditangkap dengan obat bius dan dituduh menjadi
mata-mata, kini dikeroyok. Akan tetapi gadis itu lihai sekali sehingga Han Lin
menjadi kagum dan tahu bahwa dia harus membantu dan melindungi gadis Itu. Mudah
diketahui siapa yang jahat dalam peristiwa itu. Puluhan orang laki-laki
mengeroyok seorang gadis! Hal ini saja sudah memudahkan Han Lin siapa yang harus
dibelanya. Akan tetapi melihat sepak terjang gadis itu, dia hanya menonton dengan kagum dan
bersiap untuk menolong kalau gadis itu terancam bahaya.
Perkelahian itu memang seru dan hebat sekali. Kini Hui Lan menghadapi lawan-
lawan yang cukup tangguh. Empat orang pengeroyoknya tidak dapat disamakan
dengan puluhan anak buah yang tadi mengeroyoknya. Ilmu pedang tiga orang
bersaudara Sun Heng-te amat lihai, karena Thian-san-pai memang terkenal dengan
ilmu pedangnya. Adapun Sin-to Hui houw tentu saja ahli bermain golok sehingga
dia mendapat julukan Si Golok Sakti (Sin-to).
Gadis itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat. Ini pun tidak aneh Ong Hui
Lan adalah murid tunggal dari Tiong Gi Cinjin yang berjuluk Tu Kiam-ong (Raja
Pedang dari Timur) dan sudah mewarisi ilmu pedang dengan baik ditambah lagi ia bersilat
dengan Ceng hwa-kiam yang bersinar hijau. Tubuhnya berubah menjadi bayangan
yang dilindungi gulungan sinar hijau sebagai perisai. Bukan saja ia mampu
menghalau empat senjata lawan dengan sambaran sinar hijau yang menangkis,
bahkan ia pun mampu membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Berulang-ulang terdengar bunyi berdentang dan tampak bunga api berpijar ketika
sinar hijau itu bertemu dengan senjata empat orang pengeroyok.
Han Lin yang menonton dari atas pohon, harus mengakui bahwa ilmu pedang gadis
itu sudah mencapai tingkat yang tinggi dan permainan pedangnya sungguh indah,
mengandung kelembutan, namun memiliki daya tahan yang amat kuat. Karena
melihat betapa gadis itu dapat mengimbangi pengeroyokan empat orong itu, Han
Lin tidak mau turun tangan membantu.
Tiba-tiba terdengar Sin-to Hul-houw berseru nyaring.
"Suhu...........! Bantulah aku...........!!"
Akan tetapi tidak terdengar jawaban. Si Golok Sakti berseru mengulangi
perkataannya sampai tiga kali, barulah terdengar jawaban dari dalam pondok.
"Murid tolol! Bersama tiga orang mengeroyok seorang gadis muda masih tidak
mampu mengalahkannya, betapa memalukan!" Suara itu terdengar parau dan dari
dalam pondok muncul ah seorang kakek yang usianya sekitar tujuh puluh tahun,
mukanya penuh keriput dan tubuhnya kurus sekali, pakaiannya serba hitam dan dia
memegang sebatang tongkat hitam yang mirip Ular.
Begitu tiba di depan pondok dia langsung saja menyerang Hui Lan yang sudah
dikeroyok empat orang itu dengan tongkat ularnya. Dari atas Han Lin melihat
betapa serangan kakek bongkok ini dahsy sekali. Walaupun tubuhnya kurus dan bon
kok, namun ketika menyerang, gerakann mengandung tenaga dahsyat dan dari ujung
tongkat ularnya itu tampak sinar menghitam. Han Lin terkejut, apalagi melihat
gadis itu melompat ke belakang dengan kaget dan segera terdesak oleh empat orang
yang mengeroyoknya. Baru satu kali serangan saja kakek itu telah dapat membuat Hui
Lan terkejut mundur dan didesak para pengeroyoknya. Han Lin maklum bahwa kini
keadaaan gadis itu terancam bahaya, maka dia pun segera melayang turun di kuti
rajawali yang mengeluarkan pekik dahsyat.
Semua orang yang berada di bawah terkejut. Pada saat itu, Hui Lan terdesak dan
kakek kurus bongkok yang lihai itu, yang bukan lain adalah guru Sin-to Hui-houw
berjuluk Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) sudah mendorongkan tangan kirinya
ke arah Hui Lan yang sedang memutar pedang melindungi dirinya dari sambaran
empat batang senjata pengeroyoknya. Uap hitam menyambar keluar dari telapak tangan
kiri kakek itu. "Syuuttt........... blarrr......... !" Uap hitam terdorong dan terpental kembali
ke tangan Ban tok Mo-ko yang menjadi terkejut sekali sekali dan dia sudah
melompat ke belakang dan mengeluarkan seruan melengking.
"Tahan semua............ !!" Seruannya membuat muridnya, Sin-to Hui-houw, dan
tiga Sun Heng-te menahan senjata mereka dan berlompatan ke belakang dekat kain
bongkok itu. Hui Lan memandang kepada pemuda yang berdiri di dekatnya. Alisnya berperut. Ia
tahu bahwa pemuda yang tidak dikenalnya itu telah membantunya dan hal ini
membuat ia tidak senang. Ia tidak membutuhkan bantuan dan merasa masih
sanggup melawan semua pengeroyoknyal Mendengar kelepak sayap burung, semua
orang memandang ke atas dan burung rajawali itu kini menyambar turun dan
hinggap di atas cabang pohon yang tumbuh dekat tempat Han Lin berdiri.
Kini Ban-to Mo-ko sambil menatap tajam wajah pemuda itu, berkata, "Ho-ho, bocah
lancang! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami" Dia mengangkat
tongkat ularnya dan menudingkan tongkat ke muka Han Lin "Apakah engkau sudah
bosan hidup, berani menentang aku Ban-tok Mo-ko?"
Han Lin pernah mendengar nama ini sebut gurunya sebagai seorang di antara datuk-
datuk sesat. "Lo-cian-pwe," katanya hormat. "Saya tidak ingin menentang siapa
pun tanpa sebab. Akan tetapi tadi saya melihat Nona ini dikeroyok puluhan orang
laki-laki gagah, kemudian malah Lo-cian pwe sebagai seorang datuk ikut
mengeroyok. Hal ini sungguh berlawanan dengan keadilan di dunia persilatan, maka terpaksa
saya datang untuk melerai menghentikan pengeroyokan yang tidak adil dan curang
ini." Mendengar ini, Ban-tok Mo-ko tampak malu dan rikuh sekali sehingga dia tidak
dapat segera menjawab, hanya berani ah-uh-uh saja seperti orang bingung.
"Heh, orang muda*" tiba-tiba terdengar suara dari dalam kereta. Tong Koo yang
bicara dengan keren. "Engkau gegabah, berani mencampuri urusan negara!
Ketahuilah, gadis ini adalah seorang mata-mata pemberontak, ia keturunan
keluarga Kerajaan Chou. Maka kami hendak menangkapnya. Kalau engkau membelanya,
berarti engkau ingin menjadi pemberontak pula!"
Diam-diam Han Lin terkejut. Kalau benar apa yang dikatakan orang gendut muka
bopeng yang melihat pakaiannya seperti seorang pembesar itu, keadaannya menjadi
gawat! Satu di antara nasihat-nasihat gurunya adalah bahwa dia sebaiknya tidak
membantu para pemberontak yang hanya menimbulkan kekacauan dan perang
yang akibatnya pasti menyengsarakan rakyat yang tidak tahu-menahu tentang
perebutan kekuasaan antara orang-orang yang haus akan kedudukan dan
kekuasaan. "Maaf, Nona. Benarkah engkau seorang pemberontak?" Han Lin memandang gadis itu
dan bertanya . Hui Lan cemberut. "Jahanam gendut bopeng itu bicara bohong! Aku memang masih ada
hubungan kekeluargaan dengan para bangsawan Kerajaan Chou, akan tetapi
aku bukan pemberontak dan tidak Ingin memberontak. Kalau memberontak
terhadap jahanam Itu, memang benar. Dia telah menyuruh kaki tangannya
menangkapku dengan obat bius dengan niat kotor dan hina. Orang macam dia
hanya mengotorkan dunia saja patut dihukum. Setelah berkata demikian, dengan
gerakan cepat sekali seperti seekor bur ung tubuhnya sudah melompat dan
meluncur ke arah kereta. Empat orang perajurlt yang berada dekat kereta cepat mengangkat pedang
menyambut Hui Lan, akan tetapi begitu sinar hijau berkelebatan, empat orang itu
terpelanting roboh dengan lengan teri dan pedang mereka terlempar.
"Tolonggg.............. tolooonggggg........... " Tong Koo menjerit-jerit sambil
berusaha melarikan diri setelah turun dari kereta akan tetapi sebuah tendangan
membuat dia terjungkal dan ketika sinar hijau pedang di tangan Hui Lan menyambar
pembesar itu berkaok-kaok dengan suara sengau dan menutupi mukanya yang sudah
tidak memiliki bukit hidung. Hidungnya telah dibabat putus oleh pedang Hui Lan
sehingga mengeluarkan banyak darah. Sejak saat itu Si Hidung gelang Tong Koo
harus diubah julukannya menjadi Si Hidung Buntung!
Melihat ini, ributlah para pengawal dan anak buah perampok. Sin-to Hui-houw,
tiga orang Sun Heng-te, dan juga Ban-tok Mo-ko berlompatan hendak menyerang Hui
Lan. Bahkan anak buah mereka yang masih ada sekitar dua puluh orang itu sudah
menggerakkan senjata untuk mengeroyok.
Akan tetapi Han Lin berkata kepada burung rajawali yang bertengger di atas
pohon. "Tiauw-ko, lindungi gadis itu!" Dia sendiri lalu melompat dan berada dekat Hui
Lan. Ketika Ban-tok Mo-ko menyerang dengan tongkat ularnya, Han Lin cepat menangkis
dengan Pek-sim-kian. yang telah dicabutnya.
"Trakkkkk............. !!" Tongkat ular itu terpental dan Ban-tok Mo-ko menjadi
semakin marah. Kini dia menujukan serangan-serangannya kepada Han Lin. Dia bukan
hanya menyerang dengan tongkat, akan tetapi juga dengan pukulan tangan kiri yang
mengandung racun dan tendangan kakinya. Namun, semua serangannya itu dapat
digagalkan oleh Han Lin dengan tangkisan dan elakan. Yang membuat kakek
bongkok itu terkejut adalah ketika dia mendapat kenyataan betapa pemuda itu
berani menangkis tangan beracunnya dengan tangan pula dan agaknya sedikit pun
hawa beracun tangannya tidak mempengaruhi pemuda itu! Bahkon setiap kali
beradu senjata atau tangan dia terdorong ke belakang sampai terhuyung, tanda
bahwa dia kalah banyak dalam kekuatan tenaga sakti.
Melihat gurunya agaknya kewalaha Sin-to Hui-houw segera datang membantunya.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Lin dikeroyok dua, akan tetapi pemuda itu bersikap tenang pengeroyokan itu
sama sekali tidak membuat dia sibuk, bahkan dia masih dapat membagi
perhatiannya untuk mengamati keadaan gadis itu.
Hui Lan kini dikeroyok tiga bersaudara Sun. Tadi, ketika dikeroyok empat orang
saja, ia mampu mengimbangi mereka, maka kini setelah Sin-to Hui-houw
meninggalkannya untuk mengeroyok pemuda itu tentu saja ia yang hanya dikeroyok
tiga orang berada di pihak yang lebih unggul". Ketika dua kelompok perajurit dan
anak buah perampok itu, sebanyak dua puluh orang, mulai maju mengeroyok Hui
Lan, tiba-tiba rajawali itu menyambar dari .atas. Tadi ketika Han Lin menyuruh
rajawali itu melindungi gadis itu, burung itu terbang tinggi dan kini dia
menyambar dan menyerang dua puluh orang yang sudah mengurung dan hendak
[mengeroyok Hui Lan. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan biar mereka berusaha untuk
melawan dan menyerang rajawali yang mengamuk itu, namun usaha mereka sia-sia
belaka karena pedang dan golok mereka terpental dan tubuh mereka
berpelantingan, terkena pukulan sepasang sayap, sepasang cakar dan serangan
paruh burung itu. Mereka menjadi jerih dan tidak berani melawan lagi, bahkan
mereka lalu lari meninggalkan tempat itu.
Pembesar Tong Koo masih merintih-rintih sambil menutupi hidungnya dengan dua
tangan yang sudah berlepotan darah. Tidak ada seorang pun yang melolongnya
karena semua anak buahnya lari ketakutan. Sementara itu, Sin-to Hui-Houw sibuk
sendiri membantu gurunya mengeroyok Han Lin dan mereka berdua juga mulai
bingung karena semua serangan mereka sama sekali tidak pernah meryentuh tubuh
pemuda itu. Tiga orang saudara Sun yang mengeroyok Hui Lan juga terdesak hebat.
Akhirnya, seorang dari mereka terpelanting oleh tendangan kaki kanan Hui Lan,
sedangkan orang kedua terguling dengan luka sabetan ujung pedang di pahanya.
Orang ke tiga terpaksa menjauhkan diri, merasa tidak kuat melawan seorang diri.
Melihat keadaan mereka yang jelas menderita kekalahan, Ban-tok Mo-ko yang licik
maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia sendiri akan sulit untuk dapat menyelamatkan
diri dari pemuda yang amat lihai itu. Maka ketika dia mendapat kesempatan, dia
berseru kepada muridnya. "Mari kita pergi!" Dia melompat belakang di kuti Sin-to Hui-houw. Tiba-tiba
kakek bongkok itu melemparkan sesuatu ke arah Han Lin dan Hui Lan.
"Nona, lari!" seru Han Lin dan cepat dia meluncur dan menyambar lengan Hui Lan,
dibawanya melompat jauh meninggalkan tempat itu.
Terdengar ledakan dan tampak hitam mengebul memenuhi tempat itu sehingga
menjadi gelap dan tercium bau yang amat keras dan busuk. Dari tempat yang agak
jauh pun Hui Lan masih dapat mencium bau busuk itu dan cepat menahan napas
dan semakin menjauh, telah yakin betul bahwa asap itu memang mengandung
racun yang amat jahat, Han Lin lalu menggunakan kedua tangannya untuk
mendorong ke depan Ada angin pukulan yang menyambar ke depan dan meniup
gumpalan asap hita itu. Melihat ini Hui Lan membantunya dengan pukulan jarak
jauh sehingga asap itu membuyar dan tertiup angin pukul dua orang muda perkasa
itu. Kemudia angin datang membantu dari samping dan ternyata burung rajawali itu
pun mengkibas-ngibaskan kedua sayapnya, menimbulkan angin dan gumpalan asap
itu segera tertiup pergi dan membubung ke atas.
Setelah asap hitam beracun yang dilepas Ban-tok Mo-ko melalui bahan peledak itu
menghilang dan tempat itu menjadi terang kembali, Hui Lan dan Han Lin melihat
bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang tadi mengeroyok tinggal. Agaknya
semua orang sudah melarikan diri ketika terdapat tabir asap hitam menutupi
pandangan main tadi. Karena sudah jelas bahwa pihak musuhtidak ada lagi, kini Hui Lan mengalihkan
perhatiannya kepada pemuda yang telah membantunya dan burung rajawali besar
itu. Ia merasa kagum melihat burung itu yang tadi membantunya dengan gagah,
membuat para anak buah yang mengeroyoknya berpelantingan. Juga diam-diam ia
merasa kagum kepada pemuda yang tampan, lembut dan tampak Masa seperti
orang yang tidak memiliki kepandaian silat, namun yang ia tahu memiliki ilmu
yang lihai sekali seringga mampu mengalahkan kakek bongkok kepala perampok tadi.
Setelah kini saling berhadapan dan perhatiannya tidak terbagi, Han Lin mendapat
kenyataan bahwa gadis itu memiliki kecantikan yang lembut, dan sinar matanya
menunjukkan ketegaran hati dan keberanian luar biasa. Han Lin teringat akan
gadis cantik dan lihai yang muncul dalam pertandingan perebutan gelar di Puncak
Thaisan. Dia merasa heran betapa dalam waktu yang tidak lama, berturut-turut dia
bertemu dengan dua orang, gadis muda belia yang demikian lihai. Gadis pertama di
Puncak Thai-san itu pun cantik jelita, lincah jenaka dan agak liar, akan tetapi
ilmu silat juga hebat. Sayang dia tidak tahu si nama gadis itu dan dari aliran
perguruan mana. Kini, dia bertemu lagi dengan seorang gadis muda belia yang
cantik dan juga lihai. Dibandingkan dengan gadis pertama, sikap gadis ini jauh
berbeda. Kalau yang pertama lincah jenaka,liar, gadis ke dua ini pendiam dan
lembut, namun memiliki wibawa yang kuat. Keduanya juga memiliki keberanian mengagumkan. Dia tidak
ingin melihat gadis Ini pergi tanpa berkenalan lebih dulu, maka Han Lin lalu
mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan berkata lembut,
sambil tersenyum ramah. "Maafkan aku, Nona. Setelah kita saling berjumpa dalam keadaan luar biasa ini
dan bersama-sama melawan orang-orang tadi, ingin aku memperkenalkan diri. Namaku
Si Han Lin dan kalau boleh, aku ingin mengenal namamu yang terhormat."
Hui Lan adalah murid Tiong Gi Cin-jin, seorang pertapa penganut Agama Khong-hu-
cu yang mengutamakan sikap susila dan sopan santun, cepat membalas
penghormatan itu. Akan tetapi. suaranya tidak begitu ramah karena ia masih
curiga apakah pemuda ini benar-benar me miliki Iktikad baik karena selama ini
yang ia temui adalah kenyataan betapa sebagian besar laki-laki berniat kurang ajar
terhadap wanita dan kalau ada ya bersikap sopan / lemah lembut, sikap ini pun
hanya merupakan cara mereka untuk merayu!
"Aku tidak ingin berkenalan dan tadi pun aku tidak minta bantuanmu untuk
melawan mereka, maka aku tidak merasa berhutang budi kepadamu. Akan tetapi
karena engkau sudah memperkenalkan nama, kalau engkau ingin mengetahui
namaku, aku adalah Ong Hui Lan."
Han Lin tersenyum. Gadis ini benar-benar bersikap tegas, akan tetapi juga
angkuh! "Terima kasih, Nona Ong. Aku tinggal di Puncak Cemara di Cin-ling-san, dan
engkau tinggal di manakah, Nona?"
Hui Lan mengerutkan alisnya. Baru saja bertemu, sudah bertanya nama dan setelah
diberitahu, kini tanya alamat lagi. Apa sih maunya pemuda ini" Aka tetapi
mendengar pemuda itu tinggal di Puncak Cemara, di Cin-ling-san, ia ter ingat
akan pemberitahuan gurunya bahwa ada seorang sakti bernama Thai Kek Siansu yang
tinggal di sana dan orang sakti itu memiliki sebuah burung rajawali raksasa, la
mengerling ke arah rajawali Itu, lalu menjawab sambil lalu.
"Aku Tinggal di Nan-king."
"Nona Ong, apa yang sesungguhnya terjadi tadi" Mengapa engkau ditawan oleh
mereka dan siapakah mereka itu?"
Sambil mengerutkan alisnya Hui Lan menjawab. "Sudahlah, mau apa sih
bertanyatanya" Aku harus mengejar mereka untuk memberi hajaran keras agar mereka
menjadi jera dan bertaubat untuk melakukan perbuatan curang dan jahat!"
Melihat gadis itu hendak pergi, Han Lin cepat berkata. "Nona Ong, lawan yang
sudah melarikan diri tidak perlu dikejar lagi. Memberi maaf adalah jauh lebih
baik daripada membalas dendam."
Hui Lan yang tadinya sudah memutar tubuh, kini menghadapi lagi pemuda Itu,
alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Kebaikan harus dibalas kebaikan
pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan hukuman yang setimpal agar si
jahat menjadi jera. Kalau semua orang seperti engkau, mudah memaafkan para
penjahat, dunia akan semakin kacau karena para penjahat berpesta pora, tidak
takut berbuat jahat karena pasti akan dimaafkan oleh orang-orang seperti engkau
Setelah berkata demikian, Hui Lan melompat jauh dan berlari cepat rneninggalkan
Han Lin yang berdiri tertegun. Akan tetapi dia lalu tersenyum geli. Bukan main Ong Hui
Lan itu! Begitu yakin bahwa kekerasan akan dapat menertibkan mereka yang
tersesat dan suka berbuat jahat. Dia teringat akan pengertian yang ditanamkan gurunya ke dalam sanubarinya,
pengertian yang telah membuka mata batinnya untuk melihat kenyataan dalam
kehidupan ini. Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari, dilatih, apalagi
dipaksakan dengan kekerasan. Kebaikan yang direkayasa seperti itu hanya akan
melahirkan orang-orang munafik yang melakukan apa yang dinamakan kebaikan karena merasa
takut, atau karena ingin mendapatkan "sesuatu" sebagai imbalan jasa kebaikan
yang dia lakukan. Sesuatu itu dapat berupa pujian, kebanggaan nama besar, balas
jasa, baik dari manusia atau pun dari Tuhan. Dengan demikian, apa yang dia lakukan
sebagai kebaikan hanya merupakan cara untuk mendapatkan sesuatu yang baginya
bernilai lebih, terutama lebih menyenangkan atau lebih menguntungkan, sebagai
tujuan akhirnya! Kebaikan bukanlah kebaikan lagi kalau menjadi tujuan.
Kalau ada Kasih dalam diri, maka apa pun yang dilakukannya, sudah pasti baik
bagi orang lain, tanpa dia menganggap bahwa apa yang dia lakukan adalah
perbuatan baik. Kalau ada seorang ibu menimang-nimang anaknya, ia sama kali tidak merasa
melakukan perbuatan baik. Kalau ada orang melihat orang lain dalam kesusahan
lalu timbul perasaan iba dan segera menolongnya, dia pun tidak menyadari bahwa
dia melakukan perbuatan baik. Perbuatan spontan seperti ini, demi kepentingan orang
lain, muncul dari dalam sebagai bunga dan buah dari pohon kasih.
Sebatang pohon mengeluarkan bunga dan buah di mana saja dia berada, tanpa
maksud untuk melakukan suatu kebaikan juga tidak ditujukan kepada siapa pun
juga. Keharuman bunga dan buahnya tersiar ke mana-mana, dapat dinikmati siapa
saja, juga tidak apa-apa andai tidak ada yang menikmatinya. Demikianlah Kasih
yang terdapat dalam sebuah benda di alam maya pada. Sinar matahari pun bersinar
memberi kehangatan dan kehidupan kepada siapa saja tanpa bermaksud untuk
memberi kebaikan, maka sekali tidak mempunyai tujuan bagi orang lain maupun
bagi dirinya diri. Keadaan dirinya, seperti apa nya, itulah apa yang disebut
kebenaran atau kebaikan, keharumannya bukan sengaja diharum-harumkan, karena
mereka sudah harum. Dirinyalah keharuman sendiri, apa adanya, wajar.
"Kuek-kuek-kuek..........!" Rajawali berbunyi dan Han Lin tersenyum.
"Maaf, Tiauw-ko, aku tenggelam dalam lamunan sampai lupa padamu." lalu
menghampiri rajawali itu yang mendekam dan setelah Han Lin lompat ke atas
punggungnya, rajawali itu mengeluarkan seruan girang lalu dia pun terbang.
ooOOoo Pada suatu hari, di tanah datar yang rada di puncak di mana perkumpulan Hong-
san- pai berada, tampak seorang muda sedang berlatih silat seorang diri. Tanah datar
itu terletak di bagian bekang perkampungan Hong-san-pai yang berada di Puncak
Hongsan. Hawa udara pagi itu dingin sekali, akan tetapi pemuda yang berlatih
silat tangan kosong itu hanya memakai celana panjang tanpa baju sehingga
tubuhhya dari pinggang ke atas telanjang. Tampak tubuh yang kokoh, kuat, dengan otot-otot
tersembul dan tubuh itu penuh keringat karena sudah sejak pagi sekali dia
berlatih silat. Pemuda itu selain bertubuh kokoh kuat dan tegap, Juga berwajah
tampan gagah. Rambutnya hitam dan panjang, digelung keatas dan di kat sutera merah.
Mukanya terbentuk persegi sehingga tampak jantan. Sepasang matanya tajam
mencorong dan terkadang tampak bengis namun bola mata yang bergerak-gerak
cepat itu membayangkan kecerdikan. Mulutnya selalu dihias senyum sinis seperti
orang mengejek dan memandang rendah apa saja yang dilihatnya.
Tiba-tiba dia menghentikan latihan lalu menghapus keringatnya dengan sehelai
kain. Pemuda itu adalah puteraPangeran Chou Ban Heng, yaitu Chou Kian Ki. seperti
telah kita ketahui, Chou Kian Ki dilatih ilmu silat oleh tokek gurunya sendiri,
yaitu Hongsan Siansu yang menjadi gurunya. Kemudian dia menerima gemblengan dari
tokoh- tokoh atau datuk yang mendukung gerakan ayahnya, yaitu selain digembleng kakek
gurunya Hong-san Siansu, pun dilatih oleh K wan In Su yangberjuluk Kanglam Sin-
kiam dan Im Yang Tosu yang selain ilmu silat, juga memiliki ilmu sihir. Kini,
usia Chou Kian Ki sudah dua puluh lima tahun dan dia amat tekun mempelajari ilmu
silat tinggi sehingga tingkat kepandaiannya sudah dapat mengimbangi tingkat
guru-gurunya! Dia bahkan dapat menggabungkan ilmu silat dari Hong-san Siansu, Kwan In Su, dan
Im Yang Tosu. Chou Kian Ki memanggil para anggauta Hong-san-pai yang kebetulan berada tak
jauh dari situ. Sepuluh orang murid Hong-san-pai menghampirinya.
"Pergunakan senjata kalian dan keroyoklah aku. Aku sedang melatih gabungan Tiga
Silat Sakti. Jangan ragu, seranglah dengan sungguh dan. kerahkan seluruh tenaga
kalian!" Sepuluh orang murid itu sudah tahu akan kelihaian Chou Kian Ki dan sudah
seringkali mereka mengeroyok dan dibuat jatuh bangun oleh pemuda itu. Merek-ragu
bukan takut melukai Kian Ki, sebaliknya ragu karena tidak ingin terluka
"Hayo cepat lakukan! Mengapa kalian diam saja?" bentak Kian Ki.
"Chou Kongcu (Tuan Muda Chou), kasihanilah kami. Kami takut terpukul dan tewas
dalam latihan ini." kata seorang di antara mereka.
"Bodoh kalian! Biarpun dengan mudah aku akan mampu membunuh kalian, akan
tetapi mengapa aku harus membunuh Kalian, adalah anggauta Hong-san-pai anak
buah sendiri. Aku tidak akan membunuh kalian. Hayo cepat serang aku!"
Para anggauta itu takut kepada Kia K i karena kalau putera pangeran ini melapor
kepada Hong-san Pang-cu, ketua mereka, yaitu Hong-san Sian-su, merek tentu akan
mendapat marah besar. Mereka saling pandang dan terpaksa mengeluarkan senjata
masing-masing. Ada yang memegang toya (tongkat), ada yang memegang golok dan
ada pula yang mencabut pedang.
"Kongcu, kasihanilah kami dan jangan memukul terlampau keras!" kata seorang dari
mereka dan sepuluh orang itu lalu mengepung dan mulai menyerang Kian Ki dengan
senjata mereka. Dari pengalaman mereka maklum bahwa mereka harus menyerang
dengan sungguh-sungguh karena biasanya, yang main-main dan tidak bersungguh-
sungguh akan menerima pukulan paling keras.
Setelah sepuluh orang itu serentak menyerang, Kian Ki bergerak dengan cepat dan
kuat. Tubuhnya bergeser kesana sini, menangkis dan mengelak sambil memainkan
jurus-jurus campuran tiga macam ilmu silat yang telah dia gabungkan. Akibatnya
hebat. Golok dan Pedang yang tajam dia sambut dengan lengan begitu saja dan
senjata-senjata Para pengeroyok itu ada yang patah dan sebagian pula terlempar,
disusul terpentalnya sepuluh orang itu seolah-olah disambar oleh kekuatan
dahsyat yang tak tampak. "Bagus! Engkau telah rr?emperoleh banyak kemajuan dalam ilmu silat gabungan
yang kau rangkai itu, Kian Ki!"
Chou Kian Ki cepat memutar tubuhnya dan tiga orang gurunya itu sudah berdiri di
situ. Hong-san Siansu Kwee Cin Lok yang juga menjadi Hong-san-pangcu, Kanglam
Sin-kiam Kw'an In Su, dan Im Yang tosu. Segera dia memberi hormat dan berkata
kepada Hong-san Siansu yang sesungguhnya merupakan kakek gurunya.
"Berkat bimbingan Sukong (Kakek Guru) dan Jiwi Suhu (Guru Bertiga)!"
"Bersiaplah, dan pertahankan diri baik-baik! Kami bertiga akan mengeroyokmu!"
kata Hongsan Siansu dan be sama Kwan In Su dan Im-yang Tosu dia lalu maju dan
tiga orang guru itu Ialu menyerang dan mengeroyok murid mereka.
Kian Ki yang maklum bahwa biarpun tiga orang tua itu hanya mengujinya namun
mereka menyerang dengan sun guh-sungguh sambil mengerahkan tenaga mereka
sehingga biarpun seandainya di terkena serangan tidak sampai tewas setidaknya
dia akan menderita luka yang cukup nyeri. Maka dia pun mengerahka seluruh tenaga
dan mainkan ilmu silai gabungan itu, melakukan perlawanan mati-matian! Dia bukan
hanya mempertahankan diri, akan tetapi juga membala dengan serangan-serangan
yang cukup berbahaya. Tiga orang tua Itu merasa gembira sekali dan mereka menyerang dengan sungguh-
sungguh . karena mereka sudah sepakat bahwa ujian ini merupakan ujian terakhir.
Tidak ada yang dapat mereka ajarkan lagi kepada Kian Ki. Mereka sudah bersepakat
tadi bahwa kalau pun mereka itu dapat bertahan sampai lima puluh jurus terhadap
serangan mereka bertiga, maka dianggap lulus.
Dan ternyata Chou Kian Ki memang hebat sekali. Dia bukan saja mampu bertahan,
bahkan dia dapat membalas dan sempat beberapa kali membuat Kwan In Su atau
Im-yang Tosu terdesak mundur! Setelah lewat lima puluh jurus Hongsan Siansu
berseru, "Cukup!" Dan dia bersama dua orang guru lain lompat ke belakang.
Dengan tubuh penuh keringat akan tetapi pernapasannya tidak terengah-engah
Chou Kian Ki berdiri menghadap tiga orang gurunya dan bertanya kepada kakek
gurunya.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana, Su-kong. Apakah masih banyak kekurangan teecu?"
"Hebat, Kian Ki, engkau telah lulus ujian terakhir! Kini tidak ada lagi yang
dapat kami ajarkan kepadamu!" kata Hongsan Siansu dengan gembira sekali.
"Siancai! Pinto sendiri kiranya tidak akan mampu mengalahkanmu, Kian Ki!" kata
Im-yang Tosu. "Kami benar-benar bangga kepadamu, muridku! Tidak sia-sia kami mengemblengmu
dengan tekun. Engkau tidak mengecewakan, bahkan membuat kami merasa bangga
sekali. Kalau masih ada perebutan gelar Thian-te Te-it Bu-hiap, kami yakin
engkau akan keluar sebagai juaranya." kata Kwan In Su. "Bahkan tanpa mengujimu
pun aku tahu benar bahwa ilmu pedangmu sudah mencapai frngkat tertinggi sehingga
kelak engkau berhak memakai gelar Kiam-ong (Raja ledang)!"
Mendengar ucapan tiga orang gurunya Itu, Kian Ki yang memang memiliki dasar
watak tinggi hati dan angkuh, tersenyum dan wajahnya yang tampan dan jantan itu
berseri-seri, sepasang matanya bersinar dan dia mengangkat dadanya yang bidang
dengan perasaan puas dan yakin bahwa tidak ada orang mura lain di dunia ini yang
akan mampu menandinginya!
"Sukong dan Jiwi Suhu, teecu tidak ingin memperebutkan gelar yang tidak ada
artinya itu. Teecu akan membantu perjuangan Ayah dan melanjutkan sampai
tercapai cita-cita Ayah, yaitu menumbangkan pemerintahan Sung dan membangun
kembali Kerajaan Chou. Ayah atau teecu yang kemudian menjadi kaisar Kerajaan
Cr?oul!" Ucapan itu terdengar nyaring penuh wibawa sehingga tiga orang itupun tertegun
kagum, seolah mendengar murid mereka itu mengucapkan sumpah.
Tiba-tiba terdengar suara tawa dan empat orang itu terkejut bukan Bahkan belasan
orang murid Hong-san-pai yang berada di situ semua terpelanting dan menutupi
telinga mereka dengan kedua tangan karena suara tawa yang aneh itu mengandung
getaran yang amat hebat. Seolah-olah ada jarum-jarum runcing memasuki telinga
mereka! ChouKianKi dan tiga orang gurunya cepat mengerahkan tenaga dalam untuk
melindungi telinga dan jantung mereka sehingga tidak sangat tersiksa oleh
getaran suara tawa Itu. Suara tawa itu seolah terdengar dari atas mereka!
"Ha-ha-ha, manusia-manusia sombong dan picik! Baru dapat memiliki kepandaian.
seperti itu saja sudah bercita-cita menumbangkan Kerajaan Sung" Ha -ha-ha bodoh
dan sombong! Suara itu pun terdengar dari atas. Akan tetapi tidak ada orang di
dekat situ, juga di atas tidak tampak ada mahluk hidup.
Chou Kian K i yang tadi merasa paling hebat, tentu saja kini merasa terhina dan
direndahkan. Dia marah sekali dan sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang,
dia berseru. "Hei, engkau setan ataukah manusia" kalau manusia keluarlah dan jangan
bersembunyi seperti seorang pengecut Hadapilah dan lawan aku kalau memang kau
memiliki kepandaian, jangan hanya menjual omong kosong sambil ber sembunyi!!"
Hongsan Siansu dan dua orang kawannya merasa menyesal atas kesombongan
murid mereka karena mereka bertiga yang lebih berpengalaman dapat menduga
bahwa yang bersuara itu adalah seorang yang memiliki sin-kang amat kuat.
"Huh, bocah sombong. Engkau ini siapakah telah membuka mulut lebar hendak
menumbangkan Kerajaan Sung dan hendak menjadi kaisar kerajaan Chou yang
sudah runtuh?" "Aku Chou Kian K i, keluarga istana Kerajaan Chou. Ayahku adalah Pangeran Chou
Ban Heng, keturunan mendiang Kaisar Chou Ong yang berhak menjadi Kaisar
Kerajaan Chou! Hayo, perlihatka dirimu kalau engkau berani!"
Tiba-tiba bertiup angin dan dari jauh tampak sesosok bayangan melayang datang!
Ternyata orang ini tadi bicara dari tempat jauh dan ini saja membuktikan
kehebatannya. Setelah tiba di depan mereka, kakek itu berdiri sambil memandang
mereka satu demi satu dan mulutnya tersenyum mengejek.
Empat orang dan para anggauta Hong-san-pai memandang kepada kakek yang baru
datang itu dengan mata terbelalak Dia sudah tua sekali, rambut, jenggot, dan
kumisnya sudah putih semua, mengkilap seperti benang-benang sutera putih.
Pakaiannya juga dari kain putih yang dilibat-libatkan pada tubuhnya. Usia kakek
Ini tentu sudah mendekati seratus tahun, sedikitnya sembilan puluh lima tahun!
Melihat kakek itu sudah demikian tua dan kemunculannya demikian aneh, timbul
juga perasaan segan di hati Chou Kian Ki sehingga dia diam saja, hanya memandang
dengan heran. Adapun Hong-san Siansu dan dua orang rekannya yang sudah
memiliki banyak pengalaman, walaupun tidak mengenal siapa adanya kakek tua
renta itu, mereka dapat menduga bahwa yang datang adalah seorang datuk yang
sakti. Hongsan Siansu lalu merangkap kedua tangan depan dada, memberi hormat dan
berkata lembut. "Saudara tua, selamat datang di Hong-san-pai dan perkenankan
kami memperkenalkan diri. Aku adalah ketua Hong-san-pai berjuluk Hong-san
Siansu. Ini adalah dua orang rekanku, Kanglam Sin-kiam Kwan In Su, dan lm Yang
Tosu. Pemuda ini adalah putera Pangeran Chou Ban Heng, bernama Chou Kian Ki
dan dia menerima pelajaran dan kami bertiga. Kaiau boleh kami mengatahui,
siapakah nama Saudara tua yang mulia dan terhormat?"
Melihat sikap Hongsan Siansu yangbaik, kakek itu mengangguk-angguk. "Memakai
nama apa pun juga, aku tetap saja begini. Akan tetapi kalau kalian ingin tahu,
sebut saja aku Thian Beng Siansu."
Tiga orang datuk itu mengingat-ingat akan tetapi rasanya belum pernah mereka
mendengar akan nama ini. "Terimalah hormat kami, Siansu yang mulia. Kalau Siansu hendak memberi petunjuk
kepada murid kami, silakan dan kami akan berterima kasih sekali." kati pula
Hongsan Siansu dengan sikap hormat
"Aku tadi lewat dan kebetulan melihat dan mendengar apa yang terjadi sini. Aku
tertarik mendengar bahwa pemuda ini demikian bersemangat hendak membangun
kembali Kerajaan Chou dan menumbangkan Kerajaan Sung. Aku kagum akan
semangatnyang yang besar. Akan tetapi setelah aku melihat kepandaiannya, aku
kecewa. Dengan kepandaian serendah itu, bagaimana mungkin dia akan
membangun kembali Kerajaan Chou" Hmmm, dia akan jatuh sebelum dia mulai!"
Mendengar ucapan yang sangat memandang rendah ini, Hongsan Siansu dan tiga
orang rekannya menjadi penasaran juga. Apalagi Chou Kian Ki. Dia mengerutkan
alisnya dan kemarahannya bangkit kembali. Akan tetapi melihat sikap guru-gurunya
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7 Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat Tiga Naga Sakti 7
berkata. "Sobat Lai Ceng Gun, aku mengaku kalah!" Setelah berkata demikian murid!
Hoasanpai ini lalu melompat turun dari atas tanah tinggi.
Sementara itu, Lai Ceng Gun dengan ramah berkata, "Sobat The Lun, terima kasih,
engkau telah mengalah." Dia pun turun dan menghampiri gurunya, ingin
melepaskan lelah lebih dulu karena dia sudah dua kali berturut-turut bertanding.
Akan tetapi Boan Su Kok sudah melompat dari bangkunya ke tengah panggung
tanah tinggi. Agaknya untuk memamerkan tubuhnya yang kokoh, dia
membusungkan dadanya, memandang ke arah Lai Ceng Gun dan berteriak.
"Orang she Lai! Engkau yang menjadi penantang tunggal dan harus bertanding
melawan aku untuk menentukan siapa yang pantas menjadi Thian-he Te-it-Bu-hiap
tahun ini. Hayo naiklah dan tandingi aku!"
Dari tempatnya di bawah, Ciong Kauwsu berseru dengan suaranya yang lantang
bergema. "Muridku Lai Ceng Gun baru saja bertanding berturut-turut dua kali,
sudah sepantasnya kalau dia beristirahat sejenakl"
"Ho-ho, kalau sudah berani datang ke sini, kenapa takut lelah" Ataukah takut
melawanku" Kalau takut, pergi saja dari.sini!" kata Boan Su Kok dengan nada
sombong. Mendengar ucapan yang sombong itu Ciong Kauwsu menjadi merah mukanya Akan
tetapi sebelum dia mengeluarkar ucapan marah, muridnya berkata, "Sudah lah,
Suhu, biar teecu melawannya dan hendak teecu lihat bagaimana kelihaian Si
Sombong itu." Setelah berkata demikian, tubuhnya melompat dan malayang ke atas
tanah tinggi, berhadapan dengari Boan Su Kok.
"Boan Su Kok, aku telah siap menandingimu!" kata Lai Ceng Cun.
Boan Su Kok mencabut siangkiam (sepasang pedang) yang tergantung di
punggungnya, memegang dengan kedua tangannya lalu memainkan sepasang
pedang itu sehingga tampak dua sinar menyambar-nyambar dan menari-nari di
depannya. "Lai Ceng Gun, hayo cabut senjatamu dan tandingilah siangkiamku ini!" tantang
Boan Su Kok. Lai Ceng Gun menggelengkan kepalanya. "Boan Su Kok, aku datang ke sini untuk menguji ilmu silat, bukan untuk berkelahi. Aku tidak mau menggunakan
senjata." "Ha-ha-ha! Pendekar macam apakah ini yang tidak berani melihat darah mengalir"
Orang she Lai, kita bukan anak kecil yang hanya main-main. Mari bertanding
sungguh-sungguh dan kita buktikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam
pertandingan ini. Siapa yang patut mendapatkan gelar Jagoan Nomor Satu!" Boan Su
Kok kembali mempermainkan sepasang pedangnya sehingga terdengar bunyi
berdesing. "Aku tetap tidak mau menggunakan senjata. Aku hanya mau bertanding
menggunakan kaki tanganku saja." kata Lai Ceng Gun kukuh.
"Ha-ha-ha! .Saudara-saudara para pendekar gagah perkasa! Lihat penantangku ini
takut menghadapi senjataku!"
"Boan Su Kok, aku sama sekali tidak takut. Aku tetap akan menghadapimu dengan
tangan kosong. Kalau engkau begitu pengecut untuk melawan aku yang bertangan
kosong dengan senjata, silakan.
Aku tidak takut!" Sepasang mata sang juara itu melotot dan sinarnya mencorong.
"Keparat kurang ajar! Kau bilang aku pengecut" Lihat, aku akan meremukkan
kepalamu dengan kedua tanganku!" Dia melemparkan sepasang pedangnya ke arah
belakangnya. Sepasang pedang itu meluncur cepat ke arah Tung Hai-tok, guru Si
Juara itu. Dengan tenang, sambil terkekeh, Tung Hai-tok menyambut sepasang
pedang muridnya itu dengan kedua tangan lalu meletakkannya di depannya.
Demonstrasi yang dilakukan guru dan murid ini saja sudah memperlihatkan betapa
lihainya mereka berdua itu.
Boan Su Kok sudah memasang kuda-kuda dengan sikap dibuat-buat agar tampak
gagah, lalu dia membentak, "Bocah she Lai, bersiaplah untuk mampus!"
Secara tiba-tiba dia telah menyerang dengan gerakan dahsyat. Agaknya Boan Su Kok
hendak memperlihatkan ketangguhannya dengan merobohkan lawan secepatnya,
maka begitu menyerang dia telah menggunakan pukulan ampuh sambil
mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Lai Ceng Gun yang bertubuh sedang
itu adalah seorang pemuda yang tabah dan tenang. Dia telah mengusai ilmu yang
diajarkan gurunya dan karena dia membantu gurunya sebagai pelatih utama para
murid gurunya, maka latihan setiap hari itu membuat gerakannya menjadi matang.
Dengan cepat dan tangkas dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kaki
dari samping. Melihat betapa lawannya bukan saja dapat mengelak akan tetapi
secara kontan dengan langsung membalas serangannya, Boan Su Kok tidak berani
memandang rendah. Dia pun melompat ke samping lalu cepat dia mendorongkan
tangan kanan untuk mencengkeram leher lawan. Juga cengkeraman ini merupakan
serangan maut. Lai Ceng Gun dengan gesit miringkan tubuhnya. Akan teapi Boan Su
Kok yang haus kemenangan itu, .dengan semangat menggebu telah menyusul
dengan serangan pukulan tangan dari atas ke arah kepala lawan!
Lai Ceng Gun maklum akan kehebatan pukulan ini. Kalau dia mengelak, terdapat
bahaya tangan yang meluncur dari atas itu akan mengejar kepalanya, maka cepat
dia mengerahkan tenaga pada lengan kanannya untuk menangkis tangan, kiri lawan
yang menghantam kepalanya dari atas.
"Wuuuuttttt......... dukkk!!" Dua lengan bertemu dan keduanya tergetar sampai
merasa betapa lengan mereka terpental dan nyeri. Akan tetapi Boan Su Kok yang
menjadi marah kini mendorongkan; tangan kanannya ke arah dada lawan!
Lai Ceng Gun cepat menyambut dengan dorongan tangannya pula. Dua telapak
tangan kanan dan kiri bertemu.
"Desss........... !" Akibatnya, tubuh Lai Ceng Gun mundur dua langkah, akan
tetapi tubuh Boan Su Kok yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang sampai
empat langkah! Hal ini menunjukkan bahwa Lai Ceng Gun memiliki sin-kang yang lebih
kuat. Bukan main marahnya Boan Su Kok. Kekalahannya dalam adu tenaga tadi tidak
dapat disembunyikan dan semua yang menonton pasti tahu bahwa dia kalah kuat!
Maka dengan marah dia lalu menerjang maju sambil mengeluarkan teriakan
melengking. Lai Ceng Gun menyambutnya dengan sikap tenang.
Kembali mereka bertanding, saling serang dengan seru sehingga para penonton
merasa tegang. Tingkat kepandaian silat mereka memang tidak berselisih banyak.
Kalau Lai Ceng Gun menang kuat tenaga saktinya, ilmu silatnya tidak seganas yang
dimainkan Boan Su Kok sehingga kedua kelebihan pada diri masing-masing ini
membuat pertandingan itu ramai dan seru bukan main.
Lima puluh jurus telah lewat dan belum tampak ada yang menang dalam pibu itu.
Boan Su Kok yang tahu bahwa kalau mengadu tenaga sakti secara langsung dia yang
akan rugi, kini tidak mau mengadu tenaga secara langsung. Sepak terjangnya ganas
dan buas, bagaikan seekor singa terluka yang marah. Akan tetapi Lai Ceng Gun
tarrpak tenang dan gerakannya mantap, pertahanannya kokoh bagaikan bagaikan
batu karang. "Remuk kepalamu!" Boan Su Kok membentak dan kepalan tangannya yang sebesar
kepala manusia itu mendorong dan menyambar ke arah kepala Lai Ceng Gun. Murid
Ciang Kauwsu atau yang di Hunam terkenal dengan sebutan Hunam Taihiap
(Pendekar Dari Hunam) itu cepat mengerahkan tenaga untuk menyambut yang
berarti hendak mengadu tenaga. Boan Su Kok sudah merasa gentar untuk mengadu
tenaga, maka cepat dia menarik kembali tangannya yang memukul. Kesempatan itu
dipergunakan Lai Ceng Gun untuk menggunakan tangan yang terbuka menampar
pundak lawan. "Wuuuttttt.......... plakkk!!" Tubuh Boan Su Kok terhuyung ke belakang dan
mukanya berubah semakin hitam. Orang ini memang tidak tahu diri. Kalau dia tidak
dibuat mata gelap oleh kemarahan, tentu dia tahu bahwa Lai Ceng Gun memang sengaja
tidak mau mencelakainya. Kalau pukulan atau tamparan tangan tadi mengenai leher
atau dadanya, tentu keselamatannya terancam maut. Baru tenaga tamparan itu saja
sudah dibatasi, kalau dikerahkan semua, tentu tulang pundaknya sudah remuk. Akan
tetapi Lai Ceng Gun membatasi tenaganya sehingga tamparan pada pundak tadi
hanya membuat Boan Su Kok terhuyung-huyung dan tidak terluka sama sekali.
Boan Su Kok marah sekali dan bagaikan seekor binatang buas, dia menggereng dan
sudah menerjang dengan tubrukan nekat. PukulanBoan Su Kok kearah dadanya
dihindarkannya dengan menari tubuhnya ke belakang sehingga pukulan itu tidak
sampai. Akan tetapi tiba-tiba saja ada benda kecil mencuat dari bawah lengan
Boan Su Kok. "Wuuuttt........ crattt............ !!" Tangan Boan Su Kok memang tidak mencapai
sasaran, akan tetapi dari bawah lengannya, tersembunyi di dalam lengan bajunya,
tiba-tiba mencuat sebatang pisau dan pisau ini mengenai dada Lai Ceng Gun!
Biarpun tidak terlalu dalam, namun pisau itu telah melukainya sehingga tubuh Lai
Ceng Gun terhuyung ke belakang.
"Hei i........... curang ..........!" Hunan Taihiap melompat ke atas panggung
tanah tinggi. "Jangan mencampuri!" Tiba-tiba Tung Hai-tok juga melayang ke tempat itu dan
begitu tangannya didorongkan ke arah Ciong Kauwsu, angin pukulan yang dahsyat
menyambar. Ciong Hoat, Pendekar Hunan itu cepat menyambut dengan dorongan
tangannya. Dua tenaga sakti jarak jauh saling bertemu.
"Wuuuttt............ desss........ !" Tubuh guru silat Ciong terdorong ke
belakang. Dia terkejut dan cepat turun kembali karena tidak ingin bermusuhan
dengan Tung Hai-tok yang amat lihai. Tadi pun dia sama sekali tidak bermaksud
untuk mencampuri atau mengeroyok. Dia hanya ingin protes karena Boan Su Kok bermain curang,
menggunakan senjata rahasia dalam pertandingan. Sambil tertawa Tung Hai-tok
juga melompat kembali ke tempat duduknya.
Boan Su Kok yang melihat lawannya sudah terluka, kini tanpa banyak cakap lagi
sudah menerjang dengan pukulan mautnya setelah pisau itu otomatis masuk dan
bersembunyi kembali ke dalam lengan baju.
"Remuk kepalamu!" bentaknya sambil menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala
Lai Ceng Gun yang masih sempoyongan dan tangannya mendekap dada yang
luka mengucurkan darah. "Wuuush........... plakkk! Ahhhhh........... !" Boan Su Kok melangkah ke
belakang dengan kaget dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya karena
tangan kanannya terasa panas sekali. Dia terkejut dan heran, akan tetapi terutama
sekail marah bukan main melihat bahwa yang menangkis pukulannya tadi adalah
seorang gadis cantik yang berdiri sambil tersenyum-senyum mengejek kepadanya.
Lai Ceng Gun yang baru saja diselamatkan oleh gadis yang tiba-tiba muncul dan
menangkis pukulan Boan Su Kok tadi, menoleh kepada gurunya dan Ciong Kauwsu
memberi isarat dengan tangan agar dia turun. Pemuda itu lalu melompat turun dan
gurunya segera memeriksa luka di dadanya, lalu mengajaknya pergi dari situ.
Setelah mengamati gadis itu, Boan Su Kok hampir tidak percaya bahwa gadis itu
yang tadi menangkis pukulannya. Gadis itu bertubuh sedang, ramping dengan
pinggang kecil namun tubuhnya sintal dan padat dengan lekuk lengkung yang
menggairahkan. Rambutnya hitam panjang dikuncir ke belakang dan di kat pita
merah. Di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut melingkar-lingkar.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dagunya runcng. Sepasang matanya yang kedua
ujungnya meruncing ke atas itu bersinar-sinar seperti bintang. Mulutnya selalu
membayangkan senyum sinis, dengan bibir yang selalu merah basah tanpa gincu,
hidungnya kecil mancung lucu. Pakaiarnnya serba hitam sehingga kulit lengan,
Juga lehernya, tampak semakin putih mulus. Setelah kini melihat gadis itu
ternyata amat cantik, apalagi mulut yang mungil itu tersenyum-senyum kepadanya,
Boan Su Kok merasa semangatnya seperti melayang meninggalkan tubuhnya. Dia bukanlah
seorang yang mata keranjang, akan tetapi melihat gadis secantik ini, seperti
seorang dewi, laki-laki mana yang tidak akan terpesona" Akan tetapi dia dapat
menenangkan hatinya dan dia pun melangkah maju sambil tersenyum menyeringai
sehingga mukanya makin menyeramkan. Giginya tampak mengkilap berada di tengah
wajahnya yang berkulit hitam arang itu.
"Nona, apakah engkau hendak mengikuti pi-bu" Menurut peraturannya, untuk
menjadi penantangku engkau harus mengikuti pertandingan awal, mengalahkan
para peserta lainnya lebih dulu. Kalau engkau keluar sebagai pemenangnya,
barulah engkau berhak menjadi penantangku"
"Gadis itu bertolak pinggang. "Aku tidak ingin' mengikuti pibu, aku hanya ingin
menantang siapa yang berani mengaku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap di sini!
Karena aku baru datang, maka aku tidak tahu siapa yang menjadi juara yang akan
mempertahankan gelarnya."
"Akulah juaranya, Nona. Aku, Boan Su Kok, dua tahun yang lalu merebut gelar
Jagoan Nomor Satu dan sampai sekarang belum terkalahkan. Akulah sang juara!"
Suara Boan Su Kok terdengar penuh kebanggaan dan dia membusungkan dadanya
yang bidang dan kokoh. Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tertawa bebas lepas, tidak seperti para gadis lain
di jaman itu kalau tertawa, tanpa suara dan menutupi mulut dengan tangan. Gadis
ini tertawa terbahak seperti seorang laki-laki, bertolak pinggang, menengadahkan
muka dan membuka mulut lebar-lebar, tubuhnya terguncang ketika tertawa.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh................ !!"
Boan Su Kok terpesona memandang mulut yang terbuka itu. Kalau sepasang bibir
yang tipis dan penuh itu berwarna merah, ketika mulut itu terbuka, tampak rongga
mulut yang lebih merah lagi dan ujung lidah yang runcing dan merah muda. Mulut
yang menggairahkan dan suara tawa itu pun merdu seperti suara nyanyian.
Boan Su Kok merasa penasaran juga mendengar ada suara tawa pula menyambut
tawa gadis itu dari mereka yang hadir. Suara tawa gadis itu demikian bebas dan
jelas disebabkan oleh perasaan yang geli dan merasa lucu sehingga suara tawa
seperti itu mudah menular, membuat orang-orang lain ikut tertawa walaupun mereka
tidak tahu apa gerangan yang ditertawakan gadis itu!
"Nona, kenapa engkau tertawa" Apa yang kau tertawakan?" tanya Boan Su Kok
penasaran. Mendengar pertanyaan ini, tawa gadis itu semakin menjadi. Kemudian, diselingi
mara tawa geli, ia memandang ke empat juru dan berkata kepada mereka yang
menonton di situ. "Hai i........... kalian semua mendengar itu" Monyet Muka Hitam ini menjadi
Pendekar Silat Nomor Satu Di Dunia"
Ohhh tidak..........., heh-he-heh!" la menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka
Boan Su Kok dan terkekeh lagi.
Boan Su Kok tadi terpesona oleh kecantikan gadis itu, biarpun, sekarang marah,
dia masih dapat menahan kemarahannya bahkan kini dia membalas penghinaan itu
dengan bujukan. "Nona, aku merasa kasihan dan sayang sekali kalau sampai engkau
mati atau terluka dalam pertandingan, maka jauh lebih baik engkau yang cantik
ini menjadi isteriku saja karena aku juga belum bensteri!"
Gadis itu tidak menghentikan senyumnya yang kini tampak mengejek. "Boan Su Kok,
Monyet Muka Hitam, jadi engkau belum mempunyai isteri" Kebetulan sekali, aku
mempunyai peliharaan seekor lutung hitam, kiranya akan sepadan sekali kalau
menjadi isterirnu!" Kembali terdengar orang tertawa walaupun dengan hati merasa khawatir akan
keberanian gadis rnuda belia itu. Gadis itu baru mulai dewasa, paling banyak
delapan belas tahun usianya, akan tetapi berani sekali menghina dan
mempermainkan seorang yang amat tangguh dan kuat seperti Boan Su Kok!
Boan Su Kok yang memang pada dasarnya bukan seorang mata keranjang, kini tidak
dapat menahan kemarahannya lagi. Rasa kagum dan berahinya seketika lenyap,
terganti kemarahan yang mendatangkan nafsu membunuh. Mukanya kini berwarna
hitam sekali, matanya mencorong seperti api membara dan hidungnya mendengus-
dengus seolah hidung seekor sapi yang marah dan mengeluarkan uap!
"Gadis kurang ajar! Kau tidak tahu orang mengalah dan bersikap baik kepadamu!
Engkau memang patut dihajar dan jangan bersambat kalau aku merusak
kecantikanmu dan membuat engkau berubah menjadi buruk rupa. Hiaaaaahhh.....!"
Boan Su Kok sudah menerjang dengan ganasnya, bagaikan seekor harimau
menubruk kelinci, dia menerkam dengan kedua tangannya membentuk cakar
harimau untuk menangkap dan mencabik-cabik kulit putih mulut itu.
"Aih, Monyet Muka Hitam menjadi gila dan ngamuk!" Gadis itu mengejek dan dengan
gerakan yang ringan luar biasa bagaikan seekor burung terbang taja dara itu
sudah mengelak sehingga tubrukan Boan Su Kok mengenai tempat kosong. Dengan
gerakan cepat dan mulutnya mengeluarkan gerengan buas Boan Su Kok sudah
membalikkan tubuh dan menyerang bertubi-tubi dengan cengkeraman, pukulan,
diseling tendangan kakinya yang panjang.
"Hai it, luput!. Hemmm, gerakanmu lamban sekali, Monyet Hitam! Apakah engkau
belum makan?" Gadis itu dengan lincahnya mengelak dan tubuhnya seolah berubah
menjadi bayangan yang berkelebatan cepat sehingga sukar di kuti pandang mata.
Semua serangan yang dilakukan oleh Boan Su Kok dengan gencar dan bertubi-tubi
itu sama sekal tidak pernah dapat menyentuh ujung baj gadis itu sehingga Boan Su
Kok menja semakin marah dan penasaran!
Setelah serangan gencar itu berlangsung dua puluh jurus lebih, tiba-tiba gadis
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang masih selalu mengelak disertai suara tawa dan ejekan yang memanaskan hati,
berseru. "Monyet hitam rasakan ini!" Ia kini dengan gerakan yang luar biasa cepatnya
membalas, tangan kanannya meluncur dan dua jari tangan kanan itu menyambar
dan menusuk ke arah mata lawan. Boan Su Kok terkejut dan tentu saja dia tidak
ingin matanya ditusuk jari sehingga buta Maka cepat dia mengangkat kedua tangan
untuk menyambut tusukan itu sambil miringkan tubuh ke kanan.
"Wuuuttttt........... plakkk!" Tubuh Boan Su Kok terputar saking kerasnya
tamparan yang mendarat di pipi kanannya. Kiranya serangan tusukan ke arah mata
tadi hanya pancingan belaka karena begitu Boan Su Kok menangkis dan memiringkan tubuh ke
kanan, tangan kiri gadis itu dengan jari-jari terbuka menampar dan menghantam
pipi kanan Si Muka Hitam.
Demikian kuatnya tamparan itu sehingga Boan Su Kok merasa seperti, diumbar
halilintar dan tubuhnya terputar hampir terpelanting. Ketika dia dapat berdiri
tegak kembali, tangan kanannya meraba pipinya yang menjadi bengkak dan giginya
sebelah kanan ada yang tanggal. Juga ujung bibir sebelah kanan pecah berdarah.
Jagoan itu menggereng. Matanya mencorong buas dan kemarahannya sudah
memuncak. "Jahanam, kubunuh kau..............!!" geramnya.
"Hi-hik, monyet hitam tolol seperti ini menjadi Pendekar Silat Nomor Satu" Kamu
menari saja di pasar tentu mendapatkan uang!" ejek gadis itu dan begitu Boan Su
Kok menubruk, tubuhnya menghindar ke kiri dan kaki kanannya mencuat dengan
kecepatan kilat. "Ngekkk!" Kaki yang kecil itu menendang ulu hati lawan dan Boan Su Kok terengah-
engah. Napasnya menjadi sesak dan lambungnya terasa pedih dan nyeri. Akan tetapi
dia tidak mempedulikan rasa nyeri itu dan menyerang lagi men babi buta..
Akan tetapi kini gadis Itulah yangj menyerangnya bertubi-tubi dan gerakannya
sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali tamparan dan tendangannya mengenai
sasarann dengan tepat. "Plak-plak-bukkk............!" Beberapa kali tubuh Boan Su Kok dihajar sehingga
kini pipi kirinya juga bengkak dan perutnya mulas terkena tendangan kaki mungil
itu! "Keparat, mampus kau!" Boan Su Kok masih dapat memaki dengan suara pelo (pelat)
sehingga terdengar lucu. Banyak penonton yang sejak tadi tertawa melihat
betapa Boan Su Kok dihajar beri kali-kali dan dipermainkan oleh gadis yang amat
lincah dan lihai itu. Akan tetapi kini mereka memandang dengan mata terbelalak
dan hati tegang karena Boan Su Kok menyerang lagi dengan lebih nekat dan buas.
Ketika dia memukul dengan tangan kanan ke arah dada, gadis itu menarik tubuhnya
ke belakang, akan tetapi tiba-tiba tampak benda berkilat mencuat dari bawah
lengan kaitan yang memukul itu. Boan Su Kok telah menggunakan lagi senjata
rahasia, pisau yang disembunyikan di dalam lengan baju di bawah lengan. Dengan
menggunakan per (pegas) pisau itu dapat digerakkan mencuat keluar atau ditarik
kembali. Agaknya ini yang dinanti-nanti oleh gadis itu. la tadi sudah melihat sendiri
betapa Boan Su Kok merobohkan penantangnya secara curang, dengan menggunakan
senjata rahasia itu. Maka kalau tadi ia hanya memberi tamparan dan tendangan,
yang dilakukan dengan tenaga terbatas, ia memang menanti agar lawannya
menggunakan senjata rahasianya itu. Begitu pisau itu mencuat mengancam
dadanya, ia cepat mengelak ke kanan. Boan Su Kok menyambutnya dengan pukulan
tangan kiri yang juga mengeluarkan senjata rahasia itu.
Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan seruan melengking, kedua tangannya bergerak
secepat kilat menotok kedua pundak lawan. Seketika Boan Su Kok merasa kedua
lengannya lumpuh dan sebelum dia dapat mencegahnya, dua tangan gadis itu telah
menyambar ke arah pergelangan kedua tangannya.
"Krek-krekkk!" Dua buah pisau itu telah dicabut dan kini berada di tangan gadis
itu. "Manusia curangi" Gadis itu memaki, kini suaranya tidak main-main lagi dan
begitu ia menggerakkan kedua tangannya, dua buah pisau itu meluncur dan menancap
di kedua pundak Boan Su Kok! Jagoan bermuka hitam ini mengaduh, akan tetapi
sebuah tendangan menyambar ke arah dadanya.
"Bukkk!" Tubuh tinggi besar itu terpental dan jatuh tepat di depan kaki gurunya,
yaitu Tung Hai-tok! Semua orang terkejut sekali, juga kagum. Mereka yang memang tidak suka kepada
Boan Su Kok, bertepuk tangan riuh rendah. Akan tetapi pada saat itu, Tung Hai-
tok mengeluarkan gerengan dan suara yang menggetarkan jantung para pendengarnya
dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah melayang ke depan gadis itu. Sementara
itu, para anggautaTung-hai-pang menolong Boan Su Kok yang pundaknya tertusuk
sepasang pisaunya sendiri.
Gadis remaja itu agaknya merupakan seorang tokoh baru yang bagaikan seekor
burung muda baru belajar terbang menjelajahi dunia persilatan. Maka agaknya ia
belum mengenal datuk Lautan Timur ini dan memandangnya dengan senyum
ampuh. Sikapnya yang lincah, pemberani dengan mukanya yang cantik itu membuat
mimik yang lucu sungguh menarik hati para penonton. Ia memandang Tung Hai-tok
dengan sepasang mata bintangnya disipitkan, senyumnya manis sekali dan ia
berkata lantang. "Wah, ini ada Cukong (Boss) kaya raya datang! Kalau engkau akan memberi hadiah
besar atas kemenanganku, ketahuilah bahwa aku tidak menginginkan uangmu.
Kalau hendak mengumumkan aku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap, aku pun tidak
butuh gelar itu. Aku datang hanya ingin nonton dan tadi melihat sang juara
begitu sombong dan curang, maka aku naik dan menantangnya!"
Tung Hai-tok adalah seorang datuk besar. Ribuan orang kangouv, terutama golongan
sesat, di sepanjang pantai Laut Timur merasa segan dan takut kepadanya. Maka,
tentu saja menghadapi seorang gadis muda belia seperti ini, dia merasa akan
merendahkan nama besarnya kalau dia menggunakan kekerasan menghajarnya
walaupun dia marah sekali melihat murid utamanya tadi dirobohkan dan dilukai.
Derjgan menahan sabar Tung Hai-tok yang berdiri tegak berkata kepada gadis itu.
Suaranya lantang dan menggelegar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar dan
mukanya yang persegi merah dan tampak bengis menyeramkan.
"Heh, bocah perempuan yang kurang ajar! Engkau berani melukai muridku dan
bersikap sombong mengejek aku! Hayo katakan siapa namamu dan siapa pula nama
gurumu!!" Gadis itu tersenyum manis, agaknya sedikitpun tidak gentar menghadapi kakek yang
gagah perkasa, menyeramkan dan penuh wibawa itu. Dengan lagak seperti orang
berkenalan biasa, gadis itu berkata, suaranya nyaring merdu dan senyumnya ramah.
"Perkenalkan, namaku Song Kui Lin, adapun nama guruku tidak perlu kusebutkan
karena beliau tidak mempunyai urusan dengan siapapun di sini. Dan engkau sendiri
siapakah, Wan-gwe (Orang Kaya)?" Ucapannya begitu ramah dan wajar, sama sekali
tidak bernada menggoda atau mengejek.
Tung Hai-tok mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin dia memperlihatkan
kemarahannya kepada gadis yang masih kekanak-kanakan ini" Dia ingin menggertak
gadis muda belia itu dengan memperkenalkan namanya yang amat terkenal,
terutama di daerah timur.
"Dengar baik-baik, Nona Muda! Aku adalah Tung Hai-tok (Racun Laut Timur)!"
Diam-diam gadis itu terkejut karena gurunya pernah menceritakan dan
memperkenalkan nama para datuk dan tokoh besar dunia kangouw. Akan tetapi
dasar ia seperti burung muda baru pertama kali terbang menjelajahi keluar
sarang, ia seakan tidak tahu tingginya gunung dan luasnya samudera.
"Ah, kiranya Paman ini adalah Si Racun Laut Timur yang terkenal itu" Wah, senang
sekali aku dapat berkenalan denganmu, Paman Racun!" Lagaknya seperti bicara
dengan seorang kawan lama saja dan hal ini memang bukan dibuat-buat karena
gadis ini memiliki watak yang lincah, terbuka dan bebas. Akan tetapi tentu saja
datuk itu merasa dilecehkan.
"Bocah lancang! Kalau engkau tidak bermaksud merebut gelar, jangan membikin
kacau di sini. Hayo cepat kau turun dan pergi dari sini!"
Gadis yang bernama Song Kui Lin itu mengerutkan sepasang alisnya. "Aih-aih,
kenapa engkau mengusir aku" Apakah puncak ini rumahmu" Apakah Gunung
Thaisan ini milikmu" Sang Dewa Penjaga Gunung saja tidak pernah mengusirku,
bagaimana engkau dapat mengusirku, Paman Racun?"
Betapapun sabarnya hati Tung H i tok, karena kesabarannya itu hanya paksaan,
akhirnya dia marah juga. "Bocah setan, kalau engkau tidak segera turun, aku akan mendorongmu pergi dari
sini!" Gadis itu membelalakkan matanya yang indah dan bertolak pinggang. Satu di antara
watak Song Kui Lin adalah bahwa ia akan berbalik bersikap keras kalau orang main
paksa padanya. "Aih-aih, lihat itu Si Cukong! Mau main paksa, ya" Bagaimana kalau aku tidak mau
turun?" "Kalau begitu, pergilah!" Tung Hai-tok mendorongkan tangan kirinya dengan
telapak tangan terbuka menghadap ke arah Kui Lin. Gadis itu memang telah siap,
maka begitu kakek itu mendorongkan tangan kirinya, ia. menyambut dengan kedua
tangannya yang ia dorongkan ke depan.
"Wuuussshhhhh ........... desss!!" Tubuh Kui Lin terdorong mundur sampai ia
terhuyung beberapa langkah.
"Pergilah!" kata Tung Hai-tok.
Akan tetapi Kui Lin dengan keras kepala menjawab. "Aku tidak mau pergi!"
"Hemmm, agaknya engkau sudah bosan hidup!" Setelah berkata demikian, Tung Hai-
tok mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghimpun tenaga karena dia
hendak melakukan pukulan jarak jauh yang lebih dahsyat lagi.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun berwibawa. "Tahan.......... !" Dan
terdengar kelepak sayap burung Seekor burung rajawali raksasa meluncur turun dan
hinggap di atas tanah tinggi itu, tepat di antara Tung Hai-tok dan Song Kui Lin.
Si Han Lin yang berada di punggung burung itu cepat melompat turun. Dialah yang
tadi berseru melihat dari atas betapa kakek itu hendak melakukan serangan.
Beberapa orang yang hadir, begitu melihat burung itu, berseru. "Rajawali
Sakti.............!"
"Benar, Sin-tiauw muncul, berarti Thai Kek Siansu datang!"
Ketika Song Kui Lin melihat burung rajawali, ia cepat menghampiri dan mengamati
burung itu dari depan, belakang, kiri dan kanan. Ia tampak terheran-heran dan
kagum bukan main. Ia sama sekali tidak memperhatikan Si Han Lin yang berdiri
menentang pandang mata Tung Hai-tok yang marah.
"Aih, hebat sekali rajawali ini!" serunya, lalu gadis itu menghampiri Han Lin
dan bertanya. "Hei, sobat, apakah engkau hendak menjual rajawali ini" Berapa
harganya" Kalau boleh aku ingin membelinya!"
Han Lm yang tadinya memperhatikan Tung Hai-tok, kini perhatiannya beralih dan
melihat gadis itu dan mendengar pertanyaannya, dia tersenyum geli. Bukan main
gadis ini, pikirnya. Baru saja terbebas dari ancaman maut di tangan kakek muka
merah itu, kini sudah lupa lagi dan ingin membeli rajawalinya, seolah tidak
pernah terjadi sesuatu yang mengancam nyawanya!
"Adik yang baik "
"Ihhh! Siapa adikmu" Aku bukan adik mu dan engkau bukan kakakku! Kalau engkau
kakakku, rajawali ini tidak perlu kubeli, cukup kuminta saja!" gadis itu
memotong, galak. Han Lin tertawa. Ha-ha, baiklah Nona. Rajawali ini tidak kujual, mana ada orang
menjual sahabat baiknya" Dia itu sahabat baikku yang setia dan kami saling
menyayang. Biar dibeli segunung emas pun tidak akan kujual."
"Hemmm, menarik sekali! Dia bisa membawaku terbang, ya" Bolehkah aku mencoba
menungganginya agar aku dibawa terbang?"
"Boleh saja kalau dia mau." kata Han Lin sambil tersenyum. Dia maklum bahwa
kecuali dia dan Thai Kek Siansu, tidak ada orang lain yang dapat menunggangi
punggung Tiauw-ko (Kakak Rajawali) karena burung itu pasti tidak mau. Biarlah
gadis liar ini membuktikannya sendiri karena kalau dia menolak, bukan tidak
mungkin gadis itu akan marah dan membuat ulah.
"Terima kasih, engkau baik sekali!" Kui Lin berseru girang lalu dengan gayanya
yang lincah ia melompat. Gerakannya ringan sekali dan ia sudah melompat ke atas
punggung rajawali yang cukup tinggi karena burung itu tidak mendekam seperti
kalau hendak ditunggangi Han Lin.
"Rajawali, terbanglah! Bawa aku terbang!" Kui Lin berseru setelah ia duduk di
punggung burung raksasa itu. Akan tetapi rajawali itu diam saja.
Gadis yang liar itu memang memiliki niat bahwa kalau ia sudah dibawa terbang, ia
akan membawa minggat burung itu. Kalau tidak boleh dibeli, ya dibawa kabur saja,
pikirnya. Akan tetapi burung itu tidak mau terbang.
"Hayo terbang! Kalau engkau tidak mau terbang, kucabuti bulumu!" Kui Lin
menggertak dan ketika burung itu tetap diam saja ia mulai mencabut beberapa
helai bulu di leher burung itu. Tiba-tiba rajawali itu terbang ke atas. Kui Lin
bersorak girang, akan tetapi setelah burung itu terbang setinggi pohon dia lalu
jungkir balik! Tentu saja Kui Lin terkejut bukan main dan tak dapat dipertahankan lagi,
tubuhnya jatuh ke bawah. Karena tidak menyangka dan terkejut, gadis it sama
sekali tidak siap maka ia terjatu tanpa dapat mengatur keselmbangannya sehingga
terjatuh dengan kacau, kaki tangannya bergerak-gerak sehingga ia ketakutan dan menjerit.
Agaknya rajawali sengaja melemparkan Kui Lin ke arah tempat berdirinya tadi dan
tubuh gadis yang melayang turun dengan kacau itu agaknya akan menimpa Han Lin!
Dengan tenang sambil tertawa Han Lin bergerak dan kedua lengannya dapat
menyambut tubuh Kui Lin sehingga gadis itu terjatuh ke dalam pondongannyai tidak
sampai terbanting ke atas tanah.
Kui Lin segera meronta dan turun, lalu membalik dan melihat rajawali telah
berdiri lagi di situ dengan sikap tenang dan dari bawah terdengar orang-orang
tertawa menyaksikan penstiw a lucu ketika gadis itu jatuh tadi, ia membanting-banting
kaki kanannya dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak marah.
"Kamu jahat!" bentaknya dan ia lalu melompat jauh, turun dari panggung tanah
tinggi itu dan melarikan diri. Han Lin menghela napas panjang, merasa iba karena
dia tahu bahwa gadis itu agaknya merasa malu ditertawakan banyak orang.
Sementara itu, Tung Hai-tok yang sejak tadi hanya melihat dan marah karena
merasa dirinya tidak dipedulikan, setelah gadis itu pergi, dia membentak pemuda
itu. "Orang muda lancang! Siapa engkau berani mencampuri urusanku dan berani
menghalangi aku membunuh gadis liar tadi?"
Han Lin mengangkat kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan, bukan
hanya kepada Tung Hai-tok, akan tetapi juga kepada semua orang karena dia
memberi hormat sambil menghadap ke empat penjuru.
"Lo-cian-pwe dan Saudara sekalian yang berkumpul di sini. Saya datang memenuhi
perintah Suhu Thai Kek Siansu yang tidak sempat datang sendiri. Suhu ingin saya
menyampaikan kepada Saudara sekalian penyesalan beliau bahwa kini pemilihan
gelar Thian-he Te-it Bu-hiap bukan lagi pertemuan persahabatan untuk memperluas
pengalaman, melainkan menjadi ajang permusuhan. Pi-bu yang di Adakan menjadi
tempat perkelahian yang menjatuhkan korban. Hal ini amat tidak baik sehingga
para pimpinan aliran persilatan besar semua mengundurkan diri. Maka Suhu minta
agar pertandingan seperti ini dibubarkan dan ditiadakan saja, demi menjaga kerukunan
antara para tokoh kang-ouw."
Mendengar ini, Tung Hai-tok tertawa rgelak. Suara tawanya itu jelas dilakukan
dengan pengerahan tenaga sakti sehingga mendatangkan gelombang suara yang
menggetarkan jantung mereka yang berada di puncak itu. Demikian kuatnya suara
itu menggetarkan jantung sehingga hanya mereka yang memiliki tingkat tinggi saja
yang kuat bertahan dengan mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi jantung
mereka. Akan tetapi mereka yang kurang kuat tenaga dalamnya, cepat menutupi
kedua telinga dengan tangan lalu duduk bersila dan memejamkan mata. Bahkan ada
yang tergulin roboh, biarpun sudah menutupi kedut telinga dan dari celah-celah
jari tangai yang menutupi telinga menetes darah yang keluar dari telinga mereka!
Han Lin juga merasakan getaran itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaga sakti dan
berkata. "Lo-cian-pwe, jangar melukai orang-orang yang tidak bersalah apa-apa."
Tiba-tiba terdengar bunyi pskik melengking. Itu adalah suara burung rajawali
yang melengking sambil mendongak ke atas. Suara lengkingan panjang itu menutup
suara tawa kakek itu. Tung hal-tok menghentikan tawanya dan ber kata kepada Han Lin.
"Bocah sombong, engkau anak kecil kemarin sore bicara seolah-olah engkau menjadi
seorang datuk yang berkedudukai tinggi! Engkau mewakili gurumu, Thai Kek Siansu"
Huh, ada urusan apakah Thai Kek Siansu dengan kami" Kalau dulu tidak mau ikut
pesta pemilihan ini, tida perlu banyak cakap. Aku Tung Hai-tol sama sekali tidak
takut kepada Thai Kek Siansu, apalagi kepada muridnya. Dia atau engkau tidak
berhak mengatur kami. Hayo engkau dan burungmu itu cepat pergi dari sini, kalau
tidak aku akan menghajarmu dan membunuh burungmu!"
Han Lin memandang kakek itu dan dia teringat akan nama ini yang pernah disebut
oleh gurunya sebagai seorang datuk sesat di daerah timur. Tadi di atas punggung
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rajawali dia melihat betapa kakek ini dengan pukulannya yang amat dahsyat
mengancam keselamatan gadis muda belia itu, maka tahulah dia bahwa kakek ini
amat lihai akan tetapi juga kejam.
"Ah, kiranya Locianpwe adalah datuk timur yang terkenal itu. Terimalah hormat
saya dan salam dari Suhu karena Suhu memesan agar saya menyampaikan salamnya
kepada semua orang gagah yang berkumpul di sini. Locianpwe memang tidak
semestinya takut kepada Suhu karena Suhu tidak ingin ditakuti. Suhu hanya
menginginkan agar semua pihak di dunia persilatan hidup dengan akur dan
mempergunakan kepandaian mereka untuk membela nusa dan bangsa menegakkan
kebenaran dan keadilan sehingga kehidupan manusia di dunia in sejahtera dan
berbahagia. Suhu hanya ingin agar saya melerai dan menghenti kan semua
pertikaian yang terjadi di sini dan mulai sekarang tidak ada lagi perebutan
gelar yang hanya membawa perpecahan dan perebutan, menimbulkan dendam dan
permusuhan." Ucapan itu membuat semua orang terdiam dan ada yang mengangguk-anggukkan
kepala. Sebagian besar dari mereka mengetahui siapa adanya Thai Ke Siansu yang
mereka anggap sebagai seorang dewa yang amat sakti. Merek merasa segan dan
tidak berani karen maklum bahwa selama ini mereka belum pernah mendengar ada
datuk atau tokoh kang-ouw yang mampu menandingi kesaktian Thai Kek Siansu.
Agaknya Tung Hai-tok tahu akan hal ini dan dia menjadi semakin penasaran dan
marah. "Si sombong Thai Kek Siansu sungguh tidak memandang muka orang! Disangkanya
aku ini siapa" Begitu berani dia memandang rendah aku, mengirim seorang anak
kemarin sore untuk memberi wejangan kepadaku! Hai orang muda sombong, sekali
lagi aku peringatkan, cepat engkaudan burungmu pergi dari sini atau aku akan
turun tangan membinasakan kalian!"
"Locianpwe Tung Hai-tok, Suhuku selalu bilang bahwa yang berhak mencabut
kehidupan seseorang adalah yang memberi kehidupan, yaitu Tuhan Yang Maha
Kuasa. Engkau tidak pernah memberi kehidupan kepada saya dan Tiauw-ko,
bagaimana mungkin engkau hendak mencabut kehidupan kami dan membinasakan
kami?" "Bocah sombong1. Kaukira aku tidak mampu membunuh kalian berdua! Nah,
terimalah kematianmu!!" Tiba-tiba Tung Hai-tok melompat ke depan dan
mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah Han Lin. Angin pukulan yang
dahsyat sekali menyambar ke arah Han Lin. Pemuda ini telah menerima ilmu yang
paling dalam yang dapat dimiliki manusia, yaitu penyerahan diri kepada Yang Maha
Sakti. Akan tetapi Thai Kek Siansu memesani kepadanya bahwa kalau segala usaha
dan ikhtiar sendiri tidak mampu menang gulangi keadaan, tidak mampu melindungi
diri maka dasar dari semua keadaan dirinya yang sudah mengandung penyerahan
diri sepenuh iman itu yang akan bekerja. Penyerahan diri sepenuhnya membuat
dirinya seolah tidak ada, yang ada hanya Kekuasaan Tuhan yang melindunginya
sehingga tidak ada apa pun mampu mengganggunya kecuali kalau Tuhan
menghendaki demikian. Dia tidak boleh hanya pasrah begitu saja tanpa berusaha..
Karena itu, walaupun pada dasarnya dia selalu berserah diri kepada Kekuasaan!
Tuhan, namun melihat Tung Hai-tok menyerangnya, dia pun menggunakan l mu-
ilmu yang telah dipelajarinya dari Thai Kek Siansu. Dia pun cepat mengerahkan
tenaga dan menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangannya.
"Syuuuuuttt.......... blarrrrr........... !" Dua tenaga sakti tingkat tinggi
bertemu di udara dan seluruh keadaan sekeliling tempat itu tergetar hebat. Tung
Hai mengeluarkan seruan kaget dan dia rpaksa melangkah mundur tiga kali. wajahnya yang merah
menjadi semakin merah, matanya mencorong penuh perasaan marah dan
penasaran. Dia merasa malu bahwa serangannya yang dia lakukan sepenuh tenaga
tadi, yang memang dilakukan untuk membunuh Si Han Lin, dapat ditolak mundur
oleh orang muda yang pantas menjadi cucunya itu! Karena tadi ketika menyerang
dia sudah menggunakan tenaga sepenuhnya dan ternyata pemuda itu dapat
menandinginya, dia tidak mau mengulangi lagi serangan dengan pukulan jarak jauh.
Tiba-tiba dia mencabut sepasang pedangnya yang berada di punggung dan sekali
melontarkan Siang-kiam (sepasang pedang) itu, tampak dua sinar meluncur ke arah
Han Lin. Ternyata sepasang pedang itu merupakan Hui-siang-kiam (sepasang pedang
terbang) yang bukan hanya dapat dilontarkan dan digunakan menyerang lawan dari
jauh, akan tetapi juga dikendalikan oleh kekuatan sihir sehingga sepasang pedang
itu seolah hidup dimainkan sepasang tangan yang tidak tampak!
Semua orang yang melihat permainan sihir yang berbahaya itu memandang dengan
hati tegang. Akan tetapi Han Linmemandang dengan sikap tenang saja, Ketika
sepasang pedang yang menjadi sinar itu menyambar dekat, tangannya bergerak dan
tampak sinar terang ketika! pedang Pek-sim-kiam telah berada di tangannya.
Pedang itu biasanya memang dia simpan di balik jubahnya sehingga! tidak tampak
dari luar. Terjadilah pertandingan yang aneh dan menarik. Bagaikan benda-benda hidup! dua
batang pedang itu menyerang dengari gerakan cepat dan bert?bi-tubi ke arah
bagian tubuh Han Lin yang berbahaya. Namun, pemuda itu dengan amat tenangnya
menggerakkan pedangnya menangkisi semua serangan itu. Gerakannya juga cepat
sehingga pedangnya berubah menjadi sinar terang yang bergulung-gulung
menyelimuti dirinya dan menghalau semua sambaran sepasang pedang lawan itu.
Terdengar bunyi berkerontangan berulang-ulang dan tampak bunga api
berhamburan merupakan penglihatan yang amat indah menank.
Pada saat itu, Boan Su Kok yang telah sadar betul, walaupun luka-luka di
pundaknya membuat dia tidak dapat melakukan kekerasan, memberi isarat kepada
para anak buah Tung-hai-pang untuk maju mengeroyok Han Lin yang agaknya masih kuat
melindungi dirinya terhadap serangan sepasang pedang terbang gurunya. Mendapat
perintah ini, sedikitnya dua puluh orang anggauta Tung-hai-pang dengan pedang di
tangan. menyerbu naik panggung.
Akan tetapi sebelum mereka sempat mengeroyok Han Lin, tiba-tiba terdengar
teriakan rajawali dan burung itu sudah terbang dan menyambar mereka yang
hendak mengeroyok Han Lin. Para anak buah Tung-hai-pang terkejut dan mereka
mencoba untuk melawan dan menyerang rajawali itu dengan pedang mereka. Akan
tetapi hal ini membuat rajawali itu semakin marah. Paruhnya yang kokoh kuat Itu
mematuk-matuk, sepasang kakinya mencakar dan sepasang sayapnya menampar.
Dua puluh lebih anak buah Tung dai-pang itu berpelantingan dan tidak ada
sebatang pedang pun yang mampu melukai burung rajawali itu!
Sementara itu, Han Lin mulai mengerahkan tenaganya dan begitu dia menangkis,
dua batang pedang-terbang itu terpental jauh! Melihat ini, Tung Hai tok terkejut
dan cepat menarik kembali sepasang pedangnya yang segera terbang ke arah
dirinya. Dia menangkap pedangnya dan menyimpan kembali. Melihat betapa anak buah
Tung-hai-pang dibuat kocar-kacir oleh burung rajawali sedangkan serangannya
sendiri terhadap pemuda itu agaknya menemui kegagalan karena ternyata pemuda
itu tangguh sekali, Tung Hai-tok yang tidak ingin kehilangan muka karena
dikalahkan, lalu berkata lantang.
"Orang muda, katakan kepada Thai Kek Siansu bahwa lain waktu kami akan
membuat perhitungan dengannya!" Setelah berkata demikian, kakek itu melompat
turun dari tanah tinggi dan pergi, di kuti Boan Su Kok dan para anak anggauta
Tung-hai-pang. Rajawali melayang turun dan hingga di depan Han Lin lalu mendekam. Han Lin
melompat ke atas punggungnya dan ketika burung itu terbang, dia berseru kepada
mereka semua yang memandan kagum. "Harap Cu-wi (Anda sekalian) bubar dan
jangan mengadakan perebut gelar kosong ini lagi, yang hanya mendatangkan
permusuhan dan kekaccuan!"
Tungguuuuul" terdengar seorang berseru. "Siauw-eng-hiong (Pendekat Muda),
katakan kepada kami, siapa namamu?"
Si Han Lin tidak menjawab karena dia tidak ingin memperkenalkan namanya. Akan
tetapi, entah mengapa, tiba-tiba burung rajawali itu yang berbunyi dengan
suaranya yang nyaring melengking seolah menjawab pertanyaan itu. Kemudian dia
terbang tinggi dan melayang pergi.
Mendengar ini, orang-orang itu berbisik-bisik, "Sin-tiauw, Sm-tiauw (Rajawali
Sakti)........!" Mulai saat itu, mereka memberi julukan kepada pemuda penunggang
rajawali yang tidak mereka ketahui namanya itu sebagai Sin-tiauw Eng-hiong
(Pendekar Rajawali Sakti)! Dan sejak itu, tidak ada lagi pertandingan di Puncak
Thaisan untuk memperebutkan gelar Jagoan Nomor Satu.
ooOOoo Kakek bertubuh pendek gemuk yang mengenakan jubah seperti pendeta itu duduk
bersila di depan pondoknya yang sederhana. Pondok itu berada di puncak bukit di
Lembah Sungai Yangce. Usianya sekitar enam puluh tahun, namun wajahnya masih
tampak sehat belum banyak hiasan keriput. Kakek ini adalah Tiong Gi Cinjin,
seorang pertapa penganut Agama Khong-hu-cu (Confucianism). Dalam bagian depan
kisah ini kita sudah bertemu dengan Tiong Gi Cinjin, seorang di antara tiga pendeta yang
mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Naga Kecil, kemudian muncul pula Thai Kek
Siansu menemui mereka bertiga, berbincang-bincang tentang agama dan
kehidupan. Kemudian, melihat Thai Kek Siansu memiliki seorang murid, tiga orang pendeta itu
pun mengambil keputusan untuk masing-masing mengambil seorang murid sebagai
pewaris ilmu-ilmu yang mereka kuasai.
Ketika Tiong Gi Cinjin bertemu dengan. Ong Su, masih termasuk keluarga Kerajaan
Chou yang sudah jatuh, dan melihat puterinya, hatinya tertarik untuk mengambil
anak perempuan berusia sepuluh tahun itu sebagai muridnya.
Ong Su yang masih berdarah bangsawan karena ayahnya dahulu adalah seorang
pangeran Kerajaan Chou, tadinya menjabat sebagai Pejabat Tinggi Kebudayaan. Dia
seorang sastrawan dan penganut Agama Khonghucu, maka dia mengenal baik Tiong
Gi Cinjin. Bahkan antara mereka terdapat hubungan yan akrab. Ketika Kerajaan
Chou jatuh di ganti Kerajaan Sung yang baru, biarpun Sung Thai Cu memperlakukan
keluarga Kerajaan Chou dengan baik, namun On Sun pergi dari kota raja dan
tinggal kota Nan-king. Ong Su hanya memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Ong Hui Lan.
Ketika anak perempuan itu berusia sembilan tahun dan Tiong Gj Cinjin yang
mencari murid datang berkunjung ke rumah Ong Su dan melihat anak itu, hatinya
tertarik. Dia melihat betapa Ong hui Lan yang berusia sembilan tahun itu memiliki tulang
dan bakat yang baik sekali, juga anaknya sopan dan pendiam. Maka dia lalu minta
kepada sahabatnya agar menyerahkan Ong Hui Lan menjadi murid tunggalnya.
Karena keluarga itu percaya sepenuhnya kepada Tiong Gi Cinjin, maka ayah dan ibu
Ong Hui Lan tidak merasa keberatan. Anak itu lalu dibawa Tiong Gi Cinjin ke
tempat tinggalnya, yaitu di puncak sebuah bukit tanpa nama di Lembah Yangce.
Selama sepuluh tahun Hui Lan digembleng gurunya, diberi pelajaran silat, sastra, dan
pelajaran agama Khong-hu-cu. Setiap tahun sekali anak itu diberi kesempatan
pulang ke Nan-king menjenguk orang tuanya.
Demikianlah, setelah menjadi mur id Tiong Gi Cinjin selama sepuluh tahu Ong Hui
Lan kini menguasai ilmu-ilmu yang tinggi. Pada pagi hari itu, Tiong Cinjin duduk
di depan pondoknya dan tak lama kemudian Ong Hui Lan keluar dari pondok.
Gadis berusia sembilan belas tahun itu tampak segar bagaikan setangkai bunga
mawar tersiram embun, la baru saja mandi dan bertukar pakaian setelah fajar
menyingsing tadi, seperti kebiasa annya sehari-hari, berlatih silat di kebun
belakang. Ong Hui Lan telah menguasai banyak ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama
sekali ia memiliki ilmu pedang yang hebat. Gurunya, Tiong Gi Cinjin terkenal
dengan julukan Tung Kiam-ong (Raja Pedang Timur), maka tentu saja ia memperoleh
pelajaran ilmu pedang yang hebat. Biarpun sejak berusia sembilan tahun Hui Lan tinggal bersama Tiong Gi Cinji dan
menganggap guru itu seperti ayahnya sendiri, namun tetap saja Hui Lan amat
menghormati gurunya. Ini adalah berkat pelajaran dalam Agama Khonghucu yang
menekankan hauw (bakti) kepada orang Tua dan guru. Ada empat macam Hauw
yang diajarkan Tiong Gi Cinjin kepada muridnya. Pertama adalah bakti kepada
Tuhan berupa ibadat kepadaNya. Kedua ialah bakti kepada orang tua dan guru
berupa kelakuan yang baik dalam kehidupan agar menjunjung tinggi dan mengharumkan
nama mereka. Ke tiga adalah bakti kepada negara dengan jalan menaati semua
ketentuan hukum negara, dan ke empat bakti kepada sesama manusia baik dengan
cara menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan
menentang yang jahat. Melihat gurunya duduk di atas bangku didepan pondok, Hui Lan segera maju dan
berlutut memberi hormat. Akan tetapi Tiong Gi Cinjin memegang lengannya dan
ditariknya bangkit sambil berkata. "Duduklah di bangku, Hui Lan, aku ingin
bicara." Hui Lan bangkit dari duduk. Gadis ini memiliki kecantikan yang lembut. Wajahnya
bulat dan cemerlang seperti bulan purnama, gerak-geriknya lembut dan tegas.
Wataknya pendiam, matanya lembut namun tajam. Kulitnya putih mulus dan
tubuhnya ramping. Pakaiannya sederhana namun bersih. Dengan gerakan lembut
dan sopan ia lalu duduk berhadapan dengan gurunya, siap mendengarkan yang akan
dibicarakan gurunya. Ia rasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikap
gurunya. "Hui Lan, tahukah engkau sudah berapa lamanya engkau ikut deng diriku
mempelajari ilmu di sini?"
"Suhu, yang selalu mencatat hal itu adalah Ibu, dan ketika teecu baru pulang
setahun yang lalu, Ibu mengatakan bahwa teecu sudah sembilan tahun belajar ilmu
di sini. Maka, teecu kira sekarang teecu sudah sepuluh tahun belalajar di sini."
Tiong Gi Cinjin mengangguk-anggukan kepalanya dan tersenyum. "Ibu betul, Hui
Lan. Sudah sepuluh tahun engkau belajar ilmu. Usiamu sekarang sudah sembilan
belas tahun. Engkau bukan anak-kanak lagi, sudah dewasa dan kukira sekarang
sudah tiba saatnya bagimu untuk memanfaatkan semua ilmu yang telah kau pelajari
dengan tekun dan penuh semangat. Nah, berkemaslah, Hui Lan. Engkau boleh
meninggalkan bukit ini dan sekali ini, aku tidak mengantarmu pulang ke Nan-king
karena aku sendiri akan merantau setelah selama sepuluh tahun berdiam di sini.
Pergunakanlah semua Ilmu itu sebaik-baiknya seperti yang telah berulang-ulang
aku nasihatkan kepadamu."
Terharu juga hati gadis itu mendengar bahwa ia harus berpisah dari gurunya yang
disayangnya seperti kepada ayahnya sendiri.
"Suhu sekarang sudah semakin tua. Teecu anjurkan agar Suhu sudi tinggal saja
bersama kami sekeluarga sehingga teecu dapat melayani Suhu."
Tiong Gi Cinjin tersenyum lebar, sinar matanya membayangkan kesukaan hatinya
mendengar ucapan muridnya itu. "Terima kasih, Hui Lan. Akan tetapi, sudah jenuh
aku tinggal mengeram diri dalam rumah. Aku ingin bebas lepas seperti burung di
udara, ingin merantau ke manapun hati dan kaki membawaku. Kalau sudah kenyang
berkelana, mungkin aku akan mengunjungi rumah orang tuamu. Sampaikan saja
salamku kepada ayah bundamu."
"Kalau begitu, Suhu, perkenankan teecu menghaturkan terima kasih atas semua
budi kebaikan Suhu yang telah Suhu limpahkan kepada teecu selama ini!" Hui Lan
menjatuhkan diri berlutut .dan memberi hormat kepada gjrunya. Tiong Gi Cinjin
membiarkan muridnya memberi hormat menyatakan terima kasihnya. Kemudian dia
berkata lembut. " "Hui Lan, sekarang berkemas dan berangkatlah. Ceng-hwa-kiam (Pedang Bunga
Hijau) itu kuberikan padamu. Pergunakanlah sebaik mungkin."
Hui Lan memasuki pondok berkemas, membawa pedang milik suhunya yang biasa ia
pakai berlatih silat pedang. Ketika ia keluar lagi, gurunya sudah tidak ada.
"Suhu.........!" Ia memanggil dan dari jauh di bawah puncak terdengar jawaban
suara gurunya. "Hui Lan, pulanglah ke Nan-king!" Selamat berpisah, muridku yang baik!"
Hui Lan terharu dan sambil mengerahkan tenaga khikang ia berseru ke arah
datangnya suara gurunya itu. "Suhu, harap menjaga diri Suhu baik-baik!"
Setelah merenung sejenak, memandangi sekeliling puncak yang telah menjadi
tempat tinggalnya selama sepuluh tahun, Hui Lan lalu turun bukit itu, hendak
melakukan perjalanan kembali ke rumah orang tuanya di Nan-king.
Biasanya, setiap satu dua tahun sekali, kalau ia pergi ke Nan-king menjenguk
orang tuanya, ia selalu ditemani gurunya dan selama itu, ia tidak pernah menemui
halangan atau gangguan apa pun dalam perjalanan. Akan tetapi sekali ini lain. Ia
melakukan perjalanan seorang diri dan pada jaman itu, seorang wanita, apalagi
kalau dia seorang gadis muda dan cantik pula, melakukan perjalanan seorang diri
mengandung ancaman bahaya besar. Seorang wanita seorang diri tentu akan di ncar
para perampok, dan gadis muda yang cantik tentu membangkitkan nafsu jahat
seorang laki-laki mata keranjang.
Tentu saja Hui Lan sama sekali tidak merasa gentar. Ia bukan seorang gadis yang
lemah dan pendidikan yang diterimanya selama sepuluh tahun oleh Tiong Cinjin
membuat ia menjadi seorang gadis perkasa yang tidak takut menghadapi ancaman
apa pun dan dari siapa pun juga.
Setelah turun dari bukit itu, ia m lakukan perjalanan menyusuri Sung Yangce
menuju ke timur. Selama dala perjalanan ini, ia tidak mengalami ganguan walaupun
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap bertemu orang- orang, terutama para pria, ia tentu men jadi pusat perhatian.
Agaknya sikapnya yang pendiam, garis mulutnya yang keras dan matanya yang lurus
memandang ke depan tidak pernah lirak-lirik ke sana sini, terutama sekali karena
ada pedang tergantung di punggungnya, membuat orang-orang tidak berani
bersikap sembarangan untuk menggoda Hui Lan.
Seperti pada tahun-tahun yang lalu kalau ia melakukan perjalanan ke Nanking
bersama suhunya, sore itu Hui Lan juga berhenti di kota Kiang-jung untuk
melewatkan malam. Ia pun menyewa sebuah kamar di rumah penginapan Lokan
yang sudah menjadi langganannya. Tahun lalu bersama gurunya ia pun bermalam di
rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Ia memperoleh kamar di loteng.
Pelayan yang sudah mengenalnya segera menyambutnya dan laki-laki setengah tua
yang pandai bersikap manis terhadap para tamunya, segera melayaninya dengan
ramah. Setelah mandi dan bertukar pakaian, Hui Lan turun dari loteng dan memasuki rumah
makan yang berada di lantai bawah dan di depan. Pelayan rumah makan yang juga
sudah mengenalnya, segera mempersilakan gadis itu duduk di meja yang masih
kosong. Ketika Hui Lan menanti datangnya makanan yang dipesannya, seorang laki-
laki berusia sekitar empat puluh tahun menghampirinya dan membungkuk dengan
hormat sambil menegur dengan ramah.
"Selamat datang, Nona. Apakah Nona sekali ini tidak bersama Lo-cian-pwe Tiong Gi
Cinjin" Biasanya, Nona datang bersama guru Nona, mengapa sekarang Nona datang
sendiri saja?" Ong Hui Lan memandang laki-laki itu dan alisnya berkerut. Laki-laki setertgal
tua itu bermuka seperti tikus, matanya yang sipit itu saling berpisah jauh
sehingga dia tampak licik sekali. Baru melihat mukanya itu saja, Hui Lan mempunyai perasaan
tidak suka kepada orang ini. Wajah seorang penjilat yang licik dari curang,
pikirnya. Akan tetapi karena orang itu bersikap hormat, ia menjawa juga.
"Aku datang sendiri. Engkau siapa?"
"Aih, Nona agaknya lupa kepada saya. Saya A Gun, pengurus rumah penginapai
merangkap rumah makan Lok-an ini Nona dan guru Nona adalah langganan kami
yang baik." Pelayan yang menyiapkan makanan yang dipesan Hui Lan, datang menghidangkan
makanan itu di atas meja. Melihat itu, A Gun berseru, "Ah, kenapa engkau hanya
menghidangkan minuman biasa" Tunggu, Nona, kami harus menghormati Nona
sebagai langganan kami yang baik. Akan saya ambilkan minuman anggur simpanan
kami!" Setelah berkata demi kian, A Gun pergi dengan langkah cepat sehingga Hui
Lan tidak keburu mencegah atau menolak.
Gadis itu mulai makan nasi dan lauk yang dipesannya. Selagi ia makan, pengurus
muka tikus itu datang lagi membawa sebuah guci kecil dan dua cawan kosong.
"Nona, ijinkan saya atas nama perusahaan kami menyuiangi Nona sebagai
fK'nghormatan dan selamat datang!" Dia menuangkan anggur yang berbau harum
ke dalam dua buah cawan itu dan menyerahkan secawan minuman itu kepada Hui
Lan dengan sikap hormat. Karena orang bersikap hormat, Hui Lan merasa tidak enak untuk menolak. Ia
menerima cawan itu dan berkata, "Terima kasih. Aku menerima penghormatan
secawan minuman ini, akan tetapi selelah kuminum, harap tinggalkan aku dan
jangan menggangguku lagi!"
"Ah, baik, Nona. Silakan minum dan maafkan saya!" A Gun mengangkat cawannya dan
mengajak gadis itu minum. Agar orang itu tidak mengganggu lag Hui Lan juga
minum anggur manis dari cawannya. Minuman itu tidak terlalu keras dan selain
berbau harum, juga manis. Setelah minum, ia mengembalikan cawan itu kepada A
Gun. "Terima kasih, Nona baik sekali! kata A Gun sambil membawa pergi guci arak dan
dua buah cawan itu. Hui Lan melanjutkan makannya, kemudian ia membayar harga makanan da setelah
membersihkan mulutnya, ia langsung duduk bersila di atas pembaringan Dua jam
kemudian gadis itu sudah tidur pulas.
Gadis perkasa itu walaupun berilmu tinggi namun masih miskin pengalaman. Ia
bahkan tidak curiga ketika malam tadi sehabis makan ia merasa mengantuk dan
lemas sekali. Ia hanya mengira bahwa perjalanan sehari tadi membuat ia merasa
lelah dan perasaan lemas itu mungkin karena perpisahannya dengan gurunya
memang mendatangkan keharuan dan agak merasa kehilangan. Maka ia sama sekali
tidak mencurigai sesuatu.
Lewat tengah malam, keadaan sunyi karena semua orang sudah tidur nyenyak
hingga tidak ada orang mendengar ketika ada sebuah kereta memasuki pekarangan
rumah penginapan Lok-an. Di belakang kereta itu berjalan lima belas orang yang
rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis. Seorang laki-laki tinggi
kurus, demikian kurusnya sehingga mukanya seperti tengkorak, turun dari kereta
itu yang dihentikan oleh saisnya. Seorang laki-laki keluar dari rumah penginapan itu menyambut Si Kurus. Orang itu
adalah A Gun yang menjadi pengurus rumah penginapan berikut rumah makan itu,
yang tadi malam menemui Hui Lan dan memberi minum secawan anggur kepada
gadis itu. A Gun memberi hormat kepada laki-laki kurus Itu.
"Bagaimana, A Gun" Arak dariku sudah diminumnya?" tanya orang itu.
"Sudah, Thaiya (Tuan Besar)............., sudah diminum akan tetapi hanya
secawan saya tidak dapat membujuknya untuk minum lebih."
"Secawan, sudah cukup untuk membuat ia tidur pulas. Hayo bawa kami ke
kamarnya!" Orang itu menoleh dan memberi isarat kepada tiga orang anak buahnya
untuk ikut. Mereka berempat la mengikuti A Gun menuju ke loteng d setelah tiba
di depan kamar Hui Lan, Gun lalu mengeluarkan sebuah kunci dan membuka daun
pintu kamar itu. Lampu dalam kamar itu masih bernyala karena agaknya Hui Lan tid sempat
memadamkannya saking kuatnya kantuk menguasainya semalam. Dengan hati-hati
orang kurus itu masuk kamar di kuti tiga orang anak buahnya yang memegang
sebatang golok terhunus. A Gun sendiri tidak berani masuk, dan mengintai dari
luar pintu dengan hati tegang dan. takut-takut.
Setelah tiba di tepi pembaringan yang kelambunya juga tidak ditutup, mereka
melihat Hui Lan masih tidur nyenyak, tertelentang dengan pakaian dan sepatu
masih lengkap. Agaknya ia tidak sempat pula melepaskan sepatu dan berganti
pakaian ketika akan tidur. Laki-laki kurus itu tersenyum menyeringai dan mencoba untuk
menggoyangkan pundak Hui Lan, sedangkan tiga orang anak buahnya sudah siap
menyerang kalau gadis itu terbangun. Namun, Hui Lan tidak terbangun seolah
berada dalam keadaan pingsan. Ternyata obat bius yang terdapat dalam secawan
arak yang diminumnya semalam amat kuat.
"Aduh cantiknya................"
"Tubuhnya indah..............."
"Kulitnya putih mulus..............."
Laki-laki kurus Itu menoleh dan memandang kepada tiga orang anak buahnya
dengan merah. "Tutup mulut kalian dan jangan bicara atau berbuat kurang ajar
kepada gadis ini. Ia akan kuserahkan kepada Tong Taijin (Pembesar Tong) yang
tentu akan suka menukarnya dengan puluhan tail uang emas!"
Mendengar ini, tiga orang itu terdiam. Mereka pun girang mendengar kemungkinan
menerima hadiah uang perak dari Pembesar Tong yang terkenal royal kalau melihat
gadis cantik. Laki-laki kurus itu adalah seorang kepala perampok berjuluk Sin-to Hui-Houw
(Macan Terbang Golok Sakti) yang terkenal di sekitar daerah kota Kian-jung,
terutama di sepanjang Sungai Yance seberang selatan. Dia memiliki sekit tiga
puluh orang anak buah dan setiap pedagang, baik yang lewat sungai maupun darat,
melewati daerah itu, harus membayar semacam pajak kepadanya kalau tidak ingin
diganggu. Sin-to Hui-houw tidak pernah mendapat tentangan pasukan penjaga
keamanan karena mempunyai hubungan erat dengan pembesar di kota itu. Boleh
dibilang semua pembesar di situ telah menerima "upeti" dari kepala perampok ini.
Selain merampok dan menggar siapa yang tidak mau membayar sumbangan
paksaan atau pajak berupa uang gerombolan ini juga tidak segan-segan mengganggu
wanita-wanita muda. Sin-to Hui-Houw menjadi "pemasok" gadis-gadis mulia dan
cantik bagi para pembesar yang memiliki kesenangan menambah isi "harta" mereka.
Maka, tidaklah mengherankan apabila kehadiran Ong Hui Lan di kota Kiang-jung
menarik perhatian kepala perampok itu. Akan tetapi ketika melihat bahwa gadis
itu yang setiap tahun datang kesitu ditemani Tiong Gi Cinjin, kepala perampok
itu menjadi jerih. Dia sudah mendengar akan kesaktian Tiong Gi Cin-Jin, maka biarpun
Pembesar Tong yang perrnah melihat Hui Lan dan tergila-gila menyuruh dia
mendapatkan gadis itu untuknya,'kepala perampok kurus itu belum juga berani
mengganggu Hui Lan. Akan tetapi diam-diam dia memesan kepada A Gun, pengurus
rumah penginapan Lok-an yang juga menjadi kaki tangannya untuk memberitahu
apabila gadis itu muncul di hotelnya.
Demikianlah, ketika mendengar laporan A Gun bahwa Hui Lan datang dan sekali ini
datang seorang diri, cepat kepala perampok itu memberinya sebuah guci arak
berisi anggur yang sudah di campuri obat bius kuat, untuk mengusahakan agar Hui
Lan dapat terbius Sin-to Hui-houw memang memiliki seorang guru yang ahli racun dan
ilmu silatnya cukup tinggi.
Merasa yakin bahwa Hui Lan benar benar terbius dan seperti orang pingsan! Si
Colok Sakti itu mengeluarkan tali hitam terbuat dari sutera yang amal kuat, lalu
mengikat kedua pergelangan tangan dan kaki gadis itu. Kemudian dua orang anak
buahnya mengangkat tubuh Hui Lan yang pingsan, dibawa keluar dani dimasukkan ke dalam
kereta. Kepala perampok itu masuk pula ke dalam kereta yang lalu dijalankan oleh
kusir ke eta dan di belakang kereta berjalan lima belas orang anak buah perampok
untuk mengawal kereta. Peristiwa itu berlangsung cepat dan tak seorang pun tamu
hotel itu tahu, bahkan ketika kereta itu berjalan keluar kota, tidak menarik
perhatian. Apalagi pada saat it semua penghuni kota Kiang-jung sudah tidur.
Obat bius yang membuat Hui Lan tertidur pulas itu memang kuat sekali. sampai
pagi Hui Lan belum juga terbangun dari tidurnya yang tidak wajar.
Sementara itu, Sin-to Hui-kouw menahan kereta itu di depan pondoknya di lengah
hutan di tepi sungai dan segera mengirimutusan kepada Pembesar Tong yang
bertempat tinggal di kota Hun-Iam, sebelah timur kota Kiang-jung di mana dia
bekerja sebagai seorang kepala keamanan. Markas pasukannya berada di Kiang-
jung, akan tetapi dia sendiri tinggal di Hun-lam, di mana dia memiliki sebuah
gedung indah yang juga menjadi tempat peristirahatan atau tempat bersenang-
senang karena isteri dan anak-anaknya tetap tinggal di sebuah rumahnya yang merangkap
kantornya di kota Kiang-jung. Di Hun-lam inilah Tong Tai-jin menyimpan selir-
selirnya di mana dia sering mengadakan pesta pora bersama teman-temannya yang
sebagian besar merupakan rekan-rekannya atau sahabatnya, baik dari kalangan para
hartawan atau pun para tokoh persilatan yang mendukungnya. Hidupnya seperti
seorang raja saja dan memang pada waktu itu, setiap pembesar daerah yang
berkuasa, merupakan raja kecil yang memiliki pemerintahan dan hukum sendiri,
bahkan memiliki pasukan sendiri yang mendukungnya dan melaksanakan "hukum"
yang diadakan untuk membela kepentingannya
Mendengar berita bahwa Si Golok Sakti telahberhasil menawan Ong Hui Lan, gadis
yang membuatnya tergila-gila itu, Pembesar Tong menjadi girang bukan main. Dia
sudah melakukan penyelidikan tentang Ong Hui Lan dan menyuruh orang
membayangi ketika tahun lalu gadis itu pergi ke Nan-king. Dia tahu bahwa gadis
itu adalah puteri dari Ong Su, bangsawan Kerajaan Chou, bekas Kepala Kebudayaan
Pemerintah Chou yang telah jatuh. Maka dia semakin berbesar hati. Tentu mudah
saja menghadapi Keluarga Ong itu kalau mereka berani menentangnya. Mereka itu
dapat ia tuduh sebagai kaki tangan Kerajaan Chou yang sudah jatuh, yang menjadi
pemberontak! Kalau sampai sekarang Tong Taijin belum bisa mendapatkan gadis itu
adalah karena semua jagoannya mundur teratur ketika melihat Tiong Cinjin bersama
gadis itu. Akan tetapi sekarang gadis itu sendirian dan sudah tertawan oleh Si
Golok Sakti yang kini mempersilakan dia datang sendiri untuk menjemput
kekasihnya yang baru itu. Bagaikan seekor srigala mencium darah dari daging yang lunak, Tong
Koo, yaitu nama Pembesar Tong, menjilati bibirnya sendiri.. Kemudian dia lalu
mengumpulk lima belas orang perajurit pengawal dan mengajak jagoan-jagoan
andalannya, yaitu tiga orang yang dikenal sebagai Sun Hen-te (Tiga kakak beradik
Sun) yang merupakan tiga orang laki-laki gagah berusia antara tiga puluh sampai
empat puluh tahun dan terkenal memiliki ilmu pedang yang amat tangguh.
Sebetulnya mereka ini bukan penjahat dan pernah menjadi murid-murid Thian-san-
pai. Mereka menjadi pengawal-pengawal bayaran dari Tong Koo karena pembesar
itu memberi mereka upah yang tinggi dan selalu royal dengan hadiah-hadiah.
Bahkan mereka bertiga mendapatkan hadiah sebuah rumah yang cukup besar dan
mewah. Demikianlah, pagi itu Pembesar Tong dikawal oleh lima belas orang perajurit
dipimpin tiga Sun Heng-te naik kereta menuju ke hutan di mana Sin-to Hui-Houw
menanti dengan tawanannya yang masih rebah pulas di dalam keretanya.
Pada saat itu, jauh di udara, burung rajawali yang ditunggangi Sin Han L in
melayang dan mengikuti rombongan Pembesar Tong itu.
Seperti kita ketahui, Han Lin dan rajawali itu meninggalkan Thai-san. Karena
pemuda itu ingin menggunakan kesempatan itu untuk berlalang-buana sebelum
kembali ke Puncak Cemara di Cin-ling-san, maka dia menyuruh rajawali itu mengambil jalan
memutar ke selatan. Mula-mula dia tertarik melihat rombongan kereta yang dikawal pasukan kecil yang
melihat pakaiannya adalah para perajurit kerajaan. Akan tetapi tiga orang yang
berpakaian preman dan duduk dengan tegak dan gagah di atas kuda masing-masing,
jelas bukan perajurit. Han Lin tertarik sekali dan dia menyuruh Rajawali
membayangi dari atas. Ketika rombongan memasuki hutan di tepi sungai Yang-ce,
sebuah hutan yang lebat Han Lin menyuruh rajawali terbang rendah dan tetap membayangi
mereka dari pohon ke pohon.
Sementara itu, rombongan Tong Tai jin kini telah tiba di depan pondok, disambut
dengan muka tersenyum-senyum oleh Sin-to Hui-houw.
"Kiong-hi (selamat), Taijin! Taijin akan mendapatkan apa yang telah lama Taijin
idam-idamkan!" kata Sin-to H houw.
"Bagus, mana gadis itu?" tanya Tong Taijin yang berperut gendut dan bermuka
bopeng (burik cacar). "la masih tidur pulas dalam kereta saya, Taijin. Boleh Taijin ambil dan
pindahkan ke kereta Taijin sekarang."
"Apa........... apa ia tidak berbahaya" Bukankah katamu ia murid seorang datuk
yang lihai?" "Jangan khawatir, Taijin. Sekarang ia telah terbius dan apabila ia sadar, kaki
tangannya terbelenggu kuat. la tidak akan mampu melawan dan tidak berdaya lagi."
kata Sin-to Hui-houw sambil tertawa. "Mari lihatlah sendiri, Taijin."
Tong Koo, pembesar gendut bopeng itu, mengikuti kepala perampok menghampiri
kereta di mana Hui Lan rebah tak berdaya. Setelah tirai kereta disingkap dan
melihat gadis itu telentang dan tidur pulas, air liur memenuhi mulut Tong
Taijin. Dia menoleh kepada tiga saudara Sun Hengte yang mengikutinya Untuk menjaga
keselamatan majikan itu. "Angkat ia ke keretaku!" katanya.
Tiga orang Saudara Sun itu bukanlah orang-orang jahat. Mereka hanya beringas
mengawal dan menjaga keselamatan Tong Koo dan mereka belum pernah
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kegagahan mereka. Murid-murid
Thian-san-pai ini menjadi pengawal Tong Koo hanya karena tertarik akan upah dan
hadiah yang banyak. Maka mendengar majikan mereka menyuruh mengangkat
seorang gadis yang agaknya pingsan itu dan memindahkannya ke kereta majikan
mereka, ketiganya saling pandang dengan ragu. Akan tetapi karena memindahk
seorang gadis pingsan bukan perbuat jahat, mereka akhirnya melakukannya. Dua
orang dari mereka menggotong tubuh Hui Lan ke kereta Tong Taijin.
Dari puncak sebatang pohon besar Han Lin melihat dan mendengar apa yang terjadi
di bawah itu. Dia mengerutkan alisnya dan biarpun dia belum memiliki banyak
pengalaman dan tidak pernah melihat kejahatan macam itu, namun nalurinya
mengisaratkan kepadanya bahwa tentu terjadi hal yang tidak beres di bawah itu
dan bahwa gadis yang kelihatan pingsan atau tidur dan sedang dipindahkan itu
agaknya membutuhkan pertolongan. Akan tetapi karena orang-orang yang berada di bawah itu belum melakuka sesuatu
yang jahat dan dia belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi, siapa berada di
pihak benar ataupun salah maka Han Lin menahan diri dan hanya menonton dengan
penuh kewaspadaan. Sementara itu, hawa racun pembius itu mulai menguap dan meninggalkan Hui Lan.
Ia mulai sadar dan sejenak ia bingung. Akan tetapi gadis yang cerdik ini segera
teringat bahwa semalam ia minum anggur lalu terserang rasa kantuk, kini tahu-
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu ia digotong orang dalam keadaan kaki tangan terbelenggu. Maka tabulah ia
bahwa ia menjadi korban kejahatan. Melihat banyaknya orang disekitar tempat itu, Hui
Lan berhati-hati dan pura-pura masih pingsan. Ia membuka sedikit matanya dan
mengamati mereka yang dekat dengannya. Dilihatnya bahwa pedangnya kini
tergantung di pinggang seorang laki-laki tinggi kurus yang mempunyai golok
tergantung di punggung, itu orang inilah yang menangkapnya selagi ia tidur dan
merampas pedangnya. Pada saat itu, seorang laki-laki gendut muka bopeng berusia
sekitar lima puluh tahun mendekatinya, lalu meraba pipinya dan berkata.
"Ha, engkau akan menjadi selirku terbaru dan tersayang, Manis............!"
Hui Lan tidak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi. Akan tetapi ia cerdik
dan memaklumi bahwa ia terjatuh ke tangan orang-orang jahat yang mempunyai anak
buah puluhan orang dan agaknya di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu
silat tangguh. Maka ia tid ak mau sembarangan mengeluarkan kata kata. Ia harus
memperhitungkan keadaannya. Ketika dua orang yang menggotongnya itu, yang
agaknya memiliki tenaga kuat, memasukkan dan meletakkan tubuhnya dalam kereta
kemudian Si Gendut Muka Bopeng itu juga masuk dan duduk di dekat tempat ia
direbahkan telentang, mulailah Hui Lan menghimpun tenaga saktinya, perlahan-
lahan membiarkan tenaga saktinya bergerak menyusup ke seluruh tubuhnya,
kemudian mengumpulkannya ke dalam kedua pergelangan tangan dan kakinya.
Pada saat itu, agaknya Tong Koci pembesar gendut bopeng itu melihat ia mulai
bergerak. Pembesar Tong membungkuk dan mendekatkan mukanya pada muka Hui
Lan, hendak menciumnya dari berkata.
"Manisku, engkau sudah sadar" Mari ikut aku pulang dan bersenang-
senang............" Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan suara pekik melengking yang amat nyaring dan
belenggu kaki tangannya putus! Tangannya mendorong dan Tong Koo berteriak
karena tubuhnya terlempar keluar dari tandu lalu terbanting jatuh ke atas tanah.
Hanya terdengar bunyi "ngekkk!" dan pembesar itu tak bergerak lagi karena jatuh
pingsan! Tentu saja keadaan di situ menjadi gempar! Orang-orang tidak tahu apa yang telah
terjadi dan mengapa tahu-tahu Pembesar Tong itu terlempar keluar dari Kereta.
Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan keluar dari kereta dan bayangan
itu bukan lain adalah Hui Lan. Begitu keluar dari kereta, gadis perkasa ini
langsung saja melompat dan menerjang ke arah Sin-to Hui-houw, tangan kirinya
dengan dua jari meluncur ke arah pasang mata kepala perampok tinggi kurus itu. Gerakan Hui Lan
amat cepat dan tidak terduga sehingga Sin-to Hui-Houw yang banyak pengalaman
itu pun terkejut bukan main dan cepat menarik tubuhnya kebelakang dan kedua
tangannya bergerak melindungi matanya yang terancam buta! Akan tetapi pada saa
itu, tangan Hui Lan telah bergerak cepat ke arah pinggang kepala perampok itu
dan tahu-tahu pedang Ceng-hwa-kiam milik gadis itu yang tadi dirampas oleh Sin-
to Hui-houw kini telah kembali tangan Hui Lan!
"Keparat! Tangkap gadis liar ini!" Sin to Hui-houw berseru sambil mencabut
goloknya. Lima belas orang anak buahnya juga mencabut golok dan mengepung Hui
Lan. Bahkan juga lima belas orang per jurit pengawal Pembesar Tong sudah
mencabut pedang dan ikut pula mengepung. Mereka marah melihat majikan atau
atasan mereka dilempar keluar kereta. Hanya tiga bersaudara Sun Hente saja yang
berdiri diam dan ragu. Ketika diangkat menjadi pengawal Tong Taijin, mereka
sudah mengatakan kepada majikan mereka itu bahwa mereka tidak maudiperintah
melakukan kejahatan dan pekerjaan mereka hanyalah melindungi Pembesar Tong.
Tadi mereka terpaksa tidak dapat mencegah majikan mereka dilempar keluar karena
hal itu sungguh terjadi tanpa ada yang menyangkanya, tadi, begitu melihat Tong
Taijin terlempar keluar, mereka bertiga cepat Menghampiri dan memeriksa.
Ternyata Tong Taijin tidak menderita luka parah, Hanya terkejut dan terbanting
sehingga jatuh pingsan. Mereka mengangkat tubuh pembesar itu dan
merebahkannya di dalam kereta, dan kini mereka bertiga lalunya menonton karena
sebagai murid-murid Thian-san-pai mereka merasa malu kalau harus mengeroyok
seorang gadis remaja bersama lima belas orang anggauta perampok yang dipimpin
Sin-to Hui-houw yang lihai, ditambah pula dengan lima belas orang perajurit
pengawal pembesar kerajaan!
Sementara itu, Hui Lan berdiri tegak, alisnya berkerut, mulutnya membayangkan
kemarahan, sepasang mata yang Indah Itu mencorong, dan pedangnya telah
dihunus dan melintang depan dada, mengkilat kehijauan.
"Gadis Liar, menyerahlah engkau sebelum kami menggunakan kekerasan!" bentak Sin-
to Hui-houw dengan na kemenangan karena dia telah mengepu gadis itu dengan
tiga puluh orang anak buahnya dan perajurit.
"Manusia-manusia busuk, penge hinai" Kalian menangkap aku dengan cara yang
curang dan kotor, menggunakan pembius! Hai, manusia-manusia rendah budi,
sebelum aku memberi hajaran ke kepada kalian, katakan, mengapa kali melakukan
kejahatan ini kepadaku!"
Pertanyaan ini tidak ada yang menjawabnya karena Sin-to Hui-houw sendiri tidak
mempunyai alasan yang kuat. Dia melakukan penangkapan atas diri Hui Lan hanya
atas perintah Tong pembesar yang mata keranjang dan yang tergila-gila kepada
gadis itu. Keadaan menjadi sunyi karena pertanyaan gadis itu tidak terjawab.
Sin-to Hui-houw yang melihat tiga orang Sun Heng-te diam saja, bahkan tidak mau
ikut mengepung padahal mereka adalah pengawal-pengawal Tong Taijin, segera berseru.
"Sam-wi Sun Heng-te, kenapa kalian diam saja" Jawablah pertanyaan gadis ini,
mewakili Tong Taijin!"
Seorang di antara tiga bersaudara itu, yang tertua, menggelengkan kepala dan
mennjawab lirih. "Kami juga tidak tahu karena kami hanya menjadi pengawal, tidak
tahu betul akan urusan Tong Taijin ngan kalian atau dengan Nona ini."
Tiba-tiba Tong Taijin yang gendut itu Menjulurkan kepalanya keluar dari kereta.
"Sun Heng-te, kenapa kalian diam saja" Tangkap gadis itu! la adalah seorang
mata-mata pemberontak! Ketahuilah kalian semua bahwa ia adalah Ong Hui Lian, puteri dari
Ong Su bekas Kepala kebudayaan Kerajaan Chou dan masih anggauta keluarga
istana Chou. Nah, gadis ini sebagai keturunan keluarga Kerajaan Chou tentu
menjadi mata-mata sisa orang-orang Chou yang memberontak!Karena itulah aku
menangkapnya!" Dia berhenti sebentar untuk menenangkan pernapasannya yang
terengah-engah. "Hayo kalian semua bergerak, tangkap mata-mata itu, hidup atau
mati!" Mendengar ini, semua orang bergerak menyerang Hui Lan yang berada dalam
kepungan. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebatan, didahului si
pedang yang hijau bergulung-gulung dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan
senjata para pengeroyok beterbangan beberapa orang pengeroyok roboh dengan
lengan terluka goresan pedang atau roboh terkena tamparan tangan kiri atau
tendangan kedua kaki mungil Hui Lan Kehebatan gerakan gadis ini sungguh
mengejutkan semua orang. Dalam waktu singkat saja sepuluh orang di antara tiga
puluh orang anak buah yang mengeroyok itu telah roboh! Sisanya menjadi jera dan
menjaga jarak. Kini tiga orang kakak beradik Sung Heng-te setelah mendengar ucapan Tong Taijin
lalu mencabut pedang dan maju menghadapi Hui Lan Sin-to Hui-houw juga
menggunakan goloknya menyerang sehingga Hui Lan kini dikeroyok empat orang
yang memiliki ilmu silat cukup tangguh. Akan tetapi para anak buah kini hanya
mengepung dari jauh dan merasa jerih untuk ikut maju menyerang setelah sepuluh
orang rekan mereka roboh.
Han Lin yang mengintai dari puncak pohon bersama rajawalinya, kagum bukan main.
Kini dia tahu bahwa gadis itu ditangkap dengan obat bius dan dituduh menjadi
mata-mata, kini dikeroyok. Akan tetapi gadis itu lihai sekali sehingga Han Lin
menjadi kagum dan tahu bahwa dia harus membantu dan melindungi gadis Itu. Mudah
diketahui siapa yang jahat dalam peristiwa itu. Puluhan orang laki-laki
mengeroyok seorang gadis! Hal ini saja sudah memudahkan Han Lin siapa yang harus
dibelanya. Akan tetapi melihat sepak terjang gadis itu, dia hanya menonton dengan kagum dan
bersiap untuk menolong kalau gadis itu terancam bahaya.
Perkelahian itu memang seru dan hebat sekali. Kini Hui Lan menghadapi lawan-
lawan yang cukup tangguh. Empat orang pengeroyoknya tidak dapat disamakan
dengan puluhan anak buah yang tadi mengeroyoknya. Ilmu pedang tiga orang
bersaudara Sun Heng-te amat lihai, karena Thian-san-pai memang terkenal dengan
ilmu pedangnya. Adapun Sin-to Hui houw tentu saja ahli bermain golok sehingga
dia mendapat julukan Si Golok Sakti (Sin-to).
Gadis itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat. Ini pun tidak aneh Ong Hui
Lan adalah murid tunggal dari Tiong Gi Cinjin yang berjuluk Tu Kiam-ong (Raja
Pedang dari Timur) dan sudah mewarisi ilmu pedang dengan baik ditambah lagi ia bersilat
dengan Ceng hwa-kiam yang bersinar hijau. Tubuhnya berubah menjadi bayangan
yang dilindungi gulungan sinar hijau sebagai perisai. Bukan saja ia mampu
menghalau empat senjata lawan dengan sambaran sinar hijau yang menangkis,
bahkan ia pun mampu membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Berulang-ulang terdengar bunyi berdentang dan tampak bunga api berpijar ketika
sinar hijau itu bertemu dengan senjata empat orang pengeroyok.
Han Lin yang menonton dari atas pohon, harus mengakui bahwa ilmu pedang gadis
itu sudah mencapai tingkat yang tinggi dan permainan pedangnya sungguh indah,
mengandung kelembutan, namun memiliki daya tahan yang amat kuat. Karena
melihat betapa gadis itu dapat mengimbangi pengeroyokan empat orong itu, Han
Lin tidak mau turun tangan membantu.
Tiba-tiba terdengar Sin-to Hul-houw berseru nyaring.
"Suhu...........! Bantulah aku...........!!"
Akan tetapi tidak terdengar jawaban. Si Golok Sakti berseru mengulangi
perkataannya sampai tiga kali, barulah terdengar jawaban dari dalam pondok.
"Murid tolol! Bersama tiga orang mengeroyok seorang gadis muda masih tidak
mampu mengalahkannya, betapa memalukan!" Suara itu terdengar parau dan dari
dalam pondok muncul ah seorang kakek yang usianya sekitar tujuh puluh tahun,
mukanya penuh keriput dan tubuhnya kurus sekali, pakaiannya serba hitam dan dia
memegang sebatang tongkat hitam yang mirip Ular.
Begitu tiba di depan pondok dia langsung saja menyerang Hui Lan yang sudah
dikeroyok empat orang itu dengan tongkat ularnya. Dari atas Han Lin melihat
betapa serangan kakek bongkok ini dahsy sekali. Walaupun tubuhnya kurus dan bon
kok, namun ketika menyerang, gerakann mengandung tenaga dahsyat dan dari ujung
tongkat ularnya itu tampak sinar menghitam. Han Lin terkejut, apalagi melihat
gadis itu melompat ke belakang dengan kaget dan segera terdesak oleh empat orang
yang mengeroyoknya. Baru satu kali serangan saja kakek itu telah dapat membuat Hui
Lan terkejut mundur dan didesak para pengeroyoknya. Han Lin maklum bahwa kini
keadaaan gadis itu terancam bahaya, maka dia pun segera melayang turun di kuti
rajawali yang mengeluarkan pekik dahsyat.
Semua orang yang berada di bawah terkejut. Pada saat itu, Hui Lan terdesak dan
kakek kurus bongkok yang lihai itu, yang bukan lain adalah guru Sin-to Hui-houw
berjuluk Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) sudah mendorongkan tangan kirinya
ke arah Hui Lan yang sedang memutar pedang melindungi dirinya dari sambaran
empat batang senjata pengeroyoknya. Uap hitam menyambar keluar dari telapak tangan
kiri kakek itu. "Syuuttt........... blarrr......... !" Uap hitam terdorong dan terpental kembali
ke tangan Ban tok Mo-ko yang menjadi terkejut sekali sekali dan dia sudah
melompat ke belakang dan mengeluarkan seruan melengking.
"Tahan semua............ !!" Seruannya membuat muridnya, Sin-to Hui-houw, dan
tiga Sun Heng-te menahan senjata mereka dan berlompatan ke belakang dekat kain
bongkok itu. Hui Lan memandang kepada pemuda yang berdiri di dekatnya. Alisnya berperut. Ia
tahu bahwa pemuda yang tidak dikenalnya itu telah membantunya dan hal ini
membuat ia tidak senang. Ia tidak membutuhkan bantuan dan merasa masih
sanggup melawan semua pengeroyoknyal Mendengar kelepak sayap burung, semua
orang memandang ke atas dan burung rajawali itu kini menyambar turun dan
hinggap di atas cabang pohon yang tumbuh dekat tempat Han Lin berdiri.
Kini Ban-to Mo-ko sambil menatap tajam wajah pemuda itu, berkata, "Ho-ho, bocah
lancang! Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami" Dia mengangkat
tongkat ularnya dan menudingkan tongkat ke muka Han Lin "Apakah engkau sudah
bosan hidup, berani menentang aku Ban-tok Mo-ko?"
Han Lin pernah mendengar nama ini sebut gurunya sebagai seorang di antara datuk-
datuk sesat. "Lo-cian-pwe," katanya hormat. "Saya tidak ingin menentang siapa
pun tanpa sebab. Akan tetapi tadi saya melihat Nona ini dikeroyok puluhan orang
laki-laki gagah, kemudian malah Lo-cian pwe sebagai seorang datuk ikut
mengeroyok. Hal ini sungguh berlawanan dengan keadilan di dunia persilatan, maka terpaksa
saya datang untuk melerai menghentikan pengeroyokan yang tidak adil dan curang
ini." Mendengar ini, Ban-tok Mo-ko tampak malu dan rikuh sekali sehingga dia tidak
dapat segera menjawab, hanya berani ah-uh-uh saja seperti orang bingung.
"Heh, orang muda*" tiba-tiba terdengar suara dari dalam kereta. Tong Koo yang
bicara dengan keren. "Engkau gegabah, berani mencampuri urusan negara!
Ketahuilah, gadis ini adalah seorang mata-mata pemberontak, ia keturunan
keluarga Kerajaan Chou. Maka kami hendak menangkapnya. Kalau engkau membelanya,
berarti engkau ingin menjadi pemberontak pula!"
Diam-diam Han Lin terkejut. Kalau benar apa yang dikatakan orang gendut muka
bopeng yang melihat pakaiannya seperti seorang pembesar itu, keadaannya menjadi
gawat! Satu di antara nasihat-nasihat gurunya adalah bahwa dia sebaiknya tidak
membantu para pemberontak yang hanya menimbulkan kekacauan dan perang
yang akibatnya pasti menyengsarakan rakyat yang tidak tahu-menahu tentang
perebutan kekuasaan antara orang-orang yang haus akan kedudukan dan
kekuasaan. "Maaf, Nona. Benarkah engkau seorang pemberontak?" Han Lin memandang gadis itu
dan bertanya . Hui Lan cemberut. "Jahanam gendut bopeng itu bicara bohong! Aku memang masih ada
hubungan kekeluargaan dengan para bangsawan Kerajaan Chou, akan tetapi
aku bukan pemberontak dan tidak Ingin memberontak. Kalau memberontak
terhadap jahanam Itu, memang benar. Dia telah menyuruh kaki tangannya
menangkapku dengan obat bius dengan niat kotor dan hina. Orang macam dia
hanya mengotorkan dunia saja patut dihukum. Setelah berkata demikian, dengan
gerakan cepat sekali seperti seekor bur ung tubuhnya sudah melompat dan
meluncur ke arah kereta. Empat orang perajurlt yang berada dekat kereta cepat mengangkat pedang
menyambut Hui Lan, akan tetapi begitu sinar hijau berkelebatan, empat orang itu
terpelanting roboh dengan lengan teri dan pedang mereka terlempar.
"Tolonggg.............. tolooonggggg........... " Tong Koo menjerit-jerit sambil
berusaha melarikan diri setelah turun dari kereta akan tetapi sebuah tendangan
membuat dia terjungkal dan ketika sinar hijau pedang di tangan Hui Lan menyambar
pembesar itu berkaok-kaok dengan suara sengau dan menutupi mukanya yang sudah
tidak memiliki bukit hidung. Hidungnya telah dibabat putus oleh pedang Hui Lan
sehingga mengeluarkan banyak darah. Sejak saat itu Si Hidung gelang Tong Koo
harus diubah julukannya menjadi Si Hidung Buntung!
Melihat ini, ributlah para pengawal dan anak buah perampok. Sin-to Hui-houw,
tiga orang Sun Heng-te, dan juga Ban-tok Mo-ko berlompatan hendak menyerang Hui
Lan. Bahkan anak buah mereka yang masih ada sekitar dua puluh orang itu sudah
menggerakkan senjata untuk mengeroyok.
Akan tetapi Han Lin berkata kepada burung rajawali yang bertengger di atas
pohon. "Tiauw-ko, lindungi gadis itu!" Dia sendiri lalu melompat dan berada dekat Hui
Lan. Ketika Ban-tok Mo-ko menyerang dengan tongkat ularnya, Han Lin cepat menangkis
dengan Pek-sim-kian. yang telah dicabutnya.
"Trakkkkk............. !!" Tongkat ular itu terpental dan Ban-tok Mo-ko menjadi
semakin marah. Kini dia menujukan serangan-serangannya kepada Han Lin. Dia bukan
hanya menyerang dengan tongkat, akan tetapi juga dengan pukulan tangan kiri yang
mengandung racun dan tendangan kakinya. Namun, semua serangannya itu dapat
digagalkan oleh Han Lin dengan tangkisan dan elakan. Yang membuat kakek
bongkok itu terkejut adalah ketika dia mendapat kenyataan betapa pemuda itu
berani menangkis tangan beracunnya dengan tangan pula dan agaknya sedikit pun
hawa beracun tangannya tidak mempengaruhi pemuda itu! Bahkon setiap kali
beradu senjata atau tangan dia terdorong ke belakang sampai terhuyung, tanda
bahwa dia kalah banyak dalam kekuatan tenaga sakti.
Melihat gurunya agaknya kewalaha Sin-to Hui-houw segera datang membantunya.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Lin dikeroyok dua, akan tetapi pemuda itu bersikap tenang pengeroyokan itu
sama sekali tidak membuat dia sibuk, bahkan dia masih dapat membagi
perhatiannya untuk mengamati keadaan gadis itu.
Hui Lan kini dikeroyok tiga bersaudara Sun. Tadi, ketika dikeroyok empat orang
saja, ia mampu mengimbangi mereka, maka kini setelah Sin-to Hui-houw
meninggalkannya untuk mengeroyok pemuda itu tentu saja ia yang hanya dikeroyok
tiga orang berada di pihak yang lebih unggul". Ketika dua kelompok perajurit dan
anak buah perampok itu, sebanyak dua puluh orang, mulai maju mengeroyok Hui
Lan, tiba-tiba rajawali itu menyambar dari .atas. Tadi ketika Han Lin menyuruh
rajawali itu melindungi gadis itu, burung itu terbang tinggi dan kini dia
menyambar dan menyerang dua puluh orang yang sudah mengurung dan hendak
[mengeroyok Hui Lan. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan biar mereka berusaha untuk
melawan dan menyerang rajawali yang mengamuk itu, namun usaha mereka sia-sia
belaka karena pedang dan golok mereka terpental dan tubuh mereka
berpelantingan, terkena pukulan sepasang sayap, sepasang cakar dan serangan
paruh burung itu. Mereka menjadi jerih dan tidak berani melawan lagi, bahkan
mereka lalu lari meninggalkan tempat itu.
Pembesar Tong Koo masih merintih-rintih sambil menutupi hidungnya dengan dua
tangan yang sudah berlepotan darah. Tidak ada seorang pun yang melolongnya
karena semua anak buahnya lari ketakutan. Sementara itu, Sin-to Hui-Houw sibuk
sendiri membantu gurunya mengeroyok Han Lin dan mereka berdua juga mulai
bingung karena semua serangan mereka sama sekali tidak pernah meryentuh tubuh
pemuda itu. Tiga orang saudara Sun yang mengeroyok Hui Lan juga terdesak hebat.
Akhirnya, seorang dari mereka terpelanting oleh tendangan kaki kanan Hui Lan,
sedangkan orang kedua terguling dengan luka sabetan ujung pedang di pahanya.
Orang ke tiga terpaksa menjauhkan diri, merasa tidak kuat melawan seorang diri.
Melihat keadaan mereka yang jelas menderita kekalahan, Ban-tok Mo-ko yang licik
maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia sendiri akan sulit untuk dapat menyelamatkan
diri dari pemuda yang amat lihai itu. Maka ketika dia mendapat kesempatan, dia
berseru kepada muridnya. "Mari kita pergi!" Dia melompat belakang di kuti Sin-to Hui-houw. Tiba-tiba
kakek bongkok itu melemparkan sesuatu ke arah Han Lin dan Hui Lan.
"Nona, lari!" seru Han Lin dan cepat dia meluncur dan menyambar lengan Hui Lan,
dibawanya melompat jauh meninggalkan tempat itu.
Terdengar ledakan dan tampak hitam mengebul memenuhi tempat itu sehingga
menjadi gelap dan tercium bau yang amat keras dan busuk. Dari tempat yang agak
jauh pun Hui Lan masih dapat mencium bau busuk itu dan cepat menahan napas
dan semakin menjauh, telah yakin betul bahwa asap itu memang mengandung
racun yang amat jahat, Han Lin lalu menggunakan kedua tangannya untuk
mendorong ke depan Ada angin pukulan yang menyambar ke depan dan meniup
gumpalan asap hita itu. Melihat ini Hui Lan membantunya dengan pukulan jarak
jauh sehingga asap itu membuyar dan tertiup angin pukul dua orang muda perkasa
itu. Kemudia angin datang membantu dari samping dan ternyata burung rajawali itu
pun mengkibas-ngibaskan kedua sayapnya, menimbulkan angin dan gumpalan asap
itu segera tertiup pergi dan membubung ke atas.
Setelah asap hitam beracun yang dilepas Ban-tok Mo-ko melalui bahan peledak itu
menghilang dan tempat itu menjadi terang kembali, Hui Lan dan Han Lin melihat
bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang tadi mengeroyok tinggal. Agaknya
semua orang sudah melarikan diri ketika terdapat tabir asap hitam menutupi
pandangan main tadi. Karena sudah jelas bahwa pihak musuhtidak ada lagi, kini Hui Lan mengalihkan
perhatiannya kepada pemuda yang telah membantunya dan burung rajawali besar
itu. Ia merasa kagum melihat burung itu yang tadi membantunya dengan gagah,
membuat para anak buah yang mengeroyoknya berpelantingan. Juga diam-diam ia
merasa kagum kepada pemuda yang tampan, lembut dan tampak Masa seperti
orang yang tidak memiliki kepandaian silat, namun yang ia tahu memiliki ilmu
yang lihai sekali seringga mampu mengalahkan kakek bongkok kepala perampok tadi.
Setelah kini saling berhadapan dan perhatiannya tidak terbagi, Han Lin mendapat
kenyataan bahwa gadis itu memiliki kecantikan yang lembut, dan sinar matanya
menunjukkan ketegaran hati dan keberanian luar biasa. Han Lin teringat akan
gadis cantik dan lihai yang muncul dalam pertandingan perebutan gelar di Puncak
Thaisan. Dia merasa heran betapa dalam waktu yang tidak lama, berturut-turut dia
bertemu dengan dua orang, gadis muda belia yang demikian lihai. Gadis pertama di
Puncak Thai-san itu pun cantik jelita, lincah jenaka dan agak liar, akan tetapi
ilmu silat juga hebat. Sayang dia tidak tahu si nama gadis itu dan dari aliran
perguruan mana. Kini, dia bertemu lagi dengan seorang gadis muda belia yang
cantik dan juga lihai. Dibandingkan dengan gadis pertama, sikap gadis ini jauh
berbeda. Kalau yang pertama lincah jenaka,liar, gadis ke dua ini pendiam dan
lembut, namun memiliki wibawa yang kuat. Keduanya juga memiliki keberanian mengagumkan. Dia tidak
ingin melihat gadis Ini pergi tanpa berkenalan lebih dulu, maka Han Lin lalu
mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan berkata lembut,
sambil tersenyum ramah. "Maafkan aku, Nona. Setelah kita saling berjumpa dalam keadaan luar biasa ini
dan bersama-sama melawan orang-orang tadi, ingin aku memperkenalkan diri. Namaku
Si Han Lin dan kalau boleh, aku ingin mengenal namamu yang terhormat."
Hui Lan adalah murid Tiong Gi Cin-jin, seorang pertapa penganut Agama Khong-hu-
cu yang mengutamakan sikap susila dan sopan santun, cepat membalas
penghormatan itu. Akan tetapi. suaranya tidak begitu ramah karena ia masih
curiga apakah pemuda ini benar-benar me miliki Iktikad baik karena selama ini
yang ia temui adalah kenyataan betapa sebagian besar laki-laki berniat kurang ajar
terhadap wanita dan kalau ada ya bersikap sopan / lemah lembut, sikap ini pun
hanya merupakan cara mereka untuk merayu!
"Aku tidak ingin berkenalan dan tadi pun aku tidak minta bantuanmu untuk
melawan mereka, maka aku tidak merasa berhutang budi kepadamu. Akan tetapi
karena engkau sudah memperkenalkan nama, kalau engkau ingin mengetahui
namaku, aku adalah Ong Hui Lan."
Han Lin tersenyum. Gadis ini benar-benar bersikap tegas, akan tetapi juga
angkuh! "Terima kasih, Nona Ong. Aku tinggal di Puncak Cemara di Cin-ling-san, dan
engkau tinggal di manakah, Nona?"
Hui Lan mengerutkan alisnya. Baru saja bertemu, sudah bertanya nama dan setelah
diberitahu, kini tanya alamat lagi. Apa sih maunya pemuda ini" Aka tetapi
mendengar pemuda itu tinggal di Puncak Cemara, di Cin-ling-san, ia ter ingat
akan pemberitahuan gurunya bahwa ada seorang sakti bernama Thai Kek Siansu yang
tinggal di sana dan orang sakti itu memiliki sebuah burung rajawali raksasa, la
mengerling ke arah rajawali Itu, lalu menjawab sambil lalu.
"Aku Tinggal di Nan-king."
"Nona Ong, apa yang sesungguhnya terjadi tadi" Mengapa engkau ditawan oleh
mereka dan siapakah mereka itu?"
Sambil mengerutkan alisnya Hui Lan menjawab. "Sudahlah, mau apa sih
bertanyatanya" Aku harus mengejar mereka untuk memberi hajaran keras agar mereka
menjadi jera dan bertaubat untuk melakukan perbuatan curang dan jahat!"
Melihat gadis itu hendak pergi, Han Lin cepat berkata. "Nona Ong, lawan yang
sudah melarikan diri tidak perlu dikejar lagi. Memberi maaf adalah jauh lebih
baik daripada membalas dendam."
Hui Lan yang tadinya sudah memutar tubuh, kini menghadapi lagi pemuda Itu,
alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Kebaikan harus dibalas kebaikan
pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan hukuman yang setimpal agar si
jahat menjadi jera. Kalau semua orang seperti engkau, mudah memaafkan para
penjahat, dunia akan semakin kacau karena para penjahat berpesta pora, tidak
takut berbuat jahat karena pasti akan dimaafkan oleh orang-orang seperti engkau
Setelah berkata demikian, Hui Lan melompat jauh dan berlari cepat rneninggalkan
Han Lin yang berdiri tertegun. Akan tetapi dia lalu tersenyum geli. Bukan main Ong Hui
Lan itu! Begitu yakin bahwa kekerasan akan dapat menertibkan mereka yang
tersesat dan suka berbuat jahat. Dia teringat akan pengertian yang ditanamkan gurunya ke dalam sanubarinya,
pengertian yang telah membuka mata batinnya untuk melihat kenyataan dalam
kehidupan ini. Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari, dilatih, apalagi
dipaksakan dengan kekerasan. Kebaikan yang direkayasa seperti itu hanya akan
melahirkan orang-orang munafik yang melakukan apa yang dinamakan kebaikan karena merasa
takut, atau karena ingin mendapatkan "sesuatu" sebagai imbalan jasa kebaikan
yang dia lakukan. Sesuatu itu dapat berupa pujian, kebanggaan nama besar, balas
jasa, baik dari manusia atau pun dari Tuhan. Dengan demikian, apa yang dia lakukan
sebagai kebaikan hanya merupakan cara untuk mendapatkan sesuatu yang baginya
bernilai lebih, terutama lebih menyenangkan atau lebih menguntungkan, sebagai
tujuan akhirnya! Kebaikan bukanlah kebaikan lagi kalau menjadi tujuan.
Kalau ada Kasih dalam diri, maka apa pun yang dilakukannya, sudah pasti baik
bagi orang lain, tanpa dia menganggap bahwa apa yang dia lakukan adalah
perbuatan baik. Kalau ada seorang ibu menimang-nimang anaknya, ia sama kali tidak merasa
melakukan perbuatan baik. Kalau ada orang melihat orang lain dalam kesusahan
lalu timbul perasaan iba dan segera menolongnya, dia pun tidak menyadari bahwa
dia melakukan perbuatan baik. Perbuatan spontan seperti ini, demi kepentingan orang
lain, muncul dari dalam sebagai bunga dan buah dari pohon kasih.
Sebatang pohon mengeluarkan bunga dan buah di mana saja dia berada, tanpa
maksud untuk melakukan suatu kebaikan juga tidak ditujukan kepada siapa pun
juga. Keharuman bunga dan buahnya tersiar ke mana-mana, dapat dinikmati siapa
saja, juga tidak apa-apa andai tidak ada yang menikmatinya. Demikianlah Kasih
yang terdapat dalam sebuah benda di alam maya pada. Sinar matahari pun bersinar
memberi kehangatan dan kehidupan kepada siapa saja tanpa bermaksud untuk
memberi kebaikan, maka sekali tidak mempunyai tujuan bagi orang lain maupun
bagi dirinya diri. Keadaan dirinya, seperti apa nya, itulah apa yang disebut
kebenaran atau kebaikan, keharumannya bukan sengaja diharum-harumkan, karena
mereka sudah harum. Dirinyalah keharuman sendiri, apa adanya, wajar.
"Kuek-kuek-kuek..........!" Rajawali berbunyi dan Han Lin tersenyum.
"Maaf, Tiauw-ko, aku tenggelam dalam lamunan sampai lupa padamu." lalu
menghampiri rajawali itu yang mendekam dan setelah Han Lin lompat ke atas
punggungnya, rajawali itu mengeluarkan seruan girang lalu dia pun terbang.
ooOOoo Pada suatu hari, di tanah datar yang rada di puncak di mana perkumpulan Hong-
san- pai berada, tampak seorang muda sedang berlatih silat seorang diri. Tanah datar
itu terletak di bagian bekang perkampungan Hong-san-pai yang berada di Puncak
Hongsan. Hawa udara pagi itu dingin sekali, akan tetapi pemuda yang berlatih
silat tangan kosong itu hanya memakai celana panjang tanpa baju sehingga
tubuhhya dari pinggang ke atas telanjang. Tampak tubuh yang kokoh, kuat, dengan otot-otot
tersembul dan tubuh itu penuh keringat karena sudah sejak pagi sekali dia
berlatih silat. Pemuda itu selain bertubuh kokoh kuat dan tegap, Juga berwajah
tampan gagah. Rambutnya hitam dan panjang, digelung keatas dan di kat sutera merah.
Mukanya terbentuk persegi sehingga tampak jantan. Sepasang matanya tajam
mencorong dan terkadang tampak bengis namun bola mata yang bergerak-gerak
cepat itu membayangkan kecerdikan. Mulutnya selalu dihias senyum sinis seperti
orang mengejek dan memandang rendah apa saja yang dilihatnya.
Tiba-tiba dia menghentikan latihan lalu menghapus keringatnya dengan sehelai
kain. Pemuda itu adalah puteraPangeran Chou Ban Heng, yaitu Chou Kian Ki. seperti
telah kita ketahui, Chou Kian Ki dilatih ilmu silat oleh tokek gurunya sendiri,
yaitu Hongsan Siansu yang menjadi gurunya. Kemudian dia menerima gemblengan dari
tokoh- tokoh atau datuk yang mendukung gerakan ayahnya, yaitu selain digembleng kakek
gurunya Hong-san Siansu, pun dilatih oleh K wan In Su yangberjuluk Kanglam Sin-
kiam dan Im Yang Tosu yang selain ilmu silat, juga memiliki ilmu sihir. Kini,
usia Chou Kian Ki sudah dua puluh lima tahun dan dia amat tekun mempelajari ilmu
silat tinggi sehingga tingkat kepandaiannya sudah dapat mengimbangi tingkat
guru-gurunya! Dia bahkan dapat menggabungkan ilmu silat dari Hong-san Siansu, Kwan In Su, dan
Im Yang Tosu. Chou Kian Ki memanggil para anggauta Hong-san-pai yang kebetulan berada tak
jauh dari situ. Sepuluh orang murid Hong-san-pai menghampirinya.
"Pergunakan senjata kalian dan keroyoklah aku. Aku sedang melatih gabungan Tiga
Silat Sakti. Jangan ragu, seranglah dengan sungguh dan. kerahkan seluruh tenaga
kalian!" Sepuluh orang murid itu sudah tahu akan kelihaian Chou Kian Ki dan sudah
seringkali mereka mengeroyok dan dibuat jatuh bangun oleh pemuda itu. Merek-ragu
bukan takut melukai Kian Ki, sebaliknya ragu karena tidak ingin terluka
"Hayo cepat lakukan! Mengapa kalian diam saja?" bentak Kian Ki.
"Chou Kongcu (Tuan Muda Chou), kasihanilah kami. Kami takut terpukul dan tewas
dalam latihan ini." kata seorang di antara mereka.
"Bodoh kalian! Biarpun dengan mudah aku akan mampu membunuh kalian, akan
tetapi mengapa aku harus membunuh Kalian, adalah anggauta Hong-san-pai anak
buah sendiri. Aku tidak akan membunuh kalian. Hayo cepat serang aku!"
Para anggauta itu takut kepada Kia K i karena kalau putera pangeran ini melapor
kepada Hong-san Pang-cu, ketua mereka, yaitu Hong-san Sian-su, merek tentu akan
mendapat marah besar. Mereka saling pandang dan terpaksa mengeluarkan senjata
masing-masing. Ada yang memegang toya (tongkat), ada yang memegang golok dan
ada pula yang mencabut pedang.
"Kongcu, kasihanilah kami dan jangan memukul terlampau keras!" kata seorang dari
mereka dan sepuluh orang itu lalu mengepung dan mulai menyerang Kian Ki dengan
senjata mereka. Dari pengalaman mereka maklum bahwa mereka harus menyerang
dengan sungguh-sungguh karena biasanya, yang main-main dan tidak bersungguh-
sungguh akan menerima pukulan paling keras.
Setelah sepuluh orang itu serentak menyerang, Kian Ki bergerak dengan cepat dan
kuat. Tubuhnya bergeser kesana sini, menangkis dan mengelak sambil memainkan
jurus-jurus campuran tiga macam ilmu silat yang telah dia gabungkan. Akibatnya
hebat. Golok dan Pedang yang tajam dia sambut dengan lengan begitu saja dan
senjata-senjata Para pengeroyok itu ada yang patah dan sebagian pula terlempar,
disusul terpentalnya sepuluh orang itu seolah-olah disambar oleh kekuatan
dahsyat yang tak tampak. "Bagus! Engkau telah rr?emperoleh banyak kemajuan dalam ilmu silat gabungan
yang kau rangkai itu, Kian Ki!"
Chou Kian Ki cepat memutar tubuhnya dan tiga orang gurunya itu sudah berdiri di
situ. Hong-san Siansu Kwee Cin Lok yang juga menjadi Hong-san-pangcu, Kanglam
Sin-kiam Kw'an In Su, dan Im Yang tosu. Segera dia memberi hormat dan berkata
kepada Hong-san Siansu yang sesungguhnya merupakan kakek gurunya.
"Berkat bimbingan Sukong (Kakek Guru) dan Jiwi Suhu (Guru Bertiga)!"
"Bersiaplah, dan pertahankan diri baik-baik! Kami bertiga akan mengeroyokmu!"
kata Hongsan Siansu dan be sama Kwan In Su dan Im-yang Tosu dia lalu maju dan
tiga orang guru itu Ialu menyerang dan mengeroyok murid mereka.
Kian Ki yang maklum bahwa biarpun tiga orang tua itu hanya mengujinya namun
mereka menyerang dengan sun guh-sungguh sambil mengerahkan tenaga mereka
sehingga biarpun seandainya di terkena serangan tidak sampai tewas setidaknya
dia akan menderita luka yang cukup nyeri. Maka dia pun mengerahka seluruh tenaga
dan mainkan ilmu silai gabungan itu, melakukan perlawanan mati-matian! Dia bukan
hanya mempertahankan diri, akan tetapi juga membala dengan serangan-serangan
yang cukup berbahaya. Tiga orang tua Itu merasa gembira sekali dan mereka menyerang dengan sungguh-
sungguh . karena mereka sudah sepakat bahwa ujian ini merupakan ujian terakhir.
Tidak ada yang dapat mereka ajarkan lagi kepada Kian Ki. Mereka sudah bersepakat
tadi bahwa kalau pun mereka itu dapat bertahan sampai lima puluh jurus terhadap
serangan mereka bertiga, maka dianggap lulus.
Dan ternyata Chou Kian Ki memang hebat sekali. Dia bukan saja mampu bertahan,
bahkan dia dapat membalas dan sempat beberapa kali membuat Kwan In Su atau
Im-yang Tosu terdesak mundur! Setelah lewat lima puluh jurus Hongsan Siansu
berseru, "Cukup!" Dan dia bersama dua orang guru lain lompat ke belakang.
Dengan tubuh penuh keringat akan tetapi pernapasannya tidak terengah-engah
Chou Kian Ki berdiri menghadap tiga orang gurunya dan bertanya kepada kakek
gurunya.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana, Su-kong. Apakah masih banyak kekurangan teecu?"
"Hebat, Kian Ki, engkau telah lulus ujian terakhir! Kini tidak ada lagi yang
dapat kami ajarkan kepadamu!" kata Hongsan Siansu dengan gembira sekali.
"Siancai! Pinto sendiri kiranya tidak akan mampu mengalahkanmu, Kian Ki!" kata
Im-yang Tosu. "Kami benar-benar bangga kepadamu, muridku! Tidak sia-sia kami mengemblengmu
dengan tekun. Engkau tidak mengecewakan, bahkan membuat kami merasa bangga
sekali. Kalau masih ada perebutan gelar Thian-te Te-it Bu-hiap, kami yakin
engkau akan keluar sebagai juaranya." kata Kwan In Su. "Bahkan tanpa mengujimu
pun aku tahu benar bahwa ilmu pedangmu sudah mencapai frngkat tertinggi sehingga
kelak engkau berhak memakai gelar Kiam-ong (Raja ledang)!"
Mendengar ucapan tiga orang gurunya Itu, Kian Ki yang memang memiliki dasar
watak tinggi hati dan angkuh, tersenyum dan wajahnya yang tampan dan jantan itu
berseri-seri, sepasang matanya bersinar dan dia mengangkat dadanya yang bidang
dengan perasaan puas dan yakin bahwa tidak ada orang mura lain di dunia ini yang
akan mampu menandinginya!
"Sukong dan Jiwi Suhu, teecu tidak ingin memperebutkan gelar yang tidak ada
artinya itu. Teecu akan membantu perjuangan Ayah dan melanjutkan sampai
tercapai cita-cita Ayah, yaitu menumbangkan pemerintahan Sung dan membangun
kembali Kerajaan Chou. Ayah atau teecu yang kemudian menjadi kaisar Kerajaan
Cr?oul!" Ucapan itu terdengar nyaring penuh wibawa sehingga tiga orang itupun tertegun
kagum, seolah mendengar murid mereka itu mengucapkan sumpah.
Tiba-tiba terdengar suara tawa dan empat orang itu terkejut bukan Bahkan belasan
orang murid Hong-san-pai yang berada di situ semua terpelanting dan menutupi
telinga mereka dengan kedua tangan karena suara tawa yang aneh itu mengandung
getaran yang amat hebat. Seolah-olah ada jarum-jarum runcing memasuki telinga
mereka! ChouKianKi dan tiga orang gurunya cepat mengerahkan tenaga dalam untuk
melindungi telinga dan jantung mereka sehingga tidak sangat tersiksa oleh
getaran suara tawa Itu. Suara tawa itu seolah terdengar dari atas mereka!
"Ha-ha-ha, manusia-manusia sombong dan picik! Baru dapat memiliki kepandaian.
seperti itu saja sudah bercita-cita menumbangkan Kerajaan Sung" Ha -ha-ha bodoh
dan sombong! Suara itu pun terdengar dari atas. Akan tetapi tidak ada orang di
dekat situ, juga di atas tidak tampak ada mahluk hidup.
Chou Kian K i yang tadi merasa paling hebat, tentu saja kini merasa terhina dan
direndahkan. Dia marah sekali dan sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang,
dia berseru. "Hei, engkau setan ataukah manusia" kalau manusia keluarlah dan jangan
bersembunyi seperti seorang pengecut Hadapilah dan lawan aku kalau memang kau
memiliki kepandaian, jangan hanya menjual omong kosong sambil ber sembunyi!!"
Hongsan Siansu dan dua orang kawannya merasa menyesal atas kesombongan
murid mereka karena mereka bertiga yang lebih berpengalaman dapat menduga
bahwa yang bersuara itu adalah seorang yang memiliki sin-kang amat kuat.
"Huh, bocah sombong. Engkau ini siapakah telah membuka mulut lebar hendak
menumbangkan Kerajaan Sung dan hendak menjadi kaisar kerajaan Chou yang
sudah runtuh?" "Aku Chou Kian K i, keluarga istana Kerajaan Chou. Ayahku adalah Pangeran Chou
Ban Heng, keturunan mendiang Kaisar Chou Ong yang berhak menjadi Kaisar
Kerajaan Chou! Hayo, perlihatka dirimu kalau engkau berani!"
Tiba-tiba bertiup angin dan dari jauh tampak sesosok bayangan melayang datang!
Ternyata orang ini tadi bicara dari tempat jauh dan ini saja membuktikan
kehebatannya. Setelah tiba di depan mereka, kakek itu berdiri sambil memandang
mereka satu demi satu dan mulutnya tersenyum mengejek.
Empat orang dan para anggauta Hong-san-pai memandang kepada kakek yang baru
datang itu dengan mata terbelalak Dia sudah tua sekali, rambut, jenggot, dan
kumisnya sudah putih semua, mengkilap seperti benang-benang sutera putih.
Pakaiannya juga dari kain putih yang dilibat-libatkan pada tubuhnya. Usia kakek
Ini tentu sudah mendekati seratus tahun, sedikitnya sembilan puluh lima tahun!
Melihat kakek itu sudah demikian tua dan kemunculannya demikian aneh, timbul
juga perasaan segan di hati Chou Kian Ki sehingga dia diam saja, hanya memandang
dengan heran. Adapun Hong-san Siansu dan dua orang rekannya yang sudah
memiliki banyak pengalaman, walaupun tidak mengenal siapa adanya kakek tua
renta itu, mereka dapat menduga bahwa yang datang adalah seorang datuk yang
sakti. Hongsan Siansu lalu merangkap kedua tangan depan dada, memberi hormat dan
berkata lembut. "Saudara tua, selamat datang di Hong-san-pai dan perkenankan
kami memperkenalkan diri. Aku adalah ketua Hong-san-pai berjuluk Hong-san
Siansu. Ini adalah dua orang rekanku, Kanglam Sin-kiam Kwan In Su, dan lm Yang
Tosu. Pemuda ini adalah putera Pangeran Chou Ban Heng, bernama Chou Kian Ki
dan dia menerima pelajaran dan kami bertiga. Kaiau boleh kami mengatahui,
siapakah nama Saudara tua yang mulia dan terhormat?"
Melihat sikap Hongsan Siansu yangbaik, kakek itu mengangguk-angguk. "Memakai
nama apa pun juga, aku tetap saja begini. Akan tetapi kalau kalian ingin tahu,
sebut saja aku Thian Beng Siansu."
Tiga orang datuk itu mengingat-ingat akan tetapi rasanya belum pernah mereka
mendengar akan nama ini. "Terimalah hormat kami, Siansu yang mulia. Kalau Siansu hendak memberi petunjuk
kepada murid kami, silakan dan kami akan berterima kasih sekali." kati pula
Hongsan Siansu dengan sikap hormat
"Aku tadi lewat dan kebetulan melihat dan mendengar apa yang terjadi sini. Aku
tertarik mendengar bahwa pemuda ini demikian bersemangat hendak membangun
kembali Kerajaan Chou dan menumbangkan Kerajaan Sung. Aku kagum akan
semangatnyang yang besar. Akan tetapi setelah aku melihat kepandaiannya, aku
kecewa. Dengan kepandaian serendah itu, bagaimana mungkin dia akan
membangun kembali Kerajaan Chou" Hmmm, dia akan jatuh sebelum dia mulai!"
Mendengar ucapan yang sangat memandang rendah ini, Hongsan Siansu dan tiga
orang rekannya menjadi penasaran juga. Apalagi Chou Kian Ki. Dia mengerutkan
alisnya dan kemarahannya bangkit kembali. Akan tetapi melihat sikap guru-gurunya
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7 Pendekar Rajawali Sakti 16 Rahasia Kalung Keramat Tiga Naga Sakti 7