Pencarian

Suling Pusaka Kumala 1

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Suling Pusaka Kumala Karya : Asmaraman S. - Kho Ping Hoo
Jilid I PEKIK dan sorak sorai peperangan Itu menggegap gempita menjulang tinggi ke
angkasa. Betapapun pasukan kerajaan Beng melakukan
perlawanan mati-matian namun mereka telah terkepung ketat, di tempat terbuka dan
lebih mencelakakan lagi, mereka bertempur dalam keadaan kehabisan ransum dan
air. Lapar dan haus melemahkan semangat dan tenaga mereka sehingga pasukan itu
akhirnya dipukul mundur cerai berai oleh pasukan Mongol yang sudah terbiasa
perang di tempat yang liar terbuka seperti peperangan di kota Huai Lai, di
perbatasan utara kerajaan Beng dan bangsa Mongol itu.
Pasukan Mongol, dikepalai oleh panglima-panglima atau kepala-kepala suku Mongol
dan gagah perkasa, telah menyerbu ke dalam dan
mengepung perkemahan di mana terdapat Kaisar Cheng Tung. Para
pengawal berserabutan keluar dengan pedang dan lembing dan
melakukan perlawanan mati-matian untuk melindungi kaisar mereka.
Namun, jumlah mereka jauh kalah banyak dan satu demi satu para pengawal itupun
roboh bergelimang darah. Terjadilah pembantaian di perkemahan itu.
Kepala suku Mongol yang juga menjadi panglima besar yang memimpin penyerbuan itu
adalah Kapokai Khan, seorang pria berusia empat puluh tahun yang tinggi besar
dan gagah perkasa. Dia melompat turun dari kudanya dan di kuti belasan orang
perwira pembantu dan pasukan di belakangnya, dia menyerang terus ke dalam
perkemahan. Setelah tiba di dalam, dia berhenti dan memandang tertegun. Di sana, di tengah-
tengah perkemahan itu, tampak Kaisar Cheng Tung duduk seorang diri di atas
permadani, tenang dan diam, sedikitpun tidak tampak gugup atau ketakutan. Di
sekelilingnya tampak tubuh para pengawalnya bergelimpangan bermandikan darah
mereka sendiri. Wajah itu tampak tampan dan tenang, masih anggun dan agung dan
ketika dia melihat Kapokai Khan, kepala itu dikedikkan, lehernya agak tegak dan
sepasang mata yang tajam mencorong memandang kepada kepala suku itu penuh
keberanian. Kepala suku Mongol Kapokai Khan adalah seorang panglima besar, seorang yang
menjunjung tinggi kegagahan. Dia masih keturunan Kublai Khan dan ketika
pemerintah kerajaan Mongol jatuh, dia masih seorang bayi yang dapat dilarik oleh
seorang pengawal. Kini, melihat laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh
tahun itu duduk begitu tenangnya, dengan sikap agung seorang raja besar,
dikelilingi pengawal yang berserakan tumpang tindih menjadi mayat bergelimang
darah dalam suasana yang sunyi, Kapokai Khan menjadi terpesona.
Dia merasa seperti melihat seekor naga melingkar di situ, penuh ketabahan,
sedikitpun tidak gentar walaupun sudah jelas bagaimana nasibnya, dikepung
pasukan musuh yang masih memegang senjata yang berlepotan darah di tangan.
"Bunuh Kaisar Beng....!" Tiba-tiba seorang panglima melompat dan goloknya
terayun ke arah leher orang muda yang duduk dengan tenang itu. Kepala itu
sedikitpun tidak bergerak, seperti sebuah arca ketika golok menyambar ke arah
lehernya. "Tranggggg....!" Golok yang menyambar leher itu terpental oleh sebatang pedang
yang berada di tangan Kapokai Khan.
Kepala suku ini dengan kecepatan luar biasa telah meloncat dan menangkis
serangan itu. Penyerangnya terbelalak, juga para panglima yang lain.
"Kapokai Khan! Dia adalah Kaisar Beng" Dia adalah musuh besar kita yang harus
mati!" beberapa orang berseru dengan penasaran.
Kapokai Khan yang tinggi besar itu melintangkan pedangnya dan berdiri menghalang
di depan Kaisar Cheng Tung, suaranya terdengar menggelegar dan penuh wibawa.
"Aku adalah Kapokai Khan yang besar, selalu menghargai kegagahan dan kejantanan.
Aku melihat Kaisar ini seorang yang sama sekali tidak takut mati, dengan gagah
berani dan mata terbuka menghadapi ancaman
bahaya kematian. Bagaimana aku dapat membiarkan orang segagah dia mati"
Tidak, dia akan menjadi tawananku, juga tamu kehormatanku dan barang siapa
berani mengganggunya, menyentuh rambutnya, akan berhadapan dengan pedangku. Aku,
Khan Yang Besar, telah bicara!"
Semua orang terbelalak mendengar kata-kata dan melihat sikap Kapokai Khan ini
dan kini semua orang memandang kepada pria yang duduk di atas permadani itu.
Dia memang seorang pria yang gagah dan tampan. Usianya sekitar tiga puluh tahun,
bertubuh tinggi tegap memakai pakaian kebesaran kaisar yang gemerlapan.
Rambutnya digelung ke atas dan ditutup mahkota yang berkeredepan dihias permata.
Pandang matanya mencorong, sedikitpun tidak memperlihatkan kegugupan atau rasa
takut, seolah-olah dia tidak sedang dikepung pasukan musuh, melainkan dihadap
hulubalangnya. Di bibirnya yang merah tersungging
senyuman penuh percaya diri sendiri. Dia adalah Kaisar Cheng Tung (1437
- 1465), kaisar dari Kerajaan Beng. Dia adalah keturunan dari Chu Yuan Chang,
pendiri dari Kerajaan Beng yang berhasil meruntuhkan kerajaan Mongol yang besar
dan mengembalikan tanah air di bawah kekuasaan bangsa sendiri.
Kaisar Cheng Tung adalah cucu buyut Kaisar Yung Lo, pendiri istana kerajaan di
Peking yang dipindahkan dari Nanking.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pendiri Kerajaan Beng yaitu Chu Yuan Chang,
menjadi kaisar pertama Kerajaan Beng dan berpusat di Nanking. Untuk
mempertahankan diri dari ancaman bangsa Mongol yang sudah diusir kembali ke
utara, Kaisar Chu Yuan Chang menempatkan seorang di antara puteranya, yaitu
Pangeran Yen, untuk memimpin pasukan besar dan berjaga di Peking, benteng
sebelah utara yang dapat membendung gangguan bangsa Mongol dari utara.
Kaisar Chu Yuan Chang atau dikenal pula sebagai Kaisar Hung Wu, meninggal dalam
tahun 1398 setelah memimpin kerajaan selama tiga puluh tahun dengan sukses. Akan
tetapi putera sulungnya meninggal dunia sebelum menggantikannya sebagai kaisar,
oleh karena itu yang menggantikan kedudukan kaisar adalah cucunya bernama Hui Ti
yang diangkat menjadi Kaisar ketika berusia enam belas tahun.
Pengangkatan Hui Ti yang muda sebagai kaisar ini menimbulkan perang saudara.
Pangeran Yen yang menjadi panglima di Peking merasa tidak setuju dan merasa
lebih berhak untuk menggantikan ayahnya menjadi kaisar setelah kakak sulungnya
meninggal. Oleh karena itu, dia mengerahkan pasukannya menyerbo ke Nan-king,
untuk memaksa Hui Ti, keponakannya turun tahta dan menyerahkan kepemimpinan
kerajaan kepadanya. Karena kemampuannya sebagai seorang panglima dan karena
memang sebagian besar pasukan berada di bawah kepemimpinannya, dia berhasil.
Kaisar Hui Ti yang muda melarikan diri dan biarpun Pangeran Yen berusaha mencari
keponakannya itu, dia tidak berhasil dan Kaisar Hui Ti tetap lenyap dan
dilupakan orang. Nan-king yang diserbu oleh Pangeran Yen dari Peking itu jatuh dalam tahun 1402
dan sejak saat itu, Pangeran Yen mengambil alih kerajaan dan mengangkat diri
menjadi Kaisar dengan sebutan Kaisar Yung Lo. Dia memindahkan pusat kerajaannya
ke Peking dan membangun Peking
sebagai kota raja yang amat besar dan indah, penuh dengan istana-istana yang
demikian megahnya sehingga terkenal sampai jauh ke negeri-negeri barat. Kaisar
Yung Lo, pendiri Peking itu, menjadi kaisar selama 1402-1425. Dalam usia tua,
dia masih sering memimpin sendiri pasukannya untuk mengadakan penyerbuan ke
Mongolia luar, menghantam
kedudukan bangsa Mongol yang menjadi musuh besarnya.
Dia meninggal dalam perjalanan pulang dari serbuan ke utara itu, dalam tahun
1425. Penggantinya adalah Kaisar Hung Hwi, puteranya.
Akan tetapi Kaisar ini berpenyakitan dan meninggal dunia karena penyakit di
tahun itu juga. Kedudukan Kaisar lalu diserahkan kepada cucu Yung Lo yang
bernama Hsuan Te yang juga merupakan kaisar yang berusia pendek dan memerintah
selama sebelas tahun. Oleh karena kematiannya itu, maka yang diangkat menjadi kaisar adalah puteranya,
atau cucu buyut Kaisar Yung Lo, yaitu Kaisar Cheng Tung yang pada waktu itu baru
berusia delapan tahun! Oleh karena Cheng Tung baru berusia delapan tahun ketika diangkat menjadi
kaisar, maka dengan sendirinya pemerintahan kerajaan dipegang oleh Ibu Suri dan
para pembantunya, yaitu para thai-kam (sida-sida).
Kaisar Cheng Tung sendiri, karena usianya yang amat muda, dan karena
kedudukannya, terkurung di dalam istana dan oleh Ibu Suri dia dijejali pelajaran
sastera dan filsafat, dipersiapkan untuk kelak menjadi seorang kaisar yang
bijaksana. Namun, karena dikelilingi oleh para thai-kam yang pandai menjilat,
tidak urung kaisar ini terperosok ke dalam pengaruh para thai-kam.
Ketika dia sudah berusia dewasa, dia menjadi kaisar yang bijaksana namun lemah,
mempercayakan segalanya kepada seorang di antara kepala thaikam yang berpengaruh
di waktu itu. Thaikam ini bernama Wang Chin, seorang thaikam yang berasal dari
Huai Lai, yaitu kota di perbatasan Mongol.
Dalam tahun 1450, ketika usia Kaisar Cheng Tung sudah hampir tiga puluh tahun.
Thaikam Wang Chin membujuk Kaisar Cheng Tung untuk
mengadakan perjalanan ke tapal batas tanah yang dikuasai bangsa Mongol dan
berkunjung ke Huai Lai, yaitu tempat yang menjadi kampung halaman Wang Chin. Dia
hendak memamerkan pengaruhnya dan ingin menjamu sang kaisar di kampung
halamannya. Kaisar Cheng Tung yang sudah biasa terbujuk dan menuruti omongan manis Wang
Chin, sekali ini juga memenuhi permohonannya. Bahkan, bukan saja dia memenuhi
permintaan Wang Chin untuk melakukan
perjalanan ke utara, namun diapun mengangkat Wang Chin menjadi panglima yang
memimpin pasukan yang mengawal perjalanan itu.
Tentu saja para panglima tua, yang dahulu pernah berjuang dengan gagah beraninya
di samping mendiang Kaisar Yung Lo. yang sudah penuh pengalaman melakukan
penyerbuan ke Utara, menjadi khawatir sekali.
Mereka mengusulkan kepada Kaisar muda itu untuk mengangkat panglima yang lebih
berpengalaman, akan tetapi semua itu dikesampingkan Kaisar Cheng Tung yang sudah
percaya penuh kepada Thaikam Wang Chin.
Demikianlah, perjalanan itu dilakukan, dikawal oleh sepuluh ribu orang pasukan
vang dipimpin oleh Wang Chin yang sama sekali tidak
berpengalaman. Ketika pasukan tiba di Huai Lai, kepala suka, Mongol, Kapokai
Khan, mendengar tentang perjalanan kaisar ini. Dia menyebar mata-mata dan segera
mendapat keterangan bahwa pasukan yang
mengawal kaisar itu sudah berada dalam keadaan lelah setelah melakukan
perjalanan jauh juga bahwa perbekalan mereka sudah hampir habis, kelaparan dan
kehausan. Sebagai seorang kepala suku yang berpengalaman, dia tahu bahwa pasukan itu bukan
dipimpin oleh seorang panglima yang pandai. Oleh karena itu, diapun mengerahkan
pasukannya untuk mengepung dan
menyerbu pasukan kerajaan Beng tidak jauh dari Huai Lai, dekat Nan Kou di
sebelah dalam Tembok Besar.
Pasukan kerajaan Beng yang kelelahan, kelaparan dan kehausan itu hancur
berantakan dan sebagian besar melarikan diri meninggalkan kaisar dan pengawalnya
di perkemahan. Para pengawal melindungi kaisar dan bertempur mati-matian sampai akhirnya tak
seorangpun di antara mereka hidup dan mayat mereka bertumpukan dan berserakan di
dalam kemah. Akan tetapi, ketenangan dan ketabahan hati Kaisar Cheng Tung membuat Kapokai
Khan terpesona dan kagum bukan main. Dia sendirilah yang melindungi Kaisar Cheng
Tung, merasa bangga bahwa dia telah dapat menawan seorang kaisar yang demikian
gagah beraninya! Thaikam Wang Chin dan semua pembantunya terbunuh dalam perang itu, dan para
perajurit yang berhasil meloloskan diri berlari pulang ke selatan memberi kabar
tentang malapetaka itu. Biarpun Ibu Suri dan para menteri mendengar bahwa Kaisar Cheng Tung tidak
terbunuh melainkan tertawan, namun untuk tidak membiarkan singgasana kosong,
maka diangkatlah Kaisar Ching Ti, adik Kaisar Cheng Tung, menjadi kaisar
pengganti. Kapokai Khan dan para pembantunya mengepung Kaisar Cheng Tung dan atas isarat
Kapokai Khan, seorang juru bicaranya yang pandai bahasa Han segera berkata
dengan suara memerintah kepada Kaisar Cheng Tung.
"Atas perintah Yang Mulia Kapokai Khan Yang Besar, engkau diharuskan bangkit
berdiri dan mengikuti kami sebagai seorang tawanan perang!"
Kaisar Cheng Tung mengangkat muka dan memandang si pembicara
dengan sinar mata merendahkan.
"Kami Kaisar Cheng Tung dari kerajaan Beng yang Jaya sama sekali tidak sudi
menerima perintah dari siapapun juga!"
Penterjemah itu terkejut dan segera menyampaikan jawaban ini kepada Kapokai
Khan. Kepala suku ini membelalakkan matanya, akan tetapi dia bahkan tertawa
bergelak dan menjadi semakin kagum.
"Kalau engkau membangkang, engkau akan disiksa sampai mati!" kembali penterjemah
itu berkata garang. Kaisar Cheng Tung tersenyum. Senyumnya lepas bebas keluar dari hati, tidak
dibuat-buat dan tiba-tiba dia bernyanyi!
"Manusia hidup lemah dan lemas sesudah mati menjadi kaku dan keras segala benda
tumbuh lemah dan lemas sesudah mati kering dan getas!
Maka itu : kaku dan keras adalah teman kematian lemah dan lemas adalah teman kehidupan!
Inilah sebabnya : senjata keras mudah menjadi rusak kayu keras mudah menjadi patah!
Maka dari itu : Kaku dan keras menduduki tempat bawah lemah dan lemas menduduki tempat atas!"
Sibuklah penterjemah itu menerjemahkan nyanyian yang dinyanyikan Kaisar Theng
Tung kepada Kapokai Khan. Kepala suku itu "termenung sejenak, lalu serunya.
"Kaisar Cheng Tung, apa yang kau maksudkan dengan nyanyian itu?"
Kaisar Cheng Tung yang sejak kecil hafal akan semua ujarujar dan sajak haik
dalam kitab-kitab Khong-cu, Lo-cu atau Buddha itu mengangguk. Dia tadi
menyanyikan bagian dari kitab To-tik-keng dan kini menghadapi pertanyaan Kapokai
Khan dia berkata dengan dingin.
"Apa artinya kematian dibandingkan dengan kehormatan"
Seorang budiman dapat mempertahankan kehormatannya sampai akhir, namun tidak
dapat mempertahankan kehidupannya. Mati terhormat jauh lebih sempurna dari pada
hidup terhina." Setelah kata-kata ini diterjemahkan, Kapokai Khan menundukkan
kepalanya. Dia juga sudah banyak mendengar tentang kebudayaan dan filsafat Cina
dari para pembantunya, terutama yang tua-tua, akan tetapi karena dia sendiri
sejak kecil sudah harus meninggalkan Cina, banyak hal yang tidak dikenalnya. Dia
merasa kagum sekali dan memerintahkan kepada penterjemah untuk berkata dengan
sikap hormat. "Kapokai Khan Yang Besar mempersilakan Kaisar Cheng
Tung yang Bijaksana untuk bangkit dan mengikuti
rombongannya untuk diperlakukan sebagai seorang tamu agung!"
Cheng Tung tersenyum memandang kepada Kapokai Khan,
lalu mengangguk dan setelah mengebutkan bajunya diapun
bangkit dengan tenang. Tubuhnya yang jtinggi tegap itu
berdiri tegak di samping Kapokai Khan. Kepala suku ini lalu
menggunakan tangannya mempersilakan dan mereka lalu
berjalan berdampingan keluar dari perkemahan, melangkahi
mayat-mayat para pengawal yang tewas.
Di luar telah dipersiapkan dua ekor kuda yang terbaik,
seekor untuk Kapokai Khan dan seekor lagi untuk Kaisar
Cheng Tung. Kaisar itupun naik ke punggung kudanya dengan
gerakan yang menarik dan anggun, tidak seperti Kapokai Khan
yang melompat begitu saja. Dua orang itupun lalu
menggerakkan kuda mereka yang jalan sejajar dikawal oleh
ribuan orang pasukan Mongol yang bersorak-sorak gembira
karena kemenangan. * * * Karena sikapnya yang anggun dan tabah itu
membangkitkan kekaguman dalam hati Kapokai Khan, maka
Kaisar Cheng Tung biarpun menjadi tawanan perang,
diperlakukan sebagai seorang tamu kehormatan. Dia
berdiam dalam sebuah pondok besar di perkampungan o-rang
Mongol, segala kebutuhannya dicukupi, diperlakukan dengan
sikap hormat. Bahkan Kapokai Khan memerintahkan Chai Li,
seorang keponakan perempuannya yang masih gadis dan
yang pandai berbahasa Han, untuk menjadi pelayan pribadi
sang kaisar! Chai Li adalah seorang dara berusia delapan belas tahun
yang cantik jelita, sehat kuat, dan cerdik. Juga ia seorang
gadis terpelajar, sejak fcecil oleh kakeknya yang dahulu
bekerja sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan kerajaan


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mongol ketika masih menjadi Cina, ia dididik dengan
kebudayaan dan kesusastera-an Cina. Ia pandai membaca
menulis, pandai bersajak dan pandai pula memainkan alat tiup
suling dan bernyanyi serta menari.
Sejak kecil bergaul dengan orang-orang Mongol yang kasar,
kini bertemu dengan seorang kaisar muda yang demikian
lembut dan halus, tampan dan penuh sopan santun, tidak
mengherankan kalau hati gadis itu hanyut dan jatuh cinta
kepada Kaisar Cheng Tung! Di lain pihak, kaisar yang terpisah
dari keluarganya, yang hidup sebatang kara di tempat musuh,
tidaklah mengherankan pula kalau dia tertarik kepada dara
yang cantik menarik itu. Kalau seorang pria dan seorang wanita sudah saling tertarik
dan tergila-gila, apalagi mereka diberi kesempatan untuk
hidup berdekatan, maka terjadilah hal yang tak dapat
terelakkan lagi. Bertemulah kertas putih dengan tulisan indah
dan terbentuklah sajak-sajak yang amat halus dan indah.
Bertemulah suling dengan yang-kim (gitar) yang dimainkan
tangan-tangan ahli sehingga terdengarlah nyanyian merdu.
Pada suatu senja yang indah, Kaisar Cheng Tung duduk di
dalam taman bunga di belakang pondoknya, ditemani oleh
Chai Li dan seorang pelayan wanita Mongol.
Kaisar Cheng Tung sejak tadi mengamati Chai Li. Baginya,
senja hari itu Chai Li tampak lebih cantik dari pada biasanya.
Sinar matahari senja itu seolah mengubah dara yang
berpinggang ramping itu menjadi seorang bidadari yang
langkah dan gerak-geriknya seolah tari-an indah sang
bidadari. Ketika pelayan wanita tua Mongol meletakkan poci
minuman dan cawan-cawannya ke atas meja, Kaisar Cheng
Tung berkata kepada Chai Li dengan lembut.
"Chai Li, kalau engkau tidak keberatan, aku ingin bicara
berdua denganmu. Dapatkah engkau menyuruh pembantu ini
pergi?" Chai Li tersenyum. Kaisar ini selalu bersikap sopan
kepadanya. Padahal, dia boleh memerintahkan apa saja
kepadanya. "Sudah tentu saja, Yang Mulia." ia lalu bicara dalam bahasa Mongol kepada
pelayan itu yang segera pergi meninggal-kan
mereka. Setelah pelayan itu pergi, dengan cekatan namun halus
gerak geriknya Chai Li lalu menuangkan air teh dari poci ke
dalam cawan dan menyerahkannya kepa-j da sang kaisar
dengan gaya lemah gemulai. Kaisar Cheng Tung menerima
cawan itu sambil tersenyum dan meminumnya, lalu
meletakkannya di atas meja.
"Yang Mulia, apakah yang paduka hendak bicarakan berdua
dengan saya?" akhirnya, setelah lama saling pandang tanpa bicara, Chai Li
bertanya karena ia merasakan sesuatu dalam
pandang mata kaisar muda itu.
"Chai Li, duduklah di bangku dekatku sini." kata Kaisar Cheng Tung dengan
lembut. "Yang Mulia, mana saya pantas....?"
"Tidak ada yang tidak pantas, Chai Li, kalau aku sudah
mempersilakanmu." Dengan sikap agak malu-malu Chai Li lalu duduk di sebelah
kaisar dan menundukkan mukanya, mendengarkan.
"Chai Li, ada kata-kata yang tidak perlu terucapkan mulut, kata-kata yang
menjadi bisikan hati yang terpancar keluar
melalui pandang mata dan getaran suara. Dapatkah engkau
menangkap kata-kata hatiku itu?"
Kepala itu semakin menunduk. Tentu saja ia mengerti
karena suara hati yang sama tergetar pula dari hatinya.
Kaisar Cheng Tung mengeluarkan sesuatu dari balik ikat
pinggangnya. Ketika ia mengeluarkannya, ternyata benda itu
adalah sebatang suling pendek yang terbuat dari batu kemala
hijau, indah bukan main karena diukir dalam bentuk seekor
naga. "Chai Li, benda pusaka ini adalah pemberian ibuku dan
selamanya belum pernah terpisah dariku. Menurut pesan
ibuku, di dunia ini hanya terdapat seorang wanita saja yang
mampu memainkan nya sesuai dengan selera hatiku. Maukah
engkau mencobanya, memainkan sebuah lagu untukku, Chai
Li?" Sambil berkata demikian, Kaisar Cheng Tung meletakkan suling kemala itu ke
tangan Chai Li. Dara itu menerima suling kemala dengan jari-jari tangan
gemetar. Ia ingin menolak karena merasa tidak berhak
memainkan suling milik Kaisar Cheng Tung, akan tetapi ada
desakan hatinya yang membuat ia tidak kuasa mengembalikan
suling itu. Bagaikan dalam mimpi, kedua tangannya
memegang suling dan membawanya ke dekat mulutnya.
Setelah menemukan lubang-lubang untuk jari dan lubang
untuk bibir, iapun memejamkan kedua matanya, menarik
napas panjang lalu mulai meniup suling itu.
Suara suling melengking, mendayu-dayu dan terdengar
aneh namun manis memasuki telinga dan hati Kaisar Cheng
Tung. Dara itu memainkan sebuah lagu Mongol yang
terdengar asing namun memukau. Suara itu menghanyutkan
sukma, membawa lamunannya membubung tinggi dan
terayun-ayun di angkasa, suaranya meninggi dan merendah
membuai dan tanpa disadarinya lagi, dua titik air mata
membasahi kedua mata Kaisar Cheng Tung.
Chai Li menghentikan tiupan suling-Tung dan terbelalak,
terkejut bukan main. "Yang Mulia, paduka.... menangis....?"
Cheng Tung tidak menjawab, hanya merangkul dara itu.
"Lagu apakah yang kau mainkan itu, Chai Li?" '
"Lagu Mongol, judulnya 'Suara hati seorang gadis" ucapnya lirih.
"Chai Li, engkaulah wanita satu-satunya yang dapat
memainkan suling ini sesuai dengan seleraku. Karena itu,
kuberikan suling pusaka kemala ini kepadamu."
"Akan tetapi, Yang Mulia...."
"Ssttt, apakah engkau tidak sudi menerima hatiku yang
kupersembahkan kepadamu?" Kaisar Cheng Tung merangkul
dan Chai Li hanyut dalam pelukan itu.
Mulai saat itu, terjadilah perubahan besar dalam hubungan
antara Chai Li dan Kaisar Cheng Tung. Mereka berkasih
kasihan, bahkan secara berterang sehingga tak lama
kemudian semua orang mendengar belaka akan hubungan
cinta kasih antara kedua orang ini. Ketika Kapokai Khan
mendengar akan hal itu, dia tertawa gembira. "Ha-ha-ha,
bagus sekali! Biar Kaisar Cheng Tung memperoleh keturunan
dari darah keluarga kami dan kelak keturunan itu yang akan
menggantikannya menjadi Kaisar Kerajaan Beng!" Dia tidak
marah kepada keponakannya itu, bahkan merestui hubungan
mereka sehingga lebih leluasa lagi bagi Chai Li dan Kaisar
Cheng Tung untuk berkasih-kasihan secara terbuka.
Tertawannya Kaisar Cheng Tung membesarkan semangat
bangsa Mongol untuk berusaha merebut dan mendirikan
kembali kekuasaan mereka di Cina. Mereka bahkan mencoba
untuk menyerbu memasuki Tembok Besar bahkan menyerang
sampai ke dekat perbatasan kota raja Peking! Namun ternyata
kekuatan bangsa Mongol masih belum dapat menembus
pertahanan Kerajaan Beng yang dipimpin oleh para panglima
tua untuk mempertahankan kota raja Peking. Semua serbuan
bangsa Mongol dapat dipatahkan dan mereka terusir keluar
dari wilayah kerajaan Beng. Apa lagi, pasukan dari berbagai
propinsi juga ikut memperkuat Peking dari berbagai jurusan
sehingga pasukan Mongol selalu dipukul mundur.
Ketika Kapokai Khan mendengar bahwa sebagai pengganti
Kaisar Cheng Tung telah diangkat seorang kaisar baru, yaitu
Kaisar Ching Ti, dia menjadi khawatir sekali. Kalaupun dia
tidak dapat menguasai Cina, sebaiknya Kaisar Cheng Tung
yang menjadi penguasa, bukan kaisar lain yang tentu akan
memusuhinya. Kaisar Cheng Tung telah diperlakukan sebagai
tamu kehormatan, bahkan telah berhubungan sebagai suami
isteri dengan seorang keponakannya yang kini telah
mengandung pula. Dia lalu menyebar mata-mata ke dalam
kota raja Peking untuk mendengar dan melihat keadaan.
Dari para mata-mata ini akhirnya dia mendapatkan berita
gembira, yaitu bahwa semua menteri, bahkan Ibu Suri, masih
mengharapkan Cheng Tung untuk sewaktu-waktu dapat lolos
dari tawanan dan akan diterima kembali menjadi Kaisar.
Kebanyakan dari mereka masih mencinta Kaisar Cheng Tung
dari pada adiknya, Kaisar Ching Ti yang dianggap kurang
mampu memegang tampuk pemerintahan.
Ketika mendengar ini, Kapokai Khan segera menemui
Kaisar Cheng Tung. Melalui seorang penerjemah dia
mengadakan perundingan dengan Kaisar Cheng Tung.
"Yang Mulia, kalau sekarang paduka kami bebaskan dan
kami antarkan kembali ke Peking, apa yang dapat paduka
lakukan demi membalas kebaikan kami?"
Diam-diam Kaisar Cheng Tung merasa heran dan girang
mendengar bahwa dia hendak dibebaskan. "Kapokai Khan
yang baik, engkau yang menawan kami da" engkau pula yang
hendak membebaskan kami. Apakah yang dapat kami lakukan
untukmu?" "Kami akan membebaskan paduka dan mengawal paduka
kembali ke Peking dengan selamat kalau paduka suka
menjanjikan beberapa hal kepada kami."
Kaisar Cheng Tung memandang kepala suku itu dengan
sinar mata menyelidik "Janji apakah yang harus kami
berikan?" "Pertama, kalau paduka menjadi Ka-j isar kembali, paduka
harus menghentikan penyerbuan ke utara dan menganggap
kami sebagai sahabat."
Kaisar Cheng Tung mengangguk. "Hal itu sudah
sepatutnya. Kami berjanji"
"Kedua, kalau putera paduka dari Chai Li terlahir, kelak
paduka akan menerimanya sebagai putera, sebagai pangeran
Beng yang kelak akan dapat menggantikan kedudukan paduka
sebagai Kaisar!" Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya. "Kalau puteraku
dari Chai Li terlahir, dia adalah puteraku. Kalau terlahir
sebagai puteri, ia akan menjadi puteri istana yang terhormat,
dan kalau terlahir sebagai putera, dia akan menjadi seorang
pangeran. Akan tetapi mengenai kedudukan sebagai putera
mahkota, hal itu harus dipertimbangkan lebih dulu, melihat
keadaan dan suasana. Betapapun juga, dia adalah puteraku
dan tentu akan menduduki tempat penting dan terhormat."
Kaisar Cheng Tung berhenti sebentar, berpikir lalu berkata,
"Akan tetapi karena keadaan Chai Li sedang mengandung tua, lebih baik ia tinggal
dulu di sini. Kelak kalau ia sudah
melahirkan dan puteranya sudah kuat, ia akan kami terima di
istana Peking sebagai seorang selir kami."
Kapokai Khan merasa puas dengan janji-janji itu, maka
pada hari yang sudah ditentukan, Kaisar Cheng Tung dikawal
sepasukan perajurit dan diantarkan ke selatan.
Sebelum berangkat Kaisar Cheng Tung berpamit kepada
Chai Li yang ketika itu sudah mengandung tujuh bulan. Chai Li
menangis dan memegangi tangan suaminya.
"Yang Mulia, sekarang kita berpisah, entah kapan kita akan dapat saling bersua
kembali." Kaisar Cheng Tung merangkul wanita itu dengan penuh
kasih sayang. Selama ini kasih sayangnya terhadap Chai Li
semakin bertambah karena ternyata Chai Li adalah seorang
wanita yang benar-benar setia dan mencinta suaminya.
"Chai Li, simpanlah air matamu. Tangismu tidak baik untuk kesehatan anak kita
dalam kandunganmu. Perpisahan kita
hanya sementara saja. Kelak, kala anak kita sudah terlahir dan kuat, engkau
dapat membawa anakmu menyusul ku ke kota
raja Peking dan kita hidup berbahagia di sana selamalamanya."
Chai Li menahan tangisnya dan berangkatlah Kaisar Cheng
Tung,diantar oleh tiupan suling yang mendayu-dayu itu.
Tahulah dia bahwa tiupan suling itu adalah peringatan baginya
agar dia tidak melupakannya, dan merupakan bekal yang
selalu akan terkenang olehnya.
Di perbatasan Kaisar Cheng Tung diterima oleh pasukan
kerajaan Beng dengan penuh kegembiraan dan kehormatan.
Pasukan pengawal Mongol segera kembali setelah
menyerahkan kaisar itu dan Kaisar Cheng Tung selanjutnya
dikawal oleh pasukan kerajaan Beng ke kota raja.
Kembalinya Kaisar Cheng Tung mendapat sambutan
meriah, dan biarpun dia tidak memperlihatkan keinginannya
untuk menggantikan kembali adiknya yang sudah terlanjur
menjadi Kaisar, namun semua orang mendukungnya. Kaisar
Ching Ti yang tidak populer dan tidak disuka itu akhirnya jatuh sakit dan selagi
dia sakit, Kaisar Cheng Tung diangkat kembali menjadi kaisar untuk yang kedua
kalinya. Akan tetapi ketika Ibu Suri dan para pangeran mendengar
bahwa Kaisar Cheng Tung telah mempunyai seorang selir di
Mongol yang kini telah mengandung, mereka merasa gelisah
sekali. Tak seorang pun di antara mereka menghendaki
seorang pangeran atau puteri keturunan Mongol di istana,
walaupun tidak ada yang berani secara berterang menyatakan
dil depan Kaisar Cheng Tung.
Di antara mereka yang diam-diam merasa marah
mendengar bahwa Kaisai Cheng Tung mempunyai keturunan
dari darah Mongol adalah Pangeran Chen Boan, seorang adik
dari Kaisar Chen Tung dari selir. Pangeran Cheng Boan ini
diam-diam mengusahakan untuk mengenyahkan keturunan
dari darah Mongol itu. Tiga tahun kemudian setelah Kaisai Cheng Tung kembali
menjadi kaisar, Pangeran Cheng Boan diam-diam
menghubungi seorang datuk persilatan yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali. Di membawa seratus tail emas,
diserahkan kepada datuk besar itu dan minta kepadanya agar
pergi ke Mongol dan membunuh seorang wanita bernama Chai
Li berserta seorang puteranya. Tidak ada seorangpun lain
yang mengetahui perintah ini kecuali Ibu Suri yang menyetujui
rencana Pangeran Cheng Boan karena Ibu Suri menganggap
bahwa kehadiran seorang pangeran keturunan Mongol akan
merupakan suatu hinaan terhadap keluarga Kaisar!
Datuk besar persilatan yang menerima tugas keji itu
bernama Suma Kiang. Dia seorang laki-laki berusia empat
puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka
kemerahan, dahinya lebar, sepasang mata sipit yang bersinar
tajam, idung dan mulutnya tampak mengejek elalu dan dia
memelihara jenggot sam-l ai ke lehernya. Di punggungnya
tergantung sepasang pedang dan walaupun gerak-geriknya
lembut, namun pandang matanya liar dan gerakannya
menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat tingkat tinggi.


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ringan dan peka. Selama belasan tahun dia terkenal sebagai
seorang datuk di daerah Sungai Huang-ho, malang melintang
dengan sepasang pedangnya dar sukar dicari tandingannya.
Banyak sekali ketua-ketua perkumpulan persilatan yang sudah
roboh olehnya sehingga di diakui sebagai seorang datuk besar
di wilayah Lembah Sungai Huang-ho.
Sebetulnya sebagai seorang datuk persilatan yang berilmu
tinggi seperti Suma kiang yang berjuluk Huang-ho Sin liong
(Naga Sakti Sungai Huang-ho), untuk mengumpulkan uang
seratus tail emas bukanlah pekerjaan sukar. Bukan jumlah
uang itu yang menarik hatinya sehingga dia menerima tugas
yang diberikan Pangerai Cheng Boan. Akan tetapi
petualangannya itulah. Dia ingin bertualang ke daerah Mongol
yang terkenal berbahaya itu. Apalagi dia merasa menjadi
petugas kerajaan yang amat penting! Mengemban tugas
rahasia yang tidak boleh diketahu orang lain. Dan tugas ini
diberikan oleh seorang Pangeran, direstui pula oleh Ibi Suri.
Dia merasa dirinya menjadi penting dan terhormat. Karena
semua inilah mal ka dia menerima tugas yang sebetulnya tidak
ringan dan penuh bahaya itu.
Suma Kiang hidup sebatang kara. Di waktu mudanya, dia
hidup sebagai seorang pendekar yang mempunyai seorang
isteri yang cantik. Akan tetapi telah bertahun-tahun beristeri, dia belum juga
mempunyai keturunan. Dan pada suatu hari
terjadilah malapetaka itu yang mengubah jalan hidupnya. Dia
menerima kunjungan seorang pendekar lain, seorang sahabat,
dengan ramah dan senang hati. Akan tetapi ternyata
kemudian bahwa isterinya menyeleweng dengan sahabatnya
itu! Suma Kiang menjadi mata gelap dan dibunuhnya
sahabatnya dan isterinya itu. Kehidupannya menjadi guncang
dan bertahun-tahun dia hidup seperti orang gila memperdalam
ilmunya dan wataknya menjadi kejam. Dia menjadi seorang
datuk yang ditakuti orang. Tidak semata-mata melakukan
kejahatan, akan tetapi segala kehendaknya harus ditaati
orang, siapa-pun juga dia! Namanya mulai terkenal dan dia
dijuluki Huang-ho Sin-liong karena dia seolah-olah seekor
naga sakti yang baru muncul dari Sungai Huang-ho dan
mengamuk di sepanjang Lembah Huang-ho.
Ketika Pangeran Cheng Boan melalui seorang utusan
rahasia menyampaikan perintah rahasia itu, dia segera
menerimanya. Memang dia sudah bosan bertualang di Lembah
Huang-ho. Ditinggalkannya pondok besar di Lembah Huang-ho
itu dan dia mulai melakukan perjalanan ke utara yang jauh
dan panjang. Apalagi perjalanan menuju ke utara itu bagi
Suma Kiang adalah perjalanan pulang ke kampung halaman.
Dahulu, di waktu mudanya, dia adalah seorang yang berasal
dari utara yang merantau ke selatan dan kini di masa usianya
sudah mulai tua, dia kembali ke utara, berarti pulang ke
kampung halaman. Dia menerima tugas penting itu karena
diapun pandai bahasa Mongol yang pernah dipelajarinya
ketika dia masih muda. . Pada suatu pagi yang cerah Suma Kiang memasuki sebuah
perkampungan Mongol di dekat Terusan Nan Kou. Dia
mengenakan pakaian longgar dan selain sepasang pedangnya,
juga sebuah buntalan kuning tergendong di punggungnya.
Tangan kanannya memegang sebuah tongkat yang berbentuk
ular berwarna hitam dan ketika memasuki perkampungan itu,
dia berseru dalam bahasa Mongol yang agak kaku, akan tetapi
cukup dapat dimengerti oleh mereka yang mendengarnya.
"Tukang mengobati segala macam penyakit dan
meramalkan segala macam nasib!"
Berulang-ulang dia meneriakkan ini dan tak lama kemudian
serombongan anak-anak sudah mengikuti di belakangnya,
menarik perhatian banyak orang.
Biasanya, yang mendatangi perkampungan orang Mongol,
kecuali suku bangsa sendiri, adalah pedagang keliling bangsa
campuran Han-Mongol, itupun mereka datang berkelompok
untuk berdagang dan menukar barang dagangan. Maka
kunjungan orang yang mengaku ahli pengobatan dan peramal
ini tentu saja menarik perhatian banyak orang.
Mereka yang mempunyai keluarga yang sedang sakit,
segera mencoba kepandaian Suma Kiang. Ternyata Suma
Kiang memang pandai mengobati penyakit, suatu ilmu yang
pernah dipelajarinya. Kalau hanya penyakit ringan saja,
dengan ilmu menotok jalan darah, dia dapat menolong si
penderita. Dia memang telah menguasai It-yang-ci (Totok
Satu Jari), semacam ilmu totok yana ampuh dari perguruan
Siauw-lim-pai. Dengan ilmu totok yang juga amat ampuh
untuk menyerang lawan itu, dia dapati memulihkan jalan
darah yang tersumbat sehingga si penderita penyakit menjadi!
sembuh. Setelah terbukti dia dapat menyembuhkan beberapa orang
yang menderita! sakit, Suma Kiang mulai dapat kepercayaan
penghuni perkampungan suku Mongol itu. Bahkan dia
dipanggil kepala suku yang menderita sakit leher untuk
mengobatinya. Dalam waktu singkat dia dapat
menyembuhkan kepala suku itu sehingga namanya semakin
terkenal. Akan tetapi, di luar dugaan Suma Kiang sendiri,
perbuatannya itu menimbulkan kemarahan dan iri hati
Sangkibu yang biasa bertindak sebagai dukun di suku itu.
Sangkibu merasa mendapatkan saingan dan dia menjadi
marah sekali. Dia kumpulkan lima orang-orangnya yang
dikenal sebagai jagoan dan ketika Suma Kiang sedang
berjalan seorang diri di perkampungan itu, tiba-tiba dia
diserang oleh lima orang jagoan yang menggunakan senjata
golok. Lima orang itu menyerang tanpa berkata apapun.
Suma Kiang melihat datangnya serangan lima batang golok
itu dan melihat pula seorang laki-laki jangkung kurus berwajah seperti tengkorak
memberi aba-aba kepada lima orang itu. Dia
bergerak cepat, tongkat ularnya diayun berputar menangkis
lima batang golok itu. "Trang-trang-trang-trang....!" Lima batang golok yang diserangkan dengan tenaga
kuat itu terpental semua dan lima
orang pemegangnya terhuyung seolah golok mereka
mengenai sebuah dinding baja yang tebal dan kuat!
"Nanti dulu!" Suma Kiang berseru dengan sabar. "Kalian ini siapakah dan mengapa
pula menyerangku?" Laki-laki jangkung kurus berusia lim puluh tahunan itu
melangkah maju dai menudingkan tongkatnya yang
bercabang; "Engkau orang asing. Pergilah sebelum kami
mengenyahkan dari muka bumi!"
"Apa kesalahanku dan siapakah engkau?" Suma Kiang
bertanya dengan sikap tenang.
"Aku ahli pengobatan dan sesepuh d perkampungan ini.
Engkau datang mem bikin kacau dan menipu rakyat. Enyah
lah engkau!" Dukun itu melemparkai tongkatnya yang
bercabang sambil mem baca mantera dan.... orang-orang yanj
mulai berdatangan dan menonton melihat betapa tongkat itu
berubah menjad seekor ular yang merayap ke arah Sum a
Kiang. Suma Kiang tersenyum. Baginya, permainan sihir seperti itu
seperti permainan kanak-kanak saja. Dia mengerahkai
sinkangnya dan menggunakan tongkat ularnya untuk
menusuk, tepat mengena kepala ular dan seketika itu
pecahlah tongkat bercabang itu menjadi dua potong.
Orang-orang yang mulai berdatangan dan menonton
melihat betapa tongkat itu berubah menjadi seekor ular yang
merayap ke arah Suma Kiang.
"Bunuh dia!" Dukun yang bernama Sangkibu itu berteriak garang. Lima orang anak
buahnya lalu menyerbu lagi dengan
golok mereka. Akan tetapi Suma Kiang memutar tongkatnya
dan lima batang golok itu menempel pada tongkatnya, ikut
terputar dan terlepas dari tangan lima orang pemegangnya!
Denga tangan kirinya, Suma Kiang mengambil lima batang
golok itu dan sekali melempar ke atas tanah, lima batang
golok itu menancap sampai ke gagangnya ke dalam tanah.
"Pergilah kalian!" bentaknya dan sekali mencongkel dengan tongkatnya! tongkat
bercabang itupun melayang dan
mengenai tubuh Sangkibu sehingga dukun tinggi kurus itu
terjengkang karena dadalnya terpukul tongkatnya sendiri.
Orang-orang berkerumun dan menyaksikan betapa dukun
Sangkibu dan lima orang pembantunya itu dengan mudah
dikalahkan Suma Kiang. Sangkibu juga tahu diri. Dia maklum
bahwa ternyata orang asing itu memiliki kepandaian tinggi,
maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu terhuyung pergi di kuti
lima orang pembantunya yang juga merasa gentar.
Berita tentang kepandaian Suma Kiang ini akhirnya sampai
juga ke telinga pemimpin besar suku Mongol, yaitu Kapokai
Khan. Dia merasa tertarik sekali, apalagi mendengar bahwa
Suma Kiang berhasil mengalahkan dukun Sangkibu dan lima
orang pembantunya yang jagoan dengan mudah dan bahwa
orang asing itu pandai meramalkan nasib. Segera kepala suku
ini mengutus orang untuk memanggil Suma Kiang dari
perkampungan itu untuk menghadap dia.
Tentu saja Suma Kiang menjadi girang bukan main
mendapat panggilan ini. Memang semua tindakannya di
perkampungan itu adalah untuk memancing perhatian Kepala
Suku Kapokai Khan. Dia sudah mendengar bahwa dahulu,
Kapokai Khan inilah yang menawan Kaisar Cheng Tung, dan
bahwa wanita yang diperisteri Kaisar Cheng Tung dan sudah
mempunyai putera itu adalah keponakan sang kepala suku. Ke
sanalah dia harus pergi untuk menyelidiki wanita dan
puteranya itu. Untuk langsung datang ke pusatj markas orang
Mongol itu amat berbahaya, dapat menimbulkan kecurigaan.
Akan tetapi sekarang dia pergi ke sana karena dipanggil oleh
Kepala Suku Kapokai Khan.
Jerih juga rasa hati Suma Kiang ketika dia berhadapan
dengan Kapokai Khan. Kepala Suku itu amat berwibawa
dikelilingi para hulubalangnya yang rata-rata tampak gagah
perkasa. Maka dia lalu maju dan membungkuk sambil
merangkap kedua tangan tanda menghormat
"Khan Yang Besar, saya Suma Kiang datang menghadap
memenuhi panggilan" katanya dengan suara lantang namun
dengan sikap hormat. Kapokai Khan menggerakkan tangan dan seorang pengawal
menyodorkan sebuah kursi kepada Suma Kiang. "Duduklah!"
katanya dan setelah Suma Kiangl duduk, dia bertanya,
"Apakah engkau yang bernama Suma Kiang, ahli pengobatan
dan tukang meramalkan nasib?"
"Benar, Yang Mulia. Sudah belasan tahun saya mempelajari
kedua ilmu itu. Apakah ada di antara keluarga Yang Mulia
menderita sakit" Saya akan mengobatinya sampai sembuh."
"Ha-ha-ha, semua keluarga kami sehat dan tidak ada yang
sakit. Kami tidak ingin minta pengobatan, melainkan
menghendaki agar engkau meramalkan nasib kami."
Suma Kiang mengamati wajah Kapokai Khan dengan penuh
perhatian, lalu menggunakan tongkat ularnya untuk membuat
lingkaran di atas lantai di depannya, kemudian mengguratgurat
lingkaran itu dan menuliskan beberapa buah huruf yang
rumit, lalu mengangguk-angguk dan berkata, "Wajah paduka
bersinar terang dan menurut perhitungan saya, paduka masih
akan memimpin bangsa ini selama belasan tahun lagi."
"Bukan itu yang ingin kami ketahui biarpun itu merupakan
berita baik sekali. Kami ingin mengetahui tentang Kaisar
Cheng Tung dari Kerajaan Beng. Dia kini telah kembali
menjadi kaisar. Bagaimana dengan kedudukannya itu?"
Kembali Suma Kiang membuat lingkaran, guratan dan
huruf-huruf, lalu mulutnya berkemak-kemik dan akhirnya dia
berkata, "Kaisar Cheng Tung memiliki peruntungan besar.
Beliau juga dapat lama memegang jabatan kaisar, sampai
belasan tahun." "Coba engkau perhitungkan, Suma Kiang. Apakah ada
kemungkinan keturunannya, darah Mongol, kelak
menggantikan kedudukannya sebagai Kaisar Kerajaan Beng?"
tanya Kapokai Khan dengaj suara penuh semangat dan
ketegangan. Berdebar rasa jantung dalam dada Suma Kiang. Justeru
inilah yang hendak diselidikinya. Dia beraksi lebih gaya lagi, memejamkan
matanya, berkemak-kemik dan membuat
coretan-coretan seperiti orang kesurupan. Kemudian dia
membuka kedua matanya dan memandang ke atas. Matanya
mendelik dan diapun bangkit berdiri, mengembangkan kedua
tangannya dan berkata seperti orang bersorak.
"Benar....! Kaisar Cheng Tung mempunyai seorang
keturunan berdarah Mongol! Seorang putera yang berusia tiga
tahun. Akan tetapi apa yang saya lihat ini" Bercak-bercak
darah, tidak jelas,, uh", banyak halangan. Kesialan yang tebal, harus
dibersihkan dulu.... ah...." Suma Kiang terkulai di atas kursinya kembali,
terengah-engah seperti kelelahan.
Kapokai Khan melompat bangun dan menghampirinya.
"Bagaimana penglihatan mu" Apa yang akan terjadi"
Dapatkah keturunannya itu kelak menggantikan
kedudukannya menjadi kaisar?"
"Kalau diusahakannya, tentu dapat," kata Suma Kiang
setelah menghela napas panjang berulang kali. "Saya melihat banyak halangan dan
hambatan, Yang Mulia. Banyak kesialan
dan bahaya. Akan tetapi, hemmm.... saya dapat
mengusahakan agar semua kesialan itu terusir pergi."
"Begitukah" Engkau dapat" Suma Kiang, berapapun besar
biaya yang kau minta, akan kami berikan asalkan engkau
dapat membuat dia kelak menjadi pengganti Kaisar Cheng
Tung, menjadi Kaisar Kerajaan Beng!"
"Akan tetapi pekerjaan itu tidak mu-dah, Yang Mulia. Saya harus membersihkan
hawa kesialan dari mereka ibu dan anak
berdua, harus bersamadhi, mungkir sampai berhari-hari. Saya
harus membersihkan hawa kesialan dari mereka, dalam rumah
dan ruangan tersendiri, jauli dari orang lain dan tidak
diganggu sampai saya berhasil. Kalau hawa kesialar itu sud&h dienyahkan, saya
tanggung kelak anak itu akan dapat
menggantikan menjadi-Kaisar Kerajaan Beng.
Bukan main girangnya hati Kapokai Khan mendengar
ucapan ini. Dia percaya sepenuhnya kepada Suma Kiang yang
tampaknya demikian yakin. Maka dia segera memanggil Chai
Li dan puteranya disuruh datang ke situ pada saat itu juga.
Semenjak ditinggalkan Kaisar Cheng Tung, Chai Li telah
melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan teringal
akan pesan Cheng Tung ketika hendak meninggalkannya, dia
memberi nama Cheng Lin kepada anak itu. Akan tetapi,
setelah menunggu-nunggu sampai anak itu berusia tiga tahun,


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum juga ada utusan dari Kaisar Cheng Tung. Padahal Chai
Li sudah mendengar bahwa kekasihnya itu kini telah kembali
menjadi kaisar. Siang malam ia menunggu-nunggu dengan
hati penuh rindu dan harapan, akan tetapi selalu berakhir
dengan cucuran air mata di malam hari karena yang ditunggutunggu tidak kunjung
datang. Suma Kiang mengamati wanita dan anak itu. Hatinya
girang karena dia sudah menemukan ibu dan anak yang harus
dilenyapkao dari muka bumi itu. Walaupun tugasnya itu masih
sukar karena ibu dan anak itu berada di antara banyak orang
Mongol, di perkotaan besar di mana terdapat banyak orang
pandai, namun ibu dan anak itu dapat dikatakan telah berada
di tangannya. Dia melihat seorang wanita berusia kurang lebih
dua puluh satu tahun yang amat cantik, anggun dan bermata
bintang, dengan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang sehat dan tampan.
"Inilah mereka, ibu dan anak itu, Suma Kiang. Kami harap
engkau akan segera dapat membersihkan mereka dari awan
kesialan itu." kata Kapokai Khan kepada Suma Kiang.
Kemudian Kepala Suku Mongol itu berkata kepada
keponakannya, "Chai Li, mulai hari ini engkau harus menurut apa yang Suma Kiang
ini. Dia hendak membersihkan engkau
dan anakmu dari kesialan sehingga kelak anakmu akan dapat
menemukan kemuliaan besar."
Chai Li sudah mendengar akan apa yang terjadi. Ia
seorang terpelajar dan cerdik, sungguhpun hatinya tidak
percaya akan ketahyulan itu, akan tetapi di depan pamannya,
apa yang dapat dikatakannya Ia hanya dapat menurut dan
tunduk atas perintah pamannya yang berkuasa
Demikianlah, mulai hari itu Chai L dan Cheng Li tinggal di
dalam sebuah pondok kosong bersama Suma Kiang. Mereka
itu seolah-olah dua ekor dornba yang diberikan kepada
seorang algojo yang memang ditugaskan untuk menyembelih
mereka! Akan tetapi Kapokai Khai juga bukan seorang bodoh.
Dia memperayakan keponakan dan cucu keponakannya
kepada Suma Kiang bukan begitu saja. Rumah itu diam-diam
dikepung pasukan untuk menjaga keselamatan ibu dan anak
yang diharapkan kelak akan mengangkat derajat orang
Mongol. Dan sembarang pasukan yang ditugaskan mengamati
dan menjaga keselamatan mereka, melainkan pasukan khusus
dan yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan, dua losin
banyaknya dan dipimpin oleh seorang panglima berusia lima
puluh tahun bernama Sabuthai. Panglima ini adalah seorang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, seorang di antara
jagoan-jagoan pemerintah Mongol yang telah jatuh dan
kembali ke utara. Ilmu silatnya tinggi dan dia terkenal sebagai seorang yang
bertenaga gajah, memiliki sinkang (tenaga
sakti) yang kuat dan ahli memainkan senjata ruyung.
Bukan hanya Sabuthai yang jagoan lan memiliki ilmu
kepandaian tinggi, juga dua losin perajurit yang dipimpinnya
adalah orang-orang pilihan, dari satuan golok besar yang
tangguh. Bagaimanapun juga Kapokai Khan cukup berhati-hati
menjaga keselamatan keponakan dan cucu keponakannya itu
dan tidak mempercayai sepenuhnya kepada orang asing
bernama Suma Kiang yang mengaku ahl pengobatan dan ahli
meramalkan nasib itu. Dua orang tergopoh-gopoh melapor kepada kepala jaga di
depan rumah besar Kapokai Khan, minta agar dihadapkan
kepada Kepala Suku Mongol itu. Malam sudah tiba dan kepala
jaga menolak akan tetapi seorang di antara kedui penghadap
itu, Sangkibu, berkata tajam "Ini urusan penting sekali, kalau engkau tidak mau
melaporkan, akan kukutuk engkau menjadi
babi hutan!" Kepala penjaga mengenal Sangkibu dukun yang ditakuti,
maka terpaksa dia pun melapor ke dalam, kepada kepala
pengawal di sebelah dalam. Setelah permohonan ini
diteruskan, Kapokai Khai mengerutkan alisnya dan mengomel.
"A kun ada ulah apa lagi Sangkibu yang aneh itu, malammalam begini mohon
menghadap?" Akan tetapi karena kepala
uku itu sudah mengenal akan kemampu-in sang dukun,
diapun menyuruh pengawalnya untuk menjemput dan
membawa Sangkibu dan temannya menghadapnya di ruangan
dalam. Setelah menghadap Kapokai Khan, Sangkibu menjatuhkan
dirinya berlutut memberi hormat, diturut oleh temannya,
seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun ang bertubuh
pendek namun gerak-ge-nknya gesit.
"Bangkitlah kalian dan ceritakan. Sangkibu, apa yang
membawa kalian datang menghadap malam-malam begini?"
kata Kapokai Khan sambil menggerakkan tangannya.
Sangkibu bangkit berdiri, diturut pula oleh temannya dan
dengan suaranya yang agak gemetar itu dia segera
berkala,"Para dewa masih melindungi kita, Khan Yang Mulia.
Malapetaka tergantung di atas kepala kita tanpa kita ketahui.
Khan Yang Mulia, saat ini keselamatan Puteri Chai Li dan
puteranya terancan bahaya maut!"
Tentu saja Kapokai Khan terkejut bukan main mendengar
ini. Justeru saa itu dia mengusahakan agar hawa kesialai
meninggalkan ibu dan anak itu, dengan menggunakan
bantuan Suma Kiang. Dia melompat bangun dari atas
kursinya, memandang kepada Sangkibu dengan mata
terbelalak, mengepalkan tinju dan membentak.
"Apa yang kaukatakan ini" Apa maksudmu?"
"Yang Mulia, sekarang ini ada usaha dari Kerajaan Beng
untuk membunuh putera keturunan Kaisar Cheng Tung yang
terlahir dari ibu Mongol agar kelak tidak sampai menggantikan
kedudukan kaisar. Golongan pangeran Kerajaan Beng
mengutus seseorang untuk melakukan pembunuhan itu. Oleh
karena itu, menurut perhitungan saya, suruhan yang diutus
membunuh itu tentulah si keparat Suma Kiang itu, maka
sekarang Puteri Chai Li dan puteranya berada dalam keadaan
berbahaya sekali!" Kapokai Khan menjadi semakin terkejut. "Sangkibu, dari
mana engkau memperoleh berita seperti itu?"
"Yang Mulia, ini orangnya yang membawa berita. Dia
adalah seorang di antara mata-mata yang kita sebar ke
Kerajaan Beng untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan.
Dia baru saja tiba dan menyampaikan berita itu kepadaku
karena dia adalah adik misanku dan bernama Bhika."
"Hei, Bhika! Benarkah apa yang dikatakan Sangkibu itu?"
Kapokai Khan membentak. Laki-laki pendek itu segera memberi hormat. "Tidak salah, Yang Mulia Khan!
Pangeran yang mengutus agar Puteri Chai Li
dan puteranya dibunuh adalah Pangeran Cheng Boan, dan
yang diutus adalah Suma Kiang itu, seorang datuk di Lembah
Huang-ho. Kalau paduka tidak cepat turun tangan, hamba
khawatir akan keselamatan Puteri Chai Li dan puteranya!"
Mendengar ini, Kapokai Khan mengutus kepala pasukan
pengawal untuk memanggil panglima-panglimanya dan dalam
waktu singkat, dua puluh orang lebih ikut dua losin penjaga
itu mengepung rumah yang didiami oleh Puteri Chai Li dan
puteranya, di mana juga terdapat Suma Kiang. Penyerbuan ini
dipimpin sendiri oleh Kapokai Khan. Akan tetapi walaupun
berita itu sudah jelas, mereka masih ragu dan mengepung
rumah itu dengan diam-diam dan mereka hendak memeriksa
keadaan terlebih dulu sebelum turun tangan.
Sementara itu, di dalam pondok, Suma Kiang duduk bersila
dalam samadhi, di atas sebuah pembaringan dalam kamarnya.
Pondok itu mempunyai dua buah kamar, sebuah untuknya dan
sebuah lagi ditinggali Puteri Chai Li dan Cheng Lin.
Suma Kiang yang duduk diam itu ternyum mengejek.
Alangkah mudahnya tugas itu baginya. Tinggal menanti
sampai sang puteri dan puteranya itu pulas, kemudian dua kali
menggerakkan pedangnya dia sudah akan dapat menunaikan
tugas dengan baik. Setelah itu, dia dapat meloloskan diri di
malam gelap Akan tetapi, jalan pikirannya tidak selancar itu. Ada
beberapa hal mengganjal hatinya. Setelah tadi bertemu dan
mengamati sang puteri, terjadi sesuatu dalam hatinya. Suma
Kiang bukanlah seorang laki-laki mata keranjang. Bahkan
nafsunya terhadap wanita telah mati bersama matinya
isterinya yang menyeleweng dengan sahabatnya. Dia
menganggap wanita rnahluk yang berbahaya dan palsu, hanya
mendatangkan kesengsaraan batin belaka.
Akan tetapi ketika siang tadi dia dipertemukan dengan
Puteri Chai Li, ketika sang puteri dengan matanya yang seperti bintang itu
memandangnya, dengan mulutnya yang berbibir
indah merah itti menatapnya, jantungnya berdegup keras
ekali. Dia seperti melihat isterinya berdiri di hadapannya!
Wajah sang puteri itu demikian mirip isterinya sehingga
seolah-olah isterinya hidup kembali dan mengenakan pakaian
puteri Mongol. Ketika dia membunuh isterinya, usia isterinya
juga sebaya dengan Puteri Chai Li!
Perjumpaan dengan wanita yang persis isterinya itu
membangkitkan gairah kerinduan dan gairah birahi yang
berkobar di dalam dirinya. Seperti juga segala macam nafsu,
nafsu berahi tidaklah mungkin padam begitu saja dalam diri
manusia. Kalau toh dikendalikan dan diusahakan supaya tidak
berkobar, nafsu itu hanya membara, tidak bernyala namun
tetap membara menanti datangnya angin untuk mengipasinya
dan membuatnya berkobar lagi! Nafsu telah ada dalam diri
manusia sejak manusia dapat mengenal baik buruk dan
menjadi peserta dalam kehidupan manusia. Berbahagialah
manusia apabila nafsu pesertanya yang patuh dan baik,
membantu manusia untuk dapat berbahagia hidupnya sebagai
manusia. Namun, celakalah manusia kalau nafsunya dibiarkan
berkobar membakar dirinya, kalau nafsu dibiarkan berubah
dari pelayan menjadi majikan, kalau nafsu dibiarkan menyeret
dirinya menurut segala yang dikehendaki nafsu! Dar kalau
nafsu sudah memegang kendali, kita menjadi hambanya dan
semua perbuatan kita ditujukan untuk memuaskar nafsu dan
mulai hidup menjadi lembah kesengsaraan dan kedukaan!
Sudah belasan tahun Suma Kiang dapat menekan nafsu
berahinya, semenjak dia membunuh isterinya yang
menyeleweng dengan sahabatnya. Dia mengira bahwa nafsu
berahinya telah mati. Akan tetapi sama sekali dia tidak
menyadari bahwa nafsu itu hanya pura-pura mati saja, dan
setiap saat mengintai dan mencari kesempatan. Begitu
kesempatan terbuka, dia akan meronta dan mengamuk
sehingga dirinya tidak berdaya lagi. Begitu dia melihat Puteri Chai Li yang
merupakan seorang wanita cantik mirip isterinya,
nafsu berahinya bangkit dan tidak dapat dikuasainya lagi.
Hanya satu saja keinginannya. Dia harus mendapatkan wanita
itu! Ini merupakan hambatan pertama terhadap tugasnya
membunuh Puteri Chai Li dan puteranya. Hambatan kedua
adalah keraguannya. Kalau dia membunuh putera yang masih
kecil itu, mana buktinya yang dapat dia ajukan kepada
Pangeran Cheng Boan" Akan lebih baik lagi kalau dia
menghadapkan pangeran cilik berdarah Mongol itu ke
hadapan Pangeran Cheng Boan sendiri, agar Pangeran Cheng
Boan melihat buktinya da dapat melaksanakan sendiri n itu!
Dengan demikian, dia akan mendapa pahala lebih besar dan
mungkin dia dapat menuntut kedudukan tinggi dan terhormat
dari Pangeran Cheng Boan. Dan alangkah akan senang
hidupnya kalau dia dapat menduduki jabatan tinggi dan mulia,
hidup di samping Puteri Chai Li yang menjadi isterinya!
Suma Kiang tersenyum-senyum dalan lamunannya,
kemudian dia mendengai pernapasan lembut sang puteri dari
kamar sebelah. Dia tersenyum dan pikirannya berputar,
mencari cara bagaimana dia dapat membawa Chai Li dan
anaknya keluar dari situ dengan aman. Kalau membunuh
mereka lalu keluar, hal itu teramat mudahnya. Akan tetapi
sekarang terjadi perubahan dalam rencananya. Diq hendak
membawa kabur mereka! Dan hal ini diakuinya bukan
merupakan pekerjaan mudah. Membawa lari anak itu jauh
lebih mudah, tinggal menggendong dan mengikatnya dengan
dirinya. Akan tetapi membawa lari Puteri Chai Li lebih sukar.
Kembali dia mendengar suara pernapasan lembut dari
kamar sebelah. Dengan pendengarannya yang tajam terlatih,
tahulah dia bahwa sang puteri yang membuatnya tergila-gila
itu telah tidur nyenyak. Dia turun dari pembaringannya.
Langkahnya seperti seekor harimau, ama sekali tidak
mengeluarkan bunyi ketika dia mendekati kamar sebelah.
Tongkat ular hitam berada di tangan kirinya dan dengan
tongkat itu dia menguak tirai yang menutupi kamar itu.
Dari balik kelambu tipis dia melihat sosok tubuh sang puteri
yang ramping itu tidur miring, menghadapi dan memeluk
puteranya yang juga tidur nyenyak. Begitu tirai dikuak, dia
mencium bau harum dari kamar itu. Dia memejamkan mata
dan pikirannya melamun jauh, meng ingat ketika dia masih
hidup berbahagia bersama isterinya. betapa senang dan
bahagianya waktu itu. Tiba-tiba dia membuka mata, menurunkarr tirai yang
dikuakkan dengan tongkatnya, memutar tubuh dengan cepat
memandang ke sekelilingnya. Telinganya menangkap suara
yang tidak wajar, yang datangnya dari luar rumah. Ada suara
tapak-tapak kaki manusia, tidak wajar tersendat-sendat
seolah-olah langkah yang tertahan-tahan dan dilakukan
dengan hati-hati. Jilid II DENGAN sekali loncatan, tubuhnya sudah tiba di dekat
jendela. Tanpa mengeluarkan bunyi. Dia mengintai dari balik
jendela. Dilihatnya bayangan beberapa orang tertangkap sinar
lampu yang tergantung di luar rumah. Sebagai seorang datuk
persilatan yang banyak pengalaman dia maklum bahwa ada
bahaya mengancam dirinya. Dia tidak dapat menduga siapa
orang-orang itu dan apa maunya, namun dia sudah yakin
bahwa mereka bukan datang dengan niat baik! Orang yang
datang dengan niat baik tidak seperti itu.
Karena ingin mengetahui lebih banyak, dia melangkah ke
tengah pondok dan mengenjot tubuhnya ke atas, melayang ke
atas dan berpegang pada tihang melintang di bawah atap.
Perlahan-lahan dibukanya genteng dan dia mengintai keluar.
Kini dia dapat melihat lebih jelas lagi. Ada sedikitnya tiga
puluh orang bergerak perlahan-lahan mengepung rumah itu!
Dan diapun melihat bahwa diantara mereka terdapat orangTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ orang yang berkepandaian tinggi, dilihat dari gerakan mereka
yang ringan dan gesit. Tadinya dia merasa heran bukan main.
Dia adalah orang yang dipercaya oleh Kapokai Khan untuk


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"mengusir kesialan" Sang Puteri Chai Li dan puteranya.
Mengapa sekarang dia dikepung" Siapakah mereka itu" Akan
tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan Kapokai Khan sendiri di
bawah sinar lampu dan mendadak dia menjadi waspada dan
juga terkejut. Pasti ada sesuatu yang keliru, pikirnya. Kalau Kapokai Khan
sendiri yang turun tangan ikut mengepungnya, hal itu hanya
dapat mempunyai satu arti saja, ialah bahwa rahasianya telah
diketahui orang! Orang-orang Mongol itu telah mengetahui
bahwa dia adalah utusar kerajaan Beng untuk membunuh
sang puteri dan anaknya! Jawabannya pasti hanya itu, tidak
dapat lain lagi. Akan tetapi dia dapat berlagak bodoh. Maka, dengan
,tongkat ular hitam di tangan, dia membuka daun pintu dan
memandang keluar. Suaranya terdengar lantang ketika dia
berseru ke arah kegelapan yang mengelilingi pondok itu.
"Siapa yang berdatangan dari luar" Ada urusan apakah
dengan aku yang sedang sibuk" Apakah Yang Mulia Kapokai
Khan mengutus kalian untuk bicara denganku?"
Terdengar gerakan orang dan begitu tampak bayangan
banyak orang berkelebat, di depan Suma Kiang telah berdiri
Kapokai Khan sendiri bersama seorang laki-laki tinggi besar
yang berusia lima puluh tahun, tampak gagah dan tangannya
memegang sebatang ruyung yang besar dan kelihatan berat.
Di belakang kedua orang ini tampak banyak sekali orang, ada
tiga puluh orang lebih yang semuanya memegang senjata
terhunus dan dengan sikap mengancam. Juga di bagian
belakang ada beberapa orang yang memegang obor hesar
yang dinyalakan sehingga keadaan disitu menjadi terang dan
menegangkan karena obor-obor itu nyalanya digerakk angin
membentuk bayang-bayang seol tempat itu dikepung
serombongan raksasa hitam.
"Suma Kiang, manusia palsu! Kami sudah tahu bahwa
engkau sesungguhnya adalah utusan kerajaan Beng untuk
membunuh keponakanku Chai Li dan puteranya!"
"Yang Mulia Khan.....!"
"Tidak perlu menyangkal lagi. Keterangan yang kami
peroleh sudah cukup. Engkau diutus oleh Pangeran Cheng
Boan untuk membunuh keponakannya agar kelak keturunan
Kaisar Cheng Tung tidak dapat menjadi Kaisar di kerajaan
Beng!" Suma Kiang menelan ludah dan diam diam dia harus
memuji kecerdikan kepala suku itu. Bagaimana mereka sudah
mendapat keterangan sedemikian cepatnya"
Melihat Suma Kian diam dan seperti orang terkejut dan
terbelalak, Kapok Khan berseru lagi, "Engkau adalah seorang datuk dari Lembah
Huang-ho yang berjuluk Huang-ho Sinliong.
Sekarang tidak perlu banyak cakap lagi, cepat engkau
menyerahkan diri untuk kami tangkap. Engkau sudah
terkepung!" Tiba-tiba Suma Kiang tertawa bergelak, mata sipitnya
mengeluarkan sinar berapi. "Ha-ha-ha-ha! Hendak menangkap Huang-ho Sin-liong"
Tidak begitu mudah, Kapokai Khan!"
Kapokai Khan menggerakkan pedangnya dan berseru
kepada Sabuthai yang berada di sebelah kirinya. "Panglima babuthai, tangkap
dia!" Sabuthai sejak tadi sudah siap. Begitu menerima perintah,
dia mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan ruyungnya
menyambar dahsyat ke arah Suma Kiang.
"Haaaai i kkk.....I" Ruyung menyambar mengeluarkan suara angin bersiutan saking
cepat dan kuatnya. Namun dengan
gerakan mudah Suma Kiang menghindarkan diri dengan
menarik kaki ke kanan dan tubuhnya condong ke kanan. Dia
melihat bahwa gerakan serangan orang tinggi besar ini
cukup hebat dan dari sambaran ruyung itu saja tahulah dia
bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki tenaga
besar. Akan tetapi, datuk Lembah Sung Huang-ho ini
sedikitpun tidak merasa takut. Selama puluhan tahun
bertualang dia sudah bertemu dan bertanding deng ratusan
orang dari berbagai tingkat maka sebentar saja dia dapat
mengukur kehebatan lawan dan mengetahui bahwa tingkat
kepandaian dan kekuatan Sabuthai belum membahayakan
dirinya. Yang berbahaya justeru pengepungan itu. Dia berada
di sarang naga. Baru tiga puluh lebih orang itu saja mungkin
dia masih mampu menandinginya, akan tetapi dia tahu bahwa
dalam sekejap mata Kapokai Khan dapat mendatangkan
beribu-ribu pasukan Lalu bagaimana mungkin dia dapat
melawan mereka" Apalagi dia berniat hendak membawa Puteri
Chai Li dan Ceng Lin. Akan tetapi Sabuthai tidak memberi
banyak waktu untuk memusingkan hal itu. Ruyungnya sudah
menyambar-nyambar bagaikan seekor elang sakti, beberapa
kali menyambar ke arah kepala Suma Kiang dengan kekuatan
yang dapat menghanccurkan batu karang. Apalagi kepala
manusia "Wuttt..... wuuuttt.l... wuuuttt...!"
Suma Kiang mengandalkan kelincahan gerakan kedua
kakinya mengelak ke sana-sini. Ketika ruyung kembali
menyambar, kini ke arah dadanya, dia sengaja menyambut
dengan tongkat ular hitamnya, mengerahkan sin-kangnya
(tenaga sakti) mendorong ke samping.
"Wuuushhh....!" Ruyung itu terdorong oleh tongkat dan menyimpang, membuat
Sabuthai terhuyung. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Suma Kiang, sekali kaki kirinya
menendang, dia sudah dapat menendang pinggang Sabuthai
sehingga orang tinggi besar itu jatuh tersungkur!
Akan tetapi, tubuh Sabuthai juga dilindungi kekebalan,
maka begitu jatuh dia sudah melompat bangun kembali dan
dengan napas terengah-engah karena marah, dia sudah
menghadapi lawannya lagi. Kapokai Khan dan yang lain-lain
hanya menonton karena mereka masih berharapan penuh
bahwa jagoan mereka akan mampu menangkan perkelahian
itu. Rasanya sulit untuk mereka percaya bahwa ada orang
yang akan mampu mengalahkan Sabuthai dengan ruyung
mautnya. "Hyaaaattt......!!" Sabuthai menyerang lagi, kini
mengerahkan seluruh tenaganya dan ruyungnya menimpa ke
arah kepala Suma Kiang. Suma Kiang maklum bahw dia herus
cepat merobohkan si raksasa ini agar sempat mencari akal
untuk lolos dari tempat itu bersama Chai Li da puteranya,
Cheng Lin. Begitu tongka datang menyambar, kembali dia
mengelak dengan cepat. Kini ruyung diputar dan
menyerangnya dengan sambung-menyambung dan terusmenerus,
bahkan bentuk ruyung lenyap berubah menjadi
gulungan bayangan yang menyambar-nyambar. Namun tubuh
Suma Kiang berkelebatan di antara gulungan bayangan
ruyung itu, dan diapun memainkan tongkatnya berkali-kali
untuk mendorong ruyung ke samping. Dia mainkan ilmu
tongkat Ciu-sian Tong-hoat (Ilmu Tongkat Dewa Mabok),
tongkat itu mencuat ke sana-sini dan akhirnya, dalam
kesempatan yang terbuka, ujung tongkatnya dapat menotok
pundak kanan lawan. "Wuuuttt..... tukk!" Totokan itu dapat mengenai jalan darah diN pundak kanan dan
seketika lengan kanan Sabuthai
menjadi lumpuh dan ruyungnya terlepas dari pegangan.
Tongkat itu menyambar lagi dan kini menotok ke arah
tenggorokan Sabuthai yang sudah tidak berdaya.
"Tukk.....!" Tubuh tinggi besar itu terkulai dan tewas karena jalan darah
mautnya yang menuju ke otak telah tertotok ujung
tongkat yang amat lihai itu.
Robohnya Sabuthai mengejutkan semua orang, akan tetapi
membuat Kapokai Khan marah sekali. Sambil mengacungTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
acungkan pedangnya dia memberi aba-aba, "Serbu....! Bunuh dia.....!"
Suma Kiang tahu akan bahaya yang mengancamnya. Cepat
dia menyelipkan tongkatnya di ikat pinggang dan sekali kedua
tangannya bergerak, dia sudah mencabut sepasang
pedangnya dari punggung. Sinar pedang berkilauan terkena
sorotnya api obor dan begitu sepasang sinar pedang
berkelebatan, empat orang penyerang terdepan roboh mandi
darah dengan leher hampir putus! Hal ini tentu saja
mengejutkan dan membuat jerih para pengeroyok. Akan tetapi
karena Kapokai Khan berada di belakang mereka, dan mereka
mengandalkan banyak orang, mereka terpaksa menggerakkan
senjata mengeroyok. "Masuk pondok dan selamatkan Puteri dan anaknya!"
terdengar Kapokai Khan memberi perintah.
Inilah yang dikhawatirkan Suma Kiang Kalau puteri itu dan
anaknya sampai terampas oleh mereka, maka segalanya tidak
berarti lagi baginya, bahkan dia dapal terancam bahaya maut
di tempat berbahaya itu. Bagaikan kilat timbul dalam
benaknya. Merekalah satu-satunya jalan keselamatan baginya!
Puteri dan anaknya itu. Setelah berpikir demikian, dia
menyerang ke kiri, merobohkan tiga orang yang hendak
memasuki pintu pondok dengan pedangnya, kemudian
secepat burung terbang dia sudah melayang ke dalam
pondok. Puteri Chai Li terbangun oleh suars gaduh. Juga anaknya
terbangun, akan tetapi anak itu tidak menangis karena segera
dipondongnya. Ketika Chai Li hendak meninggalkan kamar,
tiba-tiba tirai tersingkap dan Suma Kiang telah muncul di
depannya dengan sepasang pedang yang berlepotan darah di
tangannya. Iapun mendengar suara gaduh di luar rumah.
"Apa.... apa yang terjadi?" tanya Chai Li kepada Suma Kiang, walaupun ia
memandang orang yang berpedang itu
dengan wajah ketakutan. Suma Kiang menyisipkan pedang kirinya di belakang
punggungnya, kemudian dia maju dan merangkul sang puteri
dengan tangan kirinya. "Jangan banyak bergerak dan menurut saja perintahku
kalau engkau tidak ingin mati bersama puteramu!" bentaknya lirih. Dengan lengan
kiri merangkul leher dan pundak puteri
yang memondong puteranya itu, dan pedang di tangan kanan
ditempelkan di leher sang puteri, Suma Kiang melangkah maju
ke pintu sambil tersenyum mengejek. Orang ini paling
berbahaya kalau sedang tersenyum seperti itu, karena
kecerdikan dan kekejamannya sudah mencapai puncaknya
ditandai senyum yang mengejek seperti memandang rendah
segala sesuatu itu. Kapokai Khan dan para pengawalnya muncul di pintu dan
dia terbelalak ketika melihat Chai Li dirangkul dan pedang
ditempelkan di leher puteri itu oleh Sum Kiang.
"Apa.... apa artinya ini...." Bebaskan keponakanku dan cucu keponakanku!" bentak
Kapokai memerintah. "Engkau telah dikepung ratusan pasukan, tidak mungkin lolos
dari sini!" "Ha-ha-ha, Kapokai Khan, benarkah demikian" Dengar
baik-baik, aku mengajukan usul yang menguntungkan
pihakmu!!" kata Suma Kiang, senyumnya melebar dari nada
suaranya seperti orang yang yakini akan kemenangan di
pihaknya. Kapokai Khan mengerutkan alisnya "Engkau sudah
terkepung, nyawamu berada di telapak tanganku dan engkau
masih mengajukan usul?"
"Bukan hanya usul, melainkan syarat Engkau boleh pilih,
Kapokai Khan. Di satu pihak, engkau membiarkan aku bebas
membawa Puteri Chai Li dan anaknya tanpa mengganggu,
menyediakan dua ekor kuda terbaik dan tidak akan melakukan
pengejaran!" Wajah Kapokai Khan menjadi merah saking marahnya.
"Jahanam! Pilihan lain?"
"Pilihan kedua, aku akan menyembelih Puteri Chai Li dan
puteranya di depan matamu, kemudian aku mengamuk dan
aku tidak membual kalau kukatakan bahwa aku masih
sanggup membunuh beratus orangmu, atau bahkan mungkin
aku masih dapat lolos dari sini!"
Wajah Kapokai Khan menjadi pucat sekali mendengar
omongan dan melihat sikap Suma Kiang saja tahulah dia
bahwa orang ini tidak sekedar menggertak, melainkan dapat
melaksanakan apa yang diucapkannya.
"Hemm, Suma Kiang! Jangan hendak membodohi kami!
Kalau engkau membawa pergi keponakanku Chai Li dan cucu
keponakanku Cheng Lin, tetap saja engkau akan membunuh
mereka. Lalu apa bedanya bagi kami?"
"Aku bukan orang bodoh, dan engkau-pun bukan orang
bodoh. Aku, sebagai datuk besar, bersumpah bahwa aku tidak
akan membunuh Puteri Chai Li dan tidak akan membunuh
anaknya! Sumpahku merupakan kehormatanku dan
kehormatan seorang datuk lebih berharga daripada nyawa!"
Kapokai merasa tersudut. Kalau dia nekat menyerbu,
mungkin saja dia dengan banyak anak buahnya akan dapat
membunuh durjana ini, akan tetapi yang jelas Chai Li dan
Cheng Lin akan terbunuh depan matanya dan juga kalau
durjana ini mengamuk, entah berapa banyak aank buahnya
yang akan tewas dan bukan tidak mungkin manusia iblis ini
benar-benar akan dapat meloloskan diri di tengah malam yang
gelap itu. Dia menggenggam pedangnya dengan kuat dan
menggertakk giginya saking marah dan jengkelnya akan tetapi
dalam keadaan seperti ini apa yang akan dia lakukan" Diamdiam
menyerang manusia iblis itu" Resikon terlalu besar
karena dia sudah memperhatikan kehebatan kepandaiannya.
Den mudah dia mengalahkan Sabuthai dengan mudah pula
membunuh beberapa orang pengeroyok. Alangkah mudah
baginya untuk membunuh Chai Li dan Cheng Lin Dengan
teriakan marah bercampur tertahan, Kapokai Khan berseru
keluar rumah. "Sediakan dua ekor kuda terbaik!"
Hati Suma Kiang bersorak, akan tetapi wajah dan sinar
matanya tidak memperlihatkan sesuatu, hanya senyumnya
makin menyeringai keji. Terdengar seruan-seruan protes di
luar, yakni para panglima yang tidak setuju membiarkan
penjahat itu meloloskan diri. Akan tetapi Kapokai Khan
mengulangi bentakannya. "Cepat sediakan dua ekor kuda terbaik dan jangan ada
yang membantah perintah ku!"
Tak lama kemudian, dua ekor kuda besar dan kuat sudah
dibawa masuk ke dalam pondok itu. Dengan sepasang
matanya yang sipit Suma Kiang mengamati suasana di
sekitarnya, sinar matanya penuh kecurigaan dan
kewaspadaan. "Kapokai Khan, aku percaya omonganmu. Sekarang, suruh
semua orang mundur, biarkan kami menunggang kuda.
Engkau tahu, sedikit saja aku mengalami gangguan, Chai Li
dan anaknya akan mati dan aku akan mengamuk sampai titik


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darah penghabisan. Biarkan kami pergi tanpa gangguan
sedikitpun!" Kapokai Khan mengangguk dan membeli aba-aba dengan
suaranya yang mulai parau karena tegang agar semua orang
mengundurkan diri. "Puteri Chai Li, sekarang naiklah seekor kuda ini bersama puteramu. Aku sudah
bersumpah tidak akan membunuh
engkau dan puteramu selama perjalanan kita tidak dihalangi.
Hayo, naiklah." "Ahhh....!" Puteri Chai Li mengeluh. ia sendiri seorang gadis Mongol yang
berhati tabah, bahkan tidak takut mati. Akan
tetapi sekarang melihat puteranya terancam, ia tidak berdaya
kecuali menyerah dan menurut perintah Suma Kiang yang
tampaknya tidak ragu-ragu untuk segera membunuh ia dan
puteranya kalau ia membangkang. Ia memondong puteranya,
dipeluknya kuat-kuat dan iapun naik ke atas kuda. Sebagai
seorang puteri Mongol tentu saja ia sudah biasa menunggang
kuda, bahkan tidak asing untuk melepaskan anak panah dari
busurnya atau memainkan senjata tajam. Akan tetapi iapun
sudah tahu akan kelihaian penyanderanya sehingga setiap
perlawanannya akan membahayakan puteranya.
Suma Kiang memandang ke sekeliling. Tempat itu telah
ditinggalkan, sesuai dengan perintah Kapokai Khan. Dia
memegang kendali kuda yang ditunggangi Chai Li dan
puteranya, kemudian sekali lompat dia sudah menunggangi
kuda ke dua. Sambil menuntun kuda yang ditunggangi Chai Li,
dia tetap menodong leher wanita itu dengan pedangnya, dan
mengendalikan kudanya dengan sebelah tangan saja.
Perlahan-lahan dua ekor kuda itu lalu melangkah keluar dari
pondok. Setibanya di luar pondok, Suma Kiang memandang ke
sekeliling. Tampak orang-rang berkerumun, akan tetapi cukup
jauh dari situ, dengan obor di tangan. Khawatir kalau diserang secara menggelap
dengan anak panah, dia menempelkan
pedangnya lebih dekat di leher Puteri Chai Li.
"Kapokai Khan, jangan mencoba-coba untuk menyerangku
dengan anak panah, Usaha itu hanya akan membuat Puteri
Chai Li dan puteranya mati!" teriaknya lantang.
"Suma Kiang, kami sudah berjanji, Akan tetapi jangan
engkau melanggar sumpahmu!" teriak Kapokai Khan tak
berdaya Suma Kiang lalu menarik kendali kuda, melarikan dua ekor
kuda itu keluar dari perkampungan, terus berjalan menuju ke
selatan. Kebetulan sekali malam ini terang bulan sehingga
perjalanan tidak begitu gelap baginya.
Setelah dia berada cukup jauh, kembali terdengar teriakan
Kapokai Khan. "Suma Kiang, engkau jangan melanggar
sumpahmu!" Suma Kiang tersenyum penuh kemenangan. Dengan
adanya dua orang sandera itu, lawan tidak mampu berbuat
apa apa. Maka diapun segera mengerahkan khi-kang (hawa
sakti) melalui dadanya berteriak dengan suara lantang sekali
"Kapokai Khan, aku bersumpah tidak akan membunuh Puteri
Chai Li dan puteranya."
Ucapan ini keluar dari setulus batin. Memang dia tidak ingin
membunuh mereka. Puteri Chai Li" Tidak! Dia sudah tergilagila
kepada wanita yang mirip wajah isterinya itu, bahkan
sudah mengambil keputusan untuk menggantikan kedudukan
isterinya dengan puteri itu. Dia akan memperisteri Puteri Chai Li. Dia akan
mendapatkan isterinya kembali. Dan Cheng Lin"
Dia tidak akan membunuhnya, melainkan akan
menyerahkannya hidup-hidup kepada Pangeran Cheng Boan.
Dengan demikian, bukan berarti dia yang membunuhnya.
Suma Kiang tersenyum puas dan menarik kendali kuda
sehingga dua ekor kuda itu melangkah lebih cepat lagi. Dia
yakin bahwa orang-orang Mongol tidak akan berani melakukan
pengejaran dan andaikata kemudian mereka mengikuti
jejaknya, dia tahu bagaimana untuk menghilangkan jejak dua
ekor kuda itu. Kurang lebih sebulan kemudian, dua ekor kuda yang
ditunggangi Suma Kiang dan Puteri Chai Li serta puteranya itu
menyusuri sebuah sungai kecil. Kedua ekor kuda itu berjalan
di air dan sudah belasan kali Suma Kiang melakukan hal
semacam ini. Inilah caranya untuk menghilangkan jejak kedua
ekor kuda itu. Sekarang dia percaya penuh bahwa orang
orang Mongol tidak akan dapat menemukan jejak mereka.
Apalagi mereka sudah melewati Tembok Besar, sudah tiba
pegunungan Yin-san. Dia sudah merasa berada di daerah
sendiri, bukan lagi daerah yang dikuasai orang Mongoi dan
sudah merasa aman. Pada suatu pagi, berhentilah mereka di tepi sebuah sungai.
Pemandangan di sini indah bukan main. Di tepi sungai itu
terdapat rumput-rumput hijau segar dan di sana-sini tumbuh
bunga-bungaan yang beraneka warna dan segar indah. Pohon
cemara terayun-ayun puncaknya dipermainkan angin
pegunungan. Suasananya sungguh romantis dan hal ini
mempengaruhi jiwa Suma Kiang. Sebulan lamanya diamenahan
gelora hatinya yang penuh rindu kepada Puteri Chai
Li. Ditahan-tahannya desakan birahinya terhadap puteri itu
karena mereka masih melakukan pelarian dan belum terbebas
benar dari bahaya pengejaran. Akan tetapi pagi ini
suasananya demikian tenteram dan penuh ketenangan,
demikian damai tidak ada bahaya apapun yang mengancam
mereka. "Puteri Chai Li, silakan mandi dulu di hilir sana, di balik tebing itu, biar aku
menjaga Cheng Lin di sini." kata Suma Kiang. Puteri itu memang menuntut untuk
mandi pagi dan sore dan pagi ini mereka kebetulan bertemu dengan anak
sungai yang dangkal dan airnya amat jernih itu.
Puteri Chai Li mengangguk, tidak membantah. Ia tahu
bahwa bagaimanapun juga, laki-laki itu tidak akan
memberikan anaknya mandi bersamanya agar ia tidak akan
melarikan diri. Maka iapun lalu berjalan ke hilir dan mandi
bersembunyi di balik tebing yang tinggi. Cheng Lin juga
agaknya sudah mulai terbiasa dengan laki laki berjenggot itu,
maka diapun diam saja bermain-main kembang di dekat Suma
Kiang. Ketika melihat dua ekor kelinci gemuk menyusup di
semak, Suma Kiang menggunakan dua buah batu membunuh
mereka. Lumayan untuk sarapan pagi, pikirnya, membiarkan
Cheng Lin mempermainkan bulu kelinci yang telah mati itu.
Tak lama kemudian Chai Li muncul dan Suma Kiang
terpesona. Wanita itu tampak segar dan cantik bukan main,
wajahnya masih basah dan sebagian rambutnya juga terkena
air. Kulitnya begitu halus mulus tertimpa cahaya matahari
pagi. "Aku mendapatkan dua ekor kelinci. Kuliti dan potongpotong dagingnya untuk
dipanggang selagi aku mandi
bersama Cheng Lin." Setelah berkata demikian, ia
memondong Cheng Lin dan dibawanya anak itu ke tebing
sungai di hilir. Tentu saja dia melakukan ini bukan karena
semata hendak memandikan anak itu, melainkan mengajak
anak itu bersamanya lagi ibunya tidak dapat pergi ke manamana.
Chai Li tidak membantah. Selama sebulan melakukan
perjalanan dengan Suma Kiang, ia sudah hafal akan gerak
gerik Suma Kiang dan tahu bahwa laki-laki tidak akan
membiarkan ia berdua dengan anaknya, agar tidak dapat
melarikan diri. Iapun sudah mengasah otak mencari jalan
bagaimana agar dapat membebaskan diri dari laki-laki itu,
namun selalu tidak berhasil mendapatkan jalan keluar. Diamdiam ia merasa amat
ngeri dan takut terhadap laki-laki itu,
juga amat benci. Ia seperti sudah merasakan firasat yang
mengerikan akan menimpa dirinya. Laki-laki itu seperti bukan
manusia, seperti seekor anjing srigala yang buas namun
berwajah anjing jinak. Hidungnya seperti selalu kembang
kempis mencium sedapnya darah!
Suma Kiang meninggalkan sebilah pisau belati untuk
dipergunakan menguliti dan mengerat daging kelinci. Chai Li
menggenggam gagang pisau itu dengan erat, menggigit
bibirnya dan mengerutkan alisnya. Ah, tidak, tidak mungkin ia
dapat mengalahkan laki-laki itu dengan senjata seperti ini.
Laki-laki itu terlalu tangguh. Panglima Sabuthai saja kalah
olehnya. Apalagi ia! Turun lagi semangatnya dan Chai Li lalu
mengerjakan tugasnya menguliti kelinci, memotong-motong
dagingnya, menusuk daging-daging itu dengan sebilah kayu
dan membuat api unggun lalu memanggangnya. Ia
menemukan garam di sebuah bungkusan yang ditinggalkan
Suma Kiang, berikut merica. Laki-laki itu memang membawa
segala macam keperluan dalam buntalannya.
Suma Kiang bersama Cheng Lin muncul, sudah mandi
bersih dan segar. Bau harum daging panggang
menyambutnya dan mereka semua mulai sarapan daging
kelinci panggang tanpa bicara.
Akan tetapi pandang mata laki-laki itu membuat Chai Li
merasa tidak enak sekali. Pandang mata seperti itu sudah
sering dilihatnya akhir-akhir ini. Pandangan mata seperti
menelanjanginya, penuh gairah!
"Engkau akan membawa kami ke manakah?" tanya Chai Li sambil menggigit daging
kelinci yang lunak, manis dan gurih.
Suma Kiang menunda gigitannya, menelan daging yang
sudah dikunyah, lalu memandang kepada wanita itu, dan
menjawab, "Ke manapun aku pergi, kalian akan kubawa."
Chai Li bergidik dalam hatinya. "Suma Kiang, engkau boleh membunuh aku kalau kau
kehendaki akan tetapi janganlah
kau ganggu anakku." Suma Kiang tidak menjawab, melainkan melanjutkan
makannya. Chai Li menanti jawaban yang tidak kunjung tiba,
lalu iapun melanjutkan makannya sambil memilihkan daging
yang terlunak untuk Cheng Lin yang juga makan daging
kelinci. Setelah selesai makan dan mencuci tangan dan mulut,
Chai Li berkata lagi. "Sekali lagi, Suma Kiang, jangan engkau mengganggu
anakku. Aku tidak perduli akan keselamatanku sendiri, akan
tetapi anakku harus selamat."
Suma Kiang tersenyum mengejek dan matanya bersinar
memandang wajah cantik itu. "Jangan khawatir, aku tidak
akan membunuh anakmu, juga tidak akan membunuh engkau.
Mana ada suami membunuh isterinya tersayang?"
Sepasang mata yang seperti bintang itu terbelalak, wajah
yang manis itu menjadi pucat, jari-jari tangan kanan yang
gemetar itu dengan cekatan sudah meraih pisau yang tadi ia
pergunakan untuk menguliti kelinci.
"Apa..... apa kau bilang....."' Ia bertanya karena masih
belum percaya akan pendengarannya sendiri.
Suma Kiang memperlebar senyumnya
"Chai Li.... engkau adalah Sui Eng.. isteriku tersayang.
Engkau akan menjadi isteriku yang setia dan baik."
"Gila! Engkau gila! Aku adalah isteri Kaisar Cheng Tung!"
"Bukan, engkau isteriku yang telah mati kini hidup kembali.
Sui Eng... mendekatlah, isteriku, aku sudah rindu kepadamu"
Suma Kiang menghampiri Chai Li Wanita itu dengan
gesitnya menghindar dan ketika tangan Suma Kiang meraih,
menggerakkan pisau itu untuk menyerang. Akan tetapi
dengan amat mudahnya Suma Kiang menangkis sehingga
tangan yang memegang pisau terpental dan pisau itu hampir
terlepas dari genggaman. "Ke sinilah, Sui Eng, aku butuh kau. Ke sinilah....." Suma Kiang meloncat dan
tangannya meraih dengan cepat. Chai
mencoba menghindar, akan tetapi ujung bajunya masih
tertangkap dan sekali Suma Kiang menarik, baju itu robek
besar. "Brettt......!!" Pundak dan sebagian dadanya tampak. Hal ini membuat Suma Kiang
semakin memuncak birahinya dan
diapun mengejar lagi. Melihat ibunya dikejar-kejar, Cheng Lin yang belum tahu
apa-apa itu tiba-tiba menangis. Agaknya naluri anak itu yang
membuat dia merasa bahwa ibunya berada dalam ancaman
bahaya yang amat besar. Akan tetapi Suma Kiang tidak perduli
dan dia menubruk lagi. Chai Li menghindar, akan tetapi kini
celananya terpegang ujungnya.
"Brettt....!" Kaki dan sebagian pahanya tampak.
Chai Li yang ngeri ketakutan itu tiba-tiba meloncat berdiri
dan menempelkan ujung pisau belati ke dadanya sendiri.
"Dengar, kalau engkau berani menjamahku, aku akan
membunuh diri!" bentaknya dan ucapannya itu bukan
gertakan saja karena ujung pisau sudah menembus pakaian
dalamnya dan sudah memancing keluar dua tetes darah dari
kulit dadanya. Suma Kiang yang sedang dimabok berahi itu berdiri
tertegun. Matanya menjadi amat sipit, akan tetapi mencorong,
mulutnya menyeringai penuh kekejaman dan ejekan.
Keduanya saling bertentang pandangan, seperti hendak
menguji tekad masing-masing dan akhirnya Suma Kiang
mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa wanita itu sudah nekat
dan jika dia memaksa, tentu ia akan membunuh diri. Hal ini
sama sekali tidak dikehendakinya. Otaknya berputar keras,
kecerdikannya membuat mata sipit itu berputar putar puja.
Tiba-tiba senyumnya melebar dan sekali melompat dia sudah
berada didekat Cheng Lin dan menyambar tubuh anak yang
menangis keras itu. "Ha-ha, boleh kau pilih!" katanya kepada Chai Li yang terbelalak. "Engkau bole
sayang dirimu atau lebih sayang
nyawa anakmu" Kalau engkau tetap menolak aku akan
banting hancur anakmu di sini"
Chai Li terbelalak, terengah-engah menangis, bibirnya
gemetaran tanpa dapat mengeluarkan suara. Suma Kiang
merasa mendapat kemenangan.
"Nah, sekarang buang pisau itu dan aku akan menyerahkan
anakmu agar engkau membuat dia tidak menangis lagi.
Kemudian, dengan baik-baik engkau harus menyerahkan diri
kepadaku. Menjadi isteriku tercinta."
Chai Li hendak menjerit, menggigit bibirnya. Perlahan-lahan
jari-jari tangan kanannya melepaskan pisau itu yang jatuh Ke
tanah dan ia menghampiri Suma Kiang, mengembangkan
kedua tangannya untuk menerima puteranya. Sambil
tersenyum mengejek Suma Kiang menyerahkan Cheng Lin
yang segera didekap dan dipondong ibunya. Chai Li menangis
sambil menciumi puteranya, dipandang dengan mata bersinarsinar oleh Suma Kiang.
Setelah Cheng Lin diam dan tertidur alam pondongan
ibunya, Suma Kiang menghampiri Chai Li.
"Rebahkan anakmu di sana!" Dia menuding ke bawah


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebatang pohon. Chai Li tidak berani membantah lagi. Ia merebahkan Cheng
Lin yang sudah tidur nyenyak ke bawah pohon dan tiba-tiba
kedua lengan Suma Kiang sudah merangkul dan
mendekapnya. Chai Li meronta sekuat tenaga, akan tetapi apa dayanya
terhadap pria yang bertenaga besar itu. Apalagi semua
keinginan untuk melawan sudah terusir oleh kekhawatiran
dibunuhnya puteranya. Ia terkulai tidak berdaya dalam
pelukan Su Kiang dan hanya memejamkan kedua matanya
yang mengalirkan air mata seperti air bah.
"Sui Eng, isteriku......" Suma Kiang memondong Chai Li, dibawa ke tanah
berrumput tebal dan menggelutinya. Pada
sua saat Chai Li sadar akan keadaannya, Kehormatannya
terancam dan hanya ini yang teringat olehnya. Ikat
pinggangnya terlepas dan bersama itu jatuh pula sebuah
benda, yaitu Suling Pusaka Kemala yang dahulu diterimanya
dari Cheng Tung. Melihat benda ini, sadarlah ia bahwa ia adalah isteri Kaisar
Cheng Tung, bahwa tidak ada laki-laki lain yang boleh
menjamahnya. Ia melihat Suma Kia seperti seorang mabok,
memejamkah mata sambil menciuminya dan mencoba
merebahkannya. Pada saat itu Chai Li mencurahkan segala
tenaga dan Kemauannya, adalah puteri Mongol, isteri Kaisar
Cheng Tung. Sampai mati ia tidak akan sudi menyerahkan
dirinya kepada pria lain, apalagi diperkosa secara demikian
hina. Tangan kanannya meraih suling kemala, diangkatnya
tinggi-tinggi dan dihantamkannya benda itu ke ubun-ubun
kepala Suma Kiang! Suma Kiang yang sedang dimabok berahi dan dirangsang
nafsu memuncak itu kehilangan kewaspadaan. Penjagaan
dirinya sedang "kosong" karena semua perhatian terselubung nafsu berahi oleh
karena itu ubun-ubun kepalanya juga sama
sekali tidak terjaga oleh tenaga sinkang (tenaga sakti).
"Dukkk......!!" Hantaman itu keras sekali.
"Aduhhh.....!" Suma Kiang melepaskan rangkulannya dan menggulingkan tubuhnya.
Akan tetapi dasar dia seorang
manusia yang sejak muda sudah menggembleng dirinya,
maka hantaman yang bagi orang lain akan meremukkan
tengkorak itu tidak ampai mematikannya. Dia meraba-raba
Kepalanya yang terasa nyeri. Kemudian memandang kepada
Chai Li dan menubruk lagi. Chai Li menyambutnya dengan
hantaman suling lagi, akan tetapi sekali ini Suma Kiang
menangkis dan suling itupun terlepas dari pegangannya. Dia
menubruk seperti seekor harimau menubruk domba sehingga
Chai Li terbanting ke atas rumput dan ditindihnya.
Tiba-tiba Chai Li mengeluarkan suara jeritan mengerikan
dan Suma Kiang terbelalak melihat darah muncrat-muncrat
dari mulut wanita itu! Dan berbareng pada saat itu, Cheng Lin
juga menjerit dan menangis, mungkin digigit semut atau
memang nalurinya yang bekerja.
Suma Kiang terbelalak memandang wajah Chai Li. Wanita
itu dalam keadaan sekarat dan ketika Suma Kiang membuka
mulut wanita itu, ia melihat bahwa Chai Li telah menggigit
lidahnya sendiri sampai putus hingga darah mengalir dengan
derasnya dan ia berada dalam keadan sekarat!
Suma Kiang meloncat berdiri, memandangi wajah yang kini
berlepotan darah itu dengan ngeri. Dia melihat wajah itu
seperti wajah isterinya dahulu ketika dibunuhnya. Dahulu dia
memenggal leher isterinya dan darah juga berlepotan
mebasahi mukanya seperti sekarang ini.
"Sui Eng.... kau..... kau..... ohh, tidak.....!" Makin dipandang wajah itu makin
seperti wajah Sui Eng dan teringatlah dia
akan semua perbuatan isterinya yang menyeleweng dan
bermain cinta dengan sahabatnya sendiri di dalam kamarnya
sendiri! Mendadak Suma Kiang menjadi beringas. Matanya
yang sipit seperti mengeluarkan api dan tangan kanannya
meraih ke belakang punggung. Dicabutnya sebatang
pedangnya dan dengan penuh kemarahan pedang itu lalu
diangkat ke atas kepalanya.
"Engkau perempuan pengkhianat, perempuan rendah!" Dan pedang itupun menyambar ke
bawah, ke arah leher Chen Li
yang sudah sekarat. "Singgg..... tranggg......!!" Tubuh Suma Kiang sampai ikut terpental saking
kuatnya tangkisan pada pedang itu. Sum
Kiang melompat ke belakang dan mata yang sipit terbelalak
memandang ke depan. Pandang matanya agak kabur dan
bergoyang sebagai akibat hantaman pada ubun-ubun
kepalanya tadi sehingga kepalanya ikut bergoyang-goyang.
Dia melihat betapa di dekat tubuh Chai Li kini terdapat tiga
orang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun dan ketiganya
mengenakan jubah seperti seorang pertapa atau
pendeta, Jubah mereka putih bersih walaupun sederhana
sekali dan rambut mereka yang panjang digelung ke atas dan
di kat dengan pita kuning. Perawakan mereka sedang saja
bahkan tidak tampak kuat melainkan umpak lemah lembut.
"Siancai (damai)....!" Seorang di antara mereka yang mukanya merah mengeluarkan
pujian. "Tidak boleh ada
kekejaman dilakukan orang selama kami berada di sini!"
Suaranya juga lembut namun mengandung ketegasan yang
mantap. Suma Kiang kini sudah menyadari bahwa sabetan
pedangnya tadi ditangkis orang, kini melihat seorang di antara mereka menegurnya
dan yang dua orang lagi berjongkok dan
melakukan totokan pada beberapa bagian tubuh Chai Li,
terutama di bagian leher dan pundak, dia menjadi marah
sekali. "Jahanam keparat! Siapa kalian yang berani mencampuri
urusan pribadi Huang ho Sin-liong Suma Kiang?" Dia sengaja memperkenalkan
dirinya sebagai datuk besar agar mereka
mendengarnya dan merasa jerih.
Seorang di antara tiga orang to (pendeta agama To) itu
mendengar jeritan Cheng Lin dan tiba-tiba saja tubuhnya yang
sedang berjongkok itu telah melayang ke dekat anak itu dan
bagai seekor burung rajawali saja dia sudah menyambar
tubuh anak itu dan dibawa dekat ibunya. Cara melayang
dalam keadaan berjongkok lalu menyambar tubuh anak itu
merupakan bukti bahwa orang y angjenggotnya dipotong
pendek ini adalah seorang yang memiliki gin-kang (Ilmu
meringankan tubuh) yang tinggi sekali.
Tosu muka merah yang tadi menangkis pedang
menggunakan sebatang tongkat baja yang panjangnya
sebatas pundak menjawab pertanyaan Suma Kiang.
"Agaknya nama yang terkenal sekali diselatan!" katanya lembut sambil tersenyum.
"Akan tetapi di utara sini kami tidak mengenal nama itu. Kami disebut orang di
sini sebagai Gobi Sam-sian (Tiga Dewa dari Gobi) dan kami tidak mencampuri
urusan pribadimu, melainkan urusanmu dengan wanita yang
malang ini." Dia menoleh ke arah Chai Li yang kini diam tidak bergerak seperti
tertidur. Darah sudah berhenti mengucur dari
mulutnya dan pernapasannya mulai membaik. Agaknya
totokan-totokan itu menghentikan keluarnya darah dan
meringankan rasa nyeri sehingga ia kini tertidur atau pingsan.
"Kenapa engkau hendak membunuhnya?"
Suma Kiang mengumpat dalam hatinya "Apa peduli kalian
dengan itu" Aku harus Membunuhnya dan kalau kalian
menghalangi, kalianpun akan kubunuh!" Dia mengcuncang
kepalanya untuk mengusir kepeningan yang masih
mengganggunya. Pukulan pada ubun-ubun kepalanya tadi
keras sekali pada saat ubun-ubun itu tidak ter-lindung tenaga
dalam. Masih untung baginya bahwa tengkorak kepalaya kuat,
kalau tidak tentu tengkorak itu sudah retak dan nyawanya
tidak mungkin dapat ditolong lagi. Dia menyelipkan pedangnya
di balik punggung dan memegang tongkatnya dengan kuat.
Suma Kiang adalah seorang yang terlalu percaya kepada diri
sendiri dan selalu menganggap diri sendiri yang terhebat dan
terkuat. Oleh karena itu menghadapi tiga orang tosu itupun
dia hanya hendak menggunakan tongkat ular hitamnya yang
dia anggap sudah cukup untuk membunuh mereka bertiga
yang berani menghalangi kehendaknya. Dia memutar tongkat
ular hitam itu di tangan kanan dan berkata dengan suara
keren, "Gobi Sam-sian, pergilah kalian sebelum terlambat. Kalau
kalian berkeras hendak melindungi wanita ini, kalian akan
mampus di tanganku!"
"Mati dan hidup bukan di tanganmu Huang-ho Sin-liong.
Membela yang baik menentang yang jahat selalu mengandung
resiko dan kami bertiga siap menghadapi resiko itu." kata tosu bermuka merah
sambil melintangkan tongkat bajanya. Tosu
kedua, yang berjenggot pendek juga sudah mencabut
sebatang pedang dari punggungnya, dan tosu ke tiga yang
matanya lebar meloloskan sebatang kebutan berbulu putih
dari ikat pinggangnya. "Hai i ttt....!" Suma Kiang melompat ke depan dan
menyerang dengan tongkat hitamnya. Serangannya dahsyat
bukan main karena dia mengerahkan sin-kang (tenaga sakti)
sekuatnya yang tersalur dalam tongkat itu. Pukulannya ini
tenaganya sungguh berbeda dengan tenaga pedangnya yang
tadi dibacokkan ke arah leher Chai Li. Bacokan itu hanya
mengandung tenaga kasar saja.
Tosu muka merah melihat datangnya serangan dahsyat itu
dan diapun menggerakkan tongkatnya menangkis.
"Wuuuuttt,... dukkkk!" Kedua tongkat bertemu dan
akibatnya, tosu muka merah terhuyung ke belakang. Ternyata
dia masih kalah kuat dalam hal sin-kang dibandingkan Suma
Kiang. Suma Kiang mendesak dengan tusukan tongkatnya ke
arah ulu hati tosu muka merah. Akan tetapi dari samping
menyambar sebatang pedang menangkis tusukan itu.
"Trang....!" Itulah tangkisan tosu berjenggot pendek dan pada saat Suma Kiang
belum dapat melanjutkan serangannya,
ada angin menyambar dan ujung kebutan bulu putih meluncur
ke arah lehernya. Bulu kebutan itu lemas saja, namun di
tangan tosu mata lebar dapat menjadi kaku seperti sepotong
tongkat yang dipergunakan untuk menotok. Serangan ini
berbahaya sekali dan Suma Kiang cepat membuang diri ke
kanan sambil melompat Walaupun serangan itu luput, akan
tetapi ketika melompat ke kanan, kembal Suma Kiang
mengeluh dalam hati karena kepalanya berdenyut pening
sekali. Tahulah dia bahwa dia sudah terluka di sebelah dalam
kepalanya, yang membuat kepalanya pusing dan dia tidak
dapat memusatkan perhatiannya kepada pertandingan itu.
Pada hal, dia menghadapi tiga orang lawan yang cukup berat.
Kembali dia menerjang dan menyerang ke arah tiga orang
lawannya. Gerakan tongkatnya demikian cepat, seperti orang
mabok, namun setiap sambaran tongkat mengarah jalan
darah maut dari tiga orang lawannya. Tiga orang tosu itupun
maklum akan hebatnya ilmu tongkat Suma Kiang. Mereka
main mundur dan menangkis, kemudian membalas dari tiga
jurusan dengan cepat sekali sehingga terpaksa Suma Kiang
memutar tongkat melindungi dirinya dan mundur.
Pada saat dia terdesak, ujung kebutan dengan tepat
menyentuh pergelangan tangannya dan tangan itu seketika
menjadi kejang dan tongkatnya terlepas. Suma Kiang terkejut
dan cepat meraih dengan kedua tangannya ke belakang,
melolos sepasang pedangnya dan kini mengamuk dengan
sepasang pedangnya dan menggerakkan pedang itu seperti
kilat cepatnya. Lenyaplah bentuk kedua pedang dan yang
tampak hanya dua gulungan sinar pedang yang menyambarnyambar.
Namun, pertahanan tiga orang tosu itu kokoh sekali.
Mereka itu bukan saja lihai, akan tetapi juga dapat bekerja
sama secara kompak sekali sehingga ke manapun sinar
pedang menyambar, tentu bertemu tangkisan dan sebaliknya
merekapun membalas seranga/? dengan tidak kalah
gencarnya. Yang amat mengganggu Suma Kiang adalah kepalanya.
Makin cepat dia bergerak, semakin pening kepalanya dan
bumi yang di njaknya seolah berputar. Tahula dia bahwa kalau
dilanjutkan perkelahian itu, akhirnya dia akan celaka. Karena
semua rencananya membawa anak itu gagal, karena gagal
pula dia memperisteri Chai Li, kesemua rencananya gagal, dia
merasa kecewa dan marah sekali. Dia mengeluarkan suara
yang disertai khi kang (hawa sakti) sekuatnya sehingg
menggetarkan jantung tiga orang pengeroyoknya yang cepat
melompat ke belakang suaranya melengking seperti seekor
harimau terluka, kemudian Suma Kiang melompat ke atas
kudanya dan membalapkan kudanya melarikan diri.
Tiga orang tosu itu saling pandang dan menghela napas
panjang. "Sungguh berbahaya....!" kata tosu muka merah yang biasa disebut Ang bin-sian
(Dewa Muka Merah). "Harus diakui bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali."
kata It-kiam-sian (Dewa Pedang Tunggal), julukan tosu yang
berjenggot pendek. "Kalau dia belum terluka, belum tentu kita mampu
mengalahkannya." kata pula Pek-tim-sian (Dewa Kebutan
Putih), tosu yang bermata lebar.
Kembali mereka menghela napas sambil menengok ke arah
menghilangnya Suma Kiang. Kemudian mereka menghampiri
Chai Li dan Cheng Lin yang masih menangis memanggilmanggil
ibunya. Anak itu kelihatan bingung melihat ibunya
rebah telentang dengan muka berlepotan darah.
Mereka berjongkok dan memeriksa kembali keadaan Chai
Li. Mereka merasa lega. Wanita itu dapat tertolong, tidak
sampai mati kehabisan darah. Ang-bin-Man lalu menggunakan
sehelai saputangan untuk membersihkan muka itu dari darah
dan It-kiam-sian dengan hati-hati mengurut beberapa urat di
leher dan pundak. Akhirnya Chai Li mengeluh panjang dan membuka
matanya. Begitu ia membuka matanya, ia teringat akan
peristiwa tadi dan seperti seekor harimau betina ia bangkit,
menyambar puteranya dan matanya terbelalak memandang ke
sana-mencari Suma Kiang. "Tenanglah, nyonya. Kami telah berhasil mengusir penjahat itu dan engkau anakmu
tidak terancam bahaya lagi. Tenang
dan duduklah." Chai Li memandang kepada orang itu lalu memperhatikan
dirinya sendiri. Pakaiannya robek-robek setengah telanjang
namun ia menyadari bahwa ia belum ternoda. Syukur dan
terima kasih meliputi dirinya tidak ternoda dan anaknya
selamat membuat ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memondong Cheng Lin dan mengangguk-anggukkan
kepalanya menyentuh tanah sambil menangis. Air mata
bercucuran dan biarpun merasa sakit pada mulutnya, dan
teringat bahwa ia te menggigit lidahnya untuk membunuh d
dari pada diperkosa Suma Kiang, tidak merasakannya benar.
Ia berteri kasih sekali kepada tiga orang tosu yang telah
menyelamatkan ia dan puteranya.
"Cukuplah sudah, nyonya. Agaknya memang Thian belum
menghendaki kaliab mati. Kami hanya kebetulan saja lewat
disini dan semua ini Thian yang mengatur-nya." Kata Ang-binsian.
"Engkau terluka parah, agaknya engkau telah menggigit
putus lidahmu sendiri. Engkau tidak mungkin bicara jelas...."
"Mungkin engkau dapat menulis" Menjelaskan apa yang
telah terjadi?" tanya It-Kiam-sian. Tiga orang itu harus
mengetahui dulu persoalannya dan mengenal siapa adanya
wanita dengan anaknya ini, mengapa berada di situ bersama
penjahat tadi, sebelum mereka dapat memutuskan apa yang
selanjutnya mereka akan lakukan terhadap ibu dan anak ini.
Chai Li mengangguk-angguk dan cepat jari-jari tangan
kanannya membersihkan tanah yang kering dan tidak
ditumbuhi rumput sehingga dapat ia tulis. Ia melihat Suling
kemala menggeletak di situ. Cepat la mengambil suling kemala
itu dan dengan suling itulah ia mencorat-coret huruf di atas
tanah. Tiga orang tosu itu merubungnya dan membaca huruf
demi huruf yang ditulis dengan indah oleh wanita yang sejak
kecil sudah mempelajari ilmu kesusasteraan Han itu.
"Saya adalah Chai Li, puteri Mongol" Demikian Chai Li mulai menulis, "anak saya
ini bernama Cheng Lin, dia keturunan
Kaisar Cheng Tung." Tiga orang tosu itu terbelalak dan saling pandang. Mereka
mendengar bahwa Kaisar Cheng Tung pernah menjadi
tawanan orang Mongol selama hampir 3 tahun sehingga apa
yang ditulis wanita itu bukan hal yang tidak mungkin.
"Kami diculik oleh Suma Kiang hampir saja tadi saya
diperkosa olehnya. Saya memukul kepalanya dengan suling
kemala ini dan saya menggigit putus lidah saya untuk
membunuh diri." Puteri ini berhenti menulis dan ia menangis lagi sambil
mendekap kepala puteranya.
"Puteri, buka mulutmu, pinto (aku) akan mengobati luka di lidahmu!" tiba tiba
Pek-tim-sian yang ahli pengobatan itu berkata. Chai Li tidak membantah, membuka
mulutnya dan tampaklah lidahnya yang tinggal sepotong. Pek-tim-si lalu
mengeluarkan sebungkus obat bubuk hijau dan menaburkan
obat itu ke lidah yang terluka.
It-kiam-sian menanggalkan jubahnya yang lebar dan
menyelimuti tubuh wanita yang hampir telanjang itu. Chai Li
merasa berterima kasih sekali. Ia tidak dapat mengucapkan
kata-kata, hanya sepasang Ratanya yang indah itu
memandang penuh rasa syukur.
"Sekarang bagaimana kehendakmu, puteri" Apakah engkau
ingin pulang ke perampungan keluargamu" Kalau memang
demikian, biarpun perjalanan itu jauh dan akan waktu lama,
kami bertiga akan mengantarmu ke sana," kata Ang-bin-Han.
Akan tetapi Chai Li sudah mengambil keputusan lain.
Bangsanya telah tidak mampu melindunginya dari Suma
Kiang. Akan tetapi tiga orang tosu ini ternyata sanggup
menyelamatkannya. Ia ingin agar puteranya kelak menjadi
seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya, bukan saja akan
mampu melindungi diri sendiri terhadap penjahat macam
Suma Kiang, akan tetapi juga akan dapat mencari ayahnya
dan membalas dendam kepada Suma Kiang yang jahat. Dan
kiranya hanya tiga orang tosu inilah yang akan mampu
membim puteranya menjadi seorang yang berilmu tinggi.
Cepat ia menulis lagi di atas tanah "Saya tidak ingin
kembali ke Mongol. saya mohon dengan hormat dan sangat
sudilah sam-wi totiang (tiga orang pendeta) membimbing
anak saya agar kelak menjadi seorang yang berilmu tinggi,
agar dia dapat mencari sendiri ayahnya." Setelah menuliskan kata-kata itu, iapun
berlutut dan membentur-benturkan dahi
ke atas tanah di depan tiga orang tasu itu.
Kembali tiga orang tosu itu saling pandang. Mereka merasa
iba sekali kepada Chai Li dan merekapun mengerti mengapa
wanita itu menghendaki puteranya menjadi seorang yang
tangguh. Tentu karena pengalaman pahit yang dideritanya itu.
Ang bin-sian lalu meraba-raba tubuh Che Lin. Seorang anak
yang bertulang baik pikirnya. Dia memberi isarat dengan
anggukan kepala kepada dua orang rekannya, kemudian dia
membangunkan Chai Li yang berlutut.
"Bangkitlah nyonya. Kami bertiga dapat menerima
permintaanmu yang cukup pantas. Akan tetapi ketahuilah
bahwa tidak mungkin engkau tinggal bersama kami tiga orang
tosu yang hidup sebagai pertapa. kami akan mencarikan
rumah dan keluarga untukmu di suatu kota atau dusun di
mana engkau dapat bekerja sedapatnya dan setelah anakmu
mulai besar kami akan mengangkatnya sebagai murid."
Chai Li mengangguk-angguk dengan air mata bercucuran.
Hidup ia dan puteranya kini seluruhnya bergantung kepada
pertolongan tiga orang pertapa itu.
Gobi Sam-sian (Tiga Dewa Gobi) lalu menyuruh Chai Li
menggendong puteranya dan menunggang kuda. Kemudian
mereka mengawal nyonya yang malang itu menuju Ke selatan.
Akhirnya mereka tiba di Pao-tow, sebuah kota yang cukup
ramai di tepi Sungai Huang-ho yang mengalir ke utara. Di kota
ini Gobi Sam-sian mendapatkan seorang wanita janda tua
berusia lima puluh tahun lebih yang hidup seorang diri. Janda
Itu menerima Chai Li dan puteranya dengan gembira, apalagi
karena Chai Li berjanji akan bekerja sendiri untuk keperluan ia dan puteranya.
Setelah mendapatkan tempat bernaung untuk Chai Li, Gobi
Sam-sian meninggalkan wanita itu dan berjanji akan datang
dan mulai mengangkat Cheng Lin seba murid kalau Cheng Lin
sudah berusia enam tahun. Chai Li merasa terharu berlutut
sebagai tanda terima kasih kepada tiga orang sakti dari Gobi
itu. Janda tua yang hidup seorang diri Pao-tow, menempati
rumah sederhana yang tidak berapa besar, tidak kecewa
menerima Chai Li. Ternyata walau Chai Li tidak dapat bicara
dengan jelas wanita cantik ini pandai sekali menyulam dan
sebentar saja hasil sulamannya terkenal di daerah Pao-tow.
Banyak orang membelinya dengan harga mahal sehingga
mereka mendapatkan hasil uang yang cukup untuk
menghidupi mereka bertiga.
Setelah Cheng Lin yang tumbuh menjadi seorang anak
yang sehat dan cerdas berusia lima tahun, Chai Li yang
memiliki penghasilan cukup lalu mengundang orang guru
sastera untuk mengajar putera nya. Puteranya adalah putera
kaisar, maka sejak kecil harus diajar kesusasteraan dan
kebudayaan, juga kitab-kitab agama yang mengajarkan
tentang filsafat dan kehidupan, agar kelak menjadi seorang
pandai di samping pelajaran ilmu silat yang akan diterimanya
dari Gobi Sam-sian kalau Cheng Lin sudah berusia enam
tahun. Anak itu kelak harus menjadi seorang bun-bu-coan-jai
(ahli sastera dan silat). Beberapa orang anak tetangga yang
mampu membayar guru ikut belajar sehingga terkumpul
belasan orang anak seusia Cheng Lin yang ikut belajar dari
guru sastera yang diundang itu. Tempat belajar mengambil
tempat di sebuah gudang yang tidak terpakai lagi dan setiap
hari dari tempat itu terdengar anak-anak itu menirukan
gurunya membaca ujar-ujar atau filsafat dari kitab-kitab suci.
Can Sianseng (Tuan Can) begitu panggilan guru yang
mengajarkah sastera kepada belasan orang anak itu, adalah
seorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Tubuhnya kurus
sekali seperti cecak kering dengan leher panjang dan mukanya
memanjang dan menajam seperti muka kuda. Dia adalah
seorang siucai (sarjana) yang gagal dalam ujian negara karena
miskin. Pada masa itu, betapapu pandai dan cerdiknya
seorang mahasiswa kalau kantongnya kempis, jangan harap
akan dapat lulus ujian negara. Sebaliknya seorang mahasiswa
malas yang otaknya kosong sekalipun, kalau kantungnya tebal
dapat dengan mudah lulus ujian negara mendapat gelar siucai
dan memperoleh kedudukan. Tidaklah mengherankan apabila
mereka yang memperoleh kedudukan itu mempergunakan
kedudukannya untuk mengeruk uang sebanyak mungkin,
Golok Sakti 9 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Rahasia Istana Terlarang 7
^