Suling Pusaka Kumala 2
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
untuk menebus semua biaya besar yang telah mereka
keluarkan ketika mengikuti ujian.
Can Sianseng yang miskin hanya menjadi seorang sarjana
gagal dan mencari nafkah dengan mengajarkan kesusasteraa
kepada anak-anak dengan menerima upah sekadarnya. Dia
hidup menyendiri dan tidak berkeluarga, dan kepada para
muridnya dia terkenal bersikap keras dalam mengajar. Tangan
kanannya selalu memegang sebatang bambu yang siap untuk
dipukulkan kepada murid yang dianggapnya malas dan bodoh,
dan kalau memukul diapun tidak tanggung-tanggung, yang
dipukulnya tentu kepala anak-anak yang kepalanya gundul
dikuncung pada ubun-ubunnya itu.
Pada suatu pagi yang cerah, terdengar bunyi suara kanakkanak
itu menirukan gurunya, suaranya serempak dan
terdengar lantang. "Su-hai-lwe-kai-heng-te-yaaa.....! (Di empat penjuru semua orang adalah
saudara)" Ucapan ini adalah sebuah ajaran Nabi Khong-cu yang mengajarkan bahwa
di seluruh dunia ini manusia adalah saudara. "Han Lin, coba terangkan. Apa artinya ujar-ujar itu?" tanya Can Sianseng kepada
Cheng Lin. Menaati pesan Gobi Samsian,
Chai Li mengubah nama panggilan Cheng Lin menjadi
Han Lin, agar tidak diketahui orang bahwa dia adalah
keturunan Kaisar Cheng Tung. Maka, anak itu sendiri
menganggap bahwa namanya adalah Han Lin dan mulai
sekarang, agar memudahkan, kita sebut saja dia Han Lin.
Han Lin mengerutkan alisnya, berpikir, Anak berusia hampir
enam tahun itu tampak lebih jangkung dan tegap
dibandingkan kawan-kawannya. Wajahnya bundar dan
tampan, sepasang matanya bersinar sinar, hidungnya
mancung dan mulutnya mengandung garis yang
membayangkan kekerasan hati, daun telinganya lebar dan
pembawaannya gesit dan menyenangkan.
Kemudian, setelah berpikir sejenak diapun menjawab
lantang. "Artinya bahwa semua orang ini bersaudara, antara saya
dan Sianseng juga bersaudara, akan tetapi karena Sianseng
jauh lebih tua, sepatutnya Sianseng saya sebut Can-toako
(kakak tertua Can) bukan Can Sianseng!"
Can Sianseng terbelalak dan mukanya menjadi merah. "Apa
katamu" Kau meng anggap aku ini kakakmu tertua" Kurang
ajar!" Dan bambu di tangannya menyambar "Tak-tuk!" Dua kali kepala Han Li kena
dipukul. Anak-anak yang lain tertawa.
Mereka memang anak-anak yang sedang nakal nakalnya,
maka seorang di antara mereka lalu berkata.
"Selamat pagi, Can-toako!" Ucapan disambut sorak-sorai dan Can Sianseng menjadi
semakin marah. Hampir semua
kepala gundul itu mendapat bagian pukulan. Karena merasa
kepala gundulnya dan melihat semua kawannya dipukuli, Han
Lin menjadi penasaran. Dia mengangkat telunjuk kanannya atas dan berseru,
"Sianseng, saya ingin bicara!"
"Bicaralah!" kata guru itu dan semua anak terdiam
mendengarkan. Betapa beraninya Han Lin hendak
membicarakan sesuatu selagi guru mereka marah-marah dan
mengamuk seperti itu. "Sianseng, apakah semua ujar-ujar seperti itu harus ditaati dan dilaksanakan?"
tanya Han Lin. "Pertanyaan tolol! Tentu saja harus ditaati dan
dilaksanakan oleh seluruh manusia di dunia ini!" jawab sang guru.
"Apakah namanya orang yang mentaati dan melaksanakan
ujar-ujar itu?" tanya pula Han Lin, suaranya masih lantang.
"Apa engkau lupa, bodoh" Namanya kuncu (budiman)."
"Dan apa namanya orang yang tidak nentaati dan tidak
melaksanakan ujar-ujar itu?"
"Namanya siauw-jin (manusia rendah)!"
"Wah, kalau begitu, Sianseng. Kesini-kan tongkat itu, beri pinjam padaku
sebentar." Han Lin bangkit berdiri dan
mengangsurkan tangannya untuk minta pinjam tongkat
bambu yang berada di tangan gurunya.
"Heh" Hah?" Can Sianseng menjadi bingung. "Untuk apa?"
"Untuk memukul kepala Sianseng berapa kali biar benjolbenjol!"
Semua murid terbelalak dan guru itu sendiri terbelalak,
akan tetapi lalu marah sekali. "Apa" Kau..... anak sssee-setan!
berani engkau hendak memukuli kepalaku?"
"Eh-eh-eh, ingat baik-baik, Sianseng jangan marah dulu.
Baru kemarin sianseng mengajarkan sebuah ujar-ujar yang
berbunyi demikian : "Jangan melaku-kan sesuatu kepada
orang apa yang kita sendiri tidak suka orang melakukan
kepadamu!' Nah, bukankah Sianseng mengajarkan begitu"
Kalau sekarang Sianseng tidak suka saya pukul kepalanya
dengan tongkat itu, kenapa Sianseng seenak saja memukuli
kepala kami" Bukankah berarti Sianseng tidak menaati dan
tidak melaksanakan ujar-ujar itu" Kalau Sianseng tidak suka
kupukuli kepalanya den tongkat ini, berarti Sianseng adalah
orang siauw-jin!" Mendengar ucapan Han Lin itu, temantemannya menjadi
bersemangat dan berani, dan mereka
meminta sepotong bambu itu dan berebutan untuk memukuli
kepala dan muka Can Sianseng.
Biarpun hanya berhadapan dengan anak-anak kecil namun
Can Sianseng adalah seorang yang lemah dan anak anak itu
amat nakal, maka ketika menerima sabetan bambu itu, dia
melarikan diri keluar dari tempat itu dan setengah menangis
dia pulang ke rumahnya. Sejak peristiwa di hari itu, Can Sianseng mogok tidak mau
mengajar dan Chan Li segera mendengar dari anak-anak
tentang ulah Han Lin. Ia memarahi anaknya.
"Apakah kelak engkau akan menjadi seorang bodoh,
menjadi seorang tukang pukul yang kasar?" tegur ibunya.
"Ah, ibu. Apa artinya mempelajari semua ujar-ujar kalau
tidak dilaksanakan" seorang guru harus memberi contoh
kepada muridnya, baru sang murid akan menurut, bukan" Can
Sianseng bukan guru yang baik!"
Terpaksa Chai Li mengundang seorang guru lain yang lebih
muda walaupun untuk itu ia harus mengeluarkan biaya yang
lebih besar. Akan tetapi agaknya cara mengajar guru baru ini
cocok dengan anak-anak dan mereka belajar dengan rajin.
Pada suatu hari, ketika Han Lin sudah berusia enam tahun,
datanglah Gobi Sam-sian berkunjung ke pondok Chai Li.
Wanita mi segera menyambut dengan penuh kehormatan
kepada tiga orang penolongnya dan cepat memanggil Han Lin.
Han Lin sedang bermain dengan teman-temannya ketika
dipanggil ibunya. Dia berlari-lari pulang dan melihat tiga orang tosu berusia
lima puluh tahun lebih duduk di dalam pondok
dan dihadapi ibunya yang kelihatan amat menghormati
mereka. Mata yang tajam dari Han Lin mengamati tiga orang tosu
itu penuh perhatian, hatinya bertanya-tanya. Ketika mereka
dahulu menolong dia dan ibunya, usianya baru tiga tahun dan
yang teringat terus dan terbayang di depan matanya hanyala
ibunya rebah telentang dengan wajah berlumuran darah,
terutama mulutnya yang mengucurkan darah segar. Bayangan
itu tidak pernah terlupakan olehnya, bahkan sering
mengganggunya di waktu tidur Akan tetapi tiga orang tosu ini
sama sekali tidak dikenalnya.
Tiga orang Gobi Sam-sian itupun mengamati Han Lin
dengan penuh perhatian Mereka tersenyum dan merasa
gembira. Dugaan mereka tidak keliru. Anak itu telah tumbuh
dengan baik, berbadan tinggi tegap dan biarpun agak kurus
namun kokoh dan sinar matanya penuh semangat dan
kecerdikan. "Han Lin, cepat engkau berlutut memberi hormat kepada
tiga orang suhumu (gurumu)!" kata Chai Li kepada puteranya.
Namun Han Lin tidak segera melaksanakan perintah itu. Dia
masih berdiri tegak memandang kepada tiga orang tosu itu
bergantian, kemudian bertanya kepada ibunya, "Ibu,
bagaimana mendadak mereka ini dapat menjadi suhuku?"
"Han Lin, sam-wi in-kong (tiga orang penolong) ini pada
waktu engkau baru berusia tiga tahun dahulu sudah
mengatakan bahwa setelah engkau berusia enam tahun
engkau akan menjadi murid mereka mempelajari ilmu silat."
"Ibu, sam-wi totiang (ketiga orang pendeta) ini mempunyai kemampuan apakah
hendak mengajarkan silat kepadaku"
Kalau aku belajar silat, aku harus mempunyai seorang guru
yang sakti agar kelak aku dapat menjadi seorang pendekar
yang gagah perkasa seperti yang pernah ibu ceritakan. Aku
harus dapat menjadi sakti seperti Sun Go Kong si Raja Monyet
seperti yang pernah ibu dongengkan. Aku ingin mempelajari
sastera dan silat sampai sedalam-dalamnya, bukan
sembarangan saja." "Hushhh. Han Lin. Sam-wi in-kong ini adalah......."
Gobi Sam-sian bangkit berdiri d mereka tertawa. Mereka
tertarik sekal akan ucapan anak itu dan Ang-bin-sian Muka
Merah berkata kepada Chai Li "Biarlah kami yang akan bicara dengannya."
Jilid III ANG-BIN-SIAN lalu menghampiri Han Lin dan dia berkata,
"Han Lin, apa yang kau katakan itu memang benar sekali.
Untuk apa mempelajari suatu ilmu kalau hanya setengahsetengah"
Kelak tidak ada gunanya, hanya dipakai untuk
menyombongkan diri saja seperti gentong gosong yang
nyaring bunyinya namun tak berisi. Marilah kita keluar dari
dalam rumah dan engkau akan menilai sendiri sampai di mana
kepandaian kami!" Dia memegang tangan anak itu dan
dituntunnya keluar. Dengan penuh semangat Han Lin keluar karena dia
memang hendak melihat apakah tiga orang tua itu pantas
untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya.
Setibanya di luar rumah, Ang-bin-Man melihat dua batang
pohon sebesar manusia dan dua buah batu besar
dipekarangan depan rumah itu. Dia tersenyum.
"Nah, engkau melihat dua batang pohon dan dua buah
batu sebesar kerbau itu" Dapatkah orang biasa yang
bagaiman kuatpun dengan sekali pukul menumbangkan pohon
itu dan memecahkan batu itu dengan tongkatnya?"
Han Lin terbelalak dan menggelengkan kepalanya. "Tidak
mungkin. Pohon itu terlampau kuat dan batu itu terlalu besar
untuk dipecahkan dengan pukulan tongkat!"
"Begitukah" Nah, engkau lihat sekarang. Pinto (aku) akan
merobohkan pohon pohon dan memecahkan batu-batu itu
dengan tongkat pinto!" Setelah berkata demikian, Ang-bin-sian menggerakkan
tongkat bajanya, bersilat di pekarangan itu.
Tongkat bajanya menyambar-nyambar, mengeluarkan suara
dahsyat bersuitan, makin lama dia bersilat makin mendekati
dua batang pohon besar dan dua bongkah batu besar itu. Tak
lama kemudian tongkatnya menyambar pohon.
"Krakkk! Krakkk!!" Dua batang pohon itu tumbang terkena hantaman tongkat baja.
Kakek itu terus bersilat dan kini
tongkatnya terayun menghantam dua bongkah batu yang
sebesar perut kerbau. "Darrr! DarrrH" Tampak debu mengepul dan dua bongkah batu itupun pecah! Ang-bin-
sian menghentikan permainan
silatnya dan Han Lin terbelalak, lalu memuji.
"Hebat! Hebat sekali!" Dan dia bertepuk tangan dengan girangnya.
It-kiam-sian melangkah maju. "Han Lin, engkau lihatlah
sekarang aku menggunduli pohon di sana itu dengan
pedangku!" Setelah berkata demikian, tosu ini mencabut
pedangnya dan mulai bersilat dengan pedangnya. Pedang itu
menyambar-nyambar dan berubah menjadi segulungan sinar.
Ketika tosu ini bersilat semakin cepat, gulungan sinar pedang
itu melayang ke arah pohon. Bayangan It-kiam-sian hanya
tampak samar-samar saja dan kini ia meloncat tinggi ke atas
pohon sambil tetap memutar pedangnya. Gulungan sinar
pedang ke arah puncak pohon dan tampaklah daun-daun
pohon dan ranting berhamburan dan dalam waktu singkat saja
pohon itu telah "dicukur" sehingga bentuk seperti sebuah payung besar! Ketika it
kiam-sian melompat turun dan
menyimpan pedangnya, Han Lin yang sejak tadi terbelalak,
menepuk tangan dengan kagum girang sekali.
"Hebat sekali!"
Pek-tim-sian mengebutkan kebutan sambil tertawa. "Anak
baik, agaknya engkau tidak akan yakin kalau belum melihat
dengan mata kepala sendiri. Itu kebiasaan yang baik. Jangan
mudah percaya kalau tidak melihat sendiri, itu sikap orang
budiman. Sekarang lihatlah ekor burung yang sedang
berloncatan ranting-ranting pohon itu. Aku akan
menangkapkan burung-burung itu untukmu."
Setelah berkata demikian, Pek-tim-sian melompat.
Tubuhnya amat ringan cepat dan memang tosu ini adalah
seorang ahli gin-kang (meringankan tubuh) yang hebat. Kalau
gerakan It-kiam-sian dengan pedangnya tadi masih tampak
bayangannya, kini gerakan Pek-tim-sian dengan kebutannya
sama sekali tidak tampak bayangannya, tahu-tahu tubuhnya
sudah berada di pohon dan dua kali hud him (kebutan dewa)
di tangannya bergerak, dua ekor burung itu telah digulung
oleh ujung kebutan dan ditangkapnya. Bagaikan seekor
rajawali dia melayang turun dari atas pohon, ketika dia tiba di depan Han Lin,
kedua kakinya sama sekali tidak mengeluarkan
suara dan dia tertawa. "Ha-ha-ha, pinto tidak mempunyai apaapa, hanya dua ekor
burung ini pinto akan kepadamu, boleh
kau perbuat apa yang kau suka."
Han Lin menerima dua ekor burung itu, mengelus bulunya
lalu dia melemparkan mereka ke udara sehingga mereka
terbang ringan cepat sekali.
"Han Lin, kenapa engkau lepaskan burung-burung itu?"
Akan tetapi Han Lin sudah menjatuhkan dirinya berlutut
menghadap tiga tosu dan berkata sambil memberi hormat
berulang kali. "Teecu (murid) Han Lin mohon diterima menjadi murid sam-wi suhu
(tiga orang guru) dan sejak saat ini tecu
akan menaati semua perintah dan tunjuk suhu bertiga." Tiga orang tosu itu
tertawa senang. Memang mereka ingin mengambil murid anak itu sejak tiga
tahun yang lalu, maka melihat sikap anak itu mereka merasa
gembira. "Han Lin, engkau belum menjawab mengapa engkau
membebaskan burung-burung tadi?"
"Suhu, burung adalah mahluk yang terbang bebas di udara.
Kasihan sekali kalau mereka ditangkap dan dikurung. Tecu
tidak suka mengurungnya, maka teecu lepaskannya."
"Bagus!" kata Ang-bin-sian. "Kecil kecil engkau sudah dapat menghargai
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebebasan." "Sam-wi totiang (Para pendeta bertiga harap suka masuk
ke dalam pondok untuki bicara. Silakan," kata Chai Li sambil memberi hormat.
Tiga orang tosu itu tersenyum, mengangguk-angguk dan
melangkah menuju pondok. Ang-bin-sian menggunakan
tongkat bajanya menowel belakang punggung Han Lin dan
anak itu terlempar keatas jungkir balik dan jatuh berdiri.
"Hayo engkau ikut kami."
Han Lin terkejut akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan
gembira sekali karena dia merasa yakin akan kelihaian tiga
orang yang akan menjadi gurunya itu.
Setelah mereka bertiga duduk di ruangan depan, Chai Li
menghidangkan minuman air teh cair dan ia menceritakan
tentang keadaan Han Lin. "Saya telah memanggil guru untuk mendidik Han Lin dalam
kesusasteraan, sekarang dia sudah mulai dapat membaca dan
menulis, dan mempelajari beberapa
buah kitab agama." "Akan tetapi teecu tidak suka akan cara guru-guru itu
mengajarkan isi kitab, suhu."
Ang-bin-sian mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm,
mengapa begitu?" "Habis, mereka mengajarkan perbuatan-perbuatan baik
tanpa mereka sendiri melakukannya! Apa artinya semua
pelajaran perbuatan baik itu kalau tidak dilaksanakan?" kata Han Lin sambil
memandang kepada tiga orang gurunya
dengan matanya yang bersinar-sinar.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh tepat!" kata It-kiam-sian.
"Engkau hanya mengenal kulitnya tanpa mengetahui
isinya!" cela Pek tim sian.
Ang-bin-sian lalu berkata sungguh sungguh. "Memang
sesungguhnyalah. Pelajaran perbuatan baik adalah untuk
dilaksanakan, bukan untuk dibicarakan. Akan tetapi kalau tidak dibicarakan lebih
dulu bagaimana engkau dapat mengerti"
Perbuatan baik adalah satu perbuatan yang tidak
direncanakan oleh hati akal pikiran. Semua perbuatan yang
direncanakan oleh hati akal pikiran tidak mungkin baik, atau
baik untuk dirinya sendiri saja. Perbuatan begitu tentu
berpamrih demi diri pribadi. Akan tetapi kalau engkau sudah
mempelajari nilai-nilai tinggi dalam kehidupan seperti yang
diucapkan oleh kaum bijaksana di jaman dahulu, maka engkau
akan memiliki dasar yang baik sehingga apapun yang kau
lakukan tentu baik."
Han Lin menjadi bengong, lalu menggaruk-garuk
kepalanya. "Wah, pelajaran suhu sungguh sulit dimengerti!"
Tiga orang gurunya tertawa. "Tidak mengapalah. Kelak
engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kami
memperkenalkan diri," kata Ang-bin-sian. "Kami bertiga disebut orang Gobi Sam-
sian (Tiga Dewa dari Gobi) karena
kami memang suka merantau di daerah Gobi. Pinto sendiri
disebut Ang-bin-sian (Dewa Muka Merah) dan engkau boleh
menyebut aku twa-hu (guru tertua). Dia itu adalah It-kiamsian
(Dewa Pedang Tunggal) dan nenjadi ji-suhu (guru kedua)
bagimu dan yang seorang lagi itu adalah Pek-tim-sian (Dewa
Kebutan Putih) menjadi sam-suhu (guru ketiga)."
Han Lin memberi hormat kepada mereka seorang demi
seorang sambil menyebut "Twa-suhu, ji-suhu dan sam-suhu".
"Sekarang dengar baik-baik, Han Lin. Engkau sudah minta
kepada kami untuk membuktikan kesanggupan kami untuk
menjadi gurumu. Oleh karena itu, sekarang kami juga minta
kepadamu untuk membuktikan kesanggupanmu untuk
menjadi murid kami!" kata Ang-bin-sian.
"Toa-suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah suhu
tanpa membantah!" kata Han Lin dengan suara tegas dan
mantap. "Sebaiknya begitu. Ingat, mempelajari bu (silat) berbeda
dengan mempelajari bun (sastera). Untuk sastera, engkau
harus mempergunakan pikiran dan perasaanmu, Akan tetapi
untuk mempelajari ilmu silat harus ada kesatuan antara
pikiran, perasaan dan gerakan tubuhmu. Oleh karena itu
engkau sama sekali tidak boleh malas dan harus melakukan
segala yang kami perintahkan."
"Teecu mengerti, suhu!"
"Engkau harus mempelajari sastera, tiga hari dalam
seminggu dan yang empat hari kami akan melatih silat
kepadamu. Kami akan mencari tempat bertapa di pegunungan
ini dan datang kesini setiap waktu untuk mengajarkan silat.
Akan tetapi sekarang, tugasmu yang pertama adalah
membersihkan halaman itu, mengampak kayu-kayu itu
menjadi kayu bakar dan membersihkan semua daun daun
situ." Han Lin terbelalak. Dua batang pohon besar tumbang dan
banyak sekali ranting dan daun terbabat pedang. Kalau hanya
mbersihkan daun dan ranting, dalam waktu sehari dua hari
saja tentu akan selesai. Akan tetapi mengampak batang
batang kayu itu menjadi kayu bakar yang kecil-kecil" Entah
berapa lama dia harus bekerja keras! Akan tetapi tanpa ragu
dia menjawab. "Teecu akan melaksanakan tugas itu. baiknya, toa-suhu!"
Chai Li kelihatan gelisah mendengar caranya menerima
tugas seberat itu dan melihat wajah wanita itu, Ang-bin-sian
berkata sambil tersenyum. "Nyonya, biarlah puteramu
mengerjakan semua perintah kami. Keberhasilannya dalam
ilmu silat akan bergantung sepenuhnya kepada
ketekunannya." Chai Li mengangguk walaupun ia merasa amat kasihan
kepada puteranya. Dan tiga orang Gobi Sam-sian itu lalu
berpamit untuk mencari tempat pertapaan yang cocok bagi
mereka, yang tidak terlalu jauh dari kota Pao-tow. Mereka
mendapatkan sebuah hutan cemara di lereng bukit dan
mendirikan sebuah pondok kayu dan bambu di tempat itu
untuk mereka tinggali dan bertapa.
Sampai setengah bulan lamanya Han Lin membersihkan
halaman rumah Nenek janda pemilik rumah menjadi senang
sekali mendapatkan banyak kayu bakar dan memuji Han Lin
sebagai anak yang rajin. Memang anak ini mempunyai
semangat yang luar biasa. Biarpun bukan orang kaya, namun
dia jarang melakukan pekerjaan berat. Akan tetapi begitu
menerima perintah suhunya, setiap hari dia mengunakan
kapak dan golok untuk membelah batang pohon. Dia bekerja
tanpa mengenal waktu dan kedua telapak tangannya sampai
lecet-lecet dan akhirnya menjadi tebal.
Setelah dia mulai dilatih oleh tiga orang tosu itu, dia
mendapatkan tugas setiap hari yang lebih berat lagi! Pondok
tiga orang tosu itu agak jauh dari sungai air, dan Han Lin
bertugas untuk mencari dan memikul air dari sumber air
dibawa ke pondok. Akan tetapi untuk melakukan pekerjaan
itu, mula-mula dia harus menggunakan alas kaki dari kayu
tebal yang kalau dipakai berjalan licin. Beberapa kali ia jatuh bangun
menggunakan alas kaki kayu itu, air pikulannya
tumpah sehingga ia harus kembali ke sumber air untuk
menimba lagi. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu,
walaupun tidak ada orang menyaksikannya, sebentarpun dia
tidak pernah melepas alas kaki itu dan dengan gigih dia
berjuang sampai akhirnya dia dapat memikul air itu ke pondok
menggunakan alas kaki! Tampaknya saja ketiga orang
gurunya tidak perduli, namun sesungguhnya mereka bertiga
mengamati setiap gerak-gerik murid mereka dan
mengintainya. Mereka sungguh merasa gembira sekali melihat kegigihan
murid mereka yang masih berusia enam tahun itu.
Bukan sampai di situ saja "penyiksaan" terhadap diri Han Lin yang kecil. Setelah
itu mulai lincah dan terampil
mempergunakan alas kaki sehingga dapat berlari-lari kecil
sambil memikul airnya, tiga orang gurunya lalu memasang dua
buah gelang kaki dikedua kakinya. Gelang baja itu masingmasing satu kati
beratnya. Biarpun 1 kati itu ringan kalau
diangkat, akan tetapi ketika dia mulai memikul air
mengunakan alas kaki kayu, gelang itu rasanya lebih dari
sepuluh kati beratnya! Dan tidak hanya sampai di sini saja.
Setelah dia mulai terbiasa dengan beban gelang itu, gelangnya
ditambah dengan yang lebih besar dan berat sehingga dalam
waktu tiga bulan gelang di kedua kakinya itu masing-masing
seberat lima kati! Dia menaati perintah guru-gurunya tanpa mengeluh. Di
lubuk hatinya dia tahu bahwa guru-gurunya sedang
menggemblengnya untuk menjadi orang yang kuat dan dia
membantu usaha guru-gurunya itu dengan menaatinya.
Setelah lewat tiga bulan, Ang-bi sian membuat sebuah
pikulan baru. Pikulan itu terbuat dari rotan-rotan kecil yang
digabung menjadi sebuah pikulan besar Han Lin diharuskan
memikul kedua gentung airnya dengan pikulan dari rotan itu.
Mula-mula dia merasa kaku, karena pikul itu agak lentur. Akan
tetapi lama kelaman dia terbiasa dan dapat mengatur
keseimbangannya sedemikian rupa sehingga kalau dia
memikul air sambil setengah berlari, kedua kaki dan
tangannya membuat gerakan seperti orang menari untuk
menjaga keseimbangan badannya.
Akan tetapi sebulan kemudian, gurunya mengambil dan
melolos sebatang rotan dari pikulan itu! Dan setiap seminggu
sekali, pikulan itu dikurangi sebatang rotan sampai menjadi
kecil dan lentur sekali. Namun, Han Lin dapat menyesuaikan
diri dan dapat memikul air itu sampai ke pondok.
Latihan-latihan sambil bekerja macam Itu dilakukan Han Lin
selama dua tahun! dan dia sama sekali belum diajar ilmu silat!
Sungguhpun demikian, dengan gerakan mengatur
keseimbangan badan ketika ia memikul air, dia sudah
menguasai dasar gerakan kaki dalam ilmu silat. Dia tahu
bahwa dia belum dilatih ilmu silat, bahkan ibunya mulai
mengomel kalau bertanya kepadanya apakah dia sudah diajari
ilmu silat. "Belum, ibu. Akan tetapi aku disuruh kerja berat. Lihat ini, otot-otot kaki dan
tanganku menjadi kokoh. Aku tidak pernah
masuk angin, aku selalu bangun pagi pagi sekali dan merasa
tubuhku selalu sehat dan segar. Ini semua berkat pekerjaan
yang ditugaskan sam wi suhu (guru bertiga) kepadaku dan
aku berterima kasih sekali!"
"Akan tetapi apa artinya kepandaian memikul air" Apakah
engkau kelak akan menjadi tukang pikul air" Engkau harus
menjadi seorang pendekar, Han Lin, dan karena itu engkau
harus belajar ilmu silat. Biarlah besok akan kutanyai mereka
mengapa sampai sekarang engkau belum dilatih ilmu silat,"
kata ibu yang merasa kecewa itu.
"Jangan, ibu! Aku sudah senang sekali dengan cara mereka
mengajar. Di sini aku tidak hanya mendapatkan teori saja
akan tetapi langsung aku mendapatkan manfaat pada
tubuhku. Kita harus bersabar, ibu. Bukankah kesabaran itu
pangkal keberhasilan?"
Han Lin memang pandai bicara da kalau sudah begitu,
ibunya mengalah "Baiklah, aku tidak akan bertanya secara
langsung, akan tetapi akan menanyakan sampai di mana
kemajuanmu. Hal itu boleh saja dan sudah menjadi hakku
sebagai ibumu, bukan?"
Han Lin tersenyum. Diapun heran. Apa yang akan dijawab
oleh ketiga gurunya kalau ibunya menanyakan kemajuannya
dalam mempelajari ilmu silat"
Benar saja. Pada keesokan harinya, ketika dengan berjalan
santai tiga orang tosu itu datang ke rumahnya untuk "melatih"
silat kepada Han Lin dan yang biasanya berakhir dengan
membawa Han Lin pergi ke bukit mereka untuk bekerja keras,
Chai Li bertanya dengan sikap hormat.
"Selamat pagi, sam-wi totiang (bapak pendeta bertiga).
Dapatkah sam-wi totiang menjelaskan kepada saya, sampai di
mana kemajuan ilmu silat yang sam-wi (kalian bertiga) ajarkan
kepadanya?" Tiga orang tosu itu saling pandang, kemudian memandang
kepada Han Lin yang berdiri di situ sambil menundukkan
mukanya. Pada saat itu tiba-tiba terdengar-eriakan banyak
orang. "Tolong cegat! Tolong!"
"Jangan boleh lari, tahan dia!"
Mereka semua melihat ke jalan dan ternyata serombongan
orang sedang mengejar-ngejar seekor kerbau muda yang
lepas. Kerbau itu agaknya panik dikejar kejar dan diteriaki,
dan diapun mengamuk. Kalau ada orang hendak
memegangnya, dia menyerang dengan tanduknya sehingga
tak seorangpun berani menghalanginya.
"Han Lin, perlihatkan kepada ibumu bahwa engkau mampu
menangkap kerbau itu. Cepat lakukan. Hati-hati terhadap
tanduknya, engkau harus pandai menghindar, rangkul
lehernya dan puntir kepala nya!" kata Ang-bin-sian.
Tanpa mengucapkan sepatah pun kata,. Han Lin lalu berlari
ke jalan. Ibunya memandang dengan mata terbelalak dan hati
gelisah sekali. Orang dewasa saja tidak berani menangkap
kerbau itu, kini anaknya disuruh menangkap! Dengan jantung
berdebar penuh kekhawatiran Chai Li berlari keluar
pekarangan, di kuti oleh tiga orang tosu itu yang berjalan
dengan santai. Kerbau yang mengamuk itu datang. Dengan sigapnya Han
Lin menyambutnya. anak ini memiliki gerakan yang ringan dan
cepat bukan main. Hal ini adalah hasil dari gelang-gelang kaki baja dan
berlarian dengan alas kaki kayu licin sambil memikul
air itu. Kedua kakinya tidak saja menjadi kokoh kuat kalau
memasang Bhesi (kuda-kuda) akan tetapi juga amat ringan
dan lincah. Dia berdiri mengembangkan kedua lengan
terhadap kerbau itu dan mulutnya mengeluarkan teriakan.
"Hiuuuhh...... berhenti.....!"
Kerbau itu menjadi marah. Matanya merah mendelik
kemerahan, tanda bahwa ia sudah marah sekali. Melihat ada
seorang anak berani menghadang di depannya, dia lalu
menurunkan kepalanya ke bawah, kemudian menerjang ke
depan sambil menggerakkan kepalanya yang bertanduk dua.
Sekiranya tanduk-tanduk itu mengenai perut atau dada Han
Lin, mudah digambarkan akibatnya. Tentu dia akan terluka
parah. Namun Han Lin melihat betapa gerakan serangan kerbau
itu lamban. Dengan cepat kakinya melompat ke samping
sehingga serudukan kepala kerbau itu lewat samping
tubuhnya. Secepat kilat dia membalikkan tubuhnya dan
melompat ke depan merangkul leher kerbau, memegang
kedua tanduknya dan dengan sekuat tenaga tangannya yang
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasa memikul air dengan gentung dengan hanya beberapa
batang rotan, dia memuntir leher kerbau itu bawah. Dan
kerbau itupun rebah! Pemilik kerbau sudah tiba di situ dan cepat orang ini
memasangkan tali kepada hidung kerbau yang sudah tidak
berdaya itu. Setelah kerbau dapat dikuasai baru Han Lin
melepaskannya. Tanpa rasa bangga sedikitpun dan
menganggapnya sebagai hal yang lumrah dia mengebutngebutkan
bajunya yang menjadi kotor karena pergulatan
tadi. Chai Li berlari dan merangkul putranya. Baru sekarang
terdengar tepuk tangan dan seruan memuji kepada Han Lin.
tiga orang tosu tiba di situ dan mereka hanya tersenyum.
Melihat dirinya dipuji puji orang, Han Lin segera mengajak
ibunya kembali ke pondok mereka.
Chai Li memandang kepada tiga orang tosu itu dan berkata
dengan suara terharu "Sam-wi totiang, terima kasih sekali.
atas gemblengan totiang kepada anak saya."
Mulai hari itu, Han Lin mulai diajarkan dasar-dasar ilmu
silat. Langkah-langkah ajaib dari It-kiam-sian, ilmu
merinngankan tubuh yang istimewa dari Pek-ti sian, dan
penghimpunan tenaga sakti dari Ang-bin-sian. Akan tetapi
karena dia masih seorang kanak-kanak, tentu saja semua
pelajaran disesuaikan dengan tubuhnya yang sedang
bertumbuh dan berkembang.
Gobi Sam-sian agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk
menurunkan inti dari ilmu-ilmu mereka kepada Han Lin.
Mereka bahkan menggabungkan ilmu silat tangan kosong
mereka menjadi semacam ilmu silat yang khusus
diperuntukkan Han Lin dan ilmu silat tangan kosong ini
mereka beri nama Sam-sian-kun (Silat Tiga Dewa). Di situ
terkandung semua unsur terpenting dan terlihai dari ilmu silat tangan kosong
masing-masing, karena dasar gerak
langkahnya menggunakan ilmu dari It kiam-sian, keringanan
tubuh dan kecepatannya menggunakan ilmu dari Pek-tim-sian
dan tenaga sin-kangnya mengambil dari Ang-bin-sian! Mereka
menggabungkan tiga macam ilmu silat tangan kosong dan
bersama-sama mengajarkannya kepada Han Lin. Bahkan
mereka sendiri tidak mampu kalau disuruh bersilat Sam-sian
kun, karena tidak memiliki keistimewaan dari rekannya yang
lain. Selama dua tahun dengan penuh ketekunan Han Lin
melatih diri dengan Sam-sian-kun. Dia sudah mahir sekali.
Hanya saja karena dia masih terhitung kanak-kanak, maka
tentu saja dalam hal tenaga dan kecepatan dia belum dapat
menggunakan sepenuhnya, hanya setingkat dengan
perkembangan dan pertumbuhan badannya saja. Akan tetapi
dia tidak menyia-nyia-kan pesan ibunya. Walaupun dia amat
suka mempelajari ilmu silat dan melatihnya tanpa mengenal
lelah, akan tetapi ada waktunya dia belajar sastera, diapun
mempelajari sastera dan menghentikan latihan silatnya. Dan
dalam ilmu inipun dia amat berbakat sehingga dua tahun
kemudian dia sudah dengan mudah membaca kitab-kitab Su-si
Ngo-keng, bahkan kitab Agama Buddha yang artinya
mendalam. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Han Lin sudah membaca
kitab Tiong-yo buah pikiran Nabi Khong-cu. Sebetulnya isi
kitab ini amat mendalam, namun Han Lin berusaha untuk
membaca denga mengerti apa yang dibacanya. Hari itu adalah
hari sastera, maka dia tidak berlatih silat.
"Han Lin, di mana engkau?" terdengar suara ibunya.
"Aku di sini, ibu, di kebun'" Han Lin memang paling suka berada di kebun, baik
kalau sedang berlatih silat maupun
kalau sedang membaca kitab. Tempat itu selain sunyi, juga
sejuk karena banyak di tumbuhi pohon.
Ibunya muncul, membawa rantang tempat makanan dan
berkata, "Han Lin pergi engkau ke rumah makan dan beli tiga macam masakan yang
enak-enak." ia menyerahkan rantang
dan beberapa potong uang kepada anak itu. Han Lin
terbelalak heran. Tidak pernah ibunya menyuruh dia membeli
masakan di rumah makan. Harganya mahal dan ibunya dapat
memasak sayur-sayuran yang tidak kalah lezatnya.
"Ada apakah, ibu" Mengapa membeli masakan di rumah
makan?" Ibunya menulis dengan jari tangan di atas meja. "Sudahlah jangan banyak
bertanya, Han Lin. Lakukan saja apa yang
kuperintahkan. Nanti setelah makan-makan akan kuceritakan
semua sejelasnya kepada mu."
Han Lin tidak membantah lagi dan dia segera pergi ke
sebuah rumah makan besar di kota Pao-tow. Setibanya di situ,
seorang pelayan menyambutnya dan dia memesan tiga
macam masakan "yang paling enak" seperti yang dipesan ibunya sambil menyerahkan
uang dan tempat masakan. Pelayan menyuruh dia duduk menunggu. Han Lin duduk di
sebuah bangku yang kosong.
Tiba-tiba hatinya tertarik sekali mendengar percakapan dua
orang yang duduk semeja, tidak jauh dari situ. Mereka adalah
dua orang laki-laki berpakaian sastrawan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun.
Tampaknya mereka sudah setengah mabok
dan mereka bicara lantang.
"Sim-twako (kakak Sim), aku sungguh tidak mengerti
melihatmu. Setahuku engkau telah lulus berkali-kali dari
perguruan Engkau terkenal pandai dan dapat menulis cepat
dengan indah. Akan tetapi kenapa sampai sekarang engkau
belum menjadi siucai (sarjana)" Bukankah engkau sudah
mengikuti ujian di kota raja?" tanya orang yang tinggi kurus.
Orang yang bermuka merah itu menuangkan araknya ke
dalam mulut, lalu menghela napas panjang dan berkata
"Berkali-kali orang mengatakan, kalau tidak beruang jangan sekali-kali
mempelajari sastra. Apa gunanya" Betapapun
pandainya engkau dalam kesusasteraan, tanpa uang di saku,
jangan harap akan lulus ujian negara. Sebaliknya, seorang
tolol sekalipun dapat lulus dengan baik kalau dia mampu
menyuap. Sudah lima kali aku mengikuti ujian negara. Semua
hasil ujian ku baik sekali, namun tetap saja dinyatakan tidak
lulus. Gagal!" "Benar sekali itu. Aku juga mendengar bahwa Louw Sam
dari dusun Ki-bun sekali ujian lulus akan tetapi dia harus
nenghabiskan harta orang tuanya untuk menyuap. Padahal
waktu belajar dia bodohnya bukan main!"
"Tentu dia akan menjadi seorang pejabat yang korup untuk
dapat menarik kembali hartanya yang telah dikeluarkan,
berikut bunganya. Tidak mengherankan kalau semua pejabat
sekarang ini melakukan korupsi, karena masuknya menjadi
pejabat juga menelan biaya yang besar. Ah, orang miskin
macam kita ini sebaiknya dulu belajar ilmu silat saja. Kalau
kita pandai silat dan bertubuh kuat, setidaknya kita dapat
masuk menjadi tentara atau bekerja diluar. Banyak yang
membutuhkan orang yang kuat dan pandai silat. Akan tetapi,
sasterawan" Hanya dicemooh orang, dikatakan kutu buku,
tukang melamun dan sebagainya."
Masakan yang dipesan Han Lin sudah tiba dan terpaksa
Han Lin menghentikan perhatiannya terhadap percakapan itu
dan pulang. Akan tetapi apa yang didengarnya sudah lebih
dari cukup. Amat berkesan didalam hatinya. Dia tahu bahwa
para pejabat pengurus ujian bertindak curang korup, makan
suapan sehingga yang lulus menjadi sarjana hanya anak-anak
orang kaya saja yang sebenarnya bodoh.
Mereka kini menghadapi meja makan berdua saja. Chai Li
dan Han Lin. Ketika Chai Li mengajak Bibi Cu, janda pemilik
rumah untuk makan bersama, Bibi Cu menolak dan tertawa.
"Kalian berdua makanlah, aku tidak ingin mengganggu
kalian ibu dan anak,"
Chai Li mengajak puteranya maka minum sepuasnya:
Nyonya itu tampak gembira bukan main, wajahnya yang
masih tampak cantik dan segar itu bersinar sinar dan berseri
penuh senyum. Setelah mereka selesai makan, barulah Chai Li
bicara melalui tulisannya di atas kartu yang telah ia persiapkan sebelumnya
karena ia hendak bicara banyak kepada anaknya
itu. "Han Lin, hari ini adalah hari lahirmu yang ke sepuluh!
Karena itulah engkau kuajak merayakannya dengan makan
enak. Dan bukan itu saja. Sebagai hadiah ulang tahunmu,
engkau akan mengetahui semua tentang keadaan dirimu,
tentang asal usulmu."
Han Lin menjadi gembira bukan main. sudah sering dia
bertanya kepada ibunya tentang riwayat hidupnya, tentang
ayahnya, akan tetapi ibunya selalu mengelak dan menyatakan
belum tiba waktunya untuk memberi tahu. Dia segera duduk
dengan baik dan tegak, siap membaca apa yang akan ditulis
ibunya di atas kertas itu. Chai Li memang sudah
mempersiapkan kertas dan alat tulis.
"Han Lin, dahulu ibumu ini adalah seorang Puteri Mongol,
keponakan dari kepala suku Kapokai Khan Yang Besar, Paman
kakekmu itu adalah seorang kepala suku yang gagah perkasa,
bahkan kakekmu pernah menawan Kaisar Cheng Tung yang
masih muda dari Kerajaan Beng. Kakekmu tidak membunuh
Kaisar Cheng Tung yang gagah berani itu, bahkan
menjadikannya tamu agung. Paman Kapokai Khan menyuruh
aku untuk melayani Kaisar Cheng Tung dengan baik-baik.
Akhirnya Kaisar Cheng Tung dan aku saling jatuh cinta dan
kami menjadi suami isteri."
Han Lin terkejut sekali dan semua pertanyaan sudah
berada di ujung lidahnya akan tetapi dia menelannya kembali
ia siap membaca terus apa yang akan ditulis ibunya.
"Akan tetapi, karena keadaan kerajaan Beng membutuhkan
Kaisar Cheng Tung untuk kembali, Paman Kapokai Khan, Ia
membebaskannya dan mengembalikannya ke selatan. Untuk
sementara aku ditinggalkan dan kelak akan dijemput.
Kemudian terlahirlah engkau, Han Lin."
"Ibu, jadi aku ini......."
"Engkau putera Kaisar Kerajaan Beng anakku. Engkau
putera Kaisar Cheng Tung. Engkau seorang pangeran dan
nama aselimu adalah Cheng Lin. Akan tetapi demi
kcamananmu sendiri, engkau telah memakai nama Han Lin.
Setelah ayah mu pulang ke selatan, aku menanti nanti. Akan
tetapi sampai engkau berus tiga tahun, tidak juga ada yang
datang menjemputku."
Chai Li kelihatan bersedih dan tangannya mengeluarkan
sebuah benda dari lipatan bajunya. Benda itu bukan lain
adalah suling Pusaka Kemala pemberian Kaisar Cheng Tung.
Dibelainya suling itu, didekapnya ke dada kemudian ia tidak
dapat menahan perasaannya, ditempelkan suling itu di
bibirnya dan mengalunlah lagu yang amat indah! Itulah lagu
Mongol "Suara hati Seorang Gadis" lagu yang dulu sering dimainkan dan amat
disuka oleh Kaisar Cheng Tung. Dan
biarpun lidahnya sudah buntung separuh ia masih pandai
meniup dan melagukan suling itu. Han Lin memandang
kepada ibunya dengan bengong. Baginya, suara suling itu
demikian indah dan kini dia memandangi -pada ibunya dengan
perasaan lain. wanita yang lembut ini, yang selalu tampak
cantik jelita walaupun tidak dapat bicara dengan jelas, adalah seorang Puteri
Mongol! Ketika Chai Li berhenti meniup suling
dan ia memandang kepada puteranya, ia melihat sepasang
mata Han Lin yang tajam itu basah, Ia lalu merangkul
anaknya. "Cheng Lin....!" terdengar ia menyebut nama itu dengan suara bercampur isak dan
agak cadel dan ia mencium muka
anaknya sambil menangis. "Ibu...., ibuku.....!" Kini Han Lin tidak dapat menahan hatinya lagi, ikut
menangis bersama ibunya. Setelah tangis mereka mereda, Chai Li lalu memberikan
suling berbentuk kecil itu kepada Han Lin dan menulis lagi.
"Terimalah suling ini, anakku. Suling ini adalah pemberian ayahmu kepadaku,
Suling Pusaka Kemala inilah yang menjadi
tanda bahwa engkau adalah keturunan Kaisar Cheng Tung.
Terima dan simpanlah baik-baik."
Han Lin menerima suling itu bertanya dengan nada suara
mengandung penasaran. "Ibu, kenapa ibu berada disini dan
meninggalkan Paman Kakek Kapokai Khan. Kenapa kita tidak
bersama mereka?" Ibunya menjawab dengan tulisan cepat "Masih panjang
ceritanya, anakku. Ketika engkau berusia tiga tahun, terjad
malapetaka itu. Seorang yang disangka utusan Kerajaan Beng
datang untuk membunuh kita berdua."
Membaca tulisan ini, Han Lin melompat bangun dengan
kaget dan heran seketika.
"Apa" Ayah mengutus orang untuk membunuh kita?"
"Bukan ayahmu, Han Lin. Aku yakin akan hal itu. Ayahmu
mencintaiku dan ia seorang yang bijaksana. Tentu ada orang
lain yang mengutus pembunuh itu. mungkin keluarga Kaisar
yang merasa khawatir kalau-kalau engkau, pangeran yang
yang berdarah Mongol, kelak akan menggantikan ayahmu
menjadi kaisar." "Hemm, sangat boleh jadi, ibu. Aku jarang mendengar
pendapat ibu bahwa ayah yang mengutus pembunuh itu untuk
membunuh kita." "Aku berani bersumpah bahwa pasti dia bukan utusan
ayahmu Kaisar Cheng Tung. Utusan itu bernama Suma Kiang,
orang yang jahat dan kejam luar biasa. Juga dia seorang yang
pandai dan cerdik, hampir saja dia dapat membunuh aku,
menculikmu pergi dari perkampungan mongol." Chai Li lalu
menceritakan secara panjang lebar dan jelas akan semua
peristiwa yang terjadi dalam tulisannya, ia ia menceritakan
betapa ia menggigit putus lidahnya sendiri dalam usahanya
membunuh diri daripada terjatuh ke dalam cengkeraman
Suma Kiang yang hendak memperkosanya,
Han Lin bangkit dari duduknya, berdiri tegak dan
mengepalkan kedua tangannya
"Aku akan belajar silat sampai kelak dapat membunuh
Suma Kiang yang jahat itu. Sekarang aku mengerti mengapa
sering aku bermimpi melihat ibu mengletak dengan muka
berlepotan darah. kiranya ibu berusaha membunuh diri
dengan menggigit putus lidah ibu sendiri."
Chai Li merangkul puteranya, menciumnya lalu menulis lagi
di atas kertas putih. "Pada saat nyawa kita terancam bahaya maut di tangan
Suma Kiang itu muncul ketiga orang gurumu, yaitu Gobi Samsian.
Mereka berhasil mengusir Suma Kiang dan
menyelamatkan kita."
"Akan tetapi pada waktu itu, kenapa ibu tidak mengajak
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku kembali ke kampungan Mongol?"
Chai Li menulis. "Kita sudah dibawa jauh sekali oleh Suma Kiang. Aku sudah putus
asa dan kecewa. Ternyata bangsaku
tidak dapat dan telah gagal melindungi kita dari tangan orang
jahat. Maka aku menyatakan kepada Gobi Sam-sian untuk
merantau ke selatan dan mohon agar dia suka menjadi
gurumu agar kelak dapat mencari ayahmu dan dapat
membalas dendam kepada Suma Kiang dan yang
mengutusnya. Gobi Sam-sian menerimanya dan demikianlah,
mereka yang membawa dan mengatur sehingga kita dapat
tinggal di rumah Bibi Cu ini."
Han Lin merangkul ibunya dan berbisik di telinganya.
"Engkau telah mengalami banyak kesengsaraan, ibu. Mudahmudahan kelak aku dapat
mempertemukan ibu kembali
dengan ayah." Pada saat itu tampak berkelebat tiga sosok bayangan dan
tahu-tahu Gobi Sam-sian telah berada di depan mereka. Sikap
tiga orang tosu itu tidak seperti biasanya, tenang dan sabar.
Kini mereka kelihatan gelisah dan tergesa-gesa. Bahkan
mereka telah memegang senjata mereka masing-masing,
sudah siap untuk bertempur.
"Sam-wi suhu....!" Han Lin berseru heran sambil
memandang mereka. Juga Chai Li memandang mereka
dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.
Akan tetapi Ang-bin-sian sudah berkata, "Cepat Han Lin
dan Nyonya! Cepat kalian kumpulkan pakaian yang perlu perlu
saja dalam buntalan. Kita pergi meninggalkan tempat ini
sekarang juga!" "Akan tetapi, suhu.....?"
"Jangan banyak membantah! Bahaya maut mengancam
kalian. Cepat atau kita akan terlambat!"
Mendengar ucapan ini, Chai Li lebih mengerti keadaan.
Tanpa bertanya ia dapat menduga apa yang terjadi maka ia
menarik tangan Han Lin memasuki kamar dan mengeluarkan
pakaian mereka, membungkus menjadi dua buntalan besar
dan mereka menggendong buntalan itu. Suling pusaka kemala
yang masih dipegang oleh Han Lin lalu diselipkan di ikat
pinggang oleh anak itu. "Hayo cepat, ikut kami!" kata Ang-bin-sian dan ia mengajak mereka berlari
melalui pintu belakang. Han Lin menggandeng
tangan ibunya dan diajaknya berlari secepatnya mengikuti
Ang-bin-sian, sedangkan It-kiam-sian dan Pek-tim-sian
menjaga di belakang mereka.
"Suhu, kenapa suhu mengajak kami berlari seperti ini?" Han Lin sambil berlari
minta keterangan dari Ang-bin-sian.
"Suma Kiang sudah sampai di Pao-tow!" kata Ang-bin-sian.
Bangkitlah kemarahan Han Lin. "Suhu, tecu (murid) tidak
takut! Mari kita lawan iblis jahat itu!"
"Han Lin, dia lihai sekali!" kata Ang-in-sian dan Chai Li merangkul Han Lin
ambil menggoyang-goyangkan tangan dia
melarang Han Lin melawan.
Diam-diam Han Lin merasa heran, juga kecewa. Ketiga
suhunya berada di situ, kenapa harus takut" Bukankah ketiga
orang gurunya lihai sekali dan dahulu pernah mengalahkan
manusia iblis Suma Kiang itu" Ibunya tidak menceritakan
betapa ibunya pernah menghantamkan Suling Pusaka Kemala
ke ubun-ubun Suma Kiang dan itulah yang menyebabkan
Suma Kiang di waktu itu tidak kuat menandingi Gobi Sam-sian.
"Akan tetapi, suhu....." bantahnya.
"Han Lin, dia lihai sekali. Kami buka tandingannya dan dia membawa seorang kawan
yang tidak kalah lihainya. Mari kita
cepat pergi!" kata It-kiam-sian.
Han Lin menjadi semakin heran. Toa suhunya, Ang-bin-sian
masih suka bersenda-gurau, akan tetapi ji-suhunya, It kiamsian, adalah orang
yang kalau bicara kepadanya selalu serius.
Macam apakah musuh besarnya yang bernama Suma Kiang
itu" Mereka berlari terus naik ke atas bukit. Setelah mereka tiba
di lereng atas dekat puncak, tiba-tiba terdengar suara tawa
yang dahsyat sekali. "Hua-ha-ha-ha!!!" Suara tawa itu terdengar menggelegar dan meledak-ledak seperti
halilintar, mengejutkan semua
orang. Mendengar suara tawa itu. Ang bin-sian mendorong
Han Lin untuk berlari lebih cepat lagi.
"Nyonya Chai Li dan Han Lin! Cepat lari ke puncak dan
bersembunyi di sana!"
Dia tahu di puncak terdapat hutan yang lebat, tempat
bersembunyi yang baik kali.
Kini Han Lin menjadi khawatir juga. Bukan khawatir atas
dirinya sendiri, melaainkan mengkhawatirkan ibunya.
Andaikata tidak ada ibunya di situ, dia tentu tidak mau pergi
meninggalkan tiga orang gurunya. Kini dia harus
menyelamatkan bunya. Digandengnya tangan ibunya dan
ditariknya ke atas, menuju puncak bukit.
Sementara itu, Gobi Sam-sian berdiri dengan kedua kaki
terpentang, tegak menanti pemilik suara tawa yang pasti akan
datang itu. Mereka bersiap siaga. It-kiam-sian sudah
menyelipkan pedangnya di punggungnya, Pek-tim-sian
menyelipkan kebutannya di pinggang dan Ang-binn-sian
memegang tongkat bajanya dengan tangan kanan. Pandang
mata mereka mencorong, mencari-cari. Biarpun hati terasa
tegang, namun mereka bersikap tenang sebagai layaknya
seorang pendekar. Tadi ketika mereka berada di kota, tiba-tiba saja mereka
bertemu dengan Suma Kiang! Datuk Huang-ho itu tampak
lebih tua namun sama sekali tidak kehilangan pandang
matanya yang liar dan mencemooh. Begitu melihat tiga orang
Gobi Sam-sian, dia tersenyum mengejek. Di sebelahnya
tampak seorang wanita yang cantik dan lembut, dilihat dari
tubuhnya yang padat dan tampangnya yang cantik, orang
tentu mengira ia baru berusia tiga puluh tahun, padahal
usianya sudah lima puluh tahun.
Seekor anjing besar menggereng dan memperlihatkan
taringnya kepada wanita cantik itu. Ia mengerutkan alisnya
dan berkata dengan suara lembut.
"Tidak ada anjing yang menggereng kepadaku kubiarkan
hidup!" Setelah berkata demikian, tampaknya ia seperti
menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah anjing itu.
Anjing itu menguik satu kali lalu berkelojotan dan mati!
Gobi Sam-sian saja yang agaknya menjadi saksi peristiwa
itu. Mereka terkejut bukan main.
"Kita pergi!" kata Ang-bin-sian kabur dan mereka bertiga segera pergi dan situ.
"Wanita itu...... ia sungguh berbahaya sekali!" Ang-bin-sian berkata kepada dua
orang rekannya. "Nanti dulu!" kata It-kiam-sian, "jari tangannya begitu lihai.
Tentu mengandung hawa beracun yang mematikan. Siapa lagi
kalau bukan Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun)?"
"Ban-tok-ci" Kau maksudkan ia itu Sam Ok (si Jahat ke
Tiga)?" Pek-it sian bertanya, kaget sekali.
"Agaknya dugaan It-kam-sian benar. Menghadapi Suma
Kiang seorang saja sudah berat, apalagi ditambah Sam Ok.
yang biasanya kalau Sam Ok muncul, maka Ji.Ok (si Jahat ke
Dua) dan Toa Ok (si Jahat Pertama) akan muncul pula.
Bagaimana kita akan mampu melindungi Han Lin dan ibunya"
Kemunculan Suma Kiang tentu ada hubungannya dengan ibu
an anak itu. Sebelum terlambat sebaiknya mari kita suruh Han
Lin dan ibunya lari bersembunyi."
Karena maklum bahwa mereka tidak dapat lari lagi setelah
mendengar suara tawa yang mengandung hawa sakti amat
kuatnya itu, Gobi Sam-sian menyuruh Han Lin dan ibunya
berlari terus dan mereka berhenti di lereng dekat puncak
untuk menghalangi Suma Kiang melakukan pengejaran
terhadap ibu dan anak itu.
Tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di
depan mereka telah berdiri dua orang yang ditunggu tunggu
itu. Suma Kiang yang kini telah berumur lima puluh tahun lebih,
jangkung kurus dengan sepasang matanya yang sipit seperti
mata ular senduk, mulutnya tersenyum mengejek,
memandang kepada Gobi Sam-sian dan berkata, suaranya
menggeledek. "Gobi Sam-sian, apakah kalian belum jera dan masih
hendak melindungi Puteri Mongol dan puteranya itu?"
"Mana bocah remaja berdarah mongol itu" Serahkan dia
kepadaku!" terdengar suara wanita cantik yang kulit mukanya agak pucat kehijauan
itu. Gobi Sam-sian maklum bahwa sekali ini mereka harus
berjuang mati-mati melawan dua orang manusia iblis itu.
Sam-sian yang teringat akan watak Ban-lok-ci atau Sam
Ok, segera tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, pinto sering
mendengar tahwa Ban-tok-ci Sam Ok adalah seorang wanita
yang gagah perkasa yang tidak suka mencampuri urusan
orang lain, apa-lagi memihak dan mengeroyok. Apakah
sikapmu sekarang ini membantah sendiri keebenaran berita
itu?" Sam Ok melirik dengan matanya yang tajam dan genit dan
ia berkata, "Engkau tosu yang membawa pedang di punggung
tentu yang berjuluk It-kiam-sian! Aku tidak membantu Suma
Kiang. Aku datang untuk mendapatkan anak keturunan kaisar
itu. It-kiam-sian, engkau tentu tahu di mana dia. Hayo berikan dia kepadaku
kalau engkau ingin tetap hidup!"
"Pinto tidak tahu di mana dia sekaing berada, akan tetapi seandainya pinto tahu,
pinto tidak akan memberitahu
kepadamu atau kepada Suma Kiang yang jahat!"
"Hi-hi-hik, kalau begitu aku akan menyiksamu sampai
engkau terpaksa mengatakan di mana dia berada!"
Setelah berkata demikian, Sam Ok meraba pinggangnya
dan tampak sinar hitam berkelebat ketika ia memegang
sebatang pedang pendek berwarna hitam legam.
"Siancai (damai).......! Hek-kong-kiam (Pedang Sinar
Hitam)!" kata It-kiam-sia tanpa rasa takut. Diapun sudah
mencabut pedangnya dan tampak sinar kilat nyambar. Pedang
milik It-kiam-sian ini amat terkenal di dunia kang-ouw (sungai telaga) wilayah
utara. Itulah Lui-kong kiam (Pedang Sinar
Kilat) yang dahsyat. Pedang ini amat tajam dan kuat, dapat
mematahkan besi dan baja, akan tetapi karena pemiliknya
seorang yang bersih, seorang pendekar, pedang itu tidak
mengandung racun, tidak seperti Hek-kong kiam yang
mengandung racun berbahaya sekali.
Sambil tertawa mengejek Sam Ok menerjang maju,
pedangnya menyambar ganas. "Singgg...... wuuutttt.....!"
It-kiam-sian tidak berani memandang ringan serangan
lawan yang tampaknya dilakukan sembarangan saja ini. Dia
mengunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak
dan langsung membalas lengan tusukan pedangnya ke arah
dada anita itu. "Ciaaaattt......! Tranggg.....!" Bunga api berpijar ketika Hekkong-kiam
menangkis dan bertemu dengan Lui-kong-ham.
"Wuuuttt.....!" Telunjuk tangan kiri Sam Ok menuding ke arah dada It-kiam-juan.
Melihat serangan jari tangan kiri yang kemarin membunuh anjing itu, It-kiam-sian
bersikap waspada. Dia mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya ke dalam
ujung lengan baju kirinya dan menyambut serangan Ban-tokci
(Jari selaksa Racun) itu dengan sampokan ujung lengan
baju. "Hyaaattt.....!" Ketika ujung lengan baju bertemu dengan ujung jari tangan,
tangan kiri Sam Ok tergetar akan tetapi
juga ujung lengan baju itu hancur.
"Ha-ha-ha-hi-hik! Bersiaplah engkau untuk menerima
siksaanku!" Sam Ok tertawa mengejek.
Akan tetapi It-kian-sian adalah seorang ahli pedang yang
memiliki banyak pengalaman di samping ilmu yang tinggi. Dia
memutar pedangnya dengan dahsyat menyerang sehingga
Sam Ok terpaksa berhenti mengejek dan mencurahkan
perhatian untuk melawan tosu itu. Pertandingan pedang
terjadilah dengan dahsyatnya Pedang mereka lenyap
bentuknya dan yang tampak hanya sinar hitam dan sinar kilat
yang menyambar-nyambar dengan ganasnya.
Sementara itu, melihat Sam Ok sudah bertempur melawan
It kian -sian, Suma Kiang tersenyum mengejek memandang
kepada Ang-bin-sian dan Pek-tim-sian.
"Ha-ha, kalian tahu bahwa kalian berdua tidak akan kuat
menandingi aku, oleh karena itu katakanlah saja di mana ibu
dan anak itu sebelum aku membunuh kalian!"
"Suma Kiang, sampai matipun kami tidak akan sudi
menyerahkan mereka kepadamu!" kata Ang-bin-sian dengan
suara tegas dan dia sudah melintangkan tongkat bajanya di
depan dada sedang Pek-tim-sian juga sudah melolos kebutan
bulu putihnya yang tadi dipakainya sebagai sabuk.
Marahlah Suma Kiang. Dia mengeluarkan teriakan garang
dan tubuhnya menerjang ke arah dua orang lawannya dengan
gerakan tongkat ular hitamnya yang dahsyat. Dua orang tosu
itu sudah waspada dan mereka segera menyambut dengan
tongkat baja dari Ang-bin-sian dan kebutan dari Pek-tim-sian.
"Wuuuttt..... trang-trangg....!" Hebat sekali pertemuan senjata itu dan dua
orang tosu terdorong ke belakang. Mereka
terkejut sekali karena merasa betapa tenaga sakti Suma Kiang
kini lebih kuat dibandingkan tujuh tahun yang lalu! Akan tetapi mereka tidak
menjadi gentar dan mereka balas menyerang
dengan hebat. Terjadilah pertandingan mati-matian, baik antara Sam Ok
dan It-kiam-sian ataupun antara Suma Kiang yang dikeroyok
dua oleh Ang-bin-sian dan Pek-tim-an. Akan tetapi setelah
lewat puluhan jurus, Gobi Sam-sian mulai terdesak hebat.
Biarpun mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua kepandaian mereka, namun pihak Suma
Kiang dan Sam Ok memang lebih unggul maka mereka
terdesak terus. Terutama sekali It-kiam-sian yang seorang diri harus melawan Sam
Ok. Dia terus maju mundur dan bertahan
melindungi dirinya. Namun, ilmu pedangnya memang hebat
sekali sehingga pedang itu berubah sebagai lingkaran sinar
perisai yang menghadang semua serangan lawan, dari
manapun juga datangnya. Sam Ok mengubah ilmu pedangnya Tiba-tiba tubuhnya
menggelinding kebawah tanah dan sinar pedangnya mencuat
dari bawah, seperti ular mematuk-matuk arah kaki dan perut
It-kiam-sian. Tosu ini terkejut bukan main. Dia kibaskan
pedangnya dan cepat tubuhnya meloncat ke atas, demikian
ringannya bagaikan seekor burung terbang.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi Sam Ok tidak tinggal diam. Ia tertawa dan tibatiba tubuhnya juga
melayang ke atas, bukan melayang biasa,
melainkan berputar seperti gasing dan dari putaran itu
pedangnya mencul secara tidak terduga-duga.
"Kena....!!" la berteriak dan pedangnya bergerak demikian cepatnya sehingga
tahu-tahu sinar hitam menyambar dan
lengan kanan It-kiam-sian dekat siku terkena tusukan Hekkong-
kiam! Lengan kanan itu seketika lumpuh! It-kiam-sian
maklum bahwa kalau racun pedang lawan sudah menjalar
sampai ke jantungnya, dia akan mati, tak mungkin tertolong
lagi. Maka, cepat tangan kirinya mengambil pedang Lui-kongkiam dan sekali tangan
kirinya bergerak, pedang itu telah
meyambar lengan kanannya di atas siku sehingga lengan
kanan itu putus seketika. Darah muncrat. It-kiam-sian
mengeluh dan roboh pingsan. Sam Ok tertawa dan berpikir
bagaimana ia dapat menyadarkan It-kiam-sian untuk
disiksanya agar dia itu mengatakan di mana adanya anak
Kaisar itu. Pada saat itu, tongkat ular hitam di tangan Suma Kiang
menyambar. Dua orang tosu itu menangkis, akan tetapi sekali
ini Suma Kiang mengerahkan seluruh tenaganya dan dua
orang tosu itu terdorong ke belakang, hampir terjengkang.
Melihat keadaan mereka berdua, dan melihat betapa Itkiam-
sian juga sudah roboh oleh Sam Ok, Ang-bin-sian
mendapat akal dan dia berseru nyaring sambil memandang ke
bawah lereng. "Han Lin! Jangan keluar dari tempat persembunyianmu!"
Mendengar seruan ini, kembali tongkat Suma Kiang
menyambar ke arah Ang-bin-sian. Tosu ini, yang sudah
terengah karena penangkisan tadi, mengerahkan sisa
tenaganya, mengangkat tongkatnya menangkis.
"Desss....!!" Ang-bin-sian roboh dan muntah darah. Kaki Suma Kiang menyambar dan
gerakannya amat cepat, dilakukan dengan tubuh setengah terbang. Kakinya meluncur
cepat dan kuat sekali dan biarpun Pek-tim-sian berusaha
mengelak, tetap saja pundaknya terkena tendangan itu dan
diapun roboh muntah darah.
"Ha-ha-ha! Sam Ok, hayo kita cari anak itu!" kata Suma Kiang dan dia segera
meloncat dan lari menuju ke puncak.
"Hei , Huang-ho Sin-liong, " kenapa engkau malah naik"
Bukankah tosu tadi berseru ke bawah?"
"Ha-ha-ha, aku bukan seorang kanak kanak yang bodoh,
Sam Ok! Dan Ang bin-sian juga bukan seorang yang goblok
untuk berseru ke bawah kalau mereka itu bersembunyi di
bawah. Hayo kita berlumba mengejar dan menangkap
mereka!" Dua orang manusia iblis itu berlari seperti terbang cepatnya
menuju ke puncak. Ang-bin-sian melihat ini dengan muka
pucat. Akan tetapi karena tidak mampu berbuat apa-apa lagi,
bersama Pek tim-sian dia lalu menghampiri It-kiam sian yang
menggeletak pingsan dengan lengan kanan buntung sebatas
atas siku. Dengan sisa tenaga yang masih ada, dua orang tosu
ini menotok jalan darah untuk menghentikan darah mengalir
keluar, kemudian mereka berdua menggotong It-kiam-sian
meninggalkan tempat itu. Mereka tidak dapat berbuat lain
kecuali berdoa agar dua orang manusia iblis itu tidak akan
menemukan Han Lin dan ibunya.
Setelah tiba di puncak bukit yang ada hutannya itu, dua
orang manusia iblis itu berdiri di atas batu besar dan mereka
tertawa sambil mengerahkan hawa sakti dari perut.
"Hua-ha-ha-ha!"
"Hi-hi-hi-hik!!"
Dua macam suara tawa rendah dan tinggi itu mengandung
kekuatan sakti, melanda permukaan puncak bukit itu gaikan
angin badai. Dua orang ibu dan anak yang bersembunyi di dalam hutan
di puncak itu juga tergetar dan menggigil. Jantung mereka
terasa diguncang dan suara tawa itu seperti terdengar tepat di atas kepala
mereka. "Han Lin, kita harus lari dari sini. Mereka telah datang
dekat!" Tulis Chai Li dengan jarinya di depan mukanya. Han Lin mengikuti gerakan
jari tangan itu dan menjawab.
"Akan tetapi, ibu. Tadi kita mendengar suara suhu Ang-binsian yang melarang kita
meninggalkan tempat persembunyian
kita ini," katanya ragu.
Ibunya menjadi cemas dan menulis lagi. "Itu kan tadi.
Sekarang buktinya mereka sudah begitu dekat suaranya,
Kalau kita tidak cepat pergi, tentu kita akan tertangkap.
Hayolah kita lari ke seberang puncak."
Karena ibunya lari sambil menarik tangannya, Han Lin
terpaksa juga mengikuti ibunya meninggalkan guna tertutup
semak belukar di mana tadi mereka bersembunyi.
Mereka lari menyeberangi hutan puncak itu dan tiba di
tempat terbuka yang banyak mengandung batu-batu besar.
"Ha-ha-ha! Kalian hendak lari ke mana?" tiba-tiba terdengar suara nyaring dan
dari sebelah kiri tampak Suma Kiang dan
Sam Ok datang berlari-lari sambil tertawa.
Saking kagetnya, Chai Li terguling roboh. Akan tetapi
dengan sigapnya Hal Lin menangkap tubuh ibunya sehingga
tidak sampai jatuh terbanting.
"Jangan takut, ibu. Aku akan melindungimu " kata Han Lin menghibur ibunya.
"Hayo lari cepat! Mereka mencari engkau, bukan aku! Lari
dan sembunyi!" Tulis Chai Li di udara.
Chai Li mendorong-dorong Han Lin dan anak itupun
terpaksa lari di depan ibunya. Belum jauh mereka lari, dikejar dua orang manusia
iblis yang tertawa-tawa, mereka berhenti
dan terbelalak melihat sebuah tebing jurang yang curam
menghadang di depan mereka.
"Han Lin, cepat kau lari ke sana!" Chai Li berkata dengan suara yang tidak
jelas, akan tetapi ia menunjuk-nunjuk ke
kanan. Han Lin menurut. Dia lari dan tiba di semak belukar.
Dia menyusup ke dalam semak belukar, mengintai dengan
mata terbelalak dan napas terengah-engah ketika melihat
bahwa ibunya tidak ikut lari bersamanya.
"Huang-ho Sin-Iiong, bunuh saja wanita itu dan biar aku
yang mengurus anaknya!" kata Sam Ok sambil tertawa.
"Enak saja engkau bicara, Sam Ok! Akupun membutuhkan
wanita itu!" Sambil tertawa-tawa Suma Kiang menghampiri Chai Li.
Wanita ini ketakutan dan ia mundur-mundur mendekati jurang
yang ternganga lebar di belakangnya.
Suma Kiang tertawa menyering "Hua-ha-ha, Puteri Chai Li!
Setelah tambah tua, bagaikan bunga engkau lebih mekar
semerbak, bagaikan buah engki lebih matang menarik!"
Berkata demikian dia melangkah maju mendekat dan kedua
lengannya dikembangkan siap untuk merangkul dan
mendekap. Chai Li menggeleng-geleng kepalanya kemudian tiba-tiba
saja wajahnya yang tadinya pucat menjadi kemerahan,
matanya yang ketakutan berubah menjadi penuh kemarahan,
bersinar-sinar dan sekali tangan kanannya bergerak, ia sudah
mencabut sebatang pisau yang tajam dan runcing. Agaknya
wanita ini telah mempersiapkan senjata sejak meninggakan
rumah. Kemudian, sambil mengeluarkan suara lengkingan
yang aneh, ia menyerang Suma Kiang dengan pisaunya. Akan
tetapi melihat ini sambil tertawa Suma Kiang menggerakkan
tangan kirinya sekali sampok saja pisau itupun terlempar dari
tangan Chai Li dan tangan kanannya menyambar ke depan
untuk menangkap pundak wanita itu. Chai Li meronta dengan
gerakan liar. "Bretttt......!" Sebagian baju di bagian pundaknya robek dan tangan kanannya
dapat terpegang oleh tangan kanan
Suma Kiang. Chai Li dengan nekat lalu mendekatkan mukanya
menggigit tangan yang memegangnya itu.
"Aduh...!" Suma Kiang mengeluh dan terpaksa melepaskan pegangannya.
Chai Li lalu berlari ke kanan. Akan tetapi Suma Kiang
menubruknya dan mereka jatuh bergulingan di tepi tebing
jurang itu. Chai Li meronta-ronta, menendang-nendang
dengan kedua kakinya se-hingga akhirnya terlepaslah kedua
buah batunya dan iapun terlepas lagi. Akan tetapi ia sudah
terkepung. Di depannya yang yang curam, di belakangnya
Suma Kiang. Untuk lari ke kanan atau ke kiri sudah tidak
mungkin lagi karena kedua lakinya yang tidak bersepatu amat
nyeri ketika menginjak batu karang. Ia tidak akan dapat
terlepas dari tangan Suma kiang, kecuali kalau ia mengambil
jalan yang satu ini. Dan ia mengambil jalan yang satu ini, yaitu melompat ke
dalam tebing jurang yang amat curam. Sekali
melompat, tubuhnya melayang ke bawah dan Suma Kiang
menggereng ketika melihat calon korbannya melayang turun
tanpa dia dapat menolongnya.
"Ai i ihhhhh......!" Terdengar teriakan melengking, disusul teriakan lain yang
datang dari mulut Han Lin! Anak itu melihat betapa ibunya melayang jatuh ke
dalam jurang. Dia lupa diri
sendiri dan lupa akan bahaya. Adanya dalam hatin hanya
kemarahan terhadap Suma Kiang yang dianggap sebagai
pembunuh ibunya. "Jahanaaaammmm....!" Han Lin melompat keluar dan lari menerjang Suma Kiang
dengan Suling Pusaka Kemala di
tangan kanannya. Biarpun Han Lin baru dua tahun belajar
ilmu silat, itupun hanya belajar dasar-dasar dan langkah
langkahnya saja dan ilmu silat yang sesungguhnya, yaitu Samsian Kun-hoat baru
dilatihnya kurang dari tiga bulan, namun
gerakannya sudah mantap, cepat dan tenaga besar.
Akan tetapi, semua itu bagi Suma Kiang tentu saja tidak
ada artinya. Hanya saja, Suma Kiang adalah seorang yang
sombong dan selalu memandang rendah orang lain, apalagi
seorang anak kecil seperti Han Lin. Melihat Han Lin
menerjangnya, dia hanya tertawa dan tidak mengelak atau
menangkis sama ekali. Han Lin menerkamnya dan
mengangkat suling kemala lalu menghantamkan suling itu
kepada dadanya dengan sekuat tenaga. Suma Kiang mengira
bahwa Han Lin adalah seorang anak yang biasa saja, maka dia
tidak mengelak dan menerima pukulan itu dengan dadanya.
"Dukkk.....!" Suma Kiang menyeringai.
Tak disangkanya anak itu memiliki tenaga yang amat kuat
dan benda yang dipergunakan anak itu untuk memukulnya
juga ternyata kuat sekali, seolah melebihi baja. Dia merasa
nyeri pada dadanya, maka cepat tangannya menyambar,
menotok dan Han Lin terkulai roboh di depan kakinya.
"Suma Kiang, berikan anak itu kepada ku!" kata Sam Ok dan sekali bergerak
tubuhnya sudah melayang ke arah Suma
Kiang. Suma Kiang mengerutkan alisnya dan memandang kepada
Han Lin yang rebal di depan kakinya. Anak itu roboh tak
berdaya, akan tetapi tangan kanannya masih memegang
suling berbentuk naga kecil, seolah suling itu telah berakar di tangannya dan
tidak dapat dilepaskan lagi. Kemudian dia
memandang kepada Sam Ok dan menggeleng kepalanya
setelah melirik ke arah jurang di mana tadi Chai Li membuang
dirinya. "Tidak bisa, Sam Ok. Aku baru saja telah kehilangan
ibunya, maka sebagai penggantinya aku harus mendapatkan
anaknya. Ini perlu sekali untuk menjadi bukti keberhasilanku.
Aku harus membawanya ke kota raja!"
"Suma Kiang, kita sudah saling berjanji bahwa engkau akan mendapatkan ibu nya
sedangkan aku memperoleh anaknya
Apakah engkau hendak melanggar janji-mu?"
"Hemm, bagi Huang-ho Sin-liong Suma Kiang, tidak ada
ikatan yang disebut janji itu. Sewaktu-waktu janji dapat
diubah menurut keadaan!"
"Suma Kiang, engkau berani menipuku" Apakah engkau
sudah bosan hidup?" "Sam Ok, siapa yang takut kepadamu" Aku Suma Kiang
tidak pernah takut pada mu dan kalau sudah ingin mampus,
majulah dan cobalah untuk merampas anak ini dariku!"
"Bangsat kau!" Sam Ok berteriak dan mencabut pedang
Hek-kong-kiam. "Sam Ok, sebelum terlambat dan engkau mati olehku,
biarlah aku menjanjikan sesuatu yang lebih baik bagimu.
Bagaimana kalau aku mencarikan lima orang anak yang
montok dan sehat sebagai pengganti anak ini untukmu"
Engkau akan puas dan kita tidak perlu bermusuhan."
"Tidak! Aku menghendaki keturunan Kaisar itu, biarpun
hendak kau ganti dengan sepuluh orang anak, aku tidak dapat
menerimanya. Serahkan anak itu kepadaku dan aku akan
meninggalkan engkau tanpa mengganggu lagi."
"Kalau begitu mampuslah!" Suma Kiang enjadi marah dan tongkat ular hitam-nya
menyambar dahsyat. "Tranggg.....!" Sam Ok menangkis dengan pedang
hitamnya dan membal serangan itu dengan tusukan yang
tidak kalah berbahayanya. Suma Kiang memutar tongkatnya
menangkis dan kedua orang itu sudah saling serang dengan
dahsyatnya. Han Lin yang tidak dapat bergerak namun sadar
itu hanya dapat mengikuti perkelahian itu dengan pandang
matanya dam dia tidak tahu harus berpihak yang mana karena
kedua orang itu memperebutkan dirinya dan dia merasa
bahwa keduanya tidak mempunyai niat baik terhadap dirinya.
Jilid IV BIARPUN tingkat kepandaian Sam Ok sudah tinggi dan ia
seorang diri mampu mengalahkan It-kiam-sian, namun kini
menghadapi Suma Kiang ia berhadapan dengan lawan yang
lebih lihai. Pertahanan tongkat ular hitam dari Suma Kiang
memang hebat sekali. Terutama tenaga sin-kangnya yang
amat kuat sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Sam Ok
merasakan kelebihan tenaga awan ini. Pedang hitamnya mulai
terpental bilamana bertemu langsung dengan tongkat lawan.
"Sam Ok, kalau engkau tidak cepat pergi, engkau akan
mampus di tanganku!" Suma Kiang membentak dan
tongkatnya menyambar lagi dengan dahsyatnya.
"Tranggg.....!!" Tiba-tiba sinar keemasan menyambar, menangkis tongkatnya dan
membuat tongkat itu hampir saja
terlepas dari pegangan. Demikian kuatnya! sinar keemasan itu
menangkis tongkatnya. Suma Kiang terkejut bukan main dan
cepat melompat ke belakang. Dia melihat seorang laki-laki
tinggi besar, berusia sekitar enam puluh tahun, berpakaian
mewah seperti seorang hartawan atau bangsawan,
tersenyum-senyum memandangnya dan dia memegang
sebatang pedang yang berbentuk seekor naga emas yang
indah sekali. Wajah Suma Kiang berubah agak pucat ketika dia
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan orang itu. "Hemm, benarkah dugaanku bahwa
yang berhadapan denganku adalah Thai Ok Toat-beng Kui-ong
(si Jahat Pertama Raja Iblis Pencabut Nyawa)?"
Orang tinggi besar itu tertawa bergelak dan wajahnya yang
tampan itu tampak toapan (berbudi) dan ramah sekali, sama
sekali tidak menunjukkan bahwa dia memiliki watak yang
jahat. Akan tetap mengingat julukannya, sukar dibayangkan
betapa jahat dan kejamnya orang ini Sampai mendapat
julukan si Jahat Pertama, tentu wataknya luar biasa kejam dan
jahatnya. Ban-tok-ci yang demikian kejam dan jahat saja baru
mendapat julukan si Jahat ke Tiga atau Sam Ok! Apalagi yang
berjuluk Toa Ok atau Thai Ok tentu lebih kejam lagi!
"Ha-ha-ha, matamu memang tajam sekali, Huang-ho Sinliong!
Dugaanmu tidak keliru. Akulah yang disebut Toa Ok!"
"Hcmm, aku mendengar bahwa ketiga Sam Ok adalah
orang-orang gagah yang pantang berlaku curang dan tidak
sudi melakukan pengeroyokan. Akan tetapi mengapa sekarang
engkau membantu Sam Ok dan mengeroyok aku?"
"Ha-ha-ha, kalau berita sama dengan kenyataannya, untuk
apa kami disebut si Tiga Jahat" Pula, aku datang bukan untuk
membantu Sam Ok mengeroyokmu, melainkan aku datang
untuk mendapatkan anak ini dari tanganmu. Maka, kalau
engkau masih ingin hidup, pergilah, tinggalkan anak ini
untukku!" "Setan! Untuk apa pula engkau menghendaki anak ini, Toa
Ok?" teriak Sam Ok penasaran.
"Ha-ha-ha, semua orang mempunyai kebutuhan masingmasing,
Sam Ok. Ak butuh anak ini karena dia merupakan
harta pusaka yang amat berharga bagi kerajaan Beng!"
"Toa Ok, anak ini adalah hakku, milik ku. Akulah yang
diutus oleh kerajaan Beng untuk menangkap dan
membawanya ke kota raja!"
"Hemmm, kaukira kami tidak tahu akan hal itu, Suma
Kiang" Engkau diutus oleh Pangeran Cheng Boan, bukan oleh
Kaisar. Akan tetapi aku berhak membawanya kepada Kaisar
yang tentu akan mem beri hadiah yang lebih besar lagi.
Bahkan kalau aku beruntung, Kaisar akan menghadiahkan
sebuah kedudukan yang cukup mulia bagiku, ha-ha-ha!"
"Jahanam, aku yang bersusah payah sejak bertahun-tahun
yang lalu, sekarang engkau mau enaknya saja!" bentak Suma Kiang.
"Ha-ha-ha, tentu saja dan itu sudah baik dan adil namanya, bukan?" jawab Toa Ok
seenaknya. Suma Kiang tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan
dia sudah menerjang ke depan dengan tongkat ular hitamnya.
Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Toa Ok, orang
pertama dari Tiga Jahat yang tentu saja memiliki ilmu
kepandaian yang paling hebat diantara ketiganya. Tongkat
ular hitamnya bertemu dengan sinar emas yang amat kuat
sehingga kembali tongkatnya terpental begitu bertemu dengan
Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) dan dia terpaksa
berlompatan ke belakang agar tidak dikejar senjata lagi.
pertahanannya goyah. "Mampuslah......! Wushhhh.....!" Serangkum hawa
menyerangnya dari samping dan dia cepat mengelak.
Ternyata itu adalah jari telunjuk tangan kiri Sam Ok yang
menyambutnya dengan sebuah serangan tusukan yang amat
berbahaya karena jari itu mengandung hawa beracun yang
amat ampuh. "Curang!" Bentak Suma Kiang. Akan tetapi Sam Ok malah terkekeh seolah teriakan
itu merupakan pujian baginya.
Serangan pedang Kim -liong-kiam telah datang membalas
dan serangan itu seperti kilat datangnya. Tidak mungkin bagi
Suma Kiang untuk mengelak maka terpaksa dia memutar
tongkatnya untuk menangkis.
"Trang-trang.....!" Kembali dua kali tongkatnya menangkis dan untuk dua kali
pula tongkatnya terpental sehingga
terpaksa dia melompat lagi ke belakang karena kalau lawan
mendesak dia tentu tidak mampu mempertahankan diri lagi.
Suma Kiang bukan orang bodoh. Dia maklum bahwa melawan
Toa Ok seorang saja sukar baginya untuk menang, apa lagi di
situ terdapat Sam Ok yang mengeroyoknya. Belum lagi kalau
Ji Ok muncul, tentu dia akan celaka. Maka sambil
mengeluarkan teriakan panjang karena kesal dan kecewa
bercampur penasaran dan marah, dia melarikan diri pergi dari
tempat itu. "Toa Ok, untuk apa engkau anak ini" Aku
membutuhkannya untuk memperdalam latihanku dan
menghisap sari tenaganya. Anak ini keturunan kaisar, tentu
hawa sakti di tubuhnya melebihi anak-anak lain. Berikanlah
kepadaku, Toa Ok!" "Hemm, bodoh! Engkau hanya memikirkan dirimu seorang,
Sam Ok. Ketahuilah, untuk kebutuhan itu di dunia ini masih
terdapat banyak sekali anak yang baik. Akan tetapi
kesempatan memetik keuntungan dengan mengembalikan
anak ini ke kerajaan Beng, hanya ada satu kali ini. Kalau tidak kita pergunakan
kesempatan ini, sungguh kita amat bodoh!"
"Akan tetapi, Toa Ok. Kaisar tentu sudah mendengar akan
nama kita, dan dia tentu akan mengambil sikap bermusuhan
dengan kita. Jangan-jangan dengan menyerahkan anak ini
kepadanya, kita malah ditangkap dan dihukum! Aku lebih
setuju dengan pendapat Suma Kiang. Kita serahkan saja anak
ini kepada Pangeran Cheng Boan dan minta uang tebusan
yang besar. Dia pasti akan memenuhi permintaan kita, apalagi
kalau kita ancam bahwa kalau dia tidak mau memberi uang
tebusan besar, kita akan berikan anak ini kepada Kaisar Chenp
Tung!" "Hemm, usulmu itu baik sekali!" kata Toa Ok menganggukangguk sambil memandang ke
arah Hari Lin yang masih menggeletak tidak dapat bergerak di atas tanah.
"Kalau begitu, biar aku yang membawa anak itu dan
menjaganya agar jangan sampai direbut orang lain." Sam Ok segera meloncat ke
dekat Han Lin. Dia membebaskan totokan
Suma Kiang pada anak itu, akan tetapi sebelum Han Lin dapat
meronta, dengan sikap penuh kasih sayang Sam Ok sudah
memegang tangan kirinya. "Anak yang baik, engkau menurut majalah kepada kami
dan kami tidak akan bersikap keras kepadamu."
Han Lin memandang ke arah jurang dan berseru dengan
suara bercampur tangis. "Ibuuuu.....!" Namun hanya suara gema saja yang
menjawab, gema yang terdengar mengaung
aneh dan mengerikan. "Ibumu sudah jatuh ke dasar sana dan tentu hancur,
percuma saja kau panggil dan tangisi. Sudahlah, jadikan aku
sebagai pengganti ibumu!" kata Sam Ok menghibur dengan
kata-kata lembut. "Tidak, ibuku tidak mati! Ibuku tidak boleh mati!" teriak Han Lin dan dia
meronta untuk melepaskan diri dari pegangan
tangan Sam Ok. Ketika merasa betapa pegangan itu erat
sekali dan dia tidak mampu melepaskan diri, Han Lin lalu
menggunakan suling yang masih dipegang di tangan
kanannya untuk memukul. Sam Ok menangkap pergelangan tangan kanan itu dan
sekali tangan kirinya bergerak menotok, Han Lin tidak mampu
bergerak lagi dan tubuhnya menjadi lemas. Namun tetap saja
tangan kanannya masih memegang suling kemala. Sam Ok
lalu memanggul tubuh yang lemas itu dengan kepalanya di
depan. "Anak baik, engkau menurut saja ke pada ibumu yang
baru, hidupmu tentu akan senang sekali!" kata Sam Ok dan ia mendekatkan mukanya
untuk mencium pipi Han Lin.
Kemudian mulutnya yang berbibir merah itu tiba-tiba berada
di dekat leher Han Lin dan mulut itu mengecup leher itu.
"Sam Ok, jangan lakukan itu!" tiba tiba Toa Ok menghardik.
Sam Ok melepaskan kecupan mulutnya dan di kulit leher
Han Lin tampak bekas bibirnya. Kulit leher yang dihisap tadi
tampak kemerahan namun belum terluka.
"Aih, Toa Ok. Aku hanya hendak mencicipi beberapa tetes
darahnya!" bantah Sam OK.
"Lepaskan dia, engkau tidak boleh membawanya. Biar aku
yang membawanya!" kata Toa Ok.
"Toa Ok mari kita berlaku adil. Biar kuhisap dulu darahnya sampai habis, lalu
kita penggal kepalanya dan bawa kepala itu
ke kota raja untuk minta uang tebusan!"
"Tidak, kalau dia sudah mati, tidak ada harganya lagi!
Berikan dia kepadaku!"
Sam Ok mendekati Toa Ok dan tiba-tiba ia melontarkan
tubuh Han Lin kepada kakek itu dengan kuat.
"Terimalah!" Tubuh anak itu meluncur dengan cepatnya ke arah Toa Ok.
Kakek ini menyambut dengan tangan kanannya dan pada saat
itu, Sam Ok telah menyerangnya dengan Hek-kong-kiam
disusul tusukan jari telunjuk kirinya yang mengandung hawa
maut! Demikianlah kelicikan Sam Ok. Akan tetapi Toa Ok tidak
akan menjadi si Jahat Nomor Satu kalau dia tidak tahu akan
hal ini. Dia sudah siap siaga menghadapi kelicikan rekannya,
maka begitu diserang, dia sudah melempar tubuh Han Lin ke
atas tanah, lalu memutar Kim-liong-kiam di tangannya untuk
menangkis pedang Sam Ok. Kemudian tangan kirinya
membuat gerakan melingkar dan mengeluarkan hawa yang
menangkis serangan telunjuk kiri Sam Ok.
"Tranggg...... plakkk.....!" Tubuh Sam Ok terpelanting saking kerasnya tangkisan
Toa Ok. "Ha-ha-ha, agaknya engkau sudah bosan menjadi Sam Ok
(si Jahat Ketiga) dan ingin menjadi si Jahat Mampus!" Toa Ok berseru dan dia pun
sudah mengelebat-kan pedang sinar
emasnya ke arah leher Sam Ok untuk memenggal leher
rekannya itu. "Wuuuttt..... tinggg.....!" Sebuah batu kecil menyambar dan menangkis pedang
sinar emas itu, akan tetapi hantaman batu
kecil itu sedemikian kuatnya sehingga pedang itu hampir
terlepas dari tangan Toa Ok sedangkan kaki Toa Ok terpaksa
melangkah mundur sampai tiga langkah!
Tentu saja Toa Ok terkejut bukan main. Dia mengelebatkan
pedangnya di depan mukanya lalu memandang ke depan.
Ternyata di situ lelah berdiri seorang kakek yang tubuhnya
kecil bongkok, rambutnya tidak sependek tubuhnya melainkan
panjang dan terjurai sampai ke perut, demikian pula jenggot
dan kumisnya tergantung ke depan dadanya. Rambut yang
sudah banyak bercampur uban. Sukar menaksir usia kakek itu.
Kalau melihat rambut yang sudah separuhnya beruban itu,
tentu usianya sudah enam puluh tahun lebih Akan tetapi kalau
melihat wajahnya yang segar dan kemerahan seperti wajah
kanak kanak, dia kelihatan jauh lebih muda. Pakaiannya
sederhana sekali, dari kain kasar dan potongannya seperti
yang di pakai para petani sederhana.
"Heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan tampak sebelah
dalam mulutnva yang sudah tidak bergigi lagi. Sudah ompong
sama sekali! "Toa Ok dan Sam Ok sudah saling serang dan
berusaha saling membunuh. Ini artinya bahwa Toa Ok dan
Sam Ok sudah tidak jahat lagi, berubah menjadi orang baik
yang hendak menyingkirkan orang jahat! Heh-heh, bagus
sekali!" Toa Ok memandang dengan alis berkerut. Dia tidak
mengenal kakek itu, akan tetapi dia tidak berani memandang
rendah. Dari sambitan batu kecil tadi saja dia sudah dapat
mengukur kekuatan dari tenaga sakti kakek itu yang amat
dahsyat. "Sobat, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan
kami?" Kakek itu memandang ke langit, lalu menjawab dengan
sikap seperti orang mendeklamasikan sajak. "Nama itu
sungguh berbahaya, Dapat membuat kepala seseorang
menggelembung kemudian pecah di udara. Nama dapat pula
membuat seseorang disanjung-sanjung dan dipuja-puja, dapat
pula membuat seseorang dikutuk dan di njak-injak. Nama
adalah suatu kepalsuan! Karena itu aku merasa ngeri dan
memilih tidak mempunyai nama. Toa Ok, aku adalah seorang
tua tanpa nama. Dan tentang mencampuri urusan pribadi itu,
mana bisa disebut urusan pribadi kalau menyangkut diri orang
lain" Kalau di sini tidak ada anak yang kalian perebutkan itu, engkau dan Sam Ok
hendak gempur-gempuran sampai
matipun aku tidak akan perduli. Akan tetapi melihat anak itu,
terpaksa aku campur tangan dan aku melarang kalian
membawa anak itu. Pergilah kalian berdua dengan aman dan
tinggalkan anak itu. Aku akan mengurusnya baik-baik, tidak
seperti kalian yang berpamrih untuk] keuntungan diri pribadi."
"Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tani Nama), lagakmu demikian
sombong sekali. engkau dapat meruntuhkan gunung dan
mengeringkan lautan! Apakah kau kira kami takut kepadamu?"
Tiba-tiba Sam Ok berseru dan tanpa banyak cakap lagi ia
lalu menyerang dengan pedangnya yang bersinar hitam. Ia
menyerang dari belakang dan bukan pedangnya saja yang
menyerang, akan tetapi telunjuk kirinya juga menyerang
dengan tusukan yang ngandung hawa beracun ke arah
punggut kakek pendek itu.
"Sam Ok, kita bunuh kakek tua bangka bosan hidup ini!"
Toa Ok juga menyerang dengan pedang sinar emasnya,
serangannya dahsyat sekali, membarengi serangan Sam Ok
yang dilakukan dari belakang kakek itu.
Menghadapi serangan hebat dari depan dan belakang,
kakek itu tampak tenang saja, sama sekali tidak tampak
gugup. Karena datangnya serangan Sam Ok dari belakang
datang lebih dulu, tanpa menoleh dia melompat ke depan
seperti menyambut serangan Toa Ok. Pedang sinar emas itu
meluncur ke arah dada kakek itu. Akan tetapi kakek itu
tenang-tenang saja menggerakkan tangan kirinya menangkis!
Tusukan pedang pusaka yang demikian ampuh ditangkis
dengan tangan kosong saja! Agaknya kakek itu mencari
penyakit. Melihat ini Toa Ok tersenyum lebar dan menggetarkan
pedangnya dengan pengerahan sin-kangnya yang amat kuat.
Jangankan tangan kosong yang terdiri dari kulit dan daging,
biar pedang yang kuat menangkis pedangnya yang digetarkan
seperti ini akan menjadi patah!
"Plakkkk.....H"
Tubuh Toa Ok terpelanting keras dan hampir saja dia jatuh
terbanting. Pedangnya bertemu dengan benda lunak namuir
lentur sehingga pedang itu membalik seperti tenaganya
kembali bertemu dengari tenaga yang amat aneh, yang
membuat seluruh tenaga sin-kangnya membalik dan
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang dirinya sendiri sehingga dia terpelanting.
Pada saat itu, dari belakang Sam Ok kembali menyerang
dengan telunjuk kirinya, ditusukkan ke arah lambung kakek
itu. Kakek tanpa nama itu membalikkan tubuhnya dan melihat
jari telunjuk itu ditusukkan ke arah lambungnya dan kini
menuju perutnya, dia tertawa dan membusungkan perutnya,
menerima tusukan dengan ilmu Ban-tok-ci (Jari Selaksa
Racun) yang mengandung hawa beracun yang amat jahatnya
itu. "Cusss.....!" Telunjuk kiri itu bukan hanya menyerang dengan hawa beracun,
bahkan langsung mengenai perut yang
dibusungkan itu dan telunjuk itu "masuk" ke perut sampai ke pergelangan tangan.
Sam Ok terkejut sekali karena merasa tangannya dingin
seperti direndam ke dalam es saja. Ia cepat menarik kembali
jari telunjuknya, akan tetapi tidak dapat ditarik lepas, seolaholah telah
terjepit ke dalam benda lunak yang amat kuat!
Selagi ia bersitegang berusaha mencabut telunjuk kirinya,
tiba-tiba kakek itu me-lembungkan perutnya dan tanpa dapat
dihindarkan lagi tubuh Sam Ok terdorong ke belakang sampai
terhuyung-huyung dan dengan susah payah baru ia dapat
mengatur keseimbangan dirinya sehingga tidak jatuh
terbanting! Kakek itu mencium-cium ke arah perutnya dan
menyeringai, "Wah, telunjukmu bau, kotor dan jahat sekali!"
Sam Ok marah bukan main, akan tetapi ia juga terkejut
sekaligus merasa jerih. Seperti Toa Ok, ia menyadari bahwa ia
sama sekali bukan lawan kakek tanpa nama itu. Mungkin
hanya gurunya atau uwa-gurunya saja yang akan mampu
menandingi kakek pendek ini. la memandang kepada Toa Ok
dan kebetulan Toa Ok juga sedang memandang kepadanya.
Keduanya bertukar pandang dan tahulah mereka apa yang
harus mereka lakukan. "Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama), kalau kami tidak
boleh memiliki bocah itu, tidak seorangpun di dunia ini yang
boleh!" Setelah berkata demikian, Toa Ok dan Sam Ok
menggerakkan tangan kirinya. Sinar-sinar hitam meluncur dari
tangan kiri mereka menuju ke arah tubuh Han Lin. Ternyata
Toa Ok telah menyerang dengan Hek-tok-teng (Paku Beracun
Hitam) dan Sam Ok menyerang dengan beberapa batang BanTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ tok-ciam (Jarum Berlaksa Racun), keduanya merupakan
senjata yang amat ampuh karena mengandung racun yang
seketika dapat mematikan orang yang terkena am-gi (senjata
gelap) itu. Akan tetapi, bagaikan segumpal asap saja saking
ringannya, tubuh kakek tanpa nama telah melayang ke arah
Han Lin dan sekali mengebutkan lengan bajunya ke arah
sinar-sinar yang menyambar ke tubut Han Lin, paku-paku dan
jarum-jarum iti meluncur kembali ke arah pemiliknya. Toa Ok
terkejut sekali dan terpaksa mereka berloncatan untuk
menghindarkan diri dari senjata yang hendak makan tuannya
sendiri itu. Mereka maklum bahwa kalau mereka melanjutkan,
keadaan mereka berbalik akan terancam bahaya sedangkan Ji
Ok yang ditunggu-tunggu tidak kunjung muncul. Maka setelah
saling pandang dan berkedip, tanpa banyak cakap lagi kedua
orang itu lalu melompat jauh dan melarikan diri dari puncak
bukit itu. Setelah kedua orang itu pergi jauh, kakek itu lalu
menghampiri Han Lin dan sekali tangannya bergerak, ujung
lengan bajunya menyambar ke arah pundak dan dada Han Lin
yang segera dapat menggerakkan kaki tangannya kembali.
Anak itu tadi telah dapat melihat semua yang terjadi, maka
begitu ia dapat bergerak, dia sengaja menjatuhkan dirinya
berlutut di depan kakek itu, membentur-benturkan kepalanya
di tanah tanpa hentinya. "Locianpwe (Orang tua yang gagah), harap jangan
kepalang tanggung menolong saya. Harap locianpwe suka
menyelamatkan pula ibu saya yang tadi terjatuh ke dalam
jurang itu!" Berkata demikian, Han Lin menunjuk ke jurang sambil menangis
sesenggukan. "Han....." Terjatuh ke jurang itu dan menyelamatkannya"
Anak yang baik, yang dapat menyelamatkan orang yang jatuh
ke jurang itu hanyalah Tuhan, dan aku bukan Tuhan. Juga
bukan burung yang bersayap dan pandai terbang. Bagai mana
aku dapat menolong ibumu kalau ia sudah terjatuh ke jurang
itu?" "Ibuuu....! Jadi..... jadi locianpwe berpendapat bahwa tentu ibuku sudah
tewas .....?" Han Lin bertanya sambil terengahengah menahan tangis.
Kakek itu menggunakan tangannya mengusap kepala Han
Lin. "Tenanglah, nak. Sudah kukatakan bahwa hanya Tuhan
yang dapat menolongnya. Kalau Tuhan mengulurkan tangan
menolongnya, entah melalui jalan apa, tentu ibumu masih
hidup. Akan tetapi kalau Tuhan tidak menolongnya, biarpun
seorang yang berilmu setinggi apapun kalau terjatuh ke situ
tentu akan menemui kematiannya."
Mendengar ucapan itu, Han Lin lalu menangis tersedusedu,
membayangkan, ibunya jatuh ke dasar jurang dan
hancur tubuhnya. Kemudian diapun menjatuhkan dirinya
berlutut lagi di depan kakek itu.
"Harap locianpwe tidak kepalang tanggung menolong
saya......" "Ha-ha-ha, permintaan apalagi yang akan kau ajukan
kepadaku, anak yang baik?"
"Setelah ibu tidak ada, maka saya hidup sebatang kara di
dunia ini. Mengingat bahwa banyak orang jahat yang lihai
mempunyai niat jahat terhadap diri saya dan saya tidak akan
mampu melindungi diri sendiri, saya mohon sudilah kiranya
locianpwe menerima saya menjadi murid. Saya akan
mengerjakan apa saja untuk locianpwe dan akan menaati
semua perintah locianpwe."
Kakek itu mengamati wajah Han Lin dengan pandang mata
tajam, lalu bertanya dengan suara tegas, "Bukankah engkau telah memiliki tiga
orang guru" Bagaimana engkau dapat tibatiba melupakan mereka dan hendak ikut
aku?" Han Lin terkejut sekali. Sama sekali tidak pernah dikiranya
bahwa kakek ini tahu pula akan Gobi Sam-sian. "Locianpwe, memang benar saya
telah menjadi murid sam-wi suhu (ketiga
guru) Gobi Sam-sian. Akan tetapi sam-wi suhu ternyata tidak
mampu melindungi ibu sehingga ibu meninggal di tempat ini
dan hampir saja saya juga tewas kalau tidak ditolong oleh
locianpwe. Keberadaan saya hanya membuat sam-wi suhu
Gobi Sam-sian mengalami kesulitan harus menentang orang
jahat seperti Suma Kiang yang lihai sekali. Sama sekali saya
tidak ingin meninggalkan Gobi Sam-sian, locianpwe, hanya
saya ingin mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak
saya mampu menandingi Suma Kiang dan kawan-kawannya."
"Sejak kecil engkau digembleng oleh Gobi Sam-sian dan
engkau memperoleh ilmu kepandaian dasar yang kokoh dari
mereka. Karena itu engkau harus melanjutkan mematangkan
dasar itu dari mereka. Belajarlah kepada mereka selama lima
tahun, baru kemudian engkau boleh mencari aku dan menjadi
muridku." "Akan tetapi, locianpwe, ke mana kelak saya dapat mencari locianpwe" Dan ke mana
sekarang saya harus mencari sam-wi
suhu Gobi Sam-sian" Tadi mereka berada di lereng bawah
sana untuk menghadang Suma Kiang dan temannya, akan
tetapi melihat Suma Kiang dan temannya sudah dapat
mengejar saya dan ibu ke sini, saya khawatir mereka..."
"Aku tahu di mana mereka berada. Mari, pegang tanganku
dan ikut aku." Kakek itu lalu memegang tangan kiri Han Lin dan tiba-tiba
saja Han Lin merasa dirinya meluncur cepat sekali turun dari
puncak dan dia seolah bergantung kepada tangan kakek itu.
Melihat pohon di kanan kirinya meluncur cepat dari depan
seperti hendak menabrak dirinya, Han Lin memejamkan mata
dan membiarkan dirinya seolah dibawa terbang oleh kakek itu.
Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan di
lereng dekat kaki bukit dan ketika kakek itu membawa Han Lin
ke tengah hutan di mana terdapat sebuah lapangan rumput,
mereka melihat Gobi Sarn-sian sudah berdiri saling berdekatan
dan mereka siap dengan senjata masing-masing. Akan tetapi
ketika mereka bertiga melihat kakek itu, ketiganya segera
menyimpan senjata dan cepat berlutut di depan kaki kakek itu.
"Supek..... (uwa guru)!" Mereka berseru dengan suara menunjukkan kejutan besar.
Mereka mengenal uwa guru mereka ini sebagai seorang manusia setengah dewa yang
sudah puluhan tahun tidak pernah tampak di dunia ramai
bahkan mereka mengira bahwa supek mereka yang tidak
pernah mempunyai nama ini sudah meninggal dunia. Kini tibatiba saja muncul
menggandeng Han Lin ! "Ha, bagaimana keadaan kalian?" tanya kakek itu dan dia lalu menghampiri Ang-
bin-sian, memeriksa kesehatannya
dengan meraba sana-sini, lalu menghampiri It-kiam-sian,
memeriksa lengannya yang buntung, kemudian memeriksa
Pek-tim-sian. "Bagus, ternyata kalian dapat mengatasi bahaya dan dalam
keadaan selamat dan sehat."
"Supek, teecu bertiga bertemu dengan lawan yang amat
lihai," kata Ang-bin-sian.
"Hemm, itu wajar saja. Setinggi-tingginya gunung masih
ada awan yang melebihi tingginya dan di atas awan masih ada
langit yang lebih tinggi. Tidak ada sesuatu yang paling tinggi di dunia ini, dan
wajarlah kalau sekali waktu kita bertemu
dengan orang lain yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi
daripada kita. Aku akan memberikan sesuatu kepada kalian
masing-masing untuk penambah pengetahuan dan kalian
bertiga harus melanjutkan membimbing anak ini selama lima
tahun. Setelah lewat lima tahun, bawalah dia kepadaku di
puncak Thaisan dan aku yang akan menjadi gurunya."
Setelah berkata demikian, kakek katai ini tinggal bersama
Gobi Sam-sian di tengah hutan itu selama sebulan dan selama
itu dia mengajarkan ilmu silat kepada tiga orang murid
keponakannya yang membuat mereka bertiga menjadi lebih
lihai daripada sebelumnya. Bahkan It-kiam-sian yang lengan
kanannya buntung itu mendapat pelajaran ilmu pedang
tunggal yang dimainkan dengan tangan kiri yang
kehebatannya melebihi ketika kedua lengannya masih utuh.
Juga kakek yang sakti itu mengajarkan cara menghimpun
tenaga sakti dari alam, menghimpun inti sari tenaga matahari
dan rembulan sehingga kalau hal ini dilatih terus, dalam waktu beberapa tahun
saja tenaga sini kang (tenaga sakti) tiga
orang itu akan memperoleh kemajuan pesat.
Setelah sebulan memberi gemblengan kepada tiga orang
murid keponakannya; Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa
Nama) itu lalu pergi meninggalkan bukit itu.
Gobi Sam-sian bersikap hati-hati Mereka maklum bahwa
bukan tidak terjadi Suma Kiang akan muncul lagi karena orang
jahat itu tentu masih merasa penasaran dan akan mencari
Hari Lin. Maka mereka lalu mengajak Han Lin pergi dari
daerah Pao-tow, pindah ke sebuah dusu yang berada di kaki
Pegunungan Yin san di sebelah utara kota Tai-goan yan telah
berada di sebelah dalam Tembok Besar, jauh sekali di sebelah
selatan dari daerah Pao-tow. Mereka tinggal di dusun yang
sunyi, hidup sebagai petani dan sama sekali tidak
memperlihatkan diri sebagai orang-orang dunia persilatan.
Melihat Han Lin selalu tenggelam ke dalam kedukaan, Angbin-
sian menghiburnya. "Han Lin, tidak ada gunanya bagimu
untuk menenggelamkan diri ke dalam kedukaan karena
kematian ibumu. Ingat bahwa manusia hidup sewaktu-waktu
tentu akan mati juga. Saat kematian setiap orang manusia
sudah ditentukan oleh Thian. Oleh karena itu tidak perlu
disesali sampai berlarut-larut. Boleh saja engkau bersedih,
karena tidak wajar kiranya kalau seorang anak ditinggal mati
ibunya tidak bersedih, akan tetapi ingatlah bahwa kedukaan
yang berlarut-larut hanya akan melemahkan semangat dan
kalau awak tidak beruntung akan menimbulkan penyakit."
"Akan tetapi, suhu. Kalau teecu teringat betapa tewasnya
ibu terlempar ke dalam jurang karena ulah Suma Kiang...!"
"han Lin," kata It-kiam-sian. "Engkau kehilangan ibumu, pinto kehilangan lengan
kananku, hal ini sudah merupakan
takdir yang tidak dapat dibantah pula. Kenyataan ini harus kita hadapi dengan
tabah dan sama sekali jangan sampai
kenyataan ini menimbulkan dendam yang hanya akan
meracuni hati sendiri."
"Ji-suhu! Apakah suhu hendak mengatakan bahwa teecu
tidak boleh mendendam kepada Suma Kiang" Apakah kelak
teecu tidak boleh membalaskan dendam sakit hati karena
kematian ibu ini kepadanya?"
It-kiam-sian tersenyum lebar. "Bukan tidak boleh, Han Lin.
Akan tetapi ketahuilah bahwa ada dua keadaan hati kalau
engkau kelak menentang Suma Kiang Pertama, engkau
menentangnya karena engkau membenci orangnya dan ingin
membalas dendam. Dan kedua, engkau menentangnya karena
engkau anggap bahwa dia itu orang jahat dan bahwa
perbuatan jahatnya harus ditentang. Nah yang pertama itulah
yang tidak benar." "Akan tetapi, teecu belum mengerti benar. Apa bedanya
antara keduanya itu Ji-suhu?"
Pek-tim-sian kini berkata, "Han Lin diantara kedua yang
diceritakan ji-suhu mu itu tentu saja terdapat perbedaan besar sekali. Kalau
hatimu diracuni dendam, engkau membenci
orang itu dan selalu menganggapnya keliru dan harus dibasmi
sehingga andaikata Suma Kiang kelak telah berubah menjadi
orang baik, dendammu akan membuat engkau tetap
menganggapnya sebagai orang jahat yang harus dibunuh,
membuatmu menjadi kejam. Sebaliknya kalau engkau
menentangnya berdasarkan kejahatannya, bukan orangnya,
maka engkau akan menghadapinya sesuai dengan
keadaannya pada waktu itu. Kalau dia jahat, engkau
menentangnya, menentang kejahattannya. Sebaliknya kalau
dia berubah menjadi manusia yang baik, engkau tidak akan
menentangnya lagi dan tidak terdorong oleh nafsu
dendammu." Han Lin terdiam, tenggelam ke dalam pikirannya sendiri.
Dapatkah dia bersikap seperti yang dikatakan guru-gurunya
itu" Dapatkah ia memaafkan seorang seperti Suma Kiang yang
pernah membuat ibunya sampai menggigit putus lidahnya
sendiri,kemudian bahkan yang membuat ibunya terjatuh ke
dalam jurang dan menewaskannya, juga menjadi penyebab
dia dan ibunya melarikan diri dari perkampungan Mongol"
Dendamnya bertumpuk, begitu teringat akan Suma Kiang
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebenciannya meluap. Andaikata kelak Suma Kiang telah
menjadi seorang baik, mampukah dia melupakan semua sakit
hati ini dan memaafkannya"
"Tidak mungkin!" teriaknya. "Tidak mungkin tcecu dapat melupakan apa yang pernah
dilakukan Suma Kiang terhadap
ibu!" Ang-bin-sian tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Perasaan itu wajar saja; Han Lin. Manusia tidak akan dapat terbebas daripada
nafsunya sendiri. Akan tetapi kalau kelak
engkau sudah dewasa dan jiwamu sudah lebih matang,
engkau akan mengetahui sendiri bahwa membiarkan dendam
bertengger di hati sama dengan meracuni diri pribadi.
Sudahlah, sekarang engkau harus mencurahkan seluruh
perhatianmu kepada latihan silat yang akan kami berikan
kepadamu. Waktu lima tahun bukan waktu yang panjang
kalau engkau hendak melanjutkan pelajaran silatmu kepada
Toa-supek (Uwa Guru Pertama). Beliau adalah seorang sakti
dan untuk dapat menerima pelajarannya, engkau harus
memiliki dasar yang kuat. Mudah-mudahan kami akan berhasil
mempersiapkan dirimu untuk menerima pelajaran dari su
pek." Demikianlah, semenjak hari itu, Han Lin berlatih silat
dengan amat tekunnya, diajarkan oleh tiga orang tua itu tanpa
ada seorang pun di dusun itu mengetahuinya. Han Lin
memang berbakat sekali dan diapun patuh sehingga apapun
yang diajarkan ketiga orang gurunya dapat dikuasainya
dengan cepat dan baik sehingga Gobi Sam-sian menjadi
girang dan puas sekali. Orang-orang bijaksana jaman dahulu mengatakan bahwa:
Kalau Tuhan menghendaki, apapun dapat terjadi. Dan kalau
Tuhan tidak menghendaki, apapun dapat terjadi sebaliknya.
Kata-kata ini bukan sekadar pendapat belaka, melainkan
diucapkan berdasarkan pengalaman-pengalaman hidup.
Banyak sekali terjadi hal-hal yang tidak terjangn kau oleh hati akal pikiran
manusia tidak terjangkau oleh perhitungan
manusia. Banyak terjadi perubahan musim yang tidak sesuai
dengan perhitungan manusia. Banyak sekali terjadi hal-hal
yang berlawanan dengan perhitungan dan perkiraan, hati akal
pikiran manusia. Melihat hal-hal ini terjadi, orang-orang
bijaksana lalu mengatakan bahwa itulah kehendak Thian
kehendak Tuhan yang tidak dapat diubah oleh siapapun juga.
Tuhan Maha Kuasa. Jalan yang ditempuh kekuasaan Tuhan ka
dang tidak terjangkau oleh hati akal pikiran manusia. Bencana
alam terjadi di mana-mana, musim-musim berubah dari
perhitungan sehingga mengakibatkan bencana besar. Musim
kering berkepanjangan, musim hujan berlebihan, semua itu
mendatangkan bencana bagi manusia, merenggut banyak
nyawa dan harta benda. Dalam hal kematian seseorangpun, tidak pernah
kepandaian manusia dapat menentukan. Kalau Tuhan belum
menghendaki kita mati, biar kita dihujani ribuan batang anak
panah sekalipun, kita akan mampu lolos dan tidak akan mati.
Sebaliknya kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati, biar
bersembunyi di lubang semut, maut akan tetap datang
menjemput. Seorang tentara yang puluhan tahun menjadi
tentara, hidup di antara kelebatan pedang dan hujan anak
panah, nyawanya terancam setiap saat oleh maut, akan tetap
hidup karena Tuhan belum menghendaki dia mati. Akan tetapi
setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya dan pulang
kampung, gigitan seekor nyamuk saja sudah cukup untuk
membuat dia sakit dan mati!
Mujijat terjadi setiap saat dan di manapun. Namun kita
tidak percaya karena kita menganggapnya tidak masuk di
akal, sampai kita menyaksikaan sendiri peristiwa kemujijatan
itu dan kita mengangguk-angguk mengakui bahwa ada
kekuasaan yang lebih tinggi yang mengatur segalanya
sehingga kadang-kadang tidak masuk dalam perhitungan akal
pikiran kita. Orang menyebut kemujijatan yang ter jadi itu sebagai
Nasib. Namun, betapapun juga, orang tidak boleh
meninggalkan Ikhtiar, walaupun ikhtiar itu tidak menentukan
akibatnya. Orang sakit harus berikhtiar berobat, walaupun
tidak dapat dipastikan bahwa ikhtiar ini akan berhasil. Akan
tetapi patut kita ketahui bahwa tangan Tuhan menyentuh
melalui ikhtiar kita ini! Kalau Tuhan hendak menolong kita dari penyakit,
mungkin saja pertolongan itu terjadi melalui ikhtiar pengobatan kita. Walaupun
kalau Tuhan menghendaki kematian kita, segala macam bentuk ikhtiar itu akan sia-sia
dan tidak mungkin dapat mengubah kehendakNya. Sebaliknya
kalau Tuhan menghendaki kita sembuh, mungkin dengan
secawan air putih saja penyakit kita akan dapat disembuhkan!
Bagi pendapat manusia pada umumnya, Chai Li yang
terjatuh ke dalam jurang yang ternganga itu pasti akan mati!
Agaknya tidak terdapat sedikit pun kemungkinan bagi wanita
itu untuk lolos dari maut. Namun, apabila Tuhan
Menghendaki, ada saja jalannya untuk dapat lolos dari
cengkeraman maut. Ketika tubuh itu mula-mula meluncur jatuh, Chai Li masih
sadar dan ia menjerit karena merasa ngeri mendapatkan
dirinya melayang ke bawah seperti seekor burung. Akan tetapi
segera jeritannya terhenti dan ia pingsan ketika tubuhnya
melayang tanpa daya dekat tebing.
Tiba-tiba tampak seseorang di tengah tebing, di mana
terdapat celah-celah seperti guha. Orang Ini melihat Chai LI
yang melayang jatuh dan cepat dia meloloskan ikat
pinggangnya yang berwarna putih dan terbuat dari kain.
Dengan cekatan, dia lalu menggerakkan tangan kanannya
yang memegang ujung sabuk putih itu. Sinar meluncur ke
depan dan tepat pada saat tubuh Chai Li meluncur ke
depannya, sabuk itu telah membelit pinggang Chai Li dan
menarik tubuh yang melayang jatuh itu ke arahnya. Dengan
tangan kiri dia menyambut tubuh itu dan mengerahkan tenaga
sin-kangnya sehingga dia mampu menahan tenaga luncuran
tubuh wanita itu. Tubuh Chai Li terdekap dalam rangkulan
lengan kirinya yang; kuat.
Ketika sadar dari pingsannya, Chai Li mendapatkan dirinya
rebah di atas tanah bertilamkan rumput kering dan tak jauh|
dari tempat ia rebah, tampak seorang laki-laki duduk di atas
batu dan memandangnya sambil tersenyum ramah. Laki-laki
itu tampaknya berusia tiga puluhan tahun, pakaiannya bersih
dan mewah seperti seorang sasterawan yang kaya.
Rambutnya digelung ke atas dan dijepit dengan penjepit
rambut terbuat dari emas. Wajahnya yang bundar itu tampan
sekali dengan sepasang mata yang bersinar dan senyumnya
selalu merekah di bibirnya. Kulit mukanya putih. Seorang lakilaki yang tampan
dan bersikap lembut. Chai Li terheran-heran melihat ia rebah di situ. Teringatlah
ia betapa ia telah terjatuh ke dalam jutang! Tentu tubuhnya
telah terbanting hancur di dasar jurang. Akan tetapi mengapa
ia masin hidup, tubuhnya masih utuh dan rebah di tempat ini"
la bangkit duduk dan mengeluh lirih karena pinggangnya
terasa nyeri. Sabuk yang tadi melibat pinggangnya dan
menahannya dari kejatuhan menbuat pinggangnya terasa
nyeri. Setelah ia duduk, barulah tampak olehnya tebing jurang
menganga di depannya dan mengertilah ia bahwa ia telah
ditolong oleh orang ini, walaupun ia tidak tahu bagaimana
orang itu dapat menolongnya dari kejatuhan.
Mendengar Chai Li mengeluh dan melihat ia bangkit duduk,
orang itupun bangkit dari batu yang didudukinya. Setelah dia
bangkit baru tampak tubuhnya tinggi tegap dan tegak yang
membuatnya tampak gagah di samping ketampanannya. Dia
menghampiri dan bertanya, "Apakah ada yang terasa nyeri,
nona?" Suaranya tenang lembut dan ramah.
Chai Li menoleh kepadanya dan wanita ini lalu menulis
dengan telunjuk kanannya ke atas tanah. Ketika merasa
betapa tanah itu keras, ia lalu mengambil sebuah batu yang
runcing dan menulis dengan batu itu.
"Aku bukan nona, melainkan seorang nyonya dan
pinggangku terasa nyeri. Apa kah engkau yang
menyelamatkanku dari kejatuhan tadi?"
Laki-laki itu tercengang. Tidak menduga sama sekali bahwa
wanita di depannya itu gagu, akan tetapi tulisannya demikian
indah, jelas bukan tulisan wanita dusun biasa! Masih belum
yakin apakah wanita itu tidak gagu dan tuli, dia mengangguk
dan berkata, "Benar, aku yang telah menolongmu."
Mendengar ini, Chai Li lalu menjatuh kan dirinya berlutut di
depan pria itu. Pria itu cepat-cepat memegang kedua pundak
Chai Li dan membangunkannya dan merasakan dengan jarijari
tangannya betapa lembut dan halus kulit di bawah baju
itu. Dia memandang dan mengamati. Wajah itu amatlah
cantiknya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Terutama
mata itu. Sepasang mata yang bersinar-sinar seperti sepasang
bintang kejora! "Siapakah suamimu dan engkau tinggal di mana, nyonya?"
Chai Li menulis lagi di atas tanah.
"Saya..... suami saya meninggalkan saya... dan saya tinggal bersama seorang anak
saya di.... di dusun...."
Melihat betapa Chai Li menulis dengan ragu-ragu, pria itu
menjadi semakin tertarik.
"Siapa namamu, nyonya" Dan siapa pula nama suamimu
yang meninggalkanmu itu?" tanyanya.
Chai Li menjadi rikuh dan bingung. Tidak mungkin ia
mengaku bahwa suaminya adalah Kaisar Cheng Tung! Ia tidak
mengenal pria ini. Biarpun pria ini sudah membuktikan bahwa
dia seorang baik-baik yang telah menyelamatkannya, akan
tetapi ia tidak boleh mempercayai begitu saja dan
menceritakan kebenaran tentang dirinya, la lalu menulis lagi.
"Nama saya Chai Li dan suami saya bernama Han Tung. Inkong (tuan penolong),
tolonglah saya untuk naik ke atas
tebing dan untuk mencari anak saya."
Pria itu tersenyum. "Jalan menuju ke puncak tebing tidak
mudah, nyonya. Untuk itu engkau harus kupondong!"
Mendengar ini, wajah Chai Li berubah kemerahan dan hal
ini menambah kecantikannya yang aseli. ia menulis lagi,
"Terserah kepada in-kong dan sebelumnya saya
menghaturkan banyak terima kasih dan maaf bahwa saya
telah merepotkan in-kong."
"Ha-ha-ha, terlalu banyak terima kasih kau ucapkan, aku
menghendaki terima kasih dalam perbuatan nyata! Nyonya,
jawab saja pertanyaanku dengan geleng atau angguk. Apakah
engkau akan menyatakan terima kasihmu dengan mentaati
semua kata-kataku?" Chai Li mengangguk. "Engkau akan menaati semua kata-kataku, menuruti semua
permintaanku tanpa membantah dan selanjutnya
menggantungkan hidupmu kepadaku?"
Chai Li berpikir agak lama akan tetapi kemudian iapun
mengangguk, ia sudah terlanjur percaya kepada laki-laki yang
tampaknya lembut, baik hati dan ramah sekali itu.
"Bagus kalau begitu, kuperintahkan engkau untuk
merebahkan dirimu di atas tanah, memejamkan kedua
matamu dan tertidurlah!" Dalam suara itu terkandung wibawa yang amat kuat. Chai
Li memandang heran, akan tetapi ia
segera melakukan apa yang dipinta orang itu. Ia rebah
telentang dan memejamkan kedua matanya.
"Engkau tidak dapat menahan kantukmu, engkau
tertidur..... tidur pulas sekali"
Pria itu menggerakkan kedua telapak tangannya di atas
muka dan tubuh Chai Li, seperti membelai dan segera
pernapasan Chai Li menjadi halus karena ia sudah tertidur
pulas. "Chai Li, setelah nanti engkau sadar dari tidurmu, ingatlah selalu bahwa aku ini
adalah penolongmu, penyelamat nyawa
mu, kekasihmu juga suamimu yang mencintamu dan kaucinta.
Engkau akan melakukan apa saja yang kuperintahkan
kepadamu. Aku juga menjadi gurumu dan engkau menjadi
kekasih, isteri dan juga pembantuku yang setia." Berulangulang pria itu
mengeluarkan kata-kata yang sungguh aneh ini,
ada tujuh kali berulang-ulang dan Chai Li hanya menganggukanggukkan kepala tanda
mengerti dan setuju. Setelah melihat betapa Chai Li sudah mengerti betul dan
sudah tunduk dalam pengaruh sihirnya, pria itu lalu berkata!
lagi, "Ingat, aku adalah suamimu dan kekasihmu. Engkau
amat mencinta dan setia kepadaku, aku suamimu yang
bernama Phoa Li Seng. Engkau akan siap mati untuk
membelaku. Mengertikah engkau?"
Chai Li mengangguk-angguk lagi. Ia| telah benar-benar
berada di bawah pengaruh sihir yang dilakukan oleh pria iti
dengan amat kuatnya. "Sekarang bangunlah dari tidurmu dan laksanakan semua
kata-kataku!" Chai Li membuka kedua matanya, berkedip-kedip, lalu
bertemu pandang denga pria yang mengaku bernama Phoa Li
Seng itu. Dan Chai Li memandang mesra lalu tersenyum dan
ketika Phoa Li Sen menjulurkan tangan membantunya bangkit
Darah Asmara Gila 2 Shugyosa Samurai Pengembara 4 Pendekar Sakti Im Yang 2
untuk menebus semua biaya besar yang telah mereka
keluarkan ketika mengikuti ujian.
Can Sianseng yang miskin hanya menjadi seorang sarjana
gagal dan mencari nafkah dengan mengajarkan kesusasteraa
kepada anak-anak dengan menerima upah sekadarnya. Dia
hidup menyendiri dan tidak berkeluarga, dan kepada para
muridnya dia terkenal bersikap keras dalam mengajar. Tangan
kanannya selalu memegang sebatang bambu yang siap untuk
dipukulkan kepada murid yang dianggapnya malas dan bodoh,
dan kalau memukul diapun tidak tanggung-tanggung, yang
dipukulnya tentu kepala anak-anak yang kepalanya gundul
dikuncung pada ubun-ubunnya itu.
Pada suatu pagi yang cerah, terdengar bunyi suara kanakkanak
itu menirukan gurunya, suaranya serempak dan
terdengar lantang. "Su-hai-lwe-kai-heng-te-yaaa.....! (Di empat penjuru semua orang adalah
saudara)" Ucapan ini adalah sebuah ajaran Nabi Khong-cu yang mengajarkan bahwa
di seluruh dunia ini manusia adalah saudara. "Han Lin, coba terangkan. Apa artinya ujar-ujar itu?" tanya Can Sianseng kepada
Cheng Lin. Menaati pesan Gobi Samsian,
Chai Li mengubah nama panggilan Cheng Lin menjadi
Han Lin, agar tidak diketahui orang bahwa dia adalah
keturunan Kaisar Cheng Tung. Maka, anak itu sendiri
menganggap bahwa namanya adalah Han Lin dan mulai
sekarang, agar memudahkan, kita sebut saja dia Han Lin.
Han Lin mengerutkan alisnya, berpikir, Anak berusia hampir
enam tahun itu tampak lebih jangkung dan tegap
dibandingkan kawan-kawannya. Wajahnya bundar dan
tampan, sepasang matanya bersinar sinar, hidungnya
mancung dan mulutnya mengandung garis yang
membayangkan kekerasan hati, daun telinganya lebar dan
pembawaannya gesit dan menyenangkan.
Kemudian, setelah berpikir sejenak diapun menjawab
lantang. "Artinya bahwa semua orang ini bersaudara, antara saya
dan Sianseng juga bersaudara, akan tetapi karena Sianseng
jauh lebih tua, sepatutnya Sianseng saya sebut Can-toako
(kakak tertua Can) bukan Can Sianseng!"
Can Sianseng terbelalak dan mukanya menjadi merah. "Apa
katamu" Kau meng anggap aku ini kakakmu tertua" Kurang
ajar!" Dan bambu di tangannya menyambar "Tak-tuk!" Dua kali kepala Han Li kena
dipukul. Anak-anak yang lain tertawa.
Mereka memang anak-anak yang sedang nakal nakalnya,
maka seorang di antara mereka lalu berkata.
"Selamat pagi, Can-toako!" Ucapan disambut sorak-sorai dan Can Sianseng menjadi
semakin marah. Hampir semua
kepala gundul itu mendapat bagian pukulan. Karena merasa
kepala gundulnya dan melihat semua kawannya dipukuli, Han
Lin menjadi penasaran. Dia mengangkat telunjuk kanannya atas dan berseru,
"Sianseng, saya ingin bicara!"
"Bicaralah!" kata guru itu dan semua anak terdiam
mendengarkan. Betapa beraninya Han Lin hendak
membicarakan sesuatu selagi guru mereka marah-marah dan
mengamuk seperti itu. "Sianseng, apakah semua ujar-ujar seperti itu harus ditaati dan dilaksanakan?"
tanya Han Lin. "Pertanyaan tolol! Tentu saja harus ditaati dan
dilaksanakan oleh seluruh manusia di dunia ini!" jawab sang guru.
"Apakah namanya orang yang mentaati dan melaksanakan
ujar-ujar itu?" tanya pula Han Lin, suaranya masih lantang.
"Apa engkau lupa, bodoh" Namanya kuncu (budiman)."
"Dan apa namanya orang yang tidak nentaati dan tidak
melaksanakan ujar-ujar itu?"
"Namanya siauw-jin (manusia rendah)!"
"Wah, kalau begitu, Sianseng. Kesini-kan tongkat itu, beri pinjam padaku
sebentar." Han Lin bangkit berdiri dan
mengangsurkan tangannya untuk minta pinjam tongkat
bambu yang berada di tangan gurunya.
"Heh" Hah?" Can Sianseng menjadi bingung. "Untuk apa?"
"Untuk memukul kepala Sianseng berapa kali biar benjolbenjol!"
Semua murid terbelalak dan guru itu sendiri terbelalak,
akan tetapi lalu marah sekali. "Apa" Kau..... anak sssee-setan!
berani engkau hendak memukuli kepalaku?"
"Eh-eh-eh, ingat baik-baik, Sianseng jangan marah dulu.
Baru kemarin sianseng mengajarkan sebuah ujar-ujar yang
berbunyi demikian : "Jangan melaku-kan sesuatu kepada
orang apa yang kita sendiri tidak suka orang melakukan
kepadamu!' Nah, bukankah Sianseng mengajarkan begitu"
Kalau sekarang Sianseng tidak suka saya pukul kepalanya
dengan tongkat itu, kenapa Sianseng seenak saja memukuli
kepala kami" Bukankah berarti Sianseng tidak menaati dan
tidak melaksanakan ujar-ujar itu" Kalau Sianseng tidak suka
kupukuli kepalanya den tongkat ini, berarti Sianseng adalah
orang siauw-jin!" Mendengar ucapan Han Lin itu, temantemannya menjadi
bersemangat dan berani, dan mereka
meminta sepotong bambu itu dan berebutan untuk memukuli
kepala dan muka Can Sianseng.
Biarpun hanya berhadapan dengan anak-anak kecil namun
Can Sianseng adalah seorang yang lemah dan anak anak itu
amat nakal, maka ketika menerima sabetan bambu itu, dia
melarikan diri keluar dari tempat itu dan setengah menangis
dia pulang ke rumahnya. Sejak peristiwa di hari itu, Can Sianseng mogok tidak mau
mengajar dan Chan Li segera mendengar dari anak-anak
tentang ulah Han Lin. Ia memarahi anaknya.
"Apakah kelak engkau akan menjadi seorang bodoh,
menjadi seorang tukang pukul yang kasar?" tegur ibunya.
"Ah, ibu. Apa artinya mempelajari semua ujar-ujar kalau
tidak dilaksanakan" seorang guru harus memberi contoh
kepada muridnya, baru sang murid akan menurut, bukan" Can
Sianseng bukan guru yang baik!"
Terpaksa Chai Li mengundang seorang guru lain yang lebih
muda walaupun untuk itu ia harus mengeluarkan biaya yang
lebih besar. Akan tetapi agaknya cara mengajar guru baru ini
cocok dengan anak-anak dan mereka belajar dengan rajin.
Pada suatu hari, ketika Han Lin sudah berusia enam tahun,
datanglah Gobi Sam-sian berkunjung ke pondok Chai Li.
Wanita mi segera menyambut dengan penuh kehormatan
kepada tiga orang penolongnya dan cepat memanggil Han Lin.
Han Lin sedang bermain dengan teman-temannya ketika
dipanggil ibunya. Dia berlari-lari pulang dan melihat tiga orang tosu berusia
lima puluh tahun lebih duduk di dalam pondok
dan dihadapi ibunya yang kelihatan amat menghormati
mereka. Mata yang tajam dari Han Lin mengamati tiga orang tosu
itu penuh perhatian, hatinya bertanya-tanya. Ketika mereka
dahulu menolong dia dan ibunya, usianya baru tiga tahun dan
yang teringat terus dan terbayang di depan matanya hanyala
ibunya rebah telentang dengan wajah berlumuran darah,
terutama mulutnya yang mengucurkan darah segar. Bayangan
itu tidak pernah terlupakan olehnya, bahkan sering
mengganggunya di waktu tidur Akan tetapi tiga orang tosu ini
sama sekali tidak dikenalnya.
Tiga orang Gobi Sam-sian itupun mengamati Han Lin
dengan penuh perhatian Mereka tersenyum dan merasa
gembira. Dugaan mereka tidak keliru. Anak itu telah tumbuh
dengan baik, berbadan tinggi tegap dan biarpun agak kurus
namun kokoh dan sinar matanya penuh semangat dan
kecerdikan. "Han Lin, cepat engkau berlutut memberi hormat kepada
tiga orang suhumu (gurumu)!" kata Chai Li kepada puteranya.
Namun Han Lin tidak segera melaksanakan perintah itu. Dia
masih berdiri tegak memandang kepada tiga orang tosu itu
bergantian, kemudian bertanya kepada ibunya, "Ibu,
bagaimana mendadak mereka ini dapat menjadi suhuku?"
"Han Lin, sam-wi in-kong (tiga orang penolong) ini pada
waktu engkau baru berusia tiga tahun dahulu sudah
mengatakan bahwa setelah engkau berusia enam tahun
engkau akan menjadi murid mereka mempelajari ilmu silat."
"Ibu, sam-wi totiang (ketiga orang pendeta) ini mempunyai kemampuan apakah
hendak mengajarkan silat kepadaku"
Kalau aku belajar silat, aku harus mempunyai seorang guru
yang sakti agar kelak aku dapat menjadi seorang pendekar
yang gagah perkasa seperti yang pernah ibu ceritakan. Aku
harus dapat menjadi sakti seperti Sun Go Kong si Raja Monyet
seperti yang pernah ibu dongengkan. Aku ingin mempelajari
sastera dan silat sampai sedalam-dalamnya, bukan
sembarangan saja." "Hushhh. Han Lin. Sam-wi in-kong ini adalah......."
Gobi Sam-sian bangkit berdiri d mereka tertawa. Mereka
tertarik sekal akan ucapan anak itu dan Ang-bin-sian Muka
Merah berkata kepada Chai Li "Biarlah kami yang akan bicara dengannya."
Jilid III ANG-BIN-SIAN lalu menghampiri Han Lin dan dia berkata,
"Han Lin, apa yang kau katakan itu memang benar sekali.
Untuk apa mempelajari suatu ilmu kalau hanya setengahsetengah"
Kelak tidak ada gunanya, hanya dipakai untuk
menyombongkan diri saja seperti gentong gosong yang
nyaring bunyinya namun tak berisi. Marilah kita keluar dari
dalam rumah dan engkau akan menilai sendiri sampai di mana
kepandaian kami!" Dia memegang tangan anak itu dan
dituntunnya keluar. Dengan penuh semangat Han Lin keluar karena dia
memang hendak melihat apakah tiga orang tua itu pantas
untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya.
Setibanya di luar rumah, Ang-bin-Man melihat dua batang
pohon sebesar manusia dan dua buah batu besar
dipekarangan depan rumah itu. Dia tersenyum.
"Nah, engkau melihat dua batang pohon dan dua buah
batu sebesar kerbau itu" Dapatkah orang biasa yang
bagaiman kuatpun dengan sekali pukul menumbangkan pohon
itu dan memecahkan batu itu dengan tongkatnya?"
Han Lin terbelalak dan menggelengkan kepalanya. "Tidak
mungkin. Pohon itu terlampau kuat dan batu itu terlalu besar
untuk dipecahkan dengan pukulan tongkat!"
"Begitukah" Nah, engkau lihat sekarang. Pinto (aku) akan
merobohkan pohon pohon dan memecahkan batu-batu itu
dengan tongkat pinto!" Setelah berkata demikian, Ang-bin-sian menggerakkan
tongkat bajanya, bersilat di pekarangan itu.
Tongkat bajanya menyambar-nyambar, mengeluarkan suara
dahsyat bersuitan, makin lama dia bersilat makin mendekati
dua batang pohon besar dan dua bongkah batu besar itu. Tak
lama kemudian tongkatnya menyambar pohon.
"Krakkk! Krakkk!!" Dua batang pohon itu tumbang terkena hantaman tongkat baja.
Kakek itu terus bersilat dan kini
tongkatnya terayun menghantam dua bongkah batu yang
sebesar perut kerbau. "Darrr! DarrrH" Tampak debu mengepul dan dua bongkah batu itupun pecah! Ang-bin-
sian menghentikan permainan
silatnya dan Han Lin terbelalak, lalu memuji.
"Hebat! Hebat sekali!" Dan dia bertepuk tangan dengan girangnya.
It-kiam-sian melangkah maju. "Han Lin, engkau lihatlah
sekarang aku menggunduli pohon di sana itu dengan
pedangku!" Setelah berkata demikian, tosu ini mencabut
pedangnya dan mulai bersilat dengan pedangnya. Pedang itu
menyambar-nyambar dan berubah menjadi segulungan sinar.
Ketika tosu ini bersilat semakin cepat, gulungan sinar pedang
itu melayang ke arah pohon. Bayangan It-kiam-sian hanya
tampak samar-samar saja dan kini ia meloncat tinggi ke atas
pohon sambil tetap memutar pedangnya. Gulungan sinar
pedang ke arah puncak pohon dan tampaklah daun-daun
pohon dan ranting berhamburan dan dalam waktu singkat saja
pohon itu telah "dicukur" sehingga bentuk seperti sebuah payung besar! Ketika it
kiam-sian melompat turun dan
menyimpan pedangnya, Han Lin yang sejak tadi terbelalak,
menepuk tangan dengan kagum girang sekali.
"Hebat sekali!"
Pek-tim-sian mengebutkan kebutan sambil tertawa. "Anak
baik, agaknya engkau tidak akan yakin kalau belum melihat
dengan mata kepala sendiri. Itu kebiasaan yang baik. Jangan
mudah percaya kalau tidak melihat sendiri, itu sikap orang
budiman. Sekarang lihatlah ekor burung yang sedang
berloncatan ranting-ranting pohon itu. Aku akan
menangkapkan burung-burung itu untukmu."
Setelah berkata demikian, Pek-tim-sian melompat.
Tubuhnya amat ringan cepat dan memang tosu ini adalah
seorang ahli gin-kang (meringankan tubuh) yang hebat. Kalau
gerakan It-kiam-sian dengan pedangnya tadi masih tampak
bayangannya, kini gerakan Pek-tim-sian dengan kebutannya
sama sekali tidak tampak bayangannya, tahu-tahu tubuhnya
sudah berada di pohon dan dua kali hud him (kebutan dewa)
di tangannya bergerak, dua ekor burung itu telah digulung
oleh ujung kebutan dan ditangkapnya. Bagaikan seekor
rajawali dia melayang turun dari atas pohon, ketika dia tiba di depan Han Lin,
kedua kakinya sama sekali tidak mengeluarkan
suara dan dia tertawa. "Ha-ha-ha, pinto tidak mempunyai apaapa, hanya dua ekor
burung ini pinto akan kepadamu, boleh
kau perbuat apa yang kau suka."
Han Lin menerima dua ekor burung itu, mengelus bulunya
lalu dia melemparkan mereka ke udara sehingga mereka
terbang ringan cepat sekali.
"Han Lin, kenapa engkau lepaskan burung-burung itu?"
Akan tetapi Han Lin sudah menjatuhkan dirinya berlutut
menghadap tiga tosu dan berkata sambil memberi hormat
berulang kali. "Teecu (murid) Han Lin mohon diterima menjadi murid sam-wi suhu
(tiga orang guru) dan sejak saat ini tecu
akan menaati semua perintah dan tunjuk suhu bertiga." Tiga orang tosu itu
tertawa senang. Memang mereka ingin mengambil murid anak itu sejak tiga
tahun yang lalu, maka melihat sikap anak itu mereka merasa
gembira. "Han Lin, engkau belum menjawab mengapa engkau
membebaskan burung-burung tadi?"
"Suhu, burung adalah mahluk yang terbang bebas di udara.
Kasihan sekali kalau mereka ditangkap dan dikurung. Tecu
tidak suka mengurungnya, maka teecu lepaskannya."
"Bagus!" kata Ang-bin-sian. "Kecil kecil engkau sudah dapat menghargai
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebebasan." "Sam-wi totiang (Para pendeta bertiga harap suka masuk
ke dalam pondok untuki bicara. Silakan," kata Chai Li sambil memberi hormat.
Tiga orang tosu itu tersenyum, mengangguk-angguk dan
melangkah menuju pondok. Ang-bin-sian menggunakan
tongkat bajanya menowel belakang punggung Han Lin dan
anak itu terlempar keatas jungkir balik dan jatuh berdiri.
"Hayo engkau ikut kami."
Han Lin terkejut akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan
gembira sekali karena dia merasa yakin akan kelihaian tiga
orang yang akan menjadi gurunya itu.
Setelah mereka bertiga duduk di ruangan depan, Chai Li
menghidangkan minuman air teh cair dan ia menceritakan
tentang keadaan Han Lin. "Saya telah memanggil guru untuk mendidik Han Lin dalam
kesusasteraan, sekarang dia sudah mulai dapat membaca dan
menulis, dan mempelajari beberapa
buah kitab agama." "Akan tetapi teecu tidak suka akan cara guru-guru itu
mengajarkan isi kitab, suhu."
Ang-bin-sian mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm,
mengapa begitu?" "Habis, mereka mengajarkan perbuatan-perbuatan baik
tanpa mereka sendiri melakukannya! Apa artinya semua
pelajaran perbuatan baik itu kalau tidak dilaksanakan?" kata Han Lin sambil
memandang kepada tiga orang gurunya
dengan matanya yang bersinar-sinar.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh tepat!" kata It-kiam-sian.
"Engkau hanya mengenal kulitnya tanpa mengetahui
isinya!" cela Pek tim sian.
Ang-bin-sian lalu berkata sungguh sungguh. "Memang
sesungguhnyalah. Pelajaran perbuatan baik adalah untuk
dilaksanakan, bukan untuk dibicarakan. Akan tetapi kalau tidak dibicarakan lebih
dulu bagaimana engkau dapat mengerti"
Perbuatan baik adalah satu perbuatan yang tidak
direncanakan oleh hati akal pikiran. Semua perbuatan yang
direncanakan oleh hati akal pikiran tidak mungkin baik, atau
baik untuk dirinya sendiri saja. Perbuatan begitu tentu
berpamrih demi diri pribadi. Akan tetapi kalau engkau sudah
mempelajari nilai-nilai tinggi dalam kehidupan seperti yang
diucapkan oleh kaum bijaksana di jaman dahulu, maka engkau
akan memiliki dasar yang baik sehingga apapun yang kau
lakukan tentu baik."
Han Lin menjadi bengong, lalu menggaruk-garuk
kepalanya. "Wah, pelajaran suhu sungguh sulit dimengerti!"
Tiga orang gurunya tertawa. "Tidak mengapalah. Kelak
engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kami
memperkenalkan diri," kata Ang-bin-sian. "Kami bertiga disebut orang Gobi Sam-
sian (Tiga Dewa dari Gobi) karena
kami memang suka merantau di daerah Gobi. Pinto sendiri
disebut Ang-bin-sian (Dewa Muka Merah) dan engkau boleh
menyebut aku twa-hu (guru tertua). Dia itu adalah It-kiamsian
(Dewa Pedang Tunggal) dan nenjadi ji-suhu (guru kedua)
bagimu dan yang seorang lagi itu adalah Pek-tim-sian (Dewa
Kebutan Putih) menjadi sam-suhu (guru ketiga)."
Han Lin memberi hormat kepada mereka seorang demi
seorang sambil menyebut "Twa-suhu, ji-suhu dan sam-suhu".
"Sekarang dengar baik-baik, Han Lin. Engkau sudah minta
kepada kami untuk membuktikan kesanggupan kami untuk
menjadi gurumu. Oleh karena itu, sekarang kami juga minta
kepadamu untuk membuktikan kesanggupanmu untuk
menjadi murid kami!" kata Ang-bin-sian.
"Toa-suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah suhu
tanpa membantah!" kata Han Lin dengan suara tegas dan
mantap. "Sebaiknya begitu. Ingat, mempelajari bu (silat) berbeda
dengan mempelajari bun (sastera). Untuk sastera, engkau
harus mempergunakan pikiran dan perasaanmu, Akan tetapi
untuk mempelajari ilmu silat harus ada kesatuan antara
pikiran, perasaan dan gerakan tubuhmu. Oleh karena itu
engkau sama sekali tidak boleh malas dan harus melakukan
segala yang kami perintahkan."
"Teecu mengerti, suhu!"
"Engkau harus mempelajari sastera, tiga hari dalam
seminggu dan yang empat hari kami akan melatih silat
kepadamu. Kami akan mencari tempat bertapa di pegunungan
ini dan datang kesini setiap waktu untuk mengajarkan silat.
Akan tetapi sekarang, tugasmu yang pertama adalah
membersihkan halaman itu, mengampak kayu-kayu itu
menjadi kayu bakar dan membersihkan semua daun daun
situ." Han Lin terbelalak. Dua batang pohon besar tumbang dan
banyak sekali ranting dan daun terbabat pedang. Kalau hanya
mbersihkan daun dan ranting, dalam waktu sehari dua hari
saja tentu akan selesai. Akan tetapi mengampak batang
batang kayu itu menjadi kayu bakar yang kecil-kecil" Entah
berapa lama dia harus bekerja keras! Akan tetapi tanpa ragu
dia menjawab. "Teecu akan melaksanakan tugas itu. baiknya, toa-suhu!"
Chai Li kelihatan gelisah mendengar caranya menerima
tugas seberat itu dan melihat wajah wanita itu, Ang-bin-sian
berkata sambil tersenyum. "Nyonya, biarlah puteramu
mengerjakan semua perintah kami. Keberhasilannya dalam
ilmu silat akan bergantung sepenuhnya kepada
ketekunannya." Chai Li mengangguk walaupun ia merasa amat kasihan
kepada puteranya. Dan tiga orang Gobi Sam-sian itu lalu
berpamit untuk mencari tempat pertapaan yang cocok bagi
mereka, yang tidak terlalu jauh dari kota Pao-tow. Mereka
mendapatkan sebuah hutan cemara di lereng bukit dan
mendirikan sebuah pondok kayu dan bambu di tempat itu
untuk mereka tinggali dan bertapa.
Sampai setengah bulan lamanya Han Lin membersihkan
halaman rumah Nenek janda pemilik rumah menjadi senang
sekali mendapatkan banyak kayu bakar dan memuji Han Lin
sebagai anak yang rajin. Memang anak ini mempunyai
semangat yang luar biasa. Biarpun bukan orang kaya, namun
dia jarang melakukan pekerjaan berat. Akan tetapi begitu
menerima perintah suhunya, setiap hari dia mengunakan
kapak dan golok untuk membelah batang pohon. Dia bekerja
tanpa mengenal waktu dan kedua telapak tangannya sampai
lecet-lecet dan akhirnya menjadi tebal.
Setelah dia mulai dilatih oleh tiga orang tosu itu, dia
mendapatkan tugas setiap hari yang lebih berat lagi! Pondok
tiga orang tosu itu agak jauh dari sungai air, dan Han Lin
bertugas untuk mencari dan memikul air dari sumber air
dibawa ke pondok. Akan tetapi untuk melakukan pekerjaan
itu, mula-mula dia harus menggunakan alas kaki dari kayu
tebal yang kalau dipakai berjalan licin. Beberapa kali ia jatuh bangun
menggunakan alas kaki kayu itu, air pikulannya
tumpah sehingga ia harus kembali ke sumber air untuk
menimba lagi. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu,
walaupun tidak ada orang menyaksikannya, sebentarpun dia
tidak pernah melepas alas kaki itu dan dengan gigih dia
berjuang sampai akhirnya dia dapat memikul air itu ke pondok
menggunakan alas kaki! Tampaknya saja ketiga orang
gurunya tidak perduli, namun sesungguhnya mereka bertiga
mengamati setiap gerak-gerik murid mereka dan
mengintainya. Mereka sungguh merasa gembira sekali melihat kegigihan
murid mereka yang masih berusia enam tahun itu.
Bukan sampai di situ saja "penyiksaan" terhadap diri Han Lin yang kecil. Setelah
itu mulai lincah dan terampil
mempergunakan alas kaki sehingga dapat berlari-lari kecil
sambil memikul airnya, tiga orang gurunya lalu memasang dua
buah gelang kaki dikedua kakinya. Gelang baja itu masingmasing satu kati
beratnya. Biarpun 1 kati itu ringan kalau
diangkat, akan tetapi ketika dia mulai memikul air
mengunakan alas kaki kayu, gelang itu rasanya lebih dari
sepuluh kati beratnya! Dan tidak hanya sampai di sini saja.
Setelah dia mulai terbiasa dengan beban gelang itu, gelangnya
ditambah dengan yang lebih besar dan berat sehingga dalam
waktu tiga bulan gelang di kedua kakinya itu masing-masing
seberat lima kati! Dia menaati perintah guru-gurunya tanpa mengeluh. Di
lubuk hatinya dia tahu bahwa guru-gurunya sedang
menggemblengnya untuk menjadi orang yang kuat dan dia
membantu usaha guru-gurunya itu dengan menaatinya.
Setelah lewat tiga bulan, Ang-bi sian membuat sebuah
pikulan baru. Pikulan itu terbuat dari rotan-rotan kecil yang
digabung menjadi sebuah pikulan besar Han Lin diharuskan
memikul kedua gentung airnya dengan pikulan dari rotan itu.
Mula-mula dia merasa kaku, karena pikul itu agak lentur. Akan
tetapi lama kelaman dia terbiasa dan dapat mengatur
keseimbangannya sedemikian rupa sehingga kalau dia
memikul air sambil setengah berlari, kedua kaki dan
tangannya membuat gerakan seperti orang menari untuk
menjaga keseimbangan badannya.
Akan tetapi sebulan kemudian, gurunya mengambil dan
melolos sebatang rotan dari pikulan itu! Dan setiap seminggu
sekali, pikulan itu dikurangi sebatang rotan sampai menjadi
kecil dan lentur sekali. Namun, Han Lin dapat menyesuaikan
diri dan dapat memikul air itu sampai ke pondok.
Latihan-latihan sambil bekerja macam Itu dilakukan Han Lin
selama dua tahun! dan dia sama sekali belum diajar ilmu silat!
Sungguhpun demikian, dengan gerakan mengatur
keseimbangan badan ketika ia memikul air, dia sudah
menguasai dasar gerakan kaki dalam ilmu silat. Dia tahu
bahwa dia belum dilatih ilmu silat, bahkan ibunya mulai
mengomel kalau bertanya kepadanya apakah dia sudah diajari
ilmu silat. "Belum, ibu. Akan tetapi aku disuruh kerja berat. Lihat ini, otot-otot kaki dan
tanganku menjadi kokoh. Aku tidak pernah
masuk angin, aku selalu bangun pagi pagi sekali dan merasa
tubuhku selalu sehat dan segar. Ini semua berkat pekerjaan
yang ditugaskan sam wi suhu (guru bertiga) kepadaku dan
aku berterima kasih sekali!"
"Akan tetapi apa artinya kepandaian memikul air" Apakah
engkau kelak akan menjadi tukang pikul air" Engkau harus
menjadi seorang pendekar, Han Lin, dan karena itu engkau
harus belajar ilmu silat. Biarlah besok akan kutanyai mereka
mengapa sampai sekarang engkau belum dilatih ilmu silat,"
kata ibu yang merasa kecewa itu.
"Jangan, ibu! Aku sudah senang sekali dengan cara mereka
mengajar. Di sini aku tidak hanya mendapatkan teori saja
akan tetapi langsung aku mendapatkan manfaat pada
tubuhku. Kita harus bersabar, ibu. Bukankah kesabaran itu
pangkal keberhasilan?"
Han Lin memang pandai bicara da kalau sudah begitu,
ibunya mengalah "Baiklah, aku tidak akan bertanya secara
langsung, akan tetapi akan menanyakan sampai di mana
kemajuanmu. Hal itu boleh saja dan sudah menjadi hakku
sebagai ibumu, bukan?"
Han Lin tersenyum. Diapun heran. Apa yang akan dijawab
oleh ketiga gurunya kalau ibunya menanyakan kemajuannya
dalam mempelajari ilmu silat"
Benar saja. Pada keesokan harinya, ketika dengan berjalan
santai tiga orang tosu itu datang ke rumahnya untuk "melatih"
silat kepada Han Lin dan yang biasanya berakhir dengan
membawa Han Lin pergi ke bukit mereka untuk bekerja keras,
Chai Li bertanya dengan sikap hormat.
"Selamat pagi, sam-wi totiang (bapak pendeta bertiga).
Dapatkah sam-wi totiang menjelaskan kepada saya, sampai di
mana kemajuan ilmu silat yang sam-wi (kalian bertiga) ajarkan
kepadanya?" Tiga orang tosu itu saling pandang, kemudian memandang
kepada Han Lin yang berdiri di situ sambil menundukkan
mukanya. Pada saat itu tiba-tiba terdengar-eriakan banyak
orang. "Tolong cegat! Tolong!"
"Jangan boleh lari, tahan dia!"
Mereka semua melihat ke jalan dan ternyata serombongan
orang sedang mengejar-ngejar seekor kerbau muda yang
lepas. Kerbau itu agaknya panik dikejar kejar dan diteriaki,
dan diapun mengamuk. Kalau ada orang hendak
memegangnya, dia menyerang dengan tanduknya sehingga
tak seorangpun berani menghalanginya.
"Han Lin, perlihatkan kepada ibumu bahwa engkau mampu
menangkap kerbau itu. Cepat lakukan. Hati-hati terhadap
tanduknya, engkau harus pandai menghindar, rangkul
lehernya dan puntir kepala nya!" kata Ang-bin-sian.
Tanpa mengucapkan sepatah pun kata,. Han Lin lalu berlari
ke jalan. Ibunya memandang dengan mata terbelalak dan hati
gelisah sekali. Orang dewasa saja tidak berani menangkap
kerbau itu, kini anaknya disuruh menangkap! Dengan jantung
berdebar penuh kekhawatiran Chai Li berlari keluar
pekarangan, di kuti oleh tiga orang tosu itu yang berjalan
dengan santai. Kerbau yang mengamuk itu datang. Dengan sigapnya Han
Lin menyambutnya. anak ini memiliki gerakan yang ringan dan
cepat bukan main. Hal ini adalah hasil dari gelang-gelang kaki baja dan
berlarian dengan alas kaki kayu licin sambil memikul
air itu. Kedua kakinya tidak saja menjadi kokoh kuat kalau
memasang Bhesi (kuda-kuda) akan tetapi juga amat ringan
dan lincah. Dia berdiri mengembangkan kedua lengan
terhadap kerbau itu dan mulutnya mengeluarkan teriakan.
"Hiuuuhh...... berhenti.....!"
Kerbau itu menjadi marah. Matanya merah mendelik
kemerahan, tanda bahwa ia sudah marah sekali. Melihat ada
seorang anak berani menghadang di depannya, dia lalu
menurunkan kepalanya ke bawah, kemudian menerjang ke
depan sambil menggerakkan kepalanya yang bertanduk dua.
Sekiranya tanduk-tanduk itu mengenai perut atau dada Han
Lin, mudah digambarkan akibatnya. Tentu dia akan terluka
parah. Namun Han Lin melihat betapa gerakan serangan kerbau
itu lamban. Dengan cepat kakinya melompat ke samping
sehingga serudukan kepala kerbau itu lewat samping
tubuhnya. Secepat kilat dia membalikkan tubuhnya dan
melompat ke depan merangkul leher kerbau, memegang
kedua tanduknya dan dengan sekuat tenaga tangannya yang
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasa memikul air dengan gentung dengan hanya beberapa
batang rotan, dia memuntir leher kerbau itu bawah. Dan
kerbau itupun rebah! Pemilik kerbau sudah tiba di situ dan cepat orang ini
memasangkan tali kepada hidung kerbau yang sudah tidak
berdaya itu. Setelah kerbau dapat dikuasai baru Han Lin
melepaskannya. Tanpa rasa bangga sedikitpun dan
menganggapnya sebagai hal yang lumrah dia mengebutngebutkan
bajunya yang menjadi kotor karena pergulatan
tadi. Chai Li berlari dan merangkul putranya. Baru sekarang
terdengar tepuk tangan dan seruan memuji kepada Han Lin.
tiga orang tosu tiba di situ dan mereka hanya tersenyum.
Melihat dirinya dipuji puji orang, Han Lin segera mengajak
ibunya kembali ke pondok mereka.
Chai Li memandang kepada tiga orang tosu itu dan berkata
dengan suara terharu "Sam-wi totiang, terima kasih sekali.
atas gemblengan totiang kepada anak saya."
Mulai hari itu, Han Lin mulai diajarkan dasar-dasar ilmu
silat. Langkah-langkah ajaib dari It-kiam-sian, ilmu
merinngankan tubuh yang istimewa dari Pek-ti sian, dan
penghimpunan tenaga sakti dari Ang-bin-sian. Akan tetapi
karena dia masih seorang kanak-kanak, tentu saja semua
pelajaran disesuaikan dengan tubuhnya yang sedang
bertumbuh dan berkembang.
Gobi Sam-sian agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk
menurunkan inti dari ilmu-ilmu mereka kepada Han Lin.
Mereka bahkan menggabungkan ilmu silat tangan kosong
mereka menjadi semacam ilmu silat yang khusus
diperuntukkan Han Lin dan ilmu silat tangan kosong ini
mereka beri nama Sam-sian-kun (Silat Tiga Dewa). Di situ
terkandung semua unsur terpenting dan terlihai dari ilmu silat tangan kosong
masing-masing, karena dasar gerak
langkahnya menggunakan ilmu dari It kiam-sian, keringanan
tubuh dan kecepatannya menggunakan ilmu dari Pek-tim-sian
dan tenaga sin-kangnya mengambil dari Ang-bin-sian! Mereka
menggabungkan tiga macam ilmu silat tangan kosong dan
bersama-sama mengajarkannya kepada Han Lin. Bahkan
mereka sendiri tidak mampu kalau disuruh bersilat Sam-sian
kun, karena tidak memiliki keistimewaan dari rekannya yang
lain. Selama dua tahun dengan penuh ketekunan Han Lin
melatih diri dengan Sam-sian-kun. Dia sudah mahir sekali.
Hanya saja karena dia masih terhitung kanak-kanak, maka
tentu saja dalam hal tenaga dan kecepatan dia belum dapat
menggunakan sepenuhnya, hanya setingkat dengan
perkembangan dan pertumbuhan badannya saja. Akan tetapi
dia tidak menyia-nyia-kan pesan ibunya. Walaupun dia amat
suka mempelajari ilmu silat dan melatihnya tanpa mengenal
lelah, akan tetapi ada waktunya dia belajar sastera, diapun
mempelajari sastera dan menghentikan latihan silatnya. Dan
dalam ilmu inipun dia amat berbakat sehingga dua tahun
kemudian dia sudah dengan mudah membaca kitab-kitab Su-si
Ngo-keng, bahkan kitab Agama Buddha yang artinya
mendalam. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Han Lin sudah membaca
kitab Tiong-yo buah pikiran Nabi Khong-cu. Sebetulnya isi
kitab ini amat mendalam, namun Han Lin berusaha untuk
membaca denga mengerti apa yang dibacanya. Hari itu adalah
hari sastera, maka dia tidak berlatih silat.
"Han Lin, di mana engkau?" terdengar suara ibunya.
"Aku di sini, ibu, di kebun'" Han Lin memang paling suka berada di kebun, baik
kalau sedang berlatih silat maupun
kalau sedang membaca kitab. Tempat itu selain sunyi, juga
sejuk karena banyak di tumbuhi pohon.
Ibunya muncul, membawa rantang tempat makanan dan
berkata, "Han Lin pergi engkau ke rumah makan dan beli tiga macam masakan yang
enak-enak." ia menyerahkan rantang
dan beberapa potong uang kepada anak itu. Han Lin
terbelalak heran. Tidak pernah ibunya menyuruh dia membeli
masakan di rumah makan. Harganya mahal dan ibunya dapat
memasak sayur-sayuran yang tidak kalah lezatnya.
"Ada apakah, ibu" Mengapa membeli masakan di rumah
makan?" Ibunya menulis dengan jari tangan di atas meja. "Sudahlah jangan banyak
bertanya, Han Lin. Lakukan saja apa yang
kuperintahkan. Nanti setelah makan-makan akan kuceritakan
semua sejelasnya kepada mu."
Han Lin tidak membantah lagi dan dia segera pergi ke
sebuah rumah makan besar di kota Pao-tow. Setibanya di situ,
seorang pelayan menyambutnya dan dia memesan tiga
macam masakan "yang paling enak" seperti yang dipesan ibunya sambil menyerahkan
uang dan tempat masakan. Pelayan menyuruh dia duduk menunggu. Han Lin duduk di
sebuah bangku yang kosong.
Tiba-tiba hatinya tertarik sekali mendengar percakapan dua
orang yang duduk semeja, tidak jauh dari situ. Mereka adalah
dua orang laki-laki berpakaian sastrawan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun.
Tampaknya mereka sudah setengah mabok
dan mereka bicara lantang.
"Sim-twako (kakak Sim), aku sungguh tidak mengerti
melihatmu. Setahuku engkau telah lulus berkali-kali dari
perguruan Engkau terkenal pandai dan dapat menulis cepat
dengan indah. Akan tetapi kenapa sampai sekarang engkau
belum menjadi siucai (sarjana)" Bukankah engkau sudah
mengikuti ujian di kota raja?" tanya orang yang tinggi kurus.
Orang yang bermuka merah itu menuangkan araknya ke
dalam mulut, lalu menghela napas panjang dan berkata
"Berkali-kali orang mengatakan, kalau tidak beruang jangan sekali-kali
mempelajari sastra. Apa gunanya" Betapapun
pandainya engkau dalam kesusasteraan, tanpa uang di saku,
jangan harap akan lulus ujian negara. Sebaliknya, seorang
tolol sekalipun dapat lulus dengan baik kalau dia mampu
menyuap. Sudah lima kali aku mengikuti ujian negara. Semua
hasil ujian ku baik sekali, namun tetap saja dinyatakan tidak
lulus. Gagal!" "Benar sekali itu. Aku juga mendengar bahwa Louw Sam
dari dusun Ki-bun sekali ujian lulus akan tetapi dia harus
nenghabiskan harta orang tuanya untuk menyuap. Padahal
waktu belajar dia bodohnya bukan main!"
"Tentu dia akan menjadi seorang pejabat yang korup untuk
dapat menarik kembali hartanya yang telah dikeluarkan,
berikut bunganya. Tidak mengherankan kalau semua pejabat
sekarang ini melakukan korupsi, karena masuknya menjadi
pejabat juga menelan biaya yang besar. Ah, orang miskin
macam kita ini sebaiknya dulu belajar ilmu silat saja. Kalau
kita pandai silat dan bertubuh kuat, setidaknya kita dapat
masuk menjadi tentara atau bekerja diluar. Banyak yang
membutuhkan orang yang kuat dan pandai silat. Akan tetapi,
sasterawan" Hanya dicemooh orang, dikatakan kutu buku,
tukang melamun dan sebagainya."
Masakan yang dipesan Han Lin sudah tiba dan terpaksa
Han Lin menghentikan perhatiannya terhadap percakapan itu
dan pulang. Akan tetapi apa yang didengarnya sudah lebih
dari cukup. Amat berkesan didalam hatinya. Dia tahu bahwa
para pejabat pengurus ujian bertindak curang korup, makan
suapan sehingga yang lulus menjadi sarjana hanya anak-anak
orang kaya saja yang sebenarnya bodoh.
Mereka kini menghadapi meja makan berdua saja. Chai Li
dan Han Lin. Ketika Chai Li mengajak Bibi Cu, janda pemilik
rumah untuk makan bersama, Bibi Cu menolak dan tertawa.
"Kalian berdua makanlah, aku tidak ingin mengganggu
kalian ibu dan anak,"
Chai Li mengajak puteranya maka minum sepuasnya:
Nyonya itu tampak gembira bukan main, wajahnya yang
masih tampak cantik dan segar itu bersinar sinar dan berseri
penuh senyum. Setelah mereka selesai makan, barulah Chai Li
bicara melalui tulisannya di atas kartu yang telah ia persiapkan sebelumnya
karena ia hendak bicara banyak kepada anaknya
itu. "Han Lin, hari ini adalah hari lahirmu yang ke sepuluh!
Karena itulah engkau kuajak merayakannya dengan makan
enak. Dan bukan itu saja. Sebagai hadiah ulang tahunmu,
engkau akan mengetahui semua tentang keadaan dirimu,
tentang asal usulmu."
Han Lin menjadi gembira bukan main. sudah sering dia
bertanya kepada ibunya tentang riwayat hidupnya, tentang
ayahnya, akan tetapi ibunya selalu mengelak dan menyatakan
belum tiba waktunya untuk memberi tahu. Dia segera duduk
dengan baik dan tegak, siap membaca apa yang akan ditulis
ibunya di atas kertas itu. Chai Li memang sudah
mempersiapkan kertas dan alat tulis.
"Han Lin, dahulu ibumu ini adalah seorang Puteri Mongol,
keponakan dari kepala suku Kapokai Khan Yang Besar, Paman
kakekmu itu adalah seorang kepala suku yang gagah perkasa,
bahkan kakekmu pernah menawan Kaisar Cheng Tung yang
masih muda dari Kerajaan Beng. Kakekmu tidak membunuh
Kaisar Cheng Tung yang gagah berani itu, bahkan
menjadikannya tamu agung. Paman Kapokai Khan menyuruh
aku untuk melayani Kaisar Cheng Tung dengan baik-baik.
Akhirnya Kaisar Cheng Tung dan aku saling jatuh cinta dan
kami menjadi suami isteri."
Han Lin terkejut sekali dan semua pertanyaan sudah
berada di ujung lidahnya akan tetapi dia menelannya kembali
ia siap membaca terus apa yang akan ditulis ibunya.
"Akan tetapi, karena keadaan kerajaan Beng membutuhkan
Kaisar Cheng Tung untuk kembali, Paman Kapokai Khan, Ia
membebaskannya dan mengembalikannya ke selatan. Untuk
sementara aku ditinggalkan dan kelak akan dijemput.
Kemudian terlahirlah engkau, Han Lin."
"Ibu, jadi aku ini......."
"Engkau putera Kaisar Kerajaan Beng anakku. Engkau
putera Kaisar Cheng Tung. Engkau seorang pangeran dan
nama aselimu adalah Cheng Lin. Akan tetapi demi
kcamananmu sendiri, engkau telah memakai nama Han Lin.
Setelah ayah mu pulang ke selatan, aku menanti nanti. Akan
tetapi sampai engkau berus tiga tahun, tidak juga ada yang
datang menjemputku."
Chai Li kelihatan bersedih dan tangannya mengeluarkan
sebuah benda dari lipatan bajunya. Benda itu bukan lain
adalah suling Pusaka Kemala pemberian Kaisar Cheng Tung.
Dibelainya suling itu, didekapnya ke dada kemudian ia tidak
dapat menahan perasaannya, ditempelkan suling itu di
bibirnya dan mengalunlah lagu yang amat indah! Itulah lagu
Mongol "Suara hati Seorang Gadis" lagu yang dulu sering dimainkan dan amat
disuka oleh Kaisar Cheng Tung. Dan
biarpun lidahnya sudah buntung separuh ia masih pandai
meniup dan melagukan suling itu. Han Lin memandang
kepada ibunya dengan bengong. Baginya, suara suling itu
demikian indah dan kini dia memandangi -pada ibunya dengan
perasaan lain. wanita yang lembut ini, yang selalu tampak
cantik jelita walaupun tidak dapat bicara dengan jelas, adalah seorang Puteri
Mongol! Ketika Chai Li berhenti meniup suling
dan ia memandang kepada puteranya, ia melihat sepasang
mata Han Lin yang tajam itu basah, Ia lalu merangkul
anaknya. "Cheng Lin....!" terdengar ia menyebut nama itu dengan suara bercampur isak dan
agak cadel dan ia mencium muka
anaknya sambil menangis. "Ibu...., ibuku.....!" Kini Han Lin tidak dapat menahan hatinya lagi, ikut
menangis bersama ibunya. Setelah tangis mereka mereda, Chai Li lalu memberikan
suling berbentuk kecil itu kepada Han Lin dan menulis lagi.
"Terimalah suling ini, anakku. Suling ini adalah pemberian ayahmu kepadaku,
Suling Pusaka Kemala inilah yang menjadi
tanda bahwa engkau adalah keturunan Kaisar Cheng Tung.
Terima dan simpanlah baik-baik."
Han Lin menerima suling itu bertanya dengan nada suara
mengandung penasaran. "Ibu, kenapa ibu berada disini dan
meninggalkan Paman Kakek Kapokai Khan. Kenapa kita tidak
bersama mereka?" Ibunya menjawab dengan tulisan cepat "Masih panjang
ceritanya, anakku. Ketika engkau berusia tiga tahun, terjad
malapetaka itu. Seorang yang disangka utusan Kerajaan Beng
datang untuk membunuh kita berdua."
Membaca tulisan ini, Han Lin melompat bangun dengan
kaget dan heran seketika.
"Apa" Ayah mengutus orang untuk membunuh kita?"
"Bukan ayahmu, Han Lin. Aku yakin akan hal itu. Ayahmu
mencintaiku dan ia seorang yang bijaksana. Tentu ada orang
lain yang mengutus pembunuh itu. mungkin keluarga Kaisar
yang merasa khawatir kalau-kalau engkau, pangeran yang
yang berdarah Mongol, kelak akan menggantikan ayahmu
menjadi kaisar." "Hemm, sangat boleh jadi, ibu. Aku jarang mendengar
pendapat ibu bahwa ayah yang mengutus pembunuh itu untuk
membunuh kita." "Aku berani bersumpah bahwa pasti dia bukan utusan
ayahmu Kaisar Cheng Tung. Utusan itu bernama Suma Kiang,
orang yang jahat dan kejam luar biasa. Juga dia seorang yang
pandai dan cerdik, hampir saja dia dapat membunuh aku,
menculikmu pergi dari perkampungan mongol." Chai Li lalu
menceritakan secara panjang lebar dan jelas akan semua
peristiwa yang terjadi dalam tulisannya, ia ia menceritakan
betapa ia menggigit putus lidahnya sendiri dalam usahanya
membunuh diri daripada terjatuh ke dalam cengkeraman
Suma Kiang yang hendak memperkosanya,
Han Lin bangkit dari duduknya, berdiri tegak dan
mengepalkan kedua tangannya
"Aku akan belajar silat sampai kelak dapat membunuh
Suma Kiang yang jahat itu. Sekarang aku mengerti mengapa
sering aku bermimpi melihat ibu mengletak dengan muka
berlepotan darah. kiranya ibu berusaha membunuh diri
dengan menggigit putus lidah ibu sendiri."
Chai Li merangkul puteranya, menciumnya lalu menulis lagi
di atas kertas putih. "Pada saat nyawa kita terancam bahaya maut di tangan
Suma Kiang itu muncul ketiga orang gurumu, yaitu Gobi Samsian.
Mereka berhasil mengusir Suma Kiang dan
menyelamatkan kita."
"Akan tetapi pada waktu itu, kenapa ibu tidak mengajak
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku kembali ke kampungan Mongol?"
Chai Li menulis. "Kita sudah dibawa jauh sekali oleh Suma Kiang. Aku sudah putus
asa dan kecewa. Ternyata bangsaku
tidak dapat dan telah gagal melindungi kita dari tangan orang
jahat. Maka aku menyatakan kepada Gobi Sam-sian untuk
merantau ke selatan dan mohon agar dia suka menjadi
gurumu agar kelak dapat mencari ayahmu dan dapat
membalas dendam kepada Suma Kiang dan yang
mengutusnya. Gobi Sam-sian menerimanya dan demikianlah,
mereka yang membawa dan mengatur sehingga kita dapat
tinggal di rumah Bibi Cu ini."
Han Lin merangkul ibunya dan berbisik di telinganya.
"Engkau telah mengalami banyak kesengsaraan, ibu. Mudahmudahan kelak aku dapat
mempertemukan ibu kembali
dengan ayah." Pada saat itu tampak berkelebat tiga sosok bayangan dan
tahu-tahu Gobi Sam-sian telah berada di depan mereka. Sikap
tiga orang tosu itu tidak seperti biasanya, tenang dan sabar.
Kini mereka kelihatan gelisah dan tergesa-gesa. Bahkan
mereka telah memegang senjata mereka masing-masing,
sudah siap untuk bertempur.
"Sam-wi suhu....!" Han Lin berseru heran sambil
memandang mereka. Juga Chai Li memandang mereka
dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.
Akan tetapi Ang-bin-sian sudah berkata, "Cepat Han Lin
dan Nyonya! Cepat kalian kumpulkan pakaian yang perlu perlu
saja dalam buntalan. Kita pergi meninggalkan tempat ini
sekarang juga!" "Akan tetapi, suhu.....?"
"Jangan banyak membantah! Bahaya maut mengancam
kalian. Cepat atau kita akan terlambat!"
Mendengar ucapan ini, Chai Li lebih mengerti keadaan.
Tanpa bertanya ia dapat menduga apa yang terjadi maka ia
menarik tangan Han Lin memasuki kamar dan mengeluarkan
pakaian mereka, membungkus menjadi dua buntalan besar
dan mereka menggendong buntalan itu. Suling pusaka kemala
yang masih dipegang oleh Han Lin lalu diselipkan di ikat
pinggang oleh anak itu. "Hayo cepat, ikut kami!" kata Ang-bin-sian dan ia mengajak mereka berlari
melalui pintu belakang. Han Lin menggandeng
tangan ibunya dan diajaknya berlari secepatnya mengikuti
Ang-bin-sian, sedangkan It-kiam-sian dan Pek-tim-sian
menjaga di belakang mereka.
"Suhu, kenapa suhu mengajak kami berlari seperti ini?" Han Lin sambil berlari
minta keterangan dari Ang-bin-sian.
"Suma Kiang sudah sampai di Pao-tow!" kata Ang-bin-sian.
Bangkitlah kemarahan Han Lin. "Suhu, tecu (murid) tidak
takut! Mari kita lawan iblis jahat itu!"
"Han Lin, dia lihai sekali!" kata Ang-in-sian dan Chai Li merangkul Han Lin
ambil menggoyang-goyangkan tangan dia
melarang Han Lin melawan.
Diam-diam Han Lin merasa heran, juga kecewa. Ketiga
suhunya berada di situ, kenapa harus takut" Bukankah ketiga
orang gurunya lihai sekali dan dahulu pernah mengalahkan
manusia iblis Suma Kiang itu" Ibunya tidak menceritakan
betapa ibunya pernah menghantamkan Suling Pusaka Kemala
ke ubun-ubun Suma Kiang dan itulah yang menyebabkan
Suma Kiang di waktu itu tidak kuat menandingi Gobi Sam-sian.
"Akan tetapi, suhu....." bantahnya.
"Han Lin, dia lihai sekali. Kami buka tandingannya dan dia membawa seorang kawan
yang tidak kalah lihainya. Mari kita
cepat pergi!" kata It-kiam-sian.
Han Lin menjadi semakin heran. Toa suhunya, Ang-bin-sian
masih suka bersenda-gurau, akan tetapi ji-suhunya, It kiamsian, adalah orang
yang kalau bicara kepadanya selalu serius.
Macam apakah musuh besarnya yang bernama Suma Kiang
itu" Mereka berlari terus naik ke atas bukit. Setelah mereka tiba
di lereng atas dekat puncak, tiba-tiba terdengar suara tawa
yang dahsyat sekali. "Hua-ha-ha-ha!!!" Suara tawa itu terdengar menggelegar dan meledak-ledak seperti
halilintar, mengejutkan semua
orang. Mendengar suara tawa itu. Ang bin-sian mendorong
Han Lin untuk berlari lebih cepat lagi.
"Nyonya Chai Li dan Han Lin! Cepat lari ke puncak dan
bersembunyi di sana!"
Dia tahu di puncak terdapat hutan yang lebat, tempat
bersembunyi yang baik kali.
Kini Han Lin menjadi khawatir juga. Bukan khawatir atas
dirinya sendiri, melaainkan mengkhawatirkan ibunya.
Andaikata tidak ada ibunya di situ, dia tentu tidak mau pergi
meninggalkan tiga orang gurunya. Kini dia harus
menyelamatkan bunya. Digandengnya tangan ibunya dan
ditariknya ke atas, menuju puncak bukit.
Sementara itu, Gobi Sam-sian berdiri dengan kedua kaki
terpentang, tegak menanti pemilik suara tawa yang pasti akan
datang itu. Mereka bersiap siaga. It-kiam-sian sudah
menyelipkan pedangnya di punggungnya, Pek-tim-sian
menyelipkan kebutannya di pinggang dan Ang-binn-sian
memegang tongkat bajanya dengan tangan kanan. Pandang
mata mereka mencorong, mencari-cari. Biarpun hati terasa
tegang, namun mereka bersikap tenang sebagai layaknya
seorang pendekar. Tadi ketika mereka berada di kota, tiba-tiba saja mereka
bertemu dengan Suma Kiang! Datuk Huang-ho itu tampak
lebih tua namun sama sekali tidak kehilangan pandang
matanya yang liar dan mencemooh. Begitu melihat tiga orang
Gobi Sam-sian, dia tersenyum mengejek. Di sebelahnya
tampak seorang wanita yang cantik dan lembut, dilihat dari
tubuhnya yang padat dan tampangnya yang cantik, orang
tentu mengira ia baru berusia tiga puluh tahun, padahal
usianya sudah lima puluh tahun.
Seekor anjing besar menggereng dan memperlihatkan
taringnya kepada wanita cantik itu. Ia mengerutkan alisnya
dan berkata dengan suara lembut.
"Tidak ada anjing yang menggereng kepadaku kubiarkan
hidup!" Setelah berkata demikian, tampaknya ia seperti
menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah anjing itu.
Anjing itu menguik satu kali lalu berkelojotan dan mati!
Gobi Sam-sian saja yang agaknya menjadi saksi peristiwa
itu. Mereka terkejut bukan main.
"Kita pergi!" kata Ang-bin-sian kabur dan mereka bertiga segera pergi dan situ.
"Wanita itu...... ia sungguh berbahaya sekali!" Ang-bin-sian berkata kepada dua
orang rekannya. "Nanti dulu!" kata It-kiam-sian, "jari tangannya begitu lihai.
Tentu mengandung hawa beracun yang mematikan. Siapa lagi
kalau bukan Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun)?"
"Ban-tok-ci" Kau maksudkan ia itu Sam Ok (si Jahat ke
Tiga)?" Pek-it sian bertanya, kaget sekali.
"Agaknya dugaan It-kam-sian benar. Menghadapi Suma
Kiang seorang saja sudah berat, apalagi ditambah Sam Ok.
yang biasanya kalau Sam Ok muncul, maka Ji.Ok (si Jahat ke
Dua) dan Toa Ok (si Jahat Pertama) akan muncul pula.
Bagaimana kita akan mampu melindungi Han Lin dan ibunya"
Kemunculan Suma Kiang tentu ada hubungannya dengan ibu
an anak itu. Sebelum terlambat sebaiknya mari kita suruh Han
Lin dan ibunya lari bersembunyi."
Karena maklum bahwa mereka tidak dapat lari lagi setelah
mendengar suara tawa yang mengandung hawa sakti amat
kuatnya itu, Gobi Sam-sian menyuruh Han Lin dan ibunya
berlari terus dan mereka berhenti di lereng dekat puncak
untuk menghalangi Suma Kiang melakukan pengejaran
terhadap ibu dan anak itu.
Tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di
depan mereka telah berdiri dua orang yang ditunggu tunggu
itu. Suma Kiang yang kini telah berumur lima puluh tahun lebih,
jangkung kurus dengan sepasang matanya yang sipit seperti
mata ular senduk, mulutnya tersenyum mengejek,
memandang kepada Gobi Sam-sian dan berkata, suaranya
menggeledek. "Gobi Sam-sian, apakah kalian belum jera dan masih
hendak melindungi Puteri Mongol dan puteranya itu?"
"Mana bocah remaja berdarah mongol itu" Serahkan dia
kepadaku!" terdengar suara wanita cantik yang kulit mukanya agak pucat kehijauan
itu. Gobi Sam-sian maklum bahwa sekali ini mereka harus
berjuang mati-mati melawan dua orang manusia iblis itu.
Sam-sian yang teringat akan watak Ban-lok-ci atau Sam
Ok, segera tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, pinto sering
mendengar tahwa Ban-tok-ci Sam Ok adalah seorang wanita
yang gagah perkasa yang tidak suka mencampuri urusan
orang lain, apa-lagi memihak dan mengeroyok. Apakah
sikapmu sekarang ini membantah sendiri keebenaran berita
itu?" Sam Ok melirik dengan matanya yang tajam dan genit dan
ia berkata, "Engkau tosu yang membawa pedang di punggung
tentu yang berjuluk It-kiam-sian! Aku tidak membantu Suma
Kiang. Aku datang untuk mendapatkan anak keturunan kaisar
itu. It-kiam-sian, engkau tentu tahu di mana dia. Hayo berikan dia kepadaku
kalau engkau ingin tetap hidup!"
"Pinto tidak tahu di mana dia sekaing berada, akan tetapi seandainya pinto tahu,
pinto tidak akan memberitahu
kepadamu atau kepada Suma Kiang yang jahat!"
"Hi-hi-hik, kalau begitu aku akan menyiksamu sampai
engkau terpaksa mengatakan di mana dia berada!"
Setelah berkata demikian, Sam Ok meraba pinggangnya
dan tampak sinar hitam berkelebat ketika ia memegang
sebatang pedang pendek berwarna hitam legam.
"Siancai (damai).......! Hek-kong-kiam (Pedang Sinar
Hitam)!" kata It-kiam-sia tanpa rasa takut. Diapun sudah
mencabut pedangnya dan tampak sinar kilat nyambar. Pedang
milik It-kiam-sian ini amat terkenal di dunia kang-ouw (sungai telaga) wilayah
utara. Itulah Lui-kong kiam (Pedang Sinar
Kilat) yang dahsyat. Pedang ini amat tajam dan kuat, dapat
mematahkan besi dan baja, akan tetapi karena pemiliknya
seorang yang bersih, seorang pendekar, pedang itu tidak
mengandung racun, tidak seperti Hek-kong kiam yang
mengandung racun berbahaya sekali.
Sambil tertawa mengejek Sam Ok menerjang maju,
pedangnya menyambar ganas. "Singgg...... wuuutttt.....!"
It-kiam-sian tidak berani memandang ringan serangan
lawan yang tampaknya dilakukan sembarangan saja ini. Dia
mengunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak
dan langsung membalas lengan tusukan pedangnya ke arah
dada anita itu. "Ciaaaattt......! Tranggg.....!" Bunga api berpijar ketika Hekkong-kiam
menangkis dan bertemu dengan Lui-kong-ham.
"Wuuuttt.....!" Telunjuk tangan kiri Sam Ok menuding ke arah dada It-kiam-juan.
Melihat serangan jari tangan kiri yang kemarin membunuh anjing itu, It-kiam-sian
bersikap waspada. Dia mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya ke dalam
ujung lengan baju kirinya dan menyambut serangan Ban-tokci
(Jari selaksa Racun) itu dengan sampokan ujung lengan
baju. "Hyaaattt.....!" Ketika ujung lengan baju bertemu dengan ujung jari tangan,
tangan kiri Sam Ok tergetar akan tetapi
juga ujung lengan baju itu hancur.
"Ha-ha-ha-hi-hik! Bersiaplah engkau untuk menerima
siksaanku!" Sam Ok tertawa mengejek.
Akan tetapi It-kian-sian adalah seorang ahli pedang yang
memiliki banyak pengalaman di samping ilmu yang tinggi. Dia
memutar pedangnya dengan dahsyat menyerang sehingga
Sam Ok terpaksa berhenti mengejek dan mencurahkan
perhatian untuk melawan tosu itu. Pertandingan pedang
terjadilah dengan dahsyatnya Pedang mereka lenyap
bentuknya dan yang tampak hanya sinar hitam dan sinar kilat
yang menyambar-nyambar dengan ganasnya.
Sementara itu, melihat Sam Ok sudah bertempur melawan
It kian -sian, Suma Kiang tersenyum mengejek memandang
kepada Ang-bin-sian dan Pek-tim-sian.
"Ha-ha, kalian tahu bahwa kalian berdua tidak akan kuat
menandingi aku, oleh karena itu katakanlah saja di mana ibu
dan anak itu sebelum aku membunuh kalian!"
"Suma Kiang, sampai matipun kami tidak akan sudi
menyerahkan mereka kepadamu!" kata Ang-bin-sian dengan
suara tegas dan dia sudah melintangkan tongkat bajanya di
depan dada sedang Pek-tim-sian juga sudah melolos kebutan
bulu putihnya yang tadi dipakainya sebagai sabuk.
Marahlah Suma Kiang. Dia mengeluarkan teriakan garang
dan tubuhnya menerjang ke arah dua orang lawannya dengan
gerakan tongkat ular hitamnya yang dahsyat. Dua orang tosu
itu sudah waspada dan mereka segera menyambut dengan
tongkat baja dari Ang-bin-sian dan kebutan dari Pek-tim-sian.
"Wuuuttt..... trang-trangg....!" Hebat sekali pertemuan senjata itu dan dua
orang tosu terdorong ke belakang. Mereka
terkejut sekali karena merasa betapa tenaga sakti Suma Kiang
kini lebih kuat dibandingkan tujuh tahun yang lalu! Akan tetapi mereka tidak
menjadi gentar dan mereka balas menyerang
dengan hebat. Terjadilah pertandingan mati-matian, baik antara Sam Ok
dan It-kiam-sian ataupun antara Suma Kiang yang dikeroyok
dua oleh Ang-bin-sian dan Pek-tim-an. Akan tetapi setelah
lewat puluhan jurus, Gobi Sam-sian mulai terdesak hebat.
Biarpun mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua kepandaian mereka, namun pihak Suma
Kiang dan Sam Ok memang lebih unggul maka mereka
terdesak terus. Terutama sekali It-kiam-sian yang seorang diri harus melawan Sam
Ok. Dia terus maju mundur dan bertahan
melindungi dirinya. Namun, ilmu pedangnya memang hebat
sekali sehingga pedang itu berubah sebagai lingkaran sinar
perisai yang menghadang semua serangan lawan, dari
manapun juga datangnya. Sam Ok mengubah ilmu pedangnya Tiba-tiba tubuhnya
menggelinding kebawah tanah dan sinar pedangnya mencuat
dari bawah, seperti ular mematuk-matuk arah kaki dan perut
It-kiam-sian. Tosu ini terkejut bukan main. Dia kibaskan
pedangnya dan cepat tubuhnya meloncat ke atas, demikian
ringannya bagaikan seekor burung terbang.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi Sam Ok tidak tinggal diam. Ia tertawa dan tibatiba tubuhnya juga
melayang ke atas, bukan melayang biasa,
melainkan berputar seperti gasing dan dari putaran itu
pedangnya mencul secara tidak terduga-duga.
"Kena....!!" la berteriak dan pedangnya bergerak demikian cepatnya sehingga
tahu-tahu sinar hitam menyambar dan
lengan kanan It-kiam-sian dekat siku terkena tusukan Hekkong-
kiam! Lengan kanan itu seketika lumpuh! It-kiam-sian
maklum bahwa kalau racun pedang lawan sudah menjalar
sampai ke jantungnya, dia akan mati, tak mungkin tertolong
lagi. Maka, cepat tangan kirinya mengambil pedang Lui-kongkiam dan sekali tangan
kirinya bergerak, pedang itu telah
meyambar lengan kanannya di atas siku sehingga lengan
kanan itu putus seketika. Darah muncrat. It-kiam-sian
mengeluh dan roboh pingsan. Sam Ok tertawa dan berpikir
bagaimana ia dapat menyadarkan It-kiam-sian untuk
disiksanya agar dia itu mengatakan di mana adanya anak
Kaisar itu. Pada saat itu, tongkat ular hitam di tangan Suma Kiang
menyambar. Dua orang tosu itu menangkis, akan tetapi sekali
ini Suma Kiang mengerahkan seluruh tenaganya dan dua
orang tosu itu terdorong ke belakang, hampir terjengkang.
Melihat keadaan mereka berdua, dan melihat betapa Itkiam-
sian juga sudah roboh oleh Sam Ok, Ang-bin-sian
mendapat akal dan dia berseru nyaring sambil memandang ke
bawah lereng. "Han Lin! Jangan keluar dari tempat persembunyianmu!"
Mendengar seruan ini, kembali tongkat Suma Kiang
menyambar ke arah Ang-bin-sian. Tosu ini, yang sudah
terengah karena penangkisan tadi, mengerahkan sisa
tenaganya, mengangkat tongkatnya menangkis.
"Desss....!!" Ang-bin-sian roboh dan muntah darah. Kaki Suma Kiang menyambar dan
gerakannya amat cepat, dilakukan dengan tubuh setengah terbang. Kakinya meluncur
cepat dan kuat sekali dan biarpun Pek-tim-sian berusaha
mengelak, tetap saja pundaknya terkena tendangan itu dan
diapun roboh muntah darah.
"Ha-ha-ha! Sam Ok, hayo kita cari anak itu!" kata Suma Kiang dan dia segera
meloncat dan lari menuju ke puncak.
"Hei , Huang-ho Sin-liong, " kenapa engkau malah naik"
Bukankah tosu tadi berseru ke bawah?"
"Ha-ha-ha, aku bukan seorang kanak kanak yang bodoh,
Sam Ok! Dan Ang bin-sian juga bukan seorang yang goblok
untuk berseru ke bawah kalau mereka itu bersembunyi di
bawah. Hayo kita berlumba mengejar dan menangkap
mereka!" Dua orang manusia iblis itu berlari seperti terbang cepatnya
menuju ke puncak. Ang-bin-sian melihat ini dengan muka
pucat. Akan tetapi karena tidak mampu berbuat apa-apa lagi,
bersama Pek tim-sian dia lalu menghampiri It-kiam sian yang
menggeletak pingsan dengan lengan kanan buntung sebatas
atas siku. Dengan sisa tenaga yang masih ada, dua orang tosu
ini menotok jalan darah untuk menghentikan darah mengalir
keluar, kemudian mereka berdua menggotong It-kiam-sian
meninggalkan tempat itu. Mereka tidak dapat berbuat lain
kecuali berdoa agar dua orang manusia iblis itu tidak akan
menemukan Han Lin dan ibunya.
Setelah tiba di puncak bukit yang ada hutannya itu, dua
orang manusia iblis itu berdiri di atas batu besar dan mereka
tertawa sambil mengerahkan hawa sakti dari perut.
"Hua-ha-ha-ha!"
"Hi-hi-hi-hik!!"
Dua macam suara tawa rendah dan tinggi itu mengandung
kekuatan sakti, melanda permukaan puncak bukit itu gaikan
angin badai. Dua orang ibu dan anak yang bersembunyi di dalam hutan
di puncak itu juga tergetar dan menggigil. Jantung mereka
terasa diguncang dan suara tawa itu seperti terdengar tepat di atas kepala
mereka. "Han Lin, kita harus lari dari sini. Mereka telah datang
dekat!" Tulis Chai Li dengan jarinya di depan mukanya. Han Lin mengikuti gerakan
jari tangan itu dan menjawab.
"Akan tetapi, ibu. Tadi kita mendengar suara suhu Ang-binsian yang melarang kita
meninggalkan tempat persembunyian
kita ini," katanya ragu.
Ibunya menjadi cemas dan menulis lagi. "Itu kan tadi.
Sekarang buktinya mereka sudah begitu dekat suaranya,
Kalau kita tidak cepat pergi, tentu kita akan tertangkap.
Hayolah kita lari ke seberang puncak."
Karena ibunya lari sambil menarik tangannya, Han Lin
terpaksa juga mengikuti ibunya meninggalkan guna tertutup
semak belukar di mana tadi mereka bersembunyi.
Mereka lari menyeberangi hutan puncak itu dan tiba di
tempat terbuka yang banyak mengandung batu-batu besar.
"Ha-ha-ha! Kalian hendak lari ke mana?" tiba-tiba terdengar suara nyaring dan
dari sebelah kiri tampak Suma Kiang dan
Sam Ok datang berlari-lari sambil tertawa.
Saking kagetnya, Chai Li terguling roboh. Akan tetapi
dengan sigapnya Hal Lin menangkap tubuh ibunya sehingga
tidak sampai jatuh terbanting.
"Jangan takut, ibu. Aku akan melindungimu " kata Han Lin menghibur ibunya.
"Hayo lari cepat! Mereka mencari engkau, bukan aku! Lari
dan sembunyi!" Tulis Chai Li di udara.
Chai Li mendorong-dorong Han Lin dan anak itupun
terpaksa lari di depan ibunya. Belum jauh mereka lari, dikejar dua orang manusia
iblis yang tertawa-tawa, mereka berhenti
dan terbelalak melihat sebuah tebing jurang yang curam
menghadang di depan mereka.
"Han Lin, cepat kau lari ke sana!" Chai Li berkata dengan suara yang tidak
jelas, akan tetapi ia menunjuk-nunjuk ke
kanan. Han Lin menurut. Dia lari dan tiba di semak belukar.
Dia menyusup ke dalam semak belukar, mengintai dengan
mata terbelalak dan napas terengah-engah ketika melihat
bahwa ibunya tidak ikut lari bersamanya.
"Huang-ho Sin-Iiong, bunuh saja wanita itu dan biar aku
yang mengurus anaknya!" kata Sam Ok sambil tertawa.
"Enak saja engkau bicara, Sam Ok! Akupun membutuhkan
wanita itu!" Sambil tertawa-tawa Suma Kiang menghampiri Chai Li.
Wanita ini ketakutan dan ia mundur-mundur mendekati jurang
yang ternganga lebar di belakangnya.
Suma Kiang tertawa menyering "Hua-ha-ha, Puteri Chai Li!
Setelah tambah tua, bagaikan bunga engkau lebih mekar
semerbak, bagaikan buah engki lebih matang menarik!"
Berkata demikian dia melangkah maju mendekat dan kedua
lengannya dikembangkan siap untuk merangkul dan
mendekap. Chai Li menggeleng-geleng kepalanya kemudian tiba-tiba
saja wajahnya yang tadinya pucat menjadi kemerahan,
matanya yang ketakutan berubah menjadi penuh kemarahan,
bersinar-sinar dan sekali tangan kanannya bergerak, ia sudah
mencabut sebatang pisau yang tajam dan runcing. Agaknya
wanita ini telah mempersiapkan senjata sejak meninggakan
rumah. Kemudian, sambil mengeluarkan suara lengkingan
yang aneh, ia menyerang Suma Kiang dengan pisaunya. Akan
tetapi melihat ini sambil tertawa Suma Kiang menggerakkan
tangan kirinya sekali sampok saja pisau itupun terlempar dari
tangan Chai Li dan tangan kanannya menyambar ke depan
untuk menangkap pundak wanita itu. Chai Li meronta dengan
gerakan liar. "Bretttt......!" Sebagian baju di bagian pundaknya robek dan tangan kanannya
dapat terpegang oleh tangan kanan
Suma Kiang. Chai Li dengan nekat lalu mendekatkan mukanya
menggigit tangan yang memegangnya itu.
"Aduh...!" Suma Kiang mengeluh dan terpaksa melepaskan pegangannya.
Chai Li lalu berlari ke kanan. Akan tetapi Suma Kiang
menubruknya dan mereka jatuh bergulingan di tepi tebing
jurang itu. Chai Li meronta-ronta, menendang-nendang
dengan kedua kakinya se-hingga akhirnya terlepaslah kedua
buah batunya dan iapun terlepas lagi. Akan tetapi ia sudah
terkepung. Di depannya yang yang curam, di belakangnya
Suma Kiang. Untuk lari ke kanan atau ke kiri sudah tidak
mungkin lagi karena kedua lakinya yang tidak bersepatu amat
nyeri ketika menginjak batu karang. Ia tidak akan dapat
terlepas dari tangan Suma kiang, kecuali kalau ia mengambil
jalan yang satu ini. Dan ia mengambil jalan yang satu ini, yaitu melompat ke
dalam tebing jurang yang amat curam. Sekali
melompat, tubuhnya melayang ke bawah dan Suma Kiang
menggereng ketika melihat calon korbannya melayang turun
tanpa dia dapat menolongnya.
"Ai i ihhhhh......!" Terdengar teriakan melengking, disusul teriakan lain yang
datang dari mulut Han Lin! Anak itu melihat betapa ibunya melayang jatuh ke
dalam jurang. Dia lupa diri
sendiri dan lupa akan bahaya. Adanya dalam hatin hanya
kemarahan terhadap Suma Kiang yang dianggap sebagai
pembunuh ibunya. "Jahanaaaammmm....!" Han Lin melompat keluar dan lari menerjang Suma Kiang
dengan Suling Pusaka Kemala di
tangan kanannya. Biarpun Han Lin baru dua tahun belajar
ilmu silat, itupun hanya belajar dasar-dasar dan langkah
langkahnya saja dan ilmu silat yang sesungguhnya, yaitu Samsian Kun-hoat baru
dilatihnya kurang dari tiga bulan, namun
gerakannya sudah mantap, cepat dan tenaga besar.
Akan tetapi, semua itu bagi Suma Kiang tentu saja tidak
ada artinya. Hanya saja, Suma Kiang adalah seorang yang
sombong dan selalu memandang rendah orang lain, apalagi
seorang anak kecil seperti Han Lin. Melihat Han Lin
menerjangnya, dia hanya tertawa dan tidak mengelak atau
menangkis sama ekali. Han Lin menerkamnya dan
mengangkat suling kemala lalu menghantamkan suling itu
kepada dadanya dengan sekuat tenaga. Suma Kiang mengira
bahwa Han Lin adalah seorang anak yang biasa saja, maka dia
tidak mengelak dan menerima pukulan itu dengan dadanya.
"Dukkk.....!" Suma Kiang menyeringai.
Tak disangkanya anak itu memiliki tenaga yang amat kuat
dan benda yang dipergunakan anak itu untuk memukulnya
juga ternyata kuat sekali, seolah melebihi baja. Dia merasa
nyeri pada dadanya, maka cepat tangannya menyambar,
menotok dan Han Lin terkulai roboh di depan kakinya.
"Suma Kiang, berikan anak itu kepada ku!" kata Sam Ok dan sekali bergerak
tubuhnya sudah melayang ke arah Suma
Kiang. Suma Kiang mengerutkan alisnya dan memandang kepada
Han Lin yang rebal di depan kakinya. Anak itu roboh tak
berdaya, akan tetapi tangan kanannya masih memegang
suling berbentuk naga kecil, seolah suling itu telah berakar di tangannya dan
tidak dapat dilepaskan lagi. Kemudian dia
memandang kepada Sam Ok dan menggeleng kepalanya
setelah melirik ke arah jurang di mana tadi Chai Li membuang
dirinya. "Tidak bisa, Sam Ok. Aku baru saja telah kehilangan
ibunya, maka sebagai penggantinya aku harus mendapatkan
anaknya. Ini perlu sekali untuk menjadi bukti keberhasilanku.
Aku harus membawanya ke kota raja!"
"Suma Kiang, kita sudah saling berjanji bahwa engkau akan mendapatkan ibu nya
sedangkan aku memperoleh anaknya
Apakah engkau hendak melanggar janji-mu?"
"Hemm, bagi Huang-ho Sin-liong Suma Kiang, tidak ada
ikatan yang disebut janji itu. Sewaktu-waktu janji dapat
diubah menurut keadaan!"
"Suma Kiang, engkau berani menipuku" Apakah engkau
sudah bosan hidup?" "Sam Ok, siapa yang takut kepadamu" Aku Suma Kiang
tidak pernah takut pada mu dan kalau sudah ingin mampus,
majulah dan cobalah untuk merampas anak ini dariku!"
"Bangsat kau!" Sam Ok berteriak dan mencabut pedang
Hek-kong-kiam. "Sam Ok, sebelum terlambat dan engkau mati olehku,
biarlah aku menjanjikan sesuatu yang lebih baik bagimu.
Bagaimana kalau aku mencarikan lima orang anak yang
montok dan sehat sebagai pengganti anak ini untukmu"
Engkau akan puas dan kita tidak perlu bermusuhan."
"Tidak! Aku menghendaki keturunan Kaisar itu, biarpun
hendak kau ganti dengan sepuluh orang anak, aku tidak dapat
menerimanya. Serahkan anak itu kepadaku dan aku akan
meninggalkan engkau tanpa mengganggu lagi."
"Kalau begitu mampuslah!" Suma Kiang enjadi marah dan tongkat ular hitam-nya
menyambar dahsyat. "Tranggg.....!" Sam Ok menangkis dengan pedang
hitamnya dan membal serangan itu dengan tusukan yang
tidak kalah berbahayanya. Suma Kiang memutar tongkatnya
menangkis dan kedua orang itu sudah saling serang dengan
dahsyatnya. Han Lin yang tidak dapat bergerak namun sadar
itu hanya dapat mengikuti perkelahian itu dengan pandang
matanya dam dia tidak tahu harus berpihak yang mana karena
kedua orang itu memperebutkan dirinya dan dia merasa
bahwa keduanya tidak mempunyai niat baik terhadap dirinya.
Jilid IV BIARPUN tingkat kepandaian Sam Ok sudah tinggi dan ia
seorang diri mampu mengalahkan It-kiam-sian, namun kini
menghadapi Suma Kiang ia berhadapan dengan lawan yang
lebih lihai. Pertahanan tongkat ular hitam dari Suma Kiang
memang hebat sekali. Terutama tenaga sin-kangnya yang
amat kuat sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Sam Ok
merasakan kelebihan tenaga awan ini. Pedang hitamnya mulai
terpental bilamana bertemu langsung dengan tongkat lawan.
"Sam Ok, kalau engkau tidak cepat pergi, engkau akan
mampus di tanganku!" Suma Kiang membentak dan
tongkatnya menyambar lagi dengan dahsyatnya.
"Tranggg.....!!" Tiba-tiba sinar keemasan menyambar, menangkis tongkatnya dan
membuat tongkat itu hampir saja
terlepas dari pegangan. Demikian kuatnya! sinar keemasan itu
menangkis tongkatnya. Suma Kiang terkejut bukan main dan
cepat melompat ke belakang. Dia melihat seorang laki-laki
tinggi besar, berusia sekitar enam puluh tahun, berpakaian
mewah seperti seorang hartawan atau bangsawan,
tersenyum-senyum memandangnya dan dia memegang
sebatang pedang yang berbentuk seekor naga emas yang
indah sekali. Wajah Suma Kiang berubah agak pucat ketika dia
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan orang itu. "Hemm, benarkah dugaanku bahwa
yang berhadapan denganku adalah Thai Ok Toat-beng Kui-ong
(si Jahat Pertama Raja Iblis Pencabut Nyawa)?"
Orang tinggi besar itu tertawa bergelak dan wajahnya yang
tampan itu tampak toapan (berbudi) dan ramah sekali, sama
sekali tidak menunjukkan bahwa dia memiliki watak yang
jahat. Akan tetap mengingat julukannya, sukar dibayangkan
betapa jahat dan kejamnya orang ini Sampai mendapat
julukan si Jahat Pertama, tentu wataknya luar biasa kejam dan
jahatnya. Ban-tok-ci yang demikian kejam dan jahat saja baru
mendapat julukan si Jahat ke Tiga atau Sam Ok! Apalagi yang
berjuluk Toa Ok atau Thai Ok tentu lebih kejam lagi!
"Ha-ha-ha, matamu memang tajam sekali, Huang-ho Sinliong!
Dugaanmu tidak keliru. Akulah yang disebut Toa Ok!"
"Hcmm, aku mendengar bahwa ketiga Sam Ok adalah
orang-orang gagah yang pantang berlaku curang dan tidak
sudi melakukan pengeroyokan. Akan tetapi mengapa sekarang
engkau membantu Sam Ok dan mengeroyok aku?"
"Ha-ha-ha, kalau berita sama dengan kenyataannya, untuk
apa kami disebut si Tiga Jahat" Pula, aku datang bukan untuk
membantu Sam Ok mengeroyokmu, melainkan aku datang
untuk mendapatkan anak ini dari tanganmu. Maka, kalau
engkau masih ingin hidup, pergilah, tinggalkan anak ini
untukku!" "Setan! Untuk apa pula engkau menghendaki anak ini, Toa
Ok?" teriak Sam Ok penasaran.
"Ha-ha-ha, semua orang mempunyai kebutuhan masingmasing,
Sam Ok. Ak butuh anak ini karena dia merupakan
harta pusaka yang amat berharga bagi kerajaan Beng!"
"Toa Ok, anak ini adalah hakku, milik ku. Akulah yang
diutus oleh kerajaan Beng untuk menangkap dan
membawanya ke kota raja!"
"Hemmm, kaukira kami tidak tahu akan hal itu, Suma
Kiang" Engkau diutus oleh Pangeran Cheng Boan, bukan oleh
Kaisar. Akan tetapi aku berhak membawanya kepada Kaisar
yang tentu akan mem beri hadiah yang lebih besar lagi.
Bahkan kalau aku beruntung, Kaisar akan menghadiahkan
sebuah kedudukan yang cukup mulia bagiku, ha-ha-ha!"
"Jahanam, aku yang bersusah payah sejak bertahun-tahun
yang lalu, sekarang engkau mau enaknya saja!" bentak Suma Kiang.
"Ha-ha-ha, tentu saja dan itu sudah baik dan adil namanya, bukan?" jawab Toa Ok
seenaknya. Suma Kiang tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan
dia sudah menerjang ke depan dengan tongkat ular hitamnya.
Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Toa Ok, orang
pertama dari Tiga Jahat yang tentu saja memiliki ilmu
kepandaian yang paling hebat diantara ketiganya. Tongkat
ular hitamnya bertemu dengan sinar emas yang amat kuat
sehingga kembali tongkatnya terpental begitu bertemu dengan
Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) dan dia terpaksa
berlompatan ke belakang agar tidak dikejar senjata lagi.
pertahanannya goyah. "Mampuslah......! Wushhhh.....!" Serangkum hawa
menyerangnya dari samping dan dia cepat mengelak.
Ternyata itu adalah jari telunjuk tangan kiri Sam Ok yang
menyambutnya dengan sebuah serangan tusukan yang amat
berbahaya karena jari itu mengandung hawa beracun yang
amat ampuh. "Curang!" Bentak Suma Kiang. Akan tetapi Sam Ok malah terkekeh seolah teriakan
itu merupakan pujian baginya.
Serangan pedang Kim -liong-kiam telah datang membalas
dan serangan itu seperti kilat datangnya. Tidak mungkin bagi
Suma Kiang untuk mengelak maka terpaksa dia memutar
tongkatnya untuk menangkis.
"Trang-trang.....!" Kembali dua kali tongkatnya menangkis dan untuk dua kali
pula tongkatnya terpental sehingga
terpaksa dia melompat lagi ke belakang karena kalau lawan
mendesak dia tentu tidak mampu mempertahankan diri lagi.
Suma Kiang bukan orang bodoh. Dia maklum bahwa melawan
Toa Ok seorang saja sukar baginya untuk menang, apa lagi di
situ terdapat Sam Ok yang mengeroyoknya. Belum lagi kalau
Ji Ok muncul, tentu dia akan celaka. Maka sambil
mengeluarkan teriakan panjang karena kesal dan kecewa
bercampur penasaran dan marah, dia melarikan diri pergi dari
tempat itu. "Toa Ok, untuk apa engkau anak ini" Aku
membutuhkannya untuk memperdalam latihanku dan
menghisap sari tenaganya. Anak ini keturunan kaisar, tentu
hawa sakti di tubuhnya melebihi anak-anak lain. Berikanlah
kepadaku, Toa Ok!" "Hemm, bodoh! Engkau hanya memikirkan dirimu seorang,
Sam Ok. Ketahuilah, untuk kebutuhan itu di dunia ini masih
terdapat banyak sekali anak yang baik. Akan tetapi
kesempatan memetik keuntungan dengan mengembalikan
anak ini ke kerajaan Beng, hanya ada satu kali ini. Kalau tidak kita pergunakan
kesempatan ini, sungguh kita amat bodoh!"
"Akan tetapi, Toa Ok. Kaisar tentu sudah mendengar akan
nama kita, dan dia tentu akan mengambil sikap bermusuhan
dengan kita. Jangan-jangan dengan menyerahkan anak ini
kepadanya, kita malah ditangkap dan dihukum! Aku lebih
setuju dengan pendapat Suma Kiang. Kita serahkan saja anak
ini kepada Pangeran Cheng Boan dan minta uang tebusan
yang besar. Dia pasti akan memenuhi permintaan kita, apalagi
kalau kita ancam bahwa kalau dia tidak mau memberi uang
tebusan besar, kita akan berikan anak ini kepada Kaisar Chenp
Tung!" "Hemm, usulmu itu baik sekali!" kata Toa Ok menganggukangguk sambil memandang ke
arah Hari Lin yang masih menggeletak tidak dapat bergerak di atas tanah.
"Kalau begitu, biar aku yang membawa anak itu dan
menjaganya agar jangan sampai direbut orang lain." Sam Ok segera meloncat ke
dekat Han Lin. Dia membebaskan totokan
Suma Kiang pada anak itu, akan tetapi sebelum Han Lin dapat
meronta, dengan sikap penuh kasih sayang Sam Ok sudah
memegang tangan kirinya. "Anak yang baik, engkau menurut majalah kepada kami
dan kami tidak akan bersikap keras kepadamu."
Han Lin memandang ke arah jurang dan berseru dengan
suara bercampur tangis. "Ibuuuu.....!" Namun hanya suara gema saja yang
menjawab, gema yang terdengar mengaung
aneh dan mengerikan. "Ibumu sudah jatuh ke dasar sana dan tentu hancur,
percuma saja kau panggil dan tangisi. Sudahlah, jadikan aku
sebagai pengganti ibumu!" kata Sam Ok menghibur dengan
kata-kata lembut. "Tidak, ibuku tidak mati! Ibuku tidak boleh mati!" teriak Han Lin dan dia
meronta untuk melepaskan diri dari pegangan
tangan Sam Ok. Ketika merasa betapa pegangan itu erat
sekali dan dia tidak mampu melepaskan diri, Han Lin lalu
menggunakan suling yang masih dipegang di tangan
kanannya untuk memukul. Sam Ok menangkap pergelangan tangan kanan itu dan
sekali tangan kirinya bergerak menotok, Han Lin tidak mampu
bergerak lagi dan tubuhnya menjadi lemas. Namun tetap saja
tangan kanannya masih memegang suling kemala. Sam Ok
lalu memanggul tubuh yang lemas itu dengan kepalanya di
depan. "Anak baik, engkau menurut saja ke pada ibumu yang
baru, hidupmu tentu akan senang sekali!" kata Sam Ok dan ia mendekatkan mukanya
untuk mencium pipi Han Lin.
Kemudian mulutnya yang berbibir merah itu tiba-tiba berada
di dekat leher Han Lin dan mulut itu mengecup leher itu.
"Sam Ok, jangan lakukan itu!" tiba tiba Toa Ok menghardik.
Sam Ok melepaskan kecupan mulutnya dan di kulit leher
Han Lin tampak bekas bibirnya. Kulit leher yang dihisap tadi
tampak kemerahan namun belum terluka.
"Aih, Toa Ok. Aku hanya hendak mencicipi beberapa tetes
darahnya!" bantah Sam OK.
"Lepaskan dia, engkau tidak boleh membawanya. Biar aku
yang membawanya!" kata Toa Ok.
"Toa Ok mari kita berlaku adil. Biar kuhisap dulu darahnya sampai habis, lalu
kita penggal kepalanya dan bawa kepala itu
ke kota raja untuk minta uang tebusan!"
"Tidak, kalau dia sudah mati, tidak ada harganya lagi!
Berikan dia kepadaku!"
Sam Ok mendekati Toa Ok dan tiba-tiba ia melontarkan
tubuh Han Lin kepada kakek itu dengan kuat.
"Terimalah!" Tubuh anak itu meluncur dengan cepatnya ke arah Toa Ok.
Kakek ini menyambut dengan tangan kanannya dan pada saat
itu, Sam Ok telah menyerangnya dengan Hek-kong-kiam
disusul tusukan jari telunjuk kirinya yang mengandung hawa
maut! Demikianlah kelicikan Sam Ok. Akan tetapi Toa Ok tidak
akan menjadi si Jahat Nomor Satu kalau dia tidak tahu akan
hal ini. Dia sudah siap siaga menghadapi kelicikan rekannya,
maka begitu diserang, dia sudah melempar tubuh Han Lin ke
atas tanah, lalu memutar Kim-liong-kiam di tangannya untuk
menangkis pedang Sam Ok. Kemudian tangan kirinya
membuat gerakan melingkar dan mengeluarkan hawa yang
menangkis serangan telunjuk kiri Sam Ok.
"Tranggg...... plakkk.....!" Tubuh Sam Ok terpelanting saking kerasnya tangkisan
Toa Ok. "Ha-ha-ha, agaknya engkau sudah bosan menjadi Sam Ok
(si Jahat Ketiga) dan ingin menjadi si Jahat Mampus!" Toa Ok berseru dan dia pun
sudah mengelebat-kan pedang sinar
emasnya ke arah leher Sam Ok untuk memenggal leher
rekannya itu. "Wuuuttt..... tinggg.....!" Sebuah batu kecil menyambar dan menangkis pedang
sinar emas itu, akan tetapi hantaman batu
kecil itu sedemikian kuatnya sehingga pedang itu hampir
terlepas dari tangan Toa Ok sedangkan kaki Toa Ok terpaksa
melangkah mundur sampai tiga langkah!
Tentu saja Toa Ok terkejut bukan main. Dia mengelebatkan
pedangnya di depan mukanya lalu memandang ke depan.
Ternyata di situ lelah berdiri seorang kakek yang tubuhnya
kecil bongkok, rambutnya tidak sependek tubuhnya melainkan
panjang dan terjurai sampai ke perut, demikian pula jenggot
dan kumisnya tergantung ke depan dadanya. Rambut yang
sudah banyak bercampur uban. Sukar menaksir usia kakek itu.
Kalau melihat rambut yang sudah separuhnya beruban itu,
tentu usianya sudah enam puluh tahun lebih Akan tetapi kalau
melihat wajahnya yang segar dan kemerahan seperti wajah
kanak kanak, dia kelihatan jauh lebih muda. Pakaiannya
sederhana sekali, dari kain kasar dan potongannya seperti
yang di pakai para petani sederhana.
"Heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan tampak sebelah
dalam mulutnva yang sudah tidak bergigi lagi. Sudah ompong
sama sekali! "Toa Ok dan Sam Ok sudah saling serang dan
berusaha saling membunuh. Ini artinya bahwa Toa Ok dan
Sam Ok sudah tidak jahat lagi, berubah menjadi orang baik
yang hendak menyingkirkan orang jahat! Heh-heh, bagus
sekali!" Toa Ok memandang dengan alis berkerut. Dia tidak
mengenal kakek itu, akan tetapi dia tidak berani memandang
rendah. Dari sambitan batu kecil tadi saja dia sudah dapat
mengukur kekuatan dari tenaga sakti kakek itu yang amat
dahsyat. "Sobat, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan
kami?" Kakek itu memandang ke langit, lalu menjawab dengan
sikap seperti orang mendeklamasikan sajak. "Nama itu
sungguh berbahaya, Dapat membuat kepala seseorang
menggelembung kemudian pecah di udara. Nama dapat pula
membuat seseorang disanjung-sanjung dan dipuja-puja, dapat
pula membuat seseorang dikutuk dan di njak-injak. Nama
adalah suatu kepalsuan! Karena itu aku merasa ngeri dan
memilih tidak mempunyai nama. Toa Ok, aku adalah seorang
tua tanpa nama. Dan tentang mencampuri urusan pribadi itu,
mana bisa disebut urusan pribadi kalau menyangkut diri orang
lain" Kalau di sini tidak ada anak yang kalian perebutkan itu, engkau dan Sam Ok
hendak gempur-gempuran sampai
matipun aku tidak akan perduli. Akan tetapi melihat anak itu,
terpaksa aku campur tangan dan aku melarang kalian
membawa anak itu. Pergilah kalian berdua dengan aman dan
tinggalkan anak itu. Aku akan mengurusnya baik-baik, tidak
seperti kalian yang berpamrih untuk] keuntungan diri pribadi."
"Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tani Nama), lagakmu demikian
sombong sekali. engkau dapat meruntuhkan gunung dan
mengeringkan lautan! Apakah kau kira kami takut kepadamu?"
Tiba-tiba Sam Ok berseru dan tanpa banyak cakap lagi ia
lalu menyerang dengan pedangnya yang bersinar hitam. Ia
menyerang dari belakang dan bukan pedangnya saja yang
menyerang, akan tetapi telunjuk kirinya juga menyerang
dengan tusukan yang ngandung hawa beracun ke arah
punggut kakek pendek itu.
"Sam Ok, kita bunuh kakek tua bangka bosan hidup ini!"
Toa Ok juga menyerang dengan pedang sinar emasnya,
serangannya dahsyat sekali, membarengi serangan Sam Ok
yang dilakukan dari belakang kakek itu.
Menghadapi serangan hebat dari depan dan belakang,
kakek itu tampak tenang saja, sama sekali tidak tampak
gugup. Karena datangnya serangan Sam Ok dari belakang
datang lebih dulu, tanpa menoleh dia melompat ke depan
seperti menyambut serangan Toa Ok. Pedang sinar emas itu
meluncur ke arah dada kakek itu. Akan tetapi kakek itu
tenang-tenang saja menggerakkan tangan kirinya menangkis!
Tusukan pedang pusaka yang demikian ampuh ditangkis
dengan tangan kosong saja! Agaknya kakek itu mencari
penyakit. Melihat ini Toa Ok tersenyum lebar dan menggetarkan
pedangnya dengan pengerahan sin-kangnya yang amat kuat.
Jangankan tangan kosong yang terdiri dari kulit dan daging,
biar pedang yang kuat menangkis pedangnya yang digetarkan
seperti ini akan menjadi patah!
"Plakkkk.....H"
Tubuh Toa Ok terpelanting keras dan hampir saja dia jatuh
terbanting. Pedangnya bertemu dengan benda lunak namuir
lentur sehingga pedang itu membalik seperti tenaganya
kembali bertemu dengari tenaga yang amat aneh, yang
membuat seluruh tenaga sin-kangnya membalik dan
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang dirinya sendiri sehingga dia terpelanting.
Pada saat itu, dari belakang Sam Ok kembali menyerang
dengan telunjuk kirinya, ditusukkan ke arah lambung kakek
itu. Kakek tanpa nama itu membalikkan tubuhnya dan melihat
jari telunjuk itu ditusukkan ke arah lambungnya dan kini
menuju perutnya, dia tertawa dan membusungkan perutnya,
menerima tusukan dengan ilmu Ban-tok-ci (Jari Selaksa
Racun) yang mengandung hawa beracun yang amat jahatnya
itu. "Cusss.....!" Telunjuk kiri itu bukan hanya menyerang dengan hawa beracun,
bahkan langsung mengenai perut yang
dibusungkan itu dan telunjuk itu "masuk" ke perut sampai ke pergelangan tangan.
Sam Ok terkejut sekali karena merasa tangannya dingin
seperti direndam ke dalam es saja. Ia cepat menarik kembali
jari telunjuknya, akan tetapi tidak dapat ditarik lepas, seolaholah telah
terjepit ke dalam benda lunak yang amat kuat!
Selagi ia bersitegang berusaha mencabut telunjuk kirinya,
tiba-tiba kakek itu me-lembungkan perutnya dan tanpa dapat
dihindarkan lagi tubuh Sam Ok terdorong ke belakang sampai
terhuyung-huyung dan dengan susah payah baru ia dapat
mengatur keseimbangan dirinya sehingga tidak jatuh
terbanting! Kakek itu mencium-cium ke arah perutnya dan
menyeringai, "Wah, telunjukmu bau, kotor dan jahat sekali!"
Sam Ok marah bukan main, akan tetapi ia juga terkejut
sekaligus merasa jerih. Seperti Toa Ok, ia menyadari bahwa ia
sama sekali bukan lawan kakek tanpa nama itu. Mungkin
hanya gurunya atau uwa-gurunya saja yang akan mampu
menandingi kakek pendek ini. la memandang kepada Toa Ok
dan kebetulan Toa Ok juga sedang memandang kepadanya.
Keduanya bertukar pandang dan tahulah mereka apa yang
harus mereka lakukan. "Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama), kalau kami tidak
boleh memiliki bocah itu, tidak seorangpun di dunia ini yang
boleh!" Setelah berkata demikian, Toa Ok dan Sam Ok
menggerakkan tangan kirinya. Sinar-sinar hitam meluncur dari
tangan kiri mereka menuju ke arah tubuh Han Lin. Ternyata
Toa Ok telah menyerang dengan Hek-tok-teng (Paku Beracun
Hitam) dan Sam Ok menyerang dengan beberapa batang BanTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ tok-ciam (Jarum Berlaksa Racun), keduanya merupakan
senjata yang amat ampuh karena mengandung racun yang
seketika dapat mematikan orang yang terkena am-gi (senjata
gelap) itu. Akan tetapi, bagaikan segumpal asap saja saking
ringannya, tubuh kakek tanpa nama telah melayang ke arah
Han Lin dan sekali mengebutkan lengan bajunya ke arah
sinar-sinar yang menyambar ke tubut Han Lin, paku-paku dan
jarum-jarum iti meluncur kembali ke arah pemiliknya. Toa Ok
terkejut sekali dan terpaksa mereka berloncatan untuk
menghindarkan diri dari senjata yang hendak makan tuannya
sendiri itu. Mereka maklum bahwa kalau mereka melanjutkan,
keadaan mereka berbalik akan terancam bahaya sedangkan Ji
Ok yang ditunggu-tunggu tidak kunjung muncul. Maka setelah
saling pandang dan berkedip, tanpa banyak cakap lagi kedua
orang itu lalu melompat jauh dan melarikan diri dari puncak
bukit itu. Setelah kedua orang itu pergi jauh, kakek itu lalu
menghampiri Han Lin dan sekali tangannya bergerak, ujung
lengan bajunya menyambar ke arah pundak dan dada Han Lin
yang segera dapat menggerakkan kaki tangannya kembali.
Anak itu tadi telah dapat melihat semua yang terjadi, maka
begitu ia dapat bergerak, dia sengaja menjatuhkan dirinya
berlutut di depan kakek itu, membentur-benturkan kepalanya
di tanah tanpa hentinya. "Locianpwe (Orang tua yang gagah), harap jangan
kepalang tanggung menolong saya. Harap locianpwe suka
menyelamatkan pula ibu saya yang tadi terjatuh ke dalam
jurang itu!" Berkata demikian, Han Lin menunjuk ke jurang sambil menangis
sesenggukan. "Han....." Terjatuh ke jurang itu dan menyelamatkannya"
Anak yang baik, yang dapat menyelamatkan orang yang jatuh
ke jurang itu hanyalah Tuhan, dan aku bukan Tuhan. Juga
bukan burung yang bersayap dan pandai terbang. Bagai mana
aku dapat menolong ibumu kalau ia sudah terjatuh ke jurang
itu?" "Ibuuu....! Jadi..... jadi locianpwe berpendapat bahwa tentu ibuku sudah
tewas .....?" Han Lin bertanya sambil terengahengah menahan tangis.
Kakek itu menggunakan tangannya mengusap kepala Han
Lin. "Tenanglah, nak. Sudah kukatakan bahwa hanya Tuhan
yang dapat menolongnya. Kalau Tuhan mengulurkan tangan
menolongnya, entah melalui jalan apa, tentu ibumu masih
hidup. Akan tetapi kalau Tuhan tidak menolongnya, biarpun
seorang yang berilmu setinggi apapun kalau terjatuh ke situ
tentu akan menemui kematiannya."
Mendengar ucapan itu, Han Lin lalu menangis tersedusedu,
membayangkan, ibunya jatuh ke dasar jurang dan
hancur tubuhnya. Kemudian diapun menjatuhkan dirinya
berlutut lagi di depan kakek itu.
"Harap locianpwe tidak kepalang tanggung menolong
saya......" "Ha-ha-ha, permintaan apalagi yang akan kau ajukan
kepadaku, anak yang baik?"
"Setelah ibu tidak ada, maka saya hidup sebatang kara di
dunia ini. Mengingat bahwa banyak orang jahat yang lihai
mempunyai niat jahat terhadap diri saya dan saya tidak akan
mampu melindungi diri sendiri, saya mohon sudilah kiranya
locianpwe menerima saya menjadi murid. Saya akan
mengerjakan apa saja untuk locianpwe dan akan menaati
semua perintah locianpwe."
Kakek itu mengamati wajah Han Lin dengan pandang mata
tajam, lalu bertanya dengan suara tegas, "Bukankah engkau telah memiliki tiga
orang guru" Bagaimana engkau dapat tibatiba melupakan mereka dan hendak ikut
aku?" Han Lin terkejut sekali. Sama sekali tidak pernah dikiranya
bahwa kakek ini tahu pula akan Gobi Sam-sian. "Locianpwe, memang benar saya
telah menjadi murid sam-wi suhu (ketiga
guru) Gobi Sam-sian. Akan tetapi sam-wi suhu ternyata tidak
mampu melindungi ibu sehingga ibu meninggal di tempat ini
dan hampir saja saya juga tewas kalau tidak ditolong oleh
locianpwe. Keberadaan saya hanya membuat sam-wi suhu
Gobi Sam-sian mengalami kesulitan harus menentang orang
jahat seperti Suma Kiang yang lihai sekali. Sama sekali saya
tidak ingin meninggalkan Gobi Sam-sian, locianpwe, hanya
saya ingin mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak
saya mampu menandingi Suma Kiang dan kawan-kawannya."
"Sejak kecil engkau digembleng oleh Gobi Sam-sian dan
engkau memperoleh ilmu kepandaian dasar yang kokoh dari
mereka. Karena itu engkau harus melanjutkan mematangkan
dasar itu dari mereka. Belajarlah kepada mereka selama lima
tahun, baru kemudian engkau boleh mencari aku dan menjadi
muridku." "Akan tetapi, locianpwe, ke mana kelak saya dapat mencari locianpwe" Dan ke mana
sekarang saya harus mencari sam-wi
suhu Gobi Sam-sian" Tadi mereka berada di lereng bawah
sana untuk menghadang Suma Kiang dan temannya, akan
tetapi melihat Suma Kiang dan temannya sudah dapat
mengejar saya dan ibu ke sini, saya khawatir mereka..."
"Aku tahu di mana mereka berada. Mari, pegang tanganku
dan ikut aku." Kakek itu lalu memegang tangan kiri Han Lin dan tiba-tiba
saja Han Lin merasa dirinya meluncur cepat sekali turun dari
puncak dan dia seolah bergantung kepada tangan kakek itu.
Melihat pohon di kanan kirinya meluncur cepat dari depan
seperti hendak menabrak dirinya, Han Lin memejamkan mata
dan membiarkan dirinya seolah dibawa terbang oleh kakek itu.
Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan di
lereng dekat kaki bukit dan ketika kakek itu membawa Han Lin
ke tengah hutan di mana terdapat sebuah lapangan rumput,
mereka melihat Gobi Sarn-sian sudah berdiri saling berdekatan
dan mereka siap dengan senjata masing-masing. Akan tetapi
ketika mereka bertiga melihat kakek itu, ketiganya segera
menyimpan senjata dan cepat berlutut di depan kaki kakek itu.
"Supek..... (uwa guru)!" Mereka berseru dengan suara menunjukkan kejutan besar.
Mereka mengenal uwa guru mereka ini sebagai seorang manusia setengah dewa yang
sudah puluhan tahun tidak pernah tampak di dunia ramai
bahkan mereka mengira bahwa supek mereka yang tidak
pernah mempunyai nama ini sudah meninggal dunia. Kini tibatiba saja muncul
menggandeng Han Lin ! "Ha, bagaimana keadaan kalian?" tanya kakek itu dan dia lalu menghampiri Ang-
bin-sian, memeriksa kesehatannya
dengan meraba sana-sini, lalu menghampiri It-kiam-sian,
memeriksa lengannya yang buntung, kemudian memeriksa
Pek-tim-sian. "Bagus, ternyata kalian dapat mengatasi bahaya dan dalam
keadaan selamat dan sehat."
"Supek, teecu bertiga bertemu dengan lawan yang amat
lihai," kata Ang-bin-sian.
"Hemm, itu wajar saja. Setinggi-tingginya gunung masih
ada awan yang melebihi tingginya dan di atas awan masih ada
langit yang lebih tinggi. Tidak ada sesuatu yang paling tinggi di dunia ini, dan
wajarlah kalau sekali waktu kita bertemu
dengan orang lain yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi
daripada kita. Aku akan memberikan sesuatu kepada kalian
masing-masing untuk penambah pengetahuan dan kalian
bertiga harus melanjutkan membimbing anak ini selama lima
tahun. Setelah lewat lima tahun, bawalah dia kepadaku di
puncak Thaisan dan aku yang akan menjadi gurunya."
Setelah berkata demikian, kakek katai ini tinggal bersama
Gobi Sam-sian di tengah hutan itu selama sebulan dan selama
itu dia mengajarkan ilmu silat kepada tiga orang murid
keponakannya yang membuat mereka bertiga menjadi lebih
lihai daripada sebelumnya. Bahkan It-kiam-sian yang lengan
kanannya buntung itu mendapat pelajaran ilmu pedang
tunggal yang dimainkan dengan tangan kiri yang
kehebatannya melebihi ketika kedua lengannya masih utuh.
Juga kakek yang sakti itu mengajarkan cara menghimpun
tenaga sakti dari alam, menghimpun inti sari tenaga matahari
dan rembulan sehingga kalau hal ini dilatih terus, dalam waktu beberapa tahun
saja tenaga sini kang (tenaga sakti) tiga
orang itu akan memperoleh kemajuan pesat.
Setelah sebulan memberi gemblengan kepada tiga orang
murid keponakannya; Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa
Nama) itu lalu pergi meninggalkan bukit itu.
Gobi Sam-sian bersikap hati-hati Mereka maklum bahwa
bukan tidak terjadi Suma Kiang akan muncul lagi karena orang
jahat itu tentu masih merasa penasaran dan akan mencari
Hari Lin. Maka mereka lalu mengajak Han Lin pergi dari
daerah Pao-tow, pindah ke sebuah dusu yang berada di kaki
Pegunungan Yin san di sebelah utara kota Tai-goan yan telah
berada di sebelah dalam Tembok Besar, jauh sekali di sebelah
selatan dari daerah Pao-tow. Mereka tinggal di dusun yang
sunyi, hidup sebagai petani dan sama sekali tidak
memperlihatkan diri sebagai orang-orang dunia persilatan.
Melihat Han Lin selalu tenggelam ke dalam kedukaan, Angbin-
sian menghiburnya. "Han Lin, tidak ada gunanya bagimu
untuk menenggelamkan diri ke dalam kedukaan karena
kematian ibumu. Ingat bahwa manusia hidup sewaktu-waktu
tentu akan mati juga. Saat kematian setiap orang manusia
sudah ditentukan oleh Thian. Oleh karena itu tidak perlu
disesali sampai berlarut-larut. Boleh saja engkau bersedih,
karena tidak wajar kiranya kalau seorang anak ditinggal mati
ibunya tidak bersedih, akan tetapi ingatlah bahwa kedukaan
yang berlarut-larut hanya akan melemahkan semangat dan
kalau awak tidak beruntung akan menimbulkan penyakit."
"Akan tetapi, suhu. Kalau teecu teringat betapa tewasnya
ibu terlempar ke dalam jurang karena ulah Suma Kiang...!"
"han Lin," kata It-kiam-sian. "Engkau kehilangan ibumu, pinto kehilangan lengan
kananku, hal ini sudah merupakan
takdir yang tidak dapat dibantah pula. Kenyataan ini harus kita hadapi dengan
tabah dan sama sekali jangan sampai
kenyataan ini menimbulkan dendam yang hanya akan
meracuni hati sendiri."
"Ji-suhu! Apakah suhu hendak mengatakan bahwa teecu
tidak boleh mendendam kepada Suma Kiang" Apakah kelak
teecu tidak boleh membalaskan dendam sakit hati karena
kematian ibu ini kepadanya?"
It-kiam-sian tersenyum lebar. "Bukan tidak boleh, Han Lin.
Akan tetapi ketahuilah bahwa ada dua keadaan hati kalau
engkau kelak menentang Suma Kiang Pertama, engkau
menentangnya karena engkau membenci orangnya dan ingin
membalas dendam. Dan kedua, engkau menentangnya karena
engkau anggap bahwa dia itu orang jahat dan bahwa
perbuatan jahatnya harus ditentang. Nah yang pertama itulah
yang tidak benar." "Akan tetapi, teecu belum mengerti benar. Apa bedanya
antara keduanya itu Ji-suhu?"
Pek-tim-sian kini berkata, "Han Lin diantara kedua yang
diceritakan ji-suhu mu itu tentu saja terdapat perbedaan besar sekali. Kalau
hatimu diracuni dendam, engkau membenci
orang itu dan selalu menganggapnya keliru dan harus dibasmi
sehingga andaikata Suma Kiang kelak telah berubah menjadi
orang baik, dendammu akan membuat engkau tetap
menganggapnya sebagai orang jahat yang harus dibunuh,
membuatmu menjadi kejam. Sebaliknya kalau engkau
menentangnya berdasarkan kejahatannya, bukan orangnya,
maka engkau akan menghadapinya sesuai dengan
keadaannya pada waktu itu. Kalau dia jahat, engkau
menentangnya, menentang kejahattannya. Sebaliknya kalau
dia berubah menjadi manusia yang baik, engkau tidak akan
menentangnya lagi dan tidak terdorong oleh nafsu
dendammu." Han Lin terdiam, tenggelam ke dalam pikirannya sendiri.
Dapatkah dia bersikap seperti yang dikatakan guru-gurunya
itu" Dapatkah ia memaafkan seorang seperti Suma Kiang yang
pernah membuat ibunya sampai menggigit putus lidahnya
sendiri,kemudian bahkan yang membuat ibunya terjatuh ke
dalam jurang dan menewaskannya, juga menjadi penyebab
dia dan ibunya melarikan diri dari perkampungan Mongol"
Dendamnya bertumpuk, begitu teringat akan Suma Kiang
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebenciannya meluap. Andaikata kelak Suma Kiang telah
menjadi seorang baik, mampukah dia melupakan semua sakit
hati ini dan memaafkannya"
"Tidak mungkin!" teriaknya. "Tidak mungkin tcecu dapat melupakan apa yang pernah
dilakukan Suma Kiang terhadap
ibu!" Ang-bin-sian tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Perasaan itu wajar saja; Han Lin. Manusia tidak akan dapat terbebas daripada
nafsunya sendiri. Akan tetapi kalau kelak
engkau sudah dewasa dan jiwamu sudah lebih matang,
engkau akan mengetahui sendiri bahwa membiarkan dendam
bertengger di hati sama dengan meracuni diri pribadi.
Sudahlah, sekarang engkau harus mencurahkan seluruh
perhatianmu kepada latihan silat yang akan kami berikan
kepadamu. Waktu lima tahun bukan waktu yang panjang
kalau engkau hendak melanjutkan pelajaran silatmu kepada
Toa-supek (Uwa Guru Pertama). Beliau adalah seorang sakti
dan untuk dapat menerima pelajarannya, engkau harus
memiliki dasar yang kuat. Mudah-mudahan kami akan berhasil
mempersiapkan dirimu untuk menerima pelajaran dari su
pek." Demikianlah, semenjak hari itu, Han Lin berlatih silat
dengan amat tekunnya, diajarkan oleh tiga orang tua itu tanpa
ada seorang pun di dusun itu mengetahuinya. Han Lin
memang berbakat sekali dan diapun patuh sehingga apapun
yang diajarkan ketiga orang gurunya dapat dikuasainya
dengan cepat dan baik sehingga Gobi Sam-sian menjadi
girang dan puas sekali. Orang-orang bijaksana jaman dahulu mengatakan bahwa:
Kalau Tuhan menghendaki, apapun dapat terjadi. Dan kalau
Tuhan tidak menghendaki, apapun dapat terjadi sebaliknya.
Kata-kata ini bukan sekadar pendapat belaka, melainkan
diucapkan berdasarkan pengalaman-pengalaman hidup.
Banyak sekali terjadi hal-hal yang tidak terjangn kau oleh hati akal pikiran
manusia tidak terjangkau oleh perhitungan
manusia. Banyak terjadi perubahan musim yang tidak sesuai
dengan perhitungan manusia. Banyak sekali terjadi hal-hal
yang berlawanan dengan perhitungan dan perkiraan, hati akal
pikiran manusia. Melihat hal-hal ini terjadi, orang-orang
bijaksana lalu mengatakan bahwa itulah kehendak Thian
kehendak Tuhan yang tidak dapat diubah oleh siapapun juga.
Tuhan Maha Kuasa. Jalan yang ditempuh kekuasaan Tuhan ka
dang tidak terjangkau oleh hati akal pikiran manusia. Bencana
alam terjadi di mana-mana, musim-musim berubah dari
perhitungan sehingga mengakibatkan bencana besar. Musim
kering berkepanjangan, musim hujan berlebihan, semua itu
mendatangkan bencana bagi manusia, merenggut banyak
nyawa dan harta benda. Dalam hal kematian seseorangpun, tidak pernah
kepandaian manusia dapat menentukan. Kalau Tuhan belum
menghendaki kita mati, biar kita dihujani ribuan batang anak
panah sekalipun, kita akan mampu lolos dan tidak akan mati.
Sebaliknya kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati, biar
bersembunyi di lubang semut, maut akan tetap datang
menjemput. Seorang tentara yang puluhan tahun menjadi
tentara, hidup di antara kelebatan pedang dan hujan anak
panah, nyawanya terancam setiap saat oleh maut, akan tetap
hidup karena Tuhan belum menghendaki dia mati. Akan tetapi
setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya dan pulang
kampung, gigitan seekor nyamuk saja sudah cukup untuk
membuat dia sakit dan mati!
Mujijat terjadi setiap saat dan di manapun. Namun kita
tidak percaya karena kita menganggapnya tidak masuk di
akal, sampai kita menyaksikaan sendiri peristiwa kemujijatan
itu dan kita mengangguk-angguk mengakui bahwa ada
kekuasaan yang lebih tinggi yang mengatur segalanya
sehingga kadang-kadang tidak masuk dalam perhitungan akal
pikiran kita. Orang menyebut kemujijatan yang ter jadi itu sebagai
Nasib. Namun, betapapun juga, orang tidak boleh
meninggalkan Ikhtiar, walaupun ikhtiar itu tidak menentukan
akibatnya. Orang sakit harus berikhtiar berobat, walaupun
tidak dapat dipastikan bahwa ikhtiar ini akan berhasil. Akan
tetapi patut kita ketahui bahwa tangan Tuhan menyentuh
melalui ikhtiar kita ini! Kalau Tuhan hendak menolong kita dari penyakit,
mungkin saja pertolongan itu terjadi melalui ikhtiar pengobatan kita. Walaupun
kalau Tuhan menghendaki kematian kita, segala macam bentuk ikhtiar itu akan sia-sia
dan tidak mungkin dapat mengubah kehendakNya. Sebaliknya
kalau Tuhan menghendaki kita sembuh, mungkin dengan
secawan air putih saja penyakit kita akan dapat disembuhkan!
Bagi pendapat manusia pada umumnya, Chai Li yang
terjatuh ke dalam jurang yang ternganga itu pasti akan mati!
Agaknya tidak terdapat sedikit pun kemungkinan bagi wanita
itu untuk lolos dari maut. Namun, apabila Tuhan
Menghendaki, ada saja jalannya untuk dapat lolos dari
cengkeraman maut. Ketika tubuh itu mula-mula meluncur jatuh, Chai Li masih
sadar dan ia menjerit karena merasa ngeri mendapatkan
dirinya melayang ke bawah seperti seekor burung. Akan tetapi
segera jeritannya terhenti dan ia pingsan ketika tubuhnya
melayang tanpa daya dekat tebing.
Tiba-tiba tampak seseorang di tengah tebing, di mana
terdapat celah-celah seperti guha. Orang Ini melihat Chai LI
yang melayang jatuh dan cepat dia meloloskan ikat
pinggangnya yang berwarna putih dan terbuat dari kain.
Dengan cekatan, dia lalu menggerakkan tangan kanannya
yang memegang ujung sabuk putih itu. Sinar meluncur ke
depan dan tepat pada saat tubuh Chai Li meluncur ke
depannya, sabuk itu telah membelit pinggang Chai Li dan
menarik tubuh yang melayang jatuh itu ke arahnya. Dengan
tangan kiri dia menyambut tubuh itu dan mengerahkan tenaga
sin-kangnya sehingga dia mampu menahan tenaga luncuran
tubuh wanita itu. Tubuh Chai Li terdekap dalam rangkulan
lengan kirinya yang; kuat.
Ketika sadar dari pingsannya, Chai Li mendapatkan dirinya
rebah di atas tanah bertilamkan rumput kering dan tak jauh|
dari tempat ia rebah, tampak seorang laki-laki duduk di atas
batu dan memandangnya sambil tersenyum ramah. Laki-laki
itu tampaknya berusia tiga puluhan tahun, pakaiannya bersih
dan mewah seperti seorang sasterawan yang kaya.
Rambutnya digelung ke atas dan dijepit dengan penjepit
rambut terbuat dari emas. Wajahnya yang bundar itu tampan
sekali dengan sepasang mata yang bersinar dan senyumnya
selalu merekah di bibirnya. Kulit mukanya putih. Seorang lakilaki yang tampan
dan bersikap lembut. Chai Li terheran-heran melihat ia rebah di situ. Teringatlah
ia betapa ia telah terjatuh ke dalam jutang! Tentu tubuhnya
telah terbanting hancur di dasar jurang. Akan tetapi mengapa
ia masin hidup, tubuhnya masih utuh dan rebah di tempat ini"
la bangkit duduk dan mengeluh lirih karena pinggangnya
terasa nyeri. Sabuk yang tadi melibat pinggangnya dan
menahannya dari kejatuhan menbuat pinggangnya terasa
nyeri. Setelah ia duduk, barulah tampak olehnya tebing jurang
menganga di depannya dan mengertilah ia bahwa ia telah
ditolong oleh orang ini, walaupun ia tidak tahu bagaimana
orang itu dapat menolongnya dari kejatuhan.
Mendengar Chai Li mengeluh dan melihat ia bangkit duduk,
orang itupun bangkit dari batu yang didudukinya. Setelah dia
bangkit baru tampak tubuhnya tinggi tegap dan tegak yang
membuatnya tampak gagah di samping ketampanannya. Dia
menghampiri dan bertanya, "Apakah ada yang terasa nyeri,
nona?" Suaranya tenang lembut dan ramah.
Chai Li menoleh kepadanya dan wanita ini lalu menulis
dengan telunjuk kanannya ke atas tanah. Ketika merasa
betapa tanah itu keras, ia lalu mengambil sebuah batu yang
runcing dan menulis dengan batu itu.
"Aku bukan nona, melainkan seorang nyonya dan
pinggangku terasa nyeri. Apa kah engkau yang
menyelamatkanku dari kejatuhan tadi?"
Laki-laki itu tercengang. Tidak menduga sama sekali bahwa
wanita di depannya itu gagu, akan tetapi tulisannya demikian
indah, jelas bukan tulisan wanita dusun biasa! Masih belum
yakin apakah wanita itu tidak gagu dan tuli, dia mengangguk
dan berkata, "Benar, aku yang telah menolongmu."
Mendengar ini, Chai Li lalu menjatuh kan dirinya berlutut di
depan pria itu. Pria itu cepat-cepat memegang kedua pundak
Chai Li dan membangunkannya dan merasakan dengan jarijari
tangannya betapa lembut dan halus kulit di bawah baju
itu. Dia memandang dan mengamati. Wajah itu amatlah
cantiknya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Terutama
mata itu. Sepasang mata yang bersinar-sinar seperti sepasang
bintang kejora! "Siapakah suamimu dan engkau tinggal di mana, nyonya?"
Chai Li menulis lagi di atas tanah.
"Saya..... suami saya meninggalkan saya... dan saya tinggal bersama seorang anak
saya di.... di dusun...."
Melihat betapa Chai Li menulis dengan ragu-ragu, pria itu
menjadi semakin tertarik.
"Siapa namamu, nyonya" Dan siapa pula nama suamimu
yang meninggalkanmu itu?" tanyanya.
Chai Li menjadi rikuh dan bingung. Tidak mungkin ia
mengaku bahwa suaminya adalah Kaisar Cheng Tung! Ia tidak
mengenal pria ini. Biarpun pria ini sudah membuktikan bahwa
dia seorang baik-baik yang telah menyelamatkannya, akan
tetapi ia tidak boleh mempercayai begitu saja dan
menceritakan kebenaran tentang dirinya, la lalu menulis lagi.
"Nama saya Chai Li dan suami saya bernama Han Tung. Inkong (tuan penolong),
tolonglah saya untuk naik ke atas
tebing dan untuk mencari anak saya."
Pria itu tersenyum. "Jalan menuju ke puncak tebing tidak
mudah, nyonya. Untuk itu engkau harus kupondong!"
Mendengar ini, wajah Chai Li berubah kemerahan dan hal
ini menambah kecantikannya yang aseli. ia menulis lagi,
"Terserah kepada in-kong dan sebelumnya saya
menghaturkan banyak terima kasih dan maaf bahwa saya
telah merepotkan in-kong."
"Ha-ha-ha, terlalu banyak terima kasih kau ucapkan, aku
menghendaki terima kasih dalam perbuatan nyata! Nyonya,
jawab saja pertanyaanku dengan geleng atau angguk. Apakah
engkau akan menyatakan terima kasihmu dengan mentaati
semua kata-kataku?" Chai Li mengangguk. "Engkau akan menaati semua kata-kataku, menuruti semua
permintaanku tanpa membantah dan selanjutnya
menggantungkan hidupmu kepadaku?"
Chai Li berpikir agak lama akan tetapi kemudian iapun
mengangguk, ia sudah terlanjur percaya kepada laki-laki yang
tampaknya lembut, baik hati dan ramah sekali itu.
"Bagus kalau begitu, kuperintahkan engkau untuk
merebahkan dirimu di atas tanah, memejamkan kedua
matamu dan tertidurlah!" Dalam suara itu terkandung wibawa yang amat kuat. Chai
Li memandang heran, akan tetapi ia
segera melakukan apa yang dipinta orang itu. Ia rebah
telentang dan memejamkan kedua matanya.
"Engkau tidak dapat menahan kantukmu, engkau
tertidur..... tidur pulas sekali"
Pria itu menggerakkan kedua telapak tangannya di atas
muka dan tubuh Chai Li, seperti membelai dan segera
pernapasan Chai Li menjadi halus karena ia sudah tertidur
pulas. "Chai Li, setelah nanti engkau sadar dari tidurmu, ingatlah selalu bahwa aku ini
adalah penolongmu, penyelamat nyawa
mu, kekasihmu juga suamimu yang mencintamu dan kaucinta.
Engkau akan melakukan apa saja yang kuperintahkan
kepadamu. Aku juga menjadi gurumu dan engkau menjadi
kekasih, isteri dan juga pembantuku yang setia." Berulangulang pria itu
mengeluarkan kata-kata yang sungguh aneh ini,
ada tujuh kali berulang-ulang dan Chai Li hanya menganggukanggukkan kepala tanda
mengerti dan setuju. Setelah melihat betapa Chai Li sudah mengerti betul dan
sudah tunduk dalam pengaruh sihirnya, pria itu lalu berkata!
lagi, "Ingat, aku adalah suamimu dan kekasihmu. Engkau
amat mencinta dan setia kepadaku, aku suamimu yang
bernama Phoa Li Seng. Engkau akan siap mati untuk
membelaku. Mengertikah engkau?"
Chai Li mengangguk-angguk lagi. Ia| telah benar-benar
berada di bawah pengaruh sihir yang dilakukan oleh pria iti
dengan amat kuatnya. "Sekarang bangunlah dari tidurmu dan laksanakan semua
kata-kataku!" Chai Li membuka kedua matanya, berkedip-kedip, lalu
bertemu pandang denga pria yang mengaku bernama Phoa Li
Seng itu. Dan Chai Li memandang mesra lalu tersenyum dan
ketika Phoa Li Sen menjulurkan tangan membantunya bangkit
Darah Asmara Gila 2 Shugyosa Samurai Pengembara 4 Pendekar Sakti Im Yang 2