Pencarian

Anak Naga 19

Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung Bagian 19


Mereka semua lalu menuju ke halaman belakang.
Sampai di halaman tampak seorang anak kecil sedang
berlatih ilmu pukulan dan seorang nenek terus-menerus
memberi petunjuk. Menyaksikan ilmu pukulan itu, An Lok
Kong cu mengerutkan kening.
"Kakak Han Liong," tanyanya heran.
"Kenapa ilmu pukulan itu kelihatan kacau balau sih?"
"Kelihatan kacau balau, namun amat lihay." Thio Han Liong
memberitahukan, "Itulah keanehan ilmu pukulan im sie Popo."
"Oh?" An Lok Keng Cu tercengang.
"Tapi persis seperti gerakan-gerakan orang gila."
"Adik An Lok" Thio Han Liong menjelaskan.
"Itu memang ilmu silat orang tak waras, maka gerakannya
seperti itu." "oh, ya?" An Lok Keng cu tersenyum geli.
"Tapi Kiat Hiong tidak akan berubah menjadi gila, kan?"
"Tentu tidak," sahut Thio Han Liong, kemudian berkata
kepada seng Hwi. "Kalau gerakan-gerakan itu dicampur dengan ilmu pukulan
cing Hwee ciang, kelak Kiat Hiong pasti berkepandaian tinggi."
"Maksudmu aku harus mengajarnya ilmu pukulan cing
Hwee Ciang?" tanya seng Hwi sambil memandang Thio Han
Liong. "Ya." Thio Han Liong mengangguk.
"Tapi ingat Kiat Hiong tidak boleh belajar ilmu Lweekang im
sie Popo" "Justru amat mengherankan" seng Hwi memberitahukan.
"Im sie Popo sama sekali tidak mengajar Kiat Hiong ilmu
Iweekang." "Oh?" Thio Han Liong tercengang.
"Dia sudah gila, tapi kenapa masih bisa berpikir panjang?"
"Maksudmu?" "Apabila Kiat Hiong belajar ilmu Lweekangnya, akan
membuat Kiat Hiong berubah menjadi tak waras," sahut Thio
Han Liong sungguh-sungguh.
"Maka Kiat Hiong tidak boleh belajar itu."
"Han Liong...." su Hong sek tampak tersentak.
"Benarkah itu?"
"Benar." Thio Han Liong mengangguk,
"Kalau begitu...." su Hong sek berlega hati.
"Syukurlah Im sie Popo tidak mengajarnya ilmu Lweekang"
Mereka terus bercakap-cakap. setelah itu Thio Han Liong
memberi petunjuk kepada seng Kiat Hiong, dan itu amat
menggembirakan Kiat Hiong.
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu tinggal di markas Kay
Pang beberapa hari. Dalam kurun waktu itu, tiada kabar
beritanya mengenai Ban Tok Lo Mo dan muridnya. Itu
sungguh mengherankan, maka hari ini Thio Han Liong, An Lok
Kong cu, seng Hwi dan su Hong sek berbincang-bincang
mengenai hal itu. "Aku tidak habis pikir, kenapa tiada kabar beritanya lagi
tentang Ban Tok Lo Mo dan muridnya?" ujar Thio Han Liong
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Memang mengherankan." seng Hwi mengerutkan kening.
"Kelihatannya mereka guru dan murid sedang bermain kucingkucingan
dengan kita." "Aaaah..." Thio Han Liong menghela nafas panjang.
"Kalau kami tahu berada di mana Ban Tok Lo Mo dan
muridnya, kami pasti sudah pergi mencari mereka."
"Han Liong" su Hong sek tersenyum.
"Bersabarlah Tak lama lagi Ban Tok Lo Mo dan muridnya
pasti muncul dalam rimba persilatan."
Tak terasa beberapa hari telah berlalu, namun tetap tiada
kabar berita tentang Ban Tok Lo Mo dan muridnya. Thio Han
Liong sama sekali tidak mengerti, kenapa mereka berdua
selalu timbul tenggelam seakan sedang mempemainkan kaum
rimba persilatan Tionggoan.
"Kelihatannya..." ujar Thio Han Liong.
"Ban Tok Lo Mo dan muridnya memang sengaja
mempermainkan kita."
"Kalau begitu.." sahut seng Hwi sambil mengerutkan
kening. "Kita biarkan saja. Tapi aku yakin Ban Tok Lo Mo dan
muridnya pasti akan muncul." Thio Han Liong manggutmanggut.
Malam harinya, Thio Han Liong dan An Lok Keng cu
berbicara serius di dalam kamar.
"Sudah hampir sepuluh hari kita tinggal di sini, namun
tetap tiada kabar berita tentang Ban Tok Lo Mo dan
muridnya," ujar Thio Han Liong sambil memandang An Lok
Kong Cu. "Bagaimana menurutmu, kita harus terus menunggu atau
lebih baik kita kembali ke Kotaraja?"
"Menurut aku, lebih baik kita kembali ke Kotaraja," sahut
An Lok Keng cu mengemukakan pendapat.
"Setelah itu, barulah kita mencari Ban Tok LoMo dan
muridnya." "Ngmm" Thio Han Liong manggut-manggut.
Keesokan harinya, mereka berpamit kepada seng Hwi dan
su Hong seki lalu menuju Kotaraja.
Bab 68 Mao san Tosu Thio Han Liong dan An Lok Kong cu tiba di kota Cin Lam.
Walau kota tersebut tidak begitu besar, namun penduduknya
padat bahkan cukup indah.
Mereka berdua berjalan santai sambil menikmati keindahan
kota tersebut. Ketika menikung, tampak begitu banyak warga
kota berbaris ke depan sebuah kuil.
"Ada apa, ya?" An Lok Kong cu heran.
"Mungkinkah mereka mau sembahyang?" sahut Thio Han
Liong. "Tidak mungkin." An Lok Kong cu menggelengkan kemala.
"Mereka sama sekali tidak pegang hio, tentu bukan mau
sembahyang." "Mari kita ke sana bertanya" ajak Thio Han Liong.
An Lok Kong cu mengangguk, Mereka berdua mendekati
kuil itu, ternyata adalah kuil Kwan Kong, seorang pahlawan di
jaman sam Kok (Tiga Negara).
"Paman," tanya Thio Han Liong kepada seseorang.
"Ada apa ramai-ramai di sini?"
"Aaaah..." orang itu menghela nafas panjang.
"Beberapa hari ini, terjadi suatu wabah penyakit. Para tabib
tak mampu mengobati orang-orang yang terkena wabah
penyakit itu, kemudian muncul Mao san Tosu (Pendeta Dari
Gunung Mao san). Dialah yang dapat menyembuhkan para
penderita wabah penyakit itu."
"Oh?" Thio Han Liong mengerutkan kening.
"Wabah penyakit apa itu?"
"Muntah berak. Dalam waktu tiga hari orang yang terkena
penyakit itu pasti mati." orang itu memberitahukan.
"Maka semua orang ke mari membeli obat buatan Mao san
Tosu itu, tapi...." "Kenapa?" "Obat itu mahal sekali, sebungkus sepuluh tael perak.
orang miskin tak mampu membeli obat itu, akhirnya mati
begitu saja." "Paman," tanya An Lok Keng cu mendadak.
"Pembesar kota ini sama sekali tidak turun tangan
membantu mereka yang terkena wabah?"
"Pembesar Yap pernah ke mari bermohon kepada Mao San
Tosu, agar obatnya jangan dijual terlampau mahal. Tapi Mao
san Tosu itu mengatakan, bahwa bahan obat itu amat sulit
dicari, maka harus dijual dengan harga tinggi."
"Lalu bagaimana tindakan pembesar Yap?" tanya An Lok
Keng cu penuh perhatian. "Pembesar Yap tidak bisa berbuat apa-apa, tapi membantu
fakir miskin dengan uang, agar mereka dapat membeli obat
yang diperlukan itu. Tapi... akhirnya pembesar Yap kehabisan
uang, bahkan putrinya terkena penyakit aneh pula."
"Penyakit aneh?" An Lok Kong cu mengerutkan kening.
"Ya." orang itu mengangguk.
"Putri pembesar Yap sering duduk melamun, malah
kadang-kadang menangis dan tertawa sendiri Banyak tabib
yang diundang untuk mengobati, tapi seorang pun tiada yang
dapat menyembuhkannya."
"oh?" "Di saat itulah muncul Mao san Tosu ke rumah pembesar
Yap. Katanya mampu mengobati Nona Yap. tapi pembesar
Yap harus membayar lima ribu tael emas. Bagaimana mungkin
pembesar Yap menyanggupinya" sebab beliau bukan
pembesar korup, hanya mengandal pada gajinya."
"Jadi hingga saat ini Nona Yap masih begitu?" tanya Thio
Han Liong. "Ya." orang itu mengangguk.
"Sudah belasan kali pembesar Yap ke kuil bermohon
kepada Mao san Tosu, tapi pendeta itu sama sekali tidak
meladeninya." "Paman" tanya Thio Han Liong.
"Di mana rumah pembesar Yap?"
"Di sana." orang itu menunjuk ke arah barat.
"Rumah itu cukup besar, tapi sudah tua."
"Terimakasih," ucap Thio Han Liong, lalu menarik An Lok
Kong cu untuk diajak ke rumah pembesar Yap.
Berselang beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di
rumah pembesar itu. Tampak dua penjaga berdiri di depan
pintu pagar. "Maaf." Thio Han Liong dan An Lok Kong cu menghampiri
mereka. "Aku ingin bertemu pembesar Yap."
"Aaaah..." salah seorang penjaga itu menghela nafas
panjang. "Pembesar Yap sedang kacau, lebih baik kalian jangan
menemui beliau." "Kami ke mari justru ingin mengobati putrinya." Thio Han
Liong memberitahukan. "Tolong beritahukan kepada beliau"
"Baik." salah seorang penjaga segera berlari ke dalam,
sedangkan yang lain menatap Thio Han Liong dengan penuh
keraguan. "Tuan dapat menyembuhkan Nona Yap?" tanyanya tidak
percaya. "Mudah-mudahan" sahut Thio Han Liong sambil tersenyum.
Di saat bersamaan, penjaga yang pergi melapor itu sudah
kembali lalu memberi hormat ke Thio Han Liong seraya
berkata. "Pembesar Yap mempersilakan kalian masuk, Terima
kasih," ucap Thio Han Liong.
la bersama An Lok Kong cu berjalan memasuki halaman.
Mereka melihat seorang tua berdiri di depan rumah yang
ternyata pembesar Yap. Thio Han Liong dan An Lok Kong cu
memberi hormat. orangtua itu pun segera balas memberi
hormat. "Silakan masuk" ucapnya.
"Terimakasih." Thio Han Liong dan An Lok Keng cu
melangkah ke dalam. "Silakan duduk" ucap pembesar Yap sambil menatap
mereka dengan ragu-ragu. Thio Han Liong dan An Lok Keng cu duduki Mereka berdua
tahu akan keraguan pembesar Yap. Maka, An Lok Keng cu
menatap Thio Han Liong, seakan bertanya apakah Thio Han
Liong mampu menyembuhkan Nona Yap" Thio Han Liong
manggut-manggut sambil tersenyum, dan itu amat melegakan
hati An Lok Kong cu. "Bolehkah aku tahu siapa kalian?" tanya pembesar Yap
dengan ramah. "Aku bernama Thio Han Liong. Dia adalah tunanganku
bernama Cu An Lok," jawab Thio Han Liong memberitahukan.
"Ngmmm" Pembesar Yap manggut-manggut.
"Han Liong, engkaukah yang akan mengobati putriku?"
"Ya." Thio Han Liong mengangguk,
"Dapatkah engkau menyembuhkannya?" tanya pembesar
Yap. "Mudah-mudahan" sahut Thio Han Liong.
"Oh ya sebetulnya Nona Yap menderita penyakit apa?"
"Kata para tabib...." Pembesar Yap menggeleng-gelengkan
kepala. "Putriku kerasukkan arwah penasaran. Mao san Tosu sudah
ke mari, tapi minta lima ribu tael emas. Aku tidak punya uang
sebanyak itu. Kalaupun rumahku ini dijual, tidak mungkin aku
mendapatkan uang sebanyak itu. Maka aku... aku...."
"Tenang, Pembesar Yap" Thio Han Liong tersenyum.
"Aaah..." Pembesar Yap menghela nafas panjang.
"Bagaimana mungkin aku bisa tenang, kini putriku semakin
parah . . . . " "Maaf, Pembesar Yap Bolehkah kami menjenguk Nona Yap
sebentar?" tanya Thio Han Liong.
"Boleh." Pembesar Yap mengangguk, lalu mengajak Thio
Han Liong dan An Lok Kong cu ke kamar putrinya.
Kamar tersebut digembok dari luar. Ketika mereka
mendekati kamar itu, terdengarlah suara tawa yang
menyeramkan, membuat An Lok Kong cu langsung merinding.
"Kakak Han Liong...." An Lok Keng cu tampak agak takut.
"Jangan takut" bisik Thio Han Liong.
"Aaah..." Pembesar Yap menghela nafas.
"Dengarkanlah sendiri, putriku sering tertawa seram dan
menangis gerung-gerungan"
"Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut dan bertanya,
"Pembesar Yap. di mana kunci gembok ini?"
"Mau membuka pintu ini?" Pembesar Yap tampak terkejut.
"Ya." Thio Han Liong mengangguk,
"Itu...." Pembesar Yap menggoyang-goyangkan sepasang
tangannya. "Itu... lebih baik jangan"
"Pembesar Yap." ujar Thlo Han Liong.
"Kalau pintu ini tidak dibuka, bagaimana aku bisa
mengobatinya?" "Tapi...." Pembesar Yap tampak ragu.
"Pembesar Yap." sela An Lok Keng cu.
"Jangan ragu, percayalah kepada Kakak Han Liong"
Pembesar Yap menatap Thio Han Liong sejenak, setetah itu


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barulah mengeluarkan kunci dan membuka gembok itu, talu
berdiri di belakang Thio Han Liong.
Perlahan-lahan Thio Han Liong mendorong pintu itu, lalu
melangkah ke dalam diikuti An Lok Kong cu dan pembesar
Yap. Tampak seorang gadis duduk dipinggir ranjang,
rambutnya awut-awutan. Begitu melihat mereka masuki ia
langsung menuding dan menyeringai seraya berteriak-teriak,
"Aku akan telan kalian Aku akan telan kalian Hi hi hi Aku
adalah arwah penasaran, aku akan menuntut balas"
"Nak..." panggil pembesar Yap dengan mata basah.
"Engkau sudah tidak mengenali ayah lagi?"
"Hik hik hik" Gadis itu tertawa seram, lalu bangkit berdiri
sambil menjulurkan sepasang tangannya ke depan, seakan
mau mencekik pembesar Yap.
Di saat bersamaan, Thio Han Liong menatapnya dengan
sorotan tajam, kemudian berkata lembut.
"Nona Yap. duduklah"
Gadis itu tampak tertegun. Dipandangnya Thio Han Liong
lama sekali, kemudian barulah duduk, Itu sungguh
mencengangkan An Lok Kong cu dan pembesar Yap.
"Nona Yap." ujar Thio Han Liong sambil tersenyum.
"Kuatkanlah batinmu dan bersihkan hatimu, pandanglah
mataku" Gadis itu segera memandang mata Thio Han Liong,
kemudian mendadak menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.
Thio Han Liong menjulurkan tangannya lalu ditaruh di atas
kepala gadis itu seraya berkata,
"Kenapa engkau mengganggu keluarga pembesar Yap.
apakah engkau punya dendam terhadap beliau?"
"Maaf. Maaf." suara gadis itu berubah parau.
"Mao san Tosu yang menyuruhku ke mari untuk
mengganggunya, jangan hukum aku"
"Aku tidak akan menghukummu, sebab engkau hanya
diperalat oleh Mao san Tosu itu. Nah, cepatlah engkau pergi"
"Aku...." "Engkau tidak mau pergi?"
"Aku tidak tahu harus pergi ke mana, sebab Mao san Tosu
pasti akan menangkapku lagi."
"Kalau begitu, aku akan membantumu ke suatu tempat,"
ujar Thio Han Liong sambil mengibaskan tangannya ke arah
badan gadis itu. "Terima kasih Terimakasih...." suara itu makin tama makin
kecil. Tiba-tiba gadis itu terkulai pingsan. Terkejutlah pembesar
Yap dan langsung merangkulnya .
"Tenang, Pembesar Yap" Thio Han Liong tersenyum.
"Dia akan tersadar sendiri."
Berselang beberapa saat, gadis itu membuka matanya
perlahan-lahan. setelah itu, ia pun menengok ke sana ke mari
dengan penuh keheranan. "Ada apa" Eh" siapa kalian?"
"Nak...." Pembesar Yap memeluknya erat-erat.
"Engkau sudah sembuh Engkau sudah sembuh...."
"Ayah, kenapa aku?" gadis itu terheran-heran.
"Oh ya, siapa mereka itu?"
"Thio Han Liong dan cu An Lok," Pembesar Yap
memberitahukan. "Thio Han Liong yang menyembuhkanmu. "
"Ayah" Kening gadis itu berkerut-kerut.
"Kenapa aku" Memangnya aku sakit" Kok aku tidak tahu
sama, sekali?" "Nak" Pembesar Yap membelainya.
"Beberapa hari lalu, mendadak engkau pingsan. Ketika
siuman, engkau...." "Kenapa aku?" "Engkau mulai tertawa seram dan menangis gerunggerungan."
Pembesar Yap memberitahukan.
"Bahkan sering mengoceh yang tidak karuan. Di saat itulah
muncul Mao san Tosu. Dia bilang sanggup menyembuhkanmu,
tapi ayah harus membayar lima ribu tael emas."
"Ayah mana punya uang sebanyak itu?"
"Ayah tidak sanggup membayar setinggi itu, maka terpaksa
ke kuil Kwan Kong untuk bermohon kepada Mao san Tosu itu,
tapi... dia sama sekali tidak meladeni ayah. Untung hari ini
kedatangan Thio Han Liong dan cu An Lok," .
"Maksud Ayah... saudara Thio ini yang menyembuhkanku?"
"Ya." "Saudara Thio" Gadis itu segera memberi hormat.
"Terimalah hormatku"
"Jangan sungkan-sungkan" sahut Thio Han Liong sambil
memberi hormat. "Ayahmu seorang pembesar yang baik, kami amat kagum
padanya." "Ha ha ha" Pembesar Yap tertawa geiak.
"Mari kita mengobrol di ruang depan saja"
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu mengangguk. Mereka
semua lalu pergi ke ruang depan, dan pelayan pun segera
menyuguhkan teh wangi. "Han Liong," tanya pembesar Yap.
"Betulkah putriku kerasukan arwah penasaran?"
"Sebetulnya itu merupakan suatu ilmu hitam. Mao san Tosu
menyuruh arwah penasaran untuk mengganggu Nona Yap. Itu
cara Tosu jahat itu mencari uang. Aku pun yakin wabah
penyakit itu diciptakan Tosu jahat tersebut," jawab Thio Han
Liong. "Han Liong, engkau masih muda dan juga bukan Tosu
maupun Hweeshio, tapi... kenapa engkau mampu
menaklukkan arwah penasaran itu?" tanya pembesar Yap
heran. "Pembesar Yap" Thio Han Liong memberitahukan.
"Aku pernah belajar ilmu Penakluk iblis, maka aku dapat
menyembuhkan Nona Yap."
"Oooh" Pembesar Yap manggut-manggut.
"Bukan main" "Saudara Thio," tanya gadis itu mendadak,
"Cu An Lok adalah isterimu?"
"Dia tunanganku," sahut Thio Han Liong.
"Kami akan ke Kota raja untuk melangsungkan
pernikahan." "Oooh" Gadis itu manggut-manggut
"Kalian berdua dari Kotaraja?" tanya pembesar Yap sambil
memandang mereka. "Apakah kalian putra dan putri pembesar di Kotaraja?"
Thio Han Liong hanya tersenyum, begitu pula An Lok Kong
cu. Kemudian gadis itu berkata dengan sungguh-sungguh.
"Pembesar Yap amat jujur dan tak pernah melakukan
tindak korupsi, tapi kenapa belum naik pangkat?"
"Atasanku tak pernah melapor ke istana, maka pangkatku
tidak pernah naik." ujar pembesar Yap sambil tersenyum.
"Itu tidak apa-apa, sebab penduduk di kota ini amat
mencintaiku, itu membuatku betah di sini."
"Oooh" An Lok Kong cu manggut-manggut.
"Oh ya" ujar pembesar Yap.
"Aku dengar Mao san Tosu itu mahir ilmu silat. Mungkin dia
akan mencari kalian, karena putriku telah sembuh."
"Pembesar Yap" Thio Han Liong memberitahukan.
"Sekarang kami justru mau pergi mencarinya, karena dia
yang menciptakan wabah penyakit itu, maka dia yang harus
bertanggung jawab . "
"Maaf" Pembesar Yap menatapnya.
"Engkau juga pandai bersilat?"
"Ya." Thio Han Liong mengangguk,
"Sungguh hebat engkau, anak muda" Pembesar Yap
memandangnya dengan kagum sekali, begitu pula putrinya.
"Sungguh tak disangka..." ujar Nona Yap.
"Engkau begitu hebat"
Thio Han Liong tersenyum, kemudian bangkit berdiri An Lok
Keng cu ikut berdiri "Maaf, Pembesar Yap Kami mau mohon pamit," ucap Thio
Han Liong. "Kalian mau ke kuil itu menemui Mao san Tosu?" tanya
pembesar Yap sambil bangkit berdiri, begitu pula Nona Yap.
"Ya," sahut Thio Han Liong.
"Pembesar Yap" An Lok Kong cu memberitahukan.
"Kami akan ke mari lagi."
"oh?" Pembesar Yap tampak girang sekali.
"Aku... aku tunggu kalian, semoga kalian berhasil
menundukkan Mao san Tosu"
"Permisi, Pembesar Yap" ucap Thio Han Liong, lalu bersama
An Lok Keng cu meninggalkan rumah itu. Pembesar Yap dan
putrinya mengantar mereka sampai di depan rumah.
Setelah Thio Han Liong dan An Lok Keng cu tidak kelihatan,
barulah mereka kembali masuk rumah.
"Nak," Pembesar Yap menatap putrinya dengan penuh
kasih sayang. "Syukurlah engkau telah sembuh"
"Ayah," ujar Nona Yap kagum.
"Pemuda itu amat hebat, sayang sekali sudah punya
tunangan. Kalau tidak...."
"Nak" Pembesar Yap menggeleng-gelengkan kepala.
"Ayah pun amat menyukainya, tapi dia sudah punya
tunangan. Kalau tidak, ayah pasti menjodohkan kalian."
"Aaah..." Nona Yap menghela napas panjang.
"Sudahlah" Pembesar Yap tersenyum.
"Engkau harus segera menyuruh pelayan masak sekarang,
ayah mau menjamu mereka."
"Ayah, betulkah mereka akan ke mari lagi?" tanya Nona
Yap girang. "Mereka tidak akan ingkar janji, percayalah" sahut
pembesar Yap. "Maka engkau harus cepat menyuruh pelayan agar
membuat masakan yang lezat."
"Ya, Ayah." Nona Yap langsung masuk ke dalam.
Thio Han Liong dan An Lok Kong Cu sudah sampai di depan
kuil itu. Masih banyak penduduk kota berbaris di situ untuk
membeli obat. "Adik An Lok, engkau tunggu di sini." bisik Thio Han Liong.
"Aku akan ke dalam menyeret Tosu itu keluar."
Bagian 35 An Lok Kong Cu mengangguk. Thio Han Liong berjalan
memasuki kuil, tapi dihadang oleh beberapa orang penjaga.
"Mau apa engkau ke dalam?" tanya salah seorang penjaga
sambil bertolak pinggang dan tersenyum dingin.
"Aku mau bertemu Mao San Tosu," sahut Thio Han Liong.
"Kalau engkau mau membeli obat, harus antri," bisik orang
itu. "Tapi bisa juga engkau langsung ke dalam, hanya saja...."
"Aku mengerti." Thio Han Liong tersenyum, kemudian
diselipkannya satu tael perak ke tangan orang itu.
"Bagaimana" Bolehkah aku masuk sekarang?"
"Silakan, silakan" ucap orang itu dengan wajah berseri-seri.
"Tuan muda boleh masuk sekarang"
"Terimakasih." Thio Han Liong melangkah ke dalam.
Tampak seorang Tosu sedang duduk, Usianya sekitar lima
puluh, bentuk mukanya segi empat dan berhidung besar. la
sedang sibuk menjual obatnya. Laci mejanya sudah penuh
dengan uang perak. "Mao San Tosu" bentak Thio Han Liong.
Mao San Tosu tersentak dan langsung menoleh. Wajahnya
berubah bengis begitu melihat Thio Han Liong.
"Anak muda" bentaknya.
"Mau apa engkau ke mari?"
"Hem" dengus Thio Han Liong dingin.
"sungguh bagus sekali perbuatanmu, Engkau menciptakan
wabah penyakit, lalu memeras penduduk kota ini oleh karena
itu, aku harus membasmimu"
"Eh?" Mao san Tosu mengerutkan kening.
"siapa engkau" Kenapa menuduh sembarangan?"
"Mao san Tosu, engkau kira aku tidak tahu semua
perbuatanmu?" sahut Thio Han Liong dingin.
"Aku yang menyembuhkan putri pembesar Yap...."
"Apa?" Mao san Tosu langsung bangkit berdiri
"Engkau yang menyembuhkan Nona Yap?"
"Betul" Thio Han Liong mengangguk.
"He he he" Mao san Tosu tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalau begitu, engkau ke mari cari mampus"
"Engkaulah yang akan mampus" sahut Thio Han Liong.
"Anak muda" Mao san Tosu menatapnya tajam.
"Lihatlah Ada seekor macan buas menerkammu"
"Memang ada seekor macan buas, tapi macan buas itu
sudah berbalik menerkammu" sahut Thio Han Liong. Ternyata
ia telah mengerahkan Ilmu Penakluk iblis.
"Haaah..." Betapa terkejutnya Mao san Tosu, sebab ia
melihat seekor macan buas sedang menerkam ke arahnya. ia
cepat-cepat meniup ke arah macan buas tersebut, dan macan
buas itu sirna seketika. "Mao san Tosu, percuma engkau mengeluarkan ilmu hitam"
ujar Thio Han Liong. "Lebih baik engkau membagi-bagikan obatmu kepada para
penduduk. Uang yang sudah engkau terima itu harus
dikembalikan pada mereka Kalau tidak, itu berarti engkau mau
cari mampus" "Omong kosong" bentak Mao san Tosu, lalu mendadak
menyerang Thio Han Liong.
Cukup lihay dan dahsyat serangan itu, namun yang
dihadapinya adalah Thio Han Liong yang berkepandaian amat
tinggi, maka serangannya itu tiada artinya sama sekali.
"Aaaakh..." Tiba-tiba Mao san Tosu menjerit dan tubuhnya
terpental membentur dinding kuil. "Aduuuh"
Ternyata Thio Han Liong mengibaskan lengan bajunya,
sehingga membuat Mao san Tosu itu terpental membentur
dinding kuil, lalu terkulai dengan mulut mengeluarkan darah.
Thio Han Liong mendekatinya selangkah demi selangkah
dengan tatapan dingin sekali, maka pecahlah nyali Mao san
Tosu itu. "Ampunilah aku, siauhiap. Ampunilah aku...."
"Mao san Tosu" bentak Thio Han Liong.
"Bagaimana cara engkau menciptakan wabah penyakit itu?"
"Aku...." Mao san Tosu menundukkan kepala.
"Aku menaruh racun ke dalam sumur penduduk kota, maka


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka keracunan...."
"Engkau sungguh kejam, maka aku tidak bisa
mengampunimu" "Siauhiap" Mao san Tosu menyembah di hadapan Thio Han
Liong. "Ampunilah aku...."
"Aku bersedia mengampunimu, tapi engkau harus
membagi-bagikan obat itu kepada mereka yang
membutuhkan" "Ya, siauhiap."
"Dan juga..." tambah Thio Han Liong.
"Uang yang ada di dalam laci itu harus diserahkan
kepadaku, akan kuserahkan kepada pembesar Yap agar
dikembalikan kepada para penduduk kota yang telah membeli
obatmu" "Ya, ya." Mao san Tosu mengangguk.
Mendadak tangan Thio Han Liong bergerak, dan itu
membuat Mao san Tosu menjerit lagi. "Aaaakh"
"Aku telah memusnahkan ilmu silatmu, bahkan juga ilmu
hitammu" Thio Han Liong memberitahukan.
"Maka engkau jangan coba-coba mengeluarkan ilmu hitam
sebab akan merusak dirimu sendiri"
"Haaah...?" Mendengar ucapan itu, Mao san Tosu nyaris
pingsan seketika. "Engkau...."
"Ayoh" bentak Thio Han Liong.
"cepat bagi-bagikan obat itu kepada mereka yang antri di
depan kuil" "Ya." Mao san Tosu segera membagikan obatnya itu.
Betapa girangnya para penduduk. mereka bersorak-sorai
penuh kegirangan. sebaliknya wajah Mao san Tosu malah
meringis-ringis, kemudian ia pun menyerahkan uang yang ada
di dalam laci kepada Thio Han Liong.
Thio Han Liong berjalan ke luar, dan An Lok Kong cu
menyambutnya sambil tersenyum-senyum.
"Kakak Han Liong," tanya gadis itu.
"Engkau telah memusnahkan kepandaian Mao san Tosu
itu?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk.
Sementara para penduduk memandang Thio Han Liong
dengan penuh rasa terima kasih dan Thio Han Liong manggutmanggut.
Mereka berdua lalu kembali ke rumah pembesar
Yap. Pembesar Yap dan putrinya berdiri di depan rumah
menyambut kedatangan Thio Han Liong dan An Lok Kong cu.
Wajah mereka berseri-seri dan diliputi kekaguman.
"Pembesar Yap" panggil Thio Han Liong sambil memberi
hormat. "Han Liong...." Pembesar Yap memegang bahunya.
"Aku tahu, engkau berhasil menundukkan Mao san Tosu
itu." "Ada yang ke mari melapor?"
"Ya, salah seorang penduduk," sahut pembesar Yap sambil
tertawa. "Para penduduk kota amat kagum dan berterima kasih
kepadamu." "Itu kewajibanku," ujar Thio Han Liong.
"Han Liong, mari kita ke dalam" ujar pembesar Yap.
Thio Han Liong mengangguk. Mereka masuk ke dalam tapi
pembesar Yap mengundang mereka berdua ke ruang makan.
"Pembesar Yap...." Thio Han Liong dan An Lok Kong cu
terheran-heran. "Ha ha ha" Pembesar Yap tertawa gelak.
"Aku mau menjamu kalian, mari makan bersama"
"Pembesar Yap." sahut An Lok Kong cu.
"Kami kembali ke mari bukan untuk dijamu, melainkan
ingin bercakap-cakap saja."
"Kalau begitu...." Pembesar Yap tersenyum.
"Usai makan, barulah kita bercakap-cakap."
"Baiklah," An Lok Kong cu mengangguk,
Mereka makan bersama sambil bersulang. Usai makan
mereka kembali ke ruang depan.
Putri pembesar Yap juga ikut disana. Thio Han Liong
menaruh bungkusan yang dibawanya diatas meja, setelah itu
berkata, "Pembesar Yap. uang perak yang ada di dalam bungkusan
ini adalah kepunyaan penduduk kota yang membeli obat.
Harap pembesar Yap mengembalikan uang ini kepada mereka"
"Baik, baik." Pembesar Yap manggut-manggut.
"Apakah Mao san Tosu itu tidak akan menuntut balas
terhadap kami?" tanyanya.
"Tentu tidak." Thio Han Liong tersenyum.
"Sebab aku telah memusnahkan kepandaiannya. Maka, kini
dia sudah tidak bisa bersilat maupun mengeluarkan ilmu
hitamnya." "Oooh" Pembesar Yap menarik nafas lega. "syukurlah kalau
begitu" "Pembesar Yap" An Lok Kong cu menatapnya seraya
bertanya. "Apakah pembesar Yap akan tetap menjadi pembesar kota
ini?" "Betul." Pembesar Yap mengangguk.
"Karena kami turun-temurun menjadi pembesar di kota ini.
Hanya saja aku tidak punya anak lelaki, maka selanjutnya...."
"Pembesar Yap punya anak perempuan, siapa tahu dia
akan menikah dengan seorang sarjana yang akan
menggantikan pembesar Yap." ujar An Lok Kong cu.
"Aku tidak berharap begitu," ujar pembesar Yap sungguhsungguh.
"Aku cuma berharap putriku akan menikah dengan lelaki
yang Baik, tidak perduli miskin atau kaya."
"Mudah-mudahan Nona Yap akan bertemu pemuda idaman
hatinya" ucap Thio Han Liong sambil tersenyum.
"Terima kasih," sahut Nona Yap sambil menundukkan
kepala. "Nona Cu sungguh beruntung, punya tunangan yang begitu
tampan dan hebat" "Nona Yap" An Lok Kong cu tersenyum lembut.
"Percayalah Kelak engkau pun akan bertemu pemuda yang
seperti Kakak Han Liong."
"Mudah-mudahan" ucap Nona Yap sambil menarik nafas
dalam-dalam. "Pembesar Yap." tanya Thio Han Liong mendadak.
"Betulkah pembesar Yap tidak berniat naik pangkat?"
"Sebetulnya aku tidak berniat naik pangkat, tapi. ..."
"Kenapa?" "Atasanku itu selalu korupsi. Kalau aku bisa naik pangkat
menggantikannya penduduk sekitar daerah ini pasti hidup
makmur dan sejahtera."
"Ngmmm" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Oh ya, bolehkah kami mohon bantuan pembesar"
"Apa yang dapat kubantu?"
"Undang penjabat itu ke mari, kami ingin menemuinya."
"Apa?" Pembesar Yap terbelalak.
"Itu... bagaimana mungkin?"
"Ayah" Nona Yap tersenyum.
"Bukankah pejabat itu pernah minta giok milik leluhur kita?"
"Benar." Pembesar Yap manggut-manggut.
"Maksudmu dengan alasan itu ayah mengundang dia ke
mari?" "Betul, Ayah." Yap In Hong mengangguk.
"Kalau gubernur itu dengar giok tersebut, dia pasti mau ke
mari?" "Tapi...." Pembesar Yap memandang Thio Han Liong.
"Untuk apa gubernur itu diundang ke mari?"
"Itu adalah rahasia kami," sahut Thio Han Liong dengan
serius. "Ayah," sela Yap In Hong.
"Percayalah kepada Kakak Han Liong, dia pasti tidak akan
menyusahkan Ayah" "Baiklah." Pembesar Yap manggut-manggut.
"Kalian tunggulah di sini, aku akan pergi mengundang
gubernur ke mari." "Terima kasih, Pembesar Yap." ucap Thio Han Liong.
Setelah pembesar Yap pergi mengundang gubernur, Yap In
Hong mulai bercakap-cakap dengan An Lok Kong cu.
"Nona Cu," tanya Yap In Hong. engkau bisa bersilat juga?"
"Ya." An Lok Kong cu mengangguk,
"Kalian berdua memang merupakan pasangan yang serasi,"
ujar Yap In Hong sambil tersenyum.
"Dulu aku ingin belajar ilmu silat, tapi ditentang oleh
ayahku. Alasannya anak gadis tidak boleh belajar ilmu silat,
sebab akan membuat tangan menjadi kasar."
"Nona Yap." ujar An Lok Kong cu. "Buktinya tanganku tidak
kasar, kan?" "Ya." Yap In Hong mengangguk.
"Sebaliknya malah halus sekali. seandainya pada waktu itu
aku diperbolehkan belajar ilmu silat, tentunya kini aku bisa
melindungi ayahku." "Adik Yap." ujar Thio Han Liong sambil tersenyum.
"Engkau berniat sekali belajar ilmu silat?"
"Betul. Kakak Han Liong bersedia mengajariku?" tanya Yap
In Hong dengan wajah berseri.
"Aku tidak punya waktu. Tapi aku akan menulis semacam
ilmu Lweekang untuk engkau pelajari, termasuk gerakgerakannya,"
sahut Thio Han Liong, kemudian wajahnya
tampak serius. "setelah engkau berhasil menguasai ilmu itu, kertas yang
berisi pelajaran ilmu itu harus dibakar, agar tidak terjatuh ke
tangan penjahat." "Kakak Han Liong, ilmu apa itu?" tanya Yap In Hong
tertarik. "Ih Kin Kong," sahut Thio Han Liong memberitahukan.
"Itu merupakan ilmu Lweekang yang amat tinggi. Gerakangerakannya
pun amat hebat, lihay dan dahsyat. Kalau tidak
dalam keadaan yang membahayakan dirimu, engkau tidak
boleh mengeluarkan ilmu itu."
"Ya." Yap In Hong mengangguk.
"Kalau begitu..." ujar Thio Han Liong.
"Tolong sediakan kertas, pit dan tinta"
Yap In Hong manggut-manggut, lalu masuk ke dalam. An
Lok Kong cu menatap Thio Han Liong, kemudian bertanya
dengan suara rendah. "Kakak Han Liong, dia akan berhasil mempelajari ilmu Ih
Kin Kong itu?" "Memang sulit," jawab Thio Han Liong dan menambahkan,
"Namun aku akan membantunya."
"Maksudmu?" "Aku akan memindahkan sedikit Lweekang ku kepadanya,
sebagai dasar Lweekangnya. Engkau setuju, bukan?"
An Lok Kong cu mengangguk sambil tersenyum.
"Nona Yap dan ayahnya adalah orang baik, kita memang
harus membantu mereka. Kalau Nona Yap berhasil menguasai
ilmu itu, maka dia akan dapat melindungi ayahnya."
"Itu tujuanku," ujar Thio Han Liong.
"Oh ya, Kakak Han Liong," bisik An Lok Kong cu.
"Engkau ingin memecat gubernur korup itu?"
"Ya." Thio Han Liong mengangguk.
"Pembesar Yap akan kuangkat untuk menggantikan
gubernur itu." "Bagus" An Lok Kong cu tersenyum.
"Aku sependapat denganmu."
Thio Han Liong juga tersenyum. Di saat itulah muncul Yap
In Hong dengan membawa beberapa lembar kertas, pit dan
tinta hitam, kemudian ditaruh ke atas meja.
"Kakak Han Liong," ujar gadis itu sambil tersenyum.
"Sudah kusiapkan semuanya."
"Terima kasih," ucap Thio Han Liong.
Ia duduk di belakang meja dan mulai menulis ilmu
pelajaran Ih Kin Kong, termasuk semua gerakan-gerakannya.
Tak seberapa lama, ia telah selesai menulis, lalu diberikannya
kertas-kertas itu kepada Yap In Hong.
Betapa kagumnya gadis itu akan keindahan tulisan Thio
Han Liong. la menerima kertas-kertas itu dengan wajah
berseri. "Terima kasih, Kakak Han Liong," ucapnya dan sekaligus
menyimpan kertas-kertas catatan itu.
"Adik Yap" Thio Han Liong memandangnya seraya berkata,
"Engkau sama sekali tidak punya dasar ilmu Lweekang,
maka sulit bagimu untuk mempelajari ilmu Ih Kin Kong. Aku
sudah berunding dengan Adik An Lok, dan dia setuju aku
membantumu." "Terimakasih Kakak Han Liong, terimakasih Nona Cu," ucap
Yap In Hong. "Wah Tidak boleh begitu iho" An Lok Kong cu tersenyum.
"Engkau memanggilnya Kakak Han Liong, tapi kenapa
memanggilku Nona?" "Aku... aku harus memanggil apa padamu?"
"Panggil saja namaku"
"Baik." Yap In Hong manggut-manggut.
"Engkau pun harus memanggil namaku, tidak boleh
memanggilku Nona lho"
An Lok Kong cu mengangguk. Di saat bersamaan, Thio Han
Liong berpesan kepada Yap In Hong.
"Apabila ayahmu pulang bersama gubernur itu, engkau
harus bilang bahwa kami baru datang, agar gubernur itu tidak
membenci ayahmu. Tentunya engkau pun bisa memberi
isyarat kepada ayahmu. Ya kan?"
"Ya." Yap In Hong mengangguk sambil tersenyum.
"Adik Yap" Thio Han Liong memberitahukan.
"Engkau duduklah bersila di lantai, aku akan memindahkan
sedikit Lweekang ku ke dalam tubuhmu Kalau merasakan
adanya arus hangat mengalir ke dalam tubuhmu, janganlah
engkau kaget" Yap In Hong mengangguk, lalu duduk bersila di lantai. Thio
Han Liong duduk di belakangnya, setelah itu sepasang telapak
tangannya ditempelkan dipunggung gadis itu, kemudian
mengerahkan Kiu Yang sin Rang, sekaligus disalurkan ke
dalam tubuhnya. seketika juga Yap In Hong merasakan adanya aliran hangat
menerobos ke dalam tubuhnya. Karena sebelumnya Thio Han
Liong sudah memberitahukan, maka gadis itu tidak merasa
kaget.

Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berselang beberapa saat, barulah Thio Han Liong berhenti
menyalurkan Lweekangnya ke dalam tubuh gadis itu, lalu
bangkit berdiri seraya berkata,
"Adik Yap. engkau sudah boleh bangun."
Yap In Hong bangun. Dirasakannya sekujur tubuhnya
penuh tenaga, dan itu membuatnya terheran-heran.
"Kakak Han Liong Kenapa aku merasa sekujur tubuhku
amat bertenaga?" "Adik Yap" Thio Han Liong memberitahukan.
"Kini engkau sudah memiliki ilmu Lweekang, maka engkau
harus giat belajar ilmu Ih Kin Kong."
"Oh ya Bagaimana kalau ayahku tahu?" tanya Yap In Hong
dengan wajah cemas. "Tentang itu, kami akan memberitahukan kepada ayahmu,"
sahut Thio Han Liong dan menambahkan.
"Aku yakin beliau tidak akan memarahimu"
"Terimakasih, Kakak Han Liong," ucap Yap In Hong.
Di saat itulah terdengar suara tawa, dan tak lama masuklah
pembesar Yap bersama seorang lelaki berusia lima puluhan,
yang ternyata gubernur setempat.
"Ayah" seru Yap In Hong memberi isyarat.
"Ketika Ayah pergi, ke dua tamu ini datang"
"Oh?" Pembesar Yap agak tertegun.
"Pembesar Yap" Thio Han Liong dan An Lok Kong cu
menghampirinya. "Kami ke mari, tapi pembesar Yap tidak ada, maka Nona
Yap yang menemani kami."
"Oooh" Pembesar Yap manggut-manggut.
"Maaf, siapa kalian berdua?"
"Kami datang dari Kotaraja," sahut Thio Han Liong.
"Kebetulan kami tiba di kota ini, maka mampir di sini."
"Ada urusan apa kalian mampir ke rumahku?" tanya
pembesar Yap. "Kami dengar dari penduduk kota ini, bahwa pembesar Yap
merupakan pembesar yang amat jujur, sama sekali tidak
pernah korupsi. oleh karena itu, kami berkunjung ke mari."
"Terimakasih, terimakasih" ucap pembesar Yap lalu
memperkenalkan gubernur itu.
"Beliau ini adalah gubernur setempat...."
"Gubernur Kwa?" tanya Thio Han Liong. Ternyata tadi Yap
In Hong memberitahukan kepadanya.
"Betul," sahut pembesar Yap.
Sedangkan Gubernur Kwa mengeluarkan suara hidung,
sama sekali tidak pandang sebelah mata kepada Thio Han
Liong dan An Lok Kong cu. Kalau ia memperhatikan An Lok
Kong cu, tentunya ia akan segera menjatuhkan diri berlutut.
"Gubernur Kwa, silakan duduk" ucap Pembesar Yap.
Gubernur Kwa manggut-manggut sambil duduk,
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu masih tetap berdiri
Pembesar Yap juga mempersilahkan mereka duduk, akan
tetapi mendadak Gubernur Kwa mencetuskan ucapan sindiran.
"Walikota Yap. mereka berdua itu apa" Kenapa engkau
harus mempersilakan mereka duduk?"
"Gubernur Kwa...." Pembesar Yap salah tingkah.
"Hmm" dengus An Lok Kong cu.
"Para penduduk di sini, semuanya mengatakan bahwa
Gubernur Kwa selalu memeras rakyat dan melakukan tindakan
korupsi. Pembesar Yap. apakah itu benar?"
"Aku...." Pembesar Yap terkejut mendengar pertanyaan itu
"Gadis kurang ajar" bentak Gubernur Kwa.
"Siapa engkau, kok berani kurang ajar terhadap seorang
Gubernur?" "Gubernur Kwa, engkau sudah buta barangkali" sahut An
Lok Kong cu. "Betulkah engkau tidak kenal aku?"
"Engkau gadis liar, bagaimana mungkin aku mengenalmu?"
Gubernur Kwa menatapnya dingin, kemudian membuang
muka. Kalau ia tidak membuang muka, tentunya akan
mengenali An Lok Kong cu yang pernah dilihatnya di istana.
"Gubernur Kwa" Thio Han Liong mendekatinya, lalu
memperlihatkan sebuah benda.
Begitu melihat benda tersebut, wajah Gubernur Kwa
langsung berubah pucat pasi dan ia sebera berlutut.
"Yang Mulia, terimalah hormat hamba" ucapnya sambil
membenturkan kepalanya ke lantai.
"Hm" dengus Thio Han Liong. Ternyata ia memperlihatkan
Medali Emas Tanda Perintah Kaisar.
"Gubernur Kwa, apa hukumanmu sekarang?"
"Hamba mohon ampun, Yang Mulia" ucap Gubernur Kwa
dengan badan bergemetar seperti kedinginan.
Sementara pembesar Yap dan putrinya terbelalak
menyaksikan itu. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi,
karena pembesar Yap tidak melihat Medali Emas tersebut.
"Gubernur Kwa, dongakkan kepalamu dan perhatikan gadis
ini" ujar Thio Han Liong.
"Sebetulnya siapa gadis ini?"
Gubernur Kwa mendongakkan kepalanya perlahan-lahan,
kemudian memperhatikan wajah Lok Kong cu dengan
seksama. Tak lama wajah Gubernur Kwa bertambah pucat.
"Kong cu..." ujar gubernur Kwa tak tertahan. "An Lok Kong
cu...." Pembesar Yap dan putrinya terkejut bukan main, dan
mereka segera berlutut di hadapan An Lok Kong cu.
"Hamba memberi hormat kepada Kong cu" ucap pembesar
Yap. "Bangunlah pembesar Yap dan In Hong" ujar An Lok Kong
cu. "Terimakasih, Kong cu." Pembesar Yap dan putrinya segera
bangkit berdiri, kemudian bertanya,
"Kong Cu, siapa sebenarnya Thio Han Liong?"
"Wakil ayahku." An Lok Kong cu memberitahukan.
"Haaah...?" Pembesar Yap dan putrinya terkejut bukan
main. "Kami harus segera memberi hormat kepadanya"
"Tidak usah" sahut An Lok Kong cu sambil tersenyum.
"Sebab engkau adalah pembesar yang jujur, lagi pula
Kakak Han Liong tidak akan menerima hormatmu."
"Aaah...." Pembesar Yap menghela nafas.
"Tak disangka Thio Han Liong adalah wakil Yang Mulia"
Sementara Gubernur Kwa masih berlutut di hadapan Thio
Han Liong dengan badan bergemetar, sedangkan Thio Han
Liong menatapnya dengan tajam.
"Gubernur Kwa, mulai sekarang engkau dipecat dari
jabatan" ujar Thio Han Liong.
"Engkau sekeluarga tidak boleh pergi ke mana-mana harus
menunggu petugas dari istana ke rumahmu"
"Ya, Yang Mulia." Gubernur Kwa berlega hati, karena Thio
Han Liong tidak menghukumnya .
"Mulai sekarang, Pembesar Yap menggantikan
kedudukanmu" ujar Thio Han Liong.
"Sekarang engkau boleh pulang"
"Terimakasih, Yang Mulia." ucap Gubernur Kwa sambil
bangkit berdiri, lalu meninggalkan rumah pembesar Yap.
"Yang Mulia...." Ketika pembesar Yap baru mau berlutut,
mendadak ia merasakan adanya tenaga yang amat kuat
menahannya, sehingga ia tidak sanggup berlutut.
"Pembesar Yap" Thio Han Liong tersenyum.
"Tidak usah memberi hormat kepadaku. Mulai sekarang
pembesar Yap adalah Gubernur setempat."
"Terimakasih, Yang Mulia," ucap pembesar Yap. namun ia
tetap tidak bisa berlutut.
"An Lok...." Yap In Hong menatapnya dengan mata tak
berkedip. "Tak disangka engkau Putri Kaisar."
"In Hong" An Lok Kong cu tersenyum.
"Aku dan engkau sama saja. Maka engkau jangan bersikap
terlampau hormat kepadaku."
"Tapi...." "Tidak ada tapi-tapian," tandas An Lok Kong cu.
"Pokoknya engkau tidak boleh berlaku terlampau hormat
kepadaku." "Ya, Kong cu." Yap In Hong mengangguk,
"Eeeh?" An Lok Kong cu menggeleng-geleng kan. kepala.
"Panggil saja namaku"
"Ya." Yap In Hong mengangguk lagi.
"Kakak Han Liong, urusan di sini sudah beres, kita harus
segera melanjutkan perjalanan kembali ke Kotaraja," ujar An
Lok Kong Cu. "Baik," Thio Han Liong manggut-manggut.
Mereka berdua berpamit kepada Pembesar Yap dan
putrinya, lalu meninggalkan rumah itu untuk kembali ke
Kotaraja. Bab 69 Pernikahan Yang Sederhana Tapi Semarak Dan
Bahagia Thio Han Liong dan An Lok Kong cu melanjutkan perjalanan
kembali ke Kotaraja dengan santai, penuh kegembiraan dan
canda ria .Sepanjang jalan, mereka sama sekali tidak
mendengar tentang Ban Tok Lo Mo dan muridnya.
"Adik An Lok, engkau tidak merasa heran terhadap Ban Tok
Lo Mo dan muridnya?" tanya Thio Han Liong.
"Memangnya kenapa?" An Lok Kong Cu balik bertanya
dengan heran. "Mereka berdua muncul mendadak, lalu menghilang begitu
saja. Bukankah itu aneh sekali" Lagipula tiada seorang kaum
rimba persilatan yang tahu tempat tinggal mereka."
"Kakak Han Liong, jangan memikirkan itu, sebab akan
mengganggu pikiranmu"
"Mereka berdua menghilang begitu saja.Justru amat
mengganggu pikiranku," sahut Thio Han Liong.
"Sebelum Ban Tok Lo Mo dan muridnya dibasmi, hatiku
tidak akan bisa tenang sama sekali."
"Kakak Han Liong...." An Lok Kong Cu menggelenggelengkan
kepala. "Sudahlah tidak usah memikirkan itu, mereka berdua pasti
bersembunyi di suatu tempat rahasia, maka tiada seorang pun
mengetahuinya." "Aaah..." Thio Han Liong menghela nafas panjang. "Aku
khawatir, Ban Tok Lo Mo dan muridnya akan mencelakai rimba
persilatan." "Mereka berdua memang sudah mencelakai rimba
persilatan. sudahlah Kakak Han Liong, jangan memusingkan
itu" An Lok Kong Cu mengalihkan pembicaraan.
"Oh ya ilmu Penakluk iblis khusus nya untuk melumpuhkan
berbagai macam ilmu hitam, sihir dan ilmu sesat?"
"Ya." Thio Han Liong mengangguk,
"Pantas engkau dapat menyembuhkan Yap In Hong." An
Lok Kong Cu tersenyum. "Kelihatannya gadis itu amat menyukaimu."
"Karena merasa berhutang budi kepadaku," sahut Thio Han
Liong. "Ayahnya adalah seorang pembesar yang amat jujur, kini
rakyat di daerah itu pasti akan hidup makmur."
"Ya." An Lok Kong cu mengangguk,
"Kakak Han Liong...."
Ketika An Lok Kong cu ingin melanjutkan, tiba-tiba Thio
Han Liong memberi isyarat, agar An Lok Kong cu diam.
"Ada orang datang." bisiknya.
"Oh?" An Lok Kong cu mengerutkan kening.
"Heran Di tempat sepi ini kok ada orang lain?"
Berselang beberapa saat kemudian muncullah dua orang
Tosu yaitu Mao san Tosu dan yang satunya adalah seorang
Tosu yang sudah tua renta, namun tampak gagah dan
sepasang matanya berkilat-kilat.
"Guru" Mao san Tosu menunjuk Thio Han Liong.
"Orang itu...."
"Ngmmm" Tosu tua renta itu manggut-manggut.
"Anak muda, wajahmu amat tampan, tidak mirip penjahat.
Tapi... kenapa hatimu begitu kejam?"
"Tosu tua" bentak An Lok Kong Cu.
"Jangan bicara sembarangan"
"Diam" hardik Tosu tua renta dengan suara berwibawa.
"Mulai sekarang engkau menjadi bisu"
"Hah?" An Lok Kong Cu terperanjat, karena ia langsung tak
mampu berbicara lagi. "Akh Ukh" "Tosu tua" Thio Han Liong memberi hormat.
"Sungguh tinggi ilmu sesatmu, tapi tak berguna di
hadapanku" "Anak muda" Tosu tua renta itu menggeleng-gelengkan
kepala. "Sayang sekali, padahal wajahmu sangat tampan"
"Tosu tua" Thio Han Liong tersenyum. "Bolehkah aku tahu
siapa engkau?" "Liang Goan Tosu dari Mao san" Tosu tua renta itu
memberitahukan. "Mao san Tosu adalah muridku Kenapa engkau begitu
kejam menyiksanya?" "Tosu tua" Thio Han Liong mengerutkan kening.
"Aku yang kejam atau dia yang jahat?"
"Engkau memusnahkan kepandaiannya, bahkan merampok
uangnya juga sungguh jahat engkau" sahut Liang Goan Tosu.
"Kami para Tosu dari Mao san, sama sekali tidak pernah
mengganggu orang, juga tidak pernah mencampuri urusan
rimba persilatan, hanya menekuni ilmu yang diturunkan
leluhur Tapi ketika muridku mengobati para penduduk kota,
engkau muncul dan memusnahkan kepandaiannya, bahkan
juga merampok uangnya oleh karena itu, aku harus menuntut
balas" "Muridmu itu yang memberitahukan begitu?" tanya Thio
Han Liong. "Ya." Liang Goan Tosu mengangguk.
Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala. sementara
An Lok Kong cu terus mengeluarkan suara "Akh akh ukh ukh"
seperti gadis bisu. Thio Han Liong menatapnya sambil
mengerahkan ilmu Penakluk Iblis, kemudian berkata lembut.
"Adik An Lok, engkau tidak bisu. Mulai sekarang engkau
sudah bisa bicara. Ayoh bicaralah"
"Ka.... Kakak Han Liong." An Lok Kong cu langsung bisa
bicara lagi, dan itu sungguh menggirangkannya .
Liang Goan Tosu terperanjat, karena tidak menyangka


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau Thio Han Liong memiliki batin yang begitu kuat.
"Anak muda, cukup hebat engkau. Baik, mari kita
bertanding ilmu gaib" Tantang Liang Goan Tosu.
"Tosu tua...." "Diam" bentak Liang Goan Tosu dan mulai mengerahkan
ilmu gaibnya. "Anak muda, engkau telah berdosa maka harus dibakar
dengan api" Mendadak Thio Han Liong melihat api muncul dari bumi
membakar dirinya. Maka, cepatlah ia meloncat ke belakang.
Namun di mana kakinya menginjak di situ muncul api
membakarnya . "Ha ha ha" liang Goan Tosu tertawa gelak.
"Anak muda, engkau pasti terbakar hangus"
An Lok Kong cu tercengang. la tidak melihat api, namun
melihat Thio Han Liong meloncat ke sana ke mari.
"Tosu tua" Thio Han Liong berdiri tegak di tempat,
kemudian menghempaskan kakinya tiga kali di bumi seraya
berkata, "Api dari bumi kembali ke dalam bumi"
Sungguh menakjubkan, api itu langsung masuk ke dalam
bumi. Air muka Liang Goan Tosu berubah seketika, lalu
ditatapnya Thio Han Liong dengan tajam sekali.
"Anak muda, siapa engkau?"
"Namaku Thio Han Liong"
"Engkau menggunakan ilmu apa melawan ilmuku?"
"Aku menggunakan ilmu Penakluk Iblis"
"Hah" Apa?" Liang Goan Tosu tampak terkejut sekali.
"Engkau telah menguasai ilmu itu?"
"Ya" Thio Han Liong mengangguk.
"Itu tidak mungkin ..tidak mungkin" Liang Goan Tosu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau masih muda, tidak mungkin telah menguasai ilmu
yang teramat tinggi itu"
"Tosu tua" ujar Thio Han liong sungguh-sungguh.
"Aku memang telah menguasai ilmu itu"
"Orang yang berjiwa polos, berhati bersih dan memiliki
batin yang kuat, barulah bisa berhasil mempelajari ilmu
Penakluk Iblis itu. Engkau begitu kejam, bagaimana mungkin
bisa berhasil...." "Tosu tua" Thio Han Liong tersenyum.
"Muridmu itu memfitnahku dan membohongimu.
sebetulnya kejadian itu bukanlah seperti apa yang diceritakan
muridmu" "Oh?" Liang Goan Tosu mengerutkan kening, kemudian
menatap Mao san Tosu dengan tajam.
"Engkau membohongiku dengan cerita itu?"
"Guru, aku...." Wajah Mao san Tosu pucat pasi.
"Jadi benar engkau membohongiku?" Liang Goan Tosu
tampak gusar sekali. "Ayo jawab" "Guru, ampunilah aku" Mao san Tosu langsung berlutut di
hadapan Liang Goan Tosu. "Aku... aku sakit hati terhadap pemuda itu, maka...."
"Aaaah..." Liang Goan Tosu menghela nafas panjang.
"Anak muda. Aku mohon maaf"
"Tidak apa-apa, Tosu tua" Thio Han Liong tersenyum.
"Anak muda," tanya Liang Goan Tosu.
"Bagaimana kejadian itu, bolehkah engkau
menceritakannya" "
"Ketika kami tiba di kota Cin Lam..." tutur Thio Han Liong
tentang kejadian itu. Liang Goan Tosu mendengarkan dengan penuh perhatian.
wajahnya tampak gusar sekali. seusai Thio Han Liong
menutur, Tosu tua itu menatap Mao san Tosu dengan tajam.
"Engkau telah melanggar sumpah maka engkau harus
bunuh diri" bentak Liang Goan Tosu.
"Guru...." "Lakukanlah" "Baik, Guru." Ketika Mao san Tosu baru mau membunuh diri, tiba-tiba
terdengar suara yang amat lembut.
"Engkau tidak usah bunuh diri, cukup bertobat saja" Itu
adalah suara Thio Han Liong menggunakan ilmu Penakluk
iblis. "Aku mau bertobat. Aku mau bertobat...."
"Bagus" Thio Han Liong tersenyum.
"Mao san Tosu, bangunlah"
Mao san Tosu segera bangkit berdiri. Liang Goan Tosu
menghela nafas panjang, kemudian memandang Thio Han
Liong seraya bertanya, "Kenapa engkau menolongnya?"
"Dia sudah tidak bisa melakukan kejahatan lagi, maka
harus diampuni," jawab Thio Han Liong.
"Tosu tua, bawa dia pulang dan bimbing dia dengan ilmu
kebatinan, agar dia mengamalkan ilmu itu kelak"
"Betul." Liang Goan Tosu manggut-manggut, kemudian
memandang Thio Han Liong dengan kagum sekali.
"Kalau engkau sempat, sudikah engkau mampir di gunung
Mao san, tempat tinggalku?"
"Aku tidak berani berjanji. Tapi apabila aku punya waktu,
aku akan ke gunung Mao san mengunjungi Locianpwee,"
jawab Thio Han Liong. "Terima kasih," ucap Liang Goan Tosu.
"Anak muda, sampai jumpa"
Liang Goan Tosu menarik Mao san Tosu meninggalkan
tempat itu. Thio Han Liong dan An Lok Kong Cu memandang
punggung mereka sambil menghela nafas panjang.
"Adik An Lok" Thio Han Liong memberitahukan.
" Ilmu gaib Tosu tua itu tinggi sekali. Hanya ilmu Penakluk
iblis yang dapat mengalahkan ilmu gaibnya itu."
"Oh?" ujar An Lok Kong Cu.
"Untung Tosu tua itu tidak berhatijahat. Kalau dia berhati
jahat seperti muridnya...."
"Kalau dia berhati jahat, tentunya ilmu gaibnya tidak akan
begitu tinggi," sahut Thio Han Liong dan menambahkan,
"Sesungguhnya tadi dia sama sekali tidak berniat jahat
terhadapku, melainkan hanya ingin menjajal ilmu gaibku saja."
"oh?" An Lok Kong cu tersenyum.
"Pantas engkau begitu ramah terhadapnya."
"Adik An Lok" Thio Han Liong menggandeng tangannya.
"Mari kita melanjutkan perjalanan" ajaknya.
An Lok Kong cu mengangguk, Mereka lalu melanjutkan
perjalanan kembali ke Kotaraja. Bukan main girangnya hati An
Lok Kong cu, sebab begitu tiba di Kotaraja, ia akan segera
menikah dengan Thio Han Liong.
Ketika sampai di sebuah rimba, mendadak Thio Han Liong
dan An Lok Kong cu saling memandang, ternyata mereka
mendengar suara rintihan.
"Adik An Lok" Thio Han Liong memberitahukan.
"Itu adalah suara rintihan orang terluka."
"Kalau begitu, mari kita ke sana melihatnya" ajak An Lok
Kong cu. "Baik," Thio Han Liong mengangguk.
Mereka berdua melesat ke arah suara rintihan itu. sampai
di sana mereka melihat seorang tua terkapar dan merintihrintih.
"Paman tua" Thio Han Liong dan An Lok Kong cu
mendekatinya. "Engkau terluka?"
"Anak muda, aku... aku terluka...."
"Siapa yang melukaimu?"
"Aaaah..." orangtua itu menghela nafas panjang.
"Ban Tok Lo Mo yang melukaiku."
"Oh?" Thio Han Liong mengerutkan kening.
"Kenapa dia melukaimu?"
"Dia... dia membunuh anakku. Aku mencarinya untuk
membalas dendam, dan dapat menemukannya di sini. Namun
aku tak menyangka kalau kepandaiannya sangat tinggi dan
dapat melukaiku dengan ilmu pukulan beracunnya."
"Paman tua," ujar Thio Han Liong.
"Jangan khawatir aku akan memeriksa lukamu."
"Terima kasih, Anak muda," ucap orangtua itu. "Terima
kasih...." Thio Han Liong membungkukkan badannya. Di saat itulah
mendadak orangtua itu mengayunkan tangannya ke arah Thio
Han Liong dan An Lok Kong CU, dan tampak bubuk putih
mengarah pada mereka. Betapa terkejutnya Thio Han Liong,
namun ia cepat-cepat menyambar An Lok Kong cu sambil
meloncat ke belakang. "He he he" orangtua itu tertawa terkekeh-kekeh, lalu
melesat pergi. Thio Han Liong dan An Lok Kong cu tidak sempat
mengejarnya. Ternyata orangtua itu tidak meninggalkan
tempat tersebut, melainkan hanya bersembunyi di balik
sebuah pohon. la menahan nafas sambil mengintip.
"Adik An Lok, engkau tidak apa-apa?" tanya Thio Han Liong
dengan rasa cemas. "Aku tidak apa-apa." sahut An Lok Kong cu.
"Engkau?" "Aku pun tidak apa-apa." Thio Han Liong mengerutkan
kening. "Entah siapa orangtua itu" Dia menyerang kita dengan
racun...." "Kakak Han Liong, bukankah kita kebal terhadap racun apa
pun?" An Lok Kong cu memandangnya .
"Aku lupa." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Tadi aku amat terkejut dan mengkhawatirkanmu, maka
aku menyambarmu sekaligus meloncat ke belakang. Kalau aku
ingat diri kita kebal terhadap racun apa pun, aku pasti
menangkap orangtua itu."
"Bagaimana kita pergi menyusulnya?"
"Percuma," sahut Thio Han Liong.
"Orangtua itu sudah pergi jauh, sebab ilmu ginkangnya
cukup tinggi." "Heran" gumam An Lok Kong cu.
"Sebetulnya siapa orangtua itu" Kenapa dia ingin
membunuh kita dengan racun?"
"Aku tidak habis pikir dan tidak dapat menduga siapa
orangtua itu," ujar Thio Han Liong dengan kening berkerutkerut.
"Sebab wajah orangtua itu amat asing bagiku."
"Kakak Han Liong, mulai sekarang kita harus berhati-hati,"
ujar An Lok Kong cu. "Jangan sampai terjebak oleh penjahat."
"Ng" Thio Han Liong mengangguk,
"Adik An Lok, mari kita melanjutkan perjalanan"
Mereka melanjutkan perjalanan lagi. setelah mereka pergi
jauh, barulah orangtua yang bersembunyi di belakang pohon
itu menarik nafas lega. "Heran?" gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku menyerangnya dengan racun ganas, tapi... mereka
kok tidak apa-apa" Mungkinkah mereka kebal terhadap
racun?" siapa orangtua itu, ternyata adalah samaran Tan Beng
song, yang diutus Ban Tok Lo Mo untuk membunuh Thio Han
Liong dan An Lok Kong cu.
"Hmm" dengus Tan Beng Song.
"Di depan sana masih ada perangkap. mereka pasti akan
mampus di dalam perangkap itu He he he..."
Sementara Thio Han Liong dan An Lok Kong Cu terus
melanjutkan perjalanan, mereka pun membicarakan tentang
orangtua itu. "Kakak Han Liong, mungkinkah orangtua itu adalah Ban
Tok Lo Mo?" "Tidak mungkin." Thio Han Liong menggelengkan kepala.
"Orang itu tampak belum begitu tua, maka aku yakin dia
bukan Ban Tok Lo Mo."
"Heran?" An Lok Kong cu menghela nafas panjang.
"Sebetulnya siapa orangtua itu?"
"Dia menyebut Ban Tok Lo Mo, berarti dia kenal si Iblis Tua
itu," gumam Thio Han Liong dengan kening berkerut-kerut.
"Dia ingin membunuh kita, tentunya tahu siapa diri kita.
Jadi orangtua itu adalah... Tan Beng song, murid Ban Tok Lo
Mo." "Oh?" An Lok Kong cu tersentak. "Orangtua itu adalah
murid Ban Tok Lo Mo?"
"Ya." Thio Han Liong mengangguk.
"Dia pasti menyamar, agar aku tidak mengenalinya."
"Maksudmu wajahnya dirias?"
"Ya." "Kalau begitu, kita harus berhati-hati," ujar An Lok Kong cu,
kemudian bertanya. "Kakak Han Liong, kejadian itu akan membuatmu batal
kembali ke Kota raja?"
"Tentu tidak," Thio Han Liong tersenyum.
"Sebab dua hari lagi kita akan tiba di Kota raja, kenapa
harus dibatalkan?" "Oooh" Lega rasanya hati An Lok Kong cu mendengar itu.
"Terimakasih, Kakak Han Liong."
"Adik An Lok" Thio Han Liong tersenyum.
"Kenapa engkau berterima kasih kepadaku?"
"Aku.." Wajah An Lok Kong cu tampak kemerah-merahan.
"Engkau jahat ah"
Mendadak An Lok Kong cu mencubit lengannya, dan itu
membuat Thio Han Liong menjerit kesakitan.
"Aduuuh" "Rasakan" "Adik An Lok" Thio Han Liong ingin balas mencubitnya.
Tapi An Lok Kong cu langsung berlari ke depan. Thio Han
Liong terus mengejarnya, namun mereka justru tidak tahu
bahwa ada perangkap di depan sana. Di saat itulah mendadak
Thio Han Liong berseru keras.
"Adik An Lok Cepat berhenti, ada sesuatu yang aneh"
An Lok Kong Cu segera berhenti, lalu berbalik menghampiri
Thio Han Liong. "Apa yang aneh?"
"Lihatlah rerumputan di sini" Thio Han Liong menunjuk
rerumputan yang kelihatan seperti pernah diinjak.
"Kenapa sih?" An Lok Kong Cu tidak menyadari hal itu.
"Ada apa di sini?"
"Rerumputan itu seperti pernah diinjaki maka aku menjadi


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

curiga," sahut Thio Han Liong.
"Kenapa harus bercuriga?" An Lok Kong Cu heran.
"Bukankah di sini terdapat binatang liar" Mungkin
rerumputan terinjak binatang liar."
"Itu bukan bekas injakan binatang liar." Thio Han Liong
memberitahukan. "Melainkan bekas injakan kaki orang."
"Mungkin pemburu" "
"Tadi kita bertemu orangtua yang ingin membunuh kita,
lalu engkau berpesan kepadaku agar berhati-hati. Nah, kita
harus berhati-hati."
Thio Han Liong mengambil beberapa buah batu sebesar
kepalan, lalu dilemparkan ke depan. Tak lama setelah batu itu
jatuh ke tanah, terjadilah ledakan dahsyat, kemudian asap dan
api langsung membumbung tinggi.
"Haaah...?" Wajah An Lok Kong cu berubah pucat pias
seketika. "Kakak Han Liong...."
"Adik An Lok...." Thio Han Liong menggenggam tangan An
Lok Kong cu erat-erat. "Kakak Han Liong," bisik An Lok Kong cu dengan suara
bergemetar. "Kita nyaris mati hangus di sana."
"Aaah..." Thio Han Liong menghela nafas panjang.
"Kalau tadi aku tidak melihat rerumputan itu, kita pasti
sudah mati hangus." "Kakak Han Liong" An Lok Kong cu menatapnya.
"Hampir saja kita menikah di alam baka."
"Adik An Lok" Thio Han Liong membelainya.
"Kita masih dilindungi Thian (Tuhan). Menyaksikan itu,
aku...." "Tidak berani berbuat dosa, bukan?"
"Ya." "Engkau memang tidak pernah berbuat dosa, maka Thian
(Tuhan) masih melindungi kita."
"Adik An Lok...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan
kepala. "Itu pasti perbuatan Tan Beng song."
"Dia dan gurunya sungguh menghendaki kematian kita.
Padahal... kita belum bermusuhan dengan mereka"
"Tapi mereka justru tahu, kalau kita akan membasmi
mereka. oleh karena itu, mereka turun tangan lebih dulu."
"Oooh" An Lok Kong cu manggut-manggut.
"Kalau begitu, kita harus lebih berhati-hati."
"Ng" Thio Han Liong mengangguk, lalu melanjutkan
perjalanan dengan hati-hati sekali.
Setelah mereka meninggalkan tempat itu, muncullah
seseorang dari balik sebuah pohon. orang itu tidak lain Tan
Beng Song, yang menyamar sebagai orangtua.
"Sialan" caci nya. "Mereka masih terhindar dari perangkap
itu Tapi kelak mereka pasti mampus di tanganku"
-ooo00000ooo- Cu Goan Ciang menyambut kedatangan Thio Han Liong dan
An Lok Kong Cu dengan penuh kegembiraan. Kaisar itu
memandang mereka dengan wajah berseri-seri
"Ayahanda, kami sudah pulang."
"Yang Mulia" "Ha ha ha" Cu Goan Ciang tertawa gembira.
"Syukurlah kalian sudah pulang dengan selamat Duduklah"
Thio Han Liong dan An Lok Kong Cu duduk, kemudian An
Lok Kong Cu menutur semua yang mereka alami. Cu Goan
Ciang mendengarkan dengan mata terbelalak, lalu menarik
nafas dalam-dalam. "Rimba persilatan memang begitu, bunuh membunuh
dengan berbagai cara. Kini kalian sudah pulang, maka legalah
hatiku." "Terima kasih atas perhatian Ayahanda," ucap An Lok Kong
Cu. "Nah" Cu Goan Ciang menatap mereka dalam-dalam seraya
berkata, "Sudah saatnya kalian menikahi jangan ditunda-tunda lagi"
"Ya," sahut An Lok Kong Cu dan Thio IHan Liong serentak.
"Bagaimana menurut kalian, perlukah aku
menyelenggarakan pesta besar-besaran dan semeriahmeriahnya"
" "Tidak perlu," jawab Thio Han Liong.
"Kami sudah bersepakat untuk menikah dengan cara yang
paling sederhana, tidak ada pesta, musik maupun tarian apa
pun." "Oh?" Cu Goan ciang menatap putrinya seraya bertanya.
"Setujukah engkau?"
"setuju." An Lok Kong cu mengangguk sambil tersenyum.
"Itu merupakan contoh yang baik untuk para pejabat tinggi
istana. Kalau kita tidak berfoya-foya, tentunya mereka pun
tidak berani berfoya-foya pula."
"Bagus, bagus" Cu Goan ciang tertawa terbahak-bahak.
"Tapi biar bagaimana pun, aku harus mengundang para
pejabat tinggi dalam istana. Kalian jangan menolak"
"Ya, Ayahanda." An Lok Kong cu mengangguk,
"Kalau begitu..." pikir Cu Goan ciang dan melanjutkan,
"Lusa kalian harus menikah."
An Lok Kong cu memandang Thio Han Liong dengan wajah
agak kemerah-merahan, dan agak malu-malu.
"Terimakasih, Yang Mulia," ucap Thio Han Liong.
"Ha ha ha" Cu Goan ciang terus tertawa gembira. "Ha ha
ha..." Malam harinya, Thio Han Liong dan An Lok Kong cu duduk
berdampingan di taman bunga. Wajah mereka tampak berseriseri.
"Adik An Lok," tanya Thio Han Liong.
"Engkau merasa keberatan kita menikah dengan cara
sederhana?" "Aku tidak mempermasalahkan itu," sahut An Lok Kong cu
sungguh-sungguh. "Yang penting kita saling mencinta dan hidup bahagia
selama-lamanya." "Betul" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Itu yang paling denting bagi kita, bukan pesta yang
meriah." "Kakak Han Liong," tanya An Lok Kong Cu dengan suara
rendah. "Kalau aku sudah menjadi nenek-nenek, apakah engkau
masih tetap mencintaiku?"
"Ha ha ha" Thio Han Liong tertawa mendadak.
"Eh?" An Lok Kong Cu tercengang.
"Kenapa engkau tertawa?"
"Adik An Lok, kalau engkau sudah menjadi nenek-nenek
tentunya aku pun sudah menjadi kakek-kakek," sahut Thio
Han Liong sambil tersenyum.
"Aku tetap mencintaimu."
"Kakak Han Liong...." An Lok Kong Cu langsung mendekap
di dadanya. "Aku bahagia sekali."
"Sama-sama," sahut Thio Han Liong sekaligus
membelainya. "Aku pun bahagia sekali."
"Kita tinggal di istana sekitar sepuluh hari, setelah itu
barulah kita pergi ke pulau Hong Hoang To. Bagaimana?"
"Aku setuju." "Terimakasih, Kakak Han Liong."
Hari itu Thio Han Liong dan An Lok, Kong Cu
melangsungkan pernikahan. sesuai dengan apa yang
dikatakan cu Goan ciang, maka yang diundang hanya
beberapa pejabat tinggi dalam istana.
Walau sederhana pernikahan itu, namun amat semarak dan
bahagia. Para pejabat tinggi dalam istana tak henti-hentinya
memuji Thio Han Liong, sehingga membuat Cu Goan ciang
terus tertawa gembira. "Ha ha ha Aku sungguh gembira sekali hari ini, karena
putriku menikah dengan Han Liong"
"Yang Mulia," ujar salah seorang pejabat tinggi.
"Tak disangka Yang Mulia akan berbesan dengan pendekar
besar Thio Bu Ki.Mari kita bersulang untuk itu Ha ha ha..."
Mereka mulai bersulang lagi sambil tertawa, sedangkan An
Lok Kong cu tersenyum malu-malu.
Berselang beberapa saat kemudian, para penjabat tinggi itu
berpamit. setelah itu, cu Goan ciang berkata sambil
tersenyum. "Kalian boleh kembali ke istana An Lok. Nikmatilah hari
pernikahan kalian" "Ya, Ayahanda."
"Ya, Yang Mulia."
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu berjalan ke istana An
Lok, sedangkan cu Goan ciang masih tertawa gembira.
" dik An Lok..." bisik Thio Han Liong setelah berada di
dalam kamar. "Engkau merasa bahagia?"
"sungguh bahagia sekali," An Lok Kong cu mengangguk.
"Engkau?" "Juga bahagia sekali," sahut Thio Han Liong sambil
menatapnya lembut dan mesra.
"Hari ini adalah hari pernikahan kita. Walau tanpa musik
dan carian, namun amat semarak dan bahagia."
"Benar oh ya, para pejabat tinggi itu terus memujimu. Itu...
membuat aku merasa bangga sekali."
"Oh?" Mendadak Thio Han Liong memeluknya erat-erat,
kemudian mengecup bibirnya.
"Kakak Han Liong...."
"Ng?" "Mulai sekarang, setiap hari engkau harus memelukku
dan... mengecup bibirku"
"Baik," Thio Han Liong mengangguk.
"Aku pasti memelukmu sambil tidur. Boleh kan?"
"Tentu boleh." An Lok Kong cu tersenyum manis.
"Dan jangan lupa mengecup bibirku"
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu berdiri di dekat taman
bunga. Ketika mereka menikmati keindahan bunga yang baru
mekar, tiba-tiba muncul Lie Wie Kiong menghampiri mereka,
kemudian memberi hormat sambil melapor.
"Putri Hui mengantar upeti untuk kaisar, dan ingin bertemu
Kong cu." "Dia tahu aku berada di dalam istana?" tanya An Lok Kong
cu. "Tidak tahu. Katanya ingin bertemu Cu An Lok, maka Yang
Mulia menyuruhku ke mari untuk melapor, "jawab Lie Wie
Kiong pemimpin pengawal istana.
"Baik," An Lok Kong cu mengangguk.
"Aku dan Kakak Han Liong akan sebera ke sana."
"Ya, Kong cu." Lie Wie Kiong memberi hormat lagi, lalu
meninggalkan istana An Lok itu.
"Kakak Han Liong, tak disangka putri Hui itu ke mari
mengantar upeti," ujar An Lok Kong cu sambil tersenyum.
"Mari kita temui"
Thio Han Liong mengangguk, mereka berdua lalu berjalan
ke ruang tamu istana kaisar.
Kemunculan Thio Han Liong dan An Lok Kong cu di ruang
tamu itu, justru membuat Dewi Kecapi Putri Hui terbelalak.
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu memberi hormat
kepada Cu Goan ciang, setelah itu barulah mereka
memandang Dewi Kecapi yang duduk bersama para
pengawalnya. "Dewi Kecapi Apa kabar?" tanya An Lok Kong cu.
"Engkau...." Dewi Kecapi menatapnya dengan mata tak
berkedip. "Engkau An Lok Kong cu?"
"Ya." An Lok Kong cu mengangguk sambil tersenyum
lembut. "Dewi Kecapi, aku tidak menyangka kalau engkau ke mari
mengantar upeti." "An Lok Kong cu...." Dewi Kecapi tertawa gembira.
"Han Liong...."
"Dewi Kecapi," ucap Thio Han Liong.
"Selamat bertemu"
"Han Liong...." Dewi Kecapi memandangnya sambil
tersenyum. "Kita berjumpa di sini." An Lok Kong cu memberi hormat
kepada Cu Goan ciang, kemudian berkata,
"Ayahanda, perbolehkanlah Ananda mengajak Dewi Kecapi
ke istana An Lok Kami ingin bercakap-cakap. sebab Ananda
dan Kakak Han Liong adalah teman baiknya."
"Silakan, silakan" cu Goan ciang manggut-manggut.
"Terima kasih, Ayahanda," ucap An Lok Kong cu, lalu
bersama Thio Han Liong mengajak Dewi Kecapi ke istana An
Lok. sampai di istana itu, Dewi Kecapi menengok ke sana ke
mari dengan kagum sekali.
"Sungguh indah tempat ini" ujarnya.
"Ini adalah istana An Lok, tempat tinggalku." An Lok Kong
cu memberitahukan. "Oh?" Dewi Kecapi terbelalak.
"Pantas engkau mengajakku ke mari, ternyata istana ini
tempat tinggalmu" "Engkau menyukai tempat ini?" tanya An Lok Kong Cu.
"Suka sekali," sahut Dewi Kecapi.
"Di tempat tinggalku hanya tenda dan gurun pasir, tiada
pemandangan yang sedemikian indah."
"Dewi Kecapi," tanya An Lok Kong cu.
"Bagaimana kalau engkau tinggal di sini beberapa hari?"
"Itu..." Wajah Dewi Kecapi berseri.
"Apakah tidak akan mengganggumu?"
"Tentu tidak," sahut An Lok Kong cu. "Sebaliknya aku
malah merasa senang sekali."
"Kalau begitu...." Dewi Kecapi berpikir sejenaki kemudian
manggut-manggut. "Baiklah." "Dewi kecapi" An Lok Kong cu memandangnya serada
bertanya. "Engkau sudah punya kekasih?"
"Ng" Dewi Kecapi mengangguk dengan wajah agak
kemerah-merahan. "Syukurlah" ucap An Lok Kong cu sambil tersenyum.


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami mengucapkan selamat kepadamu."
"Terimakasih," sahut Dewi Kecapi.
"Oh ya, kalian sudah menikah?"
"Kemarin dulu kami menikah." An Lok Kong cu
memberitahukan. "Kalau kemarin dulu engkau ke mari, tentunya dapat
menyaksikan pernikahan kami."
"Sayang sekali." Dewi Kecapi menggeleng-gelengkan
kepala. "Kami terlambat tiba di sini."
"Dewi Kecapi," tanya Thio Han Liong sambil tersenyum.
"Dimana engkau bertemu pemuda idaman hatimu itu?"
"Dia adalah pemuda Hui juga. Hanya saja beberapa tahun
yang lalu dia pergi merantau, akhirnya berguru pada seorang
pertapa sakti. Beberapa bulan lalu dia pulang, kebetulan
bertemu aku. Karena iseng maka aku menantangnya
bertanding..." tutur Dewi Kecapi.
"Kami bertanding seri, itu membuatku kagum sekali. sejak
itu kami pun menjadi teman, dan kini kami saling mencinta."
"Kok dia tidak ikut kemari?" tanya An Lok Kong cu.
"Dia tidak sempat, karena harus mengurusi ini dan itu,"
sahut Dewi Kecapi sambil tersenyum.
"Bulan depan kami akan melangsungkan pernikahan, maka
jika kalian sempat, hadirlah"
"Ya." An Lok Kong cu mengangguk. Dewi Kecapi menginap
beberapa malam di istana An Lok, setelah itu barulah kembali
ke daerah Hui. Thio Han Liong dan An Lok Kong cu
mengantarnya sampai di depan istana. Betapa terharunya
Dewi Kecapi atas kebaikan dan keramahan mereka berdua.
setelah Dewi Kecapi dan para pengawalnya berangkat, Thio
Han Liong dan An Lok Kong Cu pergi menghadap Cu Goan
ciang. "Ha ha ha" Cu Goan ciang tertawa gelak
"Tak kusangka kalian adalah teman baik Putri Hui itu"
"Tapi dia tidak tahu ananda adalah An Lok Kong cu."
"Oooh" Cu Goan ciang manggut-manggut.
"Pantas dia bertanya kepadaku, di mana tempat tinggal Cu
An Lok" Ha ha ha..."
"Ayahanda," ujar An Lok Kong cu.
"Kami ingin ke pulau Hong Hoang To."
"Itu memang harus," sahut Cu Goan ciang.
"Tapi jangan sekarang, tunggu beberapa hari lagi"
"Ya, Ayahanda." An Lok Kong cu mengangguk.
"Kami mohon diri kembali ke istana An Lok."
"Baik." Cu Goan ciang manggut-manggut sambil
tersenyum. An Lok Kong Cu dan Thio Han Liong memberi hormat, lalu
kembali ke istana An Lok. Mereka berdua sama sekali tidak
tahu, bahwa dalam rimba persilatan akan terjadi sesuatu yang
amat menggemparkan. Bab 70 Ketua Hwa san Pay Dan Ketua Khong Tong Pay
Tewas Di dalam kuil tua yang terletak di gunung Wu san, tampak
Ban Tok Lo Mo clan muridnya sedang bercakap-cakap dengan
serius sekali. "Engkau memang tidak becus" caci Ban Tok LoMo.
"Racun yang begitu ganas tidak membinasakan Thio Han
Liong dan kekasihnya itu, bahkan mereka dapat meloloskan
diri dari perangkap itu Cara bagaimana engkau mengatur
perangkap itu" Dasar goblok"
"Guru" Tan Beng song menundukkan kepala.
"Mereka berdua kebal terhadap racun. cara bagaimana
mereka berdua bisa lolos dari perangkap itu, aku pun tidak
habis pikir." "Eng kau memang gobLok, Ban Tok Lo Mo menudingnya.
"Sudah berusia setengah abad, tapi tak punya otak sama
sekali" "Guru, aku justru terus berpikir...."
"Berpikir apa?"
"Kita tidak perlu mengusik Thio Han Liong dan kekasihnya,
lebih baik kita menyorot ke arah tujuh partai besar itu."
"Tapi...." Ban Tok Lo Mo menggeleng-gelengkan kepala.
"Thio Han Liong dan kekasihnya justru merupakan
halangan bagi kita. Kalau kita tidak turun tangan lebih dulu
membunuh mereka, niscaya mereka akan menghalang-halangi
rencana kita." "Guru, kini mereka sudah kembali ke Kota raja.
Kemungkinan besar mereka tidak mau mencampuri urusan
rimba persilatan lagi."
"Oh?" Ban Tok Lo Mo mengerutkan kening.
"Itu bagaimana mungkin?"
"Guru," ujar Tan Beng song sambil tersenyum.
"Kalau kita tidak mengganggu Bu Tong Pay, mereka pasti
tidak akan mengusik kita."
"Ngmm" Ban Tok Lo Mo manggut-manggut.
"Ternyata engkau punya otak juga, tidak salah
perkataanmu barusan. Lalu apa tindakan kita" Apakah engkau
mempunyai ide?" "Bukankah Guru ingin jadi jago yang tanpa tanding?"
"Betul." "Karena itu, kita harus membunuh beberapa ketua partai
besar," ujar Tan Beng song dan menambahkan,
"Selama ini kita cuma membunuh para muridnya, kini kita
harus membunuh ketua partai. Itu pasti menggemparkan
dunia persilatan, dan sudah barang tentu nama Guru akan
membumbung tinggi." "Kalau begitu..," tanya Ban Tok Lo Mo.
"Kita harus turun tangan terhadap partai mana?"
"Hwa san pay dan Khong Tong pay," sahut Tan Beng song
memberitahukan. "Kedua partai itu agak lemah, gampang bagi Guru
membunuh ketuanya." "Tidak salah." Ban Tok Lo Mo manggut-manggut.
"setelah itu apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"
"Itu adalah urusan nanti, maka dibicarakan nanti saja."
"Ha ha ha" Ban Tok lo Mo tertawa gelak.
"Baik, mari kita berangkat ke Hwa san Pay Ha ha ha..."
Hari itu ketua Hwa san Pay bercakap-cakap dengan
beberapa murid handalnya di ruang depan. Ternyata mereka
sedang membicarakan situasi dunia persilatan.
"Ban Tok Lo Mo dan muridnya itu sungguh memusingkan
kaum rimba persilatan golongan putih," ujar salah seorang
murid. "Setelah membunuh, mereka berdua menghilang entah ke
mana." "Aaaah..." Ketua Hwa san Pay menghela nafas panjang.
"Aku justru merasa heran, kenapa siauw Lim Pay diam
saja?" "Siauw Lim Pay memang tidak bisa bertindak, sebab Ban
Tok Lo Mo dan muridnya bermain kucing-kucingan dengan
tujuh partai besar. Kalau pun pihak siauw Lim Pay
mengundang para ketua partai untuk berunding, itu pun
percuma," ujar murid tertua sambil menggeleng gelengkan
kepala. "Sebab Ban Tok Lo Mo dan muridnya tidak akan muncul
menantang. Mungkin karena itu maka pihak Siauw Lim Pay
diam saja." "Itu memang masuk akal." Ketua Hwa sanpay manggutmanggut.
"Selama ini Ban Tok Lo Mo dan muridnya tidak pernah
menantang partai yang manapun, hanya membunuh secara
diam-diam." "Tapi biar bagaimanapun, kita harus bersiap-siap." ujar
murid tertua sambil mengerutkan kening.
"Aku khawatir sewaktu-waktu Ban Tok Lo Mo dan muridnya
akan menyerbu kita."
Bagian 36 "Benar." Ketua Hwa San mengangguk perlahan.
"Kita semua harus bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan, tidak boleh lengah sama sekali."
"Guru" Murid kedua memberitahukan. "Belum lama ini,
dalam rimba persilatan telah muncul seorang pendekar wanita
yang cantik jelita, yang ke mana-mana pasti pakai tandu
digotong empat lelaki kekar. Dia setalu membunuh para
penjahat, sehingga para penjahat amat takut kepadanya."
"oh" Siapa pendekar wanita itu?"
"Tiada seorang rimba persilatan mengetahui namanya,
hanya tahu julukannya saja."
Murid kedua melanjutkan. "Julukannya adalah Lian Hoa Nio
cu." "Lian Hoa Nio cu?" Ketua Hwa San tercengang.
"Aku kok belum pernah mendengarnya?"
"Dia baru muncul di rimba persilatan, maka Guru tidak
pernah mendengar julukannya"
"Bagaimana ilmu silatnya?" Tinggi sekali."
"Lian Hoa Nio cu itu berasal dari perguruan mana?"
"Tidak tahu." "Heran?" gumam Ketua Hiwa San Pay.
"Mungkinkah dia bukan berasal dari Tionggoan?"
"Maksud Guru Lian Hoa Nio cu berasal dari Kwan Gwa (Luar
perbatasan)?" tanya murid tertua.
"Ya." Ketua Hwa San Pay manggut-manggut.
"Seperti halnya Ban Tok Lo Mo dan muridnya, bukankah
kita juga tidak tahu asal usul mereka?"
"oh ya" Murid kedua memberitahukan.
"Dengar-dengar Lian Hoa Nio Cu sedang mencari Ban Tok
Lo Mo dan muridnya."
"oh?" ketua Hwa San Pay tersentak.
"Mau apa Lian Hoa Nio Cu mencari mereka?"
"Kalau tidak salah, Lian Hoa Nio Cu ingin membasmi Ban
Tok Lo Mo dan muridnya."
"oooh" Ketua Hwa San Pay menarik nafas lega.
"Pantas Ban Tok Lo Mo dan muridnya terus bersembunyi,
ternyata mereka takut kepada Lian Hoa Nio Cu...."
"He he he He he he..." Mendadak terdengar suara tawa
yang menyeramkan, kemudian melayang turun dua sosok
bayangan manusia. "Siapa kalian?" bentak ketua Hwa San Pay.
"Ban Tok Lo Mo" terdengar suara sahutan.
"Tidak salah." Yang melayang turun itu adalah Ban Tok Lo
Mo dan muridnya, dan kini mereka berdiri di tengah-tengah
ruang itu. "Ban Tok Lo Mo?" Betapa terkejutnya ketua Hwa
San Pay. "Ha ha ha" Ban Tok Lo Mo tertawa gelak.
"Tak disangka kalian sedang membicarakan kami,
kebetulan kami ke mari"
"Mau apa kalian ke mari?" tanya ketua Hwa San Pay
dingin. "Mau membunuhmu dan membantai para muridmu," sahut
Ban Tok Lo Mo sambil tertawa terkekeh. "He he he..."
"Ban Tok Lo Mo, kami Hwa San Pay tidak pernah
bermusuhan dengan kalian Kenapa kalian...."
Belum juga usai ketua Hwa San Pay berbicara, Tan Beng
song sudah mulai membantai beberapa murid Hwa San Pay
yang berdiri di situ.. "Aaaakh Aaaakh..." Terdengar suara jeritan yang menyayat
hati. Ternyata mereka terkena ilmu pukulan beracun.
"Ha ha ha" Tan Beng song tertawa gelak.
Beberapa murid handal Hwa San Pay langsung menyerang
Tan Beng song, sedangkan ketua Hwa San Pay mulai
mendekati Ban Tok Lo Mo dengan pedang terhunus.
"He he he" Ban Tok Lo Mo tertawa terkekeh-kekeh.
"Ketua Hwa San Pay, ajalmu telah tiba hari ini"
"Lihat serangan" bentak ketua Hwa San Pay sambil
menyerang. Hwa San Pay memang terkenal ilmu pedangnya, maka
ketua Hwa San Pay menyerang Ban Tok Lo Mo dengan
pedang. Akan tetapi, dengan gampang sekali si iblis Tua itu
mengelak. lalu balas menyerang dengan ilmu pukulan
beracun. Ketua Hwa San Pay berkelit ke sana ke mari. sesekali ia
pun balas menyerang dengan jurus jurus andalannya. Cepat
sekali puluhan jurus telah berlalu, ketua Hwa San Pay mulai
berada di bawah angin. Sementara beberapa murid handal Hwa San Pay pun telah
binasa. Tan Beng song tertawa puas dan itu sungguh
mengejutkan ketua Hwa San Pay. oleh karena itu, ia menjadi
nekad menyerang Ban Tok Lo Mo.
"Hehehe"Ban Tok Lo Mo tertawa, kemudian menyerangnya
bertubi-tubi dengan ilmu pukulan Ban Tok Ciang (Ilmu
Pukulan selaksa Racun) "Aaaakh..." Terdengar suara jeritan ketua Hwa San Pay,
ternyata dadanya telah terkena ilmu pukulan beracun, dan tak
lama kemudian nyawanya pun melayang.
"He he he" Ban Tok Lo Mo tertawa terkekeh- kekeh.
"Muridku, mari kita pergi"
"Ya, Guru" sahut Tan Beng song. Mereka berdua lalu
melesat pergi, sayup-sayup masih terdengar suara tawa
mereka. Ketua Hwa San Pay telah tewas, itu merupakan
kejadian yang amat tragis sekali. Namun, tentang kejadian itu
belum tersiar dalam rimba persilatan.
Ketua Khong Tong Pay termenung di ruang depan.
Beberapa muridnya juga duduk di situ, tapi tiada seorang pun
berani bersuara. Lama sekali barulah ketua Khong Tong Pay
itu menghela nafas, kemudian berkata.
"Kelihatannya situasi rimba persilatan semakin gawat.
sudah banyak kaum rimba persilatan golongan putih dibunuh
oleh Ban Tok Lo Mo dan muridnya. Kita harus berhati-hati.
sewaktu-waktu mereka berdua akan menyerbu ke mari."
"Guru" Murid tertua memberitahukan.
"Belum lama ini dalam rimba persilatan telah muncul
seorang pendekar wanita, yang berjuluk Lian Hoa Nio Cu."
"oh?" Ketua Khong Tong Pay tertegun.
"Pendekar wanita itu berasal dari pintu perguruan mana?"
"Entahlah. Tiada seorang rimba persilatan mengetahuinya.
Melihat dandanannya yang agak aneh, mungkin berasal dari
luar Tionggoan. Lian Hoa Nio Cu duduk di dalam tandu yang
digotong empat lelaki kekar. Pendekar wanita itu selalu
membunuh para penjahat."
"Syukurlah" ucap ketua Khong Tong Pay dan melanjutkan.
"Yang mengherankan adalah Ban Tok Lo Mo dan muridnya.


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah membunuh, mereka menghilang entah ke mana."
"Guru, kenapa siauw Lim Pay tinggal diam?"
"Siauw Lim Pay?" dengus ketua Khong Tong Pay.
"Kong Bun Hong Tio, ketua siauw Lim Pay itu merasa
partainya di atas partai lain, maka tampak angkuh dan selalu
ingin memimpin." "Ketua siauw Lim Pay menghendaki ketua partai lain ke
siauw Lim Pay tanpa diundang, itu seakan ketua partai lain
bermohon kepada siauw Lim Pay Huh siauw Lim Pay...."
"Kenapa Guru kelihatan begitu membenci siauw Lim Pay?"
"Hingga kini Tiga Tetua siauw Lim Pay masih hidup, itu
membuat siauw Lim Pay semakin angkuh."
Tapi ini menyangkut keselamatan rimba persilatan, maka
alangkah baiknya Guru berunding dengan ketua siauw Lim
Pay." "Kalau siauw Lim Pay tidak mau mengundang, aku tidak
akan ke sana," sahut ketua Khong Tong Pay.
"Bu Tong Pay pun sok tinggi, padahal Thio sam Hong
dulunya cuma seorang kacung di siauw Lim sie, dia berguru
kepada Kak Wan Taysu. setelah mendirikan Bu Tong Pay, Thio
sam Hong pun mulai bertingkah. Padahal Thio Cui san murid
kelimanya kawin dengan In soso, yang berasal dari Mo Kauw.
sedangkan Kim Mo Say ong mencuri sebuah kitab pusaka milik
partai kita. Kim Mo say ong adalah saudara angkat Thio Cui
San." "Guru...." Murid-muridnya terperangah dan tidak mengerti,
kenapa hari ini guru mereka marah-marah kepada siauw Lim
Pay dan Bu Tong Pay" Apakah ada sesuatu terganjet dalam
hati ketua Khong Tong Pay itu" Di saat bersamaan, mendadak
terdengar suara tawa yang menyeramkan, lalu berkelebat dua
sosok bayangan ke ruang itu.
"He he he Bagus Bagus, engkau mencaci siauw Lim Pay
dan Bu Tong pay Aku senang sekali mendengarnya"
"Siapa kalian?" bentak ketua Khong Tong Pay.
"Ban Tok Lo Mo" Tampak dua orang berdiri di situ, yang
ternyata Ban Tok Lo Mo dan muridnya.
"Hah?" Bukan main terkejutnya ketua Khong Tong Pay.
"Mau apa kalian ke mari?"
" Ketua Khong Tong" sahut Ban Tok Lo Mo.
"Sebab ajalmu telah tiba hari ini, maka kami ke mari"
"Ban Tok Lo Mo" Betapa gusarnya ketua Khong Tong Pay.
"Baik, mari kita bertarung"
"Hehehe"Ban Tok Lo Mo tertawa terkekeh-kekeh.
"Muridku, bunuhlah murid-muridnya"
"Ya, Guru." Tan Beng song mulai menyerang para murid
Khong Tong Pay. Ketua Khong Tong Pay pun mulai
menyerang Ban Tok Lo Mo dengan sengit sekali.
Ban Tok Lo Mo menyambut serangan-serangannya sambil
tertawa, lalu balas menyerang dengan ilmu pukulan Ban Tok
Ciang. Puluhan jurus kemudian, terdengar suara jeritan yang
menyayat hati, yaitu suara jeritan ketua Khong Tong Pay.
Ternyata dadanya terkena ilmu pukulan beracun, dan tak lama
kemudian nyawanya pun melayang.
"He he he" Ban Tok Lo Mo tertawa terkekeh-kekeh.
"Muridku, mari kita pergi"
"Ya, Guru" Tan Beng Song mengangguk, lalu melesat pergi
mengikuti Ban Tok Lo Mo yang masih tertawa terkekeh-kekeh.
Tujuh delapan hari kemudian, gemparlah rimba persilatan
atas kematian ketua hwa San Pay dan ketua Khong Tong Pay.
Berita tersebut juga sudah masuk ke telinga para ketua partai
lain. "Omitohud..." ucap Kong Bung Hong Tio, lalu menghela
nafas panjang. "Tak disangka kedua ketua itu binasa begitu
mengenaskan." "Suheng" Kong Ti Seng Ceng menggeleng-gelengkan
kepala. "Kita harus bertanggung jawab tentang itu."
"Aku tahu maksudmu, tapi ketika itu kita tidak bisa
bertindak apa-apa. Sebab Ban Tok Lo Mo dan muridnya
bermain gerilya dengan semua partai. Setelah membunuh,
mereka berdua lalu bersembunyi.Jadi sulit bagi kita untuk
bertindak terhadap mereka. Ban Tok LO Mo sungguh licik. Dia
tidak mau secara terang-terangan menantang kita, melainkan
menggunakan siasat busuk."
"Suheng...." Kong Ti Seng Ceng menghela nafas panjang.
"Perlukah kejadian itu kita laporkan kepada ketiga paman
guru?" "Sutee" Kong Bun Hong Tio menggeleng-gelengkan kepala.
"Ketiga paman guru sudah tua sekali, maka mereka jangan
kita ganggu." "Suheng" Kong TiSeng Ceng mengerutkan kening.
"Bagaimana kalau Ban Tok Lo Mo dan muridnya datang ke
mari?" "Omitohud" sahut Kong Bun Hong Tio.
"Kita terpaksa harus mengerahkan kekuatan Lo Han Tong
dan Tat Mo Tong untuk mengeroyok Ban Tok Lo Mo dan
muridnya itu." "Bagaimana kalau kita mengundang para ketua lain untuk
berunding?" tanya Kong Ti seng ceng.
"Itu malah akan mencelakai mereka," sahut Kong Bun Hong
Tio sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ban Tok Lo Mo dan muridnya pasti akan mencegat mereka
di tengah jalan, dan itu sungguh berbahaya sekali."
"Kalau begitu, kita dan partai lain cuma menunggu
kemunculan Ban Tok Lo Mo dan muridnya?"
"Ya." Kong Bun Hong Ho manggut-manggut
"Hanya jalan itu yang dapat kita tempuh, karena tiada jalan
lain lagi." "suheng, menurut dugaanku," Kong Ti seng Ceng
mengemukakan pendapatnya.
"Ban Tok Lo Mo dan muridnya masih tidak berani menyerbu
kita maupun Bu Tong Pay."
" Kenapa?" tanya Kong Bun Hong Tio.
"Ban Tok Lo Mo dan muridnya pasti tahu kekuatan siauw
Lim Pay kita, sedangkan bU Tong Pay masih ada Thio sam
Hong. Itu akan membuat Ban Tok Lo Mo dan muridnya
merasa segan" "Omitohud" Kong Bun Hong Tio manggut-manggut.
"Jadi kini yang dalam bahaya adalah Go Bi Pay, Kun Lun
Pay dan Kay Pang...."
Pembicaraan seperti itu juga terjadi dipartai lain. Para ketua
mengambil keputusan untuk diam di tempat guna menghadapi
Ban Tok Lo Mo dan muridnya. Begitu pula di Bu Tong Pay Jie
Lian ciu dan lainnya duduk di ruang dalam.
"Tak disangka kedua ketua itu binasa di tangan Ban Tok Lo
Mo," ujar Jie Lian ciu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ban Tok Lo Mo itu memang licik sekali." Wajah song wan
Kiauw penuh kegusaran. "Kini entah giliran partai mana?"
"Kini yang dalam bahaya adalah Kun Lun Pay dan Go Bi
Pay," sahut Jie Lian ciu.
"Kenapa engkau berkata begitu?" song wan Kiauw heran.
"Ban Tok Lo Mo dan muridnya tentu tidak berani
menyerang siauw Lim Pay, Kay Pang maupun kita. sebab
siauw Lim Pay amat kuat, sedangkan Kay Pang pasti dibantu
Im sie Popo. Jie Lian ciu menjelaskan.
"oooh" song Wan Kiauw manggut-manggut.
"Mereka berdua pun tidak akan berani ke mari, karena guru
masih hidup," "Betul." Jie Lian ciu mengangguk.
"Kepandaian Ban Tok Lo Mo itu memang tinggi sekali.
Entah kita berempat mampu melawannya apa tidak?"
"Apabila Ban Tok Lo Mo dan muridnya muncul di sini, aku
yakin guru pasti muncul pula," sahut song wan Kiauw.
"Sebab guru memiliki perasaan yang kuat sekali."
"Benar." Jie Lian ciu manggut-manggut, kemudian
menghela nafas panjang. "Kini entah berada di mana Thio Han Liong dan An Lok
Keng cu?" "Mungkin mereka sudah kembali ke Kota raja untuk
menikah," sahut song wan Kiauw.
"Mudah-mudahan begitu" ucap Jie Lian ciu.
"Lebih baik mereka tidak mencampuri urusan rimba
persilatan lagi, hidup tenang dan bahagia di Pulau Hong
Hoang To." "Ng" song Wan Kiauw manggut-manggut. "Memang lebih
baik begitu." "Ha ha ha Ha ha ha..." Ban Tok Lo Mo terus tertawa
terbahak-bahak ketika kembali ke gunung Wu san.
"Kini rimba persilatan pasti sudah menjadi gempar"
"Betul, Guru," sahut Tan Beng song.
"Ketua Hwa San Pay dan ketua Khong Tong Pay telah
binasa di tangan Guru, itu pasti amat menggemparkan rimba
persilatan." "He he he Kita beristirahat lagi, biar partai lain jadi
kebingungan karena kita menghilang tanpa meninggalkan
jejak." "Guru," ujar Tan Beng song.
Kapan kita akan menyerang siauw Lim Pay?"
"Akan kita bicarakan nanti," sahut Ban Tok Lo Mo dan
menambahkan. "Setelah kita menghabiskan siauw Lim Pay, barulah bisa
menjadi jago tanpa tanding di kolong langit."
"Betul Guru." Tan Beng song mengangguk.
"Siauw Lim Pay merupakan partai yang paling kuat di
Tionggoan, juga disebut sebagai gudang ilmu silat. Kalau Guru
berhasil membunuh ketua siauw Lim Pay, tentunya kita akan
memperoleh semua kitab pusaka yang tersimpan di dalam kuil
siauw Lim sic." "Hahaha"Ban Tok Lo Mo tertawa.
"Setelah kita acak-acak rimba persilatan Tionggoan, barulah
kita pulang ke pulau Ban Tok To"
"Ya, Guru." Tan Beng song mengangguk. dan tiba-tiba
teringat sesuatu. "oh ya, Guru...."
"Ada apa?" "Kalau tidak salah, Lian Hoa Nio Cu sedang mencari kita."
"Mau apa dia mencari kita?"
"Dengar- dengar pendekar wanita itu berniat membasmi
kita." "oh?" Kening Ban Tok Lo Mo berkerut.
"Hmm Kalau aku bertemu dia, pasti kupermak dia menjadi
sebuah tengkorak" "Lian Hoa Nio Cu amat cantik, kalau dijadikan sebuah
tengkorak. sungguh sayang sekali. Lebih baik kita jadikan dia
boneka." "Hehehe"Ban Tok Lo Mo tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku sudah tua sekali, tiada nafsu birahi lagi."
"Kalau begitu...." Tan Beng song tersenyum.
"Kalau Guru berhasil menangkapnya, berikan padaku saja"
"Engkau memang goblok" bentak Ban Tok Lo Mo.
"Kepandaiannya begitu tinggi bagaimana mungkin aku
menangkapnya?" "Guru," bisik Tan Beng song.
"Pergunakan racun agar dia pingsan"
"Tapi...," ujarkan Tok Lo Mo.
"Harus lihat bagaimana situasi. Kalau perlu aku akan
membunuhnya . " "Guru...." "Diam" bentak Ban Tok Lo Mo.
"Usiamu sudah setengah abad, tapi masih memikirkan
wanita. Kalau tak tahan, carilah wanita lain"
"Wanita lain tidak cantik, lagipula bagaimana mungkin
wanita lain akan suka padaku?"
"Goblok engkau" Ban Tok Lo Mo menggeleng-gelengkan
kepala. "Di setiap kota pasti terdapat rumah bordil. Bukankah
engkau bisa ke sana mencari wanita cantik?"
"Tapi... aku tidak punya uang."
"Bukankah engkau bisa mencuri?"
"Guru...." Tan Beng song menggeleng-gelengkan kemala.
"Lebih baik pulang ke gunung Wu san."
"Engkau takut bertemu musuh bukan?" tanya Ban Tok Lo
Mo sambil tertawa. "Takut sih tidak, hanya saja... aku ingin beristirahat di kuil
tua itu. Di sana kita bisa makan sepuas-puasnya."
"Engkau memang malas" Ban Tok Lo Mo melotot.
"Ayoh, agar cepat tiba di gunung Wu san, kita harus
menggunakan ilmu meringankan tubuh"
"Baik." Tan Beng song mengangguk.
Mereka segera melesat pergi menggunakan ginkang, dan
keesokan harinya tibalah di gunung Wu san dan langsung
menuju kuil tua itu. Bab 71 Kejadian Yang Mengejutkan
Thio Han Liong dan An Lok Keng cu betul-betul menikmati
hari-hari yang penuh kebahagiaan. Pagi ini mereka berdua
duduk di dekat taman bunga sambil menghirup udara segar.
"Adik An Lok" panggil Thio Han Liong lembut.
"Ya," sahut An Lok Keng cu sambil tersenyum mesra. "Ada
apa?" "Sudah tujuh hari aku tinggal di sini, rasanya sudah
waktunya kita pergi ke pulau Hong Hoang To."
"Kakak Han Liong, aku menurut saja. Tapi... kita harus
beritahukan kepada ayah, tidak boleh pergi secara diamdiam."
"Adik An Lok" Thio Han Liong tersenyum.
"Otakku belum miring, bagaimana mungkin aku akan
mengajakmu pergi secara diam-diam?"
"Aku cuma bercanda," ujar An Lok Keng cu .
"oh ya, entah bagaimana keadaan rimba persilatan?"
"Entahlah." Thio Han Liong menggelengkan kepala.
"Kita berada di dalam istana, tentunya tidak tahu
perkembangan di rimba persilatan."
"Kakak Han Liong," ucap An Lok Keng cu.
"Mudah-mudahan Lian Hoa Nio Cu sudah berhasil
membasmi Ban Tok Lo Mo dan muridnya"
"Mudah-mudahan" sahut Thio Han Liong.
"Adik An Lok, apabila Ban Tok Lo Mo dan muridnya sudah
dibasmi, kita tidak usah mencampuri urusan rimba persilatan
lagi."

Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ng" An Lok Keng cu mengangguk.
"Oh ya, Kakak Han Liong...."
"Ada apa" Katakanlah"
"Engkau menyimpan sebuah lonceng kecil, sebetulnya apa
gunanya lonceng kecil itu?"
"Itu adalah lonceng sakti." Thio Han Liong
memberitahukan. "Pemberian Bu Beng siansu. Kegunaannya untuk menindih
suara yang mengandung kesesatan."
"Oooh" An Lok Kong cu manggut-manggut.
"Adik An Lok, bagaimana kalau kita pergi menghadap
Ayah?" tanya Thio Han Liong mendadak.
"Maksudmu mau mohon pamit?"
"Ya." "Baiklah. Mari kita pergi menghadap Ayah"
Mereka berjalan ke istana kaisar, lalu menuju ruang
istirahat. Kebelulan cu Goan ciang sedang duduk menikmati
teh wangi. "Ayahanda" panggil mereka serentak sambil
memberi hormat. "oh" Cu Goan ciang tersenyum. "Duduklah"
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu duduk, setelah itu
barulah An Lok Kong cu berkata.
"Ayahanda, kami menghadap karena...."
"Aku sudah tahu maksud kalian menghadapku," ujar cu
Goan ciang sambil memandang mereka.
"Tentunya kalian ingin minta ijin pergi ke pulau Hong
Hoang To, bukan?" "Betul, Ayahanda." An Lok Kong cu dan Thio Han Liong
mengangguk. "Ngmmm" Cu Goan ciang manggut-manggut.
"Memang sudah waktunya kalian pergi ke sana, tolong
sampaikan salamku kepada Thio Bu Ki"
"Ya, Ayahanda." Wajah An Lok Kong cu tampak berseri.
"Ayahanda mengijinkan kami pergi ke pulau Hong Hoang
To?" "Ha ha" Cu Goan ciang tertawa.
"Tempat tinggal Han Liong di pulau Hong Hoang To, sudah
pasti engkau harus ikut dia ke sana."
"Terimakasih, Ayahanda," ucap An Lok Kong cu .
"Tapi...." Cu Goan ciang memandang mereka.
"Jangan sampai lupa ke mari mengunjungi, lho" pesannya.
"Kami tidak akan lupa, Ayahanda," jawab An Lok Kong cu
dan Thio Han Liong hampir serentak.
"Kapan kalian akan berangkat?"
"Besok pagi." "Baiklah." Cu Goan ciang manggut-manggut.
"oh ya, aku akan menitip sebuah benda untuk Thio Bu Ki,
tolong sampaikan kepadanya"
"Ya." An Lok Kong cu dan Thio Han Liong mengangguk, lalu
bangkit berdiri sekaligus memberi hormat.
"Ayahanda, kami mohon diri" "silakan" cu Goan ciang
tersenyum. Thio Han Liong dan An Lok Kong cu kembali ke istana An
Lok dengan wajah berseri-seri. Mereka tidak menyangka
bahwa Cu Goan ciang langsung mengijinkan mereka pergi ke
pulau Hong Hoang To. "Adik An Lok, tak disangka Ayah langsung mengijinkan,"
bisik Thio Han Liong ketika sampai di halaman.
"Aku adalah isterimu, tentunya harus ikut engkau ke pulau
Hong Hoang To," ujar An Lok Kong cu sambil tersenyum.
"Sebab tempat tinggalmu di pulau itu."
"Tapi... engkau adalah Putri Kaisar."
"Apa bedanya dengan gadis lain" Lagi pula ayahku mantan
bawahan ayahmu, maka kita sederajat."
"Adik An Lok, engkau harus ingat satu hal"
"Hal apa?" "Di pulau Hong Hoang To tidak ada dayang, maka
pekerjaan apa pun harus kita kerjakan sendiri Apakah engkau
sanggup?" "Wuah" sahut An Lok Kong cu. "Jangan menghina ya
Engkau kira aku tidak bisa mengerjakan semua pekerjaan
rumah tangga?" "Aku tidak menghina, hanya mengingatkan saja." Thio Han
Liong tersenyum. "Sebab engkau adalah Putri Kaisar."
"Jangan lupa" sahut An Lok Kong cu.
"ibumu juga mantan Putri Raja Mongol lho Kok ibumu
sanggup mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga?"
"Betul." Thio Han Liong manggut-manggut.
"Karena itu, aku pun yakin engkau bisa seperti ibuku."
"Pasti." An Lok Kong cu tersenyum.
Keesokan harinya, mereka berpamit kepada Cu Goan ciang.
wajah Kaisar tampak agak muram. Lama sekali ia memandang
Thio Han Liong dan Putrinya, setelah itu, dipegangnya bahu
Thio Han Liong seraya berkata.
"Sayangi dan cintailah Putriku selama-lamanya, aku
mempercayai mu" "Ya, Ayahanda." Thio Han Liong mengangguk.
"Aku pasti membahagiakan Adik An Lok."
"Bagus, bagus" Cu Goan ciang manggut-manggut dan
lersenyum, kemudian menyerahkan sebuah kotak kecil.
"Di dalam kotak ini berisi sepotong Giok dingin, aku
hadiahkan kepada ayahmu."
"Terimakasih, Ayahanda," ucap Thio Han Liong sambil
menerima kotak itu. "oh ya" Cu Goan ciang memandang mereka.
"Kalian harus sering-sering ke mari mengunjungiku, jangan
tidak ke mari sama sekali"
"Ya." Thio Han Liong dan An Lok Kong cu mengangguk,
kemudian memberi hormat lalu meninggalkan istana.
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu melakukan perjalanan
menuju ke pesisir Utara. Dua hari kemudian mereka tiba di
sebuah kota, lalu mampir di sebuah rumah makan.
Thio Han Liong memesan beberapa macam hidangan. Tak
lama seorang pelayan menyajikan hidangan-hidangan
tersebut. Ketika mereka sedang bersantap. masuklah di rumah
makan itu beberapa kaum rimba persilatan, kebetulan duduk
di dekat meja mereka. Setelah memesan makanan dan minuman, beberapa kaum
rimba persilatan itu mulai bercakap- cakap.
"Aaaah... tak disangka Hwa San Pay dan Khong Tong Pay
tertimpa petaka" Ucapan itu membuat Thio Han Liong dan An Lok Kong cu
saling memandang, lalu mendengarkan dengan penuh
perhatian. "Sungguh kejam dan licik Ban Tok Lo Mo dan muridnya itu.
Mereka membunuh ketua Hwa San Pay dan ketua Khong Tong
pay." Betapa terkejutnya Thio Han Liong dan An Lok Kong cu.
Mereka berdua sama sekali tidak tahu akan kejadian itu.
"Setelah itu, Ban Tok Lo Mo dan muridnya menghilang lagi.
Tiada seorang pun tahu mereka berdua bersembunyi di
mana?" "Aku justru tidak habis pikir, kenapa siauw Lim Pay tinggal
diam?" "Sebetulnya siauw Lim Pay ingin mengundang partai lain,
tapi... khawatir Ban Tok Lo Mo dan muridnya akan membunuh
para ketua itu di tengah jalan. Maka, ketua siauw Lim Pay
membatalkan niatnya itu."
"Bagaimana mengenai Bu Tong Pay?"
"Seperti siauw Lim Pay, diam di tempat siap menghadapi
Ban Tok Lo Mo dan muridnya." Mendengar sampai di situ,
kening Thio Han Liong berkerut-kerut, kemudian berbisik.
"Adik An Lok, kita batal ke pulau Hong Hoang To."
"Ng" An Lok Kong cu mengangguk.
"Ketua Hwa San Pay dan ketua Khong Tong Pay telah
binasa di tangan Ban Tok Lo Mo dan muridnya, maka kita
tidak bisa berpangku tangan lagi," ujar Thio Han Liong dengan
suara rendah. "Kita harus membasmi mereka berdua itu, barulah ke pulau
Hong Hoang To" "Baik." An Lok Kong cu mengangguk lagi.
"Dari sini ke gunung Bu Tong amat jauh sekali, lebih baik
kita ke markas Kay Pang." Thio Han Liong memandang An Lok
Kong cu. "Bagaimana menurutmu?"
"Aku menurut saja," sahut An Lok Kong cu berbisik,
"Engkau adalah suamiku, maka aku harus menurut
pendapatmu. " "Adik An Lok...." Thio Han Liong tersenyum.
"Kaiau begitu, mari kita berangkat ke markas Kay Pang"
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu melanjutkan
perjalanan. Kini bukan menuju pesisir Utara, melainkan
menuju markas Kay Pang. Tiga hari kemudian, mereka sudah tiba di markas Kay
Pang. Kedatangan mereka sangat menggembirakan seng Hwi
dan su Hong sek, ketua Kay Pang.
"Saudara kecil...." seng Hwi memandangnya dengan wajah
berseri. "Saudara tua" sahut Thio Han Liong sambil tersenyum.
"Maaf, kami ke mari mengganggu kalian"
"Saudara kecil" seng Hwi tertawa gelak. "Jangan berkata
begitu, silakan duduk"
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu duduk. su Hong sek
memandang mereka, setelah itu barulah bertanya.
"Ada keperluan apa kalian datang ke mari?"
"Sebetulnya kami mau ke pulau Hong Hoang To, namun di
tengah jalan kami mendengar tentang kejadian di Hwa San
Pay dan Khong Tong Pay, maka kami segera ke mari," jawab
Thio Han Liong. "oooh" su Hong sek manggut-manggut.
"Ketua Hwa san Pay dan ketua Khong Tong Pay memang
telah binasa di tangan Ban Tok Lo Mo dan muridnya. Tapi
setelah itu, Ban Tok Lo Mo dan muridnya menghilang lagi."
"Mereka berdua sungguh licik oh ya, kenapa siauw Lim Pay
tidak mengundang para ketua untuk berunding?" tanya Thio
Han Liong . "Itu disebabkan ketua siauw Lim Pay berpikir panjang,
"jawab su Hong sek memberitahukan.
"Tidak mau mencelakai para ketua itu di tengah jalan,
sebab kalau para ketua itu menuju kuil siauw Lim, tentunya
Ban Tok. Lo Mo dan muridnya akan muncul membunuh
mereka." "Oooh" Thio Han Liong mengangguk. "Maka kini partaipartai
besar tetap di tempat siap menghadapi Ban Tok Lo Mo
dan muridnya?" "Kira-kira begitulah," sahut Su Hong Sek sambil menghela
nafas panjang. "Baru kali ini tujuh partai besar menghadapi musuh yang
begitu licik, setelah membunuh lalu menghilang."
"su Pang cu" tanya Thio Han Liong mendadak.
"Bagaimana kabarnya mengenai Lian Hoa Nio cu?"
"Lian Hoa Nio Cu betul-betul terkecoh oleh kelicikan Ban
Tok Lo Mo." su Hong sek memberitahukan.
"Ketika Lian Hoa Nio Cu pergi ke Hwa San Pay dan Khong
Tong Pay, Ban Tok Lo Mo dan muridnya justru telah
menghilang tanpa meninggalkan jejak. Kini Lian Hoa Nio Cu
masih terus mencari Ban Tok Lo Mo dan muridnya...."
"Ban Tok Lo Mo dan muridnya memang licik sekali." Thio
Han Liong menghela nafas panjang.
"oh ya, mungkinkah Ban Tok Lo Mo dan muridnya akan
menyerang siauw Lim Pay, Bu Tong Pay, GoBi Pay dan Kun
Lun Pay?" "Untuk sementara ini, mereka berdua masih tidak berani
menyerang siauw Lim Pay, Bu Tong Pay maupun Kay Pang,"
sahut seng Hwi. "Memangnya kenapa?" tanya Thio Han Liong dengan
heran. "Sebab siauw Lim Pay amat kuat, sedangkan Bu Tong Pay
masih punya deking yang kuat sekali, yaitu Guru Besar Thio
sam Hong. Di sini terdapat Im sie Popo, maka membuat Ban
Tok Lo Mo dan muridnya merasa segan mengusiknya."
"Kalau begitu...." Thlo Han Liong mengerutkan kening.
"Kun Lun pay dan GoBi Pay berada dalam bahaya?"
"Ya." seng Hwi mengangguk.
"Aaah..." Thio Han Liong menghela nafas panjang.
"Han Liong" su Hong sek tersenyum ketika melihat Thio
Han Liong begitu cemas. "Belum tentu Ban Tok Lo Mo dan muridnya akan
menyerang ke dua partai itu, sebab kini Ban Tok Lo Mo dan
muridnya justru bersembunyi."
"Tapi...." "Tenang saja" ujar su Hong sek sambil tersenyum.
"Lian Hoa Nio Cu sedang mencarinya, maka aku yakin
sementara ini Ban Tok Lo Mo dan muridnya tidak akan berani
memunculkan diri" "Benar." seng Hwi manggut-manggut.
"Kalau begitu, kami mau mohon pamit," ujar Thio Han
Liong. "Kalian mau ke mana?" tanya seng Hwi.
"Ke gunung Bu Tong," sahut Thio Han Liong.
"Tenang" seng Hwi tersenyum.
"Tinggal di sini beberapa hari, setelah itu barulah berangkat
ke gunung Bu Tong." Thio Han Liong berpikir sejenak. kemudian mengangguk.
"Baiklah." "oh ya" su Hong sek memandang mereka seraya bertanya,
"Kalian sudah menikah di Kotaraja?"
Thio Han Liong dan An Lok Kong cu mengangguk dengan
wajah agak kemerah-merahan. seketika juga seng Hwi
tertawa gembira. "Ha ha ha Kami harus memberi selamat kepada kalian,
kami akan menjamu kalian malam ini"
"Itu tidak usah" Thio Han Liong menggelengkan kepala.
"Harus." tandas seng Hwi dan menambahkan, "Kita harus
bersulang hingga pagi."
"Kalau tadi aku lupa bertanya, tentunya malam ini kalian
akan tidur berpisah kamar"ujar su Hong sek.
"Itu pasti tidak menyenangkan kalian. Ya, kan?"
"su Pang cu...." Wajah Thio Han Liong bertambah merah.


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Han Liong" su Hong sek tersenyum.
"Setelah engkau mengajak An Lok Kong cuculang ke pulau
Hong Hoang To, apakah kalian masih mau mencampuri urusan
rimba persilatan?" "Tidak mau." Thio Han Liong menggelengkan kepala.
"Kami ingin hidup tenang, damai dan bahagia di sana."
"oooh" su Hong sek manggut-manggut.
"Tapi jangan lupa berkunjung ke mari"
"Ya." Thio Han Liong mengangguk.
Malam harinya, seng Hwi dan su Hong sek menjamu
mereka, bersantap dan bersulang sambil tertawa gembira.
"Han Liong," tanya su Hong sek.
"Kalian ingin punya anak berapa?"
"Kalau bisa selusin," sahut Thio Han Liong.
"Agar pulau Hong Hoang To tidak terlalu sepi."
"Ha ha ha" seng Hwi tertawa gelak.
"Kasihan An Lok Kong cu harus melahirkan anak sampai
selusin. Bagaimana dia mengurusi anak yang begitu banyak?"
"Kakak Han Liong...." An Lok Kong cu menatapnya sambil
tersenyum. "Engkau sudah mabuk ya?"
"Adik An Lok" sahut Thio Han Liong.
"Aku berkata sesungguhnya, bukan perkataan dalam
keadaan mabuk lho" "Kakak Han Liong...." An Lok Kong Cu cemberut.
"Engkau jahat ah Bagaimana mungkin aku melahirkan anak
sampai selusin?" "Mungkin saja," sahut Thio Han Liong sambil tertawa.
"Kalau sekali melahirkan dua anak, bukankah engkau bisa
melahirkan anak sampai lusinan?"
Mendengar itu, Seng Hwi dan Su Hong Sek tertawa geli,
sehingga membuat wajah An Lok Kong Cu menjadi memerah
seperti kepiting rebus. "Kakak Han Liong...." Mendadak An Lok Kong Cu mencubit
pahanya. "Aduuuh" jerit Thio Han Liong kesakitan.
"Rasakan" sahut An Lok Kong Cu.
"Siapa suruh engkau menggodaku" Hi hi hi?"
Sementara itu, berlangsung pula pembicaraan serius di
dalam kuil tua di gunung Wu
"Guru, rimba persilatan pasti gempar, karena kita telah
membunuh ketua Hwa San Pay. Lalu kenapa kita harus terus
diam didalam kuil tua ini?" ujar Tan Beng Song.
"Engkau memang goblok" sahut Ban Tok Lo Mo sambil
melotot. "Aku justru menghendaki pihak Siauw Lim Pay
mengundang partai lain ke kuil Siauw Lim. Nah. itu merupakan
kesempatan bagi kita untuk menghabiskan mereka di tengah
jalan." "Betul." Tan Beng Song manggut-manggut.
"Tapi hingga kini Siauw Lim Pay masih belum mengundang
partai lain. Mungkin ketua Siauw Lim Pay tahu akan rencana
Guru." "Hm" dengus Ban Tok Lo Mo.
"Keledai gundul itu cerdik juga. Dia sedang adu siasat
dengan kita." "Guru," usul Tan Beng song.
"Bagaimana kalau kita menyerbu Kun Lun Pay atau Go Bi
Pay saja?" "Kenapa engkau mengusulkan itu?"
"Sebab tidak mungkin kita menyerbu siauw Lim Pay, Bu
Tong Pay maupun Kay Pang."
"Lho" Kenapa?"
"Karena siauw Lim Pay amat kuat, sedangkan di Bu Tong
Pay masih ada Thio sam Hong dan Kay Pang pasti dibantu Im
sie Popo, maka sulit bagi kita membunuh ketua ketua itu."
"Ngmm" Ban Tok Lo Mo manggut-manggut.
"Ada benarnya juga perkataanmu barusan itu. Tapi... Kun
Lun Pay dan GoBi Pay begitu jauh dari sini, tidak mungkin kita
menyerbu ke sana." "Lalu apa rencana Guru?"
"Rencanaku...." Ban Tok Lo Mo menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku tidak punya rencana. Bagaimana engkau" Punya
suatu rencana bagus?"
"Guru, aku justru sedang berpikir."
"Pikirlah Tapi... jangan lama-lama"
"Ya, Guru." Tan Beng song mengangguk dan terus berpikir
hingga keningnya berkerut-kerut, kemudian bergumam.
"Kalau satu lawan satu, Guru pasti menang. Tapi apabila
mereka mengeroyok. tentunya Guru repot menghadapi
mereka...." "Hei" bentak Ban Tok Lo Mo.
"Engkau mengoceh apa" Kenapa sedang berpikir bisa
mengoceh?" "Guru," sahut Tan Beng song.
"Jarak dari sini ke markas Kay pang tidak begitu
jauh,bagaimana kalau kita menyerbu Kay Pang saja?"
"Memang tidak sulk membunuh su Hong sek dan suaminya,
namun... Im sie Popo justru merupakan halangan besar bagi
kita." "Guru," ujar Tan Beng song.
"Aku masih sanggup menghadapi su Hong sek dan
suaminya, jadi Guru menghadapi Im sie Popo. Kalau nenek
gila itu sudah dibunuh, tentunya tidak sulit bagi kita
membunuh su Hong sek dan suaminya."
"Benar." Ban Tok Lo Mo manggut-manggut.
"Aku sanggup membunuh Im sie Popo. Tapi... bagaimana
kalau mendadak muncul bantuan?"
"Maksud Guru muncul jago lain membantu Kay Pang?"
"Ya." "Kita mengambil langkah seribu saja," sahut Tan Beng
song. "Setelah itu, kita berunding lagi."
"Bagus, bagus Ha ha ha..." Ban Tok Lo Mo tertawa gelak.
"Memang harus dengan cara begitu menghadapi mereka,
agar mereka kesal dan pusing Ha ha ha..."
"Guru," tanya Tan Beng song.
"Kapan kita berangkat ke markas Kay Pang?"
"Besok." sahut Ban Tok Lo Mo.
"Kita bikin kejutan di markas Kay Pang, maka partai lain
pun akan ikut terkejut Ha ha ha..."
Sudah beberapa hari Thio Han Liong dan An Lok Kong cu
tinggal di markas Kay Pang, namun tiada informasi mengenai
Ban Tok Lo Mo dan muridnya, sehingga membuat Thio Han
Liong kesal sekali. "Ban Tok Lo Mo dan muridnya sungguh licik" ujar Thio Han
Liong dengan wajah kesal.
"Kita berada di sini justru sedang menunggu kemunculan
mereka, tapi mereka sama sekali tidak ke mari."
"Kakak Han Liong" An Lok Keng cu tersenyum.
"Jangan kesal, Ban Tok Lo Mo dan muridnya memang
sengaja bermain gerilya dengan para ketua partai besar."
"Mungkinkah..." sela su Hong sek dengan kening berkerutkerut.
"... mereka tahu kalian berada di sini?"
"Mungkin.." Thio Han Liong manggut-manggut.
"Maka mereka tidak ke mari. Aku mencemaskan Kun Lun
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 7 Si Pisau Terbang Pulang Karya Yang Yl Medali Wasiat 16
^