Pencarian

Asmara Dibalik Dendam 7

Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


terowongan yang cukup lebar. Dia segera memasuki terowongan itu dan tiba di
sebuah ruangan bawah tanah yang lebar. Dan di situ duduk seorang kakek berambut
panjang dengan kuku-kuku tangan yang panjang pula. Dia terkejut sekali, mengira
bahwa kakek itu bukan manusia, melainkan setan penjaga sumur.
Akan tetapi agaknya kakek itu juga mendengar kedatangannya. Kakek itu membuka
matanya dan kembali Gajahpuro terkejut. Mata itu seprti mata kucing dalam gelap.
Keadaannya yang remang-remang itu membuat mata itu seperti bernyala.
Tiba-tiba tubuh kakek yang seperti duduk itu meloncat ke atas dan tiba-tiba saja
Gajahpuro sudah diserang secara aneh. Gajahpuro menangkis,akan tetapi tetap saja
dia terpental dan terpelanting keras. Dia bangkit lagi dan melihat kakek itu
kini "berdiri" dengan kedua kaki yang pendek sekali. Ketika dia perhatikan, ternyata
kaki kakek itu telah buntung keduanya, buntung di atas lutut sehingga dia
berdiri di atas kedua pahanya!
"Haaaaah,engkau sudah bosan hidup.Mampuslah!" kakek itu berseru dengan suara
aneh, lalu kembali tubuhnya mencelat ke depan dengan sigapnya,menyerang bagaikan
sebutir peluru meriam! Gajahpuro lalu memasang kuda-kuda dan memainkan ilmu
silat Gagak Seto seperti yang dipelajarinya dari ayahnya.Akan tetapi kembali dia
terdorong dan terjengkang keras.
"Hah,kau mainkan ilmu Gagak Seto" Apakah engkau murid Gagak Seto?" kakek itu
yang kini tubuhnya menjadi cebol pendek sekali bertanya.
Biarpun ketakutan, Gajahpuro menjawab, "Benar sekali, kakek yang sakti. Saya
adalah seorang murid Gagak Seto."
"Hemmm,bagus.Sudah lama aku tidak mendengar tentang Gagak Seto. Kesinilah,
jangan takut. Duduk di sini dan ceritakan tentang Gagak Seto."
Biarpun takut,Gajahpuro memberanikan diri. Dia tahu bahwa dia tidak akan mampu
lari dari kakek yang sakti ini, maka yang terbaik adalah menaati perintahnya.
Dia lalu berjalan menghampiri dan ternyata tempat itu dasarnya kering, tidak
lembab seperti dasar sumur di mana dia jatuh tadi.
"Apa yang harus saya ceritakan, Eyang?" Gajahpuro yang cerdik itu segera
menyebut eyang[kakek] untuk menghormati orang tua yang rambutnya panjang dan
hampir semua sudah putih itu.
"Siapa yang sekarang menjadi ketua Gagak Seto?"
"Yang menjadi ketua adalah Ki Sudibyo."
"Ah,dia" Hemm,bagus. Sudibyo memang pantas menjadi ketua. Dia baik. Dan siapa
engkau, orang muda?"
"Nama saya Gajahpuro,eyang. Saya putera dari ayah Klabangkoro."
"Hemm,Klabangkoro" Dia masih hidup" Dan kenapa engkau terjatuh ke dalam sumur
ini?" Gajahpuro tidak berani berbohong. "Saya tidak jatuh eyang. Saya memang dilempar
ke dalam sumur........"
"Ehh" Kau juga dilempar ke dalam sumur" Siapa yang melemparmu ke dalam sumur?"
"Bukan lain adalah ayah saya sendiri,eyang. Saya dipukul pingsan dan tahu-tahu
saya berada di dalam sumur."
"Dipukul pingsan dan dilempar ke dalam sumur oleh bapamu sendiri" Akan tetapi
kenapa?" Gajahpuro mengambil keputusan untuk berterus terang saja. Tidak ada yang perlu
disembunyikan dari kakek sakti ini, karena kalau diketahui dia berbohong, tentu
dia akan dibunuh. "Ayah dan Paman Mayangmurko berkhianat,eyang. Mereka menagkap Ki Sudibyo
bersamaseorang pemuda dan seorang gadis di dalam goa, lalu mengalirkan air ke
dalam goa untuk membunuh mereka. Saya.......saya mencintai gadis itu yang
bernama Niken dan saya berusaha untuk membebaskan mereka dengan jalan membobol
gunung untuk mengalirkan air itu keluar.Ayah mengetahui, saya lalu dipukul
pungsan dan tahu-tahu dibuang ke dalam sumur ini."
"Ah,heh-heh-heh,sampai sekarang Klabangkoro dan Mayangmurko masih saja menjadi
orang yang curang dan jahat. Mereka tentu akan menebus kejahatannya dengan
kesengsaraan,seperti yang telah kualami.Ah,aku sekarang tidak lagi mau berbuat
kejahatan karena akibatnya sungguh tidak enak sekali!" Dan tiba-tiba saja kakek
itu menangis sesenggukan dengan sedih sekali, penuh penyesalan.
Gajahpuro merasa bulu tengkuknyameremang. Kakek itu seperti bukan manusia
lagi,atau kalau manusia tentu sudah miring otaknya. Dengan hati-hati
sekali,untuk menghentikan tangis yang mengrikan hatinya itu, dia bertanya,
"Eyang,mengapaeyang berada di sini?"
Benar saja,pertanyaan itu menghentikan tangisnya dan dengan kedua mata merah
kakek itu memandang kepadanya. "Engkau mau tahu" Aku telah melakukan dosa yang
besar sekali.Aku menodai kakak iparku bahkan nyaris membunuh kakakku sendiri
untuk merampas kedudukannya sebagi ketua. Kakakku itu adalah ayah dari Ki
Sudibyo. Sudibyo itu keponakanku.Aku dikalahkan oleh kakakku, kedua kakiku
dibuntungi dan aku lalu dilempar kedalam sumur ini.Sudah lebih dari dua puluh
tahun aku berada di sini."
Gajahpuro bergidik. Duapuluh tahun" Dia membayangkan diri sendiri harus tinggal
di situ sampai puluhan tahun!
"Kenapa eyang tidak berusaha untuk naik dan meloloskan diri" Eyang memiliki
kesaktian hebat." "Hemm,butakah matamu?" Tiba-tiba kakek itu berkata marah. "Apa engkau tidak
melihat bahwa kedua kakiku buntung" Kalau tidak buntung, tentu aku sudah keluar.
Dengan kedua kaki buntung, betapapun pandainya aku, tidak mungkin aku keluar
dari sumur yang dalam ini."
"Lalu bagaimana eyang dapat bertahan hidup selama itu di sini" Apa yang eyang
makan selama ini?" "Ada seorang keponakanku yang amat baik hati. Namanya Joyosentiko......"
"Ahh........!" Gajahpuro berseru.
"Kenapa?" "Paman Joyosentiko juga sudah dibunuh oleh ayah dan dilempar masuk pula ke dalam
goa!" "Keparat! Celaka sekali! Pantas dia tidak datang mengirim makanan. Biasanya,
Joyosentiko yang menurunkan makanan ke dalam sumur ini. Selama duapuluh tahun,
Joyosentiko mengirim makanan sehingga aku dapat makan dengan wajar. Kalau tidak,
aku harus makan jamur dan kerokot setiap hari. Banyak jamur dan kerokot tumbuh
di sini. Biarpun dengan itu aku dapat hidup,akan tetapi tentu membosankan
sekali. Ah,bagus,engkau sekarang telah berada di sini.Engkau dapat menggantikan
Joyosentiko mengirim makanan kepadaku. Ah,tidak! Engkau bahkan dapat
menggendongku keluar dari sumur ini!"
"Akan tetapi,eyang.Mana mungkin saya mendaki tebing yang begini curam dan licin"
Tidak mungkin sama sekali!"
"Tolol! Bodoh! Kaki tanganmu masih lengkap,mengapa tidak bisa" Kau akan kuajari
ilmu-ilmuku sehingga engkau akan dapat naik,menggendong aku dan kalau engkau
sudah mempelajari ilmu-ilmuku, dengan mudah engkau akan mebunuh Klabangkoro dan
Mayangmurko." Gajahpuro terkejut.Biarpun dia diperlakukan kejam oleh Klabangkoro sama sekali
tidak pernah terpikirkan di benaknya untuk membunuh ayahnya sendiri itu.
"Eyang! Dia adalah ayah kandung saya!"
"Ayah kandung hidungmu itu! Siapa bilang dia ayah kandungmu" Klabangkoro bukan
ayah kandungmu,bukan apa-apamu!"
"Eyang.........!" Suara Gajahpuro gemetar. "Apa .........apa maksud eyang.....?"
"Tolol! Dengarlah. Ketika Klabangkoro masih muda, dia tergila-gila kepada ibumu.
Ketika itu engkau masih bayi,Klabangkoro membunuh ayah kandungmu dan merampas
ibumu.Tentu saja engkau diakui sebagai puteranya. Akan tetapi kalau engkau benar
anak kandungnya sendiri,mana mungkin dia memukulmu dan melemparmu ke dalam sumur
ini" Dia bukan ayahmu, bahkan membunuh ayah kandungm, juga pembunuh ibumu karena
aku mendengar dari Joyosentiko bahwa ibumu juga sudah tewas secara tidak wajar
ketika engkau masih kecil."
Gajahpuro meloncat bangun dan mengepal tinjunya,diacungkan ke atas sumur.
"Klabangkoro keparat! Sekarang aku tahu! Awas kau.Akan kuhancurkan kepalamu!"
"Heh-heh-heh,bagus. Niatmu itu tentu akan tercapai. Nah,mendekatlah ke sini,
duduk bersila di depanku membelakangi aku."
Gajahpuro sudah pasrah.Kalau kakek itu hendak membunuhnya,dipun tidak akan mampu
melarikan diri. Dia lalu duduk bersila di depan kakek itu, membelakanginya.
"Brettt..........!" Kakek itu merobek baju dipunggungnya sehingga punggungnya
telanjang. Kakek itu lalu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang
telanjang itu. "Kendurkan semua uratmu,jangan mengang dan jangan melawan. Aku
akan menyalurkan tenaga sakti kedalam tubuhmu!"
Kakek itu lalu membaca mantera dan kedua tangannya tergetar,lalu Gajahpuro
merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang panas sekali
memasuki tubuhnya. Dia merasa tersiksa,seperti dibakar dari dalam akan tetapi
dia mempertahankan sambil menggigit giginya erat-erat. Makin lama hawa panas itu
menjadi hangat dan hahkan terasa nyaman sekali. Kurang lebih sejam kemudian
kakek itu melepaskan kedua tangannya dan terengah-engah.
"Sekarang coba kerahkan tenagamu dari pusar kepada kedua lenganmu dan pergunakan
tanganmu untuk memukul batu di sana itu."
Sambil tetap duduk bersila, Gajahpuro menaati perintah itu. Dari pusarnya timbul
hawa panas dan disalukannya kepada kedua lengannya,sampai keujung jari-jari
tangannya, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah
sebongkah batu di depannya.
"Wuuuuttt.........darrrrrr........!" Batu itu pecah berantakan! Tentu saja
Gajahpuro menjadi terkejut dan girang sekali. Dia lalu membalik, berlutut dan
menyembah kepada kakek itu.
"Terima kasih,Eyang.Saya mohon petunjuk selanjutnya!"
"Engkau baru menerima limpahan tenaga sakti saja dariku. Harus diimbangi dengan
aji yang tangguh. Untuk mengimbangi tenagamu itu aku akan mengajarkan Aji Lahar
Sewu sehingga tenaga sakti Ranu Geni di tubuhmu dapat tersalur dalam ilmu bela
diri yang sukar dicari bandingannya!"
Bukan main girangnya hati Gajahpuro. Mulai hari itu dia berlatih dengan tekun
sekali. Karena memang dia sudah memiliki dasar ilmu silat dan berbakat baik,
dalam beberapa hari saja dia sudah dapat menguasai Aji Lahar Sewu itu. Setiap
hari dia hanya makan jamur dan kerokot,dimakan mentah begitu saja dan minum air
sumber kecil di dasar sumur. Tentu saja dia tersiksa sekali, akan tetapi harus
diakui bahwa makanan itu bahkan dapat memberi tambahan tenaga kepadanya.
Setelah tamat mempelajari Aji Lahar Sewu yang membuat tubuhnya merasa ringan dan
dia dapat menguasai tenaga sakti Ranu Geni itu sepenuhnya, kakek itu
memanggilnya menghadap. Gajahpuro maju berlutut di depan kakek itu.
"Gajahpuro,ketahuilah bahwa dahulu,ketika aku masih malang melintang di dunia
ramai,namaku Anjar Banu terkenal di seluruh Nusantara. Sekarang aku ingin
mengajakmu keluar dan kita berdua akan menggegerkan dunia ramai, ha-ha-ha-ha!
Sekali lagi nama Anjar Banu akan menjadi buah bibir orang banyak.
Gajahpuro,cobalah kau gendong aku."
Di dalam hatinya Gajahpuro tidak setuju untuk hidup di dunia ramai bersama kakek
ini. Akan tetapi dia tahu bahwa kakekitu kejam sekali dan kalau dia tidak
menuruti perintahnya, sekali pukul saja dia akan tewas. Kakek ini sakti sekali
dan agaknya dahulu merupakan seorang datuk sesat yang ditakuti orang.Akan tetapi
biarpun hatinya tidak setuju,bagaimana dia berani membantah.
"Baiklah,Eyang." katanya dan diapun berlutut membelakangi kakek itu Kakek Anjar
Banu lalu meloncat ke atas punggungnya dan merangkulkan kedua lengannya ke
pundak dan leher Gajahpuro.
"Sekarang, naiklah dan keluar dari dalam sumur ini."
Gajahpuro menengadah dan memandang ke arah mulutsumur yang tingga dan bundar itu
dengan ngeri. "Ah,bagaimana saya dapat, Eyang?"
"Hushh,kaukira engkau masih tolol seperti tempo hari ketika terjatuh ke sini"
Salurkan tenaga Ranu Geni ke dalam kedua telapak tanganmu dan kedua kakimu, lalu
memanjatlah naik. Engkau akan mampu melakukanya! Awas,jangan macam-macam
kau.Bawa aku keluar dari sini. Kalau engkau mebantah,akan kucekik mampus engkau
sekarang juga. Aku Anjar Banu,harus keluar dan menggegerkan dunia ramai lagi.
Namaku akan menjulang tinggi lagi, dan engkau menjadi pembantuku yang setia, ha-
ha-ha!" Suara tawa itu berbunyi di dekat telinga Gajahpuro,terdengar seperti suara setan
dan mengancam dirinya, Gajahpuro semakin khawatir. Celaka, sekarang aku terjatuh
ke tangan iblis, pikirnya! Aku harus dapat terbebas dari orang gila ini.
Akan tetapi dipun tertarik mendengar bahwa dengan ilmunya yang baru dia akan
mampu memanjat naik. Dia lalu mengerahkan Aji Ranu Geni ke arah kedua telapak
tangan dan kakinya sampai kedua tangan kaki terasa panas. Lalu dicobanya untuk
meraba dinding sumur. Dan........telapak tangannya mampu menempel dinding.
Kakinya juga dapat menempel seperti kaki cecak. Dia lalu mulai merayap naik!
Diam-diam hatinya merasa girang bukan main,akan tetapi berbareng juga
khawatir.Kalau dia dapat membawa orang ini naik ke atas sana, lalu apa yang
terjadi dengan dirinya" Dia akan dikuasainya dan harus mentaati semua
perintahnya.Bagaimana kalau orang ini melakukan hal-hal yang amat jahat dan dia
disuruh menurut saja" Tidak,dia harus mampu melepaskan dirinya dari tekanan dan
pengaruh orang ini! Setelah merayap sampai kurang lebih tujuh meter, tiba-tiba kakinya terpeleset
dan tubuh Gajahpuro meluncur kembali ke bawah! Dan karena dia menggendong Anjar
Banu,dengan sendirinya, Anjar banu yang menimpa dasar sumur lebih dulu,ditimpa
lagi oleh tubuh Gajahpuro!
"Ngek.........!" Rangkulan Anjar Banu terlepas dari leher Gajahpuro. Kakek yang
buntung kedua kakinya itu menyumpah-nyumpah.
"Tolol! Bodoh! Kenapa engkau bisa jatuh?"
Akan tetapi Gajahpuro tidak segera bangkit melainkan mengerang kesakitan.Melihat
ini, kemarahan kakek itu mereda dan dia menghampiri,lalu menyentuh dan
mengguncang pundak Gajahpuro. "Ada apakah dengan engkau" Engkau
terluka.........?" Pada saat itulah Gajahpuro melancarkan pukulan Lahar Sewu ke arah dada kakek
itu. Karena sama sekali tidak menyangka, kakek itu tentu saja tidak sempat mengelak
atau menangkis lagi. "Desssss........!!" Tubuh kakek itu terlempar seperti bola dan menabrak dinding
ruangan bawah tanah. Gajahpuro tidak melihat lagi bagaimana keadaannya. Dia
segera melompat dan sekali lagi dia memanjat dinding sumur dengan cepat sekali.
Dia mendengar suara bergaung dari bawah,akan tetapi dia tidak menengok lagi dan
terus memanjat mengerahkan seluruh tenaganya. Dengan cepat dia berhasil keluar
dari dalam sumur itu. Dia menengok ke bawah dan tidak melihat apa-apa saking
dalamnya sumur itu. Begitu keluar dari dalam sumur,dia mendengar suara ribut-ribut di sebelah barat
perkampungan Gagak Seto. Dia lalu berlari dan begitu kakinya meloncat,dia
sendiri terkejut karena kini tubuhnya menjadi sedemikian ringan sehingga dia
dapat meloncat jauh dan ketika laripun larinya cepat bukan main. Ketika tiba di
tempat itu, dia melihat belasan orang nak buah Gagak Seto sedang mengeroyok
seorang pria berpakaian seperti petani.Akan tetapi dia segera mengenal pria itu
yang bukan lain adalah Pangeran Panjiluwih! Kiranya pangeran itu yang tadinya
melarikan diri, dapat bersembunyi di pedusunan dan kini menyamar sebagai seorang
petani hendak melanjutkan larinya. Akan tetapi agaknya para anak buah Gagak Seto
mengenalnya dan mengeroyoknya.
Karena pada saat itu, Budhidharma sedang pergi bersama Niken Sasi dan Dewi
Muntari, maka yang mengeroyok hanya anak buah Gagak Seto yang kini tunduk kepada
Budhi dan menganggap pangeran itu sebagai musuh. Gajahpuro merasa heran melihat
betapa anak buah Gagak Seto memusuhi pangeran itu yang dia tahu telah bersekutu
dengan Klabangkoro. Akan tetapi karena sekarang dia membenci labangkoro,membenci
Gagak Seto maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu dan mengamuk,
menyerang anak buah Gagak Seto membantu Pangeran Panjiluwih!
Sepak terjang Gajahpuro luar biasa hebatnya. Tamparan dan tendangannya membuat
para anak buah Gagak Seto terlempar seperti diamuk badai. Sebentar saja semua
pengeroyok sudah jatuh bangun dan mereka melarikan diri.
Pangeran Panjiluwih memandang kepada Gajahpuro,girang dan juga heran.
"Gajahpuro, engkau membantuku" Bagus sekali, engkau ternyata seorang yang setia,
tidak seperti orang-orang Gagak Seto tadi yang kini telah berubah!"
"Tentu saja hambamembantu paduka, Pangeran. Hamba hukan lagi anggota Gagak
Seto,bukan lagi putera Klabangkoro.Bahkan hamba akan membunuh Klabangkoro dan
Mayangmurko!" Tentu saja Pangeran Panjiluwih semakin heran mendengar ini.
"Akan tetapi, bukankah Klabangkoro itu bapakmu sendiri?"
"Bukan! Dia malah hendak membunuh hamba. Permisi dulu, Pangeran. Hamba akan
mencari dan membunuh mereka!"
"Sabar dulu, Gajahpuro. Engkau tidak bisa membunuh mereka lagi."
"Eh, apa maksud paduka, Gusti Pangeran?"
"Ke mana saja engkau selama ini" Apakah engkau tidak tahu bahwa Klabangkoro dan
Mayangmurko sudah tewas" Mereka telah terbunuh oleh Budhidharma, bahkan kini
Gagak Seto dikuasai oleh Budhidarma. Aku baru saja keluar dari tempat sembunyiku
dan menyamar sebagai petani untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi anak buah
Gagak Seto itu masih menganalku. Untung engkau datang membantu, Gajahpuro."


Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, jahanam itu telah mati?" Gajahpuro berseru dengan kecewa karena tadinya dia
ingin membalas dendam sendiri kepada Klabangkoro yang telah membunuh ayah
kandungnya, ibu kandungnya, dan nyaris dia sendiri.
"Yang lain-lain juga sudah tewas. Anak buah Jambuka Sakti juga sudah kocar-kacir
dan lari pulang. Sebaiknya engkau ikut denganku, mengawal aku sampai kembali ke
kota raja. Engkau akan kuhadapkan kepada Kanjeng Gusti dan engkau akan
memperoleh kedudukan tinggi di kota raja, Gajahpuro."
Pemuda itu tertarik. Musuh besarnya telah tewas dan dia sudah kehilangan segala-
galanya. Tidak dapat mengharapkan Gagak Seto yang kini telah dikuasai
Budhidarma. Lebih baik dia ikut pangeran ini untuk mencari kedudukan dan kemulian di kota
raja. "Baiklah, Gusti Pangeran. Hamba akan mengawal paduka." jawabnya dan mereka lalu
pergi meninggalkan tempat itu.
*** lereng Bromo yang menjadi sarang perkumpulan Jambuka Sakti menjadi geger!
Budhidharma,Niken Sasi, dan Dewi Muntari datang dan mereka disambut oleh puluhan
orang anak buah Jambuko Sakti. Para anak buah Jambuko Sakti sudah mengenal tiga
orang ini yang mengamuk di Gagak Seto tempo hari. Di antara mereka yang lari
pulang ke Gunung Bromo sudah memberi laporan kepada Ki Brotokeling, ketua
Jambuko Sakti. Ketika tiga orang ini muncul, para anak buah Jambuko Sakti itu seperti
sekumpulan laron menyerang api. Begitu tiga orang itu menggerakkan kaki tangan,
mereka berpelantingan jatuh bangun. Keadaan menjadi gempar dan Ki Brotokeling
sendiri lalu maju.Melihat ketua mereka maju,para anak buahnya kini hanya
mengepung dengan senjata terhunus.
Ki Brotokeling adalah seorang kakek berusia limapuluh delapan tahun yang
bertubuh tinggi kurus dan mukanya kemerahan, penuh brewok. Jenggotnya sekepal
sebelah dan wajahnya menyeramkan. Sebatang golok besar bergagang kepala srigala
tergantung di pinggangnya.
"Babo-babo..........!" Serunya sambil memandang kepada tiga orang yang sudah
berhadapan dengannya itu. "Andika bertiga ini siapakah,berani datang membikin
ribut di perkampungan kami?"
Budhidarma melangkah maju dan menjawab. "Andika tentu Ki Brotokeling ketua
Jambuko Sakti, bukan?"
"Benar,akulah Ki Brotokeling. Siapa andika,orang muda?"
"Namaku Budhidharma dan tentu sebagian dari anak buahmu sudah melapor siapa
adanya aku. Mereka tadi begitu kami datang sudah mengeroyok kami. Aku adalah
ketua Gagak Seto yang baru."
"Hemm, bagus. Jadi andika pengacau itu" Lalu sekarang andika bertiga datang ke
sini mau apa?" Tiba-tiba Dewi Muntari melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke muka
brewokan itu. "Dengar, Brotokeling! Kurang lebih delapan tahun yang lalu anak
buahmu menyerang dan membunuh Raden Mas Rangsang di pegunungan Anjasmoro!
Siapakah yang menyuruhmu mengirim anak buahmu membunuh Raden Mas Rangsang?"
Brotokeling terkejut. Memang pada waktu itu dia menyuruh anak buahnya menghadang
dan membunuh Raden Mas Rangsang dan isterinya yang sedang bertamasya ke
pegunungan Anjasmoro. Yang memberi perintah untuk itu adalah,Pangeran Panjiluwih
yang bertindak atas nama Kanjeng Gusti!
"Kalau aku tidak mau menjawab pertanyaan itu, andika mau apa?" tantangnya.
"Jahanam keparat! Apa engkau minta mati?" bentak Dewi Muntari.
"Babo-babo,kalahkan aku dulu,baru aku akan menjawab!" kata Brotokeling, merasa
penasaran diancam oleh seorang wanita cantik.
"Bagus, majulah kalau engkau ingin dihajar, Brotokeling!" bentak Dewi Muntari.
"Ibu,biar aku yang menghajar lutung buruk ini!" kata Niken Sasi, hendak mewakili
ibunya. "Jangan,Niken. Aku sendiri ingin menghajarnya untuk membalas kematian ramamu."
Dewi Muntari sudah maju mendekati Ki Brotokeling.
Dari keadaan anak buahnya yang kocar-kacir ketika menyerang tadi saja
Brotokeling suxdah dapat menduga bahwa lawan-lawannya tentu merupakan orang yang
tangguh. Maka, begitu berhadapan dengan Dewi Muntari,tanpa malu-malu lagi dia sudah
mencabut golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.
"Wanita nekat, keluarkan senjatamu!" bentaknya sambil mengelebatkan goloknya.
Dewi Muntari tersenyum mengejek. "Untuk melawan golok tumpulmu itu tidak perlu
aku menggunakan senjata, cukup dengan kaki tanganku saja,Brotokeling!"
Ki Brotokeling menjadi semakin marah, merasa dipandang rendah sekali.
"Beritahukan namamu, jangan mati tanpa nama!" kembali dia membentak untuk
menyembunyikan rasa gentarnya. Melihat sikap wanita itu hendak menghadapi
goloknya dengan tangan kosong saja, di dalam hatinya telah menjadi gentar.
"Mau tahu namaku" Akulah Dewi Muntari, isteri Raden Mas Rangsang yang dibunuh
anak buahmu!" bentak Dewi Muntari. Brotokeling terkejut dan terbelalak, teringat
akan cerita anak buahnya betapa Ki Blendu, wakilnya, telah berhasil membunuh
Raden Mas Rangsang. Akan tetapi wanita itu ditolong seorang kakek yang buruk
sekali,akan tetapi yang memiliki kesaktian hebat sehingga Ki Blendu dan hampir
seluruh anak buahnya tewas oleh kakek itu. Kiranya wanita ini isteri Raden Masa
Rngsang yang ditolong oleh kakek itu!
"Kalau begitu,sekarang engkau mampus!" Bentaknya dan dia sudah mengayunkan
goloknya membacok dengan tenaga yang besar. Akan tetapi dengan lincahnya Dewi
Muntari mengelak dan meloncat ke samping ia mengirim tendangan yang cepat. Kaki
kanannya mencuat dan meluncur ke arah perut Brotokeling. Akan tetapi, biarpun
terkejut karena hampir saja kakinya tertendang, Brotokeling dapat menghindar
sambil menarik kakinya ke belakang. Kemudian dia menyerang lagi dengan lebih
ganas. Dewi Muntari menggunakan kegesitannya. Sebetulnya,dengan Aji Kekebalan
Trenggiling Wesi ysng dimilikinya, ia tidak takut terbabat golok,akan tetapi ia
khawatir kalau-kalau pakaiannya akan terobek,maka ia mengelak kesana-sini sambil
mengirim temparan atau tendangan yang tidak kalah hebatnya dibandingkan sambaran
golok. Niken yang menonton pertandingan itu terbelalak kagum. Ibunya memang
hebat sekali, bahkan Budhidharma juga kagum dan sama sekali tidak merasa
khawatir akan keselamatan puteri itu. Dia yakin bahwa Dewi Muntari pasti akan
dapat mengalahkan Ki Brotokeling.
"Yaaaaaaahhhh ...... !" Ki Brotokeling yang merasa penasaran karena perutnya
kena serempet kaki Dewi Muntari sehingga merasa mulas,kini mengayunkan goloknya
sambil menggerakkan seluruh tenaganya. Dia kaget dan girang sekali melihat
wanita itu kini tidak mengelak bahkan menangkis sabetan golok itu dengan tangan
kanannya! Buntung lenganmu,pikirnya dengan girang.
"Takkk..........!" Golok itu tertahan, seolah tertangkis tongkat baja yang amat
kuat dan selagi Brotokeling terbelalak kaget, tangan kiri Dewi Muntari menyambar
dengan tamparan Aji Jaladi Geni.
"Plakkk.........!"
"Aduhhhh,tobaaat .........!" Ki Brotokeling terpelanting dan goloknya terlepas
dari tangannya. Dia roboh dan memegangi pipinya yang terkena tamparan tadi. Rasa
panas yang menusuk sampai membuat kepalanya seperti dibakar.
"Bagaimana,Brotokeling" Kita lanjutkan?" tantang Dewi Muntari.
"Ampun ........saya mengaku kalah.........!" kata Brotokeling tanpa malu-malu
lagi. Tamparan itu sedemikian hebatnya sehingga membuat dia merasa kepalanya dibakar
dan setengah mati. "Kalau begitu cepat katakan, siapa yang menyuruh engkau membunuh suamiku?"
"Kami......kami diperintah oleh Gusti Pangeran Panjiluwih........" akhirnya dia
mengaku. Pengakuan ini tidak mengejutkan hati Dewi Muntari. Memang ia sudah mengetahui
akan hal itu. Ketika ia ditangkap oleh Ki Blendu dahulu, Ki Blendu juga mengaku
bahwa Pangeran Panjiluwih yang menyuruhnya. Ia menghendaki keterangan yang lain.
Jambuka sakti bersekutu dengan Gagak Seto yang dipimpin Klabangkoro dan dengan
Pangeran Panjiluwih. Apa maksudnya dan siapakah pemimpinnya" Apakah Pangeran
Panjiluwih pemimpinnya?"
"Kami hanya disuruh bersiap-siap, dan menanti perintah. Pemimpinnya adalah
Kanjeng Gusti,kami tidak mengenalnya,bahkan tidak pernah bertemu. Akan tetapi
kalau perintah beliau dilanggar hukumannya amat berat. Yang menjadi perantara
adalah Pangeran Panjiluwih......"
"Dimana Kanjeng Gusti itu tinggal?"
"Kabarnya di kota raja, entah di mana. Kami belum boleh mengetahuinya. Yang tahu
hanya Pangeran Panjiluwih seorang."
"Hemm,kami percaya keteranganmu. Akan tetapi, mulai sekarang engkau harus
memimpin Jambuko Sakti ke arah jalan yang baik. Awas kalau lain kali aku
mendengar kelompokmu melakukan kejahatan,kami akan datang lagi untuk membasmi
kalian!" kata Dewi Muntari sambil menendang dan tubuh Ki Brotokeling terlempar
dan terguling-guling sampai jauh. Kepala perkumpulan yang terkenal ganas ini
sekarang menjadi ketakutan dan berlutut minta ampun.
Dewi Muntari mengajak Niken dan Budhi meninggalkan sarang Jambuka Sakti dan
menuruni Lereng Gunung Bromo.
*** Di tengah perjalanan menuju ke kota raja itu, Budhi minta agar kedua orang
wanita berhenti berjalan karena dia hendak bicara.
"Ada apakah,Budhi?" tanya Dewi Muntari yang sekarang sudah merasa akrab dengan
pemuda ini. "Kanjeng Bibi,saya merasa tidak berhak untuk ikut pergi menghadap Gusti Prabu di
istana.Oleh karena itu, sebaiknya saya tidak ikut saja pergi ke sana."
"Eh,kenapa begitu, Budhi?" tanya Dewi Muntari dengan heran.
"Pertama,saya tidak mendapatkan Tilam Upih seperti yang dipesankan Bapa Guru,
yang saya dapatkan Tilam Upih palsu. Tidak mungkin saya menghaturkan keris palsu
ini kepada Gusti Prabu. Dan kedua, Kanjeng Bibi berdua Diajeng Niken akan
mengadakan pertemuan keluarga besar di istana,bagaimana saya dapat
menghadirinya" Saya adalah orang biasa dan tidak mempunyai kepentingan apapun di
istana........" Berkata demikian, Budhi mengerling kepada Niken dan merasa
rendah diri. "Kakangmas Budhi,apa yang kaukatakan ini" Mengapa tiba-tiba saja sikapmu berubah
seperti ini" Kita sudah mengalami banyak hal bersama,bahkan sudah menghadapi
maut bersama, kenapa sekarang andika bersikap seolah-olah seorang asing di
antara kami?" "Diajeng Niken........aku.......aku......" Budhi tidak melanjutkan ucapannya,
melainkan memandang kepada Dewi Muntari merasa rikuh dan canggung sekali.
Dewi Muntari tersenyum. Ia tahu bahwa ada urusan pribadi di antara mereka
sebaiknya kalau ia menyingkir. "Ah,sudahlah. Urusan itu kalian bicarakan berdua
saja. Aku sudah lapar. Aku akan mendahului kalian pergi ke dusun di depan itu,
mencari makanan. Nanti kalian menyusul." Tanpa menanti jawaban, puteri ini
segera pergi meninggalkan mereka.
Mereka berdiri saling berhadapan saling pandang. "Nah, kakangmas Budhidharma.
Sekarang kita hanya berdua. Sebetulnya apakah yang menyebabkan engkau bersikap
seperti ini?" Budhi menghela napas panjang. Selama berdua dengan Niken, dia merasakan
kehidupan ini demikian gemilang dan lengkap.Bahkan ketika mereka berdua
menghadapi ancaman maut di goa dia tidak merasa nelangsa dan putus asa karena di
sana ada Niken. Sekarang, dia seolah merasa ada ancaman yang akan merenggut
gadis itu pergi darinya! Niken adalah cucu Sang Prabu Jayabaya, tentu setelah
masuk istana keadaannya lain lagi, menjadi puteri istana dan bukan orang biasa.
Bagaimana dia dapat menemuinya lagi,apa lagi bergaul seperti biasa dengannya"
Tentu tidak mungkin. Membayangkan perpisahan yang dihalangi tembok istana
ini,hatinya menjadi sedih dan inilah yang menyebabkandia bermaksud tidak ikut
agar jangan menghadapi perpisahan yang akan menghancurkan hatinya itu. Lebih
baik berpisah sekarang, selagi mereka masih bergaul sebagai sahabat!
"Diajeng Niken Sasi,apa yang dapat kukatakan" Makin kubayangkan, makin
meresahkan hatiku. Andika adalah cucu Sang Prabu Jayabaya, seorang puteri
istana. Sedangkan aku.....aku seorang pemuda biasa,miskin papa, yatim piatu pula. Aku
seharusnya menyembah-nyembah kepadamu, bahkan bicara seperti sekarangpun sudah
tidak pada tempatnya. Karena itu aku......aku sebaiknya mengundurkan diri dan
tidak mengganggumu lagi........"
"Kakangmas Budhi! Apa yang kau ucapkan ini" Apakah selama ini aku pernah
bersikap tinggi dan tidak wajar kepadamu" Bukankah kita telah bergaul sebagai
sahabat yang baik, yang sama-sama menghadapi ancaman maut berulang kali"
Kakangmas Budhi. Bagiku,andika adalah seorang yang pantas kuhormati seorang
budiman yang agung, dan aku merasa terhormat sekali menjadi sahabatmu.
Kakangmas Budhi,apakah engkau tidak senang bersahabat denganku maka sekarang
hendak meninggalkan aku?"
Demi para dewata yang agung! Sama sekali tidak begitu, diajeng. Aku bahkan
senang sekali, bangga dapat berdekatan denganmu. Akan tetapi justeru itulah yang
membuat aku merasa ngeri. Kalau sudah sampai ke istana,engkau menjadi puteri
istana dan sepantasnya engkau berdiam di istana. Sedangkan aku........bagaimana
aku dapat bertemu denganmu lagi, dapat bergaul denganmu lagi" Aku.......aku
takut kehilangan engkau diajeng......."
Suara Budhidharma menggetar penuh perasaan dan ini terasa sekali oleh Niken
Sasi. Gadis ini menghampiri lebih dekat dan berkata dengan wajah kemerahan dan suara
lirih gemetar, "Kakangmas Budhi! Katakan sekali lagi........"
Budhi tidak dapat lagi menahan gelora hatinya dan dia memegang kedua tangan
gadis itu, digenggamnya erat-erat seolah dia tidak ingin melepaskannya lagi.
"Aku takut kehilangan engkau diajeng!"
Niken mengangkat mukanya dan menatap pemuda itu. Dua pasang mata bertemu,
bertaut mewakili hati mereka dan dengan suara lirih Niken berkata.
"Aku juga tidak ingin kehilangan engkau, kakangmas."
Kata-kata itu terdengar begitu merdu bagi telinga Budhi sehingga dia memejamkan
matanya dan merasa seperti mimpi. Dia merangkul gadis itu dan seolah hendak
membenamkan kepala itu ke dalam dadanya.
"Diajeng Niken,katakanlah apakah aku tidak sedang bermimpi?"
"Tidak, kakangmas. Kita dalm keadaan sadar."
"Akan tetapi betapa mungkin" Engkau,cucu Sang Prabu,dan aku, Joko Lola{ yatim
piatu} yang papa,mungkinkah kita saling mencinta?"
"Kenapa tidak mungkin,kakangmas. Aku tidak pernah merasa menjadi seorang puteri
istana. Sejak aku masih kecil orang-orang dalam istana mencemoohku sebagai
keturunan biasa, keturunan orang dusun. Tidak,aku tidak ingin menjadi puteri
istana,aku ingin menjadi orang dusun saja asalkan selalu berada di sampingmu."
"Diajeng.......!"
"Kakangmas.........!"
Keduanya berangkulan dan merasa hati mereka bersatu padu. Sampai lama mereka
dalam keadaan mesra seperti itu. Akan tetapi Budhi segera menyadari keadaan dan
dengan lembut dia melepaskan pelukannya dan menggandeng tangan Niken,diajak
duduk di atas batu. "Diajeng Niken Sasi," kata Budhi setelah mereka duduk di atas batu. "Marilah
kita kesampingkan dulu gelora perasaan hati dan mari kita sadar sepenuhnya
melihat dan membicarakan kenyataan yang ada. Kita saling mencinta, dan aku
berterima kasih sekali, merasa berbahagia sekali bahwa engkau juga mencintaiku
seperti aku mencintaimu. Akan tetapi, diajeng. Bagaimana kasih sayang kita ini
dapat diujudkan menjadi perjodohan" Perjodohan bukan hanya urusan dua orang
manusia seperti engkau dan aku, melainkan menyangkut pula keluarga dan menjadi
urusan yang yang harus disetujui pula oleh keluarga. Bagiku sendiri tidak ada
masalah,diajeng,karena aku adalah yatim piatu,tidak ada orang lain yang akan
memuuskan kecuali aku sendiri. Akan tetapi engkau......."
"Ibuku pasti menyetujui, kakangmas. Ingat, biarpun kami ini tadinya tinggal di
istana, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami menjadi orang biasa. Aku menjadi
anggota Gagak Seto,dan ibu menjadi murid seorang sakti."
"Aku percaya bahwa ibumu bijaksana dan akan menyetujui. Akan tetapi keluargamu
bukan hanya ibumu saja. Seluruh penghuni istana adalah keluargamu. Bagaimana
mereka dapat menerima seorang dusun biasa seperti aku menjadi anggota keluarga?"
Budhi berkata dengan nada sedih.
"Sudahlah, kakangmas, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Bagaimana nanti sajalah.
Pendeknya,aku akan tetap setia kepadamu walaupun apa yang akan terjadi. Kalau
perlu, aku akan meninggalkan istana dan ikut denganmu."
Sepasang mata Budhi bersinar-sinar. Saking bahagianya dia kembali mendekap gadis
itu dan menciumnya. Niken pasrah dan mendah saja sambil memejamkan mata dan
dengan hati yang berbunga-bunga.
Akan tetapi tidak lama mereka terbuai suasana yang asyik-asyik itu karena mereka
teringat akan Dewi Muntari. "Wah,kita harus cepat menyusul kanjeng bibi ke dusun
itu. Jangan sampai terlalu lama ia menunggu!" kata Budhi dan sambil bergandengan
tangan mereka lalu pergi ke dusun di depan. Ternyata Dewi Muntari telah dapat
membeli ayam,telur,dan sayur-sayuran dan mereka lalu menumpang memasak semua itu
di rumah seorang keluarga petani sederhana yang menerima mereka dengan senang


Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati. Dewi Muntari tersenyum gembira melihat perubahan sikap Budhidharma. "Anakmas
Budhi, engkau tidak jadi pergi, Bukan?"
Wajah Budhi kemerahan dan dia melirik kepada Niken. "Tidak,kanjeng bibi. Saya
ingin ikut, mengantarkan kanjeng bibi berdua sampai ke kota raja."
"Bukan hanya mengantarkan, Budhi. Engkau harus membantu kami membongkar rahasia
ini. Suamiku dibunuh penjahat yang katanya disuruh oleh Pangeran Panjiluwih,
akan tetapi ternyata di belakang pangeran itu masih ada yang menjadi
pemimpinnya, yang disebut Kanjeng Gusti. Kita harus dapat mengetahui siapa
sebenarnya Kanjeng Gusti itu dan apa niat busuknya dengan persekutuan itu."
"Saya juga penasaran tentang hilangnya Tilam Upih, kanjeng bibi. Pencuri yang
dengan mudah mampu mengalahkan Ki Surodiro adipati Nusa Kambangan tentu seorang
yang sakti. Saya ingin mencari Tilam Upih sampai dapat untuk dihaturkan kembali
kepada Gusti Prabu."
"Bagus, tekadmu itu baik sekali. Mudah-mudahan kita semua akan berhasil."
Mereka lalu makan minum dengan gembira, Budhidharma makan dengan lahapnya.
Hatinya penuh kebahagian karena hubungannya dengan Niken Sasi. Gadis itu
mencintainya bahkan menyatakan akan setia kepadanya, apapun yang akan terjadi
dan akan meninggalkan istana ikut dengannya!
Cinta memang amat berkuasa atas batin seseorang dan setiap orang manusia tidak
akan pernah bebas dari godaan cinta. Cinta dapat membuat seseorang menjadi
bahagia,akan tetapi sebaliknya dapat pula membuat seseorang menjadi sengsara.
Demikianlah sifat cinta manusia. Cinta manusia berpamrih. Cinta manusia ingin
selau mendapatkan, ingin menguasai, ingin memiliki, ingin disenangkan. Itulah
pamrihnya. Seperti juga cinta Budhidharma terhadap Niken Sasi atau sebaliknya. Mereka
saling mencinta karena saling membutuhkan,saling tertarik. Mereka ingin
menikmati kesenangan dari masing-masing. Tentu saja cinta seperti ini dapat
mendatangkan kesenangan dan juga kesengsaraan. Senang apabila keinginan hati
terpenuhi, sebaliknya kecewa sengsara kalau keinginan hati tidak terpenuhi.
Budhidharma merasa berbahagia karena cintanya terbalas. Dia tentu akan merasa
sengsara andaikata cintanya tidak terbalas! Dan cinta seperti yang kita kenal
selama dalam kehidupan ini adalah cinta seperti itulah. Cinta berpamrih. Seperti
jual beli. Baik cinta terhadap kekasih, terhadap sahabat, terhadap anak,atau
terhadap siapapun. Masih adakah cinta kita terhadap kekasih kalau sang kekasih
itu tidak membalas cinta kita, kalau kekasih itu berpaling kepada orang lain"
Masih adakah cinta kita kepada sahabat kalau sahabat itu melakukan hal yang
merugikan kita" Masih adakah cinta kita kepada anak kalau si anak itu tidak
menurut dan bahkan durhaka terhadap kita " Dan masih banyak contohnya lagi. Kita
mencintai seseorang karena kebaikannya, karena kepandaiannya,karena kecantikan
atau ketampanannya,karena kedudukan atau hartanya. Kita bukan mencinta karena
ORANGNYA. Kalau kita mencinta orangnya, mencinta dengan sepenuhnya, maka segala
kekurangan dan cacat-celanya juga akan kita terima dengan hati terbuka.
Cinta Tuhan adalah cinta suci yang tidak berpamrih. Melalui alam ciptaNya, Tuhan
melimpahkan kasih sayangnya kepada kita semua. Tuhan itu memberi, memberi dan
memberi. Tidak pernah minta, namun segala sesuatu, tanpa kecuali, akhirnya akan
kembali juga kepadaNya. Seperti cinta Tuhan melalui bumi. Bumi itu hanya memberi
dan memberi tidak pernah minta,akan tetapi akhirnya semua akan kembali kepada
Bumi. Demikianlah Kasih Tuhan. Tidak memilih, tidak bersyarat. Setangkai bunga
mawar sama harumnya dalm penciuman seorang pendeta atau seorang penjahat,dalam
penciuman seorang raja atau seorang pengemis. Kicau burung sama merdunya dalam
pendengaran seorang pandai maupun seorang bodoh, seorang bangsawan maupun
seorang dusun. Kalau sudah merenungkan semua itu dan membuka mata melihat "cinta" kita terhadap
siapa saja, akan nampak betapa dangkalnya cinta yang tadinya kita agung-
agungkan. Dan berbahagialah orang yang setelah menyadari akan hal ini dapat
berubah. Selama cinta kita tidak berubah, masih berpamrih, selama itupula cinta
kita terumbang-ambingkan kebahagian akan tetapi dapat pula mendatangkan
penderitaan. *** Sepasang mata Dewi Muntari kemerahan dan ia menahan tangisnya ketika mereka
bertiga memasuki kota raja. Karena dandanannya, tidak ada orang yang mengenal
puteri raja ini. Dewi Muntari merasa amat terharu melihat kota raja. Telah
bertahun-tahun kota raja ditinggalkannya. Semenjak meninggalkan kota raja untuk
bertamasya ke pegunungan Anjasmoro bersama suaminya, ia tidak pernah lagi
kembali, sampai delapan tahun lebih. Dan kini ia kembali tanpa suaminya yang
tewas dibunuh orang. "Kita langsung saja ke istana. Aku harus lebih dulu menghadap Kanjeng Rama Parbu
untuk menceritakan tentang kepergianku selama ini." kata Dewi Muntari kepada
Niken Sasi dan Budhidarma. Mereka lalu menuju ke alun-alun di depan istana.
Sementara itu, kedatangan mereka sejak di pintu gapuro sudah diketahui orang.
Panjiluwih sudah memasang banyak mata-mata dan begitu dia mengetahiu akan
kedatangan tiga orang ini, dia terkejut dan cepat memberitahu kepada Senopati
Lembudigdo. "Pemuda yang merampas Tilam Upih berada di kota raja. Cepat tangkap. Dia datang
bersama kakang-mbok Dewi Muntari dan Niken Sasi yang sudah bertahun-tahun
minggat dari istana!"
Mendengar ini, Senopati Lembudigdo terkejut juga. Jangan-jangan mereka mempunyai
niat jahat terhadap Sang Prabu. Maka, senopati yang setia ini lalu mengerahkan
perajurit dan menghadang di alun-alun. Begitu mereka bertiga muncul, Lembudigdo
sudah memapakinya bersama pasukannya.
"Kakang Senopati Lembudigdo!" kata Dewi Muntari. "Tidak kenalkah andika dengan
aku" Aku Dewi Muntari,ingin menghadap Kanjeng Rama Prabu. Harap memberi jalan."
Lembudigdo memberi hormat. "Harap paduka memaafkan saya. Akan tetapi karena
sudah bertahun-tahun paduka meninggalkan istana dan kini kembali bersama pemuda
ini, terpaksa saya menahan paduka. Bukankah pemuda ini yang bernama Budhidharma
dan yang telah merampas Tilam Upih dari Adipati Nusa Kambangan?"
Budhidharma menjawab, "Benar, sayalah Budhidharma."
"Kalau begitu serahkan dulu Tilam Upih kepada kami kemudian andika sekalian akan
saya hadapkan kepada Gusti Prabu."
"Tidak dapat saya menghaturkan Tilam Upih, karena yang saya terima dari Adipati
Nusa Kambangan hanyalah Tilam Upih palsu." kata Budhidharma.
Tentu saja Senopati Lembudigdo tidak mau menerima begitu saja keterangan Budhi.
"Kalau begitu, terpaksa andika bertiga kami tawan dan kami hadapkan kepada Gusti
Prabu!" Niken Sasi sudah bertolak pinggang dengan marah. "Coba tawan kami kalau dapat!"
serunya sambil memasang kuda-kuda untuk mengamuk. Akan tetapi Dewi Muntari
membentak puterinya. "Niken,diam kau!" Lalu ia menghadapi Lembudigdo dan berkata dengan lembut,
"Kakang Senopati Lembudigdo, kalau kami hendak dihadapkan kepada Kanjeng Rama Prabu, silakan!"
Dengan sikap hormat namun waspada, Senopati Lembudigdo lalu mengirim laporan ke
dalam untuk minta menghadap Sang Prabu Jayabaya karena keperluan yang amat
penting mengenai keris pusaka Kyai Tilam Upih. Dia sudah melapor kepada Sang
Prabu Jayabaya bahwa menurut keterangan Adipati Nusa Kambangan, Kyai Tilam Upih
telah diserahkan kepada Budhidharma.
Sang Prabu menerima permohonannya dan sudah siap menerima mereka di balai
persidangan. Kebetulan pada saat itu dia sedang menerima Pangeran Sepuh
Wijayanto menasihatkan Sang Prabu Jayabaya agar mengutus para senopati mencari
dan menangkap pemuda bernama Budhidharma itu yang telah memiliki keris pusaka
Tilam Upih. Ketika menerima laporan dari pengawal bahwa Senopati Lembudigdo mohon menghadap
sambil membawa tawanan tiga orang, yaitu seorang pemuda bernama Budhidarma
bersama puterinya, Dewi Muntari dan cucunya, Niken Sasi, Sang Prabu Jayabaya
mengerutkan alisnya dan cepat memerintahkan agar Senopati itu membawa para
tawanan masuk. Begitu tawanan itu digiring masuk Dewi Muntari sudah maju berlutut di depan
ayahnya, demikian pula Niken Sasi sedangkan Budhidarma juga berlutut dan
menyembah dari jarak agak jauh karena dia dilarang mendekat oleh senopati
Lembudigdo yang mencurigainya.
Sang Prabu Jayabaya mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.
"Hemm,nini Dewi Muntari. Engkaukah ini" Ke mana saja engkau selama bertahun-
tahun ini, bersama puterimu" Dan di mana pula suamimu" Kenapa tidak ada berita
sama sekali yang kausampaikan kepada kami?" teguran ini mengandung kemarahan.
"Dan kini engkau datang bersama pemuda yang kabarnya telah menguasai Tilam
Upih!" Tanpa menanti jawaban Sang Prabu sudah menegur Budhidharma.
"Heh,pemuda, benarkah engkau yang bernama Budhidarma dan engkau sudah
mendapatkan Tilam Upih" Kenapa tidak engkau haturkan kepada kami?"
"Hamba hanya mendapatkan yang palsu, Kanjeng Gusti.Maka tidak dapat hamba
haturkan kepada paduka." jawab Budhidharma.
Pada saat itu,Pangeran Sepuh Wijayanto cepat berkata. "Adimas Prabu,demi nama
baik keluarga,saya mohon agar Dewi Muntari jangan dulu diperiksa dan diadili di
depan banyak ponggawa. Kalau paduka berkenan,biarlah saya yang akan menanyai
mereka,demikian pula dengan pemuda bernama Budhidharma ini. Perkenankan saya
yang memeriksanya di rumah saya. Kalau memang mereka tidak bersalah, seyogianya
diampuni. Akan tetapi kalau memang bersalah, tentu saja keputusan hukumannya
berada di tangan paduka. Dengan demikian, maka tidak ada orang lain menyaksikan
pemeriksaan saya demi menjaga nama baik keluarga sendiri."
Sang Prabu Jayabaya mengerutkan alisnya, sinar matanya yang tajam itu sejenak
memandang kepada Dewi Muntari dan Niken Sasi,lalu kepada Budhidharma. Sesudah
itu dia memandang kepada Pangeran Sepuh Wijayanto, mengangguk-angguk sambil
tersenyum dan berkata. "Baik sekali,kakangmas pangeran. Biarlah kuserahkan
mereka kepada kakangmas untuk memeriksa mereka sampai tuntas."
Wajah Pangeran Sepuh menjadi gembira dan cepat dia memerintahkan Senopati
Lembudigdo untuk membawa tiga tawanan itu ke rumahnya. Gedung tempat tinggal
pangeran ini tidak jauh dari istana karena masih ternasuk daerah istana, dan
tiga orang tawanan itu dibawa pergi dari depan Sang Prabu Jayabaya.
Ketika hendak dibawa pergi, Dewi Muntari menyembah kaki ramandanya dan memandang
dengan penuh harapan seolah membayangkan kegelisahan dan Sang Prabu Jayabaya
berkata lirih, "Pergilah, nini Dewi dan beri keterangan yang sebenarnya kepada
paman tuamu." Akan tetapi tetap saja jantung Dewi Muntari berdebar penuh ketegangan ketika ia
dan puterinya, juga Budhidharma di bawa pergi ke gedung tempat tinggal Pangeran
Sepuh Wijayanto. Di gedung itu, mereka dibawa masuk ke ruangan yang paling dalam, kemudian
Pangeran Sepuh menyuruh Lembudigdo mengundurkan diri bersama anak buahnya.
"Ini pemeriksaan antara keluarga, tidak boleh ada orang luar ikut mendengarkan."
kilahnya dan tentu saja Lembudigdo tidak berani membantah dan dia pun segera
keluar dari gedung itu. Ternyata ruangan pemeriksaan itu dijaga ketat,dikepung oleh perajurit-perajurit
pengawal Sang Pangeran Sepuh sendiri, dan setelah tiga orang tawanan itu
memasuki ruangan, mereka melihat bahwa Pangeran Panjiluwih dan juga Gajahpuro
telah berada di ruangan itu. Pangeran Panjiluwih tersenyum menyambut mereka dan
berkata kepada Dewi Muntari dengan suara mengejek, "Ah, Kakang Mbok Dewi,
akhirnya andika menjadi tawanan juga. Sudah sepatutnya karena andika membantu
para pemberontak Gagak Seto!"
Gagak Seto bukan pemberontak!" Niken Sasi membentak marah mendengar tuduhan itu.
"Adimas Pangeran Panjiluwih, Paman Pangeran Sepuh akan mendengar penjelasan kami
dan akan mengetahui siapa yang melakukan kejahatan dalam semua peristiwa ini!"
kata Dewi Muntari. "Diam semua!" tiba-tiba Pangeran Sepuh membentak. "Ini merupakan persidangan dan
pemeriksaan, yang tidak ditanya tidak boleh bicara!"
Pangeran Sepuh Wijayanto duduk di atas kursi dan dia membiarkan Dewi Muntari,
Niken Sasi, dan juga Budhidharma bersimpuh di bawah seperti tiga orang
pesakitan. Padahal, Dewi Muntari adalah keponakanny, puteri Sang Prabu, yang derajatnya
sebetulnya tidak di bawah tingkatnya!
"Pertama kami akan memriksa Dewi Muntari. Andika adalah puteri raja, akan tetapi
andika telah melakukan dosa besar, minggat dari istana bersama suami dan anak
dan sampai bertahun-tahun tidak pulang, juga tidak ada beritanya. Kenapa"
Jawab!" "Paman Pangeran, ketika itu kami sekeluarga sedang bertamasya ke pegunungan
Anjasmoro, akan tetapi kami di serang perampok dan suami saya dibunuh. Saya
sendiri akan dibunuh kalau tidak ditolong oleh seorang sakti dan menurut
pimpinan perampok, yang mengutus mereka melakukan pembunuhan adalah ..........."
"Cukup! Tidak ada artinya semua itu! Kalau memang kalian dirampok, dan andika
masih hidup, kenapa selama delapan tahun tidak kembali ke istana dan melapor"
Bahkan kini tahu-tahu pulang bersama pemuda yang telah menguasai Tilam Upih dan
dan tidak mau menyerahkan pusaka itu! Tidak perlu banyak membantah karena ada
saksinya di sini." "Saya menjadi saksinya betapa Kakang Mbok Dewi Muntari telah bersekongkol dengan
kami dan pasukan pengawal." kata Pangeran Pnjiluwih.
"'Nah, sudah jelas sekali itu."
"Bukan iti saja, Kanjeng Paman. Kakang Mbok Dewi malah menuduh saya menyuruh
orang-orang melakukan pembunuhan terhadap suaminya."
"Hah, fitnah keji sekali. Apa yang dapat kaukatakan sekarang untuk menyangkal
semua itu, Dewi Muntari?"
Dengan muka merah Dewi Muntari berkata,"Hemm, agaknya semua telah diatur!
Saya tidak dapat berkata apa-apa lagi,hanya percaya akan kebijaksanaan Kanjeng
Rama yang tentu akan memberi keputusan seadil-adilnya!"
"Sekarang Niken Sasi. Benarkah apa yang diceritakan ibumu tadi?"
"Semuanya benar, Kanjeng Eyang. Kami diserang orang-orang jahat dan kanjeng rama
terbunuh. Saya sendiri terpisah dari kanjeng ibu dan baru-baru ini saja kami
saling bertemu kembali."
"Hemm,aneh! Kalau andika selamat mengapa selama bertahun-tahun bersembunyi dan
tidak pulang ke istana" Kemana saja selama ini andika bersembunyi?"
Saya tidak bersembunyi, Kanjeng Eyang, melainkan ditolong oleh Ki Sudibyo ketua
Gagak Seto dan dijadikan muridnya."
"Gajahpuro menjadi saksi tentang keberaaanmu di perkumpulan pemberontak Gagak
Seto. Gajahpuro ceritakan kesaksianmu!"
Gajahpuro menyembah. "Sesungguhnyalah, diajeng Niken menjdi murid Ki Sudibyo,
murid terkasih bahkan dicalonkan menjadi ketua Gagak Seto!"
"Nah,semua sudah jelas. Andika dan ibu andika telah membantu Gagak Seto yang
hendak memberontak, bukan?"
"Gagak Seto adalah sebuah perkumpulan orang gagah, sama sekali bukan pemberontak
biarpun pernah diselewengkan oleh mendiang Klabangkoro dan Mayangmurko!" kata
Niken dengan suara lantang.
"Dosamu juga telah jelas, Niken Sasi. Andika bersama ibumu minggat dari istana,
bertahun-tahun tidak pulang dan hendak menyusun kekuatan di perkampungan Gagak
Seto untuk memberontak. Sekarang giliran Budhidharma. Orang muda,andika yang
bernama Budhidharma?"
"Benar,Kanjeng Pangeran." jawab Budhi dengan tenang.
"Engkau sudah mendapatkan Tilam Upih,agaknya akan kaupergunakan sendiri,tidak
ingin engkau menyerahkannya kepada Sang Prabu. Engkau bahkan menyeret Dewi
Muntari dan Niken Sasi untuk bersekutu dengan pemberontak Gagak Seto. Hayo,
mengakulah dan kembalikan Tilam Upih kepada kami!"
"Pangeran, apa gunanya semua pemeriksaan ini" Kami semua sudah mengetahui dengan
jelas siapa sebenarnya paduka! Padukalah pemimpin persekutuan antara Jambuko
Sakti dan Gagak Seto yang dipimpin Klabangkoro, andika yang mengutus orang-orang
Jambuko Sakti untuk membunuh suami Dewi Muntari. Andika juga yang mencuri Tilam
Upih yang asli dan menukarnya dengan yang palsu. Andikalah yang disebut-sebut
Kanjeng Gusti. Kami bertiga telah dapat menduganya!" kata Budidharma dengan
lantang. "Benar semua itu!" teriak Niken Sasi. "Kami mengerti mengapa paduka melakukan
semua ini, Kanjeng Eyang. Tentu untuk menyusun pemberontakan terhadap Kanjeng
Eyang Prabu. Paduka menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi penghalang bagi
paduka!" Mendengar tuduhan ini, Pangeran Sepuh Wijayanto bahkan tertawa bergelak. "Ha-ha-
ha, tentu saja aku ini Kanjeng Gusti bagi semua bawahanku. Kalian mengada-ada
saja. Dosa kalian sudah jelas dan kalian bertiga layak menerima hukuman mati!"
Mendengar ini, tiga orang itu meloncat berdiri dan memasang kuda-kuda, bahkan
Niken Sasi menghunus keris Megantoro pemberian gurunya.
"Kanjeng Paman tidak berhak mengadili kami, yang berhak mengadili hanyalah
Kanjeng Rama Prabu. Kanjeng Paman hanyalah bertugas memeriksa dan menanyai kami
saja!" kata Dewi Muntari marah. "Kalau hendak menjatuhi hukuman kami patuh
menerima hukuman dari Kanjeng Rama Prabu, akan tetapi kalau Kanjeng Paman yang
menghukum kami, kami akan melawan!"
Ha-ha-ha-ha!" Pangeran Sepuh yang usianya sudah enampuluh tahun itu tertawa
bergelak. "Tempat ini sudah terkepung ketat! Kalian bertiga tidak akan mungkin
dapat melarikan diri. Akan tetapi aku memberi kesempatan kepada kalian untuk
melakukan perlawanan. Hayo, siapa yang berani maju?"


Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paduka hendak mengandalkan pasukan untuk mengeroyok, sungguh licik dan curang!"
kata Dewi Muntari marah. "Ha-ha-ha,kalian ini kanak-kanak yang besar mulut. Untuk menghadapi kalian saja,
perlu apa menggunakan pasukan" Hayo, siapa berani majulah!"
"Aku yang akan maju!" bentak Niken Sasi sambil melompat ke depan. "Baik satu
lawan satu ataupun dikeroyok aku tidak akan mundur!"
"Kanjeng Gusti Pangeran, perkenankan saya untuk menghadapi diajeng Niken." kata
Gajagpuro kepada Pangeran Sepuh. Sang Pangeran yang sudah tahu akan kesaktian
pemuda itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Niken Sasi, bocah sombong. Gajahpuro itulah itulah lawanmu, engkau belum pantas
untuk melawan aku, ha-ha-ha!"
Gajahpuro sudah maju dan bersiap melawan Niken Sasi. Mereka berdiri saling
berhadapan dan Gajahpuro berkata dengan sikap lembut, "Diajeng Niken, harap
andika menyerah saja dan aku yang akan mintakan ampun untukmu kepada Kanjeng
Gusti Pangeran Sepuh."
Niken Sasi memandang pemuda itu dengan alis berkerut. Ia tidak mebenci pemuda
ini, bahkan ia berterima kasih karena sudah berulang kali Gajahpuro menolongnya,
tidak menaati kejahatan ayahnya, Klabangkoro. Akan tetapi ia merasa heran
sekali. Tiba-tiba Gajahpuro menyebut diajeng kepadanya dan akan melawannya, bahkan
menganjurkan agar ia menyerah saja untuk dimintakan ampun.
"Kakang Gajahpuro, aku heran, sekali mengapa tiba-tiba engkau dapat berada di
sini dan agaknya menghambakan diri kepada Kanjeng Eyang Pangeran Sepuh. Kakang
Gajahpuro, mengingat akan pertalian persaudaraan kita yang lalu kuharap engkau
tidak menentangku, bahkan sudah selayaknya kalau engkau membantu aku."
"Tidak,diajeng. Aku telah menjadi pembantu Kanjeng Gusti Pangeran Sepuh, dan
kalau engkau hendak melawan, terpaksa aku akan menghadapimu. Dan ingatlah
diajeng, pernah dahulu kaukatakan bahwa engkau hanya akan berjodoh dengan
seorang laki-laki yang mampu mengalahkanmu. Nah, sekarang aku akan berusaha
untuk menandingi dan mengalahkanmu."
"Kakang Gajahpuro,engkau tahu aku menguasai Hasta Bajra dan aku tidak ingin
membunuhmu. Mundurlah!" kata Niken Sasi sambil menyimpan keris Megantoro yang
tadi telah dihunusnya. "Niken, jangan lemah!" bentak ibunya. "Siapa saja yang menjadi kaki tangan
pengkhianat dan hendak melawanmu, lawanlah sekuat tenaga!"
Nah, kau dengar itu, kakang Gajahpuro" Sekali lagi kuharap engkau suka mundur."
kata Niken Sasi yang bagaimanapun juga masih ingat akan kebaikan pemuda itu.
Kalau Gajahpuro tidak baik kepadanya, dahulu ketika ditangkap oleh Klabangkoro,
tentu ia telah diperkosa oleh pemuda ini seperti yang dikehendaki Klabangkoro.
Akan tetapi Gajahpuro tidak melakukannya bahkan membebaskannya!
"Marilah, diajeng Niken, kita bertanding dan kita melihat siapa di antara kita
yang lebih unggul." Gajahpuro menantang dan terpaksa Niken Sasi melayaninya.
Bahkan gadis itu yang membuka serangan lebih dulu. Akan tetapi Niken Sasi masih
tidak tega untuk mengeluarkan Aji Hasta Bajra. Ia mengira bahwa Gajahpuro hanya
memiliki ilmu silat Gagak Seto yang biasa saja, dan itupun tingkatnya masih jauh
lebih rendah daripada tingkatnya. Maka iapun menyerang dengan ilmu silat yang
biasa dipelajari oleh semua anak buah Gagak Seto. Ia memukul dengan kepalan
kanannya mengarah dada pemuda itu. Ia merasa yakin bahwa dengan ilmu silat yang
sama Gajahpuro dapat menandinginya, akan tetapi akhirnya ia akan dapat
memenangkan pertandingan itu. Ia masih menang dalam hal kecepatan dan juga
tenaga dalam. Gajahpuro juga memainkan ilmu silat Gagak Seto, dan dia memutar lengan kirinya
menangkis pukulan itu. Niken mengira bahwa tangkisan yang berarti adu tenaga itu
tentu akan membuat Gajahpuro terdorong mundur.
"Dukkk.......!" Dua lengan bertemu dan terkejutlah Niken. Dia dapat merasakan
hawa panas keluar dari tangkisan itu dan merasa betapa kuatnya tangkisan itu
sehingga kalau dia tidak cepat menggeser kakinya, tentu ia telah terhuyung!
Mulailah Niken Sasi merasa penasaran dan ia menyerang lagi dengan lebih hebat.
Menyerang dengan ilmu silat Gagak Seto, akan tetapi dengan cepat sekali dan
dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat. Dan kembali ia terkejut. Bukan saja
pemuda itu mampu mengimbangi kecepatannya, bahkan dalam hal mengadu tenaga
sakti, Gajahpuro tidak pernah terdesak olehnya dan setiap kali lengannya
bergetar hebat. Sungguh tidak pernah disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu dapat bergerak
secepat dan sekuat itu. "Haiiiiiiittt......!" Ia memukul lagi kini dengan tangan kirinya mengarah leher
lawan dan kaki kanannya menyusul meluncurkan tendangan kilat ke arah perut.
Niken percaya bahwa sekali ini ia pasti akan berhasil karena jurus itu merupakan
jurus terampuh dari ilmu silat Gagak Seto dan ia melakukannya dengan cepat dan
kuat sekali. Gajahpuro agaknya maklum akan bahaya serangan ini. Akan tetapi dengan sigapnya
dia sudah berhasil mengelak, bahkan membalas dengan tamparan yang tidak kalah
beratnya ke arah pundak gadis itu. Niken Sasi terkejut dan cepat menangkis dan
kembali ia merasa getaran hawa panas keluar dari tangan pemuda itu, yang membuat
ia agak terhuyung. Niken mulai merasa penasaran dan ia sudah menggeser kakinya maju lagi sambil
menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Itulah pertanda bahwa ia telah
mengerahkan Aji Hasta Bajra! Akan tetapi gadis itu masih ragu-ragu apakah perlu
ia mengeluarkan aji yang hebat itu, yang mungkin akan membahayakan nyawa
Gajahpuro. Melihat keraguan gadis itu, Gajahpuro berkata, "Kalau hendak
menggunakan Aji Hasta Bajra, silakan, diajeng Niken. Aku siap menyambutnya!"
Ucapan itu memang lembut,akan tetapi tetap saja merupakan tantangan. Niken tidak
ragu lagi dan ia lalu membentak, "Awas, lihat serenganku!"
Gajahpuro maklum sepenuhnya akan kedahsyatan aji Hasta Bajra itu, maka diam-diam
dipun sudah mengerahkan tenaga sakti Ranu Geni yang panas dan menyambut dengan
Aji Lahar Sewu. Dua pasang tangan yang mengandung hawa sakti meluncur ke depan
dan bertemulah dua kekuatan dahsyat di udara.
"Wuuuuuttt...........dessss.........!!"
Hebat sekali pertemuan antara kedua tenaga itu. Akan tetapi Gajahpuro membatasi
tenaganya sehingga dia terdorong ke belakang. Juga Niken terdorong kebelakang
dan terhuyung. Melihat ini, Dewi Muntari cepat melompat dan menahan tubuh
puterinya agar tidak sampai roboh. Wajah Niken pucat sekali dan tentu saja ia
terheran-heran. Bagaimana mungkinGajahpuro mampu menahan pukulan Hasta Bajra, bahkan
menandinginya dengan pukulan panas yang tidak kalah hebatnya?"
"Bagus Gajahpuro!" Pangeran sepuh memuji jagonya dan tertawa memandang kepada
Dewi Muntari. "Dewi Muntari, puterimu telah kalah!"
"Puteriku mungkin kalah, akan tetapi aku belum, Kanjeng Paman!" Dewi Muntari
meloncat ke depan. Akan tetapi Pangeran Sepuh masih menoleh kepada Gajahpuro sambil berkata.
"Engkau majulah sekali lagi, Gajahpuro, mewakili aku. Aku agak segan kalau harus
melawan seorang wanita, dan ia masih keponakanku sendiri lagi! Akan tetapi
berhati-hatilah dan jangan pandang ringan."
"Baik, Kanjeng Gusti Pangeran!" kata Gajahpuro sambil maju mengahadi Dewi
Muntari. "Kanjeng Ibu, dia itu putera Klabangkoro!" kata Niken kepada ibunya.
"Ah, begitu" Kalau begitu aku akan membunuhnya. Puteranya tentu sama jahat
seperti bapaknya!" kata Dewi Muntari.
"Tidak, ibu. Dia tidak sejahat bapaknya. Dia telah berulang kali membela dan
menolongku." kata Niken Sasi yang tidak dapat melupakan budi pertolongan
Gajahpuro. "Aku bukan putera Klabangkoro!" Gajahpuro berseru dengan penasaran sehingga
mengherankan hati Niken Sasi karena tahu benar Niken bahwa pemuda itu memang
putera Klabangkoro. Dewi Muntari sudah maju dan berkata, "Orang muda, bersiaplah untuk menyambut
seranganku!" "Aku sudah siap sejak tadi." jawab Gajahpuro dengan tenang dan diapun sudah
memasang kuda-kuda dan mengarahkan kekuatannya karena dia maklum bahwa wanita
ini tentu lebih tangguh daripada Niken.
Dewi Muntari lalu bergerak dengan cepat sekali. Gerakanya seperti burung sikatan
saja, cepat dan kuat menyerang dengan tamparan tangannya. Akan tetapi Gajahpuro
mampu mengelak dan pemuda inipun membalas dengan tamparan tangannya.
Terjadilah perkelahian yang seru. Gajahpuro harus mengerahkan seluruh tenaganya
dan diapun menggerakkan kaki tangannya memainkan Aji Lahar Sewu yang ampuh.
Akan tetapi sekali ini yang dihadapinya adalah Dewi Muntari yang memiliki aji
kekebalan Trenggiling Wesi dan aji pukulan Jaladi Geni yang ampuh sekali.
Setelah saling pukul dan saling tangkis selama belasan jurus, mulailah Gajahpuro
terdesak oleh serangan Dewi Muntari. Sebetulnya, Gajahpuro telah mendapat
gemblengan orang sakti dan telah mempelajari ilmu yang amat hebat. Akan tetapi
dai kurang penagalaman dan ilmu-ilmunya itu belum dikuasai dengan baik. Seolah
dia baru mendapatkan kulitnya saja belum benar-benar meresapi isinya. Mana
mungkin dia menandingi Dewi Muntari yang telah digembleng orang sakti selama
delapan tahun" Dewi Muntari terus mendesak dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, didahului
bentakan-bentakannya yang amat berwibawa karena wanita ini menggunakan aji
Sardulo Kroda yang membuat bentakannya mengandung getaran kuat sekali yang dapat
melumpuhkan lawan yang tidak memiliki tenaga sakti yang kuat. Akhirnya, sebuah
tamparan mengenai pundak Gajahpuro dan pemuda ini terpelanting dan bergulingan.
Masih untung bagi Gajahpuro bahwa Dewi Muntari teringat akan ucapan Niken Sasi
bahwa Gajahpuro tidak jahat bahkan pernah menolong puterinya itu, maka
pukulannya tadi ia selewengkan dan hanya melukai pundak saja yang tidak
membahayakan nyawanya. "Bagus! Andika memang digdaya, Dewi Muntari. Akan tetapi yang kauhadapi hanyalah
seorang bocah. Kalau andika mampu menandingiku, barulah andika benar-benar
digdaya." Melihat pangeran itu maju sendiri Budhidharma segera melangkah maju. "Kanjeng
Bibi, biarlah saya yang maju menghadapi Pangeran Sepuh!"
Dewi Muntari yang sudah maklum betapa saktinya Pangeran Sepuh yang seperguruan
dengan kanjeng ramanya itu memang sudah merasa gentar menghadapinya. Dan iapun
maklum akan ketangguhan Budhidarma seperti yang diceritakan puterinya kepadanya,
maka iapun mengangguk dan mundur.
"Pangeran,apakah masih akan paduka lanjutkan menghukum mati kami bertiga"
Masih belum terlabat bagi paduka untuk mengubah keputusan itu dan membebaskan
kami, dan biar Kanjeng Gusti Prabu sendiri yang akan mengadili kami."
"Bocah sombong bermulut lancang. Sudah tentu keputusan kami tidak dapat diubah
lagi. Kami memutuskan untuk menghukum mati andika bertiga, akan tetapi kami
memberi kesempatan kepada kalian untuk membela diri. Sekarang, karena andika
dengan lancang dan sombong berani melawan aku, maka engkaulah yang akan mati
lebih dulu!" "Pangeran,kami tidak melawan. Akan tetapi kami tidak dapat menerima hukuman yang
tidak dijatuhkan sendiri oleh Gusti Prabu. Pula, kami sama sekali tidak merasa
bersalah dan sama sekali tidak bermaksud memberontak seperti yang paduka
tuduhkan. Karena itulah kami tidak menrima begitu saja dihukum mati!" kembali
Budhi membantah. "Babo-babo........! Engkau bocah kemarin sore berani menentang Pangeran Sepuh
Wijayanto?" "Saya hanya berani menentang siapa yang bersalah,Pangeran!"
"Keparat, terimalah aji-ajiku ini!" Pangeran Sepuh membentak dan tiba-tiba
tubuhnya bergerak dan tangan kanannya menyambar ke arah kepala Budhidharma
seperti sambaran kilat. Cepat dan kuat sekali pukulan itu menyambar, akan tetapi
Budhi masih dapat mengelak dengan cepatnya.
"Wuuuuuuttt........blarrr.......!!" Sebuah pot bunga yang berada di sudut
ruangan itu hancur berantakan terkena sambaran pukulan yang luput dari kepala
Budhi itu. Pangeran Sepuh Wijayanto menjadi semakin marah karena penasaran. Dia adalah
seorang yang sakti mandraguna, akan tetapi serangannya dapat dielakkan oleh
pemuda ini. Dia menyerang lagi bertubi-tubi,akan tetapi dengan amat gesitnya
Budhi mengelak beberapa kali, kemudian ketika tangan kiri pangeran itu menyambar
dengan dahsyatnya ke arah kepalanya, terpaksa dia menangkis dengan tangan kanan.
Kerena maklum betapa dahsyatnyapukulan lawan, Budhi mengerahkan Aji Tapak
Sapujagat, menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Dessss.......!!" Hebat sekali pertemuan antara kedua lengan itu, sampai terasa
oleh semua orang yang berada di situ karena mereka semua tergetar. Dan akibat
dari benturan dua tenaga sakti itu, tubuh Budhidharma terdorong mundur tiga
langkah, akan tetapi sebaliknya, tubuh Pangeran Sepuh juga terdorong mundur
sampai terhuyung ke balakang! Bukan main kagetnya Pangeran Sepuh melihat
kenyataan ini. Pemuda itu memiliki tenaga sakti yang lebih kuat dari padanya! Dia merasa
penasaran sekali dan belum mau percaya. Dengan geram dia lalu menekuk kedua
lututnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kemampuannya, lalu memukulkan kedua
tangannya yang terbuka, mendorong ke arah Budhi. Dia mengeluarkan teriakan
melengking untuk menambah daya tolakan kedua tangannya.
"Haiiiiiiiiiiiiitttt............!!"
Maklum bahwa lawannya hendak mengadu kesaktian lewat tenaga, Budhi menyambut
dengan kedua tangannya didorongkan ke depan sambil menggerahkan tenaga dan
mulutnya mengeluarkan teriakan dahsayat.
"Yaaaaaaattt......!!"
"Desssss........!" Kembali tenaga mereka bertemu di udara dan kini akibanya leih
hebat lagi. Kalau Budhi terhuyung ke belakang, Pangeran Sepuh itu terjengkang
dan roboh terbanting! Akan tetapi pangeran ini memang sakti dan kebal. Dia sudah
meloncat bangun lagi dan ditangannya sudah tergenggam sebatang keris yang
mengeluarkan wibawa menyeramkan.
"Tilam Upih...............!!" Dewi Muntari dan Niken Sasi berseru dengan
berbareng melihat keris itu di tangan sang pangeran tua. Budhi juga merasakan
getaran hebat dari wibawa keris itu dan tahulah dia bahwa keris itu memang
sangat ampuh. "Kepung mereka! Bunuh!!" bentak Pangeran Sepuh Wijayanto dengan kemarahan
meluap. Dia telah dikalahkan pemuda itu di depan banyak orang dan hal ini
dianggap amat menghina dan merendahkan martabatnya.
"Kanjeng Gusti Pangeran, saya mohon jangan bunuh diajeng Niken dan ibunya
seperti yang paduka janjikan kepada saya!" kata Gajahpuro.
"Janga banyak cakap!" bentak Pangeran Sepuh Wijayanto lalu dia mengulang
perintahnya kepada pasukan pengawalnya yang sudah memenuhi ruangan itu mengepung
Budhi, Niken Sasi, dan Dewi Muntari, "Serang dan bunuh mereka bertiga!"
"Kalau begitu saya tidak sudi membantu paduka lagi!" teriak Gajahpuro.
"Bagus, agaknya engkau juga sudah bosan hidup!" bentak Pangeran Sepuh sambil
mengamangkan keris pusaka Tilam Upih. "Bunuh jug bocah ini!"
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar dan para perajurit
pengawal Pangeran Sepuh yang berada di dekat pintu ruangan bergelimpangan roboh.
Terdengar bentakan yang lembut namun penuh wibawa.
"Semua perajurit mundur!"
Para anak buah Pangeran Sepuh terkejut dan menengok. Ketika mereka melihat Sang
Prabu Jayabaya yang diiringkan para pengawal yang dipimpin senopati Lembudigdo
dan para senopeti lainnya, mereka menjadi pucat ketakutan dan segera mundur
meninggalkan ruangan itu. Di luar telah menanti pasukan pengawal kerajaan yang
segera melucuti senjata mereka. Semua terjadi tanpa keributan, karena para anak
buah Pangeran Sepuh maklum bahwa melawanpun tidak akan ada gunanya.
Sementara itu, ketika melihat munculnya Sang Prabu Jayabaya, wajah Pangeran
Sepuh berubah pucat pula dan dengan senyum dibuat-buat dia menegur.
"Yayi Prabu......, paduka datang.....?" Dia sampai lupa bahwa dia masih memegang
keris pusaka Tilam Upih di tangannya.
"Kakangmas Pangeran,andika membawa keris pusaka Tilam Upih terhunus, apakah
untuk membunuh puteriku Dewi Muntari dan cucuku Niken Sasi?"
"Ahh, tidak.......tidak.......! Pusaka ini.......saya baru rampas dari tangan
Budhidharma!" "Hemm,kakangmas Pangeran, tidak ada gunanya berbohong lagi. Kami telah
mengetahui semuanya. Sudah lama kami mendengar laporan para penyelidik bahwa
diam-diam kakangmas Pangeran menghimpun kekuatan di luar istana. Kakangmas
hendak mencalonkan Pangeran Panjiluwih dan menyingkirkan pangeran mahkota.
Juga menyingkirkan semua pangeran dan anggota keluarga yang kiranya akan
menentang rencana andika! Akan tetapi karena kami belum memperoleh bukti, kami
masih belum bertindak. Dan tadi, Kakangmas Pangeran, kami telah mendengar
semuanya! Ternyata kakangmas yang menjadi pemimpin persekutuan dengan sebutan
Kanjeng Gusti, dan kakangmas pula yang telah merampas Tilam Upih secara diam-
diam saja dari adipati Nusa Kambangan. Jelas kakangmas hendak memberontak! Dan
kakangmas memilih Pangeran Panjiluwih karena ibunya adalah puteri Blambangan
yang kakangmas jagokan untuk mendukung gerakan kakangmas. Kami telah mengetahui
semua!" Ketika Sang Prabu Jayabaya bicara Pangeran Sepuh mendengarkan dengan mata liar
dan muka semakin pucat. Lalu dia memandang kepada Tilam Upih di tangannya, lalu


Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata lantang, "Yayi Prabu! Dahulu aku yang mendambakan kedudukan raja,akan
tetapi mendiang kanjeng rama bersikap tidak adil, memilih andika yang lebih muda
menjadi pangeran mahkota. Sekarang, andika juga pilih kasih, memilih Pangeran
Arya Iswara menjadi putera mahkota, padahal masih banyak pangeran lain yang
lebih tua. Benar! Memang aku tidak amau menerima ketidak-adilan ini, aku ingin
mengangkat Pangeran Panjiluwih menjadi putera mahkota. Akan tetapi kami telah
gagal, dan karena andika sendiri yang telah mengetahui semua rahasiaku, maka
andika yang lebih dulu harus mati di tanganku!" Setelah berkata demikian,
Pangeran Sepuh siap uantuk menyerang dengan keris pusaka Tilam Upih.
"Kanjeng Rama Prabu, perkenankan hamba yang maju menghadapinya!" seru Dewi
Muntari yang merasa khawatir.
"Perkenankan hamba yang maju, gusti." kata Budhidharma pula. Juga Senopati
Lembudigdo sudah siap bersama pasukannya untuk mengepung Pangeran Sepuh
Wijayanto yang agaknya hendak mengamuk dengan keris pusakaTilam Upih di tangan.
Akan tetapi sambil tersenyum Sang Prabu Jayabaya mengangkat kedua tangannya ke
atas dan memberi isarat kepada semua orang untuk mundur. Kemudian dengan
sikapnya yang tenang sekali, raja yang bijaksana dan sakti mandraguna itu
melangkah maju menghadapi kakaknya. "Kakangmas Pangeran Wijayanto, andika hendak
menggunakan Kyai Tilam Upih untuk memberontak, mengamuk dan membunuhku"
Andika tidak akan berhasil. Sebaiknya andika menyadari kesalahan, cepat menyerah
dan mungkin kami masih akan memperingan hukumanmu."
"Tidak perlu banyak cakap lagi. Engkau atau aku yang harus mati!" bentak
Pangeran Sepuh dan bagaikan seekor harimau marah, dia sudah menerjang ke depan,
menubruk dan menyerang dengan keris pusaka Tilam Upih yang sakti itu.
Sang Prabu Jayabaya tetap tenang saja. Ketika keris itu sudah meluncur dekat,
dia melompat ke kiri menghindarkan diri, kemudian kakinya mencuat dan menendang
dengan kecepatan kilat. "Wuuuuuuuttt..........desss.........!" Tubuh Pangeran Sepuh terlempar dan dia
jatuh bergulingan oleh tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia dengan cepat
sudah meloncat bangkit kembali dan menyerang untuk kedua kalinya, lebih cepat
dan lebih dahsyat. Sang Prabu Jayabaya kembali mengelak dan untuk ke dua
kalinya, kakinya menendang dan kembali tubuh Pangeran Sepuh terlempar dan
terbanting keras. Sebetulnya, dengan dua kali terbanting itu saja, Pangeran Sepuh sudah menyadari
bahwa dia tidak akan mampu menandingi kesaktian Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi
dia sudah putus asa dan menjadi nekat. Biarpun tubuhnya sudah merasa sakit-sakit
karena dua kali terlempar dan terbanting, dia bangkit lagi dan memasang kuda-
kuda, mengerahkan seluruh tenaganya.
"Engkau atau aku yang harus mati!" bentaknya.
Sang Prabu Jayabaya memandang dengan sinar mata mencorong seperti mengeluarkan
api da suaranya terdengar tegas. "Jagat Dewa Batara, engkau menggapai
taringnyaSang Batara Kala, kakangmas!"
Pangeran Sepuh sudah berlari menerjang maju dengan keris siap menusuk. Akan
tetapi sekali ini, Sang Prabu Jayabaya sudah mengerahkan aji kesaktian dan
kekebalannya, berdiri tegak seperti sebuah arca yang kokoh. Keris pusaka Tilam
Upih di tangan Pangeran Sepuh datang menyambar ke arah dada, diterima oleh dada
itu tanpa mengelak sedikitpun.
"Wuuuttt......Takk.......!!" Tangan Pangeran Sepuh yang memegang keris tergetar
hebat. Kerisnya seperti mengenai benteng baja yang kokoh kuat, sama sekali tidak
mampu menembus kulit yang sudah dilindungi aji kekebalan yang disebut Aji
Ontokusumo. Pangeran Sepuh Wijayanto seperti tidak percaya. Kerisnya adalah Tilam Upih!
Tidak mungkin dapat ditolak aji kekebalan. Dia menusuk lagi.
"Takkk.......!"
Dengan penuh kegeraman dan keputusasaan kembali dia menusukkan keris ke arah
perut Sang Prabu Jayabaya.
"Takk............!!"
Kini Sang Prabu Jayabaya menggerakkan tangan kiriny, menampar ke arah kepala
Pangeran Sepuh. Wuuuuttt............desss.........!" Tubuh pangeran itu seperti daun kering
tertiup angin, melayang dan jatuh berdebuk,terbanting keras! Akan tetapi memang
pangeran itupun seorang yang kebal, tamparan itu hanya membuat dai pusing
sejenak. Lalu dia bangkit berdiri mengamati keris di tangannya seolah tidak
percaya akan keaslian pusaka itu, kemudian dia mengayun keris itu ke ulu hatinya
sendiri. "Cappp..........!" Keris menembus kulit dada dengan mudah dan robohlah sang
pangeran, tewas seketika saking ampuhnya Tilam Upih.
Semua orang lalu berlutut menyembah kepada Sang Prabu Jayabaya. Raja yang sakti
mandraguna ini menghela napas panjang, menghampiri jenazah kakaknya, mencabut
keris Tilam Upih dari dadanya lalu menyerahkannya kepada Senopati Lembudgdo.
"Lembudigdo, suruh cuci dan gosok pusaka ini sampai bersih betul dari noda, baru
haturkan kepadaku." "Sendiko, Gusti." jawab Senopati Lembudigdo sambil menerima keris pusaka itu dan
menyimpannya. Dalam peristiwa ini, Sang Prabu Jayabaya memperlihatkan kebijaksaannya. Dia
mengampuni seluruh keluarga Pangeran Sepuh. Bahkan hanya menggur keras kepada
Pangeran Panjiluwih yang dianggap terkena hasutan Pangeran Sepuh. Bekas pasukan
Pangeran Sepuh dibubarkan dan tentu saja Gajahpuro juga dibebaskan karena Niken
Sasi mintakan ampun untuk pemuda yang pada terakhirya kembali memperlihatkan
sikap membelanya itu. Budhidharma, Dewi Muntari dan Niken Sasi dipanggil menghadap ke istana.
"Budhidharma, kami sudah banyak mendengar akan sepak terjangmu dari para
penyelidik, dan kami berterima kasih atas pembelaanmu sehingga puteri dan cucu
kami dapat diselamatkan." kata Sang Prabu memujinya.
"Gusti Prabu Jayabaya tersenyum. "Mendiang kakangmas Pangeran Wijayanto memang
cerdik. Dia telah mendahuluimu mencuri keris pusaka itu. Akan tetapi, sudahlah,
keris pusaka itu sudah kembali kepada kami. Sekarang kami ingin mendengar
ceritamu, nini Dewi Muntari, dan andika, cucuku Niken Sasi. Apa yang telah
kalian alami setelah kalian dirampok dan Rangsang dibunuh?"
Dewi Muntari menceritakan pengalamannya. Ketika mendengar bahwa puterinya itu
ditolong kemudian diambil murid oleh Ni Durgogini, Sang Prabu Jayabaya berseru,
"Ah, jadi ia yang menolongmu dan kemudian menjadi gurumu?"
"Kanjeng Rama, Ni Durgogini sudah minta kepada hamba agar paduka sudi mengampuni
kelancangannya, berani mengambil murid kepada hamba." kata Dewi Muntari.
Sang Prabu tersenyum, "Tentu saja. Ia tidak bersalah, bahkan berjasa besar.
Pantas engkau berani menentang paman-tuamu,kiranya engkau sudah digembleng oleh
Ni Durgogini! Dan bagaimana dengan pengalamanmu selama ini, cucuda Niken Sasi"
Agaknya engkau telah menjadi seorang gadis yang trengginas dan digdaya. Apakah
engkau juga memperoleh seorang guru yang sakti?"
Sesungguhnyalah, Kanjeng Eyang Prabu. Ketika kanjeng ibu menyuruh hamba
melarikan diri, hamba terjatuh ke dalam telaga kecil. Hamba diselamatkan oleh Ki
Sudibyo, ketua Gagak Seto dan hamba menjadi muridnya." Niken lalu menceritakan
tentang gurunya, betapa gurunya itu dikhianati oleh Klabangkoro dan Mayangmurko
yang kemudian telah terbunuh oleh ibunya, Dewi Muntari. Juga diceritakan tentang
Budhidharma yang menolongnya berulang kali sampai pengalaman mereka yang hebat
di Gagak Seto ketika mereka dijebak oleh Klabangkoro. Gadis itu menonjolkan budi
pertologan yang dilakukan Budhidharma dan agaknya hal ini diketahui pula oleh
kakeknya sehingga Sang Prabu Jayabaya hanya tersenyum mendengarkan.
Setelah gadis itu selesai bercerita, Sang Prabu Jayabaya berkata kepada
Budhidharma, "Budhidharma,jasamu amat besar. Oleh karena itu,kami mengangkatmu
menjadi seorang senopati muda di kerajaan Kediri!"
Budhidharma terkejut dan demikian girangnya mendengar ini sehingga dia hanya
memandang bengong. Melihat ini, Niken Sasi cepat menyentuh lengannya. "Cepat
haturkan terima kasih kepada Kanjeng Eyang."
Budhidharma menyembah dan menghaturkan terima kasihnya. Dewi Muntari kembali ke
tempat tinggalnya yang dahulu, yang delapan tahun yang lalu ditinggali bersama
suaminya dan yang sampai sekarang masih dipelihara baik-baik atas perintah Sang
Prabu Jayabaya. Budhidharma juga mengikuti ibu dan anak itu. Di rumah mereka,
Dewi Muntari lalu membicarakan urusan perjodohan antara puterinya dan
Budhidharma. Sebagai seorang ibu yang waspada, tanpa bertanya sekalipun ia sudah
lama tahu bahwa terdapat hubungan kasih sayang di antara kedua orang muda itu.
Sepasang orang muda itu tersipu malu ketika Dewi Muntari terang-terangan
mengajak mereka bicara tentang perjodohan mereka.
"Bagaimanakah kalian ini" Urusan ini tentu selalu mendesak dihati kalian, akan
tetapi setelah diajak bicara tentang hal ini, kalian malah diam saja. Apakah
kalian tidak setuju?"
"Ah, ibu.......!" Niken Sasi tersipu dan menundukkan mukanya.
"Sebetulnya, Kanjeng Bibi,kami berdua selalu khawatir dan ragu kalau-kalau
Kanjeng Gusti Prabu tidak menyetujui, karena saya hanyalah seorang pemuda dusun
yang yatim piatu dan papa..........."
"Hemm,kaukira Kanjeng Rama itu bagaimana" Beliau seorang raja yang adil dan arif
bijaksana. Bukankah aku sendiri juga dijodohkan dengan seorang senopati yang
berkedudukan rendah dan dari rakyat biasa" Aku tanggung bahwa Kanjeng Rama Prabu
pasti akan menyetujui perjodohan kalian."
"Terima kasih, Kanjeng Bibi......"
"Hemm, sudah tiba waktunya engkau mengubah sebutan bibi itu dengan sebutan ibu.
Bukankah engkau calon mantuku?"
Wajah Budhi menjadi kemerahan. "Terima kasih, Kanjeng Ibu......" dia mengulang.
"Akan tetapi saya dan diajeng Niken Sasi mohon ijin untuk pergi ke Anjasmoro
dulu, karena kami harusmenyelesaikan urusan Gagak Seto"
Engkau tidak boleh lagi menjadi ketua Gagak Seto setelah menjadi senopati!"
"Memang saya tidak pernah ingin melanjutkan kedudukan mendiang ayah saya. Oleh
karena itu, tadi ketika berpisah dari Gajahpuro, saya memesan agar dia suka
pergi ke Gagak Seto menemui saya. Gajahpuro adalah seorang pemuda yang baik dan
gagah, sudah sepatutnya kalau dia yang menjadi ketua Gagak Seto."
"Ah, pemuda itu" Kalian mengatakan bahwa dia putera Klabangkoro, akan tetapi di
depan Pangeran Sepuh dia menyangkal bahwa dia bukan putera Klabangkoro. Siapa
sebetulnya anak itu?"
"Kami juga heran,kanjeng ibu. Kalau bertemu dengannya tentu akan kupertanyakan
hal itu." kata Niken Sasi.
Demikianlah, setelah tinggal di rumah Dewi Muntari, di komplek istana, selama
beberapa hari, pada suatu hari Budhidharma bersama Niken Sasi meninggalkan isana
menuju ke pegunungan Anjasmoro.
*** Kedatangan Budhi dan Niken disambut dengan hormat oleh Waskita yang oleh Budhi
diserahi tugas mewakilinya memimpin Gagak Seto selagi dia pergi. Juga semua anak
buah Gagak Seto yang masih setia, berjumlah kurang lebih empatpuluh orang, ikut
menyambut dengan gembira.
"Paman Waskita, apakah Gajahpuro tidak datang ke sini?" tanya Budhi kepada
Waskita. "Ah, ada,anak mas. Dia datang ke sini kemarin dulu, katanya hendak menemuimu,
akan tetapi kami semua minta agar dia pergi dari sini." jawab Waskita.
"Eh,kenapa, paman?"
"Kenapa" Bukankah dia putera Klabangkoro yang telah menyesatkan kami semua?"
"Akan tetapi paman sendiri tentu tahu betapa Gajahpuro selalu menentang
kejahatan Klabangkoro,bahkan samapi dilempar ke dalam sumur tua. Gajahpuro bukan
seorang pemuda jahat, Sebaliknya dia seorang pemuda gagah perkasa dan baik
sekali." Waskita nampak ragu. "Hal itu kami mengerti, akan tetapi karena dia putera
Klabangkoro, kami merasa tidak enak kalau menerimanya, maka dia kami usir......"
"Keliru sekali, paman. Baik dia putera Klabangkoro maupun bukan, pada
kenyatannya dia seorang anggota Gagak Seto yang baik dan aku yakin bahwa tidak
ada anggota lain yang memiliki ilmu kepandaian setinggi dia."
"Tidak, anak mas. Kurasa kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan kepandaian
Gusti Puteri Nikan......." karena sudah mendengar bahwa Niken Sasi adalah cucu
Sang Prabu, maka kini Waskita menyebutnya gusti puteri!
Ah,andika tidak tahu, Paman Waskita. Sekarang Kakang Gajahpuro memiliki ilmu
kepandaian yang jauh melampuiku. Dia telah menjadi pemuda sakti." kata Niken dan
bukan hanya Waskita yang merasa heran mendengar ini, bahkan para anggota lain
juga memandang heran. Mereka semua sudah mendengar betapa Niken telah mewarisi
Aji Hasta Bajra dari mendiang Ki Sudibyo. Akan tetapi gadis itu mengakui bahwa
ia masih kalah dibandingkan kesaktian Gajahpuro.
"Demikianlah sesungguhnya," kata pula Budhi. "Dan karena itu, kami hendak
menemuinya, karena kami bermaksud mengangkatnya menjadi ketua Gagak Seto yang
baru." Semua anggota terkejut mendengar ini, juga merasa heran. "Harap kalian semua
dapat mengerti. Aku tidak cocok untuk menjadi ketua Gagak Seto. Pertama, biarpun
aku putera Ki Sudibyo, akan tetapi aku bukan murid Gagak Seto. Kedua, aku telah
diangkat menjadi seorang senopati muda oleh Kanjeng Gusti Prabu sehingga tidak
mungkin lagi aku tinggal di sini menjadi ketua. Itulah sebabnya kami melihat
bahwa yang paling tepat menjadi ketua adalah Gajahpurodan kami yang bertanggung-
jawab atas pengangkatan ini."
Pada saat itu terdengar seruan orang, "Kakangmas Budhi.......!" dan nampaklah
Gajahpuro memasuki rumah induk itu.
"Adimas Gajahpuro,kebetulan andika datang. Maafkan Paman Waskita dan para
anggota yang tidak berani menerimamu berkunjung ke sini." kata Budhi.
"Ah,tidak mengapa, kakangmas. Akupun tahu diri dan menanti saja sampai andika
datang." Gajahpuro dipersilakan duduk. Pemuda ini memandang kepada Niken dan kini pandang
matanya berbeda dari biasanya. Biasanya, kalau dia memandang gadis itu, pasti
terpancar sinar kasih sayang dari pandang matanya itu kepada gadis ini. Akan
tetapi sekarang tidak lagi. Dia sudah mengetahui bahwa di antara Budhi dan Niken
terjalin hubungan yang akrab dan mesra. Dia dapat menduga bahwa kedua orang muda
itu saling mencinta dan dia sudah melepaskan harapannya atas diri Niken Sasi.
Apalagi setelah dia mengetahui bahwa Niken Sasi adalah cucu Sang Prabu!
"Maafkan kami, Gajahpuro. Karena kemarin dulu anakmas Budhi belum datang,
terpaksa kami menolak kunjungan andika."
"Tidak mengapa, Paman Waskita. Perbuatanmu itu bahkan menunjukkan bahwa andika
seorang wakil yang baik sekali dan memenuhi kewajiban." jawab Gajahpuro.
Diam-diam Budhi merasa suka kepada pemuda ini. Niken Sasi yang sejak tadi
mendengarkan saja, lalu berkata, "Kakang Gajahpuro,andika tentu haran mengapa
kakangmas Budhidharma mengundangmu ke sini" Ada banyak hal perlu kita bicarakan,
akan tetapi yang pertama membuat kami merasa heran sekali adalah penyangkalanmu
bahwa andika bukan putera Klabangkoro. Benarkah itu kakang Gajahpuro?"
"Benar sekali, Gusti Puteri."
"Ah,kakang Gajahpuro, bagimu aku tetap Niken yang dulu."
"Paduka adalah cucu Kanjeng Gusti Prabu. Memang saya bukan putera Klabangkoro,
bahkan dialah yang membunuh ayah kandung saya dan kemudian ibu saya. Ketika saya
masih kecil, Klabangkoro membunuh ayah saya dan memaksa ibu saya menjadi
istrinya." Hemm, betapa jahatnya Klabangkoro!" kata Budhi. "Akan tetapi, sudahlah. Adimas
Gajahpuro. Bagaimanapun juga, dia pernah menjadi ayahmu yang menyayang dan kini
dia sudah mati. Sekarang yang lebih penting lagi. Aku mengundangmu ke sini untuk
mengangkatmu, menjadi ketua Gagak Seto. Tentu engkau mau, bukan?"
Gajahpuro nampak terkejut dan heran. "Aku" Menjadi ketua Gagak Seto" Akan tetapi
Gusti Puteri Niken........."
"Hemm,tidak mungkin aku menjadi ketua Gagak Seto, kakang Gajahpuro!" kata gadis
itu. "Dan ada andika di sini, kakangmas Budhidarma." bantah pula Gajahpuro.
"Aku tidak mungkin menjadi ketua Gagak Seto, adimas. Pertama, aku diangkat
menjadi senopati muda oleh Kanjeng Gusti Prabu sehingga aku harus bertugas di
kota raja. Dan kedua, aku sama sekali bukan murid Gagak Seto, tidak mengenal
ilmu silat Gagak Seto. Engkaulah orangnya yang paling tepat menjadi ketua Gagak
Seto, adimas Gajahpuro dan kuharap engkau tidak menolak lagi."
Karena dibujuk oleh Budhi dan Niken, dan melihat semua anggota Gagak Seto juga
sudah setuju, akhirnya Gajahpuro menerima kedudukan sebagai ketua Gagak Seto.
Dengan gembira peristiwa itu lalu dirayakan oleh Budhidharma, dan setelah
tinggal di Gagak Seto selama dua hari, Budhidharma lalu berangkat bersama Niken
Sasi meninggalkan pegunungan Anjasmoro. Niken Sasi sengaja mengajak kekasihnya
melewati Grojokan Kluwung dan ketika mereka lewat di situ, kebetulan sekali
nampak pelangi melengkung indah di atas gerojokan.
"Di sanalah aku ditolong mendiang Bapa Guru Sudibyo, kakangmas Budhi." kata
Niken Sasi sambil menuding ke arah gerojokan { air mancur }.
"Bukan main indahnya tempat itu, diajeng. Dan kalau kuingat betapa aku datang ke
pegunungan Anjasmoro ini dengan demdam yang membara........"
"Kasihan Bapa Guru. Dia seorang yang baik, kakangmas. Seorang yang gagah
perkasa, namun gagal dalam asmara."
"Semoga asmara yang kutemukan di balik dendam membara ini tidak akan gagal,
diajeng." kata Budhidharma. Niken mengangkat muka, saling pandang kemudian
mereka berangkulan dengan mesra, di bawah lengkungan Kluwung indah itu.


Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai disini selesailah sudah kisah "Asmara di Balik Dendam Membara" ini dan
harapan pengarang semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua. Sampai jumpa
di kisah yang lain. TAMAT Tabib Sakti Pulau Dedemit 1 Satria Gendeng 16 Setan Madat Bara Diatas Singgasana 18
^