Pencarian

Badik Buntung 5

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 5


Dengan mendelong dan perasaan hampa Su Gio-lan mendongak mengawasi bayangan Bu-
bing bertiga menghilang dikejauhan, dia tahu apa yang menjadi perkataan Bu-bing tentu
akan dilaksanakan sesuai dengan kehendaknya. Kalau tempo yang ditentukan sudah tiba,
mohon ampun atau keringanan pun takkan berguna.
Melihat Bu-bing tinggal pergi Cukat Tam menjadi girang, tanpa Bu-bing hadir
disini bukankah dirinya yang akan merajai gelanggang" Segera ia berseru pada Thian-hi, "Mari
berangkat!" "Siapa berani membawa dia!" sela Su Giok-lan lari kesamping.
Melihat Su Giok-lan berani merintangi dirinya Cukat Tam menjadi nekad,
jengeknya, "Budak lemah, jangan kau tidak tahu diuntung, Suhumu sudah lama pergi!"
Su Giok-lan mencebir bibir, jengeknya, "Orang lain takut padamu, tapi aku
tidak!" Cukat Tam terloroh-loroh, serunya, "Sombong benar-benar budak busuk kau ini.
Selama hidup ini Cukat Tam belum pernah ketemu budak kecil berbau pupuk berani kurang ajar
terhadap aku." "Hari ini justru telah kau temukan." semprot Su Giok-lan berani.
Ciang-ho-it-koay mengira dengan menyebut namanya saja cukup membuat Su Giok-lan
gentar dan mundur teratur, siapa nyana Su Giok-lan ternyata lebih bandel dan nekad.
Dalam hati ia jadi membatin; 'seumpama Bu-bing hadir disini juga belum tentu aku takut, terpaksa
aku hari ini harus belajar kenal Hui-sim-kiam-hoat betapa hebat dan lihay, katanya, "Kepandaianmu
Hui-sim-kiamhoat dari Bu-bing Loni terkenal di seluruh dunia, hari ini biarlah aku membuka
mataku." Membeku dingin wajah Su Giok-lan, kelihatan rasa dongkol dan gemes yang tak
terlampias darahnya semakin bergelora, dengan pekik panjang segera ya bergerak sebat
sekali, ujung pedangnya meluncur dari samping menusuk jalan darah Ki kay-hiat didada. Cukat
Tam. Cukat Tam tertawa besar, laksana angin lesus badannya berputar, tahu-tahu ia
melejit kesamping kiri, kedua jari tengahnya langsung menutuk ke Nau-hu-hiat di belakang
batok kepala Su Giok-lan. Gesit sekali Su Giok-lan membalikkan pedang menangkis, gerak pedangnya berubah
menjadi jurus Siu-li-kan-kun, sinar pedang berkembang melebar terus mendesak dan merabu
kepada Cukat Tam. Cukat Tam terdesak mundur jumpalitan ke tempat asal.
Gebrak pertama ini berlangsung dalam kilatan waktu saja, namun kecepatan gerak
serang menyerang sungguh sangat cepat sekali. Diam-diam kedua belah pihak maklum bahwa
hari ini masing-masing ketemu lawan tangguh.
Sejak dibawa pergi Bu-bing Loni, Su Giok-lan telah menelan Ho-siu-oh yang
berusia ribuan tahun, digembleng selama seratus hari, Hui-sim-kiam-hoat boleh dikata sudah
tercangkok dalam sanubarinya. Apalagi Bu-bing Loni selalu was-was, entah malam atau siang selalu
dibayangi oleh rasa ketakutan yang luar biasa. Maka cepat-cepat ia bawa Su Giok-lan untuk
mencari Hun Thianhi, tak nyana disini ia kebentur dengan Cukat Tam.
Hui-sim-kiam-hoat merupakan ilmu pedang tunggal yang paling digdaya tiada
keduanya dikolong langit, dengan gabungan Soat-san-su-gou pun tak kuasa menghadapinya,
maka dapatlah dibayangkan betapa hebat dan lihay perbawanya.
Diam-diam Cukat Tam sendiri gelisah, seorang gadis kecil saja sudah begitu lihay
permainan pedangnya, apalagi kalau Bu-bing sendiri yang turun tangan, terang dirinya bukan
tandingannya, terpikir sampai disini kontan ia jatuh semangat.
Su Giok-lan sendiripun baru pertama kali ini memainkan Hui-sim-kiam-hoat, namun
dalam gebrak serang menyerang kilasan waktu itu ia sudah dapat merasakan Lwekang Cukat
Tam yang tinggi dan kokoh kuat. Kedua jari tutukan Cukat Tam yang mengancam jalan
darahnya tadi membawa kesiur angin yang tajam laksana ujung golok, kalau dirinya tidak
mengandal gerak kecepatan pedangnya, mungkin sejak tadi dirinya sudah roboh.
Begitulah hati masing-masing sudah waspada dan meningkatkan perhatian, siapapun
tiada yang berani sembarangan bergerak menyerang lebih dulu.
Cukat Tam mendengus, diam-diam ia berpikir; mengandal kedudukan dan ketenaran
namaku kenapa hari ini aku gentar menghadapi budak kecil ini, kelak masa aku masih bisa
berdiri tegak dikalangan dunia parsilatan" Karena pikirannya ini segera ia bergerak, sedikit
menekuk dengkul serempak ia gerakkan kedua telapak tangannya memukul kepada Su Giok-lan.
Ciang-ho-it-koay sudah puluhan tahun malang melintang di Kangouw, jelas sekali
kepandaian. silatnya jauh lebih tinggi dari Su Giok-lan, kalau gebrak tadi mereka kelihatan
berimbang itu bukan lain sebab Cukat Tam rada sangsi dan gentar menghadapi Bu-bing Loni, apalagi Su
Giok-lan bergerak lebih dulu mengambil inisiatif menyerang. Sekarang setelah hatinya
mantap, meski Su Giok-lan kembangkan Hui-sim-kiam-hoat, namun selalu terdesak dan mundur.
Begitulah dengan menghardik keras, kedua pukulan Cukat Tam berubah seperti angin
lesus laksana sebuah tonggak besar menerpa ke arah Su Giok-lan. Namun penjagaan
permainan pedang Su Giok-lan memang cukup ketat dan rapat sekali, kontan ia terpental terbang
setombak lebih ke belakang. Tapi begitu kaki menyentuh tanah, gesit sekali laksana burung walet kakinya
menjejak terus melejit tinggi, pedang ditangannya melancarkan Tian-kong-jong-pit, inilah salah
satu jurus terhebat dari Hui-sim-kiam-hoat, tahu-tahu ujung pedang telah memancah kemuka
dan dada Cukat Tam. Terdengar Cukat Tam mendehem seperti lenguh sapi. tubuhnya berputar lagi seperti
gangsingan. Ditengah jalan pedang Su Giok-lan rada merandek terus dituntun balik
dengan sejurus Go-gui-toan-gwat, beruntun menutuk kedua biji mata Cukat Tam.
Dasar kepandaian Cukat Tam memang jauh lebih tinggi, ringan sekali ia angkat
tangan kiri melintang menepuk ke arah batang pedang Su Giok-lan yang menyerang tiba,
berbareng tangan kanan menutuk jalan darah Sim-king-hiat di bawah dagu Su Giok-lan.
Su Giok-lan terdesak mundur, sekarang Cukat Tam mulai lancarkan serangan balasan
yang membadai. sedikit pun ia tidak beri kesempatan pada Su Giok-lan untuk bernapas, keruan ia
terdesak di bawah angin dan mundur. Hun Thian-hi berpeluk tangan menonton, tahu dia bahwa Su Giok-lan bakal kalah,
namun dia tak kuasa maju membantu. Gwat Long dan Sing Poh selalu mengawasi gerak geriknya
dari samping. Serangan Cukat Tam semakin gencar dan cepat, terdengar ia menjengek dingin,
"Dengan kepandaian bekalmu ini berani kau mengudal mulut. Betapa pun hari ini aku harus
hajar kau. Supaya matamu melek betapa besar dunia ini, bukan gurumu melulu yang tinggi
kepandaiannya." Karena bicara gerak serangan Cukat Tam sedikit lamban, kesempatan ini tak disia-
siakan oleh Su Giok-lan, sambil mengertak gigi, pedangnya berputar setengah lingkaran terus
menusuk kelambung Cukat Tam. Tapi gerakan Cukat Tam cukup cepat, kecepatannya sungguh
diluar perhitungannya, belum lagi ia berhasil menyelesaikan serangan pedangnya, tahu-
tahu ulu hatinya sudah terancam oleh kepelan lawan, terpaksa ia selamatkan diri lebih dulu.
Hun Thian-hi insaf kalau Su Giok-lan kalah pasti dirinya ikut terhina, otaknya
jadi berpikir dan menerawang, mendadak sebat sekali ia melejit jauh terus lari sekencangnya ke
depan. Mendadak melihat Thian-hi melarikan diri sungguh Gwat Long dan Sing Poh
terkejut, "Lari kemana!" sambil membentak berbareng mereka mengejar.
Tanpa hiraukan teriakan orang Hun Thian-hi berlari semakin kencang.
Melihat Hun Thian-hi melarikan diri, Cukat Tam menjadi gugup. Tanpa hiraukan Su
Giok-lan lagi dia pun menghardik keras, suaranya melengking tinggi seiring dengan tubuhnya
yang medenting jauh mengejar ke arah Hun Thian-hi.
Bagi Su Giok-lan larinya Hun Thian-hi dianggap sebagai perbuatan pengecut yang
membalas air susu dengan air tuba, Dia melarikan diri tanpa hiraukan dirinya lagi, saking
murka air mata mengembeng dikelopak matanya, dengan gemes ia menyentak keras" tiba-tiba
pedangnya bergulung balik, dengan jurus Sing-gwat-cin-hwi, bayangan pedang terpecah kedua
jurusan langsung menusuk ke arah dua sasaran ditubuh Cukat Tam.
Mendengar samberan angin deras yang mengancam jiwa ini. Cukat Tam menjadi naik
darah, sambil menggembor keras ia membalik tubuh, telapak tangannya bergoyang
menghantam balik batang pedang Su Giok-lan. Sementara tubuhnya masih melayang ke depan terus
meluncur ke arah Thian-hi. Sun Giok-lan tahu dengan bekal Ginkangnya sekarang takkan mungkin dapat
mengejar, terpaksa ia berdiri menjublek ditempatnya.
Sementara itu, Hun Thian-hi lari terus kebawah, ia belok ketimur lalu balik lagi
ke arah barat, darinya pontang panting, namun kira-kira setengah li kemudian ia sudah terkejar
oleh Cukat Tam. Ringan sekali tubuh Cukat Tam meluncur turun dihadapan Hun Thian-hi, dengan
pandangan mendelik ia awasi Hun Thian-hi.
Melihat takkan berhasil lolos, Thian-hi berpaling ke belakang, dilihatnya Gwat
Long dan Sing Poh juga sudah menyusul tiba. Su Giok-lan tak kelihatan bayangannya, tanpa
merasa ia menghela napas lega. "Berani kau lari!" maki Cukat Tam gusar.
Hun Thian-hi mandah tertawa ewa tanpa buka suara.
Cukat Tam berludah, katanya kepada Gwat Long berdua, "Kalian ringkus dia dan
gusur kembali ke Bu-tong-san!" Baru sadia suara Cukat Tam lenyap, dari hutan sebelah sana terdengar sebuah
suara berkata, "Apakah begitu gampang" Kau belum minta izin padaku bukan?"
Kontan mereka berempat terperanjat, Cukat Tam menggerung gusar, teriaknya
lantang, "Siapa itu di dalam hutan!"
Seorang tua berambut merah melayang keluar. Bercekat hati Thian-hi, bagaimana
mungkin dia kemari" Demikian dalam hati ia bertanya-tanya.
Cukat Tam tertawa dingin, ujarnya, "Kiranya kau. Sejak berpisah tiga puluh tahun
yang lalu, tak kira masih hidup?" Pendatang baru ini bukan lain adalah Ang-hwat-lo-co, itu tokoh nomor satu dari
aliran sesat, dengan dingin ia pun pandang Cukat Tam, katanya menyeringai dingin, "Ternyata
kau berani memasuki daerah Tionggoan. Hari ini ingin aku menjajal betapa maju ilmu silatmu
setelah berpisah tiga puluh tahun.!"
Sudah lama Cukat Tam mendengar nama dan kepandaian Ang-hwat-lo-co, namun
sedemkian jauh belum pernah saling gebrak mengadu kepandaian, segera ia pun balas mengolok
dengan tidak kalah pedasnya, "Tak nyana kau pun berani muncul kembali dikalangan
Kangouw.' Ang-hwat-lo-mo menyeringai sadis, tanpa bersuara tiba-tiba badannya mencelat
mumbul ke atas terus menerjang ke depan merangsek kepada Cukat Tam dengan sebuah pukulan
tangan. Cukat Tam tahu kepandaian musuh bukan oleh2 lihaynya, dengan mengerahkan tenaga
segera ia balas menyerang dengan kedua kepalannya. Begitulah mereka mulai serang
menyerang dengan sengit. Badan kedua orang tampak beterbangan selulup timbul secepat burung walet
bermain di atas air, laksana kupu terbang menari di atas kuntum bunga, kelihatan kedua kaki
masing-masing seperti tidak menyentuh tanah, namun gerak gerik mereka begitu cepat membawa
kesiur angin yang cukup deras, terdengar lambaian baju pakaian mereka yang lirih ditengah
deru angin pukulan yang keras. Dari samping Hun Thian-hi menonton pertempuran, diam-diam ia merasa heran,
hatinya dirundung pertanyaan, dulu Arg-hwat-lo-co berusaha mencelakai jiwanya, kenapa
sekarang malah menolongnya" Apakah mungkin ia punya muslihat lain lagi"
Dalam pada itu pertempuran masih berjalan dengan sengit, Hun Thian-hi hampir tak
dapat mengikuti gerak tempur kedua orang, masing-masing bergerak begitu lincah seperti


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sikatan, licin bagai belut dan cepat seperti kilat menyamber. Tanpa terasa setengah jam telah
lewat, perkelahian itu masih berlangsung dengan serunya, kedua belah masih kelihatan
sama kuat, saling hantam dan sepak, masing-masing memberikan tekanan yang mengagumkan. Entah sudah
berapa ratus jurus kemudian, tiba-tiba terdengar suara benturan yang rada lirih, suara
itu tidak begitu keras, tapi kontan terlihat kedua orang sama-sama terpental mundur.
Kelihatan Ang-kwat-lo-co berdiri tegak sambil menyeringai dingin, sebaliknya
Cukat Tam pucat pasi, matanya mendelik mengawasi Ang-hwat-lo-co.
Dengan tenang Hun Thian-hi menonton dari samping dan menanti perkembangan
selanjutnya, tahulah dia bahwa Cukat Tam sudah terkalahkan, malah terluka dalam lagi.
Setelah menentramkan pernapasannya, air muka Cukat Tam rada baikan, katanya
gusar kepada Ang-hwat-lo-co, "Hadiah pukulanmu hari ini, kelak pasti akan kubalas!"
Ang-hwat-lo-co menyeringai dingin, jengeknya, "Justru karena menanti
kedatanganmu menuntut balas kelak maka hari ini kuampuni jiwamu."
Cukat Tam menggeram gusar, matanya melirik ke arah Hun Thian-hi, serunya,
"Jangan sombong! Sakit hati ini dalam setahun pasti kubalas." - habis berkata terus
ngacir pergi. Sudah tentu Gwat Long dan Sing Poh menjadi ketakutan, pucat pias wajah mereka,
serentak putar tubuh lantas melarikan diri. Terdengar Ang-hwat-lo-co bergelak tawa, dari
jauh kedua tangannya mencengkeram kepada mereka berdua, mulutnya pun membentak, "Kemana
kalian hendak lari?" berbareng kedua telapak tangan didorong lantas ditarik kembali.
Terdengar Gwat Long dan Sing Poh melolong panjang terkena pukulan, setelah lari beberapa
langkah akhirnya jatuh terjerambab. Ang-hwat-lo-co menjengek dingin, katanya, "Jangan kalian pura-pura mati disitu,
kalian masih berkesempatan hidup satu hari lagi. Lekas pergi!"
Dengan susah payah Gwat Long dan Sing Poh merangkak bangun, setelah mendelik
gusar kepada Hun Thian-hi dengan terhuyung-huyung mereka tinggal pergi saling payang.
Bercekat hati Thian-hi, ia maklum bahwa perbuatan Ang-hwat-lo-mo ini bukan
menolong sebaliknya malah semakin menjerumuskan dirinya. Perbuatan ini tidak lain akan
menimbulkan rasa pertentangan kaum persilatan terhadap dirinya sehingga dia tak mungkin tegak
berdiri di pihak Cing-pay, dan lebih besar pula kepercayaan masyarakat umumnya kaum peisilatan
bahwa Giokyap Cinjin memang adalah dia yang membunuh. Kalau peristiwa hari ini tersiar luas
mungkin Bun Cu-giok takkan mau percaya lagi akan keperibadiannya.
Terpikir oleh Hun Thian-hi, tanpa merasa ia menghela napas rawan.
Ang-hwat-lo-co terbahak-bahak, serunya, "Kenapa" Ku tolong kau, masa tidak
senang?" Hun Thian-hi berludah dengan gusar, terus tinggal pergi.
Ang-hwat-lo-co terloroh-loroh, serunya, "Kalau kau berpisah dari aku, kemana
pula kau bisa pergi?" "Seumpama harus mati akupun tidak sudi bersama kau." semprot Hun Thian-hi gusar.
Ang-hwat-lo-co berkata, "Pertama aku melihat kau kukira kau dari aliran Cing-
pay, tapi ternyata kau berani bunuh Bu-tong Ciangbun, tak lain kau pun suka mengagulkan diri saja.
sia-sia kau menista golongan kita sebagai kaum sesat yang nyeleweng apa segala.
"Hakikatnya siapa lurus dan siapa sesat sukar dibedakan bukan?"
Hun Thian-hi mendengus hidung, ia tak mau banyak bicara, langkahnya dipercepat.
"Mengandal tingkah lakumu ini, apa kau masih ingin menuntut balas?" terdengar
Ang-hwat-loco mengolok, "anggapmu kau gampang mencari kematian?"
Tersentak sanubari Thian-hi, serta merta langkahnya berhenti, betapapun dia
tidak rela mati secara penasaran. Begitu berkecimpung di kalangan Kang-ouw urusan sudah mengikat
dirinya, untuk mencari kematian rasanya memang tidak begitu gampang....
Terdengar Ang-hwat-lo-co berkata, "Kudengar sakit hati ayahmu belum terbalas,
apalagi kau pun harus menuntut balas bagi kematian Soat-san-su-gou bukan?"
Mendengar orang menyinggung Soat-san-su-gou berkobar amarah Hun Thian-hi,
serunya gusar, "Soat-san-su-gou berempat cianpwe berkorban karena aku melancarkan jurus
Pencacat langit melenyap bumi yang kau ajarkan itu. Kalau aku harus menuntut balas
kecuali Bu-bing Loni langkah selanjutnya adalah kau!"
Ang-hwat-lo-co terkial-kial menggila, ujarnya, "Memang benar-benar! Semula
memang aku tidak bersungguh hati mengajarkan jurus ganas itu kepada kau. Tapi kau sudah dua
kali melancarkan ilmu lihay itu, kedua kalinya telah menolong jiwamu, apa kau berani
tidak mengakui" Kalau dulu kau tidak lancarkan jurus Pencacat langit pelenyap bumi, kau takkan
hidup sampai sekarang!" Terbayang oleh Hun Thian-hi keadaan Waktu itu, diam-diam ia mengakui kata-kata
orang memang benar-benar. Terdengar Ang-hwat-lo-co menjengek lagi, "Sejak kau meninggalkan perguruan siapa
saja yang mencari perkara kepadamu" Apakah mereka itu tokoh-tokoh yang menamakan dirinya
dari aliran sesat" Bukan, kebanyakan mereka adalah kaum lurus, tapi hanya karena sebuah
Badik buntung, saling berebutan, cakar mencakar bunuh membunuh, kiranya juga begitu saja mereka
yang mengunggulkan dirinya sebagai kaum lurus!"
Hun Thian-hi terkancing mulutnya, tiada alasan untuk balas mendebat. Ang-hwat-
lo-co meneruskan ocehannya, "Kau, justru kau tidak tahu diri dan tidak bisa lihat
gelagat, kau berani mendesakkan diri masuk ke dalam golongan mereka."
"Aku bekerja bukan karena minta belas kasihan mereka, hanya menuruti hati
nuraniku saja!" semprot Thian-hi. "Lalu kenapa kau takut berada bersama aku?" olok Ang-hwat-lo-co dengan tertawa
lebar, "Aku tidak merebut Badik buntungmu secara licik atau terang-terangan. Sekarangpun aku
tidak ingin melukai kau. Kau hanya takut diketahui orang lain bahwa kau berkumpul erat
dengan aku!" "Memang kau ingin orang lain tahu aku berkumpul dengan kau, jelas sekali
tujuanmu hendak menjerumuskan aku. Kau sendiri sudah keliwat batas kejahatan yang telah kau
perbuat, kini masih ingin menyeret orang lain kejurang nista, tujuanmu nyeleweng, masih berani kau
katakan hatimu suci bersih?" -Demikian Thian-hi mendebat dengan pendapatnya.
"Di seluruh kolong langit ini, sekarang aku diangkat sebagai jago nomor satu
dari kalangan sesat, tapi masih ada seorang yang kutakuti!" demikian kata Ang-hoat-lo-co.
"Bu-bing Loni bukan,?" sambung Thian-hi dengan nada menghina.
Ang-hwat-lo-co manggut-manggut, katanya, "Hui-sim-kiam-hoat milik Bu-bing Loni
merupakan kepandaian tunggal yang tiada taranya. Walaupun jurus Pencacat langit pelenyap
bumi ciptaanku itu punya perbawa yang sangat ampuh, tapi kurasa takkan unggul melawan Hui-sim-
kiam-hoat. Tapi bila kau sudi, aku bisa menunjuk sebuah jalan terang untuk kau, akibatnya
kepandaian silatmu bakal jauh lebih tinggi dari kemampuan Bu-bing Loni sekarang."
Dengan sikap dingin dan tak acuh Thia-hi pandang Ang-hwat-lo-co. rada lama
kemudian ia buka suara, "Kalau mungkin, kenapa kau sendiri tidak mencobanya?"
Ang-hwat-lo-co terbahak-bahak, tanyanya menegas, "Kau sudi tidak?"
Rada, tergerak hati Thian-hi, sahutnya, "Coba terangkan dulu!"
Ang-hwat-lo-co menjelaskan, "Seluruh perhatian tokoh-tokoh goblok itu sekarang
tertuju kepada Badik buntung milikmu itu. Tapi rahasia tersembunyi dari Ni-kay-ki-tin
tentu tak berada di dalam Badik buntung itu, kalau cdak masa tiada akhir perebutan itu selama ini"
Menurut apa yang kuketahui, Wi-thian~chit-ciat-sek yang merupakan ilmu paling hebat dan digdaya
pada ratusan tahun yang lalu sekarang telah muncul kembali, malah aku tahu dimana sekarang
berada kalau kau dapat memohonnya, apa perlu takut tethadap Bu-bing Loni?"' - Habis berkata
ia bergelak tawa sepuasnya. Dengan tajam Thian-hi awasi tingkah pola Ang-hwat-lo-co, katanya dingin, "Kau
tahu tempat itu kenapa kau semdiri tidak mau kesana?"
Berubah serius wajah Ang-hwat-lo-co, katanya, "Jago nomor satu dari golongan
sesat adalah aku, Bu-bing Loni tidak lurus juga rada nyeleweng, tapi siapakah jago Nomor satu
dari golongan Cingpay?" Thian-hi awasi terus rona wajah Ang-hwat-lo-co lekat-lekat, tak tahu dia siapa
yang harus disebutkan. Apakah Giok-yap Cinjin atau Thian-cwan Taysu" Tapi dari nada ucapan
Ang-hwat-loco terang bukan mereka adanya, lalu siapa"
Terdengar Ang-hwat-lo-co melanjutkan sambii menyengir, "Kau tak tahu bukan"
Orang ini bukan Thian-cwan Taysu, juga bukan Giok-yap Cinjin, tapi adalah Ka-yap Cuncia
yang menghilang pada lima puluh tahun yang lalu!"
Thian-hi terlongong sebentar, sungguh diluar sangkanya bahwa Ka-yap Cuncia
adanya. Sudah lima puluh tahun lamanya Ka-yap Cuncia menghilang dari kalangan Kangouw, konon
tokoh ini merupakan orang kosen nomor satu selama ratusan tahun ini, siapa nyana beliau
sekarang masih hidup. Terdengar Ang-hwat-lo-co berkata dingin, "Kau tidak sangka bukan" Kiam-boh Wi-
thian-chitciat- Kek justru berada ditangannya, kalau kau dapat bersua dengan beliau, tentu tiada
seorang pun yang berani mengagulkan diri sebagai jago nomor satu."
Thian-hi termenung, benar-benarkah ada kejadian itu" Mengandal tampang Ang-hwat-
lo-co, seumpama betul mengetahui berita ini tentu takkan rela memberi tahu kepada orang
lain, betapapun dia takkan rela ada tokoh lain punya kepandaian yang lebih tinggi dari
kemampuan sendiri. Ang-hwat-lo-co melanjutkan, "Sudah tentu, seumpama kau berhasil bertemu dengan
beliau, belum tentu dia rela menyerahkan Wi-thian-cit-ciat-sek itu kepadamu, tapi selama
hidupnya belum pernah membunuh seorang pun, kau tak perlu takut dan takkan ada bahaya."
Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Hakikatnya dia tiada punya alasan harus
menyerahkan Wi-thian-chit-ciat-sek itu kepada aku, akupun tak perlu kesana!"
Ang-hwat-lo-co menyeringai dingin, katanya, "Apa kau mau mendapat Kiam-boh Wi-
thian-chiatchiit- ciat-sek itu?" Melihat sikap orang diam-diam Thian-hi mempertinggi kewaspadaannya, ia tahu
bahwa orang tengah mengatur tipu muslihatnya, sambil angkat alis ia menjawab, "Siapa yang
tidak mau?" Ang-hwat-lo-co manggut-manggut, katanya. "Itulah baik, sudah tentu aku punya
caraku sendiri supaya Kiam-boh Wi-thian-chit-ciat-sek itu dapat kau peroleh"
"Dengan cara apa?" tanya Thian-hi.
"Sudah tentu Ka-yap Cuncia tidak semudah itu sembarang menyerahkan Kiam-boh itu
kepada kau," demikian Ang-hwat-lo-co menerangkan, "Kau mohon dan minta2 juga percuma.
Kau tak perlu mengemis, berlakulah wajar supaya dia tidak tahu bahwa kedatanganmu justru
karena Withian- chit-ciat-sek itu, kalau, kau kesana kau harus pura-pura tidak kenal dengan
dia." Thian-hi tahu bahwa Ang-hwat-ho-co tengah mengatur tipu muslihatnya yang keji,
tapi ingin dia tahu dan menyelami tipu muslihat apa yang tengah dirancang ini, sehingga
dapat mencelakai seorang tokoh kosen seperti Ka-yap Cuncia yang dijunjung sebagai jago nomor satu
dari golongan Cing-pay. Kata Ang-hwat-lo-co menyambung, "Untuk orang lain sangat sukar, tapi bagi kau
adalah sangat mudah sekali!" "Sebetulnya bagaimana aku harus bekerja?" tanya Thian-hi pura-pura tak sabaran.
Ang-hwat-lo-co melanjutkan, "Kau pura-pura tidak mengenalnya, memang dengan
usiamu ini tidak mungkin mengenal dia! Jadi dia tidak merasa curiga dan berjaga-jaga
terhadap kau, lantas kau gunakan Hek-liong-ling sedikit dicampurkan ke dalam minuman tehnya sudah
cukup berlebihan." Bertaut alis Thian-hi, dia tidak tahu apakah Hek-liong-ling (sisik naga hitam)
itu, tapi dari nada perkataan Ang-hwat-lo-co, tentu merupakan suatu bisa yang sangat beracun, kalau
tidak mana mungkin sebagai tokoh nomor satu dari seluruh kolong langit ini begitu terkena
sedikit saja lantas bakal lumpuh dan kena dibereskan.
Ang-hwat-lo-co tertawa-tawa, ujarnya, "Mungkin kau tak percaya, tapi sisik naga


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam itu kutemukan di dalam gua ularku itu, walaupun seekor ular yang paling ganas dan
beracun juga tidak berani mendekat dalam jarak tiga kaki, begitu masuk kontan mati. Sekarang
aku sudah dapat menguasainya, jangan kata baru Ka-yap, seumpama dewata begitu tersentuh
oleh Hekliong- ling juga bakal pendek usianya."
"Itulah baik," kata Hun Thian-hi, "bolehkah aku melihatnya dulu?"
"Masa begitu gampang?" kata Ang-hwat-lo-co, "Pergilah ke selatan, akan
kulindungi kau secara sembunyi, sampai pada waktunya tentu akan kuajarkan cara bagaimana kau harus
bekerja." Hun Thian-hi termenung sebentar, akhirnya ia tertawa hambar tanpa bicara lagi.
Ooo)*(ooO Hun Thian!-hi sudah pergi, Su Giok-lan masih berdiri melengong, sungguh dia
menyesal orang macam Hun Thian-hi kenapa tadi tidak mau turun tangan saja" Keadaannya sudah
payah tentu dia kena dicandak dan diringkus oleh Ciang-ho-it-koay dan dibawa ke Bung-tong-san.
Kesana saja aku mengejarnya. Begitu menggentakkan kaki laksana batu meteor tubuhnya melenting
tinggi terus meluncur cepat ke arah gunung Bu-tong.
Belum lagi ia sampai di Bu-tong-san sudah mendengar bahwa Ciang-ho-it-koay
melarikan diri dengan luka-luka parah. Gwat Long dan Sing Poh kedua murid tunggal Giok-yap
Cinjin juga sekarat menderita luka-luka dalam yang sangat berat. Hun Thian-hi tinggal pergi
ikut Ang-hwat-loco. Su Giok-lan menjublek, sesaat ia menjadi bingung apa yang harus dilakukan
selanjutnya, Hun Thian-hi sudah pergi ikut Ang-hwat-lo-co, bagaimana ia harus bertindak" Bu-bing
Loni takkan memberi keringanan terhadap dirinya, pikir punya pikir dengan otak kusut dan
perasaan hampa ia melanjutkan ke depan. Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berjalan, tahu-tahu hari sudah
menjelang magrib. Jauh di depan sana kelihatan debu mengepul tinggi, puluhan kuda tunggangan
tengah membedal cepat mendatangi. Berjengkit alis Su Giok-lan, sembari membentak ia memapak maju
terus menghadang di tengah jalan.
Puluhan kuda itu tak hiraukan keselamatan Su Giok-lan, dengan kencang terus
menerjang tiba. Enteng sekali tubuh Su Giok-lan mencelat mumbul ke atas berbareng kedua tangan
bergerak lincah sekali, dalam sekejap mata ia berhasil memukul puluhan penunggang kuda
jatuh sungsang sumbel Waktu ditegasi puluhan orang itu mengenakan seragam merah, terang adalah anak
buah Partai Merah, tanpa merasa ia mendengus dingin. Dari depan sana mendatangi pula puluhan
kuda tunggangan, mengiringi tiga orang di tengah. Begitu melihat puluhan orangnya
malang melintang rebah di tanah, seorang gadis berdiri angker dengan galaknya mencegat jalan
segera ketiga orang itu menghentikan kudanya Sebetulnya kesalahan dipihak Su Giok-lan, serta tahu yang dihadapi adalah pihak
Partai Merah, rasa salah itu berubah menjadi rasa tuntutan yang mendesak. Sambil menyeringai
dingin ia amatamati ketiga penunggang yang terdepan.
Ketiga orang ini bukan lain adalah Pangcu Partai Merah Gi Ciok, serta Tio-hong-
ho dan Liong Lui. Enteng sekali Liong Lui bergerak melompat turun dari tunggangannya, dengan
muka kecut dingin ia awasi Su Giok-lan.
"Dimana Pangcu kalian?" tanya Giok-lan aseran.
Liong Lui mendengus ejek, "Kenapa harus Pangcu, aku sudah cukup!"
Di mulut Liong Lui bicara takabur, serta melihat puluhan anak buahnya yang
malang melintang tak bergerak itu, hatinya rada bercekat. Puluhan anak buahnya itu menerjang
dengan tunggangannya yang berlari kencang, namun dapat dirobohkan dalam sekejap mata,
ini betulbetul kejadian yang luar biasa, diam-diam ia menerawang, dirinya sendiri belum tentu
mampu berbuat begitu. Tahu dia bahwa dia tengah berhadapan dengan lawan berat. Tapi
belum pernah di kalangan Kangouw ada muncul seorang gadis macam ini, punya kepandaian silat
tinggi, entahlah kenapa dia bersikap bermusuhan terhadap kita.
Melihat Liong Lui yang maju, Su Giok-lan tersenyum dingin, tanyanya, "Siapa
kau?" "Thian-liong-kiam Liong Lui. Masa kau tidak kenal!" bentak Liong Lui gusar.
"Thian-mo-kiam?" seringai Giok-lan semakin menakutkan, "Baik! Cabutlah
pedangmu!" Liong Lui insaf lawannya ini tentu sukar dilayani, namun dengan kedudukan dan
ketenaran namanya masa harus mengambil keuntungan menghadapi musuh kecilnya ini, sesaat ia
menjadi ragu-ragu, tanyanya, "Sekali pukul kau dapat merobohkan puluhan anak buahku,
tentu hebat sekali ilmu silatmu, entah siapakah gurumu yang mulia?"
"Kau tidak punya hak untuk mengetahui!"
Liong Lui tertawa besar, serunya, "Entah gurumu tokoh kosen dari mana, aku Liong
Lui kiranya tak sembabat untuk mengetahui, terpaksa aku minta belajar kenal dengan muridnya
saja!" sembari berkata pelan-pelan ia melolos pedangnya.
Su Giok-lan pun telah mencabut pedangnya, sedikit tangan kanan mengayun, dengan
gaya Citiam- yan-hun tahu-tahu pedang panjangnya menutuk langsung ke arah Liong Lui.
Liong Lui angkat nama karena dia seorang ahli dalam permainan pedang, begitu
melihat jurus permulaan serangan Su Giok-lan ini bercekat hatinya. Kelihatannya Su Giok-lan
hanya seenaknya saja mengayun dan menusukkan pedangnya, namun tenaga yang terkandung diujung
pedang ternyata begitu kuat dan kokoh sekali, merupakan jurus tipu yang cukup ganas dan
keji. Lekaslekas Liong Lui menyilangkan pedang panjangnya lalu didorong kesamping.
Su Giok-lan maklum akan maksud tujuan lawan, mengandal Lwekang dan kepandaiannya
sekarang lawan sebangsa Thian-mo-kiam masa bisa menjadi tandingannya. Mengikuti
dorongan tenaga lawan ia pun menuntun pedang lawan berputar, seiring dengan gerak putaran
pedang kakinya pun ikut bergeser, lalu dengan jurus It-sian-heng-kang pedangnya
menyapu, miring, tampak selarik sinar pedang kemilau laksana bianglala melesat ke arah Liong Lui.
Kaget Liong Lui seperti disengat kala, gerak perubahan serangan Su Giok-lan
begitu cepat dan belum pernah diketemukan, insaf dia bahwa hari ini ia bakal terjungkal ditangan
musuh kecil ini, tersipu-sipu ia menyurut mundur serta menyampokkan pedangnya miring.
Gerak pedang Su Giok-lan berubah lagi, dari menyapu menjadi menutul, telak
sekali ujung pedangnya menusuk gagang pedang Liong Lui, kontan pedang panjang ditangan Liong
Lui tersontek terlepas dan mencelat jauh. Dengan ketakutan Liong Lui melompat
mundur, sambil menghardik ringan Su Giok-lan melejit mengejar, dimana kilasan pedangnya
bergerak, tahu-tahu kuping kiri Liong Lui kena terpapas jatuh di tanah.
Berubah hebat air muka Gi Ciok melihat kesudahan pertempuran singkat ini. Lekas-
lekas ia mencabut Thay-i-kiam yang tajam luar biasa itu. katanya sambil tertawa dingin
kepada Su Gioklan, "Akulah Pangcu Partai Merah, ada urusan apa kau cari aku?"
Su Giok-lan tertawa dingin, katanya, "Urusan sepele saja, hanya ingin minta
Badik buntung yang berada ditanganmu itu."
Beringas muka Gi Ciok, katanya tertawa besar, "Sombong benar-benar, mengandal
apa kau?" "Pedang ditanganmu itu juga harus kau tinggalkan!" Su Giok-lan mengancsm semakin
berani Dengan muka beringas dan kemarahan yang memuncak Gi Ciok berpikir, ia insaf
bahwa kemungkinan besar dirinya pun bukan tandingan Su Giok-lan, tapi masa harus unjuk
kelemahan" Segera ia memberi aba-aba kepada anak buahnya, puluhan anak buahnya segera
menyerbu, dia bersama Tio Hong-ho dan Liong Lui pun tidak ketinggalan merangsak dengan hebat
Terdengar Su Giok-lan melengking tertawa. tubuhnya tiba-tiba timbul terbang ke
tengah udara, kelihatan diujung pedangnya bergetar lalu berputar satu lingkaran melancarkan
jurus Heng-miliok- hap, begitu pedang bergerak berpetalah kuntum bunga yang menakjubkan dari sinar
gemerdep batang pedangnya, sekaligus menerpa ke arah puluhan penyerangnya.
Kontan terdengar jerit dan pekik kesakitan yang menyayatkan hati, sejurus
serangan ini sekaligus telah merobohkan enam orang. Keruan Gi Ciok kaget bukan main, insaf
dia kalau pertempuran dilanjutkan tentu tidak menguntungkan pihaknya. Sekonyong-konyong
teringat olehnya seorang tokoh kenamaan, macam Bu-bing Loni yang telah menerima murid
baru bernama Su Giok-lan, bukankah musuh yang dihadapi ini bernama Su Giok-lan, tanpa merasa
kuduknya berkeringat dingin, badan pun gemetar....
Cepat ia bertanya, "Apakah kau nona Su?"
"Benar-benar!" dengus Su Giok-lan.
Gi Ciok tertegun sebentar, katanya, "Nona Su, pamanmu adalah sahabat baikku...."
"Jangan singgung dia!" tukas Su Giok-lan aseran.
Teringat akan kekejaman Bu-bing Loni badan Gi Ciok semakin merinding, ia
menjublek ditempatnya, sungguh diluar tahunya bahwa hari ini ia bakal ketimpa malang
berhadapan dengan bintang iblis yang merugikan ini. Apa boleh buat akhirnya ia berkata, "Aku tak
tahu kau nona Su, kalau tahu siang-siang tentu sudah kuserahkan Badik buntung itu."
Su Giok-lan mandah tersenyum ejek, ia tahu Gi Ciok tentu takut akan Suhunya Bu-
bing. Bergegas Gi Ciok merogoh keluar Badik buntung lalu disodorkan kepada Su Giok-
lan. "Pedang panjang itu sekalian!" pinta Su Giok-lan.
Berubah pucat air muka Gi Ciok, mana bisa Thay-i-kiam diberikan orang" Kalau
TThay-i-kiam hilang, untuk selanjutnya jangan harap dirinya bisa bercokol pula dikalangan
Kangouw. Dengan sangsi ia mengawasi Su Giok-lan.
"Berikan tidak!" desak Su Giok-lan dengan nada mengancam.
"Entah keinginan gurumu atau kehendak nona Su sendiri?" tanya Gi Ciok
Su Giok-lan mendengus, pikirnya; mungkin orang ini tidak rela menyerahkan
pedangnya, maka dengan suara rendah ia berkata, "Apa pula bedanya?"
Gi Ciok mengeluh, katanya, "Pedang ini menyangkut jaya atau runtuh dari Partai
kita. Kalau gurumu yang meminta, sudah tentu aku tak banyak bicara, tapi kalau hanya
kehendak nona sendiri, aku mohon sukalah nona memberi sedikit kelonggaran."
"Apa-apaan sikapmu ini," jengek Su Giok-lan gusar, "Masa murid Bu-bing Loni mau
ditekan orang lain?" Mendengar Su Giok-lan menyinggung nama Bu-bing Loni, semakin kecut dan gemetar
badan Gi Ciok, kalau sampai membuat beliau gusar maka celakalah dirinya, cepat-cepat
dengan badan basah karena keringat dingin, ia tanggalkan pedangnya. dengan kedua tangan ia
angsurkan Thayi- kiam kepada Su Giok-lan, katanya, "Kalau nona Su memaksa, masa aku harus kikir
mengangkangi pedang ini."
Setelah menerima Badik buntung dan Thayj-i-kiam Su Giok-lan tak banyak bicara
lagi, dengan ulapan tangan ia suruh mereka tinggal pergi. Dengan murung dan rawan segera Gi
Ciok bawa anak buahnya berlari pergi. Menurut tujuannya semula ia hendak meningalkan
daerah Tionggoan secara diam-diam, sembunyi diri mencari dan menyelami rahasia Badik buntung,
sungguh diluar dugaannya ditengah jalan ia ketemu begal, semua harapan dan harta miliknya
menjadi ludes. Setelah rombongan musuh pergi jauh, lekas-lekas Su Giok-lan mengamati Badik
buntung serta menarik keluar sedikit Thay-i-kiam. Alisnya bertaut semakin dalam, kedua bilah
senjata merupakan benda pusaka yang ampuh, tapi apakah kedua pusaka ini bakal membantu dirinya"
Mungkin dengan Badik buntung itu ia dapat mengejar jejak Hun Thian-hi, tapi batas waktu
yang ditentukan sudah lewat, kalau tiga hari kemudian tidak ketemu, bagaimana sikap Bu-bing Loni
terhadap dirinya" Sungguh ia tidak berani membayangkan akibatnya, boleh dikata hatinya sangat
membenci Hun Thian-hi, kalau tidak Hun Thian-hi tentu riwayatnya takkan demikian sengsara dan
menderita baru sekarang ia sadar bahwa kepandaian silat takkan dapat merubah haluan hidupnya,
ilmu silat tiada bawa manfaat yang berguna bagi dirinya, sungguh rela rasanya hidup sederhana
dalam ketenangan jiwa yang aman sentosa tanpa mengarungi kilatan pedang dan genangan
darah, tapi apakah mungkin ia merubah haluan ke arah itu"
Demikian Su Giok-lan tenggelam dalam pikirannya, dengan napas berat ia menarik
hawa. Di tengah udara nan jauh sana lapat-lapat terdengar pekik nyaring burung dewata,


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdebar keras jantung Su Giok-lan, pikirnya; sekarang baru satu setengah hari, meski
sikap dan watak Bubing Loni sukar diraba, tapi setiap kata-katanya selamanya tak pernah diubah.
Kejap lain, pelan-pelan burung dewata meluncur turun dan hinggap di tanah,
pelan-pelan Ham Gwat melorot turun di hadapannya.
Diam-diam bergidik sanubari Su Giok-lan, kuduknya sampai merinding, dia jauh
lebih takut terhadap Sucinya ini dari pada Suhunya Bu-bing Loni, kalau tiada urusan
selamanya Ham Gwat tak pernah bicara dengan dia, menurut penglihatannya, ilmu silat Sucinya ini tidak
berbeda jauh dari kemampuan Bubing Loni sendiri, tapi setiap kali ia bicara wibawanya seolah-olah
lebih angker dari Bu-bing Loni, raut mukanya selalu wajar dan tak pernah berubah, senang atau duka
tak pernah terunjuk pada air mukanya.
Sekarang Ham Gwat berdiri di hadapannya, hampir saja ia susah bernapas. Dengan
mendelong ia awasi Ham Gwat, dengan pandangan bening Ham Gwat menatap dia, katanya, "Suhu
sudah setuju untuk tidak menarik panjang urusanmu. Tapi kau harus segera kembali dan
menghadap dinding setengah tahun untuk menyelami pelajaran Hui-sim-kiam-hoat!"
Dengan membelalak Su Giok-lan mengawasi Ham Gwat, hampir ia tidak percaya akan
pendengarannya. Dia tahu bahwa Bu-bing Loni selamanya tak pernah menjilat ludahnya kembali, tapi
kenapa kali ini ia merubah putusannya" Mendadak ia seperti sadar, dengan suara haru ia
berteriak, "Suci!"
kata-kata selanjutnya tak kuasa diucapkan.
Rada lama Ham Gwat berdiam diri, akhirnya ia membuka kesunyian, katanya,
"Sumoay! Sikapmu itu tidaklah salah!"
Dengan memicingkan mata Su Giok-lan menatap Ham Gwat, meski ia tidak melihat
suatu expresi di wajah Ham Gwat, tapi seolah-olah ia telah menemukan wajah lain dari
Ham Gwat. Dari sorot mata Ham Gwat yang bening itu terasakan perasaan welas asih yang agung, di
dalam kenangan batinnya, hanya ibunya dulu yang pernah memandangnya dengan sorot
pandangan begitu. Tiba-tiba ia merasa betapa welas asih dan suci perasaan Ham Gwat itu, begitu
agung dan mengesankan, mendadak Su Giok-lan merasa heran, seolah-olah sekarang dia tidak
begitu takut lagi terhadap Ham Gwat seperti dulu. Tiada jurang pemisah lagi antara ia dan Ham
Gwat, akhirnya tercetus perkataan dari mulutnya, "Suci, katamu aku tidak salah?"
Kata Ham Gwat lirih, "Apa tidak betul" Dia kan tidak punya kesalahan terhadap
kau, bermula ia tidak membunuh Kim-i Kongcu Leng Bu karena sebelumnya dia sudah berjanji kepada
Soat-sansu- gou kalau tidak dalam keadaan yang memaksa dia tidak akan lancarkan jurus ganas
itu." Su Giok-lan mengiakan dengan menyesal, terasa olehnya dari nada orang bahwa Ham
Gwat rada membela kepada Hun Thian-hi. Dia heran, Hun Thian-hi telah pergi ikut Ang-
hwat-lo-co, Anghwat- lo-co adalah musuh besar pembunuh ayah Ham Gwat, sebaliknya sekarang Ham Gwat
bicara membela kebenar-benaran bagi Hun Thian-hi.
Terpikir sampai disini tak kuasa ia lantas bertanya, "Tapi sekarang Hun Thian-hi
telah pergi ikut Ang-hwat-lo-mo!" Ham Gwat menunduk tanpa bicara. Mendadak Su Giok-lan teringat sesuatu, jelas
sekali kalau Ham Gwat telah mintakan belas kasihan terhadap Suhunya, tapi apakah Bu-bing Loni
betul-betul begitu gampang mau melulusinya" Tersipu-sipu ia bertanya lagi, "Suci! Urusan apa
yang telah kau janjikan kepada Suhu?"
Setelah merenung sebentar Ham Gwat berkata, "Bukan soal apa, aku berkata kalau
kau toh tidak mau turun tangan, biarlah aku saja yang membunuhnya, dalam jangka satu
bulan setelah perjanjian satu tahun lewat aku akan membawa batok kepala Hun Thian-hi."
Su Giok-lan berseru tertahan, pelan-pelan ia tunduk tak buka suara lagi,
pikirnya, kiranya begitu perkembangan selanjutnya, entah apa maksud Ham Gwat menceritakan duduk
perkara sebenar-benarnya tadi, apa mungkin ada sebab lain yang lebih istimewa"
Kata Ham Gwat kepada Su Giok-lan, "Sumoay! Jangan banyak pikir lagi, mari kita
pulang!" Su Giok-lan angkat kepala, dilihatnya wajah Ham Gwat tetap tidak menunjukkan
mimik perubahan, tapi dari biji mata yang besar hitam dan bening itu terasa olehnya
rasa prihatin dan kasih sayang Ham Gwat terhadap dirinya.
Pelan-pelan ia menghela napas lega, ia tertawa dibuat-buat, bersama Ham Gwat ia
naik ke punggung burung dewata terus menghilang di balik awan.
Ooo)*(ooO Melihat Ang-hwat-lo-co tinggal pergi, Hun Thian-hi lantas tenggelam dalam
renungannya, ia berpikir; 'kau suruh aku ke Thian-lam, apakah tidak bergurau dengan aku, sudah
mending kalau ayah Kim-i Kongcu Leng Bu tidak meluruk ke Tionggoan mencari aku, masa aku harus
kesana malahan, bukankah masuk kemulut harimau malah"'
Lalu terpikir pula olehnya; Tiang-pek-san aku tidak perlu kesana, melawan Ang-
hwat-lo-co saja Ciang-ho-it-koay tidak unggulan, palagi melawan Bu-bing Loni" Tentu Ce-han-it-ki
juga tidak lebih unggul dari kemampuan Ciang-ho-it-koay, sia-sialah kalau aku kesana....
Mendadak terbayang dalam pikiran Thian-hi akan Sam-kong Lama, entah bagaimana
keadaannya sekarang, Sin-giok-ling berada ditangannya, sejak ia pulang ke tanah
barat apakah Bu-bing Loni pernah meluruk ke tempat kediamannya. Apalagi dia pernah berkata
bahwa orang aneh berkepandaian tinggi dikolong langit ini bukan Bu-bing Loni melulu, jelas
bahwa tentu dia mengetahui ada orang aneh lainnya yang berkepandaian tinggi juga, kalau aku
kesana mencari dia, mungkin dia punya cara untuk menolong aku.
Diam-diam Thian-hi ambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan kebarat laut,
tapi Ang-hwatlo- co pernah berkata akan melindungi dirinya secara sembunyi, bukankah ini berarti
secara diamdiam hendak mengawasi setiap gerak geriknya" Untuk membebaskan diri dari kejaran dan
pengawasan Ang-hwab-lo co ini sungguh tidak gampang.
Dia termenung memikirkan daya cara bagaimana ia meloloskan diri dari pengawasan
Ang-hwatlo- co. Demikianlah ia berjalan terus mengikuti langkahnya, tiba-tiba dilihatnya tak
jauh di depan sana terdapat sebuah gua besar selebar setombak lebih, terkilas suatu pikiran
dalam benaknya, segera ia kembangkan Ginkang terus melesat masuk ke dalam gua itu.
Setelah berada di dalam gua, Thian-hi mendapatkan gua itu lekak-lekuk tak
merata, hatinya menjadi girang, inilah tempat yang memang diinginkan, beruntun ia berkelebat
semakin ke dalam berusaha mencari jalan keluar dari arah lain.
Setelah ubek2an sekian lamanya, Thian-hi rada kecewa, selain celah-celah batu
yang rada sempit tiada jalan lain untuk keluar dari gua ini. Terpaksa Thian-hi mencari
salah satu celah rada besar lalu masuk kesana dan sembunyi disitu, untung tempat itu cukup kering,
disana ia mulai duduk bersila bersamadi menenangkan pikiran dan menghimpun tenaga.
Tanpa terasa samadinya itu memakan waktu satu hari lamanya, betul juga sesuai
dengan dugaan semula, tiba-tiba terdengar dengusan napas berat seseorang memasuki gua
itu. Diamdiam Thian-hi membatin, "Tentu Ang-hwa-lo-co telah datang!"
Memang begitu melihat Hun Thian-hi memasuki gua Ang-hwat-lo-co lantas berputar
di tempat sekitarnya untuk memeriksa apakah gua ini punya jalan keluar lainnya. Setelah
melihat kenyataan baru dengan lega hati ia balik dan menunggu dengan sabar di dalam hutan.
Tetapi tunggu punya tunggu setelah satu hari satu malam masih belum kelihatan
Thian-hi keluar, ia menjadi curiga dan membatin, "mungkin gua ini menembus ke tempat
jauh, kalau gua ini panjang tentu Hun Thian-hi sudah pergi jauh, sekarang juga aku masuk dan
mengejar kesana tentu dapat kejandak."
Begitu dia sampai di dalam gerak geriknya sangat cekatan, melesat kesana
melenting kesini, tapi setengah harian sudah ia ubek2 di dalam gua tiada sebuah jalan lain pun
yang menembus keluar, tanpa merasa ia mendengus gusar, pikirnya: Hun Thian-hi sibocah keparat
itu tengah bermain sandiwara apa. Lalu dengan ketajaman matanya pelan-pelan ia menjelajah
seluruh pelosok gua, tapi tidak kelihatan bayangan Hun Thian-hi. Tiba-tiba tergerak
pikirannya, segera ia membuka suara, "Hun Thian-hi, lekas keluar! Aku sudah melihatmu!"
Mendengar Ang-hwat-lo-co berkaok2, Hun Thian-hi mengumpat dalam hati, kalau aku
melongok keluar bukanlah terjebak ke dalam akal muslihatmu malah.
Beruntun Ang-hwat-lo-co berteriak dua kali, tanpa mendapat reaksi, hatinya
menjadi gusar dan memaki, "Bocah keparat yang licik!"
Bab 10 Dia diam berdiri sekian saat, mendadak ia berkata dalam hati; mungkin Hun Thian-
hi sudah bolos pergi, kalau tidak masa begitu sabar dia mau menunggu begitu lama. Tanpa
merasa Anghwat- lo-co menjadi gelisah, batinnya; Hun Thian-hi lolos pergi sih tidak menjadi soal
yang penting adalah jangan sampai berita tentang Wi-thian-chit-ciat-sek itu tersiar luas
dikalangan Kangouw, atau sebaliknya harapan dirinya menjadi kosong belaka.
Terpikir sampai disini, tiba-tiba batinnya berkata; mungkin disaat aku pergi
memeriksa tadi dia lantas kabur" Kalau Hun Thian-hi betul-betul berniat melarikan diri, begitu aku
tinggal pergi, setelah dia masuk gua lantas keluar pula dan melarikan diri, bebas dari
pengawasanku. Semakin dipikir Ang-hwat-lo-co menjadi gopoh, pikirnya; berapa jauh dapat kau
tempuh perjalanan selama satu hari ini, betapapun akan dapat meringkusmu kembali. Tanpa
banyak pikir lagi segera ia melesat keluar gua.
Dengan hati-hati dan waspada Thian-hi memasang kuping, setelah rada lama tak
mendengar suara apa-apa, tapi masih kuatir Ang-hwat-lo-co belum pergi, betapapun dia tak
berani melongok keluar. Setengah jam kemudian baru ia berani mengintip dari celah-celah batu, melihat
tiada kebayangan Ang-hwat-lo-co, baru ia menghela napas lega.
Thian-hi lantas berpikir, tentu Ang-hwat-lo-co tengah mengejar jejaknya,
beberapa hari ini aku harus selalu waspada dan hati-hati. Akhirnya dia sembunyi lagi digua yang lain
selama suatu hari. Hari ke tiga baru ia berani keluar terus melanjutkan ke arah utara, sepanjang
perjalanan ini dia tidak berani melalui kota2 besar, jalan yang ditempuh adalah alas pegunungan
atau jalan kampung yang jarang dilewati manusia.
Tiga hari kemudian tibalah dia di tempat gurun pasir yang terbentang luas
memanjang tak berujung pangkal. Segera ia keprak kudanya terus melanjutkan keutara.
Tempat kediaman Sam-kong Lama di Kwan - gwa, hampir tiada seorangpun yang tidak
kenal akan ketenaran nama Sam-kong lama diluar perbatasan ini, maka sekali mencari
tahu, segera ia diberi tunjuk alamatnya. Setelah lohor Thian-hi membelokkan kudanya ke arah
barat langsung menuju kuil Bu-la. Cuaca sudah hampir gelap, sang surja sudah hampir tenggelam sejajar dengan garis
cakrawala. Tapi selepas pandang ke depan keadaan sekeliling sepi tiada kelihatan bayangan
orang atau barang makhluk hidup lainnya. Hati Thian-hi menjadi gelisah dan gugup.
Tak lama kemudian dari kejauhan tampak debu mengepul tinggi memanjang tertiup
angin, dua ekor kuda dicongklang kencang lewat disampngnya, sekilas pandang saja lantas
Thian,hi tahu bahwa mereka adalah kaum persilatan. Thian-hi menjadi girang, melihat ada orang
di daerah gurun yang sepi ini, tentu tak jauh di depan sana ada perumahan rakjat.
Segera ia tepuk-tepuk perut kuda lalu membedalnya ke depan.
Tiba-tiba kedua kuda tunggangan tadi putar balik, terdengar seorang membentak,
"Berhenti!" Thian-hi melengak, hatinya rada berang, pikirnya, "Aku tidak berbuat salah
terhadap kalian, tanpa sebab kenapa kalian suruh aku berhenti" Ingin kulihat orang gagah macam
apa kalian ini." Karena pikirannya terakhir ini segera ia menarik tali kendali menghentikan
tunggangannya lalu berpaling. Kedua orang ini bertubuh tinggi kekar dan kurus kering, orang yang bertubuh
kekar itu memelihara jambang bauk diselebar mukanya, melihat Thian-hi menghentikan
kudanya, segera ia membentak pula, "Bocah, kemana kau hendak pergi?"


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa pedulimu?" dalam batin Thian-hi memaki, namun dimulut ia berkata, "Entah
untuk keperluan apa kalian tanya soal ini?"
Laki-laki kekar itu menjadi gusar, hardiknya, "Toaya tanya kau berani kau tidak
jawab?" Thian-hi mendengus jengkel, tapi terpikir olehnya bahwa seluruh kaum persilatan
tengah mengejar jejaknya, sampai sekarang dirinya masih dapat menyembunyikan jejak,
jangan sampai kelak menimbulkan kesukaran bagi Sam-kong Lama. Segera ia berkata: .Kulihat
kalian datang dari depan, kukira disana tentu ada rumah tinggal, maka aku hendak kesana untuk minta
nginap semalam." Kedua orang itu mendengus bersama, saling pandang sekali lalu berkata, "Disana
pun tiada orang tinggal, kesana pun tiada gunanya, di daerah sini jangan kau main ugal2an
membedal kuda seenak udel kau sendiri, kalau sampai membuat marah Loyamu, awas jiwa kecilmu!"
Hati Thian-hi menjadi marah, dengan mendelik ia pandang kedua orang itu tanpa
bicara. Laki-laki kurus itu segera melengking berkata, "Keparat, agaknya kau tidak
terima, ya!" - Kudanya dimajukan ke depan.
Thian-hi mengangkat alis, kudanya diputar terus hendak tinggal pergi.
"Tunggu sebentar!" sentak laki-laki kurus itu, "Loyamu memberi kelonggaran
kepadamu, kelihatan kau tidak senang malah main delik segala!"
Amarah Thian-hi sudah memuncak, tapi dia selalu prihatin tak suka menimbulkan
keributan maka tidak mengumbar adatnya, namun melihat kedua orang ini terlalu kurang ajar
dia menjadi gusar dan menjengek, katanya, "Nama kalian berdua...."
Laki-laki kekar itu keprak kudanya, telapak tangannya melayang terus mengepruk
kemuka Thian-hi sambil memaki, "Keparat yang tidak tahu diuntung, berani kau mencari
tahu nama kebesaran loyamu!" Mulut Thian-hi mengejek hrih, tangan kanan diangkat, tiga jarinya mencengkeram
dan memuntir, telak sekali ia pegang pergelangan tangan laki-laki kekar itu terus
diabitkan kesamping, kontan laki-laki kekar itu terjungkal roboh di atas pasir.
Melihat kawan sendiri kecundang begitu gampang, laki-laki kurus itu segera
melolos golok, kuda ditarik mundur, dari gebrak pertama ini baru dia tahu bahwa Thian-hi bukan
sembarang orang yang gampang dibuat permainan.
Thian-hi berludah, dia tidak mau menarik panjang urusan, segera ia putar kuda
tinggal pergi. Laki-laki kekar itu bergulingan di tanah, hatinya menjadi berang, melihat Thian-
hi hendak pergi segera ia memburu maju sembari membentak, sekali lompat ia menubruk ke arah
Thian-hi. Thian-hi lecut kudanya ke depan, keruan laki-laki kekar itu menubruk tempat
kosong. Dari sebelah samping sana mendatangi seekor kuda putih, seorang gadis mengenakan
cadar putih menyungging pedang mendatangi dengan cepat, begitu tiba ia melirik kepada
kedua laki-laki itu, lalu mengamati Thian-hi sebentar tiba-tiba ia bertanya, "Apakah kau Hun
Thian-hi?" Tergetar hati Thian-hi, pikirnya, "Heran! Orang daerah sinipun sudah tahu
namaku, mungkin Sam-kong Lama juga sudah mengetahui pula akan persoalanku. Sesaat ia menjaj
terlongong tak tahu cara bagaimana harus menjawab, jejaknya sudah konangan lebih baik aku
membedal kuda melanjutkan perjalanan secepat mungkin. Segera ia putar kuda terus dibedal
sekencang angin. Baru setengah li kemudian, terdengar di belakangnya derap langkah kuda yang
cepat semakin mendatangi, kiranya kuda putih itu telah mengejar semakin dekat bagai angin
terbang. Thian-hi rada kejut, waktu ia berpaling dilihatnya derap langkah kaki kuda putih
itu begitu kencang dan kokoh kuat lagi, tahu dia bahwa kekuatan kuda tunggangan sendiri
terang takkan unggulan, jelas tak mungkin dapat meloloskan diri, terpaksa ia hentikan lari
kudanya. Lincah sekali gadis itu kendalikan kudanya melintang menghadang di depan Thian-
hi, sambil tertawa ringan ia berkata, "Kenapa begitu melihat aku lantas lari, kami tiada
niat berbuat sesuatu yang bakal merugikan kau. Kedua orang tadi adalah anak buah Thian-san-siang-
long. tapi sudah kubereskan supaya tutup mulut, legakan hatimu aku tidak akan mencelakai kau."
Thian-hi menjadi bergidik merinding, sungguh ia hampir tak percaya gadis aju
dihadapannya ini ternyata begitu kejam dan telengas.
Gadis itu mengerut kening, katanya, "Kenapa kau, badan kurang segar" Kukira kau
takkan ketakutan begitu rupa!"
"Harap tanya siapakah nama kebesaran Lihiap, apakah aku dapat tahu?" tanya
Thian-hi. Gadis itu tertawa-tawa, katanya cekikikan, "Legakan saja hatimu, kau bejat aku
pun tidak baik!" Hun Thian-hi menunduk, diam-diam ia menghela napas rawan, kata-kata sigadis
sangat meresap dalam sanubarinya, mungkin di seluruh kolong langit ini tiada seorang
pun yang menganggap dirinya orang baik.
Melihat sikap Thian-hi yang murung itu, sigadis menjadi heran, tanyanya, "Kenapa
kau" Apa badanmu sakit" Melihat sikapmu ini aku menjadi heran mengapa kau diberi nama
julukan Lengbin- mo-sim dikalangan Kangouw!"
Thian-hi tercengang, mulutnya menggumam, "Leng-bin-mo-sim?"
"Kenapa" Masa kau sendiri belum tahu?" olok sigadis dengan cekikikan, "Leng-bin-
mo-sin Hun Thian-hi, sekarang sudah terkenal di seluruh dunia, begitu cepat kau angkat
nama, sungguh membuat orang sangat kagum dan ngiler."
Pedih perasaan Thian-hi seperti ditusuk sembilu, ia tunduk semakin dalam, tiba-
tiba kedua kakinya menjepit perut kuda keras-keras, tunggangannya bebenger panjang
kesakitan terus membedal kabur sekeras-kerasnya.
Otak Hun Thian-hi merasa pepat pikiran menjadi gelap, tahu dia bahwa dirinya
sudah tamat dan tak mungkin bangkit kembali sebagai orang yang terpandang baik. Leng-bin-mo-
sin (muka dingin berhati iblis), sungguh julukan ini sukar diterima oleh lubuk hatinya"
Apakah ada muka untuk menjumpai Sam-kong Lama" Apakah tidak malu mengecewakan Lam-siau Kongsun
Hong yang telah merawat dan membesarkan dirinya" Demikian juga terhadap ayah bunda
yang telah dialam baka, dapatkah dirinya memberi pertanggungan jawab yang setimpal" Sungguh
ia tidak berani memikirkan lebih lanjut....
Mendadak tunggangannya meringkjk panjang dan berloncatan. Thian-hi tersentak
dari lamunannya, ia menjadi sadar waktu tunggangannya sudah menanjak naik ke atas
sebuah ngarai, karena jalan licin kakinya terpeleset dan terperosot hampir masuk jurang.
Thian-hi menjadi tertegun mematung, tak terpikir olehnya untuk mengerahkan
tenaga melompat menyelamatkan diri.
Terdengar seruan tertahan dibelakangnya, sebuah bayangan hijau melesat secepat
kilat tahutahu sebuah tangan mencengkeram baju kuduknya terus melempar dirinya ke atas sebuah
batu menonjol di Ngarai sebelah samping. Orang itu jumpalitan tiga kali ditengah
udara, dimana kedua lengannya tergetar berkembang bagai burung terbang tubuhnya mencelat naik dan
persis benarbenar hinggap di atas ngarai. Melihat yang menolong jiwanya adalah gadis bercadar hijau itu, Thian-hi menghala
napas, katanya kepada gadis itu, "Terima kasih!"
"Kenapakah kau tadi?" goda sigadis tertawa cekikikan, "Mendengar julukan Leng-
bin-mo-sin lantas kau lari, apa kau tidak senang akan julukan ini?"
Dengan rasa hambar Thian-hi pandang gadis di depannya, tak tabu cara bagaimana
ia harus memberi penjedasan. Gadis itu tertawa lagi, katanya, "Kau tak perlu takut padaku, namaku mungkin kau
pun sudah tahu, aku bernama Giok-bin-hwi-hou Sutouw Ci-ko!"
Thian-hi manggut, dia belum pernah dengar nama ini, tapi mungkinkah ia prihatin
pada orang lain" Sejenak ia berdiam diri, lalu katanya, "Terima kaS5h Sutouw Lihiap,
kupikir aku segera harus berangkat!" "Kemana kau hendak pergi?" tanya Sutouw Ci-ko.
Thian-hi menerawang; naga-naganya aku tak bisa ke tempat Sam kong Lama lagi.
kemana aku harus pergi" "Sebetulnya aku malah kagum terhadapmu," terdengar Sutouw Ci-ko berkata sungguh,
"Kalau kau sudi mari kita ikat persahabatan bagaimana?"
Melihat sikap Sutouw Ci-ko begitu polos dan jujur Thian-hi menjadi cerah
wajahnya, katanya tertawa, "Apa-apaan ucapanmu ini, kau adalah penolong jiwaku bukan" Kalau bukan
pertolonganmu tadi mungkin aku sudah terbanting hancur di bawah sana!"
"Tak perlu sungkan," ujar Sutouw Ci-ko. "Sungguh heran, sedikit pun aku tidak
melihat dimana letak kebuasan dari kedinginanmu, kenapa kau bisa begitu gapah tangan dan
berhati keji." Hun Thian-hi tertawa getir, tak tahu dia bagaimana harus memberi jawaban.
Selanjutnya Sutouw Ci-ko berkata lagi, "Maaf! Tidak seharusnya aku tanya hal ini
kepadamu, aku hanya merasa. heran saja!"
Hun Thian-hi tertawa dibuat-buat.
Kata Sutouw Ci-ko lagi, "Kalau kau hendak sembunyi aku punya suatu tempat yang
tak mungkin didatangi orang lain. Hanya aku seorang yang tahu tempat itu. Bu-tong-
pay sudah menyebar Bu-lim-tiap, bermula Siau-lim-si tidak ikut, tapi begitu kedua murid
Giok-yap Cinjin mati, Sute Thian-cwan Taysu yang sekarang menjabat Siau-lim Ciangbungjin Te-ciat Taysu
turun gunung sendiri untuk mengurus persoalan ini. Sampai di ujung langit pun kau akan
dikejar sampai dapat, kalau kau sembarangan ngelajap ke-mana-mana tentu berbahaya!"
Mulut Han Thian-hi mengiakan, tahu dia bahwa Thian-cwan Taysu sekarang pun sudah
tidak percaya lagi kepada dirinya, mungkin beliau pun merasa sayang dan gegetun telah
melepas dirinya tempo hari. Diempat penjuru musuh kuat tersebar luas, tapi Sutouw Ci-ko di hadapannya ini
justru mengagumi dirinya, ini betul-betul sungguh menggelikan.
"Aih, kenapa kau" Mau ikut aku saja!" ajak Sutouw Ci-ko.
Melihat Su-touw Ci-to begitu supel, Thian-hi menjadi tertarik dan tertawa-tawa,
memang tiada tujuan yang hendak dituju terpaksa ia menyahut, "Terima kasih Sutouw-lihiap!
Entah dimanakah tempat itu?" "Mari kau ikut aku, tak jauh dari sini," kata Sutouw Ci-ko lalu menuntun kuda
putihnya. Hun Thian-hi mengekor di belakang Sutouw Ci-ko terus maju ke depan, dalam hati
diam-diam ia mereka siapakah sebenar-benarnya Sutouw Ci-to ini, melihat sikapnya begitu
baik terhadap dirinya, dia sendiri mengatakan dia bukan orang baik, tapi tidak kelihatan di
mana ada kejelekannya. Sembari berjalan Sutouw Ci-ko berkata, "Kuajak kau ke sana, setelah tiba tentu
kau akan senang tinggal di tempat itu."
Sambil mengiakan pikiran Thian-hi melayang ke urusan lain, dia sendiri sampai
tak tahu jawaban apa yang telah diberikan tadi.
Sutouw Ci-ko berpaling, tawanya semakin lincah, tanyanya, "Kenapa eh" Apa yang
tengah kau pikirkan?" "O, tidak apa-apa," jawab Thian-hi gelagapan.
Sutouw Ci-ko mengamati mukanya, sesaat baru berkata, "Kau memang sangat
menyenangkan, aku menjadi kurang percaya bahwa kau punya kepandaian begitu tinggi, coba lihat
sikapmu yang rada linglung ini." Melihat orang selalu menyinggung persoalan itu Thian-hi rada tak senang, namun
betapapun orang telah menyelamatkan jiwanya, tak enak rasanya bertingkah kasar, terpaksa
ia bicara, "Sutouw-lihiap, kapan baru kita sampai disana?"
"Sebentar lagi! Itu di depan segera sampai!"
Begitulah mereka melanjutkan terus ke depan, setelah membelok di kaki gunung
terlihat di depan sana terbentang sebuah gua besar setinggi dua tombak. Sutouw Ci-ko
menuntun kudanya terus berjalan masuk, Thian-hi mengintil terus di belakang, setelah belok
beberapa kali hadapan mereka tiba-tiba terbentang lebar, selayang pandang rumput hijau dan bunga2 liar
tersebar luas laksana permadani, di tengah di depan sana terdapat sebuah kolam yang jernih
airnya.

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hun Thian-hi menyedot hawa segar, batinnya, "Tempat ini betul-betul sangat
menyenangkan." Sambil tersenyum simpul Sutouw Ci-ko bertanya, "Apakah kau senang tempat ini?"
Thian-hi manggut-manggut, sungguh girang bukan main hampir tak kuasa ia bicara,
rada lama kemudian baru berkata, "Aku sungguh sangat senang."
Sutouw Ci-ko terpingkal-pingkal sambil berlari ke pinggir kolam, pelan-pelan ia
tanggalkan cadar yang menutupi mukanya. Pandangan Thian-hi menjadi terang, sesaat ia
menjadi terbelalak, ternyata Sutouw Ci-ko adalah seorang gadis rupawan yang cantik jelita.
Setelah menanggalkan cadarnya Sutouw Ci-ko duduk di pinggir kolam, kepalanya
mendongak terlongong memandang puncak di depan nan jauh di sana. Diam-diam Thian-hi
memperhatikan tingkah laku orang, sejak tadi ia merasa orang berwatak polos dan lincah, tapi
sekarang seperti tengah dirundung kesusahan dan murung.
Thian-hi dapat menyelami perasaan orang maka dia tidak akan mengganggu
ketenangan orang melayangkan pikirannya, pelan-pelan ia mundur dan keluar lagi dari gua itu,
pelan-pelan ia berjalan goyang gontai ke arah bawah.
Dia celingukan ke kanan-kiri, memikirkan akan diri sendiri, bagaimana aku harus
membawa diri selanjutnya" Tak mungkin aku sembunyi di tempat ini selama hidup! Tionggoan
tengah bergolak, seluruh aliran dan golongan persilatan disana tengah mengejar dan mencari
jejaknya aku tak mungkin pulang ke sana. Begitulah berjalan sambil melayangkan pikiran, tak diketahui sudah berapa lama
ia berjalan, tiba-tiba didengarnya langkah kuda berlari mendatangi, seorang laki-laki kurus
pertengahan umur mendatangi, begitu melihat Thian-hi, orang itu lantas mendengus dingin.
Thian-hi angkat kepala, melihat orang yang tidak dikenal, ia melanjutkan ke
depan. Sepintas pandang orang itu tahu bahwa Thian-hi bukan sembarang orang, segera ia
menjengek dingin, "Siapa kau! Dua anak buahku dibunuh orang, apa kau tahu siapa.
pembunuhnya?" Bermula hati Thian-hi menjadi was-was menyangka utusan dari Tionggoan yang
menyirapi jejaknya, serta mendengar pertanyaan orang baru ia sadar bahwa yang dihadapi ini adalah
salah satu dari Thian-san-siang-long (dua serigala dari Thian-san), sejenak ia pandang
orang itu tanpa buka suara. "Kutanya kau, apa kau tidak dengar?" sentak orang itu jengkel.
Bertaut alis Thian-hi, tanyanya, "Harap tanya tuan ini...."
Melihat Thian-hi tidak menjavvab malah balas bertanya orang itu menjadi naik
darah, sambil menggerung dia melolos rujung beruas dari pinggangnya terus melecut kepada
Thian-hi. Thian-hi mengegos ke samping menghindar, dia pun menggeram gusar, sungguh liar
dan tak tahu aturan benar-benar orang ini. Orang berkepandaian silat tinggi sudah banyak
yang kulayani, masa kubiarkan kau bertingkah dihadapanku" Demikian pikirnya dalam hati.
Melihat Thian-hi berhasil lolos dari serangan rujungnya, tangkas sekali orang
itu melejit tinggi dari tunggangannya, dimana tangan bergerak rujungnya lagi-lagi menyamber ke arah
Thian-hi. Cepat-cepat Thian-hi menyurut mundur, mendapat angin orang itu beruntun
lancarkan sapuan rujungnya menerpa dengan kekuatan dahsyat sehingga Thian-hi main mundur lagi.
Terdengar ia menghardik sekali, tiba-tiba tubuhnya selicin belut mendak kebawah terus
menubruk maju menjotos berbareng sebelah tangan yang lain meraih ke samping memotes sebatang
dahan pohon. Belum sempat Thian-hi gunakan dahan pohon sebagai senjata untuk menyerang,
Sutouw Ci-ko keburu datang mencongklang kudanya, belum lagi tiba, tubuhnya sudah meluncur
ditengah udara, pedangnya bergetar menusuk ke tengkuk orang itu.
Orang itu melompat menyingkir, melihat kehadiran Sutouw Ci-ko berubah air
mukanya. Kata Sutouw Ci-ko dingin, "Ih Seng! Selamanya kita seumpama air sungai tidak
menyalahi air sumur, orang ini adalah sahabatku, kenapa kau datang menganiaja orangku?"
Laki-laki ini adalah salah satu Thian-san-siang-long Ih Seng berjuluk Ceng-bin-
long (serigala muka hijau), katanya, "Kiranya dia sahabatmu, sungguh aku kurang adat. Dua anak
buahku dibunuh orang...." Sutouw Ci-ko menarik muka, katanya merengur, "Mereka bermulut kotor dan berani
kurang ajar terhadap aku. Akulah yang bunuh mereka."
Ih Seng rada tercengang, katanya, "Anak buahku semua kenal kau, mungkin...."
sebentar ia merandek lalu melanjutkan, "Kalau begitu, apa boleh buat, selamat bertemu!" -
Memutar kuda lalu mencongKlang pergi dengan buru-buru.
Hun Thian-hi berpaling ke arah Sutouw Ci-ko, katanya tertawa pahit, "Kau
menolong aku lagi...." "Justru kaulah yang menolong dia!" tukas Sutouw Ci-ko menggoda.
Hun Thian-hi menjadi kikuk dan risi, mulutnya bungkam.
"Bagaimana?" ujar Sutouw Ci-ko tertawa ringan, "Agaknya kau punya gangjalan hati
ya?" Thian-hi menunduk tanpa bersuara.
"Bisakah kau ceritakan kepadaku?" tanya Sutouw Ci-ko dengan suara halus.
Thian-hi tersenyum, senggaknya, "Sutouw-lihiap, kulihat kau sendiri juga punya
janggalan hati bukan?" Sutouw Ci-ko angkat alis, katanya, "Untuk waktu dekat mungkin Ih Seng takkan
tahu kau Hun Thian-hi adanya, tapi cepat atau lambat akhirnya dia pasti akan tahu. Lebih baik
mari Kita lekas kembali." Thian-hi mnanggut2 dengan tersenyum bersama Sutouw Ci-ko mereka kembali ke dalam
gua itu. Sekian lama, mereka berdiam diri duduk dipinggir kolam, mereka tenggelam
dalam pikiran masing-masing. Sekonyong-konyong Sutouw Ci-ko angkat kepala, tanyanya kepada Hun Thian-hi,
"Apakah kau merasa tempat ini baik?"
Hun Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia membatin; 'Bukankah tadi sudah
kukatakan" Apa maksud pertanyaan ini"'
Hening sejenak, Sutouw Ci-ko membuka suara lagi, "Masih ada seorang lagi yang
mengetahui tempat ini. Tapi mungkin dia selamanya takkan datang kemari lagi!"
Lapat-lapat Thian-hi dapat menebak kemana juntrungan kata-kata ini, katanya
tertawa, "Sutouw-lihiap, kalau aku dapat membantu kau, sungguh aku akan senang sekali!"
"Orang itu adalah sahabat karibmu, Bun Cu-giok!"
Tersentak hati Thian-hi. Bun Cu-giok, kiranya Bun Cu-giok! Tapi Bun Cu-giok
sudah bergaul begitu intim dengan Ciok Yan, baru sekarang teringat olehnya akan mimik wajah
Bun Cu-giok yang aneh tempo hari itu, kiranya begitu kejadiannya. Begitulah ia menerka2.
Dengan lekat Thian-hi memandang wajah orang dari samping, terdengar ia berkata
lirih, "Aku tahu, pasti dia tahu bahwa aku sudah berbuat buruk, dia tak hiraukan aku lagi."
Thian-hi menjadi serba sulit, tak tahu bagaimana harus menjawab, pikirannya
melayang; Dalam hati Bun Cu-giok tentu masih ingat akan Sutouw Ci-to, tapi disampingnya sekarang
sudah ada Ciok Yan. Terdengar Sutouw Ci-ko berkata lebih lanjut, "Dia menyangka aku belum tahu
perihal dirinya, tapi aku sudah tahu segala2nya."
Thian-hi bernapas berat, pikirnya; 'Kiranya untuk urusan inilah Sutouw Ci-ko
mencari aku,' mulutnya lantas berkata, "Kulihat kau orang baik, kalau aku ketemu dia, tentu
akan kuberitahu bahwa kau tengah menunggu dia, supaya dia suka kemari, saat mana boleh kau
bicara terus terang kepadanya." "Ah, sungguh banyak terima kasih!" seru Sutouw Ci-ko.
Tengah mereka asjik bicara tiba-tiba di belakang mereka terdengar dengusan
dingin. mereka tersentak kaget dan berpaling bersama. Tampak Bun Cu-giok berdiri jauh lima
tombak dengan muka bersungut gusar. Dengan kejut2 girang Sutouw Ci-ko berjingkrak bangun, serunya, "Cu-giok!" -
Serta melihat sikap dan wajah Bun Cu-giok yang membeku dingin, kata selanjutnya ditelan
kembali. Tersipu-sipu Thian-hi berdiri, begitu melihat air muka Bun Cu-giok lantas ia
dapat menerka kemana juntrungan pikiran orang, katanya dengan tersenyum, "Saudara Bun! Kita
jumpt kembali!" Bun Cu-giok tutup mulut, dengan memicingKan mata ia pandang mereka bergantian.
rada lama kemudian baru berkata kepada Hun Thian-hi, "Saudara lolos dari bahaya, kuucapkan
selamat. Konon saudara Hun tertolong oleh Ang-hwat-lo-mo, apakah betul?"
Dengan mendelong Thian-hi pandang orang lalu manggut, tahu dia bahwa selanjutnya
ia bakal kehilangan seorang sahabat yang paling dekat.
Bun Cu-giok berkecek mulut, katanya lagi kepada Hun Thian-hi, "Kaupun tak perlu
menjelaskan lagi!" Lalu ia berpaling kepada Sutouw Ci-ko, katanya. "Ci-ko! Perjodohan kita sudah
batal, kenapa begitu kau sendiri tentu paham. Kedatanganku ini memang hendak mengembalikan
kalung pualam milikmu." Lalu ia mengeluarkan mainan kalung dari batu pualam putih terus dibuang di depan
kaki Sutouw Ci-ko. Dengan mengembeng air mata Sutouw Ci-to berkata perlahan, "Cu-giok. Apakah kau
tidak hargai hubungan erat kita yang dahulu?"
"Hubungan erat apa?" jengek Bun Cu-giok. "Tak ada hubungan erat apa-apa diantara
kita berdua, kau hanya erat berhubungan dengan orang di Thian-san itu. yang benar-
benar sekarang kau hubungan erat dengan Hun Thian-hi!"
Hun Thian-hi menjadi naik pitam mendengar fitnah Bun Cu-giok, desisnya, "Bun-
pangcu, aku dan Sutouw-lihiap hanya kenalan ditengah jalan saja, dia minta supaya aku
mewakili bicara kepadamu, apa maksud kata-katamu ini?"
"Hun Thian-hi!" sentak Bun Cu-giok semakin gusar, "Dengan siapa dia bergaul aku
tidak peduli. Tapi ternyata dia bersama kau, selama hidup ini aku Bun Cu-giok anggap kau
seorang laki-laki, tapi...." Lalu ia berteriak lebih keras lagi, "Hun Thian-hi! Kaum persilatan di seluruh
dunia ini tengah mengejar jejakmu. Pihak Bu-tong-pay telah mengutus orang mengundang guruku turun
gunung, hari ini himpas sampai disini, kelewat hari ini kau adalah musuh kebujutanku!"
Habis berkata bergegas ia membalik terus berlari keluar.
Hun Thian-hi tertawa besar, teriaknya, "Bun Cu-giok! Kuanggap kau seorang laki-
laki sejati. Ternyata kau seorang pengecut!"
Bun Cu-giok membalik dengan murka, dengan mata berapi-api ia pandang mereka
berdua sesaat kemudian lalu membalik dan menghilang diluar.
"Nanti dulu!" teriak Sutouw Ci-ko, "Masih ada omongan yang hendak kukatakan."
Bun Cu-giok membalik lagi sambil menyunggjng senyum dingin, katanya, "Ada kentut
apa lagi lekas lepaskan! Aku tak punya tempo mengobrol dengan kau. Ciok Yan sedan menanti
aku!" "Ciok Yan?" seru Sutouw Ci-ko dengan nada melengking.
"Betul! Ciok Yan! Puteri Ciok Hou-bu dari Hwi-cwan-po."
Sutouw Ci-ko menjadi bingung dan melongo sekian lama, akhirnya berkata pelan,
"Apapun yang kau katakan! Aku tidak punya kesalahan, urusan sudah ketelanjur sedemikian
jauh, akupun tak perlu banyak mulut lagi! Silakan pergi!"
"Tidak berbuat salah apa?" ejek Bun Cu-giok sinis, .,Hm! Setiap aku ingat ingin
rasanya kubunuh "kau!" Habis berkata terus berlari pergi.
Mendadak Sutouw Ci-ko terkial-kial. Hun Thian-hi menghela napas, tanpa bicara
lagi. Sutouw Ci-ko berkata, "Kau adalah orang baik, tak peduli apapun yang pernah kau
perbuat, kau tetap orang baik, aku dapat melihat itu!"'
Thian-hi tersenyum pahit, katanya, "Apa kau tahu aku pernah berbuat salah apa?"
Sutouw Ci-ko tertegun, mulutnya terkancing, pelan-pelan ia duduk kembali
dipinggir kolam, hening sekian lama baru buka suara lagi, "Berita angin itu belum tentu benar-
benar!" "Sutouw-lihiap," ujar Hun Thian-hi, "Sudah saatnya aku pergi, Bun Cu-giok tahu
aku berada disini, mungkin bisa bikin susah padamu."
Sutouw Ci-ko tertawa, aneh, ujarnya, "Kemana juga kau pergi sama saja. Tak perlu
kau kesusu dalam waktu dekat ini. Apakah kau sudi mendengar perihal diriku?"


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hun Thian-hi rada sangsi, akhirnya menjawab, "Janganlah!"
Sutouw Ci-ko memandangnya halus, Thian-hi tunduk malu-malu, heran dia mengapa
Sutouw Ci-ko memandangnya dengan sorot mata begitu. Terdengar ia berkata, "Kalau
beberapa tahun lebih siang aku jumpa dengan kau, tentu aku bisa suka kepadamu."
Tergetar hati Thian-hi, serta merta mukanya menjadi merah dan panas, ter~sipu-
sipu ia berkata, "Sutouw li-hiap, sekarang juga aku harus berangkat!"
"Kabar berita itu belum tentu benar-benar," Sutouw Ci-ko berkata pelan-pelan,
"Banyak cerita yang ingin kukatakan kepadamu, apakah kau tidak sudi tinggal barang sebentar
lagi?" Hun Thian-hi menjadi sungkan, Sutouw Ciko memberi tanda supaya Thian-hi duduk
kembali. "Ada seorang bernama Kim-ih-kiam di Thian-san, apakah kau pernah tahu?"
Thian-hi berpikir sebentar lalu sahutnya, "Agaknya aku pernah dengar nama orang
ini, tapi tak ingat lagi!" "Selamanya dia jarang mengembara di Kangouw, apalagi usianya masih sangat muda,
maka jarang orang mengetahui dia."
Thian-hi manggut-manggut, batinnya, "Mungkin dia itulah yang dimaksud orang dari
Thiansan." Sutouw Ci-ko merenung sebentar lalu mulai dengan kisahnya, "Kira-kira sudah lima
tahun yang lalu. Kim-ih-kiam-khek menantang aku bertanding pedang. Kita bertempur tiga hari
tiga malam, kita bertanding satu lawan satu dalam sebuah ruangan, akhirnya seri alias sama
kuat." - Sampai disini ia angkat kepala memandang Thian-hi lalu meneruskan, "Tapi belakangan
hari baru aku tahu bahwa dia sengaja mengalah kepada aku!"
Hening sebentar lalu meneruskan lagi, "Aku jadi naik pitam. Dalam kesempatan
lain dia selalu mengalah, akhirnya aku berhasil memapas secuil ujung bajunya. Tatkala itu, aku
kegirangan...." Thian-hi membatin, "Rupanya pertandingan pedang yang menimbulkan pertikaian ini,
kenapa pula urusan menjadi semakin bertele2."
"Betapa buruk watak Kim-ih-kiam-khek itu, banyak akal muslihat dan licik lagi,
waktu kita bertanding pedang tiada orang ketiga yang hadir, selama tiga hari tiga malam
kita bertempur, sudah tentu rada janggal dan memalukan. Setelah aku turun gunung lantas kudengar
omongan buruk yang menjelekkan nama baikku.
"Bun Cu-giok juga dengar kabar buruk itu lantas tanya kepadaku, sudah tentu aku
menyangkal, malah dengan riang gembira kuberitahu bahwa aku telah berhasil mengalahkan Kim-
ih-kiam-khek. Dia mencurigai aku, langsung dia naik ke Thian-san mencari Kim-ih-kiam, namun
dia mandah tersenyum saja tidak mau menerangkan. Saking gusar Cu-giok lolos pedang lalu
menempurnya sengit. Lima ratus jurus kemudian dia dikalahkan dan lari turun gunung.
Sebetulnya aku sendiri bukan tandingan Bun Cu-giok!"
Thian-hi terperanjat, cara Kim-ih-kiam-khek mengatur tipu dayanya sungguh lihay
dan licik benar-benar, tujuannya begitu keji.
"Setelah kembali Cu-giok tidak bicara terus tinggal pergi," demikian Sutouw Ci-
ko melanjutkan, "Peristiwa itu aku tidak tahu, akhirnya untuk ketiga kalinya aku naik ke Thian-
san mencari Kim-ihkiam- khek, aku memakinya supaya jangan suka main-main dan menggoda orang. Dia tak mau
buka suara, saking jengkel aku melabraknya tapi untuk kali ini aku kena disekap
tiga hari lamanya, kejadian terakhir ini lebih menjerumuskan aku, tak dapat aku mencuci bersih
namaku! Bun Cugiok tinggal pergi dan sembunyi, kalau aku mencarinya selalu dia menghindari
pertemuan." Thian-hi juga merasa urusan semakin runyam, pikirnya; meski perangai Bun Cu-giok
tidak terlalu jelek, namun rasa cemburunya itu terlalu besar dan tidak beralasan."
"Dibeber secara terus terang begitulah duduk perkara sebenar-benarnya, akhirnya
saking jengkel melihat dia tidak datang aku lantas membunuh orang, harapanku supaya dia
mau datang, tapi kenyataan tidak" demikian Sutouw Ci-ko mengakhiri ceriteranya sambil
tertawa terkekehkekeh pilu. Thian-hi ikut tertawa, katanya, "Hal itu tidak bisa terlalu salahkan kau!"
"Mungkin! Tapi tidak baik bukan!"
"Adakah ayah bundamu masih hidup?" Thian-hi bertanya.
Sutouw Ci-ko menggeleng kepala, sahutnya, "Aku hanya punya seorang guru, tapi
belakangan beliau pun tak peduli padaku pula."
Hun Thian-hi menghembus napas dari mulut. "Kenapa aku selalu melihat kau
berkeluh kesah." "Aih, sama dengan aku, guruku pun mengusir aku," kata Sutouw Ci-ko mengawasi
Thian-hi, "Kau kasihan padaku atau kasihan kepada dirimu sendiri?"
"Aku tidak kasihan pada diriku dan tidak Kasihan padamu. Aku hanya merasa hidup
di dunia ini kenapa begitu gampang kena dipermainkan orang, dibuat bulan2an."
Sutouw Ci-ko berdiam diri, lubuk hatinya yang paling dalam mendadak merasa bahwa
pembawaan Thian-hi ini ternyata begitu agung dan membanggakan.
Kata Thian-hi, "Sutouw-lihiap, kupikir aku harus segera berangkat!"
"Kemana kau hendak pergi?"
Thian-hi menduga Sutouw Ci-ko takkan melepas dirinya pergi, kecuali sekedar
diapusi, maka segera ia berkata, "Sam-kong Lama mengundang aku kesana, dia percaya kepada
aku." Mata bening Sutouw Ci-ko menatap Thian-hi lekat-lekat, seperti dapat menembusi
kebohongan kata-katanya, akhirnya mereka sama menundukan kepala, kata Sutouw Ci-ko sedih,
"Aku tak kuasa melindungi kau, sekarang aku hanya mengharap dapat sekuat tenaga membantu
kau saja." Thian-hi menjadi terharu, katanya tersedat, "Terima kasih!"
Setelah merenung Sutouw Ci-ko berkata, "Bun Cu-giok sudah pergi, akupun tak
perlu bersedih lagi. Tapi aku mengharap dapat jumpa kembali dengan kau, pengalaman hidup kita
sama, keadaanmu lebih sengsara dan menderita dari aku, tapi aku yakin akan datang satu
hari kau akan berhasil, janganlah kau putus asa ditengah jalan."
Thian-hi bungkam menelan liur, sesaat baru berkata, "Terpaksa baru guruku
mengusir aku dari perguruan, tapi aku pun tak memikirkan beliau lagi, aku punya perhitungan
sendiri, kau juga tak perlu kuatir akan diriku." - sembari kata pelan-pelan ia bangkit.
"Kuda putihku itu sudah lama ikut aku, sangat berguna bagi kau, biarlah
kuberikan kepada kau saja!" Thian-hi hendak menolak, Sutouw Ci-ko keburu berkata lagi, "Kau tak usah
menampik, mungkin inilah barang yang kuberikan kepadamu selama hidup ini, terimalah, daya larinya
sangat kuat dan cepat, cerdik lagi, kupikir kelak akupun tak perlu menggunakannya lagi."
Berdetak jantung Thian-hi, Sutouw Ci-ko memberikan hadiah terakhir kepadanya,
apalagi untuk selanjutnya juga tak perlu menggunakan kudanya lagi ....serta merta ia bersitegang
leher mengawasi Sutouw Ci-ko. Sutouw Ci-ko tersenyum manis, katanya, "Orang-orang sekelilingku tiada satupun
yang berbalas kasihan kepada aku, memang aku tidak perlu belas kasihan mereka, kau
tak perlu kuatir aku bakal mencari jalan pendek. Aku akan kembali kepada guruku, pedangku ini
silakan bawa sekalian!" - lalu ia menanggalkan pedangnya diangsurkan kepada Thian-hi.
Thian-hi terlongong mengawasi orang. Sutouw Ci-ko tersenyum lagi, katanya,
"Selamat betemu, aku pun tinggal di Thian-san, kelak boleh kau datang mencari aku."
Thian-hi menganggukkan kepala, Sutouw Ci-ko begitu baik terhadap dirinya, dia
tertunduk menuntun kuda menenteng pedang terus keluar dari gua, katanya kepada Sutouw Ci-
ko, "Kelak pasti aku tilik kepadamu."
Melihat air mata yang mengembang dikelopak mata orang, hati Thian-hi menjadi
mendelu, cepat-cepat ia berpaling terus berjalan pergi. Dalam hati ia berdoa supaya
Sutouw Ci-ko selalu selamat dan sehat walafiat.
Setelah berada diluar Thian-hi menghela napas, perasaan terasa enteng, waktu
berpaling Sutouw Ci-ko sudah tak kelihatan, segera ia naik kuda, pedang ditangannya
diamat-amati, pedang ini rada halus lencir dan panjang, bobotnya lebih ringan dari pedang biasa.
Bayangan Sutouw Ciko kembali terbayang dalam benaknya.
Kuda putih pelan-pelan berjalan ke depan. Haru benar-benar perasaan Thian-hi,
tiada seorang pun di dunia ini yang memberi pengharapan besar terhadap dirinya, kecuali Sutouw
Ci-ko seorang yang punya keyakinan akan masa depannya, ini merupakan dorongan kuat bagi
dirinya sehingga ia dapat memulihkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Terketuk sanubarinya,
tanyanya pada diri sendiri; 'Dimana jiwa gagah dan keperwiraanmu dulu"'
Thian-hi mendongak dipandangnya sekeliling yang sepi hampir gelap, tanpa merasa
ujung bibirnya mengulum senyum bangga. Terpikir dalam hatinya; jangan aku membuat
mereka kecewa! sebentuk bayangan yang sangat. dikenalnya terbayang di depan matanya.
Dia tahu, dia tak pernah berbuat salah apapun juga, kenapa pula berkeluh kesah tanpa
juntrungan" Tapi iapun
amat sadar bahwa bahaya selalu mengintai disekitar dirinya.
Setelah tiba di bawah gunung, membedakan arah langsung Thian-hi menuju ke Bu-la-
si. Semalam suntuk Thian-hi melakukan perjalanan jauh. Waktu terang tanah, jauh di
depan sana Thian-hi melihat Bun Cu-giok sedang menanti kedatangannya.
Melihat Thian-hi menunggang kuda Sutouw Ci-ko menyoreng pedangnya pula, Bun Cu-
giok mendengus ejek, pedang mas dan cambuk perak segera dikeluarkan.
Melihat tingkah Bun Cu giok itu, Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Bun-pangcu,
perbuatanmu ini. kelak kau pasti menyesal!"
"Hun Thian-hi,'" desis Bun Cu-giok dengan muka membesi gusar, "Aku mendapat
perintah dari perguruan, harus menunaikan tugas, harap kau suka ikut aku pergi ke Bu-tong!"
Thian-hi mengangkat alis, katanya tertawa bangga, "Bun-pangcu selamanya kau
paling jelas bagaimana sepak terjangku, terpaksa aku harus mengecewakan kau."
"Kau tak sudi pergi, tugas perguruanku tak bisa kubangkang, terpaksa aku harus
berlaku kasar terhadapmu'." Thian-hi mendongak bergelak tawa, berubah air muka Bun Cu-giok, sinar perak
berkelebat secepat kilat meluncur, cambuk perak terayun, 'Tar!" membelit ke arah leher
Thian-hi. "Sreng!" Thian-hi melolos pedang, pedang panjang mengiris miring, tepat sekali
berhasil menyontek ujung cambuk Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok tertawa dingin, tubuhnya tiba-tiba melompat mumbul ditengah udara
terbang jumpalitan satu lingkaran. cambuk peraknya tergentak bergulung-gulung menggulung
ke arah pedang Thian-hi berbareng pedang mas ditangan kanan menyelonong maju menusuk
tengah mata Thian-hi. Thian-hi memperkuat jepitan kakinya di perut kuda, kuda putih lantas berlari
maju, dimana pedang panjangnya bergetar ia kembangkan Gelombang perak mengalun berderai,
sekaligus dua sasaran serangan Bun Cu-giok dari kedua jurusan kena dipunahkan.
Bun Cu-giok menggerung murka, pedang masnya kena disampok mental balik oleh daya
pertahanan Thian-hi, belum lagi tubuhnya meluncur turun ditengah udara kakinya
menjejak kaki yang lain, tubuhnya lantas meluncur ke depan menghalangi jalan Thian-hi,
berbareng ia menyerang pula dengan tabasan yang lebih ganas.
Melihat Bun Cu-giok dapat bergerak begitu lincah dan enteng, menyerang pula
dengan keji. Thian-hi menarik kekang kudanya kesamping terus lari ke pinggir jalan.
Bun Cu-giok mengejar. Thian-hi jejakkan kakinya dipedal kuda tubuhnya lantas
mencelat tinggi, ditengah udara tubuhnya rada bergerak miring, dengan jurus Hun-liong-pian-yu
pedangnya merabu dengan gencar. Bun Cu-giok menghardik keras, kedua tangan bergerak bersama, pedang dan cambuk
menangkis dan balas menyerang, jalan darah Thian-bun dan Ki-kut yang mematikan
menjadi incaran ujung pedang mas yang berkilauan itu.
Melihat Bun Cu-giok selalu merintangi jalan, kelihatannya tak mau melepas
dirinya, jengkel pula akan jiwa sempit dan pikiran picik orang, segera ia nekad menempur orang, tapi
serangan telak sekaligus musuh ini, terpaksa membuatnya mundur dua langkah.
Bun Cu-giok tidak memberi hati, serangan susulan dilancarkan semakin gencar.
Permainan pedang. Thian-hi pun cukup hebat, dengan pedang panjang pemberian Sutouw Ci-ko
itu ia layani permainan gabungan Bun Cu-giok. Sekejap saja ratusan jurus sudah lewat, mereka
masih berkutet sengit sama kuat. Walau Thian-hi tak berhasil mengambil posisi, Bun Cu-giok


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiripun tak kuasa mendesak lawannya. Sebetulnya Bun Cu-giok sangat membanggakan kepandaian sendiri, terdengar
mulutnya berteriak panjang, serangan kedua senjatanya semakin membadai, tapi cukup
mengembangkan jurus Tam-liam-hun-in-hap, Thian-hi berhasil memunahkan seluruh serangan Bun Cu-
giok. Semakin serang Bun Cu-giok semakin sengit, tapi pertahanan Thian-hi memang cukup
berkelebihan untuk membendung setiap jurus serangan yang betapa pun lihaynya.
Tengah mereka bertempur seru, sekonyong-konyong dari samping jalan Sana
menerobos keluar dua penunggang kuda. Begitu melihat kedua pendatang baru ini Bun Cu-giok
kelihatan kaget dan gusar, cepat ia menarik senjatanya lantas keluar gelanggang.
Tampak oleh Thian-hi salah satu dari kedua orang itu adalah Serigala muka hijau
Ih Seng tentu seorang yang lain adalah Ce-bin-Iong Ih Ceng, salah satu dari Thian-san-siang-lo
yang lain, Angbin- long berarti serigala muka merah.
Thian-san-siang-long semakin mendekat, begitu melihat Bun Cu-giok, mereka pun
rada tercengang. Serta melihat Bun Cu-giok sedang menempur Hun Thian-hi, mereka
sedikit lega. Dengan mendelik gusar Bun Cu-giok pandang orang, katanya, "Ternyata kalian yang
datang, perhitungan tempo hari belum selesai, kalian sangka lari lantas urusan menjadi
beres?" Ceng-bin-long Ih Seng tertawa dingin, katanya, "Bun-pangcu! Hari ini kita
kesampingkan dulu pertikaian kita, kedatangan kita sama untuk meringkus Hun Thian-hi ini, kau
seorang pun tak bakal unggul, kenapa tidak bergabung saja dengan kita?"
"Sebaliknya aku punya perhitungan untuk melabrak kalian dulu," jengek Bun Cu-
giok. Ce-bin-long Ih Ceng bergelak tawa, serunya, "Bun-pangcu berkukuh demikian, kami
berdua pun tak menolak, tapi dengan satu lawan dua, meski kami tidak becus, kami
percaya takkan terkalahkan oleh Bun-pangcu. Apalagi kaki tangan kami tersebar luas disekitar
daerah ini, aku kuatir nanti Bun-pangcu bakal rugi besar."
"Sebagai pejabat Pangcu dari Partai Putih, kalian sangka aku kelujuran seorang
diri?" lalu dengan muka cemberut tangan bertepuk tiga kali. Dari. semak-semak pohon
dipinggiran jalan sekitar pertempuran satu persatu menongol keluar anak buah Partai Putih.
Berubah air muka Thian-san-siang-long, katanya, "Agaknya memang Bun-pangcu ingin
mengajak bar2an." dari ujung jalan pengkolan sana berderap segerombolan orang
berkuda. Terdengar Thian-san-siang-long melanjutkan, "Hanya menguntungkan Hun Thian-hi
saja." Thian-hi bergelak tawa, serunya kepada Thian-sansiang-long. "Apakah kalian
mencari aku?" "Benar-benar," jengek serigala muka hijau Ih Seng, "kau bunuh dua anak buahku,
dengan kedudukanmu sekarang masih berani keluntang keluntung membuat perkara dimana-
mana, maka jangan kau sesalkan kita mencari perhitungan terhadap kau."
Thian-hi menyeringai sedih, pembunuhan kedua orang itu ditumplekan pula kepada
dosa dirinya. Dia pun tak mau main debat, katanya, "Aku Hun Thian-hi disini, mari
kalian meluruk kepada aku saja, coba kalian rasakan betapa nikmat kepelanku ini."
Bergidik kuduk Thian-san-siang-long, serta teringat akan julukan muka dingin
berhati iblis hati lantas menjadi keder, tapi dilihat gelagatnya kepandaian silat Thian-hi tidak
begitu tinggi, apalagi pihak sendiri kedatangan bala bantuan, kepandaian sendiripun tak lemah, kenapa
harus takut. Pandangan kilat Thian-hi menyapu lebih tajam, hati mereka makin kuncup, serunya,
"Hun Thian-hi! Jangan kau sangka kita takut kepadamu, bicara terus terang, kedatangan
kita ini adalah menuntut Badik buntung dari tanganmu."
Thian-hi rada tercengang, pikirnya; bukankah Badik buntung sudah berada di
tangan Partai merah" Kenapa pula mereka menuntut kepada aku" Dalam hati ia berpikir begitu,
tapi mulutnya tertawa lebar, katanya, "Bagus, asal kalian bisa menunjukkan kemampuan, jangan
kata Badik buntung, batok kepalaku inipun boleh kalian ambil." - saat itu nafsunya membunuh
sudah menghangati pikirannya, kalau musuh tidak bergerak itulah baik, atau sebaliknya
aku terpaksa harus menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang ganas itu.
Dasar sudah keder Thian-san-siang-long menjadi sangsi, tapi sebagai manusia
tamak yang sangat mengincar Badik buntung itu, mereka sudah bersiap2 hendak menyerbu. Tapi
keburu Bun Cu-giok mencegah dari samping, teriaknya: Nanti dulu!"
Dengan lirikannya Bun Cu-giok menyapu kedua lawannya, dia heran kenapa sikap
Thian-hi hari ini rada ganjil, begitu nekad untuk mengikat permusuhan pula dengan musuh kuat
ini. Badik buntung tidak berada ditangannya, kenapa dia tidak menyangkal, entahlah apa
maksudnya" Biji matanya berputar, sekilas ia melirik ke arah Thian-hi lalu berkata kepada
Thian-san-sianglong, "Kalian harus tanya dulu kepadaku apakah aku setuju akan sepak terjang kalian."
- lalu iapun berkata kepada Thian-hi dengan pongah, "Jangan anggap aku membantu kau."
Thian-hi tersenyum dengan sombong, ujarnya, "Kalau begitu, aku hendak pergi
saja!" - lalu ia cemplak ke atas kudanya. Serempak Thian-san-siang-long mengeprak kudanya maju menghadang.
Dengan dingin Thian-hi menjengek, "Apa kalian sudah tak ingin hidup lagi?"
Gemetar badan Thian-san-siang-long, tapi mereka nekad melolos rujung baja hendak
merintangi jalan Thian-hi.
Biji mata Thian-hi memancarkan sorot membunuh, sembari menggeram ia menerjang
maju. Tapi Bun Cu-giok bergerak lebih dulu, pedang dan cambuknya sudah bergerak
merangsak kepada Thian-san-siang-long. Thian-hi hendak meneruskan perjalanan, tapi cambuk perak
Bun Cu-giok menyabet balik menyerang ke arah dirinya.
Melihat perbuatan Cu-giok yang takabur ini Thian-hi rada gemes, tapi betapapun
Bun Cu-giok pernah memberi bantuan yang sangat besar artinya terhadap dirinya, apalagi dia
tidak berniat merebut Badik buntung, bagaimana juga aku harus mengalah terhadapnya.
Cepat ia menarik kekang mengundurkan Kudanya. Sekarang Bun Cu-giok lebih leluasa
menggerakkan pedang dan cambuknya menyerang kepada Thian-san-siang-Iong.
Anak buah Partai Putin sembunyi di sekitar gelanggang, anak buah Thian-san-
siang-long bisa melihat gelagat, mereka tak berani sembarangan bergerak, maka pertempuran dua
lawan satu ini berjalan dengan sengit. Meski melawan dua gerak gerik Bun Cu-giok masih
kelihatan lebih unggul, senjatanya bergerak lincah merangsak kepada kedua lawannya yang cukup tangguh
juga. Sekonyong-konyong terdengar Sabda Buddha mengalun di angkasa, tiga orang yang
bertempur menjadi kaget dan melompat berpencar. Tampak seorang Lama berjubah kuning
melangkah pelan mendatangi. Di daerah luar perbatasan kedudukan Lama punya kuasa yang tertinggi,
mereka bertiga sama-sama tokoh kosen, tapi naga takkan mungkin dapat melawan ular tanah
setempat, begitu melihat kedatangan Lama ini segera mereka berhenti bertempur.
Setelah dekat Lama itu merangkap tangan serta berkata, "Pinto mendapat perintah
dari ketua Sam-kong Lama, kami undang kalian berempat untuk bertandang ke biara Bu-la-
kiong!" Terkejut hati Thian-hi, batinnya, "Eh" Sam-kong Lama sudah tahu kedatanganku
ini?" Sekilas Thian-san-siang-long saling pandang, mereka tengah terdesak di bawah
angin, kedatangan Lama ini sungguh kebetulan bagi mereka malah.
Bun Cu-giok mendengus, katanya, "Apa Sam-kong Lama?"
"Betul!" sahut Lama jubah kuning, "tuan ini tentu Bun-pangcu adanya?"
Diam-diam Bun Cu-giok juga bercekat, bagaimana mungkin Sam-kong Lama juga kenal
akan namanya, dalam hati ia menertawakan, kalau begitu, tiada halangannya aku kesana
untuk berkenalan dengan Sam-kong Lama lebih dekat. Maka segera ia menganggukkan
kepala, katanya, "Kalau begitu menyusahkan Tay-lama menunjuk jalan."
Setelah pandang keempat orang bergantian, Lama jubah kuning lantas membalik dan
berjalan pergi. Thian-hi menuntun kudanya mengikuti di belakangnya. Diam-diam ia
berpikir, kekuasaan Sam-kong diluar perbatasan sini sungguh sangat besar. Kepandaian silat Bun Cu-
giok semestinya tidak lebih rendah dari Sam-kong Lama, ternyata dia harus tunduk akan kata-kata
Sam-kong Lama juga." Kira-kira setengah jam kemudian, rada jauh dibalik gunung sana Bu-la-si sudah
kelihatan. Bula- si bagian luar dikelilingi tembok pendek, di dalam halaman tertanam pohon-pohon
besar tersebar di mana-mana. Pintu gerbangnya kira-kira tiga puluh tombak dari pintu
biara. Thian-hi melayangkan pandangannya ke dalam, tiada kelihatan bayangan seorangpun.
Lama jubah kuning langsung membawa mereka memasuki biara terus menuju ke ruang
pemujaan bagian tengah. Begitu sampai di ambang pintu biara besar, sekilas pandang Thian-
hi lantas melihat Sam-kong Lama tengah duduk di tengah ruang pemujaan, beliau sudah
menanti kedatangan mereka. Begitulah melihat Thian-hi, Sam-kong Lama terus menyapa dengan tertawa, "Hun-
sicu, sejak berpisah sudah setengah tahun lamanya. Hun-sicu masih sehat dan selamat, sungguh
menggirangkan dan harus diberi selamat."
Thian-hi rada tercengang, hampir ia tidak percaya akan pendengarannya dan
pandangan matanya bahwa Sam-kong Lama masih bersikap begitu baik terhadap dirinya.
Mungkinkah Samkong masih belum tahu akan pengalamannya terakhir" Tapi dia mengutus orang untuk
menjemput aku, jelas sekali sangat tahu akan setiap jejaknya. Bagaimana mungkin dia tak
tahu akan sepak terjangku belakangan ini"
Waktu datang tadi dia berprasangka dirinya bakal ditahan, kini melihat sikap
Sam-kong begitu mengindahkan, dia jadi tertegun, setelah menjublek baru ia berkata, "Cianpwe
baikkah selama ini" Wanpwe tidak becus dan durhaka, aku telah diusir dari perguruan oleh Suhu!"
Agaknya Sam-hong sudah tahu persoalannya, dengan tertawa ia berkata, "Kau tak
usah kuatir persoalanmu aku jelas semua."
Melihat Sam-kong bersahabat begitu baik dengan Hun Thian-hi, luluhlah hati Bun
Cu-giok, betapapun besar kekuatan Partai Putih juga tak berani mencari perkara dengan
para Lama. Sambil berseri tawa Sam-hong Lama berkata kepada Thian-san-siang-long, "Akupun
jelas akan segala seluk beluk tentang kalian, menurut undang2 disini siang-siang aku sudah
harus mengusir kalian kembali ke Thian-san. Tapi sekarang aku hanya perintahkan kalian segera
bawa seluruh anak buahmu keluar dari wilajahku. Kalau bangkang kami akan bertindak sesuai
dengan hukum yang berlaku." Bergidik badan Thian-san-siang-long, walaupun Sam-kong bicara sambil tersenyum,
tapi dengan kedudukannya sekarang di tempat itu, setiap ucapannya jauh lebih
berpengaruh dari firman raja. Terpaksa mereka ngelojor pergi cepat-cepat.
Sam-kong mengalihkan pandangannya kepada Bun Cu-giok, ujarnya, "Bun-pangcu,
setelah pulang kau pun harus tutup pintu merenung kembali, harap wakilkan aku
menyampaikan salam kepala gurumu!" Bun Cu-giok bersungut tak senang, serunya, "Hun Thian-hi membunuh Bu-tong-pay
Ciang-bun Giok-yap Cinjin, kalau Tay-lama benar-benar hendak melindunginya, ini berarti
menentang kaum persilatan di Tionggoan."
"Terima kasih akan kebaikan Bun-pangcu," ujar Sam-kong Lama, "Bun-pangcu masih
muda belia gagah dan cakap lagi, merupakan tunas harapan kaum persilatan, tapi kalau
masih ingin maju, maka kau harus berpegang pada kelurusan hati, lapangkan dada!"
Bun Cu-giok menjadi sebal mendengar khotbah Sam-kong Lama, dengan langkah lebar
ia membalik terus keluar dari biara.
Sam-kong berseru menambahi, "Silakan Bun-pang-cu merenungkan lebih tenang di
rumah!" Bun Cu-giok tak hiraukan, langkahnya dipercepat.
Mengantar punggung Bun Cu-giok yang menghilang diluar pintu biara, perasaan
Thian-hi menjadi hambar, untuk selanjutnya mungkin Bun Cu-giok bakal menjadi musuh
kebujutannya. Memandang muka Thian-hi Sam-kong tertawa, ujarnya, "Kau tak usah kuatir, akan
datang suatu hari dia bakal menyesal. Gurunya seorang cerdik pandai, dia pun tak
terlalu lama tenggelam

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam kecerobohannya."
Dengan rasa kurang tentram, Thian-hi bertanya, "Cianpwe! persoalanku benar-
benarkah kau sudah tahu?" Sam-kong manggut-manggut, ia menjelaskan, "Hwesio jenaka telah beritahu
kepadaku!" "Hwesio jenaka?" seru Thian-hi kaget. Hatinya banyak dirundung pertanyaan, sudah
beberapa kali Hwesio jenaka menolong dirinya. Apakah latar belakangnya" Sebenar-benarnya
tokoh macam apakah dia" Tanya Thian-hi lagi, "Cianpwe juga kenal Hwesio jenaka" Sebetulnya orang macam
apakah dia?" Sam-kong mengerut alis, jawabnya, "Saat ini tak berguna kuberitahu, tapi cukup
kau mengetahui walau kelihatan dia bertubuh pendek kecil, tapi usianya jauh lebih
tua dari aku, kau jangan anggap dia sebagai bocah kecil."
Thian-hi menjadi tertegun, sungguh tidak nyana olehnya, Hwesio jenaka yang suka
tertawa2 bertubuh pendek tambun dan mungil itu, usianya ternyata lebih tua dari Sam-kong
Lama. "Kau selalu menyebut dia Siau-suhu, dia sangat tidak senang!" sambung Sam-kong.
Mencelos hati Thian-hi, dirinya begitu ceroboh dan kurangajar, naga-naganya dia
semestinya menjadi seorang Cianpwe, tapi kenapa aku begitu kasar terhadapnya!
Sam-kong menjadi geli melihat Thian-hi menjadi kikuk, katanya tersenyum,
"Martabatnya memang jenaka suka guyon dan ngelajap, dia tidak pantang akan segala, kau pun
tak usah kuatir apa-apa terhadap dia."
Teringat akan bantuan Hwesio jenaka berulang kali itu, sudah semestinya aku harus nyatakan
terima kasih kepada beliau, segera ia bertanya, "Sekarang dimanakah dia orang
tua?" "Jejaknya selamanya tidak diketahui orang. Persoalanmu dia pun hanya kasih tahu
duduk persoalan yang benar-benar, tentang latar belakangnya dia tak mau terangkan,
agaknya persoalan ini membawa buntut dan akibat yang sangat besar."
Bab 11 Thian-hi manggut-manggut, diapun tak tahu bagaimana latar belakang peristiwa
yang dialami itu. Menurut apa yang diketahui hanya menyangkut persoalan Ni-hay-ki-tin melulu.
Tapi apakah rahasia Ni-hay-ki-tin betul berada di dalam Badik buntung, dia sendiripun tak
tahu. "Kedatanganmu hari ini sungguh tepat, kau bisa bertemu dengan seorang aneh, ada
beliau disini, Bu-bing Loni tak berani datang kemari."
Thian-hi berpikir, kecuali Ka-yap Cuncia yang pernah didengar dari mulut Ang-
hwat-lo-cu tiada seorang tokoh kosen lainnya yang pernah didengarnya apalagi meski kepandaian Ka-
yap mungkin lebih tinggi dari Bu-bing Loni, namun mati hidupnya merupakan tanda tanya besar.
Kira-kira setengah tahun sudah berselang, Sam-kong membekal Sin-giok-ling milik
Bu-bing Loni, kenyataan dia masih sehat segar, tidak bisa tidak dia harus percaya akan
adanya orang aneh itu, jangan aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan "Wi-thian-
chit-ciat-sek" . Thian-hi mematung seperti orang linglung Sam-kong menjadi geli. tahu dia apa
yang tengah dipikir oleh Thian-hi, katanya tersenyum "Beliau sudah pernah dengar tentang
kau, ingin sekali bertemu dengan kau. Kalau memang berjodoh mungkin kau bakal ketiban rejeki."
Thian-hi tertawa, pikirnya, "Aku tidak ingin rejeki apa segala, kalau benar-
benar Bu-bing Loni tak berani datang, ini sudah cukup menggirangkan hatiku."
"Mari ikut aku menghadap beliau. Tapi jangan sekali2 kau merasa takut, tahun
terakhir ini wataknya suka aseran, apalagi dulu siapa saja yang sampai membuatnya gusar,
celakalah dia." Thian-hi manggut, Sam-kong lalu membawa Thian-hi menyusuri lorong2 panjang dan
serambi yang belak-belok, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah. Sam-kong memberi
tanda supaya Thian-hi menunggu di luar, dia terus masuk ke dalam.
Setelah Sam-kong masuk terdengar suaranya berkata di dalam, "Tecu Sam-kong
menghadap!" Sebuah suara menyahut, "Sam-kong! Kau datang pula, di luar kau masih bawa orang,
siapakah dia?" Suara ini adalah perkataan seorang nenek, Thian-hi menjadi heran, belum pernah
ia dengar ada seorang nenek yang ditakuti oleh Bu-bing Loni.
"Orang yang Tecu bawa kemari adalah Hun Thian-hi, apakah Ciangpwe sudi
mengundangnya masuk?" Rada lama nenek itu berdiam diri, akhirnya berkata, "Baiklah! Silakan dia
masuk!" Dari ambang pintu Sam-kong melambai tangan suruh Thian-hi masuk. Begitu tiba di
dalam pintu, di mana matanya melihat seorang nenek tua, hampir saja dia berteriak
kejut. Mana ada manusia seburuk itu, hampir menyerupai setan atau dedemit, seluruh mukanya
belang bonteng malang melintang bekas luka-luka yang menonjol, kedua matanya buta, seluruh
mukanya tiada secuilpun yang kelihatan halus, sungguh mengerikan.
Cepat-cepat ia tenangkan hati terus menyembah sapanya, "Wanpwe Hun Thian-hi
menghadap Cianpwe!" "Bangun!" ujar si nenek, "apa kau takut kepadaku?"
"Takut sih tidak, aku hanya heran kenapa Cianpwe bisa berubah begitu rupa."
"Sungguh tepat jawabanmu," sahut si nenek tertawa kering, "tak heran Hwesio
jenaka sangat tertariK kepadamu, berapa usiamu tahun ini?"
"Tepat dua puluh!"
Hilang seri tawa si nenek, wajahnya menjadi kaku, gumamnya, "Dua puluh, sudah
dua puluh, ja, seharusnya memang dua puluh!" air mukanya semakin sayu dan dirundung
kepedihan. Melihat mimik wajah si nenek, Thian-hi mengira orang tentu punya kenangan yang
menyedihkan, dari bekas2 luka di mukanya itu, tentu dicelakai oleh musuh
besarnya, entah siapakah orang yang begitu keji dan telengas.
Sam-kong Lama batuk2 lalu bicara, "Bantuan yang diminta oleh Hwesio jenaka
kepada Cianpwe tidak terlupakan bukan!"
Thian-hi melengak, pikirnya, "Bantuan apa yang di minta oleh Hwesio jenaka
kepada nenek ini?" Si nenek tertawa, ujarnya, "Kau tak perlu kuatir, urusan itu pun tak perlu
tergesa-gesa, sulit untuk menemukan seseorang yang tidak takut melihat rupaku ini, ada banyak
omongan yang perlu kami bicarakan."
Sam-kong lama mengiakan, si nenek lantas berkata pada Thian-hi, "Kau pernah
bertemu dengan Bu-bing Loni?"
"Pernah, apa yang perlu Cianpwe ketahui, Wanpwe sedia menjelaskan."
Si nenek termenung, lalu bertanya, "Apakah kau hanya bertemu dia seorang" Adakah
dia membawa orang lain?"
"Masih ada muridnya Ham Gwat, Ham Gwat punya dayang bernama Siau Hong.
Belakangan ini dia terima murid baru lagi bernama Su Giok-lan."
Si nenek tenggelam dalam pikirannya, sekian lama tak bersuara.
Thian-hi tak tahu untuk keperluan apakah si nenek menanyakan itu.
"Ada sebuah kisah perlu kuceritakan kepada kalian," demikian si nenek memecah
kesunyian, "kisah ini mengenai aku, Bu-bing Loni dan seorang lain." - lalu dia berkata
kepada Sam-kong- "Kau layani aku selama dua puluh tahun, sudah tiba saatnya kau tahu asal
usulku." Berhenti sebentar, lalu meneruskan, "Aku berada disini, Bu-bing Loni tentu tak
berani bertingkah. Bukan karena ilmu silatnya tidak unggul dari aku. Ilmu Jiam-hun-
ciang sudah sempurna kulatih. tapi masih tak bisa menang melawan dia."
Sangat heran dan kejut pula hati Thian-hi. tak tahu dia ada permusuhan apa
diantara si nenek dengan Bu-bing Loni, Bu-bing takkan mungkin kemari, dengan kekejaman Bu-bing,
dia takkan gentar dan takut menghadapi siapapun juga.
Terdengar si nenek melanjutkan, "Kalian mungkin heran bekas luka-luka di mukaku
ini bukan" Biar kuberi tahu, inilah karya besar tangan Bu-bing Loni!" sampai disini ia
berhenti. Diam-diam bercekat hati Thian-hi, buah karya Bu-bing Loni, tanpa merasa ia
bergidik dan merinding. Setelah berdiam diri nenek tua berkata lagi, "Dua puluh tahun! Tepat dua puluh
tahun sudah! Dia masih mempermainkan aku, aku masih belum berdaya menuntut balas, kupikir
saatnya sudah bakal tiba!" Dari tengah angkasa terdengarlah pekik burung dewata yang panjang mengalun
tinggi. Nenek tua itu tersenyum getir, katanya pula, "Dia masih menekan aku untuk tutup mulut
lagi. Dulu memang aku pernah melulusi dia untuk tak membeber rahasia ini, tapi sekarang aku
harus bicara! Apa kalian tahu apa hubunganku dengan Bu-bing Loni" Dia adalah Toaciku!"
"O, jadi kalian adalah kakak beradik, hati Bu-bing Loni sungguh sangat kejam,
ada permusuhan apa diantara mereka" Begitu tega Bu-bing Loni sampai membuat adik kandung
sendiri begitu rupa." Demikian batin Thian-hi.
Ditengah angkasa terdengar pula bunyi burung dewata yang rada keras. Nenek tua
itu meneruskan, "Kami semua lima saudara, aku paling muda, dia paling tua, tatkala
itu dikalangan Kangouw dijuluki Ngo-hong, nama asliku bernama Ong Ging-sia. - sampai disini
berubah air mukanya, katanya lagi, "Bu-bing Loni sudah tiba!"
Terkejut Hun Thian-hi. Terdengar desir lambaian kain dari luar, segera tampak
Bu-bing Loni melayang masuk dari jendela.
Dengan dingin ia pandang mereka bertiga, lalu berkata kepada sinenek, "Ging-sia!
Kau tahu selamanya aku membalas setiap dendam dan sakit hati. Kalau kau bicara apa-apa
terhadap mereka kau maklum tindakan apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!"
Ong Ging-sia tertawa menyeringai, ujarnya, "Sikapmu sangat keterlaluan terhadap
aku. Dia akan tahu, dan kau sendiri kelak juga pasti akan menyesal!"
Berubah air muka Bu-bing Loni, jengeknya, "Dia tahu aku pun tak takut, apa kau
berani menemui dia" Kupikir diapun ingin sekali melihat keadaanmu sekarang!"
Pelan-pelan Thian-hi angkat kepala memandang Bu-bing Loni. Dulu katanya Bu-bing
pernah patah hati dan menjadi kortan asmara, rupa2nya begitulah persoalannya" Saingan
cintanya kiranya bukan lain adalah adik kandung sendiri, tapi ternyata dia begitu culas,
begitu keji dan hina dina, dengan merusak wajahnya dia menyiksa dan melukai sanubari adik kandung
sendiri! Ong Ging-sia terpekur diam. Bu-bing berkata lagi, "Kalau kau masih menepati
sumpah dulu, aku pun tak perlu menjilat ludahku sendiri, silakan kau pikir dan pertimbangkan
pula!" - habis berkata ia menyapu pandang Hun Thian-hi lalu berkelebat menghilang diluar pintu.
Ong Ging-sia duduk terlongong-longong. Terpaksa Sam-kong mandah membiarkan Bu-
bing Loni pergi datang seenak udelnya sendiri tanpa berusaha merintangi.
Hun Thian-hi tidak tahu janji apa yang terikat diantara mereka, begitu besar
penderitaan Ong Ging-sia, namun tak berani mengatakan. Dengan teliti ia menyelusuri lagi setiap
perkataan Ong Ging-sia tadi, tanpa kuasa iapun mengeluh pendek, "Dua puluh tahun sudah!"
Nuraninya merasa bahwa Ong Ging-sia masih punya ganjelan hati atau sesuatu yang
Si Rase Kumala 7 Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam Panji Wulung 12
^