Pencarian

Badik Buntung 4

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 4


Berjalan didepan Hwesio jenaka membawa Thian-hi berlari naik keatas melalui jalan yang
ber-liku2, tak lama kemudian jauh diatas tebing terlihat tembok warna merah.
Tak terasa hati Thian-hi menjadi berdebar dan tegang, dengan memikul dosa yang
tak terampun ia hendak menghadap Thian-cwan Taysu, tak tahu bagaimana Thian-cwan
Taysu bakal menghadapi dirinya nanti.
Hwesio jenaka terus membawa Thian-hi maju kedepan, secara sembunyi2 mereka
melompati tembok merah, serta maju terus kedepan sambil berjalan merunduk. Tampak para
hwesio penjaga berlalu lalang meronda. Agaknya Hwesio jenaka seperti apal betul dengan keadaan
didalam kelenteng besar Siau-lim-si ini, selalu ia mencari jalan yang penuh ditumbuhi
pepohonan lebat dan rimbun. Tak lama kemudian mereka sudah sampai diambang sebuah hutan bambu, dengan jari
telunjuk Hwesio jenaka memberi isyarat supaya Thian-hi masuk kedalam hutan bambu itu.
Girang hati Thian-hi, segera ia mencelat melesat menuju kehutan bambu itu, sayang gerak
geriknya rada kasar sehingga menyentuh dedaunan dan mengeluarkan suara keresekan. Keruan
Hwesio jenaka kaget sekali, cepat ia celingukan kekanan kiri, tampak olehnya seorang hwesio
muda tengah beranjak maju kearah tempat sembunyi Thian-hi.
Hwesio jenaka menjadi gugup dan gelisah, namun dia sendiripun tidak boleh
mengunjukkan diri, terpaksa sembunyi tanpa berani bergerak, terserah kepada nasib Thian-hi
bagaimana. Meski Thian-hi mendekam tanpa bergerak, namun tempat sembunyinya sudah korangan,
mana mungkin ia dapat mengumpat lagi. Sementara itu hwesio muda itu sudah semakin
dekat ketempat sembunyi Thian-hi. Waktu Hwesio jenaka melihat tegas wajah hwesio muda itu, hatinya bercekat,
kiranya hwesio muda ini tak lain tak bukan adalah murid Ciangbunjin Siau-lim-si Te-kik Taysu,
yaitu Ti-hay. Thian-hi juga mendengar derap langkah orang yang tengah mendatangi kearah
dirinya, tapi ia tak berani bergerak, besar harapannya hwesio muda ini hanya salah dengar dan
menuju ketempat lain. Kira2 tiga tomtaak dari jarak tempat sembunyi Thian-hi Ti-hay menghentikan
langkahnya. pelan2 ia buka bicara, "Siapakah itu" Kalau berani berkunjung ke Siau-lim-si,
kenapa main sembunyi segala?" Thian-hi tahu tak mungkin main sembunyi lagi, dilihatnya hutan bambu itu
berjarak tiga lima tombak jauhnya dari tempat sembunyinya, mungkin sekali lompat saja bisa sampai,
kalau bisa berjumpa dengan Thian-cwan Taysu, maka tidak sia2lah perjalanan jauh ini.
Melihat orang yang sembunyi dibalik rumpun pohon tidak bergerak dan menunjukkan
reaksi, gesit sekali Ti-hay bergerak maju, tubuhnya melayang ringan menubruk ketempat sembunyi
Thianhi. Tepat pada saat itu juga, Thian-hi menjejakkan kedua kakinya meleset kearah
hutan bambu. Melihat orang buruannya sudah muncul lekas2 Ti-hay berse-ru, "Sicu harap
berhenti!" mulut berkata gerak kakinya begitu cepat, tubuhnya meluncur kedepan mengejar kearah
Thian-hi, kedua jari dirangkapkan langsung menutuk kejalan darah dipungung Thian-hi.
Sejengkal lagi Thian-hi bakal mencapai hutan bambu, namun tutukan Ti-hay sudah
hampir mengenai jalan darah dipunggung, terpaksa ia membalikan tangan kanan mengayun
Badik buntung, selarik sinar hijau yang tajam dan dingin memapas kepergelangan tangan
Ti-hay. "Badik buntung?" teriak Ti-hay dengan kaget, cepat2 ia tarik tangan kanan serta
mendegus gusar, sebat sekali tangan kanan sudah membalik maju lagi telapak tangan
terpentang menjojoh kedepan mengandung tenaga Ciang-mo-sin-kang, yang diarah punggung Thian-hi
lagi.. Melihat Ti-hay melancarkan pukulan yang lebih hebat, sementara tubuh Thian-hi
sudah mencelat mumbul sampai diujung sepucuk bambu, terpaksa ia gunakan Badik buntung
untuk menangkis kearah pukulan telapak tangan Ti-hay.
Tenaga pukulan Ciang-mo-sin-kang sungguh bukan olah2 hebatnya, kontan Badik
buntung kena tergetar lepas dari cekalan Thian-hi. Maklum Thian-hi baru sembuh dari
luka2nya setelah beradu pukulan dengan Sian-thian-cin-gi pihak Bu-tong-pay, seketika tenaga
pukulan Ciang-mosin- kang merembes masuk ke lengan kanannya dan terus menerjang jantung, sesaat
dadanya menjadi sesak, tak kuasa lagi mulutnya lantas menyemburkan darah segar.
Sementara tubuh Thian-hi melayang jumpalitan kedalam hutan bambu. Ti-hay tak
berani sembarangan mengejar kedalam, cepat2 ia melompat turun dan menerobas masuk dari
jalan yang menumpuh kedalam hutan bambu itu.
Sekuatnya Thian-hi mengempos tenaga untuk memusatkan semangat, waktu ia
menggelinding jatuh ditanah, samar2 terlihat dalam pandangan matanya seorang Hwesio tua duduk
bersila tiga tombak didepan sana. Susah payah ia merangkak maju serta sembahnya tergagap,
"Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Thian-cwan Taysu." habis kata2nya, iapun jatuh pingsan.
Waktu Ti-hay juga memburu masuk kedalam hutan bambu tampak Thian-hi sudah
menggeletak tak berkutik di tanah, ter-sipu2 ia merangkap tangan memberi hormat dan
bersabda, "Thian-cwan
Supek, entah untuk apa orang ini menyelundup ke Siau-lim-si. Harap Supek memberi
ijin untuk kubawa keluar!" Thian-cwan Taysu membuka mata sejenak ia menatap Hun Thian-hi lalu katanya, "Dia
berkata hendak mencari aku, entah ada urusan apa. Bila Sutit berkenan bisakah kutanyakan
dulu beberapa patah kata?" Cepat Ti-hay menjawab, "Kalau Supek hendak bertanya kepadanya baiklah Sutit
mengundurkan diri dulu. Tapi orang ini membekal Badik buntung, pernah membunuh banyak orang
di kalangan Kangouw, kabar yang terakhir malah katanya telah membunuh Bu-tong Ciangbun Giok-
yap Cinjin, betapapun Supek harus hati2, jangan sampai tertipu oleh obrolannya."
Thian-cwan Taysu tampak terkejut, setelah terpekur sebentar ia berkata, "Giok-
yap Cinjin bisa mati di tangannya ?" - nadanya penuh tanda tanya dan hampir tak percaya.
Sahut Ti-hay, "Sutit pun hanya mendengar kabar saja bagaimana duduk perkara
sebetulnya Sutitpun tidak tahu?"
Thian-cwan Taysu manggut2, ujarnya, "Dia datang ingin bertemu dengan aku, maka
aku harus mencari tahu kepadanya. Kuduga urusan ini terselip latar belakang yang sulit
diraba, apalagi mungkin hanya dia seorang saja yang tahu segala seluk beluknya."
Ti-hay merangkap tangan didepan dada, serta berkata, "Sulit sementara
mengundurkan diri saja." Thian-cwan manggut. Cepat2 Ti-hay membungkuk badan terus mundur keluar.
Sekian lama Thian-cwan Taysu ter-mangu2, baru pelan2 bangkit menghampiri Thian-
hi, diulurkan sebelah tangannya menekan nadi pergelangan tangan Thian-hi. Lalu
diangkatnya diletakkan disamping tempat duduknya, dengan jari jemarinya pelan2 ia mengurut
jalan darah Thian-hi. Tak lama kemudian dalam keadaan sadar setengah sadar Thian-hi merasa segulung
hawa hangat menjalar kencang menyusup ke seluruh tubuhnya. Setiap jari Thian-cwan
Taysu mengurut, hawa murni dalam tubuhnya serasa bergetar, dan tertuntun oleh hawa hangat tadi
serta ikut berputar dan melandai kesegala jalan darah di seluruh tubuhnya.
Waktu Thian-hi membuka mata, dilihatnya disamping duduk seorang Hwesio tua
berjenggot dan beralis putih, tahu dia mesti beliau inilah Thian-cwan Taysu adanya,
bergegas ia bangun serta katanya, "Terima kasih akan pertolongan Taysu!"
Thian-cwan Tausy menggoyang tangan per-lahan2, "Siausicu tak usah banyak
peradatan. Siausicu mencari aku entah ada urusan apa?"
Thian-hi segera menyembah serta serunya, "Tecu Hun Thian-hi tersangkut bencana
yang penasaran harap Taysu suka membantu mencuci bersih nama baik Wanpwe."
"Coba kau ceritakan dulu persoalan apakah itu?"
"Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin tentu Taysu sudah kenal." demikian Thian-hi
mulai dengan ceritanya, "Beberapa waktu yang lalu beliau telah terbunuh secara gelap oleh
musuh. Tapi seluruh tokoh2 silat dikolong langit ini semua menuduh adalah buah karya Wanpwe. Andai
kata harus berkorban aku Hun Thian-hi takkan menyesal, tapi apakah kita harus membiarkan
pembunuh durjana itu ongkang2 kaki dan berpeluk tangan, betapapun aku rada penasaran."
"Hal ini baru saja kudengar beberapa waktu yang lalu," begitulah Thian-cwan
bertanya, "sebetulnya bagaimana duduk perkara sebenarnya, coba kau ceritakan."
Per-lahan2 Thian-hi menutur pengalaman sejak dirinya berpisah dengan Suhunya
Kongsun Hong secara ringkas. dan jelas.
Setelah selesai mendengar cerita Thian-hi, Thian-cwan Taysu pejamkan mata
terpekur dalam pikirannya, akhirnya ia berkata, "Meski apa yang kau uraikan sangat beralasan,
tapi aku tak bisa dengar kata sepihak saja, kalau menurut apa yang kau katakan kau memang seorang
yang tak berdosa, atau sebaliknya kau adalah seorang durjana yang keliwat batas."
Thian-hi menghirup hawa, desaknya, "Taysu merupakan tokoh teragung dalam dunia
persilatan, perkara ini tentu bisa tercakup dalam genggaman Taysu seorang,
memang Taysu tak bisa mendengar kata sepihak dari saja. Sebaliknya kalau Gwat Long dan Sing Poh
tidak mau bicara sejujurnya, selanjutnya aku mesti tenggelam semakin dalam dan tak mungkin
membongkar rahasia pembunuhan gelap yang misterius itu."
Thian-cwan harus hati2 dan tenggelam dalam pikirannya lagi, katanya, "Dulu aku
pernah berjanji dengan Bu-bing Loni untuk tidak turut campur urusan Kangouw, tapi Giok-
yap adalah sahabat tuaku, urusannya menjadi urusanku juga, kalau kau sudi menetap dan
tinggal disini selama seratus hari, supaya memberi peluang dan kesempatan aku untuk menyirapi
dan menyelidiki peristiwa ini, tentu aku dapat memberikan kepastian dan keputusan,
apakah kau bisa?" Thian-hi juga ragu2, akhirnya ia berkata, "Taysupun sudah tahu, bahwa Soat-san-
su-gou punya perjanjian selama setahun dengan Bu-bing Loni, jangka waktu itu sudah habis
seratusan hari, kalau aku tinggal lagi disini selama seratus hari, sisa hari2 selanjutnya tidak
banyak untuk menempuh segala usahaku, bagaimana enak perasaanku terhadap Soat-san-su-gou
berempat Cianpwe?" Thian-cwan Taysu menjadi bungkam, sebentar kemudian ia berkata, "Kau
mementingkan persoalan itu aku pun tak bisa menyalahkan kau. Tapi dalam keadaan gawat begini
apakah kau mampu dan bisa menempuh perjalanan ke Tiang-pek-san?"
Thian-hi berdesah dengan rawan, "Soat-san-su-gou berempat Cianpwe wafat karena
aku, masa untuk mencoba saja aku tidak sudi?"
Thian-cwan menghela napas, ujarnya, "Maksud Soat-san-su-gou memang baik. Tapi
masa mereka tahu kalau ilmu silat Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay dapat menandingi
Bu-bing Loni?" Thian-hi terlongong2, ia tunduk dan tak kuasa bicara.
Kata Thian-cwan Taysu pelan2, "Saat ini sudah tentu siapapun tidak tahu, bukan
saja mereka berdua, dulu situa Pelita pun menyangka Go-cu Taiysu bisa menandingi Bu-bing-
Loni, tapi menurut hematku, belum tentu demikian."
Thian-hi melengak dengan rasa tak percaya, tanyanya, "Apakah Bu-bing Loni betul2
tiada tandingan diseluruh kolong langit ini?"
Thian-cwan Taysu geleng2 kepala, jawabnya, "Untuk hal ini siapapun tak berani
memastikan namun untuk saat ini aku sendiri juga sangsi dan belum tahu ada tokoh mana yang
mampu dan kuat menandingi Bu-bing Loni."
Thian-hi terlongong bungkam.
Thian_cwan Taysu melanjutkan, "Kalau kau mau menghimpas sakit hatimu, tiada
halangan kau menetap disini selama seratus hari. tapi aku pun tidak memaksa kau, kalau
tekadmu hendak pergi ke Tiang-pek-san, boleh silakan kau berangkat!"


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-hi angkat kepala memandang kearah Thian-cwan Taysu.
Thian-cwan Taysu tahu maksud Thian-hi, sesaat ia menatap wajah orang lalu
katanya, "Aku akan suruh mereka melepas kau pergi."
Thian-hi tertunduk lagi, katanya, "Terima kasih akan kebaikan Taysu, sekarang
juga Hun Thianhi mohon diri!" "Siau_sicu," ujar Thian-cwan menghela napas, "Sesat dan lurus hanya terpikir
dalam kilasan otak manusia, Sicu berteksd berkecimpung di Kangouw, sungguh Hwesio tua ini
merasa kagum. Sebelum berangkat ingin aku memberi sedikit bekal kepadamu, hanya bersabar dan
berlaku bijaksanalah baru akan tercapai cita2mu tanpa me-nyia2kan harapan orang banyak."
Thian-hi terlongong sebentar lalu menyembah tiga kali kepada Thian-cwan Taysu,
setelah menjemput Badik buntung terus mengundurkan diri.
Terdengar Thian-cwan Taysu berseru keluar, "Ti-hay!"
Tampak Ti-hay beranjak masuk dari luar hutan. Segera Thian-cwan Taysu memberi
perintah, "Hantarkan Hun-sicu keluar!"
Ti-hay tertegun, tanyanya, "Supek, mengantar dia keluar?"
"Ada urusan baru dia mencari aku," demikian Thian_cwan menjelaskan, "Hakikatnya
tiada berniat jahat, selamanya Siau-lim kita jarang turut campur urusan Kangouw, untuk
urusan ini kita pun harus dapat membedakan siapa salah dan benar!"
Ti-hay lantas membungkuk tubuh dan mundur. Hun Thian-hi mengintil dibelakang Ti-
hay keluar dari hutan bambu terus keluar dari lingkungan biara Siau-lim.
Setelah sampai diluar pintu, segera Ti-hay merangkap tangan serta katanya, "Hun-
sicu, maaf Siauceng tidak mengantar lebih jauh lagi.."
Ter-sipu2 Hun Thian-hi menjura serta katanya, "Banyak terima kasih kepada
Siausuhu." Ti-hay lantas membalik tubuh dan masuk kembali. Thian-hi menghirup napas lega,
sejenak ia celingukan keempat penjuru, sekelilingnya sepi tanpa kelihatan bayangan
seorangpun, dengan perasaan hampa dan kosong per-lahan2 ia berjalan turun gunung, hatinya tengah
menerawang wejangan yang diberikan oleh Thian-cwan Taysu tadi.
Sambil berjalan turun gunung, otak Thian_hi berputar, "Apakah benar Bu_bing Loni
tanpa tandingan diseluruh dunia" Menurut kata Thian-cwan Taysu Ce-han-it-ki dan
Ciang_ho-it_koay dari Tiang-pek-san belum mampu menandingi Bu-bing Loni, tapi itu kan penilaian masa
lalu, siapa tahu sekarang" Begitulah berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, namun ia
masih bertekad hendak menuju ke Tiang-pek-san.
Baru saja Thian-hi tiba dikaki gunung dan beranjak dijalan raja, dari kejauhan
lantas terlihat Thian-mo-kiam Liong Lui memimpin sebarisan anak buahnya dari Partai Merah tengah
membedal tunggangannya menuju kearah dirinya.
Lekas2 Thian-hi berlari menyingkir, untung Liong Lui dan anak buahnya tidak
melihat dirinya. Sedang Liong Lui dan kawan2 seperti punya kerja penting terus membedal lewat
dengan kencang. Setelah rombongan Liong Lui pergi jauh baru Thian-hi melongok keluar. Mendadak
seekor kuda mencongklang mendatangi secepat terbang, untuk sembunyi sudah tak sempat lagi,
sudah tentu Thian-hi menjadi kaget, waktu ditegasi pendatang itu bukan lain adalah putri
Ciok Hou-bu itu majikan Hwi-cwan-po yaitu Ciok Yan adanya.
Melihat Hun Thian-hi cepat2 Ciok Yan melompat turun. Thian-hi mundur dua langkah
mengawasinya dengan mendelong.
Ciok Yan berdesah, katanya, "Dimanakah Bun-pangcu sekarang?"
Kiranya orang bukan mencari dirinya dengan heran Thian-hi menggeleng kepala.
Melihat jawaban Thian-hi, Ciok Yan membanting kaki, cepat2 ia melompat naik
keatas tunggangannya terus dibedal kedepan dengan kencang.
Thian-hi menjublek ditempatnya mengantar bayangan Ciok Yan yang semakin jauh,
rada lama kemudian baru ia sadar dan tertawa geli sendiri akan kebodohan dirinya, diam2 ia
memaki kenapa hubungan asmara antar muda mudi saja tidak dapat dirabanya.
Thian-hi jadi berpikir tentu Ciok Yan ada urusan mencari Bun Cu-giok, gerak-
gerik rombongan Liong Lui pun sangat mencurigakan, tentu ada sesuatu hal telah terjadi yang
tidak menguntungkan Bun Cu-giok. Sejak dirinya diusir dari perguruan hanya Bun Cu-giok
seorang yang menjadi sahabat kentalnya. Entah sejak pulang tempo hari bagaimana pula dengan
Partai Putih yang tengah menghadapi berbagai persoalan, bila perlu aku harus menyusul kesana
membantu dia.. Ter-sipu2 Thian-hi ber-lari2 menelusuri jalan raja mengejar kedepan mengikuti
telapak kaki kuda. Kira2 setengah jam kemudian ia menanjak naik keatas sebuah bukit kecil,
baru saja ia sampai diatas bukit terdengar gelak tawa orang yang sudah dikenalnya, serunya,
"Ternyata kau berani datang masuk perangkap."
Waktu Thian-hi menoleh seketika ia melongo, tampak diatas bukti berdiri jajar
beberapa orang, mereka bukan lain adalah Ciok Hou-bu majikan Hwi-cwan-po, Tio Hong-ho dan Liong
Lui dari Partai Merah dan anak buahnya, yang berdiri paling samping adalah Ciok Yan.
Begitu Thian-hi tiba, segera Ciok Hou-bu bergelak tawa, serunya, "Hun-siauhiap,
aku Ciok Houbu sungguh kagum akan nyalimu yang besar, berani kau bunuh Giok-yap Cinjin
Ciangbunjin Butong- pay, sekarang berani berlenggang kangkung berjalan di jalan raja."
Berubah air muka Hun Thian-hi, dengan cermat ia bergantian mengawasi tiga orang
didepannya, sindirnya, "Sebaliknya akupun merasa kagum akan kesetiaan kawan
kalian serta berterima kasih akan kehormatan yang tinggi ini, entah ada keperluan apakah
kalian menanti aku disini?" Ciok Hou-bu ter-kekeh2 tanpa bicara, sebaliknya Tio Hong-ho tertawa kering,
serunya, "Memang kita sedang menanti kedatanganmu."
Sebentar saja otak Thian-hi yang encer sudah dapat menebak, diam2 ia membatin
dalam hati; tentu mereka hendak menyebak Bun Cu-giok disini, sungguh goblok justru akulah
yang masuk perangkap mereka. Dari samping Ciok Yan berkata kepada Ciok Hou-bu, "Ajah, Bun Cu-giok tidak akan
datang, masa begitu bodoh dia bisa kena pancing."
"Budak goblok, cerewet!" semprot Ciok Hou-bu gusar.
Thian-hi tahu, kata2 Ciok Yan itu ditujukan kepadanya secara tidak langsung
memberi tahu akan maksud tujuan mereka sebenarnya. Sedikit memutar otak cepat2 Thian-hi
berlari turun bukit. Sejak tadi Ciok Hou-bu selalu mengawasi gerak-gerik Thian-hi, begitu ia bergerak
sebat sekali iapun sudah mengebutkan mantel abu2nya menyerang kepada Hun Thian-hi.
Sigap sekali Hun Thian-hi sudah mengeluarkan Badik buntung, dimana sinar hijau
pupus berkelebat, gesit sekali ia balas menyerang kepada Ciok Hou-bu. Ciok Hou-bu
menggerung gusar, terpaksa ia melompat mundur sambil mengegos. Sementara itu Tio Hong-ho dan Liong
Lui melejit maju mencegat jalan mundur Thian-hi, serentak pedang dan tongkat mereka bergerak
menyerang saling silang dari dua jurusan, pedang membabat pinggang sedang tongkat
menyerampang kaki Hun Thian-hi. Hun Thian-hi menggertak keras, jurus Gelombang perak mengalun berderai
dilancarkan, sekaligus ia punahkan serangan musuh dan merabu maju, terpaksa ketiga lawannya
melawan dengan senjata dan ilmu simpanan masing2.
Thian-hi tahu bahwa ketiga seterunya ini bertujuan hendak mencelakai jiwa Bun
Cu-giok sekarang Bun Cu-giok belum datang, inilah kesempatan bagi aku untuk memancing
pergi mereka bertiga supaya Bun Cu-giok tidak terjebak. Karena pikirannya ini sebat sekali ia
melompat jauh dengan gerak ringan tubuhnya yang pesat dan enteng, sekali ia menerobos lewat
diantara samberan senjata ketiga lawannya terus berlari kencang ke arah depan Sana.
Badik buntung milik Hun Thian-hi adalah benda pusaka yang selalu diimpikan dan
diincar oleh ketiga gembong silat tamak itu. Apalagi Hun Thian-hi memikul dosa dengan tuduhan
sebagai pembunuh Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin, siapa saja yang dapat membekuknya
bakal terangkat nama dan gengsinya
Sudah tentu ketiga lawannya tidak mau melepasnya begitu saja, dengan kencang
serempak mereka mengejar dengan kencang.
Bukan gentar atau gugup sebaliknya Thian-hi malah berlega hati bahwa usahanya
ternyata berhasil memancing ketiga musuhnya berkisar dari tempat bukit kecil itu. Dengan
demikian maka terlepaslah Bun Cu-giok dari perangkap yang telah mereka rencanakan. Apalagi
kepandaian dan kemampuan ketiga lawan ini bila mau cukup dengan bekal kepandaiannya sekarang
mudah sekali untuk mengalahkan mereka.
Baru pikiran ini terkilas dalam benaknya, mendadak terdengar derap lari kuda
yang berlari pesat sekali, begitu dekat kontan menerjang ke arah Ciok Hou-bu, Tio Hong-ho dan
Liong Lui bertiga serta merabu dengan serangan pedang yang ganas.
Waktu Thian-hi berpaling pendatang ini kiranya bukan lain Pangcu Partai Putih
Bun Cu-giok si pedang mas cambuk perak. Berhasil mendesak mundur ketiga lawan baru Bun Cu-giok berkesempatan menoleh
kepada Hun Thian-hi, serunya, "Dari mana kau saudara Hun?"
"Bun-pangcu," teriak Thian-hi,
"kenapa kau ke-mari"
Dari nona Ciok tadi kudengar katanya mereka hendak menjebak kau!"
Tergetar badan Bun Cu-giok, namun sikapnya masih tenang2 dan tertawa, tanyanya,
"Saudara Hun hendak kemana kau sekarang?"
Dalam pada itu Ciok Hou-bu sudah menyerbu tiba sambil menggerung gusar,
mantelnya menderu menyapu datang. Sementara pedang dan Tongkat Tio Hong-ho serta Liong Lui
juga tengah mengancam dari jurusan lain.
Se-olah2 tidak terjadi apa2, seenaknya saja Bun Cu-giok tidak pandang sebelah
mata keroyokan para musuhnya. Tampak batang pedang mas berkilau menggetar me-nutul2
sejurus saja sekaligus ia punahkan serangan ketiga lawannya.
Diam2 terperanjat hati Thian-hi, batinnya, "Kepandaian silat Bun Cu-giok
ternyata begitu tinggi, kalau tidak mengandal ketajaman senjatanya pusaka mungkin si orang tua jubah
merah Pangcu Partai Merah bukan menjadi tandingannya.
Karena ia menonton dengan seksama, pikiran pun tengah melayang sesaat ia menjadi
lupa menjawab pertanyaan orang.
Melihat Thian-hi menonton dengan cermat pertempuran satu lawan tiga, diam2
girang hati Bun Cu-giok, sengaja ia ingin pamer kepandaian ilmu pedangnya, sinar pedang
berkilatan selulup timbul, beruntun lima jurus ia menyerang mundur musuh ber-ulang2.
Tanya Bun Cu-giok setelah mendesak mundur ketiga musuhnya, "Dikalangan Kangouw
tersiar kabar katanya saudara Hun telah membunuh Giok-yap Cinjin, bagaimana duduk
perkara sebenarnya apakah saudara Hun sudi beritahu kepada aku?"
Mendadak Hun Thian-hi teringat bahwa guru Bun Cu-giok adalah Sute Giok-yap
Cinjin, entah bagaimana pandangannya mengenai persoalan ini, sejenak ia tatap wajah Bun Cu-
giok, dilihatnya orang tiada punya maksud buruk, maka segera ia menjawab, "Soal ini tersangkut
paut dengan Mo-bin Su-seng (pelajar muka iblis). Apalagi kedua murid Giok-yap Cinjin yaitu
Gwat Long dan Sing Poh juga jelas tahu peristiwa itu, Terlalu panjanglah kalau mau
diceritakan." Setelah mendengar sekedar penjelasan Thian-hi yang singkat itu, Bun Cu-giok
angkat alis dan berseru kepada Ciok Hou-bu bertiga, "Apakah kalian masih ingin bertempur?"
Ciok Hou-bu mendengus, jengeknya, "Kita mengundang kau, apa kau tahu apa tujuan
kita?" Bun Cu-giok ter-bahak2 serunya, "Go Ciok kenapa tidak datang?"
Thian-liong-kiam Liong Lui menjengek dingin, "Kita bertiga sudah lebih dari
cukup untuk membereskan kau, kenapa harus Pangcu sendiri yang turun tangan?"
Bun Cu-giok menggeram, semprotnya, "Kalian dua golongan menyergap dan
memusnahkan Kim-ke-cheng waktu pihak lawan tak bersiaga, kalian sangka urusan lantas beres
sampai disitu saja" Gi Ciok sendiri punya sepak terjang tengik seperti bajingan, maka jangan
salahkan kalau aku menghukum kalian dulu!"
Ciok Hou-bu tersenyum sinis, katanya, "Bun pangcu seorang gagah yang perwira,
aku Ciok Hou-bu benar2 kagum. Urusan harus dibikin beres secepatnya menurut keadilan bagi


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang cerdik pandai." Bun Cu-giok ter-bahak2, serunya, "Ciok-pocu punya cara muslihat apa untuk
menundukkan aku, Bun Cu-giok ingin belajar kenal!"
Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, dari percakapan ini baru ia tahu bahwa
urusan ternyata sudah berkembang begitu jauh Pihak Kim-ke-cheng sudah musnah begitu gampang
dalam waktu singkat. Kenapa" Bukan lain hanya karena sebilah Badik buntung.
Segere Hun Thian-hi menimbrung, "Hanya karena sebilah Badik buntung milikku itu
Partai Merah dan Hwi-cwan-po memusnahkan seluruh Kim-ke-cheng, aku Hun Thian-hi betul2
menjadi mati kutu. Tapi Hun Thian-hi ingin minta penjelasan langsung dari Ciok-pocu,
mengandal apa Hwicwan- po kalian bisa malang melintang didaerah Kanglam?"
Ciok Hou-bu ter-loroh2. Tanpa menanti orang berhenti tertawa.
Bun Cu-giok menyindir dengan seringai sinis, "Ciok Hou-bu, kau hendak menjebak
dan mencelakai aku. Lebih baik sekarang kau pulang ke Hwi-cwan-po, coba lihat
mungkin sarangmu itu sudah kubumi hanguskan seluruhnya."
Berubah hebat rona wajah Ciok Hou-bu.
Tio Hong-ho yang berwatak tenang mendengus, bujuknya, "Ciok-pocu, jangan kau
percaya dengan obrolannya. Partai putih sedang kepepet dari dua jurusan, diutara oleh
Thian-san-ji-long, diselatan ada kita beramai, masa mereka masih punya kekuatan pergi ke Hwi-cwan-
po!" "Apakah begitu gampang seperti uraianmu?" jengek Bun Cu-giok, "Aku kuatir kau
hanya mengudal ludah saja."
Segera Ciok Hou-bu menenangkan hati, bukan mustahil hal itu bisa terjadi, sesaat
ia terlongong ditempatnya. Terpikirkan olehnya usaha capek lelah selama puluhan tahun telah
lenyap hanya sekejap mata saja betapa tidak sayang dan murung hatinya. Saking gegetun dan
gemas ia putar mantel ditangannya terus menyerbu seperti banteng ketaton.
Tampak diujung lirikan mata Bun Cu-giok, Ciok Yan tengah berlari menyingkir
sambil menutupi raut mukanya dengan kedua tangan. Hatinya menjadi menyesal dan ragu2, cepat2 ia
menarik tali kekang mencongklang kudanya menyingkir dari serangan Ciok Hou-bu ini.
Dengan kalap Ciok Hou-bu menyerbu terus dengan serangan gencar. Tio Hong-ho
memburu maju kesamping Ciok Hou-bu dan membisiki, "Saudara Ciok! Kenapa menjadi kalap!"
Tersentak hati Ciok Hou-bu, tergugah semangatnya untuk berpikir secara terang,
bukankah obrolan orang belum terbukti kenyataannya, sedang pihak sendiri masih punya tipu
muslihat untuk menjebaknya. Karena itu cepat2 ia menyurut mundur, serunya, "Orang she Bun, hari
ini kuampuni jiwamu, aku akan kembali memeriksa dulu!" bersama mereka bertiga terus ia
membalik dan berlari2 meninggalkan gelanggang. Bun Cu-giok menjengek dingin, matanya menerawang keempat penjuru, batinnya, "Aku
Bun Ciok-giok masa bernyali kecil, biar kau mengatur jebakan apapun juga akan
kuterjang." Kudanya segera dikeprak mengejar serunya, "Begitu gampang kalian hendak melarikan
diri ?" Sambil berlari Ciok Hou-bu menolhi dan berteriak, "Gi-pangcu berada didalam
lembah didepan sana, apa kau berani kesana?"
Bun Cu-giok ter-kakak2, sudah dalam rekaan hatinya bahwa Gi Ciok memendam diri
disana hendak menyergap dirinya, sekarang terbukti kenyataannya. Kudanya dipecut
berlari semangkin kencang. Terpaksa Hun Thian-hi juga ikut berlari pesat, teriaknya, "Bun-pangcu
hati2 kau!'" "Legakan hatimu saudara Hun," teriak Bun-cu-giok sambil tertawa lebar, "Bun Cu-
giok tidak gentar menghadapi Thay-i-kiam miliknya itu."
Sementara itu Ciok Hou-bu bertiga sudah mencapai mulut lembah yang sempit itu,
sebat sekali Thian-hi mengerahkan tenaga menjejakkan kaki, tubuhnya melambung tinggi dan
meluncur kedepan, ditengah udara ia berteriak, "Ciok-pocu, harap berhenti sebentar."
Namun Ciok Hou-bu menjawab dengan gelak tawanya, sekejab saja mereka sudah
berkelebat hilang dibalik mulut selat yang sempit itu.
Bun Cu-giok mencongklang kudanya masuk kedalam lemtah yang sempit, kedua
lampingnya tinggi dan terjal, baru saja beberapa puluh langkah tiba2 terdengar suara
gemuruh seperti gugur gunung, ber-puluh atau beribu batu besar kecil tiba2 berjatuhan dari atas tebing
seperti hujan derasnya. Keruan bukan kepalang kaget Bun Cu-giok dan Thian-hi, sigap sekali Bun Cu-giok
melompat turun dari tunggangannya sambil menyeret Thian-hi menyingkir kesamping dan
berdiri membelakangi dinding batu yang terjal itu, mereka menjadi repot menghindar dan
memukul batu2 yang meluruk keseluruh tubuh mereka. Kira2 setengah jam lamanya hujan batu
gunung itu berlangsung sampai mereka kehabisan tenaga, setelah suasana menjadi hening dan
terang kembali seluruh lembah sempit itu sudah penuh tertimbun batu dan debu, Thian-hi
berdua sudah kepayahan tertimbun setengah badan, dalam waktu dekat mereka tak mampu bergerak
dan meloloskan diri dari himpitan batu2.
Tak lama kemudian tampak Ciok Hou-bu bertiga mendatangi. Sambil cengar cengir
Ciok Hou-bu bertiga tertawa sinis kegirangan. Maju selangkah gampang sekali Tio Hong ho
merebut Badik buntung yang digenggam ditangan Thian-hi. Ada niat Thian-hi hendak melawan apa
daja tenaga sudah habis, untuk bergerak saja tak mampu.
Bun Cu-giok menghela napas rawan, katanya kepada Thian-hi, "Saudara Hun! Sungguh
aku sangat menyesal." Hun Thian-hi tersenyum, ujarnya, "Ah, Bun-pangcu kenapa bicara begitu. Kalau
Bun-pangcu tidak menyeret aku tadi siang2 jiwaku ini pasti sudah melayang."
Setelah dapat merebut Badik buntung, dengan seksama Tio Hong-ho tengah
memeriksanya, wajahnya dihiasi senyum kegirangan
Ciok Hou-bu menjadi mendelu, tanyanya rada tak senang, "Tio-tongcu cara
bagaimana kau hendak membereskan kedua orang ini ?"
Tio Hong-ho tertawa kering, katanya, "Menurut hemat Pangcu kita untuk memulihkan
kekuatan dan pangkalan Thay-i-bun kembali betapapun perlu minta bantuan Hun Thian-hi.
Kalau kita meringkusnya dan diserahkan kepada Bu-tong-pay, tentu selanjutnya seluruh kaum
Kangouw tidak bersikap bermusuhan lagi dengan Thay-i-bun. Sedang Bun Cu-giok punya permusuhan
dengan Ciok-pocu, dia boleh kuserahkan kepada Pocu terserah bagaimana kau hendak
membereskan dia." Seketika berkobar amarah Ciok Hou-bu, dalam hati ia mengumpat, "Jang
menguntungkan kau keruk sendiri, sedang Bun Cu-giok yang bisa menimbulkan bencana kau serahkan
kepada aku, apa2an sikap kalian ini!" Dalam hati ia mengumpat namun situasi yang dihadapi
ini tak menginjinkan dia pengumbar nafsunya, maka dengan tertawa lebar ia berkata,
"Pikiran Pangcu kalian sungguh sangat sempurna, sebaliknya aku Ciok Hou-bu punya pandangan yang
rada berbeda." Tio Hong-ho tahu kalau Ciok Hou-bu tidak senang akan keputusan tadi, namun
urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh, bukan mustahil mereka bakal bertengkar sendiri,
sekarang Hwi-cwanpo sudah musnah, mengandal kekuatan Partai merah yang tersebar luas di kalangan
Kangouw kiranya tak perlu takut menghadapi Ciok Hou-bu.
Terdengar Tio Hong-ho tertawa terkekeh, serunya, "Kalau Ciok-pocu punya pendapat
silakan bicarakan. Hanya aku kuatir Pangcu kita tidak bakal setuju pendapat Ciok-pocu
itu." Semakin berkobar amarah Ciok Hou-bu, terang orang tengah menggunakan tipu
menyebrang sungai memutus jembatan memukul jatuh anjing kedalam air, jelas sekali menghina
Hwi-cwan-po yang sudah musnah itu. Sedapat mungkin ia menahan gelora amarahnya, setelah
bergelak tawa sekian lama ia berkata, "Semula partai kalian mengajak aku berserikat, tujuan
utama Ciok Hou-bu adalah Badik buntung, sedang Partai kalian menghadapi Partai putih yang
merupakan musuh kebujutan. Menurut perjanjian semula sudah seharusnya Badik buntung itu
diserahkan kepada aku, sedang Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi boleh kalian urus."
"Pendapatmu ini tidak mungkin terlaksana, perjanjian semula boleh dianggap
batal." demikian jawab Tio Hong-ho sambil menyeringai.
Tak tertahan lagi gejolak amarah Ciok Hou-bu, desisnya dingin, "Apa yang
kuucapkan tadi sebetulnya sudah memberi banyak kelonggaran dan memberi muka kepada partai
kalian." Tio Hong-ho bergelak tawa, serunya, "Ciok-pocu, kita bekerja harus menurut
aturan, bagaimana menurut pendapat Ciok-pocu mengenai hal ini'"
Ciok Hou-bu mendengus, batinnya, "Apakah ini yang dimaksudkan dengan mengenai
aturan?". Kata Tiok Hong-ho meneruskan diplomasinya, "Memang, pembagian cara ini pihak
partai kita rada mengambil sedikit keuntungan. Tapi Ciok-pocu harus ingat, semula cara
bagaimana dan kenapa Kita sampai berserikat?"
"Apakah perlu ditanyakan lagi?" demikian umpat Ciok Hou-bu dalam hati.
"Aku percaya Ciok-pocu sudah maklum dalam hati," begitulah Tio Hong-ho
meneruskan pidatonya, "kita bergabung karena keuntungan dan berpisah setelah keuntungan itu
tercapai, ini kan sudah jamak, apakah Ciok-pocu berani menyanggah akan kebenaran ini?"
Ciok Hou-bu tertawa hambar, katanya, "Kalau demikian kukuh pendapat Tio-tongcu,
terpaksa Ciok Hou-bu mohon diri saja........."
"Ciok-pocu tunggu sebentar," teriak Tio Hong-ho, "Bun-pangcu tak berguna lagi
bagi kita, silakan Ciok-pocu membawanya pulang."
Ciok Hou-bu menggeram, otaknya berpikir, "Jelas kalian gentar menghadapi gurunya
yang kenamaan yaitu Ce-hun Totiang, demi mengambil hati pihak Bu-tong-pay lantas
kalian serahkan dia kepadaku." mendadak tergerak hatinya, otaknya sudah merancang suatu
muslihat, dengan pura2 tertawa ia berkala, "Kalau Tio-tongcu memang berkeputusan begitu, terpaksa
Ciok Hou-bu menurut saja." Tiok Hong-ho tertawa lebar dimabuk kemenangan. Mendadak Ciok Hou-bu menggertak
keras mantel abu2nya bergulung lempang terus terbang menyerang kearah Tio Hong-ho.
Serangan dilancarkan secara tak terduga, Tio Hong-ho tak bersiaga lagi, menurut
dugaannya semula Ciok Hou-bu sudah gentar dan kuncup menghadapi Partai merah yang sudah
semakin menanjak dikalangan Kangouw, betapapun dia takkan berani sembarangan bergerak,
apalagi kepandaian silat sendiri tidak terpaut jauh dibanding kemampuan Ciok Hou-bu.
Begitulah waktu mendengar samberan kuat menyerang kearah dirinya, sekuatnya ia
bergerak mengepos. namun dimana mantel itu menyamber lewat, seketika ia menjerit se-
keras2nya, tahu2 lengan kirinya sudah tersapu kutung.
Berhasil akan serangannya Ciok Hou-bu tak berhenti sampai disitu saja, tampak
mantelnya berkembang me-nari2 dengan derasnya membawa deru angin yang sangat kencang,
sekaligus ia sudah melancarkan kepandaian tunggal yang paling dibanggakan, yaitu tiga belas
jurus Hwi-cwankian- soat. Tampak setabir bayangan abu2 berkembang melebar kekanan kiri menyerang
kearah dua orang musuhnya. Terpaksa Liong Lui mencabut pedangnya menangkis, susah payah ia menghalau setiap
serangan Ciok Hou-bu. Dalam waktu dekat memang Liong Lui kuat bertahan, tapi
lama kelamaan ia semakin terdesak dan mundur selangkah demi selangkah.
Dalim pada itu Tio Hong-ho sudah berhasil membalut luka2 dilengan kirinya
mencegah mengalirnya. banyak darah, sambil kertak gigi ia mengayun tongkat senjatanya
membantu Liong Lui berdua mereka mengerojok Ciok Hou-bu.
Begitulah mereka bertiga bertempur dengan sengit, dalam wuktu singkat keadaan
menjadi berimbang. Sudah tentu kejadian ini sangat menguntungka Bun Cu-giok dan Hun
Thian-hi. Hun Thian-hi pernah menelan buah ajaib, sedang Bun Cu-giok pun punya dasar
latihan Sianthian- cin-gi dari aliran murni, dalam waktu singkat tenaga dan semangat mereka bisa
pulih kembali. Pertempuran sudah berjalan ratusan jurus, keadaan masih tetap sama kuat. Diam2


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-hi dan Bun Cu-giok saling memberi isyarat, mereka membentak bersama sekaligus
berhasil membongkar batu besar dan debu yang menghimpit mereka terus melompat keluar.
Tapi kelihatan kedua kaki masing2 basah lembab oleh darah yang merembes dari luka2.
Sudah tentu Ciok Hou-bu bertiga kaget setengah mati, Sementara itu Bun Cu-giok
serahkan pedang masnya kepada Hun Thian-hi, untuk melawan musuh ia melolos cambuk perak
sebagai gaman. Tepat saat itu juga, dari luar lembah terdengar derap kaki kuda yang berlari
pesat. Seketika Tio Hong-ho dan Liong Lui mengunjuk rasa girang, pendatang ini bukan lain adalah
Pangcu Partai Merah Gi Ciok adanya. Belum lagi sampai Gi Ciok sudah melambung tinggi, ditengah udara melolos pedang
pusaka terus meluncur menyerbu kearah Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok menghardik ringan, tombak perak ditangan kanan terayun, laksana ular
hidup cambuknya melilit kearah Thay-i-kiam musuh.
Terdengar Gi Ciok mendengus kaget, terasa sesuatu keganjilan diluar
kesigapannya. Diketahui olehnya bahwa cambuk perak Bun Cu-giok itu kiranya bukan sembarang senjata
umumnya yang terbuat dari perak biasa, tetapi adalah terbuat dari anyaman sutra perak dan
benang baja yang ulet tak mempan senjata. Maka cepat2 ia menarik pulang pedangnya. Kesempatan ini tak di-sia2kan oleh Bun
Cu-giok, cambuk perak ditangan kanannya diobat-abitkan sekencang kitiran menyerbu semakin
gencar, setiap lecutan tentu mengarah jalan darah mematikan diseluruh badan Gi Ciok.
Gi Ciok harus kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, meski terdesak ia masih
kuat bertahan terus sampai ratusan jurus Kemudian baru ia bisa memperbaiki posisinya.
Sekarang keadaan kelihatan sama kuat.
Thian-hi tahu bahwa tenaga Bun Cu-giok belum pulih seluruhnya, tentu tidak
menguntungkan bertempur lama-lama, segera ia berkata, "Bun-pangcu, hari ini kita hentikan dulu
sampai disini." Bun Cu-giok insaf hari ini tentu tak mudah mengambil kemenangan, apalagi kalau
Ciok Hou-bu berbalik kepihak musuh lagi tentu semakin berabe, sambil bergelak tawa ia
berkata, "Hari ini cukup sekian saja, tapi urusan ini takkan ada habisnya."
Sementara itu Gi Ciok tengah keheran-heranan akan kepandaian silat Bun Cu-giok
yang luar biasa itu, mendengar itu segera ia pura-pura menggertak, "Apa, kau hendak lari?"
Bun Cu-giok menyeringai, katanya kepada Ciok Hou-bu, "Hwi-cwan-po sebetulnya
masih utuh, tapi akan datang suatu hari akan kubumi hanguskan rata dengan tanah." - Habis
berkata lalu tinggal pergi bersama Hun Thian-hi.
Ciok Hou-bu berdiri menjublek, tak tahu bagamana baiknya, bahwa Hwi-cwan-po
masih utuh ini benar-benar suatu berita yang menggembirakan, namun keadaan sekarang adalah
sangat berbahaya bagi dirinya Pangcu Partai Merah Gi Ciok sudah cba, apakah dia rela
melepas dirinya. Dalam pada itu Hun Thian-hi dan Bun Cu-giok sudah berlari jauh. Gi Ciok tahu
dirinya takkan mampu merintangi, terpaksa ia mandah saja membiarkan mereka pergi.
Pelan-pelan Gi Ciok lantas membalik. Tio Hong-ho segera maju mempersembahkan
Badik buntung katanya, "Pangcu! Badik buntung berhasil kurebut. Tapi karena Ciok Hou-
bu merintangi sehingga kedua orang itu tak dapat dibekuk, harap Pangcu mendapat tahu."
Gi Ciok manggut-manggut sambil menerima Badik buntung. Sekian lama ia mengamati
dan meneliti seluruh batang Badik buntung itu. Pelan-pelan sinar matanya terangkat
naik berpindah menatap kepada Ciok Hou-bu.
Tergetar jantung Ciok Hou-bu.
Terdengar Gi Ciok menjengek, "Ciok-pocu, kelakuanmu ini apakah terhitung
berserikat dengan kita?" " Ciok Hou-bu tahu bahwa Gi Ciok takkan melepas dirinya, dari kepepet ia menjadi
nekad, katanya sambil tertawa lebar, "Gi-pangcu sebaliknya apakah kalian punya maksud
yang serius hendak berserikat dengan kita!"
Gi Ciok menggeram gusar, tahu dia kalau Ciok Hou-bu bisa berdiri menjagoi
sesuatu daerah dan membangun Hwi-cwan-po yang kenamaan tentu punya kepandaian simpanan yang
diandalkan, kalau tidak turun tangan sendiri tentu takkan dapat menundukkan dia.
Gi Ciok terkekeh dingin, tantangnya, "Ciok-pocu angkat nama karena tiga belas
jurus Hwicwan- kiaH-soat itu, hari ini Gi Ciok minta belajar kenal betapa lihay ketiga belas
jurus ilmu mantelmu itu." Ciok Hou-bu tak mau unjuk kelemahan, tertawa bahak-bahak iapun mengejek, "Betapa
beruntungnya Ciok Hou-bu mendapat pelajaran langsung dari Gi-pangcu, matipun
puaslah!" - tanpa sungkan-sungkan segera ia menggentakkan mantel dari punggungnya.
"Senjataku ini adalah sebilah pedang pusaka, kalau dalam sepuluh jurus aku tidak
dapat mengalahkan kau, urusan hari ini anggap himpas seluruhnya." demikian ejek Gi
Ciok. Ciok Hou-bu insaf, jangan kata sepuluh jurus, hanya lima jurus saja mungkin
dirinya takkan kuat bertahan, namun urusan sudah mendesak begitu jauh, terpaksa ia kerahkan
tenaga dan menggerakkan mantelnya, dengan jurus-jurus ilmu Hwi-cwan-kian-soat ia mendahului
menyerang. Gi Ciok menyungging seringai sadis, cepat sekali ia berkelit kian kemari
membebaskan diri dari samberan mantel musuh. Sekali pedangnya menyontek ke atas, dalam sejurus saja ia
berhasil mengupas sebagian kecil ujung mantel Ciok Hou-bu.
Berubah air muka Ciok Hou-bu, mantelnya dikebutkan dengan jurus It-sek-hun-kian
menggulung ke arah muka Gi Ciok.
Gi Ciok mengandalkan senjata pusakanya sedikit pun ia tidak gentar menghadapi
musuh, bukan mundur atau berkelit sebaliknya dengan berani ia memapak maju, ujung pedangnya
tahu-tahu sudah mengancam di depan dada lawan.
Terpaksa Ciok Hou-bu melompat mundur, sehingga serangannya gagal di tengah
jalan. Gerak pedang Gi Ciok ternyata hebat sekali belum sempat Ciok Hou-bu memperbaiki
posisinya, tahu-tahu mantelnya sudah terkutung menjadi dua oleh ketajaman pedang pusaka musuh.
Insaflah Ciok Hou-bu bahwa dirinya memang bukan tandingan lawan, terpaksa ia
pasrah nasib dan menyerah mentah-mentah, dengan tertawa lebar ia buang mantelnya serta
katanya, "Aku Ciok Hou-bu mengaku kalah, terserah bagaimana kalian hendak membereskan aku."
Gi Ciok tertawa dingan, katanya kepada Tio Hong-ho, "Tio-tongcu, Ciok-pocu sudah
menyerah, dia membuntungkan lenganmu, sekarang terserah bagaimana kau hendak
menghukumnya." Sungguh Tio Hong-ho tidak menyangka bahwa Ciok Hou-bu diserahkan kepadanya untuk
memberi hukuman, sesaat ia menjadi melongo tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ciok Hou-bu punya nama dan kedudukan di kalangan Kangouw, kalau menghukumnya
terlalu berat kuatir para sahabatnya nanti menuntut balas. Kalau hukuman terlalu ringan,
kelak mungkin bakal menimbulkan bencana juga bagi dirinya, untuk sesaat ia menjadi bingung
mengambil keputusan. "Bagaimana?" Gi Ciok mendesak, "Apa Tio-tongcu belum tahu?"
Cepat Tio Hong-ho menjawab, "Selamanya Partai Merah mengutamakan keadilan dan
kebenarbenaran, dia telah membuntungi lenganku. Aku tidak bisa menghukumnya terlalu berat,
apalagi Partai Merah tidak suka mengikat permusuhan, sekarang lengan kiriku sudah
buntung maka akupun mengutungi lengan kanannya saja. Bagaimana pendapat Pangcu?"
Gi Ciok manggut-manggut dengan puas. Pucat wajah Ciok Hou-bu, sebagai seorang
tokoh persilatan, apalagi dalam usia yang sudah menanjak setengah abad, kalau sebuah
lengannya buntung berarti menjadi cacat.
Gi Ciok maju ke hadapannya, katanya kepada Ciok Hou-bu, "Bagaimana Ciok-pocu?"
Hakikatnya Ciok Hou-bu takkan mampu melawan atau mati adalah bagiannya, terpaksa
ia mengulurkan lengan kanannya, sekali bacok Gi Ciok memapas kutung lengan kanan
orang. Kontan Ciok Hou-bu menjadi pucat pasi.
Gi Ciok terbahak-bahak, ujarnya, "Ciok-pocu, sebuah lengan diganti sebuah
lengan, untuk selanjutnya golongan kita sudah himpas dan tidak punya hutang piutang lagi." -
lalu bersama Tio Hong-ho dan Liong Lui mereka tinggal pergi menunggang kuda.
Otak Ciok Hou-bu terasa hampa dan kosong, setelah membalut sekedarnya luka-luka
lengan kanannya ia berjalan terhuyung-huyung. Dalam keadaan kehabisan darah pikirannya
menjadi semakin kabur, entah berapa jauh sudah ia berjalan jatuh bangun, yang terpikir
dalam otaknya melulu, "Lengan kananku sudah buntung!" - begitulah dia terus melanjutkan ke
depan. Akhirnya ia sampai di tanjakan bukit berbatu, sampai disini tak mungkin ia kuat
merambat ke atas, ia berdiri menjublek dan terlongong disitu, mulutnya menggumam, "Tidak ada
jalan lagi." Mendadak dibelakangnya terdengar sabda Budha, dengan linglung Ciok Hou-bu
menoleh, tampak seorang Hwesio tua tengah beranjak mendatangi.
Sambil tersenyum Hwesio tua itu berkata kepada Ciok Hou-bu, "Kenapa Sicu tak
melanjutkan ke depan?" "Terus ke depan?" sahut Ciok Hou-bu bingung, "Depan sana tiada jalan lagi.
"Kembali tentu ada jalan!" sahut Hwesio tua.
Ciok Hou-bu melengak, desisnya, "Kembali?"
Hwesio tua manggut-manggut, katanya tertawa, "Kenapa lengan kanan Sicu buntung?"
"Dibacok buntung oleh orang."
"Dibacok buntung orang?" Hwesio tua menegas, "Loceng kuatir mungkin lengan itu
bukan dikutungi oleh orang lain."
Ciok Hou-bu tertegun, desisnya lagi, "Bukan dibacok buntung" Kalau begitu tentu
kubacok buntung sendiri, cara bagaimana aku membacoknya buntung?"
Hwesio tua tersenyum simpul tak bersuara, sesaat kemudian baru buka suara,
"Benar-benar, cara bagaimana kau mengutungi lenganmu sendiri!" habis berkata ia putar tubuh
terus tinggal pergi. Ciok Hou-bu masih menjublek di tempatnya, sejenak kemudian otaknya rada tergetar
sadar cepat-cepat ia berteriak, "Lo-suhu harap tunggu sebentar."
Hwesio tua tak hiraukan panggilannya terus berjalan ke depan. Lekas-lekas Ciok
Hou-bu mengejar, sampai dibelakangnya Ciok Hou-bu tak berani mendahului ke depan,
begitulah ia terus mengintil di belakang Hwesio tua itu, lambat laun bayangan mereka menghilang
dibayang2 hutan yang lebat. Setelah meninggalkan lembah, ditengah jalan Bun Cu-giok menanyakan pengalaman
sejak mereka berpisah tempo hari. Thian-hi tahu tujuan Bun Cu-giok ingin tahu
persoalan pembunuhan atas Giok-yap Cinjin, maka dengan jelas ia menceritakan.
Bun Cu-giok termenung sebentar. lalu katanya, "Guruku sudah lama mengasingkan
diri, soal ini tentu beliau tak mau urus. Tapi kita berdua sudah mengalami berbagai bencana dan
bahaya sehidup semati, untuk persoalan ini kau pun tak perlu kuatir, aku akan
membantumu sekuat tenaga supaya kau dapat melanjutkan ke Tiang-pek-san."
Hun Thian-hi tertawa getir, katanya, "Bun-pangcu, banyak terima kasih akan
maksud baikmu, kalau hanya aku seorang gampang saja aku mau sembunyi kemana. Sebaliknya Partai
Putih untuk hari2 selanjutnya perlu tegak berdiri di Kangouw, betapapun jangan karena
persoalanku sehingga timbul permusuhan dengan para sahabat Bulim!"
Bun Cu-giok tertawa tawar, katanya menggoyang tangan: Sudah lima tahun aku
berkelana di Kang-ouw, hanya kaulah seorang yang menjadi sahabat kentalku. Tujuanku berkelana
di Kangouw bukan mengejar nama atau mencari keuntungan pribadi. Seumpama Partai Putih harus
lenyap dari Kangouw pun tak kupedulikan lagi!"
Thian-hi menjadi heran, tanyanya, "Lalu apa tujuan Bun-pangcu sebenar-benarnya?"
Bun Cu-giok tertawa getir, katanya menggeleng, "Kau tidak tahu, akupun tidak
akan tahu." Thian-hi mengira Bun Cu-giok punya rahasia hati yang sulit dikatakan, maka iapun
tak mendesak lebih lanjut. "Mungkin usiamu lebih muda beberapa tahun baiklah aku panggil kau ajk saja,"
demikian kata Bun Cui-giok sambil menghela napas, "Masih banyak urusanku yang belum dapat kau
pahami kuberitahu pun tiada gunanya."
Bertambah heran benak Thian-hi. Mendadak teringat olehnya akan sikap Bun Cu-giok
yang rada ganjil waktu mendengar rasa prihatin Ciok Yan terhadapnya, tiba-tiba ia tertawa,


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya, "Apakah maksud Bun-heng mengenai asmara muda-mudi?"
Bun Cu-giok angkat kepala menatap Thian-hi, desisnya, "Lote, apakah kau...."
sampai disini Bun Cu-giok menjagi geli sendiri.
Bab 8 Sontak Thian-hi merasa jantungnya berdebur keras, hatipun tak tenang, nada
tertawa Bun Cugiok malah membangun kembali kenangan yang tak menentu, bayangan Ham-gwat, Su Giok-
lan dan Siau Hong berkelebat dalam benaknya, akhirnya bayangan jelita lenyap dan
berganti wajah dingin kaku dan seram dari muka Bu-bing Loni.
Tanpa merasa bergidik tubuh Thian-hi, badannya merinding dan terasa dingin.
setelah menghirup hawa ia berkata, "Saudara Bun jangan berkelakar."
Bertaut alis Bua Cu-giok, hatinya membatin, "Kenapa kelihatannya Hun Thian-hi
takut menghadapi wanita, hanya menyinggungnya saja kenapa badan sampai gemetar?"
Thian-hi menghembuskan angin dari mulutnya, ditatapnya sikap dan mimik wajah Bun
Cu-giok, ia tertawa dibuat-buat, pikirnya mungkin aku terlalu serius dan tegang dalam
bicara tadi. Mendadak ia tertawa lebar dan katanya, "Ucapanku tadi hanya pancingan saja,
karena waktu kusinggung tentang nona Ciok kulihat mimik dan sikap saudara Bun kurang wajar."
Terketuk sanubari Bun Cu-giok, katanya tersipu-sipu, "Lote, jangan kau sembarang
ngoceh, jangan main-main dengan urusan asmara!"
Melihat kegugupan Bun Cu-giok, Thian-hi menjadi bergelak tawa ujarnya, "Siaute
berpikir sampai sekarang saudara Bun belum punya istri, nona Ciok seorang gadis rupawan,
lemah lembut lagi, menurut penilaian Siaute watak dan martabatnya pun boleh deh...."
Sampai disini dilihatnya. perubahan air muka Bun Cu-giok, maka segera ia
berhenti kata, dan merubah haluan, "Saudara Bun, maaf akan kelancangan mulutku tadi."
Bun Cu-giok menghela napas, ujarnya, "Tak apa, aku sedang memikirkan persoalan
lain, apakah patut aku berbuat begitu."
Hun Thian-hi bungkam, Bun Cu-giok pun tenggelam dalam renungannya. Mendadak ia
bertanya kepada Thian-hi, "Lote, ada satu persoalan hendak kutanya kepadamu. Jikalau
seseorang melakukan pekerjaan, tapi melanggar adat istiadat dan pengajaran, namun ia ingin
beaar melakukan semua itu, apakah patut kalau dia melaksanakan terus niatnya itu?"
Mendelong mata Thian-hi mengawasi Bun Cu-giok, hatinya heran dan bertanya-tanya
kenapa Bun Cu-giok menyinggung persoalan begitu kepada dirinya, sebentar ia berpikir
lalu jawabnya, "Aku sendiri juga tidak tahu. Tapi menurut hemadku kalau dia merasa betul, boleh
saja dia melakukan keinginannya."
Bun Cu-giok menunduk terpekur, katanya kemudian, "Lote, mari kita berangkat,
coba lihat, bagaimana dandanan kita sekarang!"
Waktu Thian-hi menunduk, memang separo badan mereka sudah kotor dan lembab oleh
noda2 darah tercampur debu, tak kuasa ia menjadi tertawa geli.
Cepat-cepat mereka menuju kesebuah kota kecil. Anak buah Partai Putih tersebar
luas dimanamana, tak lama kemudian mereka sudah berganti pakaian, dan menginap semalam dikota
itu. Hari kedua Thian-hi berkeras hendak melanjutkan perjalanan seorang diri.
Terpaksa Bun Cu-giok mengangguk setuju.
Begitulah Hun Thian-hi lantas berangkat melalui jalan raja. Jauh dibelakangnya
Bun Cu-giok berlari-lari kecil mengejar. Entah berapa lama Bun Cu-giok berlari saat mana
tiba didataran tinggi. yang menghijau. Mendadak Bun Cu-giok berhenti dan berdiri terlongong, jauh di
sebelah sana kelihatan sebuah bayangan orang yang sangat dikenalnya, bayangan orang bergoyang
gontai berjalan pelan-pelan. Orang ifu bukan lain adalah CioK Yan adanya.
Ciok Yan berjalan menunduk dan tengah menghampiri ke arah dirinya. Jantung Bun
Cu-giok seperti bertambah berdegup dan darahnya menggelora, napas pun jadi memburu.
Hampir ia berniat menyingkir, namun kaki terasa berat dan mungkinkah ia tinggal pergi"
Ciok Yan sudah semakin dekat, setiap langkah Ciok Yan menambah jantung Bun Cu-
giok berdetak semakin cepat, sekarang jelas kelihatan rambut panjang Ciok Yan yang
awut2an, matanya yang redup dan titik-titik air mata yang membasahi pipinya.
Akhirnya Bun Cu-giok tak kuasa angkat kepala, sementara itu Ciok Yan sudah
berjalan lewat di sampingnya seperti orang linglung hakikatnya seperti tak dirasakan akan
kehadiran Bun Cu-giok di pinggir jalan itu. Sungguh rawan perasaan Bun Cu-giok, hati laksana ditusuk sembilu, sekuatnya ia
bertahan supaya air mata tidak meleleh keluar. Saat itulah terketuk hatinya, ia merasa
tidak seharusnya ia membiarkan keadaan Ciok Yan yang menyedihkan itu, tak tertahan lagi ia
berteriak, "Nona Ciok!"
Ciok Yan tersentak kaget dari lamunannya, seketika ia berdiri menjublek.
Bun Cu-giok berseru lagi, "Nona Ciok!"
Pelan-pelan Ciok Yan menoleh memandang ke arah Bun Cu-giok. Bun Cu-giok tak
berani beradu pandang dengannya, cepat-cepat ia berpaling ke arah lain, namun sekilas
saja ia sudah melihat jelas wajah Ciok Yan yang aju jelita, begitu menggiurkan dan menawan
hati. Waktu pertama kali mereka jumpa, dia kelihatan begitu gagah dan berani, sekarang
seperti seekor kelinci yang ketakutan dan terluka, ah, betapa bijaksana hatinya!
Sekian lama Ciok Yan terlongong memandang wajahnya tanpa bersuara.
Apa boleh buat akhirnya Bun Cu-giok buka suara lagi, "Nona Ciok, lekas kau
pulang saja, Hwicwan- po hakikatnya tidak pernah kumusnakan."
Biji mata Ciok Yan memancarkan cahaya aneh yang gemilang, matanya terbelalak
kesima mengawasi Bun Cu-giok, rasa rawan dan kesedihan hatinya seketika tersapu bersih.
Lubuk hatinya yang paling dalam mendadak merasa kegembiraan yang sangat aneh dan
menggairahkan. Desisnya kegirangan, "Kau.... apakah ucapanmu benar-benar?"
Bun Cu-giok tersenyum dan balas pandang, ujarnya, "Kau tidak percaya kepadaku?"
"Tidak!" kata Ciok Yan kememek, air mata berlinang dikelopak matanya, "Maksudku
aku kegirangan Bun-pangcu, kau...."
Melihat air mata Ciok Yan, Bun Cu-giok menjadi terpesona, pikirannya melayang,
"Ternyata dia begitu lincah dan lucu," diam-diam ia merasa lega, namun tak terpikir olehnya
kata-kata manis yang enak dikatakan, terpaksa ia berkata pendek, "Aku...." Kenapa aku?"
Melihat pandangan Bun Cu-giok yang tajam dan penuh mengandung arti itu, Ciok Yan
menjadi malu dan menunduk, batinnya, "kiranya Bun Cu-giok menyusul kemari hendak mencari
aku malah memberi penjelasan duduk perkara sebenar-benarnya. Usianya masih begitu muda,
berkepandaian silat tinggi, sikapnya begitu baik pula terhadap dirinya."
Melihat Ciok Yan menunduk malu tergetar hati Bun Cu-giok, tersipu-sipu ia
berkata, "Nona Ciok,
lekaslah kau pulang. Sekarang aku masih ada urusan, segera harus berangkat!"
Ciok Yan angkat kepala, katanya, "Apa" Kau akan berangkat kemana?"
Sedapat mungkin Bun Cu-giok tertawa sewajarnya, sahutnya, "Hun Thian-hi tengah
terkepung oleh berbagai mara bahaya, aku hendak menyusul dan melindungi jiwanya."
Lagi-lagi Ciok Yan menunduk dengan rawan, katanya tersendat, "Kalau begitu
silakan kau pergi." "Kau sendiri, kau harus lekas pulang!" ujar Bun Cu-giok gugup karena sikap Ciok
Yan yang ogah2-an. Ciok Yan memutar tubuh tanpa bicara lagi, pelan-pelan ia tinggal pergi.
Bun Cu-giok mengejar beberapa langkah, katanya, "Nona Ciok, kupinta kepadamu, jangan kau
menuju ke tempat lain, langsung pulang saja ke rumahmu."
Sesaat Ciok Yan menatap Bun Cu-giok lalu manggut-manggut, katanya, "Terima kasih
Bunpangcu." Bun Cu-giok menghirup hawa panjang, dipandangnya punggung Ciok Yan semakin
menjauh, sejenak ia terlongong, tiba-tiba tergetar hatinya, cepat-cepat ia memutar tubuh
hendak mengejar kesana tapi begitu ia berputar kontan ia tersentak kaget, entah kapan di
belakangnya sudah berdiri seorang nenek ubanan.
Bergegas Bun Cu-giok menyurut mundur, dengan seksama ia awasi nenek tua ini,
sekarang baru lega hatinya, kiranya nenek ini adalah Hoan-hu Popo dari pegunungan
Tangkula di daerah barat, kepandaian silatnya tidak di bawah gurunya Ce Hun Totiang.
Tersipu-sipu Bun Cu-giok menjura serta sapanya, "Nenek apa kau baik."
Hoan-hu Popo memicingkan matanya, tanyanya tertawa, "Gadis remaja tadi baik
bukan?" Bun Cu-giok mengalihkan pandangannya, apa boleh buat ia manggut-manggut.
Kata Hoannhu popo tersenyum simpul, "Kau tak perlu takut, kulihat sikapmu
terlalu baik padanya, kau harus berkumpul sama dia."
Bun Cu-giok tergagap, jawabnya, "Jangan nenek berkelakar, Sutit masih banyak
urusan lain." Berubah dingin wajah Hoan Hu, jengeknya, "Karena Hun Thian-hi bukan" Kau berani
melindungi dia, ketahuilah kedatanganku justru hendak mencabut nyawanya."
Bun Cu-giok menjadi gugup, serunya, "Nenek, dia orang baik. Giok-yap Cinjin
bukan meninggal di tangannya, dia kena difitnah orang lain."
"Bocah kecil jangan terlalu banyak turut campur urusan orang." semprot Hoan-hu
popo. Keruan Bun Cu-giok semakin gelisah, bujuknya, "Kenapa nenek kemari mencarinya.
Berilah muka kepadaku dan memberi ampun pada jiwanya!"
"Tidak bisa!" sentak Hoan-hu sambil menarik muka.
Bun Cu-giok menjadi heran, teraba olehnya sikap Hoan-hu yang kereng ini bukan
kenyataan hendak membunuh orang, kelakuan kasarnya memang sengaja dilakukan untuk
menakut2i saja. Ia beragu sebentar lalu katanya, "Nenek, adakah sesuatu urusan yang perlu
kulakukan?" Hoan-hu merengut, semprotnya, "Urusan apa yang perlu kau kerjakan" Omong kosong
belaka." Bun Cu-giok rada kuatir kalau membuat sinenek marah mungkin urusan selanjutnya
bakal lebih sulit diselesaikan, cepat-cepat ia merubah sikap, ia berkata tersenyum: ....Nenek.
pandanglah muka Siautit dan berilah kelonggaran!"
Hoan-hu popo menggeram, tanyanya, "Berapa tahun kau berkelana di Kangouw.
semakin lama semakin bejat dan tak tahu aturan."
Bun Cu-giok menjadi kikuk dan bungkam tak bisa bicara.
Kata Hoan-hu popo lagi, "Apa yang terkandung dalam sanubarimu kuketahui semua,
namun gurumu tak pernah mengurus kau, kalau dia tidak peduli biar aku yang mewakili
dia mengajar adat kepadamu. Cepat kau susul dahulu nona kecil itu kemari."
Bun Cu-giok melengak, tanyanya menegas, "Nona kecil yang mana?"
"Bocah goblok, jangan pura-pura linglung, lekas susul dia, jangan sampai ia lari
jauh atau tak kuberi ampun kepada kau...."
Bun Cu-giok menjadi serba susah, terdengar Hoan-hu mendengus, katanya, "Ajahnya
sudah cukur gundul menjadi Hwesio, kenapa kau suruh dia kembali seorang diri?"
Bun Cu-giok melengak kaget, dipandangnya mata Hoan-hu lekat-lekat. Hoan-hu
mendesak lagi, "Lekas susul dia!" terpaksa Bun Cu-giok beilari mengejar' ke depan.
Tak lama kemudian ia sudah dapat menyusul Ciok Yan. Ciok Yan masih berjalan
pelan-pelan sambil menundukkan kepala. Mendengar derap langkah ia angkat kepala dan menoleh,
dengan heran dan bertanya-tanya ia pandang Bun Cu-giok.
Kata Bun Cu-giok tersendat, "Nona Ciok! Seorang teman guruku bernama Hoan-hu
Popo hendak mencari kau, ada berapa patah kata yang hendak disampaikan kepadamu."
"Apa?" Ciok Yan menegas dengan terlongong.
"Cepatlah," desak Bun Cu-giok, "Kalau sampai dia jengkel urusan bakal berabe."
Sejenak Ciok Yan sangsi, akhirnya ia mengintil di belakang Bun Cu-giok. Mulutnya
bertanya, "Untuk keperluan apa dia mencari aku?"
"Akupun tidak tahu," jawab Bun Cu-giok singkat.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai dimana Hoan-hu popo menunggu. Dengan
tersenyum manis Hoau-hu menatap Ciok Yan, bergegas Ciok Yan maju berapa langkah
serta sapanya, "Wanpwe Ciok Yan menghadap pada nenek!"
Hoan-hu menarik Ciok Yan lebih dekat, dengan lekat-lekat ia mengawasi wajah
orang, tak tertahan mulutnya. menggumam, "Ah, anak yang kasihan!"
Hati Ciok Yan menjadi pedih, tak tertahan airmata mengalir deras, ia menangis
sesenggukan. "Jangan nangis, jangan nangis! bujuk Hoan-hu sambil menepuk2 bahunya. Lalu ia
berpaling ke arah Bun Cu-giok dan berkata, "Cu-giok, lihatlah betapa baik dan rupawan gadis
ini dimana ada kekurangannya." Bun Cu-giok terperanjat, mulutnya ternganga tak mampu bicara, sesaat baru ia
berkata, "Baik, baik sekali, tiada kekurangannya!"
"Nah kalau begitu baik kujodohkan menjadi istrimu saja. Untuk selanjutnya kau
harus

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membimbingnya baik!"
"Apa?" Bun Cu-giok dan Ciok Yan berteriak bersama.
"Kenapa?" tanya Hoan-hu, "Bukankah menguntungkan kau malah?"
Cepat Ciok Yan menalangi, "Nenek, bagaimana bisa, ayahku...."
Hoan-hu membujuk dengan kata-kata manis, "Kau tak perlu kuatir, ayahmu diapusi
Hwesio aneh itu menjadi muridnya. Tentu dia setuju dan tiada persoalan lagi."
"Aku....aku....Bun Cu-giok hendak menolak.
"Kau kanapa?" semprot Hoan-hu, "Apa kau tidak setuju?"
"Bukan nenek tidak tahu" demikian ujar Bun Cu-giok sambil tunduk, ....Soalnya
aku...." "Jangan kau takut,"-Hoan-hu menghibur. "Akulah yang bertanggung jawab kepada
gurumu, sedang calon istrimu itu, buang saja."
Ciok Yan tersentak kaget,
"Apa?" tanyanya, Sungguh diluar tahunya bahwa Bun Cu-giok ternyata sudah punya
calon istri. Bun Cu-giok tunduk semakin dalam. Kata Hoan-hu lebih tandas, "Aku yang
bertanggung jawab. kenapa takut-takut lagi. Kukira gurumu pun akan setuju."
Sekilas Bun Cu-giok melirik ke arah Ciok Yan, dilihatnya orang pun menunduk
tanpa bersuara, akhirnya iapun tunduk lagi tanpa bicara.
Hoan-hu memandang ]ekat2, katanya, "Cu-giok, tak perlu beragu, kebahagian hanya
sekilas datangnya, kalau kau ingin bahagia dihari tua, cepatlah kau ambil putusan!"
Bun Cu-giok masih tunduk tak berani ambil putusan.
Hoan-hu membujuk lagi, "Dalam segala hal terang Nona Ciok lebih unggul dari Nona
Ce itu, sudahlah kau jangan terlalu berat mengenangnya!"
Dilain pihak hati Ciok Yan sendiri juga tengah bimbang, pikiran dan kemauannya
saling bertentangan tak tertahan lagi air mata mengucur deras.
"Nona Ciok," ujar Hoan-hu. "Apakah kau mau?"
Pikiran Ciok Yan kusut dan bingung. jawabnya, "Nenek, aku tidak mau menikah!"
Hoan-hu menjadi heran dan menatapnya dengan tak mengerti, lalu berpaling dan
berkata kepada Bun Cu-giok, "Cu-giok, kau tunggu disini sebentar, aku hendak bicara
dengan nona Ciok." Lalu digandengnya tangannya diajak menyingkir.
Ciok Yan mandah saja diseret menyingkir sambiil tunduk, entah apa yang hendak
dikatakan Hoan-hu kepadanya, hatinya menjadi kebat kebit. Betapapun dia takkan begitu saja
menyetujui akan perjodohan ini, sebagai seorang wanita menjadi keharusan untuk menjaga
gengsi pribadinya. Hoan-hu membawa Ciok Yan kebawah sebuah pohon besar yang rindang, dengan tangan
ia suruh Ciok Yan duduk disebelahnya, mulailah ia buka mulut bicara kepada Ciok
Yan, "Mungkin kau menyangka cara kerjaku terlalu sembrono bukan?"
Ciok Yan menggeleng, katanya, "Aku belum memahami jiwa dan karakternya."
"Bukan kau tidak paham kepadanya," ujar Hoan-hu, "yang terang kau menyangsikan
rahasia dibalik pribadinya itu bukan?"
Ciok Yan tunduk tak bersuara. Hoan-hu menghela napas sambil menepuk bahunya,
katanya, "Ada sebuah cerita, apakah kau mau mendengarkan?"
"Cerita?" tanya Ciok Yan heran.
"Dulu adalah seorang pendekar muda," demikian Hoan-hu mulai ceritanya, "belum
lama ia berkelana di Kangouw, waktu itu usianya masih muda dan berwajah ganteng,
kepandaian silatnya pun lihay, sikapnya menjadi congkak dan mau menang sendiri, sudah menjadi kodrat
alam akhirnya ia jatuh cinta dengan seorang gadis."
Sampai disini ia berhenti sebentar. Pikiran Ciok Yan lantas melayang, mungkin
ini cerita pengalamannya sendiri waktu masih muda dulu.
Memang tampak Hoan-hu tengah termenung2 dan tertawa-tawa tenggelam dalam
kenangan lama. Akhirnya ia melanjutkan, "Meski jatuh cinta, nmun ia tak berani menyatakan rasa
cintanya itu. Sebaliknya gadis itupun sebetulnya merasa tertarik juga kepadanya, melihat
sikapnya itu timbul salah paham, disangkanya si pemuda adalah begitu congkak dan takabur."
Ciok Yan menunduk, dua tokoh dalam cerita itu persis benar-benar seperti
bayangannya dengan Bun Cu-giok. Kulit muka Hoan-ihu berkerut-kerut, lalu katanya lebih lanjut, "Pada suatu hari,
pendekar itu tiba-tiba pergi mencarinya, secara langsung ia meminang dan mengharap sang gadis
pujaan mau menjadi istrinya!" Sampai disini ia berpaling ke arah Hoan-hu, tanyanya, "Seumpama gadis itu adalah
kau, bagaimana kau hendak mengambil sikap?"
"Aku tidak tahu." Ciok Yan menjawab singkat.
"Martabatnya baik, dari sepak terjangnya di kalangan Kangouw dapatlah dinilai
jiwanya itu, tapi tiada orang yang tahu perihal asal usulnya, apalagi dia adalah begitu
mendadak...." ia merandek
sebentar lalu melanjutkan, "Gadis itu menjadi marah, ia merasa seolah-olah
terlukakan oleh tusukan pedang di ulu hatinya, lalu memakinya kalang kabut, dikatakan dia
terlalu takabur, berlawanan dengan lubuk hatinya ia menyatakan bahwa dia tidak menyukainya!"
Ciok Yan mengeluh tertahan, pikirnya kalau aku sendiri yang mengalami kejadian
itu, aku pun akan berkata begitu. "Akhirnya baru gadis itu tahu bahwa pendekar muda itu ternyata adalah murid Bu-
tong Ciangbunjin, sebetulnya dia harus masuk biara menjadi imam, tapi demi sang
pujaan hatinya dia rela kehilangan segala miliknya, namun gadis itu berkeras tak menyetujui."
Baru sekarang Ciok Yan dapat meraba pendekar muda yang dimaksud dalam cerita itu
tak lain tak bukan adalah Ce-hun Totiang adanya.
Hoan-hu berkata lagi, "Cu-giok adalah anak baik. Untuk ini aku berani bicara
dimuka, dulu memang ia sudah mengikat tali perjodohan, namun calon istrinya itu sepak
terjangnya semakin kotor, dari lurus menjurus ke sesat. Setelah mengetahui hal ini, saking duka
seorang diri ia berkecimpung di dunia persilatan. Sebaliknya perempuan itu belum tahu bahwa Cu-
giok sudah tahu akan tingkah lakunya, hatinya masih terkenang akan pujaan hatinya ini. Maka
Cu-giok menjadi hidup sengsara dan merana, dalam hal ini kaulah yang dapat membantunya
untuk melupakan perempuan itu!"
Ciok Yan semakin dalam menunduk. Hoan-hu tertawa geli, ujarnya, "Ajahmu sudah
menjadi Hwesio, kalau kau sudi, Hwi-cwan-po boleh bergabung dengan Partai Putih, kupikir
ayahmu tentu sangat senang mendengar berita ini."
Terpikir oleh Ciok Yan, "Agaknya Bun Cu-giok bukan seorang tamak dan pengecut
seperti yang tersiar di kalangan Kangouw, dia boleh dipercaya, apalagi sejak bertemu aku
sudah memujanya, asal aku sudah mengetahui martabat dan jiwanya sudah cukup, kenapa menuntut
terlalu jauh." Akhirnya ia tersenyum dan manggut-manggut setuju.
Hoan-hu berjingkrak bangun kegirangan, katanya sambil menarik tangan Ciok Yan,
"Bangunlah Cu-giok masih menanti kita disana!"
Begitulah mereka beranjak kembali. Hati Ciok Yan menjadi was-was, kuatir Bun Cu-
giok sudah tinggal pergi" Waktu sampai di tempat semula, tampak Bun Cu-giok masih berdiri
terlongong tanpa bergerak. Rada terhibur hati Ciok Yan, cepat-cepat ia menunduk dengan muka
merah malu. Ooo)*(ooO Sekarang baiklah kita ikuti perjalanan Hun Thian-hi sejak berpisah dengan Bun
Cu-giok, seorang diri dengan tunggangannya langsung ia menuju ke Tiang-pek-san.
Satu jam kemudian, ia sudah menempuh kira-kira lima puluh li jauhnya. Dia insaf
siapapun yang bertemu dengan dirinya pasti takkan melepas begitu saja. Sejenak Thian-hi
menerawang 'pandangan alam sekelilingnya, pikirnya, kalau aku dapat selamat tanpa gangguan
hari ini, mungkin perjalanan kali ini bisa selamat sampai ke tempat tujuan.
Tengah ia berpikir2, kupingnya menangkap samberan angin kencang dari samping
menyerang dirinya, secara gerak reflek ia melolos pedang pemberian Bun Cu-giok terus
memapas ke arah datangnya serangan. "Tak," kiranya itulah sebatang kayu kering kecil yang patah
dua. Bercekat hati Thian-hi, ia celingukan kian kemari tiada tampak bayangan
seorangpun, ia menghembus napas sebal dari mulutnya lalu mengeprak kudanya ke depan, pedang
disarungkan kembali, untuk selanjutnya ia mulai waspada dan berjaga-jaga.
Tak lama kemudian sebatang kayu kering menyamber tiba lagi, kali ini Thian-hi
angkat tangan dengan kedua jari ia menjepit kayu kecil itu. Tapi tenaga luncuran kayu kecil
itu begitu besar dan kuat, jepitannya menjadi gagal, kayu kecil itu terus terbang melesat dari
sampingnya. Kejut Thian-hi seperti disengat kala, sekarang dilihatnya seseorang tengah duduk
bersila di atas sepucuk dahan pohon, orang itu bukan lain adalah Situa Pelita.
Bergegas Thian-hi melompat turun serta maju menyapa, "Kiranya adalah Jan-teng
Cianpwe, Wanpwe tidak tahu, harap suka dimaafkan!"
Tanpa bersuara Situa Pelita menatap Thian-hi le-kat2, rada lama kemudian baru
bicara, "Begitu besar nyalimu berani membunuh Giok-yap Cinjin!"
Hampir semua orang yang ketemu oleh Thian-hi tentu menuduhnya demikian, dengan
sedih ia menundukkan kepala. Situa Pelita mendengus serta katanya, "Waktu pertama kali aku melihat kau,
mengingat riwayat dan pengalamanmu yang penuh derita aku rada kasihan dan membantu kau. Aku
terburu-buru pergi karena punya urusan penting, untung waktu itu aku tidak turunkan ilmu
Ginkang milik tunggalku itu kepadamu- Jiwa Soat-san-su-gou berempat terhitung tersia-sia,
mereka salah menilai kau." "Cianpwe juga. mencurigai aku?" tanya Thian-hi mendongak.
"Kenapa" Kau berani tak mengakui dosa2mu itu?"
"Semua orang menuduhku begitu, apakah aku harus memberi penjelasan kepada
seluruh manusia di kolong langit ini" Kiranya cukup kukatakan bahwa bukan akulah yang
berbuat, aku tidak bisa menuntut kepada semua orang untuk memberi maaf kepada aku, namun
dalam sanubari aku selalu berdoa, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang telah terjadi!"
Situa Pelita menjadi bungkam, dengan mendelong ia awasi Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi berdesah sambil menunduk, ujarnya, "Cianpwe! Sikapku ini mungkin
rada keterlaluan, hakikatnya aku tidak tahu cara bagaimana aku harus memberi
penjelasan kepada setiap orang, aku pun takkan bisa membuat setiap orang mau percaya kepada aku."
Setelah berpikir Situa Pelita berkata, "Sebetulnya akupun tak berani berkukuh.
Aku hanya mendengar berita saja, kenyataan pihak Bu-tong-pay sudah menyebar Bu-lim-tiap,
mengundang seluruh tokoh-tokoh silat dari segala lapisan dan golongan untuk mencari jejakmu
bersama." "Thian-cwan Taysu mengatakan supaya aku bersabar, tujuan hidupku sekarang
hanyalah hendak menuntut balas bagi ayah dan Soat-san-su-gou berempat Cianpwe, soal lain
aku tidak ambil peduli lagi." Akhirnya Situa Pelita menghela napas, katanya memberi pesan, "Bagaimana duduk
perkara sebenar-benarnya sulit diterangkan. Tapi kau harus selalu ingat, hasrat kita
sangat besar terhadap kemajuanmu dihari depan, kau harus bisa mengendalikan diri baik-baik, sudah aku
pergi!" - enteng sekali tubuhnya lantas melayang jauh ke dalam hutan dan lenyap tanpa
meninggalkan bekas. Hun Thian-hi menjublek, pikirannya melayang jauh, akhirnya ia menghirup hawa
panjang, meski Situa Pelita tidak membantu secara langsung, namun sikap dan kata-katanya
itu sungguh membuatnya tunduk lahir batin.
Hun Thian-hi naiki kudanya dan melanjutkan perjalanan lagi. Tak lama kemudian ia
memasuki sederetan hutan-hutan lebat yang semakin gelap. Jalan punya jalan lambat laun
firasatnya bicara bahwa sekelilingnya telah penuh dikuntit oleh banyak perangkap. Segera Thian-hi
menarik tali kekang dan menghentikan kudanya, sekian saat ia celingukan ke sekitarnya.
Benar-benar juga tahu-tahu di hadapannya melayang turun dua sosok manusia,
mereka bukan lain adalah Gwat Long dan Sing Poh. Dengan sikap dingin Hun Thian-hi menatap
mereka berdua. Demikian juga Gwat Long dan Sing Poh berdiri tegak dengan sikap angker di kanan
kiri di hadapan kuda Thian-hi. "Untuk apa kalian menghadang perjalananku?" jengek Thian-hi dingin.
Gwat Long dan Sing Poh berkata bersama, "Seluruh tokoh Bulim siapa yang tidak
tahu bahwa kau telah membunuh guruku. Kenapa tanya lagi!"


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-hi tertawa dengan sombong, sindirnya, "Tapi adalah kalian berdua lebih
jelas dari aku siapa sebetulnya pembunuhnya?"
"Hun Thian-hi!" maki Gwat Long gusar, "jangan cerewet lagi, apa hari ini kau
sangka bisa keluar dari hutan ini" Hutan ini sudah terkepung rapat, seumpama tumbuh sayap
pun jangan harap kau dapat terbang ke langit!"
Thian-hi bergelak tawa dengan congkak, katanya, "Guru kalian Giok-yap Cinjin
semula menyangka kamu berdua sangat setia terhadap beliau, tapi setelah beliau wafat,
sepak terjang kalian sungguh...." "Hun Thian-hi jangan banyak bacot lagi!" teriak Gwat Long sambil mengulapkan
tangan ke belakang. "Lihatlah itu!"
Tampak dari hutan sebelah depan sana muncul Kongsun Hong gurunya.
Kata Gwat Long berpaling ke belakang, "Kongsun Tayhiap, muridmu disini bagaimana
menurut anggapanmu?" Melihat gurunya Kongsun Hong mendadak muncul di tempat itu, Thian-hi tercengang
heran, cepat ia nyapa, "Suhu!"
Lam-siau Kongsun Hong menatap tajam ke arah Thian-hi tanpa bersuara.
Gwat Long mendesaknya lagi, "Kongsun Tayhiap, kaulah seorang tokoh Kangouw yang
bangkotan, sepak terjang dan tingkah laku muridmu ini, kau sebagai gurunya
bagaimana mempertanggung jawabkan!"
Kongsun Hong menghela napas tanpa bicara. Thian-hi menunduk dengan sedih, jelas
terlihat olehnya titik-titik air mata dimuka gurunya. Dibanding pertemuan dengan gurunya
tempo hari Lam-siau Kongsun Hong sekarang kelihatan jauh lebih tua sepuluh tahun, rambut
dipinggir telinganya kelihatan sudah mulai ubanan.
Sekian lama Kongsun Hong tenggelam dalam renungannya, akhirnya ia angkat kepala
berkata kepada Gwat Long, "Aku mengusirnya dari perguruan terserah bagaimana kalian
hendak menghukumnya. Aku tak perlu banyak bicara lagi!"
Habis bicara terus tinggal pergi.
Gwat Long menjengek hidung, katanya, "Kongsun Tayhiap begitu saja keputusanmu?"
Kongsun Hong membalik ke arah Gwat Long katanya, "Bagaimana" aku menyerahkan dia
kepada kalian untuk menghukumnya sesuka hatimu apakah masih kurang adil?"
Gwat Long mendengus tak bicara lagi. Maksudnya semula hendak mendesak Kongsun
Hong supaya memerintahkan Hun Thian-hi bunuh diri, sekarang terpaksa harus turun
tangan sendiri.... Dengan berlinang air mata Hun Thian-hi mengawasi punggung Kongsun Hong yang
menghilang dibalik pohon dalam hutan. Tahu dia sikap dan keputusan gurunya terhadap dirinya
tadi adalah yang paling baik dan banyak memberi kelonggaran, dan terpaksa memang harus
demikianlah yang dapat diperbuatnya.... di hadapan para gembong-gembong silat Kangouw.
Seumpama Kongsun Hong mengetahui bahwa kematian Giok-yap bukan lantaran dirinya, diapun
bakal berbuat demikian. Gwat Long melolos pedang terus menyerang kepada Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi bergelak tawa, sigap sekali tubuhnya mencelat tinggi dari
tunggangannya, sebelah tangan kiri menanggalkan pedang dengan jurus Hun-liong-pian-yu ia balas
menyerang kepada Gwat Long. Hun-liong-pian-yu adalah salah satu jurus dari Thian-liong-chit-sek yang paling
hebat dan lihay. Meski Gwat Long sebagai murid Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin tak urung juga
terdesak mundur selangkah. Tapi dasar punya kepandaian tinggi dari didikan perguruan
murni ilmu silatnya memang lain dari yang lain. Kejap lain ia sudah dapat memperbaiki posisinya,
sekarang ia mulai balas menyerang, pedangnya panjang berterbangan, dengan jurus Soat-yong-lou-hwa,
selarik sinar dingin berputar terus balas menyerang mengarah tenggorokan Thian-hi.
Menyaksikan Gwat Long mendesak gurunya begitu rupa sungguh benci Thian-hi bukan
main, saking sengit segera ia kembangkan ilmu Gin-ho-sam-sek, tenaga dikerahkan
seluruhnya untuk merobohkan lawan. Melihat saudaranya rada terdesak Sing Poh segera mencabut pedang, sekarang
berdua mengepung Hun Thian-hi. Dengan dua lawan satu Hun Thian-hi masih lancar
memainkan Tamlian- hun-in-hap untuk menyerang dan untuk membela diri.
Pertempuran sudah berjalan setengah jam, meski Thian-hi membekal pedang aliran
murni dari tingkat yang paling tinggi, lama kelamaan ia merasa tenaga mulai terkuras habis,
pula Gwat Long dan Sing Poh sudah mainkan Cian-si-bik-so ilmu pedang gabungan yang kokoh dan
rapat sekali untuk menempur Thian-hi mati-matian.
Semakin tempur Gwat Long berdua semakin gagah dan serangan semakin gencar.
Tiba-tiba Hun Thian-hi bersuit nyaring panjang, tibalah saatnya ia kembangkan
jurus ketiga Gin-sho-sam-sek yang belum selesai dilatihnya. Dimana pedangnya berputar lempang
dimana jurus Hwi-ho-poh-cun-siau berkembang, cahaya mas berkilau mengembang lebar
langsung menerjang dan membobol kepungan jalur sinar pedang Gwa Long dan Sing Poh,
seiring dengan hasil gemilang ini tubuh Thian-hi pun ikut melesat keluar dari kepungan.
Begitu berhasil lolos dari kepungan seketika Thian-hi rasakan dadanya sesak dan
mual, tanpa kuasa mulutnya lantas menyemburkan darah segar, sekali lompat ke atas punggung
kudanya terus mencongklang keluar hutan.
Dalam ilmu Gin-ho-sam-sek hanya jurus ketiga inilah yang paling ganas dan
merupakan jurus menyerang melulu. Dulu karena belum selesai sempurna ciptaan jurus ketiga ini
maka Soat-sansu- gou tak berani melancarkan melawan Bu-bmg Loni sehingga mereka sendiri yang
menjadi korban. Atau kalau terpaksa dilancarkan tentu untuk hari2 selanjutnya bilamana
Hun Thian-hi melancarkan jurus ini Bu-bing Loni takkan gentar dan dapat menyelami inti sari
serta pemecahannya. Kenyataan memang mereka terdesak dan bakal kalah akhirnya mereka
sembunyikan jurus yang terlihay ini khusus diturunkan kepada Hun Thian-hi. Kalau
Hun Thian-hi kelak berhasil mempelajari dengan sempurna tentu akan merupakan tekanan berat
bagi Bu-bing. Dengan luka-luka berat Thian-hi semampai di atas kudanya terus menerjang keluar
hutan. Waktu sampai diluar hutan dimana sudah ada orang yang menunggunya. Pertama-tama
Toh-bingcui- hun yang menyerang lebih dulu, sekali ayun tangan kanan cincin pencabut nyawa
dan Cuihun- chit-sa-to sekaligus diberondong keluar, semua mengarah tempat mematikan di
tubuh Thianhi. Meski luka dalam sangat berat, tapi musuh menghadang jalan, terpaksa ia menahan
sakit dan kerahkan tenaga, dengan menggeram gusar pedangnya berkelebat miring, cukup
dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap seluruh hujan senjata rahasia kena dipukul runtuh.
Sementara itu jarak kedua belah pihak sudah semakin dekat terpaksa Toh-bing-cui-
hun To Hwi menggunakan pedang menyerang Thian-hi. Di belakangnya tampak Tosu gila juga
muncul, teriaknya tertawa, "Bocah, mau lari kemana lagi!"
Perasaan Thian-hi menjadi pedih seperti diiris-iris, Tosu gila yang tempo hari
pernah berjanji hendak membantu dirinya sekarang berbalik memusuhi dirinya. Saking berduka ia
bergelak tawa panjang, pedangnya bergerak kencang menangkis dan menyampok serangan senjata
para musuh, karena gelak tawanya ini darah menyembur lagi dari mulutnya. Melihat keadaan
Thian-hi, Tosu gila menjadi kaget, biji matanya memancarkan sorot cahaya aneh berkilat.
Beruntun pedang Thian-hi menutul dan menabas ke arah kedua musuh, terpaksa Tosu
gila berkelit mundur, Thian-hi berkesempatan mengeprak kudanya lari.
Tidak jauh Thian-hi lari Gwat Long dan Sing Poh sudah menyusul tiba. Tubuh
mereka bagai terbang mencelat tiba menghadang jalan Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi menjadi sengit bentaknya, "Jangan kalian terlalu mendesak orang!" -
matanya mendelik membara ke arah kedua musuhnya.
Gwat Long dan Sing Poh menjadi gentar dan mundur ketakutan. Dengan gusar Thian-
hi menggentakkan pedang menyerang lagi, karena kata-katanya tadi ia menyemburkan
darah segar. Urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh terpaksa Gwat Long berdua pun tak mau
menyudahi begitu saja. Mana kuat dan mana lemah jelas dapat dibedakan, sekali balas
menyerang' pedang Thian-hi mencelat dari cekilannya.
Tepat saat itu Toh-bing-cui-hun juga telah memburu tiba, pedangnya menusuk
kelambung Thian-hi karena tak membekal senjata terpaksa Thian-hi menjepit perut kudanya
melecutnya ke depan untuk menghindari tusukan ganas ini.
Melihat Toh-bing-cu-hun To Hwi begitu bernafsu hendak membunuh Thian-hi, memang
inilah yang menjadi maksud tujuan Gwat Long berdua, lmemberi peluang kepada TO Hwi. To Hwi lancarkan pula tabasan mengarah paha Thian-hi.
Sekonyong-konyong dari tengah udara meluncur sesosok bayangan orang, dimana
sinar perak berayun kontan pedang To Hwi kena tergulung terbang ke tengah udara.
Tampak Bun Cu-giok meluncur hinggap di tanah, sekilas dilihatnya dari kejauhan
banyak Tosu tengah memburu tiba, cepat-cepat ia berseru kepada Thian-hi, "Saudara Hun. Lekas
lari!" Sementara itu, Ciok Yan juga membedal kudanya menerjang tiba. Bun Cu-giok
mainkan ilmu cambuknya yang lincah dan hebat untuk mendesak para musuh, kesempatan lain
serentak mereka melarikan diri bersama. Sudah tentu Gwat Long dan Sing Poh tak rela ikan yang sudah masuk jaring
terlepas lagi. Dengan kencang mereka mengejar. Terpaksa Bun Cu-giok mainkan gabungan ilmu
pedang dan cambuk untuk menandingi para pengejarnya, sambil tempur terus melarikan diri.
Sekejap saja sepuluh li sudah ditempuh, lari bertempur masih terus berlangsung,
akhirnya tinggal Gwat Long dan Sing Poh yang masih terus mengejar.
Bun Cu-giok menghentikan langkah dan membalik tubuh, bentaknya kepada Gwat Long
berdua, "Cara bagaimana kematian Supek kalian berdua jelas mengetahui, tahu salah tapi
tak bertobat, sekarang malah berani main bunuh pada orang yang tak berdosa, dimana hati
nuranimu?" Sejenak Gwat Long berdua tercengang, akhirnya menebalkan muka berkata, "Kaukah
murid Cehun Totiang" Meski Ce-hun diusir dari perguruan, hubungan kental dengan guruku masih
kekal. Hun Thian-hi membunuh guruku, hal ini diketahui seluruh dunia, bagaimana kau
bisa melepas dia." Bun Cu-giok menjadi murka, makinya, "Sampai matipun kalian cdak insaf?" Pedang
mas dan cambuk perak bergerak bersama merabu kepada Gwat Long berdua.
Betapa girang hati Thian-hi mendapat bantuan Bun Cu-giok dan Ciok Yan, lambat-
lambat ia meraba daun buah ajaib terus ditelannya, bersama Ciok Yan menonton diluar
gelanggang. Seorang diri Bun Cu-giok melawan keroyokan Gwat Long dan Sing Poh. Sama-sama
murid Butong dari aliran murni, setiap jurus dan tipu permainan mereka hampir sama, sekejap
saja pertempuran sudah berlangsung lima puluh jurus.
Kuatir bala bantuan pihak lawan keburu tiba, segera Bun Cu-giok melompat mundur
terus naik ke atas kudanya serunya, "Tak perlu kulayani kalian!" bersama Thian-hi dan Ciok
Yan mereka lari pula dengan kencang. Gwat Long dan Sing Poh juga tahu tak lama lagi bala bantuan bakal tiba mana
mereka berani mengejar terus, kalau sekarang tidak beres tentu kelak menimbulkan bibit
bencana. Beberapa lama kemudian Bun Cu-giok berhenti dan memutar balik, hardiknya, "Kalian benar-
benar bandel?" Gwat Long berdua tak banyak bicara begitu dekat lantas menyerang. Hun Thian-hi
menggertak sengit. dengan kedua kepalannya ia lancarkan pukulan jarak jauh merabu kedua
musuhnya. Sungguh kejut Gwat Long berdua bukan main, cepat-cepat mereka jumpalitan
mengegos, kelihatannya tenaga Thian-hi sudah pulih begitu cepat, pelan-pelan mereka mundur
menjauh dan tak berani sembarangan bergerak. Bun Cu-giok berkakakan, baru saja mereka hendak
melanjutkan lari. Tiba-tiba meluncur turun bayangan orang dari tengah udara, tahu-tahu seorang tua
muka hitam berdiri tegak dihidapan Gwat Long berdua.
Terbelalak mata Thian-hi bertiga, cara gerak tubuh pendatang ini, sungguh sangat
menakjubkan, belum pernah terlihat orang bisa bergerak begitu lincah dan indah,
entah apa

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maksud kedatangannya Orang itu menggeram ditenggorokan sambil mendelik Ke arah
Thian-hi bertiga, lalu memutar menghadapi Gwat Long dan Sing Poh.
Begitu melihat jelas orang muka hitam kontan Gwat Long berdua mengunjuk rasa
girang dan berseri tawa, tersipu-sipu maju menjura serta sapanya, "Wanpwe Gwat Long dan
Sing Poh menghadap Cu-kat Cianpwe!"
Mendengar nama orang terkejut Bun Cu-giok, mulutnya mendesis, "Dialah jiang-ho-
it-koay Cukat Tam!" Thian-hi juga terlongong, memang ia sedang menempuh perjalanan menuju ke Tiang-
pek-san hendak mencari Ciang-ho-it-koay, tapi sekarang dia sudah datang sendiri, namun
situasi sekarang jelas sangat tidak menguntungkan bagi pihaknya.
Kata Cukat Tam kepada Gwat Long berdua. "Kudengar berita katanya gurumu sudah
wafat, apakah betul?" Gwat Long dan Sing Poh menjawab bersama, "Harap Cukat Cianpwe suka memberi
keadilan, memang begitulah kebenar-benarannya!"
Cukat Tam menoleh ke arah Bun Cu-giok, tanyanya menyerngai, "Siapakah Hun Thian-
hi?" "Akulah Hun Thian-hi!" jawab Thian-hi lantang.
Ciang-ho-it-koay mengawasi Thian-hi dengan seksama, tiba-tiba ia terbahak-bahak,
nada tawanya begitu keras mendengung di pinggir telinga sampai Thian-hi merasa pusing
tujuh keliling. Terpikir dalam dugaan Thian-hi bahwa Cukat Tam ini mungkin dulu pernah mendapat
kebaikan dari Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin, jelas hari ini dirinya takkan dapat
terhindar dari bencana. Hal yang paling menggelikan justru dirinya hendak pergi mencarinya.
Setelah menghentikan gelak tawanya Cukat Tam bertanya menegas, "Kau yang bernama
Hun Thian-hi?" Thian-hi tersenyum lebar, "Betul!" sahutnya manggut.
Cukat Tam mengawasi lagi dengan seksama, akhirnya ia berpaling dan berkata
kepada Gwat Long Sing Poh, "Benar-benarkah guru kalian terbunuh ditangannya?"
Gwat Long Sing Poh manggut bersama, menjelaskan, "Suhu tersesat waktu latihan
Lwekang, dalam keadaan tak bisa bergerak dan bicara, gampang saja dia membunuh beliau."
Ciang-ho-it-koay bergegas membalik tubuh serta membentak kepada Thian-hi dengan
gusar, "Kenapa kau membunuh Giok-yap Cinjin?"
Thian-hi tertawa-tawa, jawabnya, "Kau tanya saja kepada mereka berdua"
"Aku tanya kau!" hardik Cian-ho-it-koay murka.
Bun Cu-giok segera menyelak bicara dengan keras, "Giok-yap Supek hakikatnya
bukan dibunuh oleh Hun Thian-hi." Ciang-ho-it-koay tercengang, jengeknya kepada Bun Cu-giok, "Siapa kau?"
"Aku yang rendah Bun Cu-giok." sahut Bun Cu-giok lantang.
Ciang-ho-it-koay mendengus hina, ejeknya, "Bun Cu-giok merupakan kaum keroco
yang tak terkenal, kenapa diagulkan!"
Bun Cu-giok tahu selamanya Ciang-ho-it-koay bicara tentang budi tak mengenai
keadilan, jelas dia punya hubungan erat dengan Gwat Long dan Sing Poh, pihak sendiri terang
menjadi bulan2an belaka. Tiba-tiba tergerak hatinya, cepat ie menjura serta katanya, "Cukat Cianpwe
guruku Ce-hun, apakah Cianpwe pernah dengar nama beliau?"
Bertaut alis Ciang-ho-it-koay Cukat Tam, hatinya menjadi curiga dan bertanya-
tanya, dia tahu bahwa Ce-hun adalah Sute dari Giok-yap. Diantara sesama perguruan yang
sedemikian banyak hubungan Giok-yap paling akrab dengan Ce-hun, kenapa para murid kedua tokoh
seperguruan mereka saling bertentangan" Katanya, "Jadi kau murid Ce-hun?"
Bun Cu-giok tahu sekarang tiada untungnya membicarakan aturan, segera ia
manggut-manggut katanya lagi, "Karena urusan Supek itu, maka Suhu menitahkan aku untuk bicara
dengan Cianpwe." Ciang-ho-it-koay semakin gopoh, batinnya, "Selamanya aku tak punya hubungan
dengan Cehun, untuk persoalan apa ia mengajak aku bicara?" - tapi kedua belah pihak adalah
tokoh-tokoh ternama betapapun ia harus memberi muka, maka segera ia menegas, "Apa betul?"
Gwat Long dan Sing Poh segera menimbrung, "Cukat Cianpwe jangan kau tertipu oleh
obrolannya. Coba pikir, baru saja kau orang tua mendengar kabar dan memburu
datang, bagaimana mungkin dia mendapat tugas gurunya untuk mengundang kau" Jelas ia
sedang menggunakan tipu memancing harimau dari gunung."
Ciang-ho-it-koay termakan oleh hasutan ini, dengusnya kepada Bun Cu-giok,
"Dimana gurumu?" "Sudah tentu berada di Tangkula-san!"
"Itulah baik. Hun Thian-hi hendak kuringkus kesana, kupikir kau takkan menolak
bukan." Bun Cu-giok tertegun melongo, dia tahu gurunya takkan sudi mau mengurus segala
tetek bengek ini. Apalagi soal perjodohannya dengan Ciok Yan pun belum mendapat
restunya. Kalau membawa Hun Thian-hi ke Tangkula-san, kalau diadu bertiga dan bicara secara
berhadapan, jelas pembualanku bakal membuat marah Suhu, bukankah urusan bakal lebih tidak
menguntungkan bagi Hun Thian-hi! Melihat keraguan Bun Cu-giok Ciang-ho-it-koay menyeringai ejek. Cepat-cepat Hun
Thian-hi berkata, "Apakah Cukat Cianpwe takut Hun Thian-hi bakal melarikan diri?"
Ciang-ho-it-koay terloroh-loroh, "Bocah cilik, jangan takabur di hadapanku!"
sembari berkata tangan kanannya diulurkan mencengkeram ke arah Bun Cu-giok.
Melihat urusan tak bisa dibikin damai, lekas-lekas Bun Cu-giok mengegos
kesamping serta berteriak, "Hoan-hu popo segera bakal tiba, apakah kau masih tidak percaya?"
Ciang-ho-it-koay semakin murka, bentaknya, "Peduli apa Hoan-hu popo!" tangannya
bergerak lagi, kelima jari-jarinya seperti cakar garuda menyengkeram kemuka Bun Cu-giok.
Melihat situasi sekarang sangat menguntungkan pihaknya, Gwat Long berkesempatan
bergerak lagi, sambil menggertak berbareng mereka menubruk ke arah Hun Thian-hi.
Tepat pada saat itu, kelihatan Huan-hu popo melayang datang dengan kecepatan
seperti anak panah, langsung ia meluncur di hadapan Ciang-ho-it-koay, seringainya dingin,
"Cukat Tam! Berani kau menghina padaku!"
Melihat Hoan-hu popo betul-betul muncul Ciang-ho-it-koay menjadi tersipu-sipu,
sesaat ia tertegun. Sebaliknya Bun Cu-giok menjadi kegirangan, sebat sekali badannya
melejit tinggi merangsek ke arah Gwat Long Sing Poh. Terpaksa Gwat Long Sing Poh melompat
menyingkir. Cukat Tam menjengek, "Apa pedulimu dalam persoalan ini!"
"Gadis itu adalah muridku, Bun Cu-giok adalah calon suaminya, apa yang hendak
kau perbuat kepada mereka!" tanya Hoan-hu popo.
Cukat Tam menjadi sangsi, tahu dia bahwa Hoan-hu popo tidak gampang diajak
bekerja, katanya, "Jadi kau sudah tahu duduk perkara sebenar-benarnya. Apakah betul Ce-
hun Totiang mengundang aku?" "Peduli dengan urusan itu. Tapi muridku dan calon suaminya betapapun tak
kuijinkan kau mengganggu usik mereka."
Kata Bun Cu-giok kepada Hoan-hu, "Nenek, bantulah aku sekali ini. Sebetulnya Hun
Thian-hi tidak membunuh Giok-yap Cinjin, ini hanya fitnah belaka.
"Nak, kau jangan menjadi bodoh"' ujar Hoan-hu, "Urusan ini sulit diketahui siapa
benar-benar atau salah, jangan kau usil!"
Sementara itu Ciang-ho-it-koay sudah berpikir sekian lamanya, katanya, "Baiklah,
secara sembrono mulutku mengoceh menyakiti hatimu. Hitung saja dia tak bersalah
kubebaskan dia!" "Tidak bersalah apa," bentak Bun Cu-giok dengan gusar. "Justru kau ini yang
tidak tahu duduk perkara Sebenar-benarnya, kau dengar kata sepihak dari kawanan penjahat."
Berubah air muka Gwat Long dan Sing Poh. Rona wajah Ciang-ho-it-koay juga
berubah bergantian. terdengar ia menjengek dingin, "Berani kau mengoceh lagi, awas,
kupuntir kepalamu!" "Coba kau berpikir," semprot Bum Cu-giok dengan lantang, "Apa alasan Hun Thian-
hi untuk membunuh Giok-yap Cinjin?"
"Peristiwa Hun Thian-hi membunuh puluhan jiwa aku pun sudah dengar, memang di
seluruh kolong langit ini siapa yang punya alasan untuk membunuh Giok-yap Cinjin?"
Bun Cu-giok menjadi bungkam, sebaliknya Hun Thian-hi mandah tersenyum ewa,
katanya kepada Bun Cu-giok, "Saudara Bun terima kasih akan kebaikanmu ini, sebetulnya
aku hendak ke Tiang-pek-san mencari dia, sekarang dia sudah datang, sangat kebetulan malah."
"Kau hendak mencari aku?" tanya Ciang-ho-itkoay mendengus hidung.
Hun Thian-hi tak mau jawab.
Kata Bun Cu-giok:"Lote, hakikatnya kau tidak melakukan kesalahan, betapapun
jangan mandah menyerah saja." - Lalu ia lemparkan pedang panjangnya kepada Hun Thian-hi.
Melihat kekukuhan pendapat Bun Cu-giok, Hoan-hu mengerut kening, ia insaf bila
benar-benarbenar- benar sampai Ciang-ho-it-koay marah dan urusan sudah ketelanjur tentu berabe,
segera ia maju selangkh serta berkata kepada Ciang-ho-itkoay, "Aku pulang lebih dulu!" -
Sembwi berkata secepat kilat ia tutuk jalan darah Bun Cu-giok dan Ciok Yan terus dikempit dan
dibawa lari. Menyoreng pedarg mas pemberian Bun Cu-giok, Hun Thian-hi tenggelam diam
pikirannya, sekarang dia menghadapi lawan tangguh, dia tahu bagaimana juga dia tak mampu
menang. Terdengar Ciang-ho-it-koay mendehem keras serta mendesak maju kehadapan Hun
Thian-hi. Hun Thian-hi mengangkat alis, sebetulnya hatinya berontak untuk menyerah begitu
saja, ada hasrat menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang ganas itu, tapi
tempo hari sudah pernah berjanji terhadap Situa Pelita
Hati Ciang-ho-it-koay juga rada heran dan bertanya-tanya, dia heran atas
ketenangan Hun Thian-hi, desisnya dingin, "Hun Thian-hi, sebelum ajalmu ingin aku bertanya,
untuk keperluan apa kau hendak ke Tiang-pek-san mencari aku!"
Dengan mendelong Hun Thian-hi menjawab, "Urusan sudah lewat, tak perlu
disinggung lagi!" Gwat Long dan Sing Poh menjadi kuatir kalau semakin berlarut urusan bakal
berabe, segera mereka mendesak, "Cukat Cianpwe, bocah ini cukup licik dan banyak muslihat,
jangan sampai tertipu olehnya, cepat bunuh saja supaya tidak menimbulkan bencana dikemudian
hari!" Ciang-ho-it-koay terbahak-bahak, ujarnya, "Masa aku takut menghadapi muslihat
orang?" - Sebat sekali tubuhnya berkelebat merangsak ke arah Thian-hi. kedua jari tangan
kanannya dirangkap menutuk ke jalan darah Sam-kiau-hiat Hun Thian-hi.
Cepat Thian-hi menggerakkan pedang, laksana lembayung sinar mas dari pedangnya
berkelebat melancarkan jurus Gelombang perak mengalun berderai, menjaga diri dan
balas menyerang dengan tarian pedang yang menakjupkan.
Terdengar Cukat Tam menjengek murka, "Dengan bekal Lwekang begini berani unjuk
gagah di depan seorang ahli?" - Sembari berkata tangan kanannya bergerak lincah seperti
bayang2 kipas melancarkan ilmu pukulan Biau-hun-ciang, telapak tangannya berkembang terus
mencengkeram ke arah pedang mas Hun Thian-hi. Lekas-lekas Thian-hi menarik pedang dan berusaha melompat mundur, namun pedang
sudah tak kuasa dipegangnya lagi, entah bagaimana tahu-tahu sudah terampas oleh Ciang-
ho-it-koay. Cukat Tam buang pedang di atas tanah, sambil menyeringai mulutnya menjengek,
"Masih punya kepandaian lihay apa lagi?"
Bab 9 Thian-hi menghela napas tanpa bicara. Sungguh ia sangat kejut akan kepandaian
Ciang-ho-itkaoy yang begitu lihay dan tinggi, hatinya dirundung pertanyaan mengapa Buah ajaib
yang merupakan benda mujarab, sebanyak enam buah tertelan ke dalam perutnya tidak
pernah menunjukkan keampuhannya" Jelas dirinya segera bakal dibunuh oleh Cukat Tam.
Terdengar Gwat Long dan Sing Poh menghasut lagi dari samping, "Cukat Cianpwe,
lekas bunuh!" Ciang-ho-it-koay masih ingin bertanya beberapa persoalan dengan Thian-hi, dengan
sikap dingin ia berpaling serta dengusnya, "Kenapa kalian berdua begitu ingin
membunuhnya. Apakah kalian tahu kenapa ia membunuh guru kalian?"
Gwat Long dan Sing Poh tergagap tak mampu buka suara, akhirnya Gwat Long
menjawab tersendat, "Hun Thian-hi cukup licik dan licin, kita...."
"Kalian tak perlu banyak cerewet!" bentak Ciang-ho-it-koay. Lalu ia berpaling


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi ke arah Thian-hi, tanyanya, "Kenapa kau bunuh Giok-yap Cinjin, apa diantara kalian punya
dendam permusuhan?" Hun Thian-hi tertawa ewa. sahutnya, "Kau tak perlu banyak tanya lagi."
Tiba-tiba Ciang-ho-it-koay bergerak begitu cepat sampai jak bisa diikuti
pandangan mata tahutahu ia sudah menekan punggung Thian-hi, ancamnya, "Bagaimana! Kau mau bicara tidak?"
Hun Thian-hi pejamkan mata tanpa bersuara, ia insaf bahwa jiwanya hanya
tergantung dalam satu dua detik saja, gelombang pikiran kenangan lama terbayang dalam benaknya.
Mendadak ia seperti mendengar petuah Thian-cwan Taysu, "Sekarang Siau-sicu tengah terfitnah
dan penasaran, hanya bersabarlah baru kau dapat mencuci diri, hanya bersabar baru
kau akan berhasil menuntut balas bagi sakit hati ayahmu, hanya kesabaranlah yang tidak akan
menyia-nyiakan harapan besar Soat-sun-su-gou berempat terhadap dirimu!" - tersentak hatinya,
samar-samar seperti terlihat sebuah wajah buram tengah tertawa kepada dirinya.
Sanubari Hun Thian-hi tengah bergolak, terpikir olehnya dengan cara kematiannya
ini hanya meninggalkan buah tertawaan orang saja, terasa olehnya bahwa Mo-bin Suseng saat
mana tengah tertawa lebar. Melihat Thian-hi tegak tak bergeming, Ciang-ho-it-koay menjadi kewalahan,
katanya, "Baik kau tak mau bicara aku pun tak perlu memaksa. Aku akan menyelenggarakan Bu-lim-tay-
hwe, disaat itulah kujatuhkan hukuman mati kepada kau, akan kulihat apa kau tetap bandel."
Timbul harapan hidup Thian-hi, katanya membuka mata, "Cianpwe, aku punya sebuah
cerita apa kau sudi mendengar?"
"Mana aku punya tempo mendengar ceritamu!"
"Benar-benar! Cukat Cianpwe jangan sekali2 tertipu oleh dia." Gwat Long Sing Poh
tetap menghasut. Cukat Tam melirik ke arah mereka, terlihat olehnya sikap dan mimik wajah mereka
yang rada aneh, dengusnya berkata, "Kalian sangka aku bisa tertipu olehnya" Justru aku
ingin mendengar." - lalu ia berkata kepada Thian-hi, "Coba kau mulai."
Terpaksa Gwa Long dan Sing Poh mandah gugup dalam hati. Jika Hun Thian-hi benar-
benar menceritakan duduk perkara sebenar-benarnya, mungkin siapapun paling tidak bakal
percaya tiga bagian. Sesaat Thian-hi termenung lalu berkata, "Itulah kisah tentang Badik buntung,
apakah Cianpwe tahu tentang Badik buntung?"
"Katakan terus jangan bertanya kepada aku!" desak Ciang-ho-it-koay.
"Semua orang menyangka bahwa di dalam Badik buntung itu ada tersembunyi rahasia
Ni-hayki- tin, setiap orang ingin memiliki...."
Sambil mendengar cerita Thian-hi Ciang-ho-it-koay melirik ke arah Gwat Long Sing
Poh, dilihatnya rona wajah mereka yang tidak wajar, persoalan terbunuhnya Giok-yap
Cinjin tentu punya latar belakang yang sulit dipecahkan, segera ia bertanya, "Sebetuhnya cara
bagaimana kematian guru kalian?"
Berubah pucat wajah Gwat Long Sing Poh, kata mereka, "Cianpwe, Sam-lo-chit-cu
bisa menjadi saksi bahwa Hun Thian-hilah pembunuhnya, dengan mata kepala sendiri mereka
melihat Hun Thian-hi melolos Badik buntung dari dada guru kita."
Ciang-ho-it-koay menjadi gelisah dan rada curiga, jelas kata-kata Gwat Long ini
bukan obrolan belaka, katanya kepada Hun Thian-hi, "Ceritamu tak perlu diteruskan, sekarang
juga kita menuju ke Bu-tong, kau punya maksud hendak membuktikan bahwa Giok-yap Cinjin bukan kau
yang membunuh, itu pun baik, tapi ada orang melihat maka tiada halangan kau membela
diri di hadapan mereka" Sebetulnya Thian-hi hendak menceritakan apa tujuan si pembunuh Giok-yap Cinjin,
tapi niatnya ini menjadi batal karena Ciang-ho-it-koay tak ingin mendengar lebih lanjut. Tak
terasa ia menghela napas rawan. Tapi ia masih punya harapan katanya kepada Cukat Tam, "Kau ingin
tahu kenapa aku hendak mencari kau?"
Hati Ciang-ho-it-koay tengah gelisah, katanya tak senang, "Nanti bicara di Bu-
tong, jangan cerewet lagi." Hun Thian-hi bungkam. Mendadak ditengah angkasa terdengar pekik nyaring dari burung dewata. Thian-hi
terperanjat dan mendongak, pikirnya, "Hari ini baru ratusan hari, kenapa Bu-bing Loni datang
mencari kemari?" Cukat Tam sendiri juga sangat terkejut.
Tak lama kemudian tampak dua burung dewata pelan-pelan hinggap di tanah, Bu-bing
Loni, Ham Gwat, Siau Hong dan Su Giok-lan muncul bersama.
Dengan tajam Hun Thian-hi mengawasi mereka, tampak olehnya Su Giok-lan berapi-
api menatap dirinya. Sebaliknya sikap Ham Gwat tetap angkuh dan dingin, dengan
kilatan tajam dingin Bu-bing Loni menyapu pandang seluruh hadirin.
Diam-diam bercekat hati Cukat Tam, kenapa nikoh tua inipun datang, untuk apakah
ia kemari, demikian ia membatin dalam hati.
Sebaliknya Bu-bing Loni sendiri juga merasa heran bahwa Ciang-ho-it-koay Cukat
Tam juga berada disitu. Selamanya Ciang-ho-it-koay bersemajam di Tiang-pek-san, selamanya
jarang mengembara di daerah Tionggoan. Soat-san-su-gou pernah berpesan kepada Hun
Thian-hi supaya pergi ke Tiang-pek-san mencari It-ki dan It-koay, sekarang Ciang-ho-it-koay
sudah muncul tapi dilihat gelagatnya sedang bertengkar dengan Hun Thian-hi.
Lubuk hati masing-masing sedang melayangkan pikiran sendiri, sesaat mereka jadi
terlongong hingga tak bersuara. Su Giok-lan berpaling memandang ke arah Bu-bing Loni, tampak Bu-bing Loni
manggutmanggut. Su Giok-lan lantas tampil ke depan katanya kepada Hun Thian-hi, "Hun Thian-hi,
tebuslah jiwa engkohku!" sembari kata ia melolos pedang panjang.
Tanpa bicara Hun Thian-hi mengawasi Su Giok-lan lekat-lekat, tak tahu dia
bagaimana perasaan hatinya. Keadaan Cukat Tam menjadi serba sulit, dia tak mau bermusuhan dengan Bu-bing
Loni, tapi betapa pun Hun Thian-hi tidak boleh ayal saat ini, karena masih banyak persoalan
yang perlu dia tanyakan kepada Hun Thian-hi.
Melihat Hun Thian-hi diam tak bergerak, Su Giok-lan menjadi dongkol, hardiknya,
"Cabut senjatamu! Bukankah kau punya Badik buntung yang tajam luar biasa" Masa kau
takut menghadapiku?" Dengan mendelong Hun Thian-hi mengawasi Su Giok-lan, dalam hati ia tengah
berpikir, tentu ilmu silat Su Giok-lan sudah mencapai banyak kemajuan, tapi meski ia merasa
sangat kasihan dan berhutang budi karena kematian Su Cin, namun betapapun kejadian itu bukan
kesalahannya. Su Giok-lan mendesak maju, ujung pedangnya menuding Hun Thian-hi, serunya,
"Bagaimana" Kau takut mati?" Lekas-lekas Cukat Tam tampil ke depan berkata kepada Bu-bing Loni, "Bu-tong
Ciangbun Giokyap Cjnjin terbunuh oleh Hun Thian-hi, apakah kau tahu?"
Rada berubah muka Bu-bing Loni, sekian lama ia menatap Hun Thian-hi, lalu
melerok ke arah Cukat Tam. Melihat sikap Bu-bing Loni rada kurang percaya, dan pelerokan matanya itu
pertanda pertanyaan terhadap dirinya, ini betul-betul rada menghina dan tidak menghargai
dirinya, maka dengan menjengek ia berkata, "Oleh karena itu aku ada beberapa persoalan yang
hendak kutanyakan kepadanya!"
Bu-bing Loni menyeringai dingin, pelan-pelan ia berpaling mengawasi Hun Thian-hi
lagi. Terdengar Su Giok-lan mendengus, katanya kepada Hun Thian-hi, "Lekas keluarkan
senjatamu. Murid Bu-bing Loni selamanya tidak bunuh kaum keroco yang tak melawan."
Hun Thian-hi mandah tertawa tawar, ujarnya, "Nona Su, sekarang aku betul-betul
tidak tahu harus berbuat apa, berikan aku kesempatan berpikir!" habis berkata ia pejamkan
mata merenung. Melihat sikap Hun Thian-hi ini Su Giok-lan salah sangka, anggap orang tengah
mempermainkan dirinya, keruan berkobar amarahnya, spontan ia melangkah maju terus menampar
sekuatnya dimuka Hun Thian-hi. Hun Thian-hi menggeliat berusaha hendak menyingkir, tapi Su Giok-lan yang
dihadapi sekarang jauh berbeda dibanding dulu, "plak!" tahu-tahu pipinya sudah bengap dan panas,.
dari ujung mulutnya merembes keluar darah segar.
Sungguh kejut Thian-hi bukan kepalang, matanya membelalak gusar, rasa gusar yang
menggelora terpancar dari sinar matanya menatap Su Giok-lan.
Su Giok-lan menyeringai dingin, jengeknya: Cabut senjatamu. Terhina oleh kaum
hawa apakah kau masih takut mati?"
Hun Thian-hi malah bergelak tawa, serunya, "Segala akibat yang menimpa diriku
hari ini semua justru merupakan anugerah dari paman dan kalian bertiga. Engkohmu wafat di
tangan Leng Bu, memang harus kuakui ada sebagian karena diriku, tapi hatimu lebih jelas kenapa
dan sebab apa ia sampai bertengkar dengan Leng Bu, sebagian besar adalah karena dirimu. Aku telah
bunuh Leng Bu menuntut balas bagi engkohmu, hal itu sudah merupakan keuntungan bagi kau,
sekarang...." "Omong kosong," sentak Su Giok-lan dengan berang, "Cabut senjatamu!"
"Cabut senjata" Haha!" Thian-hi bergelak tawa lagi, "Badik buntung sudah
terjatuh ke tangan Partai Merah, kalau kau berkukuh hendak bunuh aku, ilmu silatku sekarang tak
ungkulan melawan kau, silakan kau bunuh aku saja. Kenapa pura-pura main gertak segala menyuruh
aku cabut senjata, asal kau berani bertanggung jawab kepada nularimu sendiri silakan turun
tangan!" Su Giok-lan menjadi kememek, ia berdiri menjublek tak kuasa turun tangan.
Berkilat sinar mata Bu-bing Loni, ia tahu sehari ia tidak bunuh Hun Thian-hi
kelak tentu meninggalkan bibit bencana bagi dirinya, sudah lama ia memperhitungkan, sampai
Soat-san-suTiraikasih Website http://kangzusi.com/
gou pun tak dipandang sebelah matanya, namun justru ia menjadi keder dan gelisah
menghadapi sinar mata Hun Thian-hi yang berkilat mengandung keteguhan dan kekuatan hatinya.
Meski ilmu silat Hun Thian-hi sekarang masih rada rendah, tapi kelak pasti merupakan musuh
tangguh yang sulit dihadapi. Su Giok-lan menunduk diam, lubuk hatinya merasa kurang tentram, kalau dia mau
dengan mudah ia dapat bunuh Hun Thian-hi, tapi ia merasa sekarang dia tak bisa berbuat
begitu. Tapi kalau sekarang ia tidak turun tangan, bagaimana sikap Bu-bing Loni selanjutnya
terhadap dirinya" Akibatnya sungguh ia tidak berani membayangkan.
Hati Su Giok-lan sedang gelisah dan sangsi. Adalah hati Bu-bing Loni gusar bukan
main. Ciang-ho-it-koay tidak tahu bahwa Bu-bing Loni pernah mengadakan janji dengan
Soat-san-sugou, hatinya pun bertanya-tanya kenapa sinar mata Bu-bing Loni dirundung nafsu
membunuh yang begitu tebal, tapi kenapa tidak segera turun tangan sendiri" Selamanya Bu-
bing Loni tidak suka pinjam tangan orang lain untuk menjatuhkan vonisnya.
Bu-bing Loni menggeram lirih, tahu dia bahwa Su Giok-lan sekarang takkan, mau
turun tangan, maka dengan dingin ia mengancam, "Giok-lan! Dalam jangka tiga hari ini, kau
harus serahkan batok kepala Hun Thian-hi kepadaku, kalau tidak hm, kau sendiri juga tahu!" -
Selesai terkata bersama Ham Gwat dan Siau Hong terus tinggal pergi naik burung dewata.
Pedang Darah Bunga Iblis 3 Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi Kisah Tiga Kerajaan 3
^