Pencarian

Candi Murca 7

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi Bagian 7


berupa racikan bubur aneh dengan rasa yang aneh pula. Akan tetapi bubur itu
sebenarnya terbuat dari bumbu-bumbu dedaunan yang berkhasiat luar biasa. Setiap
kali makan bubur itu Swasti Prabawati merasa kekuatannya kembali datang dan
berlipat-lipat. Paraban juga menyiapkan racikan yang lain berupa minyak dari
sejenis ikan langka yang mampu
mendidihkan darahnya. "Bagaimana dengannya, paman?" tanya Prabawati sambil memerhatikan
Parameswara yang duduk bersila bagai benda mati.
"Biarkan saja dia melakukan itu," jawab pamannya.
75 Tandang Grayang, jawa, sepak terjang
76 Babahan hawa sanga, jawa, nafsu yang diterjemahkan dalam sembilan lobang di
tubuh manusia 77 Cukat trengginas, jawa, gesit dan terampil
200 "Apakah latihan seperti yang dilakukannya itu bermanfaat?" kembali Swasti
Prabawati bertanya. Bagi gadis itu, mempelajari olah pernapasan dalam waktu yang terlampau singkat
itu adalah sesuatu yang sia-sia. Olah pernapasan mestinya dikerjakan di waktu
luang, di sela-sela berbagai kesempatan, waktu yang singkat itu mestinya untuk
menguasai olah geraknya. Sebaliknya berbeda dari Swasti Prabawati yang masih mendapat makanan
yang dengan sengaja diracik oleh Biku Paraban, Parameswara sama sekali tidak
menelan apa pun. Dalam waktu yang singkat itu puasa yang ia lakukan telah membuat
tubuhnya berubah. Tulang dagu dan pipinya mulai kelihatan.
Pada hari yang ke lima Parameswara telah berhasil menutupi semua telinga meski
ruangan itu segaduh apa pun, sama sekali tidak mengusik pemusatan semadinya.
Sebagaimana petunjuk yang diberikan Biku Paraban Parameswara terus mengikuti ke
mana gerak pikirannya. Gerak pikiran itulah yang nantinya apabila berhasil
dipusatkan, akan bisa dimanfaatkan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat. Akan
tetapi lebih dari itu, Parameswara akhirnya merasa di sebuah ruang dengan tanpa
batas jelajah di mana dengan leluasa Parameswara bisa menelusuri dan mengenalinya dengan seksama,
bahkan terbuka kemungkinan bagi Parameswara untuk membongkar dan membolak-balik semua
kenangan yang pernah terjadi dan menimpa dirinya.
Pada akhirnya ada sesuatu yang sama sekali tidak akan diduga oleh Biku Paraban.
Sebuah hal yang benar-benar tak terbayangkan.
Dalam benak pemuda yang melakukan semadi itu justru tengah riuh oleh pusingan
angin lesus. Apa yang dulu pernah dialaminya di mana nyawanya nyaris terenggut,
kini bagai sebuah kenangan yang terputar kembali. Di dalam benak Parameswara, angin
ribut tengah menderu-deru, pusingan cleret tahun meliuk-liuk mengejar mangsa. Ombak
air laut yang berdebur bubar mawut pecah saat dilintasi cleret tahun itu.
Parameswara terus mengikuti ke mana gerak angan-angannya dengan setia. Ke arah
mana angin ribut yang mampu melempar gajah bengkak itu bergerak.
Sang waktu terus merambat mengantarkan dua anak muda yang berpacu seperti
berebut waktu itu. Dengan tekun serta penuh semangat Swasti Prabawati menempa
diri. Waktu yang bebeberapa hari dimanfaatkan untuk berlatih amat keras itu
menyebabkan tubuhnya berlepotan kotor sekali. Wajahnya berubah menjadi hitam legam oleh
tebalnya daki, maka selanjutnya lenyaplah kecantikannya, yang ada sekarang malah sosok
yang amat menakutkan. "Kau sudah menguasainya?" tanya Biku Paraban.
Prabawati mengangguk. "Sudah paman," jawab Swasti Prabawati mantab. "Aku akan mengulang nanti."
Paraban memandang keponakannya dengan mata berbinar.
"Pengulangan yang kaulakukan harus terus-menerus dan tanpa kenal lelah. Karena
manusia itu mempunyai sebuah penyakit yang tidak dipunyai makhluk lain, yaitu
pelupa. Itu sebabnya ilmu kanuragan itu benar-benar harus menyatu menjadi bagian dari
tubuh, manunggal dengan jiwa," wejang pamannya.
Swasti Prabawati merasa semakin mantab.
"Sekarang, lanjutkan lapis berikutnya. Perhatikan gerak ini dan ikuti. Lalu
carilah sifat-sifat khusus yang ada di balik rangkaian gerak ini."
Biku Paraban merentangkan ke dua tangannya ke kiri dan ke kanan. Biku Paraban
kemudian bergerak memutar dengan pelahan. Namun ketika tubuhnya telah menghadap
201 ke arah semula gerakan kembangan tangannya telah berubah. Gerakan yang
kelihatannya sederhana itu diikuti dengan sempurna oleh Swasti Prabawati. Biku
Paraban masih melanjutkan dengan ayunan tangan kanannya yang meliuk tidak terduga. Disusul
kakinya yang mengayun berputar yang justru dari hasil menggeliatkan pinggangnya. Masih
dengan gerakan pelahan Biku Paraban mengayunkan kaki kanannya memutar datar,
sebagai hantaman mematikan terhadap jebakan yang baru saja dilakukan.
"Kaupaham tujuannya?" tanya Biku Paraban.
Swasti Prabawati mengangguk. Kecerdasan gadis itu mampu menangkap ke mana
arah dan tujuan serangan itu. Lebih jauh dari itu, sifat serangan yang sekaligus
sebuah pertahanan yang rapi yang baru saja dicontohkan pamannya membuka peluang
serangan yang sangat luas dan bisa ke mana-mana.
"Nah, kalau kau sudah paham, sekarang lakukan dengan kecepatan tinggi. Kita
lihat apa yang terjadi." Swasti Prabawati tersenyum mantab dan penuh keyakinan. Dengan cekatan gadis
dari kaki Gunung Penanggungan itu mengulang gerakan yang baru saja dicontohkan
pamannya. Gadis itu berloncatan dengan amat cepat. Gerakan yang dilakukan gadis
itu bahkan berkembang jauh dari sekadar contoh yang diberikan. Biku Paraban benar-
benar puas. Namun dengan tiba-tiba latihan itu terhenti.
Ada sesuatu yang ganjil yang terjadi di goa itu. Biku Paraban memerhatikan
dengan seksama. Demikian juga dengan Swasti Prabawati tidak kalah kaget dan penasaran.
"Apa yang terjadi paman?" tanya gadis itu.
Biku Paraban tidak menjawab, karena memang belum tahu.
Namun gejala ganjil itu semakin menjadi. Sebuah pusingan udara membelit sampah
dan abu sisa pembakaran, memutarnya meliuk-liuk di ruangan itu. Biku Paraban
kaget dan memerhatikan ruangan dengan amat cermat sudut demi sudut jengkal demi
jengkal. Tetapi tak ada angin yang berlebihan masuk ke dalam goa itu yang mampu
mengundang terciptanya cleret tahun meski dalam ukuran kecil. Cleret tahun yang bahkan
tidak akan membahayakan bayi yang merangkak.
Tetapi bagi Biku Paraban itu sesuatu yang luar biasa.
"Dia yang melakukan, paman?" bisik Swasti Prabawati.
Saat gadis itu menoleh Parameswara masih tetap bersemadi namun Biku Paraban
dan Swasti Prabawati melihat pemuda itu tidak lagi memejamkan mata. Tatapan mata
pemuda itu tertuju kepada pusingan udara yang membelit debu dan sampah itu.
Swasti Prabawati tentu kebingungan. Sebaliknya dengan Biku Paraban justru tersenyum
senang. Biku Paraban bahkan mendekati pusingan udara yang membelit sampah itu dan
memerhatikannya dengan teliti pada jarak yang cukup dekat. Dengan sebuah kayu
Biku Paraban mencoba mengusik pusingan udara itu. Namun bagai sebuah benda yang hidup
layaknya, cleret tahun kecil itu menghindar dan meliuk ke tempat lain, bahkan
melintas pada jarak yang dekat sekali dari kaki Swasti Prabawati.
Cleret tahun berukuran kecil itu bubar berhamburan ketika Parameswara kembali
memejamkan mata. "Bukan main," desis Biku Paraban yang tidak bisa menutupi kekagumannya.
Namun meski demikian Biku Paraban tidak punya niat untuk mengusik ketenangan
Parameswara dalam pemusatan semadinya. Sebaliknya justru Swasti Prabawati yang
tak bisa menguasai diri. 202 "Dia berhasil rupanya," desis gadis itu dengan perasaan meluap.
Biku Paraban heran. "Berhasil bagaimana?" tanya Biku Paraban.
"Ia berhasil mewujutkan angan-angannya. Beberapa hari yang lalu ia mengutarakan
keinginannya untuk menciptakan Aji cleret tahun, ajian yang memanfaatkan
pusingan udara," jawab Swasti Prabawati.
Jawaban itu memaksa Biku Paraban mengeritkan kening. Menciptakan tiruan dari
cleret tahun, itu sungguh sebuah gagasan yang cerdas. Untuk beberapa saat Biku
Paraban berpikir yang segera memperoleh simpulan bahwa menghadirkan pusaran
angin memang bukan hal yang tak mungkin.
"Kemungkinan untuk melakukan itu memang ada," kata Biku Paraban seperti tidak
ditujukan pada siapa pun kecuali pada dirinya sendiri, "akan tetapi bagaimana
cara mengendalikan jika cleret tahun semakin membesar?"
Rupanya Biku Paraban tak bisa mengingkari, betapa mengerikan cleret tahun itu
seandainya bisa diciptakan. Apalagi sifat angin yang menjadi bahan bakunya tidak
ubahnya api. Api bisa dirangsang namun jika telah menjadi liar bahkan orang yang
merangsangnya tak akan mampu menguasainya lagi. Lebih jauh lagi saat Biku
Paraban merenung segera terbentur pada pertanyaan bagaimana kalau ilmu semacam itu
disalah- gunakan" Namun bukankah ilmu macam apa pun bila disalah-gunakan memang bisa
menjadi buruk" "Bagaimana paman?" Swasti Prabawati memecahkan suasana yang hening itu.
Paraban tersenyum puas. "Pemuda itu sungguh luar biasa. Petunjuk sederhana yang kuberikan ternyata malah
digunakan untuk menciptakan sesuatu yang tidak masuk akal," desis Biku Paraban.
"Apakah karena dia pernah mengalami dililit angin lesus, paman Biku?" tanya
Swasti Prabawati. Biku Paraban memandang Swasti Prabawati dengan tajam. Lalu beralih pada
Parameswara yang terus mengunci pikirannya dan larut dalam pemusatan semadi yang
dilakukannya. Kegelisahan Parameswara dalam pencarian yang dilakukannya terlihat
dari bahasa tubuhnya yang tidak tenang. Sesekali Parameswara terlihat menggigil
bagai orang yang kedinginan.
"Jadi, dia pernah dilibas cleret tahun?" tanya Biku Paraban.
Swasti Prabawati mengangguk yakin.
"Menurut pengakuannya seperti itu," jawab Swasti Prabawati.
Biku Paraban terdiam beberapa saat. Keterangan yang diterimanya itu amat masuk
akal. Boleh jadi Parameswara pernah berhadapan dengan cleret tahun itu maka saat
pemusatan semadi yang muncul justru kenangan itu. Kenangan yang akhirnya justru
membuka pintu penemuannya.
"Baiklah, lanjutkanlah latihanmu."
Untuk beberapa saat lamanya Prabawati masih terpesona pada keganjilan luar biasa
yang diciptakan Parameswara. Namun Swasti Prabawati segera mengesampingkan dan
kembali larut ke dalam latihan.
Gadis itu melenting dan tubuhnya mengapung pelahan di udara untuk kemudian
melesat terbang berputar mengitari ruangan serta meliuk tajam dengan ayunan
pedang yang bergulung-gulung siap menyambar apa pun. Maka gadis dari gunung
Penanggungan itu kembali larut dalam latihan olah kanuragan yang tengah dijalaninya. Setelah
beberapa 203 hari berada dalam gemblengan Biku Paraban, kelincahan dan kekuatannya meningkat
berlipat-lipat. Ayunan tangannya menyambar batu padas selalu disusul dengan
ledakan berhamburan. Sang waktu terus bergeser. Biku Paraban menggembleng keponakannya seperti
orang yang takut kehabisan waktu. Selapis demi selapis kemampuan olah kanuragan
itu diwariskannya kepada anak gadis saudara kembarnya itu. Prabawati benar-benar
tidak mengecewakan pamannya. Dengan cukat trengginas ia terjemahkan semua petunjuk
yang diterimanya. Sebaliknya atas Parameswara Biku Paraban sama sekali tidak
mengusiknya. Biku Paraban sadar jika pemusatan semadi yang dilakukan pemuda itu terganggu,
justru akan merugikan pemuda itu, karena untuk mengulangi lagi dari awal bukanlah
pekerjaan yang mudah. Manakala Swasti Prabawati berjumpalitan dan teriakan-teriakannya
terdengar melengking memekakkan telinga sebaliknya Parameswara sibuk larut
dengan sifat-sifat udara yang dikenalinya. Udara berlimpah itu pada dasarnya bisa
dimanfaatkan sesuai apa yang dikehendaknya.
Namun meski demikian, apa yang dilakukannya sebenarnya bukan pekerjaan yang
gampang. Pendek kata, dalam angan-angannya, pemuda itu tengah riuh rendah dengan cleret
tahun yang meliuk-liuk siap menyambar apa saja. Masalahnya bukanlah pekerjaan
yang gampang baginya untuk menghadirkan gejala alam itu apalagi
mengendalikannya. Hari demi hari terus berlalu. Latihan keras yang dilakukan Parameswara dan
Swasti Prabawati terus berjalan di bawah pengawasan Biku Paraban yang kaget dan
terkagum- kagum mendapati betapa berbakatnya dua anak muda itu. Selama kegiatan itu
berlangsung Biku Paraban memenuhi apa saja yang mereka butuhkan. Di luar kuda
Sapu Angin dan kuda milik Swasti Prabawati mendapatkan perawatan dan rumput dalam
jumlah cukup serta tak seorang pun yang berani mengusik. Nama besar Hantu Laut
menjadi jaminan bagi siapa pun tidak akan ada yang mengganggu kuda-kuda itu.
Sejalan dengan waktu yang terus bergeser tubuh Parameswara yang sama sekali
tidak kemasukan makanan apa pun menjadikannya kurus dan kering, namun demikian
kematangan jiwanya malah berlipat-lipat. Ruang jelajah semadinya makin luas,
seolah menjanjikan bahan apa pun bisa ditekuk dan dibentuk semaunya.
Dan akhirnya hari ke empat belas itu tiba.
Pada malam menjelang latihan yang sangat berat itu akan berakhir Biku Paraban
menyerahkan sebuah kitab kepada Swasti Prabawati untuk dipelajari. Kali ini
gadis itu mendapatkan kesempatan untuk membersihkan diri dan berdandan, sehingga
menjelma kembali menjadi sosok seorang gadis yang cantik jelita. Biku Paraban harus
mengakui kejelitaan Swasti Prabawati benar-benar mirip mendiang Ibunya.
Dibantu cahaya obor yang menyala terang gadis itu membuka dan membaca lembar
demi lembar isi rontal yang mencatat semua sifat dan gerak ilmu kanuragan dari
jalur perguruan Pasir Wutah. Semakin lama gadis itu semakin larut dan bahkan
lupa diri. Isi rontal itu ternyata menyimpan kedalaman makna yang sangat sulit
diukur. Sebagaimana sifat olah kanuragan yang mempunyai berbagai kemungkinan gerak jurus dan gerak
kembangan yang amat luas tergantung bagaimana cara mengembangkan.
Dengan cara itu Biku Paraban berharap isi rontal itu melekat di dalam benak
Swasti Prabawati. Waktu yang panjang dan ada cukup lapang untuk gadis itu yang berusia
masih muda bisa digunakan untuk menyempurnakan kemampuan olah kanuragan itu.
"Apakah kitab ini untukku, paman?" tanya gadis itu.
204

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman mewariskan kitab itu untukmu akan tetapi paman juga bermaksud memberi
kesempatan kepada Parameswara untuk ikut membacanya dan mempelajarinya."
Swasti Prabawati memandang Parameswara yang diam membeku benar-benar bagai
patung. Pandangan mata Swasti Prabawati kepada pamannya kemudian serasa
bermuatan gugatan, apa benar Parameswara berhak mewarisi ilmu kanuragan dari jalur
perguruan Pasir Wutah"
Namun Biku Paraban seperti bisa membaca isi hati gadis itu.
"Pada suatu saat kau akan mengetahui mengapa aku juga mewariskan ilmu
kanuragan milik perguruan Pasir Wutah padanya. Selebihnya aku berharap kalian
berdua nantinya akan saling bahu-membahu mengembalikan kebesaran nama perguruan
Pasir Wutah. Itu pula sebabnya aku memberikan cara yang berbeda pada kalian dalam
menekuni ilmu kanuragan ini. Kutekankan pada Parameswara untuk memperdalam olah
pernapasannya sebaliknya kau memperdalam sifat-sifat ilmu kanuragan itu sendiri.
Dengan demikian nantinya kalian akan saling mengajar dan melengkapi. Parameswara
akan memberimu petunjuk bagaimana cara menguasai olah pernapasan dan kau
menuntunnya dalam hal gerakan silat."
Swasti Prabawati terdiam sebagai pertanda paham dan mengerti kemauan Biku
Paraban itu. "Setelah itu bagaimana dengan kitab ini?" desak gadis itu, "siapa di antara kami
yang berhak memilikinya?"
Biku Paraban tidak segera menjawab.
Swasti Prabawati melanjutkan ucapannya. "Apakah tidak sebaiknya kitab ini berada
di kaki Gunung Penanggungan?"
Biku Paraban mengangguk sependapat.
"Kaubenar Prabawati," jawab Biku Paraban. "Aku memang pernah berpikir untuk
mengirimkan kitab ini ke Kaki Gunung Penanggungan, kitab ini akan jauh lebih
berharga dan bermanfaat di sana daripada di tanganku. Akan tetapi seperti yang
tadi aku katakan Parameswara pun harus mendapat kesempatan membacanya pula."
Pembicaraan itu berhenti, oleh sesuatu yang mengganggu.
Serentak Biku Paraban dan Swasti Prabawati menoleh pada Parameswara, bersama-
sama mereka memerhatikan keganjilan yang kembali muncul. Paraban segera
meletakkan jari di telunjuk sebagai sebuah isyarat agar Swasti Prabawati tidak berisik.
Di dalam angan-angan Parameswara, udara di sekitarnya telah bisa dikuasainya,
digerakkan memutar mengelilingi tubuhnya. Mula-mula memang pelahan, namun
sedikit demi sedikit kecepatannya bertambah, makin lama bergerak makin cepat. Masih di
dalam angan-angan pemuda itu gerakan udara yang memutar itu bisa dikendalikan dengan
pemusatan pikirannya. Gerak udara itu bisa dibuat memutar atau bergulung-gulung,
bisa pula ditekan dan dimampatkan.
Namun apa yang dilihat Biku Paraban dan Swasti Prabawati adalah sesuatu yang
agak sulit dimengerti dan ganjil. Semula ruangan dalam goa itu hanya seperti
dilanda angin yang menerobos deras dari pintu goa namun makin lama udara yang bergerak
itu makin deras dan semakin deras, berporos pada pemuda yang tengah duduk bersila
itu. Sampah-sampah berhamburan, debu terangkat ikut memeriahkan keadaan. Biku Paraban
melihat angin lesus rupanya telah terbentuk dengan berpusat pada pemuda itu.
"Bukan main," desis Swasti Prabawati, "angin ini makin deras saja."
205 "Dia pemuda yang luar biasa. Entah dengan cara bagaimana ia memanfaatkan
petunjuk yang kuberikan dan justru dikembangkannya membentuk pusingan angin
seperti ini." Namun sebagai jawabnya adalah gerakan angin yang makin deras bahkan udara
di dalam goa itu benar-benar teraduk tidak keruan, sampah dan debu berhamburan,
bahkan begitu kuatnya gerakan angin itu sehingga Swasti Prabawati harus berpegangan
pada dinding goa. Ketika memerhatikan dengan lebih cermat lagi, Biku Paraban kemudian melihat,
betapa titik pusat pusaran angin itu bisa meliuk dan bahkan keluar dari tubuh
pemuda itu. Menyadari keadaan yang luar biasa itu memaksa Biku Paraban kian terpana. Pusaran
angin yang ia rasakan memiliki kekuatan yang amat kuat dan semakin tajam.
Akhirnya, pameran kemampuan yang menakjubkan itu berakhir. Dengan tiba-tiba
tubuh Parameswara terkulai dan kemudian ambruk. Angin berputar itu seperti
kehilangan orang yang mengendalikannya, hingga kemudian bubar tidak ketahuan
lagi jejaknya. Tak tercegah, Parameswara pun pingsan. Biku Paraban terkejut dan bergegas bertindak.
"Cepat ambilkan bubur itu," perintah Biku Paraban pada Swasti Prabawati.
Dengan cekatan Swasti Prabawati melaksanakan.
"Dia tidak apa-apa paman?" tanya gadis itu cemas.
Biku Paraban melakukan pemeriksaan sejenak. Degup jantung dan denyut nadi
pemuda itu ternyata masih bisa ditangkap.
"Hanya pingsan," jawab Biku Paraban kemudian.
Perawatan segera diberikan. Setetes demi setetes air diminumkan. Biku Paraban
memberikan beberapa sentuhan khusus pada beberapa buah simpul syaraf di bagian
kepala pemuda itu. Pemuda tampan yang pingsan itu kemudian siuman kembali.
Tatapan matanya seperti orang yang kebingungan.
Beberapa jenak kemudian segenap pikirannya pulih.
"Apa aku berhasil?" itulah kalimat pertama yang meluncur keluar dari mulutnya.
Biku Paraban menjawabnya dengan sebuah senyum. Sebaliknya Prabawati segera
menggenggam tangannya, melalui genggaman it ia memberikan ucapan selamat
padanya. Senyum yang didorong keluar oleh tenaga lemah itu sangat berseri.
"Kau luar biasa Parameswara," kata Swasti Prabawati. "Aku iri kepadamu. Ketika
beberapa hari yang lalu aku menertawakan gagasanmu yang kuanggap sebagai gagasan
gila itu, kini aku harus menelan kembali ucapanku."
Parameswara memandang Biku Paraban.
"Hari ini aku menyaksikan kau menciptakan sebuah ajian baru yang dahsyat sekali,
aji cleret tahun," kata Biku Paraban.
Mata Parameswara seperti menyala berbinar-binar karena rasa bahagia yang sulit
digambarkan. Siapa mengira angan-angan yang tidak masuk akal dan terpendam di
dalam hatinya bisa diujutkan menjadi sesuatu yang nyata. Parameswara tidak bisa
menahan diri dan senyumnya merekah.
"Atau, apa kau telah menyiapkan nama untuk ajian temuanmu itu?" tanya Swasti
Prabawati. Parameswara kembali tersenyum, masih larut pada kebahagiaan yang membuncah.
"Mungkin Sasra Prahara, mungkin aji Angin Ribut, atau bisa juga disebut Aji
Banjir Bandang?" tanya gadis itu.
206 Parameswara memejamkan mata beberapa saat untuk melarutkan rasa bahagia yang
sangat kental itu. Keberhasilan itu ia rasakan melebihi apa pun, melebihi
keberhasilan menemukan harta karun emas dan permata segunung anakan sekalipun.
"Aku namai ajian itu, cleret tahun, " bisik Parameswara.
Dengan telaten Biku Paraban terus memijit bagian tubuh tertentu, melemaskan
semua simpul simpul syaraf yang beku membuat Parameswara merasa nyaman dan enak.
Bubur dari ramuan dedaunan khusus yang di bibir terasa pahit itu justru terasa
hangat di dada. Dengan tatapan mata yang lekat Swasti Prabawati memandang wajah
pemuda tampan itu. Di samping ada rasa iri dalam hati, Swasti Prabawati tidak bisa
mengingkari kekagumannya pada pemuda itu.
"Kuharap kau tak akan keberatan untuk mengajariku Parameswara. Dengan ajian
macam itu, aku bisa membuat pengeram-eram sehingga orang akan berpikir dua kali
jika bermaksud jahat padaku."
Parameswara memberikan senyuman sambil memejamkan mata.
Pada hari ke empat belas itu Biku Paraban telah memberi waktu yang lebih longgar
kepada Swasti Prabawati dan Parameswara untuk beristirahat dan memulihkan
tenaga. Kesempatan itu dipergunakan Parameswara untuk tidur pulas, akan halnya Swasti
Prabawati tak bisa mengosongkan jiwa dan melupakan apa pun. Bagaimanapun seiring
dengan waktu yang bergerak itu, Swasti Prabawati teringat dan selalu dililit
pertanyaan bagaimana dengan keadaan ayahnya.
Dan nama Narasinga, nama itu bagai berdentang dan terus memantul di dalam
dadanya. Waktu terus bergeser hingga kemudian malam telah digantikan oleh datangnya
pagi. Di luar goa angin berhembus agak keras karena mendung yang begitu tebal di
mana-mana. Bahkan suara ombak pantai utara bergemuruh lebih riuh daripada
biasanya. Parameswara tiba-tiba teringat pada kudanya.
Namun ketika Parameswara keluar, dilihatnya kuda Sapu Angin mondar-mandir di
pantai. Jika ada orang yang bermaksud buruk pada kuda itu, Sapu Angin tentu bisa
menjaga diri, sebenarnyalah Sapu Angin bukan kuda sembarangan. Selebihnya
Parameswara ingat, tak seorang pun yang akan berani berbuat macam-macam di
wilayah kekuasaan Hantu Laut. "Bagaimana keadaanmu, Parameswara?" tiba-tiba terdengar suara menyapa.
Parameswara berbalik. "Baik paman," jawabnya lugas.
Meski tubuhnya sekarang menjadi begitu kurus, namun jiwanya segar dan matang.
Tatapan matanya terang seolah siap menantang keadaan macam apa pun.
Swasti Prabawati yang telah berdandan cantik ikut pula bergabung mengintip ke
luar goa. Angin menderu-deru, dan ombak yang biasanya tenang itu bergulung.
Benar- benar keadaan cuaca yang tidak begitu baik, para nelayan tak terlihat turun ke
laut. "Paman, boleh aku bertanya," Parameswara memecah hening.
"Persoalan apa?" tanya Biku Paraban.
"Selama ini orang yang tidak mengetahui, mengira paman adalah Hantu Laut yang
menjaga pesisir Ywangga. Bagaimana cara paman berenang dengan obor yang masih
tetap menyala?" Pertanyaan itu rupanya juga mewakili rasa penasaran yang ada di benak Swasti
Prabawati. Gadis itu ikut menunggu jawaban. Namun Biku Paraban hanya tertawa.
207 "Apa yang kulakukan, sebenarnya tidak berbeda dengan apa yang kaulakukan
Parameswara. Aku mendalaminya tak lebih hanya sekadar sebagai pengeram-eram.
Yang jelas kemampuan semu itu hanya untuk menakut-nakuti orang," kata Biku
Paraban. Parameswara heran. Demikian pula dengan Swasti Prabawati. Pemuda dari bumi
Kembang Ayun di tanah Blambangan dan gadis dari kaki Penanggungan itu tidak akan
lupa saat pertama kali mereka bertemu dengan Biku Paraban, yang mampu berenang
dengan obor tetap menyala di dalam air, yang juga mampu amblas ke dalam tanah.
"Kemampuan semu?" Swasti Prabawati tidak kuasa menahan rasa herannya. "Apa
yang paman lakukan semua itu hanya semu?"
Biku Paraban mengangguk. Namun rupanya Biku Paraban tidak begitu senang pembicaraan mengarah kepada
apa yang selama ini dilakukan di malam hari dengan menakut-nakuti orang yang
lewat. Biku Paraban justru tertarik kepada kemampuan ajaib yang telah dikuasai
Parameswara. Hujan yang sedang turun dengan deras di depan goa justru menarik perhatian
lelaki tua itu. "Apakah sekarang kau sudah siap Parameswara?" tanya Biku Paraban
sedikit agak membingungkan Parameswara.
Parameswara mencuatkan alis.
"Siap apa, paman?" tanya pemuda itu.
Biku Paraban memandang ke laut lepas, ke hujan yang sedang turun deras.
"Aku ingin melihat, apakah kaubenar-benar menguasai ajian temuanmu yang
tampaknya sangar itu. Jika cleret tahun itu tidak benar-benar kaukuasai, aku
yakin bisa akan menjadi bencana bagi orang lain."
Parameswara termangu. Ia masih belum paham.
"Maksudnya?" "Kemampuan yang kaukuasai itu, tidak ubahnya sebuah obor. Apabila api masih
berada pada obor maka ia bermanfaat menjadi alat untuk menerangi kegelapan.
Namun jika percikan api mengenai rumah dan kemudian terbakar kau tidak bisa
menguasainya lagi. Agaknya demikian pula dengan cleret tahun itu. Kalau menjadi liar dan
membesar kau akan mengalami kesulitan mengendalikannya. Bukankah demikian?"
Parameswara tidak bisa ingkar, bahwa kemungkinannya memang seperti itu.
"Bagaimana?" tanya Biku Paraban.
"Apa yang paman katakan benar. Aku memang bisa menghadirkan cleret tahun itu,
tetapi untuk mengendalikannya di saat membesar, aku tidak tahu apakah aku bisa.
Akan tetapi aku berharap, dengan latihan yang matang dan berulang-ulang, Aji cleret
tahun itu tidak akan menjadi liar tak terkendali."
Jawaban Parameswara itu terasa ragu. Sebenarnyalah Parameswara tidak begitu
yakin dengan jawabnya sendiri.
"Jika demikian, kaucoba sekarang. Aku akan melihat peluangmu," kata Biku
Paraban dengan tegas. Parameswara tidak menunggu lebih lama lagi. Pemuda itu segera mengheningkan
cipta memusatkan segenap nalar dan budinya. Dengan tenang pemuda itu duduk
bersila dan menelangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Matanya terpejam pelahan.
Swasti Prabawati dan Biku Paraban menunggu sesaat.
Masih dalam keheningan nalar budi, Parameswara memusatkan perhatian untuk
mengacak udara di sekitarnya sebagaimana apa yang pernah menjadi angan-angan dan
208 mimpi bawah sadarnya. Udara yang semula bergerak liar tidak beraturan segera
ditata dan dimampatkannya. Melalui angan-angannya Parameswara mulai mengendalikan udara
yang seolah telah berada dalam genggamannya itu, dengan pelahan ia memutarnya.
Diawali hanya dengan pelahan saja namun yang pelahan itu mulai menggerakkan
daun- daun dan ranting yang berserakan.
Sejenak kemudian, Biku Paraban dan Swasti Prabawati melihat udara yang
berputar. Udara berputar itu melibas pasir dan air bergerak berputar-putar
meliuk ke sana dan kemari. Keadaan angin yang ribut malah membantu apa yang
dilakukan. Maka anak Ki Ajar Kembang Ayun tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membuat pusingan
udara itu makin membesar.
Biku Paraban dan Swasti Prabawati benar-benar takjub.
Parameswara tetap pada pemusatan nalar serta budinya. Pusingan yang mulai
meliuk-liuk menari-nari itu itu makin membesar. Udara yang tengah bergolak serta
angin menderu-deru, malah menyebabkan biang angin lesus itu semakin subur.
Parameswara rupanya masih tetap menguasai gejala aneh itu. Putaran dan geraknya masih bisa
ia kendalikan melalui pemusatan pikirannya. Bahkan Prabawati melihat betapa indah
cleret tahun itu menari-nari.
Namun Biku Paraban memang melihat sebuah kemungkinan manakala ajian itu bisa
dikuasai oleh orang yang mempunyai tingkat pemusatan pikiran yang amat tinggi,
maka amat mungkin, pasukan segelar sepapan sekalipun bisa dibuat porak poranda.
Sebaliknya Biku Paraban juga melihat kemungkinan, apabila Aji cleret tahun lepas
dari kendali, maka ia akan menjadi dirinya sendiri. Apa yang dicemaskan Biku
Paraban akhirnya benar-benar terjadi, kemampuan Parameswara masih ada batasnya. Sebagaimana api,
jika membesar dan melahap bangunan maka apalah yang bisa dilakukan. Api kecil sangat
bermanfaat, api besar menghadirkan bencana.
Demikian pula dengan cleret tahun yang meliuk semakin menjadi itu. Tiba-tiba


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja, saat cleret tahun itu sudah menyamai besar pohon pinang arah lintasan
geraknya berubah. Parameswara tidak lagi memegang kendali atas benda itu. Cleret
tahun itu menggeliat dan semakin membesar. Suaranya mencicit menderu-deru
melibas apa pun. Kuda Sapu Angin dan kuda betina milik Swasti Prabawati yang berada tak jauh dari
tempat itu segera lari lintang pukang menyelamatkan diri.
Akhirnya cleret tahun itu benar-benar berada di luar kendali.
Batang tubuh cleret tahun itu dengan cepat membesar dan meliuk lentur. Kali ini
cleret tahun itu telah berdiri sendiri, menjadi dirinya sendiri, dengan kekuatan
yang nggegirisi. Cleret tahun itu benar-benar telah lepas dari majikannya,
meliuk ke mana dia suka. Parameswara bergegas membuka mata. Dengan tatapan mata
terbelalak pemuda itu menyaksikan buah perbuatannya. Betapa hebatnya cleret tahun itu, bahkan menyamai
besar cleret tahun yang dahulu pernah menghajarnya di pesisir selatan
Blambangan. Anak Ki Ajar Kembang Ayun yang pernah mengalami secara langsung betapa dahsyat
kekuatan yang dimiliki angin lesus itu miris sendiri.
Mulut Parameswara terbungkam tidak bisa berbicara lagi sebaliknya bagi Swasti
Prabawati, apa yang disaksikan itu benar-benar tidak masuk akal namun yang tidak
masuk akal itu merupakan sebuah kenyataan nyata yang tidak mungkin dianggap
tidak pernah ada. Diam-diam gadis itu merasa iri karena Parameswara menguasai ajian
yang dahsyat itu. 209 Biku Baraban berbeda lagi, lelaki tua itu menjadi cemas. Lelaki tua yang
mendapat julukan Sang Pemancing dan bahkan Hantu Laut itu tidak mengira akibat dari
perbuatan Parameswara begitu dahsyatnya. Biku Paraban merasa cemas melihat gerak cleret
tahun itu menyisir ke barat, ke tempat mana para nelayan tinggal. Bila
perkampungan mereka didatangi cleret tahun itu tentu akan menjadi bencana bagi mereka karena cleret tahun itu sanggup mencabut apa pun, memporak-
porandakan apa pun. Akan tetapi untunglah arah
lintasan cleret tahun itu tiba-tiba berubah, meliuk ke utara ke laut lepas.
Permukaan air yang dilintasi pusingan udara itu memuncratkan air, terhisap
dengan segala ikan-ikannya membubung ke atas menyempurnakan keperkasaan benda
itu. Parameswara takjub. Pemuda itu tidak menyangka betapa buah perbuatannya akan
begitu dahsyatnya. "Hebat sekali Parameswara," Swasti Prabawati memuji dengan tulus, "kuharap kau
kelak mengajarkan ajian itu padaku."
Akan tetapi Biku Paraban yang memandang arah cleret tahun yang meliuk jauh ke
utara itu menjadi cemas karena pertimbangan-pertimbangan yang jauh ke depan
serta membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dengan munculnya ajian itu.
"Kau yang telah menghadirkan ajian dahsyat itu Parameswara. Cleret tahun itu
meraksasa dan dalam keadaan yang demikian bisakah kau menghentikan tingkah benda
itu. Kalau cleret tahun itu sampai menjamah pulau di utara sana, kaubisa
membayangkan akibatnya," kata Biku Paraban, tatapan matanya tak berkedip pada
Parameswara. Parameswara tentu bingung tidak mampu menjawab. Sebenarnyalah anak Ki Ajar
Kembang Ayun menyadari benar apa yang dicemaskan Biku Paraban. Lesus kecil hanya
sebuah mainan yang bisa ia kuasai, namun tidak untuk ukuran seperti yang ada
sekarang. "Kau yang mengundang cleret tahun itu. Jika kemudian cleret tahun ciptaanmu itu
menimbulkan bencana maka kau harus bertanggung jawab," Biku Paraban menekan.
Parameswara makin kebingungan. Tatapan matanya tampak serba salah.
Biku Paraban terus mengikuti gerak cleret tahun itu yang melintas membelah laut
ke arah utara. Cleret tahun yang lepas kendali itu semakin jauh, meliuk dengan
amat dahsyatnya seolah memamerkan keperkasaannya kepada dewa laut utara. Dengan ganas
puting beliung itu membelah air menghisap dan memuncratkannya ke udara. Beberapa
saat lamanya anak ke dua Ki Ajar Kembang Ayun harus merenungkan pertanyaan Biku
Paraban. "Pada hakekatnya Parameswara," kata Paraban, "jika kau ber tiwikrama78 dengan
menghadirkan benda itu maka kau harus bertanggung jawab terhadap keberadaannya.
Pendek kata, kalau kaubisa mengundang kehadirannya, maka kau pun harus pula bisa
menguasainya, tidak membiarkannya liar tanpa kendali."
Parameswara kemudian mengangguk.
"Aku mengerti maksud paman. Aku akan terus berlatih sampai aku benar-benar
mengenal sifat-sifatnya," jawab pemuda itu.
"Bolehkah aku mempelajari ilmu itu, paman?" Swasti Prabawati mengungkapkan
keinginannya. Gadis itu benar-benar ngiler, sangat ingin bisa menguasai kemampuan yang aneh
itu. "Entah mengapa aku kurang sependapat jika kau mempelajarinya Prabawati. Di
tangan orang yang benar-benar menguasai maka cleret tahun itu tidak akan
berbahaya. 78 Tiwikrama, jawa, 210 Sebaliknya di tangan orang yang tidak menguasainya, apalagi apabila hanya
sekadar bisa menghadirkannya maka kemampuan itu bisa amat berbahaya."
Swasti Prabawati menoleh pada Parameswara, pandangan matanya penuh harap.
Parameswara ingin tersenyum akan tetapi keinginan itu dengan sekuat tenaga
ditahannya dan menyamarkannya dengan memandang ke arah barat. Untuk beberapa
saat lamanya ia masih bisa mengikuti gerak angin lesus yang terus menjauh itu. Namun beberapa
saat kemudian entah tersandung apa, cleret tahun itu tiba-tiba bubar mawut tak ada
jejaknya. Parameswara merasa lega ketika puting beliung itu lenyap.
Parameswara termangu. Ia berbicara pada diri sendiri. "Cleret tahun kecil, aku
masih bisa mengendalikannya, namun jika membesar, aku seperti berusaha menguasai
seekor kuda yang liar. Semakin besar kekuatannya, semakin sulit aku menguasainya
dan pada akhirnya aku benar-benar tidak mampu menguasainya lagi. Rupanya yang harus
aku lakukan nantinya adalah, berupaya bagaimana caranya menguasai benda itu."
Parameswara yang melongok keluar tersenyum melihat kuda Sapu Angin yang
tadinya berlari tunggang langgang telah kembali. Segera Parameswara bersiul
panjang, kuda cerdas itu membalas dengan ringkiknya yang panjang. Sejenak kemudian kuda
betina milik Swasti Prabawati yang juga lari tunggang langgang telah kembali.
Waktu pergaulan beberapa hari menyebabkan hubungan kedua binatang itu menjadi erat
layaknya suami-isteri. Biku Paraban memandang Swasti Prabawati.
"Kita melihat Parameswara telah menunjukkan kemampuannya. Setengah bulan ia
menggembleng diri, mendapat hasil yang luar biasa. Sekarang giliranmu. Tunjukkan
apa yang telah kauperoleh di waktu yang sama itu."
Swasti Prabawati mengangguk mantab.
Dengan langkah sigap Swasti Prabawati segera menempatkan diri di tengah ruang
goa itu. Parameswara memerhatikan dengan seksama apa yang telah diperoleh gadis
itu yang dengan penuh keyakinan akan memamerkannya. Swasti Prabawati memulai dengan
sebuah kembangan gerak tangan. Kaki kiri diangkat bersamaan dengan tangan kanan
yang memegang pedang panjang juga diangkat. Dengan bertumpu pada kaki kanannya
tiba-tiba gadis itu berputar cepat seperti gangsing dan kemudian mengapung di
udara. Masih dengan geliat yang kuat gadis itu bergerak memutar mengitari ruangan.
Gerakan pedang panjang di tangan kanannya memutar cepat dan sulit diikuti mata
telanjang. Dengan teriakannya yang melengking nyaring gadis yang berasal dari kaki Gunung
Penanggungan itu berjumpalitan di udara. Kakinya menyambar datar dan mengayun
deras susul-menyusul. Parameswara tidak bisa menutupi takjubnya. Parameswara yang sejak awal sudah
mengetahui tingkat ketinggian olah kanuragan yang dikuasai gadis itu yang ia
lihat pada saat gadis itu bertempur melawan Ranggasura terkagum-kagum melihat
kenyataan betapa dalam waktu yang amat singkat gadis itu telah melejit jauh ke depan. Tandang
grayang gadis itu benar-benar lincah, cukat trengginas dan bahkan berkesan ganas.
Prabawati terus menapak selapis demi selapis menjelajahi ruang kemampuannya.
Parameswara benar-benar kagum melihat gadis itu mampu melakukan gerakan-gerakan
yang sulit dan sering tidak terduga. Ada saatnya tubuh yang ramping jelita itu
tiba-tiba melejit ke atas dan kemudian berjumpalitan memutar, pada saat turun
kembali ke tanah sepasang pedangnya berputar cepat. Seandainya lawan berada di bawahnya, tentu
akan sulit menghadapi serangan yang tidak terduga seperti itu. Tidak sia-sia Biku
Paraban 211 melatih gadis itu dengan keras dalam setengah bulan itu. Swasti Prabawati
mengalami lonjakan yang amat tajam, ilmu kanuragan yang dikuasainya meningkat pesat.
Melihat itu Biku Paraban benar-benar merasa puas.
"Seperti yang aku katakan, kau mendapatkan kesempatan pertama untuk membaca
dan mendalami kitab itu Prabawati, namun kelak kau juga harus memberikan
kesempatan yang sama pada Parameswara. Kalian berdua harus saling mengisi dan melengkapi
dalam olah kanuragan itu. Parameswara harus menuntun Swasti Prabawati menyempurnakan
kematangan jiwanya, utamanya dalam olah pernapasan dan kajiwan, sebaliknya
Swasti Prabawati harus menuntun Parameswara dalam gerak kembangan silat."
Baik Parameswara dan Swasti Prabawati menyimak wejangan itu dengan seksama.
Namun pesan yang diberikan oleh Biku Paraban berikutnya yang terasa aneh dan
janggal, bahkan sulit dimengerti.
"Tumbuh dan kembangkanlah perasaan bersaudara di antara kalian berdua. Ingat,
jangan beri kesempatan di hati kalian masing-masing untuk tumbuhnya perasaan
cinta dan saling memiliki sebagaimana pria dan wanita. Camkan yang satu ini dan jangan
mencoba-coba untuk melanggar."
Parameswara termangu. Baginya memang tidak menjadi soal, sebagaimana bagi
Swasti Prabawati juga tidak menjadi soal. Tetapi alasan yang berada di
belakangnya, mengapa Biku Paraban melarang, itulah yang justru membuat mereka merasa
penasaran. Sore pun datang. Biku Paraban telah menganggap masa penggemblengan lima belas
hari itu telah cukup. Swasti Prabawati berlinang air matanya ketika memeluk
patung Ibunya. Seolah-olah patung itu menyimpan kehangatan pelukan seorang ibu yang
sarat dengan restu dan doa untuk anaknya. Dengan takzimnya Swasti Prabawati duduk
timpuh79, bersimpuh di depan kaki patung Ibunya. Dengan mata berlinang gadis itu
memeluk kaki patung itu dan mencium jari-jarinya. Dengan sepenuh perasaan
Prabawati merapatkan dua telapak tangan di depan dada.
Tanpa menoleh lagi Prabawati keluar dari goa di balik tebing itu. Hatinya
kembali ngeres oleh semua kenyataan yang diperolehnya. Pun patung batu, meski ia hanya
sebuah patung, prabawati merasakan bagai ibu sesungguhnya. Prabawati memutuskan
uintuk tak mau menoleh lagi karena jika ia lakukan itu, hatinya kembali akan tersayat.
Sayang sekali gadis itu tidak melakukannya, pun Biku Paraban dan Parameswara
tidak memerhatikan, karena betapa akan terkejutnya mereka andaikata mengetahui patung batu itu
menangis. Air bening keluar dari susut kelopak mata itu.
Di luar goa, Piku Paraban menghela resahnya.
"Pergilah. Doaku menyertai kalian berdua."
Swasti Prabawati yang telah mendapat arah yang jelas ke mana ia harus pergi
untuk melacak jejak ayahnya, siap berangkat dengan hati yang mantab Swasti Prabawati
anak Luh Saras merasa seusai mengalami penggemblengan yang luar biasa di kawah
candradimuka80 selama setengah bulan itu telah siap menghadapi apa pun, bahkan
menghadapi makhluk mengerikan bernama Narasinga.
Tidak berapa lama kemudian, dua ekor kuda berderap meninggalkan Biku Paraban
yang berdiri termangu di bibir pantai itu. Biku Paraban menghirup napas panjang
ketika kemudian merasa dadanya getir sekali. Setelah sekian tahun ia berharap
akhirnya apa 79 Timpuh, jawa, bersimpuh
80 Candradimuka, jawa, nama kawah dalam jagad pewayangan yang merupakan tempat
hukuman dalam fungsinya sebagai neraka sekaligus tempat penggemblengan
sebagaimana yang dialami Tetuka.
212 yang diinginkan untuk menurunkan ilmu kanuragan nya pada Swasti Prabawati
menjadi kenyataan. Namun entah mengapa, saat mengenang wajah Parameswara, dada
orang tua itu terangsang untuk bergolak.
Biku Paraban kembali masuk ke dalam goa. Biku Paraban menebarkan pandangan
matanya ke segenap sudut ruang. Lagi-lagi sekali lagi Biku Paraban menghirup
udara, memenuhi segenap paru-parunya, sekaligus merupakan sebuah gambaran, betapa di
dada orang tua itu tersimpan sebuah beban yang berat. Biku Paraban kemudian
memandangi wajah patung di sudut goa. Patung wanita yang di masa silam diperebutkan oleh
tiga orang bersaudara namun kemudian berakhir menjadi kisah yang paling pahit.
"Aku akan meninggalkanmu," kata Biku Paraban seperti tidak terdengar oleh
telinga. "Semoga kau tidak kesepian. Kelak aku akan pulang untuk menemanimu
lagi." Biku Paraban kemudian segera berkemas. Sebuah caping lebar dan seperangkat
baju dalam buntalan telah siap menemani perjalanannya.
Dalam pada itu Swasti Prabawati memacu kudanya amat kencang seperti orang
yang tak sabar. Parameswara mem bedal kudanya terus mengikuti gadis itu dari
belakang. Parameswara kemudian merasa tidak enak karena gadis teman seperjalanannya itu
telah berubah menjadi pendiam. Entah mengapa, tiba-tiba saja Swasti Prabawati
menghentikan derap langkah kudanya. "Ada apa?" tanya Parameswara.
"Kita berpisah di sini. Kita mengambil jalan masing-masing. Kalau kau ada urusan
di Kediri, lanjutkan saja perjalananmu. Aku akan mengambil jalanku sendiri."
Parameswara kebingungan, dan justru karena itu malah tidak tahu harus menjawab
apa atau bagaimana. "Ini terimalah. Kalau kau merasa telah cukup mempelajarinya, antar kitab ini ke
kaki Gunung Penanggungan," ucap Swasti Prabawati sambil mengeluarkan rontal dari
dalam buntalannya. Namun Parameswara menolak.
"Lebih baik kau saja yang membawa kitab itu. Aku akan membacanya belakangan
setelah kau merasa cukup."
Swasti Prabawati termangu diam. Kitab yang sudah dikeluarkan itu dimasukkan
lagi ke dalam buntalan. Swasti Prabawati memandang amat lekat pada wajah pemuda
itu

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil membayangkan pesan pamannya, bahwa di antara mereka seyogyanya tidak
boleh tumbuh cinta. Entah apa sebabnya.
"Ambillah jalanmu sendiri, aku akan ke Panjaringan."
Swasti Prabawati tak menunggu lebih lama lagi. Gadis itu segera melecut kudanya
yang segera melonjak dan kemudian melesat cepat ke arah jalan menyimpang. Maka
Parameswara hanya bisa menghela napas, dielusnya kuda Sapu Angin yang merasa
amat kehilangan. "Itulah wanita," kata Parameswara pada Sapu Angin. "Dia lupa mengucapkan
terimakasih. Padahal aku pernah meminjamkanmu kepadanya."
Sapu Angin meringkik. Rupanya kuda itu merasa kehilangan.
"Jangan sedih Sapu Angin, perjalanan hidup ada kalanya memang aneh dan sulit
dimengerti. Sekarang marilah kita menempuh jalan kita sendiri. Kita akan ke
Kediri. Kalau kuda betina pacarmu itu kelak melahirkan, berharaplah anakmu itu kelak
akan mencarimu." Sapu Angin meringkik sambil sedikit mengangkat kaki depannya.
213 "Tak perlu tergesa-gesa, kita tempuh perjalanan kita pelan-pelan saja. Pelan
tetapi sampai, itu lebih baik daripada cepat tetapi salah alamat. Ayo Sapu Angin."
30. (Rangkaian peristiwa tahun 2011)
Dengan langkah sangat ragu Yogi Sutisna mendekati sahabatnya yang tepekur
mencangkung bingung. Bagaikan patung batu yang membeku Parra Hiswara duduk
bersila lunglai bagai kehilangan semua tenaga. Cahaya bulan menyinari tubuhnya
tanpa hambatan karena Parra Hiswara tidak berada di bayang-bayangan tumbuhan. Taman
Botani Kebun Raya di ruas jalan Surabaya Malang itu rupanya menjadi saksi
sesuatu telah terjadi. "Parra," ucap Yogi Sutisna dengan menyentuh pundak sahabatnya.
Pelahan Parra Hiswara menoleh. "Aku melakukan kesalahan yang amat besar dan
tidak termaafkan," bisik Parra Hiswara.
Sebuah ucapan yang tidak mengundang simpati dan tidak menyebabkan Yogi
Sutisna harus merasa iba.
Yogi Sutisna tersenyum melecehken.
"Tak perlu munafik!" ucap Yogi Sutisna. "Tak perlu bersikap seperti seorang
gadis yang kehilangan keperawaranan. Berada di tempatmu menghadapi persembahan yang
luar biasa, para lelaki umumnya akan mengaku sangat beruntung."
Parra Hiswara bergeming dengan sikap duduknya, amat lunglai ketika menengadah
memandang bulan yang menyusup mega-mega. Yogi Sutisna terkejut mendapati wajah
sahabatnya yang pucat dan bibirnya gemetar.
"Melayani kemauan gadis itu rupanya merupakan kesalahan terbesar yang aku
lakukan," ucap Parra Hiswara.
Meski Yogi Sutisna berusaha untuk memahami, namun Yogi Sutisna sama sekali
tidak memiliki keterangan apa pun yang bisa dilakukan untuk itu. Dengan jongkok
satu kaki Yogi Sutisna memandang wajah temannya, menelusuri bahasa wajah yang sangat
aneh. Yogi Sutisna yang berniat sinis segera ingat, sahabatnya itu sedang
menghadapi masalah yang luar biasa berat.
"Satu-persatu," ucap Yogi Sutisna, "ketika gadis itu memintamu memejamkan
mata, apa yang kau lihat?"
Pelahan Parra Hiswara menggerakkan wajahnya membalas pandang mata Yogi
Sutisna. Ada beban luar biasa yang menyebabkan Parra Hiswara sangat terhimpit
dan mengalami kesulitan berbicara. Tarikan napas berat yang ia lakukan menunjukkan
itu. "Aku melihat istriku," bisik Parra Hiswara, "aku melihat istriku. Aku juga
melihat bangunan aneh berornamen seperti bangunan cina."
Yogi Sutisna berusaha memahami.
"Apa yang kau lihat pada istrimu?"
Parra Hiswara kembali menampakkan wajah gelisah.
214 "Aku melihat istriku berada di ruangan yang sempit," kata Parra Hiswara. "Tubuh
istriku dalam keadaan terikat dan berbaring dalam posisi miring. Aku melihat
wajahnya yang ketakutan luar biasa. Aku juga melihat api menyembur dari sesuatu
entah alat apa." Yogi Sutisna mengerutkan kening ikut berpikir.
"Ruangan sempit?" ucap Yogi Sutisna, "sesempit apa ruangan itu?"
Parra Hiswara menggeleng lunglai.
"Sangat sempit, mungkin dengan tinggi tidak lebih dari satu meter memanjang
sepanjang tubuh atau lebih. Ruangan itu gelap!"
Jawaban itu menyebabkan Yogi Sutisna bangkit dan berjalan mondar-mandir. Otak
pemuda berasal tak jauh dari tempat di mana Candi Jonggrang berada itu berputar
cepat untuk menandai tempat macam apa yang dilihat sahabatnya melalui cara aneh
itu. "Tempat macam itu mungkin krematorium!" ucapnya tak yakin.
Parra Hiswara terhenyak dan menengadah. Dengan gugup ia berusaha bangkit.
"Kaubenar," kata Parra Hiswara, "apa yang aku lihat itu mungkin krematorium.
Tempat pembakaran mayat."
Derajad kegelisahan Parra Hiswara semakin menanjak, tak tercegah detak jantung
suami Mahdasari itu mengayun lebih berderap dan kencang. Sungguh mengerikan,
bila benar tempat berupa ruang sempit itu adalah tempat pembakaran mayat, maka nasib
buruk macam apa yang akan menimpa istrinya. Parra Hiswara melihat tidak ada
nasib yang lebih buruk dari dibakar hidup-hidup.
"Aku harus menemukan tempat itu," kata Parra Hiswara. "Kita periksa satu-persatu
semua krematorium yang ada."
Yogi Sutisna terdiam dalam membayangkan jenis pekerjaan macam apa yang harus
dilakukan. Krematorium adalah rumah pembakaran mayat yang tidak terlalu banyak
dan tidak di sembarang kota ada. Krematorium terdekat dari tempat kejadian adalah
dalam kota Malang, lalu Surabaya.
"Bagaimana dengan janji perempuan itu" Bukankah sebagai imbalan pelayanan
seks yang kauberikan ia akan membantu memberi petunjuk bagaimana cara menolong
istrimu?" Yogi Sutisna melihat Parra Hiswara menggeleng lunglai.
"Aku melakukan kesalahan besar," bisiknya. "Gadis itu bohong akan membantu
menolong istriku. Gadis itu justru sumber dari semua bencana ini."
Jawaban itu menyebabkan Yogi Sutisna terheran-heran.
"Bagaimana bisa?" tanya Yogi.
Parra Hiswara meremas-remas jari. Tidak cukup dengan sikap itu, Parra Hiswara
menjambaki rambutnya sendiri gambaran sebuah penyesalan yang luar biasa.
31. Parra Hiswara memandang gadis di depannya, gadis yang memberikan pengalaman
asmara paling liar dari yang pernah dilakukan di sepanjang hidupnya. Menghadapi
persembahan yang luar biasa seperti yang diberikan Ken Katri Kenyatri, para
lelaki umumnya akan merasa sangat beruntung apalagi gadis berambut panjang itu memiliki
215 kecantikan yang luar biasa. Perasaan macam itu mengharu-biru di dada suami yang
mengkhianati cinta istrinya itu, jejak rasa mesra masih membayang di wajahnya,
untuk beberapa saat telah hilang bayangan wajah Mahdasari.
"Aku masih tidak mengerti," kata Parra Hiswara.
Ken Katri Kenyatri tersenyum namun tidak dengan segera menjawab. Dengan
senyum amat menggoda ia merapikan diri.
"Mengapa harus aku?" lanjut Parra Hiswara. "Mengapa kau harus hamil dari
benihku?" Katri mengumbar senyumnya dengan amat murah.
"Sebuah cara untuk menjamin, titisan itu berada dalam cengkeraman tanganku."
Jawaban itu menyebabkan Parra Hiswara terkejut, sungguh sangat terkejut. Parra
Hiswara memandang wajah Katri yang meski masih mengumbar senyum mesra namun
mulai menunjukkan sikap aneh. Terbelalak Parra Hiswara memandangi lawan
bicaranya. "Kenapa?" Ken Katri Kenyatri tidak cukup tersenyum mesra, kali ini melengkapinya dengan
tawa, renyah gemerincing yang dengan mendadak menyebabkan Parra Hiswara
mrinding, bulu kuduknya bangkit tak terkendali. Rasa gelisahnya ikut menggeliat tidak
terkendali. "Istrimu yang hamil tua itu akan melahirkan anak perempuan," ucap Ken Katri
Kenyatri ringan, "sementara titisan musuh bebuyutanku itu harus lahir kembali
melalui jenis laki-laki."
Parra Hiswara menampakkan raut wajah amat tegang. Namun bagai bisa menebak,
Ken Katri Kenyatri memiliki jawaban yang amat menohok, "dahulu di kehidupanku di
masa lalu aku mengalami kesulitan menghabisi musuhku, maka kini, dengan ia akan
terlahir dari perutku, tindakan apa yang akan bisa aku lakukan?"
Ken Katri Kenyatri tiba-tiba bangkit didorong oleh keputusan untuk segera pergi
dari tempat itu sambil membawa suara tawanya yang gemerincing. Ia tertawa
bergelak atas rasa puas dan telah ia peroleh apa yang diinginkan. Parra Hiswara segera
tahu jawabnya ketika melihat sesuatu yang melintas terbang di atasnya. Warna putih
sayap yang mengayuh udara dengan segera meningatkan dirinya pada seseorang yang
dijumpai itu baik melalui mimpi maupun ketika terperosok ke gua bawah tanah.
"Ya Tuhan," Parra Hiswara mendekap dada. "Perbuatan macam apa yang telah aku
lakukan?" Beberapa kali binatang yang mestinya berkodrat sebagai pemakan buah-buahan itu
terbang melintas bahkan pada jarak yang sangat dekat dengan dirinya. Akan tetapi
Parra Hiswara tidak melakukan apa pun. Ia hanya memandang tingkah binatang itu
yang bisa dianggap sebagai meledek penyesalannya.
Terakhir binatang itu melesat membubung tinggi ke arah bulan.
32. Yogi Sutisna menyimak penuturan itu dengan tegang. Makin yakinlah Yogi Sutisna
bahwa persoalan yang dihadapi sahabatnya itu sungguh bukan persoalan yang sangat
sulit ditemukan jalan pemecahannya. Dengan gelisah yang tidak bisa dilawan Yogi
Sutisna 216 mengarahkan pandang matanya ke pepohonan yang lebat. Kemunculan kembali jejak
binatang bersayap lebar berkulit putih penuh uban menjadikan perasaannya sangat
tidak nyaman, apalagi ia merasa yakin binatang itu pasti menyimpan dendam
padanya karena bedilnya meninggalkan jejak yang mungkin melobangi sayapnya atau mungkin bahkan
mengenai matanya. "Ken Katri Kenyatri," ucap Parra Hiswara, "adalah perwujutan lain dari perempuan
pemilik tiga buah mata itu dan lelaki bersamanya tadi, mungkin kelelawar itu.
Bisa jadi mereka meminjam tubuh orang. Boleh jadi Ken Katri Kenyatri bahkan
tidak menyadari apa yang menimpanya."
Hening amat hening hamparan tanah yang terlindungi oleh lebatnya pepohonan di
taman Botani Kebun Raya Purwodadi itu. Bagai ikut mencermati apa yang dialami
Parra Hiswara semua binatang kehilangan mulutnya. Cenggeret yang semula begitu riuh
saling sapa bersahut-sahutan tidak lagi kedengaran suaranya. Pun sepasang burung hantu
yang mengikuti dan menjadi saksi semua yang terjadi memilih diam dibalut
keprihatinan. Ke depan Parra Hiswara melihat permasalahan yang bertumpuk-tumpuk tumpang tindih
akan tetapi sejauh itu ia masih belum tahu peran apa yang tersampir di pundaknya.
Ketika ia merasa membutuhkan penjelasan ternyata tak seorang pun yang bisa
memberi penjelasan. "Kita ke krematorium," kata Parra Hiswara tiba-tiba.
"Ya!" jawab Yogi Sutisna. "Kautahu tempatnya?"
Parra Hiswara mengangguk.
Melihat sahabatnya sedang demikian gelisah Yogi Sutisna menempatkan diri
memegang stir. Pelahan ia menyusuri jalanan di dalam kompleks taman botani itu.
Pintu gerbang masih tetap terbuka ketika melintas keluar dan memasuki jalan
raya. Akhirnya didorong waktu yang terbatas dengan lincah Yogi Sutisna membawa laju
kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tidak lebih dari setengah jam kendaraan itu kembali
melintas kota Singasari dan terus akan melaju ke selatan. Parra Hiswara dan Yogi
Sutisna segera mengerutkan kening melihat kabut telah menghilang. Ditaburi oleh
cahaya bulan yang berlimpah, bahkan puncak Gunung Kawi terlihat dengan amat jelas.
"Tunggu, belok ke Dwarapala," kata Parra Hiswara didorong dan didasari sebuah
dugaan yang muncul dengan tiba-tiba.
Yogi Sutisna yang berpikiran serupa tangkas memperlambat laju kendaraannya dan
berbelok ke arah barat. Dugaan Parra Hiswara dan Yogi ternyata benar, ada
seseorang di sana. Dalam siraman cahaya bulan yang berlimpah Yogi Sutisna bisa
mengenali orang itu dengan baik.
"Dia orang Bali itu!" bisik Yogi Sutisna.
Yogi Sutisna memarkir kendaraannya dan bergegas turun. Agaknya Anak Agung
Budayasa sangat berkepentingan dengan pertemuan itu, ia yang bersandar kendaraan
segera menyongsong. Dengan ramah ia pun menawarkan jabat tangan. Parra Hiswara
menerima uluran itu sambil dengan segera berusaha menarik kesimpulan keadaan
yang dihadapinya. "Selamat malam," sapa Budayasa.
Parra Hiswara memperoleh kesan yang baik dari pertemuan itu, sangat bertolak-
belakang dengan kecurigaan yang terlajur tumbuh dan mekar di benaknya.
"Aku hampir mengira kalian tidak datang," kata Budayasa.
Ucapan itu menyebabkan Parra Hiswara dan Yogi Sutisna saling pandang. Melihat
sikap Parra Hiswara dan Yogi Sutisna yang demikian menyebabkan Budayasa curiga.
217 "Apakah terjadi sesuatu?" tanya Budayasa.
Parra Hiswara pilih menempatkan diri diam dan menggamit Yogi Sutisna.
"Tadi tempat ini digulung kabut tebal," kata Yogi Sutisna. "Kami telah berada di
sini sejak jarum jam di angka sebelas. Lalu datang orang yang menjemput kami."
Dengan jelas Yogi Sutisna menceritakan apa yang terjadi yang disimak dengan
penuh perhatian oleh Budayasa. Namun ada bagian-bagian tertentu yang tidak
mungkin bagi Yogi menuturkan, bahkan Parra Hiswara sebagai pelakunya belum tentu sanggup
menceritakan apa yang sebelumnya ia lakukan bersama Ken Katri Kenyatri.
"Itulah yang terjadi," kata Yogi Sutisna.
Budayasa mengangguk. "Lalu apa yang dibicarakan di tengah Kebun Raya itu?" tanya Budayasa.
Yogi Sutisna melirik Parra Hiswara. Parra Hiswara mengangguk dan siap untuk
mengambil alih pembicaraan.
"Maafkan aku berbicara lugas," kata Parra Hiswara, "sebenarnya apa keperluanmu
ingin bertemu denganku?"
Pertanyaan yang dilepas dengan tanpa tedeng aling-aling81 itu menempatkan Anak
Agung Budayasa tertegun. Anak Agung Budayasa rupanya perlu menimbang sebelum
akhirnya berbicara. "Aku kehilangan diriku," kata Budayasa. "Ketika aku tersadar dari tidur beberapa
hari yang lalu aku kehilangan semua ingatanku yang terhapus habis tanpa sisa.


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa aku, tanggal berapa aku lahir dan semua hal sederhana yang lain lenyap
tidak ada jejaknya. Siapa pun yang berada di rumahku tidak seorang pun yang aku ingat. Aku tidak
memiliki kenangan sama sekali pada ayah dan ibuku, juga pada seorang adik
perempuanku. Akan tetapi meski demikian mereka mampu meyakinkanku bahwa aku bernama Budayasa,
bahwa aku adalah bagian dari keluarga mereka. Di luar apa yang diterangkan ayah
ibuku dan adikku semua terhapus dari otakku, aku tak ingat apa pun. Tentu aku
berkepentingan untuk bisa kembali ke keadaanku semula, namun kemudian aku sadar
keadaanku yang demikian tidak bisa aku hindari. Itulah sebabnya aku datang untuk mempertegas di
mana posisiku, ke mana aku harus memihak."
Parra Hiswara menyimak awal penjelasan itu dengan penuh perhatian. Yogi Sutisna
amat tercuri perhatiannya.
"Kasus yang demikian disebut amnesia!" ucapnya.
"Ya!" jawab Budayasa. "Itulah yang kualami sekarang. Sampai sejauh ini meski
aku berusaha mengingat tak pernah berhasil. Banyak sekali terjadi dan
berulangkali aku bertemu dengan teman-temanku, aku tidak ingat mereka. Mereka
bingung dan bahkan ada yang menganggapku sombong."
Parra Hiswara berusaha memahami. Tentu banyak kejadian yang membingungkan
dialami oleh lelaki bernama Budayasa ketika ada orang yang menyapa dan
mengajaknya berbicara sementara kenangannya atas orang itu telah terhapus sama sekali. Jika
orang yang mengidap amnesia itu seseorang yang telah beristeri atau bersuami,
maka ia sama sekali tidak punya ingatan pada perannya sebagai suami atau istri.
"Sudah berapa hari keadaan itu hingga sekarang?" tanya Parra Hiswara.
"Dua minggu," jawab Budayasa.
Parra Hiswara mengangguk pendek.
81 Tedeng aling-aling, jawa, ditutup-tutupi.
218 "Keadaan itu terjadi sejak mimpi pada sebuah hari, mimpi macam apa itu?" tanya
Parra Hiswara. Budayasa mengelus-elus telapak tangan kanannya dan kemudian menunjukkan
telapak tangan itu pada Parra Hiswara.
"Mimpi dalam tidur biasa sebagaimana orang lain mengalami. Namun mimpi yang
aku alami saat itu sungguh bukan seperti mimpi namun nyata. Dalam mimpiku, aku
bertemu seekor kelelawar berukuran sangat besar berwarna putih. Kelelawar albino
itu menyambar dan melukai telapak tanganku, atau mungkin kata yang benar adalah ia
meninggalkan jejak. Benda inilah yang menyebabkan kenanganku lenyap terhapus.
Seorang dokter berusaha melakukan operasi untuk mengeluarkan benda ini, namun ia
malah mati." Perhatian Yogi Sutisna dan Parra Hiswara tertuju pada telapak tangan kanan Anak
Agung Budayasa. Dalam siraman cahaya bulan terlihat sebuah benda yang meringkuk
melingkar menempatkan diri di bawah kulit di atas daging. Seolah mempertegas apa
yang menjadi perannya, benda tak dikenal itu menggeliat. Mrinding Yogi Sutisna
melihat itu. Satu lagi bukti kebenaran dari semua yang diceritakan Parra Hiswara dilihatnya.
Anak Agung Budayasa mengepal dan memasukkan tangannya ke saku jaket yang
dikenakannya. Parra Hiswara tidak bisa menutupi gelisah hatinya. Kelelawar berukuran besar dan
berkulit putih itu rupanya selalu membayangi dirinya melalui berbagai cara,
bahkan lewat cara yang tidak terduga, termasuk melalui mimpi. Kini di depannya
hadir seorang lagi yang menjadi korban setelah sebelumnya ia yakin Hirkam mengalami hal yang sama,
Hirkam yang melarikan diri minggat dari rumah sakit dan tidak diketahui di mana
ia berada boleh dipastikan terlibat dalam perseteruan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan masalah yang belum diketahui macam apa bentuknya.
Parra menekan dadanya yang berdebar karena jantung yang menjadi penghuninya
berderap lebih kencang. "Lalu bagaimana kau merasa berkepentingan denganku?" tanya Parra Hiswara.
Budayasa tak merasa ragu untuk balas memandang dengan tatapan tajam.
"Ada orang yang memberi petunjuk, orang itu yang mengarahkan aku agar bertemu
denganmu. Orang itu pula yang memberiku petunjuk agar datang ke tempat ini,
ternyata apa yang ia katakan benar, di tempat ini aku bertemu denganmu," jawab Budayasa.
Parra Hiswara dan Yogi Sutisna penasaran.
"Siapa?" tanya dua orang itu serentak dan nyaris berhimpitan.
"Nama orang itu Mayong Aditya Bungaran, ahli sejarah yang meyakini adanya
sebuah candi yang memiliki ukuran jauh lebih besar dari Candi Borobudur."
Desir tajam segera menyergap seluruh tubuh Parra Hiswara dan memaksa suami
Mahdasari itu terbungkam tak bisa bicara. Hening pun mengalir menempatkan
Budayasa menunggu apa yang akan dikatakan lawan bicaranya. Parra Hiswara diam agak lama
dan sekuat tenaga menguasai diri. Dihimpit oleh berbagai persoalan yang berat
menjadi sebab munculnya migrain yang menyerang sebelah kepalanya.
"Sosok macam apa Mayong Aditya Bungaran itu?" tanya Parra Hiswara.
Budayasa menyempatkan menarik napas panjang sebelum memberikan jawaban.
"Ia berasal dari Malang dan telah lama menetap di Magelang. Di Magelang waktu
yang ia miliki didedikasikan untuk upaya menemukan jejak candi yang hilang."
Parra Hiswara termangu agak lama.
219 "Berhasil?" tanya Parra Hiswara tiba-tiba.
Budayasa menggeleng. Mendapat jawaban itu Parra Hiswara pun tersenyum.
"Soal gadis bernama Ken Katri Kenyatri, apa pendapatmu?" Yogi Sutisna ikut
melepas pertanyaan. Budayasa ternyata tersenyum.
"Dia anak Pak Mayong," jawab Budayasa datar saja.
Akan tetapi sungguh jawaban yang sebenarnya datar saja itu mampu menyebabkan
Yogi Sutisna dan Parra Hiswara terkejut. Kedua sahabat itu saling pandang dengan
raut muka amat lugas dalam menunjukkan rasa terkejut. Jejak tentang siapa
sebenarnya Ken Katri Kenyatri menjadi semakin jelas arahnya. Dengan keterangan itu bisa didapat
arah untuk bertemu kembali dengan gadis yang telah mempersembahkan gelegak
cinta, jiwa dan raganya. Ke depan Parra Hiswara merasa yakin harus bertemu lagi dengan orang
itu, ada banyak hal yang harus dibicarakan dan dilakukan.
"Kenapa?" tanya Budayasa didorong rasa heran setelah melihat bahasa wajah dua
orang di depannya. Pertanyaan sederhana itu tidak segera dijawab. Parra Hiswara sibuk menggaruk
rasa gatal di telapak tangannya.
"Jadi Ken Katri Kenyatri itu anak Pak Mayong" Apakah dengan demikian berarti
Ken Katri Kenyatri tinggal di Magelang juga?" tanya Yogi Sutisna.
Budayasa ternyata menggeleng.
"Ketika beberapa hari yang lalu aku mendatangi rumah Pak Mayong, itulah saat
pertama kali aku berkenalan dengan Ken Katri Kenyatri. Namun aku tidak tahu
apakah setiap hari gadis itu tinggal bersama ayahnya."
Nama Mayong Aditya Bungaran itu sungguh menarik perhatian Parra Hiswara yang
boleh dianggap sebagai titik terang dari upaya yang ia lakukan, yang tidak
sekadar menemukan dan menyelamatkan istrinya yang diculik orang namun juga mengurai
semua masalah yang menimpanya sampai jelas ujung pangkalnya. Parra Hiswara merasa,
bila semua pertanyaan itu tidak didapat jawabnya dirinya bisa benar-benar gila.
"Menurutmu, Pak Mayong tahu apa yang sedang berlangsung?" Parra Hiswara
bertanya. Budayasa menyempatkan merenung lebih dulu sebelum akhirnya ia mengangguk.
"Ia seorang ahli sejarah yang sedang menelusuri sebuah masalah. Menurutku ia
banyak tahu meski belum tentu tahu semua."
Parra Hiswara masih punya pertanyaan yang harus dilesakkan.
"Pak Mayong tahu peran anaknya?"
Cukup lama Anak Agung Budayasa menimbang sebelum akhirnya angkat bicara.
"Mungkin!" jawabnya.
Jawaban itu menyebabkan Parra Hiswara segera mengambil kesimpuan bahwa ahli
sejarah bernama Mayong itu termasuk berada di kelompok yang harus dicurigai
karena sangat mungkin ia mendukung ulah anak gadisnya. Tahukah Mayong itu bahwa anak
gadisnya telah menjadi media kemunculan kembali sosok yang hidup di masa silam
yang mungkin menempel pada anaknya tak ubahnya parasit, atau siapa tahu Ken Katri
Kenyatri seratus prosen merupakan reinkarnasi si mata tiga"
Parra Hiswara melangkah mondar-mandir lalu berhanti dan berbalik, matanya amat
tajam dalam memandang Budayasa yang berdiri bersandar kaki Dwarapala. Akhirnya
Parra Hiswara sampai pada pertanyaan utama.
220 "Apa benar kautahu apa yang menimpa istriku, di mana ia berada?"
"Kelompok tujuh orang yang menculiknya sementara pada saat bersamaan, saat ini
pula kelompok lima orang sedang berusaha menyelamatkan istrimu."
Jawaban yang diberikan Budayasa menyebabkan Parra Hiswara kehilangan mulut
dan berada di puncak rasa takjub. Kelompok tujuh dan kelompok lima, kelompok apa
pula itu" Pertanyaan itu mengobrak-abrik segenap lorong di kepala Yogi Sutisna.
Parra Hiswara segera menghubungkan keterangan itu dengan apa yang pernah dilihat
di ruang bawah tanah yang terletak tepat di bawah rumahnya.
Saat itu Parameswara menjelaskan bahwa semua orang yang tidur di atas meja batu
merupakan pendukung perempuan yang tidur di tengah ruang dengan tanpa busana.
Parra Hiswara tidak mungkin lupa ketika sosok masa silam bernama Parameswara itu
secara takdir adalah merupakan pendukungnya, akan tetapi pilih tetap terjaga dari tidur
panjang sebagai sikap pembangkangan.
"Kelompok lima itu siapa?" tanya Parra Hiswara.
Anak Agung Budayasa saling meremas jemari tangannya.
"Kelompok lima adalah lima orang yang karena takdir harus berjuang keras untuk
melindungi anakmu, menyelamatkannya jangan sampai tangan maut menyentuhnya."
Parra Hiswara merasa denyut jantungnya berhenti berdetak. Penjelasan yang ia
terima dari Anak Agung Budayasa itu bukannya memperjelas akan tetapi malah
semakin membuatnya bingung. "Anakku," ucap Parra Hiswara gugup, "maksudmu anakku yang mana?"
Budayasa tersenyum namun tidak menjawab pertanyaan itu seolah karena Anak
Agung Budayasa tahu lelaki di depannya tahu jawabnya. Parra Hiswara akhirnya
berjalan mondar-mandir sambil tangan kanannya menggaruk kepalanya yang gatal dan
sesekali juga menggaruk telapak tangannya yang gatal. Bulan sehari menjelang purnama yang
menyemburatkan benderang di langit entah mengapa terasa tidak nyaman di
kepalanya. "Melalui cara yang luar biasa," kata Parra Hiswara, "Ken Katri Kenyatri
menunjukkan padaku apa yang sedang dialami istriku yang sedang berada di sebuah
kamar sempit dan gelap. Kautahu di mana tempat itu?"
Budayasa tidak perlu menimbang terlalu lama untuk menjawab.
"Aku melihat hal yang sama," jawab Budayasa. "Tak hanya aku tetapi kelompok
lima aku yakin melihat hal yang sama. Di mana tempat yang muncul dalam bayangan
mimpi menyelinap di angan-angan itu berada memunculkan pertanyaan apakah aku
akan menuju ke sana sebagai pihak yang ikut melindungi istrimu atau justru sebaliknya
aku harus menempatikan diri menjadi bagian dari kelompok yang tujuh orang itu.
Pilihan itu tergantung apa yang akan terjadi besok ketika malam purnama datang.
Untuk sementara sebagai calon kawan atau lawan, aku hanya bisa mengatakan isterimu masih belum
tertimpa bencana yang menakutkan itu."
Parra Hiswara bingung. "Apa pula hubungannya dengan purnama?" tanya Parra Hiswara.
Parra Hiswara memandang bulan.
Anak Agung Budayasa kembali membuka telapak tangannya, memberi kesempatan
pada Parra Hiswara dan Yogi Sutisna memerhatikan benda di genggaman tangannya.
"Benda dalam telapak tanganku ini dan aku yakin kau juga akan memilikinya, akan
menampakkan perannya ketika bulan purnama datang. Jangan tanya bagaimana peran
yang akan tampak itu, aku sendiri belum tahu. Akan tetapi aku yakin apa yang
dikatakan 221 Pak Mayong itu benar. Oleh karena itu aku menawarkan besok kita perlu bertemu
dan bersama-sama kita masing-masing mengambil pilihan."
Parra Hiswara merasa masih belum jelas. Parra Hiswara memandangi telapak
tangannya. Semula ia mengira ada penyakit kulit yang menyebabkan tangannya
gatal, ada semacam kadas atau kudis. Namun rupanya ada penyebab lain yang perlu
memperoleh perhatian. "Seharian ini telapak tanganku terasa gatal," kata Parra Hiswara sambil membuka
telapak tangannya, "rupanya gatal ini merupakan pertanda aku akan memiliki benda
itu pula?" Anak Agung Budayasa tidak menjawab pertanyaan itu. Dengan penuh perhatian
Parra Hiswara memerhatikan telapak tangannya. Tidak tampak kelainan apa pun di
telapak tangannya, tak ada koreng, tak ada kadas atau kudis, tidak ada pathek.
Kulitnya mulus-mulus saja, namun rasa gatal itu memang mulai mengganggu. Apalagi
kini ia telah memperoleh ramalan nantinya di telapak tangan itu akan muncul
benda tidak dikenal. Parra Hiswara yang memejam mata adalah dalam rangka mengenang kejadian yang
dialami ketika terperosok ke ruang bawah tanah buah pembuatan septic tank yang
ia kerjakan. "Kau peroleh tanda itu," kata Parra Hiswara, "karena dalam mimpimu kelelawar
berwarna putih itu menyambar dan meninggalkan jejak melukai telapak tanganmu?"
Budayasa merasa telah menjelaskan hal itu dan tidak merasa perlu mengulang lagi.
Namun Budayasa mengangguk. Butuh waktu sedikit lebih lama untuk mencerna keadaan
itu. Parra Hiswara tidak mampu mencegah kesemutan yang menggerataki punggungnya.
"Sama," ucap Parra Hiswara, "kelelawar itu juga menyambar telapak tanganku. Ia
meninggalkan jejak. Ia juga meninggalkan jejak di tubuh temanku, berarti Hirkam
juga akan mengalami nasib serupa."
Mrinding Yogi Sutisna meyakini kebenaran apa yang diutarakan Parra Hiswara.
Andai ia tidak segera menghindari serangan kelelawar putih setelah ia
menembaknya, boleh jadi ia akan ikut terlibat terlalu jauh. Ia akan ikut-ikutan memiliki
tanda aneh di telapak tangannya.
"Jadi apa yang kau ingin dariku?" tanya Parra Hiswara.
Budayasa memandang lawan bicaranya dengan amat tajam.
"Sebagaimana tadi aku bilang," ucap Budayasa. "Aku ingin kejelasan ke mana aku
harus memihak. Apakah aku berada di kelompok lima dengan tugas melindungi
anakmu. Jawaban itu hanya bisa kauberikan ketika bulan purnama datang. Yang kedua aku
perlu tahu di mana candi itu berada."
Pertanyaan itu menyebabkan Parra Hiswara terdiam tidak segera menjawab. Dalam
keadaan yang demikian tiba-tiba wajah cantik Ken Katri Kenyatri datang
menyelinap. Apa yang ia lakukan dengan memenuhi tawaran birahi gadis berambut panjang itu
semakin jelas menunjukkan keruwetan macam apa yang akan dihadapinya. Melalui
benih yang ia tabur, Ken Katri Kenyatri berharap akan melahirkan anak lelaki yang


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikira merupakan titisan dari musuhnya. Melalui jalan pintas itu Ken Katri Kenyatri
menemukan jalan mudah untuk menghabisi musuhnya. Lalu apa hubungan antara anak
lelaki yang akan lahir sebagai keturunannya itu dengan candi yang ia temukan
jejaknya di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa Tengah"
222 "Hanya satu dari dua permintaanmu itu yang bisa aku penuhi," kata Parra Hiswara,
"besok kita bertemu lagi di tempat ini tengah malam saat purnama itu datang.
Untuk permintaan supaya aku menunjukkan di mana letak candi itu, aku tidak bisa
penuhi." Hening mengalir setelah Parra Hiswara memberi jawabnya. Anak Agung Budayasa
tidak menampakkan rasa kecewanya meski permintaan yang dianggapnya penting itu
ditolak. Budayasa memerhatikan keadaan sekitarnya.
"Tempat ini sangat tidak cocok untuk kegaduhan yang akan terjadi besok tengah
malam, sebaiknya jangan di sini. Tempat yang kau pergunakan mengadakan pertemuan
dengan anak gadis Pak Mayong itu lebih sesuai. Bukankah tempat itu sangat
cocok?" Parra Hiswara tidak keberatan dengan pilihan itu. Namun apa yang disampaikan
Budayasa soal kegaduhan menyebabkan alisnya mencuat.
"Kegaduhan apa?" tanya Parra Hiswara.
Budayasa merasa punya alasan untuk tertawa.
"Besok kau akan tahu," jawab Budayasa.
Anak Agung Budayasa merasa pertemuan itu sudah cukup, itu sebabnya ia beranjak
melangkah mendekati mobilnya. Orang Bali itu memutar kunci.
"Kau belum menunjukkan tempat di mana istriku berada!" kata Parra Hiswara agak
berteriak. Anak Agung Budayasa menunda melepas kopling.
"Kalau menurut pendapatku," kata orang Bali itu, "untuk sementara ini kau belum
bisa melakukan apa-apa. Sebagai suami kau memang layak mencemaskan nasib
istrimu. Akan tetapi kalau secara takdir kau justru berada di kelompok tujuh, kau
membahayakan istrimu."
Jawaban itu menyebabkan Parra Hiswara terhenyak. Pelan Anak Agung Budayasa
melepas pedal kopling sambil menekan pedal gas membawa mobilnya melaju menuju
jalan raya. Dari jauh terlihat mobil itu berbelok ke arah berlawanan dari hotel
di mana ia menginap, boleh jadi itu merupakan pertanda Budayasa telah check out
dari hotel yang tempat menginap. Lunglai Parra Hiswara bersandar gada yang dipegang Dwarapala.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Parra Hiswara.
Yogi Sutisna memegang kepalanya.
"Ruwet!" jawabnya, "dan aku ikut berada dalam bahaya."
Parra Hiswara menoleh. "Kenapa?" tanyanya.
Yogi Sutisna layak untuk merasa cemas karena sebuah alasan.
"Dari pembicaraan tadi," kata Yogi Sutisna, "aku melihat arah semua masalah ada
dua. Yang pertama ke anak yang diduga akan lahir dari Ken Katri Kenyatri.
Kelompok lima itu tidak hanya akan berusaha keras melindungi istrimu namun juga akan
mempertaruhkan nyawa untuk melindungi anak itu. Yang kedua, ke candi yang kau
temukan. Nah, soal candi itu akan membahayakan dua orang, yaitu aku dan Surtan
Panca, karena dua orang itulah selain kau yang tahu di mana candi murca itu
berada." Parra Hiswara terdiam tidak bisa menjawab. Parra Hiswara merasa kecemasan Yogi
Sutisna beralasan. Pihak-pihak yang bermusuhan dan kini mulai bermunculan itu
nanti akan bermuara ke pencarian di mana candi itu berada. Orang yang tahu letaknya
akan diburu. Yogi Sutisna benar bisa berada dalam bahaya sebagaimana Surtan Panca.
Parra Hiswara menghela tarikan napas berat.
223 "Tak ada yang bisa kita lakukan bukan?" tanya Yogi Sutisna. "Sebaiknya kita
balik ke hotel sambil berharap-harap cemas membayangkan apa yang akan terjadi besok
saat bulan purnama itu datang."
Malam terus bergerak ke arah datangnya pagi, otak Parra Hiswara benar-benar
terkunci. Rasa kantuk hilang entah ke mana perginya. Sepanjang pagi yang
nantinya bergerak ke siang dan malam berikutnya Parra Hiswara merasa dirinya terpenjara
tanpa bisa melakukan apa-apa. Siang hari tak mungkin keluar dan keluyuran. Orang yang
mengenalinya akan ketakutan luar biasa.
33. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka)
Kuda Sapu Angin adalah kuda yang sungguh luar biasa. Kedekatannya dengan
Parameswara telah menciptakan sebuah hubungan yang erat. Seperti layaknya
mengerti bahasa manusia Kuda Sapu Angin itu pun kemudian berderap pelahan. Mengambil
jalan yang menyimpang ke arah kanan. Parameswara menempuh perjalanan sambil menikmati
keindahan alam. Agar tidak tersesat pemuda itu memilih menyusur sepanjang pantai
yang membujur ke barat. Jika telah sampai di sebuah delta sungai, selanjutnya ia
tinggal mengikuti sungai itu. Akan tetapi di sepanjang perjalanannya Parameswara masih dibayang-bayangi oleh
apa yang dialaminya. Parameswara merenungkan berbagai keganjilan.
"Apakah alasan sebenarnya, sehingga Biku Paraban itu merasa perlu mewariskan
ilmu kanuragan nya padaku, padahal aku sama sekali tak mempunyai hak dan mengapa
pula Biku Paraban melarang timbulnya cinta kasih antara aku dan Swasti
Prabawati" Apakah itu merupakan syarat mutlak bagi mereka yang mempelajari ilmu kanuragan
itu?" Sambil berjalan Parameswara terus mengumbar lamunannya. Ada kalanya buah
pikirannya bergeser ke arah lain. Kenangannya singgah pada Ken Rahastri. Ingat
pada gadis yang dicintainya menyebabkan isi dada pemuda itu terasa sesak.
"Aku telah jauh meninggalkanmu, jauh meninggalkan perguruan Kembang Ayun
maupun Badran Arus. Sedang apakah kau Rahastri" Apakah kau masih memikirkan
aku?" bisik Pemuda itu untuk dirinya sendiri.
Sang waktu terus bergerak menemani perjalanan berkuda anak angkat Ki Ajar
Kembang Ayun. Di sepanjang perjalanannya ada banyak hal yang ia lihat, umumnya
para penduduk yang ramah dan selalu menyapa meski tidak mengenal. Maka setelah pemuda
itu melewati hari demi hari sambil bertanya pada setiap orang yang dijumpainya
di jalan, Parameswara semakin mendekati Kotaraja Kediri. Jika semula
perjalanannya melewati daerah yang lengang kini Parameswara mulai melihat perkampungan yang cukup
padat, ada kalanya Parameswara berpapasan dengan serombongan prajurit berkuda. Yang ia
tak mengerti, para prajurit memerhatikannya dengan tatapan aneh dan curiga.
Semula Parameswara mengira keadaan itu sebagai sebuah keadaan yang lumrah.
Namun akhirnya Parameswara melihat adanya sesuatu yang janggal. Setiap prajurit
yang berpapasan selalu memerhatikan kuda yang ditungganginya. Bahkan tak hanya
prajurit, 224 nyaris semua orang yang berpapasan selalu memerhatikannya. Jika para prajurit
dengan mata bernafsu sebaliknya orang kebanyakan dengan tatapan seperti iba akan tetapi
anak angkat Ki Ajar Kembang Ayun tidak peduli. Pemuda itu terus memacu Sapu
Angin dengan tenang melintasi pintu gerbang batas kota. Lagi-lagi beberapa prajurit
penjaga pintu gerbang memerhatikannya namun tidak melakukan apa pun.
Bagaimanapun inilah untuk yang pertama kali bagi pemuda itu memasuki sebuah
kota yang besar. Bangunan-bangunan yang ada begitu megah. Jika melihat semuanya
itu maka pendapa padepokan perguruan Kembang Ayun menjadi tiada artinya sama sekali.
Di sebuah warung yang sederhana Parameswara berhenti. Pemuda itu mengikat
kudanya di bawah pohon mlinjo yang berbuah lebat. Dengan tenang Parameswara
masuk ke warung itu meski Parameswara mulai sadar ada beberapa orang yang memandangnya
dengan tatapan mata curiga.
"Ada apa sebenarnya ini" Beginikah cara orang-orang Kediri dalam menyambut
pendatang?" bisik pemuda itu dalam hati.
Ada beberapa orang lelaki yang sedang menikmati makanan sederhana di dalam
warung itu, yang hanya sekadar jenang alot, minuman dawet dan jadah ketan bakar.
Dengan tanpa banyak berbicara Parameswara ikut duduk di antara mereka. Namun
Parameswara mulai merasa tidak enak karena semua mata mencuri-curi pandang,
bahkan kuda yang sangat kekar dan diikat di bawah pohon mlinjo juga menarik perhatian
orang- orang itu. Parameswara menggeleng-geleng dan tersenyum sendiri.
"Apakah orang Kediri umumnya mempunyai sifat iri" Mereka melihat kudaku
begitu lahap seolah ingin memiliki kuda itu."
Parameswara berpikir keras tidak kunjung menemukan jawabnya.
"Kau pesan apa anak muda?" tanya pemilik warung.
"Aku lapar dan haus Nyai," jawab Parameswara.
Perempuan pemilik warung itu memerhatikan wajah Parameswara agak lebih lekat.
Logat bahasa yang berbeda rupanya menarik perhatiannya.
"Logat bicaramu agak aneh. Kau berasal dari mana?" tanya pemilik warung lagi.
Parameswara tersenyum. Keramahan perempuan penjual makanan itu dirasakan
sebagai keramahan yang tulus akan tetapi beberapa orang lelaki yang duduk jigang
82 di bangku dengan kaki diangkat sebelah, dari bahasa wajahnya jelas sekali
kelihatan curiga. Orang itu mengunyah makannya bergantian dengan menenggak minumnya.
"Aku dari tempat yang jauh sekali. Aku menempuh perjalanan sebulan lamanya
untuk bisa sampai di tempat ini. Kotaraja Kediri ternyata tempat yang ramai
sekali. Ini untuk pertama kalinya aku mendatangi kota ini, Nyai."
Sesaat perempuan tua itu terdiam.
"Tempat yang jauh itu di mana?" desaknya.
Parameswara kembali harus melayani pertanyaan perempuan itu.
"Pesanggaran Nyai," jawab Parameswara. "Pesanggaran berada di kaki Gunung
Raung Lereng Selatan. Ujung timur Pulau Jawa ini. Tempat yang jauh sekali."
Parameswara yang sedang lapar itu menyantap makanannya dengan lahap. Bahkan
satu bungkus nasi dengan lambaran daun pisang itu dirasa masih belum cukup
memenuhi perutnya. Parameswara masih minta tambah lagi. Akan tetapi tiba-tiba
ketenangannya 82 Jigang, jawa, duduk dengan sebelah kaki diangkat dan ditekuk bertumpu pada
tempat duduk. Di Jawa banyak orang yang melakukan sikap ini yang dianggap
sebagai perilaku tidak sopan.
225 tergangggu. Dari timur terdengar beberapa ekor kuda berderap. Perempuan tua
pemilik warung yang ditemani suaminya itu tampak gelisah dan memandang Parameswara
dengan tatapan prihatin dan mencemaskannya. Parameswara memandang ke seberang
jalan, akhirnya dari timur serombongan prajurit berkuda itu telah datang. Mereka
langsung berbelok ke halaman warung dan lagi-lagi kuda milik Parameswara menjadi
perhatian mereka. Semula Parameswara hanya memerhatikan apa yang akan dilakukan
para prajurit itu. Namun Parameswara segera terlonjak ketika melihat mereka
berusaha melepas ikatan Sapu Angin.
"Gila, apa yang mereka lakukan itu?"
Perempuan penjual makanan itu hanya bisa diam. Parameswara bergegas keluar
dari dalam warung. Dua orang dari beberapa orang lelaki yang semula berada di
warung ikut keluar. Akan tetapi yang mereka lakukan seperti menjaga agar Parameswara
tidak membuat ulah. Kuda Sapu Angin meringkik.
"Ki sanak. Kuda itu milikku. Apa yang akan kalian lakukan pada kudaku?" tanya
Parameswara dengan raut wajah kurang begitu senang.
Prajurit itu memiliki jawaban yang cukup mengagetkan.
"Kau bukan pemilik kuda ini lagi," jawab Prajurit yang memegang pedang panjang
itu dengan suara yang kasar.
Tentu saja jawaban itu merupakan jawaban yang tak masuk akal, Setidak-tidaknya
perbuatan macam itu hanya layak dilakukan oleh seorang perampok, merampas milik
orang lain dengan paksa. Parameswara menggigil. "Mengapa kau menganggap kuda itu bukan milikku lagi?" tanya Parameswara.
Prajurit itu tidak begitu senang karena ada pemilik kuda yang berani bertanya
macam-macam kepadanya. "Kediri membutuhkan banyak kuda. Gusti Prabu Kertajaya menjatuhkan perintah,
semua kuda yang ada di Kediri disita oleh negara karena saat ini sedang
membutuhkan. Dan kau, ikut kami ke Istana untuk diperiksa."
Tentu saja hal itu membuat Parameswara lebih terperangah.
"Apa salahku hingga aku harus diperiksa?" tanya Parameswara.
Namun prajurit itu malah tertawa bergelak.
"Semua orang selalu menjawab seperti itu. Akan tetapi selanjutnya selalu
terbukti mereka adalah orang-orang dari Ganter yang memberontak itu, dan tampaknya
demikian pula dengan kau. Ayo, ikut kami ke Istana."
Parameswara menjadi bertambah bingung. Namun tentu saja Parameswara tak mau
diperlakukan dengan semena-mena seperti itu. Parameswara melangkah mendekati
Sapu Angin tetapi seorang prajurit segera melintangkan pedangnya di depan dada. Dua
orang lelaki yang semula berada di dalam warung rupanya bagian dari orang-orang itu.
Terbukti mereka ikut mengepung dan mengacungkan pedangnya. Salah seorang dari
mereka segera berusaha mencopot tali pengikat kuda. Parameswara sama sekali tidak
mengira, di Kediri akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Harapannya untuk bisa
menemukan jejak jati dirinya belum kesampaian telah dihadang oleh persoalan aneh yang tak
dimengerti. "Ayo, cepat," bentak orang yang berada di belakangnya.
Parameswara berbalik dan mengenali orang itu, yang sebelumnya bersama-sama
dengannya makan di warung.
226 "Bagaimana kalau aku keberatan, Ki sanak" Sebagaimana aku keberatan kudaku
dirampas," bantah pemuda itu dengan sengit.
Salah seorang dari mereka tertawa bergelak-gelak disusul oleh semua temannya
seolah mereka tengah menyaksikan peristiwa yang lucu dan menggelikan.
"Apa isi buntalanmu itu ha?" bentak salah seorang dari mereka yang berjambang
lebat. Orang itu berusaha merampas buntalan Parameswara, tetapi dengan sigap
cekatan Parameswara menghindar.
"Gila, kau mencoba melawan ya?" bentak orang itu lagi.
Parameswara menyunggingkan senyum sinis. Para prajurit yang bersikap brangasan
itu merasa heran melihat ada seorang pemuda yang berani melawan mereka. Selama
ini tidak seorang pun yang berani bersikap seperti itu. Jika orang biasa dibentak
sedikit saja sudah cukup untuk melolong ketakutan sampai menyembah-nyembah.
"Masalahnya bukan persoalan aku berani melawan atau tidak Ki sanak, tetapi
justru apa yang kalian lakukan kepadaku. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun akan


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi kalian memperlakukan aku sepeti orang yang melakukan kejahatan, seolah-olah aku
ini pesakitan." Dengan mata tajam Parameswara memandang orang yang brewokan itu. Perbuatan
Parameswara itu membuatnya semakin tak senang. Tiba-tiba saja orang itu
mengayunkan tangannya menggampar wajah Parameswara. Namun Parameswara mampu bergerak jauh
lebih cepat. Parameswara hanya menggeserkan kepalanya sedikit. Ayunan tangan
yang keras itu tak mengenai apa pun. Justru karena kekuatannya sendiri yang tidak
menggapai sasaran, menyebabkan orang itu terhuyung-huyung dan kemudian
terjerembab. Oleh karena itu orang itu marah sekali, seperti kebakaran jenggot saja layaknya.
"Bangsat, keparat, bedebah, iblis laknat" umpat orang itu dengan segala macam
perbendaharaan sumpah serapah yang dimilikinya.
Dengan bersusah-payah orang itu bangkit. Parameswara segera mempersiapkan diri
dengan sebaik-baiknya. Para prajurit melihat pemuda itu ternyata memiliki
kemampuan kanuragan, segera berloncatan mengepung dengan amat rapat. Mereka semakin
curiga, selama ini setiap terjadi keonaran tentu melibatkan orang-orang Ganter.
Pemuda itu tentulah berasal dari Ganter pula.
"Kuingatkan kepada kalian semua," kata Parameswara, "bahwa aku tak melakukan
kesalahan apa pun. Kalian sama sekali tidak berhak memperlakukan aku seperti
ini." Lantang sekali suara Parameswara dan terdengar tegas.
Akan tetapi para prajurit itu tidak peduli dan justru karena itu mereka
mengepung pemuda itu dengan rapat. Parameswara melihat orang-orang itu tampaknya benar-
benar tidak bisa diajak berbicara lagi.
"Sapu Angin, pergilah," Parameswara tiba-tiba berteriak dan meloncat.
Tubuhnya mengapung ke udara dan melayang cepat menghindarkan dari kepungan
itu. Akan tetapi apa yang dilakukan Sapu Angin lebih tidak terduga-duga. Kuda
yang cerdas itu segera meringkik keras sambil mengayunkan kedua kaki belakangnya.
Malang sekali nasib dua orang prajurit yang berdiri di belakangnya. Ayunan kaki kuda
itu menghantam selangkangan menyebabkan mereka terjatuh sambil mengerang kesakitan.
Yang seorang lagi mungkin patah tulang lututnya.
Lolongnya terdengar memekakkan telinga.
Kuda itu kemudian berderap meninggalkan tempat itu.
227 Apa yang terjadi di halaman warung itu bagaikan sebuah pesona sihir tajam yang
menyebabkan para prajurit yang mengepung Parameswara terbelalak kaget. Mereka
tidak mengira dua orang teman mereka dengan sangat gampang dilumpuhkan oleh ayunan
kaki kuda. Kuda kekar yang akan mereka bawa itu melarikan diri ke arah barat.
Parameswara memandang orang-orang yang mengepungnya itu dengan tatapan mata tajam.
"Keparat," umpat pimpinannya. "Tangkap dia."
Para prajurit itu kembali berloncatan mengepung Parameswara dengan pedang
teracu, siap untuk merencah tubuh pemuda yang berasal dari kaki Gunung Raung
itu. Namun pemuda tampan berambut panjang itu tidak membiarkan dirinya diperlakukan
dengan semena-mena. Parameswara menyingsingkan lengan baju dan melipat wiron83
pakaiannya. "Menyerahlah," teriak salah seorang dari para prajurit.
Parameswara bergeming. "Aku tidak bersalah mengapa aku harus menyerah. Dan kalian, jika aku tidak salah
melihat, kalian berpakaian seperti layaknya prajurit, akan tetapi yang kalian
lakukan tak ubahnya perampok," jawab Parameswara dengan tegas membuat para
prajurit itu tambah marah. Rupanya jawaban macam itu pula yang sering dilakukan orang-orang Ganter yang
menyusup ke Kediri. Sehingga mereka bersimpulan, pemuda tampan itu tentulah
telik sandi yang disusupkan Ganter untuk mengacau ketenangan Kediri. Keputusan pun
diambil dengan sangat bulat.
"Dia mata-mata Ganter. Tangkap dia," perintah pimpinan prajurit yang brewokan
itu. Para prajurit itu segera berlompatan bermaksud menangkap Parameswara hidup-
hidup untuk diperas keterangannya. Tetapi pemuda yang kali ini mereka hadapi
ternyata bukan pemuda sembarangan. Dengan gesit bagaikan seekor menjangan
Parameswara berloncatan menghindar. Bahkan ayunan tangannya mampu menyusup ke sana kemari
membuat para prajurit yang mengeroyoknya itu kelabakan. Pimpinan Prajurit yang
memang bertugas memburu telik sandi itu cemas kalau buruannya lepas. Apalagi
ketika dengan cepat menarik simpulan, bahwa lawannya menguasai kemampuan kanuragan
yang tidak bisa dianggap remeh.
Maka orang itu segera mengangkat busurnya.
Sebuah anak panah sanderan telah dipasang. Ketika anak panah itu melesat ke
udara, menimbulkan suara mendesing memekakkan telinga. Parameswara yang kaget
oleh suara itu meloncat menjauh mengambil jarak untuk mengetahui apa yang
terjadi. "Anak panah sanderan," desis pemuda itu. "Para prajurit itu rupanya tidak ingin
aku terlepas. Mereka mengira aku mata-mata dari Ganter. Gila."
Akan tetapi Parameswara tidak punya kesempatan untuk merenung lebih lama lagi.
Sebuah tombak berkait tiba-tiba mengayun deras dari sebelah kanan. Parameswara
segera menggeliat seiring gerak lintasan tombak itu. Sebuah serangan telah
berhasil dihindari namun serangan yang lain datang menyusul. Kali ini dua ayunan
deras menyambar dari belakang. Parameswara sekali lagi harus menggeliat berbalik sambil menekuk
perutnya ke belakang untuk memberi lintasan kepada pedang lawannya agar tidak mengoyak
dan membelah perutnya. Dengan cermat Parameswara kemudian menggeliat lagi sambil
kaki 83 Wiron, jawa, sebagaimana diketahui Lelaki Jawa pada zaman dulu juga
mengenakan kain panjang yang disebut jarik atau sinjang. Wiron adalah bagian
dari kain panjang itu yang dilipit,
228 kirinya mengayun deras menghajar salah seorang prajurit yang mencoba menyerang
dari belakang, tepat kena mukanya.
Prajurit itu terjengkang sambil mengaduh-aduh.
Namun serangan yang lain datang susul-menyusul dari arah kiri dan kanan. Dua
sambaran pedang mengayun deras siap membelah pinggang dan lehernya. Dengan
cermat Parameswara menjatuhkan diri dengan membuka kakinya ke dapan dan ke belakang.
Sambil berguling kakinya menggeliat balas menyambar. Ayunan itu mengunci kaki
salah seorang lawannya dengan telak menyebabkan ia terjatuh dan terjerembab. Dengan
lincah Parameswara melenting tubuhnya begitu lentur meliuk di udara dan hinggap di
pundak salah seorang lawannya. Dan sekali lagi Parameswara mengayun cepat, tubuhnya mengapung di udara dan
melesat memutar mengambil jarak yang cukup. Para prajurit itu terkejut. Mereka
tidak mengira pemuda yang menjadi lawannya memiliki kemampuan kanuragan yang tak bisa
dipandang rendah. Mereka segera bergerak mengejar.
Namun Parameswara dengan sengaja menunggu hingga akhirnya sebuah kepungan
siap meringkusnya. Parameswara melirik mereka seolah menghitung satu demi satu
kekuatan lawannya. Di saat yang demikian itulah, dari arah timur terdengar derap
beberapa ekor kuda yang terdengar lebih riuh. Rupanya panah sanderan yang
dilepas merupakan isyarat bagi sekelompok pasukan berkuda untuk segera datang.
Parameswara termangu menunggu, lawan-lawannya juga terpaku diam.
"Serang," prajurit brewokan itu kembali memberi aba-aba.
Serentak sebuah serangan susul-menyusul menerjang Parameswara. Dengan teratur
para prajurit melakukan serangan bertubi-tubi seolah tidak memberikan ruang
gerak bagi lawannya. Namun Parameswara bukanlah pemuda sembarangan. Parameswara
adalah anak Ki Ajar Kembang Ayun dari Pesanggaran yang memiliki kemampuan kanuragan
yang sulit diukur. Parameswara juga baru saja mentas dari kawah candradimuka
dalam gemblengan Biku Sambu Sang Hantu Laut. Itulah sebabnya dengan tidak
mengalami kesulitan Parameswara berhasil mementahkan serangan beruntun itu.
Bahkan kemudian terlihat, meski Parameswara hanya seorang diri, ternyata mampu
melayani semua prajurit yang mengeroyoknya itu dengan sebaik-baiknya. Akan
tetapi, persoalannya terletak pada sekelompok prajurit yang datang setelah menerima
isyarat anak panah sanderan. Derap beberapa ekor kuda yang baru datang itu semakin
dekat. Bahkan sejenak kemudian rombongan prajurit berkuda yang baru datang itu telah
tiba. Serentak para prajurit yang mengepung Parameswara berjumpalitan dan meloncat
mundur. Seorang prajurit yang dari pakaian yang dikenakannya diketahui
berpangkat Senopati meloncat dari turun kudanya dan melangkah bergegas mendekati arena.
"Ada apa Ki Lurah?" tanya Senopati yang baru datang itu sambil tidak pernah
menggeser perhatiannya pada Parameswara.
"Orang ini telik sandi dari Ganter, Senopati," jawab prajurit brewokan yang
dipanggil Ki Lurah itu. Senopati itu memerhatikan para prajurit yang rupanya bawahannya semua. Para
prajurit itu beberapa di antaranya bergelimpangan, memaksa Senopati itu untuk
tidak memandang rendah lawannya. Diperhatikannya Parameswara dari ujung kepala hingga
ujung kakinya. Parameswara tidak senang diperlakukan seperti itu.
"Siapakah namamu, Ki sanak?" Senopati itu bertanya.
229 Parameswara terkejut karena pertanyaan itu adalah pertanyaan yang ramah. Dengan
segera Parameswara menyesuaikan diri.
"Aku Parameswara. Aku berasal dari Bumi Blambangan," Parameswara menjawab.
"Yang tak aku mengerti mengapa para prajuritmu memaksaku mengakui diriku sebagai
sosok lain. Aku bukan mata-mata dari Ganter, bahkan Ganter itu terletak di mana
aku tidak tahu. Bahkan mereka juga bermaksud merampas kudaku. Mereka ini prajurit
apa perampok?" Ucapan Parameswara itu terdengar pedas dan mampu membuat merah telinga, akan
tetapi Senopati yang masih muda itu malah tersenyum.
"Namaku Naragupita. Pangkatku Senopati, meski usiaku masih muda dan sebaya
denganmu," kata Senopati yang ternyata bernama Naragupita itu.
Parameswara merasa, meskipun cara memperkenalkan diri orang itu cukup ramah
namun tak bisa menyembunyikan kesombongannya. Parameswara segera memerhatikan
pakaian yang dikenakan Senopati muda berusaha mengenali tanda-tanda khusus yang
ada sebagai pertanda ia seorang Senopati.
"Apakah sudah benar yang kaukatakan, kau bukan orang dari Ganter?" tanya orang
itu, "bagaimana kalau kauikut aku ke Istana Kepatihan untuk dimintai keterangan.
Kalau kaubisa membuktikan dirimu bersih dan kalau memang ternyata kau bukan
bagian dari orang-orang Ganter, tentu aku akan melepaskanmu."
Meski Senopati yang masih muda itu bersikap ramah, namun sebenarnya sama saja.
Pemaksaan yang dilakukan sama saja.
"Kalau aku keberatan?" tanya Parameswara.
"Tentu saja, aku tidak punya pilihan lain kecuali memaksamu untuk ikut ke istana
kepatihan," jawab Senopati itu.
Parameswara diam menimbang. Ketika Parameswara menebarkan pandang jumlah
prajurit yang mengepungnya semakin banyak. Parameswara merasa akan mengalami
kesulitan untuk menghadapi mereka bersama-sama. Bahkan mungkin Parameswara akan
bisa diringkus dan kemudian dibawa seperti pesakitan ke istana kepatihan.
"Aku tidak mau diperlakukan seperti itu," bisiknya di dalam hati.
Senopati Naragupita punya alasan untuk tersenyum.
"Berpikirlah, kau tidak punya kemungkinan untuk lolos," jawab Naragupita seperti
bisa menebak isi hatinya.
Namun bukan Parameswara kalau tidak iseng. Pemuda dari kaki Gunung Raung itu
diam tak menjawab dan seolah berubah menjadi patung batu yang beku. Justru
segenap prajurit itulah yang tersita perhatiannya oleh sebuah tontonan yang aneh. Tak
diketahui dari mana asalnya tiba-tiba ada pusaran angin yang meliuk-liuk
menjerat debu dan daun-daun yang menyebabkan segenap perhatian para prajurit itu
pecah. Hal yang paling menyita perhatian mereka adalah pusaran angin itu melintas di sela-sela mereka,
seperti berjoget saja layaknya. Debu yang berhamburan memaksa mereka memejamkan
mata. Bahkan Senopati Naragupita tidak bisa memindahkan perhatiannya kepada pusaran
angin kecil itu. Semakin lama pusaran itu semakin genit dan bertingkah. Kuda-kuda
prajurit digoda dengan melintas di bawah kakinya. Bahkan kemudian pusaran angin itu
semakin membesar akhirnya tingginya menyamai manusia.
Senopati Naragupita terpaksa memejamkan mata ketika pusaran Angin itu melintas
pada jarak yang amat dekat dari tubuhnya, menghamburkan debu-debu yang kemudian
berhasil mengotori matanya. Pusaran angin itu makin bertingkah, begitu genitnya
benda 230 aneh itu, karena meliuk-liuk yang dilakukannya tidak ubahnya seorang gadis yang
tengah menari menggeliatkan pinggangnya, hingga akhirnya tanpa sebab yang jelas,
pusaran angin itu bubar begitu saja. Kalau saja saat itu terjadi hujan dan badai, biang
angin lesus itu bisa membesar dan meraksasa seperti yang pernah dialami
Parameswara di pesisir Ywangga. Di kejauhan, pemuda itu tertawa.
"Sebuah cara yang mudah untuk melarikan diri," katanya pada diri sendiri.
Namun para prajurit itulah yang kemudian terperanjat.
Senopati Naragupita tidak melihat pemuda bernama Parameswara itu berada di
tempatnya. Pemuda itu telah menghilang entah ke mana. Segenap prajurit
bawahannya serentak segera berlarian melakukan pemeriksaan. Namun orang yang mereka cari
telah lenyap seperti ditelan bumi.
"Gila," berteriak Senopati Naragupita itu.
Kali ini suaranya terdengar kasar dan keras.
"Mana mata-mata dari Ganter itu?"
Para prajurit seketika kebingungan. Mereka tak tahu harus dengan cara bagaimana
menyikapi kejadian aneh yang baru saja usai itu. Prajurit berpangkat lurah yang
memiliki cambang lebat bergegas datang mendekat.
"Orang itu melarikan diri saat terjadi angin aneh tadi, perhatian kita tersita
angin itu sampai lupa padanya," kata Lurah prajurit brewokan itu.
"Gila!" umpat Naragupita. "Keadaan apakah yang tengah kita hadapi ini" Apakah


Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian merasa saat ini angin sedang deras?"
Segenap prajurit memerhatikan. Segera pula mereka menemukan jawaban, bahwa
tak ada angin saat itu. Daun-daun tidak bergoyang sama sekali. Justru karenanya
keadaan itu memancing penasaran.
"Tak ada angin deras tidak mungkin tercipta pusaran angin seperti tadi itu,"
kata seorang prajurit. "Mungkin saja, tadi itu ada, sekarang tidak ada," bantah seorang yang lain,
"atau mungkin angin dhemit."
Kedua prajurit yang saling berbisik itu terdiam ketika Senopati Naragupita
melirik mereka. Tiba-tiba saja Senopati yang masih muda usia itu berteriak lantang. "Semuanya
menyebar. Pemuda tadi tentu masih dekat. Ayo cepat, cari dia."
Dengan cekatan Para prajurit itu segera berloncatan ke atas kuda masing-masing
dan berderap berebut dulu. Yang terakhir tinggal senopati yang masih muda itu.
Senopati Naragupita rupanya masih penasaran terhadap kemunculan pusaran angin
yang tidak pernah terduga itu. Setelah beberapa saat memerhatikan Senopati Naragupita
segera meloncat ke atas kudanya dan berderap cepat ke arah barat.
Adalah nenek tua pemilik warung itu yang merasa kaget bukan kepalang manakala
Parameswara itu muncul dari belakang warungnya. Terheran-heran nenek pemilik
warung itu dalam memandang pemuda yang kehadirannya ditandai oleh lesus itu.
Senyum ramah mekar dari mulut Parameswara.
"Gila, kau anak muda?" Nenek tua itu terkejut.
Parameswara tersenyum. "Aku belum membayar makanan yang telah kusantap Nyai," jawab Parameswara
dengan tenang. 231 Perempuan tua pemilik warung dan suaminya itu memandangi wajah Parameswara
dengan tatapan mata sangat bingung.
"Kaubenar-benar amat mujur anak muda. Untunglah ada lesus yang mengalihkan
perhatian mereka. Kalau tidak, nasibmu akan buruk sekali, mungkin kau tak akan
pernah kembali ke tempat asalmu."
Parameswara tersenyum. Parameswara melihat kecemasan nenek tua itu benar-
benar tulus diberikan kepadanya.
"Sebenarnya apakah yang terjadi di tempat ini" Apakah tengah terjadi pergolakan
sehingga setiap pendatang sepertiku dicurigai dengan berlebihan?"
Kakek tua suami penjual makanan yang semula tidak banyak berbicara itu ikut
membuka mulut. Lelaki tua itu mendekati Parameswara. Beberapa orang yang semula
terlihat makan di warung itu, entah telah pergi ke mana. Persoalan yang timbul
di warung itu rupanya menyebabkan mereka menyingkir mencari selamat, karena
selama ini meski hanya menjadi penonton bisa menjadi masalah.
"Apakah kau memang bukan orang dari Ganter?" tanyanya.
Parameswara menggeleng pelan.
"Benarkah seperti katamu" Kau berasal dari...dari mana?" tanya kakek tua itu.
Parameswara tersenyum. "Aku dari Blambangan Kyai, jauh sekali dari tempat ini," jawab Parameswara
tegas. Akan tetapi pemilik warung itu masih sangsi. Hal itu tersirat dengan
jelas melalui tatapan matanya. Dipandang seperti itu Parameswara tersenyum. Kyai
dan Nyai tua itu saling berpandangan. "Kyai tidak percaya, aku bukan orang Ganter?" desak Parameswara, "atau Kyai
juga bermaksud memaksaku mengakui diriku sebagai orang Ganter, sebuah tempat
yang aku belum tahu itu?"
Akhirnya kakek tua itu tersenyum. Uang yang diberikan Parameswara sebagai
bayaran atas makanan yang disantapnya, ternyata ditolak oleh. Anak Ki Ajar
Kembang Ayun mengerutkan dahi ketika pasangan suami isteri yang sudah tua itu justru
mengembalikan uangnya. "Kau tidak perlu membayar," kata kakek itu.
Parameswara heran. "Mengapa?" desaknya.
"Kau membuat hatiku senang anak muda. Sudah cukup lama aku memendam rasa
kecewa pada ulah para prajurit itu. Kalau mereka makan minum di sini, sering
tidak membayar. Lebih dari itu dulu aku memiliki dua ekor kuda yang sebenarnya milik
anak lelakiku untuk menarik dokar miliknya, tetapi kuda itu mereka rampas dengan
paksa. Padahal kautahu, berapa harga seekor kuda?"
Penjelasan orang tua itu mengagetkan Parameswara.
"Semua orang di Kotaraja Kediri ini tak boleh memiliki kuda, begitukah Kyai?"
tanya Parameswara. Kakek tua itu mengangguk membenarkan.
"Ulah orang-orang dari Ganter mencemaskan Sang Prabu. Kediri saat ini berada di
ambang pintu peperangan. Itu sebabnya Kediri membutuhkan kuda sebanyak-
banyaknya, untuk memenuhi kebutuhan para prajurit berkuda."
232 Parameswara akhirnya manggut-manggut. Kini Parameswara itu mulai memahami
apa yang terjadi. Akan tetapi yang tidak dimengertinya adalah mengapa orang-
orang dari Ganter membuat ulah. Di mana pula Ganter itu"
Parameswara memandang kakek tua itu dengan segenap rasa ingin tahu.
"Apa yang ingin kautanyakan anak muda?" tanya kakek itu.
Parameswara tak perlu menimbang untuk bertanya.
"Mengapa orang-orang Ganter memberontak?" tanya pemuda itu lugas.
"Jika boleh aku mengatakan, Kediri saat ini sedang koncatan wahyu84. Songsong85
kewibawaan tak lagi memayungi negeri ini. Sang Prabu Kertajaya telah koncatan
adil 86, tak lagi menjadi tempat pengayoman serta sesembahan. Ketidak-puasan
muncul di mana-mana terutama para resi dan pandita. Mereka yang tertindas
memilih pergi meninggalkan Kediri hingga kemudian semua kekuatan yang diam-diam
berasal dari keprihatinan itu
berhimpun di Ganter. Mereka bermaksud menggulingkan Kediri yang dianggap sudah
Betina Penghisap Darah 3 Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur Tiga Naga Sakti 8
^