Candi Murca 9
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi Bagian 9
dan menguasai tubuh anaknya.
"Apa yang kamu rasakan Badrawati?" pertanyaan dengan warna yang sama dilepas
Yudawastu Widhiyaksa. Bayu 'Badrawati' bergeming pada sikapnya. Ia tetap mengarahkan perhatiannya
pada bulan yang terus bergerak, pelahan namun pasti ia memanjat semakin tinggi.
Kian tinggi bulan itu pengaruhnya bertambah kasar. Ketika Bayu membuka telapak
tangannya ayah dan Ibunya melihat benda tak dikenal mirip ular yang bersemayam di balik
kulit di atas daging itu menggeliat, bergerak liar tak ubahnya cacing kepanasan.
Mendelik Tantri Praba yang tak mampu menerima kenyataan itu menimpa anaknya.
"Bayu, bicaralah sayang, apa yang harus kami lakukan untuk menolongmu?" tanya
Tantri Praba. Bayu 'Badrawati' barangkali jengkel. Telah berulang kali ia menyebut namanya
sebagai Badrawati namun tetap perempuan itu memanggilnya Bayu.
266 "Aku tidak suka dengan cahaya bulan itu," ucap bocah itu sambil bersiap-siap
untuk melakukan hal yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Terbelalak Tantri Praba terbelalak pula suaminya melihat Elang Bayu Bismara
melakukan perbuatan yang tidak terduga. Bayu 'Badrawati' yang tubuhnya masih
basah kuyup itu melepaskan diri dari tangan Ibunya tiba-tiba ambyur ke ke kolam
renang. Bagaikan ikan pesut geliatnya, bocah yang mengalami amnesia itu berenang di
bawah permukaan, melejit kesana kemari.
Tantri Praba terduduk bersimpuh di sudut kolam memerhatikan tingkah polah Elang
Bayu Bismara. Tantri Praba tak lagi merasa ayunan jantungnya berderap lebih
kencang karena jantung pemompa darah itu tak lagi ada di rongga dadanya. Habislah
kemampuan Tantri Praba berusaha menerima kenyataan yang sulit diterima akal itu. Di
sebelahnya Yudawastu Widhiyaksa bisa menguasai diri. Yudawastu Widhiyaksa bahkan sempat
menghitung menggunakan jam tangannya atas telah berapa lama anak lelakinya mampu
bertahan di bawah air. "Bayu," rintih Tantri Praba.
Yudawastu Widhiyaksa bergeser mendekati istrinya dan memegang pundaknya.
"Sudah lebih dari lima menit," bisik Yudawastu Widhiyaksa.
Tantri Praba yang tergencet beban luar biasa itu akhirnya mampu menguasai diri,
denyut jantungnya yang menghilang berdetak lagi dan akhirnya dengan penuh
perhatian ia menyaksikan apa yang diperbuat anaknya.
"Mungkin itu cara yang ia gunakan memberikan perlawanan," bisik Yudawastu
Widhiyaksa sambil menyempatkan menengadah melihat bulan.
Tantri Praba tidak segera paham ucapan suaminya. Yudawastu Widhiyaksa yang
menengadah kembali mengarahkan perhatiannya pada anak lelakinya. Untuk beberapa
saat Bayu masih berenang kesana-kemari melintasi sisi kolam yang tidak tersentuh
cahaya bulan secara langsung hingga akhirnya bocah itu berhenti. Bayu meringkuk
di sudut dengan sikap duduk menekuk lutut.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada anakku?" kembali Tantri Praba mengeluh.
Namun jawaban yang dibutuhkan masih belum juga tersedia jawabnya. Meski
akhirnya Tantri Praba melihat Bayu mampu mengatasi keadaan, namun tetap saja apa
yang diperbuat bocah itu mencemaskan hatinya. Secara logika, selama masih
bernama manusia tak mungkin mampu bertahan di dalam air demikian lama, apalagi Yudawastu
Widhiyaksa kemudian menandai, waktu telah bergerak melewati dua puluh menit.
Bahwa Bayu benar-benar tidak mengalami masalah, bocah itu terlihat berenang lagi
berusaha menghindari cahaya bulan meneranginya secara langsung. Tidak lagi nyaman berada
di tempatnya, bocah itu mengayuh ke sudut lain.
"Apa yang dilakukan Bayu adalah upaya melawan sesuatu yang berusaha
mempengaruhinya." Pendapat suaminya memancing Tantri Praba menoleh. Tantri Praba mengerutkan
kening. "Cahaya bulan itu tidak disukainya karena menyebabkan munculnya rasa gatal dan
bintik-bintik di tubuhnya. Cahaya bulan itu menyebabkan benda di telapak
tangannya bergerak liar. Bayu sedang meredam keadaan itu," lanjut Yudawastu Widhiyaksa.
Tantri Praba terdiam, akan tetapi akhirnya ia mengangguk karena menganggap apa
yang dikatakan suaminya itu masuk akal. Ketika waktu bergeser satu jam terhitung
sejak 267 Bayu ambyur ke dalam air, Dokter Wisnu datang. Dokter Wisnu terkejut penasaran
saat diminta langsung menuju ke halaman belakang.
"Mana Bayu?" itulah pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutnya.
Tantri Praba dan Yudawastu Widhiyaksa dengan bersama-sama menunjuk ke arah
kolam renang. Melihat seseorang berenang tentu bukan hal yang aneh bagi Dokter
Wisnu. "Ia sudah satu jam di bawah air dan belum menyembul ke permukaan," lanjut
Tantri Praba. Ucapan Tantri Praba itu sungguh sangat mengejutkan. Dokter Wisnu bergegas
merapat ke tepi kolam renang. Ketika ia menghitung waktu, satu menit berlalu
ternyata Bayu masih bertahan dalam air, itu merupakan penegas apa yang
disampaikan Tantri Praba benar adanya. Satu menit menahan napas di dalam air sungguh luar biasa.
Dokter Wisnu ingat ia pernah menguji kemampuannya tidak bernapas, waktu terlama yang
bisa dilakukan adalah empat puluh lima detik.
"Apa yang ia lakukan?" tanya Dokter Wisnu.
Yudawastu Widhiyaksa berjongkok di tepi kolam sambil bertopang dagu.
"Bulan purnama ini, atau mungkin untuk setiap bulan purnama yang terjadi," kata
Yudawastu Widhiyaksa, "cahayanya berpengaruh langsung pada benda tidak dikenal
di telapak tangan kanannya. Akibatnya reaksi alergi itu muncul. Badrawati melawan
pengaruh bulan itu dengan apa yang dikerjakannya sekarang."
Dokter Wisnu menyimak pendapat tuan rumah itu dengan penuh perhatian. Apa
yang disampaikan Yudawastu Widhiyaksa itu mungkin merupakan hal aneh akan tetapi
apa yang sekarang dilihatnya jauh lebih aneh lagi.
"Sudah berapa lama hal ini berlangsung?" tanya Dokter Wisnu.
Yudawastu Widhiyaksa melirik pergelangan tangannya.
"Satu jam lima belas menit dua puluh detik," jawabnya.
Mrinding Dokter Wisnu mendapat jawaban itu.
Dengan mulut terbungkam dan tak lagi bisa bicara, Dokter Wisnu ikut menunggui
sekaligus menjadi saksi apa yang dilakukan Bayu. Dokter Wisnu menarik sebuah
kursi dan duduk mencangkung sambil sesekali memerhatikan bulan yang memanjat semakin
tinggi. Dokter Wisnu sependapat dengan Yudawastu Widhiyaksa bahwa cahaya bulan
memberikan pengaruh yang amat kuat namun agaknya Bayu bisa menemukan cara untuk
melawan. Di dalam air Bayu jelas berusaha memberikan perlawanan.
"Apa yang terjadi saat bulan tegak lurus di atas?" pertanyaan yang dilepas
Tantri Praba itu memecah keheningan.
Apa yang dicemaskan oleh Tantri Praba pada dasarnya juga menjadi perhatian
Yudawastu Widhiyaksa. Ketika bulan memanjat kian tinggi maka cahayanya akan
jatuh tegak lurus dengan demikian tidak sejengkal pun kolam renang itu yang luput dari
semburatnya. "Mungkin payung bisa menolong!" letup Dokter Wisnu.
Gagasan Dokter Wisnu segera diterjemahkan dengan baik oleh Tantri Praba yang
bergegas masuk ke dalam rumah. Ketika keluar lagi ia telah membawa payung lebar
berwarna hitam. Payung itu dibuka dan diletakkan di sudut kolam. Bayu memahami
bantuan yang diberikan kepadanya. Bayu yang meringkuk itu menggeliat berenang
mendekat dan menempatkan diri di bawahnya.
Dengan demikian sebuah simpulan telah diyakini kebenarannya.
268 "Berarti, bulan itu benar-benar membuatnya tidak senang!"
Tantri Praba melihat kulit tubuh anaknya yang semula beranjak berubah kini telah
kembali ke keadaannya semula. Entah dari mana gagasan itu tiba-tiba muncul dalam
benaknya, Tantri Praba melepas sandal dan ambyur. Tantri Praba ingin menemani
anak lelakinya namun terbukti Tantri Praba tidak memiliki napas sepanjang napas
anaknya. Meski demikian Tantri Praba merasa sangat lega, ia melihat Bayu 'Badrawati' itu
tersenyum. Dalam pandangan jarak dekat itu Tantri Praba melihat gangguan kulit
yang bisa menyebabkan munculnya alergi luar biasa itu teredam.
40. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka)
Parameswara yang masgul terus berjalan menyusur malam. Pikirannya benar-benar
teraduk dan remuk. Bahwa dirinya dianggap bukan manusia tetapi binatang membuat
dadanya gemetar. Amarahnya serasa akan memecahkan ubun-ubunnya. Dalam keadaan
yang demikian, andaikata ada orang membuat gara-gara, maka Parameswara dengan
suka rela akan memecah kepala orang itu hingga isi benaknya berhamburan.
"Aku bukan manusia, aku ini berderajad binatang," desis pemuda itu.
Parameswara yang berjalan itu tiba-tiba mengaum, menirukan suara harimau besar
yang pernah ditemuinya Hamuncar, harimau yang terpaksa ia bunuh karena memangsa
beberapa nelayan yang tinggal di semenanjung Sembulungan.
Beban amat berat yang bergumpal-gumpal di dada itu tidak bisa dikuasainya lagi
dan membutuhkan penyaluran. Parameswara melenting berjumpalitan di udara sambil
mengayunkan tangan kanannya dengan deras. Ayunan tangan itu bukan sembarangan,
namun kemarahan yang menjelma dalam aji Riung Laut, ajian pamungkas dari
perguruan Kembang Ayun. Akibatnya mengerikan. Jembatan yang menjadi sasaran kemarahan Parameswara itu berantakan. Kayu-kayu
berhamburan dan batu bata menyebar ke mana-mana. Dua orang prajurit yang
mendapat perintah Senopati Naragupita mengawasi dari kejauhan terbelalak kaget. Namun
kedua orang prajurit itu tak melakukan apa pun karena mereka menyadari pemuda yang
semula dicurigai sebagai telik sandi dari Ganter itu ternyata anak dari Ki Patih Panji
Ragamurti. Parameswara terus berjalan ke arah timur. Jika saja segenap prajurit yang
menjaga gerbang kotaraja sebelah timur itu menghadangnya, maka Parameswara akan
mengamuk. Namun rupanya para prajurit penjaga gerbang timur itu sudah menerima berita dari
Istana Kepatihan sehingga mereka membiarkan Parameswara lewat. Malam menusuk
tajam saat Parameswara telah tiba kembali di tempat persembunyian kudanya. Sapu Angin
meringkik senang ketika melihat Parameswara telah kembali.
"Urusanku telah selesai Sapu Angin, tidak ada gunanya kita berlama-lama berada
di tempat ini. Jika kauingin tahu hasilnya, Patih Panji Ragamurti itu membuang
anaknya karena menganggapnya binatang. Aku ini bukan manusia, tetapi binatang sepertimu
Sapu Angin." 269 Suara Parameswara itu amat serak, bagai tersangkut di tenggorokan. Sapu Angin
meringkik ikut berduka dan menghibur Parameswara agar tidak terlampau sedih.
Namun ada sesuatu yang menarik perhatian Parameswara yang menyebabkan salah
satu alisnya langsung njengat 95.
"He, apakah ada orang yang telah berbuat jahat kepadamu Sapu Angin?" tanya
Parameswara sambil memeriksa tubuh kudanya.
Parameswara bergegas memerhatikan keadaan di sekitarnya, dengan ketajaman
telinganya pemuda itu menelusuri barangkali ada orang di sekitar tempat itu akan
tetapi Parameswara segera menarik simpulan orang yang bermain-main dengan Sapu
Angin telah lama pergi. Parameswara segera menarik simpulan, siapa pun yang
meninggalkan tumpukan rumput di tempat itu pastilah tidak berniat buruk.
Parameswara bergegas memeriksa sebuah rontal yang terikat pada leher kuda itu
dan dibacanya dengan seksama.
"Pergilah ke Padang Karautan. Ada orang yang membutuhkan pertolonganmu di
sana," bunyi kalimat dalam rontal itu.
Parameswara memandang Kuda Sapu Angin lebih cermat memeriksa barangkali
ada sesuatu yang tertinggal di tubuhnya namun Parameswara tidak menemukannya.
Kuda itu kembali meringkik dan mengangkat kaki depannya sayang Parameswara benar-
benar tidak bisa menangkap apa yang dimaksud kuda itu.
"Siapa yang mengalungkan rontal ini padamu?" tanya Parameswara.
Kuda Sapu Angin hanya meringkik. Tentu saja untuk sebuah nama, kuda itu tidak
bisa menyebut. Parameswara berpikir keras dan membuat perkiraan, siapakah orang yang telah
meninggalkan pesan itu di leher kudanya. Kuda Sapu Angin adalah kuda yang amat
terlatih untuk selalu awas dan curiga kepada orang yang belum dikenal. Jika ada
orang yang bisa meninggalkan pesan di leher kuda itu, tentu Sapu Angin mengenal
orang itu dengan baik. "Siapa orang itu?"
Menduga dengan cara bagaimanapun tidak mungkin bisa menemukan jawabnya
Parameswara menghela napas jengkel, oleh karena itu ia tak mau sibuk menebak
lagi. Pemuda dari lereng selatan Gunung Raung itu segera meloncat ke atas kudanya.
"Aku sudah tidak punya urusan lagi di tempat ini Sapu Angin, aku tak berminat
lagi melihat seperti apa ujut Panji Ragamurti itu. Sekarang mari kita pergi ke
Panjaringan dan kita susul Swasti Prabawati yang berada di sana. Siapa tahu kita
bisa membantu kesulitan yang dihadapinya," kata Parameswara yang dijawab oleh
kudanya dengan ringkikan pendek. Sapu Angin senang karena dengan demikian ia akan bertemu dengan kuda betina
pujaan hatinya. Kuda kekar itu berderap meninggalkan tempat itu. Parameswara tidak memacunya
dengan kencang, tetapi membiarkan kuda itu berjalan semaunya. Dengan berkuda
Parameswara memerhatikan bintang-bintang yang gemerlapan di langit dan
membiarkan angin malam menggerayangi tubuhnya. Langkah demi langkah, ayunan kaki demi
ayunan kaki Sapu Angin mengayuh langkah sejajar dengan waktu yang terus bergerak
menemani ke mana pun ia pergi dan apa pun yang ia lakukan. Setelah beberapa saat lamanya.
Parameswara sampai di bulak panjang. Parameswara terpaku di atas punggung kuda
95 Njengat, jawa, menuding ke atas, mencuat
270 karena ada sesuatu yang menarik perhatiannya, suara ribut singgah di telinganya
itu berasal dari jauh di depan, di sana tampak api yang semula terlindung bayang-
bayang
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pepohonan. "Kaudengar itu Sapu Angin?" tanya Parameswara.
Tentu saja Kuda Sapu Angin yang memiliki pendengaran sangat tajam itu lebih
dulu mendengar. "Kita ke sana," kata Parameswara.
Kuda Sapu Angin itu pun berderap kencang melintasi bulak panjang. Agak jauh di
sebelah selatan terlihat api berkobar. Semakin dekat dengan tempat pertempuran
yang berlangsung, Parameswara melihat sebuah rumah yang terbakar.
"Gila, ada apa pula itu?" desis pemuda itu.
Sebenarnyalah sebuah pertempuran tengah berlangsung dengan sangat seru dan
berada di antara hidup dan mati yang melibatkan banyak orang. Parameswara segera
meloncat turun dan menyuruh Sapu Angin untuk tidak berada pada jarak yang dekat
dengan perkelahian yang berlangsung.
"Sepanjang perjalanan yang kutempuh, baru di Kediri justru kulihat suasana yang
kisruh. Bisa aku tebak, mereka yang sedang berkelahi itu pasti melibatkan
prajurit Kediri dan bertempur melawan orang-orang dari Ganter. Hebat juga sepak
terjang orang-orang Ganter itu. Seperti apa sebenarnya mereka itu?" tanya Parameswara pada diri
sendiri. Pertarungan yang terjadi berjalan tak seimbang. Parameswara melihat, sekelompok
kecil orang Ganter semakin terdesak, didesak terus oleh para prajurit Kediri.
Meski orang-orang dari Ganter itu sudah berusaha sekuat tenaga namun jumlah musuh yang
mereka hadapi tak terjangkau oleh ketrampilan ilmu kanuragan yang mereka kuasai.
Parameswara terus memerhatikan perkembangan itu.
"Satu, dua, tiga,.....lima," Parameswara menghitung jumlah mereka.
"Kini orang-orang Ganter itu tinggal lima orang. Lawannya ada sekitar lima belas
orang. Berarti setiap orang menghadapi tiga orang."
Bahkan angka lima itu pun kemudian berkurang. Satu lagi jatuh karena lambungnya
sobek oleh ayunan pedang. Darah muncrat membasahi pakaiannya, empat yang lain
dengan sekuat tenaga berusaha melindungi diri dengan memberikan perlawanan
sekuat- kuatnya. "Tak jelas apakah empat orang yang tersisa itu sadar atau tidak, nyawa mereka
akan segera terkail keluar dari tubuh mereka," kata Parameswara.
Parameswara menggigil. Perkembangan selanjutnya adalah sebuah pembantaian.
Setiap ayunan senjata yang diberikan para pengeroyoknya selalu meninggalkan
jejak luka, bahkan luka yang mematikan.
"Mereka sudah amat terdesak, sisanya tinggal empat orang, mengapa para prajurit
Kediri itu tak menawarkan kesempatan menyerah?"
Parameswara tak punya kesempatan untuk merenung lebih lama karena sekali lagi
dua orang lagi jatuh bersamaan. Kali ini bahkan jauh lebih jelek nasibnya.
Sebuah ayunan pedang membabat lehernya. Kepala terpisah dari tubuh untuk
kemudian ambruk dengan memuncratkan darah dari leher yang terputus itu.
Parameswara tambah menggigil.
Selanjutnya tinggal dua orang. Keduanya ternyata bersikap gagah dan berani, sama
sekali tidak terpengaruh oleh teman-temannya yang bergelimpangan. Salah seorang
di antaranya bernasib amat buruk. Dua buah tombak dengan waktu bersusulan menyobek
271 pinggang, sebuah tombak lagi amblas ke dada. Mata orang yang meregang nyawa itu
mendelik beberapa saat. Parameswara menyaksikan dengan seksama saat-saat
kematian menjemput nyawa orang Ganter itu.
Tinggal satu orang lagi. Apa boleh buat, Parameswara yang semula memutuskan
untuk tidak melibatkan diri harus bertindak menyelamatkan orang itu.
Tetapi rupanya orang itu tidak perlu diselamatkan.
Parameswara yang terheran-heran melihat orang yang tinggal satu-satunya itu
tertawa bergelak, disusul kemudian oleh segenap prajurit. Semuanya tertawa
bergelak. "Mampus kalian semuanya. Kali ini kita benar-benar berhasil, lihat, tidak ada
seorang pun yang masih hidup," kata orang Ganter yang tersisa itu dengan suara
meledak. Parameswara masih bingung dan belum mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.
Rasa heran pemuda itu kian menjadi ketika melihat orang Ganter yang tertinggal
satu- satunya itu malah tertawa dan berkelekar akrab dengan para prajurit Kediri yang
semula mengeroyoknya. Para pengeroyoknya menyalaminya dan memberi jabat tangan
yang akrab, bahkan saling memberikan pelukan.
"Mmm, jadi itu rupanya?" desis Parameswara. "Orang yang tertinggal satu-satunya
itu mata-mata Kediri yang diselundupkan ke antara orang-orang Ganter. Rupanya
antara Kediri dan Ganter tengah terjadi perang telik sandi."
Parameswara melangkah lebih mendekat dan bersembunyi di antara semak-semak.
Semua pembicaraan yang terjadi disimaknya. Suasana berubah menjadi sunyi senyap
ketika salah seorang dari mereka meminta perhatian.
"Teman-teman semuanya," kata salah seorang dari orang-orang itu, "apa yang kita
lakukan kali ini merupakan sebuah hasil yang gemilang setelah beberapa lama kita
direpotkan oleh ulah para telik sandi Ganter itu. Keberadaan mereka di tempat
ini bisa kita ketahui dari hasil kerja keras telik sandi Kediri yang disusupkan
ke Ganter. Namun demikian, kita juga menyadari, Kediri sama sekali tidak besih
dari mata-mata itu. Ulah Lintang Panjer Sore dengan jaringannya sampai sejauh
ini masih belum dapat kita atasi.
Bahkan siapakah Lintang Panjer Sore itu, kita semua belum tahu."
Parameswara memerhatikan pembicaraan itu dengan baik. Seutas benang merah
yang diperlukannya untuk menghubungkan semua masalah telah ia peroleh.
Parameswara mempertajam pendengarannya agar jangan sampai ada bagian pembicaraan yang lewat.
Orang yang berbicara itu melanjutkan ucapannya, agaknya orang itu mempunyai
jabatan pimpinan. "Nah teman-teman, sekarang mari kita dengarkan apa yang akan dipaparkan kawan
kita yang telah berhasil menyusup ke Ganter. Silahkan kakang Senopati Udan Awu
96." Udan Awu, Parameswara mencatat nama itu dengan baik. Namun Parameswara
harus curiga, apakah Udan Awu itu nama yang sebenarnya atau sekadar nama yang
dipergunakan para telik sandi, sebagaimana nama Lintang Panjer Sore yang
digunakan mata-mata dari Ganter. Parameswara menduga, Udan Awu hanya sebuah
julukan bukan nama yang sebenarnya sebagaimana Lintang Panjer Sore juga hanya sebuah sebutan.
Sebelum berbicara Udan Awu berdehem. Udan Awu rupanya bukan dari jenis
orang yang suka berbicara bertele-tele.
"Yang pertama," kata Udan Awu, "sampai sejauh ini aku masih belum berhasil
mengetahui siapakah mata-mata Ganter yang berada di Kediri menyusup di antara
kita. 96 Udan awu, jawa, hujan abu
272 Namun yang jelas, dari pembicaraan-pembicaraan yang aku ikuti, sosok Lintang
Panjer Sore itu, mempunyai jabatan yang tinggi di Kediri. Itu sebabnya aku
menekankan kepada kalian untuk berusaha keras menemukan mata-mata Lintang Panjer
Sore itu, pusatkanlah perhatian kepada para prajurit berpangkat tinggi, para
Senopati, para Temengggung dan orang-orang yang mempunyai jalur khusus ke Istana
yang bisa keluar masuk seenaknya.
Kusarankan agar dibentuk kelompok-kelompok khusus untuk mengawasi orang-orang
yang aku maksud itu agar segera dapat dibongkar siapa sebenarnya Lintang Panjer
Sore itu." Semua menyimak pembicaraan itu dengan cermat seksama.
Orang yang menyebut diri sebagai Senopati Udan Awu itu menebarkan pandang,
memperhatikan wajah demi wajah di depannya.
"Bagaimana dengan kalian semua?" tanya orang itu.
Pertanyaan itu agak membingungkan mereka yang ditanya.
"Apa yang kakang maksud?" tanya pimpinan prajurit itu.
Senopati Udan Awu akhirnya tersenyum.
"Apakah aku masih bisa berharap, kelompok yang kuhadapi ini kelompok yang
masih bersih dan belum tersusupi mata-mata musuh?"
Pimpinan prajurit itu tersenyum, segenap anak buahnya menumpangi dengan tawa
bergelak. "Tidak ada orang baru di antara kami," jawab pimpinan prajurit itu.
Senopati Udan Awu senang dan yakin kelompok prajurit yang selama ini berada
dalam pembinaanya itu masih bersih, tidak tersusupi pengaruh orang-orang Ganter
yang berniat mendirikan negara baru memisahkan diri dari Kediri.
"Bagus," jawab Senopati Udan Awu. "Bagaimana dengan Gusti Patih" Apakah
Gusti Patih sudah kembali?"
Mendengar nama ayah kandungnya disebut Parameswara agak kaget. Parameswara
bergeser lagi lebih mendekat agar bisa menyimak pembicaraan itu dengan lebih
cermat. Sosok Panji Ragamurti rupanya memiliki peran yang amat besar dalam pergolakan
yang terjadi itu. "Gusti Patih belum kembali," jawab prajurit yang ditanya.
Orang yang disebut sebagai Senopati Udan Awu itu terdiam beberapa saat karena
ada sesuatu yang menjadi pertimbangannya.
"Baiklah," kata Senopati Udan Awu, "kurasa tak ada hal lain yang perlu kita
bicarakan lagi. Aku akan kembali ke Ganter. Aku akan berupaya mengorek
keterangan dari sana, siapa sebenarnya Lintang Panjer Sore itu. Kita berpisah sekarang.
Selamat tinggal." "Selamat jalan kakang," jawab salah seorang prajurit mewakili semua temannya.
Orang bernama Udan Awu itu kemudian meloncat ke atas kudanya dan melesat
membelah malam meninggalkan tempat itu. Parameswara kecewa karena pembicaraan
yang menyangkut Patih Panji Ragamurti tidak ada kelanjutannya. Namun satu hal
yang berhasil disimpulkannya adalah, bahwa telik sandi Senopati Udan Awu yang
menyusup ke Ganter itu bertanggung jawab langsung kepada Patih Panji Ragamurti.
Parameswara yang masih bertahan melihat tak ada yang dibicarakan lagi oleh para prajurit
itu. Mereka pergi begitu saja meninggalkan tempat itu, menyisakan senyap yang
sangat pekat. Hanya rumah yang terbakar itu saja yang masih mengepulkan asap
tebal, rupanya rumah itu dipergunakan oleh orang-orang dari Ganter.
273 Hanya sayang keberadaannya telah diketahui oleh orang Kediri.
Parameswara merasa pedih saat melihat mayat-mayat yang bergelimpangan tidak
ada yang mengurus itu. Parameswara juga tahu, para penduduk yang tinggal di
sekitar tempat itu ketakutan tak seorang pun yang berani keluar. Parameswara melangkah
agak lebih mendekat, memerhatikan tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak lagi bernyawa.
Terpikir di dalam hati pemuda itu untuk mengubur mereka meski pekerjaan itu
tentu menyita waktunya. Tiba-tiba Parameswara mendongak. Ketajaman telinganya menangkap sesuatu. Dari
arah yang berlawanan dengan arah yang diambil para prajurit Kediri terdengar
derap kuda amat kencang. Hanya dengan mendengar ciri-ciri khusus pada suara derap itu
Parameswara bisa mengetahui penunggang kuda yang datang itu hanya seorang.
Parameswara tidak bersembunyi, pemuda itu tetap berdiri di tempatnya.
Akhirnya orang yang berkuda kencang itu telah tiba. Dengan tergesa-gesa orang
itu meloncat turun dari kudanya. Orang yang memakai caping itu terlihat sangat
tegang memerhatikan beberapa sosok mayat yang tergeletak dengan perasaan campur aduk.
"Apa yang terjadi?" orang bercaping itu bertanya pada Parameswara.
Parameswara menoleh pada orang itu.
"Kaudatang terlambat," balasnya.
Orang bercaping itu kaget.
"Bagaimana kautahu aku datang terlambat?" tanya orang itu dengan penasaran.
Parameswara memandanginya dengan tatapan mata datar, seperti tidak menyimpan
gairah macam apa pun. Parameswara bersiul panjang memanggil kudanya. Orang yang
baru datang itu terkejut. Namun dengan segera ia memahami apa yang dilakukan
laki-laki di depannya. Parameswara bergeser. "Bukankah apa yang aku katakan benar" Kaudatang terlambat sehingga kau tidak
berhasil menyelamatkan mereka" Andaikata kau tak datang terlambat mereka tidak
akan bergelimpangan seperti ini," jawabnya.
Orang bercaping itu bertambah penasaran. Apa yang diucapkan orang tidak dikenal
yang berada di depannya itu memang benar adanya. Yang ia tidak mengerti, orang
yang belum dikenalnya itu agaknya mengetahui amat banyak.
Parameswara melanjutkan. "Syukurlah kaudatang. Dengan demikian setidak-
tidaknya ada orang yang akan mengurus mayat mereka."
Parameswara bermaksud mengakhiri pembicaraannya dengan meninggalkan tempat
itu. "Tunggu, kau siapa?" tanya orang itu.
"Aku Parameswara. Aku tidak terkait dalam bentuk apa pun dengan persoalanmu,"
jawabnya tegas. Nama yang baru saja disebut itu bukanlah nama yang dikenalnya dengan baik, akan
tetapi dipahatkan nama itu ke dinding benaknya.
"Kautahu siapa aku?" tanya orang itu.
Parameswara berbalik dan balas memandang.
"Ya," jawab Parameswara. "Kau Lintang Panjer Sore. "
Tentu saja orang yang mengenakan caping lebar itu terkaget-kaget mendengar
jawaban itu. Selama ini jati dirinya sebagai telik sandi Ganter yang menyusup ke
Kediri, 274 tidak diketahui oleh siapa pun. Siapa mengira kini ada seseorang yang belum
dikenalnya, bisa menebak dengan tepat jati dirinya.
"Bagaimana kaubisa mengenaliku sebagai Lintang Panjer Sore, siapa sebenarnya
kau?" desak Lintang Panjer Sore bertambah penasaran.
Parameswara menyumbang suara tawa pendek memecah hening malam.
"Siapakah aku, sudah kujawab. Namun yang mungkin perlu kauketahui, seorang
telik sandi dari Kediri saat ini telah menyusup ke Ganter. Orang itulah yang
berhasil menjebak mereka. Nama yang dipergunakan telik sandi itu Udan Awu. Soal
siapa aku, aku tidak terkait siapa-siapa. Aku hanya mendengar pembicaraan yang terjadi
tanpa mereka ketahui." Lintang Panjer Sore terpaku. Sumbangan nama yang diberikan Parameswara itu
membuatnya gelisah. "Udan Awu?" desis Lintang Panjer Sore.
Namun Parameswara tidak mempedulikannya lagi. Parameswara terus melangkah
meninggalkan tempat itu menyongsong ke arah kudanya yang datang. Ketika sedikit
agak jauh ia berhenti dan menoleh.
"Ke mana arah yang harus aku tempuh agar bisa sampai ke Karautan?" tanya
Parameswara. Pertanyaan itu menyebabkan Lintang Panjer Sore tertegun, namun ketika kesadaran
telik sandi itu utuh, ia terkejut yang ditandai dengan perubahan wajahnya.
"Karautan" Maksudmu, Padang Karautan?" tanya Lintang Panjer Sore.
Parameswara mengangguk. "Ya," jawab Parameswara.
Lintang Panjer Sore menyempatkan menengadah ke arah lengking burung cataka yang
terbang rendah. Cataka yang bermata tajam
"Jika kau berkuda sehari semalam tanpa henti ke arah tenggara, kau akan sampai
di
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat yang kaucari," jawab Lintang Panjer Sore.
Parameswara tidak bertanya lagi. Parameswara meloncat ke punggung kuda Sapu
Angin yang langsung melonjak dan berbalik arah. Sapu Angin siap bergerak pelan
untuk menyusuri jalan setapak yang cukup jelas karena diterangi oleh bulan dan bintang
yang bertaburan di nabastala97.
Parameswara membusai punggung Sapu Angin sebagai isyarat untuk bergerak
meninggalkan tempat itu, meninggalkan sosok Lintang Panjer Sore yang jati
dirinya selalu dibungkus selubung teka-teki. Lintang Panjer Sore masih terpesona
oleh keadaan yang tak pernah disangka. Namun Lintang Panjer Sore percaya, pemuda
yang baru ditemuinya itu tidak mempunyai niat jahat kepadanya, terbukti dari
meninggalkan sebuah petunjuk yang amat berharga baginya, sosok yang harus
mendapat perhatiannya, Udan
Awu. "Udan Awu," desis Lintang Panjer Sore. "Aku harus mengirim berita ke
Ganter." Lintang Panjer Sore tak mungkin membiarkan teman-temannya yang telah menjadi
mayat tanpa harus dikubur. Apa boleh buat, Lintang Panjer Sore terpaksa bekerja
keras semalaman membuat lubang dengan kedalaman yang cukup untuk dimuati mayat
anak buahnya yang bernasib malang itu.
97 Nabastala, jawa kuno, langit
275 41. (Rangkaian peristiwa tahun 2011)
Bulan yang bersinar terang tak hanya memberi pengaruh buruk yang nyata dialami
oleh Elang Bayu Bismara yang sampai harus menenggelamkan diri dalam kolam renang
untuk meredam pengaruhnya, namun keadaan yang jauh lebih parah dialami oleh
Parra Hiswara. Melihat perubahan yang terjadi pada sahabatnya menyudutkan Yogi Sutisna
tidak tahu pilihan mana yang harus diambil, yaitu apa tetap bertahan mendampingi
Parra Hiswara yang kini berubah bentuk menjadi sosok menakutkan dan layak
disebut monster atau meninggalkannya. Berulang kali Parra Hiswara meludah, berulang kali pula ia melenguh dan tak bisa
dihitung berapa kali ia menggeram-geram amat sesuai dengan ujutnya sekarang.
Cahaya bulan purnama yang benderang merangsang sesuatu yang selama ini mengendap di
balik kulit di atas daging telapak tangannya untuk muncul dan menampakkan jati
dirinya. Saat benda melingkar kehitam-hitaman itu menggeliat, pengaruhnya
sungguh sangat dahsyat. Rangsang alergi yang ditimbulkan menyebabkan kulit terasa amat gatal, semakin
digaruk rasa gatal itu kian menjadi. Mrinding Yogi Sutisna melihat darah keluar
dari beberapa bekas luka garukan, luka itu ada di wajahnya, ada di tangannya, di
lengan, leher. "Panas!" keluh Parra Hiswara dengan suara amat tebal.
Yogi Sutisna bingung, sungguh ia merasa tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong.
"Gatal!" tambah Parra Hiswara sambil menggeram.
Tidak tahan dengan rasa gatal yang mengepung dari segala penjuru Parra Hiswara
melepas pakaian yang dikenakannya, namun untunglah Parra Hiswara masih memiliki
kesadaran untuk tidak juga melepas celana panjangnya. Tidak sabar oleh dorongan
ingin menggaruk pada bagian punggungnya Parra Hiswara berlari mendekat ke sebuah
pohon. Dalam keadaan tanpa baju Parra Hiswara menggosokkan punggungnya ke batang pohon.
Yogi Sutisna ingin mencegah namun tidak mungkin ia berbuat, mata Parra Hiswara
yang mendelik akan copot dari kelopaknya menyebabkan Yogi Sutisna amat ketakutan.
Dalam keadaan di luar kendali macam itu Parra Hiswara bisa membahayakan dirinya.
Digosokkan dengan amat kasar ke batang pohon saman dengan seketika terjadi
pelukaan yang menyebabkan darah dengan segera membasahi punggung, mirip darah
orang yang disiksa dengan lecutan cambuk berkali-kali. Namun rupanya rasa sakit
yang muncul dari pelukaan itu masih kalah dari rasa gatal yang dialaminya. Demikian
kuat rangsang gatal itu bahkan andai untuk mengatasinya harus dengan membeset
kulitnya tidak masalah. "Parra, hentikan!" teriak Yogi Sutisna, "kuasai dirimu, lawan apa yang
kaurasakan itu!" Namun Parra Hiswara tidak mendengar apa pun, telinganya buntu tersumbat
oleh rasa sakit yang lebih menyita perhatiannya. Alergi yang dirangsang cahaya
rembulan itu semakin menjadi dan hilanglah jejak wajah Parra Hiswara,
tergantikan oleh wajah lain
penuh bintul-bintul. Bila perubahan mengarah ke bentuk binatang bisa ditandai
betapa Parra Hiswara tak lagi mampu menguasai diri. Bagaimana mungkin bisa disebut
mampu 276 menguasai diri bila kalau air liur menetes-netes tak terkendali, mirip yang
dilakukan singa di kebun binatang melihat bayi mungil di luar kerangkengnya.
Menghadapi keadaannya yang demikian apa boleh buat, Yogi Sutisna hanya bisa
memerhatikan sambil menjaga jarak. Yogi Sutisna yakin dalam keadaan tidak
terkendali Parra Hiswara bisa menjadi sumber bahaya yang mengancam keselamatan orang lain.
Bagai layaknya orang yang kesurupan yang sekarang muncul ada kepribadian yang
lain. Wibawa yang muncul dari kejadian itu sungguh dahsyat. Pepohonan di sudut timur
Kebun Raya itu senyap. Ribuan burung blekok yang menghabiskan malam yang
biasanya gaduh tak kedengaran suaranya, bahkan ratusan katak yang menjadi belumbang
buatan dan biasanya saling sapa bersahutan juga tak ada jejak suaranya. Demikian juga
dengan para garengpung 98 yang saling sapa sesama kerabat melalui menggetarkan
sayapnya ikut-ikutan terbungkam, apalagi para semut dan berbagai kutu.
Semua kegaduhan malam terbungkam oleh jerit teriakan liar yang keluar dari mulut
Parra Hiswara sebagai bayaran atas rasa sakit yang tidak tertanggungkan. Dalam
keadaan yang demikian Parra Hiswara membutuhkan lebih dari dua buah tangan untuk
menggaruk rasa gatal, bahkan tak cukup dengan menggosokkan punggung ke batang pohon
seperti yang sering dilakukan kerbau setelah melumpur bahkan juga dengan berguling-
guling, kalau perlu bahkan dengan berganti kulit sekalian. Menghadapi keadaan yang
demikian Yogi Sutisna merasa dirinya mendadak menyesal mengapa harus terlibat pada
keadaan yang kini dihadapinya. Siapa yang berada di dekat api memiliki kemungkinan
terbakar lebih besar dari yang jauh, siapa yang menempatkan diri di dekat Parra Hiswara
memiliki kemungkinan amat besar untuk terseret lebih jauh.
"Ken Katri Kenyatri menjanjikan malam purnama yang tiba hari ini sebagai malam
yang indah, inikah yang maksud sebagai sesuatu yang indah itu" Apanya yang
indah, aku malah merasakan sebagai sesuatu yang mengerikan," tanya Yogi Sutisna
dalam hati. Sebagaimana Ken Katri Kenyatri yang di malam sebelumnya mempersembahkan
diri minta dinodai oleh Parra Hiswara, Anak Agung Budayasa juga menyebut akan
terjadi sesuatu pada malam purnama. Yang ia tidak mengerti adalah bahwa pengaruh
dari bulan purnama itu akan berbentuk seperti itu. Bulan yang indah, rembulan sering
dipadankan dengan kecantikan seorang perawan, pengaruhnya amat buruk pada sahabatnya.
Bulan di langit terus bergerak memanjat semakin lama semakin tinggi dan mulai
menempatkan diri berada di tengah-tengah langit, menjadi saksi apa yang dialami
Parra Hiswara sekaligus menandai betapa terengah-engah Parra Hiswara menampaki
perjalanan nasibnya. Kulitnya semakin mbrintul 99 merata di tubuh dan terutama perubahan
nyata terlihat di wajah, dengan keadaannya yang demikian lenyap ujut Parra
Hiswara dan telah berganti menjadi sosok yang lain sama sekali. Siapa pun yang
bertemu dengannya tidak akan menyangka ada wajah Parra Hiswara di balik wajah monster itu.
Yogi Sutisna gelisah karena dalam keadaan yang demikian, orang yang ditunggu
belum datang juga. "Ke mana Budayasa?" tanya Yogi Sutisna dalam hati.
Ketidak-beradaan Anak Agung Budayasa di tempat yang dijanjikan itu membuat
Yogi Sutisna merasa penasaran. Namun dengan mendadak mencuat pula rasa penasaran
lain. 98 Garengpung, jawa, sebutan lain untuk cenggeret, binatang sejenis belalang
bersayap lebar berwarna hijau daun.
99 Mbrintul, jawa, bengkak yang muncul pada kulit tubuh, contohnya setelah
digigit semut 277 "Apakah apa yang terjadi pada Parra Hiswara dialami juga oleh Yogi Sutisna?"
tanya Yogi Sutisna dalam hati.
Udara yang semula diam tiba-tiba bergerak membawa udara dingin. Yogi Sutisna
yang menengadah mencoba menandai bulan yang tepat berada di atas kepala terkejut
mendapati beberapa lembar mendung melintas. Tiba-tiba saja Yogi berharap-harap
cemas ketika berpikir, penderitaan luar biasa yang dialami sahabatnya akan berkurang
manakala mendung tebal menutupi.
Akankah itu terjadi"
Namun Yogi Sutisna segera mencuatkan alis ketika menyaksikan tontonan yang
mendebarkan jantung. Yogi Sutisna membaca adanya bahaya. Suara yang bersahut-
sahutan antara satu dengan lainnya yang hinggap di gendang telinganya jelas tak
boleh dianggap tidak menyimpan bahaya. Seekor dari pemilik suara bersahutan itu
bahkan terbang rendah dan terlihat nyata ujutnya. Melihat ujut itu menempatkan Yogi
Sutisna segera ingat pada apa yang diceritakan sahabatnya. Tidak hanya para kerbau,
bahkan sang raja hutan harimau memilih pergi menghindarinya.
Yogi Sutisna yang melihat bahaya itu bergegas dan bahkan berlari ke dalam mobil.
Yogi Sutisna punya kesempatan sejengkal lebih cepat karena sedetik setelah ia
menutup pintu seekor codot melayang turun menyambarnya. Yogi Sutisna segera
menyiagakan bedilnya. Kelelawar itu jumlahnya banyak sekali. Namun dugaan Yogi Sutisna itu ternyata
salah. Ketika ia mengintip, yang dilihatnya mewakili kata-kata amat sangat
banyak. Para codot berkepala mirip kepala anjing yang dua buah matanya nampak
kemerah-merahan itu beterbangan meninggalkan suara aneh mengerikan, beterbangan
saling-silang dengan kecepatan amat tinggi. Mrinding Yogi Sutisna melihat kebenaran apa yang
disampaikan sahabatnya. Binatang-binatang yang dilihat dalam mimpi itu kini hadir secara
nyata. Yogi Sutisna yang terpenjara dalam mobilnya tidak punya pilihan lain
kecuali tetap mendekam mengamati apa yang akan terjadi.
Di langit luas, lembar demi lembar mendung berarak ke arah selatan yang agaknya
datang dari arah laut di utara Jawa. Mendung yang paling tebal bahkan memayungi
Kebun Raya itu lebih dari lima menit lamanya. Dalam keadaan yang demikian,
ketika hilang hubungan antara cahaya bulan itu dengan sesuatu tak dikenal yang melekat
di telapak tangannya, Parra Hiswara merasa sedikit terbebas dari cekikan
menyesakkan napas yang mengunci lehernya.
Liar dan panik bukan kepalang Parra Hiswara mendapat kesempatan agak terbebas
dari himpitan yang serasa meremas dinding otak. Liar dan jelalatan suami
Madasari dalam memandang bulan purnama yang dibentengi mendung, keadaan yang membantu
mengembalikan akal warasnya. Para codot yang beterbangan dalam jumlah banyak
belum mencuri perhatian laki-laki itu.
"Mati aku," tersengal tarikan napas Parra Hiswara.
Gugup dan panik Parra Hiswara memerhatikan kulitnya yang berubah kasar mirip
orang berpenyakit sangat parah yang pernah ia lihat di Bali beberapa tahun
sebelumnya. Terheran-heran Parra Hiswara mendapati sesuatu yang tidak diketahui apa,
menggeliat- geliat kasar di telapak tangan kanannya. Andai saja benda tidak dikenal itu
berada di genggaman tangannya mungkin yang dilakukan adalah dengan mengibaskan
benda itu. Yang menjadi masalah benda itu berada di balik kulit di luar permukaan
dagingnya, tak mungkin membuang benda yang dianggapnya laknat itu.
278 Namun Parra Hiswara tidak perlu menimbang untuk menggaruk benda itu dengan
kasar. Yang muncul dalam pertimbangannya adalah bagaimana mengenyahkan benda
itu. Maka digaruk dan digaruk benda mirip ular itu dengan beringas, Parra Hiswara
bahkan berpikir merobek telapak tangannya. Akan tetapi benda apa pun itu sangat mungkin
ia seekor binatang bertaring, garukan kasar itu dilawannya dengan cengkeraman yang
kuat tembus ke tulang. Rasa sakit luar biasa itu tembus ke otak menguarkan kesakitan
yang bisa diyakini korban yang mengalami akan kehilangan kesadaran.
Akan tetapi meski sakitnya tidak alang-kepalang, Parra Hiswara tidak kehilangan
kesadarannya. Memperoleh perlawanan yang menyakiti itu Parra Hiswara tidak punya
pilihan lain, terpaksa menghentikan perbuatannya.
"Setan alas, diamput!" umpatnya kasar.
Dengan sekuat tenaga suami Mahdasari berasal dari Sumbawa itu berusaha untuk
tenang dan menguasai diri. Jelalatan ia mencari Yogi Sutisna yang akhirnya
ditemukan sedang meringkuk di dalam mobil. Parra Hiswara rupanya masih memiliki kesadaran
untuk mengingatkan Yogi Sutisna agar menjauh dari tempat itu. Dengan langkah
tertatih dan agak terseret Parra Hiswara mendekati mobil. Namun perhatian suami
Mahdasari terpecah oleh sesuatu yang semula tidak menarik perhatiannya.
Kalong-kalong itu! Para codot!
Codot, demikian orang menyebutnya. Binatang itu sudah jarang ditemukan di tanah Jawa namun hidup dengan jumlah
sampai ribuan di tanah Maros, Sulawesi. Ketika hewan
itu sudah lama tidak diketahui bagaimana kabarnya, maka kemunculannya dalam
jumlah besar memang layak mencuri perhatian. Sekuat tenaga Parra Hiswara
mengesampingkan rasa sakit yang dialami untuk menyempatkan memerhatikan binatang itu dengan
lebih jelas. "Mau apa mereka?" tanya Parra Hiswara pada diri sendiri.
Parra Hiswara berusaha menguasai diri, berusaha mengendalikan diri dari pengaruh
benda tidak dikenal di telapak tangannya. Akan tetapi bagaimana ia bisa
melakukan itu, kemunculan para codot yang beterbangan di sekitarnya merangsang
degup jantungnya. Parra Hiswara telah bertemu dengan para codot itu dalam mimpi, segenap codot
yang mengalami perubahan perilaku itu ternyata ada pengembalanya, seorang
perempuan yang memiliki mata tiga, dengan netra ke tiga terletak di keningnya. Kini binatang-
binatang itu hadir secara nyata di depan matanya, hadir ketika malam tengah
purnama, hadir ketika cahaya bulan memberi pengaruh mengerikan, hadir ketika geliat benda tidak
dikenal di telapak tangan yang ia yakini pasti sedang berusaha menguasai dirinya, hadir
ketika ia merasa kepalanya akan pecah.
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bulan sedang mencengkeramkan pengaruhnya akan tetapi bagai ada keberpihakan
yang kehadirannya juga nyata, bibit mendung yang mengalir deras dari arah utara
makin lama semakin banyak dan semakin menebal. Gelap yang ditimbulkan oleh
mendung itu menolong suami Mahdasari, sedikit melegakan tarikan napas dalam mengisi udara ke
paru-parunya. Himpitan yang nyaris merontokkan segenap tulang di tubuhnya
Parra Hiswara akhirnya mampu berpikir cukup jernih, dengan penuh perhatian ia
mencermati keadaan di sekitarnya. Yang pertama ia perhatikan adalah bulan di
langit. Parra Hiswara mengambil simpulan yang boleh diyakini, bahwa memang cahaya bulan
itulah yang menimbulkan rangsangan pada benda tak dikenal di telapak tangannya.
Parra Hiswara juga menyimpulkan, ketika cahaya bulan terhambat oleh mendung yang
tebal 279 maka pengaruh yang mencengkeramnya berkurang, reaksi alergi berasal dari benda
tak dikenal yang mengeram di telapak tangannya berkurang.
Parra Hiswara menyisihkan waktu mencermati kehadiran segenap codot yang
jumlahnya tidak mungkin dihitung. Para kelelawar berukuran besar yang lazim
disebut kalong itu beterbangan saling-silang bagai sambar-menyambar. Namun Parra Hiswara
juga melihat, para kelalawar raksasa itu juga menyebar tak hanya terpusat di
mana ia sedang berada. Codot itu bergelantungan hinggap di dahan-dahan namun sebagian
yang lain beterbangan bagai tanpa tujuan di atas pepohonan. Parra Hiswara
mengerutkan dahi mendapati sikap kelelawar itu tidak bersahabat, di antara
mereka ada yang melakukan
manuver kasar, menyambar tubuhnya dengan ancang-ancang lurus dari depan.
"Para kelelawar dalam mimpi itu," gumam Parra Hiswara.
Bahwa yang semula hadir menemuinya dalam mimpi, kini hadir secara nyata bisa
disimpulkan adanya keterkaitan. Apabila dalam mimpi itu ia bertemu dengan
seorang perempuan dengan kecantikan yang luar biasa, perempuan itu memiliki tiga buah
mata di mana satu di antaranya disamarkan di kening selalu terpejam dengan
bentuk seperti garis sebuah luka, perempuan yang memiliki binatang piaraan
kelelawar albino yang bentang
sayapnya tampak putih memplak 100.
Di puncak kegelisahannya Parra Hiswara berputar mencari-cari.
"Mana dia?" tanya Parra Hiswara pada diri sendiri.
Parra Hiswara layak untuk merasa curiga dan punya alasan untuk cemas.
"Mana kalong putih itu?" letupnya.
Dengan sapuan matanya Parra Hiswara mencermati pohon demi pohon, menyapu
setiap lengan dahan dan batang, barangkali di sana binatang yang mendadak
dibencinya itu memberinya tatapan mata penuh kebencian.
42. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka)
Sang waktu terus bergerak menusuk semakin malam. Bintang-bintang gemerlapan
di dalam gugusan Bima Sakti. Parameswara membawa kekecewaannya sambil berkuda
seperti tanpa arah. Ketika sang waktu menemaninya hingga melampaui tengah malam,
Parameswara memerintahkan kepada Kuda Sapu Angin untuk berhenti di tepi sebuah
sungai dengan air yang mengalir jernih. Waktu yang ada kemudian digunakan untuk
beristirahat, mencoba melupakan apa pun. Akan tetapi pikiran Parameswara
melayang ke mana-mana, wajah Nyai Panji Ragamurti seperti melekat di kelopak matanya,
mengikuti kemana pun gerak langkahnya. Juga Ratna Muninggar, seorang gadis yang seharusnya
dipanggilnya adik. Parameswara merasa sedih dan kecewa. Pemuda itu tidak mampu
mendamaikan diri, maka matanya membasah.
Ingatan Parameswara bergeser kepada Ken Rahastri. Parameswara merasa nyeri di
ulu hati. "Rahastri, sedang apakah kau saat ini?" bisiknya dengan segenap rindu. "Kalau
saja kau berada di sini Rahastri aku akan bercerita kepadamu betapa orang tua
kandungku menganggapku binatang. Dan itulah alasan yang mereka gunakan untuk membuangku."
100 Putih memplak, jawa, penyangatan untuk kata putih, artinya putih sekali.
280 Sebuah bintang terlihat jatuh, cahayanya muncrat membentuk garis lurus lenyap
entah ke mana. Suasana yang sepi itu menyebabkan Parameswara semakin ngelangut merenungkan
perjalanan hidupnya. Apabila teringat kampung halaman yang jauh di bumi
Blambangan, sedihnya begitu kental. Namun sebaliknya jika teringat Istana Kepatihan,
kemarahannya berkobar dan butuh penyaluran. Oleh karena itu tiba-tiba saja
Parameswara berteriak amat keras. Beban yang menggumpal dalam dadanya terasa amat sesak, tak
tertahankan lagi dan membutuhkan penyaluran. Sapu Angin yang berbaring terkejut karenanya.
Parameswara menghalau resah gelisahnya, berusaha menenteramkan diri.
"Maafkan aku Sapu Angin, aku sekadar berteriak," ucap pemuda itu menenangkan
kudanya yang kaget. Meski Parameswara sudah berusaha namun amat sulit untuk bisa menggapai tidur.
Kantuk serasa mengganduli kelopak matanya, akan tetapi pikirannya terus melayang
tidak mau diajak beristirahat. Parameswara mengumpulkan ranting-ranting kering
dan membuat perapian untuk menghangatkan udara yang sedang digelut bediding101
sekaligus mengusir nyamuk-nyamuk yang beterbangan. Api yang dibuatnya rupanya
mengundang para laron yang bertindak bodoh. Laron itu terbang mendekat dan ambyur ke dalam
api tanpa penyesalan secuil pun, bahkan ketika tubuhnya hangus.
Perjalanan yang ditempuh pemuda itu di keesokan harinya semakin membuka mata
pemuda itu,betapa kehidupan rakyat yang sengsara menyebar ke mana-mana.
Ketegangan yang terjadi antara Kediri dan Ganter menyebabkan kesulitan bagi rakyat kecil.
Perang selalu sulit dimengerti, mengapa orang harus melakukannya padahal sudah
jelas perang menyebabkan orang-orang kecil yang tak bersalah menjadi korbannya. Prabu
Kertajaya di Kediri berselisih pendapat dengan para pandita, para wasi dan para biksu,
akan tetapi kemudian rakyat kecil yang harus menyangga bebannya.
Parameswara terus berkuda. Hanya sesekali Parameswara berhenti untuk memberi
kesempatan pada kudanya merumput dan minum sepuasnya. Namun sebenarnya Sapu
Angin adalah kuda yang luar biasa, kuda itu sanggup diajak berkuda sepanjang
hari tanpa berhenti dan hanya beristirahat di malam hari.
Seiring waktu berlalu beberapa hari maka jarak yang jauh yang ditempuhnya kian
dekat dengan yang dituju. Setelah beberapa lama Parameswara berkuda melewati
jalanan berbukit-bukit dan menyusur tepian hutan, akhirnya sampai di sebuah
perkampungan. Parameswara berhenti untuk mendapatkan sebuah keterangan.
"Selamat sore," sapa Parameswara kepada seorang lelaki kurus berusia mendekati
setengah abad yang tengah mencangkul di pekarangan rumahnya.
"Ohhh, selamat sore," jawab lelaki tua itu.
Lelaki tua itu ternyata ramah.
"Maafkan aku jika mengganggu," kata Parameswara. "Aku sedang menempuh
perjalanan jauh. Mungkin paman bisa membantuku karena aku sedang membutuhkan
petunjuk arah yang harus aku tempuh."
Lelaki tua itu meletakkan cangkul dan sabitnya.
"Bantuan apa yang bisa kuberikan, anak muda?" tanyanya.
"Namaku Parameswara paman. Aku berasal dari Blambangan. Letak Blambangan
ada di ujung timur Pulau Jawa ini, berseberangan dengan Pulau Bali. Aku saat ini
sedang 101 Bediding, jawa, udara di musim yang amat dingin
281 menempuh perjalanan ke suatu tempat bernama Panjaringan dan Padang Karautan.
Bisakah paman membantu menunjuk arah, ke mana aku harus pergi."
Meski tidak kehilangan keramahannya lelaki tua itu mencuatkan alisnya. Kaget
oleh pertanyaan itu. "Kau akan pergi ke Karautan?" tanya lelaki tua itu.
Terlihat jelas rasa penasaran yang mencuat dari bahasa wajahnya.
"Benar paman," jawab Parameswara penuh keyakinan.
Lelaki tua itu mendekat. Telinganya kurang begitu tajam untuk bisa menangkap apa
yang diucapkan lawan bicaranya. Lelaki tua itu tidak hanya mendengar akan tetapi
juga memerhatikan bagaimana gerak bibir pemuda di depannya.
"Untuk keperluan apa kaupergi ke tempat itu anak muda?"
Pertanyaan itu tampaknya cukup mengganggu, bukan karena orang itu terlampau
usil dengan urusan orang lain, tetapi memang untuk apa Parameswara pergi ke
Karautan. Parameswara merasa memang tak punya urusan apa pun dengan tempat bernama Padang
Karautan. Jauh ketika ia berangkat dari Blambangan, nama Padang Karautan sama
sekali tidak ada dalam rencana perjalanannya.
Namun Parameswara tersenyum.
"Aku tak mempunyai keperluan apa pun dengan tempat yang disebut Karautan itu.
Hanya saja tempat itu sudah begitu terkenal sampai di Blambangan. Mumpung aku
pergi ke Panjaringan, siapa tahu bisa lewat Karautan," jawab Parameswara sekenanya.
Lelaki tua itu mengunyah jawaban itu dengan waktu sedikit lebih lama. Ia merasa
aneh karena ada orang yang tertarik pada Karautan sementara bagi orang lain nama
itu justru menyebabkan ketakutan. Orang yang mampu berpikir waras menghindarinya,
hanya orang yang tidak waras pikirannya yang justru tertarik, padahal tidak
waras pikiran itu hanya kata lain dari gila.
"Kalau kau mau mendengar saranku, sebaiknya jangan singgah ke Karautan. Terus
saja ke Panjaringan. Kalau Panjaringan dengan berkuda dua hari dua malam kau
akan sampai di tempat yang kautuju itu, terletak di pesisir laut selatan."
Pesisir laut selatan" Ternyata sedemikian jauh jarak yang harus ditempuh.
Setelah beberapa hari yang lalu ia berada di Pesisir Ywangga Parabalingga, tempat itu
ada di pesisir di utara, kini harus ke pesisir selatan, dari laut Jawa di utara yang
membentang luas ke laut selatan yang juga membentang luas.
Namun pada dasarnya, jarak sejauh apa pun memang akan ditempuhnya.
"Sebenarnya ada apakah di Padang Karautan itu?" tanya Parameswara yang makin
penasaran. Lelaki tua itu rupanya pernah pergi ke Padang Karautan itu sebabnya ia menyimpan
kenangan yang tersimpan rapi di lipatan kepalanya. Kenangan yang menakutkan dan
ia tidak ingin datang ke tempat itu lagi, tempat yang menurutnya jauh lebih
mengerikan dari neraka. Hanya hantu yang tinggal di tempat itu.
"Karautan, adalah tempat yang amat mengerikan anak muda. Tempat itu semula
berupa bulak panjang yang tidak terurus. Konon ceritanya Batari Durga kesengsem
dengan tempat itu. Oleh Sang Batari tempat itu dijadikan tempat persemayamannya.
Hantu-hantu dan jin prayangan102 boyongan dan menempati tempat itu. Akibatnya,
bulak panjang yang semula milik para petani dan ditanami berbagai tanaman
berubah menjadi tempat yang dijauhi orang. Kalau malam hari, hantu-hantu keluar dan memamerkan
102 Prayangan, jawa, sebutan untuk para dan segala macam hantu
282 suaranya yang melengking menjerit-jerit tidak keruan. Berbagai binatang buas
hidup di sana. Jangan tanya berapa jumlah ular yang hidup di tempat itu, ribuan
banyaknya. Di tempat itu pula Sang Batari melahirkan anaknya yang kemudian dirawat oleh para
jin dan setan. Sudah banyak orang mendengar jeritan bayi di padang Karautan
itu." Parameswara diam mencoba menggambar keterangan yang diterimanya itu. Jika
Karautan sampai disebut padang tentulah merupakan sebuah tempat yang amat luas
tetapi tak bertuan. Rumput dan Ilalang mungkin tumbuh dengan subur di tempat
itu. Namun soal Batari Durga dan hantu-hantu, Parameswara merasa sangsi apakah benar"
"Sebuah cerita penuh omong kosong," gumam Parameswara dalam hati.
Lelaki tua itu ternyata orang yang baik hati. Lelaki tua itu tidak keberatan
ketika Parameswara meminta satu rinjing103 rumput untuk kudanya. Bahkan bukan sekadar
se rinjing rumput, tetapi juga makanan tambahan berupa adonan dedak dan lima
butir telur ayam. Bagi Sapu Angin ramuan semacam itu menjadi jamu yang akan
memulihkan kesegaran tenaganya. Untuk apa yang dilakukan lelaki tua itu Parameswara memberi
imbalan uang ala kadarnya yang diterimanya dengan senang hati, apalagi lelaki
tua itu beranggapan jumlah uang itu sangat banyak.
Setelah beberapa saat Parameswara kembali melanjutkan perjalanan panjangnya.
Khasiat dari jamu itu benar-benar membuat kudanya berubah. Kuda itu berderap
semakin kencang dan tidak kenal lelah, terus melaju membelah malam yang kembali datang.
Di langit seekor elang terbang sangat tinggi, di tempat di mana ketinggiannya
bahkan jauh lebih tinggi dari awan, namun meski setinggi itu ketajaman matanya
mampu menangkap gerak langkah kudanya dengan amat jelas.
Berbekal ancar-ancar keterangan dari lelaki tua yang baik hati itu, dan dengan
beberapa kali meminta petunjuk arah pada orang yang ditemuinya maka dengan tidak
mengalami kesulitan Parameswara sampai di Padang Karautan saat hari mendekati
saat datangnya pagi. Parameswara tak bisa menyembunyikan kekagumannya, penggambaran
laki-laki tua yang baik hati itu memang benar seperti keadaannya. Parameswara
menebar pandang dari ujung ke ujung, namun yang terlihat sampai di ujung batas
langit hanyalah padang rumput yang amat luas. Pantas sekali jika orang mempunyai
gambaran mengerikan, tempat macam itu layak menjadi persemayaman Betari Durga.
Benar pula apa yang dikatakan lelaki tua itu, padang rumput semacam itu, tentu
banyak dihuni oleh berbagai binatang. Dari kejauhan terdengar suara lolong
serigala yang menyayat, yang disahut oleh serigala lainnya. Barangkali kehadiran
Parameswara telah mereka ketahui, dan dengan segera disebarluaskan kepada segenap serigala yang
lain. Sangat pantas kalau tempat itu dituduh sebagai tempat yang menakutkan dan
dijauhi orang. Pantas pula jika tempat itu diyakini sebagai tempat membuang anak,
seperti yang dilakukan Batari Durga yang entah melakukan selingkuh dengan siapa.
"Seseorang tidak dikenal telah meninggalkan pesan untukku agar aku datang ke
tempat ini untuk menyelamatkan seseorang yang tidak kuketahui siapa pula.
Siapakah yang harus aku selamatkan" Rasanya menggelikan kalau aku harus menyelamatkan
orang di sini, tempatnya saja seperti ini. Siapa yang akan mau tinggal di tempat
seperti ini?" Parameswara berpikir keras. Namun Parameswara segera terlonjak saat mengambil
simpulan, bukankah penjahat akan lebih suka menggunakan tempat seperti ini untuk
103 Rinjing, jawa, wadah rumput yang terbuat dari anyaman bambu. Rinjing
sekarang sudah tidak ada tergeser oleh peralatan yang terbuat dari plastik.
Sedikit lebih kecil dari rinjing bernama tompo. Kosa kata rinjing untuk
selanjutnya jarang sekali dipakai.
283 bersembunyi" Parameswara segera menebarkan pandangan menjelajah ke segala arah.
Akhirnya Parameswara memang menemukan sesuatu. Diperhatikannya arah selatan,
jauh ke seberang dengan cermat. Tampak ada nyala api yang berasal dari sana.
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana kalau kita menyeberangi padang ilalang ini, Sapu Angin" Apakah
kauberani?" tanya Parameswara kepada kudanya.
Akan tetapi Sapu Angin meringkik dengan menggarukkan kaki kanannya ke depan.
Parameswara tahu, jawaban itu berarti Sapu Angin tidak berani.
"Apa boleh buat, kita harus mengitari tempat ini Sapu Angin, kita menyusur ke
timur dan ke selatan. Ayo."
Sapu Angin bergerak pelahan. Namun entah mengapa kuda itu tiba-tiba berhenti.
Ada sesuatu yang menyebabkan kuda itu tidak mau menjalankan perintah
Parameswara. Parameswara segera tanggap atas keadaan yang ganjil itu.
"Ada apa?" tanya Parameswara yang merasa heran melihat perilaku yang aneh itu.
"Kudamu tahu, di arah timur ada bahaya anak muda," terdengar sebuah jawaban.
Parameswara terlonjak oleh jawaban yang tak terduga itu. Anak Ki Ajar Kembang
Ayun itu memerhatikan dengan lebih cermat. Akhirnya pemilik suara itu muncul
dari antara belukar rumput alang-alang setinggi orang. Bahwa orang itu bisa hadir
dalam jarak yang sedemikian dekat tanpa diketahuinya, menunjukkan betapa orang
itu bukan orang sembarangan. Parameswara memandang arah timur karena dari sana sejenak kemudian
terdengar suara binatang mengaum. Dari suaranya yang amat keras dan menggelegar,
Parameswara bisa membayangkan betapa besarnya harimau itu. Kembali perhatian
Parameswara terpulang kepada orang yang baru saja muncul dari semak belukar itu.
Parameswara memerhatikan pakaian orang itu lebih cermat.
"Tuan seorang Brahmana?" tanya Parameswara.
Orang berjubah itu tersenyum.
"Ya," jawab orang itu.
Mengetahui orang yang berada di hadapannya ternyata seorang Brahmana, orang
yang menyerahkan hidupnya untuk kedamaian, Parameswara segera meloncat turun
dari kudanya dan memberikan penghormatan sebagaimana seharusnya. Parameswara segera
merapatkan kedua telapak tangannya yang lalu dibawa ke tengah dada sambil
sedikit membungkuk dengan agak menekuk tubuh.
"Hormatku Tuan," kata Parameswara.
Brahmana itu tersenyum. "Orang memanggilku Lohgawe. Namamu siapa anak muda?" tanya Brahmana yang
memperkenalkan diri sebagai Lohgawe itu.
Mendengar nama itu maka sekali lagi Parameswara memberikan penghormatan.
Dari ayahnya Ki Ajar Kembang Ayun, Parameswara pernah mendengar kebesaran nama
Brahmana Lohgawe, seorang Brahmana Jambu Dwipa yang telah menyerahkan hidupnya
untuk kedamaian dunia, memayu hayuning bawono104, melepaskan diri dari segala
macam urusan duniawi. Menurut Ki Ajar Kembang Ayun melalui dongengnya yang
dituturkan saat ia masih bocah, boleh jadi Brahmana Lohgawe adalah satu di
antara dua orang yang bisa terbang. Orang pertama adalah Empu Barada yang dengan
kemampuannya terbang di angkasa beralas pelepah daun keluwih mengucurkan kendi
yang dilakukan itu dalam rangka memenuhi permintaan Prabu Airlangga yang berniat
104 Memayu hayuning bawono, jawa, berserah hidup untuk kedamaian dunia
284 membelah negara menjadi dua, menjadi Janggala dan Kediri. Selanjutnya orang
kedua yang bisa terbang adalah Lohgawe, yang konon juga menggunakan daun keluwih.
"Namaku Parameswara, Tuan Brahmana Logawe. Aku berasal dari Perguruan
Kembang Ayun di Blambangan," jawab Parameswara.
Jawaban itu ternyata menarik perhatian Brahmana Lohgawe.
"Apakah kau murid Padmanaba?" tanya Brahmana Lohgawe itu dengan salah satu
alis diangkat. Parameswara mengangguk membenarkan.
"Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba itu ayahku, Tuan Brahmana."
Brahmana Lohgawe tersenyum senang, dalam siraman cahaya pagi yang temaram,
tampak senyum lelaki berjubah itu begitu sejuk.
"Ayahmu adalah salah seorang sahabatku yang terbaik. Bagaimana dengan kabar
kesehatannya anak muda" Padmanaba itu masih hidup bukan?"
Parameswara tersenyum senang. Bagaimanapun Parameswara tak menduga kalau di
tempat yang sedemikian jauh dari Blambangan, ada orang yang mengenal Ki Ajar
Kembang Ayun bahkan menganggapnya sebagai seorang sahabat yang baik, sebagaimana
ia tidak menduga di tempat yang amat terpencil itu justru berkenalan dengan
orang yang bukan sembarangan.
"Ayahku Ki Ajar Kembang Ayun selalu berada dalam lindungan Hyang Widhi,
Tuan Brahmana. Saat ini Ki Ajar masih tinggal dan berada di perguruan,
memberikan bimbingan kepada segenap siswa perguruan," jawab Parameswara.
Brahmana Lohgawe melangkah lebih dekat sambil menyapu pandang ke padang
ilalang yang luasnya nyaris tanpa tepi itu. Brahmana yang menoleh ke arah timur
itu mendapati cahaya yang membara, semburat membakar apa saja.
"Kau sendiri, apa yang sedang kaulakukan di sini" Apakah ada sesuatu di Padang
Karautan ini yang menarik perhatianmu?"
Pertanyaan Brahmana Lohgawe itu mengingatkan Parameswara pada sebuah pesan
aneh yang diterimanya dari orang yang tak diketahui jati dirinya. Namun pada
Brahmana Lohgawe Parameswara tak bermaksud menyembunyikan keperluannya.
"Ada sebuah pesan yang tidak aku ketahui berasal dari mana. Pesan itu memintaku
datang ke tempat ini karena ada orang yang sedang membutuhkan pertolongan,"
jawab Parameswara. Brahmana Lohgawe termangu, jawaban Parameswara menarik perhatiannya.
"Kau masih belum tahu siapa yang kautolong anak muda?"
Parameswara tersenyum dan menggeleng.
"Belum!" jawabnya.
Brahmana Lohgawe bergeser dan berdiri di atas batu besar dan menyapu pandang
ke segala penjuru. Luas padang Karautan dengan segala keliaran penghuninya
rupanya amat menyita perhatian Brahmana Lohgawe yang tak habis-habisnya mengagumi dan
tak kunjung memahami mengapa jejak kehendak para Dewa justru muncul di tempat aneh
macam itu. "Padang Karautan ini, pada mulanya berasal dari sebuah bulak amat luas," kata
Brahmana Lohgawe, "luasnya hampir empat atau lima buah desa yang digabung
menjadi satu, awalnya berupa wilayah pertanian yang amat subur namun karena telah lama
tidak terurus, rumput liar tumbuh tidak terkendali, semuanya itu telah mengubahnya
menjadi tempat yang sangar dan ditakuti orang."
285 Parameswara segera teringat kepada cerita yang belum lama didengarnya dari salah
seorang penduduk yang ia singgahi di sebuah padukuhan terpencil sebelum tiba di
tempat itu tentang apa yang yang dilakukan Batari Durga.
"Benarkah Batari Durga telah mengubah Padang Karautan hingga menjadi bentuk
seperti sekarang ini?" pancing Parameswara.
Brahmana Lohgawe tersenyum. Kemudian tertawa. Apa yang ditanyakan pemuda
yang baru dikenalnya itu terasa lucu.
"Siapa yang mengarang cerita seperti itu anak muda?" tanya Brahmana Lohgawe.
Suara harimau mengaum di kejauhan mencuri perhatian Parameswara, namun entah
mengapa di arah yang lain ribuan ajak 105 bersahut-sahutan tidak terbungkam
mulutnya. "Bukankah banyak orang yang mengatakan begitu?" Parameswara balik bertanya.
Brahmana Lohgawe makin terkekeh seperti ada sesuatu yang menggelikan. Ketika
sedang geli matanya menyipit dan perutnya bergerak-gerak aneh.
"Batari Durga membuang anaknya di tempat ini boleh juga cerita itu. Cerita macam
itu cukup baik untuk menakut-nakuti anak kecil yang mengalami kesulitan untuk
tidur," kata Brahmana Lohgawe sambil masih tertawa terkekeh.
Parameswara penasaran ingin tahu bagaimana cara pandang orang itu.
"Jadi?" tanya Parameswara, "cerita macam itu tak benar Tuan Brahmana Lohgawe"
Kalau tidak benar" Mengapa Tuan berada di tempat ini pula" Jika sampai Seorang
Brahmana seperti Tuan mengamati tempat ini, pasti karena sesuatu yang amat
menarik." Brahmana Lohgawe menengadah memandang langit dan memerhatikan gemerlap
dari salah satu bintang. Brahmana Lohgawe mengubah sikapnya menjadi bersungguh-
sungguh tidak lagi terlalu mengumbar tawa.
"Kaubenar," jawab Brahmana Lohgawe. "Aku telah berada di tempat ini beberapa
bulan lamanya, mengamati sepak terjang seorang pemuda yang aneh. Seorang pemuda
yang sungguh luar biasa. Pemuda itu menggunakan tempat ini sebagai
persembunyian. Ia menjadi sahabat dari semua binatang yang hidup di tempat ini, mulai dari ular,
semut sampai harimau. Mungkin benar apa yang dikatakan orang, pemuda itu terlahir dari
perselingkuhan Batari Durga. Konon katanya, Batari Durga berselingkuh dengan
anaknya sendiri." Parameswara terkejut. Cerita tentang Batari Durga, tentang Batara Narada, Batara
guru dan para Dewa yang lain sudah banyak didengarnya. Namun tentang Durga yang
berselingkuh dengan anak kandungnya, Parameswara baru mendengar pendapat itu.
"Siapakah anak kandung Batari Durga yang menyelingkuhi Ibunya sendiri itu, tuan
Brahmana?" Parameswara bingung melihat Brahmana Lohgawe tiba-tiba tertawa.
"Namanya Kala. Batara Kala."
Parameswara mengerutkan dahi. Sosok Batara Kala tentu juga sudah ia ketahui
dengan baik. Saat masih bocah, Parameswara tidak berani berada di sawah tengah
hari yang terik karena ada pendapat yang menyebut, siapa saja orang yang pada tengah
hari yang terik keluyuran di tengah sawah maka orang itu akan menjadi santapan Batara
Kala. Kala berhak memakan mereka termasuk orang-orang yang belum diruwat.
Kenangan itu menyebabkan Parameswara tersenyum.
Dari jauh arah timur, terdengar suara mengaum sangat dahsyat. Itu rupanya yang
menyebabkan Sapu Angin cemas.
105 Ajak, jawa, anjing liar
286 "Nah, itu juga salah satu dari sahabatnya," Brahmana Lohgawe menambahkan.
Mencuat alis Parameswara.
"Siapakah pemuda itu dan mengapa Tuan menyebutnya sebagai seorang pemuda
yang luar biasa?" desak Parameswara.
Kembali perhatian Parameswara terpecah oleh suara puluhan ekor ajak yang saling
bersahutan antara satu dengan lainnya, suara yang gaduh sekali. Seekor harimau
yang marah dan mungkin terganggu kembali mengaum dengan dahsyatnya namun entah oleh
alasan apa, para ajak itu tidak peduli.
Parameswara mengembalikan perhatiannya pada Brahmana Lohgawe.
"Nama pemuda itu Ken Arok," jawab Sang Brahmana.
Parameswara memahat nama itu ke dinding benaknya.
"Ken Arok?" ulang Parameswara dengan cermat seperti takut salah.
Brahmana Lohgawe mengangguk.
"Ya. Itulah nama pemuda itu. Keterangan yang untuk sementara aku peroleh adalah
bahwa Ken Arok adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang yang utuh. Ia
berasal dari desa Pangkur, ayahnya bernama Gajah Para dan Ibunya Ken Endok. Ayah
Ken Arok itu telah tiada ketika ia masih berada dalam kandungan. Para Dewa di langit
menyimpan banyak rahasia terkait pemuda bernama Ken Arok itu, pemuda yang ternyata bukan
orang sembarangan." Semakin terpancing rasa ingin tahu anak angkar Ki Ajar Kembang Ayun.
"Dan apanya yang luar biasa Bapa Brahmana?"
Brahmana Lohgawe termangu seperti karena ada sesuatu yang mengganjal di dada.
"Beberapa bulan yang lalu," kata Brahmana Lohgawe, "aku lewat tepian tempat ini,
sekadar berjalan untuk mengikuti ke mana gerak langkah kakiku. Aku melihat
sebuah gejala alam luar biasa. Tempat mengerikan ini kejatuhan sesuatu yang bercahaya
dari langit. Warnanya kebiru-biruan berpendar, menerangi segenap sudut padang
Karautan, dari sebelah selatan sampai utara, timur sampai ke barat. Untuk mengetahui apa
yang terjadi, maka aku putuskan tinggal di tempat ini beberapa hari lamanya."
Parameswara memandang wajah Brahmana Lohgawe dengan tak berkedip. Rasa
ingin tahunya semakin menjadi.
"Dan apakah yang Sang Brahmana peroleh?" Parameswara memotong.
Parameswara meniru apa yang dilakukan Brahmana Lohgawe menandai barangkali
ada sesuatu yang aneh di padang rumput yang amat sangat liar itu. Namun rupanya
untuk bisa melihat keanehan itu harus menggunakan ketajaman mata hati.
"Aku melihat seorang pemuda luar biasa," kata Brahmana Lohgawe, "umurnya
sebaya denganmu. Rupanya ia membawa pertanda kasih dari sang penguasa langit,
hal yang sungguh aneh dan sulit dicerna akal. Mengapa bisa demikian, karena pemuda
itu ternyata hanya seorang maling dan sesekali melakukan perbuatan tak terpuji,
merampok. Pemuda itu menggunakan Karautan ini sebagai persembunyiannya. Baginya tidak ada
tempat yang paling aman dan memenuhi kebutuhan ketenteraman hatinya kecuali
tempat ini, tempat yang paling menakutkan di seluruh jagad raya ini."
Parameswara manggut-manggut. Parameswara merasa penggambaran Brahmana
Lohgawe itu agak berlebihan.
"Apakah ada hubungan antara pemuda Ken Arok itu dengan gejala alam yang Tuan
Brahmana lihat?" Parameswara mengurai pertanyaan.
Brahmana Lohgawe mengangguk.
287 "Ada," jawabnya tegas. "Pemuda bernama Ken Arok itu jelas membawa pertanda
kasih dari para Dewa. Meski ia maling kecil atau perampok akan tetapi pertanda
gaib itu terlihat jelas padanya berupa cahaya tipis berpendar yang menyelimuti
tubuhnya." Parameswara kian penasaran. Jika ada seorang pemuda membawa pertanda kasih
dari para Dewa, pemuda macam apakah itu" Juga kemampuan macam apakah yang
dimiliki pemuda itu. "Tuan Brahmana Lohgawe," menyela Parameswara, "jika ada pemuda macam itu di
tempat ini, juga ada Brahmana Lohgawe di sini, kemudian mengapa ada seseorang
tidak dikenal memintaku datang ke sini untuk menolong seseorang. Seseorang siapa pula
itu aku bahkan belum tahu."
Brahmana Lohgawe tersenyum. Rupanya Brahmana Jambu Dwipa itu memiliki
pendapatnya sendiri. "Menurutku memang ada orang yang harus kautolong anak muda. Bahkan kau
harus bertindak cepat," jawab Brahmana Lohgawe.
Sebuah jawaban yang masih menyimpan sejuta tanya.
"Aku harus bertindak cepat?" tanya Parameswara.
Brahmana Lohgawe berbalik menghadap ke selatan. Parameswara mengikuti
contoh yang diberikan Brahmana Lohgawe.
"Kaulihat cahaya di sana itu," kata Brahmana itu, "ada beberapa perampok lain
yang tinggal di sana. Menurutku, mereka itulah yang saat ini berada dalam
bahaya. Jika sampai orang-orang itu bertemu dengan Ken Arok, maka habis mereka
semua." Jawaban itu membuat Parameswara termangu, pemuda itu malah bingung sulit
memahami apa yang disampaikan Brahmana bertubuh gemuk itu. Menolong itu tentulah
ada hubungannya dengan pihak yang memang membutuhkan pertolongan. Menolong
perampok, Parameswara merasa petunjuk itu aneh sekali. Merampok adalah perbuatan
yang sangat jahat apalagi bila dibarengi dengan pemerkosaan segala, justru
perampok itu harus ditumpas.
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi, aku harus menyelamatkan perampok?" desak Parameswara, "bukankah sudah
selayaknya jika mereka ditumpas saja?"
Brahmana Lohgawe memandang Parameswara dengan tatapan mata tajam.
"Janganlah kau melihat persoalan ini dengan cara pandang seperti itu anak muda.
Sebaiknya, ikuti saja petunjukku ini. Sekarang pergilah ke sana, selamatkan
perampok perampok itu dari kematian yang mengerikan."
Parameswara balas memandang Brahmana Lohgawe dengan tatapan mata penuh
bermuatan rasa bingung. Namun Parameswara merasa orang yang berada di depannya
memang bukan orang sewajarnya. Kini Parameswara tengah berhadapan dengan seorang
Brahmana yang tidak mempunyai sikap permusuhan dengan siapa pun, bahkan di balik
sikapnya yang seperti itu, mungkin bersembunyi sesuatu.
"Apakah sekarang juga aku harus mengusir mereka Tuan Brahmana Lohgawe?"
tanya Parameswara. "Ya. Jangan tunda lagi," jawab Brahmana Lohgawe, "berkudalah dengan menyusur
tepian padang ilalang ini melalui sebelah barat. Di sana kau bakal menemukan
jalan yang membelok ke arah selatan membelah padang ini. Namun berhati-hatilah
karena banyak ular di tempat itu."
Masih dengan diganduli tanda tanya, Parameswara mengikuti saran dan petunjuk
Brahmana Lohgawe itu. Tidak sebagaimana biasa kuda Sapu Angin tidak berani
berderap 288 terlampau kencang, sesekali Kuda Sapu Angin malah berhenti. Parameswara terpaksa
memerhatikan ke depan. Setelah mencermati dengan seksama Parameswara akhirnya
tahu apa yang menyebabkan kudanya ketakutan.
"Gila, ular, besar sekali," desis pemuda itu.
Sebenarnyalah di depan tengah menghadang seekor ular yang cukup besar tengah
melingkar, setidak-tidaknya ular sebesar itu tentu sanggup menelan seorang
manusia. Jika ular itu membelit tubuh kuda Sapu Angin maka tulang belulangnya
bisa remuk. "Kita terpaksa menghindar Sapu Angin, carilah jalan lain," kata Parameswara.
Sapu Angin yang diam dengan hati kecut itu kemudian melangkah lagi, membelok
ke arah kanan. Parameswara melihat di arah depan, kuda yang diam melingkar itu
ikut bergerak pula, agaknya ular besar itu berniat menyergapnya dan menjadikan
dirinya sebagai santapan. "Cepatlah, Sapu Angin kita harus menghindar," kembali berkata Parameswara.
Apa boleh buat Parameswara terpaksa mencari jalan lain lagi. Dari ukuran ular
yang sedemikian besar itu Parameswara mendapatkan gambaran yang lebih rinci bagaimana
dan binatang apa saja isi padang ilalang yang amat luas itu. Juga dari arah
timur, lagi-lagi terdengar serigala melolong bersahutan, seolah binatang berkaki
empat berbulu loreng itu tengah mengumumkan daerah yang menjadi wilayah
kekuasaannya. Di arah yang lain
lagi terdengar suara mengaum lebih dahsyat, siapa lagi kalau bukan sang penguasa
hutan. Suaranya yang menggelegar itu seketika membungkam segenap jerit dan lolong
serigala. Bahkan para serigala itu bubar berhamburan mendengar suara auman yang ternyata
amat dekat itu, rusak pula wilayah kekuasaannya. Malang bagi seekor serigala yang
karena begitu gugup, berlari ke arah yang salah justru mendekati harimau besar itu.
Lengkingnya terdengar menyayat ketika harimau besar itu menerkam dan mencabik-
cabik tubuhnya. Parameswara adalah pemuda yang pemberani, tegar dalam menghadapi keadaan
apa pun. Keluar masuk hutan lebat yang ada di sekitar Perguruan Kembang Ayun
sudah menjadi santapannya sehari-hari, jika berburu binatang untuk memenuhi kebutuhan
daging, Parameswara bisa sampai berhari-hari lamanya. Parameswara sama sekali
tak gentar menghadapi keadaan seperti itu.
Namun di Karautan itu, Parameswara merasa miris.
Wilayah yang bukanlah hutan belukar liar, di mana sejauh mata memandang yang
tampak hanya padang ilalang namun justru menumbuhkan rasa ngeri yang amat
kental. Seolah benar apa yang diyakini para penduduk, tempat itu menjadi tempat yang
sangar akibat Batari Durga membuang anak, buah selingkuhnya ke tempat itu.
"Keparat," tiba-tiba saja Parameswara yang berkuda itu mengumpat.
Parameswara teringat pada asal-usul jati dirinya sendiri.
"Ayo Sapu Angin, agak lebih kencang," ucap pemuda itu sambil menggerakkan
kendali kudanya. Jarak yang ditempuh ternyata bukanlah jarak yang pendek yang masih diperparah
lagi dengan gerak yang tersendat. Macam-macam binatang berbahaya yang keberadaan
mereka bisa ditandai dengan jelas oleh Sapu Angin. Akan tetapi Kuda Sapu Angin
yakin Parameswara adalah orang yang bisa diandalkan, yang pasti sanggup menghadapi
bahaya sebesar apa pun. Setelah beberapa saat lamanya perjalanan ditempuh, Parameswara makin mendekati
tempat yang dituju. Rupanya perapian yang terlihat sebelumnya tidaklah tepat
berada di tengah padang Karautan namun lebih agak ke tepi berbatasan dengan
perkampungan 289 yang telah kosong ditinggalkan penduduknya. Parameswara menemukan sebuah rumah
kosong yang bisa digunakan mengamankan kudanya. Parameswara memerhatikan bilik
rumah kosong itu yang agaknya cukup terlindung.
"Kau aman di sini," bisik Parameswara, "bahkan ular pun tidak akan bisa masuk.
Tenang saja, aku pasti kembali. Sekarang aku akan masuk lagi ke padang alang-
alang itu untuk melihat ada siapa di sana."
Parameswara merasa yakin tempat berlindung untuk Sapu Angin sudah cukup aman
kecuali yang datang adalah harimau besar yang sanggup menjebol dinding sirap
dari kayu jati yang cukup tebal. Namun Parameswara menakar, kecil kemungkinan
itu terjadi. Dengan mengendap-endap Parameswara kembali memasuki lebat Padang Karautan
dan mendekat sumber api. Dari tempatnya Parameswara melihat beberapa buah gubuk
yang dibangun dengan cara khusus. Untuk supaya aman dari ular atau binatang lain
gubuk-gubuk itu ternyata dibangun cukup tinggi dari tanah bertumpu pada tiang-
tiang bambu. Perapian yang dibuat di beberapa tempat sudah cukup untuk mengusir para
ular, sementara jika yang datang adalah harimau, puluhan batang anak panah bisa
melukai binatang bertaring itu. Mungkin belajar dari pengalaman, para raja hutan tidak
ada yang berani mendekat.
"Saat keluar dinding batas Kotaraja aku dapatkan pesan dari orang yang tidak aku
kenal agar aku pergi ke Padang Karautan untuk menyelamatkan seseorang. Siapa
orang yang menyuruhku, maupun siapa orang yang harus kutolong sama-sama tidak
kuketahui. Lalu di sini aku bertemu dengan Brahmana Lohgawe. Anehnya Brahmana Lohgawe
justru memintaku menyelamatkan perampok-perampok itu dari keganasan pemuda aneh
bernama Ken Arok. Bagaimana ini?" pikir Parameswara.
Akhirnya Parameswara berhasil melihat dengan cermat. Terdapat beberapa buah
gubuk yang dibangun di tempat itu. Beberapa perapian terus menyala karena dijaga
seseorang yang berjalan mondar-mandir sambil memerhatikan keadaan.
"Tentu ada beberapa orang yang tidur di dalam gubuk itu," desis Parameswara pada
diri sendiri. Parameswara bahkan bingung tak mengerti bagaimana harus bertindak. Permintaan
Brahmana Lohgawe amat sulit diterjemahkan. Untuk menolong perampok itu saja
sudah aneh, lalu bagaimana cara mengerjakan, itu tentu lebih aneh lagi.
Akan tetapi tiba-tiba Parameswara terbelalak. Ada sesuatu yang dilihatnya yang
menyebabkan denyut jantungnya serasa berhenti berdetak. Parameswara menggigil
amat marah, darahnya mulai terangsang mendidih. Di arah pandangnya, tak jauh dari
seorang laki-laki yang berjalan mondar-mandir itu, ada sebuah tiang kayu. Yang merampas
perhatian Parameswara adalah seseorang yang terikat pada kayu itu. Melihat siapa
orang yang terikat, Parameswara gemetar.
"Sial," dengan nada setengah berbisik, "kenapa dia sampai berada di sini?"
Parameswara terus memerhatikan dan menghitung keadaan. Parameswara akhirnya
melihat kebenaran pesan yang diterimanya dari orang yang tidak diketahui siapa,
bahwa ada orang yang harus ditolong. Parameswara bahkan merasa bersyukur
mendapat pesan itu karena kalau tidak, terlampau mengerikan membayangkan apa yang bakal
terjadi. Keberadaan orang yang terikat itu menjadi sebuah hal yang sulit dimengerti.
"Mengapa adikku bisa keluyuran sampai di tempat ini?" ucap Parameswara, tidak
sekadar dalam hati namun benar-benar terucap dari mulutnya.
"Jadi dia itu adikmu?" terdengar pertanyaan dari belakangnya.
290 Parameswara terlonjak. Parameswara bergegas menoleh dan mendapati seorang
pemuda sebaya dengan dirinya telah berada di belakangnya. Parameswara
memerhatikan sosok pemuda yang baru muncul itu dengan seksama. Diperhatikan dari ujung kepala
hingga ke ujung kakinya. Parameswara berdesir, ternyata benar apa yang dikatakan
Brahmana Lohgawe, terdapat sesuatu yang aneh pada pemuda itu. Ada cahaya lamat-
lamat menyelubunginya. Lebih dari itu betapa hebatnya pemuda itu karena kehadirannya sama sekali tidak
diketahui oleh Parameswara.
"Kau Ken Arok?" tanya Parameswara.
Pemuda itu tersenyum lepas.
"Gadis yang terikat itu adikmu?" Pemuda itu balik bertanya.
Parameswara mengangguk. "Ya," jawabnya.
Parameswara melihat, betapa gemerlap mata pemuda yang ia duga Ken Arok itu.
Mata yang liar, menjadi gambaran kecerdasan sekaligus kebengisan.
"Kalau begitu, kautunggu saja di sini," kata Ken Arok, "padang Karautan ini
milikku. Aku Ken Arok, aku tidak senang ada orang berbuat semena-mena seperti
itu di daerahku. Akan kuselamatkan gadis itu, tenang saja."
Pemuda tampan yang aneh itu melangkah meninggalkan Parameswara. Anak Ki
Ajar Kembang Ayun terlambat menyadari keadaan.
"Tunggu," cegah Parameswara.
Namun pemuda itu menoleh pun tidak. Ken Arok itu terus melangkah menyibak
lebat ilalang tanpa rasa takut, bahkan Parameswara kemudian melihat, tidak
terdengar suara binatang apa pun di tempat itu tenggelam oleh wibawanya yang demikian
besar. Parameswara menandai kehadiran pemuda itu benar-benar meninggalkan jejak yang
aneh, bahkan binatang sekecil cenggeret hilang suaranya.
Parameswara bergegas mengikuti langkahnya dari belakang.
Akhirnya pemuda aneh itu telah berada pada jarak yang amat dekat dengan gubuk-
gubuk yang dibangun di tepian Karautan itu. Parameswara menunggu dengan harap-
harap cemas apakah yang akan dilakukan pemuda itu. Permintaan Brahmana Lohgawe
agar ia menyelamatkan segenap perampok yang menggunakan tempat itu sebagai
persembunyian tidak dipikirkannya lagi.
Pemuda aneh bernama Ken Arok itu menengadah ke langit, mungkin mencari ujut
Dewa sesembahannya, atau mungkin mencari di mana bintang yang menjadi perwujutan
mendiang Ibunya yang telah lama pergi meninggalkannya. Parameswara terperanjat
dan terpaksa menutup telinganya ketika pemuda itu mengaum dahsyat menirukan suara
raja hutan. Suaranya menggelegar sangat keras, menusuk-nusuk gendang telinga. Bahkan
suara harimau yang sebenarnya, kalah oleh suara pemuda itu.
Akibatnya sungguh luar biasa.
Para penghuni gubuk-gubuk yang dibangun di Karautan itu kaget dan berlompatan
turun dari panggungan gubuk. Beberapa di antaranya bingung karena merasa masih
berada di dalam mimpi. Demikian juga dengan gadis yang terikat pada kayu itu,
tersentak kaget dan merasa seperti akan copot jantungnya. Yang membuat
Parameswara merasa lebih kaget lagi ketika dari gubuk yang paling ujung muncul seseorang yang tidak
akan dilupakan wajahnya, ia adalah Ranggasura.
291 "Gila, ternyata Ranggasura, anak Kuda Rangsang," desis Parameswara, "jangan-
jangan paman Taji Gading ada di sini pula. Nasib apa yang dialami adikku setelah
berada di antara mereka?"
Parameswara mendadak cemas membayangkan Narasari mengalami nasib buruk,
justru karena dia seorang gadis berada di antara laki-laki yang boleh dibilang
liar semua. Apabila benar Narasari mengalami bencana itu maka berbeda pendapatnya dari apa
yang diinginkan Brahmana Lohgawe, para perampok itu mungkin memang harus dibasmi
seperti membasmi belalang perusakan tanaman atau babi hutan yang mengganggu
tanaman palawija di ladang.
Parameswara yang memerhatikan keadaan melihat tidak berapa lama dari gubuk
yang semula dipergunakan Ranggasura, turun pula seorang wanita melalui tangga.
Kaget yang dialami wanita itu mendengar suara harimau mengaum dahsyat, menyebabkan ia
lupa membenahi tubuhnya. Atau barangkali wanita itu memang tak punya urat malu.
"Harimaunya mana?" tanya wanita itu dengan gugup sekaligus didorong rasa ingin
tahu yang besar. "He, yang mengaum tadi harimau bukan?" tanya lelaki lainnya, seorang lelaki
dengan luka yang melintang di kepala.
Kemunculan Ken Arok mencuri perhatian.
"Siapa yang mengijinkan kalian mendirikan gubuk di tempat ini?" tanya Ken Arok.
Orang-orang penghuni gubuk panggung itu kaget dan memerhatikan arah sumber
suara. Mereka merasa heran dan kaget karena di waktu menjelang pagi itu tiba-
tiba muncul seorang pemuda. Orang-orang itu masih mencari-cari namun harimau yang
baru saja menggetarkan udara itu belum kelihatan loreng kulitnya.
"He, siapa kau?" tanya Ranggasura.
Ken Arok itu menggeram. Suaranya amat mirip suara harimau menyebabkan semua
orang di tempat itu kaget. Bahkan Parameswara juga ikut kaget, maka tahulah
semua, suara yang diduga harimau itu ternyata berasal dari mulut pemuda itu.
"Siapa yang mengijinkan kalian menempati tempat ini?"
Kembali pemuda liar itu bertanya, suaranya datar namun sangar ditambah tatapan
matanya yang entah mengapa sanggup membuat gentar. Yang tidak disadari oleh
semua orang adalah, betapa pemuda itu memiliki wibawa yang besar. Pandang matanya yang
tajam dan amat sirik menimbulkan rasa cemas.
Suara ribut-ribut itu ternyata menarik perhatian seseorang yang segera keluar
dari gubuk paling ujung. Parameswara merasa degup jantungnya berhenti ketika melihat
Ki Ajar Taji Gading yang keluar dari gubuk paling besar itu. Bahkan dari gubuk di
sebelahnya yang sama besar lagi muncul Kuda Rangsang. Parameswara yakin orang
itu adalah Kuda Rangsang meski wajahnya ditutup oleh secarik kain. Agaknya ke mana
pun dan dalam keadaan apa pun Kuda Rangsang pasti menyembunyikan wajahnya.
Parameswara benar-benar heran dan sulit mengerti keberadaan orang-orang itu di
tempat itu. "Kuda Rangsang dan paman Taji Gading. Ada apa mereka berada di tempat ini"
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa pula yang mereka lakukan pada Narasari?" ucap Parameswara untuk diri
sendiri. Parameswara benar-benar gelisah. Namun Parameswara segera menempatkan diri
menyimak pembicaraan yang akan terjadi. Parameswara melihat Kuda Rangsang sedang
kebingungan. "Ada apa ini?" tanya Kuda Rangsang.
292 Ranggasura bergegas mendekati ayahnya. Rasa takut yang muncul menyebabkan
Ranggasura menempatkan diri berlindung di belakang ayahnya.
"Ada orang ini, ayah," jawab Ranggasura.
Kuda Rangsang memerhatikan pemuda yang baru saja ditunjuk anak lelakinya.
Kuda Rangsang terdiam sedikit lebih lama untuk upayanya memahami keadaan aneh
itu. Namun Kuda Rangsang merasa tidak menemukan jawaban apa pun.
"Siapa kau?" tanya Kuda Rangsang.
Pemuda tak dikenalnya itu memandang Kuda Rangsang beberapa saat lamanya.
Kuda Rangsang merasa ada desir yang merambati dadanya. Wibawa yang dimiliki
pemuda itu memang amat besar. Lebih dari itu Kuda Rangsang melihat adanya
sesuatu yang tidak wajar pada pemuda itu meski ia tidak bisa menyebut dengan tegas apa
yang aneh itu. "Gila, siapa kau ha?" kembali Kuda Rangsang bertanya, suaranya terdengar
melengking. Dengan tanpa menyimpan secuil rasa ragu sekalipun Ken Arok mendekat.
"Namaku Ken Arok. Akulah pemilik Padang Karautan ini," jawabnya.
Parameswara bergeser lebih maju lagi. Kuda Rangsang meski dengan ketajaman
hatinya mampu melihat ada sesuatu yang ajaib pada pemuda itu merasa geli
mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya.
"Padang Karautan ini milikmu?" tanya Kuda Rangsang sambil tertawa.
Ken Arok membalas menggeram menirukan suara harimau menyebabkan Kuda
Rangsang yang tertawa langsung terbungkam mulutnya. Wibawa pemuda itu benar-
benar luar biasa. Ken Arok melangkah lebih dekat, diperhatikannya gadis yang terikat
pada sebatang kayu. Ken Arok kembali berbalik.
"Aku tidak senang ada orang yang menggunakan tempatku tanpa minta ijin. Oleh
karena itu kalian semua, bersiaplah untuk mati," ucap pemuda itu tanpa berbasa-
basi. Ancaman itu terdengar sangar. Namun tentu saja terasa menggelikan bagi Kuda
Rangsang beserta segenap anak buahnya. Apalah yang bisa dilakukan oleh hanya
seorang menghadapi banyak orang, apalagi bersama mereka hadir pimpinannya Kuda Rangsang
dan Taji Gading, yang masing-masing bukan orang yang bisa dianggap remeh.
Namun Ken Arok benar-benar tidak suka berbasa-basi. Pemuda itu menggeram
sangar, yang entah mengapa menyebabkan Parameswara cemas. Cemas karena apa"
Ternyata pertanyaan sederhana itu tidak ada jawabnya.
Tiba-tiba saja Ken Arok melejit amat cepat dengan gerak yang amat sulit diikuti
mata. Sekali ayun tangannya menyambar deras menghajar kepala salah seorang anak
buah Kuda Rangsang. Akibatnya amat mengerikan, kepala orang itu pecah
berantakan. Otaknya berhamburan mengotori wajah pemuda itu.
Kuda Rangsang benar-benar terperanjat. Maka terbuka mata Kuda Rangsang untuk
tidak meremehkan pemuda itu.
"Kepung orang ini," perintah Kuda Rangsang dengan lantang.
Beberapa orang anak buah Kuda Rangsang segera berloncatan mengepung Ken
Arok. Pedang-pedang mereka segera dilolos dari sarungnya. Ayunan pedang itu siap
meranjab tubuh Ken Arok dan menilik kekejaman para perampok itu hal itu mungkin
terjadi. Namun Ken Arok tidak menyisakan perhatian secuil pun kepada orang-orang
yang mengepungnya. Ketika Ken Arok menebar pandang menyapu wajah mereka, anak
293 buah Kuda Rangsang berloncatan mundur. Terlihat betapa besar wibawa pemuda aneh
itu. "Akan kubunuh kalian semua, tidak akan kusisakan satu pun di sini. Kalian
lancang menggunakan Padang Karautan ini untuk persembunyian maka tempat ini akan
menjadi kuburan kalian, menjadi santapan burung-burung pemangsa bangkai."
Kuda Rangsang memberi isyarat kepada Taji Gading. Taji Gading yang semula
diam itu ikut mengepung Ken Arok. Dari awal, Taji Gading merasa curiga, pemuda
aneh yang mengaku bernama Ken Arok itu tidak boleh dianggap remeh.
"Siapakah sebenarnya kau anak muda?" tanya Taji Gading.
Taji Gading melihat ada sesuatu yang tidak wajar membungkus tubuh pemuda itu
semakin lama semakin jelas.
"Tak ada gunanya aku jawab karena kau akan mati," Ken Arok menjawab dengan
suara yang sangar. Melihat pemuda bernama Ken Arok itu siap menyerang menempatkan Taji Gading
untuk mempersiapkan diri pula. Tidak seperti Kuda Rangsang yang sangat
meremehkan pemuda itu sebaliknya Taji Gading justru mempersiapkan diri dengan baik. Ken
Arok tiba-tiba mengaum lagi, suaranya benar-benar seperti harimau. Justru karena
pemuda itu sanggup mengaum aneh dan suaranya bisa bergetar menusuk gendang
telinga hal itulah yang membuat Taji Gading tidak berani meremehkannya.
"Bunuh dia," teriak Kuda Rangsang dengan tiba-tiba sambil memberi aba-aba,
tangannya mengayun. Serangan yang dilakukan Kuda Rangsang itu bukanlah serangan untuk menjajagi
keadaan akan tetapi benar-benar ayunan tangan yang sanggup membunuh. Rupanya
Kuda Rangsang tidak senang melihat salah seorang anak buahnya mati dengan kepala
berantakan di tangan pemuda yang tampaknya liar itu. Akan tetapi dengan amat
mudah pemuda bernama Ken Arok itu meliukkan tubuh menghindari serangan yang datang.
Bahkan kaki kirinya mampu menendang dan mencuri kesempatan menghajar pantat
Kuda Rangsang. Kuda Rangsang yang nyaris terjerembab segera melenting lagi dan tergesa-gesa
mempersiapkan diri, Ken Arok yang bermaksud memburu terpaksa disibukkan oleh
kehadiran Taji Gading yang datang dari sebelah kiri dengan serangan beruntun.
Namun Taji Gading juga dibuat kerepotan oleh pemuda bernama Ken Arok itu. Balasan yang
juga beruntun menyebabkan Taji Gading benar-benar seperti kekurangan waktu.
Kuda Rangsang yang bangkit kembali segera melenting dan menyiapkan sebuah
serangan. Menilik keadaan yang ada, tampak benar betapa pemuda aneh itu tidak
bisa diremehkan. Apalagi ketika diperhatikan dengan cermat, tubuh pemuda itu bagai
diselimuti oleh cahaya kebiru-biruan. Seumur-umur Kuda Rangsang tak pernah
melihat keganjilan seperti itu. Kuda Rangsang mempersiapkan diri. Segenap anak buahnya mempersiapkan diri
pula. Hanya Ranggasura yang merasa ngeri setiap kali mendengar pemuda itu
mengaum menirukan suara seekor harimau. Ranggasura sebenarnya memiliki kemampuan olah
kanuragan yang cukup tinggi, kemampuan olah kelahi yang telah dilihat secara
langsung oleh Parameswara ketika menolong Swasti Prabawati. Namun Ranggasura
memiliki cacat jiwa yang menyebabkan tingkahnya tidak waras. Tingkah tidak waras itu terlihat
dari kegemarannya dalam kegiatan olah asmara, di mana-mana Ranggasura meninggalkan
jejak pemerkosaan yang tak terhitung jumlahnya. Kini kelainan jiwa itu muncul
dalam 294 bentuk lain. Ia melihat Ken Arok bukan sebagai manusia namun benar-benar harimau
paling ganas yang berbahaya dan akan mencabut nyawanya.
Alasan aneh macam itu menyebabkan Ranggasura memilih agak menjauh.
Ken Arok berputar dengan cepat bertumpu pada salah satu kakinya. Akan tetapi
putaran itu ternyata hanya sekadar awalan dari serangan yang aneh. Masih
bertumpu dengan kaki kirinya Ken Arok berputar agak mengayun, sehingga jarak jangkauan
kaki kanannya melebar. Dan cara menyerang yang tidak terduga itu terjadi, tiba-tiba
tubuh yang lentur itu menggeliat dan mengapung di udara dan dengan sangat cepat
terbang menerobos pedang dan tombak yang teracu kepadanya.
Sebuah sambaran kaki mengenai kepala, pecah berantakan kepala salah seorang
kaki tangan Kuda Rangsang. Otak yang berantakan itu justru mengenai wajahnya.
Darah yang amis bahkan mengenai sudut mulutnya.
Menggigil Ranggasura dan kakinya lemas.
Kuda Rangsang meloncat mundur. Taji Gading segera melenting mengambil jarak.
Akan halnya Ranggasura makin merasa ngeri melihat cara berkelahi pemuda itu.
Pemuda yang agak kurang waras pikirannya itu akhirnya memilih bersembunyi di balik
sebuah gubuk. "Gila!" desis Parameswara yang menyaksikan apa yang terjadi, "bengis sekali cara
berkelahi Ken Arok."
Kuda Rangsang yang sudah terbiasa berperilaku bengis, ternyata bisa merasa ngeri
melihat cara berperang tanding yang dilakukan pemuda bernama Ken Arok itu.
Benar- benar tanpa perasaan Ken Arok membunuh lawannya. Andaikata Kuda Rangsang tidak
memakai topeng maka akan kelihatan bagaimana perubahan wajahnya.
"Siapa sebenarnya kau anak muda" Siapakah gurumu?" tanya Kuda Rangsang.
Ken Arok hanya menjawab dengan auman kecil, sangar suara mirip harimau itu.
Sekali lagi Ken Arok menggeram dan kedua kakinya merenggang, tatapan matanya
melirik ke kiri dan ke kanan seolah membuat taksiran, lawan yang mana dulukah
yang akan dibantainya. Tiba-tiba pandangan Ken Arok berhenti kepada Ranggasura yang
bersembunyi di alik tiang penyangga gubuk yang tak mampu menyembunyikannya.
"Hei, apakah kaugemar bermain perempuan?" pertanyaan yang dilontarkan Ken
Arok itu tiba-tiba membelok.
Ranggasura menggigil. Ranggasura cemas pemuda harimau akan mengarahkan
perhatian padanya, apa yang dicemaskan itu ternyata benar.
"Aku paling tidak suka pada lelaki yang gemar mempermainkan perempuan. Oleh
karena itu, kali ini giliran kematianmu."
Ken Arok menutup ucapannya dengan menggerakkan tangan silang-menyilang. Taji
Gading dan Kuda Rangsang berjumpalitan siap memotong arah berusaha melindungi
Ranggasura yang berada dalam bahaya. Kekerdilan hati Ranggasura yang kalah
sebelum berperang menyebabkan pemuda gila itu justru tidak bisa berbuat apa pun.
Ranggasura pilih mendekam menunggu apa yang akan terjadi.
Ken Arok bergerak cepat. Kedua kakinya menjejak tanah melayang ke udara
dengan gesit, dijemput bersamaan oleh Taji Gading dan Kuda Rangsang. Sebuah
benturan terjadi menyebabkan Kuda Rangsang dan Taji Gading melayang mengambil
jarak. Namun dengan cepat Ken Arok sekali lagi menggeliat di udara. Parameswara
yang menyaksikan secara utuh apa yang terjadi terbelalak ketika Ken Arok memamerkan
kemampuan meringankan tubuh yang tak masuk akal. Ken Arok melesat jauh dan turun
295 tepat di belakang Ranggasura. Taji Gading dan Kuda Rangsang tidak punya waktu
untuk menolong Ranggasura. Kakak beradik itu hanya bisa menyaksikan apa yang terjadi.
Ranggasura terbeliak ketika sebuah tepukan mengenai punggung. Sejengkal setelah
ia bangkit, matanya nyaris copot ketika tangan pemuda yang mengaku pemilik
Padang Karautan itu telah menjebol dadanya dan menarik keluar jantung dari ikatan otot-
ototnya. "Mati aku, ayah," teriak Ranggasura.
Tubuh tanpa jantung itu kemudian ambruk dan masih menyempatkan diri untuk
berkelejotoan. Ketika tubuh itu akhirnya tidak lagi bergerak, tahulah Kuda
Rangsang anaknya telah mati. Pecah kepala Kuda Rangsang melihat Ken Arok mengangkat
tangan kanannya yang berlepotan darah. Sekali remas jantung di genggamannya pecah,
hancur dan berantakan. Namun Ken Arok ternyata masih belum cukup dengan permainannya. Bersamaan
dengan jantung di tangan kanannya ambyar menjadi serpihan kecil, bagai uler
kilan106 Ken Arok melenting mengayunkan tangannya susul, tak jelas kapan Ken Arok
memungut dua butir batu yang kini berada dalam genggaman tangannya, batu-batu itu melesat
cepat berusaha mengejar nyawa. Dua anak buah Kuda Rangsang sekali lagi terkapar.
Mati. Parameswara menggigil oleh rasa ngeri.
Kuda Rangsang juga menggigil namun oleh amarah yang tiada terkira.
"Gila," umpat Kuda Rangsang. "Kau telah membunuh anakku?"
Suara Kuda Rangsang sangat serak, penuh dengan gumpalan kemarahan.
Namun Kuda Rangsang benar-benar dibuat bingung dan terbelalak. Kuda Rangsang
adalah orang yang pilih tanding dan sekti mandraguna 107. Kuda Rangsang merasa
dirinya bukan orang sembarangan. Kuda Rangsang adalah bekas pemilik perguruan
Kembang Ayun di bumi Pesanggaran, dengan tingkat ketinggian olah kanuragan tak jauh dari
Padmanaba. Namun kini Kuda Rangsang dengan amat kasar dibuka matanya oleh sebuah
kenyataan yang ngedap-edapi108, bahkan nyaris tidak masuk akal. Seorang pemuda,
bahkan boleh disebut sebagai bocah kemarin sore, sanggup membuatnya kelabakan
kalang-kabut. Kuda Rangsang tetap sulit untuk mengerti bagaimana mungkin seorang
yang masih amat muda seperti itu, mempunyai olah kanuragan yang amat tinggi,
nyaris sulit diukur. Kuda Rangsang benar-benar heran dan takjub.
Sementara itu, Ken Arok kembali berancang-ancang, matanya melirik mencari
celah sebuah serangan. Akan tetapi lirikan mata Ken Arok itu sangat tajam,
tatapan mata yang sangar itu benar-benar membuat beberapa orang kaki tangan Kuda
Rangsang yang masih tersisa merasa kecut hatinya. Seolah mereka sadar akan tiba giliran mereka
untuk mati pula. "Sudah aku bilang," kata Ken Arok, "aku tidak senang ada orang berani memasuki
wilayah kekuasaanku tanpa meminta ijin padaku. Bersiaplah, semuanya akan pasti
akan mati kubunuh." Betapa sangar pemuda itu, memancing bulu kuduk berdiri, bahkan Parameswara
merasa desir amat tajam menggerataki seluruh permukaan kulitnya menusuk-nusuk
lewat aliran darahnya. Senada dengan Parameswara, Taji Gading benar-benar kagum
sekaligus 106 Uler kilan, jawa, nama ulat yang berjalan dengan menekuk tubuh lalu
melenting, hal yang sama dilakukan oleh ulat buah nangka.
107 Sekti mandraguna, jawa, berkemampuan kanuragan amat tinggi.
108 Ngedap-edapi, jawa, luar biasa.
296 menggenggam segumpal rasa cemas. Taji Gading yang merasa memiliki ilmu kanuragan
yang sudah tinggi sulit menerima kenyataan itu, bahwa betapa hadapannya kini ada
seorang pemuda yang masih belum seberapa usianya namun mempunyai kesaktian yang
barangkali tidak bisa diatasi, meski bersama dengan kakaknya sekaligus.
Kuda Rangsang yang tak bisa menerima kematian anaknya, berteriak melengking.
Kuda Rangsang bahkan sudah mengambil simpulan, tidak ada gunanya menghadapi
pemuda aneh itu dengan menggunakan ilmu kanuragan dengan bobot merangkak selapis
demi selapis. Kuda Rangsang memutuskan untuk menggunakan langsung puncak dari
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuannya. Itu sebabnya Kuda Rangsang menggeram sambil mempersiapkan
sebuah kembangan silat, terlihat itu dari kedua tangannya digerakkan saling
silang sambil mulutnya berkomat-kami membaca puja mantra.
Parameswara melihat, tubuh Kuda Rangsang yang memiliki aji Panglimunan itu
mulai kabur. Bayangan tubuhnya seperti mengombak, semakin lama semakin tidak
jelas untuk kemudian lenyap sama sekali. Perjalanan waktu yang dibutuhkan untuk murca
amat cepat. Sebagaimana yang dicemaskan Ki Ajar Kembang Ayun dengan tubuh yang
lenyap dibungkus aji panglimunan seperti itu, Kuda Rangsang bisa berbuat apa
saja, bisa membunuh orang dengan mudah, bisa mempedayai wanita sebagai hasrat
perilaku cabul dengan mudah. Demikian juga dengan Taji Gading. Taji Gading yang pernah mendampingi Ki Ajar
Kembang Ayun puluhan tahun lamanya itu tidak mau berjudi dengan nasib. Taji
Gading segera mengikuti jejak saudaranya, Taji Gading juga matek aji109 panglimunan,
membuat tubuhnya lenyap pula dari pandangan kasat mata. Mula-mula tubuhnya
seperti diselimuti oleh kabut tipis yang semakin lama semakin pekat. Ketika
kabut itu bubar diterjang
angin, tubuh yang semula dibungkusnya lenyap entah ke mana bagai hilang ditelan
bumi. Namun berbeda dengan apa yang dilakukan Kuda Rangsang yang mampu melenyapkan
diri dari pandangan mata dalam waktu yang singkat, Taji Gading membutuhkan waktu
yang sedikit lebih lama. Melihat apa yang dilakukan lawan-lawannya itu, Ken Arok mengaum datar, namun
tinggi nada yang tajam menyayat. Parameswara yang memerhatikan semua sepak
terjang pemuda itu melihat nada yang berbeda. Sekarang suara mengaum itu lebih
menyerupai lolong serigala. Kini yang ada di hadapan pemuda sangar itu tinggal tiga orang
anak buah Kuda Rangsang. Mereka benar-benar merasa sedang berada di puncak
kengerian. Tubuh para temannya telah bergelimpangan menjadi mayat yang beku tak bernapas lagi.
Kaki tangan Kuda Rangsang amat sadar giliran mereka akan tiba.
Sekali lagi Ken Arok melengking dan melolong tajam, melolong menirukan suara
serigala kelaparan. Parameswara bertambah penasaran dan tak bisa menyembunyikan
kagumnya ketika dari jauh terdengar sahutan membalas. Dari segala penjuru suara
lolong itu bersahutan, berbalas dari arah barat, timur dan utara. Dengan caranya
Ken Arok menunjukkan sebuah kenyataan yang tak masuk akal, bahwa semua binatang penghuni
Padang Karautan tunduk padanya. Tak hanya para binatang, bahkan para hantu
pengikut Batari Durga sekalipun tunduk pada pemuda itu, menempatkan Ken Arok benar-benar
selayaknya Hantu Padang Karautan itu sendiri.
Sahutan serigala itu bahkan riuh sekali. Di arah lain, beberapa ekor harimau
ikut menyumbang suara, membalas panggilan Ken Arok. Parameswara terkejut ketika
sebuah 109 Matek aji, jawa, membangkitkan ajian, merapal
297 lengking dahsyat datang dari atas. Dalam cahaya temaram anak yang dibuang oleh
ayah kandungnya itu melihat cataka dan rajawali terbang rendah.
"Gila," desis Parameswara kecut, "jangan-jangan para burung pemakan bangkai
juga akan hadir di tempat ini."
Tidak disangkanya Ken Arok itu mampu menjalin hubungan yang begitu erat
dengan segala macam binatang. Parameswara menjadi tegang ketika suara serigala
yang riuh itu seperti berlomba adu cepat mendatangi tempat itu. Serigala itu tidak
merasa gentar dan tersaingi meski harimau juga ikut terpanggil oleh suara anak Gajah
Para dan Ken Endok yang konon berasal dari desa Pangkur itu.
Ken Arok melangkah bergeser. Ketiga orang lawannya yang ketakutan juga ikut
bergeser. Begitu takutnya mereka sehingga kakinya gemetar tak terkendali. Wibawa
Ken Arok yang liar dan tandang grayangnya yang nggegirisi merontokkan nyali mereka
serta mencampakkannya entah ke mana. Padahal dalam keseharian para kaki tangan
Kuda Rangsang itu orang-orang yang ganas, yang tak segan-segan membunuh dan memerkosa
untuk memaksakan kehendaknya. Dengan sirik Ken Arok memandang mereka satu
persatu namun sebenarnya Ken Arok tengah memerhatikan segala macam gerak dan
suara serta memilah-milahnya. Melalui ketajaman mata hatinya Ken Arok mencoba
memperkirakan di mana kedua orang lawannya yang membungkus diri di balik ajian
panglimunan berada. Tiba-tiba terdengar teriakan melengking. Kuda Rangsang yang berada di puncak
kemarahannya karena anak laki-laki yang dikasihinya mati nista, melejit
mengayunkan serangan dahsyat. Kuda Rangsang tidak menunggu lagi, di genggaman tangannya ada
kekuatan puncak dari Ajian Riung Laut. Sebuah kemampuan yang bila dihantamkan
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 3 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Tujuh Pedang Tiga Ruyung 2
dan menguasai tubuh anaknya.
"Apa yang kamu rasakan Badrawati?" pertanyaan dengan warna yang sama dilepas
Yudawastu Widhiyaksa. Bayu 'Badrawati' bergeming pada sikapnya. Ia tetap mengarahkan perhatiannya
pada bulan yang terus bergerak, pelahan namun pasti ia memanjat semakin tinggi.
Kian tinggi bulan itu pengaruhnya bertambah kasar. Ketika Bayu membuka telapak
tangannya ayah dan Ibunya melihat benda tak dikenal mirip ular yang bersemayam di balik
kulit di atas daging itu menggeliat, bergerak liar tak ubahnya cacing kepanasan.
Mendelik Tantri Praba yang tak mampu menerima kenyataan itu menimpa anaknya.
"Bayu, bicaralah sayang, apa yang harus kami lakukan untuk menolongmu?" tanya
Tantri Praba. Bayu 'Badrawati' barangkali jengkel. Telah berulang kali ia menyebut namanya
sebagai Badrawati namun tetap perempuan itu memanggilnya Bayu.
266 "Aku tidak suka dengan cahaya bulan itu," ucap bocah itu sambil bersiap-siap
untuk melakukan hal yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Terbelalak Tantri Praba terbelalak pula suaminya melihat Elang Bayu Bismara
melakukan perbuatan yang tidak terduga. Bayu 'Badrawati' yang tubuhnya masih
basah kuyup itu melepaskan diri dari tangan Ibunya tiba-tiba ambyur ke ke kolam
renang. Bagaikan ikan pesut geliatnya, bocah yang mengalami amnesia itu berenang di
bawah permukaan, melejit kesana kemari.
Tantri Praba terduduk bersimpuh di sudut kolam memerhatikan tingkah polah Elang
Bayu Bismara. Tantri Praba tak lagi merasa ayunan jantungnya berderap lebih
kencang karena jantung pemompa darah itu tak lagi ada di rongga dadanya. Habislah
kemampuan Tantri Praba berusaha menerima kenyataan yang sulit diterima akal itu. Di
sebelahnya Yudawastu Widhiyaksa bisa menguasai diri. Yudawastu Widhiyaksa bahkan sempat
menghitung menggunakan jam tangannya atas telah berapa lama anak lelakinya mampu
bertahan di bawah air. "Bayu," rintih Tantri Praba.
Yudawastu Widhiyaksa bergeser mendekati istrinya dan memegang pundaknya.
"Sudah lebih dari lima menit," bisik Yudawastu Widhiyaksa.
Tantri Praba yang tergencet beban luar biasa itu akhirnya mampu menguasai diri,
denyut jantungnya yang menghilang berdetak lagi dan akhirnya dengan penuh
perhatian ia menyaksikan apa yang diperbuat anaknya.
"Mungkin itu cara yang ia gunakan memberikan perlawanan," bisik Yudawastu
Widhiyaksa sambil menyempatkan menengadah melihat bulan.
Tantri Praba tidak segera paham ucapan suaminya. Yudawastu Widhiyaksa yang
menengadah kembali mengarahkan perhatiannya pada anak lelakinya. Untuk beberapa
saat Bayu masih berenang kesana-kemari melintasi sisi kolam yang tidak tersentuh
cahaya bulan secara langsung hingga akhirnya bocah itu berhenti. Bayu meringkuk
di sudut dengan sikap duduk menekuk lutut.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada anakku?" kembali Tantri Praba mengeluh.
Namun jawaban yang dibutuhkan masih belum juga tersedia jawabnya. Meski
akhirnya Tantri Praba melihat Bayu mampu mengatasi keadaan, namun tetap saja apa
yang diperbuat bocah itu mencemaskan hatinya. Secara logika, selama masih
bernama manusia tak mungkin mampu bertahan di dalam air demikian lama, apalagi Yudawastu
Widhiyaksa kemudian menandai, waktu telah bergerak melewati dua puluh menit.
Bahwa Bayu benar-benar tidak mengalami masalah, bocah itu terlihat berenang lagi
berusaha menghindari cahaya bulan meneranginya secara langsung. Tidak lagi nyaman berada
di tempatnya, bocah itu mengayuh ke sudut lain.
"Apa yang dilakukan Bayu adalah upaya melawan sesuatu yang berusaha
mempengaruhinya." Pendapat suaminya memancing Tantri Praba menoleh. Tantri Praba mengerutkan
kening. "Cahaya bulan itu tidak disukainya karena menyebabkan munculnya rasa gatal dan
bintik-bintik di tubuhnya. Cahaya bulan itu menyebabkan benda di telapak
tangannya bergerak liar. Bayu sedang meredam keadaan itu," lanjut Yudawastu Widhiyaksa.
Tantri Praba terdiam, akan tetapi akhirnya ia mengangguk karena menganggap apa
yang dikatakan suaminya itu masuk akal. Ketika waktu bergeser satu jam terhitung
sejak 267 Bayu ambyur ke dalam air, Dokter Wisnu datang. Dokter Wisnu terkejut penasaran
saat diminta langsung menuju ke halaman belakang.
"Mana Bayu?" itulah pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutnya.
Tantri Praba dan Yudawastu Widhiyaksa dengan bersama-sama menunjuk ke arah
kolam renang. Melihat seseorang berenang tentu bukan hal yang aneh bagi Dokter
Wisnu. "Ia sudah satu jam di bawah air dan belum menyembul ke permukaan," lanjut
Tantri Praba. Ucapan Tantri Praba itu sungguh sangat mengejutkan. Dokter Wisnu bergegas
merapat ke tepi kolam renang. Ketika ia menghitung waktu, satu menit berlalu
ternyata Bayu masih bertahan dalam air, itu merupakan penegas apa yang
disampaikan Tantri Praba benar adanya. Satu menit menahan napas di dalam air sungguh luar biasa.
Dokter Wisnu ingat ia pernah menguji kemampuannya tidak bernapas, waktu terlama yang
bisa dilakukan adalah empat puluh lima detik.
"Apa yang ia lakukan?" tanya Dokter Wisnu.
Yudawastu Widhiyaksa berjongkok di tepi kolam sambil bertopang dagu.
"Bulan purnama ini, atau mungkin untuk setiap bulan purnama yang terjadi," kata
Yudawastu Widhiyaksa, "cahayanya berpengaruh langsung pada benda tidak dikenal
di telapak tangan kanannya. Akibatnya reaksi alergi itu muncul. Badrawati melawan
pengaruh bulan itu dengan apa yang dikerjakannya sekarang."
Dokter Wisnu menyimak pendapat tuan rumah itu dengan penuh perhatian. Apa
yang disampaikan Yudawastu Widhiyaksa itu mungkin merupakan hal aneh akan tetapi
apa yang sekarang dilihatnya jauh lebih aneh lagi.
"Sudah berapa lama hal ini berlangsung?" tanya Dokter Wisnu.
Yudawastu Widhiyaksa melirik pergelangan tangannya.
"Satu jam lima belas menit dua puluh detik," jawabnya.
Mrinding Dokter Wisnu mendapat jawaban itu.
Dengan mulut terbungkam dan tak lagi bisa bicara, Dokter Wisnu ikut menunggui
sekaligus menjadi saksi apa yang dilakukan Bayu. Dokter Wisnu menarik sebuah
kursi dan duduk mencangkung sambil sesekali memerhatikan bulan yang memanjat semakin
tinggi. Dokter Wisnu sependapat dengan Yudawastu Widhiyaksa bahwa cahaya bulan
memberikan pengaruh yang amat kuat namun agaknya Bayu bisa menemukan cara untuk
melawan. Di dalam air Bayu jelas berusaha memberikan perlawanan.
"Apa yang terjadi saat bulan tegak lurus di atas?" pertanyaan yang dilepas
Tantri Praba itu memecah keheningan.
Apa yang dicemaskan oleh Tantri Praba pada dasarnya juga menjadi perhatian
Yudawastu Widhiyaksa. Ketika bulan memanjat kian tinggi maka cahayanya akan
jatuh tegak lurus dengan demikian tidak sejengkal pun kolam renang itu yang luput dari
semburatnya. "Mungkin payung bisa menolong!" letup Dokter Wisnu.
Gagasan Dokter Wisnu segera diterjemahkan dengan baik oleh Tantri Praba yang
bergegas masuk ke dalam rumah. Ketika keluar lagi ia telah membawa payung lebar
berwarna hitam. Payung itu dibuka dan diletakkan di sudut kolam. Bayu memahami
bantuan yang diberikan kepadanya. Bayu yang meringkuk itu menggeliat berenang
mendekat dan menempatkan diri di bawahnya.
Dengan demikian sebuah simpulan telah diyakini kebenarannya.
268 "Berarti, bulan itu benar-benar membuatnya tidak senang!"
Tantri Praba melihat kulit tubuh anaknya yang semula beranjak berubah kini telah
kembali ke keadaannya semula. Entah dari mana gagasan itu tiba-tiba muncul dalam
benaknya, Tantri Praba melepas sandal dan ambyur. Tantri Praba ingin menemani
anak lelakinya namun terbukti Tantri Praba tidak memiliki napas sepanjang napas
anaknya. Meski demikian Tantri Praba merasa sangat lega, ia melihat Bayu 'Badrawati' itu
tersenyum. Dalam pandangan jarak dekat itu Tantri Praba melihat gangguan kulit
yang bisa menyebabkan munculnya alergi luar biasa itu teredam.
40. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka)
Parameswara yang masgul terus berjalan menyusur malam. Pikirannya benar-benar
teraduk dan remuk. Bahwa dirinya dianggap bukan manusia tetapi binatang membuat
dadanya gemetar. Amarahnya serasa akan memecahkan ubun-ubunnya. Dalam keadaan
yang demikian, andaikata ada orang membuat gara-gara, maka Parameswara dengan
suka rela akan memecah kepala orang itu hingga isi benaknya berhamburan.
"Aku bukan manusia, aku ini berderajad binatang," desis pemuda itu.
Parameswara yang berjalan itu tiba-tiba mengaum, menirukan suara harimau besar
yang pernah ditemuinya Hamuncar, harimau yang terpaksa ia bunuh karena memangsa
beberapa nelayan yang tinggal di semenanjung Sembulungan.
Beban amat berat yang bergumpal-gumpal di dada itu tidak bisa dikuasainya lagi
dan membutuhkan penyaluran. Parameswara melenting berjumpalitan di udara sambil
mengayunkan tangan kanannya dengan deras. Ayunan tangan itu bukan sembarangan,
namun kemarahan yang menjelma dalam aji Riung Laut, ajian pamungkas dari
perguruan Kembang Ayun. Akibatnya mengerikan. Jembatan yang menjadi sasaran kemarahan Parameswara itu berantakan. Kayu-kayu
berhamburan dan batu bata menyebar ke mana-mana. Dua orang prajurit yang
mendapat perintah Senopati Naragupita mengawasi dari kejauhan terbelalak kaget. Namun
kedua orang prajurit itu tak melakukan apa pun karena mereka menyadari pemuda yang
semula dicurigai sebagai telik sandi dari Ganter itu ternyata anak dari Ki Patih Panji
Ragamurti. Parameswara terus berjalan ke arah timur. Jika saja segenap prajurit yang
menjaga gerbang kotaraja sebelah timur itu menghadangnya, maka Parameswara akan
mengamuk. Namun rupanya para prajurit penjaga gerbang timur itu sudah menerima berita dari
Istana Kepatihan sehingga mereka membiarkan Parameswara lewat. Malam menusuk
tajam saat Parameswara telah tiba kembali di tempat persembunyian kudanya. Sapu Angin
meringkik senang ketika melihat Parameswara telah kembali.
"Urusanku telah selesai Sapu Angin, tidak ada gunanya kita berlama-lama berada
di tempat ini. Jika kauingin tahu hasilnya, Patih Panji Ragamurti itu membuang
anaknya karena menganggapnya binatang. Aku ini bukan manusia, tetapi binatang sepertimu
Sapu Angin." 269 Suara Parameswara itu amat serak, bagai tersangkut di tenggorokan. Sapu Angin
meringkik ikut berduka dan menghibur Parameswara agar tidak terlampau sedih.
Namun ada sesuatu yang menarik perhatian Parameswara yang menyebabkan salah
satu alisnya langsung njengat 95.
"He, apakah ada orang yang telah berbuat jahat kepadamu Sapu Angin?" tanya
Parameswara sambil memeriksa tubuh kudanya.
Parameswara bergegas memerhatikan keadaan di sekitarnya, dengan ketajaman
telinganya pemuda itu menelusuri barangkali ada orang di sekitar tempat itu akan
tetapi Parameswara segera menarik simpulan orang yang bermain-main dengan Sapu
Angin telah lama pergi. Parameswara segera menarik simpulan, siapa pun yang
meninggalkan tumpukan rumput di tempat itu pastilah tidak berniat buruk.
Parameswara bergegas memeriksa sebuah rontal yang terikat pada leher kuda itu
dan dibacanya dengan seksama.
"Pergilah ke Padang Karautan. Ada orang yang membutuhkan pertolonganmu di
sana," bunyi kalimat dalam rontal itu.
Parameswara memandang Kuda Sapu Angin lebih cermat memeriksa barangkali
ada sesuatu yang tertinggal di tubuhnya namun Parameswara tidak menemukannya.
Kuda itu kembali meringkik dan mengangkat kaki depannya sayang Parameswara benar-
benar tidak bisa menangkap apa yang dimaksud kuda itu.
"Siapa yang mengalungkan rontal ini padamu?" tanya Parameswara.
Kuda Sapu Angin hanya meringkik. Tentu saja untuk sebuah nama, kuda itu tidak
bisa menyebut. Parameswara berpikir keras dan membuat perkiraan, siapakah orang yang telah
meninggalkan pesan itu di leher kudanya. Kuda Sapu Angin adalah kuda yang amat
terlatih untuk selalu awas dan curiga kepada orang yang belum dikenal. Jika ada
orang yang bisa meninggalkan pesan di leher kuda itu, tentu Sapu Angin mengenal
orang itu dengan baik. "Siapa orang itu?"
Menduga dengan cara bagaimanapun tidak mungkin bisa menemukan jawabnya
Parameswara menghela napas jengkel, oleh karena itu ia tak mau sibuk menebak
lagi. Pemuda dari lereng selatan Gunung Raung itu segera meloncat ke atas kudanya.
"Aku sudah tidak punya urusan lagi di tempat ini Sapu Angin, aku tak berminat
lagi melihat seperti apa ujut Panji Ragamurti itu. Sekarang mari kita pergi ke
Panjaringan dan kita susul Swasti Prabawati yang berada di sana. Siapa tahu kita
bisa membantu kesulitan yang dihadapinya," kata Parameswara yang dijawab oleh
kudanya dengan ringkikan pendek. Sapu Angin senang karena dengan demikian ia akan bertemu dengan kuda betina
pujaan hatinya. Kuda kekar itu berderap meninggalkan tempat itu. Parameswara tidak memacunya
dengan kencang, tetapi membiarkan kuda itu berjalan semaunya. Dengan berkuda
Parameswara memerhatikan bintang-bintang yang gemerlapan di langit dan
membiarkan angin malam menggerayangi tubuhnya. Langkah demi langkah, ayunan kaki demi
ayunan kaki Sapu Angin mengayuh langkah sejajar dengan waktu yang terus bergerak
menemani ke mana pun ia pergi dan apa pun yang ia lakukan. Setelah beberapa saat lamanya.
Parameswara sampai di bulak panjang. Parameswara terpaku di atas punggung kuda
95 Njengat, jawa, menuding ke atas, mencuat
270 karena ada sesuatu yang menarik perhatiannya, suara ribut singgah di telinganya
itu berasal dari jauh di depan, di sana tampak api yang semula terlindung bayang-
bayang
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pepohonan. "Kaudengar itu Sapu Angin?" tanya Parameswara.
Tentu saja Kuda Sapu Angin yang memiliki pendengaran sangat tajam itu lebih
dulu mendengar. "Kita ke sana," kata Parameswara.
Kuda Sapu Angin itu pun berderap kencang melintasi bulak panjang. Agak jauh di
sebelah selatan terlihat api berkobar. Semakin dekat dengan tempat pertempuran
yang berlangsung, Parameswara melihat sebuah rumah yang terbakar.
"Gila, ada apa pula itu?" desis pemuda itu.
Sebenarnyalah sebuah pertempuran tengah berlangsung dengan sangat seru dan
berada di antara hidup dan mati yang melibatkan banyak orang. Parameswara segera
meloncat turun dan menyuruh Sapu Angin untuk tidak berada pada jarak yang dekat
dengan perkelahian yang berlangsung.
"Sepanjang perjalanan yang kutempuh, baru di Kediri justru kulihat suasana yang
kisruh. Bisa aku tebak, mereka yang sedang berkelahi itu pasti melibatkan
prajurit Kediri dan bertempur melawan orang-orang dari Ganter. Hebat juga sepak
terjang orang-orang Ganter itu. Seperti apa sebenarnya mereka itu?" tanya Parameswara pada diri
sendiri. Pertarungan yang terjadi berjalan tak seimbang. Parameswara melihat, sekelompok
kecil orang Ganter semakin terdesak, didesak terus oleh para prajurit Kediri.
Meski orang-orang dari Ganter itu sudah berusaha sekuat tenaga namun jumlah musuh yang
mereka hadapi tak terjangkau oleh ketrampilan ilmu kanuragan yang mereka kuasai.
Parameswara terus memerhatikan perkembangan itu.
"Satu, dua, tiga,.....lima," Parameswara menghitung jumlah mereka.
"Kini orang-orang Ganter itu tinggal lima orang. Lawannya ada sekitar lima belas
orang. Berarti setiap orang menghadapi tiga orang."
Bahkan angka lima itu pun kemudian berkurang. Satu lagi jatuh karena lambungnya
sobek oleh ayunan pedang. Darah muncrat membasahi pakaiannya, empat yang lain
dengan sekuat tenaga berusaha melindungi diri dengan memberikan perlawanan
sekuat- kuatnya. "Tak jelas apakah empat orang yang tersisa itu sadar atau tidak, nyawa mereka
akan segera terkail keluar dari tubuh mereka," kata Parameswara.
Parameswara menggigil. Perkembangan selanjutnya adalah sebuah pembantaian.
Setiap ayunan senjata yang diberikan para pengeroyoknya selalu meninggalkan
jejak luka, bahkan luka yang mematikan.
"Mereka sudah amat terdesak, sisanya tinggal empat orang, mengapa para prajurit
Kediri itu tak menawarkan kesempatan menyerah?"
Parameswara tak punya kesempatan untuk merenung lebih lama karena sekali lagi
dua orang lagi jatuh bersamaan. Kali ini bahkan jauh lebih jelek nasibnya.
Sebuah ayunan pedang membabat lehernya. Kepala terpisah dari tubuh untuk
kemudian ambruk dengan memuncratkan darah dari leher yang terputus itu.
Parameswara tambah menggigil.
Selanjutnya tinggal dua orang. Keduanya ternyata bersikap gagah dan berani, sama
sekali tidak terpengaruh oleh teman-temannya yang bergelimpangan. Salah seorang
di antaranya bernasib amat buruk. Dua buah tombak dengan waktu bersusulan menyobek
271 pinggang, sebuah tombak lagi amblas ke dada. Mata orang yang meregang nyawa itu
mendelik beberapa saat. Parameswara menyaksikan dengan seksama saat-saat
kematian menjemput nyawa orang Ganter itu.
Tinggal satu orang lagi. Apa boleh buat, Parameswara yang semula memutuskan
untuk tidak melibatkan diri harus bertindak menyelamatkan orang itu.
Tetapi rupanya orang itu tidak perlu diselamatkan.
Parameswara yang terheran-heran melihat orang yang tinggal satu-satunya itu
tertawa bergelak, disusul kemudian oleh segenap prajurit. Semuanya tertawa
bergelak. "Mampus kalian semuanya. Kali ini kita benar-benar berhasil, lihat, tidak ada
seorang pun yang masih hidup," kata orang Ganter yang tersisa itu dengan suara
meledak. Parameswara masih bingung dan belum mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.
Rasa heran pemuda itu kian menjadi ketika melihat orang Ganter yang tertinggal
satu- satunya itu malah tertawa dan berkelekar akrab dengan para prajurit Kediri yang
semula mengeroyoknya. Para pengeroyoknya menyalaminya dan memberi jabat tangan
yang akrab, bahkan saling memberikan pelukan.
"Mmm, jadi itu rupanya?" desis Parameswara. "Orang yang tertinggal satu-satunya
itu mata-mata Kediri yang diselundupkan ke antara orang-orang Ganter. Rupanya
antara Kediri dan Ganter tengah terjadi perang telik sandi."
Parameswara melangkah lebih mendekat dan bersembunyi di antara semak-semak.
Semua pembicaraan yang terjadi disimaknya. Suasana berubah menjadi sunyi senyap
ketika salah seorang dari mereka meminta perhatian.
"Teman-teman semuanya," kata salah seorang dari orang-orang itu, "apa yang kita
lakukan kali ini merupakan sebuah hasil yang gemilang setelah beberapa lama kita
direpotkan oleh ulah para telik sandi Ganter itu. Keberadaan mereka di tempat
ini bisa kita ketahui dari hasil kerja keras telik sandi Kediri yang disusupkan
ke Ganter. Namun demikian, kita juga menyadari, Kediri sama sekali tidak besih
dari mata-mata itu. Ulah Lintang Panjer Sore dengan jaringannya sampai sejauh
ini masih belum dapat kita atasi.
Bahkan siapakah Lintang Panjer Sore itu, kita semua belum tahu."
Parameswara memerhatikan pembicaraan itu dengan baik. Seutas benang merah
yang diperlukannya untuk menghubungkan semua masalah telah ia peroleh.
Parameswara mempertajam pendengarannya agar jangan sampai ada bagian pembicaraan yang lewat.
Orang yang berbicara itu melanjutkan ucapannya, agaknya orang itu mempunyai
jabatan pimpinan. "Nah teman-teman, sekarang mari kita dengarkan apa yang akan dipaparkan kawan
kita yang telah berhasil menyusup ke Ganter. Silahkan kakang Senopati Udan Awu
96." Udan Awu, Parameswara mencatat nama itu dengan baik. Namun Parameswara
harus curiga, apakah Udan Awu itu nama yang sebenarnya atau sekadar nama yang
dipergunakan para telik sandi, sebagaimana nama Lintang Panjer Sore yang
digunakan mata-mata dari Ganter. Parameswara menduga, Udan Awu hanya sebuah
julukan bukan nama yang sebenarnya sebagaimana Lintang Panjer Sore juga hanya sebuah sebutan.
Sebelum berbicara Udan Awu berdehem. Udan Awu rupanya bukan dari jenis
orang yang suka berbicara bertele-tele.
"Yang pertama," kata Udan Awu, "sampai sejauh ini aku masih belum berhasil
mengetahui siapakah mata-mata Ganter yang berada di Kediri menyusup di antara
kita. 96 Udan awu, jawa, hujan abu
272 Namun yang jelas, dari pembicaraan-pembicaraan yang aku ikuti, sosok Lintang
Panjer Sore itu, mempunyai jabatan yang tinggi di Kediri. Itu sebabnya aku
menekankan kepada kalian untuk berusaha keras menemukan mata-mata Lintang Panjer
Sore itu, pusatkanlah perhatian kepada para prajurit berpangkat tinggi, para
Senopati, para Temengggung dan orang-orang yang mempunyai jalur khusus ke Istana
yang bisa keluar masuk seenaknya.
Kusarankan agar dibentuk kelompok-kelompok khusus untuk mengawasi orang-orang
yang aku maksud itu agar segera dapat dibongkar siapa sebenarnya Lintang Panjer
Sore itu." Semua menyimak pembicaraan itu dengan cermat seksama.
Orang yang menyebut diri sebagai Senopati Udan Awu itu menebarkan pandang,
memperhatikan wajah demi wajah di depannya.
"Bagaimana dengan kalian semua?" tanya orang itu.
Pertanyaan itu agak membingungkan mereka yang ditanya.
"Apa yang kakang maksud?" tanya pimpinan prajurit itu.
Senopati Udan Awu akhirnya tersenyum.
"Apakah aku masih bisa berharap, kelompok yang kuhadapi ini kelompok yang
masih bersih dan belum tersusupi mata-mata musuh?"
Pimpinan prajurit itu tersenyum, segenap anak buahnya menumpangi dengan tawa
bergelak. "Tidak ada orang baru di antara kami," jawab pimpinan prajurit itu.
Senopati Udan Awu senang dan yakin kelompok prajurit yang selama ini berada
dalam pembinaanya itu masih bersih, tidak tersusupi pengaruh orang-orang Ganter
yang berniat mendirikan negara baru memisahkan diri dari Kediri.
"Bagus," jawab Senopati Udan Awu. "Bagaimana dengan Gusti Patih" Apakah
Gusti Patih sudah kembali?"
Mendengar nama ayah kandungnya disebut Parameswara agak kaget. Parameswara
bergeser lagi lebih mendekat agar bisa menyimak pembicaraan itu dengan lebih
cermat. Sosok Panji Ragamurti rupanya memiliki peran yang amat besar dalam pergolakan
yang terjadi itu. "Gusti Patih belum kembali," jawab prajurit yang ditanya.
Orang yang disebut sebagai Senopati Udan Awu itu terdiam beberapa saat karena
ada sesuatu yang menjadi pertimbangannya.
"Baiklah," kata Senopati Udan Awu, "kurasa tak ada hal lain yang perlu kita
bicarakan lagi. Aku akan kembali ke Ganter. Aku akan berupaya mengorek
keterangan dari sana, siapa sebenarnya Lintang Panjer Sore itu. Kita berpisah sekarang.
Selamat tinggal." "Selamat jalan kakang," jawab salah seorang prajurit mewakili semua temannya.
Orang bernama Udan Awu itu kemudian meloncat ke atas kudanya dan melesat
membelah malam meninggalkan tempat itu. Parameswara kecewa karena pembicaraan
yang menyangkut Patih Panji Ragamurti tidak ada kelanjutannya. Namun satu hal
yang berhasil disimpulkannya adalah, bahwa telik sandi Senopati Udan Awu yang
menyusup ke Ganter itu bertanggung jawab langsung kepada Patih Panji Ragamurti.
Parameswara yang masih bertahan melihat tak ada yang dibicarakan lagi oleh para prajurit
itu. Mereka pergi begitu saja meninggalkan tempat itu, menyisakan senyap yang
sangat pekat. Hanya rumah yang terbakar itu saja yang masih mengepulkan asap
tebal, rupanya rumah itu dipergunakan oleh orang-orang dari Ganter.
273 Hanya sayang keberadaannya telah diketahui oleh orang Kediri.
Parameswara merasa pedih saat melihat mayat-mayat yang bergelimpangan tidak
ada yang mengurus itu. Parameswara juga tahu, para penduduk yang tinggal di
sekitar tempat itu ketakutan tak seorang pun yang berani keluar. Parameswara melangkah
agak lebih mendekat, memerhatikan tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak lagi bernyawa.
Terpikir di dalam hati pemuda itu untuk mengubur mereka meski pekerjaan itu
tentu menyita waktunya. Tiba-tiba Parameswara mendongak. Ketajaman telinganya menangkap sesuatu. Dari
arah yang berlawanan dengan arah yang diambil para prajurit Kediri terdengar
derap kuda amat kencang. Hanya dengan mendengar ciri-ciri khusus pada suara derap itu
Parameswara bisa mengetahui penunggang kuda yang datang itu hanya seorang.
Parameswara tidak bersembunyi, pemuda itu tetap berdiri di tempatnya.
Akhirnya orang yang berkuda kencang itu telah tiba. Dengan tergesa-gesa orang
itu meloncat turun dari kudanya. Orang yang memakai caping itu terlihat sangat
tegang memerhatikan beberapa sosok mayat yang tergeletak dengan perasaan campur aduk.
"Apa yang terjadi?" orang bercaping itu bertanya pada Parameswara.
Parameswara menoleh pada orang itu.
"Kaudatang terlambat," balasnya.
Orang bercaping itu kaget.
"Bagaimana kautahu aku datang terlambat?" tanya orang itu dengan penasaran.
Parameswara memandanginya dengan tatapan mata datar, seperti tidak menyimpan
gairah macam apa pun. Parameswara bersiul panjang memanggil kudanya. Orang yang
baru datang itu terkejut. Namun dengan segera ia memahami apa yang dilakukan
laki-laki di depannya. Parameswara bergeser. "Bukankah apa yang aku katakan benar" Kaudatang terlambat sehingga kau tidak
berhasil menyelamatkan mereka" Andaikata kau tak datang terlambat mereka tidak
akan bergelimpangan seperti ini," jawabnya.
Orang bercaping itu bertambah penasaran. Apa yang diucapkan orang tidak dikenal
yang berada di depannya itu memang benar adanya. Yang ia tidak mengerti, orang
yang belum dikenalnya itu agaknya mengetahui amat banyak.
Parameswara melanjutkan. "Syukurlah kaudatang. Dengan demikian setidak-
tidaknya ada orang yang akan mengurus mayat mereka."
Parameswara bermaksud mengakhiri pembicaraannya dengan meninggalkan tempat
itu. "Tunggu, kau siapa?" tanya orang itu.
"Aku Parameswara. Aku tidak terkait dalam bentuk apa pun dengan persoalanmu,"
jawabnya tegas. Nama yang baru saja disebut itu bukanlah nama yang dikenalnya dengan baik, akan
tetapi dipahatkan nama itu ke dinding benaknya.
"Kautahu siapa aku?" tanya orang itu.
Parameswara berbalik dan balas memandang.
"Ya," jawab Parameswara. "Kau Lintang Panjer Sore. "
Tentu saja orang yang mengenakan caping lebar itu terkaget-kaget mendengar
jawaban itu. Selama ini jati dirinya sebagai telik sandi Ganter yang menyusup ke
Kediri, 274 tidak diketahui oleh siapa pun. Siapa mengira kini ada seseorang yang belum
dikenalnya, bisa menebak dengan tepat jati dirinya.
"Bagaimana kaubisa mengenaliku sebagai Lintang Panjer Sore, siapa sebenarnya
kau?" desak Lintang Panjer Sore bertambah penasaran.
Parameswara menyumbang suara tawa pendek memecah hening malam.
"Siapakah aku, sudah kujawab. Namun yang mungkin perlu kauketahui, seorang
telik sandi dari Kediri saat ini telah menyusup ke Ganter. Orang itulah yang
berhasil menjebak mereka. Nama yang dipergunakan telik sandi itu Udan Awu. Soal
siapa aku, aku tidak terkait siapa-siapa. Aku hanya mendengar pembicaraan yang terjadi
tanpa mereka ketahui." Lintang Panjer Sore terpaku. Sumbangan nama yang diberikan Parameswara itu
membuatnya gelisah. "Udan Awu?" desis Lintang Panjer Sore.
Namun Parameswara tidak mempedulikannya lagi. Parameswara terus melangkah
meninggalkan tempat itu menyongsong ke arah kudanya yang datang. Ketika sedikit
agak jauh ia berhenti dan menoleh.
"Ke mana arah yang harus aku tempuh agar bisa sampai ke Karautan?" tanya
Parameswara. Pertanyaan itu menyebabkan Lintang Panjer Sore tertegun, namun ketika kesadaran
telik sandi itu utuh, ia terkejut yang ditandai dengan perubahan wajahnya.
"Karautan" Maksudmu, Padang Karautan?" tanya Lintang Panjer Sore.
Parameswara mengangguk. "Ya," jawab Parameswara.
Lintang Panjer Sore menyempatkan menengadah ke arah lengking burung cataka yang
terbang rendah. Cataka yang bermata tajam
"Jika kau berkuda sehari semalam tanpa henti ke arah tenggara, kau akan sampai
di
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat yang kaucari," jawab Lintang Panjer Sore.
Parameswara tidak bertanya lagi. Parameswara meloncat ke punggung kuda Sapu
Angin yang langsung melonjak dan berbalik arah. Sapu Angin siap bergerak pelan
untuk menyusuri jalan setapak yang cukup jelas karena diterangi oleh bulan dan bintang
yang bertaburan di nabastala97.
Parameswara membusai punggung Sapu Angin sebagai isyarat untuk bergerak
meninggalkan tempat itu, meninggalkan sosok Lintang Panjer Sore yang jati
dirinya selalu dibungkus selubung teka-teki. Lintang Panjer Sore masih terpesona
oleh keadaan yang tak pernah disangka. Namun Lintang Panjer Sore percaya, pemuda
yang baru ditemuinya itu tidak mempunyai niat jahat kepadanya, terbukti dari
meninggalkan sebuah petunjuk yang amat berharga baginya, sosok yang harus
mendapat perhatiannya, Udan
Awu. "Udan Awu," desis Lintang Panjer Sore. "Aku harus mengirim berita ke
Ganter." Lintang Panjer Sore tak mungkin membiarkan teman-temannya yang telah menjadi
mayat tanpa harus dikubur. Apa boleh buat, Lintang Panjer Sore terpaksa bekerja
keras semalaman membuat lubang dengan kedalaman yang cukup untuk dimuati mayat
anak buahnya yang bernasib malang itu.
97 Nabastala, jawa kuno, langit
275 41. (Rangkaian peristiwa tahun 2011)
Bulan yang bersinar terang tak hanya memberi pengaruh buruk yang nyata dialami
oleh Elang Bayu Bismara yang sampai harus menenggelamkan diri dalam kolam renang
untuk meredam pengaruhnya, namun keadaan yang jauh lebih parah dialami oleh
Parra Hiswara. Melihat perubahan yang terjadi pada sahabatnya menyudutkan Yogi Sutisna
tidak tahu pilihan mana yang harus diambil, yaitu apa tetap bertahan mendampingi
Parra Hiswara yang kini berubah bentuk menjadi sosok menakutkan dan layak
disebut monster atau meninggalkannya. Berulang kali Parra Hiswara meludah, berulang kali pula ia melenguh dan tak bisa
dihitung berapa kali ia menggeram-geram amat sesuai dengan ujutnya sekarang.
Cahaya bulan purnama yang benderang merangsang sesuatu yang selama ini mengendap di
balik kulit di atas daging telapak tangannya untuk muncul dan menampakkan jati
dirinya. Saat benda melingkar kehitam-hitaman itu menggeliat, pengaruhnya
sungguh sangat dahsyat. Rangsang alergi yang ditimbulkan menyebabkan kulit terasa amat gatal, semakin
digaruk rasa gatal itu kian menjadi. Mrinding Yogi Sutisna melihat darah keluar
dari beberapa bekas luka garukan, luka itu ada di wajahnya, ada di tangannya, di
lengan, leher. "Panas!" keluh Parra Hiswara dengan suara amat tebal.
Yogi Sutisna bingung, sungguh ia merasa tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong.
"Gatal!" tambah Parra Hiswara sambil menggeram.
Tidak tahan dengan rasa gatal yang mengepung dari segala penjuru Parra Hiswara
melepas pakaian yang dikenakannya, namun untunglah Parra Hiswara masih memiliki
kesadaran untuk tidak juga melepas celana panjangnya. Tidak sabar oleh dorongan
ingin menggaruk pada bagian punggungnya Parra Hiswara berlari mendekat ke sebuah
pohon. Dalam keadaan tanpa baju Parra Hiswara menggosokkan punggungnya ke batang pohon.
Yogi Sutisna ingin mencegah namun tidak mungkin ia berbuat, mata Parra Hiswara
yang mendelik akan copot dari kelopaknya menyebabkan Yogi Sutisna amat ketakutan.
Dalam keadaan di luar kendali macam itu Parra Hiswara bisa membahayakan dirinya.
Digosokkan dengan amat kasar ke batang pohon saman dengan seketika terjadi
pelukaan yang menyebabkan darah dengan segera membasahi punggung, mirip darah
orang yang disiksa dengan lecutan cambuk berkali-kali. Namun rupanya rasa sakit
yang muncul dari pelukaan itu masih kalah dari rasa gatal yang dialaminya. Demikian
kuat rangsang gatal itu bahkan andai untuk mengatasinya harus dengan membeset
kulitnya tidak masalah. "Parra, hentikan!" teriak Yogi Sutisna, "kuasai dirimu, lawan apa yang
kaurasakan itu!" Namun Parra Hiswara tidak mendengar apa pun, telinganya buntu tersumbat
oleh rasa sakit yang lebih menyita perhatiannya. Alergi yang dirangsang cahaya
rembulan itu semakin menjadi dan hilanglah jejak wajah Parra Hiswara,
tergantikan oleh wajah lain
penuh bintul-bintul. Bila perubahan mengarah ke bentuk binatang bisa ditandai
betapa Parra Hiswara tak lagi mampu menguasai diri. Bagaimana mungkin bisa disebut
mampu 276 menguasai diri bila kalau air liur menetes-netes tak terkendali, mirip yang
dilakukan singa di kebun binatang melihat bayi mungil di luar kerangkengnya.
Menghadapi keadaannya yang demikian apa boleh buat, Yogi Sutisna hanya bisa
memerhatikan sambil menjaga jarak. Yogi Sutisna yakin dalam keadaan tidak
terkendali Parra Hiswara bisa menjadi sumber bahaya yang mengancam keselamatan orang lain.
Bagai layaknya orang yang kesurupan yang sekarang muncul ada kepribadian yang
lain. Wibawa yang muncul dari kejadian itu sungguh dahsyat. Pepohonan di sudut timur
Kebun Raya itu senyap. Ribuan burung blekok yang menghabiskan malam yang
biasanya gaduh tak kedengaran suaranya, bahkan ratusan katak yang menjadi belumbang
buatan dan biasanya saling sapa bersahutan juga tak ada jejak suaranya. Demikian juga
dengan para garengpung 98 yang saling sapa sesama kerabat melalui menggetarkan
sayapnya ikut-ikutan terbungkam, apalagi para semut dan berbagai kutu.
Semua kegaduhan malam terbungkam oleh jerit teriakan liar yang keluar dari mulut
Parra Hiswara sebagai bayaran atas rasa sakit yang tidak tertanggungkan. Dalam
keadaan yang demikian Parra Hiswara membutuhkan lebih dari dua buah tangan untuk
menggaruk rasa gatal, bahkan tak cukup dengan menggosokkan punggung ke batang pohon
seperti yang sering dilakukan kerbau setelah melumpur bahkan juga dengan berguling-
guling, kalau perlu bahkan dengan berganti kulit sekalian. Menghadapi keadaan yang
demikian Yogi Sutisna merasa dirinya mendadak menyesal mengapa harus terlibat pada
keadaan yang kini dihadapinya. Siapa yang berada di dekat api memiliki kemungkinan
terbakar lebih besar dari yang jauh, siapa yang menempatkan diri di dekat Parra Hiswara
memiliki kemungkinan amat besar untuk terseret lebih jauh.
"Ken Katri Kenyatri menjanjikan malam purnama yang tiba hari ini sebagai malam
yang indah, inikah yang maksud sebagai sesuatu yang indah itu" Apanya yang
indah, aku malah merasakan sebagai sesuatu yang mengerikan," tanya Yogi Sutisna
dalam hati. Sebagaimana Ken Katri Kenyatri yang di malam sebelumnya mempersembahkan
diri minta dinodai oleh Parra Hiswara, Anak Agung Budayasa juga menyebut akan
terjadi sesuatu pada malam purnama. Yang ia tidak mengerti adalah bahwa pengaruh
dari bulan purnama itu akan berbentuk seperti itu. Bulan yang indah, rembulan sering
dipadankan dengan kecantikan seorang perawan, pengaruhnya amat buruk pada sahabatnya.
Bulan di langit terus bergerak memanjat semakin lama semakin tinggi dan mulai
menempatkan diri berada di tengah-tengah langit, menjadi saksi apa yang dialami
Parra Hiswara sekaligus menandai betapa terengah-engah Parra Hiswara menampaki
perjalanan nasibnya. Kulitnya semakin mbrintul 99 merata di tubuh dan terutama perubahan
nyata terlihat di wajah, dengan keadaannya yang demikian lenyap ujut Parra
Hiswara dan telah berganti menjadi sosok yang lain sama sekali. Siapa pun yang
bertemu dengannya tidak akan menyangka ada wajah Parra Hiswara di balik wajah monster itu.
Yogi Sutisna gelisah karena dalam keadaan yang demikian, orang yang ditunggu
belum datang juga. "Ke mana Budayasa?" tanya Yogi Sutisna dalam hati.
Ketidak-beradaan Anak Agung Budayasa di tempat yang dijanjikan itu membuat
Yogi Sutisna merasa penasaran. Namun dengan mendadak mencuat pula rasa penasaran
lain. 98 Garengpung, jawa, sebutan lain untuk cenggeret, binatang sejenis belalang
bersayap lebar berwarna hijau daun.
99 Mbrintul, jawa, bengkak yang muncul pada kulit tubuh, contohnya setelah
digigit semut 277 "Apakah apa yang terjadi pada Parra Hiswara dialami juga oleh Yogi Sutisna?"
tanya Yogi Sutisna dalam hati.
Udara yang semula diam tiba-tiba bergerak membawa udara dingin. Yogi Sutisna
yang menengadah mencoba menandai bulan yang tepat berada di atas kepala terkejut
mendapati beberapa lembar mendung melintas. Tiba-tiba saja Yogi berharap-harap
cemas ketika berpikir, penderitaan luar biasa yang dialami sahabatnya akan berkurang
manakala mendung tebal menutupi.
Akankah itu terjadi"
Namun Yogi Sutisna segera mencuatkan alis ketika menyaksikan tontonan yang
mendebarkan jantung. Yogi Sutisna membaca adanya bahaya. Suara yang bersahut-
sahutan antara satu dengan lainnya yang hinggap di gendang telinganya jelas tak
boleh dianggap tidak menyimpan bahaya. Seekor dari pemilik suara bersahutan itu
bahkan terbang rendah dan terlihat nyata ujutnya. Melihat ujut itu menempatkan Yogi
Sutisna segera ingat pada apa yang diceritakan sahabatnya. Tidak hanya para kerbau,
bahkan sang raja hutan harimau memilih pergi menghindarinya.
Yogi Sutisna yang melihat bahaya itu bergegas dan bahkan berlari ke dalam mobil.
Yogi Sutisna punya kesempatan sejengkal lebih cepat karena sedetik setelah ia
menutup pintu seekor codot melayang turun menyambarnya. Yogi Sutisna segera
menyiagakan bedilnya. Kelelawar itu jumlahnya banyak sekali. Namun dugaan Yogi Sutisna itu ternyata
salah. Ketika ia mengintip, yang dilihatnya mewakili kata-kata amat sangat
banyak. Para codot berkepala mirip kepala anjing yang dua buah matanya nampak
kemerah-merahan itu beterbangan meninggalkan suara aneh mengerikan, beterbangan
saling-silang dengan kecepatan amat tinggi. Mrinding Yogi Sutisna melihat kebenaran apa yang
disampaikan sahabatnya. Binatang-binatang yang dilihat dalam mimpi itu kini hadir secara
nyata. Yogi Sutisna yang terpenjara dalam mobilnya tidak punya pilihan lain
kecuali tetap mendekam mengamati apa yang akan terjadi.
Di langit luas, lembar demi lembar mendung berarak ke arah selatan yang agaknya
datang dari arah laut di utara Jawa. Mendung yang paling tebal bahkan memayungi
Kebun Raya itu lebih dari lima menit lamanya. Dalam keadaan yang demikian,
ketika hilang hubungan antara cahaya bulan itu dengan sesuatu tak dikenal yang melekat
di telapak tangannya, Parra Hiswara merasa sedikit terbebas dari cekikan
menyesakkan napas yang mengunci lehernya.
Liar dan panik bukan kepalang Parra Hiswara mendapat kesempatan agak terbebas
dari himpitan yang serasa meremas dinding otak. Liar dan jelalatan suami
Madasari dalam memandang bulan purnama yang dibentengi mendung, keadaan yang membantu
mengembalikan akal warasnya. Para codot yang beterbangan dalam jumlah banyak
belum mencuri perhatian laki-laki itu.
"Mati aku," tersengal tarikan napas Parra Hiswara.
Gugup dan panik Parra Hiswara memerhatikan kulitnya yang berubah kasar mirip
orang berpenyakit sangat parah yang pernah ia lihat di Bali beberapa tahun
sebelumnya. Terheran-heran Parra Hiswara mendapati sesuatu yang tidak diketahui apa,
menggeliat- geliat kasar di telapak tangan kanannya. Andai saja benda tidak dikenal itu
berada di genggaman tangannya mungkin yang dilakukan adalah dengan mengibaskan
benda itu. Yang menjadi masalah benda itu berada di balik kulit di luar permukaan
dagingnya, tak mungkin membuang benda yang dianggapnya laknat itu.
278 Namun Parra Hiswara tidak perlu menimbang untuk menggaruk benda itu dengan
kasar. Yang muncul dalam pertimbangannya adalah bagaimana mengenyahkan benda
itu. Maka digaruk dan digaruk benda mirip ular itu dengan beringas, Parra Hiswara
bahkan berpikir merobek telapak tangannya. Akan tetapi benda apa pun itu sangat mungkin
ia seekor binatang bertaring, garukan kasar itu dilawannya dengan cengkeraman yang
kuat tembus ke tulang. Rasa sakit luar biasa itu tembus ke otak menguarkan kesakitan
yang bisa diyakini korban yang mengalami akan kehilangan kesadaran.
Akan tetapi meski sakitnya tidak alang-kepalang, Parra Hiswara tidak kehilangan
kesadarannya. Memperoleh perlawanan yang menyakiti itu Parra Hiswara tidak punya
pilihan lain, terpaksa menghentikan perbuatannya.
"Setan alas, diamput!" umpatnya kasar.
Dengan sekuat tenaga suami Mahdasari berasal dari Sumbawa itu berusaha untuk
tenang dan menguasai diri. Jelalatan ia mencari Yogi Sutisna yang akhirnya
ditemukan sedang meringkuk di dalam mobil. Parra Hiswara rupanya masih memiliki kesadaran
untuk mengingatkan Yogi Sutisna agar menjauh dari tempat itu. Dengan langkah
tertatih dan agak terseret Parra Hiswara mendekati mobil. Namun perhatian suami
Mahdasari terpecah oleh sesuatu yang semula tidak menarik perhatiannya.
Kalong-kalong itu! Para codot!
Codot, demikian orang menyebutnya. Binatang itu sudah jarang ditemukan di tanah Jawa namun hidup dengan jumlah
sampai ribuan di tanah Maros, Sulawesi. Ketika hewan
itu sudah lama tidak diketahui bagaimana kabarnya, maka kemunculannya dalam
jumlah besar memang layak mencuri perhatian. Sekuat tenaga Parra Hiswara
mengesampingkan rasa sakit yang dialami untuk menyempatkan memerhatikan binatang itu dengan
lebih jelas. "Mau apa mereka?" tanya Parra Hiswara pada diri sendiri.
Parra Hiswara berusaha menguasai diri, berusaha mengendalikan diri dari pengaruh
benda tidak dikenal di telapak tangannya. Akan tetapi bagaimana ia bisa
melakukan itu, kemunculan para codot yang beterbangan di sekitarnya merangsang
degup jantungnya. Parra Hiswara telah bertemu dengan para codot itu dalam mimpi, segenap codot
yang mengalami perubahan perilaku itu ternyata ada pengembalanya, seorang
perempuan yang memiliki mata tiga, dengan netra ke tiga terletak di keningnya. Kini binatang-
binatang itu hadir secara nyata di depan matanya, hadir ketika malam tengah
purnama, hadir ketika cahaya bulan memberi pengaruh mengerikan, hadir ketika geliat benda tidak
dikenal di telapak tangan yang ia yakini pasti sedang berusaha menguasai dirinya, hadir
ketika ia merasa kepalanya akan pecah.
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bulan sedang mencengkeramkan pengaruhnya akan tetapi bagai ada keberpihakan
yang kehadirannya juga nyata, bibit mendung yang mengalir deras dari arah utara
makin lama semakin banyak dan semakin menebal. Gelap yang ditimbulkan oleh
mendung itu menolong suami Mahdasari, sedikit melegakan tarikan napas dalam mengisi udara ke
paru-parunya. Himpitan yang nyaris merontokkan segenap tulang di tubuhnya
Parra Hiswara akhirnya mampu berpikir cukup jernih, dengan penuh perhatian ia
mencermati keadaan di sekitarnya. Yang pertama ia perhatikan adalah bulan di
langit. Parra Hiswara mengambil simpulan yang boleh diyakini, bahwa memang cahaya bulan
itulah yang menimbulkan rangsangan pada benda tak dikenal di telapak tangannya.
Parra Hiswara juga menyimpulkan, ketika cahaya bulan terhambat oleh mendung yang
tebal 279 maka pengaruh yang mencengkeramnya berkurang, reaksi alergi berasal dari benda
tak dikenal yang mengeram di telapak tangannya berkurang.
Parra Hiswara menyisihkan waktu mencermati kehadiran segenap codot yang
jumlahnya tidak mungkin dihitung. Para kelelawar berukuran besar yang lazim
disebut kalong itu beterbangan saling-silang bagai sambar-menyambar. Namun Parra Hiswara
juga melihat, para kelalawar raksasa itu juga menyebar tak hanya terpusat di
mana ia sedang berada. Codot itu bergelantungan hinggap di dahan-dahan namun sebagian
yang lain beterbangan bagai tanpa tujuan di atas pepohonan. Parra Hiswara
mengerutkan dahi mendapati sikap kelelawar itu tidak bersahabat, di antara
mereka ada yang melakukan
manuver kasar, menyambar tubuhnya dengan ancang-ancang lurus dari depan.
"Para kelelawar dalam mimpi itu," gumam Parra Hiswara.
Bahwa yang semula hadir menemuinya dalam mimpi, kini hadir secara nyata bisa
disimpulkan adanya keterkaitan. Apabila dalam mimpi itu ia bertemu dengan
seorang perempuan dengan kecantikan yang luar biasa, perempuan itu memiliki tiga buah
mata di mana satu di antaranya disamarkan di kening selalu terpejam dengan
bentuk seperti garis sebuah luka, perempuan yang memiliki binatang piaraan
kelelawar albino yang bentang
sayapnya tampak putih memplak 100.
Di puncak kegelisahannya Parra Hiswara berputar mencari-cari.
"Mana dia?" tanya Parra Hiswara pada diri sendiri.
Parra Hiswara layak untuk merasa curiga dan punya alasan untuk cemas.
"Mana kalong putih itu?" letupnya.
Dengan sapuan matanya Parra Hiswara mencermati pohon demi pohon, menyapu
setiap lengan dahan dan batang, barangkali di sana binatang yang mendadak
dibencinya itu memberinya tatapan mata penuh kebencian.
42. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka)
Sang waktu terus bergerak menusuk semakin malam. Bintang-bintang gemerlapan
di dalam gugusan Bima Sakti. Parameswara membawa kekecewaannya sambil berkuda
seperti tanpa arah. Ketika sang waktu menemaninya hingga melampaui tengah malam,
Parameswara memerintahkan kepada Kuda Sapu Angin untuk berhenti di tepi sebuah
sungai dengan air yang mengalir jernih. Waktu yang ada kemudian digunakan untuk
beristirahat, mencoba melupakan apa pun. Akan tetapi pikiran Parameswara
melayang ke mana-mana, wajah Nyai Panji Ragamurti seperti melekat di kelopak matanya,
mengikuti kemana pun gerak langkahnya. Juga Ratna Muninggar, seorang gadis yang seharusnya
dipanggilnya adik. Parameswara merasa sedih dan kecewa. Pemuda itu tidak mampu
mendamaikan diri, maka matanya membasah.
Ingatan Parameswara bergeser kepada Ken Rahastri. Parameswara merasa nyeri di
ulu hati. "Rahastri, sedang apakah kau saat ini?" bisiknya dengan segenap rindu. "Kalau
saja kau berada di sini Rahastri aku akan bercerita kepadamu betapa orang tua
kandungku menganggapku binatang. Dan itulah alasan yang mereka gunakan untuk membuangku."
100 Putih memplak, jawa, penyangatan untuk kata putih, artinya putih sekali.
280 Sebuah bintang terlihat jatuh, cahayanya muncrat membentuk garis lurus lenyap
entah ke mana. Suasana yang sepi itu menyebabkan Parameswara semakin ngelangut merenungkan
perjalanan hidupnya. Apabila teringat kampung halaman yang jauh di bumi
Blambangan, sedihnya begitu kental. Namun sebaliknya jika teringat Istana Kepatihan,
kemarahannya berkobar dan butuh penyaluran. Oleh karena itu tiba-tiba saja
Parameswara berteriak amat keras. Beban yang menggumpal dalam dadanya terasa amat sesak, tak
tertahankan lagi dan membutuhkan penyaluran. Sapu Angin yang berbaring terkejut karenanya.
Parameswara menghalau resah gelisahnya, berusaha menenteramkan diri.
"Maafkan aku Sapu Angin, aku sekadar berteriak," ucap pemuda itu menenangkan
kudanya yang kaget. Meski Parameswara sudah berusaha namun amat sulit untuk bisa menggapai tidur.
Kantuk serasa mengganduli kelopak matanya, akan tetapi pikirannya terus melayang
tidak mau diajak beristirahat. Parameswara mengumpulkan ranting-ranting kering
dan membuat perapian untuk menghangatkan udara yang sedang digelut bediding101
sekaligus mengusir nyamuk-nyamuk yang beterbangan. Api yang dibuatnya rupanya
mengundang para laron yang bertindak bodoh. Laron itu terbang mendekat dan ambyur ke dalam
api tanpa penyesalan secuil pun, bahkan ketika tubuhnya hangus.
Perjalanan yang ditempuh pemuda itu di keesokan harinya semakin membuka mata
pemuda itu,betapa kehidupan rakyat yang sengsara menyebar ke mana-mana.
Ketegangan yang terjadi antara Kediri dan Ganter menyebabkan kesulitan bagi rakyat kecil.
Perang selalu sulit dimengerti, mengapa orang harus melakukannya padahal sudah
jelas perang menyebabkan orang-orang kecil yang tak bersalah menjadi korbannya. Prabu
Kertajaya di Kediri berselisih pendapat dengan para pandita, para wasi dan para biksu,
akan tetapi kemudian rakyat kecil yang harus menyangga bebannya.
Parameswara terus berkuda. Hanya sesekali Parameswara berhenti untuk memberi
kesempatan pada kudanya merumput dan minum sepuasnya. Namun sebenarnya Sapu
Angin adalah kuda yang luar biasa, kuda itu sanggup diajak berkuda sepanjang
hari tanpa berhenti dan hanya beristirahat di malam hari.
Seiring waktu berlalu beberapa hari maka jarak yang jauh yang ditempuhnya kian
dekat dengan yang dituju. Setelah beberapa lama Parameswara berkuda melewati
jalanan berbukit-bukit dan menyusur tepian hutan, akhirnya sampai di sebuah
perkampungan. Parameswara berhenti untuk mendapatkan sebuah keterangan.
"Selamat sore," sapa Parameswara kepada seorang lelaki kurus berusia mendekati
setengah abad yang tengah mencangkul di pekarangan rumahnya.
"Ohhh, selamat sore," jawab lelaki tua itu.
Lelaki tua itu ternyata ramah.
"Maafkan aku jika mengganggu," kata Parameswara. "Aku sedang menempuh
perjalanan jauh. Mungkin paman bisa membantuku karena aku sedang membutuhkan
petunjuk arah yang harus aku tempuh."
Lelaki tua itu meletakkan cangkul dan sabitnya.
"Bantuan apa yang bisa kuberikan, anak muda?" tanyanya.
"Namaku Parameswara paman. Aku berasal dari Blambangan. Letak Blambangan
ada di ujung timur Pulau Jawa ini, berseberangan dengan Pulau Bali. Aku saat ini
sedang 101 Bediding, jawa, udara di musim yang amat dingin
281 menempuh perjalanan ke suatu tempat bernama Panjaringan dan Padang Karautan.
Bisakah paman membantu menunjuk arah, ke mana aku harus pergi."
Meski tidak kehilangan keramahannya lelaki tua itu mencuatkan alisnya. Kaget
oleh pertanyaan itu. "Kau akan pergi ke Karautan?" tanya lelaki tua itu.
Terlihat jelas rasa penasaran yang mencuat dari bahasa wajahnya.
"Benar paman," jawab Parameswara penuh keyakinan.
Lelaki tua itu mendekat. Telinganya kurang begitu tajam untuk bisa menangkap apa
yang diucapkan lawan bicaranya. Lelaki tua itu tidak hanya mendengar akan tetapi
juga memerhatikan bagaimana gerak bibir pemuda di depannya.
"Untuk keperluan apa kaupergi ke tempat itu anak muda?"
Pertanyaan itu tampaknya cukup mengganggu, bukan karena orang itu terlampau
usil dengan urusan orang lain, tetapi memang untuk apa Parameswara pergi ke
Karautan. Parameswara merasa memang tak punya urusan apa pun dengan tempat bernama Padang
Karautan. Jauh ketika ia berangkat dari Blambangan, nama Padang Karautan sama
sekali tidak ada dalam rencana perjalanannya.
Namun Parameswara tersenyum.
"Aku tak mempunyai keperluan apa pun dengan tempat yang disebut Karautan itu.
Hanya saja tempat itu sudah begitu terkenal sampai di Blambangan. Mumpung aku
pergi ke Panjaringan, siapa tahu bisa lewat Karautan," jawab Parameswara sekenanya.
Lelaki tua itu mengunyah jawaban itu dengan waktu sedikit lebih lama. Ia merasa
aneh karena ada orang yang tertarik pada Karautan sementara bagi orang lain nama
itu justru menyebabkan ketakutan. Orang yang mampu berpikir waras menghindarinya,
hanya orang yang tidak waras pikirannya yang justru tertarik, padahal tidak
waras pikiran itu hanya kata lain dari gila.
"Kalau kau mau mendengar saranku, sebaiknya jangan singgah ke Karautan. Terus
saja ke Panjaringan. Kalau Panjaringan dengan berkuda dua hari dua malam kau
akan sampai di tempat yang kautuju itu, terletak di pesisir laut selatan."
Pesisir laut selatan" Ternyata sedemikian jauh jarak yang harus ditempuh.
Setelah beberapa hari yang lalu ia berada di Pesisir Ywangga Parabalingga, tempat itu
ada di pesisir di utara, kini harus ke pesisir selatan, dari laut Jawa di utara yang
membentang luas ke laut selatan yang juga membentang luas.
Namun pada dasarnya, jarak sejauh apa pun memang akan ditempuhnya.
"Sebenarnya ada apakah di Padang Karautan itu?" tanya Parameswara yang makin
penasaran. Lelaki tua itu rupanya pernah pergi ke Padang Karautan itu sebabnya ia menyimpan
kenangan yang tersimpan rapi di lipatan kepalanya. Kenangan yang menakutkan dan
ia tidak ingin datang ke tempat itu lagi, tempat yang menurutnya jauh lebih
mengerikan dari neraka. Hanya hantu yang tinggal di tempat itu.
"Karautan, adalah tempat yang amat mengerikan anak muda. Tempat itu semula
berupa bulak panjang yang tidak terurus. Konon ceritanya Batari Durga kesengsem
dengan tempat itu. Oleh Sang Batari tempat itu dijadikan tempat persemayamannya.
Hantu-hantu dan jin prayangan102 boyongan dan menempati tempat itu. Akibatnya,
bulak panjang yang semula milik para petani dan ditanami berbagai tanaman
berubah menjadi tempat yang dijauhi orang. Kalau malam hari, hantu-hantu keluar dan memamerkan
102 Prayangan, jawa, sebutan untuk para dan segala macam hantu
282 suaranya yang melengking menjerit-jerit tidak keruan. Berbagai binatang buas
hidup di sana. Jangan tanya berapa jumlah ular yang hidup di tempat itu, ribuan
banyaknya. Di tempat itu pula Sang Batari melahirkan anaknya yang kemudian dirawat oleh para
jin dan setan. Sudah banyak orang mendengar jeritan bayi di padang Karautan
itu." Parameswara diam mencoba menggambar keterangan yang diterimanya itu. Jika
Karautan sampai disebut padang tentulah merupakan sebuah tempat yang amat luas
tetapi tak bertuan. Rumput dan Ilalang mungkin tumbuh dengan subur di tempat
itu. Namun soal Batari Durga dan hantu-hantu, Parameswara merasa sangsi apakah benar"
"Sebuah cerita penuh omong kosong," gumam Parameswara dalam hati.
Lelaki tua itu ternyata orang yang baik hati. Lelaki tua itu tidak keberatan
ketika Parameswara meminta satu rinjing103 rumput untuk kudanya. Bahkan bukan sekadar
se rinjing rumput, tetapi juga makanan tambahan berupa adonan dedak dan lima
butir telur ayam. Bagi Sapu Angin ramuan semacam itu menjadi jamu yang akan
memulihkan kesegaran tenaganya. Untuk apa yang dilakukan lelaki tua itu Parameswara memberi
imbalan uang ala kadarnya yang diterimanya dengan senang hati, apalagi lelaki
tua itu beranggapan jumlah uang itu sangat banyak.
Setelah beberapa saat Parameswara kembali melanjutkan perjalanan panjangnya.
Khasiat dari jamu itu benar-benar membuat kudanya berubah. Kuda itu berderap
semakin kencang dan tidak kenal lelah, terus melaju membelah malam yang kembali datang.
Di langit seekor elang terbang sangat tinggi, di tempat di mana ketinggiannya
bahkan jauh lebih tinggi dari awan, namun meski setinggi itu ketajaman matanya
mampu menangkap gerak langkah kudanya dengan amat jelas.
Berbekal ancar-ancar keterangan dari lelaki tua yang baik hati itu, dan dengan
beberapa kali meminta petunjuk arah pada orang yang ditemuinya maka dengan tidak
mengalami kesulitan Parameswara sampai di Padang Karautan saat hari mendekati
saat datangnya pagi. Parameswara tak bisa menyembunyikan kekagumannya, penggambaran
laki-laki tua yang baik hati itu memang benar seperti keadaannya. Parameswara
menebar pandang dari ujung ke ujung, namun yang terlihat sampai di ujung batas
langit hanyalah padang rumput yang amat luas. Pantas sekali jika orang mempunyai
gambaran mengerikan, tempat macam itu layak menjadi persemayaman Betari Durga.
Benar pula apa yang dikatakan lelaki tua itu, padang rumput semacam itu, tentu
banyak dihuni oleh berbagai binatang. Dari kejauhan terdengar suara lolong
serigala yang menyayat, yang disahut oleh serigala lainnya. Barangkali kehadiran
Parameswara telah mereka ketahui, dan dengan segera disebarluaskan kepada segenap serigala yang
lain. Sangat pantas kalau tempat itu dituduh sebagai tempat yang menakutkan dan
dijauhi orang. Pantas pula jika tempat itu diyakini sebagai tempat membuang anak,
seperti yang dilakukan Batari Durga yang entah melakukan selingkuh dengan siapa.
"Seseorang tidak dikenal telah meninggalkan pesan untukku agar aku datang ke
tempat ini untuk menyelamatkan seseorang yang tidak kuketahui siapa pula.
Siapakah yang harus aku selamatkan" Rasanya menggelikan kalau aku harus menyelamatkan
orang di sini, tempatnya saja seperti ini. Siapa yang akan mau tinggal di tempat
seperti ini?" Parameswara berpikir keras. Namun Parameswara segera terlonjak saat mengambil
simpulan, bukankah penjahat akan lebih suka menggunakan tempat seperti ini untuk
103 Rinjing, jawa, wadah rumput yang terbuat dari anyaman bambu. Rinjing
sekarang sudah tidak ada tergeser oleh peralatan yang terbuat dari plastik.
Sedikit lebih kecil dari rinjing bernama tompo. Kosa kata rinjing untuk
selanjutnya jarang sekali dipakai.
283 bersembunyi" Parameswara segera menebarkan pandangan menjelajah ke segala arah.
Akhirnya Parameswara memang menemukan sesuatu. Diperhatikannya arah selatan,
jauh ke seberang dengan cermat. Tampak ada nyala api yang berasal dari sana.
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana kalau kita menyeberangi padang ilalang ini, Sapu Angin" Apakah
kauberani?" tanya Parameswara kepada kudanya.
Akan tetapi Sapu Angin meringkik dengan menggarukkan kaki kanannya ke depan.
Parameswara tahu, jawaban itu berarti Sapu Angin tidak berani.
"Apa boleh buat, kita harus mengitari tempat ini Sapu Angin, kita menyusur ke
timur dan ke selatan. Ayo."
Sapu Angin bergerak pelahan. Namun entah mengapa kuda itu tiba-tiba berhenti.
Ada sesuatu yang menyebabkan kuda itu tidak mau menjalankan perintah
Parameswara. Parameswara segera tanggap atas keadaan yang ganjil itu.
"Ada apa?" tanya Parameswara yang merasa heran melihat perilaku yang aneh itu.
"Kudamu tahu, di arah timur ada bahaya anak muda," terdengar sebuah jawaban.
Parameswara terlonjak oleh jawaban yang tak terduga itu. Anak Ki Ajar Kembang
Ayun itu memerhatikan dengan lebih cermat. Akhirnya pemilik suara itu muncul
dari antara belukar rumput alang-alang setinggi orang. Bahwa orang itu bisa hadir
dalam jarak yang sedemikian dekat tanpa diketahuinya, menunjukkan betapa orang
itu bukan orang sembarangan. Parameswara memandang arah timur karena dari sana sejenak kemudian
terdengar suara binatang mengaum. Dari suaranya yang amat keras dan menggelegar,
Parameswara bisa membayangkan betapa besarnya harimau itu. Kembali perhatian
Parameswara terpulang kepada orang yang baru saja muncul dari semak belukar itu.
Parameswara memerhatikan pakaian orang itu lebih cermat.
"Tuan seorang Brahmana?" tanya Parameswara.
Orang berjubah itu tersenyum.
"Ya," jawab orang itu.
Mengetahui orang yang berada di hadapannya ternyata seorang Brahmana, orang
yang menyerahkan hidupnya untuk kedamaian, Parameswara segera meloncat turun
dari kudanya dan memberikan penghormatan sebagaimana seharusnya. Parameswara segera
merapatkan kedua telapak tangannya yang lalu dibawa ke tengah dada sambil
sedikit membungkuk dengan agak menekuk tubuh.
"Hormatku Tuan," kata Parameswara.
Brahmana itu tersenyum. "Orang memanggilku Lohgawe. Namamu siapa anak muda?" tanya Brahmana yang
memperkenalkan diri sebagai Lohgawe itu.
Mendengar nama itu maka sekali lagi Parameswara memberikan penghormatan.
Dari ayahnya Ki Ajar Kembang Ayun, Parameswara pernah mendengar kebesaran nama
Brahmana Lohgawe, seorang Brahmana Jambu Dwipa yang telah menyerahkan hidupnya
untuk kedamaian dunia, memayu hayuning bawono104, melepaskan diri dari segala
macam urusan duniawi. Menurut Ki Ajar Kembang Ayun melalui dongengnya yang
dituturkan saat ia masih bocah, boleh jadi Brahmana Lohgawe adalah satu di
antara dua orang yang bisa terbang. Orang pertama adalah Empu Barada yang dengan
kemampuannya terbang di angkasa beralas pelepah daun keluwih mengucurkan kendi
yang dilakukan itu dalam rangka memenuhi permintaan Prabu Airlangga yang berniat
104 Memayu hayuning bawono, jawa, berserah hidup untuk kedamaian dunia
284 membelah negara menjadi dua, menjadi Janggala dan Kediri. Selanjutnya orang
kedua yang bisa terbang adalah Lohgawe, yang konon juga menggunakan daun keluwih.
"Namaku Parameswara, Tuan Brahmana Logawe. Aku berasal dari Perguruan
Kembang Ayun di Blambangan," jawab Parameswara.
Jawaban itu ternyata menarik perhatian Brahmana Lohgawe.
"Apakah kau murid Padmanaba?" tanya Brahmana Lohgawe itu dengan salah satu
alis diangkat. Parameswara mengangguk membenarkan.
"Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba itu ayahku, Tuan Brahmana."
Brahmana Lohgawe tersenyum senang, dalam siraman cahaya pagi yang temaram,
tampak senyum lelaki berjubah itu begitu sejuk.
"Ayahmu adalah salah seorang sahabatku yang terbaik. Bagaimana dengan kabar
kesehatannya anak muda" Padmanaba itu masih hidup bukan?"
Parameswara tersenyum senang. Bagaimanapun Parameswara tak menduga kalau di
tempat yang sedemikian jauh dari Blambangan, ada orang yang mengenal Ki Ajar
Kembang Ayun bahkan menganggapnya sebagai seorang sahabat yang baik, sebagaimana
ia tidak menduga di tempat yang amat terpencil itu justru berkenalan dengan
orang yang bukan sembarangan.
"Ayahku Ki Ajar Kembang Ayun selalu berada dalam lindungan Hyang Widhi,
Tuan Brahmana. Saat ini Ki Ajar masih tinggal dan berada di perguruan,
memberikan bimbingan kepada segenap siswa perguruan," jawab Parameswara.
Brahmana Lohgawe melangkah lebih dekat sambil menyapu pandang ke padang
ilalang yang luasnya nyaris tanpa tepi itu. Brahmana yang menoleh ke arah timur
itu mendapati cahaya yang membara, semburat membakar apa saja.
"Kau sendiri, apa yang sedang kaulakukan di sini" Apakah ada sesuatu di Padang
Karautan ini yang menarik perhatianmu?"
Pertanyaan Brahmana Lohgawe itu mengingatkan Parameswara pada sebuah pesan
aneh yang diterimanya dari orang yang tak diketahui jati dirinya. Namun pada
Brahmana Lohgawe Parameswara tak bermaksud menyembunyikan keperluannya.
"Ada sebuah pesan yang tidak aku ketahui berasal dari mana. Pesan itu memintaku
datang ke tempat ini karena ada orang yang sedang membutuhkan pertolongan,"
jawab Parameswara. Brahmana Lohgawe termangu, jawaban Parameswara menarik perhatiannya.
"Kau masih belum tahu siapa yang kautolong anak muda?"
Parameswara tersenyum dan menggeleng.
"Belum!" jawabnya.
Brahmana Lohgawe bergeser dan berdiri di atas batu besar dan menyapu pandang
ke segala penjuru. Luas padang Karautan dengan segala keliaran penghuninya
rupanya amat menyita perhatian Brahmana Lohgawe yang tak habis-habisnya mengagumi dan
tak kunjung memahami mengapa jejak kehendak para Dewa justru muncul di tempat aneh
macam itu. "Padang Karautan ini, pada mulanya berasal dari sebuah bulak amat luas," kata
Brahmana Lohgawe, "luasnya hampir empat atau lima buah desa yang digabung
menjadi satu, awalnya berupa wilayah pertanian yang amat subur namun karena telah lama
tidak terurus, rumput liar tumbuh tidak terkendali, semuanya itu telah mengubahnya
menjadi tempat yang sangar dan ditakuti orang."
285 Parameswara segera teringat kepada cerita yang belum lama didengarnya dari salah
seorang penduduk yang ia singgahi di sebuah padukuhan terpencil sebelum tiba di
tempat itu tentang apa yang yang dilakukan Batari Durga.
"Benarkah Batari Durga telah mengubah Padang Karautan hingga menjadi bentuk
seperti sekarang ini?" pancing Parameswara.
Brahmana Lohgawe tersenyum. Kemudian tertawa. Apa yang ditanyakan pemuda
yang baru dikenalnya itu terasa lucu.
"Siapa yang mengarang cerita seperti itu anak muda?" tanya Brahmana Lohgawe.
Suara harimau mengaum di kejauhan mencuri perhatian Parameswara, namun entah
mengapa di arah yang lain ribuan ajak 105 bersahut-sahutan tidak terbungkam
mulutnya. "Bukankah banyak orang yang mengatakan begitu?" Parameswara balik bertanya.
Brahmana Lohgawe makin terkekeh seperti ada sesuatu yang menggelikan. Ketika
sedang geli matanya menyipit dan perutnya bergerak-gerak aneh.
"Batari Durga membuang anaknya di tempat ini boleh juga cerita itu. Cerita macam
itu cukup baik untuk menakut-nakuti anak kecil yang mengalami kesulitan untuk
tidur," kata Brahmana Lohgawe sambil masih tertawa terkekeh.
Parameswara penasaran ingin tahu bagaimana cara pandang orang itu.
"Jadi?" tanya Parameswara, "cerita macam itu tak benar Tuan Brahmana Lohgawe"
Kalau tidak benar" Mengapa Tuan berada di tempat ini pula" Jika sampai Seorang
Brahmana seperti Tuan mengamati tempat ini, pasti karena sesuatu yang amat
menarik." Brahmana Lohgawe menengadah memandang langit dan memerhatikan gemerlap
dari salah satu bintang. Brahmana Lohgawe mengubah sikapnya menjadi bersungguh-
sungguh tidak lagi terlalu mengumbar tawa.
"Kaubenar," jawab Brahmana Lohgawe. "Aku telah berada di tempat ini beberapa
bulan lamanya, mengamati sepak terjang seorang pemuda yang aneh. Seorang pemuda
yang sungguh luar biasa. Pemuda itu menggunakan tempat ini sebagai
persembunyian. Ia menjadi sahabat dari semua binatang yang hidup di tempat ini, mulai dari ular,
semut sampai harimau. Mungkin benar apa yang dikatakan orang, pemuda itu terlahir dari
perselingkuhan Batari Durga. Konon katanya, Batari Durga berselingkuh dengan
anaknya sendiri." Parameswara terkejut. Cerita tentang Batari Durga, tentang Batara Narada, Batara
guru dan para Dewa yang lain sudah banyak didengarnya. Namun tentang Durga yang
berselingkuh dengan anak kandungnya, Parameswara baru mendengar pendapat itu.
"Siapakah anak kandung Batari Durga yang menyelingkuhi Ibunya sendiri itu, tuan
Brahmana?" Parameswara bingung melihat Brahmana Lohgawe tiba-tiba tertawa.
"Namanya Kala. Batara Kala."
Parameswara mengerutkan dahi. Sosok Batara Kala tentu juga sudah ia ketahui
dengan baik. Saat masih bocah, Parameswara tidak berani berada di sawah tengah
hari yang terik karena ada pendapat yang menyebut, siapa saja orang yang pada tengah
hari yang terik keluyuran di tengah sawah maka orang itu akan menjadi santapan Batara
Kala. Kala berhak memakan mereka termasuk orang-orang yang belum diruwat.
Kenangan itu menyebabkan Parameswara tersenyum.
Dari jauh arah timur, terdengar suara mengaum sangat dahsyat. Itu rupanya yang
menyebabkan Sapu Angin cemas.
105 Ajak, jawa, anjing liar
286 "Nah, itu juga salah satu dari sahabatnya," Brahmana Lohgawe menambahkan.
Mencuat alis Parameswara.
"Siapakah pemuda itu dan mengapa Tuan menyebutnya sebagai seorang pemuda
yang luar biasa?" desak Parameswara.
Kembali perhatian Parameswara terpecah oleh suara puluhan ekor ajak yang saling
bersahutan antara satu dengan lainnya, suara yang gaduh sekali. Seekor harimau
yang marah dan mungkin terganggu kembali mengaum dengan dahsyatnya namun entah oleh
alasan apa, para ajak itu tidak peduli.
Parameswara mengembalikan perhatiannya pada Brahmana Lohgawe.
"Nama pemuda itu Ken Arok," jawab Sang Brahmana.
Parameswara memahat nama itu ke dinding benaknya.
"Ken Arok?" ulang Parameswara dengan cermat seperti takut salah.
Brahmana Lohgawe mengangguk.
"Ya. Itulah nama pemuda itu. Keterangan yang untuk sementara aku peroleh adalah
bahwa Ken Arok adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang yang utuh. Ia
berasal dari desa Pangkur, ayahnya bernama Gajah Para dan Ibunya Ken Endok. Ayah
Ken Arok itu telah tiada ketika ia masih berada dalam kandungan. Para Dewa di langit
menyimpan banyak rahasia terkait pemuda bernama Ken Arok itu, pemuda yang ternyata bukan
orang sembarangan." Semakin terpancing rasa ingin tahu anak angkar Ki Ajar Kembang Ayun.
"Dan apanya yang luar biasa Bapa Brahmana?"
Brahmana Lohgawe termangu seperti karena ada sesuatu yang mengganjal di dada.
"Beberapa bulan yang lalu," kata Brahmana Lohgawe, "aku lewat tepian tempat ini,
sekadar berjalan untuk mengikuti ke mana gerak langkah kakiku. Aku melihat
sebuah gejala alam luar biasa. Tempat mengerikan ini kejatuhan sesuatu yang bercahaya
dari langit. Warnanya kebiru-biruan berpendar, menerangi segenap sudut padang
Karautan, dari sebelah selatan sampai utara, timur sampai ke barat. Untuk mengetahui apa
yang terjadi, maka aku putuskan tinggal di tempat ini beberapa hari lamanya."
Parameswara memandang wajah Brahmana Lohgawe dengan tak berkedip. Rasa
ingin tahunya semakin menjadi.
"Dan apakah yang Sang Brahmana peroleh?" Parameswara memotong.
Parameswara meniru apa yang dilakukan Brahmana Lohgawe menandai barangkali
ada sesuatu yang aneh di padang rumput yang amat sangat liar itu. Namun rupanya
untuk bisa melihat keanehan itu harus menggunakan ketajaman mata hati.
"Aku melihat seorang pemuda luar biasa," kata Brahmana Lohgawe, "umurnya
sebaya denganmu. Rupanya ia membawa pertanda kasih dari sang penguasa langit,
hal yang sungguh aneh dan sulit dicerna akal. Mengapa bisa demikian, karena pemuda
itu ternyata hanya seorang maling dan sesekali melakukan perbuatan tak terpuji,
merampok. Pemuda itu menggunakan Karautan ini sebagai persembunyiannya. Baginya tidak ada
tempat yang paling aman dan memenuhi kebutuhan ketenteraman hatinya kecuali
tempat ini, tempat yang paling menakutkan di seluruh jagad raya ini."
Parameswara manggut-manggut. Parameswara merasa penggambaran Brahmana
Lohgawe itu agak berlebihan.
"Apakah ada hubungan antara pemuda Ken Arok itu dengan gejala alam yang Tuan
Brahmana lihat?" Parameswara mengurai pertanyaan.
Brahmana Lohgawe mengangguk.
287 "Ada," jawabnya tegas. "Pemuda bernama Ken Arok itu jelas membawa pertanda
kasih dari para Dewa. Meski ia maling kecil atau perampok akan tetapi pertanda
gaib itu terlihat jelas padanya berupa cahaya tipis berpendar yang menyelimuti
tubuhnya." Parameswara kian penasaran. Jika ada seorang pemuda membawa pertanda kasih
dari para Dewa, pemuda macam apakah itu" Juga kemampuan macam apakah yang
dimiliki pemuda itu. "Tuan Brahmana Lohgawe," menyela Parameswara, "jika ada pemuda macam itu di
tempat ini, juga ada Brahmana Lohgawe di sini, kemudian mengapa ada seseorang
tidak dikenal memintaku datang ke sini untuk menolong seseorang. Seseorang siapa pula
itu aku bahkan belum tahu."
Brahmana Lohgawe tersenyum. Rupanya Brahmana Jambu Dwipa itu memiliki
pendapatnya sendiri. "Menurutku memang ada orang yang harus kautolong anak muda. Bahkan kau
harus bertindak cepat," jawab Brahmana Lohgawe.
Sebuah jawaban yang masih menyimpan sejuta tanya.
"Aku harus bertindak cepat?" tanya Parameswara.
Brahmana Lohgawe berbalik menghadap ke selatan. Parameswara mengikuti
contoh yang diberikan Brahmana Lohgawe.
"Kaulihat cahaya di sana itu," kata Brahmana itu, "ada beberapa perampok lain
yang tinggal di sana. Menurutku, mereka itulah yang saat ini berada dalam
bahaya. Jika sampai orang-orang itu bertemu dengan Ken Arok, maka habis mereka
semua." Jawaban itu membuat Parameswara termangu, pemuda itu malah bingung sulit
memahami apa yang disampaikan Brahmana bertubuh gemuk itu. Menolong itu tentulah
ada hubungannya dengan pihak yang memang membutuhkan pertolongan. Menolong
perampok, Parameswara merasa petunjuk itu aneh sekali. Merampok adalah perbuatan
yang sangat jahat apalagi bila dibarengi dengan pemerkosaan segala, justru
perampok itu harus ditumpas.
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi, aku harus menyelamatkan perampok?" desak Parameswara, "bukankah sudah
selayaknya jika mereka ditumpas saja?"
Brahmana Lohgawe memandang Parameswara dengan tatapan mata tajam.
"Janganlah kau melihat persoalan ini dengan cara pandang seperti itu anak muda.
Sebaiknya, ikuti saja petunjukku ini. Sekarang pergilah ke sana, selamatkan
perampok perampok itu dari kematian yang mengerikan."
Parameswara balas memandang Brahmana Lohgawe dengan tatapan mata penuh
bermuatan rasa bingung. Namun Parameswara merasa orang yang berada di depannya
memang bukan orang sewajarnya. Kini Parameswara tengah berhadapan dengan seorang
Brahmana yang tidak mempunyai sikap permusuhan dengan siapa pun, bahkan di balik
sikapnya yang seperti itu, mungkin bersembunyi sesuatu.
"Apakah sekarang juga aku harus mengusir mereka Tuan Brahmana Lohgawe?"
tanya Parameswara. "Ya. Jangan tunda lagi," jawab Brahmana Lohgawe, "berkudalah dengan menyusur
tepian padang ilalang ini melalui sebelah barat. Di sana kau bakal menemukan
jalan yang membelok ke arah selatan membelah padang ini. Namun berhati-hatilah
karena banyak ular di tempat itu."
Masih dengan diganduli tanda tanya, Parameswara mengikuti saran dan petunjuk
Brahmana Lohgawe itu. Tidak sebagaimana biasa kuda Sapu Angin tidak berani
berderap 288 terlampau kencang, sesekali Kuda Sapu Angin malah berhenti. Parameswara terpaksa
memerhatikan ke depan. Setelah mencermati dengan seksama Parameswara akhirnya
tahu apa yang menyebabkan kudanya ketakutan.
"Gila, ular, besar sekali," desis pemuda itu.
Sebenarnyalah di depan tengah menghadang seekor ular yang cukup besar tengah
melingkar, setidak-tidaknya ular sebesar itu tentu sanggup menelan seorang
manusia. Jika ular itu membelit tubuh kuda Sapu Angin maka tulang belulangnya
bisa remuk. "Kita terpaksa menghindar Sapu Angin, carilah jalan lain," kata Parameswara.
Sapu Angin yang diam dengan hati kecut itu kemudian melangkah lagi, membelok
ke arah kanan. Parameswara melihat di arah depan, kuda yang diam melingkar itu
ikut bergerak pula, agaknya ular besar itu berniat menyergapnya dan menjadikan
dirinya sebagai santapan. "Cepatlah, Sapu Angin kita harus menghindar," kembali berkata Parameswara.
Apa boleh buat Parameswara terpaksa mencari jalan lain lagi. Dari ukuran ular
yang sedemikian besar itu Parameswara mendapatkan gambaran yang lebih rinci bagaimana
dan binatang apa saja isi padang ilalang yang amat luas itu. Juga dari arah
timur, lagi-lagi terdengar serigala melolong bersahutan, seolah binatang berkaki
empat berbulu loreng itu tengah mengumumkan daerah yang menjadi wilayah
kekuasaannya. Di arah yang lain
lagi terdengar suara mengaum lebih dahsyat, siapa lagi kalau bukan sang penguasa
hutan. Suaranya yang menggelegar itu seketika membungkam segenap jerit dan lolong
serigala. Bahkan para serigala itu bubar berhamburan mendengar suara auman yang ternyata
amat dekat itu, rusak pula wilayah kekuasaannya. Malang bagi seekor serigala yang
karena begitu gugup, berlari ke arah yang salah justru mendekati harimau besar itu.
Lengkingnya terdengar menyayat ketika harimau besar itu menerkam dan mencabik-
cabik tubuhnya. Parameswara adalah pemuda yang pemberani, tegar dalam menghadapi keadaan
apa pun. Keluar masuk hutan lebat yang ada di sekitar Perguruan Kembang Ayun
sudah menjadi santapannya sehari-hari, jika berburu binatang untuk memenuhi kebutuhan
daging, Parameswara bisa sampai berhari-hari lamanya. Parameswara sama sekali
tak gentar menghadapi keadaan seperti itu.
Namun di Karautan itu, Parameswara merasa miris.
Wilayah yang bukanlah hutan belukar liar, di mana sejauh mata memandang yang
tampak hanya padang ilalang namun justru menumbuhkan rasa ngeri yang amat
kental. Seolah benar apa yang diyakini para penduduk, tempat itu menjadi tempat yang
sangar akibat Batari Durga membuang anak, buah selingkuhnya ke tempat itu.
"Keparat," tiba-tiba saja Parameswara yang berkuda itu mengumpat.
Parameswara teringat pada asal-usul jati dirinya sendiri.
"Ayo Sapu Angin, agak lebih kencang," ucap pemuda itu sambil menggerakkan
kendali kudanya. Jarak yang ditempuh ternyata bukanlah jarak yang pendek yang masih diperparah
lagi dengan gerak yang tersendat. Macam-macam binatang berbahaya yang keberadaan
mereka bisa ditandai dengan jelas oleh Sapu Angin. Akan tetapi Kuda Sapu Angin
yakin Parameswara adalah orang yang bisa diandalkan, yang pasti sanggup menghadapi
bahaya sebesar apa pun. Setelah beberapa saat lamanya perjalanan ditempuh, Parameswara makin mendekati
tempat yang dituju. Rupanya perapian yang terlihat sebelumnya tidaklah tepat
berada di tengah padang Karautan namun lebih agak ke tepi berbatasan dengan
perkampungan 289 yang telah kosong ditinggalkan penduduknya. Parameswara menemukan sebuah rumah
kosong yang bisa digunakan mengamankan kudanya. Parameswara memerhatikan bilik
rumah kosong itu yang agaknya cukup terlindung.
"Kau aman di sini," bisik Parameswara, "bahkan ular pun tidak akan bisa masuk.
Tenang saja, aku pasti kembali. Sekarang aku akan masuk lagi ke padang alang-
alang itu untuk melihat ada siapa di sana."
Parameswara merasa yakin tempat berlindung untuk Sapu Angin sudah cukup aman
kecuali yang datang adalah harimau besar yang sanggup menjebol dinding sirap
dari kayu jati yang cukup tebal. Namun Parameswara menakar, kecil kemungkinan
itu terjadi. Dengan mengendap-endap Parameswara kembali memasuki lebat Padang Karautan
dan mendekat sumber api. Dari tempatnya Parameswara melihat beberapa buah gubuk
yang dibangun dengan cara khusus. Untuk supaya aman dari ular atau binatang lain
gubuk-gubuk itu ternyata dibangun cukup tinggi dari tanah bertumpu pada tiang-
tiang bambu. Perapian yang dibuat di beberapa tempat sudah cukup untuk mengusir para
ular, sementara jika yang datang adalah harimau, puluhan batang anak panah bisa
melukai binatang bertaring itu. Mungkin belajar dari pengalaman, para raja hutan tidak
ada yang berani mendekat.
"Saat keluar dinding batas Kotaraja aku dapatkan pesan dari orang yang tidak aku
kenal agar aku pergi ke Padang Karautan untuk menyelamatkan seseorang. Siapa
orang yang menyuruhku, maupun siapa orang yang harus kutolong sama-sama tidak
kuketahui. Lalu di sini aku bertemu dengan Brahmana Lohgawe. Anehnya Brahmana Lohgawe
justru memintaku menyelamatkan perampok-perampok itu dari keganasan pemuda aneh
bernama Ken Arok. Bagaimana ini?" pikir Parameswara.
Akhirnya Parameswara berhasil melihat dengan cermat. Terdapat beberapa buah
gubuk yang dibangun di tempat itu. Beberapa perapian terus menyala karena dijaga
seseorang yang berjalan mondar-mandir sambil memerhatikan keadaan.
"Tentu ada beberapa orang yang tidur di dalam gubuk itu," desis Parameswara pada
diri sendiri. Parameswara bahkan bingung tak mengerti bagaimana harus bertindak. Permintaan
Brahmana Lohgawe amat sulit diterjemahkan. Untuk menolong perampok itu saja
sudah aneh, lalu bagaimana cara mengerjakan, itu tentu lebih aneh lagi.
Akan tetapi tiba-tiba Parameswara terbelalak. Ada sesuatu yang dilihatnya yang
menyebabkan denyut jantungnya serasa berhenti berdetak. Parameswara menggigil
amat marah, darahnya mulai terangsang mendidih. Di arah pandangnya, tak jauh dari
seorang laki-laki yang berjalan mondar-mandir itu, ada sebuah tiang kayu. Yang merampas
perhatian Parameswara adalah seseorang yang terikat pada kayu itu. Melihat siapa
orang yang terikat, Parameswara gemetar.
"Sial," dengan nada setengah berbisik, "kenapa dia sampai berada di sini?"
Parameswara terus memerhatikan dan menghitung keadaan. Parameswara akhirnya
melihat kebenaran pesan yang diterimanya dari orang yang tidak diketahui siapa,
bahwa ada orang yang harus ditolong. Parameswara bahkan merasa bersyukur
mendapat pesan itu karena kalau tidak, terlampau mengerikan membayangkan apa yang bakal
terjadi. Keberadaan orang yang terikat itu menjadi sebuah hal yang sulit dimengerti.
"Mengapa adikku bisa keluyuran sampai di tempat ini?" ucap Parameswara, tidak
sekadar dalam hati namun benar-benar terucap dari mulutnya.
"Jadi dia itu adikmu?" terdengar pertanyaan dari belakangnya.
290 Parameswara terlonjak. Parameswara bergegas menoleh dan mendapati seorang
pemuda sebaya dengan dirinya telah berada di belakangnya. Parameswara
memerhatikan sosok pemuda yang baru muncul itu dengan seksama. Diperhatikan dari ujung kepala
hingga ke ujung kakinya. Parameswara berdesir, ternyata benar apa yang dikatakan
Brahmana Lohgawe, terdapat sesuatu yang aneh pada pemuda itu. Ada cahaya lamat-
lamat menyelubunginya. Lebih dari itu betapa hebatnya pemuda itu karena kehadirannya sama sekali tidak
diketahui oleh Parameswara.
"Kau Ken Arok?" tanya Parameswara.
Pemuda itu tersenyum lepas.
"Gadis yang terikat itu adikmu?" Pemuda itu balik bertanya.
Parameswara mengangguk. "Ya," jawabnya.
Parameswara melihat, betapa gemerlap mata pemuda yang ia duga Ken Arok itu.
Mata yang liar, menjadi gambaran kecerdasan sekaligus kebengisan.
"Kalau begitu, kautunggu saja di sini," kata Ken Arok, "padang Karautan ini
milikku. Aku Ken Arok, aku tidak senang ada orang berbuat semena-mena seperti
itu di daerahku. Akan kuselamatkan gadis itu, tenang saja."
Pemuda tampan yang aneh itu melangkah meninggalkan Parameswara. Anak Ki
Ajar Kembang Ayun terlambat menyadari keadaan.
"Tunggu," cegah Parameswara.
Namun pemuda itu menoleh pun tidak. Ken Arok itu terus melangkah menyibak
lebat ilalang tanpa rasa takut, bahkan Parameswara kemudian melihat, tidak
terdengar suara binatang apa pun di tempat itu tenggelam oleh wibawanya yang demikian
besar. Parameswara menandai kehadiran pemuda itu benar-benar meninggalkan jejak yang
aneh, bahkan binatang sekecil cenggeret hilang suaranya.
Parameswara bergegas mengikuti langkahnya dari belakang.
Akhirnya pemuda aneh itu telah berada pada jarak yang amat dekat dengan gubuk-
gubuk yang dibangun di tepian Karautan itu. Parameswara menunggu dengan harap-
harap cemas apakah yang akan dilakukan pemuda itu. Permintaan Brahmana Lohgawe
agar ia menyelamatkan segenap perampok yang menggunakan tempat itu sebagai
persembunyian tidak dipikirkannya lagi.
Pemuda aneh bernama Ken Arok itu menengadah ke langit, mungkin mencari ujut
Dewa sesembahannya, atau mungkin mencari di mana bintang yang menjadi perwujutan
mendiang Ibunya yang telah lama pergi meninggalkannya. Parameswara terperanjat
dan terpaksa menutup telinganya ketika pemuda itu mengaum dahsyat menirukan suara
raja hutan. Suaranya menggelegar sangat keras, menusuk-nusuk gendang telinga. Bahkan
suara harimau yang sebenarnya, kalah oleh suara pemuda itu.
Akibatnya sungguh luar biasa.
Para penghuni gubuk-gubuk yang dibangun di Karautan itu kaget dan berlompatan
turun dari panggungan gubuk. Beberapa di antaranya bingung karena merasa masih
berada di dalam mimpi. Demikian juga dengan gadis yang terikat pada kayu itu,
tersentak kaget dan merasa seperti akan copot jantungnya. Yang membuat
Parameswara merasa lebih kaget lagi ketika dari gubuk yang paling ujung muncul seseorang yang tidak
akan dilupakan wajahnya, ia adalah Ranggasura.
291 "Gila, ternyata Ranggasura, anak Kuda Rangsang," desis Parameswara, "jangan-
jangan paman Taji Gading ada di sini pula. Nasib apa yang dialami adikku setelah
berada di antara mereka?"
Parameswara mendadak cemas membayangkan Narasari mengalami nasib buruk,
justru karena dia seorang gadis berada di antara laki-laki yang boleh dibilang
liar semua. Apabila benar Narasari mengalami bencana itu maka berbeda pendapatnya dari apa
yang diinginkan Brahmana Lohgawe, para perampok itu mungkin memang harus dibasmi
seperti membasmi belalang perusakan tanaman atau babi hutan yang mengganggu
tanaman palawija di ladang.
Parameswara yang memerhatikan keadaan melihat tidak berapa lama dari gubuk
yang semula dipergunakan Ranggasura, turun pula seorang wanita melalui tangga.
Kaget yang dialami wanita itu mendengar suara harimau mengaum dahsyat, menyebabkan ia
lupa membenahi tubuhnya. Atau barangkali wanita itu memang tak punya urat malu.
"Harimaunya mana?" tanya wanita itu dengan gugup sekaligus didorong rasa ingin
tahu yang besar. "He, yang mengaum tadi harimau bukan?" tanya lelaki lainnya, seorang lelaki
dengan luka yang melintang di kepala.
Kemunculan Ken Arok mencuri perhatian.
"Siapa yang mengijinkan kalian mendirikan gubuk di tempat ini?" tanya Ken Arok.
Orang-orang penghuni gubuk panggung itu kaget dan memerhatikan arah sumber
suara. Mereka merasa heran dan kaget karena di waktu menjelang pagi itu tiba-
tiba muncul seorang pemuda. Orang-orang itu masih mencari-cari namun harimau yang
baru saja menggetarkan udara itu belum kelihatan loreng kulitnya.
"He, siapa kau?" tanya Ranggasura.
Ken Arok itu menggeram. Suaranya amat mirip suara harimau menyebabkan semua
orang di tempat itu kaget. Bahkan Parameswara juga ikut kaget, maka tahulah
semua, suara yang diduga harimau itu ternyata berasal dari mulut pemuda itu.
"Siapa yang mengijinkan kalian menempati tempat ini?"
Kembali pemuda liar itu bertanya, suaranya datar namun sangar ditambah tatapan
matanya yang entah mengapa sanggup membuat gentar. Yang tidak disadari oleh
semua orang adalah, betapa pemuda itu memiliki wibawa yang besar. Pandang matanya yang
tajam dan amat sirik menimbulkan rasa cemas.
Suara ribut-ribut itu ternyata menarik perhatian seseorang yang segera keluar
dari gubuk paling ujung. Parameswara merasa degup jantungnya berhenti ketika melihat
Ki Ajar Taji Gading yang keluar dari gubuk paling besar itu. Bahkan dari gubuk di
sebelahnya yang sama besar lagi muncul Kuda Rangsang. Parameswara yakin orang
itu adalah Kuda Rangsang meski wajahnya ditutup oleh secarik kain. Agaknya ke mana
pun dan dalam keadaan apa pun Kuda Rangsang pasti menyembunyikan wajahnya.
Parameswara benar-benar heran dan sulit mengerti keberadaan orang-orang itu di
tempat itu. "Kuda Rangsang dan paman Taji Gading. Ada apa mereka berada di tempat ini"
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa pula yang mereka lakukan pada Narasari?" ucap Parameswara untuk diri
sendiri. Parameswara benar-benar gelisah. Namun Parameswara segera menempatkan diri
menyimak pembicaraan yang akan terjadi. Parameswara melihat Kuda Rangsang sedang
kebingungan. "Ada apa ini?" tanya Kuda Rangsang.
292 Ranggasura bergegas mendekati ayahnya. Rasa takut yang muncul menyebabkan
Ranggasura menempatkan diri berlindung di belakang ayahnya.
"Ada orang ini, ayah," jawab Ranggasura.
Kuda Rangsang memerhatikan pemuda yang baru saja ditunjuk anak lelakinya.
Kuda Rangsang terdiam sedikit lebih lama untuk upayanya memahami keadaan aneh
itu. Namun Kuda Rangsang merasa tidak menemukan jawaban apa pun.
"Siapa kau?" tanya Kuda Rangsang.
Pemuda tak dikenalnya itu memandang Kuda Rangsang beberapa saat lamanya.
Kuda Rangsang merasa ada desir yang merambati dadanya. Wibawa yang dimiliki
pemuda itu memang amat besar. Lebih dari itu Kuda Rangsang melihat adanya
sesuatu yang tidak wajar pada pemuda itu meski ia tidak bisa menyebut dengan tegas apa
yang aneh itu. "Gila, siapa kau ha?" kembali Kuda Rangsang bertanya, suaranya terdengar
melengking. Dengan tanpa menyimpan secuil rasa ragu sekalipun Ken Arok mendekat.
"Namaku Ken Arok. Akulah pemilik Padang Karautan ini," jawabnya.
Parameswara bergeser lebih maju lagi. Kuda Rangsang meski dengan ketajaman
hatinya mampu melihat ada sesuatu yang ajaib pada pemuda itu merasa geli
mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya.
"Padang Karautan ini milikmu?" tanya Kuda Rangsang sambil tertawa.
Ken Arok membalas menggeram menirukan suara harimau menyebabkan Kuda
Rangsang yang tertawa langsung terbungkam mulutnya. Wibawa pemuda itu benar-
benar luar biasa. Ken Arok melangkah lebih dekat, diperhatikannya gadis yang terikat
pada sebatang kayu. Ken Arok kembali berbalik.
"Aku tidak senang ada orang yang menggunakan tempatku tanpa minta ijin. Oleh
karena itu kalian semua, bersiaplah untuk mati," ucap pemuda itu tanpa berbasa-
basi. Ancaman itu terdengar sangar. Namun tentu saja terasa menggelikan bagi Kuda
Rangsang beserta segenap anak buahnya. Apalah yang bisa dilakukan oleh hanya
seorang menghadapi banyak orang, apalagi bersama mereka hadir pimpinannya Kuda Rangsang
dan Taji Gading, yang masing-masing bukan orang yang bisa dianggap remeh.
Namun Ken Arok benar-benar tidak suka berbasa-basi. Pemuda itu menggeram
sangar, yang entah mengapa menyebabkan Parameswara cemas. Cemas karena apa"
Ternyata pertanyaan sederhana itu tidak ada jawabnya.
Tiba-tiba saja Ken Arok melejit amat cepat dengan gerak yang amat sulit diikuti
mata. Sekali ayun tangannya menyambar deras menghajar kepala salah seorang anak
buah Kuda Rangsang. Akibatnya amat mengerikan, kepala orang itu pecah
berantakan. Otaknya berhamburan mengotori wajah pemuda itu.
Kuda Rangsang benar-benar terperanjat. Maka terbuka mata Kuda Rangsang untuk
tidak meremehkan pemuda itu.
"Kepung orang ini," perintah Kuda Rangsang dengan lantang.
Beberapa orang anak buah Kuda Rangsang segera berloncatan mengepung Ken
Arok. Pedang-pedang mereka segera dilolos dari sarungnya. Ayunan pedang itu siap
meranjab tubuh Ken Arok dan menilik kekejaman para perampok itu hal itu mungkin
terjadi. Namun Ken Arok tidak menyisakan perhatian secuil pun kepada orang-orang
yang mengepungnya. Ketika Ken Arok menebar pandang menyapu wajah mereka, anak
293 buah Kuda Rangsang berloncatan mundur. Terlihat betapa besar wibawa pemuda aneh
itu. "Akan kubunuh kalian semua, tidak akan kusisakan satu pun di sini. Kalian
lancang menggunakan Padang Karautan ini untuk persembunyian maka tempat ini akan
menjadi kuburan kalian, menjadi santapan burung-burung pemangsa bangkai."
Kuda Rangsang memberi isyarat kepada Taji Gading. Taji Gading yang semula
diam itu ikut mengepung Ken Arok. Dari awal, Taji Gading merasa curiga, pemuda
aneh yang mengaku bernama Ken Arok itu tidak boleh dianggap remeh.
"Siapakah sebenarnya kau anak muda?" tanya Taji Gading.
Taji Gading melihat ada sesuatu yang tidak wajar membungkus tubuh pemuda itu
semakin lama semakin jelas.
"Tak ada gunanya aku jawab karena kau akan mati," Ken Arok menjawab dengan
suara yang sangar. Melihat pemuda bernama Ken Arok itu siap menyerang menempatkan Taji Gading
untuk mempersiapkan diri pula. Tidak seperti Kuda Rangsang yang sangat
meremehkan pemuda itu sebaliknya Taji Gading justru mempersiapkan diri dengan baik. Ken
Arok tiba-tiba mengaum lagi, suaranya benar-benar seperti harimau. Justru karena
pemuda itu sanggup mengaum aneh dan suaranya bisa bergetar menusuk gendang
telinga hal itulah yang membuat Taji Gading tidak berani meremehkannya.
"Bunuh dia," teriak Kuda Rangsang dengan tiba-tiba sambil memberi aba-aba,
tangannya mengayun. Serangan yang dilakukan Kuda Rangsang itu bukanlah serangan untuk menjajagi
keadaan akan tetapi benar-benar ayunan tangan yang sanggup membunuh. Rupanya
Kuda Rangsang tidak senang melihat salah seorang anak buahnya mati dengan kepala
berantakan di tangan pemuda yang tampaknya liar itu. Akan tetapi dengan amat
mudah pemuda bernama Ken Arok itu meliukkan tubuh menghindari serangan yang datang.
Bahkan kaki kirinya mampu menendang dan mencuri kesempatan menghajar pantat
Kuda Rangsang. Kuda Rangsang yang nyaris terjerembab segera melenting lagi dan tergesa-gesa
mempersiapkan diri, Ken Arok yang bermaksud memburu terpaksa disibukkan oleh
kehadiran Taji Gading yang datang dari sebelah kiri dengan serangan beruntun.
Namun Taji Gading juga dibuat kerepotan oleh pemuda bernama Ken Arok itu. Balasan yang
juga beruntun menyebabkan Taji Gading benar-benar seperti kekurangan waktu.
Kuda Rangsang yang bangkit kembali segera melenting dan menyiapkan sebuah
serangan. Menilik keadaan yang ada, tampak benar betapa pemuda aneh itu tidak
bisa diremehkan. Apalagi ketika diperhatikan dengan cermat, tubuh pemuda itu bagai
diselimuti oleh cahaya kebiru-biruan. Seumur-umur Kuda Rangsang tak pernah
melihat keganjilan seperti itu. Kuda Rangsang mempersiapkan diri. Segenap anak buahnya mempersiapkan diri
pula. Hanya Ranggasura yang merasa ngeri setiap kali mendengar pemuda itu
mengaum menirukan suara seekor harimau. Ranggasura sebenarnya memiliki kemampuan olah
kanuragan yang cukup tinggi, kemampuan olah kelahi yang telah dilihat secara
langsung oleh Parameswara ketika menolong Swasti Prabawati. Namun Ranggasura
memiliki cacat jiwa yang menyebabkan tingkahnya tidak waras. Tingkah tidak waras itu terlihat
dari kegemarannya dalam kegiatan olah asmara, di mana-mana Ranggasura meninggalkan
jejak pemerkosaan yang tak terhitung jumlahnya. Kini kelainan jiwa itu muncul
dalam 294 bentuk lain. Ia melihat Ken Arok bukan sebagai manusia namun benar-benar harimau
paling ganas yang berbahaya dan akan mencabut nyawanya.
Alasan aneh macam itu menyebabkan Ranggasura memilih agak menjauh.
Ken Arok berputar dengan cepat bertumpu pada salah satu kakinya. Akan tetapi
putaran itu ternyata hanya sekadar awalan dari serangan yang aneh. Masih
bertumpu dengan kaki kirinya Ken Arok berputar agak mengayun, sehingga jarak jangkauan
kaki kanannya melebar. Dan cara menyerang yang tidak terduga itu terjadi, tiba-tiba
tubuh yang lentur itu menggeliat dan mengapung di udara dan dengan sangat cepat
terbang menerobos pedang dan tombak yang teracu kepadanya.
Sebuah sambaran kaki mengenai kepala, pecah berantakan kepala salah seorang
kaki tangan Kuda Rangsang. Otak yang berantakan itu justru mengenai wajahnya.
Darah yang amis bahkan mengenai sudut mulutnya.
Menggigil Ranggasura dan kakinya lemas.
Kuda Rangsang meloncat mundur. Taji Gading segera melenting mengambil jarak.
Akan halnya Ranggasura makin merasa ngeri melihat cara berkelahi pemuda itu.
Pemuda yang agak kurang waras pikirannya itu akhirnya memilih bersembunyi di balik
sebuah gubuk. "Gila!" desis Parameswara yang menyaksikan apa yang terjadi, "bengis sekali cara
berkelahi Ken Arok."
Kuda Rangsang yang sudah terbiasa berperilaku bengis, ternyata bisa merasa ngeri
melihat cara berperang tanding yang dilakukan pemuda bernama Ken Arok itu.
Benar- benar tanpa perasaan Ken Arok membunuh lawannya. Andaikata Kuda Rangsang tidak
memakai topeng maka akan kelihatan bagaimana perubahan wajahnya.
"Siapa sebenarnya kau anak muda" Siapakah gurumu?" tanya Kuda Rangsang.
Ken Arok hanya menjawab dengan auman kecil, sangar suara mirip harimau itu.
Sekali lagi Ken Arok menggeram dan kedua kakinya merenggang, tatapan matanya
melirik ke kiri dan ke kanan seolah membuat taksiran, lawan yang mana dulukah
yang akan dibantainya. Tiba-tiba pandangan Ken Arok berhenti kepada Ranggasura yang
bersembunyi di alik tiang penyangga gubuk yang tak mampu menyembunyikannya.
"Hei, apakah kaugemar bermain perempuan?" pertanyaan yang dilontarkan Ken
Arok itu tiba-tiba membelok.
Ranggasura menggigil. Ranggasura cemas pemuda harimau akan mengarahkan
perhatian padanya, apa yang dicemaskan itu ternyata benar.
"Aku paling tidak suka pada lelaki yang gemar mempermainkan perempuan. Oleh
karena itu, kali ini giliran kematianmu."
Ken Arok menutup ucapannya dengan menggerakkan tangan silang-menyilang. Taji
Gading dan Kuda Rangsang berjumpalitan siap memotong arah berusaha melindungi
Ranggasura yang berada dalam bahaya. Kekerdilan hati Ranggasura yang kalah
sebelum berperang menyebabkan pemuda gila itu justru tidak bisa berbuat apa pun.
Ranggasura pilih mendekam menunggu apa yang akan terjadi.
Ken Arok bergerak cepat. Kedua kakinya menjejak tanah melayang ke udara
dengan gesit, dijemput bersamaan oleh Taji Gading dan Kuda Rangsang. Sebuah
benturan terjadi menyebabkan Kuda Rangsang dan Taji Gading melayang mengambil
jarak. Namun dengan cepat Ken Arok sekali lagi menggeliat di udara. Parameswara
yang menyaksikan secara utuh apa yang terjadi terbelalak ketika Ken Arok memamerkan
kemampuan meringankan tubuh yang tak masuk akal. Ken Arok melesat jauh dan turun
295 tepat di belakang Ranggasura. Taji Gading dan Kuda Rangsang tidak punya waktu
untuk menolong Ranggasura. Kakak beradik itu hanya bisa menyaksikan apa yang terjadi.
Ranggasura terbeliak ketika sebuah tepukan mengenai punggung. Sejengkal setelah
ia bangkit, matanya nyaris copot ketika tangan pemuda yang mengaku pemilik
Padang Karautan itu telah menjebol dadanya dan menarik keluar jantung dari ikatan otot-
ototnya. "Mati aku, ayah," teriak Ranggasura.
Tubuh tanpa jantung itu kemudian ambruk dan masih menyempatkan diri untuk
berkelejotoan. Ketika tubuh itu akhirnya tidak lagi bergerak, tahulah Kuda
Rangsang anaknya telah mati. Pecah kepala Kuda Rangsang melihat Ken Arok mengangkat
tangan kanannya yang berlepotan darah. Sekali remas jantung di genggamannya pecah,
hancur dan berantakan. Namun Ken Arok ternyata masih belum cukup dengan permainannya. Bersamaan
dengan jantung di tangan kanannya ambyar menjadi serpihan kecil, bagai uler
kilan106 Ken Arok melenting mengayunkan tangannya susul, tak jelas kapan Ken Arok
memungut dua butir batu yang kini berada dalam genggaman tangannya, batu-batu itu melesat
cepat berusaha mengejar nyawa. Dua anak buah Kuda Rangsang sekali lagi terkapar.
Mati. Parameswara menggigil oleh rasa ngeri.
Kuda Rangsang juga menggigil namun oleh amarah yang tiada terkira.
"Gila," umpat Kuda Rangsang. "Kau telah membunuh anakku?"
Suara Kuda Rangsang sangat serak, penuh dengan gumpalan kemarahan.
Namun Kuda Rangsang benar-benar dibuat bingung dan terbelalak. Kuda Rangsang
adalah orang yang pilih tanding dan sekti mandraguna 107. Kuda Rangsang merasa
dirinya bukan orang sembarangan. Kuda Rangsang adalah bekas pemilik perguruan
Kembang Ayun di bumi Pesanggaran, dengan tingkat ketinggian olah kanuragan tak jauh dari
Padmanaba. Namun kini Kuda Rangsang dengan amat kasar dibuka matanya oleh sebuah
kenyataan yang ngedap-edapi108, bahkan nyaris tidak masuk akal. Seorang pemuda,
bahkan boleh disebut sebagai bocah kemarin sore, sanggup membuatnya kelabakan
kalang-kabut. Kuda Rangsang tetap sulit untuk mengerti bagaimana mungkin seorang
yang masih amat muda seperti itu, mempunyai olah kanuragan yang amat tinggi,
nyaris sulit diukur. Kuda Rangsang benar-benar heran dan takjub.
Sementara itu, Ken Arok kembali berancang-ancang, matanya melirik mencari
celah sebuah serangan. Akan tetapi lirikan mata Ken Arok itu sangat tajam,
tatapan mata yang sangar itu benar-benar membuat beberapa orang kaki tangan Kuda
Rangsang yang masih tersisa merasa kecut hatinya. Seolah mereka sadar akan tiba giliran mereka
untuk mati pula. "Sudah aku bilang," kata Ken Arok, "aku tidak senang ada orang berani memasuki
wilayah kekuasaanku tanpa meminta ijin padaku. Bersiaplah, semuanya akan pasti
akan mati kubunuh." Betapa sangar pemuda itu, memancing bulu kuduk berdiri, bahkan Parameswara
merasa desir amat tajam menggerataki seluruh permukaan kulitnya menusuk-nusuk
lewat aliran darahnya. Senada dengan Parameswara, Taji Gading benar-benar kagum
sekaligus 106 Uler kilan, jawa, nama ulat yang berjalan dengan menekuk tubuh lalu
melenting, hal yang sama dilakukan oleh ulat buah nangka.
107 Sekti mandraguna, jawa, berkemampuan kanuragan amat tinggi.
108 Ngedap-edapi, jawa, luar biasa.
296 menggenggam segumpal rasa cemas. Taji Gading yang merasa memiliki ilmu kanuragan
yang sudah tinggi sulit menerima kenyataan itu, bahwa betapa hadapannya kini ada
seorang pemuda yang masih belum seberapa usianya namun mempunyai kesaktian yang
barangkali tidak bisa diatasi, meski bersama dengan kakaknya sekaligus.
Kuda Rangsang yang tak bisa menerima kematian anaknya, berteriak melengking.
Kuda Rangsang bahkan sudah mengambil simpulan, tidak ada gunanya menghadapi
pemuda aneh itu dengan menggunakan ilmu kanuragan dengan bobot merangkak selapis
demi selapis. Kuda Rangsang memutuskan untuk menggunakan langsung puncak dari
Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuannya. Itu sebabnya Kuda Rangsang menggeram sambil mempersiapkan
sebuah kembangan silat, terlihat itu dari kedua tangannya digerakkan saling
silang sambil mulutnya berkomat-kami membaca puja mantra.
Parameswara melihat, tubuh Kuda Rangsang yang memiliki aji Panglimunan itu
mulai kabur. Bayangan tubuhnya seperti mengombak, semakin lama semakin tidak
jelas untuk kemudian lenyap sama sekali. Perjalanan waktu yang dibutuhkan untuk murca
amat cepat. Sebagaimana yang dicemaskan Ki Ajar Kembang Ayun dengan tubuh yang
lenyap dibungkus aji panglimunan seperti itu, Kuda Rangsang bisa berbuat apa
saja, bisa membunuh orang dengan mudah, bisa mempedayai wanita sebagai hasrat
perilaku cabul dengan mudah. Demikian juga dengan Taji Gading. Taji Gading yang pernah mendampingi Ki Ajar
Kembang Ayun puluhan tahun lamanya itu tidak mau berjudi dengan nasib. Taji
Gading segera mengikuti jejak saudaranya, Taji Gading juga matek aji109 panglimunan,
membuat tubuhnya lenyap pula dari pandangan kasat mata. Mula-mula tubuhnya
seperti diselimuti oleh kabut tipis yang semakin lama semakin pekat. Ketika
kabut itu bubar diterjang
angin, tubuh yang semula dibungkusnya lenyap entah ke mana bagai hilang ditelan
bumi. Namun berbeda dengan apa yang dilakukan Kuda Rangsang yang mampu melenyapkan
diri dari pandangan mata dalam waktu yang singkat, Taji Gading membutuhkan waktu
yang sedikit lebih lama. Melihat apa yang dilakukan lawan-lawannya itu, Ken Arok mengaum datar, namun
tinggi nada yang tajam menyayat. Parameswara yang memerhatikan semua sepak
terjang pemuda itu melihat nada yang berbeda. Sekarang suara mengaum itu lebih
menyerupai lolong serigala. Kini yang ada di hadapan pemuda sangar itu tinggal tiga orang
anak buah Kuda Rangsang. Mereka benar-benar merasa sedang berada di puncak
kengerian. Tubuh para temannya telah bergelimpangan menjadi mayat yang beku tak bernapas lagi.
Kaki tangan Kuda Rangsang amat sadar giliran mereka akan tiba.
Sekali lagi Ken Arok melengking dan melolong tajam, melolong menirukan suara
serigala kelaparan. Parameswara bertambah penasaran dan tak bisa menyembunyikan
kagumnya ketika dari jauh terdengar sahutan membalas. Dari segala penjuru suara
lolong itu bersahutan, berbalas dari arah barat, timur dan utara. Dengan caranya
Ken Arok menunjukkan sebuah kenyataan yang tak masuk akal, bahwa semua binatang penghuni
Padang Karautan tunduk padanya. Tak hanya para binatang, bahkan para hantu
pengikut Batari Durga sekalipun tunduk pada pemuda itu, menempatkan Ken Arok benar-benar
selayaknya Hantu Padang Karautan itu sendiri.
Sahutan serigala itu bahkan riuh sekali. Di arah lain, beberapa ekor harimau
ikut menyumbang suara, membalas panggilan Ken Arok. Parameswara terkejut ketika
sebuah 109 Matek aji, jawa, membangkitkan ajian, merapal
297 lengking dahsyat datang dari atas. Dalam cahaya temaram anak yang dibuang oleh
ayah kandungnya itu melihat cataka dan rajawali terbang rendah.
"Gila," desis Parameswara kecut, "jangan-jangan para burung pemakan bangkai
juga akan hadir di tempat ini."
Tidak disangkanya Ken Arok itu mampu menjalin hubungan yang begitu erat
dengan segala macam binatang. Parameswara menjadi tegang ketika suara serigala
yang riuh itu seperti berlomba adu cepat mendatangi tempat itu. Serigala itu tidak
merasa gentar dan tersaingi meski harimau juga ikut terpanggil oleh suara anak Gajah
Para dan Ken Endok yang konon berasal dari desa Pangkur itu.
Ken Arok melangkah bergeser. Ketiga orang lawannya yang ketakutan juga ikut
bergeser. Begitu takutnya mereka sehingga kakinya gemetar tak terkendali. Wibawa
Ken Arok yang liar dan tandang grayangnya yang nggegirisi merontokkan nyali mereka
serta mencampakkannya entah ke mana. Padahal dalam keseharian para kaki tangan
Kuda Rangsang itu orang-orang yang ganas, yang tak segan-segan membunuh dan memerkosa
untuk memaksakan kehendaknya. Dengan sirik Ken Arok memandang mereka satu
persatu namun sebenarnya Ken Arok tengah memerhatikan segala macam gerak dan
suara serta memilah-milahnya. Melalui ketajaman mata hatinya Ken Arok mencoba
memperkirakan di mana kedua orang lawannya yang membungkus diri di balik ajian
panglimunan berada. Tiba-tiba terdengar teriakan melengking. Kuda Rangsang yang berada di puncak
kemarahannya karena anak laki-laki yang dikasihinya mati nista, melejit
mengayunkan serangan dahsyat. Kuda Rangsang tidak menunggu lagi, di genggaman tangannya ada
kekuatan puncak dari Ajian Riung Laut. Sebuah kemampuan yang bila dihantamkan
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 3 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Tujuh Pedang Tiga Ruyung 2