Pencarian

Ching Ching 11

Ching Ching Karya ??? Bagian 11


semua tahu Kim-gin-siang-koai-coa tidak suka memberi ampun pada siapa yang
membangkang. Mengerti kau?"
"Baik, Nio." "Kau tak usah pusingkan satu gadis. Di kolong langit masih banyak yang tak kalah
cantik dengan gadis itu."
"Siauw-jie tahu."
"Marilah pergi. Masih ada urusan kita yang lain."
Dalam sekejapan mata saja dua orang itu sudah menghilang, meninggalkan hutan
gelap yang semakin sunyi.
Lan Sioe Yin diam-diam kembali ke kamarnya. Ia sedikit terburu-buru lantaran
takut ketahuan orang. Ia tahu hal itu sebenarnya tidak perlu, namun rasa
bersalahnya menyebabkan dia ketakutan sendiri.
"Yin-cie, dari mana?" sapaan halus di belakangnya hampir membuat Sioe Yin
menjerit kaget. Ia lekas menoleh dan menampak Boe Sin Mei memandangnya
bercuriga. "Eh, aku ... aku habis memeriksa penjagaan."
"Oh" Aku sedari tadi di tempat berjaga, mengapakah tak bertemu?"
"Aku ... aku memeriksa yang ronda."
"Aku baru saja bertemu mereka dan tak ada yang melihatmu."
"Kau sengaja mencari aku" Ada urusan apa?" Sioe Yin mengelak dari pandang mata
Sin Mei yang minta penjelasan.
"Tidak ada. Hanya Nio menyuruhmu tidur siang-siang supaya tidak kecapekan."
"Ya, aku juga akan segera istirahat."
"Sioe Yin Cie, aku lihat kau melompati tembok belakang," kata Boe Sin Mei dengan
nada sinis. Lan Sioe Yin kaget sekali. Ia memandangi Sin Mei dengan mata
terbelalak. "Sin Mei, mohon kau jangan bilang siapa-siapa."
"Baiklah. Aku tak akan bilang asal kau katakan siapa yang kautemui."
"Aku ... aku tak dapat ..."
"Kalau begitu aku juga tak menjanjikan - "
"Namanya Ciang Bun. Sin Mei, jangan kau bilang siapa pun. Aku mohonkan padamu."
"Sioe Yin Cie, janganlah kau terlalu kuatir." Boe Sin Mei tersenyum menenangkan.
"Hari telah larut. Marilah kita beristirahat," katanya sembari menggandeng Sioe
Yin ke kamar mereka yang memang berdekatan.
Sie Ling Tan sebagai murid kesayangan dan tangan kanan Lie Chung Yen tentu saja
tak kalah sibuk dengan gurunya. Namun, pemuda itu tak pernah mengeluh. Ia senang
melakukan semua, apalagi Sioe Yin selalu membantu.
Hanya ada satu yang mengganggu Ling Tan selama ini, yaitu Boe Sin Mei yang
selalu mengikut ke mana pun pergi. Ling Tan bukan tak tahu gadis itu sudah lama
menaruh hati padanya. Namun, jauh-jauh hari Ling Tan sudah terpaut pada Sioe
Yin. Dulu ia masih meladeni Sin Mei lantaran mengira ia sebagai Ching-ching,
puteri soe-hoenya. Tapi, kini setelah terbongkar semua, ia jarang beramah-tamah
dengan gadis itu. "Tan Ko-ko, hendak ke manakah?" Boe Sin Mei menyapa. "Apakah kau tidak melatih
Ching Ching 332 saudara-saudara yang lain?"
"Tidak. Soe-hoe bilang, hari ini boleh tak latihan sampai tengah hari."
"Gie-hoe mungkin kuatir pada kecapekan."
"Bisa jadi. Eh, adakah kau melihat Yin-moay?"
"Dia ada di kebun belakang. Ada urusan apa dengan dia?"
Ling Tan menggumam, menyahuti pertanyaan Sin Mei. Pemuda itu bergegas pergi.
Tentu saja Boe Sin Mei menjadi mendongkol. Apalagi, sewaktu ia berseru
memanggil, Sie Ling Tan seperti tidak mendengar. Padahal, suara Sin Mei tidak
pelan dan ia tahu juga bahwa Ling Tan belum tuli. Gadis itu menjadi kesal
sekali. Ia mengikuti Ling Tan dari belakang.
Si pemuda tentu saja risih dibuntuti begitu. Ia menoleh dengan pandang tak
senang. "Ada apa lagikah?"
"Tidak!" sahut Sin Mei dongkol. "Aku sekadar mau lewat." Dengan kesal gadis itu
pergi ke kamarnya." "Jie-siauw-sio-cia, Jie-siauw-sio-cia!" seorang pelayan menghampiri Boe Sin Mei.
"Hoe-jin memanggilmu ke kamar!"
"Ada urusan apa?"
"Tidak tahu." Setengah bergegas Sin Mei menuju kamar ibu angkatnya. Selama ini Han Mei Lin
jarang mengobrol dengannya. Ada urusan apakah sampai memerlukan memanggil"
Boe Sin Mei mengetuk pintu kamar dan segera masuk, begitu terdengar suara orang
menyahut. Ia lantas menampak ibu angkatnya sedang mematut sebuah pakaian indah
dari bahan mahal. "Ah, kau sudah datang. Marilah, coba kau kenakan ini." Han Mei Lin lantas
mengangsurkan bahan itu secara berhati-hati sekali.
Boe Sin Mei yang pada dasarnya menyenangi barang bagus, lantas kegirangan. Ia
lekas memakai pakaian itu yang ternyata pas sekali di badannya.
"Cocok, cocok," komentar Han Mei Lin. "Tinggal perlu disulam di sini dan di sini
supaya nampak semakin manis."
"Baju yang indah ini apakah Gie-bo sengaja menjahitkan sendiri?"
"Benar, dan ternyata cocok sekali di badanmu bukan?"
"Ya. Gie-bo sungguh ahli dalam menjahit. Apakah ini untukku?"
"Bukan, ini untuk Ching-ching. Potongan badannya sama denganmu, maka itu aku
perlukan kau buat mengepas baju. Oh ya. Untukmu sendiri sudah kubelikan beberapa
setel pakaian, sekarang ada di kamarmu. Kau cobalah. Kalau ada yang tak benar,
boleh kau datang kemari, nanti kuajari memperbaiki."
Boe Sin Mei tak berkata-kata lagi. Ia mencopot pakaian setengah jadi itu dengan
hati yang pedih. Gadis itu hanya menggumam sewaktu pamitan, namun Han Mei Lin
terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tak melihat perubahan muka sang anak
angkat. Anak angkat keluarga Lie itu berlari ke kamar dengan berurai air mata. Hari ini
sudah dua kali ia sakit hati. Pertama lantaran Lan Sioe Yin, kedua lantaran Lie
Mei Ching. Ia jadi benci kedua gadis itu.
Boe Sin Mei membanting pintu kamarnya kuat-kuat. Ia segera menumpahkan kekesalan
di pembaringan. Tak sengaja ia melihat setumpuk pakaian di samping bantalnya.
Tak usah diukur, pastilah pas di badan. Han Mei Lin pandai menaksir ukuran badan
orang. Ia juga pandai memilih bahan. Semua pakaian itu dari bahan mahal, yang
halus. Tapi tak semahal pakaian Ching-ching yang dijahit oleh ibu sendiri, kata Sin Mei
dalam hati. Semakin dipikir, Sin Mei semakin benci pada Ching-ching. Ia benci
Ching Ching 333 pada Han Mei Lin, Lan Sioe Yin, Sie Ling Tan, dan juga Lie Chung Yen. Segera
terbayang semua perlakuan tak adil padanya. Teringat juga bagaimana ayah
kandungnya mati di tangannya sendiri, cuma lantaran Lie Chung Yen.
Semuanya benci padaku! Semua tak sayang padaku! Buat apa nanti aku membela
mereka" Lihat saja nanti pembalasanku pada semua! Terutama pada Lie Mei Ching
itu! tekad Sin Mei dalam hati. Hatinya kini terbakar dendam. Dendam oleh rasa
jelus dan rasa iri yang semuanya bermula dari rasa kasihan pada diri sendiri.
Tiga hari telah lewat. Pada malam ketiga itu, Lan Sioe Yin kembali menyelinap
keluar dari kediaman keluarga Lie. Ia akan menemui Chang Lun di hutan kecil.
Sioe Yin pergi terburu-buru. Ia tak sadar bahwa ia tidak pergi sendirian. Ada
orang mengikutinya diam-diam!
Ketika tiba di tempat tujuan, Sioe Yin segera mencari orang yang mau ditemuinya.
Ia tak perlu susah-susah, Chang Lun lebih dulu melihatnya.
"Yin-moay, di sinI!" bisik pemuda tampan itu seraya menyentil sebatang ranting
kecil di tangan. "Bun Ko-ko?" "Ya, aku." "Kau datang. Tahukah, aku tak sabar tunggu tiga hari ini tiba."
"Aku pun demikian. Malam ini aku tak dapat lama. Abangku hendak bertemu pula.
Apakah kau membawa rencana pamanmu?"
"Bun Ko-ko, aku tak dapat menemukannya," kata Sioe Yin dengan nada menyesal.
"Aku sudah mencari di kamar baca dan juga di dalam kamarnya, tapi tak ada apa-
apa." "Yah, sudahlah. Apa boleh buat. Kau tak tahu apa-apa mengenainya?"
"Tidak. Siok-siok cuma membicarakan dengan Tan Toa-ko, sementara aku dipanggil
Siok-bo. Selama ini aku tiada sempat bicara dengan mereka, pula Siok-bo melarang
keluar dari rumah." "Sayang sekali, tapi kau tak usah bersedih. Aku pasti selamat."
"Bun Ko-ko, setelah malam ini baiknya kau jangan datang lagi."
"Kenapa?" "Bai-hok ada di mana-mana. Kutakut kau salah pijak dan ..."
"Kau terlalu kuatiri orang. Aku harus pergi sekarang, kau pulanglah. Belum
tenang aku kalau tidak mengawasi kau selamat keluar dari hutan ini."
"Baiklah, aku pulang. Bun Ko-ko, berhati-hatilah. Oh, kalau nanti kau bicarakan
abangmu, mohonkan supaya ia ampuni keluargaku, bolehkan?"
"Tentu, pergilah!"
Lan Sioe Yin melambai dan berlari pergi dari tempat itu. Chang Lun menanti
berapa lamanya sampai bayangan Siu Yin tak kelihatan lagi. Lalu ia berjalan ke
pinggiran semak di mana tergeletak sesosok tubuh. Pemuda she Chang itu
berjongkok dan membuka jalan darah orang yang terbaring itu.
"Kulepas totokanmu, tapi kau jangan coba lari atau berteriak. Asal tahu, aku tak
segan membunuh orang!"
"Tidak berani," terdengar sahutan lirih.
"Kau dari Pek-eng-pay?"
"Ya!" "Kalau begitu, tak dapat tidak kau mesti mati. Aku tak mau Yin-moay mendapat
susah!" Chang Lun mengangkat tangannya, siap membikin hancur kepala orang.
"Tunggu, kalau aku mati sekarang, kau yang terlebih rugi!"
"Oh" Bagaimana sedemikian?"
"Karena aku dapat membantu kau menghancurkan Pek-eng-pay."
Ching Ching 334 "Haha, kiranya kau seorang murid murtad. Baik, cara apa kau mau membantu?"
"Peta tempat membuat bai-hok ada padaku."
"Pantas Yin-moay tak menemukannya, rupanya sudah keduluan dicuri orang. Tapi
pangkat apa kau di Pek-eng-pay sehingga dapat mencurinya?"
"Kau tak usah tahu!"
"Tak mau bilang ya sudah. Aku telah tahu, kau mestilah anak angkat keluarga Lie
yang bikin ribut tempo hari bukan" Hahaha, sunggu Lie Chung Yen tak salah pilih
anak, sehingga menguntungkan aku di kemudian."
"Cukuplah! Katakan, kita mau runding tidak?"
"Apa yang kau minta atas pengkhianatanmu?"
"Setelah kaubunuh keluarga itu, perguruan dans emua harta kekayaan jatuh ke
tanganku!" "Tidak dapat. Seisi perguruan akan mati, kecuali mereka yang mau kerja sama
dengan kami. Maka itu, kau mau dirikan perguruan sendiri, kau mesti coba bujuk
mereka itu mengikut padamu."
"Baik, aku akan melaksanakan. Tunggulah kabar dariku tiga hari lagi."
"Tunggu, mana peta itu?"
"Tak dapat kuberikan sekarang. Mana tahu kau tiba-tiba menyerang."
"Lantas bagaimana aku percaya kau ada memiliki peta itu?"
"Aku tak menduga menemuimu. Kupikir Lan Sioe Yin hendak menemui kekasih
gelapnya. Barang begitu mana kubawa?"
Chang Lun mati langkah. Apa yang dikatakan Boe Sin Mei ada benarnya juga. Ia tak
dapat berbuat lagi. "Aku percaya kau. Akan tetapi besok malam kau mesti bawa
peta itu kemari." "Jangan kuatir. Kau boleh percaya padaku sebab aku sendiri tak sabar ingin
melihat terbantainya keluarga itu." Tanpa pamitan lagi, Boe Sin Mei meninggalkan
Chang Lun. Si gadis she Boe tidak main-main dengan ucapannya. Pagi berikut ia mulai
membujuk kawan-kawannya yang sedang istirahat selagi berlatih. Sin Mei
menghampiri mereka yang suram muka lantaran latihan berat pagi itu.
"He, marilah. Kalian tentu haus. Lihat aku bawa apa," gadis itu mengeluarkan
tujuh buah tho yang ranum.
"Kebetulan, jie-sio-cia, kami memang kehausan." Tak pikir dua kali, lima oran
gyang duduk agak jauh dari yang lain itu mengambil seorang satu.
"Bagaimana tidak haus, kalian latihan semenjak subuh. Heran aku, kenapa dari
kalian tak ada yang minta keringanan barang sedikit" Aku sendiri kasihat melihat
kalian." "Ini demi kebaikan kita juag. Kalau berlatih keras, tentu kemampuan kita
bertambah untuk menghadapi Kim-gin-siang-coa-pang," kata yang seorang.
"Tapi kalian apakah tak merasa kesal digembleng secara berlebihan?" pancing Boe
Sin Mei. "Kadang kalau sedang terlalu capek, kami juga kesal dan mengomel."
"Nah, kalau sedang begitu, tidakkan kalian sebal dan merasa ingin pergi dari
sini?" "Tidak sekali-kali!" sahut kelima murid itu serempak. "Kami sudah menetapkan pilihan, sampai
tuntas mesti dilaksanakan. Meski mati lantaran latihan dan bukannya lantaran
musuh, kami tak akan berganti pikiran!"
Boe Sin Mei kecewa. Apa yang diajarkan oleh Lie Chung Yen terlalu mengakar dalam
pada murid-murid ayah angkatnya itu. Kesetian yang ditunjukkan sulitlah
terlunturkan. Ching Ching 335 "Andaikata, aku misalkan saja, ada orang yang mau memberi kekayaan berlimpah,
tak habis seumur hidup dan menjamin kamu punya jiwa asal mau tinggalkan
perguruan, apa tindakan kamu?"
"Untuk apa harta berlimpah kalau nanti kita terus dikejar rasa berdosa lantaran
menjual jiwa saudara, kawan, dan sahabat pada musuh" Nantinya kita tak boleh
hidup tenang. Kalau begtu, segala harta intan berlian tak dapat menghibur."
"Sio-cia tanya-tanya untuk apakah?"
Sin Mei gelagapan. Ia tak siap ditanya demikian.
"Untuk apa lagi" Tentulah untuk menguji ketulusan hati kita. Bukankah begitu?"
Boe Sin Mei seolah mendapat pertolongan dan segera mengangguk mengiyakan.
"Benar, aku tak mau di antara kamu ada yang menyesal di kemudian hari. Jangan
salah sangka, aku cuma memikirkan kamu orang saja."
"Jie-sio-cia tak usah sungkan. Kami mengerti," kata yang lain.
Sin Mei juga tak lama-lama lagi. Ia lantas pamit dari situ. Kecewa bukan main
ia. Dari antara murid ayah angkatnya, yang paling tak ada semangat pun masih
membela perguruan. Apa lagi yang bisa diperbuat"
Tak sengaja Sin Mei melihat Sie Ling Tan, pemuda pujaan hatinya sedang
beristirahat pula. Inilah. Barangkali Ling Tan mau diajak kerja sama. Sin Mei
datang mendekat. "Tan Toa-ko!" sapanya.
"Jie-sio-cia," Ling Tan balas menyapa demi kesopanan.
"Toa-ko, kau lelah" Makanlah ini buah tho, tanggung sebentaran lelahmu akan
hilang." "Terima kasih. Aku sedang tak ingin. Kau simpan sajalah."
"Tidak dimakan sekarang, bolehlah di simpan." Sin Mei menjejalkan buah masak itu
ke tangan Ling Tan sehingga pemuda itu tak boleh menolak lagi.
"Kalau begitu terima kasih."
Sejenak keduanya terdiam.
"Tan Toa-ko, aku ingin ajukan satu pertanyaan padamu. Bolehkah?"
"Selama tidak menyangkut rahasia orang, aku tak perlu sembunyikan," sahut Ling
Tan berhati-hati atas pertanyaan yang mau disebut, sehingga menjawab demikian.
"Seandainya dapat, inginkah kau menjadi ketua perguruan Pek-eng-pay ini?"
"Ah, mana bisa aku" Soe-hoe lebih pantas."
"Kalau sesuatu menimpa Gie-hoe, bisa saja."
"Jie-sio-cia jangan bicara yang bukan-bukan!" tegur Ling Tan.
"Aku cuma memisalkan. Tapi kau ingin menjadi ketua, bukan?"
"Tentu saja. Menjadi pendekar besar yang terhormat, siapa tak suka?"
"Sebentar lagi keinginanmu terlaksana. Sebentar lagi Kim-gin-siang-coa-pang
datang menyerang, Gie-hoe akan susah selamat."
"Soe-hoe tak selamat, aku pun pasti binasa. Sudahlah, jangan harapkan yang
tidak-tidak. Semoga saja hasil latihan nanti dapat berguna."
"Percuma. Brelatih sampai cucurkan keringat darah belum dapat menang melawan.
Satu-satunya jalan selamat cuma dengan tunduk pada mereka."
"Kau ...!" Sie Ling Tan terbelalak kaget.
"Tan Toa-ko, apabila kita bekerja sama dengan mereka, kita tak akan
terbinasakan. Apabila kau dapat ajak serta beberapa murid, Pek-eng-pay tak akan
musnah dan kau boleh menjadi ketuanya."
"Bekerja sama dengan Kim-gin-siang-coa-pang" Mengkhianati partai sendiri" Kau


Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah gila!" "Itu bukan mengkhianat, melainkan bertindak menyelamatkan diri."
"Tak tahu malu kau berkata sedemikian! Tak ingat siapa memberimu makan-pakai
Ching Ching 336 selama ini" Benar-benar tak kenal budi!" Sie Ling Tan menghardik. "Tak usah
heran, padamu memang mengalir darah pengkhianat she Boe! Tak sudi aku bicara
denganmu!" Pemuda itu mengambil pedangnya dan bergegas pergi.
"Dalam darahku boleh jadi mengalir darah pengkhianat. Tapi apa mau kau sebut
gadis kecintaanmu yang berkawan dengan musuh?"
"Siapa kau maksudkan?" Sie Ling Tan berhenti.
"Lan Sioe Yin. Siapa lagi" Lantaran dia, kau abaikan aku. Padahal, di hatinya
ada orang lain yang bukan kau!"
"Dusta!" Ling Tan membentak. "Kau cuma mau menutupi kebusukanmu dengan
menyiarkan kebohongan."
"Tak percayakah" Tanyalah padanya siapa itu Ciang Bun, siapa nama yang
sebenarnya, dan apa hubungannya dengan Kim-gin-siang-coa-pang!" dalam kesalnya
Boe Sin Mei tak sadar berteriak.
Beberapa orang menoleh. Untung di antara mereka tak ada yang mendengar jelas,
kecuali Sioe Yin sendiri yang langsung memasang kuping begitu mendengar nama
'Ciang Bun' disebut. Gadis yang tengah berjalan itu menghentikan langkah.
Mukanya seketika pucat. Boe Sin Mei kebetulan melihatnya datang. "Nah, kau boleh tanya sendiri padanya."
"Sin Mei, kau ... kau sudah janji ..." Sioe Yin tergagap.
"Yin-moay, apakah benar?" tanya Ling Tan dengan suara gemetar.
Lan Sioe Yin lama terdiam. Pada akhirnya ia mengangguk pelan.
"Siapa dia?" "Namanya Ciang Bun."
"Tanya nama aslinya," desak Sin Mei.
"Tak peduli namanya yang asli, aku cuma kenal dia sebagai Ciang Bun," potong Lan
Sioe Yin. "Kenapa" Kau malu mengatakan bahwa dia tak lain adalah Chang Lun, putra kedua
Kim-gin-siang-koai-coa?"
"Kau diamlah!" kata Ling Tan.
"Kau sakit hati dan tak sanggup lagi mendengarnya?" ejek Boe Sin Mei.
Ling Tan tak mempedulikan. Matanya terus menatap Sioe Yin yang menunduk.
"Yin-moay, kenapa dia" Kenapa bukan orang lain" Orang yang gagah, seorang
pendekar?" "Tan Toa-ko ..."
"Kenapa penjahat itu?"
"Dia tidak jahat!" Sioe Yin membela. "Segala tindakannya yang tidak benar cuma
lantara dipaksa oleh ayah-ibu dan abangnya. Merekalah yang jahat. Kalau ia
melawan, ia tak akan selamat!"
"Alasan!" dengus Sin Mei.
"Tan Ko-ko, persoalan ini jangan sampai Siok-siok mengetahui. Aku mohonkan ..."
Ling Tan menatap lama-lama seraut wajah di hadapannya, yang memandang dengan
tegang, antara takut dan pengharapan memohon padanya. Dan mata yang terbelalak
itu berkaca-kaca. Ling Tan memalingkan muka. Ia tak tega melihat. Menyesal ia
menyadari wajah cantik itu bukan untuknya. "Yin-moay, jangan kuatir. Ini tak
bakal sampai kepada Soe-hoe."
"Kau gila" Dia pergi menemui laki-laki lain dan kau malah menutupinya?" Sin Mei
berseru heran. "Baiklah, tak perlu kau, aku saja yang melapor!"
"Kalau kau melapor, aku juga akan mengadukan segala omonganmu!" ancam Sie Ling
Tan. Boe Sin Mei tak berani berkutik. Ia memandang dendam pada Sie Ling Tan. "Kau
Ching Ching 337 tolol!" makinya, dan lantas pergi. Ia sungguh tak dapat menerima perlakuan si
pemuda. Belum lagi segala hinaan padanya. Kalau sebelum ini Sin Mei ragu untuk
berkhianat, kini ia malah semakin bertekat. Untung juga aku sempat menyalin peta
bikinan Gie-hoe tempo hari, pikirnya. Meski yang asli tak ada padaku, salinannya
bolehlah kuserahkan orang!
Chang Lun yang menerima peta itu di malam harinya terang saja merasa girang.
"Kapan kau mau menyerang?" tanya Sin Mei.
"Begitu putri keluarga she Lie datang, kami akan bikin habis mereka semua!"
"Menunggu Ching-ching" Berapa lama" Anak tengik itu tak bakal lekas pulang."
"Kalau tidak demikian, lain hari ia balas dendam. Itu lebih berabe."
"Lantara satu orang, kau tunda satu rencana besar" Sungguh tidak bijaksana!
Belum lagi kalau ia pulang bersama guru dan semua saudaranya seperguruan. Itulah
namanya berabe." "Kebetulan kami ada dendam pada Pek-eng-pay, sekalian saja kami bantai."
"Tapi makan waktu. Kenapa tidak segera bereskan urusan di sini, kemudian ke Pek-
eng-pay" Ching-ching tak bakal lari ke mana-mana lagi, pekerjaan juga terlebih
gampang." "Haha, rupanya kau benar tak sabaran, entah ada dendam apa sama mereka" Tapi
akalmu boleh dipakai. Baiklah. Kami akan 'berkunjung' secepatnya. Kapan waktu
yang baik" Besok malam apakah kau sedia?"
"Tidak. Jangan tengah malam. Saat fajar menyingsing paling tepat."
"Baik. Dalam waktu dekat kami datang. Tapi ingat, ini tak boleh ada yang tahu.
Dan pada mereka yang mau bergabung dengan kita, suruhlah memakai pita merah di
lengannya." "Tak usah. Selain aku, kau boleh habisi semua pendekar konyol itu."
"Ah, tepat sekali. Pendekar konyol! Sungguh tepat. Kau tunggulah saja waktunya,
haha." Belum lenyap tawanya, bayangan Chang Lun sudah lenyap.
Boe Sin Mei tersenyum sinis. Sebentar lagi seluruh kekayaan Pek-eng-pay akan
jadi miliknya, termasuk juga ilmu mereka, kitab pedang yang dimiliki ayah
angkatnya. Kemudian ia akan menghilang, hidup bersenang-senang di tempat lain
sampai tiba saatnya ia kembali ke kalangan Kang-ouw sebagai seorang pendekar!
Sudah beberapa hari Sie Ling Tan tak dapat tidur. Pengakuan Sioe Yin terus
menggelisahkannya. Ia masih tak mengerti, apa yang dilihat Sioe Yin pada Chang
Lun yang melebihinya" Memang, Chang Lun berkepandaian jauh lebih tinggi
daripadanya, tapi bagaimanapun hebat, ia tetap dari kalangan hitam, tak
sebanding dengan pendekar kalangan rendah sekalipun.
Sie Ling Tan terus mencari-cari kesalahannya sendiri di mata Lan Sioe Yin. Ia
tetap tak menemukan cacat. Dari tingkah gadis itu sendiri, ia merasa Sioe Yin
ada mempunyai perasaan lain terhadap dirinya meski mereka sama-sama belum berani
saling mengungkapkan. Itulah mengapa Ling Tan hampir tak mempercayai
pendengarannya sewaktu Sioe Yin mengaku.
Dan ini membuatnya penasaran terus-terusan. Tak terasa matanya tak dapat meram
beberapa malam. Juga kali ini. Tengah malam sudah lewat lama. Sebentar lagi
mentari muncul, namun tetap saja ia tak dapat terpejam.
Mendadak kupingnya mendengar senjata diayun. Tak mungkin ada yang berlatih dini
hari begini. Sie Ling Ten lekas berpakaian untuk kemudian keluar bersama
pedangnya. Ia tak melihat apa-apa, tapi tak ada guna kembali ke kamar. Pemuda
itu memutuskan untuk meronda sendiri.
Baru saja ia memutuskan, terdengar suara ramai di kejauhan. Ling Tan mengerahkan
gin-kang untuk naik ke bubungan atap. Ia melihat kelap-kelip cahaya obor. Tak
Ching Ching 338 jauh lagi. Musuh sudah mengepung! Seketika itu juga kentongan berbunyi di sana-
sini. Saat itu yang terlintas di kepala si pemuda cuma satu. Ia harus melindungi
gurunya! Sementara itu, di kamar Lie Chung Yen sudah terjadi peristiwa tersendiri.
Mendengar ribut-ribut di kejauhan, ketua she Lie segera mendusin. Ia lantas
bersiaga. Akan tetapi belum lagi keluar, pintu telah lebih dulu didobrak orang.
Boe Sin Mei masuk dengan pedang siap di tangan.
"Apakah mereka telah datang menyerang?" tanya Chung Yen. "Aku segera datang,
kalian duluanlah!" Tapi Boe Sin Mei tak menghiraukan ayah angkatnya. Ia terus saja menghampiri Han
Mei Lin yang duduk di pemaringan dan tanpa diduga menodongkan pedang ke leher
sang nyonya. "He, apa kau buat"!!" Lie Chung Yen yang tak menduga sama sekali tak dapat
berbuat banyak. "Jangan mendekat!" seru Sin Mei. "Atau kubikin putus lehernya!"
Lie Chung Yen terpaksa diam di tempat. Ia tak berani sembarangan bertindak. "Kau
jangan main gila. Ini apa-apaan?"
"Di mana kitab kitab?"
"Kau mengincar ilmu keluarga Lie" Jangan mimpi!"
"Tua bangka, kalau tak kauserahkan kitab itu, kau akan lihat ibu-anakmu mati di
hadapanmu!" Lie Chung Yen terperanjat, namun sebagai orang berpengalaman, ia dapat menekan
kagetnya dan malah balik membentak. "Apakah kau mau mengancam" Beginikah sikapmu
pada orangtua?" "Memangnya sikap bagaimana yang kau mau?"
"Sudah sinting kau rupanya. Benar menyesal aku peliharakan kau, bahkan
menurunkan ilmu keluarga kepadamu!"
"Aku bukan anak kandungmu, tak usahlah berlagak sayang. Sebaliknya, aku juga tak
perlu berlaku hormat padamu. Sekarang lekas kau keluarkan kitab itu, kalau tidak
..." Lie Chung Yen ragu-ragu. Kitab kitab adalah warisan soe-hoenya yang juga adalah
mertua. Itu adalah milik keluarga, mana boleh diberikan ke sebarang orang" Tapi
istrinya lebih berharga dari segala macam kitab silat. "Baiklah, asal
kaulepaskan istriku!"
"Jangan! Aku tak sudi warisan ayahku jatuh ke tangan penjahat!" teriak Han Mei
Lin. "Yen-ko, kau jangan tertipu. Lihatlah siapa yang datang bersamanya. Meski
nanti ia melepaskan kita, toh kita akan mati di tangan yang lain!"
"Tapi - " "Yen-ko, kitab itu cuma Ching-ching yang boleh mewarisi. Kau tak usah ragu, aku
tak akan biarkan orang lain merebutnya dari tangan anakku!"
Sembari berkata demikian, Han Mei Lin memegang tangan Boe Sin Mei yang memegang
pedang. Kemudian, secepat kilat ia bawa ke lehernya. Seketika darah muncrat
membasahi pembaringan. Han Mei Lin telah putuskan urat lehernya sendiri!
"Lin-jie!" Seperti macan terluka, Lie Chung Yen menggerung merebut istrinya yang
sudah jadi mayat dari Boe Sin Mei. Gadis itu sendiri sudah lekas mundur ke
samping Chang Lun. Beberapa lama Lie Chung Yen meratapi istrinya, tak peduli pada sekelilingnya.
Kemudian mendadak ia tersadar. Lekas disambarnya pedang dan bergerak mengincar
Boe Sin Mei. "Anak durhaka! Jangan harap keluar dari rumah ini dengan selamat!
Kau, dan anak jahanam itu!"
Ching Ching 339 "Heh, tadinya aku tak mau ikut campur, tapi lantaran kau maki aku, apa boleh
buat," kata Chang Lun.
"Baik! Majulah kamu berdua!" tantang Lie Chung Yen.
"Tak usah berdua, sendirian pun cukuplah melawan satu orang tua!" ejek Chang
Lun. "Bagus! Awas senjata!" Lie Chung Yen membuka serangan lebih dulu.
Sambil senyum-senyum merendahkan, Chang Lun mengegosi pedang lawan. Sewaktu Lie
Chung Yen menyerang lagi, ia juga tak banyak repot berkelit. Akan tetapi, nama
Lie Tay-hiap bukannya sebarang nama. Sejurus kemudian Chang Lun tidak dapat
menghindar melulu. Mau tak mau ia mesti menangkis atau membalas. Pemuda itu juga
tidak keberatan. Ia diperintahkan membunuh seisi wisma Pek-eng-pay, maka
pertempuran dengan Lie Chung Yen adalah bagian dari tugasnya.
Diam-diam Lie Chung Yen merasa kagum juga pada lawannya. Usianya belum lagi
mencapai dua puluh tahun, tetapi gerakannya gesit dan lincah. Ia mestilah
seorang yang cerdas berbakat. Sayang, moralnya ditempa dengan cara yang salah
sehingga menjadi penjahat muda.
"Pak Tua, ilmumu tak ada apa-apanya," ejek Chang Lun. "Apakah cuma sebegitu yang
kamu bisa?" Dalam pada itu Lie Chung Yen napasnya sudah sengal-sengal. Melihat Chang Lun
masih bisa tertawa-tawa, merosotlah semangat si orang she Lie.
"Anak muda, kau terlalu jumawa!" sahut Lie Chung Yen. "Sambutlah!" Setelah
memperingati, mendadak Chung Yen lompat ke udara, tangannya mengembang ke
samping dan setelah mendekat Chang Lun, ia mengayunkan tangan bersilang.
Pedangnya di tangan kanan menyabet leher orang!
Chang Lun menyadari serangan berbahaya, lekas menarik kepala ke belakang. Ia
lantas keluarkan kipas menangkis pedang. "Gerakan Hui-eng-coan-in (Elang terbang
menerjang awan) memang benar indah dan berbahaya, tapi belum apa-apa dibanding
ilmu Kim-gin-siang-coa-pang!"
"Jangan banyak mulu! Lihat pedang!" Lie Chung Yen tak banyak mengasih kesempatan
musuh untuk mengoceh. "Ha! Kau boleh lihat buktinya!" Chang Lun berggerak berpusingan menghindari
serangan berantai Lie Chung Yen. Kipasnya membuka-menutup dengan gerak yang
sudah diperhitungkan. Begitupun waktu kipasnya terpentang memapaki serangan Lie
Chung Yen dan mendadak menutup menjepit pedang di antara tulang-tulang kipas.
Sekali sentak saja, pedang Lie Chung Yen terpental menancap di tembok. "Budak
busuk, tak punya modal saja berani menantang Kim-gin-siang-coa-pang?"
"Tak ada pedang, aku masih ada dua tangan!" seru Lie Chung Yen.
"Benar mencari mampus!" Chang Lun menangkis pukulan Chung Yen.
Pendekar itu tidak puas. Ia melancarkan satu lagi pukulan ke dada orang. Kali
ini Chang Lun tidak menangkis, tak pula berkelit. Ia memapaki pukulan itu dengan
tangannya yang terbuka. Kini kepalan Lie Chung Yen terbungkus kepalan Chang Lun.
Sejenak keduanya terdiam dalam keadaan seperti itu. Boe Sin Mei yang menonton
mengawasi dengan tegang. Ia tahu dua orang itu sedang mengadu tenaga. Siapa yang
menang" Mendadak kedengaran suara barang patah, bersamaan Chang Lun berseru kaget.
Sebelah tangan Chung Yen yang bebas telah memukul pula, padahal sebelah tangan
yang lain tengah adu kekuatan. Pukulan tak terduga itu mengarah ke kepala. Namun
luput! Chang Lun terlalu gesit menghindar, tapi tak urung sebelah kupingnya
tersampok kesiuran angin.
"Sebelah tanganmu patah, mesti kupatahkan yang satu lagi?" ejek Chang Lun.
Ching Ching 340 Lie Chung Yen tak menjawab. Ia terus menyerang dengan sebelah tangan dan banyak
pula menendang. Namun, karena kesakitan akibat sebelah tangannya yang patah tak
berfungsi, terang saja kekuatannya jauh berkurang.
Chang Lun juga seperti tak mau banyak buang waktu. Kipasnya yang bertulang baja
mengeluarkan suara kesiuran waktu bergerak. Segera saja Lie Chung Yen jatuh di
bawah angin. Ia terpukul berkali-kali. Namun, pendekar itu bersemangat baja. Ia
tak juga menyerah sampai Chang Lun mulai tersengal.
"Sudah cukup aku melayanimu. Kini, mampuslah!" Chang Lun menggerakkan tangan dan
kakinya bersamaan, kipasnya juga berkelebat cepat. Kedengaran tiga kali beruntun
suara barang patah disusul muncrat darah dari dada Lie Chung Yen. Pendekar itu
tersungkur jatuh ke tangah dan diam tak berkutik.
Chang Lun mengerutkan kening. Ia agak kecewa pada diri sendiri. Kipasnya
mengarah leher orang, kenapa bisa meleset. Namun, mengingat betapa sebelum itu
Chung Yen telah patah tulang kedua tangan dan kakinya, Chang Lun tak terlalu
pikirkan kesalahan. "Dia sudah mati," katanya kepada Boe Sin Mei. "Sekarang tinggal membantai yang
di luar." "Marilah!" Dalam pada itu Sie Ling Tan yang berniat membantu gurunya tertahan sejumlah anak
buah Kim-gin-siang-coa. Pemuda itu mengayun pedangnya bersemangat. Namun,
lawannya terlalu banyak dan terlatih pula. Ia tak dapat gampang-gampang
meloloskan diri. Tak jauh darinya, Lan Sioe Yin dan pelayannya A-ping berpunggungan meladeni
pengeroyok. Kepandaian si pelayan yang tak seberapa sebenarnya cuma merepotkan
si nona, tapi Lan Sioe Yin mati-matian melindunginya.
Sie Ling Tan melihat ini. Ia juga lihat bahwa pengeroyok Sioe Yin tak sebanyak
yang mengerubuti dia sendiri. Gadis itu lebih gampang lolos bila mendapat
sedikit bantuan. Sebaliknya bila bertahan, tak lama lagi pastilah mendapat
cedera. Maka dari itu, Sie Ling Tan sengaja mundur mendekati Lan Sioe Yin. Setelah jarak
mereka tak jauh lagi, ia melompat tinggi melepaskan diri dari pengeroyoknya ke
arah Sio Yin dan membantu gadis itu.
"Yin-moay, kau lihatlah keadaan Soe-hoe. Aku saja yang menghadapi mereka."
"Tapi - " "Lekas!" Melihat Sioe Yin ragu-ragu, si pemuda mendorong A-ping ke pinggir.
Menguatiri pelayannya, Sioe Yin lantas menyusul. Lagipula ia percaya Ling Tan
dapat melindungi diri sendiri. lebih baik ia menengok keadaan peh-bonya.


Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu masuk kamar dan melihat dua tubuh yang terkapar bersimbah darah, A-ping
lantas menjerit ngeri. Lan Sioe Yin lebih tenang. Ia segera mendekati peh-bonya
kalau-kalau masih hidup. Namun, jiwa wanita itu telah lebih dulu melayang
meninggalkan raga. "Sio-cia, itu Loo-ya bergerak. Ia masih hidup!" jerit A-ping separo girang
separo ngeri. Lan Sioe Yin memburu peh-pehnya. Benar, meski luka parah dan napasnya
sengal-sengal, ia masih hidup. "Peh-peh!" panggilnya.
"Yin-jie, kau datang. Ambil di belakang lukisan. Berikan ... Ching-ching! Lekas!"
"Ya, Peh-peh." Sioe Yin terburu-buru menuju lukisan. Tapi di situ cuma satu
lukisan besar menutupi dinding. Apakah peh-pehnya tidak salah"
"Di belakang ... gambar ... elang terbang!" kata Lie Chung Yen. Berkata sebegitu
saja ia sudah kehabisan tenaga dan batuk-batuk. Maka dari itu Sioe Yin meski
Ching Ching 341 belum jelas tak berani bertanya.
Lantara terburu-buru, ia mengepalkan tangan dan menjebol gambar elang terbang.
Benar saja. Di belakang gambar itu cuma papan tipis dan ada tempat rahasia.
Dalam keadaan biasa pasti ada satu cara membukanya. Namun sekarang yang cepat
adalah lebih perlu. "Peh-peh, sudah ketemu!" Sioe Yin mengambil kitab yang ada di sana. "Inikah yang
mesti diserahkan kepada Ching-moay?"
Namun, Lie Chung Yen tak menjawab. Sioe Yin lantas mendekat dan mendapati peh-
pehnya telah menyusul sang istri ke akhirat.
"Jahanam! Siapa pun yang melakukan ini akan kubalas!" Dalam marahnya Lan Sioe
Yin berlari ke luar. Ia berlari terus sampai ke ruang tamu.
Ruangan itu sudah berantakan tak karuan. Di sana tak ada orang lagi. Yang ada
cuma mayat bertumpuk yang mandi darah menyebabkan di sana tercium bau amis yang
menyesakkan napas. Melihat kadaanmacam bebitu, darah Sioe Yin berdesir. Mendadak
ia sadar, sudah tak ada jalan keluar. Malam ini seisi Pek-eng-pay akan binasa.
Bila kelak Ching-ching pulang ...
"A-ping, marilah!" katanya. "Simpan kitab ini!"
"Tapi ..." A-ping tak dapat bertanya. Dalam keadaan tidak siaga ia telah ditotok
nonanya, sehingga tak dapat bergerak, tak dapat bersuara.
"A-ping, seandainya aku mati hari ini, kau mesti tetap hidup. Tunggu nona
kecilmu pulang. Berikan kitab ini kepadanya. Ingat, hanya kepada Ching-ching
saja! Kalau ada orang lain merampas, lindungi ini dengan seluruh tenaga, kalau
perlu dengan jwia. Dan bilang dia supaya membalaskan dendam keluarga!"
Sesudah memesan demikian, Lan Sioe Yin memondong pelayannya untuk diletakkan di
antara mayat yang bertumpuk. Satu sosok malah ditimpakan di atas pelayan.
"Maafkan aku, kau mesti begini. Tapi kalau tidak, kau tak akan selamat!"
Lan Sioe Yin berdiri. Ia siap kembali ke belakang membantu saudara-saudaranya
yang lain. Namun, baru ia membalik, dua orang yang ia kenali memasuki ruangan
itu bersamaan. "Sin Mei, Bun-ko ... kau ... kalian ...!" Segala pikiran jelek bermunculan di kepala
si nona. "Jangan keburu cemburu," Chang Lun yang melihat perubahan roman muka si nona
lekas mendului. "Aku cuma membantu Boe Kouw-nio menyelesaikan urusan!"
"Oh, rupanya kau mau menolong." Sioe Yin menurunkan pedang yang sudah siap
dipakai. "Bun-ko, apakah abangmu memimpin penyerangan ini" Tahukah dia kau ada
di sini?" "Dia tak tahu aku kemari," kata Chang Lun.
"Baguslah. Sin Mei, ayah angkatmu gugur. Apa kau lihat siapa yang melukai dia?"
"Tak usah jauh-jauh. Orangnya ada di depanmu," jawab Sin Mei.
"Kau jangan bergurau. Apa maksudmu, ngomonglah yang terang."
"Dia - " Chang Lun hendak berkata namun keburu dipotong Boe Sin Mei yang terlalu
bersemangat. "Justru kami berdua yang mengobrak-abrik Pek-eng-pay. Perkara ayah angkatku sama
saja." "Maksudmu ... Kalian membunuh Peh-peh dan Peh-bo" Bun-ko ... aku tak menyangka ...!"
Chang Lun melirik tajam pada Sin Mei yang lancang mulut. Namun mau apa" Ia tak
dapat mengelak lagi sekarang. "Partaimu telah runtuh> Baiknya kau ikut saja
denganku." "Benar. Kita dapat hidup senang di - "
"Diam kau pengkhianat! Tak sudi aku turut jejakmu. Tan Toa-ko rupanya benar. Kau
Ching Ching 342 seorang yang tak dapat dipercaya."
"Tan Toa-ko tolol. Maka itu hidupnya tidak panjang."
"Kau ... kau bunuh dia?"
"Kenapa" Aku memang sengaja habisi dia. Kalau aku tak dapat miliki dia, orang
lain juga tidak. Maka dari itu, ia mesti mati!"
"Kau biadab. Kau bukan manusia. Lantaran persoalan Tan Toa-ko, kau bunuh juga
Peh-peh dan Peh-bo. Kenapa" Dulu kau bunuh ayah sendiri buat menyelamatkan Peh-
peh, eknapa sekarang kau bunuh orang yang pernah kauselamatkan?"
"Mau tahu" Baiklah kuceritakan sedari mula. Dulu waktu kecil hidupku melarat.
Ibuku cuma seorang perempuan miskin di kampung terpencil. Ayahku cuma dua kali
menengok aku, anak haramnya. Rupanya ia takut ketahuan penya anak dari perempuan
kampung. "Waktu umurku sembilan tahun, ibuku mati. Aku ikut dengan pamanku, namun di
rumahnya aku diperlakukan sebagai pelayan. Dua tahun lamanya, sampai Thia datang
menjemput. Tapi aku harus mengaku sebagai orang lain, bukan anaknya!
"Thia mau aku kelak menguasai Pek-eng-pay supaya ia bisa ikut campur mengatur.
Aku tak mau dijadikan alat ayahku mencapai cita-citanya. Lagipula aku tak mau
hilang apa yang sudah kupunya. Itu sebabnya kubunuh dia di saat yang tepat. Aku
dianggap pahlawan dan aku tak hilang kesenangan. Pintar ya aku?"
"Kau lebih kejam dari binatang!" teriak Sioe Yin. "Kau pantas mati!" Gadis itu
lantas menyerang dengan pedang di tangannya.
Boe Sin Mei melayani. Namun, menghadapi serangan bertubi-tubi, ia kerepotan
juga. Apalagi ilmunya masih jauh di sebelah bawah Lan Sioe Yin. Setelah lewat
puluhan jurus, Boe Sin Mei jatuh di bawah angin.
"Chang Kong-coe, dia benar-benar mau membunuhku! Lekas bantu aku!" pinta Sin Mei
menyadari jiwanya terancam.
"Terima kasih, kurasa aku lebih suka menonton saja," sahut Chang Lun.
Mendengar jawabannya, Boe Sin Mei kaget. Gerakannya menjadi lamban. Melihat
kesempatan, Lan Sioe Yin tidak menyia-nyiakan tempo. Ia segera mengayun pedang
menembusi jantung si gadis she Boe.
"Ha, sungguh suatu pertunjukan bagus!" Chang Lun bertepuk tangan memuji.
"Kau pun tak boleh kulepas begitu saja!" Lan Sioe Yin menodongkan pedangnya.
"Apakah kau mau bunuh aku" Boleh. Nih, leherku boleh kautebas." Chang Lun
melangkah mendekati Sioe Yin. "Hayolah, kenapa mundur" Hm. Hahaha! Aku tahu kau
masih ada hati padaku. Kau tak akan tega membunuhku. Begini saja, lupakan semua
ini. Ikutlah denganku pulang. Kami butuh gadis-gadis pemberani macam engkau.
Kita akan bersenang-senang sepanjang hidup."
"Kau benar" suara Lan Sioe Yin gemetar. Air matanya sudah membanjir. "Aku tak
sanggup bunuh padamu. Tapi aku tak sudi berkhianat!"
Pedang di tangan Lan Sioe Yin terayun. Detik berikutnya badan si nona roboh
dengan leher putus! "Gadis bodoh!" dengus Chang Lun dingin. "Tak tahu diuntung. Diajak senang, malah
bunuh diri. Kau pikir aku peduli" Kau mau mati, matilah!"
Mendengar cerita A-ping, bergolak darah Ching-ching. Hatinya terbakar dendam.
Napasnya memburu. "Kurang ajar Kim-gin-siang-coa-pang! Mereka akan kubantai
semua!' "Siauw-sio-cia, inilah titipan Loo-ya, kitab kitab. Dan ini adalah pedang Toa-
sio-cia. Kuharap untuk membalas dendam keluarga, kau memakai ilmu dan pedang
milik keluarga sendiri pula."
"Kau benar. Mulai dari hari ini aku akan belajar ilmu pedang keluarga Lie!"
Ching Ching 343 "Selama Sio-cia belajar, izinkan saya yang melayani. Dan kalau ada sempat, saya
juga ingin membalaskan sakit hati Toa-sio-cia."
"Baiklah. Tapi kita tak dapat tetap tinggal di sini."
"Kenapa?" "Berita ini pasti segera tersebar. Orang-orang akan datang menyembahyangi Thia.
Nanti kita tak dapat belajar. Kita mesti cari tempat yang tenang."
"Tapi Sio-cia, kalau rumah ini ditinggal, saya kuatir akan digunakan jadi sarang
rampok kelak." "Aku juga tak mau orang mengobrak-abrik makam keluarga. Malam ini kau tidurlah.
Urusan itu aku yang bikin beres. Besok pagi-pagi kita berangkat!"
A-ping tak berani membantah. Setelah menyiapkan apa yang mau dibawa, ia segera
mengaso. Akan tetapi, Ching-ching sepeninggalnya juga tak dapat tenang. Ia ingin
lekas membalas. Ia mengambil kitab kitab dan membuka-buka halamannya seklias.
Akhirnya ia membaca semua petunjuk yang ada. Tangannya turut bergerak. Tanpa
sadar akhirnya Ching-ching tengah berlatih sendirian.
Matahari telah terbit. Ching-ching baru sadar bahwa ia tak tidur semalaman
lantaran latihan. Gadis itu heran sendiri. Apakah selama membaca ia juga
berlatih" Ia menutup buku dengan bingung.
"Sio-cia, semua sudah beres. Tempo-tempo kita bolehberangkat." Suara A-ping
mengingatkan Ching-ching apa yang mesti dikerjakannya.
"Sebelum pergi aku ingin sembayang dulu."
"Saya sudah siapkan."
"Eh, pintar. Tak heran Yin Cie-cie sangat sayang padamu. Kau memang paling
mengerti." Ching-ching lekas mengadakan upacara sembahyangan dibantu A-ping. Di depan
makam-makam itu keduanya bersumpah menuntut balas. Setelah menjalankan segala
upacara, Ching-ching masuk ke dalam rumah.
"A-ping, keluarlah dulu. Aku mau sendirian sebentar!"
"Ya, Sio-cia. Ching-ching berjalan-jalan sendirian keliling rumah. Inilah terakhir kalinya ia
berada di situ dengan segala kenangannya. Sebentar ia akan meratakan rumah itu
supaya tidak nanti menjadi puing. Itu cuma akan mengingatkan orang pada
kekalahan partainya menghadapi Kim-gin-siang-coa-pang. Tidak! Ia tak rela.
Sebenarnya dalam hati Ching-ching merasa sayang. Ia ada keinginan kembali ke
sini dan mendirikan perguruannya sendiri. Tapi kapan" Sekarang ini ia tak siap.
Menunggu nanti, kuatir rumahnya sudah ditempati orang dan menjadi sengketa. Lalu
ia mesti bagaimana" A-ping menunggu nonanya di luar rumah. Tak berapa lama Ching-ching keluar.
"Mari!" katanya dan berjalan tanpa menoleh.
A-ping mengikut. Keluar dari kota kelahirannya, baru Ching-ching mau melihat. Di
atas kota itu, di kejauhan tampak segulung asap hitam.
"Kebakaran!" kata A-ping.
"Bukan urusan kita!" sahut Ching-ching dan terus melangkah pergi.
Berita mengenai runtuhnya Pek-eng-pay sampai juga di Pek-san-boe-koan. Sebagai
sesama anggota Kang-ouw dan apalagi Ching-ching pernah menjadi murid di sana,
berita itu tentu saja menjadi bahan pembicaraan. Tak terkecuali Lie Wei Ming,
ikut kepikiran sampai merasa perlu mengumpulkan murid-muridnya.
"Kamu orang tentu sudah mendengar berita," Lie Wei Ming membuka pembicaraan.
"Kamu ada pemikiran apa, lebih baik dibicarakan."
Sejenak murid-muridnya terdiam. Semenjang kejadian Ching-ching diusir dari Ching
Ching 344 Pek-san-boe-koan, memang seperti ada ganjalan antara guru dan murid. Mereka jadi
sungkan bercakap-cakap dengan gurunya. Terlebih ada kejadian seperti sekarang,
bertambahlah simpati pada si gadis she Lie. Diam-diam banyak yang menyalahkan
guru mereka bertindak kelewat keras.
"Bagaimana?" tanya Lie Wei Ming lagi pada empat muridnya tertua.
"Soe-hoe, tempo hari Siauw-soe-moay, eh maksudku Ching-moay, eh bukan. Itu ... Lie
Kouw-nio pamit pulang ke rumahnya. Masa sekarang tentulah ia sudah di sana lama.
Entah apakah dia selamat sewaktu terjadi peristiwa." In Sioe Ing mendului buka
mulut. Lagunya menyindir sang guru yang mengusir adik seperguruannya.
"Soe-cie, jangan bicara yang bukan-bukan. Soe-moay, eh, Ching-moay, tak bakal
mati begitu gampang," kata Chia Wu Fei menegur.
"A-lau, ia adik angkatmu. Bagaimana pandanganmu sendiri?"
Yuk Lau yang abang angkatnya Ching-ching adalah yang terlebih sakit hati sewaktu
dara itu diusir. Maka pada kesempatan ini ia segan bicara banyak. "Tee-coe cuma
berani minta izin Soe-hoe buat menengok keadaan Gie-moay."
"Yah, daripada di sini membicarakan yang tidak-tidak, ada baiknya juga mengirim
orang mencari kabar. Baiklah, kau boleh berangkat."
"Terima kasih, Soe-hoe."
"Soe-hoe, kalau boleh, Tee-coe ingin mendampingi Sam-soe-tee," kata Miauw Chun
Kian, murid tertua. "Tee-coe juga mau ikut!" timpal In Sioe Ing.
"Uh, kalau aku sudah dapat berlari, aku juga tak mau ketinggalan," gerutu Cia Wu
Fei. "Sekarang ini berdiri saja masih gemetaran."
"Tak usahlah banyak-banyak orang yang pergi. Cukup Yuk Lau dan Chun Kian saja."
"Baik! Tee-coe berempat mohon pamit!" semua muridnya memberi hormat dan
meninggalkan sang guru. Sesampainya di luar, keempat murid itu kembali membicarakan persoalan barusan,
lebih leluasa daripada di hadapan guru mereka.
"Toa-soe-heng, menurut pemikiranmu, apakah Soe-moay, eh Ching-moay dapat selamat
dari tangan Kim-gin-coa?" tanya Sioe Ing berkuatir.
"Tentu saja!" Wu Fei yang menyahut. "Apakah Soe-cie tak ingat seberapa tinggi
ilmunya sebelum menjadi murid Pek-san-boe-koan?"
"Aku juga merasa pasti dia selamat," kata Yuk Lau. "Tapi, aku ingin melihat
keadaannya." "Kudengar Ban-tok-pang juga kena dihancurkan. Apa Sam-soe-tee tak hendak
menengok Khoe Kouw-nio?" goda Wu Fei. Muka Yuk Lau mendadak merah.
Saudara-saudaranya tahu ia ada menaruh hati kepada si nona she Khoe.
"Ke Pek-eng-pay dapat juga melewati Ban-tok-lim. Kau dapat melihat-lihat," kata
Sioe Ing. "Sayang Soe-cie tak boleh ikut. Kalau tidak, kau pun dapat mencari tahu keadaan
Wang Lie Hay!" Wu Fei kembali cengengesan melihat roman In Sioe Ing yang
berubah. "Kalau tak salah, ia jalan bersama Khoe Yin Hung dan Ching-ching.
Toa-soe-heng, mestinya kau kasih sempat Soe-cie yang pergi."
"Ngo-soe-tee, bukannya kau berprihatin, malah bercanda," tegur Chun Kian.
"Kalau tidak bercanda, aku bisa menangis. Lihatlah, aku tak kuat jalan jauh.
Dari sana ke mari juga mseti dituntun layaknya kakek-kakek."
"Jangan terlalu berduka. Dilihat keadaanmu kan sudah banyak mendingan. Tak
berapa lama kau mesti sembuh."
"Tapi aku tak sabar. Aku ingin lekas keluar dan mencari Ching-ching!"
"Itu urusan kami, kau tak usah berkuatir!" kata Miauw Chun Kian. "Begitu bertemu
Ching Ching 345 nanti, kusuruh dia datang menengokmu."
Miauw Chun Kian dan Yuk Lauw tengah beristirahat di sebuah kedai. Sembari
mengisi perut, dibincangkan arah perjalanannya.
"Dari Pek-san-boe-koan ke Pek-eng-pay ada makan waktu enam hari berjalan. Kalau
memutar lewat Ban-tok-lim, menghabiskan waktu sepuluh hari. Menurut
Toa-soe-heng, perlukah kita mampir?" tanya Yuk Lau.
"Mmm. Sepuluh hari. Terlalu lama kalau Ching-ching memang butuh bantuan," kata
Miauw Chun Kian. Ia melirik adik seperguruannya yang berubah roman mukanya.
"Tetapi adalah kewajiban kita juga melihat apa yang terjadi pada Ban-tok-pang,"
sambungnya buru-buru. "Lalu, bagaimana baiknya menurut Soe-heng?"
"Begini saja. Di simpangan di depan sana kita pepisahan. Kau menuju Ban-tok-lim,
aku ke Pek-eng-pay. Bulan depan tanggal dua tengah hari kita bertemu lagi di
tempat itu. Yuk Lau mengangguk. Mendung di mukanya lenyap seketika. Miauw Chun Kian
tersenyum saja. "Kau tahu, kalau Ching-ching dan Wu Fei ada di sini, kau akan habis digoda.
Sayang, lidahku tak pandai menggoda orang," kata murid pertama Pek-san-boe-koan
itu. "Tapi rasanya tak perlu lidah yang lincah. Lihat, baru berkata begitu saja,
mukamu sudah merah seperti orang mabuk!"
"Soe-heng omong apa, aku tak mengerti," sahut Yuk Lau pura-pura bodoh.
Miauw Chun Kian tak menjawab. Ia hanya mesem sembari meneguk tehnya. Namun,
senyumnya segera lenyap sewaktu seorang petani datang mengaso di situ membawa
berita. "Wah, tadi aku melihat bidadari pencabut nyawa!" aktanya dengan napas
memburu. "Di mana?" tanya orang lain yang juga mengunjungi kedai itu.
"Di sebelah sana. Wah, hebat dia! Puluhan orang mengeroyok dihabisinya sekali


Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebasan tangan." "Wah, aku jadi ingin melihat!"
"Jangan coba-coba! Bidadari itu amat kejam. Aku lolos saja dengan susah-payah.
Pelayan bidadari itu hampir saja membunuhku. Untung aku dapat melawan dan
kemudian lari kemari!"
Miauw Chun Kian dan Yuk Lau saling pandang. Sebagai kalangan pesilat, tentu saja
mereka mau tahu lebih banyak. "Soe-heng, kita melihat?"
"Baik, tapi kita jangan dulu campur tangan!"
Setelah meletakkan pembayaran di meja, kedua pemuda itu segera menuju ke arah
yang ditunjuk petani barusan.
Benar saja. Tak berapa lama berlari kedengaran suara orang bertempur. Kelihatan
pula seorang gadis yang memegang pedang tengah dikeroyok belasan orang
berpakaian hitam. "Pengecut! Beraninya main keroyok! Soe-heng, mari kita bantu!"
"Dia tak butuh bantuan," kata Chun Kian. "Marilah sembunyi di balik semak itu
dan melihat kejadian sebenarnya.
Yuk Lau mengikuti soe-hengnya yang telah mendului berjalan ke semak yang tak
jauh dari tempat pertempuran. Dari tempatnya sembunyi, Yuk Lau dapat melihat dan
mendengar terlebih jelas. "Toa-soe-heng, pengeroyok itu orangnya
Hek-houw-piauw-kiok."
Miauw Chun Kian menangguk.
"Kita mesti membantu yang mana?"
"Sst!" Ching Ching 346 Yuk Lau tak berani banyak mengoceh. Dengan heran bercampur kuatir, ia mengawasi
si nona yang mulai tampak terdesak.
"Kau kurang lincah, mesti bergerak lebih cepat! Tanganmu kurang lurus waktu
menusuk. Ulangi ke sebelah kanan. Sekarang!" Terdengar sebuah suara dingin
memberi petunjuk. Si nona lekas menurut. Ia bergerak lebih lincah. Sebentaran saja keadaan
berbalik. Kini si nona berada di atas angin!
Yuk Lau mencari-cari datangnya suara. Kemudian matanya menangkap sosok tubuh
seorang dara muda yang duduk di keteduhan semak-semak. Seperti juga dara yang
sedang bertempur, gadis ini berbaju putih dengan ikat rambut yang putih pula.
Sayang, mukanya tak kelihatan di balik rimbun semak.
Si nona yang tengah bertempur kini berbalik mendesak lawan-lawan pengeroyoknya.
Pedangnya berkelebat-kelebat cepat menebas kanan-kiri. Dua pengeroyoknya roboh
seketika. Seorang dari orang Hek-houw-piauw-kiok memberi komando pada yang lain.
"Kurung dia rapat-rapat. Setelah habis yang satu ini, kita habisi yang satu
lagi!" Orang-orang Pek-houw-piauw-kiok lantas mengurung. Si nona nampak kebingungan. Ia
tak dapat meluruskan pedang.
"Dalam keadaan seperti ini kamu mesti bertahan, tapi waspada. Begitu sempat,
jangan punya perasaan ragu. Tusuk saja lawanmu sampai tembus!" kata si dara yang
menonton. Petunjuk gadis itu sangat berharga buat si nona berpedang. Ia bertahan. Begitu
ada lowongan, ia langsung menebas dan menusuk serta cepat ditarik lagi buat
melindungi diri. "Cukup bagus," puji si dara baju putih, "tapi kurang mengarah tepat. Kali ini
incar jantungnya, jangan meleset!"
"Kamu banyak mulut, kenapa kamu sendiri tak berani ikut bertempur!?" bentak
pemimpin Pek-houw-piauw-kiok.
"Hati-hati bicara dengan majikanmu!" si nona berpedang menjadi galak, menusuk
leher orang yang lancang omong itu.
"Jangan!" cegah si dara di balik semak. Sepotong ranting kecil mengalangi
jalannya pedang. Akibatnya pedang itu melenceng, menusuk pengeroyok lain yang
hendak coba-coba membokong.
"Yang satu ini belakangan," kata si dara dingin. "Sudah cukup latihanmu hari
ini. Habisi mereka semuanya!"
"Baik!" Si nona berpedang cepat menghadapi yang lain-lain Ia tak lagi
menggunakan jurus-jurus barusan. Gerakannya berubah lebih cepat. Ia nampak sudah
hafal dengan jurus yang satu ini. Badannya berputar-putar cepat. Dua lagi
pengeroyoknya roboh. Yang lain hilang semangat melihat teman-temannya sudah jadi
mayat. Serempak mereka kabur ke lain-lain arah.
"Jangan ada yang lolos!" seru dara baju putih. Ia melompat dari tempatnya duduk.
Tangannya berkelebat beberapa kali, disusul robohnya mereka yang lari. Satu lagi
roboh dengan pedang si nona menembusi punggung. Cuma satu lagi yang masih hidup,
yaitu si pemimpin yang keburu ditotok sebelum lari. "Kalau musuhmu beberapa
orang, jika ad ayang lari, jangan lempar pedang. Mana tahu yang lain balik lagi
menyerang kamu" Itulah bahaya."
"Lalu saya mesti bagaimana?"
"Lain hari kuajari cara jitu menyampok orang. Sekarang bereskan dulu yang satu
itu!" Mereka mendekati orang satu-satunya yang masih hidup.
Ching Ching 347 "Kamu kemenakan si pengkhianat Yong Hu, bukan?" tanya si nona yang sudah
mengambil balik pedangnya.
"Yong Hu mana?"
"Jangan berlagak" Orang Pek-houw-piauw-kiok tak tahu Yong Hu adalah bohong!"
"Ada urusan apa denganmu."
"Pamanmu pengkhianat busuk. Kau pikir, kita tak tahu ia mendatangi pesta
Kim-koay-coa?" "Itu ... itu tak ada urusan denganku."
"Tapi kamu turut dia menghadiri itu pesta!" tuduh si nona berpedang. "Sekarang
beri tahukan, siapa lagi yang datang ke sana?"
"Tidak tahu!" "Kamu mau bandel?" si nona menodongkan pedang.
"Mau bunuh, bunuhlah! Siapa takut mati?"
"Mati cepat terlampau murah buatmu. Orang bandel macammu mesti disiksa dulu!"
Gadis yang seperti lebih tinggi kedudukannya itu menotok belakang leher orang.
Mendadak orang Hek-houw-piauw-kiok itu menjerit sembari bergulingan di tangah.
"Aduh! Ampun! Sakit! Ampun! Kamu mau tahu apa, kuberi tahu, tapi hentikan dulu
..." "Siapa lagi yang datang?"
"Aku tak lihat. Semuanya mengenakan kedok. Tapia da yang punya tanda ketua
Cheng-in-pay dan ada yang membawa golok besar milik Hek-to-sian-houw."
"Lainnya?" "Aku tak tahu, sungguh tak tahu. Kami ditempatkan di bilik-bilik terpisah. Aduh,
aku tak kuat. Lekas sembuhkan aku. Aku mohon!"
"Penderitaanmu akan berakhir. Bunuh!" perintah si gadis, yang langsung diturut
si nona berpedang. Orang itu tak berkutik lagi. Seperti sudah tahu apa mesti
dilakukan, ia membuka baju mayat itu dan menggoreskan sesuatu di dadanya.
Yuk Lau melotot di tempatnya sembunyi. Kalau bukan dicegah Chun Kian, sudah
tadi-tadi ia keluar mencegah tindakan keji si gadis. Tapi lantaran tak dapat
berbuat apa-apa, ia lantas mendengus saja.
"Siapa itu?" tanya si nona berpedang.
"Hari ini kita tak mengharap kedatangan dua tamu terhormat!" kata dara yang
berkedudukan lebih tinggi. "Kita pergi!" Ditariknya tangan si nona berpedang.
Dalam sekejapan mata saja, bayangan dua gadis itu tidak kelihatan lagi.
Setelah mereka pergi, Chun Kian keluar dari tempatnya bersembunyi.
"Soe-heng, kenapa kau larang aku mengalangi mereka?" tanya Yuk Lau. "Keduanya
begitu keji, menggunakan orang buat berlatih. Tapi aku rasa pernah ketemu dengan
mereka." "Terang saja," sahut Chun Kian. "Salah satunya adalah adik angkatmu!"
"Ching-ching" Tidak! Tak mungkin ia berlaku begitu kejam."
"Kalau mengingat yang dibunuh adalah partai pengkhianat golongan putih, kurasa
tindakannya dapat diterima."
"Tapi kenapa dia tak mau ketemu kita?"
"Entah. Barangkali lantaran peristiwa tempo hari. Atau lantaran terlalu sakit
hati. Ah, ia bahkan tak mau kita melihat wajahnya."
"Aku masih tak percaya."
"Tak mungkin salah. Ilmu pedang yang kita lihat adalah ilmu Pek-eng-pay jurus
ketiga. Dan cara dia menyambit ... Siapa lagi yang punya cara begitu jitu di
daratan Tiong-goan ini?" Miauw Chun Kian menghela napas. "Sudahlah, sebaiknya
kita lanjutkan perjalanan."
Ching Ching 348 "Soe-heng, apakah tetap ke Pek-eng-pay" Kalau benar nona tadi adalah
Ching-ching, kau tak bakal ketemu sebab ia lari ke utara."
"Dendamnya begitu besar. Aku mau lihat seberapa banyak yang dilakukan
Kim-gin-siang-coa-pang yang membuatnya menjadi demikian."
"Baik. Kita berpisah sekarang dan ketemu lagi di sini tanggal dua bulan depat!"
Yuk Lau membelok ke timur. Sebelum pergi, matanya sempat melirik mayat orang
yang telah diukir luka. Hutang mata bayar mata Dendam kesumat menagih darah
Yang berkhianat mati bayarannya
Sebuah sajak yang tak dapat dibilang bagus, tapi mencerminkan dendam penyairnya.
Yuk Lau bergidik merasakan kesumat dalam syair itu. Tak sadar kakinya membawa
dia berlari cepat-cepat menjauhi tempat pembantaian tersebut.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Selama itu Ching-ching dan A-ping terus berlatih
tekun sekaligus mencari mereka yang berkawan dengan Kim-gin-siang-coa-pang.
Dengan caranya sendiri, mereka dapat mengetahui siapa-siapa saja yang berkhianat
diam-diam. Dunia Kang-ouw geger. Terlalu banyak tokoh yang sudah mati. Namun, mereka tak
dapat terlalu menyalahkan, apalagi lantaran yang mati bukan cuma golongan putih
yang licik, tapi kebanyakan adalah anggota partai Kim-gin-siang-coa-pang.
Meski sudah cukup makan korban, Ching-ching dan A-ping belum puas. Tujuan mereka
yang sebenarnya adalah memancing tokoh-tokoh pertai besar itu. Namun, usaha
mereka tampaknya sia-sia.
"A-ping, Pek-eng-kiam-soet sudah kaukuasai lebih sepertiga bagian, selebihnya
boleh kaupelajari sendiri. Beberapa waktu ini aku tak dapat mendampingimu," kata
Ching-ching suatu ketika.
"Sio-cia mau ke mana?"
"Mencari beberapa jagoan. Kudengar ada tujuh orang jagoan tua yang telah menjadi
antek Kim-gin-siang-coa-pang."
"Tapi Sio-cia, bukankah itu berbahaya" Izinkanlah budak ikut buat membantu
sewaktu-waktu." "Dengan kepandaian kamu sekarang, melindungi diri saja belum cukup. Sudah,
begini saja. Di isni kita pepisahan, bulan depan aku kembali. Kalau kamu dapat
menguasai lebih separto Pek-eng-kiam-sut, kamu boleh ikut."
"Sio-cia ..." Belums empat A-ping meneruskan, Ching-ching telah hilang dari
pandangan. Cuma gema suaranya saja masih kedengaran.
"Sebulan, A-ping, di tempat inI!"
Ching-ching sengaja pergi secara mendadak. Ia tahu A-ping pasti bersikeras ingin
ikut. Dan itulah berbahaya buat dirinya sendiri.
Ching-ching tahu, tanpa bantuannya, A-ping juga akan maju pesat ilmunya. Tak
segan nona itu memberikan buku ilmu pedang kepada pelayannya. Ia sendiri boleh
dikata telah menguasai. Untunglah ia telah memiliki dasar ilmu kelas atas,
sehingga buat mempelajari Pek-eng-kiam-sut tak makan banyak waktu. Hanya saja
buat menjadi mahir, ia mesti banyak berlatih. Ini yang Ching-ching tak sempat.
Padahal, ia telah bersumpah akan menagih hutang jiwa dengan ilmu warisan
keluarga. Kali ini Ching-ching menuju ke selatan. Ia berniat akan membasmi Sin-chio-pang.
Telah diketahuinya bahwa pang-coe perkumpulan tersebut, Sin-chio-houw, telah
mengadakan kerja sama dengan Kim-gin-siang-coa-pang.
Perjalan ke Sin-chio-pang tak terlalu sukar. Belum sampai seminggu ia telah tiba
Ching Ching 349 di sana. Begitu tiba, tanpa pikir panjang ia memasuki wilayah partai. Ia tak
banyak kuatir sebab Sin-chio-pang bukan perkumpulan besar.
Orang-orang Sin-chio-pang terang tidak senang wilayahnya dimasuki sebarangan.
Baru sampai di pintu gerbang, belasan orang telah mengepung Ching-ching.
"He, Nona, kau telah memasuki wilayah kami. Tahukah, yang masuk ke sini tanpa
izin tak boleh keluar hidup, kecuali membayar upeti," kata salah seorang
menggertak. "Mana Sin-chio-houw?" tanya Ching-ching tak peduli.
"Engkau datang dari mana dan siapa namamu" Nanti disampaikan kepada Houw
Pang-coe. Kalau berkenan, ia akan datang menemui."
"Jangan banyak aturan, suruh dia lekas keluar menemui nonanya!"
"Wah, anak kecil banyak lagak. Dihabisi sajalah!" cetus yang lain.
"Benar, ia berhani menghina Houw Pang-coe. Bunuh saja!"
"Baik, majulah kamu bebareng. Siapa takut?" tantang Ching-ching.
"Bunuh!" seru seorang. Yang lainnya segera mengikut mengeroyok.
Ching-ching cuma mesem saja. Orang-orang ini bukan tandingannya dan ia tak
hendak banyak buang tenaga. Sekali melompat, gadis itus udah lenyap dari hadapan
para pengeroyoknya, yang lantas mencari-cari dengan bingung.
"Rasakan pedangku!" pekik Ching-ching yang mendadak saja sudah berada di
belakang. Pedangnya berkelebat cepat. Seketika semua pengeroyoknya roboh dengan
jantung bolong terkoyak pedang. Hanya satu yang disisakan hidup. Ching-ching
membiarkannya lari supaya memanggil Sin-chio-houw keluar.
Benar saja, tak berapa lama Ching-ching menanti, dari dalam keluar belasan orang
yang lantar berbaris membentuk pagar di kiri-kanan. Menyusul seorang laki-laki
berwajah sangar dengan tongkat panjang keluar pula dengan sikap jumawa.
"Siapa berani menantang aku, keluar!" bentak orang sangar itu. Melihat cuma
seorang gadis muda yang ada di pelataran, serta-merta ia melecehkan. "Haha! Anak
kemarin sore, namaku kau belum tahu, kau sudah berani menantang?"
"Namamu aku tak mau tahu. Sampai di mana kau punya ilmu, itu yang mau kulihat!"
"Kau minta pengajaran" Boleh!"
"Kau yang kuberi pelajaran!" Ching-ching melompat maju, bersiaga.
"Aku Sin-chio-houw Chen Cie pantang dihina. Nona cilik, hari ini kau mesti
mati!" Sin-chio-houw memutar tombaknya yang panjang, menimbulkan bunyi kesiuran
angin berpusing. Melihat ini saja Ching-ching sudah tahu kekuatan orang. Ia masih menang dalam
segalanya, cuma mesti menghitung jarak antara senjata.
"Majulah bocah!" bentak Sin-chio-houw.
Ching-ching memiringkan badan, mencari kelemahan lawan. Tombak Sin-chio-houw
memang berputar melindungi sang ketua yang enggan menyerang duluan menghadapi
orang muda. Namun, dara di hadapannya bukan orang muda sebarangan. Ia telah
menguasai ilmu tingkat tinggi dan, meski terbatas, sudah punya sedikit
pengalaman. Mata si nona yang awas telah melihat satu celah di antara perputaran
tombak. Satu celah yang selalu terulang di tempat yang sama. Celah kematian bagi
Sin-chio-houw! Ching-ching membentak sekali, kemudian sembari mengacungkan pedang ia maju
merangsek ke arah lawannya. Sin-chio-houw tersenyum. Gadis nekad ini akan segera
mati! Tapi ia keliru sebab pada saat yang berikut, ketua Sin-chio-pang itu
merasakan benda dingin membeset kening, kemudian dirasanya pedih di tempat yang
sama. Mendadak pandangannya gelap, matanya rapat, lantaran cairan kental yang
telah membasahi mukanya. Ching Ching 350 "Belum sejurus kau sudah keok, mau berlagak hendak mengajariku?" ejek
Ching-ching. "Ampun, Siauw-lie-hiap! Mataku buta, tak kenal gunung Thay-san di depan sehingga
bertindak lancang. Harap Lie-hiap sudi mengampuni!"
"Asal kau menjawab satu-dua pertanyaanku, aku akan pertimbangkan buat ampuni
kamu!" "Lie-hiap silakan tanya. Asal tahu ajwabannya, pasti kuberitahukan tuntas."
"Aku tahu kau diam-diam jadi antek Kim-gin-siang-coa-pang dan datang ke
perjamuannya tempo hari. Nah, pada waktu pergi ke sana, kau bertemu dengan siapa
saja"!" "Aku ... aku tak ingat," Sin-chio-houw mengelak.
"Kalau kulintangkan pedangku di depan lehermu begini, barangkali kau ingat?"
"Aw, ampun! Ya, aku melihat Chen Sen dari Cheng-in-pay dan Yuen Pan dar
Kwie-to-pay." "Mereka sudah mati! Siapa lagi yang kaulihat dan yang kautahu menjadi antek
partai terkutuk itu?"
"Dari undangan aku cuma tahu mereka itu saja."


Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada yang lainnya" Apakah tujuh jagoan tua yang dikabarkan datang juga hadir?"
"Ya, sepasang pendekar Goat-seng-siang-mo-ko dan dua orang hoat-ceng yang aneh
dandanannya." "Dua hoat-ceng" Siapa?"
"Namanya tidak tahu, tapi kabarnya mereka mendirikan tempat sembahyangan dekat
kota Kong-an buat menyebarkan agama mereka."
"Sudah ini giliran mereka. Tapi mula-mula kau dulu kubereskan!"
"Ampun, Lie-hiap, jangan bunuh. Apa yang Lie-hiap mau, akan saya beri. Bahkan
kalau Lie-hiap mau jadi ketua di sini, ini tanda ketua."
"Mari sinikan! Kau tak pantas jadi ketua. Tidak malu kau merengek sementara anak
buahmu menonton. Kau pantas mati. Biar bagaimanapun mereka yang jadi antek Kim-
gin-siang-coa-pang harus mati. Tapi jangan kuatir, ini akan cepat. Kau tak akan
sempat merasa sakit!"
Habis berkata, Ching-ching mengebaskan pedangnya kembali ke sarung. Terdengar
suara pekik tertahan dari kerongkongan Sin-chio-houw dan hampir seketika itu
juga, lepaslah jiwanya dari badan.
"Pang-coe!!" serentak anak buah Sin-chio-houw yang tadi tak berani berkutik
datang mendekat dengan panik.
"Diam di mana kamu berdiri!" bentak Ching-ching menghentikan semua gerakan.
"Pang-coe, pang-coe. Siapa pang-coe" Tanda ketua ada padaku. Dia itu sudah jadi
mayat!" Dengan galaknya gadis itu memandang berkeliling. Semuanya yang adu mata
segera menunduk, kecuali satu orang. Seorang muda umur dua puluhan yang
memandangnya dengan dendam.
"Kamu lihat apa?" bentak Ching-ching.
"Kau perempuan jahat, kau yang membunuh Pang-coe!"
"Dia bersalah lantaran berkhianat, sudah semestinya mati!"
"Dia sudah mohon ampun."
"Tak ada ampun buat penjahat! Eh, kamu melotot"! Mau balas dendam" Majulah!"
"Aku tak ada kemampuan, tapi aku tak takut mati. Ayo!"
"Heh, aku tak mau bunuh yang tak ada dosa. Ini, kuserahkan tanda ketua padamu.
Kalau kamu mau balas dendam, carilah aku. Tapi, dari sekarang kuingatkan. Jangan
hubungan sama Kim-gin-siang-coa-pang sebab nanti sebelum balas dendam, kau mati
duluan!" Ching Ching 351 Pemuda yang memegang tanda itu berdiri kebingungan. Terlebih lagi gadis muda
yang berbicara barusan telah menghilang mendului suaranya.
Ching-ching menuju Kong-an secepat-cepatnya. Ia ingin segera membereskan dua
hoat-ceng yang disebut oleh Sin-chio-houw. Rupanya keberuntungan ada di
pihaknya. Baru separuh jalan, ia sudah ketemu jejak dua pendeta itu.
Ketika itu Ching-ching sedang megnaso di atas dahan sebuah pohon yang rimbun
daunnya. Ia dapat melihat ke mana-mana, tapi orang yang lewat tak dapat lihat
padanya. Hampir saja si nona ketiduran, apalagi hari begitu panas, sedangkan angin
bertiup sepoi. Sekonyong-konyong muncul satu iring-iringan dengan dua ekor kuda
putih berjalan paling depan. Di punggung kuda yang seekor duduk seorang pendeta
mengenakan jubah bertopi, merah dan kuning. Di kuda yang satu lagi duduk seorang
pemuda cakap dengan paras dingin. Ia duduk tegak tak bergerak di atas punggung
kudanya. Dua kuda itu diiringi lagi oleh dua barisan pendeta yang jubahnya mirip dengan
si pendeta di depan, tapi warnanya kuning dan biru. Mereka membawa keliningan
yang digoyang sepanjang jalan. Di tengah-tengah terdapat tandu kuning-hitam
warnanya yang digotong empat orang. Di belakang tandu itu masih ada sebagian
yang lain membawa ceng-ceng, yakni semacam piringan logam yang sepasang. Alat
itu dibunyikan dengan cara diadu dan mengularkan suara yang sangat berisik.
Melihat semuanya, Ching-ching menyangka inilah rombongan salah satu hoat-ceng
yang dicari. Tanpa banyak pikir, ia lantas melompat menghadang, mengagetkan dua
kuda yang di depan sampai meringkik, berdiri di atas dua kaki. Untung mereka
yang di punggungnya sudah pandai mengendarai sehingga tak sampai jatuh.
"Siapa berani mengalangi perjalanan Pandita Agung!"
Bebareng dengan bentakan itu, si pemuda meloncat turun dari kudanya dan mencoba
mencekal tangan si nona. Ching-ching berkelit dan mendorong dengan sebelah
tangannya. Si pemuda lantas saja terhuyung beberapa tindak. Sesudah tegak badan,
ia merangsek pula. Di lain saat, pendeta yang membawa keliningan sudah mengurung
Ching-ching dalam bentuk segi tiga. Mereka mengawasi si nona tanpa berkata,
serentak pula keliningan di tangannya tak bersuara. Ching-ching tahu, tentulah
mereka memakai tenaga dalam buat membikin bungkam keliningan masing-masing.
"Perempuan jahat, besar nyalimua berani mengganggu perjalanan Pandita Agung!
Hayo mohon maaf!" "Yang mana itu namanya Pandita Agung" Hayo kasi aku lihat!" kata Ching-ching.
Merasa pimpinannya dihina, para pendeta itu jadi marah. Mereka mulai membunyikan
kerincingan sembari maju setapak demi setapak mendekati si nona.
"Kamu sungguh membikin berisik, mengganggu ketenangan orang!" Ching-ching
berjongkok memungut segenggam kerikil dan melempar pada keliningan para pendeta
itu. Akibatnya, keliningan berhenti berbunyi dan tangan para pendeta itu
kesemutan tak bisa digerakkan.
"Nona, harap sopan. Kami tak ada urusan denganmu, kenapa kau bikin perkara?"
"Kalau aku mau cari persoalan, lantas kau mau apa?" Ching-ching balas membentak
si pemuda. Pemuda itu hendak berkata sesuatu, mendadak satu bayangan melompat antara dia
dan Ching-ching. Ternyata dia adalah pendeta yang tadi di atas kuda. "Haha,
Siauw-mo-lie, tak dinyana kita ketemu di sini!" tawanya.
"Aku tak rasa pernah bertemu dengan kau, kenapa kaupanggil aku begitu?" tanya
Ching-ching. "Kau tak ingat aku" Tapi aku ingat tampangmu sampai mati pun!" Si pendeta Ching
Ching 352 merenggut kudung kepalanya, memperlihatkan kepala yang botak licin. Namun, ada
empat huruf di kepalanya yang lantas diperlihatkan pada Ching-ching, yakni huruf
See-chong-sa-kwa. Seketika Ching-ching teringat lagi pendeta asing yang ditemuinya bertahun lalu
di rumah keluarga Kwan. "Ah, See-chong-sa-kwa, begitu senang kau akan hadiah
pemberianku sampai tak usaha menghilangkannya."
"Menghilangkan bagaimana" Seumpama kulit kepalaku dibeset, tulisan ini belum
tentu hilang." "Mau tahu" Lepaskan kepalamu, tak usah dibawa-bawa ke mana-mana."
"Dilepaskan" Sama saja aku mati."
"Sekalinya goblok memang tetap saja coglok. Memang itu yang aku maksud,"
Ching-ching tertawa geli.
"Kau tertawa sekarang yang puas sebab sebentar lagi tak dapat kau tertawa."
"Oh" Kenapa begitu?"
"Sebab kepalamu akan turun ke tanah!"
"Siapa mau turunkan kepalaku?" Ching-ching masih saja tertawa.
"Soe-teeku inilah!" See-chong-shak-wa menunjuk si pemuda. "Soe-tee, keinginanmu
balas dendam terwujudlah sekarang. Iblis wanita inilah yang telah membunuh ayah
dan adikmu!" "Sa-kwa, siapa dia" Apa urusanku dengannya?"
"Namaku See-chong-shak-wa!" pendeta itu mencak-mencak. "Tak dapatkah kau
menyebutnya betul?" "Sebodoh! Siapa orang ini?"
"Aku perkenalkan diriku sendiri. Namaku Hai Chong, sedangkan margaku Tan. Apakah
mengingatkan kau pada sesuatu?"
"Hubungan apa kau dengan Tan Piauw-soe dan anaknya, si Hai Bun?"
"Aku anak keluarga Tan yang sulung!"
"Oh, rupanya kau itu. Baiklah, kau boleh bereskan kaup unya urusan belakangan.
Sekarang ini kau ada lain urusan. See-chong-sa-kwa, apakah sekte kamu yang
adakan hubungan dengan Kim-gin-siang-coa-pang?"
"Kamu maua dakan hubungan dengan siapa, itu bukan urusanmu!"
"Aku sudah tunggu terlalu lama. Urusan kita mesti selesai dulu!" kata Tan Hai
Chong tak sabar. "Berhubung kamu juga nggota sekte, baik aku tanyakan, apakah kalian ada hubungan
dengan Kim-gin-siang-coa-pang?"
"Memang. Lantas kau mau apa?"
"Kalau gitu, kamu semua adalah penganut agama sesat, mesti dihabisi!" kata
Ching-ching galak. "Kau membunuh keluargaku, menghalangi perjalanan Pandita Agung, dan sekarang
menghina sekte kami. Demi Budha Hidup, kau tak dapat diampuni!" si pemuda she
Tan mengeluarkan golok yang dicabut dari punggungnya.
"Baiklah, sekarang atau nanti, toh segala urusan antara kita mesti beres."
Ching-ching mencabut pedangnya sendiri. "Kau majulah!"
"Lihat senjata!" seru Tan Hai Chong memperingatkan. Habis berkata, ia segera
menyerang pula. Pemuda itu mengarahkan goloknya ke kepala Ching-ching, namun
bacokannya cuma mengenai angin sementara yang diarah tanpa diketahui telah
berada di belakang Tan Hai Chong.
Ching-ching tertawa. Ia memulai serangannya yang pertama. Hai Chong menangkis
tebasan si nona dan mencoba membalas dengan menyabet ke pinggang. Sayang, lagi-
lagi serangannya mengenai angin.
Ching Ching 353 "Rasa-rasanya golok besar itu terlalu berat buatmu sehingga kau tak dapat
bergerak lincah. Kenapa tidak kau buang saja dan ganti yang lebih enteng?" ejek
Ching-ching. Tan Hai Chong tidak pedulikan kata-kata si nona. Ia terus menyerang lagi dengan
berapi-api. Ching-ching memandang sepi serangan orang. Sayang, ini adalah kesalahan yang
hampir mencelakakan jiwanya. Secara mendadak sekali Tan Hai Bun melompat tinggi,
badannya memuntir di udara. Ching-ching terkesima melihat gerakan tak terduga.
Selagi si nona lengah, Hai Chong maju menebas dengan goloknya.
Untung Ching-ching menang pengalaman. Ia mengangkat pedang melindungi badan.
Lelatu api memercik ketika dua senjata beradu. Seketika itu pula si pemuda she
Tan terlontar mundur, tapi Ching-ching juga undur terjungkal.
"Hihi, Siauw-mo-lie, tak dinyata berapa tahun tak ketemu, ilmumu bukannya
mendapat kemajuan, malahan turun beberapa tingkat. Menghadapi soe-teeku yang
belum lima tahun berlatih saja, kau kalah?" dari pinggiran si Ayam Jago dari
Tibet terkikik geli. Ching-ching sendiri kaget. Biasanya sekali melihat, ia sudah dapat mengukur
kemampuan orang. Dibanding dengan dirinya sendiri, Tan Hai Chong bukan apa-apa
meski ia sendiri mesti mengakui, pemuda she Tan ini memang memiliki bakat luar
biasa. Apalagi ditambah perasaan dendamnya, semakin hebatlah ia.
Sejenak si nona terpekur.T api detik berikut ia sudah menyadari apa yang tidak
betul. Pertama adalah ia terlalu menganggap sepi orang lain, lalu ia melupakan
bahwa ilmu si pemuda berasal dari luar daratan Tiong-goan. Perubahan gerakannya
tidak seperti ilmu silat biasa dan ia sendiri melawan dengan Pek-eng-kiam-sut,
baik dalam bernapas ataupun dalam bergerak. Ilmu tersebut, meski cukup tangguh,
bukanlah ilmu kelas satu yang dapat diandalkan secara penuh, terutama menghadapi
lawan berat. "Siauw-mo-lie, kenapa bengong" Apakah gentar" See-cong-shak-wa mengejek lagi.
Ching-ching melirik tajam. Dulu, setan gundul itu pernah dihajarnya habis,
sekarang menghadapi adiknya seperguruan, manakah mungkin tak sanggup" Ia
mengalihkan pandangan pada si pemuda. "Sambutlah!" serunya.
Ching-ching maju sembari memutar pedang. Kali ini pendatang-pendatang Tibet itu
yang menjadi kagum. Setelah mengempos semangat, gampang saja Ching-ching
meladeni Tan Hai Chong sampai lewat sepuluh jurus. Meski gerakan si pemuda gesit
dan tak gampang diduga, setelah lewat sekian lama, ia nampak mulai terdesak.
See-chong-shak-wa melihat ini. Mau tak mau ia menguatiri juga keadaan adik
seperguruannya. Namun, tak dapat ia membantu terang-terangan, nanti soe-teenya
merasa diremehkan. "Soe-tee, aku juga ada dendam dengan iblis ini. Harap kau tak keberatan aku
membereskan sedikit urusan," akhirnya si pendeta gundul berkata begitu Hai Bun
dalam keadaan tak dapat membalas selain melindungi diri.
Tergetar juga hatinya si nona waktu See-chong-shak-wa lompat ke antara dia dan
Hai Bun. Menghadapi si pemuda sendirian ia masih sanggup, tapi kalau berdua"
Namun, Ching-ching tak kasih unjuk perasaan. Ia cuma mesem saja sembari terus
menyerang. Tapi See-chong-shak-wa tak boleh juga dipandang enteng. Dengan semacam lonceng
di tangan kiri dan sebuah pisau si pendeta menyerang bertubi-tubi, Ching-ching
tak ada sempat membalas lagi. Ia putar pedang melindungi diri. Kaget juga si
nona melihat kemajuan yang dicapai si pendeta tahun belakangan. Mendengar suara
loncengnya yang bikin pekak telinga, tentulah tenaga dalamnya sudah maju
Ching Ching 354 beberapa tingkat. Dan pisau di tangannya juga gesit bergerak. Apalagi, ia
dibantu Tan Hai Chong, maka Ching-ching hampir tak dapat maju.
Tapi, sementara melindungi diri, ia tetap awas mencari kelengahan lawan. Susah
juga, bila yang satu mundur, yang lain datang. Ia mana punya tempo" Tapi ketika
yang ditunggu tiba sewaktu Hai Chong dan soe-hengnya menyerang hampir bersamaan,
yang berarti secara bersamaan pula menarik serangan buat disusul yang berikut.
Selagi keduanya menarik diri itulah mendadak Ching-ching melompat ke sebelah Hai
Chong. Ia mengitari badan si pemuda mendekati See-chong-shak-wa, mengitar lagi
lalu menendang kepala gundulnya menjadi tolakan buat poksai di udara untuk
kemudian mendarat dengan dua kaki.
Si pendeta dan soe-teenya sama meringis. Ternyata di lengan mereka telah
terdapat satu goresan memanjang.
"Ilmu siluman apa yang kaugunakan?" bentak See-chong-shak-wa yang tidak
menyadari kapan mendapat luka.
"Jurus Jiauw-san-coan-in (Mengitari gunung menebas mega), bukannya ilmu
siluman," Ching-ching tertawa.
Hai Chong tak banyak bicara. Belum habis gelak si nona, ia telah maju lagi
dengan sepenuh tenaga. Soe-hengnya juga tak lama-lama, ia maju membantu.
Sayangnya, Ching-ching tak gampang dikalahkan. Meski peluh mulai membasahi
keningnya, ia masih tenang menghadapi lawannya.
Mendadak si Pendeta Gundul menyadari, cara begini, meski dapat menang dari si
nona, pastilah makan waktu dan tenaga tidak sedikit. Ia berdua boleh dikata
berimbang dengan si nona. Kalau mau lekas selesai, mestilah memakai cara
berbeda. See-chong-shak-wa mundur dari gelanggang. Ia berdiri saja di pinggiran sambil
membunyikan keliningan. "Sa-kwa, kau lagi sembahyang supaya nanti rohmu naik ke langit?" Di antara
menyerang, Ching-ching masih sempat menggoda orang.
Tapi yang diajak bercakap tidak menggubris. Ia terus saja menggoyang lonceng.
Makin lama makinc epat dan semakin keras. Keliningan itu mengeluarkan suara
berlagu tidak karuan. Ching-ching sungguh merasa terganggu suara itu.
Tindakannya jadi banyak melenceng. Sebaliknya, Tan Hai Chong yang malah jadi
bersemangat. Mulai pula ia menyanyi dengan bahasa yang susah dimengerti oleh
Ching-ching. Gadis itu mendelik saking heran. Lebih-lebih tindakan Hai Chong
jadi ngawur, tetapi sungguh dahsyat.
"Edan!" tak sadar berseru si nona. Tadi menuduh orang pakai ilmu siluman,
sendirinya panggil hantu dan kesurupan! Makinya dalam hati.
Gadis itu lekas bersiasat. Hai Chong jadi bersemangat semenjak kelingingan
berbunyi. Jadi, pertam-tama ia mesti menghancurkan itu lonceng.
Mana tahu selagi Ching-ching mencari kesempatan, si pemuda she Tan malah melihat
kelemahan orang. Diangkatnya golok hendak menebas leher orang!
Ching-ching merasakan kesiuran angin dingin menerpa, mengancam jiwa. Lekas ia
mengalihkan perhatian pada See-chong-shak-wa dan angkat pedang guna menangkis
sembari menarik badan ke belakang.
Terdengar suara besi diadu, lelatu api memercik membutakan pandangan buat
sesaat. Saat berikutnya,s epotong besi terpental ke tanah. Si nona merasa
pedangnya menjadi terlebih enteng. Seketika ia sadar apa yang terjadi. Pedangnya
telah kutung, tinggal tersisa gagang.
"Pedangku!" teriaknya. "Pedang dari Yin Cie-cie. Peninggalan satu-satunya. Kau
harus ganti dengan nyawamu!"
Ching Ching 355 Hai Chong sedang memegang golok, mana dengar ancaman orang. Sekali lagi ia
bertindak menebas. Kali ini Ching-ching tidak menghindar, malah maju dan memukul
sepenuh tenaga. Terasa kesiuran angin pukulannya dahsyat memapaki golok dan
malah membuat baja berat itu hampior-hampir melukai tuannya sendiri.
See-chong-shak-wa lekas maju menolongi soe-teenya. Ditangkapnya lengan Tan Hai
Chong merebut golok. Pemuda itu selamat dari golok, namun abang-adik seperguruan
itu tak selamat dari hawa pukulan Ching-chin gyang membuat mereka terjengkang di


Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah. Begitu terjatuh, See-chong-shak-wa telah bersiap. Sebelum Ching-ching mengirim
serangan berikut, ia telah lebih dulu melempar segenggam tanah ke muka orang.
Selagi si nona mengebaskan tangan mengusir debu, ia lekas menggunakan ketika
buat bangkit bersama soe-teenya. Bebareng mereka menyerang si nona yang nampak
belum siap. Keduanya keliru. Dalam keadaan marah, Ching-ching selalu siap membalas. Belum
lagi sampais erangan orang, si nona lebih dulu mengirim pukulan susul-menyusul
seperti air mengalir tanpa henti.
Baik See-chong-shak-wa maupun Tan Hai Chong tak dapat menghindari satu pun dari
semua pukulan itu. Dalam sesaat mereka telah babak belur. Tan Hai Chong malahan
telah memuntahkan darah segar dari mulut.
"Ban-hoa-lian-hoan-ciang sungguh bukan sebarang pukulan!" Satu bayangan kuning
melompat keluar dari tandu, membuat Ching-ching menunda niat menghabisi si
pendeta gundul. Pendeta biru dengan sikap agung melayang pelan ke hadapan Ching-ching. "Ternyata
benar kau!" si pendeta agung itu terkejut melihat siapa di hadapannya.
Ching-ching menjura, sekadar pura-pura. "Kita belum pernah bertemu, bagaimana
dapat engkau mengenali aku dan juga jurus yang kugunakan?"
Si Pendeta balas menjura dengan sikap tunduk dan separo sungkan.
"Sat-kauw-sian-lie, harap kauampuni sikapku dan kedua muridku yang lancang
padamu!" Begitu mendengar orang menyebut julukan, Ching-ching lantas mengerti. "Yang
Agung salah mengenali orang. Tapi kalau boleh aku menanya, hubungan apa antara
ibuku denganmu?" "Kiranya engkau adalah putri dari beliau. Ah, tapi Kouw-nio sungguh mirip dengan
sang Bidadari Pembasmi Anjing yang gagah. Bukan salah mataku keliru orang."
"Lalu, perhubunganmu dengan ..."
"Kami boleh dikata berkawan. Oh ya, di mana ibumu" Apakah ia ikut bersama
engkau?" "Tidak. Ibu telah pergi ke langit barat."
Sejenak si Pendeta terbengong-bengong. Ia tak paham istilah yang menyatakans
eseorang telah meninggal. Namun, dua muridnya yang telah bangkit berdiri
membisikkan pengertian itu kepadanya.
Si Pendeta Biru manggut-manggut, membuat peci tinggi di kepalanya
bergoyang-goyang seperti mau jatuh. Namun, sementara ia menyatakan duka cita,
segala sikap sungkannya lenyap.
Ching-ching menerima pernyataan itu dengan hromat meski dia masih berwaspada
lantara sekte itu adalah antek Kim-gin-siang-coa-pang. "Pandita, aku tak biasa
berbasa-basi. Kedatanganku kemari sengaja hendak mengusut, apakah benar kamu
orang menjadi kaki tangan Kim-gin-siang-coa-pang. Muridmu telah mengaku.
Bagaimana penjelasanmu sendiri?"
"Memang kami melakukan kerja sama untuk memperluas ajaran Sang Buddha. Sayang,
Ching Ching 356 sebelumnya kami tak mengetahui adanya permusuhan antara mereka dengan putri Sat-
kauw-sian-lie." "Apakah kamu orang tidak mencari tahu dulu partai macam apa
Kim-gin-siang-coa-pang."
"Berita yang kami dengar semuanya baik. Kiranya kami kena ditipu orang."
"Kalau begitu, Pandita Agung, memandang mukaku dan ibuku, bolehkah kau putuskan
hubungan dengan mereka" Aku tak hendak bermusuhan dengan kawan lama ibuku,
tetapi kalau keadaan memaksa ...."
"Oh, jangan salah sangka. Kawan Sat-kauw-sian-lie adalah kawanku juga, dan
musuhnya adalah musuhku. Kouw-nio adalah putrinya, dapat juga menggantikan
kedudukan Sian-lie di hatiku, jikalau Kouw-nio sudi berkawan denganku yang sudah
tua." "Tentu saja. Semua kawan ibuku mesti pula kuhormati sebagai tetua. Terimalah
salam hormat dari Lie Mei Ching!" Ching-ching melakukan basa-basi peradatan.
"Jangan sungkan! Jangan sungkat!" kata si Pendeta. "Semestinyalah aku yang
bangga mengenali Sat-kauw-sian-lie ibu dan anak. Apalagi putrinya kini mewarisi
kegagahan dan jiwa yang luhur. Kouw-nio, menurut berit dalam, itu partai terjadi
kekacauan. Pengikutnya banyak yang tewas. Andaikata itu adalah perbuatanmu, aku
sungguh mengagumi." "Memang," kata Ching-ching tersiup. Ia risih terus-terusan mendapat pujian. "Aku
mau semua yang bersekongkol dengan musuhku mati. Semua harus mati, tanpa
kecuali." "Sungguh suatu tindakan yang berani. Betul-betul seperti Sat-kauw-sian-lie
bertahun lalu." Si Pendeta mengacungkan jembol, untuk kemudian menarik napas
panjang. "Sayang, beliau keburu pergi sebelum aku sempat memenuhi janji mengasi
lihat pusaka negeri kami."
"Pusaka apa?" tanya Ching-ching. "Maafkan, aku terlalu lancang."
"Tak apa. Tak ibunya melihat, putrinya toh dapat mewakili." Pendeta itu
mengeluarkan sesuatu dari lengan bajunya yang amat lebar. "Inilah kotak mestika
kami." "Kecil betul." Ching-ching mengamati kotak segienam yang mungil itu. seperti
anak-anak, rasa ingin tahunya segera muncul dan lantas ia merengek pada si
Pendeta. "Apa isinya" Boleh dilihat?"
"Silakanlah!" Dengan rasa ingin tahu, si Nona membuka itu kotak pelan-pelan. Apa isinya" Ia
bertanya-tanya. Mutiara" Batu giok" Berlian"
Kotak terbuka lebar. Segulung asap segera menyambar wajah Ching-ching. Sebelum
si nona sadar apa yang terjadi, badannya telah lemas dan limbung, jatuh ke
tanah! Lie Wei Ming tengah mengawasi latihan da muridnya, In Sioe Ing dan Chia Wu Fei.
Terutama muridnya Wu Fei itu, yang baru saja berlatih setelah sekian lama tak
berdaya. Di samping sang guru besar, berdiri Tabib Yuk turut mengawasi.
In Sioe Ing menunjukkan kemajuan besar. Lie Wei Ming tampak puas. Namun, tidak
demikian dengan Wu Fei. Pemuda itu banyak berbuat kesalahan, meski dalam
jurus-jurus yang pernah ia kuasai sekalipun.
"Cukuplah!" terdengar suara Lie Wei Ming. "A-fei, tak ada gunanya kau berlatih
kalau tidak memusatkan perhatianmu."
Chia Wu Fei menyarungkan pedang. Ia tak menyahuti ucapan gurunya.
"Mana semangat kamu" Percuma latihan kalau kau tak ada semangat dan kemauan.
Apakah kau suka menjadi orang bercacad selamany?"
Ching Ching 357 "Memang aku murid tiada guna!" Wu Fei melempar pedangnya ke tanah. "Angkat
senjata juga tak becus. Buat apa aku susah payah belajar" Melindungi diri
sendiri juga tak sanggup, malah membawa siap kepada orang yang menyelamatkanku!"
Habis berkata, dengan langkah yang menunjukkan kegusaran, pemuda itu pergi
meninggalkan semua tanpa berpamitan.Soe-tee!" In Sioe Ing menegur. Ia hendak mengejar, namun dihalangi oleh Tabib "Yuk.
"Biarlah dia sendirian dulu barang sebentar. Kurasa kita terlalu cepat memaksa
dia berlatih. Kesehatan dan tenaganya belum pulih betul. Bukan kesalahannya kalu
tidak sempurna memainkan senjata."
"Kemarin-kemarin justru dia yang minta dilatih buru-buru supaya dapat lekas
keluar dari sini. Kenapa sekarang justru tak ada semangat?" Lie Wei Ming
mengerutkan alis. "Dan sikapnya tadi, tak dapat dibilang sopan!"
"Sioe Ing, kau tahu sesuatu?" Melihat roman muka In Sioe Ing, Tabib Yuk lantas
menanya sebab. "Soe-tee jadi begitu semenjak mendengar kabar dari kalangan Kangouw yang
menyebutkan seorang nona banyak membantai orang-orang persilatan dengan kejam.
Menilik berita, kami menduga si nona tak lain adalah Ching-ching yang membalas
dendam keluarga pada sebarang orang. Soe-tee tak habis menyalahkan diri sendiri.
dalam pikirnya, andaikata Ching-ching tak diusir, ia tak akan menjadi sedemikian
gegabah!" "Rupanya begitu!"
Sejenak ketiga orang itu termenung. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri,
namun tak hendak mengutarakannya pada orang lain. Keheningan di situ buyar oleh
datangnya seorang murid membawa kabar.
"Soe-hoe, Toa-soe-heng telah datang."
Baru saja kata habis diucapkan, telah muncul pula Miauw Chun Kian ke hadapan
mereka. Romannya tidak mengunjuk kegembiraan. Mestilah kabar yang dibawanya
bukan kabar yang baik. "Soe-hoe, Soe-siok," Miauw Chun Kian menghormat.
"A-kian, kau baru saja datang. Mengasolah dulu, setelah itu baru menghadap."
"Tee-coe tidak sebegitu lelah. Di samping itu juga, ada satu berita yang mesti
disampaikan segera."
"Di sini tak ada orang luar. Kau boleh katakans egera," kata gurunya. "Tapi,
mana Yuk Lau?" "Soe-tee sekarang ini berada di Ban-tok-lim bersama-sama dengan Wang Kong-coe
dan Thio Kouw-nio serta Khoe Kouw-nio."
"Engkah dari sana" Bagaimana keadaan Khoe Kouw-nio" Apakah masih berduka?"
"Telah lewat 100 hari, masa berkabung sudah lewat. Akan tetapi, ia masih berat
meninggalkan tempat yang telah rata dengan tanah itu."
Lie Wei Ming manggut-manggut. Di kalangan pesilat, satu berita lekas tersebar.
Kabar mengenai musnahnya Ban-tok-pang juga telah sampai. "Dan bagaimana keadaan
Ching - Pek-eng-pay?"
"Tak jauh beda. Sewaktu tiba, Tee-coe cuma menemukan beratus kuburan. Rumah
keluarga Lie telah habis dimakan api."
"Ching-ching bagaimana?" Tabib Yuk tak sabar hendak mendengar kabar mengenai
cucu angkatnya. "Di peerjalanan Tee-coe bertemu dengan dua gadis yang mmengenakan baju berkabung
serta menggunakan pula Pek-eng-kiam-soet." Miau Chun Kian lantas menceritakan
pengalamannya. Ching Ching 358 "Untunglah kalau dia selamat!" kata Tabib Yuk setelah mendengar seluruh cerita.
"Akan tetapi, kau tidak melihat wajahnya?" Lie Wei Ming menegaskan.
"Dari suara dan gerak-geriknya, Tee-coe hampir yakin itulah dia. Akan tetapi,
dari perbuatannya...."
"Baiklah. Semuanya sudah kudengar. Kau istirahatlah. Setelah segar nanti, aku
hendak membicarakan sesuatu."
"Soe-hoe, ada satu hal lagi. Tee-coe sempat mendengar mengenai pertemuan
pendekar di Tempat dua-tiga bulan mendatang. Seluruh partai golongan putih
diharap datang buat membicarakan cara membasmi Kim-gin-siang-coa-pang yang mulai
bertindak kelewat batas."
"Soal ini juga sudah sampai. Itu pula yang akan kita bincangkan nanti."
"Kalau begitu, baiklah Tee-coe mohon diri." Miauw Chun Kian pamit.
"Tee-coe juga hendak undur," kata Sioe Ing.
Kedua saudara seperguruan itu kemudian beriringan pergi. Sioe Ing sengaja ikut
mohon diri untuk mengadu kepada soe-hengnya mengenai Wu Fei. Namun, yang pertama
kali ditanyakan tentulah mengenai Wang Lie Hay.
"Ia baik. Thio Kouw-nio dan Khoe Kouw-nio mengurusnya dengan baik. Ah, tidak.
Sebenarnya dia itu yang mengurus Khoe Kouw-nio dengan telaten."
"Khoe Kouw-nio" Kusangka Hai-ko lebih perhatian kepada Thio Lan Fung?"
"Soal begitu aku tak mengerti. Tapi anehnya, sikap Khoe Yin Hung begitu berubah.
Kerjanya seharian cuma sembahyang ke pusara neneknya dan berlatih pedang. Lupa
makan, lupa tidur, kalau saja tak diingatkan Wang Lie Hay. Herannya lagi, semasa
aku di sana, Khoe Kouw-nio tampak segan bertemu Wang Kong-coe."
"Kenapa begitu" Apakah lantaran terlalu terpukul?"
"Bisa jadi. Tapi kau mesti bergirang buat soe-hengmu, sebab kini Khoe Kouw-nio
lebih memperhatikan dia ketimbang kepada Wang Kong-coe."
"Itu bagus. Pantas saja Sam-soe-heng enggan pulang."
"Bagaimana kabarnya di sini" Siauw-soe-tee apakah sudah lebih baik?"
"Justru itu yang membuatku berkuatir. Semangatnya mendadak terbang entah ke mana
berapa hari ini. Kuharapkan Soe-heng dapat menasihati dia. Aku sendiri tak
sanggup. Tapi, baiknya Soe-heng beristirahatlah dulu. Soe-tee tak akan bertindak
terlalu jauh." "Lebih baik - "
"Soe-siok yang bilang supaya membiarkan dulu beberapa lama."
Chun Kian tak membantah lagi. Apa pula badannya sudah penat, maka ia pergilah
beristirahat. Di lain tempat, Khoe Yin Hung tengah tekun berlatih. Yuk Lau menemani, sedangkan
Wang Liw Hay cuma mengawasi dari kejauhan. Ia bukan tak tahu kalau si pemuda she
Yuk menaruh hati kepada Khoe Yin Hung. Dan tampaknya kini Khoe Yin Hung juga
mulai menyukai Yuk Lau. Semestinya Wang Lie Hay merasa gembira. Kini gadis-gadis yang sering meminta
perhatiannya berkurang lagi. Namun, dalam hatinya ia ada merasa kehilangan juga.
Ada sedikit rasa tak suka melihat akrabnya Yuk Lau dengan Yin Hung.
"Kau lihat apa?" mendadak saja Thio Lan Fung telah berdiri di hadapannya.
"Apakah sepasang manusia di sana" Tak usah mengiri. Bukankah masih ada aku di
sini" Selama ada aku, kau tak akan kesepian."
"Aku tidak mengiri," Wang Lie Hay tertawa.
"Lebih bagus kalau kau mengiri. Sudahlah, biarkan kedua orang itu. mari kita
jalan-jalan. Sayang kalu hari cerah ini dilewatkan di dalam rumah."
Akan tetapi, pasangan itu tetap saja tak sempat berdua-dua. Ketika keluar dan
Ching Ching 359 melewati mereka yang sedang berlatih, Yuk Lau menegur duluan. "Kalian hendak ke
manakah?" "Kami akan cari hawa segar. Mau ikut?" ajak Lie Hay.
"Boleh juga. Siauw Hung, bagaimana?"
"Aku masih ingin latihan."
"Jangan memaksa diri. Engkah sudah latihan semenjak pagi buta. Nanti kau keburu
bosan." "Ya baiklah," Khoe Yin Hung menyetujui.
Di pinggir si pemuda she Wang, Thio Lan Fung cemberut. Ia tak suka ada orang
lain pada saat kepingin berduaan dengan pujaannya.
Sebaliknya, Lie Hay sungguh lega dua kawannya yang lain mau ikut. Sewaktu
menuruti ajakan Lan Fung tadi, ia merasa sedikit berdosa pada Ching-ching. Tapi,
lantaran Yuk Lau yang terhitung saudara dan Yin Hung sahabat Ching-ching,
dosanya seolah sedikit terhapuskan.
Dua pasang muda-mudi itu berjalan tanpa berkata-kata. Entah kenapa lidah mereka
mendadak kelu dan seolah asing satu dengan yang lain. Padahal, beberapa hari ini
mereka selalu bersama dan dapat mengobrol secara biasa.
Namun, kebisuan mereka tak berlangsung lama. Selagi berjalan, Yuk Lau melihat
bayangan orang sekelebatan. Tapi dalam waktu singkat itu ia telah dapat
mengenali orang. "Itu kawan Ching-ching yang kulihat tempo hari!"
"Nona yang kauceritakan itu?" Lie Hay memastikan.
"Benar! Ching-ching mestinya ada bersama dia."
"Tapi kenapa kita tidak lihat?"
"Mana tahu si nona dikirim sebagai penunjuk jalan. Marilah kita kejar!"
Wang Lie Hay dan Yuk Lau mendului. Lan Fung dan Yin Hung yang gin-kangnya cuma
tingkat lumayan ketinggalan sedikit, tapi masih dapat mengikut. Lagipula,
keempatnya tak usah terlalu jauh mengejar, lantaran orang yang di depan juga
tidak berilmu tinggi. "Kouw-nio, harap tunggu!" seru Yuk Lau.
Si nona yang tahu dikejar malah mempercepat langkah. Namun, tak ada guna, sebab
Lie Hay keburu menyandak. "Nona, kami tak ada maksud jahat. Harap kau jangan
salah paham." "Kamu orang mau apa?" dengan galak si nona bertanya. Tangannya sudah siap
melolos pedang. "Kami mencari seseorang."
"Apa hubungannya denganku?"
"Namanya Ching-ching," Yuk Lau tak sabar. "Kira-kira tiga bulan lewat aku
melihat engkau ada bersamanya."
"Di mana dia sekarang?" tanya Wang Lie Hay.
"Hubungan apa kau dengan Majikan?"
"Kami adalah kawannya," kata Lie Hay. "Bahkan Kong-coe ini terhitung saudara
angkatnya." A-ping mengawasi barang sejenak. Pada saat yang sama Lan Fung dan Yin Hung
menyusul. Melihat kedua nona itu, mendadak saja muka A-ping menjadi cerah.
"Jie-wie Kouw-nio! Ah, tentu saja. Aku ingat sekarang. Kalian pernah datang
sewaktu pertemuan beberapa bulan lalu."
"Dan kau. Bukankah pelayan Lan Kouw-nio?" Khoe Yin Hung juga tidak melupakan
orang. "Itulah aku." Roman muka A-ping berubah sewaktu nama nonanya disebut.
Ching Ching

Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

360 "Sekarang nonamu di mana?" tanya Yuk Lau.
"Nona sudah ke Langit Barat."
"Ching-ching" Tak mungkin!"
"Yang kumaksud adalah nonaku Lan Sioe Yin," A-ping buru-buru meluruskan. "Soal
Siauw-sio-cia, aku telah berpisah. Dua hari lalu tepat sebulannya."
"Baiknya kita pulang dulu dan baru tukar pengalaman," potong Lie Hay.
Maka, semua pulang ke pondok. Di sana A-ping diminta menceritakan segala apa
yang terjadi semenjak Pek-eng-pay diserang orang sampai ke sepak terjangnya
bersama Ching-ching. A-ping menceritakan semua dengan jujur, kecuali bahw
nonanya ada hubungan dengan tuan muda kedua Kim-gin-siang-coa-pang. Pelayan itu
merasa masih harus melindungi nama baik nonanya.
"Jadi, semenjak Ching-ching ke Sin-chio-pang, ia tak ada memberi kabar lagi?"
"Ya. Padahal, Siauw-sio-cia sudah berjanji akand atang pada waktu tepat
sebulan." "Begitu. Sudah lewat dua hari. Biasanya Ching-ching tak pernah begitu lambat aku
kuatir ..." "Daripada kita berkuatir di sini, lebih baik kita mencari kabar ke
Sin-chio-pang. Bagaimana?" usul Yuk Lau.
"Begitu pun baik. Kita berkemaslah. Esok siang kita berangkat!" Lie Hay
memutuskan. "Siauw Hung, kau ikut?" tanya Yuk Lau.
Sejenak Khoe Yin Hung ragu. Ia menguatirkan keselamatan kawannya itu memang,
tapi ia juga tak kepingin bertemu dengan Ching-ching.
"Bagaimana?" tanya Wang Lie Hay.
"Baiklah," kata Yin Hung dengan berat hati. Ia juga tak kepingin tinggal
sendiri. Perjalanan ke Sin-chio-pang tak seberapa jauh, cuma makan waktu sepuluh hari
perjalanan. Namun, rombongan yang datang ini lebih terkecewa ketika pemimpin
partai yang baru mengatakan yang dicari tak ada di sana.
"Beberapa waktu lalu memang ada satu nona mengacau di sini dan membunuh ketua
kami. Kalau tak salah, lantaran Houw Sian-pang-coe mengadakan hubungan dengan
satu partai sesat. Inilah suatu fitnah dan penghinaan besar terhadap partai
kami. Kalau Coe-wie adalah kawan-kawan si nona, mohon maaf, kami tak dapat
menganggap sebagai sahabat."
Wang Lie Hay menatap tajam si ketua. Pemimpin muda itu baru 20-an tahun, mana
dapat ia langsung dipilih menjadi ketua" Dalam hati Lie Hay ingin bertanya,
namun tak jadi lantaran hal demikian amatlah tidak sopan.
Namun, si pang-coe muda lekas maklum keinginan orang. Tidak diminta, ia lantas
menceritakan bahwa justru Ching-ching yang mengangkat dia jadi pemimpin.
"Dalam adat kami, tanda ketua cuma boleh dipegang oleh pemimpin, untuk kemudian
diteruskan langsung kepada penggantinya tanpa perantara tangan orang lain. Yang
bukan ketua, menyentuh pun tak boleh. Kalau terpaksa sekali, mesti dibungkus
selapis penghalang, baru boleh dipegang. Aku telanjur menerima, orang lain tak
berani membantah. Namun, si nona bukan dari partai kami, tak berniat pula
menjadi ketua, tapi berani memegang dengant angan telanjang. Tanda ketua kami
menjadi cemar dan baru dapat suci kalau dibasuh darah orang yang mencemarkan."
Pemuda itu menghela napas. "meski telah diangkat ketua juga lantaran kawan
kalian, aku tak merasa berterima kasih. Malah di pundakku kini ada beban bahwa
aku harus menyucikan itu tanda."
Yuk Lau dan Lie Hay terperanjat. Berarti secara tidak langsung, ketua partai
Ching Ching 361 menyatakan dendamnya pada Ching-ching dan berniat membunuhnya.
"Antar tamu keluar!" mendadak si ketua muda berseru. Itulah satu pengusiran
halus yang telah membungkam mulut tamu-tamunya yang ingin bertanya lebih jauh.
Si ketua muda itu malah lebih dulu meninggalkan tempat. Maka, tamu-tamunya tak
dapat berbuat lain daripada keluar dari markas Sin-chio-pang.
Namun, belum berapa jauh mereka meninggalkan gedung, satu benda melayang ke
dekat Wang Lie Hay. Ternyata adalah sebuah surat yang diikatkan ke batu. Lie Hay
yang cepat menangkapnya segera membaca surat tersebut.
Mendengar dua pendeta disebut-sebut. Yang kalian cari menuju ke kota Kong-an.
Wang Lie Hay tersenyum meremas surat itu. "Ching-ching tak salah pilih orang.
Aku yakin segala urusan bisa beres dengan menggembirakan di hari kemudian.
Sekarang, baiknya kita melanjutkan perjalanan ke Kong-an."
Kota Kong-an adalah satu kota yang ramai. Banyak barang yang diperjualbelikan,
tak sedikit restoran dengan menu makanan yang merwah, namun yang membuat heran
rombongan muda ini adalah begitu banyak pendeta asing berpakaian aneh. Pendeta
yang manakah yang disebutkan dalam surat tempo hari"
"Hai-ko, aku sudah lapar. Bagaimana kalau kita makan dulu?" rengek Lan Fung.
"Ya, memang sudah waktunya makan," Lie Hay setuju. Mereka pun masuk ke salah
satu rumah makan yang paling dekat.
Memilih meja untuk enam orang yang tidak jauh dari jendela supaya dapat
melihat-lihat, mereka duduk dan memesan mkanan. Selagi menanti datangnya
pesanan, mereka bercakap-cakap.
Tahu-tahu percakapan mereka terhenti. Mereka merasa suasana di ruangan itu
berubah. Semua orang melihat ke pintu dan buru-buru berdiri sembari mengangguk
hormat. Secara serempak empat pendekar muda itu menoleh ke pintu. Di sana
berdiri dua orang pemuda gagah. Yang seorang bermuka tegas dan dingin. Mereka
tidak mengenalnya, tapi pemuda di sebelahnya pernah mereka temui. Tak salah
lagi, pemuda yang bersarung tangan keperakan itu adalah Chow Fuk.
Yuk Lau buru-buru membuang muka begitu mengenali siapa yang datang.
Sedapat-dapatnya ia memalingkan wajah supaya tak dikenali orang.
Untung dua orang muda yang baru datang itu cuma melirik sekali kepada mereka.
Selanjutnya si pemilik rumah makan tergopoh-gopoh menyambut sehingga keduanya
tak sempat menaruh perhatian lebih banyak.
Selama makan, Yuk Lau tak banyak bercakap. Melihat Chow Fuk membuat mangkal
betul. Ia juga tak suka melihat kawannya. Pasti bukan orang baik-baik, begitu
pikirnya. "Kita sudah sampai di kota ini, selanjutnya apa?" tanya Lan Fung sekeluarnya
dari rumah makan. "Pertama-tama tentulah mencari tempat menginap," sahut Lie Hay. "Kita mesti
menyelidiki keadaan kota dan itu makan waktu berhari-hari."
"Kebetulan," kata Lan Fung. "Aku juga kepingin pergi melihat-lihat."
"Asal jangan lupa pasang mata dan telinga buat mencari tahu mengenai
Ching-ching," gumam Lie Hay. "Di situ ada penginapan. Baiklah kita ke sana."
Rombongan kecil itu menuju ke penginapan yang ditunjuk Wang Lie Hay. Begitu
mereka datang, langsung disambut seorang pelayan. "Kong-coe dan Kouw-nio mau
menginap" Benar tidak salah pilih, penginapan ini adalah yang terbaik di kota
Kong-an. Kami menyiapkans egala apa mulai air mandi, makan enak dan hiburan, tak
heran banyak orang memilih tempat - "
"Kami butuh lima kamar," kata Lan Fung tak sabar. "Empat yang terbaik!" katanya
mengerling A-ping. Ching Ching 362 Gadis itu diam saja. Ia menyadari dirinya yang berkedudukan lebih rendah.
"Berapa lama Kong-coe dan Kouw-nio mau menginap?"
"Selama kami mau! Urusan apa dengan kau" Yang penting kami bisa bayar!"
Pelayan itu cemberut dibentak-bentak, tapi ia tak berkata apa-apa. Lie Hay
melihat ini dan merasa tak enak hati. Ia mengeluarkan sepotong uang perak dan
menyodorkannya kepada si pelayan. "Kami sudah lelah dan butuh kamar supaya dapat
segera beristirahat," katanya dengan nada memohon maaf.
Si pelayan lantas saja mengambil potongan uang itu dengan sikap senang. "Tentu,
tentu. Marilah, mari masuk!"
Si pelayan mengantar kepada pemilik penginapan. Setelah mengurus sedikit hal-hal
yang perlu, ia pun mengantar ke kamar. A-ping mendapat satu kamar yang
sederhana, tapi cukup rapi dan bersih. Yang lain-lain tentu saja mendapat kamar
yang lebih mewah. "Ini kamar-kamar yang cocok buat pendekar-pendekar seperti Kong-coe dan
Kouw-nio," kata si pelayan seraya melirik senjata di tangan tamu-tamunya.
"Banyak pendekar menginap di sini dan tidak merasa kecewa."
"Di antara pendekar-pendekar itu, adakah seorang nona muda yang gagah?" Lie Hay
mencari tahu, barangkali Ching-ching pernah menginap di situ. "Wajahnya cantik
dan, eh, agak galak."
"Oh, ada ... ada. Nona itu galak dan suka mencari ribut."
"Yah." "Orangnya tidak tinggi, tidak pendek, dan lihay?"
"Itulah dia." "Kouw-nio itu teman Coe-wie?" si pelayan nampak sangsi. "Ia mencari ribut dengan
pendeta di sini, kemudian hari berikutnya ia pergi meninggalkan kamar yang
berantakan. Ia pergi begitu saja tanpa membayar."
Kelima tamu itu saling berpandangan. "Kau tak tahu apa yang terjadi padanya?"
"Dia ... yah ... mungkin ...." Pelayan itu nampak ragu. Ia melongok ke kanan-kiri
sebelum berbisik. "Barangsiapa ribut dengan pengikut Pandita Agung mestinya
tidak selamat!" Kelima tamu itu terdiam. "Kapan ... kapan itu kejadiannya?" tanya Yuk Lau setelah beberapa lama.
"Hmm ..." si pelayan mengingat-ingat, "sudah cukup lama ... mmm ... tiga bulan lalu
kira-kira. A-ping menghembus napas lega. "Bukan Siauw-sio-cia!" katanya. "Tiga bulan lalu
dia masih bersama denganku."
"Selain dia, adakah nona yang lain menginap?"
Si pelayan menggeleng. "Jarang ada gadis menginap sendirian di sini. Biasanya
dikawal pelayan atau datang bersama orangtuanya yang pedagang. Paling banyak
menginap adalah pendekar-pendekar yang pedangnya besar-besar atau para
pedagang." "Yah, terima kasih. Ini buatmu!" lagi-lagi Lie Hay memberi sepotong perak,
membuat si pelayan girang dan segera pergi setelah mengucap terima kasih.
"Kiranya Ching-ching tak pernah ke sini. Sia-sia kita ke mari!" Lan Fung
menggerutu. "Ini bukan satu-satunya penginapan. Dia bisa di mana saja."
"Pandita Agung," Yuk Lau menggumam. "Ketua Sin-chio-pang menyebut-nyebut
pendeta. Mungkinkah pengikut si Pandita" Dan kata pelayan tadi, barangsiapa
bikin ribut dengan mereka susah selamat. Mungkinkah Ching-ching ...."
"Kita mesti cari tahu soal pendeta-pendeta ini. Itu sudah jelas," kata Lie Hay.
Ching Ching 363 "Cara paling mudah adalah dengan keluyuran di jalan dan mencari tahu dari
pedagang di jalan," usul Lan Fung.
"Boleh juga," Lie Hay setuju.
"Kita pencar supaya mudah," lagi-lagi Lan Fung yang punya usul. "Aku dan Hay-ko
ke utara. Sebelum gelap, kami sudah pulang!" Gadis itu menarik tangan Lie Hay
dan lantas pergi. "Sebaiknya kita bertiga jangan pencar," kata Yuk Lau pada Yin Hung dan A-ping
yang setuju saja. Mereka lantas jalan bertiga. A-ping berjalan agak di belakang, seperti juga
menjadi pelayan Yin Hung. Gadis itu tak tahu harus bagaimana, begitu pula Yuk
Lau dan Yin Hung, sama-sama canggung. Di perjalanan tak ada dari mereka membuka
percakapan. Tiba di satu belokan, mendadak Yuk Lau terperanjat. Tak jauh di depan mereka,
mendatangi dua orang yang mereka lihat tadis siang. Chow Fuk dan kawannya. Tapi,
kali ini Yuk Lau tak mungkin menghindar. Chow Fuk terang telah melihat dia.
"Eh, Siao Hung, lihatlah jepitan rambut yang itu. tampaknya cocok buatmu!" Dalam
bingung, Yuk Lau menarik Yin Hung ke tukang menjual perhiasan.
Yin Hung terheran-heran. Tak biasanya Yuk Lau menunjuk satu barang dengan begitu
semangat, tapi ia menanggapi. "Yang mana?"
"Yang mana yang kau suka?"
Yin Hung tambah kebingungan. Hanya untuk menyenangkan Yuk Lau saja ia berlagak
memilih. Yuk Lau mencuri pandang ke arah Chow Fuk. Ternyata pemuda itu juga sedang
mengawasi dari sebelah sana, sembari pura-pura memilih di tukang kipas. Namun,
pemuda she Chow itu lekas mengalihkan pandangan dan tawar-menawar. Akhirnya ia
membayar kipas itu dan melanjutkan perjalanan melewati tukang perhiasan. Lewat
begitu dekat sampai hampir menabrak. Yuk lau tentu menghindar dengan bercuriga.
Namun, jadinya justeru ia menabrak A-ping yang berdiri di belakang sampai
sempoyongan hampir jatuh.
Chow Fuk menahan punggung A-ping dengan kipasnya. Sebagai seorang pemuda, ia
cukup hati-hati untuk tidak menyentuh gadis.
"Tidak apa-apa?" tanya Chow Fuk.
"Tidak," jawab A-ping gugup.
Chow Fuk berjalan lagi seperti tak terjadi apa-apa. Yuk Lau memandang heran. Apa
maksud pemuda itu" "A-ping, kau bagaimana?" tanya Yin Hung.
"Saya baik, Sio-cia."
"Salahku kurang hati-hati," kata Yuk lau minta maaf.
"A-ping, apa itu di pinggangmu?" Yin Hung berkata.
Si gadis pelayan meraba pinggangnya. Di sana terselip kipas kertas. "Bagaimana
bisa ...?" A-ping keheranan. "Barangkali kong-coe yang tadi ..." Begitu gadis itu
mengambil kipas yang disangkutkan ke ikat pinggangnya, tulang-tulang kipas yang
dari kayu itu patah. Kipas terkebas, jatuh ke tanah. Sekilas Yuk Lau melihat
huruf Ching berwarna merah. Darah!
Pemuda itu segera memungut dan membukanya dengan hati-hati. Ia terkejut melihat
kipas kertas itu. di antara gambar pemandangan yang dilukis, terdapat
huruf-huruf merahyang ditulis secara cepat-cepat. Huruf-huruf itu agak pudar
lantaran tinta darah yang belum kering, namun masih terbaca kalimat Ching-ching.
Pondok merah. Kamar biru.
"Kita segera kembali ke penginapan!" kata Yuk Lau.
Ching Ching 364 Tiba di penginapan, barulah Yin Hung berani bertanya ada apa. ia tak sempat
mlihat huruf-huruf di atas kipas. Saat itu baru Yuk Lau menunjukkan kepadanya.
"Dia pasti sesuatu mengenai Gie-moay," kata Yuk Lau.
"Dia siapa?" "Ingatkah sewaktu pertemuan besar di Pek-eng-pay, seorang dari anak buah
Kim-gin-siang-coa-pang disebut Gie-toa-ko oleh Ching-ching?"
"Ya?" "Itulah dia." "Ah, aku tak ingat rupanya. Tapi, pastikah kong-coe yang tadi itu?"
"Itulah dia." "Dia menulis Pondok Merah. Kamar biru. Apa maksudnya?"
"Nama tempat, bisa jadi."
"Tempat apa" Di mana?"
"Barangkali bisa kita tanya si pelayan." Yuk Lau mencari pelayan yang kemarin
itu. "Ada perlu apa, Kong-coe?"
"Apakah kau tahu tempat yang namanya Pondok Merah?"
Mendadak si pelayan cekikikan. "Tahu, Kong-coe. Hi-hi-hik. Kong-coe mau ke sana"
Nanti saja kalau sudah gelap."
"Eh?" Yuk Lau terkejut.
"Nanti saya antar. Jangan kuatir, mulut saya biasa disumpal. Nona tak bakal
tahu!" "Nona apa yang tak bakal tahu!" mendadak Lan Fung sudah berada di situ bersama
Lie Hay. "Eh, ini, nonanya tuan ... itu ... eh, saya banyak pekerjaan!" Si pelayan hendak
kabur. "Tidak boleh pergi!" bentak Lan Fung.
"Ini ada apa?" Lie Hay bertanya.
"Aku menanyakan tempat, dan mendadak dia ngaco-belo tak karuan," sahut Yuk Lau
bingung. "Tempat apa?" "Pondok Merah."
Mendadak si pelayan cekikikan, tak peduli pada Lan Fung yang mendelik. "Kenapa"
Apa kau tertawakan?" tanyanya galak.
"Hi ... hi ... hi ... Kong-coe ini ... sebaiknya Sio-cia tidak tanya."
Makhluk Jejadian 3 Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Keris Peminum Darah 2
^