Makhluk Jejadian 3
Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian Bagian 3
makhluk hampir telanjang itu dan secara telak
menghantam ubun-ubunnya.
Seketika itu pula tubuh makhluk menye-
rupai mayat hidup itu terjengkang ke belakang
bagai diseruduk kerbau. Serangannya terhadap
Eyang Kendi Laga pun kandas di tengah jalan.
"Iblis!"
Resi Bumi Gidulu sampai mengeluarkan
seruan terkejut tanpa sadar ketika melihat mak-
hluk hampir telanjang itu masih tetap tegar. Hantaman pada ubun-ubun yang
merupakan tempat
mematikan itu sama sekali tidak berpengaruh,
kecuali hanya terjengkang ke belakang. Dan keti-
ka pengaruh hantaman cambuk yang membuat-
nya terjengkang berhasil dipunahkan, makhluk
kurus kering itu kembali melancarkan serangan
dahsyat. Sasaran serangan makhluk berkekuatan
tubuh luar biasa ini berpindah, tidak pada Eyang Kendi Laga lagi, melainkan pada
Resi Bumi Gidulu.
Mengetahui kekuatan luar biasa makhluk
kurus kering itu, Eyang Kendi Laga tidak tega
membiarkan Resi Bumi Gidulu yang telah menye-
lamatkan nyawanya. Dia pun ikut campur. Maka,
pertarungan yang lebih seru dari sebelumnya pun berlangsung. Makhluk kurus
kering itu menghadapi Resi Bumi Gidulu dan Eyang Kendi Laga.
Dongga yang telah kembali menjauhi kan-
cah pertarungan dan berdiri di sebelah Arya me-
nyaksikan jalannya pertarungan dengan hati pe-
nuh takjub. "Benarkah itu makhluk hidup"!" tanya
Arya masih belum percaya akan pandangan ma-
tanya. "Apa lagi, Arya?" sambut Dongga bernada membenarkan. "Ciri-ciri dan
kedahsyatannya telah menjadi bukti nyata kebenaran kalau dia
memang makhluk hidup."
Arya tidak memberikan tanggapan lagi, da-
lam hati dia membenarkan ucapan Dongga. Kini
pandangan dan perhatiannya dipusatkan kembali
ke arah pertarungan yang tengah berlangsung.
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu, lam-
bat laun makhluk kurus kering itu pasti akan ke-
luar sebagai pemenang. Kekuatan tubuhnya yang
menakjubkan akan menyebabkannya berada di
atas angin. Makhluk itu dengan berani menerima
semua serangan Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi
Gidulu tanpa khawatir terluka. Sebaliknya, kedua kakek itu justru harus berhati-
hati karena sekali saja terkena serangan, nyawa mereka akan terancam. Serangan-
serangan makhluk menyerupai
mayat dan berbau busuk itu sangat dahsyat dan
berbahaya. Sambil terus memperhatikan pertarungan,
Dewa Arak memutar benaknya berusaha menja-
wab pertanyaan mengenai makhluk kurus kering
itu. Kalau benar makhluk hidup, bagaimana dia
bisa bangkit, dan kalau benar mengapa bisa de-
mikian. Akal dan hati nuraninya menolak, mana
mungkin mayat bisa hidup dan bangkit sendiri.
Pasti ada orang yang membangkitkannya.
"Arya!" Teguran Dongga membuat Dewa
Arak menolehkan kepala ke arah pemuda berompi
kulit ular yang berada di sebelahnya.
"Kurasa sebaiknya kita segera mendatangi
tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma. Ti-
dakkah kau khawatir kalau tokoh sesat yang keji itu lebih dulu mencelakai
temanmu"!"
Arya langsung memberikan jawaban,
meskipun hatinya membenarkan usul Dongga.
Namun dia merasa khawatir akan keselamatan
Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu. Dia ya-
kin lambat laun kedua kakek itu akan celaka di
tangan mayat hidup yang menggiriskan itu, kecu-
ali apabila mereka telah menemukan kelemahan-
nya. "Kurasa kau tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan mereka, Arya," sambung
Dongga, seperti mengetahui hati yang membuat pemuda
berambut putih keperakan itu tidak langsung
mengiyakan ajakannya. "Mereka tokoh-tokoh sakti dan berpengalaman, aku yakin
keduanya akan sadar dan menyelamatkan diri apabila tidak
sanggup menghadapi mayat hidup itu."
"Kau benar, Dongga"!" Kali ini Arya langsung sigap menyambut "Mari kita
tinggalkan tempat ini! Eyang, Resi, aku teruskan maksud kita
semula!" teriaknya kemudian.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak ber-
sama Dongga melesat menuju tempat kediaman
Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun baru bebera-
pa langkah, keduanya saling pandang ketika me-
lihat sosok jangkung tengah berlari searah dengan mereka. Sosok jangkung yang
sudah pasti Raja Sihir Pelenyap Sukma itu berada di depan
mereka dalam jarak sekitar dua puluh tombak.
Sosok itu berlari dengan hati-hati.
"Itukah penculik kawanmu, Arya"!" tanya Done meminta jawaban pasti. Dan ketika
Dewa Arak menganggukkan kepala, pemuda berompi
kulit ular ini segera menyambung, "Kalau begitu, lekas kita kejar! Aku yakin dia
tengah menuju tempat kediamannya,!"
"Dan kau sendiri langsung menuju tempat
kediamannya, Dongga?" tebak Arya yang telah bi-
sa menduga arah pemikiran pemuda berompi ku-
lit ular itu. "Benar!"
"Baiklah kalau demikian, Dongga. Aku
sendiri sudah tidak sabar lagi untuk memberikan ganjaran dan kalau bisa mengirim
nyawanya ke akherat. Aku yakin makhluk-makhluk jejadian
yang muncul di dunia persilatan ada hubungan
dengannya. Bahkan aku mempunyai dugaan ka-
lau Raja Sihir Pelenyap Sukma yang telah mem-
buat makhluk dari mayat hidup itu. Mungkin un-
tuk menghalangi pertolongan yang kita lakukan
terhadap Mawar. Tapi kusarankan kau hati-hati, Dongga. Bukan tidak mungkin kalau
Raja Sihir Pelenyap Sukma telah mengetahui maksud kita!"
Usai berkata demikian, Arya melesat den-
gan pengerahan seluruh ilmu meringankan tu-
buhnya. Dalam waktu sekejap dia telah berada di belakang kakek bertubuh jangkung
itu. "Mau lari ke mana kau, Iblis Keji"!"
Dewa Arak melompat ke atas melewati ke-
pala Raja Sihir Pelenyap Sukma, bersalto bebera-pa kali di udara, dan mendarat
dengan mantap di depannya.
"Lagi-lagi kau...!" desis kakek jangkung yang ternyata Raja Sihir Pelenyap
Sukma. "Selalu saja kau yang menghalangi maksudku, Orang
Usilan! Menyingkirlah, sebelum kau menyesal!"
"Aku akan lebih menyesal lagi kalau mem-
biarkan orang sepertimu terus berkeliaran di dunia ini!" tandas Arya, mantap.
"Menyingkirlah, Anak Muda! Aku tak ada
waktu meladeni bocah ingusan sepertimu! Cepat
beri aku jalan sebelum semuanya terlambat!"
"Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi
permintaanmu itu! Kau hanya dapat pergi dari si-ni jika mampu membunuhku...."
"Kau mencari penyakit!"
Wuttt! Bersamaan dengan keluarnya ucapan itu,
Raja Sihir Pelenyap Sukma mengirimkan seran-
gan dengan tusukan sebuah benda yang diambil
dari pinggang kanannya. Gerakannya sangat ce-
pat sehingga bentuk benda itu tidak tampak jelas bahkan ketika meluncur ke arah
Dewa Arak. Meskipun demikian, sepasang mata pendekar
muda itu mampu mengetahui kalau benda yang
mengancamnya ternyata sebuah kipas yang
ujung-ujungnya runcing dan tajam. Deru angin-
nya saja mungkin mampu merobek pakaian jika
terkena. Dewa Arak tentu saja tidak membiarkan
kipas itu merobek dadanya. Dia melompat ke be-
lakang, tapi Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak
membiarkan tindakan pemuda berambut putih
keperakan itu. Dia melancarkan serangan susu-
lan cepat dengan sebuah kebutan kipas ke arah
wajah. Kipas itu dikembangkan.
Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma terlalu
memandang rendah, hingga mengira dengan se-
rangan susulan dahsyat itu Dewa Arak akan da-
pat dirobohkannya.
Meskipun serangan itu meluncur secara ti-
ba-tiba, Dewa Arak mampu mengelakkannya den-
gan merendahkan tubuh. Bahkan pemuda itu da-
pat mengirimkan serangan yang membuat lawan-
nya melompat mundur. Untuk yang kedua ka-
linya pertarungan antara Dewa Arak dengan Raja
Sihir Pelenyap Sukma terjadi. Hanya saja kali ini, kakek jangkung itu
menggunakan kipas baja yang
merupakan senjata andalannya.
Arya pun mengeluarkan ilmu 'Belalang
Sakti', yang menjadi penyebab julukan Dewa Arak menggemparkan dunia persilatan.
Raja Sihir Pelenyap Sukma menggertakkan
gigi, merasa geram karena kecelik. Semula dis-
angka setelah kipas andalannya dikeluarkan,
dengan mudah Dewa Arak dapat dirobohkan.
Sama sekali tidak diduga kalau tindakan itu
membuatnya berada dalam keadaan gawat. Kare-
na memberi kesempatan Dewa Arak mengelua-
rkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya. Dan begitu Dewa Arak
menggunakan guci
araknya terasa oleh kakek jangkung betapa dah-
syat ilmu yang dimiliki pendekar muda itu. Setiap serangan kipasnya selalu
berhasil dikandaskan,
sebaliknya serangan-serangan lawan begitu dah-
syat dan penuh tekanan, tak ubahnya hantaman
gelombang laut.
7 Bukk! Dibarengi pekikan kesakitan, tubuh Raja
Sihir Pelenyap Sukma terpental ke belakang keti-ka sebuah tendangan kaki kanan
Arya bersarang di paha kanannya. Dewa Arak yang memang su-
dah bertekad bulat untuk melenyapkan lawan-
nya, segera meluruk untuk mengirimkan seran-
gan mematikan. Guci araknya diayunkan dengan
cepat ke arah kepala kakek bermuka kehijauan
itu. "Tahan...!"
Ayunan guci itu terhenti di tengah jalan ke-
tika Raja Sihir Pelenyap Sukma mengeluarkan te-
riakan keras sambil melempar kipas di tangan-
nya. Dewa Arak tidak bisa membunuh lawan yang
tidak bersedia melawan lagi, karena tindakan itu bukan sifat seorang pendekar
sejati. "Apa maksudmu, Raja Sihir"!" bentak Arya, keras. Tangan kanannya masih menegang,
dan siap mengayunkan guci apabila kakek jangkung
itu melakukan tindakan yang mencurigakan. Pe-
muda berambut putih keperakan ini khawatir ka-
lau-kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma melakukan
tindakan kecurangan. Dia tahu hal itu bukan
pantangan bagi tokoh golongan hitam.
"Kalau kau teruskan niatmu itu dan aku
mati, maka keamanan dunia persilatan akan te-
rancam. Aku yakin kau bukan tokoh golongan hi-
tam, Anak Muda. Apa kau tega dunia persilatan
akan kacau-balau"!" Ucap Raja Sihir Pelenyap Sukma lagi tenang tapi bernada
tuntutan, dan si-
kapnya tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau
akan melakukan tindakan kecurangan.
"Kau bergurau, Raja Sihir"!" Arya masih tidak percaya. "Aku yakin malah
sebaliknya! Dengan kematianmu, dunia persilatan akan menjadi
aman dan...."
"Tunggu sebentar, Anak Muda!" potong kakek jangkung cepat sebelum Arya
menyelesaikan ucapannya. "Kau... mengapa kau memanggilku Raja Sihir"! Apakah kau tidak keliru
mengenali orang"!"
"Kau masih juga mau berpura-pura, Raja
Sihir"! Ataukah... kau ingin memungkiri bahwa
dirimu berjuluk Raja Sihir Pelenyap Sukma"!" sahut Arya, langsung mengajukan
dugaan. "Kau... kau gila, Anak Muda...!" sergah kakek jangkung sambil menudingkan tangan
ka- nannya. "Kau memaksakan diriku untuk mengakui julukan yang bukan milikku! Lalu
apa mak- sudmu, Anak Muda"! Apa kau tidak percaya ka-
lau kukatakan diriku bukan Raja Sihir Pelenyap
Sukma"!"
Arya kontan terdiam mendengar ucapan
kakek jangkung itu. Nuraninya sebagai seorang
pendekar mengatakan kalau kakek jangkung di
hadapannya ini tidak berbohong. Pegangannya
terhadap guci arak pun mengendur.
"Jadi... kau bukan Raja Sihir Pelenyap
Sukma"!" tanya Arya meminta kepastian dengan nada suara mulai melunak.
Kakek jangkung itu menganggukkan kepa-
la. "Apa kau hendak mengingkar pula kalau
kita pernah bertemu sebelumnya, dan bahkan
pernah bertempur di saat kau hendak membawa
kabur seorang gadis berpakaian merah"!" tanya Arya lagi setelah tercenung
sejenak dan memutar otak. Kakek jangkung tersenyum lebar sebelum
memberikan jawaban.
Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kuakui kalau kita pernah bertemu sebe-
lumnya. Tapi, percayalah padaku, Anak Muda!
Kejadian yang telah menimpa kita adalah kesa-
lahpahaman belaka!"
"Mungkin aku bisa mempercayainya, Kek,"
Arya merubah panggilannya. "Tapi, bisakah kau membuktikan padaku kalau kau tidak
melakukan hal-hal keji terhadap kawan baikku" Aku baru
mempercayaimu kalau kau mempertemukanku
dengan kawanku itu"
"Kalau hal itu dapat membuatmu memper-
cayaiku; aku tidak keberatan. Tapi, sebelumnya
perlu kutekankan padamu, aku tidak melakukan
hal-hal seperti yang kau khawatirkan. Dan kau
boleh mengajukan pertanyaan itu pada kawanmu
nanti." Arya tidak memberikan tanggapan sama sekali. Tanpa berkata apa-apa
diayunkan kakinya mengikuti kakek jangkung yang melangkah lebih
dulu setelah terlebih dulu mengambil kipasnya.
Meskipun demikian, pemuda berambut putih ke-
perakan itu tidak langsung mempercayainya begi-
tu saja. Dan karena kekhawatiran kalau kakek
jangkung itu melakukan kecurangan secara men-
dadak, Dewa Arak mengambil jarak agak jauh.
*** "Mawar...! Kenari...! Lasini..,! Kemarilah...!"
Begitu sampai di mulut sebuah goa kakek
jangkung itu langsung berteriak. Tidak keras, tapi cukup untuk terdengar oleh
orang-orang yang berada di dalamnya.
Arya sempat memperhatikan bagian tebing
di sekitar goa yang akan dimasukinya bersama
kakek jangkung itu. Ternyata benar, bagian teb-
ing itu berbentuk kepala tengkorak manusia, persis seperti penjelasan dari roh
yang dipanggil oleh Resi Bumi Gidulu.
Namun perhatian Arya hanya sebentar, ka-
rena langsung dilibat oleh perasaan kaget men-
dengar panggilan yang dikeluarkan kakek jang-
kung. Ternyata bukan Mawar saja yang berada
bersama kakek jangkung ini. Ada juga Kenari, gadis murid Eyang Kendi Laga, dan
seorang gadis lain. Bagaimana mungkin Kenari bisa berada ber-
sama kakek bermuka kehijauan ini" Perasaan cu-
riga yang bersemayam di benak Dewa Arak sema-
kin membesar. Sungguhpun demikian, Arya tidak bertin-
dak gegabah dan langsung menjatuhkan seran-
gan terhadap kakek jangkung itu. Diputuskan
untuk melihat terus perkembangannya, serta se-
makin bertindak hati-hati. Dengan kewaspadaan
yang semakin meningkat, Arya mengikuti kakek
jangkung masuk ke goa. Di dalam ternyata te-
rang-benderang seperti layaknya pada waktu
siang hari dan tersorot sinar matahari. Hal ini cukup mengherankan sebenarnya,
tapi tidak mem-
buat Arya bingung. Pemuda berambut putih kepe-
rakan ini tahu kalau ada sejenis batuan yang me-nyerap sinar matahari di waktu
siang dan me- mantulkan nya kembali di waktu malam. Dia
menduga batu-batuan yang ada di dalam goa
termasuk batuan seperti itu.
"Mawar...! Kenari...! Lasini...! Di mana kalian..,! Cepat kemari...!"
Kembali kakek jangkung mengeluarkan se-
ruan ketika belum juga terdengar sahutan dari
dalam. Kenyataan ini membuat Dewa Arak sema-
kin curiga. Dia tidak percaya kalau panggilan kakek jangkung itu tidak
terdengar. Dia lebih condong kalau semua cerita kakek itu hanya bualan
belaka, dan kini tengah menyiapkan perangkap.
Keberadaan Kenari bersama Mawar, dan tidak
adanya panggilan jawaban atas panggilan itu
membuat kepercayaanya terhadap ucapan kakek
jangkung mulai luntur.
Dewa Arak melompat mundur ketika sam-
pai di bagian terakhir goa, tidak terlihat gadis-gadis yang dipanggil kakek
jangkung. Lorong goa telah berakhir di sebuah jalan buntu berupa dind-ing tebal
dan beruang cukup luas.
"Cukup sandiwaramu, Raja Sihir! Sekarang
aku tidak memberimu kesempatan lagi, bersiap-
lah untuk mati!" seru Arya bernada mengancam.
"Tidakkah kau bisa bersabar sebentar,
Anak Muda"!" sahut kakek jangkung, masih dengan tenang. "Aku yakin ada
kekeliruan di sini.
Mungkin ketiga gadis itu pergi keluar goa. Dan...."
"Aku telah bertindak cukup bijaksana den-
gan mempercayaimu, Raja Sihir! Tapi, kenya-
taannya, kau tidak bisa memberikan bukti atas
ucapanmu. O ya, ada satu hal yang kulupakan.
Kau masih mengingkari kalau dirimu berjuluk
Raja Sihir Pelenyap Sukma"!"
"Benar!" sahut kakek jangkung, mantap.
"Aku memang bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma."
"Kau mungkin bisa menipuku, karena aku
memang belum pernah menjumpaimu, Raja Sihir!
Aku tidak mengenalmu, tapi, seorang kawan
baikku kenal betul dengan dirimu, bahkan hanya
dengan mendengarkan ciri-cirimu yang kukata-
kan dia langsung mengetahuinya! Kalau benar
kau bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, bisa kau
jelaskan mengapa ciri-cirimu bisa mirip dengan-
nya" Aku tak yakin ini hanya sebuah kebetulan!"
"Hhh...!" Kakek jangkung menghela napas berat setelah terdiam beberapa saat
lamanya. Sikapnya menunjukkan kesan kalau hal yang akan
dikatakan merupakan hal yang bertentangan
dengan batinnya, "Karena kau terlalu memaksa.
Dan agar masalah ini tidak berlarut-larut, se-
baiknya kukatakan padamu. Aku akan berterus
terang, memberitahukan hal yang sebenarnya ti-
dak boleh dan tidak pernah kukatakan pada sia-
pa pun. Aku adalah saudara kembar Raja Sihir
Pelenyap Sukma! Nah, puas kau sekarang, Anak
Muda"!"
"Tidak," Arya menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa mempercayainya. Aku tidak
percaya dengan ucapanmu lagi!"
"Percayalah, Anak Muda, aku berkata se-
benarnya! Kalau saja tidak terjepit waktu dan ada urusan besar yang membutuhkan
bantuanku demi keamanan dunia persilatan, tak sudi aku
mengemis-ngemis kepercayaanmu! Asal kau tahu
saja, Anak Muda, aku tidak takut mati! Bagiku,
mati bukan apa-apa!"
"Aku pun merasa berat untuk tidak mem-
percayaimu, Kek," ujar Arya hati-hati. "Tapi, bagaimana, kenyataan menunjukkan
kalau uca- panmu tidak bisa dipercaya. Bukti yang kau akan tunjukkan padaku, tidak ada sama
sekali. Aku curiga kalau kawanku dan dua gadis yang kau
sebutkan itu telah menjadi korban kekejianmu!"
"Baiklah," kakek jangkung berdesah. "Bawa saja aku pada kawanmu yang kau katakan
mengenal Raja Sihir Pelenyap Sukma! Aku yakin dia
tahu kalau aku bukan tokoh sesat yang kau mak-
sud itu." "Ah...!"
Kakek jangkung tersentak kaget ketika me-
lihat tanggapan Arya. Pemuda berambut putih
keperakan itu terlihat begitu terkejut. Bahkan tu-
buhnya sampai terjingkat seperti disengat ular
berbisa. Kakek berwajah kehijauan ini jadi mera-sa keheranan. Dia sama sekali
tidak tahu menga-
pa Arya bersikap seperti itu.
"Mengapa aku demikian pelupa"!" Arya
menepak keningnya tanpa mempedulikan kehe-
ranan kakek jangkung.
"Kalau benar kau bermaksud baik, dan di-
rimu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, tunggu di sini!" Tanpa memberikan
kesempatan pada kakek jangkung untuk memberikan tanggapan, Arya
melesat pergi. Pemuda berambut putih keperakan
itu melesat cepat dengan pengerahan seluruh il-mu meringankan tubuhnya, karena
khawatir akan terjadi hal-hal seperti yang dikhawatirkannya. "Eyang...! Resi...!"
Arya berseru kaget ketika telah berada da-
lam jarak lima tombak, melihat tubuh Eyang
Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu terhuyung ke
belakang dan memekik kesakitan.
Sesaat kemudian kedua kakek itu siap me-
lancarkan serangan secara bersamaan. Resi Bumi
Gidulu mengirimkan serangan cambuk ke arah
mata. Sedangkan Eyang Kendi Laga menusukkan
tombak pendek ke punggung lawan tangguhnya
setelah terlebih dulu meludahi tombak itu dan
menggurat-guratkannya ke tanah.
Arya yang bermata tajam melihat kalau ge-
rakan kedua kakek itu sudah tidak segesit sebe-
lumnya. Dia tahu kalau Eyang Kendi Laga dan
Resi Bumi Gidulu telah kelelahan, dan bahkan
bukan tidak mungkin kalau mereka telah terluka.
Sambil terus berlari mendekati, pandangannya tetap ditujukan ke tempat
pertarungan. "Arrrggghh...!"
Makhluk kurus kering menggeram keras
melihat serangan yang datang dari dua jurusan
itu. Namun seperti sebelumnya, sosok yang me-
miliki kekuatan tubuh menakjubkan itu tidak
tampak gentar melihat serangan-serangan yang
tertuju ke arahnya. Tanpa menggeser tubuh dari
kedudukan semula, tangan kanannya diulur. Pa-
da saat yang bersamaan kaki kanannya menen-
dang ke belakang, seperti layaknya seekor kuda
menyepak. Tappp! Dukkk! Hampir bersamaan serangan cambuk dan
tombak itu berhasil dipunahkan. Ujung cambuk
dicengkeram dengan tangan kanan, sedangkan
tombak dibiarkan menghantam punggung, tapi
tidak menimbulkan luka sama sekali.
Kedua kakek rekan seperjalanan Dewa
Arak ini tampak kaget ketika melihat untuk ke
sekian kalinya usaha mereka kandas. Dan sebe-
lum Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu
sempat berbuat sesuatu.
Crattt! Bukkk! Jeritan kesakitan hampir berbarengan ke-
luar dari mulut Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi
Gidulu. Tubuh kedua nya sama-sama terjengkang
ke belakang. Eyang Kendi Laga terpental lebih
jauh karena kakek kecil kurus ini terkena ten-
dangan pada paha kirinya. Sedangkan Resi Bumi
Gidulu terkena sampokan tangan makhluk kurus
kering itu pada dadanya. Kakek bongkok ini men-
galami nasib demikian karena setelah cambuknya
tertangkap langsung disentakkan hingga tubuh
Resi Bumi Gidulu ikut tertarik, dan saat itulah tangan kiri makhluk menyerupai
mayat hidup itu
merobek dadanya.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan
makhluk mayat hidup. Sambil mengeluarkan ge-
raman mengerikan, dia melompat menerkam tu-
buh Resi Bumi Gidulu yang tengah terhuyung-
huyung. Seketika wajah kakek bongkok bertan-
gan satu itu memucat, menyadari maut yang ten-
gah meluruk ke arahnya.
Namun sebelum kuku-kuku jari makhluk
kurus kering itu merencah tubuh Resi Bumi Gi-
dulu, Dewa Arak melesat menyambar tubuhnya.
"Aaarrrggghh...!"
Makhluk aneh itu menggeram penuh ke-
murkaan ketika melihat calon korbannya terlepas dari maut. Tentu saja dia tidak
bodoh untuk mengetahui ada orang yang telah menyelamatkan
Resi Bumi Gidulu. Bergegas kepalanya menoleh
saat melihat melesatnya Dewa Arak. Tampaklah
bayangan ungu berkelebat cepat sekali.
Geraman keras penuh kemarahan kembali
terdengar dari mulutnya ketika melihat sosok un-gu itu melesat ke arah tubuh
Eyang Kendi Laga
yang tengah terhuyung dan menyambarnya. Ke-
mudian dengan gerakan secepat kilat membawa
keduanya melesat kabur dari situ.
Makhluk menyerupai mayat itu bergegas
mengejar. Namun lagi-lagi usahanya kandas! De-
wa Arak ternyata memiliki kecerdikan menga-
gumkan. Dia tahu kalau makhluk itu memiliki il-
mu lari cepat yang juga luar biasa, maka meru-
pakan sebuah tindakan berbahaya kalau untuk
berlari di tempat terbuka dengan beban yang cu-
kup berat itu. Dewa Arak memilih tempat yang
banyak memungkinkan untuk menghilangkan je-
jak Dia terus melesat menembus semak-semak
dan pepohonan. Arya tersenyum lega dalam hati ketika
mendengar teriakan geram itu sangat jauh, kare-
na kehilangan jejaknya. Namun pemuda beram-
but putih keperakan ini tidak berpuas diri, me-
lainkan terus berlari untuk menjauhi lawannya.
"Lebih baik kau turunkan aku, Arya! Aku
bisa berlari sendiri," pinta Eyang Kendi Laga ketika suara geraman makhluk aneh
itu sudah tidak
terdengar lagi.
"Aku juga demikian, Rambut Setan," Resi Bumi, Gidulu menyambung.
Arya berhenti dan menurunkan tubuh ke-
dua kakek itu.
Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana hasil usahamu, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, setelah merapikan
pakaiannya yang terbuka di sana-sini karena dipanggul Arya.
"Aku bertugas menghadang perjalanan Ra-
ja Sihir Pelenyap Sukma, sedangkan Dongga
mendapat bagian untuk menyelamatkan kawan-
ku." Arya langsung menceritakan semua yang dialami, sampai dia berhasil menolong
Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu.
"Sekarang aku ingat, Resi, Eyang, mung-
kinkah lenyapnya Mawar dan lain-lain dari dalam goa itu karena telah ditolong
oleh Dongga" Tapi, kalau benar demikian, mengapa pemuda itu tidak
memberi kabar"!"
Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu
mengernyitkan kening, berpikir keras.
"Masalah ini jadi rumit, Arya. Ada dua pertanyaan di sini. Apakah betul kakek
jangkung itu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma dan ke mana
perginya Dongga"!" Eyang Kendi Laga membuka suara. "He he he...! Kurasa lebih
baik kalau kita pergi ke goa tempat tinggal kakek yang tidak mau disebut Raja
Sihir Pelenyap Sukma itu! Kalau ternyata ucapannya benar, pasti dia masih berada
di sana! Bukankah demikian, Rambut Setan"!"
"Seharusnya demikian, Resi!" jawab Arya tanpa berani memberikan kepastian.
Pernyataan Resi Bumi Gidulu membuat
mereka memutuskan untuk menuju tempat ke-
diaman kakek jangkung yang tidak mau mengaku
sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma.
Hanya dalam waktu sebentar saja, Arya
dan kedua kakek itu telah sampai di depan goa.
Dan dengan penuh waspada ketiganya masuk ke
goa untuk membuktikan keberadaan kakek jang-
kung di sana. Dan ternyata, kosong!
"Berarti benar, dia Raja Sihir Pelenyap
Sukma!" tandas Resi Bumi Gidulu, mantap. "Dan dia telah membohongimu, Rambut
Setan. He he he.,.! Dia yang telah menyebabkan terjadinya semua kekacauan ini. Bahkan aku
yakin kalau Dongga mendapat celaka di tangannya!"
"Tapi, saat itu dia tengah bertarung den-
ganku, Resi. Maaf, kalau aku berani berlancang
mulut, Resi!"
"Kita kehilangan jejak kembali," gumam Eyang Kendi Laga, mengeluh
"Haruskah upacara pemanggilan roh itu
diadakan lagi, Bumi Gidulu?"
"Tidak perlu, Kurus! Kalau benar Raja Sihir Pelenyap Sukma penipu itu telah
berada di sini sebelumnya, dan belum pergi lama, aku dapat
melacak ke mana dia pergi," jawab Resi Bumi Gidulu, penuh keyakinan.
Lalu, tanpa mempedulikan Arya dan Eyang
Kendi Laga yang masih belum mengerti yang di-
maksudkannya, kakek bongkok ini sudah sibuk
mengembang kempiskan hidungnya seperti ten-
gah mencium-cium bau. Tindakannya mengin-
gatkan akan kelakuan seekor anjing, atau bina-
tang lain yang mempergunakan hidung untuk
melacak jejak. Resi Bumi Gidulu sibuk mengendus-endus
sekitar tempat yang cukup luas di dalam goa itu beberapa saat, sebelum akhirnya
melangkah ke luar goa. Arya dan Eyang Kendi Laga sating pan-
dang sejenak dan mengangkat bahu, lalu mengi-
kuti Resi Bumi Gidulu.
Resi Bumi Gidulu terus saja mengembang-
kempiskan hidungnya. Bahkan terkadang berhen-
ti sejenak di satu tempat sambil tetap mengem-
bang-kempiskan hidungnya seraya memutar ke-
pala seperti mencari-cari bau yang dimaksudkan.
Kemudian melangkah secara pasti menuju arah
yang diyakininya dilewati kakek jangkung.
8 Arya dan Eyang Kendi Laga tidak bisa me-
nyembunyikan perasaan kagum ketika Resi Bumi
Gidulu memberikan isyarat pada mereka untuk
melihat ke depan, dan ternyata di sana tampak
sesosok tubuh jangkung yang tengah bersem-
bunyi di balik sebatang pohon. Sosok yang diya-
kini Resi Bumi Gidulu sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma.
Dengan tindakan hati-hati dan tanpa me-
nimbulkan suara, ketiganya melangkah mendeka-
ti tempat kakek jangkung. Mereka khawatir kalau kakek yang diduga Raja Sihir
Pelenyap Sukma itu akan kabur. Sebab di samping saat itu suasana
malam terlalu gelap, tempat di sekitar mereka
merupakan semak-semak dan pepohonan.
Rupanya kakek jangkung itu benar-benar
memiliki pendengaran tajam. Saat jarak Resi Bu-
mi Gidulu tinggal tiga tombak darinya, kepala ka-
kek jangkung itu menoleh ke belakang.
Resi Bumi Gidulu tidak ingin kehilangan
jejak buruannya itu. Maka sebelum kakek jang-
kung itu sempat melakukan gerakan apa pun, dia
lebih dulu melesat.
"Mau kabur ke mana lagi, Raja Sihir"!" seru Resi Bumi Gidulu keras. sambil
mengirimkan totokan maut ke leher dengan lengan bajunya yang
menegang kaku laksana pedang.
Prattt! Serangan Resi Bumi Gidulu kandas ketika
kakek jangkung memapak serangan itu dengan
kipas yang dicabut secara cepat dari balik ikat pinggangnya, Tubuh kedua belah
pihak sama-sama terhuyung-huyung ke belakang. Lengan ba-
ju Resi Bumi Gidulu kembali melemas seperti se-
diakala. Resi Bumi Gidulu menggertakkan gigi ka-
rena penasaran melihat serangannya menemui
kegagalan. Tanpa memberi kesempatan sedikit
pun kembali dilancarkan serangan susulan yang
membuat pertarungan berlanjut
"Hentikan...! Tahan...!"
Kakek berwajah kehijauan beberapa kali
berteriak mencegah untuk menahan Resi Bumi
Gidulu agar tidak menyerangnya. Namun sia-sia!
Kakek bongkok itu terus saja menghujaninya
dengan serangan maut. Arya dan Eyang Kendi
Laga saling pandang. Mereka merasa heran men-
dengar seruan-seruan itu. Mengapa kakek jang-
kung sepertinya tak menyukai terjadinya perta-
rungan" Benarkah ada kesalahpahaman di sini"
Betulkah kakek berwajah kehijauan itu tidak bersalah" Pertanyaan ini bergayut di
benak Arya dan Eyang Kendi Laga.
"Jangan-jangan kakek jangkung itu benar-
benar tidak bersalah, Eyang!" Arya tidak tahan untuk menyimpan dugaan itu terus-
menerus di dalam hati. "Mungkin kau benar, Arya. Kulihat dia ti-
dak menginginkan terjadinya pertarungan," ujar Eyang Kendi Laga. Namun sebelum
Arya dan Eyang Kendi Laga melompat untuk mencegah ter-
jadinya pertarungan lebih lanjut, pandang mata
mereka yang tajam, melihat beberapa sosok
bayangan berkelebat mendekati kancah pertarun-
gan. Baik Arya maupun Eyang Kendi Laga men-
getahui kalau sosok-sosok yang berjumlah lima
orang dan mengenakan pakaian serba hitam. Ka-
rena ingin mengetahui hal yang akan mereka la-
kukan, Arya dan Eyang Kendi Laga menghentikan
tindakan mereka dan memperhatikan
Lima lelaki berpakaian hitam itu ternyata
berhenti sekitar tujuh tombak dari tempat pertarungan. Mereka langsung
menyelinap di balik pe-
pohonan. "Apa yang hendak mereka lakukan?" tanya Arya dan Eyang Kendi Laga dalam hati.
Lima lelaki berpakaian hitam itu lalu men-
geluarkan benda-benda berkilat yang ternyata
senjata tajam berupa pisau. Kemudian masing-
masing sosok melemparkannya ke arah kancah
pertarungan. Bunyi berdesing langsung terdengar di antara teriakan-teriakan
kedua kakek yang sedang bertarung.
Arya dan Eyang Kendi. Laga terkejut ketika
mengetahui arah pisau-pisau itu tertuju pada Re-si Bumi Gidulu. Hal ini menjadi
pertanda kalau lima lelaki berpakaian hitam berada di pihak kakek jangkung.
Resi Bumi Gidulu jadi kelabakan, karena
dirinya tengah memusatkan seluruh perhatian
untuk menghadapi kakek jangkung.
Dan celakanya, serangan-serangan pisau
itu berlangsung berkali-kali. Sehingga dalam se-kejapan saja Resi Bumi Gidulu
jadi terdesak he-
bat oleh lawannya,
Melihat kenyataan ini Arya dan Eyang
Kendi Laga tahu kalau dibiarkan terus Resi Bumi Gidulu akan celaka di tangan
lawan. Sebab, kakek jangkung yang semula berteriak-teriak untuk mencegah Resi
Bumi Gidulu menyerangnya, malah melancarkan tekanan-tekanan hebat yang
membahayakan. Hal ini membuat Arya dan Eyang
Kendi Laga tidak segan-segan lagi mengambil tindakan guna menyelamatkan Resi
Bumi Gidulu. Sudah terbukti kalau kakek jangkung mempunyai
hubungan dengan lima lelaki berpakaian hitam
itu. Baru saja Arya dan Eyang Kendi Laga me-
luruk ke dalam kancah pertarungan, dari arah
berlawanan muncul sosok-sosok yang amat me-
reka kenal. Makhluk-makhluk jejadian yang me-
nurut penyelidikan Eyang Kendi Laga merupakan
hasil pekerjaan manusia!
Sambil mengeluarkan geraman-geraman
khasnya, beberapa sosok makhluk yang terdiri
dari campuran antara manusia dengan harimau,
kera, badak, beruang, dan lain-lainnya menyam-
but kedatangan Dewa Arak dan Eyang Kendi La-
ga. Hal ini membuat pertarungan lain terjadi
Berbareng dengan munculnya makhluk-
makhluk jejadian itu, lima lelaki berpakaian hitam menghentikan bantuan mereka
terhadap ka- kek jangkung. Bahkan kemudian melesat me-
ninggalkan tempat itu. Resi Bumi Gidulu yang
semula terdesak hebat perlahan-lahan dapat me-
nyusun kekuatan lagi, sehingga mampu bangkit
mengimbangi perlawanan.
Di tempat lain, Dewa Arak dan Eyang Ken-
di Laga tampak sibuk. Hanya saja tindakan kedua orang ini tidak sekeras
sebelumnya. Baik Arya
maupun Eyang Kendi Laga tidak berusaha mengi-
rimkan serangan yang dapat membahayakan ke-
selamatan lawan-lawan mereka. Serangan-
serangan yang mereka kirimkan hanya bertujuan
merobohkan makhluk-makhluk jejadian itu, tan-
pa harus membunuh mereka. Tindakan ini dila-
kukan karena mengetahui kalau makhluk-
makhluk jejadian itu berasal dari manusia. Se-
mua melakukan penyerangan karena pengaruh
jahat yang mengendalikan mereka.
Tentu saja niat Arya dan Eyang Kendi Laga
membuat mereka semakin sulit untuk mengalah-
kan makhluk-makhluk jejadian itu. Merobohkan
tanpa melukai secara berat lebih sulit ketimbang membunuh mereka. Sebab, baik
tindakan Arya maupun Eyang Kendi Laga jadi tidak leluasa.
Teriakan-teriakan keras bersahut-sahutan
yang berasal dari kancah pertarungan lainnya
membuat Arya dan Eyang Kendi Laga mengalih-
kan perhatian sejenak. Mereka melihat kakek
jangkung serta Resi Bumi Gidulu sama-sama me-
lompat saling terjang dengan tangan terbuka sa-
ma-sama dijulurkan ke depan. Tak pelak lagi ke-
dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
tinggi itu bertemu di udara dan melekat, sampai tubuh keduanya turun ke tanah.
Eyang Kendi Laga menghela napas berat
melihat hal ini. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, Arya pun tahu kalau Resi
Bumi Gidulu dan
lawannya tengah mengadu tenaga dalam secara
langsung. Dan hal ini amat berbahaya. Yang ka-
lah akan tewas, sementara yang menang pun ti-
dak akan luput dari luka dalam parah.
Menyadari akan keadaan yang gawat Arya
dan Eyang Kendi Laga semakin mempertinggi ke-
mampuan daya serang. Dewa Arak melompat ke
atas dengan bersalto di udara melewati kepala lawan-lawannya. Kemudian dari sana
mengirimkan serangan ke arah belakang kaki lawan.
Dalam sekali gerakan Dewa Arak mampu
mengirimkan serangan beruntun terhadap lawan-
lawannya. Dan semua mengenai sasarannya. Se-
ketika itu pula tubuh makhluk-makhluk jejadian
itu ambruk ke tanah, tak mampu bangun lagi ka-
rena sambungan lutut mereka terlepas!
Hal yang sama pun berhasil dilakukan oleh
Eyang Kendi Laga. Hanya saja kakek kecil kurus
ini mengirimkan serangan dari depan, tapi sasa-
ran yang dituju tetap lutut. Dua makhluk jejadian sisanya roboh dengan sambungan
tulang lutut terlepas. Tanpa mempedulikan lawan-lawan mereka,
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga mengalihkan
perhatian pada pertarungan menegangkan antara
Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung. Keadaan
dua kakek itu tampak sudah mengkhawatirkan.
Dari atas kepala kedua belah pihak, mengepul
uap putih. Keadaan lawan Resi Bumi Gidulu tam-
pak lebih parah. Wajahnya dibanjiri peluh sebe-
sar-besar biji jagung.
"Apa yang akan kau lakukan, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, ingin tahu. Sebab dia
menyadari kalau saat-saat seperti itu, merupakan hal yang sulit untuk
dipisahkan. Orang yang mencoba memisahkan dua tenaga dalam akan tewas
dengan sekujur tubuh hancur, karena terkena
Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gabungan tenaga dalam yang tengah menyatu.
Arya tidak memberikan jawaban. Pemuda
berambut putih keperakan ini terdiam dengan ha-
ti memanggil-manggil belalang raksasa di alam
gaib. Arya telah berjanji dalam hati untuk tidak menggunakan bantuan belalang
raksasa kasat mata itu kecuali dalam keadaan gawat. Dan seka-
rang keadaan telah kritis, maka dia memanggil-
nya. Sesaat kemudian, Dewa Arak merasakan
sekujur tubuhnya bergetar sebentar. Bulu ku-
duknya berdiri ketika belalang raksasa dari alam gaib itu masuk ke tubuhnya.
Eyang Kendi Laga, meskipun tidak menge-
tahuinya, bisa merasakan adanya keanehan yang
secara tiba-tiba itu. Dia sempat merasakan ada
hembusan angin dingin yang membuat bulu ku-
duknya tiba-tiba meremang. Kebetulan dia berada di sebelah Dewa Arak.
Sepasang mata Eyang Kendi Laga hampir
keluar dari rongganya ketika melihat di belakang Dewa Arak seperti tampak
sesosok binatang ber-sayap yang besar, berwarna coklat. Sosok bina-
tang menyerupai belalang raksasa itu hanya tam-
pak samar-samar dan berupa bayangan.
"Arrrggghh...!"
Mendadak Dewa Arak mengeluarkan gera-
man keras menggetarkan sekitar tempat itu. Sua-
ra yang tidak patut keluar dari mulut seorang
manusia. Meskipun Eyang Kendi Laga telah men-
gerahkan seluruh tenaga dalam untuk menahan
pengaruh geraman itu, dia tetap tidak mampu.
Sekujur kakinya terasa lemas, dan tak dapat di-
cegah lagi dia jatuh berlutut. Selain sekujur tubuh merasa lemas lunglai seluruh
tenaganya sea- kan lenyap seketika.
Hal yang sama pun dialami Resi Bumi Gi-
dulu dan lawannya. Hanya saja karena kedua ka-
kek ini tengah mengerahkan tenaga dalam, pen-
garuhnya tidak sedahsyat yang dialami Eyang
Kendi Laga. Meskipun demikian, akibat pengaruh
geraman keras itu membuat aliran tenaga dalam
mereka sempat terhenti sejenak.
Kesempatan di saat aliran tenaga dalam
kedua kakek itu terhenti, dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Dewa Arak. Dengan kecepatan luar
biasa pemuda berambut putih keperakan itu me-
lesat ke dalam kancah pertarungan. Dan di saat
tubuhnya masih berada di udara, kedua tangan-
nya dihentak-hentakkan.
Angin dahsyat pun muncul dari tangan
Dewa Arak, menghempaskan tubuh kedua kakek
yang tengah bertarung, hingga terpental dan terguling-guling.
Begitu kekuatan yang membuat tubuh me-
reka terguling-guling habis, Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung merangkak
bangun. Keduanya
tampak lemas sekali. Gerakan mereka tidak sigap atau pun gesit seperti semula.
Baik tenaga Resi Bumi Gidulu maupun lawannya telah terkuras
habis. Di tempat yang sama, hanya berbeda jarak sekitar lima tombak, Eyang Kendi
Laga pun tampak tertunduk lesu. Kakek kecil kurus ini masih berdiri dengan kedua
lututnya. Dia masih tidak
bergairah untuk bangkit karena belum mampu
menghilangkan perasaan kagetnya akibat teria-
kan Dewa Arak. Sementara tokoh yang menjadi
penyebab semua ini pun terdiam tapi dengan se-
nyum puas tersungging di bibir. Saat itu belalang raksasa telah keluar dari
dalam dirinya. Karena masing-masing tokoh terdiam, sua-
sana berubah hening. Mendadak....
"Aaarrrggghh...!"
Geraman yang tidak kalah dahsyat dengan
suara Dewa Arak tadi, kembali terdengar. Bunyi
geraman ini pun berbeda, meskipun sama-sama
mengandung getaran yang dapat melumpuhkan
lawan. Hal ini membuat tokoh-tokoh di tempat itu, yang masih terpengaruh oleh
teriakan Arya, jadi kembali lemas. Arya satu-satunya orang yang semula berdiri
tegak pun, merasakan kedua ka-
kinya menggigil. Namun dengan pengerahan te-
naga dalam dia berhasil membuat kedua kakinya
tetap berdiri tegak di atas tanah.
"Hak hak hak...!"
Sebelum gema geraman keras tadi lenyap
seluruhnya, terdengar suara tawa keras tergelak bernada aneh, sehingga membuat
Arya dan yang lainnya kecuali kakek jangkung, merasa heran.
Wajah kakek jangkung tampak pucat pasi
"Ah...! Celaka...! Aku terlambat..,! Semuanya sia-sia...!" keluh kakek jangkung
itu penuh penyesalan. Kemudian pandangannya diedarkan
pada Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang
Kendi Laga. "Kalianlah yang menjadi penyebabnya! Kalau kalian tidak terlalu
keras kepala memaksakan kehendak, dan mau mengerti sedikit,
hal ini tidak akan terjadi. Sia-sia semua usaha-
ku!" Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga saling pandang penuh
perasaan heran mendengar makian kakek jangkung. Mereka tidak
paham mengapa kakek itu marah-marah dan me-
nimpakan kesalahan pada mereka. Yang jelas, ke-
tiga tokoh ini tahu kalau marahnya kakek jang-
kung berhubungan dengan munculnya sesosok
makhluk seperti mayat hidup yang didahului sua-
ra geraman keras menggelegar itu.
Sebentar kemudian, ketiga tokoh ini dan
juga kakek jangkung melihat sendiri pemilik sua-ra aneh tadi. Sosok itu ternyata
si Makhluk Kurus Kering yang memiliki kekebalan tubuh luar biasa.
Tapi, dia tidak sendirian, ada sosok lain yang datang bersamanya, seorang pemuda
mengenakan pakaian dari kulit ular!
"Dongga...!" hampir berbareng Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu
memanggil pemuda itu. Sorot mata dan tarikan wajah Arya
serta dua kakek rekan seperjalanannya menyi-
ratkan perasaan heran melihat keberadaan Dong-
ga dengan makhluk kurus kering itu. Dongga ke-
lihatannya bersahabat dengan makhluk yang
hampir telanjang itu. Hal ini membuat Arya dan
kedua kakek kawannya menduga bakal terjadi se-
suatu. "He he he...!"
Dongga tertawa terkekeh mengejek kehera-
nan Dewa Arak dan kedua kawannya. Bahkan se-
karang mereka melihat jelas sorot kekejian di ma-
ta pemuda berompi kulit ular itu.
"Pada kalian bertiga memang aku memper-
kenalkan diri dengan nama Dongga. Masalahnya
kalau kuperkenalkan nama asliku, jangan-jangan
kalian terutama sekali kakek buntung itu akan
mengenalku," ucap Dongga dengan tenang sambil menuding Resi Bumi Gidulu.
"Tutup mulutmu, Pengecut Licik!" sergah Resi Bumi Gidulu, keras dan penuh
kemarahan... Kakek bongkok ini merasa kecewa sekali menge-
tahui pemuda yang telah mendatangkan rasa
simpatik di hatinya, tak lebih dari seorang penjahat "Jangankan mengenal namamu,
wajahmu pun tidak kukenal!"
"Begitukah"!" sambut Dongga cepat, penuh ejekan. "Tapi, aku yakin kau akan
mengenali na-maku, Guru."
"Guru"!" suara Resi Bumi Gidulu terdengar menggigil karena kaget. Perasaan yang
sama me-nyemak di hati Arya, Eyang Kendi Laga, dan ka-
kek jangkung. Mereka menolehkan kepala dengan
cepat pertanda kaget, mendengar sapaan Dongga.
"Si... siapakah kau... aku... eh..."
"Jadi, kau telah lupa padaku, Guru"! Aku,
muridmu! Orang yang kau cari-cari karena lari
dari pulau hukuman. Aku Rawali...!"
"Rawali"!" Suara Resi Bumi Gidulu semakin menggigil karena cekaman perasaan
tegang yang melanda. "Ti... tidak mungkin! Kau masih muda... sedangkan Rawali sudah
berusia lanjut.
Bahkan sekarang, mungkin usianya tak akan ku-
rang dari lima puluh lima tahun. Kau tidak bisa mempermainkan aku, Pembohong!"
"He he he...!" Dengan sikap tenang, Dongga alias Rawali tertawa terkekeh. "Kalau
hanya menjadi muridmu, tentu saja kau bisa berkata demi-
kian, Tua Bangka Bau Tanah! Tapi aku tidak bo-
doh, aku berguru lagi. Dan dari guruku yang ke-
dualah aku mendapatkan kemampuan merubah
wajahku sehingga terlihat muda. Bahkan dengan
ramu-ramuan tertentu yang kubuat, aku berhasil
membuat tubuhku tetap seperti layaknya tubuh
orang muda. Aku pun belajar pula ilmu-ilmu ra-
cun yang membuatku dapat membuat makhluk
jenis baru campuran antara manusia dengan bi-
natang. Sayang, beberapa di antaranya gagal. Mereka mati keracunan, karena tidak
kuat adanya kesalahan. Bagaimana, masih tidak percaya?"
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi
Laga terdiam dengan wajah menyiratkan pera-
saan kaget tidak terkira. Sama sekali tidak disangka kalau dalang semua kejadian
ini ternyata Dongga, bukan kakek jangkung yang mereka
anggap Raja Sihir Pelenyap Sukma!
"Aku tahu ramuan-ramuan yang kau mak-
sud, Rawali!" sela Arya dengan suara keras. "Wanita-wanita itu bukan?"
"Tepat! Tapi masih kurang tertuju, Dewa
Arak!" jawab Dongga atau Rawali sambil menganggukkan kepala. "Tepatnya adalah
wanita-wanita yang masih gadis. Tapi, sayang dua kali
pengambilan yang dilakukan anak buahku dijegal
oleh kakek sialan itu!" Dongga alias Rawali menuding kakek jangkung. "Namun
kakek itu bodoh!
Begitu wanita culikan anak buahku yang pertama
berhasil dirampasnya, aku segera membuat jeba-
kan. Kusuruh anak buahku menculik wanita tapi
bukan perawan, karena aku yakin akan dirampas
kembali. Aku melihat kakek dungu itu mengintai
tindak-tanduk anak buahku! Dan memang, kakek
bodoh itu tertipu! Wanita yang bukan gadis diambil juga. Padahal, aku tahu pasti
kalau dia tengah melakukan sebuah perbuatan yang membutuhkan wanita-wanita yang
masih gadis. Dia tertipu!"
Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gi-
dulu menatap kakek jangkung. Jadi, kakek jang-
kung itu pun menculiki gadis-gadis untuk mela-
kukan suatu percobaan" Berarti sama bejatnya
dengan Rawali. "Tutup mulutmu yang kotor itu, Rawali!"
maki kakek jangkung kalap. "Jangan samakan tindakanku dengan perbuatanmu! Kau
menculiki gadis untuk obat awet mudamu dan juga mak-
hluk-makhluk jejadianmu. Gadis-gadis itu kau
bunuh setelah kau pergunakan. Sedangkan aku
hanya membutuhkannya untuk melenyapkan ter-
jadinya angkara murka di dunia persilatan, dan
gadis-gadis itu tidak kurang suatu apa. Mereka
tetap masih gadis, dan sehat. Malah mereka
membantuku dengan suka rela!"
"Sebentar, Rawali!" selak Resi Bumi Gidulu untuk menghentikan pertengkaran
antara Rawali dengan kakek jangkung. "Aku yakin, kau lolos da-
ri pulau hukuman belum lama. Bahkan aku yakin
tidak sampai sebulan sebelum kedatanganku
yang terakhir. Bagaimana mungkin dalam waktu
singkat kau dapat bertemu dengan seorang guru
dan belajar ilmu-ilmu sesat itu serta mengua-
sainya?" "Kau memang tolol, Bumi Gioutu!" Enak saja Rawali memaki gurunya. "Tentu saja
aku mempelajarinya di pulau hukuman. Karena aku
menemukan guru kedua itu di pulau hukuman.
Dan beberapa hari sebelum kau datang menjen-
guk aku telah tamat belajar dan langsung me-
ninggalkan pulau. Sungguh kebetulan guru ke-
duaku tahu jalan keluar dari pulau. Dialah yang menuntunku keluar. Sayangnya,
guru keduaku mempunyai watak seperti kau juga, lemas! Kebe-
radaannya di pulau itu justru sengaja dan meng-
hukum diri karena menyesali atas dosa-dosa yang dilakukannya belasan tahun lalu.
Keluarnya dari pulau hanya karena ingin menolongku. Ketika
timbul rasa khawatir akan menjadi penghalangku
dikemudian hari akhirnya dia kubunuh!"
"Biadab!" seru Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu, serta kakek jangkung,
hampir bersamaan. Sementara Dewa Arak menggeleng-
gelengkan kepala
"Keparat, Rawali! Kau harus mengganti
dengan nyawamu atas tindakan kejimu terhadap
saudara kembarku itu!" seru kakek jangkung penuh kemarahan. Kalau saja tidak
dalam keadaan payah, tentu sudah diterjangnya pemuda berompi
kulit ular itu.
"Ah, jadi Raja Sihir Pelenyap Sukma itu
saudara kembarmu, Kakek Dungu. Aku memang
sudah merasa heran sejak semula melihat kemi-
ripan wajahmu dengan guru keduaku yang bodoh
juga itu. Ternyata kau saudara kembarnya. Dan
kau ingin membalaskan sakit hati Raja Sihir Pe-
lenyap Sukma yang bodoh itu" Silakan!"
Arya tidak ingin kakek jangkung yang ter-
nyata tidak bersalah dan masih lelah itu melan-
carkan serangan, maka langsung melompat men-
dahului. Dan karena telah mengetahui tingkat
kepandaian Rawali alias Dongga yang luar biasa, dikerahkan seluruh tenaga dalam.
Dengan kedua tangan terbuka dikirimkan serangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati
lawannya. Namun sebelum serangan Arya mencapai
sasaran, Rawali memberi isyarat pada makhluk
kurus kering yang sejak tadi berdiam diri di sebelahnya. Makhluk menyerupai
mayat hidup itu
mengeluarkan gerengan aneh sambil menggerak-
Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan tangan. Mendadak tubuh Dewa Arak tertahan
di udara, seperti dipaku! Pemuda berpakaian un-
gu itu terapung di udara dalam sikap tengah me-
lancarkan serangan,
Eyang Kendi Laga, dengan sisa tenaga yang
masih ada bergerak untuk melancarkan seran-
gan. Namun, dia pun mengalami nasib seperti
Arya ketika makhluk kurus kering itu mengge-
rakkan tangan menuding.
"Tidak akan ada orang yang sanggup
menghadapinya," ucap kakek jangkung pelan tapi terdengar jelas oleh Resi Bumi
Gidulu. "Karena telah berhasil dikuasai oleh Rawali, makhluk kurus kering itu
jadi memiliki kemampuan berlipat ganda. Dia tidak akan bisa dikalahkan apa lagi
dibunuh, kecuali... olehku!"
"Mengapa tidak kau lakukan"!" sentak Resi Bumi Gidulu cepat, tak sabaran karena
khawatir makhluk kurus kering itu mengalihkan sasaran
padanya. "Tapi, kau harus berjanji membunuh Ra-
wali untuk membalas kematian saudara kembar-
ku!" "Aku berjanji," sahut Resi Bumi Gidulu mantap, sungguhpun merasa heran
mengapa kakek jangkung itu bersikap demikian. Bukankah
kakek itu memiliki kepandaian tidak kalah den-
gannya" Mengapa harus meminta bantuan pa-
danya" Kakek jangkung tak mempedulikan kehe-
ranan Resi Bumi Gidulu. Dia sibuk berkomat-
kamit entah membaca apa, Resi Bumi Gidulu
sendiri tidak mendengarnya. Yang jelas ketika kakek jangkung itu berhenti
merapal mantera dan
kemudian mengangkat tangan kanannya, mak-
hluk kurus kering di sana ikut mengangkat tan-
gan kanannya. "Hih"!"
Kakek jangkung menghantamkan tangan-
nya ke ubun-ubun hingga hancur dan mengelua-
rkan bunyi berderak keras. Pada saat yang ber-
samaan, ubun-ubun makhluk kurus kering itu
pun hancur tertembus tangannya. Dan bersa-
maan tubuh kakek jangkung dan tubuh makhluk
aneh itu ambruk di tanah dalam keadaan tidak
bernyawa. Dengan tewasnya, makhluk kurus kering
itu, pengaruh ilmunya punah. Tubuh Arya dan
Eyang Kendi Laga melayang turun. Arya yang se-
jak tadi dalam hati memanggil belalang raksasa di alam gaib namun binatang itu
tidak kunjung datang, mendadak merasakan kehadiran belalang
alam gaib itu di dalam tubuhnya ketika melayang turun. Seketika itu pula dengan
sebuah gerakan tidak masuk akal, di saat tubuh berada di udara, Dewa Arak melompat dan
mengirimkan sampokan ke arah pelipis Rawali.
Rawali yang tengah terkesima melihat ke-
matian makhluk kurus kering andalannya, gugup
melihat serangan yang datang secara cepat dan
tidak tersangka-sangka itu. Meskipun demikian
dia masih sempat mengangkat tangan melindung
bagian yang diserang.
Plakkk! Plakkk!
Rawali hanya bisa memekik tertahan ketika
sampokan Dewa Arak tetap menghantam kepa-
lanya hingga hancur berantakan. Tangkisannya
tidak mampu menahan tenaga serangan lawan.
Tubuh pemuda berompi kulit ular ini pun berke-
lojotan di tanah sebentar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi, mati!
*** Menjelang pagi, Dewa Arak, Eyang Kendi
Laga, Resi Bumi Gidulu, Kenari, Mawar, serta gadis lainnya meninggalkan tempat
yang menjadi saksi tewasnya Rawali. Dari cerita Mawar dan Kenari, Arya serta kedua kakek itu
mendengar seca-ra lebih jelas tentang kakek jangkung. Kakek itu memang berkata
benar, meminta kesediaan Mawar dan Kenari serta seorang gadis lain untuk sebuah
perbuatan yang akan dilakukannya. Me-
nyempurnakan kematian seorang leluhur dari ka-
kek jangkung yang telah dikutuk suatu saat akan bangkit dari kubur dan menyebar
malapetaka. Dengan sentuhan tangan tiga orang gadis yang
masih perawan, dengan hati suka rela, mayat le-
luhur kakek jangkung tidak bangkit lagi untuk
selamanya. Namun, ternyata keadaan menjadi
lain karena Mawar bukan gadis lagi. Leluhur ka-
kek jangkung jadi mayat hidup dan akhirnya ja-
tuh ke tangan Rawali, yang mengorbankan Lasini
untuk membuat makhluk kurus kering itu patuh
padanya. Lasini tewas menjadi tumbal.
Dan berkat Kenari, Eyang Kendi Laga tahu
kalau Gumilang telah dijadikan makhluk jejadian.
Gumilang termasuk salah seorang di antara enam
makhluk jejadian yang menyerang Dewa Arak dan
Eyang Kendi Laga. Kakek kecil kurus itu pun berjanji akan mencari obat guna
memulihkan kea-
daan makhluk-makhluk campuran itu.
Sayangnya, lima lelaki berpakaian hitam
telah pergi ketika Dewa Arak dan yang lain-lain menyatroni tempat kediaman
Rawali. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kisah Tiga Kerajaan 3 Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Pendekar Mata Keranjang 7
makhluk hampir telanjang itu dan secara telak
menghantam ubun-ubunnya.
Seketika itu pula tubuh makhluk menye-
rupai mayat hidup itu terjengkang ke belakang
bagai diseruduk kerbau. Serangannya terhadap
Eyang Kendi Laga pun kandas di tengah jalan.
"Iblis!"
Resi Bumi Gidulu sampai mengeluarkan
seruan terkejut tanpa sadar ketika melihat mak-
hluk hampir telanjang itu masih tetap tegar. Hantaman pada ubun-ubun yang
merupakan tempat
mematikan itu sama sekali tidak berpengaruh,
kecuali hanya terjengkang ke belakang. Dan keti-
ka pengaruh hantaman cambuk yang membuat-
nya terjengkang berhasil dipunahkan, makhluk
kurus kering itu kembali melancarkan serangan
dahsyat. Sasaran serangan makhluk berkekuatan
tubuh luar biasa ini berpindah, tidak pada Eyang Kendi Laga lagi, melainkan pada
Resi Bumi Gidulu.
Mengetahui kekuatan luar biasa makhluk
kurus kering itu, Eyang Kendi Laga tidak tega
membiarkan Resi Bumi Gidulu yang telah menye-
lamatkan nyawanya. Dia pun ikut campur. Maka,
pertarungan yang lebih seru dari sebelumnya pun berlangsung. Makhluk kurus
kering itu menghadapi Resi Bumi Gidulu dan Eyang Kendi Laga.
Dongga yang telah kembali menjauhi kan-
cah pertarungan dan berdiri di sebelah Arya me-
nyaksikan jalannya pertarungan dengan hati pe-
nuh takjub. "Benarkah itu makhluk hidup"!" tanya
Arya masih belum percaya akan pandangan ma-
tanya. "Apa lagi, Arya?" sambut Dongga bernada membenarkan. "Ciri-ciri dan
kedahsyatannya telah menjadi bukti nyata kebenaran kalau dia
memang makhluk hidup."
Arya tidak memberikan tanggapan lagi, da-
lam hati dia membenarkan ucapan Dongga. Kini
pandangan dan perhatiannya dipusatkan kembali
ke arah pertarungan yang tengah berlangsung.
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu, lam-
bat laun makhluk kurus kering itu pasti akan ke-
luar sebagai pemenang. Kekuatan tubuhnya yang
menakjubkan akan menyebabkannya berada di
atas angin. Makhluk itu dengan berani menerima
semua serangan Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi
Gidulu tanpa khawatir terluka. Sebaliknya, kedua kakek itu justru harus berhati-
hati karena sekali saja terkena serangan, nyawa mereka akan terancam. Serangan-
serangan makhluk menyerupai
mayat dan berbau busuk itu sangat dahsyat dan
berbahaya. Sambil terus memperhatikan pertarungan,
Dewa Arak memutar benaknya berusaha menja-
wab pertanyaan mengenai makhluk kurus kering
itu. Kalau benar makhluk hidup, bagaimana dia
bisa bangkit, dan kalau benar mengapa bisa de-
mikian. Akal dan hati nuraninya menolak, mana
mungkin mayat bisa hidup dan bangkit sendiri.
Pasti ada orang yang membangkitkannya.
"Arya!" Teguran Dongga membuat Dewa
Arak menolehkan kepala ke arah pemuda berompi
kulit ular yang berada di sebelahnya.
"Kurasa sebaiknya kita segera mendatangi
tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma. Ti-
dakkah kau khawatir kalau tokoh sesat yang keji itu lebih dulu mencelakai
temanmu"!"
Arya langsung memberikan jawaban,
meskipun hatinya membenarkan usul Dongga.
Namun dia merasa khawatir akan keselamatan
Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu. Dia ya-
kin lambat laun kedua kakek itu akan celaka di
tangan mayat hidup yang menggiriskan itu, kecu-
ali apabila mereka telah menemukan kelemahan-
nya. "Kurasa kau tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan mereka, Arya," sambung
Dongga, seperti mengetahui hati yang membuat pemuda
berambut putih keperakan itu tidak langsung
mengiyakan ajakannya. "Mereka tokoh-tokoh sakti dan berpengalaman, aku yakin
keduanya akan sadar dan menyelamatkan diri apabila tidak
sanggup menghadapi mayat hidup itu."
"Kau benar, Dongga"!" Kali ini Arya langsung sigap menyambut "Mari kita
tinggalkan tempat ini! Eyang, Resi, aku teruskan maksud kita
semula!" teriaknya kemudian.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak ber-
sama Dongga melesat menuju tempat kediaman
Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun baru bebera-
pa langkah, keduanya saling pandang ketika me-
lihat sosok jangkung tengah berlari searah dengan mereka. Sosok jangkung yang
sudah pasti Raja Sihir Pelenyap Sukma itu berada di depan
mereka dalam jarak sekitar dua puluh tombak.
Sosok itu berlari dengan hati-hati.
"Itukah penculik kawanmu, Arya"!" tanya Done meminta jawaban pasti. Dan ketika
Dewa Arak menganggukkan kepala, pemuda berompi
kulit ular ini segera menyambung, "Kalau begitu, lekas kita kejar! Aku yakin dia
tengah menuju tempat kediamannya,!"
"Dan kau sendiri langsung menuju tempat
kediamannya, Dongga?" tebak Arya yang telah bi-
sa menduga arah pemikiran pemuda berompi ku-
lit ular itu. "Benar!"
"Baiklah kalau demikian, Dongga. Aku
sendiri sudah tidak sabar lagi untuk memberikan ganjaran dan kalau bisa mengirim
nyawanya ke akherat. Aku yakin makhluk-makhluk jejadian
yang muncul di dunia persilatan ada hubungan
dengannya. Bahkan aku mempunyai dugaan ka-
lau Raja Sihir Pelenyap Sukma yang telah mem-
buat makhluk dari mayat hidup itu. Mungkin un-
tuk menghalangi pertolongan yang kita lakukan
terhadap Mawar. Tapi kusarankan kau hati-hati, Dongga. Bukan tidak mungkin kalau
Raja Sihir Pelenyap Sukma telah mengetahui maksud kita!"
Usai berkata demikian, Arya melesat den-
gan pengerahan seluruh ilmu meringankan tu-
buhnya. Dalam waktu sekejap dia telah berada di belakang kakek bertubuh jangkung
itu. "Mau lari ke mana kau, Iblis Keji"!"
Dewa Arak melompat ke atas melewati ke-
pala Raja Sihir Pelenyap Sukma, bersalto bebera-pa kali di udara, dan mendarat
dengan mantap di depannya.
"Lagi-lagi kau...!" desis kakek jangkung yang ternyata Raja Sihir Pelenyap
Sukma. "Selalu saja kau yang menghalangi maksudku, Orang
Usilan! Menyingkirlah, sebelum kau menyesal!"
"Aku akan lebih menyesal lagi kalau mem-
biarkan orang sepertimu terus berkeliaran di dunia ini!" tandas Arya, mantap.
"Menyingkirlah, Anak Muda! Aku tak ada
waktu meladeni bocah ingusan sepertimu! Cepat
beri aku jalan sebelum semuanya terlambat!"
"Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi
permintaanmu itu! Kau hanya dapat pergi dari si-ni jika mampu membunuhku...."
"Kau mencari penyakit!"
Wuttt! Bersamaan dengan keluarnya ucapan itu,
Raja Sihir Pelenyap Sukma mengirimkan seran-
gan dengan tusukan sebuah benda yang diambil
dari pinggang kanannya. Gerakannya sangat ce-
pat sehingga bentuk benda itu tidak tampak jelas bahkan ketika meluncur ke arah
Dewa Arak. Meskipun demikian, sepasang mata pendekar
muda itu mampu mengetahui kalau benda yang
mengancamnya ternyata sebuah kipas yang
ujung-ujungnya runcing dan tajam. Deru angin-
nya saja mungkin mampu merobek pakaian jika
terkena. Dewa Arak tentu saja tidak membiarkan
kipas itu merobek dadanya. Dia melompat ke be-
lakang, tapi Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak
membiarkan tindakan pemuda berambut putih
keperakan itu. Dia melancarkan serangan susu-
lan cepat dengan sebuah kebutan kipas ke arah
wajah. Kipas itu dikembangkan.
Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma terlalu
memandang rendah, hingga mengira dengan se-
rangan susulan dahsyat itu Dewa Arak akan da-
pat dirobohkannya.
Meskipun serangan itu meluncur secara ti-
ba-tiba, Dewa Arak mampu mengelakkannya den-
gan merendahkan tubuh. Bahkan pemuda itu da-
pat mengirimkan serangan yang membuat lawan-
nya melompat mundur. Untuk yang kedua ka-
linya pertarungan antara Dewa Arak dengan Raja
Sihir Pelenyap Sukma terjadi. Hanya saja kali ini, kakek jangkung itu
menggunakan kipas baja yang
merupakan senjata andalannya.
Arya pun mengeluarkan ilmu 'Belalang
Sakti', yang menjadi penyebab julukan Dewa Arak menggemparkan dunia persilatan.
Raja Sihir Pelenyap Sukma menggertakkan
gigi, merasa geram karena kecelik. Semula dis-
angka setelah kipas andalannya dikeluarkan,
dengan mudah Dewa Arak dapat dirobohkan.
Sama sekali tidak diduga kalau tindakan itu
membuatnya berada dalam keadaan gawat. Kare-
na memberi kesempatan Dewa Arak mengelua-
rkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya. Dan begitu Dewa Arak
menggunakan guci
araknya terasa oleh kakek jangkung betapa dah-
syat ilmu yang dimiliki pendekar muda itu. Setiap serangan kipasnya selalu
berhasil dikandaskan,
sebaliknya serangan-serangan lawan begitu dah-
syat dan penuh tekanan, tak ubahnya hantaman
gelombang laut.
7 Bukk! Dibarengi pekikan kesakitan, tubuh Raja
Sihir Pelenyap Sukma terpental ke belakang keti-ka sebuah tendangan kaki kanan
Arya bersarang di paha kanannya. Dewa Arak yang memang su-
dah bertekad bulat untuk melenyapkan lawan-
nya, segera meluruk untuk mengirimkan seran-
gan mematikan. Guci araknya diayunkan dengan
cepat ke arah kepala kakek bermuka kehijauan
itu. "Tahan...!"
Ayunan guci itu terhenti di tengah jalan ke-
tika Raja Sihir Pelenyap Sukma mengeluarkan te-
riakan keras sambil melempar kipas di tangan-
nya. Dewa Arak tidak bisa membunuh lawan yang
tidak bersedia melawan lagi, karena tindakan itu bukan sifat seorang pendekar
sejati. "Apa maksudmu, Raja Sihir"!" bentak Arya, keras. Tangan kanannya masih menegang,
dan siap mengayunkan guci apabila kakek jangkung
itu melakukan tindakan yang mencurigakan. Pe-
muda berambut putih keperakan ini khawatir ka-
lau-kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma melakukan
tindakan kecurangan. Dia tahu hal itu bukan
pantangan bagi tokoh golongan hitam.
"Kalau kau teruskan niatmu itu dan aku
mati, maka keamanan dunia persilatan akan te-
rancam. Aku yakin kau bukan tokoh golongan hi-
tam, Anak Muda. Apa kau tega dunia persilatan
akan kacau-balau"!" Ucap Raja Sihir Pelenyap Sukma lagi tenang tapi bernada
tuntutan, dan si-
kapnya tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau
akan melakukan tindakan kecurangan.
"Kau bergurau, Raja Sihir"!" Arya masih tidak percaya. "Aku yakin malah
sebaliknya! Dengan kematianmu, dunia persilatan akan menjadi
aman dan...."
"Tunggu sebentar, Anak Muda!" potong kakek jangkung cepat sebelum Arya
menyelesaikan ucapannya. "Kau... mengapa kau memanggilku Raja Sihir"! Apakah kau tidak keliru
mengenali orang"!"
"Kau masih juga mau berpura-pura, Raja
Sihir"! Ataukah... kau ingin memungkiri bahwa
dirimu berjuluk Raja Sihir Pelenyap Sukma"!" sahut Arya, langsung mengajukan
dugaan. "Kau... kau gila, Anak Muda...!" sergah kakek jangkung sambil menudingkan tangan
ka- nannya. "Kau memaksakan diriku untuk mengakui julukan yang bukan milikku! Lalu
apa mak- sudmu, Anak Muda"! Apa kau tidak percaya ka-
lau kukatakan diriku bukan Raja Sihir Pelenyap
Sukma"!"
Arya kontan terdiam mendengar ucapan
kakek jangkung itu. Nuraninya sebagai seorang
pendekar mengatakan kalau kakek jangkung di
hadapannya ini tidak berbohong. Pegangannya
terhadap guci arak pun mengendur.
"Jadi... kau bukan Raja Sihir Pelenyap
Sukma"!" tanya Arya meminta kepastian dengan nada suara mulai melunak.
Kakek jangkung itu menganggukkan kepa-
la. "Apa kau hendak mengingkar pula kalau
kita pernah bertemu sebelumnya, dan bahkan
pernah bertempur di saat kau hendak membawa
kabur seorang gadis berpakaian merah"!" tanya Arya lagi setelah tercenung
sejenak dan memutar otak. Kakek jangkung tersenyum lebar sebelum
memberikan jawaban.
Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kuakui kalau kita pernah bertemu sebe-
lumnya. Tapi, percayalah padaku, Anak Muda!
Kejadian yang telah menimpa kita adalah kesa-
lahpahaman belaka!"
"Mungkin aku bisa mempercayainya, Kek,"
Arya merubah panggilannya. "Tapi, bisakah kau membuktikan padaku kalau kau tidak
melakukan hal-hal keji terhadap kawan baikku" Aku baru
mempercayaimu kalau kau mempertemukanku
dengan kawanku itu"
"Kalau hal itu dapat membuatmu memper-
cayaiku; aku tidak keberatan. Tapi, sebelumnya
perlu kutekankan padamu, aku tidak melakukan
hal-hal seperti yang kau khawatirkan. Dan kau
boleh mengajukan pertanyaan itu pada kawanmu
nanti." Arya tidak memberikan tanggapan sama sekali. Tanpa berkata apa-apa
diayunkan kakinya mengikuti kakek jangkung yang melangkah lebih
dulu setelah terlebih dulu mengambil kipasnya.
Meskipun demikian, pemuda berambut putih ke-
perakan itu tidak langsung mempercayainya begi-
tu saja. Dan karena kekhawatiran kalau kakek
jangkung itu melakukan kecurangan secara men-
dadak, Dewa Arak mengambil jarak agak jauh.
*** "Mawar...! Kenari...! Lasini..,! Kemarilah...!"
Begitu sampai di mulut sebuah goa kakek
jangkung itu langsung berteriak. Tidak keras, tapi cukup untuk terdengar oleh
orang-orang yang berada di dalamnya.
Arya sempat memperhatikan bagian tebing
di sekitar goa yang akan dimasukinya bersama
kakek jangkung itu. Ternyata benar, bagian teb-
ing itu berbentuk kepala tengkorak manusia, persis seperti penjelasan dari roh
yang dipanggil oleh Resi Bumi Gidulu.
Namun perhatian Arya hanya sebentar, ka-
rena langsung dilibat oleh perasaan kaget men-
dengar panggilan yang dikeluarkan kakek jang-
kung. Ternyata bukan Mawar saja yang berada
bersama kakek jangkung ini. Ada juga Kenari, gadis murid Eyang Kendi Laga, dan
seorang gadis lain. Bagaimana mungkin Kenari bisa berada ber-
sama kakek bermuka kehijauan ini" Perasaan cu-
riga yang bersemayam di benak Dewa Arak sema-
kin membesar. Sungguhpun demikian, Arya tidak bertin-
dak gegabah dan langsung menjatuhkan seran-
gan terhadap kakek jangkung itu. Diputuskan
untuk melihat terus perkembangannya, serta se-
makin bertindak hati-hati. Dengan kewaspadaan
yang semakin meningkat, Arya mengikuti kakek
jangkung masuk ke goa. Di dalam ternyata te-
rang-benderang seperti layaknya pada waktu
siang hari dan tersorot sinar matahari. Hal ini cukup mengherankan sebenarnya,
tapi tidak mem-
buat Arya bingung. Pemuda berambut putih kepe-
rakan ini tahu kalau ada sejenis batuan yang me-nyerap sinar matahari di waktu
siang dan me- mantulkan nya kembali di waktu malam. Dia
menduga batu-batuan yang ada di dalam goa
termasuk batuan seperti itu.
"Mawar...! Kenari...! Lasini...! Di mana kalian..,! Cepat kemari...!"
Kembali kakek jangkung mengeluarkan se-
ruan ketika belum juga terdengar sahutan dari
dalam. Kenyataan ini membuat Dewa Arak sema-
kin curiga. Dia tidak percaya kalau panggilan kakek jangkung itu tidak
terdengar. Dia lebih condong kalau semua cerita kakek itu hanya bualan
belaka, dan kini tengah menyiapkan perangkap.
Keberadaan Kenari bersama Mawar, dan tidak
adanya panggilan jawaban atas panggilan itu
membuat kepercayaanya terhadap ucapan kakek
jangkung mulai luntur.
Dewa Arak melompat mundur ketika sam-
pai di bagian terakhir goa, tidak terlihat gadis-gadis yang dipanggil kakek
jangkung. Lorong goa telah berakhir di sebuah jalan buntu berupa dind-ing tebal
dan beruang cukup luas.
"Cukup sandiwaramu, Raja Sihir! Sekarang
aku tidak memberimu kesempatan lagi, bersiap-
lah untuk mati!" seru Arya bernada mengancam.
"Tidakkah kau bisa bersabar sebentar,
Anak Muda"!" sahut kakek jangkung, masih dengan tenang. "Aku yakin ada
kekeliruan di sini.
Mungkin ketiga gadis itu pergi keluar goa. Dan...."
"Aku telah bertindak cukup bijaksana den-
gan mempercayaimu, Raja Sihir! Tapi, kenya-
taannya, kau tidak bisa memberikan bukti atas
ucapanmu. O ya, ada satu hal yang kulupakan.
Kau masih mengingkari kalau dirimu berjuluk
Raja Sihir Pelenyap Sukma"!"
"Benar!" sahut kakek jangkung, mantap.
"Aku memang bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma."
"Kau mungkin bisa menipuku, karena aku
memang belum pernah menjumpaimu, Raja Sihir!
Aku tidak mengenalmu, tapi, seorang kawan
baikku kenal betul dengan dirimu, bahkan hanya
dengan mendengarkan ciri-cirimu yang kukata-
kan dia langsung mengetahuinya! Kalau benar
kau bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, bisa kau
jelaskan mengapa ciri-cirimu bisa mirip dengan-
nya" Aku tak yakin ini hanya sebuah kebetulan!"
"Hhh...!" Kakek jangkung menghela napas berat setelah terdiam beberapa saat
lamanya. Sikapnya menunjukkan kesan kalau hal yang akan
dikatakan merupakan hal yang bertentangan
dengan batinnya, "Karena kau terlalu memaksa.
Dan agar masalah ini tidak berlarut-larut, se-
baiknya kukatakan padamu. Aku akan berterus
terang, memberitahukan hal yang sebenarnya ti-
dak boleh dan tidak pernah kukatakan pada sia-
pa pun. Aku adalah saudara kembar Raja Sihir
Pelenyap Sukma! Nah, puas kau sekarang, Anak
Muda"!"
"Tidak," Arya menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa mempercayainya. Aku tidak
percaya dengan ucapanmu lagi!"
"Percayalah, Anak Muda, aku berkata se-
benarnya! Kalau saja tidak terjepit waktu dan ada urusan besar yang membutuhkan
bantuanku demi keamanan dunia persilatan, tak sudi aku
mengemis-ngemis kepercayaanmu! Asal kau tahu
saja, Anak Muda, aku tidak takut mati! Bagiku,
mati bukan apa-apa!"
"Aku pun merasa berat untuk tidak mem-
percayaimu, Kek," ujar Arya hati-hati. "Tapi, bagaimana, kenyataan menunjukkan
kalau uca- panmu tidak bisa dipercaya. Bukti yang kau akan tunjukkan padaku, tidak ada sama
sekali. Aku curiga kalau kawanku dan dua gadis yang kau
sebutkan itu telah menjadi korban kekejianmu!"
"Baiklah," kakek jangkung berdesah. "Bawa saja aku pada kawanmu yang kau katakan
mengenal Raja Sihir Pelenyap Sukma! Aku yakin dia
tahu kalau aku bukan tokoh sesat yang kau mak-
sud itu." "Ah...!"
Kakek jangkung tersentak kaget ketika me-
lihat tanggapan Arya. Pemuda berambut putih
keperakan itu terlihat begitu terkejut. Bahkan tu-
buhnya sampai terjingkat seperti disengat ular
berbisa. Kakek berwajah kehijauan ini jadi mera-sa keheranan. Dia sama sekali
tidak tahu menga-
pa Arya bersikap seperti itu.
"Mengapa aku demikian pelupa"!" Arya
menepak keningnya tanpa mempedulikan kehe-
ranan kakek jangkung.
"Kalau benar kau bermaksud baik, dan di-
rimu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, tunggu di sini!" Tanpa memberikan
kesempatan pada kakek jangkung untuk memberikan tanggapan, Arya
melesat pergi. Pemuda berambut putih keperakan
itu melesat cepat dengan pengerahan seluruh il-mu meringankan tubuhnya, karena
khawatir akan terjadi hal-hal seperti yang dikhawatirkannya. "Eyang...! Resi...!"
Arya berseru kaget ketika telah berada da-
lam jarak lima tombak, melihat tubuh Eyang
Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu terhuyung ke
belakang dan memekik kesakitan.
Sesaat kemudian kedua kakek itu siap me-
lancarkan serangan secara bersamaan. Resi Bumi
Gidulu mengirimkan serangan cambuk ke arah
mata. Sedangkan Eyang Kendi Laga menusukkan
tombak pendek ke punggung lawan tangguhnya
setelah terlebih dulu meludahi tombak itu dan
menggurat-guratkannya ke tanah.
Arya yang bermata tajam melihat kalau ge-
rakan kedua kakek itu sudah tidak segesit sebe-
lumnya. Dia tahu kalau Eyang Kendi Laga dan
Resi Bumi Gidulu telah kelelahan, dan bahkan
bukan tidak mungkin kalau mereka telah terluka.
Sambil terus berlari mendekati, pandangannya tetap ditujukan ke tempat
pertarungan. "Arrrggghh...!"
Makhluk kurus kering menggeram keras
melihat serangan yang datang dari dua jurusan
itu. Namun seperti sebelumnya, sosok yang me-
miliki kekuatan tubuh menakjubkan itu tidak
tampak gentar melihat serangan-serangan yang
tertuju ke arahnya. Tanpa menggeser tubuh dari
kedudukan semula, tangan kanannya diulur. Pa-
da saat yang bersamaan kaki kanannya menen-
dang ke belakang, seperti layaknya seekor kuda
menyepak. Tappp! Dukkk! Hampir bersamaan serangan cambuk dan
tombak itu berhasil dipunahkan. Ujung cambuk
dicengkeram dengan tangan kanan, sedangkan
tombak dibiarkan menghantam punggung, tapi
tidak menimbulkan luka sama sekali.
Kedua kakek rekan seperjalanan Dewa
Arak ini tampak kaget ketika melihat untuk ke
sekian kalinya usaha mereka kandas. Dan sebe-
lum Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu
sempat berbuat sesuatu.
Crattt! Bukkk! Jeritan kesakitan hampir berbarengan ke-
luar dari mulut Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi
Gidulu. Tubuh kedua nya sama-sama terjengkang
ke belakang. Eyang Kendi Laga terpental lebih
jauh karena kakek kecil kurus ini terkena ten-
dangan pada paha kirinya. Sedangkan Resi Bumi
Gidulu terkena sampokan tangan makhluk kurus
kering itu pada dadanya. Kakek bongkok ini men-
galami nasib demikian karena setelah cambuknya
tertangkap langsung disentakkan hingga tubuh
Resi Bumi Gidulu ikut tertarik, dan saat itulah tangan kiri makhluk menyerupai
mayat hidup itu
merobek dadanya.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan
makhluk mayat hidup. Sambil mengeluarkan ge-
raman mengerikan, dia melompat menerkam tu-
buh Resi Bumi Gidulu yang tengah terhuyung-
huyung. Seketika wajah kakek bongkok bertan-
gan satu itu memucat, menyadari maut yang ten-
gah meluruk ke arahnya.
Namun sebelum kuku-kuku jari makhluk
kurus kering itu merencah tubuh Resi Bumi Gi-
dulu, Dewa Arak melesat menyambar tubuhnya.
"Aaarrrggghh...!"
Makhluk aneh itu menggeram penuh ke-
murkaan ketika melihat calon korbannya terlepas dari maut. Tentu saja dia tidak
bodoh untuk mengetahui ada orang yang telah menyelamatkan
Resi Bumi Gidulu. Bergegas kepalanya menoleh
saat melihat melesatnya Dewa Arak. Tampaklah
bayangan ungu berkelebat cepat sekali.
Geraman keras penuh kemarahan kembali
terdengar dari mulutnya ketika melihat sosok un-gu itu melesat ke arah tubuh
Eyang Kendi Laga
yang tengah terhuyung dan menyambarnya. Ke-
mudian dengan gerakan secepat kilat membawa
keduanya melesat kabur dari situ.
Makhluk menyerupai mayat itu bergegas
mengejar. Namun lagi-lagi usahanya kandas! De-
wa Arak ternyata memiliki kecerdikan menga-
gumkan. Dia tahu kalau makhluk itu memiliki il-
mu lari cepat yang juga luar biasa, maka meru-
pakan sebuah tindakan berbahaya kalau untuk
berlari di tempat terbuka dengan beban yang cu-
kup berat itu. Dewa Arak memilih tempat yang
banyak memungkinkan untuk menghilangkan je-
jak Dia terus melesat menembus semak-semak
dan pepohonan. Arya tersenyum lega dalam hati ketika
mendengar teriakan geram itu sangat jauh, kare-
na kehilangan jejaknya. Namun pemuda beram-
but putih keperakan ini tidak berpuas diri, me-
lainkan terus berlari untuk menjauhi lawannya.
"Lebih baik kau turunkan aku, Arya! Aku
bisa berlari sendiri," pinta Eyang Kendi Laga ketika suara geraman makhluk aneh
itu sudah tidak
terdengar lagi.
"Aku juga demikian, Rambut Setan," Resi Bumi, Gidulu menyambung.
Arya berhenti dan menurunkan tubuh ke-
dua kakek itu.
Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana hasil usahamu, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, setelah merapikan
pakaiannya yang terbuka di sana-sini karena dipanggul Arya.
"Aku bertugas menghadang perjalanan Ra-
ja Sihir Pelenyap Sukma, sedangkan Dongga
mendapat bagian untuk menyelamatkan kawan-
ku." Arya langsung menceritakan semua yang dialami, sampai dia berhasil menolong
Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu.
"Sekarang aku ingat, Resi, Eyang, mung-
kinkah lenyapnya Mawar dan lain-lain dari dalam goa itu karena telah ditolong
oleh Dongga" Tapi, kalau benar demikian, mengapa pemuda itu tidak
memberi kabar"!"
Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu
mengernyitkan kening, berpikir keras.
"Masalah ini jadi rumit, Arya. Ada dua pertanyaan di sini. Apakah betul kakek
jangkung itu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma dan ke mana
perginya Dongga"!" Eyang Kendi Laga membuka suara. "He he he...! Kurasa lebih
baik kalau kita pergi ke goa tempat tinggal kakek yang tidak mau disebut Raja
Sihir Pelenyap Sukma itu! Kalau ternyata ucapannya benar, pasti dia masih berada
di sana! Bukankah demikian, Rambut Setan"!"
"Seharusnya demikian, Resi!" jawab Arya tanpa berani memberikan kepastian.
Pernyataan Resi Bumi Gidulu membuat
mereka memutuskan untuk menuju tempat ke-
diaman kakek jangkung yang tidak mau mengaku
sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma.
Hanya dalam waktu sebentar saja, Arya
dan kedua kakek itu telah sampai di depan goa.
Dan dengan penuh waspada ketiganya masuk ke
goa untuk membuktikan keberadaan kakek jang-
kung di sana. Dan ternyata, kosong!
"Berarti benar, dia Raja Sihir Pelenyap
Sukma!" tandas Resi Bumi Gidulu, mantap. "Dan dia telah membohongimu, Rambut
Setan. He he he.,.! Dia yang telah menyebabkan terjadinya semua kekacauan ini. Bahkan aku
yakin kalau Dongga mendapat celaka di tangannya!"
"Tapi, saat itu dia tengah bertarung den-
ganku, Resi. Maaf, kalau aku berani berlancang
mulut, Resi!"
"Kita kehilangan jejak kembali," gumam Eyang Kendi Laga, mengeluh
"Haruskah upacara pemanggilan roh itu
diadakan lagi, Bumi Gidulu?"
"Tidak perlu, Kurus! Kalau benar Raja Sihir Pelenyap Sukma penipu itu telah
berada di sini sebelumnya, dan belum pergi lama, aku dapat
melacak ke mana dia pergi," jawab Resi Bumi Gidulu, penuh keyakinan.
Lalu, tanpa mempedulikan Arya dan Eyang
Kendi Laga yang masih belum mengerti yang di-
maksudkannya, kakek bongkok ini sudah sibuk
mengembang kempiskan hidungnya seperti ten-
gah mencium-cium bau. Tindakannya mengin-
gatkan akan kelakuan seekor anjing, atau bina-
tang lain yang mempergunakan hidung untuk
melacak jejak. Resi Bumi Gidulu sibuk mengendus-endus
sekitar tempat yang cukup luas di dalam goa itu beberapa saat, sebelum akhirnya
melangkah ke luar goa. Arya dan Eyang Kendi Laga sating pan-
dang sejenak dan mengangkat bahu, lalu mengi-
kuti Resi Bumi Gidulu.
Resi Bumi Gidulu terus saja mengembang-
kempiskan hidungnya. Bahkan terkadang berhen-
ti sejenak di satu tempat sambil tetap mengem-
bang-kempiskan hidungnya seraya memutar ke-
pala seperti mencari-cari bau yang dimaksudkan.
Kemudian melangkah secara pasti menuju arah
yang diyakininya dilewati kakek jangkung.
8 Arya dan Eyang Kendi Laga tidak bisa me-
nyembunyikan perasaan kagum ketika Resi Bumi
Gidulu memberikan isyarat pada mereka untuk
melihat ke depan, dan ternyata di sana tampak
sesosok tubuh jangkung yang tengah bersem-
bunyi di balik sebatang pohon. Sosok yang diya-
kini Resi Bumi Gidulu sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma.
Dengan tindakan hati-hati dan tanpa me-
nimbulkan suara, ketiganya melangkah mendeka-
ti tempat kakek jangkung. Mereka khawatir kalau kakek yang diduga Raja Sihir
Pelenyap Sukma itu akan kabur. Sebab di samping saat itu suasana
malam terlalu gelap, tempat di sekitar mereka
merupakan semak-semak dan pepohonan.
Rupanya kakek jangkung itu benar-benar
memiliki pendengaran tajam. Saat jarak Resi Bu-
mi Gidulu tinggal tiga tombak darinya, kepala ka-
kek jangkung itu menoleh ke belakang.
Resi Bumi Gidulu tidak ingin kehilangan
jejak buruannya itu. Maka sebelum kakek jang-
kung itu sempat melakukan gerakan apa pun, dia
lebih dulu melesat.
"Mau kabur ke mana lagi, Raja Sihir"!" seru Resi Bumi Gidulu keras. sambil
mengirimkan totokan maut ke leher dengan lengan bajunya yang
menegang kaku laksana pedang.
Prattt! Serangan Resi Bumi Gidulu kandas ketika
kakek jangkung memapak serangan itu dengan
kipas yang dicabut secara cepat dari balik ikat pinggangnya, Tubuh kedua belah
pihak sama-sama terhuyung-huyung ke belakang. Lengan ba-
ju Resi Bumi Gidulu kembali melemas seperti se-
diakala. Resi Bumi Gidulu menggertakkan gigi ka-
rena penasaran melihat serangannya menemui
kegagalan. Tanpa memberi kesempatan sedikit
pun kembali dilancarkan serangan susulan yang
membuat pertarungan berlanjut
"Hentikan...! Tahan...!"
Kakek berwajah kehijauan beberapa kali
berteriak mencegah untuk menahan Resi Bumi
Gidulu agar tidak menyerangnya. Namun sia-sia!
Kakek bongkok itu terus saja menghujaninya
dengan serangan maut. Arya dan Eyang Kendi
Laga saling pandang. Mereka merasa heran men-
dengar seruan-seruan itu. Mengapa kakek jang-
kung sepertinya tak menyukai terjadinya perta-
rungan" Benarkah ada kesalahpahaman di sini"
Betulkah kakek berwajah kehijauan itu tidak bersalah" Pertanyaan ini bergayut di
benak Arya dan Eyang Kendi Laga.
"Jangan-jangan kakek jangkung itu benar-
benar tidak bersalah, Eyang!" Arya tidak tahan untuk menyimpan dugaan itu terus-
menerus di dalam hati. "Mungkin kau benar, Arya. Kulihat dia ti-
dak menginginkan terjadinya pertarungan," ujar Eyang Kendi Laga. Namun sebelum
Arya dan Eyang Kendi Laga melompat untuk mencegah ter-
jadinya pertarungan lebih lanjut, pandang mata
mereka yang tajam, melihat beberapa sosok
bayangan berkelebat mendekati kancah pertarun-
gan. Baik Arya maupun Eyang Kendi Laga men-
getahui kalau sosok-sosok yang berjumlah lima
orang dan mengenakan pakaian serba hitam. Ka-
rena ingin mengetahui hal yang akan mereka la-
kukan, Arya dan Eyang Kendi Laga menghentikan
tindakan mereka dan memperhatikan
Lima lelaki berpakaian hitam itu ternyata
berhenti sekitar tujuh tombak dari tempat pertarungan. Mereka langsung
menyelinap di balik pe-
pohonan. "Apa yang hendak mereka lakukan?" tanya Arya dan Eyang Kendi Laga dalam hati.
Lima lelaki berpakaian hitam itu lalu men-
geluarkan benda-benda berkilat yang ternyata
senjata tajam berupa pisau. Kemudian masing-
masing sosok melemparkannya ke arah kancah
pertarungan. Bunyi berdesing langsung terdengar di antara teriakan-teriakan
kedua kakek yang sedang bertarung.
Arya dan Eyang Kendi. Laga terkejut ketika
mengetahui arah pisau-pisau itu tertuju pada Re-si Bumi Gidulu. Hal ini menjadi
pertanda kalau lima lelaki berpakaian hitam berada di pihak kakek jangkung.
Resi Bumi Gidulu jadi kelabakan, karena
dirinya tengah memusatkan seluruh perhatian
untuk menghadapi kakek jangkung.
Dan celakanya, serangan-serangan pisau
itu berlangsung berkali-kali. Sehingga dalam se-kejapan saja Resi Bumi Gidulu
jadi terdesak he-
bat oleh lawannya,
Melihat kenyataan ini Arya dan Eyang
Kendi Laga tahu kalau dibiarkan terus Resi Bumi Gidulu akan celaka di tangan
lawan. Sebab, kakek jangkung yang semula berteriak-teriak untuk mencegah Resi
Bumi Gidulu menyerangnya, malah melancarkan tekanan-tekanan hebat yang
membahayakan. Hal ini membuat Arya dan Eyang
Kendi Laga tidak segan-segan lagi mengambil tindakan guna menyelamatkan Resi
Bumi Gidulu. Sudah terbukti kalau kakek jangkung mempunyai
hubungan dengan lima lelaki berpakaian hitam
itu. Baru saja Arya dan Eyang Kendi Laga me-
luruk ke dalam kancah pertarungan, dari arah
berlawanan muncul sosok-sosok yang amat me-
reka kenal. Makhluk-makhluk jejadian yang me-
nurut penyelidikan Eyang Kendi Laga merupakan
hasil pekerjaan manusia!
Sambil mengeluarkan geraman-geraman
khasnya, beberapa sosok makhluk yang terdiri
dari campuran antara manusia dengan harimau,
kera, badak, beruang, dan lain-lainnya menyam-
but kedatangan Dewa Arak dan Eyang Kendi La-
ga. Hal ini membuat pertarungan lain terjadi
Berbareng dengan munculnya makhluk-
makhluk jejadian itu, lima lelaki berpakaian hitam menghentikan bantuan mereka
terhadap ka- kek jangkung. Bahkan kemudian melesat me-
ninggalkan tempat itu. Resi Bumi Gidulu yang
semula terdesak hebat perlahan-lahan dapat me-
nyusun kekuatan lagi, sehingga mampu bangkit
mengimbangi perlawanan.
Di tempat lain, Dewa Arak dan Eyang Ken-
di Laga tampak sibuk. Hanya saja tindakan kedua orang ini tidak sekeras
sebelumnya. Baik Arya
maupun Eyang Kendi Laga tidak berusaha mengi-
rimkan serangan yang dapat membahayakan ke-
selamatan lawan-lawan mereka. Serangan-
serangan yang mereka kirimkan hanya bertujuan
merobohkan makhluk-makhluk jejadian itu, tan-
pa harus membunuh mereka. Tindakan ini dila-
kukan karena mengetahui kalau makhluk-
makhluk jejadian itu berasal dari manusia. Se-
mua melakukan penyerangan karena pengaruh
jahat yang mengendalikan mereka.
Tentu saja niat Arya dan Eyang Kendi Laga
membuat mereka semakin sulit untuk mengalah-
kan makhluk-makhluk jejadian itu. Merobohkan
tanpa melukai secara berat lebih sulit ketimbang membunuh mereka. Sebab, baik
tindakan Arya maupun Eyang Kendi Laga jadi tidak leluasa.
Teriakan-teriakan keras bersahut-sahutan
yang berasal dari kancah pertarungan lainnya
membuat Arya dan Eyang Kendi Laga mengalih-
kan perhatian sejenak. Mereka melihat kakek
jangkung serta Resi Bumi Gidulu sama-sama me-
lompat saling terjang dengan tangan terbuka sa-
ma-sama dijulurkan ke depan. Tak pelak lagi ke-
dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam
tinggi itu bertemu di udara dan melekat, sampai tubuh keduanya turun ke tanah.
Eyang Kendi Laga menghela napas berat
melihat hal ini. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, Arya pun tahu kalau Resi
Bumi Gidulu dan
lawannya tengah mengadu tenaga dalam secara
langsung. Dan hal ini amat berbahaya. Yang ka-
lah akan tewas, sementara yang menang pun ti-
dak akan luput dari luka dalam parah.
Menyadari akan keadaan yang gawat Arya
dan Eyang Kendi Laga semakin mempertinggi ke-
mampuan daya serang. Dewa Arak melompat ke
atas dengan bersalto di udara melewati kepala lawan-lawannya. Kemudian dari sana
mengirimkan serangan ke arah belakang kaki lawan.
Dalam sekali gerakan Dewa Arak mampu
mengirimkan serangan beruntun terhadap lawan-
lawannya. Dan semua mengenai sasarannya. Se-
ketika itu pula tubuh makhluk-makhluk jejadian
itu ambruk ke tanah, tak mampu bangun lagi ka-
rena sambungan lutut mereka terlepas!
Hal yang sama pun berhasil dilakukan oleh
Eyang Kendi Laga. Hanya saja kakek kecil kurus
ini mengirimkan serangan dari depan, tapi sasa-
ran yang dituju tetap lutut. Dua makhluk jejadian sisanya roboh dengan sambungan
tulang lutut terlepas. Tanpa mempedulikan lawan-lawan mereka,
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga mengalihkan
perhatian pada pertarungan menegangkan antara
Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung. Keadaan
dua kakek itu tampak sudah mengkhawatirkan.
Dari atas kepala kedua belah pihak, mengepul
uap putih. Keadaan lawan Resi Bumi Gidulu tam-
pak lebih parah. Wajahnya dibanjiri peluh sebe-
sar-besar biji jagung.
"Apa yang akan kau lakukan, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, ingin tahu. Sebab dia
menyadari kalau saat-saat seperti itu, merupakan hal yang sulit untuk
dipisahkan. Orang yang mencoba memisahkan dua tenaga dalam akan tewas
dengan sekujur tubuh hancur, karena terkena
Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gabungan tenaga dalam yang tengah menyatu.
Arya tidak memberikan jawaban. Pemuda
berambut putih keperakan ini terdiam dengan ha-
ti memanggil-manggil belalang raksasa di alam
gaib. Arya telah berjanji dalam hati untuk tidak menggunakan bantuan belalang
raksasa kasat mata itu kecuali dalam keadaan gawat. Dan seka-
rang keadaan telah kritis, maka dia memanggil-
nya. Sesaat kemudian, Dewa Arak merasakan
sekujur tubuhnya bergetar sebentar. Bulu ku-
duknya berdiri ketika belalang raksasa dari alam gaib itu masuk ke tubuhnya.
Eyang Kendi Laga, meskipun tidak menge-
tahuinya, bisa merasakan adanya keanehan yang
secara tiba-tiba itu. Dia sempat merasakan ada
hembusan angin dingin yang membuat bulu ku-
duknya tiba-tiba meremang. Kebetulan dia berada di sebelah Dewa Arak.
Sepasang mata Eyang Kendi Laga hampir
keluar dari rongganya ketika melihat di belakang Dewa Arak seperti tampak
sesosok binatang ber-sayap yang besar, berwarna coklat. Sosok bina-
tang menyerupai belalang raksasa itu hanya tam-
pak samar-samar dan berupa bayangan.
"Arrrggghh...!"
Mendadak Dewa Arak mengeluarkan gera-
man keras menggetarkan sekitar tempat itu. Sua-
ra yang tidak patut keluar dari mulut seorang
manusia. Meskipun Eyang Kendi Laga telah men-
gerahkan seluruh tenaga dalam untuk menahan
pengaruh geraman itu, dia tetap tidak mampu.
Sekujur kakinya terasa lemas, dan tak dapat di-
cegah lagi dia jatuh berlutut. Selain sekujur tubuh merasa lemas lunglai seluruh
tenaganya sea- kan lenyap seketika.
Hal yang sama pun dialami Resi Bumi Gi-
dulu dan lawannya. Hanya saja karena kedua ka-
kek ini tengah mengerahkan tenaga dalam, pen-
garuhnya tidak sedahsyat yang dialami Eyang
Kendi Laga. Meskipun demikian, akibat pengaruh
geraman keras itu membuat aliran tenaga dalam
mereka sempat terhenti sejenak.
Kesempatan di saat aliran tenaga dalam
kedua kakek itu terhenti, dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Dewa Arak. Dengan kecepatan luar
biasa pemuda berambut putih keperakan itu me-
lesat ke dalam kancah pertarungan. Dan di saat
tubuhnya masih berada di udara, kedua tangan-
nya dihentak-hentakkan.
Angin dahsyat pun muncul dari tangan
Dewa Arak, menghempaskan tubuh kedua kakek
yang tengah bertarung, hingga terpental dan terguling-guling.
Begitu kekuatan yang membuat tubuh me-
reka terguling-guling habis, Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung merangkak
bangun. Keduanya
tampak lemas sekali. Gerakan mereka tidak sigap atau pun gesit seperti semula.
Baik tenaga Resi Bumi Gidulu maupun lawannya telah terkuras
habis. Di tempat yang sama, hanya berbeda jarak sekitar lima tombak, Eyang Kendi
Laga pun tampak tertunduk lesu. Kakek kecil kurus ini masih berdiri dengan kedua
lututnya. Dia masih tidak
bergairah untuk bangkit karena belum mampu
menghilangkan perasaan kagetnya akibat teria-
kan Dewa Arak. Sementara tokoh yang menjadi
penyebab semua ini pun terdiam tapi dengan se-
nyum puas tersungging di bibir. Saat itu belalang raksasa telah keluar dari
dalam dirinya. Karena masing-masing tokoh terdiam, sua-
sana berubah hening. Mendadak....
"Aaarrrggghh...!"
Geraman yang tidak kalah dahsyat dengan
suara Dewa Arak tadi, kembali terdengar. Bunyi
geraman ini pun berbeda, meskipun sama-sama
mengandung getaran yang dapat melumpuhkan
lawan. Hal ini membuat tokoh-tokoh di tempat itu, yang masih terpengaruh oleh
teriakan Arya, jadi kembali lemas. Arya satu-satunya orang yang semula berdiri
tegak pun, merasakan kedua ka-
kinya menggigil. Namun dengan pengerahan te-
naga dalam dia berhasil membuat kedua kakinya
tetap berdiri tegak di atas tanah.
"Hak hak hak...!"
Sebelum gema geraman keras tadi lenyap
seluruhnya, terdengar suara tawa keras tergelak bernada aneh, sehingga membuat
Arya dan yang lainnya kecuali kakek jangkung, merasa heran.
Wajah kakek jangkung tampak pucat pasi
"Ah...! Celaka...! Aku terlambat..,! Semuanya sia-sia...!" keluh kakek jangkung
itu penuh penyesalan. Kemudian pandangannya diedarkan
pada Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang
Kendi Laga. "Kalianlah yang menjadi penyebabnya! Kalau kalian tidak terlalu
keras kepala memaksakan kehendak, dan mau mengerti sedikit,
hal ini tidak akan terjadi. Sia-sia semua usaha-
ku!" Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga saling pandang penuh
perasaan heran mendengar makian kakek jangkung. Mereka tidak
paham mengapa kakek itu marah-marah dan me-
nimpakan kesalahan pada mereka. Yang jelas, ke-
tiga tokoh ini tahu kalau marahnya kakek jang-
kung berhubungan dengan munculnya sesosok
makhluk seperti mayat hidup yang didahului sua-
ra geraman keras menggelegar itu.
Sebentar kemudian, ketiga tokoh ini dan
juga kakek jangkung melihat sendiri pemilik sua-ra aneh tadi. Sosok itu ternyata
si Makhluk Kurus Kering yang memiliki kekebalan tubuh luar biasa.
Tapi, dia tidak sendirian, ada sosok lain yang datang bersamanya, seorang pemuda
mengenakan pakaian dari kulit ular!
"Dongga...!" hampir berbareng Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu
memanggil pemuda itu. Sorot mata dan tarikan wajah Arya
serta dua kakek rekan seperjalanannya menyi-
ratkan perasaan heran melihat keberadaan Dong-
ga dengan makhluk kurus kering itu. Dongga ke-
lihatannya bersahabat dengan makhluk yang
hampir telanjang itu. Hal ini membuat Arya dan
kedua kakek kawannya menduga bakal terjadi se-
suatu. "He he he...!"
Dongga tertawa terkekeh mengejek kehera-
nan Dewa Arak dan kedua kawannya. Bahkan se-
karang mereka melihat jelas sorot kekejian di ma-
ta pemuda berompi kulit ular itu.
"Pada kalian bertiga memang aku memper-
kenalkan diri dengan nama Dongga. Masalahnya
kalau kuperkenalkan nama asliku, jangan-jangan
kalian terutama sekali kakek buntung itu akan
mengenalku," ucap Dongga dengan tenang sambil menuding Resi Bumi Gidulu.
"Tutup mulutmu, Pengecut Licik!" sergah Resi Bumi Gidulu, keras dan penuh
kemarahan... Kakek bongkok ini merasa kecewa sekali menge-
tahui pemuda yang telah mendatangkan rasa
simpatik di hatinya, tak lebih dari seorang penjahat "Jangankan mengenal namamu,
wajahmu pun tidak kukenal!"
"Begitukah"!" sambut Dongga cepat, penuh ejekan. "Tapi, aku yakin kau akan
mengenali na-maku, Guru."
"Guru"!" suara Resi Bumi Gidulu terdengar menggigil karena kaget. Perasaan yang
sama me-nyemak di hati Arya, Eyang Kendi Laga, dan ka-
kek jangkung. Mereka menolehkan kepala dengan
cepat pertanda kaget, mendengar sapaan Dongga.
"Si... siapakah kau... aku... eh..."
"Jadi, kau telah lupa padaku, Guru"! Aku,
muridmu! Orang yang kau cari-cari karena lari
dari pulau hukuman. Aku Rawali...!"
"Rawali"!" Suara Resi Bumi Gidulu semakin menggigil karena cekaman perasaan
tegang yang melanda. "Ti... tidak mungkin! Kau masih muda... sedangkan Rawali sudah
berusia lanjut.
Bahkan sekarang, mungkin usianya tak akan ku-
rang dari lima puluh lima tahun. Kau tidak bisa mempermainkan aku, Pembohong!"
"He he he...!" Dengan sikap tenang, Dongga alias Rawali tertawa terkekeh. "Kalau
hanya menjadi muridmu, tentu saja kau bisa berkata demi-
kian, Tua Bangka Bau Tanah! Tapi aku tidak bo-
doh, aku berguru lagi. Dan dari guruku yang ke-
dualah aku mendapatkan kemampuan merubah
wajahku sehingga terlihat muda. Bahkan dengan
ramu-ramuan tertentu yang kubuat, aku berhasil
membuat tubuhku tetap seperti layaknya tubuh
orang muda. Aku pun belajar pula ilmu-ilmu ra-
cun yang membuatku dapat membuat makhluk
jenis baru campuran antara manusia dengan bi-
natang. Sayang, beberapa di antaranya gagal. Mereka mati keracunan, karena tidak
kuat adanya kesalahan. Bagaimana, masih tidak percaya?"
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi
Laga terdiam dengan wajah menyiratkan pera-
saan kaget tidak terkira. Sama sekali tidak disangka kalau dalang semua kejadian
ini ternyata Dongga, bukan kakek jangkung yang mereka
anggap Raja Sihir Pelenyap Sukma!
"Aku tahu ramuan-ramuan yang kau mak-
sud, Rawali!" sela Arya dengan suara keras. "Wanita-wanita itu bukan?"
"Tepat! Tapi masih kurang tertuju, Dewa
Arak!" jawab Dongga atau Rawali sambil menganggukkan kepala. "Tepatnya adalah
wanita-wanita yang masih gadis. Tapi, sayang dua kali
pengambilan yang dilakukan anak buahku dijegal
oleh kakek sialan itu!" Dongga alias Rawali menuding kakek jangkung. "Namun
kakek itu bodoh!
Begitu wanita culikan anak buahku yang pertama
berhasil dirampasnya, aku segera membuat jeba-
kan. Kusuruh anak buahku menculik wanita tapi
bukan perawan, karena aku yakin akan dirampas
kembali. Aku melihat kakek dungu itu mengintai
tindak-tanduk anak buahku! Dan memang, kakek
bodoh itu tertipu! Wanita yang bukan gadis diambil juga. Padahal, aku tahu pasti
kalau dia tengah melakukan sebuah perbuatan yang membutuhkan wanita-wanita yang
masih gadis. Dia tertipu!"
Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gi-
dulu menatap kakek jangkung. Jadi, kakek jang-
kung itu pun menculiki gadis-gadis untuk mela-
kukan suatu percobaan" Berarti sama bejatnya
dengan Rawali. "Tutup mulutmu yang kotor itu, Rawali!"
maki kakek jangkung kalap. "Jangan samakan tindakanku dengan perbuatanmu! Kau
menculiki gadis untuk obat awet mudamu dan juga mak-
hluk-makhluk jejadianmu. Gadis-gadis itu kau
bunuh setelah kau pergunakan. Sedangkan aku
hanya membutuhkannya untuk melenyapkan ter-
jadinya angkara murka di dunia persilatan, dan
gadis-gadis itu tidak kurang suatu apa. Mereka
tetap masih gadis, dan sehat. Malah mereka
membantuku dengan suka rela!"
"Sebentar, Rawali!" selak Resi Bumi Gidulu untuk menghentikan pertengkaran
antara Rawali dengan kakek jangkung. "Aku yakin, kau lolos da-
ri pulau hukuman belum lama. Bahkan aku yakin
tidak sampai sebulan sebelum kedatanganku
yang terakhir. Bagaimana mungkin dalam waktu
singkat kau dapat bertemu dengan seorang guru
dan belajar ilmu-ilmu sesat itu serta mengua-
sainya?" "Kau memang tolol, Bumi Gioutu!" Enak saja Rawali memaki gurunya. "Tentu saja
aku mempelajarinya di pulau hukuman. Karena aku
menemukan guru kedua itu di pulau hukuman.
Dan beberapa hari sebelum kau datang menjen-
guk aku telah tamat belajar dan langsung me-
ninggalkan pulau. Sungguh kebetulan guru ke-
duaku tahu jalan keluar dari pulau. Dialah yang menuntunku keluar. Sayangnya,
guru keduaku mempunyai watak seperti kau juga, lemas! Kebe-
radaannya di pulau itu justru sengaja dan meng-
hukum diri karena menyesali atas dosa-dosa yang dilakukannya belasan tahun lalu.
Keluarnya dari pulau hanya karena ingin menolongku. Ketika
timbul rasa khawatir akan menjadi penghalangku
dikemudian hari akhirnya dia kubunuh!"
"Biadab!" seru Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu, serta kakek jangkung,
hampir bersamaan. Sementara Dewa Arak menggeleng-
gelengkan kepala
"Keparat, Rawali! Kau harus mengganti
dengan nyawamu atas tindakan kejimu terhadap
saudara kembarku itu!" seru kakek jangkung penuh kemarahan. Kalau saja tidak
dalam keadaan payah, tentu sudah diterjangnya pemuda berompi
kulit ular itu.
"Ah, jadi Raja Sihir Pelenyap Sukma itu
saudara kembarmu, Kakek Dungu. Aku memang
sudah merasa heran sejak semula melihat kemi-
ripan wajahmu dengan guru keduaku yang bodoh
juga itu. Ternyata kau saudara kembarnya. Dan
kau ingin membalaskan sakit hati Raja Sihir Pe-
lenyap Sukma yang bodoh itu" Silakan!"
Arya tidak ingin kakek jangkung yang ter-
nyata tidak bersalah dan masih lelah itu melan-
carkan serangan, maka langsung melompat men-
dahului. Dan karena telah mengetahui tingkat
kepandaian Rawali alias Dongga yang luar biasa, dikerahkan seluruh tenaga dalam.
Dengan kedua tangan terbuka dikirimkan serangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati
lawannya. Namun sebelum serangan Arya mencapai
sasaran, Rawali memberi isyarat pada makhluk
kurus kering yang sejak tadi berdiam diri di sebelahnya. Makhluk menyerupai
mayat hidup itu
mengeluarkan gerengan aneh sambil menggerak-
Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan tangan. Mendadak tubuh Dewa Arak tertahan
di udara, seperti dipaku! Pemuda berpakaian un-
gu itu terapung di udara dalam sikap tengah me-
lancarkan serangan,
Eyang Kendi Laga, dengan sisa tenaga yang
masih ada bergerak untuk melancarkan seran-
gan. Namun, dia pun mengalami nasib seperti
Arya ketika makhluk kurus kering itu mengge-
rakkan tangan menuding.
"Tidak akan ada orang yang sanggup
menghadapinya," ucap kakek jangkung pelan tapi terdengar jelas oleh Resi Bumi
Gidulu. "Karena telah berhasil dikuasai oleh Rawali, makhluk kurus kering itu
jadi memiliki kemampuan berlipat ganda. Dia tidak akan bisa dikalahkan apa lagi
dibunuh, kecuali... olehku!"
"Mengapa tidak kau lakukan"!" sentak Resi Bumi Gidulu cepat, tak sabaran karena
khawatir makhluk kurus kering itu mengalihkan sasaran
padanya. "Tapi, kau harus berjanji membunuh Ra-
wali untuk membalas kematian saudara kembar-
ku!" "Aku berjanji," sahut Resi Bumi Gidulu mantap, sungguhpun merasa heran
mengapa kakek jangkung itu bersikap demikian. Bukankah
kakek itu memiliki kepandaian tidak kalah den-
gannya" Mengapa harus meminta bantuan pa-
danya" Kakek jangkung tak mempedulikan kehe-
ranan Resi Bumi Gidulu. Dia sibuk berkomat-
kamit entah membaca apa, Resi Bumi Gidulu
sendiri tidak mendengarnya. Yang jelas ketika kakek jangkung itu berhenti
merapal mantera dan
kemudian mengangkat tangan kanannya, mak-
hluk kurus kering di sana ikut mengangkat tan-
gan kanannya. "Hih"!"
Kakek jangkung menghantamkan tangan-
nya ke ubun-ubun hingga hancur dan mengelua-
rkan bunyi berderak keras. Pada saat yang ber-
samaan, ubun-ubun makhluk kurus kering itu
pun hancur tertembus tangannya. Dan bersa-
maan tubuh kakek jangkung dan tubuh makhluk
aneh itu ambruk di tanah dalam keadaan tidak
bernyawa. Dengan tewasnya, makhluk kurus kering
itu, pengaruh ilmunya punah. Tubuh Arya dan
Eyang Kendi Laga melayang turun. Arya yang se-
jak tadi dalam hati memanggil belalang raksasa di alam gaib namun binatang itu
tidak kunjung datang, mendadak merasakan kehadiran belalang
alam gaib itu di dalam tubuhnya ketika melayang turun. Seketika itu pula dengan
sebuah gerakan tidak masuk akal, di saat tubuh berada di udara, Dewa Arak melompat dan
mengirimkan sampokan ke arah pelipis Rawali.
Rawali yang tengah terkesima melihat ke-
matian makhluk kurus kering andalannya, gugup
melihat serangan yang datang secara cepat dan
tidak tersangka-sangka itu. Meskipun demikian
dia masih sempat mengangkat tangan melindung
bagian yang diserang.
Plakkk! Plakkk!
Rawali hanya bisa memekik tertahan ketika
sampokan Dewa Arak tetap menghantam kepa-
lanya hingga hancur berantakan. Tangkisannya
tidak mampu menahan tenaga serangan lawan.
Tubuh pemuda berompi kulit ular ini pun berke-
lojotan di tanah sebentar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi, mati!
*** Menjelang pagi, Dewa Arak, Eyang Kendi
Laga, Resi Bumi Gidulu, Kenari, Mawar, serta gadis lainnya meninggalkan tempat
yang menjadi saksi tewasnya Rawali. Dari cerita Mawar dan Kenari, Arya serta kedua kakek itu
mendengar seca-ra lebih jelas tentang kakek jangkung. Kakek itu memang berkata
benar, meminta kesediaan Mawar dan Kenari serta seorang gadis lain untuk sebuah
perbuatan yang akan dilakukannya. Me-
nyempurnakan kematian seorang leluhur dari ka-
kek jangkung yang telah dikutuk suatu saat akan bangkit dari kubur dan menyebar
malapetaka. Dengan sentuhan tangan tiga orang gadis yang
masih perawan, dengan hati suka rela, mayat le-
luhur kakek jangkung tidak bangkit lagi untuk
selamanya. Namun, ternyata keadaan menjadi
lain karena Mawar bukan gadis lagi. Leluhur ka-
kek jangkung jadi mayat hidup dan akhirnya ja-
tuh ke tangan Rawali, yang mengorbankan Lasini
untuk membuat makhluk kurus kering itu patuh
padanya. Lasini tewas menjadi tumbal.
Dan berkat Kenari, Eyang Kendi Laga tahu
kalau Gumilang telah dijadikan makhluk jejadian.
Gumilang termasuk salah seorang di antara enam
makhluk jejadian yang menyerang Dewa Arak dan
Eyang Kendi Laga. Kakek kecil kurus itu pun berjanji akan mencari obat guna
memulihkan kea-
daan makhluk-makhluk campuran itu.
Sayangnya, lima lelaki berpakaian hitam
telah pergi ketika Dewa Arak dan yang lain-lain menyatroni tempat kediaman
Rawali. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kisah Tiga Kerajaan 3 Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Pendekar Mata Keranjang 7