Ketika Dewa Memaksa 1
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? Bagian 1
KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA
Prolog: Cerita wayang kontemporer berikut ini telah saya coba bangun kembali dalam
beberapa bulan terakhir ini.
Idenya datang saat saya mendengarkan kaset wayang berjilid dengan judul:
Antasena Gugat, yang dimainkan oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Untuk mereka yang
telah menunggu-nunggu maupun bertanya, terutama Pak Irwan Boediharjo, Pak
Harjanto Djunaidi, dan Astari, maka inilah hasilnya. Semoga anda bisa puas.
KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (1)
Buat: Anastasia Listiawan
Siapa tak mengenal Bethara Guru" Raja para dewa ini bertahta di Jonggring
Saloka, negeri para dewa dan dewi. Ia adalah sosok dewa yang pintar dan
berwibawa. Ia dewa yang dermawan dan punya rasa humor yang tinggi, walau humornya bukan
humor kelas abang becak. Siapa saja yang ada didekatnya bukan hanya senang dan terhibur, namun juga
menaruh rasa hormat. Bethara Guru memiliki beberapa gelar, yang salah satunya adalah Sang Hyang Jagat
Nata, artinya dewa yang memiliki kekuasaan dalam menata kehidupan dunia.
Adapun dunia yang dikuasainya terdiri dari bagian: Jagat Inggil, dunia atas
(dunia para dewa), Jagat Madya, dunia tengah (dunia mahkluk halus), dan Jagat
Ngandap, dunia bawah (dunia para manusia).
Sang Hyang Jagat Nata juga punya beberapa gelar lainnya, yaitu: Sang Hyang Jagat
Pratingkah, Sang Hyang Udipati, Sang Hyang Milengis, Sang Hyang Manik Maya, Sang
Hyang Catur Buja (karena memiliki empat bahu dan empat tangan), Sang Hyang Randu
Wanda. Dengan berbagai macam gelar yang disandangnya itu, semakin sempurnalah
keberadaan Bethara Guru. Ia selalu menjadi contoh dan cermin bagi para orang tua
yang ingin anak-anaknya punya banyak gelar. Tidak peduli apakah gelar itu harus
dibeli. Dengan berbagai gelar yang disandangnya itu pula Bethara Guru makin dihormati
dan dikagumi dimana-mana.
Karismanya semakin memancar. Dan dengan karisma dan penampilannya saja, ia
seperti mampu memberikan rasa aman dan optimisme bagi para mahkluk yang
kebetulan berada di sekelilingnya.
Tentu saja keberadaan yang nyaris sempurna itu di dukung pula oleh penampilan
yang menajubkan. Contohnya: kalau pas lagi berpergian, ia selalu menunggang kendaraan
kesayangannya, yaitu seekor sapi sakti bernama Andini. Ia lebih suka naik
sapinya yang tanpa 'air-bag' maupun 'anti-lock brake system' itu, dari pada naik
mobil limosinnya yang anti peluru.
Nasehat keluarganya yang kawatir kalau ia kecelakaaan karena naik sapi, apalagi
tanpa sabuk pengaman (seat belt) tidak digubrisnya. Pernah di daerah Virginia ia
kena tilang gara-gara tidak 'bukle-up'.
Di pagi yang cerah itu, Bethara Guru memanggil para dewa bawahannya. Nampaknya
ada sesuatu urusan penting yang ingin ia bicarakan dengan para kawulanya itu.
Sudah sebulan ini negara Jonggring Saloka dilanda keresahan. Kawah Candradimuka,
yang sering disebut manusia sebagai Neraka Jahanam, menggelegak dan laharnya
menyembur-nyembur kian kemari. Bersama dengan itu, suasana tegang nampak
terlihat dimana-mana. Dewa dan dewi yang ditemui dijalan selalu bermuka masam
dan menampakkan sikap marah jika disapa. Gempa melanda seluruh negeri dan
mengakibatkan kerusakan hebat di sebagian negeri.
Suasana di dalam istanapun tak kalah kacaunya. Gempa bumi membuat rusak
Tamansari, yaitu taman yang menjadi kebanggaan negara Jonggring Saloka karena
keindahannya. Walau pembangunan kembali taman itu nantinya masih bisa dilakukan
selama masih mampu ngutang kepada World Bank dan IMF, namun cukup membuat resah
pemerintahan negara itu. Di negeri itu ternyata praktik korupsi, dan juga praktik kolusi serta nepotisme,
masih ada dimana-mana, tapi mereka sekarang tak bisa melakukannya seenaknya
seperti dulu. Maksudnya, mereka sekarang melakukannya dengan diam-diam dan
ngumpet-ngumpet. Ketika tiba di Paseban Agung, tempat dimana raja biasa menerima para
punggawanya, para dewa segera
menghaturkan sembah ke singgasana. Setelah itu mengambil tempat menurut hirarki
masing-masing. Dewa yang rendah pangkatnya, duduk dibelakang yang pangkatnya
lebih tinggi, dan begitu seterusnya.
Sudah empat jam ini Bethara Guru duduk termenung di singgasananya. Tidak ada
satu katapun keluar dari mulutnya. Walau begitu para bawahannya tidak ada yang
berani memulai berbicara. Mereka menunggu sabda raja.
Begitulah peraturan protokoler kerajaan Jonggring Saloka yang diterapkan dengan
ketat. Jika ada yang menyalahinya, konsekwensinya tidak langsung dirasakan pada
saat itu juga. Paling-paling besoknya pangkatnya turun, atau jabatannya dicabut.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (2)
Para dewa yang menghadap rajanya terpekur tanpa suara.
Duduk di barisan depan adalah Bethara Narada, sang patih Jonggring Saloka.
Walaupun sudah cukup tua umurnya, namun masih gesit tindakannya. Hal itu akibat
jamu galian Sehat Lelaki yang tenggaknya tiap pagi.
Juga jamu Pasak Bumi dan ramuan Jaran Goyang, tiap seminggu sekali.
Sang Narada yang memiliki perawakan pendek itu bukan hanya sakti, namun juga
bijaksana. Ia tak segan-segan memberi nasehat yang sejujurnya. Kritik dan saran
membangun. Bahkan terhadap rajanya, Sang Hyang Bethara Guru, sekalipun. Dan sang
raja telah hapal akan sifat patihnya.
Selain Patih Narada nampak hadir pula masing-masing Dewa Masno dan Dewa Sriyono.
Keduanya putra Bethara Guru sendiri.
Di Jonggring Saloka siapa yang tak kenal Dewa Sriyono.
Ia adalah Juru Catat kerajaan. Entah karena
pekerjaannya atau karena sifatnya, putra Bethara Guru yang satu ini paling suka
cari perhatian ayahnya. Tapi warga lain sering menyebutnya: cari muka. Ada
sesuatu yang disembunyikannya. Mungkin ia minta pindah jabatan. Atau mungkin ia
sangat berambisi diberi jabatan lain oleh ayahnya. Tak ada yang tahu persisnya.
Tidak seperti Dewa Sriyono, Dewa Masno lebih pendiam.
Ia jarang bercakap kalau tak perlu. Tapi biarpun pendiam, kesaktian dan
keberaniannya telah terkenal diseantero Jonggring Saloka. Para dewa yang lebih
tua sering memanggilnya: Si Rookie.
Angin bertiup semilir. Hari ini udara di Jonggring Saloka nampak cerah. Kemarin
ramalan cuaca di telivisi mengatakan bahwa tidak akan ada hujan. Para peramal
cuaca di kerajaan ini tidak perlu menggunakan peralatan radar Doppler yang
canggih untuk memantau keadaan cuaca. Karena mereka sendirilah pencipta cuaca
itu. Mereka adalah para dewa yang memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap
baik buruknya cuaca di jagat raya.
Semilirnya angin memberi sedikit nafas kelegaan.
Bersamaan dengan itu, sabda Bethara Guru pun mulai bergulir. Ia mulai menanyakan
khabar patihnya. Kemudian anak-anaknya, serta para hadirin yang hadir di tempat itu. Akhirnya,
semakin lengkaplah kesejukan suasana di pendopo Paseban Agung. Suasana yang
tadinya terasa tegang dan sesak, kini sudah mulai mengendur.
Ketika merasakan cairnya suasana itulah, pada gilirannya Bethara Narada bertanya
sambil menyembah: "Kalo saya boleh tanya, ada apa Adi Guru memanggil saya?"
"Kakang Narada. Sudah tiga bulan ini Jonggring Saloka dilanda keresahan. Kawah
Candradimuka menggelegak.
Laharnya menyembur-nyembur. Gempa bumi membuat terjadinya kerusakan dimana-mana.
Jika keadaan ini tidak segera ditangani, tentu akan merusak bukan hanya negeri
ini, namun juga seluruh jagat raya," kata Bethara Guru menampakkan
keprihatinannya. Setelah hening beberapa saat, Bethara Guru melanjutkan ucapannya. Namun untuk
kali ini cukup mengagetkan Patih Narada: "Apa kira-kira kakang Narada tahu
penyebab keadaan ini?"
"Mohon ampun, Adi Guru. Tapi apa itu namanya tidak keliru?" sanggah Patih
Narada. Melihat rajanya bingung pada sanggahannya ia melanjutkan: "Maksud saya
begini, paduka. Bukankah paduka penguasa seluruh Jagat Raya ini"
"Nah, kalau saya kan cuma patih. Biarpun umur lebih tua dan juga punya kuasa
untuk mengetahui keadaan, tapi bukankah saya tetap hanya seorang patih.
Padukalah yang memiliki kekuasaan atas Jagat Raya ini.
Karena itu, saya yakin tentu lebih mengetahui keadaan ketimbang saya. Apa bukan
seharusnya sayalah yang bertanya pada paduka, tentang penyebab keadaan ini?"
Jawaban Patih Narada yang 'to the point' itu cukup mengagetkan Bethara Guru.
Walaupun pahit namun mengandung kebenaran dari analisa yang tajam.
Tapi Bethara Guru masih berkelit sambil mencoba memberi gambaran yang
membingungkan pada keadaan yang sebenarnya: "Kakang Narada ini patih dan saya
adalah raja. Seorang patih harus mampu meraba jalan pikiran raja. Seorang raja
harus minta pendapat patih jika ingin membuat keputusan penting. Semua itu untuk
kebaikan jalannya pemerintahan. Nah, sekarang, apakah kakang Narada mampu
membaca jalan pikiran saya?"
"Ehemm, sebelumnya saya mohon beribu maaf, jika ucapan saya ini salah ataupun
terlalu lancang. Jika saya boleh menjawab, adapun yang mengakibatkan terjadinya
kekacauan di jagat raya ini, tak lain dari ulah Adi Guru sendiri," kata Patih
Narada. Kalimatnya menggigit. Pedas.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (3)
Jika raja lain, mendengar kalimat patihnya, kalimat yang mendekati tuduhan
seperti itu, tentu akan sangat murka dan menghukumnya. Namun, tidak demikian
halnya dengan Bethara Guru. Hubungannya dengan patihnya sudah seperti dua
bersaudara. Apalagi kerajaan Jonggring Saloka tanpa Patih Narada, ibarat sayur
lodeh tanpa santan. Tak bisa terbayangkan keadaannya.
"Nahh, sekarang berhubung sudah semakin terbuka, kebetulan sekali. Saya malah
ingin bertanya," kata Patih Narada. "Sebenarnya apa yang Adi Guru telah lakukan
hingga mengakibatkan bergolaknya Kawah Candradimuka" Karena tampaknya ada
tindakan paduka tidak didiskusikan dengan para dewa lainnya.
"Atau begini saja. Jika Adi Guru menginginkan jagat raya tenang kembali,
silahkan Adi Guru 'curhat' sedang punya problem apa, nanti biar semua dewa para
kawula ikut membantu menyelesaikannya. Tapi kalau Adi guru tak mau berterus
terang, ya...jangan harap jagat raya akan tenang kembali seperti sedia kala."
Bethara Guru nampak berpikir sejenak. Tawaran itu pahit rasanya. Tapi apa yang
dikatakan patihnya benar.
Lagi pula ia tak punya banyak pilihan. Saat ini, ia benar-benar membutuhkan
bantuan orang-orang kepercayaannya untuk menyelesaikan persoalan ini secepatnya. Agar keadaan jagat
raya yang gonjang-ganjing tidak berlarut-larut.
"Kakang Narada benar," kata Bethara Guru. "Jagat Mercapada ini kacau dan Kawah
Candradimuka bergolak karena ulah saya. Tanpa meminta pendapat dewa lainnya,
saya telah menghukum mati kepada titah, kepada seorang manusia. Titah itu ialah
Antasena. Padahal ia tak punya salah apa-apa...."
"hmmm.." guman Patih Narada. Padahal dalam hati ia bersorak: Nah, bener kan gua
bilang apa! Bethara Guru akhirnya mengakui juga, bahwa
terguncangnya jagat raya adalah akibat tindakannya. Ia telah menghukum Antasena
dengan menyeburkannya ke Kawah Candradimuka. Akibatnya, kini kawah itu
menggelegak dan membuih. Dan gempa bumi dahsyat susul-menyusul.
"Sebelumnya mohon maaf. Jika saya boleh tanya, apa sebenarnya yang menyebabkan
paduka menghukum Antasena?" tanya Patih Narada dengan penasaran.
Bethara Guru diam sejenak seperti sedang mencari-cari jawaban yang tepat dari
pertanyaan patihnya. "Begini, kakang Narada. Sebenarnya ada tiga sebab mengapa
saya menghukum Antasena."
"Tiga sebab" Antara lain?" tanya Patih Narada makin penasaran. Rasa penasaran
itu terutama didorong oleh keingin-tahuannya pada alasan boss-nya sampai bisa
menghukum orang yang tak bersalah. Karena tindakan itu sangat bertentangan
dengan sifat-sifat bijaksana boss-nya sebagai pemimpin selama ini.
"Pertama. Seperti kakang Narada ketahui, perang besar Baratha Yudha yang akan
datang, antara keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa, sudah tak bisa dihindari
lagi. Perang itu adalah perang yang menentukan eksistensi kedua belah pihak.
Nah, jika Antasena pada akhirnya dijadikan Senapati (jendral yang memimpin
peperangan) oleh pihak Pandawa, maka jalannya perang jadi tidak seimbang."
"lho, kenapa begitu, Adi Guru?"
"Kakang Narada kan tahu, Antasena itu adalah kesatria yang sakti. Ia mahkluk
yang tak mengenal rasa sakit, bahkan tak mudah untuk menemui kematian. Jika ia
oleh pihak Pandawa sampai dijadikan Senapati, bisa jadi pihak Kurawa akan tumpas
dan musnah seketika. Sedangkan di pihak Pandawa, yang seharusnya gugur di medan laga itu, akan tetap
hidup. Itu berlawanan dengan kodrat."
"hmm..ya. Terus?"
"Kedua. Antasena itu adalah satu-satunya titah yang tidak sopan. Ia tidak pernah
mau hormat dan menyembah pada saya. Padahal saya ini seorang raja. Penguasa
jagat raya. Sedangkan ia hanya manusia biasa. Apa itu namanya nggak kurang ajar.
Nah, jika hal ini didiamkan, saya yakin nantinya akan banyak manusia lain yang
mengikuti tingkah lakunya. Banyak manusia yang tidak menaruh hormat dan respek
pada saya lagi." "Lalu yang ketiga?"
"Kakang Narada tahu sendiri bahwa anak saya, Dewa Serani, tergila-gila pada
Jenokowati, sebelum Jenokowati dijodohkan dengan Antasena. Nah, jika Dewa Serani
sampai tidak bisa mendapatkan Jenokowati, ia pernah mengancam akan bunuh diri
nyemplung ke kali Ciliwung. Bahkan pernah di depan ibunya ia pernah ngancam mau
minum obat nyamuk cair Baygon. Nah, supaya Dewa Serani tak berbuat nekat, dan
supaya bisa lancar perjodohannya dengan Jenokowati, maka tidak ada pilihan lain
kecuali saya turuti kemauannya. Untuk itu saya musnahkan Antasena terlebih
dahulu." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (4)
Suasana di pendopo Paseban Agung kembali hening setelah Bethara Guru selesai
bicara. Raja Jonggring Saloka itu telah mencoba mengungkapkan alasan-alasannya
mengapa ia membunuh Antasena. Namun berbagai alasan yang diungkapkannya itu toh
tetap terasa janggal, terutama bagi patihnya, Bethara Narada. Namun patihnya
diam saja, walaupun dalam hati kurang menyukai tindakan rajanya.
Begitu pula dengan kedua anak Bethara Guru. Mereka berdua diam saja. Namun
masing-masing punya beda pandangan. Dewa Masno pandangannya tak beda jauh dengan
Patih Narada. Sedangkan Dewa Sriyono bersikap masa bodoh. Ia tak peduli apakah
tindakan ayahnya benar atau salah. Yang penting asal tidak merugikan dirinya.
"Mohon maaf, Adi Guru," kata Patih Narada tiba-tiba.
"Jika Adi Guru mulai bertindak sewenang-wenang seperti itu, berarti mulai hilang
pula sifat bijaksana Adi Guru. Ditambah jika Adi Guru sering bikin keputusan
sendiri tanpa minta pendapat para dewa bawahan. Dengan begitu, berarti para
bawahan itu sudah tidak diperlukan lagi. Sudah tidak ada gunanya lagi.
"Nah, kalau memang para bawahan tidak diperlukan lagi, ya silahkan saja bikin
keputusan sendiri dan menjalaninya sendiri. Tapi kalau Adi Guru masih mau
mendengarkan para bawahan, termasuk saya, maka saya akan mencoba membantah
argumentasi yang baru saja paduka ungkapkan."
"Maksud kakang Narada?" tanya Bethara Guru kurang mengerti..
"Maksud saya begini. Mungkin Adi Guru sendiri tahu, kodrat semua manusia sudah
tertulis di Kitab Kejadian Jonggring Seloka. Begitu juga dengan kodrat Antasena.
Dan kalau tidak salah, dalam kodratnya, Antasena itu telah sirna meninggalkan
dunia jauh-jauh hari, sebelum perang Baratha Yudha dimulai. Nah, apa mungkin
orang sudah mati kok bisa jadi Senapati di medan perang"
"Kedua. Antasena itu anak kesayangan para dewa.
Walaupun Antasena itu manusia yang nggak sopan dan tidak pernah memperlihatkan
rasa hormat, tapi sebenarnya ia manusia yang baik. Ia manusia yang memiliki jiwa
jujur dan suci. Ia bukan tipe orang yang dipermukaannya manis tapi di dalam
busuk. Selain itu, ia pun suka menolong sesamanya tanpa pamrih. Dan bahkan, ia
disukai oleh banyak orang yang telah mengenal sifat baiknya itu.
"Saya yakin Adi Guru pun tahu, Antasena itu orang yang hormat pada para dewa.
Tapi cara Antasena hormat dan menyembah dewa adalah dengan tindakkannya, bukan
cuma pakai omongan saja. Antasena nyembah para dewa bukan dengan cara
diperlihatkan ke orang-orang, supaya orang-orang tahu kalau dirinya suci. Tidak
seperti banyak orang-orang yang hipokrit.
"Orang hipokrit biasanya memang kelihatan berdoa kusyuk, tapi tahu-tahu
kelakuannya rusak. Suka memfitnah dan menjelek-jelekkan orang lain. Atau kusyuk
berdoa, tapi tahu-tahu main gasak atau menghancurkan milik orang lain. Itu semua
bukan tipenya si Antasena."
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar argumentasi patihnya, Bethara Guru tak mampu berkata-kata. Raja yang
berkuasa di jagat raya itu tak bisa berkelit. Semua yang terkandung dalam
argumentasi patihnya tak ada yang salah. Dan dalam hati ia pun membenarkan pula.
Bethara Narada melanjutkan: "Kalau saya boleh jujur, saya kira tindakan Adi Guru
itu cuma mau menuruti kemauannya Dewa Serani saja. Jadi kesalahan Antasena saya
kira tak usah dicari-cari, kalau memang perkiraan saya itu benar."
Suasana paseban sepi. Bethara Guru terdesak. Walaupun egonya sebagai seorang
raja yang sangat amat berkuasa cukup tinggi untuk direndahkan bawahan, tapi kali
ini ia tak punya pilihan lain. Egonya kalah. Ia tahu semua ini adalah obat bagi
penyelesaian kacaunya keadaan.
"Betul, kakang Narada. Saya cuma ingin menuruti kemauannya Dewa Serani..."
"Nahhh...gitu dong...semua kan bisa lega sekarang.
Mengakui kesalahan itu memang sulit dilakukan, Adi Guru. Ngaku salah, apalagi
terus minta maaf, bukanlah sebuah kekalahan. Itu ciri-ciri kebijaksanaan," kata
Bethara Narada mencoba memberi pengertian. Seolah-olah raja yang diajaknya
bicara adalah anak kemarin sore.
Sebenarnya Patih Narada tidak bermaksud memojokkan rajanya sendiri. Apalagi ia
sangat menghormati rajanya. Tapi biar bagaimanapun bijaksananya seorang raja,
kalau tidak mau belajar dari kesalahannya, sikap bijaksananya itu hanyalah
kekosongan belaka. Balok kosong (kartu gaple): kartunya sama besarnya seperti
yang lain tapi isinya nggak ada.. Dan patih Narada tidak ingin rajanya jadi raja
"balok kosong" "Tapi, kakang Narada," kata Bethara Guru tiba-tiba.
"Apakah tindakan saya menuruti kemauan Dewa Serani itu salah" Bukankah Dewa
Serani itu anak saya" Ada pribahasa: Anak bertindak, orang tua harus berani
tanggung jawab." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (5)
Bethara Guru masih mencoba mendebat patihnya. Biar nggak dibilang bodoh sebagai
pemimpin. Memang, sejak masih muda, ia terkenal tukang berdebat. Tapi debat
kusir. Terkadang, caranya berdebat malah bikin orang tambah bingung. Bahkan
hingga kinipun sikapnya itu belum berubah. Cuma patihnya saja yang tahu
bagaimana cara mendebatnya.
"Adi Guru benar. Anak berperilaku, orang tua harus berani bertanggung jawab,"
kata Patih Narada. "Tapi ya dilihat dulu, perilaku si anak bener apa nggak.
Kalau memang perilaku si anak benar, ia patut dipuji. Tapi kalau perilakunya
nggak bener ya harus diberitahu supaya bisa jadi bener. Lha sekarang, kenapa
Dewa Serani berperilaku nggak benar, kok Adi Guru malah berusaha membenarkannya"
Malah berusaha mendukungnya"
Apa itu sikap orang tua yang bijak"
"Kalau Adi Guru ingin memberikan kejayaan dan kemuliaan kepada Dewa Serani itu
silahkan. Tapi kejayaan dan kemuliaan itu ya terus jangan dicomot atau direbut
dari orang lain. Contohnya seperti saat ini. Adi Guru berusaha memberikan
kejayaan kepada Dewa Serani, tapi dengan jalan merebut Jenokowati. Lha,
Jenokowati itu kan sudah berjodohan dengan Antasena.
Sudah jadi miliknya Antasena.
"Saya harap Adi Guru tidak lupa, bahwa kekuasaan yang Adi Guru miliki itu
berfungsi untuk menata dan mengayomi. Dan bukannya untuk menguasai. Kalau
seorang penguasa kerjanya cuma menguasai, bertindak semaunya, dan bikin susah
rakyatnya, apakah ia masih layak diberi kekuasaan?"
Bethara Guru, penguasa jagat raya itu diam mendengar argumentasi patihnya.
Hatinya berkecamuk saling bertubrukan. Antara membenarkan kata-kata patihnya
dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran
tindakannya. Tapi saat ini, kadar egoisme dalam diri raja Jonggring Saloka ini
memang pas lagi tinggi-tingginya. Karena rajanya masih diam, Bethara Narada kembali bertanya: "Coba, kalau
Antasena itu benar-benar musnah, kalau keluarga Pandawa tidak terima terus
bagaimana?" "..ya, kalau sudah kepepet, Pandawa kita musnahkan sekalian..." jawab Bethara
Guru enteng. "Nah, kalau seluruh keluarga Pandawa dimusnahkan, lalu pelindungnya nggak
terima?" "Pelindung Pandawa, siapa?" tanya Bethara Guru pura-pura. Namun sebenarnya ia
sudah tahu siapa yang dimaksud patihnya.
"Kakang Semar.." jawab Bethara Narada.
"Lho, kakang Semar itu kan cuma pengasuh alias Baby Sitter. Apa kakang Narada
lupa kalau saya ini raja"
Sang Hyang Jagat Nata" Penguasa tiga jagat, termasuk jagatnya para dewa"
Bukankah kakang Semar pun seharusnya tunduk pada saya?" kata Bethara Guru dengan
nada yang benar-benar arogan. Tapi dalam hati sebenarnya ada juga rasa kawatir,
jika memang harus berhadapan dengan Semar, yang tak lain adalah titisan Bethara
Ismoyo. Dewa Ismoyo turun ke bumi dengan tugas mengasuh para kesatria yang
berada di pihak yang benar.
Patih Narada nampak tersenyum simpul setelah mendengar jawaban-jawaban rajanya.
Katanya kemudian:"Betul! Adi Guru itu rajanya para dewa. Dan memang dewa itu
tempatnya di atas, sedangkan manusia di bawah. Tapi mohon Adi Guru tidak lupa,
segala tingkah laku para dewa yang ada di atas itu diketahui dan dimonitor terus
oleh manusia yang di bawah. Dan para manusia meniru segala sikap dan tindakan
para dewa. "Nah, mungkin ada baiknya jika para dewa yang berada di atas itu bersikap dan
bertindak yang bener. Bukannya seperti yang saya lihat sekarang ini. Manusia yang di bawah nggak pada
macem-macem, kok malah dewanya yang pada kebanyakan tingkah. Udah gitu
tingkahnya pada nggak becus lagi."
Ketika sedang terjadi perdebatan seru antara raja dan patihnya itu, tiba-tiba
datang kepala pengawal istana sambil gopah-gopoh. Mukanya kelihatan stress,
pertanda ada problem yang tak mampu dipecahkannya.
Ketika sampai di tangga pendopo Paseban Agung, prajurit itu menjatuhkan diri.
Lalu, sambil menyembah ke arah singgasana rajanya ia berkata: "Mohon ampun
paduka. Ada dua kesatria datang berboncengan naik motor besar. Yang berbadan
kekar memaksa masuk. Katanya ingin bertemu paduka. Tak ada penjaga yang kuasa menahannya....."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (6)
Belum sampai terdengar rekasi dari singgasana kepada prajurit pelapor, seorang
kesatria nampak berjalan menuju pendopo Paseban Agung. Jalannya gagah dengan
kepala mendongak. Sungguh kurang ajar. Ya, sungguh kurang ajar karena dianggap
terlalu berani menginjak-injak etiket di lingkungan istana. Siapapun tahu, seseorang harus
berjalan jongkok, atau paling tidak membungkuk, jika ingin menghadap raja.
Namun ternyata laporan prajurit itu benar. Tamu yang baru datang berbadan kekar.
Perawakannya tinggi besar.
Gagah. Wajahnya mirip Arnold Shcwazernagger. Ia memakai jaket kulit buntung
berwarna hitam. Di punggung belakang jaket itu tertulis: Harley Davidson.
Sebuah bandana biru terikat di kepalanya. Sedangkan kaos yang dikenakannya, di
bagian dada terbaca: "First War And Then Love."
Tanpa permisi terlebih dahulu, tamu itu langsung berjalan menuju ke singgasana
sang raja. Para dewa hanya terbengong- bengong pada ketidaksopanannya.
Ketika sang tamu telah berada di hadapan raja, ia segera duduk sebelum
sebelumnya menghormat pada raja.
Bethara Guru, yang tak kalah terkejutnya dari para dewa lain, masih belum mampu
mengeluarkan sabda. Namun dalam hati ia kagum pada postur tubuh kesatria muda
tamunya. Ingin sebenarnya ia memiliki postur tubuh seperti itu dari dulu. Tapi
karena kesibukannya mengatur negeri hingga ia akhirnya sering lupa pergi ke Gym
berolah raga. Ketika akhirnya Sang Jagat Nata sadar dari lamunannya, ia bertanya pada
patihnya: "Tampaknya ada manusia naik ke Jonggring Saloka. Apa kakang Narada
tahu siapakah dia?" "Wah, rasa-rasanya kok saya pernah kenal ya.
Tapi...mungkin ada baiknya jika Adi Guru saja yang meminta keterangan padanya,"
jawab Patih Narada. Setelah berdiam beberapa saat, Bethara Guru mengikuti anjuran patihnya: " Wahai
manusia! Siapa namamu, nak"
Dan dari mana asalmu?"
"Sebelumnya gua mengucap sembah sujud ke hadapan elu, paduka dewa. Tapi
sebelumnya gua mau tanya: apa elu raja dewa yang bertahta di khayangan dan yang
berjuluk Sang Hyang Jagat Nata?" tanya kesatria itu. Walaupun kurang sopan,
namun suaranya yang berat itu terdengar jelas.
"Kamu benar. Sayalah Bethara Guru, raja penguasa semua mahluk jagat raya."
"Hmm...kalau elu memang raja segala mahluk jagat raya, gimana elu kagak bisa
ngenalin rakyat elu sendiri. Gua kan rakyat elu. Bahkan, elu dan para dewa
sekalian kan yang ngukir jiwa raga para manusia seperti gua eni?"
tanya kesatria itu. Bethara Guru tersinggung. Dan ia berusaha menahan diri. Tapi dalam hati ia
membenarkan ucapan manusia dihadapannya itu. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa
tidak kenal manusia yang satu ini. Biasanya kalau ada yang menghadap, dengan
segera ia akan mengenalinya.
Maka, untuk menutupi rasa malunya, ia mencoba minta pendapat patihnya:
"Bagaimana kakang Narada?"
"Ya, memang bener juga sih dia," kata Narada. "Memang sudah seharusnya kita,
terutama sekali Adi Guru, mengenal semua rakyat. Tak terkecuali mereka itu para
manusia biasa." Merasa tersudut, Bethara Guru tak mau jatuh gengsinya.
Ia tak mau disalahkan. Walaupun kenyataannya salah, sebagai raja, ia tak bisa
disalahkan. Segala sepak terjang raja adalah kebenaran yang absolut yang tak
bisa dibantah. "Seharusnya memang aku mengenalmu," kata Bethara Guru memulai alasannya agar
tidak kehilangan wibawa. "Tapi saat ini banyak yang sedang aku pikirkan: Perang
Irak, Perang Palestina-Israel, SARS di Asia, penyakit AIDS
di Afrika, dan lain-lain. Nah, saking banyaknya masalah yang sedang aku
pikirkan, mungkin saja ada satu atau dua nama manusia yang belum sempat terbaca
olehku. Maka itu hendaknya kamu mengerti."
"Baik kalo gitu," kata kesatria itu. "Kalau memang paduka dewa pengen tahu siapa
nama gua, gua ini bernama Kuncoro Manik. Adapun keperluan gua dateng kemari,
pertama, gua pengen menghaturkan sembah sujud gua ke hadapan elu. Kedua, gua
pengen tahu, siapa sih sebenernya bapak dan ibu gua?"
Kembali tak mampu memberi jawaban langsung, Bethara Guru berpaling pada
patihnya: "Bagaimana kakang Narada?"
"Gimana ya" Hmm...menurut saya sih, silahkan Adi Guru menanyakan hal itu kepada
sang putra Sriyono. Lha, dia itu kan juru catat kerajaan. Tentunya segala
kejadian dibumi ada tertulis dalam buku Kitab Kejadian Jonggring Saloka yang
jadi tanggung jawabnya."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (7)
Dari singgasananya, Bethara Guru melambaikan tangan memanggil Dewa Sriyono.
Anaknya itu telah dibebani tugas sebagai juru catat kerajaan. Pekerjaannya
adalah mencatat segala kejadian yang terjadi di jagat raya, termasuk di dalamnya
peristiwa kematian dan kehidupan.
"Sriyono," kata Bethara Guru setelah anak itu mendekat, "coba engkau periksa di
Kitab Kejadian Jonggring Saloka, keturunan siapakah Kuncoro Manik.
Kalau ia keturunan dewa, sebutkan saja namanya, biar aku yang berurusan
dengannya." Memang para dewa di khayangan terkadang masih suka kesengsem pada para wanita di
bumi. Padahal di khayangan sudah tak terbilang banyaknya para dewi yang cantik
rupawan. Tapi ternyata, kecantikan wanita bukan nilai utama bagi para dewa.
Tubuh yang bahenol dan ginuk-ginuk, serta warna kulit yang memerah akibat
terbakar mataharilah yang sering membuat mereka tergila-gila. Yang sering
membuat mereka "lupa daratan".
"Baik, pak. Saya akan segera periksa, keturunan siapakah manusia ini," jawab
dewa Sriyono sigap karena merasa mendapat pekerjaan penting. Ia lalu mengambil
buku Kitab Kejadian dari tas yang selalu dibawanya kemana-mana.
Kitab Kejadian dibuka dan diteliti isinya. Satu per satu riwayat hidup para
manusia dengan inisial K dicoba baca. Karena Kitab Kejadian itu adalah buku pusaka sakti, maka proses
pengecekannya mirip analisa di data base komputer di Pentagon, yang memiliki
kecepatan 3,06 Giga Byte. Dengan kecepatan analisa seperti itu, proses pencarian
tidak berlangsung lama. Hingga akhirnya terdapat nama-nama antara lain: Kunarwoko, Kuncung, Kundun,
Kunti, Kuntjoro-Jakti. Lima belas menit kemudian dewa Sriyono memberi laporan kepada ayahnya: "Sudah
saya teliti, pak. Ternyata tidak ada nama dan sejarah Kuncoro Manik dalam Kitab
Kejadian ini." "Apa"!" Bethara Guru tersentak di singgasananya. "Lho, bagaimana bisa?"
"Nama Kuncoro Manik tidak ada dalam buku Kitab Kejadian ini, pak." ulang Dewa
Sriyono yang nervous melihat reaksi bapaknya. "Yang ada nama Kuncoro-Jakti, tapi
menurut keterangan di buku ini, dia menteri ekonomi sebuah negara yang lagi
kusut sistim negaranya."
"Bagaimana kakang Narada" Kitab Kejadian kerajaan ternyata tidak memuat nama
Kuncoro Manik," tanya Sang Bethara Guru pada patih andalannya.
"Wah, kacau dah. Lha, terus gimana, ya" Apa memang sudah di cek bener-bener" Apa
sudah diteliti anak-anak yang lahir dari bayi-tabung dan kloning" Nah, kalo
memang nggak ada, terus Kuncoro Manik itu lahir dari apa?" tanya balik patih
Narada dengan penuh keheranan pula.
"Lalu, mesti bagaimana ini kakang Narada?" tanya Bethara Guru seperti kehilangan
akal. "Ya, saya kira, silahkan saja Adi Guru memutuskan permasalahan ini. Kalau memang
Adi Guru masih menghargai saya sebagai seorang patih, kemarin-kemarin kalau
ingin membuat sesuatu keputusan, kan nggak ada salahnya diskusi dulu dengan para
bawahan. Tapi kalau semua maunya dijalani sendiri, ya beginilah akhirnya."
Mendengar komentar patihnya, Bethara Guru kini bertambah bimbang. Satu masalah
belum selesai, sekarang malah sudah datang lagi masalah baru. Rasanya semakin
banyak saja masalah yang harus
diselesaikannya. Itu artinya ia harus menunda liburannya. Padahal bersama
permaisurinya, ia sudah booking tiket liburan ke Bali.
"Kuncoro Manik, ketahuilah. Para dewata saat ini sedang dalam keadaan sibuk.
Jadi suasananya lagi kurang baik," demikian sabda Sang Hyang Bethara Guru pada
akhirnya. "Nah, pas engkau datang, suasana disini bukannya membaik tapi kok
malah kelihatan tambah runyam. Sekarang pergilah engkau keluar, dan tunggulah di
halaman istana. Barangkali setelah engkau di luar, pikiranku bisa jernih
kembali. Atau mungkin malah bisa tahu siapa orang tuamu...."
"Baik kalau itu perintah paduka dewa. Gua bakal nunggu di luar sampai ada
panggilan," kata Kuncoro Manik.
Sebelum bangkit dari duduknya ia menghormat seadanya.
Lalu permisi pergi menuju ke halaman.
Tak lama sesudah Kuncoro Manik keluar dari paseban menuju ke halaman istana,
Bethara Guru lagi-lagi bertanya pada patihnya: "Bagaimana kakang Narada"
Kejadian buruk kok susul menyusul begini?"
"Ya gimana ya," jawab Bethara Narada. "Sekarang ini, sekali lagi saya justru
ingin mengingatkan kembali kesalahan yang telah Adi Guru lakukan. Tapi
sebelumnya saya mohon beribu maaf. Maksud saya begini Adi Guru.
Adi Guru menceburkan Antasena ke Kawah Candradimuka itu saya anggap membunuh
manusia tak berdosa. Nah, kejadian sekarang ini tentu dari akibat kesalahan yang
paduka telah perbuat. Siapa menabur angin, ia akan menuai badai."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (8)
Persoalan yang kini muncul ternyata cukup menambah beban pikiran Bethara Guru.
Selain itu juga membawa ancaman pada posisi kepemimpinan dan kewibawaannya
sebagai penguasa. Oleh sebab itu ia tak mau persoalan ini menjadi berlarut-
larut. Ia bertekad menyelesaikannya secepat mungkin, dan dengan caranya sendiri.
"Sudah, sekarang begini saja," kata Bethara Guru pada patihnya. "Kakang Narada
temui Kuncoro Manik. Dan perintahkan kepadanya agar ia turun saja dulu ke bumi.
Lain kali saja suruh datang kembali. Kalau dengan cara baik-baik ia tidak mau
menuruti perintah, apa boleh buat, kita paksa saja ia turun. Dan kalau ia juga
membangkang, kita musnahkan saja."
Sabda Pandita Ratu, sabda mutlak yang tak boleh dibantah. Perintah itu tak
pernah dikeluarkan Bethara Guru sebelumnya. Para dewa kaget semua, termasuk
Bathara Narada. Tapi tak ada yang berani komentar.
Perintah raja adalah kebenaran yang tak bisa dibantah.
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka jawab patih Narada: "Siap! Segala perintah Adi Guru akan saya junjung
tinggi dan laksakanan!"
Dengan iringan para bangsawan istana, Patih Narada segera menuju ke halaman
istana. Walaupun sebenarnya perintah itu tidak sesuai dengan kata hatinya, namun
harus tetap dijalankan. Pejabat yang dianggap tak mau menjalankan perintah
atasan, akibatnya bisa dimutasi atau dipensiunkan secara dini. Bahkan yang
paling sial, dipecat dengan tidak hormat.
Ketika rombongan itu menuju ke halaman istana, di pintu luar sudah menunggu
masing-masing Bethara Indra, Bethara Brahma, dan Bethara Yamadipati.
Ketiga dewa itu agak gugup melihat wajah Bethara Narada yang keruh. Tak ada
satupun yang berani mulai menyapa. Mereka tahu arti dibalik kekeruhan wajah
patih kerajaan itu. Ketika dirasa waktunya sudah tepat, Dewa Indra memberanikan diri bertanya:
"Paman Narada, apa ada perintah Sang Hyang Bethara Guru yang musti kita
jalankan?" "Begini anak-anak sekalian," kata Patih Narada sambil menghentikan langkahnya.
Seketika itu juga rombongan ikut berhenti mendengarkan. "Nampaknya kita harus
menanggung sebuah pekerjaan yang kurang menguntungkan.
Padahal kerjaan itu boleh dibilang tidak ringan."
"Pekerjaan apa, paman Narada?" tanya mereka hampir serempak.
"Dengarkan baik-baik semua," kata Bethara Narada.
"Sang Hyang Bethara Guru tadi memberitahu padaku bahwa ia telah membunuh seorang
manusia. Saya tak perlu memberitahu kalian siapa yang telah dibunuhnya itu.
Nah, ketika sedang membicarakan masalah itu datang seorang kesatria yang ngaku
bernama Kuncoro Manik. "Kuncoro Manik datang ke Jonggring Saloka ini sebenernya cuma mau tanya, dia itu
anaknya siapa. Setelah diteliti di Kitab Kejadian kerajaan, ternyata nama Kuncoro Manik tidak
ada. Hal itu aneh sekali karena semua nasib maupun kodrat manusia di bumi tak
pernah luput dari catatan dalam kitab itu.
"Kalau riwayat hidup Kuncoro Manik sampai nggak bisa ditemukan di kitab itu,
maka turunlah wibawa buku itu.
Dengan turunnya wibawa buku pusaka itu, turun pula wibawa para dewata. Karena
para dewalah yang penulis kitab itu."
Mendengar keterangan Bathara Narada, semua dewa menatap kepada Dewa Sriyono.
Yang ditatap hanya bisa mengangkat kedua bahunya, seolah-olah berkata: "Lho,
mana gua tahu?" "Lha, terus gimana, paman Narada?" tanya Dewa Brahma.
"Nah, akhirnya. Bethara Guru minta Kuncoro Manik menunggu di halaman istana.
Begitu ia keluar, Bethara Guru memerintahkan kita untuk menyuruh Kuncoro Manik
pulang kembali ke bumi. Karena kehadirannya saat ini dianggap malah bikin
gelapnya suasana khayangan.
Perintah selanjutnya, kalau Kuncoro Manik sampai tak mau pulang, kita
diperintahkan untuk memaksanya. Dan kalau masih tetap membangkang, kita
diperintahkan memusnahkannya."
Sementara yang lain kaget, Dewa Yamadipati yang punya kerjaan sebagai dewa
pencabut nyawa, komentar: "Hmmm, jangan takut, man. Kalau dia nekat nggak mau
pulang, biar nanti saya yang eksekusi. Biar tak cabut nyawanya."
"Kamu serius nih?"
"Lho, emangnya tampang saya nggak serius apa, man?"
Bethara Narada yang tahu tingkat keberanian Dewa Yamadipati cuman nyengir.
Katanya: "Emang kamu berani sama Kuncoro Manik satu lawan satu?"
"Ya jangan sendirian dong, man..." jawab Yamadipati yang tiba-tiba nampak ragu.
"Susah senang kan kita tanggung rame-rame....."
"Alaaa, emang dasar nyalimu kecil," kata Patih Narada.
"Dengarkan semua! Kuncoro Manik berani datang kemari dan nanya ini-itu tentu dia
punya modal kesaktian. Maka itu kita jangan meremehkannya. Sebaliknya, kita harus hati-hati. Jangan
menyombongkan diri."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (9)
Sementara itu di halaman istana Kuncoro Manik telah berkumpul kembali dengan
seseorang yang ditinggalkannya ketika ia tadi masuk ke dalam sendirian. Orang itu berpenampilan
sederhana. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang Pendita, seorang
rohaniwan. Tapi karena kesederhanaannya itu, orang yang tidak tahu bakal
menyangkanya sebagai Tukang Bakso.
"Bagaimana jawaban mereka, anakku?"
"Mereka nyuruh gua nunggu disini, paman. Pas tadi gua tanya, ternyata mereka
nggak tahu siapa orang tua gua.
Itu dewa-dewa udah pada gila 'ngkali, ya. Katanya dewa-dewa itu maha tahu dan
punya wawasan luas. Masak riwayat hidup orang bisa ilang begitu aja. Kalo kantor
kelurahan sih mungkin masih masuk di akal," jawab Kuncoro Manik penuh kekesalan.
"Lalu apa rencanamu?" tanya sang Pendita lagi.
"Kita tunggu aja dulu, paman. Mudah-mudahan sih mereka menepati janji. Kalau
dewa kagak mampu ngasih tahu riwayat hidup gua, berarti mereka kagak becus
menata jagat raya. Dan kalau gua sampai diusir, bakal gua obrak-abrik khayangan
sini." "Kalau memang begitu kehendakmu, nak. Aku hanya bisa bilang supaya engkau hati-
hati." "Tapi paman bakal ngebantu gua kan kalo ada apa-apa?"
"Jangan takut, nak. Pamanmu tak akan tinggal diam, jika kamu memang dalam
keadaan bahaya." Tak lama Kemudian Bethara Narada datang sambil kipas-kipas. Sedangkan
rombongannya mengamat-amati dari jauh. Patih Jonggring Saloka itu sudah
memberitahu rombongannya bahwa ia akan bicara dengan Kuncoro Manik secara baik-
baik. Kalau tujuan itu ternyata gagal, mereka akan menggunakan rencana yang
kedua, yaitu mengusir tamunya secara paksa.
"Aku Bethara Narada, nak. Patih Jonggring Saloka.
Tujuanku kemari ingin menyampaikan sabda Sang Hyang Bethara Guru..." Tiba-tiba
Patih Narada menghentikan kalimatnya. Perhatiannya tertuju pada sosok di samping
Kuncoro Manik. Kecurigaannya muncul. "Hm, tapi mong-ngomong, siapakah yang
berada disampingmu itu, nak?"
"Saya Begawan Pulasara, paduka Narada. Saya pamannya Kuncoro Manik."
"Lho, kalau kamu pamannya, bagaimana sampai bisa nggak tahu orang tuanya Kuncoro
Manik?" "Begini, paduka Narada," jawab Begawan Pulasara memulai penjelasannya. "Kuncoro
Manik saya temukan ketika ia telah menjelang dewasa. Selama ini sayalah yang
membesarkannya, dan ia memanggil saya: paman.
Karena akhir-akhir ini ia selalu menanyakan siapa ayah dan ibunya, maka saya
bawa saja ia kemari. Menurut perkiraan saya, tentu para dewa, yang memiliki
catatan tentang kodrat para manusia, pasti mengetahuinya."
Mendengar keterangan tamunya, Bethara Narada nampak sedikit kecewa. "Sudah
begini saja, Kuncoro Manik.
Tadi Bethara Guru bilang supaya engkau pulang saja dulu. Keadaan Jonggring
Saloka saat ini sedang kusut.
Ia anggap kedatanganmu cuman bikin suasana tambah ruwet. Nah, barangkali saja di
lain waktu, saat keadaan sudah tenang, beliau berkenan mencarikan orang tuamu.
Dan kalau memang udah ketemu, kamu pasti bakal ditilpun apa dikirimi e-mail."
"Huuhhh!!" dengus Kuncoro Manik. Ia berusaha menahan kegeramannya. "Dewa kok
kata-katanya kagak ada yang bisa dipegang. Katanya para dewa itu bijak, nggak
mencla-mencle. Tapi ternyata yang satu bilang A, yang lain bilang B. Tadi
Bethara Guru nyuruh gua nunggu di halaman ini karena akan mencari tahu siapa
orang tua gua. Eh, kok malah gua sekarang disuruh pulang.
Pokoknya gua kagak terima! Gua tetep mau ketemu Bethara Guru!"
"Eeiitt, entar dulu toh. Kamu ini mbok jangan ngambek kayak anak kecil gitu,"
kata Narada mencoba meminta pengertian anak muda dihadapannya itu.
"Gua kagak peduli. Dewa pada kagak bener semua. Punya pendapat beda-beda! Kagak
ada yang bisa dipercaya!"
"Inget lho, kita udah nyuruh pulang baik-baik. Apa kamu tetep mau nekat" Jangan
sampai nanti kita suruh pulang secara paksa, ya" Apa kamu suka kalo di
deportasi" Lihat itu disana. Para dewa dan prajurit Jonggring Saloka sudah
bersiap-siap memaksamu pulang jika kamu tetep mbandel. Apa kamu nggak takut?"
kata Patih Narada mencoba menggertak tamunya. Maksudnya agar tamunya itu
berpikir dua kali jika menolak pengusiran secara halus ini.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (10)
Para dewa dan prajurit Jonggring Saloka melangkah maju. Dari isyarat tangan yang
diberikan Bethara Narada, mereka tahu bahwa negosiasi telah gagal.
Karena rencana pertama gagal, tentu rencana kedua yang akan segera mereka
jalankan, yaitu mengusir tamunya secara paksa. Senjata-senjata telah
dipersiapkan. Semuanya runcing dan tajam.
Melihat gerombolan Jonggring Saloka mendekat, Kuncoro Manik mencium gelagat
kurang baik. Ia segera berdiri bertolak pinggang. Kali ini kesabarannya sudah
hilang. Patih Narada mundur tiga langkah. Tubuh yang tua itu agak gentar melihat sosok
tinggi dan kekar yang ada di hadapannya.
Sementara itu, Begawan Pulasara masih duduk dengan tenang seperti tak terjadi
apa-apa. Hanya mulutnya saja komat-kamit seperti sedang mengucap doa.
Kuncoro Manik memaki dengan geram: "Emang elu kira gua anak kecil, takut sama
senjata mainan kayak gitu"
Jangankan yang begituan. Elu keluarin yang lebih runcing dan yang lebih tajem
juga gua kagak bakalan mundur! Maju bareng sini elu semua biar gua gebuk
bareng!" Para dewa dan prajurit kerajaan yang tadi sudah bergerak maju, kini menjadi
ragu. Langkah-langkah berat terhenti. Mendengar gertakan lawan, keberanian
mereka berubah menjadi kewaspadaan. Mereka tahu, gertakan itu tak sekedar main-
main. "Hei, Kuncoro Manik. Kamu tahu kan siapa saya?" tanya Patih Narada kepada
Kuncoro Manik. "Gua kagak peduli siapa elu! Elu mau pejabat kek, elu mau anggota DPR kek, gua
kagak peduli! Terus mau lu apa"!"
"Eeeiii.. ini anak malah nantang orang tua," kata Patih Narada. Namun toh dalam
hati ia kagum juga pada nyali anak muda itu. "Dikira Narada ini nggak pernah
berkelahi ya" Berani sama Bethara Narada berarti kamu udah bosan hidup, tahu"
Minta dicabut nyawamu kayak aku nyabut uban?"
"Kalau lu berani, nih elu cabut nyawa gua sekarang juga!" jawab Kuncoro manik
sambil membusungkan dadanya.
"Eeee..bener-bener nantang nih anak! Berani beneran kamu sama orang tua?"
"Apa yang musti ditakutin. Apalagi sama orang tua yang kagak patut dihormatin
macem elu!" "Busyet, bener-bener nantang nih anak," kata patih Narada sambil memberi isyarat
kepada dewa Sriyono untuk maju dan meringkus si Kuncoro Manik. Yang diberi
isyarat rupanya salah paham hingga cuman bengong.
Patih Narada membentak: "Hei memble! Jangan bengong disitu aja kamu! Ada orang
tua mau berantem malah cuman memble doang!"
"Lho, mohon maaf, paman Narada. Saya kira paman mau turun tangan sendirian..."
kata Sriyono gugup. "Turun tangan sendirian" Orang tua disuruh berantem terus kalian pada asyik
nonton, begitu" Enak aja.
Sudah sana! Kamu bekuk sana!" Bethara Narada meninggalkan gelanggang menuju ke
tepian. Ia malas turun tangan bukan karena takut, melainkan tahu kalo dalam
posisi salah. Tindakannya sejauh ini dilakukan hanya karena tidak ingin
menentang perintah atasan.
Merasa mendapat restu, Dewa Sriyono yang terkenal sok jagoan langsung maju ke
depan. Tas kopernya dititipkan pada ajudannya. Jalannya tampak di gagah-
gagahkan. Ia tak mau kelihatan penakut dan lemah di depan warga Jonggring Saloka
yang mulai berdatangan. Apalagi diantara warga itu, tampak para dewi dan bethari
yang juga mulai ikutan nonton.
Dihampirinya manusia dihadapannya. Dengan sikap meremehkan ia bilang: "He,
Kuncoro Manuk apa Kuncoro Manik. Siapa namamu terserahlah! Kamu kan udah dikasih
tahu kalo harus pulang secara baik-baik. Seharusnya kamu merasa beruntung, tahu
nggak. Sekarang aku peringatkan sekali lagi, pulang! Jangan sampai aku gunakan
kekerasan." "Heh, jangankan cuman elu sendirian, semuanya maju bareng juga gua kagak bakalan
lari," jawab Kuncoro Manik. Sambil berkata begitu ia mantapkan
kuda-kudanya. Ia mempersiapkan diri dengan ilmu kuntow Bangau Putih yang
dipelajarinya di Gonzaga selama ini.
Gerakannya ringan tapi membutuhkan banyak energi.
Makanya kalau habis latihan silat, ia sering mampir di Union Station nyari nasi
rames di restoran Cina "Panda Express."
Dewa Sriyono mengeluarkan jurus Dewa Menggenggam Bumi.
Jurus silat ini hadiah Kho Ping Ho buat para dewa di khayangan. Banyak dewa
mempelajarinya karena merupakan jurus yang ampuh. Jika kena kibasan jurus ini,
dewa maupun manusia, akan remuk tulangnya. Tak ada tukang urut patah tulang yang
mampu menyembuhkannya. Sekalipun tukang urut itu berasal dari Cimande maupun Cikini.
"Kurang ajar kau manusia bangsat! Nih terima pukulanku..." tangan kanan Dewa
Sriyono menebas ke depan. Loncatannya membelah udara siang yang pengap.
Benar-benar serangan mematikan. "Ciiaaatttt!!"
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (11)
Dewa Sriyono menyerang musuhnya bagaikan kucing menerkam tikus. Tangannya
diayunkan ke arah dada lawan. Kalau hanya dewa atau manusia biasa, tanpa
kesaktian, mungkin sudah tewas terkena pukulan jarak jauhnya. Tapi ia salah
perhitungan, karena ternyata lawannya cukup tangguh. Dengan mudah sang lawan
menghindar dari serangannya.
Kuncoro Manik melihat pertahanan lawan yang tak terjaga. Dipatuknya punggung
lawannya dengan jurus Bangau Menotok Kodok. "Hiyaaa!!" "Pletaakk!!" Lawannya
terhuyung pusing kebelakang.
Kini Dewa Sriyono tak berani menganggap enteng lagi lawannya. Konsentrasinya
ditajamkan. Serangannya lebih terarah mencari bagian-bagian tubuh lawan yang
mematikan. Dengan tak sabar telah dikeluarkannya jurus baru yang tak kalah
dahsyatnya, jurus Dewa Membelah Duren.
Kuncoro Manik terdesak ke tepian sumur. Jalan keluar untuk menghindar nampaknya
telah tiada. Namun ia tetap berusaha keras untuk menangkis serangan lawannya.
Walau begitu sebuah pukulan akhirnya mendarat juga di dadanya. "Dezzz!!"
Para dewa dan prajurit khayangan berteriak girang.
Sedangkan para dewi menjerit tak tega sambil menutup mata dengan jaritnya. Jarit
itu tersingkap di bagian betis dan paha. Melihat pemandangan gratis itu, para
penonton, terutama yang laki-laki, pada menelan ludah terpesona. Mereka sesaat
lupa pada perkelahian yang sedang terjadi di tengah arena.
Kuncoro Manik salto kebelakang dan hinggap ditepian sumur yang lain. Bagaikan
seekor bangau yang hinggap di atas pematang sawah. Ginkang (ilmu meringankan
tubuh) dan Sinkang (ilmu tenaga dalam)-nya ternyata telah mencapai taraf
sempurna. Pukulan lawan tidak dirasakannya sama sekali. Melihat hal itu, mau tak
mau lawannya semakin waspada.
"Hiyaaaatttt!!!!" Tanpa menunggu lebih lama lagi, Kuncoro Manik balas menyerang
lawannya. Dikeluarkannya jurus Angin Puyuh Menggulung Samudra yang
dipelajarinya selama ini di Parang Tritis. Tentunya tempat berlatih telah
mendapat ijin Nyai Roro Kidul terlebih dahulu.
Sekali lawannya menggebrak, Dewa Sriyono tak mampu menghindar. "Derr!!" Tubuh
yang kurus itu bagaikan orang-orangan sawah kena seruduk kerbau yang sedang
birahi. Mental. Nafasnya tersengal-sengal. Sesak.
Menyesal ia kelewat banyak ngrokok selama ini.
"Sr?s??g!!" Ketika sudah berhasil menguasai dirinya, Dewa Sriyono mengeluarkan
golok pusakanya. Golok yang bernama si Gablek itu hadiah dari si Pitung. Baunya
wangi karena tiap Jumat Kliwon selalu dimandikan dengan kembang tujuh rupa.
Melihat lawannya mencabut golok pusaka, Kuncoro Manik segera merapal mantra
pemberian seorang kiai dari Jombang. Ketika golok tajam itu menyambar lehernya,
Kuncoro Manik tak bergeming. Para dewi khayangan kembali menjerit ketakutan
sambil menutup mata. Tapi kali ini tanpa menyingkapkan jaritnya. Para penonton
lelaki pada kecewa. Harapan dapat tontonan gratis, amblas.
"Crraangg!!" terdengar dua benda beradu. Golok yang mendarat tepat dileher itu
mental kembali seperti habis membacok tiang baja. Ternyata Kuncoro Manik tak
mempan dibacok. Rupa-rupanya ia tadi telah merapal mantra Ilmu Kekebalan Tubuh.
Secepat kilat, di luar perhitungan, Kuncoro Manik berhasil menyambar tangan
lawannya. Dengan sekali gentakan, golok berhasil direbutnya. Lalu dibuangnya.
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat belum lenyap rasa kaget sang lawan, ia jegal tubuh lawan itu hingga
terbanting ke tanah. Jatuhnya nyaring: "Dabblugg!!"
"Addaaaoooww!!" teriak Dewa Sriyono kesakitan. Sambil terseok-seok Dewa Sriyono
merangkak ke pinggir gelanggang. Dan berhenti tepat di muka Dewa Masno yang
sedang berkacak pinggang.
"Makanya jadi dewa jangan sok 'blagu," kata Dewa Masno. "Itu hasilnya kalau jadi
dewa sering menyombongkan diri. Sering sok sakti. Kemana-mana cari perhatian. Kalau nggak
dapet perhatian teriak-teriak nyari perhatian. Maunya minta di nomor satukan
karena merasa paling penting."
Mendengar kata-kata abangnya itu Dewa Sriyono cuma bisa meringis Tangan kanannya
memegangi pinggangnya. Sedangkan tangan kiri mengelus-elus jidatnya yang memar. Katanya dengan terbata-
bata: "Tapi Kun..co..ro Manik...ternyata ..me mang...sa sakti..kang Masno..."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (12)
Dewa Sriyono masih meringis-ringis menahan sakit.
Tampangnya yang memelas itu menandakan bahwa ia sudah kapok. Dan juga ngeri.
Benjut di kepalanya semakin terlihat. Sedangkan gusinya perih karena tadi
giginya copot dua biji. Padahal kemarin baru saja pasang gigi palsu.
"Apa kira-kira kakang Masno bisa mengalahkan Kuncoro Manik?" tanya Dewa Sriyono
pada kakaknya. "Kalau kakang Masno mampu mengalahkannya, mulai besok saya akan
berguru kepada kakang."
Mendengar ucapan adiknya, Dewa Masno naik semangatnya.
PD-nya menggelembung bagai balon yang ditiup. Di dalam angannya terbayang wajah
adik-adiknya yang lain yang bakal ikutan berguru. Mereka tentu akan lebih hormat
dan kagum padanya. Belum lagi para dewi dan bidadari, terutama mereka yang saat
ini menonton di pinggir lapangan, mereka semua bakal terpesona.
"Biar saktinya kayak apa, Kuncoro Manik itu kan cuman manusia," kata Dewa Masno.
"Kalau dewa bisa kalah sama manusia, berarti bukan manusianya yang sakti, tapi
dewanya yang lagi apes. Sudah sana, minggir! Biar Kuncoro Manik aku jadikan
abu!" Dewa Masno segera berkonsentrasi memusatkan pikiran.
Di kerajaan ini ia terkenal sebagai anak muda yang sedang naik daun. Kesaktian
andalannya adalah kemampuannya mengeluarkan hawa panas dari mulutnya.
Apapun yang terkena tiupan hawa panas itu bakal gosong.
"Hei, Kuncoro Manik! Aku, Bethara Masno, yang bakal mengusirmu!" teriak Dewa
Masno. "Jangankan cuma elu, semua maju bareng gua kagak bakal lari!" kata Kuncoro
Manik. "Memang kurang ajar kamu ya! Nih, terima pukulan Badai Gurun Pasir! Huppss!!"
Dewa Masno mulai mengatur pernafasannya. Kedua tangannya menggapai energi yang
ada disekelilingnya. Badai Gurun Pasir adalah jurus kombinasi yang telah lama
dipelajarinya. "Hiiaaaattt!!" "Dh??r!"
Serangan jurus itu ternyata sungguh hebat. Lawan dibuat tak berdaya. Jalan
keluarnya selalu tertutup oleh tiupan-tiupan hawa panas. Setiap gempurannya
ampuh dan mematikan. Kalau lawan sedikit lengah pasti bakalan jadi areng.
Kuncoro Manik cukup kerepotan. Ia terpaksa menghindari setiap serangan dengan
hati-hati. Untung gerakannya lincah dan atletis. Semua itu berkat disiplin
latihan yang dilakukannya seminggu tiga kali di Fitness Center.
Jurus lawan diimbangi oleh Kuncoro Manik dengan jurus Janda Genit. Jurus yang
lemah gemulai itu merupakan jurus kegemarannya. Dan yang lebih tinggi lagi
tingkatannya dari jurus itu masih ada jurus Janda Gatel. Semua jurus itu
merupakan kumpulan jurus-jurus ilmu silat Kecap Cap Bango yang dipelajarinya di
perguruan Gonzaga. Serangan hawa panas Dewa Masno beberapa kali luput.
Salah satu serangan yang luput mengenai pohon beringin pajangan istana:
"Byaaarrrr!!" Pohon beringin itu rontok semua daunnya. Hangus jatuh ke tanah.
Sedangkan dahan dan rantingnya menjadi kering. Gosong. Untung nggak ada anggota
Partai Beringin disitu. Kalau ada, mungkin juga bakal hangus nggak sempet ikut
pemilu. "Ciaattt!!" "Wozzz!!" "Hiyaaaattt!!" Perkelahian antara Dewa Masno dan Kuncoro
Manik berlangsung seru. Ternyata dua kesatria itu merupakan lawan yang seimbang. Penonton pada berdecak
kagum setiap melihat kelincahan gerakan mereka. Kecuali para dewi dan bethari.
Mereka pada berteriak-teriak kawatir dan ketakutan.
Dewa Masno memang sakti. Tapi sayang, seperti dewa lainnya, ia pun punya sikap
tinggi hati. Lebih-lebih terhadap manusia. Mereka selalu menganggap remeh.
Mentang-mentang para dewa ini rata-rata punya pendidikan luar negeri, lalu
mereka anggap manusia lebih bodoh dari mereka. Selain itu mereka menganggap
manusia selalu lebih rendah derajatnya.
Akan tetapi di lain pihak, banyak juga manusia yang ingin memiliki kedudukan
seperti para dewa. Biar bisa disanjung-sanjung, dihormati, dilayani, diikuti
perintahnya, ditakuti, dan juga didewa-dewakan oleh sesamanya. Manusia-manusia
macam ini adalah manusia-manusia munafik. Karena sikap merendahkan lawan, Dewa Masno menjadi ceroboh. Dengan tak sengaja
telah ia buka pertahanannya. Ia menganggap lawannya tak akan mampu menyerang dalam posisi yang
sulit. Ketika sadar akan kecerobohannya itu, ia telah terlambat. Sebuah pukulan
mengenai pelipisnya: "Pleettaakk!!" "Aaacchhh!!"
Ketika Dewa Masno masih terhuyung-huyung, Kuncoro Manik tak menyia-nyiakan
kesempatan. Sebuah tendangan dikirimkan. Tepat mengenai rahang samping sebelah
kanan lawan. Tendangan yang disertai tenaga dalam itu terasa seperti sepuluh
kali lipat pukulan Mike Tyson.
Lawannya terpental jauh. Kemudian jatuh berdebam. K.O.
seketika. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (13)
Kemarahan Dewa Brahma mencapai puncaknya. Terutama ketika dilihatnya Dewa Masno
terkapar pingsan. Ia tak rela melihat rekan-rekannya dipermalukan. Apalagi hanya
oleh seorang manusia. Sebagai seorang dewa, harga dirinya terasa direndahkan.
Rata-rata para dewa, dan banyak juga para dewi, ogah belajar dari pengalaman.
Mereka nggak mau introspeksi.
Karena merasa punya wawasan luas, merasa sakti, dan merasa diri sudah bijaksana
sehingga mereka menganggap diri mereka selalu benar dan selalu suci. Hal itu
pula yang dialami Dewa Brahma saat ini. Ia anggap tindakannya mengusir tamunya
sudah benar. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Dewa Brahma segera memusatkan pikirannya.
Ia sebutkan sebuah mantra sakti peninggalan nenek moyangnya. Sesaat kemudian,
kedua tapak tangannya nampak menghitam.
Ia telah keluarkan jurus andalannya, yaitu jurus Lebur Bumi. Jurus ini
menggunakan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Jurus kejam yang cukup ditakuti di
kerajaan Jonggring Saloka. Pukulan jurus ini mampu mengeluarkan gelombang api
yang membara. Di pinggir lapangan, Begawan Pulasara yang duduk bersila komat-kamit mulutnya.
Mirip seperti orang sedang berdoa. Rupanya pendita sakti itu tengah menghimpun
tenaga dalam. Jari jemari tangan yang ada di atas dengkul menunjuk ke arah
Kuncoro Manik. Tanpa menimbulkan kecurigaan orang, ia telah salurkan tenaga
dalamnya dari jarak jauh.
Melihat Dewa Brahma mempersiapkan jurus Lebur Bumi, semua dewa dan dewi, serta
prajurit Jonggring Saloka pada lari terbirit-birit. Mereka tahu akan kedahsyatan
jurus ini, sehingga memilih mencari tempat nonton yang lebih aman. Beramai-ramai
mereka mengintip melalui lubang-lubang di pagar tembok istana.
"Hei Kuncoro Bangsat! Siap-siap mampus kau kali ini!"
teriak Dewa Brahma geram.
"Jangankan cuman pukulan elu seorang. Elu pukul gua berame-reme gua kagak
bakalan mundur, dewa-dewa geblek!" teriak Kuncoro Manik memanas-manasi lawannya.
"Bangsat, lu! Hiaaaaaaa!!" "Jeeggeeerrrrr!!!" Bunyi pukulan Dewa Brahma bagaikan
bunyi petir di siang bolong. Menggelegar memekakkan telinga. Para dewi dan
bethari menjerit kaget. Terkena pukulan itu, lawannya terpental duapuluh meter ke belakang. Gulungan api
membakar badannya. Dewa Brahma tertawa: "Hahahaha...ternyata cuma segitu aja
kemampuanmu, bangsat!"
Ketika para dewa dan prajurit istana sedang bersorak menyambut kemenangan
mereka, Kuncoro Manik tiba-tiba bangkit. Penonton kaget bukan main. Belum pernah
mereka saksikan pemandangan seperti yang terjadi saat ini. Mulut mereka
menganga. Sementara itu, api masih membakar Kuncoro Manik. Tapi dengan tenang ia melangkah
keluar dari kobaran api. Setelah terbebas, dikibaskannya debu yang menempel di jaketnya. Ternyata jaket
Harley Davidson yang saat ini dipakainya memang ampuh. Jaket hadiah ulang tahun
dari pamannya itu ternyata jaket tahan api.
Melihat pemandangan di depannya, Dewa Brahma jadi gentar. Tapi ia berusaha
menguasai dirinya. Ia tak ingin terlihat takut, apalagi hanya oleh seorang
manusia. Kuncoro Manik kini membetulkan letak kuda-kudanya.
Rupanya tadi waktu diserang, kuda-kudanya belun mantap. Ketidaksiapannya itulah
yang membuatnya roboh kena terjang pukulan lawan. Beruntung sekali ia
menggunakan jaket saktinya. Dan tentu saja bantuan tenaga dalam jarak jauh dari
Begawan Pulasara. Tiba-tiba lawannya melayangkan pukulannya lagi:
"Ciiiiaaaaatttt!!" Namun kali ini Kuncoro Manik telah siap. Bahkan diam-diam ia
telah mempersiapkan jurus baru. Jurus Gunung Es Titanik. Cuma dikeluarkannya
kalau menghadapi lawan yang menggunakan jurus-jurus panas.
"Hiiyyaaattt!!" Kuncoro Manik segera menyambut pukulan lawan dengan pukulan
balik. Pukulan jurus Gunung Es Titanik memang dahsyat. Suhu yang menyertai
pukulan itu adalah minus 500 derajat Fahrenheit. Absolute zero. Pada suhu itu,
bahkan sebuah partikel atom pun akan berhenti. Beku.
"Buummm!!" Pertemuan dua kekuatan bagaikan bunyi rudal Patriot mengenai rudal
Scud. Kali ini gantian Dewa Brahma yang terpental. Ia tak menyangka pukulan balik
lawannya demikian hebatnya.
Tulang-tulangnya terasa ngilu. Sementara sekujur badannya terasa meriang. Ia
menggigil kedinginan seperti ayam kecemplung sumur.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (14)
Melihat Dewa Brahma kalah, para dewa dan prajurit Jonggring Saloka segera keluar
dari balik tembok istana. Muka mereka kelihatan sangar-sangar
memancarkan kebencian. Kemarahan mereka telah mencapai puncaknya. Tapi mau
bertindak pada takut, karena tahu akan kesaktian musuhnya.
"Serbu!" teriak salah satu diantara mereka. Teriakan tak disengaja itu telah
menjadi semacam aba-aba untuk menyerang. Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya
mereka telah berhamburan ke arah musuhnya. Senjata-senjata tajam dan mengkilat
susul-menyusul keluar dari sarangnya. Dengan mengeroyok secara beramai-ramai,
keragu-raguan dalam diri mereka masing-masing lenyap seketika.
Tapi kali ini Kuncoro Manik tak mau ambil resiko. Ia tak mau gegabah karena tahu
para penyerangnya memiliki kesaktian yang tak boleh dianggap remeh. Dengan tetap
tenang diserapnya seluruh tenaga dalam yang dikirimkan Begawan Pulasara dari
jarak jauh. Setelah itu disiapkannya jurus pamungkas miliknya: Pukulan Gelombang
Tsunami. "Hiyaaaaattt! Ciaaattt! Heeaaa!" Terdengar
teriakan-teriakan yang membahana dari sekeliling Kuncoro Manik. Serbuan itu
disambutnya dengan tamparan, tabokan, gebukan, dan gebrakan.
"Hiyaatt..Plak!..Adooww!" "Ciiaaat...Buukk!...Aduuh Mak!"
"Heeyyaaa!..Br???ngg!...Aduuh Mas!" Tukang mie t?k-t?k yang kebetulan jualan
disitu nggak sengaja kena gebuk. "Oh, maaf pak. Tolong jualannya minggir sedikit
pak..." "Ya, mas..."
Ternyata, bagi para dewa dan prajurit Jonggring Saloka, bermodal semangat saja
tidaklah cukup. Dengan ginkang dan sinkang yang sempurna, Kuncoro Manik
menguasai musuh-musuhnya. Satu per satu musuhnya tumbang di tangannya. Yang
masih sehat pada lari pontang-panting. Namun yang laripun tak luput dari
gebrakannya. Ia tiup bekas tapak-tapak kaki mereka:
"Wuusss...Weesss..Wusss...Wuusss..."
Bethara Narada yang malas turun tangan, heran melihat Dewa Yamadipati, dewa
pencabut nyawa, lari sambil membawa-bawa sapu menuju ke arahnya. "Hei,
Yamadipati. Kamu itu dewa apa Dinas Kebersihan Jakarta"! Ada dewa berantem kok bawa-bawa
sapu. Mau ngapain"!"
"Wah..kacau man..ka..cau..man..haahh.." Dewa Yamadipati berhenti sambil ngos-
ngosan nafasnya. Jidatnya kelihatan pada benjut. "Kuncoro Manik, man, ternyata
memang...sakti..sekali...man...."
"Iya, sakti sih sakti. Tapi kenapa kok berantem pakai sapu segala" Emangnya
nggak ada senjata lain apa?"
"Jangan salah sangka dulu, man. Paman Narada kan tahu Kuncoro Manik tadi itu
ngamuk habis-habisan. Banyak dewa dan prajurit yang kena gampar. Beberapa bahkan
sudah pada tergeletak pingsan. Nah, saya juga sempat kena gaplok tiga kali.
Karena nggak tahan, makanya saya kabur. Yang lain juga saya lihat pada ikutan
kabur satu per satu..."
"Terus?" "Lha, pas saya nyoba lari, belum sampai sepuluh meter tiba-tiba saya jatuh. Pas
saya nengok ke belakang, busyeeett....Saya jatuh itu lantaran Kuncoro Manik
meniupi bekas tapak kaki saya. Pantes, yang lain juga pada berjatuhan. Nggak
tahunya Kuncoro Manik meniup bekas tapak kaki mereka itu. Bener-bener ilmu
gendeng, man. Baru pertama kali ini saya lihat ada ilmu kayak begitu."
"Ilmu gendeng, ilmu gendeng. Ya, kamu itu yang gemblung. Nah, terus itu sapu
buat apa?" "Saya tadi punya akal, man. Saya cari aja sapu. Supaya tapak kaki saya nggak
membekas di tanah, maka saya lari mundur sambil nyapu menghilangkan jejak tapak
kaki saya itu. Pinter kan saya, man?"
"Emang pinter, tapi tetep aja gemblung."
"Yang penting kan bisa selamet, man. Bukankah itu artinya saya bayak punya akal,
man?" "Biar banyak akal tapi tetep aja pengecut. Dewa apaan kamu, ngelihat temen
digebukin orang malah kabur nyari selamat sendiri. Sudah, sekarang ikut saya.
Kita beri khabar Bethara Guru, bahwa keadaan tidak bisa lagi dikendalikan."
"Ya, man..." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (15)
Oh, dewata mengapa tak kau sadari juga
khilafnya sikapmu. Rupanya ego-mu yang setinggi gunung
sudah tak mampu lagi menyadari
tingginya batang-batang ilalang"
Patih Narada, diiringi Dewa Yamadipati dan beberapa prajurit pengawal istana
yang masih selamat dari amukan Kuncoro Manik, bergegas menuju ke bagian dalam
istana. Mereka mau lapor pada Bethara Guru, raja khayangan Jonggring Saloka,
tentang gagalnya tugas mengusir tamu mereka itu.
Sepuluh menit kemudian, Bethara Guru keluar memakai piyama. Bobok siangnya
terganggu. Di wajahnya tercermin kegusaran yang terpendam. Apalagi di dalam
tadi, ia telah di 'briefing' oleh para pengawal pribadinya tentang kejadian di
halaman istana. Sambil menyembah, Bethara Narada mengadu: "Wah, ketiwasan Adi Guru. Ternyata
Kuncoro Manik sakti sekali. Tidak ada dewa yang mampu menandinginya.
Bahkan mereka satu per satu roboh di tangannya. Dan ia tetap ngotot ingin
bertemu paduka." Bethara Guru nampak diam berpikir. Rupanya persoalan tidak semudah yang ia
perkirakan semula. Kini ia sendirilah yang harus turun tangan menandingi
kesaktian tamunya itu. Tiba-tiba raja Jonggring Saloka itu berkata: "Tunggu sebentar." Lalu, ia masuk
ke dalam. Tak lama kemudian ia keluar. Baju perang komplit telah disandangnya.
Melihat penampilan sang raja, para kawulanya maklum.
Nampaknya situasi kali ini sudah jadi serius.
Dengan iringan para kawula, Bethara Guru keluar menuju ke halaman istana.
Suasana terlihat berantakan. Tapi keadaan sudah mulai terkendali. Para dewa dan
prajurit yang pingsan maupun luka-luka semua sudah dibawa mobil ambulan ke RSCM.
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagian dibawa ke Rumah Sakit St.
Carolus. Untung tidak ada yang meninggal. Rata-rata hanya pingsan terkena
tamparan Kuncoro Manik. "Pendita yang dari tadi mengawasi Kuncoro Manik itu siapa, kakang Narada?" tanya
Bethara Guru di pintu gerbang menuju halaman istana. Ada sedikit kecurigaan
dalam benaknya. Ia seperti merasakan adanya kekuatan terpendam dari energi yang
mengelilingi pandita itu.
"Menurut keterangannya, ia bernama Begawan Pulasara,"
demikian Patih Narada memberikan penjelasan kepada rajanya. "Dia mengaku
pamannya Kuncoro Manik. Namun rupanya hanya paman angkat. Katanya, ia bertemu
Kuncoro Manik setelah anak itu menanjak dewasa. Jadi diapun tidak tahu-menahu
ayah ibunya Kuncoro Manik."
Bethara Guru menghampiri pendita itu. Begitu sudah dekat, energi itu tiba-tiba
lenyap. Kecurigaannya sedikit demi sedikit pupus. Kini pendita di hadapannya itu
nampak seperti rohaniwan biasa, tanpa kekuatan apa-apa. "Apa benar engkau
pamannya Kuncoro Manik?"
"Benar paduka, saya paman angkatnya Kuncoro Manik.
Adapun nama saya: Begawan Pulasara."
"Hmm.. apa kamu benar-benar tidak tahu siapa orang tuanya si Kuncoro Manik?"
"Ketika saya saya temukan dan angkat anak, Kuncoro Manik telah menjelang dewasa.
Jadi saya tidak tahu siapa orang tuanya."
Kuncoro Manik yang dari tadi berusaha menahan emosinya, tiba-tiba angkat bicara:
"Gimana nih Pak Guru" Gua tadi dateng kesini baek-baek cuman mau nanya siapa
orang tua gua. Bukannya dapet jawaban bener, malah dikeroyok rame-reme. Sekarang
gua kagak terima!" Bethara Guru nampak diam. Ia mencoba berpikir keras.
Rupanya persoalan yang satu ini telah menjadi dilema.
Kalau tidak ia selesaikan secepatnya tentu akan jadi berlarut-larut, dan lebih-
lebih akan mengganggu ketenteraman negara. Kalo negara nggak tenteram
perekonomian bakal berantakan.
"Kakang Narada," kata Bethara Guru tiba-tiba.
"Daripada persoalan ini berlarut-larut, bagaimana kalau Kuncoro Manik saya
angkat saja menjadi anak?"
"Saya sih, setuju aja. Kebetulan Kuncoro Manik sakti mandraguna. Jadi malah bisa
kita buat perisai negara Jonggring Saloka. Kemarin kita udah bagus-bagus punya
Kopassus, eeeh sialnya mereka malah punya banyak masalah, wah jadi batal deh..."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (16)
Bethara Guru, raja Jonggring Saloka, memutuskan untuk mengangkat Kuncoro Manik
sebagai anaknya. Namun keputusan itu dibuat semata-mata hanya demi menghindar
dari persoalan yang sebenarnya: supaya Kuncoro Manik melupakan tuntutannya untuk
mencari orang tuanya. Selain itu ada dua keuntungan yang bisa di dapatkan Bethara Guru dengan
mengangkat Kuncoro Manik sebagai anak. Pertama, dengan kesaktian yang
dimilikinya, Kuncoro Manik bisa menjadi perisai negara, jika negara mendapat
serangan dari luar. Kedua, kewibawaannya tidak jadi runtuh gara-gara tak mampu
menemukan orang tua Kuncoro Manik.
"Baiklah," demikian Bethara Guru memulai sabdanya.
"Kuncoro Manik, mulai saat ini engkau aku angkat sebagai anak."
Mendengar keputusan final itu, bahkan Kuncoro Manik sendiri kaget. Diangkat anak
oleh dewa, apalagi dewa penguasa jagat raya, tentu membawa gengsi tersendiri.
Tapi rupa-rupanya masih ada sesuatu yang mengganjal hati Kuncoro Manik.
"Makasih banget, pak. Mudah-mudahan gua kagak salah sebut kalo mulai sekarang
gua panggil elu bapak," kata Kuncoro Manik. "Jadi bener nih mulai sekarang gua
ini anak raja?" "Betul, nak. Mulai sekarang engkau adalah anak seorang raja. Dan terserah engkau
ingin memanggilku bapak, atau ayah, atau papa, atau babe, atau daddy," jawab
Bethara Guru. "Ok?, pak! Sebagai anak raja, gua ada satu permintaan.
Kalau bapak kagak keberatan, gua juga pengen jadi raja."
"Kira-kira kerajaan mana yang kau inginkan, nak?"
tanya Bethara Guru bingung. Ia masih belum mengerti maksud Kuncoro Manik.
Kuncoro Manik diam sejenak. Sebetulnya tuntutannya itu hanya sekedar ingin
memberi pelajaran kepada raja sombong, ayah angkatnya yang satu ini. Mentang-
mentang punya kekuasaan terus mau bikin keputusan seenak jidatnya. Dan juga mau
bertindak seenak perutnya.
"Gua emang pengen jadi raja. Tapi kagak mau kalo pakai cara merebut kerajaan
laen," jawab Kuncoro Manik.
"Kalau jadi raja pake cara begitu pasti bakal bikin ribut. Yang gua maksud
adalah gua pengen jadi raja yang kekuasaannya bisa sama seperti kekuasaan elu,
pak." Gila!! Semua dewa berteriak dalam hati. Namun mulut mereka tetap terkunci rapat-
rapat. Membisu. Dalam hati mereka terus memaki, benar-benar keterlaluan si
Kuncoro Manik. Sudah dikasih hati, ngrogoh jantung.
Sudah untung diangkat anak, sekarang malah minta jadi raja yang kekuasaannya
sama seperti kekuasaan ayah angkatnya.
"Kuncoro Manik, anakku," kata Bethara Guru. Nadanya disabar-sabarkannya,
walaupun mukanya nampak merah menahan amarah. "Jika memang begitu kehendakmu,
itu artinya engkau ingin menjatuhkan kewibawaanku."
"Lho, jangan kesinggung dulu, pak. Gua bukannya pengen ngejatohin wibawa elu.
Gua cuma minta supaya kalo gua berkuasa, kekuasaan gua bisa sebesar kekuasaan
elu. Kalo itu elu anggep ngejatohin wibawa elu, ya terserah lach yaow...."
Emosi Bethara Guru sudah mencapai puncaknya. Manusia di depannya ini benar-benar
kurang ajar. Dan memang harus dihajar biar kapok. Kalo perlu dihajar sampai
nggak bisa bangun lagi. Hanya ada satu cara menghajar manusia sakti macem
begini: "Kuncoro Manik! Baik kalau itu kemauanmu. Tapi ada satu syaratannya."
"Ok?. Apa syaratnya?" tanya Kuncoro Manik menantang.
"Keinginanmu bisa tercapai asal kau kuat menahan pusaka Cis Jaludoro di tanganku
ini. Kalau engkau memang mampu menahan gempuran pusakaku ini, aku bakal berhenti
jadi raja. Kerajaan Jonggring Saloka akan kuserahkan padamu," kata Bethara Guru
geregetan. Para dewa dan prajurit istana kaget bukan main. Yang tadinya ngantuk langsung
hilang ngantuknya karena kelewat kaget. Tapi ada juga yang bludreknya kambuh
gara-gara kelewat kaget. Dan suasana paseban mulai gaduh. Perasaan ngeri
menyelimuti para hadirin. Bukan ngeri karena kerajaan bakal jatuh ke tangan
orang lain, tapi karena tahu apa itu Cis Jaludoro.
Pusaka Cis Jaludoro adalah pusaka utama kerajaan Jonggring Saloka. Dikeluarkan
hanya kalau negara dalam keadaan gawat darurat. Pusaka ini berbentuk keris.
Sarungnya terbuat dari emas murni hasil galian Freeport McMoRan di Papua Barat.
Dihiasi manik-manik intan berlian hadiah dari Afrika Selatan. Kekuatan senjata
ini sungguh dahsyat. Sekali gempur sebuah gunung bisa rontok jadi gurun.
Pusaka yang diwariskan secara turun temurun oleh penguasa Jonggring Saloka ini
dulu pernah digunakan untuk menghancurkan kota Sodom dan Gomorah. Peristiwa itu
terjadi pas masa pemerintahan dipegang oleh Partai Republik yang konservatif.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (17)
Cis Jaludoro adalah pusaka andalan kerajaan khayangan Jonggring Saloka. Pusaka
itu merupakan benteng terakhir para dewa. Sudah beberapa kali digunakan untuk
menangkis serangan-serangan musuh yang sakti.
Dan selalu sukses. Tidak pernah ngadat alias mogok.
"Ok?, pak. Kalau itu emang mau lu, nih, gua serahin dada gua. Tapi, kali ini elu
jangan sampai ingkar janji ya," kata Kuncoro Manik tak menunjukkan kegentaran
barang sedikitpun. "Paman Narada, elu pokoknya gua jadiin saksi ya?"
"Ya..ya..iya nak. Aku saksikan dari sini..." jawab Bethara Narada. Ada nada
kekawatiran dalam jawaban patih Jonggring Saloka itu. Bukan karena ia tahu apa
itu Cis Jaludoro, tapi karena kesombongan sikap rajanya yang terlalu sesumbar
dalam menggunakan senjata itu.
"Bersiap-siaplah...," kata Bethara Guru sambil mengeluarkan pusaka dari
warangkanya, dari sarungnya.
Begitu berada di luar warangkanya, warna pusaka itu berubah jadi cemerlang.
Senjata itu bagaikan menyerap seluruh cahaya alam semesta. Kekuatannya membuat
gemetar siapa saja yang berada di sekelilingnya, termasuk para dewa sendiri.
"Gluduuukk...Gluuuddukk..Gedebuumm!!" Senjata itu ditusukkan tepat ke tengah-
tengah dada Kuncoro Manik.
Bunyinya menggelegar bagai petir menyambar-nyambar di siang bolong. Para dewi
menjerit, bahkan ada yang menangis terisak-isak. Beberapa dewa memejamkan
matanya karena tak tega. Berkali-kali Cis Jaludoro ditusukkan ke dada Kuncoro Manik. Hingga akhirnya
Bethara Guru merasa letih sendiri. Sementara itu, dada Kuncoro Manik masih utuh.
Tak ada satu goresanpun nampak disana. Bahkan merasa sakitpun tidak.
Gila! pekik para dewa dalam hati. Benar-benar ilmu aneh. Semua dewa nampak
tercengang. Rasa kagum mereka bercampur dengan rasa heran.
"Adi Guru," sapa Bethara Narada tiba-tiba. "Sudah, sudah. Adi Guru harus
menerima kenyataan. Yang namanya pusaka itu, kalau dia memang ampuh, sekali
ditusukkan akan kelihatan hasilnya. Tapi, kalau memang tidak ampuh ya sudah.
Tidak usah ditusukan berkali-kali seperti itu. Apalagi malah buat ngiris-iris
tangan segala. "Keampuhan pusaka itu tergantung dari sial atau tidak yang menggunakannya. Kalau
si pengguna pusaka itu pas lagi sial, biar pusakanya super sakti, pasti nggak
bakal mempan digunakan."
"Lalu, bagaimana kakang Narada" Apa memang hari ini saya lagi sial?" tanya
Bethara Guru pada patihnya.
Wajahnya nampak frustasi.
"Ya, gimana. Saya kira sih, Adi Guru harus berani menerima kenyataan. Selain
itu, janji harus ditepati.
Kalau tidak, maka saya takut kewibawaan Adi Guru bakal terpuruk lagi."
"Ya, kakang Narada," kata Bethara Guru. Lalu, ia menatap anak angkatnya sambil
berkata sayu: "Anakku, Kuncoro Manik. Karena kamu sanggup menahan pusaka Cis
Jaludoro maka aku akan menepati janjiku. Mulai saat ini aku akan mundur jadi
raja. Dan kamulah sekarang yang bertahta di khayangan Jonggring Saloka."
"Busyeeet! Beneran nih" Apa gua kagak mimpi bisa jadi raja?" tanya Kuncoro Manik
kaget. "Ya, nak. Engkau sekarang raja jagat raya."
"Hmm, makasih banget, pak. Tapi, kejadian ini bukan salah gua, lho. Ini terjadi
karena bapak sendiri kan yang menginginkannya. Bapak sendiri yang mulai.
Sebenernya, gua tadi cuma bilang bahwa gua ingin punya kekuasaan seperti yang
bapak miliki. Jadi bukan berkuasa atas negara ini."
"Iya, nak. Itu betul."
"Nah, kalau sekarang gua jadi raja, berarti apa gelar gua sekarang?"
"Ya, nak. Sekarang engkau bergelar Prabu. Prabu Kuncoro Manik."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (18)
Prabu Kuncoro Manik akhirnya menduduki tahta Jonggring Saloka menggantikan
Bethara Guru. Untuk mencegah raja yang digantikannya itu terkena "Post Power
Syndrome", maka ia mengangkatnya sebagai penasehat kerajaan.
Tugas penasehat adalah memberi saran dan masukan pada kebijaksanaan yang sedang
dijalankan sang raja. Ada dua hal yang menyebabkan Prabu Kuncoro Manik masih memberi jabatan pada
Bethara Guru. Pertama, ia tak mau ayah angkatnya itu kehilangan muka, karena
telah dibuat malu. Kedua, supaya Bethara Guru, yang bekas penguasa dan tahu
banyak mengenai situasi dan kondisi kerajaan, tidak merongrong kewibawaannya
selama ia memerintah. "Lalu, Paman Begawan Pulasara gua jadiin Kepala Seksi Keamanan dan Politik.
Sanggup kan, paman?"
"Ya, nak. Aku sanggup," jawab Begawan Pulasara.
"Terus aku gimana dong" Masa aku cuman B?T? aja nih,"
tanya Bethara Narada tiba-tiba. Biar bagaimanapun jiwa bekas patih kerajaan itu
tetaplah jiwa seorang bangsawan. Dan bagi kaum bangsawan maupun priyayi, jabatan
adalah penting sekali artinya. Melebihi kepentingan diri dan bahkan keluarganya
sendiri. "Kakek Narada mau kan kalo tetap jadi patih kerajaan ini?" tanya Kuncoro Manik.
"Wah, gimana ya. Tapi, ok? d?h. Sanggup deh," jawab Dewa Narada berbasa-basi.
"Terus aku gimana dong?" tanya Dewa Yamadipati sambil mengelus-elus jidatnya
yang masih benjut. "Abang Yamadipati juga bakal pegang jabatan semula, yaitu Ketua Seksi Pencabutan
Nyawa. Gimana" Sanggup?"
"Oh yah. Bagus. Sanggup deh," jawab Dewa Yamadipati lega. Dia memang sudah ahli
dalam hal-hal nyabut nyawa. Kalau dia sampai dimutasi, apalagi ke Seksi
Bendahara, tentu ia bakal pikir-pikir. Soalnya Seksi Bendahara kerjanya cuman
ngitung keluar masuk duit doang. Udah gitu masih sering dimaki-maki orang,
karena dikira pelit ngeluarin duit kerajaan. Padahal dia kagak punya kekuasaan
untuk melakukan hal itu. Para dewa ini memang terkenal sembarangan kalo menggunakan uang. Mentang-mentang
uang itu uang kerajaan, bukan uang pribadi, makanya suka cu?k.
Kecenderungan mereka dalam memboroskan uang kerajaan kuat sekali. Mereka sanggup
obral duit besar-besaran, apalagi buat nyari pujian, nama baik, dan sanjungan.
Seminggu kemudian, dalam suasana udara nan sejuk karena habis hujan, dan langit
yang cerah, para dewa dikumpulkan. Rata-rata mereka sudah boleh pulang dari
rumah sakit. Sebagai penguasa baru, Prabu Kuncoro Manik nampaknya berkepentingan
untuk memberitahukan jalan pikiran maupun kebijaksanaannya dalam memerintah
kerajaan pada pertemuan itu.
Untuk mencegah timbulnya keresahan, Prabu Kuncoro Manik memang sengaja tidak
merubah jabatan maupun mengadakan mutasi besar-besaran di pemerintahan. Ia hanya
memberikan kesempatan kepada para dewa yang memegang jabatan, untuk membenahi
Departemennya maupun Seksinya masing-masing. Agar mereka bisa berkerja dengan
lebih efektif dan efisien.
Dalam ceramah itu pula, ia perlu memberitahu bahwa ia tidak ingin ada mis-
komunikasi berkembang dalam pemerintahannya. Semua harus terbuka dan transparan.
Danjuga ia ingin agar para bawahannya tidak bersikap masa bodoh dalam melakukan
tugasnya. Para dewa harus punya kesadaran untuk selalu bertanggung jawab.
Mendengar wejangan rajanya yang baru, para dewa dan penduduk Jonggring Saloka
mengangguk-angguk seperti setuju. Namun dalam hati lain lagi bunyinya. Yah, mau
apa lagi" Kebanyakan pada dewa memang bermental
"Status Quo". Jadi merupakan hal yang sulit untuk merubah sifat maupun sikap
mereka itu. Sampai jagat kiamatpun barangkali belum tentu bisa.
"Nah, sekarang gua ada satu pertanyaan. Apakah suatu hari nanti akan ada perang
besar yang bernama: Bharata Yudha?" tanya Prabu Kuncoro Manik kepada Bethara
Guru. "Betul, nak. Perang besar antara keturunan Pandawa dan keturunan Kurawa itu
memang sudah menjadi kodratnya jagat raya," jawab ayah angkat merangkap
penasehatnya itu. "Apa memang kodrat itu tidak bisa digagalkan?"
"Digagalkan" Tidak. Tidak bisa, nak. Karena kodrat manusia sudah tertulis dan
harus dijalani." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (19)
Perang besar Baratha Yudha yang akan datang memang sudah jadi kodrat manusia
yang harus dijalani. Namun, Prabu Kuncoro Manik, raja baru di Jonggring Saloka,
yakin bahwa perang besar itu bisa digagalkan. Atau paling tidak dihindari.
"Gimana kagak bisa dihindari" Kan yang 'njalanin kodrat itu manusia sendiri?"
demikian argumen Kuncoro Manik terhadap para dewa. "Perang kan bisa ngebikin
malapetaka buat kemanusiaan. Nah, kalau manusianya sendiri punya keinginan buat
menghindari terjadinya malapetaka, itu artinya perang masih bisa digagalkan."
Mendengar alasan yang cukup masuk akal dari orang yang menggantikannya sebagai
raja itu, Bethara Guru cuma bisa membisu. Tapi sesaat kemudian: "Gimana kakang
Narada?" "Ya, kalau saya bilang sih, itu kan haknya Kuncoro Manik sebagai raja. Mengenai
bagaimana kelanjutannnya, ya nanti terserah kebijaksanaan Sang Hyang Widiwasa,"
jawab Bethara Narada enteng.
Sang Hyang Widiwasa, atau Sang Hyang Wenang, adalah dewanya para dewa. Orang
Cina menyebutnya Thian. Orang bule menyebutnya God. Ia berkuasa atas semua
mahkluk yang ada di jagat raya, baik dewa, manusia, dan juga para mahkluk halus.
"Mong-ngomong, apa sih yang menyebabkan terjadinya perang Bharata Yudha itu?"
tanya Prabu Kuncoro Manik.
Ia cuma ingin meyakinkan dirinya kalo apa yang di dengarnya selama ini tidak
salah. "Penyebabnya, saat ini keturunan Kurawa menguasai kerajaan Astina yang bukan
haknya," jawab Bethara Guru. "Padahal, kerajaan itu sebenarnya adalah milik
keturunan Pandawa, saudara sepupu mereka. Nah, kembalinya kerajaan itu ke tangan
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keturunan Pandawa, hanya bisa dilakukan melalui perang besar itu."
"Lha, itu kan namanya para dewa kagak adil semua,"
kata Prabu Kuncoro Manik kepada para dewa yang ada dihadapannya. Mendengar
kritik itu, para dewa dalam hati dongkol. Tapi mau protes nggak ada yang berani.
Biar begitu, Prabu Kuncoro Manik sudah tahu. Ia tahu, walaupun ia kini sudah
resmi diangkat jadi raja para dewa, namun sebagai manusia, ia yakin dirinya
tetaplah dipandang rendah. Wejangannya cuma masuk kuping kiri keluar kuping
kanan. Dewa tetaplah dewa. Mereka selalu merasa bahwa derajatnya berada
setingkat di atas manusia. Serba merasa tahu. Serba benar.
Selain itu ada alasan lain mengapa para dewa ini ngotot sekali tidak ingin
melihat gagalnya perang Baratha Yudha. Alasannya itu: karena perang ini
merupakan sebuah tontonan besar bagi para dewa sendiri. "The Show of The
Century". Ibarat pertandingan tinju antara Muhammad Ali melawan Joe Fraizer. Mike Tyson lawan
Evander Hollyfield. Atau ibarat piala dunia sepak bola antara kesebelasan Brasil
lawan Jerman. Dalam perang Baratha Yudha nanti akan ditampilkan pertandingan adu kekuatan dan
kesaktian, baik dari pihak Pandawa maupun pihak Kurawa. Buat nonton pertandingan
itu, banyak diantara para dewa yang sudah memesan tempat duduk jauh-jauh hari
sebelumnya. Baik melalui agen-agen maupun calo-calo. Bahkan ada yang berani
membayar mahal supaya bisa dapet tempat paling depan.
Yang enak yang punya jabatan. Mereka ini, terutama para anggota Dewan Perwakilan
Dewa, terkadang tinggal angkat tilpun minta disediakan tempat duduk yang baik
oleh pihak panitia. Dan pihak panitia mau nggak mau terpaksa menurutinya. Karena
kalo nggak, bakalan bisa berabe. Saat ini, para anggota Dewan Perwakilan Dewa
itu ibarat raja-raja kecil yang harus selalu dituruti keinginannya. Padahal
mereka ngakunya wakil rakyat.
"Kalau memang para dewa semua adil, Prabu Duryudana yang sekarang berkuasa di
kerajaan Astina, harus dipaksa mengembalikan kerajaan itu pada pihak Pandawa.
Kalau dia kagak mau berarti memang dia ini biang keladinya. Dan perlu
dimusnahkan. Kalau biang keladinya dimusnahkan, kan perang kagak bakalan jadi.
"Yang namanya perang, biar bagaimanapun bentuknya bakal menimbulkan korban yang
kagak sedikit. Terutama sekali di pihak rakyat kecil. Banyak istri-istri yang
bakal menjadi janda karena kehilangan suaminya, begitu juga suami kehilangan
istri, anak kehilangan orang tua, dan seterusnya. Itu sebabnya kenapa gua pengen
menggagalkan perang Bharata Yudha."
Pada dewa tetap diam. Mereka mendengarkan dengan serius sambil manggut-manggut.
Namun hati masing-masing rusuh: memprotes, menentang, cuek, bahkan mencibir. Ada manusia
kok berani ngajari dewa, huh!
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (20)
Keinginan Prabu Kuncoro Manik, raja Jonggring Saloka, untuk menggagalkan perang
Baratha Yudha sudah tidak bisa dibendung lagi. Dan tak ada dewa yang berani
menentang tindakannya itu. Dalam hukum kerajaan, seorang bawahan harus menuruti
perintah raja. Kalau tidak, akibatnya bisa macam-macam. Mulai dari mutasi dan
pemecatan, sampai dengan pengucilan, dan bahkan penjara maupun eksekusi.
Bethara Guru yang nampak bimbang bertanya pada Kuncoro Manik: "Lalu, apa
rencanamu, nak?" "Rencana gua gini. Paman Begawan Pulasara gua mau utus ke negara Astina untuk
ngeboyong Dewi Banowati. Berhubung Prabu Duryudana kalau sama permaisurinya itu cintanya setengah modar,
pasti ia bakal menyusul kemari kalo tahu Banowati ada disini. Nah, kalau
Duryudana udah sampai disini, biar gua suruh dia supaya nyerahin kerajaannya ke
pihak Pandawa. Dengan begitu perang Baratha Yudha bakal bisa dihindari. Tapi
kalau dia nolak, biar tahu rasa dia. Gimana paman"
Setuju kan?" "Ya, nak. Aku akan melaksanakan perintahmu. Mohon pamit, sekarang juga aku
berangkat," kata Begawan Pulasara singkat tanpa basa-basi. Setelah menyembah,
dan mendapat restu dari raja, ia segera mengundurkan diri. Waktu mau berangkat,
bagian protokol istana menawarinya menggunakan mobil Mercy terbaru keluaran
tahun 2004. Tapi dia menolak. Ia lebih memilih naik mobil Toyota Corrola bekas
yang ada di gudang istana.
Tak lama kemudian Prabu Kuncoro Manik memberi perintah patihnya: "Nah, Paman
Narada. Elu gua utus turun ke bumi buat manggil Prabu Kresna, raja Dwarawati.
Kresna sebagai pelindung dan penasehat keluarga Pandawa, mau gua minta juga
supaya menggagalkan perang Baratha Yudha. Buat jaga-jaga, Paman Narada boleh
bawa semua dewa dan prajurit pilihan Jonggring Saloka."
"Wah, aku sih siap, nak. Tapi kalau Prabu Kresna nggak mau diajak kemari," tanya
Patih Narada ragu. "Ya, kalau sampai tugas itu gagal, Paman Narada yang bakal gua cemplungin
sekalian ke Kawah Candradimuka,"
kata Kuncoro Manik dingin, tapi dalam hati tersenyum.
Ancaman kosongnya ternyata berhasil.
"Waduuhhh! Modar aku!" kata Narada. "Hei Yamadipati, gimana ini" Jangan bengong
aja kamu! Ada orang tua lagi kesusahan kok malah ngelamun!" Bethara Narada
nervous mendengar ancaman Kuncoro Manik.
"Ya, turutin aja, man. Paman Narada dapet iringan pengawalan para dewa dan
prajurit pilihan, kenapa takut" Masa kalo rombongan kita banyak, kita nggak bisa
maksa Kresna sih," jawab Dewa Yamadipati, dewa pencabut nyawa. Walaupun jawaban
itu cukup membesarkan rasa percaya diri, tapi Bethara Narada kurang bisa
diyakinkan. Ia tahu siapa Kresna.
Setelah rencananya mulai kelihatan jalan, Prabu Kuncoro Manik segera memanggil
kepala bagian protokoler istana. Ia mau pergi ke panti pijat, karena badannya
terasa pegal-pegal. Oleh protokol istana ia ditawari kereta kencana kerajaan,
yang gemerlapan warnanya, melebihi gemerlapnya kereta kerajaan Inggris Raya.
Tapi ia menolak, dan minta naik mobil Volvo model lama. Ketika ditawari
pengawalan Secret Service, sekali lagi dia menolak. Alasannya dia mau santai,
tak mau kaku. Tak lama kemudian, mobil beserta sopirnya tiba. Prabu Kuncoro Manik segera naik
ke dalamnya. Begitu berada di dalam ia kaget. Ternyata sopirnya sudah tua
sekali. Rambutnya putih beruban tanpa tersisa sedikitpun hitamnya. Walaupun sopir tua
itu kelihatan sehat, tapi badannya nampak kurus kering. Wajahnya letih.
"Nama bapak siapa?" tanya Kuncoro Manik.
"Saya Dewa Paijo. Tapi panggil saya Paijo saja, paduka," kata sopirnya merendah.
"Ngomong-ngomong paduka mau ke panti pijat yang mana?"
"Yang paling bagus di negri ini, panti pijat mana, pak?" tanya Prabu Kuncoro
Manik, yang akhirnya manggil
'pak' kepada sopirnya untuk menghormatinya.
"Kebanyakan mereka yang seneng pijet, terutama para pejabat, pasti nyari yang
satu itu. Namanya Panti Pijat 'Sekar Asmara'. Pemiliknya istri pensiunan
pejabat. Tukang pijitnya para bidadari yang masih muda, cantik dan bahenol.
Rata-rata anak kuliahan. Tapi walaupun muda, pijitannya siiip, kata mereka yang pernah kesana."
"Baik. Kalau gitu kita kesana."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (21)
Mobil Volvo dan penumpangnya meluncur menuju panti pijat "Sekar Asmara". Panti
pijat paling nge-top di seluruh kerajaan Jonggring Saloka itu terletak di
perumahan elit kerajaan. Pemilik sekaligus
pengelolanya adalah seorang istri pensiunan pejabat.
Dulu waktu masih bertugas, pejabat itu cukup disegani kawan maupun lawan. Hingga
kinipun masih begitu. Karenanya, usaha panti pijat itu tak ada yang pernah berani mengusik-usik.
Padahal menurut khabar burung, kegiatan di dalamnya termasuk "Full Body-part
Massage". "Ngomong-ngomong, umur Pak Paijo berapa" Kok kelihatannya masih kuat kerja?"
tanya Prabu Kuncoro Manik pada sopirnya.
"Umur saya enampuluh delapan tahun, paduka," jawab Dewa Paijo. "Sebenarnya saya
sudah beberapa kali minta pensiun. Tapi tidak diijinkan. Alasan mereka: kerjaan
saya belum ada yang bisa menggantikan. Ya, apa mau dikata" Memang kebanyakan
anak-anak muda belum banyak tahu jalan seperti saya. Tapi saya pikir, mereka kan
bisa belajar. Kalau tidak diberi kesempatan, apalagi kesempatan untuk berbuat
salah, bagaimana mereka bakal maju"..."
"Hmmm ya, ya masuk akal," kata Kuncoro Manik. Dari nada bicaranya, nampaknya
dewa yang satu ini ingin 'curhat', pikir Kuncoro Manik. Suatu kebetulan, karena iapun ingin tahu lebih
jauh situasi dan kondisi negara ini. Biasanya rakyat kecil lebih jujur dalam
menerangkan keadaan sekitarnya. Maka ia pancing dengan pertanyaan: "Apa menurut
bapak regenerasi di kerajaan ini kurang berjalan lancar?"
"Menurut saya sih, memang kurang. Gimana mau lancar kalau golongan tua masih
terus ingin menguasai semua lahan" Nggak mau pensiun-pensiun. Nah, golongan
mudanya cuma bisa nunggu terus sambil bengong. Yang beruntung, biasanya yang mau
tunduk dan bisa 'njilat, memang mendapat posisi jabatan. Tapi tetaplah cuma
bawahan dengan semboyan 'yes, sir' atau 'yes, madam'.
"Situasi seperti itu makin parah dengan keadaan perekonomian yang lemah akibat
krisis berkepanjangan, 'rule and law' yang tidak bener aturan mainnya, dan KKN yang masih subur. Belum
lagi adanya masalah-masalah seperti separatisme, konflik antar etnik, pemboman, premanisme,
dan lain sebagainya. Makanya kemajuan negara jadi terhambat."
Mendengar cerita langsung dari sosok rakyat jelata itu, Prabu Kuncoro Manik
makin mendapat gambaran yang luas tentang keadaan negara yang dipimpinnya.
Rupanya sistim negara banyak yang harus diperbaiki. Selain itu disiplin harus
diterapkan secara keras. Tapi apa ia mampu melakukan semua itu, kalo mental
rakyatnya yang pada 'sakit' sudah demikian akut" Dengan penasaran ia bertanya:
"Pak Paijo dulu lulusan mana?"
Jawab Dewa Paijo merendah: "Oh, saya cuma lulusan UGM, paduka. Dan sempat
beberapa tahun di Cornell..."
"Ooooh..." desah Prabu Kuncoro Manik, yang 'Drop Out'
dari STF Driyarkara itu. Sepeninggal Prabu Kuncoro Manik dari istana, datanglah Dewa Serani. Anak Bethara
Guru yang jiwanya borjuis ini nakal dan paling susah diatur. Kerjanya kelayapan
dengan mobil Porche hadiah ulang tahun dari ayahnya.
Dengan modal tampang, yang memang cukup lumayan, Dewa Serani kencan kesana-
kemari. Ceweknya ganti-ganti.
Mulai anak pejabat, turis bule, sampai p?r?k kelas teri. Untung selalu pakai
kondom, jadi sampai sekarang selalu terhindar dari AIDS. Dan kalau lagi nggak
pacaran, kerjanya nongkrong atau pesta dengan anak-anak pajabat dan bangsawan
lain. Rupanya Dewa Serani nggak sadar kalau bapaknya tiap hari kerja mati-matian
'mark-up' proyek untuk bisa membuat keluarganya hidup di atas garis kekayaan.
Iapun nggak sadar kalau bapaknya harus bersusah payah memanipulasi keuangan
negara supaya ia bisa sekolah ke luar negri, ibunya bisa jalan-jalan ke Amrik
atau Eropa, dan sekeluarga bisa secara rutin belanja ke Singapura.
Dan saat ini, Dewa Serani sedang naksir berat seorang cewek, namanya Dewi
Jenokowati. Cewek itu anak Raden Janoko atau Raden Arjuna, salah seorang dari
lima bersaudara keluarga Pandawa.
Dewa Serani telah berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa ia ingin berkeluarga.
Tapi ia cuma mau berkeluarga dengan Dewi Jenokowati. Orang tuanya cukup senang
dan mendukung rencana itu. Mereka memang selalu berharap, barangkali saja kalau
anaknya sudah berkeluarga kelakuannya akan berubah menjadi lebih baik.
Namun rupanya lain yang tersirat dalam kodrat. Dewi Jenokowati sudah jodohnya
Raden Antasena. Bahkan sudah menikah dan baru saja pulang 'honeymoon' dari
kepulauan Lombok. Antasena sendiri adalah anak bungsu dari Bimasena, juga
keturunan Pandawa. "Sembah saya pada ayahnda. Semoga ayahnda tidak kekurangan suatu apapun. Semoga
kerajaan ini tetap jaya dan sentosa ditangan ayahnda," kata Dewa Serani.
Ia belum tahu kalau ayahnya sudah turun tahta.
Nampaknya ayahnya juga tidak mau memberitahukan kondisi yang sebenarnya. Malu.
Dan takut anaknya kecewa.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (22)
Langit mendung kelabu. Udara lembab tak berangin. Di paseban istana, Bethara
Guru menatap anak kesayangannya. Ia senang dengan kedatangan anak itu.
Wajahnya mirip permaisuri yang dikasihinya. Anak yang cerdas, dan selalu menurut
perintah orang tua. "Kenapa engkau nampak resah, nak?" tanya Bethara Guru.
"Sudah beberapa minggu ini saya tak bisa tidur, ayah,"
kata Dewa Serani memulai pengaduannya. "Mau makan juga kurang enak rasanya.
Perasaan saya tidak bisa tenang.
Semua itu karena bayangan Dewi Jenokowati yang selalu muncul dalam angan-angan."
"Ya, aku tahu itu, nak. Tapi aku minta engkau tidak usah melarikan diri kepada
hal-hal yang negatif. Karena aku dengar engkau sekarang banyak memakai sabu-sabu dan ecstasy."
"Saatnya nanti, saya akan berhenti, ayah. Tapi hidup saya hampa tanpa Dewi
Jenokowati. Kalau ayahnda tak mampu menjodohkan saya dengan dia, saya gantung
diri saja." Dewa Serani nampak sedih dihadapan ayahnya. Anak nakal yang manja itu memang
semakin hari semakin kelihatan kurus. Hasratnya untuk mendapatkan Dewi
Jenokowati, tidak bisa dibendung lagi. Ia tahu, ayahnya, apalagi ibunya, bakal
iba melihat keadaannya. Keadaan yang seolah-olah tragis karena ditambah dengan
ratapan palsu. "Anakku," demikian sabda Bethara Guru. "Apa yang jadi kemauanmu itu telah aku
pikirkan sejak lama. Ketahuilah nak, Antasena saat ini sudah mati."
"Apakah itu benar, ayah" Antasena sudah mati?" tanya Dewa Serani. Matanya
langsung tampak berbinar-binar.
Ingin rasanya ia bersorak dan melonjak girang sampai ke langit ke tujuh
mendengar berita itu. "Benar, nak. Jasad Antasena sudah kucemplungkan ke Kawah Candradimuka. Tapi aku
minta engkau jangan bilang siapa-siapa. Karena aku tidak mau rencanaku ini
diketahui siapapun, kecuali orang-orang yang bisa kupercaya."
Semangat Dewa Serani langsung menyala. Tubuh yang tadinya lesu sekarang
kelihatan segar. Ia kini lega setelah mendengar salah satu penghalang, bagi
bersatunya antara dirinya dengan Dewi Jenokowati, telah tersingkirkan. "Terima
kasih, ayah. Lalu, apa yang musti saya kerjakan sekarang?"
"Nah, sekarang turunlah engkau ke bumi. Temuilah Arjuna. Kalau bapaknya
Jenokowati itu merelakan anaknya engkau lamar, maka berilah segala apa yang dia
mau: Pangkat" Jabatan" Kedudukan" Kekayaan" Atau apapun yang dia mau. Tapi kalau
Arjuna tidak rela menyerahkan Jenokowati, engkau bereskan saja dia sekalian,"
kata Bethara Guru dingin.
Mendengar sabda ayahnya, hati Dewa Serani kembali melambung tinggi. Kini ia
telah benar-benar mendapat restu dari ayahnya. Maka ia yakin tak akan ada lagi
yang mampu menghalangi niatnya.
Sambil menyembah Dewa Serani berkata: "Ayah, saya akan pergi sekarang. Mohon doa
restu!" Dewa Serani kemudian berangkat. Karena terlalu percaya diri, ia tidak membawa
pasukan untuk melaksanakan niatnya. Ia cuma mengajak pembantunya, Togog. Mereka
berdua menuju ke kerajaan Madukara, tempat Arjuna memerintah.
Tak lama setelah Dewa Serani pergi, Patih Narada yang dari tadi terkantuk-katuk
di pojokan segera beringsut mendekat kepada Bethara Guru. Ia tadi sempat
tersentak mendengar sabda bekas rajanya itu pada anaknya.
"Adi Guru! Urusan dengan Dewa Serani itu tadi bagaimana?" tanya Patih Narada
kawatir. "Saya suruh dia menemui Arjuna untuk meminang Jenokowati. Sekaligus untuk
memberi khabar kalau Antasena telah meninggal dunia. Dengan pemberitaan itu,
tentu Arjuna akan rela melepas anaknya untuk berjodohan dengan Dewa Serani,"
jawab Bethara Guru ringan.
"Kalau Arjuna nggak rela melepas anaknya, terus bagaimana?"
"Kakang Narada tak usah kawatir. Saya telah
perintahkan Dewa Serani untuk memusnahkan Arjuna sekalian."
"Holly Crap!!!" teriak Bethara Narada.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (23)
"For what is man profited,
if he shall gain the whole world,
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
and lose his own soul?"
---Matthew 16:26 Bethara Narada kaget bukan main mendengar keterangan Bethara Guru. Tindakan
bekas rajanya memberi restu kepada Dewa Serani, untuk menghabisi Arjuna bukan
saja membahayakan, namun juga mengkawatirkan.
Besar sekali perubahan yang terjadi pada diri Bethara Guru, pikir Patih Narada.
Dulu, ketika baru pertama kali terpilih sebagai raja, seluruh rakyat Jonggring
Saloka mengelu-elukannya. Ia disambut dengan optimisme. Menjadi harapan akan
terjadinya perubahan pada segala bidang di kerajaan itu. Perubahan seperti itu
memang benar terjadi, tapi ternyata cuma sesaat.
Dan sekarang, bukan saja keputusan-keputusannya mengandung semangat negatif,
bahkan terkadang kontroversial. Dan itu biasanya dilakukan tanpa berembuk dulu
dengan para rekan maupun bawahannya.
Dari sikap itu saja sudah terlihat bahwa Bethara Guru semakin menjadi individu
yang arogan. "Wah, beribu maaf Adi Guru," kata Patih Narada. "Tapi saya kira tindakan yang
Adi Guru lakukan tadi itu salah. Ingat, Adi Guru sekarang ini sudah bukan raja
disini lagi. Bukankah sekarang ini Adi Guru hanya berkedudukan sebagai
penasehat?" Mendengar kritik itu, Bethara Guru seperti tersentak sadar. Namun kesadaran yang
terlambat: "Jadi, apa tindakan saya kali ini keliru lagi, kakang Narada?"
"Ya, keliru lach yauuuwww......" kata Patih Narada kesel. "Wah, kalau Kuncoro
Manik tahu, belum tentu ia akan setuju dengan tidakan Adi Guru barusan tadi.
Boleh jadi malah marah."
"Lalu, saya musti bagaimana, kakang Narada?" tanya Bethara Guru.
"Ya, silahkan saja ditindak lanjuti. Pokoknya saya nggak ikut-ikutan lah," kata
Patih Narada dongkol. Ia sendiri sedang puyeng memikirkan tugas yang dibebankan
padanya oleh Prabu Kuncoro Manik. Penguasa baru itu telah memerintahkannya untuk
memanggil Prabu Bethara Kresna ke khayangan. Walaupun kedengarannya mudah, namun
ia tahu kenyataannya bakal berlainan.
Prabu Kresna bukan orang sembarangan. Ia titisan Dewa Wisnu, dewa kebahagiaan,
yang amat disegani oleh para dewa sendiri karena kebijaksanaannya.
Raja Dwarawati itu dijuluki Andeng-Andeng Jagat alias Tahi Lalat Jagat.
Kesaktiannya benar-benar tiada tandingan. Senjata pusakanya banyak. Yang
terkenal diantaranya Kembang Wijaya Kusuma. Setangkai kembang yang mampu
menghidupkan orang mati. Selain itu masih ada Cakra, panah tanpa busur. Panah
sakti itu mampu merontokkan sukma lawannya. Selama ini tak ada yang kuat menahan
gempuran senjata itu, bahkan para dewa sekalipun.
"Wah, urusan saya sendiri gampang-gampang susah," kata Patih Narada. "Entar
kalau udah sampai Dwarawati saya yakin urusannya kan bakalan kusut...."
"Sudah, kakang Narada tak usah terlalu kawatir dengan tugas yang terbeban saat
ini. Apapun hasilnya saya akan ikut bertanggung jawab." Bethara Guru mencoba
meyakinkan. Tapi yang diyakinkan nampak ragu.
"Yah udah, gini aja deh," kata Patih Narada. "Adi Guru silahkan tinggal di
istana saja. Biar saya dan para dewa, serta pasukan khayangan turun ke bumi.
Berhasil tidaknya tugas saya, itu urusan nanti."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (24)
Pagi itu cerah. Mentari sedang memanja bumi dengan sinarnya. Langit biru tak
berawan menjadi latar belakang warna Astinapura, ibukota kerajaan Astina.
Di istana sedang terjadi kesibukan. Walaupun hari itu bukan 'hari pasowanan'
(hari-hari yang telah ditentukan bagi para bangsawan untuk menghadap raja),
namun para pejabat diharuskan menghadap.
Astina adalah negri yang kaya dan sering disebut orang: sorga di dunia. Tanahnya
subur hasil muntahan lahar dan abu gunung berapi. Pepohonan rimbun menghijau
dengan aneka ragam buah-buahan.
Kembang-kembang berbagai warna memancar menyongsong fajar. Meniupkan aroma
bahagianya kehidupan. Segalanya melimpah di negeri katulistiwa itu. Termasuk air yang memancar dari
tanah tak ada habisnya. Air itu bening dan manis rasanya. Mampu mengobati bukan
hanya dahaganya raga, namun juga jiwa.
Fauna berbagai jenis, baik yang liar maupun yang dipelihara, hidup sehat dan
gemuk. Sedangkan di lautan ikan melimpah ruah sampai tak muat dijala.
Namun sayang, kekayaan alam Astina yang melimpah itu tidak mampu dimanfaatkan
untuk kesejahteraan seluruh penduduknya. Hanya para elit kekuasaan, orang kaya
yang punya koneksi dan kaum bangsawanlah yang berkenan menikmatinya.
Rakyat yang bodoh, tak memiliki sarana untuk mengembangkan hartanya, bukannya
ditolong tapi malah makin dibodohi. Kreativitas mereka terhambat, atau bahkan
terkadang sengaja dihambat oleh tangan-tangan jahil para oknum penindas.
Di negeri yang kaya itu, para pemimpin hanya pintar berteriak-teriak untuk
kepentingan posisi, baik diri sendiri maupun kelompoknya. Mereka tak mampu
memberi contoh yang baik. Sehingga yang muncul adalah rakyat yang mencontoh
pemimpinnya sebagai koruptor, oportunis dan hipokrit. Agama dikedepankan, tapi
relegiositas mengalami kemunduran besar.
Para elit kekuasaan di negeri Astina berkuasa untuk kepentingan pribadi masing-
masing. Rakyat hanya dijadikan obyek, yang kalau sudah tidak berguna, diabaikan.
Bagaikan tebu, habis manis sepah dibuang.
Para penguasa dan wakil rakyat, yang seharusnya merupakan abdi masyarakat, malah
menjadi majikan masyarakat. Buat mereka, rakyat hanyalah buruh, budak dan
bedinde. Yang tenaga dan jiwanya bisa seenaknya mereka hisap untuk melanggengkan
kekuasaan. Pendidikan nasional, yang seharusnya mampu
menghasilkan pemimpin-pemimpin masa depan, akhirnya hanya berhasil mencetak kaum
robot. Mesin tanpa rasa iba.
Dunia pendidikan ini bahkan masih sering digunakan sebagai tempat menggarap
kepentingan pribadi maupun kelompok. Dari hasil garapan ini, munculah perubahan
diri menjadi manusia-manusia bermental preman. Yang lebih senang mengandalkan
kekerasan dan tawuran ketimbang menggunakan otak.
Adapun raja yang berkuasa di negeri Astina, saat ini adalah Prabu Duryudana.
Yang berjuluk pula Prabu Joko Pitono, atau Prabu Gendariputra. Anak Prabu
Destarata dan Dewi Gendari. Ia anak pertama dari seratus bersaudara. Mereka ini
disebut wangsa Kurawa. Ketika semua pejabat dan bangsawan telah berkumpul di paseban, tak berapa lama
kemudian, Prabu Duryudana berkenan keluar. Pakaian kebesarannya dari kain sutera
keemasan, berkilauan tertimpa cahaya siang. Ia dikawal prajurit-prajurit wanita
pilihan yang cantik-cantik mempesona. Mereka ini bertugas menjaga keselamatan
sang raja. Setelah duduk di singgasananya, sang raja kembali tenggelam dalam lamunannya.
Diam seribu basa. Seperti ada sesuatu permasalahan pelih yang tak mudah di
pecahkannya. Melihat pemandangan itu, para kawula hanya mampu duduk menunggu dan berdiam
pula. Karena pantang bagi mereka untuk bicara sebelum sang raja berkenan
terlebih dahulu bicara. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (25)
Suasana di Paseban Agung istana kerajaan Astina masih sepi seperti di kuburan.
Suara-suara lalat yang berterbangan sungguh terdengar dengan nyata. Binatang
sampah itu mencari bau-bau aneh di sekitar mereka. Bau keringat para bangsawan
yang belum mandi karena takut terlambat menghadiri pertemuan. Bau tengik
keringat manusia katulistiwa yang bercampur dengan
parfum-parfum mahal bikinan Paris.
Para bangsawan masih duduk terpekur menunggu sabda rajanya. Jangankan bersuara,
bahkan bergerakpun tak ada yang berani. Tidak patut menurut etika istana.
Sehingga jidat mereka yang basah berkeringat segera jadi tempat bermain dan
berpacaran lalat-lalat kurang ajar.
Ada nama-nama besar yang saat ini sedang duduk di hadapan Prabu Duryudana,
maharaja kerajaan Astina.
Mereka, para pejabat dan bangsawan terpandang ini, diantaranya: Patih Sengkuni,
Begawan Drona, Prabu Karna, dan Raden Kartomarmo. Mereka adalah orang-orang
terdekat dan kepercayaan raja.
Para bangsawan ini masing-masing punya keahlian maupun kesaktian. Mereka cukup
disegani oleh rakyat Astina.
Tapi sayang, sifat-sifat mereka yang buruk sudah terkenal pula di manca negara.
Sehingga orang segan, dan bahkan takut berurusan, karena setiap kata yang
meluncur dari mulut mereka itu, ibarat semburan berancun seekor ulah kobra.
Ada pula diantara orang-orang pilihan raja ini yang memiliki kharisma. Namun
kharisma itu akhirnya hanya digunakan untuk kepentingan diri sendiri maupun
kelompoknya. Dengan kharisma itu mereka menjual idealisme dan cita-cita semu.
Dengan kharismanya itu mereka ingin tetap berkuasa. Karena dengan berkuasa
seseorang bisa punya 'privelege', disanjung-sanjung dan dipuja-puja.
Duduk paling depan adalah patih kerajaan Astina, Patih Sengkuni. Waktu masih
muda panggilannya Raden Haryo Suman. Ia adik Dewi Gendari. Sehingga dengan
demikian ia adalah paman kandung Prabu Duryudana sendiri.
Patih Sengkuni berasal dari kerajaan kecil Peloso Jenar. Ia tipe bangsawan yang
hipokrit. Mampu bersikap ramah pada siapa saja sehingga orang akan senang
kepadanya. Namun, sikap ramahnya itu bagaikan sarang laba-laba. Orang yang sudah
merasa lekat sulit untuk melepaskan diri, sebelum akhirnya dimangsa.
Selain itu, Patih Sengkuni tak segan-segan
menghancurkan reputasi siapapun, bahkan mereka yang dekat dengannya sekalipun.
Memang kesaktiannya tidak seberapa, namun kata-katanya tajam beracun. Dengan
kata-katanya, ia mampu merubah karakter seseorang yang memiliki sifat malaikat,
menjadi seperti bersifat setan. Ia manipulator yang tangguh.
"Paman, Paman Haryo. Aku lihat para perisai kerajaan Astina, sudah pada datang,"
kata Prabu Duryudana tiba-tiba tersadar dari lamunannya.
"Yyy..ya bagaimana" Em..ya Anakprabu?" jawab Patih Sengkuni agak terkejut.
Kemudian segera membetulkan letak duduknya. Setelah itu dengan iringan sembah
yang kelihatan sekali menjilat berkata: "Apakah Anakprabu sudah berkenan
bersabda" Kalau sudah, silahkan Anakprabu berkenan menyapa mereka."
Prabu Duryudana segera menyapa satu per satu. Dimulai dari gurunya, Begawan
Drona, seorang pendita sakti.
Rohaniwan yang cukup disegani dimana-mana dan telah lama mengabdi pada keluarga
Astina. Ia bukan saja guru para wangsa Kurawa, namun juga wangsa Pandawa sebelum
mereka terbuang dalam pengasingan.
Ilmunya banyak, baik ilmu perang, perkelahian, maupun ilmu kanuragan. Wawasannya
yang luas cukup disegani kawan maupun lawan. Dan ia bangga karena punya titel
sekolahan dari berbagai mancanegara.
Namun sayang, Begawan Drona lebih cenderung suka pada hal-hal yang menyangkut
keduniawian. Karena itu, ia lebih sering terlihat berada di lingkungan
kekuasaan, ketimbang di padepokan, sanggar tempat ia mengajar.
Dan iapun lebih menghormati orang yang punya jabatan, pangkat, kekayaan dan
titel, ketimbang rakyat jelata maupun para umat pengikutnya.
Setelah itu Prabu Duryudana menyapa Adipati Karna.
Raja kerajaan Awangga ini telah lama mengabdi pada keluarga Kurawa. Dan karena
loyalitasnya yang tinggi, serta kesaktiannya yang mumpuni, maka ia mendapat
jabatan penting di kerajaan Astina. Sayang kesatria yang tangguh dan juara dunia
memanah ini punya sifat buruk. Ia seorang yang temperamental, emosian.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (26)
Melihat kedatangan orang-orang dekatnya, Prabu Duryudana nampak lega. Walau
terkadang masalah yang sulit sering dipecahkannya sendiri, namun kali ini ia
perlu minta bantuan orang lain. "Mungkin Bapa Begawan Dorna bertanya dalam hati,
kenapa saya panggil sekarang ini. Untuk itu saya minta maaf."
"Ooo, tidak perlu paduka minta maaf pada saya," kata Dorna penuh hormat. "Justru
saya berterima kasih karena paduka sudi memanggil saya. Orang tua ini, telah
siap menerima perintah baginda. Mohon ampun.
Kiranya ada persoalan apa hingga paduka memanggil saya"
"Apa saat ini paduka ingin memperdalam ilmu-ilmu lahir maupun batin" Apa paduka
ingin belajar ilmu-ilmu spiritualitas, kerohanian, maupun ilmu kanuragan" Atau
paduka ingin belajar ilmu hitam seperti: sant?t"
p?l?t" babi ng?p?t" sihir" belut putih" jaran goyang"
Atau paduka ingin menambah susuk di badan supaya para c?w?k makin tergila-gila?"
"Bapa Dorna, bukan itu yang saya inginkan..."
"Hm, bukan itu" Kalau begitu apa baginda ingin memperdalam ilmu peperangan"
Ingin mempelajari stategi perang Sun Tzu" Genghis Khan" Sudirman" Tommy Frank"
Atau ingin memperdalam ilmu perkelahian?"
"Bukan, Bapa Drona. Mungkin lain kali saja saya minta pelajaran ilmu-ilmu itu."
"Oh, silahkan. Pokoknya kapan saja paduka membutuhkan, saya siap sedia
membimbing. Paduka tinggal memanggil saya, " kata Begawan Drona. Pendita elit
itu memang selalu ingin tampil sebagai seorang rohaniwan yang sakti, cerdas, dan
punya wawasan luas dalam berbagai hal.
Setelah diam beberapa saat, Prabu Duryudana berkata:
"Begini, Bapa Begawan. Saya bingung mengurai arti mimpi, yang saya dapat
beberapa waktu lalu. Saya sudah berusaha mengurai arti mimpi itu dengan
menggunakan berbagai macam buku primbon, bikinan dalam maupun luar negri. Tapi
tetap nggak ketemu..."
"Ooo, cuma persoalan mimpi toh. Tak perlu kawatir,"
kata Drona dengan sombong. "Bagaimana jalan cerita mimpi paduka itu" Coba, nanti
biar saya uraikan artinya."
Prabu Duryudana mulai menceritakan kisah dalam mimpi itu: Saat itu Prabu
Duryudana dan permaisurinya, Dewi Banowati, dengan iringan seluruh keluarga
besar Kurawa sedang piknik ke pantai Ancol. Tiba-tiba datang ombak besar menuju
arah mereka. Warna ombak lautan yang biru itu tiba-tiba berubah menjadi merah,
serupa warna darah. Ketika sudah dekat, ombak darah itu muncrat seperti ingin melunturkan kecantikan
dan keelokan Dewi Banowati. Melihat kejadian itu, Prabu Duryudana tertegun
dengan perasaan marah dan kesal. Namun tak mampu berbuat apapun. Sehingga yang
timbul hanyalah rasa sesal yang mendalam. Tak lama kemudian, air darah itu
berubah menjadi air yang bening. Di dalam air itu muncul bayangan wajah dua
orang keluarga Pandawa, yaitu Arjuna dan Bima.
"Ohhh, begitu toh. Mimpi bagus itu. Mimpi siiipp.."
kata Begawan Dorna dengan mimik meyakinkan. Ia tahu, sebagai seorang rohaniwan
yang disegani, dan sebagai penasehat spiritual yang mumpuni, kata-katanya di
dengar oleh semua orang di Astina, termasuk oleh sang raja. Biarpun begitu,
dalam hati kecilnya ada sedikit keraguan akan ucapannya sendiri kali ini.
"..hmm..jadi...arti mimpi baik, Bapa Begawan?" tanya Prabu Duryudana.
"Siip..eh, baik, paduka. Jangan kawatir. Begini: Ombak itu melambangkan
kejadian. Darah itu merah, dan merah itu artinya suka atau senang. Jadi akan ada
kejadian yang mampu memberikan rasa senang atau suka pada diri paduka.
"Sedangkan Dewi Banowati terkena ombak artinya, ia akan menjadi sumber
kegembiraan dan kesukaan paduka.
Ia akan melahirkan anak-anak, pangeran-pangeran dan putri-putri yang akan
menjadi generasi penerus tahta Astina. Dan arti mimpi terakhir, air keruh
menjadi air bening, artinya kerajaan Astina, akan memancar dan jaya di bawah
kekuasaan Prabu Duryudana."
"Lalu, para saudara Pandawa yang muncul dalam air bening itu" Arjuna" Bima?"
tanya Prabu Duryudana penasaran.
"Alaaahhh, Arjuna dan Bima itu kan cuma pada iri hati aja. Mereka sirik. Nggak
boleh lihat saudaranya berkuasa, bawaannya ngintip-ngintip kesenangan orang aja.
Pokoknya paduka nggak usah kawatir. Kita punya banyak kesatria yang bisa
diandalkan, kalau memang ada yang mencoba mengancam negara ini. Kita juga punya
banyak sekutu yang siap membela," kata Drona bangga.
Terlalu percaya diri. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (27)
Tiba-tiba Adipati Karna menyembah kepada Prabu Duryudana. Lalu, ia berkata
dengan gagah: "Hamba harap paduka tak perlu merasa kawatir. Jika memang ada
musuh yang mengancam negeri ini, biarlah mereka berhadapan dengan saya!"
"Hmmm, terima kasih kakakku Karna," jawab Prabu Duryudana, senang melihat
loyalitas senapatinya. Saat suasana paseban kembali hening, datanglah kepala pengawal istana dengan
tergopoh-gopoh. Ia menyembah hingga mukanya mencium tanah. Setelah itu melapor:
"Ampun paduka. Seorang pandita kampung nekat ingin bertemu dengan paduka...."
Belum sampai selesai pengawal itu melapor, tiba-tiba muncul seorang pandita
berpakaian sederhana. Namun pada sosok yang sederhana itu seperti terpancar
kekuatan dahsyat yang tersembunyi. Hanya orang-orang yang berilmu tinggi yang
dapat merasakannya. Ketika sampai di hadapan Prabu Duryudana, sang pandita segera menghaturkan
sembah sebagaimana layaknya seorang kawula menyembah pada raja. Baru kemudian ia
duduk dengan tenang. Pada wajahnya tak ada tergambar kegentaran sedikitpun.
Suasana di paseban tiba-tiba diselubungi kegelisahan.
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah-wajah mangkel campur marah mewarnai wajah-wajah para bangsawan maupun
pejabat kerajaan. Tapi belum ada yang berani berkata sepatahpun mendahului
rajanya. Mereka cuma bungkan, sambil sesekali melirikkan mata curiga dan sengit kepada
tamunya. "Ampun paduka. Tadi tamu ini di pintu gerbang kerajaan...." Belum sampai kepala
pengawal itu menyelesaikan kalimatnya, ia telah mendapat lambaian tangan sang
raja. Pertanda ia harus segera
meninggalkan tempat itu. Maka, sambil mengangkat sembah berkali-kali, pengawal
itu mengundurkan dirinya. Hilang kebalik gerbang.
"Kalau tidak salah penglihatanku, dihadapanku ini ada seorang pandita. Engkau
ini siapa dan dari mana asalmu?" tanya Prabu Duryudana keheranan.
"Paduka yang mulia, saya mengucapkan sembah ke hadapan paduka. Kedatangan saya
ke Astina untuk mengabarkan bahwa di khayangan Jonggring Saloka telah ada
penguasa baru, bernama Prabu Kuncoro Manik. Adapun Sang Hyang Bethara Guru, saat
ini telah turun tahta, dan kedudukannya hanyalah sebagai penasehat kerajaan."
"Hmmm...lalu engkau ini siapa?" tanya Prabu Duryudana semakin bingung.
"Saya adalah pandita utusan khayangan. Nama saya Begawan Pulasara."
"Hmm, ya..Begawan Pulasara. Lalu, ada keperluan apa engkau datang kemari?"
"Mohon ampun paduka, jika ada kata-kata saya nanti yang mungkin salah. Pertama,
saya ingin menyampaikan salam Prabu Kuncoro Manik kepada paduka. Kedua, adapun
maksud kedatangan saya sebenarnya ke negeri Astina ini, karena diutus untuk
memboyong permaisuri paduka, Dewi Banowati. Alasannya, karena Dewi Banowati
ingin dijadikan bidadari di khayangan."
Seketika itu pula suasana di paseban ribut. Bagai lebah mendengung, para pejabat
dan bangsawan istana berguman satu dengan yang lain menyatakan kekagetan dan
keheranannya. Sementara itu Prabu Duryudana merah padam mukanya menahan amarah.
Tiba-tiba Adipati Karna menyembah rajanya sambil berteriak: "Panc?n ?dan (memang
gila)! Mohon maaf paduka. Boleh atau tidak boleh, saya ingin minta ijin paduka.
Saya yang akan menjawab permintaan pandita ini!"
"Ya, silahkan kakakku Karna..." kata Prabu Duryudana yang sudah mengetahui
temperamen senapatinya. "Begawan Pulasara! Ketahuilah, aku Adipati Karna, senapati negara ini," kata
Karna sambil mengepalkan tinju di dadanya.
"Ya, bagaimana tuan Adipati?" tanya Begawan Pulasara tenang.
"Nah, ketahuilah juga, bahwa baik buruknya keadaan negara ini menjadi tanggung
jawabku. Karena permintaanmu untuk memboyong permaisuri Dewi Banowati berhubungan dengan baik
buruknya keadaan negara ini, maka tanggung jawabku jugalah yang akan memutuskan
permintaanmu itu. "Lalu, keputusan tuan Adipati?"
"Saat ini aku belum bisa memutuskan. Keluarlah! Tuggu aku di luar! Akan aku
beritahukan keputusanku nanti di luar!"
"Baik jika demikian tuan Adipati. Saya akan menunggu tuan di halaman luar."
Lalu, Begawan Pulasara menyembah pada Prabu Duryudana. "Hamba mohon pamit dulu,
paduka." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (28)
Ketika tamunya sudah keluar, suasana paseban kembali gaduh. Dengung suara bagai
seribu lebah yang sedang marah. Tapi begitu tangan Prabu Duryudana terangkat
keatas baru suasana menjadi tenang.
"Mohon ampun, paduka," kata Adipati Karna sambil mengangkat sembah. "Saya telah
ceroboh mendahului paduka, karena tak mampu menahan emosi. Keinginan pendita
tadi untuk memboyong permaisuri Dewi Banowati, saya anggap sebagai sebuah
penghinaan. Bukan hanya penghinaan terhadap paduka, tapi juga bagi seluruh
penduduk Astina." Prabu Duryudana nampak limbung: "Bagaimana pendapat Bapa Begawan Dorna?"
"Apa yang dikatakan 'nak Adipati Karna betul, paduka.
Saya kira kalau tadi didiamkan, bukan cuma sampai disitu saja permintaannya.
Bahkan kewibawaan paduka bisa ikut diinjak-injak," jawab Drona mantap. Ia diam-
diam masih memendam rasa kesal terhadap tingkah laku pendita kampung tadi.
Sebagai seorang pendita jet-set, ia tersinggung karena tidak dipandang sebelah
mata sedikitpun. "Kalau begitu, apa rencana kita selanjutnya?" Kali ini raja Astina itu benar-
benar seperti kehabisan akal.
"Mohon maaf, paduka," kata Adipati Karna sambil menyembah. Kali ini ia seperti
merasa mendapat lampu hijau. "Pandita itu nanti akan saya suruh pulang. Jika
tidak mau, maka akan saya paksa. Mohon Bapa Begawan Dorna ikut mengamat-amati
tindakan saya dari jauh."
"Oh, jangan kawatir 'nak Adipati. Saya akan ikut amat-amati," jawab Dorna penuh
keyakinan. Walau tidak begitu kawatir, ia tetap merasa perlu waspada.
Dengan iringan sembah, Prabu Duryudana beranjak dari singgasananya. Setelah raja
agung yang kurang punya pendirian itu masuk ke dalam, terjadi kesibukan di
paseban. Para bangsawan dan pejabat Astina mulai mempersiapkan strategi untuk
mengusir tamunya. Begitu ada kata sepakat, mereka beramai-ramai segera menuju ke
halaman istana. Adipati Karna maju sendirian meninggalkan rombongan, ketika mereka tiba di pintu
gerbang. Yang lainnya menunggu sambil mengamati-amati dari jauh.
"Adipati Karna, kamu memang memiliki sikap kesatria.
Tidak lama aku menunggu, rupanya kamu segera keluar,"
kata Begawan Pulasara pada kesatria di hadapannya.
"Kurang ajar. Rupanya sekarang hilang sopan santunmu, ya," kata Adipati Karna
yang merasa disepelekan. Padahal di dalam tadi, pendita ini begitu
menghormatinya. "Orang yang minta selalu dihormati itu biasanya orang yang gila hormat. Orang
yang minta selalu disanjung-sanjung itu biasanya orang ambisius yang gila sanjungan. Nah, sekarang
pokoknya terserah kamu deh. Aku tunggu jawabanmu."
"Hei, rohaniwan tengik! Kamu nggak usah berlagak jagoan. Karena sebentar lagi
kamu bakalan tahu akibatnya. Ketahuilah, aku akan serahkan permaisuri Dewi
Banowati kalau kamu sanggup melangkahi mayatku."
"Adipati Karna," kata Begawan Pulasara sambil tersenyum. "Kamu bakal menyesal
berkata begitu." "Bangsat! Sini tak injek-ijek jadi tempe kamu.
Hiyyaaatttt!!" Adipati Karna meloncat menerkam lawannya. Seluruh tenaganya
dihimpunnya dalam pukulan dahsyat yang terarah pada musuhnya. Angin pukulan itu
menderu. Begawan Pulasara yang kecil perawakannya, masih berdiri dengan tenang. Kuda-
kudanya ia mantapkan. Tangan kirinya ditariknya kesamping dengan telapak yang mengepal. Sedangkan
tapak tangan kanannya yang terbuka dimajukannya menyambut pukulan musuh.
"Brakkk!!" Bunyi pukulan yang bertemu itu mirip tukang es nabrak tong sampah.
Adipati Karna mental terkena pukulan balik lawan.
Badan yang terpental itu salto beberapa saat di udara, sebelum akhirnya mendarat
bagaikan seekor elang hinggap di pucuk pepohonan. Walaupun demikian dadanya
terasa sesak. Begawan Pulasara membetulkan kembali letak
kuda-kudanya. Ketika beradu pukul tadi badannya sempat bergeser sedikit
kebelakang. Namun tidak terpancar rasa sakit sedikitpun pada wajahnya. Ia cuma
tersenyum. "Kurang ajar! Ciiiaaattt!!" Adipati Karna kembali meloncat menerkam musuhnya. Ia
kini tidak mau mengambil resiko mengadu tenaga dalam lagi. Ia keluarkan jurus
baru, Ombak Tangkubanprahu. "Ciatt!!"
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (29)
Jurus Ombak Tangkubanprahu yang dimainkan Adipati Karna memang hebat. Jurus itu
telah dipelajarinya selama puluhan tahun. Pukulan jarak dekatnya membahayakan.
Dan setiap sabetan tapak tangannya bagaikan sabetan dayung yang memecah air.
Begawan Pulasara mencoba bertahan. Namun ia nampak kurang lincah. Di tengah-
tengah serangan musuhnya, tubuhnya bagaikan seekor kecebong yang
terombang-ambing di air comberan. Sementara lawannya terus mendesak membabi-
buta. "Aduhhh!!" Tiba-tiba Adipati Karna memekik sambil meloncat mundur dari
gelanggang. Sekujur tubuhnya terasa kesemutan seperti baru saja mendapat tagihan
dari PLN. Wajahnya berubah pucat. Maka, secepatnya ia bersemadi untuk menguasai
diri kembali. Patih Sengkuni mendekatinya: "Lho, 'nak Adipati, sampeyan kok mundur kenapa?"
"Wah, paman Sengkuni. Ternyata pendita itu memang sakti. Pukulan saya tidak
dirasakannya. Malahan begitu dia tiup tengkuk saya, nggak tahu gimana, tubuh
saya langsung meriang..."
"Lha, terus gimana dong" Di pihak Kurawa, ya cuma sampeyan yang bisa jadi
andelan. Nggak ada lagi," kata Patih Sengkuni agak kawatir. Tapi akalnya segera
jalan. "Kalau sampeyan nyerah, berarti permaisuri Dewi Banowati bakal kena
boyong. Lha, apa nggak sedih Prabu Duryudana nanti?"
Ternyata kipasan kata-kata itu manjur. Adipati Karna mulai mengeluarkan senjata
pusaka andalannya. Sebuah panah sakti. Made in Jonggring Saloka, bukan made in
China. Kabar burung bilang bahwa pusaka sakti itu hasil curian dari gudang
senjata para Dewa. Apakah ada permainan dengan petugas" Tak ada yang tahu juga.
"Sudah, paman nggak perlu kawatir. Sebentar lagi pendita itu bakal jadi bubur."
Patih Sengkuni mundur beberapa langkah. Ia memang belum pernah melihat Adipati
Karna menggunakan senjata pusakanya. Tapi dari cerita mulut ke mulut, ia dengar
bahwa senjata yang dinamai Konta itu sangat ampuh. Tak pernah ada satu
mahklukpun yang mampu lolos
hidup-hidup ketika jadi sasarannya. Bahkan kutu di kepala.
Adipati Karna, juara panah Olympic, membidikkan Konta tepat ke dada lawan.
"Woozzzz!!" Senjata sakti lepas dari busurnya. Bunyinya terdengar mirip peluru
kendali Stinger. "Zduuueerr!!" Bunyi senjata tepat mengenai sasarannya.
Ledakannya memekakkan telinga. Warga Astina bersorak gembira di pinggir
lapangan, termasuk Patih Sengkuni menyunggingkan senyum kemenangan. Kumisnya
yang tipis mirip pisau yang hendak mengiris bawang. Baru kali ini ia melihat
dengan mata kepala sendiri keganasan senjata Konta.
Beberapa saat kemudian, kegembiraan para penonton lenyap. Berubah jadi
kengerian. Ternyata musuhnya masih hidup. Bahkan terlukapun tidak. Cuma
menggaruk-garuk dadanya seperti habis tertabrak kecoak.
"Hah" Lo, sampeyan kenapa 'nak Adipati?" tanya Patih Sengkuni kembali
menghampiri Karna. Begawan Dorna ikut dibelakangnya. Mereka berdua nampak heran
melihat Senapati Astina jatuh terduduk lemes tanpa daya.
"Maafkan saya, paman. Tenaga dan kesaktian saya tiba-tiba seperti lenyap," kata
Adipati Karna sambil mencoba bangkit. Tapi kemudian oleng dan kembali jatuh.
"Seperti ada kekuatan yang menyedot tenaga dan kesaktian saya, paman."
"Wah, kacau nih kalau begini." kata Patih Sengkuni.
Lalu, pada Begawan Dorna ia bilang: "Gimana nih, kakang Dorna. Kalau 'nak
Adipati kalah, mau nggak amu, sampeyan andalan terakhir. Saya pengen lihat apa
memang pengakuan sampeyan di depan Anakprabu Duryudana sebagai pendita serba
bisa tadi bener. Kalo nggak bener, mendingan mutasi aja ke padepokan di pelosok
terpencil." Sesungguhnya bukan karena ancaman Patih Sengkuni yang menyebabkan Begawan Dorna
ingin segera meringkus lawannya. Tapi karena ia ingin menunjukkan, bahwa tidak
sia-sialah selama ini Prabu Duryudana memilihnya sebagai rohaniwan andalan
kerajaan. Pendita yang didengar setiap katanya. Bahkan fatwa-fatwanya dituruti
orang. Ia tidak ingin prestise-nya turun.
"Begawan Pulasara!" teriak Dorna. "Kamu tahu kan siapa saya" Lebih baik
Raden Banyak Sumba 2 Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah Tokoh Besar 1
KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA
Prolog: Cerita wayang kontemporer berikut ini telah saya coba bangun kembali dalam
beberapa bulan terakhir ini.
Idenya datang saat saya mendengarkan kaset wayang berjilid dengan judul:
Antasena Gugat, yang dimainkan oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Untuk mereka yang
telah menunggu-nunggu maupun bertanya, terutama Pak Irwan Boediharjo, Pak
Harjanto Djunaidi, dan Astari, maka inilah hasilnya. Semoga anda bisa puas.
KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (1)
Buat: Anastasia Listiawan
Siapa tak mengenal Bethara Guru" Raja para dewa ini bertahta di Jonggring
Saloka, negeri para dewa dan dewi. Ia adalah sosok dewa yang pintar dan
berwibawa. Ia dewa yang dermawan dan punya rasa humor yang tinggi, walau humornya bukan
humor kelas abang becak. Siapa saja yang ada didekatnya bukan hanya senang dan terhibur, namun juga
menaruh rasa hormat. Bethara Guru memiliki beberapa gelar, yang salah satunya adalah Sang Hyang Jagat
Nata, artinya dewa yang memiliki kekuasaan dalam menata kehidupan dunia.
Adapun dunia yang dikuasainya terdiri dari bagian: Jagat Inggil, dunia atas
(dunia para dewa), Jagat Madya, dunia tengah (dunia mahkluk halus), dan Jagat
Ngandap, dunia bawah (dunia para manusia).
Sang Hyang Jagat Nata juga punya beberapa gelar lainnya, yaitu: Sang Hyang Jagat
Pratingkah, Sang Hyang Udipati, Sang Hyang Milengis, Sang Hyang Manik Maya, Sang
Hyang Catur Buja (karena memiliki empat bahu dan empat tangan), Sang Hyang Randu
Wanda. Dengan berbagai macam gelar yang disandangnya itu, semakin sempurnalah
keberadaan Bethara Guru. Ia selalu menjadi contoh dan cermin bagi para orang tua
yang ingin anak-anaknya punya banyak gelar. Tidak peduli apakah gelar itu harus
dibeli. Dengan berbagai gelar yang disandangnya itu pula Bethara Guru makin dihormati
dan dikagumi dimana-mana.
Karismanya semakin memancar. Dan dengan karisma dan penampilannya saja, ia
seperti mampu memberikan rasa aman dan optimisme bagi para mahkluk yang
kebetulan berada di sekelilingnya.
Tentu saja keberadaan yang nyaris sempurna itu di dukung pula oleh penampilan
yang menajubkan. Contohnya: kalau pas lagi berpergian, ia selalu menunggang kendaraan
kesayangannya, yaitu seekor sapi sakti bernama Andini. Ia lebih suka naik
sapinya yang tanpa 'air-bag' maupun 'anti-lock brake system' itu, dari pada naik
mobil limosinnya yang anti peluru.
Nasehat keluarganya yang kawatir kalau ia kecelakaaan karena naik sapi, apalagi
tanpa sabuk pengaman (seat belt) tidak digubrisnya. Pernah di daerah Virginia ia
kena tilang gara-gara tidak 'bukle-up'.
Di pagi yang cerah itu, Bethara Guru memanggil para dewa bawahannya. Nampaknya
ada sesuatu urusan penting yang ingin ia bicarakan dengan para kawulanya itu.
Sudah sebulan ini negara Jonggring Saloka dilanda keresahan. Kawah Candradimuka,
yang sering disebut manusia sebagai Neraka Jahanam, menggelegak dan laharnya
menyembur-nyembur kian kemari. Bersama dengan itu, suasana tegang nampak
terlihat dimana-mana. Dewa dan dewi yang ditemui dijalan selalu bermuka masam
dan menampakkan sikap marah jika disapa. Gempa melanda seluruh negeri dan
mengakibatkan kerusakan hebat di sebagian negeri.
Suasana di dalam istanapun tak kalah kacaunya. Gempa bumi membuat rusak
Tamansari, yaitu taman yang menjadi kebanggaan negara Jonggring Saloka karena
keindahannya. Walau pembangunan kembali taman itu nantinya masih bisa dilakukan
selama masih mampu ngutang kepada World Bank dan IMF, namun cukup membuat resah
pemerintahan negara itu. Di negeri itu ternyata praktik korupsi, dan juga praktik kolusi serta nepotisme,
masih ada dimana-mana, tapi mereka sekarang tak bisa melakukannya seenaknya
seperti dulu. Maksudnya, mereka sekarang melakukannya dengan diam-diam dan
ngumpet-ngumpet. Ketika tiba di Paseban Agung, tempat dimana raja biasa menerima para
punggawanya, para dewa segera
menghaturkan sembah ke singgasana. Setelah itu mengambil tempat menurut hirarki
masing-masing. Dewa yang rendah pangkatnya, duduk dibelakang yang pangkatnya
lebih tinggi, dan begitu seterusnya.
Sudah empat jam ini Bethara Guru duduk termenung di singgasananya. Tidak ada
satu katapun keluar dari mulutnya. Walau begitu para bawahannya tidak ada yang
berani memulai berbicara. Mereka menunggu sabda raja.
Begitulah peraturan protokoler kerajaan Jonggring Saloka yang diterapkan dengan
ketat. Jika ada yang menyalahinya, konsekwensinya tidak langsung dirasakan pada
saat itu juga. Paling-paling besoknya pangkatnya turun, atau jabatannya dicabut.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (2)
Para dewa yang menghadap rajanya terpekur tanpa suara.
Duduk di barisan depan adalah Bethara Narada, sang patih Jonggring Saloka.
Walaupun sudah cukup tua umurnya, namun masih gesit tindakannya. Hal itu akibat
jamu galian Sehat Lelaki yang tenggaknya tiap pagi.
Juga jamu Pasak Bumi dan ramuan Jaran Goyang, tiap seminggu sekali.
Sang Narada yang memiliki perawakan pendek itu bukan hanya sakti, namun juga
bijaksana. Ia tak segan-segan memberi nasehat yang sejujurnya. Kritik dan saran
membangun. Bahkan terhadap rajanya, Sang Hyang Bethara Guru, sekalipun. Dan sang
raja telah hapal akan sifat patihnya.
Selain Patih Narada nampak hadir pula masing-masing Dewa Masno dan Dewa Sriyono.
Keduanya putra Bethara Guru sendiri.
Di Jonggring Saloka siapa yang tak kenal Dewa Sriyono.
Ia adalah Juru Catat kerajaan. Entah karena
pekerjaannya atau karena sifatnya, putra Bethara Guru yang satu ini paling suka
cari perhatian ayahnya. Tapi warga lain sering menyebutnya: cari muka. Ada
sesuatu yang disembunyikannya. Mungkin ia minta pindah jabatan. Atau mungkin ia
sangat berambisi diberi jabatan lain oleh ayahnya. Tak ada yang tahu persisnya.
Tidak seperti Dewa Sriyono, Dewa Masno lebih pendiam.
Ia jarang bercakap kalau tak perlu. Tapi biarpun pendiam, kesaktian dan
keberaniannya telah terkenal diseantero Jonggring Saloka. Para dewa yang lebih
tua sering memanggilnya: Si Rookie.
Angin bertiup semilir. Hari ini udara di Jonggring Saloka nampak cerah. Kemarin
ramalan cuaca di telivisi mengatakan bahwa tidak akan ada hujan. Para peramal
cuaca di kerajaan ini tidak perlu menggunakan peralatan radar Doppler yang
canggih untuk memantau keadaan cuaca. Karena mereka sendirilah pencipta cuaca
itu. Mereka adalah para dewa yang memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap
baik buruknya cuaca di jagat raya.
Semilirnya angin memberi sedikit nafas kelegaan.
Bersamaan dengan itu, sabda Bethara Guru pun mulai bergulir. Ia mulai menanyakan
khabar patihnya. Kemudian anak-anaknya, serta para hadirin yang hadir di tempat itu. Akhirnya,
semakin lengkaplah kesejukan suasana di pendopo Paseban Agung. Suasana yang
tadinya terasa tegang dan sesak, kini sudah mulai mengendur.
Ketika merasakan cairnya suasana itulah, pada gilirannya Bethara Narada bertanya
sambil menyembah: "Kalo saya boleh tanya, ada apa Adi Guru memanggil saya?"
"Kakang Narada. Sudah tiga bulan ini Jonggring Saloka dilanda keresahan. Kawah
Candradimuka menggelegak.
Laharnya menyembur-nyembur. Gempa bumi membuat terjadinya kerusakan dimana-mana.
Jika keadaan ini tidak segera ditangani, tentu akan merusak bukan hanya negeri
ini, namun juga seluruh jagat raya," kata Bethara Guru menampakkan
keprihatinannya. Setelah hening beberapa saat, Bethara Guru melanjutkan ucapannya. Namun untuk
kali ini cukup mengagetkan Patih Narada: "Apa kira-kira kakang Narada tahu
penyebab keadaan ini?"
"Mohon ampun, Adi Guru. Tapi apa itu namanya tidak keliru?" sanggah Patih
Narada. Melihat rajanya bingung pada sanggahannya ia melanjutkan: "Maksud saya
begini, paduka. Bukankah paduka penguasa seluruh Jagat Raya ini"
"Nah, kalau saya kan cuma patih. Biarpun umur lebih tua dan juga punya kuasa
untuk mengetahui keadaan, tapi bukankah saya tetap hanya seorang patih.
Padukalah yang memiliki kekuasaan atas Jagat Raya ini.
Karena itu, saya yakin tentu lebih mengetahui keadaan ketimbang saya. Apa bukan
seharusnya sayalah yang bertanya pada paduka, tentang penyebab keadaan ini?"
Jawaban Patih Narada yang 'to the point' itu cukup mengagetkan Bethara Guru.
Walaupun pahit namun mengandung kebenaran dari analisa yang tajam.
Tapi Bethara Guru masih berkelit sambil mencoba memberi gambaran yang
membingungkan pada keadaan yang sebenarnya: "Kakang Narada ini patih dan saya
adalah raja. Seorang patih harus mampu meraba jalan pikiran raja. Seorang raja
harus minta pendapat patih jika ingin membuat keputusan penting. Semua itu untuk
kebaikan jalannya pemerintahan. Nah, sekarang, apakah kakang Narada mampu
membaca jalan pikiran saya?"
"Ehemm, sebelumnya saya mohon beribu maaf, jika ucapan saya ini salah ataupun
terlalu lancang. Jika saya boleh menjawab, adapun yang mengakibatkan terjadinya
kekacauan di jagat raya ini, tak lain dari ulah Adi Guru sendiri," kata Patih
Narada. Kalimatnya menggigit. Pedas.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (3)
Jika raja lain, mendengar kalimat patihnya, kalimat yang mendekati tuduhan
seperti itu, tentu akan sangat murka dan menghukumnya. Namun, tidak demikian
halnya dengan Bethara Guru. Hubungannya dengan patihnya sudah seperti dua
bersaudara. Apalagi kerajaan Jonggring Saloka tanpa Patih Narada, ibarat sayur
lodeh tanpa santan. Tak bisa terbayangkan keadaannya.
"Nahh, sekarang berhubung sudah semakin terbuka, kebetulan sekali. Saya malah
ingin bertanya," kata Patih Narada. "Sebenarnya apa yang Adi Guru telah lakukan
hingga mengakibatkan bergolaknya Kawah Candradimuka" Karena tampaknya ada
tindakan paduka tidak didiskusikan dengan para dewa lainnya.
"Atau begini saja. Jika Adi Guru menginginkan jagat raya tenang kembali,
silahkan Adi Guru 'curhat' sedang punya problem apa, nanti biar semua dewa para
kawula ikut membantu menyelesaikannya. Tapi kalau Adi guru tak mau berterus
terang, ya...jangan harap jagat raya akan tenang kembali seperti sedia kala."
Bethara Guru nampak berpikir sejenak. Tawaran itu pahit rasanya. Tapi apa yang
dikatakan patihnya benar.
Lagi pula ia tak punya banyak pilihan. Saat ini, ia benar-benar membutuhkan
bantuan orang-orang kepercayaannya untuk menyelesaikan persoalan ini secepatnya. Agar keadaan jagat
raya yang gonjang-ganjing tidak berlarut-larut.
"Kakang Narada benar," kata Bethara Guru. "Jagat Mercapada ini kacau dan Kawah
Candradimuka bergolak karena ulah saya. Tanpa meminta pendapat dewa lainnya,
saya telah menghukum mati kepada titah, kepada seorang manusia. Titah itu ialah
Antasena. Padahal ia tak punya salah apa-apa...."
"hmmm.." guman Patih Narada. Padahal dalam hati ia bersorak: Nah, bener kan gua
bilang apa! Bethara Guru akhirnya mengakui juga, bahwa
terguncangnya jagat raya adalah akibat tindakannya. Ia telah menghukum Antasena
dengan menyeburkannya ke Kawah Candradimuka. Akibatnya, kini kawah itu
menggelegak dan membuih. Dan gempa bumi dahsyat susul-menyusul.
"Sebelumnya mohon maaf. Jika saya boleh tanya, apa sebenarnya yang menyebabkan
paduka menghukum Antasena?" tanya Patih Narada dengan penasaran.
Bethara Guru diam sejenak seperti sedang mencari-cari jawaban yang tepat dari
pertanyaan patihnya. "Begini, kakang Narada. Sebenarnya ada tiga sebab mengapa
saya menghukum Antasena."
"Tiga sebab" Antara lain?" tanya Patih Narada makin penasaran. Rasa penasaran
itu terutama didorong oleh keingin-tahuannya pada alasan boss-nya sampai bisa
menghukum orang yang tak bersalah. Karena tindakan itu sangat bertentangan
dengan sifat-sifat bijaksana boss-nya sebagai pemimpin selama ini.
"Pertama. Seperti kakang Narada ketahui, perang besar Baratha Yudha yang akan
datang, antara keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa, sudah tak bisa dihindari
lagi. Perang itu adalah perang yang menentukan eksistensi kedua belah pihak.
Nah, jika Antasena pada akhirnya dijadikan Senapati (jendral yang memimpin
peperangan) oleh pihak Pandawa, maka jalannya perang jadi tidak seimbang."
"lho, kenapa begitu, Adi Guru?"
"Kakang Narada kan tahu, Antasena itu adalah kesatria yang sakti. Ia mahkluk
yang tak mengenal rasa sakit, bahkan tak mudah untuk menemui kematian. Jika ia
oleh pihak Pandawa sampai dijadikan Senapati, bisa jadi pihak Kurawa akan tumpas
dan musnah seketika. Sedangkan di pihak Pandawa, yang seharusnya gugur di medan laga itu, akan tetap
hidup. Itu berlawanan dengan kodrat."
"hmm..ya. Terus?"
"Kedua. Antasena itu adalah satu-satunya titah yang tidak sopan. Ia tidak pernah
mau hormat dan menyembah pada saya. Padahal saya ini seorang raja. Penguasa
jagat raya. Sedangkan ia hanya manusia biasa. Apa itu namanya nggak kurang ajar.
Nah, jika hal ini didiamkan, saya yakin nantinya akan banyak manusia lain yang
mengikuti tingkah lakunya. Banyak manusia yang tidak menaruh hormat dan respek
pada saya lagi." "Lalu yang ketiga?"
"Kakang Narada tahu sendiri bahwa anak saya, Dewa Serani, tergila-gila pada
Jenokowati, sebelum Jenokowati dijodohkan dengan Antasena. Nah, jika Dewa Serani
sampai tidak bisa mendapatkan Jenokowati, ia pernah mengancam akan bunuh diri
nyemplung ke kali Ciliwung. Bahkan pernah di depan ibunya ia pernah ngancam mau
minum obat nyamuk cair Baygon. Nah, supaya Dewa Serani tak berbuat nekat, dan
supaya bisa lancar perjodohannya dengan Jenokowati, maka tidak ada pilihan lain
kecuali saya turuti kemauannya. Untuk itu saya musnahkan Antasena terlebih
dahulu." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (4)
Suasana di pendopo Paseban Agung kembali hening setelah Bethara Guru selesai
bicara. Raja Jonggring Saloka itu telah mencoba mengungkapkan alasan-alasannya
mengapa ia membunuh Antasena. Namun berbagai alasan yang diungkapkannya itu toh
tetap terasa janggal, terutama bagi patihnya, Bethara Narada. Namun patihnya
diam saja, walaupun dalam hati kurang menyukai tindakan rajanya.
Begitu pula dengan kedua anak Bethara Guru. Mereka berdua diam saja. Namun
masing-masing punya beda pandangan. Dewa Masno pandangannya tak beda jauh dengan
Patih Narada. Sedangkan Dewa Sriyono bersikap masa bodoh. Ia tak peduli apakah
tindakan ayahnya benar atau salah. Yang penting asal tidak merugikan dirinya.
"Mohon maaf, Adi Guru," kata Patih Narada tiba-tiba.
"Jika Adi Guru mulai bertindak sewenang-wenang seperti itu, berarti mulai hilang
pula sifat bijaksana Adi Guru. Ditambah jika Adi Guru sering bikin keputusan
sendiri tanpa minta pendapat para dewa bawahan. Dengan begitu, berarti para
bawahan itu sudah tidak diperlukan lagi. Sudah tidak ada gunanya lagi.
"Nah, kalau memang para bawahan tidak diperlukan lagi, ya silahkan saja bikin
keputusan sendiri dan menjalaninya sendiri. Tapi kalau Adi Guru masih mau
mendengarkan para bawahan, termasuk saya, maka saya akan mencoba membantah
argumentasi yang baru saja paduka ungkapkan."
"Maksud kakang Narada?" tanya Bethara Guru kurang mengerti..
"Maksud saya begini. Mungkin Adi Guru sendiri tahu, kodrat semua manusia sudah
tertulis di Kitab Kejadian Jonggring Seloka. Begitu juga dengan kodrat Antasena.
Dan kalau tidak salah, dalam kodratnya, Antasena itu telah sirna meninggalkan
dunia jauh-jauh hari, sebelum perang Baratha Yudha dimulai. Nah, apa mungkin
orang sudah mati kok bisa jadi Senapati di medan perang"
"Kedua. Antasena itu anak kesayangan para dewa.
Walaupun Antasena itu manusia yang nggak sopan dan tidak pernah memperlihatkan
rasa hormat, tapi sebenarnya ia manusia yang baik. Ia manusia yang memiliki jiwa
jujur dan suci. Ia bukan tipe orang yang dipermukaannya manis tapi di dalam
busuk. Selain itu, ia pun suka menolong sesamanya tanpa pamrih. Dan bahkan, ia
disukai oleh banyak orang yang telah mengenal sifat baiknya itu.
"Saya yakin Adi Guru pun tahu, Antasena itu orang yang hormat pada para dewa.
Tapi cara Antasena hormat dan menyembah dewa adalah dengan tindakkannya, bukan
cuma pakai omongan saja. Antasena nyembah para dewa bukan dengan cara
diperlihatkan ke orang-orang, supaya orang-orang tahu kalau dirinya suci. Tidak
seperti banyak orang-orang yang hipokrit.
"Orang hipokrit biasanya memang kelihatan berdoa kusyuk, tapi tahu-tahu
kelakuannya rusak. Suka memfitnah dan menjelek-jelekkan orang lain. Atau kusyuk
berdoa, tapi tahu-tahu main gasak atau menghancurkan milik orang lain. Itu semua
bukan tipenya si Antasena."
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar argumentasi patihnya, Bethara Guru tak mampu berkata-kata. Raja yang
berkuasa di jagat raya itu tak bisa berkelit. Semua yang terkandung dalam
argumentasi patihnya tak ada yang salah. Dan dalam hati ia pun membenarkan pula.
Bethara Narada melanjutkan: "Kalau saya boleh jujur, saya kira tindakan Adi Guru
itu cuma mau menuruti kemauannya Dewa Serani saja. Jadi kesalahan Antasena saya
kira tak usah dicari-cari, kalau memang perkiraan saya itu benar."
Suasana paseban sepi. Bethara Guru terdesak. Walaupun egonya sebagai seorang
raja yang sangat amat berkuasa cukup tinggi untuk direndahkan bawahan, tapi kali
ini ia tak punya pilihan lain. Egonya kalah. Ia tahu semua ini adalah obat bagi
penyelesaian kacaunya keadaan.
"Betul, kakang Narada. Saya cuma ingin menuruti kemauannya Dewa Serani..."
"Nahhh...gitu dong...semua kan bisa lega sekarang.
Mengakui kesalahan itu memang sulit dilakukan, Adi Guru. Ngaku salah, apalagi
terus minta maaf, bukanlah sebuah kekalahan. Itu ciri-ciri kebijaksanaan," kata
Bethara Narada mencoba memberi pengertian. Seolah-olah raja yang diajaknya
bicara adalah anak kemarin sore.
Sebenarnya Patih Narada tidak bermaksud memojokkan rajanya sendiri. Apalagi ia
sangat menghormati rajanya. Tapi biar bagaimanapun bijaksananya seorang raja,
kalau tidak mau belajar dari kesalahannya, sikap bijaksananya itu hanyalah
kekosongan belaka. Balok kosong (kartu gaple): kartunya sama besarnya seperti
yang lain tapi isinya nggak ada.. Dan patih Narada tidak ingin rajanya jadi raja
"balok kosong" "Tapi, kakang Narada," kata Bethara Guru tiba-tiba.
"Apakah tindakan saya menuruti kemauan Dewa Serani itu salah" Bukankah Dewa
Serani itu anak saya" Ada pribahasa: Anak bertindak, orang tua harus berani
tanggung jawab." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (5)
Bethara Guru masih mencoba mendebat patihnya. Biar nggak dibilang bodoh sebagai
pemimpin. Memang, sejak masih muda, ia terkenal tukang berdebat. Tapi debat
kusir. Terkadang, caranya berdebat malah bikin orang tambah bingung. Bahkan
hingga kinipun sikapnya itu belum berubah. Cuma patihnya saja yang tahu
bagaimana cara mendebatnya.
"Adi Guru benar. Anak berperilaku, orang tua harus berani bertanggung jawab,"
kata Patih Narada. "Tapi ya dilihat dulu, perilaku si anak bener apa nggak.
Kalau memang perilaku si anak benar, ia patut dipuji. Tapi kalau perilakunya
nggak bener ya harus diberitahu supaya bisa jadi bener. Lha sekarang, kenapa
Dewa Serani berperilaku nggak benar, kok Adi Guru malah berusaha membenarkannya"
Malah berusaha mendukungnya"
Apa itu sikap orang tua yang bijak"
"Kalau Adi Guru ingin memberikan kejayaan dan kemuliaan kepada Dewa Serani itu
silahkan. Tapi kejayaan dan kemuliaan itu ya terus jangan dicomot atau direbut
dari orang lain. Contohnya seperti saat ini. Adi Guru berusaha memberikan
kejayaan kepada Dewa Serani, tapi dengan jalan merebut Jenokowati. Lha,
Jenokowati itu kan sudah berjodohan dengan Antasena.
Sudah jadi miliknya Antasena.
"Saya harap Adi Guru tidak lupa, bahwa kekuasaan yang Adi Guru miliki itu
berfungsi untuk menata dan mengayomi. Dan bukannya untuk menguasai. Kalau
seorang penguasa kerjanya cuma menguasai, bertindak semaunya, dan bikin susah
rakyatnya, apakah ia masih layak diberi kekuasaan?"
Bethara Guru, penguasa jagat raya itu diam mendengar argumentasi patihnya.
Hatinya berkecamuk saling bertubrukan. Antara membenarkan kata-kata patihnya
dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran
tindakannya. Tapi saat ini, kadar egoisme dalam diri raja Jonggring Saloka ini
memang pas lagi tinggi-tingginya. Karena rajanya masih diam, Bethara Narada kembali bertanya: "Coba, kalau
Antasena itu benar-benar musnah, kalau keluarga Pandawa tidak terima terus
bagaimana?" "..ya, kalau sudah kepepet, Pandawa kita musnahkan sekalian..." jawab Bethara
Guru enteng. "Nah, kalau seluruh keluarga Pandawa dimusnahkan, lalu pelindungnya nggak
terima?" "Pelindung Pandawa, siapa?" tanya Bethara Guru pura-pura. Namun sebenarnya ia
sudah tahu siapa yang dimaksud patihnya.
"Kakang Semar.." jawab Bethara Narada.
"Lho, kakang Semar itu kan cuma pengasuh alias Baby Sitter. Apa kakang Narada
lupa kalau saya ini raja"
Sang Hyang Jagat Nata" Penguasa tiga jagat, termasuk jagatnya para dewa"
Bukankah kakang Semar pun seharusnya tunduk pada saya?" kata Bethara Guru dengan
nada yang benar-benar arogan. Tapi dalam hati sebenarnya ada juga rasa kawatir,
jika memang harus berhadapan dengan Semar, yang tak lain adalah titisan Bethara
Ismoyo. Dewa Ismoyo turun ke bumi dengan tugas mengasuh para kesatria yang
berada di pihak yang benar.
Patih Narada nampak tersenyum simpul setelah mendengar jawaban-jawaban rajanya.
Katanya kemudian:"Betul! Adi Guru itu rajanya para dewa. Dan memang dewa itu
tempatnya di atas, sedangkan manusia di bawah. Tapi mohon Adi Guru tidak lupa,
segala tingkah laku para dewa yang ada di atas itu diketahui dan dimonitor terus
oleh manusia yang di bawah. Dan para manusia meniru segala sikap dan tindakan
para dewa. "Nah, mungkin ada baiknya jika para dewa yang berada di atas itu bersikap dan
bertindak yang bener. Bukannya seperti yang saya lihat sekarang ini. Manusia yang di bawah nggak pada
macem-macem, kok malah dewanya yang pada kebanyakan tingkah. Udah gitu
tingkahnya pada nggak becus lagi."
Ketika sedang terjadi perdebatan seru antara raja dan patihnya itu, tiba-tiba
datang kepala pengawal istana sambil gopah-gopoh. Mukanya kelihatan stress,
pertanda ada problem yang tak mampu dipecahkannya.
Ketika sampai di tangga pendopo Paseban Agung, prajurit itu menjatuhkan diri.
Lalu, sambil menyembah ke arah singgasana rajanya ia berkata: "Mohon ampun
paduka. Ada dua kesatria datang berboncengan naik motor besar. Yang berbadan
kekar memaksa masuk. Katanya ingin bertemu paduka. Tak ada penjaga yang kuasa menahannya....."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (6)
Belum sampai terdengar rekasi dari singgasana kepada prajurit pelapor, seorang
kesatria nampak berjalan menuju pendopo Paseban Agung. Jalannya gagah dengan
kepala mendongak. Sungguh kurang ajar. Ya, sungguh kurang ajar karena dianggap
terlalu berani menginjak-injak etiket di lingkungan istana. Siapapun tahu, seseorang harus
berjalan jongkok, atau paling tidak membungkuk, jika ingin menghadap raja.
Namun ternyata laporan prajurit itu benar. Tamu yang baru datang berbadan kekar.
Perawakannya tinggi besar.
Gagah. Wajahnya mirip Arnold Shcwazernagger. Ia memakai jaket kulit buntung
berwarna hitam. Di punggung belakang jaket itu tertulis: Harley Davidson.
Sebuah bandana biru terikat di kepalanya. Sedangkan kaos yang dikenakannya, di
bagian dada terbaca: "First War And Then Love."
Tanpa permisi terlebih dahulu, tamu itu langsung berjalan menuju ke singgasana
sang raja. Para dewa hanya terbengong- bengong pada ketidaksopanannya.
Ketika sang tamu telah berada di hadapan raja, ia segera duduk sebelum
sebelumnya menghormat pada raja.
Bethara Guru, yang tak kalah terkejutnya dari para dewa lain, masih belum mampu
mengeluarkan sabda. Namun dalam hati ia kagum pada postur tubuh kesatria muda
tamunya. Ingin sebenarnya ia memiliki postur tubuh seperti itu dari dulu. Tapi
karena kesibukannya mengatur negeri hingga ia akhirnya sering lupa pergi ke Gym
berolah raga. Ketika akhirnya Sang Jagat Nata sadar dari lamunannya, ia bertanya pada
patihnya: "Tampaknya ada manusia naik ke Jonggring Saloka. Apa kakang Narada
tahu siapakah dia?" "Wah, rasa-rasanya kok saya pernah kenal ya.
Tapi...mungkin ada baiknya jika Adi Guru saja yang meminta keterangan padanya,"
jawab Patih Narada. Setelah berdiam beberapa saat, Bethara Guru mengikuti anjuran patihnya: " Wahai
manusia! Siapa namamu, nak"
Dan dari mana asalmu?"
"Sebelumnya gua mengucap sembah sujud ke hadapan elu, paduka dewa. Tapi
sebelumnya gua mau tanya: apa elu raja dewa yang bertahta di khayangan dan yang
berjuluk Sang Hyang Jagat Nata?" tanya kesatria itu. Walaupun kurang sopan,
namun suaranya yang berat itu terdengar jelas.
"Kamu benar. Sayalah Bethara Guru, raja penguasa semua mahluk jagat raya."
"Hmm...kalau elu memang raja segala mahluk jagat raya, gimana elu kagak bisa
ngenalin rakyat elu sendiri. Gua kan rakyat elu. Bahkan, elu dan para dewa
sekalian kan yang ngukir jiwa raga para manusia seperti gua eni?"
tanya kesatria itu. Bethara Guru tersinggung. Dan ia berusaha menahan diri. Tapi dalam hati ia
membenarkan ucapan manusia dihadapannya itu. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa
tidak kenal manusia yang satu ini. Biasanya kalau ada yang menghadap, dengan
segera ia akan mengenalinya.
Maka, untuk menutupi rasa malunya, ia mencoba minta pendapat patihnya:
"Bagaimana kakang Narada?"
"Ya, memang bener juga sih dia," kata Narada. "Memang sudah seharusnya kita,
terutama sekali Adi Guru, mengenal semua rakyat. Tak terkecuali mereka itu para
manusia biasa." Merasa tersudut, Bethara Guru tak mau jatuh gengsinya.
Ia tak mau disalahkan. Walaupun kenyataannya salah, sebagai raja, ia tak bisa
disalahkan. Segala sepak terjang raja adalah kebenaran yang absolut yang tak
bisa dibantah. "Seharusnya memang aku mengenalmu," kata Bethara Guru memulai alasannya agar
tidak kehilangan wibawa. "Tapi saat ini banyak yang sedang aku pikirkan: Perang
Irak, Perang Palestina-Israel, SARS di Asia, penyakit AIDS
di Afrika, dan lain-lain. Nah, saking banyaknya masalah yang sedang aku
pikirkan, mungkin saja ada satu atau dua nama manusia yang belum sempat terbaca
olehku. Maka itu hendaknya kamu mengerti."
"Baik kalo gitu," kata kesatria itu. "Kalau memang paduka dewa pengen tahu siapa
nama gua, gua ini bernama Kuncoro Manik. Adapun keperluan gua dateng kemari,
pertama, gua pengen menghaturkan sembah sujud gua ke hadapan elu. Kedua, gua
pengen tahu, siapa sih sebenernya bapak dan ibu gua?"
Kembali tak mampu memberi jawaban langsung, Bethara Guru berpaling pada
patihnya: "Bagaimana kakang Narada?"
"Gimana ya" Hmm...menurut saya sih, silahkan Adi Guru menanyakan hal itu kepada
sang putra Sriyono. Lha, dia itu kan juru catat kerajaan. Tentunya segala
kejadian dibumi ada tertulis dalam buku Kitab Kejadian Jonggring Saloka yang
jadi tanggung jawabnya."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (7)
Dari singgasananya, Bethara Guru melambaikan tangan memanggil Dewa Sriyono.
Anaknya itu telah dibebani tugas sebagai juru catat kerajaan. Pekerjaannya
adalah mencatat segala kejadian yang terjadi di jagat raya, termasuk di dalamnya
peristiwa kematian dan kehidupan.
"Sriyono," kata Bethara Guru setelah anak itu mendekat, "coba engkau periksa di
Kitab Kejadian Jonggring Saloka, keturunan siapakah Kuncoro Manik.
Kalau ia keturunan dewa, sebutkan saja namanya, biar aku yang berurusan
dengannya." Memang para dewa di khayangan terkadang masih suka kesengsem pada para wanita di
bumi. Padahal di khayangan sudah tak terbilang banyaknya para dewi yang cantik
rupawan. Tapi ternyata, kecantikan wanita bukan nilai utama bagi para dewa.
Tubuh yang bahenol dan ginuk-ginuk, serta warna kulit yang memerah akibat
terbakar mataharilah yang sering membuat mereka tergila-gila. Yang sering
membuat mereka "lupa daratan".
"Baik, pak. Saya akan segera periksa, keturunan siapakah manusia ini," jawab
dewa Sriyono sigap karena merasa mendapat pekerjaan penting. Ia lalu mengambil
buku Kitab Kejadian dari tas yang selalu dibawanya kemana-mana.
Kitab Kejadian dibuka dan diteliti isinya. Satu per satu riwayat hidup para
manusia dengan inisial K dicoba baca. Karena Kitab Kejadian itu adalah buku pusaka sakti, maka proses
pengecekannya mirip analisa di data base komputer di Pentagon, yang memiliki
kecepatan 3,06 Giga Byte. Dengan kecepatan analisa seperti itu, proses pencarian
tidak berlangsung lama. Hingga akhirnya terdapat nama-nama antara lain: Kunarwoko, Kuncung, Kundun,
Kunti, Kuntjoro-Jakti. Lima belas menit kemudian dewa Sriyono memberi laporan kepada ayahnya: "Sudah
saya teliti, pak. Ternyata tidak ada nama dan sejarah Kuncoro Manik dalam Kitab
Kejadian ini." "Apa"!" Bethara Guru tersentak di singgasananya. "Lho, bagaimana bisa?"
"Nama Kuncoro Manik tidak ada dalam buku Kitab Kejadian ini, pak." ulang Dewa
Sriyono yang nervous melihat reaksi bapaknya. "Yang ada nama Kuncoro-Jakti, tapi
menurut keterangan di buku ini, dia menteri ekonomi sebuah negara yang lagi
kusut sistim negaranya."
"Bagaimana kakang Narada" Kitab Kejadian kerajaan ternyata tidak memuat nama
Kuncoro Manik," tanya Sang Bethara Guru pada patih andalannya.
"Wah, kacau dah. Lha, terus gimana, ya" Apa memang sudah di cek bener-bener" Apa
sudah diteliti anak-anak yang lahir dari bayi-tabung dan kloning" Nah, kalo
memang nggak ada, terus Kuncoro Manik itu lahir dari apa?" tanya balik patih
Narada dengan penuh keheranan pula.
"Lalu, mesti bagaimana ini kakang Narada?" tanya Bethara Guru seperti kehilangan
akal. "Ya, saya kira, silahkan saja Adi Guru memutuskan permasalahan ini. Kalau memang
Adi Guru masih menghargai saya sebagai seorang patih, kemarin-kemarin kalau
ingin membuat sesuatu keputusan, kan nggak ada salahnya diskusi dulu dengan para
bawahan. Tapi kalau semua maunya dijalani sendiri, ya beginilah akhirnya."
Mendengar komentar patihnya, Bethara Guru kini bertambah bimbang. Satu masalah
belum selesai, sekarang malah sudah datang lagi masalah baru. Rasanya semakin
banyak saja masalah yang harus
diselesaikannya. Itu artinya ia harus menunda liburannya. Padahal bersama
permaisurinya, ia sudah booking tiket liburan ke Bali.
"Kuncoro Manik, ketahuilah. Para dewata saat ini sedang dalam keadaan sibuk.
Jadi suasananya lagi kurang baik," demikian sabda Sang Hyang Bethara Guru pada
akhirnya. "Nah, pas engkau datang, suasana disini bukannya membaik tapi kok
malah kelihatan tambah runyam. Sekarang pergilah engkau keluar, dan tunggulah di
halaman istana. Barangkali setelah engkau di luar, pikiranku bisa jernih
kembali. Atau mungkin malah bisa tahu siapa orang tuamu...."
"Baik kalau itu perintah paduka dewa. Gua bakal nunggu di luar sampai ada
panggilan," kata Kuncoro Manik.
Sebelum bangkit dari duduknya ia menghormat seadanya.
Lalu permisi pergi menuju ke halaman.
Tak lama sesudah Kuncoro Manik keluar dari paseban menuju ke halaman istana,
Bethara Guru lagi-lagi bertanya pada patihnya: "Bagaimana kakang Narada"
Kejadian buruk kok susul menyusul begini?"
"Ya gimana ya," jawab Bethara Narada. "Sekarang ini, sekali lagi saya justru
ingin mengingatkan kembali kesalahan yang telah Adi Guru lakukan. Tapi
sebelumnya saya mohon beribu maaf. Maksud saya begini Adi Guru.
Adi Guru menceburkan Antasena ke Kawah Candradimuka itu saya anggap membunuh
manusia tak berdosa. Nah, kejadian sekarang ini tentu dari akibat kesalahan yang
paduka telah perbuat. Siapa menabur angin, ia akan menuai badai."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (8)
Persoalan yang kini muncul ternyata cukup menambah beban pikiran Bethara Guru.
Selain itu juga membawa ancaman pada posisi kepemimpinan dan kewibawaannya
sebagai penguasa. Oleh sebab itu ia tak mau persoalan ini menjadi berlarut-
larut. Ia bertekad menyelesaikannya secepat mungkin, dan dengan caranya sendiri.
"Sudah, sekarang begini saja," kata Bethara Guru pada patihnya. "Kakang Narada
temui Kuncoro Manik. Dan perintahkan kepadanya agar ia turun saja dulu ke bumi.
Lain kali saja suruh datang kembali. Kalau dengan cara baik-baik ia tidak mau
menuruti perintah, apa boleh buat, kita paksa saja ia turun. Dan kalau ia juga
membangkang, kita musnahkan saja."
Sabda Pandita Ratu, sabda mutlak yang tak boleh dibantah. Perintah itu tak
pernah dikeluarkan Bethara Guru sebelumnya. Para dewa kaget semua, termasuk
Bathara Narada. Tapi tak ada yang berani komentar.
Perintah raja adalah kebenaran yang tak bisa dibantah.
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka jawab patih Narada: "Siap! Segala perintah Adi Guru akan saya junjung
tinggi dan laksakanan!"
Dengan iringan para bangsawan istana, Patih Narada segera menuju ke halaman
istana. Walaupun sebenarnya perintah itu tidak sesuai dengan kata hatinya, namun
harus tetap dijalankan. Pejabat yang dianggap tak mau menjalankan perintah
atasan, akibatnya bisa dimutasi atau dipensiunkan secara dini. Bahkan yang
paling sial, dipecat dengan tidak hormat.
Ketika rombongan itu menuju ke halaman istana, di pintu luar sudah menunggu
masing-masing Bethara Indra, Bethara Brahma, dan Bethara Yamadipati.
Ketiga dewa itu agak gugup melihat wajah Bethara Narada yang keruh. Tak ada
satupun yang berani mulai menyapa. Mereka tahu arti dibalik kekeruhan wajah
patih kerajaan itu. Ketika dirasa waktunya sudah tepat, Dewa Indra memberanikan diri bertanya:
"Paman Narada, apa ada perintah Sang Hyang Bethara Guru yang musti kita
jalankan?" "Begini anak-anak sekalian," kata Patih Narada sambil menghentikan langkahnya.
Seketika itu juga rombongan ikut berhenti mendengarkan. "Nampaknya kita harus
menanggung sebuah pekerjaan yang kurang menguntungkan.
Padahal kerjaan itu boleh dibilang tidak ringan."
"Pekerjaan apa, paman Narada?" tanya mereka hampir serempak.
"Dengarkan baik-baik semua," kata Bethara Narada.
"Sang Hyang Bethara Guru tadi memberitahu padaku bahwa ia telah membunuh seorang
manusia. Saya tak perlu memberitahu kalian siapa yang telah dibunuhnya itu.
Nah, ketika sedang membicarakan masalah itu datang seorang kesatria yang ngaku
bernama Kuncoro Manik. "Kuncoro Manik datang ke Jonggring Saloka ini sebenernya cuma mau tanya, dia itu
anaknya siapa. Setelah diteliti di Kitab Kejadian kerajaan, ternyata nama Kuncoro Manik tidak
ada. Hal itu aneh sekali karena semua nasib maupun kodrat manusia di bumi tak
pernah luput dari catatan dalam kitab itu.
"Kalau riwayat hidup Kuncoro Manik sampai nggak bisa ditemukan di kitab itu,
maka turunlah wibawa buku itu.
Dengan turunnya wibawa buku pusaka itu, turun pula wibawa para dewata. Karena
para dewalah yang penulis kitab itu."
Mendengar keterangan Bathara Narada, semua dewa menatap kepada Dewa Sriyono.
Yang ditatap hanya bisa mengangkat kedua bahunya, seolah-olah berkata: "Lho,
mana gua tahu?" "Lha, terus gimana, paman Narada?" tanya Dewa Brahma.
"Nah, akhirnya. Bethara Guru minta Kuncoro Manik menunggu di halaman istana.
Begitu ia keluar, Bethara Guru memerintahkan kita untuk menyuruh Kuncoro Manik
pulang kembali ke bumi. Karena kehadirannya saat ini dianggap malah bikin
gelapnya suasana khayangan.
Perintah selanjutnya, kalau Kuncoro Manik sampai tak mau pulang, kita
diperintahkan untuk memaksanya. Dan kalau masih tetap membangkang, kita
diperintahkan memusnahkannya."
Sementara yang lain kaget, Dewa Yamadipati yang punya kerjaan sebagai dewa
pencabut nyawa, komentar: "Hmmm, jangan takut, man. Kalau dia nekat nggak mau
pulang, biar nanti saya yang eksekusi. Biar tak cabut nyawanya."
"Kamu serius nih?"
"Lho, emangnya tampang saya nggak serius apa, man?"
Bethara Narada yang tahu tingkat keberanian Dewa Yamadipati cuman nyengir.
Katanya: "Emang kamu berani sama Kuncoro Manik satu lawan satu?"
"Ya jangan sendirian dong, man..." jawab Yamadipati yang tiba-tiba nampak ragu.
"Susah senang kan kita tanggung rame-rame....."
"Alaaa, emang dasar nyalimu kecil," kata Patih Narada.
"Dengarkan semua! Kuncoro Manik berani datang kemari dan nanya ini-itu tentu dia
punya modal kesaktian. Maka itu kita jangan meremehkannya. Sebaliknya, kita harus hati-hati. Jangan
menyombongkan diri."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (9)
Sementara itu di halaman istana Kuncoro Manik telah berkumpul kembali dengan
seseorang yang ditinggalkannya ketika ia tadi masuk ke dalam sendirian. Orang itu berpenampilan
sederhana. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang Pendita, seorang
rohaniwan. Tapi karena kesederhanaannya itu, orang yang tidak tahu bakal
menyangkanya sebagai Tukang Bakso.
"Bagaimana jawaban mereka, anakku?"
"Mereka nyuruh gua nunggu disini, paman. Pas tadi gua tanya, ternyata mereka
nggak tahu siapa orang tua gua.
Itu dewa-dewa udah pada gila 'ngkali, ya. Katanya dewa-dewa itu maha tahu dan
punya wawasan luas. Masak riwayat hidup orang bisa ilang begitu aja. Kalo kantor
kelurahan sih mungkin masih masuk di akal," jawab Kuncoro Manik penuh kekesalan.
"Lalu apa rencanamu?" tanya sang Pendita lagi.
"Kita tunggu aja dulu, paman. Mudah-mudahan sih mereka menepati janji. Kalau
dewa kagak mampu ngasih tahu riwayat hidup gua, berarti mereka kagak becus
menata jagat raya. Dan kalau gua sampai diusir, bakal gua obrak-abrik khayangan
sini." "Kalau memang begitu kehendakmu, nak. Aku hanya bisa bilang supaya engkau hati-
hati." "Tapi paman bakal ngebantu gua kan kalo ada apa-apa?"
"Jangan takut, nak. Pamanmu tak akan tinggal diam, jika kamu memang dalam
keadaan bahaya." Tak lama Kemudian Bethara Narada datang sambil kipas-kipas. Sedangkan
rombongannya mengamat-amati dari jauh. Patih Jonggring Saloka itu sudah
memberitahu rombongannya bahwa ia akan bicara dengan Kuncoro Manik secara baik-
baik. Kalau tujuan itu ternyata gagal, mereka akan menggunakan rencana yang
kedua, yaitu mengusir tamunya secara paksa.
"Aku Bethara Narada, nak. Patih Jonggring Saloka.
Tujuanku kemari ingin menyampaikan sabda Sang Hyang Bethara Guru..." Tiba-tiba
Patih Narada menghentikan kalimatnya. Perhatiannya tertuju pada sosok di samping
Kuncoro Manik. Kecurigaannya muncul. "Hm, tapi mong-ngomong, siapakah yang
berada disampingmu itu, nak?"
"Saya Begawan Pulasara, paduka Narada. Saya pamannya Kuncoro Manik."
"Lho, kalau kamu pamannya, bagaimana sampai bisa nggak tahu orang tuanya Kuncoro
Manik?" "Begini, paduka Narada," jawab Begawan Pulasara memulai penjelasannya. "Kuncoro
Manik saya temukan ketika ia telah menjelang dewasa. Selama ini sayalah yang
membesarkannya, dan ia memanggil saya: paman.
Karena akhir-akhir ini ia selalu menanyakan siapa ayah dan ibunya, maka saya
bawa saja ia kemari. Menurut perkiraan saya, tentu para dewa, yang memiliki
catatan tentang kodrat para manusia, pasti mengetahuinya."
Mendengar keterangan tamunya, Bethara Narada nampak sedikit kecewa. "Sudah
begini saja, Kuncoro Manik.
Tadi Bethara Guru bilang supaya engkau pulang saja dulu. Keadaan Jonggring
Saloka saat ini sedang kusut.
Ia anggap kedatanganmu cuman bikin suasana tambah ruwet. Nah, barangkali saja di
lain waktu, saat keadaan sudah tenang, beliau berkenan mencarikan orang tuamu.
Dan kalau memang udah ketemu, kamu pasti bakal ditilpun apa dikirimi e-mail."
"Huuhhh!!" dengus Kuncoro Manik. Ia berusaha menahan kegeramannya. "Dewa kok
kata-katanya kagak ada yang bisa dipegang. Katanya para dewa itu bijak, nggak
mencla-mencle. Tapi ternyata yang satu bilang A, yang lain bilang B. Tadi
Bethara Guru nyuruh gua nunggu di halaman ini karena akan mencari tahu siapa
orang tua gua. Eh, kok malah gua sekarang disuruh pulang.
Pokoknya gua kagak terima! Gua tetep mau ketemu Bethara Guru!"
"Eeiitt, entar dulu toh. Kamu ini mbok jangan ngambek kayak anak kecil gitu,"
kata Narada mencoba meminta pengertian anak muda dihadapannya itu.
"Gua kagak peduli. Dewa pada kagak bener semua. Punya pendapat beda-beda! Kagak
ada yang bisa dipercaya!"
"Inget lho, kita udah nyuruh pulang baik-baik. Apa kamu tetep mau nekat" Jangan
sampai nanti kita suruh pulang secara paksa, ya" Apa kamu suka kalo di
deportasi" Lihat itu disana. Para dewa dan prajurit Jonggring Saloka sudah
bersiap-siap memaksamu pulang jika kamu tetep mbandel. Apa kamu nggak takut?"
kata Patih Narada mencoba menggertak tamunya. Maksudnya agar tamunya itu
berpikir dua kali jika menolak pengusiran secara halus ini.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (10)
Para dewa dan prajurit Jonggring Saloka melangkah maju. Dari isyarat tangan yang
diberikan Bethara Narada, mereka tahu bahwa negosiasi telah gagal.
Karena rencana pertama gagal, tentu rencana kedua yang akan segera mereka
jalankan, yaitu mengusir tamunya secara paksa. Senjata-senjata telah
dipersiapkan. Semuanya runcing dan tajam.
Melihat gerombolan Jonggring Saloka mendekat, Kuncoro Manik mencium gelagat
kurang baik. Ia segera berdiri bertolak pinggang. Kali ini kesabarannya sudah
hilang. Patih Narada mundur tiga langkah. Tubuh yang tua itu agak gentar melihat sosok
tinggi dan kekar yang ada di hadapannya.
Sementara itu, Begawan Pulasara masih duduk dengan tenang seperti tak terjadi
apa-apa. Hanya mulutnya saja komat-kamit seperti sedang mengucap doa.
Kuncoro Manik memaki dengan geram: "Emang elu kira gua anak kecil, takut sama
senjata mainan kayak gitu"
Jangankan yang begituan. Elu keluarin yang lebih runcing dan yang lebih tajem
juga gua kagak bakalan mundur! Maju bareng sini elu semua biar gua gebuk
bareng!" Para dewa dan prajurit kerajaan yang tadi sudah bergerak maju, kini menjadi
ragu. Langkah-langkah berat terhenti. Mendengar gertakan lawan, keberanian
mereka berubah menjadi kewaspadaan. Mereka tahu, gertakan itu tak sekedar main-
main. "Hei, Kuncoro Manik. Kamu tahu kan siapa saya?" tanya Patih Narada kepada
Kuncoro Manik. "Gua kagak peduli siapa elu! Elu mau pejabat kek, elu mau anggota DPR kek, gua
kagak peduli! Terus mau lu apa"!"
"Eeeiii.. ini anak malah nantang orang tua," kata Patih Narada. Namun toh dalam
hati ia kagum juga pada nyali anak muda itu. "Dikira Narada ini nggak pernah
berkelahi ya" Berani sama Bethara Narada berarti kamu udah bosan hidup, tahu"
Minta dicabut nyawamu kayak aku nyabut uban?"
"Kalau lu berani, nih elu cabut nyawa gua sekarang juga!" jawab Kuncoro manik
sambil membusungkan dadanya.
"Eeee..bener-bener nantang nih anak! Berani beneran kamu sama orang tua?"
"Apa yang musti ditakutin. Apalagi sama orang tua yang kagak patut dihormatin
macem elu!" "Busyet, bener-bener nantang nih anak," kata patih Narada sambil memberi isyarat
kepada dewa Sriyono untuk maju dan meringkus si Kuncoro Manik. Yang diberi
isyarat rupanya salah paham hingga cuman bengong.
Patih Narada membentak: "Hei memble! Jangan bengong disitu aja kamu! Ada orang
tua mau berantem malah cuman memble doang!"
"Lho, mohon maaf, paman Narada. Saya kira paman mau turun tangan sendirian..."
kata Sriyono gugup. "Turun tangan sendirian" Orang tua disuruh berantem terus kalian pada asyik
nonton, begitu" Enak aja.
Sudah sana! Kamu bekuk sana!" Bethara Narada meninggalkan gelanggang menuju ke
tepian. Ia malas turun tangan bukan karena takut, melainkan tahu kalo dalam
posisi salah. Tindakannya sejauh ini dilakukan hanya karena tidak ingin
menentang perintah atasan.
Merasa mendapat restu, Dewa Sriyono yang terkenal sok jagoan langsung maju ke
depan. Tas kopernya dititipkan pada ajudannya. Jalannya tampak di gagah-
gagahkan. Ia tak mau kelihatan penakut dan lemah di depan warga Jonggring Saloka
yang mulai berdatangan. Apalagi diantara warga itu, tampak para dewi dan bethari
yang juga mulai ikutan nonton.
Dihampirinya manusia dihadapannya. Dengan sikap meremehkan ia bilang: "He,
Kuncoro Manuk apa Kuncoro Manik. Siapa namamu terserahlah! Kamu kan udah dikasih
tahu kalo harus pulang secara baik-baik. Seharusnya kamu merasa beruntung, tahu
nggak. Sekarang aku peringatkan sekali lagi, pulang! Jangan sampai aku gunakan
kekerasan." "Heh, jangankan cuman elu sendirian, semuanya maju bareng juga gua kagak bakalan
lari," jawab Kuncoro Manik. Sambil berkata begitu ia mantapkan
kuda-kudanya. Ia mempersiapkan diri dengan ilmu kuntow Bangau Putih yang
dipelajarinya di Gonzaga selama ini.
Gerakannya ringan tapi membutuhkan banyak energi.
Makanya kalau habis latihan silat, ia sering mampir di Union Station nyari nasi
rames di restoran Cina "Panda Express."
Dewa Sriyono mengeluarkan jurus Dewa Menggenggam Bumi.
Jurus silat ini hadiah Kho Ping Ho buat para dewa di khayangan. Banyak dewa
mempelajarinya karena merupakan jurus yang ampuh. Jika kena kibasan jurus ini,
dewa maupun manusia, akan remuk tulangnya. Tak ada tukang urut patah tulang yang
mampu menyembuhkannya. Sekalipun tukang urut itu berasal dari Cimande maupun Cikini.
"Kurang ajar kau manusia bangsat! Nih terima pukulanku..." tangan kanan Dewa
Sriyono menebas ke depan. Loncatannya membelah udara siang yang pengap.
Benar-benar serangan mematikan. "Ciiaaatttt!!"
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (11)
Dewa Sriyono menyerang musuhnya bagaikan kucing menerkam tikus. Tangannya
diayunkan ke arah dada lawan. Kalau hanya dewa atau manusia biasa, tanpa
kesaktian, mungkin sudah tewas terkena pukulan jarak jauhnya. Tapi ia salah
perhitungan, karena ternyata lawannya cukup tangguh. Dengan mudah sang lawan
menghindar dari serangannya.
Kuncoro Manik melihat pertahanan lawan yang tak terjaga. Dipatuknya punggung
lawannya dengan jurus Bangau Menotok Kodok. "Hiyaaa!!" "Pletaakk!!" Lawannya
terhuyung pusing kebelakang.
Kini Dewa Sriyono tak berani menganggap enteng lagi lawannya. Konsentrasinya
ditajamkan. Serangannya lebih terarah mencari bagian-bagian tubuh lawan yang
mematikan. Dengan tak sabar telah dikeluarkannya jurus baru yang tak kalah
dahsyatnya, jurus Dewa Membelah Duren.
Kuncoro Manik terdesak ke tepian sumur. Jalan keluar untuk menghindar nampaknya
telah tiada. Namun ia tetap berusaha keras untuk menangkis serangan lawannya.
Walau begitu sebuah pukulan akhirnya mendarat juga di dadanya. "Dezzz!!"
Para dewa dan prajurit khayangan berteriak girang.
Sedangkan para dewi menjerit tak tega sambil menutup mata dengan jaritnya. Jarit
itu tersingkap di bagian betis dan paha. Melihat pemandangan gratis itu, para
penonton, terutama yang laki-laki, pada menelan ludah terpesona. Mereka sesaat
lupa pada perkelahian yang sedang terjadi di tengah arena.
Kuncoro Manik salto kebelakang dan hinggap ditepian sumur yang lain. Bagaikan
seekor bangau yang hinggap di atas pematang sawah. Ginkang (ilmu meringankan
tubuh) dan Sinkang (ilmu tenaga dalam)-nya ternyata telah mencapai taraf
sempurna. Pukulan lawan tidak dirasakannya sama sekali. Melihat hal itu, mau tak
mau lawannya semakin waspada.
"Hiyaaaatttt!!!!" Tanpa menunggu lebih lama lagi, Kuncoro Manik balas menyerang
lawannya. Dikeluarkannya jurus Angin Puyuh Menggulung Samudra yang
dipelajarinya selama ini di Parang Tritis. Tentunya tempat berlatih telah
mendapat ijin Nyai Roro Kidul terlebih dahulu.
Sekali lawannya menggebrak, Dewa Sriyono tak mampu menghindar. "Derr!!" Tubuh
yang kurus itu bagaikan orang-orangan sawah kena seruduk kerbau yang sedang
birahi. Mental. Nafasnya tersengal-sengal. Sesak.
Menyesal ia kelewat banyak ngrokok selama ini.
"Sr?s??g!!" Ketika sudah berhasil menguasai dirinya, Dewa Sriyono mengeluarkan
golok pusakanya. Golok yang bernama si Gablek itu hadiah dari si Pitung. Baunya
wangi karena tiap Jumat Kliwon selalu dimandikan dengan kembang tujuh rupa.
Melihat lawannya mencabut golok pusaka, Kuncoro Manik segera merapal mantra
pemberian seorang kiai dari Jombang. Ketika golok tajam itu menyambar lehernya,
Kuncoro Manik tak bergeming. Para dewi khayangan kembali menjerit ketakutan
sambil menutup mata. Tapi kali ini tanpa menyingkapkan jaritnya. Para penonton
lelaki pada kecewa. Harapan dapat tontonan gratis, amblas.
"Crraangg!!" terdengar dua benda beradu. Golok yang mendarat tepat dileher itu
mental kembali seperti habis membacok tiang baja. Ternyata Kuncoro Manik tak
mempan dibacok. Rupa-rupanya ia tadi telah merapal mantra Ilmu Kekebalan Tubuh.
Secepat kilat, di luar perhitungan, Kuncoro Manik berhasil menyambar tangan
lawannya. Dengan sekali gentakan, golok berhasil direbutnya. Lalu dibuangnya.
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat belum lenyap rasa kaget sang lawan, ia jegal tubuh lawan itu hingga
terbanting ke tanah. Jatuhnya nyaring: "Dabblugg!!"
"Addaaaoooww!!" teriak Dewa Sriyono kesakitan. Sambil terseok-seok Dewa Sriyono
merangkak ke pinggir gelanggang. Dan berhenti tepat di muka Dewa Masno yang
sedang berkacak pinggang.
"Makanya jadi dewa jangan sok 'blagu," kata Dewa Masno. "Itu hasilnya kalau jadi
dewa sering menyombongkan diri. Sering sok sakti. Kemana-mana cari perhatian. Kalau nggak
dapet perhatian teriak-teriak nyari perhatian. Maunya minta di nomor satukan
karena merasa paling penting."
Mendengar kata-kata abangnya itu Dewa Sriyono cuma bisa meringis Tangan kanannya
memegangi pinggangnya. Sedangkan tangan kiri mengelus-elus jidatnya yang memar. Katanya dengan terbata-
bata: "Tapi Kun..co..ro Manik...ternyata ..me mang...sa sakti..kang Masno..."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (12)
Dewa Sriyono masih meringis-ringis menahan sakit.
Tampangnya yang memelas itu menandakan bahwa ia sudah kapok. Dan juga ngeri.
Benjut di kepalanya semakin terlihat. Sedangkan gusinya perih karena tadi
giginya copot dua biji. Padahal kemarin baru saja pasang gigi palsu.
"Apa kira-kira kakang Masno bisa mengalahkan Kuncoro Manik?" tanya Dewa Sriyono
pada kakaknya. "Kalau kakang Masno mampu mengalahkannya, mulai besok saya akan
berguru kepada kakang."
Mendengar ucapan adiknya, Dewa Masno naik semangatnya.
PD-nya menggelembung bagai balon yang ditiup. Di dalam angannya terbayang wajah
adik-adiknya yang lain yang bakal ikutan berguru. Mereka tentu akan lebih hormat
dan kagum padanya. Belum lagi para dewi dan bidadari, terutama mereka yang saat
ini menonton di pinggir lapangan, mereka semua bakal terpesona.
"Biar saktinya kayak apa, Kuncoro Manik itu kan cuman manusia," kata Dewa Masno.
"Kalau dewa bisa kalah sama manusia, berarti bukan manusianya yang sakti, tapi
dewanya yang lagi apes. Sudah sana, minggir! Biar Kuncoro Manik aku jadikan
abu!" Dewa Masno segera berkonsentrasi memusatkan pikiran.
Di kerajaan ini ia terkenal sebagai anak muda yang sedang naik daun. Kesaktian
andalannya adalah kemampuannya mengeluarkan hawa panas dari mulutnya.
Apapun yang terkena tiupan hawa panas itu bakal gosong.
"Hei, Kuncoro Manik! Aku, Bethara Masno, yang bakal mengusirmu!" teriak Dewa
Masno. "Jangankan cuma elu, semua maju bareng gua kagak bakal lari!" kata Kuncoro
Manik. "Memang kurang ajar kamu ya! Nih, terima pukulan Badai Gurun Pasir! Huppss!!"
Dewa Masno mulai mengatur pernafasannya. Kedua tangannya menggapai energi yang
ada disekelilingnya. Badai Gurun Pasir adalah jurus kombinasi yang telah lama
dipelajarinya. "Hiiaaaattt!!" "Dh??r!"
Serangan jurus itu ternyata sungguh hebat. Lawan dibuat tak berdaya. Jalan
keluarnya selalu tertutup oleh tiupan-tiupan hawa panas. Setiap gempurannya
ampuh dan mematikan. Kalau lawan sedikit lengah pasti bakalan jadi areng.
Kuncoro Manik cukup kerepotan. Ia terpaksa menghindari setiap serangan dengan
hati-hati. Untung gerakannya lincah dan atletis. Semua itu berkat disiplin
latihan yang dilakukannya seminggu tiga kali di Fitness Center.
Jurus lawan diimbangi oleh Kuncoro Manik dengan jurus Janda Genit. Jurus yang
lemah gemulai itu merupakan jurus kegemarannya. Dan yang lebih tinggi lagi
tingkatannya dari jurus itu masih ada jurus Janda Gatel. Semua jurus itu
merupakan kumpulan jurus-jurus ilmu silat Kecap Cap Bango yang dipelajarinya di
perguruan Gonzaga. Serangan hawa panas Dewa Masno beberapa kali luput.
Salah satu serangan yang luput mengenai pohon beringin pajangan istana:
"Byaaarrrr!!" Pohon beringin itu rontok semua daunnya. Hangus jatuh ke tanah.
Sedangkan dahan dan rantingnya menjadi kering. Gosong. Untung nggak ada anggota
Partai Beringin disitu. Kalau ada, mungkin juga bakal hangus nggak sempet ikut
pemilu. "Ciaattt!!" "Wozzz!!" "Hiyaaaattt!!" Perkelahian antara Dewa Masno dan Kuncoro
Manik berlangsung seru. Ternyata dua kesatria itu merupakan lawan yang seimbang. Penonton pada berdecak
kagum setiap melihat kelincahan gerakan mereka. Kecuali para dewi dan bethari.
Mereka pada berteriak-teriak kawatir dan ketakutan.
Dewa Masno memang sakti. Tapi sayang, seperti dewa lainnya, ia pun punya sikap
tinggi hati. Lebih-lebih terhadap manusia. Mereka selalu menganggap remeh.
Mentang-mentang para dewa ini rata-rata punya pendidikan luar negeri, lalu
mereka anggap manusia lebih bodoh dari mereka. Selain itu mereka menganggap
manusia selalu lebih rendah derajatnya.
Akan tetapi di lain pihak, banyak juga manusia yang ingin memiliki kedudukan
seperti para dewa. Biar bisa disanjung-sanjung, dihormati, dilayani, diikuti
perintahnya, ditakuti, dan juga didewa-dewakan oleh sesamanya. Manusia-manusia
macam ini adalah manusia-manusia munafik. Karena sikap merendahkan lawan, Dewa Masno menjadi ceroboh. Dengan tak sengaja
telah ia buka pertahanannya. Ia menganggap lawannya tak akan mampu menyerang dalam posisi yang
sulit. Ketika sadar akan kecerobohannya itu, ia telah terlambat. Sebuah pukulan
mengenai pelipisnya: "Pleettaakk!!" "Aaacchhh!!"
Ketika Dewa Masno masih terhuyung-huyung, Kuncoro Manik tak menyia-nyiakan
kesempatan. Sebuah tendangan dikirimkan. Tepat mengenai rahang samping sebelah
kanan lawan. Tendangan yang disertai tenaga dalam itu terasa seperti sepuluh
kali lipat pukulan Mike Tyson.
Lawannya terpental jauh. Kemudian jatuh berdebam. K.O.
seketika. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (13)
Kemarahan Dewa Brahma mencapai puncaknya. Terutama ketika dilihatnya Dewa Masno
terkapar pingsan. Ia tak rela melihat rekan-rekannya dipermalukan. Apalagi hanya
oleh seorang manusia. Sebagai seorang dewa, harga dirinya terasa direndahkan.
Rata-rata para dewa, dan banyak juga para dewi, ogah belajar dari pengalaman.
Mereka nggak mau introspeksi.
Karena merasa punya wawasan luas, merasa sakti, dan merasa diri sudah bijaksana
sehingga mereka menganggap diri mereka selalu benar dan selalu suci. Hal itu
pula yang dialami Dewa Brahma saat ini. Ia anggap tindakannya mengusir tamunya
sudah benar. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Dewa Brahma segera memusatkan pikirannya.
Ia sebutkan sebuah mantra sakti peninggalan nenek moyangnya. Sesaat kemudian,
kedua tapak tangannya nampak menghitam.
Ia telah keluarkan jurus andalannya, yaitu jurus Lebur Bumi. Jurus ini
menggunakan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Jurus kejam yang cukup ditakuti di
kerajaan Jonggring Saloka. Pukulan jurus ini mampu mengeluarkan gelombang api
yang membara. Di pinggir lapangan, Begawan Pulasara yang duduk bersila komat-kamit mulutnya.
Mirip seperti orang sedang berdoa. Rupanya pendita sakti itu tengah menghimpun
tenaga dalam. Jari jemari tangan yang ada di atas dengkul menunjuk ke arah
Kuncoro Manik. Tanpa menimbulkan kecurigaan orang, ia telah salurkan tenaga
dalamnya dari jarak jauh.
Melihat Dewa Brahma mempersiapkan jurus Lebur Bumi, semua dewa dan dewi, serta
prajurit Jonggring Saloka pada lari terbirit-birit. Mereka tahu akan kedahsyatan
jurus ini, sehingga memilih mencari tempat nonton yang lebih aman. Beramai-ramai
mereka mengintip melalui lubang-lubang di pagar tembok istana.
"Hei Kuncoro Bangsat! Siap-siap mampus kau kali ini!"
teriak Dewa Brahma geram.
"Jangankan cuman pukulan elu seorang. Elu pukul gua berame-reme gua kagak
bakalan mundur, dewa-dewa geblek!" teriak Kuncoro Manik memanas-manasi lawannya.
"Bangsat, lu! Hiaaaaaaa!!" "Jeeggeeerrrrr!!!" Bunyi pukulan Dewa Brahma bagaikan
bunyi petir di siang bolong. Menggelegar memekakkan telinga. Para dewi dan
bethari menjerit kaget. Terkena pukulan itu, lawannya terpental duapuluh meter ke belakang. Gulungan api
membakar badannya. Dewa Brahma tertawa: "Hahahaha...ternyata cuma segitu aja
kemampuanmu, bangsat!"
Ketika para dewa dan prajurit istana sedang bersorak menyambut kemenangan
mereka, Kuncoro Manik tiba-tiba bangkit. Penonton kaget bukan main. Belum pernah
mereka saksikan pemandangan seperti yang terjadi saat ini. Mulut mereka
menganga. Sementara itu, api masih membakar Kuncoro Manik. Tapi dengan tenang ia melangkah
keluar dari kobaran api. Setelah terbebas, dikibaskannya debu yang menempel di jaketnya. Ternyata jaket
Harley Davidson yang saat ini dipakainya memang ampuh. Jaket hadiah ulang tahun
dari pamannya itu ternyata jaket tahan api.
Melihat pemandangan di depannya, Dewa Brahma jadi gentar. Tapi ia berusaha
menguasai dirinya. Ia tak ingin terlihat takut, apalagi hanya oleh seorang
manusia. Kuncoro Manik kini membetulkan letak kuda-kudanya.
Rupanya tadi waktu diserang, kuda-kudanya belun mantap. Ketidaksiapannya itulah
yang membuatnya roboh kena terjang pukulan lawan. Beruntung sekali ia
menggunakan jaket saktinya. Dan tentu saja bantuan tenaga dalam jarak jauh dari
Begawan Pulasara. Tiba-tiba lawannya melayangkan pukulannya lagi:
"Ciiiiaaaaatttt!!" Namun kali ini Kuncoro Manik telah siap. Bahkan diam-diam ia
telah mempersiapkan jurus baru. Jurus Gunung Es Titanik. Cuma dikeluarkannya
kalau menghadapi lawan yang menggunakan jurus-jurus panas.
"Hiiyyaaattt!!" Kuncoro Manik segera menyambut pukulan lawan dengan pukulan
balik. Pukulan jurus Gunung Es Titanik memang dahsyat. Suhu yang menyertai
pukulan itu adalah minus 500 derajat Fahrenheit. Absolute zero. Pada suhu itu,
bahkan sebuah partikel atom pun akan berhenti. Beku.
"Buummm!!" Pertemuan dua kekuatan bagaikan bunyi rudal Patriot mengenai rudal
Scud. Kali ini gantian Dewa Brahma yang terpental. Ia tak menyangka pukulan balik
lawannya demikian hebatnya.
Tulang-tulangnya terasa ngilu. Sementara sekujur badannya terasa meriang. Ia
menggigil kedinginan seperti ayam kecemplung sumur.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (14)
Melihat Dewa Brahma kalah, para dewa dan prajurit Jonggring Saloka segera keluar
dari balik tembok istana. Muka mereka kelihatan sangar-sangar
memancarkan kebencian. Kemarahan mereka telah mencapai puncaknya. Tapi mau
bertindak pada takut, karena tahu akan kesaktian musuhnya.
"Serbu!" teriak salah satu diantara mereka. Teriakan tak disengaja itu telah
menjadi semacam aba-aba untuk menyerang. Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya
mereka telah berhamburan ke arah musuhnya. Senjata-senjata tajam dan mengkilat
susul-menyusul keluar dari sarangnya. Dengan mengeroyok secara beramai-ramai,
keragu-raguan dalam diri mereka masing-masing lenyap seketika.
Tapi kali ini Kuncoro Manik tak mau ambil resiko. Ia tak mau gegabah karena tahu
para penyerangnya memiliki kesaktian yang tak boleh dianggap remeh. Dengan tetap
tenang diserapnya seluruh tenaga dalam yang dikirimkan Begawan Pulasara dari
jarak jauh. Setelah itu disiapkannya jurus pamungkas miliknya: Pukulan Gelombang
Tsunami. "Hiyaaaaattt! Ciaaattt! Heeaaa!" Terdengar
teriakan-teriakan yang membahana dari sekeliling Kuncoro Manik. Serbuan itu
disambutnya dengan tamparan, tabokan, gebukan, dan gebrakan.
"Hiyaatt..Plak!..Adooww!" "Ciiaaat...Buukk!...Aduuh Mak!"
"Heeyyaaa!..Br???ngg!...Aduuh Mas!" Tukang mie t?k-t?k yang kebetulan jualan
disitu nggak sengaja kena gebuk. "Oh, maaf pak. Tolong jualannya minggir sedikit
pak..." "Ya, mas..."
Ternyata, bagi para dewa dan prajurit Jonggring Saloka, bermodal semangat saja
tidaklah cukup. Dengan ginkang dan sinkang yang sempurna, Kuncoro Manik
menguasai musuh-musuhnya. Satu per satu musuhnya tumbang di tangannya. Yang
masih sehat pada lari pontang-panting. Namun yang laripun tak luput dari
gebrakannya. Ia tiup bekas tapak-tapak kaki mereka:
"Wuusss...Weesss..Wusss...Wuusss..."
Bethara Narada yang malas turun tangan, heran melihat Dewa Yamadipati, dewa
pencabut nyawa, lari sambil membawa-bawa sapu menuju ke arahnya. "Hei,
Yamadipati. Kamu itu dewa apa Dinas Kebersihan Jakarta"! Ada dewa berantem kok bawa-bawa
sapu. Mau ngapain"!"
"Wah..kacau man..ka..cau..man..haahh.." Dewa Yamadipati berhenti sambil ngos-
ngosan nafasnya. Jidatnya kelihatan pada benjut. "Kuncoro Manik, man, ternyata
memang...sakti..sekali...man...."
"Iya, sakti sih sakti. Tapi kenapa kok berantem pakai sapu segala" Emangnya
nggak ada senjata lain apa?"
"Jangan salah sangka dulu, man. Paman Narada kan tahu Kuncoro Manik tadi itu
ngamuk habis-habisan. Banyak dewa dan prajurit yang kena gampar. Beberapa bahkan
sudah pada tergeletak pingsan. Nah, saya juga sempat kena gaplok tiga kali.
Karena nggak tahan, makanya saya kabur. Yang lain juga saya lihat pada ikutan
kabur satu per satu..."
"Terus?" "Lha, pas saya nyoba lari, belum sampai sepuluh meter tiba-tiba saya jatuh. Pas
saya nengok ke belakang, busyeeett....Saya jatuh itu lantaran Kuncoro Manik
meniupi bekas tapak kaki saya. Pantes, yang lain juga pada berjatuhan. Nggak
tahunya Kuncoro Manik meniup bekas tapak kaki mereka itu. Bener-bener ilmu
gendeng, man. Baru pertama kali ini saya lihat ada ilmu kayak begitu."
"Ilmu gendeng, ilmu gendeng. Ya, kamu itu yang gemblung. Nah, terus itu sapu
buat apa?" "Saya tadi punya akal, man. Saya cari aja sapu. Supaya tapak kaki saya nggak
membekas di tanah, maka saya lari mundur sambil nyapu menghilangkan jejak tapak
kaki saya itu. Pinter kan saya, man?"
"Emang pinter, tapi tetep aja gemblung."
"Yang penting kan bisa selamet, man. Bukankah itu artinya saya bayak punya akal,
man?" "Biar banyak akal tapi tetep aja pengecut. Dewa apaan kamu, ngelihat temen
digebukin orang malah kabur nyari selamat sendiri. Sudah, sekarang ikut saya.
Kita beri khabar Bethara Guru, bahwa keadaan tidak bisa lagi dikendalikan."
"Ya, man..." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (15)
Oh, dewata mengapa tak kau sadari juga
khilafnya sikapmu. Rupanya ego-mu yang setinggi gunung
sudah tak mampu lagi menyadari
tingginya batang-batang ilalang"
Patih Narada, diiringi Dewa Yamadipati dan beberapa prajurit pengawal istana
yang masih selamat dari amukan Kuncoro Manik, bergegas menuju ke bagian dalam
istana. Mereka mau lapor pada Bethara Guru, raja khayangan Jonggring Saloka,
tentang gagalnya tugas mengusir tamu mereka itu.
Sepuluh menit kemudian, Bethara Guru keluar memakai piyama. Bobok siangnya
terganggu. Di wajahnya tercermin kegusaran yang terpendam. Apalagi di dalam
tadi, ia telah di 'briefing' oleh para pengawal pribadinya tentang kejadian di
halaman istana. Sambil menyembah, Bethara Narada mengadu: "Wah, ketiwasan Adi Guru. Ternyata
Kuncoro Manik sakti sekali. Tidak ada dewa yang mampu menandinginya.
Bahkan mereka satu per satu roboh di tangannya. Dan ia tetap ngotot ingin
bertemu paduka." Bethara Guru nampak diam berpikir. Rupanya persoalan tidak semudah yang ia
perkirakan semula. Kini ia sendirilah yang harus turun tangan menandingi
kesaktian tamunya itu. Tiba-tiba raja Jonggring Saloka itu berkata: "Tunggu sebentar." Lalu, ia masuk
ke dalam. Tak lama kemudian ia keluar. Baju perang komplit telah disandangnya.
Melihat penampilan sang raja, para kawulanya maklum.
Nampaknya situasi kali ini sudah jadi serius.
Dengan iringan para kawula, Bethara Guru keluar menuju ke halaman istana.
Suasana terlihat berantakan. Tapi keadaan sudah mulai terkendali. Para dewa dan
prajurit yang pingsan maupun luka-luka semua sudah dibawa mobil ambulan ke RSCM.
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagian dibawa ke Rumah Sakit St.
Carolus. Untung tidak ada yang meninggal. Rata-rata hanya pingsan terkena
tamparan Kuncoro Manik. "Pendita yang dari tadi mengawasi Kuncoro Manik itu siapa, kakang Narada?" tanya
Bethara Guru di pintu gerbang menuju halaman istana. Ada sedikit kecurigaan
dalam benaknya. Ia seperti merasakan adanya kekuatan terpendam dari energi yang
mengelilingi pandita itu.
"Menurut keterangannya, ia bernama Begawan Pulasara,"
demikian Patih Narada memberikan penjelasan kepada rajanya. "Dia mengaku
pamannya Kuncoro Manik. Namun rupanya hanya paman angkat. Katanya, ia bertemu
Kuncoro Manik setelah anak itu menanjak dewasa. Jadi diapun tidak tahu-menahu
ayah ibunya Kuncoro Manik."
Bethara Guru menghampiri pendita itu. Begitu sudah dekat, energi itu tiba-tiba
lenyap. Kecurigaannya sedikit demi sedikit pupus. Kini pendita di hadapannya itu
nampak seperti rohaniwan biasa, tanpa kekuatan apa-apa. "Apa benar engkau
pamannya Kuncoro Manik?"
"Benar paduka, saya paman angkatnya Kuncoro Manik.
Adapun nama saya: Begawan Pulasara."
"Hmm.. apa kamu benar-benar tidak tahu siapa orang tuanya si Kuncoro Manik?"
"Ketika saya saya temukan dan angkat anak, Kuncoro Manik telah menjelang dewasa.
Jadi saya tidak tahu siapa orang tuanya."
Kuncoro Manik yang dari tadi berusaha menahan emosinya, tiba-tiba angkat bicara:
"Gimana nih Pak Guru" Gua tadi dateng kesini baek-baek cuman mau nanya siapa
orang tua gua. Bukannya dapet jawaban bener, malah dikeroyok rame-reme. Sekarang
gua kagak terima!" Bethara Guru nampak diam. Ia mencoba berpikir keras.
Rupanya persoalan yang satu ini telah menjadi dilema.
Kalau tidak ia selesaikan secepatnya tentu akan jadi berlarut-larut, dan lebih-
lebih akan mengganggu ketenteraman negara. Kalo negara nggak tenteram
perekonomian bakal berantakan.
"Kakang Narada," kata Bethara Guru tiba-tiba.
"Daripada persoalan ini berlarut-larut, bagaimana kalau Kuncoro Manik saya
angkat saja menjadi anak?"
"Saya sih, setuju aja. Kebetulan Kuncoro Manik sakti mandraguna. Jadi malah bisa
kita buat perisai negara Jonggring Saloka. Kemarin kita udah bagus-bagus punya
Kopassus, eeeh sialnya mereka malah punya banyak masalah, wah jadi batal deh..."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (16)
Bethara Guru, raja Jonggring Saloka, memutuskan untuk mengangkat Kuncoro Manik
sebagai anaknya. Namun keputusan itu dibuat semata-mata hanya demi menghindar
dari persoalan yang sebenarnya: supaya Kuncoro Manik melupakan tuntutannya untuk
mencari orang tuanya. Selain itu ada dua keuntungan yang bisa di dapatkan Bethara Guru dengan
mengangkat Kuncoro Manik sebagai anak. Pertama, dengan kesaktian yang
dimilikinya, Kuncoro Manik bisa menjadi perisai negara, jika negara mendapat
serangan dari luar. Kedua, kewibawaannya tidak jadi runtuh gara-gara tak mampu
menemukan orang tua Kuncoro Manik.
"Baiklah," demikian Bethara Guru memulai sabdanya.
"Kuncoro Manik, mulai saat ini engkau aku angkat sebagai anak."
Mendengar keputusan final itu, bahkan Kuncoro Manik sendiri kaget. Diangkat anak
oleh dewa, apalagi dewa penguasa jagat raya, tentu membawa gengsi tersendiri.
Tapi rupa-rupanya masih ada sesuatu yang mengganjal hati Kuncoro Manik.
"Makasih banget, pak. Mudah-mudahan gua kagak salah sebut kalo mulai sekarang
gua panggil elu bapak," kata Kuncoro Manik. "Jadi bener nih mulai sekarang gua
ini anak raja?" "Betul, nak. Mulai sekarang engkau adalah anak seorang raja. Dan terserah engkau
ingin memanggilku bapak, atau ayah, atau papa, atau babe, atau daddy," jawab
Bethara Guru. "Ok?, pak! Sebagai anak raja, gua ada satu permintaan.
Kalau bapak kagak keberatan, gua juga pengen jadi raja."
"Kira-kira kerajaan mana yang kau inginkan, nak?"
tanya Bethara Guru bingung. Ia masih belum mengerti maksud Kuncoro Manik.
Kuncoro Manik diam sejenak. Sebetulnya tuntutannya itu hanya sekedar ingin
memberi pelajaran kepada raja sombong, ayah angkatnya yang satu ini. Mentang-
mentang punya kekuasaan terus mau bikin keputusan seenak jidatnya. Dan juga mau
bertindak seenak perutnya.
"Gua emang pengen jadi raja. Tapi kagak mau kalo pakai cara merebut kerajaan
laen," jawab Kuncoro Manik.
"Kalau jadi raja pake cara begitu pasti bakal bikin ribut. Yang gua maksud
adalah gua pengen jadi raja yang kekuasaannya bisa sama seperti kekuasaan elu,
pak." Gila!! Semua dewa berteriak dalam hati. Namun mulut mereka tetap terkunci rapat-
rapat. Membisu. Dalam hati mereka terus memaki, benar-benar keterlaluan si
Kuncoro Manik. Sudah dikasih hati, ngrogoh jantung.
Sudah untung diangkat anak, sekarang malah minta jadi raja yang kekuasaannya
sama seperti kekuasaan ayah angkatnya.
"Kuncoro Manik, anakku," kata Bethara Guru. Nadanya disabar-sabarkannya,
walaupun mukanya nampak merah menahan amarah. "Jika memang begitu kehendakmu,
itu artinya engkau ingin menjatuhkan kewibawaanku."
"Lho, jangan kesinggung dulu, pak. Gua bukannya pengen ngejatohin wibawa elu.
Gua cuma minta supaya kalo gua berkuasa, kekuasaan gua bisa sebesar kekuasaan
elu. Kalo itu elu anggep ngejatohin wibawa elu, ya terserah lach yaow...."
Emosi Bethara Guru sudah mencapai puncaknya. Manusia di depannya ini benar-benar
kurang ajar. Dan memang harus dihajar biar kapok. Kalo perlu dihajar sampai
nggak bisa bangun lagi. Hanya ada satu cara menghajar manusia sakti macem
begini: "Kuncoro Manik! Baik kalau itu kemauanmu. Tapi ada satu syaratannya."
"Ok?. Apa syaratnya?" tanya Kuncoro Manik menantang.
"Keinginanmu bisa tercapai asal kau kuat menahan pusaka Cis Jaludoro di tanganku
ini. Kalau engkau memang mampu menahan gempuran pusakaku ini, aku bakal berhenti
jadi raja. Kerajaan Jonggring Saloka akan kuserahkan padamu," kata Bethara Guru
geregetan. Para dewa dan prajurit istana kaget bukan main. Yang tadinya ngantuk langsung
hilang ngantuknya karena kelewat kaget. Tapi ada juga yang bludreknya kambuh
gara-gara kelewat kaget. Dan suasana paseban mulai gaduh. Perasaan ngeri
menyelimuti para hadirin. Bukan ngeri karena kerajaan bakal jatuh ke tangan
orang lain, tapi karena tahu apa itu Cis Jaludoro.
Pusaka Cis Jaludoro adalah pusaka utama kerajaan Jonggring Saloka. Dikeluarkan
hanya kalau negara dalam keadaan gawat darurat. Pusaka ini berbentuk keris.
Sarungnya terbuat dari emas murni hasil galian Freeport McMoRan di Papua Barat.
Dihiasi manik-manik intan berlian hadiah dari Afrika Selatan. Kekuatan senjata
ini sungguh dahsyat. Sekali gempur sebuah gunung bisa rontok jadi gurun.
Pusaka yang diwariskan secara turun temurun oleh penguasa Jonggring Saloka ini
dulu pernah digunakan untuk menghancurkan kota Sodom dan Gomorah. Peristiwa itu
terjadi pas masa pemerintahan dipegang oleh Partai Republik yang konservatif.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (17)
Cis Jaludoro adalah pusaka andalan kerajaan khayangan Jonggring Saloka. Pusaka
itu merupakan benteng terakhir para dewa. Sudah beberapa kali digunakan untuk
menangkis serangan-serangan musuh yang sakti.
Dan selalu sukses. Tidak pernah ngadat alias mogok.
"Ok?, pak. Kalau itu emang mau lu, nih, gua serahin dada gua. Tapi, kali ini elu
jangan sampai ingkar janji ya," kata Kuncoro Manik tak menunjukkan kegentaran
barang sedikitpun. "Paman Narada, elu pokoknya gua jadiin saksi ya?"
"Ya..ya..iya nak. Aku saksikan dari sini..." jawab Bethara Narada. Ada nada
kekawatiran dalam jawaban patih Jonggring Saloka itu. Bukan karena ia tahu apa
itu Cis Jaludoro, tapi karena kesombongan sikap rajanya yang terlalu sesumbar
dalam menggunakan senjata itu.
"Bersiap-siaplah...," kata Bethara Guru sambil mengeluarkan pusaka dari
warangkanya, dari sarungnya.
Begitu berada di luar warangkanya, warna pusaka itu berubah jadi cemerlang.
Senjata itu bagaikan menyerap seluruh cahaya alam semesta. Kekuatannya membuat
gemetar siapa saja yang berada di sekelilingnya, termasuk para dewa sendiri.
"Gluduuukk...Gluuuddukk..Gedebuumm!!" Senjata itu ditusukkan tepat ke tengah-
tengah dada Kuncoro Manik.
Bunyinya menggelegar bagai petir menyambar-nyambar di siang bolong. Para dewi
menjerit, bahkan ada yang menangis terisak-isak. Beberapa dewa memejamkan
matanya karena tak tega. Berkali-kali Cis Jaludoro ditusukkan ke dada Kuncoro Manik. Hingga akhirnya
Bethara Guru merasa letih sendiri. Sementara itu, dada Kuncoro Manik masih utuh.
Tak ada satu goresanpun nampak disana. Bahkan merasa sakitpun tidak.
Gila! pekik para dewa dalam hati. Benar-benar ilmu aneh. Semua dewa nampak
tercengang. Rasa kagum mereka bercampur dengan rasa heran.
"Adi Guru," sapa Bethara Narada tiba-tiba. "Sudah, sudah. Adi Guru harus
menerima kenyataan. Yang namanya pusaka itu, kalau dia memang ampuh, sekali
ditusukkan akan kelihatan hasilnya. Tapi, kalau memang tidak ampuh ya sudah.
Tidak usah ditusukan berkali-kali seperti itu. Apalagi malah buat ngiris-iris
tangan segala. "Keampuhan pusaka itu tergantung dari sial atau tidak yang menggunakannya. Kalau
si pengguna pusaka itu pas lagi sial, biar pusakanya super sakti, pasti nggak
bakal mempan digunakan."
"Lalu, bagaimana kakang Narada" Apa memang hari ini saya lagi sial?" tanya
Bethara Guru pada patihnya.
Wajahnya nampak frustasi.
"Ya, gimana. Saya kira sih, Adi Guru harus berani menerima kenyataan. Selain
itu, janji harus ditepati.
Kalau tidak, maka saya takut kewibawaan Adi Guru bakal terpuruk lagi."
"Ya, kakang Narada," kata Bethara Guru. Lalu, ia menatap anak angkatnya sambil
berkata sayu: "Anakku, Kuncoro Manik. Karena kamu sanggup menahan pusaka Cis
Jaludoro maka aku akan menepati janjiku. Mulai saat ini aku akan mundur jadi
raja. Dan kamulah sekarang yang bertahta di khayangan Jonggring Saloka."
"Busyeeet! Beneran nih" Apa gua kagak mimpi bisa jadi raja?" tanya Kuncoro Manik
kaget. "Ya, nak. Engkau sekarang raja jagat raya."
"Hmm, makasih banget, pak. Tapi, kejadian ini bukan salah gua, lho. Ini terjadi
karena bapak sendiri kan yang menginginkannya. Bapak sendiri yang mulai.
Sebenernya, gua tadi cuma bilang bahwa gua ingin punya kekuasaan seperti yang
bapak miliki. Jadi bukan berkuasa atas negara ini."
"Iya, nak. Itu betul."
"Nah, kalau sekarang gua jadi raja, berarti apa gelar gua sekarang?"
"Ya, nak. Sekarang engkau bergelar Prabu. Prabu Kuncoro Manik."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (18)
Prabu Kuncoro Manik akhirnya menduduki tahta Jonggring Saloka menggantikan
Bethara Guru. Untuk mencegah raja yang digantikannya itu terkena "Post Power
Syndrome", maka ia mengangkatnya sebagai penasehat kerajaan.
Tugas penasehat adalah memberi saran dan masukan pada kebijaksanaan yang sedang
dijalankan sang raja. Ada dua hal yang menyebabkan Prabu Kuncoro Manik masih memberi jabatan pada
Bethara Guru. Pertama, ia tak mau ayah angkatnya itu kehilangan muka, karena
telah dibuat malu. Kedua, supaya Bethara Guru, yang bekas penguasa dan tahu
banyak mengenai situasi dan kondisi kerajaan, tidak merongrong kewibawaannya
selama ia memerintah. "Lalu, Paman Begawan Pulasara gua jadiin Kepala Seksi Keamanan dan Politik.
Sanggup kan, paman?"
"Ya, nak. Aku sanggup," jawab Begawan Pulasara.
"Terus aku gimana dong" Masa aku cuman B?T? aja nih,"
tanya Bethara Narada tiba-tiba. Biar bagaimanapun jiwa bekas patih kerajaan itu
tetaplah jiwa seorang bangsawan. Dan bagi kaum bangsawan maupun priyayi, jabatan
adalah penting sekali artinya. Melebihi kepentingan diri dan bahkan keluarganya
sendiri. "Kakek Narada mau kan kalo tetap jadi patih kerajaan ini?" tanya Kuncoro Manik.
"Wah, gimana ya. Tapi, ok? d?h. Sanggup deh," jawab Dewa Narada berbasa-basi.
"Terus aku gimana dong?" tanya Dewa Yamadipati sambil mengelus-elus jidatnya
yang masih benjut. "Abang Yamadipati juga bakal pegang jabatan semula, yaitu Ketua Seksi Pencabutan
Nyawa. Gimana" Sanggup?"
"Oh yah. Bagus. Sanggup deh," jawab Dewa Yamadipati lega. Dia memang sudah ahli
dalam hal-hal nyabut nyawa. Kalau dia sampai dimutasi, apalagi ke Seksi
Bendahara, tentu ia bakal pikir-pikir. Soalnya Seksi Bendahara kerjanya cuman
ngitung keluar masuk duit doang. Udah gitu masih sering dimaki-maki orang,
karena dikira pelit ngeluarin duit kerajaan. Padahal dia kagak punya kekuasaan
untuk melakukan hal itu. Para dewa ini memang terkenal sembarangan kalo menggunakan uang. Mentang-mentang
uang itu uang kerajaan, bukan uang pribadi, makanya suka cu?k.
Kecenderungan mereka dalam memboroskan uang kerajaan kuat sekali. Mereka sanggup
obral duit besar-besaran, apalagi buat nyari pujian, nama baik, dan sanjungan.
Seminggu kemudian, dalam suasana udara nan sejuk karena habis hujan, dan langit
yang cerah, para dewa dikumpulkan. Rata-rata mereka sudah boleh pulang dari
rumah sakit. Sebagai penguasa baru, Prabu Kuncoro Manik nampaknya berkepentingan
untuk memberitahukan jalan pikiran maupun kebijaksanaannya dalam memerintah
kerajaan pada pertemuan itu.
Untuk mencegah timbulnya keresahan, Prabu Kuncoro Manik memang sengaja tidak
merubah jabatan maupun mengadakan mutasi besar-besaran di pemerintahan. Ia hanya
memberikan kesempatan kepada para dewa yang memegang jabatan, untuk membenahi
Departemennya maupun Seksinya masing-masing. Agar mereka bisa berkerja dengan
lebih efektif dan efisien.
Dalam ceramah itu pula, ia perlu memberitahu bahwa ia tidak ingin ada mis-
komunikasi berkembang dalam pemerintahannya. Semua harus terbuka dan transparan.
Danjuga ia ingin agar para bawahannya tidak bersikap masa bodoh dalam melakukan
tugasnya. Para dewa harus punya kesadaran untuk selalu bertanggung jawab.
Mendengar wejangan rajanya yang baru, para dewa dan penduduk Jonggring Saloka
mengangguk-angguk seperti setuju. Namun dalam hati lain lagi bunyinya. Yah, mau
apa lagi" Kebanyakan pada dewa memang bermental
"Status Quo". Jadi merupakan hal yang sulit untuk merubah sifat maupun sikap
mereka itu. Sampai jagat kiamatpun barangkali belum tentu bisa.
"Nah, sekarang gua ada satu pertanyaan. Apakah suatu hari nanti akan ada perang
besar yang bernama: Bharata Yudha?" tanya Prabu Kuncoro Manik kepada Bethara
Guru. "Betul, nak. Perang besar antara keturunan Pandawa dan keturunan Kurawa itu
memang sudah menjadi kodratnya jagat raya," jawab ayah angkat merangkap
penasehatnya itu. "Apa memang kodrat itu tidak bisa digagalkan?"
"Digagalkan" Tidak. Tidak bisa, nak. Karena kodrat manusia sudah tertulis dan
harus dijalani." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (19)
Perang besar Baratha Yudha yang akan datang memang sudah jadi kodrat manusia
yang harus dijalani. Namun, Prabu Kuncoro Manik, raja baru di Jonggring Saloka,
yakin bahwa perang besar itu bisa digagalkan. Atau paling tidak dihindari.
"Gimana kagak bisa dihindari" Kan yang 'njalanin kodrat itu manusia sendiri?"
demikian argumen Kuncoro Manik terhadap para dewa. "Perang kan bisa ngebikin
malapetaka buat kemanusiaan. Nah, kalau manusianya sendiri punya keinginan buat
menghindari terjadinya malapetaka, itu artinya perang masih bisa digagalkan."
Mendengar alasan yang cukup masuk akal dari orang yang menggantikannya sebagai
raja itu, Bethara Guru cuma bisa membisu. Tapi sesaat kemudian: "Gimana kakang
Narada?" "Ya, kalau saya bilang sih, itu kan haknya Kuncoro Manik sebagai raja. Mengenai
bagaimana kelanjutannnya, ya nanti terserah kebijaksanaan Sang Hyang Widiwasa,"
jawab Bethara Narada enteng.
Sang Hyang Widiwasa, atau Sang Hyang Wenang, adalah dewanya para dewa. Orang
Cina menyebutnya Thian. Orang bule menyebutnya God. Ia berkuasa atas semua
mahkluk yang ada di jagat raya, baik dewa, manusia, dan juga para mahkluk halus.
"Mong-ngomong, apa sih yang menyebabkan terjadinya perang Bharata Yudha itu?"
tanya Prabu Kuncoro Manik.
Ia cuma ingin meyakinkan dirinya kalo apa yang di dengarnya selama ini tidak
salah. "Penyebabnya, saat ini keturunan Kurawa menguasai kerajaan Astina yang bukan
haknya," jawab Bethara Guru. "Padahal, kerajaan itu sebenarnya adalah milik
keturunan Pandawa, saudara sepupu mereka. Nah, kembalinya kerajaan itu ke tangan
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keturunan Pandawa, hanya bisa dilakukan melalui perang besar itu."
"Lha, itu kan namanya para dewa kagak adil semua,"
kata Prabu Kuncoro Manik kepada para dewa yang ada dihadapannya. Mendengar
kritik itu, para dewa dalam hati dongkol. Tapi mau protes nggak ada yang berani.
Biar begitu, Prabu Kuncoro Manik sudah tahu. Ia tahu, walaupun ia kini sudah
resmi diangkat jadi raja para dewa, namun sebagai manusia, ia yakin dirinya
tetaplah dipandang rendah. Wejangannya cuma masuk kuping kiri keluar kuping
kanan. Dewa tetaplah dewa. Mereka selalu merasa bahwa derajatnya berada
setingkat di atas manusia. Serba merasa tahu. Serba benar.
Selain itu ada alasan lain mengapa para dewa ini ngotot sekali tidak ingin
melihat gagalnya perang Baratha Yudha. Alasannya itu: karena perang ini
merupakan sebuah tontonan besar bagi para dewa sendiri. "The Show of The
Century". Ibarat pertandingan tinju antara Muhammad Ali melawan Joe Fraizer. Mike Tyson lawan
Evander Hollyfield. Atau ibarat piala dunia sepak bola antara kesebelasan Brasil
lawan Jerman. Dalam perang Baratha Yudha nanti akan ditampilkan pertandingan adu kekuatan dan
kesaktian, baik dari pihak Pandawa maupun pihak Kurawa. Buat nonton pertandingan
itu, banyak diantara para dewa yang sudah memesan tempat duduk jauh-jauh hari
sebelumnya. Baik melalui agen-agen maupun calo-calo. Bahkan ada yang berani
membayar mahal supaya bisa dapet tempat paling depan.
Yang enak yang punya jabatan. Mereka ini, terutama para anggota Dewan Perwakilan
Dewa, terkadang tinggal angkat tilpun minta disediakan tempat duduk yang baik
oleh pihak panitia. Dan pihak panitia mau nggak mau terpaksa menurutinya. Karena
kalo nggak, bakalan bisa berabe. Saat ini, para anggota Dewan Perwakilan Dewa
itu ibarat raja-raja kecil yang harus selalu dituruti keinginannya. Padahal
mereka ngakunya wakil rakyat.
"Kalau memang para dewa semua adil, Prabu Duryudana yang sekarang berkuasa di
kerajaan Astina, harus dipaksa mengembalikan kerajaan itu pada pihak Pandawa.
Kalau dia kagak mau berarti memang dia ini biang keladinya. Dan perlu
dimusnahkan. Kalau biang keladinya dimusnahkan, kan perang kagak bakalan jadi.
"Yang namanya perang, biar bagaimanapun bentuknya bakal menimbulkan korban yang
kagak sedikit. Terutama sekali di pihak rakyat kecil. Banyak istri-istri yang
bakal menjadi janda karena kehilangan suaminya, begitu juga suami kehilangan
istri, anak kehilangan orang tua, dan seterusnya. Itu sebabnya kenapa gua pengen
menggagalkan perang Bharata Yudha."
Pada dewa tetap diam. Mereka mendengarkan dengan serius sambil manggut-manggut.
Namun hati masing-masing rusuh: memprotes, menentang, cuek, bahkan mencibir. Ada manusia
kok berani ngajari dewa, huh!
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (20)
Keinginan Prabu Kuncoro Manik, raja Jonggring Saloka, untuk menggagalkan perang
Baratha Yudha sudah tidak bisa dibendung lagi. Dan tak ada dewa yang berani
menentang tindakannya itu. Dalam hukum kerajaan, seorang bawahan harus menuruti
perintah raja. Kalau tidak, akibatnya bisa macam-macam. Mulai dari mutasi dan
pemecatan, sampai dengan pengucilan, dan bahkan penjara maupun eksekusi.
Bethara Guru yang nampak bimbang bertanya pada Kuncoro Manik: "Lalu, apa
rencanamu, nak?" "Rencana gua gini. Paman Begawan Pulasara gua mau utus ke negara Astina untuk
ngeboyong Dewi Banowati. Berhubung Prabu Duryudana kalau sama permaisurinya itu cintanya setengah modar,
pasti ia bakal menyusul kemari kalo tahu Banowati ada disini. Nah, kalau
Duryudana udah sampai disini, biar gua suruh dia supaya nyerahin kerajaannya ke
pihak Pandawa. Dengan begitu perang Baratha Yudha bakal bisa dihindari. Tapi
kalau dia nolak, biar tahu rasa dia. Gimana paman"
Setuju kan?" "Ya, nak. Aku akan melaksanakan perintahmu. Mohon pamit, sekarang juga aku
berangkat," kata Begawan Pulasara singkat tanpa basa-basi. Setelah menyembah,
dan mendapat restu dari raja, ia segera mengundurkan diri. Waktu mau berangkat,
bagian protokol istana menawarinya menggunakan mobil Mercy terbaru keluaran
tahun 2004. Tapi dia menolak. Ia lebih memilih naik mobil Toyota Corrola bekas
yang ada di gudang istana.
Tak lama kemudian Prabu Kuncoro Manik memberi perintah patihnya: "Nah, Paman
Narada. Elu gua utus turun ke bumi buat manggil Prabu Kresna, raja Dwarawati.
Kresna sebagai pelindung dan penasehat keluarga Pandawa, mau gua minta juga
supaya menggagalkan perang Baratha Yudha. Buat jaga-jaga, Paman Narada boleh
bawa semua dewa dan prajurit pilihan Jonggring Saloka."
"Wah, aku sih siap, nak. Tapi kalau Prabu Kresna nggak mau diajak kemari," tanya
Patih Narada ragu. "Ya, kalau sampai tugas itu gagal, Paman Narada yang bakal gua cemplungin
sekalian ke Kawah Candradimuka,"
kata Kuncoro Manik dingin, tapi dalam hati tersenyum.
Ancaman kosongnya ternyata berhasil.
"Waduuhhh! Modar aku!" kata Narada. "Hei Yamadipati, gimana ini" Jangan bengong
aja kamu! Ada orang tua lagi kesusahan kok malah ngelamun!" Bethara Narada
nervous mendengar ancaman Kuncoro Manik.
"Ya, turutin aja, man. Paman Narada dapet iringan pengawalan para dewa dan
prajurit pilihan, kenapa takut" Masa kalo rombongan kita banyak, kita nggak bisa
maksa Kresna sih," jawab Dewa Yamadipati, dewa pencabut nyawa. Walaupun jawaban
itu cukup membesarkan rasa percaya diri, tapi Bethara Narada kurang bisa
diyakinkan. Ia tahu siapa Kresna.
Setelah rencananya mulai kelihatan jalan, Prabu Kuncoro Manik segera memanggil
kepala bagian protokoler istana. Ia mau pergi ke panti pijat, karena badannya
terasa pegal-pegal. Oleh protokol istana ia ditawari kereta kencana kerajaan,
yang gemerlapan warnanya, melebihi gemerlapnya kereta kerajaan Inggris Raya.
Tapi ia menolak, dan minta naik mobil Volvo model lama. Ketika ditawari
pengawalan Secret Service, sekali lagi dia menolak. Alasannya dia mau santai,
tak mau kaku. Tak lama kemudian, mobil beserta sopirnya tiba. Prabu Kuncoro Manik segera naik
ke dalamnya. Begitu berada di dalam ia kaget. Ternyata sopirnya sudah tua
sekali. Rambutnya putih beruban tanpa tersisa sedikitpun hitamnya. Walaupun sopir tua
itu kelihatan sehat, tapi badannya nampak kurus kering. Wajahnya letih.
"Nama bapak siapa?" tanya Kuncoro Manik.
"Saya Dewa Paijo. Tapi panggil saya Paijo saja, paduka," kata sopirnya merendah.
"Ngomong-ngomong paduka mau ke panti pijat yang mana?"
"Yang paling bagus di negri ini, panti pijat mana, pak?" tanya Prabu Kuncoro
Manik, yang akhirnya manggil
'pak' kepada sopirnya untuk menghormatinya.
"Kebanyakan mereka yang seneng pijet, terutama para pejabat, pasti nyari yang
satu itu. Namanya Panti Pijat 'Sekar Asmara'. Pemiliknya istri pensiunan
pejabat. Tukang pijitnya para bidadari yang masih muda, cantik dan bahenol.
Rata-rata anak kuliahan. Tapi walaupun muda, pijitannya siiip, kata mereka yang pernah kesana."
"Baik. Kalau gitu kita kesana."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (21)
Mobil Volvo dan penumpangnya meluncur menuju panti pijat "Sekar Asmara". Panti
pijat paling nge-top di seluruh kerajaan Jonggring Saloka itu terletak di
perumahan elit kerajaan. Pemilik sekaligus
pengelolanya adalah seorang istri pensiunan pejabat.
Dulu waktu masih bertugas, pejabat itu cukup disegani kawan maupun lawan. Hingga
kinipun masih begitu. Karenanya, usaha panti pijat itu tak ada yang pernah berani mengusik-usik.
Padahal menurut khabar burung, kegiatan di dalamnya termasuk "Full Body-part
Massage". "Ngomong-ngomong, umur Pak Paijo berapa" Kok kelihatannya masih kuat kerja?"
tanya Prabu Kuncoro Manik pada sopirnya.
"Umur saya enampuluh delapan tahun, paduka," jawab Dewa Paijo. "Sebenarnya saya
sudah beberapa kali minta pensiun. Tapi tidak diijinkan. Alasan mereka: kerjaan
saya belum ada yang bisa menggantikan. Ya, apa mau dikata" Memang kebanyakan
anak-anak muda belum banyak tahu jalan seperti saya. Tapi saya pikir, mereka kan
bisa belajar. Kalau tidak diberi kesempatan, apalagi kesempatan untuk berbuat
salah, bagaimana mereka bakal maju"..."
"Hmmm ya, ya masuk akal," kata Kuncoro Manik. Dari nada bicaranya, nampaknya
dewa yang satu ini ingin 'curhat', pikir Kuncoro Manik. Suatu kebetulan, karena iapun ingin tahu lebih
jauh situasi dan kondisi negara ini. Biasanya rakyat kecil lebih jujur dalam
menerangkan keadaan sekitarnya. Maka ia pancing dengan pertanyaan: "Apa menurut
bapak regenerasi di kerajaan ini kurang berjalan lancar?"
"Menurut saya sih, memang kurang. Gimana mau lancar kalau golongan tua masih
terus ingin menguasai semua lahan" Nggak mau pensiun-pensiun. Nah, golongan
mudanya cuma bisa nunggu terus sambil bengong. Yang beruntung, biasanya yang mau
tunduk dan bisa 'njilat, memang mendapat posisi jabatan. Tapi tetaplah cuma
bawahan dengan semboyan 'yes, sir' atau 'yes, madam'.
"Situasi seperti itu makin parah dengan keadaan perekonomian yang lemah akibat
krisis berkepanjangan, 'rule and law' yang tidak bener aturan mainnya, dan KKN yang masih subur. Belum
lagi adanya masalah-masalah seperti separatisme, konflik antar etnik, pemboman, premanisme,
dan lain sebagainya. Makanya kemajuan negara jadi terhambat."
Mendengar cerita langsung dari sosok rakyat jelata itu, Prabu Kuncoro Manik
makin mendapat gambaran yang luas tentang keadaan negara yang dipimpinnya.
Rupanya sistim negara banyak yang harus diperbaiki. Selain itu disiplin harus
diterapkan secara keras. Tapi apa ia mampu melakukan semua itu, kalo mental
rakyatnya yang pada 'sakit' sudah demikian akut" Dengan penasaran ia bertanya:
"Pak Paijo dulu lulusan mana?"
Jawab Dewa Paijo merendah: "Oh, saya cuma lulusan UGM, paduka. Dan sempat
beberapa tahun di Cornell..."
"Ooooh..." desah Prabu Kuncoro Manik, yang 'Drop Out'
dari STF Driyarkara itu. Sepeninggal Prabu Kuncoro Manik dari istana, datanglah Dewa Serani. Anak Bethara
Guru yang jiwanya borjuis ini nakal dan paling susah diatur. Kerjanya kelayapan
dengan mobil Porche hadiah ulang tahun dari ayahnya.
Dengan modal tampang, yang memang cukup lumayan, Dewa Serani kencan kesana-
kemari. Ceweknya ganti-ganti.
Mulai anak pejabat, turis bule, sampai p?r?k kelas teri. Untung selalu pakai
kondom, jadi sampai sekarang selalu terhindar dari AIDS. Dan kalau lagi nggak
pacaran, kerjanya nongkrong atau pesta dengan anak-anak pajabat dan bangsawan
lain. Rupanya Dewa Serani nggak sadar kalau bapaknya tiap hari kerja mati-matian
'mark-up' proyek untuk bisa membuat keluarganya hidup di atas garis kekayaan.
Iapun nggak sadar kalau bapaknya harus bersusah payah memanipulasi keuangan
negara supaya ia bisa sekolah ke luar negri, ibunya bisa jalan-jalan ke Amrik
atau Eropa, dan sekeluarga bisa secara rutin belanja ke Singapura.
Dan saat ini, Dewa Serani sedang naksir berat seorang cewek, namanya Dewi
Jenokowati. Cewek itu anak Raden Janoko atau Raden Arjuna, salah seorang dari
lima bersaudara keluarga Pandawa.
Dewa Serani telah berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa ia ingin berkeluarga.
Tapi ia cuma mau berkeluarga dengan Dewi Jenokowati. Orang tuanya cukup senang
dan mendukung rencana itu. Mereka memang selalu berharap, barangkali saja kalau
anaknya sudah berkeluarga kelakuannya akan berubah menjadi lebih baik.
Namun rupanya lain yang tersirat dalam kodrat. Dewi Jenokowati sudah jodohnya
Raden Antasena. Bahkan sudah menikah dan baru saja pulang 'honeymoon' dari
kepulauan Lombok. Antasena sendiri adalah anak bungsu dari Bimasena, juga
keturunan Pandawa. "Sembah saya pada ayahnda. Semoga ayahnda tidak kekurangan suatu apapun. Semoga
kerajaan ini tetap jaya dan sentosa ditangan ayahnda," kata Dewa Serani.
Ia belum tahu kalau ayahnya sudah turun tahta.
Nampaknya ayahnya juga tidak mau memberitahukan kondisi yang sebenarnya. Malu.
Dan takut anaknya kecewa.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (22)
Langit mendung kelabu. Udara lembab tak berangin. Di paseban istana, Bethara
Guru menatap anak kesayangannya. Ia senang dengan kedatangan anak itu.
Wajahnya mirip permaisuri yang dikasihinya. Anak yang cerdas, dan selalu menurut
perintah orang tua. "Kenapa engkau nampak resah, nak?" tanya Bethara Guru.
"Sudah beberapa minggu ini saya tak bisa tidur, ayah,"
kata Dewa Serani memulai pengaduannya. "Mau makan juga kurang enak rasanya.
Perasaan saya tidak bisa tenang.
Semua itu karena bayangan Dewi Jenokowati yang selalu muncul dalam angan-angan."
"Ya, aku tahu itu, nak. Tapi aku minta engkau tidak usah melarikan diri kepada
hal-hal yang negatif. Karena aku dengar engkau sekarang banyak memakai sabu-sabu dan ecstasy."
"Saatnya nanti, saya akan berhenti, ayah. Tapi hidup saya hampa tanpa Dewi
Jenokowati. Kalau ayahnda tak mampu menjodohkan saya dengan dia, saya gantung
diri saja." Dewa Serani nampak sedih dihadapan ayahnya. Anak nakal yang manja itu memang
semakin hari semakin kelihatan kurus. Hasratnya untuk mendapatkan Dewi
Jenokowati, tidak bisa dibendung lagi. Ia tahu, ayahnya, apalagi ibunya, bakal
iba melihat keadaannya. Keadaan yang seolah-olah tragis karena ditambah dengan
ratapan palsu. "Anakku," demikian sabda Bethara Guru. "Apa yang jadi kemauanmu itu telah aku
pikirkan sejak lama. Ketahuilah nak, Antasena saat ini sudah mati."
"Apakah itu benar, ayah" Antasena sudah mati?" tanya Dewa Serani. Matanya
langsung tampak berbinar-binar.
Ingin rasanya ia bersorak dan melonjak girang sampai ke langit ke tujuh
mendengar berita itu. "Benar, nak. Jasad Antasena sudah kucemplungkan ke Kawah Candradimuka. Tapi aku
minta engkau jangan bilang siapa-siapa. Karena aku tidak mau rencanaku ini
diketahui siapapun, kecuali orang-orang yang bisa kupercaya."
Semangat Dewa Serani langsung menyala. Tubuh yang tadinya lesu sekarang
kelihatan segar. Ia kini lega setelah mendengar salah satu penghalang, bagi
bersatunya antara dirinya dengan Dewi Jenokowati, telah tersingkirkan. "Terima
kasih, ayah. Lalu, apa yang musti saya kerjakan sekarang?"
"Nah, sekarang turunlah engkau ke bumi. Temuilah Arjuna. Kalau bapaknya
Jenokowati itu merelakan anaknya engkau lamar, maka berilah segala apa yang dia
mau: Pangkat" Jabatan" Kedudukan" Kekayaan" Atau apapun yang dia mau. Tapi kalau
Arjuna tidak rela menyerahkan Jenokowati, engkau bereskan saja dia sekalian,"
kata Bethara Guru dingin.
Mendengar sabda ayahnya, hati Dewa Serani kembali melambung tinggi. Kini ia
telah benar-benar mendapat restu dari ayahnya. Maka ia yakin tak akan ada lagi
yang mampu menghalangi niatnya.
Sambil menyembah Dewa Serani berkata: "Ayah, saya akan pergi sekarang. Mohon doa
restu!" Dewa Serani kemudian berangkat. Karena terlalu percaya diri, ia tidak membawa
pasukan untuk melaksanakan niatnya. Ia cuma mengajak pembantunya, Togog. Mereka
berdua menuju ke kerajaan Madukara, tempat Arjuna memerintah.
Tak lama setelah Dewa Serani pergi, Patih Narada yang dari tadi terkantuk-katuk
di pojokan segera beringsut mendekat kepada Bethara Guru. Ia tadi sempat
tersentak mendengar sabda bekas rajanya itu pada anaknya.
"Adi Guru! Urusan dengan Dewa Serani itu tadi bagaimana?" tanya Patih Narada
kawatir. "Saya suruh dia menemui Arjuna untuk meminang Jenokowati. Sekaligus untuk
memberi khabar kalau Antasena telah meninggal dunia. Dengan pemberitaan itu,
tentu Arjuna akan rela melepas anaknya untuk berjodohan dengan Dewa Serani,"
jawab Bethara Guru ringan.
"Kalau Arjuna nggak rela melepas anaknya, terus bagaimana?"
"Kakang Narada tak usah kawatir. Saya telah
perintahkan Dewa Serani untuk memusnahkan Arjuna sekalian."
"Holly Crap!!!" teriak Bethara Narada.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (23)
"For what is man profited,
if he shall gain the whole world,
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
and lose his own soul?"
---Matthew 16:26 Bethara Narada kaget bukan main mendengar keterangan Bethara Guru. Tindakan
bekas rajanya memberi restu kepada Dewa Serani, untuk menghabisi Arjuna bukan
saja membahayakan, namun juga mengkawatirkan.
Besar sekali perubahan yang terjadi pada diri Bethara Guru, pikir Patih Narada.
Dulu, ketika baru pertama kali terpilih sebagai raja, seluruh rakyat Jonggring
Saloka mengelu-elukannya. Ia disambut dengan optimisme. Menjadi harapan akan
terjadinya perubahan pada segala bidang di kerajaan itu. Perubahan seperti itu
memang benar terjadi, tapi ternyata cuma sesaat.
Dan sekarang, bukan saja keputusan-keputusannya mengandung semangat negatif,
bahkan terkadang kontroversial. Dan itu biasanya dilakukan tanpa berembuk dulu
dengan para rekan maupun bawahannya.
Dari sikap itu saja sudah terlihat bahwa Bethara Guru semakin menjadi individu
yang arogan. "Wah, beribu maaf Adi Guru," kata Patih Narada. "Tapi saya kira tindakan yang
Adi Guru lakukan tadi itu salah. Ingat, Adi Guru sekarang ini sudah bukan raja
disini lagi. Bukankah sekarang ini Adi Guru hanya berkedudukan sebagai
penasehat?" Mendengar kritik itu, Bethara Guru seperti tersentak sadar. Namun kesadaran yang
terlambat: "Jadi, apa tindakan saya kali ini keliru lagi, kakang Narada?"
"Ya, keliru lach yauuuwww......" kata Patih Narada kesel. "Wah, kalau Kuncoro
Manik tahu, belum tentu ia akan setuju dengan tidakan Adi Guru barusan tadi.
Boleh jadi malah marah."
"Lalu, saya musti bagaimana, kakang Narada?" tanya Bethara Guru.
"Ya, silahkan saja ditindak lanjuti. Pokoknya saya nggak ikut-ikutan lah," kata
Patih Narada dongkol. Ia sendiri sedang puyeng memikirkan tugas yang dibebankan
padanya oleh Prabu Kuncoro Manik. Penguasa baru itu telah memerintahkannya untuk
memanggil Prabu Bethara Kresna ke khayangan. Walaupun kedengarannya mudah, namun
ia tahu kenyataannya bakal berlainan.
Prabu Kresna bukan orang sembarangan. Ia titisan Dewa Wisnu, dewa kebahagiaan,
yang amat disegani oleh para dewa sendiri karena kebijaksanaannya.
Raja Dwarawati itu dijuluki Andeng-Andeng Jagat alias Tahi Lalat Jagat.
Kesaktiannya benar-benar tiada tandingan. Senjata pusakanya banyak. Yang
terkenal diantaranya Kembang Wijaya Kusuma. Setangkai kembang yang mampu
menghidupkan orang mati. Selain itu masih ada Cakra, panah tanpa busur. Panah
sakti itu mampu merontokkan sukma lawannya. Selama ini tak ada yang kuat menahan
gempuran senjata itu, bahkan para dewa sekalipun.
"Wah, urusan saya sendiri gampang-gampang susah," kata Patih Narada. "Entar
kalau udah sampai Dwarawati saya yakin urusannya kan bakalan kusut...."
"Sudah, kakang Narada tak usah terlalu kawatir dengan tugas yang terbeban saat
ini. Apapun hasilnya saya akan ikut bertanggung jawab." Bethara Guru mencoba
meyakinkan. Tapi yang diyakinkan nampak ragu.
"Yah udah, gini aja deh," kata Patih Narada. "Adi Guru silahkan tinggal di
istana saja. Biar saya dan para dewa, serta pasukan khayangan turun ke bumi.
Berhasil tidaknya tugas saya, itu urusan nanti."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (24)
Pagi itu cerah. Mentari sedang memanja bumi dengan sinarnya. Langit biru tak
berawan menjadi latar belakang warna Astinapura, ibukota kerajaan Astina.
Di istana sedang terjadi kesibukan. Walaupun hari itu bukan 'hari pasowanan'
(hari-hari yang telah ditentukan bagi para bangsawan untuk menghadap raja),
namun para pejabat diharuskan menghadap.
Astina adalah negri yang kaya dan sering disebut orang: sorga di dunia. Tanahnya
subur hasil muntahan lahar dan abu gunung berapi. Pepohonan rimbun menghijau
dengan aneka ragam buah-buahan.
Kembang-kembang berbagai warna memancar menyongsong fajar. Meniupkan aroma
bahagianya kehidupan. Segalanya melimpah di negeri katulistiwa itu. Termasuk air yang memancar dari
tanah tak ada habisnya. Air itu bening dan manis rasanya. Mampu mengobati bukan
hanya dahaganya raga, namun juga jiwa.
Fauna berbagai jenis, baik yang liar maupun yang dipelihara, hidup sehat dan
gemuk. Sedangkan di lautan ikan melimpah ruah sampai tak muat dijala.
Namun sayang, kekayaan alam Astina yang melimpah itu tidak mampu dimanfaatkan
untuk kesejahteraan seluruh penduduknya. Hanya para elit kekuasaan, orang kaya
yang punya koneksi dan kaum bangsawanlah yang berkenan menikmatinya.
Rakyat yang bodoh, tak memiliki sarana untuk mengembangkan hartanya, bukannya
ditolong tapi malah makin dibodohi. Kreativitas mereka terhambat, atau bahkan
terkadang sengaja dihambat oleh tangan-tangan jahil para oknum penindas.
Di negeri yang kaya itu, para pemimpin hanya pintar berteriak-teriak untuk
kepentingan posisi, baik diri sendiri maupun kelompoknya. Mereka tak mampu
memberi contoh yang baik. Sehingga yang muncul adalah rakyat yang mencontoh
pemimpinnya sebagai koruptor, oportunis dan hipokrit. Agama dikedepankan, tapi
relegiositas mengalami kemunduran besar.
Para elit kekuasaan di negeri Astina berkuasa untuk kepentingan pribadi masing-
masing. Rakyat hanya dijadikan obyek, yang kalau sudah tidak berguna, diabaikan.
Bagaikan tebu, habis manis sepah dibuang.
Para penguasa dan wakil rakyat, yang seharusnya merupakan abdi masyarakat, malah
menjadi majikan masyarakat. Buat mereka, rakyat hanyalah buruh, budak dan
bedinde. Yang tenaga dan jiwanya bisa seenaknya mereka hisap untuk melanggengkan
kekuasaan. Pendidikan nasional, yang seharusnya mampu
menghasilkan pemimpin-pemimpin masa depan, akhirnya hanya berhasil mencetak kaum
robot. Mesin tanpa rasa iba.
Dunia pendidikan ini bahkan masih sering digunakan sebagai tempat menggarap
kepentingan pribadi maupun kelompok. Dari hasil garapan ini, munculah perubahan
diri menjadi manusia-manusia bermental preman. Yang lebih senang mengandalkan
kekerasan dan tawuran ketimbang menggunakan otak.
Adapun raja yang berkuasa di negeri Astina, saat ini adalah Prabu Duryudana.
Yang berjuluk pula Prabu Joko Pitono, atau Prabu Gendariputra. Anak Prabu
Destarata dan Dewi Gendari. Ia anak pertama dari seratus bersaudara. Mereka ini
disebut wangsa Kurawa. Ketika semua pejabat dan bangsawan telah berkumpul di paseban, tak berapa lama
kemudian, Prabu Duryudana berkenan keluar. Pakaian kebesarannya dari kain sutera
keemasan, berkilauan tertimpa cahaya siang. Ia dikawal prajurit-prajurit wanita
pilihan yang cantik-cantik mempesona. Mereka ini bertugas menjaga keselamatan
sang raja. Setelah duduk di singgasananya, sang raja kembali tenggelam dalam lamunannya.
Diam seribu basa. Seperti ada sesuatu permasalahan pelih yang tak mudah di
pecahkannya. Melihat pemandangan itu, para kawula hanya mampu duduk menunggu dan berdiam
pula. Karena pantang bagi mereka untuk bicara sebelum sang raja berkenan
terlebih dahulu bicara. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (25)
Suasana di Paseban Agung istana kerajaan Astina masih sepi seperti di kuburan.
Suara-suara lalat yang berterbangan sungguh terdengar dengan nyata. Binatang
sampah itu mencari bau-bau aneh di sekitar mereka. Bau keringat para bangsawan
yang belum mandi karena takut terlambat menghadiri pertemuan. Bau tengik
keringat manusia katulistiwa yang bercampur dengan
parfum-parfum mahal bikinan Paris.
Para bangsawan masih duduk terpekur menunggu sabda rajanya. Jangankan bersuara,
bahkan bergerakpun tak ada yang berani. Tidak patut menurut etika istana.
Sehingga jidat mereka yang basah berkeringat segera jadi tempat bermain dan
berpacaran lalat-lalat kurang ajar.
Ada nama-nama besar yang saat ini sedang duduk di hadapan Prabu Duryudana,
maharaja kerajaan Astina.
Mereka, para pejabat dan bangsawan terpandang ini, diantaranya: Patih Sengkuni,
Begawan Drona, Prabu Karna, dan Raden Kartomarmo. Mereka adalah orang-orang
terdekat dan kepercayaan raja.
Para bangsawan ini masing-masing punya keahlian maupun kesaktian. Mereka cukup
disegani oleh rakyat Astina.
Tapi sayang, sifat-sifat mereka yang buruk sudah terkenal pula di manca negara.
Sehingga orang segan, dan bahkan takut berurusan, karena setiap kata yang
meluncur dari mulut mereka itu, ibarat semburan berancun seekor ulah kobra.
Ada pula diantara orang-orang pilihan raja ini yang memiliki kharisma. Namun
kharisma itu akhirnya hanya digunakan untuk kepentingan diri sendiri maupun
kelompoknya. Dengan kharisma itu mereka menjual idealisme dan cita-cita semu.
Dengan kharismanya itu mereka ingin tetap berkuasa. Karena dengan berkuasa
seseorang bisa punya 'privelege', disanjung-sanjung dan dipuja-puja.
Duduk paling depan adalah patih kerajaan Astina, Patih Sengkuni. Waktu masih
muda panggilannya Raden Haryo Suman. Ia adik Dewi Gendari. Sehingga dengan
demikian ia adalah paman kandung Prabu Duryudana sendiri.
Patih Sengkuni berasal dari kerajaan kecil Peloso Jenar. Ia tipe bangsawan yang
hipokrit. Mampu bersikap ramah pada siapa saja sehingga orang akan senang
kepadanya. Namun, sikap ramahnya itu bagaikan sarang laba-laba. Orang yang sudah
merasa lekat sulit untuk melepaskan diri, sebelum akhirnya dimangsa.
Selain itu, Patih Sengkuni tak segan-segan
menghancurkan reputasi siapapun, bahkan mereka yang dekat dengannya sekalipun.
Memang kesaktiannya tidak seberapa, namun kata-katanya tajam beracun. Dengan
kata-katanya, ia mampu merubah karakter seseorang yang memiliki sifat malaikat,
menjadi seperti bersifat setan. Ia manipulator yang tangguh.
"Paman, Paman Haryo. Aku lihat para perisai kerajaan Astina, sudah pada datang,"
kata Prabu Duryudana tiba-tiba tersadar dari lamunannya.
"Yyy..ya bagaimana" Em..ya Anakprabu?" jawab Patih Sengkuni agak terkejut.
Kemudian segera membetulkan letak duduknya. Setelah itu dengan iringan sembah
yang kelihatan sekali menjilat berkata: "Apakah Anakprabu sudah berkenan
bersabda" Kalau sudah, silahkan Anakprabu berkenan menyapa mereka."
Prabu Duryudana segera menyapa satu per satu. Dimulai dari gurunya, Begawan
Drona, seorang pendita sakti.
Rohaniwan yang cukup disegani dimana-mana dan telah lama mengabdi pada keluarga
Astina. Ia bukan saja guru para wangsa Kurawa, namun juga wangsa Pandawa sebelum
mereka terbuang dalam pengasingan.
Ilmunya banyak, baik ilmu perang, perkelahian, maupun ilmu kanuragan. Wawasannya
yang luas cukup disegani kawan maupun lawan. Dan ia bangga karena punya titel
sekolahan dari berbagai mancanegara.
Namun sayang, Begawan Drona lebih cenderung suka pada hal-hal yang menyangkut
keduniawian. Karena itu, ia lebih sering terlihat berada di lingkungan
kekuasaan, ketimbang di padepokan, sanggar tempat ia mengajar.
Dan iapun lebih menghormati orang yang punya jabatan, pangkat, kekayaan dan
titel, ketimbang rakyat jelata maupun para umat pengikutnya.
Setelah itu Prabu Duryudana menyapa Adipati Karna.
Raja kerajaan Awangga ini telah lama mengabdi pada keluarga Kurawa. Dan karena
loyalitasnya yang tinggi, serta kesaktiannya yang mumpuni, maka ia mendapat
jabatan penting di kerajaan Astina. Sayang kesatria yang tangguh dan juara dunia
memanah ini punya sifat buruk. Ia seorang yang temperamental, emosian.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (26)
Melihat kedatangan orang-orang dekatnya, Prabu Duryudana nampak lega. Walau
terkadang masalah yang sulit sering dipecahkannya sendiri, namun kali ini ia
perlu minta bantuan orang lain. "Mungkin Bapa Begawan Dorna bertanya dalam hati,
kenapa saya panggil sekarang ini. Untuk itu saya minta maaf."
"Ooo, tidak perlu paduka minta maaf pada saya," kata Dorna penuh hormat. "Justru
saya berterima kasih karena paduka sudi memanggil saya. Orang tua ini, telah
siap menerima perintah baginda. Mohon ampun.
Kiranya ada persoalan apa hingga paduka memanggil saya"
"Apa saat ini paduka ingin memperdalam ilmu-ilmu lahir maupun batin" Apa paduka
ingin belajar ilmu-ilmu spiritualitas, kerohanian, maupun ilmu kanuragan" Atau
paduka ingin belajar ilmu hitam seperti: sant?t"
p?l?t" babi ng?p?t" sihir" belut putih" jaran goyang"
Atau paduka ingin menambah susuk di badan supaya para c?w?k makin tergila-gila?"
"Bapa Dorna, bukan itu yang saya inginkan..."
"Hm, bukan itu" Kalau begitu apa baginda ingin memperdalam ilmu peperangan"
Ingin mempelajari stategi perang Sun Tzu" Genghis Khan" Sudirman" Tommy Frank"
Atau ingin memperdalam ilmu perkelahian?"
"Bukan, Bapa Drona. Mungkin lain kali saja saya minta pelajaran ilmu-ilmu itu."
"Oh, silahkan. Pokoknya kapan saja paduka membutuhkan, saya siap sedia
membimbing. Paduka tinggal memanggil saya, " kata Begawan Drona. Pendita elit
itu memang selalu ingin tampil sebagai seorang rohaniwan yang sakti, cerdas, dan
punya wawasan luas dalam berbagai hal.
Setelah diam beberapa saat, Prabu Duryudana berkata:
"Begini, Bapa Begawan. Saya bingung mengurai arti mimpi, yang saya dapat
beberapa waktu lalu. Saya sudah berusaha mengurai arti mimpi itu dengan
menggunakan berbagai macam buku primbon, bikinan dalam maupun luar negri. Tapi
tetap nggak ketemu..."
"Ooo, cuma persoalan mimpi toh. Tak perlu kawatir,"
kata Drona dengan sombong. "Bagaimana jalan cerita mimpi paduka itu" Coba, nanti
biar saya uraikan artinya."
Prabu Duryudana mulai menceritakan kisah dalam mimpi itu: Saat itu Prabu
Duryudana dan permaisurinya, Dewi Banowati, dengan iringan seluruh keluarga
besar Kurawa sedang piknik ke pantai Ancol. Tiba-tiba datang ombak besar menuju
arah mereka. Warna ombak lautan yang biru itu tiba-tiba berubah menjadi merah,
serupa warna darah. Ketika sudah dekat, ombak darah itu muncrat seperti ingin melunturkan kecantikan
dan keelokan Dewi Banowati. Melihat kejadian itu, Prabu Duryudana tertegun
dengan perasaan marah dan kesal. Namun tak mampu berbuat apapun. Sehingga yang
timbul hanyalah rasa sesal yang mendalam. Tak lama kemudian, air darah itu
berubah menjadi air yang bening. Di dalam air itu muncul bayangan wajah dua
orang keluarga Pandawa, yaitu Arjuna dan Bima.
"Ohhh, begitu toh. Mimpi bagus itu. Mimpi siiipp.."
kata Begawan Dorna dengan mimik meyakinkan. Ia tahu, sebagai seorang rohaniwan
yang disegani, dan sebagai penasehat spiritual yang mumpuni, kata-katanya di
dengar oleh semua orang di Astina, termasuk oleh sang raja. Biarpun begitu,
dalam hati kecilnya ada sedikit keraguan akan ucapannya sendiri kali ini.
"..hmm..jadi...arti mimpi baik, Bapa Begawan?" tanya Prabu Duryudana.
"Siip..eh, baik, paduka. Jangan kawatir. Begini: Ombak itu melambangkan
kejadian. Darah itu merah, dan merah itu artinya suka atau senang. Jadi akan ada
kejadian yang mampu memberikan rasa senang atau suka pada diri paduka.
"Sedangkan Dewi Banowati terkena ombak artinya, ia akan menjadi sumber
kegembiraan dan kesukaan paduka.
Ia akan melahirkan anak-anak, pangeran-pangeran dan putri-putri yang akan
menjadi generasi penerus tahta Astina. Dan arti mimpi terakhir, air keruh
menjadi air bening, artinya kerajaan Astina, akan memancar dan jaya di bawah
kekuasaan Prabu Duryudana."
"Lalu, para saudara Pandawa yang muncul dalam air bening itu" Arjuna" Bima?"
tanya Prabu Duryudana penasaran.
"Alaaahhh, Arjuna dan Bima itu kan cuma pada iri hati aja. Mereka sirik. Nggak
boleh lihat saudaranya berkuasa, bawaannya ngintip-ngintip kesenangan orang aja.
Pokoknya paduka nggak usah kawatir. Kita punya banyak kesatria yang bisa
diandalkan, kalau memang ada yang mencoba mengancam negara ini. Kita juga punya
banyak sekutu yang siap membela," kata Drona bangga.
Terlalu percaya diri. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (27)
Tiba-tiba Adipati Karna menyembah kepada Prabu Duryudana. Lalu, ia berkata
dengan gagah: "Hamba harap paduka tak perlu merasa kawatir. Jika memang ada
musuh yang mengancam negeri ini, biarlah mereka berhadapan dengan saya!"
"Hmmm, terima kasih kakakku Karna," jawab Prabu Duryudana, senang melihat
loyalitas senapatinya. Saat suasana paseban kembali hening, datanglah kepala pengawal istana dengan
tergopoh-gopoh. Ia menyembah hingga mukanya mencium tanah. Setelah itu melapor:
"Ampun paduka. Seorang pandita kampung nekat ingin bertemu dengan paduka...."
Belum sampai selesai pengawal itu melapor, tiba-tiba muncul seorang pandita
berpakaian sederhana. Namun pada sosok yang sederhana itu seperti terpancar
kekuatan dahsyat yang tersembunyi. Hanya orang-orang yang berilmu tinggi yang
dapat merasakannya. Ketika sampai di hadapan Prabu Duryudana, sang pandita segera menghaturkan
sembah sebagaimana layaknya seorang kawula menyembah pada raja. Baru kemudian ia
duduk dengan tenang. Pada wajahnya tak ada tergambar kegentaran sedikitpun.
Suasana di paseban tiba-tiba diselubungi kegelisahan.
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah-wajah mangkel campur marah mewarnai wajah-wajah para bangsawan maupun
pejabat kerajaan. Tapi belum ada yang berani berkata sepatahpun mendahului
rajanya. Mereka cuma bungkan, sambil sesekali melirikkan mata curiga dan sengit kepada
tamunya. "Ampun paduka. Tadi tamu ini di pintu gerbang kerajaan...." Belum sampai kepala
pengawal itu menyelesaikan kalimatnya, ia telah mendapat lambaian tangan sang
raja. Pertanda ia harus segera
meninggalkan tempat itu. Maka, sambil mengangkat sembah berkali-kali, pengawal
itu mengundurkan dirinya. Hilang kebalik gerbang.
"Kalau tidak salah penglihatanku, dihadapanku ini ada seorang pandita. Engkau
ini siapa dan dari mana asalmu?" tanya Prabu Duryudana keheranan.
"Paduka yang mulia, saya mengucapkan sembah ke hadapan paduka. Kedatangan saya
ke Astina untuk mengabarkan bahwa di khayangan Jonggring Saloka telah ada
penguasa baru, bernama Prabu Kuncoro Manik. Adapun Sang Hyang Bethara Guru, saat
ini telah turun tahta, dan kedudukannya hanyalah sebagai penasehat kerajaan."
"Hmmm...lalu engkau ini siapa?" tanya Prabu Duryudana semakin bingung.
"Saya adalah pandita utusan khayangan. Nama saya Begawan Pulasara."
"Hmm, ya..Begawan Pulasara. Lalu, ada keperluan apa engkau datang kemari?"
"Mohon ampun paduka, jika ada kata-kata saya nanti yang mungkin salah. Pertama,
saya ingin menyampaikan salam Prabu Kuncoro Manik kepada paduka. Kedua, adapun
maksud kedatangan saya sebenarnya ke negeri Astina ini, karena diutus untuk
memboyong permaisuri paduka, Dewi Banowati. Alasannya, karena Dewi Banowati
ingin dijadikan bidadari di khayangan."
Seketika itu pula suasana di paseban ribut. Bagai lebah mendengung, para pejabat
dan bangsawan istana berguman satu dengan yang lain menyatakan kekagetan dan
keheranannya. Sementara itu Prabu Duryudana merah padam mukanya menahan amarah.
Tiba-tiba Adipati Karna menyembah rajanya sambil berteriak: "Panc?n ?dan (memang
gila)! Mohon maaf paduka. Boleh atau tidak boleh, saya ingin minta ijin paduka.
Saya yang akan menjawab permintaan pandita ini!"
"Ya, silahkan kakakku Karna..." kata Prabu Duryudana yang sudah mengetahui
temperamen senapatinya. "Begawan Pulasara! Ketahuilah, aku Adipati Karna, senapati negara ini," kata
Karna sambil mengepalkan tinju di dadanya.
"Ya, bagaimana tuan Adipati?" tanya Begawan Pulasara tenang.
"Nah, ketahuilah juga, bahwa baik buruknya keadaan negara ini menjadi tanggung
jawabku. Karena permintaanmu untuk memboyong permaisuri Dewi Banowati berhubungan dengan baik
buruknya keadaan negara ini, maka tanggung jawabku jugalah yang akan memutuskan
permintaanmu itu. "Lalu, keputusan tuan Adipati?"
"Saat ini aku belum bisa memutuskan. Keluarlah! Tuggu aku di luar! Akan aku
beritahukan keputusanku nanti di luar!"
"Baik jika demikian tuan Adipati. Saya akan menunggu tuan di halaman luar."
Lalu, Begawan Pulasara menyembah pada Prabu Duryudana. "Hamba mohon pamit dulu,
paduka." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (28)
Ketika tamunya sudah keluar, suasana paseban kembali gaduh. Dengung suara bagai
seribu lebah yang sedang marah. Tapi begitu tangan Prabu Duryudana terangkat
keatas baru suasana menjadi tenang.
"Mohon ampun, paduka," kata Adipati Karna sambil mengangkat sembah. "Saya telah
ceroboh mendahului paduka, karena tak mampu menahan emosi. Keinginan pendita
tadi untuk memboyong permaisuri Dewi Banowati, saya anggap sebagai sebuah
penghinaan. Bukan hanya penghinaan terhadap paduka, tapi juga bagi seluruh
penduduk Astina." Prabu Duryudana nampak limbung: "Bagaimana pendapat Bapa Begawan Dorna?"
"Apa yang dikatakan 'nak Adipati Karna betul, paduka.
Saya kira kalau tadi didiamkan, bukan cuma sampai disitu saja permintaannya.
Bahkan kewibawaan paduka bisa ikut diinjak-injak," jawab Drona mantap. Ia diam-
diam masih memendam rasa kesal terhadap tingkah laku pendita kampung tadi.
Sebagai seorang pendita jet-set, ia tersinggung karena tidak dipandang sebelah
mata sedikitpun. "Kalau begitu, apa rencana kita selanjutnya?" Kali ini raja Astina itu benar-
benar seperti kehabisan akal.
"Mohon maaf, paduka," kata Adipati Karna sambil menyembah. Kali ini ia seperti
merasa mendapat lampu hijau. "Pandita itu nanti akan saya suruh pulang. Jika
tidak mau, maka akan saya paksa. Mohon Bapa Begawan Dorna ikut mengamat-amati
tindakan saya dari jauh."
"Oh, jangan kawatir 'nak Adipati. Saya akan ikut amat-amati," jawab Dorna penuh
keyakinan. Walau tidak begitu kawatir, ia tetap merasa perlu waspada.
Dengan iringan sembah, Prabu Duryudana beranjak dari singgasananya. Setelah raja
agung yang kurang punya pendirian itu masuk ke dalam, terjadi kesibukan di
paseban. Para bangsawan dan pejabat Astina mulai mempersiapkan strategi untuk
mengusir tamunya. Begitu ada kata sepakat, mereka beramai-ramai segera menuju ke
halaman istana. Adipati Karna maju sendirian meninggalkan rombongan, ketika mereka tiba di pintu
gerbang. Yang lainnya menunggu sambil mengamati-amati dari jauh.
"Adipati Karna, kamu memang memiliki sikap kesatria.
Tidak lama aku menunggu, rupanya kamu segera keluar,"
kata Begawan Pulasara pada kesatria di hadapannya.
"Kurang ajar. Rupanya sekarang hilang sopan santunmu, ya," kata Adipati Karna
yang merasa disepelekan. Padahal di dalam tadi, pendita ini begitu
menghormatinya. "Orang yang minta selalu dihormati itu biasanya orang yang gila hormat. Orang
yang minta selalu disanjung-sanjung itu biasanya orang ambisius yang gila sanjungan. Nah, sekarang
pokoknya terserah kamu deh. Aku tunggu jawabanmu."
"Hei, rohaniwan tengik! Kamu nggak usah berlagak jagoan. Karena sebentar lagi
kamu bakalan tahu akibatnya. Ketahuilah, aku akan serahkan permaisuri Dewi
Banowati kalau kamu sanggup melangkahi mayatku."
"Adipati Karna," kata Begawan Pulasara sambil tersenyum. "Kamu bakal menyesal
berkata begitu." "Bangsat! Sini tak injek-ijek jadi tempe kamu.
Hiyyaaatttt!!" Adipati Karna meloncat menerkam lawannya. Seluruh tenaganya
dihimpunnya dalam pukulan dahsyat yang terarah pada musuhnya. Angin pukulan itu
menderu. Begawan Pulasara yang kecil perawakannya, masih berdiri dengan tenang. Kuda-
kudanya ia mantapkan. Tangan kirinya ditariknya kesamping dengan telapak yang mengepal. Sedangkan
tapak tangan kanannya yang terbuka dimajukannya menyambut pukulan musuh.
"Brakkk!!" Bunyi pukulan yang bertemu itu mirip tukang es nabrak tong sampah.
Adipati Karna mental terkena pukulan balik lawan.
Badan yang terpental itu salto beberapa saat di udara, sebelum akhirnya mendarat
bagaikan seekor elang hinggap di pucuk pepohonan. Walaupun demikian dadanya
terasa sesak. Begawan Pulasara membetulkan kembali letak
kuda-kudanya. Ketika beradu pukul tadi badannya sempat bergeser sedikit
kebelakang. Namun tidak terpancar rasa sakit sedikitpun pada wajahnya. Ia cuma
tersenyum. "Kurang ajar! Ciiiaaattt!!" Adipati Karna kembali meloncat menerkam musuhnya. Ia
kini tidak mau mengambil resiko mengadu tenaga dalam lagi. Ia keluarkan jurus
baru, Ombak Tangkubanprahu. "Ciatt!!"
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (29)
Jurus Ombak Tangkubanprahu yang dimainkan Adipati Karna memang hebat. Jurus itu
telah dipelajarinya selama puluhan tahun. Pukulan jarak dekatnya membahayakan.
Dan setiap sabetan tapak tangannya bagaikan sabetan dayung yang memecah air.
Begawan Pulasara mencoba bertahan. Namun ia nampak kurang lincah. Di tengah-
tengah serangan musuhnya, tubuhnya bagaikan seekor kecebong yang
terombang-ambing di air comberan. Sementara lawannya terus mendesak membabi-
buta. "Aduhhh!!" Tiba-tiba Adipati Karna memekik sambil meloncat mundur dari
gelanggang. Sekujur tubuhnya terasa kesemutan seperti baru saja mendapat tagihan
dari PLN. Wajahnya berubah pucat. Maka, secepatnya ia bersemadi untuk menguasai
diri kembali. Patih Sengkuni mendekatinya: "Lho, 'nak Adipati, sampeyan kok mundur kenapa?"
"Wah, paman Sengkuni. Ternyata pendita itu memang sakti. Pukulan saya tidak
dirasakannya. Malahan begitu dia tiup tengkuk saya, nggak tahu gimana, tubuh
saya langsung meriang..."
"Lha, terus gimana dong" Di pihak Kurawa, ya cuma sampeyan yang bisa jadi
andelan. Nggak ada lagi," kata Patih Sengkuni agak kawatir. Tapi akalnya segera
jalan. "Kalau sampeyan nyerah, berarti permaisuri Dewi Banowati bakal kena
boyong. Lha, apa nggak sedih Prabu Duryudana nanti?"
Ternyata kipasan kata-kata itu manjur. Adipati Karna mulai mengeluarkan senjata
pusaka andalannya. Sebuah panah sakti. Made in Jonggring Saloka, bukan made in
China. Kabar burung bilang bahwa pusaka sakti itu hasil curian dari gudang
senjata para Dewa. Apakah ada permainan dengan petugas" Tak ada yang tahu juga.
"Sudah, paman nggak perlu kawatir. Sebentar lagi pendita itu bakal jadi bubur."
Patih Sengkuni mundur beberapa langkah. Ia memang belum pernah melihat Adipati
Karna menggunakan senjata pusakanya. Tapi dari cerita mulut ke mulut, ia dengar
bahwa senjata yang dinamai Konta itu sangat ampuh. Tak pernah ada satu
mahklukpun yang mampu lolos
hidup-hidup ketika jadi sasarannya. Bahkan kutu di kepala.
Adipati Karna, juara panah Olympic, membidikkan Konta tepat ke dada lawan.
"Woozzzz!!" Senjata sakti lepas dari busurnya. Bunyinya terdengar mirip peluru
kendali Stinger. "Zduuueerr!!" Bunyi senjata tepat mengenai sasarannya.
Ledakannya memekakkan telinga. Warga Astina bersorak gembira di pinggir
lapangan, termasuk Patih Sengkuni menyunggingkan senyum kemenangan. Kumisnya
yang tipis mirip pisau yang hendak mengiris bawang. Baru kali ini ia melihat
dengan mata kepala sendiri keganasan senjata Konta.
Beberapa saat kemudian, kegembiraan para penonton lenyap. Berubah jadi
kengerian. Ternyata musuhnya masih hidup. Bahkan terlukapun tidak. Cuma
menggaruk-garuk dadanya seperti habis tertabrak kecoak.
"Hah" Lo, sampeyan kenapa 'nak Adipati?" tanya Patih Sengkuni kembali
menghampiri Karna. Begawan Dorna ikut dibelakangnya. Mereka berdua nampak heran
melihat Senapati Astina jatuh terduduk lemes tanpa daya.
"Maafkan saya, paman. Tenaga dan kesaktian saya tiba-tiba seperti lenyap," kata
Adipati Karna sambil mencoba bangkit. Tapi kemudian oleng dan kembali jatuh.
"Seperti ada kekuatan yang menyedot tenaga dan kesaktian saya, paman."
"Wah, kacau nih kalau begini." kata Patih Sengkuni.
Lalu, pada Begawan Dorna ia bilang: "Gimana nih, kakang Dorna. Kalau 'nak
Adipati kalah, mau nggak amu, sampeyan andalan terakhir. Saya pengen lihat apa
memang pengakuan sampeyan di depan Anakprabu Duryudana sebagai pendita serba
bisa tadi bener. Kalo nggak bener, mendingan mutasi aja ke padepokan di pelosok
terpencil." Sesungguhnya bukan karena ancaman Patih Sengkuni yang menyebabkan Begawan Dorna
ingin segera meringkus lawannya. Tapi karena ia ingin menunjukkan, bahwa tidak
sia-sialah selama ini Prabu Duryudana memilihnya sebagai rohaniwan andalan
kerajaan. Pendita yang didengar setiap katanya. Bahkan fatwa-fatwanya dituruti
orang. Ia tidak ingin prestise-nya turun.
"Begawan Pulasara!" teriak Dorna. "Kamu tahu kan siapa saya" Lebih baik
Raden Banyak Sumba 2 Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah Tokoh Besar 1