Pencarian

Ketika Dewa Memaksa 2

Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? Bagian 2


pulanglah sekarang. Kalau rajamu yang bernama Kuncoro Manik marah, biar nanti
aku yang turun tangan."
"Dorna, Dorna...bukan cuma namamu, tapi kelakuanmu juga aku sudah tahu," kata
Begawan Pulasara. "Kurang ajar!" kata Begawan Dorna marah. Ia
tersinggung berat disepelekan pendita kampung yang ada dihadapannya. Maka dengan
sombong, dikeluarkannya pusakanya yang bernama Cundomanik. Katanya sambil
menggertak: "Kalo kamu sudah tahu siapa aku, berarti kamu juga tahu apa yang ada
ditanganku ini kan?"
"Jangan kamu kira aku takut sama senjata mainanmu itu.
Aku bukan maling yang bisa ditakut-takuti pisau dapur begituan."
"Dasar Asu!" pekik Begawan Dorna yang keluar sifat aslinya.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (30)
Seketika itu juga darah Begawan Dorna mendidih.
Tensinya naik. Buru-buru ia menenangkan diri dengan bersemadi karena takut kena
stroke. Ketika dirasa sudah dapat mengendalikan diri kembali, ia mulai mainkan
jurus-jurus dengan memakai senjata pusaka Cundomanik. Penghinaan yang baru saja
diterimanya nampaknya sudah tak ada lagi obatnya.
"Bersiaplah untuk mampus, kau bangsat!" kata Begawan Dorna. Matanya mendelik
memancarkan kebengisan. Napasnya terengah-engah. Jenggotnya yang tertiup angin mirip kambing Bandot yang
betinanya ingin direbut pejantan lain. "Jangan lari kow? ya!"
"Heyaaa!!" "Wuusss!!" Cundomanik ternyata memang senjata sakti. Angin kibasannya
saja bagaikan dorongan angin sebuah truk gandengan ketika menyalip sebuah becak.
Beberapa prajurit yang ilmu tenaga dalamnya rendah nampak terpental.
Namun pertempuran tidak berlangsung lama. Malah boleh dikatakan terlalu singkat
karena Begawan Pulasara nampaknya tidak ingin mengulur-ulur waktu.
Ketika senjata lawan ditusukkan ke arahnya, Begawan Pulasara nampak berkelit.
Gerakkannya yang terlalu cepat tak mudah diduga. Ketika membalikkan badan, tahu-
tahu tangan kanannya telah berhasil merebut senjata lawan. Sedangkan tangannya
yang lain digunakannya untuk menampar pipi kanan lawannya:
"Plaakk!!". "Adduuooohh!!" teriak Begawan Dorna. Tamparan musuh bagaikan serudukan seekor
kerbo liar. Perih dan panas.
Karena menggunakan tenaga dalam yang tak main-main.
Dua gigi gerahamnya copot, padahal kemarin habis di tambal. Rohaniwan elit itu
terhuyung-huyung mundur, dan jatuh terduduk tak jauh dari Adipati Karna.
Badannya meriang. Seiring dengan K.O.-nya Dorna, Patih Sengkuni memberi aba-aba kepada gerombolan
Astina: "Serbuuuu!! Hancurkann!!" Mendengar aba-aba itu berhamburanlah mereka bagai air bendungan yang bobol.
Senjata-senjata berbagai bentuk nampak diacung-acungkan. Dan bagi yang tidak
sempat membawa senjata, apa saja mereka raih. Bahkan pohon-pohon yang baru
tumbuhpun mereka cabuti. Wajah-wajah beringas nampak sudah mulai kesetanan:
"Bunuh!" "Rajam!" "Cincang!" "Bakar!"
Begawan Pulasara masih berdiri tenang. Kain sarung yang tadi tergantung di
lehernya kini ia pegang sebagai senjata. Ketika jarak para pengeroyok sudah
berada dalam jangkauan, ia kibaskan kain itu. Satu per satu mental. Bahkan
banyak diantara mereka yang langsung roboh, pingsan.
Patih Sengkuni yang lari belakangan, menyerang membabi buta. Patih kerajaan
Astina itu kesaktiannya cuma tanggung karena yang dipikirkan hal-hal duniawi
melulu. Ketika serangannya mengenai ruang hampa, lawannya cuma meniup kupingnya.
Iapun roboh. Tubuhnya yang nampak menggigil itu meringkuk kedinginan.
Pertempuran usai dalam tiga puluh menit. Seratus orang bergelimpangan disana-
sini. Banyak yang masih mengerang-erang kesakitan, dan juga minta ampun.
Pakaian mahal keluaran butik-butik terkenal yang mereka kenakan nampak compang-
camping. Sementara itu, Begawan Pulasara sudah mengalungkan sarungnya kembali. Kemudian
dengan tenang berjalan menghampiri Dorna. Di tangannya ada senjata Konta dan
Cundomanik yang barusan ia pungut.
"Dorna, Sengkuni, dan juga Karna," kata Begawan Pulasara. "Aku datang kemari itu
bukan untuk mencari keributan, apalagi merebut senjata Konta dan Cundomanik.
Nih, senjata-senjata kalian aku
kembalikan. Males aku punya senjata kayak gituan...."
Dilemparkannya dua senjata itu di depan mereka masing-masing.
"Ketahuilah sekali lagi, hai orang-orang Astina. Aku datang kesini ingin
memboyong permaisuri, Dewi Banowati. Tapi lihat, berhubung yang akan aku boyong
ini adalah manusia, bukannya barang, maka semua keputusan ada pada manusia itu.
Aku akan ajak permaisuri secara baik-baik. Dan kalau ia tidak mau, aku tak akan
memaksa." "Lalu, apakah Begawan Pulasara ingin masuk ke istana?"
tanya Begawan Dorna memelas. Ia takut Prabu Duryudana tahu kalo ia telah kalah.
Ia takut pamornya bakal jatuh di mata rajanya.
Begitulah sifat Pendita Dorna. Biar dalam keadaan kepepet sekalipun ia tetap
berusaha menjaga reputasinya. Reputasi yang telah ia bangun puluhan tahun lamanya. Baik dengan
cara halal maupun tak halal.
Tapi memang orang-orang Astina sendiri terkenal memiliki "jiwa pemaaf". Hingga
terkadang sikap mereka terlalu membabi buta dalam menutup mata terhadap tindakan
yang dilakukan para tokoh masyarakat seperti Dorna ini.
"Ooo, nggak perlu. Aku nggak perlu masuk lagi ke dalam istana," kata Begawan
Pulasara. "Permaisuri Dewi Banowati yang bakal datang sendiri kemari." Setelah
berkata begitu, pendita sakti itu mulai merapal mantra. Mulutnya komat-kamit.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (31)
Begawan Pulasara mulai memejamkan matanya. Kedua tangannya ditangkupkan di depan
dada. Ia pusatkan pikirannya. Mulutnya komat-kamit merapal mantra, Mantra
Pemanggil Jiwa: "Jopa-japu pinjal tumaning asu
Ono sapi ayu 'mlaku kabotan susu
Susun? simbah k?w?r-k?w?r
Moro-o n?ng pangkuanku yo ngg?r
Tul ja?nak ja? jatul ja? ji
Kuntul jar? banyak ndok-? bajur kar?k siji. "
Saat mantra itu bekerja, tiba-tiba angin bertiup kencang. Serangga enggan
bernyanyi. Para kucing jantan mengejar kucing betina terkena panah birahi.
Dijalanan, lampu lalu lintas banyak yang kedap-kedip bagai seseorang lelaki
genit. Dan semua radio serta telivisi di Astina mengalami gangguan frekwensi.
Para kakek dan nenek kembali bergairah, seperti baru saja menelan pil Viagra.
Mantra itu memang ampuh, karena tak berapa lama kemudian, permaisuri Dewi
Banowati terlihat muncul di pintu gerbang istana. Matanya sayu tertuju lurus ke
depan. Jalannya pelan namun mantap. Bagai ada kekuatan dahsyat yang menuntunnya.
Dewi Banowati, permaisuri kerajaan Astina memang cantik. Wajahnya adalah
perpaduan kecantikan bintang-bintang film terkenal dari Holywood dan Bolywood.
Alisnya melengkung bagaikan pelangi yang muncul di akhir hujan. Matanya mirip
warna batu akik blue safir muda. Hidungnya mancung. Bibirnya yang sexy mirip
bibir Angelina Jolie. Dan rambutnya yang ikal, hitam legam tanpa Hi-Light.
Dadanya bidang terbuka. Buah dadanya bagaikan bulan purnama kembar. Tangan
serasi dan lembut, dengan jari-jari tangan yang lentik. Sedangkan pinggulnya
yang langsing mirip alat musik Cello yang biasa digesek pemusik Cello kenamaan:
Yo-Yo Ma. Pantatnya berisi bagai dua buah semangka dibelah. Ketika berjalan,
goyangannya adalah perpaduan goyang Inul Daratista dan Jenifer Lopez. Kaki dan
betisnya panjang dan indah.
Begitu Dewi Banowati tersadar dari pengaruh mantra, ia telah berada di hadapan
Begawan Pulasara. Ia kaget bukan kepalang melihat keadaan sekelilingnya.
Sementara itu semua prajurit dan bangsawan telah menyembah kepadanya. Yang
terluka memaksakan diri menyembah, walau sebetulnya hanya sekedar ingin menengok
kecantikan sang permaisuri.
Melihat wanita dihadapannya nampak tertegun, Begawan Pulasara mencoba tersenyum
ramah padanya: "Banowati.
Namaku, Begawan Pulasara."
"Oh, maafkan saya Bapa Begawan. Saya sedang bingung kenapa tiba-tiba bisa berada
di depan anda," kata Banowati sembari menyembah. Kaum brahmana, dimana saja
memang selalu dihormati. Hal itu wajar, karena kasta mereka paling tinggi. Namun
banyak juga oknum brahmana yang menggunakan pengaruh kastanya untuk mendapatkan
kekayaan, kedudukan, pujian dan kemuliaan duniawi.
Padahal tugas kaum brahmana yang sebenarnya adalah sebagai penghubung antara
kawula dan gusti, manusia dan Tuhan.
"Saya ingat, tadi sedang berada sendirian di tamansari istana. Saya ikuti
keelokan seekor kupu-kupu yang terbang diantara bunga-bunga. Namun tiba-tiba
segalanya gelap. Ketika sadar, tahu-tahu sudah barada di hadapan Bapa Begawan,"
kata Dewi Banowati. "Ya, memang. Sesungguhnya akulah yang menyebabkan semua itu. Tadi itu kamu telah
terkena mantra saktiku. Hal itu terpaksa aku lakukan, karena aku tak mau membuat keributan di dalam
seperti yang telah terjadi disini tadi."
"Ampun Bapa Begawan. Lalu, apa kesalahan saya sehingga bapa begawan memerlukan
memanggil saya?" "Oh, kesalahanmu tidak ada," jawab Begawan Pulasara.
"Hanya saja, karena tugasku ada menyangkut dirimu, maka terpaksa aku gunakan
cara itu. Ketahuilah, aku datang kemari sebagai utusan raja khayangan Jonggring
Saloka yang bernama Prabu Kuncoro Manik. Saat ini yang berkuasa di khayangan
sudah bukan Bethara Guru lagi.
Ia sudah mengundurkan diri.
"Prabu Kuncoro Manik mengutusku supaya memboyongmu.
Nah, setuju atau tidaknya engkau diboyong ke khayangan adalah keputusanmu
sendiri. Aku tidak akan memaksa.
Kalau kamu nggak mau, kamu akan saya tinggalkan sekarang. Tapi kalau kamu mau,
maka sekarang juga kita berangkat."
Banowati masih bingung: "Nantinya, apa yang harus saya lakukan di khayangan?"
"Engkau akan diajar tata cara kehidupan khayangan.
Setelah lancar bersikap dan bergaul dengan tata cara hidup di khayangan, maka
akan mendapat 'green card', kartu ijin menetap sementara. Dan kalau kamu betah,
maka pada akhirnya diperbolehkan menjadi penduduk tetap khayangan. Setelah jadi
penduduk tetap itu, baru engkau bisa dilantik jadi bidadari."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (32)
Rupanya tawaran Begawan Pulasara cukup menarik bagi Dewi Banowati. Menjadi
bidadari khayangan adalah idaman setiap wanita bumi. Banyak orang berlomba-lomba
untuk bisa diterima. Dan jarang ada tawaran gratis seperti sekarang ini.
Biasanya orang harus punya sponsor, atau paling tidak, dapet lotre tahunan.
Menjadi bidadari khususnya, dan warga khayangan umumnya, bukan saja
menyenangkan, namun juga mengasyikkan. Di khayangan orang tak usah terlalu berat
bekerja. Segalanya ada dan tersedia. Makanan berlimpah ruah. Barang siapa ingin
minum tinggal menjulurkan lidahnya di bawah dedaunan, karena minuman itu menetes
seperti embun yang terjatuh di pagi hari.
Udara di khayangan ada empat musim. Dan tingkat polusinya minim. Karena semua
kendaraan tiap tahun harus di tes emisi dan knalpotnya. Jadi boleh dikata
penduduknya rata-rata sehat. Walaupun tidak semuanya.
Karena yang namanya virus, kuman dan bakteri, nggak peduli dia dewa atau manusia
akan dihantamnya tanpa ampun.
Biar begitu Jonggring Saloka masih jauh lebih baik dibandingkan Astina. Di
Astina, polusi mencapai titik tertinggi. Karena peraturan tidak diterapkan
secara tegas dan keras. Peraturan dibuat seolah-olah untuk dilanggar, dan bukan
turuti. Disiplin individu kurang membudaya. Ditambah aparat pembuat dan juga
pelaksana peraturan gampang dibeli maupun disuap.
"Saya dengar di khayangan banyak bidadari-bidadari yang jadi istri dan pacar-
pacarnya kangmas Arjuna. Apa itu betul, Bapa Begawan?" tanya Dewi Banowati.
Sampai sekarangpun Banowati masih tetap naksir berat Arjuna. Hanya kedudukan dan
kewajiban sebagai permaisuri saja yang membuatnya sukar untuk melakukan
'affair' semaunya. Dan ia sangat menjaga prestise dan harga dirinya. Selain itu,
Prabu Duryudana, sang raja Astina, sangat tergila-gila kepadanya. Jadi segala
yang diminta bisa didapatnya.
"Hmmm, ya. Itu betul," jawab Begawan Pulasara . "Dan aku kira Arjuna pun pasti
datang sewaktu-waktu kesana.
Jadi bagaimana" Apa engkau berminat pergi ke khayangan?"
Rupanya pertanyaan sang begawan yang terakhir itu, dan tanpa adanya tekanan
pemaksaan, membuyarkan keragu-raguan Dewi Banowati. Walaupun selama ini di Astina segala keinginannya
terpenuhi, tapi lama-kelamaan ia meraja jenuh juga. Sekali-kali plesir pasti nggak ada salahnya.
"Kalau begitu saya ikut, Bapa Begawan. Tapi saya ingin melihat-lihat dulu
keadaan khayangan sebelum saya memutuskan jadi bidadari."
"Oh, itu semua terserah kamu," kata Begawan Pulasara.
Kemudian ia menghadap pada warga Astina yang masih bergelimpangan, "nah, dengar.
Dorna, Sengkuni, Karna, dan semuanya. Dewi Banowati setuju ikut aku ke
khayangan. Semua itu atas kehendaknya sendiri. Aku tidak memaksa."
Tak berapa lama kemudian datang pesawat ruang angkasa Rusia, Soyuz, dengan
pilotnya, Vladimir Putin. Rupanya Begawan Pulasara sudah mencarter pesawat itu
jauh-jauh hari sebelumnya. Walaupun birokrasi di Rusia masih cukup rumit, namun
tidaklah sukar untuk menyewa pesawat ruang angkasa. Uang berbicara.
Kemarin sebenarnya ia sudah mencoba menghubungi Amerika buat menyewa pesawat
mereka. Tapi malah dapat jawaban arogan: mereka tak butuh uang dan pesawat ruang
angkasa mereka tak bisa disewa-sewakan karena dapat membahayakan sekuriti
nasional. Akhirnya Begawan Pulasara mundur tanpa argumen. Biarpun ia tahu bahwa
Amerika sekarang ini sedang mengalami defisit pada anggaran belanjanya.
Ketika pesawat mendarat, Begawan Pulasara dan Dewi Banowati segera masuk ke
dalamnya. Setelah itu pesawat ruang angkasa take-off menembus awan menuju
khayangan. "Wah, kok jadi begini, nih," kata Patih Sengkuni memecah keheningan. Kini ia
berniat melepas tanggung jawab. "Mimpi keponakan saya itu tadi yang meramal
sampeyan lho, kakang Dorna. Sampeyan tadi bilang bahwa akan ada kejadian yang
baik dan menyenangkan hati Anakprabu Duryudana. Nah, sekarang lihat
kenyataannya. Kok jadi hancur-hancuran begini?"
Begawan Dorna tahu, Sengkuni sedang mencari kambing hitam. Dan nampaknya
dirinyalah yang akan dijadikan kambing hitam. Tapi ia tak bisa mengelak dari
dakwaan itu. Soalnya tadi waktu disuruh meramal mimpinya Prabu Duryudana, ia
memang ngeramal sembarangan. Karena sebenarnya nggak begitu ngerti arti mimpi
itu. Semua ia lakukan gara-gara takut kehilangan wibawa sebagai orang yang
dihormati. Sebagai orang yang serba bisa dan serba mengerti dimata raja dan
semua penduduk Astina. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (33)
Dorna tidak ingin jatuh dari kedudukannya. Baginya kedudukan atau jabatan adalah
segalanya. Kalau sampai jatuh, tentu harga diri dan kewibawaannya ikut jatuh
pula. Maka ia berusaha waspada terhadap ancaman Patih Sengkuni.
"Udahlah, tenang dik Haryo. Ini cuma persoalan kecil.
Dan saya sudah punya akal. Saya akan adukan masalah ini pada murid saya,
Arjuna." "Maksud sampeyan, kang Dorna?" tanya Patih Sengkuni kurang begitu paham.
"Maksud saya begini," kata Begawan Dorna. "Arjuna nanti kita tipu. Biar saya
bilang padanya, bahwa Prabu Duryudana bakal menyerahkan sebagian tanah Astina
kepada keluarga Pandawa, kalo ia mampu membawa kembali Dewi Banowati kemari."
"Rencana itu nampaknya ok?, kang. Dan saya tahu si Arjuna sakti. Tapi apa dia
bakal mampu merebut Dewi Banowati dari tangan Begawan Pulasara. Sampeyan tahu
kan pendita itu kesaktiannya nggak main-main?"
"Iya tahu. Tapi jangan khawatir. Saya denger kesaktian Arjuna kini sudah mulai
nambah. Apalagi sejak dia lulus Phd dari luar negri."
Akhirnya mereka semua setuju. Maka, dengan iringan pasukan yang besar, disertai
persenjataan komplit, berangkatlah rombongan Astina yang dipimpin Dorna.
Patih Sengkuni ikut dalam rombongan itu. Ia memaksa ikut karena takut kena
damprat keponakannya. Untuk memimpin keamanan kerajaan selama Dorna dan Sengkuni pergi, beban
diserahkan pada Adipati Karna.
Sementara itu jauh di bumi utara terletak hutan Boroneyo. Nampak seorang


Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesatria, dengan iringan para punakawan, tengah berjalan dipinggirannya. Mereka
merencanakan masuk ke dalam hutan itu.
Hutan Boroneyo termasuk hutan yang masih perawan.
Ratusan ribu pepohonan besar yang berumur puluhan, bahkan ratusan tahun, tegak
berdiri dengan gagahnya. Pepohonan itulah yang banyak menghasilkan kayu gelondongan untuk kebutuhan dalam
maupun luar negeri. Banyak pengusaha yang memiliki HPH (Hak Pengusahaan Hutan) menjadi kaya karena
usaha penebangan hutan itu.
Terkadang para pemegang HPH ini melakukan penebangan melebihi kuota yang telah
ditentukan. Untuk dapat melakukan hal itu, mereka banyak bekerja sama, baik
dengan aparat pusat maupun aparat setempat.
Kesatria yang tengah berjalan menuju ke jantung hutan itu tak lain daripada
Raden Arjuna. Ia diiringi Semar beserta ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan
Bagong. Sudah dua jam ini mereka berjalan semenjak istirahat yang terakhir. Kini mereka
kembali merasa letih, dan memutuskan untuk kembali istirahat.
Arjuna berjalan mencari tempat yang sunyi. Ia ingin bersemadi, memulihkan
kembali semangatnya dan juga tenaganya yang telah terkuras dalam perjalanan.
Sementara itu para punakawan menyiapkan perkemahan dan makan siang. Kecuali
Semar yang minta ijin pergi mencari buah-buahan.
"Gua heran deh, Truk," kata Bagong tiba-tiba. "Juragan kita, Raden Arjuna, itu
kok ya masih suka keluar masuk hutan buat bersemadi. Padahal apa sih
kekurangannya" Istana punya. Rumahnya banyak, termasuk rumah kontrakan. Mobilnya juga banyak,
termasuk yang disewakan untuk Angkot. Istrinya cantik. Anak-anaknya pada sukses
semua. Mau nyari apa lagi sih dia".."
"Huss! Jangan kenceng-kenceng kalo ngomong. Entar kedengeran juragan," potong
Petruk. "Juragan kita emang lain dari pada yang lain kok,"
kata Gareng menengahi. "Banyak memang, orang kalo udah kaya terus lupa ama latar
belakang dirinya. Bahkan terkadang lupa ama yang di atas. Nah, kalo juragan kita
kagak. Biar dia udah punya segalanya, tapi dia nggak lupa ngucapin terima kasih
kepada para dewa, dan Sang Hyang Widiwasa, atas apa yang udah dia dapetin."
Gareng mulai bercerita: tadi ketika mereka mau berangkat, Arjuna memanggil
Semar. Kebetulan disitu ada dirinya, maka sekalian aja diajak rembukan. Mereka
diberitahu agar mempersiapkan perjalanan masuk ke hutan Boroneyo. Arjuna ingin
bersemadi. Bertanya pada dewata, kemana gerangan hilangnya menantunya, Antasena.
Tangis anak perempuannya, Dewi Jenokowati, yang tengah kehilangan suaminya, ikut
membuatnya sedih. Karena itu ia memutuskan mencari si Antasena. Ia tak mau
besannya, Bimasena, tahu. Ia takut besannya itu bakal marah besar jika tahu
kalau anaknya hilang. Karena kalo sang besan sampai marah, akan sukar
dikendalikan. Dan malah bikin situasi tambah runyem.
"Oh, gitu toh ceritanya," kata Bagong.
Saat mereka bertiga sedang melanjutkan masak, dari jauh tampak dua sosok yang
gemerlapan. Benar-benar pemandangan mengagumkan. Dalam hati mereka mencoba
menebak-nebak, siapa gerangan yang datang itu"
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (34)
Dua sosok berjalan menuju perkemahan Raden Arjuna.
Pakaian mereka yang tertimpa cahaya mentari nampak berkilauan dari jauh.
Ketika sudah dekat, baru sosok mereka bisa dikenali.
Yang gagah dan tampan ternyata Dewa Serani. Sedangkan pengiringnya tak lain
adalah Togog. Jika Ki Lurah Semar adalah dewa yang memiliki tugas mengasuh para
kesatria di jalan kebenaran. Togog adalah dewa pengasuh para kesatria yang
berada di jalan yang salah.
Begitu tiba di perkemahan, Bagong dengan cu?k menyapa duluan: "Eh, Selamat datang Waser."
"Hussss!!" bentak Togog. "Waser, waser, emangnya ambeiyen!"
"Oh, maaf 'wak Togog. Maksud saya Tuanku Dewa Serani.
Apa khabar, Tuan?" "Heh, biasa aja," jawab Dewa Serani tersenyum sinis.
"Gimana khabarmu?"
"Kami bertiga baik-baik saja, tuan. Maaf atas kelancangan Bagong," jawab Gareng.
Ia sengaja menyambar pertanyaan tamunya sebelum mulut Bagong yang lancang dan
nggak tahu aturan menjawabnya. "Wah, kaget juga bisa ketemu sama tuan Dewa
Serani di tengah-tengah hutan. Mau kemana, tuan?"
"Aku sedang mencari majikanmu. Kemana dia?"
"Tadi beliau bilang mau bersemadi melepaskan lelah, tuan," jawab Petruk.
"Hmmm. Coba panggilkan sana. Beritahu dia, bahwa Dewa Serani ingin bertemu."
"Baik, tuan," jawab Petruk sambil menunduk-nunduk pergi.
Belum sampai duaratus meter berjalan, Petruk melihat majikannya turun dari
perbukitan. Wajahnya nampak cerah. Pertanda bahwa kekuatannya telah pulih
kembali. Melihat hal itu Petruk jadi lega. Tak ada yang perlu dikawatirkan lagi. Bahaya
yang membayang, menyusul kedatangan kedua tamunya, sedikit demi sedikit sirna.
Lalu, dengan berlari-lari kecil, ia hampiri
juragannya. "Tampaknya ada tamu ya, Truk?" tanya Arjuna lebih dahulu. "Hmm, Dewa Serani?"
"Betul, tuan. Tapi...hati-hati lho, tuan," kata Petruk setengah berbisik. "Si
Trouble Maker. Perasaan saya kok nggak enak kalau ketemu dia."
"Hmm, nggak apa-apa. Tenang aja," kata Arjuna seraya bergegas. Petruk pun ikut
mempercepat langkahnya. Langit masih cerah. Udara tak begitu panas karena angin bertiup sepoi-sepoi.
Pepohonan bergoyang-goyang seperti penari Serimpi yang kompak. Ketika pepohonan
mengayun agak keras, para serangga yang tadi selalu berbunyi, berdiam sebentar.
Setelah itu berbunyi lagi seperti penyanyi koor gereja. Bunyi nyanyian itu
datang dari serangga-serangga Tonggeret dan Garengpung yang menggesek-gesekkan
sayap mereka. Setelah sampai di perkemahan, Arjuna memberikan sembah kepada tamunya. Hal itu
memang sudah jadi kebiasaan di jagat raya ini. Walaupun Arjuna dan Dewa Serani
sama-sama kesatria, namun derajat mereka berbeda. Dewa Serani adalah seorang
dewa, sedangkan Arjuna hanyalah manusia biasa. Derajat dewa lebih tinggi
dibandingkan derajat manusia, sekalipun manusia itu memiliki kedudukan sebagai
seorang raja. "Apa khabar, kakang (kakak) Arjuna?" sapa Dewa Serani pada kesatria di
hadapannya. "Khabar baik dimas (adik). Bagaimana khabarmu sendiri"
Dan tumben, tidak biasa-biasanya kita bertemu di jalan. Apalagi di pinggiran
hutan seperti sekarang ini," jawab Arjuna. "Silahkan dimas dan paman Togog
minum-minum dulu. Tentunya haus setelah perjalanan jauh."
"Ah, tidak usah. Kami masih kenyang," kata Dewa Serani sambil geregetan melihat
Togog. Mata pembantunya itu nampak mengincar ikan asin yang tengah dipersiapkan
Gareng. "Ya, kan paman Togog"!"
"Ha" Oh ya, ya. Kami tadi sempat mampir di Lembur Kuring. Hehehe...jadi masih
kenyuuangg," jawab Togog meringis.
"Sebenarnya bukan kebetulan kita bertemu disini." Dewa Serani menyingkapkan
selendangnya. Sekilas nampak senjata pusakanya yang mengkilat terselip di
pinggang. "Kami tadi sempat mencari ke rumahmu, ke Madukoro.
Namun kami mendapat jawaban, bahwa kamu dalam perjalanan semadi ke Hutan
Boroneyo. Jadi kami menyusul kemari."
"Hmm, nampaknya ada keperluan penting apakah hingga dimas mencari-cari saya?"
tanya Arjuna. Ia telah merasakan datangnya bahaya.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (35)
Burung alap-alap terbang diangkasa. Sayapnya yang lebar terentang, seolah
bayangan maut yang siap memayungi korbannya. Pada ketinggian seperti itu,
tatapannya yang tajam mengincar calon korbannya. Bagi calon korban yang waspada,
mereka memiliki dua pilihan, menghindari atau melawan dengan segenap
kekuatannya. Namun bagi yang lengah, tamatlah riwayatnya.
"Kakang Arjuna. Aku ingin bicara langsung saja pada pokok permasalahannya," kata
Dewa Serani dengan nada serius. "Ketahuilah. Saat ini menantumu, Antasena, sudah
mati. Karena itu aku ingin melamar anakmu, Dewi Jenokowati. Dan aku kira, kurang
baik buat anakmu kalau ia terlalu lama menjanda."
Panas hati Arjuna seperti terpanggang di atas tungku.
Emosinya menggelegak bagai kawah gunung berapi yang siap meledak. Ingin rasannya
ia segera merobek-robek mulut dewa yang ada di hadapannya ini. Namun nalurinya
menyuruhnya menahan diri.
"Kakang Arjuna, engkau tak usah kawatir. Kalau Jenokowati mau jadi istriku, ia
akan aku jadikan permaisuri. Ia tak akan aku jadikan selir. Dan mengenai emas
kawinnya, silahkan kakang Arjuna sebutkan apa yang kakang inginkan. Mau rumah
bertingkat di Pondok Indah" Mau Lamborgini" Atau Roll Royce" Atau perhiasan satu
ton beratnya" Semuanya akan aku penuhi. Oh ya, jangan lupa. Tindakanku ini telah
mendapat restu ayahku, Sang Hyang Jagat Nata Bethara Guru."
Suasana kembali hening. Suara anjing hutan yang melolong-lolong terdengar sayup-
sayup di kejauhan. "Dimas Dewa Serani," kata Arjuna tenang. "Sebetulnya salah satu tujuan kepergian
kamipun dari Madukara, adalah mencari kemana hilangnya Antasena. Ia tiba-tiba
saja bisa lenyap dari muka bumi. Namun kini aku heran setelah mendengar berita
darimu bahwa Antasena sudah mati. Bagaimana dimas bisa tahu perihal kematian
Antasena" Sedangkan khabar burung tentang kematiannya saja kami tak pernah
dengar?" Seketika itu juga Dewa Serani menjadi gugup. Ia ingat pesan ayahnya supaya tidak
menceritakan perihal pembunuhan Antasena kepada siapapun. Salah tingkahnya itu
ditutupinya dengan perkataan yang malah membuat lawan bicaranya makin curiga:
"Ah, sudahlah. Hal itu tak usah kita persoalkan...kita lanjutkan saja
pembicaraan mengenai rencana lamaranku pada Dewi Jenokowati."
Awan-awan kelabu bergerombol memenuhi angkasa. Awan yang menyembunyikan mentari
membawa suasana sejuk. Namun toh kesejukan itu tak terasa dihati dua kesatria yang kini tengah
berhadapan. "Dimas Dewa Serani belum menjawab pertanyaanku," desak Arjuna. "Darimana dimas
tahu kalau Antasena sudah tiada?"
Dewa Serani tersenyum, namun mukanya kentara sekali memerah. Kegugupannya
semakin menjadi-jadi. Ia nampak berusaha menekan perasaannya: "Alaahh, itu tidak
penting. Yang penting, sekarang kakang Arjuna mengijinkan apa tidak, Jenokowati
aku ambil istri?" Arjuna kini bukan saja tersinggung, malah semakin mencurigai anak dewa yang
kurang ajar ini. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Cuma ada satu jawabanku," kata Arjuna tenang.
"Langkahi dulu mayatku jika kau ingin mengambil anakku sebagai istrimu."
"Bullshit!!" teriak Dewa Serani. "Kalau itu yang kau mau, bersiap-siaplah jadi
bangkai!" Bersamaan dengan teriakan itu, Dewa Serani
menyingkapkan selendang suteranya. Pada selendang itu tersulam kata-kata yang
terbuat dari benang emas:
"Love or Perish". Lalu, sarung suteranya yang berkilauan, diikatnya kuat-kuat di
badannya. Setelah itu, ia memasang kuda-kuda. Sebuah tattoo bergambar Mickey
Mouse menyembul di betisnya.
Arjuna dengan tenang mundur selangkah membetulkan letak kuda-kudanya. Baru kali
ini ia berhadapan dengan Dewa Serani. Walaupun ia sering mendengar tentang
kesaktiannya, namun ia tidak merasa gentar.
"Hiaattt!!" Dengan sebuah teriakan yang melengking, Dewa Serani menerjang
lawannya. Ia keluarkan jurus
'Dewa Maut Mencengkeram Jagat Raya'. Jurus dahsyat pemberian orang tuanya itu
diwariskan secara turun temurun. Setiap pukulan dari serangannya ditujukan pada
bagian-bagian yang membahayakan. "Chiaatt!!"
"Hiyaa!!" Angin dari pukulan jurus andalan Dewa Serani benar-benar menggetarkan. Udara
sekitarnya panas bagai terkena lambaian sebuah gada yang membara. Daun-daun di
pepohonan rontok satu per satu. Sementara, rerumputan dan semak-semak layu
seketika. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (36)
Pertempuran antara Raden Arjuna dan Dewa Serani sungguh dahsyat. Hutan yang
tadinya sepi kini menjadi hingar-bingar. Membuat binatang maupun serangga yang
ada di sekitar situ lari tunggang langgang. Semetara itu beberapa pohon telah
rubuh terkena terjangan pukulan yang luput.
Dewa Serani ternyata salah perhitungan. Ia pikir, hanya dalam beberapa jurus
saja musuhnya akan binasa ditangannya. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Bahkan ia sendirilah kini yang harus mempertahankan diri dari serangan-serangan
balasan musuhnya. "Kakang Arjuna!" teriak Dewa Serani setelah meloncat mundur. Napasnya ngos-
ngosan. Dalam keadaan seperti itu, ia baru ingat bahwa ia harus mengurangi
kebiasaannya merokok kretek. "Kini terimalah ajalmu!
Bersiap-siaplah menjadi abu!"
Dengan geram Dewa Serani mengeluarkan jurus barunya.
Jurus Tapak Geni adalah pemberian Dewa Brahma. Apapun yang terkena pukulan jurus
itu akan terbakar habis jadi abu. "Ciaaaaattt!!" "Buumm!!"
Arjuna yang tak menyadari akan datangnya serangan, tak punya kesempatan untuk
mengelak. Gumpalan api yang datang bersama pukulan musuh menerjang tubuhnya.
Dalam sekejap, tubuhnya sudah terlalap api yang
berkobar-kobar. Melihat pemandangan mengerikan itu, para pembantunya berteriak
ketakutan. Petruk yang pertama keluar dari persembunyian, disusul Bagong.
Lalu, Gareng datang terpincang-pincang.
Para punakawan yang panik hanya bisa berteriak-teriak.
Tapi mereka takut mendekat. Kobaran api demikian besarnya. Karena frustasi,
akhirnya Petruk dan Gareng cuma bisa menangisi tubuh juragannya yang terbakar.
Sementara itu Bagong lari menuju ke sungai mencari air.
Tiba-tiba terdengar suara Arjuna dari dalam api:
"sudah, sudah stop, jangan nangis kayak anak kecil begitu. Aku tidak apa-apa.
Aku masih hidup." Kedua punakawan itu segera menghentikan tangisnya.
Mereka berdiri heran setengah tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Petruk
yang memberanikan bertanya:
"Lho, tuan. Kalau masih hidup kok masih enak-enakan ada di dalam api?"
"Aku sengaja lama-lama disini karena baru mencuci jaket ini. Kata penjualnya,
jaket ini harus sering-sering dicuci dengan api peperangan kalau ingin bertambah kesaktiannya,"
tutur Arjuna. Rupanya tadi sebelum bertempur, Arjuna telah memakai jaket jeans andalannya.
Jaket tanpa lengan itu dibelinya seminggu yang lalu, waktu iseng jalan-jalan ke
Pasar Loak Taman Puring, di daerah Kebayoran Baru.
Kata tukang loak yang menjualnya, pemilik jaket itu adalah dewa yang tidak mau
disebutkan namanya. Sang dewa terpaksa menjual jaket saktinya karena lagi butuh
uang untuk bisa datang ke reuni SMA-nya.
Tak lama kemudian Arjuna keluar dari api tanpa luka bakar secuilpun. Wajah kedua
pembantunya berubah cerah. Tapi pandangan mereka lebih ditujukan pada jaket
majikannya. Dalam benak masing-masing sudah tersusun rencana untuk pergi ke
Pasar Loak Taman Puring nanti, jika tugas telah selesai. Mereka memang sering
dengar, bahwa di Taman Puring sering dijual barang-barang bermerek yang sudah
bekas dengan harga miring.
"Terus gimana, tuan?" tanya Petruk kepada Arjuna.
"Tolong ambilkan busur panahku," kata Arjuna. "Dan bawa kesini anak panah yang
tumpul. Biar aku kirim si brengsek Dewa Serani ke Nusakambangan."
Ketika senjata sudah ada di tangan, Arjuna
membidikkannya pada Dewa Serani. "Wuuzzz!!"
"Zgeerrr!!" Panah sakti mengenai sasarannya. Begitu terkena, tubuh itu lenyap
seketika. Bagaikan seekor semut terkena sentilan jari manusia.
"Wah, hebat!" teriak Petruk kegirangan. "Apa Dewa Serani itu tadi langsung masuk
penjara di Nusakambangan, tuan?"
"Iya, Truk. Biar aja, untuk sementara kok," jawab Arjuna.
"Apa senjata itu juga bisa digunakan untuk memanah dewa-dewa yang pada korupsi
milyaran rupiah, biar sekalian bisa pada masuk ke Nusakambangan, tuan?"
"Bisa aja sih, Truk. Tapi nampaknya iklim politik belum mengijinkan..."
Petruk mengerti maksud majikannya. Jaman sekarang memang masih susah
memenjarakan para dewa yang pada korupsi. Apalagi kekuasaan dan pengaruh mereka


Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu luar biasa besarnya, susah disentuh. Ditambah aparat penegak hukum yang juga
belum bersih. Akhirnya semuanya cuma bisa menunggu-nunggu datangnya jaman baru.
Tapi sampai kapan" (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (37)
Hutan Boroneyo kembali tenang. Mendung di angkasa tersapu angin, hingga
terbukalah celah bagi sinar sang mentari. Burung-burung terbang kembali ke
sarangnya. Demikian rindunya mereka pada anak-anak yang tak sempat dibawanya ketika harus
mengungsi tadi. Pertemuan antar keluarga, teman dan handai taulan bangsa unggas itu menghasilkan
kicau yang berisik. Begitu Togog pergi, sambil terus-menerus minta ampun, dan terus menerus melirik
ke arah ikan asin, Arjuna dan para pembantunya kembali berbenah. Walaupun kemah
porak poranda akibat perkelahian tadi, namun beruntung makanan masih utuh. Maka,
selesai berbenah, mereka segera makan siang.
"Tuan, apa Dewa Serani itu bisa sadar sama
kesalahan-kesalahannya?" tanya Gareng pada Arjuna, ketika mereka sedang
menikmati makan siang. "Hmm, nggak tahu aku, Reng. Kalau dia nggak bisa sadar sendiri, paling-paling
nanti kan akan ada yang membuatnya sadar."
Selesai makan, Arjuna memerintahkan Bagong, yang sudah balik dari sungai, untuk
mencari Semar. Waktu Bagong baru berjalan seratus depa, ia berhenti melangkah.
Sambil berdiri tertegun ditatapnya iring-iringan besar prajurit yang nampak di
kejauhan. Iring-iringan itu menuju ke perkemahan mereka. Ia segera kembali ke
perkemahan sambil melaporkan apa yang dilihatnya pada majikannya.
Iring-iringan itu nampak mendekat. Di barisan paling depan ada dua gajah dikawal
puluhan prajurit berkuda di sampingnya. Di belakangnya ada dua kompi prajurit
bersenjata lengkap. Tidak ketinggalan pula beberapa mobil jip Hummer dengan
senapan mesin menyembul di atasnya.
"Hmm, Paman Sengkuni dan Kakek Begawan Dorna," guman Arjuna ketika tahu siapa
yang duduk di atas gajah-gajah itu. Petruk yang kurang awas karena matanya sudah minus, terperanjat mendengar kata-
kata boss-nya. Dari mulutnya keluar peringatan: "Wah, hati-hati, tuan.
Orang-orang berbahaya."
Rombongan besar dari kerajaan Astina itu sampai. Dua gajah dan kuda-kuda
tunggangan dibawa ke sungai untuk di beri minum. Kepala rombongan terdiri dari
Patih Sengkuni, Begawan Dorna, beberapa bangsawan, dan para jendral serta
kolonel. Lalu, dibelakangnya dengan muka yang sangar-sangar para prajurit
bawahan, dipimpin oleh mayor, kapten dan letnan-letnan mereka. Tiga regu
prajurit diperintahkan menjaga dan mengawasi daerah itu.
Pemandangan yang terlihat adalah tipikal pemandangan bala tentara kerajaan
Astina. Mereka yang berpangkat kolonel dan jendral kelihatan gemuk-gemuk,
sedangkan yang berpangkat mayor kebawah terlihat kurus-kurus.
Prajurit di Astina gajinya kecil-kecil. Cuma yang beruntung bisa ngobyek
(menjadi beking perjudian, tempat hiburan, dan toko-toko) saja yang kelihatan
punya daging. Arjuna dan para pembantunya segera memberi hormat, ketika Sengkuni dan Dorna
datang. Bagi Arjuna, Patih Sengkuni masih terbilang pamannya, walaupun paman
tiri. Sedangkan Begawan Dorna adalah bekas gurunya.
"Saya benar-benar terkejut bisa bertemu dengan paman Sengkuni dan Bapa Begawan
Dorna di dalam hutan ini.
Kalau saya boleh tahu, sesungguhnya paman Sengkuni dan Bapa Begawan Dorna ini
ingin melakukan perjalanan kemana?" tanya Arjuna penuh hormat.
"Begini Juna," kata Sengkuni. "Sebenarnya aku cuman ngikut rombongannya kakang
Dorna saja. Biar kakang Dorna sendiri yang menerangkan keperluan kita."
"Betul, Juna," sambar Dorna. "Rombongan ini adalah rombonganku. Adapun
keperluanku melakukan perjalanan ini adalah untuk menemuimu. Kami sudah cari
engkau ke rumahmu di Madukara. Katanya engkau sedang melakukan perjalanan untuk
semadi ke pusat hutan Boroneyo. Lalu, kamipun menyusulmu hingga bertemu engkau
disini, nak." Gaya bahasa Begawan Dorna dibuat sedemikian rupa sehingga membikin lawan
bicaranya penting. Padahal perasaan hatinya bertolak belakang. Pada permukaannya
saja ia kelihatan memiliki perhatian besar pada bekas muridnya itu. Tapi dalam
hati ia ingin supaya tujuannya lekas tercapai.
Begawan Dorna seorang pandita yang sudah lupa pada kaul kemiskinan. Ia lebih
mementingkan kesukaan duniawi ketimbang menjunjung tinggi ajaran-ajaran surga.
Ia lebih suka lingkungan istana, lingkungan birokrasi yang mewah, yang memuja-
muja dan menyanjung-nyanjung dirinya. Ia telah melupakan ajaran utama kependitaan, yaitu
kejujuran, kebenaran dan kerendahan hati.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (38)
Begawan Dorna menceritakan peristiwa penculikan Dewi Banowati pada Arjuna. Lalu,
dengan berterus terang ia minta bantuan pada Arjuna untuk merebut kembali Dewi
Banowati dari tangan penguasa khayangan, Prabu Kuncoro Manik.
"Hanya engkau yang mampu merebut kembali Dewi Banowati dari tangan Prabu Kuncoro
Manik, Juna," kata Begawan Dorna. "Kalau engkau mampu membawa kembali Dewi
Banowati ke Astina, maka akan ada imbalannya, nak.
Yaitu: bukan cuma sebagian tanah kerajaan Astina, namun seluruhnya dikembalikan
kepada keluarga Pandawa oleh pihak Kurawa."
Arjuna agak ragu mendengar kata-kata bekas gurunya itu. Sudah beberapa kali ia
kena kibul. Juga kakak-kakak dan adik-adiknya. Ia sudah tahu sifat bekas gurunya
itu. Namun suara hatinya sebagai seorang kesatria begitu menguasai dirinya.
"Kakang Dorna benar, nak," kata Patih Sengkuni tiba-tiba. Ia seperti bisa meraba
kebimbangan Arjuna. "Saat ini kakakmu Duryudana sedang kesusahan. Biar bagaimana keluarga Pandawa
dan keluarga Kurawa masih bersaudara. Kalau bukan pada keluarga sendiri, siapa
lagi yang musti dimintai tolong?"
Tiba-tiba saja Patih Sengkuni mampu bersikap seperti anak kecil yang merengek-
rengek minta dibelikan balon ayahnya. Wajahnya demikian memelas. Penampilan dan
sikapnya itu memang telah benar-benar direncanakannya masak-masak.
"Dan apa yang dikatakan kakang Dorna tidaklah salah, nak. Kerajaan Astina bakal
diserahkan kembali kepada keluarga Pandawa. Sebetulnya tanpa ada kejadian inipun
pihak Kurawa telah merencanakan mengembalikan kerajaan itu pada pihak Pandawa.
Begitu kan kang Dorna?"
"Iya, ya, ya betul. Memang begitu itu rencananya.
Sayangnya kok ya ada kejadian seperti ini. Hingga semua rencana buyar," kata
Dorna. "Jadi bagaimana nak, apa engkau akan menolong kami?"
"Jika demikian keinginan Paman Sengkuni dan Kakek Begawan Dorna, saya akan
berusaha menolong sebisa saya," kata Arjuna. "Saya mohon doa restu Paman dan
Kakek Begawan." Dua rombongan itu akhirnya berpisah. Rombongan besar kerajaan Astina, kembali ke
kerajaan mereka setelah puas berhasil "menggarap" korbannya. Sedangkan Arjuna
dan para pembantunya bersiap-siap pergi ke khayangan.
Tak lama setelah rombongan Astina berangkat lebih dahulu, Semar datang dari arah
barat. Dalam kantung yang dibawanya hanya ada tiga buah mangga. Ketika ditanya,
kenapa metik mangga tiga biji aja kok lama banget" Jawabnya seperti biasa:
ketiduran. "Wah, kok setuju begitu aja sih, tuan?" tanya Petruk.
Ia menyesali sikap lemah majikannya saat berhadapan dengan Dorna dan Sengkuni.
Padalah siapapun sudah tahu bahwa kedua petinggi Astina itu terkenal sebagai
orang-orang munafik. "Iya, padahal mereka itu tadi keliatan banget menipu, tuan," tambah Gareng.
"Saya sih tahu banget dah tipuan mereka."
"Hus, sudah pada diem!" bentak Semar pada
anak-anaknya. "Majikan kalian tentu tahu mana yang baik dan mana yang buruk."
Waktu semua sudah siap, tiba-tiba datang pesawat ruang angkasa Rusia, Soyuz.
Pesawat itu mendarat tak jauh dari perkemahan. Rupanya pesawat itu sudah
dipersiapkan oleh pihak Kurawa untuk mereka. Yang mereka tidak ketahui, pesawat
itu disewa bukan dengan uang, namun dengan cara ditukar minyak kelapa sawit.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (39)
Negeri Darawati adalah negeri yang indah. Tanahnya subur karena merupakan tanah
lava, yang berasal dari sebuah gunung berapi yang tinggi menjulang. Letak gunung
itu agak jauh dari pusat kerajaan.
Sungai-sungainya ada beberapa yang membelah ibukota.
Disamping sungai-sungai itu, menghindari banjir lahar maupun banjir lumpur
akibat meletusnya gunung berapi, dibuatlah kanal-kanal besar oleh penduduk.
Selain pintar, penduduk negeri Darawati terkenal disiplin. Tiap penduduk tidak
pernah mementingkan dirinya sendiri. Mereka lebih mementingkan kepentingan
bersama. Dengan kesadaran tinggi, penduduk selalu menuruti hukum dan peraturan,
yang diterapkan tanpa pandang bulu.
Raja Darawati dan para pemimpinnya yang bijaksana, bukan saja dihormati oleh
rakyatnya. Para pemimpin ini sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat. Mereka
bukan tipe pemimpin yang mengandalkan kekejaman, kelicikan dan kelaliman. Maupun
tipe pemimpin yang hanya pandai bicara, banyak berpropaganda, dan pandai menipu
untuk kepentingan diri sendiri ataupun kelompoknya.
Para pemimpin yang bijaksana dituruti perintahnya oleh rakyat dengan perasaan
hormat. Sedangkan pemimpin yang kejam, lalim dan licik akan dituruti perintahnya
oleh rakyat karena perasaan takut. Rasa hormat akan menumbuhkan rasa percaya
diri. Sedangkan perasaan takut akan menghancurkannya. Hancurnya rasa percaya
diri, pada akhirnya akan mematikan kreatifitas, yang bisa mengakibatkan
mundurnya budaya sebuah bangsa.
Pada siang yang cerah itu, Prabu Bethara Kresna, raja Darawati, sedang duduk
termenung di singgasananya. Ada sesuatu yang amat merisaukan pikirannya,
sehingga ia belum berkenan bersabda. Para pejabat dan bangsawan istana ikut diam
terpekur di hadapannya. Tampak di bagian terdepan barisan, patih kerajaan, yaitu
Patih Udawa. Lalu disusul dengan panglima perang kerajaan yang gagah berani,
Setyaki. Tiba-tiba kepala prajurit pengawal istana datang tergopoh-gopoh memberi laporan
kepada rajanya: "Paduka, tuan Bimasena bersama rombongannya sudah datang."
Mendengar khabar dari kepala prajurit istana itu, Kresna tersadar dari
lamunannya. Wajahnya kembali cerah, bagai menerima khabar gembira.
Diperintahkannya seluruh warga Darawati melakukan penyambutan selayaknya
terhadap Bimasena. "Ada apa abang Kresna manggil gua kemari?" tanya Bima, ketika suasana hiruk
pikuk penyambutan telah mereda.
"Maafkan kakakmu ini, kalau membuatmu kaget akibat panggilan itu. Tapi memang
ada sesuatu hal yang penting yang musti aku bicarakan denganmu." Kresna
membetulkan letak duduknya. Ia berdeham, seperti tidak mau ada kata-katanya yang
tidak terdengar pembicaranya. Para pejabat dan bangsawan istana yang ada di balairung semuanya berusaha
menajamkan pendengaran mereka. Semua nafas agak tertahan karena takut bunyi
nafas mereka sendiri akan menghalangi pendengaran mereka.
"Aku memiliki visi, bahwa penguasa di khayangan Jonggring Saloka, sekarang ini
bukan lagi Sang Hyang Jagat Nata Bethara Guru, melainkan seseorang yang bernama
Prabu Kuncoro Manik," kata Kresna. Sebagai titisan Dewa Wisnu, dewa kebahagiaan,
ia memiliki kesaktian mampu melihat kejadian yang akan terjadi dimasa datang.
"Dan rupanya penguasa baru khayangan ini ingin menggagalkan perang besar Baratha
Yudha..." "Hmmm..." suara dari kerongkongan Bima bagaikan bunyi sebuah mobil truk yang
distater. "Seperti engkau tahu, adikku Bima. Baratha Yudha sudah menjadi kodratnya jaman.
Perang itu bukan saja menjadi alat kembalinya kerajaan Astina ke pihak Pandawa
dari tangan pihak Kurawa, namun juga menjadi sarana kemenangan para kesatria
yang berjalan di pihak yang benar. Itulah sebabnya arti perang besar itu penting
bagi mereka yang ada di pihak Pandawa.
"Tapi walaupun begitu, keputusan untuk tetap perang atau tidak ada di pihak
keluarga Pandawa. Dan saat ini yang mewakili mereka disini kebetulan adalah
engkau. Kalau memang engkau tidak menginginkan terjadinya perang Baratha Yudha, akupun
akan ikut." Sampai disitu pembicaraan Kresna berhenti sebentar. Ia ingin melihat reaksi Bima
terhadap persoalan yang baru saja diutarakannya.
Sebagai penasehat, ia sangat dihormati oleh pihak Pandawa. Karena selain
memiliki visi yang tajam, iapun amat bijaksana dan tak pernah menodai
kepercayaan yang diberikan padanya.
Bimasenapun tahu, sebagai penasehat keluarga Pandawa, Kresna selalu memberikan
bimbingan yang terbaik bagi keluarga itu. Ia tak pernah membimbing kearah yang
salah, apalagi sampai membuat pecahnya maupun kemarahan di pihak yang
dibimbingnya. Ia selalu berusaha bersikap rendah hati, dan tidak pernah
memaksakan aturan pribadi terhadap keluarga yang dibimbingnya. Kresna tak pernah
menginginkan sanjungan dan puji-pujian jika pekerjaannya berhasil.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (40)
Suasana di balairung istana kerajaan Darawati hening.
Masing-masing yang hadir bagaikan ikut
menimbang-nimbang persoalan yang diutarakan Prabu Kresna terhadap Bimasena,
satria Pandawa. Dalam hati mereka berharap agar Bimasena tidak menggagalkan
perang Baratha Yudha. Menggagalkan perang itu berarti menyalahi kodratnya jaman,
dan membiarkan pihak yang jahat terus merajalela memuaskan tindak kejahatannya.
"Abang Kresna, sebenernya dari pertama gua udah tahu keputusan apa yang musti
gua ambil. Gua ngerti kalau elu adalah seorang penasihat yang baik. Kagak pernah
berkianat. Maka dari itu, gua sependapat sama elu, perang Baratha Yudha musti
jadi. Perang itu kagak boleh gagal," kata Bima mantap.
Kemantapan keputusan Bimasena itu ikut membawa semangat baru bagi Kresna. Maka
selanjutnya raja Darawati berkata: "Dimas Bima, jika demikian keputusanmu,
selain aku nurut, akupun akan mendukung bagi kemenangan pihak Pandawa kelak.
Nah, saat ini, kerajaan akan kedatangan tamu dari Jonggring Saloka.
"Rupanya penguasa Jonggring Saloka menganggapku sebagai orang penting yang mampu
menggagalkan perang Baratha Yudha. Untuk itu mereka akan memanggil dan membawaku
ke khayangan, secara baik-baik maupun secara paksa. Maka dari itu, sebelum
mereka menginjakkan kaki, atau bahkan membawa kerusakan bagi kerajaan ini, mari
sambut kedatangan mereka..."
Ketika Bima dan juga mereka yang hadir di balairung kerajaan menyadari arti
kata-kata Kresna, kepala pengawal istana datang tergopoh-gopoh sambil menyembah.
Ia membawa khabar mengejutkan: "Tuanku, mohon ampun. Menurut mata-mata kerajaan,
puluhan ribu tentara dengan persenjataan lengkap dan panji-panji serta bendera
perang dari khayangan Jonggring Saloka tengah mendekati tapal batas kerajaan
kita..." Seketika itu juga balairung geger. Semuanya gaduh.
Terdengar dengung percakapan para pemimpin seperti sekumpulan lebah yang sadar
bahwa sarangnya terusik bahaya. Bima berteriak menggelegar bagaikan bunyi kereta
api 'Senja Ekonomi': "Abang Kresna! Biar gua yang hantam musuh kita itu!"
Akhirnya diputuskan rombongan Bima disertai Setyaki dan dua divisi pasukan
lengkap kerajaan Darawati menyongsong kedatangan musuh di tapal batas kerajaan.
Sementara Kresna akan menyusul mereka nantinya.
Sedangkan Patih Udawa diperintahkan untuk menjaga pusat kerajaan dengan sisa-
sisa pasukan yang ada. Mendengar negaranya ingin diserang, rakyat Darawati langsung mempersiapkan diri.
Setiap orang laki-laki, tua maupun muda, berbondong-bondong pergi ke tempat
pendaftaran Wamil (Wajib Militer) di
kelurahan-kelurahan. Gadis-gadis berbondong-bondong pergi ke rumah sakit untuk
mendaftar jadi perawat. Sedangkan ibu-ibu yang sering kumpul-kumpul arisan langsung membentuk dapur
umum. Anak-anak mereka sibuk membuat ketapel.
Perjalanan kelompok Darawati ke tapal batas kerajaan singkat saja, karena
kerajaan itu hanyalah sebuah kerajaan kecil. Tapi mereka sungguh terkejut begitu
sampai di tempat yang dituju. Musuh yang ada dihadapan mereka demikian besar
jumlahnya. Ternyata mata-mata kerajaan tidaklah salah. Musuh datang bagai airbah
yang bobol dari bendungan. Kemungkinan tiga kali lipat jumlah pasukan Darawati.
Selain itu, persenjataan mereka lengkap dan terbaru.
Bagi Bima dan rombongan Darawati ada sesuatu yang mengganjal keberanian mereka.
Bukan jumlah pasukan musuh yang mereka takuti, namun suatu keengganan jika harus
berhadapan dengan pemimpinnya, yaitu Bethara Narada. Patih Jonggring Saloka ini
terkenal bijaksana dan jarang bertindak kasar. Dalam hati Bima dan rombongan


Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya-tanya: apa yang menyebabkan Dewa Narada sampai tega mengerahkan pasukan
yang demikian besar jumlahnya itu"
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (41)
Kini dua kelompok telah berhadapan: Prajurit khayangan Jonggring Saloka dan
Prajurit Darawati. Wajah para prajurit Darawati nampak tak gentar, biar jumlah
mereka lebih sedikit. Sebaliknya, wajah para prajurit Jonggring Saloka nampak
bimbang begitu tahu Bimasena dan Setyaki ada barisan terdepan lawan. Nyali
mereka menciut. Tak lama kemudian, Bima dan Setyaki meninggalkan barisannya menuju ke arah pihak
Jonggring Saloka. Begitu sampai di hadapan Bethara Narada, keduanya memberikan sembah. Hormat pada
para dewa adalah kebiasaan manusia turun-temurun dimulai entah kapan.
Biar bagaimanapun wujud dan kesaktian para dewa itu, namun kasta mereka masih
tetap lebih tinggi dari pada manusia.
Para dewa adalah keturunan pilihan. Mereka tak pernah mengenal kerja keras
dibandingkan manusia. Makanan merekapun lebih bergizi. Selain itu, mereka lebih
mampu mengenyam pendidikan dan memiliki titel-titel luar negri, sehingga mampu
menjadikan hidup mereka yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Dan juga tidur
mereka cukup dan buang airpun selalu lancar.
"Hei Bima. Dari mana mau kemana engkau, nak?" tanya Narada.
"Engkong Narada, gua ini tamu di negara ini. Dan tuan rumah minta gua supaya
nyambut kedatangan elu dan rombongan. Nah, elu sendiri ama rombongan mau
kemana?" "Busyettt, nih anak, wong ditanya malah balik nanya,"
kata Narada. " Hmm..tapi emang hebat Prabu Bethara Kresna. Visinya memang bener-
bener tajem. Oke deh, begini Bima anakku. Aku memang diutus oleh penguasa baru
kerajaan khayangan Jonggring Saloka, Prabu Kuncoro Manik, untuk memanggil Prabu
Kresna. Ia mau diajak rembukan untuk menggagalkan perang Baratha Yudha."
Setengah menggeram, Bima bilang: "Kalau itu emang tujuan elu datang kemari,
sorry-sorry aja kalo gua mesti halangi. Apalagi kalau elu pengen ngegagalin
perang Baratha Yudha. Nah, sebelum terjadi keributan, gua minta secara baik-baik
para dewa dan prajurit khayangan supaya balik. Nanti biar gua yang berurusan
sama si Kuncoro Manik."
"Wah, gimana nih Yamadipati. Kamu tahu kan apa yang terjadi jika kita pulang
dengan tangan kosong?" kata Narada setengah berbisik pada Bethara Yamadipati,
dewa pencabut nyawa, yang ada disampingnya.
"Wah ya gimana dong, man. Paman Narada kan tahu, kalo kita gagal, kita bakalan
dihukum sama Kuncoro Manik.
Apa paman mau mandi sauna di neraka?" bisik Yamadipati bercanda.
"Huss! Jangan sembarangan kamu ya. Ini persoalan nggak maen-maen tahu."
"Udahlah, man. Biar saya yang turun tangan," kata Yamadipati. "Hei, Bima! Kamu
dan gerombolanmulah yang musti mundur. Mau pilih mundur atau aku cabut nyawamu
dan rombonganmu satu per satu. Hayo, bubar sekarang juga!"
Bima dan Setyaki masih tetap berdiri di tempatnya.
Mereka tetap tak mengundurkan langkah barang sejengkalpun. Walau mereka tahu
tugas Dewa Yamadipati adalah mencabut nyawa, namun tak takut terhadap
gertakannya. Tiba-tiba terdengar suara Bimasena yang meledak marah bagaikan halilintar di
tengah-tengah mendung: "Hmmm, jangan cuman satu dewa aja, tapi semuanya maju
sini! Biar gua injek-injek semua jadi t?mp?!"
"Sesumbar kamu ya anak kemarin sore! Heaaatttt!!"
Yamadipati menyerang Bima. Bagai mendapat aba-aba, bersamaan dengan itu pihak
Jonggring Saloka yang tiga kali lipat jumlahnya ikut menyerang pihak Darawati:
"Serbu!!" "Ganyang!!"
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (42)
Bima mengamuk seperti gajah yang marah. Kuku di dua jempol tangannya menusuk
kesana kemari bagai gading mencari sasaran. Dewa Yamadipati kewalahan
menghadapinya. Ia minta bantuan teman-temannya. Tanpa menunggu aba-aba, mereka
langsung mengeroyok rame-rame. Bukan cuma manusia, dewapun terkadang kalo
kepepet suka main keroyokan.
Setyaki juga mengamuk tak kalah hebatnya. Gada Wesi Kuning dikibas-kibaskannya
kesana kemari. Senjata itu mirip stik baseball. Terbuat dari besi kuning.
Ayunannya kuat. Musuh yang terkena hantaman senjata itu masih beruntung nasibnya
kalo cuma benjol kepalanya.
Tak lama kemudian Prabu Kresna datang dengan pasukannya. Melihat kedatangan
rekan-rekannya, pasukan Darawati makin naik semangat tempurnya. Sementara itu di
pihak pasukan Jonggring Saloka terlihat tanda-tanda desersi. Semangat mereka
satu per satu amblas. Jurus-jurus yang diajarkan di Bangau Putih Gonzaga tak banyak gunanya. Apalagi
yang diajarkan keseringan jurus yang itu-itu juga, yaitu: Jurus Janda Genit.
Prabu Kresna segera menuju ke tempat Bethara Narada, yang sedang menggeleng-
gelengkan kepalanya melihat ulah para dewa yang melakukan pengeroyokan. Beberapa
diantaranya sudah nampak babak belur dihajar oleh Bima.
"Mohon ampun atas keterlambatan saya, tuanku Bethara Narada," kata Kresna sambil
menghaturkan sembah. "Kamu ini memang pinter, Kresna," kata Narada. "Kamu tidak mau mengotori
tanganmu sendiri. Lihat tuh, para dewa dan pasukanku dihajar babak belur sama
Bima dan Setyaki. Aku kan datang kemari cuma sebagai utusan Jonggring Saloka.
Aku kira engkau sendiri sudah tahu kan tugas apa yang aku emban?"
"Ya, saya sudah tahu, tuan Narada. Tapi bukankah perang Baratha Yudha yang ingin
digagalkan oleh penguasa Jonggring Saloka itu sudah menjadi kodrat jaman" Dan
apakah Sang Hyang Wenang sudah tahu tentang rencana Kuncoro Manik itu?"
"Wah, gini aja deh. Aku ini cuma utusan. Makanya aku harus nurut perintah
atasan. Kamu tahu kan konsekwensinya seorang pegawai negri kalau nggak nurut atasan" Kalo cuman
dipensiunkan, dimutasi, atau dipecat sih masih bagus lah. Tapi kalo sampai
dicemplungkan ke kawah Candradimuka karena tugas gagal, terus gimana dong"
Udahlah, kasihan sama aku barang sedikit ya, Kresna?"
Sementara itu prajurit Jonggring Saloka mulai nampak terdesak. Sebagian dari
mereka sudah kelihatan kabur.
Yang masih bertahan dan bertempur moralnya makin merosot ketika melihat para
dewa pemimpin mereka banyak yang dibawa ambulan ke Rumah Sakit Fatmawati.
"Saja kira begini saja, tuan Narada. Sekarang tuan Narada dan rombongan pulang
saja ke khayangan terlebih dahulu. Nanti saya menyusul," kata Kresna tiba-tiba.
"Lho, kenapa nggak bareng aja sih" Soalnya kalao saya pulang nggak bawa kamu,
aku bakal langsung kena semprot nih."
"Begini, tuan Narada. Saya ingin tahu sampai dimana kesaktian Prabu Kuncoro
Manik. Tapi itu nanti. Nah, sekarang kalau saya pergi bareng dengan tuan,
artinya saya menyerah kalah. Padahal saya tidak mau dianggap kalah, karena kalau
ketahuan kalah ataupun lemah, pasti bakalan disepelekan. Saya ingin mereka tahu
bahwa kedatangan saya ke khayangan adalah dengan sukarela."
Dewa Narada garuk-garuk kepala. Ia kelihatan bimbang.
Kalau ia balik tanpa Kresna, ia bakalan diceburkan ke Candradimuka. Tapi kalau
ia tetap memaksa Kresna, iapun merasa tak mampu. Apalagi setelah ia menengok
melihat kondisi pasukannya yang berantakan.
"Tapi kamu bener-bener bakal nyusul ke khayangan kan, Kresna?" tanya Dewa Narada
ragu. "Saya tidak akan berbohong. Pasti saya bakal nyusuh,"
jawab Kresna mantap. "Bener, nih. Bareng aja kenapa sih" Nanti biar aku yang carter mobil limosin
lengkap dengan sopirnya deh.
Kalau perlu sopirnya cewek blondie. Mau kan?"
Biar terus dirayu, Kresna nampak sudah pada
ketetapannya. Akhirnya Bethara Narada yang menyerah.
Ia perintahkan pasukan Jonggring Saloka untuk menarik diri. Semuanya nampak
lega. Banyak diantaranya yang terkilir maupun patah tulang pada minta ijin
meneruskan perjalanan ke Cikini maupun di Cimande mendatangi tukang urut.
Prabu Kresna sendiri segera mengkonsolidasikan kekuatannya. Ia memberi wejangan
kepada rakyat yang akan ditinggalkannya untuk sementara. Ia serahkan tanggung
jawab keamanan dan kelangsungan pemerintahan kerajaan Darawati kepada Setyaki
dan Patih Udawa. Sebelum Kresna berangkat menuju khayangan, Bima telah mendahuluinya. Kesatria
Pandawa itu sangat penasaran ingin mencoba kesaktian Prabu Kuncoro Manik. Selain
itu ia ingin tahu apa maksud perintah-perintah aneh yang telah dikeluarkan oleh
penguasa baru itu. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (43)
Sebelum berangkat ke khayangan, Kresna membelokan arah perjalanannya menuju ke
Jakarta. Di dalam visinya, ia melihat cahaya kemenangan datang dari seorang yang
berada di kota itu. Orang itulah yang nantinya sanggup melawan kesaktian Prabu
Kuncoro Manik. Kota Jakarta adalah ibukota Indonesia. Sebuah sosok ibukota yang tengah dilanda
keprihatinan panjang. Para pemimpin dan elit kekuasaan yang tengah berkuasa,
menggunakan uang, propaganda, dan tekanan untuk mempertahankan kekuasaannya. Tak
peduli mereka dari golongan kanan, kiri, maupun tengah. Akhirnya selalu saja
rakyat yang jadi korban. Walaupun sebagian rakyat semakin pintar dalam memilih siapa pemimpin yang mampu
membawa kemakmuran, sebagian lagi masih suka tertipu oleh para demagog-demagog
bermulut manis. Mereka ini para srigala berbulu domba.
Prabu Kresna tidak mau ikut campur urusan dalam negri rakyat Indonesia. Ia
datang ke negeri ini hanya untuk mencari seseorang. Supaya tidak dikenal dan
menimbulkan kegegeran, ia sengaja datang dengan berpura-pura sebagai seorang
businessmen. Walaupun begitu, ternyata proses pencarian tidaklah mudah.
Sosok yang dicari Prabu Kresna adalah seseorang yang sedang "Tapa Ngrame", yaitu
bertapa mirip seorang yang sinting (gila). Tapi ternyata orang yang gila, baik
yang betulan maupun berpura-pura, banyak. Belum lagi yang gila harta maupun
kekuasaan. Orang yang gila harta maupun kekuasaan ini terutama muncul pada masa-
masa pemilihan umum seperti sekarang ini.
Prabu Kresna sadar bahwa misi yang diembannya tidak mudah. Namun ia tidak putus
asa, karena tahu semua ini dilakukan demi kemanusiaan. Kalau sampai gagal, maka
masalah kekusutan jagat raya akan terus berlangsung.
Ia datangi sebuah Bajaj. Sopirnya baru saja selesai makan di Warung Tegal.
Setelah bernegosiasi, sopir itu setuju dirinya dan kendaraannya disewa jam-
jaman. Sedangkan bensinnya, menurut perjanjian, ditanggung oleh penumpangnya.
Kendaraan penumpang roda tiga ini memang benar-benar unik. Getarannya bagaikan
getaran mesin untuk terapi tulang bagi mereka yang baru saja mengalami
kecelakaan. Bunyi mesinnya memekakkan telinga, hingga terkadang harus berteriak
jika ingin bicara dengan sopirnya.
Setelah dua jam dibawa berkeliling kota, akhirnya Prabu Kresna tahu latar
belakang kehidupan sang sopir.
Sopir itu bercerita bahwa namanya: Georgio Sasimi Waluyo. Ia kelahiran Atlanta,
di negara bagian Georgia, di Amerika Serikat sebelah timur. Bapak dan ibunya
adalah perantauan dari Indonesia yang ketemu saat mereka kerja di restoran
Jepang. Waktu ada NSEERS, bapaknya mendaftarkan diri ke INS
(Immigration Naturalization Services). Padahal sudah diperingatkan teman-
temannya supaya nggak usah ndaftar. Banyak teman-temannya yang 'go underground'.
NSEERS adalah program yang dilakukan oleh pemerintah Amrik untuk mendaftar pada
pendatang dari beberapa negara. Karena kurang populer dan dianggap rasis,
akhirnya program ini dirubah menjadi pendaftaran sidik jari di airport.
Akhirnya bapaknya ditahan oleh INS karena ketahuan sebagai pendatang ilegal.
Pada waktu bapaknya berada di tahanan INS itulah Georgio lahir. Beberapa bulan
kemudian bapaknya dideportasi. Sebelum dideportasi, bapaknya mewanti-wanti
ibunya agar bertahan di Amrik.
Pertama, karena wanita tidak masuk dalam program NSEERS. Kedua, ibunya disuruh
mengumpulkan uang banyak-banyak supaya bisa dijadikan modal kalo pulang nanti.
Dua tahun kemudian Georgio dan ibunya pulang ke Indo.
Tapi bapaknya ternyata sudah ngabur dengan wanita lain. Akhirnya, Georgio kecil
dititipkan pada neneknya, di Mojokerto. Sedangkan ibunya kawin lagi dengan
pegawai asing World Bank yang kebetulan sedang mengadakan studi pengairan sawah
di daerah Jawa Timur. Baik ibu maupun bapaknya tak terdengar lagi kabar beritanya sampai kini.
Ketika sedang asyik mendengarkan cerita tentang masa lalu Georgio, di daerah
Salemba, Prabu Kresna melihat sebuah cahaya dari arah Pasar Senen. Ia minta
Georgio untuk membawanya kesana. Benar saja. Di perempatan Kwitang, seorang gila
sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Orang yang lalu lalang bersikap acuh tak
acuh terhadap orang gila itu.
Setelah membayar ongkos Bajaj, ia datangi orang gila itu. Pakaiannya rombeng dan
dekil. Jelas yang ini bukan orang yang gila kekuasaan. Apalagi baunya seperti
bau sampah di Cilincing. Sedangkan orang yang gila kekuasaan, baunya pasti
Christian Dior. Ketika Prabu Kresna mendekati orang gila, banyak orang yang mula-mula heran dan
memperhatikannya. Namun kemudian orang-orang itu kembali tak acuh. Mereka sibuk
dengan urusannya masing-masing.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (44)
Orang gila itu terbangun dari tidurnya. Waktu bergerak, lalat-lalat yang tadi
sempat berpesta di atas tubuh pada berterbangan. Ia tatap tamunya dengan padang
curiga. Tetapi tiba-tiba keluar tawa yang berderai:
"Huahahahahhahahaha...hehehehe...hohohoho....hahahaha....."
Bethara Kresna membiarkan orang gila itu tertawa sepuasnya. Mendengar tawa
nyaring, orang-orang yang lalu lalang berhenti seketika. Mereka cukup heran
karena ada orang berpakaian necis sedang ditertawai oleh seorang gembel gila.
Pada raut wajah mereka seakan bertanya curiga: Ini siapa yang gila" Apa jangan-
jangan dua-duanya gila"
Tapi ketika terlihat tak ada kejadian istimewa, orang-orang itu kembali pada
kegiatannya. Dalam benak mereka telah terpatri ucapan penghakiman: aku baru saja
ngelihat dua orang gila, yang satu pakai pakaian necis (mungkin pejabat yang
lagi stress), yang satunya lagi gembel abis.
"Wahahahahaha...seorang raja berpura-pura menjadi kawula..hehehe...jaman
edan...hoho...memang jaman edan...raja edan..kawula gendeng...hehehehe..." kata
orang gila itu terbahak-bahak.
Prabu Kresna tahu penyamarannya telah diketahui. Ia kini semakin yakin bahwa
gembel gila di hadapannya ini adalah benar orang yang dicarinya. Setelah situasi
sekeliling tempat itu agak sepi, maka mulailah ia bicara: "Benar, bung. Saya
Kresna dari Darawati. Siapa nama panggilan, bung?"
"Hehehehehohoho...raja mau coba
berpura-pura...hehehehe...Tanya nama" Namaku George Busss..percaya nggak" Lho,
nggak percaya" Oke deh, Sadam Ngus?n...hayo percaya nggak" Lho nggak percaya
lagi...oke deh Joyo Lelono Mangku Rondo
Sedoso...hehehe yang ini asli-sli..hehe"
"Bung Joyo Lelono, aku datang jauh-jauh bukan hanya sekedar lewat. Aku ingin
minta bantuanmu. Di khayangan saat ini bertahta seseorang yang bernama Prabu
Kuncoro Manik. Aku minta tolong supaya engkau mengalahkannya.
Dalam visiku, cuma engkaulah yang mampu. Dan kalau engkau bisa mengalahkannya,
apapun yang kau minta akan aku penuhi..."
"Hahahihihi...ada raja kep?p?t...hohoho..ada raja d?speret hehe...tapi mong-
ngomong boleh juga deh tawarannya...semua permintaan dipenuhi...ah jadi Presiden
ah..hehehe.." Akhirnya Kresna mengungkapkan keadaan yang sebenarnya.
Ia ceritakan bahwa jagat raya saat ini sedang dilanda kekusutan. Sedangkan untuk
mengurai kekusutan itu, salah satunya adalah menggulingkan tahta Prabu Kuncoro
Manik. Walaupun nampak main-main dan selalu cengingisan, tapi rupanya orang gila itu
mendengarkan keluhan Prabu Kresna dengan serius.
"Hohohhoho..akur...hehe..cocok...kalau gitu aku berangkat sekarang juga. Hei,
Prabu Kuncoro Manuk eh Manik! Duduk yang nikmat kau di singgasanamu. Aku
melihat, aku datang, aku menang...hohoho..."
Dengan sempoyongan orang gila itu tiba-tiba berdiri.
Tanpa menunggu aba-aba ia terbang melesat ke angkasa.
Prabu Kresna kaget bukan main. Ia tak menyangka kalo orang gila itu bisa
terbang. Terpaksa ia buru-buru ke pangkalan udara Halim Perdana Kusuma. Disana
ia menyewa pesawat Sukhoi. Setelah tawar menawar, akhirnya harga disetujui
bersama. Tujuan Prabu Kresna hanyalah satu: menyusul Joyo Lelono ke khayangan.
Tapi begitu sampai di langit ke empat, pesawat Sukhoi yang disewanya ternyata
sudah mulai batuk-batuk. Prabu Kresna bertanya pada pilotnya, ada apa dengan


Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesawat yang mereka tumpangi. Dengan santai dijawab, bahwa harga bensin saat ini
kebetulan naik, jadi tadi ngisinya pas-pasan. Selain itu, lama ditunggu-tunggu,
onderdil pesawat ini belum datang juga. Padahal minyak kelapa sawit sudah
terlanjur dikapalkan untuk membayarnya.
Karena kawatir, Prabu Kresna minta diturunkan saja di langit ke lima. Kebetulan
sekali disitu banyak ojek.
Setelah diamat-amati ternyata para supir ojeknya adalah para dewa yang lagi pada
ngobyek. Rupanya jaman memang bener-bener lagi susah, hingga para dewapun
terpaksa ngojek. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (45)
Ternyata tidak mudah mengatur khayangan. Birokrasi dan KKN di kerajaan para dewa
itu sudah mendarah daging di tubuh. Dan juga telah membudaya, sulit untuk
dihapuskan. Hingga penduduk disitu menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Malahan jika ada dewa yang berlaku idealis, jujur, atau bersih dalam
tindakannya, dianggap sebagai dewa yang aneh, dewa yang bodoh, atau dewa yang
tak tahu memanfaatkan kesempatan.
Cara para dewa ber-KKN juga macam-macam. Ada yang dengan cara kasar, ada pula
yang bercara halus, sehingga hampir tidak kentara. Selain itu, segala
sesuatunya, bahkan bantuan kepada pihak yang lain sekalipun, diperhitungkan.
Bantuan selalu dihubungkan dengan pamrih, dihubungkan dengan maksud-maksud
tertentu. Bantuan adalah hutang yang tersamar.
Namun pemimpin khayangan yang baru, Prabu Kuncoro Manik, adalah sosok yang
tegar. Karena kesaktiannya ditakuti, maka segala perintahnya dituruti. Ia memang
bukan tipe seorang pemimpin yang penuh kharisma. Tapi paling tidak dia punya
pendirian. Jadi tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.
Raja baru itu juga telah mulai memperbaiki
pemerintahannya. Para dewa pembantunya semuanya didudukkan sama rata. Semuanya
diberi perhatian yang sama. Tidak ada yang diberi perhatian lebih. Tak ada yang
dimanja. Ia tahu, kemanjaan hanya akan melahirkan kemalasan.
Di paseban agung itu, Prabu Kuncoro Manik duduk terdiam di singgasananya. Dalam
benaknya penuh dengan rencana-rencana yang belum diwujudkannya. Karena raja
belum berkenan bersabda, para kawulanyapun masih pada ikut termangu-mangu.
Tiba-tiba nampak mobil butut Toyota Corolla tahun 1988
datang dan parkir di halaman istana. Dari dalam mobil keluar Begawan Pulasara.
Begitu keluar dari mobil, sang begawan langsung menuju ke istana. Ia mengendarai
mobil itu sendirian. Selama ini ia memang ditawari sopir, tapi selalu menjawab
bahwa ia lebih senang nyetir sendiri.
Lima belas menit kemudian menyusul rombongan mobil-mobil keren. Paling depan
nampak mobil Mercedes Benz merek terbaru warna hitam. Di dekat lampu samping
nampak bendera berpanji-panji Jonggring Saloka. Mereka yang miskin tentu akan
terkagum-kagum melihat pemandangan megah dan mewah itu. Dari dalam mobil keluar
Dewa Narada, disusul Dewa Yamadipati yang meringis kesakitan. Mukanya bengep dan
tangan kanannya kelihatan di gibs. Merekapun langsung menuju ke paseban agung.
Prabu Kuncoro Manik menerima mereka semua dengan muka cerah. Ia memang sedang
menantikan para pemuka kerajaan ini kembali dari tugasnya masing-masing. Tapi
kecerahan wajahnya seketika lenyap dan berubah menjadi keheranan. Dihadapannya
nampak Dewa Yamadipati yang babak belur nggak karuan. Selain itu ia lihat wajah
Bethara Narada nampak muram.
"Bagaimana khabar Paman Pulasara" Apakah tugas yang paman laksanakan berhasil?"
tanya Kuncoro Manik. "Sesuai seperti rencana kita, nak. Aku berhasil memboyong Dewi Banowati ke
khayangan. Saat ini ia ada di keputren," jawab Begawan Pulasara tenang, mantap.
Keputren adalah tempat yang dikhususkan untuk para wanita, termasuk permaisuri
dan selir, di dalam komplek istana.
"Hmmm, bagus. Selamat," ucap Prabu Kuncoro Manik.
Lalu, ia tatap Bethara Narada dan Yamadipati secara bergantian. "Terus gimana
dengan Prabu Kresna" Apa tugas sudah dilaksanakan dengan berhasil?"
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (46)
Bethara Narada nampak gelisah. Pertanyaan Prabu Kuncoro Manik terasa menohok ulu
hatinya. Napas tuanya tersengal-sengal. Sudah terbayang di angannya Kawah
Candradimuka yang panas menggelegak. Semua ini gara-gara tugasnya gagal. Memang
tidak gagal total, tapi memang tidak sesuai dengan kemauan rajanya. Dan itu
artinya sama saja dengan gagal.
"Begini, nak," kata Narada mencoba mencari alasan.
"Kresna akan datang sendirian kemari. Kami sudah berusaha membujuknya, tapi dia
nggak mau. Katanya, takut dibilang menyerahkan diri. Kalo kami paksakan lagi,
kami takut hasilnya malah nihil. Atau keadaannya tambah parah. Soalnya belum
ketemu Bethara Kresna saja kita sudah dihadang Bima dan Setyaki. Kalo nggak
percaya lihat saja tuh hasilnya. Yamadipati sampai babak belur kayak gitu."
Prabu Kuncoro Manik dalam hati tersenyum melihat Dewa Yamadipati. Dewa yang satu
itu memang terkadang terlalu sombong. Mentang-mentang tugasnya mencabut nyawa
orang, terus mau bertindak seenak perutnya. Nah, sekarang rupanya dia kena
batunya. Dia merasakan lagi bahwa dewa nggak selamanya sakti terus. Apalagi
kalau kesaktian itu dipergunakan untuk pamer-pameran, untuk menyombongkan diri.
Kalau dia lagi sial, dia tetap bakal kena sial.
"Oke deh. Kali ini gua maafkan. Tapi besok-besok gua nggak tahu dah...." Belum
sampai Prabu Kuncoro Manik mengakhiri kalimatnya, tiba-tiba datang dayang
kerajaan dari arah keputren. Begitu sampai di depan raja, ia segera menjatuhkan
diri dan menyembah. Nafas terengah-engah seperti habis dikejar setan.
Suasana paseban goncang. Beberapa petinggi kerajaan sudah pada memegang
senjatanya masing-masing. Prabu Kuncoro Manik sendiri kaget: "Eh, kenapa nih"
Bocah emban, elu kok lari-lari gitu emangnya ada apa?"
"Ampun gusti...mohon ampun paduka...mau...lapor," kata dayang istana sambil
berusaha mengatur nafasnya.
Rambutnya yang panjang dibiarkannya tegerai. "Ampun gusti. Ada tamu-tamu tidak
diundang masuk ke keputren."
Kembali semua yang ada di paseban agung, termasuk Kuncoro Manik, kaget bukan
main. "Siapakah mereka?"
Belum sempat pertanyaan itu terjawab, datang pula kepala pengawal istana dengan
tergopoh-gopoh. Sambil menyembah ia berkata: "Gusti, di depan kerajaan tengah
mengamuk seorang kesatria yang mengaku bernama Bimasena. Sampai sekarang belum
ada yang mampu menangkapnya."
Rupanya dua musuh datang sekaligus. Yang satu berhasil masuk dari belakang
komplek istana, langsung ke keputren. Yang lainnya sedang berusaha masuk melalui
gerbang depan. "Udah sekarang gini aja. Paman Begawan Pulasara dan Ayahnda
Bethara Guru tangkap tamu yang di keputren, biar gua hadapi Bimasena di gerbang
istana. Yang lainnya berjaga-jaga di dalam," titah Prabu Kuncoro Manik.
Maka pertemuan di paseban agung itu bubar. Di tengah jalan menuju ke keputren
Begawan Pulasara dan Bethara Guru memisahkan diri untuk mengepung musuh. Yang
satu lewat gerbang sebelah barat, yang lain lewat sebelah timur.
Ketika Bethara Guru sampai di pintu gerbang timur keputren, ia bertemu Ki Lurah
Semar. Terkaget-kaget ia bertanya: "Lho, kakang Semar kok ada disini?"
"Memang dari tadi saya disini kok. Lha, sampeyan mau kemana, kok bawa-bawa golok
segala?" tanya Semar.
"Aku ingin menangkap tamu tak diundang," jawab Bethara Guru nampak terburu-buru
sambil terus nengok kiri dan kanan. "Katanya ia sedang bersembunyi di keputren,
kang. Apa kang Semar lihat" Nggak lihat" Oke, kalo gitu permisi dulu, kang,"
jawab Bethara Guru. "Eeeeiitt, entar dulu. Main permisi-permisi aja. Tahu nggak, tamu tak diundang
yang ada di dalam yang sampeyan maksud itu adalah boss saya sendiri, Arjuna.
Sampeyan tak boleh masuk kesana, karena dia sedang ada urusan penting," kata
Semar. "Kang, aku dapat perintah menangkap tamu tak diundang itu. Aku tak ada urusan
denganmu. Nah, sekarang permisi aku mau lewat, kang."
"Siapa bilang nggak ada urusan sama saya. Kalau sampeyan mau menangkap boss saya
berarti mau berurusan dengan saya juga dong," kata Semar acuh.
Semar, yang tak lain adalah Bethara Ismoyo, sebenarnya sedang siaga dan
mengambil ancang-ancang. Ia tahu bahwa bekas penguasa Jonggring Saloka yang ada
di depannya inilah yang menyebabkan kekusutan dunia saat ini. Dan sekarang ia
sedang stress. Orang stress biasanya tindakannya nekat. Maka ia berjaga-jaga.
Tak lupa perutnya dia tekan-tekan supaya mules.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (47)
Muka Bethara Guru memerah karena marah. Bekas penguasa Jonggring Saloka itu
merasa disepelekan. Ia tak bisa menerima hal itu. Egonya sebagai seseorang yang
pernah memegang jabatan yang tinggi ternyata masih tetap tinggi. Ia masih
menginginkan orang lain menghormati dan menuruti segala perintahnya.
"Sekali lagi aku bilang. Kalau engkau masih mau aku hormati, menyingkirlah. Aku
tidak ada urusan denganmu," kata Bethara Guru kepada Semar. Nada suaranya kini
meninggi. Ketara sekali ia mulai jengkel. Emosinya sudah mencapai unyeng-unyeng
yang tiga biji jumlahnya.
"Ya, terserah. Nggak dipanggil kakang juga nggak rugi kok," kata Semar enteng.
"Orang kok nggak pernah mau introspeksi. Wibawa sudah hancur kok nggak juga
sadar." Perkataan terakhir Semar itu benar-benar membuat Bethara Guru geram. Emosinya
meluap: "Kalau itu memang kemauanmu terserah! Terimalah Cis Jaludara yang ada
ditanganku ini! Hiyaaaaaaattt!" Bethara Guru menyerang sambil berusaha menebas
leher Semar. Semar mengelak kesamping. Serangan lawan mengenai tempat yang kosong. Walaupun
badan Semar gemuk dan pendek ternyata ia cukup lincah. Banyak yang tidak tahu
kalau ia selama setahun ini rajin latihan kebugaran tubuh di Bally's Fitness
Center, gara-gara dokternya memperingatkan bahwa kolesterolnya mulai naik.
Selain latihan kebugaran, ia juga sering latihan senam Taebo melalui kaset video
yang dibelinya di toko loak. "Ciaaaaaattt!!"
Dua orang dewa bertempur dengan dahsyat. Kesaktian masing-masing sudah mencapai
taraf yang sempurna. Bethara Guru mengayunkan senjatanya, mirip seorang guru sekolah di Indonesia
yang sedang berusaha menghajar muridnya yang bebal. Sedangkan Semar, Sang
Bethara Ismoyo yang menyamar menjadi manusia, terus meloncat-loncar dengan
lincah bagai kodok bangkong.
Ketika Semar balas menyerang, dalam beberapa gebrakan saja lawannya sudah nampak
kewalahan. Napasnya mulai kelihatan ngos-ngosan. Fisik lawan yang kelihatan
segar itu ternyata bervitalitas rendah. Rupanya semenjak tidak memangku jabatan
tinggi, kerjanya cuman makan enak dan tidur.
"Hiaaattt...Pleettakk!" Ketika ada ruang pertahanan musuh yang kosong, Semar
melemparkan jitakannya. Jari tengahnya yang memakai batu cincin kecubung sebesar
biji salak mendarat tepat di jidat musuh. Jitakan itu demikian keras dan
bertenaga dalam besar, sehingga membuat lawannya terhuyung-huyung sebelum jatuh
terjengkang. Semar mendekati lawan yang masih pening dan sedang berusaha untuk duduk itu.
Lalu, tanpa pikir panjang ia membalikkan diri dan kentut dengan sekeras-
kerasnya. Itulah senjata Semar paling mutakhir. Kentut itu bukan sembarang kentut. Kentut
itu mengandung gas Mustard berbahaya seperti milik tentara Jepang pada perang
dunia ke dua, yang masih ditemukan di sebuah desa di negeri Cina baru-baru ini.
Melihat bahaya sedang mengancam, Bethara Guru langsung ngabur. Cis Jaludara, dan
bahkan sepatunya yang tadi mental dari tapak kakinya, ditinggalkannya begitu
saja. Kaburnya norak, seperti maling ABG yang ketahuan habis nyengget celana
Levis seorang hansip yang sedang dijemur.
"Hei, lari kemana kamu, Bethara Guru"! Hayo, sini, kok malah kabur"!" teriak
Semar sambil terpontang-panting berusaha mengejar musuhnya. Kalo urusan lari,
tentu ia kalah sama musuhnya. Makanya jarak antara dirinya dan musuhnya makin
terlihat jauh. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (48)
Sementara itu di dalam keputren, Arjuna tengah berusaha untuk meyakinkan Dewi
Banowati supaya mau kembali ke Astina. Tapi tampaknya Dewi Banowati merajuk. Ia
kesal Arjuna tak pernah datang
menengoknya. "Cinta bukan berarti harus memiliki, mbak," demikian Arjuna pernah berkata
kepada Banowati suatu kali ketika mereka sedang berdua saja. Waktu mengungkapkan
hal itu, Arjuna sedang berada di Astina dengan alasan ingin menghadap Prabu
Duryudana. Kata Arjuna selanjutnya: "Biarlah cinta yang bersemi diantara kita, menjadi
pupuk bagi kehidupan kita masing-masing. Dan tentunya kita mengharap bahwa pupuk
itu adalah pupuk yang baik. Karena, pupuk yang baik tentu akan menyuburkan."
Ungkapan Arjuna itu meneteskan air di mata Dewi Banowati. Permaisuri Astina itu
nampak kecewa. Rupanya rasa cinta telah tumbuh antara keduanya sejak dahulu kala, ketika mereka
masing-masing belum kawin.
Namun kodrat nampaknya lebih berjaya.
Arjuna selanjutnya menikah dengan Dewi Subadra dan Dewi Srikandi. Dewi Subadra
satu halus budi bahasanya dan juga bijaksana. Sedangkan Srikandi, selain tomboy,
juga jujur dan pemberani. Kalau ia ikutan "Gay Parade"
pasti bakal ditaksir berat sama lesbian-lesbian.
Lain lagi ceritanya Dewi Banowati. Perikahannya dengan Prabu Duryudana, kurang
membahagiakan. "Jadi pulanglah, mbak," kata Arjuna penuh kesabaran.
"Prabu Duryudana membutuhkanmu. Kerajaan Astina membutuhkanmu."
"Ah, itu bohong!" pekik Dewi Banowati. "Prabu Duryudana memang memanjakan diriku
dan menuruti segala apa yang aku minta. Tapi kan bukan cuma kemewahan dan
keenakan hidup yang aku harapkan. Aku terutama sekali mengharapkan pengertian
dan rasa saling menghormati.
Kedua hal itu tak bisa aku dapatkan.
"Aku cuma jadi burung dalam sangkar emas. Prabu Duryudana lebih suka
mendengarkan omongan ibunya, Dewi Gendari, daripada omonganku. Kalau ibunya yang
ngomong dan memerintah, langsung ia kerjakan. Tapi kalau aku" Boro-boro
dikerjakan, didengarkanpun tidak.
Lalu apa fungsiku" Cuma sebagai pajangan?"
Arjuna tahu bahwa Dewi Banowati sedang berusaha menumpahkan segala beban yang
ada dalam hatinya. Maka ia mencoba mendengarkan sebaik-baiknya. Di buku yang
pernah dibacanya, ia tahu, jika seorang wanita sedang
"curhat" sebaiknya didengarkan tanpa dikomentari.
Wanita biasanya akan merasa "ringan" kalau telah berhasil melepaskan semua unek-
uneknya. Kata Dewi Banowati lagi: "Lalu kau bilang kerajaan Astina membutuhkan aku"
Membutuhkan apa" Sedangkan pendidikan anak-anakkupun aku tak punya hak untuk
ikut campur. Semuanya ditangani oleh suamiku, tentu dengan nasehat mertuaku.
Nah, hasilnya engkau tahu sendiri kan" Anak-anakku pada jadi anak manja dan
bandelnya minta ampun. Kerjanya bolos sekolah, nge-club dan mabuk-mabukan
seperti bapaknya. Sedang yang perempuan kerjanya cuma pada belanja melulu.
"Anak-anak itu, karena juga belajar dari lingkungan sekeliling bapaknya, menjadi
anak-anak yang penjilat, hipokrit, dan juga mata duitan. Kentara sekali bakalan
pada jadi koruptor kayak bapaknya. Apa jadinya mereka nanti setelah besar"
Bagaimana jadinya nanti kerajaan ini jika sudah diwariskan pada mereka?"
Arjuna diam saja tidak berkomentar. Ia tidak ingin menambah ruwet suasana.
Sebenarnya ia ingin mengingatkan, bahwa kerajaan Astina yang sekarang dikangkangi keluarga Kurawa
itu sebenarnya adalah milik Pandawa. Tapi ia diam saja.
Selain itu Arjuna agak gerah juga ketika melihat kancing di dada Banowati yang
terbuka tak sengaja di bagian dada. Walaupun tak pernah operasi plastik, dada
ratu Astina itu memang tak kalah sama dadanya Pamela Anderson. Pemain filem
serial "Baywatch".
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (49)
Waktu Arjuna masih berusaha menyakinkan Dewi Banowati untuk kembali ke Astina,
dari arah pintu gerbang keputren muncul Begawan Pulasara. Sikapnya nampak biasa
seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu, ia hampiri orang yang dicarinya : "Arjuna,
menyerahlah. Aku mau menangkapmu."
"Lho, dari mana engkau tahu namaku" Kamu ini siapa ya?" tanya Arjuna terheran-
heran. Rasa-rasanya, ia baru pertama kali ini bertemu dengan rohaniwan sederhana
ini. "Jangankan namamu, latar belakangmu maupun sikapmupun aku sudah tahu.
Ketahuilah, namaku Begawan Pulasara."
Arjuna kini menjadi semakin waspada. Ia dapat merasakan bahwa pendita
dihadapannya ini bukan orang sembarangan. "Baik, silahkan saja menangkapku asal


Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu melangkahi mayatku dulu." "Hiyyaaatt!!"
Arjuna menyerang dengan jurus "Janda Kembang". Ia dapatkan jurus itu dari
seorang guru silat di daerah Depok. Jurus ampuh itu kebanyakan dipelajari oleh
wanita. Tapi karena potongan badan dan sikap kesatria Pandawa itu lemah gemulai,
maka jurus itu cocok dipelajarinya.
Pertempuran itu berlangsung dahsyat dan membuat keputren porak poranda. Bedak
dan gincu tercecer dimana-mana. Tak ketinggalan beha-beha dan segitiga pengaman
wanita yang sedang dijemur tersangkut sekenanya.
Dengan sebuah gerakan yang kasat mata, Begawan Pulasara berhasil membekuk
Arjuna. Kedua tangannya ia borgol kebelakang.
"Bapa Begawan, kakang Arjuna jangan diapa-apakan!"
teriak Dewi Banowati tiba-tiba. Wajahnya penuh kekawatiran.
Begawan Pulasara mula-mula kaget akan sikap Banowati, tapi kemudian ia mengerti.
Ia tahu akan arti sikap itu. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Permaisuri
Astina itu naksir berat Arjuna.
Angin berhembus lembut. Memainkan umbul-umbul keputren yang compang-camping.
Kibarannya yang lemah bagaikan lambaian tangan bidadari yang tengah menari
Serimpi. Empat tiang-tiang penyangga keputren patah-patah.
Suasana keputren kini benar-benar terlihat
menyedihkan. Lebih mirip daerah kaki lima yang habis diacak-acak polisi pamong
praja, ketimbang tempat tinggal para dewi dan bethari.
Suara gemericik air pancuran di kolam kecil terdengar menyejukkan. Di tempat
itu, kini tinggal mereka betiga saja. Para dewi dan bethari serta dayang-dayang
sudah pada bubar entah kemana. Sedangkan para pengawal tempat itu semua ditarik
ke gerbang istana untuk menghadapi rombongan Bimasena.
"Banowati," kata Begawan Pulasara. "Sudah sepatutnya seorang yang masuk tanpa
ijin ke dalam sebuah rumah harus ditangkap. Ia bisa dikategorikan maling. Dan
maling ini harus diserahkan kepada pemilik rumah itu untuk ditanya apa
keperluannya." "Saya mengerti hal itu. Tapi kedatangan kakang Arjuna adalah untuk menyelamatkan
saya. Karena mungkin dia kira kepergian saya bukan karena kehendak saya. Ia
mengira, saya dalam keadaan bahaya, Bapa Begawan,"
desah suara rintihan Dewi Banowati.
"Ya, tapi Arjuna harus tetap dihadapkan dulu pada Prabu Kunco Manik."
"Kalo begitu biar saya ikut serta. Karena kesalahan kakang Arjuna sebagian
menjadi tanggung jawab saya.
Kakang Arjuna tidak mungkin kemari kalau bukan karena saya berada disini," kata
Banowati sambil menyerahkan kedua tangannya.
"Baik kalo itu permintaanmu." Setelah memborgol juga tangan Dewi Banowati,
Begawan Pulasara membawa segera membawa kedua orang itu untuk diserahkan pada
rajanya. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (50)
Bima datang dengan rombongannya. Tidak banyak, hanya sepuluh orang. Di tengah-
tengah perjalanan tadi ia sempat bertemu Bethara Guru. Napas dewa itu
terengah-engah sedangkan jidatnya kelihatan benjol.
Setelah menyembah, sebagaimana harusnya seorang manusia menyembah pada dewa
manapun, Bima bertanya: "Lho, kakek Guru kok lari-lari kayak dikejar hansip emangnya ada apa?"
"Oh, nggak apa-apa kok. Aku lagi jogging, soalnya kata dokter kolesterolku naik.
Jidatku memar karena tadi kesandung dan jatuh dekat gapura," kata Bethara Guru
mencoba menutupi peristiwa yang sebenarnya. "Kamu sama rombonganmu mau kemana,
nak?" "Gua mau ke istana elu. Apa benar yang berkuasa sekarang namanya Kuncoro Manik?"
"Ya..ya..benar nak. Ia memang yang sekarang bertahta disana...."
"Hmm, katanya dia juga yang mau menggagalkan perang Baratha Yudha. Kalo gitu
biar gua usir dia. Enak aja bikin perintah yang kagak-kagak, bikin keputusan
yang aneh. Mentang-mentang baru dapet kekuasaan. Apa dia kagak sadar kalo bakal
nyalahin kodrat?" Bima menampakkan kegeramannya. "Kalau dia kagak mau turun
tahta, biar entar gua tendang dari kursinya..."
Mendengar rencana Bima itu, wajah Bethara Guru yang tadi lesu berubah menjadi
cerah. Rupanya telah datang seorang kesatria yang akan mengembalikan
kekuasaannya. Benar-benar sebuah keberuntungan yang tak bisa ditampik.
"Wah, anakku Bima. Engkau memang kesatria yang berbudi luhur, karena itu aku
percaya pada sikap dan sifatmu.
Kalau engkau mampu mengalahkan Kuncoro Manik, aku bakal memberimu hadiah.
Nantinya engkau akan aku berikan tempat tersendiri di langit ke tujuh. Kalo
perlu engkau bakal tak beri jabatan. Dan juga senjata-senjata yang sakti milik
kahyangan bakal aku wariskan kepadamu," kata Bethara Guru mencoba meyakinkan.
Untuk kesatria yang suka jabatan, kedudukan dan hadiah, ucapan Bethara Guru itu
tentu akan memberikan rangsangan tersendiri. Namun tidaklah demikian dengan
Bima. Ia bukan tipe kesatria seperti itu. Seorang kesatria sejati biasanya tahu
dan berhati-hati, bahwa dibalik sanjungan dan hadiah, biasanya ada makian dan
tuntutan balas budi. Tipu muslihat.
Rupanya Prabu Kuncoro Manik sudah menunggu Bima dan rombongan di pintu gerbang
istananya. Ia berdiri paling depan dengan tangan bertolak pinggang. Kainnya
berkibar dimainkan angin yang bertiup ringan. Gagah.
Percaya Diri. Tak ada terlintas keraguan pada wajahnya.
"Hei, stop dulu disini!" teriak Prabu Kuncoro Manik mengankat tangan kanannya.
"Kok mirip orang pada mau nggrebek perjudian. Elu-elu ini pada mau kemana,
bung!" Dengan wajah mrengut Bima berteriak bergemuruh: "Gua mau mencari penguasa baru
negeri ini yang namanya Kuncoro Manik! Suruh dia turun tahta, kalo nggak mau gua
tebalikin entar!" "Hehehe gua udah tahu elu bakal cari gua. Nih, gua Kuncoro Manik. Enak aja elu
mau tebalikin orang sembarangan. Nah, gini aja. Gua saranin mendingan elu sama
rombongan balik aja deh. Disini lagi banyak masalah."
"Kurang ajal, lu! Kalo gitu, terima nih bogem mentah gua! Heeaaaattt!!" Beriring
dengan teriakan itu, Bima melabrak musuhnya. Ia memakai jurus Kuku Bima.
Serangannya bagaikan amukan seekor badak yang marah karena betinanya ada yang
membawa pergi. Mengetahui lawannya menyerang tanpa ampun, Prabu Kuncoro Manik tidak tinggal
diam. Ia keluarkan semua ilmu andalannya, termasuk yang telah diajarkan oleh
pamannya, Bagawan Pulasara. Dan jurus-jurus yang dimiliki penguasa kahyangan itu
memang dahsyat. Lawannya kelihatan terdesak biar bentuk fisiknya jauh lebih besar dibandingkan
dirinya. "Hiyaaaa!!" "Dezzz!!" Dengan sebuah gebrakan Prabu Kuncoro Manik berhasil
menjatuhkan dan membekuk lawannya. Bersama jatuhnya kepala rombongan, para anak
buahnya satu per satu jatuh pula ke tangan para pengawal Jonggring Saloka.
Jumlah mereka kalah jauh.
Prabu Kuncoro Manik segera memerintahkan anak buahnya agar membawa tawanan
mereka ke rumah tahanan Salemba.
Setelah semua beres ia segera kembali ke istana.
Ketika penguasa Jonggring Saloka itu berbalik, tiba-tiba angin kencang bertiup
dari belakang. Angin aneh yang entah dari mana datangnya itu dibarengi dengan
suara tawa yang menggelegar: "Huehehe...
huaahaha... ada raja baru..hehehe..baru jadi raja sudah banyak
tingkah...hehehe!!!"
Seorang gelandangan tampak bersender santai pada gapura pintu gerbang istana.
Suaranya terdengar nyaring, pertanda ia punya tenaga dalam yang telah sempurna.
Gelandangan itu nampak menggaruk-garuk rambutnya yang kotor. Seperti ada
segerombolan kutu di kepala yang nekat tak mau minggat dari tempatnya.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (51)
Prabu Kuncoro Manik berbalik menghampiri gelandangan yang nampak acuh di pintu
gerbang istana. Perasaannya mengatakan bawa gelandangan itu bukan sembarang
gelandangan. Keberaniannya datang sendirian ke Jonggring Saloka dan tak
terdeteksi telah membuktikan bahwa ia seorang kesatria sakti.
"Hai, bung!" sapa Prabu Kuncoro Manik. "Kalau elu haus, atau lapar pengen makan,
masuk aja ke dalem. Entar tinggal gua bilang ama yang di dalem bahwa elu tamu gua...."
"Hohohehe...haus" Malu ah" Haus kekuasaan baru malu-maluin namanya..haha..."
jawab gelandangan itu cek bebek. Sikapnya sungguh menyebalkan.
"Atau elu mau istirahat" Mau ganti pakaian" Silahkan masuk aja ke dalem. Minta
saja ke dalam. Beri tahu mereka, bahwa itu atas perintah Prabu Kuncoro Manik."
"Ganti pakaian" Istirahat di sofa empuk" Hahaha pasti asyiiikk" Enak ya kalau
lagi berkuasa...hehehe..tinggal ngomong semua orang nurut..hehe.. kalau udah gitu
bisa lupa diri..asyiiikk..hehehe..."
Prabu Kuncoro Manik semakin tak mengerti omongan ngaco tamu yang tak diundang
itu. Namun makna kata-kata gelandangan itu jelas-jelas menyindir dirinya sebagai
raja yang sedang berkuasa. Biarpun gayanya dibikin gendeng. Jaman sekarang
memang lagi banyak orang gendeng yang gaya bicaranya waras. Tapi tak sedikit
juga orang yang waras tapi gaya bicaranya kayak orang gendeng.
Sambil garuk-garuk betis, gelandangan itu mulai ngoceh lagi: "Hahaha...orang
berkuasa biasanya bukan cuma gampang ngelupa'in sesama, tapi juga lupa
diri...hehehe...orang punya pengaruh biasanya suka maksa'in kehendaknya...
hehehehe..." "Ah, udahlah gua kagak ngarti maksud elu apa," kata Prabu Kuncoro Manik.
"Sebenernya elu ini siapa, dan punya keperluan apa ke kahyangan sini?"
"Hehehe...asyiiikk marah nih y???... oke, gua lagi cari orang yang namanya Prabu
Kuncoro Manik...elu tahu nggak dia dimana..."
"Kebetulan sekali, karena orang yang lagi elu cari ada di depan elu. Nih, gua
Prabu Kuncoro Manik.."
"Hahaha...untung...hehe..ini namanya jodoh," kata gelandangan sambil bangkit
sempoyongan. Namun wajahnya kini nampak kegirangan. "Berhubung elu udah ngaku
siapa diri lu, nih kenalin gua. Nama gua, Begawan Joyo Lelono. Gua utusannya
Prabu Bathara Kresna. Gua kemari untuk nendang elu dari tahta...mau nggak" Nggak
mau" Nggak mau ya udah, soalnya terpaksa harus mau sih...hahahaha...."
Kini Kuncoro Manik samar-samar mulai bisa menebak maksud kedatangan gelandangan
ini: "Hmm, memang gua kemarin ngirim utusan buat manggil Prabu Kresna. Kata
mereka, Raja Darawati itu mau datang sendiri kemari.
Tapi kenapa sekarang tiba-tiba dia nyuruh elu kemari"
Ini yang bikin gua heran. Udah gitu malah nyuruh gua turun tahta segala" Kenapa"
Apa gara-gara perintah-perintah gua" Semua perintah dan keputusan yang gua bikin itu udah
final..." "Ya kan..hehe..mau maksa'in kehendak. Emang tipikal penguasa, kayak buah petai
lupa lanjaran. Udah kagak usah banyak ngomong lu!" kata Begawan Joyo Lelono.
Kini wajahnya berubah jadi serius. Menyeramkan.
"Sekarang tinggal memilih: mau turun tahta apa kagak.
Kalau kagak mau ya terpaksa gua turunin. Dan biasanya kalo nurunin tahta orang,
gua kagak biasa pake demontrasi dulu lho...hahaha...."
Mendengar omongan ngaco gelandangan kesasar itu, Prabu Kuncoro Manik semakin
gemas. Ia sudah tak mampu lagi membendung amarahnya. Gelandangan yang ngaku
seorang begawan ini benar-benar tidak punya sopan santun dan meremehkannya.
Karena itu nampaknya harus dihajar biar sedikit punya etiket. "Hmm, jadi elu
pembunuh bayaran, ya" Datang kemari cuma mau cari ribut" Oke, bilang sama Prabu
Kresna, gua nggak mau turun tahta. Sana pergi! Sebelum rasa kemanusiaan gua
habis..." "Hahaha....hohoho...hehe...ngusir kucing sih gampang.
Tapi jangan elu kira segampang itu ngusir
macan...jangan elu kira segampang itu ngusir Begawan Joyo Lelono....hohohoho.."
"Emang cari mampus lu ya. Ciaaaatttt!!" Bersama dengan teriakan itu, Prabu
Kuncoro Manik melancarkan serangannya. Bunyi pukulan itu demikian dahsyat bagai
bunyi petasan sebesar paha. "Zzddueeerrrr!!"
Para prajurit Jonggring Saloka mulai berdatangan. Saat mereka mau mengeroyok
rame-rame, Prabu Kuncoro Manik mencegah dengan mengangkat tangannnya. Ia
memerintahkan prajuritnya buat mundur. Akhirnya mereka cuma bisa nonton di
pinggir lapangan seperti orang-orang nonton adu ayam gratis.
Begawan Joyo Lelono yang nampak seperti gelandangan malas itu ternyata sosok
yang lincah. Pukulan lawan ia hindarkan bagaikan kucing menghindari lemparan
sandal majikannya. Lalu, dengan sigap ia pasang kuda-kudanya.
Ia mulai mengeluarkan ancang-ancang untuk melancarkan serangan dari jurus
andalannya: "Gembel Tangan Geledek" "Heeyaaaaatttt!! D???rr!! Dheerr!!
Dhheerr!!" Ternyata jurus lawannya memang benar-benar jurus berbahaya. Hampir saja Prabu
Kuncoro Manik terkena pukulan lawannya. Untung ilmu meringankan tubuhnya tinggi.
Karena itu cuma sarungnya saja yang bolong terkena gebrakan lawan. Kini ia lebih
berhati-hati lagi. "Hiyyaaaaaattt!!"
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (52)
Pertempuran dua kesatria itu berlangsung seru. Ilmu silat keduanya benar-benar
mengagumkan. Mirip filem-filem silat Hongkong. Bedanya, perkelahian yang satu
ini bukan sekedar akting. Melainkan perkelahian sungguhan yang mematikan. Dan
makin lama perkelahian itu menjadi makin seru, juga fatal.
Sementara itu di pinggir lapangan para prajurit Jonggring Saloka bersorak sorai
waktu rajanya unggul dalam serangan. Sedangkan saat rajanya terdesak, mereka
mulai terlihat gelisah, bahkan ada yang langsung kirim SMS ke temen-temennya
mengabarkan situasi itu. Temen-temennya itu kirim SMS lagi ke temen-temen mereka
sendiri hingga akhirnya khabar yang belum ketahuan juntrungannya tersebar luas
dengan cepat. Situasi itu mengakibatkan harga saham jadi jatuh dan dolar jadi
naik di pasaran. Tapi itu belum seberapa. Yang lebih kurang ajar lagi, ada beberapa prajurit di
barisan belakang, diam-diam bertaruh dengan sesamanya. Ada yang menjagoi
rajanya, tapi ada juga yang menjagoi musuh rajanya. Rupanya judi memang sudah
merebak kemana-mana. Tidak terkecuali ke khayangan sekalipun.
Jurus demi jurus telah terlalui. Namun rupanya Prabu Kuncoro Manik dan Begawan
Joyo Lelono sama-sama kuat dan sakti. Biar begitu mereka ingin sekali segera
mengakhiri pertempuran. Time is money. Maka seperti sama-sama di komando,
masing-masing melancarkan serangan pamungkas, serangan terakhir yang mampu
melumpuhkan lawan. Dengan ekstra konsentrasi Prabu Kuncoro Manik mulai menggalang tenaga intinya,
begitu pula Begawan Joyo Lelono. Tiba-tiba dua sosok itu nampak maju melesat
berbarengan. "ZZZDHUUEERRR!!" Pertemuan pukulan kedua kesatria itu menimbulkan bunyi gelegar
yang dahsyat. Para penonton di pinggir lapangan rubuh terkena dampaknya.
Beberapa nampak mental. Ketika mereka bangkit, mereka terheran-heran melihat dua
sosok di tengah lapangan yang kini telah berubah bentuk.
Prabu Kresna yang dari tadi rupanya telah mengamati dari jauh, kini tergopoh-
gopoh mendekat. Iapun nampak bingung melihat pemandangan yang terlihat di
gelanggang. Katanya: "Hmm, jadi Prabu Kuncoro Manik itu ternyata kamu toh,
Antasena." "Ya, paman," kata Antasena sambil menyembah. Setelah menyembah tanda menghormat,
ia pegangi lagi kepalanya yang masih terasa pening akibat adu kekuatan dengan
lawannya barusan tadi. "Aku heran. Kok wujudmu itu bisa berubah jadi Prabu Kuncoro Manik itu asal
usulnya gimana?" tanya Kresna.
"Wah, ceritanya panjang, paman," kata Antasena.
Kemudian Antasena mencoba menceritakan kisahnya. Waktu itu, diam-diam ia
diperintahkan menghadap kepada Sang Hyang Bethara Guru. Sesampai di khayangan
ternyata ia di culik, mirip orang-orang yang diculik di Iraq. Dan tanpa tahu apa
kesalahannya, ia diceburkan ke Kawah Candradimuka, neraka jahanam. Belakangan ia
baru paham bahwa perintah pembunuhan terhadap dirinya itu justru didalangi oleh
Bethara Guru sendiri. Waktu melayang jatuh ke Candradimuka, rupanya ada sebuah kekuatan misterius yang
menangkapnya dan mengangkatnya keluar dari kawah itu. Begitu keluar, Antasena
telah mendapati tubuhnya berganti wujud menjadi sosok yang baru. Dengan tubuh
baru itu ia mulai berkelana kesana-kemari.
Rupanya dengan sosok baru itu tenaganya pun berubah menjadi berlipat ganda. Ia
berangkat ke Amerika pakai visa Turis. Di negeri empat musim itu, ia kerja
ilegal serampangan. Mula-mula kerja di Gas Station. Kemudian kerja di Country
Club ngangkat-ngangkat meja, kursi dan juga bersih-bersih WC. Lalu, nglamar jadi
supir limosin. Karena bosan terus kerja di restoran jadi tukang cuci piring. Dan
terakhir di kontraktor bangunan, jadi kuli ngaduk semen. Bosan jadi kuli, ia


Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

loper koran tiap pagi-pagi buta.
Biar sudah berubah bentuk, namun ia tak pernah lupa pada jati dirinya yang lama.
Dari gosip-gosip yang ia dengar, rupanya Bethara Gurulah panyebab kesengsaraan
dirinya. Semua itu dilakukan oleh Bethara Guru, karena Raja Dewa itu berambisi
menuruti kemauan anak kesayangannya, Dewa Serani, yang minta dikawinkan dengan
Dewi Jenokowati. "Hmm, jadi begitu cerita tentang dirimu, nak," kata Prabu Bethara Kresna. "Lha,
kalau kamu, Gatotkaca, bagaimana kamu bisa berubah menjadi Begawan Joyo Lelono?"
"Ceritanya begini, paman," kata Gatotkaca. Ia adalah kakak Antasena, kakak dari
lain ibu. "Saya merasa teramat sedih dan bingung setelah kehilangan Antasena.
Apalagi banyak pihak telah memberi saya tanggung jawab sebagai pengawal
langgengnya perkawinan antara Antasena dan Dewi Jenokowati. Maka saya mencoba
bertanya kesana kemari tentang dimana keberadaannya.
Tapi hasilnya nihil karena Antasena hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Saya
nggak tahu kalo Antasena rupanya pergi merantau ke Amrik."
"Lalu, kenapa kamu bisa jadi seorang Begawan."
"Ketika saya sudah merasa frustasi karena gagal mencari Antasena, iseng-iseng
saya mampir ke daerah Ancol untuk menenangkan diri. Waktu ngaso di tepi pantai,
ada bisikan yang menyuruh saya bertapa
"Ngrame". Dengan begitu saya akan menemukan Antasena.
Maka, tanpa berpikir dua kali saya ikuti saja instruksi itu, berhubung sudah
tidak tahu lagi apa yang harus saya kerjakan. Saya menjadi petapa yang
menggelandang tanpa tujuan. Hingga akhirnya kita semua bisa bertemu disini."
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (53)
Heran akan kejadian-kejadian yang timbul dan tenggelam tanpa disangka dan
diduga, Prabu Kresna, Antasena dan Gatotkaca mencoba merangkai kembali
perjalanan hidup yang telah masing-masing lalui. Akhirnya muncul satu kesimpulan
bersama: Semua kekusutan persoalan di dunia ini hanya bisa terjadi karena
tindakan semena-mena yang telah dilakukan Sang Hyang Bethara Guru.
Bethara Guru memang pemimpin bijaksana, tapi tidak semua tindakannya
mencerminkan kebijaksanaannya.
Bahkan terkadang, karena merasa memiliki kekuasaan, ia suka memaksakan kehendak.
Hal itu dilakukan dengan cara terang-terangan maupun tersamar. Bahwa kehendak
yang dipaksakannya itu dapat diterima oleh orang lain atau tidak, ia tak pernah
mau memikirkannya. Ia merasa bahwa segala apa yang dilakukannya adalah benar.
Prinsipnya: The King always right.
Selain itu, tanpa disadari oleh dirinya sendiri, Bethara Guru sering
memanipulasi situasi. Orang-orang selalu ia dijejali propaganda "demi setia
kawan", "demi pelayanan sesama" dan "demi kemakmuran wong cilik (rakyat kecil)". Dengan
propaganda semacam itu, rakyat menjadi berilusi dan mengikuti segala
perintahnya. Rakyat berilusi bahwa segala tindakan dan kegiatan yang telah
mereka lakukan adalah baik, benar, berpahala, dan berguna.
Banyak yang membenarkan, dan bahkan menutup mata terhadap segala tindakan buruk
ini Mereka ini biasanya adalah orang-orang yang merasa bangga karena bisa punya
kenalan dan pergaulan dengan pemimpin, maupun orang-orang yang nge-top, punya
titel serta jabatan. Rupanya makin sedikit orang yang mampu (dan mau) melihat sisi-sisi buruk
tindakan penguasa. Apalagi jika tokoh yang berkuasa itu nampak selalu bijaksana,
adil, dermawan, ramah, serta murah senyum dan menjadi idola dimana-mana. Belum
lagi jika tokoh pejabat itu
"berspiritual tinggi" dan mampu memberi "kekuatan spiritual" pada orang lain.
Emosi Antasena tiba-tiba meluap sampai ke ubun-ubun atas kesimpulannya sendiri.
Ia tiba-tiba berkata: "Hmm, paman Kresna dan bang Gatot. Gua mau permisi dulu. Gua mau cari Bethara
Guru dulu. Gua percaya, dia tipe orang yang mau bertanggung jawab atas
perbuatannya yang sewenang-wenang...."
Belum sampai ada jawaban, Antasena telah melesat pergi. Prabu Kresna dan
Gatotkaca cuma bisa terbengong-bengong di tempat.
Lalu, keduanya segera masuk menuju Paseban Agung dengan iringan para prajurit
Jonggring Saloka. Para prajurit itu bagaikan anak ayam kehilangan induknya.
Mereka nampak bingung dan tak tahu tindakan apa yang harus dilakukan
selanjutnya. Selama belum ada serah terima jabatan, mereka masih menganggap
Antasena, perubahan wujud Kuncoro Manik, sebagai raja mereka.
Sesampai di Paseban Agung, terlihat Begawan Pulasara, Arjuna dan Banowati tengah
menunggu. Prabu Kresna memiliki banyak mata-mata tangguh di kerajaan Darawati. Mereka itu
diantaranya adalah bekas-bekas KGB yang merasa dapet gaji kecil setelah Uni
Soviet runtuh. Selain itu juga para bekas CIA yang tidak suka pada
organisasinya, terutama setelah penanganan 'Weapon of Mass Destruction' ternyata
bikin organisasi itu jelek dimata dunia. Dan terakhir James Bond ngelamar
kerjaan. Ia dipecat organisasinya di Inggris gara-gara mengadukan kebiasaan-
kebiasaan buruk Pangeran Charles.
Dari khabar mata-matanya, Prabu Kresna dapat laporan bahwa Begawan Pulasara
memiliki kesaktian luar biasa
"Maaf, apakah anda memang benar yang bernama Begawan Pulasara?"
"Ya, betul," kata pendita itu sambil mesem. Wajah tenang sang pendita membuat
gregetan Prabu Kresna. Tersirat dalam niatnya untuk mencoba kesaktian pendita itu. Namun belum sampai
terlaksana niatnya, tiba-tiba datang angin kencang entah dari mana. Banyak yang
menutup matanya untuk menghindari debu dan dedaunan yang berterbangan mengenai
muka. Suasana menjadi gaduh.
Dan di tengah-tengah kegaduhan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara: "...namun
sesungguhnya aku Sang Hyang Baruna." Setelah berkata demikian, tiba-tiba sosok
Begawan Pulasara merubah.
Betapa kagetnya semua yang ada di Paseban Agung, terutama sekali Prabu Kresna.
Semua tidak menyangka, jika Begawan Pulasara adalah penjelmaan Sang Hyang
Baruna, Dewa Lautan. Prabu Kresna segera menghaturkan sembah, diikuti oleh yang
lain. Dewa Laut ini adalah tokoh yang disegani karena kebijaksanannya. Biar
kekuasaannya hanya di lautan, tapi ia tidak ambisius.
Jaman sekarang memang banyak dewa-dewa yang pada ambisius. Terutama karena
disebabkan lahan yang makin mengecil dan persaingan untuk bisa nge-top makin
ketat. Tapi ambisius sih sebenarnya boleh-boleh saja karena hal itu merupakan
"natural process". Asalkan jangan sudah ambisius, terus masih ditambah otoriter,
anti kritik dan pilih kasih. Dewa yang begini inilah yang dinamakan dewa
keblinger. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (54)
Sang Hyang Baruna menceritakan campur tangannya terhadap perjalanan hidup
Antasena. Hal itu dilakukannya karena terpaksa. Ia tidak tega melihat Antasena menjadi korban
ambisi Bethara Guru. Maka supaya tidak terlalu dikenal, ia merubah sosoknya
menjadi Begawan Pulasara.
"Nah, karena tugasku aku anggap sudah selesai, maka aku akan segera pulang ke
rumahku," kata Sang Hyang Baruna. Kharismanya benar-benar memancar,
gilang-gemilang. "Mengenai Antasena yang saat ini sudah badar, dan sedang
menuntut hak-haknya, kalian tidak usah kawatir. Karena hal itu akan melibatkan
kekuasaan yang lebih besar."
"Ya, saya mengerti paduka," jawab Kresna.
"Oh ya, pada bahumulah Kresna, kusandarkan kejayaan anak dan cucuku, keluarga
besar Pandawa. Jagalah dan bimbinglah mereka. Sebagai penasehat dan duta,
engkaulah tulang punggung yang mampu membawa irama bagi langkah hidup mereka.
Jangan karena posisimu dan kekuasaanmu itu lantas engkau bertindak di luar
batas. Dan jangan mengharapkan sanjungan dan nama baik bagi pekerjaanmu itu."
Mendengar permintaan itu, Prabu Kresna segera menghaturkan sembah. Ia berjanji
akan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang masih tercecer.
Diantaranya mengembalikan Dewi Banowati kembali ke Astina.
Setelah mendengar kesanggupan Kresna, Sang Hyang Baruna segera menghilang.
Sosoknya bagai lenyap terbawa angin.
Beberapa saat kemudian, dari belakang paseban terdengar bunyi gaduh. Para
prajurit Jonggring Saloka rupanya telah membebaskan Bima dan rombongannya.
Setelah gemuruh emosi Bima bisa diredakan, Prabu Kresna segera memberitahu duduk
perkara semua persoalan. Sang surya telah condong di cakrawala. Senja menjelang tiba. Langit di ufuk
barat nampak kemerahan, dihiasi selendang-selendang awan yang menghitam. Udara
sore itu cerah, namun lembab.
Demikianlah cuaca di negeri para dewata saat ini.
Udara yang menyesakkan itulah yang makin membuat para dewa dan dewi, bethara dan
bethari serta hapsara dan hapsari, malas untuk keluar rumah. Apalagi banyak yang
sudah tahu bahwa negeri mereka sedang dilanda kerusuhan. Kebanyakan dari mereka
memilih tenang-tenang berada dalam rumah yang ber-AC dan nonton CNN untuk mengetahui
berita terakhir. Kerusuhan itu khabarnya telah berubah menjadi huru-hara. Demikian kusut
urusannya sehingga bahkan menurut khabar burung sempat melibatkan United Nation.
Sudah lumayan jauh juga Bethara Guru lari meninggalkan gelanggang perkelahian,
ketika sadar bahwa senjata andalannya, Kiai Cundomanik, tak mempan waktu
digunakan buat menghajar tubuh Ki Lurah Semar. Setelah merasa aman, ia
memutuskan untuk beristirahat sebentar mengatur napas yang kelihatan kembang-
kempis. Ia agak menyesal juga karena sudah cukup lama tidak berolah raga.
Biasanya ia rajin jogging.
Tiba-tiba dari kejauhan nampak sebuah mobil jip menuju ke arahnya. Dengan hati
girang ia keluar dari persembunyiannya. Kalo diperbolehkan, ia ingin numpang.
Namun betapa kaget dirinya setelah tahu bahwa pengendarannya adalah Antasena.
Dan semuanya sudah terlambat. Antasena sudah melihatnya dan
melambai-lambaikan tangannya melalui jendela.
"Bethara Guru! Hooiii! Guru!" teriak Antasena sambil mengeluarkan kepalanya di
jendela, "gua pengen bicara ama elu! Gua cuma pengen minta pertanggung jawaban
elu!" Mendengar teriakan itu, sadarlah Bethara Guru akan datangnya bahaya baru. Ketika
mobil jip itu sudah semakin dekat, tanpa memberi jawaban, ia langsung kabur
tunggang langgang. Ia lari ke arah jalan setapak yang menuju ke hutan kecil.
Larinya mirip seorang maling yang dikejar hansip satu kompi. Ia tahu, jika
Antasena dihadapinya, nasibnya nggak bakal lebih baik daripada waktu berhadapan
dengan Semar. Saat ini kesaktiannya lagi apes.
Di mobil jip-nya, Antasena cuma bisa bengong. Hatinya tambah dongkol berat. Tapi
ia tidak putus asa. Biar tidak kenal daerah sekitar sini, ia yakin akan mampu
menemukan Bethara Guru. Di mobilnya ada GPS (Global Positioning System). Dengan
alat itu, ia nggak kawatir nyasar.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (55)
Ternyata Bethara Guru memutuskan lari ke luar negri, ke Amerika. Memang,
sebenarnya Amerika tempat pelarian yang paling nyaman, terutama bagi oknum-oknum
pejabat dari negara berkembang. Asal yang bersangkutan tidak melanggar hukum
setempat, ia tidak akan diusik-usik.
Selain itu, yang bersangkutan tidak dalam kategori pelanggar Hak Asasi Manusia
(HAM) yang berat dan juga tidak pernah mendapat cap pelaku Crimes Against
Humanity di negara asalnya.
Tapi ada peribahasa: hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri.
Artinya: biar bagaimanapun enaknya tinggal di negara orang, masih enak tinggal
di negara sendiri. Di Amrik, orang asing akan dianggap sebagai warga negara
kelas dua. Demikian juga halnya dengan Bethara Guru. Karena itu ia tidak betah.
Maka setelah seminggu, ia memutuskan untuk pulang ke Jonggring Saloka. Ia sudah
rindu Mie T?k-t?k, Nasi Uduk dan juga Sop Buntut, makanan-makanan
kegemarannya. Ia bosan makan Hamburger Mc Donald dan Kentucky Fried Chicken
melulu. Maka dengan segala resiko sampailah kembali ia di Kahyangan Jonggring Saloka.
Begitu sampai ia langsung cium tanah. Ia sudah demikian rindu pada tanah airnya.
Rupanya hatinya telah memiliki ketetapan. Dan ketetapan itu adalah keinginannya
untuk mengurai kekusutan persoalan yang tengah terjadi di jagat raya.
Artinya, ia sudah sadar bahwa sumber semua kekusutan itu adalah dirinya, yang
dengan semena-mena telah menghukum Antasena.
Hanya ada satu tempat, dimana persoalan jagat raya yang sudah mentok bisa
dipecahkan. Bukan ke DPR, bukan ke DPA, dan bukan ke PBB, tapi kembali ke Rumah
Kebajikan. Dan tempat ini bukanlah berbentuk gereja, masjid, pura, kuil maupun
tempat ibadah berupa bangunan yang megah lainnya. Karena semua bangunan itu
hanyalah sarana. Kembali ke Rumah Kebajikan artinya kembali kepada kesadaran
diri sendiri. Karena sudah berhasil kembali pada kesadaran diri, maka tindakan selanjutnya
tinggal mengurai kekusutan persoalan disekelilingnya. Dan pertama-tama itu
dilakukan oleh Bethara Guru dengan cara bersemadi, memohon kedatangan Sang Hyang
Wenang, pemegang kekuasaan atas semua dewa. Ia adalah dewanya para dewa yang
bertugas mengatur supaya para dewa tidak jalan sendiri-sendiri dan tidak
bertindak samau-maunya. Ia jugalah pemegang otoritas kehidupan dan kodrat
manusia di jagat raya. "Maafkan saya, karena telah terpaksa mohon petunjuk paduka," demikian awal
pengaduan Bethara Guru. Ia terpaksa harus jujur, karena tanpa kejujuranpun Sang
Hyang Wenang sudah mengetahui segalanya.
"Hmmm, ya...ya...kebetulan aku lagi monitor persoalan Timur Tengah dan Afrika.
Tiba-tiba kok ada SMS yang meminta kedatanganku. Ada apa Bethara Guru?" tanya
Sang Hyang Wenang. "Pertama, kedatangan saya adalah memohon perlindungan dari kejaran Antasena dan
Kakang Semar. Adapun yang kedua, saya ingin memecahkan persoalan jagat raya yang
makin hari saya rasakan semakin parah saja."
"Nah, itulah Bethara Guru. Engkau tahu kan kalo kedua persoalan yang kau
ungkapkan itu berhubungan satu dan lainnya. Semua itu awalnya dari nafsu, yaitu
nafsumu. Nafsu itu sebaiknya janganlah terlalu dituruti. Nafsu itu memang tidak bisa
hilang, tapi paling tidak bisa dikendalikan. Karena dari nafsu-nafsu yang paling
kecil, seperti nafsu bergosip, sampai nafsu yang paling besar, yaitu nafsu
berkuasa, semua itu bisa berakibat buruk.
"Akibat buruk yang paling parah dari nafsu itu adalah bobroknya sifat-sifat
pribadi, seperti menjadi tamak, egois, dan mau menang sendiri. Selain itu bukan
hanya diri pribadi yang terpengaruh, tapi juga keadaan di sekeliling atau
lingkungan. Karena kenyamanan dan kedamaian lingkungan jadi terganggu."
Tidak ada kata yang mampu keluar dari mulut Bethara Guru selain: "Ya, saya
mengerti paduka." Sang Hyang Wenang melanjutkan wejangannya karena ia merasa sudah waktunya untuk
mengingatkan Bethara Guru.
Katanya lagi: "Nah, itu tadi masalah nafsu. Sekarang yang kedua adalah masalah
ambisi. Punya ambisi sih boleh-boleh karena ambisi sudah jadi bagian dari hidup
untuk mencapai kemajuan. Tapi ambisi juga harus disesuaikan dengan kemampuan.
Jangan sampai gara-gara kemampuannya terbatas terus 'njilat yang di atas dan
sikut kanan-kiri. Itu ambisi gila namanya. Apalagi kalo sampai nginjek yang di
bawah. "Lebih parah lagi kalo ambisi dikombinasikan dengan sifat dan sikap yang
otoriter. Ini berbahaya. Karena mereka yang otoriter biasanya tidak mau denger
kata orang lain dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar. Ia mau
berkuasa sendiri dan bertindak sewenang-wenang pada yang lain..."
Belum sampai Sang Hyang Wenang menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terjadi
kegaduhan di luar rumah. Beberapa saat kemudian masuklah Antasena dan Ki Lurah Semar. Betapa kagetnya
Bethara Guru. Apalagi muka kedua orang itu sangar-sangar mirip anggota Babinsa
kalah main judi. Antasena membawa pentungan di tangan kanannya.
(Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (56/Habis) Ketika Semar dan Antasena tahu
siapa yang ada di hadapan Bethara Guru, mereka segera menjatuhkan diri,
menyembah. Pentungan di tangan kanan Antasena terjatuh tak disengaja.
Penghormatan mereka tak dibuat-buat.
Melihat ulah mereka, Sang Hyang Wenang hanya tersenyum.
"Ada apa Antasena, kok datang bawa pentungan segala seperti mau tawuran" Dan
juga kamu Ismoyo, baru kali ini aku lihat wajahmu sangar kayak Pam Swakarsa
nggak dapet bayaran gitu. Ada apa?" tanya Sang Hyang Wenang.
"Maapin gua, kek. Gua kesini memang nyari Bethara Guru. Menurut intel gua, dia
ada di rumah kontrakan ini. Eh, ternyata bener juga. Tapi gua kagak tahu kalo
elu juga ada disini," jawab Antasena. Pandangannya kemudian dilayangkan pada
Bethara Guru dengan sengit.


Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmm," Ki Lurah Semar titisan Bethara Ismoyo memulai jawabannya setelah berhasil
menurunkan tensinya, "saya kira kan paduka sendiri tahu apa sebabnya saya
kemari. Kalo bukan lantaran para putra Pandawa asuhan saya yang lagi dibikin susah sama
Bethara Guru, saya nggak bakalan sampai kemari. Di jalan tadi saya diajak sama
Antasena, yang katanya telah menemukan lokasi Bethara Guru dan mau minta
pertanggung jawabannya. Nah, saya ikut aja sekalian."
Suasana di dalam rumah hening. Hanya suara-suara penduduk kampung saja yang
terdengar berisik dan gaduh di luar. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi
dalam rumah kontrakan itu. Selain itu masih ditambah datangnya para pedagang
kaki lima, yang pandai sekali membaca situasi dan memanfaatkan kerumunan umum.
"Memang Bethara Guru memintaku datang kemari," kata Sang Hyang Wenang tiba-tiba.
"Ada sesuatu yang ingin disampaikannya kepada kalian. Nah, Bethara Guru,
silahkan kamu ungkapkan apa yang ada di benakmu saat ini."
Dengan sedikit salah tingkah Bethara Guru berkata:
"Begini, nak, Antasena. Aku mengaku salah telah mencelakaimu. Aku sadari itu
semua karena arogansiku pada kekuasaan. Selain itu, aku berusaha menuruti
kemauan keluargaku, terutama anakku Dewa Serani, tanpa memandang patut atau
tidaknya tindakanku itu. Karena itu aku sekarang minta maaf kepadamu, nak.
Begitu juga aku minta maaf kepadamu Ismoyo, atas kesalahpahaman yang telah
terjadi." Antasena tak mampu berkata-kata. Biar ia seorang pemberani dan sedang dalam
keadaan emosi, toh luluh juga hatinya mendengar kata minta maaf itu. Dan
nampaknya diungkapkan dengan sejujurnya oleh yang mengatakannya. Begitu juga
Semar hanya mesam-mesem, namun dengan raut muka puas.
"Nah, Antasena dan Ismoyo, Bethara Guru sudah mengakui kesalahannya. Dengan
demikian maafkanlah dia. Jadi tak usah ada lagi dendam. Dia telah menunjukkan
kembali kebesarannya sebagai pemimpin. Yah, para pemimpin pun kalau sudah
terlalu lama berkuasa akan sulit mengucapkan kata maaf. Mereka mengira bahwa
tindakannya selalu baik dan disetujui semua orang.
Karena kedudukan mereka sudah terlalu tinggi sehingga kuping mereka kadang sulit
untuk di raih oleh rakyat yang membutuhkan pengaduan dan keluh kesah. Mata
mereka selalu menengok ke atas hingga lupa bahwa mereka sedang menginjak yang di
bawah..." Mendengar nasehat-nasehat selanjutnya yang cukup tajam, Bethara Guru hanya
menunduk diam. Menekuri penyesalannya sendiri. Tapi kemudian ia sempat kaget
bagai disambar petir waktu terlempar ucapan Sang Hyang Wenang: "...nah, biarpun
kejadian ini nantinya bukan yang terakhir kalinya, tapi mungkin baik bagimu,
Bethara Guru, kalau sebelum bertindak berpikirlah dengan panjang. Dan juga
sering-seringlah instrospeksi dan belajar dari pengalaman."
"Baik, paduka," sembah Bethara Guru sambil
menangkupkan kedua tangannya di atas jidat.
"Sedangkan bagimu, Antasena," sabda Sang Hyang Wenang selanjutnya, "karena
Bethara Guru sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya, maka urusan ini aku
anggap sudah selesai. Pulanglah kembali ke rumah. Temuilah istrimu karena kamu
sudah diberi berkah kelanggengan dalam berjodohan dengan Dewi Jenokowati.
Sedangkan tahta Jonggring Saloka, sekarang juga kuminta untuk kau serahkan
kembali kepada Bethara Guru. Tahta itu sudah menjadi haknya. Mengenai urusan
Dewa Serani biar nanti aku yang menyelesaikan.
"Dan juga kau Ismoyo, kembalilah lagi kepada para kesatria sejati asuhanmu.
Bantulah mereka mengurai kekusutan yang tengah terjadi di dunia."
Hampir bersamaan Antasena dan Bethara Ismoyo menjawab:
"Baik, kek! Baik, paduka!"
Bersama dengan jawaban kesanggupan itu, lenyaplah sosok Sang Hyang Wenang. Tak
ada bekas maupun aromanya yang tersisa. Lenyap bagai lebur dalam udara.
Pada akhirnya, kehidupan alam berjalan pada porosnya masing-masing lagi. Kawah
Candradimuka kembali tenang tak bergejolak. Gempa dan bencana alam telah
berhenti. Kekusutan dunia telah terurai. Para mahkluk hidup dengan aman, damai dan
sentosa. Namun, dibalik semua itu, nafsu angkara masih mengintai dibalik tiap
jiwa-jiwa. Siap melepaskan amuknya jika si empunya tak mampu mengendalikannya.
(Tamat) Document Outline KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK1.pdf
KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAK29.pdf
Iblis Hutan Tengkorak 2 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Kisah Para Penggetar Langit 3
^