Pencarian

Memanah Burung Rajawali 12

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 12


"Benar! Adakah ini ayahmu yang membilangi" Ayahmu itu ialah Tong Shia dan
Auwyang Hong itulah See Tok! Orang yang nomor satu paling pandai di kolong
langit ini yaitu Ong Cinjin itu sudah meninggal dunia, maka sekarang tinggal
kita berempat yang kepandaiannya rata-rata setengah kati sama dengan delapan
tail, hingga kita jadi saling memalui! Ayahmu lihay tidak" Aku sendiri si
pengemis lihay tidak?"
Oey Yong mengasih dengar suara perlahan, agaknya ia berpikir.
"Ayahku orang baik-baik, mengapa dia dipanggil Tong Shia?" ia tanya kemudian.
Ang Cit Kong tertawa. "Dia seorang yang kukuh dan licin, dia dari kaum kiri,
mustahilkah dia bukannya si sesat?" dia menyahuti. "Bicara dari hal ilmu silat,
Coan Cin Kuaw adalah yang sejati, terhadapnya aku si pengemis tua takluk benar-
benar dari mulut ke hati." Ia menoleh kepada Kwee Ceng, untuk menegaskan; "Kau
telah belajar ilmu dari Coan Cin Kauw, bukankah?"
"Totiang Ma Goik telah mengajarkan teecu selama dua tahun," sahut si anak muda
hormat. "Nah, itu dianya, kalau tidak, tidak nanti dalam tempo pendek satu bulan kau
dapat mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku."
"Habis, siapakah itu Lam Tee?" tanya Oey Yong.
"Dialah satu hongya, seorang kaisar," sahut Cit Kong.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran. "Eh, seorang kaisar demikian lihay ilmu silatnya?"
mereka menegasi. "Memang ia seorang kaisar, tetapi dalam hal kepandaiannya, ayahmu dan aku jeri
tiga bagian terhadapnya," sahut si pengemis mengaku. "Api dari Selatan
mengalahkan Emas dari Barat, maka dialah si penakluk dari si bisa bangkotan
Auwyang Hong itu." Dua-dua muda-mudi ini kurang mengerti, tetapi mereka diam saja, sebab mereka
lantas mendapatkan si pengemis dia menjublak, hingga mereka tidak berani menanya
lebih jauh. Cit Kong masih memandangi mega, agaknya ia berpikir keras, alisnya sampai
dikerutkan. Nampaknya ia tengah menghadapi satu soal besar yang ia tak
mendapatkan pemecahannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia berjalan pulang ke
pondok. Mendadak saja terdengar suara memberebet, ternyata bajunya kena langgar
paku di pintu dan sobek. "Aih!" seru Oey Yong, yang mengikuti, tetapi si pengemis sendiri seperti tidak
mengetahui hal itu. Maka si nona berkata, "Nanti aku tambalkan!" Lantas dia cari
nyonya pemilik pondok, untuk pinjam benang dan jarum, terus ia jahiti baju sobek
itu. Cit Kong masih menjublak ketika ia lihat jarum di tangannya si nona, tiba-tiba
saja dia rampas jarum itu, lantas dia membawa lari ke luar. Oey Yong dan Kwee
Ceng heran, mereka lari mengikuti.
Sesampainya si luar, Cit kong mengebas tangannya yang memegang jarum itu, lalu
terlihat satu sinar berkeredep. Nyata jarum itu telah dipakai menimpuk!
Oey Yong mengawasi jarum meluncur, lalu jatuh, nancap di tanah. Dan nancapnya
dengan menikam seekor walang. Saking kagum, dia bersorak. Cit Kong mengeluarkan
napas lega. "Berhasil! Berhasil!" katanya. "Ya, beginilah...."
Oey Yong dan Kwee Ceng tercengang mengawasi pengemis itu.
Ang Cit Kong berkata; "Auwyang Hong si tua bangka beracun itu paling gemar
memelihara ular dan ulat berbisa, semua binatang jahat itu dapat mendengarkan
segala titahnya. Itulah usaha yang bukan gampang." Ia berhenti sebenatr, lalu ia
menambahkan: "Aku rasa juga ini bocah she Auwyang bukannya makhluk yang baik,
jikalau nanti ia bertemu pamannya, mungkin ia menghasut yang bukan-bukan, maka
itu berbahayalah kalau kita bertemu pada pamannya itu, jadi aku si pengemis tua
tidak dapat tidak mesti aku mempunyai suatu senjata untuk melawannya mengalahkan
segala binatang berbisa itu!"
Oey Yong bertepuk tangan. "Jadi kau hendak menggunai jarum untuk menikam nancap
setiap ular berbisa itu di tanah!" katanya.
Ang Cit kong membuka lebar matanya terhadap si nona. "Ah, kau iblis cilik yang
licin!" ujarnya. "Orang baru menyebutnya bagian atas, kau sudah lantas dapat
mengetahui bagian bawahnya!"
"Bukankah kau telah mempunyakan obat yang lihay?" Oey Yong tanya, "Bukankah
kapan obat itu dicampuri arak, asal kau menyemburnya, ular berbisa itu tidak
berani datang dekati padamu?"
"Daya itu cuma dapat dipakai dalam sewaktu," Ang Cit Kong memberi keterangan.
"Sudah, kau jangan ngoceh saja, jangan mengganggu aku, hendak aku melatih diri
dalam ilmu 'Boan-thian hoa ie'. Aku hendak mendapatkan kepastian bagaimana
kesudahannya ilmu itu kalau memakai jarum...."
"Kalau begitu, nanti aku menolongi kau membeli jarum," berkata si nona, yang
terus lari keluar. Ang Cit Kong menghela napas. Katanya seorang diri; "Sudah ada si tua bangkanya
yang cerdik licin bagaikan iblis, sekarang ada gadisnya yang serupa cerdik
licinnya!" "Tidak lama, Oey Yong telah kembali dari pasar, dari keranjang sayurannya ia
mengasih keluar dua bungkus besar jarum menjahit.
"Semua jarum di kota ini telah kau beli hingga habis!" kata dia sambil tertawa.
"Maka besok semua orang laki-laki di sini bakal digeremberengi hingga mati oleh
istrinya!" katanya kemudian.
"Bagaimana begitu?" Kwee Ceng tanya.
"Sebab mereka bakal dicaci tidak punya guna! Sebab kalau mereka pergi ke pasar,
mereka tidak mampu membeli jarum!" sahut si nona. "Sebatang pun tidak ada!" kata
si nona sambil tertawa. Ang Cit Kong tertawa tergelak. "Dasar aku si pengemis tua yang cerdik!" katanya.
"Aku tidak menghendaki istri, supaya aku tak usah disiksa pihak perempuan! Nah,
mari kita berlatih! Dua bocah, bukankah kau ingin aku si pengemis tua
mengajarkan kau menggunai senjata rahasia" Apakah kamu sanggup?"
Oey Yong tertawa, dia mengikuti di belakang pengemis itu.
"Cit Kong, aku tidak mau belajar!" kata Kwee Ceng sebaliknya.
Ang Cit Kong heran. "Kenapa, eh?" dia tanya.
"Lojinkee sudah mengajari aku banyak ilmu, dalam sesaat ini aku tidak sanggup
mempelajarinya semua," Kwee Ceng mengaku.
Ang Cit Kong melengak, tetapi sebentar saja, ia sudah mengerti. Ia tahu orang
jujur dan tidak serakah banyak macam pelajaran, alasan saja dia membilang tidak
sanggup belajar lebih jauh.
"Ah, anak ini baik hatinya," ia memuji di dalam hati. Ia lantas tarik tangannya
Oey Yong, "Mari kita saja yang berlatih."
Kwee Ceng tidak mengikuti, ia hanya pergi ke belakang bukit, di mana seorang
diri dia menyakinkan terus lima belas jurusnya, ilmu silat Hang Liong Sip-pat
Ciang itu. Ia merasakan ia dapat kemajuan, hatinya girang bukan main.
Berselang sepuluh hari, selesai sudah Oey Yong mempelajari "Boan-thian Hoa Ie
Teng Kim-ciam", ialah ilmu menimpuk dengan jarum, dengan sekali mengayun tangan,
ia dapat melepaskan belasan batang jarum, cuma ia belum dapat memisahkan semua
itu ke setiap jalan darah yang ia arah.
Pada suatu hari habis berlatih, Cit Kong tidur menggeros di bawah sebuah pohon
cemara. Oey Yong membiarkannya. Tahu, yang mereka segera bakal perpisahan, ia
lari ke pasar membeli beberapa rupa barang serta bumbunya. Ia ingin memasak
beberapa rupa barang hidangan yang lezat untuk si pengemis. Di tengah jalan
pulang, sambil menentengnya dengan tangan kiri, tangan kanannya saban-saban
diayun, berlatih kosong dengan timpukannya. Ketika hampir sampai di tempat
penginapan, kupingnya mendengar kelenengan kuda yang nyaring. Ia lantas menoleh.
Ia tampak seekor kuda dikasih lari mendatangi, malah penunggangnya ia lantas
kenali, ialah Bok Liam Cu, anak gadisnya Yo Tiat Sim. Ia berdiri diam, mengawasi
dengan bengong, hatinya pepat. Ia tahu nona itu ada punya hubungan jodoh dengan
Kwee Ceng. Ia memikir juga, "Apa baiknya wanita ini maka enam guru engko Ceng
dan imam-imam dari Coan Cin Pay hendak memaksa engko Ceng menikah dengannya?"
Memikir begini, dasar masih kekanak-kanakkan, ia menuruti hati panasanya. "Baik
aku hajar ia untuk melampiaskan hatiku!" pikirnya pula.
Lantas ia bertindak memasuki penginapannya. Ia lihat Bok Liam Cu duduk seorang
diri di sebuah meja, romannya berduka sekali, seoarng pelayan sedang menanya dia
hendak mendahar apa. Dia memesan semangkok mie dan enam kati daging.
"Apa enaknya daging matang?" kata Oey Yong.
Liam Cu menoleh, ia tercengang. Ia kenali nona yang bersama Kwee Ceng naik
seekor kuda di Pakhia. Ia lantas berbangkit.
"Oh, adik pun ada di sini?" katanya. "Silahkan duduk!"
"Mana itu semua imam?" tanya Oey Yong. "Mana si kate terokmok, si mahasiswa
jorok" Kemana perginya mereka semua?"
"Aku sendiri saja," menyahuti si Liam Cu. "Aku tidak bersama Khu Totiang
beramai." Oey Yong jeri terhadap Khu Cie Kee beramai itu, maka mendengar jaaban si nona
itu, hatinya girang, sembari tertawa ia mengawasi nona itu. Ia mendapatkan orang
mengenakan pakaian berkabung, pada rambut di ujung kupingnya ada sekuntum bunga
putih dari wol. Dia nampak lebih kurus, ia mengharukan, tetapi justru itu,
wajahnya lebih menarik hati. Di pinggang si nona itu pun ada sebatang belati. Ia
ingat: "Itulah pisau yang menjadi tanda perjodohannya dengan engko Ceng,
pemberian ayah mereka masing-masing..." Maka ia berkata; "Enci, bolehkah aku
pinjam melihat pisau belatimu itu?"
Itulah pisau yang Pauw Sek Yok keluarkan disaat dia hendak melepaskan napasnya
yang terakhir, dengan dia dan suaminya telah meninggal dunia, pantaslah pisau
itu telah jatuh di tangannya Bok Liam Cu. Mulanya Bok Liam Cu tidak berniat
mengasihkan, sebab ia dapatkan air muka Oey Yong luar biasa, tetapi karena Oey
Yong mendekati perlahan-lahan seraya mengulurkan tangannya, ia tidak dapat
menolak. Ia mengasigkan sekalian bersama sarungnya.
Oey Yong lihat ada ukiran nama Kwee Ceng pada pisau itu. Lantas ia berpikir,
"Inilah barangnya engko Ceng, mana dapat diberikan padanya?" Ia mencabut pisau
itu, sinarnya berkilat, hawanya dingin. "Sungguh pisau yang bagus!" pujinya. Ia
masuki pisau itu ke dalam sarungnya, terus ia masuki ke dalam sakunya sendiri.
"Akan aku kembalikan ini pada engko Ceng," katanya.
"Apa"!" tanya Liam Cu tercengang.
"Disini terukir nama engko Ceng, pasti ini adalah pisaunya," berkata Oey Yong.
"Sebentar bertemu dengannya, hendak aku memulanginya."
Liam Cu gusar. "Inilah warisan satu-satunya dari ayah ibuku, mana dapat aku
berikan padamu"!" katanya keras. "Lekas pulangkan padaku!" Ia pun segera
berbangkit. "Kalau kau bisa, ambilah!" sahut Oey Yong, yang terus lari keluar. Ia tahu Cit
Kong sedang tidur dan Kwee Ceng lagi di belakang bukit berlatih sendiri.
Liam Cu mengubar, hatinya cemas. Ia tahu, sekali dia menunggang kuda merahnya,
nona itu bakal lolos. Oey Yong lari berliku-liku, sampai di bawahnya sebuah pohon yang besar, ia
berdiri diam. Ia lihat di sekitar situ tidak ada lain orang. Sembari tertawa, ia
berkata: "Jikalau kau dapat mengalahkan aku, segera aku pulangi pisau ini!"
"Adik, jangan main-main," kata Liam Cu sabar setelah ia menyandak. "Melihat
pisau itu, aku seperti melihat ayah ibuku, kenapa kau hendak mengambilnya?"
"Siapa adikmu"!" bentak si nona Oey, terus ia menyerang.
Liam Cu kaget, ia berkelit, tetapi Oey Yong lihay, "Buk! Buk!" dua kali dia kena
dihajar iganya. Dia menjadi gusar sekali, lantas ia membalas menyerang, hebat.
"Oey Yong tertawa, "Ilmu silat Po-giok-kun, apa anehnya!" katanya, mengejek.
Liam Cu heran, "Inilah tipu silat ajaran Ang Cit Kong, kenapa dia dapat tahu?"
pikirnya. Ia menjadi lebih heran ketika nona itu menyerang pula, ia justru
menggunai ilmu silat yang sama. "Tahan!" ia berseru seraya lompat mundur. "Siapa
yang ajari kau ilmu silatmu ini?"
"Aku yang menciptkan sendiri!" sahut Oey Yong, tertawa. "Inilah ilmu yang kasar,
tidak ada keanehannya!" Perkataannya itu disusul sama dua serangannya, kembali
jurus-jurus dari Po-giok-kun itu - Kepalan Memecahkan Kumala.
Liam Cu semakin heran. "Apakah kau mengenal Ang Cit Kong?" ia menanya, sambil
menangkis. "Dia sahabat kekalku, tentu saja aku kenal!" Oey Yong tertawa. "Kau gunai ilmu
silat pengajarannya, aku menggunakan ciptaanku sendiri, coba lihat, bisa tidak
aku mengalahkan kau!"
Nona ini tertawa tetapi serangannya terus bertambah dahsyat. Tentu saja Liam Cu
tidak sanggup menandingi. Sudah kepandaian warisan ayahnya sendiri, dia juga
dapat didikan Ang Cit Kong. Sebentar saja nona Bok kena terhajar pundaknya,
tempo ia terpukul juga pinggang kanannya, ia roboh seketika. Sudah begitu, Oey
Yong menghunus pisau belatinya, ia bulang-balingkan itu di muka orang, saban-
saban hampir mengenakan kulit wajahnya. Liam Cu menutup matanya, ia tidak
merasakan luka, cuma angin dingin meniup kulit mukanya itu. Satu kali ia membuka
matanya, ia lihat pisau berkelebat, cuma berkelebat saja. Ia menjadi mendongkol.
"Mau bunuh, bunuhlah, buat apa kau menggertak pula!" ia membentak.
"Kita tidak bermusuhan, buat apa aku membunuh kau?" kata Oey Yong tertawa. "Kau
dengar aku, kau mengangkat sumpah, lantas aku akan memerdekakanmu!"
Liam Cu beradat keras, ia tidak sudi menyerah.
"Kalau kau berani, kau bunuhlah!" ia menantang. "Untuk kau minta sesuatu dari
aku, bermimpi pun jangan kau harap!"
Oey Yong menghela napas, tetapi ia berkata dengan nyaring, "Nona begini elok,
mati muda, sungguh kecewa."
Liam Cu meramkan mata dan menulikan kupingnya, dia berdiam saja.
Hening sejenak, lalu ia mendengar nona itu berkata: "Engko Ceng baik denganku,
biar dia menikah denganmu, tidak nanti ia mencintainya..."
Ia menjadi heran, segera ia membuka matanya. "Apa kau bilang?" ia menanya.
"Kau tidak mau mengangkat sumpah, tidak apa," kata Oey Yong, tanpa menjawab.
"Biar bagaimana, dia tidak bakal menikah padamu, inilah aku tahu pasti!"
"Sebenarnya siapa yang baik padamu?" tanya Liam Cu semakin heran. "Kau bilang
aku hendak menikah dengan siapa?"
"Dengan engko Ceng - Kwee Ceng!" Oey Yong jelaskan.
"Oh, dia!" kata Liam Cu. "Bilanglah, kau menghendaki aku bersumpah apa?"
"Aku ingin kau bersumpah dengan berat, biar bagaimana, kau tidak bakal menikah
dengan engko Ceng itu!" sahut Oey Yong.
Akhirnya Liam Cu tertawa. "Biarpun kau ancam aku dengan golokmu di leherku,
tidak nanti aku menikah dengan dia!" katanya.
Oey Yong girang mendadak. "Benar?" tanyanya. "Kenapa begitu?"
"Benar ayah angkatku telah memberikan pesannya yang terakhir, aku telah
dijodohkan denagnnya, sebenarnya," sahut Liam Cu, yang lalu meneruskan dengan
perlahan sekali; "Sebenarnya ayah angkatku itu telah sudah berlaku karena
pelupaan, dia lupa yang aku telah dijodohkan kepada lain orang..."
Oey Yong menjadi girang sekali. "Oh, maaf!"katanya. "Aku telah menyangka keliru
terhadapmu...." Ia lantas menotok nona itu, akan membebaskan dari totokannya tadi, terus ia
menguruti tangan dan kakinya. Sembari berbuat begitu, ia menegasi: "Enci, kau
telah berjodoh dengan siapa?"
Mukanya Liam Cu menjadi merah. "Orang itu pernah kau melihatnya," sahutnya.
Oey Yong berpikir. "Orang mana yang pernah aku lihat?" ia tanya. "Mana ada lain
pemuda yang sembabat untuk dipasangi denganmu, enci?"
Mau tidak mau, nona Bok itu tertawa. "Apakah di kolong langit ini cuma ada satu
engko Cengmu yang paling baik?" dia membalas menaya.
Oey Yong tertawa. "Enci," katanya, "Kau tidak sudi menikah dengannya, apakah
karena kau menganggap dia terlalu tolol?"
"Siapa yang bilang engko Kwee itu tolol?" Liam Cu membaiki. "Yang benar dia ada
sangat polos dan wajar, bahkan hatinya yang mulia aku sangat mengaguminya."
Oey Yong heran. "Habis kenapa kau tidak sudi menikah dengannya walaupun kau
diancam denagn golok di lehermu?" tanyanya pula.
Melihat orang pun polos, Liam Cu mencekal tangannya erat-erat. "Adikku,"
katanya, "Di dalam hatimu sudah ada engko Kwee itu, umpama kata dilain waktu kau
bertemu lain orang yang berlaksa kali lipat menangkan dia, kau tidak akan
mencintai lain orang, bukankah?"
Oey Yong mengangguk, "Sudah pasti," sahutnya. "Cuma tidak nanti ada orang yang
melebihkan dia!" Liam Cu tertawa. "Kalau engko Kwee itu mendengar pujianmu ini, entah berapa
besar kegirangannya," katanya. "Kau tahu, di itu hari yang ayah angkatku
mengajak aku ke Pakhia, di mana kita pibu, di sana telah ada orang yang
mengalahkan aku..." Oey Yong lantas saja sadar. "Oh, aku tahu sekarang!" serunya. "Orang yang kau
buat pikirkan itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang!"
"Dia boleh menjadi pangeran, dia boleh menjadi pengemis, di hatiku cuma ada dia
seorang," Liam Cu mengaku. "Dia boleh menjadi orang baik, dia boleh menjadi
orang jahat, di dalam hatiku tetap ada dia seorang!" Perlahan suara nona Bok,
tetapi tetap nadanya. Oey Yong mengangguk, ia membalas mencekal erat tangan orang. Mereka berdua
berendeng di bawah pohon itu, hati mereka bersatu padu.
Cuma sebentar Oey Yong berpikir, ia pulangi piasu orang. "Ini aku kembalikan,"
katanya. Liam Cu sebaliknya menolak. Katanya, "Ini kepunyaan engko Cengmu itu, ini harus


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi kepunyaanmu."
Bukan kepalang girangnya Oey Yong. Ia simpan pula piasu itu.
"Enci, kau baik sekali!" katanya, bersyukur. Ia lantas berniat memberikan
sesuatu apa tetapi ia tidak ingat ia punya barang yang berharga untuk tanda
mata. Maka ia menanya: "Enci, kau datang ke Selatan ini seorang diri untuk
urusan apakah" Maukah kau menerima bantuan adikmu ini?"
Mukanya Liam Cu bersemu merah. "Tidak ada urusan yang penting," sahutnya.
"Kalau begitu, mari aku mengajak kau menemui Ang Cit Kong," kata Oey Yong.
Liam Cu menjadi sangat girang. "Cit Kong ada disini?" tanyanya cepat.
Oey Yong mengangguk, lantas ia berlompat bangun seraya menarik tangan orang.
Justru itu di atas pohon terdengar suara berkeresek, lalu terjatuh selemar kulit
kayu, disusul mana berkelebat satu bayangan seorang, ynag berlompatan di atas
pohon-pohon di dekat situ, lantas lenyap. Dengan heran Oey Yong jumput babakan
pohon itu, di situ ia lihat sebaris huruf bertuliskan jarum, bunyinya, "Dua nona
yang baik sekali! Yong-jie, apabila kau main gila pula, Cit Kong ingin
menggaplokmu beberapa kali!" Di bawah itu tidak ada tanda tangannya, cuma
gambaran sebuah cupu-cupu. Tahulah ia, itu ada perbuatannya Ang Cit Kong, maka
tahu juga ia, segala sepak terjangnya sudah ketahuan si kepala pengemis itu. ia
jengah sendirinya. Tapi ia ajak Liam Cu ke rima, di sana ia tak tampak Cit Kong.
terpaksa mereka balik ke pondokan.
Kwee Ceng sudah kembali dari belakang bukit, heran ia melihat Oey Yong
bergandengan tangan bersama Liam Cu.
"Enci Bok, apakah kau dapat melihat guruku beramai?" ia tanya.
"Aku telah berpisahan dari gurumu itu," menjawab Liam Cu. "Mereka telah berjanji
untuk bertemu pula di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada Pee Gwee Tiong Ciu."
"Baik-baikkah mereka semua?" tanyannya.
"Jangan kuatir, Kwee Sieheng," sahut Liam Cu tersenyum. "Mereka semua tidak
mendongkol karena perbuatanmu itu."
Tidak lega hatinya Kwee Ceng, yang menyangka gurunya semua pasti gusar sekali.
Karena ini ia menjadi tidak bernapsu dahar dan minum, ia duduk berdiam saja.
Liam Cu sebaliknya menanya Oey Yong cara bagaimana mereka bertemu dengan Ang Cit
Kong. Oey Yong memberikan keterangan dengan jelas.
"Kau sangat beruntung, adikku," kata Liam Cu, seraya menghela napas. "Kau dapat
berkumpul begitu lama bersama dia, sedanf aku sendiri, bertemu pun susah."
"Tapi diam-diam ia melindungimu, Enci," Oey Yong menghibur. "Kalau tadi aku
benar-benar mencelakai kau, dia tentu bakal turun tangan menolongi padamu."
Liam Cu mengangguk, ia membenarkan.
Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang, ia heran. "Yong-jie, bagaimana?" tanya.
"Kenapa kau hendak mencelakai enci Bok?"
Oey Yong menoleh sambil tersenyum. "Tidak dapat aku menerangkan kepadamu,"
sahutnya. "Dia takut...dia takut...." kata Liam Cu tertawa. Ia pun likat, ia tidak berani
bicara terus. Oey Yong mengitik, "Kau berani menceritakan atau tidak?" katanya.
Liam Cu mengulurkan lidahnya. "Mana aku berani?" sahutnya. "Maukah aku
bersumpah?" "Cis!" Oey Yong berludah. Tapi mukanya kembali menjadi merah. Ia malu sendirinya
kapan ia ingat tadi sudah memaksa nona itu bersumpah untuk dinikahi Kwee Ceng.
Kwee Ceng tidak tahu hati orang tapi ia senang melihat mereka rukun sekali.
Habis bersantap bertiga mereka pergi ke rimba berjalan-jalan. Di sini Oey Yong
tanya bagaimana caranya Liam Cu bertemu dengan Ang Cit Kong hingga ia diajarkan
silat. "Itu waktu aku masih kecil," menyahut Liam Cu bercerita. "Pada suatu hari ayah
ajak aku pergi ke Pian-liang, di sana kita ambil tempat di penginapan. Itu hari
aku keluar untuk main-main di depan pintu, aku lihat dua orang pengemis rebah di
tanah, tubuh mereka berlumuran darah bekas bacokan, tidak ada orang yang
memperdulikan, rupanya mereka jijik atau jeri...."
"Aku mengerti," memotong Oey Yong, "Kau tentu baik hati, kau rawat mereka."
"Aku tidak bisa mengobati mereka tetapi karena kasihan, aku pepayang mereka ke
kamar ayah, aku cuci lukanya dan membalutnya," Liam Cu melanjutkan. "Ktika ayah
pulang dan aku tuturkan apa yang aku lakukan, ayah menghela napas dan memuji
aku. Ia pun kata, dulu juga istrinya murah hati seperti aku. Kemudian ayah
memberikan beberapa tail perak kepada kedua pengemis itu, untuk mereka membeli
obat. Mereka menerima seraya mengucap terima kasih dan lantas pergi. Selang
beberapa bulan, kami tiba di Sin-yang. Kebetulan sekali, aku bertemu kedua
pengemis itu, waktu itu luka mereka sudah sembuh. Mereka mengajak aku ke sebuah
kuil rusak, di sana aku bertemu sama Ang Cit Kong. Dia memuji aku, lantas ia
mengajari ilmu silat Po-giok-kun itu. Baru tiga hari, aku sudah dapat
memahamkan. Dihari keempat, aku pergi kek kuil tua itu, ternyata lojinkee sudah
pergi, dan selanjutnya aku tidak pernah bertemu pula dengannya."
Oey Yong ketarik hatinya. "Cit Kong telah mengajarkan banyak padaku, Enci," ia
berkata. "Kalau kau suka, aku nanti turunkan beberapa di antaranya padamu. Mari
kita berdiam di sini untuk belasan hari. Umpama kata Cit Kong ketahui
perbuatanku, tidak nanti ia gusar."
"Terima kasih adik," kata Liam Cu. "Sekarang ini aku ada punya urusan sangat
penting, tidak ada tempo luangku. Nanti saja, biarnya kau tidak mengajari, aku
sendiri yang akan minta padamu."
Sabar dan lembut kelihatannya Liam Cu dari luar, tetapi sekali ia berkata, ia
membuatnya orang bungkam. Begitulah Oey Yong, tadinya ia ingin menanya
keterangan, lalu ia batal sendirinya.
Pagi itu Liam Cu pergi seorang diri, ia pulang di waktu sore, romannya gembira.
Oey Yong lihat itu, ia pura-pura pilon.
Malam itu berdua mereka tidur dalam satu kamar. Oey Yong naik lebih dulu ke atas
pembaringannya. Diam-diam mencuri lihat orang duduk menghadapai lampu seraya
menunjang dagu, seperti lagi berpikir keras. Ia menutup matanya rapat-rapat,
untuk berpura-pura pulas.
Berselang beberapa saat, Liam Cu mengeluarkan serupa barang dari buntalannya,
dengan lembut barang itu di ciumi berulang-ulang, dibuatnya main di tangannya,
dipandangi lama. Samar-samar Oey Yong melihat seperti sepotong sapu tangan
sulam. Tiba-tiba Liam berbalik, tangannya mengebaskan barang di tangannya itu.
Oey Yong kaget, lekas-lekas ia meram. Ketika ia mendengar siuran angin perlahan-
lahan, ia membuka matanya sedikit, akan mengintai. Ia dapatkan Liam Cu jalan
mundar-mandir di depan pembaringan, lengannya dilibatkan barang yang tadinya dia
buat main itu. Nyatalah itu adalah juwiran jubahnya Wanyen Kang, yang didapat
pada harian mereka pibu. Nona Bok tersenyum, rupanya dia membayangi kejadian di
harian itu dan hatinya berbunga, begitulah satu kali ia menendang, lain kali
kepalanya melayang, alisnya bergerak-gerak.
Oey Yong terus berpura pulas tapi setiap waktu ia mengintai. Ia lihat orang
datang dekat sekali padanya dan menatap mukanya. Ia mendengar orang menghela
napas dan berkata dengan perlahan: "Kau cantik sekali...." Mendadak nona itu
membalik tubuh, ia pergi ke pintu dan membukanya, atau dilain saat ia sudah
berada di luar, melompati tembok pekarangan dan pergi....."
Oey Yong heran bukan main. Ia lompat turun, lantas ia keluar, untuk menyusul. Ia
lihat orang lari ke arah Barat. Ia menguntit. Tentu saja ia berhasil, karena ia
dapat berlari-lari dengan cepat. Ia hanya menjaga agar ia tidak diketahui nona
she Bok itu. Liam Cu pergi ke pasar, menaiki sebuah rumah, sesudah melihat keempat penjuru,
dia pergi ke Selatan dimana ada sebuah lauwteng paling tinggi. Setiap hari Oey
Yong pergi berbelanja ke pasar, ia tahu itulah rumah keluarga Chio, hartawan
terbesar di tempat itu. Ia menjadi heran dan menduga-duga apa mungkin Liam Cu
membutuhkan uang. Sebentar saja keduanya sudah sampai di samping rumah keluarga Chio itu. Dari
situ terlihat di depan rumah ada sinar terang dari dua buah lentera besar, yang
bertuliskan huruf-huruf air emas: "Utusan Negara Kim". Di bawah itu, di muka
pintu, ada berjaga-jaga empat serdadu Kim dengan tangannya mencekal golok.
Liam Cu pergi ke belakang dimana keadaan sunyi, tapi ia masih mencoba menimpuk
dengan batu, untuk mencari tahu di situ ada orang yang jaga atau tidak. Setelah
itu ia lompati tembok masuk ke pekarangan dalam. Ia jalan di antara pohon-pohon
bunga, di gunung palsu. Oey Yong terus menguntit.
Liam Cu pergi ke jendela sebuah kamar timur, di situ di kertas jendela terlihat
bayangan seorang lelaki, yang tengah berjalan mondar-mandir. Si nona menjublak
mengawasi bayangan orang itu.
Oey Yong menduga, ia tapinya tidak sabaran.
"Baik aku masuk dari lain sebelah, aku totok roboh orang itu, supaya ia kaget,"
pikirnya. Ia anggap nona Bok terlalu ragu-ragu. Disaat ia hendak membuka
jendela, untuk berlompat masuk, ia dengar pintu dibuka, lalu seorang bertindak
masuk. Orang itu memberi kabar bahwa menurut warta, utusan raja yang bakal
menyambut yaitu Toan Ciangkun yang berpangkat komandan tentera, akan tiba lusa.
Orang di dalam itu menyahuti, lalu si pembawa kabar mengundurkan diri pula.
"Terang ini adalah utusan negara Kim, kalau beitu enci Bok ada punya maksud
lain," Oey Yong berpikir, "Aku tidak boleh semberono." Ia lantas membasahkan
kertas jendela, buat membikin sebuah lobang kecil, untuk mengintai ke dalam. Ia
heran berbareng gembira. Orang di dalam kamar itu adalah si pangeran muda Wanyen
Kang, tangannya memegang serupa benda hitam yang tengah dibuat main sembari ia
jalan mundar-mandir, matanya mengawasi wuwungan, entah apa yang dipikirkannya.
Tempo pangeran itu datang dekat ke api, Oey Yong melihat tegas barang itu adalah
kepala tembok yang sudah karatan, masih ada sisa sedikit gagangnya.
Nona Oey ini tidak tahu tombak itu adalah tombak warisannya Yo Tiat Sim, ayahnya
si pangeran, ia hanya menduga, Liam Cu tentu ada hubungannya dengan itu. Ia
tertawa di dalam hatinya dan berpikir: "Kamu lucu! Yang satu membuat main
juwiran jubah, ynag lain membuat main ujung tombak! Kamu berada begini dekat
satu sama lain, kenapa kamu bagaikan terpisah antara ujung dunia?". Tanpa
merasa, ia tertawa. Wanyen Kang dapat dengar suara itu, ia terperanjat. "Siapa"!" ia menanya seraya
mengebas mati api lilin. Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia melompat kepada Liam Cu, sebelum nona Bok
mendusin, ia sudah ditotok hingga tidak dapat bergerak lagi. Baru setelah itu
sembari tertawa ia berkata: "Enci, jangan khawatir, jangan sibuk! Nanti aku
antarkan kau kepada kekasihmu itu!"
Wanyen Kang telah membuka pintu untuk keluar ketika ia mendengar suara tertawa
satu nona sambil terus berkata: "Inilah kekasihmu datang, lekas menyambut dia!"
Ia terkejut, tapi ia mesati menantang kedua tangannya, karena ada tubuh yang
ditolak kepadanya, hingga ia mesti memeluk orang itu juga. Itulah tubuh yang
lemas. Si nona tadi lompat ke tembok, sembari tertawa, dia berkata pula: "Enci,
bagaimana nanti kau membalas budiku?" Sesaat kemudian, suara itu lenyap, lenyap
bersama orangnya. Disaat itu juga, tubuh yang lemah itu bergerak, jatuh ke lantai.
Wanyen Kang heran, ia kaget hingga ia mundur. Ia berkhawatir sudah melukai
orang. "Apakah kau masih ingat aku?" ia dapat jawaban, yang perlahan sekali.
Ia kenali suara itu, ia terperanjat. "Kau?" katanya. "Oh!"
"Memang aku," sahutnya Liam Cu.
"Apakah ada orang lain bersamamu?" tanya sang pangeran lagi.
"Yang tadi itu adalah sahbatku yang nakal dan jahil, dia menguntit aku di luar
tahuku." jawab sang nona.
Wanyen Kang masuk ke dalam, ia menyalakan api. "Nona mari masuk!" ia mengundang.
Liam Cu bertindak masuk sambil bertunduk, terus ia duduk di sebuah kursi. Ia
tunduk terus dan membungkam, cuma hatinya berdebaran.
Wanyen Kang mengawasi orang yang agaknya kaget dan girang, mukanya sebentar pias
sebentar merah. Itulah kelikatannya seorang nona. tentu saja hatinya pun
memukul. "Ada apa malam-malam kau datang mencari aku?" ia menanya akhirnya. Liam Cu tidak
menyahuti. Wanyen Kang ingat kematian hebat dari ayah dan ibunya, tanpa merasa ia menjadi
mengasihani nona ini. "Adik," katanya kemudian, "Karena ayahmu telah menutup mata, selanjutnya kau
baik tinggal bersama-sama aku. Aku nanti anggap kau sebagai adik kandungku."
"Aku adalah anka angkat ayah, bukan anak kandung..." kata Liam Cu. Wanyen Kang
sadar. "Dia bicara terhadap aku," pikirnya. "Diantara kita jadinya tidak ada
hubungan darah...." Ia ulur tangannya, mencekal tangan kanan si nona. Ia
tersenyum. Liam Cu merah pula mukanya, ia berontak perlahan tetapi tangannya tak
terlepaskan. Ia tunduk , ia membiarkan tangannya itu terus dipegangi. Hati
Wanyen Kang berdebaran. Ia ulur tangan kirinya, dan merangkul leher si nona.
"Inilah untuk ketiga kalinya aku memeluk kau," ia berbisik di kuping orang.
"Yang pertama di gelanggang pibu, yang kedua kali di luar kamar. Adalah kali ini
kita ada bersama tanpa orang ketiga...."
Liam Cu mengasih dengar suara perlahan, hatinya berdebar bukan main. "Kenapa kau
mencari aku?" ia mendengar pula si pangeran bertanya.
"Semenjak dari kota raja aku mengikuti kau," menyahut si nona. "Setaip malam aku
mengawasi tubuhmu dari antara jendela, aku tidak berani..." "Aku tidak mempunyai
ayah dan ibu lagi, jangan kau sia-siakan aku..." kata pula Liam Cu kemudian,
suaranya sangat perlahan.
Pangeran itu mengusap-usap rambut orang yang bagus.
"Kau jangan khawatir," katanya. "Untuk selama-lamanya aku adalah kepunyaanmu dan
kau pun untuk selama-lamanya kepunyaanku. Tidakkah itu bagus?"
Liam Cu puas sekali, ia mendongak menatap wajah pemuda itu. Ia mengangguk.
"Pasti aku akan nikah dengan kau," katanya. "Kalau di belakang hari aku mensia-
siakan kau, biar aku terbinasa di antara bacokan-bacokan golok, biar aku mati
tidak utuh!" bersumpah sang pemuda.
Liam Cu menangsi saking terharu. "Meski aku adalah seorang nona kangouw, aku
bukannya satu manusia rendah," ia berkata. "Jikalau kau benar mencintai aku, kau
juga mesti menghargainya. Seumurku, aku tidak berpikiran lain, meskipun leherku
ditandalkan golok, apsti aku akan mengikuti kau." Perlahan suara si nona tetapi
tetap. Mau tidak mau, Wanyen Kang jadi menaruh hormat. "Adikku, kau baik sekali," ia
berkata. Terbuka hati Liam Cu, ia tertawa. Ia kata: Aku akan menantikan kau di rumah ayah
angkatku di Gu-kee-cun di Liam-an, sembarang waktu kau boleh kirim orang
perantaraanmu melamar diriku...." Ia berhenti sebentar, baru ia meneruskan:
"Selama kau tidak datang, seumurku aku akan menantikan kau!"
"Jangan bersangsi, adikku," kata Wanyen Kang. "Setelah selesai tugasku, aku
nanti menyambutmu untuk kita menikah."
Liam Cu tertawa, ia memutar tubuhnya, bertindak keluar.
"Jangan lantas pergi, adikku!" Wanyen Kang memanggil. "Mari kita beromong-omong
dulu...." Nona itu berpaling tetapi tindakannya tak dihentikannya.
Wanyen Kang mengantar dengan matanya sampai orang melompati tembok, ia berdiri
menjublak, kemudian barulah ia balik ke kamarnya. Ia lihat tombaknya dimana
masih ada air mata si nona. Ia merasakan dirinya sedang bermimpi.
Bab 27. Orang Tapakdaksa Dari Danau Thay Ouw
Oey Yong pulang ke pondokannya untuk terus tidur. Ia puas karena ia merasa sudah
melakukan sesuatu perbuatan yang baik. Begitulah, ia tidur dengan nyenyak.
Ketika besok paginya ia mendusin, ia tuturkan pada Kwee Ceng apa yang ia lakukan
itu. Si anak muda pun senang. Keduanya lantas sarapan, terus mereka memasang
omong. Tunggu punya tunggu, sampai bersantap tengah hari, Liam Cu masih belum
kembali. "Baiklah kita tidak usah menantikan dia, kita berangkat sekarang!" Oey Yong
mengajak akhirnya. Kwee Ceng setuju. Mereka pergi ke pasar, untuk membeli seekor kedelai, di waktu mereka mulai
berangkat, sengaja mereka memutar ke rumah keluarga Chio, di sana sudah tidak
ada lagi lentera tanda dari peruntusan negara Kim. Rupanya Wanyen Kang sudah
berangkat. Hal ini melegakan hatinya kedua anak muda itu.
Dalam perjalanan ini, Oey Yong menyamar sebagai seorang pemuda, senang ia
berpesiar. Mengikuti saluran sunagi Oen Ho, mereka menuju ke Selatan. Kuda
mereka kuat jalannya, keledai yang mereka beli pun cukup tangguh, dengan begitu,
walaupun tidak terburu-buru, mereka juga dapat berjalan lekas.
Pada suatu hari mereka tiba di Gie-hin, suatu tempat pembuatan barang tembikar
yang kesohor, di situ mereka menyaksikan aneka warna barang-barang itu. Inilah
pemandangan yang lain dengan pemandangan di lain-lain tempat.
Jalan lebih jauh ke Timur, tak lama tibalah mereka di telaga Thay Ouw, pusat
tumpahnya air dari tiga kota Timur dan Selatan. Luasnya telaga sekitar lima
ratus lie, maka itu juga dinamakan Ngo Ouw atau Danau Lima.
Hatinya Kwee Ceng tertarik. Belum pernah ia melihat air seluas itu. Ia berdiri
berendeng bersama Oey Yong di tepian, tangan mereka berpegangan satu pada lain.
Tanpa merasa ia berseru kegirangan.
"Mari kita main-main di air," Oey Yong mengajak.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu setuju, dari itu mereka hampirkan perkampungan nelayan, di sebuah
rumah mereka menitipkan kuda dan keledai mereka, lalu mereka meminjam sebuah
perahu kecil, hingga di lain saat mereka sudah mengagayuh di permukaan air,
meluncurkan perahu itu, meninggalkan tepian. Dari perahu, mereka sekarang dapat
melihat sekitarnya, yang agaknya jadi terlbeih luas lagi.
Rambut dan baju Oey Yong dipermainkan angin keras. Ia gembira sekali, sambil
tertawa ia berkata: "Dulu hari Hoan Tayhu telah menaiki perahu bersama-sama See
Sie pesiar di Danau Lima ini, dia sungguh cerdik sekali. Mati tua disini
bukankah ada lebih menang daripada seumur tahun repot sebagai pembesar negeri?"
Kwee Ceng tidak tahu riwayatnya Hoan Tayhu itu. "Yong-jie, coba kau tuturkan
tentang Hoan Tayhu dan See Sie itu," ia minta.
Oey Yong suka memberikan keterangan. Maka ia menutur tentang Hoan Tayhu atau
Menteri Hoan itu yang bernama Lee, yang pandai, hingga ia berhasil membantu Raja
Wat menuntut balas membangun negara, tetapi sesuadh berhasil, ia kenal batas,
dia mengundurkan diri bersama-sama See Sie, akan hidup dalam kesunyian dan
ketenangan di telaga Thay Ouw ini. Pandai ia menutur hingga pemudanya menjadi
kesemsem saking tertarik harinya.
"Benar-benar Hoan Lee itu cerdik," kata si pemuda kemudian, "Tidaklah demikian
dengan Ngouw Cu Sih dan Bun Ciong, sampai hari ajalnya mereka masih bekerja
setia untuk negera. Sukar dicari orang-orang seperti mereka itu."
"Memang!" berkata si nona. "Ini dia yang disebut, 'Negara adil, tak berubah,
itulah kegagahan, negera buruk, sampai mati tak berubah, itulah kegagahan.'"
Kwee Ceng tidak mengerti, "Apakah artinya itu?" ia menanya.
"Itu artinya, di dalam negeri bejaksana, kau menjadi pembesar negeri, kau tetap
tidak berubah kejujuranmu semenjak bermula, di dalam negara buruk, kau berkorban
jiwa raga, kau tetap tidak merusak kehormatan dirimu, itu pun satu laki-laki
sejati." Kwee Ceng mengangguk. "Yong-jie, cara bagaimana maka kau dapat memikir
demikian?" ia bertanya pula.
"Aha!" Oey Yong tertawa. "Kalau aku yang dapat memikir begitu, bukankah aku
telah berubah menjadi nabi" Itulah ujar-ujarnya Nabi Khong Hu-cu, diwaktu aku
amsih kecil, ayah paksa aku membacanya."
"Sungguh banyak aku tidak mengerti," Kwee Ceng menghela napas. "Coba aku
bersekolah, pastilah aku ketahui itu semua."
"Sebaliknya aku menyesal telah belajar surat," berkata Oey Yong. "Coba ayah
tidak memaksa aku bersekolah, melukis, menabuh khim, hanya aku dibiarkan
menyakinkan ilmu silat, pasti kita tak usah takuti Bwee Tiauw Hong dan si
siluman bangkotan she Nio itu!"
Asyik mereka pasang omong tanpa merasa perahu mereka sudah meninggalkan tepian
belasan lie. Di dekat mereka, mereka melihat sebuah perahu kecil dimana seoarng
nelayan bercokol di kepala perahunya sedang mengail ikan sambil kepalanya
ditunduki, hingga dia nampak seperti lukisan gambar saja. Mereka bicara terus,
ketika mereka berpaling kepada si nelayan, dia tetap duduk tak bergerak.
"Sungguh dia sabar dan ulet sekali!" kata Oey Yong tertawa. Kemudian di antara
desiran angin dia bernyanyi, dari gembira menjadi sedih. Sebab ia menyanyikan
"Syair Naga Air". Ia bernyanyi baru separuh, tiba-tiba terdengar sambutan yangs
erupa, yang kemudian ternyata adalah suara si tukang pancing ikan itu.
Oey Yong terbengong. "Eh, kau kenapakah?" tanya Kwee Ceng heran.
"Itulah nyanyian yang sering dinyanyikan ayahku," menyahut si nona. "Aku heran
seorang tukang pancing di sini pun dapat menyanyikan itu dan suaranya pun
bersemangat tetapi pun bernada duka. Mari kita lihat."
Mereka mengayuh, akan menghampirkan tukang pancing itu, siapa justru telah
berhenti memancing dan menyimpan pancingnya serta ia mengayuh perahunya pergi.
Ketika kenderaan air mereka berpisah beberapa tombak lagi, tukang pancing itu
terdengar berkata: "Di tengah telaga bertemu sama sepasang tetamu mulia, aku
girang sekali! Sudikah kalau aku mengundang kalian bersama meminum arak?"
"Cuma kami khawatir mengganggu lotiang," Oey Yong menyahuti. Ia heran untuk
kata-kata rapi dari si tukang pancing itu.
"Tidak sama sekali, malah aku bergirang. Silahkan!" dia itu mengundang pula.
Dengan beberapa kali mengayuh pula, Oey Yong merapatkan perahunya kepada perahu
si nelayan itu, bersama Kwee Ceng ia pindah perahu, habis menambat perahunya
sendiri kepada perahu orang, mereka memberi hormat. Nelayan itu membalasi sambil
berduduk terus. "Maaf, jiwi, kakiku sakit, tidak dapat aku bangun berdiri." katanya.
"Jangan merendah, lotiang," berkata muda-mudi itu.
Mereka mendapatkan orang berusia empatpuluh lebih, mukanya kurus, mirip orang
yang lagi menderita sakit berat, tubuhnya jangkung, meski berduduk, ia jauh
lebih tinggi dari Kwee Ceng. Ia tidak bersendirian. Di buntut perahu ada satu
kacung lagi mengipasi perapian, dimana ia tengah memanasi arak.
Oey Yong perkenalkan she mereka, bahwa saking gembira mereka bermain perahu. Ia
memohon maaf yang mereka sudah mengganggu ketentraman si nelayan.
"Kau merendah," kata si nelayan tertawa. "Aku she Liok. Apa jiwi berdua baru
pertama kali ini pesiar di telaga ini?"
"Benar," sahut Kwee Ceng.
Kedua pemuda ini - sebab Oey Yong menyamar - lantas diundang minum dan dahar
sayur mayur yang terdiri dari empat rupa. Mereka mengucap teriam kasih, mereka
minum dan dahar bersama. Nyata araknya wangi dan sayurnya pun lezat, mesti itu
masakan orang hartawan. "Siauwko, kau muda sekali, tapi pandai kau menyanyikan syair Naga Air itu," si
orang she Liok itu memuji.
"Lotiang pun sama juga," Oey Yong membalasi.
Keduanya lantas bicara hal syair itu, dua-duanya gembira. Kwee Ceng tidak
mengerti hal syair, ia membungkam, ia cuma kagum.
Ketika itu terlihat mega berkumpul. Si orang she Liok itu mengundang kedua
tetamunya berkunjung ke rumahnya, untuk berdiam beberapa hari. Ia kata rumahnya
itu di tepi telaga. "Bagaimana, engko Ceng?" Oey Yong tanya kawannya.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, si orang she Liok itu sudah berkata pula bahwa
rumahnya dekat dan di sana ada puncak yang indah. "Jiwi tengah pesiar, maka itu,
jangan kau menampik," ia mendesak.
"Kalau begitu, Yong-jie, mari kita membikin berabe tuan Liok!" akhirnya Kwee
Ceng menjawab kekasihnya. Ia pun mengucapkan terima kasih.
Si orang she Liok itu girang, ia terus menyuruh kacungnya mengayuh. Sampai di
tepian, langit mulai gelap, Kwee Ceng kata ia hendak membayar pulang dulu
perahunya, sedang di rumah si tukang perahu ada kuda dan keledainya, hendak
binatang itu dititipkan terus.
"Tidak usah," kata si orang she Liok mencegah. "Disini semua kenal aku, hal itu
biar dia saja yang mengurusinya." Dia menunjuk kacungnya.
"Kudaku nakal," kata Kwee Ceng.
"Kalau begitu baiklah, nanti aku menanti di gubukku," kata si orang she Liok
itu. Dia tertawa, lantas dia mengayuh perahunya, lenyap di antara pohon-pohon
yangliu. Tapi kacungnya ikut Kwee Ceng dan Oey Yong memulangi perahu dan
mengambil kuda serta keledai mereka. Kemudian mereka mesti berjalan berliku-liku
akan sampai di rumah si orang she Liok, yang merupakan suatu rumah besar dengan
pekarangan yang lebar luas. Untuk tiba di muka pekarangan, mereka mesti
melintasi dulu sebuah jembatan tunggu. Muda mudi itu saling mengawasi, kagum
karena rumah orang itu. Di muka pintu, kedua tetamu ini disambut seorang muda umur duapuluh lebih yang
membawa empat budak. Ia kata ia diutus ayahnya untuk menyambut. Kwee Ceng
membalas hormat, ia mengucap terima kasih. Ia melihat pemuda itu mengenakan
jubah panjang, wajahnya mirip ayahnya, cuma tubuhnya besar dan kekar. Ia lantas
minta belajar kenal. Pemuda itu menyebutkan namanya, Koan Eng.
Sembari berbicara mereka bertindak masuk, memasuki hingga tiga ruangan. Kedua
tetamu ini menjadi terlebih kagum. Rumah itu indah tiang-tiangnya terukir.
"Lekas silahkan tetamu masuk!" lantas terdengar suaranya si orang she Liok, yang
berada di ruang belakang.
"Ayahku terganggu kakinya, sekarang ia menantikan di kamar tulis Timur," Koan
Eng memberitahu. Mereka melintasi pintu angin, lantas mereka lihat pintu kamar tulis yang
dipentang. Di dalam situ si nelayan duduk di atas pembaringannya. Sekarang ia
tidak dandan lagi sebagai tukang pancing, hanya mengenakan pakaian mahasiswa
atau sastrawan, tangannya mencekal kipas. Ia menyambut dengan gembira, sambil
tersenyum, ia pun lantas mengundang duduk. Koan Eng tidak berani duduk bersama,
ia berdiri di samping. Dua tetamu itu mengagumi kamar tulis itu, yang banyak kitabnya serta juga rupa-
rupa barang kuno, tetapi Oey Yong terbengong ketika ia melihat sepasang lian di
tembok, bunyinya "Dalam tumpukan pakaian menyimpan pedang mustika" dan "Dalam
suara seruling dan tambur ada tetamu tua". Ia heran untuk kata-katanya. Itulah
kata-kata yang suka disenandungkan ayahnya. Di bawah lian itu tertulis nama
penulisnya berikut keterangannya: "Coretan Ngo Ouw Hoat-jin selama dalam
sakitnya". Kata-kata "Ngo Ouw Hoat-jin" itu berarti "Orang tapakdaksa dari Thay
Ouw". Ia menduga, si orang tapakdaksa itu tentulah tuan rumah she Liok ini.
Bukankah ia lagi menderita sakit kaki"
Tuan rumah heran. "Bagaimana pandanganmu tentang lian itu, laotee?" ia menanya.
"Kalau aku mengaco, harap chung-cu tidak buat kecil hati," sahut Oey Yong. Ia
sekarang memanggil "chung-cu" = tuan rumah. Ia kata lian itu mengandung
kemurkaan dan penasaran, sedang tulisannya bagus dan keren. Ia anggap orang
telah menyimpan pedangnya untuk hidup menyendiri di tempat sepi. Mendengar itu,
tuan rumah menghela napas, ia berdiam.
"Aku masih muda dan tidak tahu apa-apa, aku telah sembarangan omong, harap
chung-cu suka memaafkan," berkata Oey Yong.
"Jangan mengucap demikian, Oey Laotee," berkata Liok Chung-cu. "Apa yang
tersimpan di dalam hatiku berulah hari ini dapat dilihat orang seorang sebagai
kau, maka bisalah dibilang, kaulah orang yang paling mengenal aku selama hidupku
ini." Lalu ia menoleh kepada putranya, menyuruh lekas menyiapkan barang
hidangan. Oey Yong dan Kwee Ceng meminta tuan rumah jangan membikin berabe tetapi tuan
rumah yang muda sudah lantas mengundurkan diri.
"Laotee, pandanganmu tajam, kau mestinya dari keluarga terpelajar, mungkin
ayahmu ada seorang sastrawan besar," berekat tuan rumah. "Entah siapa ayahmu
itu, bolehkah aku mengetahui nama besarnya yang mulia?"
"Aku tidak mengerti apa-apa, chung-cu terlalu memuji," menyahut Oey Yong.
"Ayahku cuma membuka rumah perguruan di kampung halaman."
Tuan rumah itu menghela napas. "Orang terpelajar tak menemui nasibnya yang baik,
sejak dahulu hingga sekarang sama saja," katanya. "Oey Laotee, kita ada bagaikan
sahabat lama, maka itu aku ingin minta kau melukis sesuatu untukku, sebagai
tanda peringatan. Sudikah kau meluluskannya?"
Oey Yong tersenyum. "Oh, chung-cu!" katanya. "Coretan buruk, cuma-cuma akan
membikin kotor mata chung-chu saja!"
Mengetahui orang suka meluluskan, tuan rumah menjadi sangat girang, ia suruh
kacungnya lekas menyediakan perabot tulis. Si kacung sendiri yang menggosokan
baknya. Oey Yong tidak menampik lagi, cuma berpikir sebentar, lantas ia melukiskan
gambarnya seorang mahasiswa usia pertengahan lagi berdiri di latar tengah sedang
berdongak sambil menghela napas memandangi si putri malam yang cahayanya terang
permai, mahasiswa itu agaknya kesepian, tetapi tangannya dia memegangi gagang
pedang, romannya keren. Di samping lukisan itu dituliskan syair: "Siauw Tiong
San" dari Gak Hui. Sebagai tanda tangan ia menyebutkan dirinya si anak muda she
Oey. Liok Chung-chu girang sekali, ia memuji dan mengucapkan terima kasih. Ia senang
dengan gmabar itu. Habis bersantap, mereka kembali ke kamar tulis, akan pasang omong pula. Tuan
rumah menyebutkan halnya kedua gua Thio Kong dan Sian Koan. Ia minta kedua
tetamunya tinggal beberapa hari lagi untuk menjenguk kedua gua itu.
"Sekarang silahkan jiwi beristirahat," katanya tuan rumah akhirnya.
Kwee Ceng dan Oey Yong mengucap terima kasih, mereka berbangkit, untuk mengikuti
kedua bujang yang membawa lentera, yang hendak mengantar ke kamar yang telah
disediakan untuk mereka. Selagi lewat di ambang pintu, Oey Yong mendongak, maka
terkejutlah ia menampak di atas pintu ada delapan lemabr besi merupakan patkwa.
Tapi ia tidak bilang suatu apa, ia mengikuti terus pengantarnya itu. Kamar yang
disediakan diperaboti lengkap, pembaringannya dua. Kedua bujang menyediakan the,
ketika hendak mengundurkan diri mereka memberitahu apabila perlu apa-apa, kedua
tetamunya boleh membunyikan kelenengan, yang diikat di pinggiran pembaringan.
Kemudian mereka memesan agar diwaktu malam jangan kedua tetamunya itu pergi
keluar. "Engko Ceng, lihat, tempat apa ini," berbisik Oey Yong setelah kedua bujang
menutup pintu kamar dan berlalu. "Kenapa kita dilarang keluar di waktu malam?"
"Rumah ini luas sekali pekarangannya, berliku-liku juga, mungkin dikhawatirkan
kita kesasar," sahut Kwee Ceng.
"Bagaimana engko lihat tuan rumah kita?" si nona menanya pula.
"Dia mirip perwira yang telah mengundurkan diri!" jawab si anak muda.
"Tidak salah! Dia tentu mengerti ilmu silat, bahkan lihay. Kau lihat tidak tadi
itu patkwa besi di atas pintu kamar tulis?"
"Patkwa besi" Apakah itu?" tanya si pemuda.
"Itulah senjata yang menjadi alat untuk menyakinkan ilmu Pek-khong-ciang,
latihan memukul udara kosong. Ayah pernah ajarkan aku ilmu itu, aku bosan,
selang beberapa bulan, aku mengapalkannya siapa tahu, di sini aku melihat alat
itu..." "Kelihatannya Liok Chung-cu tidak bermaksud jahat, maka itu apabila dia tidak
membilang sesuatu apa, kita baik perpura-pura pilon."
Oey Yong tersenyum, lalu tangannya mengebas ke lilin, memadamkan api.
"Tanganmu sungguh lihay!" Kwee Ceng memuji perlahan. "Yong-jie, adakah ini Pek-
khong-ciang?" "Cuma sebegini pelajaranku," Oey Yong tertawa. "Ini ada untuk main-main, buat
dipakai menyerang orang, tidak dapat."
Sampai di sini, keduanya tidur.
Mereka belum puas ketika kuping mereka dapat menangkap suara bagaikan orang
meniup terompet kulit keong, terdengarnya samar-samar, tandanya jauh suara itu,
kemudian datang suara yang menyambutnya, tanda terompet itu dibunyikan bukan
oleh satu orang. Suara menyambut itu pun samar-samar.
"Engko Ceng, mari kita lihat," Oey Yong mengajak, suaranya perlahan. Ia heran
sebab terompet itu terang saling sahutan.
"Lebih baik kita jangan keluar, khawatir terbit gara-gara." sahut si pemuda.
"Siapa bilang untuk menerbitkan gara-gara" Aku mengatakan untuk melihat." jawab
si nona bersikeras. Kwee Ceng terpaksa menurut, maka dengan berhati-hati keduanya membuka jendela,
untuk melongok dulu keluar. Di paseban terlihat beberapa orang dengan lentera,
beberapa lagi pergi datang, agaknya repot. Di atas genteng pun ada tiga empat
orang lagi mendekam. Di antara terangnya lentera, terlihat nyata orang pada
membekal senjata tajam. Tidak lama, semua orang itu pergi keluar.
Oey Yong heran, ingin ia mencari tahu, dari itu ia tarik tangan Kwee Ceng pergi
ke jendela sebelah barat. Di luar situ tidak ada orang, keduanya lompat keluar.
Kerena kegesitannya, mereka tak terlihat orang-orang di atas genting itu.
Dengan memberi tanda dengan tangannya, si nona mengajak kawannya jalan mutar ke
belakang. Jalanan di situ dari timur belok ke barat, berliku-liku. Heran adalah
setiap paseban di tikungan, modelnya sama. Maka dalam beberapa belokan saja, tak
dapat dibedakan lagi mana timur mana barat, mana selatan mana utara. Tapi si
nona lihay, ia maju terus dengan cepat, tidak pernah ia bersangsi. Pernah
nampaknya di depan tidak ada jalanan tetapi ia menobloskan gunung-gunungan.
Heran Kwee Ceng setibanya mereka di sebuah lorong yang agaknya buntu tetapi si
belakangnya pintu angin nyata ada sebuah tempat tenang dan indah, hingga ia kata
pada kawannya: "Yong-jie, rumah ini aneh, cara bagaimana kau kenal jalanannya
semua?" Oey Yong tidak menjawab, dengan tangannya ia memberi tanda supaya si pemuda
tutup mulut. Mereka melalui beberapa tikungan, baru mereka tiba di tembok
belakang. Di situ si nona menekuk-nekuk tangannya, ia maju beberapa tindak,
kemudian Kwee Ceng dengar ia menyebutnya perlahan: "Cit satu...tun tiga...ie lima...
hiu tujuh...kun...." yang ia tak mengerti, akan akhirnya si nona kata sembari
tersenyum: "Cuma di sini ada jalan keluar, yang lainnya penuh dengan alat
rahasia." Habis berkata, ia lompat naik ke tembok. Kwee Ceng lantas mengikuti.
"Pekarangan ini diatur menurut patkwa," Oey Yong memberi keterangan. "Inilah
keahlian ayahku. Liok Chung-cu bisa menyulitkan orang lain, tidak aku!" Dan ia
agaknya puas sekali. Keduanya naik di tanjakan bukit kecil di belakang, memandang ke arah timur,
mereka mereka melihat sebarisan lentera obor yang menuju ke tepi telaga. Oey
Yong memberi tanda, ia lari ke arah timur itu, kawannya mengikuti terus. Lantas
mereka sembunyi si belakang satu batu besar, mengintai ke tepian. Di situ
berbaris perahu-perahu nelayan, orang semua menaiki itu. Sejenak saja, semua api


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipadamkan. Oey Yong berdua menunggu naiknya rombongan paling belakang, di dalam gelap
gulita mereka keluar dari tempat persembunyiannya, lari ke sebuah perahu yang
paling besar, untuk lompat naik ke gubuk perahu. Gesit dan enteng tubuh mereka,
perbuatannya itu tidak ada yang ketahui. Mereka lantas mengintai di sela-sela
gubuk. Segera ternyata, duduk di dalam perahu ada si chung-cu muda, Liok Koan
Eng. Semua perahu itu berlayar baru satu lie kira-kira, dari tengah telaga terdengar
suara terompet. Dari perahu besar itu terlihat keluar seseorang, dia terus
meniup terompet sebagai balasan. Masih perahu berlayar terus.
Selang beberapa lie lagi, terlihat di sebelah depan berbaris-baris perahu kecil
berjalan bagaikan kawanan semut, atau titik-titik di atas kertas putih, entah
berapa jumlahnya. Tukang terompet di perahu besar meniup pula terompetnya, tiga kali, lantas
perahu kecil segera datang menghampirkan dari perlbagai penjuru.
Oey Yong dan Kwee Ceng heran betul. Agaknya bakal ada pertempuran, tetapi Koan
Eng tetap tenang sikapnya, tak seperti ia lagi mengahadapi musuh besar.
Lekas sekali semua perahu sudah datang dekat, dari setiap perahu berlompat
pindah satu orang, dua orang, tiga empat orang, tak tentu, di dalam, mereka
memberi hormat kepada Koan Eng, terus mereka duduk, sikapnya tetap menghormat,
duduknya rapi. Tempat duduknya seperti sudah diatur, sebab ada yang datang
duluan duduknya di belakang atau di tengah, ada yang datang belakangan justru
duduk di kursi kepala. Sebentar saja, semua sudah berduduk. Mereka kelihatan
keren, bukan seperti nelayan.
"Thio Toako, apa kabarmu?" tanya Liok Koan Eng seraya ia mengangkat tangannya.
Ia memecahkan kesunyian setelah semua orang sudah duduk rapi itu.
Seorang yang kurus tubuhnya berbangkit. Ia menyahuti: "Peruntusan negara Kim itu
sudah mengatur sebentar pagi-pagi akan melewati telaga dan Toan Cie-hui akan
tiba lagi dua jam. Dengan alasan menyambut peruntusan itu, di sepanjang jalan
Cie-hui itu sudah memeras harta benda. Ini pun sebabnya dia datang terlambat."
"Berapa banyak hasilnya itu?"
"Setiap kota ada bingkisannya. Serdadu-serdadunya pun merampas di perkampungan.
Aku lihat, waktu turun ke perahu, pengikutnya menurunkan duapuluh peti lebih
yang semua nampaknya sangat berat."
"Berapa banyak tentaranya itu?" Koan Eng menanya pula.
"Dua ribu serdadu berkuda. Yang naik perahu semuanya adalah serdadu berjalan
kaki. Karena perahu tidak banyak, yang ketinggalan ada sekitar seribu jiwa."
"Saudara semua, bagaimana pikiran kamu?" Koan Eng tanya para hadiran.
"Kami menanti titah siauw chung-cu!" ia mendapat jawaban serempak.
Koan Eng lantas bersidakep tangan, lalu ia berkata: "Semua itu keringat darah
rakyat, semuanya harta tak halal. Karena mereka lewat di sini, kalau kita tak
ambil, kita menentang wet Tuhan! Mari kita ambil semunya, nati separuhnya kita
amalkan kepada rakyat jelata, yang separuhnya kita bagi rata antara semua
markas!" "Bagus!" semua hadirin setuju.
Baru sekarang Oey Yong berdua ketahui, semua orang itu adalah kepala-kepala
perampok dan Koan Eng rupanya adalah pemimpin umumnya!
"Kita tidak dapat berayal lagi, mari segera kita turun tangan!" berkata Koan Eng
lagi. "Thio Toako, tolong bawa lima buah perahu untuk membikin penyelidikan di
depan!" Si orang kurus menerima titah itu, ia berlalu paling dulu.
Setelah itu Koan Eng mengatur barisannya, siapa yang jadi pelopor, siapa
penyambut atau pembantu, siapa mesti jadi "siluman air", akan selulup di dalam
air untuk memahat perahu-perahu musuh, dan siapa mesti jadi tukang angkut harta.
Bahkan ditetapkan siapa mesti membekuk si kepala pasukan musuh. Dia kelihatan
lemah tetatpi rapi pengaturannya itu. Maka itu, Kwee Ceng berdua bertambah
kagum. Disaat orang hendak mulai berangkat, seorang hadirin berbangkit dan berkata
dengan suara dingin: "Kita yang bekerja tanpa modal ini, sudah cukup kalau kita
makan dari kaum pedagang kaya raya, tetapi dengan menempur pembesar dan tentara
negeri, apa selanjutnya kita masih bisa berdiam di telaga ini?"
Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi orang itu, ynag suaranya mereka rasa
mengenalinya. Tidak usah mereka memandang lama, lantas mereka kenali orang ini
ialah Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong, salah satu dari keempat Hong Ho Su Koay,
Empat Iblis dari sungai Hong Ho, yang adalah muridnya See Thong Thian. Maka
heran mereka, kenapa iblis itu nelusup di antara kawanan dari Thay Ouw itu.
Wajahnya Liok Koan Eng menjadi merah padam. Belum lagi ia membuka suara, sudah
ada dua tiga orang yang menegur Ceng Hiong itu.
"Ma Toako baru datang, tidak heran kau tidak ketahui aturan kami di sini," kata
Koan Eng mencoba bersikap sabar. "Bagi kami, satu kali semua orang sudah
mengambil keputusan, kami mesti bekerja, biarnya kami semua ludas, kami tidak
menyesal!" "Baiklah!" kata Ceng Hiong. "Kamu lakuan usahamu, aku tidak dapat mencampuri air
keruh kamu!" Ia terus memutar tubuhnya, berniat berlalu.
Dua orang, yang tubuhnya besar, melintang di mulut perahu. "Ma Toako!" kata
mereka keras. "Kau sudah bersumpah memotong kepala ayam! Sumpah kita adalah,
rejeki sama dicicipi, bencana sama diderita!"
Ma Ceng Hiong tidak menggubris cegahan itu. "Minggir!" ia membentak, kedua
tangannya dikebaskan. Sebagai kesudahannya, dua orang tinggi besar itu roboh terpelanting.
Disaat iblis ini hendak bertindak, ia merasakan sambaran angin pada punggungnya.
Segera ia berkelit ke samping, tangan kirinya mencabut semcama pusut dengan apa
ia membalas menyerang dengan tikaman.
Penyerang yang gesit itu adalah Liok Koan Eng. Dia menangkis, kakinya dimajukan,
tangan kanannya menyerang terus. Maka "Duk!" punggung Ceng Hiong kena terhajar
hingga dia menjerit keras, memuntahkan darah, tubuhnya terus roboh binasa
seketika. "Bagus!" berseru semua hadirin, diantara siapa ada yang sambar tubuh Ceng Hiong
itu, untuk digayor ke tengah telaga!
"Semua saudara, berebutlah maju!" Koan Eng menyerukan tanpa menghiraukan lagi
apa yang ia barusan lakukan.
Semua orang menyahuti, lantas semua kembali ke perahu masing-masing.
Sebentar kemudian, semua kenderaan air itu sudah menuju ke timur. Perahu besar
Koan Eng mengiringi dari belakang. Tidak lama terlihatlah jauh di sebelah depan
beberapa puluh buah perahu besar, yang apinya terang-terang, tengah menuju ke
barat. Di antara perahu kecil lantas terdengar suara terompet keong.
Kwee Ceng dan Oey Yong memasang mata. Mereka tidak usah menanti lama atau kedua
pihak perahu sudah datang dekat satu pada lain, lanats terdengar suara bentakan-
bentakan disusul mana beradunya senjata atau tubuh yang kecemplung ke muka air.
Selang tidak lama, di pihak perahu tentara terlihat api berkobar, hingga seluruh
telaga menjadi merah marong.
"Tentu mereka sudah berhasil," pikir Kwee Ceng berdua.
Tidak seberapa lama, beberapa perahu datang mendekati perahu besar, dari dalam
situ terdengar laporan: "Semua musuh sudah musnah, kepala perangnya sudah
tertawan!" Koan Eng girang sekali, dai pergi ke kepala perahu. Dia berseru: "Saudara-
saudara, bercapai lelahlah sedikit lagi! Silahkan kamu membekuk utusan negera
Kim!" Pembawa kabar itu bersorak, mereka lantas berlalu pula, untuk menyampaikan titah
itu. Habis itu, terdengar suara terompet dari pelbagai perahu kecil, semua
perahu memasang layar, menuju ke barat, bertiup keras angin timur.
Perahu besar Koan Eng, yang tadinya berada di belakang, sekarang maju mendahului
ynag lain-lain, pesat sekali lajunya.
Kwee Ceng dan Oey Yong berdiam terus, mata mereka mengawasi ke depan. Tidak
peduli angin keras mendampar-dampar punggung mereka, mereka gembira sekali. Coba
tidak lagi sembunyi, tentulah si nona sudah bernyanyi. Pula menarik akan melihat
perahu-perahu kecil mencoba melombai perahu besar itu.
Berlayar kira-kira satu jam, di depan mulai tertampak cahaya terang. Maka dua
buah perahu kecil terlihat melesat mendatangi, lalu seorang dikepala salah satu
perahu, dengan tangan memegang bendera merah berteriak nyaring: "Kita sudah
menemui perahu-perahu peruntusan negera Kim itu! Hoo Cecu sudah mulai
menyerang!" "Bagus!" Koan Eng menyahuti.
Lekas sekali ada datang sebuah perahu lain, seorang memberi laporan: "Kaki
tangan negera Kim itu lihay, Hoo Cecu telah terluka! Kedua cecu Pheng dan Tang
tengah mengepung mereka!"
Kapan perahu itu sudah datang dekat, dua orang memanggul Hoo Cecu ynag terluka
itu naik di perahu besar. Selagi Koan Eng hendak mengeobati cecu itu, sudah
lantas datang beberapa perahu lagi, yang membawa kedua cecu Pheng dan Tang yang
tadi disebutkan, ynag pun telah terluka. Pula dilaporkan yang, "Kwee Tauwnia
dari puncak Piauw Biauw Hong telah kena ditombak mati utusan negara Kim,
mayatnya kecemplung ke telaga."
Mendengar itu Liok Koan Eng jadi gusar sekali. "Anjing Kim itu demikian galak,
nanti aku sendiri pergi membinasakan dia!" ia berseru.
Kwee Ceng dan Oey Yong sesalkan kegalakan Wanyen Kang itu, yang membunuh
bangsanya, dilain pihak, mereka khawatirkan kebinasaan pangeran itu, yang tentu
tidak snaggup melayani kawanan perampok yang besar jumlahnya itu, hingga kalau
dia mati, bagaimana jadinya dengan Bok Liam Cu
"Kita tolongi dia atau jangan?" Oey Yong berbisik.
"Kita tolongi dia tetapi dia mesti dibikin insyaf dan menyesal," sahut anak muda
ini. Oey Yong mengangguk. Itu waktu Koan Eng sudah membawa sebuah golok yang tajam di dua mukanya, dai
berlompat ke sebuah perahu kecil. "Lekas!" dia berseru.
"Mari kita rampas itu perahu kecil di sampingnya!" Oey Yong mengajak kawannya.
Disaat kedua hendak berlompat, tiba-tiba tempik sorak riuh kawanan perampok,
kemudian tertampak perahu-perahu rombongan perutusan Kim itu pada karam. Rupanya
perahu mereka itu telah dipahat bolong dasarnya. Kemudian, dengan bendera
merahnya dikibar-kibarkan, dau perahu datang melapor: "Anjing Kim itu kecemplung
di air. Dia sudah dapat dibekuk!"
Koan Eng girang, dia berlompat kembali ke perahu besar.
Tidak lama, di antara berisiknya terompet, sejumlah perahu kecil datang membawa
orang-orang tawanan mereka ialah si utusan Kim, sekalian pahlawan dan
pengiringnya, semua sudah lantas digusur naik ke perahu besar.
Kwee Ceng dan Oey Yong mendapatkan Wanyen Kang dibelebat kaki tangannya, matanya
meram saja, rupanya ia telah kena tenggak banyak air telaga.
Kebetulan itu sang fajar telah tiba, seluruh telaga mulai terang tertojohkan
matahari dari timur, air telaga bersinaran, memain seperti berlugat-legotnya
ular-ular emas. Liok Koan Eng telah memberikan pengumumannya; "Semua cecu berkumpul di Kwie-in-
chung untuk berjamu! Semua tauwnia pulang ke markas, untuk menanti hadiah!"
Kaum perampok bersorak-sorai, lantas tertampak mereka berpencaran, lenyap di
kejauhan. Dimuka telaga terlihat burung-burung melayang-layang, pula terlihat
layar-layar putih. Segala apa tenang sekali, hingga orang tidak nanti menyangka
bahwa baru saja dilakukan pertempuran mati hidup....
Kwee Ceng berdua menantikan orang sudah pada ke darat, baru dengan diam-diam
mereka pun pulang, untuk berpura-pura tidur.
Beberapa kali dua bujang pelayannya datang ke pintu kamar, mereka ini menyangka
tetamunya sedang tidur nyenyak bekas letih pesiar kemarin, mereka tidak berani
mengasih bangun. Lewat lagi sesaat barulah Kwee Ceng berdua membuka pintu. Lantas mereka diberi
selamat pagi oleh kedua pelayannya, yang pun cepat menyediakan sarapan pagi
seraya memberitahukan bahwa chung-cu menantikan di kamar tulis.
Keduanya menangsal perut sekedarnya, kemudian mereka pergi ke kamar tulis, di
mana Liok Chung-cu sambil berduduk di pembaringan, menyambut sambil tertawa;
"Angin besar di telaga, semalam gelombang mendampar-dampar gili-gili mengganggu
orang tidur! Apakah semalam jiwi dapat tidur nyenyak?"
Kwee Ceng jujur, pertanyaan itu membuat ia bungkam, tetapi Oey Yong menyahuti:
"Tadi malam aku mendengar suara terompet kulit keong, rupanya paderi atau imam
tengah membaca doa."
Tuan rumah tertawa. Lantas ia mengatakan ingin ia memperlihatkan kumpulan gambar
lukisannya kepada kedua tetamunya.
"Tentu suka sekali kami melihat," berkata Oey Yong. "Pasti itu ada lukisan-
lukisan yang sangat indah."
Liok Chung-cu menyuruh kacungnya mengambil gambarnya itu, maka sebentar kemudian
Oey Yong sudah memandang menikmatinya.
Selagi hatinya sangat ketarik, mendadak Oey Yong mendengar bentakan-bentakan
disusul berlari-larinya beberapa orang, seperti seorang lari dikejar beberapa
orang. Satu kali terdengar nyata bentakan: "Kalau sudah masuk ke dalam Kwie-in-
chung, untuk kabur dari sini lebih sukar daripada mendaki langit!"
Diam-diam Oey Yong melirik tuan rumah, ia mendapat kenyataan orang tenang
seperti biasa, bagaikan dia tidak mendengar apa-apa, bahkan ia menanya, dari
empat sastrawan besar di jamannya itu, tulisan siapa yang tetamunya paling
digemari. Selagi Oey Yong hendak memberikan jawabannya, tiba-tiba pintu kamar ada yang
tabrak, seorang nerobos masuk, pakaian orang itu basah kuyup. Ia lantas
mengenali Wanyen Kang, maka ia tarik Kwee Ceng seraya membisiki: "Lihat gambar,
jangan pedulikan dia..."
Keduanya segera tunduk, terus mengawasi gambar-gambar lukisan serta perlbagai
tulisan. Tuan rumah mengawasi orang yang nerobos masuk itu.
Orang itu memang Wanyen Kang adanya. Dia tertawan karena ia kecemplung dan kena
meminum banyak air. Tempo dia mendusin, dia mendapatkan kaki tangannya
terbelenggu, dan Liok Koan Eng hendak memeriksa dia. Segera dia mengerahkan
tenaganya, sekali berontak, dia membuatnya belenggunya pada putus. Orang semua
kaget, lantas mereka bergerak untuk menangkap. Dia membuka kedua tangannya, dua
orang yang terdekat terpelanting roboh. Dia terus nerobos, untuk lari. Tapi
Kwie-in-chung diatur menurut kedudukan patkwa, siapa tidak ketahui itu, jangan
harap ia dapat lolos. Demikian dia lari tanpa tujuan sambil dikejar-kejar,
sampai ia menabrak justru pintu kamar tulis.
Liok Koan Eng tidak berkhawatir orang lolos, tetapi melihat orang tawanan masuk
ke kamar ayahnya, khawatir ayahnya nanti diserang, dia lompat untuk menghalang
di depan ayahnya itu. Di muka pintu segera terlihat sejumlah cecu berdiri
menghalang. Dalam kesusu dan bingung seperti itu, Wanyen Kang tidak dapat memperhatikan Oey
Yong berdua, dia menuding Liok Koan Eng dan menegor: "Perampok sangat jahat, kau
sudah menggunai akal busuk membocorkan perahu! Tidakkah kamu khawatir
ditertawakan kaum kangouw"!"
Koan Eng tertawa lebar. "Kau putra raja Kim, perlu apa kau menyebut-nyebut dua
huruf kangouw itu?" ia membaliki.
"Selama di Pakhia aku telah mendengar nama besar kaum kangouw di Selatan,"
berkata Wanyen Kang berani, "Buktinya - hm - ternyata hari ini kamu hanya...."
"Hanya apa"!" Koan Eng memotong.
"Hanya kamu kaum hina dina yang pandai mengandalkan orang banyak!" sahut
pangeran muda iru. Koan Eng gusar sekali dihina secara demikian. Ia muda tetapi ialah kepala untuk
kaum Rimba Persilatan di Kanglam. Ia kata: "Kau ingin bertempur satu sama satu,
baru kau mampus tidak menyesal?"
Inilah jawaban yang diharap Wanyen Kang. Memang ia sengaja memancing amarah
orang. Maka ia kata; "Kalau orang Kwie-in-chung ada yang sanggup mengalahkan
aku, aku akan mandah dibelenggu, tidak nanti aku membilang suatu apa. Siapa yang
hendak memberikan pelajaran kepadaku"!" Ia pun bersikap temberang, matanya
menyapu semua orang, kedua tangannya digendong di belakangnya.
Kata-kata tersebut itu membangkitkan amarah Cio Cecu dari puncak Bok Lie Hong,
juga aseran tabiatnya, maka ia lantas majukan dirinya, malah segera dia
menyerang dengan kedua tangannya.
Wanyen Kang berkelit, membikin serangan jatuh di tempat kosong, berbareng dengan
itu, kedua tangannya bekerja. Tangan kanan menyambar ke baju di punggung, tangan
kiri membantui, maka tubuh cecu itu lantas terangkat, terus dilemparkan ke arah
kawan-kawannya di ambang pintu!
Koan Eng terkejut. Orang lihay, mungkin tidak ada cecu lawannya. "Tuan, kau
benar lihay!" katanya. "Aku ingin meminta pengajaran beberapa jurus dari kau,
mari kita pergi ke thia!"
Tuan rumah yang muda ini berkata demikian sebab ia duga pertandingan mesti
hebat, di dalam kamar tulis itu ia khawatir nanti melukai ayahnya serta kedua
tetamunya itu yang tidak mengenal ilmu silat...
"Untuk pibu, di manapun sama saja!" kata Wanyen Kang jumawa. "Apakah halangannya
di sini" Silahkan cecu memberi pengajaranmu!"
Koan Eng terpaksa, tapi ia berlaku tenang. "Baik!" katanya. "Kau tetamu, kaulah
yang mulai!"

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanyen Kang benar lihay. Mendadak ia ulur tangan kirinya, mengancam, disusul
sama dengan tangan kanannya, menjambak baju orang. Ia sudah lantas menggunai
jurus dari Kiu Im Pek-kut Jiauw.
"Bocah kurang ajar, tahukah lihaynya chung-cu kamu!" kata Koan Eng di dalam
hatinya. Ia tidak berkelit, ia cuma mengkeratkan tubuhnya sedikit, untuk
meluncurkan tangan kanannya menghajar lengan orang, sedang dua jari dari tangan
kirinya menyambar ke sepasang mata.
Wanyen Kang pun terperanjat mengetahui orang lihay. Inilah ia tidak sangka. Ia
lantas menarik pulang kedua tangannya, ia mundur setengah tindak, untuk memutar
tangan menankap lengan lawan. Tapi Koan Eng dapat membebaskan diri.
Melihat lihaynya tuan rumah, Wanyen Kang tidak berani memandang enteng. Maka ia
berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Koan Eng itu sebenarnya ada murid kesayangan dari Kouw Bok Taysu dari kuil Kong
Hauw Sie di Lim-an, ia pandai Gwa-kang yaitu ilmu luar Hoat Hoa Cong. Ia pun
mengetahui orang lihay, ia bersilat dengan hati-hati. Ia tidak kasih tubuhnya
dijambak. Untuk Gwa-kang, kaum Gwa-kee, ialah ahli luar, ada pribahasa, "Kepalan tiga
bagian, kaki tujuh bagian", atau lagi, "Tangan ialah kedua daun pintu, mengandal
kaki menendang orang," Maka itu, Koan Eng bersilat mengaandal pada pribahasa
itu. Hebat pertarungan ini, sampai seratus jurus lebih belum ada yang menang atau
kalah, Kwee Ceng dan Oey Yong diam-diam memuji Koan Eng demikian lihay.
Setelah bertempur lama, hati Wanyen Kang gentar. Ia tahu, ia terkurung dan lama-
lama ia bisa kehabisan tenaga, kalau ia mesti banyak menempur banyak musuh
bergantian, celakalah dirinya. Ia pun sebenarnya masih lemah bekas disebabkan
menenggak terlalu banyak air. Karena itu, ingin ia lekas mengakhirkan
pertandingan itu, untuk menyingkirkan diri.
Lewat lagi beberapa jurus, Koan Eng merasa ia keteter. Musuh telah mendesak
sangat. Satu kali ia terlambat, pundakny akena terhajar. Tidak tempo lagi ia
terhuyung mundur. Wanyan Kang merangsak, untuk memberikan hajaran terakhir.
Justru ia maju, justru kaki kiri tuan rumah meleset ke arah dadanya. Itulah
dupakan "Kaki jahat" yang ebrbahaya sekali.
Wanyen Kang tidak menyangka selagi terhuyung musuh dapat mendupak, ia ketahui
itu sesudah kasep, dadanya kena terhajar kaki musuhnya itu. Ia lantas menrasakan
dadanya itu sakit. Tapi ia tidak menyerah dengan begitu saja. Ia membalas dengan
membareng menotok betis dengan lima jeriji kiri dan tangan kanannya dipakai
menolak dengan keras seraya ia berseru: "Pergilah!"
Koan Eng berdiri dengan sebelah kaki, tidak heran kalau ia kena tertolak hingga
mental ke arah pembaringan ayahnya, disaat tubuhnya bakal membentur pembaringan,
mendadak Liok Chung-cu mengulur tangan kirinya menahan punggungnya, lalu dengan
perlahan tubuhnya dikasih turun. tapi ayah itu terkejut melihat betis anaknya
mengucurkan darah. "Kurang ajar!" ia berseru. "Pernah apa kau dengan Hek Hong Siang Sat"!"
Tanggapan dan seruan itu membikin heran semua orang tidak terkecuali Koan Eng
sendiri, anaknya. Sebab anak ini semenjak kecil ketahui ayahnya sudah bercacad
kedua kakinya, setiap hari ayah itu berdiam di kamar tulis saja berteman dengan alat tetabuhan khim, gambar dan
kitab. Ia juga heran merasakan tanggapan ayah itu kepada tubuhnya. Tapi masih
ada juga orang yang tidak heran, mereka ini ialah Oey Yong dan Kwee Ceng. Si
nona karena ia melihat besi patkwa di pintu dan si pemuda karena mendengar
keterangan kekasihnya. Wanyen Kang melengak ditanyakan halnya Hek Hong Siang Sat. "Makhluk apa Hek Hong
Siang Sat itu?" ia balik menanya. Ia telah diajari silat oleh Bwee Tiauw Hong
tetapi Tiauw Hong tidak pernah memberitahukan asal usul dan she serta namanya.
"Jangan berlagak pilon!" membentak pula Liok Chung-cu. "Siapa yang ajarkan kau
itu ilmu Kiu Im Pek-ku Jiauw ynag jahat"!"
Wanyen Kang bernyali besar. "Tuan kecilmu tak sempat ngobrol denganmu, maaf tak
dapat aku menemani kau!" katanya seraya ia memutar tubuh, bertindak ke arah
pintu. Semua cecu gusar, mereka mengangkat golok merintangi.
"Bagaimana kata-katamu"!" Wanyen Kang menoleh kepada Koan Eng, romannya bengis."
Kata-katamu berharga atau tidak"!"
Muka Koan Eng pucat. Ia mengangkat tangannya. "Kami kaum Thay Ouw bangsa
terhormat!" katanya. "Saudara-saudara, lepaskan ia pergi! Thio Toako, tolong
antar ia keluar!" Semua cecu itu tidak puas tetapi mereka tidak berani membantah pemimpinnya itu.
Thio cecu pun sudah lantas membentak: "Mari turut aku! Sendiri saja tidak nanti
kau menemani jalanan bocah!"
"Mana sekalian siwi dan pengiringku?" Wanyen Kang tanya.
"Mereka semua pun dimerdekakan!" menyahut Koan Eng.
Pangeran itu menunjuki jempolnya. "Bagus, benar kau satu kuncu! Nah, sekalian
cecu, sampai bertemu pula di belakang hari!" Ia memutar tubuh untuk memberi
hormatnya, romannya sangat puas.
"Tunggu dulu!" chung-cu tua membentak selagi orang hendak mengangkat kaki.
Wanyen kang segera menoleh, "Bagaimana"!" tanya ia.
"Aku si orang tua bodoh, ingin aku belajar kenal dengan Kiu Im Pek-ku Jiauwmu!"
menyahut tuan rumah yang tua ini.
"Bagus! Bagus!" tertawa Wanyen Kang, sedang orang lainnya terperanjat.
Koan Eng sangat berbakti, ia terkejut tetapi ia lantas menceagh. "Ayah, jangan
layani binatang ini!" katanya.
"Jangan khawatir!" berkata si ayah itu. "Aku lihat belum sempurnya kepandaiannya
itu." Ia mengawasi dengan tajam kepada pangeran itu, lalu berkata pula: "Kakiku
sakit, aku tidak dapat berjalan. Kau maju ke mari!"
Wanyen kang tertawa, tetapi ia tidak menghampirkan.
Koan Eng habis sabar, meskipun kakinya sakit, ia tidak mau membiarkan ayahnya
bertempur, maka ia lompat maju sambil berkata; "Hendak aku mewakilkan ayahku
meminta pengajaran beberapa jurus dari kau!"
"Bagus, mari kita berlatih pula!" tertawa Wanyen Kang.
"Anak Eng, mundur!" mendadak Liong Chungcu berseru, sambil berseru tangan
kanannya menekan pinggiran pembaringan, hingga tubuhnya mencelat maju, berbareng
dengan mana dengan tangan kiri ia menyerang ke arah embun-embun si pangeran.
Semua orang terkejut, mereka berseru.
Wanyen Kang tidak takut, ia menangkis. Tapi kesudahannya ia kaget bukan main.
Ketika kedua tangan beradu, ia merasa tangan kanannya terpegang keras, menyusul
mana, tangan kanan si orang tua menyambar bahunya. Ia lantas menangkis seraya
berontak untuk melepaskan tangan kanannya itu dari cekalan lawan.
Tubuh Liok Chungcu tidak turun ke lantai, tubuh itu berdiam mengandal tenaga
lengan si pangeran, yang ia terus mencekalnya dengan keras, tangan kanannya
menyerang pula, beruntun hingga lima enam kali. Wanyen Kang repot menangkis, ia
berontak tapi sia-sia saja. Ia mencoba menendang dengan kaki kirinya, juga tidak
ada hasilnya. Melihat itu, para cecu heran dan girang. Semua mengawasi pertempuran ynag luar
biasa itu, yang hebat sekali.
Lagi sekali tangan kanan Liok Chungcu menyerang.
Wanyen Kang menggunai lima jarinya, untuk membabat tangan lawan, atau mendadak
lengan si orang tua ditekuk, sikutnya menggantikan menyerang, tepat mengenai
jalan darah kinceng-hiat. Pangeran itu kaget, ia merasakan tubuhnya seperti mati
separuh hingga gerakannya menjadi lambat, karenanya, tangan kirinya lantas kena
ditangkap lawannya, bahkan dengan suara meretek, sambungan tangannya kena
dibikin terlepas! Liok Chungcu benar-benar sebat, ia mengandali kedua tangannya saja, dapat ia
bergerak dengan lincah. Kembali tangan kirinya menyerang, menyambar ke pinggang
orang, berbareng dengan mana, cekalan tangan kanannya dilepaskan, tangan itu
dipakai menekan pundak si pangeran, maka pesat sekali ia mencelat balik ke
pembaringannya di mana ia bercokol pula dengan tetap dan tenang.
Bab 28. Ular-Ular Pada Menari
Koan Eng lompat ke depan pembaringan. "Ayah, kau tidak apa-apa?" ia menanya.
Ayahnya itu tertawa. "Binatang ini benar-benar lihay!" katanya.
Dua tauwnia sudah lantas maju, untuk membelenggu kaki dan tangan Wanyen Kang.
"Dalam kantongnya perwira she Toan yang ditawan itu ada beberapa borgolan
tembaga, itu dapat dipakai untuk membelenggu binatang ini, coba kita lihat, dia
dapat berontak lagi atau tidak!" berkata Thio Cecu.
"Bagus!" sahut beberapa orang, diantaranya ada yang lantas pergi lari, untuk
mengambil borgolan itu, maka dilain detik, pangeran itu sudah diborgol tangan
dan kakinya. "Mereka sediakan ini untuk menyusahkan rakyat jelata, sekarang biarlah ia yang
mencicipi sendiri!" kata Liok Chungcu dengan tertawa.
Wanyen Kang bermandikan peluh pada dahinya, ia menahan sakit, ia tidak mengeluh
atau merintih. "Bawa dia kemari!" kata Liok Chungcu, yang tahu orang kesakitan.
Dua tauwnia menggotong pangeran itu dekat kepada tuan rumah.
Liok Chungcu menotok tulang punggung serta dada kiri di beberapa tempat, setelah
mana hilang rasa sakitnya Wanyen Kang, hingga pangeran itu mendongkol berbareng
heran. Katanya dalam hatinya: "Gerakan tangannya orang ini sama dengan gerakan
tangannya suhu, mungkinkah mereka daa hubungan satu sama lain?" Tapi belum
sempat ia bicara, Koan Eng sudah suruh orang bawa ia ke tempat tahanan. Semua
cecu pun pada lantas mengundurkan diri.
Baru setelah itu, Kwee Ceng dan Oey Yong memutar tubuhnya. Semenjak tadi mereka
berdiam saja, melainkan secara diam-diam mereka melirik.
"Anak-anak gemar berkelahi, jiwi tentu menertawakan mereka," kata Liok Chungcu
kepada tetamunya. "Siapa dia itu?" tanya Oey Yong. Dia membawa sikap wajar, "Apakah dia telah
mencuri disini, maka chungcu menjadi gusar sekali?"
Di dalam hatinya, nona ini semakin curiga. Gerakan tangan dan totokannya tuan
rumah ini sama dengan pelajarannya sendiri.
Chungchu itu tertawa. "Benar, dia telah mencuri tidak sedikit barang kami!"
sahutnya. "Mari, mari kita melihat gambar-gambar dan kitab, jangan kegembiraan
kita diganggu pencuri itu."
Koan Eng sudah mengundurkan diri juga, maka dikamar tulis itu mereka tetap
berada bertiga, tapi yang berbicara adalah tuan rumah dan Oey Yong berdua, Kwee
Ceng tidak mengerti hal kitab dan gambar, pemuda itu tertarik sama huruf-huruf
yang coret-coretannya tajam mirip dengan gerakan pedang. Meski begitu ia berdiam
saja. Bukankah mereka toh sudah berpura-pura tidak mengerti silat"
Habis bersantap tengah hari, Liok Chungcu perintah kedua bujangnya mengantarkan
kedua tetamunya pesiar kedua gua Thio Kong dan Sian Kong seperti ia telah
menjanjikan. Kedua gua itu kesohor untuk pemandangan alamnya yang indah. Sampai
sore baru mereka kembali dengan merasa senang.
"Bagaimana, Yong-jie, kita tolongi dia atau jangan?" tanya Kwee Ceng disaat
mereka hendak masuk tidur.
"Kita baik tinggal dulu di sini beberapa hari," sahut si nona. "Kita masih belum
ketahu jelas tentang tuan rumah kita ini."
"Ilmu silatnya sama dengan ilmu silatmu," Kwee Ceng memberitahukan.
Oey Yong berpikir, "Inilah anehnya," katanya. "Mungkinkah ia kenal Bwee Tiauw
Hong?" Keduanya tidak dapat menerka. Mereka pun khawatirkan tembok ada kupingnya,
lantas mereka memadamkan api dan tidur. Pada tengah malama, keduanya mendusin
karena kuping mereka mendengar suara perlahan di atas genting. Keduanya lantas
lompat bangun, untuk menghampirkan jendela. Begitu mereka mementang daun
jendela, mereka menampak berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus
bersembunyi di antara pohon-pohon bunga mawar. Setelah celingukan, orang itu
bertindak ke timur, hati-hati itu sekali sikapnya, menandakan ia bukannya salah
seorang penghuni rumah. Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, keduanya lompat keluar dari jendela, untuk
menguntit bayangan itu. Mereka bisa lantas bekerja karena tadi, diwaktu masuk
tidur, mereka tidak membuka pakaian luar.
Belasan tindak kemudian, diantara cahya bintang-bintang, kelihatan nyata
bayangan itu adalah seorang nona, yang ilmu silatnya lumayan juga. Kerana ini
Oey Yong bertindak mendekati,. Tepat orang itu menoleh, ia lantas mengenali Bok
Liam Cu. Ia lantas saja tersenyum. Di dalam hatinya ia berkata: "Bagus, kau
hendak menolong kekasihmu! Hendak aku melihat, bagaimana caramu bertindak!"
Bok Liam Cu jalan pergi datang di taman itu, lalu dilain saat ia tersesat jalan.
Oey Yong sebaliknya kenal taman itu, yang diatur menurut patkwa. Inilah
keistimewaannya Oey Yok Su, ayahnya. Tentang patkwa ini, ayahnya telah mengajari
padanya. Jadi taman ini diatur menurut barisan rahasia Pat-kwa-tin.
"Dengan caramu ini berjalan, sampai seratus tahun pun tidak nanti kau dapat cari
kekasihmu itu," kata Oey Yong dalam hatinya. Tapi ia hendak membantu. Maka ia
memungut segumpal tanah, ia menimpuk, "Ambil jalan ke sana!" ia menunjuki,
suaranya perlahan, ia sendiri bersembunyi di belakang pohon.
Nona Bom terperanjat. Ia menoleh, ia tidak melihat siapa juga. Ia pun bercuriga
dan bersangsi. Lantas ia melompat ke arah darimana timpukan datang. Tentu sekali
Oey Yong telah lenyap. "Entah ia bermaksud baik atau jahat, tapi baiklah aku turuti pengunjukannya,"
kemudian nona Bok berpikir. Ia terus pergi ke kiri. Lalu habis itu, setiap ia
bersangsi, ada timpukan tanah yang memberi petunjuk padanya. Ia telah berjalan
berliku-liku, sampai mendadak ada timpukan yang jauh, yang bersuara di
jendelanya sebuah kamar yang di depannya. Berbareng dengan itu, dua bayangan
berkelebat dan lenyap. Cerdas Liam Cu, segera ia lari menghampiri jendela itu, jendela dari sebuah
rumah kecil. Setibanya di depan rumah itu, dua orang lelaki tergeletak di tanah,
matanya mereka mengawasi dia. Mereka itu masih mencekal senjata, tapi tak dapat
bergerak. Terang sudah mereka itu adalah korban-korban totokan di jalan darah.
"Pasti ada orang pandai yang membantu aku," berpikir Liam Cu. Ia masuk ke dalam
rumah itu, kuping dan matanya dipasang. Segera ia mendapat dengar suara orang
bernapas. "Engko Kang!" ia memanggil perlahan. "Kau...!"
"Ya, aku!" ada jawaban untuk itu.
Itulah suara Wanyen Kang, yang sadar sebab barusan mendengar suara tubuh roboh
di luar rumah. Dia memang lagi memasang kuping. Dia kenali suara si nona.
Dalam gelap gulita, Liam Cu segera menghampirkan.
"Ada dua orang pandai yang membantu aku, enath siapa mereka itu," kata nona ini.
"Mari kita pergi!"
"Apakah kau membawa golok pedang mustika?" tanya pangeran itu.
"Kenapa?" balik tanya si noa.
Wanyen Kang tidak menjawab, ia hanya perdengarkan suara borgolan.
Liam Cu mengerti, ia menjadi sangat masgul.
"Menyesal pisau belati mustikaku itu telah aku berikan pada adik Oey," ia
menyesalkan diri. Oey Yong dan Kwee Ceng yang tetap bersembunyi, mereka dapat dengar suara si
nona. Di dalam hatinya, nona Oey berkata: "Sebentar akan aku serahkan pisau
mustika itu." "Nanti aku pergi curi kunci borgolnya!" kata Liam Cu akhirnya. Ia bingung dan
berkhawatir. "Jangan pergi, adik!" Wanyen Kang mencegah. "Orang disini lihay, percuma kau
pergi." "Bagaimana kalau aku gentong kau?" tanya si nona.
"Tidak dapat, orang ikat aku pada tiang." jawab sang pangeran.
"Habis bagaimana?" tanya si nona lagi.
Lalu terdengar suara menangis perlahan dari nona itu.
"Mari kau dekati aku...." kata Wanyen Kang tertawa.
Liam Cu membanting kaki. "Orang tengah bergelisah, kau masih bisa bergurau!"
tegurnya. "Siapa bergurau?" Wanyen Kang masih tertawa. "Aku omong sebenarnya."
Liam Cu tidak memperdulikannya, ia mengasah otaknya.
"Kenapa kau ketahui aku berada disini?" Wanyen Kang tanya kemudian.
"Aku mengikuti kau terus-menerus..." jawab si nona perlahan.
"Oh, adik, kau baik sekali." Suara Wanyen Kang agak tergerak. "Mari kau dekati
aku, kau menyender di tubuhku, hendak aku bicara."
Liam Cu menjatuhkan diri dan duduk, ia menurut.
"Aku adalah utusan negeri Kim, tidak nanti mereka berani lancang membunuh aku,"
berkata Wanyen Kang. "Hanya dengan tertahan di sini, pastilah gagal urusan
tentara dari ayahku. Aku bingung....Adik, baiklah kau tolongi aku?"
"Bagaimana?" tanya si nona.
"Di leherku ada cap emas, kau loloskan itu."
Liam Cu menurut. "Inilah cap perutusan," Wanyen Kang memberitahukan. "Sekarang kau lekas pergi ke
Lim-an, di sana kau menemui Soe Mie Wan, itu perdana menteri kerajaan Song...."
Nona Bok terkejut. "Aku seorang wanita biasa, cara bagaimana perdana menteri itu dapat menemui
aku?" tanyannya. "Kalau ia melihat cap ini, apsti ia repot sekali menyambut kau!" kata Wanyen
Kang tertawa. "Kau beritahu padanya bahwa aku ditawan perampok di Thay Ouw ini,


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga karenanya tidak dapat aku datang padanya. Kau pesan apabila ada utusan
Mongolia yang datang, suruh ia jangan menerimanya hanya segera bunuh saja si
utusan itu!" "Eh, kenapa begitu?" si nona menanya heran.
"Inilah urusan besar dari tentara dan negera, dijelaskan pun kau tidak bakal
mengerti! Pergi kau sampaikan pesanku ini kepada perdana menteri itu, itu
artinya kau sudah mewakilkan aku melakukan satu pekerjaan yang besar. Jikalau
utusan Mongolia itu keburu sampai dan dapat bicara dengan raja Song, itu artinya
kerugian besar bagi kami negara Kim."
"Apa itu negara Kim?" Liam Cu tanya. "Aku adalah rakyatnya kerajaan Song!
Sebelum kau omong jelas, tidak bisa aku bekerja".
"Bukankah nanti kau bakal menjadi permaisuri di negara Kim?" Sembari berbicara,
Wanyen Kang tersenyum. "Ayah angkatku ialah ayahmu sejati, adalah orang Han. Apakah kau benar-benar
sudi menjadi raja Kim?" tanya Liam Cu. "Aku cuma tahu, cuma...."
"Kenapa?" Wanyen Kang memotong.
"Sampai sebegitu jauh aku pandang kau sebagai orang pintar dan gagah," kata Liam
Cu, "Dan aku menyangka kau berpura-pura saja menjadi pangeran, bahwa kau lagi
menantikan ketikanya yang baik untuk berbuat sesuatu guna kerajaan Song! Kau
benar-benarkah hendak mengakui musuh sebagai ayahmu!"
Wanyen Kang bediam. Ia dapat mendengar suara lagu orang berubah, kata-katanya
seperti macet di tenggorokan. Itulah tandanya orang gusar dan menyesal. Maka ia
berdiam. "Negara yang indah dari kerajaan Song telah separuhnya dirampas orang asing!"
berkata pula Liam Cu. "Dan rakyat kita bangsa Han telah ditangkap-tangkapi,
dibunuh dan dianiaya! Mustahilkah kau sendiri juga tidak memikirkan itu"
Kau....kau....." Berhenti si nona berbicara, ia lemparkan cap ke tanah, sambil menutup muka, ia
bertindak pergi. Wanyen Kang terkejut, segera ia memanggil
"Adik, aku salah!" katanya, memanggil, "Mari kembali!"
Liam Cu berhendti bertindak, ia berpaling, "Mau apa kau"!" ia tanya.
"Tunggulah sampai aku sudah lolos dari sini, aku akan tak lagi menjadi utusan
negeri Kim," berkata Wanyen Kang. "Aku juga tidak akan kembali ke negera Kim
itu, hanya bersama kau, aku akan hidup menyepi sebagai orang tani, supaya kita
bisa hidup bersama dengan tenang dan berbahagia...."
ona Bok menghela napas, ia berdiri menjublak. Semenjak pibu, ia sudah pandang
Wanyen Kang sebagai pemudanya yang paling gagah. Bahwa Wanyen Kang tidak hendak
mengakui ayahnya sendiri, ia masih menyangka pada itu ada sebabnya. Ia pun
menduga orang menjadi utusan negara Kim karena ada suatu maksud tersembunyi,
guna nanti melakukan suatu usaha besar untuk kerajaan Song. Tapi siapa tahu,
sekarang sia-sia saja pengharapannya itu. Ia dapatkan kenyataan orang hanya satu
manusia sekakar, yang kemaruk sama harta dan kemuliaan....
"Adikku, kau kenapa?" Wanyen Kang tanya.
Liam Cu berdiam. "Memang ibuku membilangi aku bahwa ayah angkatmu adalah ayahku yang sejati,"
Wanyen Kang berkata pula. "Sayang sebelum aku menanya dengan jelas, keduanya
mereka sudah menutup mata, karenanya sampai sekarang aku jadi ragu-ragu....."
Pikiran Liam Cu tergerak juga.
"Kalau ia belum mengetahui jelas, ia dapat diberi maaf..." pikirnya. Lalu ia
berkata: "Sekarang kau jangan sebut lagi hal aku harus pergi kepada perdana
menteri Song untuk membawa capmu ini. Hendak aku mencari adik Oey untuk minta
pisau mustika guna menolongi kau..."
Oey Yong mendengar itu semua, kalau tadinya ia hendak menyerahkan pisaunya,
segera ia menubah maskdunya. Ia benci mendengar Wanyen Kang hendak berbuat
sesuatu untuk tentara Kim. Ia pikir: "Baiklah aku membiarkan dia tertutup lagi
beberapa hari di sini...." Ayahnya memang membenci sekali negera Kim itu.
"Taman ini aneh jalannya, kenapa kau ketahui jalanannya itu?" kemudian Wanyen
Kang menanya. "Ada seorang pandai yang memberi petunjuk padaku," sahut Liam Cu. "Dia
menyembunyikan diri, aku belum tahu siapa dia."
Wanyen Kang mengasih dengar suara tidak tegas.
"Adikku," katanya pula, "Kalau lain kali kau datang pula, mungkin kau kepegrok
penghuni rumah ini. Kalau benar kau hendak menolongi aku, pergi kau cari satu
orang..." "Aku tidak sudi mencari perdana menteri she Soe itu!" memotongi si nona.
"Bukannya Soe Sinsiang, hanya guruku," Wanyen Kang memberi tahu
"Oh..." si nona terhenti suaranya.
"Kau pergi membawa ikat pinggangku ini," Wanyen Kang berkata pula. "Di gelang
emasnya ikat pinggang itu kau ukir kata-kata: 'Wanyen Kang dapat susah di kwie-
in-chung di tepi telaga Thay Ouw' Tigapuluh lie di utara kota Souwciu ada sebuah
bukit belukar, di sana kau cari sembilan buah tengkorak yang bertumpuk menjadi
satu: Satu di atas, tiga di tengah dan lima di bawah. Ikat pinggangku ini, kau
letakkan di bawah tenggorak itu.
Liam Cu heran, "Untuk apakah itu?" ia menanya.
"Guruku itu telah buta kedua matanya," Wanyen Kang memberi keterangan. "Kalau ia
dapat memegang ikat pinggang itu serta gelang emasnya, lantas ia bakal dapat
mencari aku. Setelah meletaki ikat pinggang itu, jangan kau berlambat, kau mesti
lekas-lekas mengangkat kaki. Aneh tabiat guruku, apabila ia mendapatkan ada
orang di dekat tumpukan tengkorak itu, mungkin ia akan membunuhmu. Guruku lihay,
pasti dia bakal dapat menolongi aku. Kau tunggui saja aku di kuil Hian Biauw
Koan di kota Souwciu."
"Kau bersumpah dulu, bahwa kau tidak akan akui pula bangsat menjadi ayah dan
tidak menjual negara ini untuk mencelakai rakyat!" berkata si nona.
Mendengar itu, Wanyen Kang menjadi tidak senang. Ia kata: "Setelah urusanku
beres, sudah tentu aku akan bertindak menurut kata hatiku yang benar. Sekarang
kau memaksa aku mengangkat sumpah, apakah mau"!"
Liam Cu lemah hatinya. "Baik, aku akan pergi menyampaikan warta!" bilangnya. Ia
meloloskan ikat pinggang si anak muda.
"Adikku, kau hendak pergi sekarang?" kata Wanyen Kang, "Mari, adik!"
"Tidak!" kata si nona yang bertindak ke pintu.
"Aku khawatir belum lagi guruku datang menolongi aku, mereka sudah keburu
membunuh aku," kata pula Wanyen Kang, "Maka itu untuk selama-lamanya aku tidak
bakal melihat pula padamu..."
Liam Cu menjadi lemah hatinya. Ia kembali, ia senderkan tubuhnya dalam rangkulan
pangeran itu. Ia pasrah. Kemudian, mendadak ia berkata dengan keras: "Di
belakang hari, jikalau kau tidak menjadi orang baik-baik, aku bakal mati di
hadapanmu!" Inilah Wanyen Kang tidak sangka, maka itu, ia menjadi melengak.
Liam Cu berlompat bangun, untuk berlalu.
Oey Yong sudah lantas menunjuki pula jalan secara diam-diam seperti tadi, maka
setibanya di kaki tembok, Liam Cu bertekuk lutut, mengangguk tiga kali, katanya:
"Oleh karena cianpwee tidak sudi memperlihatkan diri, biarlah aku memberi
hormatku ke udara saja."
"Oh, itulah aku tidak berani terima!" terdengar satu suara halus dibarengi sama
tertawa geli. Liam Cu segera mengangkat kepalanya tetapi tetap ia tidak melihat siapa juga
kecuali bintang-bintang di langit. Ia heran bukan main. Ia seperti mengenali
suara Oey Yong, hanya ia heran, kenapa orang berada di sini dan ketahui jalan
rahasia itu. Ia jalan belasan lie, lantas ia berhenti di bawah sebuah pohon
besar untuk tidur, lalu besoknya, dengan menaik perahu, ia menyeberangi telaga
Thay Ouw dan pergi ke kota Souwciu.
Souwciu adalah kota kota ramai di tenggara walaupun ia tidak dapat melawan
Hangciu, di sini orang hidup secara mewah melupakan kekejaman bangsa Kim yang
pernah menggilas-gilasnya. Tapi Liam tidak pikirkan kepelesiran. Habis bersantap
di sebuah rumah makan, melihat matahari sudah doyong ke barat, ia lantas pergi
keluar kota utara. Dengan menuruti petunjuk Wanyen Kang, ia hendak mencari
gurunya pemuda itu. Makin lama jalanan makin sulit. Matahari pun segera melenyap
di belakang bukit. Segera terdengar suara-suara aneh dari burung-burung hutan.
Sampai langit sudah gelap ia mencari di lembah, belum juga ia menemui tumpukan
tengkorak seperti katanya Wanyan Kang.
"Baiklah aku cari pondokan, besok pagi aku mencari pula," pikirnya.
Syukur di sebelah barat situ ada sebuah rumah, dengan kegirangan ia lari
menghampirkan, hingga ia mendapatkan sebuah kuil tua dan rusak, namanya Yoh Ong
Bio. Ketika ia menolak pintu, pintu itu roboh menjeblak, debunya beterbangan.
Terang itulah sebuah kuli kosong. Di dalamnya penuh kabang-kabang, segala apa
tidak teratur. Senang juga Liam Cu akan mendapati meja masih utuh, ia lantas bersihkan itu,
untuk menempatkan diri. Ia tutup pintu tadi, yang ia pasang pula, lantas ia
mengeluarkan rangsum kering untuk menangsal perut. Ia pakai buntalannya sebagai
bantal waktu ia merebahkan diri. Kapan ia ingat Wanyen Kang, ia menjadi berduka
dan malu, tanpa merasa air matanya meleleh turun. Karena ini, sampai kentongan
yang kedua barulah ia dapat tidur. Tiba-tiba saja ia mendusin. Ada suara apa-apa
di luar kuil, bukan suara angin, bukan suara air. Ia berduduk untuk memasang
kuping terlebih jauh. Ketika ia mendengar suara bertambah nyaring, ia lompat ke
pintu untuk melihat keluar. Ia menjadi kaget sekali, hatinya memukul dengan
keras. Di bawah terangnya rembulan, terlihat ribuan, ya laksaan ular hijau, bergulat-
legot menuju ke timur, bau amisnya masuk ke dalam kuil. Menggelesernya ular itu,
itulah yang menerbitkan suara luar biasa itu. Di belakang pasukan ular itu
nampak tiga orang pria dengan pakaian serba putih yang tangannya memegang galah
panjang peranti menggiring ular itu.
Liam Cu tidak berani mengintai lebih lama, ia khawatir nan kepergok. Sesudah
mendengar suara orang pergi jauh, baru ia mengintai pula. Sekitarnya jadi sepi
pula, hingga ia merasa tengah bermimpi.
Ia membuka pintu, ai pergi ke luar. Tidak lagi ia melihat ketiga orang dengan
pakaian putih itu. Ia merasa hatinya lega. Ia jalan beberapa tindak ke jalan
yang bekas diambil ular itu. Disaat ia hendak membalik tubuh, untuk kembali ke
kuil, ia melihat suatu barang putih tidak jauh dari dekatnya itu. Warna putih
itu bertojoh sinar rembulan, adanya di atas batu. Ia heran, ia menghampirkan. Ia
segera melihat tumpukan tengkorak, malah bertumpuknya tepat seperti ditunjuk
Wanyen Kang. Ia kaget berbareng girang. Dengan hati kebat-kebit, ia
menghampirkan, untuk meletaki di bawah itu ikat pinggang Wanyen Kang. Tangannya
bergetar ketika ia meraba tengkorak itu. Luar biasa sekali, lima jarinya tepat
masuk ke dalam lima lubang di tulang tengkorak itu hingga ia menjerit seraya
memutar tubuh untuk kabur. Atau mendadak ia ingat tak perlu ia takut. Ia
ketakutan sendiri tanpa perlunya. Maka sekarang ia dapat tersenyum. Maka ia
lantas merapikan menaruh ikat pinggangnya itu.
"Pasti benar gurunya luar biasa sekali, entah bagaimana romannya yang menakuti..."
pikirnya. Ia memang belum pernah melihat Bwee Tiauw Hong, dan tempo Tiauw Hong
bertempur hebat di istana, dia dan ayahnya sudah kabur lebih dulu. Habis itu ia
memuji, mengharap gurunya Wanyan Kang itu menemui ikat pinggang ini nanti segera
menolongi muridnya balik ke jalan yang lurus.
Tengah si nona memuji, ia merasai pundaknya ada yang pegang. Ia kaget sekali.
Tanpa menoleh, ia berlompat ke depan, kemudian sambil meletaki kedua tangannya
di depan dadanya, baru ia memutar tubuhnya. Di luar dugaannya, orang sudah
berada di belakangnya, kembali pundaknya di pegang. Ia berlompat pula, kembali
dia disusul, kembali pundaknya di pegang. Kejadian ini terulang empat lima kali.
Ia bermandikan keringat dingin. Tak tahu ia, ia lagi menghadapi manusia lihay
atau hantu. "Kau siapa"!" akhirnya ia menanya, suaranya bergemetar.
Orang itu mencium ke lehernya. "Harum!" katanya.
Liam Cu berbalik dengan cepat sekali, maka sekarang ia dapatkan di depannya
berdiri seorang pemuda dengan dandanan sebagai mahasiswa, tangannya menggoyang-
goyangkan kipas, gerak-geriknya halus. Untuk kagetnya ia kenali Auwyang Kongcu,
salah seorang yang memaksa kematian ayah dan ibu angkatnya. Ia gusar tetapi ia
tidak berdaya, maka itu ia memutar tubuhnya untuk lari. Baru saja belasan
tindak, atau Auwyang Kongcu sudah berada di hadapannya sembari tertawa haha-
hihi, ia mementang kedua tangannya. Asal ia maju lagi, ia tentu telah masuk ke
dalam rangkulannya pemuda itu! Maka ia menghentikan tindaknnya, untuk lari ke
kiri. Tapi baru beberapa tindak, kembali orang berada di hadapannya. Ketika ia
mengulangi lari beberapa kaki lagi, tetap pemuda itu menyaksikan orang kaget dan
takut, saban-saban dia mengulur tangannya untuk umencekuk. Rupanya senang dia
mempermainkan nona itu. Liam Cu menjadi nekat, ia menghunus goloknya dan menyerang. Dua kali ia
membacok, dua-dua kalinya gagal.
"Ah, jangan galak!" seru pemuda itu tertawa, habis ia membebaskan diri. Ia
mengegos ke kiri, tangan kanannya dikebaskan, tangan kirinya di ulur. Maka si
nona sudah lantas kena dipegang pinggangnya yang ceking ramping itu.
Liam Cu berontak tetapi cuma-cuma, ia merasakan tubuhnya sakit. Goloknya pun
sudha kena dirampas si pemuda. Ia berontak pula tetapi hanya menyebabkan
tubuhnya kena dipeluk. Ia merasakan nadinya ditekan, habis mana habislah semua
tenaganya, tubuhnya menjadi lemas, tidak bisa ia meronta pula.
Auwyang Kongcu mengasih dengar tertawa ceriwisnya. "Kau angkat aku menjadi
gurumu, segera aku merdekakan kau!" katanya.
Liam Cu merasakan mukanya diusap-usap, ia mengerti, orang bermaksud buruk
terhadapnya, saking mendongkol dan takutnya, mendadak saja ia pingsan. Beberapa
lama ia tak sadarkan diri, ia tidak tahu, kapan kemudian ia mendusin perlahan-
lahan, ia merasakan tubuhnya masih dipeluk orang. Mulanya ia menyangka ia berada
dalam rangkulan Wanyan Kang, ia girang, tetapi ia membuka matanya, ia dapatkan
Auwyang Kongcu. Ia kaget, ia malu, ia lantas berontak. Hendak ia berteriak,
mulutnya sudah disumpal dengan sapu tangan. Sekarang ia mendapatkan dirinya
diapit kiri dan kanan oleh masing-masing delapan wanita yang canti-cantik, yang
semuanya pun serba putih pakaiannya, setiap wanita memegang alat senjata, hanya
mata mereka mengawasi ke tengkorak-tengkorak di atas batu.
Heran nona Bok, tak tahu orang lagi berbuat apa. Ia menyesal tak dapat
menggerakkan tubuhnya, ia melainkan bisa menoleh. Ia kaget luar biasa waktu ia
berpaling ke Auwyang Kongcu.
Di belakang pemuda itu berkumpul ular-ular hijaunya, tubuh semua ular itu tidak
bergerak, mulutnya terbuka, di situ terlihat lidahnya semua, warnanya merah,
merupakan sebagai lautan lidah. Di antara ribuan ular itu ada tiga pria dengan
bjau putih dan tangan mencekal galah.
Ketika ia menoleh ke arah sembilan tengkorak, yang ia awasi, di sana terlihat
gelang emas pada ikat pinggang mengasih lihat warna bergemerlapan, tiba-tiba ia
ingat suatu apa. "Mungkin mereka ini lagi menanti tibanya guru engko Kang," ia berpikir.
"Mestinya mereka lagi bersiap dengan sikap bermusuh..... Kalau gurunya Wanyen Kang
datang seorang diri, mana ia sanggup melawan mereka ini" Di sini pun ada ribuan
ular hijau...." Cemas hatinya si nona. Ia lalu berharap-harap supaya gurunya Wanyen Kang jangan
datang. Selang tengah jam, rembulan tampak mulai naik, Auwyang Kongcu terlihat mendongak
memandang si putri malam.
"Apakah mungkin guru Wanyen Kang baru akan datang sesudah rembulan naik?" nona
Bok ini menduga-duga. Rembulan terus naik perlahan-lahan, naik melintasi atas pepohonan. Langit
menjadi terang sekali dan bersih sekali. Tidak ada suara lain, kecuali kutu-kutu
dari empat penjuru atau suara burung malam. Malam sunyi sekali..........
Auwyang kongcu masih memandangi putri malam. Sekarang ia serahkan Liam Cu kepada
satu nona, untuk nona itu yang memeluknya. Ia sendiri mengeluarkan kipasnya,
dicekal di tangan kanannya. Matanya mengawasi ke sebuah pengkolan.
Liam Cu menduga bahwa orang yang dinanti-nanti bakal segera datang, dengan
sendirinya hatinya tegang. Apakah bakal terjadi"
Tidak lama dalam kesunyian itu, dari jauh terdengar suara tajam, lalu suara itu
datang mendekat. Maka sekarang terlihat seorang wanita dengan rambut riap-riapan
muncul di pengkolan. Dia sudah lantas bertindak dengan perlahan. Mungkin ia
sudah merasa ada orang di dekat-dekatnya.
Liam Cu menduga inilah gurunya Wanyen Kang. Ia menjadi heran. Ia telah menyangka
kepada seorang luar biasa, tidak tahunya cuma wanita macam ini....
Bwee Tiauw Hong telah memperoleh kemajuan setelah di dalam istana ia mendapatkan
beberapa petunjuk dari Kwee Ceng untuk melatih diri. Ia menyakinkannya dengan
sungguh-sungguh. Hasilnya kedua kakinya dapat dipakai berjalan dengan cepat. Ia
tahu Kanglam Liok Koay sudah pulang ke Kanglam, ia hendak menyusul untuk
membalas dendam. Demikian ia menyusul selagi si pangeran muda menjadi utusan
negara Kim, mengikuti ke Selatan. Ia masih berlatih diri terus, karena itu ia
tidak dapat naik perahu, ia ambil jalan darat, supaya nanti dapat ebrtemu di
Souwciu. Karena perpisahan ini, ia tidak tahu bahwa Wanyen Kang sudah terjatuh
ke dalam tangan perampok. Ia pun tidak tahu bahwa Auwyang Kongcu untuk membalas
sakit hati gundiknya, telah menantikan ia di tempat ini. Hanya saking lihaynya ,
ia segera mendengar suara orang bernapas. Sekarang ia mendengar satu suara lain


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ia anggap luar biasa.
"Sungguh lihay!" kata Auwyang Kongcu dalam hatinya. ia lihat berhenti bertindak.
Ia lantas mengebaskan kipasnya, ia berbangkit, berniat untuk segera menyerang.
Syukur sebelum ia melompat, tiba-tiba ia melihat satu orang muncul dari sebuah
tikungan. Ia mengawasi, orang itu tinggi dan kurus, pakaiannya sebagai seorang
sastrawan, hanya mukanya belum tampak jelas. Yang aneh, tindakan orang itu tidak
bersuara. Sekalipun Bwee Tiauw Hong, ia masih mengasih dengar tindakan perlahan.
Segera orang itu telah datang dekat. Ia berdiri di belakang Bwee Tiauw Hong,
matanya menyapu kepada pemuda she Auwyang itu.
Sekarang Auwyang Kongcu dapat melihat wajah orang, ia terkejut, tubuhnya
menggigil. Itulah muka dengan sepasang mata seperti berputaran, dengan warna
kulit dari mayat, romannya tidak jelek amat tetapi diam dan dingin. Karena ini,
ia mesti mengatasi dirinya.
Ketika itu Bwee Tiauw Hong pun bertindak perlahan, setindak demi setindak.
Hatinya Auwyang Kongcu gentar. "Baiklah aku turun tangan lebih dulu!" pikirnya.
Maka tangan kirinya dikibaskan sebagai tanda. Menyusul itu tiga penggembala ular
lantas membunyikan suitan. Maka semua ular mulai bergerak-gerak.
Semua wanita berbaju putih itu duduk tidak bergeming. Mungkin mereka semua
membekal obat pemunah racun, semua ular berlegot melewati mereka, tidak ada yang
melanggarnya. Bwee Tiauw Hong mendengar suara bergeraknya ular-ular itu. Ia berlompat mundur
beberapa tombak. Dengan petunjuk si penggembala, semua ular itu memisahkan diri memenuhi tegalan
belukar. Siapa kena tergigit, celakalah dia. Semua binatang itu berbisa.
Liam Cu mengawasi dengan hati kebat-kebit. Ia lihat Bwee Tiauw Hong beroman
jeri, maka ia cemas hatinya untuk gurunya Wanyen Kang ini. Hanya sedetik, Bwee
Tiauw Hong telah lantas mengeluarkan cambuknya yang panjang, yang ia terus putar
di sekitarnya. Dilain pihak, semua ular sudah datang mendekat, sikapnya
mengurung. Beberapa ekor, menuruti titahnya siutan, berlompat menyerang, tetapi
segera mereka terpental terbalik terkena angin cambuknya Tiauw Hong itu.
"Siluman wanita she Bwee!" berseru Auwyang Kongcu sesudah sekian lama ia
membungkam saja. "Ketahui olehmu, aku tidak menghendaki nyawamu! Kau keluarkan
kitab Kiu Im Cin-keng, kongcumu akan segera membebaskanmu!"
Tiauw Hong tinggal mengambil mumat, ia terus putar cambuknya.
"Jikalau kau sanggup, kau putarlah cambukmu selama satu jam!" Auwyang Kongcu
berkata pula. "Aku nanti menunggu kau sampai besok pagi. Aku mau lihat kau
serahkan kitabmu itu atau tidak!"
Tiauw Hong tidak menyahuti, tetapi ia bergelisah, Ia memikir daya untuk
meloloskan diri. Ia pasang kupingnya. Ia ketahui, disekitarnya ular belaka. Ia
Seruling Sakti 9 Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru Pedang Dan Kitab Suci 4
^