Pencarian

Memanah Burung Rajawali 11

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 11


Lewat lagi beberapa tahun, setelah usianya Wanyen Kang bertambah, aku mulai
memberikan dia pelajaran ilmu silat."
"Mungkinkah itu binatang sampai sebegitu jauh belum mengetahui asal-usulnya
sendiri?" Tin Ok menanya.
"Tentang itu pernah aku mencoba mencari tahu," berkata Khu Cie Kee. "Aku
mendapat kenyataan ia telah terpengaruh sangat harta dan kemuliaan, karena itu,
aku tidak lantas membeberkan rahasianya. Aku pikir hendak menunggu sampai ia
bertemu dan pibu sama Kwee Sie-heng, baru aku hendak mengakurkan mereka, untuk
kemudian menolongi ibunya, untuk pernahkan mereka di suatu tempat tersembunyi.
Aku tidak sangka sama sekali, sebenarnya saudara Yo masih hidup, malah bersama-
sama saudaraku, kita kena terpedayakan hingga beginilah pengalaman kami yang
pahit. Ah...!" Mendengar itu, Bok Liam Cu menangis seraya menutupi mukanya.
Kwee Ceng lantas turut bicara, menuturkan bagaimana dia bertemu sama Yo Tiat
Sim, dan bagaimana mereka bertemu juga sama Pauw Sek Yok pada malam itu.
Semau orang lantas memuji Pauw Sek Yok, yang ternoda saking terpaksa, tetapi
akhirnya dia berkorban untuk kehormatannya untuk cinta sucinya terhadap
suaminya. Setelah itu, pembicaraan mereka beralih kepada soal bertanding nanti di bulan
kedelapan. "Seluruh anggota Coan Cin Pay bakal hadir, apalagi yang dibuat khawatir?"
berkata Cu Cong. "Aku berkhawatir mereka mengundang banyak kawan hingga jumlah kita menjadi
terlebih sedikit," Ma Giok mengutarakan kekhawatirannya.
"Bisakah mereka mengundang banyak orang pandai?" Cie Kee bertanya.
"Bukan begitu, sutee," berkata Tan Yang Cu seraya menghela napas. "Selama
beberapa tahun ini aku benar telah memperoleh banyak kemajuan, hingga kau dapat
memancarkan pengaruh partai kita, akan tetapi di sebelah itu, jangan kita
melupakan, tidak dapat kita bertemberang dan menuruti adat muda..."
Cie Kee tertawa. "Jadi kita harus ketahui, bahwa diluar langit ada yang terlebih
tinggi, di atas orang pandai ada lagi orang yang terlebih pandai?" katanya.
"Memang begitu. Lihat saja beberapa orang tadi, bukankah mereka itu tak ada
dibawahan kita" Coba mereka dapat mengundang lagi beberapa orang, maka dalam
pertemuan di Yan Ie Lauw itu sukar ditentukan dari sekarang, siapa bakal kalah,
siapa bakal menang...." jawab Ma Giok lagi.
"Tapi mungkinkah kita Coan Cin Pay bakal roboh di tangannya beberapa jahanam
itu?" Khu Cie Kee menegasi.
"Segala apa tak dapat diduga, saudaraku. Buktinya ialah kejadian tadi. Kalau
tidak ada Kwa Toako dan Cu Jieko datang membantu, bukankah akan runtuh nama baik
kita yang sejak beberapa puluh tahun" Tidakkah kita bertiga bakal kehilangan
nyawa kita disini?" kata Ma Giok.
Tin Ok dan Cu Cong lekas-lekas merendahkan diri. "Mereka itu telah menggunakan
akal muslihat," kata mereka. "Kemenangan mereka itu tak dapat dibuat sebutan."
Ma Giok menghela napas. "Memang kita harus berhati-hati," katanya. "Lihat saja
Ciu Susiok kita. Ia telah mewariskan kepandaiannya guru kita, kepandaiannya itu
sepuluh lipat melebihi kita, tetapi ia terlalu mengandalkan diri, sampai
sekarang sudah belasan tahun, tak diketahui dimana adanya dia. Maka itu Ciu
Susiok itu harus dijadikan contoh."
Mendengar perkataan kakaknya ini, Cie Kee berdiam.
Kanglam Liok Koay tidak mengetahui yang Coan Cin Cit Cu masih mempunyai susiok,
paman guru, mereka heran, tetapi mereka tidak nerani menanyakan keterangan.
Ong Cie It sendiri membungkam selama dua saudaranya itu berbicara.
Kemudian Khu Cie Kee melirik kepada Kwee Ceng dan Bok Liam Cu. "Kwa Toako,"
katanya tertawa. "Tidak kecewa murid yang kau pimpin itu. Yo Sutee mendapatkan
baba mantu seperti ini, ia mati pun meram...."
Merah mukanya Liam Cu, ia berbangkit, sembari tunduk ia berjalan untuk keluar.
Ong Cie It dapat melihat caranya orang berbangkit dan bertindak, mendadak
berkelebatlah suatu ingatan di otaknya, sebab sekali ia turun dari atas
pembaringannya dan sebelah tangannya melayang ke pundak orang.
Hebat serangan mendadak ini, tatkala si nona sadar, pundaknya sudah kena
ditekan, percuma ia hendak mempertahankan diri, ia terhuyung ngusruk. Tapi
tangan kiri Cit It menyusul, sebelum ia jatuh, dia sudah dapat ditolong. Dia
heran dan kaget, dengan mendelong ia mengawasi imam itu.
Ong Cie It lantas tertawa. "Jangan kaget, Nona," katanya. "Aku sedang menguji
kepandaianmu. Bukankah itu orang yang berilmu yang mengajari kau ilmu silat cuma
tiga hari mempunyakan hanya sembilan jari tangan dan dandannya sebagai
pengemis?" Nona Bok menjadi terlebih heran lagi. "Eh, mengapakah totiang ketahui itu?" dia
balik menanya. Cit It tertawa pula. "Kiu Cie Sin Kay Ang Locianpwee itu memang aneh sepak
terjangnya," ia berkata, menerangkan. "Dia mirip dengan naga sakti yang nampak
kepalanya tetapi tidak ekornya. Kau telah mendapat pengajaran dari dia, Nona,
kau beruntung sekali. Sebenarnya ada sangat sukar akan mendapatkan ketika
seperti kau itu." "Hanya sayang guruku itu tidak mempunyai tempo yang luang, dia cuma bisa
mengajari tiga hari lamanya," menambahkan si nona.
"Apakah kau tidak kenal kecukupan, Nona?" Ong Cie It menegaskan. "Kau tahu,
pengajarannya itu tiga hari melebihkan pengajaran lain orang sepuluh tahun!"
"Totiang benar juga," kata Liam Cu, yang terus berdiam tapi cuma sejenak, terus
ia menanya: "Apakah totiang ketahui dimana adanya Ang Locianpwee itu sekarang?"
Cit It tertawa pula. "Perkataanmu menyulitkan aku, Nona!" ia berkata. "Adalah
pada duapuluh tahun yang lampau aku menemui dia di puncaknya gunung Hoa San,
habis itu aku tidak melihat dan mendengarnya pula."
Liam Cu merasa kecewa, perlahan-lahan ia bertindak keluar.
"Ong Totiang, siapakah itu Ang Locianpwee?" Han Siauw Eng menanya. Sejak tadi si
nona sudah tertarik hatinya mendengar disebutnya orang itu yang ada dari tingkat
lebih tinggi dan tua (locianpwee).
Imam she Ong itu tersenyum, ia balik ke pembaringannya.
"Han Lie-hiap," Ong Cie It menanaya, "Pernahkah kau mendengar sebutan Tong Shia
See Tok, Lam Tee Pak Kay dan Tiong Sin Thong?"
Nona Han itu berpikir. "Rasanya pernah aku mendengar tetapi aku tidak tahu apa
artinya itu semua." Tiba-tiba Kwa Tin Ok memeotong: "Ang Locianpwee itu bukankah Pak Kay dari Lam
Tee Pak Kay itu?" "Benar," Ong Cie It memberikan jawabannya. "Tiong Sin Thong itu adalah almarhum
Ong Cinjin yang menjadi guru kami."
Kanglam Liok Koay kagum mendengar si orang she Ang sama tersohornya dengan
gurunya Coan Cin Cit Cu. Khu Cie Kee menoleh kepada Kwee Ceng, sembari tertawa ia berkata: "Bakal istrimu
itu ada muridnya Kiu Cie Sin Kay yang ternama besar, di belakang hari siapa yang
nanti berani menghinamu?"
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, berniat ia membantah tetapi ia tidak dapat
membuka mulutnya. "Ong Totiang," kemudian Han Siauw Eng menanya pula. "Kau cuma menekan pundaknya
si nona, cara bagaimana kau lantas bisa mendapat tahu dialah muridnya Kiu Cie
Sin Kay itu?" Selagi Cie It belum menyahuti, Cie Kee menggapai kepada Kwee Ceng, siapa sudah
lantas datang menghampirkan. Mendadak saja ia menekan pundak si anak muda.
Kwee Ceng pernah mendapat pelajaran rahasianya ilmu dalam dari Ma Giok,
pelajaran yang disebut Hian-bun Ceng-cong, ia juga telah makan darahnya ular,
tenaga dalamnya kokoh sekali, dari itu tidaklah ia roboh tertekan si imam.
Khu Cie Kee tertawa. "Anak yang baik!" katanya seraya mengangkat tekanannya.
Kwee Ceng tidak berani melawan lebih jauh tenaga dalam si imam itu tapi justru
itu, ia ditekan pula. Kali ini, tidak ampuj lagi, ia roboh terjengkang, sebab ia
tidak bersiaga. Tapi ia tidak roboh terguling, begitu pula tangannya mengenakan
tanah, ia sudah berlompat berdiri pula.
Menyaksikan itu, semua orang tertawa.
"Anak Ceng," Cu Cong lantas berkata, "Khu Totiang telah memberikan kau
pelajaran, kau ingatlah baik-baik."
Kwee Ceng menyahuti sambil mengangguk.
"Han Lie-hiap," Khu Cie Kee berkata pula, sekarang kepada Han Siauw Eng, "Siapa
pun yang mempelajari ilmu silat, jikalau ia ditekan secara barusan, mesti ia
roboh terjengkang, cuma ilmu silatnya Kiu Cie Sin Kay yang tidak mempan tekanan,
paling-paling orang terhuyung ke depan. Sebabnya ini ialah kepandaian Ang
Locianpwee itu banyak yang bertentangan sama ilmu silat yang kebanyakan."
Liok Koay kagum untuk pengetahuan luas dari kaum Coan Cin Pay itu.
"Apakah Ong Totiang pernah melihat Kiu Cie Sin Kay bersilat?" Cu Cong tanya.
"Pada duapuluh tahun dulu itu," menyahut Ong Cie It, "Kiu Cie Sin Kay telah
berkumpul berlima bersama Oey Yok Su di puncak gunung Hoa San, di mana mereka
merundingkan ilmu silat pedang, karena aku senantiasa mendampingi guruku, aku
jadi dapat mendengar penguraiannya Kiu Cie Sin Kay itu."
"Bukankah Oey Yok Su itu adalah Tong Shia dari Tong Shia See Tok?" Tin Ok tanya
pula. "Benar," menjawab Tiang Cun, yang terus berpaling pada Kwee ceng sambil tertawa
mengatakan: "Syukur Ma Suko telah ajarkan kau ilmu silat tetapi si antara kamu
belum ada hubungan murid dan guru, jikalau tidak, mungkin terbit salah paham.
Kau mesti terlebih rendah tingkatannya daripada bakal istrimu itu, dengan begitu
seumurmu, tidak nanti kau dapat menanjak naik...."
Kwee ceng jengah, mukanya merah. "Tidak dapat aku menikah dengannya," katanya.
Khu Cie Kee heran, hingga air mukanya berubah. "Kenapakah?" tanyanya.
Han Siauw Eng menyayangi muridnya itu, ia merasa kasihan, ia mewakilkan
menyahut. "Kami cuma ketahui turunan Yo toako adalah anak laki-laki, maka itu
selama di Mongolia anak Ceng ini sudah bertunangan. Oleh Khan besar dari
Mongolia, Jenghiz Khan, ia telah diangkat menjadi Kim-to Hu-ma."
Mendengar keterangan itu, Khu Cie Kee tertawa dingin. "Bagus betul!" katanya.
"Orang adalah satu putri, pantaslah dia beda daripada yang lainnya. Tetapi
disini adalah mengenai pesan orang tua mereka. Adakah kamu tidak memeprdulikan
itu"!" Kwee Ceng menjadi ketakutan, ia lantas saja menekuk lututnya. "Teecu belum
pernah sekali juga bertemu sama ayahku almarhum," ia berkata, "Dari itu tidak
tahu teecu tentang pesan ayahku itu. Sukalah Totiang memberi petunjuk?"
Cie Kee tertawa. "Ya, kau tidak dapat dipersalahkan!" katanya. Tadi ia tak ingat
akan hal ini. Habis itu lalu ia menutur kejadian pada delapanbelas tahun yang
lampau di Gu-kee-cun, bagaimana ia berkenalan sama Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat
Sim, bagaimana ia sudah pukul mundur musuh, bagaimana ia menyusul dua orang itu
hingga jadi bentrok sama Kanglam Cit Koay, dengan kesudahannya dibuat perjanjian
pibu antara keturunannya Siauw Thian dan Tiat Sim itu.
Kwee Ceng lantas saja menangis. Baru sekarang ia ketahui jelas tentang dirinya
sendiri. Ia berduka untuk sakit hati ayahnya, sakit hati mana belum terbalas.
Karena ini juga ia menjadi ingat baik-baik budi semua gurunya.
Han Siauw Eng menghibur muridnya, ia kata: "Sudah lumrah, laki-laki mempunyakan
tiga istri serta empat gundik, maka itu belakang hari bolehlah kau
memberitahukan kepada Khan yang agung halnya kau akan menikah dua istri. Ini toh
untuk kebaikan kedua pihak, bukan?"
Kwee Ceng menepas air matanya. "Aku juga tidak akan menikahi Putri Gochin!"
katanya. Nona guru itu menjadi terkejut dan heran. "Kenapakah?" tanyanya.
"Aku tidak senang ia menjadi istriku," Kwee Ceng menyahut dengan terus terang.
"Bukankah kau kenal ia dengan baik dan pernah bergaul rapat?" Siauw Eng menanya
pula. "Ya, tetapi aku pandang ia sebagai adik saja, sebagai sahabat. Aku tidak ingin
menikah dengannya." Khu Cie Kee menjadi girang mendengar itu. "Anak yang baik, kau bersemangat!"
pujinya. "Peduli apa dia Khan yang agung atau tuan putri, kau baiklah turut
pesan ayahmu almarhum dan paman Yo-mu itu, kau menikah dengan nona barusan!"
Kwee Ceng menggeleng kepala. "Aku juga tidak akan nikahi nona ini," katanya.
Semua orang menjadi heran, tidak tahu mereka apa yang dipikirkan pemuda ini.
"Apakah kau telah mempunyai nona lain yang kau penujui?" tanya Siauw Eng
perlahan. Dasar wanita, nona Han ini dapat menyelami hati orang.
Muka Kwee Ceng menjadi merah, dia berdiam sejenak, baru ia mengangguk.
Han Po Kie dan Khu Cie Kee terperanjat. "Siapakah nona itu"!" tanya mereka
keras. Kwee Ceng mengasih dengar suaranya perlahan, ia tidak menjawab.
Sedeik itu, Han Siauw Eng lantas ingat Oey Yong, yang ia telah perhatikan ketika
malam itu bertempur dengan Bwee Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu beramai di dalam
istana pangeran. Ia ketahui nona itu berkulit putih bersih dan cantik menarik.
"Bukankah kau maksudkan si nona baju putih?" ia tegaskan muridnya itu.
Kwee Ceng tidak menjawab tetapi mukanya menjadi merah.
"Siapakah dia itu?" Khu Cie Kee tanya si nona Han.
"Aku dengar Bwee Tiauw Hong memanggil ia sumoay dan kepada ayahnya suhu..."
menjawab Siauw Eng perlahan sekali. (Sumoay = adik seperguruan wanita dan suhu =
suhu) Dua-dua Kwa Tin Ok dan Khu Cie Kee terperanjat, hingga mereka berlompat bangun.
"Mustahilkah ia putrinya Oey Yok Su?" tanya mereka berbareng.
Siauw Eng tarik tangan muridnya, untuk si murid datang dekat kepadanya. "Anak
Ceng, apakah nona itu she Oey?" ia menanya perlahan.
Kwee Ceng mengangguk. "Ya," sahutnya, perlahan juga.
Mendapat jawaban itu, Han Siauw Eng tergugup.
"Apakah ayahnya yang jodohkan kau dengan putrinya?" tanya Cu Cong.
"Aku belum pernah bertemu dengan ayahnya dan tidak tahu siapa itu ayahnya," si
murid menjawab. "Kalau begitu, kamu jadi mufakat berdua saja?" Cu Cong menanya pula.
Kwee Ceng tidak mengerti jelas, ia membuka lebar matanya tanpa menjawab.
"Bukankah dia mengatakan mesti menikah dengamu dan kau membilang akan nikahi
dia?" "Tidak pernah dikatakan begitu..." sahut Kwee Ceng, yang terus berdiam, tetapi
sesaat kemudian ia menambahkan: "Tidak usahlah itu dijelaskan lagi. Aku tidak
dapat tidak mempunyai dia dan dia juga tidak dapat tidak mempunyai aku, hati
kita sama mengetahuinya...."
Han Po Kie belum pernah mengenal asmara, mendengar itu ia menjadi tidak puas.
"Habis bagaimana jadinya!" ia membentak.
Cu Cong lain lagi. Berkata ini guru yang nomor dua: "Kau tahu tidak, ayahnya
nona itu adalah satu iblis besar, yang kalau membunuh orang tidak pernah
mengicap matanya" Jikalau ia ketahui kau secara diam-diam mencuri mengambil hati
anak gadisnya, apa kau sangka kau masih mempunyai jiwamu itu" Bwee Tiauw Hong
belum mewariskan satu persepuluh dari kepandaian gurunya itu, dia sudah sangat
lihay, maka jikalau tuan dari Pulau Tho Hoa To itu hendak membunuh kau, siapa
yang dapat menolonginya?"
"Yong-jie demikian baik, aku pikir....aku pikir ayahnya tak mungkin bukan orang
baik-baik," berkata si murid perlahan.
"Angin busuk!" membentak Po Kie, yang tetap murka. "Kau mesti bersumpah bahwa
untuk selanjutnya kau tidak akan bertemu pula dengan nona itu!"
Kanglam Liok Koay sangat membenci Hek Hong Saing Sat yang telah membinasakan
Siauw Mie To Thio A Seng si Buddha Tertawa, dengan sendirinya mereka jadi
membenci juga guru orang itu.
Kwee Ceng menjadi susah hati. Di satu pihak adalah guru-gurunya yang telah
melepas budi banyak kapadanya, dilain pihak adalah cinta sejati. Ia pikir, kalau
seumurnya ia tidak dapat bertemu lagi Oey Yong, apakah artinya hidupnya itu -
buat apa ia menjadi manusia" Ia jujur dan polos, dari itu halus sekali
perasaannya. Tempon ia mendapat lihat guru-gurunya itu mengawasi ia dengan
bengis, hancur rasa hatinya. Ia lantas menekuk lutut, air matanya turun mengalir
di kedua pipinya. Han Po Kie lantas maju setindak. "Lekas bicara!" ia membentak.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, di luar jendela sudah terdengar suaranya seorang
wanita muda: "Kenapa kamu main paksa orang"!" Tercenganglah Tin Ok semua. Sedang
begitu, si nona itu telah berkata pula: "Engko Ceng, lekas keluar!"
Kwee ceng kenali suaranya Oey Yong, ia kaget dan berbareng heran. Ia lantas
berbangkit dan memburu keluar. Di depannya berdiri si nona cantik, tangan
kirinya memegangi pelana kuda Han-hiat Po-ma.
Kuda merah itu meringkik panjang, apabila ia melihat ini anak muda, lalu kedua
kaki depannya diangkat, untuk berjingkrakan.
Han Po Kie bersama Cu Cong dan Coan Kim Hoat memburu keluar, diikuti Khu Cie Kee
berempat. Menampak ketiga guru itu, Kwee Ceng menunjuk kepada si nona seraya berkata;
"Sam-suhu, inilah dia si nona, dia bukannya siluman!"
Oey Yong menjadi gusar. "Hai, orang kate terokmok yang menyebalkan untuk
dilihat, kenapa kau berani memaki aku perempuan siluman"!" dia menanya sambil
membentak. Dia pun segera menuding Cu Cong tanpa menanti lagi jawabannya Ma Ong
Sin si Malaikat Raja Kuda, untuk menambhakan: "Ada lagi kau, mahasiswa iblis


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang jorok kotor, kenapa kau mencaci ayahku" Kenapa kau katakan ayahku satu
iblis besar yang membunuh orang tidak mengicap mata"!"
Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay sabar, ia tidak sudi melayani
seorang nona, maka itu ia tersenyum. Ia mesti akui nona ini sangat cantuk,
seumurnya belum pernah ia lihat lain nona yang melebihkannya, jadi tidaklah
heran yang Kwee Ceng menjadi jatuh hati kepada si nona.
Tapi beda dengan kakaknya yang kedua ini, Han Po Kie gusar bukan main, sampai
kumisnya bangun berdiri. "Pergi kau! Lekas kau pergi!" ia mengusir.
Bukannya si nona Oey itu pergi, ia justru menepuk-nepuk tangan, ia bernyanyai;
"Hai, labu parang! Hai, bola kulit bundar! Ditendang satu kali, lalu
bergelindingan!" "Jangan nakal, Yong-jie!" kata Kwee Ceng lekas mencegah. "Inilah guruku...."
Han Po Kie maju, ia mengulurkan tangannya akan menolak si nona itu untuk
diangkat pergi. Masih Oey Yong bernyanyai: "Labu parang! Bola kulit bundar!" Ia pun mundur dari
tangannya si kate terokmok itu, hanya sambil mundur, mendadak tangannya
menyambar pinggang Kwee Ceng, yang etrus ia bawa berlompat, maka sedetik
kemudian, keduanya sudah bercokol di atas kuda merah, tempo mana si nona itu
mengedut tali les, Han-hiat Po-ma membuka tindakan lebar dan kabur!
Han Po Kie boleh sangat gesit dan sebat tetapi tidak snaggup ia menyandak kuda
jempolan itu. Ketika kemudian Kwee Ceng sempat menoleh ke belakang, wajah Po Kie semua
terlihat hanya samar-samar saja, lantas bergelempang hitam, terus lenyap, saking
keras larinya si kuda merah itu!
Oey Yong mencekal les dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang tangannya si
anak muda, hatinya berdenyut keras, walaupun belum lama mereka berpisahan, Kwee
Ceng sendiri bingung sekali. Berat untuknya akan perpisahan secara demikian dari
keenam gurunya itu, sebaliknya, pepat juga hatinya kapan ia mengingat gurunya
itu hendak memisahkan ia dari pacarnya. Mana bisa ia tunduk kepada mereka itu"
Kabur kira-kira satu jam lamanya, Han-hiat Po-ma telah terpisah duaratus lie
dari kota Yan-khia. Sampai disitu barulah Oey Yong menarik tali les kudanya,
untuk mengasih kudanya berhenti. Lantas ia lompat turun dari binatanag
tunggangannya itu, diturut oleh pemuda pujaannya itu. Kuda itu menggosok-gosok
lehernya ke pinggang si anak muda, menandakan kelulutannya.
Sepasang muda-mudi ini berpegagan tangan, mereka berhadapan tanpa mengucapkan
sepatah kata. Banyak yang mereka ingin ucapkan, tetapi mereka tidak tahu harus
bagaimana memulainya. Cuma hati mereka yang berbicara satu pada lain..........
Beberapa saat kemudian, baru Oey Yong melepaskan tangannya dari tangan Kwee
Ceng. Ia merogoh ke kantung kulit di pelana, ia menarik keluar sepotong sapu
tangan, terus ia pergi ke tepi kali kecil di dekatnya, untuk mencelup saputangan
itu, kemudian ia kembali ke pemudannya.
"Kau pakailah ini," katanya perlahan, meminta orang menyusut mukannya yang
keringatan. Kwee Ceng berdiri bengong, agaknya ia berpikir keras sekali. Ia tidak menyambuti
saputangan itu, hanya sekonyong-konyong ia berkata, keras; "Yong.jie, tidak
dapat kita berbuat begini...."
Pemudi itu terperanjat, ia menatap, "Apa katamu?" tanyanya.
"Kita harus kembali," Kwee Ceng bilang. "Kita mesti menemui guruku semua...!"
Kembali Oey Yong terperanjat. "Kembali?" ia menegasi. "Kita kembali bersama?"
"Benar!" sahut pemuda itu. "Hendak aku mencekal tanganmu, kepada guruku semua
dan Ma Totiang beramai ingin aku mengatakan; 'Inilah Yong-jie! Dia bukannya
siluman perempuan!'" Sembari berkata begitu, ia menarik tangan yang putih mulus
dan lemas dari si nona, kemudian ia angkat kepalanya, untuk mengawasi wajah
orang. Ia agaknya hendak mengatakan pula; "Suhu, budi kamu besar laksana gunung,
walaupun tubuhku hancur luluh, sukar aku membalasnya...Tapi, tapi Yong-jie
bukannya siluman, dialah satu nona yang baik sekali..." ia hendak omong banyak,
tapi cuma sampai di situ, berhentilah pikirannya melamun.
Mulanya Oey Yong tersenyum, ia anggap orang jenaka sekali, tetapi kemudian
hatinya tergerak. Ia lantas berkata: "Engko Ceng, semua gurumu sangat benci aku,
percuma kau omong banyak dengan mereka itu. Sudahlah, jangan engkau kembali!
Mari kita pergi ke sebuah gunung sunyi, atau ke sebuah pulau mencil di laut,
supaya mereka itu selama umurnya tidak dapat mencari kita...."
Kwee Ceng tetap menatap. "Yong-jie," katanya, suaranya mantap, "Tidak dapat
tidak, kita mesti kembali."
"Tapi mereka itu hendak memisahkan kita, nanti kita tidak bakal bertemu pula,"
kata si nona pula. "Biarnya mati, kita tidak bakal berpisah!" si pemuda memastikan.
Semangat Oey Yong terbangun, kalau tadi hatinya berdebaran, sekarang hatinya itu
menjadi mantap. "Benar!" pikirnya. "Paling banyak kita mati! Mustahil ada yang lebih hebat dari
kematian?" Maka ia kata: "Engko ceng, untuk selama-lamanya aku akan dengar
perkataanmu! Sampai mati juga kita tidak akan berpisah!"
"Memang!" sahut si anak muda. "Aku sudah bilang, kau adalah satu nona yang
manis!" Nona itu tertawa. Ia merogoh pula kantong kulitnya, sekarang ia mengeluarkan
sepotong besar daging mentah, ia gulung itu dengan lumpur, terus ia tambus. Ia
menyalakan api dengan kayu kering.
"Biarlah si kuda lecil merah beristirahat," kata pula si nona. "Habis
beristirahat baru kita kembali."
Kwee Ceng mengangguk, hatinya puas.
Tidak lama kemudian keduanya mulai menggayem daging tambus itu, kuda mereka juga
sudah kenyang makan rumput. Sebentar kemudian, dengan menaiki kuda, mereka ambil
jalan dari mana tadi mereka datang. Di waktu lohor, mereka tiba di hotel. Turun
dari kudanya, Kwee Ceng pegang tangannya Oey Yong untuk diajak masuk ke dalam.
Pelayan hotel girang melihat kembalinya anak si muda, ia menyambuti dengan wajah
berseri-seri. Ia pernah menerima persen dari Kwee Ceng.
"Kau baik, Tuan?" tegurnya. "Mereka itu sudah berangkat pergi. Tuan ingin dahar
apa, silakan sebutkan." katanya.
Tapi Kwee Ceng terperanjat. "Mereka sudah pergi?" ia mengulangi. "Adakah
pesanannya?" "Tidak, mereka menuju ke Selatan, perginya sudah selang dua jam." jawab si
jongos. "Mari kita susul mereka!" Kwee Ceng mengajak kekasihnya.
Oey Yong menurut, maka mereka tinggalkan rumah penginapan itu, mereka kaburkan
kuda mereka ke arah yang disebutkan si pelayan itu, yang heran menampak orang
pergi secara demikian kesusu. Di sepanjang jalan mereka memasang mata. Sampai
sore, mereka tidak dapat menemukan Kanglan Liok Koay.
"Mungkin suhu telah mengambil lain jalan," kata Kwee Ceng. Ia membaliki kudanya.
Han-hiat Po-ma kuat sekali, walaupun penunggangnya dua orang, ia dapat lari tak
kurang cepatnya, ia tidak menjadi lelah. Hanya sampai cuaca gelap, mereka tetap
tidak melihat Kanglam Liok Koay atau ketiga orang Coan Cin Pay. Kwee Ceng
menjadi masgul. Oey Yong menghibur. Katanya: "Di harian Tiong Ciu mereka bakal berkeumpul di Yan
Ie Liauw di Kee-hin, di sana kau pasti bakal dapat menemukan mereka."
"Untuk sampai kepada hari raya Tiong Ciu, temponya masih setengah tahun lagi,"
kata si anak muda, lesu. Tapi si nona tertawa manis. "Selama setangah tahun kita toh dapat pesiar ke
segala tempat kenamaan!" katanya. "Apakah itu tidak terlebih bagus?"
Mau tidak mau, Kwee Ceng menyatakan setuju. Hatinya menjadi lega juga.
Keduanya lantas memasuki dusun, akan mencari penginapan, guna melewatkan sang
malam. Besoknya Kwee Ceng membeli seekor kuda putih yang besar, untuk ia, supaya Oey
Yong dapat menaiki kuda merah kecil itu seorang diri. Tidak leluasa untuk mereka
terus menunggang seekor kuda.
Oey Yong tidak dapat menampik kehendak pemudanya itu.
Demikian dengan merendengkan kuda, mereka berjalan perlahan-lahan, untuk
menikmati keindahan sang malam. Mereka pergi tanp tujuan. sering mereka turun
dan duduk saling menyender di tempat yang sepi. Kalau singgah dan bermalam,
mereka pun menyewa sebuah kamar. Hati mereka lapang, tidak ada pikirab yang
bukan-bukan yang menyandingi mereka. Mereka melainkan memikirkan pesiar dan
terbukalah hari mereka. Pada suatu hari tibalah meteka di Baratnya perbatasan antara Liongkeng-hu dan
Tayleng di sebelah timur kota raja. Ketik aitu sudah mendekati hari raya Toan-
yang, hawa udara mulai panas. Dahi Oey Yong telah berkeringatan. Selagi mereka
hendak cari tempat untuk meneduh, si nona mendengar suara mengericiknya air . Ia
lantas larikan kudanya ke arah suara itu. Untuk girangnya ia mendapatkan sebuah
kali kecil, sampai ia berseru.
Kwee Ceng mengasih kudanya lari menyusul.
Kali itu berair bening, hingga nampak dasarnya. Di kedua tepinya ada tumbuh
banyka pohon yang-liu, yang cabang dan daunnya meroyot ke air. Di dalam air pun
terlihat sejumlah ikan berenang pergi datang.
Oey Yong gembira sekali, hingga ia membuka pakaian luarnya, lalu terjun ke air.
Kwee Ceng terkejut, hingga ia menjerit. Ia lari ke tepian, hatinya lega. Segera
ia melihat si nona berenang di dalam air, menangkap dua ekor ikan yang
panjangnya kira-kira satu kaki, ketika diangkat ke muka air, ekornya kedua ikan
itu bergerak-gerak, begitupun kepalanya.
"Sambut!" si nona berseru, kedua tangannya terayun.
Kwee Ceng sudah lantas menyambuti, ia bisa memegang kedua ikan itu, tetapi
saking licinnya, ikan itu melejit dan lolos, jatuh ke tanah, di mana keduanya
berloncatan. Oey Yong tertawa geli. "Engko Ceng, mari turun, kita berenang!" ia memanggil.
Kwee Ceng tidak bisa berenang, ia menggeleng kepala. Ia menjadi besar di gurun
pasir. "Turunlah, nanti aku ajari!" kata si nona.
Pemuda ini menjadi tertarik, maka ia pun membuka baju luarnya, lalu turun ke
kali. Ia tidak menerjun seperti si nona, tetapi ia turun dengan perlahan-lahan,
tangannya pun diulurkan. Si nona jail sekali, ia menghampirkan, tahu-tahu ia
telah merabuh kaki orang, maka tidak tempo lagi, tubuh Kwee Ceng terpelanting.
Ia kaget, karenanya, ia menegak air! Oey Yong lekas pegangi tangan orang, ia
menertawai. "Begini menggeraki tangan," si nona benar-benar lantas mengajari. Ia pun
membilangi, untuk selulup mesti menahan napas dan mata dapat dirapati atau
dimeleki. Untuk Kwee Ceng, pelajaran berenang itu gampang sekali. Dengan dapat mengatur
napasnya, dengan cepat ia telah dapat mengerti. Demikian ia bisa berenang hilir
mudik dan selulup timbul. Tentu sekali, ia menjadi bertambah gembira, sedang
kawannya demikian manis dan lincah.
Tidak puas dengan mandi di satu tempat saja, mereka berenang mudik, sampai
kuping mereka mendapat dengar suara air nyaring. Kemudian ternyata, di Selatan
itu ada air terjun yang yang tingginya lebih daripada sepuluh tombak, bagaikan
rantai perak, air meluncur turun.
"Engko Ceng," kata si nona sangat bergembira, "Mari kita mendaki air tumpah
itu!" "Baik, mari kita mencoba!" Kwee Ceng menyambut. "Kau pakailah baju lapismu!"
"Tidak usah!" menyahut si nona. "Mari kita mulai!".
Kata-kata itu disusul sama gerakan tubuh yang lincah, berbareng dengan mana, si
pemuda pun menggeraki kaki tangannya. Tapi air deras sekali, keduanya gagal.
Beberapa kali mereka mencoba, tetapi mereka tidak berhasil.
Kwee Ceng penasaran sekali. "Baiklah kita beristirahat, besok kita coba pula!"
katanya pada kawannya. "Baik!" tertawa Oey Yong. Ia pun penasaran.
Besoknya percobaan diulangi, kali ini mereka dapat naik hingga setombak lebih.
Hati mereka menjadi besar, mereka mencoba terus. Inilah suatu latihan bagus bagi
mereka, yang ilmunya ringan tubuh sudah sempurna. Latihan ini terus dilakukan
terus, maka juga di hari kedelapan, Kwee Ceng bisa menyampaikan puncak air
terjun itu, dengan menyambar dan menarik tangan orang, ia membantu Oey Yong naik
juga. Bukan main girangnya muda mudi ini.
"Mari kita turun pula!" Kwee Ceng mengajak. Lalu keduanya menyebur mengikuti air
tumpah itu. Demikian mereka berlatih, naik dan turun. Dalam sepuluh hari, Kwee Ceng dapat
berenang dengan baik walaupun ia masih kalan lincah dari si nona, ialah untuk
menangkap ikan, ia tak dapat menyaingi.
Puaslah hatinya sepasang anak muda ini, maka di hari kesebelas baru mereka
melanjuti perjalanan ke Selatan. Sampai di hulu sungai Tiang Kang, hari mulai
sore. Terbuka hati Kwee Ceng menyaksikan kebesarannya sungai itu, yang airnya
terus mengalir, gelombangnya saling susun.
"Kau mau berenang, engko ceng?" tanya si nona. "Marilah!"
"Baik!" sahut si anka muda. Dan ia lompat turun dari kuda putihnya, yang tepuk
kempolannya. "Kau tidak punya guna, pergilah!" Ia pun melepaskan tali les.
Dilain pihak, ia menghampirkan kuda merah.
Kapam kuda merah itu telah ditepuk, dengan berani dia terjun ke sungai, sembari
terjun ia meringkik keras dan panjang, terus ia berenag pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong pun segera terjun, untuk menyusul. Pandai berenangnya
kuda merah itu, dia mendahului di muka.
Di tempat dimana mereka terjun ini tidak ada lain orang, dengan begitu mereka
tidak menarik perhatian siapa juga.
Belum begitu lama, tiba-tiba cuaca menjadi gelap. Sebab mega sudah lantas
bergumpal-gumpal, langit menjadi mendung. Lalu kemudian terdengarlah suara
guntur saling susul dan terlihat kilat menyambar-nyambar.
"Takutkah kau, Yong-jie?" Kwee Ceng tanya.
"Ada bersama-sama kau, aku tidak takut!" menjawab si nona tertawa.
Pemuda itu tersenyum. Di bawah hujan besar, mereka berenang terus hingga di lain tepi di mana mereka
mendarat. Mereka menanti sampai air langit itu berhenti turun, ketika itu
tibalah sang malam dan rembulan memancarkan sinarnya di langit yang bersih.
Mendung sirna, mega berkumpul lenyap.
Kwee Ceng mencari kayu kering, untuk menyalakan api ungun, di situ mereka
memanggang pakaian mereka hingga kering, kemudian keduanya rebah tidur di udara
terbuka. Mereka polos, mereka tidak ingat suatu apa.
Keduanya sadar besoknya fajar, tempo mereka dengar suara ayam berkeruyuk dari
sebuah rumah tak jauh dari tepi sungai.
"Aku lapar!" berkata Oey Yong, yang menguap. Ia berbangkit, untuk lari ke rumah
tadi, sebentar kemudian, ia sudah lari balik, bersama seekor ayam jago yang
besar di tangannya. "Mari kita pergi ke sana, supaya pemilik rumah tidak melihat kita," Kwee Ceng
mengajak. Si nona mengangguk, lantas mereka berjalan sampai sejauh satu lie kira-kira.
Kuda merah terus mengikuti mereka. Disini Oey Yong sembelih ayam itu, lalu di
cuci bersih, kemudian ia gulung dengan lumpur, untuk ditambus. Maka dilain saat
matanglah ayam itu, rontok bulu dan kulitnya, terlihatlah dagingnya yang gemuk.
Disaat si nona hendak membeset ayam itu, tiba-tiba ia dengar suara dari
belakangnya; "Besetlah menjadi tiga potong, pahanya kasih aku!"
Kedua muda-mudi itu terkejut. Bukankah kuping mereka lihay" Kenapa mereka tidak
dengar berkelisiknya orang, hingga orang tahu-tahu sudah berada dibelakang
mereka" Mereka memutar tubuh dengan cepat. Maka terlihatlah seorang pengemis
usia pertengahan, pakaiannya banyak tambalannya, cuma anehnya, bahannya semua
tersulam, hingga mirip pakaian pengemis di atas pentas. Dia pun memegang
sebatang tongkat yang mirip batu pualam, sedang dipunggungnya tergemblok sebuah
cupu-cupu besar yang merah warnanya. Wajah orang tampak acuh tak acuh wajar
sekali. Belum lagi si muda-mudi itu memberi penyahutan, mereka suka memabgi ayam mereka
atau tidak, si pengemis sudah lantas menjatuhkan diri duduk di hapadan mereka,
tangannya meraba punggungnya, untuk mengambil cupu-cupunya itu, yang tutupnya ia
terus buka, maka di detik itu juga tersiarlah harumnya arak. Dia menggelogoki
arak itu beberapa ceglokan, terus ia mengangsurkan kepada si anak muda.
"Eh, bocah, kau minumlah!" katanya.
Sebenarnya Kwee Ceng tidak puas untuk kelakuan orang yang tak hormat itu, tetapi
karena tingkah laku itu aneh, tidak berani berlaku kasar. "Aku tidak minum arak,lojinkee, kau minumlah sendiri!" sahutnya hormat.
"Dan kau nona kecil, kau minum arak atau tidak?" si pengemis itu menanya Oey
Yong. Si nona tidak menyahuti, ia cuma menggelengkan kepalanya. Tapi sangat jeli
matanya, dalam sesaat ia telah dapat melihat jeriji tangan si pengemis yang
memegang tempat araknya. Untuk terkejutnya, jeriji itu cuma sembilan, lenyap
satu dari lima jeriji tangan kanan! Ia lantas ingat kata-katanya Ong Cie It dan
Khu Cie Kee perihal Kiu Cie Sin Kay, si Pengemis Aneh Berjeriji Sembilan.
"Benarkah di kolong langit ini ada peristiwa begini kebetulan?" ia tanya diri
sendiri. "Baiklah aku dengar suaranya."
Nona ini tertawa di dalam hati apabila ia sudah mengawasi wajah si pengemis yang
terus memandangi ayamnya, hidung dia itu bergerak-gerak, mulutnya berkelemikan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanda mengilarnya. Tetapi ia tidak memikir untuk menjaili orang, maka ia lantas
besat ayamnya dibagi dua, yang separuh ia sodorkan pada orang tua itu. Pengemis
itu menyambuti seperti menyambar, terus ia masuki ayam itu kemulutnya, dan terus
menggayem. Sangat bernafsu ia mendaharnya hingga lekas juga paha ayam itu
termakan habis! Tulang-tulang ayam itu ia semburkan.
"Sungguh lezat! Sungguh lezat!" ia memuji berulang-ulang. "Biarnya aku si
leluhur pengemis, tidak bisa aku mematangi ayam selezat ini!"
Oey Yong tertawa, ia menyodorkan pula sepotong lainnya.
"Ah, mana dapat!" pengemis itu menolak. "Kamu berdua belum makan...." Mulutnya
mengatakan begitu, tetapi tangannya menyambuti, maka dilain saat, habis sudah
sebelah ayam tambus itu! Lantas ia menepuk-nepuk perutnya. "Hai, perutku,
perutku!" ia mengoceh seorang diri, "Bukankah jarang sekali kau gegares ayam
begini lezat?" Mau tidak mau, si nona tertawa geli.
Pengemis itu merogoh ke sakunya, mengeluarkan sepotong besar perak, yang mana ia
sodorkan kepada Kwee Ceng. "Bocah, kau ambillah ini!" katanya.
Pemuda itu menggeleng kepalanya. "Kami menganggap kau sebagai sahabat, kami
tidak menginginkan uang," jawabnya.
Pengemus itu menyeringai, agaknya ia likat. "Inlah sulit," katanya. "Meskipun
aku pengemis, tidak biasa aku menerima budi orang sedikit juga."
"Apakah artinya seekor ayam?" berkata Kwee Ceng tertawa. "Laginya, ayam ini pun
kami dapatkan dengan jalan tangan panjang, tanpa perkenan dari pemiliknya...."
Pengemis itu tertawa terbahak-bahak. "Ah, anak muda, tabiatmu sama dengan
tabiatku!" katanya. "Mari, mari bilangi aku, kau ada niat apa, kau kasih aku
dengar!" Belum lagi si pemuda menyahuti, Oey Yong sudah dului padanya. "Aku masih punya
beberapa macam sayuran untuk kau cobai, lojinkee!" katanya manis. "Maukah kau
turut kami pergi ke pasar di sana?"
Pengemis itu nampaknya sangat girang. "Bagus, bagus!" ia menyahuti.
"Lojinkee she apa?" Kwee Ceng menanya.
"Aku she Ang, anak yang ketujuh," menjawab pengemis itu. "Maka kamu berdua,
anak-anak, kau panggil saja aku Ang Cit Kong."
"Ha, benar saja dia!" kata Oey Yong di dalam hatinya. "Tapi dia masih begini
muda, cara bagaimana dia sama kesohornya dengan Coan Cin Cit Cu"...."
Walaupun ia memikir demikian, Oey Yong tidak bilang suatu apa. Bertiga mereka
sudah lantas berjalan menuju ke Selatan, di mana ada sebuha dusun namanya Kiang-
bio-tin. Lantas saja mereka mencari pondokan.
"Kamu berdua menanti sebentar, aku hendak membeli bumbu," kata Oey Yong, yang
terus pergi meninggalkan mereka.
Ang Cit Kong mengawasi belakang si nona, lalu ia tertawa. Ia kata kepada Kwee
Ceng, "Adakah dia itu istrimu?"
Merah mukanya Kwee Ceng, sulit untuk ia mengiakan atau menyangkal. Ang Cit Kong
tidak menanya pula, dia tertawa, lalu ia duduk nyender di kursinya, matanya
meram melek. Tidak lama Oey Yong kembali dengan sayuran dan bumbunya, ia pergi ke dapur untuk
matangi itu. Kwee Ceng hendak membantui, sembari tertawa, pemuda ini ditolaknya.
Selang setengah jam, Ang Cit Kong menguap. Segera ia mengendus-endus. "Ah, harum
sekali!" katanya. "Masakan apakah itu, ah"!" Ia melongok ke arah dapur, lehernya
diulur panjang-panjang. Melihat tingkah lauk orang, Kwee Ceng tertawa di dalam hati.
Bau wanginya barang hidangan mendesak, tetapi Oey Yong belum juga muncul. Si
pengemis jadi serba salah, ia bangun, ia duduk, bangun pula, duduk kembali.
"Kau tahu tabiatku?" katanya pada Kwee Ceng, yang ia awasi. "Mulutku aneh, asal
aku merasai makanan lezat, lantas aku lupa segala apa!" Kali ini ia tidak likat-
likat lagi. Ia perlihatkan tangan kanannya, ia menambahkan: "Orang dahulu
membilang, jari telunjuk dapat bergerak, inilah benar. Aku, asal aku melihat
orang dahar makanan lezat jeriji telunjukku ini lantas bergerak-gerak tak
hentinya, maka satu kali, sangking sengit, aku bacok kutung padanya...."
"Oh....!" Kwee Ceng berseru.
Tapi si pengemis tertawa. Katanya pula; "Meski jari tanganku lenyap, tabiatku
tetap ada tak berubah...!"
Baru itu waktu Oey Yong muncul bersama sebuah penampan, di atas itu ada dua
mangkok nasi, berasnya putih, secawan arak serta dua mangkok sayuran. Dua magkok
sayuran itu lantas dipindahlan ke meja.
Kwee Ceng merasakan bau harum, tanda lezatnya masakan itu. Masih ada semangkok
masakan daging yang menyiarkan bau terliebih harum lagi. Semangkok yang lainnya
pula masakan rebung campur-campu, kuahnya hijau.
Oey Yong mengisikan cawan, ia letaki itu di depan si pengemis.
"Cit Kong, mari cobai masakanku!" katanya sembari tertawa.
Tanpa ditawarkan sampai dua kali, Cit Kong sudah lantas menenggak araknya, lalu
ia menyumpit dua potong bakso di masuki ke dalam mulutnya, terus ia menggayem,
dengan asyik sekali, tandanya bakso itu sangat lezat.
"Ah, aku tahu!" katanya kemudian. "Bakso ini adalah campuran daging kambing,
daging babi, daging kerbau, dan daging.....daging...." Dan ia tidak dapat
menyebutkan itu. "Kalau kau bisa membade, betul kau lihay, Cit Kong!" Oey Yong tertawa. Tapi
belum ia berhenti tertawa, si pengemis itu sudha berseru: "Itulah daging mencak
dicampur daging kelinci!"
Si nona bertepuk tangan. "Bagus! Bagus!" pujinya. "Kau sungguh lihay!"
Kwee Ceng sebaliknya mendoleng. "Hebat Yong-jie!" pikirnya. "Bagaimana dapat ia
memasak semua ini?" Ang Cit Kong girang bukan main, ia menjepit pula dua buah engtoh yang dimasak
bersama sayur kuwah hijau itu. "Aku tahu, inilah sup daun teratai campur rebung
campur engtoh!" katanya. Ia masuki engtoh itu ke dalam mulutnya dan mengunyah.
Mendadak ia mengasih dengar suara "Ah!" berulang-ulang.
Kwee Ceng heran. Ia menduga, engtoh itu tentu lezat sekali.
"Ah, nona kecil, aku takluk padamu!" kata Ang Cit Kong kemudian, sesudah
menguyah. "Pada sepuluh tahun yang lampau, pernah aku makan makanan ini di
dapurnya kaisar akan tetapi rasanya tidak selezat ini!"
Oey Yong tertawa. "Cit Kong," katanya, "Coba bilangi, di dapur kaisar ada
makanan apa lainnya yang lezat, ingin aku mempelajarinya, supaya aku bisa
memasaki untukmu..."
Tapi tak sempat si pengemis berbicara, ia repot dengan baksonya, dengan
sayurnya, maka dilain saat, maka semua makanan itu tinggal dua persepuluh
bagian. Baru kemudian ia berkata; "Di dapur kaisar tidak ada barang makanan yang
dapat melebihkan masakanmu ini!"
Kwee Ceng heran, "Eh, Cit Kong, apakah kaisar telah mengundang kau berjamu?"
tanya ia. Cit Kong tertawa tergelak-gelak. "Betul, kaisar telah mengundang aku!" jawabnya.
Cuma kaisar sendiri tidak dapat mengetahuinya! Selama tiga bulan aku sembunyi di
atas penglari dapur kaisar, semua barang hidangannya kaisar telah aku cobai satu
demi satu, mana yang lezat, aku hajar habis, mana yang tidak lezat, aku biarkan
si kaisar yang gegaras! Koki dan lainnya semua heran, mereka sampai mengatakan
di dapurnya itu muncul dewa si rase besar!"
Dua-duanya Kwee Ceng dan Oey Yong bersenyum, di dalam hati mereka berkata: "Ini
orang sangat doyan makan, mulutnya besar, tapi nyalinya pun gede...!"
"Eh, bocah!" tertawa pula si pengemis. "Kepandaian masak istrimu ini inilah
nomor satu di kolong langit ini! Seumurmu, kau sangat berbahagia! Sungguh heran,
kenapa semasa aku muda, aku tidak pernah bertemu nona semacam dia....?"
Kwee Ceng tertawa, begitu pun Oey Yong. keduanya lantas berdahar, Si nona
perutnya kecil, sudah cukup ia makan satu mangkok. Kwee Ceng sebaliknya
menghabisi sampai empat mangkok, sayurannya ia tidak perhatikan. Sayurannya
telah dikonpa si pengemis!
Habis meludaskan semangkok sayur, Ang Cit Kong mengusap-usap perutnya. "Eh,
anak-anak, aku tahu kau mengerti ilmu silat," katanya tiba-tiba. "Dan kau bocah
perempuan, kau masaki aku barang hidangan lezat, aku taju, kau tidak mengandung
maksud baik! Kau tentunya menghendaki aku mengajarkan kau beberapa jurus!
Baiklah, tidak apa! Aku telah merasai hidangan lezat, tidak enak jikalau aku
tidak mengajari kau! Mari, ikut aku!"
Ia berbangkit, ia gendol cupu-cupunya, ia cekal tongkatnya, lantas ia berjalan
keluar. Tanpa membilang apa-apa, sepasang muda-mudi itu mengikuti, sampai di sebuah
rimba. "Kau ingin mempelajari apa?" Cit Kong tanya Kwee Ceng.
Pemuda itu berpikir; "Banyak sekali macamnya ilmu silat di kolong langit ini.
Kalau aku menginginkan sesuatu, benarkah kau sanggup mengajarinya?" selagi si
pemuda berpikir, Oey Yong mendahului.
"Cit Kong, kepandaian dia ini tidak melebihkan aku," katanya. "Dia sering marah-
marah, ingin sekali dia menandingi aku!"
"Eh, kapan aku pernah marah terhadapmu...?" tanya Kwee Ceng.
Oey Yong mengedipi mata pada pemudanya itu. Kwee Ceng lantas menutup mulutnya.
Cit Kong tertawa, ia berkata: "Aku lihat gerak kaki tanganmu, kau mesti
mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, maka kenapa kau tidak sanggup
melawan dia" Sekarang hayo kamu berdua bertempur, aku mau lihat!"
Oey Yong jalan beberapa tindak. "Engko Ceng, mari!" ia memanggil.
Pemuda itu bersangsi. "Jikalau kau tidak pertontonkan kepandaianmu, mana bisa lojinkee mengajarimu?"
si nona berkata. "Marilah!"
Kwee Ceng pikir si nona itu benar juga, maka lantas ia kata pada si pengemis:
"Apa yang pernah aku pelajarkan tidak sempurna, aku minta sukalah lojinkee
memberi petunjuk." Cit Kong tersenyum. "Mengajari sedikit tidak apa, mengajar banyak, itulah lain!"
katanya. Mendengar itu, Kwee Ceng melengak. Ia heran. Justru itu Oey Yong berteriak.
"Awas!" seraya tangannya menyambar! Ia terkejut, lekas-lekas ia menangkis.
Tetapi si nona lihay sekali, ia menarik tangannya, kakinya menggantikan merabuh
ke bawah. "Bagus nona cilik!" berseru Ang Cit Kong. "Kau lihay!"
Si nona tidak melayani pujian itu, hanya seperti berbisik ia kata kepada Kwee
Ceng: "Mari bertempur sungguh-sungguh...."
Kwee Ceng menurut, ia berkelahi dengan bersemangat. Ia keluarkan ilmu silat
ajarannya Lam Hie Jin, yaitu Lam San Ciang-hiat.Hebat permainannya ini
disebabkan, sesudah meminum darah ular, tenaganya bertambah berapa lipat.
Oey Yong melayani pelbagai serangan, setelah itu, ia keluarkan kepandaian
ciptaan Oey Yok Su, ayahnya, yaitu "Lok Eng Ciang". Dengan begitu tenaganya
lantas memain di delapan penjuru, bagaikan badai mengamuk rimba pohon tho. Kwee
Ceng kontan menjadi repot, selagi ia kelabakan, empat kali ia terhajar
punggungnya. Habis itu si nona berlompat keluar dari gelanggang, dia tertawa.
"Yong-jie, kau lihay!" Kwee Ceng memuji. Ia tidak gusar atau malu, sebaliknya ia
girang sekali. Ia tidak dihajar keras oleh si nona.
Bab 25. Tipusilat "Naga Menyesal"
Ketika itu Ang Cit Kong berkata dengan dingin kepada si nona, "Ayahmu ada
mempunyai kepandaian tinggi sekali, kenapa kau masih menghendaki aku mengajari
dia?" Oey Yong terkejut, "Eh, kenapa dia mengenali ilmu silat ayahku ini, yang ayah
ciptakan sendiri?" pikirnya. Lantas ia menanya: "Cit Kong, kenalkah kau ayahku?"
"Tentu saja!" sahut si pengemis, temberang. "Dia Tong Shia dan aku Pak Kay!
Selama beberapa tahun, entah kita sudah bertempur beberapa puluh kali!"
Oey Yong heran. Ia berpikir pula : "Dia pernah berkelahi sama ayhku dan dia
masih belum mati, sungguh dia berkepandaian tinggi." Lalu ia menanya pula:
"Lojinkee, bagaimana kau mengenali aku?"
"Pergilah kau kacakan dirimu!" sahut pengemis itu. "Kau lihat alismu, matamu,
tidakkah itu mirip dengan alis dan mata ayahmu" Mulanya aku tidak mengenali kau,
aku cuma merasa seperti mengenal, setelah melihat ilmu silatmu barusan - hm!
Walaupun aku belum pernah melihatnya, tetapi aku tahu betul, ilmu itu cuma dapat
dibetelori oleh ayahmu itu yang licin bagai iblis itu!"
Oey Yong tidak gusar ayahnya dikatakan sebagai iblis, sebaliknya ia tertawa.
"Bukankha lojinkee hendak membilang ayahku sangat lihay?" ia menanya.
"Memang ia lihay," sahut Ang Cit Kong dingin. "Tetapi dia bukanlah yang nomor
satu di kolong langit ini!"
Oey Yong bertepuk tangan, gembira sekali dia. "Kalau begitu adalah lojinkee yang
nomor satu!" serunya.
"Itulah bukan," berkata si pengemis, mengaku. "Pada lebih daripada duapuluh
tahun yang lampau, kita, ialah Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong
Sin Thong berlima berkumpul di atas puncak gunung Hoa San, kita membicarakan
tentang ilmu silat bertangan kosong dan menggunai pedang, kita telah bertanding
selama tujuh hari tujuh malam, kesudahannya ternyata Tiong Sin Thong yang paling
lihay, kita berempat mengakui dia adalah yang nomor satu di kolong langit ini."
"Siapa itu Tong Sin Thong?" Oey Yong menanya.
"Apakah ayahmu tidak pernah omong tentang dia?" tanya si pengemis.
"Tidak. Bahkan ayah mendamprat aku, dia tidak menyukai aku, dari itu aku
minggat. Untuk selanjutnya ayah tidak menghendaki aku lagi..." kata si gadis
dengan sedih. "Ha, siluman tua itu!" Ang Cit Kong memaki. "Benar-benar dia sesat!"
Oey Yong memperlihatkan roman tidak senang. "Aku melarang kau memaki ayahku!" ia
berkata. Ang Cit Kong tertawa terkakak. "Sayang sekali orang mencela aku si pengemis
melarat, tidak ada wanita yang sudi menikah denganku," katanya, "Kalau tidak,
dengan adanya kau yang begini manis, pastilah tidak rela aku mengusir kau
buron..." Oey Yong pung tertawa. "Itulah pasti, lojinkee! Dengan kau mengusir aku, siapa
nanti yang masaki kau sayur?"
Pengemis itu menghela napas. "Kau benar, kau benar," ujarnya. Ia berhenti
sejenak, lalu ia meneruskan; "Tiong Sin Thong itu ada kauwcu, ialah kepala dari
Coan Cin Kauw, namanya Ong Tiong Yang. Setelah ia menutup mata, sekarang sukar
dibilang, siapakah dikolong langit ini menggantikan dia sebagai yang nomor
satu..." "Coan Cin Kauw, lojinkee bilang" Ah, bukankah disana masih ada si imam she Khu
dan she Ong" Bukankah mereka itu lihay ilmu silatnya?" tanya Oey Yong lagi.
"Mereka itu ialah murid-muridnya Ong Tiong Yang. Aku dengar dari tujuh muridnya,
Khu Cie Kee adalah yang paling lihay, tetapi walaupun demikian dia tidak dapat
menandingi paman gurunya, Ciu Pek Thong." jawab Cit Kong.
Mendengar disebutkannya nama Ciu Pek Thong itu, Oey Yong terperanjat, hendak ia
bicara tapi mendadak ia mengurungkannya.
Sejak tadi Kwee Ceng hanya memasang kuping saja, sekarang ia menyelak. "Oh,
kiranya Ma Totiang masih mempunyai paman guru..." katanya.
"Ciu Pek Thong itu bukannya imam dari Coan Cin Kauw," Cit Kong memberi
keterangan. "Dialah seorang biasa, yang tidak memegang agama. Ilmu silatnya itu
diajarkan sendiri oleh Ong Tiong Yang. Ah, bukankah ayahmu tidak menyukai ini
bocah tolol yang menjadi kawanmu?"
Pengemis ini mengatakan Kwee Ceng, inilah yang tidak disangka-sangka si anak
muda. Ia menjadi bungkam.
Oey Yong tidak menjadi gusar, ia malah tertawa. "Ayahku belum pernah melihat
dia," ia menyahuti. "Jikalau lojinkee sudi memberi pelajaran padanya, dengan
memandang kau, pastilah ayahku nanti menyukai dia."
"Hai, iblis cilik!" seru si pengemis. "Kepandaian ayahmu belum kau dapatkan satu
bagian saja, tetapi mata iblisnya kau telah wariskan semuanya! Aku tidak senang
diumpak-umpak orang dipakaikan kopiah tinggi, aku si pengemis tua juga tidak
pernah menerima murid, maka siapakah kesudian bocah tolol ini sebagai murid"
Hanyalah kau sendiri yang memandangnya dia sebagai mustika!"
Sehabis berkata begitu, Ang Cit Kong berbangkit, dengan membawa tongkatnya, dia
ngeloyor pergi. Kwee Ceng heran, dia berdiri menjublak mengawasi kepergian orang tua itu. "Yong-
jie," katanya selang sesaat, "Tabiatnya locianpwee ini sungguh luar biasa."
"Sebenarnya ialah seorang yang baik hatinya!" menyahuti Oey Yong, yang kupingnya
sangat terang, hingga ia dapat mendengar satu suara sangat perlahan di atas
pohon di samping mereka, hingga ia menduga kepada si pengemis aneh itu. "Dia
juga terlebih lihay daripada ayahku..."
Kwee Ceng memperlihatkan roman aneh. "Kau belum pernah menyaksikan
kepandaiannya, mengapa kau bisa bilang begitu?"
"Aku dengar itu dari ayahku," jawab Oey Yong.
"Apakah kata ayahmu?" tanya si pemuda lebih lanjut.
"Ayahku bilang, sekarang ini, orang yang kepandaiannya lihay yang dapat
memenangkan ayah cuma tinggal Ang Cit Kong seorang. Sayang orang tua itu tidak
ketentuan tempat kediamannya, tidak dapat kita sering berkumpul dengannya untuk
menyakinkan ilmu." sahut si nona.
Dugaan si nona tepat, Ang Cit Kong tidak berlalu terus. Stelah tak nampak oleh
Kwee Ceng dan si nona, lekas-lekas ia kembali. Ia jalan mutar, terus ia lompat
naik ke atas pohon, dari itu ia bisa mendengar pembicaraannya muda-mudi itu. Ia
pun puas mendengar suaranya Oey Yok Su seperti dikatakan si nona.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pada wajahnya Oey Yok Su tidak pernah mengagumi aku, siapa tahu di dalam
hatinya dia memandang hormat," pikirnya. Dan ia puas sekali. Ia tidak tahu Oey
Yong melainkan mengarang cerita.
"Sayang belum berarti aku menuntut pelajaran dari ayahku," Oey Yong berkata
pula, ia bersandiwara terus. "Mengenai itu aku harus menyesalkan diri sendiri.
Kenapa dulu aku gemar main-main saja, tidak mau aku belajar dengan rajin.
Sekarang kebetulan sekali kita bertemu dengan Ang Cit Kong, asal dia suka
memberikan satu-dua pelajaran, bukankah itu terlebih baik daripada pengajaran
ayahku sendiri" Menyesal aku telah keterlepasan omong, aku menyebabkan
locianpwee itu tidak senang hati...." Habis berkata begitu, ia lantas menangis.
Kwee Ceng menghiburi kekasihnya itu, tetapi justru itu, dari berpura-pura, Oey
Yong menjadi menangis sungguhan.
Ang Cit Kong di atas pohon melihat dan mendengar semua itu, hatinya tertaeik.
Oey Yong menangis tersedu-sedu.
"Pernah aku dengar ayah bilang," katanya kemudian, "Kiu Cie Sin Kay ada
mempunyai semacam ilmu silat yang di kolong langit ini tidak ada saingannya,
yang sejak jaman dahulu senantiasa menjagoi sendiri, sampaipun Ong Tiong Yang
jeri juga terhadapnya. Ilmu silat itu dinamakan......dinamakan.....Ah, aku lupa,
sedang barusan aku ingat..... Sebenarnya, ingin aku minta diajari ilmu silat itu,
namanya....namanya....Ah, aku lupa lagi!"
Ang Cit Kong masih tidak sadar bahwa orang tengah mengepul terus, ia tidak dapat
mengendalikan diri dari ataas pohon, hingga ia langsung berseru: "Itulah Hang
Liong Sip-pat Ciang!" Dan ia pun lompat turun dari pohon tempat bersembunyinya
itu. Oey Yong berpura-pura terkejut, tapi habisnya ia girang bukan kepalang. "Benar,
benar, ah , kenapa aku tidak ingat itu?" dia berseru. "Ayah sering sekali
menyebut ilmu silat itu, dia kata itulah ilmu yang ia paling malui...."
"Kiranya ayahmu itu masih suka omong terus-terang!" Ang Cit Kong berkata. "Aku
tadinya menyangka, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang, dia menganggap dirinya
sebagai si orang kosen nomor satu di dalam dunia ini...!" Dia memandang Kwee Ceng,
terus ia berkata, "Eh, bocah, bakatmu kalah dengan bocah perempuan ini, itulah
sebabnya kenapa kau tidak dapat menandingi padanya. Eh, nona cilik, pergilah kau
pulang ke pondokmu!"
Oey Yong tahu si pengemis hendak memberi pelajaran pada Kwee Ceng, ia girang
bukan main, dengan lantas ia lari pulang.
Lantas Ang Cit Kong memandang tajam pada si anak muda. "Lekas kau berlutut dan
mengangkat sumpah!" Katanya, bengis. "Tanpa perkenan dari aku, aku larang kau
mewariskan kepandaian yang aku ajarkan ini kepada lain orang, termasuk juga itu
istrimu yang licin bagai iblis cilik!"
Kwee Ceng menjadi bingung. "Kalau Yong-jie memintanya, mana dapat aku menolak?"
ia berpikir. Karena ini, ia berkata: "Cit Kong, aku tak ingin belajar! Biarlah
dia tetap jauh terlebih gagah daripada aku..."
Cit Kong heran. "Eh, kenapa begitu?" dia menegaskan.
"Sebab kalau dia minta aku mengajarinya," sahut Kwee Ceng, "Apabila aku tidak
suka mengajarinya, aku jadi berlaku tidak pantas terhadapnya. Sebaliknya jikalau
aku meluluskan permintaannya dan mengajarinya, aku malu terhadap kau, aku jadi
melanggar sumpahku."
Mendengar keterangan ini, Ang Cit Kong tertawa lebar. "Anak tolol, matamu tajam,
hatimu baik!" katanya. "Kau jujur sekali! Sekarang begini saja, aku ajarkan kau
jurus Kang Liong Yoe Hoei. Aku tahu Oey Yok Su itu sangat angkuh, seumpama kata
ia sangat mengagumi pengajarkan ini, tidak nanti dia menjadi tidak tahu malu
dengan mencuri mempelajari kepandaianku yang istimewa ini..."
Setelah mengatakan begitu, Ang Cit Kong lantas menekuk kakinya yang kiri, tangan
kanannya ditarik mutar sebagai lingkaran, lalu mendadak ia majukan itu ke depan.
Kesudahannya sebuah pohon di depannya itu patah batangnya, roboh dengan berisik
sekali. Kwee Ceng terperanjat kagum. Ia tidak sangka tolakan tangan demikian perlahan
akibatnya sehebat itu. Itulah emposan tenaga dalam yang sangat besar.
"Pohon ini adalah benda yang tidak bergerak-gerak!" Cit Kong menerangkan, "Kalau
manusia, dia pasti dapat mundur berkelit. Mempelajari ilmu pukulanini, sukarnya
ialah mencegah agar lawan tidak dapat mundur, supaya dia itu tidak bisa
berkelit, kalau cegahan itu dapat dilakukan, dia pasti bakal roboh seperti pohon
ini." Lagi sekali si pengemis menjalankan pukulannya itu, sampai dua kali, ia sekalian
mengajarkan emposan pernapasannya. Untuk ini ia mesti menggunai tempo cukup
lama. Sebabnya ialah bakat yang kurang dari Kwee Ceng, yang otaknya bebal,
hingga ia selamanya mesti belajar lama barulah ingat dan hapal. begitulah,
selang dua jam barulah ia mengerti betul.
Cit Kong berkata: "Perempuan cilik itu, permainan silatnya lebih banyak
gertakannya daripada pukulan yang sebenar-benarnya, kalau kau bertanding
dengannya dan repot membela diri, pasti sekali kau dipermainkan dia. Kau boleh
gesit dan lincah, kau tetap tidak nanti dapat menangi dia. Kau boleh menduga
pukulannya yang benar-benar, kenyataannya ialah gertakan belaka. Saban-saban dia
bisa membikin kau tidak dapat menerka."
Kwee Ceng mengangguk-angguk.
"Karenanya jikalau kau ingin memecahkan ilmu silatnya itu," Cit Kong membeber
rahasia terlebih jauh, "Jangan kau usil pukulannya itu gertakan atau benar-
benar, kau tunggu pukulannya tiba, palsu atau benar, kau sambut dengan Kang
Liong Yoe Hoei. Apabila dia melihat seranganmu itu, mesti ia menangkis, asal dia
menangkis, kalahlah dia!"
"Kemudian bagaimana!" Kwee Ceng tanya.
"Kemudian bagaimana"!" si pengemis mengulangi. "Ha, anak tolol! Dia ada punya
berapa banyak kepandaian hingga ia sanggup melawan ini pukulan yang aku ajarkan
kau?" Si pemuda tak berani mananya lagi, ia terus berlatih. Ia pilih sebuah pohon yang
kecil, ia hajar itu. Ia kena menghajar dengan tepat, tetapi pohon itu tidak
roboh, melainkan bergoyang-goyang.
"Anak tolol!" mendamprat si pengemis. "Mau apa kau menggoyang-goyang pohon itu"!
Kau hendak menangkap bajing atau mau memetik buah cemara"!"
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, ia tertawa menyeringai.
"Sudah aku bilang, kau mesti bikin lawan tidak dapat mundur, tidak bisa
berkelit!" Ang Cit Kong berkata pula. "Pukulan barusan tepat tetapi kurang
bertenaga, dengan pohon bergoyang, tenagamu menjadi buyar. Mestinya pohon
dihajar tanpa ia bergoyang, baru ia dapat dibikin patah."
Kali ini Kwee Ceng sadar. "Jadinya aku mesti sebat sekali supaya lawan tak
keburu bersiaga," katanya.
"Memang! Apa mesti disebutkan pula"!" sembrot si pengemis.
Anak muda ini berdiam, ia berlatih pula. Untuk beberapa puluh kali ia memukul,
pohon masih bergoyang-goyang. Ia tidak menjadi bosan, ia tidak berputus asa,
terus ia mencoba. barulah hatinya menjadi terbuka ketika kemudian bergoyangnya
pohon perlahan sekali. Itu tandanya ia peroleh kemajuan. Sementara itu tangannya
telah jadi bengkak dan merah, tetapi ia tidak pedulikan, masih ia berlatih
terus. Ang Cit Kong tidak sabaran, ia duduk menyender, lalu pulas, menggeros keras.
Ulet si anak muda, segera juga ia bisa bikin pohon tidak bergoyang. Ia jadi
semakin bersemangat. Kembali ia memukul. Diakhirnya, robohlah pohon itu,
terpatah dua! Hampir ia bersorak.
"Bagus!" begitu terdengar suaranya Oey Yong, yang terlihat mendatangi dengan
perlahan-lahan, tangannya membawa kotak makanan. Cit Kong belum membuka matanya,
hidungnya sudah mencium bau wangi makanan.
"Harum! Harum!" katanya seraya ia berlompat bangun, segera ia membuka tutup
kotak hingga ia lihat ayam panggang dan bebek serta setumpuk lumpia. tanpa
diundang lagi, ia menyambar dengan tangan kiri dan kanan, memasuki ayam dan
bebek itu bergantian ke mulutnya untuk digeragoti. "Lezat! Lezat!" ia memuji,
tapi karena mulutnya penuh, tak nyata pujiannya itu.
Ketika sebentar kemudian ayam dan bebek itu habis, tinggal tulang-tulangnya
saja, baru ia ingat Kwee Ceng belum dahar. Agaknya ia jengah snedirinya. Tapi
lekas ia berkata: "Mari, mari! Lumpia ini pun lezat....! Lebih lezat dari bebek...!"
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong tidak menjadi tidak senang, malah si nona
tertawa. "Cit Kong, kau belum dahar masakanku yang paling jempol!" katanya si nona.
Si pengemis menjadi mengilar. "Msakan apa itu" Masakan apa itu?" ia menanya,
mendesak. "Tidak dapat aku sebutkan semua itu sekarang," menjawab si nona. "Ada peecay
goreng, ada tauwhu tim, ada juga sup daging!"
Cit Kong menjadi semakin ngilar. "Bagus, bagus!" katanya. "Sudah aku bilang, kau
memang anak manis! Apa boleh aku pergi membelikan peecay dan tauwhu sekarang?"
"Tak usah, Cit Kong. Kau yang beli pun tidak cocok sama pilihanku!"
"Ya, benar-benar, mana orang lain dapat memilih seperti kau sendiri!"
Nona Oey itu lantas memutar haluan. "Barusan aku lihat dia menghajar pohon patah
dan roboh, sekarang ia lebih lihay daripadaku!" katanya mengenai Kwee Ceng.
Si pengemis itu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak, tidak!" katanya cepat.
"Pukulan apa itu, pohon bergoyang-goyang dan melengkung" Mestinya sekali pukul
pohon patah dan runtuh!"
"Toh pukulannya barusan sudah hebat, aku tentu tidak sanggup menahannya," kata
pula si nona. "Dasar kau yang berat sebelah! Kalau nanti ia menghina aku,
bagaimana?" Cit Kong hendak mengambil hati orang yang pandai masak itu, ia tidak menjadi
kurang senang yang ia disesalkan. "Habis kau mau apa?" tanya.
"Kau mesti ajarkan aku ilmu, yang dapat menangi dia," kata si nona. "Sesudah aku
paham, aku nanti masaki kau barang hidangan."
"Baiklah! Dia baru belajar serupa ilmu, tidak sukar untuk menangi dia. Nanti aku
ajari kau Yang Siang Hoei." Baru ia tutup mulutnya, sudah ia berlompat, untuk
terus bersilat. Kedua tangan bajunya yang lebar berkibar-kibar, tubuhnya
berlompatan ke Timur dan Barat, pesat gerakannya.
Diam-diam Oey Yong perhatikan sesuatu gerakan orang, maka tempo Cit Kong
berhenti bersilat, ia sudah ingat separuhnya, selebihnya ia minta penjelasannya.
Dasar ia berotak terang, belum dua jam, ia sudah mengerti seanteronya, dapat ia
jalankan ilmu silatnya itu, tinggal memahirkan latihannya saja.
Yang Siang Hoei atau Burung Walet Terbang Berpasangan, terdiri dari tigapuluh
enam jurus, gerakannya mirip dengan burung walet terbang menari-nari. Beda
adalah Kang Liong Yoe Hoei, atau Naga Menyesal, yang singkat saja, tetapi untuk
Kwee Ceng merupakan pelajaran yang sulit.
Habis berlatih, Oey Yong tertawa. "Engko Ceng, sekarang aku lebih menang pula
daripada kau!" katanya gembira. "Sekarang aku mau pergi beli sayur!" Dan lantas
dia lari pergi. "Bocah itu cerdik melebihkan kau seratus lipat!" kata Cit Kong pada si anak muda
seberlalunya si nona jenaka itu.
"Memang. Barusan aku melihat lojinkee bersilat, mataku kabur, aku cuma ingat
tiga empat jurus." Cit Kong tertawa, tanpa membilang apa-apa, dia pulang ke pondokan. Kwee Ceng
berdiam, ia mengikuti pulang.
Malam itu Oey Yong benar memasakkan peecay goreng dan tim tauwhu, peecaynya
dimasak dengan minyak ayam dicampur ceker bebek, sedang tauwhunya dicampuri ham.
Maka puaslah Cit Kong menangsel perutnya. Habis bersantap, ia heran melihat
muda-mudi itu tidur terpiash kamar.
"Apa" Apakah kamu belum menikah?" dia menegaskan.
Oey Yong tukang bergurau, tetapi ditanya begitu, merah mukanya, hingga di antara
cahaya api, dia tampak makin cantik.
"Awas Cit Kong!" dia mengancam, "Kalau kau ngaco lagi, besok aku tidak akan
masaki kau makanan yang lezat!"
"Apa, eh" Apakah aku ngomong salah?" tanya si pengemis, kaget. Tapi segera ia
mendusin, "Ah, aku tolol betul! Bukankah kamu baru mengikat janji sendiri, belum
lagi mendapat perkenan orang tua kamu, belum ada rekokan comblang" Jangan takut,
aku si pengemis yang nanti jadi comblangnya! Jikalau ayahmu tidak mau menerima,
nona, nanti aku tempur dia! Biar kita bertempur lagi tujuh hari tujuh malam,
biar sampai ada yang mampus dan hidup!"
Senang hatinya Oey Yong, sembari bersenyum ia memasuki kamarnya.
Besoknya pagi-pagi Kwee Ceng sudah pergi ke rimba untuk menyakinkan pula pukulan
Kang Liong Yoe Hoei, yang sebenarnya adalah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat
Ciang, ilmu silat Menakluki Naga. Hanya kali ini ia berlatih kosong, tidak lagi
ia menghajar pohon, sebab ia khawatir merusak pohon kayu penduduk situ. Baru
menghajar duapuluh lebih kali, ia sudah mandi keringat. Tetapi ia girang sekali,
sebab ia telah memperoleh kemajuan. Selagi ia beristirahat, tiba-tiba ia dengar
suara orang di luar rimba.
"Suhu, kali ini mungkin kita telah melalui tigapuluh lie lebih!" demikian
pendengarannya. Terang orang itu adalah murid berbicara sama gurunya. "Nyatanya
ilmu lari kamu telah ada kemajuannya," menjawab seorang yang lain.
Kwee Ceng lantas saja kaget. Ia kenali suara orang yang belakangan ini. Ia pun
lantas melihat orangnya - berempat - ialah Kaoy Nio Cu Ong, si tua tetapi
romannya tetap muda. Ia mengeluh, lantas saja ia kabur mengambil arah ke
penginapan. Juga Nio Cu Ong sudah lantas melihat dan mengenali pemuda itu. "Kau hendak
kemana"!" dia membentak seraya terus mengejar.
Tiga yang lain benar adalah murid-muridnya Soam Sian Loa Kaoy, mereka lantas
turut memburu, malah dengan berpencaran, untuk memegat dan mengurung.
Kwee Ceng lari terus. Ia mengerti, asal ia dapat keluar dari rimba, dekat sudah
ia dengan pondokannya. Tapi ia dapat dipegat murid kepala musuhnya itu.
"Bangsat cilik, tekuk lututmu!" membentak pemegat itu, yang terus menyerang.
Kwee Ceng menekuk kaki kirinya, tangan kanannya diputar, lalu ia menolak. Itulah
jurus Kang Liong Yoe Hoei yang baru saja ia pelajari.
Murid Nio Cu Ong itu hendak menjambak, karena ditolak, hendak ia menangkis.
Inilah hebat untuknya. Segera ia terserang hingga lengannya itu patah dan
tubuhnya terpental enam tujuh kaki, roboh tak sadarkan diri. Sekalipun ia
berkelit, belum tentu ia bebas.
Kwee Ceng sendiri heran. Sebenarnya ia memakai tenaganya cuma lima bagian, tapi
akibatnya dahsyat sekali. Untuk sejenak ia tercengang, ketika ia mendusin, lekas
ia lari pula. Nio Cu Ong melihat muridnya dirobohkan, ia kaget berbareng gusar, dia mengejar
terus. Tepat dimuka rimba, ia dapat memegat.
Kwee Ceng kaget dan khawatir, sebab si musuh tangguh menghalangi di tengah
jalan. Hampir tanpa berpikir, ia tekuk lagi kaki kirinya, tangannya
dilingkarkan, lalu ia menolak dengan keras. Kembali ia menggunai jurus Naga
Menyesal itu. Soam Sian Loa Koay terperanjat. Ia tidak kenal pukulan itu, yang nampaknya
hebat, terpaksa ia berkelit dengan menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan.
Dengan begitu ia bebas, tapi justru itu, Kwee Ceng dapat menerobos untuk lari
terus. Ketika ia berlompat bangun, dengan niat mengejar terus, ia dapatkan bocah
itu sudah tiba di muka pondokannya.
"Yong-jie! Yong-jie!" Kwee Ceng berteriak. "Lekas minta Cit Kong tolongi aku!"
Oey Yong dapat mendengar teriakan itu, ia muncul dengan lantas. Segera ia
melihat Nio Cu Ong. "Eh, kenapa siluman bangkotan ini berada di sini?" pikirnya. "Bagus ia datang,
hendak aku menguji Yan Siang Hoei!" Terus ia berteriak; "Engko Ceng, jangan
takut! Lawan dulu padanya, nanti aku bantui kau!"
Kwee Cneg cemas hatinya, karena ia tahu Nio Cu Ong lihay dan Oey Yong belum tahu
apa-apa. Tapi tidak sempat ia berpikir lama, musuhnya sudah menyandak. Ia
memutar tubuhnya, kembali ia menyerang dengan pukulan Kang Liong Yoe Hoei.
Nio Cu Ong berlompat ke samping, kali ini ia kurang sebat, meski ia bebas,
tangan kanannya terserembet juga, hingga ia merasakan sakit dan panas. Tentu
sekali ia menjadi heran luar biasa. Baru beberapa bulan mereka berpisah, bocah
ini telah menjadi demikian lihay. Ia menduga itulah disebabkan Kwee Ceng
menminum darah ular. Ingat ini, ia menjadi tambah mendongkol.
Kwee Ceng lihat orang berkelit, ia menyusuli serangannya, dengan pukulan yang
serupa. Nio Cu Ong cerdas dan lihay, segera ia mendapat kenyataan, pukulan orang hanya
serupa, maka setelah berkelit pula, dia tertawa dan berkata; "Ha, bocah, kau
mempunyai cuma satu jurus ini?"
Kwee Ceng polos, ia tidak tahu orang memancing dia. "Ya," jawabnya. "Toh kau
tidak mampu menangkis!" Ia lantas menyerang pula.
Nio Cu Ong berlompat. Sekarang tahu ia bagaimana harus mengelakkan diri. Tiga
kali lagi ia diserang, tiga kali ia berkelit, di samping itu, ia membalas
menyerang. Kwee Ceng gagal berulang-ulang, ia lantas menjadi repot.
Oey Yong menonton pertempuran itu, ia melihat kawannya terdesak. "Engko Ceng,
nanti aku lawan dia!" ia berseru. Ia berlompat ke arah dua orang itu, tubuhnya
melayang bagaikan seekor burung walet. Begitu tiba, kepalan kiri dan kaki
kanannya segera dikasih bekerja dengan berbareng.
Nio Cu Ong berlompat mundur, habis itu ia membalas menyerang.
Kwee Ceng lantas mengundurkan diri, lalu ia berdiri menonton.
Oey Yong menggunai Yang Siang Hoei dengan baik, tetapi dasar masih baru dan ia


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun kalah Iweekang, ia tidak berdaya merobohkan jago tua itu, sebaliknya hampir-
hampir ia kena dihajar beberapa kali oleh lawannya, syukur ia memakai tameng
joan-wie-kah. Habis tigapuluh enam jurus, ia pun kenas terdesak.
Dua muridnya Nio Cu Ong menolongi kakak seperguruannya, yang mereka pepayang,
mereka menonton pertempuran itu, mendapatkan guru mereka unggul, mereka
berteriak-teriak menganjurkan guru mereka itu. Kwee Ceng berkhawatir untuk
kekasihnya itu, terpaksa hendak ia maju membantui.
Justru itu ia dengar suara nyaring dari Ang Cit Kong, yang berada di aling
jendela: "Dia bakal menggunai jurus Anjing Galak Memegat Jalan!"
Oey Yong mendengar itu, ia melengak. Ia melihat Nio Cu Ong memasang kuda-kuda
terpentang dan kedua tangan dikasih rata. Ia kenali itulah sikap jurus Harimau
Galak Memegat Jalan. Ia tertawa di dalam hatinya. Kiranya Cit Kong tukar
'Harimau' dengan 'Anjing'. Ia hanya heran kenapa Cit Kong dapat membade niat
orang. Ia lantas membela diri.
Kembali Cit Kong berseru: "Dia bakal menggunai Ular Bau Mengmbil Air!"
Oey Yong sangat cerdas, lantas ia mengetahui, tentulah itu dimaksudkan jurus
Naga Hijau Menyedot Air. Jurus itu lihay di depan, kosong di belakang. Karenanya
dengan lincah ia berlompat nyamping, terus ke belakang lawannya.
Nio Cu Ong benar-benar menyerang dengan pukulan Naga Hijau Menyedot Air itu.
Tentu saja ia gagal, karena si nona sudah mendahului menghalau diri. Malah ia
jadi terluang punggungnya. Syukur ia lihay, dapat ia berkelit dari serangan si
nona. Segera ia memandang ke arah jendela rumah penginapan.
"Orang pandai siapa di situ" Mengapa kau tidak mau memperlihatkan diri?" dia
berseru dengan pertanyaannya.
Ang Cit Kong dengar suara menantang itu, ia membungkam.
Oey Yong ada tulang punggungnya, ia jadi berani sekali. Ia menerjang. Dalam
murkanya Nio Cu Ong melawan dengan bengis, ia menggunai pukulan-pukulan yang
membinasakan. Tentu sekali, si nona segera terdesak pula.
"Jangan takut!" terdengar pula teriakannya Cit Kong. "Dia bakal menggunai
Pukulan si Kunyuk Kempolan Biru Manjat Pohon!"
Oey Yong tertawa cekikikkan, ia lantas mendahului menyerang dengan tinjunya.
Nio Cu Ong benar-benar hendak menyerang dengan jurusnya yang disebut Cit Kong
itu, hanya si pengemis aneh itu sengaja tukar namanya jurus itu, yang sebenarnya
Kera Sakti Manjat Pohon. Melihat ia diserang, terpaksa ia membatalkan niatnya
untuk membela diri, guna menukar jurus. Karena ia tahu, percuma ia melanjuti
serangannya dengan tipu silat itu. Dasar ia lebih lihay, tidak sukar untuk ia
menolong dirinya. Hanya ia jadi semakin heran. Ia tanya dirinya, "Kenapa orang
itu ketahui aku bakal menyerang dengan jurusku itu?"
Oey Yong menyerang terus. Nio Cu Ong membela diri, habis mana, dia berlompat
pula keluar kalangan. Ia berteriak ke arah pondokan: "Saudara yang baik, jikalau
kau tetap tidak hendak memperlihatkan diri, jangan menyesal apabila aku tidak
berlaku murah hati lagi!"
Di mulutnya Som Sian Lao Koay mengatakan demikian, tangannya berkerja. Ia maju
menyerang Oey Yong, hebat serangannya itu, maka dalam beberapa jurus saja, si
nona terdesak pula. Cit Kong tidak bersuara pula, ia pun tidak muncul.
Kwee Ceng melihat kekasihnya terdesak dan kelabakan hingga ia mesti main
berkelit saja, ia lantas maju untuk membantui. Segera ia menyerang denagn
pukulannya Naga Menyesal itu!
Nio Cu Ong mengetahui hebatnya jurus itu, ia lompat mencelat.
"Hajar padanya, engko Ceng!" Oey Yong menganjurkan. "Serang terus-terusan hingga
tiga kali beruntun!"
Habis menganjurkan, nona itu memutar tubuhnya, lari ke dalam pondokan. Kwee Ceng
menuruti anjuran pacarnya, ia memasang kuda-kudanya. Ia mau menunggu io Cu Ong
merangsak, hendak ia menyambutnya.
Som Sian Loa Koay menjadi gusar berbareng mendelu, pun ia merasa lucu juga.
Dalam hatinya ia berkata: "Setahu darimana bocah ini dapat pelajari kurusnya
ini...Toh ia cuma mempunyai satu jurus...." Walaupun begitu, ia tidak berani keras
lawan keras, bahkan tidak berani ia datang mendekati.
Karena terpisah cukup jauh, Kwee Ceng tidak bisa menyerang. Dengan begitu,
pertempuran jadi mandek, mereka berdiri berhadapan saja.
"Anak tolol, awas!" io Cu Ong berteriak kemudian, terus ia berlompat, untuk
menyerang. Kwee Ceng menanti, lantas ia menyambuti dengan serangannnya.
Tapi orang she Nio itu menggunai akal. Dia tidak menyerang terus. Belum lagi
tubuhnya datang dekat, tangannya sudah terayun, lalu tiga batang jarum Touw-kut-
ciam menyerang si anak muda di tiga jurusan, atas, tengah dan bawah!
Kwee Ceng melihat bahaya, terpaksa ia batalkan serangannya, ia terus berkelit.
Ketika ini digunai Nio Cu Ong berlompat maju, tangannya menyambar ke batang
leher orang, menjambak leber baju.
Kwee Ceng terdesak, ia menyundul dengan kepalanya. Tapi Nio Cu Ong benar-benar
lihay, si anak muda merasakan ia seperti membentur kapas. Nio Cu Ong puas
sekali, hendak ia menghajar anak muda itu.
Kali ini Oey Yong muncul dengan tiba-tiba. "Siluman tua, lihat apa ini"!" dia
berteriak. Nio Cu Ong kenal orang licin, lebih dulu ia pencet jalan darah Kin-ceng-hiat
dari Kwee Ceng, baru ia menoleh kepada si nona nakal. Dia lantas mendapatkan Oey
Yong menghampirkan dengan tindakan perlahan-lahan, tangannya mencekal sebuah
tongkat bambu warna hijau seperti kumala huicui. Untuk kagetnya, dia mengenali
tongkat itu hingga ia berseru tertahan: "Ang...Ang Pangcu!"
Oey Yong tidak meladeni, hanya dia membentak: "Masih kau tidak hendak melepaskan
tanganmu"!" Jinak agaknya si jago ini, ia segera melepaskan cekalannya kepada Kwee Ceng.
Sejak tadi ia sudah heran, kenapa Oey Yong ada yang mengajari cara bagaimana
harus melawan dia dan niat penyerangannya dibeber. Ia mau menduga kepada Ang Cit
Kong, ia ragu-ragu, sebab ia tahu, sudah belasan tahun Ang Cit Kong tidak pernah
terlihat di dalam dunia kangouw. Sekarang ia lihat tongkat si kepala pengemis,
kagetnya bukan main. Oey Yong mendekati, ia terus memegangi tongkat dengan kedua tangannya. Ia
berkata pula dengan membentak: "Cit Kong bilang bahwa ia sudah perdengarkan
suaranya tetapi kau bernyali besar, kau tetap berani main gila disini! Maka Cit
Kong tanya, kenapa kau berani berlaku kurang ajar begini"!"
Nio Cu Ong sudah lantas menekuk lututnya. "Dengan sesungguhnya aku yang rendah
tidak mendapat tahu Pangcu ada disini," katanya dengan hormat, "Kalau aku yang
rendah mengetahui, tidak nanti aku berani berbuat salah terhadap Pangcu."
Oey Yong heran. "Dia sangat lihya, kenapa dia takuti Cit Kong begini rupa"
Kenapa dia pun memanggil Ang Pangcu?" Tapi, pada parasnya, ia tetap berlaku
keren. "Taukah kau apa dosamu?"
"Nona tolong sampaikan kepada Pangcu, bahwa Nio Cu Ong sudah menginsyafi
kesalahannya dan minta Ang Pangcu sukalah mengasih ampun," berkata Som Sian Lao
Koay. "Ingat olehmu!" berkata si nona, "Mulai hari ini sampai seterusnya, untuk
selamanya tidak boleh kau mengganggu kami berdua!"
"Aku yang rendah tadinya tidak tahu apa-apa," menyahut Nio Cu Ong. "Aku tidak
mengandung maksud sengaja, maka itu aku minta sukalah jiwi memaafkannya."
Dengan "jiwi" - "tuan berdua" dimaksudkan Kwee Ceng dan si nona.
Oey Yong menjadi sangat puas, ia tersenyum, lantas ia tarik tangannya Kwee Ceng,
buat diajak ngeloyor pergi, masuk ke dalam rumah penginapan. Di dalam pondok itu
Ang Cit Kong tengah berduduk menghadapi empat mangkok besar terisi barang
hidangan, tangan kirinya mengangkat cawan arak, tangan kanannya mencekal sumpit,
mulutnya menggayem dan mencegluk air kata-kata.
"Cit Kong!" kata si nona tertawa. "Dia berlutut, sama sekali dia tidak berani
berkutik!" Ia pun sampaikan permohonannya Nio Cu Ong.
Cit Kong menoleh kepada Kwee Ceng, "Pergi kau hampirkan dia, kau hajar
serintasan, tidak nanti dia berani melawan!" katanya.
Kwee Ceng melongok di jendela. Ia lihat Nio Cu Ong terus berlutut di antara
panasnya matahari, dua muridnya pun berlutut di belakangnya, roman mereka itu
runtuh sekali. Ia menjadi tidak tega. "Cit Kong, kasihlah dia ampun," katanya.
"Hai, makhluk tidak tahu diri!" membentak si pengemis. "Orang hajar padamu, kau
tidak mampu melawan, aku si tua bangka menolongi padamu, sekarang kau memintakan
ampun untuknya! Apakah artinya ini"!"
Ditegur begitu, Kwee Ceng berdiri diam. Ia tidak sangka si pengemis, yang
biasanya jenaka dan manis budi, sekarang menjadi galak begini.
Oey Yong tertawa, dia datang sama tengah. "Cit Kong, nanti aku yang hajar dia!"
katanya. Dan lantas ia bertindak keluar dengan masih membawa tongkat istimewa itu. Ia
hampirkan Nio Cu Ong, yang berlutut tanpa bergeming, wajahnya wajah ketakutan.
Oey Yong lantas menegur: "Cit Kong bilang kau jahat, hari ini sebenarnya kau
mesti disembelih, tetapi syukur ada aku punya engko Ceng yang hatinya murah, dia
telah memintakan ampun untumu, ia memohon lama juga barulah Cit Kong
meluluskannya." Kata-kata itu ditutup dengan diangkatnya tongkat, dihajarkan ke kempolan orang.
"Nah, kaupergilah!" akhirnya si nona mengusir.
Nio Cu Ong tidak segera mengangkat kaki, ia hanya memandang ke arah jendela.
"Ang Pangcu, aku ingin bertemu padamu, untuk menghanturkan terima kasih yang kau
telah tidak membunuh aku," katanya.
Dari dalam pondokan tidak ada terdengar suara apa-apa.
Nio Cu Ong terus bertekuk lutut.
Sampai sekian lama, barulah Kwee Ceng muncul. Ia menggoyang-goyang tangan, ia
berkata dengan perlahan: "Cit Kong lagi tidur, kau jangan bikin berisik disini!"
Baru sekarang Nio Cu Ong berbangkit, ia mendelik kepada itu muda-mudi, lalu ia
ngeloyor pergi dengan mengajak ketiga muridnya.
Oey Yong dan Kwee Ceng membiarkan orang melotot mata, bersama-sama mereka balik
ke dalam pondokan. Benar-benar Cit Kong terlihat lagi menggeros dengan kepalanya
diletaki di atas meja. Si nona pegang pundak orang, ia menggoyang-goyang.
"Cit Kong, Cit Kong," katanya. "Tongkat bambu mustikamu ini sangat besar
pengaruhnya, jikalau kau tidak pakai, kau berikan saja padaku! Bolehkah!"
Cit Kong mengangkat kepalanya, ia menguap, ia pun mengulet. "Enak saja kau
membuka suaramu!" katanya tertawa. "Bendaku ini adalah alat peranti mencari
makan dari kakekmu. Seorang pengemis tanpa tongkat pemukul anjing mana bisa jadi
pengemis?" Oey Yong bermanja. "Ilmu silatmu sudah sangat lihay, orang jeri padamu, habis
untuk apa kau menghendaki tongkat ini?" dia mendesak.
"Hai, budak tolol!" tertawa si pengemis. "Sekarang lekas kau masaki aku beberapa
rupa barang hidangan yang lezat, sebentar aku menutur perlahan-lahan padamu."
Oey Yong menurut, ia lantas pergi ke dapur. Ia menyiapkan tiga rupa masakan.
Apabila sudah selesai, ia bawa itu keluar.
Cit Kong memegang cawan araknya dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang
sepotong ham, yang ia gerogoti. Ia mengunyah perlahan-lahan. "Makhluk di dalam
dunia ini tidak ada yang tidak berkumpul dengan seterunya," ia berkata kemudian.
"Hartawan yang kemaruk uang satu rombongan, orang Rimba Hijau tukang membegal
atau merampok satu rombongan juga. Demikian kami si tukang minta-minta, kami pun
berkumpul dalam satu golongan...."
"Aku tahu sudah, aku tahu sudah!" Oey Yong memotong seraya ia menepuk-nepuk
tangan. "Tadi Nio Cu Ong memanggil kau Pangcu, kau jadinya adalah pemimpin dari
tukang minta-minta!"
Cerdik nona ini, ia lantas dapat menerka.
"Benar!" Cit Kong mengaku. "Kami bangsa pengemis biasa orang hinakan, bisa
digigit anjing, apabila kami tidak bersatu, mana dapat kami hidup" Maka juga ini
sebatang tongkat serta ini sebuah cupu-cupu, semenjak jaman Cian Tong Ngo tay
sampai hari ini, sudah beberapa ratus tahun, selamanya dipegang oleh orang yang
menjadi Pangcu, ialah pemimpin kepala, jadi inilah mirip dengan capnya seorang
kaisar atau capnya satu pembesar negeri."
Mendengar itu, Oey Yong meleletkan lidahnya. "Syukur kau tidak mengasihkan
padaku!" katanya. "Kenapa?" Cit Kong tertawa.
"Jikalau semua pengemis di kolong langit ini pada mencari aku, untuk aku
mengurus mereka, apakah itu tidak cade?" sahutnya.
Cit Kong tertawa pula. Ia gerogoti pula sepotong ceker. Ia berkata pula: "Rakyat
negeri di Utara diurus oleh negeri Kim, rakyat negeri di Selatan diurus oleh
kerajaan Song, tetapi pengemis di kolong langit ini..?" "Tidak peduli mereka
yang dari Selatan atau Utara, semua mereka diurus oleh kau , lojinkee!" Oey Yong
mendahului. Ang Cit Kong tertawa terbahak, ia mengangguk.
"Pantaslah itu siluman bangkotan she Nio sangat jeri padamu!" si nona
menyambungi. "Kalau semua pengemis di kolong langit ini mencari dia, untuk
mengganggu, nah, bukan main sulitnya dia! Umpama satu pengemis menangkap seekor
tuma itu ditaruh di lehernya, tidakkah ia bakal mampus kegatalan?"
Kwee Ceng tertawa. Ang Cit Kong tidak gusar, ia malah turut tertawa.
"Tetapi," menjelaskan si raja pengemis kemudian, "Dia takuti aku bukannya karena
itu..." "Habis karena apa?" tanya Oey Yong.
"Itulah kejadian pada kira-kira duapuluh tahun yang lampau. Itu hari aku bertemu
dengannya di Kwan-gwa, kebetulan ia tengah melakukan satu pekerjaan buruk dan
aku pergoki dia..." "Pekerjaan buruk apakah itu?" tanya si nona.
Cit Kong agaknya bersangsi tetapi ia menerangkan juga: "Siluman tua itu percaya
kepada omongan sesat tentang memetik bunga untuk menambah tenaga atau panjang
umur, dia lantas cari banyak nona-nona untuk dirusaki kesucian dirinya..."
"Apakah itu yang dinamakan merusak kesucian nona-nona?" tanya si nona kembali.
Oey Yong polos, ia belum mengetahui tentang hal kesucian yang dirusak itu.
Ketika ia dilahirkan, ibunya lantas menutup mata disebabkan sukar melahirkan,
dari itu semenjak bayi ia dirawat oleh ayahnya, kemudian terjadi Oey Yok Su
murka besar disebabkan Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya itu,
yang memainkan lelakon asmara dan minggat, saking kalapnya, dia putuskan urat-
urat semua muridnya yang lainnya, yang ia pun usir pergi dari pulau Tho Hoa To,
maka di pulau itu ketinggalan saja beberapa bujang tua, hingga si nona belum
pernah dengar soal-soalnya pemuda dan pemudi dewasa. begitulah sampai usianya
limabelas tahun, ia tetap gelap mengenai hal itu. Kalau toh ia suka sama Kwee
Ceng, itulah karena perasaannya yang wajar, perasaan yang ia rasakan manis,
apabila mereka berpisahan, segera ia merasa sunyi seorang diri. Tapi ia tahu,
kalau orang menjadi suami-istri, orang tidak bakal berpisahan pula seumur
hidupnya, maka itu ia anggap Kwee Ceng sudah menjadi sebagai suaminya; lain
daripada itu, ia gelap. Untuk sejenak itu, Cit Kong pun dipersulit pertanyaan si nona, hingga ia tidak
lantas memberikan jawabannya.
"Setelah satu nona dirusak kesuciannya, apakah dia lantas dibunuh?" Oey Yong
tanya pula. "Bukannya begitu," Cit Kong tertawa. "Wanita yang diperhina secara demikian,
hebatnya melebihkan daripada dibunuh. Maka juga ada pembilangan, 'Hilang
kesucian urusan besar, mata kelaparan urusan kecil'"
"Habis, apakah dia dihajar kempolannya?" si nona tanya pula.
"Cis!" berludah Cit Kong tetapi dia tertawa. "Bukannya begitu, budak! Baiklah
kau pulang untuk menanyakan keterangan ibumu!"
"Ibu sudah lama tutup mata." sahut si nona.
"Oh...." si pengemis melengak. "Nanti saja, kapan tibanya kamu berdua merayakan
pernikahanmu, kau bakal mengerti sendiri."
Mukanya si nona menjadi merah, ia memonyongi mulutnya. "Sudahlah jikalau kau
tidak sudi menerangkan!" katanya. Samar-samar ia mulai mengerti duduknya hal. Ia
menanya pula: "Habis bagaimana sesudah kau pergoki si siluman bangkotan itu
berbuat buruk?" Lega si pengemis mendengar orang bicara dari lain soal.
"Pasti sekali aku urus dia!" ia menyahuti, "Orang she Nio itu telah kena aku
bekuk, aku hajar dia, aku paksa ia mengantari pulang semua nona-nona itu
kerumahnya masing-masing. Lain dari itu aku paksa ia mengankat sumpah bahwa
dilain waktu dia tidak lagi berbuat sejahat itu, dan aku ancam, apabila aku
mempergokinya pula, ia bakal mati tidak, hidup pun tidak!"
"Oh, kiranya demikian!"
Kemudian, habis bersantap, Oey Yong berkata, "Cit Kong, kalau sekarang kau
kasihkan tongkatmu kepadaku, aku juga tidak sudi menerimanya, hanya masih ada
satu saol. Bukankah kita tidak bakal berdiam bersama-sama untuk selama-lamanya"
Bagaimana kalau dilain waktu kami berdua bertemu pula sama siluman she Nio itu
dan dia membilangnya padaku, 'He, budak yang baik, dulu hari kau mengandalkan
Ang Pangcu, kau menghanjar aku dengan tongkatnya, sekarang aku hendak membalas
sakit hati!' Kalau sampai terjadi begitu, bagaimana kami harus berbuat?"
Ang Cit Kong tertawa. "Ha! Kau sebenarnya menghendaki aku mengajari pula lain
ilmu silat kepada kau berdua! Kau kira aku tidak tahu" sekarang pergilah kau
masak syaur lagi, bikinlah banyakan, kau boleh percaya Cit Kong tidak nanti
membikin kau kecele!"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oey Yong menjadi sangat girang, ia sambar tangannya si pengemis, untuk dibawa ke
rimba tadi. Ang Cit Kong mengajarkan pula jurus yang baru kepada Kwee ceng, yaitu jurus
kedua dari Hang Liong Sip-pat Ciang, namanya "Hoei Liong Thay Thian" atau "Naga
Terbang ke Langit". Jurus ini mewajibkan Kwee Ceng lompat tinggi sekali, lalu
dari atas ia menyerang turun, hingga tenaganya menjadi luar biasa besar. Untuk
ini, Kwee Ceng memerlukan tempo tiga hari, baru ia dapat melatih dengan baik.
Selama tiga hari itu, Oey Yong sendiri sudah mendapatkan pelajaran lain, ialah
untuk dengan tempuling ngo-bje-cie memecahkan sebatang golok. Semenatar itu Ang
Cit Kong sendiri telah menikmati belasan macam makanan lezat dari si nona.
Demikianlah hari-hari lewat. Tidak sampai satu bulan, Cit Kong sudah wariskan
limabelas jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, dari "Naga Menyesal" sampai pada
"Liong Thian Ie Ya" atau "Naga bertempur di tanah datar".
Ilmu silat Cit Kong ciptakan sendiri setelah ia memehami kitab "Ya Keng",
jurusnya terbatas sekali tetapi kegunaannya besar, sebab setiap jurusnya hebat.
Hanya ketika dulu di puncak Hoa San ia mengadu silat sama Oey Yok Su beramai,
ilmu ini belum ia pelajarkan habis, meski begitu, Ong Tiong Yang toh memuji
ilmunya itu. Cit Kong menyesal yang ia belum sempat menyelesaikan itu, kalau
tidak, mungkin ialah yang menjadi pemenang nomor satu. Mulanya dia hendak
mengajari Kwee Ceng dua tiga jurus saja, untuk si anak muda pakai menjaga diri,
tetapi masakan Oey Yong hebat sekali, setiap hari ditukar denagn hari lewat
hari, kejadian ia mewariskan limabelas jurus itu. Maka dalam tempo satu bulan
itu, Kwee Ceng telah seperti salin rupa. Oey Yong sendiri telah memperoleh
beberapa jurus yang luar biasa, yang campur aduk!
Pada suatu pagi sehabis sarapan, Cit Kong berkata kepada kedua bocah itu; "Eh,
anak-anak, kita sudah berkumpul sebulan lamanya, sudah tiba waktunya kita
berpisahan." "Oh, tidak!" Oey Yong mencegah. "Aku masih mempunyai beberapa macam masakan yang
hendak aku bikin untuk aku suguhkan kepada kau, lojinkee!"
"Ingat, anak, di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak bubar. Kau tahu
biasanya aku si tua bangka belum pernah mengajari orang lebih daripada tiga
hari, tetapi terhadap kamu, aku telah memakai tempo satu bulan, kalau mesti
tambah hari lagi, oh itulah hebat sekali!" kata si pengemis.
"Kenapa begitu, Cit Kong?" tanya si nona heran.
"Dengan begitu, habislah semua kepandaianku diturunkan kepada kamu!" sahut si
raja pengemis. Oey Yong tersenyum tetapi ia kata: "Cit Kong, orang baik mesti sekali berbuat
baik seterusnya berbuat baik hingga diakhirnya. Jikalau kau ajarkan semua
delapanbelas jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang kepadanya, bukankah itu baik
sekali?" "Fui!" si pengemis berseru. "Ya, buat kamu baik, tetapi aku si pengemis tidak!"
Oey Yong menjadi bingung. Ia lantas memikirkan daya apa untuk menahan orang tua
itu, akan tetpai belum ia dapat pikiran, Cit Kong telah menggendol cupu-cupunya
dan mengangkat tongkatnya ngeloyor pergi, jalannya sambil menyeret sepatunya.....
Kwee Ceng menjadi bingung juga, ia lari menyusul. Hebta Cit Kong sebentar saja
ia telah lenyap di dalam rimba.
"Cit Kong! Cit Kong!" Kwee Ceng menyusul dan berteriak-teriak. Tidak ada
jawaban. Oey Yong juga menyusul, ia pun memanggil-manggil. Tapi ia pun tidak peroleh
penyahutan. Tapi belum lama, terlihatlah suatu bayangan dan Cit Kong muncul dengan tiba-
tiba. "Ha, kamu berdua budak busuk, mau apa kamu melibat aku?" ia menanya, agaknya ia
mendongkol. "Apakah kau masih minta aku mengajari silat" Oh, itulah sukar di
atas sukar!" "Lojinkee sudah mengajarkan banyak, teecu telah puas," berkata Kwee Ceng, yang
menyebut dirinya teecu atau murid. "Tidak nanti teecu berlaku temaha, cuma teecu
belum dapat membalas budimu yang besar sekali." Ia lantas jatuhkan dirinya,
berlutut, untuk paykui kepada itu guru sembatan.
"Ha, tahan!" mendadak si pengemis berseru. "Aku mengajarkan kau silat sebab aku
gegaras sayur masakan dia itu, untuk itu, pengajaranku itulah bayaranku! Di
antara kita tidak ada soal guru dengan murid!" Mendadak ia pun berlutut,
membalas hormatnya si anak muda.
Kwee Ceng kaget sekali, hendak ia paykui pula, untuk membalas, tetapi ia tidak
dapat berbuat begitu, tiba-tiba saja si pengemis mengulurkan tangannya dan ia
kena ditotok jalan darah dirusuknya hingga ia berdiri dengann kedua kaki
ditekuk, tak dapat ia menggeraki tubuhnya!
Cit Kong mengangguk sampai empat kali, guna membalas penghormatan orang, baru ia
menotok pula membebaskan jalan darah orang. Ia kata: "Ingat, sekarang jangan kau
mengatakannya sudah memberi hormat padaku, bahwa kaulah muridku!"
Kwee Ceng berdiam, tidak berani ia membuka mulut lagi. Sekarang ia menginsyafi
benar-benar tabiat kukoay bin aneh dari si raja pengemis yang berjeriji sembilan
itu. Cit Kong lantas memutar tubuhnya, untuk mengangkat kaki, atau mendadak ia
bersuara "Ih!" lantas ia membungkuk, tangannya diulurkan ke tanah, di antara
rumput, dua jarinya menjepit seekor ular hijau panjangnya dua kaki.
"Ular!" Oey Yong menjerit kapan si pengemis angkat tangannya. Cuma sebegitu ia
berseru, atau pundaknya telah ditolak Ang Cit Kong hingga ia terpental jauhnya
setombak lebih! Bab 26. Memikiri Senantiasa
Menyusul itu terdengar pula beberapa suara rumput bergerak-gerak, lalu
terlihatlah beberapa ekor ular lainnya. Dengan menggeraki tongkatnya, Ang Cit
Kong singkirkan binatang berbisa itu, untuk setiap kemplangannya, tongkatnya
mengenai tepat di kepala ular, yang terus mati.
Kalau tadinya ia kaget, sekarang Oey Yong kegirangan hingga ia berseru memuji.
Tengah ia tertawa, di belakangnya muncul dua ekor ular yang lain, yang
menyambarsambil membuka bacotnya, untuk menggigit.
"Lari!" Ang Cit Kong berseru. Tapi sudah terlambat, si nona telah kena disambar
dan digigit. Ular itu kecil tubuhnya tetapi hebat bisanya, cuma tergigit satu
kali, celakalah orang, apapula sekarang menyambar sekali dua.
Ang Cit Kong pun kaget. Kupingnya segera mendengar suara lain, yang terlebih
berisik, kapan ia mengawasi, ia tampak nyelosornya sekumpulan ular di tempat
kira-kira sepuluh tombak dari mereka. Tidak ayal lagi, ia sambar pinggang Kwee
Ceng, ia cekuk pundak Oey Yong, terus ia berlompat, lari keluar dari rimba itu.
Dia lari terus kembali ke tempat penginapan. Setibanya di muka pondokan,
pengemis itu awasi muka si nona, lantas hatinya menjadi lega. Nona itu tak
kurang suatu apa, dia ada seperti biasa.
"Bagaimana kau merasakan?" ia menanya, hatinya girang.
Oey Yong tertawa. "Tidak apa-apa!" sahutnya wajar.
Tapi Kwee Ceng melihat ular tadi masih menyantel di badan kekasihnya, dia kaget,
dia ulur tangannya, untuk menangkap ular itu, untuk disingkirkan. "Jangan!" Cit
Kong berseru pula saking kagetnya.
Tapi tangan Kwee Ceng telah kena menjambret ular itu, yang kepalanya
mengeluarkan darah. Binatang itu tidak bergerak lagi, dia sudah mati! Mulanya
Ang Cit Kong tercengang, tetapi dengan lekas ia sadar sendirinya. "Tidak salah
lagi!" katanya. "Tentulah joan-wie-kah ayahmu telah diwariskan kepadamu!"
Memang ulat itu menggigit joan-wie-kah, kepalanya pecah, lalu terbinasa.
Selagi Kwee Ceng menyambar seekor ular, banyak yang lainnya lagi keluar dari
rimba. Cit Kong sendiri segera mengeluarkan obat hitam dari sakunya, ia masuki
itu ke dalam mulutnya untuk dikunyah. dari dalam rimba masih saja terlihat ular
yang keluar, hitung ratus, hitung ribu.
Maka Kwee Ceng berseru; "Cit Kong, mari lekas pergi!"
Cit Kong tidak menjawab, ia menurunkan cupu-cupu dari punggungnya, dia membuka
sumpalnya, untuk menuang isinya ke dalam mulutnya, dicampur sama obat tadi,
sesudah mana ia menyembur ke arah ular-ular itu, ke kiri dan kanan, hingga
mereka bertiga terintang semburan arak. Sejumlah ular, yang mencium bau arak
campur obat itu lantas rebah tak bergerak, ynag lainnya tak berani maju lebih
jauh, tapi kerana yang dibelakang amsih banyak dan maju terus, mereka jadi kacau
sendirinya. Oey Yong gembira menyaksikan ular-ular itu bergumulan, ia menepuk-
nepuk tangan. Selagi si nona ini kegirangan, dari dalam rimba terdengar suara berisik, lalu
terlihat tiga orang pria yang pakaiannya putih semua, dengan tangan mencekal
masing-masing sepotong pentungan dua tombak lebih panjangnya, lagi berseru-seru
mengusir semua ular itu, pentungannya dipakai mengancam, mirip lagaknya dengan
bocah angon lagi menggembala kerbau atau kambingnya.
Mual rasanya akan menyaksikan ujal-ujalan semua ular itu.
Ang Cit Kong menangkap seekor ular, yang ia sontek dengan tongkatnya. Dengan dua
jari kiri ia jepit leher ualr itu, dengan kelingking kanan ia menggurat perutnya
ular hingga pecah berlobang, untuk mengasih keluar nyalinya.
"Lekas telan ini! Jangan kena kegigit, sangat pahit!" ia berkata kepada si nona.
Oey Yong menurut, ia lantas telan nyali ular itu. Menyusul itu, ia merasa enak
dan segar sekali. "Eh, engko Ceng, kau juga hendak makan nyali ular?" dia menanya.
Kwee Ceng menggelengkan kepalanya. Ia sudah mengghirup darah ular, ia tidak
mempan racun ular itu, malah tidak ada ular yang berani menggigit padanya, cuma
Ang Cit Kong dan si nona yang tadinya diarah.
"Cit Kong, ular ini mesti ada yang piara," berkata Oey Yong.
Pak Kay mengangguk. Dengan wajah murka, ia mengawasi ketiga orang serba putih
itu, yang sebaliknya pun murka melihat orang bunuh ularnya dan dimakan nyalinya,
malah habis membereskan ular-ularnya, mereka maju menghampirkan.
"He, kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki lagi jiwamu"!"
yang satu menegur dengan bengisnya.
"Tepat!" berseru Oey Yong dengan jawabannya. "Kamu tiga ekor iblis, apakah kamu
sudah tidak menghendaki jiwa kamu"!"
"Bagus!" berseru Cit Kong seraya menepuk pundak si nona. Ia memuji pembalasannya
si nona, yang mulutnya lihay itu.
Tiga orang itu menjadi bertambah gusar, satu yang kulit mukanya putih dan usia
pertengahan sudah lantas berlompat, menyodok si nona dengan pentungannya.
Melihat sambaran anginnya, dia bukannya sembarangan kepandaiannya.
Cit Kong berlaku sebat, ia melonjorkan tongkatnya, menyambut serangan itu.
Dengan begitu Oey Yong jadi luput dari bahaya.
Penyerang itu lantas menjadi kaget, tidak saja pentungannya mandek, pula tak
dapat ia menarik pulang. Pentungan itu menempel seperti terpantek pada tongkat
si pengemis. Maka ia lantas mengempos semangatnya.
"Kau pergilah!" berseru Ang Cit Kong selagi orang menarik keras, tangannya
digentak. Maka terjengkanglah orang itu, terlempar ke dalam barisan ularnya, pentungannya
hancur menjadi puluhan potong pendek. Dia rupanya telah memakan obat pemunah,
ular tak berani gigit padanya.
Dua orang yang lain terkejut, mereka mundur dengan seketika.
"Bagaimana, toako?" mereka menanya pada kawannya yang roboh itu. Orang itu
berlompat bangun dengan gerakannya "Ikan gabus melentik". Akan tetapi dia
terbanting keras, belum sampai bangun berdiri, dia sudah jatuh pula, kembali
menimpa ularnya, hingga seperti tadi, ada belasan ular yang mampus ketindihan.
Maka kawannya, yang mukanya putih, menyodorkan pentungannya, membantui dia
bangun. Sekarang mereka bertiga itu tidak berani menyerang pula, bahkan mereka lantas
masuk ke dalam kalangan ular mereka.
"Siapa kamu!" kemudian tanya orang yang barusan terjungkal itu. "Kalau kau laki-
laki, sebutkan nama kamu!"
Ang Cit Kong tertawa terbahak-bahak, ia tidak menyahuti.
"Kamu orang-orang macam apa"!" Oey Yong sebaliknya menanya. "Kenapa kau
menggiring begini banyak ular berbisa untuk mencelakai orang"!"
Tiga orang itu saling mengawasi, selagi satu diantaranya hendak menyahuti, dari
dalam rimba tertampak munculnya seorang yang berdandan sebagai mahasiswa yang
putih mulus bajunya. Dia berjalan perlaha-lahan, tangannya mengerjakan kipasnya.
Ia berjalan di antara banyak ular itu, yang pada menyingkir sendirinya.
Kwee Ceng dan Oey Yong sudah lantas mengenali orang itu ialah Auwyang Kongcu,
sancu atau pemilik gunung Pek To San. Herannya ular-ular itu menyingkir
daripadanya. Tiga pengiring itu menghampiri si anak muda, untuk berbicara, lantas tangannya
menunjuk ke ular-ular yang tak berkutik itu, rupanya mereka mengadu.
Pemuda itu agaknya terperanjat, tapi lekas ia menjadi tenang pula. Dia maju
menghampir Ang Cit Kong bertiga, dia memberi hormat sambil mengangguk, kemudian
dia tertawa dan berkata: "Beberapa sahabatku ini telah berlaku kurang ajar
kepada locinpwee, untuk itu aku menghanturkan maaf." Terus ia memandang Oey
Yong, untuk meneruskan: "Kiranya nona ada di sini. Sungguh bersengsara aku
mencari padamu..." Oey Yong tidak mengambil mumat pemuda itu, ia hanya menoleh kepada si pengemis.
"Cit Kong, orang inilah telur busuk yang paling besar!" ia memberitahu. "Kau
baiklah mengajar adat padanya!"
Ang Cit Kong mengangguk, terus ia memandang si anak muda, romannya bengis.
"Untuk mengangon ular ada tempatnya, ada batasnya, ada waktunya, ada aturannya
juga!" katanya. "Kau andalkan pengaruh siapa maka kau jadi begini gila-gilaan"!"
"Semua ular ini datang dari tempat yang jauh sekali, semuanya sangat lapar,
mereka jadi tidak dapat memakai aturan lagi," menyahut si pemuda.
"Berapa banyak orang telah kamu bikin celaka?" Cit Kong menegur pula.
"Kami menggembala di tanah belukar, belum pernah kami mencelakai orang,"
menyahut si anak muda. "Hm!" Cit Kong mengejek. "Belum pernah mencelakai orang! Kau toh si orang she
Auwyang?" "Benar!" dia menjawab itu. "Kiranya nona ini telah memberitahukannya padamu. Kau
siapa, lojinkee?" dia balik menanya.
Oey Yong mendahului si pengemis. "Namamu yang busuk! Siapa yang sudi
menyebutnya!" kata dia. "Namanya locinpwee ini tidak usah diberitahukan
kepadamu, cuma-cuma bakal membikin kau kaget!"
Auwyang Kongcu itu tidak gusar, dia melirik si nona sambil tersenyaum.
"Kau anaknya Auwyang Hong, bukankah?" Ang Cit Kong tanya.
Belum si anak muda menyahuti, tiga kawannya sudah gusar duluan. "Pengemis
bangkotan tidak karuan, bagaimana besar nyalimu berani menyebut namanya sancu
kami"!" mereka menegur.
Ang Cit Kong tertawa lebar.
"Lain orang boleh tidak menyebutnya tetapi aku boleh!" katanya. mendadak orang
tua itu mencelat ke arah tiga orang itu dan tahu-tahu "Plak-plok!" muka mereka
kena ditampar datang-pergi, setelah mana dengan menekan tongkatnya, ia berlompat
balik ke tempatnya berdiri tadi.
"Kepandainmu ini, Cit Kong, kau belum ajari aku!" berkata Oey Yong, seperti ia
tidak menggubris peristiwa.
Cit Kong bukan saja menggaplok, ia juga membuatnya terlepas sambungan baham
orang. Auwyang Kongcu terperanjat, lekas-lekas ia menolongi tiga orang itu. "Apakah
cinpwee mengenal pamanku?" ia tanya Cit Kong, sekarang sikapnya hormat.
"Oh, kau jadinya keponakannya Auwyang Hong!" berkata Cit Kong. "Sudah berselang
duapuluh tahun yang aku tidak pernah bertemu pula sama si racun tua bangkamu
itu! Apakah dia belum mampus?"
Panas hatinya si anak muda, tetapi melihat orang lihay dan orangpun seperti
mengenal baik pamannya, ia mau percaya, pengemis ini ada orang tingkat atasan
yang lihay. Maka berkatalah ia: "Pamanku sering membilang, sebelum sahabat-
sahabatnya pada habis mati terlebih dulu, dia masih belum ingin pulang ke
langit..." Ang Cit Kong tertawa berlengak. "Anak yang baik, pandai kau mencaci orang dengan
jalan mutar-balik!" katanya. "Aku hendak tanya kau, perlu apa kau membawa-bawa
sekalian mustikamu ini?" Ia maksudkan semua ular itu.
"Biasanya aku yang muda tinggal di barat," Auwyang Kongcu menyahut, "Tapi kali
ini aku berangkat ke Tionggoan untuk belajar berkenalan, lantaran iseng -
kesepian di tengah jalan, sekalian aku membawa mereka ini untuk main-main saja."
"Terang-terang kau mendusta!" Oey Yong menyemprot. "Ada demikian banyak wanita
yang menemani kau, kau masih bilang iseng kesepian!"
Pemuda itu menggoyangi kipasnya hingga dua kali, matanya menatap si nona, lalu
ia tersenyum, lantas ia bersenandung: "Duka hatiku, maka kenapa tidak ada lain
orang" Karena kau, aku jadi bersenandung hingga jini!" Ia mengambil syair dari
Sie Keng, Kitab Syair, yang ia campur aduk.
Oey Yong tidak gusar, ia sebaliknya tertawa. "Aku tidak membutuhkan kau
mengambil-ambil hatiku!" ia menganggapi. "Lebih baik tak perlulah kau memikirkan
aku!" Pikiran si anak muda bagaikan melayang, tak tahu ia harus membilang apa....
Ang Cit Kong lantas menegur; "Kau paman dan keponakan, kamu malang melintang di
Barat, di sana tidak ada orang yang mengendalikan kamu, jikalau di Tionggoan kau
masih hendak berbuat seperti di sana, kau janganlah mimpi di musim rontok!
Dengan memandang pamanmu itu, aku tidak ingin berpandangan cupat seperti kau,


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka lekaslah kau pergi!"
Auwyang Kongcu mendongkol bukan main, tetapi untuk melawan ia tidak ungkulan,
cuma untuk berlalu begitu saja, ia tidak puas. Maka akhirnya ia berkata; "Di
sini aku yang muda meminta diri. Umpama kata dalam beberapa tahun ini cianpwee
tidak dapat sesuatu sakit keras dan juga tidak menemui bahaya apa-apa, aku
undang cianpwee suka berkunjung ke Pek To San untuk berdiam beberapa hari di
sana." Ang Cit Kong tertawa. "Nyata kau telah menantang aku!" katanya. "Tapi aku si pengemis bangkotan tidak
biasanya main janji-janji! Pamanmu tidak takut padaku, aku juga tidak takuti
pamanmu itu! Pada duapuluh tahun yang sudah, kita sudah mengadu kepandaian, kita
adalah setengah kati sama dengan delapan tail, jadi tidak usahlah kita bertempur
pula!" Tiba-tiba ia menambahkan, dengan membentak bengis; "Masih kau tidak
hendak menyingkir jauh-jauh!"
Auwyang Kongcu terperanjat, hatinya pun berpikir; "Kepandaiannya pamanku belum
separuhnya aku wariskan, orang tua ini rupanya tidak mendusta, aku mana sanggup
menjadi tandingannya...." karenanya segera ia menjura, setelah melirik mendelik
kepada Oey Yong, lantas ia mengundurkan diri masuk ke dalam rimba.
Ketiga pengangon ular itu sudah lantas mengasih dengar suaranya, bersiul secara
aneh. Dengan itu mereka mengusir ular mereka. Maka juga semua binatang berbisa
itu membalik tubuhnya, mengesor kembali ke dalam hutan. Sebentar saja, bersilah
tempat itu dari semua binatang berbisa itu, tinggal tanahnya yang penuh
lendirnya yang licin mengkilap.
"Cit Kong belum pernah aku melihat ular demikan banyak," berkata Oey Yong.
"Benarkah ular itu dipiara mereka?"
Cit kong tidak lantas menyahuti, dia hanya membuka mulut cupu-cupunya untuk
menenggak araknya beberapa gelogokan, kemudian dengan tangan bajunya dia
menyusuti peluh di dahinya. Ia pun menghela napas panjang. Baru setelah itu ia
mengatakannya berulang-ulang: "Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya...!"
"Eh, Cit Kong, kenapakah?" tanya kedua pemuda-pemudi itu heran.
"Untuk sejenak aku dapat mengusir ular itu," menyahut si pengemis kemudian:
"Umpama kata tadi benar-benar semuanya menerjang, cara bagaimana ribuan binatang
itu dapat ditangkis" Syukur beberapa bocah itu belum tahu apa-apa, mereka tidak
mengetahui asal-usulku, mereka jadi kena kugertak. Coba si racun tua bangkotan
itu ada di sini, oh, anak-anak, kamu bisa celaka...."
"Jikalau kami tidak sanggup melawan, kami kabur!" berkata si Oey Yong.
Cit Kong tertawa. "Aku si pengemis tua, aku tidak takuti dia!" katanya. "Tetapi
kamu berdua, meski kamu ingin menyingkir, kamu tidak bakal lolos dari tangannya
si racun bangkotan itu...."
"Siapakah pamannya orang itu" Benarkah dia demikian lihay?" tanya Oey Yong.
"Kau sangka ia tidak lihay" Apakah aku belum pernah dengar disebut-sebutnya Tong
Shia See Tok, Lam Tee pak Kay dan Tiong Sin Thong?"
Tentang nama-nama itu Oey Yong pernah mendengarnya dari omongannya Khu Cie Kee
denagn Ong Cie It, sekarang mendengar perkataan pengemis, hatinya girang.
"Aku tahu, aku tahu!" sahutnya. "Kau sendiri, lojinkee, adalah Pak Kay, dan
kauwcu dari Coan Cin Kauw ialah Tiong Sin Thong."
Perawan Lembah Wilis 7 Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab Menumpas Angkara Murka 1
^