Pencarian

Memanah Burung Rajawali 14

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 14


nampak. Bwee Tiauw Hong berdiri dengan menolak pinggang, ia berkata dengan nyaring, "Eh,
bocah she Kwee, kau sudah menghajara aku dengan Hang Liong Sip-pat Ciang
ajarannya Ang Cit Kong, karena mataku buta, aku tidak dapat melihat segala
gerakanmu! Aku tidak ambil mumat, tetapi jikalau hal ini tersiar di kalangan
kangouw, apabila sampai ada yang membilang Bwee Tiauw Hong tidak sanggup melawan
muridnya si pengemis, bukankah itu akan meruntuhkan namanya guruku dari pulau
Tho Hoa To" Maka itu mari, mari kita mencoba lagi sekali!"
Kwee Ceng berlaku sabar dan jujur.
"Sebenarnya aku bukanlah tandinganmu," ia berkata, "Dengan mengandali matamu
yang tidak dapat melihat, aku dapat melindungi jiwaku. Aku sudah menyerah sejak-
sejak siang." "Hang Liong Sip-pat Ciang terdiri dari delapanbelas jurus, kenapa kau tidak
menggunai itu semuanya?" Tiauw Hong tanya.
"Oleh karena sifatku tolo....." sahut Kwee Ceng. Justru itu Oey Yong memberi tanda
supaya ia jangan membuka rahasia, tetapi ia berkata terus, "Ang Locianpwee cuma
ajarkan aku limabelas jurus."
"Bagus!" kata Tiauw Hong pula. "Kau cuma bisa limabelas jurus, Bwee Tiauw Hong
telah jatuh di tanganmu! Apakah benar Ang Cit Kong, si pengemis tua bangkotan
itu demikian lihay" Tidak, tidak bisa, kau mesti mencoba bertempur pula
denganku!" Orang menjadi heran dan cemas. Nyata Tiauw Hong bukan hendak membalas sakit hati
saja. Di sini ada bibit bentrokan di antara Oey Yok Su dan Ang Cit Kong.
Kwee Ceng masih berlaku sabar. Ia kata, "Nona Oey yang begitu muda muda masih
bukan tandinganku, apapula kau" Ilmu silat dari Tho Hoa To adalah ilmu silat
yang aku paling kagumi..."
"Eh, Bwee Suci, kau masih hendak membilang apa lagi?" Oey Yong tanya.
"Mustahilkah di kolong langit ini ada orang yang terlebih lihay daripada
ayahku?" "Tidak bisa, kita mesti bertempur satu kali lagi!" Tiauw Hong berkukuh. Ia tutup
perkataannya itu dengan sambaran tangannya.
Kwee Ceng berkelit. Sampai di situ ia habis sabarnya.
"Kalau begitu, silahkan Bwee Cianpwee memberikan pengajaran padaku!" katanya. Ia
lantas menyerang dengan hebat, suara anginnya mendesir.
Tiauw Hong mengancam dengan cengkeramannya.
"Kau gunai serangan yang tak ada suaranya!" kata wanita kosen ini. "Dengan
pukulanmu yang bersuara itu, aku bukan tandinganku!"
Kwee Ceng berlompat beberapa tindak.
"Guruku she Kwa yang besar budinya tidak leluasa matanya," berkata Kwee Ceng,
"Kalau lain orang menggunai tinju tak bersuara menghina dia, aku mestinya sangat
membenci lawannya itu, karena itu, mana dapat aku berlaku demikian terhadapmu"
Tadi aku telah tergores racunmu, untuk membela diri aku menggunai tinju tanpa
bersuara itu. Kalau sekarang kita bertempur pula dengan aku menggunai caraku
itu, aku tidak berlaku secara terhormat."
Mendengar suara orang bersungguh-sungguh, hati Tiauw Hong tergerak juga. "Ini
anak muda baik hatinya," ia berpikir. Tapi ia membentak: "Aku menitahkan kau
berkelahi dengan tinjumu tanpa bersuara, aku ada punya caraku untuk
memecahkannya! Perlu apa kau banyak rewel seperti wanita tua"!"
Kwee Ceng melirik kepada si baju hijau, ia berpikir; "Mungkinkah dalam sekejap
saja ia telah mengajarkan wanita ini ilmu memecahkan pukulanku tanpa bersuara
itu?" Tapi karena orang sangat mendesak, ia menyahuti: " Baiklah, Bwee Cianpwee,
akan aku mencoba melayani kau lagi limabelas jurus!"
Pemuda itu memikir untuk mengulangi limabelas jurusan itu, umpama kata ia tidak
bisa menghajarnya, ia pun dapat membela diri. Ia lantas berlompat maju, ia mulai
menyerang dengan perlahan. Justru itu segera ia mendengar suara "Ser" di
sampingnya, ia dapatkan tangannya Tiauw Hong sudah menbangkol ke arah lengannya
itu, orang seperti melihat gerakan tangannya - tangan kiri yang dipakai untuk
menyerang itu, terus ia menggeser ke kiri juga, untuk dari sini mengulangi
serangan, tetap dengan cara ayal-ayalan.
Kembali ia menjadi heran. Baru tangannya itu dikeluarkan, Tiauw Hong seperti
sudah mengetahui serangannya itu, ia mendahului menyerang - cepat melawan
lambat. Ia berkelit, ia kurang sebat, hampir ia kena dijambret. Segera ia lompat
mundur. "Sudah aneh yang ia tahu aku bakal menyerang, tetapi sekarang ia malah dapat
mendahulukan aku, inilah terlebih aneh pula...." berpikir anak muda ini. Ia lantas
menyerang untuk ketiga kalinya dan dengan "Hang Liong Ya Hui" atau "Naga
Menyesal", pukulannya yang paling lihay.
Kembali terdengar suara "Ser" seperti tadi, kembali tangan berkuku dari Tiauw
Hong sudah menyambar ke lengan penyerangnya.
Pengalaman membuat Kwee Ceng cerdik. Ia menduga kepada suara "Ser" itu. Ia lalu
menyerang pula untuk keempat kalinya, sembari menyerang ia melirik kepada si
orang berbaju hijau itu. Sekarang ia melihat nyata orang menyentil sebutir batu
kecil, batu mana meleset ke udara, suara ser-nya terdengar pula.
"Ah, benar-benar dialah yang memberi petunjuk!" pikirnya. "Hanya kenapa ia kenal
ilmu silatku ini" Kenapa ia ketahui ke mana tinjuku bakal menuju...?" Ia berpikir
terus, hingga ia ingat: "Ya, aku ingat sekarang. Tempo hari Yong-jie bertempur
sama Nio Cu Ong, Ang Cit Kong saban-saban memecahkan dulu rahasia pukulannya Cu
Ong itu, sekarang orang itu menggunai cara itu.... Baiklah setelah limajurus, aku
mengaku kalah...." Pertempuran itu berlangsung terus, selalu Kwe Ceng menjadi pihak si penyerang.
Kemudian terdengar tiga kali suara ser- ser, ialah sentilannya si baju hijau,
atas itu, dari pihak diserang, Tiauw Hong berbalik menjadi pihak penyerang. Tiga
kali beruntun ia menyerang, Kwee Ceng bisa membebaskan diri, lalu dua kali ia
membalas. Sekarang para penonton pun dapat melihat si baju hijau itu memberi petunjuk
kepada Bwee Tiauw Hong, mereka heran. Pertempuran sendiri berjalan bertambah
hebat, anginnya berdesir-desir, saban-saban dalam situ tercampur suara ser itu.
Oey Yong benar-benar cerdik, ia segera dapat memikir akal. Dia-diam ia memungut
hancuran bata, lantas ia menelad orang. Ia berlaku licin, ialah ada kalanya ia
menyerang ke udara, ke tempat kosong, di lain saat, ia serang lansung batunya si
baju hijau. Dengan ini ia hendak membikin kacau Tiauw Hong. Tapi hebat si baju
hijau, kapan batunya kena terpukul, batu itu justru mengasih dengar suara lebih
nyaring, petunjuknya tidak terganggu.
Tuan rumah ayah dan anak dan Kanglam Liok Koay heran. Kenapa sentilan itu
demikian lihay" Panah peluru pun tidak sehebat itu! Bukankah celaka kalau orang
kena tersentil" Oey Yong berhenti mengacau, ia menjublak mengawasi si baju hijau.
Di gelangang pertempuran, Kwee Ceng sudah lantas kena terdesak, serangannya si
Mayat Besi menjadi terlebih berbahaya.
Tiba-tiba ada terdengar dua suara nyaring, lalu terlihat dua butir batu
menyerang ke udara - yang di depan rada kendor, yang di belakangnya lebih cepat,
lantas yang di depan itu kena disusul, kena diserang, maka terdengarlah suara
beradunya kedua batu itu, yang memancerkan lelatu api hancurannya terbang
berhamburan. Justru itu, Tiauw Hong lompat kepada lawannya untuk menubruk,
sedang Kwee Ceng berlompat untuk menyingkir.
Sekonyong-konyong Oey Yong menjerit, "Ayah!" lalu ia lari ke arah si baju hijau
itu, yang ia terus tubruk untuk memernahkan diri dalam rangkulan orang itu. Ia
menangis terus ketika ia berkata-kata: "Ayah, kenapa, kenapa muka ayah berubah
menjadi begini rupa...?"
Itulah kejadian diluar dugaan, karenanya si baju hijau itu berdiri menjublak
Kwee Ceng lekas berpaling, ia dapatkan Tiauw Hong berdiri di hadapannya,
kupingnya lagi dipasang untuk mendengari suara ser seperti tadi. Inilah ketika
baik, yang ia tak mau kasih lewat, maka ia ulur tangannya perlahan-lahan ke arah
pundak wanita lihay itu. Hanya ketika ia menepuk, ia menggunai tenaganya
seluruhnya. Ia menyerang dengan tangan kanan yang segera disusul dengan tangan
kiri! Tidak tempo lagi, Bwee Tiauw Hong roboh berjumpalitan, terus ia tebah, tak dapat
ia berbangkit pula! Seng Hong mendengar Oey Yong memanggil ayah, hanya sejenak ia berdiam, lalu ia
menjadi kaget berbareng girang, sampai ia melupai kakinya yang sakit, ia
mencelat dengan niat berlompat kepada si baju hijau itu. Tapi celaka untuknya,
ia terguling di tempat kosong.
Si baju hijau lantas merangkul Oey Yong dengan sebelah tangannya, tangannya yang
lain dibawa ke mukanya, di situ ia menarik kulit mukanya, maka di lain saat ia
telah memperlihatkan muka yang lain. Nyatalah ia ada memakai topeng kulit yang
tipis sekali. Belum kering airmatanya Oey Yong atau ia berseru kegirangan, dia merampas topeng
kulit itu untuk dipakai di mukanya, setelah mana ia merangkul pula ayahnya itu,
sembari memeluki leher orang dia tertawa dan berjingkrakan. Sebab baju hijau
yang aneh kelakuannya, yang luar biasa sebat gerakan tubuhnya, adalah Oey Yok
Su, tocu pemilik dari Tho Hoa To, pulau bunga Tho.
"Ayah, kenapa kau datang ke mari?" kemudian si anak menanya. "Tadi si tua bangka
she Kiu mencaci kau, kenapa kau tidak memberi hajaran padanya?"
"Kenapa aku datang ke mari?" balik menanya si ayah, romannya keren. "Aku justru
mencari kau!" Oey Yong girang bukan kepalang.
"Ayah, maksud hatimu telah kesampaian!" serunya. "Bagus! Bagus!" ia menepuk
tangan. "Maksud hati apakah"!" berkata si ayah. "Apakah untuk mencari kau si budak!"
Oey Yong terharu hatinya. Ia tahu ayahnya pernah mengangkat sumpah yang berat,
ialah ayah itu telah mengambil ketetapan akan berdiam terus di Tho Hoa To untuk
menyakinkan Kiu Im Cin-keng, supaya ia menjadi satu jago yang tak ada
tandingannya di kolong langit ini, maka bukan main menyesalnya tempo ia mendapat
kenyataan sebagian dari kitabnya itu dicuri Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong,
keudua muridnya. Tentu sekali dengan lenyapnya kitab itu menggagalkan
peryakinannya. Dalam murkanya ia bersumpah tidak akan meninggalkan pulaunya itu.
Tapi anak daranya itu nakal, anak itu buron, untuk mencari si anak, dia telah
melangggar sumpahnya sendiri, dia meninggalkan pulaunya itu.
"Ayah," berkata si anak kemudian, "Ayah, selanjutnya aku akan menjadi anak yang
baik, yang sampai matipun nanti mendengar katamu."
Mendapatkan putrinya tidak kurang suatu apa, Oey Yok Su sudha girang, sekarang
ia mendengar janji anaknya itu, hatinya menjadi lega sekali.
"Kau pimpin bangun sucimu," ia memerintahkan.
Oey Yong mengasih bangun pada Bwee Tiauw Hong.
Koan Eng pun segera mengangkat bangun pada ayahnya, untuk mereka berdua menagsih
hormat kepada itu guru atau kakek guru.
Oey Yok Su menghela napas.
"Seng Honh, kau baik sekali, kau bangun," katanya. "Dulu hari itu aku sudah
keburu nafsu, aku telah berbuat tidak pantas terhadapmu...."
Sang murid menangis sesegukan.
"Apakah guru baik?" tanyanya dengan susah.
"Syukur aku tidak mati karena orang membikin aku mendongkol," sahut gurunya itu.
Oey Yong memandang ayahnya, ia tertawa nakal.
"Toh ayah maksudnya bukan aku?" katanya.
"Kau pun termasuk sebagiannya!" kata ayah itu. "Hm!"
Anak itu mengulur panjang lidahnya.
"Ayah, mari aku ajar kau kenal dengan beberapa sahabat!" katanya kemudian.
"Inilah Kanglam Liok Koay yang kesohor dalam dunia kangouw, merekalah gurunya
engko Ceng." Oey Yok membuka lebar matanya, ia tidak perdulikan Liok Koay. "Aku tidak mau
ketemu orang luar!" katanya kaku.
Kanglam Liok Koay tidak puas untuk keangkuhan orang itu, tetapi karena orang
terlalu besar namanya, mereka terpaksa berdiam.
Kemudian Oey Yok Su berkata kepada anaknya: "Kau ada barang apa hendak dibawa
pulang! Pergilah lekas ambil, mari kita pulang bersama!"
"Tidak ada apa-apa," sahut si anak tertawa. "Ada juga hendak dipulangi kepada
Liok Suko." Ia merogoh sakunya, mengeluarkan obat Kiu-hoa Giok-louw-wan, yang ia
terus angsurkan kepada Seng Hong. Ia kata, " Suko, terimalah kembali obatmu ini.
Tidak gampang untuk membikin ini, bersama engko Ceng aku telah menerima dua
butir, itu pun sudah cukup, aku bersyukur sekali."
Seng Hong tidak menyambuti, ia hanya berkata pada gurunya: "Hari ini teecu
bertemu guru, hatiku girang bukan main. Obat ini hendka aku menghanturkan kepada
suhu. Umpama suhu sudi berdiam di rumahku ini untuk beberapa waktu, aku
terlebih-lebih...." Oey Yok Su tidak menjawab, hanya ia menunjuk kepada Koan Eng.
"Inikah anakmu?" tanyanya.
"Ya," sahut sang murid.
Tanpa dititah lagi, Koan Eng memberi hormat pula dengan paykui empat kali seraya
berkata; "Cucu murid memberi hormat kepada sucouw!"
"Sudahlah!" kata kakek guru itu, ia bukannya memimpin orang bangun, ia justru
menyambar ke punggung, mencekal bajunya, untuk mengangkat tubuhnya, lalu dengan
tangannya yang lain ia memukul ke arah pundak.
Seng Hong kaget sekali. "Suhu, inilah anakku satu-satunya...." ia kata.
Hajaran Oey Yok Su ini membuatnya Koan Eng jumpalitan, terpelanting tujuh atau
delapan tindak, lalu terjungkal.
"Kau baik," ia terus berkata kepada muridnya. "Kau tidak mewariskan kepandaiamu
kepadanya! Adakah ia murid dari Hoat Hoa Cong?"
Hatinya Seng Hong lega. Ia tahu guru itu lagi menguji anaknya.
"Tidak berani teecu melanggar aturan suhu," ia berkata cepat. "Tanpa ijin dari
suhu, tidak berani teecu mengajari kepandaian suhu kepada lain orang. Memang
anak ini adalah muridnya Kouw Bok Taysu dari Hoat Hoa Cong..."
"Hm!" kata guru yang bengis itu. "Kuow Bok dengan kepandaiannya semacam ini
berani menyebutkan dirinya Taysu! Mulai besok kau sendiri yang mengajarkan
anakmu ini!" "Taysu" itu berarti guru besar.
Bukan main girangnya Seng Hong. "Lekas kau menghanturkan terima kasih kepada
sucouw!" ia menyuruh kepada anaknya.
Koan Eng tahu diri, lekas-lekas ia memberi hormat pula, dengan berlutut empat
kali lagi. Oey Yok Su tidak melihat lagi kepada ini cucu murid, ia pun tidak
memperdulikannya. Melihat sikap gurunya ini, Seng Hong berdiam. Sebenarnya ia girang bukan main.
Ia menyesal yang ia tidak dapat mengajari sendiri pada putranya ini, sampai ia
kirim putranya itu pada lain guru. Dengan tidak mewariskan kepandaiannya kepada
anaknya, ia kecewa sekali. Maka perkenanan suhunya ini membikin ia bersyukur.
"Siapa kesudian obatmu ini!" kata si guru, yang mendelik kepada muridnya. "Kau
ambillah ini!" Oey Yok Su menggerakkan tangannya, dua lembar kertas putih lantas terbang ke
arah muridnya itu. Jarak di antara guru dan murid itu ada setombak lebih tetapi kertas itu melayang
bagaikan layangan ke arah si murid, yang menyambutnya.
Menyaksikan itu, Kanglam Liok Koay kagum sekali.
Pun Oey Yong sangat puas.
"Engko Ceng, bagaimana kau lihat kepandaian ayahku ini?" ia berbisik kepada Kwee
Ceng. "Ayahmu hebat sekali," sahut si engko Ceng itu. "Yong-jie, kalau kau sudah
pulang nanti, jangan kau termaha memain saja, kau mesti belajar dengan sungguh-
sungguh." "Kau toh turut bersama!" kata si nona, cemas hatinya. "Mustahilkah kau tidak
turut?" "Aku hendak mengikuti suhuku," sahut Kwee Ceng. "Lewat sedikit waktu, aku akan
pergi menjengukmu." Oey Yong menjadi sangat gelisah. "Tidak! Tidak!" katanya. "Aku tidak mau
berpisah denganmu!" Kwee ceng menyeringai. Sebenarnya ia pun berat akan berpisahan dari si nona.
Seng Hong sendiri lantas sudah membeber kertas yang ia sambuti itu, ia melihat
banyak huruf-hurufnya. Koan Eng lekas mengambilkanapi, untuk menyuluhi, maka
ayahnya segera dapat kenyataan, itulah pengajaran ilmu silat. Ayah ini pun masih
mengenali tulisan tangan gurunya, yang sudha duapuluh tahun ia tak menampaknya.
Huruf-huruf gurunya itu masih tetap bagus dan keren. Di lembar pertama, di
sebelah kanan, yang paling atas, ada empat huruf "Sauw yap twie hoat". Jadi
itulah ilmu menendang. Ia tahu, itulah ilmu yang bersama "Lok Eng Ciang" menjadi
keistimewaan gurunya. Dari enam murid, tidak ada satupun yang diwariskan ilmu
itu. Coba dulu ia dapatkan ilmu itu, alangkah girangnya, tetapi pun sekarang, ia
pun sekarang masih bisa mengajari anaknya. Maka ia simpan baik-baik kertas itu,
kepada gurunya ia memberi hormat sambil menghanturkan terima kasih.
"Ilmu tendangan ini tidak sama dengan pengajaranku dulu, Oey Yok Su memberitahu.
"Jalannya mirip tetapi di mulai dengan latihan tenaga dalam. Kau menyakinkan ini


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil duduk bersemadhi, selang lima enam tahun, kau nanti dapat berjalan tanpa
bantuannya tongkat!"
Seng Hong girang dan terharu, ia sangat bersyukur.
"Kakimu tidak dapat diobati lagi, bersilat di bawah pun kau tidak dapat,"
berkata si guru itu, "Tetapi jikalau kau bersungguh-sungguh mengikuti
pelajaranku ini yang baru, kau nanti dapat berjalan tak sulit seperti orang yang
kakinya tak bercacad. Ah...." Ia menyesal yang dulu hari, karena menuruti hawa
amarahnya, ia sudah siksa keempat muridnya tanpa mereka itu bersalah dosa. Tapi
dasar beradat keras, ia tidak sudi akui kekeliruannya itu. Hanya ia memesan:
"Pergilah kau cari tiga adik seperguruanmu dan kau ajari mereka ilmu ini..."
Seng Hong menyahuti "ya", lalu ia menambahkan: "Tentang sutee Leng Hong Kiok,
tak pernah teecu mendengarnya. Tetapi kedua sutee Boe dan Phang, sudah lama
mereka itu menutup mata..."
Oey Yok Su bersedih, lalu sinar matanya yang tajam itu beralih kepada Bwee Tiauw
Hong. Lain orang melihat sinar mata itu, mereka terkejut. Syukur Tiauw Hong
sendiri tidak melihatnya.
"Tiauw Hong!" berkata guru itu dingin, "Kau sebenarny terlalu jahat, tapi kau
juga telah menderita hebat. Tapi si tua bangka she Kiu ngoceh menyumpahi aku
mati, kau mengucurkan air mata, kau juga hendak menuntut balas untukku, maka
itu, dengan memandang beberapa tetes air matamu itu, suka aku membiarkan kau
hidup lebih beberapa tahun lagi."
Tiauw Hong tidak menyangka gurunya dengan begitu gampang saja suka memberi ampun
padanya, saking girang, ia lantas menjatuhkan diri ke tanah, untuk memberi
hormat, buat menghanturkan terima kasih.
"Baik,baik," kata guru itu yang dengan perlahan menepuk punggungnya tiga kali.
Tiauw Hong merasakan sakit tidak terkira, hampir ia pingsan, dengan suara
menggetar ia memohon: "Suhu, teecu ketahui kedosaanku tak terampunkan, maka itu
teecu mohon sekarang juga kau menghukum mati padaku, tetapi bebaskanlah teecu
dari siksaan Hu-kut-ciam....."
Hu-kut-ciam itu adalah jarum rahasia yang ditusukkan ke tulang-tulang. Tentang
ini Tiauw Honjg pernah mendengar dariBtan Hian Hong. Katanya itulah senjata
rahasia guru mereka, bahwa asal tubuh lawan kena ditepuk perlahan, jarum itu
akan masuk ke dalam daging dan nacap di sambungan tulang-tulang, sakitnya bukan
main, sebab jarumnya dipakaikan racun. Katanya pula, lambat jalannya racun itu,
maka setiap hari enam kali orang akan tersiksa racun hebat, lalu selang lima
bulan barulah sang kematian datang. Semakin lihay ilmu silat orang, semakin
hebat penderitaannya. Mengetahui ini, Tiauw Hong berputus asa, maka itu habis mengeluh, mendadak ia
menggeraki cambuknya buat menghajar kepalanya sendiri, untuk menghabiskan
jiwanya. Tapi Oey Yok Su sangat lihay, belum orang tahi apa-apa, cambuk itu
sudah kena dia rampas. Dengan dingin guru ini berkata: "Kenapa tergesa-gesa"
Untuk mati tidaklah gampang!"
Mendengar perkataan guru itu, Tiauw Hong menduga ia bakal disiksa, supaya ia
menderita, karenanya ia menoleh kepada Kwee Ceng, samil tertawa meringis ia
kata: "Aku berterima kasih yang kau telah membunuh suamiku, dengan begitu lelaki
busuk itu dapat kematiannya dengan enak sekali!"
Oey Yok Su tidak pedulikan apa yang muridnya itu bilang, ia hanya kata: "Jarum
Huu-kut-ciam ini baru bekerja sesudah lewat satu tahun, selama tempo satu tahun
ini , aku berikan tiga macam tugas yang kau mesti rampungkan, habis itu kau
boleh datang ke pulau Tho Hoa To untuk menemui aku, aku ada mempunyai daya untuk
mencabut jarum itu."
Girang Tiauw Hng mendengar gurunya ini.
"Biar mesti menerjang api berkobar, teecu nanti lalukan titah suhu itu!" ia
berkata. Tapi gurunya itu mengash dengar suara dingin sekali ketika ia berkata; "Taukah
kau apa yang hendak aku menitahkan kau melakukannya hingga kau dapat menerimanya
begini cepat?" Tiauw Hong tidak berani menyahuti, ia menunduk saja.
Oey Yok Su segera memberitahukan tiga syaratnya itu.
"Yang pertama," demikian katanya, "Kiu Im Cin-keng yang kau bikin lenyap itu kau
mesti cari dan mendapatinya kembali untuk dikembalikan padaku! Jikalau kitab itu
dapat dilihat orang lain, dia mesti dibinasakan! Seorang yang melihat, seorang
yang dibunuh, seratus orang melihat, seratus orang juga yang mesti dibunuh itu!
Umapama kau cuma membunuh sembilanpuluh sembilan orang, jangan kau kembali
padaku!" Bergidik orang yang mendengar syarat itu. Kanglam Liok Koay berpikir: "Orang
menyebutnya Oey Yok Su sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, kelakuannya ini
benar-benar sesat sekali...."
"Sekarang yang kedua," Oey Yok Su berkata pula, "Tiga saudaramu Boe, Phang dan
Kiok telah menderita karena perbuatanmu, sekarang kau pergi cari Leng Hong,
setelah itu kau cari tahu dua saudara Boe dan Phang itu ada mempunyai turunan
atau tidak, semua turunan mereka itu kau bawa ke Kwie-in-chung ini, serahkan
kepada Seng Hong, supaya ia yang mengurusnya."
Tiauw Hong memberikan janjinya.
Seng Hong pun berpikir, dapat ia berbuat untuk syarat yang kedua itu tetapi
sebab ia kenal baik adat gurunya itu, ia berdiam saja.
Oey Yok Su angkat kepalanya mendongak ke langit, mengawasi bintang-bintang.
"Kitab Kiu Im Cin-keng itu kamulah yang mengambilnya sendiri," ia berkata pula.
"Ilmu dalam kitab itu aku tidak mengajarkan kamu, kamu sendiri yang
mempelajarinya. Kamu tahu apa yang harus kau perbuat?" ia berdiam sejenak. "Nah,
inilah yang ketiga."
Tiauw Hong tidak segera dapat menerk apa maksud gurunya, sekian lama ia berpikir
keras. Akhirnya ia sadar juga. Maka dengar suara menggetar ia kata: "Sesudah
teecu berhasil membereskan yang pertama dan yang kedua itu, teecu ketahui
bagaimana harus menghabiskan sendiri kedua ilmu Kiu Im Pek-kut Ciauw serta Cwie-
sim-ciang yang teecu berhasil menyakinkannya.
Kwee Ceng tidak mengerti, ia tarik tangan bajunya Oey Yong, dengan sinar matanya
memain, ia tanya si nona.
Oey Yong agaknya merasa berat tetapi dengan tangan kanannya ia membacok ke
tangan kirinya. Melihat ini, pemuda itu mengerti, di dalam hatinya ia berkata:
"Oh, kiranya dia hendak mengutungi tangannya sendiri. Bwee Tiauw Hong ini memang
jahat sekali, hanya setelah ia insyaf, kenapa ia mesti dihukum secara demikian
hebat" Mesti aku minta Yong-jie memohonkan keampunannya..."
Tengah pemuda ini berpikir demikian, Oey Yok Su berpaling padanya seraya
menggapaikan. "Kaukah yang bernama Kwee Ceng?" ia menanya.
Kwee Ceng segera maju untuk memberi hormatnya sambil menjura.
"Teecu Kwee Ceng menghadap Oey Locianpwee," katanya hormat.
"Tan Hian Hong yang emnjadi murid kepalaku, kaulah yang membinasakan,
kepandaianmu bukan main," kata Oey Yok Su.
Kwee Ceng terperanjat. Suara tak berkesan baik untunya. Tapi ia lekas menjawab:
"Ketika itu teecu masih muda sekali dan belum tahu apa-apa, teecu kena
tertangkap oleh Tan Cianpwee, dalam ketakutan dan bingung, teecu kesalahan
tangan telah membinasakan dia...."
"Hm!" Oey Yok Su memperdengarkan suara yang dingin. "Tan Hian Hong memang benar
adalah murid murtad dari kalanganku, tetapi untuk membinasakannya, itulah hak
kami. Apakah murid-murid dari Tho Hoa To boleh di bunuh orang luar"!"
Kwee Ceng tidak dapat menjawab, ia berdiam.
"Ayah," Oey Yong berkata, "Ketika itu dia baru berumur enam tahu, tahu apa dia?"
Oey Yok Su tidak melayani putrinya itu, ia seperti tidak mendengar perkataan
orang. "Si pengemis tua she Ang itu biasanya tidak suka menerima murid," katanya
sejenak kemudian. "Tetapi sekarang ia telah mengajarkan kau Hang Ling Sip-pat
Ciang sampai limabelas jurus, itulah tentu kau ada punya sifat-sifat baik yang
melebihkan lain-lain orang. Tidak demikian, pastilah kau sudah bujuk dia dengan
akal apa, yang membuat hatinya girang, hingga ia suka menurunkan kepandaiannya
itu. Kau telah menggunai kepandaiannya si pengemis tua untuk merobohkan - hm,hm!
Kalau nanti si pengemis itu bertemu dengan aku, bukankah ia bakal banyak bacot?"
Kembali Oey Yong memotong perkataan ayahnya.
"Ayah, memang benar ada digunai bujukan!" katanya sambil tertawa. "Tetapi
bukannya dia yang mengakalinya, hanya aku! Dia seorang yang polos, jangan ayah
berlaku galak dan membuatnya ketakutan."
Oey Yok Su tidak melayani gadisnya itu. Sebenarnya semenjak istrinya menutup
mata, ia sangat menyayangi gadisnya ini, karena itu anaknya menjadi termanjakan.
Demikian sudah terjadi, karena ditegur ayahnya, Oey Yong minggat. Tadinya Oey
Yok Su menyangka, sebagai seorang wanita, setelah buron, anaknya bakal menderita
sekali, siapa tahu, anak itu sehat dan tetap manja seperti biasa. Melihat anak
itu agak rapat sekali pergaulannya sama Kwee Ceng, hingga seperti juga dia
kurang rapat dengan ayahnya sendiri, ia tidak puas. Maka itu, ia kata pula pada
si anak muda: "Dengan si pengemis tua mengajarkan kau ilmu silat, kau terang
sudah dia menertawakan partaiku tidak ada orangnya, bahwa setiap muridku tidak
punya guna..." Oey Yong bisa menerka hati ayahnya itu, yang tidak senang Tiauw Hong kena
dikalahkan dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, kembali ia menyela: "Ayah, siapakah
bilang partai Tho Hoa To tidak ada orangnya" Dia ini beruntung sebab mata Bwee
Suci buta! Nanti aku membikin ayah puas!" Ia lantas lompat ke depan seraya
berseru, "Mari, mari! Nanti aku gunai kebisaan biasa saja yang ayah ajarkan aku
melayani kepandaian istimewa Ang Cit Kong!" Ia menantang Kwee ceng, yang ia tahu
kepandaiannya sudah maju jauh sekali hingga hampir seimbang dengannya, kalau
dalam beberapa puluh jurus mereka berdua bertanding seri, itu saja sudah cukup
untuk membikin puas ayahnya.
Kwee Ceng dapat mengerti maskudnya si nona, justru Oey Yong tidak membilang
suatu apa, ia menerima tantangan. Tetapi ia kata: "Biasanya aku aklah dari kau,
baik aku membiarkan kau menghajar aku dengan beberapa gebukan lagi!" Bahkan ia
ayun tangan kanannya seraya berlompat maju.
"Lihat tanganku!" Oey Yong pun berseru seraya ia membacok dengan tangannya.
Itulah bacokan dari samping, dengan satu jurus dari ilmu silat Lok Eng Ciang.
Kwee Ceng melayani dengan Hnag Liong Sip-pat Ciang, tetapi ia menyayangi Oey
Yong, maka itu ia tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, di lain pihak, Lok Eng
Ciang memangnya lihay, maka itu setelah banyak jurus, beberapa kali ia kena
dihajar, malah untuk memuaskan ayahnya, si nona menggunai tenaga keras. Oey Yong
benari berbuat demikian karena ia tahu tubuh sahabatnya itu kuat.
"Kau masih tidak mau menyerah!" Oey Yong berseru sambil ia menerjang tidak
hentinya. Kwee Ceng tidak menyahuti, ia hanya berkelahi terus. Didesak, ia membela diri.
Disaat itu, mendadak Oey Yok Su mencelat ke arah mereka berdua. Hebat
gerakkannya itu, orang sampai tidak melihatnya, hanya tahu-tahu, kedua tanganya
sudah diulur, dipakai menyambar masing-masing leher bajunya kedua bocah itu,
lalu ia menggentak, melemparkan mereka itu. Oey Yong disambar dengan tangan
kiri, dia dilempar asal saja. Kwee Ceng dicekal dengan tangan kanan, tangan itu
dikerahkan tenaganya, maksudnya supaya si bocah roboh terbanting.
Kwee Ceng tidak berdaya atas sambaran itu, tubuhnya terlempar dingin kebelakang,
akan tetapi ketika ia jatuh, kakinya turun lebih dulu, begitu kakinya itu
mengenai tanah, ia seperti menancap diri, ia tidak roboh terguling.
Sebenarnya kalau bocah ini roboh dan mukanya babak belur atau ia tidak dapat
bangun pula, itulah untungnya, tetapi sekarang, melihat ketangguhan kuda-kudanya
itu, Oey Yok Su menjadi panas hatinya.
"Hai, kamu bermain sandiwara untuk aku menontonnya"!" dia berseru. "Aku tidak
mempunyai murid, mari, kau mencoba-coba menyambut kau beberapa jurus!"
Kwee Ceng terkejut, lekas-lekas ia menjura memberi hormat.
"Biarnya teecu bernyali sebesar langit, tidak nanti teecu berani melayani
locianpwee," katanya hormat.
"Hm, melayani aku!" kata Oey Yok Su tertawa dingin. "Kau tidak tepat, bocah! Aku
akan berdiri di sini tanpa bergerak, kau boleh menyerang aku dengan Hang Liong
Sip-pat Ciang! Asal aku berkelit atau menangkis, hitunglah aku kalah!"
"Teecu tidak berani," Kwee Ceng berkata pula.
"Tidak berani kau juga mesti beranikan!" mendesak Oey Yok Su.
Kwee Ceng menjadi serba salah. "Kelihatannya tidak dapat aku tidak melayaninya,"
pikirnya. "Apa boleh buat. Dia tentu hendak meminjam tenagaku, untuk membikin
aku roboh beberapa kali...?"
"Lekas kau menyerang!" Oey Yok Su mendesak. Ia dapat kenyataan, walaupun
bersangsi, orang sudah mempunyai niat. "Jikalau tidak, aku akan menghajarmu!"
"Karena locianpwe menitahkannya, teecu tidak berani membantah," menyahut Kwee
Ceng kemudian. Ia terus membungkuk seraya memutar tangannya melingkar. Ia cuma
memakai tenaga enam bagian. Sebabnya ialah kesatu ia khawatir nanti melukai ayah
kekasihnya itu dan kedua, umpama ia dibikin terjungkal, robohnya tidak hebat. Ia
menyerang ke dada. Hanya aneh, ketika mengenai sasarannya, tangannya itu seperti
licin, lewat dengan begitu saja.
"Apa" Kau tidak melihat mata padaku"!" menegur Oey Yok Su. "Apakah kau takut aku
tidak sanggup bertahan untuk pukulanmu" Benarkah?"
"Teecu tidak berani," menyahut si anak muda. Ia lantas menyerang untuk kedua
kalinya. Sekarang ia tidak menahan lagi tenaganya. Serangannya itu dibarengi
sama dikeluarkannya napas. Dengan tangan kiri ia mengancam, dengan tangan kanan
ia menyerang perut. "Nah, inilah baru pukulan benar," berkata Oey Yok Su.
Kwee Ceng kaget bukan main. Serangannya hebat tetapi tidak mengenai sasarannya.
Sebaliknya tangannya itu seperti kena disedot, begitu keras hingga bagaikan
tangannya itu copot. Ia merasakan sakit bukan kepalang.
"Teecu kurang ajar, harap locianpwee memaafkan," ia berkata. Tangannya itu
sementara itu sudah tidak diangkat.
Kanglam Liok Koay heran, kaget dan berkhawatir. Sungguh hebat Tong Shia ini,
tanpa berkelit tanpa menangkis, ia membikin lengan Kwee Ceng itu mati kutu.
"Kau pun rasai tanganku!" mendadak Oey Yok Su berseru. "Biarlah kau ketahui,
yang mana yang lebih lihay, Hang Liong Sip-pat Ciang dari si pengemis tua atau
kepandaian dari Tho Hoa To!"
Belum berhenti suara itu, angin sudah menyambar, Kwee Ceng menahan sakit, ia
mencelat, maksudnya untuk berkelit. Di luar tahunya, belum tinju orang sampai,
tinju itu telah didului gaetan kaki, maka sedetik itu juga, robohlah Kwee Ceng.
Oey Yong kaget. "Jangan, ayah!" ia menjerit seraya berlompat menubruk Kwee Ceng, di atas tubuh
siapa ia mendekam. Oey Yok Su menyerang terus, tetapi melihat anaknya, tinjunya diubah menjadi
cengkeraman dengan apa ia menjambak baju anak itu, untuk diangkat, kemudian
tangan kirinya menggantikan menyerang terus.
Kanglam Liok Koay kaget sekali. Mereka tahu itulah pukulan dari kematian. Maka
mereka maju dengan berbareng, untuk menolongi murid mereka. Coan Kim Hoat berada
paling depan, dengan dacinnya ia menghajar lengan kiri Tong Shia.
Oey Yok Su meletaki gadisnya di sampingnya. Ia seperti tidak mengambil tahu
serangannya Kim Hoat yang disusul pedangnya Han Siauw Eng. Ketika kedua serangan
itu mengenai sasaran, mendadak saja dacin dan pedang patah menjadi empat potong!
Oey Yong lantas saja menangis.
"Ayah, kau bunuhlah dia!" dia berteriak. "Untuk selamanya aku tidak mau pula
bertemu denganmu....!" Tanpa menoleh lagi, ia lari ke arah telaga ke mana ia
terjun! "Bur!" air itu berbunyi dan gusar berbareng. Ia tahu putrinya itu pandai
berenang dan selulup, semenjak kecil putri itu biasa mandi di Tang Hay, dapat ia
tidak mendarat selama satu hari dan satu malam, akan tetapi kali ini sang putri
bakal pergi entah untuk berapa lama, mungkin untuk tidak bertemu pula seperti
kata si anak, maka itu dalam kagetnya, ia memburu ke tepi telaga, akan berdiri
bengong mengawasi telaga itu.
Sampai sekian lama barulah Tong Shia si Sesat dari Timur itu berpaling, ia lihat
Cu Cong tengah tolongi Kwee Ceng dengan menyambungi pula tangannya itu. Mendadak
ia menumpahkan hawa amarahnya terhadap mereka itu.
"Lekas kamu bertujuh membunuh diri!" ia membentak mereka itu, suaranya dingin.
"Tak usah sampai aku turun tangan hingga kau menjadi menderita!"
Kwa Tin Ok mengangkat tongkatnya.
"Satu laki-laki tidak takut mampus!" dia kata dengan nyaring. "Apapula
penderitaan!" "Kanglam Liok Koay sudah pulang ke kampung asalnya," Cu Cong pun berkata. "Kalau
sekarang kita mengubur tulang-tulang kita di telaga Thay Ouw ini, apakah lagi
yang diberati?" Lantas mereka berenam, dengan senjata di tangan atau tangan kosong, memernahkan
diri untuk melawan jago dari Laut Timur itu.
Kwee Ceng jadi berpikir keras. Ia tahu keenam gurunya tidak bakalan sanggup
melawan Oey Yok Su. Ia tidak ingin, karena urusannya sendiri, mereka itu
mengnatar jiwa percuma-cuma. Maka itu ia lantas melompat untuk menyelak.
"Tan Hian Hong terbinasa di tangan teecu sendiri!" ia berseru, "Kematiannya pun
tidak ada sangkut pautnya dengan semua guruku ini! Aku sendiri yang akan
mengganti jiwanya!" Ia tahu gurunya yang nomor satu serta yang nomor tiga dan
yang nomor tujuh beradat keras, kalau ia mati, mereka itu tentu nekat, maka itu
ia menambahkan, "Tapi sakit hati ayahku masih belum terbalas, maka itu apakah


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

locianpwee suka memberi tempo satu bulan kepadaku" Selewatnya tigapuluh hari
teecu bakal datang sendiri ke pulau Tho Hoa To untuk menerima binasa!"
Berat pikirannya Oey Yok Su, karena ia ingat anaknya, hawa amarahnya lantas
turut menjadi kendor. Tanpa membilang suatu apa, ia mengebas tangannya, ia
memutar tubuhnya, terus ia ngeloyor pergi.
Kanglam Liok Koay heran, kenapa kata-kata muridnya itu dapat membikin jago Tang
Hay itu mengangkat kaki. Mereka bercuriga, maka itu mereka tetap memasang mata.
Tapi benar-benar orang telah pergi.
Seng Hong pun menjublak sekian lama. Kemudian barulah ia mengundang semua
tetamunya kembali ke dalam.
Bwee Tiauw Hong tertawa dengan mendadak, ia mengebasi tangan bajunya, lalu
tubuhnya mencelat setombak lebih, ketika tubuhnya itu diputar, ia pun lenyap
dalam gelap gulita. "Bwee Suci, bawalah muridmu!" Seng Hong berteriak.
Tidak ada jawaban, sekitar mereka tetap sunyi, maka teranglah sudah, si Mayat
Besi pun telah pergi jauh.
Sampai di situ Liok Koan Eng mengasih bangun pada Wanyen Kang. Tapi orang
berdiam saja. Sebab ia telah terkena totokan, tinggal kedua matanya saja yang
dapat bergerak-gerak. "Aku telah terima baik permintaan gurumu, kau pergilah!" berkata Seng Hong. Tapi
ia tak dapat membebaskan orang dari totokan, karena itu bukablah totokan dari
partainya, kalau ia berbuat demikian, ia jdai berlaku tidak manis terhadap si
penotok. Ia mengawasi semua tetamunya, hendak ia berbicara.
Justru itu Cu Cong menghampirkan Wanyen Kang, tanpa membilang apa-apa, ia totok
pangeran itu beberapa kali. Sebat totokannya itu, di pinggang beberapa kali
disusul sama tepukan beberapa kali di punggung.
Melihat itu Seng ong kagum. "Dia lihay sekali," pikirnya mengenai Cu Cong.
"Wanyen Kang bukan sembarang orang tetapi ia dapat ditotok tanpa berbuat apa-
apa." Ia tidak tahu, Cu Cong dapat menotok dengan hasil bagus, karena keadaan
lagi kacau sekali. Wanyen Kang merasa sangat malu, tanpa memberi hormat, tanpa membilang suatu apa,
ia hendak mengangkat kaki.
"Orang ini siapa`" berkata Cu Cong. "Kau bawalah dia pergi!" Ia pun lantas
membebaskan Toan Tayjin. Komandan tentara itu menduga jiwanya bakal hilang, maka itu bukan main girangnya
ia yang ia ditolongi dan dimerdekakan juga. Dengan tergesa-gesa ia memberi
hormatnya. "Enghiong, untuk budi pertolonganmu ini, aku Toan Thian Tek tidak akan melupakan
sekali pun sampai akhir ajalku!" katanya.
Kapan Kwee Ceng mendapat dengar itu nama Toan Thian Tek, ia terkejut ia
tercengang. Nama itu seperti mengaung di kupingnya.
"Kau...kau bernama Toan Thian Tek?" ia menanya.
"Benar," komandan itu menyahut. "Enghiong kecil, kau ada punya pengajaran apa
untukku?" "Bukankah delapanbelas tahun yang lampau selama di Lim-an, kau ada menjadi opsir
tentara?" Kwee Ceng menanya pula.
"Benar, enghiong kecil. Bagaimana kau ketahui itu?" kembali Thian Tek menyahuti.
Kemudian ia memandang pada Koan Eng, sebab barusan ia mendengar keterangannya
Seng Hong bahwa pemuda itu muridnya Kouw Bok Taysu. Ia berkata: "Aku adalah
keponakan yang tidak menyucikan diri dari Kouw Bok Taysu itu, karenanya kita
menjadi orang sendiri, Haha!" Ia senang sekali, ia menjadi tertawa girang.
Kwee Ceng tidak menanya pula, ia hanya menoleh kepada tuan rumah.
"Liok Chungcu," katanya. "Aku yang rendah memohon pinjam ruangan belakang dari
rumahmu ini." "Tentu saja boleh," sahut Seng Hong.
Kwee Ceng mengucap terima kasih, lalu ia tuntun Toan Thian Tek, buat diajak ke
belakang. Cepat tindakannya itu.
Kanglam Liok Koay saling memandang, di dalam hatinya masing-masing mereka
berkata: "Thian sungguh adil, Siapa nyana justru di sini kita dapat menemui si
manusia jahat! Coba bukan dia menyebut namanya sendiri, siapa yang tahu dialah
yang dicari ubak-ubakan dan jauh laksaan lie selama tujuh tahun.....?"
Bab 32. Musuh besar!!! Liok Seng Hong dan putranya serta Wanyen Kang tidak mengerti, mereka mengikuti
si anak muda. Tiba di ruang belakang, di sana api dipasang terang-terang.
"Aku pinjam pit dan kertas," Kwee Ceng memohon pula.
Seorang bujang sudah lantas menyerahkan perabot tulis yang di minta itu.
Kwee Ceng segera menulis di atas sehelai kertas, bunyinya:
"sincie dari ayah almarhum, Kwee Siauw Thian."
Semua huruf itu besar-besar, lantas itu di taruh di tengah-tengah ruangan.
Sampai sebegeitu jauh Toan Thian Tek tidak tahu apa yang orang hendak perbuat,
begitu lekas ia membaca nama Kwee Siauw Thian, barulah ia kaget hingga umpama
kata semangatnya terbang. Ia segera melihat kelilingnya, lalu ia menjadi
terlebih kaget lagi. Ia seperti terkurung Kanglam Liok Koay yang semuanya
beroman keren. Tanpa merasa, celananya basah sendirinya. Lebih-lebih ia tidak
dapat melupakan Han Po Kie, si kate gemuk, yang matanya tajam itu. tadi karena
kaget dan ketakutan, ia tidak memperhatikannya. Sekarang tubuhnya bergemetaran.
Tiba-tiba tangannya Kwee Ceng terangkat dan turun dengan cepat. Satu suara
nyaring menyusul itu. Itulah pecahnya sebuah meja di depan mereka.
"Bilanglah, kau mau mampus cepat dan senang atau kau menghendaki tubuhmu dibikin
berkeping-keping hingga kau merasakan penderitaan"!" berkata si anak muda,
suaranya bengis. Ia berbicara seraya mengawasi tajam musuh besarnya itu.
Sampai di situ Toan Thian Tek merasa bahwa ia tidak bakal hidup pula.
"Memang benar ayahmu itu akulah yang membunuhnya," ia berkata. "Tetapi aku
diperintah oleh atasanku, aku tak bisa berbuat lain."
Matanya Kwee Ceng bersinar, biji mata itu seperti mau melompat keluar.
"Siapakah itu yang memerintah kau"!" ia tanya. "Siapa mengirim kau untuk
membinasakan ayahku itu! Lekas bilang, lekas!"
"Itulah Liok-ongya Wanyen Lieh, putra keenam dari negera Kim!" sahut Toan Thian
Tek. Mendengar itu Wanyen Kang terkejut. "Apa kau bilang?" dia menanya.
Toan Thian Tek memang mengharap-harap dapat menyeret orang, supaya dosanya
menjadi terlebih ringan. Maka itu ia lantas membeber, membuka rahasia bagaimana
itu hari Wanyen Lieh tertarik pada Pauw Sek Yok, istrinya Yo Tiat Sim, untuk
mendapatkannya, orang bekerja sama tentara kerajaan Song, dusun Gu-kee-cung
didatangi, diserbu, kedua keluarga Yo dan Kwee dibikin celaka. Tapi dengan
berpura-pura baik hati, dia sendiri menolongi Pauw Sek Yok. Hanya kemudian ia
berpisah dari ibunya Kwee Ceng itu dalam kekalutan tentara, ia kabur pulang ke
Lim-an. Kemudian dengan perlahan-lahan ia mendapat kenaikan pangkat sampai pada
pangkatnya yang sekarang ini. Ia menutur jelas perasaannya itu. Diakhirnya ia
berlutut di depan Kwee Ceng.
"Kwee Enghiong, Kwee Tayjin," ia berkata, "Hamba yang rendah menerima titah
orang, itulah bukan kedosaanku...." Ia pun mengangguk-angguk di meja sincie dari
Kwee Siauw Thian. "Kwee Looya," ia berkata pula, "Arwahmu di langit mengerti,
orang yang membikin celaka keluargamu itu, ialah musuhmu Wanyen Lieh adanya, si
pangeran keenam, bukannya aku yang berjiwa semut. Kwee Looya, hari ini putramu
sudah menjdai begini besar dan gagah, kau tentunya girang dan puas, maka itu aku
mohon dengan perlindunganmu, supaya sukalah putramu ini memberi ampun pada jiwa
anjingku ini...." Selagi orang mengoceh itu, mendadak Wanyen Kang lompat padanya, menghajar batok
kepalanya, yang lantas saja hancur pecah, tubuhnya roboh dan jiwanya melayang.
Kwee Ceng mendekam di tanah, ia menangis tersedu-sedu.
Baru sekarang Seng Hong mengerti jelas, maka bersama anaknya ia menjalankan
kehormatan di depan sincie, perbuatannya ini dituruti oleh Kanglam Liok Koay.
Juga Wanyen Kang turut memberi hormat, beberapa kali ia mengangguk-angguk,
kemudian ia berkata: "Saudara Kwee, baru sekarang aku ketahui.... Wanyen Lieh
adalah musuh besarmu. Tadinya aku tidak ketahui peristiwa ini, aku telah
melakukan segala apa yang bertentangan, sungguh aku berdosa."
Ia pun lantas menangis karena ingat penderitaan ibunya.
Kwee Ceng mengangkat kepalanya.
"Kau hendak perbuat apa sekarang?" ia tanya pada pangeran muda itu.
"Hari ini barulah aku tahu, aku adalah orang she Yo, maka itu untuk selanjutnya
aku akan memakai namaku, Yo Kang," menyahut Wanyen Kang.
"Bagus!" kata Kwee Ceng. "Dengan begini barulah kau menjadi satu laki-laki
sejati! Besok aku hendak pergi ke Pak-hia, untuk membunuh Wanyen Lieh, kau
hendak turut atau tidak?"
Yo Kang tidak lantas bisa memberikan jawabannya. Ia ingat budinya pangeran Kim
itu yang telah merawat ia semenjak masih kecil. Kapan ia lihat sinar matanya
pemuda she Kwee itu, yang agaknya kurang puas, ia menyahuti juga: "Siauwtee akan
iku toako menuntut balas!"
Yo Kang menyebut dirinya siauwtee (adik) dan memanggilnya toako (kakak), sedang
tadi ia hampir memanggil ayah angkat diwaktu menyebutkan namanya Wanyen Lieh
itu. Kwee Ceng girang sekali. "Bagus saudara!" berseru dia. "Almarhum ayahmu dan ibuku pun pernah membilangi
aku bahwa dulu hari ayahmu dan ayahku telah membuat perjanjian untuk kita
mengangkat saudara. Aku ingin mewujudkan peasn itu, bagaimana pikiranmu?"
"Itulah yang aku harap," menyahut Yo Kang.
Lantas keduanya menjalankan kehormatan di depan sincie, ini kali untuk
mengangkat saudara. Sampai di situ, bereslah segala apa, maka tuan rumah mempersilahkan semua
tamunya beristirahat. Besoknya pagi, Kanglam Liok Koay pamitan dari tuan rumah
dengan mengajak Kwee Ceng dan Yo Kang.
Seng Hong membekalkan sesuatu kepada tetamunya itu, yang ia antar sampai di luar
rumahnya. Kwee Ceng memberitahukan gurunya bahwa bersama Yo Kang ia hendak pergi ke Utara
untuk membunuh Wanyen Lieh, ia minta petunjuk dari mereka itu.
"Janji di harian Tiong Ciu masih lama, karena kami tidak punya urusan apa-apa,
mari kami antar kamu," kata Kwa Tin Ok.
"Begitupun baik," menyatakan Cu Cong dan yang lainnya.
Kwee Ceng bukannya menampik tetapi ia menegaskan sebenarnya tidak perlu gurunya
turut dia. Ia kata ilmu silatnya Wanyen Lieh biasa saja, dengan adanya Yo Kang
sebagai pembantu, ia sudah merasa cukup. Ia sebaliknya memperingatkan bahwa
guru-gurunya itu baru saja kembali, sudah seharusnya mereka beristirahat di
kampung halaman mereka. Ia pun tidak berani membikin pusing gurunya itu, yang
budinya sangat besar sekali.
Kanglam Liok Koay memikir alasan muridnya ini pantas, mereka tidak memaksa untuk
turut, mereka jadi memberikan pesan saja.
"Janji untuk pergi ke Thoa Hoa To tidak usah kau penuhkan," kata Han Siauw Eng
kemudian. Ia memesan begini sebab ia tahu muridnya jujur dan berkhawatir
muridnya pergi ke pulau Tho Hoa To sedang Tong Sia Oey Yok Su itu telengas dan
tabiatnya sangat aneh. "Jikalau teecu tidak pergi, apakah itu bukan berarti tidak menepati janji?"
tanya si murid. "Sama hantu itu mana dapat kita bicara perihal kepercayaan!" kata Yo Kang.
"Toako, kau terlalu kukuh!"
Tapi Kwa Tin Ok berpikir lain. Atas suaranya Yo Kang itu ia memperdengarkan
"Hm!" kemudian ia bilang: "Anak Ceng, kata-kata kami bangsa laki-laki tidak
boleh dibuat permainan! Sekarang ini ada bulan enam tanggal lima, nanti pada
bulan tujuh tanggal satu kita bertemu di Cui Sian Lauw di Kee-hin, dari san
akita boleh berangkat bersama-sama ke Tho Hoa To. Sekarang pergilah kau menaiki
kuda merahmu menuju Pak-khia untuk mencari balas. syukurlah jikalau kau
berhasil, kalau tidak, kita boleh minta bantuannya semua totiang dari Coan Cin
Pay. Mereka adalah orang-orang yang memuliakan perkebajikan, pastilah mereka
tidak akan menapik permohonan kita."
Kwee Ceng bersyukur sangat akan semua gurunya begitu bersungguh-sungguh, ia
menghanturkan terima kasih seraya menjatuhkan diri berlutut di tanah.
"Adik angkatmu adalah dari keluarga agung, aku mesti hati-hati," Lam Hie Jin
memesan. Kwee Ceng tidak mengerti, ia mengawasi.
Cu Cong tertawa, ia pun berkata: "Putrinya Oey Yok Su beda dari ayahnya, kami
selanjutnya jangan membikin ia mendongkol pula. Benar bukan, shatee?"
Han Po Kie membuat main kumisnya.
"Anak busuk itu mengatai aku di labu, rupanya dialah yang paling cantik!" kata
si kate terokmok ini, yang akhirnya tertawa sendirinya.
Hatinya Kwee Ceng menjadi lega sekali. Itu artinya gurunya tidak membenci pula
Oey Yong. Hanya kapan ia ingat si nona, yang entah dimana adanya, ia jadi
berduka. "Nah, anak Ceng, kau lekas pergi lekas kembali!" berkata Coan Kim Hoat. "Kami
menantikan kabar baik dari kau di Kee-hin!"
Samapi disitu, kanglam Liok Koay lantas berangkat.
Kwee Ceng berdiri di tepi jalanan sambil memegangi les kudanya, ia mengawasi
sampai semua gurunya itu sudah tidak nampak lagi, baru ia menoleh kepada Yo Kang
sambil berkata, "Yo hiantee, kudaku ini bisa lari keras, untuk ke Pak-khia pergi
dan pulang, cukup dengan belasan hari, maka itu marilah aku temani kau jalna-
jalan dulu untuk beberapa hari."
Yo Kang menurut, maka itu mereka melakukan perjalanan dengan perlahan-lahan.
Kalut pikirannya Yo Kang. Ia membayangai baru berselang sebulan yang ia hidup
mewah dan mulia, datang ke Kanglam dengan diiringi secara besar. Bagaimana agung
kedudukannya utusan dari negara Kim yang tangguh itu. Sekarang" Sekarang ia
menuju ke kota raja seorang diri, dalam keadaan sangat sepi. Tidakkah ia tengah
bermimpi dan impiannya itu buyar dengan tiba-tiba"
Kwee Ceng dapat melihat perubahan roman orang itu, ia hanya menyangka orang
tengah berduka karena mengingat ayah dan ibunya. Ia lantas menghiburi.
Tengah hari itu mereka tiba di Lie-yang. Lantas mereka mencari tempat
pemondokan. Justru itu satu pelayan penginapan menghampirkan mereka.
"Apakah tuan-tuan adalah tuan Kwee dan tuan Yo?" dia menanya sembari memberi
hormat dan tertawa. "Barang santapan sudah siap sedia, silahkan tuan-tuan turut
aku pergi bersantap dulu."
Dua-dua pemuda itu terkejut.
"Kenapa kau mengenali kami?" menanya Yo Kang.
"Aku menerima pesan, tuan-tuan," sahut pelayan itu, tetap smabil tertawa. "Tadi
seorang tuan datang padaku mengasih tahu perihal bakal datangnya tuan-tuan. Aku
pun diberi lukisan tentang roman dan potongan tubuh tuan-tuan." Semabri berkata,
ia menuntun kuda orang untuk dirawat.
"Sungguh baik tuan dari Kwie-in-chung itu," Kwee Ceng memuji.
Mereka duduk di meja menghadapi barang masakan pilihan yang mahal harganya,
begitu pun araknya. Kwee Ceng mendapati masakan ayam yang ia paling doyan.
Mereka bersantap dengan bernafsu, habis dahar mereka hendak membayar uangnya.
"Tidak usah tuan-tuan, semuanya sudah dibayar," si pelayan menerangkan.
Kwee Ceng tertawa, ia memberi upah kepada pelayan itu, yang mengucap terima
kasih berulang-ulang dan dengan hormat mengantari keluar.
Di tengah jalan, Kwee Ceng memuji pula Liok Chungcu, tetapi Yo Kang, yang masih
mendongkol bekas dikalahkan dan ditawan, mengatakan,: "Teranglah ia menggunai
muslihat ini untuk membaiki semua orang gagah, pantas dia menjadi kepala di Thay
Ouw!" "Hiantee, bukankah chungcu itu paman gurumu?" tanya Kwee Ceng heran.
"Benar Bwee Tiauw Hong pernah mengajarkan ilmu silat pada saya tetapi dia
bukanlah guruku," menjawab orang yang ditanya. "Coba aku mengetahui mereka itu
ada dari golongan sesat, tidak nanti aku kesudian belajar, hingga tak usahlah
hari ini aku mengalami kejadian ini....."
Kwee Ceng jadi semakin heran.
"Hiantee, bagaimana sebenarnya?" ia menanya.
Yo Kang merasa ia kelepasan omong, mukanya menjadi merah.
"Aku merasa Kiu Im Pek-kut Jiauw bukanlah pelajaran murni," ia menyahut.
"Kau benar, hiantee," Kwee Ceng mengangguk. "Tian Cun Cinjin ada lihay sekali,
ia pun dari kalangan ilmu silat sejati, kalau kau menghanturkan maaf padanya,
tentulah ia dapat memaafkan padamu."
Yo Kang berdiam. Malam itu mereka tiba di Kim-tan, di sana pun ada pelayan penginapan yang
menyambutnya, yang menyiapkan barang makanan dan penginapan tanpa bayaran, sebab
sudah ada yang memesan dan membayarinya. Mereka menerima itu tanpa banyak
bertanya-tanya. Kemudian, beruntun tiga hari, mereka mendapat pengalaman serupa. Mereka menjadi
heran sekali hingga mereka menyangsikan chungcu dari Kwie-in-chung. Tatkala
mereka melewati Ko-yu dan masih ada serupa penyambutan, denagn menyindir Yo Kang
berkata: "Hendak aku melihat sampai di mana Kwie-in-chung akan mengantar
tetamunya...." Kwee Ceng lebih curiga lagi, sebab pada setiap barang santapan tentu ada satu
dua rupa santapan yang ia paling gemari, kalau itu adalah perbuatan Liok Koan
Eng, sungguh luar biasa. Habis bersantap, ia kata: "Hiantee, nanti aku jalan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih dulu, untuk mencari tahu."
Yo Kang menurut, ia membiarkan orang melarikan kudanya seorang diri.
Beruntun tiga perhentian telah dilewati, setibanya di Po-eng, tidak ada lagi
penyambutan serupa itu. Sengaja Kwee Ceng memilih penginapan yang paling besar
serta minta kamar yang paling mewah juga. Sore itu, selagi ia berada di dalam
kamarnya, ia dengar suara kuda dilarikan, kelenengannya berbunyi nyaring.
Penunggang kuda itu berhenti di depan penginapan, dia masuk ke dalam, dia lantas
memesan makanan untuk besok, katanya untuk tuan Kwee dan tuan Yo.
Kwee Ceng telah menduga kepada Oey Yong, tetapi mendengar suara orang, ia heran
juga. Ia girang sekali. Ia tak mau lantas menemui. Ia hendakmain-main. Maka ia
menunggu sampai jam dua, diam-diam ia keluar dari kamarnya. Ia naik ke atas
genting, terus ke kamarnya si nona. Tiba-tiba ia tampak bayangan orang
berkelebat, malah ia kenali Oey Yong adanya.
"Heran, malam-malam begini ia hendak kemana?" pikirnya. Ia membungkam, terus ia
menguntit. Oey Yong lari ke luar kota. Ia rupanya tidak tahu ada orang yang membayanginya.
Ia pergi ke tepinya sebuah kali kecil. Dibawah satu pohon yangliu ia duduk
numprah. Dari sakunya ia keluarkan serupa barang, terus ia buat main di
tangannya, tubuhnya dibungkukkan.
Malam itu terang bulan, angin berdesir, meniup daun-daun yangliu dan juga ikat
pinggangnya si nona. Air kali mengalir terus. Di sana sini terdengar suara rupa-
rupa serangga. "Ini engko Ceng....ini Yong-jie..." terdengar nona itu mengoceh sendirian.
Heran Kwee Ceng. Ia berindap-indap, menghampirkan ke belakang orang. Di bawah
terangnya sinar rembulan, ia melihat tegas dua buah boneka, satu laki-laki dan
satu perempuan, keduanya gemuk dan mungil. Itulah boneka buatan Bu-sek yang
kesohor, ynag pun kesohor di Thay Ouw. Ia menjadi ketarik hatinya. Ia maju lagi
beberapa tindak. Di depan boneka itu ada ditaruhkan beberapa mangkok dan cawan
kecil, ynag berisi macam-macam bunga.
Kembali terdengar suara perlahan dan halus dari nona itu; "Mangkok ini engko
Ceng yang dahar, cawan ini ilah Yong-jie. Semua ini Yong-jie yang masak sendiri.
Enak tidak?" "Enak! Enak sekali!" Kwee Ceng menyahuti.
Oey Yong terperanjat, ia menoleh dengan cepat. Lalu ia tertawa, memperlihatkan
wajahnya yang manis. Dengan gesit ia berlompat menghanpiri kepada anak muda itu.
Mereka lalu berduduk di bawah pohon di tepian kali itu. Lantas mereka berbicara
dengan asyik mengenai urusan mereka sejak perpisahan beberapa hari itu, tetapi
yang mereka rasakan seperti sudah bulanan atau tahunan. Si nona saban-saban
tertawa, hingga si pemuda menjadi berdiam saja. Katanya dalam hati: "Yong-jie
begini mencintai aku, kalau di belakang hari kita tidak hidup bersama, bagaimana
rasanya...?" Ketika malam itu Oey Yong menceburkan diri, ia bersembunyi lama, sesudah menduga
ayahnya telah pergi, barulah ia kembali ke Kwie-in-chung. Ia girang akan
mendapatkan pemuda pujaannya itu tak kurang suatu apa. Ia menyesal juga ynag ia
telah berlaku keras terhadap ayahnya. Ia terus menyembunyikan diri. Ketika
besoknya pagi, ia lihat Kwee Ceng berangkat berdua dengan Yo Kang, ia lantas
mendahului, untuk seterusnya saban-saban ia memesan barang makanan dan rumah
penginapan. Ia tahu barang santapan yang digemari Kwee Ceng, selalu ia
menyelipkan satu atau dua rupa. Tentu saja ia tidak tahu yang Kwee Ceng curiga
dan lantas mendahului, hingga ia kepergok. Tapi ini cuma membuatnya gembira
sekali. Asyik mereka pasang omong, sampai jauh malam, sampai si nona datang kantuknya,
tanpa merasa ia kepulasan di pangkuannya anak muda itu. Kwee Ceng khawatir orang
mendusin, ia tidak berani bergerak, ia diam menyanderkan diri di bongkol pohon
yangliu. Tanpa merasa, ia pun ketiduran.
Ketika itu ada di bulan keenam, hawa malam sejuk, sedang rembulan bercahaya
terus. Kwee Ceng yang mendusin paling dulu tatkala kupingnya mendengar burung-burung
berkicau, membuka matanya, ia mendapatkan sang fajar sudah mulai menyingsing. Ia
pun dapat mencium semerbaknya bunga-bunga.
Oey Yong tidur nyenyak, napasnya berjalan perlahan. Ia mengerutkan alisnya, tapi
mukanya dadu, mulutnya yang mungil tersenyum, maka itu ia nampaknya manis
sekali. Rupanya ia tengah bermimpi.
"Biarlah ia tidur terus, aku tidak boleh menganggunya," Kwee Ceng berpikir.
Pemuda ini mengawasi muka orang, ia seperti mau menghitungi bulu alisnya yang
bagus dari si nona itu tatkala mendadak ia mendengar suara orang lain, datangnya
kira-kira dua tombak lebih di sebelah kirinya.
"Telah aku ketahui kamarnya nona Thia itu, ialah itu kamar di dalam taman yang
letaknya di belakang rumah gadai Tong Jin," demikian suara itu.
"Baiklah, sebentar malam kita bekerja," kata suara lain, terang suaranya orang
tua. Mereka bicara dengan perlahan, tetapi di pagi yang sunyi itu nyata terdengarnya.
Kwee Ceng terperanjat. Ia lantas menyangka pada penjahat tukang petik bunga,
yang gemar mengganggu kesucian kaum wanita. Ingin ia melihat mereka itu.
Tiba-tiba Oey Yong mencelat bangun.
"Engko Ceng, hayo tangkap aku!" katanya. Terus ia lari ke sebuah pohon besar.
Kwee Cneg dapat menerka maksudnya nona cerdik ini, ia lantas mengejar, malah
sambil tertawa geli, bagaikan mereka itu tengah bermain petak. Hanya larinya
mereka dibikin berat, seperti larinya orang yang tidak mengerti ilmu silat.
Dua orang itu terkejut, tidak mereka menyangka di pagi hari itu sudah ada orang
lain di situ, bahkan dekat mereka, tetapi kapan mereka melihat dua muda-mudi,
yang main lari-larian, mereka tidak bercuriga. Hanya karena itu, mereka lantas
ngeloyor pergi. Kwee Ceng dan Oey Yong melihat belakang orang, yang pakaiannya compang-camping,
tanda dandanan pengemis. Mereka menanti sampai orang sudah cukup pergi jauh, si
nona tanya si pemuda, apa maunya dua orang itu mencari nona Thia.
"Kebanyakan maksudnya tidak baik. Kita menolong orang, baik atau tidak?" kata
Kwee Ceng. "Memang baik sekali. Cuma kita tidak tahu dua pengemis itu orang-orangnya Ang
Cit Kong atau bukan." kata si nona.
"Aku rasa bukan," jawab si pemuda.
Mereka lantas pulang ke penginapan untuk bersantap, habis itu mereka pergi
pesiar, sampai ke kota barat. Di situ mereka mendapatkan rumah gadai Tong Jin,
dengan huruf-hurufnya yang tinggi dan besar. Benar di belakang situ ada sebuah
taman serta lauwtengnya yang tinggi, yang dialingi kere bambu bercat hijau.
Memandang lauwteng itu mereka tersenyum, lantas mereka berjalan terus, akan
pesiar ke lain bagian kota. Sorenya mereka pulang, untuk bersantap, akan
kemudian beristirahat di kamar masing-masing.
Lewat sedikit satu jam, keduanya keluar dari kamar, untuk lari ke kota barat.
Mereka melompati taman, hingga mereka dapat memandang lauwteng dimana ada sinar
api. Mereka terus naik ke atas lauwteng, akan menyangkel di payon, untuk
mengintip ke dalam. Hawa malam panas, jendela tidak ditutup. Apa yang mereka
lihat membikin mereka terperanjat.
Di dalam kamar itu ada tujuh orang, semuanya wanita. Seorang nona umur delapan
atau sembilanbelas tahun, yang cantik, lagi membaca buku di terangnya lampu.
Mungkin dia si nona Thia, Thia Toa siocia yang dimaksudkan kedua pengemis itu.
Enam lainnya dandan sebagai budak, tetapi mereka pada mencekal senjata, tiga
memegang golok sebatang, tiga lainnya masing-masing pedang, sepasang roda serta
sebatang tongkat besar yang panjang.
Melihat keadaan mereka itu, Kwee Ceng dan Oey Yong mendugai si nona lihay.
Sekarang keduannya berpikir lain. Hendak mereka menonton dulu. Mestinya ada apa-
apa yang aneh mengenai si nona dan si pengemis.
Tidak lama mereka mengintai, mereka mendengar satu suara di luar pekarangan.
Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak bersembunyi.
Segera mereka melihat dua bayangan, yang benar ada dari si pengemis tadi. Mereka
ini langsung ke bawah lauwteng dimana mereka memperdengarkan siulannya perlahan.
"Orang-orang gagah dari Kay Pang di sana?" menanya satu budak seraya menyingkap
kere. "Silahkan naik."
Dua pengemis itu menggenjot tubuh mereka untuk naik ke lauwteng.
Si nona sudah lantas menyambut. Ia memberi horamt sambil menanyakan she dan nama
kedua tetamunya itu. "Aku yang rendah she Lee," menyahuti si pengemis tua. "Ini keponakan muridku, Ie
Tiauw Hin." Melihat muka orang yang penuh luka, Nona Thia mengingat sesuatu.
"Bukankah locianpwee ada Hang Liong Ciu Lee Seng?" ia menanya.
"Tajam matamu, nona!" tertawa si pengemis. "Aku yang rendah dan gurumu, Ceng
Ceng Sanjin, pernah berjodoh bertemu satu kali, walaupun kita tidak bersahabat
rapat, kita saling menghormati."
Mendengar nama Ceng Ceng Sanjin itu, Kwee Ceng ingat orang adalah yang disebut
Sun Put Jie Sun Siang-kouw, salah satu dari Coan Cin Cit Cu. Karenanya, nona
Thia ini bukanlah orang luar.
"Locianpwee baik sekali hendak menolongi, boanpwee sangat bersyukur," berkata
pula si nona. "Di dalam segala hal, boanpwee akan mendengar kata locianpwee."
"Nona ada seorang terhormat, kalau kau dipandang lebih banyak oelh itu binatang,
itu pun sudah hebat," berkata Hang Liong Ciu Lee Seng si Penakluk Naga.
Mendengar itu merah mukanya si nona.
"Sekarang, silahkan nona beristirahat di kamar ibumu, di sini jangan
ditinggalkan beberapa pelayanmu ini," Lee Seng memberi petunjuk. "Aku yang
rendah ada mempunyai daya untuk menghadapi binatang itu."
"Boanpwee tidak gagah, tetapi boanpwee tidak jeri terhadap binatang itu,"
berkata si nona. "Loacianpwee hendak bertanggungjawab sendiri, sungguh aku
malu...." "Jangan berkata demikian, nona," berkata pula Lee Seng. "Ang Pangcu kami ada
bersahabat kental dengan Ong Tiong Yang Cinjin dari Coan Cin Pay kamu, kita
dengan begitu menjadi seperti orang sendiri."
Sebenarnya nona Thia ingin sekali mencoba ilmu silatnya, tetapi menampak mata
tajam dari Lee Seng, ia tidak berani membantah, maka ia lantas memberi hormat.
"Baiklah, aku menurut saja kepada locianpwee," bilangnya. Lantas ia turun dari
lauwtengnya. Lee Seng segera menghampirkan pembaringannya si nona, akan menyingkap
kelambunya. Pembaringan itu indah segalanya, tetapi ia naik ke atas itu tanpa
membuka sapatu lagi, tak peduli sepatu dan pakaiannya dekil, ia terus merebahkan
diri. "Pergi kau turun," ia menitahkan Ie Tiauw Hin, "Ramai-ramai kamu menjaga di
bawah. Tanpa titahku, aku larang kamu lancang turun tangan!"
Tiauw Hin menurut, ia lantas berlalu.
Lee Seng menutup diri dengan selimut indah, ia suruh budak-budak menurunkan
kelambu dan memadam api juga. Kemudian barulah mereka itu mengundurkan diri
pula. Oey Yong tertawa di dalam hatinya menyaksikan kelakuan Lee Seng itu.
"Semua orang Kay Pang telah meneladan tingkah pola pemimpinnya," semua suka
berbuat jenaka, tidak peduli di tempat apa."
Karena sudah ketahui ada penjagaan, nona ini bersama Kwee Ceng mendekam terus di
bawah payon, berdiam menanti dengan mulut bungkam.
Lantas terdengar suara kentongan orang ronda tanda jam tiga. Menyusul itu
terdengar suara membeletuknya batu masuk ke dalam taman. Itulah batu tanda
menanya dari orang yang biasa keluar malam.
Oey Yong menarik ujung baju Kwe Ceng untuk memberitahu.
Hanya sebentar, di luar tembok terlihat melompat masuknya tujuh atau delapan
orang, yang semuanya lompat lebih jauh naik ke atas lauwteng. Mereka itu
menyalakan api sebentar, habis itu mereka menuju ke pembaringan.
Hanya sejenak itu, Oey Yong telah dapat melihat mukanya orang-orang itu. Dua
yang menjadi kepala adalah orang-orangnya Auwyang Kongcu, yaitu dua pria yang
biasa membawa-bawa galah panjang peranti menggiring ular. Enam yang lain adalah
murid-murid wanita Auwyang Kongcu itu. Si dua pria berdiri di kiri kanan
pembaringan, empat wanita menungkrup tubuh Lee Seng dengan sehelai selimut
lebar. Lalu dua yang lain mementang sebuah kantung besar ke dalam tubuh Lee Seng
dibelesaki, lalu karung itu di ikat kuat-kuat. Semua mereka bekerja sebat
sekali, seperti sudah terlatih mahir, tanpa ada yang bersuara. Dua wanita
menggendong kantung itu, lantas mereka lompat turun dari lauwteng.
Kwee Ceng hendak berbangkit, untuk menyusul, Oey Yong mencegah padanya.
"Biarkan orang-orang Kay Pang jalan lebih dulu," si nona membisiki.
Kwee Ceng menurut, ia mengawasi. Kantung berisi manusia itu digotong berdelapan.
Di belakang mereka itu lalu mengiringi lebih dari sepuluh orang lainnya, mereka
itu mencekal tongkat bambu, rupanya mereka adalah orang-orang Kay Pang.
Menanti sampai orang sudah berpisah beberapa tombak dari mereka, baru Oey Yong
dan Kwee Ceng keluar dari tempat persembunyian mereka, untuk menguntit. Seorang
pengemis berjalan di paling belakang.
Kedua rombongan itu menuju ke luar kota, pergi ke sebuah rumah besar. Rombongan
Auwyang Kongcu terus masuk ke dalam rumah, rombongan pengemis lantas memencarkan
diri mengurung. Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, buat diajak ke belakang, dari mana mereka
melompat tembok masuk ke pekarangan dalam.
Sekarang ketahuan rumah besar itu adalah rumah abu satu keluarga Lauw, di
pendopo ada sejumlah sincie, dan ada pian-pian yang besar memutar nama-nama
almarhum yang dihormati itu, semunya pernah memangku pangkat. Pendopo diterangi
lima batang lilin besar. Duduk di tengah ada satu orang, yang tangannya mengipas
perlahan-lahan. Menduga ialah Auwyang Kongcu, Oey Yong dan Kwee Ceng berlaku
hati-hati. Mereka bersembunyi dan mengintai di bawah jendela, hati mereka
menduga-duga, apa Lee Seng sanggup melayani pemuda yang lihay itu.
Sebentar kemudian muncullah delapan penggotong kantung manusia itu.
"Kongcu, nona Thia sudah disambut!" kata satu di antaranya.
Auwyang Kongcu mengasih dengar suara tertawa dingin, bukannya ia menyambuti
orangnya itu, hanya ia memandang ke luar pendopo seraya berkata: "Sahabat,
setelah dengan baik hati kamu datang berkunjung kemari, kenapa kamu tidak masuk
saja untuk minum teh?"
"Hebat orang ini," pikir Kwee Ceng.
Orang-orang Kay Pang tetap bersembunyi. Tanpa tanda dari Lee Seng, tidak berani
mereka lancang bertindak.
Auwyang Kongcu tidak berkata pula, hanya ia memandang kepada kantung.
"Aku tidak sangka si nona Thia begini gampang diundangnya!" katanya. Ia
bertindak menghampirkan, perlahan tindakannya. Ketika ia mengibaskan kipasnya,
kipas itu tertutup rapat merupakan sepotong besi mirip dengan pit (alat tulis
tionghoa) Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. Mereka menduga orang sudah ketahui musuhlah
yang berada di dalam kantung itu. Diam-diam mereka menyiapkan kong-piauw,
bersedia menolongi Lee Seng.
Mendadak ada terdengar suara sar-ser dari jendela, lalu dua batang panah tangan
menyambar ke arah Auwyang Kongcu. Rupanya orang-orang Kay Pang sudah merasakan
pemimpim mereka terancam bahaya.
Auwyang Kongcu membawa tangan kirinya ke samping lantas telunjuk dan jari
tengahnya menjepit, sebatang panah tangan itu patah seketika.
Orang-orang Kay Pang terkejut, malah Ie Tiauw Hin lantas berseru: "Paman Lee,
keluarlah!" Menyambut seruan itu, tiba-tiba terdengar suara memberebet pecahnya kantung,
lantas dua batang golok menyambar, disusul mana bergelinding keluarnya tubuh Lee
Seng, tangan siapa terus memegangi kantung sebagai daya pembelaan diri. Sesudah
itu pengemis ini berlompat berdiri.
Lee Seng ketahui Auwyang Kongcu lihay, ia menggunai akalnya ini, untuk
membokong, tapi ternyata ia gagal.
Auwyang Kongcu bebas dari sambaran golok, bukannya kaget, ia justru tertawa.
"Si nona cantik berubah menjadi pengemis tua, sungguh ilmu sulap kantong yang
jempolan!" katanya tertawa.
Lee Seng tidak menggubris ejekan itu.
"Selama tiga hari ini, tempat ini beruntun kehilangan empat nona-nona, bukankah
itu perbuatan bagus dari kau, tuan yang terhormat?" ia balas mengejek.
Kongcu itu tertawa pula. "Kota Po-eng ini bukannya kota melarat miskin, kenapa sih orang-orang polisi
dapat berubha menjadi segala tukang minta-minta?" ia berkata dengan ejekannya.
Lee Seng pun tidak menjadi gusar.
"Sebenarnya aku pun tidak mengemis nasi di sini," menyahut Lee Seng, "Tetapi
kemarin ini aku mendengar pembilangnya beberapa pengemis cilik tentang lenyapnya
tak berbekas dari beberapa nona cantik manis, adri itu timbullah kegembiraan aku
si pengemis tua, maka aku jadi datang melongok!"
Dengan ogah-ogahan Auwyang Kongcu berkata: "Sebenarnya beberapa nona itu tidak
cantik luar biasa, kalau kau menginginkannya, dengan memandang mukamu, sukalah
aku membayarnya pulang!" Ia pun terus mengebasi tangannya, maka beberapa murid
perempuannya lantas masuk ke dalam untuk mengajak keluar empat nona. Mereka ini
kusut pakaiannya, kucal romannya, semuanya pada menangis.
Murka Lee Seng menyaksikan keadaannya keempat nona itu.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan yang terhormat, apakah shemu yang mulia dan namamu yang besar?" ia
menanya. "Murid siapakah kau ini?"
Auwyang Kongcu tetap membawa sikapnya acuh tak acuh.
"Aku she Auwyang. Saudara, kau ada pengajaran apakah untukku?"
"Mari kita main-main!" Lee Seng berkata keras.
"Tidak ada yang terlbeih baik dari itu!" kata si anak muda menyambut. "Silahkan
kau mulia dulu!" "Bagus!" seru Lee Seng, yang segera menggeraki tangan kanannya. Tapi belum
sempat ia menyerang, di depan matanya berkelebat satu bayangan putih dan angin
pun mendesir. Ia menjadi sangat kaget, ia mencelat. Tidak urung, lehernya
terlanggar juga satu jari tangan. Syukur ia cukup sebat, kalau tidak, lehernya
itu bisa tercekuk! Lee Seng ini berkedudukan tinggi di dalam partainya, Kay Pang, Partai Pengemis,
dia lihay. Semua pengemis di empat propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Ciat-kang
dan Kangsouw tunduk dibawah perintahnya. Siapa tahu dalam satu gebrak saja,
hampir ia celaka. Maka mukanya menjadi merah. Begitu ia hendak memutar tubuh,
tangannya sudah mendahului melayang.
"Dia juga mengerti Hang Liong Sip-pat Ciang, "Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng.
Dan si anak muda mengangguk.
Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, yang ia lihat hebat sekali.
Selagi ia berkelit, Lee Seng memutar tubuhnya. Lantas ini pengemis meju satu
tindak, kedua tangannya di angkat ke depan dada, untuk kembali menyerang,
menyusul penyerangannya yang gagal itu.
"Itulah jurus dari ilmu silat Po-giok-kun," Kwee Ceng berbisik pada kekasihnya.
Si nona pun mengangguk. Mendapat kenyataan orang lihay, Auwyang Kongcu tidak berani berlaku acuh tak
acuh seperti semula lagi. Ia selipkan kipasnya dipinggang, setelah berkelit, ia
membalas menyerang, menghajar pundak orang itu.
Lee Seng menangkis, habis mana ia menyerang pula, tetap dengan satu jurus dari
Po-giok-kun. Kali ini Auwyang Kongcu memperlihatkan kepandaiannya. Ia menangkis dengan tangan
kiri, sembari menangkis tubuhnya mencelat ke samping lawan, terus ke belakang
lawan itu. Luar biasa gesit gerakkannya itu. Maka juga segera ia dapat menyerang
ke arah punggung lawan ini.
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut.
"Inilah serangan yang sukar di tangkis...!" kata mereka dalam hati, kaget.
Ketika itu orang-orangnya Lee Seng, yang tadinya mengurung di luar, sudah pada
masuk ke dalam. Mereka melihat pemimpin mereka terancam bahaya, di antaranya ada
yang berniat berlompat membantu.
Lee Seng sendiri merasakan ancaman bahaya. Desiran angin sudah mengenai bajunya.
Tapi ia pun gesit sekali. Ia memutar tubuhnya sambil menangkis. Kembali ia
menggunai ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, jrus "Naga Sakti menggoyang
ekor". Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, ia melenggakkan tubuh, terus
dia berlompat mundur. "Sungguh berbahaya!" kata Lee Seng dalam hatinya. Sekarang dia sudah memutar
tubuh, untuk menghadapi pula lawannya. Tapi segera ternyata, dalam ilmu silat ia
kalah unggul, selama tigapuluh jurus lebih, saban-saban ia terancam bahaya.
Syukur untuknya ia selalu ketolongan sama jurusnya "Sin liong pa bwee" - "Naga
Sakti memgoyang ekor itu" itu.
"Rupanya Ang Cit Kong baru mengajari ia ini satu jurus pembela diri," Oey Yong
berbisik pada Kwee Ceng. Anak muda ini mengangguk. Ia lantas ingat lelakonnya sendiri ketika melayani Nio
Cu Ong dengan "Hang liong yu hui" atau "Naga menyesal". Mengingat ini, ia jadi
sangat bersyukur kepada Ang Cit Kong. Lee Seng yang menjadi salah satu pemimpin
baru diajari satu jurus yang lihay itu, ia sendiri dalam tempo satu bulan sudah
dapat limabelas jurus. Pertempuran itu berjalan terus. Auwyang Kongcu mendesak lawannya hingga dipojok.
Lee Seng sudah berpengalaman, ia dapat menerka maksud lawannya.mMaka ia lantas
berdaya akan menggelakkan diri, guna kembali ke tengah ruangan.
Sekonyong-konyong Auwyang Kongcu tertawa lama, selagi tertawa kepalannya
menyambar, tepat menggenai janggut lawannya itu.
Lee Sneg terkejut, ia mengulur tangannya, untuk membalas, tetapi ia telah kena
didului. Tangan kiri Auwyang Kongcu sudah menemui pula sasarannya. Habis itu
beruntun tiga empat kali lagi ia kena tertinju pula, kepalanya dan dadanya. Ia
menjadi sakit, kepalanya pusing, ia begitu terhuyung, ia roboh.
Beberapa pengemis berlompat maju untuk menolongi pemimpinnya itu, tetapi Auwyang
Kongcu menyambar dua orang, yang ia angkat dengan membentrokkan kepalanya satu
dengan lainnya, menampak mana, yang lain-lainnya menjadi keder.
"Kau kira aku ini siapa yang dapat kena terjebak kaum bangsa pengemis busuk"!"
berkata Auwyang Kongcu tertawa mengejek. Ia terus menepuk kedua tangannya, maka
dari dalam lantas keluar dua murid wanitanya, mendorong tubuhnya seorang nona
yang tertelikung kedua tangannya, yang romannya kucal sekali. Dialah si nona
Thia yang hendak dilundungi oleh kawanan pengemis itu.
Semua orang terkejut, tak terkecuali Oey Yong dan Kwee Ceng.
Auwyang Kongcu mengebasi tangannya, atas itu nona Thia dibawa masuk pula. Dengan
roman sangat bangga ia berkata pula: "Selagi si pengemis tua nelusup masuk ke
dalam kantong, aku yang rendah menantikan di bawah lauwteng, lantas aku
mengundang nona Thia, terus aku pulang terlebih dahulu untuk menunggui kamu di
sini!" Semua pengemis itu terbengong, mereka saling mangawasi. Pikir mereka, mereka
benar-benar roboh. Auwyang Kongcu mengipasi dirinya, ia tertawa ketika ia berkata pula: "Nama
Partai Pengemis sangat kesohor sehingga nama itu membuatnya orang tertawa hingga
giginya copot! Apa yang dinamakan ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba
anjing, apa ynag disebut pukulan mengemis nasi dan menangkap ular, semua itu
telah dikeluarkan! Dibelakang hari, masihkah kau berani usilan urusan kongcu
kamu" Sekarang ini suka aku memberi ampun pada jiwanya ini pengemis bangkotan,
asal aku dapat meminjam dia punya kedua cahaya terang sebagai tanda mata...!"
Sembari berkata begitu, pemuda ini mengulur tangannya, untuk dengan kedua
jerijinya mencongkel mata orang yang ia menyebutnya "Cahaya terang"
Kalau mata Lee Seng kena dicongkel, butlah dia.
"Tahan!" mendadak terdengar satu seruan, disusul sama orangnya, yang berlompat
masuk ke dalam ruangan, untuk terus menolak ke arah Auwyang Kongcu.
Pemuda ini terperanjat, ia telah merasakan sambaran angin hingga ia terhuyung.
Inilah hebat sebab semenjak ia keluar dari wilayah Barat, sering ia menghadapi
lawan yang berat tetapi belum pernah seberat ini. Ketika ia sudah melihat
orangnya, ia menjadi heran sekali. Sebab orang itu ialah si anak muda bernama
Kwee Ceng, dengan siapa ia pernah hadir bersama dalam pestanya Chao Wang. Ia
tahu orang berkepandaian biasa saja. Kenapa ia sekarang menjadi begini lihay.
"Kau sesat dan buruk, bukannya kau mencoba mengubah kelakuan, kau justru
mencelaki orang!" orang itu menegur. "Apakah kau benar-benar tidak memlihat mata
pada semua orang gagah di kolong langit ini?"
Dia memang Kwee Ceng, yang melihat saat untuk tak berdiam lebih lama pula.
Auwyang Kongcu melirik, ia tertawa.
"Jadi kaukah si orang gagah di kolong langitnini?" dia mengejek.
"Aku yang muda tidak berani menyebut diriku orang gagah," manyahut Kwee Ceng
denagn merendah, "Aku hanya hendak membesarkan nyaliku untuk memberi nasehat
kepada kau, kongcu. Aku minta sukalah kau memerdekakannya nona Thia, habis itu
lekas-lekas kau pulang ke Wilayah Barat!"
Auwyang Kongcu tertawa pula.
"Jikalau aku tidak sudi dengar nasehatmu, sabahat cilik?" dia menanya.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong dari luar jendela telah mendahului.
Katanya; "Engo Ceng, kau hajarlah ini telur busuk!"
Auwyang Ongcu terperanjat. Ia dengar suara orang dan mengenali.
"Nona Oey!" ia lantas berkata, "Kau menghendaki aku memerdekakan Nona Thia,
inilah tidak susah, asal kau sendiri yang sudi ikut padaku! Jikalau kau sudi,
bukan melainkan Nona Thia, juga wanita-wanita disampingku, akan aku merdekakan
semuanya! Bahkan aku akan berjanji, selanjutnya di belakang hari aku tidak akan
cari lain wanita lagi! Tidakkah ini bagus?"
"Itulah bagus!" menyahut Oey Yong, yang lompat masuk sambil tertawa, "Kita pergi
ke Wilayah Barat untuk pesiar, sungguh menarik! engko Ceng, bukankah bagus
begitu?" Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Auwyang Kongcu sudah mendahului.
"Aku hanya menghendaki kau sendiri yang turut aku pergi bersama," katanya. "Buat
apa inibocah busuk turut bersama"!"
Mendadak Oey Yong menjadi gusar, tangannya menyambar.
"Kau berani memaki dia"!" serunya. "Kaulah si bocah busuk!"
Auwyang Kongcu kesemsem melihat Oey Yong datang dengan senyumannya berseri-seri,
orang nampaknya boto dan manis sekali, maka itu ia berlaku ceriwis, ia pun tidak
menyangka si nona bisa gusar secara tiba-tiba itu. Ia pun tidak bersiaga, maka
"Plok!" pipi kirinya kena ditampar. Sebab si nona menggunai jurus dari "Lok Eng
Ciang" yang lihay itu. Beruntung untuknya, si nona tidak menggunai seluruh
tenaganya, ia hanya merasa pipinya itu panas dan sakit.
"Fui!" berseru si kongcu yang menjadi penasaran, seraya tangannya menjambak ke
dada si nona. Oey Yong tidak mau menyingkir dari tangan si pemuda itu, sebaliknya dengan kedua
tangannya ia menyerang ke arah kepala orang.
Auwyang Kongcu adalah satu pemuda ceriwis, melihat nona itu menangkis taua
berkelit, ia girang bukan main. Begitulah tanpa pedulikan kepalanya, ia mengulur
terus tangannya itu. Hanya ketika jari tangannya mengenakan dada orang, ia kaget
sekali. Tangannya itu terasa tertusuk dan sakit.
"Oh!" ia menjerit. "Dia mengenakan baju lapis berduri"
Baru sekarang ia ingat. Maka syukur untuknya, karena berlaku ceriwis, ia tidak
menjambak keras, ia cuma meraba. Karena ini ia lekas-lekas menangkis kedua
tangan si nona. "Tidak gampang untuk kau menghajar aku!" kata Oey Yong tertawa. "Cuma kau yang
verhak menghajar kau, kau sebaliknya tidak!"
Auwyang Kongcu kewalahan, karena ini, ia tumplak kedongkolannya terhadap Kwee
Ceng, yang berdiam saja mengawasi aksi mereka berdua.
"Biarlah aku mampuskan dulu bocah ini, supaya dia mati hatinya!" pikirnya.
Dengan "dia" ia maksudkan si nona manis itu. Ia mengawasi Oey Yong tetapi
kakinya bergerak menyentil ke belakang di mana Kwee Ceng berdiri, mengarah dada
si anak muda. Itulah tendangannya yang lihay, ajarannya SeeTok Auwyang Hong,
pamannya yang kesohor itu.
Kwee Ceng seperti terbokong, tidak dapat ia mengelakkan diri. Tapi ia tak sudi
mandah saja dihajar, ia segera membalas menyerang. Jadi keras lawan keras. Maka
berbareng dua-dua serangan mereka berhasil. Yang satu tertendang kempungannya,
yang lainnya terhajar pahanya yang dipakai menendang itu. Dua-dua lantas
merasakan sangat sakit. Akan tetapi dua-duanya penasaran, maka itu, bukannya
mereka mundur, mereka malah maju pula. Karena itu keduanya jadi bertempur.
Semua orang Kay Pang heran, apapula mereka mengenali pukulannya Kwee Ceng.
"Itulah jurus istimewa dari Lee Seng yang biasa dipakai untuk menolong diri...."
kata mereka. "Kenapa dia pun mengerti dan gerakannya cepat melebihkan Lee Seng?"
Kwee Ceng memang menyerang dengan "Sin liong bwee"
Dilain pihak sudah ada beberapa pengemis yang menolongi Lee Seng, yang mereka
angkat bangun, maka itu, pemimpin pengemis itu pun jadi bisa menyaksikan
pertempuran orang itu, hingga ia pun heran.
"Hang Liong Sip-pat Ciang itu adalah ilmu rahasia Ang Pangcu ynag tidak
sembarangan diturunkan," memikir pemimpin pengemis ini, "Aku sudah berjasa untuk
partai, aku cuma diajarkan satu jurus, tetapi anak muda ini lain, agaknya ia
mengerti banyak. Mungkinkah ia telah dapat mewariskannya semua?"
Juga Auwyang Kongcu sendiri heran bukan main. Baru berselang dua bulan atau
pemuda ini telah maju demikian pesat.
Cepat sekali mereka sudah ebrtempur empatpuluh jurus. Kwee Ceng telah gunai
semua limabelas jurusnya Hang Liong Sip-pat Ciang, ia telah memutar balik itu.
Dasar kalah jauh dari Auwyang Kongcu, ia tidak dapat merobohkannya, ia cuma
dapat bertahan. Maka itu, lewat lagi belasan jurus, ia kewalahan. Auwyang Kongcu
berlaku sangat gesit, ia berlompatan ke segela penjuru, tinjunya saban-saban
menyambar. Satu kali Kwee Ceng kena didupak kempolannya hingga ia terhuyung.
Syukur ia tangguh, ia tidak dapat celaka. Ia melawan terus, ia mengulangi jurus-
jurusnya. Untuk sementara ini Auwyang Kongcu tidak berani mendesak, berselang lagi sepuluh
jurus lebih, setelah ia dapat memahami ilmu silat orang, baru ia merangsak pula.
Karena ini ia mulai mencari lowongan untuk turun tangan.
Kwee Ceng sudah habis menjalankan limabelas jurus, ia lantas memulai lagi pula
dari seperti semula. Inilah ketika yang justru ditunggu Auwyang Kongcu. Kongcu
ini lantas mendahulukan menyambar ke pundak lawannya itu.
Kaget sekali Kwee Ceng. Tidak ada jalan untuk dia melindungi diri dengan limabelas jurusnya itu. Disaat sangat berbahaya
itu, ia berlaku nekat. Ia menubruk seraya menepuk tangannya lawan. Itulah ilmu
silat menurut caranya sendiri. Ini justru diluar terkaan Auwyang Kongcu yang
menjadi kaget, karena ia tidak menyangka bakal disambut secara demikian. Tidak
ampun lagi, lengannya kena dihajar. Bahna kaget, ia lompat mundur ke belakang
beberapa tindak. Syukur untuknya, ia melainkan merasakan sakit, tulang lengannya
tidak panah atau remuk. Kwee Ceng girang melihat hasilnya itu, yang pun diluar dugaannya. Ia bahkan jadi
insyaf akan dapat diputarbalikkannya ilmu silat itu tanpa menurut aturannya. Ia
hanya menginsyafi, karena belum terlatih, tenaganya jadi berkurang banyak. Tidak
demikian, celakalah tangannya pemuda dari Wilayah Barat itu. Karena ini, hendak
ia mencoba terus. Lagi sekali mereka mulai bergerak pula, selagi Kwee Ceng hendak mencoba, Auwyang
Kongcu sebaliknya penasaran dan hendak menuntut balas. Kesudahannya, pemuda she
Auwyang ini menjadi heran sekali. Ia mendapatkan kenyataan, disebelah jurus-
jurus yang biasa, lawannya mempunyai tiga jurus tambahan lainnnya, hingga sulit
untuk dia memberi hajaran tepat seperti tadi. Sekarang ini Kwee Ceng dapat
menutup kempolan kirinya dan pinggangnya kanannya, dua lowongan yang diarah oleh
lawannya. Kwee Ceng berkelahi dengan bernapsu, ia mengulangi dan mengulangi tambahan tiga
jurusnya itu hingga ia seperti telah membikin lengkap delapanbelas jurus Hang
Liong Sip-pat Ciang. Ia pun menjadi semakin hapal, pertempuran itu seperti
merupakan latihannya. Segera Auwyang Kongcu melayani dengan sabar, gerakannya jadi rada kendor. Ia
memikir hendak menanti musuhnya itu letih sendirinya. Dangan berkelahi secara
begini, berbareng ia memahami pula cara berkelahinya musuhnya. Ia cerdik, belum
lama ia sudah dapat melihat kekosongannya musuhnya itu. Atas ini, ia tidak mau
mensia-siakan ketika lagi, mendadak ia mengirim serangannya. Dengan tangan kiri
ia menggertak dengan menjambak, diam-diam kakinya melayang naik!
Kwee Ceng terkejut. Sulit untuk ia menangkis atau berkelit.
Oey Yong menonton dengan waspada, ia melihat pemudanya itu terancam bahaya,
karena ia senantiasa siap sedia, segera ia mengayun sebelah tanganya, maka tujuh
atau delapan jarum kongcian menyambar kepada Auwyang Kongcu.
Kaget itu pemuda dari Wailayah Barat, tetapi ia masih sampat menebas denagn
kipasnya. Hanya selagi ia merasa berhasil menyingkirkan semua jarum, kakinya toh
dirasai sakit dengan mendadak, seperti ada benda yang menancap di jalan
darahnya. Karena ini, meskipun tendangannya mengenai sasarn, kenanya tidak
hebat. Dengan kaget ia melompat mundur.
"Tikus mana membokong kongcumu!" ia membentak. "Kalau kau berani, mari berlaku
terus terang...." Belum lagi pemuda ini menutup mulutnya, satu benda berkelebat menyambar
kepadanya, sia-sia belaka ia hendak berkelit, tahu-tahu mulutnya kemasukan
serupa barang yang memberi rasa sari asin dan keras. Ia kaget dan gusar, lekak-
lekas ia melepehkannya. Untuk kemendongkolannya, ia melihat sepotong tulang
ayam. Karena ia tahu darimana datangnya sambaran, ia lantas angkat kepalanya,
dongak melihat ke penglari.
Justru ia mengangkat kepalanya, justru ada debu yang meluruk jatuh. Ia berlompat
ke samping, terus ia dongak pula, seraya membuka mulutnya untuk mendamprat. Kali
ini belum sempat ia bersuara, mulutnya itu kembali kemasukan tulang - tulang
kaki ayam, maka juga giginya kebentur hingga ia merasakan sakit pada giginya
itu! Bukan alang kepalang mendongkolnya pemuda ini, yang seumurnya belum peranh ada
orang hinakan atau mempermainkan secara demikian. Lekas-lekas ia membuang tulang
dari mulutnya itu. Diwaktu itu dia melihat berkelebatnya suatu bayangan, ynag
lompat turun dari penglari itu. Dalam murkanya, ia pun berlompat untuk
memapakinya, guna menyerang bayangan itu. Tapi heran, bukannnya ia dapat
menyerang, ia justru kena memegang serupa barang. Tempo ia sudah melihat barang
itu, mendongkolnya bukan kepalang. Itu adalah dua potong ceker ayam yang besar
digeragoti, yang sudah tidak ada dagingnya!
Berbareng dengan itu, di atas penglari itu terdengar suara orang tertawa lebar
yang disusul dengan pertanyaan, "Bagaimana" Bagaimana dengan ilmu silat mencuri
ayam dan meraba-raba anjing dari si pengemis tua?"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kapan Kwee Ceng dan Oey Yong mendengar suara itu, keduanya girang bukan main.
"Cit Kong!" mereka berseru tanpa tertahan lagi.
Semua orang lantas mengangkat kepalanya, maka di atas penglari itu mereka lihat
Ang Cit Kong tengah duduk dengan enteng sekali, mulutnya lagi mengegerogoti
sepaha ayam berikut dadanya, ynag dipegangi sebelah tangannya.
Mengenali orang tua itu, hatinya Auwyang Kongcu menjadi dingin sekali.
"Ang Siepee di sana?" ia berkata, "Di sini titjie memberi hormat!"
Benar-benar ia lantas menekuk kedua lututnya dan mengangguk-angguk.
"Oh, kau mengenal si pengemis tua?" tanya Ang Cit Kong seraya terus menggayam
ayamnya. Ia menanya acuh tak acuh.
"Memang pernah titjie bertemu sama Ang siepee," menyahut Auwyang Kongcu, yang
menyebut dirinya titjie, keponakan. "Titjie ada punya mata tetapi titjie tidak
mengenal gunung Tay San, seharusnya titjie mati saja. Dahulu hari itu titjie
sudah lantas mengirim pesuruh burung ke Barat, akan memohon petunjuk dari
pamanku, setelah itu barulah titjie mengetahui siepee. Pamanku itu memesan,
apabila titjie bertemu pula sama siepee, mesti titjie menyampaikan hormatnya
seraya mengharap kesehatan siepee."
"Si Racun Tua itu pandai sekali berpura-puar!" berkata Ang Cit Kong, yang
menyebut si racun Tua kepada See Tok Auwyang Hong. "Dia pun banyak mulutnya! Aku
si pengemis tua, dapat aku mencuri, dapat aku gegares, tetapi aku tidak merampas
anak dara orang, maka kenapa aku bolehnya tidak sehat" Bukankah pamanmu tidak
sakit dan tidak tumbuhan juga?"
Auwyang Kongcu malu dan jengah, ia menyahuti sembarangan saja.
"Barusan aku mendengar kata-katamu," berkata lagi Ang Cit Kong. "Bukankah kau
menyebut-nyebut tentang ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing, tentang
pukulan mengemis nasi dan menangkap ular" Bukankah kau sangat memandang enteng
kepada semua ilmu silat itu?"
Di dalam hatinya Auwyang Kongcu kata, "Aku tidak menyangka bahwa dia telah
bersembunyi di atas penglari..." Tapi toh ia menyahuti, "Siepee, aku mohon sukalah
siepee memaafkan keponakanmu ini. Tadi aku telah mengoceh tidak karuan karena
aku tidak mengetahui ketua Partai lo-enghiong ini justru siepee adanya..."
Ang Cit Kong tertawa terkakak, selagi tertawa, tubuhnya berlompat turun.
"Kau menyebut dia lo-enghiong, tetapi dia tidak sanggup melawan kau, maka itu
kaulah si enghong!" berkata ketua pengemis itu. "Apakah kau tidak malu" Haha-
haha!" Enghiong ialah pendekar dan lo-enghiopng adalah pendekar tua.
Auwyang Kongcu malu sekali dengan hatinya mendongkol bukan main, tetapi ia
insyaf orang bukanlah tandingannya, tidak berani ia turun tangan, tidak berani
ia lancang mulut, maka ia terpaksa merendahkan diri.
"Kau mengandalkan ilmu silatnya si Racun Tua, kau datang ke Tionggoan, ke
tenggara ini untuk malang melintang! Hm! Hm! Tapi ketahui olehmu, selama si
pengemis belum mampus, aku khawatir kau tidak akan mendapatkan tempatmu di
sini!" berkata pula si pengemis tua itu.
Auwyang Kongcu terus mesti mengendalikan diri.
"Siepee bersama pamanku ada sama kesohornya, maka itu aku menurut saja segala
perintah siepee," ia berkata, merendah.
"Bagus, ya!" berseru Cit Kong. "Kau maksudkan aku si besar menghina si kecil, si
tua menghina kamu si anak muda?"
Bab 33. Kemaruk Kebesaran
Auwyang Kongcu tidak membuka suara, ia melawan diam.
"Dibawah perintahku si pengemis tua," berkata Cit Kong, "Meski benar ada si
pengemis besar, si pengemis pertengahan dan si pengemis kecil, mereka itu
bukanlah murid-muridku! sekalipun ini si orang she Lee, dia barulah belajar
serupa ilmu silatku yang kasar, ia masih bukan muridku yang dapat menjadi ahli
warisku! Bukankah kau memandang enteng ilmu silatku mencuri ayam dan meraba
anjing" Bukankah aku si pengemis bangkotan omong besar, apabila aku hendak
mengangkat satu murid langsung, belum tentu ia seperti kau!"
"Itulah sudah sewajarnya," menyahut Auwyang Kongcu.
"Di mulut kau mengatakan begini, di dalam hatimu kau mencaci aku," kata pula Ang
Cit Kong. "Itulah keponakanku tidak berani," membilang Auwyang Kongcu.
"Cit Kong jangan percaya obrolannya!" Oey Yong menyelak. "Di dalam hatinya dia
memang sedang mencaci kau, malah mencaci lebih hebat sekali!"
"Bagus ya, bocah ini berani mencaci aku!" seru Cit Kong dengan gusar.
Mendadak ia mengulur tangannya, bagaikan kilat, kipas di tangan si anak muda
telah kena dirampas, hingga orang melengak. Dia membeber kipas itu, di situ
terlihat lukisan beberapa tangkai bunga bouwtan serta tulisannya Cie Hie dari
jaman Song Utara, di samping mana ada lagi sebaris tulisan, bunyinya "Pek To San
Cu", artinya tuan dari Pek To San. Itulah tulisannya Auwyang Kongcu sendiri.
"Hm!" Cit Kong memperdengarkan suara dingin. Kemudian ia menanya Oey Yong:
"Bagaimana kau lihat ini beberapa huruf?"
Sepasang alis matanya si nona terangkat. Ia menjawab: "Sungguh menyebalkan!
Itulah mirip tulisannya kuasa dari toko penukar uang perak!"
Auwyang Kongcu biasa mengagulkan diri sebagai pemuda yang pandai ilmu silat dan
ilmu surat, sekarang ia mendengar celaannya Oey Yong, ia mendongkol bukan main,
dengan mata melotot ia memandang si nona. Tapi ia melihat wajah orang yang
terang, yang seperti tertawa bukannya tertawa, ia menjadi tercengang.
Ang Cit Kong membeber kipas di telapakan tangannya yang satu, ia bawa itu ke
mulutnya untuk dipakai menyusuti beberapa kali. Ia baru saja habis menggerogoti
ayam, di bibirnya masih berbelepotan minyak, maka bisa di mengerti kalau kipas
indah itu bukannya menjadi kipas lagi, setelah mana ia merangkap jari-jari
tangannya, hingga kipas itu jadi teremas menjadi sehelai kertas rongsokkan,
sesudah mana ia melemparkannya!
Untuk lain orangm kejadian itu bukan berarti apa-apa, untuk Auwyang Kongcu,
itulah hebat sekali. Itulah kipas yang menjadi alat senjatanya untuk bertempur,
tulang-tulangnya terbuat dari baja pilihan, dengan diremas itu, baja itu turut
menjadi tidak karuan. Hanya di sebelah itu, ia pun kagum untuk tenaga besar dari
si pengemis tua, yang dengan gampang saja dapat meremas remuk itu!
"Jikalau aku sendiri yang melawan kau, sampai mampus juga kau tentu tidak puas,"
berkata Ang Cit Kong. "Maka sekarang juga hendak aku mengangkat seoarng murid
supaya segera dia melawan kau....."
Benar-benar Auwyang Kongcu penasaran, dengan berani ia pun berkata, "Saudara ini
barusan telah bertempur beberapa puluh jurus denganku, jikalau siepe tidak turun
tangan, sudah tentu keponakanmu yang beruntung memperoleh kedudukan di atas
angin." Sembar tertawa, ia menunjuk kepada Kwee Ceng.
Cit Kong mendongak ke langit, ia tertawa terbahak-bahak.
"Anak Ceng, adakah kau muridku?" ia menanya.
Kwee Ceng ingat itu hari ia berlutut kepada orang tua ini, untuk memberi hormat
tetapi si orang tua dengan tersipu-sipu membalas berlutut dan mengangguk-angguk
kepadanya, maka itu ia lekas-lekas menjawab: "Aku yang muda tidak mempunyai
rejeki untuk menjadi muridmu."
"Nah, kau telah dengar, bukan?" berkata Cit Kong kepada pemuda she Auwyang itu.
Auwyang Kongcu menjadi heran sekali.
"Pengemis bangka ini pastilah tidak memperdaya orang," pikirnya. "Habis bocah
ini, darimanakah dia mendapatkan kepandaiannya itu?"
Cit Kong tidak mengambil tahu apa yang orang pikir. Ia memandang Kwee Ceng.
"Sekarang hendak aku mengambil kau sebagai murid, kau senang atau tidak?" dia
tanya. "Apakah kau tidak mencele aku si pengemis tua" Apakah enak mendengarnya
kau kalau orang katakan gurumu adalah aku si pengemis tua?"
Tapi Kwee Ceng girang bukan kepalang, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan
si raja pengemis itu, untuk paykui delapan kali.
"Hai, anak tolo!" kata si guru, "Mengapa kau tidak memanggil suhu?"
"Sebenarnya teecu sudah mempunyai enam guru, maka itu teecu pikir...." Untuk
sejenak bocah ini merandak, ia bersangsi. "Teecu memikir untuk menanyakan dulu
pikirannya keenam guruku itu..."
"Benar-benar!" berkata Ang Cit Kong. "Seorang kuncu memang tidak melupakan asal
usulnya! Baiklah, sekarang aku mengajarkan kau dulu dengan tiga jurus."
Lalu di depan Auwyang Kongcu sendiri, Cit Kong mengajarkan Kwee Ceng sisanya
tiga jurus lagi Hang Liong Sip-pat Ciang. Sudah tentu ketiga jurus itu beda
dengan tiga jurus ciptaan Kwee Ceng sendiri.
Cit Kong tunggu sampai Kwee Ceng sudah dapat menghapalkan tiga jurus itu, abru
ia kata: "Baik, anak yang baik, cukup sudah! Sekarang kau tolongi aku mengajar
adat pada ini bandit cabul!"
Kwee Ceng memang sangat sebal terhadap itu pemuda ceriwis dan jumawa, tanpa
membilang apa-apa lagi, ia lansung meninju.
Auwyang Kong tidak takut, ia pun lagi mendongkol, maka habis berkelit, lantas ia
balas menyerang, maka kembali di situ keduanya bertarung.
Rahasianya Hang Liong Sip-pat Ciang adalah tenaga yang dikerahkan di satu saat,
tentang ilmu silatnya sendiri sangatlah sederhana, dipelajarinya pun gampang,
yang sulit adalah melatihnya hingga mahir. Orang-orang seperti Nio Cu Ong, Bwee
Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu, itu bukanlah tandingannya Kwee ceng, tetapi
kenapa ia sanggup melayani mereka bertiga" Itulah rahasianya. Pula kali ini.
Auwyang Kongcu menghadapi sendiri si pengemis tua mengajari Kwee Ceng, kalau
perlu ia dapat menyangkoknya, tetapi sekarang setelah bergebrak, ia merasakan
kesulitannya. Sekarang Kwee Ceng dapat menggunai delapanbelas jurus, ia dapat menyambung itu
kepala dengan buntut dan buntut dengan kepala. Karena ia telah pandai
menjalankan limabelas jurus, mendapat tambahan tiga jurus yang terakhir ini,
tenaganya lantas saja bertambah.
Auwyang Kongcu melayani bekas tandingannya ini dengan bersungguh-sungguh, dia
sudah menggunai empat macam ilmu silat, ia tapinya cuma dapat berimbang saja -
mereka ini jadi sama tangguhnya, sedang tadinya ia terlebih unggul. Sesudah
lewat lagi beberapa jurus tanpa hasil, ia menjadi bingung.
"Jikalau hari ini aku tidak memperlihatkan ilmu silat istimewa dari keluargaku,
pasti sekali sukar untuk aku merebut kemenangan." ia berpikir. "Semenjak masih
kecil aku telah dididik pamanku, kenapa aku tidak dapat merobohkan muridnya si
pengemis tua ini - murid yang baru saja diberi pengajaran" Tidakkah dengan
begitu aku akan meruntuhkan kesohoran dari pamanku di tangannya si pengemis
bangkotan ini?" Karena ini, mendadak ia mengirim tinjunya yang hebat.
Melihat serangan itu, Kwee Ceng segera menangkis. Tapi mendadak ia seperti
kehilangan tangan lawan, yang menjadi lemas dengan sekonyong-konyong, atau
dilain saat "Plok!" batang lehernya telah kena ditinju tanpa ia dapat berdaya.
Ia menjadi kaget sekali, sambil tunduk ia lompat, tangannya membalas menyambar.
Auwyang Kongcu berkelit sambil menggeser kaki, sambil berkelit, ia juga
menyerang. Kali ini Kwee Ceng tidak berani menangkis, ia berkelit dengan cepat.
Tapi aneh gerakan tangannya kongcu ini, entah bagaimana, tangannya seperti
menuju ke kiri, tahunya ke kanan, maka "Plok!" lagi sekali tangannya ini
mengenakan pundak. Hebat untuk Kwee Ceng, lekas juga ia terhajar untuk ketiga kalinya.
"Anak Ceng, tahan!" berkata Ang Cit Kong. "Hitunglah kau yang kalah satu kali
ini." Kwee Ceng menurut, ia lompat keluar gelanggang. Ia merasakan sakit pada tempat-
tempat yang terpukul, tapi ia pun memberi hormat pada lawannya seraya berkata:
"Benar kau lihay, aku bukanlah tandinganmu."
Auwyang Kongcu puas sekali, ia lantas melirik Oey Yong.
Ang Cit Kong lantas berkata: "Si Racun tua setiap hari memelihara ular, ini ilmu
silatnya Kulit Ular Emas tentulah ia ciptakan dari tubuhnya ular berbisa. Kau
beruntung sekali, karena sekarang belum aku si pengemis tua dapat memikir daya
untuk memecahkannya. Nah, kau pergilah baik-baik."
Auwyang Kongcu tercekat hatinya. Ia pikir: "Paman telah pesan wanta-wanti
padaku, kalau bukan menghadapi bencana kematian, tidak boleh aku menggunai ini
tiou silatnya yang diberi nama Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas, sekarang si
pengemis tua mengetahuinya, apabila pamanku mengetahui juga, aku bisa di hukum
berat." Karena ini lenyaplah kepuasan hatinya. Ia memberi hormat kepada Ang Cit Kong,
lantas ia bertindak keluar dari rumah abu itu.
"Eh, tunggu dulu, hendak aku bicara denganmu!" Oey Yong mencegah.
Auwyang Kongcu menghentukan tindakannya, ia menoleh.
Oey Yong memberi hormat dan menjura kepada Ang Cit Kong.
"Cit Kong," katanya, "Baiklah hari ini kau menerima dua murid. Kau sekarang
berat sebelah, aku tidak mau mengerti!"
Ang Cit Kong menggeleng kepala tetapi ia tertawa.
"Sebenarnya aku telah melanggar aturan dengan menerima murid," katanya. "Maka
itu tidak dapat dalam satu hari aku melanggar pula aturan dengan menerima dua
murid. Ayahmu sendiri sangat lihay, mana dapat ia membiarkan kau mengangkat aku
si pengemis tua menjadi gurumu..."
Oey Yong menunjuki rupa kaget dan sadar.
"Oh, kau jeri terhadap ayahku!" katanya.
Cit Kong kena dibikin panas hatinya.
"Takut?" katanya, "Hm! Baiklah, aku terima kau sebagai murid! Mustahil Oey Lao
Shia di Bangkotan Tersesat nanti gegares tubuhku!"
Oey Yong girang, ia tertawa.
"Baiklah, satu patah menjadi kepastian" ujarnya. "Jangan kau menyesali! Suhu,
kamu kaum pengemis, bagaimana caranya kamu menangkap ular" Coba suhu mengajari
aku." Cit Kong berpikir. Ia tak tahu maksudnya nona ini tetapi ia tahu orang sangat
cerdik, ia menduga tentulah putrinya Tong Shia Oey Yok Su ini mengandung sesuatu
maksud. "Menangkap ular menangkap di tempat tujuh dim," ia memberi keterangan. "Kedua
jeriji tangan mesti merupakan sebagai sepit. Asal tepat kenanya, ular bagaimana
beracun juga tidak bakalan bergeming lagi."
"Kalau ular yang kasar sekali?" tanya pula si nona. Ia maksudkan ular besar.
"Ajukan tangan kiri, untuk memancing ia menggigit jari tangan kiri kita," Cit
Kong mengajari. "Lalu dengan tangan kanan menghajar dia di tempat tujuh dim
juga." "Apakah menhajarnya mesti cepat sekali?"
"Tentu saja. Tangan kiri itu mesti dipakaikan obat, supaya toh kalau kena
digigit, akibatnya tidak membahayakan."
Oey Yong mengangguk, ia melirik kepada si pengemis tua itu, ia mengedipi
matanya. "Suhu, sekarang kau boleh torehkan obat padaku." ia minta. Ia memanggil suhu,
guru. Biasanya Ang Cit Kong ini, kalau ia menghadapi ular, biar yang sangat beracun,
ia mengeemplangnya dengan tongkatnya, dari itu ia tidak seia obat, akan tetapi
si nona melirik padanya, mengedipi mata, ia lantas mengasih turun cupu-cupu di
bebekongnya, dari dalam itu, ia menuang sedikit arak, dengan itu ia menorehkan
kedua tangan ini murid yang baru. Oey Yong membawa kedua tangannya ke hidungnya,
untuk menciumny, lantas ia memperlihatkan wajah yang luar biasa. Ia pun segera
menghadapi Auwyang Kongcu.
"Hallo!" tegurnya. "Aku ini muridnya Ang Cit Kong, sekarang aku ingin belajar
kenal dengan ilmu silatnya Kulit Ular Lemas! Paling dulu hendak aku menjelaskan
padamu, tanganku ini sudah ditorehkan obat pemunah racun ularmu, dari itu kau
haruslah waspada!" Auwyang Kongcu tidak takut. Pikirnya: "Dengan menempur kau, bukannya dengan
segebrakan saja dapat aku mencekukmu! Tidak peduli tanganmu ada apanya yang
aneh, cukup untukku asal aku tidak membenturnya!" Maka ia tertawa dan menyahuti:
"Jikalau aku sampai terbinasa di tanganmu, aku puas!"
"Semua ilmu silatmu yang lainnya biasa saja," berkata si nona, "Karena aku cuma
mau belajar kenal sama kutauw ularmu yang bau busuk itu, maka jikalau kau
menggunakan kainnya macam ilmu silat, kau terhitung kalah!"
"Apa yang kau bilang Nona, aku mengiringi saja," sahut Auwyang Kongcu
Oey Yong tertawa. "Aku tidak sangka, kau telur busuk, pandai sekali kau bicara!" katanya. "Lihat
tanganku!" Kata-kata ini disusul serangannya, dengan jurus po-giok-kun ajarannya Ang Cit
Kong. Auwyang Kongcu sudah lantas berkelit ke samping.
Oey Yong menyerang terus, mulanya dengan tendangan kaki kiri, lalu itu disusul
dengan bangkolan tangan kanan. Ini pun ada ajarannya karena namanya pukulan
"Sutera Terbang".
Melihat orang gesit, Auwyang Kongcu tidak berani memandang enteng. Ia mengulur
tangan kanannya, ia tekuk itu, lalu mendadak ia menhajar ke pundak si nona.
Inilah jurus dari Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas itu.
Sungguh sebat serangannya itu. Hampir tangannya mengenakan sasarannya, mendadak
ia sadar, cepat-cepat ia menarik pulang. Sejenak itu ia ingat si nona mengenakan
baju lapis berduri, kalau serangannya mengenai, tangannya pasti berdarah.
Justru orang membatalkan serangannya itu, justru Oey Yong menyerang. Dua-dua
tangannya melayang ke arah muka.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Auwyang Kongcu mengebaskan tangan bajunya, dengan itu ia menangkis serangan si
nona. Oey Yong mengenakan baju lapis dan kedua tangannya dipakaikan obat, maka itu
kecuali mukanya, tidak ada lain anggota tubuhnya yang dapat dijadikan sasarn.
Karena itu Auwyang Kongcu menjadi mendapat rintangan. Untuk menyerang ke bawah,
ia tidak mempunyai harapannya, karena ini, ia jadi kena terdesak, ia mesti main
berkelit atau lompat sana lompat sini saja.
"Kalau aku serang mukanya dan berhasil, aku berlaku lancang," pikirnya ini anak
muda. "Kalau aku jambak rambutnya, itulah terlebih hebat lagi, aku jadi berlaku
kasar. Habis, kemana aku mesti menyerang...?" Tetapi ia cerdik, ia lantas mendapat
akal. Selagi berkelit, ia merobek ujung bajunya, ia pakai itu untuk membalut
kedua tangannya, maka sebentar kemudian, ia mulai berkelahi dengan mencoba untuk
menangkap tangan lawannya.
Tiba-tiba Oey Yong lompat keluar gelanggang.
"Kau kalah!" serunya. "Itulah bukan ilmu silatmu yang bau!"
"Oh, aku lupa..!" berkata si anak muda, jengah.
"Sekarang teranglah ilmu silat ularmu yang bau itu tak dapat berbuat apa-apa
terhadap muridnya Ang Cit Kong," kata si nona yang licin itu, "Itu artinya ilmu
silat itu tak ada keanehannya. Selama di istana Chao Wang, kita pun pernah
bertempur, itu waktu aku malas mengeluarkan tenaga, aku kalah. Karena itu, kita
sekarang seri. Mari kita bertempur lagi, untuk memastikan menang atau kalah!"
Mendengar itu Lee Seng semua heran. Mereka berpikir, "Ini nona memang lihay
tetapi dia tak dapat melawan musuhnya, barusan ia menang karena menggunai akal,
tidakkah itu bagus" Kenapa dia mau bertempur lagi, seperti orang melukiskan ular
di tambah kaki?" Ang Cit Kong sebaliknya tertawa haha-hihi. Ia tahu nona ini sangat pintar dan
nakal, dia rupanya hendak menggunai hadirnya ia disitu untuk mempermainkan
keponakannya Auwyang Hong itu. Maka ia membiarkan saja, ia lebih perlu
menggerogoti sisa ayamnya....
"Ah, kenapa kita mesti main sungguh-sungguhan?" tertawa Auwyang Kongcu. "Kau
yang kalah atau aku yang menang toh sama saja, bukan" Tapi, kalau ada mempunyai
kegembiraan, baiklah aku yang rendah suka menemani kau main-main."
Oey Yong berkata pula; "Selama di istana pangeran Chao Wang itu, di kiri kananmu
semua ialah sahabat-sahabatmu, andaikata aku menang, terang sudah mereka bakal
menolongi kau. Itulah sebabnya kenapa aku malas melayani kau. Tapi disini ada
sahabat-sahabatmu..." ia menunjuk kepada semua gundik orang yang mengenakan
pakaian serba putih itu. "Dan aku pun ada kawan-kawanku. Memang benar sahabatmu
berjumlah lebih banyak, tetapi tidak apa, aku dapat melayani kerugian di pihakku
itu. Sekarang begini saja, mari kita menggurat satu lingkaran bulat. Siapa yang
lebih dulu keluar dari lingkaran, dia yang kalah!"
Mendengar suara orang yang agaknya mendesak itu, tetapi toh ada pantasnya,
Auwyang Kongcu mendongkol berbareng geli di hatinya. Ia suka menerima baik usul
itu, bahkan ialah yang segera membikin lingkaran itu. Ia menggurat dengan
kakinya. Ialah kaki kiri ditancap di tengah-tengah, kaki kanannya berputar
mengikuti tubuhnya. Ia membuat lingkaran lebar bundar enam kaki.
Rombongan Kay Pang bensi ini anak muda, tetapi melihat kepandaian orang itu,
mereka kagu dan memuji dalam hati.
Oey Yong lantas bertindak masuk ke dalam lingkaran itu.
Pusaka Negeri Tayli 13 Pendekar Rajawali Sakti 40 Pemburu Kepala Prahara Darah Biru 2
^