Pencarian

Memanah Burung Rajawali 15

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 15


"Kita bertempur secara bun atau secara bu?" dia tanya.
Bun itu berarti lunak dan Bu itu berarti keras.
"Hebat kau, banyak keanehanmu..." pikir Auwyang Kongcu. Ia menanya: "Bagaimana
caranya bun dan bagaimana caranya bu?"
"Cara bun itu ialah aku menyerang kau tiga kali, kau tidak boleh membalas,"
menerangkan si nona. "Kau juga menyerang kepadaku dan aku pun tidak boleh
membalasi. Kalau cara bu ialah kita bertarung sesuka kita, kau boleh pakai ilmu
silat ular mampus atau kuntauw tikus hidup, sesukamu, asal siapa yang keluar
terlebih dahlulu dari lingkaran, dialah yang kalah!"
"Aku pikir baiklah kita ambil cara bun," berkata si anak muda. "Dengan begitu
kita tidak menggangu persahabatan kita..."
"Kalau cara bu, sudah pasti kau bakal kalah!" berkata si nona. "Kau pilih cara
bun, kau masih mempunyai harapan. Baiklah, aku memberi keleluasan padamu, kita
pakai cara bun. Siapa yang menyerang lebih dulu, kau atau aku?"
Auwyang Kongcu malu menyerang lebih dulu.
"Tentu saja kau yang mulai lebih dulu," ia memberikan penyahutannya.
"Kau licin sekali!" tertawa Oey Yong. "Kau memilih belakangan, karena kau tahu,
jikalau kau lebih dulu, kau bakal tampak kerugian, kau jadi berpura ngalah
terhadap aku! Baiklah, hari ini aku yang akan terus bersikap seorang kesatria,
aku akan mengalah sampai di akhirnya!"
Auwyang Kongcu pun berpikir, "Sebenarnya tidak apa yang aku menyerang terlebih
dulu." Tapi ketika ia hendak mengucapkan itu, si nona sudah mendahului padanya.
"Lihat serangan!" Nona ini benar-benar menyerang, dihadapannya terlihat sinar
berkeredepan menyambar lawannya. Ia ternyata memegang senjata rahasia di dalam
tangannya. Auwyang Kongcu terkejut. Untuk menangkis sama kipasnya, kipasnya itu sudah
dirusak Ang Cit Kong. Ia dapat menggunai ujung bajunya, untuk mengebas, tangan
ujung bajunya baru disobek. Ia tidak menangkis, ia pun tidak bisa mundur. Sebab
mundur berarti keluar dari lingkaran. Tidak ada pilihan lain, terpaksa ia
menjejak kedua kakinya, untuk mencelat mengapungi diri, tingginya setombak
lebih, dengan begitu semua senjata rahasia itu lewat di bawahan kakinya.
Si nona telah menimpuk dengan beberapa puluh jarumnya.
"Serangan yang kedua!" si nona berseru. Ia menyerang pula disaat orang terapung
habis dan tinggal turunnya saja. Serangannya kali ini ke kiri dan ke kanan, ke
atas dan ke bawah. Itulah ilmu melepaskan jarum ajaran Ang Cit Kong yang bernama
"Boan-thian hoa ie teng kim ciam" atau melempar jarum memebuhi langit bagaikan
hujan bunga. "Habislah aku!" mengeluh Auwyang Kongcu saking kagetnya. "Perempuan ini sungguh
kejam..." Justru itu ia merasakan ada orang mencekal leher bajunya di bagian dan belakang
dan terus kakinya terangangkat lebih tinggi, berberang dengan mana, ia mebdengar
suara sar-ser dari lewatnya semua jarum rahasia, yang terus jatuh ke tanah. Ia
mengerti bahwa ada orang yang sudah menolongi padanya, hanya belum sempat ia
melihat penolong itu, ia merasa tubuhnya sudah dilemparkan. Sebenarnya ia tidak
dilempar keras, akan tetapi lihaynya orang yang melemparkannya itu, ketika
tubuhnya tiba di tanah, yang mendahului jatuh adalah lengan kirinya, maka
sebelum dapat berlompat bangun, ia terbanting keras juga. Ia menduga kepada Ang
Cit Kong, sebab di situ tidak ada orang lain yang terlebih pandai. Ia mendongkol
sekali, tanpa menoleh lagi, ia ngeloyor keluar dari rumah abu itu, semua
gundiknya melerot mengikuti padanya.
"Suhu, kenapa kau menolongi mahkluk busuk itu"!" Oey Yong tanya gurunya.
Ang Cit Kong tertawa. "Dengan pamannya itu aku bersahabat kekal!" sahutnya. "Dia memang jahat, dia
bagiannya mampus, tetapi kalau dia mampus di tangan muridku, jelek di muka
pamannya itu." Ia terus menepuk-nepuk pundak muridnya yang cerdik itu. "Anak
manis, hari ini kau telah membikin terang muka gurumu. Dengan apa aku harus
memberi upah kepadamu?"
Oey Yong mengulur lidahnya.
"Aku tidak menghendaki tongkatmu, suhu!" katanya.
"Walaupun kau menghendaki, tidak dapat aku memberikannya itu!" kata sang guru.
"Aku memikir untuk mengajari kau satu atau dua tipu silat, tetapi dalam beberapa
hari ini aku sangat malas bergerak, aku tidak mempunyakan kegembiraanku!"
"Aku nanti memasaki kau beberapa macam sayur untuk membangkitkan semangatmu,"
berkata Oey Yong. "Sekarang aku tak sempat berdahar." Ia menunjuk Lee Seng serta rombongannya.
"Kami kaum Kay Pang ada mempunyai banyak urusan untuk dibicarakan."
Lee Seng dan kawan-kawannya menghampirkan Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk
menghanturkan terima kasih.
Nona Thia pun meloloskan diri dari belenggunya, ia dekati Oey Yong, tangan siapa
ia tarik, ia mengutarakan rasa syukurnya.
Oey Yong menujuk kepada Kwee Ceng, ia berkata kepada si nona: "Ma Totiang, yang
menjadi paman gurmu yang nomor satu, pernah mengajarkan ilmu silat, dan lain-
lain paman gurumu, seperti Khu Supee dan Ong Supee, semua memandang tinggi
kepadanya. Sebenarnya kita adalah orang sendiri."
Setelah Lee Seng mengasih selamat kepada Ang Cit Kong, Kwee Ceng dan Oey Yong.
Mereka memang tahu, ketua itu tidak pernah menerima murid tetapi entah
bagaimana, kali ini kebiasaan itu tidak dapat dipertahankan. Tentu saja ia, yang
diajar, hanya beberapa jurus, menjadi kagum sekali. Ia pun berkata, besok hendak
ia mengadakan perjamuan guna pemberian selamat itu.
"Aku khawatir mereka jijik dengan kedekilan kita, mereka tidak akan sudi dahar
makanan kita kaum pengemis!" berkata Cit Kong sambil tertawa.
"Besok pasti kita akan hadir," berkata Kwee Ceng lekas. "Lee Toako ada cianpwee
kami, aku justru ingin sekali mempererat persahabatan kita!"
Senang Lee Seng mendapat perkataan anak muda ini. Ia memang suka ini anak muda
yang lihay dan sifatnya sangat merendah.
"Kamu bersahabat erat, inlah bagus," kata Cit Kong. "Tapi ingat, jangan kau
membujuk murid kepalaku ini menjadi pengemis. Kau, muridku yang kecil, pergi kau
mengantarkan Nona Thia pulang. Kami bangsa pengemis, sekarang kami hendak pergi
mencuri ayam dan mengemis nasi...!"
Habis berkata begitu, pangcu dari Kay Pang itu, Partai Pengemis, sudah lantas
ngeloyor pergi. Lee Seng beramai mengikuti, tetapi sebelum, pergi Lee Seng
memberitahukan, pesat besok bakal dibikin di rumah abu itu.
Oey Yong mengantarkan Nona Thia pulang, Kwee Ceng juga turut mengantar karena ia
khawatir mereka itu nanti bertemu Auwyang Kongcu di tengah jalan, itulah berabe.
Di tengah jalan itu, Nona Thia perkenalkan dirinya pada Oey Yong. Ia ternyata
bernama Yauw Kee. Ia memang pernah belajar silat pada Ceng Ceng Sanjin Sun Put
Jie tetapi dasar dari keluarga hartawan, ia tidak bisa membuang semua sifatnya
si orang hartawan, maka itu ia beda dadri Oey Yong yang polos dan sederhana,
meskipun sebenarnya Oey Yong termanjakan oleh ayahnya.
Sekembalinya dari rumah Thia Yauw Kee, Kwee Ceng dan Oey Yong hendak pulang ke
penginapannya untuk beristirahat, mereka merasa letih, akan tetapi mendadak
mereka mendengar tindakan kaki kuda mendatangi dari arah selatan ke utara,
setelah datang hampir dekat, penunggang kuda itu menghentikan binatang
tunggangannya. Oey Yong ingin ketahui siapa pengunggang kuda itu, ia lari
menghampirkan, Kwee Ceng mengikuti dia.
Untuk herannya muda-muda ini, mereka mengenali Yo Kang, yang tangannya menuntun
seekor kuda. Dan, berdiri di tepi jalan, orang she Yo itu asyik pasang omong
dengan Auwyang Kongcu. Sebenarnya mereka ini ingin mendengar pembicaraan orang
tetapi mereka tidak berani datang terlalu dekat, khawatir nanti kepergok. Maka
itu apa yang terdengar adalah Auwyang Kongcu menyebut-nyebut "Gak Hui" dan kota
"Lim-an" dan Yo Kang mengatakan "ayahku". Setelah itu, Auwyang Kongcu memberi
hormat, bersama murid-muridnya, dan gundik-gundiknya, ia berlalu.
Yo Kang berdiri menjublak, lalu ia menghela napas, kemudain ia berlompat naik ke
atas kudanya. "Yo Hiantee, aku ada di sini!" Kwee Ceng memanggil.
Yo Kang terkejut, tetapi segera ia lari menghampirkan
"Toako, kau ada di sini?" tanya heran.
"Di sini aku bertemu bersama Nona Oey, kita pun bentrok sama Auwyang Kongcu,
kerananya perjalananku terlambat," Kwee Ceng menyahut.
Mukanya Yo Kang merah dan dirasakan panas, tetapi Kwee Ceng tidak dapat
melihatnya. "Toako, kita jalan terus sekarang atau singgah dulu?" Yo Kang tanya. "Apakah
Nona Oey akan turut bersama pergi ke Pak-khia?"
"Bukannya aku mengikut kamu, tetapi kaulah yang mengikuti kami," kata Oey Yong.
"Toh, tidak ada perbedaannya!" Kwee Cneg tertawa. "Mari kita pergi ke rumah abu
untuk beristirahat, setelah terang tanah kita melanjutkan perjalanan kita."
Yo Kang menurut, maka mereka balik ke rumah abu keluarga Lauw itu. Kwee Ceng
menyalakan sisa lilinya Auwyang Kongcu.
Oey Yong membawa sebuah ciaktay, dengan menyuluh, ia punguti semua jarumnya.
Hawa malam itu panas mengkedus, maka ketiganya merebahkan diri di depan ruang
dimana mereka meletakkan daun pintu. Hampir mereka kepulasan, kuping mereka
mendengar tindakan kaki kuda. Lantas mereka bangun untuk berduduk, untuk
memasang kuping. Terang itu bukannya seekor kuda, dan suaranya pun makin nyata.
"Yang di depan tiga orang, yang di belakang, yang mengejar belasan," berkata Oey
Yong. Kwee Cneg seperti hidup di punggung kuda, ia lebih berpengalaman daripada si
nona. Ia kata: " Inilah aneh! Pengejar itu terdiri dari enambelas orang!"
"Apa katamu!" "Yang di depan itu semua kuda Mongolia, yang di belakangnya bukan. Heran, kenapa
kuda Mongolia dari gurun pasir lari-larian di sini?"
Oey Yong berbangkit, ia menarik tangan Kwee Ceng buat diajak ke pintu. Mendadak
saja sebatang anak panah lewat di atasan kepala mereka. Ketiga penunggang kuda
sudah lantas sampai di depan rumah abu, hanya celaka penunggang kuda yang paling
belakang, ketika sebatang panah menyambar pula, kudanya terpanah kempolannya,
binatang itu meringkik, lalu roboh. Syukur untuknya, dia kaget, dia dapat
berlompat turun dari kudanya itu, hanya ia tidak mengerti ilmu ringan tubuh,
turunnya dengan tubuh yang berat. Dua kawannya berdiri bengong dan saling
mengawasi. "Aku tidak kurang suatu apa!" berkata yang kudanya roboh itu. "Kau lekas
berangkat terus, nanti aku merintangi mereka itu!"
"Nanti aku membantui kau merintangi mereka," kata yang satunya. "Su-ongya boleh
lekas menyingkir!" "Mana bisa"!" berkata orang yang dipanggil su-ongya itu, pangeran keempat.
Mereka itu bicara dalam bahasa Mongolia dan Kwee Ceng merasa mengenali mereka,
ialah Tuli, Jebe dan Boroul. Tentu saja ia menjadi bertambah heran, hingga ia
menduga-duga, kenapa mereka itu berada di tempat ini. Tadinya ia berniat pergi
menemui mereka atau kaum pengejarnya keburu sampai dan sudah lantas mulai
mengurung. Ketiga orang Mongolia itu membuat perlawanan dengan panah mereka. Nyata mereka
pandai sekali menggunai senjatanya itu. Pihak pengurung tidak berani datang
mendekat, mereka menyerang dengan anak panah dari kejauhan.
"Naik!" berseru seorang Mongolia, tangannya menunjuk ke tiang bendera.
Bagaikan kera, mereka itu berlompat naik, maka itu, sebentar kemudia mereka
dapat memernahkan diri di tempat tinggi.
Pihak pengurung mendesak lebih jauh, semua mereka turun dari kudanya masing-
masing. "Engko Ceng, kau keliru," kata Oey Yong. "Mereka berlimabelas."
"Tidak bisa salah. Salah satunya telah kena terpanah!"
Benar saja, seekor kuda yang lain mendatangi dengan perlahan, di pelananya ada
penunggangnya yang tergantung kaki kirinya dan terseret, di dadanya ada panag
panjang yang menancap. Diam-diam Kwee Ceng merayap menghampiri penunggang kuda itu, yang sudha mati. Ia
mencabut anak panahnya. Ia mendapat kenyataan, gagang panah tersalut besi
matang. Bahkan di situ ada ukiran seekor macan tutul, ialah tanda dari panahnya
Jebe. Anak panah itu lebih berat dari anak panah biasa. Sekarang ia tidak
bersangsi pula. Maka ia berteriak menanya; "Yang di atas itu suhu Jebe dan adik
Tuli?" Tiga orang itu terdengar berseru kegirangan.
Berbareng dengan itu dua bayangan putih melayang turun ke arah pemuda she Kwee
itu. Kwee Ceng mendengar suara sayap burung atau ia segera mengenali kedua ekor
burung rajawali piarannya putri Gochin Baki.
Kedua ekor burung itu sangat tajam matanya, walaupun dalam gelap, mereka
mengenali majikan mereka, maka ini mereka lantas terbang turun. Smabil berpekik
mereka hingga di pundak majikannya itu.
Oey Yong kagum sekali. Memang pernah ia mendengar Kwee Ceng bercerita halnya
memanah burung rajawali dan mendapatkan anaknya yang terus dipiara, hingga ia
pun memikir, kalau ia dapat pergi ke gurun pasir, hendak ia memelihara burung
itu. "Mari kasih aku bermain-main dengannya!" ia kata tanpa menghiraukan musuh
semakin mendekati. Ia mengulur tangannya, untuk memegang burung itu, guna
mengusap-usap bulunya. Tapi burung itu lihay, ia tidak kenal si nona, ia
mematok. Syukur si nona keburu tarik pulang tangannya itu.
"Jangan!" Kwee Ceng mencegah.
"Burung ini busuk!" kata si nona, yang tertawa. Biar bagaimana ia suka burung
itu, yang ia terus awasi.
"Yong-jie, awas!" mendadak Kwee Ceng berseru.
Itu waktu dua batang anak panah menyambar ke arah dadanya si nona.
Oey Yong acuh tak acuh atas datangnya anak panah itu, akan tetapi dengan sebat
ia menyembat tubuhnya si penunggang kuda yang sudah mati itu, maka kedua anak
panah lantas mengenakan tubuh orang itu, yang ternyata adalah serdadu Kim, cuma
sebab ia mengenakan baju lapis, anak panah itu jatuh ke tanah. Lantas si nona
merogoh kantungnya si serdadu, ia keluarkan rangsum keringnya, yang mana ia
pakai untuk memberi makan kepada kedua ekor rajawali itu.
"Yong-jie, kau memainlah dengan burung ini, nanti aku menghajar tentara Kim
itu!" berkata Kwee Ceng, yang segera lompat maju, tepat menghadapi satu musuh,
yang memanah kepadanya. Ia sampok anak panah itu dengan tangan kiri lalu dengan
tangan kanan ia cekal tangan orang, yang ia terus tekuk patah.
"Hai, bangsat anjing dari mana berani banyak tingkah di sini"!" berteriak
seseorang dari tempat yang gelap. Ia bicara dalam bahasa Tionghoa, malah
suaranya dikenali Kwee Ceng, sehingga pemuda ini heran. Tengah ia tercengang,
sepasang kampak sudah menyambar kepadanya, cahaya senjata itu bergemerlapan.
Melihat serangan bukan sembarang serangan, Kwee Ceng mendak, sembari mendak ia
membalas menyerang, segera dengan jurus "Naga sakti menggoyang ekor" dari Hap
Liong Sip-pat Ciang! Tidak tempo lagi musuh itu terhajar pundaknya, tulang-tulangnya pada patah dan
remuk, tubuhnya terpental jatuh sambil ia mengeluarkan jeritan yang menyayatkan.
Maka sekarang Kwee Ceng ingat salah sau dari Hong HO Su Koay, yaitu Song-bun-hu
Cian Ceng Kian. Menyesal juga pemuda itu yang ia telah berlaku secepat itu, ia khawatir Ceng
Kian terbinasa. Ia hanya tidak menyangka, baru beberapa bulan atau ia sekarang
dapat mengalahkan Siluman dari Sungai Hong Hoo itu demikian gampang. Tengah ia
menyesal, mendadak datang lagi serangan - sebuah golok dan sebatang tombak.
Ia segera menduga kepada Toan-hun-to Sim Ceng Kong dan Twie-beng-chio Gouw Ceng
Liat. Ia membangkol tombak orang dan menarik, maka tubuh si penyerang menjadi
terjerunuk maju, tempat menjadi sasarannya golok kawannya, tetapi dengan satu
tendangan, Kwee Ceng menghalau golok yang terbang melayang. Habis itu, dengan
kesebatannya, pemuda ini mengangkat tubuh orang, untuk dilemparkan, maka itu
Ceng Kong dan Ceng Liat saling bentur dengan keras, hingga keduanya pingsan.
Hong Ho Su Koay ini tinggal bertiga sebab Siluman yang satu lagi, yaitu Toat-
pek-pian Ma Ceng Hiong telah terbinasa di tanganya Liok Koan Eng ketika ia
nelusup masuk ke dalam rombongan perampok Thay Ouw itu. Mereka bertigalah orang-
orang lihay dari rombongan serdadu-serdadu Kim yang mengejar Tuli bertiga itu.
Mereka roboh tanpa diketahui rombongannya, maka serdadu-serdadu Kim itu masih
tetap menyerang Tuli, Jebe dan Boroul.
"Masih kamu tidak mau menyingkir! Apakah kamu ingin mampus semua di sini"!"
membentak Kwee Ceng, yang segera maju menyerbu, menyerang kalang-kabutan kepada
serdadu-serdadu itu, hingga sebentar kemudian mereka itu menjadi kacau dan
kabur. Sim Ceng Kong dan Gouw Ceng Liat sadar saling susul, melihat ancaman bahaya,
mereka kabur tanpa berayal lagi,
Jebe bersama Boroul lihay ilmu panahnya, mereka dapat membinasakan tiga serdadu.
Tuli mengawasi ke bawah, ia menyaksikan Kwee Ceng menghajar musuh, ia girang
bukan main. "Anda, kau baik?" ia menanya. Terus dengan memeluk tiang bendera, ia merosot
turun, setibanya di tanah, si sambar tangan Kwee Ceng, untuk mereka saling jabat
dengan keras, mata mereka saling tatap.
Menyusul itu, Jebe dan Boroul pun merosot tutun.
"Tiga orang itu melawan kami dengan tamengnya, tidak dapat kami memanah mereka,"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata Jebe. "Coba tidak Ceng-jie datang menolong, pastilah kami tak bakal
dapat minum pula airnya sungai Onom yang jernih!"
Jago panah ini berbicara separuh bergurau hingga orang tertawa.
Kwee Ceng lantas menghampirkan Oey Yong, untuk ditarik menghampirkan Tuli
bertiga. "Inilah adik angkatku," ia perkenalkan nona itu.
Oey Yong yang lucu dan berani, sembari tertawa ia lantas berkata: "Sepasang
burung ini dapatkah diberikan kepadaku?"
Tuli berdiam mengawasi si nona, ia tidak mengerti bahasa Tionghoa dan
peterjemahnya telah mati terbinasa si tangan musuh. Ia cuma mendengar suara
orang halus dan merdu dan wajahnya manis.
"Eh, anda, mengapa kau membawa-bawa burung ini?" Kwee Ceng tanya. Ia pun tidak
mengambil peduli perkatannya si nona.
"Ayahanda menitahkan kaisar Song," menyahut Tuli. "Kami berjanji bersama-sama
mengerahkan angkatan perang kita guna menggenjet pasukan perang Kim. Adikku
bilang, mungkin nanti aku ketemu kau, maka ia menyuruh aku membawa burung ini."
Kwee Ceng berdiam mendengar orang menyebut putri Gochin. Ia berpikir: "Dalam
satu bulan aku mesti memenuhi janji pergi ke pulau Tho Hoa To, mungkin sekali
ayahnya Yong-jie bakal membunuh aku, maka itu tiba-tiba dapat aku perdulikan
lagi dia itu..." Maka itu ia berpaling kepada Oey Yong dan berkata: "Sepasang
burung ini menjadi kepunyaanku, kau boleh ambil buat main!"
Oey Yong girang bukan main, ia lantas pula mengambi daging kering untuk mengasih
makan pada burung itu. Tuli lantas bercerita bagaimana ayahnya, Jenghiz Khan menang berperang melawan
bangsa Kim, bagaimana ia diutus kepada raja Song untuk membeuat perserikatan,
akan tetapi di tengah jalan ia berpapasan sama tentara Kim, yang merintanginya,
hingga mereka bertempur, hingga habislah barisan pengiringnya, hingga mereka
tinggal bertiga saja. Maka ysukur di sini ia bertemu ini saudara angkat, yang
dapat menolongi mereka. Mendengar keterangan Tuli ini, Kwee Ceng menjadi ingat apa yang ia dengar di
Kwie-in-chung tempo Yo Kang menyuruh Bok Liam Cu pergi ke Lim-an untuk menemui
Perdana Menteri Su Bie Wan, untuk memesan agar perdana menteri itu membinasakan
utusan Mongolia itu. Ketika itu ia belum tahu apa-apa, tidak tahunya, negera Kim
sudah mengetahui rahasia itu, dari itu dengan Yo Kang diutus raja Kim ke
Selatan, maksudnya pun tak lain tak bukan guna merintangi perserikatan Song dan
Mongolia itu. "Pihak Kim itu rupanya berkeputusan tetap untuk menawan aku," Tuli berkata pula,
"Maka juga adik rajanya sendiri, yaitu pangeran yang nomor enam, yang memimpin
pasukannya memegat kami."
"Adakah ia Wanyen Lieh?" tanya Kwee Ceng.
"Benar! Dia memakai kopiah emas, inilah aku lihat jelas. Sayang sekali, tiga
kali aku panah dia, saban-saban panahku dirintangi tameng pengiring-
pengiringnya." Kwee Ceng girang sekali hingga ia berseru: "Yong-jie, adik Kang! Wanyen Lieh ada
di sini, mari kita lekas cari dia!"
Oey Yong menyahuti tetapi Yo Kang tidak, malah orangnya pun tidak nampak.
Kwee Ceng heran. "Yong-jie pergi ke timur, aku ke barat!" katanya cepat.
Lantas keduanya lari pesat sekali.
Setelah berlari-lari beberapa lie, Kwee Ceng dapat menyandak beberapa serdadu
Kim yang lagi kabur, ia menawan satu diantaranya, maka ia mendapat kepastian,
benarlah pemimpin tentara pengepung Tuli adalah Wanyen Lieh sendiri, hanya
disaat itu, ini serdadu tidak ketahui di mana beradanya pangerannya itu.
"Kita sudah meninggalkan pangeran dan kabur, kalau kita pulang, kita ada bagian
dipotong kepala kami," kata si serdadu, "Karena itu kami hendak meloloskan
seragam kami untuk kabur dan menyembunyikan diri."
Kwee Ceng penasaran, ia masih mencari, tetapi sia-sia saja. Ketika itu fajar
mulai menyingsing. Ia bergelisah sendirinya. Maka ia terus lari, akan mencari.
Ketika ia tiba di sebuah hutan kecil di depannya, di sana berkelebat seseorang
dengan pakaian putih. Itulah Oey Yong yang pun tidak memperoleh hasil. Maka
dengan masgul, mereka kembali ke rumah abu di mana mereka menemui Tuli bertiga.
"Mungkin Wanyen Lieh itu pulang untuk mengambil bala bantuan!" Tuli berkata.
"Anda, aku lagi bertugas, tidak dapat aku ayal-ayalan, maka di sini saja kita
berpisahan." Kwee Ceng berduka, khawatir nanti ia tak dapat bertemu pula dengan tiga orang
itu. Berempat mereka saling rangkul, lalu mereka berpisahan. Ia mengawasi
kepergian mereka itu, sampai orang lenyap dan tindakan kaki kudanya pun tak
terdengar. "Engko Ceng, mari kita menyembunyikan diri," Oey Yong mengajaki. "Kita menanti
sampai Wanyen Lieh datang bersama pasukannya, itu waktu tentu kita bakal menemui
dia. Kalau jumlahnya besar sekali, kita menguntit saja, malamnya baru kita
menyatroni, untuk membunuh padanya. Tidakkah itu bagus?"
Kwee Ceng girang, ia puji si nona.
Oey Yong pun sangat girang.
"Sebenarnya ini tiou daya lumrah saja, namanya berpindah dari gili-gili menaik
perahu," katanya tertawa.
"Nanti aku pergi ke dalam rimba untuk menyembunyikan kuda kita," kata Kwee Ceng,
yang terus menuntun kudanya. Ketika ia tiba di belakang rumah abu, ia lihat satu
benda bersinar keemas-emasan yang bertojoh matahari. Ia lantas menghampirkan dan
memungutnya. Nyata itu ada sebuah kopiah bersalut emas dan di situ pun tertabur
dua butir batu permata sebesar buah kelengkeng. Ia lantas lari kepada Oey Yong.
"Yong-jie, lihat apa ini?" ia berkata separuh berbisik.
Oey Yong terkejut. "Inilah kopiahnya Wanyen Lieh," sahutnya.
"Benar! Kebanyakan dia masih bersembunyi di dekat-dekat sini, mari kita cari
pula!" mengajak Kwee Ceng.
Oey Yong memutar tubuhnya, tangannya menekan tembok, maka sekejap saja ia sudah
berada di atas tembok itu.
"Aku mencari dari atas, kau di bawah!" katanya.
Kwee Ceng menyahuti, lantas ia masuk ke dalam pekarangan rumah.
"Engko Ceng, barusan ilmu ringan tubuhku bagus atau tidak?" si nona menanya.
Kwee Ceng menghentikan tindakannya, ia melongo.
"Bagus!" sahutnya, "Kenapa?"
Nona itu tertawa. "Kalau bagus, kenapa kau tidak memuji aku?" tanyanya.
Kwee Ceng membanting kakinya.
"Anak, anak nakal!" katanya. "Diwaktu begini kau masih bergurau!"
Oey Yong tertawa, terus ia lari ke belakang.
Selagi Kwee Ceng membantu Tuli melawan seradau-serdadu Kim, Yo Kang yang matanya
jeli sekali telah lantas dapat melihat Wanyen Lieh yang mengepalai tentara Kim
itu. Biar ia bukannya anak pangeran itu, ia tetapi ingat budi orang yang sudah
merawat ia belasan tahun. Ia memandangnya sebagai ayahnya sendiri, dari itu ia
mengerti. lambat sedikit saja, pangeran itu bisa dapat susah. Tanpa pikir lagi,
ia berlompat untuk menolongi, justru itu Kwee Ceng telah melontarkan seorang
serdadu, Wanyen Lieh berkelit tetapi sia-sia, ia kena ditubruk serdadu itu, ia
roboh dari kudanya. Yo Kang lompat, untuk merangkul seraya ia berbisik di
kupingnya pangeran itu: "Hu-ong, inilah anak Kang, jangan bersuara!"
Kwee Ceng lagi bertempur dan Oey Yong lagi membuat main burung, maka itu tidak
ada yang melihat Yo Kang mengajak ayah angkatnya itu menyingkir ke belakang
rumah abu. Keduanya masuk ke dalam rumah dan sembunyi di sebuah kamar barat.
Mereka mendengar pertempuran menjadi reda, serdadu-serdadu Kim lari serabutan,
begitupun pembicaraan Kwee Ceng dengan tiga orang Mongolia itu.
Wanyen Lieh merasa ia tengah bermimpi.
"Anak Kang kenapa kau berada di sini?" ia menanya perlahan. "Siapa orang kosen
itu?" "Dia Kwee Ceng, anaknya Kwee Siauw Thian dari dusun Gu-kee-cun di Lim-an," Yo
Kang memberitahu. Dingin Wanyen Lieh merasakan bebokongnya. Di otaknya berkelebat kejadian pada
sembilanbelas tahun yang lampau itu. Ia membungkam. Segera setelah itu, ia
mendengar suara Kwee Ceng dan Oey Yong mencari padanya. Ia bergidik. Ia telah
menyaksikan kegagahan orang tadi diwaktu ketiga Siluman dari Hong Hoo dihajar
dan tentaranya dilbrak. "Hu-ong, mari sembunyi terus di sini," berkata Yo Kang. "Kalau kita keluar
sekarang, ada kemungkinan kita terlihat mereka. Tidak nanti mereka menyangka
kita berada di sini. Sebentar setelah mereka pergi jauh barulah kita mengangkat
kaki." Wanyen Lieh mengangguk. "Benar anak Kang," ia menyahuti. "Kenapa kau memanggil aku hu-ong dan bukannya
ayah?" Yo Kang tidak menjawab. Ia ingat almarhum ibunya, pikiriannya bekerja keras.
"Apakah kau lagi memikirkan ibumu?" Wanyen Lieh tanya. "Benarkah?" Ia memegang
tangan orang dan tangan itu dingin bagaikan es.
Dengan perlahan-lahan Yo Kang meloloskan tangannya.
"Pemuda she Kwee itu bernama Kwee Ceng, ia gagah sekali," ia memberitahu. "Untuk
membalas sakit hati ayahnya, ia bakal mencelakai hu-ong. Untuk itu, dia dapat
menggunai segala daya upaya. Dia pun mempunyai banyak sahabat. Maka itu dalam
setengah tahun ini baiklah hu-ong jangan pulang ke Pak-khia..."
"Benar, baiklah kalau aku menyingkir daripadanya," menyahut pangeran itu.
"Apakah kau pernah pergi ke Lim-an" Apakah katanya Perdana Menteri Su itu?"
"Aku belum pergi ke sana," menjawab Yo Kang lagu suaranya tawar.
Mendengar suara orang itu, Wanyen Lieh menduga anak ini telah mengetahui asal-
usul dirinya, hanya heran ia, mengapa ia telah ditolongi.
Untuk delapanbelas tahun, keduanya ini menjadi ayah dan anak yang saling
menyinta dan menyayangi, akan tetapi pada detik ini, berada dalam sebuah kamar,
Yo Kang merasakan di antara mereka ada permusuhan hebat sekali. Yo Kang
bersangsi, terombang-ambing di antara kecintaan dan kebencian.
"Asal aku menggeraki tanganku, pasti sudah dapat aku membalas sakit hati ibuku,"
berkata si anak dalam hati. "Tetapi, bagaimana dapat aku turun tangan " Laginya,
apakah benar aku selamanya tidak sudi menjadi putra raja" Apakah aku mesti hidup
seperti Kwee Ceng, yang mesti merantau saja?"
Wanyen Lieh seperti dapat menerka hati orang.
"Anak Kang, kita pernah menjadi ayah dan anak, maka itu untuk selamanya, kau
tetap anakku yang aku cintai," ia berkata, "Negara Kim kita, tak usah sampai
sepuluh tahun, bakal dapat merampas kerajaan Song, maka itu waktu dengan
kekuasaan besar berada di tanganku, kebahagiaan kita tidak ada batasnya. egara
ini yang luas dan indah adalah kepunyaanmu!"
Yo Kang dapat menangkap maksud ayah itu, yang hendak mengangkangi kerajaan. Ia
goncang hatinya akan mendengar kata-kata "Kebahagiaan yang tak ada batasnya". Ia
pikir: "Dengan ketangguhan kerajaan Kim sekarang, memang gampang untuk menakluki
kerajaan Song. Hu-ong pun sangat cerdas dan pandai bekerja, sekalipun raja
sekarang, tidak dapat melawannya. Kalau usaha hu-ong ini berhasil, bukankah aku
akan menjadi raja di kolong langit ini?"
Maka dengan begini, ia merasakan darahnya mendidih. Dengan keras ia mencekal
tangan Wanyen Lieh. "Ayah, anakmu akan membnatu kau membangun usahamu yang besar!" ia memberikan
kata-katanya. Wanyen Lieh merasakan tangan bocah itu panas, ia girang bukan buatan.
"Aku menjadi Lie Yan, kau menjadi Lie Sie Bin!" katanya. Lie Yan dan Lie Sie Bin
adalah ayah dan anak dalam pembangun kerajaan Tong.
Selagi Yo Kang hendak menjawab, tiba-tiba ia mendengar suara berkeresek di
belakangny. Dua-duanya terkejut, dua-duanya segera berpaling.
Nyata cahaya terang sudah mulai menembusi jendela, maka terlihatlah di belakang
mereka tujuh atau delapan peti mati, yang sudah terisi mayat, yang lagi menanti
tanggal penguburannya. Jadi bagian belakang rumah abu ini dipakai sebagai kamar
penyimpan jenazah. "Suara apakah itu?" tanya Wanyen Lieh, hatinya berdebar.
"Rupanya tikus," menyahut anaknya.
Tapi segera terdengar suara bicara dan tertawanya Oey Yong dan Kwee Ceng, yang
lewat di luar kamar itu. Mereka mencari Wanyen Lieh sambil membicarakan kopiah
emas yang mereka ketemukan.
"Celaka!" pikir Yo Kang. "Kenapa aku tidak ketahui kopiahnya hu-ong trejatuh?"
Ia lantas membisiki ayahnya itu: "Hendak aku memancing mereka pergi." Lantas ia
menolak daun pintu dan berlompat keluar, untuk berlompat terus naik ke genting.
Oey Yong dapat melihat bayangan orang berkelebat.
"Bagus! Dia di sini!" serunya, lantas ia berlompat menyusul. Tetapi tiba di
ujung rumah, bayangan itu lenyap.
Kwee Ceng mendengar suara si nona, ia lari menghampirkan.
"Dia tidak bakal lolos, tentu dia sembunyi di dalam sana," kata si nona.
Selagi keduanya hendak menerobos masuk ke dalam pepohonan lebat, justru itu
terdengar pepohonan kecil bergerak dan tersingkap, di situ muncul Yo Kang.
Kwee ceng jaget dan heran.
"Eh, adik, kau pergi ke mana?" dia menanya. "Apakah kau dapat melihat Wanyen
Lieh?" "Kenapa Wanyen Lieh ada di sini?" Yo Kang balik menanya, agaknya ia heran.
"Dia datang ke mari memimpin pasukan serdadunya," sahut Kwee Ceng. "ini
kopiahnya." "Oh, begitu!" Yo Kang berpura-pura.
Oey Yong mengawasi wajah orang, ia curiga.
"Kita mencari kau, ke mana kau pergi?" ia tanya.
"Kemaren aku salah makan barang, perutku mulas," menyahut Yo Kang. "aku buang
air di sana." Ia menunjuk ke dalam gombolan.
Oey Yong tidak menanya pula, tetapi ia tetap bercuriga.
"Adik Kang, mari kita lekas mencari!" Kwee Ceng mengajak.
Hati Yo Kang berdebar-debar. Ia menduga-duga apakah Wanyen Lieh sudah kabur atau
belum. Ia menenangkan dirinya, untuk tidak mengetarakan kecemasan pada parasnya.
"Dia datang mengantarkan jiwa, itulah bagus!" katanya. "Pergilah Toako bersama
nona Oey mencarinya ke timur, aku akan mencari ke barat."
"baik," sahut Kwee Ceng yang terus pergi ke jurusan timur. Di sana ia menolak
daun pintu kamar Ciat-hauw-tong, ruang kebaktian dan kesucian diri.
Tapi Oey Yong berkata: "Yo Toako, mungkin ia sembunyi di barat, mari aku turut
kau memeriksa ke sana."
Yo Kang berkhawatir bukan main, tapi ia menjawab: "Mari lekas, jangan memberinya
waktu ketika untuk kabur!" Ia lantas mendahului, untuk menggeledah setiap kamar.
Tentu saja ia menyingkir dari kamar untuk menyimpan jenazah itu.
Keluarga Lauw di Po-eng adalah keluarga besar di jaman Song, maka rumah abunya
pun besar luar biasa. Hanya karena peperangan, gedung itu telah mengalamai
kerusakan. Adem hati Oey Yong memandangi rumah abu itu. Ia melihat Yo Kang
memasuki kamar-kamar yang berdebu atau banyak kabang-kabangnya, dia memeriksa
dengan teliti, ia mulai mengerti ketika sampai si kamar barat, yang debunya
tebal, di mana ada banyak tapak kaki dan tapak tangan di pintu, mendadak ia
berseru: "Di sini!"
Kwee Ceng dan Yo Kang mendengar suaranya, yang satu menjadi girang, yang lain
kaget. Mereka lari memburu. Oey Yong membuka pintu dengan satu jejakan, tetapi
ketika pintu kamar itu terpentang, ia berdiri melongo. Ia bukannya melihat orang
yang dicarinya, hanya ia nampak beberapa peti mati tampak di situ.
Yo Kang lega hatinya. Ia percaya Wanyen Lieh sudah lolos. Tetapi ia beraksi, ia
maju ke depan sambil berseru: "Wanyen Lieh, manusia licin, di mana kau
bersembunyi" Lekas keluar!"
"Yo Toako, siang-siang dia sudah mendengar suara kita!" kata Oey Yong denagn
tertawa. "Tak usah kau begitu baik hati memberitahukan kedatangan kita
kepadanya!" Yo Kang gusar, bahwa rahasia hatinya dibongkar.
"Nona Oey, kenapa kau bergurau begini padaku?" katanya, mukanya merah.
Kwee Ceng tertawa. "Jangan dibuat pikiran, adikku," katanya. "Yong-jie main-main saja...." Ia lantas
menuju ke lantai. "Lihat, itulah bekasnya orang duduk! Benar-benar ia pernah
datang kemari!" "Lekas kejar!" Oey Yong berseru. Ia lantas memutar tubuhnya, atau mendadak
terdengar bunyi nyaring di belakang mereka. Ketiganya terkejut, semua berbalik
lantas. Mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak.
Oey Yong nyali besarnya tetapi terhadap peti mati, hatinya gentar, maka itu ia
sudah lantas memegangi tangan Kwee Ceng. Pemuda ini tercengang sebentar, lantas
ia berkata: "Jangan takut, Yong-jie, si jahanam berada di dalam peti mati!"
"Lihat, ia lari ke sana!" berseru Yo Kang sambil tangannya menunjuk keluar. Dia
pintar sekali, ia lantas lompat untuk mengubar.
Oey Yong tetap mencurigai orang, ia menyambar tangan Yo Kang, akan mencekal
nadinya. "Jangan kau main gila!" katanya, tertawa dingin.
Nona Oey ini jauh terlebih lihay, dicekal tangannya, Yo Kang merasakan tubuhnya
lemas, hingga tidak dapat ia bergerak. Tapi ia tetap tenang.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, kau bikin apa?" ia menanya, berpura-pura.
"Engko Ceng, apakah itu di dalam peti mati?" Oey Yong tanya kawannya tanpa
memperdulikan orang yang dicurigainya itu.
"Aku rasa dialah si jahanam!" menyahut Kwee Ceng.
"Kau menakuti-nakuti aku?" kata Oey Yong pada Yo Kang tangan siapa ia sampar. Ia
masih penasaran. Tapi mengenai peti mati, ia tetap bersangsi, ia khawatir orang
adalah mayat hidup....Maka ia memberi ingat: "Hati-hati engko Ceng....."
Kwee Ceng sudah bertindak menghampirkan ketika ia menghentikan tindakannya itu.
"Apa katamu?" ia tanya.
"Kau tutup saja peti itu, supaya mahkluk di dalamnya tak dapat keluar," Oey Yong
memberi pikiran. "Mana ada mayat hidup?" kata Kwee Ceng tertawa. Ia tahu kekasihnya itu jeri. Ia
pun berkata sambil lompat ke peti mati itu. "Dia tidak bisa merapa keluar!"
Di jaman Song umumnya orang sangat percaya pada hantu atau setan.
"Engko Ceng," berkata si nona, masih dalam kesangsian, "Nanti aku coba menyerang
dengan pukulan Memukul Udara, tidak peduli dia mayat hidup atau Wanyen Lieh,
mari kita dengar jeritan atau tangisannya...."
Sembari berkata si nona maju dua tindak, tenaganya di kerahkan. Di dalam halnya
ilmu pukulan Pek-hong-ciang, ia belum semahir Liok Seng Hong, kerana itu, ia
perlu memernahkan diri lebih dekat. Belum lagi serangannya dikeluarkan, mendadak
ia mendengar tangisan bayi dari dalam peti itu. Ia kaget hingga ia berlompat
mundur, tubuhnya menggigil, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan: "Setan
perempuan....!" Kwee Ceng tapinya berani.
"Adik Yo, mari kita buka tutupnya peti!" ia mengajak.
Yo Kang tengah mandi keringat dingin, saking khawatirnya, sedang untuk membantui
Wanyen Lieh, ia jeri terhadap ini muda-mudi yang lihay, maka itu, bukan main
lega hatinya akan mendengar tangisan itu. Tanpa ayal ia berlompat maju. Maka
sesaat kemudian, berdua mereka sudah dapat mengangkat tutup peti yang belum
dipantek paku itu. Kwee Ceng mengangkat tutup petinya sambil siap sedia akan menyerang kapan ia
dapatkan mayat hidup, kemudian untuk herannya, ia melihat Bok Liam Cu yang rebah
di dalam peti mati itu. Yo Kang pun heran, lekas-lekas ia mengulur tangannya untuk membantui orang
berbangkit. "Yong-jie, mari!" kata Kwee Ceng. "Kau lihat siapa ini...."
"Tidak, aku tidak mau melihat-lihat!" sahut si nona.
"Tapi ialah enci Bok!" Kwee Ceng mendesak.
Baru sekarang Oey Yong mau berpaling. Ia melihat Yo Kang mengempo seorang bayi,
yang romannya mirip Liam Cu, maka ia maju ke arah peti, akan melihat Liam Cu
sendiri rebah dengan muka kucal dan air matanya meleleh, tubuhnya tidak
bergeming. Sebagai ahli menotok jalan, Oey Yong lekas menolongi Nona Bok itu. Ia menotok
sana-sini. "Enci Bok, kenapa kau berada di sini?" tanya Oey Yong kemudian.
Rupanya sudah lama Liam Cu tertotok, hingga jalan darahnya tertahan, sudah
tubuhnya kaku, napasnya pun tidak lurus, maka itu Oey Yong mambantui ia dengan
mengurat-urat juga. Selang sedikit lama, baru nona itu bisa membuka mulutnya.
"Aku kena ditawan orang," katanya.
Oey Yong mendapat tahu Liam Cu ditotok jalan darahnya di telapakan kaki, yaitu
jalan darah yong-coan-hiat. Ahli silat Tionghoa jarang yang menggunai ilmu totok
semacam ini, maka itu ia dapat menduga siapa si penyerang itu.
"Bukankah telur busuk itu Auwyang Kongcu dari Wilayah Barat itu?" ia menanya.
Liam Cu tidak menyahuti, ia cuma mengangguk.
Ketika itu hari Liam Cu menolongi Yo Kang pergi mengasih kabar pada Bwee Tiauw
Hong, dia ditawan Auwyang Kongcu dan dibawa pergi pemuda itu, yang kena diusir
oleh Oey Yok Su. Beberapa kali ia dipaksa konngcu itu, ia melawan, hanya
kemudian, setelah si kongcu menggunai ilmu lunak dan ia telah dibujuk pergi
datang, ia kalah hati juga, ia menyerah. Kemudian datang saatnya Auwyang Konngcu
menggilai Nona Thia, sampai ia kena diusir. Diwaktu kabur, tak sempat ia membawa
Bok Liam Cu. Maka itu syukur Kwee Ceng bertiga, yang mencari Wanyen Lieh, dengam
begitu ia jadi ketolongan, kalau tidak, pasti ia terbinasa di dalam peti mati
itu. Bab 34. Orang aneh di dalam kurungan
Yo Kang senang melihat kekasihnya itu.
"Adikku, kau beistirahatlah," katanya kemudian. "Nanti aku masak air untuk kau
mencuci muka!" "Mana kau bisa memasak air!" Oey Yong menyelak. "Aku yang nanti pergi masak.
Engko Ceng, mari!" Nona ini ingin berduaan dengan kekasihnya itu. Tapi, belum lagi ia berlalu, Liam
Cu sudah berkata kepada si orang she Yo itu. Ia tidak tersenyum seperti Yo Kang,
romannya pun dingin. "Tunggu dulu!" demikian katanya. "Orang she Yo, aku beri selamat padamu! Di
belakang hari tak terbatas kebahagiaan dan keagunganmu!"
Muka Yo Kang menjadi panas. Sebaliknya punggungnya dirasakan dingin. Ia
menjublak, tetapi di dalam hatinya ia berkata: "Rupanya dia telah mendapat
dengar apa yang tadi aku bicarakan dengan hu-ong..."
Liam Cu melihat muka orang agak berduka, hatinya lemah, tidak tega ia membuka
rahasia bahwa orang she Yo inilah yang melepaskan Wanyen Lieh. Ia tahu, dalam
gusarnya Oey Yong bisa membinasakan tunangannya itu.
"Kau memanggil ia ayah, bukankah itu bagus sekali?" ia berkata, dingin.
"Tidakkah itu terdengarnya lebih erat" Kenapa justru kau memanggil hu-ong?"
Yo Kang tunduk, ia malu sekali, hatinya berdebaran.
Oey Yong tidak bercuriga, ia menyangka sepasang kekasih itu lagi berselisih,
maka itu ia tarik ujung baju Kwee Ceng.
"Mari kita pergi, aku tanggung sebentar lagi mereka akan akur pula..." bisiknya.
Kwee Ceng tertawa, ia mengikut keluar.
Sampai di depan Oey Yong berkata dengan perlahan: "Engko Ceng, mari kita curi
dengar pembicaraan mereka."
"Jangan bergurau, aku tidak mau pergi!" kata si pemuda.
"Kau tidak mau pergi, jangan kau menyesal, kalau ada kejenakaan, sebentar aku
tidak akan membilangimu!" Ia lantas lompat naik ke atas genting, untuk dengan
berhati-hati belok ke kamar barat peranti menimbun jenazah itu.
Justru itu terdengar suara Lim Cu: "Kau mengakui bangsat menjadi ayahmu, itulah
masih bisa dimengerti, sebab di antara kamu ada rasa cinta lama dan kau pun
belum dapat berbalik hati, tetapi sekarang niatmu tidak benar, itulah yang
bukan-bukan! Kau hendak membikin musnah negara sendiri...! Ini, ini....!"
Saking murka dan pepat hati, Liam Cu tidak dapat berbicara lebih jauh.
"Adikku, aku..." berkata Yo Kang sambil tertawa.
Tapi ia dibentak nona Bok: "Siapa adikmu"! Jangan pegang aku!"
Lalu terdengar suara "Plak!" maka muka Yo Kang kena ditampar.
Oey Yong tertawa, dia berlompat turun, terus masuk di jendela.
"Kalau ada bicara, bicaralah baik-baik!" ia berkata, tertawa. Ia tidak menduga
jelek. Ia melihat muka Liam Cu merah gusar dan paras Yo Kang pucat berkhawatir,
ia menjadi terkejut, ia menduga perselisihan menjadi hebat. Ia memikir untuk
mengakuri. Baru ia hendak membuka mulutnya, atau Yo Kang sudah berkata terlebih dahulu:
"Bagus!" kata orang she Yo itu. "Kau menyambut yang baru dan membuang yang lama!
Di dalam hatimu sudah ada orang lain, maka begitulah kau berlaku terhadap aku!"
"Kau, kau bilang apa"!" kata nona Bok.
"Kau telah ikut Auwyang Kongcu itu! Dia pintar surat dan pandai silat, dia
menangi aku sepuluh kali lipat! Mana kau melihat mata lagi padaku!"
Liam Cu mendongkol hingga kaki tangannya dingin, hampir ia pingsan.
"Yo Toako, jangan kau omong sembarangan," berkata Oey Yong. "Kalau enci Bok
menyukai telur busuk itu, mustahil dia menaruh enci di dalam peti mati ini?"
"Palsu atau bukan, sama saja!" berkata Yo Kang. "Dia kena ditawan, dia
kehilangan kesucian dirinya, mana bisa aku hidup bersama pula dengannya"!"
"Aku kehilangan kesucian apa"!" tanya Liam Cu sengit.
"Kau telah terjatuh di tangan orang untuk banyak hari, kau dipeluk dan dirangkul
pulang pergi! Bisakah kau masih suci bersih"!"jawab pemuda itu.
Liam Cu begitu mendongkol hingga ia memuntahkan darah hidup, tubuhnya roboh ke
belakang. Hampir Yo Kang berlompat untuk menubruk atau dia ingat, Liam Cu sudah ketahui
rahasianya, kalau mereka berselisih terus, mungkin rahasianya itu pecah di
hadapan Oey Yong, dari itu ia terus bertindak keluar, pergi ke belakang di mana
ia melompat tembok untuk menyingkir terus.
Oey Yong menguruti Liam Cu sekian lama, baru nona itu sadar. Ia berdiam
sebentar, lantas ia tidak menangis pula, sikapnya pun tenang.
"Adik, hendak aku meminjam pisau belati yang baru-baru ini aku serahkan padamu!"
katanya kemudia. "Engko Ceng, mari!" Oey Yong memanggil sebelum ia sahuti si nona.
Kwee Ceng dengar panggilan itu, ia lantas muncul.
"Coba kasihkan enci Bok pisau belatinya Yo Toako," kata nona Oey.
Kwee Ceng menurut, ia keluarkan pisau belati yang Cu Cong ambil dari tubuhnya
Bwee Tiauw Hong, pisau mana dibungkus dengan kulit, yang ada ukiran huruf-
hurufnya, yang terukir dengan jarum. Ia tidak tahu, itulah rahasianya Kiu Im Cin
Keng. Ia simpan kulit itu di dalam sakunya, dan pisaunya ia serahkan kepada Liam
Cu. Oey Yong pun mengeluarkan pisau belatinya, ia berkata perlahan: "Pisaunya engko
Ceng ada padaku, mana itu kepunyaannya Yo Toako yang aku berikan pada kau. Enci,
inilah jodoh yang sudah ditulis. Tadi kamu telah berselisih, itulah tidak ada
artinya, jangan kau berbuat duka. Aku pun sering bercedera dengan ayahku.
Sekarang ini bersama engko Ceng, aku mau pergi ke Pak-hia untuk mencari Wanyen
Lieh, maka itu enci, jikalau kau senang, mari kau turut bersama kami pesiar. Aku
percaya, Yo Toako pun bakal turut bersama."
"Ya, mana saudara Yo?" Kwee Ceng tanya.
Oey Yong mengulur lidahnya, lekas ia berkata: "Barusan ia berselisih dengan
enci, dalam gusarnya enci telah menabok dia, lantas ia ngeloyor pergi..."
"Aku tidak mau pergi ke Pak-khia, kamu juga tidak usah pergi ke sana," berkata
Liam Cu. "Dalam tempo setengah tahun ini, jahanam Wanyen Liah itu tidak nanti
berada di Pak-khia. Dia takut nanti kamu pergi mencarinya untuk menuntut balas!
Engko Kwee, adik Oey, kamu berdua orang-orang baik, beruntungan kamu pun
bagus...." Ia berhenti tiba-tiba, mulutnya seperti tersumbat, lantas ia lari keluar, dimana
ia mengenjot tubuhnya, ia berlompat naik ke atas genting.
Melihat orang muntah darah, hati Oey Yong tidak tenang. Lantas ia menyusul. Ia
masih sempat melihat nona Bok berada di bawah sebuah pohon besar, tangan kiriny
diangkat tinggi, tangan kanannya diangkat ke atas kepalanya dan sinar pisau
belati berkelebat di cahaya matahari. Ia terkejut.
"Enci, jangan!" ia berteriak.
Tentu ia tak dapat mencegah orang membunuh diri karena jarak di antara mereka
jauh sekali, ia cuma bisa berlari-lari untuk menghampirkan.
Liam Cu tidak menikam lehernya atau dadanya, hanya dengan piasu belati itu ia
membabat kutung rambutnya, lalu ia membuangnya, terus kakinya berlari-lari.
"Enci! Enci!" Oey Yong berteriak-teriak memanggil.
Liam Cu tidak memperdulikannya, ia lari terus sampai ia lenyap dari pandangan
mata, sedang Oey Yong cuma bisa melihat rambut berterbangan berhamburan ke
selokan, ke sawah dan pepohonan di dekat-dekat situ.
Semenjak kecil Oey Yong selalu dimanjakan, tak pernah ia menginsyafi apa yang
dinamakan kedukaan. Senang ia tertawa lebar, jengkel ia menangis menggerung-
gerung, sejenak kejengkelan itu hilang. Tetapi sekarang ia menyaksikan peristiwa
hebat itu di depan matanya, ia dapat merasainya untuk pertama kalinya. Ia jadi
berduka dan terharu. Dengan perlahan-lahan ia kembali ke rumah abu. Kepada Kwee
Ceng ia beritahukan perbuatannya Liam Cu itu, yang terus menghilang.
"Entah kenapa enci Bok berlaku demikian," berkata Kwee Ceng, yang tidak mengerti
duduknya hal. "Dia beradat keras sekali."
Oey Yong heran hingga ia berpikir: "Mustahilkah seorang perempuan yang
dirangkul-rangkul dan dipeluk-peluk hilang kesucian dirinya" Hingga sekalipun
orang yang mencintainya dan menghormatinya pun menjadi tidak memandang mata
kepadanya, sampai ia tidak diambil peduli lagi?"
Terus si nona ini tidak mengerti, ketika ia sampai di dalam ruang, dia duduk
menyender di tiang dengan mata dimeramkan, hingga akhirnya ia tertidur pulas.
Ketika sang malam tiba, Lee Seng dan rombongannya mempersiapkan meja perjamuan
seperti yang dijanjikan, untuk menghormati Ang Cit Kong, pemimpin besarnya itu,
serta Kwee Ceng dan Oey Yong, hanya ditunggu hingga tengah malam, Cit Kong masih
tetap tidak muncul. Lee Seng ketahui tabiat aneh dari pangcu itu, ia tidak
mengambil peduli, ia terus jamu sepasang muda-mudi itu. Semua orang sangat
menyukai anak-anak muda itu. Bahkan nona Thia turut mematangi beberapa rupa
barang santapan dan memerintahkan budaknya mengantarinya tempat pesta itu.
Habis berjamu, yang ditutup dengan kegembiraan, Kwee Ceng dan Oey Yong berdamai.
Wanyen Lieh tidak pulang ke Pak-khia, sukar untuk menacri padanya, dari itu
perlu mereka memenuhkan janji pergi ke Tho Hoa To. Untuk itu, tentu saja mereka
mesti pergi dulu ke Kee-hin, guna mencari Kanglam Liok Koay, untuk berembuk
terlebih jauh. Oey Yong akur, maka itu besoknya pagi mereka berdua melanjutkan perjalanan
mereka ke Selatan. Itu waktu, di permulaan tanggal sepuluhan bulan enam, hawa udara panas terik.
Maka cocok pepatah orang Kanglam yang membilang; "Bulan enam tanggal enam, telur
bebek terjemur hingga matang!" Walaupun orang mempunyai payung, panas tetap
menyiksa. Pada suatu hari tibalah Kwee Ceng di Kee-hin. Gurunya masih belum datang. Maka
itu iamenulis surat kepada keenam gurunya itu serta suratnya dititipkan kepada
kuasa rumah maka Ciu Sian Lauw dengan pesan, kalau Kanglam Liok Koay tiba,
supaya suratnya itu diserahkan. Ia menulis halnya bersama Oey Yong ia mau pergi
ke Tho Hoa To. Ia membilang terima kasih seraya memberi hormat.
Oey Yong girang bukan main tiba di kampung halamannya sendiri.
"Ayah, ayah!" dia berteriak-teriak, "Yong-jie pulang!" . Ia berlari-lari sambil
terus menggapai-gapai kepada Kwee Ceng.
Kwee Ceng melihat orang lari ke timur dan ke barat tak ketentuan, atau dilain
saat nona itu lenyap dari pandangan matanya. Ia heran, ia lekas lari menyusul.
Baru lari belasan tembok, ai sudah kesasar. Ia melihat jalan kecil diempat
penjuru, tak tahu ia jalan mana yang ia mesti ambil. Tempo ia memaksa maju
terus, sebentar kemudian ia kembali ditempat asal. Ia lantas ingat sama keadaan
di Kwie-in-chung, yang menurut Oey Yong diatur luar biasa, dari itu, pulau ini
mestinya sama mempunyai jalanan rahasia, yang merupakan tin atau barisan
istimewa. Untuk tidak usah berlari-lari tidak ada tuasnya, akhirnya Kwee Ceng duduk di
bawah sebuah pohon tho, untuk menanti Oey Yong kembali untuk menyambut padanya.
Tapi ia menanti sekian lama, si nona belum muncul juga. Ia jadi tidak sabaran.
Ia memanjat sebuah pohon tinggi, akan memandang ke seputarnya. Di Selatan ada
laut, di barat ada batu gundul. Di timur dan utara, semuanya pohon bunga dengan
bunganya warna merah atau kuning, atau hijau atau ungu. Tak nampak tembok, tak
terlihat asap mengepul. Sunyi disekeliling situ. Tanpa merasa, hati Kwee Ceng menjadi
tidak tenang. Lantas ia lari ke depan, masuk antara pepohonan lebat. Atau
mendadak ia merandak, separuh berseru, ia kata dalam hatinya: "Celaka! Aku pergi
tanpa tujuan! Kalau Yong-jie mencari aku, mungkin dia tidak dapat menemuinya!"
Maka ia lari balik. Apa mau, ia tidak menemui jalanan tadi, ia kesasar ke tempat
lain. Pemuda ini pun lantas kehilangan kuda merahnya, yang sejak tadi mengikuti
padanya. Inilah sebabnya ia mencoba naik ke atas pohon, hingga kudanya menjadi
ketinggalan. ketika sang sore mendatangi, ia putus asa, ia duduk mendeprok di
tanah. Hendak ia menantikan si nona....
Senang ia duduk di tanah yang berumput tebal, tinggal rasa berdahaga dan
laparnya, yang mengganggu. Gangguan lapar jadi semakin hebat kapan ia ingat
masakan yang lezat-lezat yang Oey Yong bikin untuk Ang Cit Kong...
Tiba-tiba pemuda ini kaget dan bergelisah hatinya.
"Kalau Oey Yong dikurung ayahnya dan dia tidak dapat menolongi aku, bukankah aku
bakal mati kelaparan di sini?" pikirnya. Ia menyesal kapan ia ingat yang sakit
hati ayahnya belum terbalas. Ia pun ingat ibunya, yang berada sendirian di gurun
pasir. Kalau ia mati, sama siapa ibunya itu akan mengandal" Letih ia berpikir,
lama-lama ia kepulasan sendirinya.
Sampai tengah malam, Kwee Ceng bermimpi bersama Oey Yong pesiar ke kota raja
Pak-khia, sama-sama dahar barang hidangan yang lezat dan si nona bernyanyi merdu
untuknya. Tiba-tiba ia berdusin mendengar suara seruling. Ia memasang kuping,
matanya pun melihat sinar rembulan indah. Ia tahu yang ia tidak tidur lagi. Ia
hanya dengar, seruling datang dari tempat jauh. Ia menjadi mendapat hati, maka
ia berbangkit, terus ia bertindak ke arah darimana suara itu datang. Ketika ia
mendapatkan jalanan buntu, suara seruling tetap ada di depan.
Kemudian pemuda ini ingat jalanan rahasia di Kwie-in-chung, lantas ia berjalan
terus, kalau jalanan buntu, ia naik ke atas pohon. Kali ini ia mendengar suara


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin nyata, maka ia jalan semakin cepat. Akhirnya, ketika ia menikung, ia
melihat satu tempat di mana bunga-bunga berwarna putih, pohon bunga bergumpal
mirip sebuah telaga kecil. Di sini suara seruling sebentar tinggi dan sebentar
rendah. Anehnya, kalau ia dengar suara di timur dan pergi ke sana, suara itu
pindah ke barat, kalau ia pergi ke selatan, suara berada di utara. Demikian
berulangkali. Atau mendadak seperti ada belasan orang yang meniup seruling
berbareng dan berada di sekitarnya. Ia bagaikan dipermainkan.
Kwee Ceng merasakan kepalanya pusing setelah ia lari mondar-mandir sekian lama.
Sekarang ia tidak pedulikan suara lagi, ia lari ke tengah gumpalan bunga di mana
ada tanah munjul. Kiranya itu adalah sebuah kuburan dengan batu nisannya
bertuliskan catatan: "Kuburan dari Phang-sie, nyonya pemilik dari Tho Hoa To"
"Inilah tentu kuburan ibunya Oey Yong;" Kwee Ceng berpikir. "Yong-jie kehilangan
ibu sejak ia kecil, kasihan dia..." Ia lantas berlutut di depan kuburan itu, untuk
memberi hormat berlutut empat kali. Tengah ia paykui itu, seruling berhenti
secara toba-tiba, hingga suasana menjadi sunyi. Tempo ia berbangkit, seruling
berbunyi pula, terdengarnya di sebelah depan.
"Biarpun ada ancaman bencana, akan aku mengikutinya," Kwee Ceng pikir. Ia
bertindak ke arah suara itu, ia tidak pedulikan pepohonan lebat. Ia baru berdiri
menjublak kapan suara seruling bersalin rupa, sekarang semangatnya seperti
tertarik, hatinya berdebaran.
"Hebat, lagu apakah itu?" ia tanya dirinya sendiri.
Mulainya kendor, suara seruling itu jadi cepat, seperti memaksa orang menari-
nari, iramanya seperti mengandung kecabulan, menyebabkan kuping orang merah dan
urat-urat tegang. Ia lantas menjatuhkan diri, untuk duduk bersemadhi seperti
ajaran Ma Giok. Mulanya ia masih terpengaruh, hampir ia berlompat bangun, untuk
menari, baru belakangan, hatinya jadi tetap dan mantap. Setelah mendapat
ketenangan, hatinya menjadi lega dan kosong, tidak lagi ia terpengaruh suara
seruling itu, ia sekarang seperti mendengar suara gelombang, suara angin di
pohon, bahkan dahaga dan laparny apun lenyap. Ia merasa bahwa ia tidak bakal
terpengaruh lagi gangguan, maka ia berani membuka matanya. Maka ia melihat di
depannya, sepjarak dua tombak, sepasang sinar tajam berkilauan.
"Entah binatang apakah itu?" ia menduga. Ia lompat mundur beberapa tindak.
Sekonyong-koyong sinar itu lenyap.
"Benar aneh pulau Tho Hoa To ini," pikirnya. "Macan tutul atau rase yang
bagaimana gesit pun tidak dapat bergerak sepesat ini."
Ia tengah berpikir, lantas ia mendengar suara napas memburu.
"Ah, itulah orang, tadi itu ialah matanya! Rupanya ia belum pergi jauh..."
Ia tertawa sendirinya. Hanya sekarang ia tidak tahu, orang itu musuh atau bukan.
Suara seruling masih saja terdengar, sekarang iramanya berubah menjadi seperti
suara penasaran atau kenang-kenangan, atau sebagai hati muda dan panas dari
seorang wanita muda, yang seperti menanti-nanti saja di sebuah kamar...
Kwee Ceng tidak kena dipengaruhi lagu itu. Ia masih muda sekali dan semenjak
kecil ia giat belajar silat, mengenai soal kewanitaan, ia belum mengerti. ia
hanya heran mendengar suara napas yang memburu itu yang tercampur rintihan,
seperti orang tengah mempertahankan diri melawan gangguan seruling itu.
Merasa kasihan terhadap orang itu, Kwee Ceng bertindak menghampirkan. Sinar
bulan terang tetapi tempat kealingan cabang-cabang dan daun-daunnya. Ketika
sudah datang mendekat beberapa kaki, baru ia dapat melihat orang itu, yang lagi
duduk di bersila, rambutnya panjang terurai ke tanah, alis dan kumisnya pun
panjang, hingga lubang hidung dan mulutnya ketutupan. Satu tangannya ia letaki
di depan dadanya, yang lainnya di belakangnya. Ia tercekat hati. Ia ingat dulu
diajarakan semadhi dengan sikap begitu oleh Tan Yang Cu Ma Giok ketika ia berada
di gurun pasir, di puncak bukit. Itulah ilmu untuk menutup hati sendiri, siapa
sudah mahir peryakinannya, ia dapat tak memperdulikan suara guntur atau air bah.
Ia hanya heran, kenapa orang takut pada suara seruling itu.
Suara seruling semakin hebat, tubuh orang itu bergerak-gerak, hendak melompat,
beberapa kali ia sudah mencelat sekaki lebih, kelihatannya ia masih dapat
mempertahankan diri. Tapi Kwee Ceng mengerti, orang tak akan bertahan lama. Ia
cemas sendirinya. Irama seruling terdengar terus, ada kalanya perlahan dan bertukar dua kali.
"Sudah, sudah!" bersuara orang itu, agaknya hendak ia berlompat bangun.
Kwee Ceng kaget, tanpa berpikir lagi, ia lompat maju, tangan kirinya
dilomjorkan, untuk mencelat bahu orang itu, sedang tangan kanannya dipakai
menepuk pundak, di jalan darah tay-cui-hiat. Ia ingat dulu, setiap kali
semadhinya kalut, Ma Giok tentu meraba jalan darahnya itu, untuk mengasi hawa
panas dari tangan. Ia masih rendah pelajarannya, ia tidak dapat hanya meraba, ia
perlu menepuk. Tapi ini menolong. Orang itu tampaknya tenang, dapat ia berdiam
dan memeramkan mata. Tengah Kwee Ceng bergirang sendirinya, mendadak dari belakangnya, ada yang
membentak padanya: "Binatang cilik, kau merusak usahaku!"
Suara seruling itu pun berhenti.
Si anak muda terkejut, cepat ia berpaling. Ia tidak melihat orang, ia hanya
seperti mengenali suaranya Oey Yok Su. Ia menjadi masgul. Sejenak itu ia
menyesal. "Entah orang tua ini manusia baik atau jahat," demikian pikirnya. "Kenapa aku
lancang menolongi dia... Pantas saja ayahnya Yong-jie gusar....Kalau nanti dia ini
satu iblis, bukankah aku jadi melakukan kesalahan besar?"
Ia menjadi bergelisah sendirinya.
Orang tua itu bernapas reda, ia mulai meluruskannya.
Kwee Ceng tidak menanya apa-apa, ia duduk di depan orang tua itu, ia pun
bersemadhi. Ia baru membuka matanya ketika fajar sudah menyingsing dan embun
telah turun. Di antara sinar matahari, yang molos dari sela-sela pohon bunga, terlihat wajah
orang tua itu dimana bunga-bunga terbayang. Nyata kumisnya belum putih semua,
cuma entah sudah berapa tahun tak pernah dicukur, hingga ia mirip orang hutan.
Tiba-tiba kedua matanya orang itu dibuka, lalu terlihat sinarnya yang tajam
sekali. Ia lantas saja tersenyum dan bertanya: "Kau muridnya salah satu dari
Coan Cin Cit Cu yang mana?"
Mendengar suara orang itu sabar, hati Kwee Ceng lega. Ia berbangkit untuk
menjura. Ia memperkenalkan diri dan menyebut Kanglam Cit Koay sebagai gurunya.
Orang tua itu heran, ia tidak percaya.
"Kenapa Kanglam Cit Koay mengerti ilmunya Coan Cin Pay?" tanyanya.
"Sebenarnya Tan Yang Cinjin Ma Totiang pernah ajarkan ilmu selama dua tahun
tetapi ia belum menerima teecu sebagai murid," Kwee Ceng menjelaskan.
Orang tua itu tertawa, lalu mukanya nampak lucu. Ia mirip bocah yang lagi
bergurau. "Aku mengerti sekarang! Kenapa kau dapat datang ke Tho Hoa To ini?" dia tanya.
"Oey Tocu dari Tho Hoa To yang menitahkan teecu datang kemari."
"Untuk apakah?" Orang tua itu agaknya terkejut, air mukanya sampai berubah.
"Teecu berbuat salah dan teecu hendak menerima binasa..."
"Apakah kau tidak mendusta?" menegaskan orang tua itu.
"Tidak berani teecu mendusta," sahut Kwee Ceng hormat sekali. Terus ia
membahasakan diri teecu (murid).
Orang tua itu mengangguk-angguk.
"Bagus, kai duduklah."
Kwee Ceng menurut, ia duduk di sebuah batu besar. Sekarang ia melihat tegas si
orang tua bercokol di dalam sebuah gua dan di depannya terhalang beberapa lembar
kawat. Entah apa perlunya kawat itu.
"Siapakah yang lainnya yang pernah mengajarkan kau ilmu lagi?" tanya si orang
tua. "Ialah guruku yang baik budi Ang Kiu Cie Sin Kay," menyahut Kwee Ceng
sejujurnya. Orang tua itu agaknya merasa heran, ia juga mengasih lihat roman tertawa
bukannya tertawa. "Apakah Ang Cit Kong telah ajarkan kau ilmu?" tanyanya cepat.
"Ya," menyahut Kwee Ceng, yang omong terus terang. "Ia pernah mengajarkan Hang
Liong Sip-pat Ciang."
"Apakah dia tidak mengajarkan juga ilmu dalam?"
"Tidak." Orang tua itu dongak mengawasi langit langit, lalu ia berkata seorang diri: "Dia
masih begini muda, umpama kata dia belajar semenjak dalam kandungan, dia toh
baru belajar delapan atau sembilanbelas tahun, maka heran, kenapa aku tidak
sanggup melawan suara seruling tapi dia sanggup?" Dia benar-benar heran, maka ia
mengawasi pemuda di hadapannya itu, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.
Lantas ia mengulur keluar tangan kanannya di antara kawat kurungan. Ia kata:
"Coba kau mendorong telapakan tanganku, hendak aku mencoba tenagamu."
Kwee Ceng menurut, ia mengulur tangannya, menempel tangan si orang tua.
"Kerahkanlah tenagamu," kata orang tua itu.
Kwee Ceng menurut, ia mengerahkan tenaganya.
"Hati-hati," si orang tua memperingatkan: Selagi orang bersiap, ia pun
mengerahkan tenaganya. Kwee Ceng merasakan penolakan keras, tak sanggup ia menahannya, maka hendak ia
membnatu dengan tangan kirinya, atau mendadak si orang tua membalik tangannya,
telunjuknya mengenakan lengannya. Cuma sekali ia tertekan, tubuhnya lantas
mencelat ke belakang tujuh atau delapan kaki, punggungnya membentur sebuah
pohon. Di situ barulah ia bisa berdiri tetap.
Lantas orang tua itu berkata lagi seorang diri: "Ia tak ada celaannya, kecuali
belum mahir betul. Heran kenapa ia dapat bertahan dari lagu Thian-mo-bu?"
"Thian-mo-bu" itu adalah lagu seruling tadi, artinya Tarian Hantu Langit.
Kwee Ceng mengeluarkan napas lega. Ia juga mengawasi orang tua itu, sangking
heran, ia berpikir: "Orang tua ini berimbang kepandaiannya dengan Ang Cit Kong
dan Oey Yok Su. Kenapa di Thoa Hoa To ini orang semacam ini" Adakah ia See Tok
atau Lam Tee?" Mengingat nama See Tok, si Racun dari Barat, ia terkejut: "Jangan-jangan aku
terpedaya," pikirnya. Maka ia angkat tangannya untuk diperiksa. Tangan itu tidak
bengkak atau merah, hatinya menjadi lega pula.
Orang tua itu tertawa. "Kau badelah, siapa aku ini?" ia bertanya.
Kwee Ceng menyahuti: "Menurut apa yang teecu dengar, orang yang paling gagah
sekarang ini cuma ada lima orang. Coan Cin Kauwcu Ong Totiang telah menutup
mata, Kiu Cie Sin Kay yang menjadi guruku dan Oey Tocu teecu kenal, maka itu
mungkinkah cianpwee ada Auwyang Cianpwee atau Toan Hongya?"
Orang tua itu tertawa. "Bukankah kau merasakan ilmu kepandaianku berimbang sama Tong Shia dan Pak Kay?"
ia tanya. "Pelajaranku masih sangat rendah, tidak berani teecu bicara sembarangan," sahut
Kwee Ceng berhati-hati. "Barusan cianpwee menolak padaku, dari itu teecu merasa,
kalau bukan Ang Ingsu dan Oey Tocu, belum pernah ada orang ketiganya."
Itulah pujian, senang si orang tua. Ia mengasih lihat roman jenaka yang kebocah-
bocahan. "Aku bukannya See Tok Auwyang Hong dan bukan juga entah apa Hongya, maka itu
cobalah kau menerka lagi sekali." katanya.
Kwee Ceng berpikir, baru ia menyahut: "Pernah teecu bertemu dengan seorang yang
namanya berimbang sama pemimpin dari Coan Cin Pay yaitu Kiu Cian Jin, tetapi ia
cuma menang nama, kepandaiannya biasa saja," sahut nya. "Sebenarnya pengetahuan
teecu masih sangat cetek, teecu tidak ingat nama cianpwee."
Orang tua itu tertawa. "Aku she Ciu! Kau ingatkah sekarang?" dia tanya.
"Cianpwee ialah Ciu Pek Thong?" tanya Kwee Ceng cepat. Tetapi ia terkejut. ia
sudah menyebut langsung nama orang tua itu. Maka lekas-lekas ia memberi hormat
seraya berkata: "Teecu sudah berlaku tidak hormat, harap cianpwee suka memberi
maaf." Orang tua itu tertawa pula.
"Tidak salah, tidak salah, akulah Ciu Pek Thong!" katanya. "Kau menyebut namaku,
apakah yang tidak hormat" Kauwcu dari Coan Cin Pay, Ong Tiong Yang, ialah kakak
seperguruanku, dan Ma Giok serta Khu Cie Kee lainnya, mereka semuanya keponakan
muridku. Kau bukannya orang Coan Cin Pay, tidak usah kau menyebut-nyebut
cianpwee, kau panggil saja aku Pek Thong!"
"Itulah aku tidak berani," kata Kwee Ceng heran tetapi tetap hormat.
Tinggi usianya, tetap Ciu Pek Thong mirip bocah. Untuk apa yang ia kehendaki, ia
tak kenal kebiasaan atau adat istiadat, pasti ia langgar. Begitulah ketika ia
ingat suatu apa, ia lantas kata: "Saudara Kwee, bagaimana kalau kita mengangkat
saudara?" Kwee Ceng heran hingga ia menjublak.
"Teecu adalah sebawahan Ma Totiang dan Khu Totiang, seharusnya teecu menghormati
cianpwee sebagai sucouw-ya!" katanya. Sucouw-ya adalah kakek guru.
Ciu Pek Thong menggoyangi tangannya berulang-ulang.
"Kepandaianku adalah kakak seperguruanku yang mengajarinya," ia bilang. "Ma Giok
dan Khu Cie Kee semua tidak memandang aku sebagai yang terlebih tua, mereka pun
tidak menghormati aku sebagai yang terlebih tua itu..."
Berkata sampai disitu, suaranya Pek Thong tertunda. Ke situ ada datang satu
bujang tua, yang tindakan kakinya terdengar terlebih dahulu. Dia membawa barang
makanan. "Ada makanan untuk didahar!" kata Ciu Pek Thong. Ia tertawa.
Bujang itu menyajikan barang bawaannya, yang terdiri dari empat rupa sayur, dua
poci arak serta sepanci nasi. Dia pun menuangi dua cawan arak. kemudian ia
berdiri menantikan di pinggiran.
"Mana nona Oey?" Kwee Ceng tanya. "Kenapa dia tidak datang kemari?"
Bujang itu menggeleng kepala, ia menunjuki pada kuping dan mulutnya, suatu tanda
ia tuli dan gagu. Ciu Pek Thong tertawa, dia kata: "Kuping orang ini ditusuk hingga tuli oleh Oey
Yok Su. Coba kau suruh dia membuka mulutnya."
Kwee Ceng menurut, dengan gerakan tangannya, ia minta bujang itu membuka
mulutnya. Kesudahannya dia terkejut. Lidah orang buntung.
"Semua bujang di pulau ini sama saja." Pek Thong memberitahukan. "Kau telah
datang ke mari, jikalau kau tidak mati, di belakang hari kau bakal jadi seperti
dia ini." Kwee Ceng berdiam, hatinya mengatakan: "Kenapa ayahnya Yong-jie begitu kejam?"
Pek Thong berkata pula: "Setiap malam Oey Lao Shia menyiksa aku, tetapi aku
tidak sudi menyerah kalah! Tadi hampir aku roboh di tangannya, jikalau tidak kau
datang membantu aku, saudara kecil, dan mungkin tabiatku suka menang sendiri
selama belasan tahun akan runtuh dalam satu malaman! Mari, mari disini ada arak
dan barang santapan, mari kita mengangkat saudara, di belakang hari, ada untung
kita cicipi bersama, ada kesusahan kita tanggung bersama juga! Ketika dulu hari
aku mengangkat saudara sama Ong Tiong Yang, ia pun mula.mula main tolak-tolak.
Bagaimana, eh apakah benar-benar katu tidak sudi?"
Kwee Ceng melihat muka orang berubah, lekas-lekas ia menyahuti; "Bukannya
begitu, cianpwee. Sebenarnya tingkatku beda hingga dua tingkat, jikalau teecu
menerima kehendak cianpwee, pasti orang akan tertawa dan mencaci teecu tidak
tahu diri! Dan kalau nanti teecu bertemu sama Ma Totiang dan Khu Totiang, apakah
teecu tak malu juga?"
"Ah, kenapa kau memikir begitu jauh?" kata Pek Thong masgul. "Kau tidak sudi
mengangkat saudara, apakah kau mencela usiaku yang sudah lanjut" Oh...."
Mendadak orang tua itu menangis sesegukan, mukanya ditutupi, kumisnya dikacau
pergi datang. Kwee Ceng heran dan kaget. Ia bingung.
"Baik, baik, cianpwee teecu menurut..." katanya gugup.
Pek Thong masih menangis ketika ia berkata: "Kau menuruti karena aku paksa,
kalau lain hari ada orang menanyakan kau, kau bakal timpakan kesalahan padaku!
Aku tahu kau tidak sudi angkat saudara denganku!"
Kwee Ceng merasa lucu berbareng heran. Kenapa ada orang tua yang begini tidak
mengindahkan ketuaannya sendiri" Ia tidak ketahui bahwa Ciu Pek Thong itu, dalam
kalangan Rimba Persilatan, bergelar Loo Boan Tong, Bocah Tua Nakal, tabiatnya
memang sangat ku-koay bin ajaib, walaupun berusia lanjut dan tingkat derajatnya
tinggi, tapi sepak terjangnya mirip dengan bocah alias anak-anak. Begitu ia
jumput sepiring sayur, dia lemparkan itu keluar kurungan, tak mau ia dahar.
Si bujang tua bingung, lekas-lekas ia memunguti.
Meyaksikan itu Kwee Ceng tertawa, lantas ia berkata: "Kakak begini baik hati,
bagaimana teecu bisa menampik itu" Mari, kakak, marilah kita mengangkat saudara!
Mari kita gunai tanah sebagai gantinya hio!"
Mendengar itu, tiba-tiba saja Ciu Pek Thong tertawa.
"Aku berada di dalam gua, tecegah kawat ini," ia berkata. "Karena aku tidak bisa
keluar, aku akan paykui di dalam kurungan ini dan kau di sebelah luar!"
Kwee Ceng mengawasi kawat kurungan itu sekian lama, ia tidak mengerti kenapa Pek
thong bisa terkurung di situ. Tetapi ia menurut, ia menjalankan kehormatana dari
luar kurungan itu. Pek Thong benar-benar berlutut, hingga mereka paykui sambil berendeng di antara
kawat kurungan itu. Berkatalah si orang tua: "Teecu Ciu Pek Thong, hari ini
teecu mengangkat saudara dengan saudara Kwee Ceng, di belakang hari, senang atau
susah, kita sama-sama mencicipinya, siapa yang kemudian menyalahkan janji, biar
Thian kutuk padanya!"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kwee Ceng mengikuti mengangkat sumpah itu.
Setelah itu keduanya menyiram arak ke tanah dan Kwee Ceng lalu paykui kepada
kakak angkatnya itu. Pek Thong puas hingga ia tertawa terkakak.
"Sudah, sudah!" katanya. Ia menuang araknya , ia menenggak sendiri. Ia
menambahkan: "Oey Lao Shia itu cupat sekali pandangannya. Dia memberikan arak
yang begini tawar! Hanya perah ada satu hari, si nona kecil menyuguhkan aku
arak, araknya jempol, cuma sayang semenjak itu dia tidak pernah datang pula..."
Kwee Ceng tahu, si nona yang disebutkan itu ialah Oey Yong. Bukankah si nona
pernah memberitahukan dia, sebab ia mengantar arak kepada Ciu Pek Thong, dia
ditegur dan dimarahi oleh ayahnya, maka ia kabur. Tentulah Pek Thong tidak
ketahui sebabnya si nona tidak pernah datang pula.
Kwee Ceng sudah lapar, ia tidak pikirkan arak, ia hanya menyendok nasi dan
memakannya, sampai ia menghabiskan lima mangkok.
Si bujang tua menanti sampai orang dahar cukup, ia benahkan segala apa dan
berlalu. "Eh, adik kenapa kau bersalah terhadap Oey Lao Shia?" kemudain Pek Thong tanya.
"Coba kau tuturkan itu pada kakakmu."
Kwee Ceng tuturkan halnya ia sudah membinasakan Tan Hian Hong dan di Kwie-in-
chung bertempur sama Bwee Tiauw Hong, bagaimana Oey Yok Su hendak mencelakai
Kanglam Liok Koay, maka itu ia berjanji untuk dalam tempo satu bulan datang ke
pulau ini untuk terima binasa.
Loo Boan Tongp paling gemar mendengar orang bercerita, demikian kali ini, ia
memasang kuping sambil merem melek, asal si adik angkat berlambat, lantas ia
memotong dengan pertanyaannya.
"Kemudian bagaimana?" tanya dia akhirnya.
"Kemudian ialah sekarang ini, adikmu berada disini," Kwee Ceng menjawab.
Pek Thong lantas berdiam, agaknya ia berpikir.
"Kiranya budak cantik itu baik denganmu," katanya. "Kenapa sepulangnya ini dia
menghilang" Mesti ada sebabnya, mungkin dia kena dikurung oleh Oey Lao Shia..."
"Teecu pun menduga demikian," kata Kwee Ceng masgul.
"Apa kau bilang?" tanya Pek Thong, mukanya merah.
Kwee Ceng tahu, ia salah menggunakan bahasa "teecu" ituz, ia lekas menyahuti:
"Adikmu kesalahan, harap toako jangan berkecil hati."
Pek Thong tertawa. Ia berkata: "Perkara panggilan jangan kau bikin susah! Umpama
kata kau lagi main sandiwara, kau memanggil ibu padaku boleh saja, nona juga
boleh!" "Baik, baik, toako," sahut adik angkat itu.
Pek Thong mengangguk. "Coba kau terka, kenapa aku berada di sini?" tanyanya kemudian.
"Justru inilah adikmu hendak menanyakannya," sahut Kwee Ceng.
"Ceritanya panjang, nanti aku menutur perlahan-lahan," menyahuti si kakak jenaka
ini. "Kau toh ketahui hal ikhwalnya dulu hari itu Tong Shia, See Tok, Lam Tee,
Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di puncah gunung Hoa
San?" Kwee Ceng mengangguk. "Pernah adikmu mendengar itu," sahutnya.
"Ketika itu akhirnya musim dingin, di gunung Hoa San itu salju seperti
membungkus puncak," sang kakak bercerita. "Mereka berlima itu mulut berunding,
tangan mengadu pedang, lamanya tujuh hari tujuh malam. Di akhirnya Tong Shia,
See Tok, Lam Tee dan Pak Kay berempat mengakui kakak seperguruanku itu, Ong
Tiong Yang sebagai orang gagah nomor satu di kolong langit ini. Taukah kamu
mengapa mereka membuat pertemuan di Hoa San itu?"
"Tentang itu adikmu belum pernah mendengarnya."
"Itulah buat gunanya sebuah kitab...."
"Kitab Kiu Im Cin-keng!" Kwee Ceng memotong.
"Benar! Adikku, kau muda tetapi sudah banyak pendengaranmu! Untuk kaum
persilatan, Kiu Im Cin-keng adalah kitab luar biasa yang nomor satu. Menurut
penuturan, kitab itu dikumpul dan ditulis oleh Tat Mo Couwsu setelah ia datang
ke negeri kita ini dan sesudah ia bertanding mengadu kepandaian sama sahli-ahli
silat kita, diwaktu mana, mereka menang dan kalah bergantian, lantas ia duduk
bersemadhi menghadapi tembok selama sembilan tahun. Setahu mana, suatu tahun,
kitab itu muncul di luaran, maka itu, timbulah perebutan di antara ahli-ahli
silat. Tidak seorang pun yang tidak menghendakinya. Kakak seperguruanku bilang,
karena perebutan itu, tidak sedikit ahli silat yang roboh sebagai korban, lebih
daripada seratus orang. Umpama kata seorang mendapati itu, lantas ia
menyakinkannya, belum satu tahun, lain orang mengetahuinya, lain orang itu
merampasnya. Perampasan itu terjadi berulangkali. Maka siapa yang mendapatkan
kitab itu, dia terpaksa menyembunyikan diri. Karena itu juga, orang pun
menggunai banyak akal muslihat..."
Kwee Ceng menghela napas.
"Kalau beigitu, kitab itu adalah kitab celaka dalam dunia kita ini," katanya.
"Kalau Tan Hian Hong tidak mendapatkan itu, tentulah ia bisa hidup berbahagia
dengan Bwee Tiauw Hong di dalam desa di mana mereka mengumpatkan diri dan Oey
Tocu tidak nanti menghendakinya...."
"Tetapi ilmu silat tidak boleh tidak dipelajari!" sambung si kakak angkat.
Kwee Ceng menyahutinya, hanya di dalam hatinya ia mengatakan: "Kalau begitu ini
kakak tua sudah kegilaan ilmu silat. Sebenarnya belum pernah aku mendengar lain
orang yang seperti dia gilanya...."
"Eh, tadi aku bercerita sampai di mana?" Pek Thong tanya, rupanya ia lupa.
"Sampai di bagian orang-orang kosen di kolong langit ini hendak merampas kitab
Kiu Im Cin-keng itu."
"Benar, urusan lantas jadi makin hebat. Bahkan kauwcu dari Coan Cin Kauw, tuan
dari Tho Hoa To, Ang Pangcu dari Kay Pang dan lainnya, ikut campur tangan.
Berlima mereka itu merundingkan ilmu silat dengan perjanjian, siapa yang paling
lihay, ialah yang mendapatkan kitab itu.
"Akhirnya kitab itu terjatuh dalam tangan kakak seperguruanmu," kata Kwee Ceng.
"Memang!" jawab Ciu Pek Thong dengan sangat gembira. "Persahabatanku dengan Ong
Suko memang erat sekali, sebelum ia menjadi imam, kita memang sudha bergaul
rapat. Belakangan ia ajarkan aku ilmu silat. Dia mengatakan aku berlajar ilmu
silat. Berlebihan dan kukuh sekali, hingga jadi seperti tolol, katanya itulah
bukan syaratnya kaum imam. Karena itu, aku tidak menjadi murid Coan Cin Kauw. Di
antara dia, katanya sebab terlalu mengutamakan ilmu silat, ia jadi mengabaikan
agama. Kalau belajar silat orang mesti sungguh-sungguh, belajar ilmu To Kauw
mestilah hati orang tawar. Jadi kedua ilmu itu bertentangan satu dengan lainnya.
Ma Giok yang mewariskan pelajaran agamanya suheng dan Khu Cie Kee yang ilmu
silatnya sempurna." "Jikalau demikian adanya, kenapa Ong Cinjin dapat menjadi orang suci sejati
berbareng lihay juga ilmu silatnya?" tanya Kwee Ceng tidak mengerti.
"Itulah disebabkan pada dasarnya suko memang berbakat baik dan ia gampang
mempelajari segala macam ilmu. Dia bukanlah seperti kita yang memerlukan latihan
mendalam. Eh ya, tadi ceritaku sampai dimana" Kenapa kau memegatnya?"
"Sampai di bagian sukomu mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng."
"Benar! Setelah mendapatkan kitab itu suka tidak memahamkan apa bunyinya, dia
hanya menyimpan buku itu di dalam kotak yang kotaknya ia tindihkan batu di
bekalang kuil. Aku heran sekali, aku telah menanyakan sebab dari perbuatannya
itu. Suka tidak mau memberikan keterangannya, ia jawab aku dengan tersenyum
saja. Ketika aku mendesak, dia menyuruhku menerka sendiri. Sekarang cobalah kau
yang menerka, apakah sebabnya itu?"
"Tentulah itu disebabkan ia khawatir kitab itu ada yang curi?" menerka Kwee
Ceng. "Bukan, bukan," Pek Thong menggelengkan kepalanya berulang-ulang. "Siapakah yang
berani mencuri barangnya kaucu dari Coan Cin Kauw" Siapa berani berbuat begitu,
itulah tandanya dia sudah bosan hidup!"
Kwee Ceng perpikir pula, lalu ia lompat berjingkrak.
"Benar memang pantaslah kitab itu disimpan di bawah batu!" katanya. "Sebetulnya.
lebih baik lagi kalau dibakar habis saja..."
Pek Thong heran, ia menatap adik angkatnya itu.
"Memang dulu hari suko pun pernah mengatakan demikian," katanya. "Hanya tidak
dapat ia melakukan itu, beberapa kali sudah ia mencoba, saban-saban gagal karena
kesangsiannya. Ah, adikku, kau nampaknya tolol, mengapa kau dapat membadenya?"
Merah mukanya Kwee Ceng. "Aku pikir, sukomu itu sudah lihay, walaupun ia belajar lebih jauh, dia tetap
nomor satu," menyahut Kwee Ceng. "Aku pikir pula, dia tentunya pergi ke Hoa San
bukan untuk mendapatkan nama jago nomor satu, hanya semata-mata untuk
mendapatkan kitab itu, dan dia mendapatkan bukan untuk belajar lebih jauh, hanya
untuk menolong orang-orang gagah di kolong langit supaya mereka tak usah terus-
menerus saling membunuh."
Bab 35. Main gundu.......
Pek Thong dongak mengawasi langit, ia berdiam. Menampak demikian, tak tenang
hatinya Kwee Ceng, ia khawatir ia nanti salah bicara dan menyinggung kakak yang
aneh tabiatnya itu. Pek Thong menghela napas.
"Mengapa kau dapat memikir demikian?" tanyanya kemudian.
Adik angkat itu menggeleng kepala.
"Aku sendiri tidak tahu," jawabnya. "Aku hanya memikir, setelah kitab itu
mencelakai banyak orang, walaupun benar-benar mustika adanya sudah seharusnya
dimusnahkan saja." "Kau benar, alasanmu pun sederhana sekali," bilang Pek Thong, "Cumalah aku itu
waktu tidak dapat memikirkannya. Dulu hari suko pernah membilangi aku bahwa aku
berbakat baik dan ulet, tetapi aku?un terlalu kukuh. Disebelah itu katanya aku
kekurangan sifat wales asih, kurang kedermawaan, maka itu, bagaimana pun aku
rajin, aku tidak bakal menyampaikan puncak kemahiran. Ketika itu aku tidak
percaya suko, aku pikir apa sangkutannya pelajaran silat sama sifat
prikemanusiaan" Hanya sekarang, adikku, setelah berselang belasan tahun, barulah
aku mempercayainya. Adikku, dalam ilmu silat kau kalah dengan aku, tetapi dalam
hal kejujuran, hati lapang, kau menang daripada aku, maka itu dibelakang hari,
kau akan memperoleh hasil sepuluh lipat lebih banyak! Sayang suko sudah menutup
mata, kalau tidak, pelajaran suko semua bisa diwariskan kepadamu. Suko, oh,
suko, kau benar...."
Mengingat kebaikan kakak seperguruannya itu, tiba-tiba Pek Thong menangis sedih
sekali. Ia mendekam di batu.
Kwee Ceng menjadi terharu.
Setelah menangis serintasan, Pek Thong angkat kepalanya.
"Ah, ceritaku belum berakhir," katanya. "Nanti habis bercerita, aku boleh
menangis pula. Ya, kita sudah bercerita sampai di mana" Kenapa kau tidak
membujuki aku supaya aku jangan menangis?"
Aneh benar kakak angkat ini, Kwee Ceng tertawa.
"Koko bercerita sampai Ong Cinjin menyembunyikan kitab di bawah batu," katanya.
Pek Thong menepuk pahanya.
"Benar!" ia berseru. "Setelah ia menaruh kitab di bawah batu itu, aku minta suko
memperlihatkan kitab itu padaku. Kau tahu, suko marah terhadap aku! Maka
semenjak itu, aku tidak menyebut-nyebutnya pula. Benar saja, setelah itu dunia
Rimba Persilatan menjadi tenang tentram. Adalah kemudian, setelah suko menutup
mata, atau lebih benar disaat ia hendak meninggal dunia, telah timbul pula
gelombang. Keras suaranya Pek Thong ketika ia mengucapkan kata-katanya itu, Kwee Ceng
menjadi ketarik hatinya, karena ia percaya gelombang itu pastilah bukan
gelombang kecil. Ia lantas memasang kuping.
"Suko tahu saatnya sudah tiba, sesudah lantas mengurus segala apa mengenai
partainya dan meninggalkan pesannya, ia suruh aku mengambil kitab Kiu Im Cin-
keng itu," Pek thong melanjuti ceritanya. "Ia pun menitahkan menyalakan api di
perapian, ia niat membakar itu. Selagi menantikan api marong, ia pegangi kitab
itu, ia mengusap-usapnya, sembari menghela napas panjang, ia berkata, 'Inilah
hasil cape hatinya cianpwee, mana dapat kitab ini termusnah di tanganku" Air itu
dapat menampung perahu tetapi dapat juga mengaramkannya, maka itu haruslah
dilihat, bagaimana orang-orang di jaman belakangan dapat mempergunakan kitab
ini. Cuma orang-orang partai kita, siapa pun tidak dapat menyakinkan ilmu ini,
supaya jangan sampai orang luar mengatakan aku merampas kitab ini sebab aku
sekaker'. Habis berkata begitu, suko menutup mata. Malam itu jenazahnya ditunda
di dalam kuil. Belum sampai jam tiga, terjadilah onar...."
Kwee Ceng terkejut hingga ia berseru: "Oh...!"
"Malam itu aku berada bersama-sama tujuh murid Coan Cin Pay menemani jenazah,"
Pek Thong melanjuti pula. "Tepat tengah malam, musuh datang menyerbu. Semua
mereka orang-orang lihay. Ketujuh murid itu memecah diri untuk menyambut
serangan. Untuk mencegah musuh bisa merusaki jenazah gurunya, semua muridnya itu
memancing musuh keluar kuil. Aku sendiri yang menjaga jenazah suko, tiba-tiba
aku mendengar bentakan dari luar kuil, menyuruh kita menyerahkan kitab. Musuh
itu mengancam hendak membakar kuil. Aku melongok keluar, aku mengeluarkan peluh
dingin. Aku melihat seorang berdiri di atas pohon. Teranglah ia lihay daripada
aku dalam hal enteng tubuh. Walaupun demikian, terpaksa aku melawan dia. Aku
berlompat keluar. Di atas pohon itu kita bertempur sampai kira-kira empatpuluh
jurus. Musuh itu lebih muda beberapa tahun daripada aku tetapi ia lihay dan
telangas. Aku melawan keras dengan keras. Akhirnya pundakku kena dihajar dia,
aku terjatuh dari atas pohon...."
Kwee Ceng heran. "Suko sudah begini lihay, aku masih tetap tidak sanggup melawan dia. Siapakah
dia itu?" "Cobalah kau terka, dia itu siapa?" Pek Thong membaliki.
Kwee Ceng berpikir sejenak.
"See Tok!" sahutnya.
"Eh, mengapa kau mengetahuinya?" tanya sang kakak heran.
"Sebab adikmu berpikir, orang yang terlebih lihay daripada toako adalah cuma
mereka berlima yang mengadu pedang di Hoa San," menerangkan Kwee Ceng. "Guruku
Ang Cit Kong orang terhormat, Toan Hongya adalah hongya, satu raja, mesti ia
menghormati dirinya sendiri. Pemilik dari Tho Hoa To itu adikmu tidak kenal baik
tetapi melihat romannya, dialah bukan satu manusia rendah yang suka menyerang
orang yang lagi dirundung malang!"
Baru Kwee Ceng menutup mulutnya, dari dalam pepohonan yang lebat terdengar suara
bentakan: "Binatang cilik, kau masih mempunyai matamu!"
Hanya dengan sekali mencelat, Kwee Ceng sudah tiba di tempat darimana suara itu
datang, akan tetapi orang itu lenyap dalam sekejap. Ia menjadi heran sekali.
"Adik, mari kembali!" Pek Thong memanggil. "Itulah Oey Lao Shia, dia sudah pergi
jauh!" Kwee Ceng kembali kepada kakak angkatnya itu.
"Oey Lao Shia itu pandai ilmu gaib, maka itu tamannya ini diatur menurut barisan
rahasia Pat Tin Touw dari Cu-kat Bu Houw," Pek Thong mengulangi.
"Cu-kat Bu Houw?"
"Benar," menyahut Pek Thong yang terus menghela napas. "Oey Lao Shia itu sangat
cerdas, dia pandai main tetabuan, main catur dan menulis surat indah dan
menggambar, dia juga mengerti obat-obatan dan ilmu alam, tak terkecuali ilmu
pertanian serta ilmu memeriksa keletakan tempat yang indah. Juga ia paham ilmu
perusahaan dan ilmu perang. Pendeknya, tidak ada ilmu yang ia tidak paham, maka
sayang sekali jalannya sesat. Kalau dia mondar-mandir di tamannya ini, lain
orang tidak akan dapat menyusul atau mencari padanya."
Kwee Ceng berdiam, ia kagum memikirkan kepandaian Oey Lao Shia itu.
"Toako, bagaimana sehabisnya kau dirobohkan oleh See Tok?" ia tanya kemudian.
"Bagus!" Pek Thong berseru seraya menepuk pahanya. "Kali ini kau tidak lupa
menyadarkan aku kepada ceritaku! Kena diserang See Tok, aku merasakan sakit
hingga ke ulu hati, aku pun tak dapat bergerak, tetapi melihat ia menerbos ke
dalam, aku paksakan mengejar. Di depan meja jenazah suko, dia sambar kitab Kiu
Im Cin-keng. Aku bingung bukan main, sudah aku kalah, di situ pun tak ada lain
orang. Justru itu mendadak aku mendengar satu suara keras, lantas terlihat tutup
peti mati berlubang, hancuran kayunya berhamburan..."
Kwee Ceng kaget. "Apakah dia menghajar rusak peti mati Ong Cinjin?" dia menanya.
"Oh, tidak, tidak!" menyahuti Pek Thong lekas. "Adalah suko sendiri yang
menhajar tutup petinya itu."
Kwee Ceng heran bukan main. Ia seperti mendengar dongeng dari kitab San Hay
Keng. Ia mengawasi kakak angkatnya itu dengan mulut celengap.
"Apakah kau pikir?" sang kakak angkat tanya. "Apakah suko terbangun arwahnya"
Apakah dia hidup pula" Bukan, semuanya itu bukan! Suko hanya pura-pura mati!"
Kwee Ceng berseru pula, "Pura-pura mati?" ia mengulangi.
"Benar! Beberapa hari sebelumnya suko menutup mata, ia sudah ketahui See Tok
senantiasa berkeliaran di luar kuilnya, untuk menanti begitu lekas ia meninggal
dunia, hendak ia merampas kitab Kiu Im Cin-keng itu. Maka itu, malam itu, suko
berpura-pura mati. Dengan ilmu kepandaiannya, suko dapat menahan jalan napasnya.
Kalau ia membuka rahasia pada semua muridnya, pasti mereka tidak akan sangat
berduka. Bukankah See Tok sangat licin" Dari itu ia menutup rahasia. Habis
menggempur tutup peti mati, suko meloncat keluar untuk terus menotok See Tok
dengan totokannya It-yang-cie. See Tok kaget tidak terkira. Ia melihat tegas


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari jendela suko telah menutup mata, sekarang suko bisa berlompat keluar dari
peti mati. Dia memangnya jeri terhadap suko, sekarang ia kaget, tidak sempat ia
membela diri. Maka ia terkena totokan It-yang-cie pada alisnya, dengan begitu
pecahnya ilmu yang dinamakan 'Kap Moa Kang', atau Ilmu Kodok. Dia lari pulang ke
Wilayah Barat, kabarnya tidak pernah dia datang pula ke Tionggoan. Suko tertawa
panjang, terus ia duduk bersemadhi di atas meja. Aku tahu, dengan menggunai It-
yang-cie, Telunjuk Matahari, suko telah menggunai tenaga terlalu banyak, maka
aku tidak ganggu padanya, aku hanya lari keluar untuk menyambut ketujuh
muridnya, untuk memukul mundur semua musuh. Ketika semua keponakanku itu
mendapat tahu gurunya belum menutup mata, girangnya bukan kepalang, semua lantas
lari pulang. Hanya ketika mereka jadi kaget sekali, semua mengeluh kecele...."
"Apakah yang sudah terjadi?" memotong Kwee Ceng heran.
"Tubuh suko rebah miring, wajahnya beda daripada biasanya," menyahut Pek Thong.
"Aku lantas menghampirkan dan meraba tubuhnya. Nyata tubuh itu dingin bagaikan
es. Sekarang barulah suko berpulang ke alam baka. Kita lantas melaksanakan pesan
suko, ialah kitab dipecah menjadi dua, bagian atas dan bagian bawah. Suko ingin,
kalau kitab sampai lenyap tercuri orang, tidaklah tercuri semaunya. Aku yang
menyimpan bagian atas, lalu bagian bawah aku bawa ke sebuah gunung kesohor di
selatan. Aku hendak menyembunyikan itu ketika di tengah jalan aku bertemu dengan
Oey Lao Shia...." "Oh!" berseru Kwee Ceng kaget.
"Oey Lao Shia itu aneh tabiatnya tetapi dengan aku dia berjodoh bertemu beberapa
kali, dia tidak nanti kemaruk kitab seperti See Tok. Celakanya itu waktu dia
tengah bersama pengantin barunya..."
"Tentulah dia itu ibunya Yong-jie," berpikir si anak muda. "Apa sangkutannya dia
dengan kitab itu....?"
"Aku mendapatkan terang sekali cahaya mukanya Oey Lao Shia itu, maka untuk
memberi selamat kepadanya sebagai mempelai, aku undang dia untuk berjamu. Aku
pun menuturkan halnya suko pura-pura mati dan sudha menghajar Auwyang Hong.
Mendengar ceritaku itu, istrinya Oey Lao Shia minta pinjam lihat kitab itu. Dia
mengaku bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, dia mau melihat saking ingin tahu
saja. Dia ingin melihat kitab yang sudah menyebabkan kebinasaan begitu banyak
ahli silat kenamaan. Oey Lao Shia sangat menyintai istrinya itu, tak ingin ia
menolak keinginan orang, ketika ia mendapatkan aku agaknya keberatan. Dia kata
padaku, 'Pek Thong, istriku benar-benar tidak mengerti silat. Dia masih muda
sekali, dia gemar melihat apa yang baru, maka itu kau kasihlah ia melihat.lihat.
Ada apakah halangannya" Jikalau aku sendiri, melirik saja kitabmu itu, aku nanti
korek biji mataku untuk diserahkan padamu!' Oey Lao Shia ada satu jago, pasti
aku percaya padanya, tetapi kitab itu sangat penting, terpaksa aku menggoyangi
kepala terhadapnya. Dia menjadi tidak senang, dia kata, 'Mustahil aku tidak
menginsyafi kesulitanmu" Kalau kau memberi lihat pada istriku ini, satu kali
saja, nanti akan datang harinya aku membalas budi kamu pihak Coan Cin Pay!
Jikalau kau tetap menampik, terserah padamu! Siapa suruh kita bersahabat! Dengan
pihak Coan Cin Pay, semua anggotanya tidak aku kenal! ' Aku mengerti maksudnya
itu. Dia biasa lakukan apa yang dia katakan. Dia tidak enak mengganggu aku
tetapi dia dapat mencari alasan untuk mengganggu Ma Giok dan Khu Cie Kee semua.
Dia lihay sekali, sungguh berbahaya kalau-kalau ia sampai bergusar. Maka itu aku
kata padanya; 'Oey Lao Shia, jikalau kau hendak melampiaskan penasaranmu, kamu
carilah aku Loo Boan Tong Ciu Pek Thong. Perlu apa pula kau cari segala
keponakan itu"' Istrinya itu tertawa waktu dia mendengar aku menyebutkan
julukanku Loo Boan Tong itu, ia lantas berkata, 'Ciu Toako, kau gemar sekali
berkelakar! Baiklah kita jangan ngotot saja, lebih baik kita pelesiran. Tentang
kitab mustikamu itu tak apalah aku tidak melihatnya!' Ia menoleh kepada Oey Lao
Shia untuk berkata terus; 'Rupanya kitab Kiu Im Cin-keng itu sudah kena dirampas
si orang she Auwyang, maka itu Ciu Toako tidak sanggup melihat padaku. Maka
juga, apa perlunya kita memaksa dia, juga boleh-boleh dia menjadi hilang muka"'
Oey Lao Shia tertawa, dia kata; 'Kau benar! Eh, Pek Thong, marilah, mari aku
membantu kau mencari si tua bangka berbisa itu untuk membuat perhitungan!"
"Kalau begitu, ibunya Yong-jie sama cerdiknya seperti putrinya," Kwee Ceng
berpikir. Ia lantas memotong: "Mereka itu tengah memancing kemendongkolan kau,
toako!" "Itulah aku ketahui," kata Pek Thong. "Hanya aku pun tidak mau mengalah. Maka
itu aku kata padanya, 'Kitab itu ada paku sekarang! Pula tidak ada halangannya
untuk memberi lihat itu pada engso! Tapi kau tidak memandang muka padaku, kau
membilangnya aku tidak sanggup melindungi kitab itu, itulah aku tidak mengerti.
Coba kau jelaskan, apakah syaratmu"' Oey Lao Shia tertawa, dia kata; 'Kalau kita
bertempur, kita jadi renggang. Kaulah si tua bangka nakal seperti bocah, aku
pikir baiklah kita mengadu sesuatu seperti bocah-bocah tengah bermain-main...!'
Belum lagi aku memberikan jawabanku, istrinya sudah bertepuk-tepuk tangan dan
mengatakan: 'Bagus, bagus! Baiklah berdua kau mengadu gundu!'"
Mendengar itu Kwee Ceng tertawa.
"Main gundu adalah kepandaianku," kata Pek Thong. "Maka itu aku menjawab;
'Mengadu gundu ya mengadu gundu! Mustahil aku takut!' Nyonya Oey itu tertawa, ia
kata: 'Ciu Toako, jikalau kau kalah, kau kasih lihat kitab itu padaku" Jikalau
kau yang menang, kau menghendaki apa"'. Atas kata-kata istrinya, Oey Lao Shia
membilang, 'Coan Cin Kauw ada mempunyai mustika, mustahil Tho Hoa To tidak"'. Ia
terus membuka buntalanny adan mengeluarkan serupa barang hitam, semacam baju
yang ada durinya. Coba bade, barang apakah itu?"
"Itulah Joan-wie-kah, baju lapis duri," sahut Kwee Ceng.
"Oh, kiranya kau tahu itu?" kata kakak angkat ini. "Oey Lao Shia kata padaku.
'Pek Thong, kau bilang, kau tidak membutuhkan ini untuk melindungi dirimu, hanya
kalau dibelakang hari kau menikah sama si bocah wanita nakal dan dia melahirkan
bocah yang nakal, kalau bocah nakal itu mengenakan baju lapis ini, faedahnya
bukan kepalang! Jikalau kau menang, pusaka Tho Hoa To ini menjadi kepunyaanmu!'
Aku menjawab, 'Si bocah nakal tidak bakal terlahir, tetapi baju lapismu ini
sangst kesohor di dalam kalangan Rimba Persilatan, kalau aku mengenakannya,
pastilah aku aksi sekali! Dengan begitupun biarlah diketahui, tocu dari Tho Hoa
To telah roboh di tangannya Loo Boan Tong di Bocah Tua Nakal!' Lantas Nyonya Oey
memotong aku, katanya: 'Kau jangan omong saja! Sekarang mulailah kamu berdua!'
Sampai disitu cocoklah sudah. Lantas kita mulai. Kita memegang masing-masing
sembilan biji gundu, kita membuat delapan belas lubang. Dialah yang menang siapa
yang gundunya masuk paling dulu."
Mendengar itu Kwee Ceng mennjadi ingat kepada halnya tempo sendiri bersama Tuli,
saudara angkatnya, main gundu di gurun pasir. Maka itu ia bersenyum.
"Gundu itu aku selalu sediakan di sakuku," Pek Thong berkata pula. "Bertiga kita
pergi ke luar, ke latar. Selagi keluar aku perhatikan gerak-gerik istrinya Oey
lao Shia, aku dapat kenyataan dia benar tidak mengerti ilmu silat. Akulah yang
membuat lubang di tanah, lalu aku menyuruh Oey Lao Shia yang mulai. Dalam hal
menggunai senjata rahasia. Oey Lao Shia lihay istimewa, dia mestinya menang
daripada aku, tetapi dalam hal main gundu, ada lain tipunya. Aku membuat lubang
yang istimewa. Kalau gundu masuk ke dalam situ, gundu itu bisa keluar pula.
Untuk itu aku mesti pandai mengimbangi menyentil gundu itu, dengan begitu gundu
jadi dapat berdiam terus di dalam lubang. Tiga kali Oey lao Shia menyentil,
tiga-tiga gundunya masuk tepat, hanya begitu masuk, ketiganya lompat pula
keluar. Aku telah memasuki lima biji, semuanya tidak keluar lagi. Oey Lao Shia
lihay, ia mencoba menyusul tetapi gagal. Kembali satu gunduku masuk. Aku girang
bukan main, aku percaya aku bakal menang, dia bakal kalah, dewa pun tidak bakal
berhasil membantui dia. Ah, siapa tahu Oey Lao Shia main curang, dia menggunai
akal! Coba bade, apakah akal liciknya itu?"
"Adakah dia melukai tanganmu, toako?"
"Bukan, bukan! Oey Lao Shia busuk sekali, tidak nanti dia pakai akal sekasar
semacam itu. Dia tahu dia bakal kalah, mendadak dia mengerahkan tenaganya dan
menghajar tiga gunduku hingga habislah sisa semua gunduku, gundunya sendiri
lantas masuk ke dalam lubang...."
"Jadi toako kehabisan gundumu?"
"Ya, aku cuma bisa melihat dia main sendiri. Demikianlah aku kalah...!"
"Toh itu tidak masuk dalam hitungan!" kata Kwee Ceng.
"Mestinya begitu tetapi Oey Lao Shia berkeras. Memang, umpama kata aku memukkul
gundunya, dua-dua gundu mesti pecah. Aku tidak dapat memukul seperti dia itu,
yang hancur melainkan gunduku. Terpaksa aku menyerah. Aku kata pada istrinya:
'Enso Oey, sekarang aku berikan kitabku padamu, tapi sebentar, sebelum malam,
kau mesti mengasih pulang padaku.' Kemudian dengan main-main aku menambahkan;
'Bukankah kita tidak menetapkan waktu lamanya kau meminjam" Maka itu, kau sudah
melihat semua atau belum, kau mesti kembalikan.' Aku khawatir mereka tidak sudi
membayar pulang, bisa-bisa dia meminjamnya sampai sepuluh tahun atau seratus
tahun. Atas itu sambil tertawa, Nyonya Oey kata padaku, 'Ciu Toako, kau dijuluki
Loo Boan Tong si Bocah Tua Nakal, tapi kau tidak tolol! Bukankah kau khawatirkan
aku nanti jadi seperti Lauw Pie yang meminjam kota Kengciu, yang meminjam untuk
selamanya" Baiklah, aku duduk di sini, segera aku membaca, segera aku membayar
pulang, tidak usah juga sampai malam! kau jangan khawatir, kau boleh duduk
nantikan!' "Mendengar perkataannya itu, aku keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng itu dan aku
serahkan padanya. Dia menyambuti, dia bawa itu ke bawah satunya pohon. Di situ
ia duduk di atas sebuah batu, lalu ia mulai membalik-baliki lembarannya. Oey Lao
Shia mengawasi aku, ia dapat kenyataan hatiku tidak tentram, ia kata padaku;
'Eh, Lao Boan Tong, di jaman sekarang ini ada berapa orangkah yang dapat
mengalahkan kita berdua"' Aku menjawab, 'Yang dapat mengalahkan kau, belum tentu
ada, tetapi yang dapat mengalahkan aku, terhitung kau sendiri, ada empat atau
lima orang!' kataku. 'Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, berempat mereka
mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, mereka tidak dapat saling mengalahkan.
Auwyang Hong telah dirusak ilmunya Kap-mao-kang, dalam waktu sepuluh tahun, ia
tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kita. Di dalam dunia kangouw terkabar ada
Tiat-ciang Sui-siang piauw Kiu Cian Jin, tempo pertemuan di Hoa San, dia tidak
hadir, biarnya dia lihay, aku tidak percaya dia lihay luar biasa. Loo Boan Tong,
bagaimana adanya ilmu silatmu, aku tahu baik sekali, selain beberapa orang yang
sudah disebutkan barusan, kaulah yang nomor satu. Maka itu kalau kita
berserikat, siapapun tidak bisa melawan kita!' Atas pendapat itu aku menjawab,
'Memang!' Oey lao Shia berkata pula: 'Maka itu, kenapa hatimu tidak tentram"
Dengan adanya kita berdua di sini, siapakah di kolong langit ini sanggup
merampas kitab itu?"
"Aku pikir, dia benar juga, dari itu hatiku menjadi sedikit lega. Ketika aku
mengawasi Nyonya Oey, ia tetap masih membalik-balik lembaran kitab. Terang ia
membaca dari bermula. Mulutnya berkelemik tak hentinya. Melihat lagaknya itu,
aku merasa lucu. Isinya Kiu Im Cin-keng rahasia semuanya, meski ia pandai surat,
dengan kita tidak mengerti ilmu silat, tidak nanti ia dapat menangkap artinya.
Ia membaca dengan perlahan, aku menjadi tidak sabaran. Ketika ia sudah membaca
habis halaman terakhir, aku anggap, habis sudah ia membacanya. Siapa tahu, ia
lantas mengulanginya dari mula pula. Hanya kali ini ia membacanya denagn cepat
sekali, boleh dikata selama semakaman the saja, habislah sudah. Ia pulangi buku
padaku, sembari tertawa ia berkata: 'Ciu Toako, kau kena diperdayakan See Tok.
Kitab ini bukannya Kiu Im Cin-keng!' Aku kaget juga. 'Kenapa bukan"' aku
menanya. 'Inilah kitab warisan kakak seperguruanku. Bukupun serupa macamnya.'
Nyonya Oey itu kata: 'Apa gunanya kalau romannya saja yang sama" Kitab mu ini
ada kitab tenungannya si tukang meramakan!'"
Kwee Ceng terkejut. "Mungkinkah Auwyang Hong telah dapat menukarnya selama Ong Cinjin belum keluar
dari peti mati?" ia menanya.
"Mulanya aku pun menerka demikian," sahut Pek Thong. "Tapi Oey Lao Shia sangat
licin, sedang perkataannya Nyonya oey itu aku tidak dapat percaya semuanya.
Nyonya itu mengawasi aku, yang menjublak saja. Ia rupanya menduga aku bersangsi,
maka ia berkata pula: 'Ciu Toako, bagimana bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang
tulen" Tahukah kau"' Aku menjawab bahwa semenjak kitab itu berada di tangan
kakak seperguruanku, tidak pernah ada orang yang membacanya. Kakak pun
membilangi, selama tujuh hari tujuh malam ia bergulat mendapatkan kitab itu,
maksudnya untuk menyingkirkan suatu akar bencana besar untuk kaum Rimba
Persilatan, sama sekali ia tidak pernah memikir untuk memilikinya sendiri. Maka
itu ia telah memesan semua murid Coan Cin Pay, siapa pun tidak boleh menyakinkan
ilmu dalam kitab itu."
"Ong Cinjin demikian jujur, ia mendatangkan hormatnya siapa juga,' berkata lagi
Nyonya Oey, 'Hanya karena itu, kena diperdayakan orang. Ciu Toako, coba kau
periksa kitab ini' Aku bersangsi, tetapi mengingat pesan kakak seperguruanku,
aku tidak berani memeriksa kitab itu. 'Inilah kitab ramalan yang terdapat di
mana-mana di wilayah Kanglam,' berkata pula Nyonya Oey, harganya tak setengah
peser juga. Lagi pula, taruh kata inilah Kiu Im Cin-keng yang tulen dan kau
tidak ingin mempelajarinya, apabila kau hanya melihat saja, apakah halangannya"'
Aku terdesak, aku pun penasaran, maka akhirnya aku periksa kitab itu. Aku
mendapatkan pelbagai pelajaran silat serta rahasianya, sama sekali itulah
bukannya buku petang-petangan. Selagi aku memeriksa, Nyonya Oey berkata: 'Kitab
semacam ini aku telah membacanya habis semenjak aku berumur lima tahun, aku
dapat membacanya di luar kepala dari permulaannya sampai akhirnya. Kami anak-
anak di Kanglam, dalam sepuluh, sembilan pernah bersekolah. Jikalau kau tidak
percaya. Ciu Toako, mari aku membacanya untuk kau dengar.' Benar-benar ia
membaca, dari kepala sampai dibuntut, membacanya dengan lancar. Aku merasakan
tubuhku dingin. Lalu nyonya itu berkata pula: 'Halaman mana saja kau cabut dan
tanyakan aku, asal kau menyebut kalimatnya, dapat aku membaca diluar kepala.
Buku ini yang telah dibaca sejak masih kecil, sampai tua juga aku tidak dapat
melupakannya. Aku ingin mencoba, aku uji ia beberapa kali. Benar-benar ia bisa
membaca dengan hapal, tidak pernah ada yang salah. Maka itu, Oey Lao Shia
tertawa terbahak-bahak. Aku menjadi sangat mendongkol, aku ambil kitab itu, aku
merobek-robek, terus aku sulut dan bakar hingga hangus habis!"
"Setelah itu mendadak Oey Lao Shia kata padaku: 'Loo Boan Tong, tidak usah kau
ngambul dengan tabiat bocahmu itu! Nah ini bajuku yang berduri aku, aku
hadiahkan padamu!' Aku tidak tahu bahwa aku telah dipermainkan. Aku hanya
menduga, karena merasa tidak enak hati, hendak ia menghadiahkan kepadaku untuk
membikin reda kemendongkolanku. Disamping mendongkol, aku pun mengerti tidak
dapat aku memiliki pusaka Tho Hoa To, maka itu, aku tolah hadiah itu. Aku
membilang terima kasih padanya, lantas aku pulang. Seterusnya aku mengunci
pintu, menyekap diri di kampung halamanku, untuk menyakinkan ilmu silatku.
Ketika itu belum sanggup aku menandingi Auwyang Hong, dari itu aku berlatih
keras selama lima tahun. Aku memikir, setelah mendapatkan pelbagai macam ilmu,
hendak aku pergi ke Wilayah Barat untuk mencari See Tok untuk meminta pulang
kitab yang tulen itu."
"Kalau toako pergi bersama Ma Totiang dan Khu Totiang, bukankah itu terlebih
baik lagi?" tanya Kwee Ceng.
"Aku menyesal, karena tabiatku suka menang sendiri, aku kena dipermainkan
orang," menyahut Pek Thong. "Aku tidak mengerti bahwa aku sudah jadi bulan-
bulanan. Memang, asal aku bicara dulu sama Ma Giok beramai, rahasia akan
terbuka. Beberapa tahun selewatnya itu, lalu di kalangan kangouw tersiar berita
bahwa muridnya Oey Lao Shia dari Tho Hoa To, yaitu Hek Hong Siang Sat, telah
mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng, bahwa mereka sudah menyakinkan beberapa macam
ilmu silat yang luar biasa, bahkan dengan ilmunya itu mereka pergi ke segala
tempat untuk melakukan kejahatan. Mulanya aku tidak percaya, tetapi belakangan
cerita itu semakin santer. Lagi lewat satu tahun, Khu Cie Kee datang padaku, dia
memberitahukan bahwa ia telah mendapat kepastian benar Kiu Im Cin-keng sudah
didapatkan murid-murid dari Tho Hoa To. Gusar aku mendengar warta itu. Aku kata
dengan sengit, 'Oey Yok Su tidak pantas menjadi sahabat!' Khu Cie Kee heran, ia
menanya apa sebabnya aku membilang begitu. Aku menjawab, 'Sebab dia pergi ke See
Tok meminta pulang kitab itu, dia pergi dilaur tahuku, dan setelah mendapatkan
itu, dia tidak segera membayar pulang padaku. Sedikitnya ia harus memberitahukan
dulu.'" "Setelah Oey Tocu mendapat kitab itu, mungkin mulanya ia memikir untuk
memberitahukan toako," berkata Kwee Ceng. "Hanya diluar dugaannya, kitabnya itu
kena dicuri muridnya yang jahat. Aku tahu betul, mengenai kejadian itu dia murka
bukan main, hingga empat muridnya yang lainnya, yang tidak tahu apa-apa, sudah
dipotong kakinya dan diusir."
Ciu Pek Thong menggeleng kepala.
"Kau sama jujurnya dengan aku," dia berkata. "Umpama kata kau yang mengalami
kejadian seperti itu, kau pasti tidak menginsyafi bahwa orang telah tipu padamu.
Ketika itu Khu Cie Kee, selainnya membicarakan urusan itu, juga meminta
pengajaran beberapa rupa ilmu silat padaku. Setelah beberapa hari, ia berangkat
pergi. Sesudah lewat dua bulan, ia datang padaku. Kali ini ia membawa kabar
kepastian bahwa Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong benar dapat ilmu kepandaian
dari buku yang dicuri dari gurunya. Dengan menempuh bahaya, Khu Cie Kee
mengintai Hek Hong Siang Sat dan mendengari pembicaraan mereka itu. Nyatanya Oey
Lao Shia mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng itu bukan boleh merampas kitab dari
tangan See Tok hanya boleh mencurinya dari tanganku sendiri...."
Kwee Ceng heran. "Toh terang-terangan toako telah bakar habis itu?" katanya.
"Mungkinkah nyonya Oey telah menukarnya dan toako diberikan kitab yang palsu?"
"Tidak!" sahut Pek Thong. "Di dalam hal itu aku telah berjaga-jaga. Selagi


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istrinya Oey Lao Shia membaca, tidak pernah aku memisahkan diri darinya. Dia
tidak mengerti ilmu silat, umpama kata dia sangat gesit, dia tidak bakal lolos
dari mataku. Bukankah kita yang pandai menggunai senjata rahasia mempunyai mata
yang sangat awas" Dia bukannya menukar kitab hanya dia menggunai kecerdasan dan
kekuatan otaknya untuk menghapalkan bunyinya kitab di luar kepalanya!"
Kwee Ceng heran hingga ia menanya menegaskan.
"Adikku, jikalau kau membaca sesuatu, berapa kali kau membacanya untuk kau dapat
membaca pula di luar kepala?" Pek Thong tanya, sabar.
"Yang gampang cukup dengan dua atau tigapuluh ulangan bacaan," menjawab si adik
angkat. "Yang sukar membutuhkan pembacaan dari enam sampai tujuhpuluh kali,
mungkin delapan atau sembilanpuluh kali."
"Kau benar, karena kau memang tidak terlalu berotak terang," berkata kakak
angkat itu. "Memang adikmu bebal sekali, toako. Baik dalam hal membaca buku baik pun dalam
hal belajar ilmu silat, kemajuanku sangat lambat."
Pek Thong menghela napas.
"Tentang membaca buku kau tidak mengerti banyak," katanya. "Mari kita bicara hal
ilmu silat. Kalau gurumu mengajarkan kau suatu rupa ilmu silat, bukankah itu
memerlukan pengajaran berulang-ulang beberapa puluh kali baru kau mengerti?"
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah.
"Benar," sahutnya.
"Akan tetapi di dalam dunia ini ada orang yang asal melihat orang berlatih dalam
sesaat saja dapat ia menintainya."
"Itulah benar. Umpama putrinya Oey Tocu, Ang Insu mengajari dia cukup dua kali,
tidak pernah sampai tiga kali."
"Nona itu demikian cerdas otaknya, mungkin dia akan berumur pendek seperti
ibunya," kata Pek Thong perlahan. "Ketika itu hari Nyonya Oey meminjam lihat
kitab, ia cuma membacanya dua kali, toh ia tidak melupakan satu huruf jua.
Elang Pemburu 2 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Pendekar Mata Keranjang 14
^