Pencarian

Memanah Burung Rajawali 22

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 22


ada benda lainnya. "Di dalam air tumpah mana bisa di simpan barang?" berkata Wanyen Lieh heran,
"Toh bukti-bukti memastikan demikian..."
See Thong Thian pandai berenang, julukannya pun Kwie-bun Liong Ong, si Raja Naga
Pintu Setan, maka ia lantas berkata: "Nanti aku terjun akan memeriksa air tumpah
ini." Cepat ia bersiap, atau ia sudah terjun ke dalam air. Tidak lama, ia sudah timbul
pula dan terus mendarat. Semua kawannya menghampirkan padanya.
"Ongya benar pandai!" kata orang she See ini. "Di belakang air tumpah ini ada
sebuah gua dengan pintunya besi yang terkunci."
Wanyen Lieh menjadi sangat girang.
"Surat wasiat Gak Bu Bok mesti di simpan di dalam gua itu!" katanya nyaring.
"Sekarang siauw-ongya minta tuan-tuan suka pergi membuka pintu besi itu."
Titah ini tak usah diulangi atau orang sudah lantas berlompat maju untuk
memasuki air tumpah itu, kecuali Auwyang Hong yang dengan tertawa dingin berdiam
terus di sisinya si pangeran Kim itu. Ia merasa derajatnya lain, tak sudi ia
berbuat seperti kawan-kawan itu.
See Thong Thian maju paling dulu. Begitu ia melewati air tumpah, mendadak ada
angin menyambar padanya. Dia lihay tetapi dia tidak menyangka jelek, maka itu
hendak ia berkelit, atau segera tangan kirinya kena orang cekal terus ditolak
dengan keras, hingga ia terpental balik menubruk Nio Cu Ong!
Syukur, dua-dua mereka lihay, keduanya tidak terluka, mereka melainkan terhuyung
mundur. Semua orang heran, tetapi sementara itu, untuk kedua kalinya, See Thong Thian
sudah menyerbu pula air tumpah itu. Ia penasaran dan kali ini ia berseiap sedia.
Ia melindungi mukanya. Benar saja, baru ia lewati air, atau sebuah kepalan sudah
meninju kepadanya. Karena ia sudah bersedia, ia menangkis dengan tangan kirinya
seraya kepalan tangan kanan dipakai membarengi menyerang membalas.
Ketika itu Nio Cu Ong pun menyerbu air tumpah itu, hanya untuk kagetnya, ia
dipapaki tongkat. Ia kaget, ia tidak sempat menangkis, maka itu ia berkelit
dengan melenggakan tubuhnya. Tentu sekali, karenanya, ia roboh ke air dan kena
ditarik. Celaka untuknya, kakinya kena tergaet. Dasar lihay, ia masih sempat
lompat keluar dari air tumpah.
Berbareng dengan itu, See Thong Thian pun mesti keluar lagi karena ia kena
didesak tinju yang dahsyat.
Hauw Thong Hay telah menyaksikan semua itu. Ia sembrono, maka itu ia tidak ingat
bahwa ilmu silat ia kalah dari See Thong Thian, sang kakak seperguruan, ia
lantas maju. Ia mau mengandalkan kepandaiannya bisa berenang dan di dalam air
bisa membuka matanya. Pheng Lian Houw menginsyafi bahaya yang mengancam bahaya yang mengancam kawan
ini, hendak ia memberikan bantuannya, tapi belum sempat ia maju, atau suatu
benda besar dan hitam sudah mental keluar dari air tumpah itu, jatuh ke tanah
dengan suara gedebuk nyaring, yang mana disusl sama jeritannya Hauw Thong Hay,
sebab dialah yang melayang dan roboh itu.
Lian Houw lantas lompat menghampirkan.
"Perlahan, saudara Hauw!" ia memperingati, berbisik. "Kau kenapa?"
"Celaka, kempolanku kena terhajar!" sahut Sam-tauw-kauw Si Ular Naga Kepala
Tiga. Lian Houw kaget dan heran dan merasa lucu juga.
"Sebenarnya telah terjadi apa?" ia menegasi. Ia meraba kempolan orang, di situ
ia tidak merasa ada yang luar biasa. Ia teliti, tentu ia tidak mau sembarang
menyerbu air tumpah itu. Maka ia menanya pula: "Ada orang di dalam" Siapakah
dia?" "Mana aku tahu?" sahut Thong Hay ketus. Ia kesakitan dan mendongkol. "Begitu aku
masuk begitu aku terhajar keluar!"
Lian Houw tercengang. Justru itu Leng Tie Siangjin, dengan jubahnya berkibaran, memasuki air tumpah
itu, atau dilain saat dia perdengarkan suaranya dalam bahasa Tibet, dia
berbicara sambil berseru-seru dan terdengar juga suara pertarungannya.
Maka teranglah ia pun dapat sambutan dan jadi berkelahi.
Wanyen Lieh semua saling mengawasi, mereka terbenam dalam keheranan. Tidak tahu
mereka, ada musuh siapa di dalam air tumpah itu. Menurut See Thong Thian dan Nio
Cu Ong, mereka samar-samar melihat sepasang pemuda-pemudi, si pemuda dengan
tangan kosong, si pemudi dengan tongkat.
Kembali terdengar teriakan Leng Tie Siangjin, teriakan kemurkaan. Rupanya dia
pun "menderita"...
"Kenapa Siangjin juga begini tidak tahu selatan?" kata Wanyen Lieh sambil
mengerutkan kening. "Dia membikin banyak berisik, bagaimana kalau pahlawan-
pahlawan raja dapat mendengarnya" Dengan begitu masih bisakah kita mencuri
wasiat?" Baru berhenti suaranya pangeran ini atau mereka melihat air tumpah membawa
serupa benda merah, yang segera juga dikenali jubah suci dari Leng Tie Siangjin,
menyusul mana, dengan diberikuti suara air, dua cecernya orang suci ini
terlempar keluar dari dalam air tumpah itu.
Hauw Thong Hay khawatir cecer itu jatuh dengan menerbitkan suara berisik, ia
lomat untuk menangkapinya.
Dari dalam air tumpah lagi sekali terdengar dampratan Leng Tie Siangjin, hanya
kali ini disusul sama mencelatnya tubuhnya yang besar, akan tetapi karena ia
lihay, ketika ia tiba di luar, ia dapat berdiri dengan tegar.
"Itulah bocah dan budak yang kita ketemukan di perahu!" Leng Tie kata dengan
sengit. Bab 48. Apa yang nampak dari tempat sembunyi
Bab ke-48 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Kwee Ceng dan Oey Yong, yang bersembunyi di belakang gunung, mendengar nyata
pembicaraannya Wanyen Lieh beramai. Karena mereka itu hendak mencuri surat
wasiat Gak Hui, mereka takut sekali surat wasiat itu kena didapatkan pangeran
itu. Inilah hebat. Dengan menggunai siasatnya Gak Hui itu, pasti bangsa Kim
bakal berhasil menyerbu negara Song. Bagaimana itu bisa dicegah" Diantara orang-
orangnya Wanyen Lieh pun ada Auwyang Hong yang lihay. Oey Yong mencoba mencari
akal, untuk membikin mereka itu kaget dan nanti lari kabur. Kwee Ceng sebaliknya
tidak sabaran, karena tidak ada tempo lagi untuk berpikir lama-lama atau
mengatur tipu. Akhirnya pemudi ini menarik tangan si pemuda, untuk diajak pergi
ke belakang air tumpah. Mereka sampai di sana tanpa ada yang lihat dan tanpa ada
yang dengar, sebab tumpahnya air sangat berisik.
Muda-mudi ini telah siap sedia ketika See Thong Hay mencoba memasuki air tumpah
itu, dengan gampang dia dihajar kembali. Hasilnya penolakan ini membikin mereka
berdua jadi heran dan kagum, girang sekali. Itulah buahnya pernyakinan mereka
atas ilmu Ie-kin Toan-kut Pian.
Demikian mereka menghajar Hauw Thong Hay dan akhirnya Leng Tie Siangjin hingga
pendeta Tibet ini mencaci kalang kabutan.
"Engko Ceng, mari lekas!" Oey Yong mengajak. "Mari kita keluar dan berteriak-
teriak, biar kawanan pahlawan pada datang kemari, dengan begitu mereka ini
tentulah tak dapat bekerja terlebih jauh melakukan pencurian!"
Oey Yong berkata berpikir demikian sebab ia percaya, habis Leng Tie Siangjin,
Auwyang Hong bakal turun tangan, kalau See Tok yang maju, pasti mereka tidak
berdaya lagi. "Pergi kau keluar dan berteriak-teriak, aku sendiri akan berjaga di sini!"
"Tapi ingat, jangan tempur si bangkotan yang berbisa itu!" Oey Yong memesan.
"Aku mengerti! Nah, keluarlah! Keluarlah lekas!"
Baru Oey Yong mau keluar atau mendadak mereka merasakan tolakan angin keras
sekali. Mereka kaget tetapi mereka tidak mau menangkis, hanya dengan berbareng
keduanya lompat ke samping masing-masing.
Hebat tolakan itu, yang ada Kap-mo-kang, pukulam Kuntauw Kodok dari Auwyang
Hong. Karena tidak memperoleh perlawanan, serangan itu mengenai tepat pintu
besai dari gua, maka itu terdengarlah satu suara nyaring sedang air muncrat ke
segala penjuru. Oey Yong melompat tetapi ia kalah sebat, punggungnya kena tersampok angin. Dalam
sekejap itu ia merasakan sulit bernapas, kepalanya pusing, matanya berkunang-
kunang, akan tetapi ia masih ingat tugasnya, hanya berdiam sejenak, untuk
memusatkan pikiran, segera ia melompat keluar, akan berteriak-teriak sekeras-
kerasnya: "Ada pembunuh gelap! Ada pembunuh gelap! Tangkap! Tangkap!" Dan
sembari berteriak-teriak, ia kabur ke depan.
Wanyen Lieh semua kaget. "Marilah kita hajar mampus dulu budak ini!" Pheng Lian Houw berseru bahna
mendongkolnya. Ia gusar dan penasaran. Segera ia melompat, untuk mengejar.
Suaranya Oey Yong mendengung dalam malam yang sunyai itu, suara itu dapat
didengar rombongan-rombongan Siewie atau pahlawan kaisar di empat penjuru
istana. Paling dulu terdengar seruan mereka berulang-ulang, untuk saling memberi
tanda, habis itu mereka lantas bergerak.
Oey Yong berlompat naik ke atas genting, ia mencabuti genting dengan apa ia
menimpuk kalang-kabutan. Perbuatannya ini pun menambah suara berisik.
Pheng Lian Houw, disusul Nio Cu Ong, merangsak, untuk mendekati si nona.
Dalam keadaan seperti itu, Wanyen Lieh masih dapat bersikap tenang. Ia menoleh
ke sisinya, kepada seorang yang mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam
juga. "Anak Kang, pergilah kau bersama Auwyang Sianseng masuk ke air tumpah untuk
mengambil surat wasiat itu!" katanya. Pangeran itu masih belum mau melepaskan
ikhtiarnya mencuri surat yang dia sangat harapkan itu.
Orang dismapingnya itu, yang memakai topeng, memang Yo Kang adanya, putra
pungutnya . Auwyang Hong sendiri sudah lantas nongkrong di tanah, untuk mengerahkan
tenaganya, guna menggunai Kuntauw Kodok menyerang pula ke arah air tumpah, maka
itu, begitu ia menyerang, terdengar pula suara berisik seperti tadi. Bahkan kali
ini kedua daun pintu gua tertolak mundur ke dalam.
Setelah berhasil dengan serangannya itu, Auwyang Hong mau berlompat maju guna
masuk ke dalam air tumpah, guna memasuki gua dan mengambil surat wasiat yang
diarah itu. Justru ia bertindak, matanya melihat bayangan orang yang berkelebat
dari samping, dan belum lagi bayangan itu tiba, angin serangannya sudah
mendahului. Ia mengenali, itulah pukulan Hui Liong Thay-thian, Naga Terbang ke
Langit. "Hm!" pikir See Tok sambil ia berkelit. "Memang aku hendak tanyakan dia
keterangan kitab Kiu Im Cin-keng, kebetulan sekali, sekarang baik aku sekalian
membekuk dia...!" Karena ini, sambil berkelit ke samping, sebelah tangannya diulur, guna menjambak
penyerang itu. Si penyerang benar Kwee Ceng adanya. Anak muda ini sudah nekat. Ia bertekad
membelai surat wasiatnya Gak Hui, maka itu, ia tidak peduli musuh lihay dan Oey
Yong telah melarang ia menempur See Tok. Ia harap, dalam tempo yang pendek,
kawanan siewie akan sudah tiba di situ. Ketika ia menampak gerakannya Auwyang
Hong, ia menduga orang tidak niat berbuat telengas, ia hanya hendak ditangkap.
Ia sebenarnya heran. Tapi tak ada ketika untuk menduga-duga maksud orang. Dengan
tangan kirinya ia menangkis, dengan tangan kanan ia menyerang ke pundak. Ia
menggunai satu jurus dari Khong-beng-kun, yaitu Pukulan Kosong.
Kwee Ceng menggunai ilmu silatnya ajaran Ciu Pek Thong, yaitu sepasang tangan
saling berkelahi sendiri dan jurus yang ia pakai ialah jurus Khong-beng-kun,
meskipun itu tak sehebat Hang Liong Sip-pat Ciang, toh tak dapat dipandang
enteng. Tidak heran kalau Auwyang Hong terkejut.
"Bagus!" berseru See Tok yang lihay. Ia mendak dengan pundaknya, sebelah
tangannya dilonjorkan, guna menangkap lengannya si penyerang. Biar bagaimana, ia
berkelahi dengan waspada, sebab ia dapat kenyataan, tiap hari kepandaiannya
pemuda ini bertambah terus.
Auwyang Hong penasaran yang ia belum berhasil menyakinkan Kiu Im Cin-keng, ia
ingin mengerti jelas kitab itu, keinginannya bertambah ketika ia dengar ocehan
Ang Cit Kong di atas getek. Ia hanya tak insyaf bahwa ia tengah dipermainkan
bocah she Kwee itu, sebab kitab Kiu Im Cin-keng yang berada di tangannya ialah
kitab yang tidak karuan macam, yang Kwee Ceng kacaukan urutan huruf-hurufnya,
hingga tak dapat diartikan lagi.
Sementara itu di empat penjuru Cui Han Tong sudah terlihat obor api terang
bagaikan siang. Pelbagai siewie muncul dalam satu-satu rombangan, mereka itu
lari ke arah darimana terdengar teriakan-teriakan, ialah teriakannya Oey Yong.
Wanyen Lieh melihat terangnya obor, ia menjadi bingung juga. Sejak masuknya
Auwyang Hong dan Yo Kang ke dalam air tumpah, mereka tidak kelihatan muncul
kembali. Syukur untuknya, semua siewie lari ke arah Oey Yong, siapa sedang
menungkuli dua-dua Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong yang terus mengejar padanya.
Untuk sementara, wilayah air tumpah itu masih selamat. Walapun begitu, pangeran
ini membanting-banting kakinya, tangannya menggapai-gapai tak hentinya.
"Lekas! Lekas!" ia memanggil Leng Tie Siangjin dan putranya.
"Jangan sibuk, ongya!" berkata Leng Tie. "Nanti siauwceng masuk pula!"
Pendeta Tibet ini lantas masuk ke air tumpah, dimana ia melihat Auwyang Hong
sedang menempur Kwee Ceng, sedang Yo Kang yang hendak menerobos masuk, tidak
mendapatkan ketikanya. Leng Tie Siangjin tidak puas mengawasi pertempuran itu. Bukankah tempo mereka
sudah sangat mendesak" Kenapa Auwyang Hong bersikap seperti sedang berlatih"
"Auwyang Sianseng, mari aku bantu kau!" ia berseru.
"Minggir jauh-jauh!" Auwyang Hong membentak.
Leng Tie menjadi tidak puas. Di dalam hatinya ia kata: "Disaat seperti ini mana
dapat kau masih bertingkah seperti satu enghiong" Jangan kau masih bawa lagakmu
sebagai guru besar!" Lantas ia maju ke samping, ke arah Kwee Ceng, sebelah
tangannya melayang ke tempilingan kiri si bocah.
Menampak demikian, Auwyang Hong menjadi gusar sekali. Ia maju sambil menjambil
pundaknya pendeta Tibet itu, terus ia mengangkatnya, terus ia melemparkannya!
Tepat serangannya See Tok ini. leng ie Siangjin itu lihay dan tangannya pun ada
racunnya, maka untuk melayani dia, anggota tubuhnya yang tak berbahayayang mesti
dihadapi. Bukan main murkanya pendeta Tibet itu, tidak memperdulikan pula orang lihay dan
dipandang Wanyen Lieh, ia mencaci kalang-kabutan, cuma ia memakai bahasa Tibet,
Auwyang Hong tidak mengerti. Ia pun tak bisa mencaci lama-lama atau segera ia
tak dapat bersuara lagi, sebab mulutnya lantas kemasukan air. Karena oleh
Auwyang Hong ia dilemparkan ke air tumpah, hingga mulutnya tersumpal air!
Wanyen Lieh terkejut akan melihat tubuh Leng Tie Siangjin terlempar keluar air
tumpah. Justru itu kupingnya juga mendengar suara berisik dari arah Cui Han Tong
di mana ternyata, pot kembang yang besar di depan paseban itu telah jatuh
hancur. Menyusul itu, ia menampak munculnya sejumlah siwi.
"Celaka!" ia mengeluh dalam hati. Tidak ayal lagi, dengan menjinjing jubahnya,
dia berlompat ke air tumpah, untuk masuk ke situ, guna menyembunyikan diri. Ia
mengerti ilmu silat, tetapi di tempat begitu, kepandaiannya masih belum berarti,
begitu kakinya menginjak tanah, begitu ia terpeleset jatuh. Syukur untuknya, Yo
Kang dapat melihatnya dan putra ini segera lompat menyambar, menolongi padanya.
Dengan melongo pangeran Kim itu melihat ke sekitarnya.
"Auwyang Sianseng, apakah bocah ini dapat kau usir?" ia tanya See Tok.
Pertanyaan ini menandakan Wanyen Lieh seorang besar. Ia bukan memerintah, ia
hanya menanya. Pertanyaannya itu membangkitkan hawa amarah orang. Hatinya
Auwyang Hong menjadi panas.
"Kenapa tidak bisa?" menjawab Auwyang Hong, yang terus berjongkok seraya
mulutnya mengasih dengar suara seperti kerak-keroknya kodok. Dengan begitu ia
bersiap dengan Kuntauw Kodoknya, lalu terus kedua tangannya dimajukan ke depan.
Si Bisa dari Barat ini telah mengerahkan tenaganya, umpama di situ ada Ang Cit
Kong atau Tong Shia Oey Yok Su, tidak nanti mereka berani melawannya dari depan,
apa pula seorang seperti Kwee Ceng.
Sebenarnya juga, Auwyang Hong melayani Kwee Ceng sebagai lagi berlatih, tidak
heran Leng Tie Siangjin melihatnya menjadi muak. Ada sebabnya kenapa See Tok
berbuat demikian. Itulah disebabkan Kwee Ceng menggunai Khong-beng-kun. Maka See
Tok melayani, untuk menanti sampai anak muda itu habis menjalankan semua jurus
dari ilmu silatnya itu, habis itu baru ia hendak turun tangan, mencekuk si
pemuda. Sayang maksudnya tak segera kesampaian. Mendadak Wanyen Lieh masuk ke
air tumpah itu dan ia mesti dengarb itu pertanyaan yang seperti serupa ejekan,
hingga hatinya menjadi panas. Ia lantas bertindak. Meski begitu, ia tidak mau
membinasakan Kwee Ceng, sebab si bocah masih dibutuhkan olehnya. Dilain pihak,
ia tidak menginsyafi bocah yang polos dan jujur itu, yang taat dengan tugasnya.
Kwee Ceng tidak mau mundur, sekalipun ia mesti mati terbinasa. Hendak ia
melindungi surat wasiatnya Gak Bu Bok. Begitu ia menyingkir, pasti Auwyang Hong
akan mendapatkan surat wasiat itu, di situ ada banyak pahlawan raja tetapi
menghadapi Auwyang Hong, pastilah mereka tidak berdaya. Di dalam keadaan seperti
itu, selagi bahaya mengancam - sebab ia tahu ia tidak sanggup menangkis- ia
mengenjot kedua kakinya, akan mengapungi diri tinggi empat kaki. Secara begitu,
ia bebas dari serangan. Ketika turun pula, ia tetap berada di muka gua di mana
ia menghadang seperti semula.
"Bagus!" berseru Auwyang Hong kagum. Segera ia menarik pulang kedua tangannya.
See Tok ada sangat hebat. Kalau serangannya bertenaga beberapa ratus kati,


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tarikan pulang tangannya pun masih bertenaga besar, ada tenaga menariknya.
Kwee Ceng terkejut akan merasakan angin menolak punggungnya. Ia mengerti ancaman
bahaya. Ia memutar balik tangannya, untuk membela diri. Kali ini ia menggunai
jurus "Sin liong pa bwee" atau "Naga sakti menggoyang ekor" Tentu saja itulah
gerakan keras lawan keras. Seharusnya ia mencoba berkelit, sebaliknya, ia
menangkis. Siapa kalah tenaga dalam, dialah yang bakal bercelaka.
Wanyen Lieh berdiri menjublak menonton cara orang berkelahi itu, yang
mengherankan ia. Kenapa Auwyang Hong berdiam saja sebagai patung, cuma kedua
tangannya yang ditolakkan ke depan dan ditarik pulang" Kenapa Kwee Ceng main
berlompatan dan hanya mengawasi See Tok" Kenapa See Tok menarik pulang tangannya
dan si bocah menangkis ke belakang, hingga keduanya berdiam bagaikan patung"
Kedua pihak sebenarnya tengah mengadu tenaga dalam, Auwyang Hong tetap menarik,
Kwee Ceng tetap mempertahankan diri. Lekas juga bocah ini bermandikan keringat.
Ia telah mesti mengeluarkan seluruh tenaganya untuk dapat bertahan itu.
Kembali Auwyang Hong menjadi kagum. Ia tahu benar, lagi sejenak Kwee Ceng bakal
terluka parah. Ia membutuhkan bocah itu, tidak dapat ia mencelakainya. Maka ia
memikir untuk mengalah. Lantas mengurangi tenaga manriknya itu. Tapi berbareng
sama dikuranginya tenaganya, ia merasakan tolakan keras pada dadanya. Ia
terkejut. Syukur tenaga dalamnya mahir, kalau tidak tentulah ia roboh terguling.
Benar-benar ia tidak menyangka, begitu muda Kwee Ceng, tenaganya besar sekali.
Segera ia menahan napas, tangannya menolak. Dengan begitu, lenyaplah tenaga
mendorong tadi. Kalau Auwyang Hong terus menyerang, robohlah Kwee Ceng. Tapi ini tidak dilakukan
See Tok. Dia masih mengharap habisnya tenaga si bocah, untuk menangkap hidup
padanya, guna menggorek keterangan hal Kiu Im Cin-keng dari mulut orang....
Sesaat kemudian mulailah terlihat tenaganya dua orang itu, yang satu berlebihan,
yang lainnya berkurang. Tapi Wanyen Lieh dan Yo Kang, yang tetap menonton, tidak
mendapat tahu kapan akan selesainya pertempuran macam itu, karenanya mereka
menjadi cemas sendirinya. Mereka bingung mendengar suara berisik, satu tanda
rombongan siwi tengah bekerja keras mencari si orang jahat...
Sekonyong-konyong dari dalam air tumpah terlihat dua siwi menerjang keluar. Yo
Kang berlaku sangat sebat, sebelum kedua siwi itu tahu apa-apa, mereka sudah
diterjang pangeran muda ini, yang kedua tangannya menyambar ke masing-masing ulu
hati mereka, hingga menancap, dengan begitu robohlah mereka denagn jiwa mereka
melayang. Yo Kang dengan bengis sudah menggunai cengkeraman Kiu Im Pek-kut
Jiauw. Setelah itu Yo Kang menghunus pisau belatinya, lalu dengan menggenjot diri, ia
lompat kepada Kwee Ceng, untuk menikam pinggangnya si anak muda.
Dalam keadaan seperti itu, Kwee Ceng tidak dapat berkelit. Kalau ia mencoba
menyingkirkan tubuhnya, segera ia bakal terbinasa pukulan Kodok dari Auwyaang
Hong. Maka itu dalam sekejap saja ia merasakan sakit pada pinggangnya, hingga ia
berbareng merasa juga pernapasannya berhenti berjalan. Maka lupalah ia segala
apa, tanpa merasa ia menghajar lengannya si penyerangnya itu, si pembokong.
Yo Kang merasakan sakit sekali. Ia bukan lagi tandingannya Kwee Ceng, walaupun
ia mencoba menarik pulang tangannya, lengannya menjadi korban pula. Tapi itu
waktu separuh pisaunya sudah masuk ke pinggang si anak muda.
Karena bergeraknya itu, tenaga Kwee Ceng menjadi semakin berkurang, dari itu, ia
lantas terkena dorongan tenaganya Auwyang hong. Tanpa bisa menjerit lagi ia
roboh terkulai. "Sayang!" berseru Auwyang Hong, yanga akhirnya toh juga melukai bocah lawannya
itu. "Ia bakal mampus, baiklah aku tak usah pedulikan lagi padanya. Paling ?erlu
aku lekas mencari surat wasiatnya Gak Bu Bok...."
Maka tanpa bersangsi lagi, ia berlompat ke dalam air tumpah.
Wanyen Lieh bersama-sama Yo Kang, lantas mengintil di belakang See Tok.
Auwyang Hong sudah lantas dirintangi sejumlah siwi, tetapi ia seperti tidak
menghiraukan mereka itu, siapa datang dekat, ia sambar dan lempar, setelah mana,
siwi lainnya tak dapat maju terlebih jauh, hingga tak lagi ada yang bisa
mendekati pintu gua. Yo Kang turut masuk ke dalam gua. Ia menyalakan api untuk dipakai menyuluhi. Di
tanah ada banyak tanda debu, suatu tanda tak pernah ada orang yang datang ke
situ. Di tengah-tengah gua ada sebuah meja batu, di atas mana ada satu kotak
batu persegi dua kaki, kotak mana tersegel. Lainnya barang tak nampak di situ.
Dengan membawa apinya, Yo Kang menyuluhi hingga dekat. Di segelan ada suratnya
tetapi, rupanya karena sudah terlalu tua, huruf-hurufnya tak dapat terbaca lagi.
"Surat wasiat itu ada di dalam kotak ini," berkata Wanyen Lieh.
Yo Kang menjadi sangat girang, ia ulur tangannya akan mengambil peti itu.
Melihat gerakan orang, Auwyang Hong menggeraki tangan kirinya ke pundak orang,
atas mana tidak tetaplah berdirinya Yo Kang, tubuhnya terhuyung berberapa
tindak. Pemuda ini tak mengerti, ia melongo mengawasi orang.
Auwyang Hong sebaliknya sudah lantas mengempit kotak itu.
"Kita sudah berhasil, mari kita lekas mengundurkan diri!" kata Wanyen Lieh
nyaring. Auwyang Hong bertindak di depan, diikuti oleh Wanyen Lieh dan Yo Kang.
Selagi lewat di dekat Kwee Ceng, Yo Kang melihat tubuh orang mandi darah dan
rebah tak bergeming di antara siwi korbannya See Tok, ia lantas menghela napas.
"Dasar kau tidak tahu selatan, suka kau usilan," katanya perlahan. "Maka itu
janganlah kau sesalkan aku..."
Sebelum jalan terus, Yo Kang ingat pisau belatinya masih nancap di pinggang
mangsanya, maka ingin ia mencabut senjatanya itu. Selagi ia membungkuk, untuk
mengambil pisau itu, di air tumpah itu terlihat satu bayangan berkelebat di
susul sama pertanyaan ini: "Engko Ceng, kau di mana?"
Yo Kang terkejut. Ia mengenali suaranya Oey Yong. Lupa pada pisau belatinya, ia
lompat melewati tubuhnya Kwee Ceng, terus lari keluar air tumpah, akan menyusul
Auwyang hong dan Wanyen Lieh.
Oey Yong mencari Kwee Ceng setelah ia permainkan Nio Cu Ong, yang ia tinggalkan
begitu lekas terlihat siwi muncul disana-sini. Sebaliknya, Pheng Lian Houw
berdua tidak berani mengejar terus sebab takut keperogok kawanan siwi. Mereka
kembali ke dekat air tumpah, akan menggabungkan diri dengan See Thong Thian dan
lainnya. Di sini mereka bertempur sama beberapa siwi sampai Auwyang Hong muncul,
maka beramai-ramai mereka mengangkat kaki.
Oey Yong sia-sia mencari Kwee Ceng, ia lantas masuk ke dalam air tumpah. Ia
menyalakan api, dari itu ia segera melihat tubuh Kwee Ceng yang mandi darah
rebah di antara beberapa siwi. Ia kaget sekali - rebahnya si pemuda tepat di
sampingnya. Saking kagetnya, tubuhnya gemetaran, sampai api terlepas jatuh dari
tangannya. Di itu waktu di luar gua terdengar riuh suaranya kawanan siwi yang
berteriak-teriak, "Tangkap orang jahat! Tangkap orang jahat!" Tapi mereka itu
cuma berteriak-teriak, tidak ada satu pun yang berani maju akan merintangi
Auwyang Hong beramai. Sebabnya ialah, lebih dulu dari itu, beberapa kawannya
sudah menjadi korban See Tok hingga mereka menjadi kecil hatinya, terpaksa
mereka mementang bacot saja.
Oey Yong sadar dengan cepat. Ia membungkuk akan memeluk tubuhnya Kwee ceng. Ia
merasakan tubuh itu hangat. Ia memanggil beberapa kali, ia tidak memperoleh
jawaban. Ia menjadi bingung sekali. Maka itu ia lantas panggul tubuh engko itu,
untuk dibawa menyingkir ke belakang gunung-gunungan.
Di Cui Han Tong sendiri telah berkumpul banyak orang, sebab ada datang juga siwi
dari lain-lain bagian istana. Obor di situ terang bagaikan siang hari. Maka
ketika Oey Yong berkelebat - tak peduli ia sangat gesit - ada siwi yang
melihatnya. Siwi itu lantas berteriak, terus ia memburu diikuti beberapa
kawannya. Dalam mendongkolnya, Oey Yong mencaci dalam hatinya: "Ah, kawanan kantung nasi!
Sungguh, kamu tidak punya guna! Kenapa kau bukan pergi mengejar orang jahat
hanya orang baik-baik?" Ia menggertak gigi, tapi ia lari terus.
Ada beberapa siwi yang lihay, yang larinya cepat, mereka sudah lantas datang
dekat. Oey Yong menjadi bertambah mendongkol, ia meraup jarum rahasianya, ia menimpuk
ke belakang, ke arah pengejar-pengejar itu.
"Aduh!" demikian terdengar etriakan, saling susul.
Itulah tanda robohnya beberapa siwi, karena mana yang lainnya tidak berani
mengejar terlebih jauh. Maka si nona bersama engko Cengnya terus lari keluar
dari tembok istana. Keributan itu membikin istana menjadi kacau balau. Orang pun bingung, sebab
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada huru-hara di dalam untuk merampas
tahta kerajaan atau ada menteri yang berontak guna merampas pemerintahan" Toh
setelah itu, orang berisik sendirinya. Tidak ada kejadian lainnya lagi. Di situ
telah berkumpul semua siwi, semua serdadu Gie-lim-kun.
Dari tengah malam itu, hingga pagi, orang bergelisah tidak karuan. Sedatangnya
fajar, tentara penunggang kuda di kirim ke pelbagai jurusan, untuk mencari si
orang jahat, antaranya dengan melakukan penggeledahan secara besar-besaran.
Tentu saja di itu waktu Wanyen Lieh semua telah kabur keluar kota, bahkan Oey
Yong bersama Kwee Ceng telah tiba di dusun kemarinnya mereka mondok.
Sebenarnya Oey Yong kabur tanpa pilih arah, baru setelah melihat tidak ada yang
mengejar, ia tidak lari keras seperti semula.Lebih dulu ia sembunyi di dalam
sebuah gang kecil. Di sini ia pegang hidungnya Kwee Ceng. Ia merasakan hembusan
napas. Di situ tidak ada api, tak jelas ia melihat muka si anak muda. Ia
mengerti diwaktu siang tidak dapat ia berkeliaran di dalam kota dengan membawa-
bawa orang terluka, karena ini, ia terus lari ke tembok kota, untuk
melompatinya. Maka dilain saat tibalah ia ditempatnya Sa Kouw, si nona tolol.
Walaupun ia kuat, setelah berlari-lari setengah malaman, mana hatinya pun
berkhawatir dan bingung. Oey Yong toh tersengal-sengal. Ia lantas menjatuhkan
diri akan berduduk, guna meluruskan jalan napasnya itu. Dengan begitu, dengan
perasaannya pulih hatinya pun menjadi terang. Sekarang ia lantas menyalakan
sebatang kayu cemara dengan apa ia menyuluhi mukanya Kwee Ceng. Apa yang ia
lihat membikin ia kaget, melebihi kagetnya di dalam gua tadi.
Kwee Ceng rebah tak bergeming, kedua matanya tertutup rapat, mukanya sangat
pucat. Taklah ia ketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati. Inilah pukulan
sangat hebat untuk Oey Yong, hingga hatinya goncang keras. Ia berdiri bengong
dengan tangannya memegangi obor kayunya itu. Ia merasakan ketika ada orang
datang mendekati padanya, ia baru sadar tempo obor kayunya itu ada yang sambar.
Segera ia menoleh, akan mengenali Sa Kouw.
Si tolol muncul karena ia dengar suara tak seperti biasanya.
Sa Kouw pun cemas menyaksikan keadaan Kwee Ceng itu. Ia lari ke dapur, untuk
mengambil air dingin. Oey Yong mengerti apa yang harus ia kerjakan. Ia keluarkan sapu tangannya, ia
celupkan itu ke dalam air, untuk dilain saat mulut menyusut muka yang keciprutan
darah dari si anak muda. Dari lubang hidung ia merasakan hembusan napas yang
semakin lemah. Setelah itu ia hendak memeriksa luka, atau matanya bentrok sama
sinar berkilauan warna kuning emas dari pinggangnya Kwee Ceng. Karena ini
sekarang ia melihat sebuah pisau belati nacap di pinggang!
Baru sekarang Oey Yong dapat menyabarkan diri. Dengan hati-hati ia membukai baju
dalam dari si anak muda, dengan begitu ia melihat jelas nancapnya pisau itu.
Darah disitu sudah mulai bergumpal. Kelihatannya pisau masuk kira tiga dim
dalamnya. Nona ini menjadi bersangsi. Ia tidak berani lantas mencabut pisau itu, khawatir
nanti Kwee Ceng lantas menghembuskan napasnya yang terakhir. Kalau ia tidak
mencabut, sebaliknya ia memperlambat tempo. Ini pun membahayakan untuk si anak
muda. Ia berpikir keras. Akhirnya ia menggertak gigi, tangannya diulurkan. Ingin
ia mencabut, mendadak ia menarik pulang tangannya itu. Tiba-tiba saja ia bimbang
sendirinya. Kesangsian si nona berjalan terus, maka beberapa kali ia hendak mencobanya
mencabut pisau belati itu, saban-saban ia gagal pula.
Sa Kouw menyaksikan kesangsian orang, ia menjadi tidak sabaran. Tiba-tiba saja
ia mengulurkan tangannya dengan sebat ia mencabut pisau itu.
Kwee Ceng menjerit, begitu pun Oey Yong. Si pemuda bahna sakit, si pemudi saking
kaget. Si tolol sebaliknya girang sekali, ia tertawa tebahak-bahak. Ia masih
tertawa ketika Oey Yong kaget melihat darah mengalir keluar dari lukanya
engkonya itu. Saking berkhawatir dan mendongkol, ia sampok si tolol itu hingga
dia terguling, setelah mana ia menggunai sapu tangannya menyumpat luka Kwee
Ceng, untuk mencegah keluarnya terus darah itu.
Dengan jatuhnya Sa Kouw, obor cemara di tangannya pun padam. Si tolol menjadi
gusar, ketika ia berlompat bangun, ia menendang. Oey Yong tidak menangkis, ia
membiarkan pahanya kena ditendang. Sa Kouw khawatir si nona nanti membalas, ia
memutar tubuhnya untuk berlalri. Tidak lama ia mendengar nona Oey menangis. Ia
menjadi heran, maka ia kembali. Ia menyalakan lagi obor cemaranya.
"Apakah kau kena tertendang sakit?" ia menanya Oey Yong.
Nona itu tidak menyahut, ia hanya berlutut mendampingi Kwee Ceng. Pemuda itu
pingsan karena rasa nyerinya, sesaat kemudian ia baru mendusin.
"Apakah surat wasiatnya Gak Bu Bok kena mereka curi?" Kwee Ceng menanya. Itulah
hal yang ia ingat paling dulu.
Oey Yong girang mendengar orang dapat bicara, meskipun suaranya lemah.
"Jangan khawatir, penjahat itu tak dapat turun tangan..." ia menyahut. Ia tentu
saja berdusta, karena ia tidak ingin orang menjadi kaget dan bersusaah hati.
Sebenarnya ia ingin menanyakan lukanya si anak muda, ketika ia merasakan
tangannya hangat-hangat, disebabkan darah yang baru keluar dari pinggang Kwee
Ceng itu. "Eh, Yong-jie, kenapa kau menangis?" menanya Kwee Ceng yang baru sekarang
melihat si nona berlinang-linang air matanya.
"Aku tidak menangis," kata Oey Yong, yang paksakan diri untuk tertawa.
"Dia menangis tadi!" Sa Kouw campur mulut. "Kau hendak menyangkal" Apakah kau
tidak malu" Lihat, mukamu masih ada air matanya!"
"Yong-jie, jangan takut," Kwee Ceng menghibur. "Di dalam Kiu Im Cin-keng ada
terdapat cara-cara untuk mengobati luka, aku tidak bakalan mati."
Mendengar itu, Oey Yong merasakan di dalam kegelapannya ia memperoleh pelita. ia
girang. Tadinya ia mau minta penjelasan tentang obat itu, niat ini ia batalkan,
khawatir si anak muda nanti menjadi letih. Maka ia ambil obor dari tangannya si
tolol. "Enci, tadi aku kena serang kau, apakah kau sakit?" ia menanya sambil tertawa.
"Ah, kau menangis, tidak dapat kau menyangkal!" kata si tolol yang tidak
memperdulikan pertanyaan orang. Ia hanya mengingat penyangkalan nona ini.
"Ya, benar, aku menangis," kata Oey Yong tersenyum. "Kau sendiri tidak menangis,
kau baik sekali." Mendengar dirinya di puji, Sa Kouw menjadi sangat girang.
Kwee Ceng sendiri repot meluruskan pernapasannya, dengan begitu rasa sakitnya
berkurang. "Coba kau memakai jarum emasmu menusuk beberapa kali jalan darahku ceng-ciok dan
siauw-yauw," katanya perlahan pada Oey Yong.
"Ah, aku menjadi bodoh!" kata si nona, terperanjat. Dengan lekas ia mengeluarkan
sebatang jarumnya dan terus bekerja. Tiga kali ia menusuk di pinggang kiri di
mana ada dua jalan darah yang disebutkan itu. Tusukan ini membantu memperlambat
mengalirnya darah dan pun mengurangi rasa nyeri.
"Luka di pinggangku ini, Yong-jie, meskipun dalam, tetapi tidak berbahaya," Kwee
Ceng kata pula, suaranya tetap perlahan. "Yang hebat ialah serangan Kap-mo-kang
dari si Bisa bangkotan, syukurlah ia tidak menggunai sepenuhnya tenaganya,
dengan begitu aku masih dapat ditolong, cumalah dengan begitu kau bakal
menderita merawati aku tujuh hari tujuh malam..."
"Biarnya aku bersengsara tujuhpulh tahun, untukmu aku senang," menyahut si nona,
cepat. Kwee Ceng terharu sekali, hatinya menggetar hampir ia pingsan pula. Ia berdiam
akan menenangkan diri. "Sayang suhu pun terluka," katanya kemudian.
"Sudahlah, kau jangan terlalu banyak pikir," mencegah Oey Yong sekalian
menghibur. "Sekarang ini kau mesti berdaya mengobati lukamu sendiri, supaya
orang lega hatinya...."
"Sekarang perlu kita mendapatkan dulu tempat yang tenang," berkata Kwee Ceng.
"Disana aku nanti mengobati diriku dengan bantuanmu. Menurut ajaran kitab, kita
mesti mengadu tenaga bergantian dengan sama-sama mengendalikan napas. Dengan
jalan begitu kau membantu aku dengan tenaga dalammu. Seperti aku bilang tdai,
sulitnya ialah tempo yang mesti digunakan mesti tujuh hari tujuh malam, selama
mana tak boleh kedua tangan kita berpisahan. Pikiran kita berdua bersatu padu,
dapat kita berbicara tetapi tidak boleh ada orang yang ketiga yang menyelak
menyampur bicara. Pula tidak dapat kita bangun atau berjalan sekalipun setengah
tindak. Jikalau ada orang yang mengganggu kita, maka...."
Oey Yong mengerti cara pengobatan itu, yang sama dengan orang semadhi, ialah
sebelumnya berhasil tidak boleh ada gangguan, gangguan menggagalkan dan bisa
mendatangkan bahaya juga. Ini sebabnya, siapa tengah bersemadhi, ia membutuhkan
kawan yang menjaga di sampingnya, guna mencegah gangguan yang tidak diinginkan
itu. Ia jadi berpikir: "Aku perlu membantu dia, di sini tidak ada orang lain,
siapa yang dapat melindungi" Sa Kouw tidak dapat diandalkan, dia terlalu tolol,
malah mungkin dialah yang nanti merecoki. Juga di mana bisa didapatkan tempat
sunyi di dalam waktu sesingkat ini" Umpama kata Ciu Toako datang kemari masih
belum tentu ia sanggup menjagai kita selama tujuh hari tujuh malam...Bagaimana


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baiknya sekarang?" Kembali ia berpikir keras, matanya memandang tajam ke sekelilingnya. Mendadak ia
melihat tempat menyimpan mangkok dan lainnya.
"Ada!" pikirnya sejenak. "Kenapa aku tidak mau sembunyi di dalam kamar rahasia
itu" Dulu hari Bwee Tiauw Hong tidak mempunyai pembela, dia sembunyi di dalam
gua..." Ketika itu sang pagi mulai terang dan Sa Kouw pergi ke dapur untuk masak bubur.
"Engko Ceng, kau boleh beristirahat," berkata Oey Yong. "Aku hendak pergi
sebentar untuk membeli barang makanan, sekembalinya aku, kita mulai berlatih
sambil menyembunyikan diri."
Kwee Ceng menurut, ia membiarkan kekasihnya itu pergi.
Oey Yong pergi ke kampung. Sembari jalan ia pikirkan apa yang ia mesti beli.
Tidak sembarang barang dapat disimpan selama tujuh hari tujuh malam, atau barang
itu bakal rusak dan bau dan tidak dapat dimakan lagi. Ia tidak usah berpikir
lama atau menjadi bingung karenanya. Ia lantas membeli dua pikul semangka, yang
ia minta tukang jualnya pikul ke rumah Sa Kouw.
Setelah menerima uang, si tukang semangka berkata: "Nona, inilah semangka Gu-
kee-cun, manis dan lezat rasanya, bila kau sudah mencobainya, baru kau tahu!"
Terperanjat Oey Yong akan mendengar nama desa ini, ialah Gu-kee-cun.
"Kalau begitu, inilah kampung halamannya engko Ceng," pikirnya. Ia menjadi
berkhawatir pemuda itu terganggu pikirannya apabila dia ketahui ini kampungnya,
maka ia lantas menyahuti sembarangan saja asal si tukang semangka lekas pergi.
kemudian lekas-lekas ia masuk ke dalam. Ia mendapatkan Kwee Ceng lagi tidur dan
darah dari lukanya sudah berhenti mengalir.
Sedangnya pemuda itu tidur, ia lantas bekerja. Ia membuka pintu dapur, terus ia
putar pesawat rahasianya, akan masuk ke dalam kamar rahasia. Ke dalam situ ia
angkut masuk semua semangkanya. Kepada Sa Kouw ia memesan wanta-wanti agar si
tolol jangan beritahukan siapa juga yang mereka berdua berada di dalam kamar
rahasia itu, dan meski ada peristiwa bagaimana hebat, si nona dilarang
menerbitkan suara berisik.
Sa Kouw tidak mengerti maksud orang akan tetapi ia menginsyafi, karena ia
menampak bicara dan gerak-gerik tamunya ini sangat sungguh-sungguh.
"Baik," katanya mengangguk. "Kamu hendak makan semangka sambil menyembunyikan
diri di kamar ini, kamu hendak memakan habis dulu semua semangka, baru kamu akan
keluar lagi. Baiklah, sekarang tidak akan bicara!"
"Memang, Sa Kouw tidak akan bicara!" kata Oey Yong, sengaja mengangkat. "Sa Kouw
memang anak baik, kalau Sa Kouw bicara, dia anak buruk...!"
"Sa Kouw tidak akan bicara, Sa Kouw anak baik!" si tolol mengulangi.
Tidak lama Kwee Ceng sadar, ia diberikan bubur satu mangkok besar. Oey Yong pun
memakannya semangkok. Habis dahar, nona ini mendukung pemuda itu masuk ke dalam
kamar rahasia. Ketika ia menoleh keluar pintu, ia lihat Sa Kouw mengawasi mereka
sambil tertawa si tolo berkata: "Sa Kouw tidak akan bicara!"
Mendapatkan orang demikian tolol, Oey Yong menjadi berkhawatir.
"Dia begini tolol, ada kemungkinan dia nanti sembarangan bicara sama siapa saja.
Bagaimana kalau dia membilangnya, 'Mereka sembunyi di dalam sini memakan
semangka, Sa Kouw tidak akan bicara'" Kelihatannya cuma dengan dibunuhnya baru
lenyap ancaman untuk kita..."
Biarnya ia jujur dan polos Oey Yong tidak menghiraukan tentang wales asih atau
kepantasan, sesat atau sadar, maka itu ia pun tidak pernah mau pikir, ada
hubungan apa di antara Sa Kouw dan Kiok Leng Hong. Sekarang ia melainkan
pikirkan keselamatannya Kwee Ceng, yang mesti ditolongi dan dilindungi. Untuk
Kwee Ceng, ia bersedia umpama kata mesti membunuh Sa Kouw. Maka ia lantas ambil
pisau belatinya si anak muda. Disaat ia hendak pergi keluar, matanya bentrok
sama sinar mata si pemuda itu, sinar kaget atau luar biasa. Ia memikir,
"Mungkinkah dia dapat melihat sinar pembunuhan pada wajahku?" Lantas ia ingat:
"Tidak apa aku membunuh Sa Kouw, hanya bagaimana nantinya, engko Ceng sembuh"
Bagaimana aku harus membilangnya apabila ia menanyakan" Mesti dia bakal membikin
banyak berisik........."
Nona ini menjadi ragu-ragu.
"Engko Ceng baik dan halus budi pekertinya," ia berpikir lebih jauh. "Ada
kemungkinan dia bakal tak menyebut-nyebut Sa Kouw, tetapi siapa tahu apabila ia
terus-menerus membenci aku" Ah, sudahlah, biarlah kita mencoba menempuh
bahaya.......!" Oey Yong lantas mengunci pintu. Kemudian ia meneliti seluruh ruang itu. Di ujung
barat ada sebuah lobang angin atau dari mana masuk sinar terang, maka di siang
hari, sinar terang itu dapat menerangi ruang. Di tembok ada sebuah lobang angin
kecil, yang ketutupan debu, lalu debu itu disingkirkan.
Kwee Ceng duduk menyender di tembok. Ia bersenyum.
"Tidak ada tempat yang baik untuk beristirahat daraipada ini," katanya. "Kau
bakal menemani dua mayat, apakah kau tidak takut?"
Oey Yong tertawa meskipun sebenarnya ia risi juga.
"Yang satu kakak seperguruanku, tidak nanti ia mengganggu aku," sahutnya. "Yang
satu lagi perwira kantung nasi, hidupnya aku tidak takuti, apapula sesudah dia
mati!" Sembari berkata, ia mendupaki jerangkong itu ke pojok Utara, kemudian ia
menghampasr rumput kering. Kemudian lagi ia geser semua semangka, untuk didekati
kepada mereka berdua, supaya gampang diambil dengan mengulur tangan saja.
"Bagus tidak begini?" ia tanya Kwee Ceng akhirnya.
"Bagus!" menjawab orang yang ditanya. "Sekarang mari kita mulai berlatih!"
Oey Yong membantui pemuda itu mengambil tempat duduk di atas rumput, ia sendiri
lantas duduk besila di depannya, sedikit di sebelah kiri, darimana, dengan
berpaling, ia bisa mengintai ke lobang angin di tembok itu. Untuk girangnya, ia
mendapatkan sebuah kaca rasa di sana, dengan perantaraan kaca itu, ia bisa
melihat ke luar. Maka itu, ia memuji si pembangun kamar rahasia, yang demikian
teliti dengan pembuatan kamarnya itu. Orang sembunyi tapi berbareng orang pun
bisa melihat ke luar. So Kouw duduk seorang diri di tanah sambil tangannya menggapai kaca ular sutera,
mulutnya bergantian ditutup dan dibuka, suaranya perlahan. Oey Yong memasang
kupingnya, mendengari, maka tahulah ia, si tolol lagi menyanyikan lagu
meninabobokan anak kecil supaya tiudr. Mulanya ia merasa lucu tetapi kemudian ia
merasakan suara itu halus dan mengharukan. Tanpa merasa ia berpikir; "Adakah ini
nyanyian ibunya dulu hari untuk ia mendengarinya" Kalau ibuku tidak telah
menutup mata, ibupun akan menyanyikan aku begini rupa...."
"Yong-jie, kau memikirkan apa?" tanya Kwee Ceng mendapatkan orang berdiam saja.
"Lukaku tidak berbahaya, kau jangan bersusah hati."
Oey Yong mengusap-usap matanya, ia tertawa.
"Sekarang lekas kau ajari aku caranya menyembuhkan lukamu," ia berkata.
Kwee Ceng menurut, dengan perlahan ia membaca di luar kepala kitab Kiu Im Cin-
keng bagian pengobatan luka-luka. Isinya pasal ini menjelaskan luka disebabkan
serangan tenaga dalam, bagaimana ia harus dilawan untuk memulihkan kesehatan.
Cuma mendengar satu kali saja, Oey Yong telah dapat menghapalkan itu. Cuma
beberapa bagian yang kurang jelas, dengan menyakinkan bersama, ia pun akan dapat
mengerti. Maka itu, dilain saat, mereka sudah mulai berkatih. Dua orang ini
cocok satu sama lain, sebab si pemuda berbakat baik, si pemudi cerdas sekali.
Mereka berlatih dengan Oey Yong mengeluarkan tangan kanannya, yang mana ditahan
oleh Kwee Ceng dengan telapakan tangan kirinya, kemudian mereka saling menolak
dengan menukar tangan. Latihan ini dilakukan dua jam sekali maka itu, diwaktu beristirahat dengan
tangan kirinya Oey Yong memotong semangka, yang separuh untuk Kwee Ceng, yang
separuh lagi untuknya sendiri. Selagi makan buah itu, tangan mereka yang sebelah
ditempelkan terus satu pada lain.
Sesudah berlatih hingga jam bie-sie, satu atau dua lohor, Kwee Ceng merasakan
dadanya sedikit lega, tak pepat seperti semula. Terang itu tanda telah
berjalannya hawa hangat dari tangann Oey Yong, yang masuk ke dalam tubuhnya
sendiri. Dengan begitu, rasa nyeri di pinggangnya turut berkurang juga. Hal ini
membuatnya girang, hingga ia jadi berlatih semakin bersungguh-sungguh.
Ketika tiba pada istirahat yang ketiga kali, dari lobang di atas terlihat
masuknya sinar matahari yang lemah. Itulah tanda dari telah datangnya sang sore.
Cuaca jadi semakin guram. Denga berlalunya sang tempo, Kwee Ceng merasa semakin
lega pernapasannya, dan Oey Yong pun bertambah segar. Dengan begitu, mereka bisa
melewati tempo beristirahat itu dengan memasang omong.
Tidak lama keduanya hendak mulai latihannya terlebih jauh, kuping mereka
mendapat dengar suara berlari-lari keras ke arah rumah makan dan berhenti di
depan pondokan. Setelah itu terdengar masuknya beberapa orang, sebagaimana itu
ternyata dari tindakan kaki mereka yang ramai.
"Lekas sediakan nasi dan lauk pauknya!" begitu terdengar satu suara keras dan
kasar. "Tuan-tuan besarmu sudah kelaparan hingga mau mati...."
Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Mereka mengenali suaranya Sam tauw-kauw
Hauw Thong Hay. Si nona lantas mengintai dari liang kecil di tembok di sisinya.
Sekarang ia mendapat kepastian itulah rombangan musuh mereka sebab mereka adalah
Wanyen Lieh bersama Yo Kang, Auwyang Hong, Pheng Lian Houw, Nio Cu Ong dan See
Thong Thian. Sa Kouw tidak kelihatan, setahu mana perginya si tolol itu.
Hauw Thong Hay menghajar meja kalang kabutan, masih tidak ada suara penyahutan
untuknya. Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong memperhatikan rumah itu, lalu mereka mengerutkan
kening mereka. "Tidak ada orang di sini..." kata Cu Ong.
"Kalau begitu, biarlah pada pergi ke kampung untuk membeli makanan!" kata Thong
Hay, ia mendongkol tetapi ia sudi gawe.
Pheng Lian Houw tertawa, dia kata: "Hebat kawanan Gie-lim-kun itu, mereka ada
kawanan kantung nasi tetapi mereka bisa telasap-telusup di segela tempat, mereka
membuatnya arwah-arwah pun tak man, hingga sekarang kitalah yang untuk satu hari
lamanya tak dapat gegares! Ongya adalah orang Utara tetapi ongya ketahui di sini
ada ini dusun sunyi senyap. Hebat!"
Wanyen Lieh tahu orang mengangkat-angkat padanya tetapi ia tidak jadi kegirangan
hingga terkentarakan pada air mukanya, sebaliknya, ia nampak masgul.
"Pada sembilanbelas tahun yang lalu, pernah aku datang ke mari," katanya sambil
menghela napas. Orang melihat wajah pangeran ini, yang agaknya berduka, mereka heran. tentu
sekali mereka tidak tahu, pada sembilanbelas tahun yang lampau itu, di situ Pauw
Sek Yok telah menolongi jiwanya dari ancaman bahaya maut.
Mereka ini tidak usah menanti lama atau Hauw Thong Thay telah kembali bersama
arak dan barang makanan, maka Pheng Lian Houw segera menuangi arak untuk mereka masing-masing, kemudian ia berkata pada si pangeran: "Hari
ini ongya mendapatkan surat wasiat, itulah bukti yang Negara Kim yang terbesar
bakal menggentarkan pengaruhnya di kolong langit, dari itu kami semua hendak
memberi selamat kepada ongya! Saudara-saudara mari minum!"
Ia pun mengangkat cawanya, untuk cegluk kering isinya.
Nyaringnya suara Pheng Lian Houw ini, Kwee Ceng dari tempatnya sembunyi dapat
mendengar itu. Pemuda ini menjadi terkejut.
"Kalau begitu berhasillah mereka mencuri surat wasiat Gak Ongya!" pikirnya.
Begitu ia berpikir demikian begitu ia merasakan napasnya sesak.
Oey Yong terkejut. Kagetnya si pemuda ia dapat merasakan pada tangannya, yang
terus menempel sama tangannya si pemuda itu. Ia mengerti sebabnya gangguan itu.
Itulah berbahaya untuk si anak muda. Maka lekas-lekas ia geser kepalanya, untuk
mendekati kuping orang untuk berbisik: "Ingat kesehatanmu! Mereka dapat mencuri
pulang! Asal gurumu yang kedua turun tangan, lagi sepuluh surat wasiat pun ia
dapat curi!" Kwee Ceng anggap kata-kata itu benar. Ia mengetahui baik kepandaiannya gurunya
yang nomor dua itu ialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay.
Maka itu ia berdaya untuk menentramkan diri, tak suka ia mendengari lebih jauh
pembicaraan mereka itu. Ia meramkan kedua matanya.
Oey Yong mengintai pula, justru Wanyen Lieh mengangkat cawan araknya. Habis
mencegluk, pangeran ini kata dengan gembira: "Semuanya siauw-ong mengandal
kepada tuan-tuan. Jasa Auwyang Sianseng ialah yang nomor satu! Jikalau tidak
sianseng mengusir bocah she Kwee itu pastilah kita mesti bekerja lebih sulit
lagi." Auwyang Hong tertawa kering, suaranya bagaikan cecer pecah. Kwee Ceng berdenyut
hatinya mendengar tertawanya orang itu.
Oey Yong pun bingung, hingga ia berkata seorang diri. "Berterima kasih kepada
langit dan bumi, biarlah ini makhluk berbisa tua bangka jangan ngoceh lebih lama
di sini, bisa-bisa engko Ceng nanti bercelaka karenanya..."
"Tempat ini sangat mencil dan sunyi," berkata Auwyang Hong, "Tidak nanti tentara
Song dapat menyusul kita sampai di sini. Sebenarnya apa itu surat wasiat Gak Bu
Bok, baiklah kita sama melihatnya, untuk menambah pemandangan kita."
Sembari berkata, ia merogoh sakunya untuk mengeluarkan itu kotak batu, yang mana
ia letaki di atas meja. Di mulut See Tok mengatakan demikian, di dalam hatinya
ia sudah mengambil kepastian apabila ia mendapatkan surat wasiat itu berfaedah,
hendak ia merampasnya untuk menjadi miliknya sendiri, kalau itu hanya ilmu
perang biasa, yang baginya tak ada pentingnya, suka ia mengalah dan
menyerahkannya kepada Wanyen Lieh, dengan begitu ia menjadi berbuat jasa untuk
pangeran itu....... Sejenak itu, semua mata diarhkan kepada kotak batu itu.,
Oey Yong melihat semua itu, segera otaknya bekerja.
"Cara apa aku mesti ambil untuk dapat memusnahkan surat wasiat itu?" demikian
pikirnya. "Kemusnahan adalah yang terlebih baik daripada surat wasiat itu jatuh
ke dalam tangannya ini manusi-manusia jahat dan berbahaya....!"
Lalu terdengar suaranya Wanyen Lieh: "Ketika siauw-ong memeriksa surat
peninggalannya Gak Hui itu, yang bunyinya seperti teka-teki, lalu itu dihubungi
sama catatan hikayat beberapa kaisar di dalam istananya kaisar she Tio itu, maka
tahulah siauw-ong surat wasiat ini disimpan di Cui Han Tong, di simpan di dalam
kotak batu yang berada limabelas tindak di arah Timurnya. Buktinya sekarang,
duagaanku itu tidak salah. Aku mau percaya, tak ada orang yang ketahui kenapa
telah terjadi pengacauan kita di dalam istana semalam........"
Kelihatannya pangeran ini sangat puas, lebih-lebih setelah kembali orang memuji
padanya. Wanyen Lieh mengurut kumisnya.
"Anak Kang, kau bukalah kotak itu!" ia memerintah.
Yo Kang menurut perintah. Ia maju, menghampirkan. Lebih dulu ia menyingkirkan
segelannya kotak, habis itu ia membuka tutupnya. Maka ke dalam situ menyorotlah
sinar matanya semua orang. Apa yang dilihat membuatnya semua hadiran menjadi
tercengang bahna herannya, sehingga untuk sesaat itu tak ada seorang jua yang
dapat membuka suaranya. Semua mata diarahkan tajam ke dalam kotak batu, yang diharap isinya istimewa,
siapa tahu kotak itu ternyata kosong melompong, tidak ada serupa benda juga di
dalam situ, jangan kata surat wasiat tentang siasat perang, sehelai kertas
kosong pun tidak kedapatan.
Oey Yong tidak dapat turut melihat isinya kotak, tetapi ia melihat tegas wajah
semua orang, maka maulah ia menduga untuk kosongnya kotak itu. Diam-diam ia
bersyukur. Wanyen Lieh menjadi sangat lesu, ia duduk dengan memegangi meja, sebelah
tangannya menunjang janggut. Ia berpikir keras sekali. Di dalam hatinya ia kata:
"Aku telah memikir matang, aku menduga surat wasiat itu berada di dalam kotak
ini, kenapa surat itu tak ada sekalipun bayangannya?" begitu ia memikir
demikian, begitu ia mendapat pikiran, wajahnya pun menjadi bercahaya saking
gembiranya. Ia sambar kotak itu, terus ia bertindak ke cimchee, di sini dengan
tiba-tiba ia banting kotak ke lanti batu!
Dibarengi suara nyaring, kotak itu pecah menjadi beberapa keping.
Oey Yong cerdas, kupingnya lihay, dari suara pecahnya kotak itu, ia mendapat
tahu kotak sebenarnya terdiri dari dua lapis, artinya ada lapisan dalamnya.
"Ah, siapa sangka kotak ini ada lapisannya?" katanya di dalam hati. Ia dapat
menduga demikian, tetapi bukannya ia girang karena dugaannya itu tepat, ia
justru menjadi masgul. Percuma menduga dengan berhasil, ia sendiri tidak bisa
muncul untuk mendapatkan kepastian. Tapi ia tak usah bergelisah lama-lama, atau
Wanyen Lieh tertampak sudah kembali ke mejanya seraya berkata: "Aku sangka kotak
itu ada lapisan dalamnya, tak tahunya isinya tidak..." Ia lesu sekali.
Lian Houw semua heran, mereka ramai membicarakan kotak itu.
"Ah, siapa sangka!" pikir Oey Yong, hatinya lega, hingga di dalam hatinya ia
tertawai mereka itu. Ia berbisik pada Kwee Ceng, akan memberitahukan Wanyen Lieh
belum berhasil memdapatkan surat wasiatnya Gak Hui.
Kwee Ceng pun lega hatinya mendengar keterangan itu.
"Aku lihat kawanan penjahat ini belum mati hatinya, meski mereka bakal pergi
pula ke istana," Oey Yong mengutarakan dugaannya. Karena ini ia menjadi
berkhawatir untuk gurunya, yang masih berada di dapur istana. Ada kemungkinan
guru itu bakal diperogoki. Benar di sana ada Ciu Pek Thong yang melindungi
tetapi Pek Thong bangsa berandalan, yang edan-edanan.
Jitu juga dugaanya nona Oey ini. Segera terdengar suaranya Auwyang Hong:
"Keggagalan kita ini tak berarti banyak, sebentar malam kita pergi pula ke
istana, untuk mencari terlebih jauh!"
"Malam ini tak dapat," Wanyen Lieh mencegah. "Tadi malam keadaan kacau sekali,
tentu karenanya penjagaan diperkeras."
"Memang penjagaan tetap dilakukan, itu pun tidak berarti," berkata Auwyang Hong.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ongya bersama sie-cu malam ini tak usah turut, baiklah ongya berdua
beristirahat di sini bersama keponakanku."
"Dengan begitu kembali siauw-ong membikin sianseng bercapai lelah," kata
pangeran Kim itu sambil memberi hormat. "Baiklah siauw-ong menanti kabar baik
saja." Pembicaraan mereka berhenti sampai di situ. Habis bersantap Wanyen Lieh
merebahkan diri di hamparan rumput, ditemani putra angkatnya dan Auwyang Kongcu,
dan Auwyang Hong bersama yang lainnya lantas pergi memasuki kota, untuk menyerbu
ke istana. Wanyen Lieh tak dapat tidur, ia golek-golek saja. Ia memikirkan surat wasiat dan
kepergian sekalian pahlawannya itu. Ia merasa tidak enak waktu kupingnya
mendengar seekor anjing kampung membaung dan mengulun, suaranya sangat
menyedihkan, tak sedap masuk ke kupingnya. Ia menjadi tak tentram dan masgul.
Belum lama pada pintu terdengar suara. Rupanya daun pintu ada yang tolak, sebab
segera terlihat masuknya satu orang. Ia menggeraki tubuhnya, buat bangun
berduduk, tangannya memegang gagang pedang.
Yo Kang telah berlompat ke belakang pintu, menyembunyikan diri, bersiap sedia.
Yang datang itu satu nona dengan rambut riap-riapan, mulutnya memperdengarkan
nyanyian perlahan. Ia menolak pintu untuk masuk terus.
Dialah Sa Kouw, yang tadi pergi bermain di rima dekat rumahnya dan sekarang baru
kembali. Ia melihat ada orang asing di rumahnya itu, ia tidak mengambil mumat,
langsung ia pergi ke tumpukan rumput tempat ia bisa tidur. Begitu ia merebahkan
dirim segera terdengar suara napasnya menggeros.
Melihat bahwa orang ada seorang nona dusun yang tolol, Yo Kang tertawa
sendirinya dan terus ia tidur pula.
Wanyen Lieh tetap berpikir, masih ia tak dapat pulas. Maka kemudian ia bangun,
untuk nyalakan sebatang lilin, yang ia letaki di atas meja. Ia mengeluarkan
sejilid buku, untuk dibaca, dibolak-balik lembarannya.
Selama itu, Oey Yong terus menginta dari lubang temboknya. Kebetulan ia menampak
seekor selaru terbang memutari api, lalu menyerbu, maka terbakarlah sayapnya dan
robohlah tubuhnya di atas meja.
Wanyen Lieh jumput selaru itu.
"Jikalau Pauw-sie hujinku ada di sini, pastilah kau bakal ditolong diobati,"
berkata ia dengan perlahan. Ia pun lantas mengeluarkan sebuah piasu kecil serta
satu ples kecil berisi obat, ia pegang itu di kedua tangannya, untuk dibuat
main. Ia nampaknya sangat berduka.
Oey Yong menepuk perlahan pundaknya Kwee Ceng, ia memberi isyarat supaya pemuda
itu melihat kelakuan si pangeran .
Kwee Ceng lantas mengintai, akan dilain saat ia menjadi gusar sekali. Samar-
samar ia ingat, piasu dan obat itu kepunyaan Pauw Sek Yok, ibunya Yo Kang.
Semasa di dalam istana Chao Wang, Sek Yok pernah menggunai itu mengobati lukanya
seekor kelinci. Selagi ia mengawasi terus, ia dengar pangeran itu berkata
seorangd iri dengan perlahan: "Pada sembilanbelas tahun dulu di kampung ini yang
buat pertama kali aku bertemu denganmu.... Ah, aku tidak tahu, sekarang entah
bagaimana dengan rumahmu yang dulu itu?"
Habis berkata pangeran itu berbangkit, ia ambil lilinnya, terus ia jalan keluar
pintu. Kwee Ceng berdiam. "Mustahilkah kampung ini kampung Gu-kee-cun, kampung halamannya ayah dan ibuku?"
ia menanya dirinya sendiri. Ia lantas pasang mulutnya di kuping Oey Yong, untuk
menanyakan. Oey Yong mengangguk. Tiba-tiba Kwee Ceng merasakan dadanya goncang, darahnya berjalan keras, hingga
tubuhnya bergerak-gerak karenanya.
Tangan kanan Oey Yong menempel sama tangan kiri anak muda itu, ia merasakan
goncangan keras dari hatinya si anak muda, ia menjadi berkhawatir. Goncangan itu
bisa mencelakai anak muda ini. Lekas-lekas ia ulur tangan kanannya, akan
ditempel dengan tangan kiri orang, terus ia mengerahkan tenaganya menekan.
Kwee Ceng pun turut menekan, ini justru ada baiknya. Dengan begitu, perhatiannya
terpusatkan pula, tak terbagi dengan perasaan yang menggoncangakan hati itu.
Perlahan-lahan hatinya menjadi tenang kembali.
Tidak lama tertampak sinar api, lalu Wanyen Lieh bertindak masuk sambil menghela
napas panjang. Kwee Ceng mengawasi dengan tenang. Sekarang ia dapat menguasai dirinya. Oey Yong
dapat merasai ketenangan hati kawannya ini, ia membiarkan si kawan terus
mengintai, cuma sebelah tangan dia itu tetap ia tempel sama tangannya sendiri.
Sekarang ini tangan Wanyen Lieh memegang sebuah senjata berwarna hitam. Itulah
bukannya golok, bukannya kampak. Dengan bengong si pangeran mengawasi senjata
itu di samping api lilin. Sekian lama, ia mengasih dengar pula suaranya yang
perlahan: "Rumah keluarga Yo rusak hingga tak ketinggalan sepotong genteng juga.
Keluarga Kwee masih meninggalkan tombak pendek yang dulu hari dipakai Kwee Siauw
Thian...." Hati Kwee Ceng tercekat mendengar nama ayahnya disebut oleh musuh yang telah
membunuh ayahnya itu. Lantas saja ia berpikir, "Jahanam ini terpisah dari aku
tak ada sepuluh tindak, dengan sebuah pisau belati dapat aku menimpuk mampus
padanya...." Terus dengan tangan kanannya ia menanya: "Yong-jie, dengan sebelah
tanganmu dapat kau memutar membuka daun pintu?"
"Jangan!" mencegah si nona, yang dapat menerka maksud orang. "Gampang untuk
membunuh dia tetapi dengan begitu orang menjadi mendapat tahu tempat sembunyi
kita ini....." "Dia...dia memegangan senjatanya ayah aku..." kata Kwee Ceng, suaranya menggetar.
Seumurnya Kwee Ceng belum pernah melihat wajah ayahnya, ia cuma mengetahuinya
sebagian dari penuturan dan lukisan ibunya, yang lain berkat kekhawatiran
hatinya memikir ayahnya itu, yang ia bayangi. Ia memuja sangat ayahnya itu. Maka
itu melihat ujung tombak ayahnya, hatinya goncang keras kerana kebencian dan
kemarahannya yang hebat. Oey Yong mengalami kesulitan. Memang susah untuk membujuki pemuda ini. Tapi ia
mencoba. Ia berbisik pula ke telinga si anak muda: "Ibumu dan Yong-jie
menghendaki hidupmu..."
Kata-kata ini besar pengaruhnya. Kwee Ceng terkejut, terus ia menyimpan pula
pisau belatinya di pinggangnya. Ia kembali mengintai. Wanyen Lieh telah
merebahkan kepalanya di meja.
Pemuda itu menghela napas. Bukankah ia tak dapat membalas sakit hati ayahnya"
Karena lesu, ia lalu bersemadhi lebih jauh. Tapi, belum lagi ia menyingkirkan
matanya dari lubang angin, ia melihat seorang duduk di tumpukan rumput. Di dalam
kaca, tak terlihat mukanya dia itu yang terkurung sinar api. Hanya setelah ia
berbangkit berdiri dan mendekati Wanyen Lieh, akan emngambil peles obat dan
pisau kecil tadi, selagi memutar tubuh, dia dapat dikenali sebagai Yo Kang.
Untuk sesaat Yo Kang memandangi bengong kepada peles obat dan pisau kecil itu,
kemudian dari sakunya ia mengeluarkan sebuah tombak. Ia pun mengawasi tombak
itu. Tidak lama ia berdiam, berbareng sama berubahnya air mukanya, ia menjumput
tombak pendek yang terletak di tanah, dengan itu ia menikam ke arah punggungnya
Wanyen Lieh. Kwee Ceng melihat itu, girang hatinya. Ia mengerti, Yo Kang tentu mengingat ayah
dan ibunya dan sekarang hendak menuntut balas. Asal tombak itu dikasih turun
habis sudahlah jiwa pangeran Kim itu. Tapi, tangan Yo Kang terangkat naik terus
berdiam, tidak terus dikasih turun, untuk menikam. Lewat beberapa saat, tangan
itu pun diturunkan tanpa tikaman.
"Bunuh, bunuhlah!" Kwee Ceng berseru-seru di dalam hatinya. "Sekarang kalau kau
tidak turun tangan, kau hendak menunggu sampai kapan lagi?" Lalu ia menambahkan:
"Jikalau kau menikam, kau tetap saudaraku yang baik, urusanmu di dalam istana
sudah menikam aku, akan aku bikin habis saja."
Tangan Yo Kang gemetaran, tangan itu dikasih turun perlahan sekali, maka
kemudian, tombak itu menggeletak pula di tanah...
"Anak haram!" Kwee Ceng mendamprat di dalam hatinya. Ia menyesal dan mendongkol
sekali. Yo Kang meloloskan bajunya yang panjang, ia pakai itu untuk menutupi tubuhnya
Wanyen Lieh, rupanya ia takut ayah angkat itu masuk angin.
Kwee Ceng lantas melengos. Tak sudi ia mengawasi terlebih lama lagi. Ia sungguh
tak mengerti sikapnya Yo Kang ini.
"Jangan bergelisah tidak karuan," Oey Yong menghibur. "Jangan keburu nafsu.
Setelah kau sembuh, meski jahanam ini lari ke ujung langit, kita akan kejar
padanya!" Kwee Ceng mengangguk, setelah mana ia berlatih terus.
Ketika sang fajar datnag, beberapa ekor ayam jago kampung mengasih dengar
keruyuk mereka saling sahut, dilain pihak muda-mudi itu sudah berlatih tujuh
rintasan hingga mereka merasakan tubuh mereka segar sekali.
Oey Yong menunjuki telunjuknya.
"Telah lewat satu hari!" katanya sambil tertawa. Ia puas dengan selesainya
latihan hari pertama itu.
Bab 49. Pertempuran di dalam rumah makan
Bab ke-49 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
"Sungguh berbahaya!" kata Kwee Ceng perlahan. "Jikalau tidak ada kau, tidak
dapat aku mengendalikan diri, dan itu artinya bahaya......."
"Masih ada enam hari dan enam malam, kau mesti janji akan dengar kata aku," kata
si nona. "Kapannya pernah aku tidak dengar kau?" Kwee Ceng menanya sambil tertawa.
Oey Yong tersenyum, lalu ia miringkan kepalanya.
"Nanti aku berpikir," katanya.
Dari atas mulai bersorot sinar matahari, maka terlihatlah muka Oey Yong yang
merah dadu, yang cantik manis, sedang dilain pihak, Kwee Ceng tengah memegangi
tangan orang yang halus lemas, tanpa merasa, dadanya memukul. Maka lekas-lekas
ia menenangi diri, walaupun begitu, mukanya merah. Ia jengah sendirinya.
Sejak mereka bertemu dan bergaul, belum pernah Kwee Ceng memikir seperti sekali
ini terhadap si nona, dari itu ia menyesal sendirinya dan menyesali dirinya
juga. "Eh, engko Ceng, kau kenapa?" tanya Oey Yong. Ia heran menampak perubahan
mukanya si anak muda. "Aku bersalah, mendadak saja aku memikir.....aku memikir...."
Pemuda itu tunduk, perkataannya berhenti sampai di situ.
"Kau memikirkan apa sebenarnya?" si nona menanya pula.
"Tetapi sekarang aku sudah tidak memikir pula."
"Tadinya kau memikir apa?"
Kwee Ceng terdesak. "Aku memikir untuk merangkulmu, menciummu.." karena terpaksa ia mengaku. Sebagai
seorang jujur, tak dapat ia berdusta.
Mukanya si nona bersemu merah. Ia berdiam. Justru itu ia nampak semakin
menggiurkan. Melihat orang diam saja dan bertunduk, Kwee Ceng menjadi tak enak hati.
"Yong-jie, kau gusarkah?" ia menanya. "Dengan memikir demikian, aku jadi buruk
seperti Auwyang Kongcu......"
Tiba-tiba si nona tertawa.
"Tidak, aku tidak gusar!" sahutnya. "Aku hanya memikir, di belakang hari, kau
akhirnya bakal merangkul aku, mencium aku, bahwa aku bakal jadi istrimu!"
Mendapat jawaban itu, lega hatinya Kwee Ceng.
"Engko Ceng," kemudian si nona tanya. "Kau memikir untuk mencium aku, adakah
hebat pikiranmu itu?"
Kwee Ceng hendak memberikan jawabannya ketika ia menundanya. Tiba-tiba terdengar
tindakan kaki cepat dari dua orang, yang terus masuk ke dalam rumah makann
disusuli suara nyaring dari Hauw Thong Hay: "Aku telah bilang, di dunia ini ada
setan, kau tidak percaya!"
"Apakah itu setan atau bukan setan?" terdengar suaranya See Thong Thian. "Aku
bilang padamu, kita sebenarnya bertemu dengan seorang pandai!"
Oey Yong lantas saja mengintai, maka ia melihat muka Huaw Thong Hay berbelepotan
darah dan bajunya See Thong Thian robek tidak karuan.
Melihat dua saudara seperguruan itu rudin demikian, Wanyen Lieh dan Yo Kang
menjadi heran. Mereka lantas menanyakan sebabnya.
"Nasib kita buruk," menyahut Hauw Thong Hay. "Tadi malam di dalam istana kita
bertemu hantu, sepasang kuping aku si Lao Hauw telah kena ditabasnya kutung..."
Wanyen Lieh melihat kupingnya Thong Hay itu, benar lenyap dua-duanya. Ia menjadi
heran sekali. "Masih ngoceh saja!" See Thong Thian menegur. "Apakah kita telah tidak cukup
memalukan"!" Thong Hay takut kepada kakak seperguruannya itu, tetapi ia melawan.
"Aku melihat tegas sekali," katanya, membela. "Satu setan hakim yang mukanya
biru kumisnya merah seperti cusee sudah berpekik seraya menubruk aku, begitu aku
menoleh, sepasang kupingku tahu-tahu sudah lenyap. Hakim itu mirip benar dengan
patung hakim di dalam kuil, kenapa dia bukannya hakim neraka tulen?"
See Thong Thian pun menerangkan, ia cuma bertempur tiga jurus dengan hamkin
neraka itu lantas pakaiannya kena disobek rubat-rubit seperti itu.
Mereka itu menjadi heran tanpa pemecahan, dari itu mereka cuma dapat menduga-
duga. See Thong Thian percaya ia berhadapan sama satu jago Rimba Persilatan yang
lihay, maka itu ia menyangsikan hantu, tetapi ia pun tidak bisa membuktikan
kesangsiannya itu. Ketika Auwyang Kongcu ditanya, mungkin ia ketahui sesuatu, ia pun menggeleng
kepala. Tengah mereka ini berdiam dengan terbenam dalam keheranan itu, terlihat baliknya
Leng Tie Siangjin bersama Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong bertiga. Mereka datang
saling susul, keadaan mereka juga tidak karuan.
Leng Tie Siangjin dengan kedua tangannya tertelikung ke belakang dengan rantai
besi. Pheng Lian Houw dengan muka bengkak dan matang biru mungkin bekas
digaploki pulang pergi. io Cu Ong lebih lucu lagi, ialah kepalanya sudah dicukur
licin mirip dengan kepalanya seorang paderi!
Mereka ini, katanya, begitu lekas mereka memasuki istana, akan mencari surat
wasiatnya Gak Hui, telah bertemu hantu. Masing-masing bertemu sama hantu
sendiri, ialah satu hantu Bu Siang Kwie, satu malaikat Oey Leng Koan, dan satu
lagi toapekkong tanah. Nio Cu Ong pulang dengan mulutnya memaki kalang-kabutan seraya tangannya
mengusap-usap kepalanya yang gundul licin itu. Pheng Lian Houw dapat menguasi
diri, ia berdiam saja. Leng Tie Siangjin tertelikung hebat sekali, rantai
melibat keras kulit dan dagingnya. Pheng Lian Houw mesti mesti bekerja sekuat
tenaganya, baru rantai itu dapat diloloskan, karena itu lengan orang suci dari
Tibet itu jadi berdarah. Mereka ini saling mengawasi saja. Mereka percaya sudah
bertemu sama musuh lihay, maka itu terpaksa mereka menutup mulut.
"Kenapa Auwyang Sianseng masih belum kembali?" tanya Wanyen Lieh sesudah mereka
itu membungkam sekian lama.
"Setahu dia pun bertemu hantu atau tidak..."
"Auwyang Sianseng sangat lihay, umpama kata ia juga bertemu hantu, tidak nanti
ia dapat dikalahkan," berkata Yo Kang.
Mendengar jawaban Yo Kang ini, Pheng Lian Houw jengah sendirinya.
Oey Yong melihat dan mendengar semua pembicaraan mereka, ia puas sekali.
"Aku telah membelikan topeng pada Ciu Toako, siapa tahu sekarang ia telah
perlihatkan pengaruhnya," katanya dalam hati. "Inilah diluar sangkaanku. Hanya
entahlah si tua bangka yang berbisa itu bertemu dengannya atau tidak..."
Nona ini menoleh kepada Kwee Ceng, ia dapatkan si anak muda lagi berlatih terus,
maka ia pun menemani. Pheng Lian Houw semua sudah lapar sekali, dari itu repotlah mereka membelah kayu
untuk menyalakan api, untuk membeli beras dan memasak nasi. Hauw Thong Hay pergi
mencari mangkok, di dapur ia melihat itu mangkok besi, ketika ia angkat itu,
tidak bergerak, Ia heran hingga ia berseru. Lagi sekali ia menarik dengan
mengerahkan tenaganya, tetap ia tak berhasil.
Oey Yong yang berada di dalam kamar dapat mendengar suara Thong Hay itu. Ia
terkejut. Ia tahu ancaman bahaya apabila kamar itu ketahuan orang-orang di luar
itu, justru merekalah rombongan musuh. Tidak saja mereka berjumlah besar dan
semuanya lihay, Kwee Ceng sendiri tak dapat menggeraki tubuhnya. Maka itu ia
cemas hati, ia menjadi bingung.
See Thong Thian mendengar suara Thong Hay, ia mengatakan adik seperguruannya itu
berisik saja. Adik ini penasaran.
"Kalau begitu, kaulah yang mengambilnya!" katanya sengit.
Thong Thian menghampirkan, ia mencoba mengangkat.
"Ah...!" serunya heran. Ia pun tak berdaya.
Berisiknya mereka ini membikin Pheng Lian Houw datang mendekati. Ia mengawasi
mangkok itu. "Pasti ini ada rahasianya," bilangnya kemudian. "See Toako, coba kau memutarnya
ke kiri atau ke kanan."
Oey Yong kaget bukan main. Ia serahkan pisau belatinya kepada kwee Ceng, ia
sendiri memegangi tongkatnya Ang Cit Kong. Justru itu ia melihat tulang-belulang
di pojokan, tiba-tiba ia mendapat pikiran. Ia lantas mabil kedua buah tengkorak,
ia belesaki itu ke dalam buah semangka.
See Thong Thian di luar kamar sudah bekerja, diputarnya mangkok besi itu membuat


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu rahasia terbuka. Melihat itu, Oey Yong lantas bekerja. Ia riap-riapakan
rambutnya hingga terurai tidak karuan dimukanya, tangannya memegang semangka
bertengkorak itu, ia ajukan ke depan, mulutnya memperdengarkan suara meniru
hantu. Hauw Thong Hay yang pertama melihat setan "berkepala dua" itu, ia kaget bukan
main. Bukankah mereka itu baru saja diganggu hantu" Maka itu ia menjerit keras
dan lari ngiprit. Perbuatannya ini dituruti yang lainnya, yang hatinya menjadi
ciut. Hingga disitu tinggal Auwyang Kongcu seorang, yang rebah di atas rumput
tanpa bergerak. Oey Yong tertawa lebar, lalu ia menghela napas lega. Lekas-lekas ia menutup pula
pintu rahasianya. Sekarang ia mesti berpikir keras, untuk mencari lain jalan
guna menyelamatkan diri. Sebagai orang-orang kangouw lihay, mesti Thong Hay
beramai bakal datang pulang.
Selagi si nona berpikir, ia mendengar suara pintu depan dibuka, lalu satu orang
bertindak masuk. Ia menjadi berkhawatir sekali. Ia lantas mencekal tempulingnya
dan tongkatnya diletaki di sampingnya. Begitu lekas pintu dibuka dan orang
terlihat, hendak ia mendahului menimpuk dengan tempuling itu.
Tidak lama terdengarlah suara halus tapi nyaring memanggil-manggil tuan rumah.
Oey Yong menjadi heran. Itulah suara wanita. Lekas-lekas ia mengintai. Tidak
keliru pendengarannya itu. Orang yang baru datang itu benar seorang wanita, yang
terus berduduk di sebuah kursi. Dia berdandan indah seperti seorang nona
hartawan. Karena ia menghadapi kaca, mukanya tidak kelihatan.
Selang sesaat, kembali nona itu memanggil-manggil tuan rumah, yang jawabannya
tak juga kunjung tiba. Oey Yong menjadi heran. Ia ingat sekarang suara nona itu.
"Dia toh Nona Thia dari Poo-ceng?" katanya dalam hati.
Kebetulan itu waktu si nona berpaling. Maka heran dan giranglah Nona Oey ini.
Tidak salah, nona itu ialah Thia Yauw Kee. Maka ia menduga-duga sekarang, kenapa
nona itu bisa berada di tempat ini.
Sementara itu Sa Kouw, yang tidur layap-layap, bangun juga atas panggilan si
nona. Ia menghampirkan. "Tolong bikinkan aku barang makanan," nona Thia minta.
Si tolol menggeleng kepala, tandanya tak ada barang makanan, tetapi justru itu,
hidungnya mencium bau nasi baru matang, sambil menoleh, ia lari ke dapur. Untuk
herannya ia menampak nasih putih di dalam tempulo. Itulah nasi Wanyen Lieh
beramai. Ia menjadi girang sekali. Tanpa cari tahu darimana datangnya nasi itu,
ia menyendoki satu mangkok untuk nona tetamunya, ia sendiri turut dahar pula.
Tidak biasa, nona Thia dahar tanpa lauk pauknya, nasi itu pun nasi keras, maka
itu baru beberapa suap, ia sudah meletaki mangkok serta sumpitnya.
Sa Kouw sendiri memakan habis tiga mangkok, setelah mana ia menepuk-nepuk
perutnya, romannya menandakan ia sangat puas.
"Nona aku numpang tanya," nona Thia menanya. "Tahukah kau dusun Gu-kee-cun dari
sini berapa jauh lagi?"
"Gu-kee-cun?" menyahut si tolol. "Ini justru Gu-kee-cun. Hanya aku tak tahu
berapa jauh terpisahnya.."
Nona Thia itu agaknya likat, mukanya menjadi bersemu dadu, kepalanya terus
ditunduki dan tangannya membuat main ujung bajunya.
"Oh, kiranya inilah Gu-kee-cun!" katanya kemudian. "Sekarang aku hendak tanyakan
kau tentang satu orang, apakah kau tahu....kau tahu....."
Sa Kauw tidak menanti hingga orang mengucapakan habis pertanyaannya, ia
menggoyang-goyang kepalanya, terus ia berlari keluar.
Oey Yong sendiri, yang mendengar pertanyaan nona Thia jadi berpikir.
"Ah, siapakah yang ia cari di sini" Ya, ia muridnya Sun Put Jie, mungkin ia
dititahkan guru atau paman gurunya mencari Yo Kang yang ada muridnya Khu Cie
Kee..." Sambil berpikir, nona Oey mengawasi nona Thia itu. Dia duduk dengan toapan,
pakaiannya indah dan rapi, tangannya mengusap-usap bunga di samping kupingnya.
Mukanya pun bersemu merah. Entah apa yang ia lagi pikirkan.
Oey Yong mengawasi terus.
Itu waktu terdengar pula tindakan kaki di luar rumah maka, lalu satu orang
muncul sambil memanggil-manggil tuan rumah.
"Sungguh kebetulan!" berkata Oey Yong di dalam hatinya. "Kenapa orang-orang yang
kukenal di kolong langit ini justru pada berkumpul di Gu-kee-cun ini?"
Orang baru itu ialah Liok Koan Eng, tuan muda dari Kwie-in-chung. Ia berdiri di
muka pintu. Heran ia melihat nona Thia. Ia tidak menegur, hanya kembali ia
memanggil tuan rumah. Nona Thia melihat seorang muda, ia malu dan likat, ia lantas menoleh ke arah
lain. Koan Eng pun heran, hingga ia tanya dirinya sendiri. "Kenapa ada nona cantik di
sini dan dia sendirian saja?" Ia bertindak masuk, terus ke dapur. Ia tidak
menemukan siapa juga, maka agaknya ia bernafsu kapan ia mendapat lihat nasi di
tempulo. "Aku lapar, hendak aku minta beberapa mangkok untukku, bolehkah bukan nona?" ia
tanya nona Thia. Yauw Kee menganggap lucu orang minta nasi yang bukan kepunyaannya sendiri, ia
tertawa. "Nasi itu bukan kepunyaanku, kau makanlah!" katanya tertawa.
Tanpa banyak bicara, Koan Eng lantas berdahar. Ia makan dua mangkok.
"Terima kasih," katanya kemudian seraya memberi hormat kepada nona Thia.
"Sekarang aku mohon menanya, adakah nona ketahui dusun Gu-kee-cun berapa jauh
terpisahnya dari sini?"
Nona Oey menjadi bertambah heran, nona Thia pun tak terkecuali.
"Kiranya dia juga mencari dusun Gu-ke-cun," pikir nona Oey.
"Tempat ini justru desa Gu-ke-cun," menyahut Yauw Kee sambil ia membalas
hormatnya si anak muda. Koan Eng menjadi girang. "Bagus!" katanya. "Sekarang aku minta tanya nona tentang satu orang..."
Yauw Kee memikir untuk memberitahukan bahwa ia bukannya penduduk Gu-kee-cun itu,
atau ia ingat baiklah ia dengar dulu, siapa yang dicari pemuda ini. Maka itu ia
menanti. "Ada seorang muda she Kee nama Ceng, entah dia tinggal di rumah yang mana di
sini?" Koan Eng tanya. "Apakah ia berada di rumahnya?"
Yauw Kee heran, lebih-lebih Oey Yong.
"Mau apa dia mencari engko Ceng?" putrinya Tong Shia tanya dirinya sendiri.
Yauw Kee tidak menyahut, ia hanya likat hingga mukanya jadi merah, lekas-lekas
ia menunduk. Oey Yong mendapat lihat wajah dan kelakuan orang itu, saking cerdiknya ia dapat
menerka hari orang. "Ah, kiranya!" pikirnya. "Engko Ceng telah menolongi dia di Poo-eng, rupanya ia
lantas mencintainya secara diam-diam..."
Oey Yong polos dan jujur, ia tidak kenal iri atau cemburu, maka itu mengetahui
ada orang yang mencintai Kwee Ceng, justru ia menjadi girang sekali.
Memang tidak keliru dugaan putrinya Oey Yok Su ini.
Yauw Kee ingat budinya Kwee Ceng. Ia memang dibantu oleh Lee Seng dan lainnya
dari Kay Pang, Partai Pengemis, tetapi mereka bukannya tandingannya Auwyang
Kongcu, tanpa ada pemuda itu, pastilah ia bakal terhina. Melihat Kwee Ceng muda,
romannya tampan, dan orang pun jujur, mulia hatinya dan gagah, lantas ia menjadi
ketarik dan jatuh hati, maka seperginya pemuda itu, ia ingat dan memikirkannya
tak hentinya. Lama-lama tak dapat ia menguasai dirinya lagi, setelah memikir
pergi pulang, pada suatu malam ia pergi secara diam-diam dari rumahnya. Ia
mengerti ilmu silat tetapi belum pernah ia melakukan perjalanan seorang diri dan
jauh, dia asing dengan segala apa kaum kangouw. Tetapi ia memberanikan diri. Ia
mencari dusun Gu-kee-cun sebab Kwee ceng membilang ia berasal dari dusun itu
dengan kotanya Lim-an. Untung nona Thia, karena dandannya indah, di tengah jalan
tidak ada orang yang mengganggunya, sampai ia tiba di Gu-kee-cun, hanya ia belum
tahu itulah desa yang ia cari itu. Maka itu, ia minta keterangan dari Sa Kouw.
Begitu ia mendapat jawaban, ia menjadi likat sendirinya, pikirannya pun kacau.
Dari tempat jauh ia datang, setelah tiba, ia mengharap-harap Kwee Ceng tak ada
di rumah...kata ia di dalam hatinya: "Sebentar aku mencuri datang ke rumahnya,
setelah melihat dia, aku akan lantas berangkat pulang lagi. Aku tidak boleh
membikin dia ketahui datangku ini. Kalau dia melihat aku, aku malu sekali..."
Diluar dugaan Yauw Kee, Koan Eng datang ke situ, dan pemuda ini menanyakan Kwee
Ceng. Ia kaget dan heran. Bukankah ia tengah "bersalah?" Ia mau menduga si anak
muda telah pecahkan rahasia hatinya, ia menjadi malu sendirinya. Setelah berdiam
sekian lama, ia bangun berdiri, dengan niat mengangkat kaki. Tapi ia belum
sempat ia mewujudkan itu, sebab mendadak dari sebelah luar mongol satu kepala
orang yang romannya jelek. Cepat sekali, kepala itu diperengkatkan. Ia terkejut
hingga ia bertindak mundur.
Lekas sekali, kepala dengan muka jelek itu nongol pula, bahkan sekarang ia
mengasih dengar suaranya: "Hantu kepala dua, kalau kau berani, marilah muncul di
terangnya matahari! Sam-tauw-kauw Hauw Looya bersedia untuk melayani kau
bertempur!" Dua-dua Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi heran. Adakah mereka yang
ditantang" Kalau benar, kenapakah"
"Hm!" Oey Yong menagsih dengar suara perlahan. "Dia toh datang pula!"
Tapi nona ini menjadi berkhawatir untuk keselamatan Yauw Kee dan Koan Eng itu.
Terang mereka ini bukan tandingannya rombongan Thong Hay ini. Maka ia pikir
baiklah mereka berdua itu lekas mengangkat kaki dari situ. Daya apa dia ada
punya" Memang Thong Hay muncul cepat sekali. Tadi ialah yang kabur lebih dulu, hingga
kawan-kawannya turut lari. Kawan-kawan itu menyangka munculnya pula si hantu
istana, mereka lari jauh. Ia lari belum jauh, lantas ia berhenti, dengan begitu
ia jadi ditinggalkan semua kawannya. Ia bertabiat keras, hatinya menjadi panas.
"Hantu itu tak dapat berbuat apa-apa di siang hari bolong!" demikian ia dapat
berpikir. "Tidak, aku si Lao Hauw tidaak takut, biar aku balik pula untuk
singkirkan hantu itu! Biar mereka itu melihat aku!"
Dengan tindakan lebar, ia kembali ke rumah makan. Meski begitu, hatinya toh
kebat-kebit. Ia heran apabila ia mengintai dan ia dapat melihat Koan Eng dan
Yauw Kee. Pikirnya: "Celaka betul, sekarang hantu kepala dua itu mencipta diri
jadi setan pria dan setan wanita! Oh, Lao Huaw, kau mesti waspada!"
Begitulah ia menantang. Koan Eng dan Yauw Kee berdiam sesaat, lantas mereka tidak memperdulikannya.
Mereka menduga lagi berhadapan sama orang yang otaknya tak beres.
Thong Hay menantang dengan sia-sia. Si setan pria dan wanita tidak muncul
menyambut tantangannya itu. Ia jadi lebih percaya bahwa setan tidak munculkan
diri diwaktu siang. Karena itu, hatinya menjadi semakin besar. Untuk menyerbu,
ia ragu-ragu. Kemudian ia ingat pembilangan bahwa hantu takut sama kotoran
manusia atau air kencing.
"Kenapa aku tidak hendak mencoba?" pikirnya Ia pun lantas mengambil keputusan,
maka ia pergi akan mencari kakus. Tidak sulit untuk mencari tempat kotoran itu.
Di samping rumah makan ada sebuah. Saking penasaran, ia melupakan segala apa.
Untuk membungkus najis itu, ia pakai bajunya ia loloskan. Dengan membawa kotoran
itu, ia kembali ke rumah makan. Ketika ia sampai, ia lihat kedua setan muda mudi
itu lagi berduduk diam. Ia menjadi gusar sekali.
"Hantu yang bernyali besar!" ia lantas membenatk. "Kau lihat Hauw Looya kamu
akan membikin segera memeprlihatkan diri asalmu!" lantas ia bertindak masuk,
tangan kirinya mencekal senjatanya bercagak tiga, tangan kanannya membelak
bungkusan najis. Koan Eng dan Yauw Kee terperanjat melihat "si edan" kembali, mereka melengak.
Mereka mengawasi dengan menjublak. Di sebelah itu, hidung mereka lantas mencium
bau busuk yang santar. Hauw Thong Hay sendiri sudah berpikir, "Aku dengar orang bilang, setan pria
kalah jahat dengan setan wanita, sekarang baik aki hajar dulu yang wanita!" Maka
itu, ia menimpuk ke arah Yauw Kee.
Nona Thia ini kaget hingga ia berteriak, ketika ia hendak berkelit, Koan Eng
mendahului, menolong ia menangkis serangan dengan sebuah bangku. Hanya hebat
tangkisan itu. Bungkusan terhajar jatuh ke lantai, baunya berhamburan, siapa
mendapat cium, ia pasti muak.
Thong Hay sendiri sudah lantas berkoak: "Hantu kepala dua sudah pulang ke
asalnya!" Dan koakannya ini disusul sama serangannya menikam kepada nona Thia!
Dia semberono tetapi ilmu silatnya cukup baik. Maka itu hebatlah tikamannya ini.
Koan Eng dan Yauw Kee bertambah heran. Mereka sekarang percaya, orang bukan
orang edan hanya seorang gagah dari Rima Persilatan.
Tidak ayal lagi, Koan Eng menggunai bangku untuk menangkis pula tikaman itu.
"Kau siapa tuan?" ia menanya. Ia tidak mau berlaku tak tahu aturan.
Hauw Thong Hay tidak memperdulikan pertanyaan itu, ia hanya menuruti saja
kehendak hatinya. Begitulah ia menyerang beruntun hingga lagi tiga kali.
Dengan terpaksa Koan Eng membela diri, sambil menangkis berulang-ulang, ia masih
menanyakan nama orang. Thong Hay bertempur dengan hati lega. Ia melihat orang mengerti ilmu silat
tetapi tidak selihay musuh tadi malam. Karena ini, sekarang ia suka bicara. Ia
menyahuti: "Hantu, kau ingin mengetahui namaku supaya kau bisa menggunai jampemu
yang berbahaya" Tidak, tuan besarmu justru tidak hendak memberitahukan namanya!"
Ia menggeraki cagaknya, ia membikin gelangnya bersuara nyaring, lalu ia
mengulangi serangannya secara hebat.
Koan Enng segera juga keteter dan terdesak ke tembok. Ia memang kalah gagah dan
senjata bangku juga tidak cocok untuknya. Tidak ada ketika untuknya mencabut
golok di pinggangnya. Ia terdesak ke tembok di betulan lobang tempat Oey Yong
mengintai. Teranglah Hauw Thong Hay telah melihat ketikanya yang baik dengan hebat ia
mengirimkan tusukannya. Masih sempat Koan Eng berkelit, maka itu, ujung senjata
musuh menikam ke tembok di samping lobang.
Koan Eng berlaku sebat, belum lagi musuh mencabut senjatanya, ia mendahulukan
menghajar dengan bangkunya. Tapi Thong Hay lihay, matanya awas, gesit
gerakannya, sebelah kakinya terangkat naik, mendahului menendang lengan lawannya
itu, yang mengenai tepat, sedang dengan tangan kirinya ia membarengi menyerang.
Koan Eng terkejut. Bangkunya terlepas dari tangannya. Justru itu ia pun mesti
berkelit dari serangan tangan kiri. Tengah ia mendak, Thong Hay sudah mencabut
senjatanya yang nancap di tembok itu.
Thia Yauw Kee, yang melihat bahaya, lompat kepada Koan Eng, untuk menolongsi si
anak muda menghunus goloknya, untuk diserahkan kepada anak muda itu. "Terima
kasih!" kata Koan Eng seraya menyambuti golok dari tangan si nona. Ia kagum
untuk kelincahan si nona itu, yang dalam saat genting seperti itu dapat membantu
padanya. Sebab gerakannya Thong Hay, ia sudah menyerang pula. Disaat senjata lawan hampir
sampai didadanya, Koan Eng menangkis dengan keras, maka keras juga bentrokan
kedua senjata, hingga muncratlah lelatu apinya. Thong Hay merasakan telapakan
tangannya sakit. Pertempuran berlanjut terus, kaki keduanya telah menginjak kotoran. Selama itu
Thong Hay bergelisah. Nyatanya lawannya itu tangguh.
"Perlihatkan diri asalmu!" ia membentak sambil menikam ke arah perut. Itulah
pukulan "Menolak peragu menuruti aliran air".
Menampak ilmu silat itu, Koan Eng lompat mundur tiga tindak.
"Tahan dulu!" ia berseru. "Kau pernah apakah dengan Kwie-bun Liong Ong?"
Thong Hay melirik dengan tajam.
"Ha, hantu, kau kenal juga nama sukoku!" katanya dingin.
Koan Eng menduga kepada orang gila, yang menyerang ia kalng-kabutan, atau orang
salah menyangka, tetapi sekarang, mendengar orang menyebut siri sebagai adik
seperguruan dari See Thong Thian, tahulah ia bahwa orang ini datang menuntut
balas untuk Hong Ho Su Koay, Empat Siluman dari sungai Hoang Hoo. Ia jadi hendak
membalaskan sakitnya Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong. Karena ini, ia lantas
berkelahi semakin hebat. Tidak lama, kembali Koan Eng kena terdesak, tidak peduli ia berlaku mati-matian.
Yauw Kee dapat melihat si pemuda terancam bahaya. Mulanya ia berdiam saja di
pojokan menyaksikan pertempuran itu, ia pun takut pada kotoran, tetapi sekarang
menampak ancaman bahaya itu, tidak dapat ia berdiam terus-terusan. Ia mencabut
pedangnya sambil mengajukan diri.
"Jangan takut, akan aku bantu kau!" ia berkata. Ia bahkan segera menikam
punggung lawan. Ia murid kepala dari Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie, dari itu ia
adalah orang dari kaum Coan Cin Pay.
Majunya nona ini ada dalam dugaan Hauw Thong Hay. Tidak demikian dengan Koan
Eng. Maka pemuda ini menjadi heran berbareng girang, hingga terbangun
semangatnya, kalau tadi ia repot membela diri, hingga ia tidak dapat melakukkan
penyerangan balasan, sekarang ia dapat melakukan itu.
Mulanya Thong Hay jeri juga, ia khawatir si nona lihay, tetapi selang beberapa
jurus, legalah hatinya. Dia mendapat kenyataan nona ini kurang latihannya. Maka
kemudian, walaupun dikepung berdua, ialah yang dapat lebih banyak menyerang.
Oey Yong dari dalam kamar mengikuti terus pertempuran itu. Ia menjadi
berkhawatir. Ia mengetahui dengan baik, lama-lama muda-mudi itu bisa becelaka di
tangan musuh yang telengas ini. Ia berkhawatir sebab ada keinginannya untuk


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantui tetapi keinginan itu tidak dapat diwujudkan. Mana bisa ia tinggalkan
Kwee Ceng" "Nona kau pergilah!" berkata Koan Eng kemudian. "Urusan di sini bukan urusanmu!"
Yauw Kee tak mau mundur. Ia tahu pemuda itu mengkhawatirkan keselamatanya. Untuk
kebaikan hati itu, ia merasa sangat bersyukur. Tentu sekali, tidak dapat ia
mengangkat kaki membiarkan kawan itu menghadapi bahaya maut. Maka itu ia
menggeleng kepalanya. "Kita bermusuh, maka itu kau carilah aku sendiri si orang she Liok!" Koan
serukan Thong Hay. "Lekas kau membuka jalan untuk nona ini mengundurkan diri!"
Thong Hay tertawa lebar. Sekarang ia telah memperoleh kepastian muda-mudi ini
bukannya hantu atau iblis, hatinya menjadi besar. Ia pun sudah menang di atas
angin! Bukankah si nona pun cantik manis"
"Hantu pria aku hendak tangkap, iblis wanita aku hendak bekuk juga!" katanya
dingin. Ia mengulangi serangannya yang hebat, hanya terhadap Thia Yauw Kee, ia
tidak menggunai tenaga sepenuhnya.
Koan Eng menjadi bertambah khawatir.
"Nona lekas kau menyingkir!" ia serukan nona itu. "Aku berterima kasih padamu!"
"Kau she Liok?" tanya si nona perlahan tanpa menghiraukan anjuran orang untuk
mengangkat kaki. "Benar," menyahut Koan Eng. "Nona sendiri she apa dan murid siapakah?"
"Guruku she Sun, orang menyebutnya Ceng Ceng Sanjin," sahut nona Thia. "Aku
sendiri...aku..." Ia hendak menyebut namanya tetapi ia malu.
"Nona," berkata Koan Eng. "Akan aku tahan dia, kau pergilah menyingkir! Asal aku
dapat menolong jiwaku, nanti aku susul padamu!"
Mukanya Yauw Kee merah. Ia tidak menjawab itu anak muda, hanya ia membentaki
lawannya: "Eh, siluman, jangan kau lukakan dia! Katahui olehmu, guruku ialah Sun
Cinjin dari Coan CinPay dan dia segera bakal datnag kemrai!"
Nama Coan Cin Pay sangat terkenal, maka mendengar disebutnya partai itu, hati
Thong Hay tercekat. Bukankah Thie-kak-sian Giok Yang Cu Ong Cie It pernah
memperlihatkan kepandaiannya di dalam istana Chao Wang" Meski begitu, ia tidak
sudi mengasih lihat kelemahannya. Maka itu ia sengaja berseru: "Biarnya tujuh
siluman Coan Cit Cit Cu datang kemari, hendak aku membinasakan semuanya!"
"Orang bosan hidup, kau ngaco belo!" mendadak terdengar seruan dari arah luar.
Kaget ketiga orang itu, dengan sendirinya mereka pada lompat mundur. Koan Eng
khawatir Thong Hay main gila, ia tarik Yauw Kee ke belakangnya, ia lantas
berdiri di depan si nona seraya ia bersiap dengan goloknya.
Semua mata mengawasi ke luar. Di ambang pintu berdiri seorang tojin atau imam
usia muda, romannya tampan, tangannya mencekal kebutan atau hudtim. Ia bersenyum
dingin ketika ia menegaskan pula: "Siapakah yang membilang hendak membinasakan
Coan Cin Cit Cu?" "Itulah aku Hauw Looya yang membilangnya!" sahut Thong Hay takabur. "Kau mau
apa"!" "Baiklah! Sekarang kau cobalah membunuhnya!" menantang si imam muda. Kata-kata
ini disusul sama gerakan tubuhnya seraya kebutannya mengebut kemuka si Ular Naga
Kepala Tiga. Ketika itu selesailah Kwee Ceng dengan latihannya, tempo kupingnya dapat
mendengar suara berisik di luar kamar itu, ia lantas mengintai.
"Mungkinkah benar imam muda ini anggota Coan Cin Cit Cu?" Oey Yong tanya.
Kwee Ceng segera mengenali imam muda itu, ialah In Cie Peng muridnya Tiang Cun
Cu Khu Cie Kee. Dialah yang dua tahun lampau pergi ke Mongolia menyampaikan
surat gurunya kepada Kanglam Liok Koay dan dalam pibu, pertandingan itu, ia kena
dikalahkan dia itu. Maka itu, ia beritahukan si nona Oey siapa imam itu.
"Dia pun tak dapat melawan Hauw Thong Hay," berkata Oey Yong sambil menggeleng-
geleng kepala. Setelah lewat dua tahun, kepandaiannya In Cie Peng telah bertambah, walaupun
demikian, berkelahi sama-sama Liok Koan Eng mengepung Hauw Thong Hay mereka cuma
berimbang saja. Yauw Kee menonton dengan bengong. Ia terkejut katika ia dipegang oleh Koan Eng
dan ditarik ke belakang si anak muda, habis mana anak muda itu menyerang Thong
Hay yang menyambuti serangannya In Cie Peng. ia tengah mengusut-usut tangannya
itu tatkala ia mendengar suara Koan Eng, "Nona, awas!"
Itulah Hauw Thong Hay, yang menggunai kesempatannya akan membokongi si nona,
yang ia tikam pundaknya. Ia tidak menyangka akan serangan itu, atas pemberian
ingat si anak muda, ia lantas berkelit, setelah mana dalam murkanya ia maju
menyerang. Dengan begitu, Thong Hay jadi dikerubuti bertiga.
Walaupun ia gagah, sekarang Thong Hay bingung juga. Memang nona Thia ini tidak
lihay, akan tetapi dikepung berdua, mereka sudah berimbang, dengan bertambah
satu tenaga lagi, ia merasa berat. Ia menjadi cemas sendirinya, hendak ia
meloloskan diri, tetapi kepungan rapat.
In Cie Peng mempermainkan kebutannya di muka lawannya itu, lama-lama Thong Hay
menjadi seperti kabur matanya, maka satu kali ia alpa, gerakannya kurang sebat,
ia merasakan pahanya sakit, sebab goloknya Koan Eng mampir di pahanya itu. Ia
menjadi murka sekali, ia mendamprat leluhur lawannya.
Masih si Ular Naga Kepala Tiga membuat perlawanan. Karena luka dikakinya itu,
kelincahannya menjadi berkurang. Masih ia diganggu kebutan Cie Peng, yang
membikin ia kewalahan. Kapan tiba saatnya ia mencoba menikam, Cie Peng libat
gaetannya itu, hingga keduanya jadi saling tarik.
Biar bagaimana, Thong Hay menang tenaga, kesudahannya saling tarik itu,
kebutannya Cie Peng kena tertarik hingga terlepas. Tapi menang disini, Thong Hay
kalah dilain pihak. Dengan mengadu tenaga sama Cie Peng, ia menjadi lengah, maka
juga ujung pedangnya Yauw Kee menusuk pundak kanannya, atas mana terlepaslah
tempulingnya yang bercagak tiga!
In Cie Peng lepas kebutannya itu, ia tidak menjadi kaget atau bingung, bahkan ia
memperlihatkan kegesitannya, ialah justru lawannya kena tertikam, ia maju untuk
menotok. Tepat ia mengenakan jalan darah hian-kie, atas mana, Sam-tauw-kauw
roboh seketika. Koan Eng tidak berlaku ayal, ia berlompat untuk menubruk, lalu dengan menggunai
ikat pinggang lawan, ia ringkus lawannya itu, kedua tangan siapa ditelikung.
"Lihat, muridnya Coan Cin Cit Cu saja kau tidak sanggup lawan!" kata In Cie Peng
mengejek. "Masihkah kau hendak membinasakan semua Coan Cin Cit Cu?"
Thong Hay gusar, ia memaki kalang kabutan. Ia kata ia toh dikepung bertiga.
Cie Peng tidak sabaran, ia sobek ujung baju orang dan pakai itu untuk menyumbat
mulut orang yang kotor itu, maka sekarang, si Ular Naga Tiga Kepala melainkan
bisa mendelik mata dan mukanya merah, mulutnya tak bersuara lagi.
"Suci," berkata Cie Peng kepada Yauw Kee sambil ia memberi hormatnya. "Kau
adalah murid dari Sun Susiok, maka terimalah hormatnya suteemu."
Yauw Kee membalas hormat sambil merendahkan diri.
"Entah suheng murid paman guru yang mana?" ia bertanya.
"Siauwtee ialah In Cie Peng, muridnya Tiang Cun Cu," menyahut saudara asal
seperguruan ini. Yauw Kee tidak pernah keluar pintu, ia tidak kenal keenam saudara gurunya tetapi
ia pernah mendengar dari gurunya tentang mereka itu, maka tahulah ia siapa Tiang
Cun Cu itu. "Kalau begitu, In Suheng, kaulah suhengku," katanya perlahan. "Adikmu ini she
Thia, kau panggil saja sumoy padaku."
In Cie Peng bersenyum melihat sumoy itu, adaik seperguruannya, tetapi meski
begitu, ia melayani berbicara, setelah mana ia belajar kenal dengan Liok Koan
Eng. Orang she Liok itu memberitahukan she dan namanya tetapi ia tak menyebutkan nama
dan gelaran ayahnya dan menyebut juga pekerjaannya sebagai kepala perampok di
telaga Thay Ouw, ia cuma menerangkan, ia bermusuh dengan Hauw Thong Hay sebab ia
telah membunuh Ma Ceng Hiong.
"Orang edan ini kosen, dia tidak dapat dimerdekakan!" berkata nona Thia.
"Biarlah aku lantas binasakan dia!" berkata Liok Koan Eng.
"Ah, jangan!" mencegah nona Thia, yang hatinya pemurah.
"Tidak apalah dia tidak dibikin mampus!" kata Cie Peng tertawa. "Sumoy, sudah
berapa lama kau berada disini?"
"Baru saja," sahut si nona dengan wajahnya merah jengah.
Cie Peng mengawasi muda-mudi ini, pikirannya bekerja.
"Mereka rupanya pasangan, jangan aku berdiam lama di sini membuat mereka muak
saja..." pikirnya. Maka ia lantas berkata: "Aku sedang menjalankan tuga yang
diberikan suhu. Aku diperintah pergi ke dusun Gu-kee-cun guna menyampaikan
berita kepada satu orang. Nah, sampai di sini saja, harap kita bisa bertemu
pula!" Yauw Kee masih likat. "In Suheng, kau sedang mencari siapa?" tanyanya perlahan.
Cie Peng agaknya bersangsi, tetapi sejenak kemudian, ia pikir: "Thia sumoy orang
sendiri, dia berjalan sama anak muda ini, dia pun bukan orang lain, tidak ada
halangannya untuk aku bicara." Maka ia menjawab bahwa ia lagi mencari seorang
kenalan she Kwee. Keterangan ini membuatnya beberapa orang terkesiap hatinya. Mereka yang berada
di dalam kamar rahasia, begitu pun Liok Koan Eng, bahkan pemuda she Liok ini
lantas bertanya: "Adakah ia yang bernama Ceng?"
"Benar," sahut Cie Peng memberikan kepastian. "Saudara Liok kenal sahabat she
Kwee itu?" "Siauwtee justru hendak mencari Kwee Susiok itu," menyahut Koan Eng.
"Eh, kau memanggil dia susiok?" tanya Cie Peng dan Yauw Kee berbareng. Nona ini
pun heran waktu pertama mendengar Cie Peng menyebut "sahabat she Kwee"
"Ayahku setingkat derajatnya dengannya, maka itu siauwtee memanggil susiok,"
Koan Eng menjelaskan. (Susiok artinya paman guru)
Tingkat Liok Seng Hong sederajat dengan Oey Yong, dengan sendirinya Koan Eng
mesti memanggil paman guru kepada Kwee Ceng. Mengenai Kwee Ceng itu, Yauw Kee
tidak membilang suatu apa akan tetapi perhatiannya tertarik.
"Apakah kau telah bertemu padanya. Ada di mana dia sekarang?" Cie Peng menanya
dengan cepat. "Siauwtee pun baru tiba di sini, selagi siauwtee hendak mencari keterangan, kita
bertemu ini orang edan, tidak karuan dia menyerang kita," menerangkan Koan Eng.
"Kalau begitu, mari kita sama-sama pergi mencarinya," kata Cie Peng kemudia.
Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi. Mereka telah mendapat dengar semua
pembicaraannya ketiga orang itu.
"Mereka pasti bakal kembali," kata Kwee Ceng. "Yong-jie, kau bukalah pintu."
"Mana dapat?" si nona berkata. "Mereka mencari kamu tentu untuk urusan penting.
Kau lagi beristirahat, mana dapat kau memecah pikiranmu?"
"Tetapi urusannya mesti sangat penting," si anak muda bilang.
"Biarnya langit ambruk, tidak nanti aku membuka pintu," si nona kata pasti.
Hati Kwee Ceng tidak tenang, tetapi Oey Yong benar. Ia pun khawatir si nona
menjadi berduka. Maka terpaksa ia berdiam saja, melanjuti istirahatnya itu.
Benar saja, selang tidak lama, Koan Eng bertiga kembali ke rumah makannya Sa
Kouw. Kaon Eng berduka, katanya: "Di kampung halamannya sendiri susiok tidak
dapat dicari. Bagaimana sekarang?"
"Urusan penting apakah itu antara kamu berdua, saudara Liok?" Cie Peng tanya
Koan Eng. "Bolehkah aku ketahui itu?"
Sebenarnya Koan Eng tidak suka memberitahu, tetapi ketika ia menampak wajah nona
Thia, ia mengubah pikirannya dalam sekejap.
"Omonganku panjang," ia menyahut. "Biarlah aku bersihkan dulu kotoran di sini,
nanti baru kita bicara."
Di rumahnya Sa Kouw ini, sapu pun tidak ada, maka itu Koan Eng dan Cie Peng
menggunai rumput untuk menyapu kotoran. Setelah itu ketiganya duduk menghadapi
meja. Koan Eng hendak mulai bicara ketika Yauw Kee mencegah. "Tunggu dulu!" katanya
seraya ia berbangkit bertindak mendekati Hauw Thong Hay. Ia memotong sejuwir
ujung baju orang tawanan itu, yang mana ia pakai menyumpal kedua kupingnya dia
itu. "Biar dia jangan mendapat dengar!" ia menambahkan dengan tertawa.
"Kau teliti, nona!" Koan Eng memuji. Ia pun tersenyum.
Oey Yong dalam tempat persembunyiannya tertawa di dalam hatinya. Pikirnya: "Kau
masih bicara tentang teliti! Sudah kami berdua, sukar untuk mengetahuinya, di
sana pun ada rebah Auwyang Kongcu, kau masih belum ketahui juga......"
Thia Yauw Kee masih hijau, inilah tidak heran. In Cie Peng biasa mengikuti
gurunya tetapi ia dasarnya semberono. Sedang Koan Eng, yang biasa memerintah,
kurang waspada. Demikian mereka berbicara, bertindak, tanpa memeriksa dulu
tempat di sekitarnya. Nona Thia mendapatkan kuping Thong Hay telah terpapas, ia tercengang, tetapi
hanya sejenak. "Sekarang kau boleh bicara!" katanya tertawa pada Koan Eng habis ia menyumbat.
Untuk sesaat, agaknya pemuda she Liok itu bersangsi.
"Ah, darimana aku harus mulai?" katanya. "Sekarang aku lagi mencari Kwee susiok.
Sebenarnya tidak seharusnya aku pergi mencari tetapi tanpa mencari, tak dapat...."
"Inilah aneh!" berkata Cie Peng.
"Memang. Aku mencari Kwee Susiok bukan untuk urusannya sendiri hanya untuk
keenam gurunya." "Ah, Kanglam Liok Koay?" Cie Peng tanya seraya menepuk meja. "Mungkin kita ada
bersamaan tujuan. Sekarang mari kita masing-masing menulis di tanah, lalu minta
Thia sumoy yang melihatnya, cocok atau tidak."
Belum lagi Koan Eng menyahuti, sambil tertawa Yauw Kee mendahului: "Bagus! Nah
putarlah tubuhmu dan menulislah!"
In Cie Peng dan Liok Koan Eng memegang masing-masing sebatang puntung, sambil
belakang-membelakangi, mereka sudah lantas mencoret-coret di tanah.
"Thia Sumoy!" kemudian kata Cie Peng tertawa, "Kau lihat tulisan kita sama atau
tidak?" Yauw Kee melihat coretan mereka itu.
"In Suheng, kau menduga keliru," katanya perlahan. "Tulisan kamu tidak sama."
"Ah!" seru Cie Peng sambil berbangkit.
Yauw Kee tertawa dan menambahkan: "Kau menulis 'Oey Yok Su' dan dia menggambar
sebatang bunga tho."
Oey Yong heran. "Mereka mencari engko Ceng, mengapa toh ada sangkutannya sama ayahku?" ia
menduga-duga. Lalu terdengar suara Koan Eng perlahan: "Apa yang ditulis In Suheng adalah nama
dari kakek guruku, dan siauwtee tidak berani menulisnya langsung..."
"Oh, kakek gurumu?" kata Cie Peng terperanjat. "Kalau begitu, pikiran kita sama
saja. Bukankah Oey Yok Su itu tocu dari pulau Tho Hoa TO?"
Yauw Kee heran. "Oh, kiranya begitu!" katanya.
"Karena saudara Liok ada orang kaum Tho Hoa To," berkata In Cie Peng, "Dengan
begitu dengan mencari Kanglam Liok Koay, kau tentunya bermaksud tak baik untuk
mereka itu..." "Sebaliknya, suheng..."
Cie Peng tidak puas orang omong sangsi-sangsi.
"Oleh karena saudara Liok tidak mengangap aku sebagai sahabat, sudahlah, tak ada
gunanya untuk kita bicara banyak-banyak," katanya. "Ijinkanlah aku meminta
diri." Ia lantas berbangkit dan memutar tubuh, untuk berlalu.
"Tunggu, In Suheng!" mencegah Koan Eng. "Aku hendak menutur sesuatu, aku pun
hendak memohon bantuanmu."
Adalah tabiat Cie Peng yang ia paling senang kalau orang memnita apa-apa
padanya, dari itu ia lantas menjadi girang.
"Baiklah!" katanya. "Sekarang kau boleh bicara!"
"In Suheng," berkata Koan Eng menerangkan, "Kau adalah orang Coan Cin Pay, maka
itu bukankah ada semacam tugas dari kamu umpama kata kau mendengar sesuatu
tentang lain orang, kau akan lantas memberitahukan atau mengisikinya supaya
orang itu berhati-hati dan berjaga-jaga" Sekarang, andaikata, ada salah seorang
dari pihak seatasan kau hendak mencelakai seseorang, dan kau mengetahuinya itu,
pantas atau tidak kalau kau mengisiki orang itu untuk lari menyingkirkan diri?"
In Cie Peng seperti dapat menduga maksud orang. Ia menepuk pahanya.
"Aku mengerti sekarang," katanya. "Teranglah di antara kamu pihak Tho oa To ada
orang yang tengah menghadapi kesulitan. Nah, kau bicaralah!"
"Di dalam perkara ini," berkata Koan Eng. "Jikalau aku memeluk tangan menonton
saja, aku jadi berbuat tak selayaknya, sebaliknya, apabila aku mencampurnya
tahu, aku jadi menentang kaumku sendiri. Maka itu, In Suheng, walaupun aku ingin
memohon bantuanmu, tak dapat aku membuka mulutku..."
Cie Peng mau menduga, akan tetapi karena orang tidak menjelaskannya, ia pun
tidak dapat mengambil putusan, maka itu ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Ia nampaknya likat sendiri.
Yauw Kee memandang kedua orang itu, ia mendapat jalan.
"In Suheng," katanya, "Kau tanyalah Liok Toako. Kalau ia mengangguk, itulah
soalnya, kalau ia menggeleng kepalanya, itulah bukannya. Asal Liok Toako tidak
mengatakannya sendiri, itu berarti ia tidak melanggar aturan kaumnya."
"Bagus dayamu ini, Thia Sumoy!" kata Cie Peng girang. "Saudara Liok, mari dengar
aku bicara dulu tentang urusanku. Guruku yaitu Tiang Cun Cu Khu Cinjin, diluar
keinginannya, telah mendapat suatu kabar penting, ialah kabar halnya Tocu Tho


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa To karena membenci Kanglam Liok Koay, berniat membunuh jago-jago dari
Kanglam itu, hendak membinasakan mereka serumah tangga. Karena itu guruku lantas
mendahulukan pergi untuk memberi kisikan. Nyatanya Liok Koay tidak ada
dirumahnya, mereka telah pergi pesiar. Atas itu guruku lantas menitahkan semua
anggota keluarga Liok Koay itu pergi menyingkirkan diri masing-masing. Maka
ketika Oey Yok Su sampai ke Kee-hin, ia tidak menemukan seorang juga. Ia menjadi
sangat gusar dan mendongkol, tetapi ia cuma dapat menungkuli diri, dengan gondok
ia berangkat ke Utara. Setelah itu taklah lagi bagaimana kejadiannya peristiwa.
Dan kau, tahukah kau tentang itu?"
Koan Eng mengangguk. In Cie Peng berdiam sebentar habis itu ia berkata pula: "Turut rasaku dia terus
mencari kanglam Liok Koay. Sebenarnya di antara guruku dan Liok Koay ada suatu
perselisihan, tetapi perselisihan itu sudah dapat disudahi sedang mengenai
urusannya, kesalahan berada di pihak Oey Yok Su maka itu kebetulan Coan Cin Cit
Cu berkumpul di Kanglam, mereka lantas memisah diri mencari Liok Koay untuk
menasehati mereka untuk berhati-hati menjaga diri, bahkan paling betul mereka
menyingkir jauh-jauh, supaya mereka tak dapat dicari kakek gurumu itu. Coba kau
pikir, tindakan itu tepat atau tidak?"
Koan Eng mengangguk pula.
Mendengar sampai di situ, Oey Yong berpikir: "Engko Ceng sudah tiba di Tho Hoa
To memenuhi janji, kenapa ayah hendak pergi mencari pula Liok Koay?" Ia tidak
tahu ayahnya telah kena dijual Leng Tie Siangjin dan mempercayai yang ia telah
mati kelelap di laut hingga dia menjadi sangat berduka dan gusar dan karenanya
hendak menumpahkan amarahnya kepada Kanglam Liok Koay.
Kembali terdengar suaranya In Cie Peng: "Oleh karena tidak dapat mencari Liok
Koay, guruku ingat Kwee Ceng yang menjadi murid Liok Koay itu. Kwee Ceng itu ada
orang asal dusun Gu-kee-cun di Lim-an dan dipercaya betul ia telah kembali ke
kampung halamannya, dari itu aku dititahkan datang kemari mencari dia di sini.
Samurai Pengembara 8 1 Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Pedang Naga Kemala 10
^