Pencarian

Samurai Pengembara 8 1

Shugyosa Samurai Pengembara 8 Bagian 1


SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Kedelapan oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Buku Kedelapan MAYEDA TERGUNCANG
KABUT di atas bukit itu tampak seperti kaki iblis merayap ke segenap penjuru.
Angin menebarkan udara
dingin serta embun pagi. Beberapa prajurit Mayeda Toyotomi mencoba melawan udara
dingin dengan menya-
lakan api unggun. Mereka duduk berkerumun untuk
menghangatkan badan.
Bukit di mana mereka berada, menghampar dari
utara ke selatan, persis berada di tepi hutan, mem-batasi wilayah Suruga dengan
Totomi. Tenda-tenda
berdiri basah kuyup, demikian pula bendera serta panji-panji berlambang daun
sakura - lambang Toyotomi.
Beberapa kelompok prajurit membuat api unggun di
depan tenda mereka. Para penjaga duduk melawan
kantuk dengan membakar ubi atau jagung.
Mayeda duduk di atas zabuton di dalam tendanya.
Ia tengah melakukan samadi. Seorang pendeta Budha, beberapa tahun lalu, telah
mengajarkan cara-cara samadi Zen untuk meredakan gejolak dalam dirinya. Pa-da
mulanya, Mayeda menganggap upacara Zen terlalu rumit dan membuang-buang waktu.
Tetapi setelah menjalani, ia dapat merasakan manfaatnya. Samadi
memberikan kejernihan pikiran serta ketenangan hati.
Zen sebagai salah satu mazhab agama Budha mulai
berkembang pesat di Jepang. Kecuali para pendeta, mazhab ini banyak diikuti
kalangan istana.
Langit di luar, langit di dalam
menyatu dalam jiwa.
Bila seseorang dalam lautan kerisauan
samadi adalah perahu penyelamatan.
Ajaran Zen itu telah menyelamatkan Mayeda dalam
sejumlah pertempuran. Di saat ia mengalami kegalau-an, ia selalu berhasil
bangkit menguasai diri, ibarat burung phoenix yang bangkit dari api.
Kini Mayeda duduk, berusaha mendapatkan kete-
nangan menghadapi pergolakan yang ia alami. Di tengah pemusatan konsentrasi itu,
tiba-tiba muncul gambaran masa lalu di benaknya. Peristiwa-peristiwa masa silam
itu, muncul secara bergantian, seperti adegan-adegan sandiwara kabuki.
Dimulai ketika ia masih menjadi shugyosa yang ber-kelana dengan mengandalkan
kemampuannya ber-
main pedang, lalu pengabdiannya pada marga Imaga-
wa, pengangkatan dirinya sebagai pengawal istana, kemudian penunjukannya sebagai
panglima perang
Suruga. Semua berputar di kepalanya. Kesetiaan serta ambisi Mayeda telah
terbukti dengan jelas sewaktu ia berada di tengah pertempuran demi pertempuran
yang dialaminya.
Sebagai seorang samurai, Mayeda sesungguhnya te-
lah bersumpah untuk mati bagi junjungannya. Tetapi semua berubah ketika ia
bertemu Tazumi. Wanita itu telah berhasil membangkitkan sesuatu yang dulu tak
pernah ia pikirkan: hasrat dan kekuasaan!
Dengan caranya sendiri, Tazumi menyadarkan Ma-
yeda terhadap kemungkinan ia menjadi penguasa Su-
ruga. Seperti berdiri di depan jendela terbuka, Mayeda seakan melihat cakrawala
baru dalam kehidupannya.
Cakrawala yang membuatnya mabuk serta tergerak
oleh hasrat menggebu-gebu untuk mewujudkan goda-
an nafsu berkuasa itu.
Sesungguhnya sebagai samurai, ia tidak boleh ber-
sikap demikian. Karena mengingkari kesetiaan berarti melanggar semangat bushido
dalam dirinya. Tetapi itulah, Mayeda tak kuat melawan rayuan Tazumi. Wanita itu,
dengan caranya sendiri, berhasil menguasai dirinya.
Mayeda Toyotomi memejamkan mata, ia mencoba
mengalirkan kejernihan pikiran ke dalam hatinya.
Di luar, samar-samar terdengar suara derap kaki
kuda mendaki bukit itu. Di depan pos jaga, penunggang kuda itu dihentikan tiga
prajurit Mayeda.
"Berhenti! Siapa kamu?"
"Saya Yosaemon, pengikut Imagawa Yoshimoto, saya
ditugaskan untuk menjumpai Tuanku Mayeda Toyo-
tomi." "Apa ada sesuatu yang penting untuk disampaikan
pada malam-malam begini?"
"Saya harus secepatnya bertemu dengannya. Ini sa-
ngat penting."
Penjaga satunya bertanya, "Apa tidak sebaiknya engkau menunggu sampai besok
pagi?" "Kuminta kalian membawaku ke tendanya sekarang
juga." Ketiga penjaga itu saling berpandangan. Lalu seo-
rang di antaranya berlari menuju tenda Mayeda.
Mayeda masih bersamadi ketika ia mendengar pem-
bicaraan pengawalnya di luar tenda dengan penjaga perbatasan.
"Tuanku Mayeda Toyotomi," terdengar suara penga-
walnya dari luar tenda. "Seorang pengikut Yang Mulia Imagawa ingin bertemu
dengan Anda."
Sepuluh menit kemudian, Yosaemon telah bersujud
di depan Mayeda.
"Hamba Yosaemon, pengikut Yang Mulia Imagawa
Yoshimoto, diperintahkan menemui Anda untuk mem-
berikan bingkisan dan sepucuk surat untuk Anda."
"Apakah dari Yang Mulia Imagawa sendiri?"
"Benar, Tuanku."
Yosaemon memberikan surat. Seperti biasa, surat
itu ditulis dengan huruf kanji yang indah, kemudian dilengkapi cap marga Imagawa
di bawahnya. Mayeda Toyotomi, engkau seperti anak yang tersesat, tak mengerti bahwa jalan
yang kautempuh sesung-
guhnya keliru. Aku memaafkan dirimu. Bila kau mau kembali, datanglah kepadaku.
Kami semua menunggu kehadiranmu sebagai panglima Suruga dengan penuh rasa
hormat. Terimalah bingkisanku. Mudah-mudahan menjadikan dirimu tak lagi tersesat.
Mayeda Toyotomi melipat surat itu, lalu memasuk-
kan ke dalam saku kimononya.
"Bawa kemari bingkisan itu," katanya kepada Dai-
suke Togakure. Setelah bersujud, Daisuke mengambil bingkisan da-
ri Yosaemon lalu memberikan pada Mayeda. Tanpa bicara, Mayeda membuka bingkisan
itu. Saat dibuka, lelaki itu seketika terperanjat. Matanya melotot, seakan tak
mempercayai pandangan matanya. Tiba-tiba ia
tampak sangat tergoncang.
*** Mayumi tiba-tiba terbangun. Seluruh tubuhnya berge-
taran dengan hebat. Matanya terbuka, ia melihat ribuan prajurit Mayeda Toyotomi
bergerak bagai binatang liar menerjang ke depan. Dalam sorak-sorai memba-hana,
mereka berlarian menyongsong pasukan Nobu-
naga. Dimulai dengan pasukan berkuda yang memba-
wa bendera serta panji-panji berlambang Toyotomi, prajurit tersebut menuruni
bukit pertahanan mereka.
"Kita akan bertempur sampai titik darah pengha-
bisan!" seru Mayeda dari atas kudanya. Sinar matanya liar, penuh kemarahan.
"Sekali ini akan kita buktikan pada Nobunaga bahwa kita masih lebih unggul dari
pasukannya!"
Sambil mencabut pedang, Mayeda segera memacu
kuda mendahului pasukannya.
Sebuah pertempuran dahsyat bakal terjadi.
Mayumi tiba-tiba tersentak. Takeshi memegang ba-
hunya. "Apa yang terjadi?" tanya Takeshi.
"Aku melihat Mayeda Toyotomi menggerakkan pasu-
kannya untuk menggempur pasukan Nobunaga."
"Benarkah?"
"Ya. Mereka bergerak menuruni bukit Ifumi dengan
seluruh kekuatan."
"Kau yakin?"
"Aku meyakini penglihatanku."
"Kalau begitu kita beritahu Saburo Mishima."
*** Mayeda Toyotomi duduk bersila dikelilingi para pangli-ma perangnya. Wajahnya
terlihat beku, memancarkan gambaran kepedihan dan kemarahan sekaligus.
Kehancuran dan kebangkitan. Tekad hidup dan mati.
Ketika ia bicara, suaranya terdengar berat, namun tetap memantulkan kewibawaan.
"Hari ini aku menerima kiriman dari Istana Suruga, berupa kepala Putri Tazumi.
Kiriman ini menjelaskan kepadaku, bahwa pembelotanku selama ini telah diketahui
oleh Yang Mulia Imagawa. Dialah yang menulis surat padaku, meminta agar aku
bersedia kembali bergabung dengannya. Kenyataan ini mendorong diriku
untuk berbicara terus terang pada kalian semua, bahwa sesungguhnya Yang Mulia
Imagawa masih hidup.
Bahkan kini beliau telah kembali ke Suruga, mendu-duki istana."
Semua orang yang berada di sekelilingnya tetap di-am. Wajah mereka menatap
Mayeda dengan perasaan
yang sukar diselami.
"Aku sangat sedih kehilangan Putri Tazumi," kata
Mayeda dengan suara rendah. "Tetapi aku lebih sedih lagi karena pembelotanku
terbongkar. Pengingkaranku terhadap sumpah setia kepada Yang Mulia Imagawa
terbukti sudah. Aku seorang samurai yang cacat. Jalan yang kutempuh membuat aku
kehilangan muka untuk
berhadapan dengan Yang Mulia Imagawa. Karena itu
aku kumpulkan kalian semua untuk menjelaskan si-
kapku." Orang-orang di sekelilingnya tetap membisu.
"Sebagai seorang samurai, aku telah berkhianat terhadap junjunganku. Sebagai
seorang jenderal, aku telah membangun kekuatan dengan dusta. Aku telah
mendustai kalian dengan mengatakan bahwa Yang
Mulia Imagawa sudah tewas. Dua soal ini sangat mem-bebani pikiranku. Hampir
sepanjang malam aku merenungkan hal ini, mencoba menganalisa seluruh
perbuatanku. Sesudah berpikir, aku sampai pada kesimpulan bahwa untuk menebus
seluruh dosaku hanya ada
dua pilihan. Pertama, sesegera mungkin aku mohon
ampun pada Yang Mulia Imagawa, lalu melakukan
seppuku. Kedua, memutuskan untuk bertempur demi
junjunganku sampai mati."
Kitajima, salah seorang panglima perang Mayeda
yang sangat disegani berkata, "Kita semua telah melangkah terlampau jauh,
membelot dari perintah Yang Mulia Imagawa. Karena itu, untuk apa menyesali
sesuatu yang sudah terjadi. Apakah tidak sebaiknya kita terus melaksanakan
rencana kita?"
"Tidak," jawab Mayeda tegas. "Kematian Putri Ta-
zumi telah menghilangkan semangatku untuk merebut kekuasaan. Kepala wanita itu
telah menyadarkan diriku pada kesalahan. Karena itu aku tak ingin menambah
kesalahan dengan kesalahan baru."
"Lalu apa yang Tuanku inginkan?"
"Malam tadi aku telah merenungkan," ujar Mayeda
penuh tekanan. "Aku akan bertempur untuk junjungan-ku Imagawa sampai titik darah
penghabisan."
"Demikiankah keputusan Tuanku?"
"Ya."
Semua diam. "Karena itu kutegaskan kepada kalian semua, ini
adalah keputusanku sendiri. Apabila kalian tidak sependapat denganku, aku tidak
akan menyalahkan ka-
lian. Siapa pun boleh meninggalkan diriku malam ini, biarlah karmaku
kutanggungkan sendiri."
"Bagaimana kalau Yang Mulia Imagawa tidak dapat
menerima pemikiran Tuanku?"
"Aku tidak akan memikirkannya lagi. Tekadku ha-
nya satu, menebus dosa dan kesalahanku. Tak pernah kurisaukan apakah perbuatanku
akan diganjar peng-ampunan atau justru hukuman."
"Apakah itu tidak terlalu berlebih-lebihan?" tanya Kitajima tanpa tekanan.
"Tuanku akan berjuang me-merangi musuh untuk orang yang mungkin saja bakal
memancung kepala Tuanku. Tidakkah lebih baik bila Tuanku berjuang untuk
menegakkan kekuasaan sendiri?"
"Maksudmu?"
"Wilayah Jepang ini masih luas. Tuanku sebenarnya dapat menaklukkan Owari atau
Mikawa, lalu memegang kekuasaan di sana."
"Begitukah menurut pemikiranmu?"
"Ya, kenapa tidak" Bila Tuanku memenangkan per-
tempuran terhadap Hosokawa, Tuanku dapat menyer-
bu Owari. Bila menang di sana, tidak seorang pun
yang akan menolak kekuasaan Tuanku di Owari. Ke-
cuali itu tak seorang pun yang bakal merongrong kewibawaan Tuanku di sana."
"Aku sudah mantap dengan keputusanku, Kitajima.
Engkau jangan mencoba mempengaruhiku lagi."
"Maafkan saya. Tetapi sesungguhnya saya mengata-
kan hal sebenarnya, bukan bermaksud mempengaruhi
Tuanku." "Aku mengerti. Tetapi saat ini aku tidak dapat menerima pemikiranmu itu.
Keputusanku sudah bulat.
Siapa yang tetap ingin ikut denganku tetaplah tinggal di sini, dan siapa yang
tidak ingin mengikutiku kuper-silakan meninggalkan tempat ini."
Semua panglima perang yang berada di tempat itu
tetap duduk membeku.
*** SEBUAH RENCANA MALAM telah larut. Imagawa dan Saburo Mishima berjalan-jalan di atas benteng.
Mereka terlihat santai, seperti dua orang sahabat yang tengah berbincang-bincang
dengan angin malam.
"Saya benar-benar tidak menduga Yang Mulia akan
membunuh Putri Tazumi," kata Saburo dalam tarikan napas berat.
"Kenapa hal itu masih kau pikirkan?"
"Selama berhari-hari kejadian itu memang meng-
ganggu tidur saya," kata Saburo terus terang. "Yang Mulia yang selama ini
membuka pemikiran saya tentang kearifan, secara tak terduga bertindak memenggal
kepala seorang wanita...."
"Di situ letak persoalannya," jawab Imagawa tanpa tekanan. "Aku melihat Putri
Tazumi sebagai akar dari pemberontakan Mayeda. Wanita itulah sesungguhnya
yang menjadi sumber perlawanan. Aku sudah berta-
hun-tahun mengenal Mayeda, aku tahu bagaimana ke-
setiaan lelaki itu. Dari sejumlah mata-mata yang kuse-barkan, kuketahui Tazumi
berhasil membuat Mayeda
tergila-gila padanya. Perempuan itu tidak mencintai Mayeda, tetapi dia hanya


Shugyosa Samurai Pengembara 8 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan memperalat untuk merebut kekuasaan di Suruga. Inilah yang kuanggap ber-
bahaya. Karena itu sebelum semua bertambah buruk, wanita itu lebih baik
dihukum." "Tidakkah itu justru akan membuat Mayeda ma-
rah?" "Kemarahan orang yang tak punya harapan tidak
berbahaya."
Saburo diam. Ia menatap lelaki di sampingnya, saat itu Imagawa tengah mengamati
bunga yang tumbuh di dalam pot. Lelaki tersebut tampak sangat terpesona.
"Kematian Putri Tazumi jangan kaurisaukan," kata
Imagawa tanpa mengalihkan perhatiannya dari bunga itu. "Kita telah bertindak
benar. Dengan memenggal sumber pemberontakan itu, kita akan mengetahui secara
persis, bagaimana sesungguhnya tekad Mayeda
melawanku."
"Tetapi kenapa yang Mulia tidak tergerak sama se-
kali untuk mengampuni Tazumi?"
"Pengampunan tidak selalu baik. Di saat tertentu
kita terpaksa harus bersikap kejam untuk memusnahkan benih perlawanan."
Saburo diam. "Seperti anak sungai yang mengalir," lanjut Ima-
gawa sambil mengamati kelopak bunga di depannya.
"Selalu memiliki mata air. Demikian pula sebuah pemberontakan. Selalu ada
sumbernya. Kita tidak akan pernah dapat menghentikan anak sungai yang mengalir,
dengan bendungan sekalipun, bila tidak kita le-nyapkan mata airnya. Demikian
pula dengan pembe-
rontakan Mayeda. Karena sumber pemberontakan itu
adalah Putri Tazumi, kita tidak akan dapat memadam-kannya dengan hanya
menaklukkan Mayeda. Seandai-
nya saja Mayeda berhasil kita kalahkan, Putri Tazumi akan mencari penggantinya.
Dia akan melakukan apa saja untuk memenuhi nafsu kekuasaannya. Jadi tak
ada cara lain kecuali menyingkirkannya."
"Apakah perlu Yang Mulia sendiri yang melakukan-
nya?" "Ya. Agar orang tahu aku tidak ragu-ragu menum-
pas setiap pemberontakan. Di saat tertentu seorang jenderal harus melakukan
sendiri hukuman yang dija-tuhkan agar semua orang tahu ia dapat bertindak
kejam." *** Saburo baru saja masuk ke dalam tendanya ketika Ta-
keshi dan Mayumi muncul. Mereka menceritakan penglihatan Mayumi tentang rencana
penyerbuan Oda No-
bunaga. Saburo mendengarkan dengan penuh perha-
tian. Saburo bertanya seakan pada diri sendiri, "Jadi mereka mengerahkan seluruh
pasukannya?"
"Benar," jawab Takeshi. "Kukira dia tidak ingin
mengalami kegagalan."
"Bagaimana dengan kekuatan Mayeda?"
"Tidak akan mampu menahan serbuan itu. Ini pasti
akan menjadi pembantaian yang mengerikan."
"Baiklah, kalau begitu mari kita laporkan pada Tuanku Imagawa."
"Apa yang akan kita laporkan?"
"Serbuan Oda Nobunaga."
"Apa dasarnya?"
"Apa yang dilihat Mayumi."
Takeshi tersenyum kecut. "Mayumi melihat baya-
ngan serbuan itu dalam jiwanya. Tuanku Imagawa
pasti sulit mempercayainya. Kalau Mayumi diminta
membuktikan hal itu, dia akan mengalami kesulitan.
Kukira kita harus mencari suatu cara untuk menje-
laskan hal ini pada Tuanku Imagawa...."
Saburo diam beberapa saat. Ia dapat memahami ke-
risauan Takeshi.
"Baiklah," akhirnya Saburo berkata. "Biarkan aku
yang menyampaikan hal ini pada Tuanku Imagawa."
*** Malamnya, Saburo Mishima duduk di depan Imagawa.
Mereka menikmati musik shamizen yang dipetik seo-
rang geisha. Irama musik mengalir seperti gerak tarian dua orang gadis Izu yang
menari di depan mereka. Gerakan tarian itu gemulai, suatu irama yang akhir-akhir
ini banyak diminati penari Suruga.
Saburo menceritakan pandangan Mayumi pada Ima-
gawa. Seperti yang sudah mereka duga, lelaki tersebut tidak mempercayainya
seratus persen. Ia merasa bimbang akan kebenaran tatapan paranormal itu.
"Apa jaminannya bahwa gadis itu tidak sedang
memperdaya kita?" Imagawa bertanya.
Saburo menjawab, "Dia telah berjuang melewati
maut untuk membebaskan Koroku."
"Itu sangat kuhargai."
"Mayumi tidak akan mengkhianati Anda."
"Baiklah kalau begitu, apa saranmu?"
"Satu-satunya jalan untuk membuktikan hal itu, ki-ta harus melihat dengan mata
sendiri." "Maksudmu?"
"Kalau Tuanku izinkan, saya akan berangkat ke
Owari untuk membuktikannya."
"Kau akan menerobos pertahanan musuh?"
"Benar, Tuanku."
"Apakah itu bukan berarti kau menyerahkan kepa-
lamu pada Oda Nobunaga?"
"Mudah-mudahan Dewa menyelamatkan diri ham-
ba." Paginya, ketika matahari baru sejengkal dari tanah, Saburo Mishima telah memacu
kuda menuju Owari.
Tatapannya lurus ke depan, berapi-api.
*** PERBINCANGAN DI ATAS BUKIT
KOJIRO duduk di atas batu, menatap bukit yang
menghampar di depannya. Selain pohon prem yang
menghijau di lereng bukit itu, terlihat ilalang seperti lidah api berwarna
kuning. Ujung ilalang itu berayun-ayun seperti ujung pedang ribuan jumlahnya.
Di kejauhan, tampak tenda-tenda tentara Oda No-
bunaga yang sedang membuat persiapan penyerbuan.
Kain tenda yang berwarna merah dilengkapi bendera serta api unggun, dari jauh,
tampak gemerlapan. Lebih dari seribu tenda saat ini memenuhi bukit. Bentuknya
mirip topi-topi warna tanah. Pada malam hari, tenda-tenda itu terlihat mirip
kota yang baru saja didirikan.
Bapa Lao sedang membuat api untuk menjerang air.
Lelaki itu mengumpulkan ranting dan kayu di sekitarnya untuk kayu bakar.
Beberapa kali lelaki tua tersebut harus meniup api agar tidak padam.
Selama beberapa hari Kojiro dan Bapa Lao tinggal di bukit itu, mereka
memperhatikan persiapan Oda Nobunaga. Dengan pengamatannya yang tajam, Kojiro
dapat mengetahui bahwa Nobunaga telah mempersiap-
kan seluruh pasukannya. Kaum samurai yang dulu
dikerahkan untuk mengejar Kojiro, kini telah dimobilisasi untuk menggempur
Suruga. "Tampaknya kali ini Nobunaga benar-benar ingin
merebut kemenangan," kata Kojiro sambil memandang tenda-tenda di kejauhan.
"Seluruh pasukan mereka telah dipersiapkan menggempur Suruga."
Bapa Lao hanya berdehem.
"Kira-kira apa yang bisa dilakukan Mayeda Toyo-
tomi bila menghadapi badai serbuan Nobunaga?"
"Kemenangan tidak hanya ditentukan oleh kekua-
tan pasukan."
"Tentu saja. Tetapi kekuatan merupakan salah satu penentunya."
"Benar."
"Artinya Nobunaga telah menang lebih dulu sebe-
lum bertempur dengan musuh."
"Itu kan hanya persangkaan...."
"Persangkaan" Apa maksud Bapa?"
"Persangkaan bahwa musuh tidak berbuat hal yang
sama," jawab Bapa Lao tetap asyik dengan api buatannya. Ia tengah menghangatkan
kedua telapak ta-
ngannya. "Di sini kita membayangkan Nobunaga akan menang dengan mudah. Itu kan
hanya persangkaan.
Kita tidak tahu bagaimana Mayeda mempersiapkan pasukan untuk menahan serbuan
Nobunaga. Siapa tahu
dia mempersiapkan pasukan dalam jumlah lebih ba-
nyak, persenjataan lebih hebat, dan taktik lebih jitu.
Kita tidak tahu, bukan?"
"Ya."
"Karena itu semua kukatakan hanya persangkaan.
Belum tentu persangkaan itu akan menjadi kenya-
taan." Tiba-tiba semak di belakang mereka gemerisik, diinjak orang. Bapa Lao menoleh.
Ia melihat sesosok tubuh keluar dari kegelapan. Seorang lelaki bertubuh kekar
yang berjalan terpincang-pincang. Dari raut wajahnya dapat diketahui pasti
lelaki itu seorang samurai pe-ngembara. Kecuali rambutnya diikat dengan tali
jerami, di pinggangnya terselip dua pedang panjang. Sinar matanya terlihat tajam
dan mengancam. Bapa Lao menatap kehadiran lelaki itu sambil terus meletakkan kayu bakar di atas
api. "Jangan berdiri di kegelapan," kata Bapa Lao ha-
ngat. "Kemarilah. Di sini ada api dan ubi...."
Kojiro berjalan mendekat ke arah Bapa Lao. Ia se-
benarnya tidak menyetujui sikap pendeta itu.
"Silakan duduk," kata Bapa Lao tetap dengan sikap ramah.
"Bau ubi bakar itu telah merangsang seleraku," kata samurai itu sambil melangkah
mendekat. "Bolehkah
aku minta sedikit untuk ganjal perut?"
Bapa Lao menjawab, "Jangan sungkan-sungkan.
Kemarilah. Kukira ubi bakar ini masih cukup untuk kita bertiga."
Samurai tersebut menyeringai. Kemudian berjalan
mendekat. Cahaya api kayu bakar membuat wajahnya
yang bercambang menjadi jelas. Seketika Kojiro tersi-rap darahnya. Samar-samar
ia teringat siapa lelaki tersebut.
"Saya pendeta Lao," kata Bapa Lao memperkenal-
kan diri. "Orang-orang menyebut saya Bapa Lao, dan itu murid saya...."
"Saya Ishida Mitsunari."
Kojiro seketika menoleh, ia terkejut. Untung kegelapan malam itu menyembunyikan
perubahan wajahnya.
Apakah dia akan mengenaliku"
Mitsunari duduk di dekat Bapa Lao, kemudian mu-
lai menghangatkan kedua tangannya di atas api. Ia mengambil ubi bakar, lalu
menikmatinya. Bapa Lao
melayani lelaki itu dengan ramah.
"Kelihatannya Anda baru melakukan perjalanan
jauh," kata Bapa Lao tanpa tekanan.
"Begitulah. Saya baru saja dari Mikawa."
"Mikawa?"
"Benar. Di sana saya mendengar berita tentang pe-
nyerbuan yang akan dilakukan Oda Nobunaga ke Su-
ruga. Rupanya berita itu tidak seperti yang saya duga.
Di Owari tersebar desas-desus hampir seratus ribu prajurit telah dikerahkan oleh
Hosokawa untuk mem-
balas kekalahan mereka dari Mayeda."
"Seratus ribu?"
"Ya, itulah yang saya dengar."
"Itu pasti omong kosong. Dari mana Nobunaga me-
miliki seratus ribu prajurit" Kukira kekuatannya tak lebih dari empat puluh ribu
orang." "Dia sengaja menyebarkan berita itu untuk me-
nakut-nakuti Mayeda."
"Itulah yang tampaknya terjadi," kata Bapa Lao
sambil menuang air panas pada cangkir teh Mitsunari.
"Apa yang sedang terjadi di Mikawa?"
"Tidak ada. Tokugawa saat ini sedang membangun
benteng di dekat Sungai Isyu. Mereka telah mendengar pertentangan Nobunaga
dengan Suruga semakin kuat, karena itu Tokugawa menghalangi wilayahnya dimasuki
pasukan kedua belah pihak. Benteng itu dibuat dari bambu, tetapi tampak kokoh
sekali. Rasanya para jenderal Mikawa telah melakukan sesuatu yang terbaik."
"Pengamatan Anda tajam sekali...."
"Saya dulu seorang panglima perang."
Bapa Lao tampak terkejut mendengar jawaban itu.
"Rasanya menyenangkan berbincang-bincang de-
ngan seorang panglima perang di tengah udara dingin seperti saat ini," kata Bapa
Lao sambil tersenyum. Kemudian kedua orang itu terlibat perbincangan yang
mengasyikkan kemungkinan yang akan terjadi dalam
pertempuran Owari melawan Suruga.
Menurut Mitsunari, Mayeda berada dalam posisi
kuat karena tentaranya tidak mengalami keletihan dalam perjalanan. Bila posisi
ini dimanfaatkan secara te-pat, dapat dipastikan Mayeda akan berhasil memukul
mundur Oda Nobunaga.
"Tetapi keadaan akan berubah apabila Hosokawa
mengepungnya," kata Mitsunari bersungguh-sungguh.
"Pengepungan akan memecah kekuatan Mayeda, dia
akan kehilangan daya pertahanan sehingga memiliki banyak titik lemah."
"Pengamatan Anda benar-benar tajam," puji Bapa
Lao. "Nobunaga akan semakin lemah karena dia telah kehilangan salah seorang
panglima perangnya."
Ishida tersenyum. Lalu kembali minum teh dari
cangkirnya. Mereka kembali berbincang-bincang, sementara Kojiro mendengarkan
dari tempatnya berba-
ring. Dari ucapannya, Bapa Lao dapat mengetahui ba-
gaimana sikap Mitsunari. Lelaki itu rupanya masih menyimpan dendam yang mendalam
pada Saburo. Per-jalanannya ke Mikawa, bahkan hingga perbatasan Suruga, tak
lebih adalah untuk memburu Saburo.
"Kenapa Saburo menjadi demikian penting untuk
dibunuh?" Bapa Lao bertanya.
"Karena dia telah mempermalukan diriku. Hanya
dengan membunuhnya aku memperoleh kehormatan-
ku lagi." "Tetapi di mana sesungguhnya kesalahannya?"
"Karena dia tidak membunuhku saat itu."
"Tetapi bukankah dengan tidak membunuh Anda,
Saburo telah memberikan kesempatan pada Anda un-
tuk merasakan kehidupan hingga saat ini?"
"Kehidupan apa?"
"Kehidupan di mana Anda semakin memahami wa-
tak manusia. Hikmah dari kekalahan yang Anda alami dari Saburo telah memberikan
pengalaman hidup lebih banyak bagi Anda."
Mitsunari menggeram, "Semua itu akan berarti apa-
bila aku dapat memenggal kepalanya."
"Kepala Saburo saat ini tidak ada artinya dibanding perkembangan keadaan yang
sedang terjadi."
"Maksudmu?"
Bapa Lao menghela napas panjang. Sejenak ia mem-
buang pandang ke arah tenda-tenda pasukan Nobuna-
ga. "Pada saat ini semua orang tengah mempertaruhkan hidup mereka untuk sesuatu


Shugyosa Samurai Pengembara 8 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang besar. Suatu
kemenangan atau kekalahan di medan perang. Beta-
papun kecil peran para prajurit itu, tetapi mereka ikut berperan pada jalannya
sejarah di kemudian hari. Suatu sejarah yang sangat menentukan, apakah Oda No-
bunaga, Mayeda, atau Tokugawa yang akan berkuasa
di Jepang. Dalam keadaan seperti itu, Anda belum be-ranjak sama sekali dari
dendam pribadi terhadap Saburo. Bukankah ini sangat menggelikan?"
Mitsunari menatap Bapa Lao dengan tajam.
"Sebagai seorang panglima perang, tentunya Anda
lebih berguna memikirkan taktik atau strategi pertempuran melawan musuh,
dibanding misalnya, Anda cu-
ma memikirkan dendam pribadi pada Saburo."
"Perbincangan ini tiba-tiba jadi menarik."
"Saya tak ingin mempengaruhi sikap Anda," ujar
Bapa Lao. "Tetapi mari kita bahas satu persatu."
*** Hosokawa tengah mendengarkan laporan mata-mata-
nya. "Jadi Imagawa dapat menyelamatkan diri dari pe-
rangkap itu?"
"Benar, Tuanku."
"Dia lalu membangun kekuatan?"
"Benar, Tuanku."
"Dia juga telah mengetahui kalau Mayeda berkhia-
nat?" "Benar, Tuanku."
"Bahkan dengan tangannya sendiri Imagawa meng-
hukum Putri Tazumi?"
"Itulah yang hamba dengar."
"Semua ini karena Saburo Mishima."
"Dialah yang menyelamatkan Yang Mulia Imagawa,
lalu mulai menyusun rencana kembali ke Istana Suru-ga."
"Ini adalah kabar baik dan kabar buruk. Kabar baik karena dengan demikian Mayeda
Toyotomi akan terpe-cah perhatiannya, sehingga kita dapat memukulnya.
Kabar buruk karena berarti kita akan menghadapi musuh berlapis. Sesudah Mayeda,
kita akan menghadapi Imagawa dan Saburo."
"Hamba menunggu perintah Tuanku."
"Kembalilah ke Suruga, aku ingin tahu lebih jauh
apa yang akan mereka lakukan."
Setelah mata-mata itu pergi, Hosokawa berkata pa-
da salah seorang pengawalnya.
"Berangkatlah malam ini juga ke Kamakura, la-
porkan pada Yang Mulia Nobunaga tentang perkem-
bangan yang baru saja engkau dengar. Kemudian tung-gu, apa perintahnya."
*** PERSIAPAN NOBUNAGA tengah terbaring di ranjang menikmati
cumbuan Naoko. Perempuan itu bergerak seperti seekor ular, membelit dan terus
menjulurkan lidah untuk menciumi kekasihnya. Nobunaga sesekali menggeliat,
merasakan kenikmatan menjalar dari bagian tubuhnya yang sensitif.
Nobunaga tersenyum. "Kau benar-benar gila."
"Tetapi engkau menyukainya, bukan?"
"Kegilaanmu yang membuat aku tergila-gila."
Naoko tersenyum, lalu mulai beraksi lagi. Nobunaga
mengerang merasakan kenikmatan yang sensasional.
Mereka bercinta dengan menggebu-gebu. Dengan se-
gala cara wanita itu berusaha memuaskan kekasihnya.
Satu jam kemudian mereka berbaring sambil ber-
pelukan. Ranjang itu basah oleh keringat mereka.
"Kalau Hosokawa kembali dengan membawa kepala
Mayeda," kata Naoko dengan lembut. "Aku ingin melakukan kunjungan ke Istana
Suruga." "Untuk apa?"
"Kudengar keramik serta kerajinan tangan dari Su-
ruga sangat terkenal. Aku ingin mengumpulkannya
untuk menghias istana ini. Kukira tidak pantas istana kediaman seorang shogun
dengan wilayah kekuasaan
sangat luas tak mempunyai ruang seni."
"Aku sudah memilikinya."
"Mana?"
"Kamar ini."
"Maksudmu?"
"Engkau adalah karya seni yang hebat. Seni ber-
cinta yang kaumiliki tak ada tandingannya. Bila pernah mengalaminya, semua orang
pasti akan memuji-
mu setinggi langit."
"Aku membutuhkan lebih dari itu."
Nobunaga tersenyum senang. Dengan lembut ia
membelai payudara Naoko, mengaguminya. Payudara
itu besar dan kenyal.
"Kau benar-benar hebat," kata Nobunaga tanpa te-
kanan. "Kalau kau dilahirkan sebagai seorang laki-laki, kau pasti akan menjadi
seorang jenderal yang hebat.
Bahkan bukan mustahil kau menjadi seorang shogun
yang sangat berkuasa. Tak seorang pun yang akan
menyangkalnya."
"Pernahkah kau memikirkan lahirnya seorang shogunatari?"
"Apa yang ada dalam benakmu?"
Naoko berbalik. Bibirnya yang sangat sensual ter-
senyum mempesona.
"Seandainya penaklukan Suruga telah selesai," kata Naoko datar. "Lalu kita
berhasil menaklukkan Mikawa, Kai, Mino, dan wilayah lainnya, kurasa kau akan
sangat sibuk mengurus kekuasaan. Bukankah lebih baik aku menjadi shogunatari
untuk menangani sebagian
wilayahmu?"
"Luar biasa. Itu ide yang hebat."
"Aku akan menjadi penguasa yang mengabdikan di-
ri pada dirimu."
"Kau akan membuat seluruh Jepang tergoncang.
Belum pernah ada seorang wanita berkuasa...."
"Kekuasaanmu yang hebat akan membuat Jepang
terdiam. Goncangan akan ada, tetapi tidak berarti apa-apa. Pasukan kita akan
sanggup meredam kegonca-
ngan itu."
"Shogunatari...."
"Kalau hal itu terjadi, aku akan menyerahkan seluruh jiwa ragaku untukmu."
"Shogunatari.... Wah, betapa hebatnya sebutan itu."
"Shogunatari bukan hanya sebutan," kata Naoko
dengan tegas. "Sebutan itu akan menjadi emas kawin paling indah dalam perkawinan
kita." Nobunaga terperanjat. Ia menarik diri ke atas de-
ngan mata terbelalak, "Perkawinan?"
"Ya, perkawinan kita."
"Kita akan kawin?"
"Kita akan kawin, punya anak, dan memupuk ke-
kuasaan bersama-sama."
Nobunaga tak sempat menanggapi karena Naoko te-
lah mencumbunya kembali dengan penuh semangat.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekati kamar.
Suara para pengawal terdengar menghentikan seseo-
rang. "Yang Mulia Nobunaga," terdengar suara pengawal.
"Ada utusan dari Hosokawa."
"Sialan!" rutuk Nobunaga. "Tidak bisakah mereka
tidak mengganggu?"
Nobunaga mencoba bangkit dari ranjang, tetapi Na-
oko terus memeluk dan menciumi dadanya.
"Prajurit Hosokawa," kata Nobunaga.
"Biarkan dia menunggu."
"Kukira aku akan mendapat laporan penting."
Pintu geser itu dibuka dari dalam, kemudian Nobu-
naga melangkah dengan wajah merah dan berkeringat.
Suaranya menggelegar, "Ada apa?"
Kurir Hosokawa membungkuk hingga wajahnya me-
nyentuh lantai, lalu dengan suara mantap ia memberikan laporan. Secara rinci ia
menguraikan keadaan di medan tempur, termasuk berita keberhasilan Imagawa
menyelamatkan diri.
"Bedebah!" kata Nobunaga menggeram ketika kurir
itu selesai bercerita. "Saburo Mishima benar-benar be-debah!"
Semua pengawal dan kurir itu duduk membeku.
"Jadi Imagawa dapat diselamatkan oleh panglima
Ashikaga itu?"
"Benar, Yang Mulia."
"Kurang ajar! Kalau saja panglima celaka itu dapat kita tangkap, aku akan
memenggal kepalanya dengan tanganku sendiri."
"Dia kini tengah membangun kekuatan di Suruga
untuk menggempur Owari."
"Aku ingin lelaki jahanam itu dipancung!"
Sesudah berkata begitu, Nobunaga berbalik kembali ke kamarnya. Saat pintu geser
itu tertutup, muncul Naoko dari dalam kamar. Wanita itu menunggu tanpa selembar
benang pun menempel di tubuhnya.
*** Satu jam sesudah pergumulan yang meletihkan de-
ngan Nobunaga, Naoko duduk di salah satu ruangan di Istana Kamakura. Di depannya
seorang laki-laki duduk bersila. Dari cara berpakaiannya dapat diketahui dia
seorang ninja. Pakaiannya menutupi seluruh tubuhnya. Tetapi berbeda dengan
pakaian Takeshi, ninja di depan Naoko berpakaian serba merah. Ia bersila, la-lu
menghormat dengan membungkukkan badan hingga
wajahnya menyentuh lantai.
"Apa yang dapat kaulaporkan?" Naoko bertanya.
"Pada saat ini gerakan pasukan Hosokawa maupun
Mayeda sudah hampir mencapai titik pertempuran.
Masing-masing memimpin kekuatan yang hampir
seimbang. Dilihat dari kekuatan pasukan, mereka pasti akan terlibat dalam
pertempuran yang hebat. Namun satu hal yang menguntungkan pihak Hosokawa, saya
dengar saat ini Mayeda tergoncang akibat kematian Putri Tazumi, padahal wanita
itu yang pada awalnya menggerakkan Mayeda Toyotomi untuk menggulingkan
pemerintahan Imagawa."
"Itu akan menjadi titik lemah Mayeda."
"Benar."
"Seharusnya dalam keadaan seperti sekarang Hoso-
kawa melancarkan serangan besar-besaran ke pusat pertahanan musuh."
"Itu yang sekarang belum terjadi. Bahkan terlihat Hosokawa menunda-nunda
penyerangan. Ia tampak
bimbang untuk melakukan serbuan."
"Kenapa?"
"Saya mendengar Panglima Hosokawa menunggu
perintah Tuanku Nobunaga...."
"Tolol benar kalau dia berpikir begitu," tukas Naoko uring-uringan. "Untuk apa
dia menjadi panglima kalau
untuk melakukan penyerangan masih menunggu No-
bunaga. Benar-benar bodoh!"
"Itulah keadaan yang dapat saya laporkan saat ini."
"Berapa kira-kira kekuatan Imagawa saat ini?"
"Tanpa kekuatan prajurit Mayeda, kekuatan Im-
agawa tak lebih dari enam ribu orang."
"Seharusnya kita dapat memukulnya dengan sekali
penyerbuan. Bukankah begitu?"
"Benar. Hamba sendiri heran kenapa Hosokawa ti-
dak melakukan serangan."
"Baiklah. Biar aku bicara dengan Yang Mulia Nobu-
naga agar dia segera memerintahkan Hosokawa ber-
tindak. Semakin cepat penyerbuan dilakukan tampaknya akan semakin baik bagi
kita." Ninja itu membungkukkan badan sambil berkata,
"Saya menunggu perintah selanjutnya."
"Kembalilah ke medan pertempuran, kumpulkan la-
poran sebanyak-banyaknya untukku. Aku ingin me-
ngetahui apa alasan Hosokawa tidak bertindak dan
apa yang menyebabkan Mayeda tidak menyerang. Tam-
paknya ada suatu teka-teki yang tidak kuketahui."
"Baik. Kalau begitu saya pergi."
Sesudah ninja itu pergi, Naoko segera berdiri me-
nuju ke kamar Nobunaga.
*** PENCARIAN MAYUMI tiba-tiba menggeliat. Seluruh tubuhnya geme-tar. Matanya terbuka. Seperti
layar terbentang di depannya, gambar yang berubah-ubah. Ia mencoba me-
musatkan konsentrasi untuk melihat gambar-gambar
di depan matanya dengan jelas.
Saburo Mishima tampak mencabut pedang, ia meng-
hadapi kepungan para samurai Nobunaga yang tak
terhitung jumlahnya. Mereka terus merangsak dengan ganas, seperti sekumpulan
serigala yang haus darah.
Empat samurai yang rupanya menjadi pimpinan pe-
ngepungan itu bergerak kian rapat. Senjata mereka berdesing-desing mengancam.
Wajah keempat samurai tersebut kelihatan berapi-api, sepertinya pengepungan itu
hadiah dari langit.
Saburo bersiaga. Ia menghadapi keempat samurai
itu tanpa rasa takut. Kedua kakinya bergeser setapak demi setapak, mencoba
mencari posisi pertahanan
yang kuat. "Ciaaat!" serangan gencar terjadi.
Keempat samurai Nobunaga menerjang serentak.
Dalam sekejap terdengar suara senjata beradu.
Crang! Pijar api berkerjap dari bilah pedang beradu. Angin musim kering yang membawa
debu serta sampah de-daunan mengubah arena pertarungan mirip gurun
berkabut. Sabetan demi sabetan, tebasan pedang serta ayunan ninjato membuat
pertarungan kian seru.
Dua orang samurai menerjang Saburo. Pedang me-
reka seperti kertas tipis yang akan menebas leher Saburo.
"Awas, Saburo! " Mayumi menjerit.
Tiba-tiba Mayumi tersentak ketika Takeshi meng-
goncang-goncang bahunya.
"Ada apa, Mayumi" Ada apa?"
Mayumi sadar. "Saburo...."
"Ada apa dengan Saburo?"
"Dia berada dalam bahaya."
"Apa yang kau lihat?"
"Dia berada dalam kepungan para samurai Nobu-
naga. Tampaknya Saburo kewalahan."
"Kita harus menolongnya."
"Kalau belum terlambat."
*** Udara diselimuti mendung tebal. Langit berwarna ke-
labu. Angin dari arah Mikawa membawa butir-butir
debu dan sampah. Suasana kelihatan muram.
Saburo Mishima menyusuri jalan berkerikil menuju
Kamakura. Ia mengenakan pakaian lusuh. Kepalanya


Shugyosa Samurai Pengembara 8 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditutupi topi jerami sehingga menyembunyikan wajahnya dari pandangan orang.
Hanya pedangnya yang terselip di pinggang menjadi tanda bahwa ia seorang
samurai. Kedua kakinya mengenakan zori, sementara
kimononya diikat tali jerami.
Saburo beberapa kali terpaksa berhenti di pos penjagaan. Sejak pengiriman
pasukan ke Suruga, Nobu-
naga memang meningkatkan kewaspadaan di wilayah-
nya. Sejumlah pos penjagaan didirikan di luar kota untuk mengawasi orang-orang
yang datang ke Kamakura.
Dengan pengawasan itu, beberapa mata-mata berhasil ditangkap. Kepala mereka
dipancung, lalu digantung-kan di tepi jalan, sebagai peringatan bagi musuh.
"Siapa kamu?" seorang penjaga menghentikan Sa-
buro Mishima. "Saya, Satomi Tani."
"Berasal dari mana?"
"Miyama, perbatasan Kamakura."
"Mau ke mana?"
"Ke Kamakura."
"Mau apa?"
"Menjenguk anak saya...."
"Siapa?"
"Fukumiko."
"Di mana dia tinggal?"
"Di rumah hiburan Nagoka."
Penjaga itu mengawasi sejenak, lalu menyuruh Sa-
buro pergi. Saburo berjalan bergegas meninggalkan pos penjagaan itu. Ia
menyusuri jalanan ke arah kota.
Jalan menuju Kamakura sangat ramai. Para pe-
dagang berjalan bergegas sambil menyembunyikan wajahnya di balik tudung jerami.
Sinar mata mereka me-ngandung ketegangan. Para penduduk juga bersikap
tak berbeda. Mereka lebih senang menyimpan diri di rumah dibanding harus berada
di luar. Di beberapa tempat Saburo Mishima melihat para
pemuda berlatih di dojo. Setiap dojo diawasi dua atau tiga pendekar. Nobunaga
rupanya telah memobilisasi rakyat untuk memperoleh kekuatan yang diinginkan.
Pengawasan yang ketat seperti sekarang sangat berbahaya bagi penyusupan. Apabila
benar Yoshioka dan Bapa Lao berada di sini, aku harus segera me-nemukannya. Di
mana pun mereka, kini mereka berada di daerah musuh. Bahaya hanya sejengkal dari
badan. Ketika Saburo sampai di rumah hiburan Nagoka,
hari sudah gelap. Tempat hiburan itu dipenuhi pe-
ngunjung. Orang-orang minum sake sampai mabuk di-
temani para pelacur. Dua orang pemain musik shamizen di sudut ruangan tengah
mendendangkan lagu pe-desaan, suara mereka lembut. Para samurai di sekelilingnya
tampak bergembira ria. Mereka minum sampai air sakenya tumpah di pakaiannya,
tetapi mereka tidak peduli.
Saburo Mishima meletakkan pedang di meja, lalu
memesan sake. Seorang pelayan tergopoh-gopoh mela-yaninya.
"Kudengar panglima Hosokawa akan melakukan pe-
ngepungan terhadap Mayeda," kata salah seorang samurai yang mabuk. "Dia akan
menghancurkan sema-
ngat tentara Mayeda dengan cara itu."
"Lalu untuk apa sepuluh ribu pasukan yang dia
bawa saat ini?"
"Hanya untuk mengepung."
"Hanya untuk mengepung" Apa maksudmu?"
"Dia akan membuat pasukan lawan menjadi letih
karena menunggu. Sesudah itu, ketika musuh dalam
keadaan lengah, Hosokawa akan menyerang secara
mendadak. Dengan cara seperti itu dia berharap dapat menaklukkan Mayeda secara
mudah." Seorang samurai yang lain berkomentar, "Taktik itu memang luar biasa. Tapi semua
panglima pasti dapat memperhitungkannya."
"Maksudmu?"
"Maksudku, taktik itu sudah banyak dipelajari
orang. Kalau Mayeda tidak bodoh, dia akan membu-
yarkan pengepungan itu dengan penyerangan beran-
tai." "Kau pikir Mayeda sepintar itu?"
"Aku tidak tahu. Kita lihat saja nanti."
Samurai yang bertubuh gempal itu meraup uang
dari sakunya, lalu meletakkan uang itu di atas meja.
"Aku berani bertaruh seratus real untuk keme-
nangan Hosokawa. Siapa berani melawanku?"
Orang-orang di sekelilingnya hanya bisa bertatapan.
Tak seorang pun ingin mempertaruhkan uang seratus real untuk pertempuran yang
sulit ditebak. "Hayo, siapa yang berani melawanku?" teriak si
gempal sambil menenggak sake di cawannya. Setelah menunggu beberapa saat tetap
tidak ada yang berani mempertaruhkan uangnya, lelaki itu berkata, "Kalian
ternyata tidak bodoh. Dilihat dari sudut mana pun, Hosokawa pasti menang. Dia
jauh lebih hebat dibanding Mayeda."
"Aku sependapat denganmu," sahut temannya.
"Bagaimana pun dia dulu seorang panglima Ashika-
ga yang hebat."
"Tetapi Saburo Mishima lebih baik dibanding Hoso-
kawa." "Siapa bilang?"
"Aku. Kalau saja dia masih hidup, dia lebih pantas menjadi jenderal dibanding
Hosokawa."
"Tetapi dia sudah lenyap."
"Siapa bilang dia lenyap?"
"Orang-orang mengatakan demikian. Sejak Ashika-
ga jatuh, dia tidak lagi ketahuan di mana rimbanya."
Samurai lain menimpali, "Kudengar dia menjadi
shugyosa."
"Setiap orang dapat berkata begitu, tetapi sampai kini tak seorang pun pernah
bertemu dengannya."
"Sudah pasti dia menjauhi Owari. Kalau dia berani kemari, kita akan mudah
memenggal kepalanya."
"Ya, benar."
"Tak ada harimau mendekati perangkap."
Mereka kembali minum, sementara geisha yang me-
nemani mereka tampak tertawa-tawa manja. Samurai
yang bertubuh gempal menarik leher salah seorang
geisha kemudian menciumi leher wanita itu.
"Bagaimana dengan putra Ashikaga?" salah seorang
samurai bertanya.
"Putra Ashikaga?"
"Ya, kudengar dia berada di Kamakura beberapa
waktu lalu."
"Omong kosong!" sergah samurai bertubuh gempal.
"Bodoh sekali kalau dia berani datang kemari. Secara seketika Nobunaga akan
menangkapnya."
"Buktinya dia bisa bebas berkeliaran...."
"Itu kan hanya desas-desus, tak ada buktinya."
Saburo Mishima menghela nafas panjang. Pikiran-
nya segera berputar. Nalurinya mengatakan, desas-
desus itu pasti suatu kenyataan yang disembunyikan.
Diam-diam, dalam hati, ia yakin Yoshioka berada di Kamakura. Tetapi entah di
mana. Meskipun telah menghabiskan dua cawan, tetapi
Saburo membiarkan dirinya tetap di dalam rumah hiburan itu. Ia ingin
mendengarkan lebih banyak lagi berita tentang Yoshioka.
Empat orang samurai memasuki rumah hiburan
itu. Para geisha yang sedari tadi duduk di sudut, seketika berdiri menyambut
keempat samurai itu. Me-
reka duduk mengitari meja panjang di belakang Sabu-ro. Para pelayan dengan
tergopoh-gopoh segera me-
layani. Kehadiran mereka ternyata mengubah keadaan.
Orang-orang di tempat itu tidak lagi bicara bercericau.
Orang-orang kemudian berbicara berbisik-bisik. Di seluruh ruangan, kharisma
keempat samurai itu dapat dirasakan.
Ketika Saburo berniat mengangkat cawan, tiba-tiba sudut matanya menatap seorang
pendeta Budha dan
seorang anak kecil menyeberangi rumah di depan rumah hiburan itu. Saburo diam
sejenak, lalu segera membayar minumannya. Ia berjalan bergegas-gegas,
hingga tanpa sadar kakinya tersandung kaki kursi salah seorang dari keempat
samurai itu. Saburo hampir saja jatuh. Ia segera membungkuk untuk meminta
maaf. "Maafkan saya," kata Saburo.
Keempat samurai itu menatapnya.
"Buka topimu kalau minta maaf," kata salah seo-
rang samurai itu penuh nada ancaman.
Pelan-pelan Saburo membuka topi jeraminya.
"Maafkan saya."
Keempat samurai itu menatap wajah Saburo dengan
tajam. Tak berkedip.
"Angkat wajahmu!" kata salah seorang samurai itu.
Pelan-pelan Saburo mengangkat wajahnya. Ia meli-
hat keempat samurai itu terbelalak melihat dirinya.
Keempat samurai itu berseru serentak, "Saburo Mi-
shima!" *** PERTARUNGAN PENGEPUNGAN kian rapat. Ada sekitar tiga puluh samurai mengepung Saburo Mishima.
Mata mereka be-
ringas memancarkan api kekejaman. Bilah-bilah pe-
dang memantulkan sinar rembulan, berkilat berkilau-an. Mereka bergerak seperti
sekumpulan serigala yang haus darah.
"Kita cincang tubuhnya!" teriak beberapa samurai
yang tampak tak sabar untuk menerjang.
"Kita kuliti tubuhnya!"
"Kita penggal kepalanya!"
Mereka bergerak merapat. Teriakan-teriakan liar terdengar bersahutan. Sementara
tangan mereka menga-
cau-ngacaukan pedang di udara.
Saburo tahu, para pengepung itu tak lebih para ronin yang memburu hadiah atas
kepalanya. Mereka tak lebih samurai tanpa ilmu pedang. Para petani yang menjadi
samurai karena kemiskinan. Hanya berani berteriak, namun akan kocar-kacir bila
diterjang. Dapat dikatakan para ronin itu bukan tandingannya. Tetapi keempat
orang murid Yagyu yang kini berdiri di depannya, adalah musuh tangguh yang tak
bisa diremehkan.
Mereka bisa membunuhku.
Keempat murid Yagyu itu kini berdiri mengepung
Saburo. Sikap mereka tenang. Tidak menunjukkan
nafsu berlebihan. Tetapi justru sikap itulah yang menyadarkan Saburo bahwa
mereka adalah lawan berat.
Saburo tahu, setiap murid Yagyu memiliki kemampuan yang khas, tidak ada yang
sama. Masing-masing murid
diarahkan untuk menggunakan senjata yang sesuai
dengan jiwa serta tubuhnya. Hal ini menyebabkan mereka memiliki kekuatan serta
kelemahan sendiri-sendiri yang tak mudah ditebak.
Saburo Mishima berdiri di tengah kepungan seperti seekor banteng luka. Sinar
matanya membeku, mengi-syaratkan tekadnya untuk menjalani pertarungan secara
habis-habisan. Dia tahu, dirinya tak bakal menang, tetapi dia pun menyadari
kematiannya akan di-kenang bila dia berhasil membunuh musuh sebanyak-
banyaknya. Karena itu Saburo mencabut kedua pe-
dangnya, siap menyongsong maut dengan gagah.
Keempat orang murid Yagyu melangkah dengan si-
kap waspada. Mereka berada dalam jarak paling dekat dengan Saburo, memimpin
pengepungan itu. Mata mereka mengikuti setiap gerak Saburo.
"Kami tidak menduga akan bertemu denganmu di
sini," kata salah seorang murid Yagyu. "Padahal selama berbulan-bulan kami sudah
melakukan perburuan
terhadapmu. Ini benar-benar berkah dari para Dewa."
Saburo melangkah mundur, seluruh otot lengannya
mulai mengeras. Genggaman tangannya seperti pegas, menjepit kuat gagang
pedangnya. "Tahukah engkau siapa kami?"
"Itulah yang ingin kuketahui...."
"Kami empat murid Yagyu."
Saburo mendesis, "Aku sudah menduganya."
"Sesudah engkau mengetahui siapa kami, tidakkah
sebaiknya engkau menyerah" Kami akan memperlaku-
kan kepalamu dengan rasa hormat."
"Saya akan merasa lebih terhormat bila dapat mati dalam pertarungan."
"Tak ada bedanya buat kami."
Secara serentak keempat murid Yagyu merapatkan
pengepungan. Meskipun mereka yakin akan meme-
nangkan pertarungan itu, namun mereka tak mau bersikap gegabah. Betapa pun
lemahnya posisi Saburo, namun lelaki itu seorang samurai yang hebat.
Murid tertua Yagyu berkata lantang pada orang-
orang di sekitarnya, "Kalian jangan turut campur! Ka-mi, murid Yagyu, akan
menyelesaikan urusan ini sendiri. Jangan coba-coba membantu kami apa pun yang
terjadi." Suasana menjadi bertambah mencekam. Udara sea-
kan berbau maut.
Ketegangan itu mencair ketika Saburo Mishima mu-
lai menerjang. Secara tak terduga ia menyerang salah seorang murid Yagyu dengan
tebasan melintang. Serangan itu ditangkis dengan tongkat berujung pisau,
kemudian sambil berputar, murid Yagyu membalas serangan dengan tongkat di
tangannya. Saburo merundukkan kepala, pisau murid Yagyu itu mendesis hanya se-
inci dari ujung rambutnya.
Baru saja Saburo berhasil menghindari serangan
pertama, murid Yagyu lainnya menyerbu dengan dua
buah pedang yang berputar seperti baling-baling. Serangan ini demikian kuat dan
berbahaya, karena itu Saburo bergulingan di tanah untuk menghindarinya. Beberapa
kali ia menangkis tikaman dua pedang maut
itu, tetapi tak urung lengannya tergores hingga mengu-curkan darah.
Saburo menyeringai kesakitan.
"Tampaknya pertarungan kita tidak seimbang," kata murid Yagyu tertua. "Kau tidak
akan bertahan lama."
"Tidak ada artinya buatku lama atau sebentar me-
lawan kalian," kata Saburo sambil menggerakkan tangannya. Genggamannya kini
lengket oleh darahnya
sendiri. "Suatu kehormatan buatku dapat melawan kalian berempat."
Saburo kini mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Ia menerjang dengan tebasan melintang, terdengar suara dentingan pedang.
Kemudian seperti angin taufan, pertarungan terjadi. Murid-murid Yagyu
terperanjat menghadapi serangan Saburo yang mengalir seperti
badai. Bilah pedangnya mendesis ke kanan ke kiri, seperti maut yang mencari
mangsa. Menyadari bahwa Saburo telah mengerahkan selu-
ruh kemampuannya, keempat murid Yagyu bergabung
menjadi satu dan memutar senjata mereka seperti baling-baling. Kini Saburo yang
terperanjat, ia terhempas ke belakang oleh suatu kekuatan angin puyuh yang te-
ramat dahsyat. Dadanya seketika sesak untuk bernapas.
Mereka menggunakan jurus 'Angin Badai Menyapu Lautan'.


Shugyosa Samurai Pengembara 8 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tekad baja, Saburo bangkit, lalu menerjang dengan tikaman ke pusat
kepungan empat murid Yagyu itu. Namun kali ini ia salah perhitungan, ketika
tikaman itu mengenai putaran senjata Yagyu, tangan
Saburo bergetar hebat, lalu ia terpental tiga meter ke belakang.
Mereka benar-benar tak terkalahkan!
"Kau akan mati," kata murid tertua Yagyu. "Hari ini kepalamu akan kupersembahkan
pada Yang Mulia
Oda Nobunaga."
"Kalian boleh mencoba, tetapi aku tidak akan me-
nyerah." Serangan kembali terjadi. Keempat murid Yagyu itu menerjang serentak. Tebasan
pedang, tikaman tombak, sabetan rantai, dan sabetan dua pedang yang mirip
baling-baling terus mencerca Saburo. Dengan susah payah Saburo mempertahankan
diri. Sesekali ia berhasil menyerang, namun serangannya tak berarti banyak.
Kepungan keempat murid Yagyu itu demikian ketat. Sedetik saja ia lengah, mata
pedang itu pasti
akan menyambar lehernya.
Setiap kali Saburo memiliki kesempatan mundur, ia berlari menghindari
pengepungan, tetapi seperti ge-lombang air, pengepungan itu melebar, lalu
kembali merapat. Meskipun tidak ikut menyerang, tetapi para samurai pengikut
Nobunaga tidak mau membiarkan
Saburo lolos. Lelaki itu tetap berada di tengah arena untuk dibantai.
Beberapa kali Saburo mencari celah untuk melo-
loskan diri, namun kesempatan itu tak pernah ada. Setiap kali ia mencoba membuka
peluang, puluhan sa-
murai menggebraknya, sehingga Saburo justru harus mempertahankan diri.
Tak ada jalan untuk lolos! Ini adalah jalan kema-tianku!
Saburo menerjang salah seorang murid Yagyu, te-
tapi sebelum pedangnya mencapai sasaran, tombak
murid Yagyu lainnya menikam pundaknya.
Crass! "Akh!"
Saburo berguling sambil mendekap pundaknya
yang berlumuran darah.
"Sebentar lagi kau akan mati," kata murid Yagyu.
"Katakan, di mana putra Ashikaga?"
Saburo berusaha berdiri. Saat ia bergerak, darah
mengalir dari pundak serta lengannya. Dengan sekuat tenaga ia siap menerjang,
namun tenaganya terasa hilang. Gerakannya menjadi lamban.
Dengan sekuat tenaga ia menebas, tetapi dengan
mudah dielakkan oleh murid Yagyu itu. Bahkan de-
ngan mudah, salah seorang murid Yagyu itu menen-
dang pantat Saburo hingga lelaki itu terjengkang.
Saburo bangkit lagi.
Aku harus bertahan! Harus!
Pada saat itu keempat murid Yagyu serentak mener-
jang, senjata mereka siap mencercah tubuh Saburo.
Tiba-tiba terdengar jeritan melengking, dan semua orang terbelalak ketika
menyaksikan empat tubuh ber-jumpalitan memasuki arena pertarungan langsung
menangkis serangan keempat murid Yagyu. Terdengar
suara berdenting, dan semua orang terpaku menyaksikan empat ninja telah siap
menghadapi musuh. Me-
reka tampak melindungi Saburo.
"Takeshi!" Saburo mendesis kesakitan.
Tak ada jawaban, saat itu terdengar ledakan yang
menyilaukan di seputar para ninja itu. Ketika asap ke-labu yang menyelimuti
tubuh mereka hilang, keempat ninja dan Saburo Mishima telah lenyap.
Keempat murid Yagyu dan puluhan samurai lainnya
terpana. "Jahanam itu lolos!"
*** KETIDAKSABARAN NOBUNAGA
KETIKA mendengar laporan tentang lolosnya Saburo
Mishima dari pengepungan, Nobunaga menggeram ma-
rah. Matanya terbuka lebar, sementara urat pada wajahnya seakan mencapai puncak
ketegangan. "Jadi jahanam itu diselamatkan oleh ninja?" sua-
ranya menggelegar di ruang pertemuan itu. "Ninja?"
Murid tertua Yagyu membungkukkan badan hingga
kepalanya menyentuh lantai, "Benar, Yang Mulia."
"Kurang ajar! Rupanya mereka belum kapok dengan
penumpasan yang kulakukan beberapa tahun lalu.
Tahukah kalian ninja dari mana mereka?"
"Semua terjadi demikian cepat, sehingga kami tidak mengetahui dari mana mereka
berasal." "Tidakkah kalian mengenali dari pakaian mereka?"
"Mereka menggunakan petasan untuk melindungi
tubuh mereka."
"Aku tahu," kata Nobunaga dengan penuh dendam.
"Mereka pasti berasal dari hutan-hutan di sekitar Kamakura. Karena itu, sekarang
siapkan lima ribu prajurit untuk menghukum para ninja. Sudah kukatakan,
aku tidak akan mengganggu mereka apabila mereka
menghormati kekuasaanku. Tetapi dengan cara me-
reka menyelamatkan Saburo, sama dengan meludah di mukaku. Mereka harus dihukum!"
Semua orang terdiam.
"Sesudah bertahun-tahun melawan perintahku, ru-
panya para ninja telah berhasil bangkit kembali. Dan sekarang mereka telah
bersekongkol dengan Saburo
untuk menentangku. Ini benar-benar sangat berba-
haya. Terpaksa aku harus membasminya lagi. Bila di-biarkan, para ninja dapat
mengancam kekuasaanku."
"Kapan prajurit harus disiapkan?"
"Sekarang juga. Besok pagi, sebelum fajar menyingsing, aku akan memimpin sendiri
pembasmian itu."
Keempat murid Yagyu segera meninggalkan tempat
itu. Mereka tampak gembira dengan keputusan itu. Di antara pengikut Nobunaga,
mereka berempat memang
yang merasa paling terpukul. Hanya tinggal sedetik mereka sudah berhasil
membunuh Saburo, tetapi ninja itu berhasil menyelamatkannya.
"Bila pembasmian ini berhasil, akan memudahkan
kita." "Kali ini kita harus berhasil."
"Ya, harus berhasil. Rasanya aku ingin sekali me-
menggal kepala Saburo."
Nobunaga berjalan menuju ke kamar ketika terde-
ngar suara Naoko di belakangnya.
"Apakah penyerbuan itu perlu?"
Nobunaga menoleh, "Penyerbuan mana?"
"Penyerbuan ke sarang para ninja."
"Ya. Kenapa?"
"Apakah tidak sebaiknya engkau memusatkan per-
hatian pada pasukan Mayeda?"
"Kenapa harus begitu" Hosokawa akan berhasil me-
menggal kepala Mayeda."
"Bagaimana kalau tidak?"
"Engkau meragukan kekuatan pasukanku?"
"Tidak. Tetapi betapa pun tentara Mayeda tidak dapat diremehkan. Apabila kali
ini Hosokawa mengalami kekalahan, keadaan akan menjadi lebih buruk."
"Jangan khawatir, aku tahu siapa Hosokawa. Dia
jenderalku yang terbaik. Dia tahu apa yang harus dilakukan."
"Tetapi kenapa engkau harus memimpin sendiri pe-
nyerbuan pada para ninja" Bukankah sebenarnya su-
dah cukup kalau dilakukan oleh murid-murid Yagyu?"
"Sejak dulu aku merasa geram dengan para ninja.
Mereka tidak patuh pada pemerintahanku. Meskipun
aku pernah membumihanguskan tempat tinggal me-
reka, tetap saja mereka melawanku. Aku ingin sekali lagi membuat peringatan pada
mereka agar tunduk
pada kekuasaanku."
Naoko menghela napas panjang. Rasanya sulit men-
cegah kemauan Nobunaga.
"Aku hanya khawatir."
"Engkau tidak usah khawatir," kata Nobunaga sam-
bil mendekati Naoko. "Ini adalah urusan lelaki."
Seusai berkata begitu, Nobunaga bergegas pergi.
Pakaiannya yang berwarna kuning emas berkibar se-
perti kain diterbangkan angin.
Naoko diam sejurus, lalu ia masuk kamar. Ia me-
noleh ke kanan ke kiri, lalu bertepuk tangan tiga kali.
Dari sebuah bilik muncul seorang ninja. Pakaiannya serba merah.
"Adakah yang harus saya lakukan?"
"Selidiki secepatnya, siapa yang telah menyelamatkan Saburo hari ini. Aku ingin
mendengar laporanmu malam ini."
"Baiklah."
"Satu hal lagi, aku tetap menunggu laporan dari
medan pertempuran. Aku membutuhkan berita menge-
nai jalannya pertempuran."
"Malam ini laporan akan datang."
Naoko menghela napas sepenuh dada.
"Sebelum engkau pergi, perintahkan pada pasukan
kita untuk bersiap-siap."
"Baiklah."
Seusai menjawab, ninja itu mengendap-endap pergi.
*** Di tengah hutan itu, empat orang ninja terlihat berlari dengan cepat. Saking
cepatnya, kaki mereka seakan tidak menjejak tanah. Cara berlari mereka seperti
ma-can kumbang. Salah seorang di antara mereka me-
manggul tubuh Saburo yang tampak bergelayut tak
berdaya. Malam mulai menyelimuti hutan itu. Tetapi seperti tak mengenal lelah, keempat
ninja itu terus berlari. Mereka seperti sekawanan binatang yang telah mengenali
tempat itu, sehingga dapat berlari secepat angin.
Di tepi sebuah telaga, mereka secara serempak berhenti, lalu membaringkan Saburo
di atas rumput. Secara serempak mereka mencabut kedok yang menu-
tupi wajah mereka.
Saburo mendesis kaget, "Mayumi!"
Takeshi berkata, "Mayumi melihat pertarunganmu
dari jauh. Dia yang memberitahuku untuk segera bertindak."
"Terima kasih."
Saburo kemudian pingsan.
Mayumi segera menoleh pada kedua ninja yang lain.
"Cepat cari daun-daunan untuk mengobati luka-
nya." Kedua ninja di samping Takeshi segera meloncat
dan berlari. Mereka menerobos hutan.
"Lukanya cukup parah," kata Takeshi. "Tikaman
tombak murid Yagyu itu cukup dalam."
"Untung tidak beracun...."
Setengah jam kemudian kedua ninja yang disuruh
mencari daun-daunan datang. Mereka membawa daun
serta akar-akaran. Mayumi segera menumbuk daun
serta akar-akaran itu di batu, kemudian menutup luka Saburo. Dengan cekatan ia
melepas ikat kepalanya untuk mengikat luka itu.
"Kita harus menyembunyikannya," kata salah seo-
rang ninja yang tadi mencari daun-daunan. "Tadi kami melihat ribuan tentara
Nobunaga menuju kemari."
"Mereka mengejar kita?"
"Kami tidak tahu. Tetapi jelas sekali mereka siap berperang."
"Mungkin saja Nobunaga marah karena kita menye-
lamatkan Saburo," kata Takeshi. "Kita harus segera menyingkir dari sini. Jangan
sampai kita tertangkap."
"Kalau begitu kita harus pergi sekarang."
"Kita harus pergi, tetapi salah seorang dari kita harus memberitahu desa-desa
ninja di sekitar hutan ini.
Jangan sampai pasukan Nobunaga berhasil melaku-
kan pembantaian."
Salah seorang ninja itu menjawab, "Biar aku yang
akan memberitahu mereka."
"Ungsikan mereka sebelum terlambat," kata Mayu-
mi. "Baik."
Mayumi menoleh pada Takeshi, "Sekarang kita be-
rangkat." "Ayolah," kata Takeshi. "Lebih baik kita menjauhi orang kalap."
Sambil memanggul Saburo, Takeshi mulai berlari
meninggalkan hutan itu. Gerakan mereka seperti ma-can kumbang, melesat melawan
angin. *** HUTAN KOSONG PENYERBUAN Nobunaga atas perkampungan ninja
akhirnya menjadi suatu kegagalan. Hutan di sekitar Kamakura yang diperkirakan
menjadi pemukiman pa-ra ninja telah kosong. Tidak satu orang pun tampak tinggal
di hutan itu. Nobunaga sangat marah, sehingga dia memerintahkan pasukannya untuk
membakar rumah-rumah yang mereka jumpai. Api menjilat-jilat ke langit, membuat
asap membubung seperti jelaga hi-tam.
Satu hal yang membuat Nobunaga gusar, sebelum
meninggalkan desanya, para ninja telah memasang perangkap serta jebakan maut.
Ketika prajurit Nobunaga mendekati salah satu desa, tiba-tiba ratusan anak panah
melesat dari balik hutan.
Puluhan prajurit Nobunaga menjerit sekarat. Ketika melihat teman-temannya
bergelimpangan, prajurit lain menyerbu, tetapi mereka terjungkal ke dalam lubang
yang dalam berisi bambu-bambu runcing. Terdengar
jeritan kematian yang memilukan.
Nobunaga menjadi kalap. Ia mulai memerintahkan
prajuritnya membumihanguskan rumah-rumah yang
mereka lewati. "Pasti ada yang berkhianat!" kata Nobunaga dengan marah. "Pasti ada orang yang
membocorkan rencana
ini. Tak mungkin kalau tidak, tidak seorang ninja pun kita jumpai."
"Mereka telah mendengar terlebih dulu."
"Ya, pasti ada musuh di istana."
Nobunaga kemudian memerintahkan pasukannya
kembali ke Kamakura. Mereka berjalan menuruni bu-
kit dengan perasaan marah. Beberapa rumah petani
yang dilewati, akhirnya dijadikan pelampiasan kemarahan itu. Tanpa ragu-ragu
pasukan Nobunaga mem-
bakari rumah-rumah itu. Mereka tidak peduli lagi dengan pemilik rumah yang
menjerit-jerit minta diampuni. Pembakaran demi pembakaran dilakukan tanpa se-
pengetahuan Nobunaga. Ia berada paling depan se-
hingga tak mengetahui bahwa sebagian pasukannya
mengganas di sepanjang jalan menuju Kamakura. Bahkan beberapa samurai menyeret
anak perempuan para petani lalu memperkosanya. Jerit tangis pilu terdengar di
mana-mana. Tetapi Nobunaga tidak tahu.
"Siapa pun orangnya yang berhasil menangkap peng-
khianat di istana akan memperoleh hadiah dariku,"
kata Nobunaga pada para pengawalnya. "Umumkan
dekritku ini."
Dekrit Nobunaga menjadikan wilayah Owari kehi-
Ratu Perut Bumi 2 Tugas Rahasia Karya Gan K H Kemelut Di Majapahit 16
^