Memanah Burung Rajawali 24
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 24
Khu Cie Kee tidak sendirian, di sampingnya ada Tan Yang Cu Ma Giok, Giok Yang Cu
Ong Cie It, Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie serta In Cie Peng, muridnya. Kedatangan
Khu Cie Kee kali ini pun untuk urusan muridnya ini.
Ketika itu hari In Cie Peng kena dihajar Oey Yok Su hingga giginya copot, ia
mengadu kepada gurunya. Kebetulan Khu Cie Kee berada di Lim-an. Dia kaget dan
gusar, maka mau lantas ia mencari Oey Yok Su. Ma Giok sabar, ia mencegah.
"Oey Lao Shia itu dulu harinya sama kesohornya dengan almarhum guru kita," kata
Cie Kee. "Di antara kita bertujuh, cuma Ong Sutee yang pernah bertemu dengannya
selama rapat di gunung Hoa San. Siauwtee mengagumi dia, memang siauwtee ingin
bertemu dengannya, maka inilah ketikanya yang baik. Siauwtee tidak memikir untuk
menempur dia, kenapa suheng mencegah?"
Ma Giok tertawa dan berkata: "Aku dengar Oey Lao Shia itu aneh tabiatnya, sedang
kau, berangasan, maka jikalau kamu bertemu muka, kebanyakan bisa terbit onar.
Bahwa ia telah memberi ampun pada Cie Peng, itu tandanya ia menaruh muka..."
Cie Kee tidak dapat dibujuk, dia mau juga pergi, maka itu Ma Giok lantas
mengundang saudara-saudaranya untuk pergi ke Gu-kee-cun. Mereka sudah berkumpul
tetapi Ma Giok mengusulkan untuk mereka berlima yang pergi terlebih dulu. Tam
Cie Toan, Lauw Cie Hian dan Cek Tay Thong menantikan di luar kampung itu,
bersiap membantu kalau ada perlunya. Diluar sangkaan mereka, bukan mereka
bertemu Oey Yok Su, mereka melihat Bok Liam Cu. Khu Cie Kee mengenali nona itu,
maka itu selagi bersandung, ia menegur lebih dulu.
Melihat muridnya itu, Khu Cie Kee mengasih dengar suara di hidung, "Hm!" Dia
tidak memperdulikan. "Suhu," Cie Peng berkata, "Tocu dari Tho Hoa To menghina teecu justru di dalam
ini rumah penginapan."
Cie Peng sebenarnya menyebut Oey Yok Su dengan nama Oey Lao Shia, yang berarti
si Oey tua yang tersesat atau si Sesat bangkotan, tetapi ia ditegur oleh Ma
Giok, maka ia mengubah sebutannya.
Khu Cie Kee segera menghadapi rumah penginapan itu, dengan nyaring ia berkata:
"Murid-murid Coan Cin Kay ialah Ma Giok beramai, datang menghadap kepada Oey
Tocu dari Tho Hoa To!"
"Di dalam tidak ada orang," Yo Kang memberitahukan.
"Sayang, sayang," kata Cie Kee yang membanting-banting kaki. Tapi ia lantas
tanya muridnya: "Kau di sini, apa kau bikin?"
Hati Yo Kang sudah goncang karena melihat guru dan sekalian paman gurunya itu,
maka atas pertanyaan itu, ia tidak lantas dapat memberikan jawabannya.
Sementara itu Gochin Baki mengawasi Ma Giok, lalu ia lari menghampirkan, terus
ia berseru: "Oh, kaulah itu imam yang membantu aku menangkapi rajawali putih.
Lihatlah, sekarang itu sepasang rajawali telah menjadi besar sekali!"
Putri Mongolia ini menunjuk pada burungnya sambil bersiul, atas mana kedua ekor
burungnya itu lantas turun, menclok di kedua belah pundaknya.
Ma Giok tersenyum, ia mengangguk.
"Apakah dia pun datang ke Selatan ini untuk pesiar?" ia menanya.
Putri ini tahu siapa yang dimaksudkan dengan "dia" itu, lantas saja ia menangis.
"Anda Kwee Ceng telah dibikin celaka orang hingga mati!" katanya sengit.
"Totiang, tolong kau balaskan sakit hatinya!"
Ma Giok terkejut hingga ia mencelat. Dengan bahasa Tionghoa ia lalu memberi
keterangan kepada saudara-saudaranya perkataan putri itu.
Khu Cie Kee dan Ong Cie It pun heran, dengan berbareng mereka lantas menanyakan
apa sebenarnya telah terjadi.
Putrinya Jenghiz Khan segera menunjuk kepada Yo Kang.
"Dialah yang membawa berita, katanya ia melihatnya sendiri," bilangnya. "Coba
kau tanyakan dia sendiri!"
Melihat si nona kenal paman gurunya yang tertua, Yo Kang berkhawatir, maka itu
ia lantas kata kepada Tuli dan si nona itu: "Kamu tunggu dulu di sebelah depan
sana, aku hendak bicara sama beberapa imam ini. Sebentar aku susul kamu."
Perkataan ini disalin oleh si punggawa. Mendengar itu Tuli mengangguk, lantas ia
ajak adik dan kawannya pergi ke depan, ke utara kampung itu.
"Siapa yang membunuh Kwee Ceng"!" Cie Kee menanya, bengis. "Lekas bicara!"
Dalam takutnya Yo Kang berpikir: "Kwee Ceng itu aku sendiri yang membunuhnya
sendiri, sekarang aku mesti menimpakan kesalahan kepada siapa..." Baiklah aku
menyebut seorang lihay, supaya suhu mencari dia, supaya dia mengantarkan jiwanya
sendiri, dengan begitu untuk selamanya aku bebas dari mara bahaya..." Maka dengan
lagu suara sangat membenci, ia menjawab: "Dialah tocu dari Tho Hoa To!"
Menyusuli jawabannya Yo Kang ini, dari kejauhan terdengar tertawa lebar yang
samar-samar, disusul sama suara nyaring seperti bentroknya cecer rombeng, lalu
disusul lagi sama suara yang perlahan sekali, tetapi meskipun perlahan,
terdengarnya toh tegas. Suara itu seperti berputaran di luar kampung lantas
pergi jauh......... Akan tetapi Khu Cie Kee kaget berbareng girang.
"Itulah tertawanya Ciu Susiok," katanya.
"Ketiga Suheng pergi menyusul!" kata Sun Put Jie.
"Rupanya suara cecer pecah dan suara memanggil tadi seperti lagi menyusul
susiok," kata Ong Cie It.
Ma Giok nampaknya berduka.
"Kelihatannya dua orang itu berkepandaian tidak ada di bawahan Ciu Susiok,"
katanya. "Entah mereka itu orang pandai darimana" Ciu Susiok bersendirian melawan dua
musuh, aku khawatir..." Ia lantas menggoyang-goyangi kepalanya.
Khu Cie Kee dan tiga saudaranya mendengari pula, sekarang suara itu lenyap,
rupanya orang telah pergi jauh beberapa lie hingga sulit disusul lagi.
"Ada Tam Suko bertiga, kita tidak usah mengkhawatirkan susiok," kata Sun Put Jie
kemudian. "Aku khawatir mereka tidak dapat menyandak," bilang Cie Kee. "Coba Ciu Susiok
mendapat tahu kita berada di sini dan dia datang ke mari..."
Oey Yong dapat mendengar semua pembicaraan mereka itu, ia tertawa sendirinya.
"Ayahku bersama si bisa bangkotan dan tua bangka berandalan tengah mengadu
kepandaian lari!" katanya di dalam hatinya. "Mereka itu bukannya lagi
berkelahui. Umpama kata mereka benar lagi berkelahi, kamu beberapa imam hendak
membantu, mana kamu dapat melawan ayahku serta si bisa bangkotan itu?"
Ma Giok yang sabar lalu mengibas tangannya, maka semua orang lantas masuk ke
dalam rumah penginapan untuk pada berduduk.
"Eh, mari aku tanya kau!" kata Cie Kee pada muridnya. "Aku mau tahu, sekarang
ini kau dipanggil Wanyen Kang atau Yo Kang?"
Yo Kang takut sekali. Mata gurunya itu sangat tajam memandang padanya. Kalau ia
salah menjawab, jiwanya terancam bahaya. Maka lekas-lekas ia menjawab: "Jikalau
bukannya suhu serta Ma Supee dan Ong Susiok yang memberi petunjuk, sampai
sekarang tentu juga teecu masih dalam kegelapan, masih teecu tetap mengaku musuh
sebagai ayahku. Sekarang ini tentu sekali teecu she Yo. Baru saja tadi malam
berdua bersama adik Bok ini teecu mengubur jenazah ayah bundaku."
Senang Khu Cie Kee mendengar jawaban itu, ia mengangguk-angguk, air mukanya pun
berubah tak bermuram lagi seperti tadi. Sebagai imam jujur, ia mempercayai
orang. Juga Ong Cie It tidak lagi mendongkol melihat sekarang Yo Kang ada bersama Liam
Cu, yang tadinya dia gusar karena keponakan murid itu menyangkal perjodohannya
dengan nona Bok. Kebetulan Khu Cie Kee melihat ke lantai tatkala sinar matanya bentrok sama
tombak buntung. Ia kenali itu sebagai senjatanya Kwee Siauw Thian. Ia lantas
memungutnya, untuk diusap-usap. Nyata ia berduka.
"Pada sembilanbelas tahun yang lampau," katanya perlahan, "Di sini aku telah
berkenalan dengan ayahmu serta pamanmu she Kwee, sekarang sesudah belasan tahun
lewat, aku melihat ini peninggalan tombaknya, sedang sahabatku itu telah pulang
ke alam baka....." Kwee Ceng mendengar perkataan itu, ia berduka bukan main. Katanya dalam hatinya:
"Khu Totiang menyebutnya ialah sahabatnya ayahku, tetapi aku sendiri tidak
pernah melihat wajah ayahku itu...."
Kemudian Khu Cie Kee tanya muridnya bagaimana caranya Oey Yok Su membunuh Kwee
Ceng. Sudah terlanjur, Yo Kang lantas mengarang cerita.
Ketiga imam itu menghela napas, mereka berduka sekali. Mereka pun mengenal baik
itu pemuda she Kwee. Selama itu hatinya Yo Kang tidak tenang. Ia pun telah berjanji kepada Tuli dan
Gochin Baki. "Apakah kamu berdua sudah menikah?" kemudian Ong Cie It tanya keponakan murid
itu, yang ia awasi. "Belum," sahut Yo Kang. Kali ini ia tidak berani berdusta.
"Lebih baik kalian lekas menikah!" Ong Cie It bilang. "Khu Suko, baiklah hari
ini kau merecoki jodoh mereka, supaya mereka lantas menikah."
Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi, dalam hatinya, mereka kata: "Benarkah
malam ini kembali kita akan menonton sepasang pengantin?"
Yo Kang sementara itu telah berkata dengan cepat: "Terserah kepada suhu!"
Tapi Bok Liam Cu berkata: "Mesti dipenuhkan dulu satu permintaanku, yang menjadi
syaratku, kalau tidak biarnya mati, aku tidak sudi menikah!"
Nona ini telah lama mengikuti ayahnya merantau maka itu ia beda daripada Yauw
Kee. Khu Cie Kee tersenyum. "Baiklah!" bilangnya. "Apakah itu, nona, kau bilanglah!"
"Ayah angkatku telah dibikin mati oleh Wanyen Lieh, musuh negaraku," menyahut
nona Bok, "Maka itu dia mesti membalaskan dulu sakit hati ayahku itu!"
"Bagus!" berseru Cie Kee bertepuk tangan. "Nona, pikiranmu cocok sama pikirannya
si imam tua! Nah, anak Kang, bagaimana dengan kau" Kau setujukah?"
Syarat itu hebat sekali, tentu saja Yo Kang menjadi ragu-ragu. Selagi ia
berpikir, bagaimana ia harus menjawab, di luar penginapan terdengar suara orang
bernyanyi, suaranya serak, dan nyanyiannya ialah lagu "Lian Hoa Lok",
nyanyiannya bangsa pengemis. Nyanyian itu lantas disusul sama satu suara halus
dan tajam, katanya: "Tuan-tuan besar sukalah berlaku murah hati, mengamal untuk
satu bun saja...!" Mendengar suara itu, Bok Liam Cu lantas berpaling, ia mengenali suara itu.
Di ambang pintu terlihat dua orang pengemis, yang satu bertubuh jangkung dan
gemuk, yang lainnya kate dan kurus, dan si jangkung gemuk itu umpama kata
sebesar empak kali tubuhnya si kate kurus itu. Maka itu sangat luar biasa
perbedaaan di antara mereka berdua. Sang tempo telah berselang banyak tahun
tetapi nona Bok masih ingat peristiwa ketika usianya tigab elas tahun dulu,
ketika lukanya dibalut oleh pengemis itu, sedang Ang Cit Kong, yang menyukai si
nona, telah mengajari dia ilmu silat selama tiga hri. Liam Cu hendak
menghampirkan kedua pengemis itu tetapi ia bersangsi tempo ia melihat kedua
pengemis itu lantas mengawasi tongkat di tangannya Yo Kang, lalu setelah mereka
saling melirik, terus mereka menghampirkan pemuda itu. Dengan menyilangkan kedua
tangan mereka, mereka memberi hormat.
Ma Giok semua mengawasi kedua pengemis itu, dengan hanya melihat tindakan orang
dan gerakan tubuhnya, mereka mendapat tahu dua orang ini mesti lihay ilmu
silatnya. Mereka juga melihat di punggung orang ada tergendol delapan buah
kantung goni, yang mana adalah tanda tingkatan tinggi dari kaum Kay Pang. Hanya
mereka tidak mengerti kenapa keduanya demikian menghormat terhadap Yo kang.
Si pengemis kurus lantas berkata: "Saudara yang baik, beruntung sekali yang di
dalam kota Lim-an ini kau telah menemukan tongkat pangcu kami. Sebenarnya kami
telah mencarinya berputaran! Saudara, entahlah dimana tahu kemanakah perginya
pangcu kami meminta amal?"
Yo Kang heran diperlakukan demikian. Ia memegangi tongkat tetapi ia tidak tahu
hal ikhwalnya tongkat itu. Tentu sekali tidak tahu ia bagaimana harus
menjawabnya. Adalah aturan kaum Kay Pang, melihat tongkat adalah sama seperti mereka
menghadap pangcu mereka sendiri, dari itu terhadap Yo Kang mereka berlaku sangat
menghormat, tetapi sekarang Yo Kang seperti tidak memperdulikan mereka, agaknya
mereka bergelisah, lekas-lekas mereka menunjuki sikap lebih hormat pula.
Si pengemis gumuk turut berkata, katanya: "Pertemuan di Gak-ciu sudah mendesak
harinya, untuk itu Kan Tianglo dari timur sudha bergerak ke barat."
Yo Kang menjadi semakin tidak mengerti. Tadi ia mengasih dengar, "Hm!" sekarang
ia mengasih dengar pula suaranya itu.
Pengemis kurus pun berkata pula: "Oleh karena teecu mencari tongkatnya pangcu,
tempo kami telah tersia-siakan beberapa hari, maka sekarang setelah kita
bertemu, seharusnya kita lantas berangkat! Maka itu baiklah sekarang teecu
beramai menemani padamu!"
Biar bagaimana Yo Kang dapat menggunakan otaknya. Memang ia ingin lekas-lekas
menyingkir dari depan guru dan paman-paman gurunya itu. Maka ia lantas berlutut
kepada mereka, katanya: "Teecu ada mempunyai urusan penting, tidak dapat teecu
menemani kepada suhu beramai, dari itu, harap teecu dimaafkan!"
Khu Cie Kee beramai percaya muridnya ini ada mempunyai urusan penting dengan Kay
Pang, mereka pun tahu, Ang Cit Kong kenal baik dengan Ong Tiong Yang, almarhum
guru mereka, karena itu mereka tidak berani menahan Yo Kang. Malah sebaliknya,
mereka berlaku hormat kepada kedua pengemis itu, yang sikapnya demikian halus.
Bok Liam Cu pun suka turut. Bukankah ia ada kenal dengan dua pengemis itu" Maka
ia juga memberi hormat pada Khu Cie Kee berempat, untuk pamitan.
Begitulah, berempat mereka berangkat.
Khu Cie Kee berempat bermalam di rumah penginapan itu untuk menantikan Tam Cie
Toan bertiga. Baru besoknya tengah malam, mereka mendengar suara siulan panjang
di luar kampung itu. Sun Put Jie lantas berkata: "Cek Suheng pulang!"
Ketika itu Khu Cie Kee berempat lagi bersemadhi tatkala mereka mendengar isyarat
dari Kong Leng Cu Cek Tay Thong, atas mana Ma Giok lantas memberikan jawabannya
perlahan tetapi terang. Cuma sebentar saja, lantas satu bayangan berkelebat dan
Cek Tay Thong bertindak masuk.
Oey Yong belum pernah melihat imam itu, ia lantas mengintai.
Malam itu malam tanggal lima bulan tujuh, rembulan masih kecil, akan tetapi si
situ si nona dapat melihat dengan tegas. Maka ia tampak seorang yang bertubuh
gemuk dan tinggi besar, romannya seperti seorang pembesar negeri, tangan baju
dari jubahnya ada separuh, cuma sampai sebatas sikut. adi pakaian dia ini
berbeda sekali dengan jubahnya Ma Giok beramai.
Cek Tay Thong ini, semasa belum menjadi imam, adalah seorang hartawan di
Lenghay, Shoatang, dia pun terpelajar tinggi, baru kemudian dia mengangkat Ong
Tiong Yang menjadi guru. Ketika ia menerima muridnya ini, Ong Tiong Yang
meloloskan jubah yang ia pakai, kedua ujung bajunya ia kutungi, jubahnya itu
dikasihkan muridnya pakai. Ia pun kata: "Tidak ada bahaya, tidak ada tangan
baju, maka kamulah yang harus merampungkan sendiri."
Huruf "tangan baju" ada sama suaranya dengan huruf "menerimakan". Dengan itu mau
diartikan, meskipun guru ini tidak memberikan banyak pengajaran kepada satu
muridnya, dengan peryakinan sendiri, si murid akan memperolah kemajuan. Cek Toy
Thong mengingat baik-baik perkataan gurunya itu, maka selanjutnya ia tetap
mengenakan jubah tangan buntung itu.
"Bagaimana dengan Cui Susiok?" tanya Khu Cie Kee yang tidak sabaran. "Sebenarnya
ia lagi bergurau atau benar-benar bertempur?"
Cek Toy Thong menggeleng kepala.
"Kepandaianku masih rendah sekali, setelah menyusul tujuh atau delapan lie, aku
lantas kehilangan Cui Susiok itu," ia menyahut. "Tam Suko bersama Lauw Suko
berada di sebelah depanku."
"Kau letih, Cek Sutee, kau beristirahatlah," katany.
Cek Tay Thong lantas duduk bersila, untuk menjalankan pernapasannya.
"Diwaktu tadi aku berjalan pulang," kemudian ia berkata pula, "Di Ciu Ong Bio
aku melihat enam orang, melihat roman mereka, mereka mestinya Kanglam Liok Koay
yang Khu Suheng cari. Lantas aku menghampirkan mereka, nyata penglihatanku tidak
keliru." "Bagus!" kata Cie Kee girang. "Sekarang di mana adanya mereka itu?"
"Sebenarnya mereka itu baru kembali dari Tho Hoa To," Tay Thong memberi
keterangan pula. Cie Kee terkejut. "Sungguh mereka bernyali besar berani pergi ke Tho Hoa To!" katanya. "Pantas
kita tidak dapat mencari mereka."
"Menurut keterangannya Thay-hiap Kwa Tin Ok, ketua dari Liok Koay, mereka telah
membuat perjanjian dengan Oey Yok Su untuk pergi ke Tho Hoa To, hanya setibanya
mereka di pulau itu, Oey Yok Su tidak ada. Mendengar kita berada di sini, mereka
itu membilang bahwa dalam satu dua hari ini mereka hendak datang berkunjung."
Kwee Ceng mendengar pembicaraan itu, mengetagui semua gurunya tidak kurang suatu
apa, ia girang sekali. Sementara itu, setelah lewat lima hari lima malam,
kesehatannya pun sudah pulih separuhnya.
Di hari keenam lohor kira jam tiga atau empat, dari luar kampung sebelah timur
terdengar suara siulan, atas itu Khu Cie Kee berkata: "Lauw Sutee kembali
bersama seorang yang lihay, entah siapakah dia..."
Berlima mereka lantas berbangkit, untuk pergi keluar untuk menyambuti. In Cie
Peng jalan di belakang. Lantas mereka melihat Cie Hian bersama seorang tua yang
rambut kumisnya sudah putih semua, bajunya pendek, sepatunya sepatu goni,
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelah tangannya memegang sebuah kipas besar, sembari berjalan ia berbicara
sambil tertawa-tawa. Ketika dia sampai di muka penginapan, kepada lima anggota
Coan Cin Pay yang menyambutnya, dia cuma mengangguk sedikit, agaknya dia tidak
melihat mata kepada mereka itu. Tapi Lauw Cie Hian segera mengajarnya kenal:
"Inilah Tiat-ciang Cui-siang-piauw Kiu Locianpwee yang namanya kesohor di
seluruh negera. Hari ini kami bertemu dengannya, sungguh beruntung!"
Mendengar namanya imam she Lauw itu, Oey Yong tersenyum, dengan sikutnya ia
membentur tubuh Kwee Ceng, siapa lantas tersenyum juga. Berdua mereka berpikir:
"Marilah kita menyaksikan ini tua bangka penipu besar mempermainkan ini orang-
orang Coan Cin Kauw!"
Lalu terdengarlah suaranya Ma Giok berlima, yang bicara sama orang she Kiu ini
dengan sikap menghormat, sedang Kiu Cian Jin lantas mengasih dengar ocehannya.
Kemudian Khu Cie Kee menanya apa "locianpwee" itu bertemu sama Ciu Pek Thong,
paman gurunya itu. "Loo Boan Tong?" menegaskan orang she Kiu itu. "Dia telah dibinasakan oleh Oey
Yok Su!" Semua orang Coan Cin Kauw itu menjadi kaget sekali.
"Ah, tidak bisa jadi!" kata Cie Hian selang sesaat. "Baru saja boanpwee melihat
Cui Susiok, karena larinya sangat keras, boanpwee tidak dapat menyandak
padanya." Kiu Cian Jin tertawa, ia tidak membilang suatu apa. Ia rupanya lagi berpikir
bagaimana harus menelurkan kedustaannya.
"Lauw Sutee," tanya Cie Kee, "Apakah kau melihat tegas romannya itu dua orang
yang mengejar Ciu Susiok?"
"Yang satu mengenakan jubah putih, yang lainnya jubah hijau panjang. Mereka itu
sangat kencang larinya. Samar-samar aku melihat wajahnya yang berjubah hijau itu
luar biasa sekali, mirip dengan mayat".
Kiu Cian Jin telah melihat Oey Yok Su di Kwie-in-chung, segera berkata. "Benar!
pembunuhnya Ciu Pek Thong si baju hijau itu ialah Oey Yok Su! Lain orang mana
bisa" Aku hendak mencegah sayang terlambat...!"
Namanya Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin sangat kesohor, enam imam Cona
Cin Kauw ini tidak menyangka bahwa orang tengah membohong, mendengar hal
dibunuhnya Ciu Pek Thong, paman guru mereka itu, mereka sangat berduka berbareng
gusar. "Tam Suko dapat lari lebih keras daripada aku, mungkin dia mendapat kesempatan
melihat bagaimana caranya susiok dibunuh," kata Cie Hian.
"Aku khawatir Tam Suko pun nampak bahaya..." kata Sun Put Jie yang berkhawatir. Ia
berhenti tiba-tiba dan mukanya pucat.
Khu Cie Kee lantas menghunus pedangnya.
"Mari kita menyusul!" serunya. "Kita mesti menolongi dan membalaskan sakit
hati!" "Jangan!" berteriak Kiu Cian Jin, yang khawatir mereka ini dapat mencari Ciu Pek
Thong. "Oey Yok Su ketahui kamu berada di sini, segera juga dia bakal datang ke
mari. Oey Lao Shia itu ada sangat jahat, aku si orang tua tidak dapat membiarkan
dia! Aku juga tidak membutuhkan bantuannya lain orang, maka biarlah kamu berdiam
saja di sini menantikan kabar baik dari aku!"
Khu Cie Kee semua sangat percaya dan menghormati orang tua ini, mereka tidak
membantah. Pula, kalau mereka mengejar, mereka khawatir nanti mengambil jalan
salah hingga jadi tidak dapat bertemu sama Oey Yok Su, dari situ, suka mereka
menanti saja. Maka mereka berjalan keluar mengantarkan kepergiannya orang tua
itu, mereka sikapnya sangat menghormat.
Setelah keluar dari ambang pintu, Kiu Cian Jin memutar tubuhnya seraya
mengibaskan tangan serta mulutnya berkata: "Tidak usah kau mengantar sampai
jauh! Meskipun Oey Lao Shia lihay sekali, ako toh mempunyai jalan untuk
mengalahkan dia! Kamu lihat!"
Ia tidak lantas berjalan terus hanya menghunus sebatang pedang dari pinggangnya,
dengan itu ia menikam perutnya, hingga mereka menjadi kaget. Tiga dim dari
pedang itu telah tertancap separuhnya! Akan tetapi si orang tua tertawa dan
kata: "Di kolong langit ini, senjata tajam apa juga tidak dapat melukakan aku,
maka janganlah tuan-tuan kaget dan takut! Jikalau aku menyusul tetapi tidak
bertemu dan sebaliknya Oey Lao Shia itu datang ke mari, jangan tuan-tuan
melayani dia bertempur, khawatir nanti kamu terluka, kamu tunggu saja
kembaliku!" "Sakit hati paman guru, yang menjadi keponakan muridnya, tak dapat kami tidak
membalasnya!" berkata Khu Cie Kee.
Mendengar itu, Kiu Cian Jin menghela napas.
"Kalau begitu, terserah!" katanya, berduka. "Ini dia takdir! Jikalau kamu hendak
membalas sakit hati, satu hal kamu mesti ingat!"
"Tolong locianpwee memberikan petunjuk," Ma Giok minta.
Kiu Cian Jin lantas mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Begitu kamu melihat Oey Lao Shia, kamu metsi lantas mengepung dengan sungguh-
sungguh!" katanya. "Jangan kau bicara kendari sepatah kata juga! Kalau tidak,
sukarlah sakit hati kamu terbalaskan! Ingat baik-baik!"
Habis berkata, ia memutar tubuhnya, untuk terus berlalu, pedangnya masih nancap
terus diperutnya itu......
Khu Cie Kee semua saling mengawasi dengan berdiri menjublak. Mereka ada orang-
orang dengan pengetahuan dan pemandangan yang luas tetapi belum pernah mereka
menyaksikan orang menublas perut demikian rupa, dapat bicara, tertawa dan
berjalan dengan tenang! maka itu maulah mereka menduga bahwa kepandaian orang
tua itu sangat luar biasa. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa
mereka telah dijual Kiu Cian Jin. Pedang itu bertekuk tiga, kalau tekukan yang
pertama membentur sesuatu, yang dua lagi segera ngelepot masuk, jadi ujung
pedang cuma mengenai ikat pinggang dan nancap, hanya nampaknya betul seperti
terpendam di dalam perut. Dia telah menerima undangan Wanyen Lieh, dia bertugas
mulutnya menyebar racun kata-kata untuk membuatnya orang-orang gagah di jamannya
itu bentrok satu dengan lain, agar bangsa Kim (kin atau Chin) mendapat ketika
menyerbu ke Selatan, guna menumpas alaha Song.
Seperginya orang tua itu, Khu Cie Kee berenam tak tenang hatinya, sampai mereka
tidak bernafsu dahar dan minum. Mereka terus menanti. Ketika tiba sang tengah
malam dari tanggal tujuh, mendadak mereka mendengar sama-samar suara orang di
arah utara, seperti dua orang saling susul, atau sebentar kemudian, tibalah dua
orang itu di depan rumah penginapan.
Enam orang Coan Cin Kauw ini duduk bersemadhi di atas tumpukan rumput, dengan
itu jalan mereka memelihar diri smabil berlaku sabar sebisanya, cuma In Cie
Peng, yang latihannya masih lebih rendah, sudah tidur pulas. Mendengar suara
itu, mereka lantas berlompat bangun.
"Musuh mengejar Tam Sutee," berkata Ma Giok. "Berhati-hatilah semua!"
Untuk Kwee Ceng, malam itu pun malam terakhir, guna memenuhkan waktu istirahat
tujuh hari tujuh malam. Tindakan mereka itu besar faedahnya. Bukan saja Kwee
Ceng sendiri sembuh lukanya di dalam, juga rapat lukanya di luar, pula tenaga
dalam mereka mendapat kemajuan besar. Tempo beberapa jam lagi adalah tempo yang
terpenting. Tapi Oey Yong berduka dan berkhawatir kapan ia mendengar
perkataannya Ma Giok itu.
"Kalau yang datang benar ayah, inilah hebat," pikirnya. "Coan Cin Cit Cu tentu
bakal lantas menyerang dan mengerebuti....Aku tak dapat keluar, untuk mencegah
guna mengasih penjelasan. Bagaimana" Aku khawatir sangat mereka ini bakal
bercelaka di tangan ayah. Kematian mereka itu tidak ada sangkutnya dengan aku
sendiri, tidak demikian dengan engko Ceng. Engko Ceng ada sangkutannya dengan
mereka itu. Pasti engko Ceng akan bertindak......Tidakkah itu bakal meludaskan usaha
kita berhari-hari dan bemalam-malam ini, sedang ini adalah detik-detik terakhir"
Aku khawatir, tidak cuma ilmu silatnya juga jiwanya akan terancam bahaya..." Maka
ia lantas berbisik di kuping lawannya itu: "Engko Ceng, kamu mesti berjanji
padaku, tidak peduli bakal terjadi apa juga yang besar dan penting, kau tidak
boleh keluar dari sini!"
Kwee Ceng mengangguk dengan lantas.
Segera juga siulan terdengar di luar pintu penginapan.
"Tam Sutee, lekas mengatur barisan Thian Kong Pak Tauw!" Khu Cie Kee berseru.
Mendengar nama barisan itu, Kwee Ceng jadi sangat ketarik hatinya. Di dalam
kitab Kiu Im Cin-keng ada disebut-sebut nama bintang-bintang itu, sebagai pokok
untuk pernyakinan kemahiran, penjelasan lainnya tidak ada, maka itu, ia ingin
ketahui kepandaiannya Coan Cin Cit Cu. Segera ia mengintai.
Justru pemuda ini mengintai, justru pintu tergabrukan terbuka dan seorang imam
melompat masuk, hanya disaat jubahnya berkibar dan kaki kirinya baru melewati
ambang pintu, mendadak ia terhuyung dan mundur pula keluar. Inilah sebab
musuhnya telah tiba dan sudah menyerang padanya.
Khu Cie Kee bersama Ong Cie It berlompat ke pintu, dimana mereka berdiri
berendeng, kedua tangan mereka diajukan ke depan, maka tenaga mereka bentrok
sama tenaga dari luar. Sebagai kesudahan dari itu, kedua imam ini mundur dua
tindak, lawannya mundur dua tindak juga. Ketika ini digunai Tam Cie Toan untuk
berlompat masuk. Di bawah sinar rembulan terlihat tegas orang di luar itu awut-awutan rambutnya,
mukanya ada dua goresan darahnya, pedang di tangan kanannya tinggal sepotong,
entah bekas dikutungi dengan senjata apa.
Setiba di dalam, tanpa mengucap sepatah kata, Tam Cie Toan lantas duduk bersila,
untuk bersemadhi, sikapnya itu diturut oleh keenam saudaranya. Di luar pintu
lantas terdengar suara yang keras dan seram: "Imam tua she Tam, jikalau bukan
nyonya besarmu memandang kepada Ma Giok yang menjadi kakak seperguruanmu, pasti
siang-siang aku telah mengantarkan jiwamu! Perlu apa kau memancing nyonya
besarmu datang ke mari" Siapa itu barusan yang membantu padamu" Kau terangkanlah
kepada Mayat Besi dari Hek Hong Siang Sat!"
Di tengah malam buta itu, suaranya Bwee Tiuw Hong ini membuatnya tubuh orang
menggigil sendirinya. Setelah itu, kembali sunyi senyap. Apa yang dapat
terdengar melainkan suara kutu. Hanya sebentar kemudian, terdengar suara seperti
mereteknya tulang-tulang dan otot-otot. Kwee Ceng tahu itulah tanda Bwee Tiauw
Hong, yang rupanya hendak menyerbu ke dalam. Habis itu terdengar: "Sekali
tertinggal sampai pula beberapa puluh tahun..."
Itulah senandungnya Ma Giok, suaranya halus dan sabar.
Lalu Tam Cie Toan menyambungi: "Dengan rambut kusut jalan sepanjang hari
bagaikan edan." Suara itu besar dan kasar, hingga Kwee Ceng mengawasi anggota
Coan Cin Cit Cu yang kedua ini, muka siapa berdaging dan berotot, alisnya
gompiok, matanya besar, tubuhnya besar dan kekar. Sebelum menyucikan diri, ialah
asal tukang besi di Shoatang, tabiatnya jujur dan polos, dari itu, gelarannya
ialah Tiang Cin Cu. Orang yang ketiga bertubuh kate dan kurus, mukanya seperti kera. Dialah Tiang
Seng Cu Lauw Cie Hian, yang turut bersenandung. "Di bawah pesaben haytong
menanam bibit." Dia bertubuh kecil tetapi suaranya nyaring sekali.
Tiang Cun Cu Khu Cie Kee pun menyambuti: "Di dalam perahu di antara daun teratai
ada dewa Thay It Sian." Ia lantas disambungi Giok Yang Cu Ong Cie It "Tak ada
beda maka boleh keluar dari batok kosong."
Kong Leng Cu Cek Tay Thong turut bersenandung juga: "Ada orang yang dapat sadar
sebelum dilahirkan." Ia dituruti oleh Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie, katanya,
"Pergi keluar sambil tertawa dan merdeka bebas."
Sebagai penutup bersenandunglah Tan Yang Cu Ma Giok, "Mega di telaga See Ouw,
rembulan di langit!"
Bwee Tiauw Hong terkejut mendengar suara mereka itu, suara yang menandakan
tenaga dalam yang mahir. Maka berpikirlah dia: "Mustahilkah Coan Cin Cit Cu
berkumpul di sini semua" Ah, tidak bisa jadi! Kecuali Ma Giok, suara mereka itu
lain...." Selama di jurang di padang pasir Mongolia, Bwee Tiauw Hong pernah mendengar
suara Ma Giok serta Kanglam Liok Koay yang menyamar sebagai Coan Cin Cit Cu,
dengan kupingnya ynag jeli sekali, ia bisa ingat dan membedakan suara orang. Ia
tidak mempunyai mata, maka itu ia mengandal pada kupingnya. Sekarang ia
mendengar suara yang lain sekali kecuali suara Tan Yang Cu Ma Giok. Sampai
sekarang ia masih belum tahu bahwa dulu hari ia telah diperdayakan Ma Giok.
"Ma Totiang!" ia lantas menanya. "Semenjak kita berpisah, bukankah kau baik-baik
saja?" Ia masih ingat imam itu, yang dulu hari itu berlaku baik terhadapnya, dari itu,
mengenai perbuatannya Tam Cie Toan, ia masih memandang ketua Coan Cin Cit Cu
itu. Sebenarnya, ketika Cie Tong gagal menyusuk Ciu Pek Thong, di tengah jalan
ia melihat salah satu Hek Hong Sang Sat ini, yang lagi berlatih. Ia tahu Tiauw
Hong sangat jahat, ia memikir untuk menyingkirkan si jahat ini dari dalam dunia.
Ia berhati mulia, tak tega ia menyaksikan Tiuw Hong berlatih dengan sasaran
orang hidup. Maka ia lantas menyerang. Diluar dugaannya, ia dikalahkan. Tiauw
Hong mengenali orang ada iman dari Coan Cin Kauw, ia ingat Ma Giok, maka ia cuma
melukainya, tidak mau ia merampas jiwanya, meski begitu, ia mengejar terus
sampai di rumah penginapan itu.
"Terimas kasih, terima kasih!" menyahut Ma Giok. "Tho Hoa To dengan Coan Cin
Kauw tidak mendendam tidak bermusuh, apakah benar gurumu bakal segera datang
kemari?" Bwee Tiauw Hong melengak.
"Untuk apa kamu menanyakan guruku?" ia menanya.
Tapi Khu Cie Kee bertabiat keras. Ia membentak: "Perempuan siluman! Lkeas kau
suruh gurumu datang ke mari, supaya dia belajar kenal dengan kepandaiannya Coan
Cin Cit Cu!" "Kau siapa"!" tanya Tiauw Hong gusar.
"Khu Cie Kee! pernahkah kau mendengar namaku?"
Tiauw Hong mengasih dengar suaranya yang aneh, tubuhnya mencelat. Ia menyerang
ke arah darimana suara jawaban itu datang, tangan kirinya menutup diri, tangan
kanannya menjambak, mencengkeram ke kepala!
Kwee Ceng mengetahu lihaynya Bwee Tiauw Hong, bahwa serangannya itu sangat
hebat, biar Cie Kee lihay, tak dapat ia melawan keras dengan keras. Akan tetapi
dia melihat si imam tetap duduk bersila, tidak mau menangkis, tidak mau
berkelit, ia menjadi kaget. "Celaka!" katanya dalam hatinya. "Kenapa Khu Totiang
bernyali begini besar?"
Bwee Tiauw Hong mengarah batok kepalanya Khu Cie Kee, selagi ia menjambak itu,
mendadak datang serangan angin dari kiri dan kanannya. Itulah serangan berbareng
dari Lauw Cie Hian berdua Ong Cit It. Ia mau melanjutkan serangannya itu, maka
tangan kirinya dikibaskan, guna menangkis. Di luar dugaannya, hebat serangan
angin itu, tidak dapat ia menghalaunya, maka terpaksa ia berlompat mumdur sambil
jumpalitan. Cie Hian dan Cie It, dengan tenaga dalam im dan yang, telah
menggabungkan diri. Ia menjadi kaget dan heran. Ia menyangsikan itulah serangan
orang Coan Cin Kauw. Maka ia lantas berseru dengan pertanyaannya, "Apakah Ang
Cit Kong dan Toan Hongya ada di sini?"
"Kitalah Coan Cin Cit Cu!" berkata Khu Cie Kee tertawa. "Di sini mana ada Ang
Cit Kong dan Toan Hongya?"
Tiauw Hong bertambah heran.
"Si imam tua she Tam bukan tandinganku, kenapa di antara saudara-saudaranya ada
yang begini lihay?" pikirnya. "Apa mungkin kepandaian mereka berlainan tanpa
memperdulikan tingkatan mereka tua atau muda?"
Kwee Ceng pun heran seperti Tiauw Hong melihat Khu Cie Kee terbebaskan oleh Lauw
Cie ian dan Ong Cie It itu. Hebat Tiauw Hong kena dibikin terpental mundur. Ia
menduga kedua imam itu berimbang sama si Mayat Besi. Memang cuma Ang Cit Kong,
Ciu Pek Thong, Oey Yok Su dan Auwyang Hong yang mempunyai tenaga demikian besar.
Kalau Caon Cin Cit Cu, inilah aneh...
Tiauw Hong beradat keras, kepalanya besar. Kecuali gurunya, ia tidak takut siapa
juga. Makin ia terhajar, makin ia penasaran. Demikian kali ini. Setelah berdiam
sebentar, tangannya meraba ke pinggangnya. Ia mengsaih keluar cambuk lemasnya,
Tok-liong Gin-pian, cambuk perak si Naga Beracun.
"Ma Totiong, maafkan, hari ini terpaksa berlaku kurang ajar!" katanya.
"Kata-kata yang baik!" Ma Giok menjawab.
"Aku hendak menggunia senjata, maka itu, kamu hunuslah senjata kamu!" kata si
buta. "Kami bertujuh, kau sendirian," berkata Ong Cie It. "Kau pun tidak bisa melihat
apa-apa! Maka itu, biar bagaimana kami tidak dapat menggunakan senjata. Kami
akan tetap duduk bersila, kau majulah!"
Tiauw Hong bersuara dingin.
"Jadi kamu hendak melayani cambuk perakku dengan duduk diam saja?" tanyanya.
"Ah, perempuan siluman!" Cie Kee membentak. "Malam ini malam ajalmu tiba, buat
apa kau masih banyak omong lagi?"
"Hm!" Tiauw Hong berseru di hidungnya, sedang tangannya lantas diayun, hingga
cambuknya terus meluncur ke arah Sun Put Jie. Cambuk panjang yang banyak
gaetannya itu bergerak perlahan bagaikan seekor ular besar berlegot.
Oey Yong memasang kuping mendengarkan kedua pihak mengadu mulut, ia tahu
cambuknya Tiauw Hong lihay sekali, maka heran Coan Cin Cit Cu mau melayani tanpa
senjata dan tanpa bergerak juga dari tempatnya bercokol masing-masing. Ia
menjadi ingin melihat. Ia menarik Kwee Ceng, agar kawan itu menyingkir. Buat ia
menggantikan mengintai. Begitu ia menyaksikan caranya tujuh imam itu berduduk,
ia menjadi heran. "Itulah keletakan bintang-bintang Pak Tauw," pikirnya. "Ah, tidak salah, barusan
Khu Totiang menyebutkan tentang Thian kong Pak Tauw. Inilah rupanya barisan
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu." Oey Yok Su mengerti ilmu alam, ketika Oey Yong masih kecil, suka ia membawanya
berangin waktu malam, maka sambil mengasih anak itu duduk di pangkuannya, sering
ia menunjuk ke langit dan membritahukan kepada si anak tentang bintang-bintang.
Oey Yong ingat benar petunjuk ayahnya itu, maka sekarang, dengan sekali lihat,
ia ketahui Coan Cin Cit Cu ini telah menempatkan diri sebagai tujuh bintang Pak
Tauw itu, bintang-bintang Utara.
Di antara tjuh imam itu, Ma Giok yang mengambil kedudukan thian-kie, Tam Cie
Toan thian-soan, Lauw Cie Hian thian-khie, dan Khu Cie Kee thian-koan, sedang
Ong Cie It giok-heng, Cek Thay Thong kay-yang, dan Sun Put Jie yauw-kong.
Kedudukan thian-koan paling penting, dia yang menghubungi yang tiga dengan yang
tiga lagi, dari itu kedudukan ini ditempati Khu Cie Kee yang ilmu kepandaiannya
paling lihay. Yang kedua yang penting ilaha giok-heng, maka itu diambil Ong Cie
It. Oey Yong sangat cerdas, selagi Kwee ceng mengwasi sekian lama tapi tak mengerti
suatu apa, ia hanya menampak sekelebatan, lantas ia mengerti. Tujuh imam itu
menggabungkan diri dengan tangan kiri mereka menyambung sama tangan kanan.
Sambungan tangan itu mirip dengan tangan dia dan Kwee Ceng, guna membantu pemuda
ini mengobati diri. Cambuknya Tiauw Hong bergerak perlahan ke arah kepala Sun Put Jie. Kelihatannya
saja perlahan, ancamnannya sebenarnya hebat. Imam wanita itu tetap tidak
bergerak. Selagi mengawasi, Oey Yong melihat jubah orang, di situ ia mendapatkan
sulaman sebuah tengkorak. Ia heran, hingga ia berpikir: "Coan Cin Kauw ada dari
kalangan murni, kenapa jubahnya sama dengan jubah Tiauw Hong dari kalangan
sesat?" Ia pasti tidak tahu, tempo Ong Tiong Yang menerima muridnya ini, dia
telah menghadiahkan gambar tengkorak dan murid ini, yang ingat budi gurunya,
lantas menyulamkan itu pada jubahnya.
Disaat cambuk hampir mengenai sasarannya, ialah bagian gigi dari tengkorak di
jubah Sun Put Jie itu, tiba-tiba cambuk itu berbalik sendirinya, berbalik dengan
kaget bagaikan kepala ular kena dibacok, bagaikan anak panah melesat, menyambar
kepada pemiliknya! Tiauw Hong kaget, tidak sempat ia menggerakkan tangannya, sebab tangannya itu
bergetar, terpaksa ia kelit kepalanya, hingga ujung cambuk lewat di atas
rambutnya. "Sungguh berbahaya.." ia kata dalam hatinya. Sesudah itu baru ia
dapat menguasai pula cambuknya itu. Ia lalu menyerang ke arah Ma Giok dan Khu
Cie Kee. Dua-dua imam itu duduk diam adalah Tam Cie Toan dan Ong Cie It yang menyerang
dan membuatnya cambuk mental.
Oey Yong memasang mata, ia dapat melihatnya. Kalau satu imam menangkis, ia
menggunai sebelah tangannya dan tangan yang lain diletaki di pundak seorang
saudaranya. Ia lantas mengerti. Cara mereka itu sama dengan caranya sendiri
mengobati Kwee Ceng. Itu artinya, tujuh orang menggabung tenaganya melawan Bwee
Tiauw Hong satu orang. Apa yang dinamakan barisan bintang Thian Kong Pak Tauw ini adalah semacam ilmu
kepandaian paling mahir dari kaum Coan Cin Kauw. Itulah karya ciptaannya Ong
Tiong Yang, sesudah imam itu memutar otaknya melatih diri dengan bersusah payah
dan mengambil tempo lama. Untuk melayani lawan, tak usah orang diserang sendiri
yang menangkis atau berkelit, hanya kawan di sampingnya yang membalas menyerang,
kalau kawan ini menyerang, tenaganya jadi berlipat ganda kuatnya, sebab ia
dibantu oleh yang lain-lainnya.
Tiauw Hong mencoba kagi beberapa kali, habis itu, berbareng heran, ia menjadi
berkhawatir. Lama-lama ia merasa, kalau ia menyerang, bukan lagi cambuknya
dibikin terpental seperti semula hanya seperti ditarik, meski ia masih dapat
menggunai itu, kalangan bergeraknya cambuk seperti diperciut. Sia-sia ia mencoba
untuk menariknya, guna mengulurnya. Ia merasa dirinya terancam tetapi ia masih
penasaran. Tak mau ia membiarkan cambuknya dirampas oleh musuh-musuh yang
melawannya sambil duduk bercokol saja. Tapi karena ia penasaran an bersangsi, ia
melenyapkan saatnya yang baik. Coba ia melepaskan cekalannya dan lompat mundur,
tentu ia selamat...... Kalau barisan bintang-bintang utara itu bergerak, kecuali oleh pemegang pusat
thian-koan, gerakannya tidak dapat dihentikan. Bahkan ketujuh imam itu
bergeraknya semakin cepat.
Bwee Tiauw Hong menggertak gigi. Ia tahu, kalau ia terus melawan, ia bakal
celaka. Maka itu, dengan berat, ia terpaksa melepaskan juga cambuknya. Tetapi
sekarang sudah kasep. Lauw Cie Hian sudah lantas menarik dengan kares. Dengan
menerbitkan suara, cambuk menghajar dinding tembok, hingga rumah penginapa itu
bergetar, genting-gentingnya pada berbunyi, debu meluruk jatuh. Menyusul itu
tubuhnya Tiauw Hong terbetot satu tindak ke depan.
Tindakan cuma satu tetapi itulah tindakan yang memutuskan. Kalau tadi ia
melepaskan cambuknya dan lompat, lalu lompat pula mundur, ia bisa memutar
tubuhnya untuk lari ke luar. Mungkin ia bakal disusul tetapi tidak nanti ia
tercandak. Di dalam saat berbahaya ini, ia masih mencoba membela diri. Ia
menjambak ke kiri dan kanan. Ia segera kebentrok tangannya Sun Put Jie dan Ong
Cie It. Menyusul itu, Ma Giok dan Cek Tay Thong pun menyerang dari belakang. Ia
majukan kaki kirinya setengah tindak, sambil berseru nyaring, ia menerbangkan
kaki kanannya. Dengan begitu dengan saling susul ia menendang lengannya kedua
imam yang belakangan itu, di jalan darah gwa-kwan dan hwee-cong.
"Bagus!" Khu Cie Kee dan Lauw Cie Hian memuji. Dengan saling susul, mereka ini
menolong dua saudaranya dari bahaya itu.
Kaki kanan Tiauw Hong belum lagi menginjak tanah, kaki kirinya sudah bergerak
pula. Dengan begitu ia menyingkir dari serangannya Cie Kee dan Cie It. Ketika
kaki kanan itu diturunkan, ia maju lagi satu tindak. Dengan begini berarti ia
telah masuk semakin dalam ke dalam barisannya ketujuh imam. Itu artinya, kecuali
ia dapat merobohkan salah satu musuh, ia tidak mempunyai jalan lagi untuk
nerobos keluar dari dalam barisan itu.
Oey Yong heran dan terkejut. Di antara sinar rembulan ia menyaksikan Tiauw Hong
dengan rambut panjang ynag awut-awutan itu, berlompatan pergi datang dan tangan
dan kakinya menjambak dan menendang tak hentinya. Hebat setiap jambakan dan
tendangannya itu mengasih dengar suara angin. Tidak peduli segala gerakannya
itu, yang hebat, maka Coan Cin Cit Cu tetap bercokol tak bergeming, cuma tangan
mereka yang ekerja, saling sambut dengan rapi, tetap mereka mengurung si Mayat
Besi. Bwee Tiauw Hong telah berkelahi dengan menggunai dua macam ilmu silatnya, yaitu
pelbagai jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw dan hajaran Cwie-sim-ciang yang dahsyat,
ia terus mencoba untuk menerjang keluar tetapi selalu ia gagal, saban-saban ia
tertolak mundur. Saking gusarnya, ia sampai berkoak-koak secara aneh.
Sekarang ini, kalau Coan Cin Cit Cu menghendaki nyawa orang, cukup mereka
melakukan satu penyerangan, akan tetapi mereka atau salah satu diantaranya,
tidak mau menurunkan tangan yang terakhir.
Mulanya Oey Yong heran, atau sebentar kemudian ia sabar.
"Ah, aku mengerti sekarang!" katanya dalam hatinya. "Terang mereka ini meminjam
Bwee Suci untuk melatih barisan bintang mereka ini! Memang sukar dicari orang
yang sekosen suci, yang dapat dipakai menguji barisannya ini. Rupanya mereka
hendak membikin lawannya letih hingga mati sendirinya baru mereka mau
berhenti........" Dugaan nona Oey ini cocok separuhnya. Memang benar Ma Giok beramai memakai Tiauw
Hong sebagai kawan berlatih, tetapi untuk membinasakan, itulah mereka tak pikir.
Tidak gampang mereka melakukan pembunuhan.
Sampai di situ, Oey Yong tidak mau menonton lebih lama pula. Ia tidak berkesan
baik terhadap Bwee Tiauw Hong, si suci, kakak seperguruan, toh ia tak tega
mengawasi lebih jauh. Maka itu, ia berikan tempat mengintainya kepada Kwee Ceng.
Maka sekarang ia cuma mendengar, angin serangan sebentar keras sebentar kendor,
tandanya pertempuran masih berlanjut terus.
Kwee Ceng menonton tetapi ia tetap tidak mengerti akan cara berkelahinya ke
tujuh imam itu. "Mereka menggunai kedudukan bintang Pak Tauw," Oey Yong membisiki. "Apakah belum
pernah melihatnya?" Baru sekarang pemuda ini mendusin. Ia ingat bunyinya kitab kedua dari Kiu Im
Cin-keng. Sekarang ia mengerti sendirinya. Karena itu ia menjadi tertarik hingga
tanpa merasa ia berlompat bangun.
Oey Yong kaget, segera ia menahan.
Kwee Ceng pun sadar, lekas-lekas ia berdiam. Tapi ia masih mengintai pula.
Sekarang ia mengerti betul kegunannya barisan Thian Kong Pak Tuaw itu. Ketika di
Tho Hoa To menyaksikan Ang Cit Kong menempur Auwyang Hong ia memperoleh kemajuan
besar, kali ini ia mendapatkan kemajuan serupa, dengan begitu, pengetahuannya
menjadi bertambah. Lama-lama maka letihlah Bwee Tiauw Hong, ia hampir tak dapat bertahan pula.
Dilain pihak, juga tenaganya Coan Cin Cit Cu agaknya berkurang, mereka mulai
kendor. Justru itu di pintu terdengar suara orang.
"Saudara Yok, kau maju lebih dulu atau kau suka mengalah untuk aku mencoba-
coba?" demikian suara itu.
Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali baik suaranya Auwyang Hong. Entah kapan
datangnya See Tok, si Bisa dari Barat itu.
Juga Coan Cin Cit Cu kaget semuanya, dengan serentak mereka melirik ke arah
pintu. Di samping pintu itu berdiri berendeng dua orang, yang satu bajunya hijau
yang lainnya putih. Mereka mengetahui akan adanya musuh-musuh yang tangguh,
dengan berbareng mereka berseru, dan dengan berbareng mereka menghentikan
pertempuran untuk berbangkit berdiri.
"Bagus betul" berkata Oey Yok Su, "Tujuh rupa bulu campur aduk ini mengepung
satu muridku! Saudara Hong, jikalau aku memberi pengajaran kepada mereka,
bisakah kau membilangnya aku menghina kepada yang muda?"
Auwyang Hong tertawa, ia menyahuti: "Mereka yang terlebih dulu tidak menghormati
kau! Jikalau kau masih tidak mengasih lihat sedikit dari ilmu kepandaianmu,
pasti ini kawanan anak muda tidak mengetahui lihaynya pemilik dari Tho Hoa To!"
Ong Cie It pernah melihat Tong Shia dan See Tok di Hoa San, heran ia mendapatkan
orang muncul berbareng dengan tiba-tiba, hendak ia maju untuk memberi hormat,
atau Oey Yok Su sudah maju dengan sebelah tangan terayun. Ia hendak menangkis
tapi sudah tidak keburu, maka dengan satu suara "Plok!" pipinya kena digaplok,
tubuhnya lantas terhuyung, hampir ia menubruk lantai.
Khu Cie Kee kaget sekali. "Lekas kembali ke tempat masing-masing!" ia berseru.
Akan tetapi belum sempat saudara-saudaranya itu menaati seruannya atau plak-plok
tak hentinya, dengan bergantian mukanya Tam Cie Toan, Lauw Cie Hian, Cek Tay
Thong dan Sun Put Jie telah tergaplok seperti muka Ong Cie It. Setelah itu
bayangan pun berkelebat ke mukanya Tiang Cun Cu sendiri, demikian rupa, hingga
tak tahu ia bagaimana harus menangkisnya, maka tidak ayal lagi, ia mengibas
tangannya, mengarah dadanya Oey Yok Su!
Bab 53. Ajalnya Bwee Tiauw Hong
Bab ke-53 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Khu Cie Kee adalah yang terpandai dari Cit Cu, Oey Yok Su memandang ia terlalu
enteng, maka dadanya itu kena terkibas hingga ia merasakan sakit. Dengan sebat
ia menutup diri, lalu dengan tangan kirinya menyambar tangan baju si penyerang,
tangan kanannya mencari biji mata lawan itu.
Khu Cie Kee meronta sekuatnya, ujung bajunya itu robek.
Itu waktu Ma Giok maju bersama Ong Cie It, akan tetapi Oey Yok Su sudah
berlompat ke belakang Cek Tay Thong, ketika kakinya dilayangkan, Kong Leng Cu
roboh jungkir balik! Di dalam kamar rahasia, Kwee Ceng menyerahkan lubang intaian kepada Oey Yong,
maka giranglah nona ini menyaksikan ayahnya menunjuki kepandaiannya itu, coba ia
tidak ingat kawannya mesti menanti lagi satu dua jam untuk nsembuh betul,
tentulah ia sudah menepuk tangan bersorak-sorai.
Adalah Auwyang Hong yang berdiri di pintu sambil tertawa berkakakan, dengan
mulutnya dibuka lebar-lebar: "Yang Ong Tiong Yang terima adalah ini segerombolan
kantung nasi!" Cie Kee penasaran sekali. Semenjak belajar silat, belum pernah ia dikalahkan
begini rupa. "Berdiri rapi di tempat masing-masing!" ia berteriak pula.
Akan tetapi Oey Yok Su tidak sudi memberikan kesempatan. Ia bergeraak ke timur
dan barat, ia menyerang kalang-kabutan hingga semua lawannya itu menjadi
kelabakan, barisannya tidak dapat diatur pula. Bahkan pedangnya Ma Giok dan Tam
Cie Toan telah dipatahkan Tong Shia dan dilemparkan ke lantai.
Khu Cie Kee bersama Ong Cie It lantas merangsak dengan pedang di tangan masing-
masing. Itulah jurus yang istimewa dari ilmu pedang Coan Cin Pay.
Oey Yok Su tidak berani memandang enteng lagi, ia berkelahi dengan hati-hati.
Ma Giok cerdik, diam-diam ia menggunai ketika akan lompat ke dudukan thian-kie
dan terus saja ia memegang pimpinan. Tam Cie Toan dan Lauw Cie Hian lantas
menyusul mengambil kedudukan mereka. Perbuatan mereka ini lantas diikuti oleh
yang lain-lainnya. Sebentar saja, barisan Thian Kong Pak Tauw lantas teratur rapi. Dengan begitu,
jalannya pertempuran juga berubah menjadi lain. Thian Koan bersama giok-heng
lantas menhadapi lawan di depan, thian-kie dan kay-yang yang terus menyerang
dari samping, sedang yauw-kong dan thian-soan di belakang turut merangsak. Cie
Kee maju di bantu Cie Peng.
Oey Yok Su meseti melayani musuh di empat penjurunya.
"Saudara Hong!" katanya tertawa. "Ong Tiong Yang toh dapat meninggalkan ini
macam ilmu kepandaian!"
Tong Shia bicara sambil tertawa, meski begitu, ia merasakan lawan menjadi beda,
tenaga mereka itu menjadi besar sekali. Maka sekarang ia bersilat dengan Lok Eng
Ciang-huat, ia berputaran di dalam Thian Kong Pak Tauw itu, hingga tubuhnya
seperti melayang-layang dan tangannya beterbangan...
Oey Yong mengenali ilmu silat ayahnya itu.
"Ketika ayah mengajari ilmu silat ini, aku menyangka hanya ilmu kosong dan satu
berisi atau tujuh berisi dan satu kosong," katanya di dalam hati, "Tidak tahunya
setelah dipakai bertempur benar-benar, semua lima kosong dan tujuh berisi itu
dapat diubah pergi pulang."
Pertempuran ini besa sekali dengan perlawanan Tiauw Hong tadi. Si nona menonton
sambil menahan napas. Bahkan Auwyang Hong yang lihay pun turut ketarik sampai ia
menjadi kagum sekali. Selagi orang bertaruh seru itu, tiba-tiba terdengar satu suara jeritan, "Aduh!"
disusul mana tubuh jatuh terguling. Nyata korban itu ialah In Cie Peng. Dia
tidak sanggup melayani Oey Yok Su berputaran, matanya kabur, kepalanya pusing,
dunia dirasakan bagai berputar, di depan matanya entah ada berapa banyak
musuhnya itu, diakhirnya, setelah penglihatannya gelao, tidak ampun lagi ia
roboh sendirinya! Coan Cin Cit Cu memusatkan pikiran mereka. Mereka tahu, asal ada satu saja yang
hatinya goncang, mereka tidak bakal ketolongan lagi, atau Coan Cin Pay bakal
runtuh dan musnah. Oey Yok Su pun gelisah. Ia sudah kepalang, ia bersangsi untuk bertempur terus
atau berhenti. Perlawanan hebat dari Khu Cie Kee beramai itu membuat kedua pihak
sama unggulnya. Sementara itu ayam-ayam sudah berkokok dan sinar matahari mulai mengintai di
arah timur. Dengan lewatnya sang waktu itu, selesai sudah batas tempo istirahatnya Kwee
Ceng. Ia telah sembuh dan memperoleh kembali kesehatannya seperti sediakala. Di
luar kamarnya orang bertempur umpama kata langit terbalik dan bumi ambruk tetapi
ia sendirinya tetap tenang, ia duduk diam. Baru sesaat kemudian, ia mengintai ke
luar kamar rahasianya, atau ia menjadi terkejut.
Oey Yok Su bertindak dengan perlahan, kakinya mengikuti garis patkwa, atau segi
delapan, setiap gerakan tangannya berlahan juga. Ketika Oey Yong menggantikan
Kwee Ceng mengintai, ia tahu betul ayahnya lagi menggunakan ilmu silatnya yang
tak sembarang dipakai. Segera juga bakal datang saat yang memutuskan.
Coan Cin Cit Cu berkelahi dengan seantero tenaganya. Mereka pun menginsyafi
bahaya yang tengah mengancam mereka. Berkali-kali mereka mengasih dengara suara
satu sama lain, untuk mengasih isyarat, guna menambah semangat masing-masing. Di
batok kepala mereka mulai terlihat hawa panas mengkedus, sedang jubah mereka
telah basah kuyup. Hilanglah ketenangan mereka sebagaimana tadi mereka melayani
Bwee Taiuw Hong. Auwyang Hong terus menonton sambil ia memperhatikan barisannya imam-imam dari
Coan Cin Kauw itu. Ia mengharap-harap Oey Yok Su nanti mengurus semua tenaganya
hingga ia mendapat luka di dalam. Dengan begitu, kapan kembali di adakan rapat
besar di Hoan San, rapat yang kedua, untuknya akan kurang satu lawan yang
tangguh. Akan tetapi Tong Shia benar-benar lihay, meski Khu Cie Kee semua
bekerja sekerasnya, mereka itu masih tidak dapat merampas kemenangan.
Menyaksikan pertempuran yang sangat memakan tempo itu, Auwyang Hong menjadi
tidak sabar. Dasarnya ia berbisa, setelah berpikir sekian lama, ia mendapat satu
akal licik. Pertempuran itu berjalan semakin perlahan, tapi itu tandanya bahwa bahaya
semakin dekat. Oey Yok Su bekerja terus, nyata sekali terlihat ia menyerang dengan kedua
tangannya kepada Sun Put Jie dan Tam Cie Toan. Kedua imam itu mengangkat tangan
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka untuk menangkis. Mereka segera dibantu Lauw Cie Ian dan Ma Giok.
Justru itu, mendadak See Tok bersiul panjang dan terus berseru: "Saudara Yok,
aku bantu kau!" menyusul suaranya itu ia berjongkok, segera dengan kedua
tangannya ia menolak ke arah Tam Cie Toan!
Tiang Ci Cu tengah memusatkan perhatiannya terhdapa Oey Yok Su, ia telah
mengerah tenaganya untuk menangkis serangan Tong Shia, ketika mendadak ia
merasakan benturan keras di belakangnya, jangan kata untuk menangkis, berkelit
saja sudah tidak keburu, maka itu dengan menerbitkan suara, ia roboh tengkurap.
Oey Yok Su menjadi gusar sekali.
"Siapa menghendaki bantuanmu!" ia menegur See Tok.
Ketika itu Khu Cie Kee dan Ong Cie It menyerang dengan berbareng. Tong Shia
mengibas untuk menangkis atau tangannya yang kanan bentrok sama perlawanannya Ma
Giok dan Cek Tay Thong, yang pun menyerang kepadanya.
Auwyang ong tertawa. "Kalau begitu, biarlah aku bantui mereka!" seruanya. Sambil berkata begitu,
dengan kedua tangannya benar-benar ia menyerang si Sesat dari Timur itu. Kalau
tadi ia menyerang Tam Cie Toan dengan menggunai tenaga tiga bagian, sekarang ia
menggerahkan tenaganya dengan sepenuhnya. Itu pun saat Oey Yok Su tengah
menghadapi empat lawannya. Ia mengharap hajaran ini, satu kali saja, akan
menamatkan riwayatnya pemilik dari pulau Tho Hoa To itu. Akal yang ia
bertelurkan dari batok kepalanya ialah lebih dulu menjatuhkan salah satu Coan Cn
Cit Cu, baru ia membokong Oey Yok Su. Ia sudah memikir matang, setelah Thian
Kong Pak Tauw Tin pecah, dengan Oey Yok Su sudah mati, walaupun imam-imam dari
Coan Cin Kauw itu murka, ia tidak usah takuti mereka.
Oey Yok Su kaget sekali. Ia tidak menyangka Auwyang Hong dapat berlaku demikian.
Ia menghadapi kesulitan. Tidak bisa ia meninggalkan empat musuhnya di depannya
itu, umpama kata ia memutar tubuhnya, untuk melayani Auwyang Hong, ia bisa
celaka. Maka itu tidak ada jalan lain, ia mencoba menutup diri seraya
mengerahkan tenaga di punggungnya, guna terpaksa menerima serangan Kap-mo-kang,
ilmu silat Kodok, dari si Bisa dari Barat yang licin itu.
Auwyang Hong girang sekali melihat Tong Shia mau mempertahankan diri dari
serangannya yang dahsyat itu. Itu pun artinya akal busuknya berhasil. Tapi
justru ia lagi bergirang itu, mendadak ia melihat berkelebatnya satu bayangan
hitam, yang mencelat dari samping, bayangan mana berlompat ke belakangnya Oey
Yok Su, untuk mewakilkan Tong Shia menyambuti serangannya itu!
Segera setelah serangan Auwyang Hong itu ada yang tangkis, dua-dua Oey Yok Su
dan keempat imam lawannya menghentikan pertempuran mereka sambil lompat minggir,
untuk memisahkan diri. Kapan mereka telah melihat tegas, nyata orang yang
berkorban untuk Tong Shia ialah Bwee Tiauw Hong!
Oey Yok Su menoleh kepada See Tok, ia tertawa dingin.
"Benar-benar si Bisa Bangkotan ternama tak mengecewakan," katanya mengejek.
Auwyang Hong sendiri berulang-ulang menyatakan, "Sayang, sayang!" di dalam
hatinya. Ia menyesal bukan main yang serangannya itu gagal, sebab lain orang
yang menjadi korban. Dasar licik, ia mengerti bahaya. Ia tidak mau melayani Oey
Yok Su. Ia mengerti baik sekali, kalai Oey Yok Su bergabung dengan semua imam
itu, itu berarti ia menghadapi bencana jiwa. Maka juga ia tertawa nyaring dan
panjang, sembari tertawa itu ia memutar tubuh untuk berlompat keluar, buat terus
menangkat langkah seribu!
Ma Giok lantas menghampirkan Tam Cie Toan, ia membungkuk untuk mengangkatnya.
Segera juga ia menjadi kaget. Tubuh adik seperguruannya itu lemas sekali dan
kepalanya pun teklok. Auwyang Hong telah menghajar orang hingga tulang-tulang
iga serta punggungnya patah. Kakak ini lantas mengucurkan air mata, sebab ia
merasa pasti, adik seperguruannya itu tidak bakal dapat ditolong lagi.
Khu Cie Kee yang bertabiat keras berlompat keluar dengan membawa pedangnya, ia
mau menyusul See Tok, untuk menyerang si bisa yang jahat itu, tetapi dari tempat
yang jauh ia cuma mendengar suara orang: "Oey Lao Shia, telah aku membantu kau
memecahkan barisan istimewa warisannya Ong Tiong Yang, aku pun sudah mewakilkan kau
menghukum mati murid Tho Hoa To yang murtad, maka itu, sisanya enam imam campur
aduk, kau sendiri pun dapat melayaninya. Sampai ketemu pula!"
Oey Yok Su mengeluarkan suara di hidung. Ia tahu, kata-kata terakhir dari See
Tok ini ada untuk membakar hatinya dan kawanan Coan Cin Kauw itu, supaya mereka
murka dan menumpleki kemurkaannya terhadapnya. Tapi ia pun besar kepala, tidak
sudi ia memberi keterangan kepada Ma Giok semua. Ia hanya menghampirkan mayatnya
Bwee Tiauw Hong, ia mengangkatnya dengan perlahan-lahan. Murid itu telah
memuntahlan darah hidup, kelihatannya ia tidak bisa hidup lebih lama lagi.
Khu Cie Kee mengubar sampai beberapa puluh tembok, Auwyang Hong entah telah
kabur kemana. Ketika itu, Ma Giok berulang-ulang memanggil ia pulang, maka ia
kembali dengan tindakan lebar. Ia masih gusar sekali, kedua matanya terbuka
besar dan bersinar merah. Segera ia menuding Oey Yok Su.
"Coan Cin Kauw kami denganmu ada bermusuhan apa"!" ia menegur dengan bengis.
"Oh, iblis tersesat yang jahat sekali! Mulanya kau membinasakan Ciu Susiok kami,
sekarang kau mencelakai Tam Sutee kami ini. Apakah artinya perbuatanmu, hai
manusia sesat?" Ditegur begitu, Oey Yok Su melengak.
"Kau maksudkan Ciu Pek Thong?" akhirnya ia menanya. "Kau bilang aku membinasakan
dia?" "Apakah kau masih mau menyangkal?" Cie Kee mendesak.
Oey Yok Su tahu di sini ada salah mengerti, tetapi ia membungkam, ia cuma
tertawa dingin. Sebenarnya bersama-sama Ciu Pek Thong dan Auwyang Hong, ia lagi
mengadu lari, sesudah beberapa ratus lie dilalui, mereka masih seri. Niat mereka
semula adalah mengagu terus sampai ada keputusan siapa yang menang, tetapi
mendadak, Ciu Pek Thong menghentikannya setengah jalan. Inilah disebabkan Loo
Boan Tong tiba-tiba ingat Ang Cit Kong, ynag ditinggalkan seorang diri di dalam
istana kaisar. Berbahaya kalau Pengemis dari Utara itu sampai kena dipergoki
penghuni istana. Bukankah ia telah habis ilmu silatnya" Maka itu ia kata kepada
kedua lawannya: "Loo Boan Tong ada mempunyai urusan, kita berhenti saja, kita
jangan mengadu lari lebih jauh!" Kata-kata ini ialah kepastian, Oey Yok Su dan
Auwyang Hong tidak dapat memaksakan, untuk itu, ia dibiarkan lari. Oey Yok Su
berniat menanyakan Ciu Pek Thong tentang putrinya, karena kepergian si orang tua
berandalan dan jenaka itu, ia menjadi batal menanyakan.
Ketika itu sia-sia belaka Tam Cie Toan menyusul mereka itu bertiga, ia tidak
dapat melihat sekalipun bayangan orang, sebaliknya Oey Yok Su semua mengetahui
dan melihat ia jelas sekali, maka itu seberlalunya Loo Boan Tong, Oey Yok Su dan
Auwyang Hong lantas kembali ke Gu-kee-cun. Kebetulan sekali, sesampainya mereka
di rumah penginapan, mereka dapat menyaksikan Coan Cin Cit Cu lagi menempur Bwee
Tiauw Hong. Biar bagaimana, Tong Shia tidak bisa membiarkan muridnya bercelaka,
maka itu, diakhirnya ia yang turun tangan sendiri. Di luar segela dugaan,
kesudahannya ada demikian hebat.
Selagi Khu Cie Kee kalap itu, Sun Put Jie menangiskan Tam Cie Toan. Yang lain-
lain pun gusar sekali, hingga mereka semua mau mengadu jiwa.
Tiba-tiba Tam Cie Toan membuka matanya dan berkata: "Aku mau pergi..."
Khu Cie Kee semua lantas menghampirkan, mereka mengerubungi saudara seperguruan
itu. Tam Cie Toan bersenandung lemah, lalu ia menarik napasnya yang penghabisan,
matanya meram. Keenam Cu bertunduk, untuk memujikan arwahnya saudara itu. Habis itu Ma Giok
memondong tubuh suteenya, buat dibawa pergi. Khu Cie Kee semua mengikuti tanpa
bersuara, tanpa berpaling lagi ke belakang, mereka keluar dari rumah penginapan
itu dan pergi. Oey Yok Su heran sekali, ia tidak tahu permusuhan apa di antara ia dan Coan Cin
Kauw, tetapi ketika ia melihat Bwee Tiauw Hong bernapas empas-empis, ia menjadi
berduka. Biar bagaimana Tiauw Hong adalah muridnya, mereka telah hidup bersama
buat beberapa puluh tahun. Murid itu pun telah berkorban untuknya. Pada
dasarnya, ialah seorang yang jujur, maka itu, dalam kedukaannya itu, ia menangis
menggerung-gerung. Bwee Tiauw Hong dapat mendengar tangis gurunya itu, ia mengerti, lantas ia
tersenyum. Ia tidak mengatakan apa, hanya dengan mengerahkan tenaga terakhir,
dengan tangan kanannya ia mematahkan lengannya yang kiri, setelah mana dengan
tangan kanan itu ia menghajar batu itu hancur dan lengannya pun patah pula.
Menyaksikan perbuatan muridnya itu, Oey Yok Su tercengang.
"Suhu," berkata sang murid, "Ketika di Kwei-in-chung suhu menitahkan muridmu
melakukan tiga macam perbuatan, dua yang lain muridmu tak keburu
melakukannya....." Oey Yok Su lantas ingat akan tiga macam titahnya itu, ialah pertama mencari
pulang kitab Kiu Im Cin-keng yang telah hilang, kedua mencari Liok Leng Hong
serta dua muridnya yang lainnya, dan yang ketiga, yaitu yang terkahir, muridnya
ini dimestikan membayar pulang ilmu silat yang didapat dari Kiu Im Cin-keng itu.
Sekarang dengan mematahkan kedua tangannya itu, Bwee Tiauw Hong menepati
perintah gurunya, sebab dengan tangannya patah maka musnahlah juga kepandaiannya
Kiu Im Pek-kut Jiauw seri Cwie-sim-ciang.
Lantas sang guru tertawa terbahak.
"Bagus, bagus!" katanya. "Dua yang lain itu sudah tidak ada artinya lagi!
Sekarang mari aku terima pula kau menjadi murid dari Tho Hoa To!"
Tiauw Hong menginsyafi ia telah tersesat, maka itu mendengar gurunya memberi
ampun dan suka menerima ia kembali, ia girang bukan main, dengan memaksakan diri
ia merayap bangun, untuk memberi hormat kepada guru itu sambil paykui beberapa
kali, ketika ia mengangguk untuk ketiga kalinya, tubuhnya rebah tak bangun pula.
OeyY ong dari kamar rahasia telah menyaksikan itu semua, ia disandingkan
pelbagai perasaan. Hebat apa yang ia telah saksikan itu, semuanya mengagetkan
dan mengharukan. Dilain pihak, ia mengharap-harap ayahnya itu nanti berdiam
sedikit lama pula, supaya ia bersama Kwee Ceng dapat keluar untuk menemuinya.
Kwee Ceng itu tinggal menanti berkumpulnya hawa di pusarnya.
Oey Yok Su sudah lantas mengangkat tubuhnya Bwee Tiauw Hong, untuk dipondong.
Hampir di itu waktu, di luar rumah terdengar suara meringkiknya kuda. Oey Yong
mengenali, itulah kuda merah yang kecil kepunyaan Kwee Ceng. Menyusuli suaranya
Sa Kouw, yang berkata: "Inilah dusun Gu-kee-cun! Mana aku tahu di sini ada orang
she Kwee atau tidak.........?"
Lalu terdengar suaranya seorang yang lain: "Di sini toh cuma ada beberapa buah
rumah! Mustahil kau tidak kenal semuanya penduduk sini?"
Agaknya orang itu tidak sabaran, karena ia lantas saja menolak pintu dan
bertindak masuk. Oey Yok Su menempatkan diri di belakang pintu, ketika ia melihat orang yang
masuk itu, air mukanya berubah. Orang adalah Kanglam Liok Koay yang telah ia
cari dengan susah payah. Kanglam Liok Koay sudah pergi ke Tho Hoa To, lantas mereka berputar-putar, tidak
juga mereka berhasil mencari rumahnya pemilik pulau Bunga Tho itu, baru kemudian
mereka bertemu sama satu bujang yang gagu dari siapa mereka ketahui majikannya
pulau itu tengah bepergian. Kemudian lagi Kanglam Liok Koay melihat kuda merah
dari Kwee Ceng terlepas merdeka di dalam rimba, mereka lalu membawanya sampai di
dusun Gu-kee-cun ini, dimana mereka bertemu sama Sa Kouw, si nona tolol.
Kwa Tin Ok sangat jeli kupingnya, begitu masuk di pintu, ia mendapat dengar
suara orang bernapas di belakang pintu itu, maka segera ia memutar tubuhnya,
dituruti oleh lima saudaranya. Dengan lantas mereka melihat Oey Yok Su menhadang
di ambang pintu seraya tangannya memodong Bwee Tiauw Hong. Oey Yok Su rupanya
mau mencegah keenam orang luar biasa dari Kanglam itu melarikan diri.....
"Oey Tocu baik?" Cu Cong lantas menanya. "Sudah lama kita tidak bertemu! Kami
berenam telah memenuhi janji untuk bertemu di Tho Hoa To, sayang tocu tidak ada
di rumah, tetapi hari ini kebetulan bertemu di sini, kami merasa sangat
beruntung!" Habis berkata begitu, si Mahasiswa Tangan Lihay lantas menjura dalam.
Oey Yok Su berniat membunuh Liok Koay, sekarang ia menampak pula muka pucat pasi
dari Tiauw Hong, ia berpikir: "Liok Koay ini musuh besar dari Tiauw Hong, siapa
nyana sekarang Tiauw Hong mendahului mereka mati, meski begitu, sekarang aku
mesti membuatnya ia membinasakan musuhnya dengan tangannya sendiri, supaya ia
mati dengan meram....."
Maka itu tangan kanan tetap memondong tubuh muridnya, dengan tangan kiri ia
mengangkat tangan yang patah dari muridnya itu, tangan yang hanya tersambung
dengan kulit daging, sembari berbuat begitu ia melompat ke sampingnya Han Po
Kie, untuk dengan cepat sekali, dengan tangannya Tiauw Hong itu, menghajar bahu
kanan si Malaikat Raja Kuda.
Han Po Kie kaget bukan main, sampai dia tidak sempat berkelit atau menangkis.
Hebat ia kena dihajar, benar lengannya tidak sampai patah tetapi sesaat itu dia
tidak dapat menggeraki tangannya itu.
Liok Koay kaget dan gusar karena sikapnya Oey Yok Su ini, yang menyerang tanpa
bicara lagi, maka itu mereka pun lantas balik menyerang. Han Po Kie turut maju
setelah ia merasa tangannya lebih ringan. Mereka berseru-seru sambil mereka
menghunus senjatanya masing-masing. Mereka mengurung dengan rapi.
Oey Yok Su mengangkat tinggi tubuhnya Bwee Tiauw Hong, ia seperti tidak
menghiraukan pelbagai alat senjata yang aneh dari enam jago dari Kanglam itu.
Han Siauw Eng adalah orang pertama yang diserang pemilik Tho Hoa To itu. Ia
kaget ketika ia melihat mukanya Bwee Tiauw Hong, yang matanya mendelik,
rambutnya riap-riapan, mulutnya penuh darah. Itulah roman mayat yang sangat
menyeramkan. Tangan Tiauw Hong pun diangkat tinggi-tinggi, mengancam batok
kepalanya. Tanpa merasa ia menjadi lemas kaki dan tangannya.
Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat menyaksikan saudara angkat mereka terancam, dengan
berbareng mereka menyerang tangannya Tiauw Hong itu. Mereka menggunai pikulan
serta bandulan besi dacin mereka.
Oey Yok Su sebat luar biasa, dengan cepat ia menarik pulang tangan kanan Tiauw
Hong itu, untuk dengan tangan kirinya menghajar terus Siauw Eng.
Ahli pedang Gadis Wat itu tengah tidak berdaya, maka pinggangnya menjadi
sasaran, ia kesakitan hingga tubuhnya melengkung jongkok.
Han Po Kie maju dari samping, untuk menyerang dengan cambuknya, Kim-liong-pian,
atau cambuk Naga Emas. Oey Yok Su mengangkat kaki kirinya, ia bergerak sebat,
tetapi toh kaki itu toh kena kelibat. Hanya Han Po Kie, meski ia mengeluarkan
seluruh tenaganya, tidak sanggup ia menarik kuda-kudanya Tong Shia. Dilain
pihak, tangan berkuku dari Bwee Tiauw Hong telah menyambar ke mukanya. Ia kaget
sekali, ia melepaskan libatan cambuknya, ia berkelit sambil berlenggak terus
menjatuhkan diri bergulingan. Meski begitu, ia merasakan mukanya panas dan
sakit, ketika ia meraba ke mukanya itu, tangannya penuh darah. Sebab lima
kukunya Tiauw Hong berhasil menyambar mukanya. Syukur untuknya, Tiauw Hong sudah
menjadi mayat dan jambakannya itu bukannya jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Setelah beberapa jurus, Liok Koay lantas jatuh di bawah angin. Coba tidak Oey
Yok Su menghendaki membinasakan musuh dengan tangannya Tiauw Hong sendiri,
mungkin mereka sudah bercelaka. Sekarang mereka hanya terancam bahaya.
Kwee Ceng di dalam kamar rahasia menjadi bergelisah. Ia mendengar nyata suara
napas menggorong dari keenam gurunya itu, tanda dari keaadan berbahaya dari
mereka. Ia menjadi cemas hati sebab ia sendiri tidak bisa lekas-lekas keluar,
untuk mencegah bencana. Ia masih memerlukan waktu untuk memperkuat hawa di
pusarnya itu. Tapi dapatkah ia main ayal-ayalan" Budi guru-gurunya itu sama
dengan budi orang tuanya! Maka diakhirnya, ia menahan napas, ia meluncurkan
sebelah tangannya untuk menghajar daun pintu, hingga pintu itu gempur.
Oey Yonng kaget bukan main.
"Engko Ceng, jangan!" ia mencegah. Ia tahu kawan itu mesti beristirahat.
Kwee Ceng pun merasakan akibat serangannya itu, ialah hawa naik ke atas, ke
jantungnya, maka lekas-lekas ia memeramkan mata menarik pulang hawanya itu
kembali ke pusar. Tetapi sekarang pintu rahasia telah tergempur pecah dan terbuka.
Oey Yok Su dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, apa pula mereka lantas melihat
muda-mudi itu. Dengan sendirinya mereka pada lompat mundur menghentikan
pertempuran mereka. Oey Yok Su heran dan girang, hingga ia mengucak-ucak matanya.
"Anak Yong, benarkah kau?" ia menanya. ia hampir tak mempercayai matanya
sendiri. Ia merasa bagaikan lagi bermimpi.
Oey Yong dengan sebelah tangannya memegang tangan Kwee Ceng, mengangguk sambil
tersenyum. Ia tidak membuka mulutnya untuk menjawab ayahnya itu.
Mengawasi sikap anak gadisnya itu, Oey Yok Su lantas mengerti. Untuknya,
diketemuinya anak itu ada seperti juga si anak sudah mati tetapi hidup pula.
Itulah putri satu-satunya dan juga yang ia sayangi seperti jiwanya sendiri. Ia
lantas meletaki tubuh Tiauw Hong di atas bangku, ia terus menghampirkan Kwee
Ceng, di sisi siapa ia duduk bersila, tangannya diulur untuk mencekal tangan
anak muda itu. Kwee Ceng merasakan hawa di dalam tubuhnya panas bergolak, sangat sukar ia
melawan itu. Beberapa kali ia hendak berkoakan atau berlompatan. Tapi, begitu
lekas tangannya di tempelkan Oey Yok Su itu, lantas hawa panasnya berkurang,
dapat ia berlaku tenang. Dengan lain tangannya, Oey Yok Su pun menguruti sekejur
tubuhnya pemuda itu. Boleh di bilang hanya sekejap kemudian, lantas Kwee Ceng dapat menenangi diri
betul-betul. Itu artinya bukan saja ia telah terhindar dari bahaya, bahkan ia
sudah sembuh betul, otot dan tulang-tulangnya menjadi bertambah kuat. Maka itu,
ia lantas bangun, untuk paykui kepada pemilik dari Tho Hoa To itu, akan kemudian
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia pun menghampirkan keenam gurunya, untuk memberi hormatnya kepada muridnya.
Selagi pemuda itu berbicara sama semua gurunya, menuturkan segala hal semenjak
mereka berpisah, Oey Yok Su pun asyik pasang omong dengan putrinya, tangan siapa
ia tuntun. Mereka gembira sekali, saban-saban mereka tertawa gila.
Mengetahui tentang nona Oey, Liok Koay heran dan ketarik hati. Mereka pun
ketarik denagn suara halus dari nona itu. Maka itu, diam-diam mereka bertindak
mendekati, akan mendengari lebih jauh suara si nona, yang terus berbicara dengan
ayahnya. Sebab banyak yang anak ini tuturkan.
Tiba pada saatnya pertempuran Oey Yok Su dengan Liok Koay, nona itu berkata
sambil tertawa: "Sudahlah, tak usah aku bercerita terus!"
Segera setelah itu Oey Yok Su berkata: "Aku hendak membinasakan empat orang,
ialah Auwyang Hong, Leng Tie Siangjin, Kiu Cian Jin dan Yo Kang, maka anak yang
baik, mari kau turut aku menyaksikan keramaian itu!"
Tapi ia melirik kepada Liok Koay, agaknya ia jengah, tetapi dasar angkuh, ia
terus tidak sudi mengaku salah, cuma seperti untuk menghibur diri, ia kata:
"Anggaplah sang peruntungan masih tidak terlalu buruk hingga aku tidak sampai
mencelakai orang baik-baik!"
"Ayah," kata Oey Yong tertawa, "Baiklah kau minta maaf kepada beberapa suhu
ini..." "Hm," jawab ayah itu, yang lalu menyimpanginya. "Aku hendak mencari See Tok, eh,
anak Ceng, kau turut atau tidak?"
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong sudah memegat. Kata anak ini, "Ayah,
baiklah kau pergi dulu ke istana untuk memapak suhu!"
Kwee Ceng tidak sempat menjawab Oey Yok Su, ia terus bercerita terus sampai Oey
Yok Su memberi perkenan untuk ia menikah dengan Oey Yong serta Ang Cit Kong
mengambil ia sebagai murid. Mengenai ini, ia minta keputusan guru-gurunya itu.
Kwa Tin Ok menjadi sangat girang.
"Kau sungguh beruntung!" katanya. "Dengan kau mendapati Kiu Cie Sin Kay sebagai
guru dan Tocu dari Tho Hoa To sebagai mertua, kami girang bukan kepalang! Masa
dapat kami tidak memberikan perkenan kami" Cumalah halnya Kha Khan dari
Mongolia?" Tin Ok hendak menyebutkan urusan putrinya Jenghiz Khan, bahwa halnya murid ini
adalah calon Kim-too Huma, tetapi ia tidak dapat lantas membuka mulutnya.
Mendadak sekali, pintu, yang tadi tertutup pula, sekarang ada yang pentang dan
Sa Kouw muncul di antara mereka, tangannya memegang monyet-monyetan dari kertas.
Ia menghampirkan Oey Yong dan menanya sambil tertawa: "Adik, apakah semangkamu
telah habis dimakan" Seorang tua telah menyuruhnya aku menyerahkan kunyuk-
kunyukan ini kepadamu, katanya dibuat main..."
Oey Yong menyangka orang lagi kumat ketololannya, ia menyambuti kena kerta itu
acuh tak acuh. Sa Kouw berkata pula: "Orang tua itu, yang rambutnya ubanan, memesan juga supaya
kamu jangan gusar, katanya pasti ia bakal menolongi kau mencari gurumu."
Mendengar itu, Oey Yong menduga kepada Ciu Pek Thong, maka ia lantas meneliti
kertas itu. Benarlah di situ ada tulisan alamatnya, maka ia lantas membukanya,
hingga ia dapat membaca: "Si pengemis tua tak dapat ditemukan, karenanya Loo
Boan Tong menjadi tidak gembira."
Si nona menjadi heran dan kaget.
"Ah, kenapa suhu lenyap?" serunya.
Oey Yok Su berdiam, lalu ia kata: "Loo Boan Tong edan-edanan tetapi ia lihay
sekali, maka asal Ang Cit Kong tidak mati, pasti ia dapat menolonginya. Hanya
sekarang ini Kay Pang lagi menghadapi satu urusan besar..."
"Bagaimana, ayah?" Oey Yong menanya terkejut.
"Tongkatnya si pengemis tua yang telah diberikan padamu sudah dibawa pergi oleh
Yo Kang si binatang cilik itu! Binatang itu tidak lihay ilmu silatnya tetapi
lihay otaknya, kalau tidak bagaimana dapat orang sebangsa Auwyang Kongcu
terbinasa di tangannya" Dia telah mendapati tongkat keramat kaum pengemis itu,
pastilah dia bakal menerbitkan gelombang kekacauan, yang dapat membahayakan Kay
Pang. Mari kita lekas mencari dia, untuk merampas pulang tongkat itu, kalau
tidak, pasti celakalah murid-murid dan cucu-cucu muridnya si pengemis bangkotan
itu!" Mendengar itu Liok Koay menganggukkan kepala.
"Sayang suhu sudah pergi beberapa hari, mungkin di sukar dicandak," kata Kwee
Ceng. "Di sini ada kuda merahmu, kau boleh coba menyusul," kata Po Kie.
Kwee Ceng lantas ingat kuda merahnya itu, ia menjadi girang sekali, lantas ia
lari keluar seraya bersiul.
Kuda itu mendengar suara majikannya, dia berjingkrak lari menghampirkan, dia
mengelus-elus majikannya itu seraya meringkik perlahan tak hentinya.
Menampak demikian Oey Yok Su berkata: "Anak Yong, pergilah kau bersama Kwee Ceng
untuk merampas pulang tongkat itu. Kuda kecil itu keras larinya, mungkin kamu
dapat menyandak." Selagi berkata begitu, Oey Yok Su melihat Sa Kouw di samping mereka, nona itu
tertawa dengan ketololannya. Ia melihat wajah dan gerak-gerik orang, ia ingat
itulah mirip dengan sifat muridnya, Kiok Leng Hong.
"Apakah kau she Kiok?" ia tanya nona itu.
Sa Kouw menggeleng kepala secara lucu.
"Aku tidak tahu," sahutnya.
"Ayah, mari kau lihat!" berkata Oey Yong, mengajak ayahnya, yang ia tuntun ke
dalam kamar rahasia. Begitu melihat pengaturan ruangan itu, Oey Yok Su ketarik hatinya. Itulah
pengaturan seperti caranya sendiri. Maka ia mau menduga, mesti itu diatur oleh
Kiok Leng Hong, muridnya itu.
"Ayah, coba lihat benda di dalam peti besi itu," Oey Yong berkata pula.
Oey Yok Su tidak lantas membuka peti hanya tubuhnya mencelat tinggi sambil
tangannya diulur ke pojok tembok barat daya, menyambar ke arah wuwungan, ke
temboknya, ketika ia menarik, tembok itu lantas terbuka merupakan sebuah lubang.
Dengan tangan kanannya memegang kertas, ia lantas menggelantungkan diri, lalu
dengan tangan kirinya, ia meragoh ke dalam lubang itu. Dari situ ia menarik
keluar segulungan kertas. Belum lagi ia lompat turun, tangan kanannya sudah
menekan tembok, maka dengan itu, ia berlompat terus keluar kamar.
Oey Yong dengan sebat lompat mengikuti ayahnya itu. Ia melihat gulungan kertas
yang penuh debu setelah dibeber, kertas itu memuat tulisan yang huruf-hurufnya
tidak karuan macam, bunyinya:
"Surat ini dihanturkan kepada guruku yang berbudi di pulau Tho Hoa To. Dari
istana kaisar muridmu telah berhasil mendapatkan sejumlah tulisan dan gambar
lainnya, yang semua hendak dihanturkan kepada suhu, maka tidak beruntung sekali,
selama di dalam istana aku telah dikepung sekawanan siwi. Aku telah meninggalkan
seorang anak perempuan......."
Sampai habis di situ, habis sudah surat itu, yang terlihat tinggal titik-titik
yang terang adalah titik-titik darah.
Melihat surat itu, Oey Yong menjadi terharu hatinya. Ia mengingat nasib celaka
murid-murid ayahnya itu, yang semuanya lihay tetapi mereka telah diusir ayahnya
itu gara-gara Bwee Tiauw Hong berdua. Sekarang beginilah nasib Kiok Leng Hong,
salah satu murid yang tetap setia itu.
Oey Yok Su mengerti, Leng Hong ini tentulah ingin kembali ke Tho Hoa To, maka
setelah diusir dia berdaya mencari rupa-rupa barang yang menjadi kesukaan
gurunya, ia membesarkan hati pergi mencuri ke istana, maka apa celaka, ia
menemui saat naas, disaat berhasilnya, ia kepergrok dan dikepung pahlawan-
pahlawan istana. Melihat nasibnya Liok Seng Hong, ia sudah menyesal, maka
sekarang ia menjadi lebih menyesal lagi.
Sa Kouw tidak tahu apa-apa, ia berdiri di samping sambil terus tertawa haha-
hhihi. "Apakah ilmu silatmu diajari ayahmu?" Oey Yok Su menegur si nona, suaranya
bengis. Sa Kouw menggeleng kepala lantas dia lari keluar pintu besar, daun pintu itu ia
tutup rapat, setelah ia mengintai ke dalam, terus ia bersilat. Dia mengintai
pula, lalu kembali ia bersilat lagi.
"Ayah," berkata Oey Yong, "Dia belajar silat dengan mencuri pelajaran Kiok
Suko." Ayah itu mengangguk. "Ya," katanya, "Aku pun tidak percaya, setelah di usir, Leng Hong bernyali besar
berani mewariskan ilmu kepandaiannya kepada lain orang... Eh, anak Yong, coba kau
serang dia dibagian bawah, kau gaet dia roboh!"
Kata-kata yang belakangan ini dikeluarkan secara mendadak.
Oey Yong heran, tidak tahu ia maksud ayahnya, tetapi ia menghampirkan Sa Kouw,
sembari tertawa haha-hihi, ia kata kepada nona tolol itu, "Sa Kouw, mari aku
berlatih bersama-sama denganmu. Kau berhati-hatilah!" Ia lantas menggerak dengan
tangan kiri, disusul sama tendangan kaki kiri dan kanan degan sebat sekali.
Sa Kouw melengak, sebelum ia sempat berdaya, kempelonnya yang kanan telah kena
ditendang. Ia lantas lompat mundur. Tetapi di sini ia telah ditunggu, begitu ia
digaet, lantas ia jatuh terguling. Ia lompat bangun dengan segera.
"Kau menggunai akal!" serunya. "Adik kecil, mari kita mulai lagi!"
"Hus!" membentak Oey Yok Su. "Apa adik kecil! Kau mestinya memanggil kouw-kouw!"
"Kouw-kouw!" Sa Kouw lantas memanggil, tanpa ia mengetahui apa bedanya "adik
kecil" dengan "kouw-kouw" atau bibi.
Baru sekarang Oey Yong mengerti bahwa ayahnya hendak mencoba bagian bawah dari
si tolol itu sebab Kiok Leng Hong hilang kedua kakinya, kalau Leng Hong bersilat
seorang diri, kuda-kudanya tidak nampak, kalau ia mengajari dengan mulut,
mestinya nona itu sempurna bagian atas, tengah dan bawahnya.
Dengan terus menyebut "kouw-kouw" itu sama dengan artinya Oey Yok Su menerima si
nona sebagai muridnya. "Kenapa kau tolol?" ia tanya pula.
"Aku ialah Sa Kouw," sahut si nona tertawa. "Tolol" ialah "Sa"
"Mana ibumu?" tanya Oey Yok Su, alisnya mengkerut.
Nona itu meringis, "Ia sudah pulang..." sahutnya.
Masih Oey Yok Su menanya beberapa kali, jawaban si nona tidak karuan, maka ia
menghela napas panjang. Ia tidak tahu orang tolol semenjak dilahirkan atau
karena suatu penderitaan yang mengagetkan. Kecuali Leng Hong hidup pula, tidak
nanti ada lai orang yang mengetahui sebab-musabab itu.
Dengan mendelong, tocu dari Tho Hoa To ini mengawasi mayatnya Tiauw Hong.
"Anak Yong," katanya selang sesaat, "Mari kita lihat barang-barang Kiok Sukomu
itu." Oey Yong menurut, maka ayah dan anak itu masuk pula ke dalam kamar rahasia.
Mengawasi tulang-belulang Kiok Leng Hong, Oey Yok Su berdiri mendelong, kemudian
air matanya mengucur turun.
"Anak Yong," katanya. "Diantara semua muridku, Leng Hong yang paling pandai,
maka kalau bukan kakinya buntung, seratus siwi pun tidak nanti sanggup menawan
dia!" "Itulah wajar!" sahut putri itu. "Ayah, apakah kau mau menerima Sa Kouw sebagai
muridmu?" "Ya," ayahnya itu menyahut. "Aku akan ajarkan dia ilmu silat, bersyair dan
-menabuh khim, juga ilmu Kie-bun Ngo-heng. Apa yang dulu sukomu niat pelajarkan,
tetapi belum kesampian, semua akan aku ajarkan kepada anaknya ini!"
Oey Yong mengulur lidahnya.
"Hebat penderitaan ayah," pikirnya.
Oey Yok Su membuka peti besi, ia memeriksa isinya. Melihat semua itu, ia menjadi
semakin berduka. Ketika ia membeber sebuah gambar, ia menhela napas.
"Gambar bunga dan burung Kaisar Hwie Cong ini indah dilukisannya," katanya,
"Maka sayang sekali, negara yang indah pun ia hanturkan kepada bangsa Kim...."
Selagi ia menggulung pula gambar itu, mendadak Oey Yok Su berseru, "Ih!"
"Ada apa ayah?" tanya Oey Yong.
"Kau lihat!" sahut ayah itu, tangannya menunjuk kepada sebuah gambar san-sui,
lukisan pemandangan alam, gunung dan air.
Oey Yong mengawasi, ia melihat gambarnya sebuah gunung tinggi dengan puncak
lancip menjulang ke langit, masuk ke dalam mega, di bawah mana ada jurang yang
berair, di sini lembah pula ada sekumpulan pohon cemara, yang penuh salju, yang
semuanya doyong ke Selatan, seperti bekas diserang angin Utara yang hebat, di
puncaknya, di sebelah Barat, sebaliknya ada sebuah pohon cemara yang berdiri
tegak, di bawah pohon itu, dengan tinta merah, ada dilukisan seorang jenderal
perang lagi bersilat dengan pedang. Mukanya jenderal itu tak nampak jelas,
tetapi dandannnya membuat siapa yang melihat, mesti menaruh hormat. Seluruh
gambar memakai tinta hitam, kecuali manusianya ini, yang merah merong, hingga
kelihatan mencolok mata. Gambar itu pun tidak ada tanda-tanda pelukisnya, cuma
ada syairnya seperti berikut:
"Setelah bertahun-tahun maka baju perang penuh debu dan tanah,
Maka itu sengaja aku mencari bau harum di paseban Cui Bie,
Gunung yang indah, sungai yang permai, belum dipandang cukup.
Tindakan kuda mendesak hingga malam terang bulan pergi pulang."
Oey Yong memperhatikannya, lalu ia ingat. Beberapa hari yang lalu, di paseban
Cui Bie Teng di puncak Hui Lang Hong, ia pernah melihat syair itu yang ada
tulisannya Jenderal Han See Tiong yang kesohor.
"Ayah," katanya, "Inilah tulisan Tiong Bu Han Kie Ong, sedang syairnya ialah
buah kalamnya Gak Bu Bok."
"Benar," berkata ayahnya itu, "Gak Bu Bok menulis syairnya ini melukiskan gunung
Cui Bie San di Kota Tie-ciu, hanya gunung yang dilukisan begini berbahaya
keadaannya bukan gunung Cui Bie San itu sendiri. Latar belakang lukisan ini
bagus tetapi pelukisnya bukannya seorang pelukis jempolan."
Oey Yong ingat itu hari di Hui Lay Hong, Kwee Ceng sangat ketarik sama syairnya
yang ditulis Han See Tiong itu, yang ia ukir di batu dengan jeriji tangannya,
dan si pemuda seperti tidak hendak meninggalkannya. Maka itu ia kata kepada
ayahnya: "Adaa baikkah gambar ini diberikan kepada menantumu!"
Oey Yok Su tertawa dan berkata: "Memang anak perempuan berpihak ke luar, maka
itu, apa aku hendak bilang lagi?" Ia pun memilih serenceng mutiara seraya
berkata pula: "Mutiara yang dulu hari si Bisa bangkotan seragkan kepadamu, aku
telah ambil dari Tho Hoa To dan membayar pulang kepadanya, maka itu sekarang kau
ambillah ini." Oey Yong tahu ayah itu sangat membenci Auwyang Hong, ia mengangguk, ia
menyambuti mutiara itu seraya terus mengalungi di lehernya. Ia sedang berbuat
begitu tempo kupingnya mendengar suara burung rajawali putih berbunyi keras
beberapa kali di udara, suaranya nyaring dan kesusu. Ia sebenarnya sangat
menyukai burung rajawali itu tetapi mengingat burung telah diambil oleh putri
Gochin Baki, ia menjadi tidak senang, meski begitu, ia toh lari keluar, masih
ingin ia membuat main burung itu. Tiba di luar, ia melihat Kwee Ceng berada di
bawah sebuah pohon liu yang besar, seekor rajawali memacuk bajunya di pundak dan
menarik-narik, yang satunya lagi berputaran memutari seraya ia berbunyi tak
hentinya. Sa Kouw kegirangan, ia berlari-lari memutarai Kwee Ceng, ia bertepuk-
tepuk tangan sambil tertawa dan bersorak.
"Yong-jie, mereka mendapat susah!" kata Kwee Ceng melihat si nona muncul. "Mari
kita pergi menolongi!"
"Siapa mereka?" Oey Yong menanya.
"Kedua saudara angkatku, yang pria dan wanita!"
Nona itu memonyongkan mulutnya.
"Aku tidak mau pergi!" katanya.
Kwee Ceng melengak, ia tidak mengerti tapi lekas ia berkata pula: "Ah, Yong-jie,
jangan seperti bocah! Mari kita lekas pergi!" Habis berkata, ia menarik kudanya,
ia lompat naik ke punggungnya.
"Habis, kau menghendaki aku atau tidak?" Oey Yong tanya.
Pemuda itu menjadi bingung.
"Kenapa aku tidak menghendaki kau?" ia balik menanya. Dengan tangan kiri ia
menahan kudanya, tangan kanannya diansurkan untuk menyambuti si nona.
Oey Yong tertawa, lalu ia berpaling ke arah ayahnya, sambil berkata nyaring:
"Ayah, kita hendak pergi menolongi orang! Kau bersama keenam suhu baik turut
juga!" Ia terus menjejak tanah dengan kedua kakinya, dengan begitu tubuhnya
mencelat tinggi, tangan kirinya diluncurkan, akan menyambuti tangan kanan Kwee
Ceng, untuk ditarik, maka itu, tubuhnya lantas melayang naik ke atas kuda hingga
ia duduk di sebelah depan!
Kwee Ceng memberi hormat dari atas kuda kepada gurunya, setelah mana, ia
melarikan kudanya itu, yang lantas lari kabaur. Kedua burung rajawali pun terus
terbang, sambil berbunyi mereka terbang cepat di sebelah depan, untuk menunjuki
jalan. Kuda mereka itu girang sekali bisa bertemu pula sama majikannya, dia lari keras
dengan gembira, kalau burung bukannya burung rajawali, mungkin keduanya
ketinggalan di belakang. Kedua burung itu terbang ke sebuah rimba lebat di
sebalah depan, terus turun. Kuda itu sangat mengerti, tanpa titah majikannya, ia
lari terus ke arah rimba itu.
Setibanya Kwee Ceng di luar rimba, dari dalam situ ia mendengar suara nyaring
bagaikan cecer pecah, katanya: "Saudara Cian Jin, telah lama aku mendengar
Tangan Besimu yang lihay, aku sangat mengangguminya, maka itu sekarang baiklah
aku menggunai dulu kepandaianku yang tidak berarti ini mengambil nyawa yang satu
ini, setelah itu aku minta kau menggunai tanganmu yang lihay itu terhadap yang
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lainnya. Setujukah kau, saudara?"
Menyusuli itu maka terdengarlah suara gemuruh diikuti jeritan yang h menyayatkan
hati. Sebuah pohon kelihatan bergerak bagian atasnya, lalu jatuh roboh.
Kwee Ceng kaget, ia lompat turun dari kudanya, ia lari ke dalam rimba.
Oey Yong lompat turun, ia menepuk-nepuk kepala si kuda merah seraya berkata:
"Pergi lekas menyambuti ayahku!" Kemudian ia menunjuk ke jalan dari mana mereka
datang. Kuda merah itu mengerti, dia berbalik dan lari pergi.
"Semoga ayah lekas datang..." kata nona Oey ini dalam hatinya, "Kalau tidak, kita
bisa susah di tangannya si Bisa bangkotan!" Lalu ia lari ke dalam rimba tetapi
dengan cara sembunyi. Begitu ia melihat ke depan, Oey Yong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang.
Di sana Tuli, Gochin Baki, Jebe dan Borchu berempat sedang tertawan, masing-
masing ditambat di atas sebuah pohon kayu. Di bawah pohon, Auwyang Hong berdiri
bersama-sama Kiu Cian Jin. Di sebuah pohon lain, ialah pohon yang sudah roboh,
ada tertambat seorang lain, yang seragamnya mewah, sebab ialah si punggawa
perang Song yang mengantarkan keempat orang Mongolia itu pulang ke negerinya.
Hanya perwira itu sudah mati, sebab pohonnya telah dihajar roboh oleh See Tok.
Di situ tidak ada pasukan serdadu mereka, rupanya tentara itu telah diusir ini
dua jago tua. Kiu Cian Jin tidak berani mengadu tenaga tangan dengan Auwyang Hong, tapi pun ia
tidak mau omong terus terang, sebab ia hendak memegang derajatnya, selagi ia
hendak menggunai alasan, guna menutup diri, tiba-tiba ia melihat munculny Kwee
Ceng. Ia lantas jadi terperanjat bahna girang. Ia segera mendapat pikiran.
"Kenapa aku tidak mau pinjam tangannya See Tok akan menyingkirkan bocah ini?"
demikian pikirnya. Auwyang Hong pun heran. Nyata Kwee Ceng tidak mati terkena pukulan ilmu
Kodoknya. Itu waktu putri Gochin Baki berseru: "Engko Ceng, lekas tolongi aku!"
Melihat suasana itu, Oey Yong sudah lantas mengasah otaknya.
"Sang tempo mesti diperlambat, sampai ayah datang!" demikian ia peroleh akal.
Kwee Ceng sendiri telah menjadi gusar, hingga ia jadi tak kenal takut.
"Bangsat tua, apa kamu bikin di sini"!" ia mendamprat. "Kembali kamu mencelakai
orang, ya"!" Auwyang Hong hendak menguji kepandaian Kiu Cian Jin, meski diperlakukan kurang
ajar, ia bahkan bersenyum. Tidak demikian dengan si orang she Kiu itu.
"Ha, binatang cilik yang baik!" dia membentak. "Di sini ada Auwyang Sianseng,
mengapa kau tidak berlutut memberi hormat" Apakah kau sudah bosan hidup"!"
Kwee Ceng sangat membenci orang ini, yang di rumah penginapan sudah ngaco belo,
memfitnah dan mengadu gurunya dengan Oey Yok Su, dengan di sini kembali dia
mencelakai orang, maka itu tanpa membilang suatu apa, ia menghampirkan, terus ia
menyerang dadanya. Pemuda ini menyerang dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, yang sekarang talh maju
jauh sekali. Ia menggunakan tenaga menyerang enam bagian dan tenaga menarik
empat bagian, dari itu, habis menyerang, tinjunya cepat ditarik pulang. Kiu Cian
Jin berkelit, tetapi ia kena ditarik anginnya tinju itu, tubuhnya mundur hanya
diluar keinginannya, dia ditarik ke depan, terus jatuh terjerunuk!
"Hm!" Kwee Ceng mengejek seraya tangannya yang kiri dilayangkan, guna menyambut
muka muka orang, hendak ia menhajar hingga gigi rontok dan lidah terkancing
putus, supaya jago tua ini tidak dapat mengacau lagi menerbitkan gelombang yang
tidak-tidak. "Tahan!" berseru Oey Yong tiba-tiba seraya ia lompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Kwee Ceng heran, hingga ia batal menggaplok, tetapi karena ia sebat, ia ubah
gerakan tangannya itu, segera ia menyambar ke arah leher, untuk mencekuk,
setelah mana, ia mengangkat tubuh orang.
"Yong-jie, bagaimana?" ia menanya seraya ia berpaling.
Oey Yong khawatir Kwee Ceng mencelakai orang tua itu, kalau itu sampai terjadi,
pasti Auwyang Hong turun tangan. Inilah ia mau cegah, untuk ia menjalankan
akalnya. "Lekas lepaskan!" ia berkata. "Orang tua ini mempunyai semacam kepandaian yang
lihay pada kulit mukanya, kalau pipinya dihajar, tenaganya berbalik bekerja, kau
pasti terluka di dalam!"
"Ah, mustahil?" kata Kwee Ceng yang tidak percaya.
"Aku tidak tahu, asal ia mementang mulut dan meniup, seekor kerbau pun dapat
terkelupas kulitnya!" kata pula si nona. "Masih kau tidak lekas mengundurkan
dirimu!" Pemuda ini masih tetap tidak percaya, akan tetapi ia menduga kekasihnya itu ada
maksudnya, maka ia menurut, ia melepaskan cekukannya.
"Syukur nona ini mengetahui bahaya," Kiu Cian Jin berkata. "Kita berdua tidak
bermusuhan, maka selagi Thian murah hati, masa aku ambil sikap yang tua menindih
yang muda dan sembarang melukakan kau?"
Oey Yong tertawa. "Itu benar!" ia bilang. "Kepandaian kau yang lihay, loosiansseng, aku sangat
mengagumi, karena itu, hari ini aku mau minta pengajaran dari kau, untuk
beberapa jurus saja, tetapi aku harap janganlah kau melukakan aku..."
Habis berkata si nona lantas memasang kuda-kudanya, tangan kirinya dikibaskan ke
atas, tangan kanannya ditarik ke dalam, terus di bawa ke mulutnya, untuk
mengasih dengar siulannya beberapa kali. Ia tertawa pula dan berkata: "Sambutlah
ini! Inilah jurusku yang dinamakan silat Meniup Terompet Keong!"
"Ah, nona kecil, sungguh besar nyalimu!" berkata Kiu Cian Jin. "Auwyang Sianseng
kesohor namanya di seluruh negara, mana dapat ia membiarkan kau tertawa mengejek
dia..?" Oey Yong tidak meladeni kata-kata itu, tangan kanannya melayang ke kuping orang,
hingga terdengarlah suara mengelepok yang nyaring. Ia lantas tertawa dan
berkata: "Dan ini namanya Pukulan Berbalik ke arah Kulit Tebal!"
Berbareng dengan itu, dari luar rimba terdengar suara orang tertawa yang disusul
dengan pujian, "Bagus! Sekalian saja kau menggaplok lagi satu kali!"
Mendengar suara itu, Oey Yong girang bukan kepalang. Ia mengenali suara ayahnya.
Dengan begitu, hatinya menjadi mantap. Sembari menyahuti, tangannya melayangp
pulang. Kembali tangann yang kanan.
Kiu Cian Jin buru-buru menunduki kepala untuk berkelit. Tapi gaplokan itu
gaplokan gertakan belaka, sedang yang benar adalah susulan tangan kiri. Ia
melihat itu, lekas-lekas ia berkelit pula. Atas ini, tangannya si nona melayang
pergi pulang, hingga ia menjadi repot berkelit tak hentinya. Di akhirnya, kuping
kanannya tergaplok pula! Kiu Cian Jin kaget. Ia mengerti, kalau terus-terusan begitu hebat untuknya. Maka
ia lantas membalas menyerang. Dengan dua kepalannya, ia memaksa si nona mundur,
setelah mana, ia lompat ke samping.
"Tahan!" ia berseru.
"Apa?" Oey Yong tertawa. "Apakah sudah cukup?"
Kiu Cian Jin mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Nona, kau telah dapat luka di dalam!" ia berkata. "Lekas kau pulang untuk
bersemadhi di kamar rahasia lamanya tujuh kali tujuh menjadi empatpuluh sembilan
hari! Jangan kena angin atau jiwamu yang muda tidak bakal ketolongan!"
Melihat roman orang sungguh-sungguh untuk sejenak Oey Yong tercengang, tetapi
lekas juga ia tertawa pula. Ia tertawa terkekeh, kepalanya memain.
Ketika itu Oey Yok Su yang tadi cuma terdengar suarnya saja, telah tiba bersama-
sama Kanglam Liok Koay. Mereka heran melihat Tuli beramai menjadi orang tawanan.
Auwyang Hong sendiri lagi keheran-heranan. Ia heran untuk Kiu Cian Jin. Ia tahu
betul, orang she Kiu ini lihay sekali, dulu hari pernah dengan tangannya yang
seperti besi itu ia menghajar mati dan luka pada jago-jago dari Heng San Pay,
sampai partai itu roboh dan tak dapat bangun lagi, maka itu kenapa sekarang ia
kena digaplok Kwee Ceng, kena dicekuk pula, dan melayani Oey Yong nampak tak
berdaya" Ia menjadi mau menduga-duga, apakah benar orang mempunyai kepandaian di
kulit muka" Itulah kepandaian yang ia belum pernah dengar, itu mirip khayal......
Selagi si Bisa dari Barat itu beragu-ragu, matanya menjurus kepada Oey Yok Su,
hingga ia melihat di pundak pemilik pulau Tho Hoa To itu tergantung sebuah
kantung sulam buatan Su-coan, yang sulamannya sutera putih adalah seekor unta.
Ia mengenali baik sekali, itulah kantung keponakannya. Ia menjadi kaget. Habis
membinasakan Tam Cie Toan dan Bwee Tiauw Hong, ia pergi, tapi sekarang ia
kembali, niatnya untuk menampak keponakannya itu.
"Mungkinkah Oey Yok Su telah membunuh keponakanku itu untuk membalas sakit hati
muridnya?" Ia berpikir. Maka ia lantas menanya dengan suaranya menggetar:
"Bagaimana dengan keponakanku?"
Oey Yok Su menjawab dingin: "Bagaimana dengan Bwee Tiauw Hong muridku itu,
demikian juga dengan keponakanmu!"
Auwyang Hong merasakan tubuhnya beku separuh. Auwyang Kongcu itu namanya saja
keponakannya akan tetapi nyatanya ialah anaknya sendiri sebab dia didapatkan
dari perhubungan gelap diantara dia dan istri kakaknya. Jadi paman dan ipar
telah main gila dan terlahirlah "Keponakan" yang dimanjakan itu. Ia sangat
kejam, jahat sebagai bisa, tetapi terhadap anaknya itu, ia sangat menyayangi,
menyayangi melebihkan jiwanya sendiri. Ia tidak menyangka keponakannya itu bakal
terbinasa, sebab dengan kedua kakinya rusak, ia percaya Oey Yok Su dan Coan Cin
Cit Cu, yang ada orang-orang kenamaan, tidak nanti menurunkan tangan mengambil
nyawa sang keponakan, siapa tahu, kesudahannya, keponakan itu toh menerima
nasibnya. Oey Yok Su berdiri dengan waspada terhadap See Tok. Ia mengerti kalau si Bisa
dari Barat kalap, ia mesti bekerja banyak untuk membela diri.
"Siapa yang membunuh keponakanku itu?" akhirnya Auwyang Hong menanya, suaranya
serak. "Muridmu atau muridnya Coan Cin Cit Cu?"
See Tok masih tidak percaya pemilik Tho Hoa To nanti membinasakan orang yang
kakinya telah buntung dua-duanya. Itulah perbuatan memalukan.
Dengan tetap dingin, Oey Yok Su menjawab pula: "Dia pernah mempelajari ilmu
silat Coan Cin Pay serta juga pernah mempelajari sedikit silat dari Tho Hoa To.
Pergilah kau cari dia!"
Pemilik Tho Hoa To itu menyebutnya Yo Kang akan tetapi Auwyang Hong menduga Kwee
Ceng. Bukan main panasnya hatinya, tetapi di dalam keadaan seperti itu, ia masih
dapat menguasai dri. "Nah, apa perlunya kau membawa-bawa kantungnya keponakanku itu?" ia tanya.
"Peta Tho Hoa To berada pada dia, aku mesti mengambilnya pulang," menyahut Oey
Yok Su. "Tidak dapat aku menanti sampai dia masuk ke dalam tanah...."
"Kata-kata yang bagu!" ujar Auwyang Hong. Ia terus menahan sabar. Ia tahu baik
sekali, kalau ia menempur Tong Shia, mereka mesti berkelahi sampai satu - atau
duaribu jurus tanpa ada ketentuan siapa menang siapa kalah, bahkan ada
kemungkinan ia tak berada di atas angin. Ia ingat Kui Im Cin-keng telah
didapatkan, dari itu, soal membalas sakit hatinya bolehkah ditaruh di belakang.
Tapi di sini ada Kiu Cian Jin.
"Dia ada di sini, dia dapat membantu aku," pikirnya. "Kalau dia dapat
mengalahkan Kanglam Liok Koay beserta Kwee Ceng dan Oey Yong, lantas dia dapat
membantui aku! Tidakkah dengan begini aku bisa mengambil jiwanya Oey Yok Su?"
Karena berpikir begini, harapannya lantas timbul. Lantas ia menoleh kepada si
orang she Kiu. "Saudara Cian Jin, pergi kau membinasakan delapan orang ini, aku sendiri
melayani Oey Lao Shia!" katanya.
Kiu Cian Jin mengibaskan kipasnya yang besar, ia tertawa.
"Begitu pun bagus!" sahutnya. "Setelah membinasakan mereka berdelapan, nanti aku
membantui kau!" "Benar begitu!" menjawab Auwyang Hong, yang lantas menghadapi Oey Yok Su, terus
ia berjongkok perlahan-lahan.
Oey Yok Su sudah lantas bersedia. Ia memasang kuda-kudanya yang disebut "put
teng put pat", ia mengambil apa yang dinamakan kedudukan "tong hong it bok". Ia
memasang mata jeli. Oey Yong sementara itu berkata kepada Kiu Cian Jin.
"Baiklah kau bunuh aku dulu!" bilangnya tertawa.
Orang tua itu menggeleng-geleng kepala.
"Ah, sebenarnya aku tidak tega..." katanya. "Aduh, aduh, celaka!" ia terus
menjerit. "Sungguh tidak kebetulan...!" ia lantas memegangi perutnya, tubuhnya
membungkuk. "Kau kenapa?" Oey Yong tanya.
Kiu Cian Jin meringis. "Kau tunggu sebentar, aku hendak membuang air..."
"Cis!" si nona meludah.
"Aduh!" Kiu Cian Jin berkoak pula, lalu ia memegangi pinggiran celananya, terus
ia lari ke pinggiran. Melihat romannya, dia benar-benar perutnya sakit dan
kebelet ingin membuang air besar.
Oey Yong mengawasi tanpa berani mengejar. Ia sangsi orang benar-benar sakit
perut atau lagi menggunai akal bulus.
Tiba di pinggiran, Kiu Cian Jin berjongkok.
"Nah, ini kertas untukmu!" berkata Cu Cong, yang lari kepada orang she Kiu itu,
pundak siapa ia tepuk, sedang tangannya menyerahkan kertas yang ia keluarkan
dari kantungnya. Terima kasih!" mengucap Cian Jin. Ia lantas pergi ke gompolan rumput di mana ia
berjongkok. "Pergi jauhan sedikit!" kata Oey Yong yang memungut sepotong batu kecil, dengan
apa ia menimpuk orang tua itu.
Bab 54. Segitiga........ Bab ke-54 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Batu itu melayang bagaikan terbang tetapi Kiu Cian Jin menyambutinya.
"Nona takut bau busuk?" katanya tertawa. "Baiklah, aku akan menyingkir sedikit
lebih jauh. Kau orang delapan mesti menunggu, aku larang kamu pada melarikan
diri.....!" Dengan masih memegangi celananya, Cian Jin pergi sampai belasan tombak, di situ
ia baru jongkok, hingga ia tak terlihat lagi.
"Jie suhu, jangan-jangan bangsat tua itu mau melarikan diri!" berkata Oey Yong.
Cu Cong tertawa. "Mungkin dia mau lari tetapi dia tidak bisa," sahutnya guru yang nomor dua itu.
"Kau ambillah dua rupa barang ini untuk kau buat main...."
Oey Yong melihat sebatang pedang dan sebuah sarung tangan dari besi di tangan
gurunya itu, maka tahulah dia tadinya selagi menepuk pundak Kiu Cian Jin,
gurunya itu sudah memindahkan barang orang. Ia periksa pedang itu, lantas ia
tertawa geli. Selama di dalam kamar rahasia tadi ia melihat Kiu Cian Jin
mempermainkan Coan Cin Cut Cu dengan menikam perutnya dengan pedang itu, tidak
tahunya itulah pedang rahasia, yang dapat dibikin melesat atau ngelepot tiga
kali. Maka ia lantas menghampirkan Auwyang Hong.
"Auwyang Sianseng, aku tidak mau hidup lagi!" katanya sambil tertawa, tangan
kanannya terus diayunkan ke perutnya, yang ia tumblas dengan pedangnya Kiu Cian
Jin itu, hingga pedang itu melesak masuk.
Auwyang Hong dan Oey Yok Su yang bersiap untuk bertempur menjadi kaget, tetapi
Oey Yong sudah lantas mencabut pedangnya itu, yang menjadi pendek, sembari
memperlihatkan itu kepada ayahnya, ia menuturkan rahasianya pedang tukang sulap
itu. Auwyang Hong menjadi melengak dan berpikir: "Apa mungkin tua bangka itu main
gila seumurnya sedang sebenarnya dia tidak mempunyai guna?"
Oey Yok Su terus mengawasi si Bisa dari Barat itu, ketika ia melihat tubuh orang
mulai tak jongkok lagi, ia dapat menerka hati orang. Ia lantas menyambuti sarung
tangan besi dari anaknya, untuk meneliti itu. Ia melihat ukiran huruf "Ki" di
telapakan tangan, di sebelah belakangnya ada ukiran seekor ular kecil serta
seekor kelabang kecil, yang berguling menjadi satu. Ia ingat itulah lengpay atau
tertanda dari Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin. Pada duapuluh tahun yang
lalu, lengpay itu sangat berpengaruh di dalam dunia kangouw, siapa yang membawa-
bawa itu, dia dapat lewat dengan merdeka di selatang dan si utara sungai Tiang
Kang atau di hulu dan hilir sungai Hong Hoo, bahkan golongan Hitam dan Putih
sangat jeri terhadapnya. Maka itu heran, mungkinkah pemiliknya lengpay itu ada
ini orang yang besar mulutnya saja"
Sembari berpikir, Oey Yok Su kembalikan sarung tangan itu kepada putrinya.
Auwyang Hong juga berpikir keras, ia turut merasa heran.
Oey Yong tertawa. "Ayah, sarung tangan ini bagus untuk dibuat main, aku
menyukainya, hanya ini alat peranti menipu orang aku tidak membutuhkannya! Nah
ini, kau sambutlah!" Ia mengayaun tangannya, hendak menimpukkan pedang-pedangan
itu. Atau mendadak, ia membatalkannya. Jaraknya dengan Kiu Cian Jin jauh juga,
ia khawatir tidak dapat ia menimpuk sampai di sana. Maka pedang itu ia serahkan
kepada ayahnya seraya membilangnya sambil tertawa: "Ayah, kau saja yang
menimpukkannya!" Oey Yok Su memang tengah bersangsi, ia menjadi ingin mencobai Kiu Cian Jin, maka
ia menyambutinya pedang itu, yang ia taruh di telapakan tangannya yang kiri,
ujungnya yang lancip di arahkan ke luar, lalu dengan jari tangan dari tangan
kanan, ia menyentil. Sekejap saja pedang itu meleset bagaikan terbang!
"Bagus!" berseru Oey Yong dan Kwee Ceng sambil bertepuk tangan.
"Tiat Cie Sin-kang yang hebat!" Auwyang Hong memuji di dalam hatinya. Ia kaget
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendirinya untuk lihaynya Tong Shia si Sesat dari Timur ini.
Semua mata diarahkan kepada pedang itu serta Kiu Cian Jin. Di situ ia tampak
jongkok tak bergeming walaupun bebokongnya mau dijadikan sasaran pedangnya itu.
Maka cepat sekali, pedang telah mengenai dan nancap.
Serang Oey Yok Su sangat hebat, jangan kata itu pedang besi, walaupun pedang
kayu, kalau sasarannya keba terhajar, korbannya mesti bercelaka.
Kwee Ceng lantas berlompat lari ke arah Kiu Cian Jin. Ketika ia sampai di tempat
orang berjongkok itu, mendadak ia berseru: "Celaka betul!" Tangannya pun lantas
mengangkat sepotong baju, untuk diulap-ulapkan. Ia berseru pula: "Orangnya sudah
kabur!" Kiu Cian Jin telah meloloskan bajunya, yang ia sangkutkan dengan rapi hingga ia
tampak seperti terus berjongkok membuang air besar, dengan nyeludup di pepohonan
lebat, ia sendiri diam-diam mengangkat kaki, menyingkir dari tempat berbahaya
itu. Dengan kecerdikannya ini ia terlah berhasil menjual Tong Shia dan See tok
yang berpenglamanan dan lihay itu, hingga dua orang itu melengak dan saling
mengawasi, lalu keduanya tertawa lebar.
Auwyang Hong kenal baik Tong Shia, yang tak sejujur Ang Cit Kong, yang sukar
untuk dibokong, sekarang melihat orang tengah tertawa, ia menganggap inilah
ketikanya untuk turun tangan. Dengan mendadak ia berhenti tertawa, terus ia
menjura dalam sekali. Oey Yok Su terus tertawa hanya sambil tertawa itu, tangan kirinya dilonjorkan,
tangan kanannya ditekuk, sebagai juga ia membalas hormat.
Sesaat itu tubuh mereka bergoyang sebentar, setelah mana, Auwyang Hong mundur
tiga tindak. Ia telah membokong dengan tidak berhasil. Lantas ia kata: "Baiklah,
kita berdua nanti bertemu pula di belakang hari!" Sembari berkata begitu, ia
mengibaskan tangan bajunya, ia memutar tubuhnya, untuk berlalu.
Air mukanya Oey Yok Su berubah. Dengan lekas ia mengulur tangan kirinya ke depan
anak gadisnya. Kwee Ceng pun telah melihat, selagi memutar tubuh, Auwyang Hong menyerang secara
Hati Budha Tangan Berbisa 2 Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Racun Ular Karang 2
Khu Cie Kee tidak sendirian, di sampingnya ada Tan Yang Cu Ma Giok, Giok Yang Cu
Ong Cie It, Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie serta In Cie Peng, muridnya. Kedatangan
Khu Cie Kee kali ini pun untuk urusan muridnya ini.
Ketika itu hari In Cie Peng kena dihajar Oey Yok Su hingga giginya copot, ia
mengadu kepada gurunya. Kebetulan Khu Cie Kee berada di Lim-an. Dia kaget dan
gusar, maka mau lantas ia mencari Oey Yok Su. Ma Giok sabar, ia mencegah.
"Oey Lao Shia itu dulu harinya sama kesohornya dengan almarhum guru kita," kata
Cie Kee. "Di antara kita bertujuh, cuma Ong Sutee yang pernah bertemu dengannya
selama rapat di gunung Hoa San. Siauwtee mengagumi dia, memang siauwtee ingin
bertemu dengannya, maka inilah ketikanya yang baik. Siauwtee tidak memikir untuk
menempur dia, kenapa suheng mencegah?"
Ma Giok tertawa dan berkata: "Aku dengar Oey Lao Shia itu aneh tabiatnya, sedang
kau, berangasan, maka jikalau kamu bertemu muka, kebanyakan bisa terbit onar.
Bahwa ia telah memberi ampun pada Cie Peng, itu tandanya ia menaruh muka..."
Cie Kee tidak dapat dibujuk, dia mau juga pergi, maka itu Ma Giok lantas
mengundang saudara-saudaranya untuk pergi ke Gu-kee-cun. Mereka sudah berkumpul
tetapi Ma Giok mengusulkan untuk mereka berlima yang pergi terlebih dulu. Tam
Cie Toan, Lauw Cie Hian dan Cek Tay Thong menantikan di luar kampung itu,
bersiap membantu kalau ada perlunya. Diluar sangkaan mereka, bukan mereka
bertemu Oey Yok Su, mereka melihat Bok Liam Cu. Khu Cie Kee mengenali nona itu,
maka itu selagi bersandung, ia menegur lebih dulu.
Melihat muridnya itu, Khu Cie Kee mengasih dengar suara di hidung, "Hm!" Dia
tidak memperdulikan. "Suhu," Cie Peng berkata, "Tocu dari Tho Hoa To menghina teecu justru di dalam
ini rumah penginapan."
Cie Peng sebenarnya menyebut Oey Yok Su dengan nama Oey Lao Shia, yang berarti
si Oey tua yang tersesat atau si Sesat bangkotan, tetapi ia ditegur oleh Ma
Giok, maka ia mengubah sebutannya.
Khu Cie Kee segera menghadapi rumah penginapan itu, dengan nyaring ia berkata:
"Murid-murid Coan Cin Kay ialah Ma Giok beramai, datang menghadap kepada Oey
Tocu dari Tho Hoa To!"
"Di dalam tidak ada orang," Yo Kang memberitahukan.
"Sayang, sayang," kata Cie Kee yang membanting-banting kaki. Tapi ia lantas
tanya muridnya: "Kau di sini, apa kau bikin?"
Hati Yo Kang sudah goncang karena melihat guru dan sekalian paman gurunya itu,
maka atas pertanyaan itu, ia tidak lantas dapat memberikan jawabannya.
Sementara itu Gochin Baki mengawasi Ma Giok, lalu ia lari menghampirkan, terus
ia berseru: "Oh, kaulah itu imam yang membantu aku menangkapi rajawali putih.
Lihatlah, sekarang itu sepasang rajawali telah menjadi besar sekali!"
Putri Mongolia ini menunjuk pada burungnya sambil bersiul, atas mana kedua ekor
burungnya itu lantas turun, menclok di kedua belah pundaknya.
Ma Giok tersenyum, ia mengangguk.
"Apakah dia pun datang ke Selatan ini untuk pesiar?" ia menanya.
Putri ini tahu siapa yang dimaksudkan dengan "dia" itu, lantas saja ia menangis.
"Anda Kwee Ceng telah dibikin celaka orang hingga mati!" katanya sengit.
"Totiang, tolong kau balaskan sakit hatinya!"
Ma Giok terkejut hingga ia mencelat. Dengan bahasa Tionghoa ia lalu memberi
keterangan kepada saudara-saudaranya perkataan putri itu.
Khu Cie Kee dan Ong Cie It pun heran, dengan berbareng mereka lantas menanyakan
apa sebenarnya telah terjadi.
Putrinya Jenghiz Khan segera menunjuk kepada Yo Kang.
"Dialah yang membawa berita, katanya ia melihatnya sendiri," bilangnya. "Coba
kau tanyakan dia sendiri!"
Melihat si nona kenal paman gurunya yang tertua, Yo Kang berkhawatir, maka itu
ia lantas kata kepada Tuli dan si nona itu: "Kamu tunggu dulu di sebelah depan
sana, aku hendak bicara sama beberapa imam ini. Sebentar aku susul kamu."
Perkataan ini disalin oleh si punggawa. Mendengar itu Tuli mengangguk, lantas ia
ajak adik dan kawannya pergi ke depan, ke utara kampung itu.
"Siapa yang membunuh Kwee Ceng"!" Cie Kee menanya, bengis. "Lekas bicara!"
Dalam takutnya Yo Kang berpikir: "Kwee Ceng itu aku sendiri yang membunuhnya
sendiri, sekarang aku mesti menimpakan kesalahan kepada siapa..." Baiklah aku
menyebut seorang lihay, supaya suhu mencari dia, supaya dia mengantarkan jiwanya
sendiri, dengan begitu untuk selamanya aku bebas dari mara bahaya..." Maka dengan
lagu suara sangat membenci, ia menjawab: "Dialah tocu dari Tho Hoa To!"
Menyusuli jawabannya Yo Kang ini, dari kejauhan terdengar tertawa lebar yang
samar-samar, disusul sama suara nyaring seperti bentroknya cecer rombeng, lalu
disusul lagi sama suara yang perlahan sekali, tetapi meskipun perlahan,
terdengarnya toh tegas. Suara itu seperti berputaran di luar kampung lantas
pergi jauh......... Akan tetapi Khu Cie Kee kaget berbareng girang.
"Itulah tertawanya Ciu Susiok," katanya.
"Ketiga Suheng pergi menyusul!" kata Sun Put Jie.
"Rupanya suara cecer pecah dan suara memanggil tadi seperti lagi menyusul
susiok," kata Ong Cie It.
Ma Giok nampaknya berduka.
"Kelihatannya dua orang itu berkepandaian tidak ada di bawahan Ciu Susiok,"
katanya. "Entah mereka itu orang pandai darimana" Ciu Susiok bersendirian melawan dua
musuh, aku khawatir..." Ia lantas menggoyang-goyangi kepalanya.
Khu Cie Kee dan tiga saudaranya mendengari pula, sekarang suara itu lenyap,
rupanya orang telah pergi jauh beberapa lie hingga sulit disusul lagi.
"Ada Tam Suko bertiga, kita tidak usah mengkhawatirkan susiok," kata Sun Put Jie
kemudian. "Aku khawatir mereka tidak dapat menyandak," bilang Cie Kee. "Coba Ciu Susiok
mendapat tahu kita berada di sini dan dia datang ke mari..."
Oey Yong dapat mendengar semua pembicaraan mereka itu, ia tertawa sendirinya.
"Ayahku bersama si bisa bangkotan dan tua bangka berandalan tengah mengadu
kepandaian lari!" katanya di dalam hatinya. "Mereka itu bukannya lagi
berkelahui. Umpama kata mereka benar lagi berkelahi, kamu beberapa imam hendak
membantu, mana kamu dapat melawan ayahku serta si bisa bangkotan itu?"
Ma Giok yang sabar lalu mengibas tangannya, maka semua orang lantas masuk ke
dalam rumah penginapan untuk pada berduduk.
"Eh, mari aku tanya kau!" kata Cie Kee pada muridnya. "Aku mau tahu, sekarang
ini kau dipanggil Wanyen Kang atau Yo Kang?"
Yo Kang takut sekali. Mata gurunya itu sangat tajam memandang padanya. Kalau ia
salah menjawab, jiwanya terancam bahaya. Maka lekas-lekas ia menjawab: "Jikalau
bukannya suhu serta Ma Supee dan Ong Susiok yang memberi petunjuk, sampai
sekarang tentu juga teecu masih dalam kegelapan, masih teecu tetap mengaku musuh
sebagai ayahku. Sekarang ini tentu sekali teecu she Yo. Baru saja tadi malam
berdua bersama adik Bok ini teecu mengubur jenazah ayah bundaku."
Senang Khu Cie Kee mendengar jawaban itu, ia mengangguk-angguk, air mukanya pun
berubah tak bermuram lagi seperti tadi. Sebagai imam jujur, ia mempercayai
orang. Juga Ong Cie It tidak lagi mendongkol melihat sekarang Yo Kang ada bersama Liam
Cu, yang tadinya dia gusar karena keponakan murid itu menyangkal perjodohannya
dengan nona Bok. Kebetulan Khu Cie Kee melihat ke lantai tatkala sinar matanya bentrok sama
tombak buntung. Ia kenali itu sebagai senjatanya Kwee Siauw Thian. Ia lantas
memungutnya, untuk diusap-usap. Nyata ia berduka.
"Pada sembilanbelas tahun yang lampau," katanya perlahan, "Di sini aku telah
berkenalan dengan ayahmu serta pamanmu she Kwee, sekarang sesudah belasan tahun
lewat, aku melihat ini peninggalan tombaknya, sedang sahabatku itu telah pulang
ke alam baka....." Kwee Ceng mendengar perkataan itu, ia berduka bukan main. Katanya dalam hatinya:
"Khu Totiang menyebutnya ialah sahabatnya ayahku, tetapi aku sendiri tidak
pernah melihat wajah ayahku itu...."
Kemudian Khu Cie Kee tanya muridnya bagaimana caranya Oey Yok Su membunuh Kwee
Ceng. Sudah terlanjur, Yo Kang lantas mengarang cerita.
Ketiga imam itu menghela napas, mereka berduka sekali. Mereka pun mengenal baik
itu pemuda she Kwee. Selama itu hatinya Yo Kang tidak tenang. Ia pun telah berjanji kepada Tuli dan
Gochin Baki. "Apakah kamu berdua sudah menikah?" kemudian Ong Cie It tanya keponakan murid
itu, yang ia awasi. "Belum," sahut Yo Kang. Kali ini ia tidak berani berdusta.
"Lebih baik kalian lekas menikah!" Ong Cie It bilang. "Khu Suko, baiklah hari
ini kau merecoki jodoh mereka, supaya mereka lantas menikah."
Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi, dalam hatinya, mereka kata: "Benarkah
malam ini kembali kita akan menonton sepasang pengantin?"
Yo Kang sementara itu telah berkata dengan cepat: "Terserah kepada suhu!"
Tapi Bok Liam Cu berkata: "Mesti dipenuhkan dulu satu permintaanku, yang menjadi
syaratku, kalau tidak biarnya mati, aku tidak sudi menikah!"
Nona ini telah lama mengikuti ayahnya merantau maka itu ia beda daripada Yauw
Kee. Khu Cie Kee tersenyum. "Baiklah!" bilangnya. "Apakah itu, nona, kau bilanglah!"
"Ayah angkatku telah dibikin mati oleh Wanyen Lieh, musuh negaraku," menyahut
nona Bok, "Maka itu dia mesti membalaskan dulu sakit hati ayahku itu!"
"Bagus!" berseru Cie Kee bertepuk tangan. "Nona, pikiranmu cocok sama pikirannya
si imam tua! Nah, anak Kang, bagaimana dengan kau" Kau setujukah?"
Syarat itu hebat sekali, tentu saja Yo Kang menjadi ragu-ragu. Selagi ia
berpikir, bagaimana ia harus menjawab, di luar penginapan terdengar suara orang
bernyanyi, suaranya serak, dan nyanyiannya ialah lagu "Lian Hoa Lok",
nyanyiannya bangsa pengemis. Nyanyian itu lantas disusul sama satu suara halus
dan tajam, katanya: "Tuan-tuan besar sukalah berlaku murah hati, mengamal untuk
satu bun saja...!" Mendengar suara itu, Bok Liam Cu lantas berpaling, ia mengenali suara itu.
Di ambang pintu terlihat dua orang pengemis, yang satu bertubuh jangkung dan
gemuk, yang lainnya kate dan kurus, dan si jangkung gemuk itu umpama kata
sebesar empak kali tubuhnya si kate kurus itu. Maka itu sangat luar biasa
perbedaaan di antara mereka berdua. Sang tempo telah berselang banyak tahun
tetapi nona Bok masih ingat peristiwa ketika usianya tigab elas tahun dulu,
ketika lukanya dibalut oleh pengemis itu, sedang Ang Cit Kong, yang menyukai si
nona, telah mengajari dia ilmu silat selama tiga hri. Liam Cu hendak
menghampirkan kedua pengemis itu tetapi ia bersangsi tempo ia melihat kedua
pengemis itu lantas mengawasi tongkat di tangannya Yo Kang, lalu setelah mereka
saling melirik, terus mereka menghampirkan pemuda itu. Dengan menyilangkan kedua
tangan mereka, mereka memberi hormat.
Ma Giok semua mengawasi kedua pengemis itu, dengan hanya melihat tindakan orang
dan gerakan tubuhnya, mereka mendapat tahu dua orang ini mesti lihay ilmu
silatnya. Mereka juga melihat di punggung orang ada tergendol delapan buah
kantung goni, yang mana adalah tanda tingkatan tinggi dari kaum Kay Pang. Hanya
mereka tidak mengerti kenapa keduanya demikian menghormat terhadap Yo kang.
Si pengemis kurus lantas berkata: "Saudara yang baik, beruntung sekali yang di
dalam kota Lim-an ini kau telah menemukan tongkat pangcu kami. Sebenarnya kami
telah mencarinya berputaran! Saudara, entahlah dimana tahu kemanakah perginya
pangcu kami meminta amal?"
Yo Kang heran diperlakukan demikian. Ia memegangi tongkat tetapi ia tidak tahu
hal ikhwalnya tongkat itu. Tentu sekali tidak tahu ia bagaimana harus
menjawabnya. Adalah aturan kaum Kay Pang, melihat tongkat adalah sama seperti mereka
menghadap pangcu mereka sendiri, dari itu terhadap Yo Kang mereka berlaku sangat
menghormat, tetapi sekarang Yo Kang seperti tidak memperdulikan mereka, agaknya
mereka bergelisah, lekas-lekas mereka menunjuki sikap lebih hormat pula.
Si pengemis gumuk turut berkata, katanya: "Pertemuan di Gak-ciu sudah mendesak
harinya, untuk itu Kan Tianglo dari timur sudha bergerak ke barat."
Yo Kang menjadi semakin tidak mengerti. Tadi ia mengasih dengar, "Hm!" sekarang
ia mengasih dengar pula suaranya itu.
Pengemis kurus pun berkata pula: "Oleh karena teecu mencari tongkatnya pangcu,
tempo kami telah tersia-siakan beberapa hari, maka sekarang setelah kita
bertemu, seharusnya kita lantas berangkat! Maka itu baiklah sekarang teecu
beramai menemani padamu!"
Biar bagaimana Yo Kang dapat menggunakan otaknya. Memang ia ingin lekas-lekas
menyingkir dari depan guru dan paman-paman gurunya itu. Maka ia lantas berlutut
kepada mereka, katanya: "Teecu ada mempunyai urusan penting, tidak dapat teecu
menemani kepada suhu beramai, dari itu, harap teecu dimaafkan!"
Khu Cie Kee beramai percaya muridnya ini ada mempunyai urusan penting dengan Kay
Pang, mereka pun tahu, Ang Cit Kong kenal baik dengan Ong Tiong Yang, almarhum
guru mereka, karena itu mereka tidak berani menahan Yo Kang. Malah sebaliknya,
mereka berlaku hormat kepada kedua pengemis itu, yang sikapnya demikian halus.
Bok Liam Cu pun suka turut. Bukankah ia ada kenal dengan dua pengemis itu" Maka
ia juga memberi hormat pada Khu Cie Kee berempat, untuk pamitan.
Begitulah, berempat mereka berangkat.
Khu Cie Kee berempat bermalam di rumah penginapan itu untuk menantikan Tam Cie
Toan bertiga. Baru besoknya tengah malam, mereka mendengar suara siulan panjang
di luar kampung itu. Sun Put Jie lantas berkata: "Cek Suheng pulang!"
Ketika itu Khu Cie Kee berempat lagi bersemadhi tatkala mereka mendengar isyarat
dari Kong Leng Cu Cek Tay Thong, atas mana Ma Giok lantas memberikan jawabannya
perlahan tetapi terang. Cuma sebentar saja, lantas satu bayangan berkelebat dan
Cek Tay Thong bertindak masuk.
Oey Yong belum pernah melihat imam itu, ia lantas mengintai.
Malam itu malam tanggal lima bulan tujuh, rembulan masih kecil, akan tetapi si
situ si nona dapat melihat dengan tegas. Maka ia tampak seorang yang bertubuh
gemuk dan tinggi besar, romannya seperti seorang pembesar negeri, tangan baju
dari jubahnya ada separuh, cuma sampai sebatas sikut. adi pakaian dia ini
berbeda sekali dengan jubahnya Ma Giok beramai.
Cek Tay Thong ini, semasa belum menjadi imam, adalah seorang hartawan di
Lenghay, Shoatang, dia pun terpelajar tinggi, baru kemudian dia mengangkat Ong
Tiong Yang menjadi guru. Ketika ia menerima muridnya ini, Ong Tiong Yang
meloloskan jubah yang ia pakai, kedua ujung bajunya ia kutungi, jubahnya itu
dikasihkan muridnya pakai. Ia pun kata: "Tidak ada bahaya, tidak ada tangan
baju, maka kamulah yang harus merampungkan sendiri."
Huruf "tangan baju" ada sama suaranya dengan huruf "menerimakan". Dengan itu mau
diartikan, meskipun guru ini tidak memberikan banyak pengajaran kepada satu
muridnya, dengan peryakinan sendiri, si murid akan memperolah kemajuan. Cek Toy
Thong mengingat baik-baik perkataan gurunya itu, maka selanjutnya ia tetap
mengenakan jubah tangan buntung itu.
"Bagaimana dengan Cui Susiok?" tanya Khu Cie Kee yang tidak sabaran. "Sebenarnya
ia lagi bergurau atau benar-benar bertempur?"
Cek Toy Thong menggeleng kepala.
"Kepandaianku masih rendah sekali, setelah menyusul tujuh atau delapan lie, aku
lantas kehilangan Cui Susiok itu," ia menyahut. "Tam Suko bersama Lauw Suko
berada di sebelah depanku."
"Kau letih, Cek Sutee, kau beristirahatlah," katany.
Cek Tay Thong lantas duduk bersila, untuk menjalankan pernapasannya.
"Diwaktu tadi aku berjalan pulang," kemudian ia berkata pula, "Di Ciu Ong Bio
aku melihat enam orang, melihat roman mereka, mereka mestinya Kanglam Liok Koay
yang Khu Suheng cari. Lantas aku menghampirkan mereka, nyata penglihatanku tidak
keliru." "Bagus!" kata Cie Kee girang. "Sekarang di mana adanya mereka itu?"
"Sebenarnya mereka itu baru kembali dari Tho Hoa To," Tay Thong memberi
keterangan pula. Cie Kee terkejut. "Sungguh mereka bernyali besar berani pergi ke Tho Hoa To!" katanya. "Pantas
kita tidak dapat mencari mereka."
"Menurut keterangannya Thay-hiap Kwa Tin Ok, ketua dari Liok Koay, mereka telah
membuat perjanjian dengan Oey Yok Su untuk pergi ke Tho Hoa To, hanya setibanya
mereka di pulau itu, Oey Yok Su tidak ada. Mendengar kita berada di sini, mereka
itu membilang bahwa dalam satu dua hari ini mereka hendak datang berkunjung."
Kwee Ceng mendengar pembicaraan itu, mengetagui semua gurunya tidak kurang suatu
apa, ia girang sekali. Sementara itu, setelah lewat lima hari lima malam,
kesehatannya pun sudah pulih separuhnya.
Di hari keenam lohor kira jam tiga atau empat, dari luar kampung sebelah timur
terdengar suara siulan, atas itu Khu Cie Kee berkata: "Lauw Sutee kembali
bersama seorang yang lihay, entah siapakah dia..."
Berlima mereka lantas berbangkit, untuk pergi keluar untuk menyambuti. In Cie
Peng jalan di belakang. Lantas mereka melihat Cie Hian bersama seorang tua yang
rambut kumisnya sudah putih semua, bajunya pendek, sepatunya sepatu goni,
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelah tangannya memegang sebuah kipas besar, sembari berjalan ia berbicara
sambil tertawa-tawa. Ketika dia sampai di muka penginapan, kepada lima anggota
Coan Cin Pay yang menyambutnya, dia cuma mengangguk sedikit, agaknya dia tidak
melihat mata kepada mereka itu. Tapi Lauw Cie Hian segera mengajarnya kenal:
"Inilah Tiat-ciang Cui-siang-piauw Kiu Locianpwee yang namanya kesohor di
seluruh negera. Hari ini kami bertemu dengannya, sungguh beruntung!"
Mendengar namanya imam she Lauw itu, Oey Yong tersenyum, dengan sikutnya ia
membentur tubuh Kwee Ceng, siapa lantas tersenyum juga. Berdua mereka berpikir:
"Marilah kita menyaksikan ini tua bangka penipu besar mempermainkan ini orang-
orang Coan Cin Kauw!"
Lalu terdengarlah suaranya Ma Giok berlima, yang bicara sama orang she Kiu ini
dengan sikap menghormat, sedang Kiu Cian Jin lantas mengasih dengar ocehannya.
Kemudian Khu Cie Kee menanya apa "locianpwee" itu bertemu sama Ciu Pek Thong,
paman gurunya itu. "Loo Boan Tong?" menegaskan orang she Kiu itu. "Dia telah dibinasakan oleh Oey
Yok Su!" Semua orang Coan Cin Kauw itu menjadi kaget sekali.
"Ah, tidak bisa jadi!" kata Cie Hian selang sesaat. "Baru saja boanpwee melihat
Cui Susiok, karena larinya sangat keras, boanpwee tidak dapat menyandak
padanya." Kiu Cian Jin tertawa, ia tidak membilang suatu apa. Ia rupanya lagi berpikir
bagaimana harus menelurkan kedustaannya.
"Lauw Sutee," tanya Cie Kee, "Apakah kau melihat tegas romannya itu dua orang
yang mengejar Ciu Susiok?"
"Yang satu mengenakan jubah putih, yang lainnya jubah hijau panjang. Mereka itu
sangat kencang larinya. Samar-samar aku melihat wajahnya yang berjubah hijau itu
luar biasa sekali, mirip dengan mayat".
Kiu Cian Jin telah melihat Oey Yok Su di Kwie-in-chung, segera berkata. "Benar!
pembunuhnya Ciu Pek Thong si baju hijau itu ialah Oey Yok Su! Lain orang mana
bisa" Aku hendak mencegah sayang terlambat...!"
Namanya Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin sangat kesohor, enam imam Cona
Cin Kauw ini tidak menyangka bahwa orang tengah membohong, mendengar hal
dibunuhnya Ciu Pek Thong, paman guru mereka itu, mereka sangat berduka berbareng
gusar. "Tam Suko dapat lari lebih keras daripada aku, mungkin dia mendapat kesempatan
melihat bagaimana caranya susiok dibunuh," kata Cie Hian.
"Aku khawatir Tam Suko pun nampak bahaya..." kata Sun Put Jie yang berkhawatir. Ia
berhenti tiba-tiba dan mukanya pucat.
Khu Cie Kee lantas menghunus pedangnya.
"Mari kita menyusul!" serunya. "Kita mesti menolongi dan membalaskan sakit
hati!" "Jangan!" berteriak Kiu Cian Jin, yang khawatir mereka ini dapat mencari Ciu Pek
Thong. "Oey Yok Su ketahui kamu berada di sini, segera juga dia bakal datang ke
mari. Oey Lao Shia itu ada sangat jahat, aku si orang tua tidak dapat membiarkan
dia! Aku juga tidak membutuhkan bantuannya lain orang, maka biarlah kamu berdiam
saja di sini menantikan kabar baik dari aku!"
Khu Cie Kee semua sangat percaya dan menghormati orang tua ini, mereka tidak
membantah. Pula, kalau mereka mengejar, mereka khawatir nanti mengambil jalan
salah hingga jadi tidak dapat bertemu sama Oey Yok Su, dari situ, suka mereka
menanti saja. Maka mereka berjalan keluar mengantarkan kepergiannya orang tua
itu, mereka sikapnya sangat menghormat.
Setelah keluar dari ambang pintu, Kiu Cian Jin memutar tubuhnya seraya
mengibaskan tangan serta mulutnya berkata: "Tidak usah kau mengantar sampai
jauh! Meskipun Oey Lao Shia lihay sekali, ako toh mempunyai jalan untuk
mengalahkan dia! Kamu lihat!"
Ia tidak lantas berjalan terus hanya menghunus sebatang pedang dari pinggangnya,
dengan itu ia menikam perutnya, hingga mereka menjadi kaget. Tiga dim dari
pedang itu telah tertancap separuhnya! Akan tetapi si orang tua tertawa dan
kata: "Di kolong langit ini, senjata tajam apa juga tidak dapat melukakan aku,
maka janganlah tuan-tuan kaget dan takut! Jikalau aku menyusul tetapi tidak
bertemu dan sebaliknya Oey Lao Shia itu datang ke mari, jangan tuan-tuan
melayani dia bertempur, khawatir nanti kamu terluka, kamu tunggu saja
kembaliku!" "Sakit hati paman guru, yang menjadi keponakan muridnya, tak dapat kami tidak
membalasnya!" berkata Khu Cie Kee.
Mendengar itu, Kiu Cian Jin menghela napas.
"Kalau begitu, terserah!" katanya, berduka. "Ini dia takdir! Jikalau kamu hendak
membalas sakit hati, satu hal kamu mesti ingat!"
"Tolong locianpwee memberikan petunjuk," Ma Giok minta.
Kiu Cian Jin lantas mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Begitu kamu melihat Oey Lao Shia, kamu metsi lantas mengepung dengan sungguh-
sungguh!" katanya. "Jangan kau bicara kendari sepatah kata juga! Kalau tidak,
sukarlah sakit hati kamu terbalaskan! Ingat baik-baik!"
Habis berkata, ia memutar tubuhnya, untuk terus berlalu, pedangnya masih nancap
terus diperutnya itu......
Khu Cie Kee semua saling mengawasi dengan berdiri menjublak. Mereka ada orang-
orang dengan pengetahuan dan pemandangan yang luas tetapi belum pernah mereka
menyaksikan orang menublas perut demikian rupa, dapat bicara, tertawa dan
berjalan dengan tenang! maka itu maulah mereka menduga bahwa kepandaian orang
tua itu sangat luar biasa. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa
mereka telah dijual Kiu Cian Jin. Pedang itu bertekuk tiga, kalau tekukan yang
pertama membentur sesuatu, yang dua lagi segera ngelepot masuk, jadi ujung
pedang cuma mengenai ikat pinggang dan nancap, hanya nampaknya betul seperti
terpendam di dalam perut. Dia telah menerima undangan Wanyen Lieh, dia bertugas
mulutnya menyebar racun kata-kata untuk membuatnya orang-orang gagah di jamannya
itu bentrok satu dengan lain, agar bangsa Kim (kin atau Chin) mendapat ketika
menyerbu ke Selatan, guna menumpas alaha Song.
Seperginya orang tua itu, Khu Cie Kee berenam tak tenang hatinya, sampai mereka
tidak bernafsu dahar dan minum. Mereka terus menanti. Ketika tiba sang tengah
malam dari tanggal tujuh, mendadak mereka mendengar sama-samar suara orang di
arah utara, seperti dua orang saling susul, atau sebentar kemudian, tibalah dua
orang itu di depan rumah penginapan.
Enam orang Coan Cin Kauw ini duduk bersemadhi di atas tumpukan rumput, dengan
itu jalan mereka memelihar diri smabil berlaku sabar sebisanya, cuma In Cie
Peng, yang latihannya masih lebih rendah, sudah tidur pulas. Mendengar suara
itu, mereka lantas berlompat bangun.
"Musuh mengejar Tam Sutee," berkata Ma Giok. "Berhati-hatilah semua!"
Untuk Kwee Ceng, malam itu pun malam terakhir, guna memenuhkan waktu istirahat
tujuh hari tujuh malam. Tindakan mereka itu besar faedahnya. Bukan saja Kwee
Ceng sendiri sembuh lukanya di dalam, juga rapat lukanya di luar, pula tenaga
dalam mereka mendapat kemajuan besar. Tempo beberapa jam lagi adalah tempo yang
terpenting. Tapi Oey Yong berduka dan berkhawatir kapan ia mendengar
perkataannya Ma Giok itu.
"Kalau yang datang benar ayah, inilah hebat," pikirnya. "Coan Cin Cit Cu tentu
bakal lantas menyerang dan mengerebuti....Aku tak dapat keluar, untuk mencegah
guna mengasih penjelasan. Bagaimana" Aku khawatir sangat mereka ini bakal
bercelaka di tangan ayah. Kematian mereka itu tidak ada sangkutnya dengan aku
sendiri, tidak demikian dengan engko Ceng. Engko Ceng ada sangkutannya dengan
mereka itu. Pasti engko Ceng akan bertindak......Tidakkah itu bakal meludaskan usaha
kita berhari-hari dan bemalam-malam ini, sedang ini adalah detik-detik terakhir"
Aku khawatir, tidak cuma ilmu silatnya juga jiwanya akan terancam bahaya..." Maka
ia lantas berbisik di kuping lawannya itu: "Engko Ceng, kamu mesti berjanji
padaku, tidak peduli bakal terjadi apa juga yang besar dan penting, kau tidak
boleh keluar dari sini!"
Kwee Ceng mengangguk dengan lantas.
Segera juga siulan terdengar di luar pintu penginapan.
"Tam Sutee, lekas mengatur barisan Thian Kong Pak Tauw!" Khu Cie Kee berseru.
Mendengar nama barisan itu, Kwee Ceng jadi sangat ketarik hatinya. Di dalam
kitab Kiu Im Cin-keng ada disebut-sebut nama bintang-bintang itu, sebagai pokok
untuk pernyakinan kemahiran, penjelasan lainnya tidak ada, maka itu, ia ingin
ketahui kepandaiannya Coan Cin Cit Cu. Segera ia mengintai.
Justru pemuda ini mengintai, justru pintu tergabrukan terbuka dan seorang imam
melompat masuk, hanya disaat jubahnya berkibar dan kaki kirinya baru melewati
ambang pintu, mendadak ia terhuyung dan mundur pula keluar. Inilah sebab
musuhnya telah tiba dan sudah menyerang padanya.
Khu Cie Kee bersama Ong Cie It berlompat ke pintu, dimana mereka berdiri
berendeng, kedua tangan mereka diajukan ke depan, maka tenaga mereka bentrok
sama tenaga dari luar. Sebagai kesudahan dari itu, kedua imam ini mundur dua
tindak, lawannya mundur dua tindak juga. Ketika ini digunai Tam Cie Toan untuk
berlompat masuk. Di bawah sinar rembulan terlihat tegas orang di luar itu awut-awutan rambutnya,
mukanya ada dua goresan darahnya, pedang di tangan kanannya tinggal sepotong,
entah bekas dikutungi dengan senjata apa.
Setiba di dalam, tanpa mengucap sepatah kata, Tam Cie Toan lantas duduk bersila,
untuk bersemadhi, sikapnya itu diturut oleh keenam saudaranya. Di luar pintu
lantas terdengar suara yang keras dan seram: "Imam tua she Tam, jikalau bukan
nyonya besarmu memandang kepada Ma Giok yang menjadi kakak seperguruanmu, pasti
siang-siang aku telah mengantarkan jiwamu! Perlu apa kau memancing nyonya
besarmu datang ke mari" Siapa itu barusan yang membantu padamu" Kau terangkanlah
kepada Mayat Besi dari Hek Hong Siang Sat!"
Di tengah malam buta itu, suaranya Bwee Tiuw Hong ini membuatnya tubuh orang
menggigil sendirinya. Setelah itu, kembali sunyi senyap. Apa yang dapat
terdengar melainkan suara kutu. Hanya sebentar kemudian, terdengar suara seperti
mereteknya tulang-tulang dan otot-otot. Kwee Ceng tahu itulah tanda Bwee Tiauw
Hong, yang rupanya hendak menyerbu ke dalam. Habis itu terdengar: "Sekali
tertinggal sampai pula beberapa puluh tahun..."
Itulah senandungnya Ma Giok, suaranya halus dan sabar.
Lalu Tam Cie Toan menyambungi: "Dengan rambut kusut jalan sepanjang hari
bagaikan edan." Suara itu besar dan kasar, hingga Kwee Ceng mengawasi anggota
Coan Cin Cit Cu yang kedua ini, muka siapa berdaging dan berotot, alisnya
gompiok, matanya besar, tubuhnya besar dan kekar. Sebelum menyucikan diri, ialah
asal tukang besi di Shoatang, tabiatnya jujur dan polos, dari itu, gelarannya
ialah Tiang Cin Cu. Orang yang ketiga bertubuh kate dan kurus, mukanya seperti kera. Dialah Tiang
Seng Cu Lauw Cie Hian, yang turut bersenandung. "Di bawah pesaben haytong
menanam bibit." Dia bertubuh kecil tetapi suaranya nyaring sekali.
Tiang Cun Cu Khu Cie Kee pun menyambuti: "Di dalam perahu di antara daun teratai
ada dewa Thay It Sian." Ia lantas disambungi Giok Yang Cu Ong Cie It "Tak ada
beda maka boleh keluar dari batok kosong."
Kong Leng Cu Cek Tay Thong turut bersenandung juga: "Ada orang yang dapat sadar
sebelum dilahirkan." Ia dituruti oleh Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie, katanya,
"Pergi keluar sambil tertawa dan merdeka bebas."
Sebagai penutup bersenandunglah Tan Yang Cu Ma Giok, "Mega di telaga See Ouw,
rembulan di langit!"
Bwee Tiauw Hong terkejut mendengar suara mereka itu, suara yang menandakan
tenaga dalam yang mahir. Maka berpikirlah dia: "Mustahilkah Coan Cin Cit Cu
berkumpul di sini semua" Ah, tidak bisa jadi! Kecuali Ma Giok, suara mereka itu
lain...." Selama di jurang di padang pasir Mongolia, Bwee Tiauw Hong pernah mendengar
suara Ma Giok serta Kanglam Liok Koay yang menyamar sebagai Coan Cin Cit Cu,
dengan kupingnya ynag jeli sekali, ia bisa ingat dan membedakan suara orang. Ia
tidak mempunyai mata, maka itu ia mengandal pada kupingnya. Sekarang ia
mendengar suara yang lain sekali kecuali suara Tan Yang Cu Ma Giok. Sampai
sekarang ia masih belum tahu bahwa dulu hari ia telah diperdayakan Ma Giok.
"Ma Totiang!" ia lantas menanya. "Semenjak kita berpisah, bukankah kau baik-baik
saja?" Ia masih ingat imam itu, yang dulu hari itu berlaku baik terhadapnya, dari itu,
mengenai perbuatannya Tam Cie Toan, ia masih memandang ketua Coan Cin Cit Cu
itu. Sebenarnya, ketika Cie Tong gagal menyusuk Ciu Pek Thong, di tengah jalan
ia melihat salah satu Hek Hong Sang Sat ini, yang lagi berlatih. Ia tahu Tiauw
Hong sangat jahat, ia memikir untuk menyingkirkan si jahat ini dari dalam dunia.
Ia berhati mulia, tak tega ia menyaksikan Tiuw Hong berlatih dengan sasaran
orang hidup. Maka ia lantas menyerang. Diluar dugaannya, ia dikalahkan. Tiauw
Hong mengenali orang ada iman dari Coan Cin Kauw, ia ingat Ma Giok, maka ia cuma
melukainya, tidak mau ia merampas jiwanya, meski begitu, ia mengejar terus
sampai di rumah penginapan itu.
"Terimas kasih, terima kasih!" menyahut Ma Giok. "Tho Hoa To dengan Coan Cin
Kauw tidak mendendam tidak bermusuh, apakah benar gurumu bakal segera datang
kemari?" Bwee Tiauw Hong melengak.
"Untuk apa kamu menanyakan guruku?" ia menanya.
Tapi Khu Cie Kee bertabiat keras. Ia membentak: "Perempuan siluman! Lkeas kau
suruh gurumu datang ke mari, supaya dia belajar kenal dengan kepandaiannya Coan
Cin Cit Cu!" "Kau siapa"!" tanya Tiauw Hong gusar.
"Khu Cie Kee! pernahkah kau mendengar namaku?"
Tiauw Hong mengasih dengar suaranya yang aneh, tubuhnya mencelat. Ia menyerang
ke arah darimana suara jawaban itu datang, tangan kirinya menutup diri, tangan
kanannya menjambak, mencengkeram ke kepala!
Kwee Ceng mengetahu lihaynya Bwee Tiauw Hong, bahwa serangannya itu sangat
hebat, biar Cie Kee lihay, tak dapat ia melawan keras dengan keras. Akan tetapi
dia melihat si imam tetap duduk bersila, tidak mau menangkis, tidak mau
berkelit, ia menjadi kaget. "Celaka!" katanya dalam hatinya. "Kenapa Khu Totiang
bernyali begini besar?"
Bwee Tiauw Hong mengarah batok kepalanya Khu Cie Kee, selagi ia menjambak itu,
mendadak datang serangan angin dari kiri dan kanannya. Itulah serangan berbareng
dari Lauw Cie Hian berdua Ong Cit It. Ia mau melanjutkan serangannya itu, maka
tangan kirinya dikibaskan, guna menangkis. Di luar dugaannya, hebat serangan
angin itu, tidak dapat ia menghalaunya, maka terpaksa ia berlompat mumdur sambil
jumpalitan. Cie Hian dan Cie It, dengan tenaga dalam im dan yang, telah
menggabungkan diri. Ia menjadi kaget dan heran. Ia menyangsikan itulah serangan
orang Coan Cin Kauw. Maka ia lantas berseru dengan pertanyaannya, "Apakah Ang
Cit Kong dan Toan Hongya ada di sini?"
"Kitalah Coan Cin Cit Cu!" berkata Khu Cie Kee tertawa. "Di sini mana ada Ang
Cit Kong dan Toan Hongya?"
Tiauw Hong bertambah heran.
"Si imam tua she Tam bukan tandinganku, kenapa di antara saudara-saudaranya ada
yang begini lihay?" pikirnya. "Apa mungkin kepandaian mereka berlainan tanpa
memperdulikan tingkatan mereka tua atau muda?"
Kwee Ceng pun heran seperti Tiauw Hong melihat Khu Cie Kee terbebaskan oleh Lauw
Cie ian dan Ong Cie It itu. Hebat Tiauw Hong kena dibikin terpental mundur. Ia
menduga kedua imam itu berimbang sama si Mayat Besi. Memang cuma Ang Cit Kong,
Ciu Pek Thong, Oey Yok Su dan Auwyang Hong yang mempunyai tenaga demikian besar.
Kalau Caon Cin Cit Cu, inilah aneh...
Tiauw Hong beradat keras, kepalanya besar. Kecuali gurunya, ia tidak takut siapa
juga. Makin ia terhajar, makin ia penasaran. Demikian kali ini. Setelah berdiam
sebentar, tangannya meraba ke pinggangnya. Ia mengsaih keluar cambuk lemasnya,
Tok-liong Gin-pian, cambuk perak si Naga Beracun.
"Ma Totiong, maafkan, hari ini terpaksa berlaku kurang ajar!" katanya.
"Kata-kata yang baik!" Ma Giok menjawab.
"Aku hendak menggunia senjata, maka itu, kamu hunuslah senjata kamu!" kata si
buta. "Kami bertujuh, kau sendirian," berkata Ong Cie It. "Kau pun tidak bisa melihat
apa-apa! Maka itu, biar bagaimana kami tidak dapat menggunakan senjata. Kami
akan tetap duduk bersila, kau majulah!"
Tiauw Hong bersuara dingin.
"Jadi kamu hendak melayani cambuk perakku dengan duduk diam saja?" tanyanya.
"Ah, perempuan siluman!" Cie Kee membentak. "Malam ini malam ajalmu tiba, buat
apa kau masih banyak omong lagi?"
"Hm!" Tiauw Hong berseru di hidungnya, sedang tangannya lantas diayun, hingga
cambuknya terus meluncur ke arah Sun Put Jie. Cambuk panjang yang banyak
gaetannya itu bergerak perlahan bagaikan seekor ular besar berlegot.
Oey Yong memasang kuping mendengarkan kedua pihak mengadu mulut, ia tahu
cambuknya Tiauw Hong lihay sekali, maka heran Coan Cin Cit Cu mau melayani tanpa
senjata dan tanpa bergerak juga dari tempatnya bercokol masing-masing. Ia
menjadi ingin melihat. Ia menarik Kwee Ceng, agar kawan itu menyingkir. Buat ia
menggantikan mengintai. Begitu ia menyaksikan caranya tujuh imam itu berduduk,
ia menjadi heran. "Itulah keletakan bintang-bintang Pak Tauw," pikirnya. "Ah, tidak salah, barusan
Khu Totiang menyebutkan tentang Thian kong Pak Tauw. Inilah rupanya barisan
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu." Oey Yok Su mengerti ilmu alam, ketika Oey Yong masih kecil, suka ia membawanya
berangin waktu malam, maka sambil mengasih anak itu duduk di pangkuannya, sering
ia menunjuk ke langit dan membritahukan kepada si anak tentang bintang-bintang.
Oey Yong ingat benar petunjuk ayahnya itu, maka sekarang, dengan sekali lihat,
ia ketahui Coan Cin Cit Cu ini telah menempatkan diri sebagai tujuh bintang Pak
Tauw itu, bintang-bintang Utara.
Di antara tjuh imam itu, Ma Giok yang mengambil kedudukan thian-kie, Tam Cie
Toan thian-soan, Lauw Cie Hian thian-khie, dan Khu Cie Kee thian-koan, sedang
Ong Cie It giok-heng, Cek Thay Thong kay-yang, dan Sun Put Jie yauw-kong.
Kedudukan thian-koan paling penting, dia yang menghubungi yang tiga dengan yang
tiga lagi, dari itu kedudukan ini ditempati Khu Cie Kee yang ilmu kepandaiannya
paling lihay. Yang kedua yang penting ilaha giok-heng, maka itu diambil Ong Cie
It. Oey Yong sangat cerdas, selagi Kwee ceng mengwasi sekian lama tapi tak mengerti
suatu apa, ia hanya menampak sekelebatan, lantas ia mengerti. Tujuh imam itu
menggabungkan diri dengan tangan kiri mereka menyambung sama tangan kanan.
Sambungan tangan itu mirip dengan tangan dia dan Kwee Ceng, guna membantu pemuda
ini mengobati diri. Cambuknya Tiauw Hong bergerak perlahan ke arah kepala Sun Put Jie. Kelihatannya
saja perlahan, ancamnannya sebenarnya hebat. Imam wanita itu tetap tidak
bergerak. Selagi mengawasi, Oey Yong melihat jubah orang, di situ ia mendapatkan
sulaman sebuah tengkorak. Ia heran, hingga ia berpikir: "Coan Cin Kauw ada dari
kalangan murni, kenapa jubahnya sama dengan jubah Tiauw Hong dari kalangan
sesat?" Ia pasti tidak tahu, tempo Ong Tiong Yang menerima muridnya ini, dia
telah menghadiahkan gambar tengkorak dan murid ini, yang ingat budi gurunya,
lantas menyulamkan itu pada jubahnya.
Disaat cambuk hampir mengenai sasarannya, ialah bagian gigi dari tengkorak di
jubah Sun Put Jie itu, tiba-tiba cambuk itu berbalik sendirinya, berbalik dengan
kaget bagaikan kepala ular kena dibacok, bagaikan anak panah melesat, menyambar
kepada pemiliknya! Tiauw Hong kaget, tidak sempat ia menggerakkan tangannya, sebab tangannya itu
bergetar, terpaksa ia kelit kepalanya, hingga ujung cambuk lewat di atas
rambutnya. "Sungguh berbahaya.." ia kata dalam hatinya. Sesudah itu baru ia
dapat menguasai pula cambuknya itu. Ia lalu menyerang ke arah Ma Giok dan Khu
Cie Kee. Dua-dua imam itu duduk diam adalah Tam Cie Toan dan Ong Cie It yang menyerang
dan membuatnya cambuk mental.
Oey Yong memasang mata, ia dapat melihatnya. Kalau satu imam menangkis, ia
menggunai sebelah tangannya dan tangan yang lain diletaki di pundak seorang
saudaranya. Ia lantas mengerti. Cara mereka itu sama dengan caranya sendiri
mengobati Kwee Ceng. Itu artinya, tujuh orang menggabung tenaganya melawan Bwee
Tiauw Hong satu orang. Apa yang dinamakan barisan bintang Thian Kong Pak Tauw ini adalah semacam ilmu
kepandaian paling mahir dari kaum Coan Cin Kauw. Itulah karya ciptaannya Ong
Tiong Yang, sesudah imam itu memutar otaknya melatih diri dengan bersusah payah
dan mengambil tempo lama. Untuk melayani lawan, tak usah orang diserang sendiri
yang menangkis atau berkelit, hanya kawan di sampingnya yang membalas menyerang,
kalau kawan ini menyerang, tenaganya jadi berlipat ganda kuatnya, sebab ia
dibantu oleh yang lain-lainnya.
Tiauw Hong mencoba kagi beberapa kali, habis itu, berbareng heran, ia menjadi
berkhawatir. Lama-lama ia merasa, kalau ia menyerang, bukan lagi cambuknya
dibikin terpental seperti semula hanya seperti ditarik, meski ia masih dapat
menggunai itu, kalangan bergeraknya cambuk seperti diperciut. Sia-sia ia mencoba
untuk menariknya, guna mengulurnya. Ia merasa dirinya terancam tetapi ia masih
penasaran. Tak mau ia membiarkan cambuknya dirampas oleh musuh-musuh yang
melawannya sambil duduk bercokol saja. Tapi karena ia penasaran an bersangsi, ia
melenyapkan saatnya yang baik. Coba ia melepaskan cekalannya dan lompat mundur,
tentu ia selamat...... Kalau barisan bintang-bintang utara itu bergerak, kecuali oleh pemegang pusat
thian-koan, gerakannya tidak dapat dihentikan. Bahkan ketujuh imam itu
bergeraknya semakin cepat.
Bwee Tiauw Hong menggertak gigi. Ia tahu, kalau ia terus melawan, ia bakal
celaka. Maka itu, dengan berat, ia terpaksa melepaskan juga cambuknya. Tetapi
sekarang sudah kasep. Lauw Cie Hian sudah lantas menarik dengan kares. Dengan
menerbitkan suara, cambuk menghajar dinding tembok, hingga rumah penginapa itu
bergetar, genting-gentingnya pada berbunyi, debu meluruk jatuh. Menyusul itu
tubuhnya Tiauw Hong terbetot satu tindak ke depan.
Tindakan cuma satu tetapi itulah tindakan yang memutuskan. Kalau tadi ia
melepaskan cambuknya dan lompat, lalu lompat pula mundur, ia bisa memutar
tubuhnya untuk lari ke luar. Mungkin ia bakal disusul tetapi tidak nanti ia
tercandak. Di dalam saat berbahaya ini, ia masih mencoba membela diri. Ia
menjambak ke kiri dan kanan. Ia segera kebentrok tangannya Sun Put Jie dan Ong
Cie It. Menyusul itu, Ma Giok dan Cek Tay Thong pun menyerang dari belakang. Ia
majukan kaki kirinya setengah tindak, sambil berseru nyaring, ia menerbangkan
kaki kanannya. Dengan begitu dengan saling susul ia menendang lengannya kedua
imam yang belakangan itu, di jalan darah gwa-kwan dan hwee-cong.
"Bagus!" Khu Cie Kee dan Lauw Cie Hian memuji. Dengan saling susul, mereka ini
menolong dua saudaranya dari bahaya itu.
Kaki kanan Tiauw Hong belum lagi menginjak tanah, kaki kirinya sudah bergerak
pula. Dengan begitu ia menyingkir dari serangannya Cie Kee dan Cie It. Ketika
kaki kanan itu diturunkan, ia maju lagi satu tindak. Dengan begini berarti ia
telah masuk semakin dalam ke dalam barisannya ketujuh imam. Itu artinya, kecuali
ia dapat merobohkan salah satu musuh, ia tidak mempunyai jalan lagi untuk
nerobos keluar dari dalam barisan itu.
Oey Yong heran dan terkejut. Di antara sinar rembulan ia menyaksikan Tiauw Hong
dengan rambut panjang ynag awut-awutan itu, berlompatan pergi datang dan tangan
dan kakinya menjambak dan menendang tak hentinya. Hebat setiap jambakan dan
tendangannya itu mengasih dengar suara angin. Tidak peduli segala gerakannya
itu, yang hebat, maka Coan Cin Cit Cu tetap bercokol tak bergeming, cuma tangan
mereka yang ekerja, saling sambut dengan rapi, tetap mereka mengurung si Mayat
Besi. Bwee Tiauw Hong telah berkelahi dengan menggunai dua macam ilmu silatnya, yaitu
pelbagai jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw dan hajaran Cwie-sim-ciang yang dahsyat,
ia terus mencoba untuk menerjang keluar tetapi selalu ia gagal, saban-saban ia
tertolak mundur. Saking gusarnya, ia sampai berkoak-koak secara aneh.
Sekarang ini, kalau Coan Cin Cit Cu menghendaki nyawa orang, cukup mereka
melakukan satu penyerangan, akan tetapi mereka atau salah satu diantaranya,
tidak mau menurunkan tangan yang terakhir.
Mulanya Oey Yong heran, atau sebentar kemudian ia sabar.
"Ah, aku mengerti sekarang!" katanya dalam hatinya. "Terang mereka ini meminjam
Bwee Suci untuk melatih barisan bintang mereka ini! Memang sukar dicari orang
yang sekosen suci, yang dapat dipakai menguji barisannya ini. Rupanya mereka
hendak membikin lawannya letih hingga mati sendirinya baru mereka mau
berhenti........" Dugaan nona Oey ini cocok separuhnya. Memang benar Ma Giok beramai memakai Tiauw
Hong sebagai kawan berlatih, tetapi untuk membinasakan, itulah mereka tak pikir.
Tidak gampang mereka melakukan pembunuhan.
Sampai di situ, Oey Yong tidak mau menonton lebih lama pula. Ia tidak berkesan
baik terhadap Bwee Tiauw Hong, si suci, kakak seperguruan, toh ia tak tega
mengawasi lebih jauh. Maka itu, ia berikan tempat mengintainya kepada Kwee Ceng.
Maka sekarang ia cuma mendengar, angin serangan sebentar keras sebentar kendor,
tandanya pertempuran masih berlanjut terus.
Kwee Ceng menonton tetapi ia tetap tidak mengerti akan cara berkelahinya ke
tujuh imam itu. "Mereka menggunai kedudukan bintang Pak Tauw," Oey Yong membisiki. "Apakah belum
pernah melihatnya?" Baru sekarang pemuda ini mendusin. Ia ingat bunyinya kitab kedua dari Kiu Im
Cin-keng. Sekarang ia mengerti sendirinya. Karena itu ia menjadi tertarik hingga
tanpa merasa ia berlompat bangun.
Oey Yong kaget, segera ia menahan.
Kwee Ceng pun sadar, lekas-lekas ia berdiam. Tapi ia masih mengintai pula.
Sekarang ia mengerti betul kegunannya barisan Thian Kong Pak Tuaw itu. Ketika di
Tho Hoa To menyaksikan Ang Cit Kong menempur Auwyang Hong ia memperoleh kemajuan
besar, kali ini ia mendapatkan kemajuan serupa, dengan begitu, pengetahuannya
menjadi bertambah. Lama-lama maka letihlah Bwee Tiauw Hong, ia hampir tak dapat bertahan pula.
Dilain pihak, juga tenaganya Coan Cin Cit Cu agaknya berkurang, mereka mulai
kendor. Justru itu di pintu terdengar suara orang.
"Saudara Yok, kau maju lebih dulu atau kau suka mengalah untuk aku mencoba-
coba?" demikian suara itu.
Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali baik suaranya Auwyang Hong. Entah kapan
datangnya See Tok, si Bisa dari Barat itu.
Juga Coan Cin Cit Cu kaget semuanya, dengan serentak mereka melirik ke arah
pintu. Di samping pintu itu berdiri berendeng dua orang, yang satu bajunya hijau
yang lainnya putih. Mereka mengetahui akan adanya musuh-musuh yang tangguh,
dengan berbareng mereka berseru, dan dengan berbareng mereka menghentikan
pertempuran untuk berbangkit berdiri.
"Bagus betul" berkata Oey Yok Su, "Tujuh rupa bulu campur aduk ini mengepung
satu muridku! Saudara Hong, jikalau aku memberi pengajaran kepada mereka,
bisakah kau membilangnya aku menghina kepada yang muda?"
Auwyang Hong tertawa, ia menyahuti: "Mereka yang terlebih dulu tidak menghormati
kau! Jikalau kau masih tidak mengasih lihat sedikit dari ilmu kepandaianmu,
pasti ini kawanan anak muda tidak mengetahui lihaynya pemilik dari Tho Hoa To!"
Ong Cie It pernah melihat Tong Shia dan See Tok di Hoa San, heran ia mendapatkan
orang muncul berbareng dengan tiba-tiba, hendak ia maju untuk memberi hormat,
atau Oey Yok Su sudah maju dengan sebelah tangan terayun. Ia hendak menangkis
tapi sudah tidak keburu, maka dengan satu suara "Plok!" pipinya kena digaplok,
tubuhnya lantas terhuyung, hampir ia menubruk lantai.
Khu Cie Kee kaget sekali. "Lekas kembali ke tempat masing-masing!" ia berseru.
Akan tetapi belum sempat saudara-saudaranya itu menaati seruannya atau plak-plok
tak hentinya, dengan bergantian mukanya Tam Cie Toan, Lauw Cie Hian, Cek Tay
Thong dan Sun Put Jie telah tergaplok seperti muka Ong Cie It. Setelah itu
bayangan pun berkelebat ke mukanya Tiang Cun Cu sendiri, demikian rupa, hingga
tak tahu ia bagaimana harus menangkisnya, maka tidak ayal lagi, ia mengibas
tangannya, mengarah dadanya Oey Yok Su!
Bab 53. Ajalnya Bwee Tiauw Hong
Bab ke-53 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Khu Cie Kee adalah yang terpandai dari Cit Cu, Oey Yok Su memandang ia terlalu
enteng, maka dadanya itu kena terkibas hingga ia merasakan sakit. Dengan sebat
ia menutup diri, lalu dengan tangan kirinya menyambar tangan baju si penyerang,
tangan kanannya mencari biji mata lawan itu.
Khu Cie Kee meronta sekuatnya, ujung bajunya itu robek.
Itu waktu Ma Giok maju bersama Ong Cie It, akan tetapi Oey Yok Su sudah
berlompat ke belakang Cek Tay Thong, ketika kakinya dilayangkan, Kong Leng Cu
roboh jungkir balik! Di dalam kamar rahasia, Kwee Ceng menyerahkan lubang intaian kepada Oey Yong,
maka giranglah nona ini menyaksikan ayahnya menunjuki kepandaiannya itu, coba ia
tidak ingat kawannya mesti menanti lagi satu dua jam untuk nsembuh betul,
tentulah ia sudah menepuk tangan bersorak-sorai.
Adalah Auwyang Hong yang berdiri di pintu sambil tertawa berkakakan, dengan
mulutnya dibuka lebar-lebar: "Yang Ong Tiong Yang terima adalah ini segerombolan
kantung nasi!" Cie Kee penasaran sekali. Semenjak belajar silat, belum pernah ia dikalahkan
begini rupa. "Berdiri rapi di tempat masing-masing!" ia berteriak pula.
Akan tetapi Oey Yok Su tidak sudi memberikan kesempatan. Ia bergeraak ke timur
dan barat, ia menyerang kalang-kabutan hingga semua lawannya itu menjadi
kelabakan, barisannya tidak dapat diatur pula. Bahkan pedangnya Ma Giok dan Tam
Cie Toan telah dipatahkan Tong Shia dan dilemparkan ke lantai.
Khu Cie Kee bersama Ong Cie It lantas merangsak dengan pedang di tangan masing-
masing. Itulah jurus yang istimewa dari ilmu pedang Coan Cin Pay.
Oey Yok Su tidak berani memandang enteng lagi, ia berkelahi dengan hati-hati.
Ma Giok cerdik, diam-diam ia menggunai ketika akan lompat ke dudukan thian-kie
dan terus saja ia memegang pimpinan. Tam Cie Toan dan Lauw Cie Hian lantas
menyusul mengambil kedudukan mereka. Perbuatan mereka ini lantas diikuti oleh
yang lain-lainnya. Sebentar saja, barisan Thian Kong Pak Tauw lantas teratur rapi. Dengan begitu,
jalannya pertempuran juga berubah menjadi lain. Thian Koan bersama giok-heng
lantas menhadapi lawan di depan, thian-kie dan kay-yang yang terus menyerang
dari samping, sedang yauw-kong dan thian-soan di belakang turut merangsak. Cie
Kee maju di bantu Cie Peng.
Oey Yok Su meseti melayani musuh di empat penjurunya.
"Saudara Hong!" katanya tertawa. "Ong Tiong Yang toh dapat meninggalkan ini
macam ilmu kepandaian!"
Tong Shia bicara sambil tertawa, meski begitu, ia merasakan lawan menjadi beda,
tenaga mereka itu menjadi besar sekali. Maka sekarang ia bersilat dengan Lok Eng
Ciang-huat, ia berputaran di dalam Thian Kong Pak Tauw itu, hingga tubuhnya
seperti melayang-layang dan tangannya beterbangan...
Oey Yong mengenali ilmu silat ayahnya itu.
"Ketika ayah mengajari ilmu silat ini, aku menyangka hanya ilmu kosong dan satu
berisi atau tujuh berisi dan satu kosong," katanya di dalam hati, "Tidak tahunya
setelah dipakai bertempur benar-benar, semua lima kosong dan tujuh berisi itu
dapat diubah pergi pulang."
Pertempuran ini besa sekali dengan perlawanan Tiauw Hong tadi. Si nona menonton
sambil menahan napas. Bahkan Auwyang Hong yang lihay pun turut ketarik sampai ia
menjadi kagum sekali. Selagi orang bertaruh seru itu, tiba-tiba terdengar satu suara jeritan, "Aduh!"
disusul mana tubuh jatuh terguling. Nyata korban itu ialah In Cie Peng. Dia
tidak sanggup melayani Oey Yok Su berputaran, matanya kabur, kepalanya pusing,
dunia dirasakan bagai berputar, di depan matanya entah ada berapa banyak
musuhnya itu, diakhirnya, setelah penglihatannya gelao, tidak ampun lagi ia
roboh sendirinya! Coan Cin Cit Cu memusatkan pikiran mereka. Mereka tahu, asal ada satu saja yang
hatinya goncang, mereka tidak bakal ketolongan lagi, atau Coan Cin Pay bakal
runtuh dan musnah. Oey Yok Su pun gelisah. Ia sudah kepalang, ia bersangsi untuk bertempur terus
atau berhenti. Perlawanan hebat dari Khu Cie Kee beramai itu membuat kedua pihak
sama unggulnya. Sementara itu ayam-ayam sudah berkokok dan sinar matahari mulai mengintai di
arah timur. Dengan lewatnya sang waktu itu, selesai sudah batas tempo istirahatnya Kwee
Ceng. Ia telah sembuh dan memperoleh kembali kesehatannya seperti sediakala. Di
luar kamarnya orang bertempur umpama kata langit terbalik dan bumi ambruk tetapi
ia sendirinya tetap tenang, ia duduk diam. Baru sesaat kemudian, ia mengintai ke
luar kamar rahasianya, atau ia menjadi terkejut.
Oey Yok Su bertindak dengan perlahan, kakinya mengikuti garis patkwa, atau segi
delapan, setiap gerakan tangannya berlahan juga. Ketika Oey Yong menggantikan
Kwee Ceng mengintai, ia tahu betul ayahnya lagi menggunakan ilmu silatnya yang
tak sembarang dipakai. Segera juga bakal datang saat yang memutuskan.
Coan Cin Cit Cu berkelahi dengan seantero tenaganya. Mereka pun menginsyafi
bahaya yang tengah mengancam mereka. Berkali-kali mereka mengasih dengara suara
satu sama lain, untuk mengasih isyarat, guna menambah semangat masing-masing. Di
batok kepala mereka mulai terlihat hawa panas mengkedus, sedang jubah mereka
telah basah kuyup. Hilanglah ketenangan mereka sebagaimana tadi mereka melayani
Bwee Taiuw Hong. Auwyang Hong terus menonton sambil ia memperhatikan barisannya imam-imam dari
Coan Cin Kauw itu. Ia mengharap-harap Oey Yok Su nanti mengurus semua tenaganya
hingga ia mendapat luka di dalam. Dengan begitu, kapan kembali di adakan rapat
besar di Hoan San, rapat yang kedua, untuknya akan kurang satu lawan yang
tangguh. Akan tetapi Tong Shia benar-benar lihay, meski Khu Cie Kee semua
bekerja sekerasnya, mereka itu masih tidak dapat merampas kemenangan.
Menyaksikan pertempuran yang sangat memakan tempo itu, Auwyang Hong menjadi
tidak sabar. Dasarnya ia berbisa, setelah berpikir sekian lama, ia mendapat satu
akal licik. Pertempuran itu berjalan semakin perlahan, tapi itu tandanya bahwa bahaya
semakin dekat. Oey Yok Su bekerja terus, nyata sekali terlihat ia menyerang dengan kedua
tangannya kepada Sun Put Jie dan Tam Cie Toan. Kedua imam itu mengangkat tangan
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka untuk menangkis. Mereka segera dibantu Lauw Cie Ian dan Ma Giok.
Justru itu, mendadak See Tok bersiul panjang dan terus berseru: "Saudara Yok,
aku bantu kau!" menyusul suaranya itu ia berjongkok, segera dengan kedua
tangannya ia menolak ke arah Tam Cie Toan!
Tiang Ci Cu tengah memusatkan perhatiannya terhdapa Oey Yok Su, ia telah
mengerah tenaganya untuk menangkis serangan Tong Shia, ketika mendadak ia
merasakan benturan keras di belakangnya, jangan kata untuk menangkis, berkelit
saja sudah tidak keburu, maka itu dengan menerbitkan suara, ia roboh tengkurap.
Oey Yok Su menjadi gusar sekali.
"Siapa menghendaki bantuanmu!" ia menegur See Tok.
Ketika itu Khu Cie Kee dan Ong Cie It menyerang dengan berbareng. Tong Shia
mengibas untuk menangkis atau tangannya yang kanan bentrok sama perlawanannya Ma
Giok dan Cek Tay Thong, yang pun menyerang kepadanya.
Auwyang ong tertawa. "Kalau begitu, biarlah aku bantui mereka!" seruanya. Sambil berkata begitu,
dengan kedua tangannya benar-benar ia menyerang si Sesat dari Timur itu. Kalau
tadi ia menyerang Tam Cie Toan dengan menggunai tenaga tiga bagian, sekarang ia
menggerahkan tenaganya dengan sepenuhnya. Itu pun saat Oey Yok Su tengah
menghadapi empat lawannya. Ia mengharap hajaran ini, satu kali saja, akan
menamatkan riwayatnya pemilik dari pulau Tho Hoa To itu. Akal yang ia
bertelurkan dari batok kepalanya ialah lebih dulu menjatuhkan salah satu Coan Cn
Cit Cu, baru ia membokong Oey Yok Su. Ia sudah memikir matang, setelah Thian
Kong Pak Tauw Tin pecah, dengan Oey Yok Su sudah mati, walaupun imam-imam dari
Coan Cin Kauw itu murka, ia tidak usah takuti mereka.
Oey Yok Su kaget sekali. Ia tidak menyangka Auwyang Hong dapat berlaku demikian.
Ia menghadapi kesulitan. Tidak bisa ia meninggalkan empat musuhnya di depannya
itu, umpama kata ia memutar tubuhnya, untuk melayani Auwyang Hong, ia bisa
celaka. Maka itu tidak ada jalan lain, ia mencoba menutup diri seraya
mengerahkan tenaga di punggungnya, guna terpaksa menerima serangan Kap-mo-kang,
ilmu silat Kodok, dari si Bisa dari Barat yang licin itu.
Auwyang Hong girang sekali melihat Tong Shia mau mempertahankan diri dari
serangannya yang dahsyat itu. Itu pun artinya akal busuknya berhasil. Tapi
justru ia lagi bergirang itu, mendadak ia melihat berkelebatnya satu bayangan
hitam, yang mencelat dari samping, bayangan mana berlompat ke belakangnya Oey
Yok Su, untuk mewakilkan Tong Shia menyambuti serangannya itu!
Segera setelah serangan Auwyang Hong itu ada yang tangkis, dua-dua Oey Yok Su
dan keempat imam lawannya menghentikan pertempuran mereka sambil lompat minggir,
untuk memisahkan diri. Kapan mereka telah melihat tegas, nyata orang yang
berkorban untuk Tong Shia ialah Bwee Tiauw Hong!
Oey Yok Su menoleh kepada See Tok, ia tertawa dingin.
"Benar-benar si Bisa Bangkotan ternama tak mengecewakan," katanya mengejek.
Auwyang Hong sendiri berulang-ulang menyatakan, "Sayang, sayang!" di dalam
hatinya. Ia menyesal bukan main yang serangannya itu gagal, sebab lain orang
yang menjadi korban. Dasar licik, ia mengerti bahaya. Ia tidak mau melayani Oey
Yok Su. Ia mengerti baik sekali, kalai Oey Yok Su bergabung dengan semua imam
itu, itu berarti ia menghadapi bencana jiwa. Maka juga ia tertawa nyaring dan
panjang, sembari tertawa itu ia memutar tubuh untuk berlompat keluar, buat terus
menangkat langkah seribu!
Ma Giok lantas menghampirkan Tam Cie Toan, ia membungkuk untuk mengangkatnya.
Segera juga ia menjadi kaget. Tubuh adik seperguruannya itu lemas sekali dan
kepalanya pun teklok. Auwyang Hong telah menghajar orang hingga tulang-tulang
iga serta punggungnya patah. Kakak ini lantas mengucurkan air mata, sebab ia
merasa pasti, adik seperguruannya itu tidak bakal dapat ditolong lagi.
Khu Cie Kee yang bertabiat keras berlompat keluar dengan membawa pedangnya, ia
mau menyusul See Tok, untuk menyerang si bisa yang jahat itu, tetapi dari tempat
yang jauh ia cuma mendengar suara orang: "Oey Lao Shia, telah aku membantu kau
memecahkan barisan istimewa warisannya Ong Tiong Yang, aku pun sudah mewakilkan kau
menghukum mati murid Tho Hoa To yang murtad, maka itu, sisanya enam imam campur
aduk, kau sendiri pun dapat melayaninya. Sampai ketemu pula!"
Oey Yok Su mengeluarkan suara di hidung. Ia tahu, kata-kata terakhir dari See
Tok ini ada untuk membakar hatinya dan kawanan Coan Cin Kauw itu, supaya mereka
murka dan menumpleki kemurkaannya terhadapnya. Tapi ia pun besar kepala, tidak
sudi ia memberi keterangan kepada Ma Giok semua. Ia hanya menghampirkan mayatnya
Bwee Tiauw Hong, ia mengangkatnya dengan perlahan-lahan. Murid itu telah
memuntahlan darah hidup, kelihatannya ia tidak bisa hidup lebih lama lagi.
Khu Cie Kee mengubar sampai beberapa puluh tembok, Auwyang Hong entah telah
kabur kemana. Ketika itu, Ma Giok berulang-ulang memanggil ia pulang, maka ia
kembali dengan tindakan lebar. Ia masih gusar sekali, kedua matanya terbuka
besar dan bersinar merah. Segera ia menuding Oey Yok Su.
"Coan Cin Kauw kami denganmu ada bermusuhan apa"!" ia menegur dengan bengis.
"Oh, iblis tersesat yang jahat sekali! Mulanya kau membinasakan Ciu Susiok kami,
sekarang kau mencelakai Tam Sutee kami ini. Apakah artinya perbuatanmu, hai
manusia sesat?" Ditegur begitu, Oey Yok Su melengak.
"Kau maksudkan Ciu Pek Thong?" akhirnya ia menanya. "Kau bilang aku membinasakan
dia?" "Apakah kau masih mau menyangkal?" Cie Kee mendesak.
Oey Yok Su tahu di sini ada salah mengerti, tetapi ia membungkam, ia cuma
tertawa dingin. Sebenarnya bersama-sama Ciu Pek Thong dan Auwyang Hong, ia lagi
mengadu lari, sesudah beberapa ratus lie dilalui, mereka masih seri. Niat mereka
semula adalah mengagu terus sampai ada keputusan siapa yang menang, tetapi
mendadak, Ciu Pek Thong menghentikannya setengah jalan. Inilah disebabkan Loo
Boan Tong tiba-tiba ingat Ang Cit Kong, ynag ditinggalkan seorang diri di dalam
istana kaisar. Berbahaya kalau Pengemis dari Utara itu sampai kena dipergoki
penghuni istana. Bukankah ia telah habis ilmu silatnya" Maka itu ia kata kepada
kedua lawannya: "Loo Boan Tong ada mempunyai urusan, kita berhenti saja, kita
jangan mengadu lari lebih jauh!" Kata-kata ini ialah kepastian, Oey Yok Su dan
Auwyang Hong tidak dapat memaksakan, untuk itu, ia dibiarkan lari. Oey Yok Su
berniat menanyakan Ciu Pek Thong tentang putrinya, karena kepergian si orang tua
berandalan dan jenaka itu, ia menjadi batal menanyakan.
Ketika itu sia-sia belaka Tam Cie Toan menyusul mereka itu bertiga, ia tidak
dapat melihat sekalipun bayangan orang, sebaliknya Oey Yok Su semua mengetahui
dan melihat ia jelas sekali, maka itu seberlalunya Loo Boan Tong, Oey Yok Su dan
Auwyang Hong lantas kembali ke Gu-kee-cun. Kebetulan sekali, sesampainya mereka
di rumah penginapan, mereka dapat menyaksikan Coan Cin Cit Cu lagi menempur Bwee
Tiauw Hong. Biar bagaimana, Tong Shia tidak bisa membiarkan muridnya bercelaka,
maka itu, diakhirnya ia yang turun tangan sendiri. Di luar segela dugaan,
kesudahannya ada demikian hebat.
Selagi Khu Cie Kee kalap itu, Sun Put Jie menangiskan Tam Cie Toan. Yang lain-
lain pun gusar sekali, hingga mereka semua mau mengadu jiwa.
Tiba-tiba Tam Cie Toan membuka matanya dan berkata: "Aku mau pergi..."
Khu Cie Kee semua lantas menghampirkan, mereka mengerubungi saudara seperguruan
itu. Tam Cie Toan bersenandung lemah, lalu ia menarik napasnya yang penghabisan,
matanya meram. Keenam Cu bertunduk, untuk memujikan arwahnya saudara itu. Habis itu Ma Giok
memondong tubuh suteenya, buat dibawa pergi. Khu Cie Kee semua mengikuti tanpa
bersuara, tanpa berpaling lagi ke belakang, mereka keluar dari rumah penginapan
itu dan pergi. Oey Yok Su heran sekali, ia tidak tahu permusuhan apa di antara ia dan Coan Cin
Kauw, tetapi ketika ia melihat Bwee Tiauw Hong bernapas empas-empis, ia menjadi
berduka. Biar bagaimana Tiauw Hong adalah muridnya, mereka telah hidup bersama
buat beberapa puluh tahun. Murid itu pun telah berkorban untuknya. Pada
dasarnya, ialah seorang yang jujur, maka itu, dalam kedukaannya itu, ia menangis
menggerung-gerung. Bwee Tiauw Hong dapat mendengar tangis gurunya itu, ia mengerti, lantas ia
tersenyum. Ia tidak mengatakan apa, hanya dengan mengerahkan tenaga terakhir,
dengan tangan kanannya ia mematahkan lengannya yang kiri, setelah mana dengan
tangan kanan itu ia menghajar batu itu hancur dan lengannya pun patah pula.
Menyaksikan perbuatan muridnya itu, Oey Yok Su tercengang.
"Suhu," berkata sang murid, "Ketika di Kwei-in-chung suhu menitahkan muridmu
melakukan tiga macam perbuatan, dua yang lain muridmu tak keburu
melakukannya....." Oey Yok Su lantas ingat akan tiga macam titahnya itu, ialah pertama mencari
pulang kitab Kiu Im Cin-keng yang telah hilang, kedua mencari Liok Leng Hong
serta dua muridnya yang lainnya, dan yang ketiga, yaitu yang terkahir, muridnya
ini dimestikan membayar pulang ilmu silat yang didapat dari Kiu Im Cin-keng itu.
Sekarang dengan mematahkan kedua tangannya itu, Bwee Tiauw Hong menepati
perintah gurunya, sebab dengan tangannya patah maka musnahlah juga kepandaiannya
Kiu Im Pek-kut Jiauw seri Cwie-sim-ciang.
Lantas sang guru tertawa terbahak.
"Bagus, bagus!" katanya. "Dua yang lain itu sudah tidak ada artinya lagi!
Sekarang mari aku terima pula kau menjadi murid dari Tho Hoa To!"
Tiauw Hong menginsyafi ia telah tersesat, maka itu mendengar gurunya memberi
ampun dan suka menerima ia kembali, ia girang bukan main, dengan memaksakan diri
ia merayap bangun, untuk memberi hormat kepada guru itu sambil paykui beberapa
kali, ketika ia mengangguk untuk ketiga kalinya, tubuhnya rebah tak bangun pula.
OeyY ong dari kamar rahasia telah menyaksikan itu semua, ia disandingkan
pelbagai perasaan. Hebat apa yang ia telah saksikan itu, semuanya mengagetkan
dan mengharukan. Dilain pihak, ia mengharap-harap ayahnya itu nanti berdiam
sedikit lama pula, supaya ia bersama Kwee Ceng dapat keluar untuk menemuinya.
Kwee Ceng itu tinggal menanti berkumpulnya hawa di pusarnya.
Oey Yok Su sudah lantas mengangkat tubuhnya Bwee Tiauw Hong, untuk dipondong.
Hampir di itu waktu, di luar rumah terdengar suara meringkiknya kuda. Oey Yong
mengenali, itulah kuda merah yang kecil kepunyaan Kwee Ceng. Menyusuli suaranya
Sa Kouw, yang berkata: "Inilah dusun Gu-kee-cun! Mana aku tahu di sini ada orang
she Kwee atau tidak.........?"
Lalu terdengar suaranya seorang yang lain: "Di sini toh cuma ada beberapa buah
rumah! Mustahil kau tidak kenal semuanya penduduk sini?"
Agaknya orang itu tidak sabaran, karena ia lantas saja menolak pintu dan
bertindak masuk. Oey Yok Su menempatkan diri di belakang pintu, ketika ia melihat orang yang
masuk itu, air mukanya berubah. Orang adalah Kanglam Liok Koay yang telah ia
cari dengan susah payah. Kanglam Liok Koay sudah pergi ke Tho Hoa To, lantas mereka berputar-putar, tidak
juga mereka berhasil mencari rumahnya pemilik pulau Bunga Tho itu, baru kemudian
mereka bertemu sama satu bujang yang gagu dari siapa mereka ketahui majikannya
pulau itu tengah bepergian. Kemudian lagi Kanglam Liok Koay melihat kuda merah
dari Kwee Ceng terlepas merdeka di dalam rimba, mereka lalu membawanya sampai di
dusun Gu-kee-cun ini, dimana mereka bertemu sama Sa Kouw, si nona tolol.
Kwa Tin Ok sangat jeli kupingnya, begitu masuk di pintu, ia mendapat dengar
suara orang bernapas di belakang pintu itu, maka segera ia memutar tubuhnya,
dituruti oleh lima saudaranya. Dengan lantas mereka melihat Oey Yok Su menhadang
di ambang pintu seraya tangannya memodong Bwee Tiauw Hong. Oey Yok Su rupanya
mau mencegah keenam orang luar biasa dari Kanglam itu melarikan diri.....
"Oey Tocu baik?" Cu Cong lantas menanya. "Sudah lama kita tidak bertemu! Kami
berenam telah memenuhi janji untuk bertemu di Tho Hoa To, sayang tocu tidak ada
di rumah, tetapi hari ini kebetulan bertemu di sini, kami merasa sangat
beruntung!" Habis berkata begitu, si Mahasiswa Tangan Lihay lantas menjura dalam.
Oey Yok Su berniat membunuh Liok Koay, sekarang ia menampak pula muka pucat pasi
dari Tiauw Hong, ia berpikir: "Liok Koay ini musuh besar dari Tiauw Hong, siapa
nyana sekarang Tiauw Hong mendahului mereka mati, meski begitu, sekarang aku
mesti membuatnya ia membinasakan musuhnya dengan tangannya sendiri, supaya ia
mati dengan meram....."
Maka itu tangan kanan tetap memondong tubuh muridnya, dengan tangan kiri ia
mengangkat tangan yang patah dari muridnya itu, tangan yang hanya tersambung
dengan kulit daging, sembari berbuat begitu ia melompat ke sampingnya Han Po
Kie, untuk dengan cepat sekali, dengan tangannya Tiauw Hong itu, menghajar bahu
kanan si Malaikat Raja Kuda.
Han Po Kie kaget bukan main, sampai dia tidak sempat berkelit atau menangkis.
Hebat ia kena dihajar, benar lengannya tidak sampai patah tetapi sesaat itu dia
tidak dapat menggeraki tangannya itu.
Liok Koay kaget dan gusar karena sikapnya Oey Yok Su ini, yang menyerang tanpa
bicara lagi, maka itu mereka pun lantas balik menyerang. Han Po Kie turut maju
setelah ia merasa tangannya lebih ringan. Mereka berseru-seru sambil mereka
menghunus senjatanya masing-masing. Mereka mengurung dengan rapi.
Oey Yok Su mengangkat tinggi tubuhnya Bwee Tiauw Hong, ia seperti tidak
menghiraukan pelbagai alat senjata yang aneh dari enam jago dari Kanglam itu.
Han Siauw Eng adalah orang pertama yang diserang pemilik Tho Hoa To itu. Ia
kaget ketika ia melihat mukanya Bwee Tiauw Hong, yang matanya mendelik,
rambutnya riap-riapan, mulutnya penuh darah. Itulah roman mayat yang sangat
menyeramkan. Tangan Tiauw Hong pun diangkat tinggi-tinggi, mengancam batok
kepalanya. Tanpa merasa ia menjadi lemas kaki dan tangannya.
Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat menyaksikan saudara angkat mereka terancam, dengan
berbareng mereka menyerang tangannya Tiauw Hong itu. Mereka menggunai pikulan
serta bandulan besi dacin mereka.
Oey Yok Su sebat luar biasa, dengan cepat ia menarik pulang tangan kanan Tiauw
Hong itu, untuk dengan tangan kirinya menghajar terus Siauw Eng.
Ahli pedang Gadis Wat itu tengah tidak berdaya, maka pinggangnya menjadi
sasaran, ia kesakitan hingga tubuhnya melengkung jongkok.
Han Po Kie maju dari samping, untuk menyerang dengan cambuknya, Kim-liong-pian,
atau cambuk Naga Emas. Oey Yok Su mengangkat kaki kirinya, ia bergerak sebat,
tetapi toh kaki itu toh kena kelibat. Hanya Han Po Kie, meski ia mengeluarkan
seluruh tenaganya, tidak sanggup ia menarik kuda-kudanya Tong Shia. Dilain
pihak, tangan berkuku dari Bwee Tiauw Hong telah menyambar ke mukanya. Ia kaget
sekali, ia melepaskan libatan cambuknya, ia berkelit sambil berlenggak terus
menjatuhkan diri bergulingan. Meski begitu, ia merasakan mukanya panas dan
sakit, ketika ia meraba ke mukanya itu, tangannya penuh darah. Sebab lima
kukunya Tiauw Hong berhasil menyambar mukanya. Syukur untuknya, Tiauw Hong sudah
menjadi mayat dan jambakannya itu bukannya jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Setelah beberapa jurus, Liok Koay lantas jatuh di bawah angin. Coba tidak Oey
Yok Su menghendaki membinasakan musuh dengan tangannya Tiauw Hong sendiri,
mungkin mereka sudah bercelaka. Sekarang mereka hanya terancam bahaya.
Kwee Ceng di dalam kamar rahasia menjadi bergelisah. Ia mendengar nyata suara
napas menggorong dari keenam gurunya itu, tanda dari keaadan berbahaya dari
mereka. Ia menjadi cemas hati sebab ia sendiri tidak bisa lekas-lekas keluar,
untuk mencegah bencana. Ia masih memerlukan waktu untuk memperkuat hawa di
pusarnya itu. Tapi dapatkah ia main ayal-ayalan" Budi guru-gurunya itu sama
dengan budi orang tuanya! Maka diakhirnya, ia menahan napas, ia meluncurkan
sebelah tangannya untuk menghajar daun pintu, hingga pintu itu gempur.
Oey Yonng kaget bukan main.
"Engko Ceng, jangan!" ia mencegah. Ia tahu kawan itu mesti beristirahat.
Kwee Ceng pun merasakan akibat serangannya itu, ialah hawa naik ke atas, ke
jantungnya, maka lekas-lekas ia memeramkan mata menarik pulang hawanya itu
kembali ke pusar. Tetapi sekarang pintu rahasia telah tergempur pecah dan terbuka.
Oey Yok Su dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, apa pula mereka lantas melihat
muda-mudi itu. Dengan sendirinya mereka pada lompat mundur menghentikan
pertempuran mereka. Oey Yok Su heran dan girang, hingga ia mengucak-ucak matanya.
"Anak Yong, benarkah kau?" ia menanya. ia hampir tak mempercayai matanya
sendiri. Ia merasa bagaikan lagi bermimpi.
Oey Yong dengan sebelah tangannya memegang tangan Kwee Ceng, mengangguk sambil
tersenyum. Ia tidak membuka mulutnya untuk menjawab ayahnya itu.
Mengawasi sikap anak gadisnya itu, Oey Yok Su lantas mengerti. Untuknya,
diketemuinya anak itu ada seperti juga si anak sudah mati tetapi hidup pula.
Itulah putri satu-satunya dan juga yang ia sayangi seperti jiwanya sendiri. Ia
lantas meletaki tubuh Tiauw Hong di atas bangku, ia terus menghampirkan Kwee
Ceng, di sisi siapa ia duduk bersila, tangannya diulur untuk mencekal tangan
anak muda itu. Kwee Ceng merasakan hawa di dalam tubuhnya panas bergolak, sangat sukar ia
melawan itu. Beberapa kali ia hendak berkoakan atau berlompatan. Tapi, begitu
lekas tangannya di tempelkan Oey Yok Su itu, lantas hawa panasnya berkurang,
dapat ia berlaku tenang. Dengan lain tangannya, Oey Yok Su pun menguruti sekejur
tubuhnya pemuda itu. Boleh di bilang hanya sekejap kemudian, lantas Kwee Ceng dapat menenangi diri
betul-betul. Itu artinya bukan saja ia telah terhindar dari bahaya, bahkan ia
sudah sembuh betul, otot dan tulang-tulangnya menjadi bertambah kuat. Maka itu,
ia lantas bangun, untuk paykui kepada pemilik dari Tho Hoa To itu, akan kemudian
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia pun menghampirkan keenam gurunya, untuk memberi hormatnya kepada muridnya.
Selagi pemuda itu berbicara sama semua gurunya, menuturkan segala hal semenjak
mereka berpisah, Oey Yok Su pun asyik pasang omong dengan putrinya, tangan siapa
ia tuntun. Mereka gembira sekali, saban-saban mereka tertawa gila.
Mengetahui tentang nona Oey, Liok Koay heran dan ketarik hati. Mereka pun
ketarik denagn suara halus dari nona itu. Maka itu, diam-diam mereka bertindak
mendekati, akan mendengari lebih jauh suara si nona, yang terus berbicara dengan
ayahnya. Sebab banyak yang anak ini tuturkan.
Tiba pada saatnya pertempuran Oey Yok Su dengan Liok Koay, nona itu berkata
sambil tertawa: "Sudahlah, tak usah aku bercerita terus!"
Segera setelah itu Oey Yok Su berkata: "Aku hendak membinasakan empat orang,
ialah Auwyang Hong, Leng Tie Siangjin, Kiu Cian Jin dan Yo Kang, maka anak yang
baik, mari kau turut aku menyaksikan keramaian itu!"
Tapi ia melirik kepada Liok Koay, agaknya ia jengah, tetapi dasar angkuh, ia
terus tidak sudi mengaku salah, cuma seperti untuk menghibur diri, ia kata:
"Anggaplah sang peruntungan masih tidak terlalu buruk hingga aku tidak sampai
mencelakai orang baik-baik!"
"Ayah," kata Oey Yong tertawa, "Baiklah kau minta maaf kepada beberapa suhu
ini..." "Hm," jawab ayah itu, yang lalu menyimpanginya. "Aku hendak mencari See Tok, eh,
anak Ceng, kau turut atau tidak?"
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong sudah memegat. Kata anak ini, "Ayah,
baiklah kau pergi dulu ke istana untuk memapak suhu!"
Kwee Ceng tidak sempat menjawab Oey Yok Su, ia terus bercerita terus sampai Oey
Yok Su memberi perkenan untuk ia menikah dengan Oey Yong serta Ang Cit Kong
mengambil ia sebagai murid. Mengenai ini, ia minta keputusan guru-gurunya itu.
Kwa Tin Ok menjadi sangat girang.
"Kau sungguh beruntung!" katanya. "Dengan kau mendapati Kiu Cie Sin Kay sebagai
guru dan Tocu dari Tho Hoa To sebagai mertua, kami girang bukan kepalang! Masa
dapat kami tidak memberikan perkenan kami" Cumalah halnya Kha Khan dari
Mongolia?" Tin Ok hendak menyebutkan urusan putrinya Jenghiz Khan, bahwa halnya murid ini
adalah calon Kim-too Huma, tetapi ia tidak dapat lantas membuka mulutnya.
Mendadak sekali, pintu, yang tadi tertutup pula, sekarang ada yang pentang dan
Sa Kouw muncul di antara mereka, tangannya memegang monyet-monyetan dari kertas.
Ia menghampirkan Oey Yong dan menanya sambil tertawa: "Adik, apakah semangkamu
telah habis dimakan" Seorang tua telah menyuruhnya aku menyerahkan kunyuk-
kunyukan ini kepadamu, katanya dibuat main..."
Oey Yong menyangka orang lagi kumat ketololannya, ia menyambuti kena kerta itu
acuh tak acuh. Sa Kouw berkata pula: "Orang tua itu, yang rambutnya ubanan, memesan juga supaya
kamu jangan gusar, katanya pasti ia bakal menolongi kau mencari gurumu."
Mendengar itu, Oey Yong menduga kepada Ciu Pek Thong, maka ia lantas meneliti
kertas itu. Benarlah di situ ada tulisan alamatnya, maka ia lantas membukanya,
hingga ia dapat membaca: "Si pengemis tua tak dapat ditemukan, karenanya Loo
Boan Tong menjadi tidak gembira."
Si nona menjadi heran dan kaget.
"Ah, kenapa suhu lenyap?" serunya.
Oey Yok Su berdiam, lalu ia kata: "Loo Boan Tong edan-edanan tetapi ia lihay
sekali, maka asal Ang Cit Kong tidak mati, pasti ia dapat menolonginya. Hanya
sekarang ini Kay Pang lagi menghadapi satu urusan besar..."
"Bagaimana, ayah?" Oey Yong menanya terkejut.
"Tongkatnya si pengemis tua yang telah diberikan padamu sudah dibawa pergi oleh
Yo Kang si binatang cilik itu! Binatang itu tidak lihay ilmu silatnya tetapi
lihay otaknya, kalau tidak bagaimana dapat orang sebangsa Auwyang Kongcu
terbinasa di tangannya" Dia telah mendapati tongkat keramat kaum pengemis itu,
pastilah dia bakal menerbitkan gelombang kekacauan, yang dapat membahayakan Kay
Pang. Mari kita lekas mencari dia, untuk merampas pulang tongkat itu, kalau
tidak, pasti celakalah murid-murid dan cucu-cucu muridnya si pengemis bangkotan
itu!" Mendengar itu Liok Koay menganggukkan kepala.
"Sayang suhu sudah pergi beberapa hari, mungkin di sukar dicandak," kata Kwee
Ceng. "Di sini ada kuda merahmu, kau boleh coba menyusul," kata Po Kie.
Kwee Ceng lantas ingat kuda merahnya itu, ia menjadi girang sekali, lantas ia
lari keluar seraya bersiul.
Kuda itu mendengar suara majikannya, dia berjingkrak lari menghampirkan, dia
mengelus-elus majikannya itu seraya meringkik perlahan tak hentinya.
Menampak demikian Oey Yok Su berkata: "Anak Yong, pergilah kau bersama Kwee Ceng
untuk merampas pulang tongkat itu. Kuda kecil itu keras larinya, mungkin kamu
dapat menyandak." Selagi berkata begitu, Oey Yok Su melihat Sa Kouw di samping mereka, nona itu
tertawa dengan ketololannya. Ia melihat wajah dan gerak-gerik orang, ia ingat
itulah mirip dengan sifat muridnya, Kiok Leng Hong.
"Apakah kau she Kiok?" ia tanya nona itu.
Sa Kouw menggeleng kepala secara lucu.
"Aku tidak tahu," sahutnya.
"Ayah, mari kau lihat!" berkata Oey Yong, mengajak ayahnya, yang ia tuntun ke
dalam kamar rahasia. Begitu melihat pengaturan ruangan itu, Oey Yok Su ketarik hatinya. Itulah
pengaturan seperti caranya sendiri. Maka ia mau menduga, mesti itu diatur oleh
Kiok Leng Hong, muridnya itu.
"Ayah, coba lihat benda di dalam peti besi itu," Oey Yong berkata pula.
Oey Yok Su tidak lantas membuka peti hanya tubuhnya mencelat tinggi sambil
tangannya diulur ke pojok tembok barat daya, menyambar ke arah wuwungan, ke
temboknya, ketika ia menarik, tembok itu lantas terbuka merupakan sebuah lubang.
Dengan tangan kanannya memegang kertas, ia lantas menggelantungkan diri, lalu
dengan tangan kirinya, ia meragoh ke dalam lubang itu. Dari situ ia menarik
keluar segulungan kertas. Belum lagi ia lompat turun, tangan kanannya sudah
menekan tembok, maka dengan itu, ia berlompat terus keluar kamar.
Oey Yong dengan sebat lompat mengikuti ayahnya itu. Ia melihat gulungan kertas
yang penuh debu setelah dibeber, kertas itu memuat tulisan yang huruf-hurufnya
tidak karuan macam, bunyinya:
"Surat ini dihanturkan kepada guruku yang berbudi di pulau Tho Hoa To. Dari
istana kaisar muridmu telah berhasil mendapatkan sejumlah tulisan dan gambar
lainnya, yang semua hendak dihanturkan kepada suhu, maka tidak beruntung sekali,
selama di dalam istana aku telah dikepung sekawanan siwi. Aku telah meninggalkan
seorang anak perempuan......."
Sampai habis di situ, habis sudah surat itu, yang terlihat tinggal titik-titik
yang terang adalah titik-titik darah.
Melihat surat itu, Oey Yong menjadi terharu hatinya. Ia mengingat nasib celaka
murid-murid ayahnya itu, yang semuanya lihay tetapi mereka telah diusir ayahnya
itu gara-gara Bwee Tiauw Hong berdua. Sekarang beginilah nasib Kiok Leng Hong,
salah satu murid yang tetap setia itu.
Oey Yok Su mengerti, Leng Hong ini tentulah ingin kembali ke Tho Hoa To, maka
setelah diusir dia berdaya mencari rupa-rupa barang yang menjadi kesukaan
gurunya, ia membesarkan hati pergi mencuri ke istana, maka apa celaka, ia
menemui saat naas, disaat berhasilnya, ia kepergrok dan dikepung pahlawan-
pahlawan istana. Melihat nasibnya Liok Seng Hong, ia sudah menyesal, maka
sekarang ia menjadi lebih menyesal lagi.
Sa Kouw tidak tahu apa-apa, ia berdiri di samping sambil terus tertawa haha-
hhihi. "Apakah ilmu silatmu diajari ayahmu?" Oey Yok Su menegur si nona, suaranya
bengis. Sa Kouw menggeleng kepala lantas dia lari keluar pintu besar, daun pintu itu ia
tutup rapat, setelah ia mengintai ke dalam, terus ia bersilat. Dia mengintai
pula, lalu kembali ia bersilat lagi.
"Ayah," berkata Oey Yong, "Dia belajar silat dengan mencuri pelajaran Kiok
Suko." Ayah itu mengangguk. "Ya," katanya, "Aku pun tidak percaya, setelah di usir, Leng Hong bernyali besar
berani mewariskan ilmu kepandaiannya kepada lain orang... Eh, anak Yong, coba kau
serang dia dibagian bawah, kau gaet dia roboh!"
Kata-kata yang belakangan ini dikeluarkan secara mendadak.
Oey Yong heran, tidak tahu ia maksud ayahnya, tetapi ia menghampirkan Sa Kouw,
sembari tertawa haha-hihi, ia kata kepada nona tolol itu, "Sa Kouw, mari aku
berlatih bersama-sama denganmu. Kau berhati-hatilah!" Ia lantas menggerak dengan
tangan kiri, disusul sama tendangan kaki kiri dan kanan degan sebat sekali.
Sa Kouw melengak, sebelum ia sempat berdaya, kempelonnya yang kanan telah kena
ditendang. Ia lantas lompat mundur. Tetapi di sini ia telah ditunggu, begitu ia
digaet, lantas ia jatuh terguling. Ia lompat bangun dengan segera.
"Kau menggunai akal!" serunya. "Adik kecil, mari kita mulai lagi!"
"Hus!" membentak Oey Yok Su. "Apa adik kecil! Kau mestinya memanggil kouw-kouw!"
"Kouw-kouw!" Sa Kouw lantas memanggil, tanpa ia mengetahui apa bedanya "adik
kecil" dengan "kouw-kouw" atau bibi.
Baru sekarang Oey Yong mengerti bahwa ayahnya hendak mencoba bagian bawah dari
si tolol itu sebab Kiok Leng Hong hilang kedua kakinya, kalau Leng Hong bersilat
seorang diri, kuda-kudanya tidak nampak, kalau ia mengajari dengan mulut,
mestinya nona itu sempurna bagian atas, tengah dan bawahnya.
Dengan terus menyebut "kouw-kouw" itu sama dengan artinya Oey Yok Su menerima si
nona sebagai muridnya. "Kenapa kau tolol?" ia tanya pula.
"Aku ialah Sa Kouw," sahut si nona tertawa. "Tolol" ialah "Sa"
"Mana ibumu?" tanya Oey Yok Su, alisnya mengkerut.
Nona itu meringis, "Ia sudah pulang..." sahutnya.
Masih Oey Yok Su menanya beberapa kali, jawaban si nona tidak karuan, maka ia
menghela napas panjang. Ia tidak tahu orang tolol semenjak dilahirkan atau
karena suatu penderitaan yang mengagetkan. Kecuali Leng Hong hidup pula, tidak
nanti ada lai orang yang mengetahui sebab-musabab itu.
Dengan mendelong, tocu dari Tho Hoa To ini mengawasi mayatnya Tiauw Hong.
"Anak Yong," katanya selang sesaat, "Mari kita lihat barang-barang Kiok Sukomu
itu." Oey Yong menurut, maka ayah dan anak itu masuk pula ke dalam kamar rahasia.
Mengawasi tulang-belulang Kiok Leng Hong, Oey Yok Su berdiri mendelong, kemudian
air matanya mengucur turun.
"Anak Yong," katanya. "Diantara semua muridku, Leng Hong yang paling pandai,
maka kalau bukan kakinya buntung, seratus siwi pun tidak nanti sanggup menawan
dia!" "Itulah wajar!" sahut putri itu. "Ayah, apakah kau mau menerima Sa Kouw sebagai
muridmu?" "Ya," ayahnya itu menyahut. "Aku akan ajarkan dia ilmu silat, bersyair dan
-menabuh khim, juga ilmu Kie-bun Ngo-heng. Apa yang dulu sukomu niat pelajarkan,
tetapi belum kesampian, semua akan aku ajarkan kepada anaknya ini!"
Oey Yong mengulur lidahnya.
"Hebat penderitaan ayah," pikirnya.
Oey Yok Su membuka peti besi, ia memeriksa isinya. Melihat semua itu, ia menjadi
semakin berduka. Ketika ia membeber sebuah gambar, ia menhela napas.
"Gambar bunga dan burung Kaisar Hwie Cong ini indah dilukisannya," katanya,
"Maka sayang sekali, negara yang indah pun ia hanturkan kepada bangsa Kim...."
Selagi ia menggulung pula gambar itu, mendadak Oey Yok Su berseru, "Ih!"
"Ada apa ayah?" tanya Oey Yong.
"Kau lihat!" sahut ayah itu, tangannya menunjuk kepada sebuah gambar san-sui,
lukisan pemandangan alam, gunung dan air.
Oey Yong mengawasi, ia melihat gambarnya sebuah gunung tinggi dengan puncak
lancip menjulang ke langit, masuk ke dalam mega, di bawah mana ada jurang yang
berair, di sini lembah pula ada sekumpulan pohon cemara, yang penuh salju, yang
semuanya doyong ke Selatan, seperti bekas diserang angin Utara yang hebat, di
puncaknya, di sebelah Barat, sebaliknya ada sebuah pohon cemara yang berdiri
tegak, di bawah pohon itu, dengan tinta merah, ada dilukisan seorang jenderal
perang lagi bersilat dengan pedang. Mukanya jenderal itu tak nampak jelas,
tetapi dandannnya membuat siapa yang melihat, mesti menaruh hormat. Seluruh
gambar memakai tinta hitam, kecuali manusianya ini, yang merah merong, hingga
kelihatan mencolok mata. Gambar itu pun tidak ada tanda-tanda pelukisnya, cuma
ada syairnya seperti berikut:
"Setelah bertahun-tahun maka baju perang penuh debu dan tanah,
Maka itu sengaja aku mencari bau harum di paseban Cui Bie,
Gunung yang indah, sungai yang permai, belum dipandang cukup.
Tindakan kuda mendesak hingga malam terang bulan pergi pulang."
Oey Yong memperhatikannya, lalu ia ingat. Beberapa hari yang lalu, di paseban
Cui Bie Teng di puncak Hui Lang Hong, ia pernah melihat syair itu yang ada
tulisannya Jenderal Han See Tiong yang kesohor.
"Ayah," katanya, "Inilah tulisan Tiong Bu Han Kie Ong, sedang syairnya ialah
buah kalamnya Gak Bu Bok."
"Benar," berkata ayahnya itu, "Gak Bu Bok menulis syairnya ini melukiskan gunung
Cui Bie San di Kota Tie-ciu, hanya gunung yang dilukisan begini berbahaya
keadaannya bukan gunung Cui Bie San itu sendiri. Latar belakang lukisan ini
bagus tetapi pelukisnya bukannya seorang pelukis jempolan."
Oey Yong ingat itu hari di Hui Lay Hong, Kwee Ceng sangat ketarik sama syairnya
yang ditulis Han See Tiong itu, yang ia ukir di batu dengan jeriji tangannya,
dan si pemuda seperti tidak hendak meninggalkannya. Maka itu ia kata kepada
ayahnya: "Adaa baikkah gambar ini diberikan kepada menantumu!"
Oey Yok Su tertawa dan berkata: "Memang anak perempuan berpihak ke luar, maka
itu, apa aku hendak bilang lagi?" Ia pun memilih serenceng mutiara seraya
berkata pula: "Mutiara yang dulu hari si Bisa bangkotan seragkan kepadamu, aku
telah ambil dari Tho Hoa To dan membayar pulang kepadanya, maka itu sekarang kau
ambillah ini." Oey Yong tahu ayah itu sangat membenci Auwyang Hong, ia mengangguk, ia
menyambuti mutiara itu seraya terus mengalungi di lehernya. Ia sedang berbuat
begitu tempo kupingnya mendengar suara burung rajawali putih berbunyi keras
beberapa kali di udara, suaranya nyaring dan kesusu. Ia sebenarnya sangat
menyukai burung rajawali itu tetapi mengingat burung telah diambil oleh putri
Gochin Baki, ia menjadi tidak senang, meski begitu, ia toh lari keluar, masih
ingin ia membuat main burung itu. Tiba di luar, ia melihat Kwee Ceng berada di
bawah sebuah pohon liu yang besar, seekor rajawali memacuk bajunya di pundak dan
menarik-narik, yang satunya lagi berputaran memutari seraya ia berbunyi tak
hentinya. Sa Kouw kegirangan, ia berlari-lari memutarai Kwee Ceng, ia bertepuk-
tepuk tangan sambil tertawa dan bersorak.
"Yong-jie, mereka mendapat susah!" kata Kwee Ceng melihat si nona muncul. "Mari
kita pergi menolongi!"
"Siapa mereka?" Oey Yong menanya.
"Kedua saudara angkatku, yang pria dan wanita!"
Nona itu memonyongkan mulutnya.
"Aku tidak mau pergi!" katanya.
Kwee Ceng melengak, ia tidak mengerti tapi lekas ia berkata pula: "Ah, Yong-jie,
jangan seperti bocah! Mari kita lekas pergi!" Habis berkata, ia menarik kudanya,
ia lompat naik ke punggungnya.
"Habis, kau menghendaki aku atau tidak?" Oey Yong tanya.
Pemuda itu menjadi bingung.
"Kenapa aku tidak menghendaki kau?" ia balik menanya. Dengan tangan kiri ia
menahan kudanya, tangan kanannya diansurkan untuk menyambuti si nona.
Oey Yong tertawa, lalu ia berpaling ke arah ayahnya, sambil berkata nyaring:
"Ayah, kita hendak pergi menolongi orang! Kau bersama keenam suhu baik turut
juga!" Ia terus menjejak tanah dengan kedua kakinya, dengan begitu tubuhnya
mencelat tinggi, tangan kirinya diluncurkan, akan menyambuti tangan kanan Kwee
Ceng, untuk ditarik, maka itu, tubuhnya lantas melayang naik ke atas kuda hingga
ia duduk di sebelah depan!
Kwee Ceng memberi hormat dari atas kuda kepada gurunya, setelah mana, ia
melarikan kudanya itu, yang lantas lari kabaur. Kedua burung rajawali pun terus
terbang, sambil berbunyi mereka terbang cepat di sebelah depan, untuk menunjuki
jalan. Kuda mereka itu girang sekali bisa bertemu pula sama majikannya, dia lari keras
dengan gembira, kalau burung bukannya burung rajawali, mungkin keduanya
ketinggalan di belakang. Kedua burung itu terbang ke sebuah rimba lebat di
sebalah depan, terus turun. Kuda itu sangat mengerti, tanpa titah majikannya, ia
lari terus ke arah rimba itu.
Setibanya Kwee Ceng di luar rimba, dari dalam situ ia mendengar suara nyaring
bagaikan cecer pecah, katanya: "Saudara Cian Jin, telah lama aku mendengar
Tangan Besimu yang lihay, aku sangat mengangguminya, maka itu sekarang baiklah
aku menggunai dulu kepandaianku yang tidak berarti ini mengambil nyawa yang satu
ini, setelah itu aku minta kau menggunai tanganmu yang lihay itu terhadap yang
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lainnya. Setujukah kau, saudara?"
Menyusuli itu maka terdengarlah suara gemuruh diikuti jeritan yang h menyayatkan
hati. Sebuah pohon kelihatan bergerak bagian atasnya, lalu jatuh roboh.
Kwee Ceng kaget, ia lompat turun dari kudanya, ia lari ke dalam rimba.
Oey Yong lompat turun, ia menepuk-nepuk kepala si kuda merah seraya berkata:
"Pergi lekas menyambuti ayahku!" Kemudian ia menunjuk ke jalan dari mana mereka
datang. Kuda merah itu mengerti, dia berbalik dan lari pergi.
"Semoga ayah lekas datang..." kata nona Oey ini dalam hatinya, "Kalau tidak, kita
bisa susah di tangannya si Bisa bangkotan!" Lalu ia lari ke dalam rimba tetapi
dengan cara sembunyi. Begitu ia melihat ke depan, Oey Yong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang.
Di sana Tuli, Gochin Baki, Jebe dan Borchu berempat sedang tertawan, masing-
masing ditambat di atas sebuah pohon kayu. Di bawah pohon, Auwyang Hong berdiri
bersama-sama Kiu Cian Jin. Di sebuah pohon lain, ialah pohon yang sudah roboh,
ada tertambat seorang lain, yang seragamnya mewah, sebab ialah si punggawa
perang Song yang mengantarkan keempat orang Mongolia itu pulang ke negerinya.
Hanya perwira itu sudah mati, sebab pohonnya telah dihajar roboh oleh See Tok.
Di situ tidak ada pasukan serdadu mereka, rupanya tentara itu telah diusir ini
dua jago tua. Kiu Cian Jin tidak berani mengadu tenaga tangan dengan Auwyang Hong, tapi pun ia
tidak mau omong terus terang, sebab ia hendak memegang derajatnya, selagi ia
hendak menggunai alasan, guna menutup diri, tiba-tiba ia melihat munculny Kwee
Ceng. Ia lantas jadi terperanjat bahna girang. Ia segera mendapat pikiran.
"Kenapa aku tidak mau pinjam tangannya See Tok akan menyingkirkan bocah ini?"
demikian pikirnya. Auwyang Hong pun heran. Nyata Kwee Ceng tidak mati terkena pukulan ilmu
Kodoknya. Itu waktu putri Gochin Baki berseru: "Engko Ceng, lekas tolongi aku!"
Melihat suasana itu, Oey Yong sudah lantas mengasah otaknya.
"Sang tempo mesti diperlambat, sampai ayah datang!" demikian ia peroleh akal.
Kwee Ceng sendiri telah menjadi gusar, hingga ia jadi tak kenal takut.
"Bangsat tua, apa kamu bikin di sini"!" ia mendamprat. "Kembali kamu mencelakai
orang, ya"!" Auwyang Hong hendak menguji kepandaian Kiu Cian Jin, meski diperlakukan kurang
ajar, ia bahkan bersenyum. Tidak demikian dengan si orang she Kiu itu.
"Ha, binatang cilik yang baik!" dia membentak. "Di sini ada Auwyang Sianseng,
mengapa kau tidak berlutut memberi hormat" Apakah kau sudah bosan hidup"!"
Kwee Ceng sangat membenci orang ini, yang di rumah penginapan sudah ngaco belo,
memfitnah dan mengadu gurunya dengan Oey Yok Su, dengan di sini kembali dia
mencelakai orang, maka itu tanpa membilang suatu apa, ia menghampirkan, terus ia
menyerang dadanya. Pemuda ini menyerang dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, yang sekarang talh maju
jauh sekali. Ia menggunakan tenaga menyerang enam bagian dan tenaga menarik
empat bagian, dari itu, habis menyerang, tinjunya cepat ditarik pulang. Kiu Cian
Jin berkelit, tetapi ia kena ditarik anginnya tinju itu, tubuhnya mundur hanya
diluar keinginannya, dia ditarik ke depan, terus jatuh terjerunuk!
"Hm!" Kwee Ceng mengejek seraya tangannya yang kiri dilayangkan, guna menyambut
muka muka orang, hendak ia menhajar hingga gigi rontok dan lidah terkancing
putus, supaya jago tua ini tidak dapat mengacau lagi menerbitkan gelombang yang
tidak-tidak. "Tahan!" berseru Oey Yong tiba-tiba seraya ia lompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Kwee Ceng heran, hingga ia batal menggaplok, tetapi karena ia sebat, ia ubah
gerakan tangannya itu, segera ia menyambar ke arah leher, untuk mencekuk,
setelah mana, ia mengangkat tubuh orang.
"Yong-jie, bagaimana?" ia menanya seraya ia berpaling.
Oey Yong khawatir Kwee Ceng mencelakai orang tua itu, kalau itu sampai terjadi,
pasti Auwyang Hong turun tangan. Inilah ia mau cegah, untuk ia menjalankan
akalnya. "Lekas lepaskan!" ia berkata. "Orang tua ini mempunyai semacam kepandaian yang
lihay pada kulit mukanya, kalau pipinya dihajar, tenaganya berbalik bekerja, kau
pasti terluka di dalam!"
"Ah, mustahil?" kata Kwee Ceng yang tidak percaya.
"Aku tidak tahu, asal ia mementang mulut dan meniup, seekor kerbau pun dapat
terkelupas kulitnya!" kata pula si nona. "Masih kau tidak lekas mengundurkan
dirimu!" Pemuda ini masih tetap tidak percaya, akan tetapi ia menduga kekasihnya itu ada
maksudnya, maka ia menurut, ia melepaskan cekukannya.
"Syukur nona ini mengetahui bahaya," Kiu Cian Jin berkata. "Kita berdua tidak
bermusuhan, maka selagi Thian murah hati, masa aku ambil sikap yang tua menindih
yang muda dan sembarang melukakan kau?"
Oey Yong tertawa. "Itu benar!" ia bilang. "Kepandaian kau yang lihay, loosiansseng, aku sangat
mengagumi, karena itu, hari ini aku mau minta pengajaran dari kau, untuk
beberapa jurus saja, tetapi aku harap janganlah kau melukakan aku..."
Habis berkata si nona lantas memasang kuda-kudanya, tangan kirinya dikibaskan ke
atas, tangan kanannya ditarik ke dalam, terus di bawa ke mulutnya, untuk
mengasih dengar siulannya beberapa kali. Ia tertawa pula dan berkata: "Sambutlah
ini! Inilah jurusku yang dinamakan silat Meniup Terompet Keong!"
"Ah, nona kecil, sungguh besar nyalimu!" berkata Kiu Cian Jin. "Auwyang Sianseng
kesohor namanya di seluruh negara, mana dapat ia membiarkan kau tertawa mengejek
dia..?" Oey Yong tidak meladeni kata-kata itu, tangan kanannya melayang ke kuping orang,
hingga terdengarlah suara mengelepok yang nyaring. Ia lantas tertawa dan
berkata: "Dan ini namanya Pukulan Berbalik ke arah Kulit Tebal!"
Berbareng dengan itu, dari luar rimba terdengar suara orang tertawa yang disusul
dengan pujian, "Bagus! Sekalian saja kau menggaplok lagi satu kali!"
Mendengar suara itu, Oey Yong girang bukan kepalang. Ia mengenali suara ayahnya.
Dengan begitu, hatinya menjadi mantap. Sembari menyahuti, tangannya melayangp
pulang. Kembali tangann yang kanan.
Kiu Cian Jin buru-buru menunduki kepala untuk berkelit. Tapi gaplokan itu
gaplokan gertakan belaka, sedang yang benar adalah susulan tangan kiri. Ia
melihat itu, lekas-lekas ia berkelit pula. Atas ini, tangannya si nona melayang
pergi pulang, hingga ia menjadi repot berkelit tak hentinya. Di akhirnya, kuping
kanannya tergaplok pula! Kiu Cian Jin kaget. Ia mengerti, kalau terus-terusan begitu hebat untuknya. Maka
ia lantas membalas menyerang. Dengan dua kepalannya, ia memaksa si nona mundur,
setelah mana, ia lompat ke samping.
"Tahan!" ia berseru.
"Apa?" Oey Yong tertawa. "Apakah sudah cukup?"
Kiu Cian Jin mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Nona, kau telah dapat luka di dalam!" ia berkata. "Lekas kau pulang untuk
bersemadhi di kamar rahasia lamanya tujuh kali tujuh menjadi empatpuluh sembilan
hari! Jangan kena angin atau jiwamu yang muda tidak bakal ketolongan!"
Melihat roman orang sungguh-sungguh untuk sejenak Oey Yong tercengang, tetapi
lekas juga ia tertawa pula. Ia tertawa terkekeh, kepalanya memain.
Ketika itu Oey Yok Su yang tadi cuma terdengar suarnya saja, telah tiba bersama-
sama Kanglam Liok Koay. Mereka heran melihat Tuli beramai menjadi orang tawanan.
Auwyang Hong sendiri lagi keheran-heranan. Ia heran untuk Kiu Cian Jin. Ia tahu
betul, orang she Kiu ini lihay sekali, dulu hari pernah dengan tangannya yang
seperti besi itu ia menghajar mati dan luka pada jago-jago dari Heng San Pay,
sampai partai itu roboh dan tak dapat bangun lagi, maka itu kenapa sekarang ia
kena digaplok Kwee Ceng, kena dicekuk pula, dan melayani Oey Yong nampak tak
berdaya" Ia menjadi mau menduga-duga, apakah benar orang mempunyai kepandaian di
kulit muka" Itulah kepandaian yang ia belum pernah dengar, itu mirip khayal......
Selagi si Bisa dari Barat itu beragu-ragu, matanya menjurus kepada Oey Yok Su,
hingga ia melihat di pundak pemilik pulau Tho Hoa To itu tergantung sebuah
kantung sulam buatan Su-coan, yang sulamannya sutera putih adalah seekor unta.
Ia mengenali baik sekali, itulah kantung keponakannya. Ia menjadi kaget. Habis
membinasakan Tam Cie Toan dan Bwee Tiauw Hong, ia pergi, tapi sekarang ia
kembali, niatnya untuk menampak keponakannya itu.
"Mungkinkah Oey Yok Su telah membunuh keponakanku itu untuk membalas sakit hati
muridnya?" Ia berpikir. Maka ia lantas menanya dengan suaranya menggetar:
"Bagaimana dengan keponakanku?"
Oey Yok Su menjawab dingin: "Bagaimana dengan Bwee Tiauw Hong muridku itu,
demikian juga dengan keponakanmu!"
Auwyang Hong merasakan tubuhnya beku separuh. Auwyang Kongcu itu namanya saja
keponakannya akan tetapi nyatanya ialah anaknya sendiri sebab dia didapatkan
dari perhubungan gelap diantara dia dan istri kakaknya. Jadi paman dan ipar
telah main gila dan terlahirlah "Keponakan" yang dimanjakan itu. Ia sangat
kejam, jahat sebagai bisa, tetapi terhadap anaknya itu, ia sangat menyayangi,
menyayangi melebihkan jiwanya sendiri. Ia tidak menyangka keponakannya itu bakal
terbinasa, sebab dengan kedua kakinya rusak, ia percaya Oey Yok Su dan Coan Cin
Cit Cu, yang ada orang-orang kenamaan, tidak nanti menurunkan tangan mengambil
nyawa sang keponakan, siapa tahu, kesudahannya, keponakan itu toh menerima
nasibnya. Oey Yok Su berdiri dengan waspada terhadap See Tok. Ia mengerti kalau si Bisa
dari Barat kalap, ia mesti bekerja banyak untuk membela diri.
"Siapa yang membunuh keponakanku itu?" akhirnya Auwyang Hong menanya, suaranya
serak. "Muridmu atau muridnya Coan Cin Cit Cu?"
See Tok masih tidak percaya pemilik Tho Hoa To nanti membinasakan orang yang
kakinya telah buntung dua-duanya. Itulah perbuatan memalukan.
Dengan tetap dingin, Oey Yok Su menjawab pula: "Dia pernah mempelajari ilmu
silat Coan Cin Pay serta juga pernah mempelajari sedikit silat dari Tho Hoa To.
Pergilah kau cari dia!"
Pemilik Tho Hoa To itu menyebutnya Yo Kang akan tetapi Auwyang Hong menduga Kwee
Ceng. Bukan main panasnya hatinya, tetapi di dalam keadaan seperti itu, ia masih
dapat menguasai dri. "Nah, apa perlunya kau membawa-bawa kantungnya keponakanku itu?" ia tanya.
"Peta Tho Hoa To berada pada dia, aku mesti mengambilnya pulang," menyahut Oey
Yok Su. "Tidak dapat aku menanti sampai dia masuk ke dalam tanah...."
"Kata-kata yang bagu!" ujar Auwyang Hong. Ia terus menahan sabar. Ia tahu baik
sekali, kalau ia menempur Tong Shia, mereka mesti berkelahi sampai satu - atau
duaribu jurus tanpa ada ketentuan siapa menang siapa kalah, bahkan ada
kemungkinan ia tak berada di atas angin. Ia ingat Kui Im Cin-keng telah
didapatkan, dari itu, soal membalas sakit hatinya bolehkah ditaruh di belakang.
Tapi di sini ada Kiu Cian Jin.
"Dia ada di sini, dia dapat membantu aku," pikirnya. "Kalau dia dapat
mengalahkan Kanglam Liok Koay beserta Kwee Ceng dan Oey Yong, lantas dia dapat
membantui aku! Tidakkah dengan begini aku bisa mengambil jiwanya Oey Yok Su?"
Karena berpikir begini, harapannya lantas timbul. Lantas ia menoleh kepada si
orang she Kiu. "Saudara Cian Jin, pergi kau membinasakan delapan orang ini, aku sendiri
melayani Oey Lao Shia!" katanya.
Kiu Cian Jin mengibaskan kipasnya yang besar, ia tertawa.
"Begitu pun bagus!" sahutnya. "Setelah membinasakan mereka berdelapan, nanti aku
membantui kau!" "Benar begitu!" menjawab Auwyang Hong, yang lantas menghadapi Oey Yok Su, terus
ia berjongkok perlahan-lahan.
Oey Yok Su sudah lantas bersedia. Ia memasang kuda-kudanya yang disebut "put
teng put pat", ia mengambil apa yang dinamakan kedudukan "tong hong it bok". Ia
memasang mata jeli. Oey Yong sementara itu berkata kepada Kiu Cian Jin.
"Baiklah kau bunuh aku dulu!" bilangnya tertawa.
Orang tua itu menggeleng-geleng kepala.
"Ah, sebenarnya aku tidak tega..." katanya. "Aduh, aduh, celaka!" ia terus
menjerit. "Sungguh tidak kebetulan...!" ia lantas memegangi perutnya, tubuhnya
membungkuk. "Kau kenapa?" Oey Yong tanya.
Kiu Cian Jin meringis. "Kau tunggu sebentar, aku hendak membuang air..."
"Cis!" si nona meludah.
"Aduh!" Kiu Cian Jin berkoak pula, lalu ia memegangi pinggiran celananya, terus
ia lari ke pinggiran. Melihat romannya, dia benar-benar perutnya sakit dan
kebelet ingin membuang air besar.
Oey Yong mengawasi tanpa berani mengejar. Ia sangsi orang benar-benar sakit
perut atau lagi menggunai akal bulus.
Tiba di pinggiran, Kiu Cian Jin berjongkok.
"Nah, ini kertas untukmu!" berkata Cu Cong, yang lari kepada orang she Kiu itu,
pundak siapa ia tepuk, sedang tangannya menyerahkan kertas yang ia keluarkan
dari kantungnya. Terima kasih!" mengucap Cian Jin. Ia lantas pergi ke gompolan rumput di mana ia
berjongkok. "Pergi jauhan sedikit!" kata Oey Yong yang memungut sepotong batu kecil, dengan
apa ia menimpuk orang tua itu.
Bab 54. Segitiga........ Bab ke-54 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Batu itu melayang bagaikan terbang tetapi Kiu Cian Jin menyambutinya.
"Nona takut bau busuk?" katanya tertawa. "Baiklah, aku akan menyingkir sedikit
lebih jauh. Kau orang delapan mesti menunggu, aku larang kamu pada melarikan
diri.....!" Dengan masih memegangi celananya, Cian Jin pergi sampai belasan tombak, di situ
ia baru jongkok, hingga ia tak terlihat lagi.
"Jie suhu, jangan-jangan bangsat tua itu mau melarikan diri!" berkata Oey Yong.
Cu Cong tertawa. "Mungkin dia mau lari tetapi dia tidak bisa," sahutnya guru yang nomor dua itu.
"Kau ambillah dua rupa barang ini untuk kau buat main...."
Oey Yong melihat sebatang pedang dan sebuah sarung tangan dari besi di tangan
gurunya itu, maka tahulah dia tadinya selagi menepuk pundak Kiu Cian Jin,
gurunya itu sudah memindahkan barang orang. Ia periksa pedang itu, lantas ia
tertawa geli. Selama di dalam kamar rahasia tadi ia melihat Kiu Cian Jin
mempermainkan Coan Cin Cut Cu dengan menikam perutnya dengan pedang itu, tidak
tahunya itulah pedang rahasia, yang dapat dibikin melesat atau ngelepot tiga
kali. Maka ia lantas menghampirkan Auwyang Hong.
"Auwyang Sianseng, aku tidak mau hidup lagi!" katanya sambil tertawa, tangan
kanannya terus diayunkan ke perutnya, yang ia tumblas dengan pedangnya Kiu Cian
Jin itu, hingga pedang itu melesak masuk.
Auwyang Hong dan Oey Yok Su yang bersiap untuk bertempur menjadi kaget, tetapi
Oey Yong sudah lantas mencabut pedangnya itu, yang menjadi pendek, sembari
memperlihatkan itu kepada ayahnya, ia menuturkan rahasianya pedang tukang sulap
itu. Auwyang Hong menjadi melengak dan berpikir: "Apa mungkin tua bangka itu main
gila seumurnya sedang sebenarnya dia tidak mempunyai guna?"
Oey Yok Su terus mengawasi si Bisa dari Barat itu, ketika ia melihat tubuh orang
mulai tak jongkok lagi, ia dapat menerka hati orang. Ia lantas menyambuti sarung
tangan besi dari anaknya, untuk meneliti itu. Ia melihat ukiran huruf "Ki" di
telapakan tangan, di sebelah belakangnya ada ukiran seekor ular kecil serta
seekor kelabang kecil, yang berguling menjadi satu. Ia ingat itulah lengpay atau
tertanda dari Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin. Pada duapuluh tahun yang
lalu, lengpay itu sangat berpengaruh di dalam dunia kangouw, siapa yang membawa-
bawa itu, dia dapat lewat dengan merdeka di selatang dan si utara sungai Tiang
Kang atau di hulu dan hilir sungai Hong Hoo, bahkan golongan Hitam dan Putih
sangat jeri terhadapnya. Maka itu heran, mungkinkah pemiliknya lengpay itu ada
ini orang yang besar mulutnya saja"
Sembari berpikir, Oey Yok Su kembalikan sarung tangan itu kepada putrinya.
Auwyang Hong juga berpikir keras, ia turut merasa heran.
Oey Yong tertawa. "Ayah, sarung tangan ini bagus untuk dibuat main, aku
menyukainya, hanya ini alat peranti menipu orang aku tidak membutuhkannya! Nah
ini, kau sambutlah!" Ia mengayaun tangannya, hendak menimpukkan pedang-pedangan
itu. Atau mendadak, ia membatalkannya. Jaraknya dengan Kiu Cian Jin jauh juga,
ia khawatir tidak dapat ia menimpuk sampai di sana. Maka pedang itu ia serahkan
kepada ayahnya seraya membilangnya sambil tertawa: "Ayah, kau saja yang
menimpukkannya!" Oey Yok Su memang tengah bersangsi, ia menjadi ingin mencobai Kiu Cian Jin, maka
ia menyambutinya pedang itu, yang ia taruh di telapakan tangannya yang kiri,
ujungnya yang lancip di arahkan ke luar, lalu dengan jari tangan dari tangan
kanan, ia menyentil. Sekejap saja pedang itu meleset bagaikan terbang!
"Bagus!" berseru Oey Yong dan Kwee Ceng sambil bertepuk tangan.
"Tiat Cie Sin-kang yang hebat!" Auwyang Hong memuji di dalam hatinya. Ia kaget
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendirinya untuk lihaynya Tong Shia si Sesat dari Timur ini.
Semua mata diarahkan kepada pedang itu serta Kiu Cian Jin. Di situ ia tampak
jongkok tak bergeming walaupun bebokongnya mau dijadikan sasaran pedangnya itu.
Maka cepat sekali, pedang telah mengenai dan nancap.
Serang Oey Yok Su sangat hebat, jangan kata itu pedang besi, walaupun pedang
kayu, kalau sasarannya keba terhajar, korbannya mesti bercelaka.
Kwee Ceng lantas berlompat lari ke arah Kiu Cian Jin. Ketika ia sampai di tempat
orang berjongkok itu, mendadak ia berseru: "Celaka betul!" Tangannya pun lantas
mengangkat sepotong baju, untuk diulap-ulapkan. Ia berseru pula: "Orangnya sudah
kabur!" Kiu Cian Jin telah meloloskan bajunya, yang ia sangkutkan dengan rapi hingga ia
tampak seperti terus berjongkok membuang air besar, dengan nyeludup di pepohonan
lebat, ia sendiri diam-diam mengangkat kaki, menyingkir dari tempat berbahaya
itu. Dengan kecerdikannya ini ia terlah berhasil menjual Tong Shia dan See tok
yang berpenglamanan dan lihay itu, hingga dua orang itu melengak dan saling
mengawasi, lalu keduanya tertawa lebar.
Auwyang Hong kenal baik Tong Shia, yang tak sejujur Ang Cit Kong, yang sukar
untuk dibokong, sekarang melihat orang tengah tertawa, ia menganggap inilah
ketikanya untuk turun tangan. Dengan mendadak ia berhenti tertawa, terus ia
menjura dalam sekali. Oey Yok Su terus tertawa hanya sambil tertawa itu, tangan kirinya dilonjorkan,
tangan kanannya ditekuk, sebagai juga ia membalas hormat.
Sesaat itu tubuh mereka bergoyang sebentar, setelah mana, Auwyang Hong mundur
tiga tindak. Ia telah membokong dengan tidak berhasil. Lantas ia kata: "Baiklah,
kita berdua nanti bertemu pula di belakang hari!" Sembari berkata begitu, ia
mengibaskan tangan bajunya, ia memutar tubuhnya, untuk berlalu.
Air mukanya Oey Yok Su berubah. Dengan lekas ia mengulur tangan kirinya ke depan
anak gadisnya. Kwee Ceng pun telah melihat, selagi memutar tubuh, Auwyang Hong menyerang secara
Hati Budha Tangan Berbisa 2 Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Racun Ular Karang 2