Pencarian

Memanah Burung Rajawali 25

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 25


rahasia, menyerang Oey Yong dengan "Pek-hong-ciang", yaitu ilmu silat tangan
kosong yang memerlukan anginnya saja. Ia hanya kalah jeli dengan Oey Yok Su.
Tapi ia berseru, dengan kedua tangannya ia lantas menyerang See Tok, untuk
memaksa orang membatalkan serangannya itu.
Auwyang Hong melihat ia ditangkis Oey Yok Su, yang melindungi putrinya, ia
lantas menarik pulang serangannya itu, hanya bukan untuk dibatalkan, tetapi
untuk diteruskan, dipakai menyerang Kwee Ceng, selagi si anak muda menyerang
padanya, hingga serangan mereka bakal bentrok, keras sama keras. Kwee Ceng tahu
diri, ia tidak mau melayani, maka itu dengan sebat ia membuang diri,
bergulingan, untuk terus berlompat berdiri. Ia kaget hingga mukanya pucat
sekali. "Ha, anak yang baik!" berseru Auwyang Hong. "Baru beberapa hari kau tidak
terlihat, kepandaianmu telah maju pesat sekali!"
Memang adalah di luar dugaan, si anak muda lolos dari bokongannya itu.
Melihat orang telah turun tangan, Kanglam Liok Koay segera memernahkan diri di
belakangnya Auwyang Hong, untuk memegat.
Auwyang Hong maju terus, ia mendekati Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng. Mereka
ini tidak berani turun tangan, maka itu, merdeka See Tok berjalan melewati
mereka, keluar dari dalam rimba.
Oey Yok Su pun berdiam saja. Sebenarnya kalau ia mau turun tangan, dengan
dibantu Liok Koay, See Tok bisa dapat celaka, tetapi ia berkepala besar, tidak
mau ia mengepung si Bisa dari Barat itu, ia khawatir nanti orang tertawakan. Ia
memikir, lain kali saja, kalau ada ketikanya, mereka bertempur satu sama satu.
Ia tertawa dingin mengawasi punggung orang.
Ketika itu Kwee Ceng telah lepaskan Gochin Baki berempat dari tambatan mereka.
Putrinya Jenghiz Khan ini girang sekali melihat si anak muda tidak mati, maka
itu dengan sengit ia menamprat Yo Kang yang dikatakan sudah menjual cerita untuk
mendustakan orang. Tuli menambahkan dengan berkata: "Orang she Yo itu membilang ia mempunyai urusan
mesti lekas pergi ke Gak-ciu, kami menyangka dia orang baik-baik, maka kecewa
sekali kami memberikan dia tiga ekor kuda pilihan..."
"Anda," Kwee Ceng tanya, "Bagaimana caranya maka kamu jadi bertemu sama itu dua
siluman tua?" Putri Mongolia itu, dalam kegembiraannya, mendahului memberikan keterangan.
Mereka ini sangat berduka mendengar dari Yo Kang bahwa Kwee Ceng telah meninggal
dunia, dilain pihak, senang hati mereka mendengar Yo Kang berniat mencari balas.
Mereka menaruh kepercayaan besar, senang mereka bergaul dengan orang she Yo itu.
Itu malam mereka menginap bersama di sebuah dusun. Yo Kang beberapa kali mencoba
membokong Tuli, saban-saban ia gagal disebabkan penjagaan yang keras dari kedua
pengemis kurus dan gemuk terhadapnya, kalau tidak si gemuk, tentulah si kurus
yang meronda smabil memegang tongkat keramatnya. Kecewa ia karena kegagalannya,
dari itu, terpaksa besoknya pagi ia minta saja tiga ekor kuda, dengan itu
bersama kedua pengemis itu ia berangkat ke barat.
Tuli berempat menuju ke utara, sedang kedua burung rajawali terbang ke selatan,
sampai lama, keduanya tidak kembali. Ia tahu pada itu mesti ada sebabnya. Karena
mereka tidak membikin perjalanan cepat, mereka menantikan di rumah penginapan,
sampai dua hari. Baru di hari ketiga, kedua ekor burung rajawali itu kembali,
keduanya menclok di pundak Gochin Baki seraya berbunyi tak mau berhenti.
"Mari kita ikuti mereka," berkata Tuli, yang merasa heran.
Mereka kembali ke selatan dengan kedua rajawali itu menjadi petunjuk jalan,
hanya apa lacur, di rimba itu mereka bertemu Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin.
Tuli, Jebe dan Borchu gagah tetapi menghadapi Auwyang Hong, mereka tidak
berdaya, dari itu bersama si opsir pengiringnya, dengan gampang mereka kena
ditawan dan dibelenggu. Malang si opsir, dia menjadi korban paling dulu.
Kiu Cian In mendapat tugas dari negara Kim untuk mengacau orang-orang kosen di
Kanglam. Supaya mereka bentrk satu dengan lain, untuk menggampangi usaha bangsa
Kim itu menyerang ke Selatan. Bersama Auwyang Hong ia berada di rimba itu, kapan
ia melihat Tuli berlima, ia lantas menganjurkan Auwyang Hong turun tangan.
Syukur kedua burung rajawali telah bisa mencari bantuan dan rombangannya Kwee
Ceng ini datang tepat. Gochin Baki sangat gembira, sembari menutur ia pegangi tangan Kwee Ceng, ia
tertawa tak hentinya. Oey Yong mengawasi tingkah lakunya putri itu, ia merasa tak puas. Ia jadi lebih
tak senang karena si putri bicara dalam bahasa Mongolia, yang ia tidak mengerti.
Ia menjadi tidak sabaran.
Oey Yok Su melihat roman anak gadisnya itu, ia heran.
"Yong-jie, siapakah ini perempuan asing?" ia tanya.
"Dialah istrinya engko Ceng yang masih belum dinikah!" sahut sang gadis.
Ayah itu heran hingga ia hampir tidak mempercayai kupingnya sendiri.
"Apa"!" ia menanya, mengulangi.
"Ayah, kau pergi tanya dia sendiri," sahut si anak perlahan. ia malu untuk
menjelaskannya. Cu Cong mendapat dengar pembicaraan di antara ayah dan anak itu, ia mengerti
keadaan berbahaya untuk Kwee Ceng, karena ia tahu baik hal ikhwal putrinya
Jenghiz Khan itu dengan muridnya, ia lantas campur bicara, ia menuturkan
duduknya hal itu. Tentu saja ia menyebutkan, jodoh itu didesaki oleh Khan
tersebut. Oey Yok Su memangnya tidak penuju Kwee Ceng, kalau toh ia menjodohkan juga
putrinya, itulah saking terpaksa. Sekarang ia mendengar ini soal yang baru
untuknya, ia menjadi tidak puas. Ialah kepala suatu partai, ia sangat menyayangi
putrinya itu bagaikan mutiara mustika, dari itu mana dapat putrinya ini menjadi
istri kedua, artinya menjadi gundik"
"Yong-jie!" ia lantas kata kepada putrinya, suaranya keras.
"Ayahmu hendak melakukan sesuatu, kau tidak boleh mencegah!"
Anak itu kaget. "Apakah itu, ayah?" ia tanya.
"Anak busuk itu, perempuan hina itu, dua-duanya mesti dibunuh!" sahut sang ayah.
Oey Yong kaget, ia lompat menubruk tangan ayahnya itu.
"Tetapi, ayah, engko Ceng bilang dia sungguh mencintai aku!" katanya.
Oey Yok Su tidak meronta, tetapi ia membentak kepada Kwee Ceng. "Eh, bocah, kau
bunuhlah perempuan asing itu, untuk membuktikan hatimu sendiri!"
Kwee Ceng berdiri menjublak. Belum pernah ia menghadapi soal sesulit ini. Ia
memang kurang cerdas, dari itu, ia ayal mengambil keputusannya.
?"Lebih dulu kau sudah bertunangan, kenapa kau melamar juga putriku"!" tanya Oey
Yok Su bengis. "Apakah artinya perbuatanmu ini"!"
Kanglam Liok Koay memasang mata waspada. Sikapnya Tong Shia luar biasa sekali.
Sembarang waktu si Sesat dari Timur ini dapat menurunkan tangan dahsyat, muka
orang merah padam. Hati mereka goncang sebab pemilik Tho Hoa To ini sangat
lihay. Kwee Ceng tidak pernah mendusta, maka ia menyahuti: "Pengharapanku ialah dalam
seumur hidup aku bisa berkumpul bersama Yong-jie saja, lainnya hal tidak ada di
hatiku." "Baik kalau begitu," kata Oey Yok Su, yang hawa amarahnya sedikit mereda.
"Sekarang begini saja. Tidak apa kau tidak suka membinasakan perempuan itu,
tetapi kau, semenjak hari ini, aku larang kau bertemu pula dengannya!"
Kwee Ceng berdiam, pikirannya bekerja.
"Bukankah kau pasti akan bertemu pula dengannya?" Oey Yong bertanya.
"Di dalam hatiku, dialah mirip adik kandungku," sahut Kwee Ceng. "Kalau aku
tidak bertemu dengannya, aku suka mengingat padanya."
Mendengar itu Oey Yong tertawa.
"Kau suka melihat siapa, kau boleh melihatnya!" katanya. "Tentang itu aku tidak
memperdulikannya!" "Baik, begini saja!" berkata Oey Yok Su. "Saudaranya-saudaranya perempuan asing
itu ada di sini, aku ada di sini, dan keenam gurumu berada di sini juga, maka
hayolah kau membilangnya jelas-jelas bahwa yang kau bakal nikahi adalah putriku
ini, bukan perempuan asing itu!"
Dengan bicara begitu, Oey Yok Su sudah menentang hatinya sendiri, untuk
keberuntungan gadisnya, ia suka mengalah.
Kwee Ceng berpikir sambil tunduk, maka ia lantas melihat golok Kim-too hadiah
dari Jenghiz Khan serta pisau belati pengasihnya Khi Cie Kee. Ia menjadi bingung
sekali. Ia berpikir: "Menurut pesan ayahku, dengan Yo Kang aku mesti menjadi
saudara sehidup semati, akan tetapi Yo Kang itu bersifat lain, kelihatannya
persaudaraanku dengannya tidak dapat dilundungi lagi. Pula menurut pesan paman
Yo, aku harus menikah sama adik Liam Cu. Bagaimana sekarang" Seharusnya pesan
orang tua mesti dijalankan. Dengan begitu, perangkapan jodohku dengan putri
Gochin Baki pun ada atas kehendak Jenghiz Khan, seorang tua! Bolehkah karena
kata-kata orang tua itu lantas aku mesti berpisah dengan Yong-jie?"
Setelah memikir paling belakang itu, pemuda ini lantas mengambil keputusan. Ia
mengangkat kepalanya. Sementara itu Tuli telah menanyakan Cu Cong tentang pembicaraan di antara Kwee
Ceng dengan Oey Yok Su itu, setelah mengetahui duduknya hal dan menampak
kesangsian si anak muda, ia menjadi tidak puas. Ia gusar mengetahui orang tidak
mencintai adiknya. Maka dari kantung panahnya, ia menarik keluar sebatang anak
panah bulu burung tiauw, sambil memegang itu di tangannya, ia kata dengan
nyaring: "Anda Kwee Ceng, seorang laki-laki yang mau malang melintang di dalam
dunia, dia mesti berbuat hanya dengan satu kata-katanya yang apsti! Oleh karena
kau tidak mencintai adikku, mana bisa putri yang gagah dari Jenghiz Khan
memohon-mohon meminta kepadamu" Oleh karena itu, mulai hari ini, putus sudha
persaudaraan di antara kita! Di masa mudamu, kau pernah menolongi aku, kau juga
telah menolongi ayahku, budi itu, kami ingat baik-baik, dari itu, ibumu yang
sekarang berada di Utara, akan aku mengirim orang untuk mengantarkannya, tidak
nanti aku membikin dia kurang suatu apa! Kata-katanya seorang kesatria ada mirip
gunung kekarnya, karenanya kau boleh bertetap hati!"
Habis berkata begitu, ia patahkan anak panah itu dan melemparkannya di depan
kudanya. Hati Kwee Ceng tergerak. Ia lantas ingat masa mudanya di gurun pasir, bagaimana
kekalnya pergaulannya sama Tuli. Ia jadi berpikir: "Memang, perkataannya seorang
kesatria mirip sebuah gunung. Jodohnya adik Gochin Baki telah aku menerima
dengan mulutku sendiri, bagaimana sekarang aku boleh tidak memegang
kepercayaanku" Tanpa kepercayaan, dapatkah aku menjadi manusia" Biarlah Oey Tocu
membunuh aku, biarlah Yong-jie membenci aku seumur hidup, aku tidak dapat
berbuat lain!" maka itu ia mengangkat kepalanya dan berkata dengan tegas: "Oey
Tocu, keenam guruku, anda Tuli, kedua guruku Jebe dan Borchu, aku Kwee Ceng, aku
bukannya seorang yang tidak mempunyai kepercayaan, maka itu, mesti aku menikah
sama adik Gochin!" Kwee Ceng bicara dalam bahasa Tionghoa, lalu ia salin itu ke dalam bahasa
Mongolia, hingga kedua belah pihak mengerti. Kata-kata ini membikin mereka itu
menjadi heran sekali. Itulah diluar dugaan. Tuli dan Gochin Baki heran berbareng
girang. Kanglam Liok Koay memuji muridnya sebagai laki-laki sejati! Adalah Oey
Yok Su, yang tertawa dingin.
Oey Yong sangat kaget dan berduka, hingga ia terbengong sekian lama. Ia maju
beberapa tindak, untuk memandangi si putri Mongolia, tubuh siapa kekar, alisnya
lancip, matanya besar dan bagus, air mukanya gagah dan agung. Tanpa merasa, ia
menghela napas. Ia berkata kepada Kwee Ceng, "Engko Ceng, aku mengerti kau. Dia
dan kau benarlah orang dari satu kalangan, kamu berdua ialah sepasang rajawali
putih dari gurun pasir, kau sebaliknya, aku hanya seekor burung walet di bawah
cabang yangliu di Kanglam...."
Kwee Ceng maju satu tindak, ia mencekal tangan si nona. Ia kata: "Yong-jie, aku
tidak tahu perkataan kau tepat atau benar, tetapi di dalam hatiku cuma ada kau
satu orang! Kau mengerti aku, maka kalau aku dicincang selaksa golok, tubuhku
dibakar menjadi abu, dalam hatiku tetap ada cuma kau sendiri!"
Air mata si nona mengembang.
"Habis kenapa kau hendak menikahi dia?" ia tanya.
"Aku seorang tolol, segala apa aku tidak mengerti," sahut si pemuda. "Aku cuma
tahu, apa yang telah dijanjikan tidak dapat dibuat menyesal. Aku tidak suka
omong dusta, tidak peduli bagaimana, dalam hatiku cuma ada kau seorang!"
Oey Yong bingung. Ia girang tetapi juga bersusah hati.
"Engko Ceng, aku sudah tahu," katanya, tertawa tawar. "Kalau dari atas pulau
Beng Hoo To kita tidak kembali, bukankah itu terlebih bagus?"
"Inilah gampang!" memotong Oey Yok Su sambil alisnya berdiri, sebelah tangannya
diayunkan ke arah putri Gochin Baki.
Oey Yong telah melihat roman ayahnya, maka juga ia mendahulukan lompat untuk
menyambar tangannya putri dari Mongolia itu, ditarik turun dari kudanya.
Oey Yok Su khawatir mencelekai gadisnya, gerakannya terlambat, sesudah putri itu
ditarik turun, baru tangannya menghajar pelana kuda. Mulanya tak apa-apa, hanya
sleang sesaat kemudian, kuda itu tunduk kepalanya, lemas empat kakinya, lalu
mendeprok sendirinya, jiwanya melayang.
Kuda itu kuda Mongolia pilihan, besar dan kuat, tetapi dengan sekali hajar, dia
mampus, kejadian itu membuatnya Tuli semua kaget bukan main. Kalau Gochin Baki
kena terhajar, tidakkah tubuhnya ringsek"
Oey Yok Su melengak. Ia tidak menyangka gadisnya mau menolongi nona Mongolia
itu. Tapinya ia cerdik, sejenak kemudian, ia mengerti sebabnya itu. Kalau putri
itu terbinasa, tentu Kwee Ceng bakal murka, kalau Kwee Ceng murka, mana bisa dia
akur lagi dengan gadisnya" Ia lantas berpikir keras. Sama sekali ia tidak takut
bocah itu. Kapan ia memandang kepada gadisnya, yang romannya lesu dan berduka
sangat, hatinya menjadi dingin. Paras si nona itu waktu sungguh mirip sama paras
istrinya, ialah ibunya Oey Yong, selagi si istri mau menghembuskan napasnya yang
terakhir. Oey Yong dan ibunya sangat mirip satu dengan lain dan Oey Yok Su
sangat mencintai istrinya itu, meninggalnya siapa membuatnya seperti gila. Sudah
lewat limabelas tahun tetapi wajah istrinya itu masih masih saban-saban
terbayang di depan matanya. Sekarang ia melihat roman gadisnya itu, maka tahulah
ia bagaimana sangat anak itu mencintai Kwee Ceng. Akhirnya ia mengela napas,
lalu bersenandung. Oey Yong pun berdiri diam, air matanya turun mengucur.....
Han Po Kie menarik tangannya Cu Cong.
"Dia kata apakah?" ia berbisik.
"Ia mengulangi tulisannya seorang she Kee di jaman Ahala Gan," Cu Cong jawab.
"Itu artinya, manusia di dalam dunia beserta segala bendanya adalah seperti
penderitaan yang dibakar di dalam sebuah perapian besar."
"Dia demikian lihay, apalagi penderitaannya?" Po Kie tanya pula.
Cu Cong tersenyum, ia tidak menjawab.
"Yong-jie, mari kita pulang..." akhirnya terdengar suaranya Oey Yok Su halus.
"Untuk selanjutnya, untuk selamanya jangan kita melihat pula bocah ini..."
"Tidak, ayah," sahut si anak menggeleng kepala. "Aku mesti pergi ke Gak-ciu.
Suhu menitahkan aku untuk menjadi pangcu, ketua dari Kay Pang."
Ayah itu tersenyum. "Apakah enaknya menjadi ketua Partai Pengemis?" ia menanya.
"Aku telah memberikan janjiku pada suhu, ayah!"
Ayah itu berpikir. "Baiklah," katanya kemudian, "Kau coba-cobalah untuk beberapa hari. Umpama kata
kau menganggap terlalu jorok, kau wariskan saja kepada orang lain. Bagaimana di
belakang hari, kau masih mau menemui bocah ini atau tidak?"
Oey Yong melirik kepada Kwee Ceng, siapa terus mengawasi kepadanya, sinar
matanya sangat lesu, romannya sangat berduka. Ia berpaling kepada ayahnya, ia
menyahuti: "Ayah, dia mau menikah sama lain orang maka aku pun akan menikah
dengan lain orang juga. Di dalam hati dia cuma ada aku satu orang, maka di dalam
hatiku cuma ada dia seorang juga..."
"Ha!" berkata orang tua itu. "Anak perempuan dari Tho Hoa To tidak dapat dihina
orang, itulah bagus. Habis bagaimana kalau orang orang dengan siapa kau menikah
nanti melarang kau menemui dia?"
"Hm, siapa yang berani melarang aku!" kata nona itu keren. "Aku toh anakmu!"
"Ah, budak tolol!" berkata ayah itu. "Lewat beberapa tahun lagi aku bakal
meninggalkan dunia ini..."
"Tetapi ayah," kata si nona yang pun berduka, "Begini rupa dia memperlakukan
aku, apakah kau mengira aku bakal dapat hidup lama pula?"
Kanglam Liok Koay dijuluki manusia-manusia aneh tetapi mendengari pembicaraan
ayah dengan anak itu, mereka menjublak. Di jaman Song itu, masih keras orang
menghormati adat-istiadat, ada sopan santun. Oey Yok Su bukannya Seng Tong dan
Bu Ong, bukannya Ciu Kong atau Khong Cu, tetapi ialah seorang yang aneh, maka
julukannya pun Tong Shia, si Sesat dari Timur. Apa yang ia lakukan biasanya
sebaliknya daripada yang umum, sedang Oey Yong itu, semenjak kecilnya, ia sudah
dididik ayahnya yang aneh ini, yang terpelajar tinggi dan luas pengetahuannya,
maka ia mengerti, suami istri tinggal suami istri tetapi cinta itulah lain.
Kwee Ceng pun mendengari pembicaraan itu dengan hatinya terluka. Ia sangat
berduka. Ia mau menghiburi Oey Yong tetapi apa ia hendak bilang" Maka ia pun
berdiam saja. Oey Yok Su memandang putrinya, lalu ia mengawasi Kwee Ceng, kemudian lagi ia
dongak memandang langit dan mengasih dengar suaranya yang lama dan keras, yang
seumpama kata menggetarkan rimba, suaranya itu berkumandang di lembah-lembah.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Burung-burung kucica kaget hingga pada beterbangan mengitari pepohonan.
"Burung kucica, burung kucica!" berkata Oey Yong. "Malam ini Gu Long bakal
bertemu sama Cit Lie, kenapa kau tidak lekas-lekas membuat jembatanmu?"
Tapi Oey Yok Su sengit, ia menjumpat seraup pasir, ia menimpuk, maka itu belasan
burung jatuh dan mati, setelah mana dia membalik tubuh, untuk berjalan pergi
tanpa menoleh lagi.... Tuli tidak mengerti pembicaraan orang, karena tahu Kwee Ceng tidak akan
menyalahi janji, ia girang sekali. Ia pegang golok Kim-too dari ayahnya, dia
cium itu di mulutnya, lalu ia membawanya kepda Kwee Ceng, untuk diserahkan.
"Anda," katanya, "Aku harap usahamu yang besar lekas selesai, supaya kau bisa
pulang ke Utara di mana kita nanti dapat bertemu pula!"
"Burung kita ini kau boleh bawa," berkata Gochin Baki. "Aku harap kau lekas
pulang!" Kwee Ceng mengangguk. Dari sakunya ia mengeluarkan sepotong tombak pendek,
sambil menunjuki itu, ia kata pada putri Mongolia itu: "Kau bilangi ibuku, pasti
aku akan pakai senjata ayahku ini untuk membinasakan musuh kami!"
Jebe dan Borchu pun turut mengambil selamat berpisah.
Oey Yong mengawasi empat orang Mongolia itu berlalu, Kwee Ceng masih berdiri
saja. Ia melihat kedukaan orang.
"Engko Ceng, kau pergilah, aku tidak sesalkan kau," katanya.
"Yong-jie," menyahut si anak muda itu, yang bicara dari lain hal, "Tongkat Kay
Pang dibawa Yo Kang, dan ayahmu membilang, mengenai Kay Pang mungkin terjadi
sesuatu, maka itu malam ini mari kita mencari suhu, besok aku nanti terus pergi
bersama kau." Si nona menggeleng kepala.
"Pergi kau sendiri mencari suhu," katanya. Ia mengasih keluar pisau belata Kwee
Ceng, yang ia selipkan di pinggangnya, ia letaki itu di tanah. Ia juga
menurunkan dan membuka pauwhok yang digendol di punggungnya, darimana ia
mengeluarkan segulung gambar. Ia kata: "Inilah pemberian ayah untukmu." Masih ia
mengeluarkan lakonnya yang beraneka warna, yang mana ia pisahkan separuh. Ia
kata pula: "Inilah barang yang kita kumpulkan di pulau, aku bagi separuh
untukmu..." Ia mengawasi bungkusannya itu, di situ cuma ada baju pemberian Kwee
Ceng serta sejumlah uang serta beberapa potong pakaiannya untuk salin tiap hari,
maka ia tertawa dan berkata pula: "Aku tidak mempunyai barang lainnya lagi untuk
diberikan padamu." Lalu dengan perlahan ia membungkus rapi, ia menggendol itu,
habis mana ia memutar tubuhnya, untuk berjalan pergi.
Kwee Ceng tercengang, dengan menuntun kuda merah, ia menyusul.
"Baik kau menunggang kuda," katanya.
Oey Yong menoleh, ia tertawa, tetapi ia jalan terus.
Kwee Ceng masih menyusul beberapa tindak, lantas ia berhenti. Ia masih bengong
mengawasi orang pergi hingga nampak seperti bayangan.
"Anak Ceng, bagaimana sekarang?" Han Siauw Eng menegur.
Anak muda itu masih menjublak.
"Aku hendak pergi ke istana mencari suhu," sahutnya.
"Itu benar," berkata Kwa Tin Ok. "Oey Lao Shia pernah mengacau di rumah kita,
mungkin orang di rumah bingung, maka sekarang kita mau pulang. Kalau kau
berhasil mencari gurumu itu, kau undang dia datang ke rumah kami untuk sekalian
beristirahat." Kwee Ceng menurut, maka itu, ia mengambil selamat berpisah dari keenam gurunya
ini. Kemudian ia sendiri, setelah menyimpan pisau belati dan lakonnya, terus
menuju ke Lim-an. Malam itu Kwee Ceng memasuki istana, mencari gurunya, hasilnya sia-sia belaka.
Ang Cit Kong tidak ada, Ciu Pek Thong entah ke mana. Di malam kedua ia mencari
pula, hasilnya sama. "Tidak ada jalan lain, lebih baik aku pergi menyusul Yong-jie," pikir anak muda
ini kemudian. "Baik aku membantu dulu padanya mengurus Kay Pang, kemudian
bersama-sama kita kembali mencari terus pada suhu."
Itu hari tanggal sembilan bulan tujuh, tinggal enam hari untuk pembukaan rapat
Kay Pang di Gak-ciu. Kwee Ceng tidak takut ketinggalan. Ia menunggang kudanya
yang jempol. Dalam satu hari saja ia sudah tiba di batas jalan barat dari
Kanglam. Sementara itu suasana sudah berubah. Separuh dari Tiongkok sudah diduduki bangsa
Kim. Batas di timur adalah Hoay-sui, dan di barat kota San-kwan. Untuk kerajaan
Lam Sang - Song Selatan - tinggal apa yang disebutkan limabelas "jalan" ialah
dua propinsi Ciatkang dan Kangsouw, Liang Hoay (yaitu daerah di antara kedua
sungai Hong Hoo dan Yang Cu Kang di Anhui dan Kangsouw), dua jalan timur dan
barat dari Kanglam, dua jalan di selatan dan utara dari Kheng-ouw, empat jalan
di Su-coan Barat, Hokkien, Kwietang dan Kwiesay. Maka itu, negara menjadi lemah
sekali. Kwee Ceng berjalan dengan saban-saban melepaskan dua ekor burung rajawalinya,
guna membantu mencari Oey Yong. Ia sendiri mencari dengan sia-sia. Ketika pada
suatu hari ia tiba di kecamatan Bu-leng, di kota Liong-hin, dekat dengan kota
Gak-ciu, ia berjalan dengan perlahan. Diwaktu sore, ia menghadapi sebuah rimba
lebat, yang kelihatan menyeramkan. Di belakang rimba itu ada satu bukit yang
panjang. Tentu sukar untuk melintasi rimba itu dan gunung sesudah cuaca gelap,
maka ia mau mencari pondokan. Di samping rimba itu ia melihat pagar bambu.
"Ada pagar tentu ada rumah," pikirnya girang. Ia bertindak. Ia melihat sebaris
pohon. Di situ ia lantas melihat sebuah rumah dengan tiga undak. Ia mendekati
rumah itu. Belum ia datang dekat, kupingnya sudah mendengar tangisan seorang
wanita. Ia menjadi heran.
"Orang lagi berduka, tidak dapat aku mengganggu," pikirnya. Ia hendak
mengundurkan diri. Orang di dalam rumah tapinya sudah mendengar suara kuda. Dengan kaget bukan daun
pintu di pentang. Di situ muncul seorang tua dengan rambut ubanan, yang tubuhnya
sudah melengkung, tangannya memegang cagak besi yang panjang. Dia berdiri di
depan pintu sambil berseru: "Pembesar anjing! Ular tidak ada, cucu perempuanku
juga tidak ada. Yang ada hanya selembar jiwa tuaku ini!"
Kwee Ceng heran. Ia tahu orang salah mengerti.
"Tuan, aku hanya seorang pelancongan!" katanya lantas sambil ia memberi hormat.
"Aku kena bikin lewat tempat mondok, maka niatku datang ke mari untuk menumpang
bermalam. Satu malam saja. Kalau kau lagi ada urusan, tidak apa, aku nanti pergi
ke lain rumah." Orang tua itu lantas mengawasi, habis itu lekas-lekas ia meletaki cagaknya,
untuk membalas hormat. "Maafkan aku, tuan, aku lagi ngaco," katanya. "Jikalau kau tidak jijik, silahkan
masuk dan minum the."
Kwee Ceng mengucap terima kasih. Lantas ia memberikan sejumlah uang, untuk
dicarikan rumput guna makan kudanya, setelah itu baru ia masuk ke dalam. Nyata rumah itu bersih sekali. Ia menjadi heran. Ia baru duduk atau kupingnya
mendengar suara berisik dari kuda. Ia menduga ada tiga penunggang kuda datang ke
situ. Ia pun lantas mendengar suara bengis: "Orang tua she Cin, kau menyerahkan
ular atau cucu perempuanmu"!"
Lalu terdengar suara seorang lain: "Kami dapat mengasih ampun kepada kamu,
tetapi looya kami tidak dapat memberi ampun kepada kami! Maka itu lekas kau
keluar!" Suara itu disusul sama sambaran cambuk kepada atap rumah, hingga atap itu, yang
terbuat dari rumput rusak.
Si orang tua tidak menyahuti suara dari luar itu, ia hanya masuk ke dalam kamar,
untuk berkata: "Anak Kim, pergi kau lari ke belakang, ke dalam rimba. Malam ini
kau sembunyi terus. Besok pagi-pagi, kau boleh pulang sendiri ke Kwietang....."
Segera terdengar tangisan wanita tadi.
"Engkong, mari kita mati bersama...." kata orang perempuan itu.
"Lekas lari, lekas!" berkata si orang tua, membantung kaki. "Nanti terlambat!"
Dari dalam kamar lantas keluar seorang nona dengan baju hijau, ia menubruk si
orang tua, siapa sebaliknya menolak tubuh orang, untuk disuruh lari ke belakang.
Berbareng dengan itu, pintu terdengar tertembrak hingga terbuka, tiga orang
terus nerobos masuk. Orang yang maju paling depan lantas menjambak pundaknya si
orang tua she Cin itu, sedang tangannya yang lain menyambar si wanita muda,
untuk dipeluki. Nona itu ketakutan hingga ia membungkam. Kwee Ceng mengawasi tiga orang itu.
Dari dandannya, yang di depan itu seorang polisi, yang dua lagi serdadu. Si
orang polisi, yang memeluki si nona, berkata sambil tertawa. "Empeh Cin, kami
datang atas titahnya tuan camat kami, maka jangan kau sesalkan kami! Malam ini
kau mengantarkan duapuluh ekor ular, ini nona akan kita kembalikan, kalau kau
menunggu sampai besok, nanti sudah tidak keburu!" Ia terus tertawa lebar, sambil
bertindak pergi, ia bawa si nona bersama.
Orang tua she Cin itu menjerit keras, dengan membawa cagaknya, ia memburu, terus
ia menikam. Si orang polisi berkelit, sambil berkelit ia mencabut golok di pinggangnya
dengan apa ia mengetok cagak itu. Si empeh tidak dapat mempertahankan diri,
cagaknya terlepas dan jatuh di tanah. Menyusul itu, orang polisi itu menendang,
hingga ia roboh seketika.
"Eh, tua bangka, jangan kau banyak tingkah!" dia membentak. "Awas, jangan kau
nanti sesalkan golokku tidak ada matanya!"
Empeh itu seperti kalap, lupa pada dirinya, ia menubruk kaki kanan orang itu,
terus ia menggigit. Opas itu kesakitan dan berontak-berontak, dalam sengitnya ia hajar kepala si
empeh dengan belakang goloknya, maka pecahlah jidat orang dan darahnya menyiram
ke mukanya. Tapi empeh itu sudah nekat, ia tidak menghiraukan luka dan sakitnya,
ia menggigit terus, tidak mau ia melepaskannya.
Dua serdadu itu maju menolongi si opas, yang satu menendang, yang lainnya
menarik, sedang si opas menghajar lagi beberapa kali dengan gagang goloknya.
Sampai di situ, Kwee Ceng tidak dapat menonton lebih lama. Tadi ia baru gusar
saja. Seperti biasanya, ia pun bergerak ayal. Tapi sekarang, ia lompat maju.
Lebih dulu ia jambak punggungnya kedua serdadu itu, ia melemparkan mereka. Si
opas lagi membacok ketika Kwee Ceng menahan belakang goloknya, untuk ditolak
keras hingga golok itu berbalik dan tepat membacok jidatnya. Dengan tangan
kanannya, Kwee Ceng menyambar tubuh si nona sambil kakinya menendang, dari itu,
tidak ampun lagi, tubuh opas itu kena terlempar. Tapi empeh Cin menggigit dan
memeluki erat sekali, tubuhnya turut terlempar bersama.
Menampak begitu, Kwee Ceng kaget sekali. Ia khawatir, karena jatuh terbanting,
empeh itu nanti mati karenanya. Lupa melepaskan tubuh si nona, ia lompat
menyusul seraya tangannya menyambar leher si opas, sedang kepada si empeh ia
berseru: "Empeh, ampunkanlah dia!"
Benar-benar si empeh kalap, ia seperti tidak mendengar suara orang, sampai si
nona muda berteriak memanggil dia, "Engkong! Engkong!" baru ia melepaskan
gigitannya, dengan mulut berkelepotan darah, ia mengangkat kepalanya. Itu waktu
Kwee Ceng telah melemparkan pula tubuh si opas, yang jatuh terbanting hingga
terus ia tidak mau bangun lagi, karena ia khawatir nanti dihajar lebih jauh.
Kedua opas itu nyalinya kecil, mereka tidak berani melawan, setelah melihat si
anak muda tidak menyerang lebih jauh, mereka menghampirkan si opas kawannya itu,
untuk dikasih bangun, buat lantas diajak pergi dengan kaki si opas dingkluk-
dingkluk. Saking takut, mereka tidak berani menaiki kuda mereka.
Sampai di situ, baru Kwee Ceng melepaskan tubuh si nona, lekas-lekas ia mengasih
bangun si orang tua. Nona itu mengawasi tuan penolongnya, nampaknya ia sangat bersyukur, tetapi
karena malu, ia tidak dapat membuka mulutnya. Maka ia cuma mengeluarkan sapu
tangannya, dengan apa ia menyusuti darah di muka kakeknya itu.
Tidak enteng luka si empeh, akan tetapi melihat si nona tidak dibawa pergi si
opas dan serdadu, ia menjadi bersemangat, dengan cepat ia berlutut di depan Kwee
Ceng, guna memberi hormat sambil menghanturkan terima kasihnya berulang-ulang.
Si nona turut berlutut juga.
"Sudah, lootiang," kata Kwee Ceng seraya mengasih bangun. "Tidak dapat aku
menerima hormatmu ini."
Orang tua itu lantas mengundang tetamunya masuk pula, dan si nona segera
menyuguhkan the. "Injin, silahkan minum," katanya perlahan. Ia lantas memanggil "injin" - tuan
penolong. "Terima kasih," sahut Kwee Ceng sambil berbangkit.
Empeh Cin lantas menanyakan she dan nama tetamunya dan Kwee Ceng memperkenalkan
dirinya. "Sebenarnya, empeh, urusan apakah ini?" Kwee Ceng tanya.
Empeh itu suka mengasihkan ceritanya. Ia asal propinsi Kwietang, karena gangguan
seorang hartawan di kampung halamannya, ia mengajak keluarganya pindah ke
propinsi Kang-see ini. Di sini ia melihat tanah kosong, ia lantas membuat rumah
dan berusaha di situ. Bersama ia turut kedua anak lelakinya. Di rimba ini ada
banyak ularnya, apa celaka, dua anak itu serta seorang nyonya mantunya,
bergantian mati dipagut ular, hingga seterusnya ia tinggal berduaan saja bersama
cucu perempuannya itu, yang diberi nama Lam Kim. Si empeh bersakit hati, ia
pulang ke Kwietang, untuk mempelajari ilmu menangkap ular, sesudah mana ia
kembali. Ia membalas sakit hati dengan membinasakan setiap binatang berbisa itu.
Dasar malang nasibnya dan ia pun lemah, tanah yang ia telah buka dirampas
seorang hartawan galak di dalam kota. Saking terpaksa, ia lantas hidup sebagai
penangkap ular. Di dalam usahanya ini, syukur ia tidak mendapat saingan. Untuk
sembilan tahun, mereka berdua hidup tentram, sampai datang Kiauw Lay, camat yang
baru. Kebetulan ia doyan ular, untuk itu ia berani keluar uang untuk membeli.
Empeh Cin tidak kuat membayar pajak, ia diwajibkan setiap bulan menyerahkan
duapuluh ekor ular berbisa. Dengan terpaksa empeh Cin menunaikan tugasnya itu,
untuk mana ia dibantu oleh cucunya. Tapi tahun ini, di musim semi, entah kenapa,
ular menjadi berkurang. Susah sekali mencarinya. Sampailah itu waktu, di bulan
ke enam, mereka tidak bisa mendapatkan ular. Sudah begitu, lantas datang
gangguan lain. Kiauw Thayya mendapat tahu Lam Kim cantik, ia minta nona itu.
Beberapa kali ia mengirim comblang, si empeh senantiasa menampik. Lalu datanglah
hari ini, Kiauw Thayya menggunakan kekerasan, ia mengirim opasnya dan dua
serdadu untuk minta ular atau orang. Sebab empeh tidak bisa menyerahkan ular,
maka cucunya dipaksa dibawa pergi. Kebetulan sekali, di situ ada Kwee Ceng.
Mendengar cerita itu, Kwee Ceng menghela napas.
Habis bersantap malam, empeh mempersilahkan tetamunya tidur. Lam Kim yang
mengantarkan ke kamar sambil ia membawa pelita, katanya dengan perlahan: "Di
sini hutan, segala apa kotor, harap injin maklum..."
"Nona panggil saja aku engko Kwee," Kwee Ceng memberitahu.
"Mana aku berani, injin," kata si nona. Tiba-tiba ia terkejut. Dil luar
terdengar suara nyaring dan luar biasa dari seekor burung hutan. Hampir ia
membikin pelitanya terlepas.
"Nona, burung apakah itu?" tanya Kwee Ceng. Ia heran, sudah suara burung itu
aneh, ia pun meraskan tubuhnya gatal tidak karuan dan dadanya penuh seperti mau
tumpah-tumpah. "Itulah burung keramat tukang makan ular," sahut si nona perlahan.
"Burung pemakan ular?" si anak muda menegaskan.
"Benar. Semua ular di rimba sini habis dimakan dia, maka itu engkong jadi
sengsara..." "Kenapa tidak didayakan menyingkirkan burung itu...?"
"Perlahan injin..." kata si nona, romannya ketakutan. Ia lantas menutup jendela.
"Burung itu sakti, kalau ia dengar suara injin, bisa celaka...!"
"Apa" Burung itu bisa mendengar suara kita?"
Lam Kim hendak memberikan jawabannya, ketika terdengar suara si empeh di luar
kamar: "Diwaktu malam tak leluasa untuk bicara banyak, besok siang saja nanti
aku yang menjelaskan."
Kwee Ceng heran tetapi ia menurut, sedang si empeh lantas saja ajak cucunya
pergi ke kamar mereka. Melihat roman ketakutan dari tuan dan nona rumah itu, Kwee Ceng bertambah heran
hingga ia tidak dapat tidur nyenyak. Ia pun memikirkan Oey Yong, yang entah ada
dimana adanya. Ia gulak-galik sampai tengah malam ketika ia mendapat dengar pula
suara si burung pemakan ular, yang berbunyi tiga kali.
"Aku tidak dapat tidur, baik aku lihat burung itu," pikirnya. Ia turun dari
pembaringan, ia membuka jendela untuk lompat ke luar. Di saat ia mau menuju ke
arah darimana suara burung itu terdengar, ia mendengar teguran perlahan di
belekangnya: "Injin, aku turun kau..." Ia lantas menoleh. Maka ia nampak Lam Kim
berdiri di bawah sinar rembulan, rambutanya riap-riapan mirip dengan rambutnya
Bwee Tiauw Hong. Nona ini berkulit putih, romannya cantik. Kedua tangannya
memegang entah barang apa yang hitam. Dengan perlahan ia menghampirkan si anak
muda, untuk berkata pula: "Injin mau melihat burung keramat itu?"
"Ah, jangan kau memanggil injin padaku," Kwee Ceng mencegah.
Nona itu likat. "Engko!" ia memanggil.
Kwee Ceng mengasih lihat panahnya.
"Aku hendak memanah mampus burung itu, supaya ia jangan lagi mengganggu
engkongmu," katanya.
"Perlahan!" si nona kata. Ia pun mengangkat tangannya. "Pakai ini di kepala,
untuk berjaga-jaga." Suara si nona itu bergetar.
Kwee Ceng melihat sebuah kuali besi, ia menjadi heran.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lam Kim memegang kuali besi di tangan kirinya, ia berkata pula: "Burung itu
dapat datang dan pergi bagaikan angin, ia biasa mematuk mata orang, hebat
sekali. Kupingnya juga tajam, begitu mendengar suara orang, dia bisa lantas
datang. Engko, kau mesti hati-hati."
Kwee Ceng tidak takut. Bukankah ia pernah menghadapi burung rajawali raksasa
itu. Lantas ia jalan di depan.
Belum mereka sampai di tepi rimba, burung ular itu berbunyi lagi, tiga kali.
Justru itu di situ terdengar suara berisik.
Lam Kim terkejut. "Ah, aneh! Kenapa di sini ada begini banyak ular?" katanya.
Kwee Ceng memasang kuping. Ia lantas mendengar suara beberapa orang yang bersuit
dan menggebah-gebah. Ia kenali itulah suaranya budak-budak pengiring ular dari
Pek To San. Ia menjadi lebih heran sebab agaknya mereka itu dalam kekhawatiran,
sebagai juga kawanan ularnya tidak menurut perintah. Ia lantas berpikir.
"Mari!" ia mengajak Lam Kim, untuk lari masuk ke dalam rimba. Di sini ia
celingukan, mencari tempat yang lebat. Tanpa membilang apa ia sambar pinggang si
nona, buat dibawa lompat naik ke sebuah pohon, dimana mereka memernahkan diri di
satu cabang besar. Baru mereka duduk rapi, burung tadi telah berbunyi pula tiga kali: Sekarang
jarak mereka lebih dekat, suara burung itu tajam terdengar, seperti menusuk
telinga. Tidak lama, sampailah rombongan ular itu, yang berjumlah ribuan. Kwee Ceng kenal
binatang itu, ia tidak kaget, tidak demikian dengan Lam Kim, yang ketakutan
hingga hatinya guncang, dengan erat ia pegangi ujung baju si pemuda.
Begitu masuk ke dalam rimba, kawanan ular itu berlari-lari ke delapan penjuru.
Mereka seperti terkena hawa panas, hingga mereka tidak dapat diam, tubuh mereka
berlompatan. Di bawah sinar rembulan, nyata terlihat lagak mereka itu.
Tujuh atau delapan budak pengiring ular itu, dengan pakaiannya yang putih, lari
ke dalam rimba. Mereka menggunai galah mereka, bentaka mereka berisik, tapi
kawanan ular itu tidak mau mendengar perintah untuk berbaris rapi seperti biasa.
Kwee Ceng membenci Auwyang Hong, melihat ular itu kacau, ia senang.
"Sayang Yong-jie tidak ada di sini, hingga ia tidak dapat menyaksikan ini,"
pikirnya. Lam Kim heran ketika ia melirik mendapatkan Kwee Ceng gembira. Diam-diam ia
memuji hati besar anak muda ini. Tiba-tiba ia kaget sekali. Itulah sebab ia
mendengar si burung keramat bersuara nyaring luar biasa, atas mana semua ular
pada berhenti bergerak, semua mendekam dengan tidak berkutit.
Budak-budak mengayun berulang-ulang galah mereka, mulut mereka membentak tak
hentinya, tetapi semua ularnya diam mendekam. Sesudah kewalahan, mereka ini
lantas mengambil sikap. Seorang lantas berdiri tegak, kepala mereka diangkat.
Yang lainnya berdiri diam dengan galah mereka dipasang berdiri. Yang satu lantas
berkata dengan nyaring: "Kami ada orang-orangnya Auwyang Sianseng dari Pek To
San, kami tengah berlewat di sini, tetapi kami tidak mengenal gunung Tay San,
kami tidak datang membuat perkunjungan. Maka itu, dengan memandang Auwyang
Siangseng, harap kami diberi maaf."
Kwee Ceng mengawasi, ia merasa lucu.
Suara orang itu tidak ada yang layani. Berselang sekian lama, ia mengucapkan
pula kata-katanya itu. Sekarang suaranya lebih keras, tandanya ia tidak senang,
dia agaknya menggertak. Ia pun memandang ke sekitarnya, ke tanah di dekatnya.
Dia berpura-pura tidak melihat, dia memutar tubuh akan membelakangi pohon, yang
ada pohon hoay, dia pun membungkuk seperti orang lagi menjura. Adalah ketika
itu, mendadak ia membalik pula tubuhnya, sambil bangun ia mengayunkan kedua
tangannya ke arah pohon. Maka empat buah gin-so, torak perak, menyambar kepada
Kwee Ceng berdua. Dia telah membokong!
Kalau lain orang yang diserang secara menggelap itu, celakalah dia. Tidak
demikian dengan Kwee Ceng. Ia melihat gerakan orang, yang ia terus awasi. Ia
melihat berkelebatnya barang berkilau. Lekas-lekas ia turunkan kuali besinya,
untuk dipakai menyambuti, maka dengan suara "trang!" empat kali, keempat torak
itu masuk ke dalam kuali.
Kaget dan heran orang itu karena bebokongannya gagal.
" Di atas pohon itu orang gagah darimana" Silahkan memberikan she dan namamu!"
ia minta. Suaranya tak seangker tadi.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia menipuk balik torak itu.
Orang itu menjadi kaget. Galah di tangannya itu kena terhajar toraknya itu,
tangannya sakit dan gemetaran, galahnya pun terpatah lima. Dia mengerti, orang
berlaku murah, kalau tubuhnya yang dihajar, pasti dia tidak akan selamat. Dia
menjadi bingung sekali. Kalau ia menyerah dan minta ampun, dia menurunkan
derajat Auwyang Hong, dia pun bakal tidak diberi ampun. Kalau ular itu tidak
dibawa pergi, dia juga bakal disiksa majikannya yang bengis itu.
Selagi orang ini masih bingung terus, tiba-tiba di situ tercium bau harum, dada
rasanya menjadi lapang, lantas semua ular menggeraki kepalanya, dongak ke
langit. Orang itu menyangka Kwee Ceng, yang ia tidak kenal itu, pandai menggendalikan
ularnya, lantas ia meniup suitannya, untuk menitahkan ularnya pergi. Tapi ular
itu tetap diam. Hanya bau hatum menjadi semakin keras. Terang bau itu datangnya
dari atas. Maka dia dongak. Tiba-tiba terlihat menyambar turunnya cahaya teras
sebagai segumpal api, luar biasa cepatnya, turun di sisinya. Dengan tiba-tiba,
ia menjadi kaget. Dia mendapat kenyataan, gumpalan api itu hanyalah seekor
burung yang tubuhnya merah marong. tubuhnya itu lebih besar dari gagak, bacotnya
panjang kira setengah kaki. Berdiri di tanah, burung aneh itu lantas melihat ke
sekelilingnya, nampaknya keren. Bau harum itu datang dari tubuhnya.
Kwee Ceng menjadi merasa suka melihat burung itu, yang tak ada bulunya yang
kecampuran, kedua matanya tajam, sinarnya merah juga.
"Kalau Yong-jie melihat burung ini, tentu dia suka sekali," pikirnya. Maka ia
lantas ingin menangkap hidup burung itu.
Mulanya semua ular kaget dan takut, sekarang semua berbalik menjadi jinak, tidak
ada yang bergeming. Ketika burung itu berbunyi satu kali, empat ekor ular yang
besar nyelosor menghampirkan, di depan burung itu, mereka menggulingkan diri,
perutnya menghadap keatas. Kapan burung itu mematuk, maka pecahlah perut mereka.
Dengan empat patukan saja, isi perut mereka masuk ke dalam perut burung itu.
Semua pengiring ular itu menjadi heran sekali, kaget dan gusar. Yang menjadi
kepala tadi mengayun tangannya, sebuah torak melayang ke burung itu.
Kwee Ceng kaget, ia khawatir burung itu celaka karenanya. Dengan sabet sekali ia
mematahkan secabang pohon kecil, yang terus ia timpuki ke depan burung itu guna
melindunginya. Bab 55. Pertarungan sang kodok
Bab ke-55 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Cepat melayangnya cabang itu tibanya di depan burung itu lebih dulu dari tibanya
torak, maka torak dan cabang beradu, bersama-sama jatuuh ke tanah. Burung itu
cerdas sekali. Dia heran, lantas dia berpaling ke arah darimana datangnya cabang
pohon dan torak itu. Dia lantas mengetahuinya ada orang yang membokong dia dan
ada yang menolonginya, terus ia mengangguk ke arah Kwee Ceng dan Lam Kim, habis
mana, dengan sinar merahnya bergerak, dia terbang ke arah penyerangnya.
Penggiring ular itu kaget tetapi dia menyerang pula. Dia menggunai empat buah
ginso, yang menyambar saling susul.
Kwee Ceng kaget, untuk menolongi sudah tidak keburu, maka ia mengeluh,
"Sayang...!" Sementara itu sang burung merah tukang makan ular itu menyambar terus. Dia
melihat menyambarnya dua buah torak perak, dia menyampok ke bawah dengan
sayapnya, maka jatuhlah torak itu. Sambil menyampok, dia berkelit, lalu dengan
lain sayapnya dia menyampok pula, maka lagi dua torak lolos, terpental naik ke
udara! "Bagus!" Kwee Ceng berseru saking gembira. Burung itu bergerak sebagai seorang
ahli silat. Belum berhenti suaranya Kwee Ceng ini, atau si budak pengiring ular itu sudah
menjerit keras, kedua tangannya dipakai menutupi mukanya, dia lari ke depan
dimana dia membentur sebuah pohon besar, maka sambil menjerit, dia berjongkok di
situ. Nyatalah kedua biji matanya telah dipatuk burung itu.
Tujuh budak lainnya menjadi kaget, semua lantas menyerang dengan senjata rahasia
mereka. Di terangnya rembulan itu, torak-torak perak terbang berkeredepan.
Burung itu benar-benar lihay. Dia beterbangan, untuk mengelit diri atau
menyampok, ia mundur dan maju, lalu dua orang lagi berkoak, sebab mereka pun
kena dipatuk biji matanya.
Ketika itu mendadak ada menyambar satu sinar biru terang, menyambar ke burung
pemakan ular itu. Kwee Ceng mengenali api belerang. Serangan ini lebih hebat
dari ginso. Tapi burung itu berbunyi nyaring, dia terbang memapaki api itu, yang
berupa anak panah, terus dia mencengkeram dengan kukunya. Dia tidak menghiraukan
belerang menyala. Setelah meletaki anak panah itu di tanah, burung itu mencari
rumput, ditaruh di atas api itu hingga rumput terbakar!
"Sayang! Sayang!" Kwee Ceng berseru berulang-ulang.
"Sayang apa, engko?" Lam Kim menanya heran.
"Inilah permainan bagus, sayang Yong-jie tidak melihatnya!" sahut si anak muda.
"Yong-jie?" tanya Lam Kim. "Siapakah dia?"
"Ya, Yong-jie..."
Lam Kim mau menanya pula ketika kupingnya mendengar suara helaan napas, seperti
suara wanita, di belakangnya. Ia lantas menoleh, tetapi dia tidak melihat siapa
juga. Tanpa merasa, bulu romannya bangun berdiri. Ia menduga kepada setan, maka
ia memegang keras lengan Kwee Ceng, tubuhnya disenderkan rapat-rapat. Ia pun
menanya, "Engko, siapakah yang menghela napas itu?"
Perhatian Kwee Ceng dipusatkan kepada burung merah, ia tidak mendengar suara
helaan napas itu, ia tidak dapat mendengar juga perkataan si nona yang sangat
perlahan, bahkan ia seperti tidak merasakan tubuh yang halus dari si nona Cin
menyambar di dadanya. Burung itu bergulingan di api yang dia nyalakan itu, ketika api mulai berkurang,
ia mengambil pula daun dan cabang kering, hingga api menjadi kobar lagi. Ia
membuat main bulunya di dalam api itu, ia tidak terbakar, tidak kepanasan. Ia
malah mematuki bulunya menyisili, seperti biasanya burung mandi.
Selagi Kwee Ceng mengawasi dengan heran, bau harum terasa makin keras. Kapan
kawanan ular mendapat cium bau itu, mereka seperti tidak dapat menguasai diri,
semua lantas bergerak, berlompatan, lalu saling menggigit, hingga suaranya
menjadi berisik. Ada ular yang kesakitan digigit telah menggigit ekornya
sendiri! Maka kacaulah ribuan ular itu.
Lam Kim merasa kepalanya pusing dan matanya kabur, hampir dia jatuh dari atas
pohon, maka lekas-lekas ia memegangi erat-erat tubuh Kwee Ceng, yang ia peluki.
Sisa budak-budak itutu kaget dan ketakutan, lantas mereka lari keluar dari
rimba. Si burung menganggap mereka itu sebagai musuh, dia terbang mengubar.
Mereka itu ketakutan, mereka menutup muka dengan tangan, tapi tangannya itu
dipatok, ketika mereka melepaskan tutupan kepada muka mereka saking sakitnya,
lantas mata mereka dipatok. Tidak lama, maka mereka semua menjadi si orang-orang
buta. Habis itu, burung itu terbang kembali ke rimba, ke api, tetapi api sudah
padam. Dia lantas mengibas-ngipas dengan kedua belah sayapnya, untuk menyalakan
api itu pula. Tentu saja abunya menjadi beterbangan.
Kwee Ceng menepuk pundak Lam Kim.
"Kau diam di sini, kau pegangi pohon," katanya perlahan seraya menyingkirkan
tangan yang merangkulnya. Habis itu ia lompat turun, bertindak dengan perlahan
ke arah si burung aneh itu.
Sang burung melihat ada orang datang. Dia seperti mengenali penolongnya tadi,
dia diam mengawasi. Burung itu mengangkat kepalanya, dia tidak menghampirkan.
Selagi turun dari pohon, Kwee Ceng memperhatikan semua ular, dari itu ia
bertindak dengan perlahan, tetapi sekarang ia mendapat kenyataan, semua ular
itu, yang sudah berkelahi sendiri, seperti membuka jalan untuknya. Rupanya
binatang berbisa itu takut kepadanya, yang pernah minum darah ular. Dengan
berani, ia maju terus, tindakannya lebar. Setelah datang dekat kepada burung
aneh itu, ia mengulur tangannya.
Burung itu lihay, dia gesit sekali. Sambaran Kwee Ceng cepat tetapi dia dapat
berkelit, setelah itu, tidak menanti sampai disambar pula, ia membalas
menyerang, hendak mematuk matanya si anak muda.
"Engko Kwee, hati-hati!" Lam Kim berseru, memberi ingat.
Kwee Ceng menungkrap dengan kuali besinya.
Burung itu benar lihay, dia berkelit, dia lolos.
"Bagus!" berseru Kwee Ceng, seraya ia melompat, kualinya menungkrap pula.
Sang burung terbang ke atas, terpisahnya kira satu kaki. Dia melihat tangan kiri
Kwee Ceng menyusul, di atasan kepalanya, dia kaget, terus dia terbang ke bawah
lewat selangkangan si anak muda. Habis itu dia terbang naik kembali, dia hendak
mematuk mata. Kwee Ceng gembira, hingga timbul sifat kekanak-kanakannya.
"Di tanganku ada senjata, kalau aku tidak dapat menangkap kau, aku bukan satu
laki-laki," katanya. "Baiklah, mari kita bertempur dengan tangan kosong!"
Maka ia melemparkan kualinya, lantas dia menyambar. Dia takut melukai, maka ia
memakai tenaga cuma satu bagian.
Burung itu kena dipapaki, dia tidak keburu kelit, karena kebentur, dia roboh.
Kwee Ceng mengulur lebih jauh tangannya, untuk mencekuk, atau burung itu telah
terbang pula. Dia rupanya tahu lawannya lihay, bukan seperti pengiring-pengiring
ular itu tadi, maka dia mau terbang pergi.
Kwee Ceng menyambar, tangannya diputar. Dia menggunai jurus dari Hang Liong Sip-
pat Ciang, jurus "Enam naga berputaran". Burung itu kena terpegat di sana-sini,
lalu kebentur jatuh hingga ia jumpalitan. Justru itu Kwee Ceng mencekuk padanya.
"Nona, dia telah kena aku tangkap!" Kwee Ceng serukan Lam Kim.
Nona itu girang sekali, ia lekas mengeluarkan obatnya pemunah racun, yang ia
masuk ke dalam mulutnya, setelah itu, ia turun dari pohon, lari menghampirkan si
anak muda. Sebutir obatnya ia mau serahkan kepada si anak muda.
Burung itu pingsan, dengan begitu, lenyaplah pengaruhnya, maka itu waktu, semua
ular yang ketakutan, lantas lari serabutan menyingkir dari rimba itu.
Kwee Ceng merasai burung itu tidak bergerak, ia khawatir mati, ia memegang
dengan perlahan. Ia memegang dengan kedua tangannya. Ia membawanya ke tempat di
mana ada tembusan sinar rembulan.
Ketika Lam Kim telah datang dekat, ia mengangsurkan obatnya.
"Engko Kwee, obat ini bisa melawan racun ular," katanya.
Kwee Ceng tahu ia tidak membutuhkan itu, akan tetapi untuk tidak menyampik
kebaikan hati si nona, ia menyambutinya. Karena menyambuti, tangannya yang
memegang burung tinggal sebelah. Justru itu, burung itu berotntak dan terbang
lolos! "Ah, sayang, sayang!" anak muda ini membanting-bantingkan kaki.
"Burung itu cerdik, mungkin dia tidak berani datang pula," berkata si nona.
"Maka itu aku mengatakan sayang," kata si anak muda.
"Kenapa engko?"
"Aku berniat menangkap dia untuk diberikan kepada Yong-jie...."
Lagi-lagi nama Yong-jie disebut. Lam Kim heran. Suara memanggil itu pun halus
sekali. "Apakah Yong-jie itu anakmu?" ia menanya. Ia mengartikan Yong-jie seperti anak
yang bernama Yong. Ditanya begitu, pemuda itu melengak.
"Bukan!" sahutnya dengan cepat. "Dialah satu anak perempuan, yang dibanding
denga kau, usianya lebih muda satu dua tahun."
"Ah, dia tentu cantik sekali, bukankah?"
"Tentu saja! Dia bukannya cuma cantik, juga pintar dan baik hatinya....."
Selama beberapa bulan Kwee Ceng selalu mengingat-ingat Oey Yong cantik dan
pintar, hanya karena pendidikan ayahnya, ia termanjakan, tabiatnya rada keras,
dia biasa membawa sukanya sendiri, cuma dimata Kwee Ceng, dia tidak ada
celaannya. Terhadap Kwee Ceng, Yong-jie suka mengalah.
Lam Kim duduk bersama Kwee Ceng di atas sebongkol pohon yang roboh melintang di
tanah, ia mendengar si pemuda memuji si nona, tanpa merasa, ia merasakan sesautu
yang berbeda daripada biasanya.
Lekas juga si pemuda sadar.
"Kau lihat!" katanya tertawa. "Tengah malam buta kita memasang omong di sini!
Mari kita pulang. Kalau sebentar kakekmu bangun dan ia tidak melihat kau, ia
tentunya berkhawatir."
"Tidak," menyahut si nona. "Aku suka sekali mendengar ceritamu." Ia berhenti
sebentar, lalu ia menanya. "Nona Oey itu pergi ke mana" Kenapa kau tidak ikuti
dia?" Pertanyaan itu mengenakan telak kepada Kwee Ceng. Ia tidak dapat lantas
menjawab. Bukankah ia bakal menikah dengan Gochin Baki" Bukankah sulit untuknya
nanti bertemu pula sama Oey Yong" Mengingat semua itu itu, ia menjadi berduka.
Mendadak saja ia menangis.
Lam Kim terkejut. Ia menyangka ia telah salah omong. Ia menjadi menyesal dan
berduka. Ia malah menjadi bingung bagaimana harus menghiburi anak muda ini.
Dengan sendirinya tangannya merogoh ke dalam sakunya, mengasih keluar sehelai
saputangan. Ia sodorkan itu kepada si anak muda.
Kwee Ceng menyambutinya, ia menyusuti matanya. Ia tidak ingin menangis, tetapi


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia tidak sanggup menahan kesedihannya. Maka ia menangis pula.
Tiba-tiba di belakang mereka terdengar satu suara tertawa geli.
"Yong-jie!" berseru Kwee Ceng, sambil ia melompat bangun, akan tetapi ketika ia
menoleh ia tidak melihat siapa juga, tidak ada bayangan orang meski juga cuma
separuhnya........... "Ah, engko Kwee!" berkata Lam Kim. "Kau senantiasa memikirkan nona Oey. Mari
kita pulang!" "Mari!" sahut si anak muda.
Bersama-sama mereka keluar dari hutan itu. Baru mereka jalan beberapa puluh
tombak, di depan mereka, mereka melihat tujuh atau depalan orang dengan pakaian
putih berbaris, tangan kirinya bertongkat sebatang galah panjang. Mereka jalan
setindak demi setindak. Merekalah budak-budaknya Auwyang Hong, yang matanya buta di patok burung merah
itu. Mengawasi mereka itu, Kwee Ceng merasa kasihan. Maka ia menghela napas. Tapi ia
tidak mau mendekati atau menegur mereka itu, bersama nona Cin ia terus menuju ke
rumah si nona, untuk terus tidur.
Besok pagi, ketika Kwee Ceng mendusin, ia mendengar empeh Cin lagi sesalkan Lam
Kim, yang katanya tidak seharusnya mengajak tetamunya pergi menangkap burung
aneh itu sebab berbahaya.
"Memangnya aku yang mengajak?" si nona kata tertawa. "Dia sendiri yang gemar
bermain!" "Kau gila! Dia toh penolong kita, dia bukannya bocah lagi! Cara bagaimana kau
bilang dia gemar bermain sendiri?"
"Kalau yaya tidak percaya, masa bodoh!" kata cucu itu tertawa.
"Masih kau tidak mau kalah! Kalau tuan penolong kita kena dilukai burung keramat
itu, habis bagaimana?"
"Dia kosen sekali, mana dapat dia dilukakan?" si cuca masih melawan.
Kakek itu menghela napas.
"Sudah, sudah...." ia mengalah. "Mari kita berbenah....... Tidak dapat tidak, kita
mesti berlalu dari sini...."
"Bagaimana engkong?" tanya si nona heran.
"Kita pulang ke Kwietang. Bangsat polisi itu kena dihajar, mana dia puas" Mana
dapat kita tinggal lebih lama di sini" Kalau sebentar tuan penolong kita pergi,
jikalau kita berlambat, bahaya tentu bakal menimpa kita...."
Cucu itu bengong. "Habis engkong, bagaimana dengan ini rumah, meja dan kursi kita?" ia menanya.
"Anak tolol!" mengelak orang tua itu. "Jiwa kita sendiri masih belum ketentuan,
apa perduli segala rumah dan meja kursi" Anak, dasar nasib kita yang buruk, maka
janganlah kau bersusah hati....."
Kwee Ceng telah mendengari semua pembicaraan itu, maka ia lantas mengambil
putusan, menolong orang tidak boleh kepalang tanggung. Ia turun dari
pembaringannya untuk terus menemui itu kakek dan cucu.
"Lootiang, kau jangan berkhawatir," katanya menghibur. "Nanti aku pergi ke
kantor camat untuk membereskan urusanmu ini."
"Oh, injin, jangan kau pergi ke kantor camat!" cegahnya lekas. "Kantor itu
adalah laksana gua harimau atau serigala!"
"Aku tidak takut!" berkata Kwee Ceng.
Empeh Cin masih hendak mencegah tetapi Kwee Ceng sudah lantas pergi keluar,
untuk menuntun kudanya, maka dilain saat ia sudah kabur dengan kuda merahnya.
Dalam tempo sedaharan nasi, ia sudah sampai di dalam kota. Tengah ia memikir
untuk menanya dimana letaknya kantor camat, mendadak ia menampak api berkobar di
depannya dan banyak orang berlari-lari berteriak-teriak: "Kantor camat
kebakaran! Oh, Thian, ada matanya!"
"Begini kebetulan?" kata Kwee Ceng di dalam hatinya. "Masa begini tepat kantor
camat kebakaran?" Ia lantas mengasih kudanya lari di depan kantor, belum ia datang dekat, ia sudah
diserang hawa panas dari api itu hingga ia mesti mundur pula. Herannya tak ada
orang yang mau menolongi memadamkan api. Orang banyak berdiri jauh-jauh, roman
mereka bukan kaget atau takut, sebaliknya semua bermuka terang, tandanya riang
hati mereka. Kwee Ceng lompat turun dari kudanya. Ia sekarang melihat di tanah ada rebah
belasan orang polisi, ada yang sudah terbakar, ada yang masih hidup tetapi
romannya tidak karuan dimakan api, ada yang dapat membuka matanya, tetapi mata
itu tidak berkutik. Ia heran, ia menghampirkan, terus ia mengangkat seorang
opas. Baru sekarang ia ketahui orang adalah korban totokan. Ia lantas menotok
pinggang dia itu. "Mana camat?" ia tanya.
"Dia di dalam kantor, tuan," sahut opas itu, tangannya menunjuk. "Kebanyakan dia
sudah mati tertambus...."
"Kenapa terbit kebakaran?" tanya pula Kwee Ceng. "Siapa yang merobohkan kau?"
"Maaf tua, aku tidak jelas," sahut pula si opas. "Tadi pagi-pagi sebelum aku
bangun tidur, aku dengar koan-thayya membikin banyak berisik, rupanya ia mencaci
orang dan berkelahi, lalu api berkorbar. Aku hendak lari, tiba-tiba aku
merasakan tubuhku kaku dan lemas, tahu-tahu aku sudah roboh...."
"Koan-thayya kamu bertempur sama orang, apakah dia pandai silat?"
Kwee Ceng heran. Ia tidak menyangka seorang camat pandai silat dan menngerti
juga Tok-see-ciang, tangan Pasir Beracun. Lantas ia ingat camat ini gemar dengan
ular. "Ah, tentulah ia pakai ular itu untuk melatih diri," terkanya. Ia lantas
menanyakan itu kepada opas.
"Aku tidak tahu, tuan"
"Rupanya, ada orang kangouw yang mencari camat itu," akhirnya Kwee Ceng pikir.
"Ini ada baiknya, aku jadi tak usah capai hati..."
Oleh karena pikirannya sudah lega, Kwee Ceng tidak menggubris lagi si opas atau
camat, ia berniat pulang ke rumah empeh Cin, untuk menyampaikan kabar gembira,
tetapi waktu ia berpaling kepada kudanya, ia terkejut. Kudanya itu tak ada. Ia
bersiul, memanggil. Kuda itu tidak muncul. Ketika ia mengulangi beberapa kali,
tetap kuda merah itu tak nampak. Ia menjadi heran sedang ia tahu betul kuda itu
cerdik dan sangat mengerti dan mengenali tuannya. Lantas ia pergi mencari, ia
seperti memutari seluruh kota, tetapi ia tidak berhasil mencari kudanya.
"Benar heran!" pikirnya, bingung dan masgul. Akhirnya ia berjalan balik ke rumah
empeh Cin, hatinya berpikir: "Nanti aku bawa burung wajawali untuk mencari,
mustahil tidak ketemu..."
Ia berjalan pulang sambil berlari-lari.
Empeh Cin dan cucunya heran mendengar gedung camat kebakaran, mereka girang
mendapat tahu camat sendiri mati tertambus. Mereka bersyukur bukan main.
Habis memberi keterangan, Kwee Ceng bersiul, memanggil burungnya. Tapi aneh,
burung itu juga tak nampak dan tak muncul. Ia heran bukan main dan ia jadi
semakin bingung. Saking berduka, ia tak nafsu dahar minum. Malam itu ia diam
terus di rumah empeh Cin. Ia mengambil keputusan, besok ia mau pergi mencari
kuda dan burung itu.......
Ketika itu musim panas, hawa udara sangat mengendus. Empeh Cin menggotong bale-
bale serta dua buah kursi ke luar rumah, ditaruh di bawah para-para pohon
kacang. Ia pun masak air dan menyeduh the. Di bawah pohon ia mengajak Kwee Ceng
dan cucunya berangin. Ia melewatkan waktu dengan bercerita tentang sifatnya
pelbagai ular berbisa. Hati Kwee Ceng terhibur juga. Cerita si empeh menarik hati.
Mereka berangin sampai tengah malam, sampai mereka merasa tubuh mereka adem.
Empeh itu beberapa kali mengajaki tetamu dan cucunya masuk tidur, sang cucu
menolak. "Dasar bocah!" kata sang engkong tertawa. "Anak ini hidup sendirian, setaip hari
ia menemani aku si tua bangka, di sini sulit mendapat tetamu, maka sekarang dia
jadi gembira luar biasa...."
"Kalau besok engko Kwee pergi, kita kembali tinggal berdua..." kata Lam Kim. Ia
nampak masgul, suaranya pun tak gembira.
Kwee Ceng berdiam. "Engko Kwee, pergilah tidur," kata si nona kemudian. "Aku sendiri, aku masih
hendak memandangi sang bintang...."
"Anak tolol! Apakah bagusnya bintang !" kata sang kakek.
"Tetapi aku suka memandanginya." kata si cucu.
Orang tua itu memandang ke langit, dimana ada mega hitam.
"Lihat, langit bakal lekas berubah, bintang pun bakal lenyap..." katanya.
Ketika itu mendadak Kwee Ceng mendengar suara kuda berlari mendatangi.
"Kuda merahku!" ia berseru. Segera ia menoleh dan mengawasi. Jauh di sana,
seekor kuda merah lagi mendatangi. Lekas juga ternyata, dialah si bulu merah
kudanya sendiri, seperti ia telah membilangnya. Di atas kuda itu ada
penunggangnya, yang bajunya berkibaran, bahkan dialah Oey Yong.
"Yong-jie! Aku di sini!" Kwee Ceng berseru kegirangan.
Mendengar disebutkannya Yong-jie, hati Lam Kim terkesiap.
Lekas sekali kuda merah itu telah tiba kepada tiga orang itu. Bersama Oey Yong
ada kedua burung rajawali yang putih.
"Ah, sungguh aku tolol!" Kwee Ceng sesalkan dirinya sendiri. "Memang kecuali Oey
Yong, siapakah yang dapat menguasai kuda dan burungku ini?"
Oey Yong lompat turun dari kudanya sedang Kwee Ceng maju memburu padanya. Ia
girang bukan kepalang. "Aku berlatih tetapi keliru, kedua tanganku tak dapat digerak," berkata si nona.
"Ah!" Kwee Ceng berseru. "Mari lekas salurkan napasmu!"
Keduanya lantas lompat naik ke bale-bale, untuk duduk bersila. Kwee Ceng
meletaki kedua tangannya di punggung si nona, guna menyalurkan hawanya ke tubuh
si nona itu. Justru itu langit benar-benar berubah. Perlahan-lahan terdengar suara guntur,
yang diikuti bergeraknya sang awan, hingga langit menjadi gelap.
Kira setengah jam kemudian, pernapasannya Oey Yong mulai lurus, hawa dari
perutnya naik ke dadanya. Karena itu, tubuhnya seperti terdorong ke kiri dan ke
kanan. Selama itu Lam Kim mengawasi nona Oey, yang duduk sambil menutup mata dan
merapati mulutnya, hanya mulutnya itu nampak tersenyum. Dia berkulit putih
bersih, pada itu nampak cahaya dadu, maka terlihat tegaslah kecantikannya. Di
lehernya ada tergantung kalung mutiara, yang bersinar menambah menterengnya
kecantikannya itu. "Dia mirip dewi, tak heran engko Kwee jatuh hati kepadanya," Lam kIm berpikir.
"Hanya, entahlah apa yang mereka lagi lakukan sekarang...."
Dia tengah berpikir begitu ketika mendadak matanya seperti gelap. Karena
segumpal mega hitam lewat menutupi sang putri malam. Dan menyusul itu, seluruh
langit mulai menjadi gelap juga.
"Kwee Toako," ia berkata kepada Kwee Ceng. "Baiklah, kau masuk ke dalam bersama
ini nona, lekas akan turun hujan."
Boleh dibilang ia baru menutup mulutnya, ketika ia merasai muka dan lehernya
dingin, karena sang air hujan sudah lantas mulai turun beberapa tetes!
Hujan di musim panas benar luar biasa. Begitu dibilang, hujan lantas turun. Dan
Lam Kim lantas juga berkoak. Sebab dengan lantas hujan turun dalam jumlah besar,
seperti dituang-tuang! Kwee Ceng dan Oey Yong lagi menyalurkan napas mereka, tidak menghiraukan hujan
itu. Nona Cin menjadi heran sekali, hingga ia mau menduga orang kena pengaruh sesat.
Ia menghampirkan si anak muda, yang pundaknya ia tolak. Ia tidak menggunai
tenaga besar, ketika ia menolak, ia tertolak mundur satu tindak. Ia menjadi
terlebih heran. Ia maju pula, ia menolak dengan terlebih keras. Ia menanya:
"Engko Kwee, kau kenapa?" Atau mendadak, untuk kagetnya, ia terolak mundur
hingga ia terguling di tanah, jatuh duduk di air hujan!
Empeh Cin sudah masuk tidur, ia mendengar suara hujan diselengi guntur, maka ia
memanggil Lam Kim. Beberapa kali ia memanggil tanpa ada penyahutan, ia lantas
pergi ke luar, tepat ia menyaksikan cucunya itu lagi merayap bangun dari lumpur,
rambutnya kusut, basah dengan air hujan, romannya bingung. Tengah ia kaget, ia
mendengar suara nyaring cucunya itu: "Engkong, tuan penolong kita kena pengaruh
jahat, lekas tolongi dia!"
Empeh itu pun kaget. Ia pun sangat bersyukur kepada anak muda itu. Maka tanpa
pikir lagi, ia hampirkan Kwee Ceng, yang ia pegang tangannya, untuk ditarik
masuk. Atau ia menjadi kaget. Tubuh si anak muda tidak bergeming. Ketika ia
menarik dengan kuat, ia sendirinya yang terpental jatuh, maka ketika ia sudah
merayap bnagun, ia berdiri bengong seperti cucunya itu.
Lam Kim lekas sadar, ia lari masuk untuk mengambil payung, ia memegang itu untuk
dipakai memayungi Kwee Ceng berdua. Ia juga berkata: "Engkong, lekas menyulut
kertas kuning, kau asapi hidung mereka!"
Empeh Cin lari masuk, tindakannya limbung. Apa mau, ia kena membentur pelita
hingga terbalik. Lam Kim sendiri lantas nyata perubahan hatinya. Biarnya ia mengagumi Oey Yong,
hatinya ada pada Kwee Ceng, maka payungnya itu mulai bergeser, menutupi si anak
muda sendiri, hingga si nona itu lantas ketimpa hujan pula.
Tidak lama empeh Cin muncul dengan kertas kuningnya, yang ia telah sulut. Dengan
dijagai ujung bajunya, kertas itu ia bawa kepada Kwee Ceng, yang hidungnya
lantas ia asapi. Hebat kesudahannya ini untuk si anak muda, yang lagi menyalurkan napasnya itu.
Ia lantas merasa napasnya sesak. Ia menjadi kaget sekali, dengan lantas ia
menahan napasnya itu. Tapi ia cuma bisa menahan sebentar, atau asapnya si empeh
masuk pula. Beberapa kali ia terbatuk-batuk. Celaka untuknya, di dalam keadaan
seperti itu, ia tidak dapat membuka mulutnya.
Empeh Cin tetap bingung. Melihat asap tidak menolong, ia menekan jintiong, ialah
hidungnya si anak muda. Siapa pingsan karena teriknya panas matahari, kalau ia
ditotok di jintiong itu, ia dapat sadar. Tidak demikian dengan Kwee Ceng. Ia
bahkan jadi semakin seperti disiksa. Sudah ia tidak dapat membuka mulutnya, ia
juga tidak dapat menolak mundur si empeh yang mau menjadi penolong tetapi
sebaliknya menjadi seperti mencelakainya.
Sang hujan turun terus, guntur pun masih berbunyi. Satu kali kilat menyambar,
guntur berbunyi keras. Nyata satu pohon kena ditimpa hingga menyala dan
terbakar. Lam Kim kaget dan ketakutan, tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya berdiri,
masih ia memayungi tuan penolongnya. Hanya matanya menjadi tidak karuan, sebab
ia melihat kilat, melihat api, dan melihat air hujan juga. Kapan ia memandang
Kwee Ceng, ia mendapati pemuda itu duduk tenang seperti biasa, begitu juga
dengan si nona Oey, bahkan nona ini nampak tersenyum manis, romannya sangat
cantik. Empeh Cin berdiri tercengang, ketika ia memandangi cucunya, ia mendapati muka
cucunya itu sangat pucat.
Dalam keadaan seperti itu, mendadak kilat berkelebat, cahayanya terang sekali.
lalu sauara geledek, menyusul demikian hebat, sampai saking kagetnya, dua-dua
empeh Cin dan Lam Kim roboh karenanya.
Guntur berbunyi di samping Kwee Ceng, tidak heran kalau itu kakek dan cucunya
roboh dengan pingsan. Hanya sehabisnya guntur, segera Kwee Ceng merasakan
pernapasannya berjalan dengan baik seperti biasa. Maka sekarang ia dapat
bergerak. Juga Oey Yong dapat bergerak seperti dia.
Lagi-lagi guntur menggelegar dekat si nona, maka Kwee Ceng lantas mendekam di
tubuh si nona, untuk melindungi.
Berselang sekian lama barulah guntur berkurang dan hujan pun mulai berhenti. Dan
setelah lewat pula sekian waktu, maka langit menjadi bersih, si putri malam
muncul pula dengan segala kepermaiannya.
Oey Yong merasakan tubuhnya sehat sekali. Dengan perlahan ia mengangkat
tubuhnya. "Engko Ceng," katanya berbisik. "Benar-benarkah kau mencintai aku?"
Kwee Ceng merangkul, girangnya bukan buatan, sampai ia tidak bisa membuka
mulutnya. "Lihat itu," kata Oey Yong kemudian, tangannya menunjuk ke pohon yang tadi
ditimpa geledek dan terbakar.
Di sana, di antara api, si burung darah, hiat-niauw, lagi bergulingan dan
berlompatan, rupanya gembira sekali ia memain api.
"Mari kita tangkap padanya," kata si nona berbisik.
Kwee Ceng mengangguk, ia lantas berbangkit. Ketika itu ia melihat empeh Cin,
yang sadar sendirinya lagi menolongi cucunya, untuk dikasih duduk di kursi.
Oey Yong sendiri bertindak menghampirkan hiat-niauw.
Burung itu telah mempunyai pengalaman, ia tidak berani berkelahi, ia lantas
terbang pergi, sia-sia si nona berlompat menubruk padanya. Karena ini Oey Yong
bersiul, memanggil burung rajawalinya.
"Tangkap burung itu tetapi jangan lukai dia!" ia memerintah.
Kedua burung rajawali itu mengerti, keduanya lantas menyambar hiat-niauw. Mereka
bertindak dengan memegat jalan terbang orang.
Hiat-niuaw kecil sekali, seluruhnya ia cuma sebesar kepala rajawali, tetapi ia
sangat gesit, maka itu ia dapat molos, lantas ia terbang cepat dan jauh, ketika
sudah beberapa lie, ia mendapatkan ia masih disusul, lantas ia terbang balik,
untuk mencoba melawan. Hebat perlawanannya itu. Kalau ia kena dicengkeram atau


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipacuk, pastilah ia celaka, tetapi karena gesitnya, ia selalu bisa membebaskan
diri. Bahkan dialah yang beberapa kali berhasil mematuk bulu lawan hingga
rontok. Coba si rajawali bukan berdua, mungkin mereka kalah.
Selagi bertempur terlebih jauh, rajawali yang jantang kena dipatuk lehernya, ia
merasakan sakit, saking sengit, ia menyampok dengan sayapnya. Hiat-niauw
berkelit, tapi justru ia kena disampok sayap burung betina, sampai ia roboh.
Tapi ketika ia ditubruk ia sempat berkelit pula, terus ia terbang cepat dan
jauh, dari itu, tempo kedua rajawali terus menyusul terus, mereka pergi jauh ke
belakang gunung. Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, untuk berkata dengan perlahan: "Yong-jie,
kau maju pesat sekali. Guntur berbunyi di sampingmu, kau tidak tahu."
"Kau pun sama!" kata si nona tertawa.
Kwee Ceng lantas ingat perbuatannya empeh Cin tadi.
"Sungguh berbahaya," katanya dalam hatinya. "Kalau aktu tidak dapat bertahan,
aku mesti menyia-nyiakan tempo lagi tujuh hari dan tujuh malam untuk memulihkan
diri. Lantas ia ajar kenal Oey Yong dengan tuan rumah, itu kakek dan cucu.
"Yong-jie, kau melepas api di kantor camat, bukankah?" kamudian Kwee Ceng tanya
si nona. "Kalau bukan aku, siapa lagi?" si nona membaliki, tertawa.
Empeh Cin dan cucunya terkejut. Tidak mereka sangka, nona ini demikian besar
nyalinya dan pandai juga.
Kemudian Oey Yong melirik Lam Kim, ia bersenyum.
"Engko Ceng," katanya, "Kau selalu memuji aku, apa kau tidak takut enci ini
nanti menertawainya?"
"Oh!" katanya Kwee Ceng. "Kau telah bersembunyi di dalam rimba?"
Kembali Oey Yong tertawa.
"Jikalau kau tidak membilang kau hendak menangkap burung itu untukku, aku lebih
suka tanganku bercacad, tidak nanti aku kembali padamu!" katanya. "Kemudian kau
menangis! Apakah kau tidak malu?"
Kwee Ceng tunduk, ia menyahut perlahan: "Aku merasa aku memperlakukan kau tidak
bagus, dan aku khawatir sekali untuk selamanya nanti tidak dapat melihat padamu
pula...." Oey Yong mengulur tangannya, untuk membereskan rambut orang.
"Sebenarnya aku berpikir untuk tidak menemui pula padamu tetapi aku tidak
dapat," ia berkata. "Tapi sudahlah, sekarang kita jangan pikirkan hal-hal di
belakang hari, untuk kita, dapat satu hari selebih banyak kita berkumpul, itu
artinya kita dapat tambah satu hari kegirangan!"
Lam Kim berdiri bengong melihat dan mendengar orang berbicara demikian asyik.
Berempat mereka bagaikan baru sadar ketika kuping mereka mendengar suara burung
rajawali di tengah udara, kapan mereka mengangkat kepala, terlihat hiat-niauw
masih dikepung-kepung kedua rajawali itu, terbangnya sangat pesat.
Menampak demikian, Oey Yong lantas mendapat akal. Ia bersiul satu kali. Atas itu
rajawali yang betina terbang turun, untuk menclok di pundaknya. Maka tinggallah
yang jantan, yang mengejar terus-terusan. Ia menunggu sudah lewat lama juga, ia
memanggil burung jantannya seraya melepaskan yang betina guna menggantikan
mengejar hiat-niauw itu. Siasat ini digunakan terus-menerus, maka akhirnya lelah
juga burung api itu, yang tak dapat mengaso sama sekali. Setelah terbangnya
menjadi perlahan dan kegesitannya pun berkurang, satu kali ia kena disampok
sayap rajawali, lantas ia tidak dapat terbang lebih jauh, maka ia kena disambar,
dibawa kepada Oey Yong. Nona Oey menyambuti burung api itu, ia memegangnya, hatinya sangat girang.
Hiat-niauw sangat letih, dia mengawasi si nona, sinar matanya seperti minta
dikasihani. "Baik-baik kau turut aku, aku tidak bunuh padamu," berkata Oey Yong sambil
tertawa. Empeh Cin sangat girang sekali melihat burung itu kena ditangkap.
"Bagus!" serunya. "Nona telah berhasil menangkap burung ini, maka aku dan cucuku
bakal dapat makan pula! Nanti aku membuatnya kurungan buat menempati dia."
Lam Kim tahu burung itu suka makan nyali ular, ia mengambil arak nyali ular
mengasih burung itu minum, setelah habis setengah peles, hiat-niauw itu lantas
pulih kesegarannya. Ia benar-benar menjadi jinak sekali.
"Aku hendak memelihara dia hingga dia mendengar kata!" kata Oey Yong. "Aku mau
mengajari dia bagaimana harus mematuk mata orang!"
Tapi sementara itu, orang letih dan kantuk, maka mereka lantas pergi mengasokan
diri. Lam Kim mengalah mengasihkan pembaringannya untuk Oey Yong, siapa
sebaliknya minta empeh Cin lekas membikini ia kurungan untuk burungnya itu.
Besoknya pagi, ketika matahari merah menyorotkan sinarnya masuk ke jendela, Oey
Yong mendusin untuk lantas menjadi kaget. Di meja, kurungannya rusak, tetapi
burungnya berdiri diam di meja, ia tidak lari meski orang menghampirkan padanya.
Kaget dan girang, Oey Yong menggapai.
"Mari!" ia memanggil.
Hiat-niauw terbang, menclok di telapakan tangan si nona.
"Dia takluk padaku, dia takluk padaku!" kata Oey Yong kegirangan. Ketika ia
melihat kurungan, kurungan itu rusak dan patah. Ia pikir, tentulah itu burung
mau membilang: "Aku merdeka, kalau aku tidak mau pergi, tidak apa, tetapi kalau
aku mau, apa artinya kurungan macam begini?"
Sedangkan si nona bergirang, kupingnya lantas mendengar keluhan Kwee Ceng di
lain kamar. Ia heran, ia lari menghampirkan.
"Engko Ceng, kenapa?" ia menanya.
Kwee Ceng menyeringai, tangannya memegangi gambar pemberian dari Oey Yok Su.
Nyata karena kehujanan, gambar itu terkena air.
"Ah, benar sayang!" si nona mengeluh. Ia menyambuti gambar itu, yang telah
pecah. Ia merasa, tidak ada jalan untuk dapat memperbaiki itu. Ketika ia hendak
meletakinya di meja, mendadak ia melihat di pinggiran syairnya Han See Tiong ada
tambahan beberapa baris huruf halus. Ia lantas mendekati, untuk melihat terlebih
tegas. Surat itu berlapis, kalau tidak karena basah, tidak nanti dapat terlihat.
Sekarang pun sangat sukar untuk membacanya. Oey Yong mementang matanya, ia
mencoba membaca: ".....Surat wasiat....Bok...Tiat Ciang...tengah...puncak........"
Huruf-huruf lainnya lagi tak dapat dibaca.
Kwee Ceng juga turut membaca, lantas berkata: "Inilah diartikan surat Wasiat Gak
Bu Bok...." "Tidak salah," berkata Oey Yong. "Wanyen Lieh si jahanam menyangka surat wasiat
ini berada di dalam peti batu di dalam istana, tetapi meskipun petinya telah
didapatkan, surat wasiatnya tidak ada. Sekarang kita mendapatkan gambar ini.
Bunyinya kata-kata ini mungkinlah rahasia surat rahasia itu. Tiat Ciang, tengah,
puncak..." Ia lantas memikir keras. "Tiat Ciang" itu ialah "Tangan Besi". Kemudian
ia menanya Kwee Ceng: "Engko Ceng, apakah keenam gurumu pernah menyebut tentang
Tiat Ciang Pang?" "Tiat Ciang Pang?" kata Kwee Ceng berpikir. "Tidak. Aku hanya ketahui si tua
bangka she Kiu, si penipu besar itu, dipanggil Tiat Ciang Sui-siang-piauw."
"Tidak, tidak bisa jadi tua bangka celaka itu ada hubungannya dengan ini!"
berkata Oey Yong, memandang enteng. "Hanya ada juga kemaren ketika aku membakar
kantor camat, di sana aku mendengar si camat she Kiauw berbicara sama siapa,
tahu menyebut-nyebut entah bagaimana dengan 'Tiat Ciang Pang kami'. Ia menyebut
pula perlu lekas dicari banyak ular untuk dipersembahkan kepa Toa Hiocu. Ketika
kemudian aku bertempur dengannya, ternyata ilmu silatnya tidak rendah, dia
mengerti juga Tiat-ciang, yaitu Tangan Pasir Besi."
"Anggota dari suatu perkumpulan kaum kangouw menjadi camat, inilah benar aneh!"
kata Kwee Ceng. Tiat Ciang Pang itu ialah Partai Tangan Besi.
Lantas keduanya memikir kata-kata di gambar itu, masih mereka tidak dapat
menangkap maksudnya, maka Oey Yong lantas membenahkan gambar rusak itu, disimpan
di dalam sakunya. "Biarlah perlahan-lahan kita memikirkannya pula." katanya.
Sampai di sini, sepasang muda-mudi ini lantas pamitan dari empeh Cin dan
cucunya, dengan menaiki kuda merah mereka, mereka berangkat pergi. Tuan rumah
dan cucunya merasa berat tetapi mereka tidak dapat menahan.
Pada suatu hari tibalah Kwee Ceng dan Oey Yong di dalam wilayah kota Gakciu. Oey
Yong mengingat-ingat hari. Itulah hari Cit-gwee Capsie - tanggal empatbelas
bulan tujuh - jadi besok ialah hari rapatnya Kay Pang, Partai Pengemis.
"Kita tidak mempunyai urusan sekarang, kita pesiar perlahan-lahan saja," katanya
Kwee Ceng. "Baiklah," si nona menyahuti.
Mereka lompat turun dari kuda mereka, dengan berpegangan tangan mereka
bertindak, dengan perlahan-lahan. Mata mereka memandang jauh ke depan di mana
tampak hanya air dan sawah-sawah di mana pohon padi sudah tumbuh tinggi dan
telah berbuah, maka diduga tahun ini, panen bakal memberi hasil baik.
Kata Oey Yong: "Dahulu ayah pernah membilangi aku, kalau Ouw Kong matang,
seluruh negara cukup, maka itu kelihatannya tahun ini rakyat bakal bebas dari
bahaya kelaparan." Ouw Kong ialah empar propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Kwietang dan Kwiesay,
sedang dengan "matang" diartikan "masak" atau musim panen.
Kemudian si nona menunjuk ke sebuah pohon besar di mana seekor tonggeret lagi
berbunyi, ia kata pula: "Binatang itu berbunyi tak hentinya, entah apa yang dia
katakan. Suaranya itu membuat aku ingat satu orang..."
"Siapakah dia?" Kwee Ceng tanya.
"Dialah Kiu Looyacu yang pandai meniup kulit kerbau..." sahut si nona tertawa.
"Oh!" seru Kwee Ceng. Ia juga tertawa.
Ketika itu matahari sedang teriknya, petani semua lagi bermandikan peluh tapi
mereka bekerja terus mengompa air. Demikian di bawah sebuah pohon yangliu,
seorang nyonya lagi bekerja bersama satu bocah berumur tujuh atau delapan tahun,
berat gerakan kaki mereka. Pakaian mereka telah basah kuyup, sedang muka si
bocah merah seluruhnya. Oey Yong menghentikan tindakannya, ia mengawasi mereka
itu, ia merasa kasihan. Si bocah melihat ada orang yang mengawasi mereka, ia menoleh. I akgum
menyaksikan keelokan si nona. "Ibu," katanya, "Lihat, enci itu lagi mengawasi
kita!" Dari suaranya, ternyata ia bergembira meski dia bekerja capai.
Si nyonya menoleh, ia tersenyum dan mengangguk kepada pasangan muda-mudi itu.
Oey Yong merogoh ke dalam sakunya, berniat mengambil sedikit uang utuk mengasih
persen kepada bocah itu untuk ia membelikan kembang gula tatkala kupingnya
mendengar suara samar-samar dari guruh di kejauhan, lantas saja ia menjadi
girang. Ia kata kepada itu ibu dan anaknya: "Sudah, tak usah kamu mengompa air
lagi, hujan bakal turun!"
Si nyonya memasang kupingnya, mendadak romannya menjadi pucat, suatu tanda dia
takut. Si bocah lompat turun dari pompa airnya sambil berkata: "Ibu, raja kodok mau
datang makan kodok hijau lagi!"
Si nyonya mengangguk. Oey Yong tidak mengerti, ia mau minta keterangan, atau segera ia mendengar
riuhnya gembereng yang dipalu breng-breng keras sekali, yang memalunya ialah
seorang laki-laki yang mengenakan tudung rumput yang lebar serta tubuhnya tidak
memakai baju. Dia menabuh sambil berlari-lari ke barat.
Belum lama lantas datanglah sambutan gembreng riuh dari segala penjuru, menyusul
mana semua orang, pria dan wanita, yang lagi mengompa air, pada lari
meninggalkan pompa mereka, semua lari ke arah barat itu.
Oey Yong mendapat si bocah dan ibunya turut lari juga.
"Engko Ceng, mari kita lihat, keramaian apa itu!" katanya saking tertarik
hatinya. Kwee Ceng menurut, maka mereka lari menyusul orang banyak itu. Ketika mereka
sudah melewati sebuah tikungan gunung, mereka lantas melihat sawah-sawah yang
luas yang penuh air, sedang semua orang tani itu berkumpul di sebuah tanjakan
tinggi semacam bukit, dengan roman tegang, mata mereka memandang ke depan. Di
situ memalu seratus lebib gembreng kuningan, hingga suaranya berisik menulikan
telinga. Dengan begitu tak terdengar lagi suara orang bicara.
Di samping bukit kecil itu ada tumbuh sebuah pohon yang besar dan tinggi, Kwee
Ceng menarik tangan Oey Yong, diajak ke sana, untuk mereka terus melompat naik
ke atasnya, dengan begitu mereka berdua jadi dapat memandang jelas ke arah mana
semua mata ditujukan. Di sana terlihat langit biru seperti luatan, di sana tidak
apa-apa yang mencurigakan mereka. Tapi mereka tetap mengawasi. Tidak lama
kemudian, kuping mereka dapat menangkap samar-samar suatu suara yang keras, yang
tidak dapat dilawan berisiknya gembreng.
Mulanya Oey Yong menyangka kepada guruh, hanya sebentar kemudian, ia melihat
benda-benda kuning yang membikin ia menjadi heran sekali. Semua benda itu
mendatangi dengan berlompatan.
"Hai, begitu banyak kodok!" akhirnya si nona berseru.
Memang di sana terlihat ribuan atau laksaan kodok, yang lagi mendatangi itu, dan
suara berisik tadi mirip guruh ialah suara kerak-keroknya mereka!
Begitu melihat sang kodok, berhentilah semua petani memalu gembreng mereka.
Sekarang terlihat tegas air muka mereka yang lesu dan masgul.
Kapan kawanan kodok itu tiba di tepi sawah di depan bukit kecil itu, semua lekas
berhenti, berbaris dengan rapi. Di belakang mereka terlihat beberapa ratus kodok
yang besar-besar, yang mengerumuni seekor kodok yang badannya besar istimewa -
lebih besar enam atau tujuh lipat dari kodok yang umum.
Itulah dia yang rupanya si bocah sebut sebagai raja kodok. Dia lantas mengasih
dengar suara berkerok satu kali, lantas dia disambut rakyatnya hingga riuh
pulalah suara mereka yang mirip guruh itu. Ketika raja kodok itu berbunyi pula,
maka siraplah suara semua rakyatnya.
"Nah, ini pun membikin aku ingat satu orang!" berkata Oey Yong.
Kali ini Kwee Ceng tidak menanya siapa, ia hanya tertawa dan berkata dengan
cepat: "Auwyang Hong!"
"Jempol!" berseru Oey Yong sambil menunjuki jempolnya. Ia menganggap pemuda itu
cerdas dapat menerka dengan jitu.
Kawanan kodok itu menaati titah rajanya. Setelah tiga kali berbunyi, mereka
berdiam pula, hingga suasana di situ menjadi sangat sepi. Hanya sekarang lantas
terdengar gantinya, ialah suara perlahan tetapi terang dari seekor kodok hijau
yang kecil, yang berlompat keluar dari belakangnya sebuah batu besar di arah
timur. Kapan orang-orang tani ini melihat kodok hijau itu, dengan serentak gembreng
mereka dipalu pula, sambil memalu, mereka berseru-seru keras sekali. Mereka
bersorai-sorai, tanda dari kegirangan. Terang mereka membantu menggembirakan
atau menganjurkan kodok kecil itu.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran. Tak tahu mereka apa akan dilakukan si kodok hijau
yang kecil itu. Selagi mereka mengawasi dengan perhatian, kuping mereka
mendengar tindakan kaki yang berisik, ketika mereka berpaling, terlihat dari
empat penjuru datang pula beberapa ratus petani. Mata si nona sangat jeli, ia
mendapatkan di dalam rombongan itu ada sejumlah orang yang pakaiannya berneda.
Ia lantas menarik tangan baju Kwee Ceng seraya mulutnya dimonyongi ke arah
orang-orang itu, yang jumlahnya empat atau limapuluh orang. Mereka itu
mengenakan baju hitam dan tangan mereka memegangi korang bambu yang besar.
Terang sekali mereka pun menyembunyikan alat senjata. Dilihat dari romannya,
yang bengis, mestinya mereka bukan sembarang petani. Di tepi bukit, mereka itu
berkumpul menjadi satu, terpisah beberapa puluh tombak dari petani lainnya.
Kodok hijau yang kecil itu berlompatan hingga terpisah lagi tiga kaki dari
tepian sawah, di situ ia berhenti, lalu berbunyi beberapa kali.
Dari dalam rombongan kodok yang berjumlah besar sekali itu muncul seekor kodok
kuning yang besar, ia meloncati galangan, sampai di depan si kodok hijau. Di
situ ia mementang mulutnya dan bersuara, suaranya keras bagaikan suara kerbau.
Si kodk kecil tak takut, ia juga membuka suaranya, maka terjadilah mereka saling
sahut, makin lama makin cepat. Dari situ, kelihatan si kodok kecil bernapas
lurus dan rapi. Si kodok besar agaknya kesusu, rupanya ia ingin lekas-lekas
menang. Sesaat berselang, suara kodok besar itu menjadi serak, dan perutnya yang putih
pun kembung makin besar, setelah itu, suaranya berubah menjadi dalam, sedang
kedua matanya seperti mencelos keluar, perutnya itu menjadi bundar bagaikan
bola. Mendadak saja, perut kembung itu meledak, nyaring suaranya, lalu ia rebah
binasa. Petani semua bersorak riuh. Beda ada rombongan orang baju hitam itu,
kelihatannya mereka gusar. Maka sekarang terlihat tegas, petani berpihak pada
kodok hijau, mereka ini kepada kodok yang banyak itu.
Kodk hijau itu menang, dia bersuara tiga kali, lantas dia memutar tubuhnya,
rupanya dia mau pergi, atau mendadak terlihat enam kodok besar berlompat maju,
untuk mengejar. "Tidak tahu malu!" membentak pihak orang petani banyak. "Tidak punya guna! Apa
ini" Malu! Baik mati saja!"
Enam kodok besar itu berpecha menjadi dua, sikapnya mengurung. Si kodok kecil
berlompat, untuk menyingkir. Dia lantas dikejar. Kira tiga tombak, maka di
sebelah belakang enam kodok itu terdengar suaranya kodok lainnya. Lantas mereka
berhenti mengejar, berniat kembali, tetapi mereka terlambat. Mereka segera
dipegat kira-kira tigapuluh kodok hijau yang besar yang muncul dari gili-gili.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini kedua pihak tidak lagi mengadu suara, hanya mereka lantas saling
terjang, saling menggigit. Karena kalah jumlah, enam kodok besar itu lantas saja
mati. Banyak kawannya, tetapi tidak ada yang maju menolongi.
Oey Yong menjadi heran, ia berpaling kelilingan. Ketika matanya terarahkan ke
pinggir sawah di mana ada sebuah kali kecil, maka di situ ia melihat segala apa
hijau, sebab di situ pun ada berkumpul ribuan atau laksaan kodok hijau, hanya
mereka ini semua tidak bergerak. Mungkin ini yang menyebabkan kodok besar itu
tidak berani sembarangan melintasi tapal batas.
Si raja kodok berbunyi kerok dua kali, maka seratus di pihaknya lantas maju
melintasi batas. Mereka lantas disambut sebarisan kodok hijau yang muncul dari
tempatnya mendekam. Maka bertempurlah mereka. Belum lama, kodok besar itu lari
ke arah selatan. Kodok hijau mengubar setombak lebih, lantas berhenti. Melihat
demikian, kodok besar berbalik akan menyerang pula.
Benar saja, di selatan itu, di mana ada batu besar, terlihat munculnya barisan
tersembunyi kodok besar itu dan mereka lantas maju, membantui kawannya. Karena
ini, dari tepi kali pun datang bantuan kodok hijau.
Kedua pihak lantas bertempur dengan berisik.
Dalam tempo dekat, puluhan ekor kodok roboh sebagai bangkai. Kerugian terdapat
dikedua pihak. Mereka yang terluka merayap ke pinggiran, lalu ada yang kawannya
yang menolongi mengajak kembali ke dalam barisannya.
Kelihatan si raja kodok tidak puas melihat belum ada keputusan, ia berbunyi lagi
dua kali. Kali ini lantas ada satu pasukan besar yang menyebrang, buat
membantui. Sekarang kodok hijau, yang tak sempat mundur, terancam terkurung.
Mereka mengatur barisan bundar, ekor ke dalam, mulut keluar. Dengan begitu,
mereka tidak takut nanti diserang dari belakang. Kodok besar berjumlah besar
tetapi mereka tidak dapat menyerbu semua.
Sejumlah petani berteriak-teriak mengajuri kodok hijau mengirim bala bantuan,
anjuran itu tak ada hasilnya. Nampaknya kodok hijau bersikap tenang.
Dari barisan kodok besar itu ada beberapa yang berlompat, hendak maju, tetapi
saban kali ada satu yang menerjang, segera dia dipapaki diterjang satu kodok
hijau, hingga keduanya sama-sama jatuh. Dengan begitu, kodok besar tidak dapat
menerjang ke dalam barisan lawan.
"Celaka!" mendadak Oey Yong berseru. Ia melihat di empat penjuru kurungan kodok
besar itu, sejumlah kodok besar itu mendekam, kawannya naik ke atasnya dan
mendekam pula, hingga mereka merupakan gundukan tinggi tiga kaki, kemudian di
paling atas, sejumlah kodok berlompat ke arah kodok hijau. Hebat serangan itu.
Kodok hijau jadi terbokong, banyak yang mati.
"Sayang..." kata Oey Yong.
"Lihat!" terdengar suara Kwee Ceng yang tangannya terus menunjuk.
Di arah timur laut sejumlah kodok besar hijau bergerak, menuju ke belakang kodok
besar, untuk menyerang dari belakang.
Raja kodok mendapat tahu bokongan musuh, dia mengirim barisannya, untuk memegat.
tapi kodok hijau itu tidak menghiraukan, di sebelah yang bertempur, yang lain
maju terus ke belakang pasukan musuh. Kodok besar jadi kacau tetapi mereka tetap
berkelahi. Raja kodok melihat barisannya tak dapat maju, ia berbunyi nyaring sekali, lantas
ia sendiri maju, untuk memegang pimpinan penyerbuan. Ia mengepalai barisannya
sendiri, yang semua besar-besar dan romannya bengis. Kodok besar ini bisa dengan
sekali menggigit, menggigit mampus musuhnya. Sebentar saja seekor kodok besar
itu bisa mematikan belasan musuhnya. Karena ini, kodok hijau terpaksa berkelahi
sambil mundur. Kawanan kodok besar itu maju merangsak.
Raja kodok berlompat, sekali lompat jauhnya setengah tombak, tapi segara ia
dikepung kodok hijau. Tapi hanya sejenak, dia lantas dibantui barisannya.
Karena bergesernya tempat bertempur, orang pun menggeser, untuk melihatnya lebih
tegas. Oey Yong dan Kwee Ceng lompat turun, mereka nelusup di antara orang-orang
tani itu. Kelihatan semua orang tani berduka, mereka pada menghela napas.
Oey Yong heran, ia ingin mengetahui duduknya hal, maka ia tanya seorang tua,
kenapa kedua macam kodok itu saling bertempur.
Sebelum menjawab, orang itu mengawasi dulu hingga ia mengenali orang adalah
asing untuk desanya itu. "Katak itu ada yang piara," ia menerangkan, "Dan dipelihara istimewa untuk
menangkap kodok hijau."
Oey Yong heran. "Ah!" suaranya tertahan.
"Kami orang tani, kami mengharapkan bantuannya kodok-kodok hijau itu untuk
merawat tanaman padi kami," orang itu berkata pula, "Sekarang nampaknya kodok
hijau bakal kalah, maka di tempat sekitar sini, luasnya beberapa puluh lie,
panen kami tahun ini bakal gagal....."
"Kalau begitu, nanti aku bantu kamu," kata Oey Yong. "Nanti aku hajar semua
kodok itu." Ia merogoh ke sakunya, meraup jarumnya.
"Jangan, nona," berkata si orang tua perlahan, tanganya menarik ujung baju
orang. "Telah aku bilang, katak itu ada yang pelihara." Ia menunjuk kepada
rombongan orang pakaian hitam yang bengis-bengis itu. "Merekalah si pemelihara
katak itu. Kalau kau ganggu katak mereka, buntutnya bakal hebat sekali. Nona
cantik bagaikan bunga, maka menurut aku, baiklah nona jangan berdiam lama-lama
di sini, baik kau lekas pergi!"
Oey Yong tersenyum. "Jumlah kita banyak, takut apa?" Kwee Ceng pun berkata.
Orang tua itu menghela napas.
"Karena urusan kodok itu, tahun lalu kita pernah bertempur sampai banyak yang
terluka," katanya. "Perkara telah jatuh ke tangan pembesar negeri. Kesudahannya
camat memutuskan, untuk selanjutnya biarlah katak bertempur sama katak, di
antara binatang, kita dilarang campur tahu, siapa berani melanggar putusan itu,
dia bakal di hukum berat."
"Ah, pembesar anjing!" mendamprat Kwee Ceng. "Bukankah itu terang-terang
membantu kawanan manusia jahat itu?"
"Memang. Tapi camat dan mereka adalah sekawan. Camat cuma tahu menangkap kodok
hijau untuk dipakai memelihara ular, dia tidak menggubris rakyat mati atau
hidup!" Mendengar itu keterangan hal menangkap kodok untuk memelihara ular, Kwee Ceng
dan Oey Yong heran betul. Ketika mereka mau menanya lagi, justru kaum petani itu
lagi berseru-seru girang.
Nyata pertarungan katak itu membawa perubahan.
Kawanan katak besar mengumpul diri di empang besar, mereka terdesak. Sejumlah
kodok hijau terjun ke air, mereka berenang ke belakang musuh, membantu menyerang
dari samping dan belakang. Katak hijau itu pandai sekali berenang. Sedang katak
besar itu tidak pandai memain di permukaan air. Mereka berdesakan, tak dapat
mereka bergerak dengan merdeka, banyak yang kecebur ke empang. Di dalam air,
mereka tidak bisa bertempur dengan hebat seperti di darat. Maka mereka jatuh di
bawah angin, banyak yang mati, bangkainya mengambang dengan perut putihnya di
atas. Barisan kodok besar itu menjadi kalut. Rajanya, bersama barisan pengawalnya,
menerjang kalang kabutan tanpa ada hasilnya.
Maka orang-orang tani itu pada bersorak, ada yang berseru: "Panen kita tahun ini
ketolongan!" Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi semua sambil memperhatikan rombongan orang baju
hitam itu. Muka mereka menyatakan kegusaran mereka. Tiba-tiba di antara mereka
ada yang berseru, lalu belasan di antaranya membuka tutupnya korang mereka.
Bab 56. Kejadian di lauwteng Gak Yang Lauw
Bab ke-56 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Begitu lekas korang-korang dibuka tutupnya, maka keluarlah ratusan ekor ular
berbisa kecil dan besar, semua merayap ke medan pertempuran katak itu, maka di
dalam tempo yang pendek, mereka telah dapat menelan banyak kodok hijau. Kodok
hijau itu memanglah makanan mereka. Lantas kodok itu pada lari atau merengkat
saking takutnya. Kawanan petani menjadi kaget dan gusar, mereka mengasih dengar suara berisik.
Seorang, yang tubuhnya tinggi besar di antara orang-orang berpakaian hitam itu,
maju ke depan orang-orang tani, dia mengasih dengar suara bentakannya: "Camat
telah memaklumkan, katak berkelahi di antara bangsannya adalah adat
kebiasaannya, maka itu, selagi mereka tidak membikin hubungannya sama kita
manusia, perlu apa kamu membikin banyak berisik"!"
Orang-orang tani itu berteriak-teriak: "Kodok besar itu serta ular berbisa ini
adalah kamu yang pelihara! Kodok hijau mana bisa melawan ular! Tidak tahu malu!
Kami melarat tahun ketemu tahun, panen kami bakal gagal, daripada kami mati
kelaparan, mari semua mengadu jiwa!"
Orang tinggi besar itu mengangkat tangan kanannya, maka di situ terlihat
goloknya yang berkeredepan. Dia lantas diturut kawan-kawannya, yang semua pada
mengeluarkan senjatanya masing-masing. Dengan berbaris rapi, mereka maju
mendekati. "Kamu mau apa?" tanya si orang tinggi besar pada kaum tani itu. "Apakah kamu
tidak mau dengar perintah camat" Apakah kamu mau berontak"!"
Orang banyak itu pada mencaci, ada juga yang menimpuk dengan lumpur dan batu.
Orang tinggi besar itu mengibasi tangannya, lantas di antara mereka muncul dua
orang yang dandan sebagai hamba polisi, yang satu memegang golok, yang lainnya
membawa rantai borgolan. Mereka ini lantas memaklumkan, siapa yang cari gara-
gara dan berkelahi, dia akan dihukum sebagai pemberontak!
Orang-orang tani itu berdiam, mereka saling mengawasi. Beberapa diantaranya
kata: "Mereka inilah masing-masing kepala polisi berkuda dan berjalan kaki."
Oleh karena pihak sana dapat bantuan pembesar negeri, maka celakalah kawanan
kodok hijau itu, oleh katak besar dan ular mereka digiring masuk ke dalam
korang. "Yong-jie, apakah kita turun tangan sekarang?" Kwee Ceng berbisik.
"Coba tunggu sebentar lagi," menyahut sang nona.
Ketika itu tujuh atau delapan bocah maju sambil berteriak-teriak, mereka
menggunai batu menimpuki rombangan ular itu, hingga ada beberapa ular yang
lantas mati. Orang-orang berpakaian hitam itu menjadi murka, beberapa diantaranya maju untuk
menyerang nocah-bocah itu. Satu bocah kena dirobohkan, yang lainnya lari kabur.
Bocah yang roboh itu kena dicekuk.
"Bagus, ya, kau berani membikin mati ular yang kita rawat susah payah!" katanya
bengis. "Kau mesti dikasih rasa!"
Seorang tani wanita lantas lari menghampirkan.
"Tolong tuan, tolong," ia memohon, "Tolong lepaskan anakku ini..."
Kwee Ceng dan Oey Yong mengenali, itulah ibu dan anak yang mereka ajak bicara.
Sambil dengan tangannya yang satu memegangi terus si bocah, dengan tangan yang
lain laki-laki itu menyambar lehernya si nyonya, terus ia melemparnya balik
hingga tubuh si nyonya itu terpelanting ke dalam rombongannya, di mana dia
menimpa dua orang hingga mereka roboh bersama. Lantas laki-laki bengis itu
mengibasi tangannya, atas mana kawan-kawannya maju dengan senjata siap sedia.
Kawanan orang tani itu mundur. Mereka kebanyakan ada orang tua dan wanita.
Mereka lebii takut lagi ketika orang mengayun goloknya untuk membacok, lekas-
lekas mereka mundur pula. Nyata itulah ancaman belaka.
Adalah si bocah yang tertangkap yang malang. Dia digaplok, bajunya disobek,
setiap kali digaplok, setiap kali disobek, hingga itu terulang belasan kali,
hingga dia menjadi bengkak matang biru mukanya dan tubuhnya pun telanjang.
Ibunya menangis menjerit-jerit. Lupa segala apa, nyonya itu merangsak maju untuk
menolongi anaknya. Segera dia dipegangi dua orangn laki-laki.
Laki-laki kejam tadi mengsaih dengar siulan nyaring, atas itu beberapa ratus
ular berbisa itu mengangkat kepalanya dan mengulur lidahnya, semua mengawasi
tubuh telanjang bulat dari si bocah. Maka kagetlah semua orang tani, pucat muka
mereka. Si bocah juga ketakutan bukan main, matanya mendelong mengawasi ibunya.
"Ibu...!" kemudian ia menjerit.
"Bangsat cilik, kalau kau bisa, kau larilah!" kata si laki-laki bengis. Ia
menampar, maka robohlah si bocah. Bocah itu lari kepada ibunya. Tapi di sini dia
dipapaki sabetan golok beberapa orang, maka ia lari balik ke tempat kosong.
Si laki-laki bengis, yang rupanya menjadi kepala, bersiul pula, maka sekarang
semua ular tadi, yang sudah sipa, lantas lari mengubar bocah itu.
Bukan main kaget dan takutnya si bocah ketika ia menoleh karena mendengar suara
sa-sus riuh dari kawanan ular itu, yang semua mementang mulutnya, mengsaih lihat
ancaman lidahnya yang bergerak-gerak, dalam takutnya ia lari sekeras-kerasnya. Tapi kawanan ular dapat lari lebih keras, ia lantas
hampir kena disusul. "Anakku!" menjerit si nyonya, yang lantas pingsan dan roboh.
Kawanan tani itu menjadi kaget dan gusar, mereka mau maju menyerang ular, tetapi
mereka dihalang-halangi kawanan orang yang berpakaian hitam itu, yang membolang-
balingkan goloknya dihadapan mereka.
Menampak kejadian itu, Oey Yong sudah lantas bersiap dengan seraup jarumnya,
hendak ia segera menyerang.
Sekonyang-konyang bocah itu tersandung, tubuhnya terjatuh, maka itu ia lantas
kena dicandak. Oey Yong kaget hingga ia berseru, tubuhnya berlompat. Tepat ia hendak mengayun
tangannya atau dari antara rombongan orang tani terlihat dua orang melompat maju
menghalang di depan si bocah, tangan mereka diayunkan, menerbangkan empat
bungkusan bubuk warna kuning, yang terus menggaris di tanah, sedang hidung orang
lantas membaui bau belerang. Segera setelah itu, semua ular pada mundur
sendirinya. Kapan Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengenali dua orang itu, ialah Lee Seng
dan Ie Tiauw Hin dari Kay Pang, Partai Pengemis, yang pernah ditemui di Poo-eng.
Melihat merintangnya dua orang itu, laki-laki baju hitam itu lantas berkata:
"Kami dari Tiat Ciang Pang dengan pihak Kay Pang adalah seumpama air kali tidak
bertemu air sumur, oleh karena itu kenapa tuan-tuan sekarang memaksa maju
sendiri membelai lain orang?"
Lee Seng memberi hormat. "Bocah ini belum tahu apa-apa, maka itu aku si pengemis tua memohon muka,
sudilah dia diberi ampun," sahutnya.
Si hitam itu melihat Lee Seng menggondol delapan kantung goni, ia tahu orang ada
dari angkatan tinggi, tetapi ia tertawa dingin dan lantas menanya: "Jikalau kau
tidak memberi ampun, habis tuan mau bikin apa?"
Ie Tiauw Hin masih muda, ia tidak sabaran. Dia berseru: "Kamu berbuat jahat dan
kejam, kami telah mempergokinya, mana pula kami tidak campur tahu"!"
Si hitam tertawa menghina pula. Dia kata: "Aku mendengar kabar kamu kaum Kay
Pang, besok kamu bakal mengadakan rapat besar di Gak Yang Lauw, di mana akan
hadir semua pemimpin dari partaimu dari pelbagai penjuru, apakah kau pengemis
cilik mau menghina orang dengan mengandali jumlahmu yang banyak" Hm! Aku
khawatir tidak gampang-gampang kamu dapat berbuat demikian! Kamu katanya kaum
yang pandai menangkap ular, coba aku lihat, apa kamu pandai menangkap ular kami
ini?" Ie Tiauw Hin panas hatinya. Ia lantas berlompat maju, kedua tangannya menyambar
masing-masing seekor ular. Ia memegang ekor ular, segera digentak kaget. Tulang
ular bersambung bagaikan rantai, karena dihentak kaget, tulang-tulang itu jadi
seperti terlepas, maka itu, meski tidak segera mati, kedua ular itu lantas tidak
mampu menggeraki tubuh mereka. Itulah ilmu kepandaian menangkap ular dari bangsa
pengemis. Si hitam menjadi murka luar biasa, lantas ia bersiul keras, maka itu ribuan
ularnya lantas melesat maju, untuk menerjang.
Ie Tiauw Hin boleh pandai menangkap ular tetapi menghadapi ular demikian banyak,
ia kewalahan, maka itu, ia lompat ke garisan bubuk belerangnya.
Lee Seng lantas berteriak, menanya she dan nama besar si hitam. Dia ini sendiri
tidak menyahutinya, dia cuma tertawa dingin. Setelah ia melihat ularnya tidak
berani maju, lagi sekali ia bersiul.
Kali ini terjadilah pemandangan yang luar biasa.
Seekor ular menggigit ekor kawannya, kawan digigit pula ekornya oleh kawannya
yang lain, demikian seterusnya, hingga mereka merupakan beberapa puluh potong
rantai yang panjang, habis itu, ketika si hitam berteriak, mereka berlompat ke
arah kedua pengemis itu, yang mereka terus kurung, hingga si bocah terkurung
bersama. "Pengemis busuk, tangkaplah ular itu!" kata si hitam menantang. "Kenapa kau diam
saja"!" Semua ular itu dongak mengawasi, siap untuk menerjang.
Muka Lee Seng dan Tiauw Hin pucat. Mereka rupanya menginsyafi ancaman bahaya.
Si hitam lantas berkata dengan jumawa, "Kami kaum Tiat Ciang Pang tidak suka
mencelakai orang tanpa sebab, maka itu asal kamu berjanji untuk selama-lamanya
tidak akan menangkap ular kami pula, asal kamu memberikan buktinya - hm! Kami
tentu suka memberi ampun!"
Lee Seng tahu bukti apa yang diminta Tiat Ciang Pang. Ialah mereka harus merusak
tangan mereka sendiri. Tentu sekali, mereka tidak suka menyerah, tidak peduli
keadaan ada sangat berbahaya. Mereka berdiri tegak dan gagah.
Si hitam mementang kedua tangannya. Ia kata: "Asal aku merangkap kedua tanganku
ini maka di tubuh kamu masing-masing bakal tambah beberapa ratus gigi yang


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beracun! Apa kamu masih tidak mau bertekuk lutut untuk memohon ampun?"
"Susiok, jangan kita mendatangkan malu!" kata Tiauw Hin.
Lee Seng tertawa. "Untuk apa mengatakan itu pula?" sahutnya. Ia lantas perkeras
suaranya, berbicara kepada orang Tiat Ciang Pang itu: "Terima kasih banyak
saudara hendak mengantar kami pulang ke Langit Barat, hanya aku masih belum
mengetahui nama saudara yang besar!"
"Benarlah kamu, sampai mati kamu tidak mau memeramkan mata!" kata si hitam itu.
"Aku murid ketiga dari Kiu Tiat Ciang, yang orang menyebutnya Hian-pwee-bong
Kiauw Thay si Ular Naga Abu-abu!"
Belum berhenti suara jumawa si hitam ini, lantas terdengar suara tertawa halus
nyaring disusuli ini kata-kata terang halus: "Aha! Aku mengira siapa, tak
tahunya segala murid dan cucu muridnya si tua bangka she Kiu!"
Suara itu segera disusul oleh orangnya, maka semua orang melihat seorang nona
cantik manis yang rambutnya dijepit dengan gelang emas. Dialah Oey Yong kita.
Maka heranlah Kiauw Thay.
Oey Yong tidak menanti orang sadar dari herannya, ia kata pula: "Tiat Ciang Sui-
siang-piauw she Kiu yang tua itu memanggil aku kouw-nay-nay, maka itu kenapa kau
tidak segera memanggil aku couw kouw-nay-nay?" Dia minta dirinya dipanggil bibi
dan bibi tua. "Hai, bocah kau ngaco belo!" membentak si hitam. Di dalam hatinya, tapinya ia
heran sekali kenapa bocah ini mengetahui nama besar gurunya.
Oey Yong tertawa dan berkata pula: "Anak-anak menerbitkan onar di luaran, inilah
aku kouw-nay-nay kamu paling tidak senang melihatnya! Bukankah kamu pun ada
kawannya itu anak yang memangku pangkat camat di Bu-leng" Beberapa hari yang
lalu, sambil lewat di mana, kouw-nay-nay telah membereskan dia! Nah, apa
katamu?" Camat she Kiauw di Bu-leng itu memang ada saudaranya Kiauw Thay ini, dia
menerima kabar halnya kantor camat dibakar dan camatnya mati baru tadi pagi,
maka itu ia lantas melirik si nona dengan hati sangat panas. Dia berduka
berbareng gusar tetapi dia bersangsi apa nona ini benar membunuh saudaranya itu
yang ia tahu gagah. Ia lantas memberi tanda, maka ratusan ularnya mengurung si
nona. "Siapakah yang membinasakan camat Bu-leng?" Kiauw Thay membentak, "Lekas
bilang!" Oey Yong tertawa manis. "Dengan sebenarnya akulah yang membinasakan dia!" dia menyahuti, berani. "Dia
melawan aku dengan menggunai Tok see-ciang, tangan beracunnya itu! Siapakah
tidak mengenalnya jurusnya, seperti jurus 'Jarum tawan' dan 'Mengangkat obor
membakar langit'" Ketika aku menotok jalan darahnya, jalan darah kiok-tie-hiat,
pecahlah kepandaiannya itu, maka setelah aku menotok pula kedua jalan darahnya,
kie-bun dan kin-ceng, aku menyuruh dia duduk di kursinya, duduk tak bergeming
lagi, mirip lagaknya diwaktu hari-hari biasa dia dengan bengis memeriksa rakyat
negeri. Kemudian ketika aku membakar gedung camat dan kantornya sampai ludas
menjadi abu, entah kena, dia tetap tidak keluar lagi dari kantornya itu!"
Kiauw Thay tetap heran. Kenapa orang begitu berani bicara seperti lagi
mendongeng saja, demikian tenang, lancar dan rapi" Meski dia masih bersangsi,
dia toh memikir untuk membekuknya, guna mendengar keterangan orang terlebih
jauh. Maka ia lantas berseru: "Loo Sam, Loo Su, bekuklah budak ini!"
Dendam Asmara Liar 1 Manusia Harimau Merantau Lagi Karya S B. Chandra Tembang Tantangan 5
^