Pencarian

Memanah Burung Rajawali 31

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 31


"Apakah itu?" Kwee Ceng tanya.
"Kita menyerahkan buku ini kepada Wanyen Lieh," menerangkan si nona. "Dengan
begitu, dia pasti bakal akan mengirim orang ke Tiat Ciang San untuk mencari buku
warisan Gak Bu Bok itu. Bukankah Tiong Cie Hong tempat teramat keramat dari Tiat
Ciang Pang" Mana Khiu Cian Jin suka membiarkan tempat sucinya diganggu" Maka itu
pasti sekali mereka bakal saling membunuh di antara kawan sendiri! Tidakkah itu
bagus?" "Ya, itu benar bagus!" Kwee Ceng kata sambil bertepuk tangan.
"Aku tidak sangka sekali Suko Kiok Leng ong telah mendirikan jasa besar sekali!"
kata Oey Yong yang pun girang.
Kwee Ceng tidak mengerti. "Bagaimana?" ia tanya.
"Kitab Gak Bu Bok disimpan di dalam gua di tepi Cui Han Tong di dalam istana,"
berkata si nona. "Karena Siangkoan Kiam Lam telah mencurinya dari sana, tentulah
gambarnya ia telah taruh di tempat buku itu. Benar bukan?"
"Benar." "Kiok Suko telah diusir dari Tho Hoa To tetapi dia tidak melupakan budi gurunya.
Ia tahu ayah gemar akan tulisan, gmabar dan barang lainnya asal barang kuno, ia
rupanya ketahui semua itu ada terdapat banyak di dalam istana, maka tanpa
menghiraukan ancaman bahaya, ia nyelundup ke istana dan berhasil mencuri gambar,
tulisan dan lainnya..."
"Benar, benar!" Kwee Ceng bilang. "Sukomu itu telah mencuri semua itu berikut
gambar peta rahasia itu, lalu semuanya dia simpan di kamar rahasia di Gu-kee-
cun, untuk dia nanti menghadiahkan kepada ayahmu, maka apa lacur, dia kena
disusul rombongan siewi dan kena dibinasakan. Maka itu ketika Wanyen Lieh pergi
ke istana, ia kebogehan, sudah buku Gak Hui tidak ada, petanya juga hilang. Ah,
kalau begitu, selama di gua itu tidak usah kita mati-matian merintangi mereka,
hingga aku tidak nanti sampai dilukai si bisa bangkotan dan kau tidak usah
bersusah hati tujuh hari tujuh malam..."
"Soalnya tidak dapat dipandang dari sudutmu itu," membantah si nona. "Jikalau
kau tidak beristirahat di kamar rahasia itu, mana kita bisa mendapatkan gambar
peta itu" Juga mana..." Ia berdiam. Ia menjadi ingat pertemuannya sama putr Gochin
Baki. Maka ia menjadi masgul. Selang sesaat, ia kata pula: "Entah bagaimana
dengan ayahku sekarang..."
Ia memandang rembulan sisir.
"Segera bakal tiba di Pee-gwee Tiong Ciu," katanya. "Setelah pertandingan di Yan
Ie Lauw di Kee-hin, apakah kau bakal kembali ke gurun pasir di Mongolia?"
"Tidak, lebih dulu aku membunuh Wanyen Lieh guna membalaskan sakit hatinya
ayahku dan paman Yo."
"Setelah itu?" tanya si nona, matanya tetap mengawasi si putri malam.
"Masih banyak urusan lainnya! Suhu mesti diobati dulu hingga sembah. Pula Ciu
Toako mesti dicari, untuk menyuruh dia pergi ke rawa lumpur hitam kepada Eng
Kouw..." "Setelah semua itu beres, kau toh akhirnya kembali ke Mongolia?"
Kwee Ceng tidak bisa menyahut, tak tahu ia mesti membilang apa.
"Ah, aku tolol!" kata si nona tiba-tiba. "Perlu apa aku memikirkan itu semua"
Justru ada ini ketika baik, satu hari lebih lama kita berkumpul, satu hari
terlebih baik. Mari kita kembali ke perahu, kita permainkan gagu palsu itu."
Kwee Ceng menurut. Keduanya berjalan pulang. Tiba di perahu, tukang perahu dan
dua pembantunya sudah tidur.
"Pergi kau tidur, aku nanti berjaga-jaga," Kwee Ceng membisiki si nona.
Oey Yong merasakan kesehatannya belum pulih semua, maka itu ia letaki kepalanya
di paha si anak muda. Dengan perlahan dia pulas.
Kwee Ceng tidak mau membikin tukang perahu nanti curiga, meskipun dia tidak
mengingingkannya, dia terpaksa merebahkan diri, hanya diam-diam ia menghapal
ajarannya It Teng Taysu bagian dari Kiu Im Cin-keng yang memakai bahasa
Sansekerta. Ia menghapali terus sekitar satu jam, akhirnya ia menjadi gembira.
Tidak saja ia tidak merasa kantuk, ia bahkan menjadi segar. Hanya tengah ia
bergirang itu, ia mendengar Oey Yong mengigau perlahan. "Engko Ceng, jangan kau
menikah sama putri Mongolia itu, aku sendiri yang hendak menikah denganmu." Ia
melengak. Kembali ia mendengar suara si nona: "Bukan, bukan, aku salah omong.
Aku tidak meminta apa-apa dari kau, aku tahu kau suka aku, itu saja sudah
cukup." "Yong-jie, Yong-jie" kata si anak muda terdengar.
Oey Yong tidak menyahutinya, hanya napasnya perlahan.
Pemuda itu bingung. Ia mencintai si nona, ia merasa kasihan. Ia mengawasi wajah
orang yang tidur nyenyak di pahanya itu. Paras si nona itu putih tersinarkan
cahaya rembulan, karena kesehatannya belum pulih, kulit mukanya belum kembali
bersemu dadu. Ia mengawasi menjublak.
"Dia tentulah bermimpi dan dalam mimpinya ia mengingat peruntungan kita berdua,"
pikir anak muda ini. "Aku tidak boleh melihat dia dari sikapnya sehari-hari
saja, yang bergembira, seperti orang tidak pernah berduka, sebenarnya di dalam
hatinya ia masgul. Ah, akulah yang membikin dia mengalami kesulitan ini. Coba
itu hari kita tidak bertemu di Thio-kee-kauw, bukankah itu baik untuknya?"
Selagi yang satu bermimpi atau mengigau itu dan yang lainnya mengawasinya dengan
pikiran bimbang, tiba-tiba di permukaan air terdengar suara pengayuh bekerja,
lalu terlihatlah sebuah perahu mendatangi dari sebelah hulu.
Kwee Ceng menjadi heran. "Air sungai ini sangat deras dan berbahaya, siapa yang bernyali begitu besar
berani menjalankan perahu malam-malam?" pikirnya. Karena ini, ingin ia melihat.
Ketika ia hendak mengangkat kepala, mendadak ia mengurungkannya itu. Tiba-tiba
ia mendengar tiga kali tepukan tangan dari perahunya. Diwaktu sunyi seperti itu,
suara tepukan tangan itu nyata terdengarnya.
Setelah itu terdengar suara layar dibenahkan.
Tidak usah lama Kwee Ceng menanti akan mendapatkan perahu itu di pinggirkan dan
dikasih nempel sama perahunya, maka dengan perlahan ia menepuk-nepuk tubuh Oey
Yong untuk mengasih bangun kawannya itu.
Hampir itu waktu tubuh perahu bergoyang sedikit.
Pemuda itu segera mengintai. Ia masih sempat melihat satu orang, dalam rupa
bayangan, berlompat ke perahu yang baru sampai itu. Orang itu ialah si tukang
perahu yang berlagak gagu.
"Kau tunggu di sini, aku mau pergi melihat," Kwee Ceng berbisik kepada kawannya.
Oey Yong yang telah lantas bangun, mengangguk.
Dengan cepat Kwee Ceng pergi ke kepala perahu. Ia melihat perahu tetangga itu
masih bergoyang, ia lantas lompat ke situ. Dengan membarengi bergoyangnya perahu
ia membikin penghuni perahu tidak curiga. Dengan lantas ia mengintai. Maka
terlihatlah olehnya tiga orang dengan pakaian hitam semua, seragamnya kaum Tiat
Ciang Pang. Pula ia mengenali satu di antaranya yang tubuhnya tinggi besar,
ialah Kiauw Thay yang pernah dipecundungi Oey Yong.
Pemuda ini sangat gesit, maka itu, ia seperti mendahului si tukang perahu.
Sesudah ia mengintai, baru tukang perahu itu tiba di gubuk. Segera dia ditanya
Kiauw Thay: "Apa kedua binatang cilik itu ada di sini?"
"Yah," menyahut si tukang perahu yang sekarang bisa bicara.
"Apakah mereka bercuriga?" Kiauw Thay menanya pula.
"Nampaknya tidak. Cuma mereka tidak sudi dahar, dari itu aku tidak bisa
bekerja." "Hm! Biarlah mereka mengantari jiwa di Chee-liong tha! Lusa tengah hari perahu
kamu akan tiba di Chee-liong-tha, terpisah satu lie di muara itu, ada dusun
Chee-liong-cip. Di sana kau singgah kami nanti menantikan kamu untuk membantu."
"Ya," si tukang perahu menyahuti pula.
"Dua binatang cilik itu lihay, kau mesti berhati-hati," Kiauw Thay memesan.
"Kalau kau berhasil, pangcu bakal menghadiahkan kepadamu. Sekarang pergi kau
balik ke perahumu dengan ambil jalan dari dalam air, supaya perahumu itu tidak
bergoyang, agar mereka tidak curiga."
"Apakah Kiauw Cee-cu tidak ada titah lainnya?"
"Tidak!" menyahut Kiauw Thay seraya mengibaskan tangannya.
Tukang perahu itu lantas keluar dari gubuknya perahu. Ia pergi ke belakang, di
sana ia terjun ke dalam air, untuk berenang ke perahunya sendiri.
Kwee Ceng berlaku sebat, ia mendahului kembali ke perahunya. Ia membilangi Oey
Yong apa yang ia lihat dan ia dengar.
"Hm!" kata si nona perlahan. "Di tempat It Teng Taysu, air jauh terlebih keras,
kita tidak takut, apalagi segala Chee-liong-tha" Mari tidur!"
Karena mengetahui rencananya orang jahat. muda-mudi itu jadi lega hatinya.
Di hari ketiga pagi, ketika si tukang perahu hendak mengangkat jangkar, untuk
mulai berangkat pula, Oey Yong kata padanya: "Tunggu sebentar! Lebih dulu kau
mendaratkan kuda kami, jangan kalau nanti perahu karam di Chee-liong-tha, dia
nanti mengantarkan jiwanya!"
Tukang perahu itu berlagak pilon.
Oey Yong tidak memperdulikannya, bersama Kwee Ceng ia menuntun kudanya mendarat.
"Yong-jie, baik kita jangan bergurau bersama mereka," kata Kwee Ceng perlahan.
"Baik dari sini kita melanjutkan perjalanan kita dengan menunggang kuda."
"Kenapa begitu?" menanya si nona.
"Tiat Ciang Pang bangsa manusia rendah, buat apa melayani mereka" Kita diam-diam
saja." "Apa dengan diam-diam saja kita aman?" tanya si nona.
Pemuda itu terdiam. Oey Yong mengendorkan les kuda, tangannya menunjuk jalanan di sebelah utara.
Kuda itu mengerti. Sudha sering ia berpisah dengan majikannya, senantiasa meraka
dapat bertemu pula. Maka ia lari ke arah utara di mana sebentar kemudian dia
lenyap. "Mari kita kembali ke perahu," kata si nona, menepuk tangan.
"Kesehatan kamu belum pulih, perlu apa kau menempuh bahaya?" Kwee Ceng kata
pula. "Kita terpaksa," kata si nona. Ia berjalan balik, ia turun ke perahunya.
Kwee Ceng mengiringi kawannya itu.
Putri Oey Yok Su itu tertawa, ia kata gembira. "Engko tolol, kita ada bersama,
biar kita banyak mengalami yang aneh-aneh, kalau kemudian kita berpisah,
bukankah jadi banyak yang dapat direnungkan" Bukankah itu bagus?"
Perahu berlayar sampai nampak sungai makin berbahaya. Di kira kanan hanya nampak
gunung atau tebing. Kwee Ceng dan Oey Yong pergi ke kepala perahu, mereka melihat segala apa, maka
insyaflah mereka akan bahayanya perjalanan ini. Untuk dapat maju melawan air,
perahu mesti ditarik orang. Di situ ada beberapa perahu lainnya. Perahu besar
membutuhkan beberapa kuli, sedang perahu kecil, perlu delapan atau sembilan
orang. Kuli-kuli penarik itu telanjang dadanya dan kepalanya dilibat sabuk
putih, sambil menarik mereka mengasih dengar suara berbareng dan sama. Perahu
yang berlayar milir hayut pesat sekali.
Sepasang muda-mudi itu menduga mereka bakal segera mendekati Chee-liong-tha.
Hari pun makin lama makin siang.
"Yong-jie," kata Kwee Ceng perlahan, "Aku tidak menyangka sungai Goan Kang
mempunyai bagian yang airnya begini deras den berbahaya. Mungkin bagian deras
ini panjang sekali. Kalau perahu terbalik sedang kau masih belum segar, tidakkah
itu berbahaya?" "Habis bagaimana?"
"Kita bunuh saja tukang perahu itu lantas kita ke pinggir dan mendarat."
Si nona menggeleng kepala.
"Itulah tidak menarik hati!" katanya.
"Memangnya sekarang waktunya main-main?"
"Aku justru menggemari itu!" si nona tertawa.
Pemuda itu berdiam, ia mengawasi ke depan dan ke kira dan kanan. Ia lantas
berpikir. Berjalan lagi sekian lama, waktu sudah mendekati tengah hari. Setelah melintasi
sebuah pengkolan, Kwee Ceng melihat di depan di pinggiran sungai, ada beberapa
puluh rumah, yang tinggi dan rendahnya tergantung sama letaknya tanah
pegunungan. Di situ, air jadi semakin deras. Ketika sebentar kemudian perhu tiba
di dekat kumpulan rumah-rumah itu, di tepi sungai terlihat beberapa puluh orang
yang seperti lagi menantikan.
Si tukang perahu lantas melemparkan dua lembar dadung ke darat, dadung mana
disambuti beberapa pulu orang itu dan lantas dililit ke sebuah pelatok besar.
Dengan ditarik, perahu itu sampai di tempat yang cetek.
Tidak lama tiba lagi sebuah perahu yang ditarik kira tigapuluh kuli, perahu itu
dikasih berlabuh di situ, sedang di sebelah depan telah berlabuh kira-kira
duapuluh perahu lainnya. Lantas ada seorang di daratan yang berkata nyaring:
"Tadi malam keluar ular naga, air di gunung banjir, air sungai ini jadi sangat
deras, maka sambil menanti air surut, mari semua beristirahat di sini!"
"Numpang tanya toako, tempat ini apa namanya?" tanya Oey Yong pada orang di
sampingnya. "Chee-liong-cip," orang yang ditanya itu menjawab.
Nona itu mengangguk, diam-diam ia memperhatikan tukang perahunya. Dia itu lagi
berbicara gerakan tangan sama seorang di darat, orang mana bertubuh besar dan
kekar. Dia menyerahkan satu bungkusan pada orang itu. Kemudian, mendadak orang
itu mengeluarkan kapak dengan apa dia membabat putus dadung penambat perahu itu,
terus ia mengangkat jangkar, terus ia mendorong perahu itu. Maka sekejap saja,
dengan tubuh miring perahu itu hanyut terbawa air.
Si tukang perahu yang memegang kemudi, mengawasi ke muka air. Dua pembantunya
masing-masing memegang galah kejen, romannya bersiap-siap akan melindunhgi si
tukang perahu. Mungkin mereka khawatir kedua penumpangnya menyerang tukang
kemudi itu. Kwee Ceng terkejut, ia mengawasi air yang deras. Setiap waktu perahu itu dapat
membentur wadas. Itu artinya terbalik atau karam.
"Yong-jie, rampas kemudi!" ia berteriak. Ia pun hendak lari ke buntut perahu.
Dua orang yang memegang galah itu mendengar suara si anak muda, mereka bersiap.
Ketika mereka mengangkat galahnya, kejennya bergemerlap di cahaya matahari.
Itulah tandanya kejen itu tajam sekali.
"Perlahan!" tiba-tiba Oey Yong berseru..
"Bagaimana?" si pemuda tanya.
"Kau melupakan burung kita.." si nona berbisik. "Sebentar perahu karam, kita
naiki mereka untuk terbang pergi. Aku mau melihat apa mereka bisa bikin..."
Kwee Ceng sadar. "Pantas Yong-jie tidak takut, kiranya ia telah siap sedia tipu dayannya"
pikirnya. Ia lantas menggapai kepada kedua ekor burungnya, untuk disuruh diam di
samping mereka. Si tukang perahu tidak tahu kenapa anak muda itu batal bergerak, diam-diam ia
bergirang. Ia mau percaya mereka kena dibikin jeri oleh arus yang sangat deras
itu. Segera juga terdengar suara dari serombangan kuli penarik perahu, lalu terlihat
orang-orangnya, yang lagi menarik sebuah perahu dengan gubuk hitam, yang
mengibarkan bendera hitam juga. Ketika si tukang perahu melihat perahu itu, dia
lantas mengangkat kapaknya dengan apa dia mengapak putus kemudinya, kemudian dia
pergi ke pinggir kiri. Terang dia bersiap akan lompat ke perahu yang lagi
mendatangi itu. Kwee Ceng melihat aksinya si tukang perahu itu.
"Naik!" ia kata seraya menekan punggungnya si rajawali betina.
"Jangan kesusu!" berkata Oey Yong. "Engko Ceng, kau hajar perahu ini dengan
jangkar!" Kwee Ceng mengerti maksudnya si nona, ia bersiap.
Tanpa kemudi, perahu hanyut semakin pesat, sebentar saja, kedua perahu datang
semakin dekat. Perahu yang ditarik mudik itu digeser, tidak sampai diterjang
perahu yang hanyut. Tukang-tukang menarik perahu agaknya kaget, mereka pada
berteriak. Kwee Ceng menanti saatnya, segera ia melemparkan jangkarnya keras sekali. Ia
mengarah pelatok yang dipakai mengikat dadung penarik. Karena perahu pun ditarik
keras, maka lemparan jangkar jadi semakin hebat. Begitu terkena, pelatok itu
patah, dadungnya terlepas. Selagi tukang-tukang menariknya jatuh ngusruk, perahu
itu sendiri lantas terbawa air, hanyut keras sekali. Orang banyak pada berteriak
kaget. Si tukang perahu kaget sekali.
"Tolong! Tolong!" dia berteriak-teriak saking takutnya.
"Hai, orang gagu bisa bicara!" kata Oey Yong tertawa. "Inilah keanehan di kolong
langit!" Kwee Ceng sendiri mengawasi ke perahu yang hanyut itu, tangannya masih memegang
jangkar yang satunya. Tukang kemudi dari perahu itu lihay, di air deras, ia
masih mencoba memutar kepala perahu, agar jangan buntutnya yang laju di muka
seperti semula. Tepat pada saatnya, si anak muda melemparkan jangkar ke kepala
perahu. Si tukang perahu gagu palsu itu kaget bukan main..
Di saat yang sangat berbahaya itu, dari dalam perahu mendadak melompat keluar
satu orang, yang bersenjatakan galah kejen dengan apa dia menyambuti, meyontek
jangkarnya Kwee Ceng. Dia bertenaga besar tetapi galahnya ini tidak cukup kuat,
galah itu patah, karena itu tujuan jangkar jadi berkisar. Begitulah jangkar dan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patahan galah jatuh ke air. Orang kuat itu berdiri tegar di perahunya, dia
mengenakan baju pendek warna kuning, dia berambut putih dan romannya gagah.
Dialah Khiu Cian Jin, ketua dari Tiat Ciang Pang.
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong menjadi kagum sekali hingga mereka tercengang.
Justru itu, tanpa ketahuan, tubuh perahu telah membentur wadas. Keras goncangan
itu, muda-mudi itu kena terdampar ke pintu gubuk. Mereka kaget, terutama sebab
air segera merendam mata kaki mereka. Tidak ada ketika lagi untuk naik ke
punggung burung. "Mari!" Kwee Ceng berseru seraya ia melompat ke arah Khiu Cian Jin. Dia sengaja
hendak menubruk ketua Tiat Ciang Pang itu, sebab kalau dia lompat ke arah lain
dari perahu itu, sebelum tiba, dia bisa dipapaki serangan. Itulah berbahaya.
Khiu Cian Jin melihat orang berlompat ke arahnya, rupanya dia dapat menerka
maksud orang, karena dia tengah memegang galah, dengan itu dia lantas memapaki.
Kwee Ceng melihat penyambutan itu, ia kaget.
Khiu Cian Jin melontorkan galahnya, yang menjurus ke dada si anak muda. Ia
rupanya menganggap, lebih baik menyerang sambil menimpuk daripada menanti orang
tiba di perahunya. Dalam saat sangat berbahaya untuk si anak muda, tiba-tiba terlihat sinar hijau
menyambut galah kejen itu. Karena mana lenyaplah ancaman bahaya itu.
Itulah Oey Yong, yang berlompat, menyusul kawannya, yang dengan tongkatnya
menangkis galah. Setelah itu, begitu menginjak perahu, si nona segera menyerang
pangcu dari Tiat Ciang Pang itu, hingga ia menjadi gelagapan, hampir dia kena
ditotok. Khiu Cian Jin mengenal lihaynya tongkat si nona, maka itu, selagi Kwee Ceng baru
menaruh kaki, ia mundur kepada anak muda itu, yang dia sapu. Dengan begitu, ia
berkelit sambil menyerang. Selagi Kwee Ceng berkelit, ia menyusuli dengan dua
serangan saling susul dengan kedua tangannya.
Lihaynya serangan jago dari Tiat Ciang Pang ini. Itulah pukulan dari Tiat Ciang
Kang-hu, atau ilmu Silat Tangan Besi, yang kaum Tiat Ciang Pang andalkan selama
mereka menjagoi, bahkan di tangan orang she Khiu ini, jurusnya telah diubah dan
ditambah hingga menjadi semakin lihay. Dibanding sama Hang Liong Sip-pat Ciang,
ilmu itu kalah keras tetapi menang halus.
Begitulah dua orang itu bergerak di atas perahu.
Perahu sewaanya Kwee Ceng telah patah pinggang dan karam, si gagu palsu dan
kawannya tercebur ke air dan terbawa arus, sia-sia mereka berenang, mereka
terbenam di dalam air menggolak bagaikan air pusar.
Perahunya Khiu Cian Jin sendiri, meskipun hanyut keras, masih dapat
dipertahankan, karena ada orang Tiat Ciang Pang yang lantas mengendalikannya.
Di atasan perahu, terbang mengikuti adalah kedua burung rajawali serta hiat-
niauw, ketika burung itu saban-saban mengasih dengar suaranya.
Sampai itu waktu, Oey Yong pun turut berkelahi. Lebih dulu ia mengundurkan
beberapa orang Tiat Ciang Pang, yang merintangi padanya, setelah itu ia dekati
Kwee Ceng, guna mengepung Khiu Cian Jin.
Karena sama-sama lihay, kedua pihak berkelahi dengan rasa risih.
Selagi bertempur itu, Oey Yong melihat golok berkelebat di dalam gubuk perahu.
Itulah seorang yang tengah membacok. Ia tidak tahu apa yang dibacok itu tetapi
ia curiga, maka ia lantas menimpuk dengan jarumnya. Pembacok itu kena lengannya,
bacokannya tidak bisa dilanjutkan, goloknya justru mengenai pahanya sendiri
sampai dia menjerit. Si nona menyusul seraya berlompat masuk ke dalam gubuk. Ia
menendang terjungkal orang itu, yang sudah tidak berdaya, lalu ia melihat
seorang rebah tak berkutik di lantai perahu sebab kaki dan tangannya
terbelenggu. Ia tidak usah mengawasi lebih lama akan mengenali Sin-soan-cu Eng
Kouw, hingga ia menjadi heran. Tidak sekali disangka, di sini mereka dapat
menemui nyonya itu, bahkan dalam keadaan tidak berdaya itu. Tanpa ayal lagi, ia
memutuskan tambang yang mengikat tangan si nyonya.
Begitu lekas tangannya bebas, dengan tangan kirinya Eng Kouw merampas golok dari
tangan si gadis, selagi Oey Yong heran, dia sudah membacok mampus orang Tiat
Ciang Pang itu, yang tadi hendak membinasakan padanya. Habis itu dia baru
memutuskan tali belengguan kakinya, sedang musuhnya roboh celentang hingga Oey
Yong mengenali, dialah Kiauw Thay. Maka ia kata di dalam hatinya: "Kau sangat
jahat, pantas kau mampus!"
"Meski kau telah menolongi aku, jangan kau harap aku akan membalas budimu!" kata
Eng Kouw pada si nona. "Siapa mengharap pembalasan budimu?" kata si nona tertawa. "Kau telah menolong
aku, maka ini satu kali, aku menolongi kamu. Dengan begitu kita menjadi tidak
saling berhutang!" Sembari berkata begitu, Oey Yong pergi pula keluar untuk membantu lagi kepada
Kwee Ceng. Khiu Cian Jin benar-benat lihay, dia telah dapat bertahan, hanya segera ia
menjadi kaget ketika kupingnya mendengar beberapa teriaka beruntun serta suara
tubuh tercebur ke air. Sebab Eng Kouw, dalam gusarnya, sudah menghajar semua
orang Tiat Ciang Pang yang berada di dalam kendaraan air itu, membikin mereka
kecemplung ke air deras. Hingga tidak peduli yang pandai berenang, orang-orang
jahat itu jangan harap nanti lolos dari bahaya mampus kelelap!
Khiu Cian Jin digelarkan "Tiat Ciang Sui-sing-piauw", atau di Tangan Besi yang
mengambang di permukaan air itu bukan berarti dia dapat berjalan di permukaan
air seperti mengambang, itu diartikan lihaynya ilmunya enteng tubuh, jangan kata
di air demikian deras, sekalipun di air tenang di telaga, tidak dapat dia
berjalan mengambang. Maka itu sekarang hatinya tidak tenang. Ia berkelahi sambil
mundur. Kewalahan ia melayani Kwee Ceng yang dibantu Oey Yong. Untuk mencegah si
nona menyerang ia dari belakang, ia berdiri membelakangi air. Secara begini ia
mencoba bertahan. Oey Yong berkelahi sambil memperhatikan lawannya yang tangguh ini. Sering ia
melihat jago itu melirik ke kiri dan kanan. Ia menduga tentulah orang mengharap-
harapkan datangnya perahu lain, ialah bantuan untuk pihaknya. Maka ia juga turut
memasang mata. Ia pikir: "Biarnya dia jago, dia bakal dikepung bertiga. Kalo
kita gagal, sebenarnya kita ialah kantung-kantung nasi..."
Eng Kouw di lain pihak telah berhasil menyapu bersih semua orang Tiat Ciang
Pang. Ia membiarkan hanya satu orang, ialah si tukang kemudi. Ia melihat
bagaimana dua muda-mudi itu belum bisa berbuat apa-apa terhadap Khiu Cian Jin,
maka akhirnya ia menghampirkan mereka.
"Nona kecil, kau pinggirlah!" ia kata kepada Oey Yong - ia tertawa dingin.
"Mari, kasihkan aku yang maju!"
Oey Yong tidak puas sekali. Terang orang memandang enteng padanya. Tapi ia
cerdik, ia lantas berpikir. Terus ia mendesak ketua Tiat Ciang Pang itu.
Khiu Cian Jin bisa menduga si nona tentulah mau mundur menaati kata-kata si
nyonya, meski ia mengerti ia toh tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membela
diri, karena si nona mendesak, Kwee Ceng tetap menyerang padanya. Oey Yong bukan
mundur sendirinya, ketika mundur, ia menarik tangan baju kawannya seraya
berkata: "Biarkan dia maju sendiri!"
Kwee Ceng heran tetapi ia mundur seraya membela diri.
Eng Kouw tidak memperdulikan sikap si nona, ia hanya menghadap Khiu Cian Jin,
dengan tertawa dingin ia berkata: "Khiu Pangcu, di dalam dunia kangouw namamu
terdengar cukup nyaring, maka aku heran untuk perbuatanmu yang hina dina! Selagi
aku tidur di rumah penginapan, tengah aku tidak tahu apa-apa, mengapa kau
menggunai hio pulas dan dengan caramu itu kau membekuk aku" Bagus perbuatanmu
itu, ya"!" "Kau telah dibekuk oleh orang sebawahanku, buat apa kau masih banyak bacot?"
Khiu Cian Jin membalasi. "Jikalau aku yang turun tangan sendiri, hanya dengan
sepasang tangan kosongku, sepuluh Sin Soan Cu pun dapat aku membekuknya!"
Eng Kouw tetap bersikap dingin.
"Di dalam hal apa aku bersalah dari kamu kaum Tiat Ciang Pang?" ia tanya.
"Kedua binatang cilik ini lancang memasuki Tiat Ciang Hong, tempat kami yang
suci," kata Khiu Cian Jin. "Kenapa kau menerima mereka di rawa lumpur hitam"
Dengan baik-baik aku meminta mereka diserahkan padaku, kenapa kau melindungi
mereka dengan kau mendustai aku" Apakah kau sangka Khiu Cian Jin boleh dibuat
permainan?" "Oh, itulah gara-gara dua binatang cilik ini!" katanya. "Kalau kau mempunyai
kepandaian, pergi tangkap mereka sendiri. Aku tidak punya banyak tempo akan
campur segala urusan tetek-bengek begini!"
Bekas Lauw Kui-hui ini lantas mengundurkan diri, ia duduk bersila di lantai
perahu, sikapnya sangat tenang. Ia mau jadi si penonton harimau bertarung, akan
menyaksikan orang roboh dua-duanya!
Sikapnya si nona mengherankan dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong serta Khiu Cian
Jin. Itulah mereka tidak sangka.
Eng Kouw turun gunung dengan pikiran kacau. Ia mendongkol dan berduka sebab ia
gagal membunuh It Teng Taysu. Tidak tega ia melihat sikap tenang dari pendeta
itu. Ia bersedih kalau ia membayangkan kematian anaknya yang malang itu. Begitu
ketika ia mondok di penginapan, ia berlaku alpa, ia kena diasapi orang Tiat
Ciang Pang dan kena ditangkap karenanya. Di dalam keadaan biasa, tidak nanti ia
kena dibekuk secara demikian. Ia juga tidak menyangka, di dalam bahaya, ia jutru
ditolongi oleh Oey Yong. Ia tetap mendongkol, maka itu, ia ingin biarlah muda-
mudi itu dan Khiu Cian Jin mapus bersama......
Oey Yong berpikir cepat: "Baik, kami akan melayani dulu Khiu Cian Jin, habis itu
baru kami nanti mengasih lihat sesuatu padanya!" Ia lantas mengedipi mata kepada
Kwee Ceng, terus ia menerjang pula pada Khiu Cian Jin. Aksinya ini segera ditiru
si anak muda. Begitulah mereka bertiga bergebrak pula.
Eng Kouw menonton dengan asyik. Ia melihat meski ketua Tiat Ciang Pang itu
lihay, dia sukar bisa cepat-cepat merebut kemenangan. Ia bahkan melihat ketua
itu mundur. Ia mau percaya, jadi dari Tiat Ciang San ini akhirnya bakal mampus
atau terluka.... Kwee Ceng pun melihat sikap lawannya itu, ia menduga orang lagi mencari akal.
Dilain pihak ia berkhawatir untuk Oey Yong, yang baru sembuh dan tidak
selayaknya mengeluarkan banyak tenaga. Maka akhirnya ia kata: Yong-jie, baik kau
beristirahat, sebentar kau maju pula."
Nona itu menurut. "Baik," sahutnya seraya ia mundur. Ia tertawa.
Eng Kouw mengiri menyaksikan eratnya hubungan si pemuda dengan si pemudi,
terutama perhatiannya si pemuda itu, hingga ia berpikir: "Dalam hidupku,
kapannya pernah ada orang berbuat begini macam terhadapku?" Tiba-tiba dari
mengiri ia menjadi cemburu dan dari cemburu hatinya menjadi panas. Mendadak ia
berlompat bangun dan berkata dengan nyaring: "Dua lawan satu, apa itu namanya"!
Mari, mari kita berempat menjadi dua rombongan, satu!" Ia lantas mengeluarkan
dua batang bambu, tanpa menanti jawaban orang, ia berlompat menyerang Oey Yong.
Oey Yong menjadi mendongkol sekali.
"Perempuan gila yang lenyap hatinya!" ia mendamprat. "Tidak heran Loo Boan Tong
tidak mencintaimu!" Tapi ini cuma menambah kemurkaannya Eng Kouw yang menyerang makin hebat.
Oey Yong menjadi repot. Ia boleh lihay ilmu Tah Kauw Pang-hoat, tetapi ia kalah
tenaga dalam, ia juga belum pulih kesehatannya, maka terpaksa ia menutup diri.
Lebih sulit lagi, perahu itu bergerak keras tak hentinya disebabkan derasnya
arus. Kwee Ceng sendiri tetap melayani Khiu Cian Jin, ia tidak bisa merebut kemenangan
tetapi ia juga tidak kalah.
Ketua Tiat Ciang Pang menjadi heran tidak karu-karuan kalau Eng Kouw membantu
padanya. Tentu sekali perubahan sikap si nyonya membuatnya ia menjadi girang.
Dengan begitu ia jadi seperti tambah semangat, terus ia menyerang dengan hebat.
Ketika Kwee Ceng menyerang ia dengan jurus "Melihat naga di sawah", ia berkelit,
habis berkelit, segera ia membalas menyerang, dengan dua tangannya berbareng,
tangan kanannya dengan kejennya dan tangan kiri tangan kosong.
Kwee Ceng tidak takut, ia menangkis dengan dua-dua tangan juga. Maka tangan
mereka bentrok. Lantas mereka sama-sama menyerukan: "Hm!" dan tubuh mereka
masing-masing mundur tiga tindak. Khiu Cian Jin menahan diri dengan memegang
tiang kemudi, dan kaki kiri Kwee Ceng terserimpat dadung, hampir dia terguling.
Guna menjaga diri agar tidak diserbu, ia meneruskan lompat jumpalitan.
Khiu Cian Jin menganggap inilah ketikanya yang baik, ia tertawa nyaring dan
lama, lantas dia maju, guna menyerang.
Eng Kouw tengah mendesak Oey Yong sampai si nona bernapas sengal-sengal dan
peluhnya mengucur tatkala dia mendengar tertawanya ketua Tiat Ciang Pang itu,
dia kaget hingga mukanya berubah, hingga lupa ia menarik pulang senjatanya yang
kiri, Oey Yong melihat lowongan, lantas ia menyerang ke dada, menotok jalan
darah sin-kie. Eng Kouw tidak menghiraukan itu, dengan tubuh terhuyung, dia
menubruk ke arah Khiu Cian Jin sambil mulutnya berseru: "Kiranya kau!"
Ketua Tiat Ciang Pang terkejut, apapula dia melihat muka bengis dari nyonya itu
yang mulutnya dipentang, kedua tangannya dibuka. Si nyonya seperti mau menubruk
buat menggigit atau menggerogoti orang.
"Kau mau apa"!" berseru Khiu Cian Jin dalam herannya. Ia juga lompat ke samping.
Eng Kouw gagal dengan tubrukannya yang pertama itu, dengan mulut bungkam, ia
menubruk pula. Ia seperti kalap. Kali ini ia mengajukan kepalanya, untuk
menyeruduk. Khiu Cian Jin berkhawatir. Ia merasa, celaka kalau ia kena dipeluk perempuan
yang telah seperti kalap itu. Ia juga berkhawatir melihat Kwee Ceng merangsak.
Maka untuk menolong diri, kembali ia berlompat ke samping.
Oey Yong segera menarik tangan Kwee Ceng, buat diajak berdiam di satu pinggiran.
Dari situ mereka mengawasi Eng Kouw. Mereka pun heran dan berkhawatir. Nyonya
itu kalap seperti orang gila. Terus dia menubruk, mulutnya senantiasa berseru,
giginya dipertontonkan. Terang ia ingin memeluk Khiu Cian Jin untuk digerogoti....
Jago Tiat Ciang Pang itu menjadi kawalahan, ia selalu main berkelit. Beberapa
kali tangannya kena terjambret tercakar hingga tangannya itu berdarah-darah.
Dalam khawatirnya, beberapa kali ia berseru: "Pembalasan, pembalasan! Apakah aku
mesti terbinasa di tangan perempuan gila ini?"
Eng Kouw mengulangi tubrukannya, sampai Khiu Cian Jin berada di dekat si tukang
kemudi. Sekarang si nyonya matanya menjadi merah. Rupanya ia tahu, lawannya
sangat lihay, sukar ia berhasil menubruk. Mendadak ia menyerang si tukang
kemudi, hingga orang menjerit dan terjungkal ke air, menyusul mana, ia menendang
tiang kemudi sampai tiang itu patah!
Segera karena tak terkendalikan, perahu itu goncang keras, hanyutnya kacau.
Oey Yong kaget hingga ia mengeluh. Kalapnya Eng Kouw bisa membikin mereka nanti
kecebur ke air, mungkin bakal mati....Ia tidak tahu kenapa nyonya itu menjadi
kalap mendadak. Karena itu ia mainkan mulutnya, guna memanggil burungnya.
Justru itu perahu melintag, segera membentur wadas, nyaring suaranya. Sebagai
akibatnya, kepala perahu bocor.
Khiu Cian Jin kaget, ia menginsyafi bahaya, maka ia pun menjadi nekat, tetapi ia
bukan menempur si nyonya kalap, ia hanya mengenjot tubuhnya, untuk berlompat ke
darat. Ia tidak sampai di tepian, ia kecebur, tenggelam ke dalam air. Tapi ia
sadar, ia mencoba memegangi batu wadas, dengan berpegangan terus, ia melapai ke
pinggiran. Ia telah kena menenggak air, toh ia tiba juga di pinggiran dimana ia
merayap naik ke darat, lalu dengan pakaian basah kuyup ia duduk beristirahat,
matanya mengawasi ke perahu yang hanyut jauh, hingga seperti satu titik hitam.
Ia bergidik kalau ia ingat akan kalapnya Eng Kouw.
"Binatang kemana hendak kau lari"!" demikian si nyonya mendamprat ketika ia
melihat musuhnya melompat ke air. Ia juga ingin melompat atau sang air lekas
sekali membikin perhu lantas terpisah jauh dari ketua Tiat Ciang Pang itu.
Kwee Ceng menaruh belas kasihan, ia menjambak punggung si nyonya, untuk mencegah
dia terjun, tetapi nyonya itu menyampok ke belakang. Maka "Plok!" mukanya si
anak muda kena dihajar, sampai ia merasakan pipinya panas dan sakit, hingga ia
berdiri menjublak. Oey Yong pun heran, tetapi burungnya sudah datang maka ia memanggil: "Engko
Ceng, mari! Jangan layani perempuan gila itu! Mari kita pergi!"
Kwee Ceng menoleh pada si nona, kemudian ia berpaling pula pada si Eng Kouw.
Ketika itu air sudah merendam kaki mereka. Mendadak nyonya itu mendekap mukanya
dan menangis menggerung-gerung: "Anak, anak!" dia sesambatan.
"Lekas, lekas!" Oey Yong memanggil engko Cengnya .
Tapi Kwee Ceng bersangsi. Pemuda ini ingat pesan It Teng Taysu untuk menjaga dan
melindungi Eng Kouw. Maka ia teriaki kawannya itu: "Yong-jie, lekas kau naik
burung itu dan mendarat! Sebentar kau suruh dia terbang pula kemari menyambut
aku!" "Sudah tidak keburu!" Oey Yong kata, hatinya cemas.
"Lekas kau pergi!" Kwee Ceng mendesak. "Kita tidak bisa dapat menyia-nyiakan
pesan It Teng Taysu!"
Mendengar penyahutan si anak muda, Oey Yong turut bersangsi. I apun ingat pesan
si pendeta dan ingat pertolongan orang padanya. Tengah ia berdiam, mendadak
tubuhnya bergoyang keras dan kupingnya mendengar suara nyaring. Nyata perahu
mereka telah membentur satu batu besar, hingga air segera menerobos masuk ke
dalam perahu itu, badan perahu juga meleset masuk ke dalam air.
"Lekas lompat ke wadas!" Oey Yong berteriak.
Kwee Ceng pun mengerti bahaya, ia mengangguk. Ia segera menghampirkan Eng Kouw
untuk memegang padanya. Kali ini si nyonya berdiam bagaikan orang linglung, dipegangi Kwee Ceng, dia


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak meronta, cuma matanya bengong mengawasi permukaan air.
"Mari!" berseru Kwee Ceng, yang dengan tangan kanannya mengepit tubuh si nyonya
dan berlompat. Oey Yong pun turut berlompat.
Mereka berhasil menginjak batu wadas itu, yang besar, hanya pakaian mereka telah
basah kuyup keciprutan air. Ketika mereka menoleh, mereka mendapatkan perahu
mereka sudah karam di pinggir wadas itu.
Oey Yong berdiri diam, melihat air, ia seperti kabur matanya. Itulah pengalaman
sangat hebat untuknya, meskipun ia sebenarnya pandai berenang.
Burung rajawali terbang berputaran di atasan mereka, burung itu tidak mau turun
menghampirkan meskipun berulang-ulang Kwee Ceng memanggil. Terang binatang itu
takut air. Kemudian Oey Yong memandang juga kelilingan. Ia melihat sebuah pohon yangliu di
tepian sebelah kiri, terpisahnya dari mereka kira sepuluh tombak. Ia lantas
dapat akal. "Engko Ceng, coba kau pegang tanganku," ia kata.
Kwee Ceng tidak tahu orang hendak berbuat apa, ia pegang tangan kiri si nona.
Mendadak Oey Yong terjun ke air, terus ia selulup.
Pemuda itu kaget, ia lekas-lekas membungkuk dengan tangannya siulur panjang-
panjang, sedang kedua kakinya dicantel di batu wadas. Dengan tangan kanan ia
terus memegangi tangan si nona.
Oey Yong selulup untuk mengambil dadung layar, yang ia bawa kembali ke wadas. Ia
menarik dadung hingga panjang duapuluh tombak lebih, ia mengutungi itu, kemudian
ia memanggil burungnya, disuruh menclok di pundaknya kiri dan kanan.
Kwee Ceng membantui memegang burung itu, yang sudah besar dan berat badannya, ia
khawatir si nona tak kuat memundaki kedua binatang piaraannya itu.
Oey Yong menginat dadung ke kaki burung yang jantan, ia menunjuk ke pohon
yangliu, untuk menitahkan burungnya terbang ke pohon itu.
Burung itu mengerti, dia terbang ke pohon, setelah terbang memutari, ia terbang
balik. "Eh, aku menyuruh dia melibat dadung ini pada pohon!" kata Oey Yong.
Burung itu tidak dapat diksaih mengerti, maka nona ini masgul.
"Hayocoba!" kata Oey Yong kemudian. Ia mencontoh.
Burung rajawali itu terbang pula, ia mesti terbang hingga delapan kali, baru
dadung dapat dilibat di pohon. Baru sekarang si nona girang.
Kwee Ceng pun girang, sebab ia mengerti maunya kawannya itu.
Ujung yang lain dari dadung itu lantas diikat pada wadas.
"Nah, Yong-jie, kau mendarat lebih dulu!" kata pemuda itu selesai mengikat.
"Tidak," menyahut si nona itu. "Aku akan menanti kau. Biar dia lebih dulu!"
Eng Kouw mengawasi muda-mudi itu, ia terus menutup mulutnya. Tapi sekarang ia
sudah tenang, ia mengerti maksud orang, maka tanpa bilang apa-apa, ia
berpegangan pada dadung, untuk melapai naik, hingga dilain saat ia telah tiba di
darat. "Di masa kecil, inilah permainanku yang menarik hati," kata Oey Yong. "Kwee
Toaya, aku hendak memberikan pertunjukan, harap kau mengasih hadiah biar
banyak!" Setelah berkata demikian, si nona menyambar dadung untuk berdiri di atas dadung
itu, habis mana, dia berlari-lari menyeberang melintasi air deras itu, tiba di
pohon untuk turun ke tanah!
Kwee Ceng belum pernah menyakinkan ilmu jalan diatas tambang, dia tidak berani
mencoba-coba, khawatir terpeleset dan jatuh ke air, dari itu ia mencontoh Eng
Kouw, ia berpegangan pada dadung itu dan melapai. Sambil bergantungan, ia
mengawasi ke darat. Lagi beberapa tombak ia akan tiba di pohon, mendengar
seruannya Oey Yong: "Eh, kau hendak pergi ke mana?" Ia terkejut. Itulah seruan
kaget. Seruan itu disebabkan Eng Kouw berjalan seorang diri, untuk meninggalkan mereka
berdua. Kwee Ceng khawatir nyonya itu belum sadar betul, itulah berbahaya. Maka
ia lekas-lekas melapai, belum sampai di cabang pohon, ia sudah lompat turun.
"Lihat, dia pergi seorang diri!" kata Oey Yong, tangannya menunjuk.
Kwee Ceng mengawasi, hingga ia menampak Eng Kouw berlari-lari di tanah
pegunungan, yang jalanannya banyak batunya dan sukar. Orang sudah pergi jauh,
sulit untuk menyandaknya.
"Dia pergi seorang diri, pikiran dia was-was, inilah berbahaya," kata Kwee Ceng.
"Mari kita susul."
Ia berkhawatir, begitu juga Oey Yong.
"Mari!" menyahut si nona setuju. Hanya ketika ia mengangkat kaki, untuk
berlompat, mendadak ia roboh sendirinya, jatuhnya duduk, kepalanya digoyang
beberapa kali. Kwee Ceng mengerti nona itu lemas sebab barusan dia memakai terlalu banyak
tenaga. "Kau duduk di sini," ia kata. "Nanti aku yang menyusul sendiri. Aku akan segera
kembali." Pemuda itu lari keras, tapi kapan ia tiba di tikungan tiga, ia bingung. Di situ
Eng Kouw tak terlihat, setahu dia mengambil jalanan yang mana. Tempat itu sunyi,
rumputnya tinggi, hari pun sudah mendekati sore. Oleh mengkhawatirkan Oey Yong
terpaksa ia lari balik. Kesudahannya, satu malam mereka berdiam di tepi kali itu dengan menahan lapar.
Pagi-pagi mereka sudah berjalan mengikuti tepian di mana ada sebuah jalanan
kecil. Mereka mau mencari kuda dan burung api mereka, guna bersama-sama mencari
jalan besar. Sesudah jalan setengah harian, mereka dapat emncari sebuah rumah
makan. Lantas mereka singgah. Mereka membeli tiga ekor ayam, yang seekor
dimatangi, untuk dimakan berdua, yang dua ekor untuk sepasang rajawali.
Dua ekor burung itu makan sambil menclok di atas pohon kayu.
Burung jantan baru makan separuh ayam itu ketika ia bersuara nyaring dan
panjang, lantas makanannya dilemparkan, terus ia terbang ke utara. Yang betina
juga terbang tinggi, setelah dia juga mengasih dengar suaranya, dia menyusul ke
utara itu. "Kelihatannya burung kita bergusar," kata Kwee Ceng. "Mereka melihat apakah?"
"Marilah kita lihat!" kata Oey Yong, yang terus melemparkan sepotong perak.
Dengan lantas mereka lari ke jalan besar, di sana mereka melihat burung mereka
terbang berputaran, lalu menukik ke bawah, lalu naik pula, akan seterusnya
terbang berputaran lagi. "Mereka bertemu musuh!" kata Kwee Ceng. "Mari!"
Pemuda itu lantas lari, si nona mengikuti. Kira tiga lie, mereka menampak di
depan mereka sekumpulan rumah seperti dusun yang ramai, di atas itu kedua burung
mereka masih terbang berputaran, agaknya mereka kehilangan sasaran yang mereka
cari. Bab 68. Mengadu diam............
Bab ke-68 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Sampai di luar dusun, Oey Yong memanggil turun kedua burungnya, akan tetapi
burung itu tetap berputaran, masih saja mereka mencari apa-apa.
"Entah dengan siapa mereka bermusuhan hebat..." kata Kwee Ceng.
Lewat sekian lama barulah kedua burung itu turun. Lantas ternyata kaki kiri yang
jantan berdarah, di situ ada bekas bacokan golok, syukur kakinya tidak tertebas
kutung. Pantas agaknya ia mendongkol.
Muda-mudi itu kaget. Sebelah kaki burung yang jantan mencengkram satu barang hitam, setelah
diperiksa, itulah kulit kepala orang, yang masih ada rambutnya, yang masih ada
darahnya. Sembari memeriksa kulit kepala orang itu, Kwee Ceng berpikir.
"burung ini dipelihara semenjak kecil, dia baik sekali," kata ia. "Aku tahu
mereka belum pernah melukai orang tanpa sebab. Kenapa sekarang mereka berkelahi
sama orang?" "Mesti ada yang aneh," kata Oey Yong. "Mari kita cari orang yang kepalanya
kehilangan kulitnya itu...."
Maka mereka mampir di dusun itu, untuk bermalam. Tapi dusun besar, banyak rumah
dan penduduknya. Mereka membuat penyelidikan sampai sore tanpa ada hasilnya.
Besoknya pagi, mereka mendapatkan kedua burung mereka membawa pulang kuda
mereka. Hiat-niauw tidak ada beserta.
"Mari kita cari," kata Oey Yong, yang mengajaki kembali. Ia sangat sayang
burungnya itu. Tapi Kwee Ceng berkhawatir untuk Ang Cit Kong, yang terluka dan entah ada di
mana, sedang harian Pwee-gwee Tiong Ciu bakal lekas datang, mereka mesti
menghadiri pibu di Yan Ie Lauw di Kee-hin. Ia kata, perlu mereka lekas ke timur.
Oey Yong dapat dikasih mengerti, ia suka turut. Demikianlah dengan naik kuda
merah, mereka berangkat. Mereka melarikan kuda mereka keras dan burung mereka
mengiringi dari udara. Oey Yong senang sekali, di sepanjang jalan ia banyak
omong dan tertawa, gemar ia berguar. Ia jauh lebih gembira daripada yang sudah-
sudah. Bahkan diwaktu singgah, sampai jauh malam, dia masih tidak mau tidur,
sedang kawannya yang khawatir ia terlalu letih, menganjurkan ia beristirahat.
Ada kalanya, sampai jauh malam, sambil bersila di atas pembaringan, ada saja
yang ia omongi dengan si anak muda.
Pada suatu hari tibalah mereka di tempat perbatasan sebelah selatan antara dua
propinsi Ciat-kang dan Kang-souw, di sini mereka mengasih kuda mereka lari satu
harian hingga singgah di sebuah penginapan. Oey Yong pinjam sebuah rantang rotan
dari pelayan, hendak ia berbelanja di pasar.
"Kau sudah letih, kita dahar sembarangan saja di sini," Kwee Ceng mencegah.
"Aku hedak masak untukmu," berkata si nona. "Apakah kau tidak sudi makan
masakanku?" "Tentu aku suka, hanya aku menghendaki kau lebih banyak beristirahat," kata si
anak muda. "Nanti kalau kau sudah sehat betul, itu waktu masih ada tempo untuk
kau masak untukku." "Sampai aku sehat betul...." mengulangi si nona. "Itu waktu...."
Ia telah bertindak di ambang pintu, baru sebelah kakinya, atau ia berhenti.
Kwee Ceng tidak tahu napa orang bilang, tetapi ia menurunkan naya dari lengan si
nona. Ia kata: "Ya, sampai kita sudah dapat mencari suhu, baru kau masak, nanti
kita dahar bersama-sama..."
Oey Yong berdiam sekian lama, lalu ia kembali ke dalam, untuk merebahkan diri di
atas pembaringan. Ia terus berdiam, rupanya ia kepulasan.......
Kemudian, datang saatnya bersantap. Pelayan telah menyajikan makanan mereka. Si
pemuda membanguni si pemudi, untuk diajak berdahar.
Nona itu bangun seraya berlompat turun. Ia tertawa.
"Engko Ceng, kita tidak dahar di sini," ia kata. "Mari turut aku!"
Pemuda itu menurut, ia mengikuti. Mereka pergi ke pasar. Oey Yong pergi ke
sebuah rumah besar ynag temboknya putih dan pintunya hitam. Dia mutar ke
belakang. Di sini ia lompat naik ke tembok, untuk ke pekarangan dalam. Si pemuda
tidak mengerti tetapi ia megikuti terus.
Oey Yong berjalan terus hingga ke ruang depan di mana ada api terang menderang,
sebab tuan rumah tengah membikin pesta.
"Semua pinggir!" berkata si nona sambil tertawa. Ia maju ke depan.
Semua orang di tengah pesta itu heran. Semuanya ada tigapuluh orang lebih yang
terbagi atas tiga meja. Mereka itu saling mengawasi. Mereka heran mendapat orang
adalah satu nona muda dan cantik.
Oey Yong menghampirkan satu tetamu yang gemuk, ia menjambak dan mengangkat tubuh
orang, kakinya menggaet, maka robohlah si terokmok itu. "Apa kamu masih tidak
mau menyingkir?" ia tanya, sambil tertawa.
Orang menjadi heran berbareng takut, mereka itu lantas jadi kacau.
"Mana orang" Mana orang?" tuan rumah berteriak-teriak. Dia heran, kaget dan
berkhawatir dan mendongkol juga.
Segera terdengar suara berisik, di situ muncul dua guru silat beserta belasan
pengikutnya. Mereka itu membawa golok dan toya.
Oey Yong tidak takut bahkan ia tertawa terus. Ketika ia menyambut kedua guru
silat itu, sebentar saja ia dapat merobohkan mereka, terus ia menyerbu, merampas
senjata belasan pengikut itu, hingga tuang pesta menjadi sangat kacau.
Tuan rumah jadi takut, dia hendak lari, tetapi dia dicekuk si nona, jenggotnya
di tarik, lehernya diancam dengan golok. Dalam takutnya ia menekuk lutut, dengan
suara gemetaran dan tidak lancar ia berkata: "Lie-tay-ong...oh, nona...kau ingin
uang, nanti aku sediakan, asal kau ampuni jiwaku..."
"Siapa menghendaki uangmu"!" kata Oey Yong tertawa. "Mari temani aku minum!"
Tuan rumah itu ditarik jenggotnya, ia ketakutan, ia diam saja.
"Mari duduk," kata si nona, yang pun menarik tangan Kwee Ceng. Ia mengaajaknya
duduk di meja tuan rumah bersama tuan rumah itu. "Kamu juga duduk!" ia kata pada
orang banyak, yang berkumpul di pojokan, bingung dan berkhawatir. "Eh, kenapa
kamu tidak mau duduk?" Ia lantas menancap golok di meja, golok itu berkilauan.
Semua tetamu itu ketakutan, dengan saling desak, mereka berebut maju, hingga
kursi pada terlanggar terbalik.
"Kamu toh bukan bocah-bocah umur tiga tahun!" nona itu menegur. "Apa kamu tidak
dapat duduk dengan rapi?"
Semua tetamu itu takut, mereka lantas berlaku tenang.
Oey Yong minum araknya dengan gembira.
"Perlu apa kau mengadakan pesta?" ia tanya tuan rumah. "Apakah kau kematian
anggota keluargamu?"
"Sebenarnya aku tambah anak," kata tuan rumah. Sekarang ia tidak takut lagi.
"Hari ini ada hari ulang tahun satu bulan anakku itu dan aku mengundang sahabat
dan tetangga-tetanggaku...."
"Bagus!" kata si nona tertawa. "Coba kau bawa keluar anakmu itu!"
Tuan rumah kaget, mukanya pucat. Ia takut anaknya dibunuh. Dengan membelalak, ia
mengawasi pisau yang masih nancap di meja. Tapi karena takut, ia terpaksa
menyuruh orang membawa keluar anaknya itu.
Oey Yong menggendong bayi itu, ia mengawasi muka orang. Ia pun memandang muka
tuan rumah. "Tidak mirip-miripnya," katanya. "Jangan-jangan ini bukan anakmu
sendiri!" Tuan rumah itu likat dan berbareng berkhawatir, kedua tangannya bergemetaran.
Semua tetamu itu merasa lucu tetapi tidak ada yang berani tertawa.
Oey Yong mengeluarkan sepotong uang emas berat kira lima tail, ia serahkan itu
kepada inang pengasuh berikut bayinya seraya berkata: "Ini tidak berarti, hitung
saja sebagai tanda mata dari nenek luarnya."
Semua orang merasa heran dan lucu. Dia orang luar dan menyebut dirinya nenek
luar sedang dialah satu nona remaja. Tuan rumah tampaknya girang.
"Mari! aku beri kau selamat satu mangkok!" kata Oey Yong. Dan ia mengambil satu
mangkok besar, ia isikan arak, ia tolak itu ke depan tuan ruamhnya.
"Aku tidak kuat minum, maaf," kata tuan rumah itu.
Mendadak si nona mengasih lihat roman bengis, tangannya pun menyambar jenggot.
"Kau minum atau tidak"!" dia tanya keras.
Tuan rumah itu ketakutan, terpaksa ia menenggak arak itu.
"Nah, ini baru bagus!" kata si nona. "Mari, sekarang kita main teka-teki!"
Semua orang takut, maka apa yang si nona inginkan lantas kejadian. Tapi mereka
bangsa saudagar atau hartawan, tidak ada yang pandai main teka-teki, si nona
jadi sebal. "Sudahlah!" katanya.
Sementara itu tuan rumah roboh menggabruk. Dia tidak kuat minum tetapi mesti
minum banyak arak........
Si nona tertawa lebar, ia dahar, Kwee Ceng menemani padanya.
Akhirnya terdengar tanda jam satu malam, si nona mengajak kawannya pulang, tuan
rumah dan tetamunya dibiarkan dalam bingung......
"Bagus tidak, engko Ceng?" Oey Yong tanya setibanya di pondokan.
"Ah, tidak karua-karuan kau membikin orang ketakutan," kata si anak muda.
"Sekarang ini aku mencari kesenangan untukku, aku tidak peduli orang lain
ketakutan," kata si nona.
Pemuda itu heran. Kata-kata itu mesti mengandung arti tetapi ia tidak sanggup
menangkapnya. "Aku hendak pergi jalan-jalan, kau turut tidak?" kemudian Oey Yong tanya.
"Di waktu begini mau pergi ke mana lagi?" tanya si pemuda heran.
"Aku ketarik sama bayi tadi. Ingin aku memain dengannya, sesudah beberapa hari,
baru aku akan membayarnya pulang....."
"Eh, mana dapat..." kata Kwee Ceng heran.
Tapi si nona tertawa, dia pergi ke luar, dia melompat tembok pekarangan.
Kwee Ceng menyusul, ia menarik tangan orang.
"Yong-jie, kau sudah main-main lama, apakah itu masih belum cukup?" tanyanya.
"Belum cukup," si nona menyahuti. "Mari kau temani aku, kita main-mian sampai
puas benar. Lewat beberapa hari lagi bukankah kau bakal meninggalkan aku, kau
akan pergi mengawini putri Gochin Baki" Tentu dia bakal tidak mengijinkan kau
bertemu pula sama aku..... kau tahu, waktunya aku berada bersama kau, lewat satu
hari berarti kurang satu hari, maka itu satu hari itu tempo itu ingin aku
membikin menjadi dua hari, seperti tiga hari, ya seperti empat hari! Engko Ceng,
hari kita sudah tidak banyak lagi, maka malam juga aku tidak mau tidur, aku mau
pasang omong terus dengan kau! Mengertikah kau sekarang" Bukankah kau tidak
bakal mencegah aku pula atau menasehati aku untuk beristirahat?"
Kwee Ceng terbengong. Baru sekarang ia mengerti perubahan sikap si nona ini -
sikapnya yang luar biasa itu. Si nona jadi tak ingin berpisah dengannya. Tempo
yang pendek hendak dibikin panjang dengan pertemuan lama, tak siang tak malam....


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia memegang erat tangan si nona itu, ia merasa kasihan, ia mencintai.
"Yong-jie, otakku yang tumpul!" katanya. "Sebegitu jauh aku tidak mengerti
maksudmu. Aku....aku..." Ia berdiam tak dapat ia berkata terus. Ia tidak tahu mesti
mengatakan apa. Oey Yong tersenyum. "Dulu hari ayah mengajarkan aku membaca banyak syair, yang mengenai kedukaan dan
penasaran," katanya. "Aku kira itu disebabkan ayah berduka karena sangat
mengingat ibuku yang telah meninggal dunia itu, baru sekarang aku ketahui, hidup
di dalam dunia ini, orang benar banyak lelakonnya, sebentar girang, sebentar
bersusah hati..." Malam itu bulan sisir, udara terang, hawa pun adem. Angin meniup halus.
Kwee Ceng jadi berpikir. Ia tidak menyangka si nona mencinta dia sedemikian
rupa. Sekarang ia mengerti akan kelakuan luar biasa nona itu selama beberapa
hari yang paling belakangan ini.
"Bagaimana kalau kita berpisah nanti?" pikirnya. "Yong-jie cuma ditemani
ayahnya, apa tidak kesepian ia berdiam seorang diri di Tho Hoa To" Dan bagaimana
lagi nantinya, kalau ayahnya telah menutup mata" Tidakkah ia akan hanya ditemani
hamba-hamba gagu" Mana dia bisa merasa senang-senang?"
Mengingat begitu, hati pemuda ini menjadi kecil. Ia pegangi keras tangan si
nona, ia menatap mukanya.
"Yong-jie," katanya, "Biar langit ambruk, akan aku menemai kau di Tho Hoa To!"
Tubuh si nona bergemetar, ia mengangkat kepalanya.
"Apa katamu?" ia tanya.
"Aku tidak lagi memperdulikan lagi Jenghiz Khan atau Gochin Baki," menyahut si
anak muda. "Seumur hidupku akan aku menemani kau saja!"
"Ah..." kata si nona dan ia nyelundup ke dadanya anaknya muda.
Kwee Ceng merangkul. Sekarang ia merasa hatinya lega.
"Bagaimana dengan ibumu?" si nona tanya selang saat.
"Aku akan pergi menjemputnya untuk diajak ke Tho Hoa To," sahut si anak muda.
"Apakah kau tidak takut pada Jebe, gurumu dan Tuli serta sekalian saudaranya,
semua pangeran itu?"
"Mereka semua baik terhadapku tetapi aku tidak dapat memecah dua hatiku......."
"Bagaimana dengan keenam gurumu dari Kanglam serta Ma Totiang, Khu Totiang dan
lainnya lagi?" "Pasti mereka bakal gusar tetapi perlahan-lahan saja aku akan meminta maaf pada
mereka. Yong-jie, kau tidak mau berpisah dari aku, aku juga tidak mau berpisah
dari kau." "Aku punya akal," berkata si nona tiba-tiba. "Kita bersembunyi di Tho Hoa To,
untuk selamanya kita jangan berlalu dari situ. Ayah pandai mengatur hingga pulau
itu tertutup untuk orang lain, taruh kata mereka dapat mendatangi tetapi tidak
nanti mereka dapat mencari kau..."
Kwee Ceng menganggap akal itu tidak sempurna, ia hendak mengutarakan pikirannya
itu atau mendadak ia memasang kupingnya. Ia mendengar tindakan kaki di tempat
belasan tombak, tindakan dari dua orang yang biasa berjalan malam, datangnya
dari selatan, tujunannya utara. Ia pun dapat mendengar perkataan satu di
antaranya: "Loo Boan Tong telah terkena terjebak Pheng Toako, kita jangan takuti dia lagi! Mari lekas!"
Juga Oey Yong mendengar sama seperti si anak muda. Kedua mereka tidak berniat
memikir apa juga, ingin mereka menyenangkan hati, tetapi disebutkannya nama Loo
Boan Tong, membuatnya mereka berdua itu berjingkrak berbareng, dengan serentak
mereka lari untuk menyusul kedua orang itu.
Orang-orang yang belum dikenal itu berlari-lari tanpa mengetahui yang mereka
lagi dikuntit. Mereka lari terus hingga lima-enam lie di belakang dusun itu.
Tempo mereka membelok ke sebuah tikungan, dari sebelah depan lantas terdengar
suara yang berisik sekali serta cacian.
Dengan mempercepat larinya, Kwee Ceng dan Oey Yong lantas sampai di tempat
tujuan. Dengan lantas mereka menjadi terkejut dan heran. Mereka telah melihat
Ciu Pek Thong lagi duduk bersila di tanah, tubuhnya tak bergerak, entah dia
hidup atau sudah mati. Dan di depannya, duduk bercokol juga ada seorang
pertapaan sebagaimana dikenali dari jubahnya. Dialah Leng Tie Siangjin, si
pendeta dari Tibet. Di samping Ciu Pek Thong ada sebuah gua gunung yang mulutnya kecil, yang bisa
muat tubuh satu orang dengan orang itu mesti masuk sambil membungkuk. Di luar
gua ada enam orang, ialah mereka yang suaranya berisik itu, mereka berani
membuka mulut tetapi takut masuk ke dalam gua, seperti juga di dalam situ ada
suara makhluk yang dapat mencelakai orang.
Kwee Ceng khawatir Ciu Pek Thong telah menjadi korbannya si Pheng Toako,
sebagaimana tadi dia mendengar perkataannya orang, karena itu hendak ia lantas
maju mendekati. Oey Yong melihat sikap kawannya, ia mencegah sambil menarik tubuh orang.
"Sabar," kata Oey Yong. "Mari kita memeriksa dulu dengan teliti."
Kwee Ceng dapat dicegah maka berdua mereka mengumpatkan diri. Dengan begitu
mereka jadi melihat dengan tegas rombongan orang itu, yang kebanyakan adalah
kenalan-kenalan lama, ialah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, Kwie-bu Liong Ong See
Thong Thian, Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw dan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay.
Dua lagi ialah si orang tukang jalan malam tadi, yang mereka tidak kenal.
Oey Yong merasa semua orang itu bukan tandingannya dia serta Kwee Ceng. Dua
orang baru itu juga tidak usah dikhawatirkan. Tapi ia masih melihat ke
sekitarnya. Di situ tidak ada orang lain. Maka ia kisiki kawannya: "Dengan
kepandaian Loo Boan Tong, beberapa orang ini pastilah tidak bisa berbuat sesuatu
atas dirinya, maka itu, menurut sangkaanku, mesti di sini ada See Tok Auwyang
Hong. Entah dia bersembunyi di mana...."
Si nona lantas hendak mencari tahu atau ia mendengar suara tak sedap dari Pheng
Lian Houw. "Binatang, jikalau kau tetap tidak keluar, aku nanti ukup kau dengan
asap!" Dari dalam gua, ke dalam mana ancaman Pheng Lian Houw diberikan, terdengar
jawaban yang berat dan angker: "Kau mempunyai kepandaian bau apa, kau keluarkan
saja!" Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali suara gurunya yang nomor satu, yaitu Hui Thian
Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Terbangkan Langit. Sekarang ia tidak ingat lagi
kepada Auwyang Hong, lantas ia berseru: "Suhu, muridmu datang!" Suaranya itu
disusul sama lompatannya yang pesat, hingga ia muncul sambil berbareng mencekuk
punggungnya Hauw Thong Hay, tubuh siapa lantas dilemparkan!
Munculnya si anak muda membuatnya pihak Thong Hay menjadi kaget. Pheng Lian Houw
berdua See Thong Thian lantas maju menerjang, sedang Nio Cu Ong pergi ke
belakang orang, untuk membokong.
Kwa Tin Ok di dalam gua pun turut bekerja. Ia rupanya mengetahui perbuatan si
orang she Nio, ia lantas menyerang dengan sebatang tokleng atau lengkak beracun.
Cu Ong terkejut, dia berkelit sambil tunduk, tidak urung ujung kondenya kena
tersambar beberapa jiur rambutnya putus. Ia kaget bukan main. Ia tahu senjatanya
Tin Ok itu beracun, sebagaimana dulu hari hampir saja Pheng Lian Houw terbinasa
karenanya. Maka ia berlompat ke samping seraya meraba kepalanya. Ia berlega hati
ketika ia mendapatkan kenyataan kulit kepalanya tidak terluka.
Ia lantas mengeluarkan senjata rahasianya, paku Touw-kut-jiam, terus ia jalan
mutar ke kiri gua, maksudnya untuk menyerang ke dalam gua secara diam-diam, guna
membokong musuh yang ada di dalam itu. Ia baru menggeraki tangannya atau ia
merasakan lengannya kaku, pakunya lantas saja jatuh dengan menerbitkan suara
nyaring. Tengah ia bingung, ia mendengar tertawanya seorang nona yang terus
berkata: "Lekas berlutut! Kau akan merasai tongkat lagi!"
Nio Cu Ong berpaling, ia melihat Oey Yong dengan tongkat di tangan, berdiri
sambil tertawa haha-hihi. Ia kaget berbareng girang. Pikirnya: "Kiranya tongkat
Ang Cit Kong jatuh di tangannya dia ini?" Dengan segera ia mengerjakan dua
tangannya berbareng: Tangan kiri melayang ke pundak si nona, tangan kanan
menyambar ke tongkat, yang ia hendak rampas.
Dengan lincah Oey Yong berkelit dari sambaran tangan kiri itu. Ia tidak menarik
tongkatnya, ia sengaja memberinya ketika hingga ujung tongkat itu kena dipegang
perampasnya. Cu Ong girang bukan main. Dia lantas menarik dengan keras, di dalam
hatinya ia lantas kata: "Jikalau kau tidak melepaskan maka tubuhnya bakal
ketarik bersama." Benar saja tongkat itu kena ketarik, tetapi cuma sedetik, cekalannya lolos
sendirinya. Sebab selagi ia menarik si nona mengikuti, mendadak nona itu
mendorong dengan kaget, hingga terlepaslah cekalannya. Tengah dia terkejut,
tahu-tahu tongkat itu sudah berbalik melayang ke kepalanya. Ia kaget melihat
tonggkat itu berkelebat. Dasar dia lihay, ia lantas menjatuhkan diri berguling
jauh satu tombak. Ketika ia sudah berdiri pula, ia menampak si nona berdiam diam
mengawasi dia dengan tersenyum.
"Kau tahu apa nama jurus ini?" si nona tanya tertawa. "Kau telah kena aku
kempleng satu kali, kau tahu kau berubah menjadi apa?"
Dulu hari pernah Nio Cu Ong merasa lihaynya tongkatnya itu, dia buatnya Ang Cit
Kong "mati dan hidup pula", maka juga meski tempo telah lama lewat, dia masih
ingat itu dan merasa jeri, sekarang dia merasakannya pula, meski tidak hebat,
toh hatinya terkesiap, dia menjadi jeri. Justru itu ia melihat See Thong Thian
dan Pheng Lian Houw tengah terdesak hebat, mereka itu cuma dapat membela diri,
dia lantas berseru dan memutar tubuhnya untuk mengangkat kaki.
See Thong Thian kena disikut Kwee Ceng, dia terhuyung tiga tindak. Meneruskan
serangannya, tangan kiri si anak muda melayang kepada Pheng Lian Houw. Dia ini
tidak berani menangkis, dia berkelit. Tapi dia kalah gesit, tangan anak muda itu
kena menyambar lengannya, yang terus dicekal keras. Dia bertubuh kate dan kecil,
dengan gampang tubuhnya itu kena diangkat, hingga kedua kakinya seperti
bergelantungan di udara....
Sambil mengangkat tubuh orang, Kwee Ceng mengepal tangan kirinya, siap sedia
meninju dada orang tawanannya itu. Lain Houw melihat itu, dalam takutnya dia
berseru menanya: "Hari ini bulan kedelapan tanggal berapa?"
"Apa kau bilang?" tanya si anak muda tercengang.
"Kau memegang kepercayaan atau tidak?" Lian Houw tanya. "Apakah kata-katanya
satu laki-laki tak masuk hitungan?"
"Apa kau bilang?" sambil menegasi, Kwee Ceng masih mengangkat tubuh orang.
"Bukankah janji kami ialah Pwee-gwee cap-gouw," kata Lian Houw. "Bukankah janji
pertandingan kita di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada tanggal limabelas bulan
delapan" Dan tempat ini bukannya kota Kee-hin dan sekarang bukannya harian Tiong
Ciu! Bagaimana dapat kau mencelakai aku?"
Kwee Ceng pikir perkataan orang itu benar juga, ia hendak melepaskan atau
mendadak ia ingat suatu apa.
"Kau bikin apa atas dirinya Toako Ciu Pek Thong?" ia tanya.
"Dia sekarang lagi bertaruh sama Leng Tie Siangjin," menyahut Lian Houw. "Mereka
bertaruh, siapa bergerak paling dulu, dialah yang kalah! Urusan dia tak ada
hubungannya dengan aku!"
Kwee Ceng mengawasi dua orang yang duduk di tanah itu, pikirnya: "Kiranya
begitu?" Lantas ia menanya keras: "Toasuhu, adakah kau baik?"
Itulah pertanyaannya untuk Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu.
"Hm!" jawab Hui Thian Pian-hok dari dalam gua.
Sampai di situ, pemuda itu lantas melepaskan cekalannya sambil ia terus menolak
dada orang. "Pergilah!" ia mengusir.
Pheng Lian Houw tidak roboh, karena dia terus berlompat. Ketika kedua kakinya
telah menginjak tanah, ia berpaling ke arah kedua kawannnya, See Thong Thian dan
Nio Cu Ong, maka ia mendapatkan mereka itu sudah pergi jauh. "Celaka, manusia
tidak ingat persahabatan!" ia mencaci di dalam hatinya. Lantas ia memberi hormat
kepada Kwee Ceng seraya membilang: "Nanti tujuh hari kemudian kita mengadu
kepandaian pula di Yan Ie Lauw untuk memastikan kalah menang!" Setelah beraksi
begitu, ia memutar tubuhnya, dengan menggunai ilmu enteng tubuhnya, ia lantas
menangkat kaki. Itu waktu Oey Yong telah menghampirkan Ciu Pek Thong dan Leng Tie Saingjin. Dua
orang itu saling mengawasi dengan matanya masing-masing terbuka lebar, tidak ada
yang mengedip atau menoleh. Ia lantas ingat perkataannya dua orang yang berjalan
malam itu bahwa Pek Thong telah kena ditipu Lian Houw, sekarang ingin ia
membuktikan itu. Pasti karena jeri kepada Pek Thong, jago tua itu telah
dipancing kemurkaannya, dia diadu dengan Leng Tie Siangjin, dengan cara adunya
mereka main diam-diam. Dengan cara begitu, Pek Thong jadi dibikin tak berkutik,
hingga mereka itu jadi leluasa mengepung Kwa Tin Ok. Pek Thong gemar bergurau,
ia pun lolos, gampang saja ia kena diperdayakan, maka juga meski di sampingnya
orang bertempur hebat dan mengacau, dia tidak mengambil mumat, dia terus beradu
diam dengan Leng Tie Siangjin, si pendeta dari Tibet itu. Dia berduduk tegar,
maksudnya yang utama ialah mengalahkan Leng Tie.
"Loo Boan Tong, aku datang!" kata Oey Yong.
Pek Thong mendengar itu, tetapi dia takut kalah, maka dia berdiam saja.
"Dengan bertaruh begini kau menyia-nyiakan waktu," kata si nona. "Lagi satu jam
juga, belum tentu kamu ada yang menang atau kalah! Mana itu menarik hati" Begini
saja! Aku yang menjadi wasitnya! Aku akan mengitik kamu, mengitiknya sama,
lantas aku mau lihat siapa yang tertawa paling dulu. Siapa yang tertawa, dialah
yang kalah!" Sebenarnya Pek Thong sudah habis sabar, bahwa ia toh tetap berdiam saja, ia
penasaran kalau ia sampai kalah, sekarang mendengar usulnya si nona, ia akur.
Tapi ia tak mau mengasih tanda akan kesetujuannya, sebab kalau ia menepi atau
bergerak, ia kalah. Oey Yong tidak menanti jawaban, ia mendekati mereka, ia memernahkan diri di
antara mereka itu, lalu ia mementangkan kedua tangannya, dengan berbareng ia
menotok ke jalan darah siauw-yauw-hiat mereka itu, ialah urat tertawa. Ia tahu
Pek Thong menang unggul dari Leng Tie, ia tidak berlaku curang. Kesudahannya
totokannya itu membuatnya heran. Pek Thong memang tetap bercokol, tetapi
anehnya, Leng Tie pun berdiam saja, pendeta itu seperti tidak merasakan apa-apa,
dia seperti tidak menggubris godaan itu.
"Heran pendeta ini," pikir si nona. "Nyata dia lihay ilmunya menutup jalan
darahnya. Jikalau aku, tentulah aku sudah tertawa terpingkal-pingkal..." Ia
penasaran, maka ia menotok pula, kali ini dengan terlebih keras.
Ciu Pek Thong mengumpul tenaga dalamnya, ia menentang totokannya Oey Yong.
Segera ia menjadi heran. Ia mendapat kenyataan tenaganya si nona menjadi besar
sekali. Ia melawan terus, ia bertahan, tetapi ia kewalahan. Diakhirnya, ia
melepaskan perlawannya, sambil berlompat bangun, ia tertawa berkakakan. Kemudian
ia kata: "Eh, eh, pendeta, kau hebat! Baiklah, Loo Boan Tong menyerah kalah!"
Oey Yong menjadi menyesal. Ia tidak menyangka Pek Thong begitu gampang saja
menagaku kalah. Pikirnya: "Kalau tahu begini, aku tidak mengangggu dia, aku
hanya mengeraskan totokanku kepada si pendeta." Maka ia lantas menghadapi Leng
Tie Siangjin dan berkata: "Kau sudah menang, nonamu tidak menginginkan jiwamu!
Lekas mabur!" Leng Tie Siangjin tidak menyahuti, ia tetap duduk.
"He, siapa kesudian menontoni macam tololmu ini!" membentak si nona seraya
tangannya menolak. "Kau berpura-pura mampus"!"
Oey Yong menolak dengan perlahan, tetapi tubuh si pendeta yang besar dan gemuk
itu roboh terguling dengan tiba-tiba, robohnya dengan tangan dan kaki tidak
bergerak, seperti tadi dia bersila.
Si nona terkejut, juga Kwee Ceng dan Pek Thong.
"Apakah ini disebabkan ilmunya menutup jalan darah?" tanya Oey Yong. "Apa
ilmunya itu belum sempurna maka ia gagal bertahan dan menjadi kaku terus-terusan
dan mati sendirinya?" Ia lantas menaruh tangannya di depan hidung pendeta itu,
ia merasakan hawa tarikan napas yang biasa, ia menjadi heran dan mendongkol
serta lucu. "Loo Boan Tong, kau terpedayakan, kau tidak tahu," ia kata sambil tertawa pada
Pek Thong. "Sungguh manusia tolol!"
"Apa kau bilang?" tanya si orang tua yang matanya dipentang lebar.
Si nona tertawa. "Kau bebaskan dulu dia dari totokan jalan darah, baru kita bicara pula!"
sahutnya. Si tua jenaka itu melengak, tetapi ia membungkuk kepada Leng Tie Siangjin, tubuh
siapa ia lantas raba-raba, uasp sana dan usap sini, ia juga menepuk-nepuk,
dengan begitu ia mendapat kenyataan, si pendeta telah ditotok seluruh jalan
darahnya. Ia lantas berjingkrak dan berseru-seru: "Tidak, tidak, inilah tidak
masuk hitungan!" "Tidak masuk hitungan apa?" Oey Yong menegasi.
"Dia ini dipermainkan konconya," kata Loo Boan Tong. "Sesudah dia duduk tadi,
konconya totok dia hingga dia jadi duduk tegak tanpa bisa berkutik. Dengan
begitu mesti kita bertaruh sampai lagi tiga hari dan tiga malam, dia pasti tidak
bakal kalah!" Ia berbalik pula pada si pendeta yang rebah melengkung di tanah,
dia kata: "Mari, mari! Mari kita mulai mengadu pula!"
Sementara itu hari Kwee Ceng menjadi lega. Ia melihat orang tidak kurang suatu
apa, bahkan sehat sekali. Maka ia tidak sudi mendengari ocehan orang yang lebih
lama. Ia ingat kepada gurunya. Dari itu ia lantas lari ke dalam gua.
Pek Thong sendiri lantas menolongi Leng Tie Siangjin, masih ia mengoceh tak
hentinya. "Mari, mari kita bertaruh pula!"
"Mana guruku?" Oey Yong tanya dengan suara dingin kepada orang tua berandalan
itu. "Kau buang kemana guruku itu"!"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ditanya begitu Pek Thong terkejut hingga ia berteriak, lantas ia lari ngiprit ke
arah gua, hingga hampir saja dia saling tabrak sama Kwee Ceng, yang keluar dari
dalam gua itu sambil memayang gurunya.
Tiba di luar anak muda ini berdiri menjublak. Ia melihat Kwa Tin Ok, gurunya
yang paling tua itu, melibat kepalanya dengan sabuk putih, bajunya baju putih
pula. "Suhu, apakah kau sedang berkabung?" akhirnya ia menanya heran. "Jie-suhu dan
yang lainnya mana?" Tin Ok tidak menyahuti, hanya ia mengangkat kepalanya memandang langit. Dengan
lantas ia mengucurkan air mata.
Kwee Ceng heran dan kaget, sampai dia tak berani lantas mengulangi
pertanyaannya. Ketika itu Pek Thong sudah muncul pula dari dalam gua, ia mepepayang satu orang
yang tangannya kiri mencekal cupu-cupu arak, tangannya yang kanan memegang
daging ayam sebelah potong, sedang mulutnya menggigit satu paha ayam juga.
Dialah Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong.
Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali.
"Suhu!" mereka memanggil.
Justru itu Kwa Tin Ok, dengan romannya yang bengis, menghajar nona Oey dengan
tongkat besinya. Oey Yong yang sedang bergirang sekali, ia tidak menyangka yang ia bakal
diserang. Itulah satu jurus dari Hok Mo Thung-hoat, yaitu ilmu tongkat Menakluki
Iblis, yang Tin Ok sengaja menciptakannya di gurun pasir untuk melawan Bwee
Tiauw Hong. Sebaliknya, Kwee Ceng melihat itu. Bukan main kagetnya murid ini.
Tidak ada tempo lagi untuk mencegah dengan mulut, terpaksa si anak muda mengulur
tangan kirinya, guna menyampok tongkat itu, sedang dengan tangan kanannya ia
menyambar ujungnya, guna membikin tongkat itu tidak jatuh. Dalam kesusu, ia
menggunai tenaga besar. Inilah hebat untuk Kwa Tin Ok. Dia tersampok dan
tertarik, dia tidak dapat mempertahankan dirinya, tongkatnya terlepas, tubuhnya
terpelanting jatuh! Kemabli Kwee Ceng menjadi kaget.
"Suhu!" ia berseru seraya menubruk, guna mengasih bangun gurunya itu.
Mulutnya Kwa Tin Ok mengeluarkan darah, sebab dua buah giginya copot, sedang
mulutnya bengkak akibat jatuhnya itu.
"Untuk kau!" katanya ketika ia mengambil kedua buah giginya itu dan
menyerahkannya kepada muridnya. Tangannya berlepotan darah.
Kwee Ceng menjatuhkan diri di depan gurunya itu.
"Teecu salah, suhu," ia kata. "Silahkan suhu menghukum...."
"Untukmu!" kata pula si guru, tangannya tetap dilonjorkan.
"Suhu..." murid itu kata pula sambil menangis.
Ciu Pek Thong menyaksikan kejadian itu, yang dia anggap lucu, maka ia tertawa
dan kata: "Semenjak dulu adalah guru yang menghajar murid tetapi hari ini murid
menghajar guru! Bagus, bagus!" Ia tidak memperdulikan lagi bahwa ia justru
membikin hati Tin Ok menjadi makin panas. Karena sang murid tidak mau menerima
giginya itu, Tin Ok lantas menelan itu!
"Bagus, bagus!" kembali Pek Thong berseru-seru dan bertepuk tangan.
Oey Yong menjadi bingung. Ia tidak tahu kenapa Tin Ok hendak membinasakan
padanya. Ia mendekati Cit Kong, tangan siapa ia cekal.
"Biar bagaimana juga teecu tidak berani melawan suhu," kata Kwee Ceng
mengangguk-angguk. "Barusan teecu kesalahan tangan, maka itu harap suhu
menghukum padaku...."
"Suhu! Suhu!" membentak sang guru. "Siapa gurumu" Kau mempunyai pemilik dari Tho
Hoa To sebagai mertuamu, perlu apa lagi kau dengan gurumu" Kanglam Cit Koay
cetek kepandaiannya, mana tepat ia menjadi gurunya Kwee Toaya"!"
Kwee Ceng semakin menyesal, ia mengangguk-angguk pula. Hebat sekali kemurkaan
guru itu hingga Oey Yok Su disebut-sebut sebagai mertuanya dan ia pun disindir
"toaya" atau "tuan besar"
Ang Cit Kong tidak dapat mengawasi saja.
"Kwa Tayhiap," ia berkata, "Diantara guru dan murid, keterlepasan tangan adalah
hal yang umum, oleh karena itu, aku harap kau maafkanlah muridmu ini. Barusan
anak Ceng menggunai jurus dari ilmu silat ajaranku si pengemis tua, akulah yang
bersalah, di sini aku haturkan maaf kepadamu"
Pengemis itu benar-benar menjura kepada jago nomor satu dari Kanglam itu.
Mendengar itu Cit Kong berkata demikian, Ciu Pek Thong pikir ia pun baik bicara.
Maka ia kata kepada Hoe Thian Pian-hok: "Kwa Tayhiap, diantara guru dan murid
keterlepasan tangan adalah umum sekali, karena sambaran saudar Kwee barusan
kepada tongkatmu adalah sambaran ajaranku, di sini aku Loo Boan Tong
menghanturkan maaf padamu."
Ia pun menjura. Dalam murkanya itu, Tin Ok menganggap orang mengejek padanya, ia bukan saja
mendongkol pada si tua yang doyan bergurau itu, ia juga menganggap Ang Cit Kong
mau main gila terhadapnya, maka itu dengan sengit ia kata: "Kamu Tong Shia dan
See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, kamu semua mengandalkan kepandaianmu, kamu
menganggap kamu dapat malang melintang di kolong langit, akan tetapi di mataku,
perbuatan kamu semua banyak yang tak pantas, maka akhirnya nanti mesti buruk
akibatnya!" Pek Thong heran. "Eh, apakah salahnya Lam Tee hingga kau membawa-bawa dia?" ia tanya.
Oey Yong melihat suasana buruk sekali, kalau ia diam saja, si tua bangka
berandalan ini bisa mengacau hebat, karena dalam murkanya itu, Tin Ok mesti
dibikin sabar dan bukannya dikocok, maka ia lantas menyelak. Ia kata: "Loo Boan
Tong, burung Wanyoh mau terbang berpasangan datang mencari kau, apakah kau tidak
mau lekas-lekas pergi melihatnya?"
Pek Thong kaget hingga ia lompat berjingkrak.
"Apa"!" ia menanya.
"Dia ingin bersama kau di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi mandi
baju merah..." kata pula si nona.
Pek Thong menjadi terlebih kaget lagi.
"Dimana" Dimana?" ia tanya berulang-ulang.
"Di sana!" sahut Oey Yong, tangannya menunjuk ke arah Selatan. "Di sana! Lekas
kau pergi mencari dia!"
"Untuk selama-lamanya aku tidak akan menemui dia pula!" berseru Pek Thong. "Nona
yang baik, apa juga kau boleh menitahkannya kepadaku asal kau jangan membilangi
dia aku ada di sini...!" belum berhenti suaranya, dia sudah lari ke arah utara.
"Kau ingat, perkataanmu ini ialah janjimu!" kata Oey Yong.
"Kalau Loo Boan Tong sudah mengatakan, dia tidak nanti menyesal!" kata Pek Thong
dari jauh, lalu dia lenyap dari pandangan mata si nona.
Maksudnya Oey Yong ialah memperdayakan si tua jenaka itu pergi mencari Eng Kouw,
siapa tahu, Pek Thong takut bertemu sama si nyonya itu, dia bahkan kabur. Tapi
biar bagaimana, orang toh telah menyingkir, maka lega juga hatinya nona ini.
Kwee Ceng masih berlutut di depan gurunya, ia masih minta diberi hukuman. Sambil
menangis, ia kata pula: "Buat gua teecu, suhu bertujuh telah pergi jauh ke gurun
di utara, tempat yang bersengsara, maka itu biarpun tubuh teecu hancur lebur,
sukar untuk teecu membalas budi suhu semua. Tanganku ini bersalah, baiklah teecu
tidak menginginkannya pula!"
Dengan tangan kanannya, si anak muda mencabut pedangny, dengan itu ia menebas
tangannya yang kiri, tetapi Kwa Tin Ok menangkis dengan tongkatnya, hingga kedua
senjata itu bentrok keras, lelatu apinya muncrat, tangan si guru dirasakan
sakit. Itulah bukti yang muridnya itu benar-benar mau mengutungi tangannya itu.
Maka lantas ia berkata: "Baiklah, sekarang aku ingin kau melakukan sesuatu!"
"Titahkan saja suhu, tidak nanti teecu membantah," Kwee Ceng bilang.
"Jika kau menampik, lain kali jangan kau bertemu pula padaku!" kata si guru.
"Biarlah perhubungan kita putus bagai ditebas!"
"Teecu akan melakukan itu dengan sungguh-sungguh!" kata Kwee Ceng. "Kalau tidak
sampai mati baru teecu berhenti!"
Tin Ok membanting tongkatnya ke tanah.
"Kau kutungi kepalanya Oey Lao Shia serta kepala gadisnya!" dia bilang keras.
Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Itulah titah sangat hebat, yang ia tidak sangka.
"Suhu!" serunya. "Suhu...!"
"Bagaimana"!" tanya si suhu bengis.
"Entah kenapa Oey Lao Shia bersalah kepada suhu?"
"Hm! Hm!" mengejek si suhu. "Aku mengharap Thian memberikan ketika sejenak saja
untuk aku bisa melihat, asal aku bisa melihat mukamu binatang cilik yang bong in
pwee gia!" Dia mengangkat pula tongkatnya, niat menyerang.
Bukan main sedihnya Kwee Ceng, yang dikatakan bong it pwee gie - tidak mengenal
budi. Ia melihat tongkat mengancam. Ia tidak berkisar, ia tidak berkelit.
Oey Yong terkejut, apa pula ketika ia mendapatkan si pemuda diam saja.
"Menolong dulu, itulah perlu!" pikirnya. Maka ia menggeraki tongkatnya, dengan
jurus "Anjing jahat menghadang jalanan".
Tongkatnya Tin Ok tidak mengenai sasarannya.
Bukan main mendongkolnya ketua Kanglam Cit Koay ini. Tangkisan si nona
membuatnya terhuyung, meski ia tidak jatuh. Dua kali ia menumbuk dadanya
sendiri, lantas ia lari ke arah utara.
"Suhu, suhu!" Kwee Ceng berteriak-etriak memanggil.
"Apakah Kwee Toaya menghendaki jiwa tuaku"!" guru itu tanya.
Kwee Ceng tercengang. Ia tidak berani mencegah pula. Ia menunduki kepala. Maka
ia cuma bisa mendengar suar tongkat besi mengenai tanah atau batu, makin lama
makin jauh, makin jauh, makin samar, lalu lenyap. Ia ingat budinya guru itu, ia
menjatuhkan diri di tanah dan menangis menggerung-gerung..
Sambil menuntun tangan Oey Yong, Ang Cit Kong menghampiri muridnya itu.
"Dua-dua Oey Lao Shia dan Kwa Tayhiap mempunyi tabiatnya sendiri-sendiri yang
sangat luar biasa," ia berkata. "Entah ada terjadi perselisihan apa di antara
mereka itu. Sekarang kau jangan bersusah hati, kau serahkan urusan ini padaku,
nanti aku si pengemis tua yang membereskannya, supaya mereka menjadi akur pula."
Kwee Ceng berhenti menangis, ia bangun.
"Suhu, tahukah suhu apa sebabnya itu?" ia tanya.
Cit Kong menggeleng kepala, tetapi ia berkata: "Loo Boan Tong telah kena orang
perdayakan. Dia bertaruh mengadu diam maka kejadianlah dia diam tak berkutik.
Memangnya kawanan manusia jahat itu hendak membikin celaka aku, kebetulan gurumu
itu sampai, dia melindungi aku, dia mengajaknya aku bersembunyi ke dalam gua
itu. Dengan mengandal pada lengkak beracun gurumu itu, orang jahat itu tidak
berani memasuki gua. Maka kita dapat bertahan sekian lama. Gurumu itu seorang
yang mulia hati, melindungi aku dengan membahayakan dirinya sendiri."
Pengemis itu berhenti bicara, ia menceegluk araknya dua kali, akan menggerogoti
paha ayamnya, yang ia terus telan, setelah mana ia menyeka mulutnya. Habis itu,
baru ia berkata pula: "Pertempuran barusan hebat sekali. Celaka untukku, karena
kepandaianku telah ludas, aku tidak dapat turun tangan untuk membantu. Aku
bertemu sama gurumu itu tetapi tidak sempat aku bicara dengannya. Aku percaya
kegusarannya barusan pasti bukan karena kau keterlepasan tangan. Dia seorang
berbudi dan jauh pandangannya, tidak nanti dia berlaku dengan cupat pikiran.
Lagi beberapa hari akan tiba waktu perjanjian Pwe-gwee Cap-gouw, maka sesudahnya
pertandiang di Yan Ie Lauw nanti aku menjadi orang pertengahan akan mengakuri
mereka itu." Kwee Ceng mengucap terima kasih.
"Kepandaian kamu berdua maju sangat pesat, anak-anak," Cit Kong berkata pula
sambil tertawa. "Kwa Tayhiap ada seorang Rimba Persilatan yang kenamaan tetapi
setelah kamu turun tangan, dia jatuh pamornya. Sebenarnya bagaimanakah halnya
dengan kamu?" Kwee Ceng berduka dan malu, ia tidak dapat berbicara maka Oey Yong yang menutur
hal perjalanan mereka berdua semenjak mereka berpisah di istana raja.
Cit Kong memuji dengan seruannya mendengar Yo Kang membinasakan Auwyang Kongcu.
Ketika ia mendengar halnya Yo Kang menipu Lou Tiangloo sekalian, ia mencaci naka
muda itu sebagai anak jadah. Kemudian ia melongo mendengar halnya It Teng Taysu
menolongi Oey Yong sampai pada lelakonya Sin Soan Cu Eng Kouw yang penasaran dan
mendendam hebat. Diakhirnya ia berseru kaget mengetahui Eng Kouw muncul di Chee-
liong-tha, di mana nyonya itu menjadi seperti hilang ingatan.
"Suhu, apakah kau kenal Eng Kouw?" Oey Yong tanya.
"Tidak, aku tidak kenal dia," menyahut guru itu. "Hanya di waktu Toan Hongya
masuk menjadi pendeta, aku berada di sisinya. Dia telah mengirim surat padaku di
Utara, dia mengundang aku datang ke Selatan. Aku lantas datang karena aku
percaya tanpa urusan penting tidak nanti dia mengundang aku. Aku datang karena
sekalian aku ingin mencoba pula makanan Inlam yang lezat, bahkan aku berangkat
dengan cepat. Tempo aku bertemu sama Toan Hongya, dia lesu sekali, dia sangat
berbeda sama waktunya pertemuan di Hoa San, di mana dia gagah bagaikan naga dan
harimau. Aku heran sekali. Besoknya ia mengajaki aku berunding tentang ilmu
silat, maksudnya untuk mewariskan padaku dua macam kepandaiannya Sian Thian Kan
dan It Yang Cie. Kembali aku menjadi heran. Sian Thian Kan dari Toan Hongya
bersama Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku, Kap Mo Kang dari Auwyang Hong dan Pek
Khong Ciang dari Oey Lao Shia, sama tersohornya, sama tangguhnya, maka itu
setelah dia pun memperoleh It Yang Cie dan Ong Tiong Yang, pasti sudah dia bakal
jadi jago nomor satu di kolong langit ini dalam pertempuran yang kedua di Hoa
San. Tidak karu-karuan sekarang dia mau mewariskan dua rupa kepandaian itu
kepadaku, untuk itu dia memakai alasan merundingkan ilmu silat. Kenapa dia tidak
mau mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku" Mesti ada sebabnya. Hal itu
aku memikirkannya. Kemudian setelah diam-diam aku berbicara dengan empat
muridnya, baru aku ketahui sebab aneh itu. Kiranya sehabis mewariskan
kepandaiannya padaku, dia hendak membunuh diri...
"Suhu," berkata Oey Yong, "Toan Hongya itu khawatir, setelah dia mati, It Yang
Cie tidak ada yang mewariskannya dan itu artinya tidak ada orang yang dapat
menguasai Auwyang Hong."
"Benar, aku juga telah melihat hal itu. Karena itu juga, aku bilang aku tidak
suka mempelajari dua rupa kapandaiannya itu. Setelah aku menampik, dia baru
menutur maksud hatinya. Dia kata keempat muridnya biarnya mereka jujur dan
setia, tetapi sebab perhatian mereka itu ditumpleki pada urusan pemerintahan,
tidak nanti mereka memperoleh kemajuan. Dia kata pula, tidak apa aku tidak
menyukai Sian Thian Kan, tetapi It Yang Cie sangat perlu. Dia bilang, apabila It
Yang Cie terbawa ke kubur olehnya tanpa ada yang mewariskan, dia malu bertemu
dengan Ong Tiong Yang di dunia baka. Aku masih membandel tidak mau menerima
warisannya itu. Aku pikir, dengan membandel artinya jiwanya dapat diselamatkan."
"Kejadian itu sungguh aneh," kata Oey Yong. "Semenjak dahulu adalah umum,
seorang mau belajar dan minta diajari dan orang menolak mengajari, akan tetapi
kali ini, orang tidak mau belajar tetapi dibujuki dan dipaksa!"
"Oleh karena aku tetap menolak," Cit Kong bercerita lebih lanjut, "Toan Hongya
habis daya, lantas dia masuk menjadi pendeta, di harian dia dicukuri rambutnya,
aku hadir dan mendampingi dia. Itulah kejadian belasan tahun yang lalu. Ah,
bagus, bagus sekarang urusan bisa diselesaikan secara begini."
"Suhu," kemudian Oey Yong berkata pula, "Urusan kami sudah beres, sekarang
tentang urusan suhu sendiri."
"Urusanku sendiri?" kata si orang tua. "Di istana aku telah makan segala macam
masakan lezat..." dan tak hentinya ia menyebut namanya pelbagai sayur sambil
dengan lidahnya menjilati bibirnya.
"Kenapa Loo Boan Tong tidak berhasil mencari suhu?"
"Sebabnya ialah karena koki raja sering kehilangan banyak sayurannya, dapu
istana jadi kacau! Semua orang bilang di dapur istana itu muncul dewa rase,
lantas mereka memasang hio memjua aku. Kemudian urusan terdengar oleh pimpinan
siewi, dia mengirim delapan siewi untuk manjagai dapur, untuk menangkap dewa
rase itu. Aku jadi sulit, sedang Loo Boan Tong tidak datang-datang. Terpaksa aku
pergi bersembunyi di tempat yang sepi. Tempat itu dipanggil ruang Gok Lek Hoa-
tong. Di sana ada tanaman banyak pohon bwee. Itulah tempat raja menggadangi
bunga bwee di musim dingin, maka itu di musim panas, di itu tak ada satu setan
juga kecuali beberapa orang kebiri tua tukang sapu. Senang aku tinggal di situ.
Di mana saja di dalam istana, orang bisa makan, seratus pengemis tinggal juga
mereka tidak bakal kelaparan. Baru belasan hari aku hidup senang lalu datang
gegobrak, mulanya Loo Boan Tong yang main menangis seperti setan mengulun atau
anjing membaung atau kucing mengeong, hingga istana jadi kacau, lalu beberapa
orang berteriak-teriak: 'Ang Cit Kong Looyacu! Ang Cit Kong Looyacu!' Aku
mengingat, aku mengenali mereka itu ialah rombongannya Pheng Lian Houw, See
Thong Thian dan Nio Cu Ong..."
"Mau apa mereka mencari suhu?" tanya Oey Yong heran.
"Aku pun heran. Hendak aku menyingkir dari mereka, tetapi Loo Boam Tong
mempergoki aku. Di sangat girang, dia peluk aku, dia memuji-muji kepada Thian.
Kemudia dia menitahkan Nio Cu Ong semua berjalan di belakang..."
Kembali Oey Yong heran. "Kenapa Nio Cu Ong semua dapat diperintah Loo Boan Tong?"
"Ketika itu aku pun sangat heran. Aku melihat mereka sangat takut pada Loo Boan
Tong, apa yang diperintahkan, mereka lantas kerjakan, tidak berani mereka
membantah. Demikian mereka diberi tugas mengiringi, Loo Boan Tong menggendong
aku sampai di Gu-kee-cun, untuk mencari kamu berdua. Dia tengah jalan dia
menjelaskan padaku bahwa dia bingung tidak dapat mencari aku, sedangnya begitu
dia bertemu Nio Cu Ong semua. Dia hajar mereka itu, dia suruh mereka membantui


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari di segala tempat. Mereka mengatakan sia-sia belaka mereka mencari di
istana sedang istana sangat luas dan lebar".
Oey Yong tertawa. "Loo Boan Tong lihay sekali, dia dapat membikin Nio Cu Ong semua tunduk. Kenapa
kawanan iblis itu tidak melarikan diri saja?"
Cit Kong tertawa. "Loo Boan Tong ada mempunyai akalnya sendiri. Dia kata dia telah membuat obat
pel yang dicampuri kotorannya, dia suruh mereka makan satu orang tiga butir.
Setelah itu dia membilanginya, obatnya itu ada racunnya dan akan bekerja selewat
empatpuluh sembilan hari, bahwa obat pemunahnya cuma dia sendiri yang dapat
membikinya. Mereka itu jadi ketakutan, mungkin mereka sangsi, tetap mereka
menjadi mendengar kata. Begitulah mereka jadi dapat diperintah segala macam".
Kwee Ceng lagi berduka tetapi mendengar cerita sang guru, ia tertawa juga.
"Sampai di Gu-kee-cun, kamu tidak dapat dicari," Ang Cit Kong meneruskan
keterangannya, "Loo Boan Tong memaksa mereka itu mencari pula. Kemarin malam
mereka pulang dengan lesu, mereka gagal, karena itu Loo Boan Tong mencaci
mereka, yang terus diancam, apabila besok mereka gagal pula, mereka akan dikasih
makan lagi obat kotorannya itu, timbul kecurigaan mereka. Mereka percaya bahwa
mereka lagi dipermainkan, bahwa sebenarnya mereka bukan dikasih makan racun.
Lantas mereka memancing. Dalam gusarnya, Loo Boan Tong membuka rahasianya
sendiri tanpa merasa. Aku menjdai berkhawatir. Mereka itu bangsa licik, aku
pikir lebih baik mereka disingkirkan saja, supaya mereka kelak tidak menjadi
bahaya di kemudian hari. Mereka itu benar lihay, mereka merasa bahaya mengancam,
mereka mendahului turun tangan. Begitulah Pheng Lian ouw menggunai
kecerdikannya, dia mau adu Loo Boan Tong dengan Leng Tia Siangjin. Tidak dapat
aku mencegah lagi. Untuk menolong diri, aku pergi menyingkir. Kebetulan sekali
di luar dusun aku bertemu Kwa Tayhiap. Dia melindungi aku menyingkir ke mari,
kemudian dia pergi kepada Loo Boan Tong, maka Loo Boan Tong pun datang ke mari,
hanya di sini, setelah dikocok Lian Houw, dia mengadu kepandaian duduk diam sama
di pendeta." Oey Yong mendongkol berbareng merasa lucu.
"Jikalau tidak terjadi perkara kebetulan, suhu jiwamu bisa hilang di tangan Loo
Boan Tong," kata ia. "Baiknya kebetulan sekali engko Ceng dan aku mendengar
lewatnya dua kawan mereka itu."
"Jiwaku memang sudha tidak berharga lagi, jiwa ini di antarkan di tangan siapa
pun sama saja," kata sang guru.
"Suhu, ketika itu hari kita pulang dari pulau Beng Hee To..." kata si nona.
"Bukan Beng Hee To hanya pulau menggencet setan!" kata sang guru pula.
"Baik, pulau menggencet setan," kata sang murid. "Sekarang ini benar-benar
Auwyang Kongcu telah menjadi setan! Ketika itu hari di atas getek kita menolongi
Auwyang Hong paman dan keponakan, aku mendengar si bisa bangkotan mengatakan
bahwa di kolong langit ini cuma ada satu orang yang dapat menyembuhkan suhu,
hanya dia sangat gagah dan lihay, dia tidak bisa dipaksa menolongi suhu sedang
suhu tidak sudi menolongi diri dengan merugikan lain orang, suhu tidak mau minta
pertolongan orang itu. Suhu juga tidak mau membilang nama orang itu. Sekarang
kami tahu siapa orang itu, sebab dialah bukan lain daripada Toan Hongya dulu
hari dan It Teng Taysu sekarang ini."
Ang Cit Kong menghela napas.
"Jikalau dia menggunai It Yang Cie menyalurkan jalan darahku, memang dia dapat
menyembuhkan aku," dia berkata, "Hanya karena dia menolong aku, dia bakal
menggunai tenaga dalamnya cara berlebihan, setelah itu banyak tujuh tahun atau
sedikitnya lima tahun, tidak dapat ia memulihkan tenaga dalamnya itu. Mungkin
hatinya tawar dan dia tidak menghiraukan lagi urusan pertemuan yang kedua di
gunung Hoa San, tetapi dengan usianya yang sudah enam atau tujuhpuluh tahun,
berapa lama lagi dia bisa hidup" Maka itu, mana aku si pengemis tua dapat
membuka mulut untuk mohon pertolongannya?"
Mendengar itu, Kwee Ceng berjingkrak.
"Suhu, mari aku yang mengobati kau!" ia berkata. "Aku telah mempelajari It Yang
Cie! Apakah tidak baik sekarang juga di gua ini aku menyalurkan semua jalan
darahmu?" Ang Cit Kong menggeleng kepala.
"Tahukag kau kenapa It Teng Taysu mengajari It Yang Cie kepadamu?" ia tanya.
Inilah Kwee Ceng tidak pernah pikir, maka ia mendengar pertanyaan gurunya ini,
ia lantas mengerti, tanpa merasa ia mengeluarkan peluh dingin.
"Ah, It Teng Taysu hendak mencari kematiannya!" ia berseru. "Kalau begitu akulah
yang membikin dia celaka!"
"Ketika dia mengobati Yong-jie, jikalau dia tidak melihat kau diam-diam
mempelajari ilmunya itu, tempo Eng Kouw mencari dia, mustahil dia berani pasang
tubuhnya untuk dibunuh nyonya itu," kata guru ini pula. "Untuk menolongi aku,
untuk mengobati aku, tidak menjadi soal, tetapi bagaimana kalau dalam tempo lima
atau tujuh tahun lagi si bisa bangkotan datang untuk membikin celaka padamu"
Bagaimana kau nanti dapat melayani dia" Bolehkah kau menyia-nyiakan pengorbanan
It Teng Taysu?" "Jikalau suhu sudah sembuh, suhu dapat melayani si bisa bangkotan itu," berkata
sang murid. Cit Kong lagi-lagi menggeleng kepala.
"Sukar untuk lukaku dapat disembuhkan tempo yang cepat," katanya. "Sebaliknya
hari pertandingan di Yang Ie Lauw di Kee-hin sudah sampai bulu alis. Maka itu
tentang sakitku ini dan pengobatannya, baik kita bicarakan lain kali saja."
Oey Yong tertawa mendengar diua orang ini berebut omong, yang satu memaksa mau
mengobati, yang lain menolak. Ia berkata. "Sudahlah, jangan kamu berebut mulut!
Untuk menyalurkan jalan darah dan meluruskan nadi, aku mengerti!"
"Apa katamu?" Cit Kong tanya heran.
Si nona tersenyum, ia menyahuti: "Bahasa yang aneh yang engko Ceng ingat di
dalam hatinya telah disalin dengan jelas kepada kami, sekarang aku pikir-pikir,
ilmu itu dapat dipakai menolong suhu," Untuk menguatkan keterangannya itu, ia
menjelaskan penjelasan-penjelasan dari It Teng Taysu itu.
"Bagus, bagus!" kata Cit Kong girang. "Aku lihat kau memang dapat menolong, cuma
untuk itu dibutuhkan tempo sedikitnya setengah sampai satu tahun."
Bab 69. Hebat!!! Bab ke-69 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
"Suhu," kata Oey Yong kemudian. "Di dalam pertemuan di Yan Ie Lauw itu, pihak
sana pasti bakal mengundang Auwyang Hong, benar Loo Boan Tong tidak bakal kalah
tetapi dia berandalan, dia suka mengacau, aku khawatir nanti timbul keonaran,
maka itu aku pikir perlu kita pergi ke Tho Hoa To untuk mengundang ayahku.
Dengan begitu barulah kita akan merasa pasti akan kemenangan kita!"
"Kau benar," berkata Cit Kong. "Biar aku yang pergi dulu ke Kee-hin dan kamu
berdua pergi ke Tho Hoa To."
"Baiklah kita pergi bersama dulu ke Kee-hin," kata Kwee Ceng. Ia berkhawatir
untuk gurunya itu. "Tidak usah, biar aku pergi sendiri," kata guru itu. "Aku akan menunggang
kudamu. Umpama kata ada orang jahat, aku dapat mengaburkannya. Siapa dapat
menyusul aku?" Ia lantas melompat ke punggung kuda itu, di mana dia menenggak
araknya. Ketika ia menjepit kedua kakinya, kuda itu berpekik menghadapi Kwee
Ceng, lantas ia kabur ke arah utara.
Pemuda itu mengawasi gurunya sampai guru itu lenyap dari pandangan matanya,
lantas ia mengingat sikap Kwa Tin Ok, gurunya yang ke satu itu dari pihak
Kanglam Cit Koay, ia menjadi sangat berduka.
Oey Yong tahu orang bersusah hati, ia tidak membujukinya, hanya ia terus menyewa
perahu, untuk mengajak orang menaikinya, guna berangkat ke Tho Hoa To. Di dalam
perjalanan itu, mereka tidak mengalami sesuatu, maka mereka tiba dengan tidak
kurang suatu apa di pulau yng dituju. Setelah mendarat dan membayar sewaan
perahu, hingga si tukang perahu lantas pergi, baru ia kata kepada kawannya:
"Engko Ceng aku hendak memohon sesuatu padamu, kau suka meluluskan atau tidak?"
"Kau sebutkan dulu, aku mendengarnya," menyahut si anak muda, "Jangan nanti soal
yang aku tidak dapat melakukannya."
Oey Ying tertawa. "Aku bukannya minta kau memotong kepalanya keenam gurumu itu!" katanya.
Pemuda itu tidak puas. "Untuk apa kau menimbulkan urusan itu, Yong-jie?" ia tanya.
"Kenapa aku tidak boleh menimbulkannya?" si nona balik menanya. "Mungkin kau
dapat melupakan itu, aku tidak! Biarnya aku baik dengan kau tetapi aku tidak
suka kepalaku dipotong olehmu..."
Anak muda itu menarik napas panjang.
"Sungguh aku tidak mengerti kenapa toasuhu demikian gusar..." katanya.
"Toasuhu ketahui baik sekali kaulah orang yang aku cintai. Biar aku mesti mati
seribu atau selaksa kali, tidak nanti aku sudi melukai kau biar bagaimana kecil
juga." Oey Yong bersyukur. Ia menarik tangan si anak muda, ia menyenderkan tubuhnya ke
tubuh anak muda itu. "Engko Ceng, apakah kau anggap Tho Hoa To ini bagus?" ia tanya. Ia menunjuk
barisan pohon yangliu di tepi air. Perlahan suaranya.
"Mirip tempat dewa-dewi," Kwee Ceng menyahut.
Si nona menghela napas. "Ingin aku tinggal hidup di sini, tidak sudi aku dibunuh kau..." katanya.
Kwee Ceng mengusap-usap rambut nona itu.
"Anak tolol! Mana dapat aku membunuh kau.."
"Bagaimana kalau kau didesak enam gurumu, ibumu dan sekalian sahabatmu" Kau
turun tangan juga atau tidak?"
"Biar semua orang di seluruh jagat memusuhkan kau, aku tetap akan melindungimu!"
kata si anak muda. Oey Yong memegang keras tangan si anak muda.
"Untukku, kau suka mengorbankan segala apa?" ia tanya.
Kwee Ceng berdiam, agaknya ia bersangsi.
Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengawasi mata orang. Sinar mata itu menunjuki
roman kedukaan atau ragu.
"Yong-jie," kata si anak muda kemudian, "Aku telah bilang padamu aku suka
berdiam di Tho Hoa To untuk memenani kau seumur hidupku, ketika aku mengatakan
itu, aku telah mengambil keputusanku."
"Bagus!" si nona berseru. "Mulai hari ini ,kau tidak akan meninggalkan pulau
ini!" Kwee Ceng heran. "Mulai hari ini?" dia tanya.
"Ya, mulai hari ini," berkata si nona. "Aku akan minta ayah pergi ke Yan Ie Lauw
untuk membantu pihakmu, aku bersama ayah nanti pergi membunuh Wanyen Lieh guna
membalaskan sakit hatimu, habis itu aku bersama ayah nanti pergi ke Mongolia
menyambut ibumu! Bahkan akan aku minta ayah menemui keenam gurumu guna memohon
maaf untukmu. Aku hendak membikin supaya hatimu lega dan tidak ada apa-apa lagi
yang harus dipikirakn!"
Kwee Ceng heran. Aneh sekali sikap nona ini.
"Yong, jie, apa yang aku bilang, semua itu kata-kataku," ia bilang. "Kau boleh
menetapkan hati." Si nona menghela napas. "Urusan di dalam dunia ini banyak yang sukar dibilang pasti," katanya. "Ketika
dulu hari kau menerima baik perjodohan putri Mongolia itu, mana kau pernah ingat
bahwa kau hari ini bakal menyangkal dia. Juga aku sendiri, aku pikir aku dapat
melakukan segala apa sesukaku. Sekarang baru aku tahu... Ah, apa yang kita pikir
baik, justru Thian pikir sebaliknya."
Kedua matanya si nona menjadi merah, lekas-lekas dia tunduk.
Kwee Ceng pun berdiam, pikirannya bekerja. Ingin ia menemani Oey Yong seumur
hidup di Tho Hoa To ini, tetapi berat untuk meninggalkan semua urusan dalam
dunia, itulah tidak sempurna. Hanya kenapa dia tidak dapat menyebutnya.
"Aku bukannya tidak percaya kau dan hendak memaksa kau berdiam di sini," si nona
berkata pula sesaat kemudian, perlahan, "Hanya...hanya...Di dalam hatiku aku sangat
takut..." Ia lantas mendekam di pundak anak muda itu, ia menangis.
Kwee Ceng bengong. Inilah ia tidak sangka. Ia juga heran.
"Kau takut apa Yong-jie?" ia tanya.
Si nona tidak menjawab, ia hanya menangis terus.
Kwee Ceng menjadi semakin heran. Semenjak mengenal si nona, biar bagaimana berat
beban pengalaman mereka, belum pernah nona itu menangis, ia lebih banyak
tertawa, tetapi sekarang, sepulangnya ke pulau ini" Inilah kampung halamannya.
Apakah yang dia buat takut" Bukankah dia justru bakal bertemu sama ayahnya"
"Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan ayahmu?" ia tanya akhirnya.
Oey Yong menggoyangi kepalanya.
"Apakah kau takut, kalau aku meninggalkan Tho Hoa To, lantas aku tidak kembali?"
Oey Yong menggeleng kepala pula. Dan ini dilakukannya terus meski si anak muda
menanya pula ia hingga empat atau lima kali.
Maka berdiamlah mereka sekian lama.
"Engko Ceng," kata si nona kemudian seraya mengangkat kepalanya mengawasi si
anak muda. "Aku takut tetapi tidak dapat aku mengatakan apa sebabnya... Kalau aku
ingat sikap dan romannya gurumu tempo dia hendak membinasakan aku, aku jadi
bingung sekali. Aku menjadi khawatir, akan ada suatu harinya kau nanti mendengar
perintah gurumu itu hingga kau membunuh aku... Maka itu aku minta kau jangan
meninggalkan lagi pulau ini. Kau berjanjilah!"
Kwee Ceng tertawa. "Aku kira urusan besar bagaimana, tak tahunya urusan begini!" katany. "Ingatkah
kau kejadian dulu hari di Pakhia, ketika keenam guruku mengatai kau sebagai
silumana" Ketika itu aku ikut kau pergi, lalu akhirnya tidak terjadi apa-apa.
Memang roman keenam gurku itu bengis tetapi hatinya mereka sangat baik, maka
kalau nanti kau sudah mengenal mereka, mereka tentulah akan menyukai kau...
Jiesuhu lihay ilmunya merabai saku orang, nanti kau boleh belajar padanya.
Tentang Citsuhu, ia sangat halus dan sabar..."
Tapi si nona memotong: "Dengan begitu, artinya kau mau meninggalkan pulau ini?"
"Kita meninggalkannya bersama-sama," berkata si anak muda. "Kita sama-sama pergi
ke Mongolia untuk menyambut ibuku. Kita bersama-sama membunuh Wanyen Lieh. Lalu
bersama-sama juga kita pulang! Bukankah itu bagus?"
Si nona melongo. "Kalau begitu, tidak dapat untuk selamanya kita bersama dan tidak dapat juga
untuk selamanya berada bersama," katanya selang sesaat.
Kwee Ceng menjadi heran. "Kenapa begitu?" ia tanya.
"Aku tidak tahu," si nona menggeleng kepala. "Jikalau aku melihat romannya
toasuhumu, aku dapat menerka sesuatu. Untuk dia, tidak cukup dia mengutungi
kepalaku! Dia membenci aku sampai ke tulang-tulangnya!"
Kwee Ceng melihat orang berbicara secara sungguh-sungguh, non aitu jadi sangat
berduka. Ia jadi memikirkan. Tanpa merasa, ia pun berkhawatir. Ia ingat pula
sikap gurunya yang kesatu yang sangat bengis itu.
"Dia biasa pandai berpikir," katanya dalam hati. "Kalau sekarang aku tidak
turuti dia dan kemudian kekhawatirannya itu terbukti, bagaimana nanti jadinya?"
Ia jadi sangat berduka. Tapi ia pun dapat mengambil keputusannya. Maka ia kata:
"Baiklah, aku tidak akan berlalu dari sini!"
Mendengar itu, Oey Yong bengong mengawasi pemuda itu, air matanya meleleh dari
kedua belah pipinya. "Yong-jie, kau menhendaki apa lagi?" tanya si anak muda perlahan.
"Aku menghendaki apalagi?" menyahut si nona. "Apa juga aku tidak menghendaki
pula." Lantas sepasang alisnya yang bagus bergerak, lantas ia tertawa. Ia kata
pula: "Kalau aku menghendaki apa-apa lgai, Thian juga tidak bakal
meluluskannya!" Saking gembiranya, lantas di situ ia menari-nari, tangan bajunya yang panjang
berseliweran, gelang emasnya berkilauan. Kadang-kadang ia menyambar-nyambar
pohon bunga dengan bunganya warna merah, putih, kuning dan ungu. Tiba-tiba ia
berlompat naik ke atas pohon, ke pohon yang lain, kembali lagi. Dalam
kegembiraannya itu ia bersilat dengan Yang Siang Hui dan Lok Eng Ciang.
Menyaksikan di nona, Kwee Ceng seperti ngelamun. "Dulu ibu mendongeng kepadaku,
bahwa di laut Tang Hay ada sebuah gunung dewi, bahwa atas gunung itu ada
sejumlah dewinya. Mustahilkah di dunia ini ada gunung dewi yang lebih indah
daripada pulau Tho Hoa To ini" Mungkinkah benar ada dewi yang melebihkan
cantiknya Yong-jie ini?" Ia sadar ketika mendadak Oey Yong berseru seraya terus
melompat turun, tangannya menggapai padanya seraya dia terus lari ke depan,
menerobos di antara rimba.
Kwee Ceng menyusul. Ia pun khawatir nanti kesasar.
Oey Yong lari berliku-liku sampai ia berhenti dengan mendadak.
"Apakah itu?" tanyanya seraya tangannya menunjuk ke depan di mana ada benda
bertumpuk. Kwee Ceng mendahului maju. Itulah seekor kuda yang lagi rebah. Bahkan ia lantas
mengenali itulah kudanya Han Po Kie, samsuhu atau gurunya yang nomor tiga. Ia
mengulur tangannya memegang perutnya kuda itu. Dingin rasanya. Terang sudah,
kuda itu telah lama mati. Berbareng heran, Kwee Ceng berduka. Kuda ini pernah
turut pergi ke gurun pasir dan dengannya Kwee Ceng kenal sejak dia masih kecil.
"Boleh dibilang inilah kuda luar biasa dan kuat, kenapa dia mati disini?" si


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak muda berpikir. "Tentu sekali samsuhu sangat berduka..."
Mengawasi lebih jauh, Kwee Ceng dapat memperhatikan, kuda itu bukan mati rebah
melonjor hanya keempat kakinya bertekuk meringkuk. Ia terkejut. Ia lantas ingat
kudanya Gochin Baki, yang terbinasa dihajar Oey Yok Su. Kuda putri itu mati
melingkar mirip dengan kuda ini. Maka dengan tangan kirinya ia mengangkat
lehernya kuda itu dan dengan tangan kanannya meraba dua kaki kuda itu. Untuk
kagetnya ia mendapatkan tulang-tulangnya kuda itu remuk. Ia lantas meraba
punggung kuda itu. Tulang punggungnya itu juga patah! Ketika ia mengangkat
tangannya, ia melihat tangannya itu berlepotan darah - darah yang sudah berubah
menjadi hitam tetapi bau amisnya masih ada. Mungkin sudah tiga empat hari kuda
ini mati. Oleh karena penasaran, Kwee Ceng membaliki tubuhnya binatang itu, untuk
memeriksa. Ia tidak mendapatkan luka di luar. Saking heran, ia duduk dengan
menjatuhkan diri di tanah, hatinya bekerja, "Mungkinkah ini darahnya samsuhu"
Habis dimana adanya guruku itu?"
Sekian lama Oey Yong berdiam di samping menyaksikan kelakukannya Kwee Ceng, ia
pun heran, tetapi ia dapat menenangkan diri. Maka kemudian ia kata: "Kau jangan
bergelisah. Mari kita memeriksanya perlahan-lahan..."
Nona ini maju, ia mementang kedua tangannya membiak pohon-pohon bunga, sembari
berjalan ia memperhatikan tanah. Kwee Ceng mengikuti, ia juga mengawasi ke
tanah, maka terlihatlah olehnya titik-titik yang disebabkan bercecerannya darah.
Saking ketarik dan tegang hatinya, ia sampai melupai jalan yang sesat, ia
mendahului si nona, dari jalan perlahan, ia menjadi membuka tindakan lebar.
Tidak heran kalau beberapa kali ia kesasar.
Oey Yong berlaku teliti, ia berjalan hingga di gombalan rumput, di pinggir batu
karang. Di situ tanda darah itu sebentar kedapatan sebentar lenyap. Ia memeriksa
dan melihat tapak serta bulu kuda.
Tanpa mengenal capai, mereka berjalan terus hingga beberapa lie, sampai di depan
sekumpulan pohon bunga dan pepohonan lain di mana ada sebuah kuburan. Melihat
itu Oey Yong lari menghampirkan.
Ketika dia pertama kali datang ke Tho Hoa To, Kwee Ceng pernah melihat kuburan
itu, yang ia masih mengenalnya. Itulah kuburan dari ibunya si nona. Hanya kali
ini, kuburan itu tidak utuh seperti dulu hari itu. Batu nisannya telah roboh. Ia
maju untuk mengangkat itu. Ia membaca tulisan di batu peringatan itu. Ibunya Oey
Yong ada orang she Phang. Terang tulisan itu ada tulisan Oey Yok Su - tulisannya
bagus dan tegak. Oey Yong melihat pintu perkuburan telah terpentang lebar-lebar. Ia merasa pasti
bahwa di pulaunya ini sudah terjadi sesuatu. Tadi pun ketika dari atas pohon ia
melihat melingkarnya kuda, hatinya sudah tercekat. ia tidak lantas bertindak
masuk. Lebih dulu ia memasang mata ke sekitar kuburan. Di kiri kuburan, rumput
hijaunya bekas terinjak-injak. Di muka pintu terlihat bekas-bekas senjata
beradu. Ia memasang kuping. Ia tidak mendengar suara apa-apa. Maka dengan
membungkuk, ia masuk di pintu.
Kwee Ceng berkhawatir, ia mengikuti masuk.
Begitu berada di dalam, muda-mudi itu merasakan hati mereka tegang, lebih-lebih
si pemudi. Bukankah ini kuburannya ibunya" Tembokan pada gugur atau gugus, bekas
terhajar senjata tajam akibat suatu pertempuran dahsyat.
Oey Yong memungut suatu barang ketika ia mulai bertindak masuk. Kwee Ceng
mengenali itulah timbangan atau dacin, yang menjadi senjata gurunya keenam, Coan
Kepala Iblis Nyi Gandasuri 1 Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan Setan Harpa 1
^