Pencarian

Memanah Burung Rajawali 30

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 30


ia belajar silat pada suhu, kita sudah mewariskan kepandaian suhu, kenapa
sekarang dia menjadi terlebih lihay daripadaku" Selama belasan tahun ini, di
mana ia menyakinkan ilmu silatnya itu?"
Selagi orang itu mendatangi bagaikan bayangan, si pelajar berempat lantas bangun
untuk berdiri, segera mereka memecah kedua sisi.
Cepat sekali orang itu telah tiba. Dia mengenakan pakaian hitam, cuaca pun
gelap, tetapi dia dapat lantas dikenal. Memang dialah Lauw Kui-hui, selir yang
dicintai Toan Hongya. Maka lantas mereka itu memberi hormat sambil mengucapkan:
"Siauwjin menghadap Nio-nio!"
Mereka menyebut diri: "siauwjin", hamba yang rendah dan memanggil nyonya itu
dengan io-nio, sebutan mulia untuk permaisuri.
"Hm!" Eng Kouw mengasih dengar suaranya, sedang matanya menyapu empat orang itu.
"Apakah Nio-nio itu"!" katanya bengis. "Lauw Kui-hui sudah lama mati! Aku ialah
Eng Kouw. Hai, yang mulia Perdana Menteri, yang mulia Jenderal Besar, yang mulia
Laksamana dan Pemimpin dari Pasukan Gie-lim-kun, kiranya kamu semua ada di sini!
Aku menyangka Sri Baginda benar-benar sudah melupai dunia, dia menjadi pendeta.
Siapa tahu dia justru bersembunyi di sini, dia tetap masih menjadi kaisar yang
berbahagia!" Hati empat orang itu berdenyutan. Suara kui-hui sangat tidak enak di dengar.
"Sekarang ini Sri Baginda bukan lagi seperti Sri Baginda dulu hari," berkata si
pelajar, si bekas perdana menteri yang mulia itu. "Kalau Nio-nio melihat
padanya, pasti Nio-nio tidak bakal mengenalinya."
"Ha, masih kamu menyebut Nio-nio!" membentak Eng Kouw. "Apakah kamu hendak
mengejek aku" Apa perlunya kamu hendak memberi hormat padaku sampai aku mati"!"
Keempat orang itu saling mengawasi, lantas mereka bangun berdiri.
"Hambamu yang rendah mengharap kesehatan Nio-nio," kata mereka.
Eng Kouw mengangkat tangannya.
"Hongya menitahkan kamu memegat aku, perlu apa ini segala macam adat-istiadat?"
katanya. "Jikalau kamu hendak turun tangan, lekas kamu menggeraki tangan kamu!
Kamu raja dan menteri setahulah kamu telah mencelakai berapa banyak rakyat
negeri, maka terhadap aku, seorang wanita, perlu apa kamu masih berpura-pura?"
"Raja kami mencintai rakyatnya seperti dia mencintai anaknya sendiri," berkata
si pelajar. "Dia sangat bijaksana dan mulia hatinya, jangan kata mencelakai
orang yang tidak bersalah berdosa, sekalipun seorang penjahat besar, dia masih
menyayanginya! Mustahilkah Nio-nio tidak ketahui itu?"
Muka Eng Kouw menjadi merah.
"Beranikah kamu main gila terhadap aku"!" dia menanya bengis.
"Hambamu tidak berani...."
"Kamu menyebut hambamu, sebenarnya, di antara kita mana ada lagi raja dan
menterinya?" kata Eng Kouw. "Sekarang aku hendak menemui Toan Tie Hin, kamu
hendak memberikan jalan atau tidak"!"
Toan Tie Hin itu ialah namanya Toan Hongya aliasnya It Teng Taysu. Si pelajar
berempat mengetahui itu tetapi mereka tidak pernah berani menyebut itu, maka itu
terkesiap hati mereka yang mendengar Eng Kouw menyebutnya seenaknya saja.
Si petani yang asalnya adalah komandan Gie-lim-kun, pasukan raja, menjadi habis
sabarnya. Dia kata dengan keras: "Siapa satu hari pernah menjadi raja, dia agung
seumur hidupnya, maka mengapa kamu mengucap kata-kata tidak karuan"!"
Eng Kouw tertawa panjang, tanpa membilang suatu apa, ia berlompat maju.
Keempat orang itu mengulur tangan mereka, untuk memegat. Mereka pikir: "Meskipun
dia lihay, mustahil kita tidak dapat merintangi dia" Biarnya kita melanggar
titah Sri Baginda, karena terpaksa, kita tidak bisa berbuat lain......"
Eng Kouw tidak menggunai kedua tangannya, baik untuk mendorong mereka atau untuk
meninju, dia maju terus, bersedia akan membentur tubuhnya kepada mereka itu!
Si tukang kayu terkejut. Tentu sekali ia tidak berani membiarkan tubuhnya
ditubruk - itu artinya mereka saling membentur tubuh. Maka ia berkelit ke
samping, sebelah tangannya diulur, guna menyambar ke pundak si nyonya bekas
junjungannya itu. Ia menyambar dengan cepat, ia juga menggunai tenaga, akan
tetapi ketika tangannya mengenai sasarannya, ia heran. Ia menjambak sesuatu yang
lunak dan licin, ia gagal mencekuk si nyonya.
Justru itu si petani dan si tukang pancing, sambil berseru, menyerang dari kiri
dan dari kanan! Eng Kouw tidak menangkis, ia hanya berkelit. Ia mendak, lalu ia molos bagaikan
ular licin di bawahan tangan kedua penyerangnya itu. Berbareng dengan itu, si
tukang pancing mendapat cium bau yang harum sekali, hingga ia terkejut, hingga
lekas-lekas ia menggeser incarannya, khawatir mengenai tubuh nyonya itu.
"Bagaimana, he!" membentak si petani gusar. Dengan sepuluh jarinya yang kuat, ia
menyambar ke pinggang bekas selir raja itu.
"Jangan kurang ajar!" membentak si tukang kayu.
Si petani tidak menghiraukan bentakan itu, ia meluncurkan terus tangannya,
hingga ia mengenakan sasarannya, hanya untuk herannya, ia membentur sesuatu yang
licin, hingga ia tidak dapat mencengkeramnya!
Demikian dengan ilmu lindungnya, Eng Kouw meloloskan diri dari rintangannya tiga
bekas menterinya itu, maka sekarang tahulah ia mereka itu tidak dapat mencegah
padanya. Karena ini, ia lantas membalas, sebelah tangannya melayang kepada si
petani. Melihat demikian, si pelajar menyerang dengan totokannya, ke lengan bekas selir
itu, tetapi ini bekas junjugan wanita tidak memperdulikannya, bahkan dia juga
mengeluarkan jari tangannya, memapaki totokan itu, hingga tangan mereka bentrok
seketika. Bukan main kagetnya si pelajar, hingga dia berseru. Bentrokan itu membikin dia
merasa sangat sakit, tubuhnya pun lantas roboh terbanting.
Si tukang kayu dan si tukang pancing berlompat, guna menolongi kawannya itu.
Si petani dengan kepalannya menyerang Lauw Kui-hui, untuk merintangi nyonya itu
nanti menyusuli serangannya kepada kawannya yang roboh itu. Tangannya ini keras
bagaikan besi. Eng Kouw hendak menguji kepandaiannya yang ia ciptakan sendiri selama hidup
menyendiri di rawa lumpur hitam, ia tidak menyingkir dari serangan itu. Sikapnya
ini membikin kaget penyerangnya. Karena si petani pikir, kalau ia mengenakan
sasarannya, tentulah hancur lebur batok kepalanya kui-hui itu. Ia lanats menarik
pulang tetapi dengan begitu kepalannya itu mengarah juga hidung Eng Kouw!
Nyonya itu berkelit dengan cepat, kepalan lewat di depan hidungnya, mengenaka
pipi si nyonya. Justru ia terkejut, justru tangannya dapat kena ditangkap. Ia
kaget dan berontak, atau ia lantas merasakan tangannya sakit, sebab tangan itu
kena dibikin patah! Ia mengertak gigi, tanpa menghiraukan tangannya yang patah
itu, dengan tangan kanannya, ia segera menotok ke ceglokan sikut.
Si pelajar berempat telah mendapat pelajaran baik dari guru mereka, meski belum
mereka mewariskan ilmu silat It Yang Cie, buat di dunia kangouw, sudah jarang
ada tandingan mereka, maka mereka tidak menyangka pada diri Eng Kouw mereka
seperti membentur batu. Tentu sekali, saking kerasnya niatnya menuntut balas, si
nyonya pun mempelajari senjata rahasia yang berupa jarum emas. Ia mengambil
dasar dari gerakan menyulam. Telunjuk kanannya dipakaikan gelang seperti cincin
emas, pada cincin itu ada tiga batang jarumnya yang dipakaikan racun. Demikian
sambil tertawa dingin, ia menyambut si petani
Bagaikan orang menusuki diri pada jarum, demikian si petani. Begitu tangannya
tertusuk, begitu ia menjerit, begitu ia roboh seperti si pelajar tadi!
"Hm! paduka congkoan!" Eng Kouw tertawa dingin. Ia lantas nerobos maju.
"Nio-nio, tahan!" berseru si tukang pancing.
Eng Kouw memutar tubuhnya. "Kau mau apa"!" ia menanya dingin.
Sekarang si nyonya sudah tiba di depan pengempang. Pengempang itu dipisahkan
dengan rumah suci dengan sebuah jembatan batu yang kecil dan ia sudah berada di
kepala jembatan. Ia mengawasi dengan roman dan sinar mata bengis, di dalam
gelap, sinar matanya itu nampak nyata. Maka terkejutlah si tukang pancing
melihat sinar mata itu, hingga ia tidak berani menerjang.
"Yang mulia perdana menteri dan yang mulia congkoan berdua telah terkena
jarumku. Cit Ciat Ciam, maka di kolong langit ini sudah tidak ada orang yang
dapat menolong mereka!" kata Eng Kouw dengan dingin. Habis berkata begitu, ia
memutar pula tubuhnya, tanpa menanti jawaban, ia berjalan maju, perlahan
tindakannya, tidak ia berpaling npula. Nyata ia tidak khawatir yang orang nanti
menyerang dengan membokong padanya.
Jembatan batu yang kecil itu cuma seperjalanan kira duapuluh tindak, ketika si
nyonya hampir sampai di ujung penghabisan, di sana dari tempat yang gelap muncul
satu orang, muncul secara tiba-tiba, hanya dia segera memberi hormat seraya
berkata: "Adakah cianpwee baik-baik saja?"
Eng Kouw terkejut. Ia berkata di dalam hatinya: "Ini orang muncul secara tiba-
tiba begini! Kenapa aku tidak mengetahui dari siang-siang" Jikalau ia menurubkan
tangan jahat, pastilah aku telah terbinasa atau sedikitnya terluka...."
Maka ia lantas mengawasi. Ia melihat seorang dengan tubuh dingin dan dada lebar,
alisnya gompiok, matanya besar. Ia pun lantas mengenali Kwee Ceng, si anak muda
yang ia berikan petunjuk untuk datang ke gunung ini.
"Apakah luka si nona kecil sudah sembuh?" ia menanya.
"Terima kasih untuk petunjuk cianpwee," menyahut si anak muda sambil menjura.
"Lukanya sumoyku syukur telah diobati sembuh oleh It Teng Taysu."
"Hm!" Kenapa dia tidak datang sendiri menghnaturkan terima kasih padaku?" Eng
Kouw tanya, sembari berkata, ia bertindak maju.
Kwee Ceng berdiri di ujung jembatan, ia tahu orang hendak menerobos tak peduli
ia bakal kebentur. "Cianpwee, silahkan kembali!" ia berkata cepat.
Eng Kouw tidak menghiraukan, ia maju terus. Bahkan dengan menggunai Nie-ciu-
kang, ilmu silat "Lindung", ia nerobos ke samping kiri si anak muda.
Kwee Ceng pernah menempur nyonya ini di rawa lumpur hitam, di rumah si nyonya,
ia tidak menyangka orang ada selicin demikian, dalam heran dan kagetnya itu, ia
berlompat, lantas ia menyerang dengan tangan kirinya, yang dilancarkan ke
belakang. Ia telah menggunai ilmu silat Kong Beng Kun ajarannya Ciu Pek Thong.
Eng Kouw sudah melewati si anak muda ketika ia terkejut atas berkesiurnya angin
kepalan halus tetapi keras. Untuk menolong diri seharusnya ia mundur pula, akan
tetapi ia telah berkeputusan pasti, untuknya ada maju tak ada jalan mundur, maka
juga, ia tahu apa yang ia mesti lakukan.
"Hati-hati!" Kwee Ceng berteriak. Atau mendadak ia merasakan ada tubuh wanita
yang halus menubruk lengannya, selagi ia kaget, kakinya telah kena digaet si
nyonya, hingga tidak ampun lagi, keduanya jatuh ke arah pengempang.
Selagi tubuhnya belum jatuh ke air, tangan kiri Eng Kouw dilewatkan dibawahan
ketiak kanan Kwee Ceng, diangkat ke atas, ke belakang leher, terus ke pundak
kiri si anak muda, untuk dipakai mencekek ke tenggorakan anak muda itu, untuk
itu ia menggunakan kedua jerijinya jempol dan tengah. Inilah ilmu silat "Siauw-
kim-na" atau "Tangkapan kecil" jurus "Memecet tenggorakan menutup napas" Kalau
orang kena terpencet, ia bisa lantas putus napasnya.
Kwee Ceng merasakan gerakan tangan orang itu, ia terperanjat. Ia tahu yang ia
terancam bahaya. Dengan lantas ia membela diri. Ia juga menggeraki tangan
kanannya ke arah lehernya si nyonya, hanya ia bukan mengarah tenggorakan hanya
belakang leher, sebab ia menggunai tipu serupa untuk bagian belakang, sedang Eng
Kouw untuk bagian depan. Eng Kouw pun lantas merasa akan gerakannya lawan. Ia pun tahu lihaynya pencetan
itu, maka ia berdaya untuk menghindarkannya.
Jembatan itu tidak tinggi, jaraknya ke muka air dekat sekali, meski begitu,
sebelum tubuh dua orang itu tercebur, mereka sudah saling menyerang atau membela
diri. Diakhirnya, "Byur!" maka keduanya jatuh ke air!"
Empang itu dalam kira dua kaki, di situ ada lumpurnya, maka setelah berada di
dalam pengempang, keduanya kerendam air sebatas dada.
Eng Kouw licik sekali. Dengan tangan kiri ia merogoh ke dalam air, ia mengambil
lumpur, dengan begitu ia lantas menghajar muka si anak muda.
Kwee Ceng terkejut, ia berkelit.
Di dalam bergerak di lumpur, itulah keistimewaannya si nyonya. Sudah belasan tahun ia berlatih di
rawa lumpur, maka juga tubuhnya dapat bergerak dengan lincah sekali, mirip
dengan lindung. Kalau di darat dia licin, di air terlebih lagi. Ini juga
sebabnya ia berhasil menubruk si anak muda, untuk mereka kecebur bersama. Ia
percaya, dengan bertempur di air, dapat ia melewati anak muda itu.
Di dalam air, Kwee Ceng kalah gesit. Rugi untuknya, ia juga tidak berani
menyerang melukai nyonya itu. Karena ia cuma bertujuan merintangi si nyonya.
Maka lekas juga ia terdesak. Berulang-ulang ia diserang dengan lumpur, hingga ia
selalu mesti main berkelit. Di akhirnya ia gelagapan, ketika juga ada lumpur
yang menimpa mukanya sebelum ia sempat berkelit, ia cuma bisa menutup matanya.
Sambil membela diri dengan sebelah tangan, dengan tangan yang lain ia singkirkan
tanah basah itu. Ia telah diajari Kanglam Liok Koay, kalau terkena senjata
rahasia, jangan sekali kehilangan ketabahan, kalau kita gugup atau bingung,
leluasa musuh mengulangi serangannya. Maka itu, ia membela diri sambil
menyerang, beruntun tiga kali.
Eng Kouw yang pintar menyingkir dari setiap serangan itu, ia berlompat naik ke
darat, dari itu ketika kemudian Kwee Ceng sudah bisa membuka matanya, ia tengah
lari menuju ke dalam kuil. Di dalam hatinya ia kata: "Sungguh hebat! Kalau tidak
ada pengempang, tidak nanti aku dapat mengundurkan bocah tolol itu. Rupanya
Thian ada besertaku, supaya aku berhasil menuntut balas...."
Segera juga ia sampai di depan pintu. Ia mengajukan sebelah tangannya, akan
menolak daun pintu. "Blak!" demikian satu suara nyaring dan pintu terbuka dengan gampang. Ia menjadi
terkejut bahna heran. Tentu sekali ia berkhawatir nanti ada musuh bersembunyi,
maka ia tidak lantas maju terus untuk masuk, ia hanya berdiri diam sambil
memasang mata. Kuil itu sunyi senyap. Karena itu baru ia bertindak masuk.
Di pendopo ada api pelita, menyorotkan roman agung dari patung sang Buddha yang
dipuja di situ. Ia lantas berlutut memberi hormatnya, ia memuji agar ia dibantu
melaksanakan pembalasannya. Tengah ia memuji, tiba-tiba ia mendengar suara
tertawa perlahan dan geli di sebelah belakangnya. Ia terkejut. Ia segera bersiap
membela diri, ialah dengan tangan kiri ia menyampok ke belakang, dengan sebelah
tangan ia menekan tikar untuk berlompat bangun sambil memutar tubuhnya.
"Bagus!" ia mendengar pula satu suara, kali ini pujian untuk lompatannya yang
lincah itu. Ia mengenali suaranya seorang nona. Ketika ia mengawasi - karena ia
pun tidak diserang - segera ia melihat tegas siapa nona itu, ialah Oey Yong!
Nona Oey mengenakan baju hijau dengan ikat pinggang merah, gelang rambutnya yang
terbuat dari emas berkeredep berkeliauan. Pada wajahnya yang cantik terlihat
senyuman yang manis. Sedang tangannya mencekal Lek-tiok-thung, tongkat keramat
dari Kay Pang, Partai Pengemis.
Bab 65. Selamat Bab ke-65 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
"Eng Kouw, lebih dahulu aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih untuk
pertolonganmu!" si nona lantas berkata.
Tapi si nyonya terus-terang: "Aku memberi petunjuk kepadamu untu kau datang
berobat kemari, maksudku yang utama bukan untuk menolongi kau, hanya untuk
mencelakai orang. Buat apa kau mengucap terima kasih padaku?"
Nona Oey itu menghela napas.
"Di dalam dunia ini, budi dan permusuhan sangat sukar dijelaskan," katanya.
"Ayahku di Tho Hoa To telah memenjarakan Loo Boan Tong Ciu Pek Thong limabelas
tahun lamanya sampai diakhirnya, dia tetap tidak sanggup menolongi jiwa ibuku..."
Mendengar disebutkannya nama Pek Thong, tubuh Eng Kouw bergidik.
"Ada apakah hubungannya di antara ibumu dan Ciu Pek Thong"!" ia menanya bengis.
Oey Yong cerdik sekali. Segera ia menduga, Eng Kouw tentu mencurigai ada
hubungan asmara di antara ibunya Loo Boan Tong. Nada suara nyonya ini tegas
menyatakannya itu. Tapi ini pun bukti bahwa setelah selang belasan tahun, kui-
hui ini masih tidak melupakan Pek Thong, bahkan ia menjadi jelus terhadap lain
orang. Tapi orang menanyakan tentang ibunya. Ia lantas tunduk dan air matanya
mengucur turun. "Ibuku telah dibikin letih Ciu Pek Thong hingga ia meninggal dunia," sahutnya.
Eng Kouw menjadi bertambah curiga. Ia mengawasi tajam nona di depannya, hingga
ia melihat kulit muka orang yang putih halus, matanya yang indah dan alisnya
bagus bagaikan dilukis. Ia merasa, meskipun dulu, semasa ia muda dan sedang
cantiknya, tidak dapat ia melawan nona ini. Maka kalau dia ini sama dengan
ibunya, sama cantiknya, siapa berani tanggung Ciu Pek Thong tidak jatuh hati
terhadap ibu si nona ini" Maka ia mengerutkan alisnya.
Oey Yong berkata pula: "Jangan kau memikir yang tidak-tidak! Ibuku ada seorang
bagaikan bidadari, sedang Ciu Pek Thong itu buruk bagaikan kerbau nakal! Kecuali
orang yang ada matanya tanpa bijinya, tidak nanti ada yang menaruh hati pada si
nakal itu!" Eng Kouw tahu ia dimaki berdepan, tetapi toh kata-katanya si nona melenyapkan
kecurigaannya, maka berbareng dengan itu, lenyap juga kejulesannya. Tapi ia
mempunyai tabiatnya sendiri, ia tetap berlaku dingin. Ia kata: "Karena ada orang
yang mencintai Kwee Ceng yang tolol seperti babi, mesti ada orang yang mencintai
juga orang yang buruk dan nakal seperti kerbau! Kenapa ibumu itu dibikin mati
letih oleh Loo Boan Tong?"
"Kau mencaci sukoku, aku tidak suka bicara denganmu!" sahut Oey Yong, yang
menunjuki tak senang hatinya. Ia lantas memutar tubuh, dengan lagaknya orang


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergusar. "Baiklah," kata Eng Kouw cepat. "Lain kali aku tidak mengatakan dia lagi."
Oey Yong menghentikan tindakannya, ia memutar tubuhnya.
"Loo Boan Tong juga bukannya sengaja membikin mati ibuku," ia berkata, "Adalah
ibuku yang tidak beruntung, yang telah meninggal dunia disebabkan gara-gara dia.
Karena murkanya di satu saat, ayahku telah mengurung dia di Tho Hoa To.
Diakhirnya, sia-sia saja tidak ada hasilnya dan ayah menjadi menyesal karenanya.
Ada dibilang, penasaran ada sebabnya, utang ada piutangnya. Ada sebabnya utang
piutangnya. Siapa membinasakan orang yang kau cintai, kau harus cari di ujung
langit atau di pangkal laut, untuk membalaskan sakit hati, tetapi memindahkan
hawa amarah kepada lain orang, apa perlunya itu?"
Mendengar itu Eng Kouw berdiri menjublak. Ia seperti merasa kepalanya dikemplang
dengan tongkat. "Maka itu ayahku telah memerdekakan Loo Boan Tong..." Oey Yong berkata pula.
Eng Kouw terkejut. "Jadi aku tidak perlu menolongi lagi padanya?" tanyanya. Agaknya ia lantas lega
hatinya. Semenjak meninggalkan Taili, Eng Kouw sudah lantas pergi mencari Ciu Pek Thong.
Untuk beberapa tahun, sia-sia belaka usahanya itu. Kemudian dari mulutnya Hek
Hong Siang Sat, dengan tidak disengaja, ia mendengar halnya Pek Thong dikurung
Oey Yok Su di Tho Hoa To, tentang sebabnya, ia tidak berhasil memperoleh
keterangan. Ia girang berbareng berduka mendapat kabar halnya Pek Thong itu. Ia
girang, sebab ia sekarang ketahui dimana adanya si kekasih, hanya ia berduka
sebab sulit untuk pergi menemui dan menolongi dia itu. Ia pernah mencoba
memasuki Tho Hoa To. Di situ, jangan kata menolongi orang, ia sendiri
bersengsara tiga hari tiga malam, ahmpir ia mati kelaparan. Setelah lolos dari
Tho Hoa To, barulah ia berdiam di rawa lumpur hitamnya itu, untuk menyakinkan
ilmu gaib, maksudnya supaya dapat memasuki Tho Hoa To itu. Sekarang, mendapat
tahu Pek Thong sudah bebas, rupa-rupa perasaan memenuhkan otaknya.
"Loo Boan Tong paling mendengar kata terhadapku," kata pula Oey Yong, sekarang
sambil tertawa manis. "Apa juga yang aku bilang, belum pernah dia berani bantah.
Jikalau kau ingin menemui dia, mari ikut aku turun gunung, aku nanti menolongi
kamu merangkap jodoh. Dengan begitu aku jadi bisa membalas budimu sudah
menolongi aku." Perkataan itu membikin muka Eng Kouw menjadi merah dan hatinya berdebaran.
Oey Yong mengawasi nyonya itu, hatinya lega. Ia percaya yang ia bakal berhasil
membujuki si nyonya, hingga bahaya menjadi lenyap untuk It Teng Taysu. Tengah ia
megharapi jawaban orang, tiba-tiba ia melihat nyonya itu menepuk tangan keras,
lantas romannya berubah menjadi bengis dan ia berkata dengan bengis: "Eh, budak
masih berambut kuning, dapatkah kau membikin dia mendengar kata terhadapmu"
Apakah yang kau andalkan" Apakah kecantikanmu! Hm! Aku tidak melepas budi
padamu, aku tidak mengharapi pembalasan budimu itu! Sekarang lekas kau buka
jalan, jangan kau ayal-ayalan! Jangan nanti kau mengatakan aku tidak mengenal
belas kasihan!" Oey Yong tidak takut, dia bahkan tertawa.
"Ah, ah! Kau hendak membunuh aku?" tanyanya.
"Kalau membunuh kau, boleh jadi apa?" kata Eng Kouw dingin. "Lain orang boleh
jeri terhadap Oey Lao Shia, aku tidak! Aku tidak takut bumi dan langit!"
Oey Yong terus tertawa. "Tidak apa kau membunuh aku!" katanya. "Habis siapa nanti menolongi kau
memecahkan teka-tekiku baru-baru ini?"
Eng Kouw lantas diingati teka-teki si nona. Memang semenjak kepergian Oey Yong,
tidak berhasil ia memecahkan teka-teki itu, sia-sia belaka ia menghitungnya.
Untuk dapat menolongi Ciu Pek Thong, ia mengasah otak, ia bekerja keras
memikirkan, sampai ada kalanya ia lupa dahar dan lupa tidur. Sekarang, mendengar
suara si nona timbullah kesangsiannya.
"Kau jangan bunuh kau, nanti aku mengajari kau," kata Oey Yong. Ia lantas
mengambil pelita di depan patung, ia pindahkan itu ke lantai. Ia juga mengambil
sebatang jarum emas, dengan itu ia mencoret-coret di atas batu.
Eng Kouw menjadi tertarik, tanpa merasa ia mengawasi. Ia menjadi kagum sekali
untuk kepintaran si nona.
"Tapi, apa perlunya, dia melayani aku bicara secara begini?" kemudian ia
berpikir. "Apakah dia bukannya hendak mengulur tempo?"
Diam-diam ia memandang ke dalam. Ia menduga mestinya It Teng Taysu berdiam di
ruang belakang. Tentu sekali ia tidak sudi diakali satu bocah. Maka itu tanpa
berkata apa-apa, ia bertindak ke dalam. Ketika ia sudah melewati hud-tian, ia
melihat sinar api yang guram. Ia menjadi jeri. Tidakkah ia bersendirian saja"
"Toan Tie Hin!" ia lantas memanggil, suaranya keras. "Sebenarnya kau mau menemui
aku atau tidak" Kenapa kau menyembunyikan diri di tempat yang gelap" Adakah
perbuatanmu perbuatannya satu laki-laki"!"
Oey Yong mengikuti nyonya itu. Mendengar suara orang, ia tertawa dan berkata:
"Eng Kouw, apakah kau mencela tempat ini kurang penerangannya" It Teng Supee
justru takut lampu terlalu banyak hingga kalau dipasang semuanya kau nanti
menjadi kaget. Ia justru menitahkan api dipadamkan..."
"Hm!" si nyonya menyahuti. "Akulah manusia yang ditakdirkan mesti mampus masuk
ke neraka, mustahilkah aku takut segala gunung golok dan kuali minyak?"
Si nona bertepuk tangan. "Bagus sekali!" ia berseru. "Aku justru hendak main-main di gunung golok
denganmu!" Ia lantas menyalakan api dan menyulut ke lantai.
Eng Kouw terkejut. Di sini kaki si nona ada minyaknya. Ia mengawasi tajam. Ia
bukan melihat pelita hanya satu cangkir teh yang isi minyaknya setengah, yang
direndam sumbu. Di samping itu ada nancap sebatang bambu kecil yang diraut
tajam, panjangnya kira satu kaki. Tanpa henti-henti si nona bertindak, saban
bertindak, ia menyulut, dan di samping setiap cangkir, ada bambu lancip yang
serupa. Ketika telah selesai si nona menyulut, Eng Kouw menghitung, jumlahnya
seratus tigabelas batang. Ia heran.
"Kalau dibilang inilah panggung Bwee-hoa-chung," ia pikir, "Pelatuknya mesti
tigapuluh dua atau seratus delapan. Tapi ini seratus tigabelas. Apakah artinya
ini" Ini juga bukannya keletakan penjuru pat-kwa! Dengan ujung pelatuk begini
tajam, di mana orang dapat menaruh kaki" Ah, dia tentulah memakai sepatu dasar
besi..." Maka ia lantas memikir: "Dia sudah bersiap sedia, aku tentu kalah, maka
baik aku berlagak pilon, aku terus melewati ini!"
Ia lantas bertindak. Tapi cangkir dan pelatuk di pasang rapat, sukar untuk
berjalan, maka ia menendang roboh lima enam batang. Sembari berbuat begini, ia
berkata: "Permainan setan apa ini" Nyonya besarmu tidak mempunyai kesempatan
akan menemani kau main-main!"
"Eh, eh, jangan!" berteriak Oey Yong. "Jangan! Jangan!"
Eng Kouw tidak memperdulikan, ia menendang terus.
Si nona agaknya menjadi habis sabar.
"Baiklah!" ia mengancam. "Kau tidak mau pakai aturan, maka hendak aku memadamkan
api! Hati-hatilah kau melihatnya, kau perhatikanlah kedudukannya setiap pelatuk
bambu tajam itu. Eng Kouw kaget. "Mereka di sini tentulah telah mengingat baik keletakan semua pelatuk bambu
ini," ia pikir, "Kalau mereka mengepung aku, bisa aku terbinasa di sini. Baiklah
aku lekas mengangkat kaki!"
Karena memikir demikian, si nyonya mengempos semangatnya, untuk menendang dengan
terlebih gencar lagi. "Kau main gila! Kau tidak tahu malu!" berseru Oey Yong, yang terus berlompat
maju, untuk menghalangi dengan tongkatnya, hingga di antara sinar api, cahaya
hijau tongkat itu berkelebatan.
Eng Kouw tidak memandang mata kepada seorang bocah, segera ia menghajar dengan
tangan kirinya, berniat membikin patah tongkat keramat itu, akan tetapi segera
ia kecewa. Si nona mengasih lihat ilmu silat tongkat Tah Kauw Pang-hoat bagian
"hong" atau " menutup". Dengan ini ia tidak menyerang, hanya ia memutar
tongkatnya bagaikan tembok penghalang. Kalau lawan tidak maju, tongkat itu tidak
berbahaya, tetapi asal lawan maju satu tingkat saja, ia bisa merasakan
bagiannya. Begitulah ketika satu kali Eng Kouw menyerang pula, mendadak ia merasakan
tangannya sakit dan kaku. Ia berlaku sebat untuk menarik pulang tangannya itu
tetapi tongkat mendahului menghajar belakang telapakan tangannya. Baru sekarang
ia kaget berbareng gusar sekali, tetapi sebagai orang yang dapat berpikir, ia
tidak menjadi kalap. Sebaliknya, ia menguaasi diri ia menurut menutup diri, guna
melihat dahulu ilmu silat nona itu.
"Dulu hari itu aku menyaksikan Hek Hong Siang Sat, mereka memang lihay," pikir
bekas kui-hui ini. "Tetapi mereka itu tidak heran karena mereka berumur kira-
kira empatpuluh tahun. Kenapa sekarang ini bocah lihay sekali" Rupanya Oey Yok
Su telah mewariskan kepandaiannya kepada anak tunggalnya yang ia sangat sayangi
ini......" Tentu sekali bekas nyonya agung ini tidak tahu halnya ilmu silat kaum Kay Pang
serta tongkat keramatnya itu. Kalau Oey Yong bersilat dengan Tah Kauw Pang-hoat,
meskipun Oey Yok Su sendiri, tidak nanti gampang-gampang ayah itu dapat
merobohkannya. Selagi orang menutup diri, Oey Yong juga tetap menutup dirinya, tetapi ia
menghadang, guna mencegah nyonya itu nerobos ke perdalaman kuil. Di lain pihak
setiap kali ia bertindak, berbareng ia menendang, ia membuatnya padam setiap
pelita cangkir itu, untuk membikin mati semuanya seratus tigabelas buah. Ia
menggunai ujung sepatunya, ia membikin tidak ada cangkir yang pecah ketendang,
sedang muncartnya minyak pun sedikit. Dalam hal menendang ini, ia menggunai ilmu
silat Tho Hoa To yang dinamakan "Tendangan Menyapu Daun"
Eng Kouw berkelahi sambil memasang mata. Ia percaya si nona belum pulih
kesehatannya, maka ia pikir, baiklah ia menyerang di bawah, supaya nona ini
lekas letih, agar dalam tempo beberapa puluh jurus saja, ia akan sudah
memperoleh kemenangan. Akan tetapi perkembangan terlebih jauh membuatnya ia
berkhawatir. Itulah sebab si nona terus main menendang api hingga padam.
Dengan cepat di tiga penjuru ruangan sudah gelap, tinggal di ujung timur laut,
hingga sinar api menjadi seperti berkelak-kelik. Ke arah ini si nona mendesak
guna melangsungkan usahanya memadamkan semuanya pelita itu.
"Inilah berbahaya," Eng Kouw mengeluh. "Celaka kalau api padam semuanya. Mana
bisa aku bertindak dengan leluasa" Di sembarang waktu aku bisa kena injak
pelatuk bambu tajam ini..."
"Kau ingat baik-baik keletakan pelatuk bambu itu," Oey Yong mengasih dengar
suaranya dalam kegelapan setelah api padam semua. "Mari kita bertarung selama
tigapuluh jurus! Asal kau dapat tidak melukakan aku, aku akan memberi ijin kau
masuk menemui It Teng Taysu!"
"Tetapi kau curang," kata Eng Kouw. "Pelatuk ini dipasang olehmu sendiri, entah
untuk berapa hari dan berapa malam kau telah melatih dirimu. Aku sendiri baru
melihatnya sekejapan, mana bisa aku mengingat semuanya?"
Oey Yong biasa menang sendiri, ia percaya kepada kekuatan memikirnya.
"Itulah tidak susah!" katanya tertawa. "Kau nyalakan pelita, kau boleh tancap
pelatuk itu sesukamu, setelah rapi, api baru dipadamkan pula, habis itu baru
kita bertempur lagi."
Eng Kouw tahu, inilah bukan lagi mengadu ilmu ringan tubuh hanya mengadu otak,
mengadu berpikir. Ia kata di dalam hatinya, si nona demikian licin, apa boleh
dia melayaninya" Bukankah sakit hatinya belum terbalas" Tapi ia pun cerdik, ia
lantas mendapat pikiran. "Baiklah, aku si nyonya tua nanti menemani kau main-main," katanya. Ia lantas
mengeluarkan apinya, ia menyulut semua pelita itu.
"Kenapa kau menyebut dirimu nyonya tua?" berkata Oey Yong tertawa. "Melihat
romanmu yang cantik bagaikan kumala, kau lebih menang daripada nona-nona lainnya
yang berumur enambelas tahun! Pantaslah dulu hari itu Toan Hongya menjadi
tergila-gila kepadamu!"
Eng Kouw telah mencapai petaluk ketika ia mendengar perkataan si nona, ia
menjadi melengak. Ia lantas tertawa dingin dan menyahuti: "Dia tergila-gila
padaku" Hm! Selama tiga tahun aku masuk ke dalam istananya, berapa kalikah dia
pernah memperhatikan aku?"
"Eh, heran!" berkata si nona, "Bukankah dia telah mengajari kau ilmu silat?"
"Apakah mengajari silat berarti diperhatikan?"
"Aku mengerti sekarang! Toan Hongya hendak memahamkan ilmu Sian Thian Kang, It
Yang Cie, dia jadi tidak terlalu rapat denganmu......"
"Hm! Kau tahu apa?" kata bekas kui-hui ini. "Kalau begitu, kenapa dia dapat juga
putra mahkota?" Oey Yong memiringkan kepalanya, nampaknya ia berpikir.
"Putra mahkota dilahirkan lebih dahulu, ketika itu Toan Hongya belum mempelajari
Sian Thian Kang," katanya sesaat kemudian.
Eng Kouw mengasih dengar suara "Hm!" lalu membungkam, terus ia mengatur pelatuk
baru. Oey Yong sendiri diam-diam memperhatikan pengaturan itu, karena ia tahu,
pertarungan yang bakal datang berarti bahaya untuk jiwanya.
"Toan Hongya tidak mau menolongi anakmu, itulah karena ia mencintai kau,"
katanya kemudian. "Karena mencintai aku?" Eng Kouw tanya. Lagu suaranya menandakan ia mendongkol
sekali, ia sangat membenci.
"Dia jelus terhadap Loo Boan Tong! Kalau dia tidak mencintai kau, kenapa dia
jelus?" Kembali Eng Kouw berdiam. Dulu-dulu ia tidak pernah ingat hal ini. Memang
beralasan, karena cintanya, raja Taili itu menjadi jelus.
"Maka itu, turut penglihatanku, baiklah kau pulang saja," kata lagi si nona.
"Kecuali kau mampu menghalangi aku!" bilang si nyonya dingin. Kembali hatinya
panas. "Baiklah!" berkata si nona. "Kalau kau tetap hendak mengadu kepandaian, suka aku
menemani kau! Jikalau kau mampu nerobos, aku tidak akan menghalang-halangi lagi!
Bagaimana kalau kau tidak sanggup?"
"Selanjutnya aku tidak akan mendaki lagi gunung ini!" menyahut si nyonya. "Aku
menghendaki kau menemani aku satu tahun, janji itu pun suka aku
menghapuskannya!" Oey Yong bertepuk tangan.
"Bagus!" ia berseru. "Memang hebat untuk aku berdiam di rawa lumpur hitam selama
satu tahun! Siapa sanggup?"
Selama itu, Eng Kouw telah menancap kira enampuluh batang. Mendadak ia
memadamkan pelitanya. "Yang lain-lainnya biarlah sebagaimana adanya," katanya. Mendadak saja ia
menerjang si nona dengan lima jari tangannya yang terbuka.
Oey Yong melihat ia diserang secara demikian, ia berkelit. Ia lantas balas
menyerang, menekan ke pundak si nyonya itu.
Eng Kouw tidak menangkis, ia bertindak maju terus, tindakannya lebar, saban-
saban terdengar kakinya menginjak pelatuk yang telah dipatahkan. Maka leluasa
sekali ia bertindak terus.
Sekejap saja si nona sadar.
"Ha, aku terpedayakan!" katanya. "Teranglah tadi, selagi menukar pelatuk, ia
mematahkan setiap pelatuk itu..."
Tentu saja ia menjadi menyesal sekali.
Eng Kouw segera sampai di belakang, terus ia menolak pintu, maka itu di dalam
kamar ia melihat seorang pendeta lagi duduk bersila di tengah-tengah. Pendeta
itu sudah tua, kumisnya yang ubanan dan panjang turun ke dadanya, sedang leher
jubahnya sampai ke pipinya. Ia sedang bersemadhi. Di sampingnya ia ditemani oleh
keempat muridnya, beberapa pendeta tua lainnya serta beberapa kacung.
Kapan si pelajar melihat si nyonya datang, ia bertindak ke depan si pendeta tua
sambil merangkap kedua tangannya: "Suhu, Lauw Nio-nio datang berkunjung!" ia
memberi tahu. Si pendeta tua mengangguk perlahan, ia tidak menyahuti.
Di dalam ruangan itu cuma ada satu pelita, maka bisa dimengerti, di situ setiap
muka orang tak nampak tegas.
Eng Kouw memang tahu Toan Hongya sudah mensucikan diri, hanya ia tidak
menyangka, baru sepuluh tahun tidak bertemu, kaisar yang begitu gagah dan pintar
itu, sekarang telah menjadi pendeta begini tua dan lemah. Ia pun lantas ingat
perkataannya Oey Yong tadi perihal pendeta tua ini. Tanpa merasa, hatinya
menjadi lemah, hingga gagang goloknya tidak lagi dipegang erat-erat. Ketika ia
melihat ke bawah, ia mendapatkan oto sulamnya diletaki di depan pendeta itu, di
atas oto itu ada gelang kumala - gelang itu yang dulu hari Toan Hongya
menghadiahkan padanya. Sekejap itu seperti terkilas segala apa, di depan matanya bagaikan terbayang
saat ia baru masuk ke istana, belajar silat, bertemu sama Ciu Pek Thong hingga
mereka memain api asmara, lalu ia melahirkan anak dan anaknya terbinasa. Yang
hebat ketika ia ingat wajah anaknya yang menderita sakit karena lukanya yang
hebat, bagaimana anak itu beroman minta ditolongi tetapi pertolongan gagal dan
anak itu seperti menyesali ibunya....
Mendadak saja Eng Kouw menyerang kepada Toan Hongya, goloknya nancap di dada,
melesak sampai sebatang gagangnya. Ia tahu kaisar itu lihay, ia mau percaya
tikamannya itu tidak bakal lantas merampas jiwa, maka justru ia merasakan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu yang aneh waktu goloknya menebas, ia lekas menarik pulang, guna
mengulangi dengan tikaman yang kedua kali. Hanya di luar sangkaannya, goloknya
itu seperti nancap keras.
Ketika itu si pelajar berempat menjerit, semua berlompat maju.
Sepuluh tahun lebih Eng Kouw telah melatih diri, dan tikamannya ini ia
mengulanginya entah berapa ribu, atau berapa puluh ribu kali. Ia tahu, Toan
Hongya mesti telah menjaga diri baik-baik, maka ia juga bersiap sempurna. Maka
ketika ia akhirnya dapat mencabut goloknya dengan tangan kanan, tangan kirinya
dipakai melindungi diri. Dengan sebat ia berlompat mundur ke pintu. Di sini ia
masih menoleh ke belakang, dengan begitu ia bisa melihat Toan Hongya memegangi
dadanya, rupanya ia merasakan kesakitan yang sangat. Karena ia telah membalas
sakit hatinya, ia lantas ingat kebaikan bekas raja itu, ia lantas menghela
napas, terus ia memutar tubuhnya, untuk ngeloyor pergi. Tapi ketika ia baru
memutar tubuhnya, mendadak ia menjadi kaget sekali, sampai ia menjerit keras dan
bulu romanya bangun berdiri. Di ambang pintu itu, ia melihatnya seorang pendeta
lagi berdiri dengan kedua tangan dirangkap di depan dadanya. Kebetulan sekali,
sinar api menuju ke mukanya pendeta itu, suatu muka yang penuh dengan sorot
cinta kasih. Yang mengagetkan ialah si pendeta itu Toan Hongya adanya!
"Mungkinkah aku salah membunuh orang?" begitu berkelebat pikiran si otaknya.
Maka ia lantas menoleh ke belakang, kepada orang yang baru ditikamnya itu.
Ketika itu terlihat si pendeta berbangkit berdiri perlahan-lahan, terus ia
membuka jubah sucinya, sedang tangan kirinya meraba ke mukanya, untuk menarik
lepas kumis dan jenggotnya. Maka kagetlah ia. Si pendeta palsu itu ialah Kwee
Ceng! Kembali ia mengeluarkan jeritan.
Pasti sekali Eng Kouw tidak tahu bahwa ia telah dipermainkan Oey Yong, yang
telah mengatur tipu dayanya itu dengan bekerja sama si anak muda. Kwee Ceng
menotok It Teng Taysu untuk dapat menggantikan dia. Kalau It Teng Taysu diajak
berdamai dulu, mungkin dia menolak. Si pendeta India ditotok karena disangkanya
lihay, tidak tahunya ia tidak punya guna. Selanjutnya Oey Yong bersiap terlebih
dulu. Selagi ia menungkuli Eng Kouw main pelita, Kwee Ceng dibantu si pelajar
berempat pergi menyamarkan diri. Sebab sehabis kecemplung di pengempang, anak
muda ini tidak mengejar nyonya itu hanya pergi ke dalam untuk siap sedia. Untuk
ini Kwee Ceng berkorban rambutnya, yang dicukur habis, sedang untuk kumis dan
jenggotnya, dipakau kumisnya It Teng Taysu, kumis siapa pun dicukur. Sebenarnya
keempat muridnya itu merasa tidak enak mempermainkan guru mereka, tetapi
mengingat pengorbanan Kwee Ceng itu serta usahanya Oey Yong guna menolong guru
mereka, terpaksa mereka menurut. Kalau lain orang yang menyamar jadi It Teng,
ada kemungkinan dia tertikam mati oleh Eng Kouw yang lihay itu. Sekalipun Kwee
Ceng yang dapat menjepit goloknya si nyonya, saking hebatnya tikaman, ujung
golok toh melukai juga kulit dan sedikit dagingnya, syukur tidak berbahaya.
Kalau Kwee Ceng memakai baju lapis Oey Yong, ia bisa lolos dari ancaman bencana,
tetapi baju itu tidak dipakai sebab dikhawatirkan si nyonya jadi curiga.
Selagi akal itu berjalan demikian baik, sekonyong-konyong It Teng Taysu muncul.
Inilah tidak cuma membikin kaget kepada Eng Kouw tetapi juga Oey Yong semua.
It Teng Taysu itu, meskipun ia terluka tenaga dalamnya, ilmu silatnya sendiri
tak lenyap semua, sedang Kwee Ceng, diwaktu menotok dia, sudah menotok di jalan
darah yang tidak akan menyebabkan kecelakaan. Ia telah dipernahkan di kamar
sebelah. Di sini dia dengan perlahan-lahan menyalurkan tenaganya, ia berhasil
membebaskan diri dari totokan, maka itu ia lantas keluar. Kebetulan sekali, ia
berpapasan dengan Eng Kouw.
Mukanya nyonya itu menjadi sangat pucat saking kaget dan khawatir. Ia lantas
merasa bahwa ia tidak bakal lolos dari kepungan.
"Kembalikan goloknya padanya!" berkata It Teng pada Kwee Ceng.
Pemuda itu mendengar suara yang berpengaruh, tanpa bersangsi pula, ia
melemparkan golok di tangannya kepada Eng Kouw.
Si nyonya menyambuti senjata itu, lalu ia mengawasi orang banyak terutama It
Teng, untuk melihat apa yang akan orang perbuat atas dirinya. Ia menduga mungkin
ia bakal disiksa...... It Teng membuka jubahnya dengan perlahan, terus ia membuka baju dalamnya.
"Jangan ganggu dia," berkata ia. "Biarkan dia turun gunung dengan baik. Nah,
sekarang, kau tikamlah aku!" ia meneruskan kepada bekas selirnya itu. "Memang
sudah lama aku menantikanmu!"
Suara itu perlahan dan sabar, tetapi mendengar itu, Eng Kouw merasa ia seperti
mendengar suara guntur, hingga ia berdiri tercengang, golok terlepas jatuh
sendiri dari tangannya. Begitu ia sadar, ia menutupi mukanya, ia lari ke luar
dari kuil. Mulanya masih terdengar tindakan kakinya, lalu itu lenyap.
Semua orang saling mengawasi, mereka pun semua tercengang, semua berdiam. Hanya
selang sesaat, di situ terdengar dua kali suara menggabruk, lalu terlihatlah si
tukang pancing dan si petani roboh terguling. Karena mereka telah menjadi korban
jarum beracun dari Eng Kouw. Tadinya mereka masih dapat bertahan, sekarang
setelah mendapatkan guru mereka selamat, saking girang, habis tenaga
perlawanannya, mereka roboh sendirinya.
Si pelajar kaget. "Lekas undang paman guru!" katanya.
Belum berhenti suara si pelajar ini, atau Oey Yong telah muncul bersama si
pendeta India, maka pendeta itu lantas dapat bekerja menolongi dua keponakan
murid itu, selain dikasih obat makan, jeriji tangan mereka pun dibelek, untuk
mengeluarkan darahnya yang sudah kecampur racun. Habis berkerja, ia berkata-kata
seorang diri, bagaikan memuji.
Itulah kata-kata dalam bahasa Sansekerta. It Teng mengerti bahasa itu, ia lega
hatinya. Sebab si sutee, adik seperguruan mengatakan lukanya dua orang itu tidak
berbahaya untuk jiwanya, bahwa mereka harus beristirahat selama dua bulan, nanti
mereka bakal sembuh betul.
Ketika itu Kwee Ceng sudah menukar pakaiannya dan lukanya pun telah dibalut, ia
berlutut di depan It Teng Taysu untuk meminta maaf.
It Teng mengangkat bangun tubuh pemuda itu.
"Kau berkorban untuk menolongi aku, akulah yang berhutang budi," katanya. "Semua
ini karena salahku." Ia menoleh kepada si pendeta India, untuk menjelaskan
pertolongan anak muda itu.
Pendeta itu kembali mengucapkan kata-kata dalam bahasa Sansekerta. Mendengar itu
Kwee Ceng heran. "Aku kenal ini," katanya, dan ia terus menghapal lanjutannya kata-kata itu,
menurut ajarannya Ciu Pek Thong.
It Teng dan pendeta India itu menjadi heran pemuda ini mengerti bahasa asing
itu. "Bagaimana ini?" menanya Toan Hongya pada anak muda itu.
Kwee Ceng jujur, ia lantas menutur kenapa ia mengerti bahasa.
Mendengar keterangan itu, It Teng menghela napas.
"Tatmo Couwsu memang orang India, tetapi diwaktu menulis Kiu Im Cin-keng, ia
memakai bahasa Tionghoa," katanya. "Cuma di bagian-bagian pokok, ia tetap
menggunai bahasa Sansekerta. Kitab itu memang sangat sukar dimengerti, sukar
juga dihapalnya." Kemudian pendeta itu menitahkan keempat muridnya dan yang lain-lain keluar dari
kamar, habis itu ia menjalin, ia memberi penjelasan pada Kwee Ceng dan Oey Yong
tentang bunyi Kiu Im Cin-keng seperti dihapalkan Kwee Ceng barusan.
It Teng dapat memberi penjelasan sempurna, Oey Yong lantas mengerti, sedang Kwee
Ceng si bebal, mengerti enam sampai tujuh bagian.
Kemudian berkatalah It Teng Taysu: "Aku terluka hebat, turut biasa, aku mesti
beristirahat lima tahun, baru kesehatanku akan pulih, tetapi dengan memperoleh
warisan Tatmo Couwsu ini, aku rasa tak usah sampai tiga bulan, aku akan sudah
sembuh seanteronya."
Kwee Ceng dan Oey Yong menjadi girang sekali.
Sejak itu, muda-mudi itu lantas berdiam di atas gunung, menemani It Teng Taysu.
Si pendeta telah mewariskan kepandaiannya It Yang Cie, Sian Thian Kang dan
penjelasan lebih jauh dari Kiu Im Cin-keng, sedang mereka berbareng menjagai
pendeta ini lantaran dikhawatir Eng Kouw nanti berbalik pikiran dan datang pula
untuk menuntut balas, selagi masih sakit, It Teng tentu tidak dapat membela
dirinya. Di hari kedelapan, selagi Oey Yong dan Kwee Ceng berlatih di luar kuil, mereka
mendengar suara burung berbunyi di udara, suaranya nyaring tapi nadanya sedih,
lalu segera terlihat burungnya mendatangi dari arah timur.
"Bagus, Kim-wawa sampai!" berseru si pemudi seraya bertepuk tangan.
Segera juga kedua burung rajawali sampai dan turun, romannya lesu.
Muda-mudi ini heran, mereka lantas memeriksa. Di dada kiri rajawali betina ada
nancap sebatang panah pendek, dan di kaki rajawali jantan ada sepotong juiran
cita hijau. Kim-wawa sebaliknya tidak ada. Oey Yong mengenali, juiran itu ialah
juiran baju ayahnya. Ia menjadi kaget. pasti kedua burung itu telah sampai di
Tho Hoa To. Mungkin Tho Hoa To kedatangan musuh tangguh maka ayahnya tidak
sempat melayani ia dalam urusan ikan emas itu. Heran adalah terpanahnya burung
itu. Musuh mestinya lihay. Celakanya, kedua burung itu tidak dapat berbicara.
Oleh karena berkhawatir Oey Yong lantas mengajak Kwee Ceng menemui It Teng
Taysu, untuk berpamitan. Kepada pendeta itu dituturkan sebabnya niat kepergian
mereka. It Teng tidak dapat menahan kedua tetamunya itu.
Si tukang pancing dan petani lagi sakit, mereka rebah di pembaringan, maka itu
si pelajar dan si tukang kayu yang mengantarkan turun gunung. Di kaki gunung
mereka mendapatkan kuda dan kedua burungnya. Di situ kedua pihak berpamitan.
Perjalanan dilakukan Oey Yong dengan gembira. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan
ayahnya, yang ia tahu lihay dan pintar, umpama musuh tangguh sekali, pasti
ayahnya itu dapat mempertahankan diri.
"Semenjak kita berkenalan, entah berapa banyak kali kita menghadapi ancaman
bahaya," katanya. "Dan selamanya, di dalam bahaya, kita memperoleh kebaikan.
Lihatlah kali ini, aku terhajar Khiu Cian Jin, akhirnya aku memperoleh It Yang
Cie dan Kiu Im Sin Kang."
"Aku rela tidak mengerti ilmu silat asal kau selamat tidak kurang suatu apa,"
kata Kwee Ceng. Senang hatinya si nona, ia girang bukan main. Tapi ia tertawa dan berkata: "Ah,
ah, untuk mengambil-ambil hati, jangan kau omong enak saja! Tanpa mengerti ilmu
silat, tentulah kau telah orang hajar mati! Jangan kata Auwyang Hong dan See
Thong Thian semua, walaupun satu anggota dari Tiat Ciang Pang, dia bisa membacok
kutung lehermu!" "Biar bagaimana, aku tidak mengijinkan kau terluka lagi!" kata si anak muda.
"Kali ini lukamu hebat sekali, melihatnya hatiku tak kuat.... Di Lim-an aku
terluka, aku merasa tidak apa-apa."
"Kalau begitu, kau tidak punya hati!" kata si nona.
Kwee Ceng heran. "Kenapa begitu?" ia tanya.
"Kau terluka, kau tidak merasa, tetapi bagaimana dengan aku?" kata si nona.
Si anak muda terdiam, lalu ia tertawa lama. Ia menjepit perut kuda, maka kudanya
itu lantas kabur. Tengah hari itu mereka tiba di kecamatan Tho-goan, Oey Yong belum pulih
kesehatannya, disebabkan menunggang kuda terlalu lama, ia merasa letih, kedua
pipinya menjadi merah, napasnya pun kurang lurus jalannya, maka Kwee Ceng ajak
ia mampir di rumah makan Pie Cin Lauw.
Sembari dahar Kwee Ceng minta pelayan tolong memanggil tukang perahu, yang
perahunya hendak disewa untuk menyeberang ke Hankauw.
"Kalau tuan menumpang, tuan bisa menghemat sewa perahu," kata si pelayan. "Kalau
tuan memborong sendiri, sewanya mahal......."
Oey Yong tidak senang si pelayan banyak bicara. Ia mengasih lihat roman gusar,
ia melemparkan uang perak lima tail.
"Cukup tidak?" ia tanya.
"Cukup, cukup!" kata si pelayan, yang lantas ngeloyor pergi.
Kwee Ceng tidak mau si nona minum arak, khawatir arak nanti mengganggu
kesehatannya, dari itu ia pun tidak minum.
Tengah mereka bersantap, pelayan itu kembali bersama seorang tukang perahu,
katanya dia minta uang sewa enam tail enam chie, dapat nasi tanpa lauk-pauk.
Oey Yong akur, tanpa banyak bicara, ia menyerahkan uang itu.
Tukang perahu itu menerima uang, ia memberi hormat sambil menunjuk mulutnya,
suaranya tidak karuan. Ternyata ia gagu. Kedua tangannya lantas digunai sebagai
gantinya. Oey Yong mengerti pembicaraan dengan tangan itu, ia melayani, atas mana tukang
perahu itu kemudian berlalu dengan kegirangan.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Kwee Ceng.
"Kata dia, habis bersantap kita berangkat. Aku menyuruh dia membeli beberapa
ekor ayam dan beberapa kati daging, uangnya sebentar kita ganti."
Pemuda itu menghela napas.
Pemuda itu menghela napas.
"Kalau dia bertemu aku, tak tahu aku mesti bikin apa..." katanya. Kemudian ia
ingat Ang Cit Kong. Inilah disebabkan hidangan lezat yang dimakannya itu. Ia
kata: "Entah suhu ada di mana dan bagaimana dengan lukanya......"
Selagi Oey Yong hendak menyahuti, ia mendengar tindakan kaki di tangga lauwteng,
lantas ia melihat naiknya dua orang too-kauw, ialah imam wanita. Mereka menutupi
muka hingga tinggal matanya yang terlihat. Mereka mengambil meja di pojok,
kepada pelayan, yang satunya bicara perlahan.
Oey Yong merasa si seperti kenal dua imam itu tetapi ia tidak ingat betul.
Kwee Ceng melihat kawannya memperhatikan orang, ia menoleh, justru imam yang
satunya lagi mengawasi ia. Dia itu lantas melengos.
"Engko Ceng, imam itu tergerak hatinya!" kata Oey Yong perlahan sambil tertawa.
"Dia tentunya mengatakan kau tampan sekali...."
"Hus, jangan ngaco!" kata si anak muda. "Mereka orang suci....."
Si nona masih tertawa. "Kalau kau tidak percaya, lihatlah saja nanti!" katanya.
Habis bersantap mereka turun dari lauwteng. Si nona bercuriga, ia menoleh ke
arah dua too-kouw itu, kebetulam yang satunya lagi menyingkap tutup mukanya,
maka melihat muka orang, hampir ia berseru heran. Si too-kouw menggoyangi
tangan, lekas-lekas ia menutup mukanya, untuk terus tunduk dan dahar.
Kejadian itu cepat sekali, Kwee Ceng tidak melihatnya.
Di pintu rumah makan, tukang perahu sudah menantikan. Oey Yong memberi tanda
bahwa ia hendak belanja sebentar. Tukang perahu itu mengangguk, ia menunjuk ke
pinggir kali di mana ada perahunya. Si nona mengangguk, lantas ia berjalan terus
bersama Kwee Ceng. Mereka melihat si tukang perahu itu berdiri menantikan. Di
sebuah jalan di sebelah timur, dari mana rumah makan tak nampak lagi, Oey Yong
berhenti, matanya mengawasi ke rumah makan itu.
Tidak lama kedua too-kouw tadi nampak keluar. Mereka mengawasi kuda merah dan
burung rajawali. Terang mereka lagi mencari orang. Setelah itu mereka bertindak
ke barat. "Mari," berkata si nona, yang terus menarik ujung baju si pemuda.
Kwee Ceng heran tetapi ia ikut tanpa bicara.
Kota Tho-goan tidak besar, lantas mereka sudah keluar dari pintu timur. Dari
situ si nona menuju ke selatan, melewati pintu, lalu mengambil jurusan barat.
"Kita menguntit kedua too-kouw itu?" Kwee Ceng tanya akhirnya. "Ah, jangan kau
main-main denganku!"
"Main-main apa?" berkata si nona tertawa. "Too-kouw demikian cantik, seperti
bidadari! Menyesal kalau kau tidak mengikuti dia!"
Si anak muda menghentikan tindakannya.
"Yong-jie, kalau kau menyebut lagi, aku akan marah!" katanya.
"Ah, ah, aku tidak takut!" kata si nona. "Coba kau marah, aku lihat!"
Si pemuda kalah desak, ia lantas mengikuti pula. Kira lima-enam lie, di sana
terlihat kedua imam wanita duduk di bawah pohon kayu di tepi jalan. Ketika
mereka menampak si muda-muda, mereka berbangkit dan berjalan pergi ke jalan
kecil yang menuju ke lembah.
Oey Yong menarik tangan pemudanya, untuk diajak pergi ke jalan kecil itu.
"Yong-jie!" kata si anak muda. "Kalau kau tetap bergurau, nanti aku podong kau
untuk dibawa balik!"
Si nona tidak memperdulikan.
"Aku letih, pergilah kau mengikuti sendiri!" katanya.
Pemuda itu lantas berjongkok. "Mari aku gendong kau!" katanya. Agaknya ia sangat
memperhatikan si nona. Oey Yong tertawa. "Nanti aku singkap sapu tangan penutup mukanya si too-kouw untuk kau lihat!"
katanya. Dan ia mempercepat tindakannya, menyusul kedua too-kouw itu. Ia lari.
Kedua imam wanita itu berhenti jalan, bahkan mereka menantikan.
Begitu sampai, Oey Yong menubruk too-kouw yang lebih jangkung, tangannya membuka
tutup muka orang. "Yong-jie, jangan!" Kwee Ceng berseru selagi ia menyusul. Tapi sudah kasep,
Ketika ia melihat muka si too-kouw, ia berdiri menjublak.
Too-kouw itu bermuka sedih, air matanya mengembang. Dialah Bok Liam Cu, si nona
yang baru-baru ini mengikuti Yo Kang pergi ke barat.
"Enci Bok, kau kenapa?" tanya Oey Yong sambil merangkul.
"Apakah Yo Kang kembali menghinamu?"
Liam Cu tunduk, ia tidak menyahuti.
Kwee Ceng menghampirkan. "Sie-moay," ia memanggil.
Nona itu dipanggil adik - sie-moay- menyahuti dengan perlahan.
Oey Yong menarik tangan orang, untuk diajak duduk di bawah pohon di tepi kali


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil dekat mereka. "Enci, bagaimana caranya dia menghina kau?" ia menanya pula. "Mari kita cari dia
untuk membuat perhitungan! Juga aku dan engko Ceng telah dipermainkan dia,
hampir jiwa kita melayang di tangannya!"
Liam Cu tidak lantas menyahuti, hanya ia menggapai kepada kawannya.
"Adik, mari!" ia memanggil.
Karena memperhatikan Liam Cu, Oey Yong dan Kwee Ceng melupai too-kouw yang
satunya itu. Baru sekarang mereka menoleh dan memandang dia. Kebetulan too-kouw
itu lagi mengawasi si anak muda, hingga sinar mata mereka bentrok.
Too-kouw itu menghampirkan, ia pun menyingkirkan tutup mukanya, terus ia menjura
kepada si anak muda seraya berkata: "Ingkong, baik?"
Kwee Ceng heran sekali. Nona itu ialah Cin Lam Kim. Pantas ia memanggil ingkong,
tuan penolong. Ia pun lekas membalas hormat. Ia sekarang melihat tegas, di
rambut dan di kuping si nona ada bunga kecil warna putih dan pakaian dalamnya
dari kain kasar, tanda dari berkabung.
"Mana kakekmu?" ia tanya. "Apa dia baik?"
Nona itu tidak lantas menjawab, ia hanya menangis. Itulah tanda yang kakeknya
telah menutup mata. Liam Cu berbangkit, ia menarik tangannya Nona Cin, untuk diajak duduk bertiga,
hingga tubuh mereka terbayang di permukaan air.
Kwee Ceng duduk terpisah dari mereka, ia duduk di atas sebuah batu, pikirannya
bekerja. Ia heran dengan pertemuan sama kedua nona ini. Kenapa mereka dandan
sebagai imam dan di rumah makan tidak mau lantas menegur" Kenapa si empeh Cin
meninggal dunia" Oey Yong melihat kedua nona itu tengah berduka, ia tidak menanyakan mereka,
hanya ia memegangi tangan mereka masing-masing dengan erat.
"Adik, Kwee Sieko," kata Liam Cu kemudian. "Perahu yang kamu sewa ada perahunya
orang Tiat Ciang Pang dan mereka itu sudah mengatur daya untuk mencelakai kamu."
Oey Yong dan Kwee Ceng kaget. Inilah mereka tidak sangka.
"Kau maksudkan perahunya si gagu itu?" akhirnya mereka tanya.
"Benar. Tapi dia bukannya gagu, dia berpura-pura. Bahkan dia orang lihay dari
Tiat Ciang Pang. Karena suaranya keras, rupanya ia khawatir kamu bercuriga
mendengar suara itu, dia pakai akal."
"Kalau katu tidak omong enci, benar-benar aku tidak tahu," kata Oey Yong. Ia
benar kaget sekali. Kwee Ceng lantas naik ke atas pohon, akan memandang ke sekeliling. Di situ cuma
ada dua orang petani. Maka ia kata di dalam hatinya. "Kalau Oey Yong tidak
mengambil jalan memutar, pasti ada orang Tiat Ciang Pang yang menguntit kita."
Liam Cu menghela napas. Ia kata pula, perlahan: "Urusanku dengan Yo Kang, kamu
telah mendapat tahu, hanya kemudian diwaktu membawa jenazah ayah dan ibu
angkatku ke Selatan, aku bertemu pula dengannya, di Gu-kee-cun di Lim-an..."
"Hal itu sudah kamu ketahui, enci," kata Oey Yong. "Kami pun melihat dia
membinasakan Auwyang Kongci..."
Liam Cu heran, matanya dibuka lebar. Ia tidak dapat mempercayainya.
Oey Yong tahu orang sangsi, maka ia memberikan keterangan bahwa itu waktu ia
berdua dengan Kwee Ceng ada di kamar rahasia lagi beristirahat. Ia pun
menceritakan halnya Yo Kang mengaku jadi pangcu dari Kay Pang, cuma ia
menuturkan itu secara singkat, sebab ia lebih ingin mengetahui hal-ikhwal nona
ini. "Dia jahat, pasti dia tidak bakal dapat pembalasan baik!" kata Liam Cu sengit.
"Aku cuma bisa menyesalkan diri yang mataku tak ada bijinya. Rupanya sudah
takdir, sudah nasib aku bertemu dengannnya."
Oey Yong mengeluarkan sapu tangannya, menyusuti air mata nona itu.
Liam Cu sangat berduka, sampai sekian lama, baru ia dapat berkata pula.
Bab 66. Nasib Bab ke-66 cersil Memanah Burung Rajawali.
Dengan tangan kanannya, nona Bok menggenggam erat tangannya Oey Yong, dengan
tangan kirinya ia mengusap-usap belakang tangan nona itu. Dengan matanya, ia
mengawasi rontoknya bunga ke permukaan air.
"Melihat dia membunuh Auwyang Kongcu, aku menduga ia telah merubah perbuatannnya
yang sudah-sudah," demikian ia melanjuti. "Aku lebih girang lagi melihat dia
disambut kedua orang lihay dari Kay Pang, yang memperlakukan dia dengan hormat
sekali. Begitulah aku turut dia sampai di Gak-ciu, di mana pihak Kay Pang
mengadakan rapat besarnya di gunung Kun San. Lebih dulu daripada itu, diam-diam
dia memberitahukan aku bahwa Ang Pangcu telah meninggalkan pesan agar dia
menjadi pengganti pangcu. Aku heran dan girang, tetapi aku sangsi, hanya melihat
semua orang Kay Pang begitu menghormati dia, kesangsianku lenyap. Aku bbukan
orang Kay Pang, tidak dapat aku menghadiri rapat, maka itu aku menanti di dalam
kota. Aku pikir, dengan menjadi pangcu dari Kay Pang, pasti dia bakal bekerja
untuk negara dan rakyat, pasti benar usahanya. Aku percaya juga, dia bakal
menumpas musuhku, guna membalaskan sakit hati ayah dan ibu angkatku. Malam itu
aku berpikir keras hingga aku tidak dapat tidur pulas. Diwaktu fajar selagi aku
mulai lelah dan tidur layap-layap, mendadak dia pulang dengan jalan melompat
jendela. Aku kaget, aku kira dia mau main gila pula. Aku hendak menegur, dia
mendahului membisik. 'Adik, urusan gagal, mari kita lekas menyingkir!' Aku
lantas tanya dia apakah yang terjadi. Dia menjawab; 'Di dalam Kay Pang ada
pemberontak. Golongan Baju Kotor dan Baju Bersih bentrok karena urusan
mengangkat pangcu, mereka bertempur, sudah ada banyak yang binasa'. Aku kaget
dan heran, aku menanya bagaimana duduknya persoalan. Dia menjawab; 'Karena yang
binasa begitu banyak, aku mengundurkan diriku sendiri, aku tidak mau lagi
menjadi pangcu'. Aku pikir, tindakan itu benar. Ia menerangkan pula, 'Tapi pihak
Pakaian Bersih tidak mau melepaskan aku, syukur aku dibantu Khiu Pangcu dari
Tiat Ciang Pang, dengan begitu bisa juga aku meloloskan diri dan berlalu dari
Kun San. Sekarang ini mari kita pergi ke Tiat Ciang Pang untuk menyingkir buat
sementara waktu.' Aku tidak tahu Tait Ciang Pang rombongan baik atau jahat, aku
turut padanya. Setibanya di Tiat Ciang San, baru aku melihat gerak-geriknya Khiu
Pangcu aneh, rupanya mereka dari kaum sesat. Karena itu aku usulkan dia mencari
Tiang Cun CU Cu Khu Cie Kee, supaya imam itu mengundang orang-orang gagah, untuk
membantu pihak Kay Pang mengadakan tata-tertib partainya, supaya bisa dipilih
satu pangcu yang tepat. Aku kata, dia tidak dapat pergi dengan begitu saja, dia
mesti ingat budinya Ang Pangcu serta menjalani baik-baik pesannya. Tapi dia
aneh, dia bukannya bicara dari hal Kay Pang, dia justru menimbulkan urusan
pernikahan. Kita jadi bentrok, Aku telah memberi teguran padanya."
"Bagimana kemudian?" Oey Yong tanya selagi nona itu berhenti sebentar.
"Besoknya aku menyesal atas pencederaan kemarin itu," kata Liam Cu melanjuti.
"Dia benar tidak memperhatikan lagi urusan Kay Pang, tetapi dengan menimbulkan
soal pernikahan, itu tandanya dia mencintai aku. Aku merasa aku menegur keras
padanya, pantas dia tidak menjadi senang. Hanya malam itu, hatiku jadi bertambah
tidak tenang. Aku menyalakan api, aku menulis surat padanya untuk meminta maaf.
Aku bawa surat itu ke kamarnya, untuk meletakinya di bawah jendelanya. Selagi
aku mengasih masuk surat itu di sela-sela jendelanya, mendadak aku mendengar dia
lagi bicara entah dengan siapa. Mulanya aku tidak berniat mendengar pembicaraan
mereka itu, hendak aku menaruh surat itu lantas pergi. Tapi aku jadi tertarik
sebab aku mengenali suara orang itu. Dia mencoba bicara perlahan, tetapi toh aku
dapat mendengarnya dengan nyata.
'Siauw-ongya' demikian aku dengar. 'Pikiran wanita memang tak ketentuannya.
Kalau nona Bok itu tidak mau menurut, kau jangan terlalu buat pikiran.
Pikirannya itu mungkin buat sewaktu-waktu saja. Khiu Pangcu khawatir kau
berduka, ia mengirimkan barang ini untuk kau melegakan hatimu.' Aku heran. Entah
barang apa itu yang Khiu Pangcu hendak memberikannya. Maka ingin aku
melihatnya." Mendengar itu Oey Yong pun heran dan turut ingin mengetahui. Bahkan ia sayangi
selagi di Tiat Ciang San ia tidak dapat melihatnya, kalau tidak, tentulah ia
sudah merampas"!"
Liam Cu meneruskan pula ceritanya: "Dia membilang terima kasih. Dia kata dia
tidak berduka dan tidak usah pangcu mengirimkan sesuatu padanya. Tapi orang itu
tertawa dan berkata; 'Ongya lihat dulu, aku tanggung ongya girang!' Dia menepuk
tangannya perlahan, dua kli. Tanda itu disusul sama datangnya dua orang yang
menggotong sebuah keranjang besar. Aku lantas mengintai. Orang tadi
menghampirkan keranjang itu dan membuka tutupnya."
Oey Yong memotong: "Aku tahu isi keranjang itu, kalau bukan ular berbisa
tentulah kodok. Pernah aku melihat itu."
Cin Lam Kim sebegitu jauh berdiam saja, dia tidak campur bicara, air muknaya
juga tidak berubah, tapi kali ini dia mengawasi nona Oey.
"Adik, kau salah menerka!" kata Liam Cu. "Di dalam keranjang besar itu ada satu
orang, ialah ini adik Cin!"
Oey Yong dan Kwee Ceng mengasih dengar suara kaget perlahan.
Baru sekarang nona Cin itu berbicara, matanya memandang ke kali, sikpanya tenang
sekali. Ia kata: "Semenjak Inkong dan nona Oey pergi, bersama kakek aku tetap
menuntut penghidupan sebagai penangkap ular. Kami selalu ingat kepada inkong,
tak habisnya kami membicarakannya meskipun inkong tinggal di rumah kami cuma
satu hari dua malam. Dengan begitu, hidup kami tidak kesepian. Sampai pada suatu
hari, aku kedatangan tiga orang yang berpakaian hitam semua. Tidak karuan rupa,
mereka tertawa terhadapku. Aku curiga, lantas aku lari pulang. Mereka mengikuti.
Belum aku tiba di rumah, mereka telah berhasil menyusul aku dan aku lantas
dipegang. Aku ketakutan dan menjerit minta tolong. Kakek keluar, dia mau
menolongi aku. Dengan lantas kakek dibunuh mereka itu."
Kwee Ceng gusar sekali hingga ia menumbuk pahanya.
"Dulu ada inkong yang menolong, kali ini ada siapa?" si nona melanjuti. "Begitu
aku dibawa ke gunung Tiat Ciang San. Setibanya di puncak, baru aku mendapat tahu
mereka juga membawa beberapa puluh orang yang hidupnya sebagai tukang tangkap
ular. Khiu Pangcu mau menangkap banyak ular, untuk dipakai melatih semacam
ilmu." Oey Yong mengangguk. "Aku tahu itu," katanya.
Lam Kim seperti tidak mendengar perkataan si nona, ia bicara terus: "Tiat Ciang
Pang menitahkan aku menangkap ular. Sampai sebegitu jauh, aku tidak diganggu
bahkan ia menitahkan aku mengusir kodok hijau untuk berkelahi dengan kodok besar
dan juga mengusir ular untuk memakani kodok besar itu. Hanya di dalam beberapa
hari, tahulah aku apa sebabnya aksi mereka itu. Ialah mereka itu memperhatikan
caranya semua binatang itu berkelahi, lalu mereka melatih diri dengan mencontoh
perkelahiannya kodok hijau dan ular itu!"
Mendengar sampai di situ, Oey Yong berlompat bangun.
"Engko Ceng!" katanya. "Khiu Cian Jin lagi mengharap-harap Kiu Im Cin-keng!"
Kwee Ceng tidak mengerti. "Bagaimana?" dia tanya.
"Dia lagi memahamkan ilmu silat Kap Mo Kang dari See Tok. Kalau nanti datang
waktu pertemuan yang kedua kali di gunung Hoa San, dia mau menjadi jago nomor
satu di kolong langit ini!"
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti.
"Biar mereka berdua bertempur mati-hidup, itu baru bagus," kata Oey Yong. "Engko
Ceng, coba bilang, di antara mereka berdua, siapa yang terlebih lihay?"
Kwee Ceng berpikir, lantas ia menggoyang kepalanya
"Aku tidak tahu, mereka sama lihaynya."
"Ya, biarlah," kata pula si nona. Ia berpaling kepada Lam Kim, untuk menanya:
"Enci, bagaimana kejadiannya maka kau dimasuki ke dalam keranjang?"
"Aku telah menjadi budak mereka, jangan kata baru dimasuki ke dalam keranjang,
disuruh mendaki gunung golok atau masuk ke dalam kuali panas, semua terserah
kepada mereka..." sahut nona itu masgul.
Oey Yong menjadi tidak puas dengan jawaban itu, tetapi mengingat orang lagi
bersusah hati, ia tidak bilang suatu apa.
"Aku hampir menjerit melihat adik Cin muncul dari dalam keranjang," kata Liam
Cu, yang melanjuti penuturannya. "Dia pun kaget. Bandit Tiat Ciang Pang itu
berkata sambil tertawa kepada Yo Kang: 'Siauw-ongya, permainan ini tidak ada
kecelaannya, bukan?" Yo Kang menggoyang-goyang tangannya. 'Jangan-jangan!'
katanya, 'Lekas bawa dia pergi! Kalau nona Bok ketahui ini, bisa onar...'
Mendengar suaranya itu, aku menyangka dia benar berlaku baik padaku. Tapi bandit
itu membujuki: 'Nona Bok mana tahu" Kalau ongya suka, lagi beberapa hari,
apabila ongya turun gunung, dengan cara diam-diam kami nanti mengantarkan dia ke
istana, tapi jika ongya sudah bosan, biarkan dia di sini. Semua akan dilakukan
hingga iblis pun tidak tahu.' Lantas dia pegang adik Cin, untuk ditarik keluar
dari keranjang. Dia kata: 'Baik-baik kau melayani siauw-ongya. Inilah tugas
bagus untukmu!'. Setelah itu dia suruh dua orangnya berlalu dengan membawa
keranjang itu, dia sendiri turut berlalu setelah memberi hormat kepada Yo Kang.
Ketika dia pergi, dia sekalian menutup pintu. Setelah berada sendirian, Yo Kang
mengambil gunting, buat menggunting sumbu lilin, hingga apinya jadi lebih
terang, hingga dia bisa memandang kecantikannya adik Cin. Sembari tertawa dia
menghampirkan, untuk menarik tangan orang. Dia menanya nama dan umur adik Cin.
Adik Cin tidak menyahuti. Lantas dia dipeluk dan mukanya dicium, sembari tertawa
dia berkata: 'Harum, sungguh harum!'. Menyaksikan itu, bukan main panas hatiku,
mataku seperti kabur, hingga aku tidak melihat apa yang dia lakukan terlebih
jauh sampai aku mendapatkan adik Cin memegang sebuah cagak kecil, dua cagaknya
diarahkan ke dadanya sendiri. Ia mengancam: 'Memang aku sudah tidak mengharap
lagi jiwaku, asal kau langgar tubuhku, aku kubunuh diri di depanmu!' Aku puji
adik Cin. Aku harap Yo Kang nanti mundur. Dugaanku meleset. Acuh tak acuh, Yo
Kang memutuskan dua buah kancing bajunya, dengan itu dia menyentil dua kali.
Dengan satu kancing dia membikin jatuh cagak di tangan adik Cin, dengan yang
satu lagi dia menotok urat gagu orang. Sampai di situ, habis sabarku, maka aku
mendobrak jendela dan melompat masuk ke dalam kamar. Dia tercengang tapi lantas
dia tertawa. "Adik, kebetulan kau datang!" kata dia padaku. Entah kenapa melihat dia tertawa,
hawa marahku lenyap separuhnya. Ketika kemudian dia membujuki aku, aku jadi
bimbang, tidak tahu aku mesti berbuat apa. Adalah ketika itu, adik Oey, kau
memanggil aku." "Ketika itu aku juga tidak menyangka kau berada di atas gunung Tiat Ciang San,"
kata Oey Yong. "Ketika adik bertempur sama Khiu Pangcu," kata Liam Cu, "Aku pergi ke luar,
niatku untuk membantui, tetapi entah ke mana perginya adik semua. Kembali hatiku
menjadi jeri. Diam-diam aku kembali ke kamar, aku mengintai di jendela. Samar-
samar aku melihat dia memeluk pula adik Cin. Tiba-tiba saja aku muntah darah,
lantas aku berseru: 'Baiklah, putus kita sampai di sini! Untuk selama-lamanya
aku tidak akan melihat pula padamu!' Tanpa menanti jawaban, aku lari turun
gunung. Keadaan ada sangat kacau waktu itu. Aku melihat dengan membawa obor
orang-orang Tiat Ciang Pang meluruk ke puncak Tiong Cie Hong. Dengan begitu aku
turun gunung tanpa rintangan. Hatiku menjadi tawar sekali, niatku ialah untuk
mati saja. Aku bertemu sebuah bangunan yang gelap, aku langsung masuk ke dalam
situ. Itulah sebuah kelenteng. Di tembok kiri aku melihat gambar seorang imam
yang bersenjatakan sebatang pedang panjang, sikapnya gagah, di samping itu ada
tulisan tiga huruf, bunyinya Wa Sie Jin, artinya orang mati yang hidup. Aku
tidak tahu artinya kata-kata itu, hanya aku berpikir, kalau aku mati, siapa akan
membalas sakit hati ayah dan ibu angkatku" Maka itu, aku lantas berdiam di
kelenteng tersebut, aku diterima menjadi murid oleh too-kouw tua dari kelenteng
tersebut. Besoknya aku merasakan tubuhku panas, lalu aku lupa akan diriku. Lewat
beberapa hari, aku tersadar, aku mendapatkan adik Cin ini ada di depan
pembaringanku, lagi merawati aku. Ia pun telah berdandan sebagai too-kouw."
Oey Yong hendak menanya Lam Kim, bagaimana caranya dia lolos dari Tiat Ciang
Pang, akan tetapi karena khawatir nanti mendapat jawaban kurang tepat seperti
tadi, ia membatalkan niatnya. Sebaliknya nona itu mengawasi Kwee Ceng, sikap
siapa seperti juga nona Oey, agaknya ingin ia memperoleh keterangan.
Si nona lantas berkata: "Orang she Yo itu telah digaplok beberapa kali oleh enci
Bok, dia menjublak saja. Ketika ia mendengar suara berisik, dari sakunya ia
mengeluarkan pedang pendek yang ia selipkan di pinggangnya, terus dia memadamkan
api. Dia mendekati aku, dia mengusap-usap mukaku, setelah itu ia tertawa dan
lompat keluar jendela. Kira satu jam, suara berisik itu menjadi berkurang,
rupanya orang telah pada turun gunung. Sebenarnya itulah saatnya untuk aku
melarikan diri, apa celaka si orang she Yo telah mengikat aku, hingga aku mesti
rebah di samping pembaringan tanpa berdaya. Masih aku mendengar suara berisik,
yang makin lama makin jauh dan akhirnya sirap. Selagi keadaan sunyi itu, si
orang she Yo itu kembali dengan jalan melompati jendela seperti tadi. Lantas dia
duduk di kursinya, dari bayangannya aku melihat dia menunjang janggut, dia duduk
terpekur. Kemudian aku mendengar dia mengoceh sendirian, katanya: 'Bocah she
Kwee itu berani mendaki gunung, mestinya di belakang dia ada orang yang pandai
yang menyusul. Maka inilah bukan tempat yang bagus! Buat apa aku berdiam lama-
lama di sini?" "Manusia hina!" kata Oey Yong sengit.
Lam Kim menyambungi: "Kemudian dia menepuk meja, dia kata: 'Hm! Kau tidak sudi
bertemu pula denganku selamanya.... Peduli apa" Asal usahku berhasil, kekayaan dan
kemuliaanku bakal tidak ada batasnya, itu waktu di dalam keratonku tentu telah
berkumpul tiga ribu selir dan dayang! Mana aku kekurangan si cantik manis!"
"Dasar bangsat!" mendamprat Kwee Ceng yang mendongkol sekali.
Lam Kim terkejut mendapatkan tuan penolongnya begitu gusar. Ia tidak tahu, dari
kata-katanya Yo Kang itu, terang sudah orang she Yo itu hendak menjual negara,


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk keuntungan dirinya sendiri.
"Coba kau cerita terus," kata Kwee Ceng kemudian, sabar.
"Kau menghendaki aku bicara terus?" si nona menegasi.
"Kalau kau letih, kau beristirahatlah dulu," sahut si pemuda.
Nona Cin mengawasi pula, air mukanya berubah, toh ia bersikap tenang.
"Letih, itulah tidak," katanya. "Hanya aku mengalami kemalangan dan malu, susah
aku mengatakannya..."
"Kalau begitu, tidak usah kau bercerita. Mari kita omong dari lainnya hal."
"Tidak. Sebenarnya aku mesti menuturkan semua supaya kau tahu."
"Nah, nanti aku pergi ke sana, kau boleh bicara sama ini dua enci Bok dan Oey,"
berkata si pemuda yang lantas berbangkit, untuk bertindak pergi. Ia menduga
tentulah Yo Kang sudah main gila terhadap nona ini, hingga dia likat untuk
menuturkan pengalamannya itu.
Tetapi Lam Kim berkata: "Jikalau kau pergi, sampai mati juga aku tidak akan
menuturkannya. Selama dua hari ini, enci Bok berlaku baik sekali padaku, meski
begitu, aku tidak mau bercerita padanya..."
Kwee Ceng memandang Oey Yong, nona itu mengedipi matanya, menganjurkan ia
berduduk, maka urung ia mengangkat kaki, bahkan ia duduk pula di tempatnya.
Lam Kim menghela napas. Ia nampaknya lega hatinya. Lantas ia mulai bercerita
pula: "Telah tetap keputusannya orang she Yo itu. Dia lantas berbenah. Untuk itu
dia menyalakan api. Ketika dia melihat aku di tepi pembaringan, dia terperanjat.
Dia menyangka aku telah kabur. Dia membawa ciaktay, untuk menyuluhi mukaku.
Lantas dia tertawa dan berkata: 'Hm! Karena kau, aku kehilangan dia! Sekarang
kau berpikirlah. Jikalau kau suka menurut aku, akan aku ajak kau turun gunung.
Kalau tidak, kau, boleh tetap kau rebah di sini, supaya orang-orang Tiat Ciang
Pang perlakukan padamu apa mereka suka'. Aku menjadi bingung, aku bersangsi.
Berdiam di gunung akibatnya tentu berbahaya, akan tetapi turut dia, juga entah
bagaimana akhirnya. Melihat aku berdiam saja, dia tertawa nyaring. Mendadak
timbul nafsu binatangnya, dia lantas merusak diriku..."
Tiga orang itu berdiam, cuma Bok Liam Cu berdiam sambil mengucurkan air mata.
Itulah bukti Yo Kang main gila terhadapnya. Ia tahu Yo Kang busuk tetapi
tidaklah disangka dia hina begitu rupa. Ia pernah mengasih ampun, tetapi
sekarang" Lam Kim tenang luar biasa. Dia bercerita seperti juga dirinya tak ada sangkut
pautnya dengan ceritanya itu. Dia kata: "Karena aku telah ternodakan, aku lantas
mengambil keputusan. Aku ikut dia turun gunung. Aku telah ebrpikir, aku mesti
menuntut balas, habis mana, hendak aku menghabiskan jiwaku. Gunung Tiat Ciang
San itu sangat berbahaya, dengan bersusah payah dia membantu aku turun gunung.
Sampai fajar muncul, kita masih ada di tengah gunung. Dia malu bertemu dengan
orang Tiat Ciang Pang, dia mengambil jalan dari belakang gunung. Dia sengaja
memilih tempat yang tidak ada jalannya. Dengan begitu, sering dia merayap pada
pohon rotan. Maka perjalanan jadi semakin lama. Lereng gunung pun makin
berbahaya. Di sana ada jurang yang dalam sekali, aku melihatnya hingga kakiku
lemas. Tiba di tempat tinggi, kaki tanganku bergemetaran. Dia tertawa. 'Aku
nanti gendong kau, asal kau jangan bergerak! Nanti kita berdua habis...' Lantas
dia jongkok di depanku. Aku pikir inilah ketika yang paling baik unntukku, untuk
mati bersama. Aku lantas mendekam di punggungnya, kedua tanganku memeluk erat
lehernya. Selagi dia hendak berbangkit, dengan kakiku, aku menjejak keras batu
disisiku. Dia kaget, dia menjerit keras. Kita berdua jatuh."
Bok Liam Cu kaget hingga ia berkoak. Tapi segera ia ingat kejahatannya Yo Kang,
lantas dia menggertak gigi, ia menguati hati.
"Aku merasakan tubuhku melayang," Lam Kim meneruskan.
"Aku girang. Kalau tubuhku hancur lebur, dia tentu bakal hancur lebur juga.
Mendadak aku merasakan gentakan hebat, mataku kabur, hatiku memukul. Aku menduga
habislah aku. Tapi segera aku mendengar Yo Kang tertawa terbahak. Ketika aku
membuka mataku, aku melihat tangan kanannya merangkul cabang pohon cemara, yang
tumbuh di lereng gunung itu. Tubuh kita berdua bergelantungan di cabang itu,
yang telah menolong jiwanya. Tapi dia tidak sadar bahwa aku hendak membikin
celaka padanya. Dia menyangka aku ketakutan dan tidak dapat berdiri betul. Dia
puas sekali yang kami ketolongan. Sembari tertawa dia berkata: 'Jikalau bukan
siauw-ongya lihay ilmu silatnya, apa kau kira jiwa kecilmu masih ada"' Pohon itu
terpisah dari tanah cuma tujuh atau delapan tombak. Dia lantas merayap ke pohon.
Dia kata pula: 'Sekarang kita turun dulu ke lembah, di sana baru kita mencari
jalan keluar'. Di dalam lembah itu ada hanya rumput-rumpt yang sudah busuk dan
tulang-tulang binatang. Dengan satu tulang paha, dia membuka jalan sembari jalan
dia bicara sambil tertawa-tawa padaku. Aku takut dia curiga, nanti sukar aku
turun tangan, terpaksa aku melayani dia bicara. Tidak lama, dia berteriak sambil
lompat mundur. Dia menggunai tulangnya membiak rumput tebal di mana tadi dia
menaruh kaki. Di situ dia mendapatkan satu mayat, yang mengenakan baju kuning.
Muka mayat itu rusak hingga tak dapat dilihat lagi, cuma kumis dan jenggotnya
yang putih bertitikan darah segar. Rupanya belum lama dia jatuh mati di situ."
"Si tua bangka Khiu Cian Lie telah mampus, toh masih ada orang melihat
cecongornya!" kata Oey Yong.
"Yo Kang memeriksa tubuhnya mayat itu," berkata pula Lam Kim. "Banyak barang
yang didapatkan, seperti cincin, pedang pendek dan batu bata. 'Kiranya tua
bangka itu mati di sini,' dia kata. Sembari berkata begitu, dia menarik keluar
sejilid buku...." "Mungkin itu buku sulapnya," kata Oey Yong.
Seperti yang tidak mendengar perkataan si nona, Lam Kim bercerita terus: "Si
orang she Yo itu membuka dan memeriksa buku itu, kelihatannya dia ketarik
hatinya, dia membalik-balik terus lembaran dengan romannya girang. Kemudian dia
simpan buku itu di dalam sakunya. Habis itu kami berjalan terus. Satu hari kami
berada di dalam selat, sampai sore baru kami tiba di mulut selat itu. Kami
mencari rumah seorang petani untuk menumpang bermalam. Dia suruh aku mengaku
menajdi istrinya, katanya agar orang jangan curiga. Habis bersantap malam, dia
menyalakan api, dia membuka buku yang tadi, untuk diperiksa pula. Aku melihat
dia menggeraki tangan dan kakinya, seperti lagi bersilat. Rupanya buku itu ada
buku pelajaran silat. Aku menyender di pembaringan letih dan berduka, rasanya
malas aku bergerak. Mendadak aku mendengar dua kali suara kodok di luar jendela.
Aku tahu betul, itulah suara kodok hijau dicekuk ular berbisa. Dengan tiba-tiba
aku mendapat pikiran. Aku ingat kakekku yang telah mati itu, ia tentu telah
berkumpul bersama ayah ibuku, sekalian pamanku dan yang lainnya di dunia baka.
Aku sebaliknya, di dalam dunia ini aku hidup sebatang kara, hidup menderita,
sengsara dan ternoda, bahkan mau mati juga sukar. Karena mendapat ingat itu, aku
kata kepada orang she Yo itu: 'Siauw-ongya, aku hendak keluar sebentar.' Dia
tertawa. 'Baik', katanya. 'Asal jangan kau memikir untuk kabur, sebab dalam
sekejap, pasti aku dapat menyusul kau!' Aku menjawab: 'Aku lari" Lari ke mana"'
Dia tertawa pula dan kata: 'Itu betul. Dengan tidak memikir itu, kaulah anak
yang manis!' Sekeluarnya dari kamar, aku pergi ke belakang. Aku berdiri
sebentar. Aku mendengar suara si ular lagi menelan mangsanya. Diam-diam aku
menghampirkan ular itu, aku tangkap ekornya, terus aku menekuk dia,lalu aku
membungkusnya dengan sapu tangan. Lantas aku kembali ke dalam. Senang dia
melihat aku kembali begitu cepat. Dia tertawa dan mengangguk-angguk. Kembali dia
membaca bukunya itu. Kemudian dia kata: 'Pergi kau tidur lebih dulu, sebentar
kau temani kau'. Di dalam hatiku, aku damprat dia: 'Orang jahat, hari ini Thian
menyuruhnya aku membalas sakit hatiku!"
Mendengar sampai di situ, Oey Yong lantas ketahui apa cara membalas sakit hati
nona Cin ini. Liam Cu juga dapat menduga samar-samar, maka teganglah hatinya.
Cuma Kwee Ceng yang masih belum mengerti.
"Aku mengebut pembaringan mengusir nyamuk, terus aku menurunkan kelambu," Lam
Kim menyambungi pula. "Sembari merebahkan diri, aku membuka sapu tanganku, akan
mengeluarkan ular itu. Aku menekannya supaya dia tidak berkutik. Dengan tangan
kiriku, dengan kipas, aku menutup tubuh ular. Kemudian aku menantikan. Aku mesti
menahan napas. Sampai lama dia belum naik ke pembaringan. Aku khawatir aku
gagal. Minyak pelita menjadi semkin berkurang, cahayanya pun menjadi guram dan
akhirnya padam. Barulah itu waktu aku mendengar dia tertawa dan berkata: 'Haha,
aku harus mati. Lantaran membaca buku saja, aku sampai melupakan si manis!
Mustikaku, jangan kau sesalkan aku...' Aku tidak menyahuti, malah aku berlagak
pulas dengan mengasih dengar suara menggeros perlahan. Tetapi kupingku kupasang.
Aku mendengar dia menutup bukunya yang lantas dikasih masuk ke dalam sakunya.
Aku mendengar dia membuka baju luarnya. Aku mendengar juga dia naik ke
pembaringan dan membuka sepatunya. Ketika itu hawa sangat panas, dia meloloskan
semua pakaiannya. Ketika dia memeluk aku, akumasih terus berpura-pura pulas,
adalah tangan kiriku dengan perlahan-lahan menyingkirkan kipas, lalu tangan
kananku membawa kepala ular ke dadanya. Dengan kukuku, aku mencubit ular itu,
membikinnya kesakitan dan kaget, karena mana dia lantas mengigit dada si jahat,
dia kaget, dia berteriak: 'Apa"!' Terus dia berlompat turun dari pembaringan.
Sekarang dia merasakan ular masih menggigit dadanya, dia menariknya hingga
terlepas, tetapi gigi ular itu copot dan nancap di dadanya."
Liam Cu kaget hingga ia berjingkrak bangun, matanya mengawasi nona Cin. Dia ini
bercerita sampai di bagian sangat tegang itu tetapi romannya, suaranya juga,
tenang-tenang saja. Menampak demikian, nona Bok ini kagum sekali.
"Dia lantas berteriak: 'Ular! Ular!'" Lam Kim masih meneruskan dengan sabar
sekali. "Ketika itu aku masih belum memikir lantas mati, aku hendak menyaksikan
dia tersika, habis itu baru aku mau pergi ke dunia baka menjenguk kakek dan
ayah-bundaku, maka aku pun pura-pura kaget dan berteriak-teriak: 'Apa" Ular"
Mana" Mana"' Dia menyahuti: 'Aku digigit ular!' Aku menanya pula: 'Mana ularnya"
Lekas pasang api! Lekas!'. Benar-benar dia menyalakan api. Aku melihat empat
liang kecil dan hitam-hitam di dadanya, diam-diam kau bergirang. Lantas aku kata
padanya: 'Kau rebah saja, jangan bergerak, nanti aku pergi mencari daun onat-
obatan' Tuan rumah pun bangun dengan kaget. Dia kata: 'Memang di sini ada ular
berbisa, hanya heran dia bolehnya naik ke pembaringan...' Aku lantas membawa
pelita dan pergi ke luar, untuk mencari daun obat-obatan. Yang aku cari bukan
daun obat untuk memunahkan bisa ular, sebaliknya obat yang bisa membikin racun
ular itu bekerja semakin berbahaya...."
Ketika si nona bercerita sampai di situ, sebelah tangannya Liam Cu melayang ke
mukanya, hingga sebelah pipinya menjadi merah dan bengkak.
Oey Yong lantas menyambar tangannya nona Bok.
"Enci, bukankah binatang itu harus mendapatkan bagiannya?" dia menegur.
Liam Cu berdiam, kepalanya pusing. Ia berdiam dengan mata mendelong.
Lam Kim telah ditemeleng, ia tidak menggubrisnya, ia masih melanjuti ceritanya:
"Daun obat itu tidak dapat dicari dalam tempo sebentaran, aku pun tidak terus
mencarinya. Dia telah digigit ular beracun, dia tidak dapat bertahan enam jam,
maka itu aku mencabut rumput sembarangan, aku mamah itu, dengan itu aku
beborehkan dia. Dadanya itu telah bengkak dan bergarus hitam. Beberapa kali
sudah dia pingsan. Aku berduduk di sisinya, berpura-pura menangis. Mulanya aku
berpura-pura, diakhirnya aku menangis benar-benar. Aku ingat akan nasibku, aku
jadi sangat bersedih. Satu kali dia sabar dan mengawasi aku dengan tajam.
Rupanya dia menyangka akulah yang sengaja menggigitkan ular itu kepadanya.
Setelah melihat aku menangis, kecurigaannya itu lenyap. Dia menghela napas dan
kata: 'Akhirnya toh ada juga orang yang mengucurkan air mata untukku...' Dari
tengha malam sampai fajar, tiga kali dia pingsan lantas dia kedingian, tubuhnya
menggigil. Dia rupanya menduga jiwanya tidak bakal ketolongan lagi, dia kata
padaku: 'Aku mau minta tolong padamu, kalau beres dan berhasil kau akan mendapat
pembalasan yang baik sekali'. Aku menjawab: 'Aku tidak mengharapi hadiah. Kau
sebutkan saja'. Dia menyuruh aku mengambil bukunya dari sakunya, dia kata:
'Kalau aku sudah mati, kau ambil pedang pendek ini, bersama ini buku, kau
mengantarkannya ke istana Pangeran Chao Wang dari negara Kim, kau mesti
menyerahkan ini buku sendiri ke tangan pangeran itu. Bilang bahwa halnya surat
wasiat Gak Bu Bok berada di dalam buku ini."
Mendengar itu Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi, hati mereka sama
bertanya: "Kenapa bukunya Khiu Cian Lie itu ada hubungannya sama bukunya Gak
Hui?" "Dengan tenaganya yang hampir habis, dia melanjuti pesannya padaku," Lam Kim
melanjuti, tanpa memperhatikan sikap orang-orang di dekatnya itu. "Dia kata:
'Kau beritahu kepada Chao Wang bahwa dengan mulutku sendiri aku menjanjikan
supaya kau diangkat menjadi permaisuri. Dengan begitu, maka kau bakal hidup
senang dan mulia tak ada taranya'. Aku mengangguk tanpa membilang suatu apa. Dia
tertawa sedih dan menanya: 'Kenapa kau tidak menghanturkan terima kasih padaku"'
Aku tetap tidak menyahuti. Aku telah memikir, sesudah dia tidak bisa menggeraki
tangan dan kakinya, hendak aku membikin hancur kitab itu di depan matanya,
supaya di saat kematiannya itu tidak saja dia tersiksa lahir tetapi juga
bathinnya...." "Kau! Kau!" membentak Liam Cu bengis. "Kenapa kau begitu kejam" Benar dia
berbuat tidak pantas kepadamu tetapi itu disebabkan dia menyukai kecantikanmu!"
Oey Yong berduka: "Sayang, sayang..." katanya perlahan.
"Sayang?" kata Lam Kim. Baru sekarang dia memperhatikan suara orang. "Manusia
begitu jahat tetapi kematiannya masih disayangi?"
Nona ini keliru mengerti. Oey Yong menjawab dia: "Aku bukan menyayangi dia, aku
menyayangi bukunya itu..."
Nona Cin tidak meladeni pula, ia hanya melanjutkan: "Di waktu fajar, manusia
jahat itu beteriak-teriak meminta air. Aku menuangi air ke dalam mangkok dan
meletaki mangkok itu di tepi pembaringan. 'Ini air', kataku. Dia mengulur
tangannya, untuk mengambil mangkok itu. Aku menggeser sedikit jauh. Dia tidak
dapat mengambil, maka dia memaksakan diri untuk bangun, untuk berduduk. Nyata
tenaganya tidak mengijinkan. 'Tolong. tolong kau kasihkan aku...' dia minta. 'Kau
ambil sendiri', kataku. Dia mengeluarkan seluruh tenaganya, tangannya
dilonjorkan. Dia berhasil mengambil mangkok air itu. Nampaknya dia girang
sekali. Akan tetapi tangannya itu kaku, tangannya itu tidak dapat ditekuk,
ketika ia memaksa menekuknya, prang! Maka mangkok itu terlepas dan jatuh pecah
di tanah! Aku tahu bahwa dia telah habis tenagnya, maka aku ambil bukunya, aku
bawa ke depannya seraya berkata: 'Bukankah kau menghendaki buku ini aku
membawanya ke istana Chao Wang" Baiklah, kau lihat!' Aku merobeknya selembar.
lembaran itu aku merobek-robeknya pula. Dia nampaknya kaget. 'Kau...kau' katanya.
Terang dia kaget dan gusar. Aku hendak menyiksa dia. Habis merobek selembar, aku
merobek selembar lainnya. Dia gusar hingga dia pingsan. Aku menanti, aku menanti
sampai dia sadar, lalu aku merobek pula. Demikian sampai kau merobek beberapa
lembar, dia lantas merapatkan kedua matanya, tidak suka dia melihatnya lebih
jauh. Meski dia tidak melihat, kupingnya dapat mendengar, kupingnya itu masih
mendengar terus. Demikian dia mendengari suara sobekan kertas...."
Seorang diri Lam Kim berbicara, tiga orang mendengar dia. Tiga orang ini masing-
masing kesannya. Mereka seperti dapat membayangkan romannya Yo Kang di atas pembaringannya, selagi noa Cin merobek kertasnya.
"Tiba-tiba aku melihat perubahan pada air mukanya," nona Cin melanjuti. "Dia
seperti lagi memasang kupingnya memperhatikan sesuatu. Aku berhenti merobek
kertas. Aku juga memasang kupingku. Segera aku mendengari suara bicaranya
beberapa orang serta tindakan kaki mereka itu, mulanya jauh. Di saat
kematiannya, binatang itu masih licik sekali. 'Air, air, kasih aku air...'
katanya. Aku mendengar suara orang itu datang semakin dekat, datang sampai di
luar rumah. Lantas aku mendengar cacian: 'Binatang perempuan! Pastilah dua
binatang cilik itu diambil. Sin Soan Cu!' Lantas terdengar suara seorang lain:
'Menurut aku, baiklah perempuan hina itu dibakar mampus berikut binatang cilik
itu!' Lagi seorang berkata: 'Tidak dapat kita berbuat demikian. Kalau dia tidak
terbakar mati" Binatang itu lihay, dia bisa menjadi biang penyakit untuk kaum
kita Tiat Ciang Pang'. Mendengar mereka itu ada orang-orang Tiat Ciang Pang, aku
kaget. Aku takut mereka nanti masuk dan menolongi orang she Yo itu. Tiat Ciang
Pang memelihara banyak ular berbisa, mereka pasti bisa mengobati siapa keracunan
ular berbisa. Lantas aku menjumput pecahan mangkok. Aku sudah memikir, kalau
mereka itu masuk ke dalam, hendak aku membinasakan dulu si orang she Yo, setelah
itu aku baru membunuh diri. Aku takut dia membuka mulut, maka dengan bajunya aku
membungkus kepalanya dan mulutnya aku sumbat dengan hancuran kertas. Entah
bagaimana, orang-orang Tiat Ciang Pang itu lewat terus, tidak ada seorang juga
yang mampir dan masuk ke dalam rumah. Setelah merasa orang telah pergi jauh, aku
membukai bungkusan kepalanya. Aku berniat mengulangi menyobek lembaran buku itu.
Tiba-tiba aku mendengar suara pintu pekarangan ditolak. Aku heran. Aku tahu di
situ sudah tidak ada orang lain. Suami-istri pemilik rumah itu sudha pergi ke
sawahnya. Aku pergi ke pintu dan mengintai. Aku melihat depalan orang datang
sambil berpegangan tangan, perlahan jalannya, tangan mereka mencekal masing-
masing sebatang galah, yang mereka ketruk-ketruki ke tanah. Nyatalah mereka
semua orang-orang buta dan pakaian mereka dekil, tetapi terlihat tegas, asalnya
pakaian mereka itu ialah putih."
"Itulah budak-budaknya si bisa bangkotan," kata Oey Yong perlahan.
Lam Kim menoleh kepada Kwee Ceng dan berkata: "Baru-baru ini ketika inkong dan
aku berada di dalam rimba, selagi inkong hendak menangkap hiat-niauw, aku
melihat sendiri budak-budak jahat itu dipatuk burung api itu, maka itu aku
lantas mengenali mereka. Dengan lantas aku pakai baju panjang itu menutup pula
muka si bangsat. Lalu aku mendengar seorang budak jahat itu berkata: 'Ngamal,
ngamal...bagilah sayur dan dingin kepada orang-orang buta.... Aku tidak berani
bersuara, aku diam saja. Si buta itu berkata pula, dia mengemis nasi. Aku tetap
tidak menjawab. Beberapa kali permintaannya itu diulangi. Akhirnya aku
mendengar; 'Di sini tidak ada lain orang, mari kita pergi mencari ke lain


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat'. Tadinya mereka itu pada berduduk, lantas mereka pada bangun berdiri.
Aku khawatir mereka nanti masuk ke dalam, maka aku lantas batuk-batuk, terus aku
membuka pintu. Aku tanya mereka itu siapa. Nampaknya mereka itu kaget. Yang satu
lantas berkata, 'Nona, sukalah berlaku baik, tolong kau membagikan makanan untuk
kami.' Yang lainnya mengeluarkan sepotong perak dari sakunya seraya berkata:
'Kami membeli dengan uang...' Aku lantas mempersilahkan mereka duduk, kataku,
nanti aku masak nasi untuk mereka. Aku ingin mereka lekas-lekas pergi. Aku
lantas pergi ke dapur, aku masak nasi, aku menggorengi sayur. Demikian mereka
berdahar. Habis mereka bersantap, disaat mereka mau pergi, mendadak si orang she
Yo berteriak. Aku lari ke dalam. Aku melihat dia mencoba menduduk, tangannya
menuding aku, dengan roman ketakutan, dia berteriak pula: 'Auwyang Kongcu!
Auwyang Kongcu!' Aku kaget hingga aku mencelat. Aku tidak tahu siapa itu Auwyang
Kongcu. Aku khawatir sekali, aku takut orang-orang buta itu mendengar suaranya.
Maka aku pungut bajunya, untuk membungkus pula kepalanya. Di luar dugaanku, dia
menjadi kuat sekali, dia berontak pula hingga aku terjatuh. Lagi sekali dia
menagsih dengar suaranya; 'Auwyang Kongcu, kau,kau ampuni aku....kau ampuni aku...'"
Oey Yong, Kwee Ceng dan Liam Cu melihat tegas Yo Kang membunuh Auwyang Kongcu,
mereka mengerti ketakutannya Yo Kang dalam keadaan was-wasnya, meski begitu,
mereka merasakan punggung mereka dingin. Mereka merasa ngeri. Bahkan nona Oey,
meskipun dia gagah, dia berlompat kepada Kwee Ceng, untuk duduk menyenderkan
tubuhnya. Lam Kim melihat eratnya perhubungan muda-mudi itu, sakit ia merasakan hatinya.
Tapi dia meneruskan: "Begitu orang she Yo itu menyebut-nyebut Auwyang Kongcu,
budak-budak buta itu menerobos ke dalam, mulut mereka bertanya berulang-ulang:
'Kongcu! Kongcu! Kau di mana"' Aku menjadi kaget. Tahulah aku, mereka itu bujang
dan majikan. Aku merasa aku bakal gagal. Dalam takutku aku lantas lari. Entah
kenapa, waktu itu aku lagi tak ingin mati. Aku takut nanti di tangkap mereka,
aku bisa disiksa, maka aku kabur terus. Bagaikan ada malaikat yang menunjuki,
aku lari sampai ke kuilnya enci Bok, justru enci Bok lagi sakit berat, tubuhnya
sangat panas. Aku lantas merawati sebisanya. Malam itu aku berpikir keras,
akhirnya aku minta too-kouw tua itu menerima aku sebagai muridnya. Dua hari
kemudian baru panas tubuhnya enci Bok kurangan dan dia sadar..."
"Kemudian bagaimana?" Liam Cu memotong cerita nona itu.
"Bagaimana" Tentu saja dia mati!" menyahut Lam Kim.
"Nanti, nanti aku lihat...." Sambil berkata begitu, Liam Cu berlompat bangun,
terus dia lari. "Enci! Enci!" Oey Yong memanggil.
Liam Cu tidak mendengar, dia lari terus, hingga sebentar saja dia lenyap si
sebuah pengkolan. Oey Yong bertiga tahu Liam Cu tidak dapat melupakan Yo Kang, tidak peduli orang
she Yo itu terbukti kejahatannya. Mereka menghela napas.
Setelah berdiam sekian lama, Lam Kim berbangkit.
"Inkong," katanya perlahan kepada Kwee Ceng, "Aku telah menutur segala apa, maka
bersyukurlah kepada Thian, aku dapat dipertemukan pula kepada inkong." Ia
merogoh ke sakunya, dia mengeluarkan sejilid buku yang sudah rusak, ia
menyerahkan itu kepada si anak muda seraya menambahkan: "Buku ini telah aku
robek belasan lembarannya, aku tidak tahu ini sebenarnya buku apa, tetapi orang
she Yo itu menganggapnya sebagai mustika, maka mungkin ada faedahnya. Coba
inkong periksa." Kwee Ceng menyambuti buku itu, tanpa memeriksa lagi, ia masuki itu ke dalam
sakunya. "Sekarang kau berniat pergi ke mana?" ia menanya. ia lebih memerlukan nasibnya
nona yang peruntungannya sangat malang ini.
"Aku telah bertemu pula sama inkong, untukku, kemana aku pergi, sama saja,"
menyahut nona Cin ini. "Kelihatannya Tiat Ciang Pang bermaksud tidak baik kepada
inkong, maka itu aku harap inkong berdua suka berhati-hati."
"Kenapa kau ketahui tukang perahu itu orang Tiat Ciang Pang?" Oey Yong tanya.
"Sebab dialah orang yang memasuki aku ke dalam keranjang dan menyerahkan aku
pada si orang she Yo itu."
"Oh..." kata nona Oey yang lantas telah mengetahui bagaimana ia harus mengambil
sikap kepada si tukang perahu.
"Setelah enci Bok sembuh, kami berdamai untuk melanjutkan perjalanan bersama,"
Lam Kim masih berkata lebih jauh. "Demikian tadi di rumah makan, kami melihat
inkonng berdua serta itu tukang perahu. Dasar Thian tidak mengijinkan orang
jahat dapat berbuat sesukanya, kami telah dibuatnya memergoki dia."
Habis mengucap, si nona memberi hormat kepada Oey Yong, terus ia berlutut pada
Kwee Ceng seraya berkata: "Sekarang perkenankan aku meminta diri. Semoga inkong
panjang umur dan beruntung!"
Kwee Ceng mengasih bangun nona itu. hatinya pepat. Tidak tahu dia mesti
membilang apa. "Enci Cin," berkata Oey Yong, "Kau sudah tidak punya rumah, maka baiklah kau
turut kami pergi ke Kanglam."
Lam Kim menggeleng kepala.
"Aku berniat balik ke hutan kakekku," katanya.
"Kau tinggal sebatang kara, mana dapat?" Oey Yong kata.
"Seumurku, aku memang bersendirian saja..."
Oey Yong berpaling pada Kwee Ceng, ia membungkam.
Lam Kim menoleh kepada si anak muda, habis mana ia memutar tubuhnya, untuk
bertindak pergi. Pemuda itu masih menjublak sampai ia ingat suatu apa.
"Nona, tunggu dulu!" dia memanggil.
Nona itu menghentikan tindakannya, ia tidak memutar tubuhnya.
"Nona, kalau kau bertemu lagi orang jahat, bagaimana?" Kwee Ceng tanya, nona itu
tunduk, ia menyahuti dengan perlahan: "Aku sebatang kara dan lemah, aku cuma
akan menerima nasib saja..."
"Mari aku ajarkan kau serupa ilmu," berkata Kwee Ceng. "Jikalau kau rajin
mempelajarinya, aku percaya sekali kau bisa melawannya sedikitnya lima orang."
Nona itu berpikir sebentar, lalu ia memberikan penyahutannya: "Baiklah, kalau
inkong menitahkannya, nanti aku mempelajarinya."
Kwee Ceng heran melihat orang tidak bergembira karenanya. Ia lantas mengajari
nona itu ilmu yang ia dapatkan dari Tan Yang Cu Ma Giok selama di gurun pasir.
Itulah ilmu tenaga dalam, Lwee Kang Sim-hoat, yang terdiri dari sepuluh jurus.
Lam Kim berotak cerdas, ia memperhatikan pengajaran itu. Tidak lama, dia telah
dapat mengingatnya baik-baik.
"Setelah dipelajari sungguh-sungguh nanti baru nampak kefaedahannya pelajaran
ini," Kwee Ceng memberi keterangan. "Kau tidak mengerti ilmu silat, tetapi
dengan meninju dan menendang kalang-kabutan, kau dapat melukai orang."
Nona itu berdiam, lalu ia meminta diri pula dan pergi dalam kesunyian.
Setelah orang pergi jauh, Oey Yong kata kepada kawannya: "Aku memberi selamat
padamu telah mendapat seorang murid!"
"Mana dapat dibilang dialah muridku," kata si pemuda. "Aku cuma mengharap dia
tidak nanti diperhina lagi segala orang jahat."
"Itulah sukar dibilang," kata Oey Yong. "Sekalipun orang sepandai kau, kau masih
dipermainkan orang jahat..."
Kwee Ceng menghela napas.
"Di jaman kacau seperti ini, manusia kalah dengan anjing," ia bilang. "Apa mau
dikata...?" "Sekarang mari kita mampusi anjing gagu itu!" berkata si nona.
Si anak muda heran. "Anjing gagu yang tadi," sahut si nona, yang lantas menggerak-geraki tangannya
seraya mengasih dengar suara ah-aha-uh-uh.
Melihat itu Kwee Ceng tertawa.
"Jadi kita tetap menaiki perahunya si gagu palsu itu?" ia menegaskan,
Bab 67. Pergulatan di atas perahu
Bab ke-67 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
67. Pergulatan di atas perahu
"Pasti kita akan memakai perahunya itu," menyahut si nona. "Bangsat tua Khiu
Cian Jin telah melukai hebat padaku, hendak aku membalas terhadapnya, umpama
kata aku tidak sanggup melayani dia, puas juga sedikit hatiku papabila aku bisa
menyingkirkan beberapa pengikutnya."
Keduanya lantas kembali ke rumah makan. Di sana si tukang perahu yang gagu lagi
tangal-tongol, mengharapai kedatangan orang. Ia menjadi girang sekali apabila
dia menampak kembalinya si muda-mudi.
Dengan berlagak pilon, Kwee Ceng berdua pergi ke perahu orang Tiat Ciang pang
itu. Mereka melihat sebuah perahu sedang, tidak besar dan tidak kecil, dan
gubuknya hitam. Itulah perahu pengangkutan yang paling banyak digunai di sungai
Goan Kang. Di atas perahu itu ada dua orang, yang masih muda, yang lagi mencuci
lantai. Begitu keduanya turun ke perahu, tukang perahu itu melepaskan tambatannya dan
menolak perahu ke tengah sungai di mana layar lantas dipasang. Kebetulan sekali
angin Selatan meniup keras, perahu laju cepat mengikuti aliran sungai.
Kapan Kwee Ceng memikirkan kebinasaan Yo Kang serta nasibnya Liam Cu dan Lam
Kim, ia sangat berduka. Sambil menyenderkan tubuhnya, ia tunduk diam, matanya
memandang jauh ke depan. "Engko Ceng," berkata Oey Yong tiba-tiba. "Coba kau kasih lihat bukunya nona Cin
itu. Entah ada hubungan apa di antara itu buku dan buku wasiatnya Gak Bu Bo..."
Anak muda itu seperti sadar.
"Hampir aku lupa!" katanya. Ia terus mengeluarkan bukunya, diserahkan pada si
nona. Oey Yong menyambuti, lantas ia membalik beberapa lembaran.
"Oh, kiranya begini!" katanya agak terperanjat. "Engko Ceng, mari lihat!"
Kwee Ceng berbangkit dan menghampirkan, ia duduk di samping si nona, di tangan
siapa ia melihat buku itu.
Ketika itu sudah sore, sinar layung memain di permukaan air. Sinar itu, yang
menyorot berbalik dari air, mengenakan juga muka si nona, baju dan buku di
tangannya itu. Sepasang muda-mudi itu besar hatinya, walaupun mereka berada di dalam kendaraan
air musuh, mereka tidak takut. Dengan asyik mereka memperhatikan buku pemberian
nona Cin itu. Buku itu adalah buku buah tangannya Siangkoan Kiam Lam, pangcu yang ke 23 dari
Tiat Ciang Pang. Di situ Kiam Lam mencatat segala apa mengenai sepak terjang
pertainya. Dialah salah seorang punggawanya jenderal Han See Tiong. Ketika Gak
Hui terbinasakan dorna Cin Kwee dan Jenderal Han dipecat, dia pun berhneti.
Banyak orang bawahan dan serdadunya, yang turut mengundurkan diri dan hidup
bertani. Tapi dia benci kawanan dorna, yang menguasai pemerintahan, maka dia
mengajak serombongan sebawahannya, yang menyetujui cita-citanya untuk menaruh
kaki di wilayah Kheng-siang, bekerja sebagai berandal. Hanya kemudian mereka
masuk dalam kalangan Tiat Ciang Pang, malah ketika pangcu yang tua menutup mata,
dia menyambut sebagai penggantinya. Mulanya Tiat Ciang Pang ada perkumpulan
biasa saja akan tetapi setelah dipimpin dia, sifatnya berubah menjadi kuat. Dia
berhasil mengumpulkan kawanan orang-orang gagah di Ouwlam dan Ouwpak, hingga
kedudukannya tangguh seimbang dengan kedudukan Kay Pang di Utara. Tidak pernah
Kiam Lam melupakan negera dan musuh negaranya, untuk membangunnya pula, sering
dia mengirim mata-mata ke Lim-an. Ia mengharap ketika baik guna bergerak:
Kemudian Kaisar Kho Cong mengundurkan diri dari tahta kerajaan, yang dia
serahkan kepada Kaisar Huaw Cong, ia sendiri merasa senang menjadi Thay
sianghong, Kaisar Hauw Cong ingat kesetiaan Gak Hui, ia menitahkan memindahkan
kuburannya dari tepi jembatan Cong An Kio ke tepian See Ouw, Telaga Barat, di
mana pun di bangun rumah abunya, sedang pakaian dan semua barang lainnya dari
Gak Bu Bok disimpan di istana. Malamnya dari siangnya jenazah dipindahkan,
bekas-bekas orangnya Gak Hui datang dengan diam-diam untuk bersembahyang. Mata-
mata Tiat Ciang Pang di Lim-an mengetahui hal itu dan mendengarnya juga bahwa di
antara warisan Gak Bu Bok ada sejilid kitab tentang ilmu perang, maka hal itu
diwartakan ke Tiat Ciang San. Kiam Lam lantas bekerja. Ia mengajak sejumlah
orangnya yang pandai, mereka berangkat ke kota raja. Pada suatu malam mereka
memasuki istana dan berhasil mencuri kitabnya Gak Hui itu, yang mana malam itu
juga di bawa dan diserahkan kepada Jenderal Han See Tiong.
Ketika itu Jenderal Han sudah berusia lanjut dan bersama istrinya Nio Hong Giok,
ia tinggal menyepi di tepi See Ouw. Dia telah terbangun semangatnya menyaksikan
kitabnya Gak Hui itu, hingga dia menghunus pedang dan membacok meja. Ia menghela
napas. Untuk memperingati sahabat kekalnya itu, Gak Hui, ia lantas mengumpulkan
pelbagai karyanya Gak Bu Bok, dijadikan sebuah buku, buku mana dia kasihkan pada
Siangkoan Kiam Lam, yang dinasehati untuk mencoba mewujudkan cita-cita Gak Hui
untuk mengusir bangsa asing, guna membangun pula negara sendiri. Kiam Lam
menerima itu semua. ia juga bisa berpikir, maka ia ingat, tidak mungkin Gak Hui
menulis kitab perangnya untuk dibawa ke kubur, tentulah itu untuk diwariskan
kepada suatu orang, hanya saking kerasnya penjagaan Cin Kwee, kitab tersebut
tidak sempat disampaikan. Pula mungkin, karena suatu sebab, orang yang harus
menerima kitab itu tidak keburu ke kota raja. Kalau ini benar, ada kemungkinan
orang itu datang ke istana dan menubruk tempat kosong disebabkan kitab itu telah
tercuri. Karena ini, ia lantas membikin petanya gunung Tiat Ciang San diberikuti
keterangan singkat bunyinya: "Kitab warisan Gak BU Bok adanya di Tiat Ciang San,
di puncak Tiong Cie Hong, di lereng yang kedua." Jenderal Han khawatir orang
tidak mengerti petunjuk singkat itu, ia menambahkan dengan cabutan syairnya Gak
Bu Bok sendiri. Jenderal Han juga percaya bahwa orang yang bakal menerima
warisan itu, jikalau bukannya murid Gak Bu Bok sendiri, tentulah salah seorang
sebawahannya. Kapan Siangkoan Kiam Lam telah berpulang ke Tiat Ciang San, ia memanggil kumpul
banyak pecinta negara, ia mengajak mereka bergerak. Tetapi pemerintah Song jeri
kepada negara Kim, bukan saja gerakan mulia itu tidak ditunjang bahkan ditindas,
dalam hal mana, bangsa pun membantu. Maka gagallah usahanya Siangkoan Kiam Lam,
dia mati di atas puncak Tiat Ciang Hong karena luka-lukanya. Bukunya itu bagian
belakang, tulisannya tidak karuan, mungkin ditulis setelah dia terluka. Yang
paling hebat ialah setelah belasan lembarnya dirobek-robek Cin Lam Kim.
"Tidak disangka Siangkoan Pangcu seorang pencinta negara," kata Kwee Ceng
masgul, hingga ia menghela napas. "Sampai ajalnya, dia masih memegangi erat-erat
bukunya ini. Aku tadinya menduga dia sama dengan Khiu Cian Jin si pengkhinat,
mulanya aku memandang rendah padanya. Kalau tahu begini, tentulah aku sudah
menghunjuk hormatku kepada tulang-tulangnya itu."
Tidak lama dari itu, cuaca mulai gelap, maka tukang perahu meminggirkan
perahunya dan menambatnya, hendak ia memasak nasi dan menyembelih ayam, untuk
mempersiapkan barang makanan.
Oey Yong dan Kwee Ceng khawatir nanti diracuni, dengan alasan si tukang perahu
tidak resik, mereka membawa daging dan sayurannya ke darat, ke rumah seorang
desa, untuk tolong dimatangi, untuk mereka bersantap di sana.
Tukang perahu itu mendongkol, tetapi karena dia gagu, dia tidak bisa bilang apa-
apa kecuali nampak sinar mata dan romannya yang suram.
Habis bersantap, sepasang muda-mudi itu masih berangin di bawah pohon di depan
rumah si orang kampung. "Entah apa yang ditulis dalam beberapa lembar halaman yang dirobek enci Cin
itu," berkata si nona. "Di dalam dunia ini cuma Khiu Cian Lie dan Yo Kang yang
pernah membaca itu tetapi mereka dua-duanya telah mati."
"Khiu Cian Lie cuma mengambil buku ini, tidak bukunya Gak Bu Bok, kenapa?" tanya
Kwee Ceng. "Mungkin itu disebabkan dia mendapat dengar suara kita. Dan baru ambil jilid
ini, dia tidak berani mengambil jilid lainnya. Mungkin beberapa lembar yang
tersobek penting isinya. Bukankah si tua bangka sangat memperhatikan itu?"
"Hanya heran tentang Siangkoan Pangcu itu. Dia lari ke puncak. Kenapa tentara
negeri tidak mengejar terus?"
"Ini pun aneh. Rupanya cuma setelah melihat isinya sobekan baru duduknya hal
akan dapat dimengerti..." kata si nona, yang mendadak tertawa. "Kalau enci Cin itu
tidak merobeknya dan kejadian dia pergi ke Wanyen Lieh, itu waktu pasti ada
pertunjukan yang bagus sekali..." Ia berhenti pula, atau kembali ia berkata,
berseru: "Bagus!"
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 5 Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran Sayembara Angkin Pembawa 2
^