Pencarian

Memanah Burung Rajawali 7

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 7


"San-cu paling sukai kamu!" Ada yang membilang, "Diwaktu begini tentulah San-cu
lagi menantikanmu!" maka ia menjadi mengerutkan keningnya, ia menajdi sebal....
"Kalau kita menghadiahkan kuda ini kepada San-cu, coba kau terka, San-vu bakal
menghadiahkan apa kepada kita?" berkata satu orang, yang kembali ke urusan kuda.
Yang seorang tertawa dan berkata: " Pasti San-cu menghendaki kau menemani ia
tidur untuk beberapa malam...!
"Kurang ajar!" membentak kawan yang digoda itu dan hendak mencubit. Yang lain-
lain lantas tertawa geli.
"Kira-kira, hati-hatilah!" seorang memperingati. "Jangan kita membocorkan
rahasia sendiri...!"
"Wanita itu membawa pedang, dia tentu mengerti ilmu silat," kata satu orang.
"Dia juga cnatik sekali, coba dia lebih muda sepuluh tahun, baharulah heran
anadikata San-cu melihat dia dan tidak menjadi kerindu-rinduan..."
Tin Ok tahu Siauw Eng yang menjadi bulan-bulanan, ia mendongkol. ia percaya
orang yang dipanggil "San-cu" itu atau "majikan gunung" mestilah bukan orang
baik-baik. "Awas, jangan kau mencari muka dari San-cu dan hendak mati-matian mencarikan
nona manis untuknya...!" memperingati satu kawan.
Orang itu tertawa, ia tidak menyahuti.
"Kita harus berhati-hati," berkata pula seorang yang lain. "Kali ini kita datang
ke Tionggoan untuk mengangkat nama, guna menakluki orang kosen, supaya orang-
orang kosen di kolong langit ini ketahui kegagahan kita dari Pek To San, maka
itu haruslah kita waspada, jangan seperti Hong Ho Su Koay yang sial dankalan
itu, yang menyebabkan orang tertawa hingga giginya copot!"
Tin Ok tidak tahu Pek To San itu, yang berarti Gunung Unta Putih, ada dari
partai mana, akan tetapi mendengar disebutnya Hong Ho Su Koay - Empat Siluman
dari sungai Hong Ho, ia teringat kepada mereka yang mengeroyok Kwee Ceng.
Seorang berkata pula: "Menurut katanya San-cu, Hong Ho Su Koay adalah murid-
murid paling disayangi oleh Kwie-bun Liong Ong, untuk di Liongsee dan Tiong-ciu,
namanya sangat kesohor, maka itu adalah sangat aneh yang mereka kabarnya roboh
ditangannya satu bocah umur belasan tahun..."
Satu kawannya menyahuti: "Ada orang bilang bocah itu pandai ilmu silat Kiu-im
Pek-kut Jiauw, karena tubuhnya Hong Ho Su Koay itu masing-masing meninggalkan
beberapa bekas cengkeraman..."
"Maka hati-hatilah kau!" tertawa satu kawannya, "Supaya kau jangan sampai kena
dijambak bocah itu!"
"Cis!" sang kawan berludah.
Maka lagi sekali, mereka itu tertawa.
Mendengar pembicaraan itu, Tin Ok mendongkol berbareng merasa lucu. "Sungguh
pesat sekali tersiarnya kabaran dalam dunia kangouw!" katanya. "Hanyalah tidak
tepat untuk menyiarkan berita anak ceng mengerti Kiu-im Pek-kut Jiauw. Ilmu itu
mana dapat dikuasai tanpa penyakinan belasan tahun" Anak umur belasan tahun mana
mempunyakan semacam ilmu silat itu?"
Diam-diam Tin Ok puas yang murid mereka dapat mengalahkan Hong Ho Su Koay, maka
tidaklah kecewa didikan mereka selama sepuluh tahun lebih ini.
Habis dahar mie, delapan pemuda itu berlalu dengan cepat bersama untanya.
Tin Ok tunggu sampai orang sudah pergi jauh, ia tanya adiknya yang kedua:
"Jietee, bagaimana kau lihat kepandaiannya delapan wanita itu?"
"Wanita?" Cu Cong mengulangi dengan heran sebelum ia menjawab.
"Habis?" sang kakak membalasi.
"Oh, mereka menyamar demikian sempurna!" berkata Cu Cong. "Nampaknya mereka luar
biasa, mirip mengerti ilmu silat, rupanya seperi tidak mengerti..."
"Apakah pernah kau dengar tentang Pek To San?" Tin Ok tanya pula.
"Tidak," sahut Cu Cong setelah berpikir sejenak.
Tin Ok lantas tuturkan apa yang ia dengar barusan. Cu Cong semua tertawa. Besar
nyali mereka berani berniat menggempur gunung Tay San....
"Perkara kecil niat mereka merampas kuda ana Ceng," Tin Ok berkata pula. "Yang
penting ialah pembilangan bahwa ada banyak orang gagah hendak berkumpul di kota
raja. Mungkin ada gerakan rahasia apa-apa. Aku pikir tak dapat kita
membiarkannya saja, perlu kita mencari tahu."
"Tetapi janji pibu di Kee-hin bakal tiba harinya, tidak dapat kita main ayal-
ayalan," Coan Kim Hoat memperingati.
Mereka itu berdiam, mereka itu merasa sulit juga.
"Kalau begitu, biarlah anak Ceng berangkat lebih dahulu!" Lam Hie Jin
menyarankan. "Apakah sieko maksudkan biar anak Ceng pergi seorang diri ke Kee-hin" Kita
menyusul dia sesudah kita menyelidiki warta perihal orang-orang gagah yang
berkumpul di kota raja?" Siauw Eng menegaskan.
Lam Hie Jin mengangguk. "Benar," Cu Cong menyatakan setuju. "Biar anak Ceng berjalan seorang diri, untuk
mencari pengalaman."
Mendengar itu Kwee Ceng merasa puas. Tidak menggembirakan untuk ia berjalan
seorang diri. Ia utarakan perasaannya itu.
"Orang begini besar masih bersifat kebocahan!" Tin Ok menegur.
Siauw Eng lantas membujuki: "Kau pergi lebih dahulu di sana menunggui kita. Tak
sampai satu bulan, kami akan menyusul. Umpama di harian pibu kita tidak dapat
kumpul semua berenam, satu atau dua tentulah dapat tiba untuk mengurus kamu.
Jangan kau khawatir."
Dengan terpaksa Kwee Ceng memberikan persetujuannya.
"Delapan wanita itu hendak merampas kudamu," Tin Ok pesan, "Pergi kau ambil
jalan kecil, untuk mendahului mareka. Kudamu keras larinya, tidak nanti dapat
mereka menyusul. Kau mempunyai urusan penting, jagalah supaya kau jangan
terganggu urusan sampingan."
"Umpama benar mereka main gila, Kanglam Cit Koay tidak nanti lepaskan mereka!"
berkata Han Po Kie. Dia tetap menyebut diri Cit Koay meskipun sudah belasan
tahun semenjak meninggalnya Thio A Seng, hingga sekarang mereka tinggal berenam
(Liok Koay). Itulah tandanya ia tidak bisa melupakan saudara angkatnya itu.
Habis bersantap, Kwee Ceng lantas memberi hormat kepada keenam gurunya, untuk
mengucapak selamat jalan.
Liok Koay berlega melepaskan muridnya ini, yang kelihatan sudah dapat diandalkan
menyaksikan perlawanannya terhadap Hong Ho Su Koay. Memang perlu murid ini
membuat perjalanan sendiri, sebab pengalaman tak dapat diajari, itu mesti
diperoleh sendiri. Mereka itu pada memesan, paling belakang pesan Hie Jin
singkat saja: "Jikalau tidak ungkulan, menyingkir!" Pesan ini diberikan sebab ia
melihat, melayani Empat Siluman dari Hong Ho, muridnya ini ngotot hingga ia
membahayakan diri sendiri.
"Memang," berkata Coan Kim Hoat, "Ilmu silat tidak ada batasnya, di luar gunung
ada gunung lainnya lebih tinggi, di sebelah orang ada lagi lain orang yang
terlebih pandai, biarpun kau sangat lihay, tidak dapat kau menjagoi sendiri di
kolong langit. Maka ingatlah pesa gurumu yang keempat ini."
Kwee Ceng mengangguk. Ia payku kepada enam gurunya itu, lantas ia menuju ke
selatan. Belum ada dua lie, ia sudah menghadapi jalan cabang dua. Ia turuti
pesan Tin Ok, ia lantas ambil jalan kecil. Jalanan ini lebih jauh, sebab kecil
dan berliku-liku, di sini sangat sedikit orang berlalu lintas. Jalanan pun
sukar, banyak kolar dan pasirnya, ada pepehonan kecil yang liar. Untungnya untuk
dia, ia menunggang kuda dan kudanya pun dapat lari pesat.
Sekira tujuh atau delapan lie, Kwee Ceng tiba di jalanan pegunungan yang sulit
dan berbahaya, jalanan sempit dan banyakl batu besarnya. mau tidak mau, ia
berlaku hati-hati. I apun meraba ganggang pedangnya.
"Kalau sam-suhu melihat sikapku nini, dia pasti akan damprat aku..." pikirnya.
Selagi jalan terus, di sebuah tikungan, Kwee Ceng terkejut. Di depan ada tiga
nona dengan pakaian serba putih, ketiganya bercokol di atas punggung unta.
Mereka itu melintag di tengah jalan. Dari jauh-jauh, ia tahan kudanya, hatinya
pun tercekat. "Numpag jalan!" ia lantas berkata, suaranya nyaring.
Ketiga nona itu tertawa tergelak. "Adik kecil, takut apa?" kata satu
diantaranya. "Lewat saja! Kami pun tidak nanti gegares padamu!"
Kwee Ceng jengah, mukanya dirasai panas. Ia bersangsi. Bicara dulu atau
menerjang saja" "Kudamu bagus, mari kasih aku lihat!" kata satu nona lain. Ia mengasih dengar
nada lagi bicara sama anak kecil.
Tentu saja tak puas Kwee Ceng diperlakukan demikian. Ia mengawasi jalanan yang
sempit itu. Di tempat begitu, tak dapat ia tempur mereka itu. Maka ia lantas
ambil keputusan. Ia tarik les kudanya, kedua kakinya menjepit. Dengan ini cara,
ia kasih kudanya kaget, untuk lari dengan tiba-tiba. ia seperti hendak menerjang
ketiga orang itu. "Awas! Buka jalan!" ia berseru seraya ia hunus pedangnya.
Pesat lari kudanya, sebentar saja ia sudah datang dekat.
Satu nona lompat turun dari untanya, iamaju seraya ulur tangannya, maksudnya
hendak menyambar les kuda, untuk tahan kuda itu. Tapi Kwee Ceng membentak,
kudanya berbenger, terus berlompat tinggi, lompat lewati tiga nona itu!
Ketiga nona itu terkejut, Kwee Ceng sendiri tidak tak terkecuali, saking heran
atas lihaynya kuda itu, untuk pengalamannya ini yang luar biasa. Belum sempat ia
menoleh ke belakang, ia sudah dengar bentakan ketiga nona itu, tepat waktu ia
menoleh, ia lihat menyambarnya dua rupa barang berkilauan. Ia mau berlaku hati-
hati, ia khawatir senjata rahasia itu ada racunnya, ia menyambuti dengan
kopiahnya, yang ia lekas cabut.
"Bagus!" memuji dua nona.
Kwee Ceng periksa kopiahnya. Nyata dua senjata rahasia itu adalah gin-so atau
torak terbuat dari perak yang indah, ujungnya tajam, tajam juga kedua
pinggirannya. "Kamu telengas hendak mengambil jiwaku," pikir si anak muda denagn mendongkol.
"Bukankah kita tidak kenal satu sama lain dan tidak bermusuhan?" Tapi ia tidak
mau membalas, tak sudi iamelayani, gin-so itu ia masuki dalam sakunya. Ia hanya
dapat lihat, gin-so bertabur emas yang merupakan unta-unta kecil.
Sampai disitu, pemuda ini larikan pula kudanya. Ia tidak menaruh perhatian
ketika ia dengar dua ekor burung dara terbang lewat di atas kepalanya, dari
utara ke selatan. Ia hanya khawatir nanti ada yang memegat pula. Tidak sampai
satu jam, ia sudah melalui seratus lie lebih. Ia singgah sebentar, terus ia
jalan pula. belum sore, ia sudah tiba di Kalgan. ia percaya ketiga nona tadi
tidak bakal dapat candak dia, sebab ia duga jarak mereka kedua pihak ada jarak
seperjalanan tiga hari.......
Kalgan adalah kota hidup untuk perhubungan antara selatan dan utara, penduduknya
padat, perdagangannya ramai. Di situ terutama terdapat banyak kulit dan bulu
binatang, yang datangnya dari tempat lain tempat. Di sini Kwee Ceng turun dari
kudanya, ia berjalan seraya menuntun binatang ini, matanya menoleh ke kiri dan
ke kanan. Belum pernah ia melihat kota seramai ini. Kebetulan tiba di depan
restoran, ia merasa lapar, maka ia tambat kudanya di luar, ia masuk ke dalam,
akan pilih tempat duduk. Ia minta sepring daging kerbau dan dua kati mie.
Seorang diri ia dahar dengan bernafsu. Ia hanya tidak pakai sumpit, ia turut
kebiasaan orang Mongolia, memakai tangannya.
Tengha bersantap, ia dengar suara kerisik di luar rumah makan. Ia lantas ingat
kepada kudanya, ia lompat bangun, untuk melongok keluar. Ia dapatkan kudanya
sedang makan rumput dengan tenang. Yang membikin banyak berisik adalah dua
jongos terhadap satu pemuda ynag tubuhnya kurus dan pakaiannya butut.
Pemuda itu berumur lima atau enambelas tahun, kepalanya ditutup dengan kopiah
kulit yang sudah pecah dan hitam dekil, mukanya pun hitam mehongan, hingga tidak
terlihat tegas wajahnya. Di utara, sekalipun di musim semi, hawa udara dingin,
dan pemuda ini tidak memakai sepatu. Teranglah ia seorang melarat. Di tangannya
ia mencekal sepotong bakpauw. Ia mengawasi kedua jongos dengan tertawa, hingga
terlihat dua baris giginya yang putih, rata, hingga gigi bagus itu tak sembabat
sama dandannya yang compang-camping itu.
"Mau apa lagi"!" menegur satu jongos, "Kenapa kau tidak mau lantas pergi"!"
"Baiklah, pergi ya pergi..." kata pemuda itu seraya ia putar tubuhnya.
"Eh, lepas bakpauw itu!" menitah jongos yang satunya.
Pemuda itu letaki bakpauw itu yang tapinya sekarang tertanda tapak tangan, hitam
dan kotor. Tentu saja kue itu tak laku dijual.
Jongos itu menjadi gusar. Ser! kepalannya melayang. pemuda itu mendak, kepalan
lewat diatasan kepalanya.
Kwee Ceng menjadi kasihan. ia tahu orang tentu sudah lapar. "Jangan!" ia cegah
si jongos. "Aku yang membayar uangnya." Ia jumput bakpauw itu, ia sodorkan
kepada si pemuda. Pemuda itu menyambuti. "Makhluk yang harus dikasihani, ini aku bagi kau!"
berkata ia. Dan ia lemparkan itu kepada seekor anjing buduk di depan pintu.
Anjing itu, seekor anjing kecil, menubruk dengan kegirangan, terus ia gegares
bakpauw itu. "Sayang...sayang..." kata satu jongos. "Bakpauw yang lezat dikasihi ke anjing...."
Kwee Ceng pun heran, tetapi ia diam saja, ia balik ke mejanya untuk melanjuti
bersantap. Pemuda itu mengikuti ke dalam, ia mengawasi ana muda kita
Kwee Ceng lihat kelakuan orang, ia menjadi malu hati. "Mari dahar bersama!" ia
mengundang. "Baik!" tertawa pula pemuda itu. "Aku sendirian tidak gembira, aku memang lagi
mencari kawan." Ia bicara dengan lidah Selatan. Kwee Ceng mengerti omongan
orang. Bukankah ibunya berasal dari Lim-an, Cit-kang, dan ia biasa dengar ibunya
bicara" Ia malah girang mendengar lagu suara orang sekampung.
Pemuda itu menghampiri, untuk duduk bersama.
Kwee ceng teriaki jongos, meminta tambahan makanan. Jongos itu melayani dengan
ogah-ogahan, sebab ia lihat pakaian orang yang butut dan kotor itu.
"Apakah kau sangka aku melarat dan jadinya tak pantas aku dahar barang
makananmu?" si pemuda tegur jongos itu, yang ia lihat lagak lagunya. "Aku
khawatir, meski kau menyuguhkan makananmu yang paing jempol, bagiku itu rasanya
masih kurang cocok." lanjutnya lagi.
"Apa"!" sahut jongos itu tawar, "Coba lojinkee menyebutkannya, pasti kami dapat
membuatnya! Hanya aku khawatir, habis kau dahar, kau tidak punya uang untuk
membayarnya!" Dengan sengaja ia menyebut "lojinkee" atau orang tua yang dihormati, untuk
menyindir. Pemuda itu mengawasi Kwee Ceng. "Tidak peduli aku dahar berapa banyak, maukah
kau yang mentraktir?" tanyanya.
"Pasti!" sahut Kwee Ceng tanpa berpikir lagi. Ia menoleh kepada si jongos, akan
memerintahkan: "Potongi aku sekati daging kerbau serta setengah kati hati daging
kambing!" Ia telah hidup terlalu lama di Mongolia hingga tahunya, makanan yang
paling lezat di kolong langit ini adalah daging kerbau dan kambing. Ia menoleh
pula kepada si anak muda: "Kita minum arak atau tidak?" ia tanya.
"Kita jangan repoti mendahar daging, baik kita makan bebuahan dulu!" menyahuti
si anak muda. Ia lantas kata pada jongos: "Eh, kawan, lebih dulu kau sediakan
empat rupa buah kering dan empat rupa buah segar, dua yang asam manis, dua yang
manis bermadu." Jongos itu heran hingga ia terperanjat. Ia tidak menyangka orang omong demikian
takabur. "Toaya menghendaki buah apa yang segar bermadu?" tanyanya, suaranya tawar.
"Rumah makanmu ini rumah makan kecil dan tempatmu ini tempat melarat, pasti
tidak dapat kamu menyediakan barang bagus," berkata si anak muda. "Sekarang
begini saja! Empat rupa buah kering itu ialah leeci, lengkeng, co dan ginheng.
Buah yang segar yaitu kau cari yang baharu dipetik, yang asam aku ingin uah ento
harum, dan kiang-sie-bwee. Entah disini ada yang jual atau tidak" Yang manis
bermadu" Ialah jeruk tiauw-hoa-kim-kie, anggur hiangyoh, buah tho-tong-songtiauw
dan buah lay-hauwlongkun...."
Mendengar itu, jongos itu menjadi melongo. Sekarang ia tak berani lagi memandang
enteng kepada anak muda ini.
Si anak muda berkata pula; "Untuk teman arak, di sini tidak ada ikan dan udang
segar, maka kau sajikan saja delapan rupa barang hidangan yang biasa!"
Jongos itu mengawasi. "Sebenarnya tuan-tuan ingin dahar masakan apa?" ia tanya.
"Ah, tidak dijelaskan, tidak beres!" berkata si anak muda itu. "Delapan rupa
masakan itu ialah puyuh asap, ceker bebek goreng, lidah ayam cah, soto manjangan
keekangyauw, soto burung wanyoh, bakso kelinci, paha mencak dan kaki babi hong."
Mendengari itu mulutnya si jongos ternganga.
"Delapan masakan itu mahal harganya," kata kemudian. "Untuk ceker bebek dan
lidah ayam saja kita membutuhkan beberapapuluh ekor ayam....
Si anak muda menunjuki Kwee Ceng. "Tuan ini yang mentraktir, apakah kau kira dia
tidak kuat membayaranya?" tanya ia.
Jongos mengawasi pemuda kita, yang dandannya indah dan malah mengenakan bulu
tiauw, ia duga bukan sembarang orang.
"Baiklah," sahutnya kemudian. "Apakah sudah cukup semua ini?"
"Habis itu, kau sajikan lagi duabelas rupa untuk teman nasi," berkata pula si
anak muda. "Lainnya ialah delapan rupa tiamsim. Nah, sebegitu dulu!"
Jongos itu berlalu dengan cepat, ia khawatir orang nanti minta pula makanan
lainnya. Setelah pesan koki, baharu ia keluar pula. Sekarang ia tanya tetamunya,
hendak minum arak apa. Ia kata, ia ada punya arak Pek-hun-ciu simpanan sepuluh
tahun, apa boleh ia menyediakan dulu dua poci"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah!" sahut si anak muda yang mengenai arak tak banyak cerewet.
Tidak terlalu lama, semua buah yang diminta telah disajikan saling susul-
menyusul. Kwee ceng cobai itu semua, satu demi satu, dan ia merasakan kelezatan yang dulu-
dulunya ia belum pernah cicipi.
Sembari dahar bebuahan, si anak muda bercerita banyak, tentang segala apa di
Kanglam. Kwee ceng tertarik hatinya. Orang bicara rapi, enak didengarinya.
Rupanya orang luas pengetahuannya. Ia sampai mau percaya, anak muda itu ada
lebih pintar daripada gurunya yang kedua.
"Aku menyangka ia cuma miskin, tak tahunya dia terpelajar tinggi," katanya dalam
hatinya. Selang kira setengah jam, datanglah barang hidangan, yang mesti disajikan atas
dua meja disambung menjadi satu.
Anak muda itu minum sedikit sekali. Barang hidangan, yang ia pilih, ia pun Cuma
dahar beberapa sumpitan. Sembari berdahar, ia sekarang banyak bertanya kepada
Kwee Ceng, yang mengaku datang dari padang pasir. Kwee Ceng ingat pesan gurunya,
ia tidak berani bicara terlalu banyak, ia jadi Cuma bicara tentang memburu
binatang liar, memanah burung rajawali, menunggang kuda dan menggembala kambing.
tapi si anak muda sangat tertarik hatinya, hingga ia tertawa dan bertepuk
tangan. Kwee Ceng sendiri sangat gembira berkumpul bersama ini kawan baru. Di gurun
pasir ia bergaul erat sekali dengan Tuli dan Gochin, toh masih ada perbedaannya,
ialah Tuli sering mendampingi ayahnya. Gochin benar baik tetapi putri itu
kadang-kadang manja sekali dan ia tidak sudi mengalah, maka sering mereka
bertengkar. Maka itu, bicara lebih jauh, ia pun suka omong lebih banyak, kecuali
hal ia mengerti silat dan mempunyai hubungan erat dengan Temuchin. Satu kali,
saking gembira, ia cekal tangan si anak muda, untuk dipegang keras-keras. Hanya
aneh, tangan itu ia rasai halus sekali. Si anak muda pun tersenyum dan menunduk.
Pernah Kwee Ceng menatap muka si anak muda, walaupun mehongan, kult muka itu
agakanya halus dan bersemu putih, tetapi tentang ini, ia tidak memperhatikannya.
"Sudah terlalu lama kita bicara, barang hidangan keburu dingin," kata si anak
muda seraya tarik tangannya. "Nasi pun sudah dingin..."
"Benar," sahut Kwee ceng, sadar. "Baik suruh panasi lagi..."
"Tidak usahlah, terlalu panas pun tidak dapat didahar," berkata si anak muda,
yang tapinya memanggil jongos, menyuruh menukar hidangan yang terlalu dingin
dengan yang baru! Jongos dan kuasa brumah menjadi heran. Seumurnya, baru kalin ini mereka
mendapatkan tetamu seaneh ini. Tapi mereka iringi kehendak itu.
Kwee Ceng pun berdiam saja, ia tidak pikirkan harganya barang makanan itu.Sesudah barang makanan siap semua, anak muda itu dahar lagi sedikit saja, lalu
ia mengatakannya sudah cukup. Menyaksikan itu, si jongos katakan Kwee ceng dalam
hatinya: "Dasar kau, bocah tolol! Bocah hina ini permainkan padamu!"
Kapan kuasa restoran sudah berhitungan, harganya semua buah dan makanan itu
berjumlah tigaratus sembilan tail, tujuh chie empat hun. Untuk membayar itu,
Kwee Ceng mengeluarkan dua potong emas, untuk ditukar dengan limaratus tael
perak. Sehabis membayar, Kwee ceng pun kasih persen sepuluh tael hingga kuasa
restoran dan jongos itu menjadi girang, dengan kelakuan sangat menghormat,
mereka mengantar keluar kedua tetamunya itu.
Di luar salju memenuhi jalan besar.
"Aku telah mengganggu kamu, ijinkan aku pamitan," si anak muda meminta diri
seraya memberi hormat. Kwee Ceng berhati mulia, melihat pakaian orang yang tipis dan pecah, ia loloskan
baju kulit tiauwnya, ia kerobongi itu di tubuh si anak muda. Ia kata: "Saudara,
kita baharu ketemu tetapi kita sudah seperti sahabat-sahabat kekal, maka aku
minta sukalah kau pakai baju ini!" Tidak Cuma baju, ia pun memberikan uang. Ia
masih punya sisa empat potong emas, yang tiga ia sisipkan ke dalam saku baju
tiauw itu. Si anak muda tidak mengucap terima kasih, ia pakai baju itu, terus ia negeloyor
pergi. Adalah setelah jalan beberapa tindak, ia baru menoleh ke belakang, hingga
ia tampak Kwee Ceng lagi berdiri bengong dengan tangan memegangi les kuda
merahnya, seperti juga pemuda itu kehilangan sesuatu. ia lantas saja angkat
tangannya, untuk menggapaikan.
Kwee Ceng lihat itu panggilan, ia menghampirkan dengan cepat. "Saudaraku, apakah
kau masih kekurangan apa-apa?" ia menanya. Ia sebenarnya memanggil adik
(hiantee). Anak muda itu tersenyum. "Aku masih belum belajar kenal she dan nama kakak yang
mulia," ia menyahuti.
Kwee ceng pun tertawa. "Benar, benar!" katanya. "aku pun sampai lupa! Aku she
Kwee, namaku Ceng. Kau sendiri hiantee?"
"Aku she Oey, namaku pun satu, Yong," jawab anak muda itu.
"Sekarang hiantee hendak pergi kemana?" Kwee ceng tanya. "Umpama kata hiantee
hendak kembali ke Kanglam, bagaimana apabila kita berjalan bersama?"
Oey Yong menggeleng kepala. "Aku tidak niat pulang ke Selatan," sahutnya. "Tapi
toako, aku merasa lapar pula..." ia menambahkan.
"Baiklah,mari aku temani lagi kau bersantap," jawab Kwee ceng, yang tidak merasa
aneh atau mendongkol. Kali ini Oey Yong yang mengajak kawannya itu. Ia pilih rumah makan yang paling
besar dan kenamaan untuk kota Kalgan, yaitu Restoran Tiang Keng Lauw, yang
bangunannya juga mencontoh model restoran besar dari Pian Liang, ibukota dahulu.
Hanya kali nini ia tidak meminta banyak macam makanan, cuma empat rupa serta
sepoci the Liong-ceng. Di sini kembali mereka pasang omong.
Kapan Oey Yong dengar Kwee ceng omong perihal dua ekor burung rajawali putih, ia
menjadi tertarik hatinya.
"Justru sekarang tidak tahu aku mesti pergi ke mana, baik besok aku pergi saja
ke Mongolia," ia kata. "Di sana aku cari dan tangkap dua anak burung itu untuk
aku buat main." "Hanya sukar untuk mencari anaknya," Kwee ceng beritahu.
"Tapi kau toh dapat menemuinya," berkata si anak muda.
Kwee Ceng tidak dapat menjawab, ia pun menemuinya burung itu secara kebetulan.
"Eh, hiantee, rumahmu di mana?" ia tanya. "Kenapa kau tidak mau pulang saja?"
Tiba-tiba saja mata Oey Yong menjadi merah. "Ayahku tidak menginginkan aku..." ia
menyahut. "Kenapa begitu?" Kwee Ceng tanya.
"Ayahku larang aku pergi pesiar, aku justru mau pergi," sahut Oey Yong. "Ayah
damprat aku. Karena itu malam-malam aku minggat...."
"Sekarang pasti ayahmu tengah memikirkan kau," Kwee ceng berkata pula. "Dan
ibumu?" "Ibuku sudah meninggal dunia. Aku tidak punya ibu sejak masih kecil..."
"Kalau begitu, habis pesiar, kau mesti pulang." kata Kwee ceng lagi.
Oey Yong menangis. "Ayahku tidak menginginkan aku lagi..." katanya.
"Ah, tak bisa jadi," Kwee Ceng bilang.
"Jikalau begitu, kenapa ayah tidak cari aku?" kata si anak muda lagi.
"Mungkin ia mencari, Cuma tidak ketmu..." Kwee ceng mencoba menghibur.
Oey Yong tertawa. "Kalau begitu, baiklah, habis pesiar aku pulang!" katanya.
"Cuma aku mesti dapati dulu dua ekor anak rajawali putih..."
Selagi kedua pemuda ini bicara dengan asyik, di tangga lauwteng terdengar suara
tindakan kaki, lalu tertampak munculnya tiga orang, ialah dua kacung yang
mengiringi satu pemuda denagn baju sulam yang indah. pemuda itu tampan sekali,
wajahnya terang, usianya barangkali baru delapan atau sembilanbelas tahun. Ia
memandang Kwee Ceng dan Oey Yong. Melihat pakaian orang yang kotor, ia
mengerutkan kening, lantas ia menunjuk meja yang terpisah jauh. Atas itu kedua
kacung menghampirkan meja yang ditunjuk itu, untuk mengatur mangkok dan sepasang
sumpit, yang ia bawa dari rumah. Mangkok dan sumpit yang mana disimpan dalam
sebuah kotak. Jongos juga segera repot melayani tetamu baru ini.
Kwee Ceng mengawasi sebentar, lantas ia tidak pedulikan lagi tetamu itu. Ia
kembali mengobrol bersama sahabat barunya itu.
Belum lama, di bawah lauwteng terdengar suara kuda meringkik, disusul mana
beberapa kali bentakan dari beberapa orang. Ia ingat akan kudanya, maka ia lari
ke jendela untuk melongok ke bawah. Ia dapatkan beberapa orang dengan pakaian
serba putih tengah mengurung kudanya itu, yang hendak ditangkap, tetapi kuda itu
berjinkrakan, hingga ia tak dapat didekatkan. Ia menjadi gusar sekali, terutama
sebab ia lantas kenali, orang-orang itu adalah delapan penunggang unta yang
memang berniat merampas kudanya itu. Ia hanya heran kenapa orang dapat menyusul
ia demikian lekas. Lantas ia berseru: "Di siang bolong kamu berani merampas
kudaku?" Lantas ia lari turun dari lauwteng. Setibanya ia di depan rumah makan,
di sana ia dapatkan delapan orang berpakaian putih itu sedang rebah tanpa
berkutik. Ia menjadi heran sekali, sehingga ie berdiri menjublak.
Bab 16. Gara-Gara Sepatu Sulam Dan Jubah Salut Emas
Tiba-tiba Kwee Ceng sadar. Ia merasakan ada tangan yang lemas yang memegang
tangannya. Ketika ia menoleh, dengan lantas ia lihat Oey Yong, yang setahu kapan
telah turun dari lauwteng.
"Jangan pedulikan dengan mereka, mari kita naik pula ke lauwteng!" berkata ini
sahabat baru. "Mereka ini hendak merampas kudaku," kata Kwee Ceng. "Setahu kenapa, mereka pada
rubuh sendirinya...."
Meski ia mengucap demikian, Kwee ceng menurut, ia memutar tubuhnya. Demikian
juga si anak muda itu. Justru mereka memutar tubuh, si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu juga
telah berada di depan, malah ia sudah lantas membungkuk kana melihat delapan
pemudi yang menyamar sebagai pemuda-pemuda itu, kemudian ia mengawasi kedua anak
muda itu, sinar matanya menandakan ia sangat heran.
Oey Yong tarik tangannya Kwee ceng, untuk naik di tangga, kemudian sembari
tertawa manis, ia tuangi air the di cawannya pemuda itu.
"Toako, kudamu itu bagus sekali!" katanya memuji.
Kwee Ceng hendak sahuti sahabatnya ketika ini tatkala ia dengar ramai suara
kelengan unta di depan rumah makan itu, ia pergi ke jendela diikuti Oey Yong,
apabila mereka melongok ke bawah, mereka lihat delapan nona serba putih itu
berlalu dengan unta mereka. salah satu nona menoleh ke belakang, ia memandang
Kwee Ceng, maka Kwee Ceng dapat melihat sinar matanya yang tajam, tanda dari
kemurkaan, sepasang alisnya pun terbangun. Tiba-tiba saja ia ayun tangannya yang
kanan, atas mana dua potong ginso menyambar ke loteng, ke arah pemuda ini.
Cepat-cepat Kwee Ceng cabuti kopiahnya, dengan niat menyambuti torak perak itu.
Akan tetapi si pemuda tampan dan berpakaian mewah itu telah dului ia, dengan
menyentil dua kali, ia melayangkan dua batang senjata rahasia yang bersinar emas
berkilauan, lalu di antara dua kali suara tintong, ginso itu jatuh sendirinya,
jatuh bareng bersama senjata penyerangnya. kedua kacung lantas pungut empat
senjata rahasia itu, diserahkan kepada si pemuda, yang menyambuti seraya terus
dikasih masuk ke dalam sakunya. Habis itu, ia lantasbertindak naik di tangga
lauwteng, dia terus menghampirkan Kwee Ceng, di depan siapa ia berhenti, untuk
terus segera memberi hormat sambil berjura.
"Aku mohon tanya she dan nama mulia dari toako," ia minta.
Kwee ceng cepat-cepat membalas hormat. "Siauwtw she Kwee, bernama ceng," ia
menyahuti. "Kongcu ada pengajaran apakah?" lanjutnya.
"Apakah saudara Kwee datang dari pulau Tho Hoa To dari Tang-hay" pemuda itu
menaya. "Aku mohon tanya, ada urusan apakah saudara datang ke mari?"
Ditanya begitu, Kwee melengak. "Siauwtee datang dari gurun pasir utara," ia
menyahut. "Belum pernah siauwtee pergi ke pulau Tho Hoa To itu. Barusan kongcu
membnatu aku, aku sangat berterima kasih."
Kongcu itu berkata: "Saudara Kwee tak hendak mengenalkan diri, nah di sini saja
kita berpisahan, sampai nanti kita bertemu pula!" Lalu ia menjura dalam sekali.
Kwee ceng lekas-lekas membalasi, di waktu mana ia merasakan sambaran angin.
Kongcu itu telah mengibaskan tangannya, ujung tangan bajunya menjurus ke
matanya. Inilah Kwee ceng tidak sangka. Sembari memberi hormat orang menyerang ia secara
hebat sekali. Celaka kalau ia kena tersampok. Maka dengan ia lantas tunduk,
untuk masuki kepalanya ke selangkangannya, guna terus lompat berjumpalitan.
Meski begitu, pundaknya kena tersambar juga, hingga terbit satu suara nyaring
dan ia merasakan sakit ngilu pada pundaknya itu. Karena ini, diwaktu ia sudah
taruh kakinya, ia kaget dan gusar dengan berbareng.
"Kau...kau...."
Tapi si kongcu pegat ia, sembari tertawa, ia kata: Aku cuma mencoba ilmu
kepandaianmu, saudara Kwee. Ilmu totok kau lihay sekali, ilmu silatmu tangan
kosong tapi biasa saja. Maaf...!" Kembali ia menjura.
Kwee ceng khawatir orang nanti bokong pula padanya, ia mundur setindak.
Oey Yong agaknya kaget, tubuhnya bergeser, tangannya menjatuhkan sebatang sumpit
ke kaki kongcu, disaat kongcu itu mengangkat tubuhnya habis menjura, Oey Yong
pun telah dapat menjumput sumpitnya itu. Si kongcu rupanya jijik untuk pakaian
kotor anak muda ini, ia mundur satu tindak, kepada Kwee Ceng ia tersenyum, terus
ia putar tubuhnya untuk bertindak ke tangga lauwteng.
"Ini untuk kau..." kata Oey Yong dengan perlahan, tangannya disodorkan.
Kwee Ceng melihat telapak tangan anak muda ini, ia tercengang. Di tangan kawan
ini terlihat dua potong tusuk konde emas serta dua potong ginso, yang
bergemerlapan kuning dan putih. Itulah ginso yang tadi si kongcu simpan dalam
sakunya. Entah kapan sahabat ini mengambilnya. Ia tercengang sebentar lantas ia
ingat, ia mengerti. Ia sambuti tusuk konde emas dan ginso itu.
"Kongcu, kau lupakan barangmu ini!" ia panggil si pemuda yang seperti anak
bangsawan itu. Kongcu itu menghentikan tindakannya, ia berpaling.
Kwee Ceng angsurkan kedua barang emas dan perak itu.
Menampak barangnya itu, kongcu terkejut sehingga air mukanya berubah, cepat luar
biasa tangannya menyambar ke arah Kwee ceng, lima jarinya yang kuat seperti kuku
garuda menyambar ke tangan Kwee Ceng itu.
Kwee Ceng kaget tidak terkira. Dari gerakannya saja, ia sudah dapat menduga
orang bergerak dengan ilmu silat Kiu-im Pek-kut Jiauw seperti keenam gurunya
sering menuturkan kepadanya. Maka ia menduga, adakah kongcu ini sekaum dengan
Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi" Ia menginsyafi hebatnya cengkeraman
Tulang Putih itu, sebab masih ada bekas cengkeramannya Bwee Tiauw Hong dulu hari
pada lengannya, cuma ia dapat membedakannya, sambaran kongcu ini kalah jauhnya
sebatnya dengan sambarannya si Mayat Besi. Tidak berani ia menangkis atau
menyambuti cengkeraman itu, belum ia terjambak, empat senjata di tangannya sudah
lantas mencelat. cepat luar biasa ia telah kerahkan tenaganya.
Kongcu itu terkejut. Ia dapatkan, belum lagi serangannya mengenai, empat senjata
itu sudah mendahulukan menyambar ke arahnya. ia juga dapat lihat anak muda itu
berdiri tegar ditempatnya. Dengan terpaksa ia sambuti empat potong benda itu.
Setelah menatap, ia memutar tubuhnya untuk terus turun di tangga lauwteng.
Kapan Kwee Ceng kembali ke kursinya, ia dapatkan Oey Yong mengawasi ia sambil
sahabat itu tertawa geli.
"Kenapa barang itu berada di tanganmu?" ia menanya, heran.
"Dia membikinnya jatuh selagi dia menjura kepadamu, lantas aku jumput!" sahut
Oey Yong masih tertawa. Kwee Ceng jujur, ia tidak menduga orang mendusta.
"Toako, kenapa rombongan wanita itu mencoba merampas kudamu?" kemudian Oey Yong
menanya. "Sebab kudaku adalah han-hiat-po-ma," jawab Kwee Ceng, yang terus tuturkan
perihal kuda itu sampai ia bertemu rombongan si wanita itu, yang menyamar
sebagai pemuda-pemuda dan menunggang unta. Kemudian ia melanjuti: "Setahu siapa
yang membnatu aku secara diam-diam dengan merobohkan mereka itu. Kalau tidak
tentulah mesti terjadi pertempuran hebat..."
Oey Yong masih tersenyum.
"Kudaku itu lari cepat sekali, sebenarnya aku telah lombai mereka seperjalanan
tiga hari, entah kenapa, mereka dapat menyusul padaku..." Kwee Ceng kemudian
mengutarakan keheranannya. "Sungguh memusingkan kepala.."
"Aku lihat di antara mereka ada satu yang mencekal sepasang burung dara," kata
Oey Yong. Tiba-tiba Kwee ceng menepuk meja. "Ya, aku ingat sekarang!" ia kata pula separuh
berseru. "Itu waktu memang aku lihat terbangnya dua ekor burung di atasan
kepalaku. Rupanya tiga wanita itu melepaskan burung itu untuk memberi kabar
kepada lima kawannya, untuk mereka memegat atau mengawasi aku, dari itu, mereka
gampang saja mencari padaku."
Setelah itu, Oey Yong tanya tentang tenaga larinya kuda merah itu dan Kwee ceng
menuturkannya dengan jelas. Ia kelihatannya menjadi kagum sekali. Ia keringkan
secawan teh, lalu ia tertawa.
"Toako,"katanya, "Hendak aku meminta sesuatu yang berharga darimu, apa kau sudi
mengabulkannya?" dia bertanya.
"Kenapa tidak?" Kwee Ceng menjawab.
"Sebenarnya aku suka sekali dengan kudamu itu," menerangkan Oey Yong.
"Baik, hiantee, aku hadiahkan itu padamu!" kata Kwee Ceng tanpa bersangsi.
Oey Yong terperanjat. Sebenarnya ia main-main saja. Bukankah mereka baru pertama
bertemu" Ia malah mengharap jawaban si pemuda adalah penolakan. Ia lantas
mendekam di meja, terus terdengar tangisannya sesegukan.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang adalah giliran Kwee Ceng yang menjadi heran. "Hiantee, kau kenapakah?"
ia menanya cpat. "Apakah kau kurang sehat?"
Oey Yong angkat kepalanya, ia mengawasi si pemuda. Mukanya penuh air mata. Tapi
sekarang ia tidak menangis, sebaliknya ia tertawa. Air matanya itu yang mengalir
di kedua belah pipinya itu, menyebabkan mehongan luntur, hingga tampak dua baris
kulitnya yang putih mulus.
"Toako, marilah kita pergi!" ia mengajak.
Kwee Ceng menurut. Bersama-sama mereka turun dari lauwteng. Lebih dulu ia
membayar uang makan, baru ia tuntun kudanya. Ia pesan kepada kudanya: "Aku
haurkan kau kepada sahabatku yang baik, maka baik-baiklah kau mendengar katanya,
jangan kau bawa adatmu." Kemudian sembari menoleh kepada si anak muda, ia
mepersilakan: "Hiantee, kau naiklah!"
Sebenarnya kuda itu tak dapat ditunggangi orang lain, akan tetapi ia sekarang
tidak membangkang. Oey Yong naik kuda itu. Kwee Ceng menyerahkan les kuda itu, ia terus tepuk
kempolan kudanya itu. Dengan lantas kuda itu berlari pergi.
Pemuda itu menanti sampai orang tidak terlihat lagi, baru ia melihat langit. Ia
mendapatkan sang malam bakal lekas tiba. Karena ini, ia lantas pergi mencari
rumah penginapan. Ketika disaat ia hendak memadamkan api, untuk rebahkan diri,
tiba-tiba ia dengar ketokan pada pintu.
"Siapa?" ia tanya heran.
"Satu sahabat," sahut suara di luar, suaranya parau.
Kwee Ceng turun dari pembaringan, ia membuka pintu. Di antara cahaya lilin, ia
tampak lima orang berdiri di depannya. Setelah ia mengenali orang, ia terkejut
bukan main. Empat di antaranya ada membawa golok dan ruyung. Mereka itulah Hong
Ho Su Koay. Dua orang yang ke lima, yang usianya kurang lebih lima puluh tahun,
tubuhnya kurus, mukanya lonjong, di jidatnya ada tiga kutil besar, romannya
sangat tidak mengasih untuk diawasi.
Si kurus sudah lantas tertawa tawar, tanpa bilang suatu apa, ia membuka tindakan
lebar akan memasuki kamar orang, akan terus mencokol di atas pembaringan, sambil
melirik, ia awasi tuan rumah.
Kwee Ceng pun mengawasi, hingga ia melihat tegas, muka orang ada tanda bekas
luka-luka senjata tajam, hingga dia itutak dapat melihat lepas ke depan.
Toan-hu-to Sim Ceng Kong si Golok Memutus Roh, dengan dingin, lantas berkata:
"Inilah paman guru kami, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay yang sangat ternama besar!
Lekas kau berlutut dan mengangguk-angguk kepalanya!"
Kwee Ceng mengerti bahwa ia telah terkurung, bahwa Hong Ho Su Koay saja sudah
bukan tandingannya, apapula mereka dibantu oleh paman gurunya itu, yang
julukannya pun berarti si Ular Naga Kepala Tiga.
"Tuan-tuan ada punya urusan apa?" ia tanya sambil menjura.
"Mana guru-guru kamu?" Hauw Thong hay menanya.
"Guruku tidak ada di sini," sahut Kwee Ceng.
"Ah! Kalau begitu hendak aku memberi ketika padamu untuk hidup lagi setengah
harian!" kata Ular Naga Kepala Tiga itu. "Sekarang hendak kau memberi pengajaran
kepadamu, agar orang tidak nanti mengatakan Sam-tauw-kauw menghina anak kecil.
Besok tengah hari aku menantikan di rimba Hek-siong-lim di luar kota, kau datang
ke sana dengan minta gurumu semua temani padamu!" Habis berkata, ia berbangkit,
tanpa menanti penyahutannya Kwee Ceng, ia sudah ngeloyor keluar. Sesampai di
luar, ia suruh Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat si Tombak Mengejar Jiwa menutup
pintu, hingga terdengar suara membeletok.
Kwee Ceng memadamkan api, terus ia duduk numprah di atas pembaringannya. Kapan
ia memandang ke jendela, ia tampak bayangan orang mondar-mandir. Rupanya orang
telah menjaga ia di luar kamar. Ia masih berdiam saja. Selang tidak lama, ia
dapat dengar apa-apa di atas genting. Itulah suara ketokan beberapa kali,
disusul sama bentakan: "Bocah, jangan kau memikir untuk kabur, engkongmu
menunggui kau disini!"
Jadi terang dia telah dikurung keras. Dia lantas rebahkan dirinya, niatnya untuk
tidur tanpa menghiraukan segala apa. Tapi ia tidak dapat pulas, ia mesti gulak-
galik saja. Besok pagi, jongos muncul dengan air cuci muka dan tiamsim, untuk sarapan. Di
belakang jongos itu terlihat Cian Ceng Kian dengan sepasang kampaknya.
"Suhu semua berada di tempat jauh, tidak nanti mereka dapat menolongi aku," Kwee
Ceng berpikir. "Sudah terang aku tidak bakal dapat lolos, baiklah aku mati
bertempur!" Oleh karena berpikir begini, hatinya menjadi mantap. Ia lantas saja bercokol di
atas pembaringan, untuk bersemadhi menuruti ajarannya Ma Giok. Ia bersemadhi
hingga tengah hari, baru ia berbangkit turun.
"Mari kita pergi!" ia kata kepada Cian Ceng Kian.
Mereka jalan berendeng, menuju ke arah barat, sampai sepuluh lie lebih. Di sana
ada sebuah rimba besar, yang menutupi matahari. Seram suasana di situ. Di sini
Ceng Kian tinggalkan si pemuda, untuk dengan cepat bertindak ke sebelah dalam
rimba. Kwee ceng loloskan joan-pian, cambuk lemasnya. Ia berlaku tenang, setindak demi
setindak, ia maju. Ia menjaga diri dari bokongan di kiri atau kanannya. Satu lie
sudah ia berjalan, ia tidak bertemu dengan musuhnya. Tiba-tiba ia dapat ingatan,
ialah pesan gurunya yang keempat: "Jikalau tidak ungkulan, lari!" Maka ia
berpikir: "Sekarang tidak ada orang mengawasi aku, rimba pun lebat, kenapa aku
tidak hendak sembunyikan diri?" Maka hendak ia segera mewujudkan pikirannya ini.
Tapi tiba-tiba. "Bocah haram! Anak campuran! Anak jadah!" demikian ia dengar makian hebat.
Sambil berlompat, Kwee Ceng putar cambuknya, untuk melindungi diri. Akan tetapi
tidak ada serangan terhadapnya. Sambil berdiri diam, ia angkat kepalanya,
memandang ke arah dari mana cacian itu datang. Lantas ia berdiri menjublak!
Di atas empat pohon di dekatnya itu, ia tampak Hong Ho Su Koay tergantung
masing-masing di sebuah cabang besar, kaki dan tangan mereka terbelenggu, tubuh
mereka bergelantungan, sia-sia saja mereka mencoba meronta-ronta, melainkan
mulut mereka yang dapat di pentang lebar-lebar. Mereka mencaci kalang-kabutan
begitu lekas mereka tampak si pemuda musuhnya itu.
Kwee Ceng heran bukan kepalang, akan tetapi ia tertawa. "Apakah kau tengah main
ayunan di sini?" dia bertanya. "Sungguh menggembirkan, bukan?" Nah sampai
bertemu pula! Sampai bertemu pula! Maaf, tidak dapat aku menemani kalian lama-
lama...!" Sim Ceng Kong berempat mencaci maki pula, semakin hebat. Mereka malu untuk minta
tolong. Di samping itu mereka heran sekali kenapa paman guru mereka itu yaitu
Hauw Thong Hay, tidak lekas kembali. Selagi Kwee ceng bertindak, hampir ia
lenyap dari pandangan mata, tiba-tiba Toat-pek-pian, Ma Ceng Hiong si Cambuk
Perampas Roh, berubah pikirannya. Ia takut mati, maka ia lupa akan malunya.
"Kwee Enghiong, kami menyerah kalah!" dia berteriak. "Aku mohon sukalah kau
memerdekakan kami!" Kwee Ceng sudah lantas berpikir: "Sebenarnya aku tidak bermusuh dengan mereka,
adalah mereka yang memusuhi aku, maka itu apa perlunya aku membiarkan mereka
mati bersengsara di sini?" Dengan cepat ia mengambil keputusan, terus ia kembali
dengan berlompatan, ia kasih turun mereka itu satu per satu. Pantas Hong Ho Su
Koay tidak sanggup berontak melepaskan diri, alat menggantungnya itu adalah
tambang kulit yang kuat. Ia pun mengutanginya itu dengan golok emasnya.
Sesudah empat Siluman itu direbahkan di tanah, pemuda itu totok mereka
bergantian, maka mereka itu lantas saja tidak dapat geraki kaki dan tangan
mereka, habis mana barulah ia putuskan belengguan mereka itu. Sambil tertawa, ia
berkata: "Lagi dua belas jam baru kamu dapat pulang tenaga dalam dan merdeka.
Sebetulnya, siapakah yang menggantung kamu di sini?"
"Kau masih berpura-pura!" membentak Cian Ceng Kian mendongkol. "Kalau bukannya
kau, siapa lagi?" Kwee Ceng heran. Ia lantas saja mengangkat kaki, akan meninggalkan mereka itu.
Ia heran orang menuduh padanya, tetapi ia mengerti, mesti ada orang yang sudah
tolongi ianya. Di mana di situ tidak ada Hauw Thong Hay, ia khawatir paman guru
mereka itu nanti keburu kembali, maka ia pikir, mesti ia lekas menyingkir. Ia
lari keluar rimba, terus ia balik ke kota, malah di sini ia segera membeli
seekor kuda untuk dengan itu ia lantas melanjuti perjalannya ke selatan.
"Siapakah itu orang secara diam-diam menolongi aku?" ia berpikir di sepanjang
jalan. Keanehan itu tak dapat ia melupainya. "Hong Ho Su Koay lihay tetapi
mereka dapat digantung, teranglah lawannya itu mesti jauh terlebih lihay
daripada mereka. Yang hebat mereka sampai tidak melihat padanya, hingga mereka
menyangka aku. Herannya, ke mana perginya Hauw Thong Hay si Ular Naga itu" dia
tidak tertampak sekalipun bayangannya?"
Kwee Ceng terus melakukan perjalannya itu. Pada suatu hari, tibalah ia di
Tiongtouw, kota raja Tay Kim Kok, negara Kim (Kin) yang besar, yang paling ramai
dan indah, sampai tidak dapat dilawan oleh Pian-liang, kota raja yang lama dari
kerajaan Song, atau Lim-an, kota raja yang baru. Ia menjadi besar di gurun
pasir, belum pernah ia menyaksikan suasana kota besar itu, yang indah lauwteng
dan rangonnya, yang permai sero-seronya, sedang kereta-kereta bagus dengan semua
kuda pilihannya mondar-mandir di jalan-jalan besar. Di pelbagai rumah minum ia
pun dengar suara tertawa, merdunya bunyi tetabuan. Semua itu ia saksikan diwaktu
siang berderang. Untuk bersantap, ia sampai tidak berani memilih erstoran yang
mentereng, ia cari sebuah restoran yang kecil. habis berdahar, ia berjalan-
jalan, ia baru berhenti ketika di sebelah depannya ia dengar sorak-sorai yang
ramai, di sana ada berkumpul sejumlah orang. Ia mendekati. Ia menyelak di antara
banyak orang itu, untuk melihat ke sebelah dalam.
Orang banyak itu mengurung sebuah tanah lapang, di situ ada dipancar bendera
suram, dasarnya putih, ada sulaman empat huruf besar: "Pi Bu Ciauw Cin".
Artinya: mencari jodoh denagn jalan pibu atau mengadu kepandaian. Di bawah
bendera itu ada satu nona dengan baju merah tengah bertempur sama seorang pria,
yang tubuhnya jangkung dan besar, bertempur dengan seru sekali. Heran Kwee Ceng
apabila ia saksikan ilmu silat si nona itu. Ia berpikir: "Dia lihay, kenapa dia
munculkan diri di tempat umum seperti ini?"
Selang lagi beberapa jurus, nona itu menggunai akal. Si pria dapat melihat
lowongan, ia menjadi kegirangan, ia lantas menyerang dengan kedua tangannya, ke
arah dada. Nona itu tidak mengambil sikap menangkis, atau berkelit. Pria itu
tidak sampai hati, ia batal meninju, hanya mengubah kepalannya menjadi tangan
terbuka, ia menolak ke arah pundak.
Luar biasa gesitnya nona itu, ia berkelit dengan mendak, kedua kakinya bergerak
saling susul-menyusul, membawa tubuhnya melejit ke samping ke belakang
penyerangnya itu, kapan tangan kirinya diayunkan, "Buk!" punggung si pria kena
terhajar, sampai terjerunuk ke depan, roboh ke tanah, hanya syukur, setelah
memegang tanah, dia dapat menahan diri dan mengerahkan tenaga, untuk berlompat
bangun. Mukanya pemuda itu menjadi merah, dengan kemalu-maluan ia menyelinap di
antara orang banyak. Syukur untuknya, ia tadi berkasihan terhadap si nona, maka
sekarang si nona tidaj menghajar hebat kepadanya.
Para penonton lantas saja bertampik sorak.
Nona itu singkap naik rambut yang turun ke dahinya, lalu iamundur ke bawah
bendera. Kwee Ceng pandang nona itu, yang cantik sekali, umurnya mungkin baru tujuh atau
delapanbelas tahun, sikapnya pun berpengaruh. Mendadak ia ingat apa-apa, hingga
ia berpikir: "Kenapa aku seperti kenal dia" seperti aku pernah bertemu
dengannya, entah dimana...?" kemudian ia tersenyum sendiri, ia ingat: "Baharu saat
ini kau tiba di Tionggoan, kapan aku pernah bertemu orang lain" Aku tadinya
menyangka, nona-nona serba putih dan menunggang unta itu sudah elok semua, aku
pikir kenapa ada demikian banyak wanita cantik, siapa tahu nona ini melebihkan
mereka itu.... Dasar aku kurang berpengalaman! Rupanya di Tionggoan ini dimana-
mana wanitanya cantik semuanya, maka tak usahlah aku menjadi heran..."
Pemuda ini polos, hatinya masih terbuka, maka itu, walaupun ia telah melihat
wajah-wajah yang cantik manis, hatinya tidaj tergiur. Maka itu ia lantas
memandang ke kiri dan kanannya.
Si nona lantas bicara perlahan sama seorang yang berdiri di dekatnya, pria itu
mengangguk, terus ia mengangguk keempat penjuru seraya terus berkata: "Aku yang
rendah bernama Bok Ek, aku lewat di tempat tuan-tuan tidak dengan maksud mencari
nama atau mencari uang, hanya guna anakku ini. Anakku sudah dewasa usianya, ia
masih belum ketemu jodohnya, maka itu sekarang aku lagi mencarikan jodohnya itu.
Adalah keinginanku, pasangan anakku tidak usah berharta, cukup asal ia satu pria
sejati yang mengerti ilmu silat. Karena ini dengan beranikan diri, aku
mancarikan jadohnya dengan jalan pibu ini. Siapa yang usianya di bawah tiga
puluh tahun dan belum menikah, asal ia bisa menyerang anakku dengan satu
kepalannya atau kakinya, akan aku rangkap jodoh anakku ini dengan jodohnya. Kami
berdua, ayah dan anak, sudah membuat perjalanan dari selatan hingga di utara,
sudah melintas tiga belas propinsi, akan tetapi kami masih belum menemui jodoh
yang dicari itu, sebabnya rupanya, mereka yang gagah sudah pada menikah atau
mereka yang muda sungkan hatinya?" Ia berhenti sebentar, lagi ia menjura kepada
orang banyak, baharu ia menambahkan: "Kota Pakhia ini adalah tempat rebahnya
harimau atau tempat sembunyi naga, disini mesti banyak orang berilmu dan gagah,
oleh karena itu, aku harap tuan-tuan memaafkannya kalau ada kata-kataku yang
tidak tepat. Tuan-tuan, perkenankanlah kami undurkan diri, untuk pulang ke rumah
penginapan guna beristirahat, nanti besok kami datang pula ke mari untuk
melayani tuan-tuan."
Habis mengucap, lagi sekali orang itu mengangguk, lalu ia cabut benderanya, itu
bendera Pi Bu Ciauw Cin. Tiba-tiba saja.
"Tunggu dulu!" Itulah suara berbareng, yang datangnya dari sebelah kiri dan kanan, dari mana
lantas terlihat dua orang berlompat ke dalam kalangan.
Orang bnayak lantas mengawasi, akhirnya mereka semua tertawa geli. Yang muncul
dari sebelah timur itu adalah seorang tua dengan tubuh terokmok, mukanya penuh
berewokan, kumisnya sudah ubanan separuh lebih, dan umurnya juga sudah lewat
lebih dari setengah abad. Yang datang dari barat itu lebih lucu pula. Dialah
satu paderi yang kepalanya licin lanang!
"Eh, kamu tertawakan apa?" tanya si tua itu kepada orang banyak, yang ia awasi.
"Bukankah dia mau adu kepandaian untuk mencari suami" Nah, aku masih belum
menikah! Mustahilkah aku tidak cocok?"
Si paderi itu awasi si tua, ia tertawa. "Oh, kakek-kakek!" katanya. "Taruh kata
kau menang, apakah kau tidak kasihan terhadap si nona yang masih demikan remaja
bagaikan sekuntum bunga" Apakah setelah kau menikah kau hendak membuatnya ia
menjadi janda?" Orang tua itu menjadi gusar. "Habis kau, apakah kau mau dengan datang kemari?"
ia menegur. Paderi itu tersenyum. "Setelah aku mendapatkan istri begini cantik, aku akan
segera pulang asal menjadi orang biasa lagi!" sahutnya.
Mendengar itu, kembali riuhlah tertawa orang banyak.
Si nona menjadi mendongkol. Ia merasa bagaimana orang hendak mempermainkan
padanya, maka juga, wajahnya menjadi merah, sepasang alisnya terbangun, matanya
bersorot tajam. Ia lantas loloskan mantelnya, berniat ia menghajar kedua manusia
ceriwis itu. Bok Ek tarik tangan gadisnya. "Tenang, nanti aku yang melayani mereka," ia
membujuk. Si empe dan paderi masih adu omong terus, mereka jadi sengit sekali. Disamping
mereka, para penonton juga tak henti-hentinya tertawa. Tidakkah pemandangan itu
sangat lucu" "Saudara-saudara, nah kamu pibulah terlebih dulu!" satu penonton yang membuka
mulut. "Nanti, siapa yang menang, ia yang maju melawan si nonan manis!"
"Bagus!" berseru si paderi, yang agaknya tidak menghiraukan ejekan orang banyak
itu. "Aki-aki, mari kita berdua main-main...!"
Paderi ini menantang, tetapi, belum lagi ia peroleh jawaban, sebelah tangannya
sudah melayang. Si empe-empe berkelit, segera ia balas menyerang. Maka dengan itu, keduanya
menjadi bertempur. Kwee Ceng menonton. Ia dapatkan si paderi bersilat dengan jurus-jurus Lo Han Kun
dari ilmu silat Siauw Lim Pay, sedang si empe menggunai ilmu silat Ngo Heng Kun.
Jadi keduanya ada dari golongan Gawkang, ilmu Bagian Luar. Si paderi dapat
berlompat danmendekam dengan cepat, lincah gerakannya. Si empek sebaliknya
tenang tegar, jangan pandang usianya yang tua, tenaganya sebenarnya masih besar.
Satu kali si paderi dapat meraptakan diri, kepalannya menghajar tiga kali
beruntun, ke arah pinggang lawannya. Si empek kuat sekali, ia terima serangan
tanpa berkelit atau menangkis, tapi berbareng dengan itu, ia angkat tinggi
tangan kanannya, untuk dikasih turun ke arah kepala lawannya, bagaikan martil,
kepalannya menumbuk kepala licin mengkilap dari si paderi. Tak tahan paderi itu,
segera ia jatuh duduk, numprah di tanah. Ia berdiam tidak lama, mendadak ia
tarik keluar sebatang golok kayto dari dalam jubahnya, dengan itu ia membabat
kakinya si tua! "Celaka!" berteriak orang banyak.
Si tua dapat menolong diri dengan berlompat berkelit, berbareng dengan mana,
tangannya meraba ke pinggangnya, untuk mengasih keluar sepotong thiephie atau
ruyung besi. Kiranya mereka sama-sama membekal senjata. Maka itu sekarang mereka
melansungkan pertandingan itu dengan golok dan ruyungnya masing-masing.
"Bagus! Bagus!" teriak orang banyak berulangkali. Hanya sambil berseru-seru,


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka pada mengundurkan diri setindak demi setindak. Hebat menyambar-nyambarnya
golok kayto dan ruyung besi, takut mereka nanti kena terserempet....
"Tuan-tuan, tahan!" Bok Ek berseru seraya ia menghampirkan. "Di sini adalah kota
raja, tidak dapat kita sembarang menggunai senjata tajam!"
Dua orang itu lagi bertempur seru sekali, mereka tidak memperdulikan seruan itu.
Melihat ia tidak dihiraukan, tiba-tiba Bok Ek menyerbu. Dengan satu dupakan, ia
membuat golok kayto terpental tinggi dan dengan sambaran tangan ia rampas
ruyungnya si empek-empek, kemudian selagi golok turun, ia hajar itu dengan
ruyung sehingga golok itu patah dua!
Para penonton kagum, mereka bersorak. Tapi itu belum semua, dalam sengitnya, Bok
Ek cekal kedua ujung ruyung, ia lantas menekuk, maka ruyung itu menjadi bengkok
melengkung, hingga sudah tentu saja selanjutnya tak dapat digunai lagi!
Si tua dan si paderi tercengang, mereka menjadi kuncup hatinya, tanpa membilang
suatu apa lagi, keduanya nyelusup antara orang banyak, untuk angkat kaki!
Kwee Ceng mengawasi Bok Ek, yang tubuhnya sedikit bongkok tetapi badannya lebar
dan kekar, tanda dari tenaganya yang besar, Cuma rambut dekat kedua samping
kupingnyas udah berwarna kelabu dan kulit mukanya berkerenyut dan itu waktu,
wajahnya guram. Dilihat dari roman, ia mungkin telah berusia enam puluh hampir.
"Besok kita pulang ke selatan..." berkata dia dengan masgul. Dia pun menghela
napas. "Ya," menyahut si nona, yang diajak bicara.
Sampai disitu, penonton hendak bubaran. Bukankah pibu telah berakhir" Tapi
justru itu, mereka dengar suara kelenengan kuda, hingga mereka pada menoleh,
Kwee Ceng pun tak terkecuali.
Ke situ datang satu kongcu atau pemuda sambil diiringi beberapa puluh pengikut.
Suara kelenengan itu datang dari rombongan itu. Kapan Kwee Ceng telah melihat si
koncu, lekas-lekas ia sembunyikan diri di antara orang banyak itu. Ia kenali si
kongcu yang ia telah ketemukan di rumah makan di Kalgan.
Kongcu itu melihat bendera Pi Bu Ciauw Cin, ia lantas awasi si nona baju merah,
terus ia loncat dari kudanya, sembari tersenyum, ia masuk ke dalam kalangan.
"Apakah nona ynag mengadakan pibu untuk mencari jodoh?" ia menanya sambil ia
memberi hormat. Nona itu dengan wajah bersemu merah, melengos, ia tidak menyahuti. Adalah Bok
Ek, yang menghampirkan pemuda itu, untuk memberi hormat.
"Aku yang rendah she Bok. Kongcu ada keperluan apa apakah?" ia menanya.
"Bagaimana aturan atau syarat-syaratnya pibu perjodohan ini?" menanya si pemuda.
Bok Ek memberikan keterangannya.
"Kalau begitu, hendak aku mencoba-coba," kata si pemuda.
"Ah, kongcu bergurau!" berkata Bok Ek tertawa. Lagi-lagi ia memberi hormat.
"Kenapa begitu?" si pemuda menegaskan.
"Kami adalah orang kangouw, mana berani kami beradu tangan sama kongcu?"
menyahut Bok Ek. "Laginya ini bukannya cuma soal menang atau kalah, ini mengenai
hari kemudian dari anakku. Aku minta kongcu sudi memaafkan aku."
Pemuda itu mengawasi si nona. "Sudah berapa lama sejak kamu mengadakan pibu
ini?" ia tanya pula.
"Sampai sebegitu jauh sudah satu tahun lebih dan kami telah menjelajahi tiga
belas propinsi," menjawab Bok Ek dengan sebenarnya. Pemuda itu tampaknya heran.
"Apakah mungkin belum pernah ada orang yang dapat menangkan dia?" ia menegaskan.
"Ah, aku tidak percaya!" Ia tunjuki si nona.
Bok Ek tersenyum. "Sebabnya mungkin, orang yang pandai silat itu sudah menikah
atau ia sungkan beradu tangan dengan anakku," ia menerangkan.
"Kalau begitu, mari, mari!" berkata si pemuda, menantang. Ia bertindak ke tengah
kalangan. Diam-diam girang hatinya Bok Ek. Ia dapatkan orang, muda dan tampan. Si nona
agaknya kagumi pemuda itu. Ia tahu, di dalam tiga belas propinsi, belum pernah
ia bertemu pemuda semacam ini. Maka itu ia loloskan mantelnya, ia hampirkan si
pemuda untuk memberi hormat.
Pemuda itu membalas hormat, ia tersenyum. "Silakan mulai, nona!" ia kata.
"Silakan kongcu membuka dulu bajumu," berkata nona itu.
"Tidak usah," menyahuti si kongcu.
Para penonton pada berkata dalam hatinya, "Si nona lihay sekali, sebentar kau
nanti merasai..." Tapi ada juga yang berpikir: "Bok Ek ayah dan anak adalah orang
kangouw, masa mereka berani bikin malu satu kongcu" Tentu si kongcu bakal
dibikin mundur teratur, supaya ia tidak hilang mukanya..."
"Silahkan, kongcu!" berkata si nona.
Kali ini kongcu itu sudah tidak sungkan lagi. Tiba-tiba ia memutar ke kanan,
hingga bajunya yang panjang dan tangan bajunya juga, turut bergerak, lalu tangan
kirinya menyambar ke pundak si nona.
Terkejut si nona itu apabila ia menyaksikan gerakn orang yang luar biasa itu.
Sambil mendak, ia nyelusup di bawah ujung bajunya pemuda itu. Di luar dugaannya,
orang ada sangat gesit. Sekarang ujung baju dari tangan kanan si pemuda yang
menyusul menyambar. Sukar untuk menyingkir dari serangan susulan itu, maka si
nona menjejak tanah untuk mencelat mundur.
"Bagus!" berseru si kongcu. Ia lantas merangsak, tidak menunggu kedua kaki si
nona keburu menginjak tanah, ia mengebut pula.
Nona itu bukan melainkan berlompat mundur, ia hanya berjumpalitan, maka itu
ketika si kongcu datang dekat, sebelah kakinya menjejak ke arah hidung si
kongcu. Untuk membebaskan diri, kongcu itu lompat ke kanan. maka barenglah mereka
diwaktu mereka menurunkan tubuh.
Penonton semua kagum, untuk lihaynya si kongcu dan untuk kelincahan si nona.
Mereka itu sama-sama lincah.
Si nona dengan wajah merah, mulai membalas menyerang. Sekarang si koncu yang
main berkelit. Maka ada menarik akan menyaksikan baju indah si kongcu bagaikan
bercahaya, dan baju si nona seperti mega bermain.
Kwee Ceng pun kagum. Pemuda-pemudi itu berimbang usianya, mereka tampan dan
elok, mereka pun pandai silat, sungguh cocok apabila mereka menjadi pasangan
hidup, menjadi suami-istri. Karena ini tidak lagi ia benci si kongcu untuk
kelakuannya di rumah makan baru-baru ini, sekarang ia mengharap-harap akan
kemenangan si kongcu. Pertandingan itu berjalan terus dengan seru, sampai tiba-tiba orang dengar suara
"bret!" robek. Nyata si nona dapat menjambret ujung baju si kongcu dan ia
menariknya, sebab si kongcu juga membetot, ujung baju itu putus dengan
menerbitkan suara nyaring itu. Si nona lantas lompat mundur jauh-jauh, tangannya
mengibaskan baju rampasannya itu!
"Tunggu dulu!" Bok Ek segera kasih dengar suaranya. "Kongcu, silakan kau
loloskan bajumu, untuk kamu menentukan kemenangan terakhir!"
Kongcu itu bermuram wajahnya, kedua tangannya bergerak, maka robeklah bajunya,
kancing-kancingnya jatuh di tanah. Ia bukan membuka dengan baik, ia hanya
menyobeknya! Satu pengiring lari menghampirkan guna membantui meloloskan baju itu.
Sekarang terlihat kongcu ini dengan pakaian dalamnya dari sutera hijau muda yang
indah, yang pinggangnya dilibat dengan sabuk hijau. Ia nampak semakin tampan.
Bercahaya wajahnya yang putih dan bibirnya yang merah.
Tanpa berkata apa-apa, kongcu ini mulai menyerang. Ia menggunai tangan kirinya,
anginnya menyambar keras. Melihat itu si nona, Bok Ek dan Kwee Ceng terperanjat.
Mereka tidak sangka, satu kongcu demikian lihay.
Setelah menyaksikan lagi sekian lama, Kwee Ceng jadi berpikir: "Ilmu silatnya
dia ini mirip betul sama ilmu silatnya In Cie Peng, si imam muda, yang itu malam
menempur aku. Apakah boleh jadi mereka berasal dari satu perguruan?"
Sekarang si kongcu tidak mau mengalah lagi, karena itu sukar untuk si nona
membalas mendesak, malah untuk merapatkan saja sulit.
"Kongcu ini lebih lihay daripada In Cie Peng, si nona bukan tandingannya,"
berpikir Kwee Ceng setelah ia menyaksikan terlebih jauh. "Pasti jodoh mereka
bakal terangkap..." Bok Ek pun girang melihat jalannya pertempuran ini, malah ia lantas berseru:
"Anak Liam, sudah tak usah kau melawan lebih lama lagi, kongcu menang jauh
daripadamu...!" Tapi orang lagi bertempur hebat sekali, sedang si kongcu kata di dalam hatinya,:
"Kalau sekarang aku hendak robohkan kau, gampang sekali, Cuma aku tidak tega..."
Benar saja, ketika tangan kirinya menyambar, tangan kiri si nona kena dicekal.
Ia tahu si nona bakal mengibas keluar, selagi si nona mengerahkan tenaganya, ia
sekalian menolak seraya cekalannya itu dilepaskan. Maka tidak ampun lagi, nona
itu rubuh terjengkang. Hanya, belum lagi tubuh orang mengnai tanah, tangan kanan
si kongcu sudah menyambar, merangkul, hingga si nona manis lantas berada di
dalam pelukannya. Orang banyak bertempik bersorak, tapi ada juga yang menggerutu.
Si nona menjadi sangat malu. "Lekas lepaskan aku!" ia minta, suaranya perlahan.
Si kongcu tertawa. "Kau panggil engko padaku, nanti aku lepas kau!" sahutnya.
Nona itu mendongkol. Itulah permintaann ceriwis. Ia lantas berontak. Tapi sia-
sia saja, ia malah terpeluk semakin keras.
Bok Ek lantas maju. "Kongcu sudah menang, tolong kau lepaskan anakku," ia minta.
Pemuda itu tertawa lebar, ia masih belum mau melepaskan pelukannya. Dalam
sengitnya, si nona menjejak.
Kongcu itu melepaskan tangannya yang kanan, tangan itu dipakai menangkis dan
menangkap kaki orang, dengan begitu, tetap ia memegang tubuh di nona.
Nona ini penasaran, ia berontak sekuat tenaganya, tempo akhirnya ia bebas, ia
jatuh terduduk di tanah. Ia menjadi malu sekali, ia tunduk, sembari tunduk, ia
raba kaos kakinya yang putih. Sebab sepatunya telah terlepas.
Kongcu itu berdiri sambil tertawa haha-hihi, tangannya mencekali sepatu orang,
yang ia bawa ke hidungnya!
Melihat itu, beberapa penonton bangsa bergajul, lantas saja berseru-seru,
"Harum! Harum!"
"Kau she apa kongcu?" Bok Ek menanya. Ia tertawa, ia tidak menghiraukan sikap
ceriwis si pemuda. Kongcu itu pun tertawa. "Tidak usah bicara lagi!" katanya, seraya ia putar tubuhnya untuk minta jubah
sulamnya dari pengiringnya. tapi ia menoleh kepada si nona yang ia awasi, sepatu
siapa ia masuki ke dalam sakunya.
"Kami tinggal di Hotel Ko Seng di jalan utama kota barat," berkata Bok Ek, "Mari
kita pergi sama-sama ke sana untuk berbicara."
"Aku tidak sempat," berkata si anak muda. "Apakah yang hendak dibicarakan?"
tanya kemudian. Bok Ek heran, air mukanya sampai berubah. "Kau toh telah mengalahkan anakku!" ia
kata. "Aku telah melepas kata, maka itu tentu saja aku hendak jodohkan anakku
ini denganmu. Ini ada urusan seumur hidupnya manusia, mana bisa kita
memandangnya enteng?"
Kongcu itu melengak, ia tertawa besar. "Bukankah kita main-main dengan ilmu
silat?" katanya. "Tidakkah itu sangat menarik hati" Tentang perjodohan, terima
kasih banyak!" Mukanya Bok Ek menjadi pucat, ia sampai berdiam saja.
"Kau...! Kau...!" katanya kemudian seraya menuding.
Pengiringnya si kongcu tertawa dingin dan menyela, "Kau kira kongcu kami ini
bangsa apa" Kongcu kami bersanak dengan kamu orang kangouw tukang jual silat
dari kelas tiga rendah empat bawah" Hm! Pergilah kau tidur dengan mimpimu di
siang bolong!" Bukan main gusarnya Bok Ek, tangannya melayang, maka pengiring itu berkoak
kesakitan, mulutnya mengeluarkan darah, beberapa giginya rontok, seketika ia
roboh di tanah, terus pingsan!
Kongcu itu tidak ambil peduli kejadian itu, ia suruh lain pengiringnya tolongi
pengiring yang terluka itu, ia sendiri menghampirkan kudanya, untuk menaikinya.
"Jadi kau sengaja mengganggu kami"!" berteriak Bok Ek.
Kongcu itu tetap tidak mengambil mumat, ia injak sanggurdi denagn sebelah
kakinya. Bok Ek habis sabar, dengan tangan kirinya ia cekal lengan kiri pemuda itu.
"Baik!" serunya. "Anakku pun tidak nanti nikah dengan kau, manusia hina dina!
Bayar pulang sepatu anakku itu!"
Kongcu itu mengawasi, ia tertawa. "Sepatu ini toh anakmu yang dengan suka
sendiri menghanturkannya kepadaku," ia menyahuti. "Ada apa sangkut pautnya
denganmu?" Ia terus geraki tangan kirinya itu dan terlepaslah cekalannya Bok Ek.
"Akan aku adu jiwa!" berteriak ayah yang dipermainkan itu seraya ia lompat
berjingkrak, kedua tangannya digeraki berbareng, untuk menyerang kedua pelipis
orang. Itulah jurus "Ciong kouw cie beng" atau "Gembreng dan tambur ditabuh
berbareng." Kongcu ini berkelit sambil menjajak sanggurdinya, maka itu tubuhnya lantas
mencelat ke tengah kalangan.
"Jikalau aku telag hajar roboh padamu, orang tua, kau tentunya tidak bakal
memaksa aku nikahi anakmu, bukan?" kata ia sambil tertawa, untuk mengejek.
Kecuali bangsa bergajul, semua penonton menjadi panas hatinya, dari berkesan
baik mereka menjadi jemu dan membenci. Kongcu ini terang selain ceriwis pun
kurang ajar dan keterlaluan. Cumalah mereka bisa mendelu saja, tidak ada yang
berani membuka mulut. Bok Ek sudah lantas lompat untuk menerjang pemuda itu.
Kongcu itu mengetahui orang seperti kalap, bahwa serangannya itu sangat
berbahaya, maka dengan sebat ia berkelit, sesudah mana dari samping, tangan
kirinya membalas menyerang perut dengan jurusnya "Tok coa sim hiat" yaitu "Ular
berbisa mencari lubang."
Bok Ek berkelit ke kanan, dari situ ia menyerang pula, dua jari tangannya
mencari pundak bagian yang kosong. Itulah salah satu jurus "Eng Jiauw Kun" atau
"Kuku Garuda" dari ilmu silat Utara.
Kongcu itu lihay, agaknya dengan gampang saja ia mendak sedikit, lalu ia lolos
dari bahaya, menyusul itu, tidak kelihatan ia menarik pulang tangan kirinya atau
tangan kanannya sudah melakukan penyerangan pembalasan. Tangan kirinya itu telah
diangkat ke depan mukanya, dalam sikap "Touw in hoat jit" atau "Nyelusup ke mega
menukar matahari", guna melindungi mukanya.
Bok Ek tarik lengan kirinya, dilain pihak, ia menyerang dengan tangan kanannya.
Untuk membalas serangan dengan serangan, dengan tidak kalah sebatnya. Ketika
lawan itu berkelit, ia mendesak, lagi ia menyerang, kali ini dengan kedua
tangannya, ke arah kedua belah pipi. Inilah pukulan "Wie Hok Hong cu" atau
"Malaikat Wie Hok mempersembahkan toya".
Kongcu itu tidak memandang enteng kepada musuh ini, ia hanya tidak menyangka
semua serangan lawan sedemikian berbahayanya, maka ia tidak mau main acuh tak
acuh lagi, ia membalas dengan sama hebatnya. mendadak saja kedua tangannya
bergerak, menyambar kedua tangannya Bok Ek itu, pada bagian belakang telapakan
tangan, menyusul mana ia menarik tubuhnya, mencelat mundur, sepuluh jarinya
berubah menjadi merah semuanya.
Para penonton berseru kaget. Sebab belakang telapakan tangan dari Bok Ek telah
berlumuran darah! Si nona menjadi kaget berbareng gusar, ai memburu kepada ayahnya itu, untuk
menolongi. Ia robek ujung baju si ayah, guna robekannya dipakai membalut
lukanya. Bok Ek tolak mundur anaknya. "Kau minggir!" katanya sengit. "Hari ini saku mesti
mengadu jiwa dengannya, atau aku tidak hendak berhenti!"
Wajahnya si nona guram, ia memandang tajam kepada si pemuda. Tiba-tiba tangannya
merogoh ke sakunya, akan mengasih keluar sebuah pisau belati dengan apa ia terus
tublas dadanya sendiri. Bok Ek kaget bukan main, lupa kepada tangannya yang sakit, ia tangkis tublasan
itu, maka sekarang ia terlukai anaknya itu, sebab si nona tidak keburu
membatalkan tikamannya. Para penonton menjadi mendongkol berberang berduka. Inilah mereka tidak sangka.
Mereka pun tidak berani mencampur tangan.
Adalah Kwee Ceng yang tidak dapat melihat terlebih jauh. Selagi si kongcu hendak
menaiki pula kudanya, ia bertindak ke dalam kalangan, ia berseru. "Halo,
sahabat! Perbuatanmu ini tidak tepat!"
Kongcu itu berpaling, kapan ia lihat anak muda kita, ia tercengang. Tapi cuma
sebentar saja, terus ia tertawa. "Habis kau mau apa!" ia menantang. "Bagaimana
baru tepat?" Semua pengiring si kongcu tertawa ramai. Mereka lihat roman orang yang ketolol-
tololan, dan lagu suaranya pun beda dari lagu suara mereka, sikap dan lagu suara
itu telah diajoki kongcu mereka. Tentu saja mereka menganggap itu lucu.
Kwee Ceng melongo sebentar. Ia tidak lantas menginsyafi orang lagi permainkan
padanya. "Kau harus menikah dengan baik-baik dengan nona ini!" ia menjawab kongcu itu.
Si kongcu miringkan kepalanya, ia tertawa haha-hihi. "Jikalau aku tidak sudi
nikahi dia?" dia tanya.
"Jikalau kau tidak sudi menikah dengannya, apa perlunya kau maju dalam
pertandingan?" Kwee Ceng tanya. "Apakah kau tidak lihat itu merek bendera yang
menjelaskan pibu untuk pernikahan?"
Kongcu itu tidak menjawab, ia hanya mengawasi dengan tajam. "Sebenarnya kau


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak main gila denganku atau bagaimana" dia tanya tegas kemudian.
Kwee ceng tidak menjawab, hanya ia pun balik menanya. "Nona ini cantik dan ilmu
silatnya pun sempurna, kenapa kau tidak sudi menikah dengannya" Jikalau kau
tidak hendak menikah sama nona macam vegini, di belakang hari ke mana lagi kau
hendak mencarinya?" "Eh, kau tidak mengerti urusan, bicara denganmu sia-sia saja!" kata si kongcu.
"Kau sebenarnya murid siapa" Kau memanggil apa kepada Oey Yok Su dari pulau Tho
Hoa To?" Kwee Ceng menggoyangi kepalanya. "Siapa guruku, tak dapat aku beritahu padamu!"
ia jawab. "Aku tidak tahu Oey Yok Su itu orang macam apa."
"Habis, siapa yang ajarkan kau ilmu menotok istimewa dari pulau Tho Hoa To it?"
si kongcu masih menanya. "Ilmu menotok jalan darahku itu adalah guruku yang kedua yang mengajarkannya,"
menjawab Kwee Ceng. "Siapa itu gurumu yang kedua?" tanya kongcu itu kemudian.
"Aku tidak mau memberitahu" jawab Kwee Ceng pula.
"Baiklah, masa bodoh!" berkata itu pemuda yang lantas memutar tubuhnya.
Kwee Ceng ulur tangannya untuk mencegah. "Eh, kenapa kau hendak pergi pula?" ia
menanya. "Habis kenapa?" kata si kongcu lagi.
"Bukankah aku telah beri nasehat kepadamu untuk kau nikahi nona ini?" kata Kwee
Ceng. Kongcu itu tertawa dingin, dia buka tindakannya yang lebar, untuk berjalan
pergi. Sampai di situ, Bok Ek hampairkan ini anak muda. Sajak tadi ia mendengari orang
pasang omong, disamping ia mendongkol terhadap si kongcu, tahu ia bahwa anak
muda ini baik hatinya dan berpihak padanya. Ia Cuma merasa orang masih terlalu
muda dan belum mengenal dunia.
"Saudara kecil, jangan kau ladeni dia!" dia berkata. "Asal nyawaku masih ada,
sakit hati ini tidak dapat tidak dilampiaskan!" Terus ia kata dengan suara
nyaring: "Anak muda, kau tinggalkan she dan namamu!"
Kongcu itu berpaling, ia tertawa. "Aku sudah bilang, tidak dapat aku memanggil
mertua kepadamu, maka kenapa kau begini melit hendak mengetahui she dan namaku?"
ia bertanya. Kwee Ceng menjadi habis sabar, ia lompat kepada pemuda itu. "Kalau begitu, kau
bayar pulang sepatunya si nona!" ia membentak.
Kongcu itu menatap. "Kau gemar campur urusan bukan urusanmu!" ia berkata.
"Bukankah kau menaruh hati kepada nona itu?"
"Bukan!" jawab Kwee Ceng, yang menggeleng kepalanya. "Sebenarnya kau hendak
membayar pulang sepatu itu atau tidak?"
Dengan mendadak saja anak muda ini menggeraki kedua tangannya, mencekal kedua
nadi si kongcu. Ia telah gunai salah satu tipu dari ilmu silat Kim-na-ciu, yang
semuanya terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Ilmu silat itu adalah untuk
menangkap tangan lawan. Kongcu itu terkejut berbareng gusar. Ia berontak tetapi tidak berdaya. "Kau mau
mampus"!" tanyanya, sebelah kakinya menendang ke bawahan perut si anak muda.
Kwee Ceng tidak menangkis atau berkelit, dengan sebat ia tarik tangannya kongcu
itu, hingga orang terlempar tubuhnya, dengan begitu, ia bebsa dari tendangan
orang itu. Kongcu itu enteng sekali tubuhnya, walaupun ia telah terlempar, ia Cuma
terpelanting, tidak sampai ia mencium tanah. Hanya dengan begitu, ia telah kalah
satu babak. Ia menjadi gusar sekali.
"Kau sudah bosan hidup, bocah?" ia berseru.
Kwee Ceng mengawasi, ia menggeleng kepala. "Buat apakah aku bertempur denganmu?"
ia berkata, "Kau tidak mau nikahi dia, sudah saja, kau bayar pulang sepatunya
itu!" Orang banyak menyangka pemuda ini hendak membelai keadilan, mereka tidak ayana,
akhirnya cuma sebegitu saja sikapnya. Mereka yang gemar menonton menjadi kecele.
Kongcu ini jeri juga terhadap Kwee Ceng, bahwa orang tidak ingin berkelahi, itu
cocok dengan keinginannya, akan tetapi ia dipaksa menyerahkan sepatu si nona,
mana dapat ia mengalah: Tidakkah ia berada di hadapan orang banyak" Maka itu
seraya menyingkap jubahnya, ia memutar tubuh, mulutnya mengasih dengar tertawa
dingin. "Apakah kau hendak pergi?" menegur Kwee Ceng seraya menyambar jubah orang itu.
Si kongcu lantas menggunai ketikanya. Ia berkelit, jubahnya itu dilayangkan
sekali, dipakai menungkrap kepala orang.
Kwee Ceng gelagapan. Justru itu dua kali iganya kena dihajar, sebab si kongcu
sudah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu.
Bab 17. Pangeran Wanyen Kang
Kena dihajar secara demikian, pemuda kita merasa kegelapan mata. Tidak sempat ia
mengempos semangatnya. Bagus untuknya, selama dua tahun ia telah peroleh latihan
tenaga dalam dari Tang Yang Cu Ma Giok, walaupun ia terhajar hebat, ia tidak
terluka, tidak patah tulang-tulang rusuknya, ia cuma merasakan sangat sakit.
Dalam pada itu, ia sadar akan dirinya, maka tidak membuat tempo lagi, ia
melakukan pembalasan, dengan tendangan beruntun Wanyoh Lian-hoan-twie, maka
dalam sekejap saja, ia dapat menendang terus-terusan sembilan kali, semuanya
cepat dan hebat. Inilah pelajaran yang ia wariskan dari Ma Ong Sin Han Po Kie di
Malaikat Raja Kuda, dengan ilmu mana Han Po Kie pernah robohkan beberapa jago
dari Selatan dan Utara. Hanya sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng belum mendapatkan
kesempurnaannya. Kongcu itu menjadi repot, ia berklit dan berlompatan tiada hentinya. Tujuh
tendangan ia bisa kasih lolos, tetapi yang kedelapan dan kesembilan, telah
mengenakan kempolannya kiri dan kanan. Syukur untuknya, karena berberang ia
berkelit, ia tak sampai tertendang roboh, ia cuma terjerunuk.
Karena ini keduanya menjadi terpisah. Kwee Ceng lantas aja singkirkan jubah
sulam yang menungkrup kepalanya itu. Ia menjadi kaget dan mendongkol.
Pertempuran itu merupakan satu pengalaman luar biasa untuknya. Mulanya di
Mongolia ia menghadapi orang-orang jujur, lalu perlahan-lahan ia melihat
perubahan. Ia merasa asing untuk kelakuan curang.
Kongcu itu kena tertendang, ia menjadi gusar sekali, maka dia segera maju seraya
tangan kirinya dipakai menyerang ke pundaknya si pemuda.
Kwee Ceng menangkis, atau ia menjadi kaget. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit
pada dadanya. Karena ini ketika ia didesak, ia kewalahan, maka tempo kakinya
disambar, dengan mengasih dengar suara "Bruk!" ia roboh memegang tanah!
Semua pengiringnya si kongcu lantas bertepuk tangan dan tertawa.
Kongcu itu tepuki kempolannya yang penuh debu, ia tertawa tawar. "Dengan
kepandaian begini kau hendak mencari balas untuk orang lain?" ia mengejek. "Hm,
baik kau pulang dulu untuk belajar lagi sama gurumu sedikitnya buat duapuluh
tahun!" Kwee Ceng tidak menyahuti, ia hanya menjalankan napasnya, hingga ia merasakan
sakit di dadanya itu berkurang. Ia berlompat bangun kapan ia lihat orang kembali
hendak ngeloyor pergi. "Lihat kepalan!" ia berseru sambil menyerang.
Dengan mendak, kongcu itu berkelit. Kwee Ceng tidak berhenti sampai disitu,
tangan kirinya menyambar ke muka orang. Si kongcu menangkis. Kedua tangan lantas
bentrok, mereka saling menolak. Kelihatan nyata, tenaga dalam Kwee Ceng terlatih
besar tetapi si kongcu menang latihan ilmu silatnya. Maka itu mereka menjadi
berimbang. Kwee Ceng menyedot napas, ia hendak mengerahkan tenaganya, selagi begitu ia
masih tetap menolak. Tiba-tiba ia rasai tenaga lawan lenyap, tak sempat ia
menahan dirinya, tubuhnya terhuyung ke depan. Ketika ia bisa menahan dirinya,
dari belakangnya datang serangan. Ia sudah terjerunuk melewati lawannya, dalam
keadaan sulit itu, ia menangkis dari belakang, tubuhnya sekalian diputar.
"Kau pergi!" berseru si kongcu, yang tangannya menolak keras.
Tidak dapat Kwee Ceng bertahan, ia rubuh ngusruk, tetapi sikutnya mengenai
tanah, dengan cepat ia mencelat bangun, kakinya dibarengi dipakai menendang dada
lawannya. Ia berlaku sangat sebat, ia ingin membalas, untuk mencari kemenangan.
Kongcu itu dapat berkelit, hanya setelah itu, ia didesak oleh si pemuda yang
bersilat dengan "Hun-kin Co-kut Ciu" yaitu ilmu silat untuk memisah otot-otot
dan tulang. Kongcu ini pernah juga menyakinkan Hun-kin Co-ku Ciu hanya pelajarannya beda
daripada pelajaran Kwee Ceng yang didapat dari Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong, maka
itu, ia membela diri dengan berlaku hati-hati. Habis itu, keduanya bertempur
terus. Selama tujuhpuluh jurus, mereka berimbang dengan ketangguhannya.
Menampak demikian si kongcu menggunai akal.
Kwee Ceng tidak tahu lawannya lagi memancing, ia lantas menyerang. Ia hendak
menotok jalan darah hian-kie-hiat. Tiba-tiba ia ingat bahwa ia tidak bermusuhan
sama si kongcu, ia lantas geser incarannya ke sisi sasanan semula. Maka adalah
diluar dugaannya ketika si kongcu, yang menangkis dengan tangan kiri, sudah
membarengi menyerang dengan tangan kanan kanan ke arah pinggang, malah tinjuan
itu dilakukan saling susul hingga tiga kali.
Kwee Ceng berkelit, dengan menggeser pinggangnya, lalu ia membalas. Ketika ini
digunai si kongcu, untuk memegang tangan orang yang kanan itu, buat terus
ditarik dengan kaget sambil berbareng kakinya dipakai menjejak paha si pemuda.
Maka tidak ampun lagi, pemuda itu terguling jatuh.
Bok Ek menonton dari bawah benderanya. Lukanya telah dibalut rapi oleh putrinya.
mendapatkan tiga kali Kwee Ceng roboh, ia lantas maju, untuk mengasih bangun. Ia
tahu sekarang, pemuda itu bukan lawan si kongcu, yang menang seurat. Ia pun
kata: "Lao-tee, mati kita pergi, jangan kita layani segala manusia hina!"
Kwee Ceng roboh dengan mata kabur dan kepala pusing, ia menjadi gusar sekali,
maka setelah dikasih bangun, ia lepaskan diri dari tangan Bok Ek, ia maju pula,
untuk menyerang. "Eh, kau masih belum takluk?" berkata si kongcu, seraya mundur.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia merangsak.
"Jikalau kau tetap ganggu aku, jangan salahkan aku berlaku kejam!" kongcu itu
mengancam. "Kau pulangi sepatu orang!" bentak Kwee Ceng. "Kalau tidak, aku tidak mau
mengerti!" Kongcu itu tertawa melihat orang berkukuh, romannya ketolol-tololan. "Bukankah
nona itu bukan adikmu?" ia bertanya, "Kenapa kau seperti hendak mengadu jiwa
memaksa aku menjadi toakomu!"
"Kurang ajar!" mencaci Kwee Ceng. "Aku tidak kenal dia, siapa bilang dia
adikku!" Ia gusar sebab kongcu itu ejek dia sebagai toaku, ipar. Itulah cacian
di antara orang Pakhia, tetapi ia tidak tahu, ia cuma mendongkol. Karena dicaci
begitu, ia ditertawai sekalian pengikut si kongcu.
Si kongcu sendiri merasa lucu berbareng mendeluh. "Tolol, awas!" ia berseru
seraya menyerang. Kwee Ceng melawan, dari itu, mereka menjadi bergumul pula. Kali ini pemuda ini
berlaku waspada, tidak lagi ia kena dipancing. ia kalah pandai tapi ia
bersemangat, maka kewalahan juga si kongcu.
Pertempuran seru itu ditonton semakin banyak orang. Bok Ek jadi merasa tidak
enak hati. Ia tahu, kalau datang polisi, ia bisa dapat susah, sedikitnya ia
bakal diseret ke kantor pembesar setempat. Ia juga berkhawatir untuk banyaknya
orang, i antara siapa ia tampak beberapa yang matanya tajam dan air mukanya luar
biasa, ada juga yang membekal senjata. Di sebelah mereka, yang bicarakan silat
kedua anak muda itu, ada yang bertaruh untuk siapa yang bakal menang.
Dengan perlahan-lahan Bok Ek menggeser ke tempat pengiring-pengiringnya si
kongcu, segera ia lihat, diantara mereka itu ada tiga orang yang menarik
perhatiannya. Yang satu adalah satu pendeta bangsa Tibet, tubuhnya besar,
kopiahnya disalut emas, jubahnya merah dan gerombongan. Dia berdiri tegar hingga
ia melebihkan tingginya semua orang. Orang yang kedua sudah lanjut usianya,
sebab rambutnya sudah putih semua, tubuhnya sedang saja, hanya mukanya bercahaya
segar, dan tidak keriputan. Dia pun bermata tajam. Karena romannya yang luar
biasa itu, tak bisa diduga usianya yang tepat. Orang yang ketiga bertubuh kate
dan kecil, nampaknya sangat gesit, mukanya pun bersinar merah, matanya mencorong
tajam. Maka juga, mengawasi mereka, tukang jual silat ini terkejut hatinya.
"Leng Tie Siangjin," berkata satu pengiring, "Baik kau maju dan hajar bocah itu,
kalau mereka bertempur terus dan siauw-ongya salah tangan hingga ia terluka,
hilanglah jiwa kami semua..."
Itulah se pendeta Tibet yang ditegur. Dia tersenyum, dia tidak menjawab. Adalah
si rambut ubanan yang berkata sambil tertawa: "Paling juga kakimu dikemplang
patah! Mustahil ongya hendak mengehndaki jiwamu?"
Bok Ek terperanjat. Orang disebutnya siauw-ongya dan ongya, pangeran muda dan
pangeran. Kalau begitu, benar juga, bencana akan datang kalau sampai siauw-ongya
itu terluka. Tidakkah di antara pengiring-pengiringnya si siauw-ongya adalah
orang-orang yag gagah dan lihay?"
"Jangan takut!" berkata si orang kate dan kecil. "Siauw-ongya lebih lihay
daripada lawannya itu!"
Orang ini kate dan kecil akan tetapi suaranya mengejutkan. Suara itu nyaring,
hingga beberapa orang disampingnya menjadi terkejut, semua pada berpaling
memandang dia, yang matanya bersinar, hingga mereka lekas-lekas melengos.
Si rambut putih tertawa, dia pun berkata: "Siauw-ongya telah belajar ilmu silat
belasan tahun, kecewa kalau itu tidak dipertontonkan di muka orang banyak. Dia
tentu tidak senang ada orang yang membantu padanya..."
"Eh, saudara Nio, coba bilang," berkata si kate kecil, "Ilmu silat siauw-ongya
itu ada dari partai mana?" Kali ini ia berbicara dengan perlahan.
Si rambut putih tertawa. "Haouw Laotee, kau lagi uji mataku, bukan?" ia berkata.
"Kalau mataku tidak salah, itulah ilmu silatnya kaum agama Coan Cin Kauw."
"Sungguh begitu, sungguh aneh!" kata si kate kecil itu. "Bukankah kaum Coan Cin
Kauw itu bangsa aneh" Kenapa mereka justru mewariskan kepandaiannya pada siauw-
ongya...?" "Ongya pandai bergaul, siapa saja tak dapat ia undang?" kata pula si rambut
ubanan itu. "Umpama kau sendiri, Haouw Laotee. Kau biasa menjagoi di dua
propinsi Shoatang dan Shoasay, kenapa kau juga berada di istana ongya?"
Si kate kecil itu mengangguk.
Si ubanan sudah lantas mengawasi kedua anak muda yang lagi bertempur itu. Ia
dapatkan Kwee Ceng berubah silatnya, ialah gerakannya jadi ayal tapi tubuhnya
terjaga rapat, sia-sia saja beberapa kali siauw-ongya menyerang padanya.
"Haouw Laotee, coba lihat, dari partai mana asalnya ilmu silat si bocah itu?" ia
tanya. "Kelihatannya kepandaiannya itu kacau, dia tentu bukan satu gurunya," sahut si
kate kecil itu kemudian. "Pheng Ceecu benar," berkata seorang di pinggiran, "Bocah ini adalah muridnya
Kanglam Cit Koay." Bok Ek pandang ornag itu, yang mukanya kurus dan sinarnya biru, di jidatnya ada
tiga tahi lalatnya. Ia kata di dalam hatinya: "Dia memanggil Pheng Ceecu,
mungkinkah si kate kecil ini adalah kepala berandal" Nama Kanglam Cit Koay sudah
lama tidak terdengar, apa benar mereka masih hidup?"
Selagi Bok Ek berpikir, si muka biru dan kurus itu sudah berlompat maju ke
tengah kalangan seraya ia berseru: "Hai bocah, kau ke sini!" Dia pun menarik
keluar sebatang kongce atau cagak dari dalam sakunya.
Orang banyak terkejut, ada yang berteriak. Bok Ek pun tidak kurang kagetnya,
tapi ia segera bersiap, untuk membantu Kwee Ceng. Tentu saja ia tidak kenal si
orang ini, ialah Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, paman gurunya Hong Ho Su Koay.
Hauw Thong Hay bukan menyerang Kwee Ceng, dia hanya maju ke antara orang banyak,
di antara siapa ada satu anak muda yang tubuhnya kurus lemah, yang pakaiannya
compang-camping, kapan anak itu dapat lihat dia, dia menjerit "Ayo!" seraya
terus memutar tubuh, untuk angkat langkah panjang. Thong Hay mengejar terus, ia
diikuti empat orang lainnya yang bukan lain daripada Hong Ho Su Koay.
Kwee Ceng sedang bertempur, ia heran atas itu suara bentakan, kapan ia lihat
siapa yang dikejar Thong Hay, ai terkejut. Pemuda dengan pakaian tidak karuan
itu adalah Oey Yong, sahabat barunya. Karena ini, ia sudah lantas kena ditendang
si kongcu. "Tahan dulu!" ia berseru seraya lompat keluar kalangan. "Aku hendak pergi
sebentar, segera aku kembali!"
"Lebih baik kau mengaku kalah!" mengejek si kongcu.
Kwee Ceng tidak berniat berkelahi terus, pikirannya lagi kusut, ia khawatirkan
keselamatannya Oey Yong, tetapi justru ia hendak melompat lari, tiba-tiba ia
tampak sahabatnya itu lari mendatangi, sepatu kulitnya diseret hingga berisik
kedengarannya. Dia pun terus tertawa. Di belakangnya tampak Thong Hay tengah
mengajar tengah mengejar, mulutnya mencaci kalang kabutan, setelah datang dekat,
berulang-ulang ia tikam bebokong orang yang ia kejar itu!
Oey Yong sangat lincah, selalu dapat ia kelit tubuhnya.
Kongce itu ada cagak tiga, semuanya tajam, di bawah cahaya matahari, sinarnya
berkilauan, sinar itu ditimpali tiga gelangnya yang bergerak dan berbunyi
nyaring setiap kali digeraki. tapi senjata itu tidak dihiraukan Oey Yong. Ia
nyelusup sana dan nyelusup sini di antara orang banyak.
Segera juga orang banyak tertawa riuh. Mukanya Hauw Thong Hay, pada pipinya yang
kiri dan kanan, tambah tanda tapak lima jari tangan, tanda arang hitam. Terang
sudah dia telah kena ditampar oleh lawannya yang licin itu.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mari! Mari!" Oey Yong menantang, setiap kali ia dapat pisahkan diri jauh-jauh
dari lawannya, yang ia tinggalkan lalu ia berdiri diam, menoleh dan mengejek,
tangannya menggapai berulang-ulang.
"Jikalau aku tidak berhasil menggeset kulitmu dan mematahkan tulang-tulangmu,
aku Sam-tauw-kauw tidak sudi menjadi manusia!" Thong Hay sesumbar. Ia
berteriakan, ia mengejar.
Oey Yong menanti sampai orang sudah datang dekat, kembali ia lari. Kelakuannya
ini, ditimpali sama kalapnya Thong Hay, membuatnya orang banyak saban-saban
tertawa riuh. Dalam saat itu, terlihatlah datang memburunya tiga orang yang napasnya
tersengal-sengal. Merekalah tiga Siluman dari Hong Ho. Song-bun-hu Cian Ceng
Kian, Siluman yang keempat, tidak tampak.
Itu waktu barulah Kwee Ceng menginsyafi bahwa sebenarnya Oey Yong itu lihay ilmu
silatnya, bahwa ialah yang selama di hutan cemara Hek-siong-lim di Kalgan sudah
menggantung Hong Ho Su Koay di atas pohon dan memancing kepada Hauw Thong Hay.
"Bagus perbuatannya," ia pikir.
Kelakuan Hauw Thong Hay itu, yang dipermainkan Oey Yong, menyebabkan
rombongannya Leng Tie Siangjin memperbincangkannya.
Leng Tie itu adalah paderi dari Tibet, dari partai Cong Gee, keistimewaannya
ialah ilmu Tay-ciu-in, Tapak Tangan yang lihay, kawannya yang ubanan tapi
mukanya tampak segar bagai muka anak kecil, adalah Nio Cu Ong, ketua dari partai
Tiang Pek Pay dari Gunung Tiang Pek San. Ia tetap awet muda sebab sejak masih
kecil ia doyan makan jinsom serta lainnya pohon obat, hingga ia dijuluki Som
Sian Lao Koay, Dewa Jinsom-Siluman Tua. Julukan ini harus dipecah dua: Siapa
yang menghormati dia, memanggilnya Som Sian, Dewa Jinsom, dan siapa bukan orang-
orang partainya, dibelakangnya, menyebut ia Lao Koay, si Siluman Tua. Dan orang
ynag matanya tajam bagaikan kilat itu adalah orang ynag sangat terkenal di
Tionggoan, namanya Pheng Lian Houw, julukannya Cian-ciu Jin Touw, Pembunuh Sribu
Tangan. Di selatan dan utara Sungai Besar, sekalipun wanita umumnya kenal
namanya itu, dan anak-anak yang lagi nangis, kalu ditakut-takuti; "Peng Lian
Houw datang!" tentulah berhenti tangisnya.
Berkatalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong: "Selama aku di Kwan-gwa, telah aku
dengar nama besar dari Kwie Bun Liong Ong, bahwa ia lihay sekali, kenapa adik
seperguruannya ini begini tidak punya guna, sampai satu bocah pun dia tidak
sanggup layani?" Pheng Lian Houw mengkerutkan keningnya, dia bungkam. Dia bersahabat erat dengan
Kwie-bun Liong Ong See Thong Thian si Raja Naga Pintu Iblis, sering mereka
"bekerja tanpa modal", dan ia tahu baik Houw Thong Hay lihay, maka kenapa hari
ini orang she Hauw itu jadi demikian tidak berdaya"
Selagi Oey Yong permainkan Hauw Thong Hay, pertempuran di antara Kwee Ceng dan
si siauw-ongya, pangeran muda, telah berhenti. Siauw-ongya telah robohkan Kwee
Ceng lima-enam kali, dia sangat letih, tangan dan kakinya dirasakan ngilu, dia
pun berdahaga dan lapar, dengan sapu tangannya, ia susuti peluhnya.
Dipihak lain, Bok Ek telah kasih turun bendera Pie-bu Ciauw-cin, ia hampirkan
Kwee Ceng untuk dihiburkan, untuk diajak pulang ke penginapannya, untuk
beristirahat. Tapi, belum kebeuru mereka berangkat, mereka sudah dengar ramainya
tindakan kaki serta berisiknya gelang konce, lalu terlihat Oey Yong berlari-lari
kembali dengan tetap dikejar oleh Hauw Thong Hay. Tangannya Oey Yong sambil
mengibar-ibarkan dua potong kain. Hauw Thong Hay sebaliknya, pakiaannya menjadi
tidak karuan macam: Baju di dadanya robek putus, hingga kelihatan baju dalamnya
yang putih. Jauh di belakang mereka terlihat Gouw Ceng Liat serta Ma Ceng Hiong,
yang satu bersenjatakan tombak, yang lainnya ruyung, lari mendatangi dengan
napas memburu. Ketika mereka ini datang dekat, Oey Yong dan Hauw Thong Hay saudh
lenyap pula. Semua orang banyak, yang menjadi penonton, heran berberang merasa lucu, mereka
menjadi tertarik untuk menonton terus. Justru itu, mereka lantas dengar
bentakan-bentakan riuh yang datang dari arah barat, lalu mereka tampak belasan
orang polisi serta pengiring, dengan cambuk di tangan, lagi menyerang kalang-
kabutan ke kira dan ke kanan, kepada orang banyak, yang mereka usir pergi. Maka
itu, orang banyak itu lantas saja mundur ke kedua pinggir jalan. Menyausul
rombongan hamba-hamba galak itu, terlihatlah enam orang menggotong sebuah joli
besar yang indah. "Ong-hui datang! Ong-hui datang!" pengikut-pengikutnya si siauw-ongya berseru
berulang-ulang setelag mereka melihat joli itu.
Siauw-ongya lantas mengerutkan keningnya.
"Rewel!" ia menggerutu. "Siapakah telah pergi membawa berita kepada ong-hui!?"
Tidak ada berani ynag menjawab. Segara juga joli telah sampai di lapangan pibu,
semua pengikut maju untuk memberi hormat.
Dari dalam joli, yang tertutup rapat, lantas terdengar suaranya seorang wanita,
suara yang halus: "Kenapa berkelahi" Baju luar pun tidak dipakai! Nanti masuk
angin!" Bok Ek dapat mendengar tegas sekali suara itu, hatinya tercekat. Suara itu
seperti mengaung di kupingnya, ia menjadi diam sambil berpikir keras.
"Kenapa suara ini sama suaranya orangku ini?" katanya di dalam hatinya. Tiba-
tiba ia tertawa sendirinya. Ia berpikir pula: "Orang ini adalah onghui dari
negeri Kim, aku memikir kepada istriku, apakah aku sudah pikun" Sungguh gila
untuk memikir yang tidak-tidak..."
Tidak dapat ia lantas melenyapkan pikirannya itu, maka ia bertindak, untuk
mendekati joli indah itu. Kebetulan itu waktu, dari dalam joli diulur keluar
sebelah tangan yang putih dan halus, yang memegang sapu tangan putih, dengan apa
mukanya si siauw-ongya disusuti, untuk singkirkan peluh dan debunya, sembari
berbuat begitu, si wanita masih mengucapkan beberapa kata-kata, yang halus dan
perlahan, hingga si penjual silat ini tak dapat mendengarnya dengan tegas.
Mungkin si saiuw-ongya ditegur dan dihiburi oleh onghui ini, onghui ialah selir
seorang pangeran atau raja.
"Ibu, aku senang bermain-main," terdengar suaranya pangeran muda itu. "Tidak
apa-apa..." "Lekas pakai bajumu, mari kita pulang bersama!" kata si onghui kembali.
Kembali si Bok Ek terperanjat. "Benarkah di kolong langit ini ada dua orang yang
suaranya sangat mirip satu dengan lainnya?" ia menanya dalam hatinya, yang terus
berdebaran. Satu pengiring menjumput jubah sulam dari siauw-ongya, sembari berbuat begitu, ia pandang Kwee Ceng dengan bengis dan memdamprat:
"Binatang cilik! Lihat, kau telah bikin kotor jubah ini!"
Satu pengiring lain, yang tangannya mencekal cambuk, terus saja menghajar ke
arah kepala si anak muda, atas mana, Kwee Ceng berkelit, sebelah tangannya
diangkat, untuk menangkap lengan orang, berbareng dengan mana, satu kakinya
menyapu. Tidak ampun lagi, pengiring itu roboh terguling. Tapi Kwee Ceng tidak
berhenti sampai disitu, ia rampas cambuk orang itu, guna dipakai menyabet hingga
tiga kali. "Siapa suruh kau menganiaya rakyat jelata!" ia menegur.
Orang senang melihat kejadian itu. Belasan serdadu maju, untuk menolongi
kawannya itu, tetapi tempo mereka mulai menyerang Kwee Ceng, satu demi satu,
mereka ditangkap si anak muda, lalu dilemparkan saling susul.
Siauw-ongya menjadi gusar. "Kau masih berani main gila"!" tegurnya. Ia terus
lompat, untuk tolongi dua serdadu yang dilemparkan paling belakang, habis mana,
ia tendang itu anka muda.
Kwee Ceng berkelit, lalu ia menyerang. Dengan begitu, keduanya jadi bertempur
lagi. "Jangan! Jangan berkelahi!" onghui berseru mencegah.
Terhadap ibunya, siauw-ongya itu agaknya tidak takut, malah ia seperti
termanjakan. Ia berkelahi terus, sembari berkelahi, ia menyahuti: "Tidak, ibu ,
tidak dapat tidak, ini hari aku mesti labrak dia ini!"
Setelah belasan jurus, siauw-ongya itu berkelahi dengan hebat sekali, rupanya ia
hendak banggakan kegagahannya di depan ibunya. Kwee Ceng lantas terdesak lagi,
dua kali ia kena dibikin memegang tanah.
Selama itu, Bok Ek tidak pedulikan segala apa disekitarnya, sepasang matanya
terus diarahkan kepada joli indah itu. Maka tempo tenda tersingkap, ia dapat
melihat satu wajah dengan sepasang mata jeli dan rambut yang bagus, sinar mata
itu ayu sekali, mengawasi kedua anak muda yang lagi bertarung itu. Mengawasi
mata orang itu, Bok Ek berdiri menjublak bagaikan patung.
Kwee Ceng dirobohkan dua kali, dia bukan menyerah kalah, ia menjadi lebih kosen,
maka kali ini, ia tidak dapat dirobohkan pula. Ia bertubuh kuat, ia dapat
melayani pukulan berulang-ulang kepada tubuhnya itu. Ia pun menang 'kang-lat'
atau tenaga latihan, ia menjadi ulet sekali.
Itu waktu, Oey Yong dan Thong Hay telah berlari-lari balik, sekarang di
rambutnya Sam-tauw-kauw, Ular Naga Kepala Tiga itu, ada ditancapkan cauw-piauw
atau tanda barang hendak dijual, dengan begitu berarti, Thong Hay hendak menjual
kepalanya itu! Ia hanya tidak tahu bahwa ia telah dipermainkan oleh Oey Yong,
lawannya yang lincah dan licik itu. Di belakang mereka tidak tertampak dua
Siluman, mungkin mereka telah kena dirobohkan pemuda itu.
Nio Cu Ong bertiga menjadi heran, hingga mereka menduga-duga, Oey Yong itu
sebenarnya orang macam apa.
Selagi bertempur, lengan Kwee Ceng kena dihajar satu kali, lalu ia membalas
memukul paha siauw-ongya. Mereka jadi semakin sengit berkelahinya. Kwee Ceng
berkelahi dengan ilmu silat Hun-kin Co-ku-hoat, untuk merabu otot dan tulang
musuh, siauw-ongya sebaliknya dengan Kim-na-ciu, ilmu menangkap yang terdiri ari
tujuh puluh dua jurus. Maka itu, kedua-duanya saling terancam hilang jiwa atau
terluka parah. Karena ini Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong lantas menyiapkan
senjata rahasia mereka, untuk menolong apabila siauw-ongya benar-benar terancam
jiwanya. Mereka adalah orang-orang tua yang kosen, sungkan mereka mengepung Kwee
Ceng, sebaliknya mereka merasa, kapan perlu, bisa mereka mencegah Kwee Ceng
menurunkan tangan jahat terhadap si pangeran muda.
Makin lama Kwee Ceng makin gagah. Inilah tidak heran sebab ia hidup di tanah
gurun. Sebaliknya siauw-ongya biasa hidup di istana, ia termanja, ia kalah ulet,
maka ia lantas terdesak. Satu kali Kwee Ceng menyambar ke muka siauw-ongya itu. Siauw-ongya berkelit,
terus ia membalas meninju. Atas itu, Kwee Ceng mendahulukan, dengan tangan
kanannya, ia membentur sikut kanan si pemuda agung, berbareng dengan itu, ia
maju, tangan kirinya membangkol tangan lawan itu, lalu tangan kanannya
diteruskan untuk memegang leher lawan. Siauw-ongya terkejut, ia membalas
membangkol dan memegang leher lawannya itu. Maka keduanya menjadi berkutat, yang
satu hendak mematahkan tangan, yang lain hendak mencekik.
Semua orang kaget, onghui sampai berparas pucat, separuh mukanya keluar dari
tenda. Putrinya Bok Ek, ynag tadinya numprah di tanah, berlompat bangun,
parasnya pun pucat. Disaat itu terdengar suara menggelepok. Nyata muka Kwee Ceng kena digaplok,
sebab siauw-ongya merubah siasat. Keras pukulan itu, Kwee Ceng merasakan matanya
berkunang-kunang dan kepalanya pusing. Tapi ia masih sadar, sambil berseru, ia
sambar bajunya siuaw-ongya, terus ia kerahkan tenaganya, ia angkat tubuh siauw-
ongya, untuk dilemparkan. Ia nyata telah menggunai ilmu silat bangsa Mongolia,
yang ia peroleh dari Jebe.
Siauw-ongya dilemparkannya, tapi sebelum tubuhnya dilepas, ia sudah berdaya,
dengan cepat ia ayun tubuhnya itu, Kedua tangannya menyambar tanah, dengan
begitu, ia tidak terbanting. Habis itu sama sebatnya, ia menyambar kedua kaki
lawannya itu, ia menarik keras, maka Kwee Ceng kena ditarik roboh hingga saling
tindih, hanya siauw-ongya berada disebelah atas. Dia ini sebat, dia lompat,
tangannya menyambar tombak di tangan seorang serdadu yang berada dekat
dengannya, dengan tombak itu, segera ia menikam Kwee Ceng.
Dengan menggulingkan tubuh, Kwee Ceng menghindarkan diri, tapi ia didesak, ia
dikam terus, lagi dua kali, terpaksa ia kembali bergulingan, hingga sukar untuk
ia melompat bangun, terpaksa sambil bergulingan, ia layani tombak musuhnya itu.
Karena didesak tak hentinya, ia berguling hingga ke dekat tiang bendera Pibu
Tiauw-cin. Di sini ia gunai kesempatannya, ia sambar tiang itu, terus ia pakai
menangkis, sesudah mana ia berlompat bangun, untuk melakukan penyerangan
membalas. Maka sekarang mereka bertempur dengan bersenjata, meskipun Kwee Ceng
hanya bergenggaman tiang bendera.
Tiang bendera itu terlalu panjang, kurang tepat untuk Kwee Ceng, ynag bersilat
denagn tipu Hang Mo Thung-hoat, pengajaran dari gurunya yang pertama, Hek Pian-
hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam, akan tetapi, ia dapat mainkan itu dengan
baik. Siauw-ongya tidak kenal permainan silat lawannya itu, ia lantas saja kena
didesak hingga ia mesti selalu membela diri.
Bok Ek tetap perhatikan ilmu silat tombak dari siauw-ongya, makin lama ia
menjadi makin heran. Itulah terang Yo Kee Ciang-hoat, yaitu ilmu tombak Keluarga
Yo, ilmu mana diturunkan hanya kepada anak laki-laki, tidak kepada anak
perempuan. Yang menegrti ilmu itu, untuk bagian Selatan Tionggoan saja sudah
jarang, maka heran kenapa di negara Kim ada yang dapat memainkannya itu" Ia
terus mengawasi, sampai akhirnya ia merasa sedih sendirinya, tidak dapat ia
mencegah mengucurnya air matanya.
Nona Bok pun memperhatikan jalannya pertempuran, ia juga agaknya berpikir keras.
Diakhirnya terdengar teriakannya onghui: "Berhenti! Berhenti! Jangan berkelahi
lagi!" Karena nyonya agung itu mendapatkan putranya telah bermandikan keringat.
Mendengar suaranya onghui, Peng Lian Houw bertindak ke dalam kalangan. ia segera
geraki tangan kirinya, untuk menyampok tiang bendera. Atas itu, Kwee Ceng
merasakan telapak tangannya sakit, tiang bendera lantas terlepas dari
cekalannya, mental ke udara, hingga benderanya berkibar-kibar bagus.
Anak muda itu terkejut. Seumurnya kecuali Bwee Tiauw Hong, belum pernah ia
menemui tandingan selihay ini. Belum sempat ia memandang orang, atau satu
pukulan telah menjurus ke mukanya. Ia berkelit dengan cepat, tetapi tidak urung,
lengannya kena terhajar. Tidak ampun lagi, ia terguling roboh.
Setelah merobohkan bocah itu, Pheng Lian Houw berpaling kepada si pangeran muda
dan berkata sambil tertawa: "Siauw-ongya, akan aku bereskan dia ini, supaya dia
jangan mengganggu terlebih jauh..." Sembari berkata, ia maju ke Kwee Ceng, ia ulur
tangan kanannya ke arah kepala orang, justru si anak muda lagi merayap bangun.
Kwee Ceng kaget, lebih-lebih ia tahu, kedua tangannya sakit. Untuk tolongi
dirinya, ia memaksa menangkis juga.
Disaat anak muda ini terancam bahaya maut, sekonyong-konyong datang teriakan
dari antara orang banyak: "Perlahan!" Lalu terlihat melesetnya satu bayangan
abu-abu perak disusul serangan semacam senjata, yang terus saja melibat
tangannya si orang she Pheng itu, hingga serangan itu batal. Tetapi Lian Houw
tidak diam saja, ia segera menarik pulang tanagnnya, begitu keras, hingga
senjata yang melibatnya ia terputus.
Orang yang baru datang itu agaknya terperanjat, hingga ia tercengang, tetapi
lekas juga ia sambar Kwee Ceng, yang pinggangnya ia peluk, setelah mana, ia
lompat mundur. Sekarang orang bisa lihat, dia adalah satu tojin atau imam usia pertengahan,
jubahnya warna abu-abu, tangannya mencekal sebatang hudtim atau kebutan, hanya
kebutan itu tinggal sepotong, sepotong yang lain masih melibat ditangannya Lian
Houw. Ia terus mengawasi pada Lian Houw, yang kemudian berkata: "Tuan, adakah
kau Pheng Cecu yang namanya sangat tersohor" Hari ini aku dapat bertemu
denganmu, sungguh aku merasa sangat girang!"
"Tidak berani aku menerima yang namaku yang rendah dijunjung sedemikian tinggi
olehmu," sahut Lian Houw. "Aku mohon ketahui gelaran suci dari totiang."
Semua orang lantas mengawasi kepada imam itu, yang romannya toapan, yang kumis
dan janggutnya terbelah tiga. Kaos kakinya yang putih serta sepatunya yang abu-
abu bersih sekali. Ia tidak menjawab, hanya Ia ulur kakinya, untuk dimajukan
satu tindak, lalu ia menarik pulang, tetapi karena injakan atau tindakannya itu,
di tanah lalu tertapak dalam. Sedang di tanah utara ini, tanah kering dan keras.
Melihat tapak sepatu itu, Peng Lian Houw terperanjat. "Jadinya totiang adalah
Thie Kak Sian Giok Yang Cu Ong Cinjin?" ia menanya.
Imam itu menjura. "Teecu terlalu memuji kepadaku," ia menyahut. "Memang benar,
pinto adalah Ong Cie It. Tidak berani pinto menerima itu sebutan cinjin."
Peng Lian Houw, begitu juga Som Sian Lao Koay, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin
mengawasi imam itu, yang mereka tahu namanya tidak kalah daripada Tiang Cun Cu
Khu Cie Kee. Sudah lama mereka ketahui hal imam ini, baru sekarang mereka
menemui sendiri orangnya. Mereka dapatkan orang sungguh alim dan agung. Coba
tadi mereka tidak telah menyaksikan gerakan yang gesit dan melihat itu tapak
kaki, tidak nanti mereka mau percaya dia adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu si
Dewa Kaki Besi yang pernah menakluki jago-jago di Utara.
Ong Cie It tersenyum, terus ia menunjuk pada Kwee Ceng dan berkata: "Pinto tidak
kenal anak ini, hanya karena kemuliaan hatinya dan kegagahannya berusan, hatiku
menjadi sangat tertarik, maka itu dengan besarkan nyali, pinto mohon Pheng Ceecu
memberi ampun kepada jiwanya."
Melihat sikap orang yang demikian hormat, sedang orang pun dari Coan Cin Kauw,
Peng Lian Houw suka berbuat baik, maka itu sambil membalas hormat, ia memberikan
persetujuannya. Ong Cie It menjura pula seraya menghanturkan terima kasih, ketika ia memutar
tubuh, ia menghadapi si siauw-ongya dengan wajahnya keren sekali.
"Siapakah namamu?" ia menanya bengis, "Siapakah gurumu"!"
Siauw-ongya itu telah merasa kurang enak hati. Sebenarnya ia sudah memikir untuk
berlalu, tetapi ia terlambat. Ia berdiri diam dan menyahuti: "Namaku Wanyen


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang. Nama guruku tidak dapat aku beritahukan padamu."
"Bukankah gurumu ada tanda tahi lalat merah pada pipinya yang kiri" Ong Cit It
tanya pula. Wanyen Kang tertawa hihi-hihi, hendak ia menjawab secara jenaka, atau mendadak
matanya si imam bersinar tajam bagaikan kilat, maka hatinya terkesiap, batal ia
untuk main gila. Ia lantas mengangguk.
"Memang telah aku duga, kau adalah muridnya Khu Suhengku itu," berkata Ong
Cinjin. "Hm, bagus benar perbuatanmu ya" Pada mula kali gurumu hendak
mengajarkan silat padamu, apakah ia telah bilang padamu" Apakah pesannya?"
Wanyen Kang perlihatkan roman cemas. Ia dapat lihat suasana buruk.
"Anak, lekas pulang!" demikain terdengar suara ibunya dari dalam joli.
Anak ini dapat dengar panggilan itu, justru berbareng dengan itu, ia mendapat
satu pikiran. Ia insyaf, kalau gurunya ketahui perbuatannya, inilah hebat. Maka
itu, lekas ia ubah sikapnya. Dengan sabar, ia berkata: "Totiang kenal guruku
itu, terang totiang adalah satu cianpwee, oleh karena itu boanpwe mohon sukalah
totiang datang ke rumahku, untuk boanpwe anti mendengar segala pengajaranmu."
Dengan lantas siauw-ongya ini membahasakan diri "boanpwe", orang dari tingkat
lebih rendah, karena ia tahu ia lagi berhadapan dengan satu cianpwee, orang yang
tingkat derajatnya terlebih tua.
"Hm!" Ong Cie It perdengarkan suaranya.
Wanyen Kang benar-benar cerdik, tanpa tunggu orang buka mulut lagi, ia sudah
Pahlawan Dan Kaisar 1 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Sumpah Palapa 23
^