Pencarian

Memanah Burung Rajawali 8

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 8


lantas menjura kepada Kwee Ceng, sembari tersenyum, ia berkata: "Saudara Kwee,
kalau kita tidak bertempur, pasti kita tidak kenal satu sama lain. Ilmu silat
kau saudara, aku sangat mengaguminya. Maka itu, aku pun minta suka kau bersama
totiang berkunjung ke rumahku. Sukalah kau kalau kita mengikat persahabatan?"
Kwee Ceng tidak menjawab, ia hanya menunjuk kepada Bok Ek dan gadisnya serta
bertanya: "Bagaimana urusan jodohmu dengan nona itu?"
Wanyen Kang menjadi likat. "Hal itu kita perlahan-lahan saja kita bicarakan
pula," katanya. Mendengar itu, Bok Ek tarik tangannya Kwee Ceng. "Engko Kwee kecil, mari kita
pulang!" berkata ia. "Buat apa kau layani pula manusia hina dina ini?"
Wanyen Kang dengar suara orang menghina itu, ia tidak menjadi gusar, ia hanya
menjura pula kepada Ong Cie It seraya berkata: "Totiang, bownpwe menantikan
segala kehormatan atas kedatangan totiang ke rumahku. Totiang tanyakan saja
istananya Chao Wang."
Habis berkata begitu, ia sambar les dari seekor kuda pilihan yang satu
pengiringnya bawa kepadanya, terus ia lompat naik ke atas kuda itu, yang pun ia
kasih lari ke antara orang banyak, hingga mereka itu berlari-lari untuk
menyingkir dari bahaya kena diterjang kuda.
Ong Cie It mendongkol untuk sikap keagung-agungan itu. Tapinya ia berkata kepada
Kwee ceng, "Engko kecil, kau turut aku,"
"Aku hendak menantikan dulu sahabatku..." Kwee ceng menjawab.
Belum berhenti suaranya bocah ini, Oey Yong muncul dari antara orang banyak,
lantas saja ia berkata sambil tertawa: "Aku tidak kenapa-kenapa! Sebentar aku
pergi mencari padamu...!" Baru ia mengucap, kemudian ia menyelinap di antara orang
banyak itu. Ia memang bertubuh kecil dan lincah.
Di lain pihak, lantas terlihat Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay lari mendatangi.
Melihat si Ular Naga Kepala Tiga ini, Kwee Ceng tertawa di dalam hati. Tapi ia
pun cerdik, ia lantas menjatuhkan diri di depan Ong Cinjin. "Totiang, banyak-
banyak terima kasih," ia berkata.
Ong Cie It tidak bilang suatu apa, ia cekal tangan si bocah, untuk diajak pergi,
hingga dilain saat mereka sudah tinggalkan orang banyak itu dan tengah menuju
keluar kota. Cepat tindakannya si imam, sebentar saja mereka sudah berada diluar kota. Selang
lagi beberapa lie, tibalah mereka di belakang sebuah puncak buklit. Di sini si
imam berjalan semakin cepat. Memang ia hendak menguji enteng tubuhnya si bocah.
Sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng dapat mengikuti denagn baik kepada si imam itu.
Ia sudah belajar lari keras, tubuhnya enteng, dan dibawah pimpinan Tan Yang Cu
Ma Giok, ia dapat manjat puncak, maka itu, ia bisa berlari-lari tanpa napasnya
memburu atau hatinya berdenyutan.
Ong Cie It cekala tangan orang, ia lari terus-terusan, tiba-tiba ia
melepaskannya. Ia terperanjat dan mengawasi bocah itu.
"Dasarmu tidak jelek!" ia berkata dalam herannya itu. "Kenapa kau tidak dapat
mengalahkan dia itu?"
Kwee Ceng tidak tahu bagaimana harus menjawab, ia cuma tertawa saja.
"Siapakah gurumu?" Ong Cinjin menanya lagi.
Kwee Cneg tahu di antara adik seperguruan dari ma Giok ada yang bernama Ong Cie
It, ialah ini imam, dari itu, tidak mau ia mendusta. Ia menyebutkan Kanglam Cit
Koay dan Ma Giok. Mendengar itu Ong Cie It menjadi girang sekali. "Toasuko telah ajarkan kau ilmu
silat, bagus!" katanya. "Sekarang aku tidak usah mengkhawatirkan apa-apa lagi!"
Kwee Ceng heran, ia mengawasi imam itu.
"Orang dengan siapa tadi kau bertempur, yang dipanggil setahu apa siauw-ongya
Wanyen Kang itu adalah muridnya suhengku Tiang Cun Cu, kau tahu atau tidak"
bertanya si imam. Bocah itu tercengang. "Apa?" dia menanya. "Aku tidak tahu..."
Ma Giok mengajarkan Kwee Ceng tanpa penjelasan, bocah ini menjadi tidak tahu
tentang ilmu silat kaum Coan Cin Kauw, sekarang setelah mendengar pertanyaannya
Ong Cie It, ia menjadi ingat kepada pertempurannya sama In Cie Peng hingga ia
ingat juga, ilmu silat Wanyen Kang sama dengan ilmu silatnya In Cie Peng itu. Ia
lantas menunduki kepala. "Teecu tidak tahu siauw-ongya itu adalah muridnya Khu Totiang, teecu telah
berlaku kurang ajar, teecu mohon totiang suka memberi maaf," ia memohon.
Ong Cie It tertawa bergelak.
"Hatimu mulia, aku suka sekali! Mustahil aku nanti persalahkan kau!" ia berkata.
Kemudian ia meneruskan dengan sikapnya sungguh-sungguh : "Kami kaum Coan Cin
Kauw ada punya aturan yang keras, kalau ada murid yang bersalah, dia dapat
dihukum berat, tetapi tidak nanti dilindungi atau dieloni. Siauw-ongya itu
sombong dan ceriwis, nanti aku suka minta toasuko menghukum padanya!"
"Asal ia suka menikah dengan nona Bok, baiklah totiang memberi ampun padanya,"
berkata Kwee Ceng, yang tidak mendendam, hatinya masih ingin merekoki jodohnya
nona Bok. Ong Cie It menggeleng kepala, ia tidak bilang suatu apa, di dalam hatinya
tapinya ia suka bocah ini yang jujur dan hatinya pemurah. kemudian setelah
berpikir, ia berkata-kata seorang diri: "Toasuko biasanya benci kejahatan
sebagai musuh besarnya, dia lebih-lebih membenci bangsa Kim, maka itu kenapa dia
bolehnya mengajari silat kepada satu pangeran Kim" Sungguh membikin pusing
kepala..." Terus ia mengawasi Kwee Ceng dan berkata pula: "Khu Toasuko telah
menjanjikan aku bertemu di Yan-khia, dalam beberapa hari ini tentulah ia bakal
tiba, maka setelah bertemu dengannya, aku akan menanya jelas segala apa. Toasuka
telah menerima satu murid she Yo, dia kata hendak ajak muridnya itu pergi ke
Kee-hin untuk dicoba pibu denganmu. Entah bagaimana kepandaiannya murdi she Yo
itu, nanti kau jangan khawatir. Di sini ada aku, tidak nanti aku bikin kau
memdapat susah...." Kwee Ceng telah terima titah gurunya untuk sebelum tanggal duapuluh empat bulan
tiga sampai di Kee-hin, Ciat-kang untuk apa ia dimestikan pergi ke Kee.hin itu,
gurunya tidak memberikan keterangan apa-apa, maka itu ia heran atas kata-katanya
imam ini. "Totiang, pibu apakah itu?" ia bertanya.
Ong Cie It dapat menduga, ia menghela napas. "Gurumu belum membilang suatu apa
kepadamu, tak baik aku mewakilkan mereka memberi keterangan," ia menjawab.
Ong Cie It ketahui maksudnya Kanglam Cit Koay. Dia telah mendengar lelakonnya
kedua keluarga Yo dan Kwee itu, bahwa dalam pibu, Kanglam Cit Koay pasti
menghendaki kemenangan, maka itu tidak heran Tujuh Manusia Aneh dari Kanglam itu
tidak mau menjelaskan sesuatu kepada Kwee Ceng, maksudnya pasti untuk mencegah
Kwee Ceng menjadi bersusah hati hingga pernyakinan ilmu silatnya menjadi
terganggu. Atau mungkin disebabkan musuh adalah turunan sahabat ayahnya, Kwee
Ceng itu nanti berkelahi tidak dengan sungguh-sungguh dan karenanya menjadi
tidak memperoleh kemenangan.
Kwee Ceng juga tidak berani menanya apa-apa lagi, dia cuma manggut-manggut.
"Sekarang masri kita lihat itu orang she Bok dan gadisnya," berkata Ong Cie It
kemudian. "Nonan itu bertabiat keras, aku khawatir dia nanti menerbitkan bencana
jiwa..." Kwee Ceng terkejut. ia menjadi ingat kepada nona itu. Maka keduanya lantas
berjalan dengan cepat ke kota barat, terus ke rumah penginapan Kho Seng di jalan
besar utama. Baharu mereka sampai di depan pintu, dari dalam hotel sudah muncul
beberapa pengiring dengan pakaian seragam bersulamnya, semua lantas memberi
hormat kepada Ong Cinjin seraya berkata: "Kami diperintahkan siauw-ongya
mengundang totiang serta Tuan Kwee menghadiri pesat di gedung kami." Mereka
lantas menyerahkan sehelai kartu nama di atas mana ada tertera: "Hormat dari
teecu Wanyen Kang." "Sebentar kita datang," berkata Ong Cie It.
"Dan ini kue-kue dan bebuahan, siauw-ongya minta totiang dan Tuan Kwee sudi
menerimanya," berkata pula si pengiring. "Dimana totiang dan Tuan Kwee tinggal"
Nanti kami pergi mengantarkan ke sana."
Beberapa pengiring lainnya lantas maju untuk mengsih lihat barang antaran
mereka, yang terdiri dari duabelas, isinya semua adalah makanan dan bebuahan
yang istimewa. "Oey Yong suka dahar makanan semacam ini, baik aku tinggalkan untuk dia," Kwee
Ceng berpikir. Ia polos, ia bersedia menerima antaran itu.
Ong Cie It tak berkesan baik terhadap Wanyen Kang, hendak ia menampik, akan
tetapi kapan ia melihat sikap Kwee Ceng, ia lantas terima itu. Ia tersenyum, di
dalam hatinya ia berkata: "Dasar bocah! Dia tidak harus dipersalahkan."
Bab 18. Mengadu Kepandaian
Habis menerima antaran itu, Ong Cie It menanyakan keterangan kamarnya Bok Ek,
lalu ia terus masuk ke dalam kamar orang, hingga ia dapatkan orang she Bok itu
sedang rebah dengan muka pucat dan di tepi pembaringan, gadisnya duduk smabil
menangis. Kapan mereka lihat tetamu, si nona berbangkit berdiri, Bok Ek sendiri
berbangkit untuk berduduk di atas pembaringan.
Ong Cinjin periksa lukanya Bok Ek, yang setiap belakang telapakan tangannya
bertanda lima lobang jari tangan, hingga nampak tulang-tulangnya dan kedua
lengannya bengkak besar. Luka itu telah ditorehkan obat, tetapi mungkin
dikhawatir menjadi nowa, sudah tidak dibalut.
"Aneh," pikir Ong Cie It. "Ilmu silat Wanyen Kang terang adalah ajarannya
toasuko, maka darimana dia dapatkan ilmu pukulan jahat ini" Pada ini mesti ada
rahasianya...?" Lantas ia pandang si nona dan menanya: "Nona, siapakah namamu?"
Nona itu menunduki kepalanya. "Namaku Bok Liam Cu," ia menyahut perlahan.
"Luka ayahmu ini tak enteng, dia perlu dirawat baik-baik," kata Cie It, yang
terus merogoh sakunya, untuk mengeluarkan uang perak dua potong, yang mana ia
letaki di atas meja, seraya menambahkan: "Besok aku akan datang untuk menjenguk
pula padamu." Lalu menanti jawaban si nona, ia tarik tangan Kwee Ceng buat
meninggalkan hotel itu. Di luar hotel, mereka dipapaki empat pengiring, setelah mereka itu memberi
hormat, yang satunya memberitahukan bahwa siauw-ongya mereka lagi menentikan di
gedung dan imam serta bocah itu diundang ke sana.
Ong Cie It mengangguk. "Totiang, kau tunggu sebentar," berkata Kwee Ceng, yang terus lari masuk pula ke
dalam hotel, ke dalam kamar di mana ada bingkisan kue dan buah dari Wanyen Kang.
Ia pilih empat rupa kue, ia bungkus itu dengan sapu tangan, sesudah masuki itu
ke dalam sakunya, ia lari pula ke luar, untuk bersama si imam pergi mengikuti
keempat pengiring itu pergi ke onghu, gedungnya Wanyen Kang.
Tiba di muka gedung, atau lebih tepat istana, Kwee Ceng paling dulu lihat dua
lembar bendera berkibar di tiang yang tinggi, di kiri dan di kanan pintu ada
nongkrong masing-masing seekor cio-say, atau singa batu, yang rimannya bengis.
Undakan tangga dari batu putih semua, batu mana dipasang terus sampai di thia
depan. Di pintu besar ada dituliskan tiga huruf besar air emas, bunyinya: "Chao
Wang Hu" atau istana pangeran Chao Wang.
Kwee Ceng tahu, Chao Wang itu adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim.
Maka itu tanpa merasa, hatinya tercekat.
"Mungkinkah si pangeran muda itu adalah putranya Wanyen Lieh?" ia kata di dalam
hatinya. "Wanyen Lieh mengenali aku, kalau di sini aku bertemu dengannya, inilah
cade...." Selagi si bocah terbenam dalam keragu-raguan, lantas ia dengar ramainya suara
tetabuhan, yang rupanya diperdengarkan untuk menyambut ia dan Ong Cie It,
menyusul mana ia tampak si siauw-ongya keluar menyambut, pakaiannya jubah merah
dengan gioktay atau ikat pinggang kumala, sedang kepalanya ditutupi kopiah emas.
Melihat dandanan pangeran itu, Ong Cie It mengkerutkan keningnya. ia diam saja,
ia turut dipimpin ke dalam thia, dimana ia lantas dipersilakan duduk di kursi
atas. "Totiang bersama saudara Kwee sudi datang kemari, sungguh aku merasa sangat
beruntung!" berkata tuan rumah yang muda ini.
Ong Cie It tidak puas, bahkan ia mendongkol. Pangeran itu tidak berlutut
didepannya dan tidak juga memanggil susiok atau paman guru kepadanya.
"Sudah berapa lama kau ikuti gurumu belajar silat?" ia tanya.
"Mana boanpwe mengerti ilmu silat?" sahut Wanyen Kang sambil tertawa. "Aku ikuti
suhu buat dua tahun lamanya, selama itu aku main-main kucing kaki tiga hingga
aku membikinnya totiang dan saudara Kwee menertawai aku."
"Hm!" Ong Cie It kasih dengar suaranya. "Walaupun ilmu silat Coan Cin kauw tidak
tinggi tetapi ilmu itu bukannya ilmu kucing kaki tiga! Gurumu bakal tiba di
sini, kau tahu tidak?"
"Guruku ada di sini, apakah totiang ingin bertemu dengannya?" Wanyen Kang balas
menanya. Ong Cie It menjadi heran sekali. "Ada di mana ia sekarang?" ia tanya.
Wanyen Kang menepuk tangan dua kali. "Siapakan meja santapan!" ia memberi
perintah kepada pengiringnya.
Pengiring itu berlalu untuk menyampaikan titah lebih jauh.
Wanyen Kang sudah lantas ajak kedua tetamunya pergi ke hoa-thia, untuk mana
mereka melintasi sebuah lorong, mengitari lauwteng yang indah, hingga mereka
mesti jalan sekian lama. Selama itu, Kwee Ceng dapak menyaksikan keindahannya
istana, sampai ia merasakan matanya berkunang-kunang. Hatinya pun tidak tentram,
tidak tahu ia mesti bersikap bagaimana andaikata ia bertemu dengan Wanyen Lieh.
Setibanya di hoa-thia, di sana sudah menantikan enam-tujuh orang, yang tubuhnya
jangkung dan kate tidak rata, di antara siapa yang kepalanya benjut tiga, yaitu
Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dia itu mengawasi anak muda kita ini dengan sorot
mata bengis! Biar bagaimana, Kwee Ceng terkejut juga hingga ia pernahkan dirinya
dekat sekali dengan si imam.
Wanyen Kang bergirang ketika ia kata pada Ong Cie It. "Totiang, beberapa tuan
ini sudah lama mengagumi kau dan semuanya merasa sangat ingin bertemu denganmu!"
Ia lantas menunjuk Peng Lian Houw dan kata: "Inilah Pheng Cecu, kedua pihak
sudah saling mengenal."
Kedua orang itu saling memberi hormat.
"Dan ini adalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, locianpwe dari Tiang Pek San,"
Wanyen Kang memperkenalkan pula orang yang rambutnya putih tapi mukanya segar
sebagai muka seorang bocah.
Ong Cie It heran hingga ia berpikir: "Kenapa Siluman Tua ada disini juga?"
io Cu Ong sudah lantas memberi hormat dan berkata: "Di sini lohu dapat bertemu
sama Thie Kak Sian Ong Cinjin, maka tidaklah kecewa yang lohu sudah datang ke
Tionggoan ini." Dan lantas ia perkenalkan paderi di sampingnya, katanya: "Ini
adalah Leng Tie Siangjin, ahli Tay-ciu-in dari partai Bit Cong dari Tibet. Kami
berdua, satu dari timur utara, satu lagi dari barat selatan, dari empat ribu
lie, maka pertemuan ini benar-benar satu jodoh!"
Ong Cie It memberi hormat kepada paderi dari Tibet itu dengan menjura dan si
paderi membalasnya seraya menakopi kedua tangannya.
Justru itu seorang yang suaranya serak terdengar berkata nyaring: "Kiranya
Kanglam Cit Koay didukung dari belakang oleh Coan Cin Pay, maka juga mereka
menjadi begini malang melintang."
Ong Cie It awasi orang yang pentang bacot itu, kepala siapa lanang, tidak ada
selembar rambutnya, matanya merah, biji matanya menonjol keluar. Dengan melihat
roman orang saja, ia sudah lantas mengenalinya.
"Bukankah tuan adalah Kwie-bun Liong Ong See Locianpwee?" ia bertanya.
"Benar!" sahut orang itu, suaranya menandakan kemarahannya, "Kiranya kau masih
kenal aku!" Cie It heran, hingga kata dalam hati kecilnya: "Kita ada bagaikan air kali dan
air sungai yang tidak saling menerjang, kapan dan di dalam hal apa aku pernah
berbuat salah terhadapnya?" Ia menunjuki sikap sabar, ia kata: "Nama besar dari
See Locianpwee memang telah lama aku pangeni."
Orang she See ini tidak ambil mumat sikap orang yang halus itu, ia tengah
diliputi kemarahan besar. Memangnya dia bertabiat keras. Dia bernama Thong Thian
dan gelarannya, Kwie-bun Liong Ong ialah Raja Naga dari Pintu Iblis. Dia banyak
lebih lihay daripada Hauw Thong Hay, adik seperguruannya. Sebab tabiatnya itu,
di waktu mengajari silat, ia tetap berangasan dan galak. Inilah sebabnya kenapa
murid-muridnya tidak dapat wariskan tiga bagian saja dari sepuluh ilmu
kepandaiannya, tidak heran kalau Hong Ho Su Koay gagal mengepung Kwee Ceng.
Thong Thian gusar bukan main waktu ia dengar kekalahan empat muridnya itu, ia
hajar mereka, dia mendamprat habis-habisan. Sesudah itu ia kirim Hauw Thong Hay
untuk menuntu balas, supaya Kwee Ceng dibekuk. Celakanya Thong Hay telah kena
dipermainkan oleh Oey Yong, hingga adik seperguruan ini juga gagal. Karena ini,
tak terkira gusarnya Thong Thian, maka juga, sekalipun di depan orang banyak,
tak dapat ia mengatasi diri, tak peduli ia bahwa perbuatannya melanggar adat
sopan santun. Demikian ia ulur sebelah tangannya, akan jambak Kwee Ceng.
Bocah itu mundur, sedang Ong Cie It segera maju, untuk menghalang di depannya.
"Bagus! benar-benar kau melindungi binatang cilik ini!" ia berseru, tangannya
terus menyambar si imam. Melihat orang demikian galak, Ong Cie It tidak dapat mundur, maka ia pun angkat
tangannya, untuk menangkis.
Disaat kedua tangan hampir bentrok, dari samping mereka tiba-tiba muncul satu
orang, tangan kirinya menyambar lengan See Thong Thian, tangan kanannya
menyambar lengan Ong Cinjin, terus ia mengibas keluar, maka dengan berbareng,
dua orang itu dapat dipisahkan, diundurkan satu dari yang lain.
Dua-dua See Thong Thian dan Ong Cie It terperanjat. Mereka bukan sembarang


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang, maka mereka heran ada seorang yang dapat pisahkan mereka secara demikian
gampang. Tanpa merasa keduanya lantas mengawasi si pemisah itu, ialah seoarng
dengan jubah putih, sikapnya tenang sekali, umurnya ditaksir tigapuluh lima atau
tipuluh enam tahun, alisnya panjang hingga ujungnya mengenai rambut di
pelipisnya, romannya tampan, hingga ia mirip dengan satu sastrawan, siucay.
Dandanannya, seumumnya, seperti dandanan seorang bangsawan.
Segera juga Wanyen Kang menghampirkan, sembari tertawa ia berkata: "Tuan ini
adalah Auwyang Kongcu, sancu dari Pek To San dari pegunungan Kun Lun San di
Tibet. Dia belum pernah datang ke Tionggoan, maka itu ini adalah pertama kalinya
ia bertemu sama tuan-tuan!"
Bukan melainkan Ong Cie It dan Kwee Ceng yang belum pernah melihat sancu-
pemilik bukit - dari Pek To San itu, juga Nio Cu Ong dan Peng Lian Houw serta
lainnya hadiran di situ. Dan semua mereka kagum akan caranya sancu ini datang
menengah. Mereka belum pernah mendengar nama Pek To San - Bukit Unta Putih itu.
Auwyang Kongcu ini sudah lantas rankap kedua tangannya, terus ia berkata:
"Sebenarnya aku telah mesti siang-siang tiba di kota Yankhia ini, sayang di
tengah jalan aku mendapatkan satu urusan penting dan karenanya menjadi terlambat
beberapa hari. Untuk itu aku mohon tuan-tuan suka memaafkannya."
Kwee Ceng tidak kenal sancu ini, tetapi mendengar nama bukit Pek To San itu, ia
lantas ingat kepada si nonan-nona serba putih yang di tengah jalan sudah mencoba
merampas kudanya. Ia menjadi menduga-duga: "Mungkinkah enam guruku sudah
bertempur dengan dia ini?"
Ong Cie It pandai berpikir, ia tidak hunjuk kemurkaan. Ia mengerti, semua
hadirin di situ itu ada bangsa lihay, percuma kalau ia melayani mereka itu. Maka
ia lantas pandang tuan rumah.
"Mana gurumu?" ia tanya. "Kenapa tidak kau minta ia keluar?"
"Ya," sahut Wanyen Kang denagn sederhana. Lantas ia berpaling kepada
pengiringnya dan memrintah dengan singkat: "Undang suhu!"
Pengiring itu sudah lantas mengundurkan diri.
Cie It merasakan hatinya lega. Ia telah berpikir: "Dengan adanya Khu Suheng
disini, musuh boleh tambah lagi, masih dapat kami membela diri..."
Tidak lama lantas terdengar tindakan sepatu, lalu di depan pintu thia terlihat
seseorang bertubuh gemuk yang mengenakan seragam baju sulam, suatu tanda ia
adalah seorang opsir. Dia berjanggut lebat, usianya empat puluh lebih, romannya
sangat keren. "Suhu!" Wanyen Kang lantas memanggil. "Totiang ini hendak bertemu sama suhu,
malah ia sudah menanyakan beberapa kali..."
Melihat orang itu dan mendengar perkataan si pangeran, hatinya Ong Cie It
menjadi panas sekali. Ia telah berpikir: "Bocah binatang ini, kau permainkan
aku..!" Tapi ia mencoba untuk mengendalikan diri.
"Untuk urusan apakah kau hendak bertemu sama aku, imam?" si opsir menanya,
sikapnya jumawa. "Adalah sudah biasa bagi aku, aku paling tidak senang terhadap
segala paderi, imam atau paderi perempuan!"
Dengan paksakan diri, Ong Cinjin tertawa. "Tayjin hendak memohon derma," ia
berkata. "Ingin aku minta buat banyaknya seribu tail perak!"
Heran opsir itu atas permintaan derma tersebut. Ia bernama Thung Couw Tek,
kepala barisan pengiring dari Wanyen Lieh di masa Wanyen Kang masih muda sekali,
pernah ia ajarkan ilmu silat kepada pangeran itu, karenanya ia dipanggil guru.
Yang lain-lain pun turut memanggil guru padanya.
"Itulah selayaknya," berkata Wanyen Kang, yang mendahului gurunya itu. Ia lantas
kata pada pengiringnya: "Lekas kau siapkan uang itu, sebentar kau antarkan ke
hotelnya totiang." Thung Couw Tek celangap, ia mengawasi imam itu, dari kepala ke kaki, dari kaki
ke kepala. Tidak dapat ia menduga, imam ini orang macam apa.
"Tuan-tuan, silakan duduk!" Wanyen Kang mengundang. "Totiang baharu pertama ini
tiba disini, silakan duduk di kursi kepala."
Ong Cie It merendahkan diri tetapi ia didesak terus, akhirnya ia duduk juga di
kursi pertama itu. Setelah tiga edaran arak, ia berkata: "Sekarang ini telah
hadir banyak cianpwee kaum Rimba Persilatan, maka bolehlah kita bicara dari hal
keadilan. Tentang si orang she Bok yah dan anak itu, bagaimana urusannya itu
harus diatur?" Mendengar pertanyaan itu, semua mata diarahkan kepada Wanyen Kang.
Pangeran itu mengisikan sebuah cangkir, ia berbangkit untuk bawa itu kepada Ong
Cie It seraya terus berkata: "Silahkan totiang keringkan dahulu cawan ini.
Tentang itu, bagaimana juga hendak diaturnya, boanpwe selalu bersedia untuk
menuruti." Cie It heran hingga ia tercengang. ia tidak sangka pangeran ini dapat bersikap
demikian. Ia lantas hirup arak itu. Ia berkata kemudian: "Bagus! Sekarang baik
si orang she Bok itu diundang kemari, untuk kita membicarakan urusannya."
"Bagus begitu," menyahut Wanyen Kang. "Aku minta saudara Kwee saja yang pergi
mengundang tuan Bok itu."
Ong Cie It menagngguk dan Kwee Ceng segera berbangkit, untuk pergi ke hotel
dimana Bok Ek dan gadisnya menumpang. Tiba di sana, ia menjadi heran. Ayah dan
anak dara itu tidak ada di kamarnya, barang-barangnya pun telah dibawa pergi.
Ketika jongos ditanya, jawabannya adalah Bok Ek dan gadisnya itu ada yang undang
sudah pergi entah ke mana, uang sewa kamar pun sudah dibayar lunas.
Kwee Ceng heran. Ia tanya jongos, siapa itu yang mengundang. Jongos itu tidak
dapat memberikan keterangan. Maka terpaksa pemuda ini pulang ke onghu dengan
tangan hampa. Sambil tertawa, Wanyen Kang sambut tetamunya. "Banyak cape, tuan Kwee!" katanya.
"Mana tuan Bok itu?"
"Ia telah pergi, entah kemana," sahut Kwee Ceng, yang treus tuturkan
kepergiannya Bok Ek serta anaknya itu.
"Oh, aku menyesal..." berkata Wanyen Kang cepat. Terus ia menoleh pada
pengiringnya, untuk memerintah: "Kau lekas ajak orang pergi mencari tuan Bok dan
putrinya itu, dia mesti dapat diundang datang kemari!"
Pengiring itu menyahuti, terus ia undurkan diri.
Ong Cie It menjadi membungkam, tetapi ia bercuriga. Akhirnya, ia berkata: "Tidak
peduli orang bermain sandiwara apa, urusan toh akan ketahuan akhirnya!"
"Totiang benar," berkata Wanyen Kang sembari tertawa.
Sementara itu Thung Couw Tek heran dan mendongkol. Tidak karu-karuan cukongnya
kehilangan uang seribu tail perak. ia penasaran sekali, selagi si pangeran
berlaku manis, si imam bersikap seperti tidak tahu aturan. Akhirnya ia menegur:
"Eh, tosu, kau asal kuil mana" Kenapa kau datang kemari untuk main gila"!"
Ong Cie It tidak menyahuti, ia hanya balik bertanya: "Jenderal, kau ada asal
negara mana" Kau mengandal apa maka kau datang kemari dan menjadi pembesar
negeri?" Couw Tek gusar sekali. Bukankha ia orang Han yang bekerja pada bangsa Kim"
Kenapa ia mesti ditanya lagi kalau bukan orang hendak menghina padanya" Ia
justru paling tidak senang orang menyebut-nyebut kebangsaannya. Ia memang tidak
puas dengan kedudukannya. Ia anggap dirinya gagah, ia sudah bekerja mati-matian
untuk negara Kim, tetapi pemerintah Kim tidak pernah mengijinkan ia memimpin
pasukan tentara sendiri. Sudah duapuluh tahun ia bekerja, pangkatnya bukan kecil
tetapi ia tetap ditempatkan di onghu. Maka juga perkataannya Ong Cie It membikin
ia merasa tersinggung. Lantas ia lompat bangun, walaupun di depannya ada Nio Cu
Ong dan Auwyang Kongcu, ia ulur tangannya meninju mukanya Ong Cinjin!
Cie It tertawa. "Kau tidak hendak memberitahu pun tidak apa, ciangkun," ia
berkata, "Maka perlu apa kau bergusar dan menggunakan kekerasan?" Ia angkat
sumpitnya untuk menjempit kepalan orang.
Kepalan Couw Tek kena tertahan, tak dapat ia meneruskan meninju.
"Imam siluman, kau menggunai ilmumu!" ia membentak, kaget dan gusar menjadi
satu. Dia terus menarik pulang tangannya itu, tetapi dia tidak berhasil. Maka
mukanya menjadi merah, dia jengah sekali.
"Jangan gusar, ciangkun," berkata Nio Cu Ong, yang berada di sampingnya.
"Baiklah ciangkun duduk dan keringkan arakmu!" Ia ulur tangannya, akan tekan
pundak si jenderal. Thie Kak Sian Giok Yang Cu tahu, sumpitnya dapat mempengaruhi Couw Tek tetapi
tidak si orang she Nio ini, maka selagi orang menekan pundak si jenderal itu,
cepat luar biasa, ia melepaskan jepitannya, sumpitnya itu terus ia pakai
menyambar sepotong paha ayam, yang segera dibawa masuk ke dalam mulutnya orang
she Thung itu, untuk disuapi dengan paksa!
Couw Tel menjadi gelagapan, selagi mulutnya tersumpel, tubuhnya jatuh terduduk
di kursinya akibat tekanannya Nio Cu Ong. Ia malu bukan main, ia sangat
mendongkol, maka ketika ia berbangkit pula, terus ia lari ke dalam.
Menyaksikan kejadian itu, semua hadirin tertawa.
"Coan Cin Pay berpengaruh di Selatan dan Utara, sungguh namanya bukan kosong
belaka!" berkata See Thong Thian. "Aku hendak memohon sesuatu kepada totiang,
sudikah totiang meluluskannya?"
"Tidak berani aku menerima pujianmu, See Locianpwe," berkata Giok Yang Cu.
"Silakan locianpwe mengatakannya."
"Pihak kami tidak ada sangkutannya sama Coan Cin Pay," berkata Kwie-bun Liong
Ong, "Maka itu aku mohon keterangan, kenapa pihakmu berdiri sepenuhnya
dibelakang Kanglam Cit Koay dan dengan begitu menyusahkan pihakku" Walaupun Coan
Cin Pay banyak anggotanya dan sangat berpengaruh, aku yang bodoh tidak merasa
takut." "See Locianpwe, pada ini terang ada salah mengerti," berkata Giok Yang Cu.
"Pinto tahu tentang Kanglam Cit Koay, tetapi dengan mereka itu, tidak satu pun
yang pinto kenal, hanya salah satu suhengku ada punya sangkutan dengan mereka.
Maka itu sama sekali tidak ada soal pihakku membantu Kanglam Cit Koay menghadapi
Hong Ho Su Koay." "Bagus, kalau begitu!" berseru See Thong Thian. "Sekarang kau serahkan ini bocah
kepadaku!" ia lantas berbangkit, akan ulur sebelah tangannya, guna menjambak
batang lehernya Kwee Ceng.
Ong Cie It mengerti, bocah itu tidak bakal lolos dari jambakan itu, sedikitnya
ia tentu terluka enteng, maka itu, ia lekas berbangkit, untuk menghalang, lengan
kirinya berbareng dipakai membentur bocah itu, hingga tubuhnya Kwee Ceng
tertolak mental. Menyusul itu jambakannya si orang she See itu mengenai kursi
yang diduduki Kwee Ceng, hingga kursi itu tercengkeram rusak seraya menerbitkan
suara keras. Jambakan itu adalah jambakan dari Gwa-kang, ilmu Bahagian Luar, hebatnya tak
sama dengan Kiu-im Pek-ku Jiauw dari Hek Hong Siang Sat akan tetapi toh tidak
kalah. "Hau, kau lindungi bocah ini?" menegur Thong Thian karena kegagalannya itu.
"Sabar, locianpwe," berkata Cie It tenang. "Anak ini pinto yang bawa datang ke
istana ini, maka itu sudah selayaknya kalau nanti pinto membawanya keluar secara
baik-baik. Kalau benar saudara tidak sudi melepaskan padanya, tidak dapatkah kau
mencari ia dilain hari?"
Auwyang Kongcu lantas campur bicara. "Bagaimana caranya bocah ini mendapat salah
dari saudara See?" dia tanya. "Coba jelaskan duduknya hal, supaya kita dapat
menimbangnya." Sebelum menjawab, See Thong Thian telah berpikir: "Imam ini lihay tak ada di
bawahanku, kalau ia mengotot, bocah ini pasti tidak bisa dibiarkan tinggal tetap
di sini. Untuk melayani dia, aku mesti dapat satu pembantu yang lihay..." Maka
itu, ia lantas duduk pula, cawannya ia hirup kering. Kemudian ia berkata:
"Sebenarnya aku tidak bermusuh langsung dengan anak she Kwee ini. Aku ada punya
empat murid tolol, mereka turut Yang Mulia Chao Wang pergi ke Mongolia untuk
suatu urusan, selagi mereka berkerja dan nampaknya bakal berhasil, tiba-tiba
mereka diganggu oleh bocah ini. Yang Mulia Chao Wang menjadi sangat gusar
karenanya. Coba tuan-tuan pikir, kalau satu bocah begini tidak dapat dibereskan,
cara bagaimana kami bisa lakukan usaha yang besar?"
Kata-kata itu berpengaruh untuk para hadirin itu. Kecuali Cie It dan Kwee Ceng,
mereka dalah orang-orang undangan Wanyen Lieh, yang diundang dengan kehormatan
dan bingkisan berarti. Dengan lantas mereka itu memikir untuk menahan si bocah,
guna diserahkan pada Chao Wang.
Diam-diam Cie It bingung juga mendapatkan semua mata diarahkan kepada Kwee Ceng.
Ia lantas memikirkan daya untuk meloloskan diri bocah itu. Ia bingung sebab
musuh tangguh semuanya. Sejak turun gunung, ia pernah menghadapi pelbagai
pertempuran tetapi tidak seperti ini kali, bahkan ia berbareng mesti melindungi
satu bocah. Ia lihat, jalan yang terbuka ialah memperlambat tempo sambil mencoba
mencari tahu sikap sebenarnya dari para hadirin masing-masing.
"Nama besar dari tuan-tuan telah lama pinto buat pangenan," ia berkata, "Hari
ini pinto berjodoh bertemu sama tuan-tuan, itulah hal yang sangat menggembirakan
pinto. Tentang bocah ini," ia menambahkan, seraya menunjuk Kwee Ceng, "Ia muda
dan tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, ia mendapat salah dari Yang
Mulia Chao Wang, pinto tidak dapat bilang suatu apa. Tuan-tuan berniat menahan
dia, ini juga pinto tidak dapat menentangi. Cuma lebih dulu daripada itu, dengan
membesarkan nyali, pinto minta tuan-tuan mempertunjuki dulu ilmu kepandaian
kamu, supaya bocah ini dapat melihatnya, supaya nanti ia jangan mengatakan pinto
todak sudi melindungi padanya, sedang sebenarnya pinto tidak sanggup berbuat
demikian...." Hauw Thong Hay sudah menahan sabar sekian lama, mendengar perkatannya Giok Yang
Cu, ia mendahului berbangkit, untuk singsatkan bajunya.
"Biarlah aku yang belajar kenal lebih dulu denganmu," ia berkata, menentang si
imam. "Kebiasaanku tidak berarti, mana berani pinto mengadu kepandaian dengan tuan-
tuan," Ong Cie It berkata pula.
"Maka itu saudara Hauw, aku minta sukalah kau mempertunjuki sesuatu agar pinto
dapat pentang mataku, sekalian untuk memberi pengajaran kepada bocah ini, supaya
ia insyaf bahwa di luar langit ada langit lainnya, di atas orang pandai ada pula
yang terlebih pandai lagi, supaya selanjutnya dibelakang hari, dia jangan berani
pula banyak tingkah!"
Hauw Thong Hay mendongkol sekali. Ia tahu orang mengejek padanya tetapi tidak
tahu ia bagaimana harus memberikan jawaban. Perkataan orang diatur dengan halus.
See Thong Thian juga berpikir: "Imam-imam dari Coan Cin Pay tidak dapat dibuat
permainan, memang lebih baik tidak usah bertempur dengannya." Maka ia lantas
awasi Thong Hay dan berkata kepadanya: "Sutee, coba kau perlihatkan Soat-lie May
Jin, untuk minta Ong Cinjin memberi pengajaran padamu!"
"Itulah aku tidak berani," Cie It membilang keras.
Ketika itu hujan salju masih belum berhenti, Hauw Thong Hay sudah lantas pergi
ke lataran dimana dengan kedua tangannya ia menumpuk salju sampai tingginya tiga
kaki, untuk membikin padat, ia menginjak-injak, habis itu, ia mundur tiga
tindak, lalu mendadak ia lompat maju, kepala di bawah kaki di atas, kepala itu
nuncap melesak ke dalam tumpukan salju itu, sampai sebatas dada.
Kwee Ceng heran. ia tidak tahu ilmu silat apa itu, meski ia tahu namanya seperti
telah disebutkan See Thong Thian, yaitu "Soat-lie May Jin" atau "Mengubur orang
di dalam salju" See Thong Thian lantas berkata pada pengiring-pengiringnya Wanyen Kang: "Tolong
tuan-tuan membikin padat dan keras salju disekitarnya Tuan Huaw!"
Kawanan pengiring itu girang sekali, dengan bergembira mereka luluskan
permintaan itu. Sebenarnya See Thong Thian bersama-sama Hauw Thong Hay telah menjagoi di sungai
Hong Ho, mereka pandai berenang dan tahan selulup lama, karena ini Thong Hay
dapat nyelusup ke dalam salju, untuk mana ia mesti menahan napas.
Orang semua heran dan akgum, tetapi mereka terus minum arak mereka.
Selang sekian lama. barulah dua tangan Thong Hay bergerak, tubuhnya ikut, lalu
sejenak saja, ia sudah keluar dari salju dan berdiri tegak.
Saking kagum, Kwee Ceng yang polos memuji sambil bertepuk tangan.
Thong Hay melirik pada bocah itu, lalu ia kembali ke kursinya.
"Kasar kepandaiannya suteeku ini, ia hanya mendatangkan tertawaan..." berkata See
Thong Thian, yang sembari bicara mengulurkan tangannya ke piring kwaci, untuk
menjumput, setelah mana jari tangannya yang tengah disentilkan tak hentinya,
maka biji kwaci itu meluncur ke tembok putih di hoa-thia itu, nancap di tembok
merupakan satu huruf "Yauw". Jarak ke tembok ada kira-kira tiga tembok, biji
kwaci enteng, tetapi biji kwaci itu dapat disentilkan demikian rupa, itulah
bukti dari tenaga dalam yang terlatih sempurna.
Kata Ong Cie It dalam hatinya: "Tidak heran Kwie-bun Liong Ong menjagoi sungai
Hong Ho, dia memang lihya sekali."
Di tembok sekarang terlihat lagi dua huruf, "Bu" dan "Yang", maka itu dapat
diduga See Thong Thian hendak menuliskan empat huruf "yauw bu yang wie" yang
artinya menentang pengaruh atau menjagoi.
Menyaksikan itu Peng Lian Houw manjadi bertangan gatal. Ia berkata, "See toako,
kepandaianmu ini membuatnya aku takluk sekali! Kita biasa berkerjasama, maka
setelah totiang ini hendak menguji kepandaian kita, aku pun dengan meminjam
pengaruhmu, ingin mempertunjuki sesuatu..." Ia lantas saja lompat ke tengah
ruangan itu. Ketika itu See Thong Thian benar-benar telah membuat huruf "Wie" yang terakhir,
akan tetapi baru huruf selesai separuhnya, Peng Lian Houw sudah memegat
meluncurnya biji-biji kwaci itu, mulanya ia merintangi , lalu semua biji
beruntun dikasih masuk ke dalam mulutnya, atas mana, mulutnya itu sudah lantas
kermak-kermik, seperti burung menyisit, kwaci itu ia makan isinya dan kulitnya


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilepehkan! "Bagus!" orang banyak berseru memuji.
"Ah, aku tidak sanggup memakan lebih jauh!" berseru Peng Lian Houw, yang terus
aja lompat balik ke kursinya.
Setelah itu barulah See Thong Thian rampungkan huruf "Wie" itu.
Gangguannya Peng Lian Houw itu tidak membuat Thong Thian kecil hati, dia malah
tersenyum. Persahabatan mereka adalah dari persahabatan dua tigapuluh tahun,
mereka telah mengenal baik satu dengan lain. kemudian Thong Thian menoleh kepada
Auwyang Kongcu, untuk mengatakan: "Auwyang Kongcu hendak mempertunjukan apa
untuk kami dapat membuka mata kami?"
Kongcu itu dengar suara orang ada mengandung nada menyindir, dia berdiam saja.
Ia tunggu sampai pelayan membawa datang tambahan barang makanan dan semua sumpit
bekas ditukar dengan yang baru, sumpit bekas itu ia ambil dari tangannya si
pelayan. Segera setalah memegang, ia ayun tangannya, lantas semua sumpit - dua
puluh pasang - terlempar ke salju dan nancap. Apa yang luar biasa, semua sumpit
nancap rapi merupakan empat tangkai bunga bwee!
Kwee ceng dan Wanyen Kang kurang mengerti ilmu kepandaian itu, tidak demikian
dengan Ong Cie It, See Thong Thian dan lainnya yang lihay, maka mereka ini diam-
diam terkejut sendirinya. Malah Ong Cie It segera berpikir: "Kenapa orang-orang
lihay ini dapat berkumpul di sini" Biasanya, untuk menemui satu saja sudah
sukar! Apakah tak boleh jadi bahwa mereka ada mengandung sesuatu maksud?"
Selagi si imam berpikir, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong berbangkit sambil tertawa,
haha-hihi, ia pergi ke samping tambur batu di depan hoa-thia itu, untuk ulur
tangannya yang kanan ke pinggangnya batu, begitu ia kerahkan tenaganya, batu itu
kena terangkat, sedang beratnya batu ada tujuh atau delapan puluh kati. Batu itu
segera diapungkan, terlepas dari tangan dan mencelat naik dua tombak tingginya.
Sebelum batu itu turun, lagi dua batu diangkat dan diapungi seperti yang pertama
itu. Dan ketika batu yang pertama turun, ia tanggapi dengan dahi, maka batu itu
lantas diam di dahinya itu. Lalu menyusul batu yang kedua dan yang ketiga,
ketiganya menjadi saling susul. Dengan rangkapi kedua tangannya, memberi hormat
kepada orang banyak, Cu Ong jalan perlahan-lahan ke tengah latar. Dengan satu
lompatan, ia tiba diatasnya pelatok-pelatok sumpit Auwyang Kongcu tadi, berdiri
di atas itu ia lantas bersilat, memainkan ilmu silat "Yan Ceng Kun." Ia
menjunjung tiga buah batu yang beratnya rua ratus kati lebih, tapi barang berat
itu tidak mengurangi kegesitannya, dan setiap tindakan kakinya tidak pernah
meleset dari ujung sumpit. Baru setelah habis semua jurus itu, ia lompat turun
dari pelatok sumpit, dan setelah turunkan ketiga batu itu, ia kembali ke
kursinya. Ia mengasih lihat senyuman, tidak ada tanda bahwa ia merasa letih.
Adalah biasa untuk tukang-tukang dangsu mempertunjukan permainan batu seperti
Nio Cu Ong ini, hanya yang istimewa, ini dimainkan di atas pelatok sumpit dan
sumpitnya tidak ada yang patah atau miring karena ketindihan tubuh dan batu yang
berat itu. Kwee Ceng kagum bukan main, ia memuji tak henti-hentinya. Kelihatannya pesta
bakal ditutup sampai disitu. Pelayan-pelayan telah datang dengan baskom yang
terisi air hangat, untuk semua tetamu membersihkan tangan mereka.
"Cuma Leng Siangjin yang belum mengasih lihat kepandaiannya," Cie It berpikir.
"Mungkin sehabis dia, mereka ini bakal turun tangan..."
Maka itu si imam segera melirik paderi dari Tibetb itu.
Leng Tie Siangjin mencuci tangan seperti yang lain-lain, sikapnya wajar saja,
hanya selagi yang lain-lain sudah selesai, ia masih merendam kedua tangannya di
dalam baskom. Hal ini dapat dilihat semua orang, mereka menjadi heran. Mereka
justru menantikan tanda dari paderi itu untuk bergerak.
Selang lagi sesaat, Ong Cie It dan Auwyang Kongcu adalah yang paling dulu
menampak perubahan. Baskomnya si paderi lantas saja menghembuskan hawa napas
sebagai uap. Yang lain-lain baru dapat melihat setelah uap itu nampak semakin
nyata, mirip asap, akan kemudian terdengar suara perlahan dari air bergolak.
Selagi semua orang heran dan kagum, Ong Cie It terperanjat. "Hebat tenaga
dalamnya paderi ini," katanya dalam hati. "Aku tidak boleh berlambat lagi, aku
mesti mendahului turun tangan terhadap dia..."
Tengah semua mata diarahkan kepada Leng Tie Siangjin, Ong Cie It cenderungkan
tubuhnya, melewati dua orang, tangannya menyambar kepada Wanyen Kang, yang duduk
berselang daripadanya, ia menangkap nadinya siauw-ongya itu, tubuh siapa ia
terus angkat, untuk digeser ke depannya.
Orang lantas melihat kejadian ini, mereka heran. Kemudian, untuk kagetnya
mereka, mereka lihat pangeran itu ditotok hingga ia menjadi tak berdaya lagi.
Kemudian lagi si imam taruh tangan kirinya di punggung pangeran itu.
See Thong Thian semua kaget berbareng gusar tetapi mereka tak segera dapat
berdaya. Dengan tangan kanannya, Ong Cinjin angkat poci arak, terus ia berkata: "Barusan
aku saksikan kepandaian mengagumkan dari tuan-tuan, maka dengan ini aku hendak
menghormati kamu dengan secawan arak." Ia tidak berbangkit tapi ia dapat
menuangi arak ke dalam cawannya semua orang. Asal tangannya digeraki, arak
meluncur keluar dari mulut poci, turun ke dalam cawan, mengisi hingga penuh,
tidak ada arak yang berceceran.
Leng Tie Siangjin beramai menginsyafi tenaga dalam yang terlatih baik dari imam
ini, maka itu, asal tangan kirinya digeraki, celakalah Wanyen Kang. Mereka
insyaf juga, Ong Cinjin berbuat begini tentulah disebabkan dia bersendirian
saja. Paling akhir Ong Cie It isikan cawannya Kwee Ceng serta cawannya sendiri,
kemudian ia letaki poci arak, untuk angkat cawannya yang ia hirup kering. Habis
itu ia berbicara, "Pinto tidak berselisih, tidak bermusuhan dengan tuan-tuan," katanya, "Pinto
juga tidak bersanak tidak bersahabat dengan anak ini, cuma pinto merasa suka
kepadanya karena dia berhati polos dan pemurah, ia bersemangat. Maka itu denagn
memandang kepada mukaku, pinto minta sukalah tuan-tuan melepaskan dia hari ini."
Semua orang berdiam. Mereka berdiam sejak Wanyen Kang dicekuk.
"Jikalau tuan-tuan memberi ampun kepada anak ini," berkata pula Ong Cie It, yang
menanti jawaban, "Maka pinto juga akan bebaskan ini siauw-ongya. Siauw-ongya
adalah seumpama cabang emas daun kumala, ini anak sebaliknya adalah satu anak
rakyat jelata, dari itu jikalau mereka ditukar guling, tidakkah siauw-ongya
rugi" Bagaimana?"
"Ong Totiang, kau baik sekali!" berkata Nio Cu Ong tertawa. "Baiklah, beginilah
kita mengambil keputusan."
Tanpa bersangsi sedikit juga, dengan sikutnya Ong Cie It bentur pinggangnya
Wanyen Kang, maka pangeran itu bebas dari totokan, terus ia dikembalikan ke
kursinya. Ia percaya semua jago itu, tidak peduli mereka licin atau licik. Habis
itu ia mengangguk kepada semua orang, lalu ia tarik tangannya Kwee Ceng untuk
diajak pergi. Masih ia mengucapkannya: "Ijinkanlah kami mengundurkan diri.
Sampai bertemu pula!"
Semua orang mengawasi denagn air muka guram. Bukankah ikan telah masuk ke dalam
jala tetapi dapat lolos pula" Tidakkah itu sayang"
Wanyen Kang telah lantas dapat menenangkan hatinya. Sambil tersenyum, ia kata
kepada Ong Cinjin: "Totiang, apabila ada tempo yang luang, silakan sembarang
waktu datang untuk pasang omong di sini, supaya aku yang lebih muda dapat banyak
pengajaran." Ia lantas berbangkit, dengan sikapnya yang menghormat, ia
mengantarkan keluar. "Hm!" bersuara si imam, yang terus bilang: "Urusan kita telah selesai, maka itu
mesti ada harinya yang kita nanti bertemu pula!"
Setibanya mereka di pintu hoa-thia, tiba-tiba Leng Tie Siangjin berbicara.
"Totiang sangat lihay, yang kau membuatnya orang sangat kagum!" demikian
katanya. Ia merangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat, akan tetapi
ketika ia buka kedua tangannya itu, siuran angin hebat menyambar ke arah si
imam! "Celaka!" Ong Cie It berseru di dalam hatinya dengan ia lekas-lekas angkat kedua
tangannya untuk membalas hormat. Ia kerahkan tenaga latihannya dari beberapa
puluh tahun untuk memcahkan serangan hebat itu.
Sebat luar biasa, Leng Tie Siangjin mengubah tenaga dalamnya menjadi tenaga
luar, tangan kanannya diulur, untuk menyambar lengannya Ong Cie It. tetapi si
imam pun tidak diam saja, ia menyambuti dengan sama kerasnya, karena ia telah
lantas dapat melihat sambaran itu, ia pun berbalik menyambar lengan lawan.
Cuma hanya sekali bentrok, kedua tangan sama-sama ditarik pulang.
"Sungguh aku takluk, aku takluk!" berkata Leng Tie Siangjin yang air mukanya
berubah, seraya melompat mundur.
Ong Cie It tersenyum, ia bertanya: "Nama Taysu bersemarak dalam dunia kangouw,
mengapa kata-katanya tidak masuk hitungan?"
Leng Tie menjadi gusar. "Aku bukan hendak menahan ini bocah she Kwee, aku hanya
hendak menahan kau..." katanya, tapi belum dapat ia meneruskan, lantas saja ia
muntah darah. Sebab bentrokan itu membuat ia terluka. Coba ia berlaku tenang dan
mainkan napasnya, darahnya itu tidak nanti menyemprot keluar, tetapi ia diejek
si imam, ia tidak dapat mengendalikan diri.
Ong Cie It segera tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak berlalu dengan cepat-cepat
dari istana itu. See Thong Thian beramai tidak berani mencegah, bukan saja memang mereka seudah
berjanji, contoh dalam dirinya Leng Tie Siangjin juga membikin hati mereka
gentar. Imam ini benar-benar tidak dapat dibuat permainan, tidak berani mereka
merintangi. Sesudah belasan tombak keluar dari pintu istana, setelah melintasi sebuah
tikungan dan melihat di belakangnya tidak ada orang yang menyusul mereka, dengan
perlahan Giok Yang Cu berkata kepada bocah yang ia tuntun itu: "Kau gendong aku
sampai di rumah penginapan..."
Kwee Ceng kaget sekali. Ia dengar suara orang sangat lemah, seperti ynag
kehabisan napas. Ia juga lantas dapat melihat roman pucat dari si imam.
"Adakah totiang terluka?" ia tanya heran.
Ong Cie It mengangguk, lalu tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung.
Kwee Ceng mengerti, maka lantas saja ia membungkuk di depan si imam itu, untuk
menggendong dia, untuk dibawa pergi denagn cepat. Ia mau mampir di sebuah hotel
yang pertama diketemukan, tetapi Cie It bilang dengan perlahan: "Cari...cari
tempat yang sepi dan hotel kecil..."
Kwee Ceng menurut, ia maju terus, sambil berlari-lari. Ia tahu imam ini khawatir
nanti disusul musuh, yang ia terluka dan ia sendiri tidak punya guna, mereka
bisa terancam bahaya. Ia tidak tahu jalanan, ia pilih yang sepi saja. Sementara
itu ia merasai napasnya si imam semakin mendesak. Syukur ia lantas dapat cari
sebuah hotel yang kecil dan jorok, tetapi tanpa pedulikan itu, ia memasukinya.
Setibanya di dalam, ia segera turunkan imam itu di atas pembaringan.
"Lekas...lekas cari sebuah jambangan besar..." berkata Ong Cie It. "Kau isikan penuh
air bersih..." "Untuk apakah itu, totiang?" Kwee Ceng tanya.
Cie It tidak menyahuti, ia hanya memberi tanda dengan tangannya, supaya bocah
itu lekas pergi. Kwee Ceng menurut. Ia cari orang hotel, ia letaki sepotong perak di atas meja
seraya minta lekas disediakan jambangan. Ia juga memberi persen kepada si
jongos. Maka itu jongos kegirangan, cepat-cepat ia sediakan barang yang diminta
itu, yang diletaki di cimche, terus diisikan air dingin.
Kwee Ceng lari ke dalam kamar untuk memberi kabar.
"Bagus, anak yang baik!" berkata Ong Cie It. "Sekarang pondong aku, kau letaki
aku di dalam jambangan itu. Kau larang orang lain datang dekat padaku..."
Kwee Ceng tidak mengerti tetapi ia pondong si imam itu, ia masuki tubuh orang ke
dalam jambangan hingga sebatas leher, sedang jongos ia pesan untuk melarang
siapa saja masuk ke cimche itu.
Ong Cie It merendam di dalam jambangan seraya memeramkan kedua matanya, dengan
tenang ia mainkan napasnya.
Kira semakanan nasi lamanya, air jambangan yang bersih bening itu berubah
menjadi hitam. Di pihak lain, kulit muka si imam dari pucat pasi berubah menjadi
bersemu dadu. "Coba bantui aku bangun, air ini tukar dengan yang bersih," ia minta kepada Kwee
Ceng. Permintaan itu diturut, maka sebentar kemudian, Cie It sudah berendam pula di
dalam air yang baru. Sekarang barulah Kwee Ceng ketahui orang tengah mengerahkan tenaga dalamnya,
untuk menyembuhkan diri dari luka di dalam akibat pertempuran dahsyat dengan
Leng Tie Siangjin. Imam ini umpama kata cuma menang seurat.
Kwee Ceng melayani terus sampai ia tukar air tujuh kali, baru air itu tak lagi
berubah hitam, atas mana Giok Yang Cu lantas saja tertawa dan berkata: "Sudah
tidak ada bahaya lagi!"
Dengan pegangi pinggiran jambangan, ia dapat merayap keluar. Tapi ia menghela
napas ketika ia berkata pula: "Paderi dari Tibet itu sangat berbahaya!"
Kwee Ceng berlega hati, ia girang sekali. "Apakah tangannya paderi Tibet itu ada
racunnya?" ia tanya.
"Benar," sahut Cie It. "Itulah racun dari Cu-see-ciang. Ilmu semacam itu, Tangn
Pasir Merah sering aku menemukan tetapi tidak ada yang lihay seperti ini. Hari
ini hampir aku kehilangan jiwa..."
"Totiang ingin dahar apa" Nanti aku pergi belikan," Kwee Ceng tanya kemudian.
Cie It pinjam perabot tulis pada tuan rumah, ia menulis sehelai surat obat. "Aku
telah bebas dari bahaya jiwa," berkata si imam itu. "Tetapi hawa racun di dalam
tubuh belum bersih betul, jikalau dalam duabelas jam itu tak disingkirkan,
akibatnya akan menyebabkan cacad seumur hidup. Sekarang kau tolongi aku lekas
membeli obat." Kwee Ceng mengerti, ia pergi sambil terus berlari. Di jalan perapatan ia lihat
rumah obat yang pertama, ia segera mampir dan serahkan resepnya itu.
"Sayang tuan," kata pelayan setelah ia membaca surat obat itu, "Kebetulan saja
obat hiat-kat, gu-cit, bek-yo dan hitam baru habis."
Tanpa minta penjelasan, Kwee Ceng samber resepnya, untuk lari ke rumah obat yang
lain. Di sini ia diberi tahu, empat rupa obat itu tidak ada. Makanya ia mesti
pergi ke lain toko obat lagi. Untuk herannya, tujuh atau delapan rumah obat
semua kehabisan empat rupa bahan obat itu. Ia menjadi bingung dan mendongkol.
Malah didua tiga rumah obat yang terbesar, obat-obatan itu masih tidak
kedapatan, katanya baru saja ada orang yang borong.
"Akun mengerti sekarang," kata bocah ini kemudian. "Tentulah orang dari istana
Chao Wang yang memborong semua obat itu, sebab mereka ketahui Ong Cinjin pasti
membutuhkannya. Sungguh jahat!"
Dengan masgul, bocah ini lari pulang ke hotel, kepada Ong Cie It ia tuturkan
kegagalannya. Imam itu menghela napas, wajahnya menjadi guram.
Kwee Ceng sangat jujur dan hatinya lemah, ia lantas taruh kepalanya di atas meja
dan menangis megerung-gerung. Ia putus asa.
Ong Cie It tertawa. "Jiwa manusia sudah ditakdirkan," ia berkata, "Kematian pun
tidak harus disayangkan. Laginya belum tentu aku bakal mati, maka itu kenapa kau
menangis?" Lalu dengan suara halus ia bernyanyi.
Kwee Ceng heran, ia mengawasi.
Cit It tertawa pula, terus ia duduk bersemadhi di atas pembaringan.
Bocah ini tidak berani mengganggu, diam-diam ia keluar dari kamar. "Kenapa aku
tidak mau pergi ke tempat yang berdekatan," pikirnya kemudian. "Di sana belum
tentu obat itu telah orang beli juga..."
Ingat begini, hatinya lega. Maka ia mau tanya jongos, di dekat-dekat dimana ada
toko obat. Justru ia mau cari jongos, jongos datang dengan cepat, menyerahkan
sepucuk surat kepadanya. Surat itu dialamatkan kepadanya.
Surat itu bagus tulisannya dan kertanya berbau harum. Ia heran. "Siapa yang
mengirim surat ini?" ia menanya dalam hatinya. Ia terus robek sambpul surat,
untuk dibaca isinya. Surat itu berbunyi singkat saja:
"Aku menunggu kau di telaga di luar kota barat, jauhnya kira-kira sepuluh lie.
Ada urusan penting yang hendak aku damaikan. Lekas datang!"
Surat itu tidak memakai tanda-tanda hanya lukisan gambar dari satu pengemis
bocah. Untuk kegirangannya Kwee Ceng kenali romannya Oey Yong, yang tersenyum
berseri-seri. "Siapa bawa surat ini?" ia tanya jongos. Ia girang berbareng heran.
"Seorang gelandangan di jalan besar," sahut jongos itu.
Kwee Ceng masuk ke dalam kamar Cie It, ia lihat imam itu lagi melatih kaki dan
tangannya. Ia lantas kasih tahu bahwa ia mau pergi beli obat ditempat lain.
"Kita dapat pikir ini, kenapa mereka tidak?" berkata si imam. "Tidak usahlah kau
pergi." Kwee Ceng tidak menjadi putus asa, ia ingin mencoba. Ia ingat Oey Yong cerdik
sekali, mungkin ia dapat berunding dengan temannya itu. Maka itu ia beritahu
bahwa ia ingin menemui sahabatnya itu. Ia pun beri lihat suratnya Oey Yong itu.
Ong Cie It berpikir. "Cara bagaimana kau kenal anak itu?" ia tanya.
Kwee ceng tuturkan pertemuannya sama Oey Yong, hingga mereka menjadi sahabat.
"Aku telah saksikan caranya ia mempermainkan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay,"
berkata Ong Cinjin. "Dia luar biasa gerak tubuhnya. Kau harus berhati-hati," ia
pesan. "Di dalam ilmu kepandaian, dia jauh terlebih lihay daripada kau. Aku
lihat padanya seperti ada terselip sifat-sifat kesesatan, hanya aku tidak tahu
pasti apa itu..."

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita bersahabat sangat erat, sehidup semati, tidak nanti ia celakai kau,"
menyatakan Kwee Ceng, yang percaya betul sahabatnya itu.
Ong Cinjin menghela napas. "Baru berapa lama kamu bersahabat?" katanya. "Mana
itu dapat disebut persahataban sehidup semati" Jangan kau pandang enteng dia
sebagai bocah! Kau tahu, jikalau ia hendak mencelakai padamu, kau tentu tidak
dapat layani dia...."
Di dalam hatinya, Kwee Ceng berpikir: "Totiang membeilang begini sebab ia belum
tahu sifatnya Oey Hiantee..." Ia menyebutnya "Oey Hiantee" = "adik she Oey", tanda
ia sangat percaya pada Oey Yong. Lantas ia tuturkan perihal kebaikannya
sahabatnya itu. Ong Cinjin tertawa. "Baik, kau pergilah lekas!" katanya. "Semua anak muda
berkelakuan seperti kamu. Tanpa mengalami sesuatu, tidak tambah kecerdikan
kamu..." Imam ini tetap percaya Oey Yong bukan orang dari golongan yang sadar.
Bab 19. Ada Kuping Di Balik Tembok
Kwee Ceng tiada bilang apa-apa lagi, ia masuki resep ke dalam sakunya, lanats ia
berlalu dari hotel. Ia lari keluar kota barat tanpa menghiraukan salju
berterbangan menyampok mukanya. Disekitarnya yang luas, ia tampak segala apa
putih meletak, disana tidak ada tapak-tapak manusia. Sesudah hampir sepuluh lie,
ia lihat sinar terang dari air telaga. Karena hawa udara tidak sangat dingin,
telaga itu tidak membeku, salju jatuh ke air, lantas lumer. Adalah di tepian, di
pepohonan, salju melulu yang tampak.
Memandang ke sekitarnya, bocah ini menjadi heran. Tidak ada bayangan orang
sekalipun. "Apa mungkin dia sia-sia menanti aku dan dia lantas pergi duluan?" ia berpikir.
Tapi ia buka mulutnya, akan perdengarkan suara nyaring: "Oey Hiantee! Oey
Hiantee!" Tidak ada jawaban, cuma dua ekor burung air yang terbang gelapakan di telaga.
"Oey Hiantee! Oey Hiantee!" ia memanggil pula, dengan hatinya masgul. Tapi ia
masih dapat berpikir; "Mungkin ia belum datang, maka baiklah aku menunggu ia
disini..." Maka ia lantas menantikan sambil ia pandangi keindahan telaga di musim salju
itu. Belum terlalu lama atau dari tengah telaga terdengar suara tertawa halus, kapan
Kwee Ceng menoleh, ia lihat sebuah perahu muncul dari bagian telaga yang lebat
dengan pepohonan. Itulah sebuah perahu kecil dengan penumpangnya, yang duduk di
belakang perahu, ada satu nona, yang rambutnya panjang meroyot melewati pundak,
bajunya putih mulus, rambutnya di bagian atas ada pitanya dari emas, hingga emas
itu bercahaya di antara sinar putih dari salju.
Kwee Ceng mengawasi dengan menjublak. Ia dapatkan si nona bagaikan bidadari.
Orang berumur belum lima atau enambelas tahun, kulitnya putih halus, romannya
cantik sekali dan manis, mukanya dadu segar. Ia lantas berpaling ke lain
jurusan, tidak berani ia mengawasi terus-terusan. Ia pun bertindak dari tepian.
Si nona mengayuh perahunya sampai ke pinggir telaga. "Kwee Koko, mari naik ke
perahu!" tiba-tiba dia memanggil. Dia menyebutnya "Kwee Koko" = "Engko Kwee".
Kwee Ceng terkejut. Ia dipanggil selagi ia menoleh ke lain jurusan. Begitu ia
menoleh, begitu ia tampak satu wajah yang manis sekali, sedang tangan baju orang
memain di antara sampokan angin. Ia berdiri menjublak bagaikan orang yang tengah
bermimpi, kemudian ia kucak-kucak matanya dengan kedua tangannya.
"Bagaimana, eh, engko Kwee," berkata pula si nona. "Apakah kau tidak kenal aku?"
Kwee Ceng perhatikan suara orang. Itulah suaranya Oey Yong, sahabat eratnya,
sahabat sehidup semiati........ !
Tapi sahabatnya itu adalah satu pemuda dengan muka kotor dan pakaian compang-
camping.... Kenapa sekarang tercipta menjadi satu bidadari"
Dalam kesangsiannya, bocah ini mengawasi dengan mendelong.
Nona itu tertawa. "Aku adalah Oey Hianteemu!" ia berkata. "Benarkah kau telah
tidak kenali aku?" Oleh karena ia menatap, Kwee Ceng kenali roman mukanya Oey Yong yang alisnya
lentik dan mulutnya mungil, cuma dandannya lain. "Kau...kau...." katanya perlahan.
Oey Yong tertawa pula. "Sebenarnya aku adalah seorang wanita," ia berkata pula.
"Siapa suruh kau panggil aku Oey Hiantee dan Oey Hiantee tak sudahnya" Ayolah
lekas naik ke perahu ini!"
Kwee Ceng sadar, lalu ia enjoti tubuhnya, lompat ke perahu itu. "Oey Hiantee...!"
katanya. Oey Yong tidak menyahuti, ia hanya kayuh perahunya ke telaga. Ia lantas sajikan
bekalannya, barang makanan dan arak.
"Kita duduk disini, dahar dan minum arak sambil memandangi sang salju, bagus
bukan?" katanya merdu.
Kwee Ceng mencoba akan menenangi diri. "Ah...aku tolol sekali!" katanya kemudian.
"Sampai sebegitu jauh, aku sangka kau adalah seorang pria! Selanjutnya tidak
dapat aku panggil lagi kau Oey Hiantee...."
Oey Yong tertawa. "Kau juga jangan panggil aku Oey Hian-moay," ia berkata. "Aku
dipanggil Yong-jie. Ayahpun selalu memanggil aku begitu."
Dengan sendirinya nona ini tidak menghendaki di panggil "Oey Hian-moay" = "adik
Oey" dan menghendaki di sebut namanya saja. "Yong-jie" berarti "anak Yong".
Tiba-tiba Kwee Ceng ingat sesuatu. "Aku membekali kau tiamsim!" katanya seraya
terus kasih keluar tiamsim yang ia bawa dari istananya Wanyen Kang. Cuma
sekarang tiamsim itu sudah pusak-pesok tiada karuan.
Oey Yong mengawasi macamnya tiamsim yang tidak karuan itu, ia tertawa.
Merah mukanya Kwee Ceng, ia jengah. "Tiamsim ini tak dapat dimakan..." katanya. Ia
ambil itu, untuk dilemparkan ke air.
Oey Yong sambar tiamsim itu. "Aku bisa makan!" katanya. "Aku doyan!"
Selagi si bocah tercengang, Oey Yong sudah menggayem tiamsim itu.
Kwee Ceng mengawasi, sampai ia mendadak menjadi heran sekali. Oey Yong dahar
tiamsim itu, lantas perlahan-lahan matanya menjadi merah, lalu air matanya
perlahan-lahan mengalir turun...
"Begitu aku dilahirkan, aku sudah tidak punya ibu," berkata Oey Yong yang dapat
membade pikirannya sahabatnya. "Seumurku, belum pernah ada orang yang ingat aku
seperti kau ini..." Air matanya mengalir deras, ia keluarkan sapu tangannya ang putih bersih.
Kwee Ceng menyangka orang hendak menyusuti air matanya, tak tahunya dengan cara
hati-hati nona itu bungkus sisa tiamsim yang kemudian ia masuki ke dalam
sakunya. "Aku akan dahar ini perlahan-lahan..." katanya, dan kali ini ia tertawa.
Benar-benar aneh kelakuan bocah wanita ini, Kwee Ceng asing betul dengan tingkah
lakunya ini "Oey Hiantee".
"Bilangnya ada urusan penting yang kau hendak bicarakan dengan aku, urusan
apakah itu?" kemudian ia tanya. Ia sudah lantas ingat surat si nona dan untuk
apa ia datang ke telaga ini.
Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti: "Aku panggil kau datang kemari untuk
memberitahukan padamu bahwa aku bukannya Oey Hianteemu, hanya Yong-jie. Apa ini
bukannya urusan penting?"
Kwee Ceng tersenyum. Orang benar-benar jenaka. "Kau begitu manis untuk
dipandang, kenapa mulanya kau menyamar sebagai penemis?" ia tanya.
Oey Yong melengos ke samping. "Kau bilang aku manis dipandang?" ia tanya.
"Manis sekali!" sahut si anak muda. "Kau mirip dengan bidadari dari puncak
gunung salju!" Ia menghela napas.
Oey Yong tertawa pula. "Pernahkah kau melihat bidadari?" tanyanya.
"Aku belum pernah lihat. Kalau aku dapat menemui, mana aku masih hidup lagi...?"
Oey Yong heran. "Eh, kenapa begitu?" ia menegaskan.
"Sebab pernah aku dengar pembilangannya orang-orang tua, siapa dapat melihat
bidadari, dia tidak bakal kembali ke tanah datar, untuk selamanya ia akan duduk
bengong saja di gunung salju, lalu lewat beberapa hari, dia akan mati beku...."
Oey Yong tertawa pula. "Sekarang kau melihat aku, kau bakal bengong saja atau
tidak?" tanyanya kemudian.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. "Kita toh sahabat-sahabat kekal, kita lain..."
Oey Yong menganggguk. Lalu ia berkata dengan sungguh-sungguh: "Aku tahu kau baik
hati dengan sesungguhnya, terhadap aku, tidak peduli aku pria ataupun wanita,
biarpun aku bagus atau jelek." Ia berhenti sebentar. "Dengan dandananku ini,
kalau orang bersikap baik terhadap aku, apakah anehnya" Diwaktu aku menjadi
pengemis, kau baik sekali dengan aku, nah itu barulah sahabat sejati." Ia
rupanya sangat girang, semabri tertawa ia kata pula: "Aku ingin bernyanyi
untukmu, sukakah kau mendengarnya?"
"Apakah tidak boleh besok saja kau bernyanyi?" Kwee Ceng minta. "Sekarang ini
aku mesti pergi beli obat untuk Ong Totiang."
Kwee Ceng lantas tuturkan tentang adu kepandaian di istana Chao Wang, sampai Ong
Cie It, yang melindungi ia, mendapat luka parah, bahwa sia-sia belaka ia mencari
obat. Oey Yong mengawasi, ia tertawa. "Aku pun heran sekali menyaksikan kau lari
mondar-mandir di jalan besar dan memasuki rumah obat dari yang satu kepada yang
lain, entah kau bikin apa, tidak tahunya kau hendak membeli obat," katanya.
Kwee Ceng menduga, selagi ia lari mondar-mandir, Oey Yong tentu telah mengintai
padanya tetapi ia tidak tahu, kalau tidak, niscaya nona itu tidak ketahui ia
tinggal di hotel mana. "Oey Hiantee," katanya kemudian, "Apakah boleh pinjam kuda merahmu yang kecil
untuk aku pergi membeli obat?"
Oey Yong menatap. "Ketahuilah!" katanya. "Kesatu, aku bukannya si Oey Hiantee!
Kedua, kuda merah yang kecil itu adalah kepunyaanmu! Apakah kau sangka benar-
benar aku menghendaki kudamu itu" Aku melainkan lagi menguji hatimu. Ketiga, di
tempat sekitar ini, belum tentu kau dapat mencari obat itu...!"
Kwee Ceng berdiam, hatinya pepat. Ia bingung sekali. Dugaan si nona nyata cocok
betul dengan dugaannya Ong Cie It.
Oey Yong tertawa. "Sekarang aku nyanyai, kau dengari!" dia kata. Lalu kedua
bibirnya yang merah tergerak terbuka, segera lidahnya bergerak, memperdengarkan
nyanyiannya yang halus dan merdu.
Kwee Ceng mendengari dengan hati kesengsem walaupun tidak mengerti jelas artinya
nyanyian itu, hatinya menjadi goncang. Seumurnya belum pernah ia peroleh
pengalaman ini. "Inilah nyanyian Sui Ho Sian dari Sin Tayjin," kata Oey Yong perlahan habis ia
nyanyi. "Bagaimana kau bilang, bagus atau tidak?"
"Aku kurang mengerti tetapi didengarnya menarik hati," Kwee Ceng menjawab.
"Siapa itu Sin Tayjin?"
"Dialah Sin Kee Cie," sahut Oey Yong. "Menurut ayahku dialah satu pembesar
jempolan yang menyinta negara dan rakyat. Ketika dulu hari utara Tionggoan
terjatuh ke dalam tangan bangsa Kim dan Gak Bu Bok terbinasa di tangan dorna,
tinggal Sin Tayjin sendiri yang masih berdaya untuk merampas pulang daerah-
daerah yang terhilang itu."
Kwee Ceng tahu kekejaman bangsa Kim dari penuturan ibunya, karena ia hidup di
Mongolia, ia kurang tahu. Ia kata: "Belum pernah aku pergi ke Tionggoan, maka
hal ini baik nanti saja perlahan-lahan kau tuturkan padaku. Sekarang kita mesti
pikirkan daya menacri obat untuk Ong Totiang."
"Kau dengar aku," berakta Oey Yong. "Kita pesiar dulu disini, tak usah kau cemas
tidak karuan." "Ong Totiang bilang, kalau dalam tempo dua belas jam ia tidak dapat obat, ia
bisa celaka," Kwee Ceng jelaskan.
"Aku tanggung, kau akan dapatkan obat itu," si nona bilang.
Mendengar si nona bicara dengan sungguh-sungguh dan juga percaya orang memang
ada terlebih pandai dan cerdik daripadanya, Kwee Ceng dapat juga melegakan
hatinya. "Mungkin ia tidak akan membikin gagal," pikirnya. Maka ia lantas layani si
cantik itu minum arak dan dahar makanan sambil mereka pasang omong.
Dengan gembira, dan secara menarik hati, Oey Yong tuturkan bagaimana caranya ia
menggangtung Hong Ho Su Koay, bagaimana ia ganggu Hauw Thong Hay sampai si Ular
Naga Kepala Tiga itu mendongkol bukan main.
"Bagus!" seru Kwee Ceng saking gembira.
"Memang bagus!" kata si nona. Dan keduanya bertepuk tangan.
Tanpa merasa sang tempo telah berlalu, Oey Yong lihat bagaimana secara perlaha-
lahan sang mega atau kabut mulai menutupi air telaga yang putih. Dengan perlahan
sekali ia ulur tangannya, terus ia genggam tangannya si Kwee Ceng, sembari
berbuat begitu ia kata dengan perlahan: "Sekarang aku tidak takut apa juga...!"
"Kenapa?" menanya si anak muda dengan heran.
"Taruh kata ayah tidak menginginkan aku, kau tentunya sudi aku ikuti kau,
bukankah?" si nona tanya tanpa ia menyahuti pertanyaan orang.
"Pasti!" jawab Kwee Ceng sungguh-sungguh. "Aku sendiri, belum pernah aku
bergembira seperti sekarang ini!"
Oey Yong membawa tubuhnya mendekati dada si pemuda dan menempelkannya, maka Kwee
Ceng lantas saja merasakan ia bagai terkurung bau harum, bau yang meliputi juga
antero telaga, seluruh langit dan bumi......
Tanpa mengucap sepatah kata, keduanya saling berpegang tangan.....
Lagi sekian lama, tiba-tiba Oey Yong menghela napas. "Tempat ini sungguh indah,
sayang kita bakal meninggalkannya..." katanya.
"Kenapa begitu?" Kwee Ceng tanya. Ia heran.
"Bukankah kita harus mencari obat untuk menolongi Ong Totiang?" sahut si nona.
Kwee Ceng sadar, ia menjadi girang sekali. "Ah, ke mana kita mencarinya?"
"Ke manakah perginya itu beberapa rupa obat yang dibutuhkan, yang tidak berada
di rumah-rumah obat?" Oey Yong menanya.
"Tentulah semua itu dibeli oleh orangnya Chao Wang," menyahut Kwee Ceng.
"Benar!" berkata si nona.
"Tetapi tidak dapat kita pergi ke sana!" Kwee Ceng bilang. "Pergi ke sana
artinya kita mengantari jiwa kita..."
"Habis apakah kau tega membiarkan Ong Totiang menjadi bercacad seumur hidupnya?"
Oey Yong tanya. "Jangan-jangan, karena lukanya itu berubah menjadi berbahaya, ia
pun bisa hilang jiwanya...."
Darahnya Kwee Ceng bergolak. "Baik, aku akna pergi!" ia bilang. "Tapi kau jangan
turut..." "Jangan turut" Kenapakah?" tanya si nona.
Kwee Ceng berdiam. Ia tidak punyakan alasan untuk kata-katanya itu.
Oey Yong mengawasi. "Engko yang baik," katanya perlahan. "Kau kasihanilah aku.
Umpama kata kau menemui bencana, apakah kau sangka aku dapat hidup seorang diri
saja?" Kwee Ceng menjadi sangat bersyukur dan bergirang. "Baiklah!" katanya kemudian.
"Mari kita pergi bersama!"
Keduanya lantas mengayuh, membuatnya perahu mereka ke pinggir, setelah mendarat,
mereka menuju langsung ke istana Chao Wang, ke arah belakang. Mereka memasuki
pekarangan dengan melompati tembok.
"Engko Ceng, sempurna sekali ilmu ringan tubuhmu!" Oey Yong memuji selagi si
anak muda mendekam di kaki tembok untuk memasang kuping dan mata.
Mendengar pujian itu, Kwee Ceng gembira bukan main. Merdu sekali suara si nona.
Tak lama, mereka mendapat dengar tindakan kaki dibarengi sama suara bicara
sambil tertawa. Mereka menutup mulut.
"Siauw-ongya mengurung si nona di sini, kau tahu untuk apa?" terdengar seorang
menanya. "Siauw-ongya" itu ialah pangeran muda.
"Buat apa lagi!" tertawa orang yang kedua. "Si nona ada demikian cantik! Sejak
kau dilahirkan, pernahkah kau melihat nona secantik itu?"
"Kau hati-hati, sahabat!" kata yang pertama, "Melihat macammu ini, hati-hatilah,
nanti siauw-ongya kutungi batang lehermu..."
Kwee Ceng lantas berpikir: "Kiranya Wanyen Kang sudah punya pacar maka juga ia
tidak sudi nikahi nona Bok. Dalam hal ini, dia tidak dapat disesalkan. Cuma
mengapa ia mengurung nona itu" Mustahilkah si nona menolak dan ia hendak gunai
kekerasan untuk memaksa?"
Dua orang itu sudah lantas datang dekat sekali, yang satu membawa tengloleng,
yang lainnya menenteng barang makanan.
Yang membawa makanan itu berkata pula sambil tertawa: "Siauw-ongya aneh! Dia
mengurung orang, dia juga khawatir orang kelaparan! Lihat, sudah malam begini
dia masih suruh mengantarkan barang makanan...."
"Jikalau tidak berlaku manis budi, mana dia dapat merampas hati si nona?"
berkata yang membawa lentera.
Lantas mereka lewat, suara tertawa mereka masih terdengar.
"Mari kita lihat!" berbisik Oey Yong, yang hatinya menjadi tertarik. "Sebenarnya
bagaimana sih cantiknya orang itu..."
"Lebih perlu kita mencari obat," Kwee Ceng bilang.
"Aku ingin lihat dulu si cantik!" kata Oey Yong, yang tertawa.
Kwee Ceng heran sekali. "Apa sih bagusnya orang perempuan untuk di lihat?"
katanya dalam hati. Ia tidak menginsyafi sifat wanita. Kalau satu nona mendengar
ada nona cantik lainnya, sebelum melihatnya, hatinya tidak nanti puas, kalau dia
sendiri cantik, lebih keras lagi keinginannya melihatnya itu. "Ah, dasar anak
kecil....!" Luas pekarangan dalam dari gedung Chao wang itu. Mereka berdua berjalan berliku-
liku menguntit dua hamba tadi. Mereka tiba di depan sebuah gedung besar yang
gelap, tapi ada yang jaga. Mereka lantas umpatkan diri, untuk mendenagri kedua
kacung itu bicara sama penjaga rumah itu, yang ialah seoarng serdadu. Dia ini


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas membuka pintu, untuk mengijinkan orang masuk.
Oey Yong cerdik. Ia menjumput sebutir batu, dengan itu ia menimpuk lentera
orang, hingga apinya lentera itu padam seketika, membarengi mana ia tarik tangan
si anak muda, untuk diajak berlompat masuk ke pintu.
Kedua kacung dan serdadu itu tidak menduga jelek, mereka cuma menyangka batu
jatuh dari atas. Sembari mengutuk, mereka nyalakan pula lenteranya. Setelah
membuka sebuah pintu dalam, yang kecil, berdua mereka masuk lebih jauh.
Oey Yong dan Kwee Ceng menempatkan diri di sebelah belakang, dengan hati-hati
mereka menguntit pula, sampai mereka berada di depan sebuah ruang seperti
kerangkeng binatang liar, jerujinya semua besi kasar. Di dalam situ ada dua
orang, terlihat samar-samar seperti pria dan wanita.
Satu bujang lantas memasang lilin, yang mana ia masuki ke dalam kerengkeng. Maka
sekarang terlihat tegaslah dua orang yang terkurung itu. Mengenali mereka, Kwee
Ceng terkejut. Mereka adalah Bok Ek serta gadisnya, yang tadi siang mengadakan
pibu mencari jodoh. Bok Ek nampaknya tengah bergusar. Liam Cu duduk di samping
ayahnya dengan kepala tunduk.
"Bagaimana dengan Wanyen Kang" Sebenarnya dia sukai nona ini atau tidak?" Kwee
Ceng beragu-ragu. Kedua bujang itu memasuki barang makanan berikut araknya. Bok Ek sembat sebuah
mangkok, terus ia lemparkan. Ia berseru: "Aku telah terjatuh ke dalam tipumu
yang busuk, kalau kau hendak membinasakan, binasakanlah! Buat apa kamu berpura-
pura menaruh belas kasihan"!"
Belum sampai si bujang membilang apa-apa, di sebelah luar terdengar suaranya
serdadu penjaga pintu yang tadi: "Siauw-ongya baik?"
Mendengar itu, Kwee Ceng dan Oey Yong berpaling, lalu lekas-lekas mereka mencari
tempat sembunyi. Segera juga terdengar suara membentak sari Wanyen kang, yang datang dengan
tindakan lebar: "Siapa yang membikin Bok Loenghiong gusar" Awas, sebentar aku
hajar patah kaki anjingmu!"
Kedua hamba itu lantas bertekuk lutut. "Hambamu tidak berani..." berakat mereka.
"Lekas berlalu!" membentak pula si pangeran.
"Ya, ya..." menyahuti kedua hamba itu, yang berlalu dengan cepat. Hanya setibanya
mereka di pintu luar, mereka saling mengawasi dengan mengulurkan lidahnya
masing-masing..... Wanyen Kang tunggu sampai orang telah merapatkan daun pintu, ia hampiri Bok Ek
dan gadisnya. "Jiwi silahkan kemari!" ia berkata, suaranya sabar sekali. "Aku hendak
membilangi sesuatu kepada kamu, harap kamu jangan salah mengerti."
"Kau telah kurung kami sebagai pesakitan, apakah artinya undanganmu ini"!" Bok
Ek menegur. Ia gusar sekali.
"Maafkan aku, menyesal sekali," berkata Wanyen kang. "Untuk sementara aku minta
jiwi harap bersabar. Aku pun merasa tak enak hati."
"Kau boleh akali bocah umur tiga tahun!" Bok Ek membentak pula. "Aku tahu baik
sifatnya kamu orang besar! Hm!"
Wanyen Kang hendak bicara pula, saban-saban ia terhalang oleh bentakan orang tua
itu, tetapi ia sabar luar biasa, sebaliknya dari bergusar, ia tertawa.
"Ayah, coba dengar dulu apa ia hendak bilang," akhirnya Liam Cu berkata dengan
perlahan. "Hm!" orang tua itu perdengarkan suara di hidungnya.
"Nona seperti putrimu, mustahil aku tidak sukai dia" berkata Wanyen Kang.
Mendengar itu, wajahnya Liam Cu menjadi merah, ia tunduk lebih rendah.
"Hanyalah aku adalah satu pangeran dan aturan rumah tanggaku keras sekali,"
Wanyen Kang berkata pula. "Umpama kata orang mendapat tahu aku mempunyai mertua
seorang kangouw, bukan cuma ayahku bisa memarahinya, malah ada kemungkinan sri
baginda juga nanti menegur ayahku itu..."
"Habis kau mau apa?" menanya Bok Ek. Ia anggap orang bicara beralasan juga.
"Sekarang ini aku mau minta jiwi berdiam dulu beberapa hari di sini, untuk
sekalian merawat lukamu," sahut pangeran itu. "Setelah itu barulah kamu pulang
ke kampung halamanmu. Nanti, selang satu atau setengah tahun, setelah suasana
sudah reda, akan aku nikahi putrimu ini, baik dengan jalan aku pergi menjemput
ke rumahmu atau dengan minta locianpwee datang ke mari. Tidakkah itu lebih
bagus?" kata pangeran ini lebih lanjut.
Bok Ek berdiam. Ia tengah memikir satu hal lain.
"Peristiwa ini bisa merembet ayahku," Wanyen Kang berkata pula, sambil tertawa.
"Oleh karena kenakalanku, beberapa kali ayah pernah ditegur sri baginda raja,
maka kalau urusan ini sampai didengar oleh sri baginda, pastilah pernikahan ini
gagal. Maka itu aku minta sukalah locianpwee menyimpan rahasia."
Bok Ek gusar. "Menurut caramu ini!" katanya sengit, "Kalau nanti anakku menikah
sama kamu, untuk seumur hidupnya ia mesti main sembunyi-sembunyi! Dia jadinya
bukan satu istri yang terang di muka umum!"
"Dalam hal ini pastilah aku akan mengatur lainnya," Wanyen Kang memberi
keterangan. "Sekarang pun aku sudah pikir nanti minta perantaraannya beberapa
menteri sebagai orang pertengahan, supaya kita nanti menikah secara terhormat...."
Wajahnya Bok Ek berubah. "Kalau begitu, pergi kau panggil ibumu datang ke mari,"
katanya. "Aku ingin kita omong depan berdepan dan secara terus terang!"
Wanyen Kang tersenyum. "Mana dapat ibuku menemui locianpwee?" katanya.
"Jikalau aku tidak dapat bicara dengan ibumu, biar bagaimana, tidak sudi aku
melayani kamu!" kata Bok Ek kaku, tangannya menyambar sepoci arak, yang dia
timpukkan di antara jeruji besi.
Bok Liam Cu kaget dan berduka menyaksikan sikap ayahnya ini. Sebenarnya,
semenjak memulai bertanding sama pangeran itu, ia telah menaruh hati, maka juga
ia senang mendengar pembicaraannya si anak muda yang ia anggap beralasan. Ia
tidak sangka, ayahnya telah ambil sikapnya yang tegas itu.
Wanynn Kang geraki tangannya menyambar poci arak itu, terus ia letaki itu
ditempatnya, di atas meja. "Menyesal tidak dapat aku menemani lebih lama,"
katanya. Ia tertawa dan memutar tubuhnya untuk berlalu.
Kwee Ceng anggap omongannya Wanyen Kang beralasan. Bukankah si pangeran ada
kesulitannya sendiri" Maka itu, menyaksikan kemurkaannya Bok Ek, ia lantas
berpikir; "Baiklah aku bujuki ia..." Ia lantas geraki tubuhnya, untuk keluar dari
tempat persembunyiannya. Tapi ia tidak dapat wujudkan apa yang ia pikirkan itu.
Oey Yong telah tarik tangan bajunya, untuk ajak ia keluar.
"Apakah sudah diambil?" mereka lantas dengar suaranya Wanyen Kang, yang bicara
sama satu hambanya. "Sudah," sahut si hamba, yang terus angkat sebelah tangannya. Nyata ia mencekal
seekor kelinci. Wanyen Kang menyambuti dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja ia
patahkan kedua kakinya kelinci itu, yang ia terus masuki ke dalam sakunya,
setelah mana ia bertindak dengan cepat.
Binatang itu berpekik satu kali, lalu kelengar.
Dua-duanya Oey Yong dan Kwee Ceng heran sekali. Merak lantas kuntiti pangeran
itu, yang jalan memutari sebuah pagar bambu, setelah mana terlihatlah sebuah
rumah tembik putih yang kecil. Itulah rumah bermodel rumah rakyat di Kanglam.
Maka heran di dalam pekarangan istana mentereng itu ada sebuah rumah yang begini
sederhana. Maka mereka jadi bertambah heran.
Wanyen Kang menolak pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.
Dengan lekas Kwee Ceng berdua lari ke jendela untuk memasang kuping sambil
mengintai di sela-sela jendela itu. Mereka percaya mesti ada perbuatan yang aneh
dari si pangeran itu. "Ma!" mereka lantas dengar suara si pangeran.
"Ya..!" demikian suara penyahutan perlahan, suaranya seorang wanita.
Wanyen Kang lantas masuk ke dalam kamar.
Untuk bisa melihat, Kwee Ceng berdua menghampirkan sebuah jendela lain. Maka
mereka lantas tampak satu nyonya tengah berduduk di pinggiran meja, sebelah
tangannya menunjang dagu, matanya mendelong. Dia belum berumur empatpuluh tahun
dan mukanya cantik sekali. Di rambut dekat kupingnya dia memakai setangkai bunga
putih. Pakaiannya semua terdiri dari kain kasar.
"Mama, apakah hari ini kau kurang sehat?" tanya Wanyen Kang seraya pegangi
tangan si nyonya. Nyonya itu menghela napas. "Bukankah aku tak berlega hati untukmu?" sahutnya.
Wanyen Kang sanderkan diri di tubuh nyonya itu, yang ia panggil ibu, agaknya ia
manja sekali. "Ma, bukankah anakmu berada di sini?" katanya, aleman. "Toh aku tidak kekurangan
walaupun sebelah kakiku...?"
"Kau mengacau, kalau ayahmu dengar itu, masih tidak apa," berkata si ibu itu,
"Tetapi gurumu" Bagaimana kalau ia mendengar kabar" Tidakkah hebat?"
"Ma," berkata si pangeran, tertawa, "Tahukah kau siapa imam itu yang datang
menyela untuk menolongi orang?"
"Siapakah imam itu?"
"Dialah adik seperguruan dari guruku..."
"Celaka!" berseru si nyonya kaget. "Pernah aku melihatnya gurumu disaat ia
tengah murka! Dia dapat membunuh orang! Sungguh menakutkan...!"
Wanyen Kang agaknya heran. "Pernah mama melihat suhu membunuh orang?" dia tanya.
"Di manakah itu" Kenapa suhu membunuh orang?"
Nyonya itu angkat kepalanya, memandang lilin. Ia agaknya tengah memikir jauh.
"Itulah sudah lama, sudah lama," katanya kemudian dengan perlahan. "Ah, kejadian
daulu hari itu hampir aku lupa...."
Wanyen Kang tidak menanyakan lebih jauh, sebaliknya dengan gembira, ia kata;
"Ong Susiok itu telah mendesak aku, menanyakan bagaimana urusan pibu hendak
diselsaikan. Aku telah menjanjikan untuk menerima baik. Asal si orang she Bok
itu datang, apa yang diatur, aku terima baik."
"Apakah kau sudah bicara dengan ayahmu?" tanya si nyonya itu. "Bersediakah dia
akan memberikan perkenanannya?"
Wanyen Kang tertawa. "Ma, kau memang baik sekali!" katanya. "Dari siang-siang
telah aku perdayakan orang she Bok itu dan gadisnya datang ke mari, sekarang
mereka ditahan di kerangkeng di belakang sini. Mana Ong Susiok dapat mencari
mereka?" Selagi si pangeran ini demikian gembira, Kwee Ceng sebaliknya bertambah
kemendongkolannya dan kemurkaannya. Kata pemuda ini dalam hatinya; "Aku
menyangka dia bermaksud baik, siapa tahu ia sebenarnya sangat licik!"
Si wanita pun tidak setujui putranya itu. "Kau telah permainkan anak dara
orang," katanya kurang senang, "Kau juga kurung mereka di sini. Apakah artinya
itu" pergi lekas kau merdekakan mereka! Kau berikan mereka uang, kau
menghanturkan maaf, lantas kau persilahkan mereka pulang ke kampung halaman
mereka." Kwee Ceng mengangguk-angguk. Ia setujui sikap nyonya itu. "Begitu baru benar,"
pikirnya. Wanyen kang tetap tertawa. "Ma, kau belum tahu," katanya. "Orang kangouw seperti
mereka tidak memandang uang! Jikalau mereka dilepaskan, setelah merdeka, tentu
mereka akan buka suara lebar-lebar. Kalau itu sampai terjadi, bagaimana suhu
bisa tak ketahui urusan ini?"
"Habis, apakah kau hendak kurung mereka seumur hidup mereka?" tanya si nyonya.
Putra itu tetap tertawa. "Akan aku bicara baik-baik dengan mereka, nanti aku
perdayakan hingga mereka suka pulang ke kampung halaman mereka," ia bilang.
"Biarlah di sana mereka menanti-nanti hingga mereka putus asa...". Lantas ia
tertawa terbahak. Kembali bangki hawa amarahnya Kwee Ceng, hingga ia ayun sebelah tangannya ke
daun jendela dan mulutnya pun hendak dibuka.
"Jangan turuti adat...!" demikian ia dengar bisikan di kupingnya, berbareng denagn
mana sebuah tangan yang halus menutup mulutnya dan tangan yang lain menarik
tangannya. Merdu bisikan itu......
Cuma sejenak itu, pemuda ini insyaf akan kekeliruannya, maka ia menoleh kepada
si nona manis di sisinya dan bersenyum. Karena itulah Oey Yong yang mencegah
padanya. Kemudian ia mengintai pula ke dalam kamar.
"Tua bangka she Bok itu sangat licin," terdengar pula suaranya Wanyen Kang.
"Telah aku bujuki dia, dia tak mau makan umpan. Maka biarlah dia ditahan lagi
beberapa hari, untuk lihat akhirnya dia suka menurut atau tidak."
"Aku lihat nona itu bagus romannya dan gerak-gerakinya, aku suka dia," berkata
si nyonya. "Aku pikir hendak bicara dengan ayahmu, supaya kau diijinkan menikah
dengannya. Bukankah dengan begitu selesai sudah semuanya?"
"Ah, mama, ada-ada saja!" berkata sang putra sambil tertawa. " Kita dari
keluarga apa" Cara bagaimana aku bisa menikah dengan satu nona kangouw" Ayah
sering bilang padaku bahwa dia hendak mencarikan satu jodoh dari keluarga agung.
Sayangnya ialah ayah bersaudara dengan raja yang sekarang..."
"Apakah yang dibuat sayang?" nyonya itu bertanya.
"Sebab," menyahut sang putra, "Kalau tidak, pasti aku kana mendapatkan putri
raja dan aku bakal menjadi menantu raja!"
Nyonya itu menghela napas, ia tak bicara lagi.
"Ma, ada satu lagi hal yang lucu," Wanyen Kang berkata pula, tak ketinggalan
tertawanya. "Tua bangka she Bok itu bilang ingin bertemu sama kau, ingin dia
bicara sendiri, untuk mendapat kepastian, setelah itu barulah dia mau
mempercayai aku." "Tidak nanti aku bantui kau memperdayakan orang, itulah perbuatan yang tidak
baik!" berkata pula si ibu.
Wanyen Kang tertawa geli, ia jalan mondar-mandir di dalam kamar.
Oey Yong dan Kwee Ceng dapat kesempatan memperhatikan kamar itu. Semua meja dan
kursi terbuat dari kayu kasar. Pembaringan serta perlengkapannya mirip dengan
kepunyaan kebanyakan petani di Kanglam, semua kasar dan jelek. Di tembok ada
tergantung tombak serta sebuah pacul. Di pojokan ada sebuah mesin tenun. Maka,
menyaksikan semua itu, mereka menjadi heran.
"Wanita ini mulia sebagai selir, mengapa ia tinggal dalam kamar dengan
perlengkapan semacam ini?" mereka itu berpikir.
Justru itu Wanyen Kang menekan ke dadanya, ke sakunya, lalu terdengar dua kali
pekikan perlahan. "Eh, apakah itu?" sang ibu tanya.
"Oh, hampir aku lupa!" sahut putranya itu, agaknya ia terperanjat. "Tadi di
tengah perjalanan pulang aku melihat seekor kelinci yang terluka, aku bawa dia
pulang. Mama, coba kau tolong obati dia..."
Ia lantas keluarkan kelinci putih itu, diletaki di atas meja. Dengan kakinya
patah, binatang itu tidak dapat jalan.
"Anak yang baik!" berkata si nyonya. Ia lantas mencari obat, untuk mengobati
kelinci itu. Lagi-lagi darahnya Kwee Ceng bergolak. Ia sungguh membenci orang punya kelicinan
dan kekejaman itu, terutama untuk memperdayakan seorang ibu yang hatinya
demikian mulia. Tidakkah binatang yang harus dikasihani itu sengaja disakiti"
Bukankah ibu telah didustai, untuk mengobati binatang yang sengaja disiksa"
Kalau terhadap ibu sendiri saja ia mendusta demikian, maka bisalah diketahui
buruknya sifat anak itu. Oey Yong yang tubuhnya menempel sama tubuh si anak muda merasakan tubuh orang
bergemetar. Ia menginsyafi bahwa orang ada sangat gusar. Tentu saja ia khawatir
kawan ini perluap hawa amarahnya itu hingga Wanyen kang bisa pergoki mereka. Ia
lantas pegang tangannya si pemuda itu, yang ia tarik untuk diajak mengundurkan
diri. "Jangan pedulikan dia, mari kita pergi cari obat," bisiknya.
"Tahukah kamu obat itu disimpan di mana?" Kwee Ceng tanya.
Nona itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu," sahutnya. "Mari kita cari..."
Kwee Ceng bersangsi. Dimana mesti mencari obat di istana demikan besar" Bukankah
berbahaya kalau mereka kepergok See Thong Thian atau lainnya" Ia tidak sempat
berpikir lama-lama. Pikirannya itu berhenti secara tiba-tiba. Sebab kupingnya
segera mendengar orang mengoceh seorang diri dan di depan matanya berkelebat
sinar api. "Anak yang manis, kalau kau tidak mencintai aku, kau mencintai siapa lagi" Maka,
kau kasihanilah aku..."
Sembari perdengarkan suaranya yang berlagu, terlihatlah seorang bertindak dengan
perlahan-lahan. Dia mencekal sebuah tenglong.
Selagi Kwee ceng hendak menyembunyikan diri di belakang sebuah pohon, Oey Yong
justru maju memapak orang itu, hingga ia menjadi tercengang, lalu lantas saja ia
diam bagai patung, hatinya goncang keras. Oey Yong telah ancam dia dengan
sebatang pisau belati. "Siapa kau?" si nona menanya, membentak tapi perlahan.
Orang itu kaget dan ketakutan, selang berepa detik baru ia dapat menyahuti,
suaranya tidak lancar. Ia adalah pengurus surat-surat di istana itu.
"Kau menjadi pengurus, bagus!" kata si nona. "Di mana disimpannya obat-obatan
yang hari ini pangeranmu yang muda menitahkan orang membeli"!"
"Semua itu siauw-ongya yang simpan sendiri, aku...aku tidak tahu..."
Oey Yong cekal tangan orang dengan tangan kirinya untuk memencet, sedang ujung
pisaunya ditempel kepada kulit leher. Orang itu kesakitan akan tetapi ia tidak
berani berteriak. "Kau hendak bilang atau tidak"!" si nona mengancam.
"Benar-benar aku tidak tahu...." jawab orang itu dengan gugup.
Oey Yong kerahkan tenaga di tangan kirinya itu, lalu dengan menerbitkan suara
membeletak, patahlah tangan kanan si pengurus itu. Ia buka mulutnya, untuk


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berteriak tetapi dengan cepat si nona sambar kopiah orang, untuk dipakai
menyumbat mulutnya. Maka hanya sekali saja dia itu mengasih dengar suara keras
tertahan, lalu ia roboh dengan pingsan.
Kwee Ceng tidak menyangka satu nona demikian cantik dan halus gerak-geriknya
dapat berbuat demikian telengas, ia menjadi tercengang, tak dapat ia membilang
apa-apa. Oey Yong menotok dua kali kepada iganya pengurus istana itu, lantas ia sadar. Ia
tarik kopiah orang, untuk dibelesaki ke kepelanya.
"Apakah kau ingin tangan kirimu pun dipatahkan?" ia tanya.
Pengurus itu lantas saja menangis, ia menjatuhkan diri berlutut. "Dengan
sebenarnya aku tidak tahu, percuma umpama nona membunuh aku," katanya.
Sekarang Oey Yong mempercayainya, tetapi ia kata: "Sekarang pergi kau kepada
pengeranmu itu, bilang bahwa kau jatuh dan patah tanganmu. Kau kasih tahu bahwa
tabib membilang kau perlu obat hiat-kat, gu-cit, thim-tha dan bu-yok. Obat itu
semua tak dapat dibeli di kota raja ini, maka kau mintalah kepada pangeran itu."
Pengurus itu sudah membuktikan si nona tidak pernah main gila, ia suka menurut.
"Siauw-ongya ada pada ibunya, lekas-lekas kau pergi padanya!" Oey Yong bilang.
"Aku akan ikuti padamu. Jikalau kau tidak dengar aku dan sengaja kau membuka
rahasia, akan aku patahkan batang lehermu, akan aku kerek matamu!"
Tubuhnya orang itu bergemetar, ia merayap bangun, lalu dengan menggertak gigi,
menahan sakit, ia lari ke arah kamarnya onghui, si selir.
Wanyen Kang masih ada pada ibunya, mereka masih pasang omong. Ia heran ketika ia
lihat datangnya pengurus itu, yang bermandikan peluh dan air mata, dengan
separuh mewek dia mohon diberi obat. Dia mengaku seperti ajarannya Oey Yong.
"Kasihlah dia obat!" berkata onghui, yang hatinya lemah. Ia lihat muka orang
berpucat-pasi dan ia merasa kasihan.
Wanyen Kang mengkerutkan alisnya. "Semua obat itu ada apa Nio Losianseng,"
katanya. "Pergi kau mengambil sendiri!"
"Tolong ongya memberikan sehelai surat," si pengurus meminta.
Onghui itu sudah lantas sediakan perabot tulisnya. Wanyen Kang menulis beberapa
kata-kata, untuk si Nio Losianseng, ialah io Cu Ong.
Pengurus itu mengangguk-angguk mengucapkan terima kasihnya.
"Lekas kau pergi!" menitah onghui. "Sebentar sesudah sembuh baru kau haturkan
terima kasihmu!" Pengurus itu lantas saja bertindak keluar. Ia baru jalan beberapa tindak, atau
pisau belati telah tertanda di pundaknya.
"Pergi kepada Nio Losianseng!" menitah Oey Yong separuh berbisik.
Orang itu berjalan, baru beberapa puluh tindak, ia sudah terhuyung, rupanya tak
sanggup ia menahan rasa sakitnya.
"Sebelum kau dapatkan obat itu, jangan harap jiwamu selamat!" si nona mengancam
pula. Kaget hamba itu, ia mengeluarkan keringat dingin, entah dari mana, datanglah
tenaga kekuatannya, maka dapat ia berjalan terus. Sekarang ia jalan dengan
menemui beberapa hamba lainnya, mereka itu lihat ia diikuti si nona dan pemuda,
mereka itu heran tetapi tidak ada di antara mereka yang menanya apa-apa.
Tiba di kamarnya Nio Cu Ong, pintu kamar tertutup terkunci. Pengurus itu tanya
satu hamba, ia dapat jawaban bahwa Nio Losianseng lagi menghadari perjamuannya
pengeran di ruang Hoa Cui Kok.
Kwee ceng lantas merasa kasihan menampak orang seperti tidak kuat jalan, ia
lantas mencekal tubuh orang, untuk dipepayang. Bersama-sama mereka menuju ke
tempat pesta itu. "Berhenti! Siapa kamu!" Itulah teguran oleh dua orang, yang memapaki sekira
beberapa tindak dari Hoa Cui Kok. Mereka itu masing-masing memegang golok dan
cambuk. "Aku hendak menemui Nio Losianseng," sahut si pengurus, yang perlihatkan
suratnya siauw-ongya. Dia lantas dikasih lewat. Ketika Kwee Ceng dan si nona
ditanya, pengurus itu mendahului menerangkan: "Mereka kawan kita."
Oey Yong berlaku tenang. Ia kenali dua orang itu, ialah dua dari keempat Hong Ho
Su Koay, yaitu Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong. Mereka ini sebaliknya tidak
mengenali orang, yang telah dandan sebagai asalnya, seorang nona. Hanya melihat
Kwee Ceng, mereka tercengang, lantas mereka mau seraya angkat tangan mereka.
Tapi sejenak itu, tidak dapat mereka menyerang dengan golok dan cambuk mereka.
Tiba-tiba saja iga mereka kaku. Karena dengan kesebatannya yang luar biasa, Oey
Yong sudah totok mereka. Kwee Ceng kagum vukan main. Ia berada di samping si nona tetapi ia tak sempat
melihat gerakan tangan orang. Mendadak ia mengingat kejadian di rumah makan di
Kalgan, tempo kawanan nona-nona serba putih hendak rampas kudanya, tahu-tahu
mereka itu roboh tanpa berkutik.
"Pastilah mereka telah terkena tangan lihay dari si Yong ini," pikirnya lebih
jauh. "Eh, kau pikirkan apa?" menegur si nona sambil tertawa menampak orang termenung.
Ia lantas saja tarik Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong ke belakang pot-pot
kembang, untuk disembunyikan, kemudian ia tarik tangan si pemuda, untuk menyusul
si pengurus. Di depan Hoa Cui Kok, Oey Yong tolak tubuh si pengurus, untuk ia masuk, ia
sendiri bersama Kwee Ceng lantas lompat naik ke payon, guna mengintai dari
jendela, hinngga mereka dapat melihat jelas ke dalam.
Terang sekali ruang dalam itu di mana ada sebuah meja penuh dengan pelbagai
barang hidangan dan arak, tetapi yang membuat Kwee ceng terperanjat adalah kapan
matanya bentrok sama hadirin yang duduk mengitari meja itu, sampai hatinya
berdenyutan. Ia lihat dan mengenali Auwyang Kongcu dari pek To San, Kwie-bun
Liong-ong See Thong Thian, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, Som Sian Lao-koay Nio
Cu Ong dan Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw. Menemani mereka itu, duduk di
sebelah bawah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, yaitu Liok-hong-cu atau pangeran
keenam dari negara Kim. Duduk di samping, di atas kursi tay-su-ie yang besar dan
tebal amparnya, adalah Tay-cu-in Leng Tie Siangjin, kedua mata siapa terbuka
sedikit dan mukanya bagaikan kertas kuning, suatu tanda lukanya tak enteng.
Diam-diam Kwee Ceng girang sekali, maka ia kata di dalam hatinya: "Kau hendak
mencelakai Ong Totiang, kau juga dapat merasakan enak...."
Si pengurus bertindak masuk untuk terus berlutut di depan Nio Cu Ong, kedua
tangannya mempersembahkan suratnya siauw-ongya.
Nio Cu Ong menyambuti, ia baca surat itu, terus ia awasi si pembawa surat,
kemudian ia angsurkan surat itu kepada Wanyen Lieh. "Ongya, benarkah ini
tulisannya siauw-ongya?" ia tanya.
Chao Wang membaca surat itu, ia mengangguk. "Benar," katanya. "Berikanlah dia
obat itu." Nio Cu Ong menoleh kepada kacung di sisinya. "Tadi siauw-ongya ada mengirimkan
empar macam rupa obat," katanya. "Kau ambilkan masing-masing itu satu tail,
berikan kepada koankee ini."
Bocah itu menyahuti, lalu ia ajak si koankee atau pengurus itu mengundurkan
diri. Kwee Ceng berbisik di kupingnya Oey Yong: "Mari kita pergi, lekas! Semua
mereka itu sangat lihay!"
Oey Yong tertawa perlahan, ia menggeleng kepala. Oleh karena ia menggoyang
kepalanya,rambutnya si nona mengenai mukanya si pemuda, hingga Kwee Ceng merasa
gatal dari muka terus ke hatinya.
Pemuda ini tidak hendak berbantahan, ia hanya lantas geraki tubuhnya untuk
melompat turun. ia baru bergerak, atau si nona telah sambar tangannya, untuk
ditahan. Untuk itu, nona itu mesti menyantel keras kedua kakinya pada payon,
habis mana perlahan-lahan ia kasih turun tubuh si pemuda.
Kwee Ceng terkejut, di dalam hatinya ia kata, "Ah, aku semberono sekali.
Tidakkah ini berbahaya" Bukankah orang-orang di dalam itu lihay semua" Jikalau
aku berlompat mundur, bagaimana mereka tidak dapat memergokinya?" ia insyaf,
dasar baru masuk dalam dunia kangouw, ia jadi kurang berpengalaman. Dengan
lantas ia ikuti si pengurus dan kacung itu. Satu kali ia menoleh ke belakang, ia
dapatkan Oey Yong masih belum turun, dengan masih bergelantungan nona itu
mengawasi ke dalam ruangan.
Oey Yong tidak segera berangkat. Untuk mencari tahu orang di dalam ketahui
tentang dirinya atau tidak, ia mengintai terus. Ia lakukan itu setelah itu
setelah ia lihat Kwee Ceng sudah pergi belasan tembok jauhnya. Katika ia
mengawasi ke dalam, sinar matanya bentrok sama sinar mata tajam dari Pheng Lian
Houw, ynag kebetulan berpaling. Ia tidak berani mengawasi terus, ia hanya
memasang kuping. Seorang yang suaranya serak, berkata; "Saudara-saudara, bagaimana pandangan kamu
mengenai Ong Cie It" Adakah ia datang dengan maksud sengaja atau itu cuma
kebetulan saja?" "Peduli ia datang dengan sengaja atau bukan!" berkata seseorang, yang suaranya
nyaring dan keras sekali. "Dia telah merasai tangannya Leng Tie Siangjin,
jikalau ia tidak mampus, sedikitnya ia mesti bercacad seumur hidupnya!"
Oey Yong lantas mengawasi pula. Ia dapatkan orang itu adalaha Pheng Lian Houw
yang matanya tajam, yang tubuhnya kate dan kecil.
Seorang, yang suaranya tedas sekali, berkata smabil tertawa; "Selama aku berada
di wilayah Barat, aku pernah dengar namanya Coan Cin Cit Cu yang kesohor itu,
sekarang terbukti mereka benar-benar lihay, coba Leng Tie Siangjin tidak
menghadiahkan dia pukulan Tay-ciu-in, pastilah hari ini kita roboh di tangan
mereka itu." Seorang yang suaranya keras tetapi dalam berkata; "Auwyang Kongcu, janganlah kau
menempeli emas di mukamu..... Kita berdua pihak sama-sama nampak kerugian, siapa
juga tidak ada yang menang..."
Orang yang dipanggil Auwyang Kongcu itu berkata pula: "Biar bagaimana, kalau ia
tidak kehilangan jiwanya, dia bakal bercacad. Siangjin cuma perlu beristirahat
sekian waktu." Sampai di situ, tuan rumah mempersilahkan tetamunya mengeringi arak mereka.
Habsi itu terdengar seorang berkata: "Tuan-tuan telah memerlukan datang dari
tempat ynag jauh, atas itu siauw-ong sangat berterima kasih. Sungguh inilah
keberuntungan dari Negara Kim yang tuan-tuan telah dapat diundang!"
"Dia tentulah Chao Wang Wanyen Lieh," pikir Oey Yong.
Atas kata-kata itu, beberapa orang perdengarkan suara yang merendah.
Setelah itu, terdengar pula suaranya Chao Wang: "Leng Tie Siangjin adalah paderi
suci mulia dari Tibet, Nio Losianseng adalah guru silat kenamaan Kwan-gwa,
Auwyang Kongcu biasa hidup berbahagia di wilayah Barat dan belum pernah datang
ke Tionggoan. Pheng Ceecu jago dari Tionggoan dan See Pangcu jago dari sungai
Hong Hoo. Dari lima tuan-tuan, satu saja sudi datang membantu, pasti uasaha
besar dari Negara Kim bakal berhasil, apapula sekarang lima-limanya telah datang
semua. Hahahaha!" Agaknya bukan main gembiranya pangeran itu.
"Jikalau ongya ada titah apa-apa, pasti kami akan lakukan itu dengan sepenuh
tenaga kami," berkata Nio Cu Ong sambil tertawa. "Apa yang dikhawatirkan adalah
tenagaku tidak cukup nanti dan mensia-siakan kepercayaan ongya yang dilimpahkan
kepada kami. Jikalau itu sampai terjadi, pastilah kami akan kehilangan muka
kami." Ia pun lantas tertawa.
Kelima orang itu adalah bangsa jago dari beberapa puluh tahun, maka itu meskipun
mereka bicara secara merendah, masih tetap tak hilang sifat jumawanya.
Chao Wang mengangkat pula cawannya, mempersilahkan mereka itu minum. Terus ia
kata: "Siauw-ong telah mengundang tuan-tuan, pasti sekali siauw-ong akan menaruh
kepercayaan kepada tuan-tuan, urusan bagaimana besar juga, tidak nanti siauw-ong
sembunyikan, dilain pihak, apabila tuan-tuan telah ketahui segala apa, aku
percaya tidak nanti tuan-tuan beritahukan itu kepada lain orang siapa juga,
untuk mencegah pihak yang bersangkutan nanti mendapat ketahui dan dapat bersiap
sedia...." Semua orang itu mengerti maksudnya pangeran ini, yang mempercayai mereka tetapi
secara tidak langsung masih memesan untuk mereka menyimpan rahasia itu.
"Baik Ongya tetapkan hati, tidak nanti kami membikin rahasia bocor," kata
mereka. Dengan sendirinya mereka itu tegang hatinya. Mereka percaya, Chao Wang
bakal percayakan mereka satu rahasia besar.
"Di tahun Thian-hwee ketika dari Sri Baginda Thay Cong kami dari Negara Kim,"
berkata pula Chao Wang kemudian, "Itulah tahun Soan-hoo ketujuh dari Kaisar Hiw
Cong dari Keluarga Tio. Ketika itu dua Panglima besar kami ienmeho dan Kanlipu
telah pimpin angkatan perangnya menerjang kerajaan Song, mereka berhasil menawan
kedua Kaisar Hwie Cong dan Kim Cong dari kerajaan musuh itu. Sejaka jaman
dahulu, belum pernah negeri kami sekuat itu, walaupun demikian, sampai sekarang
ini, Keluarga Tio itu yang tetap duduk sebagai raja di Hangciu. Tahukah tuan-
tuan sebab dari pada itu?"
Semua orang terdiam. Mereka heran raja muda itu membicarakan urusan negera. Cuma
Nio Cu Ong yang lantas memohon penjelasan.
"Duni telah ketahui yang kerajaan kami telah berulang-ulang kalah di tangan Gak
Hui, tentang ini tak usah disembunyikan lagi," berkata pula Chao Wang. "Wunchu,
panglima kami, pandai mengatur tentara, akan tetapi menghadapi Gak Hui, dia
selamanya kena dipecundangi. Benar kemudian Gak Hui dapat dibinasakan Cin Kwee
yang dititahkan pemerintah kami, akan tetapi tenaga kami sudah lemah, kami tidak
sanggup lagi berperang ke Selatan. Atas ini, aku tidak puas, tanpa mengukur
tenaga sendiri, ingin aku mendirikan suatu jasa besar untuk negeraku. Untuk ini,
tidak dapat tidak, aku mebutuhkan bantuan tuan-tuan."
Orang saling memandang, bagi mereka belum jelas maskudnya raja muda ini. Mereka
bukan orang peperangan tukang merobohkan atau merampas kota.
Chao Wang tampaknya sangat puas den bernafsu ketika ia berbicara pula, suaranya
sedikit menggetar. Katanya: "Baru beberapa bulan yang lalu, diluar dugaanku, aku
telah dapat menemui sebuah surat peninggalan pemerintahku yang dulu. Itulah
suratnya Gak Hui yang bunyinya luar biasa. Selang beberapa bulan, barulah aku
dapat terka maksudnya surat itu. Gak Hui menulis itu ketika ia dipenjarakan.
Rupanya ia mengerti bahwa ia tidak bakal hidup lebih lama lagi, tetapi ia sangat
mencintai negaranya, maka ia tinggalkan warisannya itu. Itulah surat yang
merupakan rahasia ilmu perang, bagaimana harus mendidik tentara dan berperang.
Ia mengharapkan warisannya itu terjatuh di dalam tangan seorang yang nanti bisa
pakai itu untuk melawan negara Kim. Tapi Cin Kwee menjaga keras sekali, sampai
hari matinya Gak Hui, surat itu tidak dapat diberiakan kepada orang luar.
Para hadiran sangat tertarik hatinya, sampai mereka melupakan arak dan barang
hidangan mereka. Oey Yong pun ketarik hatinya.
"Gak Hui dapat mengetahui warisan itu tidak dapat diloloskan, ia terus simpan
itu ditubuhnya," Chao Wang melanjuti. "Sebagai gantinya, ia meninggalkan sepucuk
surat warisan, yang bunyinya tidak keruan junterungannya. Cin Kwee mempunyai
kepandaian sebagai conggoan, ia masih tidak dapat menangkap artinya surat wasiat
itu, maka surat itu ia dikirim ke negriku. Selama beberapa puluh tahun, surat
itu disimpan di dalam istana. Dipihak kami juga tidak ada yang bisa mengartikan
surat itu, orang hanya menduga, saking berduka dan penasaran, disaat-saat
kematiannya, Gak Hui menulis ngaco belo. Tidak tahunya, itu adalah sebuah teka-
teki istimewa." Orang heran tetepi sekarang mereka memuji kecerdikan Chao Wang itu.
"Gak Hui begitu pandai, kalau kita bisa dapatkan surat warisan ilmu perangnya
itu, bukankah gampang untuk negaraku mempersatukan benua ini?" berkata Chao
Wang. Mendengar itu barulah semua orang dapat menerka maksudnya pangeran ini. Mereka
pada berkata dalam hati masing-masing. "Kiranya Chao Wang mengundang kita untuk
minta kita menjadi pembongkar kuburan..."
"Turut dugaanku semula, surat wasiat itu mestinya dibawa Gak Hui ke dalam liang
kubur," Chao Wang berkata pula. Ia berdiam sebentar, agaknya ia berpaling.
"Tapi....Tuan-tuan adalah orang-orang yang gagah, mustahillah aku nanti meminta
tuan-tuan pergi mencuri dengan membongkar kuburan" Di samping itu, ada satu
keberatan lainnya. Gak Hui itu memang musuh negaraku, tetapi ia adalah satu
orang gagah dan setia, satu pencinta negara, yang siapa pun menghormatinya, dari
itu, cara bagaimana aku berani mengganggu tempat perkuburannya" Karena ini, aku
sudah lantas memikirkannya terlebih jauh. Aku pun telah membongkar surat-
suratnya kerajaan Song, yang telah dikirim semenjak dulu-dulu. Diakhirnya, aku
telah berhasil memperoleh suatu sumber lain. Ketika itu hari Gak Hui menjalankan
hukuman mati di paseban Hong Po Teng, dia dikubur di tepinya jembatan Ciong An
Kio di dekat paseban itu, baru kemudian kaisar Song Hauw Cong memindahkan
kuburannya ke tepi telaga See Ouw, dimana pun didirikan sebuah rumah abu
untuknya. Dilain pihak lagi, pakaian dan kopiahnya Gak Hui disimpan di tempat
lain, ialah di kota raja Lim-an. Karena itu tidak gampang untuk mencari surat
wasiat itu. Pada ini ada satu rahasia yang tidak boleh didengar lain orang, atau
orang nanti mendahului kita mengambilnya. Harus diketahui di wilayah Selatan ada
banyak sekali orang-orang gagah. Maka itu, setelah memikir lama, tidak ada jalan
bagiku kecuali mengundang tuan-tuan, yang terhitung orang-orang Rimba Persilatan
kelas satu." Mendengar ini, para hadiran itu pada mengangguk.
"Pernah aku menduga, mungkin surat wasiat itu telah diambil lain orang," Wanyen
Lieh berkata lebih jauh. "Bukankah pakaiannya Gak Hui itu telah dipindahkan" Ada
kemungkinan, selama perpindahan itu, suratnya telah diambil orang. Hanya kalau
surat itu sampai ada yang ambil, orang itu mesti mengerti kepentingannya itu.
Siapa yang menghormati Gak Hui, dia tentu tidak berani menggangu pakaiannya. Aku
percaya, belum ada lain orang yang mengetahuinya. Kalau kita sudah sampai di


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana, aku percaya, kita bakal dapatkan surat itu. Memang, kalau dikata sukar,
sukarnya bukan main, akan tetapi di mata orang lihay, gampangnya bukan buatan.
Sebenarnya surat wasiat itu disimpan di....."
Baru Chao Wang mengucapkan sampai di situ, tiba-tiba pintu ruang ada yang tabrak
hingga terbuka terpentang, lalu satu orang terlihat menebros masuk, matanya
bengkat dan mukanya matang biru. Dia lantas lari ke Nio Cu Ong.
"Suhu...!" dia berseru, lantas suaranya tertahan.
Segera orang kenali, dia adalah si kacung yang tadi Nio Cu Ong titahkan pergi
mengambil obat...... Bab 20. Tombak Besi Dan Pakaian Lama
Kwee Ceng telah terus ikut si pengurus bersama si kacung pergi untuk mengambil
obat. Jalanan ada berliku-liku. Selama itu ia masih terus mengancam si pengurus,
yang khawatir nanti jatuh atau main gila. Akhirnya mereka tiba di tempatnya Nio
Cu Ong. Kacung itu membuka pintu, ia masuk ke dalam dan menyulut lilin.
Begitu ia berada di dalam kamar, Kwee Ceng lihat obat-obatan memenuhi meja,
pembaringan dan lantai. Di situ pun ada banyak botol dan guci, besar dan kecil.
Rupanya Nio Cu Ong gemar sekali membuat obat-obatan.
Kacung itu rupanya mengerti obat-obatan, ia sudah lantas mengambil kertas, untuk
menjumput empat rupa obat yang dibungkus masing-masing. Obat-obatan mana terus
ia serahkan pada si koanke. Tapi Kwee Ceng yang, yang tak tahan sabar, sudah
lantas mengulur tangannya, akan sambut obat-obatan itu, terus tanpa pedulikan si
koanke, ia bertindak untuk pergi lebih dulu. Si koankee itu cerdik, walaupun ia
telah terluka, pikirannya berekrja. ia sengaja jalan perlahan. Ia tunggu sampai
Kwee Ceng dan si kacung sudah keluar dari kamar, dengan sebat ia tiup padam api
lilin, segera ia sambar daun pintu, untuk digabruki dan dikunci, menyusul mana
ia berteriak-teriak: "Ada penjahat! Ada penjahat!"
Kwee Ceng terkejut, ia memutar tubuh, ia mencoba membuka pintu tetapi sia-sia
Runtuhnya Samurai Iblis 2 Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Raja Pedang 11
^