Pencarian

Pendekar Tanpa Tanding 15

Wisang Geni Pendekar Tanpa Tanding Karya John Halmahera Bagian 15


"Kamu salah, Geni. Aku memang selir, tetapi kau tetap
suamiku." "Sudah tak perlu berdebat lagi, aku tanya tentang gurumu"
Manohara mendekat dan memeluk Geni. "Kau sudah
menyatakan menyintai, menyukai aku dan selalu bernafsu jika
aku di dekatmu Itu saja sudah cukup bagiku, aku tak perlu
yang lain, belakangan nanti baru aku pamitan pada guru, pasti
ia tidak akan marah."
Keduanya bergegas berangkat. Begitu keluar dari kawasan
ilalang, keduanya bersamplokan jalan dengan tiga perempuan.
Kalandara, Kemara dan Dumilah. Tiga perempuan itu kaget.
Geni tersenyum, agak malu. Manohara melompat mendekati
gurunya, memeluk dan berbisik di telinganya, "Ibu, aku sudah
menjadi isteri W isang Geni, dua malam dia meniduri aku,
sekarang aku ikut dengannya menemui Sekar dan Gayatri, dua
isterinya itu." Gurunya itu diam, agak bingung. "Apakah kamu sudah pikir
matang dan masak, bisakah kamu mendapatkan cintanya,
apakah dia bukannya hanya mempermainkan kamu, nak?"
"Memang aku tidak punya pengalaman dalam bercinta
tetapi aku tahu dia tidak mempermainkan aku, jangan
khawatir, aku bisa membawa diri, ibu"
Kalandara memberi hormat, "Tuan pendekar, pertarungan
di desa Bangsal telah mengangkat namamu sebagai pendekar
tanpa tandingan, kamu yang nomor satu di tanah Jawa ini.
Ilmu silatku jauh di bawah kehebatanmu, aku tak akan bisa
menuntutmu jika semisal kamu mempermainkan Manohara,
tetapi sebagai pendekar terhormat aku mengharap kamu
memelihara Manohara dengan baik. Jangan sia-siakan dia. Dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
anak yang baik, aku mengambilnya sejak bayi, tidak tahu
siapa ayah ibunya, ia sudah seperti anakku sendiri, aku sangat
menyayanginya, berat bagiku berpisah dengannya."
Lalu dengan agak malu-ma lu dia memandang Geni dan
bertanya, "Kapan-kapan kalau aku kangen kepadanya, boleh
aku berkunjung?" Wisang Geni membungkuk hormat "Sekarang ini ibu adalah
ibu mertuaku, jadi kapan saja ibu mau berkunjung aku
persilahkan, tapi jika boleh aku memberi saran, jauhi
permusuhan dengan siapa pun dan jauhi keraton yang mana
pun juga. Tetapi bagaimanapun juga semua terserah padamu.
Sekarang aku mohon pamit, sekalian mengajak Manohara."
Gadis itu pamitan dengan kedua kakak perguruan dan ibu
angkatnya kemudian berlari menyusul Geni. Sesampainya di
desa kecil itu, Geni menyisipkan uang ke pem ilik kandang dan
mengambil si Hitam "Kuda bagus, ini pasti kuda unggulan,
perkasa seperti tuannya," kata Manohara tersenyum
menggoda. "Kamu naiklah, biar aku berlari," kata Geni.
Perjalanan dilakukan tanpa henti, istirahat sejenak hanya
untuk makan siang. Waktu senja mereka tiba di desa kecil
dekat kali Bejik. Manohara memohon agar istirahat "Pahaku
lecet." Geni setuju karena perjalanan sudah lebih dari separuh.
Jika besok pagi berangkat, mungkin malamnya sudah tiba di
Welirang Keduanya bermalam di rumah penduduk. Manohara
mengeluh, tubuhnya pegaL Ia hendak keluar kamar, Geni
menegur. "Mau ke mana?"
Agak malu gadis itu menjawab mencari tukang pijit.
Geni merasa lucu. "Memang kamu kenapa, capek?"
Gadis itu menggeleng. Geni menggapai, "Kenapa kamu
tidak m inta tolong padaku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manohara menyahut cepat, "Tidak boleh, mestinya aku
memijit kamu, kamu kan suamiku jadi aku yang harus
melayanimu" Geni menarik tangannya. "Kubantu dengan tenaga dalam."
Ia menyuruh Manohara membuka baju atasnya, lalu
menyalurkan tenaga Wiwaha melalui punggung si gadis.
Manohara merasa tenaga panas merasuk ke semua bagian
tubuh. Keringat merembes dari pori-pori si gadis, menebar
aroma wangi bunga. Selesai pengobatan, hari sudah malam.
Di luar gelap. Gadis itu berpakaian, lalu keluar, "Aku mencari
makanan." Esoknya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka berdua
menunggang si hitam. Karena pahanya lecet, gadis itu duduk
menyamping di depan Geni. Ia bercerita, terkadang kisah
humor membuat Geni tertawa. Suatu saat ia menoleh
memandang lekat wajah Geni. "Sebenarnya kamu tidak terlalu
tampan, tetapi ada sesuatu dalam tubuhmu yang memancar
daya tarik. Pertama lihat kamu, aku langsung jatuh cinta.
Ketika kamu memegang gemas bokongku, aku tahu kamu
juga tertarik padaku. Sejak itu aku mengkhayalketemu
denganmu Aku sepatutnya berterimakasih pada Dewi Obat
sehingga kamu pergi mencari bunga talasari, tanpa itu
mungkin seumur hidup aku tak pernah ketemu kamu, tak
pernah bisa menjadi isterimu Sekarang ini aku bahagia." Ia
memeluk Geni, "Aku menyintaimu"
Geni memperlambat lari si hitam. Manohara menggumam,
"Kamu terangsang, sayang?"
Geni mengangguk. Manohara menuntun tangan Geni ke
buah dadanya. "Aku juga, Geni." Dia menunjuk. "Di semak itu
saja." Geni menunjuk ke depan, "Di depan tidak jauh lagi, ada
gubuk tua." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika Geni bercinta dengan Manohara di gubuk tua dekat
kaki gunung We lirang, pada saat yang sama Gayatri dan
rombongan tiba di desa Tangkur yang jaraknya setengah hari
perjalanan ke pelabuhan Jedung.
Gayatri merenung. "Oh Geni kamu ada di mana, saat ini
kamu pasti di tengah jalan dan malam nanti tiba di rumah.
Esok pagi atau mungkin ma lam ini juga kamu berangkat ke
Jedung. Jikalau kita dengan perjalanan lamban bisa tiga hari,
kamu mungkin bisa dua hari, berarti tiga hari lagi baru kamu
tiba di Jedung." Geni masih berpelukan dengan Manohara. Dari gubuk itu
ke rumah di lereng Welirang, sekitar setengah hari. "Jika
berangkat sekarang, kita sampai di rumah pada malam hari.
Kamu capek?" Manohara memang merasa capek, meskipun sudah dibantu
dengan tenaga dalam. Perjalanan berkuda serta pergumulan
dengan Geni, membuat ia merasa letih. Tetapi ia tak mau
mengecewakan kekasihnya. "Aku tidak terlalu capek, ayo kita
berangkat biar cepat sampai dan istirahat di rumah."
Malam hari, Geni dan Manohara tiba di rumah. Ia
memanggil nama Sekar dan Gayatri. Namun yang keluar
menjemput Sekar, Prawesti bersama Gajah Lengar, Gajah Nila
dan isteri mereka. "Mana Gayatri?" Geni termenung
mendengar cerita Sekar. "Jadi waktu aku bercinta dengan
Manohara, pada saat itu Gayatri menghadapi saat kritis diadili
ayahnya. Dia menderita saat aku asyik bercinta, ini benar-
benar gila, aku memang gila," katanya dalam hati
Tak lupa Geni memperkenalkan Manohara kepada Sekar
dan Prawesti. Sebenarnya ketiganya sudah saling kenal. Tidak
diduga mereka kini berkumpul satu rumah sebagai isteri sang
pendekar Wisang Geni. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang juga aku berangkat ke Jedung, sendiri, karena
aku akan melakukan perjalanan cepat, jika kalian ikut maka
hanya memperlambat perjalanan."
Tetapi Sekar memaksa ikut, "Aku tak tahu apa yang
menghadangmu di perjalanan, karenanya aku harus ikut. Biar
cepat, kita menunggang si hitam dan si putih. Prawesti dan
Manohara menyusul dengan kuda lain."
Prawesti menyahut, "Baik, kami berdua menyusul." Dia
mengajak Manohara mempersiapkan perbekalan. Tak lama
kemudian, setelah menerima buntalan pakaian dan bekal
makanan, Geni dan Sekar berangkat.
Sepasang kuda perkasa itu berlari tak kenal lelah. Geni
bahkan memaksa perjalanan malam hari. Meskipun gelap
namun ia masih mengenal jalanan dari Welirang menuju Dayu.
Keesokannya mereka sudah melewati desa Dayu. Mereka
memacu kudanya terus. Malam harinya tiba di desa Pandan,
mereka istirahat di rumah penduduk.
Meskipun letih namun Geni lebih mengutamakan Sekar
yang sedang hamil. Dia membantu dengan penyaluran tenaga
dalam memulihkan tenaga isterinya. Selesai membantu
isterinya, Geni mengambil posisi semedi. "Kita istirahat
sekadarnya, tengah malam nanti kita melanjutkan perjalanan,"
kata Geni sambil semedi menata tenaga dalamnya.
Selesa i semedi Geni me lihat isterinya sedang berbaring
memunggungi dia. Sesaat dia bimbang dan ragu. Dia merasa
tidak tega membangunkan Sekar tetapi pada s isi lain dia ingin
secepatnya tiba di Jedung. Dia menggamit lengan isterinya.
"Sekar, kita berangkat sekarang."
"Kamu berangkat sekarang saja tetapi sendirian. Aku
menyusul besok pagi atau besok siang." Suara Sekar lirih dan
dingin. Samar-samar Geni menangkap suara sesegukan dan
isak tangis yang ditahan-tahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekar, ada apa, mengapa kamu menangis" Kamu letih?"
Geni memegang lengan isterinya. Tetapi Sekar menepis
tangan suaminya, dia berkata ketus, "Jangan pura-pura, aku
lebih suka kalau kamu berterus terang, itu lebih baik bagiku
meskipun misalnya terasa pahit."
"Aku tidak mengerti apa persoalannya, mengapa kamu
mendadak marah seperti ini?" tanya Geni lirih.
Perempuan itu membalik tubuh. Matanya menatap dengan
penuh kemarahan. Ada api di dalam mata yang indah itu.
"Terimakasih kamu sudah membantu aku dengan tenagamu
yang hebat, tenagaku sudah pulih, aku sudah siap
menunggang kuda sehari semalam lagi bahkan kalau perlu
dua hari dua malam sampai aku mati di atas punggung kuda."
"Aku tahu kamu marah, tetapi apa salahku?"
Kata-kata Geni itu menambah kemarahan Sekar. "Aku tahu,
Geni. Kamu membantu aku bukan karena sayang dan cinta,
tetapi supaya aku bisa menunggang kuda sehari semalam lagi,
iya kan. Supaya kamu cepat bertemu dengan Gayatri-muyang
sangat kau cintai itu."
Wisang Geni bingung. Dia tahu isterinya marah. Tidak
biasanya Sekar marah. Berarti ada sesuatu yang telah
menyinggung perasaannya yang membuat dia marah. "Iya
kamu benar, kita melakukan perjalanan cepat ke Jedung
supaya tidak terlambat sebab kita harus mencegah jangan
sampai Gayatri dibawa pulang ayahnya ke Himalaya."
Mendengar itu, Sekar me ledak dalam tangis dan marah.
"Kamu telah membohongi aku, selama ini aku mempercayai
kamu, percaya bahwa kamu mencintai aku. Aku mohon
padamu Geni, jangan bohongi aku dengan rayuan manismu
itu. Katakan dengan jujur, kamu tidak mencintai aku, kamu
hanya kasmaran pada tubuhku. Katakan, tak usah ragu, sebab
aku tak akan berubah, tetap saja mencintai kamu
sebagaimana adanya cintaku yang kemarin. Cintaku tetap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sama seperukemarin maupun hari ini. Cintaku tak akan
luntur., tapi tolong jangan bohongi aku, jangan menyakiti aku
dengan membohongi aku."
Geni memegang tangan isterinya, menciumi tangan yang
jari-jarinya lentik. "Aku tidak pernah bohong, aku mencintaimu, aku kasmaran padamu, itu hal yang benar,
bukan rayuan atau kebohongan. Bagaimana kamu bisa bicara
seperti itu, mengatakan aku membohongi kamu?"
Dia menarik tangannya dari genggaman suaminya. "Aku tak
mau pergi sekarang, aku tak mau berdebat, aku ngantuk dan
mau tidur. Kalau kamu mau pergi, pergilah, tinggalkan aku di
sini, biar aku mati ditelan macan jangan urusi aku, kamu
pergilah ke Jedung urus isterimu itu!"
Pada akhirnya Geni mengerti mengapa Sekar mendadak
marah. "Oh dia cemburu," katanya dalam hati. Geni bergerak
sebat, tangannya menotok urat di pundak isterinya. Karena
tak menduga akan diserang, Sekar tak bisa berkelit.
Seandainya mengetahui akan diserang pun Sekar tidak akan
mampu mengelak. Dua tangannya lemas, tetapi kakunya
masih bertenaga. Dia hendak bergerak, tetapi tangan Geni
sudah menotok pangkal pahanya. Sekar rubuh di dipan. "Geni,
mau apa kamu?" "Apa lagi, ya mau memeluk kamu."
"Aku tak mau, tidak mau!"
"Sekarang, ceritakan padaku, mengapa kamu marah, kamu
cemburu?" "Aku tidak cemburu Gayatri adalah adik dan sahabatku.
Tetapi aku marah karena merasa kamu bohongi. Tenagamu
mumpuni, kamu mampu melakukan perjalanan gila seperti ini.
Tetapi aku tidak sekuat kamu, apalagi dalam keadaan hamil.
Tetapi kamu tidak memikirkan aku, apakah aku kuat atau letih
atau mau mati, kamu hanya memikirkan Gayatri. Hanya
Gayatri yang ada di dalam benakmu Padahal kamu sering
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berbisik di telingaku, Oh Sekar, aku mencintaimu, aku
kasmaran padamu, kamu lebih istimewa dari Gayatri atau
perempuan mana pun. Itu rayuan beracun. Aku hanya mohon
padamu, sejak malam ini, jangan merayuku lagi, jika perlu
tubuhku, kamu hanya perlu berteriak Sekar kemari, aku ingin
bercinta denganmu! Maka aku akan datang, buka pakaian dan
membiarkan kamu meniduri aku. Bagiku itu lebih jelas dan
lebih jujur." Wisang Geni tertawa geli. Sekar melotot merasa
disepelekan. Dia hendak bicara tetapi tangan Geni cepat
membungkam mulurnya. Sekar meronta dan menggigit tangan
yang membungkam mulurnya. Geni membiarkan. Mata Sekar
melotot tetapi tidak tega menyakiti suaminya, akhirnya gigitan
itu mengendur. "Maafkan aku, Sekar. Aku sungguh goblok, aku tidak
berpikir waras. Seharusnya aku memberimu waktu istirahat,
aku berlaku tidak pantas memaksa kamu berkuda sehari
semalaman. Maafkan aku, isteriku." Dia melihat mata isterinya


Wisang Geni Pendekar Tanpa Tanding Karya John Halmahera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbinar, ada rasa gembira. Geni melanjutkan, "Sekar, aku
tidak pernah membohongi kamu Aku berkata jujur bahwa aku
hanya mencintaimu seorang," Geni menarik tangannya dari
mulut isterinya. "Kamu bohong, bohong!" Sekar berteriak. Sesaat kemudian
dia me lanjutkan lirih, "Kamu mencintai Gayatri. Adapun aku,
kamu hanya butuh tubuhku, butuh cara aku me layanimu
dalam bercinta." Wisang Geni memeluk dan menciumi leher isterinya yang
berkeringat lalu tangannya yang kekar memegang dua pipi
perempuan cantik itu. "Kamu dengar Sekar, jangan keras
kepala, aku hanya mencintai kamu seorang!"
"Jangan bohong, katakan saja, kamu mencintai Gayatri dan
kamu akan mati apabila tidak bertemu dengannya di Jedung,
kamu juga akan mati jika dia pergike Hima laya, dan kamu
akan mengajak semua orang-orangmu pergi ke Hima laya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengejar cintamu yang hilang itu. Katakan saja Geni, jangan
khawatir, aku tidak akan berubah, aku tetap mencintaimu,"
Sekar bicara berapi-api meski dengan nada yang rendah dan
lirih. Lelaki itu diam. Pikirannya bekerja. "Jika Gayatri dibawa
pulang ke Hima laya karena aku terlambat datang, apakah aku
akan menyusul dia ke Himalaya" Mengajak semua isteriku"
Atau pergi sendirian" Bagaimana jika sesampai di Jedung,
Gayatri sudah dihukum dan tewas misalnya, apa yang akan
aku lakukan?" Melihat suaminya diam, Sekar beranggapan semua
tuduhannya benar. Sekar memeluk suaminya, amarahnya
reda. "Geni, aku tetap mencintaimu, aku akan ikut kamu, ke
mana pun, ke Himalaya pun aku ikut. Tetapi kamu tak perlu
merayuku dan membohongi aku, jujur saja, aku tak akan
marah. Aku hanya marah jika aku dibohongi."
Geni duduk di pembaringan, menatap mata indah isterinya.
Mendengar ucapan Sekar yang legowo itu, Geni semakin
mencintainya. "Sekar, aku sudah lama berpikir tentang diriku
dan hubunganku dengan kamu, Wulan, Gayatri dan
perempuan lain. Sekarang baru aku sadar,
bahwa sesungguhnya cintaku hanya satu, aku tidak bisa mencintai
dua perempuan sekaligus. Aku hanya mencintai satu
perempuan, perempuan lain cuma nafsu birahi!" Sekar
memotong cepat, "Dia, Gayatri! Iya kan?"
Seperti tidak mendengar apa yang dikatakan isterinya, Geni
melanjutkan dengan mimik serius. "Pertanyaanmu tadi, jikalau
Gayatri dibawa paksa ayahnya, apakah aku akan menyusul ke
Hima laya" Aku bisa menjawabnya sekarang ini karena aku
sudah tahu siapa sebenarnya perempuan yang paling kucinta "
Sekar menatap suaminya, diam menanti ucapan selanjutnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagiku tidak penting, apakah Gayatri pulang ke Hima laya
atau tetap di sini. Juga tidak penting apakah aku akan
menyusul ke Hima laya atau tidak. Aku bisa saja tidak
menyusul Gayatri ke Hima laya, hal itu tidak besar artinya
bagiku. Artinya aku bisa hidup meskipun tanpa Gayatri, seperti
halnya Wulan, aku bisa hidup setelah Wulan mati. Terhadap
Gayatri, Wulan, Prawesti dan semua perempuan, aku hanya
ingin meniduri mereka, aku tidak mencintai mereka, aku
hanya bernafsu. Jika mereka pergi, aku bisa mendapatkan
perempuan lain. Tak ada bedanya." Geni menatap isterinya
dengan sinar mata yang memancarkan sejuta makna cinta.
"Tetapi terhadap perempuan bernama Sekar, aku
nicimuiaiiiya, aku tidak mau kehilangan dia, aku tidak bisa
membayangkan bagaimana aku menjalani hidup tanpa dia di
sisiku." Geni memeluk dan mencium isterinya. Sekar bereaksi
dengan liar. "Geni, benarkah apa yang kudengar, benarkah
kamu mencintai aku seperti itu?"
"Terhadapmu aku mencinta dan bernafsu. Kepada Gayatri
dan perempuan lain, hanya nafsu birahi belaka."
"Apakah itu rayuanmu lagi, ataukah ungkapan jujur" Sejak
kapan kamu mengetahui perbedaan itu?"
"Aku jujur, Sekar. Sejak di hutan cemara, aku sudah
mencintaimu Tapi selama ini kupikir aku mencintai kalian
semua. Pertanyaanmu tadi telah menggugah hati dan
pikiranku. Seandainya kamu, yang dibawa lari ke Himalaya,
aku tidak akan ragu dan akan segera menyusulmu apa pun
resikonya. Tetapi jika Gayatri, aku masih akan mempertimbangkan resiko untung ruginya, ini adalah
perasaanku yang paling jujur. Aku ingin cepat sampai di
Jedung karena ingin mencegah keberangkatan Gayatri, itu
tanggungjawabku sebagai suami"
Sekar menciumi wajah dan leher suaminya. "Geni, aku
merasa aku adalah perempuan paling beruntung di kolong
langit, paling bahagia. Aku mencintaimu, suamiku, dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segenap raga dan jiwaku" Keduanya larut dalam bhahinya
cinta. Selesai bercinta, Sekar berbisik, "Aku bahagia suamiku."
Dia memijit dan mengelus-elus tubuh Geni sampai suaminya
tertidur pulas. Keesokan harinya, tubuh suami isteri itu bugar
kembali. Sebelum matahari terbit, keduanya sudah berada di
atas kuda tunggangan. ---ooo0dw0ooo--- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tarung Untuk Cinta Malam hari waktu Geni dan Sekar nginap di desa Pandan,
saat bersamaan Gayatri bersama Susmita dan Ayeshak pergi
menemui nakhoda perahu. Mereka mendengar kabar perahu
akan berangkat besok siang, padahal menurut perhitungan
Gayatri, paling cepat Wisang Geni baru akan tiba satu hari
kemudian. "Kita harus memberi uang tambahan sebagai
penggembira kepada nakhoda, agar mau menunda keberangkatan perahu sekitar dua hari," kata Susmita dalam
perjalanan. Tetapi tiga perempuan itu lupa membawa uang.
Mendadak Gayatri teringat kalung emasnya, ia meraba
lehernya. Kepada sang nakhoda, Gayatri menyodorkan kalung
emas dengan liontin bergambar garuda, hadiah perkawinannya dari perma isuri Tumapel, Waning Hyun. "Ini
sebagai jaminan, kamu simpan, nanti besok siang akan aku
tebus. Tolong tunda keberangkatan kapalmu dua hari, aku
menanti seseorang. Dia akan menemuiku di s ini dua hari lagi"
Nakhoda itu tersenyum Ia berlaku ramah dan sopan.
"Tentu orang yang ditunggu itu sangat penting buat nona-
nona." "Ya dia suamiku, aku harus ketemu dia dulu"
"Maafkan saya, nona, kalau boleh tahu, kalung ini milik
keraton Tumapel. Boleh aku tahu siapa nona?" Ia bertanya
sopan sambil menolak menyentuh kalung itu.
"Kalung ini hadiah perkawinanku dari permaisuri Waning
Hyun, dan supaya kamu tahu, suamiku W isang Geni punya
hubungan erat dengan keraton Tumapel."
"Benar juga perkiraanku, nona pasti orang penting, nama
suami nona sangat terkenal di seluruh tanah Jawa. Untuk dia,
untuk nona saya akan kerjakan permintaan nona, tetapi maaf
saya tidak berasi menyentuh kalung emas itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia mengantar tiga perempuan itu sampai ke tempat yang
aman. "Saya masih hulubalang keraton Tumapel, bagi kami
para hulubalang melihat kalung tersebut sama seperti
berhadapan dengan yang mulia permaisuri. Sehingga
permintaan nona sama dengan perintah keraton yang harus
saya patuhi. Perahu ini akan berangkat sesuai permintaan
nona yang muka." "Gila, hebat sekali suamimu itu, bagaimana mungkin dia
bisa bersahabat dengan permaisuri raja, eh Gayatri, kamu
musti ngajak kita berdua mengunjungi keraton," tukas
Ayeshak gembira. Dua kakak ipar makin kagum ketika Gayatri
menjelaskan bahwa Wisang Geni adalah kakak seperguruan
dari permaisuri Waning Hyun.
Esok harinya, semua penumpang menerima pengumuman,
penundaan jadwal berangkat Ditunda selama dua hari, kata
nakhoda ada sedikit perbaikan di lambung perahu. Bagi para
pedagang, penundaan sudah merupakan hal yang biasa dan
sering terjadi. Sepanjang hari Gayatri hanya menunggu kedatangan
kekasihnya. Sewaktu ma lam tiba Gayatri mulai diserang
perasaan ragu. Apakah Geni akan datang menjemputnya"
Bagaimana kalau dia tidak datang" Bagaimana kalau dia
mendapat halangan yang tak mampu dia atasi sehingga
terlambat tiba di sini"
Keesokan pagi, nakhoda datang menemuinya. Ia memohon
maaf, tak bisa lagi menunda keberangkatan, karena khawatir
ketemu topan di tengah lautan. Ia hanya bisa menunda satu
hari, sehingga sesuai perhitungan angin, maka siang hari,
perahu sudah harus berangkat "Maafkan saya, nona yang
mulia." Matahari sangat terik. Udara panas. Pelabuhan sangat
sibuk. Banyak pedagang dan pekerja pelabuhan lalu lalang
naik turun perahu. Awak kapal sudah mempersiapkan layar.
Gayatri duduk bertopang dagu di buritan, memandang jauh ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
daratan, mengharap munculnya Wisang Geni. Ibunya dan dua
kakak iparnya, ikut-ikutan gelisah. Tiga perempuan itu
terkadang ragu akan kesetiaan Wisang Geni. "Apakah dia akan
datang, demi wanita yang dicintainya" Apakah dia benar-
benar mencintai Gayatri?"
Empat perempuan itu tidak mengetahui ketika itu Yudistira
sudah berdiri di belakang mereka. Suaranya terdengar lirih,
"Dia pasti akan datang, tak ada seorang laki-laki pun yang
bodoh dan gila yang mau melepas isterinya yang cantik pergi
ke tanah seberang tanpa dia berusaha mencegahnya. Kata-
kataku berlaku jikalau dia sangat mencintai isterinya. Jikalau
cintanya cepat luntur, maka dia tidak akan menyusul Gayatri
ke Jedung." Yudistira menepuk pundak putrinya. "Tetapi ayah punya
firasat bahwa dia tak akan melepaskan engkau, jika dia
terlambat karena sesuatu sebab, dia pasti akan menyusul
mencarimu ke Himalaya. Percayalah pada ayahmu Sebenarnya
aku ingin sekali berjumpa Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa
ini. Aku ingin menjajal ilmu s ilatnya, juga ingin tahu jurus apa
yang dia gunakan sehingga bisa menaklukkan kekerasan hati
Gayatri putriku yang cantik ini."
Mendengar itu, tangis Gayatri semakin menjadi-jadi.
Satyawati memeluk putrinya, mengelus-elus kepalanya.
Hatinya terguncang menyaksikan kesedihan putri belahan
jiwanya. Saat itu perahu layar sudah bergerak melaut. "Tak ada
harapan lagi, suamiku sudah melupakan aku" Gayatri merasa
tubuhnya lemas. Airmata sudah memenuhi sepasang mata
coklatnya membual pandangannya kabur.
Samar-samar, karena terhalang butiran airmata, sepertinya
ia melihat sepasang kuda sedang berlari kencang menuju ke
arah perahu. Gayatri masih seperti orang linglung, tanpa sadar
dia menggumam, suaranya lirih dan memelas, "Itu kudaku si
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Putih, dan di depannya itu si Hitam, siapa penunggangnya,
apakah dia suamiku Wisang Geni?"
Rupanya suara batinnya itu mendapat jawaban. Saat itu
terdengar suara siulan khas Wisang Geni. Nyaring,
memekakkan telinga. Suara siul itu panjang.
Bagai tersentak dari alam khayal Gayatri kembali berpijak di
alam nyata. Gayatri berseru, "Itu suamiku, Geni oh akhirnya
kamu datang juga, kekasihku." Suaranya lirih tetapi padat
nada gembira dan bahagia.
Mendadak saja siulan panjang itu terhenti, sesaat laut sunyi
senyap. Lalu terdengar suara mengumandang, "Gayatri,
isteriku, kekasihku, aku datang."
Gayatri mengucak matanya, menghapus airmatanya, kini ia
bisa melihat nyata. Ia melihat Geni me lompat turun dari
punggung si Hitam yang sedang berlari kencang. Lelaki itu
berlari pesat di samping kudanya. Ia bahkan melewati
kecepatan kuda. Debu dan dedaunan tersibak diterjang angin
puyuh kecepatan Geni. Tidak hanya sendirian, di belakang
Geni, seorang wanita berlari kencang. Dia Sekar.
Begitu sampai di ujung dermaga, Geni melompat dan
melayang ke laut sambil meneriakkan tertawa khas dari
lembah kera. Ia tak lagi bersiul.
Suara tawanya mengumandang di laut lepas, menimbulkan suasana magis
yang seram. Dia berlari di atas permukaan laut, di antara
kecipak ombak. Mendekati perahu, ia me lempar sepotong
papan ke permukaan laut. Kakinya menjejak papan dan saat
berikut ia melayang turun di geladak perahu. Selang beberapa
saat kemudian Sekar juga melayang turun berpijak di geladak.
"Suamiku, akhirnya kamu datang juga," kata Gayatri di
tengah kekaguman semua orang yang menyaksikan sepak
terjang Geni termasuk para pedagang dan awak kapal.
Nakhoda itu sempat berkomentar, "Rupanya dialah orang
yang ditunggu-tunggu si nona Gayatri, inikah Wisang Geni
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Wisang Geni Pendekar Tanpa Tanding Karya John Halmahera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berjuluk Pendekar Tanah Jawa itu, wuah hebat sekali
ilmu s ilatnya." Geni menyahut seruan Gayatri dengan gairah. "Ke mana
pun kamu pergi Gayatri, aku akan mengejarmu, ke Hima laya
pun aku akan mengejarmu" Lelaki itu berdiri tidak jauh dari
Gayatri. Ia melihat isterinya dikelilingi orang-orang yang
wajahnya hampir mirip satu sama lain. Geni membungkuk
memberi hormat tetapi tidak bergerak mendekat. Dia berhati-
hati. Gayatri hendak berlari ke arah Geni tetapi tangan ibunya
menggenggam erat. "Jangan, jangan begitu, sabar dulu
anakku," bisiknya perlahan. Dia membatalkan niatnya, dia
memandang suaminya dengan pandangan penuh cinta dan
bahagia. Gundah, gelisah dan ketakutan sudah sirna dari
wajah cantiknya. "Suamiku akan membereskan semua
persoalanku," katanya dalam hati.
Yudistira dan semua keluarga memerhatikan lelaki itu.
Dilihatnya Wisang Geni sosok lelaki biasa, cukup tampan tetapi
aura kelaki-lakiannya lebih menonjol. Rambutnya beruban,
panjang, putih keperakan, tubuhnya sawo matang dan kekar.
Dari sepak terjangnya, terlihat jelas tingkat ilmu silatnya yang
tinggi. Satu tombak di belakang Geni, seorang perempuan
cantik jelita berdiri dengan siaga dan kuda-kuda mantap.
Menyaksikan ilmu ringan tubuh ketika Wisang Geni lari
membelah ombak dan siulannya yang bertenaga, diam-diam
Yudistira merasa kagum. Itulah kepandaian pendekar kelas
utama. Ketika Geni menginjak kakinya di geladak perahu, tak
ada bunyi suara. Ia mendarat seringan kupu-kupu tetapi
geladak kapal seperti bergetar.
Pada saat berbarengan, Geni merasa ada orang menyerang
dirinya. Ia ingat janjinya pada Gayatri. Sesaat dia diam, tidak
melawan. Saat berikutnya dia merasa hawa pukulan itu ganas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan bisa menewaskannya. Dia tak bisa diam begitu saja
menanti maut. Dia bereaksi melapisi seluruh tubuhnya dengan
tenaga Wiwaha dan dua tangannya menangkis sekaligus
menolak pukulan yang mengarah dada dan kepalanya.
"Dessss! Dessss!" Tangan dua pendekar itu beradu di
udara. Wisang Geni tidak menduga, ilmu silat lawan cukup aneh.
Jurus pukulan lawan itu bergelombang, saat tangan bentrok
saat berikut pukulan lawan menerobos masuk dan
menghantam pundak Geni. Karena pukulan lawan itu adalah
pukulan susulan maka tenaganya tidak lagi penuh. Namun
tetap saja Wisang Geni terdorong tiga tindak ke belakang,
jatuh dan terduduk di geladak.
Gayatri berteriak, "Geni, kenapa kamu diam."
Pada saat yang sama, Sekar berkelebat dan menghadang di
depan Geni, sambil teriak keras, "Kamu curang, pengecut,
kamu membokong!" Orang itu, ternyata Wasudeva Tanpa merasa malu dia
melanjutkan serangan, dia ingin menghabisi Wisang Geni.
Tetapi Sekar menghadapinya dengan gesit dan terampil. Dia
heran melihat gadis cantik jelita tetapi punya ilmu silat yang
tinggi. Dalam beberapa jurus Sekar berhasil menghalau semua
serangan Wasudeva Masih dalam posisi duduk bersila di geladak, Geni
mengerahkan pernapasan Wiwaha. Tenaga dinginnya berganti
panas, dalam porsi paling maksimal berputar-putar dan
menyembuhkan luka di pundaknya
Gayatri berseru, suaranya serak tanpa gelisah. "Geni,
mengapa kamu tidak melawan?"
"Aku sudah berjanji padamu aku tidak akan tarung
melawan keluargamu, ayah atau kakakmu." Geni batuk-batuk,
darah meleleh dari sudut mulutnya. Tampaknya memang agak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
parah, namun sebenarnya luka Geni sudah lebih membaik
setelah pengerahan tenaga Wiwaha itu.
Gayatri berteriak, suaranya keras bercampur kemarahan.
"Geni kamu terluka. Dia bukan keluargaku, dia Wasudeva, dia
akan membunuhmu" Mendengar itu Geni sadar dan mengerti mengapa serangan
orang itu demikian ganas dan keji. Jika tidak memiliki tenaga
Wiwaha dipastikan dia sekarang sudah tewas tergeletak di
geladak kapal "Aku tak boleh diam dan manda dipukul,"
pikirnya Dia melejit dan berdiri tegar di atas geladak. Dia
berkata pada isterinya, "Sekar, kamu mundur, aku akan
bereskan binatang ini."
Sekar mundur ke belakang Geni. Dia mendengar Gayatri
memanggilnya, "Mbakyu, kemari dekat aku."
Dua lelaki itu berhadapan.
Wajah Wasudeva tampak beringas. Mana mau dia melepas
korbannya. Dia mengetahui lawannya terluka, karena
pukulannya tadi mengena telak. Meskipun ada semacam
tenaga tolakan dari tubuh Geni, tetapi dia yakin lawannya itu
sudah terluka Dia melihat Wisang Geni ibarat ikan sudah
masuk jaringnya. Dia tak mau menyia-siakan kesempatan
yang ada. Dia bahkan tak peduli apakah perbuatannya
membokong itu mendatangkan cela dan aib, dia tak bisa
berpikir lain kecuali rasa cemburu dan kebenciannya harus dia
lampiaskan. Dia harus membunuh Wisang Geni, karena laki-
laki itu telah merebut Gayatri dari tangannya dan telah
menikmati keindahan dan kecantikan Gayatri.
Peluang sudah di depan mata, sekarang atau tidak sama
sekali, berpikir demikian Wasudeva merancang serangan
berantai yang dahsyat Jurus Arjapura ini belum pernah ia
peragakan karena selama ini semua lawannya rontok lewat
jurus-jurus ringan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat jurus itu Yudistira terkesiap, ia mengenal jurus
maut Sapno Tasafar Haimeri Dilka Yeh Bhawarhai (Inilah
perjalanan impian, inilah pusaran tujuan hatiku). Jurus ini
pernah dipakai sahabatnya, Arjapura, tarung dan membunuh
belasan perampok gurun yang tangguh.
Wisang Geni terkesiap. Jurus lawan itu aneh, pukulan yang
mengarah ke kiri mendadak bisa berubah ke kanan, atas
menjadi bawah dan sebaliknya. Saat itu Geni masih dalam
pemulihan tenaga Wirvaha. Ia bergerak pesat, mengelak jika
tahu diri terancam, merunduk dan melompat untuk
menghindar, geraknya tidak leluasa karena tenaganya belum
pulih. Tendangan Wasudeva menerpa pahanya dan jiwanya
kini terancam jurus lawan yang mengarah titik kematian. Dia
teringat pesan Eyang Sepuh, "jika terdesak, tangkis dan balas
menyerang. Jangan bertahan, karena menyerang adalah lebih
menguntungkan." Dan Geni tak lagi mengelak, ia balas menyerang. Serangan
lawan dibalas serangan. Geni bergerak bagai pusaran, tangan
membuat lingkaran, tubuhnya ikut berputar seperti gaya
menari. Tujuh kali terdengar bentrokan tangan. Wasudeva merasa
pukulannya membentur tembok yang bersifat membal. Dia
heran bagaimana mungkin seorang yang sudah terluka tenaga
dalamnya masih punya tenaga sehebat itu. Hal ini membuat
dia penasaran, dia memukul sambil menambah kekuatan
tenaga pukulannya. Dalam beberapa gebrakan tadi Wisang Geni telah peroleh
keuntungan, tenaga pukulan lawan memancing tenaga
Wiwaha bereaksi. Proses penyembuhan luka bahkan lebih
cepat dari perkiraan. Inilah kelebihan tenaga dalam Wiwaha
yang bagaikan mukjizat. Bentrokan tangan yang kedelapan membuat Wasudeva
mundur beberapa langkah, Wisang Geni pun mundur
beberapa langkah. Keduanya kini terpisah jauh. Wisang Geni
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memberi hormat pada Wasudeva. "Kamukah yang bernama
Wasudeva, kukira tadi kamu salah seorang anggota keluarga
isteriku, itu sebabnya aku tidak melawan sehingga kamu bisa
memukulku. Sebab aku sudah berjanji tidak akan bertarung
dengan keluarga isteriku, apa pun alasannya."
Semua orang mendengar ucapan lelaki bernama Wisang
Geni itu. Sebelum Gayatri menyahut. Yudistira berkata dengan
suaranya yang serak berwibawa, "Aku ayah Gayatri, namaku
Yudistira. Dia ini ibunya. Dan dua lelaki itu kakaknya, Arjun
dan Shankar. Orang yang bertarung denganmu itu, Wasudeva,
lelaki yang merasa jodohnya telah kamu rampas!"
Wisang Geni membungkuk memberi hormat pada Y udistira,
Arjun, Shankar dan tiga wanita yang berdiri di samping
Gayatri. "Aku yang rendah ini, W isang Geni, menghatur salam
hormat kepada keluarga isteriku." Dia kemudian menoleh
kepada Wasudeva. "Mengapa kamu memukul dan menyerangku tanpa basa-basi sedikit pun. Itu namanya
serangan gelap." Wajah Wasudeva merah padam saking marahnya.
"Jahanam busuk, hari ini aku akan mencabut nyawamu,
bersiaplah untuk mati."
Gayatri berteriak, "Curang, kamu pengecut, kamu
membokong orang, kemudian menantang orang yang
terluka." Ia menoleh ke arah Sekar yang berdiri di
sampingnya. "Mbakyu, ayo kita lawan dia."
"Sabar adik, pasti Geni bisa mengatasi dia."
Gayatri masih belum puas. Ia berseru, "Aku sudah katakan
sebelumnya padamu Wasudeva, kamu tak akan bisa menang
lawan suamiku." Pada detik itu Yudistira berseru kepada nakhoda perahu,
"Putar kembali perahumu ke pelabuhan, kerugian nanti aku
yang tanggung, Arjun dan Shankar, jika ia tidak memutar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kembali perahu layar ini, kamu patahkan kemudi dan
layarnya." Dua ibu dan anak, Satyawati dan Gayatri seperti
mendengar sesuatu yang datang dari alam mimpi. Hampir
tidak bisa dipercaya, mendengar Yudistira memerintahkan
perahu untuk kembali ke daratan.
Keheranan semakin bertambah ketika Yudistira berkata
kepada Wasudeva, "Ayahmu adalah pendekar ternama, kamu
juga seorang pendekar Hima laya yang punya kehormatan.
Kamu harus memberi lawanmu itu waktu istirahat untuk
memulihkan tenaganya. Dan kamu pendekar Wisang Geni,
berapa lama kamu membutuhkan waktu memulihkan
tenagamu?" "Terimakasih atas kemurahan hati paduka tuan, hamba
yang rendah hanya butuh sedikit waktu untuk menghilangkan
capek." Dia kemudian memainkan empat posisi semedi
Wiwaha. Dalam sekejap, uap tipis melayang di atas kepalanya.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat Geni sudah siap.
"Pendekar Wasudeva yang terhormat, silahkan tuan memilih
tempat pertarungan."
Tenaga dalam Wisang Geni sudah pulih seperti sediakala.
Ia tidak terluka parah. Hanya kena guncangan yang tidak
terlalu berbahaya. Ketika pukulan menerpa pundaknya, saat
itu juga tenaga Wiwaha yang melapis tubuh Geni telah
memunahkan sebagian besar pukulan lawan. Itu sebab dia
hanya butuh sedikit waktu untuk memulihkan diri.
Tadi ketika darah menetes dari ujung mulut Geni, tangan
Gayatri dingin, basah dan berkeringat. Sekarang wanita cantik
itu tampak tenang, dia percaya kekasihnya akan menyelesaikan kemelut persoalan keluarganya.
Yudistira merasa heran bercampur kagum, bagaimana
mungkin setelah terluka oleh pukulan telak lawannya, Wisang
Geni bisa secepat itu pulih. "Mungkin saja ia terlalu memaksa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diri, padahal tenaganya belum seluruhnya pulih," gumam
Yudistira dalam batin. Kala itu, perahu sudah berbalik arah menuju pelabuhan.
Para pekerja siap-siap untuk melempar sauh. Saat yang sama
Wasudeva berteriak marah, "Kamu yang seharusnya memilih
tempat yang layak menjadi kuburan bagimu"
Wasudeva menyerang gencar. Pukulannya tetap saja aneh.
Ia memainkan jurus andalan lainnya Is Mein Doobjana Zarasa
Lamba Chupata Khwab Milgaya (Banyak waktu yang lenyap
kini telah kembali)) dan Hum Samundar Ke Andaarchale
(Menuju kedalaman laut samudera).
Wisang Geni tak mau memandang ringan jurus-jurus aneh
lawan. Ia meladeni dengan pikiran terpusat pada gerak lawan.
Ke mana arah serangan lawan datang, Geni mengelak gesit.
Ia membalas serangan dengan serangan, kakinya tak lagi
memijak lantai perahu. Dia melayang dengan ringan, namun
pukulannya terasa berat berbobot menimbulkan kesiuran
angin panas dan dingin bergantian. Bentrokan tangan
berulang kali, jerit marah Wasudeva mewarnai serangannya
yang mau adu jiwa. Limapuluh jurus berlalu, Wasudeva unggul di atas angin
karena sepertinya Geni ragu-ragu. Gayatri melihat ini, ia
berseru, "Geni kenapa kamu tidak memainkan jurus Leysus
dan Prahara" Kamu ingatkan cerita penderitaan kakak
Manisha, meskipun kakakku itu sudah mati tetapi dia tetap
kakak iparmu. Serang dia!"
Wisang Geni sibuk menghindar dan menangkis serangan
gencar lawan. Mendadak suara Wasudeva seakan memecah
gendang telinganya. Itu gema suara yang aneh. Geni
mendengarnya sangat keras, hampir memecahkan gendang
telinganya, sedang bagi telinga orang lain terdengar normal.
Teriakan Wasudeva itu mengandung sihir dan magis tingkat
tinggi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yudistira tahu jurus apa itu! Arjapura pernah menceritakan
kepadanya tentang hebatya jurus Bahutzara Hashtato
Tothodasa Pagal Chaknahai (T ertawa terus dan kamu akan


Wisang Geni Pendekar Tanpa Tanding Karya John Halmahera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti orang gila). "Tidak lama lagi kamu akan gila, kamu mati, lalu isterimu
akan menjadi isteriku, Yudistira tak bisa menghalangi karena
sudah bersumpah merestui jodohku dengan Gayatri. Aku akan
meniduri isterimu yang montok itu setiap pagi, setiap siang
dan setiap ma lam. Tetapi aku juga akan memukulinya setiap
hari lantaran sudah berani mengkhianati cintaku," suara
Wasudeva itu mendengung dan menusuk serta menggelitik
telinga Wisang Geni. Geni limbung, pikirannya terganggu. Tetapi bayangan
Gayatri ditiduri dan disiksa lelaki itu memancing amarah Geni.
Memang ungkapan dan suara Wasudeva yang dikemas
dengan kekuatan tenaga sihir itu bertujuan membangkitkan
amarah dan membuyarkan konsentrasi Geni sehingga mudah
dihancurkan. Memang benar adanya, pikiran W isang Geni terganggu.
Beberapa jurus berikutnya, dua pukulan menerpa dada dan
pundaknya. Wasudeva berteriak, "Mampus kamu" Wasudeva
menambah bobot serangan sambil berkata tajam, "Gayatri
akan kupaksa melahirkan anak-anakku, ia kuperkosa dengan
kasar setiap hari, tak pernah berhenti dan kamu akan
menyaksikan itu dari dalam kuburanmu" Teringat akan sifat
angin yang bisa melenyapkan suara apa saja, Geni sadar
bahwa dia tidak boleh membiarkan tenaga suara lawan
mengganggunya. Dia kemudian meredam suara keras di
telinganya dengan mendengarkan desir angin sepoi,
"dengarlah suara angin, suara keindahan alam, suara dari
alam kemerdekaan." Dia berhasil menetralisir tekanan dan magis sihir suara
lawannya. Meskipun demikian dia tetap menangkap kata-kata
tajam Wasudeva yang menghina isterinya. Ungkapan jorok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan kasar lawannya itu telah mendorong amarahnya melewati
puncak kesabaran. Dalam marahnya secara spontan Geni memutar tubuh
bagai gasing, gerakan itu telah menciptakan pusaran angin
dingin yang keras, dua tangannya membuat putaran lingkaran
kecil dan besar. Geni memukul, menggunakan segenap tenaga
Wiwaha yang bagai air bah menerpa apa saja yang
menghadang di depannya. Wasudeva pun memukul dengan
seluruh kekuatan, dia yakin pukulannya akan menghancurkan
tenaga Wisang Geni. Terdengar suara keras. Dua tangan
bentrok, beradunya dua tenaga dahsyat. Keduanya terpental.
Geni mundur dua langkah, dia berjongkok, siaga untuk adu
pukulan lagi. Wasudeva terlempar empat langkah, dia
menggeliat di lantai, matanya melotot penuh kebencian. Dua
tangannya patah begitu pun dadanya yang melesak ke dalam.
Darah meleleh tak hentinya dari mulut, hidung, mata dan
telinga. Saat berikut dia mati tanpa bersuara.
Wisang Geni memperlihatkan jurus hebatnyayang mengandalkan "sifat angin" dengan tenaga Wiwaha yang
sempurna. Jurus itu telah menampung seluruh tenaga pukulan
lawan dan mengembalikannya dalam sekejap mata menjadi
satu pukulan dengan tenaga berlipat ganda yang tidak
mungkin bisa diterima oleh kekuatan Wasudeva.
Pertarungan itu dahsyat. Semua terpesona. Saking leganya
karena lepas dari ketegangan, Satyawati lupa memegang
tangan putrinya. Gayatri melepaskan diri dari pegangan
ibunya. Dia melompat dan memeluk suaminya. "Kamu luka?"
Geni berkata lirih, "Aku tidak terluka. Sebenarnya aku tak
ingin membunuh, tetapi laki-laki itu tak akan mau berhenti.
Aku tak punya pilihan lain. Gayatri, tadi aku jatuh dan muntah
darah karena terlalu letih. Kamu tahu, aku melakukan
perjalanan lima hari tanpa istirahat dari gunung Bromo ke
Welirang dan langsung menuju Jedung. Aku seperti orang gila
mendengar kabar kamu dibawa pulang ke Himalaya. Apa saja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan aku lakukan untukmu Gayatri. Apa pun yang terjadi aku
tak pernah menyesal kawin denganmu, bahkan aku sangat
bahagia. Dan kamu tahu kebahagiaan ini begitu indah
sehingga layak jika harus kutukar dengan jiwaku yang tak
berarti ini." "Wasudeva pantas mati, perbuatannya yang membuat
kakak Manisha mati, pantas untuk dibayar dengan jiwanya.
Terimakasih kamu lelah membalaskan sakit hati Manisha."
Gayatri bicara sambil tetap memeluk suaminya. Dia tidak
malu-malu melakukan itu di depan orangtua dan kakak-
kakaknya. Sambil memeluk dan mengelus kepala Gayatri, dia berkata
lirih, "Sesungguhnya aku sudah bosan dengan perkelahian,
pertarungan, tak pernah ada habisnya. Dendam tak pernah
akan habis. Jika kalah mati, jika menang selalu ada orang
yang menuntut balas. Tidak akan pernah selesai. Tidak lama
lagi, mungkin keluarga Wasudeva akan mencari aku menuntut
balas, hutang nyawa bayar nyawa."
Yudistira mendengar semua perkataan Geni, ia tak begitu
heran. Sesungguhnya dia tak pernah mengira Geni bisa
mengalahkan Wasudeva. Bukankah tadi, beberapa pukulan
Wasudeva telak menerpa tubuhnya. Dia masih terpukau
dengan jurus yang dimainkan Wisang Geni, jurus yang mampu
menciptakan pusaran angin topan dingin dan yang terasa
sampai radius beberapa tombak.
Ayah Gayatri ini merasa kagum "Ilmu silat anak muda ini
biasa saja, tetapi tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat
kelas utama. Bagaimana mungkin seorang yang masih muda
bisa memiliki tenaga dalam setinggi itu. Waktu aku seusia dia,
tenaga dalamku tak sehebat dia," katanya dalam hati.
Pada waktu itu, sang nakhoda perahu menghampiri Gayatri
yang masih duduk di sisi suaminya. Ia membungkuk memberi
hormat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nona yang mulia, kami sudah terdesak waktu, harus
berangkai secepatnya demi menghindari angin topan di laut
dekat Malaka. Jika tidak berangkat hari ini, kami harus
menunda tujuh hari dan semua pedagang ini akan menderita
rugi besar. Mohon petunjuk nona." Nakhoda itu berkata
dengan sopan dan ramah. Gayatri bingung. Namun Yudistira dan Satyawati lebih
bingung menyaksikan betapa nakhoda itu tunduk dan patuh
pada Gayatri. Memecah kesunyian, Satyawati berkata pada
suaminya, "Aku akan sangat gembira jika kita menunda
keberangkatan, suamiku."
Yudistira bertanya pada nakhoda, adakah perahu besar
menuju Malaka atau Puchet dalam waktu dekat ini. Nakhoda
menjawab hormat "Ada perahu besar datang dari Kuangchou
sekitar sepuluh hari lagi, biasanya berlabuh di Jedung sekitar
empatbelas hari." Yudistira menghela napas. Semua anggota keluarga,
termasuk Gayatri dan Geni memandang wajah lelaki itu,
menanti perinlah yang keluar dari mulutnya "Kita tunda
keberangkatan. Barang dagangan yang mudah busuk, kita jual
pada mereka." Ia menunjuk para pedagang yang sejak awal
nonton dari pinggiran. "Kita turun kedarat," berkata demikian
ia melangkah menuruni tangga perahu.
Nakhoda memberanikan diri bertanya, "Tuan yang mulia,
bagaimana dengan mayat orang ini?"
"Dia mati dalam pertarungan secara terhormat, dia mati di
atas lautan, maka tolong makamkan dia di tengah laut dengan
penuh kehormatan, berapa biayanya minta pada isteriku."
Yudistira melangkah menuruni tangga.
Arjun, Shankar dan isterinya mengatur penjualan barang
dagangan serta memerintah pembantu dan pekerja kapal
memindahkan barang lainnya ke darat. T idak lama kemudian
perahu itu melaut. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pelabuhan Jedung mulai sepi, tinggal rombongan Yudistira
yang sedang berteduh dari sengatan matahari siang yang
terik. Mereka berteduh di sekitar pohon beringin. Yudistira
jalan mondar-mandir. Semua mata mengikuti gerak geriknya.
"Aku tak punya pilihan, hukuman tetap harus dijalani, Gayatri
telah melakukan kesalahan besar, ia tetap harus dihukum"
Semua orang diam Wisang Geni memberi hormat pada
Yudistira, "Salam hormatku untuk paduka yang mulia,
pendekar Yudistira."
Yudistira menegur dengan suara datar, "Mengapa kamu
memanggil aku paduka yang mulia, aku bukan raja, jangan
panggil aku dengan sebutan itu."
"Maaf, aku menyebut paduka yang mulia, karena tuan
adalah raja bagi Gayatri, raja yang memegang kekuasaan mati
dan hidupnya Gayatri. Dan Gayatri adalah isteriku, maka aku
harus menyebut tuan dengan sebutan itu, paduka yang mulia
Aku belum berani memanggil ayah mertua, kecuali ada
perintah dari tuan."
Melihat Yudistira diam, Wisang Geni melanjutkan bicara,
"Paduka tuan adalah ayah dari perempuan paling istimewa
yang pernah kutemui dalam hidupku, aku mencintainya
sepenuh hati, dan aku sangat berbahagia lantaran dia telah
memberi aku, hari-hari penuh warna cinta." Dia melanjutkan
setelah menelan ludah. Rasa gugupnya sudah hilang. "Aku
patut berterimakasih padamu, karenanya layak memberimu
sesuatu paling berharga milikku, yakni nyawaku. Bunuhlah
aku, ini pemberian tulus yang menyelesaikan semua persoalan
paduka tuan dan putri tuan serta semua orang di dunia
persilatan, ambillah."
Yudistira berkata dingin, "Kamu pintar bicara, apakah kamu
sungguh-sungguh mau berkorban jiwa untuk isterimu?"
"Aku bersungguh-sungguh, aku tak akan me lawan,
seharusnya aku bunuh diri tetapi aku enggan melakukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perbuatan kaum pengecut. Aku bukan pengecut, aku laki-laki
sejati. Inilah jalan yang kupilih, sebagai tanda cintaku kepada
putrimu Tetapi sebagai permohonan terakhir aku minta
isteriku dibebaskan dari hukuman, sayangilah dia, cintailah
dia." Wisang Geni tersenyum pahit.
Satyawati dan seluruh keluarga diam terpaku. Keringat
dingin. Y udistira menoleh pada putrinya.
"Kamu mau bicara, bicaralah."
Perempuan itu duduk bersanding suaminya, dia merangkul
erat lengan suaminya. "Ayah, ibu dan kakak juga kakak ipar,
aku ibarat Sawitri yang mencintai suaminya tanpa pamrih.
Dalam hidup ini hanya satu kali aku dipilih dan memilih. Aku
sudah tentukan pilihanku, dan aku tidak akan bergeser dari
pilihanku. Jadi jika ayah membunuh suamiku, maka harus
membunuh aku juga, bunuhlah kami bertiga kalau memang
ayah tetap berpegang pada tradisi dan hukum itu." Dia tak
sanggup menahan tangisnya lagi. Sementara Geni di
sampingnya telah mematikan seluruh perasaannya, dia sudah
tak peduli lagi dengan harapan ataukah ancaman.
"Bukan bertiga, tetapi berlima." Sekar mendekat duduk di
samping Gayatri. Tangannya merangkul pundak Gayatri.
"Apa maksudmu, bertiga tadi" Maksudmu lima, siapa lagi?"
Suara Yudistira agak ragu-ragu.
"Dia ada dalam kandunganku, dia anakku berdua W isang
Geni. Dan putrimu juga hamil, semua kami di sini lima nyawa.
Satu di antaranya adalah cucumu sendiri itu pun jika kamu
mau mengakuinya." Nada suara Sekar datar, tidak ada
getaran rasa ragu dan takut.
"Jadi cerita itu benar, bahwa kalian berdua hamil, dan
Gayatri putriku juga hamil?" Sepasang mata Yudistira
menyelidik wajah putrinya, ingin menemukan tanda
kebohongan di s itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak ada kebohongan, Gayatri sudah berurai airmata.
Matanya basah, kerongkongannya kering, ia tak bisa bersuara.
Ia manggut-manggut. "Benar ayah, aku hamil. Inilah akhir
hidupku, hilang harapan membahagiakan suamiku dengan
memberinya seorang anak. Ke mana perginya kebahagiaanku
itu?" Lelaki itu mengembangkan tangannya yang kekar. "Kemari
Gayatri, mendekatlah pada ayahmu" Tetapi putrinya
menggeleng kepala. Suaranya serak, patah-patah. "Aku tetap
dengan suamiku, tak mau berpisah dengannya, bunuhlah
kami, cepat lakukan ayah supaya aku tidak merasa sakit lagi."
Semua anggota keluarga tertegun. Drama itu sangat
mengiris hati. Arjun dan Shankar protes, "Ini tidak adil,
semuanya ulah Wasudeva tetapi kita sekeluarga yang
menanggung deritanya. Ayah, kau pikirkan dulu, mereka tidak
bersalah." Satyawati, Susmita dan Ayeshak saling peluk dengan
tangis. Ketiganya tak mau menyaksikan drama gila itu.
Terdengar suara Yudistira, "Kemarilah Gayatri, anak bodoh.
Kamu kira selama ini aku buta dan tuli" Aku tak pernah
berpikir akan menghukum kamu, apalagi membunuh atau
menyuruh kamu bunuh diri."
Ucapan itu mengejutkan semua orang yang mendengarnya.
Wajah Gayatri menengadah menatap ayahnya. Dia sepertinya
tak percaya mendengar ucapan ayahnya. "Benarkah ayah
tidak menghukum aku?"
Sekali lagi Yudistira mengembangkan dua tangan,
kemudian dia mengerahkan tenaga dalamnya. Mendadak ada
pusaran angin besar membetot tubuh Gayatri. Dia menarik
tubuh putrinya ke dalam pelukan. Tangannya yang besar
mengelus kepala dan rambut Gayatri, menengadahkan wajah
putrinya lalu menciumi pipi dan keningnya. "Tidak, aku tidak
akan menghukum kamu atau pun suamimu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gayatri masih menangis. "Apakah karena aku sedang
hamil?" "Tidak benar. Sejak berada di negeri Jawa ini, aku
mempelajari semua sebab dan akibat. Aku tidak mau
membuat kesalahan dua kali. Aku sudah kehilangan Manisha,
putriku yang kucintai, aku tak mau lagi kehilangan kamu. Aku
sudah tahu banyak tentang perilaku Wasudeva, aku tahu dia
ibarat binatang sedang putriku ibarat dewi, tak akan mungkin


Wisang Geni Pendekar Tanpa Tanding Karya John Halmahera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersatu" Dia berhenti sesaat, kemudian tertawa lirih. "Tetapi
aku terikat sumpah setia persahabatan, aku tak berdaya,
syukurlah suamimu telah membebaskan aku dari sumpahku,
Wasudeva sudah mati. Aku berterimakasih pada W isang Geni,
kamu kemarilah menantu!"
Wisang Geni berdiri dan menghampiri. Ia memberi hormat
dengan menyentuh ujung kaki ayah mertuanya. Yudistira
tertawa. Satyawati berdiri di sampingnya ikut tertawa. "Entah
sudah berapa kali ia tertawa hari ini, perubahan yang luar
biasa," gumam isterinya dalam hati.
Sebelah tangan Yudistira memeluk Gayatri, tangan lainnya
merangkul Geni. Suara Gayatri terdengar riang, "Ayah, apakah
suamiku sudah boleh memanggil ayah mertua kepadamu?"
Yudistira tertawa. "Wisang Geni, pergilah memberi hormat
pada ibu mertua dan kakak-kakak iparmu"
Setelah memberi hormat dan menyalami keluarga isterinya,
Geni menghampiri isterinya. Gayatri melompat dan merangkul
suaminya. "Aku bahagia sekarang, semua beres. Tak ada lagi
ganjalan dalam hatiku, tak ada gundah, tak ada ketakutan,
semua sudah selesai dan sesuai keinginanku." Suara Gayatri
mesra. Kemudian dia lari menghambur memeluk Sekar.
"Terimakasih mbakyu, kamu sudah banyak membantu aku."
Keluarga besar itu berangkat kembali ke gunung Welirang.
Yudistira mengaku menyukai suasana di lereng gunung itu.
Tetapi tujuan utama sebenarnya adalah merayakan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernikahan Wisang Geni dengan Gayatri dan Sekar. "Tetapi
kami bertiga sudah menikah dalam adat Hima laya, ayah.
Lihat, aku tak pernah menanggalkan adat kampungku kan?"
"Lantas siapa yang menikahkan kalian?"
Gayatri merasa terlanjur bicara. Kini ia diam. Ingat janjinya
tidak akan membuka rahasia. Ayahnya pasti akan menghukum
Kumara dan Malini juga Urmila dan Shamita. Sekonyong-
konyong Yudistira berseru, "Hei, kalian berempat keluar dari
persembunyianmu atau kuparahkan kakimu"
Dari balik rumah yang terpisah agak jauh, Kumara, Malini,
Urmila dan Sham ita, melangkah pelan. Ada rasa khawatir.
"Hari ini aku membebaskan semua kesalahan keluarga dan
muridku. Kalian ikut kita pergi ke rumah Gayatri di lereng
gunung Welirang," kata Yudistira.
Di tempat agak terpisah Gayatri sedang mengelus-elus
leher si Putih dan si Hitam. "Eh Geni, mana Prawesti, apakah
dia menanti kita di rumah?"
Geni teringat Prawesti dan Manohara yang mungkin tak
lama lagi akan tiba di Jedung. Geni memeluk isterinya,
"Gayatri isteriku, aku ingin bicara padamu tentang sesuatu
yang penting, tetapi kamu tak boleh marah, pelan-pelan saja."
"Apa" Kamu mau cerita bahwa kamu sudah mendapatkan
tambahan selir lagi, begitu?" Matanya yang coklat menatap
suaminya. Dia tersenyum geli melihat Geni serba kikuk.
Wisang Geni terkejut. "Bagaimana kamu bisa tahu persis
apa yang hendak kuceritakan?"
Gayatri menunjuk ke arah Barat. Dua perempuan berjalan
berdampingan dengan menuntun sepasang kuda. Geni
berkata lirih. "Iya, gadis itu namanya Manohara, dia yang
memberi aku bunga talasari."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Geni terpaku, ketika dua gadis itu muncul. Prawesti
memeluk Gayatri, menciumi wajahnya. Gayatri tertawa. Ia
menoleh pada Manohara yang berdiri terpaku di situ.
Prawesti berkata pada gadis itu, "Ayo cepat beri hormat
pada kakak Gayatri."
Manohara mendekati Gayatri. "Tetapi aku rasa aku lebih
tua." Gayatri memotong, "Manohara, namamu Manohara kan"
Prawesti lebih tua dari aku, kamu juga lebih tua. T etapi aturan
dalam rumah tangga Wisang Geni harus jelas. Isteri pertama,
kamu panggil dia mbakyu Sekar meskipun kamu lebih tua. Aku
isteri kedua, kamu juga harus panggil kakak. Sebabnya, Sekar
dan aku adalah isteri, sedang kamu dan Prawesti adalah selir
yang akan membantu dan melayani, bagaimana setuju?"
Tak perlu berpikir lama-lama Manohara cepat mengangguk
mengiyakan. "Setuju, kakak Gayatri."
Mendadak saja muncul Yudistira dan Satyawati "Ada
kejadian apa" Siapa dua gadis cantik ini?" tanya Satyawati
sambil mengamati Prawesti dan Manohara. "Oh kalau kamu,
aku pernah melihatmu di Welirang," sambil ia menunjuk
Prawesti. Wisang Geni diam serba salah. Manohara yang lugu dan
berani, menjawab meski sedikit malu-malu, "Kami adalah selir
kakangmas Geni." Satyawati terkejut, menutup mulurnya dengan tangan.
Tetapi sebelum ibu dan ayahnya mengucap sepatah kata,
Gayatri berkata dalam bahasa Himalaya. "Ayah, ibu, aku
setuju suamiku mengambil selir. Aku dan Sekar berdua tidak
mampu melayaninya. Ayah tahu hampir setiap malam bahkan
siang juga, suamiku maunya bercinta. Lagipula Geni, Sekar
dan aku sudah memberitahu mereka, kami berdua adalah
isteri sedang mereka berdua hanya selir atau pembantu.
Apalagi sekarang aku dan Sekar sedang hamil, sudah tentu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kami bagaikan permaisuri yang harus dilayani. Sekarang ibu
dan ayah mengerti?" Satyawati mengiyakan. "Kamu cerdas, kupikir kamu bisa
mengatur persoalan rumah tanggamu."
Yudistira sambil tersenyum, "Kupikir aku perlu belajar dari
anak mantuku." Satyawati mencubit lengannya. "Jangan sekali-kali belajar
ilmu itu, itu ilmu sesat," katanya tertawa.
Setelah bebenah semua barang-barang bawaan, rombongan Yudistira berangkat menuju gunung Welirang.
Esok harinya, di tengah perjalanan Geni berkata kepada ayah
dan ibu mertuanya. "Ada Prawesti dan Manohara yang bisa
menjadi penunjuk jalan, aku bersama Sekar dan Gayatri mau
mengambil jalan lain, nanti kita bertemu di rumahku saja."
Yudistira menggoda. "Kenapa, kamu sudah tidak tahan lagi
melihat isterimu" Sudah berapa hari kamu berpisah
dengannya?" Geni mengangguk dan tersenyum pada mertuanya. "Tujuh
hari dan aku sudah hampir gila memikirkan dia." Ia
menggamit lengan dua isterinya. Geni melompat ke punggung
si Hitam, Gayatri berdua Sekar menunggang si Putih.
Ketiganya kabur sambil tertawa-tawa. Gayatri sudah kembali
kepada wataknya yang periang.
Arjun, Shankar, Ayeshak dan Susmita bertanya pada
ayahnya. Yudistira menjawab gembira, "Mereka pergi berbulan
madu." ---ooo0dw0ooo--- Suatu hari di penghujung bulan Srawana, Wisang Geni,
Sekar dan Gayatri duduk di tepian danau. Manohara dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Prawesti berlatih dan main-main di air terjun bersama Susmita
dan Ayeshak. Meskipun sudah makan jamu kuat talasari, namun Sekar
dan Gayatri jarang berlatih silat Hari itu keduanya sudah hamil
sekitar seratus hari, sudah lebih sepertiga perjalanan "Menurut
hitungan ibu, aku akan melahirkan anakmu di sekitar bulan
Magada, atau jika sedikit terlambat di bulan Phalguna. Sekar
juga tak berselisih jauh dengan aku. Geni kamu menyukai
anak perempuan atau laki-laki." Melihat suaminya diam,
Gayatri me lanjutkan, "Kalau di kampungku, seorang suami
lebih suka jika punya anak laki-laki, bahkan ada yang sangat
marah begitu mengetahui anaknya yang lahir seorang baji
perempuan. Kamu sendiri bagaimana Geni?"
"Aku tidak tahu, tetapi perasaanku sama saja, tidak ada
bedanya anak laki-laki atau perempuan, menurutmu anak itu
perempuan atau laki-laki?"
"Setelah ibu memeriksa kandunganku, katanya anak laki-
laki. Sekar juga mengandung anak laki-laki."
"Ibumu punya ilmu meramal begitu?"
"Bukan meramal, di kampungku ibu sudah membantu
seratus lebih ibu hamil yang melahirkan anak, bahkan sebelum
lahir ibu bisa memastikan bayinya laki atau perempuan. Ibu
ahli soal itu." Geni mendekat, memeluk isterinya. "Gayatri, bilang sama
ibumu, tetap saja tinggal di sini bersama kita, supaya kamu
melahirkan dengan selamat."
Ada suara batuk kecil di belakang mereka. Yudistira muncul
bersama Satyawati "Oh kamu mau ibu mertuamu tinggal di
sini, lantas aku harus ke mana, kamu buang aku ke mana,
menantu?" "Oh tidak ayah mertua, kalau ibu mertua menetap di sini,
tentu saja ayah mertua juga tinggal bersama."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Boleh saja. Tetapi ada syaratnya. Kamu harus bisa
mengalahkan aku dalam pertarungan seru, bagaimana bagus
kan syaratnya?" Geni terkejut, apalagi Gayatri. Keduanya berdiri dan
memandang dua orangtua itu. "Ayah, apakah aku tidak salah
dengar?" Yudistira menjelaskan pertarungan tersebut merupakan
bagian dari janjinya pada ayahnya, pendekar Himalaya,
Lahagawe. Bagaimanapun juga janji itu harus disempurnakan.
"Kamu mewakili kakek gurumu, Suryajagad dan aku
mewakili ayahku, Lahagawe. Kita tarung, jika kamu menang
maka aku akan menetap di sini bersama istriku sampai Gayatri
dan Sekar mdahirkan. Jika aku menang, aku akan tentukan
apa yang kumau dan kamu sekeluarga tak boleh ingkar. Aku
pikir ini cukup adil."
"Tidak bisa begitu, bagaimana mungkin aku harus tarung
melawan ayah mertua sendiri, tidak mungkin."
"Kamu tidak bisa menghindar, Geni. Ini bagian dari hidup
yang sudah kamu jalani, dan bagian dari hidupku juga. Kita
bertarung hanya sebatas menang dan kalah, tak akan ada
yang terluka atau mati. Aku juga tak mau melukai atau dilukai
menantuku sendiri." Geni bingung. Tak menyangka akan ada kejadian seperti
ini. "Percuma ayah mertua, aku jelas tidak akan bisa
bertarung, bahkan bergerak pun mungkin tak bisa.
Pertarungan ini aneh. Ayah mertua apakah tak bisa dihindari
saja, jelas tak ada manfaat menang atau kalah."
Satyawati menengahi "Geni, pertarungan ini sudah harus
terjadi sesuai janji dan sumpah ayah mertuamu Tetapi jalan
terbaik sudah kami pikirkan, tidak akan menyalahi aturan
pertarungan juga tidak menimbulkan ancaman bahaya cidera
atau maut. Kalian bertarung di atas permukaan danau, dalam
jarak sepuluh tombak. Tidak ada bentrokan tangan. Ayah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mertuamu akan memainkan dua jurus andalannyayang harus
kamu patahkan yaitu Atehai Zaminpar Kabbijeh Chand Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi) dan Likhna Hai
Chandse Hokar (Aku akan menulisnya di rembulan). Senjata
yang digunakan, adalah air. Siapa yang tenggelam, dia kalah.
Geni, sebaiknya kau mainkan jurus paling hebat dari kakek
Suryajagad dan ingat, kamu harus berupaya menang agar ibu
bisa menemani Gayatri dan Sekar sampai mereka berdua
melahirkan." "Geni, kita bertarung pada senja nanti," kata Yudistira yang
menggandeng isterinya kembali ke rumah. Geni dan Gayatri
saling pandang. Sekilas Wisang Geni teringat percakapannya dengan
Gayatri beberapa waktu lalu. Waktu itu Gayatri menjelaskan
kehebatan jurus andalan perguruannya, Likhna Hai Chandse
Hokar (Aku akan menulisnya di rembulan). Jurus ini
memerlukan pengerahan tenaga dalam tinggi, untuk
mengolah benda di sekitar tubuh kemudian melontarkannya
ke arah lawan. Bisa saja debu, daun-daunan, bebatuan,
ranting dan pokok kayu Itu sebab dinamai "menulisnya di
rembulan". "Jurus itu diciptakan kakek setelah dia pulang dari
kekalahan lawan Ki Suryajagad. Jurus lainnya, Atehai
Zaminpar Kabbiyeh Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang
pun turun ke bumi), jurus yang menguras tenaga lawan,
menarik dan menyalurkan ke bumi. Jurus ini sudah lama,
namun belakangan mengalami perubahan sehingga berkembang kian tangguh."
Geni tukar pikiran dengan dua isterinya. Ia pernah tarung
lawan Kumara dan Malini, dua tahun lampau. Ia ingat
sepasang suami isteri itu menggunakan tenaga bumi. Semua
pukulannya disedot dan ditarik kemudian disalurkan ke bumi.
"Itulah jurus Atehai Zaminpar Khabiyeh Chand Sitare
(Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), namun pasti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan berlipat ganda kehebatannya jika dimainkan ayah, kamu
harus hati-hati, bisa-bisa tenagamu dikuras habis membuat
kamu tak mampu lagi meniduri aku," goda Gayatri sambil
tertawa genit. Perempuan itu tampak cantik luar biasa, mataya berbinar-
binar dan mulutnya merah merekah. Geni tiba-tiba saja
bergairah, ia memberi isyarat pada isterinya. Gayatri
menggeleng. "Tak lama lagi kamu sudah harus bertarung,
mana sempat lagi. Geni kamu harus bertarung sungguh-
sungguh supaya ibu bisa menetap bersama kita, kamu harus
menang." "Kamu membela siapa, ayahmu atau suamimu?"
"Aku membela kamu suamiku, sebab jikakamu menang,


Wisang Geni Pendekar Tanpa Tanding Karya John Halmahera di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tidak perlu pulang ke Hima laya selama-lamanya dan ibu
bisa menemani kita sampai aku dan Sekar melahirkan. Kamu
tahu Geni, terkadang aku takut memikirkan saat melahirkan
nanti, pasti sakit. Aku akan bahagia jika ibu ada di sampingku.
Makanya kamu harus menang."
Tidak lama berselang senja pun tiba. Seluruh anggota
keluarga hadir, nonton di tepian danau. Tak seorang pun
ketinggalan, termasuk Gajah Lengar, Gajah Nila dan keluarga
serta murid Lemah Tulis. Yudistira melangkah santai di atas permukaan danau.
Kakinya melayang, tak tampak kecipak air, pertanda
langkahnya sangat ringan Ia menanti di tengah danau. Wisang
Geni masih di tepi danau sedang berpikir tarung sungguh-
sungguh atau sekadar tarung untuk mengalah.
"Jika kamu tak sungguh bertarung, hukumannya akan
berat, mungkin saja kalian kubawa ke Himalaya atau Gayatri
sendiri yang kubawa ke Himalaya," kata si ayah mertua. "Ayo,
cepat menantu, aku sudah tidak sabar lagi."
Tiba-tiba timbul kegembiraan dalam hati Geni, mengapa
tidak menjajal ilmu silat ayah mertuanya. "Selama ini boleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dikata aku tak pernah kalah dalam pertarungan. Aku tak
pernah dapat lawan imbang."
Berpikir begitu dia kemudian melangkah santai ke tengah
danau. Sama hebatnya dengan Yudistira, langkah Geni pun
tidak menyentuh permukaan air, kakinya melayang.
Tanpa menanti lebih lama lagi, Yudistira menggerakkan
tangan ke bawah berputar-putar, air danau di sekitar
tubuhnya bergolak. Lalu tangan itu ke atas. Bersamaan
gumpalan air yang besar ikut naik. Ia memutar tangannya, air
itu membentuk bola besar di tangannya, kemudian ia
mendorong, "Menantu, awas!"
Gumpalan air yang seperti bola, meluncur deras ke arah
Wisang Geni. Di Himalaya yang sebagian daerahnya selalu
tertutup salju, Yudistira biasa memainkan jurus ini dengan
salju. Terpisah sepuluh tombak Wisang Geni berdiri menatap
ayah mertuanya. Ia melihat semua gerakan tadi. "Berpikir
sederhana, pikiran lebih cepat dari angin, pikiran lebih kuat
dari air, pikiran bisa mengalahkan serangan lawan."
Dia memutar tubuh, putaran perlahan. Dua tangan
mengembang ke samping memutar dalam bentuk lingkaran
besar dari arah bawah ke atas. Air di sekitar kakinya tersibak
dan meluncur dalam bentuk memanjang seperti tongkatke
arah Yudistira. Gumpalan air bertemu di tengah, beradu,
pecah berantakan dan luluh ke danau.
Pertarungan menggunakan air berlangsung seru, makin
lama makin menarik. Gumpalan air yang digunakan
menyerang lawan selalu berganti-ganti bentuk. Yudistira
akhirnya memainkan jurus simpanannya. "Anak mantu, tadi itu
aku hanya menggunakan jurus Likhna Hai Chandse Hokar
(Aku akan menulisnya di rembulan), sekarang aku
menggabungnya dengan jurus Atehai Zaminpar Khabiyeh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi),
hati-hati, kamu bisa tenggelam kena peluru air ini."
Yudistira menggerakkan dua tangan, mengangkat sebelah
kakinya bergantian, terkadang melompat dan melayang di
udara. Hebat. Serangan Geni seperti ditangkap dan dikembalikan dengan
kecepatan lebih dahsyat. Hebatnya lagi, air yang dikembalikan
itu semakin berat dan besar. Geni terpaksa menghadapinya
dengan menyalurkan segenap tenaga Wiwaha. Tetapi
serangan Yudistira semakin menggila, "Awas anak mantu, ini
lebih hebat lagi" Bentuk air kini menjadi lebih padat dan
meluncur deras ke arah Geni.
Geni kewalahan, hanya bisa bertahan. Geni memutar tubuh
bagai gasing, tangannya ikut berputar, kaki sebelahnya
diangkat Air di sekitar tubuhnya tersibak membentengi
tubuhnya. Tenaga yang ia mainkan adalah tenaga Wiwaha,
bergantian panas dan dingin.
Serangan Yudistira luruh ketika membentur dinding tembok
air di seputar tubuh Geni. Akhirnya Yudistira menghentikan
serangan, dia terengah-engah me langkah ke tepian.
Sementara Geni masih memainkan jurus bela dirinya. Ia
bahkan tidak tahu bahwa serangan ayah mertuanya sudah
berhenti. Terdengar teriakan Gayatri, menusuk gendang telinganya.
"Geni, berhenti, tarung sudah selesai, kamu bertarung
sendirian." Saat berikutnya ia sadar, serangan sang ayah mertua
sudah berhenti. Ia memperlambat gerakan sampai akhirnya
berhenti. Geni kehabisan nafas, letih, sangat letih. Ia tadi
telah mengerahkan Seantero kekuatan batinnya, seperti pelita
kehabisan bahan bakai. Geni bahkan tak kuat berdiri, ia
tenggelam Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gayatri hendak menolong namun Sekar yang sudah
terbiasa latihan di laut kidul, bergerak lebih cepat Sekar
menyelam dan menarik suaminya ke permukaan. Nafas Geni
sengal-sengal. Keduanya berenang ke tepian.
Yudistira gembira. Dia tadi sengaja menguji ilmu silat
menantunya. Dia kagum akan ketangguhan Geni. Dia
mencolek lengan menantunya. "Geni, kamu tadi kalah, jadi
ayah akan mengajak Gayatri pulang kampung ke Himalaya."
Cepat Geni menyahut, "Tidak bisa, tadi itu aku yang
menang, ayah mertua meninggalkan gelanggang lebih dahulu,
itu tandanya kalah. Itu artinya ibu dan ayah mertua harus
menetap di sini." "Geni, bersikaplah sebagai ksatria, kamu kalah, tadi kamu
tenggelam dan kalau aku tidak berteriak memperingatkan,
tentu sampai sekarang kamu masih bersilat sendirian di
danau, bahkan mungkin sampai besok." Gayatri tertawa
cekikikan. "Mengapa kamu berbalik membela ayahmu, tadi kita
sepakat membantu aku melawan ayah mertua." Geni
menepuk bokong isterinya. Gayatri membalas mencubit
lengannya. Geni menoleh pada Sekar,
"Menurutmu siapa yang menang, aku kan?"
Sekar mengangkat bahu, "Aku tidak ikut campur," katanya
sambil tertawa. Dari jauh terdengar suara Satyawati, "Geni, ayah mertuamu
sudah mengambil keputusan akan menetap di sini. Ia ingin
menyaksikan kelahiran cucunya, katanya ia akan memberi
obat agar cucunya tidak beruban seperti Pendekar Tanah
Jawayang bernama Wisang Geni."
Geni tersenyum. Ia memandang dua isterinya yang tampak
cantik. Sekar menjulurkan lidah, menggoda. Satu tangan Geni
memeluk erat Sekar, satu lainnya menarik Gayatri merapat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Geni tampak bernafsu. Gayatri berbisik, "Jangan di sini, aku
malu banyak ikan yang nonton. Ayo kita bertiga ke Tebing
Cinta, kita bercinta sepuasnya semalaman. Tidak ada yang
mengganggu, tak ada Manohara, tak ada Prawesti."
"Baik, bertiga kita ke Tebing Cinta. Aku ingin bercinta dan
memiliki kalian berdua malam ini dan sepanjang hidupku.
Semua manusia harus tahu betapa aku tergila-gila pada Sekar
dan Gayatri, isteriku, kekasihku dan cintaku."
Selesai ---ooo0dw0ooo--- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Data Pengarang : John Halmahera, pria kelahiran Ternate tahun 1947 mulai
menulis pada tahun 1979 sebagai wartawan olahraga di harian
Sinar Harapan. Menggemari Cabang sepakbola menjadikannya
sebagai wartawan sepakbola. Pengalamannya di berbagai
event luar negeri antara lain Piala Dunia 1982 (Spanyol) dan
1986 (Meksiko) serta beberapa Asian Games, Sea Games dan
turnamen sepakbola Asia dan ASEAN lainnya.
Tahun 1985 koran Sinar Harapan dibredel, dan enam bulan
kemudian berganti nama menjadi Suara Pembaruan, dia masih
sebagai wartawan sepakbola, Tahun 1987 dia keluar dari
Suara Pembaruan dan menjabat Pemimpin Redaksi majalah
bulanan Popular. Tahun 1990 keluar dari Popular dan menjadi penulis
sepakbola freelance. Dalam kurun waktu tersebut dia pun
menjadi komentator sepakbola (freelance) sejak tahun 1985 di
TVRI sampai era tahun dua ribuan. Terakhir tampil sebagai
komentator Piala Dunia 2006 di SCTV.
Pengalamannya sebagai wartawan sepakbola mengantarnya menjadi pengurus PSSI (Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia) dari tahun 1996 sebagai sekretaris tim
nasional berlanjut sekretaris eksekutif kemudian direktur
media dan sekarang ini sebagai manager umum di Badan Liga
Indonesia (BLI) yang merupakan Badan otonom dari PSSI.
Di sela-sela kesibukannya dia sempat menyelesaikan novel
karya pertamanya, cerita silat yang digarapnya selama hampir
satu tahun. ---ooo0dw0ooo--- Beruang Salju 16 Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti Pahlawan Harapan 10
^