Pencarian

Tersesat Di Rawa Onom 1

Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana Bagian 1


Aan Merdeka P Pengantar: Ini hanyalah sebuah kisah fiksi. Namun untuk lebih menekankan suasana, penulis
melatar-belakanginya dengan setting sejarah dan kepercayaan tradisi masyarakat
ciamis yang pernah berlangsung puluhan tahun silam. Mohon maaf kepada keturunan
para pejabat tempo dulu yang para karuhunnya (leluhur) secara kebetulan ikut
diceritakan sebagai tokoh-tokoh figuran dalam kisah ini. Pemberian maaf juga
penulis pintakan kepada "bangsa onom" yang dipercaya menguasai wilayah rawa onom
dan sekitarnya, seandainya paparan ceritera ini menyinggung perasaan. Penulis .
Rancah 1907 ... Warga rancah bersuka-cita manakala raden bratanagara pindah dari krangkeng
indramayu ke rancah. Mereka bersuka-cita lantaran bangsawan ini dikenal sebagai
bangsawan yang jujur, cerdik dan amat menyayangi rakyat kecil.raden bratanagara
pun sama suka-citanya. Bagaimana tak begitu, sebab beliau kini kembali ke kampung halaman, setelah lama
menembara di negri orang. Kata peribahasa sunda, lir kebo mulih pakandangan, nya
muncang labuh ka puhu. Burung bangau kembali ke sarang.
Yang membikin beliau senang, juga karena jabatannya naik. Semula semula sebagai
asisten wedana. Manakala dipindah-tugaskan ke Rancah, beliau diangkat sebagai
Wedana Rancah.Raden Bratanagara adalah pejabat yang mengerti ilmu pertanahan
kala itu. Ketika menjabat sebagai Camat Krangkeng, banyak melakukan jasa bagi
pemerintah, di antaranya mengeringkan tanah rawa seluas 700 ha dan dijadikannya
sebagai persawahan subur.Karena kecakapannya ini maka tak heran reputasinya
terus meningkat.Dan kini beliau menjadi Wedana Rancah dengan tugas yang sama
seperti di Krangkeng dulu.Raden Bratanagara diuji kepandaiannya dan
keberanaiannya untuk mengeringkan Rawa Onom. Mengapa perlu keberanian, sebab
penduduk Rancah mengenal betul akan Rawa Onom, sebuah areal rawa berhutan, bukan
saja banyak binatang buas dan berbisa namun juga angker banyak dihuni makhluk
gaib. Orang Rancah menyebutnya sebagai onom, sebangsa makhluk halus yang kerap
tampil di muka umum. Tak pernah mengganggu kecuali diganggu. Apakah usaha
mengeringkan rawa untuk keperluan pertanian akan mengganggu kedamaian "penduduk"
di alam sana" *** Pagi hari amat cerah. Sulendra, seorang pemuda usia 20 tahun tengah sibuk
membereskan busur dan anak panah milik majikannya. Dengan amat gairah, Lendra,
demikian panggilan akrabnya secara teliti dan telaten memeriksa anak-panah demi
anak-panah. Yang ujungnya Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by
buyankaba.com 1 sudah karatan, dia bersihkan hingga mengkilap. Demikian pun yang sudah terlihat
tumpul, dia tajamkan lagi.
"Selain pandai memanah, Bendara pun senang menggunakan tombak dan cikrak,
Lendra," tutur Mang Sajum, lelaki setengah baya yang memperhatikan di sampingnya.
"Ya, ya ... saya pernah melihat beliau melempar tombak dengan jitunya di hutan-
hutan Kecamatan Krangkeng sana ..." tutur Lendra senyum.
"Ouw, jadi manakala di Krangkeng pun Bendara suka berburu juga, Lendra?"
Lendra mengangguk mengiyakan."Tapi kata Bendara, berburu menjangan lebih asyik
di wilayah Rancah sebab hutannya lebih lebat dan jenis binatangnya lebih
banyak," tutur Lendra teringat ucapan majikannya.
"Betul itu. Tapi harus hati-hati, Rawa Lakbok itu ada penguasanya. Itu masuk ke
wilayah Kerajaan Pulo Majeti. Kita jangan sembarangan bertindak-laku di wilayah
mereka," kata Mang Sajum.
*** "PULO Majeti itu tempat apa?" tanya Lendra sambil lalu sebab dia tengah
membereskan berbagai peralatan berburu.
Mang Sajum hanya tersenyum kecil.Untuk beberapa lama dia tak jawab pertanyaan,
kecuali ikut bantu membereskan alat berburu. Kebetulan Jang Dayat yang mau
cerita. Kata anak muda yang selalu memakai ketu (ikat kepala) warna hitam itu,
Pulo Majeti merupakan sebuah gugusan pulau kecil yang berada di tengah-tengah
wilayah rawa. "Ow, saya kira tempat aneh. Di Indramayu pun tempat kayak gitu banyak, sih ..."
kata Lendra sambil memberikan contoh, betapa banyaknya tanah rawa di sisi-sisi
Sungai Cimanuk. "Sungai Cimanuk kan saban taun selalu banjir dan airnya kerap menggenangi
persawahan. Dengan demikian, di sana banyak didapat tanah berawa ..." tutur Lendra.
Mang Sajum tadinya mau menyela tapi diurungkannya niat itu. Namun tak begitu
dengan Jang Dayat. Sebagai anak muda barangkali dia punya kesombongan untuk
mengatakan sesuatu yang istimewa pada kampung halamannya.
"Pulo Majeti itu dihuni bangsa Onom, tau?" bentaknya.
"Sssttt ..." Mang Sajum terkejut dan segera memberi tanda dengan menempelkan
telunjuk di depan bibirnya.
"Onom itu apa?"
"Sssttt!" untuk kedua kalinya Mang Sajum memberi tanda agar anak muda itu jangan
banyak tanya. "Aneh ..." gerutu Lendra.Lantas dia tekun lagi dengan pekerjaannya.
*** Bendara Wedana R. Bratanagara memang senang berburu. Tapi itu bukan satu-satunya
tujuan. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
2 Tujuan utama sebenarnya melakukan tugas kontrol ke wilayah-wilayah pekerjaannya.
Sama seperti ketika manakala bertugas di Krangkeng, maka begitu pun yang kelak
akan dilakukan di Rancah.
Wedana R Bratanagara punya misi besar, yaitu mencoba mengeringkan air di wilayah
Rawa Lakbok. Bila rawa sudah kering, maka akan diganti menjadi persawahan luas
sebab penduduk Rancah punya keakhlian bertani. Bendara Wedana pun kelak akan
memerintahkan penduduk untuk ramai-ramai menanam kelapa sebab buahnya bisa
diambil sebulan sekali.Maka untuk memasyarakatkan misi ini, Bendara Wedana perlu
mengunjungi kampung-kampung di wilayah Rancah. Kampung-kampung seperti Kampung
Pangrumasan, Nanggela, Bantardengdeng, Cisontrol atau Kampung Cibeurih, semuanya merupakan perkampungan
terpencil yang terkadang dipisah oleh hutan-hutan lebat atau rawa-rawa yang
airnya dalam. Mengontrol wilayah dilakukan sambil berburu agar tak jenuh melakukan perjalanan
jauh. Maka di pagi hari yang cerah, puluhan orang telah berkumpul. Semua telah siap
dengan berbagai peralatan berburu. Ada yang membawa trisula, yaitu tombak
bermata tiga. Ada juga yang membawa cangkalak, yaitu tali tambang besar dan kuat
untuk meringkus kaki binatang buas. Bendara Wedana sudah duduk dengan anggun di
atas pelana kuda hitamnya. Di punggungnya menggandul bedor atau paksi, yaitu
tempat untuk menyimpan anak-panah.
Sementara bahu kirinya menggapit sebuah gondewa berukir indah. Gondewa adalah
alat untuk melepas anak-panah.
Ada beberapa orang yang menggunakan kuda. Mereka adalah Camat Rancah dan para
kuwu. Sementara itu kaum cacah, yaitu para pekerja, tak menggunakan kuda. Lendra
adalah termasuk aparat muda yang tak diberi fasilitas kuda namun menerima beban
tugas cukup berat. Di sepasang bahunya bergantung beberapa alat berburu lainnya.
Sementara itu di tangan kanannya sudah terpegang beberapa batang tombak.
"Ke mana kita akan berburu, Mang Sajum?" tanya Lendra di tengah perjalanan.
Langkah kuda yang ditunggangi para menak berjalan lambat-lambat, sehingga para
abdi dalem melangkahkan kaki tak terlalu cepat.
"Kita akan menuju Rancabingung, Lendra ..."
"Rancabingung?" tanya Lendra bingung. Dia pindahkan beban gulungan tambang dari
bahu kanan ke bahu kiri. "Ya, sebenarnya banyak yang takut untuk berburu di sana ..." gumam Mang Sajum,
namun melangkah tenang sambil memanggul beberapa batang cikrak.
"Tapi saya tak takut. Saya hanya bingung saja. Kok namanya Rancabingung?" potong
Lendra. "Itu karena bila orang masuk ke wilayah tersebut adakalanya suka bingung. Bisa
masuk susah keluar. Makanya berburu ke tempat itu tak sebanyak bila berburu ke
hutan karet di Gunungbitung, Lemahneundeut atau ke Bangkelung ..." tutur Mang
Sajum lagi. Rancabingung, ya ...?" gumam Lendra masih dibuat bingung."Kalau banyak orang
bingung, kenapa musti berburu kesana, Mang?" tanyanya lagi mengerutkan dahi.
"Ya, orang suka khawatir. Sebab sebelum tiba kesana, rombongan musti lewat Rawa
Onom Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
3 dulu. Rancabingung itu terletak di arah utara Rawa Onom ..." tutur Mang Sajum.
"Tak perlu takut, aku sudah kenal Onom ..." potong Jang Dayat.
"Sssttt ..." Mang Sajum beri peringatan agar Jang Dayat tak sembarangan bicara.
Namun gerak-gerik Mang Sajum ini malah membuat hati Lendra tambah penasaran.
"Saya ingin tau apa yang barusan disebutkan Jang Dayat ..." tuturnya.
"Sssttt ..." lagi-lagi Mang Sajum memperingatkan kendati Lendra tak menyebut
kata apa yang dilarangnya.
Menuju Rancabingung hampir menghabiskan waktu empat atau lima jam dengan langkah
cepat. Perjalanan selalu melalui jalanan setapak yang terkadang masuk keluar
hutan lebat atau bisa juga lewat ke jalanan becek berlumpur. Ketika lewat
wilayah Rawa Onom, jalanan semakin becek dan gelap karena rimbunnya pepohonan.
Jang Dayat beberapa kali musti menepuk-nepuk punggungnya yang tak berbaju
lantaran nyamuk-nyamuk besar terkadang hinggap dan menggigitnya. Sementara Mang
Sajum beberapa kali musti mengebut-ngebutkan baju kampretnya lantaran sesekali
ada ulat sebesar ibu-jari jatuh ke bajunya. Hanya Lendra saja yang melangkah
dengan santainya dan terkadang menatap ke arah kegelapan hutan dengan senyum dan
kedipan mata. Ketika Rawa Onom sudah terlewati, hampir semua anggota rombongan bernapas lega,
kecuali Lendra. Dia malah merahuh kecewa sambil sesekali melirik ke belakang
seperti orang tertinggal sesuatu.
"Waduh ... nyamuk di Rawa Onom sungguh dahsyat menciumi punggungku ..." keluh
Jang Dayat. "Ow, kau sempat diciumnya, Jang Dayat?" tanya Lendra dengan senyum dikulum namun
dengan nada setengah iri.
"Cobalah lihat punggungku, mungkin banyak tanda-tanda berwarna merah saking
kuatnya gigitan mereka," kata Jang Dayat coba memperlihatkan punggungnya.
Benar seperti apa dikatakan Jang Dayat, di punggung Jang Dayat terlihat noda-
noda bintik merah. Herannya, ini malah membuat iri pemuda Lendra.
"Nasibku memang selalu sial. Di mana pun dan siapa pun jarang tertarik
padaku ..." kata Lendra mengeluh lirih.
Mang Sajum melirik heran namun Jang Dayat ketawa terpingkal karena geli.
Kenapa tak minta satu padaku, Lendra" Atau, semuanya pun boleh kau ambil nyamuk-
nyamuk berbisa itu," kata Jang Dayat masih ketawa ngakak. Tapi Lendra malah
terlihat muram. SETIBA di daerah Rancabingung, beberapa kuda berbunyi keras-keras dan mulutnya
berbusa. Hanya kuda yang ditunggangi Bendara Wedana yang tak terlalu gelisah kendati
mulutnya sama berbusa. Sementara kuda-kuda lainnya meronta-ronta sambil
menyepak-nyepakkan kaki depannya.Beberapa anggota rombongan merasa kaget.
Apalagi ada salah seorang kuwu yang Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P >
published by buyankaba.com
4 terjatuh dan terjerembab ke permukaan rawa. Sementara itu, Lendra malah tertawa
lucu melihat kejadian itu. Bendara Wedana, sebagai majikannya, menegur Lendra
dengan mendelikkan mata. "Maaf Bendara. Saya tak bisa menahan tawa saking lucunya melihat Juragan Kuwu
ditarik gadis cantik itu ..." tutur Lendra pelan karena merasa bersalah telah
mentertawakan Juragan Kuwu terjerembab.
Bendara Wedana R Bratanagara mengerutkan kening demi mendengar ucapan pegawainya
ini. Beliau melirik kesana-kemari namun tak dilihat ada gadis di sana.
"Kau mengigau, Lendra ..." gumam R Bratanagara namun sambil sedikit melamun.
Lendra tak memperhatikan omongan tuannya, sebab dia lebih tertarik kepada
cekikikan belasan gadis cantik yang tengah mempermainkan kuda-kuda milik
rombongan. Kuda-kuda itu ada yang diganggu hidungnya dengan ujung rumput. Ada
juga yang digelitik pantatnya oleh ujung ranting. Jadi pantas kalau kuda-kuda
itu banyak yang meronta-ronta karena geli dan kaget. Itu pula yang membuat
Lendra tertawa karena baginya itu adalah pandangan amat lucu. Apalagi para gadis
pengganggu itu, selain usianya nampak masih muda-muda, juga rata-rata punya
kecantikan yang amat khas dibandingkan dengan gadis-gadis di dusun sekitar
Kewedanaan Rancah. Tubuh mereka molek-molek dan kulitnya putih serta halus.
Mereka berpakaian kebaya warna hitam dan kain hitam pula. Beberapa di antaranya
sengaja menggeraikan rambutnya sebatas pinggul. Jadi manakala mereka meloncat
kesana-kemari untuk mempermainkan kuda milik rombongan, rambut terurai panjang
itu bergerak-gerak bergelombang.
Selesai mempermainkan kuda, rombongan para gadis belia ini segera berlarian
sambil tertawa cekikikan. Ketika itu pulalah, terdengar suara Bendara Wedana
Bratanagara untuk melakukan pengejaran. Lendra merasa heran, mengapa rombongan
para gadis itu musti dikejar.
Keheranannya bahkan tergantikan oleh rasa kaget manakala Bendara Wedana mencabut
busur dan melakukan ancang-ancang untuk melepas anak-panah. Lendra panik.
Benarkah majikannya akan melakukan kekejaman, membunuh rombongan gadis-gadis itu
dengan anak-panah" "Bendara, jangan sembarangan membunuh!" teriak Lendra menepuk paha kuda yang
ditunggangi majikannya sehingga kuda itu sedikit melonjak. Anak panah yang sudah
dipasang di busur melesat jauh ke atas sebab kuda-kuda Bendara Wedana terganggu
oleh lonjakan kaki kuda. "Engkau gila, Lendra!" teriak Bendara Wedana gusar."Lihat, buruan kita kabur ke
daerah rawa!" kata Bendara Wedana gemas.
Lendra memindahkan pandangannya ke arah tempat yang ditunjukkan oleh majikannya.
Dengan amat jelas, pemuda itu menyaksikan, betapa beberapa ekor menjangan
berlarian ke semak-semak berawa. Dan semakin menghilang manakala masuk ke daerah
rimbun dan gelap oleh pepohonan. Namun Bendara Wedana tak sempat memarahi Lendra
sebab beliau sudah mengarahkan anak-panahnya ke sebuah sasaran. Lendra kembali
merasa kaget, sebab dilihatnya di ujung sana ada seorang gadis berlari lamban
mengikuti arah menjangan dan akan jadi sasaran panah.
Sebelum Lendra mencegahnya, anak-panah sudah dilepas oleh Bendara Wedana.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
5 "Crep ..." anak-panah menancap di bahu gadis itu. Gadis itu terjatuh. Bendara
Wedana memerintahkan pegawainya untuk ramai-ramai memburu tangkapannya. Namun
sebelum mereka sampai, gadis malang itu sudah terbangun dan dengan terhuyung-
huyung mencoba menjauhkan diri. Dia segera masuk ke kegelapan rimbunnya hutan.
"Cepat susul! Susul!" teriak Bendara Wedana.
Yang diperintahkan ternyata tak berani masuk ke semak belukar yang gelap-pekat.
Kata Mang Sajum, di daerah berhutan itu ada banyak rawa dengan kedalaman amat
tinggi. "Bila membenamkan sebatang bambu gombong, maka bambu itu hilang lenyap saking
dalamnya dasar rawa ..." katanya memperingatkan R.Bratanagara.
"Biar saya yang susul ..." kata Lendra menerima perintah majikannya.
"Ya. Tapi hati-hatilah!" sahut Bendara Wedana.
Lendra menyanggupi perintah, sebab dia khawatir akan nasib gadis malang itu.
Makanya, tanpa memperhitungkan bahaya yang disebutkan Mang Sajum, dia mau
menerima tugas itu. Tanpa ragu-ragu, Lendra meloncat ke semak-semak, lantas masuk ke wilayah hutan.
Namun setelah melangkah beberapa saat, Lendra berkata sendirian bahwa ucapan
Mang Sajum ternyata bohong. Di daerah ini tak terdapat rawa. Bahkan tanahnya
subur dengan hamparan rumput menghijau. Gelapnya pepohonan pun hanya terdapat di
sisi-sisinya saja, sebab semakin Lendra berjalan ke tengah, suasana semakin
lapang dan terkesan asri. Lendra akan betah tinggal di sana kalau saja dia tak
mendengar suara erangan halus di sudut rumpun-rumpun. Dan manakala dia tiba di
tempat itu, seorang gadis tengah telungkup dengan anak-panah menanacap di
bahunya. "Tenanglah ... biar saya menolongmu, Nyai ..." kata lendra menghampiri gadis
itu. Untung saja, anak-panah tidak tepat menancap, hanya menoreh sisi bahu. Kendati
darah bercucuran tapi rupanya nyawa gadis itu masih bisa ditolong. Dengan
pelahan, Lendra mencoba menarik ujung anak-panah. Anak-panah sudah tercerabut
namun matanya mengait di kain kebaya gadis itu serta susah melepasnya.
"Nyai ... rupanya mata kail itu mengait pada kebayamu ..." gumam Lendra.


Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Robek saja pakaianku, Kang ..." jawab gadis itu tanpa ragu.
Justru yang meragu adalah Lendra. Bagaimana mungkin dia serta-merta merobeki
kebaya gadis itu. Kalau dipaksakan, punggung gadis itu akan telanjang. Rupanya
gadis itu mengerti akan keraguan Lendra. Buktinya dia tetap berkata.
"Jangan pakai basa-basi. Kalau mau nolong, tolonglah segera!" katanya setengah
mencerca akan keraguan Lendra.
Akhirnya dengan dada berdebar, pemuda itu merobek kebaya gadis itu tepat di
bagian punggungnya. Setiap terdengar suara kain terobek, setiap itu pula dada
Lendra berdegup kencang. Bagaimana tak begitu sebab setiap kain terobek, semakin
terlihat kulit punggung gadis itu yang putih halus. Dan tangan Lendra bergetar
seperti mendadak kena demam Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by
buyankaba.com 6 manakala tangannya sempat bersentuhan dengan kulit punggung gadis itu. Akhirnya
anak-panah terlepas sudah dari sobekan kain kebaya. Sang gadis masih tetap
tertelungkup dan sang pemuda masih tetap terdiam memperhatikan kemulusan
punggung gadis itu. "Apakah aku akan kau diamkan terus begini, Kang?"
Lendra terkesiap malu manakala gadis itu menegurnya. Tololnya aku. Mengapa
membiarkan gadis itu dengan lukanya, sementara mataku melotot saja melihat
kemolekan tubuh itu, tutur hati Lendra sebal terhadap dirinya.
Setelah menyadari akan hal ini, maka Lendra segera berjingkat dan berlari
kesana-kemari mencari dedaunan yang bisa dipakai penawar luka. Kebetulan di
sebuah gundukan rumpun ada sejumput pohon sirih.
"Ini akan saya tempelkan tumpukan daun sirih agar lukamu tak terus mengeluarkan
darah ... " kata Lendra setelah mengunyah daun sirih dan ditempelkannya ke bagian luka di
punggung gadis itu. Beberapa saat terdengar erangan halus gadis itu, namun Lendra terus mencobanya
meenempelkan obat itu. "Daun sirih ini terasa hangat, Kang ..." kata gadis itu lirih.
"Memang, daun sirih itu punya rasa hangat."
"Maksudku, ada kehangatan yang khas. Barangkali karena lama terkulum di mulutmu,
Kang ..." gadis itu menegaskan maksud kata-katanya, membuat wajah Lendra menjadi
merah. "Maafkan saya, Nyai. Daun sirih itu memang lama saya kunyah ..."
kata Lendra menunduk malu. Terdengar suara tawa lirih dari gadis itu. Serta-
merta gadis itu bangun dan duduk seraya membalikkan tubuhnya menghadap ke arah
Lendra. Untuk kedua kalinya dada pemuda itu berdebar kencang. Betapa tak begitu, sebab
dada bagian atas gadis itu sedikit terbuka karena kebayanya yang tercamping-
camping tadi. Gadis itu sadar akan posisinya, maka sepasang tangannya yang mungil halus segera
melindungi sepasang buah dadanya yang ranum. Lendra bergetar malu. Dia menunduk
lama-lama. Lama saling berdiam diri, Akhirnya Lendra berani buka percakapan.
"Mari kau antar ke rumahmu, Nyai ..." katanya bangun dari duduknya.
"Tidak perlu. Di saat suasana tak aman seperti ini, orang asing akan dicuriga
masuk ke kampung kami."
"Tidak aman?" "Ya, engkau pulanglah dulu. Lain kali kita bertemu lagi," sahut gadis itu sama-
sama bangkit dari duduknya.
"Maafkan kesalahan kami ..." gumam Lendra kembali menunduk.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
7 "Mengapa engkau minta maaf" Engkau bukan kelompok mereka, Kang. Asalkan engkau
tak ikut-campur terhadap permasalahan yang tengah kami hadapi, maka kau tak
punya salah apapun ..." kata gadis itu membingungkan perasaan Lendra.
"Nyai ... engkau terluka oleh panah yang dilepas majikan saya," kata lendra
mengaku terus-terang. "Apakah kau salah seorang ponggawa dari Kerajaan Galuh?" tanya gadis itu menatap
curiga. "Kerajaan Galuh" Saya ini wong Dermayu. Majikan saya adalah Bendara Wedana
Rancah, namanya Raden Bratanagara," kata Lendra sambil seterusnya bertanya
mengapa gadis itu menganggap dia orang Galuh.
"Kami tengah bercengkrama dengan para gadis di kampung ini. Lalu datang serangan
dari para Prajurit Kerajaan Galuh. Kami dikejar hendak ditangkap," tutur gadis
manis berlesung pipit ini amat membingungkan Lendra.
"Sudahlah. Kau kembalilah ke kampung halamanmu, sebab teman-temanmu pasti
menunggu lama. Tapi kalau kau kembali nanti, ingat-ingat, jangan tengok ke
belakang. Paham?" kata gadis itu.
Setelah berpesan seperti itu, gadis itu melangkah pergi. Lendra terpana dan
mencoba menahannya. "Namaku Nyai Indangwati. Nanti kita bertemu lagi, ya?"
GADIS itu berlari-lari kecil menjauhi Lendra dan menghilang di kelokan jalan
setapak. Tinggallah Lendra mematung seorang diri. Sukma pemuda itu seperti terbetot ikut
berlari kesana. Yang dia bayangkan adalah ikut lari-lari kecil di jalan setapak
berhamparan lumut tebal sambil bergandengan tangan dengan ...
siapa nama gadis itu" Oh, ya, Nyi Indangwati. Tapi dari kampung mana Nyi
Indangwati" Ah, tololnya aku. Mengapa tak aku tanya sekalian alamatnya, tutur
hati Lendra dengan penuh sesal dan penasaran. Akhirnya pemuda itu balik
melangkah dan berjalan pelan meninggalkan tempat yang nyaman dan asri itu.
Memang bohong perkataan Mang Sajum. Tempat yang demikian asri dan indah ini dia
sebutkan sebagai belukar pekat yang penuh rawa. Padahal Lendra enak dan santai
saja melangkah di hamparan rumput yang luas menghijau. Matahari pun terasa
menyengat dengan hangatnya dan menyegarkan.Lendra berjalan sendirian. Di
sepanjang yang dilalui, suasana indah belaka. Dia melirik ke kiri dan kanan. Ada
jajaran bunga-bungaan indah beraneka warna di sana. Beberapa pohon rindang
mengayomi keindahan bunga itu. Yang membuat Lendra serasa asing, tempat yang
indah ini demikian heningnya. Tidak didengar suara apapun.
Tidak juga suara kicauan burung atau serangga. Hanya deru napasnya saja yang dia
dengar di sepanjang perjalanan ini.
"Ah ... kalau saja Nyi Indangwati tetap bersamaku ..." keluh Lendra berandai-
andai. Ingat Nyi Indangwati, maka serta-merta pemuda itu memutar kepala ke
belakang. Tempat itu masih indah namun sepi dari apapun, termasuk tak dilihatnya
gadis manis itu. Maka kepala Lendra kembali memutar ke depan. Dan di saat itu
pulalah pandangan sekeliling berubah total. Tak Tersesat di Rawa Onom > Aan
Merdeka P > published by buyankaba.com
8 ada dataran luas berhamparan rumput hijau. Tidak pula terdapat bunga-bunga
indah. Yang nampak di sekelilingnya hanyalah kekelaman belaka. Pepohonan tua dan
besar bergayut dan berjanggut. Bunyi-bunyian pun mendadak bergalau. Ada suara
tokek, ada suara cengkerik dan berbagai suara serangga lainnya. Beberapa bagian
tubuh pemuda itu mulai diganggu belasan atau bahkan puluhan nyamuk sebesar
lalat. Satu ditepuk, datang yang lain. Begitu seterusnya sehingga Lendra tak
bisa memperhatikan jalanan di depannya. Maka akibatnya, pemuda itu jalan ke mana
saja. Setiap yang disangkanya jalan setapak, maka dia lalui. Namun sesudah
melangkah beberapa saat, jalan setapak itu tak tembus ke mana-mana, kecuali ke
sebuah pinggir tanah becek. Dan bila dia paksakan melangkah, maka tanah becek
itu berubah menjadi lembek, sehingga kakinya sebatas dengkul terbenam ke
dalamnya. Kini Lendra mulai panik. Kini pemuda itu mulai percaya kata-kata Mang Sajum,
bahwa benar belaka tempat itu penuh rawa. Tapi Lendra berpikir. Kalau Bendara
Wedana mengajaknya kesana, tentu tak semuanya merupakan daerah rawa. Binatang
menjangan, kancil atau sebangsanya tak mungkin hidup di rawa-rawa.
"Harus ada bagian yang keras yang dihuni banyak binatang buruan ..." tutur
Lendra dalam hatinya. Maka dengan susah-payah, Lendra memilih-milih langkah.
Sebelum menjejakkan kaki, dia periksa dulu sekeliling. Bila ternyata bertanah
lembek dan basah, maka dia urungkan langkah. Tak terasa, hari telah menjadi
kelam. Sebetulnya sudah sejak tadi suasana kelam.
Hanya kali ini kekelaman sedikit demi sedikit mengarah ke kegelapan. Lendra
sadar, tentu hari akan segera malam. Dan semakin ditunggu, suasana semakin gelap
juga, sehingga anak muda itu akhirnya memilih naik ke atas dahan pohon.
Lendra memilih istirahat di dahan pohon itu. Dia tak berani melanjutkan
perjalanan di kala malam tiba.
"Tapi mungkin Bendara bersama rombongan amat risau dengan keterlambatan ini ..."
keluh Lendra sambil memeluk dahan pohon agar tak terpeleset jatuh.
Senja sudah berganti malam. Kini binatang malam mulai terdengar suaranya. Ada
yang sudah dia kenal sebelumnya. Tapi banyak juga suara-suara asing yang membuat
bulu-kuduk berdiri. Dari kejauhan terdengar suara lenguhan panjang. Seperti suara srigala tapi bukan
itu. Lenguhan ini terasa menyayat hati seperti orang lagi sedih. Lendra ingat,
penduduk Rancah pernah bilang di hutan-hutan Rancah ada sejenis binatang bernama
aul. Aul itu bertubuh kera berkepala seperti anjing. Maka bila berbunyi ada
lolongan anjing tapi bukan persis suara anjing. Itulah aul.
"Aul itu binatang siluman," kata Mang Sajum suatu kali. Buktinya siluman, sebab
aul tak menampakkan diri di hadapan orang banyak. Tak seperti harimau atau macan
tutul misalnya. Kendati mereka tak suka berhadapan, namun kerap terjadi bentrok antara manusia
dengan mereka. Sementara dengan mahluk bernama aul, jarang ada orang yang pernah
bersua. Bila pun ada yang mengaku pernah bertemu, itu di keremangan malam saja,
di mana binatang aul hanya sayup-sayup terlihat bayangannya. Dia berjalan dan
sedikit meloncat-loncat dan melolong-lolong menyedihkan. Maka ketika mendengar
lolongan sedih itu, Lendra cepat menduga kalau itu adalah suara aul.
Berbahayakah binatang itu" Lendra tak persis tahu sebab Mang Sajum tak sampai
menerangkannya sejauh itu. Hanya saja Mang Sajum pernah bilang, kalau aul
mengeluarkan lolongnya yang menyedihkan, pertanda memang ada sesuatu hal yang
menyedihkan. Ketika dulu Gunung Galunggung meletus hebat, sebelumnya didengar
lolongan aul. Ketika banyak Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by
buyankaba.com 9 korban jiwa berjatuhan, lolongan sedih binatang misterius itupun terdengar di
hutan-hutan Rancah. Hal menyedihkan apakah kini manakala lolongan binatang itu
terdengar lagi, pikir Lendra.
"Yang jelas, tak ada kesedihan di sini, apalagi di hatiku..." kata Lendra dalam
hatinya. Penyebabnya hanya satu. Dia bersua dengan gadis cantik kendati masih dianggap
misterius. Ya, ini sungguh misterius. Mula-mula ada rombongan gadis cantik, namun para
pemburu di bawah pimpinan Bendara Wedana menganggapnya sebagai rombongan
sekelompok menjangan. Lalu Bendara Wedana melepas busur panahnya mengarah nyawa Nyi
Indangwati dan Lendra memburunya untuk memberikan pertolongan. Manakala Lendra
mencoba mengobati luka gadis itu, segalanya indah, segalanya mendebarkan. Tapi
itulah kegembiraan di hatinya. Ada bunga-bunga mekar dan semua membuat keindahan
pada hidupnya. "Jadi, kenapa pula ada lolongan sedih dari mahluk asing bernama aul?" pikir
pemuda itu. Lendra terus mendengarkan lolongan dan lenguhan sedih itu. Sampai pada suatu
ketika, sayup-sayup didengarnya suara bentrokan senjata. Lendra terperangah. Ada
pertempuran di sekitar sini. Ya, jelas sekali terdengar suara beradunya senjata
tajam. Seperti ada benturan pedang dengan pedang, gada dengan gada, bahkan ada
desingan anak-panah yang dilepas jauh-jauh.
"Siapakah yang melakukan peperangan di sini?" pikir Lendra kaget dan heran.Untuk
membuktikannya, Lendra mencoba naik ke atas dahan paling atas. Mudah-mudahan
dengan cara itu dia bisa melihat sebuah lapangan yang dijadikan arena
pertempuran misalnya. Pemuda itu memutar kepala ke segala arah.
NAMUN aneh sekali, setelah dia naik ke bagian dahan paling atas, tidak didapat
penglihatan apapun. Padahal, suara dencingan senjata tajam beradu disertai
teriakan-teriakan parau atau melengking karena kesakitan, amat nyata terdengar.
"Gempur rakyat Pulau Majeti! Bunuh Prabu Selang Kuning!" teriakan-teriakan
bernada marah terdengar membahana, disusul suara jeritan-jeritan kesakitan orang
terluka. Lendra merunduk. Secara tak sadar dia berlindung di balik dahan, seperti mencoba
berusaha menyelamatkan diri dari serangan musuh. Tapi musuh dari mana dan siapa,
Lendra sungguh tak mengerti. Namun karena takut dan ngerinya mendengar suasana
pertempuran, dia hanya bisa memeluki dahan pohon saja dengan ketat. Begitu
sampai subuh tiba. Manakala terlihat garis-garis putih di ufuk timur, barulah
pertempuran itu selesai. Suasana pun kembali senyap.
Lendra belum berani turun dari cabang pohon sebelum suasana benar-benar aman.
Terbayang di benaknya, betapa manakala dia memeriksa keadaan sekeliling, mayat
bertebaran di mana-mana dan darah tumpah di mana-mana. Barangkali banyak orang
masih hidup namun dengan luka yang parah. Tapi benarkah banyak orang luka parah
di sana" Bila begitu, tentu kini bakal terdengar erangan-erangan lemah.
"Heran ... kok suasana demikian heningnya ..." gumam Lendra sambil melihat ke
kiri dan kanan. Sesudah suasana terang tanah, anak-muda itu barulah berani turun dari pohon.
Dengan pelahan dan amat hati-hati, Lendra memeriksa keadaan sekeliling. Anak-
muda ini heran, betapa di sekeliling tempat ini suasana tetap hening, sunyi dan
sepi. Dengan kata lain, di tempat itu tidak didapat korban-korban pertempuran.
Jangankan yang mati, bahkan yang luka atau pun masih hidup pun tak didapatkan.
Tak ada bekas-bekas pertempuran di sana. Jadi, Tersesat di Rawa Onom > Aan
Merdeka P > published by buyankaba.com
10 suara-suara mengerikan tadi malam, sebenarnya suara apakah itu" Mustahil dan
sungguh tak masuk akal, Lendra tak mimpi atau mengingau. Tadi malam memang
terjadi pertempuran besar di sini. Tadi malam, bahkan terdengar suara dencing
senjata tajam beradu dan disusul oleh jerit kesakitan orang luka. Tapi mengapa
siang hari tidak didapat bekas-bekas secuil pun"
Lendra masih penasaran. Dia coba berkeliling ke areal lebih luas lagi. Kalau-
kalau pertempuran agak jauh dari tempat dia sembunyi. Namun semakin jauh
memeriksa, semakin gelap dan lebat hutan di sini. Bahkan beberapa tempat tak
bisa dilalui sebab tanahnya amat lembek dan sebagian lagi berupa rawa yang amat
dalam. Lendra terpaksa mundur lagi dan mencari jalan pulang secara diraba-raba.
Sampai suatu saat, dia tiba di tepi hutan lebat itu. Di sana masih ada rawa,
namun di sisi-sisinya tanah sudah cukup kering dan bisa dipijak.
Akhirnya pemuda itu merasa lega manakala tiba di sebuah tanah agak lapang dan
banyak bekas tapak kaki kuda. Melihat sebuah pohon beringin tua yang berjanggut
lebat menggayut ke tanah, Lendra hapal, di tempat itulah kemarin siang dia
berdiri dan memperhatikan majikannya melepas batang anak-panah. Ke semak sebelah
kiri sanalah gadis cantik bernama Nyi Indangwati melarikan diri dengan luka
panah di bahunya. "Alhamdulillah ... akhirnya aku temukan jalan pulang," katanya seorang diri.Di
tempat itu suasana amat sunyi.
Rombongan mungkin sudah kembali sejak sore kemarin. Dengan demikian, Lendra
harus bergegas pulang sendirian.
Lendra pulang kembali ke Rancah di saat selepas isya. Dia terlambat pulang sebab
selain haus dan lapar yang tak tertahankan, juga lantaran sepasang kakinya
bengkak-bengkak. Dia tak bisa berjalan cepat oleh sebab itu pulang ke Rancah
menghabiskan waktu seharian lebih.
Yang membuat dia heran, manakala tiba di kediaman Bendara Wedana, di ruangan
paseban terdengar dan terlihat sekumpulan orang lagi melantunan doa-doa dan
membacakan ayat suci. "Mereka sedang bertahlil. Tapi siapakah yang meninggal di kediaman Bendara ini?"
tutur hatinya risau. Takut bahwa majikannya yang terkena musibah, maka dia bergegas menuju beranda
paseban bahkan langsung masuk mendekati kumpulan orang yang lagi bertahlil.
Namun, begitu orang melihat kehadirannya, hampir semuanya memperhatikan dirinya
dengan heran dan kaget, bahkan beberapa perempuan yang duduk di belakang tak
urung menjerit takut. Beberapa lagi malah sudah lintang-pukang lari menjauh dari
tempat itu. Hanya beberapa pemuka agama yang tegar menghadapi kehadiran pemuda itu dengan
cukup berani walaupun tak bisa menutupi perasaan hatinya yang tegang.
"Siapakah engkau?" tanya seorang tua bersorban.
"Saya ... Saya Lendra," jawab Lendra gagap dan bingung.
"Bukankah ... bukankah engkau sudah dimakamkan seminggu lalu?"
Lendra ternganga kaget mendengar ucapan orang tua itu.


Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
11 "Seminggu lalu" Mana, katakan, siapa yang meninggal di sini" Mana Bendara"
Apakah beliau sehat?"
Belum habis ucapan Lendra, Bendara Wedana sudah menghampirnya karena mendengar
ribut-ribut di halaman paseban.
"Apakah engkau Lendra?" tanya beliau ternganga pula.
"Betul, Bendara. Maafkan saya terlambat pulang. Saya tersesat di
Rancabingung ..." tutur Lendra.
"Kau tersesat selama seminggu ini?" tanya Bendara Wedana heran.
"Seminggu" Saya hanya tersesat semalam saja, Bendara ..." jawab Lendra gagap
karena bingung. Semua orang terdiam sejenak.
"Lendra telah mati. Jasadnya ditemukan di relung rawa. Kalau kau dedemit
Rancabingung atau dari Pulo Majeti bahkan dari Rawa Onom, silakan pergi jangan
ganggu kami!" kata seseorang sambil seterusnya membacakan ayat-ayat suci
pengusir setan. Lendra tersentak mendengarnya. Kepalanya mendadak pusing, kemudian tubuhnya
lunglai dan jatuh terjerembab. Entah berapa lamanya dia pingsan. Namun ketika
dia siuman, di sekelilingnya telah berkumpul pula sekumpulan orang-orang. Banyak
di antaranya yang membacakan ayat-ayat suci. Ketika Lendra siuman, semuanya
menghentikan kegiatannya dan menatap wajah pemuda itu.
"Apa yang terjadi?" katanya melihat ke kiri dan ke kanan.
"Syukur kau siuman ..." tutur Juragan Istri gembira.
"Tapi, apa yang terjadi, Juragan?"
"Ya, justru itu yang kami pertanyakan. Apa sebenarnya telah terjadi hari-hari
belakangan ini," gumam Bendara Wedana seperti melamun. Dengan perasaan heran tak terhingga,
Lendra menerima berita, bahwa sebenarnya dia sudah mati seminggu lalu. Ketika
Bendara Wedana menyuruhnya menyusul buruan menjangan yang terluka, ternyata
Lendra tak kembali. Belakangan setelah lama dicari, ternyata jasadnya ditemukan tenggelam di rawa-
rawa Rancabingung. Di sana ditemukan pula bangkai menjangan yang terluka di
bahunya oleh panah Bendara Wedana dan sama tenggelam di rawa yang sama. Itu
berlangsung seminggu lalu.
"Dan malam ini adalah malam tahlil ke tujuh hari," kata Bendara Wedana.
Mendengar cerita ini, maka untuk yang kedua kalinya Lendra kembali pingsan dan
tak sadarkan diri. Namun pingsan dan tak sadarkan diri ini hanyalah ukuran orang
lain. Sebab untuk dirinya sendiri, sebenarnya dia tetap memiliki kesadaran. Yang
sebenarnya terjadi, dia waktu itu tengah telentang di atas hamparan permadani.
Lendra mengenal permadani bagus yang terhampar di ruangan tengah kediaman
Bendara Wedana. Namun hamparan permadani yang ini jauh lebih halus dan jauh
lebih tebal. Kalau Lendra pernah dengar ada permadani Tersesat di Rawa Onom >
Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
12 terbaik buatan Negri Parasi (Persia), maka barangkali inilah permadaninya.
Kepala Lendra pun beralaskan bantal empuk dengan sarung bantal terbuat dari kain
sutera paling halus berwarna biru tua. Sementara permadani tebal dan empuk itu
berwarna merah dengan paduan warna-warna semarak lainnya.
"Di manakah aku?" gumamnya meneliti ke langit-langit yang berwarna biru muda dan
menyegarkan pandangan mata.
"Engkau berada di kediaman Nyi Indangwati ..." terdengar jawaban suara halus
seorang perempuan. Dengan terkejut Lendra pun melirik ke arah datangnya suara.
Memang benar, yang barusan menjawab pertanyaannya itu adalah seorang perempuan
cantik dengan mata bening, hidung mancung kecil dan bibir tipis. Perempuan muda
usia sekitar 17 itu memakai kain kebaya warna nila, begitu pun bagian bawahnya,
sama berwarna nila hanya memiliki corak batik.
"Siapakah engkau, Nyai?" tanya Lendra hendak bangkit, namun badannya terasa
lemah tak bertenaga. "Saya Naimah, pelayan Nyi Indangwati, Kakang ..." sahut gadis mungil itu.
"Nyi Indangwati?" Lendra mengingat-ingat. O, ya. Diakah gadis manis di hutan
asing itu, pikir Lendra. "Mengapa saya ada di sini" Bukankah tadi saya ada di
rumah majikan saya?"
tanya Lendra bingung. "Ah, apalah artinya sebuah tempat. Hidup kita ini sebenarnya tak memiliki sekat-
sekat. Hanya lantaran keterbatasan diri kita saja maka sepertinya hidup kita
dibatasi oleh ruang dan waktu,"
kata gadis itu membuat Lendra bingung menyimaknya.
"Bisakah Nyai terangkan, mengapa saya ada di sini kini?" tanya lagi Lendra.
"Itu lantaran jasa Kakang terhadap Nyi Indangwati. Hanya jasa Kakang saja yang
menyebabkan majikan saya selamat tiba di kediamannya," tutur gadis itu.
Lendra teringat kembali peristiwa beberapa hari lalu. Betapa dia telah menolong
merawat luka panah yang diderita Nyi Indangwati.
"O, ya ... saya sudah kenal dengan Nyi Indangwati," gumam Lendra membayangkan
gadis berkulit langsat berlesung pipit itu. Dan manakala ingat Nyi Indangwati,
maka dada Lendra bergetar aneh.
"Siapakah sebetulnya Nyi Indangwati itu?" gumamnya lagi. Namun kali ini hanya
dibalas dengan tawa cekikikan dari gadis yang menjaga di sampingnya. Sudah
barang tentu Lendra menoleh. Mengapa pertanyaannya dirasa lucu bagi gadis itu"
"Bagaimana tidak lucu, Kakang. Tadi Kakang katakan sudah kenal Nyi Indangwati.
Tapi kini malah tanya lagi?" kata gadis itu kembali tersenyum renyah sambil
menutupi mulutnya dengan punggung tangannya yang mulus.
"Saya hanya tahu namanya saja. Sementara, hal-hal lainnya saya tak tahu ..."
gumam Lendra. "Nyi Indangwati itu putri tunggalnya Sang Prabu Selang Kuning ..." kata gadis
bernama Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
13 Naimah ini. Lendra terkejut mendengarnya.
"Maksudmu, Nyi Indangwati itu putri seorang raja?" tanya Lendra melirik kembali
pada Naimah. Naimah pun mengangguk mengiyakan.
"Heran, seingat saya di zaman ini jabatan paling tinggi di daerah hanyalah
bupati. Ke atasnya ya Gubernur Jenderal di Batavia sana...." gumam lagi Lendra.
"Ah ... apalah artinya sebuah jaman. Sudah saya katakan, untuk hal-hal tertentu,
kehidupan ini tak dibatasi ruang dan waktu. Di sini tak ada bupati atau gubernur
jenderal. Sebab yang ada hanyalah penguasa tunggal Kerajaan Pulo Majeti bernama
Prabu Selang Kuning," tutur Naimah.
"Pulo Majeti" Seingat saya, itu hanyalah sebuah gugusan pulau kecil di tengah
rawa, Rawa Onom namanya ..."
"Ssst ... Jangan bilang Onom. Juragan Selang Kuning adalah Prabu Anom. Jangan
mengganti kata Anom dengan Onom, ya?" cegah Naimah menempelkan telunjuk ke depan
mulutnya yang tipis manis.
"Anom dan bukan Onom, ya?" tanya Lendra.
"Iya, sebab Onom adalah kata-kata lecehan dari orang Kerajaan Galuh terhadap
kami," kata Naimah. Lendra mendadak terkejut. Dia teringat kembali pertempuran di sebuah hutan lebat
berawa hari-hari belakangan. Ada teriakan-teriakan prajurit yang ingin membunuh
Prabu Selang Kuning. "Apakah Kerajaan Pulo Majeti pernah diserbu Pasukan Kerajaan Galuh?" Lendra
mendadak mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Ya, bahkan kerajaan kami kerap diserbu pasukan-pasukan kecil dari Galuh. Secara
diam-diam, mereka inginkan nyawa Sang Prabu. Minggu lalu sudah terjadi lagi
penyerbuan dan Nyi Indangwati yang tengah bermain di taman terkena serangan
anak-panah orang Galuh," kata Naimah mengepal tinju seperti marah.
Lendra terkejut namun dia hanya berdiam diri saja. Bahu Nyi Indangwati bukan
terkena serangan anak-panah prajurit Galuh tapi oleh anak-panah milik Bendara
Wedana dan bukan di sebuah pertempuran. Ini aneh. Tapi tentu Lendra tak mau
mendebatnya. "Apa yang Nyi Indangwati inginkan dari saya, Nyai?" tanya Lendra memindahkan
perbincangan. "Ya, seperti saya katakan tadi. Dia inginkan memberikan tanda terima-kasih."
"Seperti apa?" "Ah, masa saya harus mendahului apa yang akan dikerjakan majikan saya?" potong
Nyi Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
14 Naimah. Lendra terdiam. "Tidurlah Kakang sebab kau tentu memerlukan istirahat yang baik," tutur Nyi
Naimah. Dan Lendra kembali tertidur sebab matanya mendadak mengantuk. Ketika
isuman, Lendra menyebut-nyebut nama Nyi Naimah.
"Naimah... Naimah ..." gumamnya. Kerongkongannya terasa kering dan maksudnya mau
minta minum pada Nyi Naimah. Namun yang jawab hanya suara lelaki parau.
"Hai, siapakah Naimah itu, Lendra?" tanya suara parau itu. Manakala Lendra
membuka matanya, yang nampak adalah wajah Mang Sajum, sesama pegawai di
Kewedanaan Rancah. "Minum ... Minum ..." keluh Lendra sebab kerongkongannya serasa tercekik saking
keringnya. Mang Sajum menyodorkan air putih yang barusan dituangkannya dari sebuah kendi
tanah liat. Lendra minum dengan tergesa-gesa sebab tak sabar akan haus dan dahaga. Namun
ketika air masuk, perutnya terasa pedih dan sakit.
"Pelan-pelan, sebab kau lebih dari seminggu tak makan dan tak minum," kata Mang
Sajum. "Aneh sekali Lendra, ketika kuburmu digali, tak ada jasad kamu," sambung Mang
Sajum. Lendra terkejut dan tersinggung.
"Saya kan belum mati. Mengapa musti ada kubur saya, Mang Sajum?" katanya
mengerutkan dahi. "Itulah yang menggemparkan semua orang. Tidak saja di sekitar Rancah sini, tapi
pun sampai ke Kota Ciamis sana ..." tutur Mang Sajum bingung.
"Sepuluh hari lalu kau ditemukan tewas ..."
"Katanya seminggu lalu?"
"Ya. Tapi tiga hari lalu begitu bangun kau pingsan lagi, tiga hari lamanya ..."
potong Mang Sajum. "Tiga hari" Saya hanya beberapa saat saja bercakap-cakap dengan Nyi Naimah."
"Nyi Naimah" Siapa dia" Ketika bergumam dalam pingsan, kau memang ada menyebut-
nyebut Naimah, Naimah, gitu. Aneh ..." gumam Mang Sajum.
"Sudahlah. Itu nanti saja. Yang perlu saya ketahui, mengapa saya dikhabarkan
telah mati?" potong Lendra tak sabar. Maka Mang Sajum kembali mengabarkan peristiwa sepuluh hari lalu. Ya, sepuluh
hari lalu Lendra yang hilang di sekitar Rawa Onom, ditemukan di pinggir rawa,
tertelungkup dan hampir terbenam.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
15 "Namun kau sudah tak bernyawa. Sore itu juga di tengah hujan lebat kau
dimakamkan. Namun aneh, di saat peringatan ke tujuh hari, kau muncul ..." tutur Mang Sajum.
"Saya memang tak mati dan tak merasa pernah dikuburkan. Saya juga tak merasa
hilang selama seminggu. Paling hanya satu hari saja bersua dengan Nyi Indangwati
..." tutur Lendra. "Nyi Indangwati" Siapa dia?" tanya Mang Sajum heran."Dia adalah putri Prabu
Selang Kuning ..." "Masya Allah ... Menurut orang tua di sini, Prabu Selang Kuning adalah penguasa
Pulo Majeti!" cetus Mang Sajum.
"Begitu juga yang dikatakan Nyi Naimah ..."
"Ya, siapa pula Nyi Naimah?"
Dia hanya pembantu biasa Nyi Indangwati. Tapi cantiknya sungguh memukau ..."
Lendra berdecak sendirian.
"Sudahlah. Ucapanmu membuat bulu-kudukku berdiri, Lendra ..." kata Mang Sajum
mengusap-usap tengkuknya sendiri. "Tapi kau diamlah, Lendra. Maksudku, jangan
banyak bicarakan hal aneh ini. Sungguh tak baik. Penghuni Rawa Onom tak baik
banyak diceritakan,"
kata Mang Sajum namun bulu kuduknya masih terasa bergidik juga.
*** Kendati banyak orang menjenguknya untuk bertanya perihal keajaiban "orang mati
hidup kembali", namun Lendra tak banyak bicara. Bukan karena taat akan amanat
Mang Sajum. Namun bagi dirinya, percuma saja memperbincangkan sesuatu hal yang tak masuk
diakal bagi perkiraan orang lain.
"Hanya yang pernah mengalaminya yang akan percaya omonganku ..." katanya dalam
hati. Itulah sebabnya, ketika banyak orang menjenguknya dan bertanya itu-ini, Lendra
hanya bilang tak ingat sesuatu.
Begitu sampai tiba pada suatu saat. Saat itu adalah saat di mana Bendara Wedana
sudah ingin berburu kembali. Kata Bendara, perburuan beberapa minggu lalu dirasa
kurang berhasil sebab buruan banyak yang kabur ke dalam hutan.Maka pada minggu
depan akan segera dirancang kembali.
"Apakah tak sebaiknya Bendara urungkan saja, Gamparan?" kata Lendra menyembah
hormat. "Jangan khawatir, sebab engkau kali ini tak akan aku ikut-sertakan lagi, Lendra.
Apalagi kesehatanmu belum pulih benar ..." sahut Bendara Wedana.
"Bukan itu yang saya maksud, Bendara. Saya bukannya tak mau ikut. Namun maafkan
pendapat saya. Rasanya tak baik melakukan perburuan terhadap sesama mahluk hidup
..." tutur Lendra sedikit berani namun sambil menunduk penuh takut.
Ada dua rasa takut yang dia rasakan. Pertama takut Bendara Wedana marah karena
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
16 tersinggung. Kedua takut Bendara Wedana mengalami hal-hal buruk.Kalau ingat
peristiwa tempo hari, yang menurut penglihatan Bendara waktu itu sekelompok
menjangan, nyatanya adalah para wanita cantik dan satunya terluka parah oleh
panah Bendara Wedana. Lendra takut, ada balas-dendam atas tindakan Bendara
Wedana ini. Mendengar alasan dan pendapat pegawainya, ternyata Bendara Wedana tidak merasa
tersinggung, bahkan beliau tersenyum lega. "Aku bersyukur bahwa engkau mencintai
lingkungan alam. Tapi engkau musti tahu juga, bahwa kehidupan alam perlu
keseimbangan. Bila isi alam tak seimbang, akan punya masalah juga. Berburu binatang hutan
adalah upaya untuk menyeimbangkan isi hutan. Kita hanya berburu binatang yang
sudah cukup tua saja. Binatang yang muda-muda tak kita habisi sebab berguna untuk kelangsungan
penghuni hutan. Hanya memang ..." Bendara Wedana agak tersendat pembicaraannya, "Hanya memang
beberapa waktu lalu aku ada kekeliruan. Aku memanah menjangan yang masih muda.
Itu tak baik sebenarnya ..." tutur Bendara Wedana.
Lendra mengangguk. Namun sebenarnya hatinya kurang puas sebab yang ingin dia
cegah adalah berburu gadis-gadis cantik di sekitar sisi-sisi Rawa Onom itu.
Tapi, apa mungkin Lendra berkata begitu sementara Bendara Wedana tak merasa
tengah berburu gadis" Itulah yang jadi kesulitan bagi Lendra untuk bicara
sesungguhnya. Bendara Wedana seperti maklum atas kekecewan aparatnya. Makanya beliau
menerangkan lebih rinci. Kata beliau, berburu hanyalah kerja sampingan saja,
sebab tugas sebenarnya adalah melakukan kunjungan ke beberapa wilayah
kekuasaannya untuk mengontrol sejauh mana tingkat penghidupan masyarakat.
"Pergi ke wilayah-wilayah terpencil akan terasa jenuh bila tak disertai dengan
hiburan berburu. Kita punya pekerjaan besar yang sebelumnya harus dilakukan
penelitian dulu. Kita akan mengeringkan Rawa Onom, seperti kita mengeringkan
beberapa daerah banjir di wilayah Krangkeng, Indramayu, dulu, Lendra ..." kata
Bendara Wedana. Kembali Lendra hanya mengangguk pelan. Anak-muda ini tahu
persis, di Kecamatan Krangkeng dulu, majikannya mengalami sukses besar
mengeringkan wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi langganan banjir Sungai
Cimanuk. Bahkan atas jasanya ini, Bendara Wedana mendapatkan pujian besar dari
pemerintahan pusat di Batavia. Sekarang rupanya sukses besar ini akan diulangi
di daerah Rawa Onom.Kata Bendara Wedana, bila Rawa Onom dikeringkan, akan
menjadi sebuah hamparan persawahan yang amat subur dan akan semakin
mensejahterakan masyarakatnya.
"Rawa Onom harus dikeringkan sebab rakyat harus sejahtera," tutur Bendara
Wedana. ***

Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aneh sekali, seusai mendengar rencana besar ini, Lendra mendadak menderita sakit
disertai demam hebat. Bila malam menjelang, kerjanya mengigau tak beraturan.
Namun terkadang orang mendengar celotehnya.
"Nyi Indang ... Nyi Indang ... Ngi Indang ..." keluhnya.
"Wuah, Si Lendra tengah kasmaran sama gadis desa rupanya," kata Jang Dayat.
Hanya Mang Sajum saja yang berpikir lain.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
17 Betul apa yang jadi sangkaan Mang Sajum. Lendra bukan tengah tidur sambil
mengigau. Namun alam bawah sadarnya tengah berkelana kembali ke alam lain. Yang diingat
Lendra ketika itu bahkan dia tengah duduk berhadapan dengan Nyi Indangwati.
Nyi Indangwati tengah mengemukakan kekhawatirannya bahwa negaranya akan diluluh-
lantakan oleh pasukan dari Kerajaan Galuh.
"Mengapa Kerajaan Galuh begitu memusuhi Kerajaan Pulo Majeti, Nyai?" tanya
Lendra. Nyi Indangwati menunduk lesu sehingga ujung-ujung rambutnya yang hitam halus
bergoyang-goyang sedikit menutupi jidatnya yang putih.
"Itu terjadi memang dari kesalahan ayahanda Prabu sendiri ..." keluh Nyi
Indangwati. Maka sambil duduk bersimpuh di atas hamparan beludru, Nyi Indangwati
menerangkan. Dulu ayahandanya adalah patih dari Kerajaan Galuh. Merupakan
seorang pejabat yang paling pandai dan paling terpercaya Raja. Bila ada
pekerjaan-pekerjaan penting di kerajaan, maka tugas berat itu diserahkannya
kepada Patih Selang Kuning. Suatu saat Prabu Raksabuana, yaitu Raja Galuh waktu
itu, memanggil Selang Kuning. Sang Patih cakap ini diserahi tugas agar sudi
memajukan sebuah wilayah yang kini bernama Pulau Majeti. Raja menginginkan agar
seluruh wilayah Galuh punya arti penting dalam ikut mensejahterakan rakyat. Kata
Raja, Pulo Majeti itu wilayah subur. Dan bila bisa dibuka maka akan semakin bisa
meningkatkan kesejahteraan rakyat Galuh. Patih Selang Kuning seperti biasa
menyanggupi tugas berat ini.
Maka, Sang Patih berangkat bersama para pengikut setianya. Bahkan istri dan
anaknya dibawa serta. Padahal, pindah ke Pulau Majeti bukan untuk bersenang-
senang. Di sana tak ada keraton, tak ada tempat tidur, bahkan makanan pun.
Pulau Majeti ketika itu, hanyalah sebuah wilayah hutan yang penuh rawa. Tapi,
bukanlah Patih Selang Kuning namanya bila tak sanggup menciptakan dari ketiadaan
menjadi sesuatu yang ada. Patih Selang Kuning tidak siang tidak malam bekerja
memimpin sendiri berbagai pembangunan di Pulau Majeti. Lahan pertanian dan
perkebunan dibuka. Demikian pun irigasi pengairan. Sambil membangun sarana
pertanian dan perkebunan, Patih Selang Kuning pun membangun sebuah keraton yang
lebih indah dari Keraton Galuh sendiri.
Berkat kepemimpinan Patih Selang Kuning, Pulau Majeti yang semula hanya berupa
hutan belukar tanpa penghuni, beberapa tahun kemudian telah berubah menjadi
sebuah negara yang subur makmur gemah ripah lohjinawi. Banyak penduduk Galuh
lainnya kini memilih hidup di Pulo Majeti sebab kesejahteraan lebih terasa
dibanding di Galuh sendiri. Demikian yang terjadi sampai belasan tahun berlalu.
Sampai pada suatu saat, datang utusan dari Kerajaan Galuh. Utusan itu
menyampaikan rasa khawatir Prabu Raksabumi, sebab patihnya yang setia tak pernah
kembali dalam upaya mengemban tugas. Utusan itu baru merasa bengong setelah
mengetahui bahwa di Pulo Majeti ada sebuah negri baru yang kemakmurannya
melebihi Galuh. "Tak dinyana, itu berkat kepemimpinan engkau hai Patih Selang Kuning ..." kata
utusan amat bahagia. Selang Kuning pun terlihat bangga atas pujian ini. Namun suasana ceria mendadak
tegang setelah Selang Kuning ditanya, kapan akan melaporkan hasil pekerjaannya
ini. "Oh, mengapa aku harus melapor, sepertinya aku ini punya atasan"
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
18 Tidak, sebab aku adalah penguasa Kerajaan Pulo Majeti dan Pulo Majetilah yang
terbesar di wilayah ini, bukan siapa-siapa," tutur Selang Kuning dengan
angkuhnya. "Kalau disebut permusuhan antara Galuh dengan Pulo Majeti, maka itulah awal
permasalahannya ..." tutur Nyi Indangwati setelah memaparkan riwayat berdirinya
Kerajaan Pulo Majeti. "Jelas, Galuh akan membenci Pulo Majeti sebab ayahandamu telah melakukan
pengkhianatan, Nyai ..." kata Lendra menimpali.
Dikomentari begini, gadis berlesung pipit itu hanya menunduk lesu dan menghela
napas panjang.Berlama-lama Lendra bisa menatap keelokan gadis ini. Ya, betapa
eloknya gadis ini. Rambutnya digelung rapih ke atas namun masih ada bagian-bagian yang tergerai dan
malah membuat wajah itu semakin indah saja.
"Tapi ayahandaku adalah seorang perkasa. Kerajaan Galuh menjadi jaya lantaran
kerja-keras ayahanda Prabu. Maka ketika Pulo Majeti yang semula gugusan pulau
kecil tiada berarti di tengah hutan penuh rawa berubah menjadi sebuah negri yang
subur makmur, mengapa tiba-tiba harus berada di bawah kekuasaan Galuh, sementara
penguasa Galuh hanya berpangku-tangan saja" Tidak. Dan sebetulnya yang musti
jadi penguasa Galuh keseluruhannya hanyalah ayahandaku," kata Nyi Indangwati
menatap Lendra. Lendra pun balik menatap sehingga jantungnya kembali berdegup.
Nalurinya sebagai lelaki tergerak manakala tatap-mata gadis itu menembus
jantungnya. Sebentar ada keinginan agar dia melampiaskan naluri prianya.
Namun sebentar kemudian ada kesadaran yang memagarinya.
"Tak baik melakukan hal-hal buruk ini, sementara gadis itu tengah dirundung
kemelut ..." tuturnya dalam hati. Dan apalagi kalau diingat bahwa ada perbedaan besar di
antara mereka. Dirinya hanyalah seorang pegawai rendahan Bendara Wedana Rancah, semenara Nyi
Indangwati adalah putri raja Kerajaan Pulo Majeti. Putri dari Kerajaan Pulo
Majeti" O. ya, adakah itu di kehidupan nyata" Pemuda itu mengatupkan sepasang
matanya. Kepalanya mendadak pening memikirkan hal ini.
"Kami memang berbeda tempat dengan kalian ..." kata Nyi Indangwati sepertinya
bisa mendengar apa yang disuarakan hati Lendra. Maka untuk kedua kalinya, Nyi
Indangwati bercerita. Ketika upaya memisahkan diri dari Ki Selang Kuning terdengar oleh Prabu
Raksabuana, maka penguasa Kerajaan Galuh ini marah besar dan berniat menyerbu
Pulo Majeti. Ki Selang Kuning tak mau ada pertumpahan darah. Rakyat tak boleh
berkorban atas ambisinya. Namun juga Ki Selang Kuning tak mau menyerahkan Pulo
Majeti kepada Galuh, sebab sudah nampak nyata bahwa rakyat menjadi sejahtera
atas prakarsanya. Maka agar pertumpahan darah antara Galuh dan Pulo Majeti
terhindarkan, Ki Selang Kuning mengajak rakyatnya untuk ... pindah ke alam lain,
yaitu sebuah alam yang tak bersinggungan dengan kehidupan nyata manusia.
"Kami menyebutnya alam siluman ..." kata Nyi Indangwati."Ini adalah sebuah alam
yang terletak di antara alam manusia dan alam arwah. Bagi manusia awam, kami tak
berujud tapi kami bukan bangsa jin. Begitu pun tempat kehidupan kami, tak bisa
dilihat manusia biasa. Keraton Pulo Majeti menurut mereka hilang lenyap dan berubah menjadi belantara
dan rawa," sambung lagi Nyi Indangwati.
"Tak perlu takut. Kami tetap makhluk biasa yang memiliki rasa dan perasaan dan
yang bisa Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
19 membedakan mana baik mana buruk. Kami juga butuh perkawinan, perkeluargaan dan
keturunan. Kami juga suka makanan enak yang disenangi manusia biasa dan yang
tumbuh di alam nyata. Hanya tentu saja karena tak punya tubuh kasar, maka untuk
memakan makanan yang tumbuh di dunia nyata, kami pinjam tubuh nyata. Bila ingin
sayur, kami masuk ke binatang yang suka sayur, demikian pun kalau ingin daging,
masuk ke tubuh binatang pemakan daging."
"TAPI kendati perasaan sebagai manusia tetap ada, bangsa kami tak serakah
seperti manusia pada umumnya. Sebagai keturunan Galuh dan orang Kerajaan Sunda
pada umumnya kami tetap berpegang pada kesederhanaan," tutur lagi Nyi Indangwati
sambil bersenandung lirih.
(Turunan ti Karajaan Sunda mahmun nyatu tamba henteu laparmun nginum tamba
henteu hanaangmun dicangcut tamba henteu dibaju Ulah satenjo-tenjonaari lain
tenjokeuneunanaulah sadenge-dengenaari lain dengekeuneunanaulah saucap-ucapnaari
lain ucapkeunanaulah sacabak-cabaknaari lain cabakeunana.)
(Keturunan dari Kerajaan Sunda
bila makan sekadar tak lapar
bila minum sekadar tak dahaga
bila memakai celana dalam
sekadar tak berpakaian. Jangan menatap sesuatu yang tak boleh ditatap
jangan mendengarkan sesuatu yang tak pantas didengarkan
jangan berucap sesuatu yang tak pantas diucapkan
jangan meraba sesuatu yang tak pantas untuk diraba.)
"Mengapa bangsamu menyebutkan diri sebagai keturunan Kerajaan Sunda, Nyai?"
tanya Lendra kemudian. "Sebab ayahanda adalah keturunan dari Kerajaan Sunda," kata Nyi Indangwati. Maka
Nyi Indangwati berujar panjang. Ini dimulai dari Kerajaan Tarumanagara (358-669
Masehi). Pada tahun 669 Kerajaan Tarumanagara dibagi dua. Wilayah barat dari
Banten hingga batas Citarum berubah menjadi Kerajaan Sunda, sementara wilayah
timur dari batas Citarum hingga Brebes menjadi Kerajaan Galuh. Prabu Lingawarman
mempunyai seorang putri bernama Dewi Manasih. Dewi Manasih bersuamikan Tarusbawa
dan melahirkan seorang putra.
"Keturunan dari Dewi Manasih dan Tarusbawa ini tak lain adalah kakekku sendiri
atau ayah dari Ki Selang Kuning, ayahandaku. Hanya karena bukan keturunan dari
anak lelaki saja, yang mengakibatkan kakekku tak menjadi raja penerus dari
Kerajaan Sunda. Namun demikian, kami tetap merupakan keturunan langsung dari
Prabu Tarumanagara," tutur lagi Nyi Indangwati. "Itulah sebabnya, ayahanda
berkeras ingin menjadi raja di Pulo Majeti sebab beliau punya garis keturunan
Raja Sunda," kata lagi Nyi Indangwati. Namun kata gadis itu, hingga hari-hari
belakangan ini kegelisahan belum mau sirna. Orang-orang Galuh masih tetap
memendam penasaran. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
20 "Kerajaan Pulo Majeti akan tetap dihancurkan. Hari-hari belakangan ini, bangsa
manusia sedang berusaha mengeringkan rawa di sekitar Pulo Majeti. Ini artinya
akan mengganggu kehidupan kami. Kalau kau mengerti, tolong gagalkan rencana
ini," tutur Nyi Indangwati.
Mendengar ini, Lendra mengerutkan kening. Rencana mengeringkan Rawa Onom, yaitu
sebuah wilayah rawa yang mengelilingi Pulo Majeti memang tengah dipikirkan
Bendara Wedana. Namun tujuan majikannya ini, sama sekali tak ada kaitannya
dengan keinginan untuk menghancurkan Kerajaan Pulo Majeti.
"Rawa Onom memang akan dikeringkan oleh Bendara Wedana. Tapi itu semata-mata
untuk kesejahteraan rakyat di Rancah dan bukan untuk menghancurkan Kerajaan Pulo
Majeti, Nyai ..." kata Lendra. Tapi Nyi Indangwati menggelengkan kepala.
"Dengan bermaksud mengeringkan air rawa, artinya akan membunuh kehidupan rakyat
Pulo Majeti," tuturnya.
"Tidak begitu, Nyai ..."
"Kau harus bantu kami mencegah tindakan ini."
Lendra terpekur. Lendra kembali bangun dari pingsannya dengan keringat membasahi tubuhnya.
Seluruh pakaiannya pun basah kuyup dibuatnya. Namun demikian, seluruh
kesadarannya belum pulih benar. Mang Sajum terpaksa sibuk merawatnya, sebab
sepanjang malam Lendra nampak gelisah dan mengigau saja kerjanya.
"Jangan Bendara ... jangan lakukan! Jangan lakukan!" gumam Lendra membuat
bingung Mang Sajum. "Ada apa lagi, Mang Sajum?" kata Bendara Wedana manakala kembali mengunjungi
kamar tempat Lendra terbaring.
"Anak ini terus mengigau, bahkan kini menyebut-nyebut namamu, tamparan ..." kata
Mang Sajum. Jang Dayat yang duduk disampingnya mengangguk membenarkan.
*** Ketika kesadaran Lendra telah benar-benar pulih, Lendra tergopoh-gopoh menghadap
majikannya dan langsung mengatakan agar rencana mengeringkan Rawa Onom
dibatalkan saja. "Siapa yang akan mengeringkan Rawa Onom" Esok subuh aku hanya akan berburu
saja," tutur Bendara Wedana. "Berburu ke Pulo Majeti lagi?"
"Tidak. Kita kali ini menuju Rancabingung."
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
21 "Rancabingung ...?"
"Ya. Aku belum pernah ke sana."
Kata Mang Sajum, "Siapa pun belum pernah ke sana ..."
"Itulah sebabnya. Aku sebagai penguasa wilayah Rancah, musti tahu seluruh
peloksok negri. Makanya sambil mengontrol wilayah, kita cari hiburan berburu," tutur Bendara
Wedana. Lendra hanya melamun, mencoba membayangkan hal-hal yang dia pun tak tahu akan
seperti apa. Dan walau pun kesehatannya belum pulih benar, Lendra memaksa untuk
ikut rombongan. Bendara Wedana tak mencoba mencegah, kecuali tak memberinya
beban terlalu berat kepada pemuda itu. Kali ini yang menerima beban berat adalah
Jang Dayat. Dari mulai memanggul beberapa batang tombak, hingga beberapa gondewa
bahkan cikrak dan cangkalak, Jang Dayatlah yang memanggulnya. Mang Sajum
kebagian memikul bekal makanan seperti nasi timbel, air minum di lodong dan
beberapa keperluan lain. Sementara Lendra hanya memanggul beberapa kantung
pakaian pengganti bagi majikannya.
Sesudah matahari menyingsing dan burung-burung di dahan bernyanyi, maka
rombongan mulai berangkat. Bendara Wedana berkuda paling depan. Sementara di
belakangnya ada tiga ekor kuda yang masing-masing ditunggangi oleh Camat Cisaga,
Kuwu Cibeurih dan Upas Karta. Di belakangnya ada belasan pegawai berjalan kaki
dengan masing-masing bebannya.
Juga terdapat enam ekor anjing. Mereka dibawa serta untuk membantu perburuan.
Perjalanan ini makan waktu lama sebab rombongan berkuda tak mau memacu kuda
cepat-cepat. Para ponggawa yang hanya berjalan kaki tak boleh lelah atau bahkan
ketinggalan jauh. Namun setelah rombongan hampir tiba, di tengah jalan yang
dirindangi pepohonan lebat, mereka bertemu dengan rombongan lain. Mereka adalah
pejalan kaki berjumlah delapan orang dan semuanya berpakaian serba-hitam.
Bercelana sontog hitam, berpakaian rompi hitam dengan dada terbuka dan memakai
ikat kepala hitam. Wajah mereka biasa-biasa saja bahkan terkesan ramah. Namun
enam ekor anjing nampak gelisah, mendengus dan melenguh.
"Rombongan dari mana dan akan menuju ke manakah ini?" tanya Bendara Wedana
menahan tali kekang sehingga kuda berhenti mendadak.
"Kami dari Kampung Handiwung akan menjemput Bendara Wedana," tutur salah seorang
dari mereka. "Dari Kampung Handiwung mau menjemput aku" Ada perlu apakah?" tanya Bendara
Wedana berkerut keningnya lantaran curiga.
"Oh, jadi inikah Juragan Wedana?" tanya seorang berkumis agak tebal dan beralis
mata tebal membungkuk hormat.
"Betul. Beliau adalah Bendara Wedana. Tapi kalian dari Kampung Handiwung, mau
apakah?" tanya Camat Cisaga ikut berkerut alisnya.Maka pemimpin rombongan berpakaian
hitam itu mengutarakan maksudnya bahwa mereka diutus Tua Kampung Handiwung untuk
mengundang Bendara Wedana beserta aparat. Di tempat itu malam ini akan ada pesta
dalam rangka menyambut sukses panen tahunan.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
22 "Mengapa begitu mendadak?" tanya Kuwu Cibeurih.
"Tidak mendadak, sebab Tua Kampung sudah memberi pesan jauh sebelumnya kepada
Kuwu Ciminyak. Entah kami tidak tahu, apakah Kuwu Ciminyak menyampaikannya atau
tidak ..." tutur pemimpin rombongan.
Bendara Wedana mengangguk-angguk dan mengabarkan bahwa undangan belum diterima.
"Mungkin Kuwu Ciminyak tak sempat mengirimkan utusannya sebab dia keburu
menderita sakit," tutur Bendara Wedana.


Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi, bagaimana kita kini?" tanya Camat Cisaga.
"Kita terima saja undangan ini. Aku tak mau kecewakan rakyat apalagi kami belum
pernah bersua. Lagi pula aku ingin tahu keberadaan Kampung Handiwung. Serasa
baru dengar akan nama kampung itu ..." kata Bendara Wedana.
"Lantas bagaimana rencana berburu kita?" tanya Upas Karta.
"Berburu bisa kapan saja. Tapi pesta belum tentu datang tiap sebulan sekali,"
jawab Sang Bendara Wedana tersenyum.
Semuanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Semuanya tak menyalahkan sikap
Bendara Wedana yang mendadak mengubah arah perjalanan. Tokh pada intinya sudah
dikemukakan, bahwa berburu hanya sebatas hiburan, sementara tujuan utama adalah
mengadakan pengenalan lapangan. Bahkan kata bendara Wedana, menerima undangan
dari kampung yang belum beliau kenal, merupakan sebuah kunjungan kerja yang pas.
Maka Bendara Wedana siap dibawa rombongan berbaju hitam untuk mengunjungi pesta
di Kampung Handiwung. Namun ketika rombongan mulai berjalan, enam ekor anjing tetap gelisah. Mereka
melenguh sambil menggapit-gapitkan ekornya. Pada suatu tikungan jalan yang
berada di tengah belantara, giliran tiga ekor kuda yang memberikan reaksi aneh.
Mereka sesekali berbunyi keras dan mengacungkan kaki depannya ke atas. Di sebuah
dusun kecil sebelum tiba di Kampung Handiwung, pemimpin rombongan menyarankan
agar anjing dan kuda dititipkan saja di kampung itu kalau binatang-binatang itu
kelelahan. Entah mengapa, tidak seorang pun yang mencoba menolak anjuran ini.
Maka untuk selanjutnya, perjalanan dilakukan dengan jalan kaki sebab kata
utusan, Kampung Handiwung sudah dekat. Benar saja, kampung yang dimaksud tidak
terlalu jauh. Bendara Wedana bahkan amat terkesan dengan keasrian wilayah ini.
Jalan yang semula berupa tanah berdebu, ketika memasuki lawang kori (pintu
gerbang) berubah menjadi jalan berbatu koral sehingga bila hujan jatuh tak akan
membuat kubangan lumpur. Perumahan pun berderet dengan tertata rapi. Kendati semua beratap rumbia dan
rumah bambu berpanggung, namun kesejahteraan warga nampak nyata. Di setiap
halaman rumah tersedia lumbung padi dan isinya padat. Di bagian lain juga
terdapat kandang ternak. Dari kerbau hingga kambing, dari ayam hingga itik,
semua ada. Di sisi lainnya, hampir semua rumah punya kolam dan ikan-ikannya
terlihat besar-besar. Sungguh membuat Bendara Wedana iri, sebab di pusat
pemerintahannya saja, yaitu di Rancah, suasana seperti itu tidak didapat,
kecuali di beberapa penduduk kaya saja.
Kampung itu semarak, di sepanjang jalan banyak dipasang umbul-umbul. Kampung itu
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
23 memang tengah menyambut pesta.
Suasana persiapan pesta nampak nyata. Di sudut alun-alun ada panggung
dikelilingi damar sewu atau penerangan minyak tanah berjumlah seribu. Mungkin
akan digunakan tempat pertunjukan. Bahkan sudah nampak jajaran para pedagang di
sana. Manakala tiba di halaman kediaman tua kampung, membikin Bendara Wedana
terbengong-bengong. Di sana sudah banyak orang, tua-muda besar-kecil, pria dan
wanita.Rombongan tamu dari Rancah berjumlah belasan orang itu nampak terkesiap
sebab di kampung itu banyak wanita muda yang cantik dan ranum. Para gadis
tersenyum dikulum dengan mata mengerling manakala menatap rombongan. Kepala Jang
Dayat beberapa kali musti menengok ke belakang sebab ada gadis cantik-manis
mengedipkan mata padanya.
Bendara Wedana menerima penghormatan berlebih manakala disambut tua kampung.
Seorang tua berwajah ramah dengan alis tebal berwarna putih keperak-perakan,
membimbingnya duduk di sebuah bale-bale yang sudah ditilami beludru halus.
Sesuatu yang jarang didapat di kampung lain kala itu. Mereka segera disuguhi
makan minum. Jenis penganan sebetulnya biasa saja, namun dengan kualitas yang
jauh lebih baik dibandingkan di tempat lain. Kalau Bendara Wedana mencicipi buah
salak, maka buah salak yang berdaging montok itu terasa manis legit. Kalau
Bendara Wedana mencicipi nasi ketan, maka nasi ketan itu berbau harum dan
membuat selera bertambah untuk makan banyak-banyak. Minum air buah kelapa pun
terasa amat menyegarkan sebab air kelapa itu legit dan manis pula, serasa
manisnya air madu. Para aparatnya makan banyak-banyak, tak terkecuali Camat,
Kuwu dan Upas. Mereka ketiduran karena kekenyangan, hingga malam tiba. Mereka
bangun dari tidur sebab sayup-sayup mendengar suara bebunyian ditabuh.
"Ha ... ada kesenian tayuban rupanya," kata Jang Dayat bersemangat. Dan semuanya
pun sebenarnya bersemangat. Sebab bila ada tayuban, tentu di sana bakal ada
ronggeng atau penari wanita. Rupanya pribumi pun mengerti akan kegelisahan para
tamu. Buktinya tua kampung segera mengajak para tamu untuk menuju balandongan,
yaitu pusat pertunjukan. Benar saja, di sana ada tayuban. Delapan orang ronggeng sudah berseliweran
menari di atas panggung. Mereka rata-rata terdiri dari gadis muda yang cantik
dan ranum. Para sinden pun tak kalah cantik menariknya dan rata-rata mereka
berusia muda. "Sayang, gadis-gadis secantik itu hanya jadi ronggeng. Padahal kalau tinggal di
dayeuh (kota), mereka akan jadi istri para menak (bangsawan) dan pejabat
tinggi," gumam Bendara Wedana.
"Namun harap dimaklum, Gamparan, para gadis di sini bukan menjadi ronggeng untuk
mencari nafkah. Mereka hanya cinta berkesenian saja. Berbagai kesenian
dipelihara untuk ketenangan batin belaka," tutur tua kampung.
Para ronggeng itu sungguh muda dan cantik. Mereka memakai pakaian gemerlap,
kebaya dengan dironce benang emas dan kain batik halus warna kuning dan hijau.
Para ronggeng itu berseliweran kesan-kemari sambil membeberkan soder, yaitu
sebangsa selendang namun kelak akan disandangkan di bahu tamu. Siapa yang dapat
selendang itulah tamu harus ikut menari.Beberapa ronggeng turun dari panggung
dan mendekati Bendara Wedana serta tamu penting lainnya. Bendara menolak dengan
halus. Namun Camat, Kuwu serta Upas menyambutnya dengan suka-cita. Mereka bahkan
naik ke panggung dan menari bersama para ronggeng. Jang Dayat tanpa diminta
ronggeng malah sudah naik panggung dan menari dekat-dekat ronggeng cantik.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
24 Pesta tayuban tak terasa sudah menjelang dinihari. Ketika ayam pertama berkokok
dari kejauhan, maka selesai sudahlah kenduri ini. Tua Kampung dengan ramah
menawarkan agar Bendara Wedana dan rombongan istirahat saja di kampung ini. Tapi
Bendara menolak dengan berbagai alasan.
"Kami mau mengadakan rapat penting di Cisaga," kata Bendara Wedana.
"Rapat penting perihal apa, Bendara?" tanya Tua Kampung. Sebetulnya pertanyaan
ini sungguh tak sopan. Untuk urusan kenegaraan, cacah atau orang kebanyakan tak
berhak tahu, apalagi sampai bertanya seperti itu. Namun Bendara Wedana adalah
pejabat yang bijaksana dan tak pernah memperlihatkan dirinya sebagai seorang
pejabat penting yang tak hormat terhadap rakyat. Maka pertanyaan ini dijawabnya
Pedang Pelangi 4 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Naga Langit 8
^