Pencarian

Tersesat Di Rawa Onom 2

Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana Bagian 2


dengan semestinya. "Ada sebuah proyek besar yang akan kami kerjakan, yaitu mengeringkan Rawa Onom,"
tutur Bendara Wedana. "Dan lantaran ini sebuah pekerjaan besar, maka jauh-jauh
hari sebelumnya, harus diadakan beberapa perundingan. Semua camat dan lurah se
Kewedanaan Rancah pasti hadir," kata Bendara Wedana.
Mendengar ini, tua kampung sedikit terperangah.
"Apakah wakil dari Kampung Handiwung akan diikut-sertakan, Bendara?" tanyanya.
"Tentu tidak, sebab sudah terwakili oleh lurah yang membawahi wilayah ini. Tapi
kenapa, Tua Kampung?" Bendara Wedana menoleh.
"Mengeringkan Rawa Onom sedikitnya akan mempengaruhi kehidupan kami. Barangkali
rakyat di sini pun musti diajak urun-rembuk. Paling tidak ditanya pendapatnya,
Bendara ..." kata Tua Kampung. Ucapan ini tentu terlalu berani bagi orang setingkat tua kampung. Camat, lurah
bahkan upas nampak sudah mengerutkan kening. namun untuk yang ke sekian kalinya,
Bendara Wedana hanya tersenyum tipis.
"Itu akan kami rundingkan, apakah setingkat tua kampung memang perlu diikut-
sertakan pula?" kata Bendara Wedana. Percakapan tak dilanjutkan sebab kokok ayam
semakin nyaring terdengar. Kata Bendara, rombongan harus sudah pergi sebab rapat
di Cisaga akan berlangsung pagi hari. Maka kendati tua kampung mencoba
menahannya, rombongan akan tetap berangkat.
"Tak apa kalau tetap begitu. Tapi di tengah jalan, harap jangan menoleh ke
belakang," tutur tua kampung membuat yang lain tercengang. Tak terkecuali,
Lendra pun tercengang. Ucapan seperti ini pernah dia dengar melalui mulut Nyi
Indangwati. Dulu ketika dia mau pulang dari sebuah taman indah, Nyi Indangwati
berpesan agar ketika berjalan pulang jangan menoleh ke belakang. Dan manakala
peringatan itu tak digubris, tiba-tiba jalanan lengang yang indah dengan taman
bunga berubah menjadi hutan belukar yang gelap dan pekat.
"Apakah kejadian aneh itu akan terulang kembali?" tuturnya dalam hati.
"Sebaiknya kita turuti saja amanat ini, Bendara ..." kata Lendra setengah
berbisik. "Mari kita pulang ..." sambut Bendara Wedana membenahi kain kebaya yang agak
kusut Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
25 lantaran lama duduk di depan balandongan. Ketika semuanya bersiap untuk
berangkat, Mang Sajum celingukan kesana-kemari.
"Dayat! Dayat! Ke mana anak itu, ya?" tanyanya.Semua orang baru sadar kalau Jang
Dayat tak berada di tempat.
"DI mana Si Dayat?" tanya pula Bendara Wedana.
"Tadi ikut Nyi Tarsih ke belakang balandongan, Gamparan ..." jawab seorang
penari dengan senyum dikulum.
"Siapa Nyi Tarsih?" tanya Bendara.
"Dia sesama penari juga. Dasar Si Tarsih, dia mudah akrab dengan siapa saja ..."
jawab tua kampung. "Pemuda itu kelelahan banyak menari tayub. Barangkali numpang
tidur di rumah Nyi Tarsih, Gamparan ..." kata penari tadi.
"Ah, dasar Si Dayat ..." keluh Mang Sajum.
"Tapi, biarlah. Kalau sudah jodoh tak apa. Kami tak melarang pasangan muda-mudi
memadu janji kasih, asalkan kelak berakhir di pelaminan ..." kata tua kampung.
"Jadi, bagaimana ini?" tanya Bendara bingung.
"Biarkan tinggal pemuda itu. Kami akan menjaganya, Gamparan ..." kata tua
kampung. Akhirnya dengan hati sedikit waswas, Bendara Wedana mengajak semuanya segera
berangkat. "Pukul sembilan pagi kita harus sudah berada di Cisaga," tutur Bendara.
Rombongan pun pergi meninggalkan Kampung Handiwung. Rencananya, mereka akan
mengambil kuda yang dititipkan di kampung tetangga. Jalanan masih gelap sebab
suasana masih dinihari. Camat Cisaga bertanya pada Kuwu Cibeurih pukul berapa
sekarang. Maka Kuwu Cibeurih segera memasukkan tangannya ke saku pakaian bedahan
lima untuk mengambil jam saku. Namun jam saku tak ditemuinya.
"Waduh, jangan-jangan tertinggal di Kampung Handiwung ..." keluhnya.
Sambil berkata begitu, kepalanya menoleh ke belakang.
"Hai, jangan toleh ke belakang!" teriak Lendra. Namun peringatan ini tak berarti
sebab Kuwu Cibeurih sudah terlanjur menoleh. Akibatnya sungguh mencengangkan.
Jalanan yang tadinya rata dan bersih dengan cahaya damar sewu di sepanjang dua
sisi jalanan mendadak hilang dan suasana menjadi gelap-gulita. Jalanan pun yang
tadinya rata dan kering, telah berupa menjadi becek dan berlumpur. Kaki Upas
Karta malah melesak masuk ke dalam rawa sebatas lutut.
"Wah, kok jadi begini?" tanyanya heran.
Hanya Lendra yang tak heran. Namun kendati begitu, tetap saja jiwanya bergetar.
Bahwa kehidupan nyata ini bersanding dengan kehidupan gaib, kini dipercaya penuh
olehnya. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
26 "Kau mungkin sudah tahu akan kejadian-kejadian aneh ini, Lendra ..." gumam Mang
Sajum. Lendra mengangguk. Bahkan Bendara Wedana pun pelan-pelan mengangguk.
"Harap Bendara percaya kalau beberapa waktu lalu sebenarnya saya tidak mati,
Gamparan ..." gumam Lendra. Maka untuk kedua kalinya Bendara Wedana mengangguk pelan.
"Jadi, bagaimana akal kita?" tanya Upas Karta.
"Akalnya, ya jungkat kakimu jangan dibiarkan melesak seperti itu, Mas Karta ..."
kata Mang Sajum sambil membantu menggapai kaki Upas Karta. Dibantu dengan tenaga
tarikan Lendra, maka kaki Upas Karta mulai bisa ditarik.
"Maksudku, bagaimana akalnya agar kita terbebas dari kungkungan misteri gaib
ini, Sajum?" tanya Upas Karta bingung dan suaranya bergetar.
"Justru kini kita terbebas dari dunia gaib," kata Mang Sajum.
Kata Mang Sajum, mereka kini terjebak di kubangan lumpur rawa. Tapi, ya inilah
kehidupan nyata. "Barusan kita masuk ke kehidupan gaib, Gamparan ..." kata Mang Sajum, membuat
Upas Karta bergidik. "Sudahlah. Mari kita tinggalkan saja tempat ini," gumam Bendara Wedana sambil
meninggikan kain batiknya. Maka mereka berjalan dengan susah-payah. Dan
perjalanan kali ini terasa amat lama dan amat melelahkan. Dinihari pun seperti
enggan berubah menjadi subuh sebab di ufuk timur seperti tak ada tanda-tanda
berkas cahaya walau selintas. Di saat dinihari yang seharusnya berudara dingin,
hampir semua anggota rombongan basah kuyup karena cucuran keringat. Sialnya,
cucuran keringat ini kini ditambah dengan cucuran air hujan. Semua orang sungguh
tak mengerti, mengapa cuaca tiba-tiba menjadi mendung dan hujan turun dengan
derasnya. Hujan deras ini disertai dengan kilatan halilintar dan bunyinya amat
memekakkan telinga. Maka perjalanan jadi semakin susah karena jalanan jadi
semakin becek. Namun Bendara Wedana memerintahkan agar semua orang melanjutkan
perjalanan dengan tenang dan hati-hati.
"Kita sial. Padahal tadinya kita akan berburu ke Rancabingung ..." keluh Kuwu
Cibeurih. Setelah berjalan beberapa lama dengan susah-payah, ahirnya tiba juga di kampung
di mana kuda dititipkan. Di tapal-batas kampung, hujan mulai reda. Bahkan
rupanya di tempat ini tak ada hujan sama-sekali. Jalan setapak di kampung ini
kering dan tak pernah terguyur hujan. Di saat terang-tanah, mereka menemukan
kuda-kuda mereka terpancang di beberapa batang pohon yang jauh dari perumahan.
Lendra tercenung. Padahal kemarin sore, kuda itu dititipkan di halaman rumah
penduduk. Ketika kuda dilepas talinya, dari jauh nampak beberapa petani tengah memanggul
cangkul. Mang Sajum mengucapkan terima-kasih bahwa kuda mereka aman di sini. Namun
penduduk malah melenggak heran. Kata mereka, tak ada penduduk yang merasa
dititipi kuda. "Tadi malam tugur (ronda) hilir-mudik ke sini. Tak ada siapapun di sini, apalagi
kuda," kata petani. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
27 "Nah, ini kuda, kan?" kata Upas Karta menunjuk kuda miliknya. "Ya, memang itu
kuda. Tapi tentu para juragan yang bawa sendiri barusan ..." tutur penduduk lagi
sambil senyum, sebab mereka mengira pendatang asing ini lagi membanyol.
Bendara Wedana bertanya perihal nama kampung ini.
Ini Kampung Babakan, masuk ke Desa Ciminyak. Sepagi ini, Gamparan dari mana
saja?" tanya penduduk. Maka Bendara Wedana berkata kalau rombongan baru saja pulang dari Kampung
Handiwung. "Kampung Handiwung" Serasa tak ada kampung bernama itu, kecuali Pulo Handiwung
di wilayah kawasan Rawa Onom. Gamparan dan semua rombongan nampak basah-kuyup,
rupanya menyebrangi Pulo Handiwung sambil berenang di rawa, ya?" tanya penduduk
heran. Sudah barang tentu Upas Karta marah dibuatnya.
"Mana bisa kami berenang di rawa malam-malam" Kami ini kehujanan. Apa tak dengar
di saat dinihari hujan deras dan halilintar bersahutan?" tanya Upas Karta.
"Hujan" Di sini tak ada hujan, apalagi halilintar bersahutan," gumam penduduk
membuat rombongan kembali bingung.
"Sudahlah. Ini bagian dari kesialan kita, Karta ..." gumam Bendara Wedana sambil
naik kuda. Namun sebelum rombongan berangkat, semuanya teringat nasib Jang Dayat.
"Kalau dia celaka, kita bertanggung-jawab," tutur Bendara.
"Nasib Jang Dayat, biar serahkan pada saya, Gamparan ..." Lendra mengajukan
diri. "Maksudmu, engkau akan jemput Jang Dayat" Kamu kan lagi sakit, Lendra?" kata
Bendara Wedana. "Tak apa. Sakitnya saya, kan karena kegaiban. Maka saya akan kunjungi lagi dunia
itu, Gamparan ..." kata Lendra.
Bendara Wedana bimbang akan kesanggupan Lendra. Barangkali pejabat ini khawatir
akan nasib pegawainya ini. Namun karena yang lain diam saja, maka Bendara Wedana
terpaksa mengiyakannya. "Yang penting kau hati-hati. Bawa Jang Dayat dengan tak kurang suatu apa dan
begitu pun dirimu," kata Bendara Wedana.
"Saya akan junjung tinggi pesan ini, Gamparan ..." tutur Lendra menyembah
hormat. Maka ketika rombongan berjalan ke arah selatan, Lendra berjalan menuju
arah utara kembali. "Hati-hatilah Lendra!" teriak Mang Sajum. Lendra hanya bisa
mengangguk pasti. Maka Lendra kini berjalan sendirian, melewati jalanan setapak yang kian lama
kian mengecil dan menghilang sama-sekali. Hingga pada suatu saat, kakinya hanya
melangkah di semak-belukar yang sedikit mengandung rawa dan tanah lembek. Lendra
tak bisa memastikan, apakah tadi subuh memang benar terjadi hujan lebat dengan
halilintar saling sambung-Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by
buyankaba.com 28 menyambung" Yang jelas, di sini hujan tak berbekas sebab sepanjang perjalanan,
tanah selalu basah berawa. Sesekali Lendra musti berhenti untuk memeriksa
kakinya yang terasa gatal.
Dan bila kaki itu diperiksa, maka ketahuan rasa gatal terjadi lantaran lintah
sebesar ibu jari melekat erat menyedot darah di bagian kaki.
Lendra terus melangkah menuju wilayah Rancabingung. Rancabingung itu memang
berada di wilayah Rawa Onom. Mungkin Pulo Handiwung pun berada di sekitar sini.
Bila benar, maka Lendra jangan harap bisa menemukan Kampung Handiwung, sebab di
dunia nyata, tak ada Kampung Handiwung. Yang ada hanyalah Pulo Handiwung,
seperti apa yang dikatakan penduduk Kampung Babakan tadi.
"Aku pun jangan harap menemukan jalan pedati yang besar dan rata, atau pun bisa
menemukan deretan rumah-rumah bagus, sebab itu semua hanya ada di dunia
gaib ..." tuturnya dalam hati. Tapi Lendra merasa, bisa menemukan Jang Dayat di dunia
nyata ini pula. Dia berpikir berdasarkan pengalaman yang pernah menimpanya.
Beberapa hari lalu, dia pun sempat terperosok ke dunia gaib, namun sebetulnya
hanya sukmanya saja, sebab raga kasarnya tetap utuh berada di dunia nyata. Maka
berdasarkan pengalaman ini, Lendra memastikan bisa menemukan tubuh Jang Dayat.
"Semoga Jang Dayat tetap utuh ..." tuturnya dalam hati.
Maksudnya, Lendra memohon pada Tuhan agar keselamatan Jang Dayat dilindungi.
Kalau pun tubuh Jang Dayat ditemukan, maka dia minta agar tubuh itu tetap utuh
menyertai jiwa dan rohnya. Rupanya doa Lendra terkabul sebab jauh di depan,
nampak tubuh Jang Dayat meringkuk di bawah pohon besar dan berjanggut.
Jang Dayat masih hidup sebab tubuhnya bergerak-gerak. Gerakannya bahkan sedikit
keras, bukan sekadar menggigil. Yang membuat Lendra terkejut, tubuh Jang Dayat
sekujurnya dikerubuti oleh puluhan bahkan ratusan ekor lintah dan lipan.
Binatang menjijikan itu nampak menyedot tubuh Lendra. Ada darah meleleh di
setiap wilayah tubuh yang disedotnya. Lendra berupaya sekuat tenaga mencabuti
tubuh lintah dan lipan. Lendra seperti bertarung keras melawan ratusan lintah atau lipan yang
mengerubuti tubuh Jang Dayat. Kalau dia telat mencabuti binatang itu, maka darah
Jang Dayat akan terkuras disedot binatang haus itu. Lintah-lintah itu sungguh
keras dan bandel. Ketika ada yang bisa dicabut, maka ketika dilempar, lintah itu
melata memburu tubuh Jang Dayat kembali. Begitu seterusnya. Itulah sebabnya
Lendra hampir kewalahan. Akal satu-satunya, Lendra menghunus golok yang terdapat
di pinggang Jang Dayat. Dengan mata golok, maka lintah lintah itu diserutnya
seperti membersihkan lumut di tembok. Dengan begitu, banyak lintah bisa diusir
pergi seketika. Setiap lintah yang jatuh ke tanah, segera dibabat habis dengan
goloknya, begitu berulang-ulang. Begitu seluruh lintah bisa diusir pergi, begitu
pula kesadaran Jang Dayat tumbuh. Tubuh Jang dayat menggeliat. Namun setelah
celingukan dan bisa menatap Lendra, serta-merta dia memeluk tubuh Lendra sambil
berteriak-teriak histeris.
"Aduh, Lendra! Tolong aku! Selamatkan nyawaku! Selamatkan nyawaku!" teriaknya
terlongong-longong. "Kau sudah aman! Kau sudah selamat!" jawab Lendra menepis-nepis pipi Jang Dayat
agar kesadarannya segera pulih. Beberapa saat kemudian, kesadaran Jang Dayat
bisa pulih secara utuh. Namun demikian, untuk beberapa saat dia tak bisa
ditanya. Kerjanya hanya melongo Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P >
published by buyankaba.com
29 saja sambil sesekali bergidik ngeri. Sesudah berselang lama, barulah Jang Dayat
bisa ditanya. "Apa yang kau alami selama ini, Dayat?" tanya Lendra memegangi tengkuk Jang
Dayat. "Aku dikepung satu pasukan bersenjata. Mereka mencecarku dengan berbagai senjata
tajam. Darahku sudah berceceran di setiap bagian tubuhku. Untung kau menolong mengusir
penyerang-penyerang itu ..." kata Jang Dayat sambil kembali bergidik.
"Engkau diserang oleh Pasukan Galuh, Jang Dayat?" tanya Lendra.
"Diserbu Pasukan Galuh" Sungguh edan dan sungguh sulit dimengerti. Penyerang itu
malah menuduhku bagian dari Pasukan Galuh. Serbu prajurit Galuh. Bunuh prajurit
Galuh! Begitu teriak mereka."
"Kalau begitu, kau pasti diserbu oleh Pasukan Kerajaan Pulo Majeti, Jang
Dayat ..." "Ya, benar. Mereka mengaku sebagai prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Tapi eh ...
dari mana engkau tahu, Lendra?" tanya Jang Dayat heran. Lendra hanya tersenyum
tipis. "Mari kita pulang saja ke Rancah ..." ajak Lendra berjingkat.
Dengan agak lemah, Jang Dayat pun berdiri. Beberapa bagian tubuhnya yang
berbintik merah dan ada noda darah, dia seka satu persatu."Lendra, apakah aku
ini mimpi atau apa" Bila disebut mimpi, kok tubuhku penuh luka?" tanya Jang
Dayat terheran-heran. "Biar kita obrolkan nanti di rumah saja ..." tutur Lendra berjalan duluan.
Jang Dayat ikut berlari kecil di belakangnya seperti takut tertinggal.
"Kau musti hati-hati dengan perempuan, Lendra ..."
"Oh, ya ...?" "Kalau permintaannya tak diturut, perempuan suka ngadat, memaksa, bahkan
menekan." "Oh, ya?" "Nyi Tarsih bahkan memanggil beberapa prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Dia katakan
aku pengkhianat dari Galuh." tutur Jang Dayat kembali bergidik.
"NYI Tarsih?"

Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tahu penari cantik berhidung mancung yang memberikan soder padaku" Nah, dia
seperti tertarik padaku. Matanya berbinar. Sebentar menatap sayu, sebentar
menatap tajam penuh gairah. Ketika selesai tari tayub, kami turun balandongan
dan pergi menuju sebuah rumah bagus, asri, tenang, sepi dan ada tempat tidur
hangat di sana ..." "Lalu kau mencumbu?" tanya Lendra.
"Tidak. Malah aku yang dia cumbu habis-habisan. Seluruh tubuhku dia elus mesra
dan hangat. Sepasang pipiku dia kecup mesra. Dan manakala mulutku dia lumat
habis, maka Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
30 tergetar gelora berahiku. Namun ketika giliranku yang ingin bereaksi, malah dia
menepis pergi. Ketika kekuatanku hampir roboh, dia malah meninggalkanku. Lendra,
aku teriak-teriak tak kuat menahan birahi. Maka Nyi Tarsih bilang, mari kita
bergumul sepuasnya. Mari kita menyatu hingga salah satu tak bisa lepas lagi.
Tapi dengan satu syarat ..."
"Apa itu?" "Gagalkan rencana pengeringan Rawa Onom!" kata Jang Dayat.
"Lho" Itu kan rencana Bendara Wedana. Memangnya kau bisa apa?" tanya Lendra.
"Itulah susahnya. Maka aku katakan, aku tak bisa laksanakan. Itu adalah rencana
besar Bendara Wedana, sementara aku hanya orang kecil saja," kata Jang Dayat.
"Betul itu." Tapi kata Nyi Tarsih, orang besar dan apalagi yang namanya pemimpin, musti
menurut apa keinginan yang kecil. Maka aku disuruhnya mengumpulkan seluruh
rakyat Rancah agar menolak pengeringan rawa. Begitu usul Nyi Tarsih," kata Jang
Dayat. "Lantas kau mau?"
"Ah ... aku tak bilang apa-apa. Maka itulah akhirnya Nyi Tarsih jengkel dan
memanggil para prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Aku dikepung dan hendak dicincang
habis-habisan. Tua Kampung Handiwung pun ikut bantu memanasi para prajurit agar
segera melumatkan tubuhku sebab aku tak mau bela rakyat Kerajaan Pulo Majeti,"
tutur Jang Dayat napasnya memburu.
"Selamatkan aku, Lendra ..."
"Lho, kau sudah selamat."
"Tapi Nyi Tarsih tetap mengancam, kalau aku tak bisa mempengaruhi rakyat Rancah,
maka aku akan terus dikejar. Lendra, tolonglah aku!" kata Jang Dayat sambil
diakhiri tangisan memilukan.
"Kau akan selamat sebab kau kini ada di dunia nyata. Ancaman itu datang dari
dunia gaib. Maka kau tak bisa dijangkau mereka," kata Lendra.
"Apakah aku tak akan kembali ke dunia mereka?"
"Asalkan kau jangan mudah tergoda rayuan perempuan cantik, Dayat ..."
"Apakah Nyi Nenah wajahnya jelek?"
"Nyi Nenah yang mana?"
"Anaknya Mang Sajum?"
"Ya ... kalau dibandingkan dengan wajah Nyi Tarsih, dia sih bukan apa-apa. Aku
akan pacari saja Nyi Nenah, Lendra ..." kata Jang Dayat.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
31 "Lho, apa-apaan kamu ini?"
"Katamu barusan, aku jangan mudah tergoda perempuan cantik. Lalu kalau digoda
perempuan nggak cantik, nggak apa, kan?"
"Ah, sundel kamu, Dayat!" kata Lendra sebal. Maka Lendra berjalan cepat coba
meninggalkan Jang Dayat. Tapi Jang Dayat pun ikut cepat berlari sebab dia takut
ditinggal di belakang. Hanya ketika lewati rawa saja mereka mulai kewalahan.
Seperti pengalaman aneh yang pernah melanda Lendra, begitu pun yang melanda Jang
Dayat. Kisah aneh pemuda ini pun menjadi bahan perbincangan tak henti-hentinya di
wilayah Rancah dan sekitarnya waktu itu. Isu menyebutkan bahwa penghuni Rawa
Onom dan Pulo Majeti marah karena mendengar rencana pengeringan rawa. Mendengar
isu ini, banyak orang menjadi takut dan khawatir atas rencana besar yang akan
dilakukan Bendara Wedana R.
Bratanagara. Rakyat yang semula merasa bimbang menjadi semakin menjauh atas
ajakan ini. Kata Mang Sajum, sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam, wilayah Rawa Onom
memang ditakuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Disebutkan oleh Mang Sajum,
bahwa di Rawa Onom dan sekitarnya, memang sudah didengar banyak keanehan.
"Rawa Onom memang dihuni oleh makhluk gaib yang disebutkan sebagai bangsa onom.
Mungkin kau sudah mengalaminya sendiri ..." tutur Mang Sajum pada Lendra. Lendra
hanya terpekur mendengarnya. Diakui oleh hatinya, bahwa dia pernah mengalami
kejadian gaib di mana pernah masuk ke dunia onom.
"Tapi kalau benar di dunia gaib ada Prabu Lancang Kuning yang menguasai Kerajaan
Pulo Majeti, mengapa raja itu mengingkari perjuangannya sendiri, Mang Sajum?"
tanya Lendra merenung. Mendengar pertanyaan ini, Mang Sajum mengerutkan dahinya.
"Aku tak paham pertanyaanmu, Lendra ..." gumam Mang Sajum.
Kata Lendra, menurut yang dia dengar melalui Nyi Indangwati di dunia gaib,
ayahandanya bernama Prabu Lancang Kuning itu dulu berjuang untuk memakmurkan
wilayah Pulo Majeti. Dari semula berupa hutan belukar, dibangun dengan susah-payah sehingga menjadi
sebuah negri yang makmur.
"Namun kenapa ketika kini ada yang ingin lebih memakmurkan kembali wilayah itu,
Prabu Lancang Kuning tak setuju?" tutur Lendra.
"Itulah yang aku tak tahu. Aku hanya tahu, makhluk gaib bernama onom itu memang
tak mau mengganggu kecuali diganggu ..." kata Mang Sajum.
Sementara itu, dua hari kemudian, Lendra dipanggil Bendara Wedana. Setelah
Lendra menghadap, Bendara Wedana R Bratanagara berucap kalau pegawainya itu
sebaiknya ikut mendukung rencana besar pengeringan Rawa Onom.
"Kau jangan membantu Jang Dayat untuk menyebarkan isu-isu gaib, Lendra ..." kata
Bendara. Lendra menyembah takzim sambil wajahnya sedikit pucat karena terkejut.
"Saya tidak secuil pun mempengaruhi orang banyak untuk tak mendukung rencana
besar itu, Gamparan ..." kata Lendra.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
32 "Syukur kalau begitu. Hanya saja yang terjadi di seluruh Rancah, semua orang
menjadi takut setelah mendengar peristiwa yang menim kalian. Tak nanti mereka
merasa takut kalau tidak menerima khabar-khabar buruk dari kalian, Lendra ..."
kata Bendara Wedana. Lendra menunduk lesu. Rupanya dia merasa kalau majikannya tetap menuduhnya ikut
menyebarkan isu yang membuat rakyat Rancah menjadi takut.
"Sudah ada utusan dari masyarakat yang meminta aku mengurungkan niatan itu,
Lendra ..." tutur Bendara Wedana lagi.
"Akan saya perjuangkan agar rakyat percaya lagi kepada Gusti Gamparan ..." kata
Lendra sedikit sendu karena sedih. Ketika Lendra mohon diri, Bendara Wedana tak
bilang apa-apa. membuat hati Lendra semakin sedih.
Sepulang dari pendopo, Lendra meneliti keadaan masyarakat Rancah. Maka dia
menarik kesimpulan bahwa orang Rancah takut ikut ambil bagian dalam gotong-
royong mengeringkan Rawa Onom lantaran di antaranya termakan isu yang
dilontarkan Jang Dayat. "Mang Sajum, Jang Dayat ke mana?" tanya Lendra ketika menemui Mang Sajum di
istal kuda. Mendengar pertanyaan ini, Mang Sajum hanya menghela napas.
"Anak muda itu pulang ke kampung halamannya di Kawali. Mungkin dia merasa takut
setelah sadar bahwa banyak orang Rancah menolak bergabung kerja mengeringkan
rawa lantaran berita buruk yang dilontarkannya ..." tutur Mang Sajum.
"Jang Dayat lebih mengkhawatirkan jiwanya yang katanya diancam oleh bangsa onom,
Mang Sajum ..." kata Lendra.
"Aku mafhum atas kekhawatiran anak muda itu, Lendra," kata Mang Sajum.
"Dan kini, giliran saya yang diperingatkan Bendara, Mang ..." kata Lendra
mengulang kisah pemanggilan dirinya oleh Bendara Wedana.
"Aku mengerti kekecewaan Bendara Wedana. Rencana besar ini sudah dilaporkan
kepada Kangjeng Bupati RAA Kusumasubrata. Bahkan Kangjeng Bupati pun sudah
melaporkannya ke pemerintah pusat di Batavia. Mereka setuju dan akan membantu
sepenuhnya. Maka bagaimana tak kecewa kalau kini rakyat Rancah sendiri banyak
mengundurkan diri karena ketakutan atas kemarahan penghuni gaib?" kata Mang
Sajum. "Saya mengerti, Mang ..."
"Kau musti berusaha mengembalikan kepercayaan Juragan Bendara padamu, Lendra.
Sejak dari Krangkeng Indramayu kau sudah mengabdi. Jadi, jangan putuskan nilai
pengabdianmu hanya karena ini, anak muda ..." kata Mang Sajum.
"Saya sungguh mengerti, Mang ..." jawab Lendra.
Sepulang dari perbincangan ini, Lendra jadi melamun sendirian. Dia gelisah
dengan peristiwa ini. Pemuda ini merasa kalau majikannya merasa kecewa atas
peristiwa-peristiwa yang Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by
buyankaba.com 33 berlangsung baru-baru ini. Bendara R Bratanagara mendapat reputasi baik dengan
kenaikan pangkat dari asisten wedana di Krangkeng hingga menjadi wedana di
Rancah lantaran prestasinya di bidang pengairan.
Di wilayah Indramayu sana, Bendara Wedana sukses mengeringkan beberapa rawa
hingga menjadi daerah pertanian subur. Maka akan merasa malu dan jatuh
reputasinya bila dalam membuat rencana besar di daerah Rancah ini mengalami
kegagalan hanya karena masalah gangguan makhluk gaib semata.
"Aku harus berjuang mengembalikan kepercayaan masyarakat Rancah terhadap
kepemimpinan Juragan Wedana ..." tuturnya dalam hati. Karena tekadnya sudah
bulat, maka Lendra berpikir keras, bagaimana dan apa yang mula-mula harus dia
kerjakan agar tujuannya terlaksana. Entah mengapa. Tapi secara tiba-tiba saja
dirinya jadi ingat kembali kepada Nyi Indangwati. Bukan sekadar ingat, dia
bahkan merasa rindu. Lendra merasa kalau Nyi Indangwati menyayangi dirinya.
"Aku harus bertemu dengannya ..." gumamnya. Maka pada hari itu juga secara diam-
diam pemuda itu pergi meninggalkan Rancah. Yang ditujunya tak lain adalah
wilayah Pulo Majeti. "Aku harus bertemu dengannya. Harus ..." tutur hati Lendra berkali-kali.
Secara diam-diam Lendra berangkat menuju wilayah Pulo Majeti sebab dia yakin
akan mudah menemui Nyi Indangwati di tempat di mana dulu dia menemukannya.
Lendra ingat pertama kali dia bersua dengan Nyi Indangwati. Itu terjadi ketika
Bendara Wedana mengajaknya berburu binatang. Ketika ada seekor menjangan terkena
anak-panah, Lendra menyusulnya.
Belakangan, ternyata bukan menjangan yang terkena panah, melainkan tubuh seorang
perempuan cantik.Itulah Nyi Indangwati. Gadis ayu itu merasa tertolong myawanya
oleh Lendra. Sebagai balas jasa, maka gadis cantik berlesung pipit itu berjanji
akan menghadiahkan sesuatu. Berupa apakah itu, Lendra tak sempat menanyakannya
sebab dirinya tak secuil pun mengharapkan upah. Namun oleh peristiwa yang
menekan dirinya itu, memaksa Lendra untuk mengingat kembali apa yang pernah
dijanjikan Nyi Indangwati.
"Ya, aku harus menemui Nyi Indang ..." tuturnya lagi. Tapi, untuk sampai ke
tempat tujuan kini susahnya bukan main.
Walau pun baru sekali ke wilayah Pulo Majeti, namun sebenarnya Lendra masih
hapal ke mana arah yang musti dituju. Lendra pun hapal betul, berapa lama waktu
dihabiskan untuk bisa sampai ke tempat itu. Namun manakala perjalanan ini
diulang kembali, ternyata tidak sama persis seperti perjalanan pertama itu.
Lendra musti keluar masuk hutan yang gelap dan pekat. Terkadang tubuhnya
terjerembab masuk ke kubangan berlumpur dingin. Ketika tangannya menggapai-gapai
ke atas karena tubuhnya melesak ke rawa dalam, ternyata benda yang digapainya
bukan akar bukan pula dahan pohon, melainkan tubuh seekor ular besar.
Maka Lendra harus bergumul dengan ular besar itu sebelum dirinya selamat dari
jebakan tanah rawa. Dengan serta-merta tubuh ular itu dia gayuti dan dipakai
alat untuk melepaskan diri dari jebakan lumpur pekat. Selamat dari jebakan rawa
dan bahaya ular berbisa, ternyata dia pun harus berhadapan dengan beberapa
binatang hutan berbahaya.
Manakala dia tiba ketika malam menjelang di sebuah gugusan tanah penuh pohon-
pohon besar, didengarnya sebuah lolongan mengerikan. Lolongan itu seperti sebuah
lolongan serigala namun suaranya lebih menyayat-nyayat menyedihkan. Ketika
binatang itu berlalu ke hadapannya, Lendra mengkirik bulu-kuduknya. Binatang itu
seperti kera tapi bisa berjalan Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P >
published by buyankaba.com
34 sebagaimana laiknya manusia. Namun yang lebih aneh, kepalanya menyerupai kepala
anjing. Tempo hari Mang Sajum pernah bilang bahwa di hutan-hutan pekat daerah Rancah
terdapat binatang aneh bernama aul. Aul itu bentuknya seperti kera namun
berkepala anjing. Jarang menampakkan diri, kecuali malam hari, itu pun di tengah
hutan. Dan binatang yang kini berdiri di hadapannya itu bentuk tubuhnya persis
seperti apa yang pernah digambarkan oleh Mang Sajum.
Dada Lendra berdegup kencang. Binatang misterius itu tetap berdiri di hadapannya
dan suaranya melolong-lolong terus. Lendra mencoba menguatkan batinnya dan
memasang kuda-kuda untuk menghadapi kemungkinan buruk. Namun binatang itu
ternyata tak bermaksud jahat. Buktinya setelah lama menatap agak lama, dia
segera meloncat pergi. Loncatannya demikian dahsyat dan cepat. Hanya dalam
sedetik lenyap bagaikan ditelan gelapnya malam.
Hanya suaranya saja sayup-sayup terdengar melolong dan merintih. Binatang itu
ternyata tak berbahaya. Yang membahayakan malah yang datang belakangan. Entah
dari mana datangnya, secara tiba-tiba hadir serombongan ular.
SECARA serentak, ular-ular itu membelit sekujur tubuhnya. Lendra berusaha
meronta dan menguak. Namun semakin kuat dia meronta semakin kuat lilitan ular-
ular itu. Beberapa di antaranya malah membelit lehernya, menyebabkan pernapasan
Lendra serasa tercekik. Akan akhirnya Lendra terkulai lemas karena napasnya
serasa sesak. Manakala siuman, ternyata dia sudah berada di sebuah ruangan. Ini adalah ruangan
mewah. Suasananya pun terang-benderang kendati di sana tak didapat penerangan atau
jendela terbuka. Lendra tergolek di atas alketip berwarna merah darah. Ada harum
wewangian menyelimuti seluruh ruangan. Lendra berusaha bangkit namun tubuhnya
terikat keras oleh tali-tali kencang terbuat dari sejenis kulit.
"Suruh dia duduk," terdengar suara seseorang. Tubuh Lendra didudukkan oleh
seseorang. Maka sambil tubuh tetap tertelikung tali kencang, dia sudah dalam keadaan duduk
dan menghadap ke arah sebuah singgasana.
Di atas singgasana warna emas itu terlihat duduk seorang lelaki setengah baya,
berkumis tipis berjanggut tipis dengan sepasang mata tajam menyorot. Lelaki
gagah ini memakai mahkota raja terbuat dari emas pula. Ada ornamen berlian di
jidatnya, bergoyang-goyang karena kepalanya bergerak.
"Kau musti beri hormat kepada Sang Prabu Selang Kuning ..." tutur seorang
ponggawa. Tapi kendati merasa terkejut, Lendra tetap diam.
"Ayo cepat menyembah!" teriak seseorang.
"Bagaimana caranya aku menyembah, sementara kedua tanganku terikat keras?" tanya
Lendra. "Kalau kau berniat menyembah setulus hatimu, maka kau bisa," tutur orang itu
lagi. Lendra musti berpikir berulang-ulang untuk mengaku tulus dalam menyembah.
Namun karena dia ingin lepas, maka dia kuatkan hatinya untuk berniat menyembah.
Maka seketika itu pun sepasang tangannya lepas dan bisa menyembah takzim.
"Nah, begitu baru bagus ..." kata seseorang. Lendra hanya sedikit mendengus.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
35 "Kau orang Galuh, mau apa datang ke Kerajaan Pulo Majeti sini?" tanya seseorang
lagi. Sementara Prabu Selang Kuning tetap memandang saja.
"Saya bukan orang Galuh, bila yang kalian maksud adalah sebuah kerajaan bernama
Galuh. Harap kalian ingat, Galuh sudah hilang. Yang ada hanyalah Kabupaten Ciamis,"
kata Lendra. "Setiap yang ingin hancurkan Kerajaan Pulo Majeti adalah orang Galuh," tutur
lagi orang di sampingnya.
"Ki Patih, biarkan orang ini mengutarakan maksudnya ..." Sang Prabu Selang
Kuning mulai berujar. "Sang Prabu sudah berkenan. Maka cepat kau katakan, apa maksud kedatanganmu?"
tanya Ki Patih. "Saya ingin tanya sesuatu. Apakah di bangsa kalian sebuah janji musti ditepati?"
tanya Lendra. "Jangan samakan kami dengan bangsa manusia. Janji bagi bangsa kami adalah sebuah


Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehormatan," tutur Ki Patih marah.
"Siapa yang pernah janji padamu?"
"Nyi Indangwati ..."
"Mengapa Nyi Indangwati pernah keluar janji, padahal di bangsa kami tak biasa
mengobral janji?" "Bisakah hadapkan Nyi Indangwati?" tutur Lendra.
NYI Indangwati ternyata tak bisa dihadirkan dan ini membuat Lendra kecewa berat.
"Mengapa saya tak bisa bersua dengan Nyi Indangwati?" tutur Lendra kepada patih.
"Sebab Nyi Indangwati bukan orang biasa. Orang kebanyakan sepertimu tak bisa
gegabah bersua dengan putri Raja. Nyi Indangwati tak akan segegabah itu menerima
kehadiran orang kebanyakan," sahut Ki Patih sambil melirik kepada Prabu Selang
Kuning. Namun yang dilirik hanya diam saja. Wajahna nampak masygul.
"Apakah Nyi Indangwati pun tidak gegabah dalam menerima pertolongan orang
kebanyakan dan apalagi pertolongan itu menyangkut nyawanya?" tanya Lendra
menatap Ki Patih. "Engkau pernah menolong nyawa Nyi Indangwati?" Ki Patih balik bertanya.
"Ya, dan mustahil seorang bangsa onom tak taat janji," kata Lendra memanas-
manasi. "Apa yang dijanjikan anakku itu, hai anak-muda?" Prabu Selang Kuning mengangkat
badannya sedikit dari kursinya. Maka Lendra menceritakan pengalamannya menolong
luka gadis itu. Karena pertolongan ini, maka Nyi Indangwati berjanji akan melu
luskan permintaan Lendra.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
36 "Permintaan apa?" tanya Sang Prabu.
"Tak disebutkan sebab saya tak pinta. Dan kini karena saya butuh pertolongannya,
maka akan saya pinta janjinya ..." kata Lendra.
"Biasanya laki-laki yang datang pada anakku merengek-rengek mohon menjadi
suaminya. Apakah itu pula yang engkau akan perbuat, anak muda?" tanya Sang Prabu. Namun
Lendra menggelengkan kepala dan amat mengherankan bagi yang melihatnya.
"Dia mungkin laki-laki bodoh bila dapat peluang bersua Nyimas namun tak minta
jadi suaminya," gumam Ki Patih tersenyum sinis.
Lendra tak mengomentari. "Apakah engkau menginginkan emas-intan dan berbagai kekayaan" Lelaki di bangsa
manusia memang begitu. Kalau tak minta wanita tentu minta harta, bahkan
kekuasaan," tutur Ki Patih lagi. Untuk kedua kalinya Lendra tak menimpali
komentar mereka. Dan manakala Lendra hanya diam seribu bahasa, maka terdengar
kekeh menghina dari para prajurit.
"Sudah, biarkan saja anak-muda ini mengutarakan keinginannya," potong Sang
Prabu. "Coba katakan saja kepada Sang Prabu, apa permintaanmu, anak-muda ..." kata Ki
Patih. "Maksudnya, apakah saya tak perlu bersua dengan Nyi Indangwati?" tanya Lendra.
"Jangan cerewet. Cepat katakan saja, apa keinginanmu," kata Ki Patih marah.
Maka Lendra berkata, bahwa Bendara Wedana tengah menghimpun kekuatan rakyat
untuk mengeringkan Rawa Onom namun rakyat kebanyakan takut dan tak sudi
mengerjakan proyek besar itu.
"Saya minta, bebaskan rasa takut orang agar sudi mengerjakan pengeringan rawa
itu," kata Lendra. Mendengar celoteh Lendra, Sang Prabu termangu. Ki Patih bahkan merah-padam
wajahnya. "Mengapa Rawa Onom/Onom musti dikeringkan?" tanya Sang Prabu kemudian.
"Agar kehidupan rakyat lebih sejahtera. Sebab dengan keringnya wilayah rawa itu,
maka rakyat bisa menanam apa saja," kata Lendra.
"Kau hanya berpikir perihal kesejahteraan bangsa manusia saja. Bagaimana pula
dengan kepentingan bangsa kami?" tutur Ki Patih menyela.
"Apakah ini merugikan kalian?" tanya Lendra.
KI Patih berujar, bahwa bangsa manusia cenderung egois. Bangsa manusia selalu
beranggapan bahwa hanya kepentingan mereka saja yang musti didahulukan.
"Padahal bangsa lelembut (halus) seperti kami ini pun sama punya kepentingan
hidup," tutur Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
37 Ki Patih. "Apakah dengan upaya pengeringan rawa, bangsa kalian akan terpuruk?" tanya
Lendra lagi. Hening sejenak. Kemudian giliran Sang Prabu yang berucap.
"Antara bangsa kalian dengan bangsaku memang terpisahkan oleh satu lapisan.
Namun lapisan itu sungguh hanya setebal kulit bawang. Perikehidupan kami juga
kadang-kadang suka ada kaitannya dengan bangsa kalian. Tokh apalagi bangsa kami
dahulunya adalah seperti kalian pula, yaitu sama-sama sebagai bangsa manusia,"
tutur Sang Prabu. Namun hal ini belum membuat Lendra mengerti.
"Kami perlu makan. Makanan itu di antaranya ada di lingkungan bangsa manusia.
Kalau kami ingin makanan berupa daging, maka kami akan mengubah diri jadi buaya
atau sebangsa hewan pemakan daging. Kalau kami ingin makanan yang tumbuh di air,
maka kami akan menyerupai ikan yang berseliweran di rawa-rawa. Maka bila rawa
kering, kami tak bisa mencari makan sebab suatu saat, oleh keserakahan manusia,
rawa akan berubah menjadi ladang dan sawah. Belakangan akan berubah pula menjadi
rumah atau pusat kediaman penduduk. Dan lantaran manusia adalah bangsa serakah,
maka suatu saat alam akan rusak.
Telaga tak ada, rawa tak ada, hutan tak ada. Padahal itulah tempat hidup kami,"
tutur Ki Patih. "Itu juga bagian dari tempat hidup manusia," potong Lendra.
"Apalagi bila hal itu benar demikian. Tapi aku sungguh tak percaya sebab manusia
itu memang serakah. Suatu saat, alam yang asri ini bakal habis atau rusak,"
tutur Ki Patih lagi. "Tak boleh memukul-rata seperti itu. Kalau semua manusia ahlaknya rusak, sudah
sejak dulu dunia ini akan punah," gumam Lendra sedikit tersinggung.
"Apakah engkau bagian dari kelompok yang baik?" tanya Ki Patih.
"Saya tak berani menilai diri sendiri. Namun majikan saya, Bendara Wedana adalah
orang yang menghargai alam. Beliau berupaya membuat rencana bukan semata untuk
kepentingan umat manusia semata namun juga untuk kepentingan yang lebih besar
lagi, yaitu alam semesta ini. Bendara ingin alam tetap asri dengan polesan-
polesan tangan manusia," kata Lendra.
"Maksudmu, kami harus bantu kalian?"
"Paling sedikit, kami tak diganggu."
"Dari mana engkau tahu bahwa kami suka mengganggu manusia?" tanya Ki Patih
tersinggung. Maka Lendra menjelaskan kalau kadang-kadang terdengar berita orang hilang di
rawa atau di hutan. Atau terdengar berita ada orang menderita sakit mendadak
bahkan sampai tewas hanya gara-gara berbuat ulah yang sepele.
"Itulah perilaku manusia. Bangsa kalian hanya selalu membuat penilaian
berdasarkan kepentingan kalian sendiri. Membabat satu ranting dianggap perbuatan
sepele sebab Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
38 beranggapan tak bakal merusak hutan. Padahal kalau satu orang mematahkan satu
ranting, berapa juta ranting akan patah bila semua bangsa kalian bertindak
ceroboh?" tanya Ki Patih,
"Itulah sebabnya, bila ada yang mematahkan ranting lantas orang itu jatuh
terjerembab, jangan salahkan bahwa itu hukuman dari kami," kata Ki Patih lagi.
"Bulan lalu ada orang terbenam di rawa. Apakah itu bukan perbuatan kalian?"
tanya Lendra sambil senyum.
"Orang itu mati karena serakah pingin ambil ikan banyak-banyak. Saking lamanya
berendam diri, badannya kaku dan tenggelam. Apakah itu hukuman dari kami atau
bukan, silakan engkau nilai sendiri perilaku orang itu," kata Ki Patih.
"Banyak orang berlaku gegabah tapi bila kena musibah, kesalahan selalu
ditimpakan kepada orang lain," tutur Ki Patih yang diiyakan oleh Sang Prabu.
Ki Patih menerangkan berbagai contoh di mana suka terjadi orang celaka, apakah
itu mati tenggelam, jatuh dari pohon atau tersesat di hutan. Kata Ki Patih, bila
ada yang mati tenggelam, maka selalu dikatakan lantaran penghuni rawa minta
tumbal. Padahal orang itu mati karena kakinya terjerat akar-akar bawah air atau
lantaran kaku kedinginan. Begitu pun bila ada yang tersesat di hutan, dikatakan
sebagai disembunyikan oleh lelembut di hutan itu.
"Padahal itu semua bergantung kepada perbuatan mereka sendiri," tutur Ki Patih
lagi. Lendra diam saja mendengarkan.
Tapi kembali kepada urusan yang tadi, apakah pihak penghuni di sini mau membantu
bila Bendara Wedana akan mengeringkan rawa?" Lendra mengembalikan obrolan kepada
masalah utama. Untuk yang ke sekian kalinya Sang Prabu nampak tercenung.
"Rawa Onom dan sekitarnya adalah kampung halaman kami, tempat kami mencari hidup
bahkan tempat kami menghadapi kematian kelak. Kalau rawa dikeringkan, alam akan
berubah dan persediaan kebutuhan kami pun akan berubah. Bangsa onom tak senang
kehiruk-pikukan. Bila rawa kering dan kelak rawa menjadi tempat mukim bangsa manusia, kahidupan
kami terganggu," tutur Ki Patih lagi.
"Kalau begitu, kita tak punya kesesuaian paham. Artinya kita musti berjuang
sendiri-sendiri ..." gumam Lendra sambil berjingkat berdiri.
"Engkau mau ke mana?" tanya Ki Patih sama-sama ikut berdiri. Para prajurit pun
sama berdiri dan seperti hendak mencegah Lendra untuk beranjak.
"Saya akan kembali ke alam saya ..." kata Lendra.
"Silakan bila kau bisa, anak muda!" kata Ki Patih melirik ke arah Sang Prabu.
Maka ketika Sang Prabu mengangguk, Lendra pun dilepasnya untuk keluar dari
keraton. Lendra melangkah di sepanjang jalan berbalay berupa batu-batu mengkilat bak
permata. Di sepanjang jalan berbalay itu tumbuh bunga beraneka-macam dengan
keharuman yang semerbak menyegarkan pernapasan. Namun Lendra tek tertarik dengan
itu. Katanya, itu Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by
buyankaba.com 39 hanyalah pandangan maya sebab bila dia kembali tersadar ke dunia nyata, semuanya
akan berubah menjadi sesuatu yang menakutkan.
Ketika Lendra lewat ke sebuah pertamanan yang berpohon rimbun dan teduh, hatinya
tersentak manakala di sebuah bangku taman ada seorang gadis menantinya.
"Nyi Indangwati ... " gumamnya dengan dada berdebar. Tak pelak lagi, debaran
jantung ini terjadi lantaran ada gairah berahi yang selama ini tersembunyi. Tapi
di saat-saat perasaan itu bergelayut datang pula kesadaran dirinya.
"Dia bukan bangsa manusia. Tak baik aku musti berhubungan dengan mahluk dari
alam berbeda ..." begitu tutur kata hatinya.
"Tapi kita semua sebenarnya tunggal mahluk ciptaan Tuhan, Kakang. Mengapa hanya
karena perbedaan bangsa kita harus memilah-milah?" jawab Nyi Indangwati membuat
Lendra terkejut. "Gadis itu mendengar apa yang dikatakan hatiku ..." keluh Lendra.
"Itulah sebabnya, tak ada bohong di sini. Jahat dan benar akan nampak seperti
kita melihat sinar bulan. Dan karena tak ada yang bisa disembunyikan maka hanya
kejujuran saja yang hidup di negri kami," tutur Nyi Indangwati sambil senyum.
Untuk kedua kalinya dada Lendra berdebar kencang.
Tangan Nyi Indangwati melambai dan tubuh Lendra seperti tersedot untuk segera
ikut datang. Begitu tiba di hadapannya, debar dada Lendra semakin kencang. Dan manakala
tangannya dituntun untuk duduk bergandengan, pemuda itu pun menurut.
"Orang Galuh boleh dikata musuh kami. Tapi galuh sebenarnya adalah kecintaan
kami. Galuh itu dambaan kami, sebab dulu kamilah yang membesarkan Galuh. Sebagai
tanda bahwa kami cinta Galuh, perilaku kami selama ini pun adalah perilaku orang
Galuh yang sejatinya," kata Nyi Indangwati.
"Bila boleh aku katakan, orang Galuh yang asli adalah kami. Yang lainnya hanya
ikut-ikutan mengaku saja sambil tak pernah memperlihatkan perilaku masyarakat
Galuh," kata lagi Nyi Indangwati.
"Apa tandanya masyarakat Galuh yang asli itu, Nyimas?" tanya Lendra penasaran.
"Yaitu, mereka yang sanggup mengamalkan dan menjaga ketulusan
galihnya hati. Galuh atau galih adalah pusat hati, pusatnya perasaan
kemanusiaan. Apakah manusia itu bisa baik atau buruk bahkan jahat, amat
bergantung kepada penggunaan galihnya hati itu. Percuma engkau mengaku orang
Galuh bila hatimu busuk. Sebab dengan demikian, nama negri ini akan tercemar,"
tutur Nyi Indangwati. "Saya bukan orang Galuh, Nyimas ..."
"Bila begitu, kau beruntung sebab kau boleh menggunakan perasaanmu apa dan
bagaimana saja." "Tak bisa begitu. Sebab dunia akan hancur kalau manusia mengumbar perasaannya
tanpa Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
40 dibatasi oleh kebenaran dan niat baik," jawab Lendra.
"Itulah perilaku orang Galuh, Kakang ..."
"Atau mungkin itulah keharusan semua umat di dunia, di mana pun adanya," potong
Lendra. "Tapi orang Galuh sudah musti beritikad seperti itu sebab mereka sudah menyadari
dengan memberinya nama Galuh bagi kerajaan ini," kata Nyi Indangwati.
"Wilayah ini kini namanya Ciamis, bukan Galuh, Nyimas ..."
"Tidak. Bangsa kami tetap menyebutnya Galuh sebab aku tetap menaruh harapan agar
masyarakat di sini, apakah itu masyarakat nyata atau masyarakat bunian, tetap
melanggengkan kehidupan yang penuh tanggungjawab," kata Nyi Indangwati.
Lendra hanya menghela napas sebab keinginan gadis ini di zaman kini amatlah
susah. Untuk ini, maka Lendra kembali berjingkat.
"Kakang mau ke manakah?" gadis itu memegang tangan Lendra.
"Kakang akan pulang ke alam Kakang sendiri ..."
"Mengapa" Bukankah Kakang akan berjuang untuk kepentingan bangsa Kakang?" tanya
Nyi Indangwati. "Rasa-rasanya Kakang berbeda kepentingan dengan bangsamu, Nyimas ..." kata
Lendra ingat lagi perselisihan paham dengan Ki Patih kerajaan ini.
"Yang namanya perjuangan tak harus dimulai dari persamaan kehendak. Malah itulah
namanya perjuangan bila kita sanggup mempertahankan pendapat kita. Sebab bila
berjuang dengan kesepakatan, biasanya perlu kompromi. Yaitu saling mengalah dan
saling memberi. bukan semata-mata saling meminta saja," kata Nyi Indangwati tersenyum ringan.
"Ya, ya, Kakang mengerti ..." gumam Lendra sambil mencoba menahan hatinya untuk
pergi dari tempat ini. Maka Lendra melangkahkan kakinya, meninggalkan Nyi
Indangwati tanpa berani menengok lagi ke belakang.
Terdengar lantunan gadis itu dengan suara merdu. Isi nyanyiannya perihal
pentingnya perjuangan untuk mencapai sesuatu tujuan. Lendra terpana dengan isi
nyanyian itu. "Ari bajuang teh kudu aya pangorbanan saha-saha anu menta kudu daek mere anu pepenta embung mere nya pinter-kodek ngaranna ...
(Yang namanya berjuang harus ada pengorbanan siapa berani minta harus berani beri Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
41 yang kerjanya minta tanpa mau beri
itulah culas namanya ...)
Lendra sejenak berdiri mematung. Ada keinginan dia menoleh ke belakang, namun
niat itu diurungkannya kembali.
"Tidak. Aku harus pulang ke tempat asalku ..." demikian hatinya bicara.Maka
Lendra memaksa hatinya beri perintah agar kakinya melangkah terus. Dan Lendra
memang berhasil melangkah. Terus melangkah kendati suara lantunan Nyi Indangwati
terus terngiang. Hingga pada suatu ketika, Lendra tiba kembali di sebuah hutan
belantara yang gelap dan pekat. Di tempat itu tak ada jalan setapak, tidak pula
lorong dengan sedikit cahaya. Lendra bahkan tak tahu, apakah sekarang siang hari
atau malam hari. Bila siang hari musti ada cahaya, bila malam hari musti gelap
gulita. Sementara di hutan itu, tak ada cahaya namun juga tak gelap-gulita.
Artinya, benda apapun yang ada di sekitarnya terlihat dengan cukup jelas.
Termasuk yang bisa dilihat oleh Lendra adalah seonggok tubuh yang amat
menakutkan. Mahluk itu sungguh aneh. Sebesar kambing namun juga bukan kambing.


Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahluk itu bisa berdiri dengan sepasang kakinya. Sementara sepasang kaki bagian
atasnya meronta-ronta dengan cakarnya yang tajam. Kepala mahluk itu seperti kera
namun juga seperti manusia, sebab hidungnya tak pesek. Hanya lantaran gigi-
giginya yang tajam saja yang membuat dia dianggap sebagai mahluk aneh. Apalagi
matanya mencorong tajam berwarna merah menyala. Dari sisi-sisi mulutnya meleleh
cairan putih. Lendra terkesiap. Makhluk aneh itu seperti sengaja mencegatnya.
Apalagi ketika mahluk itu meloncat ke depan dan mencoba mencakar wajahnya.
Lendra menjatuhkan dirinya ke samping sehingga sergapan mahluk itu hanya
mencakar angin. Namun begitu Lendra bangkit, mahluk itu sudah meloncat dan
mencakar pula. Lendra menjerit ngeri sebab mahluk itu akan mencakar wajahnya.
Untuk ke sekian kalinya Lendra menjatuhkan tubuhnya ke belakang dan jungkir-
balik beberapa kali. Namun demikian, tak urung bahu Lendra terkena sedikit
cakaran. Ada rasa dingin dan bercampur pedih manakala sedikit darah mengucur
dari luka itu. Dari rasa perih berubah menjadi panas dan gatal. Lendra mencoba
menggaruknya. Tapi semakin digaruk semakin perih dan semakin gatal. Belum lagi
kulit yang terkena garukan lukanya semakin membesar dan darah semakin mengucur.
Melihat Lendra mengeluh lantaran luka di bahu, mahluk itu berbunyi bercuitan dan
suaranya menyakitkan telinga. Lendra tak mau terus berhadapan dengan mahluk
menjijikan itu. Maka dia balik ke arah semula dan berlari kencang.
Tapi mahluk itu ternyata bisa terbang seperti kelelewar. Ketika dia tengadah ke
atas, baru ketahuan bila mahluk itu memang persis kelelawar raksasa. Lendra
ingat, kelelawar takut cahaya. Maka ingat ini, sambil berlari kencang dia ambil
paneker (pemantik api terbuat dari batu) dari saku bajunya. Paneker itu dia coba
nyalakan. Maka ketika terlihat cahaya berkilat, mahluk itu menjerit ngeri dan
terbang menjauh. Namun berbarengan dengan itu, tubuh Lendra pun terkulai lemah.
Kepalanya terasa pening dan tubuhnya berdebuk. Lendra pingsan. Ketika siuman,
dia sudah berada di pembaringan. Di sisinya, Nyi Indangwati duduk tengah merawat
luka di bahunya. "Nyimas... kau menolongku?" tanya Lendra menatap wajah cantik di mana tangan-
tangan yang lentik dan halus itu tengah merawat luka di bahunya.
"Ya, sebab saya punya utang budi pada Kakang yang dulu merawat lukaku ..." tutur
Nyi Indangwati mengingatkan peristiwa dulu ketika gadis itu terkena luka anak-
panah. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
42 "Apakah dengan demikian, kita sudah impas satu-sama lain tak punya utang lagi,
Nyimas?" tanya Lendra. Yang ditanya hanya tersenyum kecil.
"Apakah bila tak punya utang budi, engkau tak bakalan menolongku lagi, Nyimas?"
tanya lagi Lendra. "Engkau adalah lelaki gagah yang punya harga diri tinggi. Mustahil orang
sepertimu bisa merengek-rengek minta pertolongan orang lain?" tanya Nyi
Indangwati sungguh memukul perasaan Lendra.
"Ya, Kakang sungguh ingat lantunan nyanyianmu, bahwa tak baik orang hanya
meminta saja, sebab sebuah nilai kemanusiaan akan terjadi bila di antara sesama
saling memberi dan bukan hanya saling meminta saja ..." keluh Lendra sebab dia
merasa kalau keinginannya tak akan terkabul.
"Apa yang engkau inginkan sebenarnya, Kakang?" tanya Nyi Indangwati seperti tahu
akan isi hati Lendra. "Ya ... engkau sudah pasti tahu akan keinginanku. Bahkan keinginanku ini sudah
kau sampaikan kepada ayahandamu, Nyimas," kata Lendra.
"Ya. Bagaimana tanggapan ayahanda?"
"Dia menolaknya ..." kata Lendra menghela-napas.
Nyi Indangwati pun sama menghela napas.
"Kalau ayahanda menolak, maka tak ada yang bisa mengubah pendiriannya," kata Nyi
Indangwati. "Ya Kakang mengerti. Dan ini artinya Kakang musti berjuang sendiri ..." kata
Lendra. "Maksudmu, bangsamu akan melawan bangsaku?"
"Kakang tak tahu, seperti apa perjuangan itu. Kakang pun tak mewakili bangsaku
sebab kini aku jadi orang terasing di sana. Bendara Wedana bahkan sudah
mengacuhkanku sebab tersinggung atas sikapku," kata Lendra.
"Mengapa begitu?" Maka Lendra memaparkan kisah-kisahnya. Betapa peristiwa-
peristiwa aneh yang melanda dia dan temannya bernama Jang Dayat dianggap telah
memberi pengaruh buruk terhadap masyarakat Rancah.
"Setelah mendengar kisah Jang Dayat bahwa bangsamu tak merestui pengeringan Rawa
Onom, maka hampir semua orang Rancah merasa takut dan tak mau diajak bekerja
mengeringkan rawa. Kakang pun kena getahnya ditegur oleh Bendara Wedana. Maka
sebagai penebus dosa, Kakang berjanji kepada Bendara untuk mengusahakan agar
masyarakat tak takut lagi. Itulah sebabnya Kakang memerlukan datang ke tempatmu.
Karena Kakang hanya kenal engkau, maka tadinya Kakang akan minta pertolonganmu.
Namun di keraton aku tak bisa bertemu denganmu. Yang ada hanyalah ayahandamu dan
patihnya. Pihak keraton Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by
buyankaba.com 43 menolak permintaanku ..." keluh Lendra.
Nyi Indangwati hanya terpekur mendengarnya.
"Kau pun tak setuju dengan rencana bangsa kami?" tanya Lendra kemudian.
Jawab Nyi Indangwati: "Bila saya pun termasuk bangsamu, tentu saya akan
mendukungnya. Tapi antara kalian dengan kami tentu ada kepentingan yang beda. Kami senang
kelestarian alam, sementara kalian tidak. Mari dengarkan lantunan ujar-ujar kami
..." Maka Nyi Indangwati melantunkan nyanyiannya lagi.
Lamun nyatu tamba henteu laparlamun nginum tamba henteu hanaanglamun hees tamba
henteu nundutan, lamun dibaju tamba henteu dicangcut ...
(Bila makan sekadar tidak lapar
bila minum sekadar tidak dahaga
bila tidur sekadar tidak ngantuk
bila memakai celana dalam sekadar tak berpakaian ...)
"Begitu sederhananya sikap-hidup kami. Semuanya tak berlebihan. Semuanya tak
bersifat serakah. Dan semuanya tidak merusak. Sementara di bangsa kalian, bila
ingin makan, maka makan banyak-banyak. Bila ingin minum, maka minum banyak-
banyak. Bila ambil ikan di rawa, kebutuhan dua ekor, maka ambilnya sepuluh ekor.
Bila mungkin, seluruh air dikeringkan agar seluruh ikan bisa diambilnya.
Demikian pun bila masuk hutan. Ambil kayu banyak-banyak, berburu binatang
banyak-banyak, padahal keperluannya tak sebanyak itu.
Itulah sebabnya bangsaku suka mengerutkan dahi bila bangsamu punya rencana
besar. Boleh dikata, kami tak punya kepercayaan bahwa bangsamu bisa mengurus
alam baik-baik ..." tutur Nyi Indangwati panjang-lebar.
Mendengar ocehan ini, Lendra menunduk lesu. Demikian burukkah perilaku manusia
sehingga tak dipercayai mahluk gaib"
"Seandainya perilaku bangsaku sama dengan perilaku bangsamu ..." gumam Lendra
seperti tak tuntas. "Apa maksudmu, Kakang?" tanya Nyi Indangwati melirik sedikit sayu.
"Ya, seandainya bangsaku bisa hidup apik dan teratur mengurus alam, apakah
kalian akan mempercayai dan merestui rencana besar yang akan dihadapi Bendara
Wedana?" tanya Lendra lagi. Mendengar ini, kembali Nyi Indangwati tersenyum
tipis. "Direstui atau tak diberi restu, sebenarnya itu merupakan sesuatu yang terpisah
dari rencana besar bangsamu. Tidak berarti bahwa bangsa kami tak merestui lantas
rencana besar kalian musti digagalkan. Kan sudah saya katakan, bahwa sebenarnya
kepentingan kita ini berbeda.
Kami hanyalah bangsa yang sederhana dan tak berlebihan, sementara kalian adalah
bangsa yang banyak cita-cita dan berkeinginan besar. Jangankan ingin menguak
alam di bumi, bahkan untuk menguak rahasia alam di langit, bangsa kalian kelak
akan berusaha," kata Nyi Indangwati lagi.
"Maksudmu, apakah bangsamu akan membiarkan kami melanjutkan rencana besar ini?"
tanya Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
44 Lendra kemudian. "Itu sudah menjadi urusan kalian. Bahwa nanti akan terjadi sesuatu lantaran beda
kepentingan, sudah barang tentu akan terjadi. Jangankan antara mahluk yang beda
bangsa. Bahkan di sebuah lingkungan yang sama pun bila sudah beda kepentingan akan
terjadi pertikaian. Seorang penjala ikan di bangsa kalian tiba-tiba musti jadi petani karena rawa
dikeringkan menjadi persawahan, tentu akan memberontak sebab dia tak bisa jadi
petani, begitu sebaliknya. Nah, di bangsa kami, rawa diperlukan sebab di rawa
kami bisa menjadi ikan, bila ingin merasakan makanan berupa rumput. Kami bisa
jadi bangau, bila ingin makan ikan kecil.
Begitu seterusnya. Jadi, betapa sengsaranya bangsa kami bila pada suatu saat
rawa tak ada. Itu saja."
Mendengar ini, Lendra kembali mengeluh. Betapa beratnya punya keinginan.
Pikirnya, semua keinginan yang ada di benak siapa pun musti dipikir masak-masak
sebelum melakukannya. Sebab apalah artinya kebahagiaan bila cita-cita terlaksana sambil menyengsarakan
pihak lain. Perbantahan antara Lendra dengan Nyi Indangwati tak pernah selesai. Satu sama
lain tetap bertolak pada masing-masing kepentingan. Namun demikian, sebenarnya
Lendra sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa sebenarnya bangsa onom tidak serta-
merta melakukan penolakan dengan harga mati. Seperti apa kata Nyi Indangwati,
kekhawatiran bangsa onom itu terjadi lantaran mereka tak percaya kepada manusia
yang selalu bersikap serakah.
"Mungkin mereka tidak akan begitu keras menolak bila manusia bisa memenuhi
harapan mereka, yaitu bangsa manusia jangan merusak alam ..." tutur Lendra dalam
hati. Lendra kembali melangkahkan kakinya. Bahunya yang dibebat dedaunan obat masih
terasa sakit, namun demikian, darah sudah lama kering. Seperti yang sudah
dilakukannya, Lendra melangkah sambil tak mau menoleh ke belakang. Pengalaman
beberapa waktu lalu membuktikan, bila menoleh ke belakang maka pandangan akan
berubah. Istana megah beserta hal-hal indah lainnya akan berubah mendadak
menjadi hutan belukar dengan berbagai mara-bahayanya.
Ketika dia berjalan hati-hati di atas jalanan berbalay batu-batuan permata itu,
di tengah jalan berdiri pula seorang gadis cantik. Melihat wajahnya, Lendra
serasa pernah mengenalnya.
Gadis berlesung pipit dengan mata berbinar ini adalah emban bawahan Nyi
Indangwati. "Engkaukah Nyi Naimah?" tanya Lendra merandek.
Gadis berusia 17 tahun ini mengangguk dengan senyum menawan.
"Kau mencegatku?"
Untuk kedua kalinya gadis itu mengangguk dengan senyum dikulum.
"Mengapa?" tanya Lendra.
"Sebab kau adalah pemuda aneh ..." tutur gadis itu.
"Apanya yang aneh?"
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
45 "Banyak lelaki di bangsa kalian susah-payah bertapa dan bersunyi diri sampai mau
digigit nyamuk, bahkan dihampiri binatang buas.
Semuanya pingin ketemu Nyimas. Sementara kau beberapa kali bertemu malah
mengabaikannya ..." kata Nyi Naimah.
"Mengapa mereka berusaha pingin bertemu Nyimas?" tanya Lendra.
"Mereka pingin menikahi putri Kerajaan Pulo Majeti. Sebab dianggapnya bila
berhubungan keluarga dengan bangsa kami maka segala keinginan duniawi bakal
terlaksana." "Ouw begitukah" Apakah cita-cita pingin mengeringkan rawa termasuk juga ke dalam
sebuah keinginan duniawi?" tanya Lendra memancing.
Nyi Naimah kembali tersenyum. "Mungkin, ya, sebab itu masuk ke dalam hal-hal
yang bersifat duniawi juga ..." kilahnya.
"Apakah aku pun musti melamar Nyimas?" tanya Lendra kemudian. Maka untuk yang ke
sekian kalinya Nyi Naimah tersenyum manis.
"Sudah diberi kesempatan banyak-banyak agar kau meminang Nyimas tapi kau abaikan
selalu," kata Nyi Naimah.
"Aku ingin tanya, apakah bila aku menikah dengannya cita-cita mengeringkan Rawa
Onom akan terkabul?" Lendra tak menggubris ucapan Nyi Naimah.
"Setiap bangsamu yang pingin menikah dengan Nyimas adalah mereka yang memiliki
ambisi pribadi, untuk kepentingan pribadi.
Pingin kaya, pingin disegani atau pingin jadi pemimpin. Boleh dikata hanya kau
seorang datang kesini lantaran cita-cita untuk kepentingan umum," kata Nyi
Naimah. "Apakah bisa itu?" Lendra mendesak tapi Nyi Naimah tak menjawab ecara langsung.
"Cita-cita pribadi mudah dilaksanakan. Tapi cita-cita untuk kepentingan umum,
bakal menyangkut hal-hal lebih besar lainnya. Apalagi sesuatu yang berhubungan
dengan kerugian fatal di pihak si pemberi. Tak semudah itu," tutur Nyi Naimah.
Lendra merenung. Dia ingat cita-cita Bendara Wedana. Dan dia pingin bantu cita-
cita besar itu. Apa pun risikonya.
"Kalau cita-cita Bendara Wedana terkabul, aku rela menikah dengan Nyimas ..."
gumam Lendra. Mendengar ini, Nyi Naimah ketawa renyah.
"Dasar bangsa manusia licin dan licik. Kau yang butuh tapi malah kau yang minta
syarat ..." kata Nyi Naimah menutup bibirnya dengan punggung tangan karena masih tertawa.
"Mintalah sesuatu untuk kepentingan diri sendiri saja," katanya lagi.
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
46 Mendengar ucapan Nyi Naimah ini, Lendra mengatupkan bibirnya, sudah itu berlalu
melangkahkan kakinya menyusuri jalan berbalay batu permata.
"Lendra ... menikahlah dengan Nyimas. Dia amat kagum padamu," terdengar suara
Nyi Naimah. "Dengan syarat mendukung pengeringan rawa?" tanya Lendra tanpa menoleh ke
belakang. "Kau manusia sombong. Tak sepantasnya jual-mahal di tempat ini," Nyi Naimah
menjadi berang. Tapi Lendra terus melanjutkan langkahnya.
"Kau menolak cintanya Nyimas, maka akan kuwalat. Tapi itu bisa ditolong bila kau
mau menikah dengan siapa saja di sini. Kau akan diterima menjadi bangsa kami,"
kata Nyi Naimah. Namun Lendra seolah tak mau mendengarnya.
"Kalau kau tak menoleh padaku kau akan mati sebab akan bertarung dengan Siluman
Aul. Dan kalau kau menoleh ke belakang, maka kau akan mati karena menahan berahi!"
teriak Nyi Naimah. Lendra bercekat. Maka serta-merta kakinya berhenti melangkah. Ada dua pilihan
yang sama-sama membahayakan. Bila dia tak menoleh maka akan bertarung melawan
Siluman Aul. Barangkali yang dimaksud di sini adalah binatang aneh yang garang seperti
kelelawar besar. Bisa terbang, berwajah mirip anjing dan berkaki seperti kera namun bersayap.
Sudah dia rasakan betapa membahayakannya binatang menjijikan itu. Pilihan kedua
adalah mati karena menahan berahi. Kaum lelaki memang paling rawan dalam
menghadapi hal yang satu ini.
Tapi Lendra tak takut dengan yang ini.
"Wuah, mustahil aku tak kuat menahan gelora cinta. Sudah aku buktikan menghadapi
mahluk secantik apa pun aku bisa kuat menghadapinya!" tutur Lendra. Berkata
begitu sambil dia memilih menoleh ke belakang. Dan benar seperti apa yang
diduganya. Di hadapannya terpampang sebuah pemandangan yang amat menggelorakan
hatinya.Di hadapannya Nyi Naimah sudah berdiri penuh gelora. Gadis manis
berlesung pipit dengan mata berbinar itu kini sudah terkuak semuanya. Tak ada
benang selembar pun yang menutupi tubuhnya. Amboi, tubuh itu begitu putih mulus
dan halus. Bila ada lalat yang hinggap, maka tubuh lalat itu akan jatuh ke tanah
saking licinnya tubuh gemulai itu. Nyi Naimah datang padanya sambil bergerak-
gerak menggelorakan berahi. Lendra akan memalingkan muka. Namun lehernya terasa
kaku. Matanya pun tak bisa dia gerakkan untuk melihat ke arah lain. Maka yang
kini dilihatnya hanyalah gerakan-gerakan erotik dari tubuh Nyi Naimah. Ada harum
semerbak lewat di depan hidungnya. Ada dengus napas dan erangan serta rintihan
perlahan yang lewat di telinganya. Nyi Naimah merengek-rengek manja dan itu
semua sungguh menggelorakan hasrat birahinya. Bergidik bulu-kuduk Lendra.
Tubuhnya pun menggeletar seperti orang menderita demam hebat. Dadanya turun-naik
dan napasnya memburu. Tak terasa, pemuda itu mencabik-cabik pakaiannya sendiri.
Tak puas dengan mencabik pakaiannya, maka dicabiknya pula seluruh tubuhnya


Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai berdarah-darah. Lendra berteriak-teriak, sebab tak kuat menahan gelora
hatinya. Dia hampir menerjang untuk mendekap gadis itu. Namun ketika hasratnya sudah tak
tahan, dia balikkan tubuhnya ke belakang. Maka begitu membalik, begitu terlihat
ada mahluk garang menerjangnya. Mahluk mengerikan itu mencakar wajahnya.
Mencabik-cabik dadanya, bahkan Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published
by buyankaba.com 47 menggigit lehernya. Lendra berupaya keras untuk menghindar dan melawan. Bila
tadi tubuhnya menggeletar karena menahan gelora berahi, kini bergeletar karena
menahan rasa takut dan kengerian.
*** Bendara Wedana merasa kehilangan pemuda bernama Lendra. Beliau merasa menyesal
telah menegurnya. Padahal rasa takut warga Rancah atas keberadaan Rawa Onom
bukan lantaran hasutan pemuda itu semata. Bendara Wedana jauh hari pun sudah
tahu, bahwa daerah Rawa Onom sudah disebut-sebut sebagai daerah angker. Hanya
karena Lendra mengatakan bahwa penghuni Rawa Onom keberatan dengan rencana
pengeringan rawa, maka seolah semua kesalahan ditimpakan kepada pemuda itu.
Sampai berminggu-minggu lamanya, orang dikerahkan untuk mencari Lendra.
Pinggiran hutan dan rawa ditelusuri kalau-kalau pemuda itu celaka di sana. Namun
Lendra tak bisa ditemukan. Kalau dia mati, musti diketahui di mana kuburnya.
Tapi Lendra bagaikan ditelan bumi, tak ada kabar beritanya.
Sementara itu, masyarakat semakin menjauh juga dari ajakan Bendara Wedana. Pada
umumnya mereka enggan ikut rencana pengeringan rawa. Apalagi di saat-saat itu,
bersamaan dengan hilangnya Lendra, di Rancah timbul penyakit malaria dan banyak
makan korban. Bendara Wedana bersedih hati. Selain dia kehilangan pekerja yang amat setia
namun keras hati, Bendara pun bersedih karena belum bisa melaksanakan cita-
citanya mengeringkan Rawa Onom. Sampai pada saat berhentinya R.Bratanagara
sebagai Wedana Rancah karena musti pindah bertugas kembali ke Indramayu, proyek
besar yang jadi cita-citanya itu belum kesampaian juga. Catatan sejarah
menyebutkan bahwa pada 1917, R.Bratanagara yang sudah pensiun, memilih hari
tuanya untuk tinggal di Rancah kembali. Sebagai orang swasta dia tetap berkeras
ingin melaksanakan cita-citanya, yaitu mengeringkan Rawa Onom agar bisa berubah
menjadi lahan pertanian. Di tahun-tahun itu pun perjuangan beliau sungguh berat sebab tak begitu mudah
mengajak serta masyarakat untuk sama-sama berjuang mengeringkan rawa. Alasan
klasik yang dikemukakan, bahwa wilayah itu merupakan kekuasaan bangsa onom dan
mereka tak berani mengganggunya. Namun rupanya, berlandaskan kepada kepercayaan
tradisi ini, maka R.Bratanagara pun pada akhirnya "mengakui" adanya "kekuasaan"
di daerah itu. Maka untuk memperlihatkan sebagai bangsa manusia yang beradab dan
penuh hormat terhadap sesama, R.Bratanagara berupaya melaksanakan cita-citanya
sambil melakukan tata-cara terhormat sehingga diperkirakan "penghuni" Rawa Onom
tidak marah atau tersinggung atas cita-cita besar bangsa manusia.
Secara diam-diam, R.Bratanagara sering pergi ke wilayah Pulo Majeti, di mana
dipercaya bahwa daerah itu merupakan pusatnya Kerajaan Onom. Sampai pada 1935
rencana besar itu baru bisa dikerjakan. Selama mengerjakan pengeringan rawa,
boleh dikata tak ada hal-hal yang spektakuler. Dengan kata lain, bangsa onom tak
marah. "Tentu tak akan marah sepanjang kita meminta izin secara terhormat," tutur Ki
Dipa, juru kunci Pulo Majeti.
Dalam setiap pengerjaan pengeringan rawa, malah bangsa onom diundang serta,
terutama di saat kenduri selamatan. Pada akhirnya, sampai dengan awal 1980-an,
warga Ciamis kerap "mengundang" bangsa onom bila ada keramaian. Kamar kosong, kuda kosong, bahkan
berbagai penganan suka disiapkan untuk menyambut kedatangan "tamu terhormat"
yang Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
48 secara kasat mata dari orang biasa, "sang tamu" tak bisa dilihat.
Pulo Majeti yang dahulu berada di tengah rawa, kini sudah berada di tengah lahan
persawahan subur. Kata sementara "orang pandai", sesudah Rawa Onom dikeringkan,
Prabu Selang Kuning beserta ambarahayatnya telah meninggalkan Pulo Majeti dan
membangun kembali kerajaan baru di sebuah lahan yang masih berawa. Rupanya untuk
kepentingan manusia, bangsa onom mau mengalah.
TAMAT__________________________________________
Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com
49 Pedang Hati Suci 8 Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak Kutukan Dari Liang Kubur 1
^